Pencarian

Matahari Terbit 3

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Bagian 3


Ia memberi isyarat kepala ke arah pintu. "Kembali ke sana,
Bung." Aku marah. Aku menoleh ke arah Connor, tapi ia kembali
ke pintu masuk. Di ambang pintu, penjaga itu berkata, "Saya sudah
memeriksanya. Di sini tidak ada yang bernama Mr.
Sakamura. "Mr. Sakamura," kata Connor, "adalah orang Jepang yang
berdiri di belakang sana, di sebelah kanan Anda. Yang
sedang mengobrol dengan wanita berambut merah itu."
Si penjaga pintu menggelengkan kepala. "Maaf, kecuali
jika Anda dapat menunjukkan surat tugas resmi, saya
terpaksa mempersilakan Anda pergi dari sini."
"Sebenarnya tidak ada masalah," ujar Connor. "Mr.
Sakamura teman lama saya. Saya tahu dia mau menemui
saya." "Maaf, Anda punya surat tugas resmi?"
"Tidak," ujar Connor.
"Kalau begitu, Anda telah masuk tanpa izin. Dan
sekarang saya minta Anda pergi."
Connor tetap berdiri di tempat.
Si penjaga pintu mundur sedikit dan memasang
kuda-kuda. Ia berkata, "Anda perlu tahu bahwa saya
pemegang sabuk hitam."
"Oh, begitu?" ujar Connor.
"Sama halnya dengan Jeff," si penjaga menambahkan
ketika laki-laki kedua muncul.
"Jeff," kata Connor. "Apakah Anda yang akan
mengantarkan rekan Anda ini ke rumah sakit?"
Jeff tertawa sinis. "Hei, saya suka humor. Lucu sekali.
Oke, Mr. Wise Guy. Anda berada di tempat yang salah. Anda
sudah mendengar penjelasan teman saya. Keluar.
Sekarang." Ia menotok dada Connor dengan jari telunjuk.
Connor berkata dengan tenang. "Ini penyerangan."
Jeff berkata, "Hei, persetan kau. Aku sudah bilang kau di
tempat yang salah ......"
Connor melakukan sesuatu dengan sangat cepat, dan
tiba-tiba saja Jeff sudah tergeletak di lantai, mengerang-erang kesakitan. Ia berguling-guling sampai
menabrak sepasang kaki yang terbungkus celana berwarna
hitam. Ketika menoleh, aku melihat bahwa orang yang
mengenakan celana itu berpakaian serba hitam-kemeja
hitam, dasi hitam, jas satin hitam. Rambutnya putih, dan ia
menampilkan sikap dramatis yang lazim ditemui di
kalangan Hollywood. "Saya Rod Dwyer. Ini rumah saya. Ada
masalah apa?" Connor memperkenalkan kami dengan sopan dan
memperlihatkan lencananya. "Kami datang untuk urusan
resmi. Kami ingin bicara dengan salah seorang tamu Anda -
Mr. Sakamura, tuan yang sedang berdiri di pojok sana."
"Dan orang ini?" tanya Dwyer sambil menunjuk Jeff yang
masih terengah-engah dan terbatuk-batuk di lantai.
Connor berkata dengan tenang, "Dia menyerang saya."
"Keparat! Saya tidak menyerang dia!" ujar Jeff sambil
bertumpu pada sikutnya. Dwyer berkata, "Kau menyentuhnya?"
Jeff diam saja. Matanya mendelik.
Dwyer kembali berpaling pada kami. "Saya minta maaf
atas kejadian ini. Orang-orang ini masih baru. Saya tidak
tahu apa yang mereka pikirkan. Bisa saya ambilkan
minuman untuk Anda?"
"Terima kasih, tapi kami sedang bertugas," kata Connor.
"Kalau begitu, saya akan minta Mr. Sakamura datang ke
sini untuk berbicara dengan Anda. Maaf, nama Anda?"
"Connor." Dwyer menjauhi kami. Si penjaga pintu membantu Jeff
berdiri. Sambil berlalu, Jeff bergumam, "Setan!"
Aku berkata kepada Connor, "Anda masih ingat dulu,
waktu polisi masih dihormati?"
Tetapi Connor menggeleng-geleng sambil menundukkan
kepala. "Saya malu sekali," katanya.
"Kenapa?" Ia tak mau menjelaskan. "Hei, John! John Connor! Hisashiburi dana! Sudah lama
tidak ketemu. Apa kabar" Hei!" Ia menonjok bahu Connor.
Dilihat dari dekat, Eddie Sakamura tidak terlalu tampan.
Kulitnya kelabu, dengan bekas cacar, dan ia berbau
minuman keras. Gerak-geriknya serba tegang, hiperaktif,
bicaranya pun terburu-buru. Fast Eddie bukan orang yang
telah menemukan kedamaian dalam hatinya.
Connor menjawab, "Saya baik-baik saja, Eddie.
Bagaimana denganmu?"
"Yah, lumayanlah, Kapten. Ada satu-dua hal kecil. Saya
dapat lima-nol-satu, mengemudi dalam keadaan mabuk,
sedang berusaha menanganinya, lapi Anda tahu sendiri,
berkas saya sudah menumpuk di kantor polisi, sekarang
semakin sulit. Tapi, hei! Santai saja! Sedang apa Anda di
sini" Lumayan ramai, heh" Mode terbaru, tanpa perabot!
Rod bikin gaya baru. Hebat! Tak ada yang bisa duduk!" Ia
tertawa. "Gaya baru! Hebat!"
Aku mendapat kesan bahwa ia berada di bawah
pengaruh obat bius. Sikapnya terlalu berlebihan. Bekas luka
di tangannya tampak jelas. Wamanya merah keungu-unguan, berukuran kira-kira empat kali tiga senti.
Sepertinya bekas luka bakar.
Connor merendahkan suara dan berkata, "Sebenarnya,
Eddie, kami datang untuk mengusut yakkaigoto di
Nakamoto tadi." "Ah, ya," ujar Eddie. Ia pun merendahkan suaranya. "Tak
heran dia bernasib begitu. Dia memang henntai."
"Dia sesat" Kenapa kau berkata begitu?"
Eddie berkata, "Kita keluar sebentar" Saya mau
merokok, tapi Rod melarang orang merokok di dalam
rumah." "Oke, Eddie." Kami melangkah ke luar dan berdiri di pinggir taman
kaktus. Eddie menyalakan sebatang Mild Seven Menthol.
"Hei, Kapten, saya tidak tahu seberapa banyak yang sudah
Anda ketahui. Tapi cewek itu... dia tidur dengan sejumlah
orang yang ada di dalam sana. Dia tidur dengan Rod. Dan
beberapa orang lagi. Nah. Jadi lebih mudah kalau kita bicara
di sini, oke?" "Tentu " "Saya kenal baik dengan dia. Sangat baik. Anda tahu,
saya hipparidako, heh" Bukan salah saya. Saya memang
populer. Dia terus menempel saya. Terus-menerus "
"Saya tahu itu, Eddie. Tapi kaubilang dia ada masalah?"
l "Masalah besar, Amigo. Grande'problemos. Sakit, cewek
itu. Dia baru bisa puas kalau kesakitan."
"Orang seperti itu ada di mana-mana, Eddie."
Ia mengisap rokoknya. "Hei, bukan," katanya. "Ini lain.
Maksudku, bagaimana dia bisa sampai puas. Kalau
benar-benar disakiti. Dia selalu minta, lagi, lagi. Sekali lagi.
Lebih keras." Connor berkata, "Lehernya?"
"Yeah. Lehernya. Betul. Cekik lehernya. Yeah. Anda
sudah dengar" Dan kadang-kadang pakai kantong plastik.
Kantong plastik bening. Masukkan ke kepalanya dan jepit
dengan tangan. Cekik lehernya sambil sanggama. Dia
megap-megap, plastiknya menempel di mulut, dan
mukanya jadi biru. Punggung kita dicakar-cakar. Terus
megap-megap. Ya Tuhan! Saya sendiri tidak tertarik. Tapi
asal tahu saja, cewek ini... wow! Kalau dia sampai puncak,
benar-benar luar biasa. Tak bakal lupa. Sumpah. Tapi bagi
saya, terlalu kacau. Selalu menyerempet bahaya. Selalu ada
risiko. Menantang nasib. Mungkin kali ini. Mungkin ini yang
terakhir. Anda mengerti maksud saya?" Ia menjentikkan
rokoknya, yang lalu jatuh di tengah-tengah duri kaktus.
"Kadang-kadang memang seru. Seperti rolet Rusia. Tapi
saya tidak sanggup, Kapten. Sumpah. Tidak sanggup. Dan
Anda kenal saya, saya suka yang liar-liar begitu."
Eddie Sakamura membuatku merinding. Aku berusaha
membuat catatan ketika ia bercerita, tetapi kata-katanya
meluncur begitu cepat, sehingga aku selalu ketinggalan. Ia
kembali menyalakan sebatang rokok, tangannya gemetar.
Ia terus bicara seperti kereta api, melambai-lambaikan
ujung rokok yang membara untuk memberi penekanan.
"Maksud saya, cewek ini, dia jadi masalah," kata Eddie.
"Oke, dia cantik. Cewek cantik. Tapi kadang-kadang dia
tidak bisa keluar rumah, terlalu parah. Kadang-kadang dia
harus pakai rias wajah tebal, karena kulit lehernya sensitif.
Dan di lehernya banyak luka memar. Sekeliling leher.
Gawat. Anda sudah lihat sendiri, mungkin Anda lihat
mayatnya, Kapten?" "Yeah, saya melihatnya."
"Jadi..." Eddie terdiam sejenak, ragu-ragu. Ia seakan-akan
mundur, mempertimbangkan sesuatu Ia membuang abu
rokok. "Jadi, dia dicekik?"
"Ya, Eddie. Dia dicekik."
Ia mengisap rokoknya. "Yeah. Masuk akal."
"Kau melihatnya, Eddie?"
"Saya" Tidak. Apa maksud Anda" Mana mungkin saya
lihat dia, Kapten?" Ia mengembuskan asap rokok.
"Eddie. Lihat ke sini."
Eddie berpaling kepada Connor.
"Lihat mata saya. Sekarang katakan. Kau melihat
mayatnya?" "Tidak. Yang benar saja, Kapten." Eddie tertawa kecil,
gelisah, dan memalingkan wajah. Ia menjentikkan
rokoknya, sehingga berputar-putar di udara.
Bunga api beterbangan. "Apa ini" Pengusutan dengan
paksa" Tidak, saya tidak melihat mayatnya."
"Eddie." "Sumpah, Kapten."
"Eddie. Bagaimana hubunganmu dengan semuanya ini?"
"Saya" Sial. Saya tidak tahu apa-apa, Kapten. Oke, saya
kenal cewek itu. Kadang-kadang saya menemui dia. Saya
tidur dengan dia, memang. Dia agak aneh, tapi asyik. Cewek
asyik. Luar biasa di tempat tidur. Cuma itu, Kapten. Cuma
itu." Ia memandang berkeliling, menyalakan rokok ketiga.
"Bagus, heh, taman kaktus ini" Xeriseape, istilahnya. Mode
terbaru. Los Angeles kembali ke ke hidupan gurun. Ini
haya"erunosa, sangat trendy."
"Eddie." "Ayolah, Kapten. Ada apa dengan Anda" Kita sudah lama
saling mengenal." "Tentu, Eddie. Tapi saya ada masalah. Bagaimana dengan
kaset-kaset video dari ruang keamanan?"
Eddie tampak bingung, wajahnya polos. "Kaset-kaset
video?" "Seorang pria dengan bekas luka di tangan dan dasi
bermotif segi tiga masuk ke ruang keamanan Nakamoto
dan mengambil kaset-kaset video dari sana."
"Sial! Ruang keamanan" Apa-apaan ini, Kapten?"
"Eddie." "Siapa yang mengatakannya pada Anda" Itu tidak benar.
Mengambil kaset-kaset video" Saya tidak pernah berbuat
begitu. Anda sudah gila?" Ia membalikkan dasi dan
mengamati labelnya. "Lihat, Polo, Kapten. Ralph Lauren.
Pasti banyak dasi seperti ini."
"Eddie'. Bagaimana dengan Imperial Arms?"
"Ada apa dengan Imperial Arms?"
"Kau pergi ke sana malam ini?"
"Tidak." "Kau merapikan kamar Cheryl?"
"Apa?" Eddie kelihatan kaget. "Apa" Tidak. Merapikan kamarnya" Dari mana Anda
dapatkan segala omong kosong
ini, Kapten?" "Dari wanita muda di seberang selasar... Julia Young,"
ujar Connor. "Dia mengaku melihatmu tadi, bersama pria
lain. Di kamar Cheryl di Imperial Arms."
Eddie mengangkat kedua tangannya. "Astaga! Kapten,
dengar baik-baik. Cewek itu takkan tahu apakah dia melihat
saya semalam atau bulan lalu. Dia pecandu heroin. Anda
bisa menemukan bekas suntikan di sela-sela jari kakinya, di
bawah lidah, di kemaluannya. Cewek itu tukang mimpi. Dia
tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Buset. Anda
datang ke sini, menuduh saya macam-macam. Saya tidak
suka." Eddie membuang rokoknya, dan langsung
menyalakan yang berikut. "Saya sama sekali tidak suka.
Anda tidak lihat apa yang terjadi?"
"Tidak," kata Connor. "Coba katakan, Eddie, apa yang
sedang terjadi?" f "Omong kosong ini tidak benar. Semuanya tidak benar."
Ia mengisap rokoknya beberapa kali. "Anda tahu apa
masalah sebenarnya" Ini bukan mengenai cewek-cewek itu.
Ini menyangkut pertemuan Sabtu. Doyou kai, Connor-san.
Pertemuan rahasia. Itulah masalahnya."
Connor membentak, "Sonna bakana."
"Bukan bakana, Connor-san. Bukan omong kosong."
"Tahu apa wanita muda dari Texas mengenai Doyou
kai?" "Dia tahu sesuatu. Honto nanda. Dan suka bikin masalah,
cewek ini. Suka bikin onar."
"Eddie, mungkin ada baiknya kalau kau ikut dengan
kami."

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke. Silakan. Bantu mereka. Bantu kuromaku." Ia
berbalik dan menghadap Connor. "Tahi kucing. Ayolah,
Kapten. Anda tahu apa yang akan terjadi. Cewek ini
terbunuh di Nakamoto. Anda tahu keluarga saya, ayah saya,
di Daimatsu. Di Osaka mereka akan baca bahwa wanita
muda terbunuh di Nakamoto dan bahwa saya ditangkap
sehubungan dengan itu. Anaknya."
"Ditahan untuk diperiksa lebih lanjut."
"Ditahan. Apa pun namanya. Anda tahu apa artinya ini.
Taihennakoto ni naru zo. Ayah saya akan mengundurkan
diri, perusahaannya harus minta maaf kepada Nakamoto.
Mungkin memberi ganti rugi. Memberi kemudahan dalam
bisnis. Ini osawagi ni naruzo yang hebat. Inilah yang Anda
lakukan kalau Anda menahan saya." Ia mencampakkan
rokoknya. "Hei, kalau Anda pikir saya pembunuhnya,
silakan tangkap saya. Tapi Anda cuma mencari kambing
hitam. Anda bisa sangat merugikan saya, Kapten. Anda tahu
itu." Connor terdiam untuk waktu lama. Lama ia tidak
mengatakan apa pun. Mereka berjalan-jalan di taman,
berputar-putar. Akhirnya Eddie berkata, "Na, Connor-san. Ma"e kure yo..."
Suaranya bernada memohon. Sepertinya ia mengharapkan
kebijaksanaan Connor. Connor menghela napas. "Kaubawa paspormu, Eddie?"
"Yeah, tentu. Selalu."
"Serahkan pada saya."
"Yeah, tentu. Oke, Kapten. Ini dia."
Connor mengamatinya sekilas, lalu menyerahkannya
padaku. Aku menyelipkannya ke dalam saku.
"Oke, Eddie. Tapi awas kalau murina koto. Atau kau akan
dinyatakan persona non grata. Dan aku sendiri yang akan
memasukkanmu ke pesawat berikut ke Osaka. Waka"aka?"
"Kapten, Anda telah melindungi kehormatan keluarga
saya. On ni kiru yo." Dan ia membungkuk dengan formal,
dengan kedua tangan di sisi badan.
Connor membalas dengan cara yang sama.
Aku hanya terbengong-bengong. Aku tak percaya apa
yang kulihat. Connor akan melepaskannya. Aku benar-benar tak percaya. Aku menyerahkan kartu namaku kepada Eddie dan
mengulangi pidatoku mengenai bagaimana ia dapat
menghubungi kemudian jika ia teringat pada sesuatu. Eddie
mengangkat bahu dan memasukkan kartu namaku ke
dalam kantong baju, sambil menyalakan rokok. Aku tidak
masuk hitungan, ia berurusan dengan Connor.
Eddie kembali ke rumah, lalu berhenti sejenak.
"Saya ketemu cewek berambut merah di sini, menarik
sekali," katanya. "Setelah pesta ini, saya mau pulang ke
rumah saya di perbukitan. Kalau Anda perlu saya, saya ada
di sana. Selamat malam, Kapten. Selamat malam, Letnan."
"Selamat malam, Eddie."
Kami menuruni tangga. "Mudah-mudahan Anda tahu apa yang Anda lakukan,"
kataku. "Mudah-mudahan saja," ujar Connor.
"Sebab di mata saya, dia seperti orang yang bersalah."
"Mungkin." "Menurut saya, lebih baik kalau dia ditahan Lebih aman."
"Mungkin." "Kita kembali ke sana untuk membawanya?"
"Tidak." Ia menggelengkan kepala. "Dai rokkan saya
mengatakan jangan." Aku tahu apa arti kata itu. Artinya indra keenam. Orang
Jepang sangat percaya intuisi. Aku berkata, "Yeah, hmm,
mudah-mudahan Anda benar."
Kami terus menuruni tangga dalam kegelapan.
"Ada sesuatu yang perlu Anda ketahui," ujar Connor.
"Saya berutang padanya."
"Berutang?" "Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu, saya
memerlukan informasi tertentu. Anda masih ingat kasus
keracunan fugu" Tidak" Oke, pokoknya, tak seorang pun
bersedia memberi keterangan. Saya seperti bicara dengan
tembok. Dan saya membutuhkan informasi itu. Eddie yang
memberitahu saya. Dia ketakutan, karena tidak ingin orang
lain tahu. Tapi dia tetap membantu saya. Saya mungkin
berutang nyawa padanya."
Kami sampai di kaki tangga.
"Apakah dia mengingatkan Anda?"
"Dia takkan berbuat begitu. Sayalah yang harus
mengingatnya." Aku berkata, "Oke, Kapten. Urusan utang budi ini
sungguh mulia. Dan saya mendukung harmoni antarsuku
bangsa. Tapi sementara itu, ada kemungkinan bahwa dia
membunuh Cheryl Austin, mencuri kaset-kaset video, dan
merapikan apartemen wanita muda itu. Bagi saya, Eddie
Sakamura kelihatan seperti pecandu narkotika yang
mengalami korslet. Tingkah lakunya mencurigakan. Dan
kita malah pergi. Membiarkan dia begitu saja."
"Betul." Kami terus berjalan. Aku merenung, dan semakin cenias.
Aku berkata, "Sebenarnya, secara resmi sayalah yang
memimpin penyidikan ini."
"Sebenarnya Graham yang bertanggung jawab."
"Yeah, oke. Tapi kita akan kelihatan seperti orang tolol
kalau ternyata dia pelakunya."
Connor mendesah, seakan-akan kehilangan kesabaran.
"Baiklah, mari kita bahas kasus ini sesual jalan pikiran
Anda. Eddie membunuh Cheryl Austin, oke?"
"Oke." "Dia bisa menemuinya kapan saja, tapi dia memutuskan
untuk berhubungan di meja rapat, dan kemudian
membunuhnya. Setelah itu dia turun ke lobi, dan berlagak
sebagai eksekutif Nakamoto, biarpun penampilan Eddie
Sakamura sama sekali bukan seperti eksekutif. Tapi kita
anggap saja penyamarannya sukses. Dia berhasil menyuruh
petugas keamanan pulang lebih awal. Dia mengambil
kaset-kaset video itu. Dia keluar dari ruang keamanan tepat
pada waktu Phillips datang, kemudian dia pergi ke
apartemen Cheryl untuk merapikannya. Tapi entah kenapa
dia menambahkan foto dirinya, menyelipkannya ke bingkai
cermin. Lalu dia mampir di Bora Bora, dan memberitahu
semua orang bahwa dia akan menghadiri sebuah pesta di
Hollywood. Kita menemukannya di sana, di sebuah ruangan
tanpa perabot, sedang merayu wanita berambut merah.
Begitukah Anda membaca kejadian malam ini?"
Aku diam saja. Jika diungkapkan seperti itu,
kecurigaanku tampaknya memang tidak beralasan. Tapi di
pihak lain... "Saya hanya bisa berharap bahwa bukan dia pelakunya."
"Begitu juga saya."
Kami sampai di tepi jalan. Salah satu petugas parkir
bergegas datang untuk mengambil mobil kami.
"Caranya menceritakan hal-hal tadi," kataku, misalnya
bagaimana dia menutup kepala Cheryl Austin dengan
kantong plastik - mengerikan."
"Oh, itu tidak berarti apa-apa," ujar Connor. "Anda harus
ingat, Jepang tidak terpengaruh oleh ajaran Freud maupun
ajaran Nasrani. Mereka tidak merasa berdosa atau malu
mengenai seks. Tak ada masalah dengan homoseksualitas
atau seks yang menyimpang. Mereka bersikap apa adanya.
Ada orang yang suka ini, ada yang suka itu, apa bedanya.
Orang Jepang tak pernah memahami kenapa kita
ribut-ribut mengenai fungsi biologis yang begitu sederhana.
Mereka menganggap kita tertalu kaku dalam hal seks. Dan
memang ada benarnya." Connor melirik jam tangannya.
Sebuah mobil patroli keamanan swasta berhenti.
Seorang petugas berseragam menyembulkan kepalanya
dari jendela. "Hei, ada masalah di pesta di atas sana?"
"Masalah apa?" "Perkelahian. Kami menerima laporan mengenai
perkelahian." "Saya tidak tahu," ujar Connor. "Lebih baik Anda ke sana
untuk memastikannya."
Petugas itu turun dari mobil, menarik celananya yang
agak merosot, lalu mulai menaiki tangga.
Connor menoleh ke belakang, menatap tembok yang
tinggi. "Anda sadar bahwa sekarang ini lebih banyak
petugas keamanan swasta dibandingkan petugas polisi"
Semua orang membangun benteng dan menyewa petugas
satpam. Tapi di Jepang, kita bisa pergi ke taman di tengah
malam buta, duduk di bangku, dan takkan terjadi apa-apa.
Kita aman sepenuhnya, siang dan malam. Kita bisa pergi ke
mana saja. Kita tak perlu takut dirampok, dianiaya, atau
dibunuh. Kita tidak selalu menoleh ke belakang, tidak selalu
dihantui perasaan waswas. Keamanan kita adalah
keamanan seluruh masyarakat. Kita bebas. Perasaan ini
benar-benar menyenangkan. Di sini semua orang harus
mengurung diri. Mengunci pintu. Mengunci mobil. Orang
yang terus-menerus mengurung diri hidup seperti di
penjara. Tidak masuk akal. Tapi keadaan ini sudah
berlangsung begitu lama, sehingga orang Amerika sudah
lupa bagaimana nikmatnya kalau kita merasa benar-benar
aman. Baiklah. Mobil kita sudah datang. Sekarang kita ke
markas divisi." Kami baru saja mulai menggelinding, ketika operator
DHD memanggil, "Letnan Smith," ia berkata, "ada tugas
untuk Special Services."
"Saya sedang sibuk," kataku. "Apakah bisa ditangani oleh
petugas cadangan?" "Letnan Smith, beberapa petugas patroli minta bantuan
Special Services untuk kasus TP di wilayah sembilan belas."
Ia sedang memberitahuku bahwa ada masalah dengan
seorang tamu penting. "Saya mengerti," aku membalas,
"tapi saya sedang menangani kasus lain. Serahkan saja
kepada petugas cadangan."
"Tapi lokasinya di Sunset Plaza Drive. Bukankah Anda
berada di..." "Ya," kataku. Sekarang aku mengerti mengapa ia begitu
ngotot. Kejadian itu berjarak hanya beberapa blok saja.
"Oke, apa masalahnya?"
"Kasus MDKM yang melibatkan TP. Dilaporkan sebagai
tingkat P plus satu. Nama belakang adalab Rowe."
"Oke," kataku. "Kami segera ke sana." Aku mengembalikan gagang dan memutar mobil.
"Menarik," Connor berkomentar. "Tingkat P plus satu -
apakah itu berarti Pemerintah Amerika?"
"Ya," jawabku. "Senator Rowe?"
"Sepertinya begitu," kataku. "Mengemudi dalam keadaan
mabuk." Bab 17 SEDAN Lincoln berwarna hitam itu berhenti di pe-
karangan sebuah rumah di bagian Sunset Drive Plaza yang
curam. Dua mobil patroli berhenti di tepi jalan, dengan
lampu berwarna merah berkedap-kedip. Di pekarangan,
setengah lusin orang herdiri di sebelah sedan Lincoln.
Seorang pria bermantel mandi, dengan tangan terlipat di
depan dada; beberapa gadis dengan rok mini berkilau-
kilau; seorang pria tampan berambut pirang, berusia empat
puluhan, berpakaian tuksedo; serta seorang pria yang lebih
muda dengan setelan jas warna biru, yang kukenali sebagai
pemuda yang ikut masuk ke lift bersama Senator Rowe tadi.
Para petugas patroli telah mengeluarkan kamera video.
Sebuah lampu menyilaukan diarahkan kepada Senator
Rowe. Ia sedang bersandar pada spakbor depan sedan
Lincoln, sambil melindungi wajahnya dari cahaya dengan
sebelah tangan. Ia mencaci maki keras-keras ketika Connor
dan aku mendekat. Pria bermantel mandi menghampiri kami dan berkata,
"Saya ingin tahu siapa yang akan bertanggung jawab."
"Tunggu sebentar, Sir." Aku terus berjalan.
"Dia tidak bisa menghancurkan pekarangan saya seperti
ini. Saya menuntut ganti rugi."
"Harap bersabar sejenak, Sir."
"Dia mengagetkan istri saya, dan istri saya menderita
kanker." Aku berkata, "Sir, beri saya satu menit saja, dan setelah
itu saya akan bicara dengan Anda."
"Kanker telinga," ia menegaskan. "Telinga."
"Ya, Sir. Baik, Sir." Aku terus berjalan ke arah sedan
Lincoln dan lampu yang terang benderang.
Ketika aku melewati asisten Senator Rowe, ia ikut
berjalan di sampingku dan berkata, "Saya dapat
menjelaskan semuanya, Detektif " Usianya sekitar tiga
puluh, dengan wajah tampan berkesan lembut yang lazim
ditemui di kalangan anggota staf Kongres.
"Sebentar," kataku. "Saya ingin bicara dengan Senator
Rowe dulu." "Beliau sedang tidak enak badan," ujar asistennya.
"Beliau sangat letih." Ia menghalangiku. Aku hanya
berputar sedikit. Ia segera bergegas menyusulku. "Jet lag,
itu masalahnya. Beliau terkena jet lag."
"Saya harus bicara dengannya," kataku, lalu melangkah
ke cahaya yang terang. Rowe masih mengangkat sebelah
tangan. Aku berkata, "Senator Rowe?"
"Matikan lampu

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keparat itu, persetan," Rowe mengumpat. Ia demikian mabuk, sehingga ucapannya sukar
dimengerti. "Senator Rowe," kataku. "Kelihatannya saya terpaksa
minta Anda..." "Ah, persetan kau."
"Senator Rowe," kataku.
"Matikan kamera keparat itu."
Aku menoleh ke arah petugas patroli dan memberi
isyarat padanya. Dengan enggan ia mematikan kamera.
Lampu pun dipadamkan. "Astaga," ujar Rowe. Akhirnya ia menurunkan tangan. Ia
menatapku dengan mata muram. "Sialan, ada apa ini?"
Aku memperkenalkan diri. "Kalau begitu, kenapa Anda tidak berbuat sesuatu
mengenai kebun binatang brengsek ini, heh?" balas Rowe.
"Saya mau pulang ke hotel saya."
"Saya mengerti, Senator."
"Entah apa..." Ia melambaikan tangan asal saja. "Apa
masalahnya di sini'?"
"Senator, apakah Anda yang mengemudikan mobil ini
tadi?" "Persetan. Mengemudi." ia berbalik badan. "Jerry"
Jelaskan pada mereka!"
Jerry segera melangkah maju. "Saya sangat menyesal
atas semuanya ini," ia berkata dengan lancar. "Bapak
Senator sedang tidak enak badan. Beliau baru kembali dari
Tokyo semalam. Jet lag. Beliau sangat letih."
"Siapa yang mengemudikan mobil itu?" aku bertanya.
"Saya," si asisten berkata.
Salah satu gadis tadi tertawa cekikikan.
"Bukan, bukan dia," pria bermantel mandi berseru dari
seberang mobil. "Dia yang menyopir. Dan dia tidak sanggup
keluar tanpa terjatuh."
"Astaga, persetan semuanya," Senator Rowe berkata
sambil menggosok-gosok kepala.
"Detektif," ujar asistennya. "Saya yang duduk di belakang
kemudi tadi. Anda dapat menanyakannya kepada kedua
wanita ini." Ia menoleh ke arah kedua gadis bergaun pesta.
Memberi isyarat mata. "Bohong. Dia bohong," seru pria bermantel mandi.
"Tidak, itu memang benar," pria tampan bertuksedo
angkat bicara. Kulitnya kecoklatan dan sikapnya santai,
seakan-akan sudah terbiasa bahwa semua perintahnya
ditaati. Kemungkinan besar orang Wall Street. Ia tidak
memperkenalkan diri. "Saya yang mengemudikan mobil ini," Jerry menegaskan.
"Semuanya brengsek," Rowe bergumam. "Saya mau
pulang ke hotel." "Apakah ada yang cedera?" tanyaku.
"Tak ada yang cedera," ujar Jerry. "Semuanya baik-baik
saja." Aku bertanya pada petugas polisi yang berdiri di
belakangku. "Kejadian ini akan dilaporkan sebagai kasus
satu-sepuluh?" Satu-sepuluh merupakan kode untuk
kerusakan harta tak bergerak akibat kecelakaan kendaraan
bermotor. "Tidak perlu," salah seorang petugas patroli berkata
padaku. "Yang terlibat hanya satu mobil, dan jumlah
kerugiannya tidak seberapa." Laporan baru dibuat jika
jumlah kerugian melebihi dua ratus dolar. "Ini cuma kasus
lima-nol-satu. Terserah Anda, mau dilaporkan atau tidak."
Aku memutuskan tidak. Salah satu hal yang kita pelajari
di Special Services adalah SAR, situational appropriate
response, tindakan yang sesuai keadaan SAR berarti bahwa
dalam kasus yang melibatkan pejabat terpilih atau orang
terkenal, kita membiarkannya saja, kecuali jika ada yang
hendak menggugat. Dalam praktek, itu berarti tak ada
penangkapan selain untuk tindak pidana yang tergolong
berat. Aku berkata pada asisten Senator Rowe, "Catat nama
dan alamat pemilik pekarangan ini, agar Anda dapat
mengurus pemberian ganti rugi."
"Dia sudah tahu nama dan alamat saya," ujar pria
bermantel mandi. "Tapi saya ingin tahu, apa yang akan
dilakukan olehnya?" "Saya sudah memberitahunya bahwa kami akan
membayar ganti rugi atas semua kerusakan yang terjadi,"
kata Jerry. "Hal itu sudah saya katakan padanya. Tapi
rupanya dia masih..."
"Persetan, lihat itu; semua tanamannya rusak tergilas.
Dan dia menderita kanker, kanker telinga."
"Sebentar, Sir," aku berkata kepada asisten Senator
Rowe. "Siapa yang akan mengemudi sekarang?"
"Saya," katanya.
"Dia," ujar Senator Rowe sambil mengangguk.
"Jerry. Kau pegang kemudi."
Aku berkata kepada asistennya, "Baiklah. Saya minta
Anda menjalani tes kadar alkohol dulu."
"Tentu, ya ...."
"Dan tolong perlihatkan SIM Anda."
"Oke." Jerry meniup alat penguji kadar alkohol dan
menyerahkan SIM-nya padaku. SIM itu dikeluarkan di
Texas. Gerrold D. Hardin, 34 tahun. Beralamat di Austin,
Texas. Aku mencatat keterangan-keterangan itu, lalu
mengembalikan SIM-nya. "Baiklah, Mr. Hardin. Untuk malam ini saya serahkan
Senator Rowe ke bawah penjagaan Anda."
"Terima kasih, Letnan. Saya menghargai pengertian
Anda." Pria bermantel mandi berkata, Anda mau melepaskan
dia?" "Tunggu sebentar, Sir," aku berkata kepada Hardin.
"Tolong berikan kartu nama Anda kepada tuan ini, dan
hubungi dia. Saya minta urusan ini diselesaikan secara
memuaskan." "Tentu saja. Ya." Hardin meraih ke dalam saku untuk
mengambil kartu nama. Ia menarik sesuatu berwarna
putih, yang tampak seperti saputangan. Cepat-cepat ia
memasukkannya kembali ke dalam saku, lalu menyerahkan
kartu nama kepada pria bermantel mandi
"Anda harus mengganti semua tanaman begonia."
"Baik, Sir," ujar Hardin.
"Semuanya." "Ya. Baiklah, Sir."
Senator menegakkan badan. Ia terhuyung-huyung di
kegelapan. malam. "Begonia keparat," katanya. "Astaga,
malam yang brengsek. Anda punya istri?"
"Tidak," kataku.
"Saya punya," ujar Rowe. "Begonia keparat. Sialan."
"Lewat sini, Sir," kata Hardin. Ia membantu Rowe duduk
di kursi depan. Kedua wanita muda duduk di bangku
belakang, di kiri-kanan pria tampan bertuksedo. Hardin
menyelinap ke balik kemudi dan minta kunci mobil dari
Rdwe. Aku menoleh dan memperhatikan mobil-mobil
patroli berangkat. Ketika aku berbalik lagi, Hardin
membuka jendela dan menatapku "Terima kasih atas
bantuan. Anda." "Hati-hati di perjalanan, Mr. Hardin," aku berpesan.
Ia memundurkan. mobil dari pekarangan, melindas
bunga-bunga lain. "Dan semua bunga iris," seru pria bermantel mandi,
ketika mobil Senator Rowe mulai melaju di jalanan. "Saya
melihatnya dengan. mata kepala sendiri. Orang yang satu
lagi yang pegang setir tadi, dan dia mabuk."
Aku berkata, "Ini kartu nama saya. Kalau Anda merasa
penyelesaian masalah ini tidak memuaskan, silakan
hubungi saya." Ia mengamati kartu namaku, menggeleng-geleng, lalu
kembali ke dalam rumah Connor dan aku masuk ke mobil.
Kami menuruni bukit. Connor berkata, "Anda dapat keterangan mengenai
asisten itu?" "Ya," kataku. "Apa yang ada di sakunya?"
"Menurut saya, sebuah celana dalam wanita."
"Menurut saya juga begitu," ujar Connor.
Kami tak mampu berbuat apa-apa. Sebenarnya aku ingin
membalikkan bajingan sombong itu, mendorongnya ke
mobil, dan menggeledahnya di tempat. Tapi kami sadar
bahwa tak ada yang dapat kami lakukan. Kami tidak
mempunyai alasan kuat untuk menggeledah Hardin, atau
menangkapnya. Ia laki-laki muda yang mengendarai mobil
dengan dua wanita muda di bangku belakang, yang
masing-masing mungkin saja tidak mengenakan celana
dalam, serta senator AS di kursi depan. Satu-satunya
tindakan yang masuk akal adalah membiarkan mereka
pergi. Tetapi aku sudah mulai bosan membiarkan orang-orang
pergi begitu saja. Pesawat telepon berdering. Aku menekan tombol
pengeras suara. "Letnan Smith."
"Hei, Kawan." Ternyata Graham. "Aku lagi di kamar
mayat, dan coba tebak" Ada orang Jepang yang
memohon-mohon supaya boleh mengikuti autopsi. Percaya
tidak, dia mau duduk di sini dan mengamati semuanya. Dia
kalang kabut karena autopsi dimulai tanpa dia. Tapi hasil
pemeriksaan lab sudah mulai masuk. Keadaannya tidak
menguntungkan bagi Nippon Central. Kelihatannya
pelakunya orang Jepang. Jadi bagaimana, kau ke sini,
tidak?" Aku melirik ke arah Connor. Ia mengangguk.
"Kami segera ke sana," kataku.
Jalan tercepat untuk mencapai kamar mayat adalah
melalui ruang gawat-darurat di County General Hospital.
Ketika kami lewat, seorang pria kulit hitam yang
berlumuran darah duduk di tandunya dan berteriak-teriak,
"Bunuh Sri Paus! Bunuh Sri Paus! Persetan dengan dia!"
Sepertinya ia berada di bawah pengaruh narkotika.
Setengah lusin tenaga paramedik beduang untuk
membaringkannya. Ia mengalami luka tembak di bahu dan
tangan. Cipratan darah membasahi lantai dan dinding-
dinding ruang gawat-darurat. Seorang petugas kebersihan
tampak sibuk mengelap semuanya. Selasar dipenuhi orang
kulit hitam dan Latin. Beberapa dari mereka memangku
anak. Semuanya memalingkan wajah dari lap yang merah
karena darah. Dari ujung selasar masih terdengar
seseorang menjerit-jerit.
Kami masuk ke lift. Hening.
Connor berkata, "Satu pembunuhan setiap dua puluh
menit. Pemerkosaan setiap tujuh menit. Anak kecil
terbunuh setiap empat jam Tak ada negara lain yang tahan
dengan tingkat kekerasan setinggi ini."
Pintu lift membuka. Dibandingkan dengan ruang
gawat-darurat, suasana di selasar kamar mayat di basement
terasa tenteram. Aku mencium bau formaidehida. Kami
menuju meja, tempat Harry Landon yang kurus sedang
membungkuk, mempelajari beberapa berkas, sambil makan
roti. Ia tidak menegakkan badan. "Halo."
"Hei, Harry." "Apa yang membawa kalian ke sini" Autopsi Austin?"
"Yeah." "Mereka sudah mulai setengah jam yang lalu. Sepertinya
kasus itu cukup mendesak, ya?"
"Kenapa?" "Komandan membangunkan Dr. Tim dan minta agar
autopsi dilaksanakan dengan segera. Dia sempat
dibentak-bentak. Kalian tahu sendiri bagaimana Dr. Tim."
Harry Landon tersenyum. "Dan mereka juga memanggil
banyak orang lab. Kalian pernah dengar autopsi lengkap di
tengah malam buta" Coba bayangkan, berapa jumlah uang
lembur yang harus dibayar untuk ini?"
Aku berkata, "Dan bagaimana dengan Graham?"
"Dia ada di sekitar sini. Dia dikejar-kejar oleh orang
Jepang. Terus dibayang-bayangi. Setiap setengah jam, orang
Jepang itu bertanya apakah dia boleh meminjam telepon,
dan dia menelepon seseorang. Bicara dalam bahasa Jepang.
Setelah itu dia kembali mengusik Graham. Dia bilang mau
menyaksikan autopsi. Kalian percaya itu" Terus Memaksa,
Memaksa. Oke, kira-kira sepuluh menit yang lalu si Jepang
menelepon untuk terakhir kah. Aku kebetulan lagi di meja
ini. Aku melihat wajahnya. Matanya tiba-tiba membelalak,
seakan-akan dia tidak percaya pada apa yang baru saja
didengarnya. Dan kemudian dia berlari keluar dari sini.
Benar-benar lari." "Dan di mana autopsi ini dilaksanakan?"
"Ruang Dua." "Thanks, Harry. "Tutup pintu " "Hai, Tim," aku berkata ketika kami memasuki ruang
autopsi. Tim Yoshimura, yang dipanggil Dr. Tim oleh semua
orang, berdiri membungkuk, di sebuah meja stainless steel.
Meski sudah pukul 01.40 dini hari, ia berpakaian rapi
sekali, seperti biasanya. Rambutnya tersisir rapi. Dasinya
terikat rapi. Beberapa pena tampak berderet di kantong
baju lab yang terseterika licin.
"Kalian tidak dengar?"
"Akan kututup, Tim." Pintu itu sebenarnya menutup
secara otomatis, tapi rupanya itu masih kurang cepat bagi
Dr. Tim. "Aku tak ingin orang Jepang itu menuju ke sini. Itu saja."
"Dia sudah pergi, Tim."
"Oh, sudah pergi" Tapi siapa tahu dia kembali lagi nanti.
Dia benar-benar ngotot

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menjengkelkan. Kadang-kadang orang Jepang memang menyebalkan."
Aku berkata, "Aku tak menyangka kau berpandangan
seperti itu, Tim." "Oh, aku bukan orang Jepang," ia berkata dengan serius.
"Aku orang Amerika keturunan Jepang. Artinya, di mata
mereka aku termasuk gaijin. Kalau aku pergi ke Jepang, aku
diperlakukan seperti orang asing. Tampangku tidak
penting, aku lahir di Torrance - itulah yang paling
menentukan." Ia menoleh ke belakang. "Siapa yang kauajak
ke sini" John Connor" Sudah lama kita tidak ketemu, John."
"Hai, Tim." Connor dan aku menghampiri meja operasi.
Aku bisa melihat bahwa pembedahan sudah berjalan cukup
jauh. Irisan berbentuk huruf Y sudah dilakukan, dan
sejumlah organ telah dikeluarkan dan diletakkan dengan
rapi pada beberapa baki stainless steel.
"Sekarang tolong beritahukan padaku kenapa kasus ini
begitu penting," ujar Tim. "Graham begitu kesal, sehingga
tak mau menceritakan apa apa. Dia pergi ke lab di sebelah
untuk melihat hasil-hasil yang pertama. Tapi aku tetap
ingin tahu kenapa aku sampai dibangunkan untuk urusan.
ini. Sebenarnya malam ini Mark yang bertugas, tapi
rupanya dia belum cukup senior. Dan petugas pemeriksa
mayat tentu saja sedang di luar kota, mengikuti konferensi
di San Franciseo. Setelah punya pacar baru, dia selalu ke
luar kota. Jadi aku yang dipanggil. Aku bahkan tidak ingat
kapan terakhir kali aku dibangunkan."
"Tidak ingat?" kataku. Dr. Tim selalu sangat teliti, dan
daya ingatnya pun luar biasa.
"Terakhir kali, tiga tahun lalu. Tapi itu untuk membantu.
Sebagian besar staf di sini terserang flu, dan kasus-kasus
sudah mulai menumpuk. Suatu malam kami akhirnya
kehabisan tempat. Mayat-mayat di dalam kantong jenazah
terpaksa dibiarkan tergeletak di lantai. Ditumpuk-tumpuk.
Tak ada pilihan lain. Baunya menyengat sekali. Tapi aku
tidak ingat kapan terakhir kali aku dibangunkan. karena
kasus yang peka dari segi politik. Seperti yang ini."
Connor berkata, "Kami pun tidak tahu persis apa latar
belakang kasus ini."
"Kalau begitu, sebaiknya kalian segera cari jawabannya.
Aku dapat tekanan dari segala arah. Petugas pemeriksa
mayat menelepon dari San Francisco, dan dia terus berkata,
'Kerjakan sekarang juga, malam ini, dan kerjakan sampai
tuntas.' Aku bilang, 'Oke, Bill.' Lalu dia bilang, 'Tim, jangan
sampai ada kesalahan. Kerjakan dengan hati-hati, ambil
foto banyak-banyak, dan buat catatan banyak-banyak. Buat
dokumentasi selengkap-lengkapnya. Pakai dua kamera.
Soalnya aku punya firasat bahwa semua orang yang ber-
hubungan. dengan kasus ini bisa mendapat kesulitan besar.'
Nah, jadi masuk akal, kan, kalau aku bertanya-tanya?"
Connor berkata, "Jam berapa kau dihubungi?"
"Kira-kira jam setengah sebelas, atau sebelas."
"Petugas pemeriksa mayat memberitahumu siapa yang
menelepon dia?" "Tidak. Tapi biasanya satu dari dua orang: kalau bukan
Kepala Polisi, Wall Kota."
Tim mengamati hati, menarik-narik cupingnya, lalu
meletakkannya di baki stainless steel. Asistennya memotret
setiap organ, Ialu memindahkannya.
"Oke. Apa yang kautemukan?"
"Terus terang, sejauh ini temuan yang paling menarik
berada di bagian luar tubuhnya," kata Dr. Tim. "Dia
memakai rias wajah tebal untuk menutupi serangkaian luka
memar. Umur luka-luka itu berbeda-beda. Tanpa grafik
spektroskopik untuk sisa penguraian hemoglobin di tempat
luka, aku menaksir luka-luka memar itu berumur sampai
dua minggu. Mungkin lebih. Konsisten dengan pola trauma
kronis pada tulang tengkuk. Kurasa sudah jelas: yang kita
hadapi ini adalah kasus asphyxia seksual."
"Dia mengidap kelainan seksual?"
"Yeah. Begitulah."
Kelly telah menduganya. Dan ternyata ia benar.
"Kelainan ini lebih sering dijumpai pada pria, tapi juga
terdapat pada wanita. Orang yang bersangkutan hanya
terangsang jika mengalami kekurangan oksigen akibat
pencekikan. Mereka minta dicekik oleh partner mereka,
atau kepalanya di tutup dengan kantong plastik. Jika tidak
ada partner, mereka kadang-kadang mengikatkan tali pada
leher, lalu menggantung diri sambil metakukan masturbasi.
Untuk mencapai efek yang diinginkan, mereka harus
dicekik sampai hampir pingsan. Jadi mudah sekali untuk
melakukan kesalahan dan melangkah terlalu jauh. Dan ini
memang sering terjadi."
"Dan dalam kasus ini?"
Tim mengangkat bahu. "Hmm, yang kutemukan di sini
konsisten dengan sindrom asphyxia seksual. yang
berlangsung sudah cukup lama. Aku juga menemukan
sperma di dalam vagina dan luka lecet pada bibir vagina
sebelah luar, yang menunjukkan hubungan seks secara
paksa pada malam kematiannya."
Connor berkata, "Kau yakin luka-luka lecet di vaginanya
terjadi sebelum dia tewas?"
"Oh, ya. Luka-luka itu jelas-jelas terjadi pada waktu dia
masih hidup. Aku bisa memastikan bahwa dia berhubungan
seks dengan paksa sebelum meninggal."
"Maksudmu, dia diperkosa?"
"Tidak. Coba lihat, luka-luka lecet ini tidak parah, dan
tidak ada tanda-tanda yang mendukung dugaanmu pada
bagian-bagian lain dari tubuhnya. Bahkan tidak ada
tanda-tanda bahwa dia melakukan perlawanan. Berdasarkan temuan ini, aku menyimpulkan bahwa dia
mengalami penetrasi vagina secara dini, tanpa pelumasan
memadai pada labia ekstemal."
Aku berkata, "Maksudmu, dia kurang basah?"
Tim menyeringai. "Hmm. Dengan bahasa orang awam,
ya." "Berapa lama sebelum dia tewas luka-luka ini timbul?"
"Bisa satu sampai dua jam. Bukan di sekitar waktu
kematiannya. Ini dapat diketahui dari pelebaran pembuluh
darah dan pembengkakan di daerah-daerah yang
bersangkutan. Seandainya dia meninggal tidak lama setelah
mengalami luka, aliran darah terhenti, dan pembengkakannya terbatas atau bahkan tidak ada sama
sekali. Tapi dalam kasus ini, seperti yang kalian lihat
sendiri, pembengkakannya cukup jelas."
"Dan sperma yang kautemukan?"
"Sampelnya sudah dikirim ke lab. Berikut semua cairan
tubuh yang biasa." Ia mengangkat bahu. "Kita terpaksa
bersabar. Sekarang tolong jelaskan semuanya ini, oke"
Soalnya, aku mendapat kesan bahwa cepat atau lambat
wanita muda ini pasti akan menemui kesulitan. Maksudnya,
dia manis, tapi ada yang tidak beres dengannya. Jadi...
kenapa dia begitu penting" Kenapa aku dibangunkan
tengah malam untuk melakukan autopsi lengkap terhadap
wanita muda dengan kelainan seksual?"
Aku berkata, "Aku juga tidak tahu."
"Ayolah. Kalian tidak adil," ujar Dr. Tim. "Aku sudah
membeberkan apa yang kuketahui. Sekarang giliran
kalian." "Kau hanya berkelakar," kata Connor.
"Persetan," balas Tim. "Kalian berutang padaku.
Ayolah." "Peter tidak bohong," Connor berkata. "Kami hanya tahu
bahwa pembunuhan ini terjadi bersamaan dengan resepsi
besar yang diadakan oleh orang-orang Jepang, dan mereka
ingin segera menuntaskannya."
"Pantas," kata Tim. "Terakhir kali kami dibuat kalang
kabut di sini adalah waktu ada kasus yang menyangkut
Konsulat Jepang. Kalian. masib ingat kasus penculikan
Takashima" Barangkali kalian memang tidak ingat; kasus
itu memang tidak sempat masuk koran. Orang-orang
Jepang berhasil meredamnya. Pokoknya, seorang petugas
satpam terbunuh dalam keadaan mencurigakan, dan
selama dua hari, kami dikejar-kejar terus. Aku benar-benar
tak menyangka bahwa pengaruh mereka begitu kuat. Kami
ditelepon oleh Senator Rowe, dengan berbagai instruksi.
Oleh Gubemur. Semua orang menelepon ke sini. Mereka
benar-benar punya pengaruh."
"Tentu saja mereka punya pengaruh. Mereka bayar
cukup banyak untuk itu," ujar Graham sambil memasuki
ruangan. "Tutup pintu," kata Tim.
"Tapi kali ini segala pengaruh mereka takkan ada
artinya," Graham melanjutkan. "Sebab kali ini mereka
takkan bisa berkelit. Pembunuhan telah terjadi: dan
berdasarkan hasil pemeriksaan lab sejauh ini, kita bisa
memastikan bahwa pembunuhnya orang Jepang."
Bab 18 LAB patologi di sebelah berupa sebuah ruangan besar
yang diterangi oleh beberapa baris lampu neon. Sederetan
mikroskop tampak ditata dengan rapi. Tetapi berhubung
sudah larut malam, hanya dua teknisi lab bekerja di
ruangan besar itu. Dan Graham berdiri di samping mereka,
memperhatikan mereka dengan rasa puas.
"Silakan lihat sendiri. Mereka menemukan bulu pubic
pria, keriting sedang, berpenampang bulat telur, hampir
bisa dipastikan berasal dari orang Asia. Analisis pertama
terhadap air mani adalah golongan darah: AB, relatif jarang
ditemui pada orang kaukasoid, tetapi cukup umum di
kalangan orang Asia. Analisis pertama terhadap protein
dalam cairan sperma menunjukkan hasil negatif untuk
tanda genetik untuk... apa namanya?"
"Etanol dehidrogenase," ujar salah satu Petugas lab.
"Betul. Etanol dehidrogenase. Nama sebuah enzim. Tidak
dimiliki oleh orang Jepang. Dan tidak ditemukan dalam
cairan sperma ini. Lalu ada faktor Diego, yang merupakan
protein darah. Nah, Masih ada beberapa tes lagi, tapi
sepertinya sudah jelas bahwa cewek itu berhubungan seks
secara paksa dengan laki-laki Jepang sebelum dibunuh
olehnya." "Yang pasti, kau menemukan sperma orang Jepang di
dalam vaginanya," kata Connor. "Itu saja."
"Astaga," ujar Graham. "Sperma Jepang, rambut pubic
Jepang, faktor darah Jepang. Semuanya menunjukkan
bahwa pelakunya orang Jepang."
Ia telah menggelar beberapa foto dari tempat kejadian,
yang memperlihatkan Cheryl terbaring di meja rapat.
Graham mulai berjalan mondar-mandir di depan foto-foto
itu. "Aku tahu kalian ke mana tadi, dan aku tahu kalian cuma
buang-buang waktu," katanya. "Kalian mencari kaset-kaset
video itu, tapi semuanya sudah hilang, betul, tidak" Lalu
kalian pergi ke apar temennya: tapi ternyata sudah
dirapikan sebelum kalian sampai di sana. Dan ini sudah
sewajarnya terjadi kalau pelakunya orang Jepang.
Semuanya sudah jelas."
Graham menunjuk foto-foto di hadapannya. "Ini
korbannya. Cheryl Austin dari Texas. Cantik. Segar.
Potongan badan bagus. Seorang aktris. Pernah tampil
dalam beberapa iklan. Mungkin iklan Nissan. Sama sajalah.
Dia bertemu beberapa orang. Membuka hubungan. Lalu
dicantumkan di sebuah daftar. Sejauh ini oke?"
"Oke," aku berkata pada Graham. Connor sedang
mengamati foto-foto itu dengan saksama.
"Entah bagaimana caranya, pokoknya keadaan keuangan
Cheryl cukup baik, sehingga dia bisa memakai gaun
Yamamoto untuk menghadiri resepsi peresmian Nakamoto
Tower. Dia datang bersama seorang pria, mungkin
temannya, mungkin penata rambutnya. Berjenggot.
Barangkali dia mengenal beberapa tamu lain, mungkin juga
tidak. Tapi kemudian ada orang penting yang mengajaknya
menyelinap keluar sebentar. Cheryl setuju naik ke lantai
atas. Kenapa tidak" Cewek ini suka petualangan. Dia suka
bahaya. Dia mencari ketegangan. Jadi dia naik - mungkin
dengan orang itu, mungkin sendiri. Pokoknya, mereka
bertemu di atas, lalu mencari-cari tempat. Sebuah tempat
yang menggairahkan. Dan mereka memutuskan -
kemungkinan besar si pria, dia yang memutuskannya -
untuk berhubungan di meja rapat direksi. Mereka mulai
bersanggama, makin lama makin seru, sampai keadaan tak
terkendali lagi. Si pria mungkin terlalu bernafsu, atau
mungkin juga dia punya kelainan... pokoknya, dia mencekik
leher Cheryl sedikit terlalu keras. Dan Cheryl mati. Oke?"
"Ya." "Pria itu kelabakan. Dia naik untuk berhubungan seks,
tapi sayangnya dia membunuh cewek itu. Jadi, apa yang
dilakukannya" Apa yang bisa dia lakukan" Dia turun lagi,
bergabung dengan para tamu, dan karena dia samurai
penting, dia memberitahu salah satu anak buahnya bahwa
dia punya masalah kecil. Tanpa sengaja dia telah mencekik
seorang pelacur sampai mati. Sangat tidak menguntungkan
dengan jadwal bisnisnya yang padat. Jadi, para anak
buahnya berlari ke sana kemari dan membereskan
semuanya. Mereka mengamankan semua bukti yang
memberatkan dari lantai di atas. Mereka mengambil
kaset-kaset video. Mereka pergi ke apartemen si pelacur
dan menggeledah tempat itu. Semuanya tidak seberapa
sulit, tapi butuh

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu. Jadi, seseorang harus menghalang-halangi polisi. Dan itu tugas si pengacara
keparat, Ishiguro. Dia menghalang-halangi kita selama satu
setengah jam. Nah. Bagaimana kedengarannya?"
Tak ada yang berkomentar ketika ia mengakhiri
uraiannya. Aku menunggu sampai Connor angkat bicara.
"Hmm, aku angkat topi, Tom," Connor akhirnya berkata.
"Dalam banyak hal, urut-urutan kejadian yang kaugambarkan memang masuk akal."
"Memang begitu kejadiannya," Graham menggeram.
Pesawat telepon berdering. Salah satu petugas lab
bertanya, "Ada yang bernama Kapten Connor di sini?"
Connor pergi untuk menjawab telepon. Graham berkata
padaku, "Percayalah, orang Jepang yang membunuh cewek
itu. Dan kita akan menemukannya dan mengulitinya. Ya,
mengulitinya." Aku berkata, "Kenapa kau begitu sentimen terhadap
mereka?" Graham menatapku sambil merengut. Ia berkata, "Apa
maksudmu?" "Kenapa kau begitu benci pada orang Jepang?"
"Hei," ujar Graham. "Dengar baik-baik, Petey-san. Aku
tidak benci pada siapa pun. Aku hanya menjalankan
tugasku. Orang hitam, orang putih, orang Jepang, semuanya
sama saja bagiku." "Oke, Tom." Malam sudah larut. Aku tidak ingin
berdebat. "Tidak, persetan. Kaupikir aku penuh prasangka
terhadap mereka." "Lupakan saja, Tom."
"Persetan. Kita tidak akan melupakannya. Apalagi
sekarang. Begini, Petey-san. Kau berhasil mendapat
pekerjaan sebagai petugas penghubung, bukan begitu?"
"Betul, Tom." "Dan kenapa kau melamar pekerjaan itu" Karena
kekagumanmu terhadap kebudayaan Jepang?"
"Hmm, waktu itu aku bekerja di bagian hubungan pers..."
"Bukan, bukan, omong kosong. Kau melamar," kata
Graham, "karena ada uang tunjangan khusus, itu sebabnya,
bukan" Dua-tiga ribu dalam setahun. Tunjangan pendidikan. Dananya berasal dari Yayasan Persahabatan
Jepang-Amerika. Dan oleh Departemen digunakan sebagai
tunjangan pendidikan, diberikan kepada para petugas agar
mereka bisa mengikuti pendidikan bahasa dan kebudayaan
Jepang. Nah. Bagaimana kabarnya pendidikan ini,
Petey-san?" "Aku masih belajar."
"Berapa kali?" "Sekali seminggu."
"Sekali seminggu. Dan kalau kau tidak datang, apakah
tunjangannya dihapus?"
"Tidak." "Memang tidak. Malah tidak ada pengaruh sama sekali
apakah kau muncul di tempat kursus atau tidak. Asal tahu
saja, Kawan, kau sudah terima uang suap. Kau punya tiga
ribu dolar di kantong, dan uangnya datang langsung dari
Negeri Matahari Terbit. Tentu saja jumlahnya tidak
seberapa. Kau tidak bisa dibeli dengan tiga ribu dolar,
bukan" Tentu saja tidak."
"Hei, Tom..." "Masalahnya, mereka tidak berniat membelimu. Mereka
hanya mempengaruhimu. Mereka ingin agar kau berpikir
dua kali. Agar kau cenderung berada di pihak mereka. Dan
kenapa tidak" Ini memang watak manusia. Mereka
membuat hidupmu sedikit lebih nyaman. Mereka
mengangkat tingkat kesejahteraanmu. Keluargamu. Anak
perempuanmu. Mereka membantumu, jadi kenapa kau
tidak membantu mereka. Bukan begitu, Petey-san?"
"Bukan, bukan begitu," kataku. Aku mulai marah.
"Oh, ya," ujar Graham. "Sebab begitulah aturan mainnya.
Memang, kau bisa saja menyangkal. Kau bisa bilang itu
tidak benar. Tapi nyatanya" Kau hanya bisa bersih kalau
kau memang bersih. Kalau kau tidak mengambil
keuntungan, kalau kau tidak mendapatkan apa-apa, baru
kau boleh bicara. Kalau kau dibayar oleh mereka, kau jadi
milik mereka." "Brengsek, nanti dulu..."
"Jadi, jangan sok beri ceramah tentang kebencian. Negeri
ini sedang berperang, dan ada yang mengerti, ada yang
berpihak kepada musuh. Seperti di Perang Dunia II,
beberapa orang dibayar oleh Jerman untuk mempromosikan propaganda Nazi. Koran-koran di New
York memuat tajuk rencana yang berasal langsung dari
mulut Adolf Hitler. Kadang-kadang orang-orang bahkan
tidak menyadarinya. Tapi itulah yang terjadi. Begitulah ke-
adaan di masa perang. Dan kau termasuk kaki tangan
mereka." Aku bersyukur bahwa Connor kembali pada saat itu.
Graham dan aku hampir saja baku hantam, ketika Connor
berkata dengan tenang, "Nah, sekadar supaya semuanya
jelas, Tom. Menurut skenario yang kaususun, setelah Cheryl
Austin terbunuh, apa yang terjadi dengan kaset-kaset video,
itu?" "Oh, persetan, kaset-kaset itu sudah raib," ujar Graham,
"dan takkan muncul lagi."
"Hmm, menarik. Sebab aku baru saja menerima telepon
dari markas divisi. Rupanya Mr. Ishiguro sedang berada di
sana. Dan dia membawa sekotak kaset video untukku." -
Connor dan aku segera menuju markas. Graham
menggunakan mobilnya sendiri. Aku berkata, "Kenapa
Anda berpendapat bahwa orang-orang Jepang itu tak
mungkin mendekati Graham?"
"Pamannya," jawab Connor. "Dia tawanan perang dalam
Perang Dunia II. Dia dibawa ke Tokyo, dan setelah itu tak
pernah ada kabar lagi darinya. Seusai perang, ayah Graham
pergi ke sana untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan
saudaranya. Kemudian timbul banyak pertanyaan tidak
menyenangkan mengenai apa yang terjadi. Anda mungkin
tahu bahwa sejumlah prajurit Amerika tewas dalam
eksperimen-eksperimen kedokteran di Jepang. Konon hati
mereka dihidangkan kepada para bawahan mereka sebagai
lelucon, hal-hal seperti itulah."
"Tidak, saya tidak tahu," kataku.
"Saya rasa semua orang lebih suka melupakan masa itu,"
ujar Connor. "Barangkali memang lebih baik begitu. Negeri
itu sudah berubah sekarang."
"Apa yang diributkan Graham tadi?"
"Tunjangan saya sebagai petugas penghubung."
Connor berkata, "Waktu itu Anda bercerita bahwa
jumlahnya lima puluh dolar seminggu."
"Sedikit lebih banyak dari itu."
"Seberapa banyak?"
"Sekitar seratus dolar seminggu. Lima ribu lima ratus
setahun. Tapi itu sudah termasuk uang kursus, uang buku,
biaya transpor, baby si"er, semuanya."
"Oke, Anda dapat lima ribu dolar," ujar Connor. Lalu
kenapa?" "Graham menuduh bahwa saya terpengaruh oleh uang
itu. Bahwa saya telah dibeli oleh orang-orang Jepang."
Connor berkata, "Hmm, mereka memang berusaha. Dan
cara mereka sangat halus."
"Mereka juga mencoba mempengaruhi Anda?"
"Oh, tentu." Ia terdiam. "Dan saya sering menerima
pemberian mereka. Memberi hadiah untuk menjaga
hubungan baik sudah mendarah daging pada orang Jepang.
Ini tidak berbeda jauh dari kebiasaan kita mengundang
atasan kita untuk makan malam. Iktikad baik tetap iktikad
baik. Tapi kita tidak mengundang atasan kita jika ada
kesempatan untuk memperoleh promosi. Cara yang tepat
adalah mengundangnya pada awal hubungan kita, pada
waktu belum ada yang dipertaruhkan. Pada waktu itu, kita
hanya menunjukkan iktikad baik. Sama halnya dengan
orang Jepang. Mereka percaya bahwa hadiah harus
diberikan pada saat awal, sehingga tidak merupakan usaha
suap, tapi sekadar hadiah saja. Menjalin hubungan sebelum
ada tekanan." "Dan menurut Anda itu benar?"
"Menurut saya, itulah kenyataan."
"Apakah orang mungkin jadi korup karena itu?"
Connor menatapku dan bertanya, "Menurut Anda?"
Aku butuh waktu lama untuk menjawabnya.
"Ya, saya kira mungkin saja."
Ia mulai tertawa. "Hmm, syukurlah," katanya, "sebab
kalau tidak, orang-orang Jepang itu ternyata telah
membuang-buang uang dengan sia-sia."
"Apa yang lucu?"
"Kebingungan Anda, Kohai."
"Menurut Graham, kita sedang berperang." Connor
berkata, "Itu memang benar. Kita sedang berperang
melawan Jepang. Tapi coba kita lihat kejutan apa lagi yang
telah disiapkan Mr. Ishiguro untuk kita."
Bab 19 SEPERTI biasa, suasana ruang tunggu di lantai lima
markas divisi detektif di pusat kota tetap sibuk, meski jam
sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Para detektif
mondar-mandir di antara WTS jalanan dan pecandu
narkotika yang ditahan untuk interogasi; di pojok ruangan,
seorang pria dengan jas santai bermotif kotak-kotak sedang
berseru, "Kubilang diam, brengsek!" berulang-ulang kepada
petugas wanita yang membawa clipboard.
Di tengah-tengah kebisingan dan keramaian itu, Masao
Ishiguro seakan-akan salah masuk. Dengan setelan jas biru
bergaris-garis, ia duduk di pojok, merundukkan kepala,
merapatkan lutut. Ia memangku sebuah kardus.
Ketika melihat kami, ia segera berdiri. Ia membungkuk
rendah-rendah sambil menempelkan kedua tangan ke
paha, suatu sikap yang sangat formal. Selama beberapa
detik ia terdiam dalam po sisi itu. Kemudian ia segera
membungkuk lagi, dan kali ini menunggu sambil menatap
lantai, sampai Connor menyapanya dalam bahasa Jepang.
Jawaban Ishiguro, juga dalam bahasa Jepang, bernada
tenang dan penuh hormat. Pandangannya tetap tertuju ke
lantai. Tom Graham menarikku ke pinggir. "Ya ampun,"
katanya. "Sepertinya dia baru saja memberikan pengakuan
lengkap." "Yeah, mungkin saja," kataku. Tapi aku tidak yakin. Aku
sudah sempat menyaksikan kepandaian Ishiguro dalam
bersandiwara. Aku memperhatikan Connor ketika ia berbicara dengan
Ishiguro. Orang Jepang itu masih juga membungkuk.
Matanya tetap tertuju ke bawah.
"Tak kusangka dia orangnya," ujar Graham. "Sama sekali
tak kusangka." "Kenapa?" "Kau bercanda" Setelah menghabisi cewek itu, dia tetap
berada di ruangan itu dan malah menyuruh-nyuruh kita.
Bajingan itu punya saraf baja. Tapi coba lihat dia sekarang.
Astaga, dia sudah hampir menangis."
Memang benar, kedua mata Ishiguro mulai berkaca-kaca.
Connor mengambil kardus itu dan berbalik, berjalan
melintasi ruangan ke arah kami. "Tolong urus ini. Saya akan
menerima pernyataan dari Ishiguro."
"Jadi," kata Graham, "dia mengaku?"
"Mengaku?" "Mengaku membunuh Cheryl Austin."
"Tidak," ujar Connor. "Apa yang membuatmu berpikir
begitu?" "Habis, dia membungkuk-bungkuk seperti itu."
"Itu hanya sumimasen," Connor menjelaskan.
"Jangan ditanggapi terlalu serius."
"Dia hampir menangis," kata Graham.
"Hanya karena dia merasa itu menguntungkan baginya."
"Dia tidak mengaku?"
"Tidak. Tapi dia akhirnya mengetahui bahwa kaset-kaset
itu memang diambil. Ini berarti dia telah melakukan
kesalahan besar dengan ucapannya yang keras di hadapan
Wali Kota. Sekarang dia bisa dikenai tuduhan menggelapkan barang bukti. Izin prakteknya sebagai
pengacara bisa dicabut. Perusahaan tempatnya bekerja
akan kehilangan muka. Ishiguro berada dalam kesulitan
besar, dan dia pun menyadarinya."
Aku berkata, "Ah, karena itu dia bersikap merendah?"
"Ya. Di Jepang, kalau kita melakukan kesalahan, tindakan
terbaik adalah

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangi pihak berwajib dan menunjukkan penyesalan mendalam, lalu meminta maaf,
dan berjanji takkan mengulangi kesalahan itu. Sebenarnya
hanya proforma, tapi pihak berwajib akan terkesan karena
kita telah menarik pelajaran. Itu yang dinamakan
sumimasen: permohonan maaf tanpa akhir. Versi Jepang
dari memohon kemurahan hati pengadilan. Dianggap
sebagai cara terbaik untuk mendapatkan keringanan. Dan
itulah yang sedang dilakukan Ishiguro."
"Maksudnya, dia hanya berpura-pura," ujar Graham.
Sorot matanya menjadi keras.
"Ya dan tidak. Sulit menjelaskannya. Begini saja. Coba
putar kaset-kaset ini. Ishiguro membawa salah satu alat
perekam, sebab format kaset-kaset ini lain dari yang biasa.
Dia takut kita tidak bisa menyaksikan rekamannya. Oke?"
Aku membuka kardus yang diserahkan oleh Connor. Di
dalamnya terdapat dua puluh kaset delapan milimeter yang
mirip kaset musik. Aku juga melihat kotak kecil, kira-kira
seukuran walkman - alat perekam yang dibawa Ishiguro.
Lengkap dengan kabel sambungan ke pesawat TV.
"Oke," kataku. "Coba kita lihat."
Rekaman pertama yang memperlihatkan lantai 46
diambil dari salah satu kamera atrium, dengan sudut
pandang ke bawah. Pada rekaman itu tampak orang-orang
yang sedang bekerja, seperti pada hari kerja biasa. Kami
melewati bagian itu. Berkas sinar matahari yang masuk
melalui jendela menyapu lantai, membentuk busur,
kemudian menghilang. Berangsur-angsur cahaya yang
mengenai lantai terlihat memudar ketika hari mulai gelap.
Satu per satu lampu meja dinyalakan. Para karyawan mulai
agak santai. Akhirnya mereka mulai meninggalkan rueja
masing-masing, pulang, satu demi satu. Ketika jumlah
orang semakin berkurang, kami melihat hal lain. Kini
kamera bergerak sesekali, mengikuti karyawan yang lewat
di bawah. Tetapi dalam kesempatan lain, kamera itu tetap
diam. Akhirnya kami menyadari bahwa kamera tersebut
dilengkapi sistem fokus dan pelacakan otomatis. Jika terjadi
banyak gerakan di depan lensa-beberapa orang yang
menuju arah yang berbeda-beda, kameranya diam saja.
Tapi jika hanya ada satu orang, kamera akan mengikuti
gerakan orang itu. "Ajaib," Graham berkomentar.
"Tapi masuk akal untuk kamera keamanan," kataku.
"Mereka harus lebih berhati-hati terhadap satu orang
daripada terhadap sekelompok orang."
Kami melihat lampu malam mulai menyala. Semua meja
telah kosong. Kini rekaman yang kami saksikan
berkedap-kedip dengan cepat, hampir seperti stroboskop.
"Ada apa dengan kaset ini?" tanya Graham curiga.
"Jangan-jangan mereka telah mengutak-atiknya."
"Entahlah. Tunggu, bukan itu. Lihat jam di dinding sana."
Pada dinding di seberang ruangan terdapat sebuah jam.
Jarum menitnya tampak berputar dengan cepat dari pukul
19.30 ke pukul 20.00. "Mereka memadatkan waktu," aku menyimpulkan.
"Apa-apaan ini" Pemutaran slide?"
Aku mengangguk. "Kemungkinan, kalau dalam jangka
waktu tertentu tidak ada orang yang di deteksi, kameranya
hanya membuat satu frame setiap sepuluh atau dua puluh
detik, sampai..." "Hei. Apa itu?"
Kedap-kedip di layar mendadak berhenti. Kamera mulai
bergerak ke kanan, memperlihatkan ruangan yang kosong.
Tak seorang pun tampak. Hanya meja-meja kosong dan sejumlah lampu malam
yang kelihatan terang benderang dalam rekaman itu.
"Mungkin ada sensor lebar," kataku, "dengan daya
pantau melebihi batas gambar. Kalau bukan itu, mungkin
kameranya digerakkan secara manual, oleh petugas satpam
di suatu tempat. Mungkin di bawah, di ruang keamanan."
Kamera kini mengarah ke pintu-pintu lift. Pintu-pintu
terletak di sebelah kanan, di bayang-bayang gelap, di
bawah langit-langit rendah yang menghalangi pandangan
kami. "Jeez, gelap benar. Ada orang di sana?"
"Aku tidak bisa lihat apa-apa," kataku'
Gambar di layar kabur sejenak lalu jelas kembali,
berulang-ulang. "Sepertinya sistem autofokusnya kewalahan. Mungkin
karena tidak tahu apa yang harus difokus. Mungkin
langit-langit rendah itu yang mengganggu. Kamera videoku
di rumah juga sering begitu. Fokusnya kacau kalau tidak
jelas apa yang kubidik."
"Jadi kameranya berusaha memfokus sesuatu" Soalnya
aku tidak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap gulita."
"Hei, lihat. Ada orang di sana. Kakinya kelihatan.
Samar-samar." "Astaga," ujar Graham. "Itu dia. Berdiri di depan lift. Eh,
tunggu. Sekarang dia mulai bergerak."
Sesaat kemudian, Cheryl Austin melangkah maju, dan
untuk pertama kali kami melihatnya dengan jelas.
Ia sangat cantik dan penuh percaya diri. Tanpa ragu-ragu
ia melintasi ruangan. Gerak-geriknya mantap, terarah,
tanpa sikap sembrono yang biasa diperlihatkan anak muda.
"Astaga, cantiknya," kata Graham.
Cheryl Austin bertubuh jangkung dan langsing,
rambutnya yang pirang dan dipotong pendek semakin
memperkuat kesan tinggi. Sikapnya tegak.
Ia berputar pelan-pelan, memandang berkeliling,
seakan-akan ruangan itu merupakan miliknya.
"Aku hampir tak percaya kita bisa melihat ini," Graham
berkomentar. Aku mengerti maksudnya. Inilah wanita muda yang mati
terbunuh beberapa jam sebelumnya. Kini kami melihatnya
dalam rekaman video, mengelilingi ruangan, hanya
beberapa menit menjelang kematiannya.
Di layar TV, Chery meraih sebuan pemberian kertas dari
salah satu meja, memutarnya, mengembalikannya ke
tempat semula. Ia membuka tas, menutupnya lagi. Ia
menatap jam tangannya. "Dia mulai gelisah."
"Dia tidak suka disuruh menunggu," kata Graham. "Dan
kujamin dia juga tidak terbiasa menunggu. Cewek seperti
dia, mana mungkin?" Ia mulai mengetuk-ngetuk meja dengan irama tetap.
Rasanya aku mengenali irama itu. Ia meng- angguk-ang,gukkan kepala, mengikuti irama.
Graham menatap layar sambil mengerutkan kening.
"Apakah dia sedang bicara" Dia mengatakan sesuatu?"
"Kelihatannya begitu," kataku. Samar-samar mulutnya
tampak bergerak-gerak. Dan tiba-tiba semuanya menjadi
jelas. Aku menyadari bahwa aku dapat membaca gerakan
bibirnya. "I chew my nails and I twiddle my thumbs. I'm real
nervous but it sure is fun. Oh, baby, you drive me crazy... "
"Astaga," kata Graham. "Kau benar. Dari mana kau tahu?"
"Goodness, gracious, great balls of..."
Cheryl berhenti menyanyi. Ia berbalik ke arah lift.
"Ah. Ini yang kita tunggu-tunggu."
Cheryl berjalan ke lift. Begitu sampai di bawah
langit-langit rendah tadi, ia mendekap pria yang baru
muncul. Mereka berpelukan dan berciuman. Kami melihat
lengan si pria merangkul Cheryl, tapi wajahnya terlindung
dari pandangan. "Sial," Graham mengumpat.
"Jangan khawatir," kataku. "Sebentar lagi kita akan
melihatnya. Kalau bukan lewat kamera ini, lewat kamera
lain. Tapi aku yakin itu bukan orang yang baru
dijumpainya. Sepertinya dia sudah akrab dengan orang itu."
"Kecuali kalau dia memang benar-benar ramah. Yeah,
lihat. Orang itu tidak buang-buang waktu."
Tangan pria itu bergerak naik, mengangkat rok Cheryl. Ia
meremas-remas pantatnya. Cheryl Austin mendekapnya
dengan erat. Pelukan mereka penuh gairah. Bersama-sama
mereka berjalan ke tengah ruangan, berputar pelan-pelan.
Kini laki-laki itu membelakangi kami. Rok Cheryl telah ter-
angkat sampai ke pinggangnya. Cheryl meraba-raba
selangkangan teman kencannya. Mereka se tengah berjalan,
setengah terhuyung-huyung ke meja terdekat. Si laki-laki
memaksanya ke meja, dan tiba-tiba Cheryl memprotes,
mendorong-dorong. "Eh, eh. Jangan cepat-cepat," ujar Graham. "Rupanya
cewek ini punya harga diri juga."
Aku meragukannya. Cheryl seakan-akan sengaja
mengelabuinya, lalu berubah pikiran. Aku memperhatikan
bahwa sikapnya berubah hampir seketika. Aku mulai curiga
bahwa sejak pertama ia hanya bersandiwara, bahwa
gairahnya hanya pura pura saja. Tapi tampaknya pria itu
tidak terlalu heran. Sambil duduk di meja, Cheryl terus
mendorong-dorongnya. Pria itu mundur sedikit. Ia masih
membelakangi kami. Kami tetap tak dapat melihat
wajahnya. Begitu ia melangkah mundur, sikap Cheryl
berubah lagi. Perlahan-lahan ia turun dari meja dan
merapikan rok, menoleh, menggoyang-goyangkan tubuh
dengan cara menantang. Kami melihat telinga dan bagian
samping wajah teman kencannya. Rahangnya tampak
bergerak gerak. Ia sedang berbicara dengan Cheryl. Cheryl
tersenyum dan melangkah maju, merangkulnya. Kemudian
mereka mulai berciuman lagi, saling meraba-raba. Berjalan
pelan-pelan melintasi ruang an, menuju ruang rapat. .
"Ah. Jadi dia yang memilih ruang rapat?"
"Entahlah." "Sial, mukanya belum kelihatan juga."
Kini mereka berada hampir di tengah-tengah ruangan,
dan kamera hampir tepat di atas mereka. Hanya bagian atas
kepala pria itu yang terlihat.
Aku berkata, "Menurutmu, apakah dia kelihatan seperti
orang Jepang?" "Brengsek. Mana mukanya" Ada berapa kamera lagi di
ruangan itu?" "Empat." "Hmm. Berarti mukanya pasti terekam. Bajingan itu tak
mungkin lolos." Aku berkata, "Tom, sepertinya laki-laki ini cukup tinggi.
Dia kelihatan lebih tinggi dari Cheryl. Dan Cheryl termasuk
jangkung." "Mana kelihatan dari sudut seperti ini" Aku tidak lihat
apa-apa, kecuali bahwa dia pakai jas. Oke. Mereka sudah
menuju ruang rapat."
Ketika mereka menghampiri ruangan itu, Cheryl
tiba-tiba mulai memberontak.
"Oh-oh," kata Graham. "Dia marah lagi. Angin-anginan
sekali." Pria itu mendekapnya,dengan erat. Cheryl berbalik,
berusaha rnelepaskan diri. Pria itu setengah menggendongnya, setengah menyeretnya ke ruang rapat.
Di ambang pintu, Cheryl berbalik sekali lagi, berpegangan
pada kusen, meronta-ronta.
"Tasnya jatuh di situ?"
"Mungkin. Semuanya samar-samar."
Ruang rapat terletak tepat di seberang kamera, sehingga
kami dapat melihat seluruh ruangan. Tetapi bagian
dalamnya gelap sekali, sehingga Cheryl dan teman
kencannya hanya tampak sebagai siluet di hadapan
lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit di luar
jendela. Pria itu mengangkatnya dan mendudukkannya di
meja, memutarnya sampai telentang. Cheryl bersikap pasif,
pasrah ketika pria itu menyibakkan roknya. Ia malah
bergerak mendekat. Kemudian teman kencannya membuat
gerakan mendadak, dan sesuatu terlihat terbang.
"Itu celana dalamnya."
Sepertinya celana dalam itu jatuh ke lantai, tetap sukar
untuk memastikannya. Wamanya hitam, atau warna gelap
lainnya. Berarti bukan Senator Rowe, aku berkata dalam
hati. "Celana dalamnya sudah tidak ada waktu aku sampai di
sana," ujar Graham sambil menatap monitor. "Brengsek, ini
jelas-jelas penggelapan barang bukti." Ia menggosok-gosok
tangan. "Kalau kau punya saham Nakamoto, Kawan,
sebaiknya kaujual saja. Sebab besok sore sudah tak ada
harganya." Di layar, Cheryl masih menunggu, sementara teman
kencannya mengutak-atik ritsleting celana. Tiba-tiba ia
berusaha duduk tegak dan menamparnya dengan keras.
Graham berkata, "Ah, sudah mulai ramai. Sedikit
bumbu." Pria itu menangkap tangannya, dan mencoba mencium
Cheryl, tetapi Cheryl melawan, membuang muka. Ia dipaksa
telentang lagi. Ia menahan seluruh berat badan teman
kencannya. Kakinya menendang-nendang.
Kedua siluet itu bersatu dan berpisah. Sukar untuk
mengatakan apa yang sedang terjadi. Sepertinya Cheryl
terus berusaha duduk tegak, sedangkan pria itu terus
mendorong ke belakang. Ia menahan Cheryl dengan
sebelah tangan di

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dadanya, sementara Cheryl menendang-nendang sambil meronta-ronta. Cheryl tetap
telentang di meja, tetapi adegan itu lebih melelahkan
daripada merangsang. Pikiranku terusik oleh pemandangan
yang kulihat. Apakah ini memang pemerkosaan" Ataukah
Cheryl hanya berpura-pura" Cheryl terus menendang-nendang dan meronta-ronta, tetapi ia tidak
berhasil membebaskan diri. Pria itu mungkin lebih kuat
dari Cheryl, tapi aku yakin Cheryl dapat mendorongnya jika
ia memang berniat demikian. Dan kadang-kadang kedua
tangan Cheryl seakan-akan merangkul leher pria itu,
bukannya mendorongnya mundur. Namun memang sukar
untuk memastikannya. "Oh-oh. Ada masalah."
Pria itu menghentikan gerak maju-mundur yang
berirama. Di bawahnya, Cheryl tampak lemas. Kedua
tangannya merosot, jatuh ke meja. Kakinya terkulai.
Graham berkata, "Ini yang kita tunggu-tunggu?"
"Entahlah." Pria itu menepuk-nepuk pipi Cheryl, lalu meng-
guncang-guncangkannya dengan lebih keras. Sepertinya ia
berbicara dengannya. Ia tetap di tempat selama beberapa
saat, mungkin tiga puluh detik, dan kemudian ia
menjauhinya. Cheryl tergeletak di meja. Pria itu berjalan
mengelilinginya. Ia bergerak pelan-pelan, seakan-akan tak
percaya. Kemudian ia menoleh ke kiri, seolah-olah mendengar
sesuatu. Sesaat ia berdiri seperti terpaku, lalu mengambil
keputusan. Ia mulai sibuk, berputar-putar, mencari-cari
secara sistematis. Ia memungut sesuatu dari lantai.
"Celana dalam tadi."
"Dia sendiri yang mengambilnya," ujar Graham.
"Sialan." Kini pria itu bergerak mengelilingi Cheryl, dan
membungkuk sejenak. "Sedang apa dia?"
"Entahlah. Aku tidak bisa lihat apa-apa."
"Brengsek." Pria itu kembali berdiri tegak dan meninggalkan ruang
rapat, kembali ke atrium. Ia tidak lagi tampak sebagai
siluet. Kini ada kesempatan untuk mengidentifikasinya.
Namun ia memandang ke arah ruang rapat. Ke arah wanita
muda yang telah tewas. "Hei, Bung," kata Graham kepada gambar di monitor.
"Lihat ke sini, Bung. Ayo. Sebentar saja."
Di layar, pandangan pria itu tetap terarah pada Cheryl
ketika ia berjalan beberapa langkah ke atrium. Kemudian ia
cepat-cepat berjalan ke arah kiri.
"Dia tidak kembali ke lift," kataku.
"Tapi aku tidak bisa lihat mukanya."
"Mau ke mana dia?"
"Di ujung sana ada tangga," ujar Graham. "Tangga
kebakaran." "Kenapa dia ke sana, bukannya ke lift?"
"Mana aku tahu. Aku cuma ingin lihat mukanya. Sekali
saja " Kini pria itu berada di sebelah kiri kamera, dan
meskipun ia tak lagi memalingkan wajah, kami hanya dapat
melihat telinga kiri dan tulang pipinya. Ia berjalan dengan
terburu-buru. Tak lama lagi ia akan menghilang dari
pandangan, di bawah langit-langit rendah di ujung ruangan.
"Ah, sialan! Sudut ini tidak membantu sama sekali. Kita
lihat kaset lain saja."
"Tunggu sebentar," kataku.
Pria itu mengarah ke sebuah lorong gelap yang mestinya
menuju tangga. Tetapi sebelum memasuki lorong itu, ia
melewati sebuah cermin dengan bingkai bersepuh emas
yang tergantung di dinding. Ia melewatinya, tepat sebelum
ditelan oleh kegelapan di dalam lorong.
"Itu! " "Bagaimana caranya mengheintikan ini?"
Dengan tergesa-gesa aku meenekan beberapa tombol
pada alat perekam, sampai akhirnya menemukan tombol
stop. Rekaman itu kumundurkan sedikit, lalu kuputar lagi.
Sekali lagi pria itu berjalan ke arah lorong,
langkah-langkahnya panjang, cepat. Ia melewati cermin,
dan sepintas lalu - satu frame saja - kami melihat wajahnya
terpantul - melihatnya dengan jelas sekali - dan aku
menekan tombol untuk membekukan gambar.
"Bingo," kataku
"Jepang keparat," ujar Graham. "Apa kubilang?"
Terpantul di cermin adalah wajah sang pembunuh ketika
ia hendak menuju tangga. Kami tidak mendapat kesulitan
untuk mengenali wajah tegang itu sebagai wajah Eddie
Sakamura. Bab 20 "BIAR aku saja," Graham berkata. "Ini kasusku. Aku yang
akan menangkap bajingan itu."
"Tentu," kata Connor.
"Maksudnya," ujar Graham, "aku lebih suka pergi
sendiri." "Tentu," kata Connor. "Ini kasusmu, Tom. Lakukanlah
yang kauanggap terbaik."
Connor menuliskan alamat Eddie Sakamura untuknya.
"Aku bukannya tidak berterima kasih atas bantuanmu,"
kata Graham. "Tapi aku lebih suka menanganinya sendiri.
Nah, biar jelas, kalian sudah bicara dengan orang ini tadi
malam, tapi kalian tidak menahannya?"
"Betul." "Hmm, jangan khawatir," ujar Graham. "Soal ini takkan
kusinggung dalam laporanku nanti. Pokoknya, kalian tak
perlu cemas, aku janji." Graham sedang bermurah hati. Ia
gembira karena akan menangkap Eddie Sakamura. Ia
melirik jam tangannya. "Wow, kurang dari enam jam sejak
laporan pertama diterima, dan kita sudah mendapatkan
pembunuhnya. Lumayan juga."
"Kita belum mendapatkan pembunuhnya," kata Connor.
"Kalau aku jadi kau, aku akan segera menangkapnya."
"Aku sudah mau berangkat," ujar Graham.
"Oh, Tom," kata Connor ketika Graham menuju pintu.
"Eddie Sakamura memang aneh, tapi dia bukan orang yang
suka menggunakan kekerasan. Aku sangsi bahwa dia punya
senjata. Kemungkinan besar dia bahkan tidak punya pistol.
Dia pulang dari pesta bersama si Rambut Merah tadi.
Kurasa mereka sedang di tempat tidur sekarang. Kurasa dia
sebaiknya ditangkap dalam keadaan hidup."
"Hei," kata Graham, "ada apa dengan kalian berdua?"
"Sekadar usul saja," ujar Connor.
"Kaupikir aku akan menembak bajingan kecil itu?"
"Kau akan ke sana bersama beberapa mobil patroli,
bukan?" balas Connor. "Para petugas mungkin terpancing
emosi. Aku hanya berharap agar kau waspada."
"Hei. Thanks," kata Graham, lalu pergi. Badannya begitu
lebar, sehingga ia terpaksa berjalan agak miring agar dapat
melewati pintu. Aku memperhatikannya. "Kenapa Anda membiarkannya
pergi sendiri?" Connor mengangkat bahu. "Ini kasusnya."
"Tapi sepanjang malam Anda terus menangani kasus ini.
Kenapa sekarang Anda berhenti?"
Connor berkata, "Biarkan Graham saja yang menikmati
hasilnya. Lagi pula, apa hubungannya dengan kita" Saya
petugas polisi yang sedang cuti tanpa batas. Dan Anda
hanya petugas penghubung yang korup." Ia menunjuk kaset
video. "Anda bisa memutarnya dulu, sebelum Anda
mengantar saya pulang?"
"Tentu." Aku memundurkan pita sampai ke awal.
"Barangkali kita bisa minum kopi sekalian," kata Connor.
"Orang-orang di lab SID selalu punya persediaan kopi enak.
Paling tidak, dulunya begitu."
Aku berkata, "Bagaimana kalau saya mengambil kopi
sementara Anda menyaksikan rekaman ini?"
"Terima kasih, Kohai," ujar Connor.
"Kembali." Aku mulai memutar rekaman video, lalu
berbalik. "Oh, Kohai. Mumpung Anda ke sana, tolong tanyakan
pada petugas jaga, fasilitas video apa saja yang dimiliki
Departemen..Sebab semua kaset ini harus digandakan. Dan
mungkin ada frame-frame tertentu yang perlu dicetak.
Terutama jika ada masalah mengenai penangkapan
Sakamura. Siapa tahu ada plhak luar yang menganggapnya
sebagai pelecehan terhadap orang Jepang. Kita mungkin
perlu mengedarkan foto. Untuk membela diri."
Saran itu memang masuk akal. "Oke," kataku "Nanti saya
tanyakan." "Saya biasa minum kopi tanpa susu, dengan satu sendok
gula." Ia berbalik dan mengamati layar monitor.
Scientific Investigation Division, atau SID, terletak di
basement Parker Center. Ketika aku sampai di sana sudah
pukul dua dini hari, dan sebagian besar seksi sudah tutup.
Jadwal kerja SID tak berbeda dari kantor-kantor pada
umumnya, masuk jam sembilan, pulang jam lima. Memang,
tim-tim SID juga bekerja pada malam hari, mengumpulkan
barang-barang bukti di tempat-tempat kejadian perkara,
tetapi semuanya disimpan di dalam lemari-lemari sampai
keesokan paginya, atau di markas, atau di salah satu divisi.
Aku mendatangi mesin pembuat kopi di kafetaria kecil di
sebelah Kamar Gelap. Di sekitar ruangan itu terdapat
tanda-tanda peringatan bertulisan ANDA SUDAH MENCUCI
TANGAN" dan JANGAN BAHAYAKAN REKAN-REKAN ANDA.
CUCI TANGAN DULU. Peringatan peringatan ini dipasang
karena tim-tim SID kerap memakai zat-zat beracun,
terutama bagian kriminalistik. Begitu banyak air raksa,
warangan, dan krom digunakan, sehingga di zaman dulu
ada petugas yang jatuh sakit akibat minum dari gelas
plastik yang hanya tersentuh oleh petugas lab yang lain.
Tetapi sekarang orang-orang sudah lebih berhati-hati;
aku mengambil dua gelas kopi dan kembali ke meja.
Petugas jaga malam, Jackic Levin sedang bertugas, seorang
wanita berbadan pendek gemuk. Kakinya dinaikkan ke
meja. Ia mengenakan celana ketat dan rambut palsu
berwarna jingga. Meski penampilannya aneh, ia diakui
sebagai pencetak foto terbaik di seluruh Departemen. Ia
sedang membaca majalah Modern Bride. Aku berkata, "Mau
coba sekali lagi, Jackie?"
"Hei, bukan aku," balasnya. "Anakku."
"Siapa calon suaminya?"
"Bagaimana kalau kita bicara tentang hal yang
menyenangkan saja?" katanya. "Kaubawakan kopi untukku?" "Sori," jawabku. "Tapi aku ada pertanyaan untukmu.
Siapa yang menangani barang bukti berupa rekaman video
di sini?" "Rekaman video?"
"Rekaman dari kamera keamanan. Siapa yang
menganalisisnya, mencetak foto, dan sebagainya?"
"Hmm, kami jarang mendapat tugas seperti itu," kata
Jackie. "Dulu pernah ditangani oleh bagian elektronika, tapi
kurasa mereka sudah berhenti. Sekarang semua video
diserahkan ke Valley atau ke Medlar Hall." Ia duduk tegak,
membalik-balik halaman sebuah direktori. "Kalau mau, kau
bisa menghubungi Bill Harrelson di Medlar. Tapi kalau ada
hal khusus, kami biasa minta tolong ke JPL atau ke
Advanced Imaging Lab di U.S.C. Kau mau nomor telepon
mereka, atau mau lewat Harrelson?"
Nada suaranya memberitahuku mana yang harus
kupilih. "Aku minta nomor telepon saja."
"Yeah, aku juga, kalau aku jadi kau."
Aku mencatat nomor-nomor itu, lalu kembali ke markas
divisi. Connor telah selesai menyaksikan rekaman video,
dan sedang memutarnya maju mundur di bagian di mana
wajah Eddie Sakamura muncul di cermin.
"Bagaimana?" kataku.
"Ini memang Eddie." Ia tampak tenang, hampir tak
peduli. Ia meraih gelas plastik yang kubawa dan menghirup
kopinya. "Huh, payah."
"Yeah, memang."
"Dulu jauh lebih enak." Connor meletakkan gelas plastik,
mematikan alat perekam, berdiri, dan meregangkan badan.
"Hmm, rasanya sudah cukup untuk malam ini. Bagaimana
kalau kita tidur dulu" Besok pagi saya ada janji main golf di
Sunset Hills." "Oke," kataku. Aku mengembalikan kaset-kaset video ke
dalam kardus, lalu memastikan alat perekamnya.
Connor berkata, "Apa yang akan Anda lakukan dengan
kaset-kaset ini?" "Saya simpan di lemari barang bukti."
Connor berkata, "Ini rekaman asli. Dan kita tidak punya
duplikat." "Saya tahu, tapi baru besok saya bisa memperoleh
duplikat." "Justru itu. Kenapa tidak Anda bawa saja?"
"Maksudnya, dibawa pulang?" Pihak Departemen sudah
sering mengeluarkan larangan untuk membawa barang
bukti ke rumah. Singkatnya hal itu melanggar peraturan.
Ia mengangkat bahu. "Saya takkan mau mengambil
fisiko. Bawalah kaset-kaset itu, dan besok Anda sendiri
yang menangani pembuatan duplikat."
Aku menjepit kardus itu di bawah lengan dan berkata,
"Anda khawatir bahwa seseorang di sini akan..."


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu saja tidak," Connor memotong. "Tapi barang
bukti ini sangat menentukan, dan kita tak ingin seseorang
melewati lemari barang bukti sambil membawa magnet
besar sementara kita sedang tidur nyenyak, bukan?"
Akhirnya kuputuskan untuk membawa pulang kaset-kaset itu. Ketika keluar, kami melewati Ishiguro yang
masih duduk di sana. Tampaknya ia menyesal sekali.
Connor mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Ishiguro
langsung berdiri, membungkuk, lalu bergegas pergi.
"Apakah dia benar-benar setakut itu?"
"Ya," kata Connor.
Ishiguro menyusuri lorong, mendahului kami. Ke palanya
tertunduk. Ia hampir menyerupai karikatur seseorang yang
sedang dihantui ketakutan.
"Kenapa?" aku bertanya. "Dia sudah cukup lama tinggal
di sini. Mestinya dia tahu bahwa kita tidak punya dasar
kuat untuk menuduhnya menahan barang bukti, apalagi
untuk menuntut Nakamoto."
"Bukan itu masalahnya," kata Connor. "Dia tidak
merisaukan persoalan hukum. Dia takut menimbulkan
skandal. Sebab itulah yang akan terjadi seandainya kita
berada di Jepang." Kami melewati tikungan. Ishiguro
berdiri di depan deretan lift, menunggu. Kami ikut
menunggu. Suasananya serba canggung. Lift pertama tiba, dan
Ishiguro melangkah ke samping agar kami bisa masuk.
Ketika pintu menutup, aku masih sempat melihatnya
membungkuk ke arah kami. Lift mulai turunnya dan
Connor berkata, "Dia Jepang, riwayat perusahaannya bisa
tamat untuk selama-lamanya."
"Kenapa?" "Karena di Jepang, skandal merupakan cara yang paling
umum digunakan untuk mengubah hierarki. Untuk
menyingkirkan lawan yang kuat. Di sana, itu merupakan hal
biasa. Kita menemukan suatu kelemahan, dan kita
bocorkan kepada pers, atau kepada penyelidik dari pihak
pemerintah. Ini selalu diikuti dengan skandal, dan orang
atau organisasi bersangkutan akan hancur. Dengan cara
inilah skandal Recruit menjatuhkan Takeshita dari
kedudukannya sebagai perdana menteri. Atau skandal-skandal keuangan menjatuhkan Perdana Menteri
Tanaka di tahun tujuh puluhan. Sama seperti orang-orang
Jepang menggasak General Electric beberapa tahun lalu."
"Mereka menggasak General Electric?"
"Lewat skandal Yokogawa. Anda pernah mendengar
beritanya" Tidak" Hmm, ini contoh klasik mengenai siasat
Jepang. Beberapa tahun lalu, General Electric merupakan
produsen peralatan scanning terbaik untuk rumah sakit di
seluruh dunia. GE lalu membentuk anak perusahaan,
Yokogawa Medical, untuk memasarkan peralatan tersebut
di Jepang. Dan GE menjalankan usaha ini dengan cara
Jepang, menekan biaya lebih rendah dari saingan-saingannya untuk merebut pangsa pasar, menyediakan layanan purnajual yang sangat baik, menjamu
klien - termasuk memberi tiket pesawat dan traveller's
checky kepada calon pembeli yang potensial. Kita
menyebutnya suap, tetapi di Jepang ini merupakan hal
biasa. Dalam waktu singkat Yokogawa berhasil meraih
pangsa pasar terbesar, dan mengalahkan perusahaan-perusahaan Jepang seperti Toshiba. Perusahaan-perusahaan Jepang tidak menyukainya, dan
mereka mengeluhkan persaingan tidak sehat. Dan suatu
hari petugas-petugas pemerintah melakukan razia di
kantor-kantor Yokogawa dan menemukan bukti-bukti
mengenai penyuapan. Mereka menangkap beberapa
pegawai Yokogawa dan mencoreng nama perusahaan itu
dengan skandal. Tingkat penjualan GE tidak terlalu
terpengaruh. Dan tidak menjadi masalah bahwa beberapa
perusahaan Jepang menempuh cara yang sama. Karena satu
dan lain hal, perusahaan asinglah yang ditindak. Sangat
mengherankan bagaimana itu bisa terjadi."
Aku berkata, "Seburuk itukah keadaannya?"
"Orang Jepang bisa sangat keras," kata Connor. "Mereka
menyamakan bisnis dengan perang, dan mereka tidak asal
bicara saja. Di zaman dulu, jika warga Jepang membeli
mobil buatan Amerika, dia akan diperiksa oleh petugas
pajak. Jadi, dalam waktu singkat tak ada lagi yang membeli
mobil buatan Amerika. Para pejabat hanya mengangkat
bahu, mereka tak berdaya. Pasar mereka terbukti. Bukan
salah mereka bahwa tak ada yang menginginkan mobil
Amerika. Rintangannya seakan akan tanpa akhir. Setiap
mobil impor harus diuji di pelabuhan untuk memastikan
bahwa mobil tersebut memenuhi peraturan mengenai gas
buang. Ski impor dulu dilarang, sebab saIju di Jepan konon
lebih basah dibandingkan dengan salju di Eropa atau
Amerika. Begitulah mereka memperlakukan negara-negara
lain, jadi tidak mengherankan bahwa mereka khawatir
dibalas dengan cara yang sama."
"Jadi, Ishiguro sedang menunggu skandal" Karena itu
yang akan terjadi di Jepang?"
"Ya. Dia takut riwayat Nakamoto akan tamat dengan
sekali pukul. Tapi saya menyangsikannya. Kemungkinan
besar, besok semuanya akan berjalan seperti biasa di Los
Angeles." Aku mengantar Connor ke apartemennya. Ketika ia
turun dari mobil, aku berkata, "Pengalaman malam ini
sangat menarik, Kapten. Terima kasih atas waktu yang
Anda sediakan untuk saya."
"Kembali," kata Connor. "Kalau Anda memerlukan
bantuan lagi, silakan telepon saya kapan saja."
"Mudah-mudahan acara golf Anda besok tidak terlalu
pagi. " "Sebenarnya kami mulai jam tujuh, tapi kebutuhan tidur
orang seusia saya sudah berkurang. Saya akan bermain di
Sunset Hills." "Bukankah itu klub Jepang?" Pembelian Sunset Hills
Country Club oleh orang Jepang belum lama ini sempat
menggemparkan L.A. Lapangan golf di West Los Angeles
dibeli dengan harga yang luar biasa: 200 juta dolar di tahun
1990. Ketika itu, pemiliknya yang baru berjanji bahwa
takkan ada perubahan. Tapi sekarang jumlah anggota
Amerika pelan-pelan dikurangi dengan cara yang sangat se-
derhana: setiap kali orang Amerika mengundurkan diri,
tempatnya ditawarkan kepada orang Jepang. Di Tokyo,
keanggotaan Sunset Hills dijual seharga satu juta dolar, dan
itu masih dianggap murah; daftar tunggunya panjang
sekali. "Hmm," ujar Connor, "saya akan bermain dengan
beberapa orang Jepang."
"Seberapa sering Anda bermain golf dengan mereka?"
"Orang-orang Jepang keranjingan golf. Saya berusaha
menyempatkan diri bermain dua kali seminggu. Kadang-kadang kita mendengar hal-hal yang menarik.
Selamat malam, Kohai."
"Selamat malam, Kapten."
Aku pulang. Aku baru hendak memasuki Santa Monica freeway ketika
telepon berdering. Ternyata operator DHD. "Letnan, ada
panggilan untuk Special Services. Petugas di lapangan
minta bantuan petugas penghubung."
Aku menghela napas. "Oke." Si operator menyebutkan
nomor telepon mobil. "Hei, Kawan." Ternyata Graham. Aku berkata, "Hai, Tom."
"Kau sudah sendirian?"
"Yeah. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Kenapa?"
"Aku pikir-pikir," ujar Graham, "mungkin ada baiknya
kalau petugas penghubung ikut dalam penggerebekan ini."
"Kukira kau ingin menanganinya seorang diri."
"Yeah, ehm, mungkin kau bisa ke sini dan membantu.
Sekadar untuk memastikan bahwa semuanya berjalan
sesuai peraturan." Aku berkata, "Kau butuh perlindungan?"
"Hei, kau mau bantu atau tidak?"
"Beres, Tom. Aku segera ke sana."
"Kami tunggu sampai kau datang."
Bab 21 EDDIE SAKAMURA tinggal di sebuah rumah kecil, di
salah satu jalan sempit dan berkelok-kelok di perbukitan
Hollywood, di atas freeway 101. Pukul 02.45 dini hari aku
melewati sebuah tikungan dan melihat dua mobil patroli
dengan lampu dipadamkan, serta mobil Graham yang
berwarna coklat, berhenti di satu sisi jalan. Graham berdiri
bersama para petugas patroli. Ia sedang merokok. Aku ha-
rus mundur sekitar dua belas meter untuk mendapatkan
tempat parkir. Kemudian aku menghampiri mereka.
Kami menatap rumah Eddie yang dibangun di atas
garasi, sebuah rumah dengan dua kamar tidur, dengan
dinding diplester putih, dari tahun 1940-an. Lampu-lampu
tampak menyala, dan kami mendengar Frank Sinatra
sedang bernyanyi. Graham berkata, "Dia tidak sendirian.
Ada beberapa cewek di atas sana.
Aku berkata, "Bagaimana rencanamu?"
"Para petugas patroli menunggu di sini," ujar Graham.
"Aku sudah mewanti-wanti mereka supaya tidak
menembak, jadi jangan khawatir. Kau dan aku naik ke sana
untuk menangkapnya."
Sebuah tangga terjal naik dari garasi ke rumah.
"Oke. Kau dari depan dan aku dari belakang?"
"Jangan," kata Graham. "Aku ingin kau ikut bersamaku,
Kawan. Dia tidak berbahaya, bukan?"
Aku melihat siluet seorang wanita lewat di salah satu
jendela. Sepertinya ia sedang telanjang. "Seharusnya tidak,"
kataku. "Oke, kalau begitu, kita mulai saja."
Kami berbaris satu-satu ketika menaiki tangga.
Frank Sinatra sedang menyanyikan My Way Kami
mendengar suara tawa wanita. Sepertinya ada lebih dari
satu. "Moga-moga ada narkotika berserakan."
Menurutku, kemungkinannya cukup besar. Kami sampai
di puncak tangga, membungkuk, agar tidak terlihat dari
jendela. Pintu depan rumah Eddie bergaya Spanyol, berat dan
kokoh. Graham berhenti sejenak. Aku bergerak beberapa
langkah ke arah belakang rumah, tempat aku melihat
lampu kolam renang memancarkan cahaya kehijauan. Pasti
ada pintu belakang yang menuju kolam renang. Aku
berusaha menemukannya. Graham menepuk bahuku. Aku kembali ke depan.
Perlahan-lahan ia memutar pegangan pintu. Ternyata tidak
dikunci. Graham mencabut pistol dan menatapku. Aku pun
meraih pistol. Ia terdiam, mengacungkan tiga jari. Hitungan ketiga.
Graham menendang pintu dan masuk sambil membungkuk. Ia berseru, "Tahan, polisi! Jangan bergerak!"
Sebelum aku sempat masuk ke ruang duduk, aku
mendengar suara wanita menjerit-jerit.
Mereka berdua, telanjang bulat, berlari ke sana kemari
sambil berteriak-teriak, "Eddie! Eddie!' Eddie tidak ada.
Graham menghardik, "Mana dia" Mana Eddie Sakamura?"
Wanita berambut merah menarik bantal dari sofa untuk
menutupi tubuhnya, dan membentak, "Keluar, bangsat!"
dan kemudian ia menimpuk Graham dengan bantal. Wanita
yang satu lagi, berambut pirang, berlari ke kamar tidur
sambil memekik. Kami mengikutinya, dan si Rambut Merah
melemparkan satu bantal lagi.
Di kamar tidur, si Pirang terjatuh dan meraung
kesakitan. Graham membungkuk sambil menodongkan
pistol. "Jangan tembak aku!" wanita itu meratap. "Aku tidak
berbuat apa-apa!" Graham menggenggam pergelangan kakinya. Tubuh
telanjang itu menggeliat-geliat. Wanita muda itu histeris.
"Di mana Eddie?" tanya Graham. "Mana dia?"
"Lagi rapat!" si Pirang memekik.
"Di mana!" "Lagi rapat!" Dan sambil berbalik, ia menendang


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selangkangan Graham dengan kakinya yang satu lagi.
"Aduh," Graham mengaduh sambil melepaskannya. Ia
terbatuk-batuk sampai terduduk di lantai. Aku kembali ke
ruang duduk. Si Rambut Merah mengenakan sepatu
bertumit tinggi, tetapi selain itu ia pun telanjang bulat.
Aku berkata, "Di mana dia?"
"Bajingan," balasnya. "Bajingan keparat."
Aku melewatinya dan menuju sebuah pintu di seberang
ruangan. Pintunya terkunci. Si Rambut Merah mengejarku
dan mulai memukul-mukul punggungku dengan tangan
terkepal. "Biarkan dia! Biarkan dia!" Aku berusaha
membuka pintu yang terkunci, sementara punggungku
terus dipukul-pukul. Sepertinya aku mendengar suara-suara di balik pintu.
Pada detik berikutnya, tubuh Graham yang gempal
membentur pintu sampai pecah. Aku melihat dapur,
diterangi cahaya hijau dari kolam renang di luar.
Ruangannya kosong. Pintu belakang terbuka lebar.
"Sialan." Kini si Rambut Merah telah melompat ke punggungku
dan melingkarkan kedua kakinya pada pinggangku. Ia
menjambak rambutku- sambil meneriakkan kata-kata
kotor. Aku berputar-putar, berusaha mengempaskannya. Di
tengah-tengah kekacauan itu, aku masih sempat berpikir,
"Awas, jangan sampai dia cedera." Sebab kesannya kurang baik jika wanita muda
yang cantik mengalami patah tangan
atau retak pada tulang iga. Orang-orang pasti akan
menyalahkan aku, meskipun ia sekarang menjambak
rambutku sampai copot. Ia menggigit telingaku, dan rasa
nyeri menjalar ke seluruh tubuhku. Aku membenturkan
badanku ke dinding dan mendengarnya mengerang. Ia
melepaskan tangannya. Di luar jendela, aku melihat sebuah sosok gelap berlari
menuruni tangga. Graham juga melihatnya.
"Persetan," ia mengumpat. Ia segera berlari, begitu juga
aku. Tetapi si Rambut Merah rupanya menjegal kakiku,
sebab aku terjatuh ke lantai. Ketika aku bangkit lagi, aku
mendengar sirene mobil-mobil patroli dan suara mesin.
Kemudian aku sudah di luar, bergegas menuruni tangga.
Aku berada sekitar sepuluh meter di belakang Graham,
waktu Ferrari milik Eddie
mundur dari garasi, memindahkan gigi dengan kasar, dan melesat menyusuri
jalan. "Kedua mobil patroli langsung mengejar. Graham berlari
ke mobilnya. Ia telah mulai melaju sementara aku masih
berlari ke mobilku yang diparkir agak lebih jauh. Ketika
mobilnya melewatiku, aku melihat wajahnya, cemberut dan
geram. Aku masuk ke mobilku dan menyusul.
Di daerah perbukitan, kita tak mungkin melaju dengan
kencang sambil berbicara melalui telepon. Aku bahkan
tidak mencobanya. Aku menaksir jarak antara aku dan
Graham sekitar setengah kilometer, sedangkan Graham
sendiri tertinggal agak jauh di belakang kedua mobil
patroli. Ketika aku sampai di kaki bukit, di jembatan 101,
aku melihat lampu-lampu yang berkedap-kedip di freeway.
Aku terpaksa mundur dan berputar ke pintu di Mulholland,
dan kemudian aku bergabung dengan lalu lintas yang
menuju ke selatan. Pada waktu lalu lintas mulai bertambah pelan, aku
memasang lampu di atap, dan pindah ke jalur
pemberhentian darurat di sebelah kanan.
Aku sampai di dinding pembatas beton kurang lebih tiga
puluh detik setelah Ferrari itu menghantamnya dengan
kecepatan sekitar 160 kilometer per jam. Kurasa tangki
bensinnya meledak seketika. Lidah api menjulang setinggi
lima belas meter ke udara. Panasnya luar biasa. Sepertinya
api akan menjalar ke pohon-pohon di lereng bukit. Mobil
yang hancur berantakan itu sama sekali tak dapat didekati.
Mobil pemadam kebakaran pertama tiba, diikuti tiga
mobil patroli. Di mana-mana ada sirene dan lampu
berkedap-kedip. Aku memundurkan kendaraanku, memberi tempat
untuk mobil-mobil pemadam, lalu menghampiri Graham. Ia
sedang mengisap rokok ketika para petugas pemadam
kebakaran mulai menyemprotkan busa.
"Ya ampun," ujar Graham. "Semuanya kacau-balau."
"Kenapa para petugas patroli tidak menghentikannya
ketika dia berada di garasi tadi?"
"Karena," kata Graham, "aku telah melarang mereka
menggunakan pistol. Dan kita tidak ada di sana. Mereka
sedang bingung harus berbuat apa waktu dia kabur." Ia
menggelengkan kepala. "Bagaimana aku harus melaporkan
ini?" Aku berkata, "Tapi memang lebih baik kau tidak
menembaknya." "Mungkin." Ia mematikan rokoknya.
Api telah berhasil dipadamkan. Ferrari itu telah hangus,
ringsek. Bau tajam tercium di udara.
"Hmm," kata Graham. "Percuma saja kita menunggu di
sini. Aku akan kembali ke rumahnya. Barangkali
cewek-cewek itu masih ada di sana."
"Kau butuh bantuanku?"
"Tidak. Pulang sajalah. Besok masih ada hari lain.
Brengsek, urusan administrasi pasti takkan ada habis-habisnya." Ia menatapku, lalu terdiam sejenak. "Kita
sepaham mengenai ini" Mengenal apa yang terjadi?"
"Tentu," kataku.
"Kita tidak ada pilihan lain tadi," ujarnya.
"Memang," aku berkata. "Hal-hal seperti ini memang
terjadi." "Oke, Kawan. Sampai besok."
"Selamat malam, Tom."
Kami naik ke mobil masing-masing
Aku pulang ke rumah. Bab 22 MRS. ASCENIO sedang mendengkur keras di sofa ketika
aku tiba di rumah pukul 03.45 dini hari. Aku
mengendap-endap melewatinya dan mengintip ke kamar
Michelle. Anakku sedang telentang. Ia telah menyingkirkan
selimut dan tidur dengan tangan di atas kepala. Kakinya
menjorok keluar lewat pagar pembatas tempat tidurnya.
Aku menyelimutinya, lalu masuk ke kamarku.
Pesawat TV masih menyala. Aku mematikannya. Aku
mencopot dasi dan duduk di tempat tidur untuk
melepaskan sepatu. Baru sekarang aku menyadari
seberapa lelahnya aku. Aku membuka mantel dan celana,
dan melemparkan keduanya ke atas pesawat TV. Aku
membaringkan diri di tempat tidur, berniat membuka
kemeja yang terasa lengket dan berbau keringat. Aku
memejamkan mata sejenak, merebahkan kepala ke bantal
yang empuk. Kemudian aku merasakan cubitan, serta
sesuatu menarik-narik kelopak mataku. Aku mendengar
bunyi mengerik, dan sejenak aku dicekam ketakutan bahwa
mataku sedang dipatuk-patuk burung.
Aku mendengar sebuah suara berkata, "Bangun, Daddy.
Bangun." Dan aku menyadari bahwa itu anak perempuanku
yang berusaha membuka mataku dengan jemarinya yang
mungil. "Oooh," kataku. Aku melihat sinar matahari, membalik
badan, dan membenamkan wajahku ke bantal.
"Daddy" Bangun. Bangun, Daddy."
Aku berkata, "Daddy tidak sempat tidur semalam. Daddy
masih capek." Tapi ia tak peduli. "Daddy, bangun. Bangun, Daddy.
Bangun, Daddy." Aku tahu bahwa ia akan takkan berhenti mengucapkan
kata-kata yang sama sampai aku hilang ingatan atau
membuka mata. Aku berbalik lagi dan terbatuk-batuk.
"Daddy masih capek, Shelly. Coba cari Mrs. Ascenio saja."
"Daddy, bangun."
"Kenapa kamu tidak bisa membiarkan Daddy tidur
sedikit lebih lama" Daddy masih mau tidur pagi ini."
"Sekarang sudah pagi, Daddy. Bangun. Bangun."
Aku membuka mata. Michelle benar.
Memang sudah pagi. Apa boleh buat. HARI KEDUA Bab 23 "HABISKAN sarapanmu."
"Sudah kenyang."
"Satu suap lagi, Shelly." Sinar matahari masuk melalui
jendela dapur. Aku menguap. Jam dinding menunjukkan
pukul tujuh pagi. "Mommy mau datang hari ini?"
"Jangan alihkan pembicaraan. Ayo, Shel. Satu suap lagi.
Oke?" Kami duduk di meja berukuran anak-anak di pojok
dapur. Kadang-kadang aku bisa membujuk Michelle untuk
makan di meja kecil kalau ia tidak mau makan di meja
besar. Tapi hari ini aku tidak beruntung. Michelle
menatapku. "Mommy mau datang?"
"Barangkali. Tapi Daddy tidak tahu pasti." Aku tidak
ingin mengecewakannya. "Kita masih tunggu kabar dari
Mommy." "Mommy mau ke luar kota lagi?"
Aku berkata, "Mungkin." Dalam hati aku bertanya-tanya,
apa arti "ke luar kota" bagi anak berumur dua tahun,
gambaran seperti apa yang terbayang olehnya.
"Dia mau pergi dengan Paman Rick?"
Siapa Paman Rick" Aku menyodorkan garpu ke depan
wajahnya. "Daddy tidak tahu, Shel. Ayo, buka mulutmu.
Satu suap lagi." "Dia punya mobil baru," ujar Michelle sambil
mengangguk-angguk dengan serius. Ia selalu bersikap
seperti itu kalau menyampaikan informasi penting padaku.
"O, ya?" "He-eh. Wamanya hitam."
"Begitu. Mobil apa?"
"Sades." "Mobil Sades?" "Bukan. Sades."t
"Maksudmu, Mercedes?"
"He-eh. Wamanya hitam."
"Oh, bagus," kataku.
"Kapan Mommy mau datang?"
"Ayo, satu suap lagi, Shel."
Ia membuka mulut, dan aku mendekatkan garpu. Pada
saat terakhir, ia memalingkan wajah sambil merapatkan
bibir. "Tidak mau, Daddy."
"Oke," kataku. "Daddy menyerah."
"Aku tidak lapar, Daddy."
"Daddy sudah tahu."
Mrs. Ascenio sedang membereskan dapur sebelum
kembali ke apartemennya. Masih ada lima belas menit
sampai pengurus rumahku, Elaine, datang dan membawa
Michelle ke tempat penitipan anak. Aku masih harus
berpakaian. Aku baru meletakkan piring-piring di tempat
cuci piring ketika telepon berdering. Ternyata Ellen Farley,
pembantu Wali Kota untuk urusan pers
"Kau lagi nonton?"
"Nonton apa9" "Berita. Channel tujuh. Mereka menyiarkan kecelakaan
semalam." "O, ya?" "Nanti telepon aku lagi."
Aku segera masuk ke kamar tidurku dan menyalakan TV.
Sebuah suara sedang berkata, "...melaporkan pengejaran
berkecepatan tinggi di Hollywood freeway ke arah selatan,
yang berakhir ketika Ferrari yang dikemudikan tersangka
menabrak jembatan Vine Street, tidak jauh dari Hollywood
Bowl. Menurut keterangan saksi mata, mobil yang
menghantam pagar pembatas beton dengan kecepatan
lebih dari seratus mil per jam itu terbakar seketika.
Beberapa unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan,
tetapi tak ada yang selamat. Tubuh pengemudi terbakar
demikian parah, sehingga kacamatanya sampai meleleh. Pe-
tugas yang memimpin pengejaran tersebut, Detektif
Thomas Graham, mengatakan bahwa pengemudi bersangkutan, Mr. Edward Sakamura, dicari sehubungan
dengan kematian seorang wanita yang diduga sebagai
korban pembunuhan di pusat kota. Tetapi hari ini
teman-teman Mr. Sakamura mengemukakan kesangsian
mereka mengenai tuduhan itu. Berdasarkan keterangan
mereka, sikap berlebihan yang diperlihatkan pihak
kepolisian menyebabkan tersangka menjadi panik, dan
memaksanya melanikan diri. Menurut beberapa sumber,
insiden ini berlatar belakang rasialis. Sampai saat ini belum
jelas apakah pihak kepolisian semula hendak mendakwa
Mr. Sakamura sebagai pelaku pembunuhan. Peristiwa
semalam konon merupakan pengejaran kecepatan tinggi
ketiga dalam dua minggu terakhir di freeway 101. Sikap
polisi dalam pengejaran-pengejaran

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini mulai dipertanyakan sejak seorang wanita warga Compton tewas
dalam suatu pengejaran kecepatan tinggi Januari lalu. Baik
Detektif Graham maupun asistennya, Letnan Peter Smith,
dapat dimintai keterangan, dan kita masih menunggu
apakah petugas-petugas bersangkutan akan dikenakan
sanksi administratif, atau diskors oleh pihak Departemen."
Astaga! "Daddy..." "Tunggu sebentar, Shel."
Aku memperhatikan gambar yang terlihat di layar TV.
Ferrari yang telah hangus dan ringsek sedang diangkat ke
atas truk. Pada dinding beton yang tertabrak tampak
goresan hitam. Kamera beralih ke studio. Wanita yang membacakan
berita berkata, "KNBC telah memperoleh informasi bahwa
sebelumnya dua petugas polisi sempat meminta keterangan dari Mr. Sakamura sehubungan dengan kasus
tersebut, tetapi tidak menahannya. Kapten John Connor dan
Letnan Smith mungkin menghadapi pemeriksaan dari pi-
hak Departemen, untuk memastikan apakah telah terjadi
pelanggaran prosedur. Kabar baik bagi para pengendara
mobil: lalu lintas padafreeway 101 ke arah selatan kembali
lancar. Kini rekan saya akan membacakan berita
selanjutnya. Silakan, Bob."
Aku memandang pesawat TV sambil ter- bengong-bengong. Pemeriksaan disipliner"
Telepon berdering. Ellen Farley lagi. "Kaudengar
semuanya itu?" "Yeah. Ini tidak masuk akal. Apa-apaan ini, Ellen?"
"Asal tahu saja, kantor wali kota tidak terlibat. Tetapi
masyarakat Jepang di sini memang tidak suka kepada
Graham. Mereka menganggapnya sebagai rasialis. Dan
sepertinya dia malah memberi angin pada mereka."
"Aku ada di sana tadi. Graham bertindak sesuai
peraturan." "Yeah, aku tahu di mana kau tadi, Pete. Terus terang,
kejadian ini patut disesalkan. Aku tak ingin kau ikut kena
getahnya." Aku berkata, "Graham tidak melanggar prosedur."
"Kaudengar aku bilang apa, Pete?"
"Bagaimana dengan sanksi administratif dan pe-
meriksaan disipliner itu?"
"Baru sekarang aku mendengarnya," ujar Ellen. "Tetapi
itu berasal dari sumber intern, dari departemenmu sendiri.
O, ya, betul tidak, nih" Kau dan Connor menemui Sakamura
semalam?" "Ya." "Dan kalian tidak menahannya?"
"Tidak. Ketika bicara dengannya, kami belum memiliki
alasan untuk itu. Tapi kemudian ada perkembangan baru."
Ellen berkata, "Kau benar-benar percaya bahwa dia
pelaku pembunuhan ini?"
"Aku tahu dia pelakunya. Kami punya rekaman
videonya." "Rekaman video" Kau serius?"
"Yeah. Pembunuhan itu terekam oleh salah satu kamera
keamanan Nakamoto." Ellen terdiam sejenak. Aku berkata, "Ellen?"
Naga Pembunuh 20 Dewa Arak 71 Petualang- Petualang Dari Nepal Sakit Hati Broken Hearts 2
^