Pencarian

Misteri Kain Kafan Jesus 3

Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro Bagian 3


dia terpaksa menunggu, terpaksa setuju untuk mengubur ayahnya dengan segenap
kemegahan dan hormat yang pantas bagi seorang raja.
"Bacakan, Ticius," perintahnya.
Perlahan-lahan, dengan suara gemetar, sang penulis istana membacakan perintah
terakhir Abgar. Maanu, yang mukanya merah karena marah, susah payah menahan
diri. Abgar telah memerintahkan supaya sebuah ritual Kristen diadakan dan agar
seluruh warga istana berdoa untuk jiwanya di mana dia didampingi sang Ratu,
harus menghadirinya. Selama tiga hari-tiga malam, jenazahnya harus disemayamkan
pada kuil pertama yang dibangunoleh Josar. Setelahnya, Maanu dan sang ratu harus
memimpin jasadnya menuju mausoleum kerajaan sebagai sebuah prosesi.
Ticius berdeham, awalnya melihat sang Ratu, lalu Maanu. Dan lipatan lengan
tuniknya, ia mengeluarkan gulungan kedua.
"Paduka, seandainya diperkenankan, aku juga akan membacakan apa yang diminta
Abgar atas tindakanmu sebagai Raja."
Suara orang terkejut memenuhi kamar itu. Maanu menggertakkan gigi, ia yakin
kalau ayahnya telah menjebaknya, bahkan setelah wafatnya.
Si penulis istana mulai membaca:
Aku, Abgar, raja Edessa, memerintahkan putraku, Maanu, yang sekarang menjadi
raja, untuk menghormati warga Kristen kota ini dan mengizinkan mereka
melanjutkan peribadatan kepada Tuhan Yesus.
Demikian pula, aku menetapkan ia bertanggung jawab atas keselamatan ibunya, sang
ratu, yang hidupnya sangat berharga bagiku. Sang ratu boleh memilih tempat
kediamannya. Dia harus diperlakukan dengan penuh hormat dan takzim sesuai
kedudukannya dan tidak, boleh kekurangan apa pun.
Kau, Putraku, akan menjadi penjamin semua hal yang kuperintahkan ini. Seandainya
kau tidak, melaksanakan perintah terakhirku ini, Tuhan akan menghukummu dan kau
tidak, akan menemukan kedamaian selama hidup atau sesudah mati.
Semua mata tertuju pada sang raja baru. Maanu menggigil oleh kemarahan yang amat
sangat, dan Marvuzlah yang mengendalikan keadaan.
"Kita akan melepas kepergian Abgar sesuai keinginannya. Sekarang mari kita semua
kembali pada tugas-tugas kita."
Perlahan-lahan, semua orang yang ada di dalam kamar raja mulai keluar menuju
koridor. Sang ratu, pucat dan diam, menunggu keputusan putranya mengenai
nasibnya. Maanu menunggu sampai kamar itu kosong lalu berbicara kepada ibunya, "Kau tidak
boleh meninggalkan kamar ini sampai aku memanggilmu. Kau tidak boleh berbicara
dengan siapa pun di dalam atau di luar istana. Dua pelayan akan tetap
menemanimu. Kita akan mengubur ayahku sesuai permintaannya. Dan kau, Marvuz,
akan memastikan bahwa perintah-perintahku dilaksanakan."
Dengan bergegas Maanu berjalan keluar kamar. Pemimpin pasukan pengawal raja itu
menoleh pada sang ratu. "Paduka Ratu, lebih baik kau mematuhi perintah Raja."
"Tentu, Marvuz."
Mata sang ratu menatap matanya dengan kekuatan yang begitu besar hingga sang
pemimpin pasukan pengawal merendahkan tatapannya penuh rasa malu; lalu, sambil
membungkuk cepat, ia pergi meninggalkannya sendirian.
Perintah yang diberikan Maanu kepada Marvuz sangat jelas: Dia akan mengubur
Abgar sesuai keinginan raja tua itu, dan begitu mausoleum kerajaan dikunci,
pasukan istana akan menahan pemimpin-pemimpin Kristen, yaitu Josar dan Tadeus
yang mereka benci. Mereka akan menghancurkan semua kuil tempat orang-orang
Kristen berkumpul untuk berdoa. Maanu juga sudah secara pribadi menugasi Marvuz
menemukan dan membawa Kafan Suci Yesus ke istana.
Sang ratu tidak diperbolehkan meninggalkan kamar sampai hari ketiga setelah
wafatnya Abgar. Jenazah sang raja sampai saat itu disemayamkan di sebuah keranda
yang penuh hiasan dan ditempatkan di tengah kuil pertama yang dibangun untuk
menghormati Yesus sesuai perintah Abgar.
Pasukan pengawal kerajaan menjaga jenazah laki-laki yang sebelumnya adalah raja
mereka, dan warga Edessa seorang demi seorang memberikan penghormatan kepada
laki-laki yang selama sekian dasawarsa telah menjaga perdamaian dan kemakmuran
kota mereka. "Paduka Ratu, apakah kau sudah siap?"
Marvuz datang menjemput sang ratu; ia harus mendampingi Ratu ke kuil. Di sana,
bersama Maanu, Ratu akan memimpin prosesi ke mausoleum tempat Abgar akan
beristirahat selama-lamanya.
Ratu telah mengenakan tuniknya yang terindah dan kerudungnya yang termewah, dan
ia telah menghias diri dengan permatanya yang terelok. Ia tampak agung meski
dengan garis-garis usia dan tanda-tanda penderitaan di wajahnya. Pada saat
mereka mencapai kuil Kristen yang kecil itu, kuil sudah penuh orang. Semua
petinggi kerajaan dan tetua-
tetua Edessa ada di sana. Ratu memandang mencari-cari Marcius, serta Josar dan
Tadeus, yang sudah dipanggil oleh Maanu, tetapi tidak melihat mereka. Ratu
merasa tidak tenang. Di mana sahabat-sahabatnyaitu"
Maanu, yang mengenakan mahkota Abgar, jelas terlihat kesal karena perintahnya
ditentang terang-terangan dan karena pengawalnya tidak mampu mengamankan kafan
Yesus yang sudah tidak ada di tempat penyimpanannya selama bertahun-tahun.
Seorang murid Tadeus memulai upacara pelepasan dengan sebuah doa. Ketika prosesi
pemakaman sudah akan berangkat menuju mausoleum, Marvuz berhasil mendekati Raja
Maanu. "Paduka, kami sudah menggeledah rumah semua pemimpin Kristen, tetapi tidak
menemukan kafan itu. Juga tidak ada tanda-tanda Tadeus dan Josar."
Lalu si pemimpin pasukan pengawal kerajaan itu terdiam. Di sana, di hadapannya,
sedang mencari jalan menembus keramaian, datanglah Tadeus dan Josar, pucat
seperti mayat. Sang ratu membentangkan tangan dan, sambil menahan air mata,
menggamit tangan mereka berdua. Josar menatapnya lembut tetapi tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Tadeus pun membisu.
Maanu memberi perintah agar prosesi dimulai. Dia akan membuat perhitungan dengan
orang-orang Kristen nanti.
Iring-iringan yang hening menemani jenazah ke mausoleum. Di sana, sebelum pintu
masuk ditutup, Ratu meminta waktu sejenak untuk berdoa.
Ketika akhirnya makam itu ditutup dengan pintu batu, Maanu memberi isyarat
kepada Marvuz, dan Marvuz memberi tanda kepada pengawal, yang segera maju untuk
menahan Josar dan Tadeus di hadapan mata semua yang hadir. Bisik-bisik ketakutan
melanda kerumunan ketika orang-orang sadar bahwa Maanu tidak akan mematuhi
wasiat Abgar, bahwa Maanu sudah bertekad akan menganiaya umat Kristen.
Beberapa mencoba melarikan diri, sambil berbisik bahwa mereka akan meninggalkan
Edessa malam itu juga. Tetapi tidak ada waktu bahkan untuk mencoba. Saat itu juga pasukan pengawal
kerajaan menghancurkan rumah mereka, dan banyak orang beriman dibantai ditempat.
Rasa ngeri tampak di wajah sang ratu ketika Marvuz menyeretnya pergi, kembali ke
istana. Ia melihat Tadeus dan Josar dilumpuhkan.
Kedua laki-laki itu tidak memberikan perlawanan apa pun atau mengeluarkan suara
sekecil apa pun. Edessa berguncang oleh ketakutan dan kesedihan. Di seluruh kota, laki-laki dan
perempuan melolong karena sakit dan menderita. Bau kebakaran membumbung kepuncak
bukit tempat istana berdiri, sementara Maanu, di balairung, meneguk anggur dan
mengamati dengan kepuasan yang penuh kecongkakan rasa ngeri di wajah para
petinggi istananya. Maanu telah memerintahkan Ratu untuk tetap berdiri. Di dekat mereka, Josar dan
Tadeus, dengan tangan terikat di punggung dan tunik koyak-moyak oleh cambukan
pengawal kerajaan, masih belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Sepuluh cambukan lagi! Aku ingin mendengar mereka mengemis kepadaku agar
mengakhiri siksaan ini."
Para pengawal dengan beringas melecut kedua laki-laki tua itu, tetapi demi
ketakjuban anggota istana dan kemurkaan sang raja, keduanya tidak mengeluarkan
suara apa pun. Ratu menjerit ketika Tadeus pingsan sementara airmata berlinang di wajah Josar,
yang punggungnya tertutup kulit yang terkelupas-kelupas dan darah. Lalu Josar
pun rubuh tak sadarkan diri ke lantai.
"Cukup! Hentikan ini!" tuntut sang ratu.
"Beraninya kau memberi perintah!" Maanu berteriak.
"Kau pengecut, menyiksa dua laki-laki tua tidak pantas dilakukan seorang raja!"
Dengan punggung tangan Maanu menampar ibunya. Sang ratu terhuyung dan jatuh ke
lantai. Teriakan ngeri keluar dan mulut petinggi-petinggi istana.
"Mereka akan mati di sini, di depan kalian semua, jika mereka tidak mengatakan
kepadaku di mana mereka menyembunyikan kafan itu, dan kaki tangan mereka juga
akan mati, semuanya! Tidak peduli siapa mereka!"
Dua pengawal masuk menyeret Marcius, sang arsitek kerajaan, diikuti oleh dua
pelayannya yang ketakutan.
"Apa dia sudah mengatakan di mana kafan itu?" Maanu membentak para pengawal.
"Belum, Paduka."
"Kalau begitu cambuk dia sampai bicara!"
"Kami bisa mencambuknya, Paduka, tetapi dia tidak akan bicara.
Pelayannya memberitahu kami bahwa dia sudah melakukan hal yang mengerikan:
Beberapa hariyang lalu dia memotong lidahnya sendiri."
Ratu menatap Marcius, lalu ia memandangi tubuh-tubuh Tadeus dan Josar yang tidak
sadarkan diri. Ia sadar apa yang sudah mereka lakukan. Demi menjaga rahasia
Kafan Suci, mereka sudah melakukan pengorbanan yang mengerikan ini supaya mereka
tidak melemah di bawah siksaan yang pasti akan mereka terima.
Dengan pilu Ratu mulai menangisi sahabat-sahabatnya. Ia tahu bahwa Maanu akan
membuat mereka membayar mahal karena menentang keinginan dan kekuasaan putranya
itu. Sekujur tubuh Maanu bergetar oleh kemarahan, dan wajahnya merah oleh kemurkaan.
Marvuz menghampirnya, mengkhawatirkan apa yang selanjutnya akan dilakukan Maanu.
"Paduka, kami pasti akan menemukan seseorang yang tahu di mana kafan itu
disembunyikan. Kami akan mencari ke segenap penjuru Edessa, dan kami akan
menemukan kain itu "
Sang raja tidak mendengarkan. Ia menoleh pada ibunya, menarik sang ratu hingga
berdiri dan lantai dan mengguncang-guncang tubuh ibunya sambil
berteriak,"Katakan padaku di mana kain itu! Katakan, atau aku akan memotong
lidahmu!" Ratu terisak, tubuhnya kejang-kejang. Beberapa bangsawan istana melangkah maju
untuk membantu, tercekam rasa malu oleh kepengecutan mereka sendiri karena
mereka hanya berdiri di sana sementara Maanu memukul ibunya. Seandainya Abgar
melihat tindakan semacam itu, dia pasti memerintahkan Maanu dibunuh!
"Paduka, lepaskan dia!" pinta seorang.
"Rajaku, tenangkan dirimu; jangan pukul ibumu sendiri!" yang lain memohon.
"Kaulah sang raja dan kau harus menunjukkan belas kasih!" nasihat yang ketiga.
Marvuz menangkap lengan Maanu ketika rajanya itu akan memukul sang ratu lagi.
"Paduka!" Maanu menjatuhkan lengan dan bersandar pada Marvuz, kelelahan.
Ibunya dan dua laki-laki tua yang menyedihkan itu sudah menaklukkannya.
Kemurkaannya sudah habis.
Dengan tangan terikat Marcius merenungkan adegan itu. Dia berdoa agar Tuhan
mengampuni mereka, mengasihani mereka semua. Ia membayangkan penderitaan Yesus
di kayu salib, siksaan yang ditimpakan pada Yesus oleh orang-orang Romawi,
bagaimana Yesus tetap memaafkan mereka. Marcius mencari jauh ke dalam hatinya
untuk memaafkan Maanu, namun ia hanya merasakan kebencian pada raja baru yang
angkuh itu. Pemimpin pasukan pengawal kerajaan memerintahkan agar Ratu dibawa ke kamar. Lalu
ia membimbing Raja ke sebuah kursi dan meletakkan secawan anggur dihadapan Raja.
Maanu minum dengan rakus.
"Mereka harus mati," ujar Maanu, hampir berbisik.
"Ya," sahut Marvuz. "Dan mereka pasti mati." Dia memberi tanda kepada tentara-
tentaranya dan mereka menyeret Tadeus dan Josar keluar dan ruangan itu.
Raja mengangkat muka dan memelototi Marcius.
"Kalian anjing-anjing Kristen akan mati. Rumah kalian, tanah kalian, segala yang
kalian miliki, akan kubagikan kepada orang-orang yang setia kepadaku. Kau,
Marcius, sudah dua kali mengkhianatiku. Kau salah seorang pemimpin besar di
Edessa, namun kau menjual hatimu kepada orang-orang Kristen ini, yang sudah
menyihirmu hingga kau mencemari dan memutilasi dirimu sendiri. Tetapi akan
kutemukan kafan itu, Marcius, dan akan kuhancurkan. Itulah sumpahku kepadamu."
Dengan isyarat dan Marvuz seorang tentara membawa arsitek itu pergi.
"Raja akan beristirahat sekarang," Marvuz mengumumkan kepada para petinggi
istana, memberi isyarat agar mereka keluar dan ruangan.
"Ini hari yang panjang dan berat."
Ketika kedua pria itu tinggal berdua, Maanu merangkul kaki tangannya itu dan
pecahlah tangisnya. Ibunya telah membuat pembalasan dendam terasa pahit.
"Aku ingin ibuku mati."
"Dia pasti mati, Paduka, tetapi pada saat yang tepat. Kau harus menunggu.
Pertama-tama kita akan mencari kafan itu dan mengumpulkan dan membunuh orang-
orang Kristen, semuanya. Lalu giliran sang ratu akan tiba."
Jerit kesakitan dan ketakutan serta suara deru dan retihan api dari kota di
bawah sana menggema di setiapsudut istana sepanjang malam yang terasa panjang.
18 Ana Jimenes tidak bisa berhenti memikirkan kebakaran di Katedral Turin.
Setiap minggu dia berbicara dengan kakaknya dan setiap kali menelepon dia
bertanya tentang investigasi Marco. Santiago selalu memarahinya dan menolak
meladeni keingintahuannya. Sekarang malah Santiago terdengar seperti ingin
menutup telepon saja sementara mereka berbicara.
"Kautahu kau terobsesi, tetapi sudahlah. Ana, demi Tuhan, lupakan kasus itu,
oke?" "Tapi aku bisa membantumu, Santiago. Aku yakin betul."
"Sudah selalu kukatakan itu bukan kasusku. Itu kasusnya Divisi Kejahatan Seni.
Marco ingin tahu pendapatku dan sudah kuberikan.
Begitu pula John. Itu saja. Habis perkara."
"Ya, ampun, Santiago, beri aku kesempatan. Izinkan aku mengintip sedikit saja
berkas itu, aku tahu cara mengejar berita. Aku bisa melihat hal-hal yang bahkan
tidak dicari oleh polisi."
"Ah, benar, kalian para wartawan adalah berkah Tuhan bagi investigasi dan bisa
melakukan pekerjaan kami sepuluh kali lebih baik dan kami sendiri."
"Jangan mudah tersinggung begitulah. Kautahu bukan itu maksudku."
"Yang aku tahu adalah bahwa kau tidak boleh mulai mencampuri investigasi Marco."
"Paling tidak katakan padaku apa pendapatmu."
"Menurutku segala sesuatu biasanya lebih sederhana ketimbang yang terlihat."
"Itu bukan jawaban."
"Yah, hanya itulah yang akan kaudapat." Dan dengan kalimat itu Santiago menutup
telepon. Ana membanting teleponnya juga, hanya supaya perasaannya lebih enak. Dia menatap
tumpukan kertas yang ada di atas meja tulisnya, selain lebih dan selusin buku,
semuanya tentang Kafan Turin. Dia sudah membaca tentang kafan itu berhari-hari.
Risalah-risalah esoteris, buku-
buku keagamaan, buku-buku sejarah... Dia tahu kuncinya terletak di suatu tempat
dalam sejarah panjang benda itu. Marco Valoni hanya mengatakan: Tidak adayang
luar biasa mengenai Katedral Turin sampai kafan itu disimpan di sana. Insiden-
insiden ini tidak baru, dan karenanya begitu pula motif di baliknya. Dia yakin
itu. Peduli setan dengan Santiago. Dia membuat keputusan: begitu dia sudah menggali
sejauh yang dia bisa kedalam sejarah Kafan Suci dan menelusuri ke belakang
sejauh mungkin, dia akan mengambil cuti dan pergi ke Turin. Dan dulu Turin
bukanlah kota yang dia sukai; dia tidak pernah memilih Turin sebagai tujuan
liburan, tetapi di sanalah kisah itu, kisah yang akan dia tulis, dan tekadnya
tidak pernah sekeras ini.
Marco meminta pertemuan itu diadakan segera setelah makan siang.
Tidak mudah meyakinkan menteri-menteri terkait, tetapi akhirnya dia diberi izin
penuh untuk melaksanakan operasi kuda Troya menurut caranya sendiri, tanpa
campur tangan siapa pun dan dengan keleluasaan untuk menggunakan sumber daya
tambahan. Mereka diberi wewenang untuk melepaskan si Bisu dan membuntutinya ke
Timbuktu jika ke sanalah dia membawa mereka. Sekarang Marco ingin memberi
taklimat kepada timnya mengenai perincian operasi ini.
Sofia yang terakhir datang. Marco tidak bisa mengatakan dengan pasti, tetapi dia
merasa Sofia agak berbeda sejak pulang ke Roma dan Turin. Masih memesona seperti
biasa, tetapi sudah berubah dalam hal renik tertentu.
"Oke, rencananya sederhana," Marco memulai. "Kalian semua tahu bahwa setiap
bulan dewan pembebasan bersyarat berkeliling mendatangi semua penjara. Dalam
dewan itu ada seorang hakim dan seorang jaksa wilayah, beberapa psikolog dan
pekerja sosial, serta kepala penjara di setiap instalasi. Mereka mengunjungi
semua tahanan, khususnya yang mendekati akhir masa hukuman, menunjukkan perilaku
baik, dan mungkin pernah dipertimbangkan untuk bebas lebih awal. Besok aku akan
berada di Turin untuk bertemu dengan anggota dewan itu. Aku akan meminta mereka


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan sedikit permainan. "
Setiap orang menyimak ketika Marco melanjutkan.
"Aku ingin mereka membantu kita menilai reaksi-reaksi si Bisu, jika mungkin, dan
juga mulai membiasakan si Bisu dengan gagasan pembebasan. Bila mereka nanti ke
Turin lagi, mereka akan mengunjunginya dan membicarakannya di antara mereka
sendiri, seperti yang biasa mereka lakukan, karena mengira dia tidak paham.
Hanya kali ini aku akan meminta si pekerja sosial dan psikolog sengaja
mengatakan bahwa mereka tidak melihat alasan yang kuat untuk menahan si Bisu itu
di balik jeruji lebih lamalagi, perilakunya pantas diteladani, dia tidak
menimbulkanbahaya bagi masyarakat, dan, menurut hukum, dia sudah berhak mendapat
pembebasan bersyarat. Kepala penjara akan mengemukakan keberatan, lalu mereka
pergi. Kita akan membuat variasi-variasi untuk dimainkan selama beberapa bulan
ke depan, sampai mereka akhirnya membebaskannya."
"Apa mereka mau bekerja sama?" tanya Pietro.
"Para menteri sekarang sedang menyampaikan instruksi kepada kepala-kepala
departemen terkait. Kurasa tidak akan ada yang berkeberatan; pada dasarnya,
mereka bukan melepaskan seorang pembunuh atau teroris, hanya pencuri kelas
teri." "Rencana yang bagus," kata Minerva.
"Benar sekali," sokong Giuseppe.
"Masih ada lagi. Sofia, kau pasti suka ini. Lisa, istri John Barry, meneleponku.
Kakak Lisa adalah seorang wanita bernama Mary Stuart, yang kebetulan menikah
dengan James Stuart. Dan James Stuart, seandainya kalian belum tahu, adalah
salah seorang pria terkaya didunia.
Teman Presiden Amerika Serikat dan para kepala negara separuh negara-negara di
dunia, negara-negara kaya, maksudku, teman ketua dan CEO
beberapa korporasi internasional besar, dan sebagian besar bankir di planet ini.
Putri keluarga Stuart, Gina, adalah seorang arkeolog seperti Lisa, dan sedang
melewatkan waktu diRoma, di rumah bibinya. Gina juga menangani pembiayaan
ekskavasi di Herculaneum. Nah, begini ceritanya: Mary dan James Stuart akan
datang ke Roma dua minggu lagi.
Lisa akan mengadakan pesta makan malam untuk mereka, dengan mengundang banyak
teman Italia yang terkemuka. Dan di antara teman-teman itu adalah temanmu
Umberto D'Alaqua." Marco mengangguk pada Sofia. "Paola dan aku akan datang, dan
kuharap John dan Mary akan berkenan mengizinkanku mengajakmu juga, Dottoressa
Galloni." Wajah Sofia berseri, kegembiraannya jelas terlihat. "Itu jalan bagi kita untuk
lebih dekat dengan orang ini,"katanya pahit. "Mungkin satu-satunya jalan."
Setelah pertemuan itu, Sofia dan Marco berbincangsebentar.
"Tentu saja aku ingat Lisa," katanya kepada Marco. "Aku tidak menyangka
perempuan seperti dia punya kakak yang menikah dengan seorang raksasa bisnis."
"Sebenarnya tidak seajaib itu. Ayah mereka adalah profesor sejarah abad
pertengahan di Oxford dan mereka berdua mengikuti jejaknya. Mary mempelajari
sejarah abad pertengahan persis seperti ayah mereka; Lisa menekuni arkeologi.
Lisa mendapat beasiswa untuk meraih gelar doktor di Italia dan meski mereka
tetap dekat, hidup Mary berbelok ke arah lain.
Dia bekerja di Sotheby sebagai ahli dalam seni abad pertengahan dan mulai
bergaul dengan kalangan yang lebih eksklusif, di antara mereka calon suaminya
kelak, James Stuart. Mereka berkenalan, jatuh cinta, dan menikah, dan walau
menjalani kehidupan yang sangat berbeda dengan Lisa dan John, tampaknya mereka
benar-benar bahagia, dan apa yang Lisa katakan. Mary lebih menyukai kalangan
atas; Lisa bekerja keras untuk diakui di kalangan akademis karena
prestasinyasendiri. Kakaknya mendukungnya, seperti sang kakak mendukung Gina,
dengan sesekali menjadi penjamin ekskavasi."
"Yah, kita beruntung kau berteman dengan John."
"Ya, mereka berdua benar-benar orang baik. John adalah satu-satunya orang
Amerika yang sama sekali tidak berminat menghasilkan berton-ton uang, dan mereka
sungguh-sungguh senang di sini. John menolak dipindahkan ke manapun dan kupikir
pengaruh keluarga Stuart tidak mungkin merugikan kedutaan."
"Menurutmu mereka akan mengizinkanmu mengajakku ke pesta itu?"
"Nanti aku tanyakan. D'Alaqua membuatmu terkesan, ya?"
"Harus kukatakan itu benar, Marco. Tentu saja, dia adalah sosok yang luar biasa
dan perempuan manapun bisa jatuh cinta padanya."
"Dan, kuharap, kau tidak."
"Tidak" Kenapa tidak?"
"Sofia, yang benar saja, kau tidak boleh terlibat dengan seseorang yang sedang
kita selidiki, dan sebaiknya kau tidak bergaul dengan pria ini sama sekali,
kaya, tidak pernah menikah, jelas-jelas tidak mencari perempuan pendamping
hidup... " "Marco, sudahlah. Kuharap kautahu kakiku tertanam kuat-kuat di tanah, dan tidak
ada satu hal, atau pria, pundi dunia ini yang bisa mengubah keadaan itu. Lagi
pula, D'Alaqua tidak benar-benar termasuk kelasku. Jadi tak usah cemaslah."
"Aku akan mengajukan pertanyaan yang pribadi sifatnya. Kalau kau jadi merasa
tidak enak, kau boleh menyuruhku pergi. Ada masalah apa dengan Pietro?"
"Kau tidak perlu pergi, Bos. Akan kukatakan yang sebenarnya: Semuanya sudah
berakhir. Hubungan itu tidak akan berlanjut ke mana-mana."
"Bagaimana perasaan Pietro tentang keputusan itu?"
"Kami akan makan malam bersama nanti, untuk ber-bicara. Tetapi dia tidak bodoh,
dia tahu. Sejujurnya, ku-pikir perasaannya sama."
"Aku lega." "Lega" Bagaimana bisa?"
"Karena Pietro bukan orang yang tepat untukmu. Diamemang baik, dengan istri yang
luar biasa yang akansangat bahagia mendapatkan suaminya lagi. Dan kau,Sofia,
dalam hari-hari ini kau harus keluar dan sini danmemulai karier baru, dengan
orang-orang lain, dengancara-cara lain untuk memandang dunia ini. Jujur
saja,Divisi Kejahatan Seni ini cuma hal kecil untukmu."
"Marco! Jangan bilang begitu! Apa kau sedang mencoba menyampaikan sesuatu" Apa
kau tidak tahu betapa senangnya aku di sini" Aku tidak mau pergi; aku tidak
ingin mengubah apa pun!"
"Kautahu aku benar. Tetapi endapkan saja dulu kalau terasa terlalu berat untuk
dipikirkan sekarang. Aku gembira menerimamu sepanjang kau mau tinggal."
"Di rumahmu?" tanya Pietro kepada Sofia ketika merekameninggalkan kantor hari
itu."Tidak, ayo ke restoran."
Pietro membawanya ke sebuah kedai makan kecil di Trastevere, tempat yang sama
yang mereka datangipertama kali dulu, ketika hubungan mereka dimulai. Sudah lama
sekali sejak mereka kembali ke sana. Mereka memesan makan malam dan membicarakan
hal-hal kecil, menunda saat mereka harus saling berhadapan.
Akhirnya, sambil minum kopi, Sofia meletakkan tangannya di atas tangan Pietro.
Pietro.. "Tidak apa-apa. Aku tahu apa yang akan kau katakan, dan aku setuju."
"Kau tahu?" "Siapa pun pasti tahu. Dalam hal-hal tertentu kau seperti sebuah buku yang
terbuka." "Pietro, aku menyayangimu, tetapi aku tidak mencintaimu, dan aku tidak ingin
komitmen. Aku ingin kita berteman dan bekerja bersama-sama seperti yang sudah
kita jalani sejauh ini, tanpa perasaan canggung atau sakit hati."
"Sofia, aku mencintaimu. Hanya orang idiot yang tidak jatuh cinta padamu, tetapi
aku sangat sadar bahwa kita berasal dari sisi jalan yang berbeda."
Sofia, yang merasa tidak enak, memberi isyarat untuk menghentikannya. "Jangan
bilang begitu. Itu konyol."
"Aku ini polisi. Penampilanku seperti polisi dan tindak tandukku seperti polisi.
Kau gadis kuliahan, seorang perempuan berkelas, entah kau pakai jins atau
setelan Armani. Selama ini aku beruntung bersamamu, tetapi aku selalu tahu bahwa
suatu hari kau akan keluar pintu, dan hari itu sudah tiba. D'Alaqua?"
"Dari mana pikiran itul Dia sama sekali tidak tertarik.Tidak, Pietro, ini bukan
tentang orang lain. Masalahnya adalah kita sudah menjalani apa yang ada di
antara kita ini sejauh kita bisa. Kita sudah sampai di ujung jalan. Kau
mencintai istrimu, dan aku mengerti itu. Dia orang yang sangat baik, juga
cantik. Kau tidak akan pernah menceraikannya; kau tidak akan sanggup hidup tanpa
anak-anakmu." "Sofia, seandainya kau memberiku ultimatum, aku pasti meninggalkannya."
Mereka duduk membisu. Sofia berusaha keras menahan air mata.
Dia sudah membulatkan hati untuk berpisah dan Pietro dan tidak membiarkan
dirinya terombang-ambing oleh emosi apa pun yang akan menunda keputusan yang
seharusnya dia ambil berbulan-bulan yang lalu."Kurasa ini yang terbaik bagi kita
berdua," akhirnya dia berkata. "Kita bisa tetap berteman?"
"Aku tidak tahu," jawab Pietro setelah beberapa saat.
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tidak tahu. Sejujurnya aku tidak tahu akan bagaimana perasaanku saat
melihatmu tetapi tidak bisa bersamamu, atau saat kau suatu hari nanti masuk dan
mengumumkan ada seorang pria lain dalam hidupmu. Memang mudah mengatakan kita
akan tetap berteman, tetapi aku tidak ingin berbohong kepadamu, aku tidak tahu
apakah aku akan sanggup berteman. Dan jika aku tidak bisa, aku akan pergi
sebelum aku mulai membencimu."
Hati Sofia tergerak oleh ketulusan Pietro. Mata Pietro diGenarigi air mata.
Sofia tidak pernah membayangkan bahwa Pietro sangat menyayanginya. Atau mungkin
itu hanya harga diri yang terluka. Marco benar sekali memang fatal mencampur
adukkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Tetapi yang sudah berlalu biarlah
berlalu. Sekarang mereka harus mencoba melupakan.
"Tidak, akulah yang akan pergi," ujarnya pada Pietro. "Aku hanya ingin
menyelesaikan pekerjaan kita dalam kasus Kafan Suci ini. Lalu aku akan minta
dipindahkan, atau cuti."
"Tidak, itu tidak adil. Aku tahu kau pasti bisa memperlakukanku sebagai seorang
teman, seorang rekan biasa. Akulah masalahnya, bukan kau, aku kenal diriku
sendiri. Aku yang akan minta dipindahkan."
"Tidak, Pietro. Kau suka Kejahatan Seni, ini peningkatan bagimu, dan kau tidak
boleh melepas posisi ini gara-gara aku. Menurut Marco sebaiknya aku mencari
sesuatu yang baru, dan kenyataannya adalah, aku memang merasakan keinginan untuk
mencari hal-hal baru, mengajar di universitas, menekuni arkeologi, bahkan
mungkin membuka galeri seni.
Aku merasa seolah satu tahap kehidupanku sudah berakhir dan tahap lain mulai
membuka. Marco sudah melihat hal itu dan dia mendorongku untuk menemukan sesuatu
yang lain, dan jauh di dalam hati aku tahu dia benar. Aku hanya ingin minta
tolong satu hal padamu: Lakukan semua yang kau bisa untuk bertahan beberapa
bulan lagi, sampai kita merampungkan investigasi ini. Tolonglah, mari kita buat
beberapa bulan ini semenyenangkan mungkin."
19 Izaz dan Obodas melahap keju dan buah ara yang dihidangkan Timaeus di depan
mereka. Mereka amat letih setelah berhari-hari menempuh perjalanan yang selalu
dihantui ketakutan akan tertangkap oleh tentara Maanu.
Tetapi sekarang mereka di sini, di Sidon, di rumah Timaeus. Harran, pemimpin
karavan, sudah berjanji akan mengirim kurir ke Senin di Edessa, untuk melaporkan
bahwa perjalanan mereka berakhir selamat.
Tatapan Timaeus tajam menusuk meski usianya telah renta. Dia menyambut mereka
dengan hangat dan berkeras agar mereka beristirahat sebelum menceritakan kembali
insiden-insiden selama perjalanan karena tahu mereka lelah jiwa dan raga. Sudah
berbulan-bulan Timaeus mengharap kedatangan mereka, sejak ia menerima surat dari
Tadeus yang menceritakan keprihatinan Tadeus akan kesehatan Abgar dan
menjelaskan situasi sulit yang akan dihadapi orang-orang Kristen bila sang raja
wafat, meski Ratu mendukung mereka. Ratu sendiripun sudah mengirim beberapa
pesan. Timaeus sudah mengatur bahwa Izaz dan Obodas tinggal bersamanya di rumahnya,
berbagi sebuah kamar yang kecil, satu-satunya kamar selain kamarnya sendiri.
Rumah Timaeus sederhana, sesuai bagi pengikut ajaran-ajaran sejati Kristus.
Selagi mereka makan, Timaeus memberitahu kedua tamunya itu tentang komunitas
kecil Kristen di Sidon. Kelompok ini berkumpul setiap petang untuk berdoa dan
berbagi berita; selalu ada pengelana yang membawa berita tentang Yerusalem, atau
salah satu anggota keluarga yang mengirim surat dan Roma.
Izaz mendengarkan orang tua itu dengan penuh perhatian, dan ketika ia dan Obodas
sudah selesai bersantap, ia meminta berbicara berdua saja dengan Timaeus.
Obodas mengerutkan kening. Perintah Senin jelas sekali: Keponakan Josar tidak
boleh lepas dan pandangannya, dan dia harus membela Izaz dengan nyawanya
sendiri. Timaeus tua, yang melihat kabut keraguan di mata si raksasa, berbicara untuk
menenangkan hatinya. "Tak usah kau cemas, Obodas.
Kami punya banyak mata-mata yang selalu waspada, dan kami pasti tahu seandainya
orang-orang Maanu berhasil mencapai Sidon. Beristirahatlah sementara aku
berbicara dengan Izaz. Kami akan berbicara di luar, dan kau bisa melihat kami
dari jendela kamar yang akan kautempati."
Obodas tidak berani membantah orang tua itu, tetapi ketika ia tiba di kamar, ia
duduk di sebelah jendela kecil dan dari sana ia bisa mengamati Izaz setiap saat.
Ia memerhatikan ketika pemuda itu berbicara lembut dengan Timaeus. Kata-kata
Izaz tidak terdengar dalam semilir lembut angin pagi, tetapi Obodas dapat
melihat begitu banyak emosi yang melintasi wajah si orang tua. Ketakjuban,
kesedihan, kekhawatiran, ini semua serta emosi-emosi lain datang ketika Timaeus
mendengarkan kisah Izaz. Saat Izaz selesai berbicara, Timaeus memeluknya dengan hangat dan memberkatinya
dengan tanda salib untuk menGenarig Yesus. Lalu mereka kembali masuk kerumah,
tempat Izaz dan Obodas akan beristirahat sampai petang itu dan nanti bergabung
dengan komunitas Kristen di Sidon, rumah baru mereka. Mereka tahu bahwa mereka
tidak akan pernah bisa kembali ke tanah leluhur mereka.
Ketika keduanya sudah mulai terlelap, Timaeus memasuki kuil kecil di sebelah
rumah. Di sana ia berlutut dan berdoa kepada Yesus, memohon kepada Tuhan agar
memberinya petunjuk apa yang harus dilakukan dengan rahasia yang Izaz percayakan
kepadanya, sementara demi rahasia itu Josar, Tadeus, Marcius, dan orang-orang
Kristen lain hampir pasti sudah mati sebagai martir sekarang.
Sekarang hanya ia dan Izaz yang tahu di mana kafan Yesus disembunyikan. Timaeus
gemetar membayangkan bahwa rahasia sebesar itu dipegang mereka berdua saja. Pada
suatu saat kelak, ia sendiri pun akan memercayakan rahasia itu kepada orang
lain, karena ia sudah tua dan tak lama lagi akan mati. Izaz masih muda, tetapi
apa yang akan terjadi bila Izaz pun menjadi tua" Maanu, tentu saja, sebaiknya
mati sebelum mereka, supaya orang-orang Kristen bisa kembali ke Edessa, tetapi
bagaimana jika tidak" Mereka harus memastikan bahwa rahasia tempat Marcius
menyembunyikan kafan itu dipertahankan sampai benda suci itu bisa diambil lagi.
Baik ia maupun Izaz tidak mungkin membawa rahasia itu ke dalam kubur.
Jam-jam berlalu tanpa Timaeus sadari. Di sanalah, masih bersimpuh dan berdoa,
Izaz dan Obodas menemukannya saat matahari terbenam. Pada saat itu Timaeus sudah
mengambil satu keputusan.
Perlahan-lahan Timaeus bangkit berdiri. Lututnya kaku dan nyeri. Ia tersenyum
kepada kedua tamunya dan meminta mereka menemaninya ke rumah cucunya yang
terletak tepat di seberang rumahnya sendiri, terpisah oleh sebuah kebun kecil.
"John! John!" orang tua itu memanggil di luar sebuah rumah bercat kapur putih
yang terlindung dari matahari oleh tanaman merambat.
Seorang perempuan muda dengan seorang anak kecil dalam gendongan muncul. "Dia
belum kembali, Kakek. Tidak akan lama lagi; dia selalu pulang pada jam berdoa."
"Ini Alaida, istri cucuku. Dan ini putri mereka, Myriam."
Alaida mengundang kedua orang asing itu ke dalam. "Masuklah.
Ada air dingin dengan madu."
"Tidak, Anakku, tidak sekarang; saudara-saudara kita tentu sudah mulai
berdatangan untuk berdoa kepada Tuhan kita. Aku hanya ingin kau dan John
berkenalan dengan dua pemuda ini, yang akan tinggal denganku sekarang."
Ketiganya berjalan menuju kuil komunitas itu dan di sana sudah berkumpul
keluarga-keluarga yang akrab bercakap-cakap, orang-orang desa dan seniman-
seniman kecil yang telah mengimani Yesus. Timaeus memperkenalkan mereka, seorang
demi seorang, kepada Izaz dan Obodas, lalu meminta kedua pemuda itu menceritakan
kembali pelarian mereka dari Edessa.
Mula-mula dengan malu, Izaz mulai menyampaikan kabar tentang Edessa dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh warga komunitas itu. Setelah
ia selesai berbicara, Timaeus mengajak kelompok itu berdoa kepada Yesus agar
menolong saudara-saudara mereka di Edessa. Dan demikianlah mereka semua berdoa
dan bernyanyi dan bersama-sama menyantap roti dan anggur yang dibawa Alaida.
Kulit John berwarna zaitun tua dan janggutnya hitam, sehitam rambutnya; tubuhnya
tidak tinggi ataupun pendek. Dia datang terlambat, diikuti Harran dan beberapa
orang dari karavan, sambil memanggul karung-karung berat. Timaeus memerintahkan
mereka membawa semuanya ke rumahnya.
"Tuanku Senin," ujar Harran kepada mereka di sana, "ingin menyampaikan hadiah
ini bagi Anda, yang akan membantu Anda menghidupi Izaz, kemenakan Josar, serta
pengawalnya, Obodas. Beliau juga meminta saya menyerahkan tas berisi emas ini,
yang tentu berguna bagi Anda di saat-saat sulit."
Izaz memerhatikan dengan takjub hadiah yang sedemikian banyak.


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senin amat sangat murah hati; sebelum Izaz meninggalkan Edessa, Senin pun telah
memberinya sekantung emas, cukup untuk hidup nyaman sepanjangsisa hidupnya.
"Terima kasih, Harran, temanku yang baik," jawab Timaeus, suaranya penuh
perasaan ketika ia menggenggam tangan pemimpin karavan itu. "Aku berdoa agar
saat kalian kembali, kalian mendapati Senin seperti keadaannya saat kalian
tinggalkan dan agar kemurkaan Maanu tidak menimpanya. Sampaikan kepada tuanmu
bahwa semua hadiah ini, seperti yang kaubawa untukku dari sang ratu beberapa
bulan yang lalu, akan dikhususkan untuk membantu kaum miskin, seperti yang
diajarkan Yesus, dan untuk menjamin kesejahteraan komunitas kecil kami. Karena
kau baru akan meninggalkan Sidon untuk kembali ke Edessa beberapa hari lagi, aku
punya waktu untuk menulis sendiri surat untuk Senin."
Mimpi buruk mengganggu tidur Izaz. Dalam mimpinya ia melihat wajah-wajah yang
dilahap api, padang yang dibanjiri darah. Ketika ia terbangun, tepat saat fajar,
tubuhnya bermandi keringat, keringat ketakutan.
Ia melangkah ke luar rumah, ke pasu air di sebelah kebun dan ia mendapati
Timaeus di sana, sedang menebas sebatang pohon limau.
Timaeus mengajaknya berjalan-jalan ke tepi laut, untuk menikmati sejuknya pagi.
"Apakah Obodas tidak akan panik saat nanti dia terbangun?"
"Aku akan meminta John mengawasi supaya bila pengawalmu itu bangun, John bisa
memberitahu ke manakita pergi."
Setelah menyampaikan perintah itu kepada cucunya, yang sudah bangun dan sedang
bersiap bekerja di kebun yang diolah bersama-sama sang kakek, Timaeus membimbing
Izaz menuju laut. Mare Nostrum, seperti sebutan orang-orang Romawi untuk laut itu, pagi itu sedang
marah. Gelombang menghempas di bebatuan kecil sepanjang garis pantai dan
menggerus pasir dan pesisir. Inilah pertama kalinya Izaz melihat air seluas itu,
yang baginya tampak seperti keajaiban, dan ia memerhatikan gejolak laut dengan
takjub. Di sana, di pantai laut purba itu, Timaeus memberitahu keponakan Josar
rencana yang telah disusunnya.
"Izaz, sudah kehendak Tuhan bahwa kau dan aku menjadi penjaga sebuah rahasia
yang sangat besar, tempat kafan putra-Nya, yang telah melakukan begitu banyak
keajaiban, disembunyikan. Tempat Marcius memercayakan kain itu harus tetap
menjadi rahasia kita sepanjang yang diperlukan, tidak boleh diungkapkan sebelum
Edessa kembali menjadi kota Kristen dan kita yakin kain itu tidak terancam
bahaya apa pun. Kau dan aku mungkin tidak akan menyaksikan hari itu, maka bila
aku mati, kau harus memilih seseorang untuk menjaga rahasia itu dan pada
gilirannya nanti menyerahkan kepada seseorang yang lain, dan begitu seterusnya
hingga tidak ada lagi awan yang menggelapi kehadiran Kristen di Edessa. Jika
Senin tetap selamat, sesekali dia akan mengirimi kita berita mengenai semua yang
tejadi di kerajaan itu. Tetapi bagaimanapun juga, aku harus menepati janji yang
kuberikan kepada Tadeus, pamanmu Josar, dan sang ratu ketika mereka mengirim
surat kepadaku yang menjelaskan masa depan seperti apa yang akan terjadi bila
Abgar wafat. Mereka memintaku, apapun yang terjadi, untuk memastikan bahwa benih-benih yang
telah ditanam oleh Kristus tidak mati di Edessa dan bahwa, seandainya yang
terburuk harus terjadi, setelah beberapa tahun aku harus mengirim orang-orang
Kristen lagi ke kota itu."
"Tetapi itu berarti mengirim mereka menemui ajal."
"Mereka yang pergi akan pergi tanpa mengungkapkan keyakinan mereka. Mereka akan
tinggal di kerajaan itu, bekerja di sana, dan berusaha mencari orang-orang
Kristen yang masih ada untuk membangun kembali komunitas Kristen, secara
rahasia. Mereka akan berusaha untuk tidak membangkitkan kemurkaan Maanu atau
menyulut penganiayaan, tetapi sebaliknya bertindak dengan cara yang begitu rupa
agar benih-benih ajaran Yesus bisa mengakar dan tumbuh lagi di antara rakyat
disana. Itulah keinginan Tuhan ketika ia mengutus Josar dengan kafan itu pada
Abgar. Yesus telah menguduskan negeri itu dengan kehadirannya dan keajaiban-
keajaibannya, dan kita harus mematuhi kehendak Tuhan kita dalam hal ini, tak
peduli berapa harga yang harus kita dan orang-orang yang mengikuti kita bayar
atau berapa lamawaktu yang dibutuhkan.
"Kita akan menunggu Harran kembali dengan karavannya, lalu kita akan bisa
memutuskan apa yang harus diperbuat dan kapan. Tetapi apa pun yang terjadi, atau
sudah terjadi, kafan Yesus tidak boleh meninggalkan Edessa, dan kita harus
mengerahkan segala kemampuan kita untuk memastikan bahwa iman pada Yesus tidak
pernah meredup di kota itu. Kita akan mengabdikan hidup kita untuk memenuhi
janji-janji ini, yang dibuat atas nama mereka yang telah mengorbankan segalanya
demi imankita." 20 Zafarin gemetar. Hanya kehadiran ayahnya yang mencegahnya berbalik dan lari.
Ibunya memegangi lengannya, dan istrinya, Ayat, bersama putri cilik mereka,
berjalan di sampingnya tanpa sepatah kata pun, mereka sama takutnya. Seorang
pria kecil bertubuh kurus dan berpenampilan lemah, dengan pakaian yang
sederhana, tadi membukakan pintu dan menyambut mereka dengan suara lirih.
Sekarang pria itu membimbing para wanita ke sebuah ruangan lain.
"Tunggu di sini," ujarnya, sambil menutup pintu di belakang badannya ketika ia
berbalik menghampiri Zafarin dan sang ayah lagi. Ia memandu mereka melalui ruang
tunggu menuju ambang sebuah pintu kembar yang penuh ukiran, lalu membuka pintu
itu dan mengantar mereka ke dalam.
Rak-rak menutupi dinding-dinding ruangan, penuh dengan buku dan benda-benda lain
yang tidak mungkin dikenali dalam kerlip cahaya lilin.
Tirai-tirai tebal di jendela menghalangi setiap berkas sinar mentari,
mempertahankan efek senja yang abadi yang membuat bayang-bayang tampak hidup.
Laki-laki di ujung meja kayu yang sangat besar dengan pahatan yang renik itu
seharusnya terlihat kerdil oleh besarnya kursi tempat ia duduk, tetapi kursi itu
hanya membuat sosoknya yang mengesankan semakin mengintimidasi. Tak ada sehelai
rambut pun di kepalanya tetapi kerut-merut di seputar mata dan mulutnya tidak
meninggalkan keraguan mengenai usianya, yang juga terlihat jelas pada kedua
tangannya yang kurus denganbuku-buku yang besar, yang tertangkup di hadapannya
diatas meja, dengan pembuluh-pembuluh darah yang tampak berdenyut menembus kulit
yang nyaris transparan. Sepanjang kedua sisi meja itu terdapat empat kursi bersandaran tinggi. Di kursi-
kursi itu duduk delapan pria yang berpakaian hitam pekat.
Mata mereka tetap tertuju ke bawah ketika Zafarin dan ayahnya memasuki ruangan.
"Kau gagal." Suara Addaio bergema ke seluruh ruangan yang terasa membekap itu. Zafarin
menundukkan kepada, tidak sanggup menyembunyikan rasa malu dan ketakutan yang
tersimpan jauh di dalam jiwanya. Ayahnya maju selangkah ke depan dan tanpa
gentar membalas tatapan sang pastor.
"Aku sudah memberimu dua putraku. Baik Zafarin maupun Mendib sebelum dia telah
bertindak berani dan tidak memikirkan diri sendiri; mereka sudah berkorban
untukmu; masing-masing sudah menyerahkan tubuh, lidah, masa depannya. Mendib
sekarang menderita didalam penjara asing. Mereka tidak akan berbicara sampai
tiba Hari Perhitungan, saat Tuhan membangkitkan kembali mereka dari kematian.
Keluarga kami tidak layak menerima tuduhan balikmu. Selama berabad-abad, orang-
orang terbaik kami telah menyerahkan hidup demi Yesus Kristus dan komunitas ini.
Kami ini manusia, Addaio, hanya manusia, dan kami bisa gagal. Zafarin ini
pandai, dan kau-tahu itu. Kau sendiri yang berkeras agar dia, seperti Mendib,
melanjutkan ke universitas. Putraku yakin ada pengkhianat di antara kita,
seseorang yang memiliki akses terhadap rencana-rencanamu bahkan di saat masih
kau-susun dan tahu setiap gerakan yang akan kita lakukan bahkan sebelum kita
memulai. "Kegagalan itu ada di sini, Addaio, di dalam, dan kau harus menemukan
pengkhianat yang hidup di antara kita itu. Pengkhianatan hidup dalam komunitas
kita sepanjang masa. Itulah satu-satunya cara untuk menjelaskan fakta mengapa
sejauh ini setiap upaya untuk menyelamatkan apa yang menjadi milik kita selalu
gagal." Addaio mendengarkan tanpa menggerakkan satu ototpun, tetapi matanya sarat dengan
kemarahan. Ayah Zafarin melangkah maju hingga ke meja dan diatas permukaan meja yang
mengilat itu ia letakkan sebundel kertas, lebih dari lima puluh lembar, yang
masing-masing tertutup tulisan tangan di kedua halaman.
"Ini adalah laporan yang sudah putraku siapkan mengenai apa yang terjadi.
Kecurigaan-kecurigaannya juga tertulis di sana."
Addaio mengabaikan kertas-kertas itu. Ia berdiri dan mulai berjalan mondar-
mandir tanpa suara. Lalu ia memutari Zafarin, membayangi pemuda itu seolah akan
menyerangnya. "Kautahu apa arti kegagalan ini" Berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sebelum
kita bisa mencoba lagi! Polisi sedang menyelidiki, mereka sudah mulai
menghubungkan kegagalanmu dengan kegagalan kakakmu dan semua yang lain, dan kali
ini mereka bertekad akan mengejar sampai ke inti permasalahan. Beberapa orang
kita mungkin akan ditangkap. Jika mereka bicara, lalu bagaimana?"
"Tetapi orang-orang lain itu sama sekali tidak tahu yang sebenarnya... buat apa
mereka dikirim" ayah Zafarin menyela.
"Diam! Kau tahu apa" Orang-orang kita di Italia, di Jerman, di negara-negara
lain, tahu apa yang perlu mereka ketahui, dan jika mereka jatuh ke tangan
polisi, mereka bisa dipaksa bicara, yang berarti jejak itu akan menuju kita.
Lalu apa yang harus kita lakukan" Apa kita semua harus memotong lidah supaya
tidak bisa mengkhianati Tuhan kita?"
"Apa pun yang terjadi, itulah kehendak Tuhan," ujar ayah Zafarin.
"Bukan! Itu sama sekali bukan kehendak Tuhan! Itu adalah akibat dan kegagalan
dan kebodohan orang-orang yang tidak bisa memenuhi kehendak-Nya! Itu adalah
kesalahanku karena tidak mampu memilih orang-orang yang lebih baik untuk
melaksanakan apa yang diminta Yesus dari kita, orang-orang yang pantas melakukan
misi sucinya." Pintu terbuka dan dua pemuda lagi diantar masuk, juga ditemani ayah-ayah mereka
seperti Zafarin. Rasit, pemuda kedua yang bersama Zafarin di Turin, dan Dermisat, yang ketiga,
merangkul Zafarin sementara Addaio memandang sebal.
Zafarin baru tahu bahwa teman-temannya sudah tiba di Urfa. Addaio telah
memberlakukan sumpah bisu pada keluarga dan teman-teman sehingga mereka bertiga
tidak mungkin saling tahu kehadiran yang lain di kota itu.
Ayah Rasit dan Dermisat berbicara atas nama putra mereka, memohon pengertian dan
belas kasihan. Addaio tampak seperti tidak mendengarkan; dia kelihatan jauh, tenggelam dalam
rasa frustrasi dan kesedihannya sendiri. Kesenyapan mengisi ruangan itu selama
beberapa saat. Lalu pastor itu mengangkat kepala, tatapannya dingin.
"Kalian bertiga harus membayar kegagalan kalian, yang merupakan dosa terhadap
Tuhan kita." "Apakah pengorbanan yang sudah putra kami lakukan belum cukup bagimu" Mereka
sudah membiarkan diri mereka dimutilasi, dan satu orang sudah tewas. Hukuman apa
lagi yang akan kautimpakan pada mereka?" ayah Rasit meledak.
"Kau berani menentangku?" tanya Addaio mengancam.
"Tidak. Semoga Tuhan melindungiku! Kau tahu bahwa iman kami pada Tuhan tak
tergoyahkan dan bahwa kami mematuhimu dalam segala hal. Aku hanya meminta belas
kasihan bagi putra-putra kami, yang telah menyerahkan begitu banyak untuk kita,
untuk misi kita," sang ayah menjawab.
Ayah Dermisat, yang tampak lebih menyesal, menjauhkan diri dari yang lain. "Kau
adalah pastor kami," ujarnya, "dan ucapanmu adalah hukum. Lakukan sekehendakmu
pada mereka, karena kau mewakili Tuhan kita di bumi."
Mereka berenam menjatuhkan diri berlutut dan, dengan kepala tertunduk, mulai
berdoa. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu keputusan Addaio.
Tak seorang pun dari kedelapan pria yang mengelilingi Addaio yang berbicara.
Dengan isyarat dan Addaio,mereka keluar satu per satu dari ruangan. Addaio
mengikuti tanpa melihat lagi pada enam orang yang berlutut itu.
"Bagaimana?" tanya Addaio, ketika mereka sudah berkumpul di sebuah ruangan yang
bersebelahan. "Apa ada pengkhianat di antara kita?" Kebisuan kelompok itu yang
tak juga putus membuatnya murka.
"Kalian tidak ingin mengatakan apa pun" Apa pun, setelah semua yang terjadi
itu?" "Addaio, kau adalah pastor kami, yang dipilih Tuhan kita; kami mengandalkan
bimbinganmu dalam hal ini," akhirnya salah seorang mencoba.
"Hanya kalian berdelapan yang tahu keseluruhan rencana ini. Kalian berdelapan
tahu siapa saja kontak kita. Siapa yang berkhianat?"
Orang-orang itu saling menatap dengan gugup, tidak yakin apakah Addaio,
sebenarnya, sedang menuduh mereka. Mereka adalah, setelah Addaio, pemimpin-
pemimpin tertinggi komunitas itu. Keluarga mereka bisa ditelusur ke belakang ke
awal sejarah bangsa mereka, dan mereka serta leluhur mereka selalu setia pada
Yesus, setia pada kota mereka, setia pada sumpah mereka.
"Jika memang ada pengkhianat, dia harus mati."
Setiap orang dari kedelapan orang itu tahu Addaio sanggup membunuh siapa saja
yang mengkhianati tujuan mereka. Pastor mereka adalah orang baik yang hidup
bersahaja dan yang berpuasa empat puluh hari setiap tahun untuk menGenarig masa
puasa Yesus di gurun. Ia membantu semua orang yang datang kepadanya dalam
kesusahan, entah membutuhkan pekerjaan, uang, atau penengah dalam perselisihan
keluarga. Perkataannya menjadi hukum bagi semua pengikutnya tetapi lebih dari
itu, perkataannya menjadi penuntun di masa-masa sulit. Dia orang yang dihormati
di Urfa, sementara orang-orang non-Knsten menganggapnya pengacara serta mengakui
dan menghormatinya dalam profesi itu. Tetapi mereka berdelapan sudah pernah
melihat kekuatan-kekuatan mengerikan yang bergolak persis di bawah permukaannya
yang saleh. Seperti semua anggota dewan itu, Addaio sudah menjalani kehidupan klandestin
sejak masih kecil, berdoa dalam bayang-bayang gelap, di tempat yang tidak bisa
dilihat tetangga dan teman, karena dia adalah penjaga sebuah rahasia yang akan
menentukan hidup mereka sebagaimana rahasia itu telah menentukan hidup ayah
mereka dan ayahanda ayah mereka.
Mereka tahu dia lebih suka tidak diangkat menjadi pastor mereka, bahwa dia
mendambakan hidup yang bebas dan semua tanggung jawab berat yang dituntut
perannya itu. Tetapi ketika ia dipilih, ia menerima kehormatan dan pengorbanan
suci itu dan bersumpah seperti orang-orang sebelumnya bersumpah, bahwa ia akan
melaksanakan kehendak Yesus dan mengabdikan hidupnya di dunia demi kesejahteraan
komunitasnya serta mengembalikan Kafan Suci ke tempat yang telah ditakdirkan
diantara mereka. Seorang anggota dewan lainnya berdeham. Rambut putih menutupi kepalanya seperti
mantel; wajahnya yang penuh keriput tampak bijak dan mulia.
"Bicaralah, Talat," perintah Addaio.
"Kita tidak boleh membiarkan kecurigaan menghancurkan kepercayaan yang kita
miliki satu pada yang lain. Aku tidak percaya ada pengkhianat di antara kita.
Kita sedang menghadapi kekuatan-kekuatan yang tangguh dan cerdas; itulah yang
menghalangi kita mengambil kembali apa yang menjadi milik kita sedari awal. Kita
harus kembali bekerja dan merumuskan rencana baru, dan jika kita gagal, kita
tetap harus mencoba lagi. Tuhan yang akan memutuskan kapan kita layak berhasil
dalam misi kita." Talat lalu berdiam diri, menunggu yang lain berbicara.
"Tunjukkan belas kasihan kepada tiga orang yang terpilih itu,"
seorang lagi, Bakkalbasi, meminta. "Bukankah mereka sudah cukup menderita?"
"Belas kasihan" Apa kaupikir, Bakkalbasi, kita bisa bertahan hidup dengan belas
kasihan" Itu tidak pernah menolong kita di masa lalu."
Addaio mengepalkan tangan karena frustrasi. Suaranya terdengar tersiksa. "Kadang
aku berpikir kalian melakukan kesalahan ketika kalian memilihku menjadi pastor
kalian, aku bukan orang yang dibutuhkan Yesus untuk masa dan keadaan ini. Aku
berpuasa, aku bertobat, dan aku berdoa kepada Tuhan agar memberiku kekuatan,
untuk mencerahkanku, dan untuk menunjukkan jalan, tetapi Yesus tidak menjawab
doa-doaku, atau menunjukkan suatu pertanda padaku..."
Kemudian pastor itu tampak mengendalikan diri. Ia menatap masing-masing dan
mereka bergantian sementara berbicara. "Tetapi selama aku masih pastor kalian,
aku akan mengambil keputusan dan bertindak seperti yang diperintahkan hati
nuraniku, dan dengan satu tujuan yang jelas: membawa kembali pada komunitas kita
apayang dulu diberikan Yesus dan mengupayakan kesejahteraan kita bersama. Di
atas segala hal lain, aku akan memastikan keselamatan kita. Tuhan tidak ingin
kita mati; Dia ingin kita hidup. Dia tidak membutuhkan lebih banyak martir
lagi." "Apa yang akan kau perbuat pada mereka?" Talat bertanya tentang ketiga pemuda
yang sedang menanti nasib itu.
"Untuk sementara aku akan memerintahkan mereka hidup dalam pengasingan, berdoa
dan berpuasa, di sini,hingga aku bisa mengawasi mereka. Jika dan bila aku merasa
mereka sudah cukup mendapat ganjaran, akuakan mengirim mereka kembali pada
keluarga mereka. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Kita tidak boleh menganggap enteng kegagalan.
Mereka harus menghukum diri untuk menebus kegagalan mereka. Sementara itu, kau,
Bakkalbasi, akan mengabdikan otak analitismu yang hebat itu untuk meninjau ulang
operasi-operasi kita secara keseluruhan."


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengan tujuan apa, Addaio?"
"Aku ingin kau mempertimbangkan dengan cermat, sangat cermat, apakah ada ruang
di antara kita untuk berkhianat, dan di mana itu, dan mengapa."
"Kalau begitu kaupercaya bahwa Zafarin dan ayahnya mungkin benar?"
"Kita tidak boleh menyangkal bukti itu. Jika memang ada pengkhianat, kita akan
menemukannya." Setiap pria itu tahu apa kelanjutannya.
Ketika mereka kembali ke ruang dewan, mereka mendapati ketiga pemuda beserta
ayah mereka masih berlutut berdoa. Sang pastor dan para tetua kembali ke tempat
duduk mereka. "Berdiri," perintah Addaio. Dermisat terisak lirih, mata Rasit penuh kemarahan,
dan Zafarin tampak sudah tenang.
"Kalian akan menjalani hukuman untuk menebus dosa karena gagal dalam misi kalian
dengan cara menarik diri dari dunia ini dan berdoa dan berpuasa selama empat
puluh hari empat puluh malam. Kalian akan tetap di sini, bersamaku. Kalian akan
bekerja di kebun selagi kalian masih punya kekuatan. Bila empat puluh hari itu
sudah berlalu, aku akan memberitahu apa lagi yang menanti kalian."
Zafarin melempar tatapan cemas pada ayahnya. Sang ayah membaca tatapan putranya
dan berbicara untuknya. "Apakah kau mengizinkan mereka berpamitan pada keluarga mereka?"
"Tidak. Masa penebusan dosa sudah dimulai."
Addaio membunyikan sebuah lonceng perak yang ada di atas meja.
Beberapa detik kemudian, si pria kecil masuk.
"Guner, bawa mereka ke kamar-kamar yang menghadap ke kebun.
Carikan pakaian untuk mereka dan beri mereka air dan jus buah. Hanya itulah yang
akan mereka makan atau minum selama mereka di sini bersama kita. Aku ingin kau
menjelaskan kebiasaan-kebiasaan rumah ini dan jam kita bangun dan bekerja dan
tidur. Nah, kalian bertiga, tinggalkan kami."
Ketiganya memeluk ayah mereka sebentar, tidak berani berlama-lama. Ketika mereka
sudah mengikuti Guner keluar ruangan, Addaio berbicara lagi sambil ia dan para
anggota dewan bangkit dari kursi mereka.
"Kembalilah pada keluarga kalian. Kalian akan mendengar berita tentang putra-
putra kalian empat puluh hari lagi."
Ketiga ayah itu bergiliran menghampiri Addaio, membungkuk dan mencium tangannya
dan menundukkan kepala dengan khidmat kepada para tetua komunitas, yang berdiri
diam seperti patung. Setelah mereka tinggal bersembilan lagi, Addaio memimpin yang lain melalui
lorong redup menuju sebuah pintu kecil, yang ia buka dengan anak kunci yang
tergantung di ikat pinggangnya. Ruangan itu sebuah kapel, yang tidak akan mereka
tinggalkan sampai malam turun.
Malam itu Addaio tidak tidur. Meski lututnya perih akibat berjam-jam berdoa, ia
merasa perlu menghukum diri. Tuhan tahu betapa dalam Addaio mencintai-Nya,
tetapi cinta saja tidak bisa membujuk Tuhan untuk mengampuni Addaio atas
kemarahannya-kemarahan yang tidak pernah sanggup ia enyahkan dari hatinya. Setan
tentu senang, ia tahu itu, jika karena dosa berat itu dia kehilangan jiwa
abadinya. Pada saat Guner tanpa suara memasuki kamar Addaio lagi, fajar sudah berganti
pagi. Pelayan yang setia itu membawakan kopi dan sebejana air dingin. Ia
membantu Addaio bangkit lalu memapahnya ke satu-satunya kursi di kamar yang
nyaris kosong itu. "Terima kasih, Guner. Bagaimana keadaan anak-anak muda itu?"
"Mereka sedang bekerja di kebun, mata merah dan bengkak akibat malam yang berat.
Semangat mereka sudah runtuh sebelum mereka tiba." "Kau tidak senang dengan
hukuman ini, betul bukan,Guner?"
"Aku hanya menjalankan, Tuan. Aku hanya pelayanmu."
"Bukan! Kau bukan pelayanku! Kau adalah satu-satunya temanku, dan kautahu itu,
kau membantuku." "Aku melayanimu, Addaio, dan aku melayanimu dengan baik seperti yang sudah
kulakukan semenjak hari ulang tahunku yang kesepuluh, ketika ibuku menyerahkanku
untuk menjadi pelayanmu. Beliau menganggap suatu kehormatan bahwa putranya
terpilih untuk melayanimu. Permintaan terakhir beliau adalah agar aku selalu
menjagamu." "Ibumu itu orang suci."
"Beliau hanya seorang wanita sederhana yang menerima ajaran leluhurnya secara
mutlak." "Apakah kau, Guner, meragukan keyakinan kita?"
"Addaio, aku beriman pada Tuhan dan Yesus Kristus. Tetapi sulit bagiku melihat
kebajikan dalam demam yang telah merasuki pastor-pastor komunitas kita selama
berabad-abad, tindakan-tindakan gila yang mereka lakukan atau perintahkan untuk
dilakukan atas nama Tuhan.
Tuhan semestinya disembah dengan hati."
"Kau berani mempertanyakan dasar-dasar komunitas kita" Kau berani mengatakan
bahwa pastor-pastor suci pendahuluku itu telah berbuat salah" Apa menurutmu
mudah menjaga perintah-perintah leluhur kita?" Guner menundukkan kepala. Ia tahu
bahwa Addaio membutuhkannya dan mencintainya seperti saudara kandung, karena
hanya dirinyalah yang punya tempat dalam kehidupan pribadi Addaio.
Setelah bertahun-tahun di sisi sang pastor, Guner tahu bahwa hanya dengan dialah
Addaio menunjukkan diri yang sebenarnya, seorang priayang marah yang ditelan
oleh tanggung jawab memimpin komunitas ini dan melaksanakan misi purba komunitas
ini, seorang pria yang tidak percaya pada siapa pun dan memberlakukan
wewenangnya atas semua orang. Semua, kecuali dia, Guner, yang mencuci pakaian
Addaio, menyikat setelannya, menjaga tempat tinggalnya bersih tak bernoda.
Satu-satunya orang yang melihat Addaio dengan kantuk di mata atau bermandi peluh
setelah demam semalaman. Satu-satunya orang yang tahu rasa frustrasi dan
depresinya serta usahanya untuk tampil di hadapan pengikutnya dengan mengusung
aura keagungan dan kesempurnaan, agar ia dapat menenangkan jiwa mereka dan
menuntun mereka dijalan yang penuh bahaya yang sudah mereka pilih.
Guner tidak akan pernah meninggalkan Addaio. Ia pun telah mengucapkan sumpah
kesucian dan ketaatan, dan keluarganya, orangtuanya selagi mereka masih hidupdan
sekarang saudara-saudaranya beserta anak-anak mereka, menikmati kenyamanan
finansial yang diberikan Addaio kepada mereka serta status yang mereka nikmati
dalam komunitas ini. Ia sudah melayani Addaio selama empat puluh tahun, dan sekarang ia mengenal
Addaio sebaik ia mengenal dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia takut pada Addaio,
meski dengan kepercayaan yang sudah lama ada di antara mereka.
"Apakah menurutmu ada pengkhianat di antara kita?" sekarang Addaio bertanya
kepadanya. "Mungkin saja."
"Apa kau mencurigai seseorang?"
"Tidak." "Dan jika ya, kau akan mengatakan kepadaku, bukan?"
"Tidak, tidak akan, kecuali jika aku yakin. Aku tidak ingin seseorang dihukum
hanya karena kecurigaan."
Addaio menatap Guner lekat-lekat. Ia iri pada kebaikan Guner, ketenangan hati
Guner, dan untuk pertama kalinya ia tersadar bahwa pelayannya itu bisa menjadi
pastor yang lebih baik daripada dirinya-orang-orang yang dulu memilihnya sudah
melakukan kesalahan; garis keturunannya terlalu memberati pertimbangan mereka.
Mereka memilihnya berdasarkan kebiasaan kuno yang konyol untuk menghujani
keturunan orang-orang besar dengan penghormatan dan hak-hak istimewa, sekalipun
mereka tidak pantas menerima.
Keluarga Guner adalah keluarga orang desa yang sederhana yang leluhurnya,
seperti leluhur Addaio sendiri, memeluk keyakinan mereka secara sembunyi-
sembunyi. Bagaimana kalau dia mengundurkan diri saja" Bagaimana kalau dia panggil dewan
untuk berkumpul dan menyarankan agar mereka memilih Guner sebagai pastor mereka"
Tidak, pikirnya, mereka tidak akan pernah setuju, mereka akan mengira ia sudah
gila. Dan sebenarnya, ia merasa bahwa ia memang mulai gila dalam peran yang
mustahil ini, terus-menerus berjuang melawan kodratnya sendiri, berusaha
menjinakkan kemarahannya yang penuh dosa, mengucapkan kepastian-kepastian yang
diminta pengikutnya yang beriman, dan melindungi rahasia komunitasnya di atas
segala hal lain. Ia ingat setiap detail hari yang mengerikan itu ketika ayahnya, yang tersiksa
oleh emosi, menemaninya kerumah ini, tempat pastor Addaio pendahulunya tinggal,
dan meninggalkannya di sini.
Ayahnya, seorang laki-laki terpandang di Urfa dan seorang militan klandestin
Iman Sejati, sudah memberitahu Addaio sejak ia masih kecil bahwa jika ia
bersikap baik, jika ia hidup lurus dan suci, suatu hari ia akan menggantikan
Addaio tua itu. Addaio sendiri selalu menolak gagasan itu; ia meyakinkan orang
tuanya bahwa itu hal terakhir yang ia inginkan.
Pesona dan warna dunia mengisi hatinya dengan kegembiraan: berlarian melintasi
kebun-kebun yang penuh buah dan sayuran, berenang di sungai, bertukar pandang
dan kedipan mata dengan gadis-gadis remaja yang menyimpan kehidupan yang mulai
tergugah, seperti yang terjadi dalam dirinya.
Ia khususnya menyukai putri salah seorang tetangga mereka, Rania yang manis,
gadis dengan mata buah badam dan rambut gelap panjang.
Ia mengimpikan Rania dikegelapan kamarnya.
Tetapi ayahnya punya rencana-rencana yang berbeda untuknya.
Belum lagi meninggalkan masa remaja, ia sudah diperintahkan untuk tinggal di
rumah Addaio tua dan mengucapkan sumpah sebagai persiapan untuk misi yang,
menurut orang-orang, telah ditetapkan Tuhan untuknya.
Komunitas mereka telah memutuskan untuknya bahwa dia akan menjadi Addaio.
Satu-satunya teman sepanjang tahun-tahun yang menyakitkan itu adalah Guner, yang
tidak pernah mengkhianatinya ketika ia kabur dan bersembunyi di dekat rumah
Rania, berharap bisa melihat gadis itu meski dari kejauhan.
Seperti dirinya, Guner adalah tahanan harapan-harapan orang tua, yang Guner
hormati dengan bersikap patuh. Orang-orang desa yang miskin itu telah menemukan
untuk putra mereka, dan dengan demikian untuk seluruh keluarga mereka, nasib
yang lebih baik daripada bekerja di ladang sejak matahari terbit hingga matahar
iterbenam. Ibu dan ayah Addaio, karena percaya anak itu memang pantas, telah
menghormati Guner dan seluruh keluarganya ketika mereka menerima Guner atas nama
putra mereka yang terpilih.
Maka kedua pria itu berserah diri mengikuti keinginan orang tua mereka, dan
keinginan komunitas mereka, serta keinginan semua orang yang datang sebelum
mereka, dan berhenti menjadi diri mereka sendiri untuk selamanya.
21 John mendapati Obodas sedang menggali di kebun, asyik dengan pekerjaannya."Di
mana Timaeus?" "Bersama Izaz. Mereka sedang berbicara. Kau tahuTimaeus sedang mengajarinya agar
suatu hari nanti Izaz bisa menjadi pemimpin yang baik bagi komunitas ini."
Obodas menyeka keringat dari alisnya dengan punggung lengan dan mengikuti John
ke dalam rumah. "Aku membawa berita," John memulai, ketika Timaeus dan Izaz menyapanya. "Harran
sudah tiba dengan rombongan karavan."
"Harran! Bagus sekali! Mana dia?" tanya Izaz sambil melompat bangkit.
"Tunggu, Izaz. Karavan itu bukan milik Senin, meski Harran menempuh perjalanan
dengan karavan itu." John berhenti, wajahnya berkennyut oleh emosi.
"Ada apa" Bicaralah, John, demi Tuhan!"
"Ya, harus kusampaikan padamu, meski ini berat... Harran sekarang buta. Ketika
ia kembali ke Edessa, Maanu memerintahkan para pengawal untuk mencungkil mata
Harran. Tuannya, Senin, sudah dibunuh dan mayat Senin dilempar untuk binatang-
binatang pemakan bangkai digurun.
"Harran bersumpah dia tidak tahu apa-apa tentang dirimu, bahwa dia
meninggalkanmu di Tyre, di dermaga, dan bahwa sekarang kau pasti ada di Yunani,
tetapi itu justru membuat Maanu semakin meradang."
Izaz mulai tersedu. Demi dirinyalah orang-orang baik ini menderita.
Timaeus merangkulnya untuk menghibur.
"Kita harus menemuinya dan membawanya ke sini. Kita akan menolongnya. Dia akan
tinggal bersama kita jika dia mau."
"Aku sudah memintanya ikut denganku, tetapi dia menolak. Dia ingin kau tahu
kebutaannya sebelum dia datang. Dia bersikeras bahwa dia tidak mau
membebanimudengan menampungnya."
Izaz, ditemani Obodas dan John, bergegas ke tempat karavan.
Salah seorang pemandu jalan memberitahukan di mana mereka bisa menemukan Harran
dan apa yang sudah terjadi.
"Pemimpin karavan ini adalah kerabat Harran. Itulah sebabnya dia bersedia
membawa Harran ke sini. Harran tidak punya siapa-siapa lagi di Edessa: istri dan
anak-anaknya sudah dibunuh, dan tuannya, Senin, disiksa dan dibunuh di plaza di
hadapan semua orang yang ingin menyaksikan penderitaannya. Maanu menghukum
dengan kejam semua teman Abgar."
"Tetapi Harran bukan teman Abgar."
"Seninlah yang teman Abgar, dan Senin menolak mengungkapkan tempat persembunyian
kafan Yesus yang telah menyembuhkan Abgar. Maanu sudah menghancurkan rumah
Senin, membakar semua harta miliknya, dan menyalakan sebuah api unggun yang
besar sekali untuk mengorbankan ternak Senin. Maanu menganiaya dan menyiksa
pelayan-pelayan Senin, ada yang dipotong lengannya, lainnya, kaki, dan Haran,
matanya dicungkil, mata yang telah memandu karavan Senin melintasi gurun. Harran
seharusnya gembira masih hidup."
Mereka menemukan Harran sedang duduk di tanah diluar salah satu tenda. Izaz
menariknya hingga berdiri dan memeluknya.
"Harran, Temanku yang baik!"
"Izaz" Kaukah ini?"
"Ya, Harran, ya, aku datang menjemputmu. Kau harus ikut bersamaku. Kami akan
merawatmu dan kau tidak akan kekurangan apa pun." Timaeus menyambut Harran
dengan hangat. Ia meminta John menerima Harran di rumah cucunya itu sementara
sebuah kamar lain dibangun menempel pada rumah kecil yang ia tinggali bersama
Izaz dan Obodas. Harran merasa tenang karena tahu bahwa ia akan punya tempat di antara teman-
temannya dan bahwa ia tidak perlu berkeliaran di kota, meminta-minta derma.
Dengan suara bergetar ia menceritakan kepada mereka bahwa Maanu telah
memerintahkan semua rumah orang Kristen dibakar, bahkan para bangsawan yang
telah menyatakan beriman pada Yesus. Maanu tidak memperlihatkan belas kasihan
sama sekali, bahkan pada perempuan dan anak-anak dan orang-orang tua. Darah
orang-orang yang tidak bersalah menodai pualam putih di jalan-jalan kota, yang
sekarang bahkan merupakan bau kematian.
Obodas, dengan suara parau, bertanya tentang keluarganya, ayah dan ibunya, yang
juga pelayan Senin dan, seperti Obodas, memeluk Kristen.
"Mereka sudah meninggal. Aku turut berduka, Obodas."
Air mata membasahi wajah raksasa itu, dan kata-kata Timaeus serta Izaz tidak
mampu menghiburnya. Akhirnya Izaz mengajukan pertanyaan yang sedari tadi takut ia ajukan, yaitu
mengenai nasib Tadeus dan pamannya Josar.
"Josar dibunuh di plaza, seperti Senin. Maanu ingin kematian para bangsawan itu
menjadi peringatan bagi rakyat, agar mereka tahu bahwa dia tidak akan berbelas
kasihan pada orang Kristen, tak peduli seluas apa tanah mereka. Josar tidak
mengeluarkan suara apa pun. Maanu hadir untuk menyaksikan sendiri penyiksaan
Josar dan memaksa sang ratu untuk menyaksikan juga. Ratu memohon kepada Maanu,
Ratu berlutut dan memohon-mohon demi nyawa pamanmu, tetapi Maanu hanya tersenyum
melihat ibunya menderita. Aku tidak tahu apa-apa tentang Tadeus. Aku takut
nasibnya sama." Izaz berjuang menahan air mata. Mereka semua punya alasan untuk tenggelam dalam
kesedihan dan kepiluan. Keyakinan mereka semua telah diserang dan mereka
kehilangan orang-orang yang sangat berarti bagi mereka. Ia merasa suatu desakan
kecil dalam dirinya perlahan-lahan berubah menjadi hasrat yang membara untuk
membalas dendam. Timaeus tua mengamati pergolakan yang terjadi dalam hati pemuda itu- pergolakan
yang sama yang sedangterjadi dalam hati Obodas.
"Balas dendam bukanlah jawabannya," gumamnya pada mereka.
"Aku tahu bahwa kalian berdua akan senang jika Maanu dihukum, jika kalian bisa
melihatnya mati dengan kematian yang perlahan-lahan dan menyakitkan. Kuyakinkan
kalian bahwa dia pasti akan menerima hukuman, karena dia harus mempertanggung
jawabkan kepada Tuhan semua kejahatan yang telah dia lakukan."
"Bukankah kau mengatakan, Timaeus, bahwa ampunan Tuhan tak berbatas?" Obodas
melemparkan pertanyaan sambil terisak.
"Begitu pula keadilan-Nya."
"Dan sang ratu, apa dia masih hidup?" Izaz bertanya kepada Harran tetapi gentar
mengetahui jawabannya. "Setelah kematian pamanmu, tidak ada yang melihat sang ratu lagi.
Beberapa pelayan di istana mengatakan Ratu meninggal karena duka dan bahwa Maanu
memerintahkan jenazahnya dibawa ke gurun dan dilemparkan pada binatang-binatang
pemakan bangkai di sana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Maanu memerintahkan Ratu


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibunuh. Tak ada yang melihatnya. Maafkan aku, Izaz ... aku menyesal harus
menyampaikan berita yang demikian menyedihkan."
"Temanku, sang kurir tidak bisa dipersalahkan atas berita yang ia bawa," ujar
Timaeus. "Mari kita berdoa ber-sama dan memohon kepada Tuhan agar menolong kita
menanggung kepedihan hati karena kehilangan orang-orang yang kita cintai serta
agar mengangkat kemarahan dari hati kita."
22 Malam itu dipenuhi harum bebungaan. Kota Roma berkelip-kelip di kaki tamu-tamu
John dan Lisa, dan semuanya berbincang dalam kelompok-kelompok kecil diteras
luas yang menghadap ke kota.
Lisa sedang gugup. John marah besar ketika, sepulangnya John dari Washington,
Lisa memberitahu bahwa dia memutuskan untuk mengadakan pesta untuk Mary dan
James dan bahwa dia sudah mengundang Marco dan Paola. John tahu persis apa yang
ia rencanakan dan menuduhnya tidak setia pada kakak perempuannya.
"Apa kau akan memberitahu Mary apa yang sedang terjadi" Tidak, tentu saja tidak,
karena tidak boleh, kau betul-betul tidak boleh memberitahu Mary. Marco itu
teman kita dan aku bersedia membantunya dengan cara apa pun sebisaku, tetapi itu
tidak berarti melibatkan keluargaku, apalagi mengizinkanmu mencampuri
penyelidikannya. Kau istriku, Lisa, dan aku tidak menyimpan rahasia apa pun
darimu, tetapi hanya sampai di situ. Jangan mengendus-endus pekerjaanku- aku
saja tidak pernah mencampuri pekerjaanmu. Aku tidak percaya kau memanfaatkan
kakakmu seperti ini, dan untuk apa" Memangnya apa pedulimu pada kebakaran di
katedral?" Itulah pertengkaran serius pertama mereka selama bertahun-tahun, dan dia harus
mengakui bahwa John benar. Dia sudah terbawa perasaan dan bertindak gegabah, dan
sekarang dia merasa sangat bersalah.
Mary tidak berkeberatan dengan daftar tamu yang dikirim Lisa lewat e-mail.
Keponakannya pun, Gina, tidak protes ketika melihat nama Marco Valoni dan
istrinya, Paola. Gina tahu keduanya adalah teman baik bibi dan pamannya. Dia
pernah bertemu mereka dua atau tiga kali; mereka sangat baik, dan dua-duanya
enak diajak bicara. Akan tetapi, Gina memang menanyakan siapa Dottoressa Galloni
yang akan datang bersama suami istri Valoni. Bibinya menjelaskan bahwa
Dottoressa Galloni adalah seorang ilmuwan yang bekerja di Divisi Kejahatan Seni
dan teman dekat Marco dan Paola. Penjelasan itu sudah cukup bagi Gina.
Para pramusaji melintas di antara tamu-tamu dengan membawa baki-baki berisi
minuman dan makanan kecil. "Aku merasa agak salah tempat," Marco membisiki Paola
dan Sofia ketika mereka tiba. Orang-orang yang hadir disana sungguh mengesankan,
meski sudah memperhitungkan lingkup pergaulan keluarga Stuart. Tamu yang datang
termasuk dua menteri pemerintahan, seorang kardinal, beberapa diplomat eselon
atas, di antara mereka duta besar A.S. untuk Italia, dan sejumlah pengusaha
penting, belum lagi setengah lusin profesor yang merupakan teman-teman Lisa dan
beberapa arkeolog yang diundang Gina.
"Yeah, aku juga," balas Paola, "tetapi kita sudah di sini dan tidak mungkin
mundur lagi sekarang."
Sofia memerhatikan pesta itu untuk mencari Umberto D'Alaqua. Di lihatnya pria
itu di seberang teras, sedang berbicara dengan seorang perempuan pirang yang
cantik dan kelihatan modern dan agak mirip Lisa.
Mereka tertawa, jelas merasa senang dengan si teman bicara.
"Hei, kalian! Selamat datang! Paola, kau kelihatan cantik sekali.
Dan Anda pasti Dottoressa Galloni. Senang berkenalan dengan Anda."
John tahu perasaannya yang tidak enak pasti terbaca oleh Marco. Dia sudah kesal
sejak tahu tentang permainan kecil Lisa dan sudah dengan halus berusaha membujuk
Marco agar menolak undangan Lisa, dengan tidak kentara, tanpa nada sumbang,
tetapi dia tetap berusaha.
Marco sendiri dalam hati bertanya-tanya apa penyebabnya.
Lisa menghampiri mereka sambil tersenyum. Seperti John, ia terlihat tegang.
Marco berpikir apakah dirinya sekarang paranoid. Tetapi tidak, senyum Lisa
memang benar agak kaku, dan mata John, yang biasa begitu hangat, tampak gelisah.
Gina juga datang untuk menyapa mereka, lalu Lisa mulai mengajak mereka
berkeliling untuk diperkenalkan pada tamu-tamu lain.
John memerhatikan pengaruh Sofia pada tamu-tamu pria. Sebagian besar memandang
Sofia diam-diam, atau tidak begitu diam-diam, bahkan sang kardinal. Dengan tunik
Armani putih, rambut pirang panjang tergerai, tanpa perhiasan apa pun kecuali
giwang intan di telinga dan arloji Cartier di tangan, Sofia tak diragukan lagi
perempuan paling cantik di sana malam ini. Sebentar saja dia sudah asyik
terlibat dalam percakapan di tengah kelompok yang terdiri dari para duta besar,
seorang menteri, beberapa pengusaha, dan bankir.
Mereka sedang menganalisis perang di Irak, dan sang menteri menoleh dan
menanyakan pendapat Sofia.
"Maafkan saya, tetapi sejak awal saya menentang perang itu," kata Sofia.
"Menurut pendapat saya, Saddam Hussein bukan ancaman bagi siapa pun kecuali
rakyatnya sendiri." Pendapatnya adalah satu-satunya pendapat yang menentang hingga jelas menambah
hangatnya percakapan itu. Ia sodorkan argumen demi argumen yang menentang
perang, menyampaikan kuliah singkat tentang sejarah wilayah itu, dan segera saja
teman-teman bicaranya memandangnya dengan rasa hormat yang memang sepantasnya ia
terima. Sementara itu Marco dan Paola bercakap-cakap dengan dua teman arkeolog Gina yang
juga merasa salah tempat seperti mereka.
Sofia terus memerhatikan perempuan pirang yang bercakap-cakap penuh semangat
dengan D'Alaqua. Ketika dilihatnya John menghampiri Marco dan Paola, ia
memanfaatkan kesempatan itu untuk minta diri dan bergabung dengan mereka.
"Terima kasih banyak sudah mengundangku, Signor Barry."
"Kami sangat senang Anda bisa datang bersama Marco dan Paola.. "
Si perempuan pirang menoleh sambil tersenyum lalu melambai.
Barry membalas lambaian itu. "Kakak iparku. Mary Stuart,"
jelasnya. "Dia mirip sekali dengan Lisa," ujar Marco. "Maukah kau memperkenalkan kami?"
Sofia menunduk. Dia tahu Marco mulai bergerak. Tepat saat itu Lisa mendekat.
"Sayangku," kata Barry, "Marco ingin berkenalan dengan Mary dan James."
"Oh, tentu saja!"Lisa mengantar mereka ke tempat kakak dan iparnya sedang
bercakap-cakap dengan D'Alaqua dan tiga pasangan lain.
Mata Sofia terpaku pada D'Alaqua, tetapi pria itu kelihatannya hampir tidak
memerhatikan. Mungkin bahkan tidak ingat Sofia.
"Mary, aku ingin memperkenalkan dua sahabat kami, Marco dan Paola Valoni, dan
Dottoressa Sofia Galloni, yang bekerja bersama Marco."
Perempuan pirang itu tersenyum lebar. "Senang berkenalan dengan Anda," katanya,
lalu dengan sopan menyertakan mereka dalam kelompok dan memperkenalkan mereka
pada yang lain. D'Alaqua mengangguk sopan dan tersenyum biasa.
Mary menoleh pada adiknya. "Apakah mereka arkeolog juga?"
"Bukan, Marco adalan ketua Divisi Kejahatan Seni, Paola mengajar sejarah seni di
universitas, dan Sofia, seperti yang tadi kukatakan, bekerja bersama Marco."
"Divisi Kejahatan Seni" Apa itu?"
Marco angkat bicara. "Kami adalah biro khusus yang menyelidiki kejahatan yang
melibatkan benda-benda berharga dan warisan budaya Italia, pencurian benda
seni,pemalsuan, penyelundupan..."
"Oh! Menarik sekali!" sahut Mary sopan. "Kami tadi sedang membicarakan lukisan
yang belum lama ini dilelang di New Vork, lukisan Kristus oleh El Greco. Aku
berusaha membuat Umberto mengaku bahwa dialah orang yang membeli lukisan itu."
"Sayangnya bukan, seperti yang sudah kukatakan pada Mary," kata D'Alaqua dengan
senyum kecil. Lalu ia menoleh pada Sofia, nada suaranya sangat wajar dan sopan,
tetapi jauh. "Bagaimana perkembangan penyelidikan Anda, Dottoressa Galloni?"
Mary dan yang lainnya dalam kelompok itu menatapnya bingung.
"Kalian berdua saling kenal?" tanya Mary.
"Ya, aku berkenalan dengan Dottoressa Galloni di Turin beberapa minggu yang
lalu. Aku yakin kalian semua sudah mendengar tentang kebakaran di katedral.
Divisi Kejahatan Seni saat itu- barangkali masih, Dottoressa Galloni"- sedang
menyelidiki kebakaran tersebut."
"Dan apa hubunganmu dengan peristiwa itu?" tanya Mary.
"Yah, yang sedang mengerjakan perbaikan di katedral itu adalah COCSA. Dottoressa
Galloni menyelidiki kecurigaan-kecurigaan tertentu yang ia dan rekan-rekannya
kembangkan mengenai insiden itu."
Marco kagum oleh penguasaan diri D'Alaqua yang luar biasa.
D'Alaqua memancarkan kesan sama sekali tidak bersalah tanpa sedikit pun mengakui
bahwa ketidak-bersalahannya itu masih harus dipertanyakan.
"Beritahu saya, Dottoressa Galloni, apa yang mencurigakan?" tanya salah seorang
perempuan dalam kelompok itu, seorang putri yang muncul di semua majalah mode
dan majalah tentang masyarakat kelas atas.
"Saya kira kebakaran itu murni kecelakaan."
Sofia melemparkan tatapan terluka pada D'Alaqua. Dalam waktu singkat saja pria
itu sudah membuatnya merasa canggung, kikuk, seolah ia sudah merusak suasana
pesta. Paola dan Marco juga kelihatan tidak enak.
"Bila suatu kecelakaan terjadi di tempat yang menyimpan kekayaan budaya sebesar
ini, seperti katedral, dalam kasus ini, sudah tanggung jawab kami untuk
mempertimbangkan semua kemungkinan," jawab Sofia. "Dan apakah Anda sudah
mencapai kesimpulan tertentu?" sang putri bertanya.
Sofia menatap Marco yang berdeham untuk menunjukkan dia akan mengambil alih.
"Pekerjaan kami lebih rutin dan yang mungkin terlihat, Principessa.
Italia memiliki kumpulan benda seni dan segala jenis yang luar biasa, seperti
yang Anda tahu, dan tugas kami adalah menjaganya."
"Ya, tetapi.." Lisa menyela sang putri dengan memanggil pramusaji untuk menyajikan minuman
lagi, dan sebagian besar kelompok itu mulai beranjak ke arah meja hidangan. John
memanfaatkan kesempatan itu untuk menggiring Marco dengan lembut di sikunya dan
membawanya ke kelompok tamu lain; Paola mengikuti. Tetapi Sofia tetap berdiri
ditempatnya, tidak pernah melepaskan matanya dari D'Alaqua.
"Sofia," kata Lisa yang mencoba mengajaknya pergi,
"Aku ingin kau berkenalan dengan Profesor Rosso. Beliaua dalah kepala ekskavasi
di Herculaneum." "Apa spesialisasi Anda, Dottoressa Galloni?" tanya Mary.
"Saya punya gelar doktor dalam bidang sejarah seni, dan aku menyelesaikan strata
satu dalam bidang filologi Italia dan bahasa-bahasa mati Aramaik, Latin, yang
semacam itu. Saya bisa berbicara dalam bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Yunani,
dan bahasa Arab saya lumayan."
Sofia berbicara dengan bangga tetapi terlambat menyadari bahwa dia kedengaran
konyol, sok ilmiah, mencoba membuat orang-orang terkesan padahal mereka sama
sekali tidak peduli siapa dia atau apa yang dia tahu. Ia marah pada dirinya
sendiri dan merasa seperti diletakkan di bawah mikroskop, diamati seperti
spesimen eksotis oleh para perempuan cantik dan para pria berkuasa ini.
Lisa mencoba lagi. "Mau ikut, Sofia?"
"Lisa, biarkan Dottoressa Galloni bersama kami sebentar lagi. Ini sangat
menarik." Kata-kata D'Alagua mengejutkan Sofia. Lisa berbalik, mengundurkan diri, tetapi menarik Mary bersamanya. Tiba-tiba saja Sofia dan
D'Alaqua mendapati mereka berdua saja.
"Kau tampak tidak tenang, Dottoressa Galloni. Ada yang tidak beres?"
"Aku memang tidak tenang, dan kurasa kau tahu sebabnya."
"Yah, kau tidak perlu kesal pada Mary, dalam hal apapun, gara-gara minatnya yang
tulus pada pekerjaanmu. Dia benar-benar perempuan yang luar biasa-pandai dan
sensitif, dan pertanyaannya tidak didasari maksud apa-apa, percayalah padaku."
"Kurasa begitu."
"Yang sesungguhnya adalah, kau dan teman-temanmu datang ke pesta ini untuk
menemuiku, betul bukan, Dottoressa Galloni?"
Sofia merasa wajahnya memerah. Sekali lagi D'Alaqua mencetak angka telak.
"Bosku adalah teman John Barry, dan aku... aku..."
"Dan kau meninggalkan kantorku dengan tangan kosong, jadi kau dan dia memutuskan
untuk mengatur kebetulan ini, wah kebetulan, bertemu di sini seperti ini!
Terlalu gamblang, Dottoressa Galloni."
Wajah Sofia merah padam. Dia tidak siap untuk duel ini, untuk keterus terangan
pria ini, yang begitu yakin akan keunggulan dirinya dan yang menatapnya dengan
geli. "Bertemu denganmu itu tidak mudah."
"Tidak, memang tidak. Nah, sekarang karena kita disini, silakan, bertanyalah
sesukamu." "Sudah kukatakan padamu: Kami curiga bahwa yang diduga kecelakaan di katedral
itu bukan kecelakaan dan bahwa hanya beberapa orang yang bekerja untukmu yang
bisa menyalakan api itu, tetapi untuk apa?"
"Kau tahu aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Tetapi kau tentu punya
teori, jadi katakan pada kubagaimana teorimu dan nanti kulihat apakah aku bisa
membantumu." Di ujung lain teras itu Marco memerhatikan mereka dengan terheran-heran, begitu
pula suami istri Barry. Akhirnya John tidak sanggup lagi menahan kejengkelan
mengenai situasi ini dan menyuruh Lisa membebaskan D'Alaqua.
"Sofia, maafkan aku, tetapi Umberto punya banyak sekali teman di sini yang ingin
berbicara dengannya, dan kau memonopoli dia, Sayang.
James sedang mencarimu, Umberto."
Sofia merasa seperti orang tolol.
"Lisa, akulah yang memonopoli Dottoressa Galloni. Kau tentu mengizinkan kami
menyelesaikan pembicaraan kami, bukan" Sudah lama sekali aku tidak terlibat
dalam percakapan yang semenarik ini."
"Oh, tentu saja, aku... baiklah, kalau kau perlu sesuatu..."
"Ini malam yang hebat, pestamu indah, dan kau dan John adalah tuan rumah yang
sangat baik. Aku gembira sekali kau mengundangku untuk menikmati bersama-sama
Mary dan James. Terima kasih, Lisa."
Lisa kembali pada suaminya dengan langkah cepat dan membisikkan sesuatu di
telinga John. "Terima kasih," ujar Sofia.
"Sudahlah, Dottoressa Galloni, jangan meremehkan dirimu sendiri!"
"Aku tidak pernah begitu."
"Kurasa itulah yang tadi kaulakukan."
"Bodoh sekali kami datang ke sini."
"Harus kuakui, memang terlalu gamblang. Dan keresahan tuan rumah kita
membenarkan bahwa mereka sudah mengatur 'pertemuan'
kecil ini. Tapi aku akan kaget seandainya Mary dan James tahu."
"Mereka tidak tahu, atau tadinya tidak tahu. Aku yakin mereka heran mengapa Lisa
mengundang kami karena kami benar-benar salah tempat. Maafkan aku, ini
kesalahan." "Kau masih belum menjawab pertanyaanku."
"Pertanyaanmu?"
"Ya. Aku ingin tahu teorimu tentang kejahatan, atau dugaan kejahatan ini."
"Kami yakin bahwa seseorang menginginkan Kafan Suci, apakah untuk dicuri atau
dihancurkan, kami tidak tahu. Tetapi kami yakin kebakaran itu berhubungan dengan
Kafan Suci dan begitu pula semua lainnya yang disebut 'kecelakaan' di Katedral
Turin di masa lalu."
"Itu teori yang menarik. Sekarang katakan siapa yang kaucurigai, siapa yang
menurutmu ingin mencuri atau menghancurkan kafan itu, dan terutama mengapa."
"Itulah yang sekarang kami selidiki."
"Dan kau tidak punya petunjuk yang memperkuat kecurigaanmu, betul?"
"Ya." " Dottoressa Galloni, apa menurutmu aku ingin mencuri atau menghancurkan kafan
itu?" Kata-kata D'Alaqua diucapkan dengan sebersit nada mengejek yang memperparah
perasaan konyol dalam hati Sofia.
"Aku tidak akan mengatakan kami mencungaimu secara langsung, tetapi mungkin saja
salah seorang pegawaimu terlibat."
"Kepala bagian sumber daya manusia kami di COCSA, Signor Lazotti, aku sudah
memberi perintah tegas agar dia bekerja sama sepenuhnya denganmu. Apa itu sudah
dia lakukan?" "Ya, tidak ada yang kami keluhkan di sana. Signor Lazotti sangat efisien dan
sangat dermawan meluangkan waktu, dan dia sudah mengirimi kami laporan yang
panjang mengenai semua informasi yang kuminta."
"Kalau begitu izinkan aku mengajukan satu pertanyaan lagi, Dottoressa Galloni,
apa yang kau dan bosmu harapkan dari 'pertemuan kebetulan' denganku malam ini?"
Sofia menundukkan kepala dan menyesap sampanyenya. Dia tidak punya jawaban untuk


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan itu, setidaknya bukan jawaban yang logis. Kau tidak bisa menyampaikan
kepada pria seperti D'Alaqua alasan semacam "Marco punya firasat." Untuk kedua
kalinya, ia merasa sudah gagal dalam ujian yang halus ini.
Sofia mengangkat bahu sedikit dan tersenyum. "Kami pikir kami akan datang saja
dan melihat bagaimana seterusnya, Signor D'Alaqua."
"Bagaimana kalau kita makan sesuatu?" Terkejut oleh perubahan arah yang mendadak
ini, Sofia menatap D'Alaqua. Apa pendengarannya tidak salah" Tetapi saat itu
Umberto D'Alaqua dengan lembut memegang sikunya dan membimbingnya ke meja
hidangan yang panjang. James Stuart, ditemani Menteri Keuangan, berjalan santai
menghampiri mereka. "Umberto, aku dan Horacio sedang berdebat tentang bagaimana flu Asia akan
memengaruhi pasar-pasar Eropa tahun ini..."
Sofia mendengarkan ketika D'Alagua menguraikan secara garis besar penafsirannya
atas krisis ekonomi Asia, dan dia kagum pada penguasaan D'Alaqua atas masalah
itu. Tak lama kemudian Sofia mendapati dirinya terseret dalam perdebatan dengan
sang Menteri Keuangan dan menyanggah beberapa pendapat Stuart, sementara
D'Alaqua mendengarkan penuh minat. Ketika kelompok kecil mereka pecah, Sofia dan
D'Alaqua mencari tempat duduk di sebuah meja bersama tamu-tamu lain, dan
D'Alaqua terus bersikap penuh perhatian dan menawan. Sofia bisa melihat bahwa
pria itu santai dan bersenang hati, dan ia merasa dirinya pun mulai tenang.
"Temanmu itu menyenangkan." Suara ceria Mary Stuart membawa Marco kembali ke
dunia nyata selagi ia mengamati rekannya yang memesona di seberang teras. Atau
barangkah colekan diam-diam Paola di rusuknya"
"Ya, memang," jawab Paola. "Pandai, cakap, danmenawan."
"Dan cantik," tambah Mary. "Aku tidak pernah melihat Umberto begitu tertarik
pada seorang perempuan. Sofia Galloni pastilah luar biasa jika Umberto sampai
begitu terpesona olehnya. Umberto kelihatan begitu gembira, begitu rileks
bersamanya." "D'Alaqua masih lajang, bukan?" tanya Paola.
"Ya, tetapi kami tidak pernah mengerti kenapa. Dia punya semuanya, kepandaian,
tampang, pendidikan, budaya, uang, dan, di samping itu, dia orang yang sangat
baik. Aku tidak mengerti kenapa kau tidak lebih sering berkumpul dengan dia,
John, dan kau juga, Lisa."
"Mary, Sayang, kami ini tidak bergerak dalam lingkungan pergaulannya Umberto.
Lingkunganmu juga tidak, meski kau kakak kesayanganku."
"Oh, Lisa, jangan konyol begitu."
"Aku tidak konyol, Sayang. Dalam kehidupan kusehari-hari, aku tidak berpapasan
dengan para menteri atau bankir atau pengusaha multinasional. Aku tidak punya
alasan untuk itu. Begitu pula John."
"Yah, seharusnya kau lebih sering berkumpul dengan Umberto. Dia sangat menyukai
arkeologi. Dia sudah membiayai beberapa penggalian, dan aku yakin kalian berdua
punya banyak kesamaan," Mary mengotot.
Waktu sudah hampir pukul satu ketika Paola mengingatkan Marco bahwa dia harus
bangun pagi esok harinya. Kelas pertamanya dimulai pukul delapan. Marco
memintanya memberitahu Sofia bahwa mereka harus pergi.
"Sofia, kita akan pulang," kata Paola sambil membungkuk di dekat kursi sang
Dottoressa. "Kau mau kami antar?"
"Aku akan sangat berterima kasih, Paola."
D'Alaqua bangkit ketika Sofia berdiri, mencium tangannya tanda selamat berpisah,
dan segera memberikan penghormatan yang sama kepada Paola. Pria itu tersenyum
tetapi matanya berubah jauh lagi.
Beberapakali, selagi mereka berbincang, Sofia merasa melihat sesuatu yang lain
dalam mata itu. Tetapi sekarang dia membaca dengan jelas pesan pria itu.
Sementara Lisa dan John mengiringi mereka ke pintu, Sofia memandang sekilas
untuk terakhir kalinya ke teras. Umberto D'Alaqua sedang berbicara dengan penuh
semangat dengan sekelompok tamu.
Mereka belum benar-benar di dalam mobil ketika rasa penasaran Marco
menguasainya. "Nah, ceritakan, Dottoressa, ceritakan padaku apa yang dikatakan pria hebat
itu." "Tidak ada." "Tidak ada?" "Baiklah, Marco, dia memang mengatakan bahwa kelihatan sekali kita datang ke
pesta itu untuk menemui dia. Dia membuatku merasa seperti orang yang benar-benar
tolol, yang tertangkap basah sedang berbohong. Dan dia bertanya tanpa tedeng
aling-aling dengan sarkasme menetes-netes, tentu saja apakah kita mengira dialah
orangnya yang mengincar kafan itu."
"Cuma itu?" "Sepanjang sisa malam tadi kami membicarakan flu Asia, harga minyak, seni, dan
sastra." "Nah, kalian berdua memang sepertinya cocok sekali,"ujar Paola.
"Kurasa ya, dalam hal tertentu, tetapi cuma itu."
"Dia mungkin tidak berpikir begitu," Paola berkeras.
"Kalian berencana akan lebih sering bertemu?" tanya Marco.
"Tidak, kurasa itu tidak akan terjadi. Dia menawan, seperti yang kukatakan,
tetapi cuma itu." "Dan itu menyakitkan."
"Kurasa jika aku harus benar-benar jujur tentang perasaanku, aku akan mengaku
memang menyakitkan, tetapi aku sudah dewasa. Aku bisa mengatasi perasaanitu."
"Yang berarti memang menyakitkan," kata Marco sambil meringis.
"Kalian bisa jadi pasangan yang serasi." Paola pantang menyerah.
"Baik sekali kau berkata begitu, Paola, tapi aku tidak mau menipu diriku
sendiri. Pria seperti Umberto D'Alagua tidak tertarik pada perempuan seperti
aku. Kami tidak punya kesamaan apa-apa."
"Kalian punya banyak kesamaan," Marco berkukuh.
"Mary memberitahu kami D'Alaqua mencintai seni dan arkeologi, bahkan membiayai
ekskavasi, kadang D'Alaqua sendiri pergi menggali.
Dan kau, seandainya kau belum tahu, juga pandai, berpendidikan, berbudaya, dan
sangat cantik, betul, Paola?"
"Tentu saja. Mary bahkan mengatakan bahwa dia tidak pernah melihat D'Alaqua
setertarik itu pada seorang perempuan seperti padamu malam ini."
"Baiklah, kalian berdua, jangan bicarakan itu lagi. Intinya adalah bahwa dia
mengatakan kepadaku dengan kata-kata yang jelas sekali bahwa kita sudah merusak
pesta itu. Kita berharap saja dia tidak mengajukan protes pada menteri atau
presiden tertentu di suatu tempat."
Hujan turun tak putus-putus tetapi api yang meretih menambah kemewahan maskulin
yang nyaman dalam ruangan itu, sebuah perpustakaan. Beberapa lukisan karya
seniman-seniman terkemuka Belanda menunjukkan selera kalem sang pemilik. Di
sofa-sofa kulit yang mewah, enam pria sedang bercakap-cakap serius.
Mereka berdiri ketika pintu membuka dan ketua mereka yang sudah lanjut usia
masuk. Seorang demi seorang melangkah maju untuk memeluknya. Ia memberi isyarat
agar mereka kembali duduk. "Maaf aku terlambat, tetapi sulit pergi ke manapun di
London pada jam-jam seperti sekarang. Aku tidak bisa keluar dari permainan
brudge dengan sang duke dan teman-temannya dan saudara-saudara kita."
Suara denting lembut di pintu mengumumkan kedatangan kepala pelayan, yang masuk
untuk mengangkat peralatan minum teh dan menawari pria-pria itu minuman. Ketika
tinggal mereka bertujuh lagi, laki-laki tua itu yang pertama berbicara.
"Baiklah, kalau begitu, mari kita ulas lagi."
"Addaio menahan Zafarin, Rasit, dan Dermisat di kediamannya di luar Urfa.
Hukuman yang ia kenakan pada mereka akan berlangsung empat puluh hari, tetapi
kontakku meyakinkanku bahwa Addaio tidak akan melepas begitu saja, bahwa dia
sedang menyiapkan sesuatu yang lebih jauh lagi untuk mereka. Sedangkan mengenai
pengiriman tim baru, dia belum memutuskan, tetapi cepat atau lambat dia pasti
mengirim satu tim. Dia mengkhawatirkan Mendib, tahanan di penjara Turin itu.
Rupanya dia bermimpi, mimpi yang tidak bisa dia lupakan, bahwa Mendib akan
membawa kehancuran pada komunitasnya. Sejak itu dia hampir tidak makan dan tidak
seperti dirinya dulu. Kontakku mengkhawatirkan kesehatannya dan tindakanapa yang
mungkin dia putuskan."
Pria yang berbicara itu berusia separuh baya, dengan janggut tebal dan kulit
coklat tua. Pakaiannya rapi, punggungnya tegak, dan dia berbicara dengan aksen
kalangan atas yang sempurna. Pembawaannya seperti seorang pensiunan perwira
militer yang terbiasa dengan disiplin dan perintah.
Si pria tua memberi isyarat kepada seorang lagi untuk berbicara.
"Divisi Kejahatan Seni tahu banyak, tetapi tidak tahu apa yang mereka ketahui."
Mereka semua menatapnya dengan kekhawatiran dan keingin tahuan selagi ia
melanjutkan. "Mereka sedang mengejar teori bahwa semua 'kecelakaan' yang terjadi di Katedral
Turin selama tahun-tahun ini sama sekali bukan kecelakaan." Ia berhenti sejenak
dan memandang berkeliling pada rekan-rekannya. "Mereka yakin peristiwa-peristiwa
itu berkaitan dengan Kafan Suci, bahwa seseorang ingin mencuri atau
menghancurkan kain tu. Tetapi mereka belum mengetahui motifnya. Dan mereka masih
menyelidiki COCSA karena menduga akan menemukan mata rantai mereka di sana.
Seperti yang kulaporkan sebelumnya, operasi kuda Troya mereka sudah berjalan,
dan Mendib akan dibebaskan dari penjara Turin beberapa bulan lagi."
"Sudah tiba waktunya untuk bergerak," ujar si pria tua, suatu aksen halus muncul
dan menunjukkan bahwa bahasa Inggris bukanlah bahasa ibunya.
"Mendib harus diurus," lanjutnya. "Sedangkan mengenai Divisi Kejahatan Seni,
sekarang waktunya menekan teman-teman kita untuk menghentikan si Valoni ini. Dia
dan orang-orangnya mulai bergerak ke arah yang berbahaya."
"Addaio mungkin sudah mencapai kesimpulan yang sama, bahwa demi keselamatan
komunitasnya, Mendib harus dihabisi," ujar si pria militer. "Mungkin sebaiknya
kitamenunggu untuk melihat apa keputusan Addaio sebelum kita sendiri melakukan
sesuatu. Aku lebih suka nurani kita tidak terganggu oleh kematian Mendib
seandainya itu bisa kita hindari."
"Tidak ada alasan Mendib harus mati. Yang harus kita lakukan hanyalah memastikan
dia sampai ke Urfa," timpal salah seorang pria lain.
"Itu riskan," sahut yang lain. "Begitu dia di jalan, Divisi Kejahatan Seni akan
menugaskan seseorang untuk membuntutinya. Mereka bukan amatiran; mereka akan
melakukan operasi kelas satu, dan kita mungkin akan tersudut pada posisi bahwa
untuk menyelamatkan nyawanya kita harus mengorbankan banyak nyawa lain yang kita
bicarakan adalah polisi dan carabinieri. Sepertinya episode terakhir ini akan
memberati nurani kita seperti apa pun cara dimainkannya."
"Ah, ya. Nurani kita!" teriak si pria tua. "Sudah terlalu sering kita
mengesampingkan nurani kita, mengatakankepada diri kita sendiri bahwa tidak ada
jalan lain. Sejarah kita selalu melibatkan kematian. Begitu pula pengorbanan,
keyakinan, pengampunan. Kita ini manusia, hanya manusia, dan kita bertindak
sesuai dengan apa yang menurut kita paling baik. Kita melakukan kesalahan, kita
melakukan dosa, kita bertindak benar. Semoga Tuhan mengampuni kita semua."
Sejenak tak seorang pun berbicara. Pria-pria lain merendahkan tatapan mereka,
kesedihan membayangi wajah mereka. Akhirnya, ketua mereka mengangkat mata dan
duduk tegak di kursinya. "Baiklah, kalau begitu, akan kukatakan apa yang aku
yakin harus kita lakukan, dan setelah itu aku ingin mendengar pendapat kalian."
Hari sudah malam ketika pertemuan itu berakhir. Hujan masih juga turun di
seluruh penjuru kota. 23 542-544 Masehi "Eulalius, ada seorang pemuda meminta berbicara denganmu. Dia datang dari
Alexandria." Sang uskup menyelesaikan doanya dan bangkit dengan susah payah, dibantu oleh
pastor yang tadi menyelanya.
"Katakan, Ephron, mengapa pendatang dan Alexandria ini begitu penting sampai kau
mengganggu doaku?" Si pastor sudah memperkirakan pertanyaan itu, meski Eulalius tahu persis bahwa
Ephron hanya akan memanggilnya untuk masalah yang penting.
"Dia pemuda yang aneh. Kakakku yang mengutusnya."
"Abib" Dan berita apa yang dibawa pemuda aneh ini?"
"Aku tidak tahu. Dia berkata hanya akan berbicara denganmu. Dia letih sekali;
berminggu-minggu dia dijalan, melakukan perjalanan ke sini."
Eulalius dan Ephron meninggalkan gereja kecil dan menuju sebuah rumah di dekat
gereja. Di sana sang uskup menyapa pemuda berkulit gelap itu, yang kelelahannya
jelas terlihat di mata dan bibirnya yang kering.
"Aku datang untuk berbicara dengan Eulalius, uskup Edessa," ujar sang pengelana
sambil meneguk air yang ditawarkan Ephron padanya.
"Aku Eulalius. Siapa kau ini?"
"Puji Tuhan! Eulalius, aku akan menceritakan kepadamu sesuatu yang sangat luar
biasa, yang akan memenuhi hatimu dengan ketakjuban.
Apakah kita tidak bisa bicara berdua saja?"
Ephron menatap Eulalius, yang mengangguk. Sang pastor memohon diri, meninggalkan
mereka berdua saja. "Kau masih belum mengatakan siapa namamu," ujar uskup itu sambil menoleh kembali
pada orang yang mengunjunginya.
"John. Namaku John."
"Kalau begitu, silakan duduk, John, dan beristirahatlah sementara kau
menceritakan kepadaku hal yang luar biasa ini."
"Memang luar biasa, Tuan. Dan kau akan sukar memercayaiku, tetapi aku percaya
pada pertolongan Tuhan bahwa aku akan dapat meyakinkanmu dengan kisah yang
kubawa ini." "Nah, ceritakan saja."
"Kisahnya panjang. Sudah kusampaikan kepadamu bahwa namaku John, begitu pula
nama ayahku, dan ayahanda ayahku, juga kakeknya dan kakek buyutnya. Aku pernah
menelusuri garis keluargaku hingga ke tahun lima puluh tujuh zaman kita ini,
ketika Timaeus, pemimpin komunitas Kristen pertama, tinggal di Sidon, yang
sekarang Alexandria. Timaeus berteman dengan dua orang murid Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tadeus
dan Josar, yang tinggal di sini di Edessa. Cucu Timaeus bernama John."
Eulalius mendengarkan dengan seksama, menunggu pemuda itu tiba pada inti
kisahnya. "Kau harus tahu bahwa di kota ini dulu ada komunitas Kristen di bawah
perlindungan Raja Abgar. Setelah Abaar wafat, Maanu, putra sang raja, mewarisi
tahta dan menganiaya orang-orang Kristen kota Edessa. Ia merampas semua barang
dan harta milik mereka dan membuat banyak dan mereka merasakan sakitnya siksaan
karena terus berpegang pada iman pada Yesus."
"Aku sudah tahu sejarah kota ini," kata Eulalius tidak sabar.
"Kalau begitu kautahu bahwa Abgar, yang terjangkit lepra, disembuhkan oleh
Yesus. Josar membawa ke Edessa kain kafan yang dipakai membungkus jenazah Tuhan
kita sewaktu dikuburkan. Saat kain itu diletakkan pada kulit raja yang sakit
itu, terjadilah keajaiban. Pada kafan itu sendiri ada sesuatu yang luar biasa:
citra Tuhan kita serta tanda-tanda siksaan yang dideritanya. Sewaktu Abgar masih
hidup, kain itu menjadi objek pemujaan dikota, karena di kain itu terlihat wajah
Kristus." "Katakan padaku, Anak muda, mengapa Abib mengutusmu?"
"Maafkan aku, Eulalius, aku tahu aku menguji kesabaranmu, tetapi aku mohon
kepadamu dengarkan duluaku. Aku sendiri yang memutuskan untuk datang padamu dan
hanya meminta Abib untuk mendukungku.
Ketika Abgar merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menugasi teman-temannya,
Tadeus dan Josar serta arsitek kerajaan Marcius, untuk melindungi kafan itu di
atas semua yang lain. Marcius diberi tugas menyembunyikan kain itu, dan bahkan
Tadeus dan Josar, kedua murid Yesus, tidak tahu di mana tempat persembunyian
itu. Marcius memotong lidahnya sendiri agar apa pun siksaan yang ditimpakan
Maanu padanya, dia tidak akan pernah mengatakan. Dan memang siksaanlah yang ia
terima, Eulalius, seperti yanq tentu kautahu, karena siksaan itu adalah siksaan
yang sama seperti yang harus ditanggung sebagian besar orang Kristen terkemuka
di Edessa. Tetapi ada satu orang yang memang tahu di mana Marcius menyembunyikan
kafan dengan citra Yesus itu."
Mata Eulalius berbinar kaget, dan terasa gigilan menyusuri tulang punggungnya.
Ia pernah mendengar dongeng tentang kain kafan yang ajaib ini, yang sudah begitu
lama menghilang. Kisah yang diuraikan John memang seperti fantasi, tetapi John
tidak kelihatan seperti orang gila.
"Marcius memberitahu Izaz, keponakan Josar, di mana ia menyembunyikan kafan
Yesus. Izaz melarikan diri dari kota sebelum Maanu sempat memerintahkan ia
dibunuh, dan ia mencapai Sidon, tempat Timaeus dan cucunya, John, tinggal.
Mereka adalah leluhurku."
"Izaz lari membawa kafan itu?"
"Tidak, dia lari membawa rahasia tempat persembunyian kain itu.
Timaeus dan Izaz bersumpah bahwa mereka akan mematuhi perintah terakhir Abgar
dan kedua murid Yesus: Kafan Yesus tidak akan pernah meninggalkan Edessa. Kain
itu milik kota Edessa, tetapi harus tetap disembunyikan sampai mereka yakin
bahwa kain itu aman dari bahaya apa pun. Mereka bersepakat bahwa jika sebelum
mereka meninggal orang-orang Kristen Edessa masih dianiaya, mereka akan


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memercayakan rahasia itu pada seorang lagi, dan bahwa orang itu pada gilirannya
disumpah untuk tidak mengungkapkan rahasia ini kecuali jika ia yakin bahwa kain
itu aman dari bahaya, dan begitu seterusnya sampai umat Kristen bisa hidup di
kota itu dengan damai. Sebelum meninggal, Izaz menyampaikan rahasia itu pada
John, cucu Timaeus, dan rahasia itu diturunkan dari John yang satu ke John
berikutnya. Dari generasi ke generasi, satu orang dari keluargaku menjadi
penjaga rahasia kafan yang membalut jenazah Yesus saat dikuburkan."
"Tuhan Maha besar! Apa kau yakin" Ini bukan dongeng" Jika ini hanya dongeng, kau
pantas menerima hukuman berat, Anak Muda, karena tidak seorang pun boleh
menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan. Katakan padaku, mana kafan itu"
Apakah ada padamu?"John, yang sangat letih, kelihatannya bahkan tidak mendengar
Eulalius, dan dengan keras kepala melanjutkan kisahnya.
"Beberapa hari yang lalu, ayahku meninggal. Di ranjang tempatnya menanti ajal,
ia menceritakan kepadaku rahasia kafan suci itu. Beliaulah yang menyampaikan
kepadaku kisah tentang Tadeus dan Josar, dan beliau juga menceritakan bahwa
Izaz, sebelum meninggal, menggambar peta Edessa agar John yang pertama bisa tahu
ke mana harus mencari. Aku membawa peta itu dan peta itu menunjukkan tempat sang arsitek kerajaan,
Marcius, menyembunyikan kafan Tuhan kita Yesus."
Pemuda itu terdiam. Matanya yang merah menunjukkan beratnya beban yang
ditanggung tubuh dan jiwanya sejak ia mengetahui rahasia itu. "Katakan padaku,
mengapa baru sekarang keluargamu ingin mengungkapkan rahasia tempat
persembunyian itu?" "Ayahku mengatakan bahwa ia menyimpan rahasia itu sedemikian lama karena takut
kafan Yesus jatuh ketangan yang salah dan dihancurkan. Tak seorang pun leluhurku
berani mengungkapkan apa yang mereka ketahui; semua mewariskan tanggung jawab
itu kepada penerusnya."
Mata John berkilau oleh air rnata. Ia lemah oleh beratnya perjalanannya serta
peristiwa-peristiwa pilu yang sudah mengubah hidupnya dalam minggu-minggu
terakhir ini. Duka karena kematian ayahnya menggerogoti bagian dalam tubuhnya,
dan ia menderita menjadi satu-satunya pemegang rahasia yang bisa mengguncang
dunia Kristen hingga ke dasar-dasarnya.
"Kau membawa peta itu?" Eulalius bertanya.
"Ya," jawab si pemuda.
"Berikan padaku," perintah sang uskup tua.
"Tidak, aku tidak bisa. Aku harus pergi bersamamu ketempat kafan itu
disembunyikan, dan kita tidak boleh memberitahu siapa pun rahasia ini."
"Tetapi, Anakku, apa yang kau takutkan?"
"Kafan itu dapat menciptakan keajaiban, Tuan, tetapi sudah banyak pemeluk
Kristen yang mati dalam pertikaian untuk merebut kain itu. Kita harus yakin
bahwa kain itu akan aman dari bahaya apa pun, dan aku takut aku tiba di Edessa
pada saat yang tidak tepat. Karavanku berpapasan dengan pengelana yang
memberitahu kami bahwa kota ini mungkin akan segera dikepung lagi. Selama
bergenerasi-generasi para lelaki dalam keluargaku menjadi penjaga kafan Kristus
secara diam-diam; aku tidak boleh menjadi orang yang melakukan kesalaha nbesar
dan sekarang menempatkan kain itu dalam bahaya."
Sang uskup mengangguk. Pemuda yang kebingungan itu jelas perlu beristirahat dan
berdoa. Ia akan memohon kepada Tuhan agar memberinya petunjuk mengenai tindakan
yang harus dilakukan. "Anakku, jika yang kaukatakan ini benar dan kafan Tuhan kita ada di suatu tempat
di kota ini, aku tidak ingin menjadi orang yang menempatkan kain itu dalam
bahaya. Sebaiknya kau beristirahat di rumahku, dan bila kau sudah pulih dari
perjalananmu, kita akan bicara dan kita berdua akan memutuskan tindakan yang
terbaik." "Kau tidak akan memberitahu siapa pun semua yang sudah kuceritakan?"
"Tak seorang pun, Anakku, aku berjanji."
Sikap kukuh Eulalius serta ketegasan jawabannya menenangkan John. Pemuda itu
berdoa kepada Tuhan semoga yang ia lakukan bukanlah kesalahan. Ketika ayahnya
yang sekarat menyampaikan kisah itu, ayahnya memperingatkan bahwa nasib kafan
yang membawa citra Yesus itu ada di tangannya, dan ayahnya memintanya bersumpah
bahwa ia tidak akan mengungkapkan rahasiaitu kecuali jika ia yakin sudah tiba
waktunya bagi umat Kristen untuk sekali lagi memiliki kafan itu.
Tetapi ia, John, merasakan desakan yang amat kuat untuk melakukan perjalanan ke
Edessa. Di Alexandria ia diberitahu mengenai Eulalius, mengenai kebaikan uskup
itu, dan ia yakin bahwa sudah tiba saatnya untuk mengembalikan pada umat Kristen
apa yang sudah keluarganya, penjaga-penjaga rahasia yang luar biasa ini,
lindungi bagi mereka. Tetapi mungkin saja dia sudah bertindak terlalu cepat, begitu pikirnya sekarang,
terserang keraguan. Mengambil kembali kafan itu di saat Edessa di ambang perang
baru adalah langkah yang nekat. John takut ia sudah salah menilai.
John adalah seorang tabib, seperti juga ayahnya. Sang ayah sudah menurunkan
semua ilmunya pada sang putra, yang juga menuntut ilmu dan guru-guru terbaik di
kota itu. Orang-orang terkemuka di Alexandria datang ke rumah John untuk menimba
ilmu dan keahliannya. Hidupnya bahagia sampai kematian ayahnya, yang ia cintai dan hormati melebihi
semua orang, bahkan istrinya sendiri yang manis dan gemulai, Myriam, yang
berparas cantik dan bermata hitam dalam.
Eulalius menemani John ke sebuah kamar yang kecil. Di dalam kamar itu ada sebuah
tempat tidur dan sebuah meja dari kayu kasar.
"Aku akan mengirim sesuatu untuk dimakan dan air lagi, agar kau bisa menyegarkan
diri setelah perjalananmu. Beristirahatlah selama kau ingin."
Kemudian sang uskup tua, tenggelam dalam pikirannya, berjalan kembali ke gereja.
Di sana, sambil berlutut di depan salib, ia menyembunyikan wajahnya di antara
kedua tangan dan memohon kepada Tuhan agar menunjukkan apa yang harus ia
perbuat, seandainya kisah si pengelana muda itu benar.
Di salah satu sudut, terselimut bayangan, Ephron mengawasi uskupnya dengan
cemas. Tidak pernah ia melihat Eulalius merasa terganggu atau tak berdaya oleh
tanggung jawab. Ia memutuskan akan mencari karavan yang akan pergi ke Alexandria
supaya ia bisa mengirim surat kepada kakaknya Abib dan meminta informasi tentang
pemuda yang aneh ini, yang tampaknya sudah meletakkan beban yang begitu berat
pada uskupnya. Cahaya pucat bulan menerangi kota ketika sang uskup berjalan pulang dari gereja.
Ia merasa letih; tadi ia berharap akan mendengar suara Tuhan tetapi yang ia
temukan hanya kesunyian. Baik pikirannya maupun hatinya tidak memberinya
petunjuk sekecil apa pun. Ia mendapati Ephron sedang menunggu di pintu, raut
wajah Ephron yang anggun bergurat kecemasan.
"Kau pasti lelah. Ini sudah larut," ujar sang uskup lirih kepada pastor itu.
"Aku menunggumu. Bisakah aku membantumu dalam hal apa saja?"
"Aku ingin kau mengutus seseorang ke Alexandria untuk meminta Abib memberitahu
kita lebih banyak lagi mengenai John."
"Aku sudah menulis surat untuk kakakku, tetapi surat itu akan sulit mencapainya.
Di tempat karavan mereka mengatakan kepadaku bahwa karavan terakhir sudah
berangkat dua hari yang lalu menuju Mesir dan bahwa dalam waktu dekat ini tidak
ada yang akan berangkat. Para pedagang dan saudagar itu cemas. Mereka menduga
perang dengan pasukan Persia tak terelakkan lagi, jadi sejumlah karavan
meninggalkan kota lebih cepat dari yang direncanakan. Eulalius, izinkan aku
bertanya apa yang sudah disampaikan pemuda itu hingga begitu mengganggu
pikiranmu." "Aku belum bisa mengatakan kepadamu. Aku berdoa kepada Tuhan semoga itu bisa
segera kulakukan karena dengan begitu hatiku akan tenang. Beban yang terbagi
akan lebih ringan bagi manusia, tetapi aku sudah berjanji pada John bahwa aku
akan menjaga rahasianya."
Sang pastor menatap ke bawah; ia merasakan sengatan rasa sakit.
Eulalius selama ini selalu memercayakan segala hal kepadanya; bersama-sama
mereka sudahberbagi kesukaran dan bahaya yang kadang melanda komunitas mereka.
Sang uskup, yang menyadari perasaan Ephron, tergoda untuk membuka rahasia yang
dibawa John, tetapi pada akhirnya dia tetap berdiam diri.
Kedua pria itu, masing-masing dengan bebannya sendiri, saling mengucapkan
selamat malam. "Kenapa kalian memusuhi bangsa Persia?"
"Kami bukan memusuhi mereka; merekalah yang, karena serakah ingin memiliki yang
bukan hak mereka, ingin menguasai kota kami."
John sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang kira-kira seumur dengannya
Pedang 3 Dimensi 6 Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau Pendekar Guntur 23
^