Pencarian

Misteri Kain Kafan Jesus 4

Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro Bagian 4


dan bekerja untuk Eulalius.
Kalman sedang mempersiapkan diri untuk menjadi pastor. Dia adalah cucu seorang
teman lama Eulalius, dan sang uskup sudah menjadi pengayomnya. Kalman menjadi
sumber informasi yang terbaik bagi John, karena Kalman menjelaskan detail-detail
keadaan politik kota itu, perubahan-perubahan yang dihadapi rakyatnya dalam masa
kelam ini, intrik-intrik dalam istana.
Ayah Kalman adalah penasihat raja, dan kakek Kalman dulu adalah pemegang arsip
kerajaan; Kalman sendiri pernah mempertimbangkan ide mengikuti jejak kakeknya,
tetapi dukungan Eulalius telah menetapkan jalannya, dan sekarang ia mendambakan
ingin menjadi seorang pastor, mungkin suatu hari kelak menjadi uskup.
Ephron menyelinap tanpa suara ke dalam kamar tempat John dan Kalman sedang
berbicara tanpa diketahui kedua pemuda itu. Selama beberapa saat ia mendengarkan
percakapan yang penuh semangat itu, tetapi kemudian, sambil batuk pelan, ia
menyadarkan mereka akan kehadirannya.
"Eulalius ingin berbicara denganmu," katanya kepada John. "Dia ada di ruang
kerjanya, menunggumu."
John berterima kasih kepada Ephron dan berjalan menuju ruangan sang uskup.
Ephron seorang pria yang baik, dan pastor yang penuh pengabdian, tetapi John
bisa merasakan ketidak percayaan Ephron dan tidak nyaman berada di dekatnya.
"Aku punya berita buruk, Anakku," tutur sang uskup ketika John sudah duduk.
Eulalius tampak lelah dan suaranya penuh kekhawatiran.
"Aku takut tidak lama lagi kita akan dikepung oleh pasukan Persia. Jika itu
terjadi, kau tidak akan bisa meninggalkan kota ini, dan nyawamu, seperti nyawa
kami semua, dalam bahaya besar. Kau sudah satu bulan di Edessa dan aku tahu kau
masih belum yakin apakah akan mengungkapkan kepadaku tempat kafan Tuhan kita
disembunyikan. Tetapi aku mengkhawatirkan nyawamu, John, dan aku mengkhawatirkan kain yang
membawa wajah Tuhan kita. Jika yang pernah kau sampaikan kepadaku itu benar, kau
harus menyelamatkan kain itu dan meninggalkan kota ini sesegera mungkin. Kita
tidak mungkin menanggung risiko kota ini dihancurkan dan wajah Yesus yang
sesungguhnya hilang selamanya."
Eulalius melihat kebimbangan melanda wajah John. Ia berharap tidak perlu
memerintahkan langkah yang sedrastis itu, tetapi ia tidak melihat pilihan lain
mengingat bahaya yang mereka hadapi. Sejak hari John tiba, sang uskup tidak lagi
tenang tidurnya karena sepanjang siang dan malam mencemaskan nasib kafan yang
dibicarakan pemuda itu. Kadang ia meragukan keberadaan benda itu, tetapi pada saat-saat lain mata jernih
John membuatnya percaya sepenuh hati.
John bangkit berdiri. "Tidak! Aku tidak boleh meninggalkan kota ini!
Aku tidak boleh membawa pergi kafan yang membalut jenazah Tuhan kita saat
dikuburkan! Kain itu harus tetap di Edessa!"
"Tenangkan dirimu, John; aku sudah memutuskan apa yang terbaik. Kau punya istri
di Alexandria; kau tida kboleh tetap di sini lebih lama lagi. Kita tidak tahu
akan bagaimana nasib kerajaan ini. Kau adalah penjaga sebuah rahasia yang sangat
penting, dan kau harus melanjutkan tugasmu itu. Aku tidak akan memintamu
mengatakan kepadaku di mana kafan Yesus, tetapi hanya bagaimana aku bisa
membantumu mengambil benda suci itu supaya bisa kau selamatkan."
"Eulalius, aku harus tetap di sini, aku tahu aku harus tetap di sini.
Aku tidak mungkin pergi sekarang, apalagi memaparkan kain itu pada bahaya selama
perjalanan. Ayahku sudah memintaku bersumpah untuk mematuhi perintah Abgar,
Josar, dan Tadeus sang rasul. Aku tidak boleh membawa pergi kafan itu dari
Edessa, karena aku sudah bersumpah."
"John, kau harus mematuhiku," uskup itu mengoreksinya.
"Aku tidak bisa; tidak boleh. Aku akan tinggal dan berserah diri pada kehendak
Tuhan." "Katakan padaku, apa kehendak Tuhan itu?"
John merasa suara murung dan lelah sang uskup seperti palu yang memukul-mukul
hatinya. Ia menatap Eulalius dan tiba-tiba ia mengerti betapa kedatangannya dan
kisahnya yang fantastis tentang kafan Yesus telah membuat orang tua itu teramat
masygul. Eulalius selama ini sabar dan murah hati terhadapnya, tetapi sekarang Eulalius
menyuruhnya meninggalkan Edessa. Keputusan uskup itu memaksa John menghadapi
kenyataan. Dia tahu bahwa ayahnya tidak berbohong kepadanya, tetapi bagaimana
jika ayahnya telah dibohongi"
Bagaimana jika pada saat tertentu selama rentang sekian abad sejak kelahiran
Tuhan kita, seseorang sudah merebut untuk dirinya sendiri atau menghancurkan
kafan itu" Bagaimana jika seluruh kisah ini hanya dongeng"
Sang uskup tua melihat badai emosi melintasi wajah John, dan ia merasakan rasa
kasihan yang mendalam karena penderitaan pemuda itu.
"Edessa sudah berhasil bertahan melalui beberapa kali kepungan, perang,
kelaparan, kebakaran, banjir... Edessa akan sanggup bertahan melawan pasukan
Persia, tetapi kau, Anakku, harus bertindak sesuai dengan arahan akal sehat, dan
demi kebaikanmu dan demi keamanan rahasia yang sudah dijaga keluargamu selama
sekian dasawarsa, kau harus menyelamatkan diri. Sekarang aturlah
keberangkatanmu, John, karena dalam tiga hari kau akan meninggalkan kota ini.
Sekelompok saudagar sudah memuat karavan; ini kesempatan terakhirmu untuk
menyelamatkan diri."
"Dan jika kukatakan kepadamu tempat kafan Yesus?"
"Aku akan membantumu menyelamatkan benda itu."
Pikiran John masih bergejolak ketika ia meninggalkan ruang kerja sang uskup, dan
matanya penuh air mata. Ia keluar ke jalan, kesejukan pagi belum lagi buyar oleh
matahari bulan Juni yang membakar, dan ia berjalan kesana ke mari tanpa tujuan.
Untuk pertama kalinya, ia sepenuhnya sadar bahwa warga Edessa sedang bersiap
untuk menghadapi pengepungan yang mereka tahu akan menimpa kota mereka.
Buruh-buruh bekerja tak kenal lelah memperkuat tembok-tembok dan para tentara
sibuk memantau seluruhkota, wajah mereka keras, alis mereka berkerut dalam.
Dikedai-kedai para pedagang hanya menjajakan sedikit barang dan di wajah semua
orang ia melihat rasa takut.
John tersadar betapa selama ini ia hanya memikirkan diri sendiri dan tidak
memerhatikan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya, dan untuk pertama kalinya
sejak ia tiba, ia merindukan Myriam, istrinya yang masih muda. Ia bahkan belum
menulis surat untuk mengabarkan bahwa ia baik-baik saja. Eulalius benar:
Pilihannya adalah entah dia meninggalkan Edessa secepatnya atau dia menghadapi
nasib yang sama seperti warga kota ini. Gigilan ketakutan dan kengerian melanda
tubuhnya karena ia merasa mungkin kematianlah yang menjadi takdirnya.
Ia tidak tahu berapa jam ia berjalan ke seluruh kota, tetapi ketika ia kembali
ke rumah Eulalius, tiba-tiba saja ia menyadari rasa haus yang sudah menyertainya
sepanjang hari dan rasa lapar yang menggerotinya.
Ia mendapati Eulalius bersama Ephron dan Kalman, sedang berbicara dengan dua
bangsawan yang diutus dari istana.
"Masuklah, John. Hannan dan Maruta membawa berita yang menyedihkan," ujar sang
uskup. "Pengepungan sudah dimulai. Edessa tidak akan menyerah pada pasukan
Persia. Hari ini, dua kereta tiba di gerbang kota. Yang ada di dalam kereta itu
adalah kepala sekelompok tentara yang pergi untuk mengukur kekuatan pasukan
pimpinan Khusro. Kita sekarang berperang."
Kedua bangsawan, Hannan dan Maruta, menatap pemuda Alexandria itu tanpa banyak
minat lalu mereka terus melaporkan keadaan kota kepada sang uskup. John, yang
bingung dan tertegun, mendengarkan orang-orang itu berbicara. Ia sadar bahwa
meski ia ingin, meninggalkan kota tidak akan mudah. Situasinya lebih buruk
daripada yang di duga Eulalius: Tidak akan ada karavan lagi. Tidak ada yang mau
menanggung risiko kehilangan nyawa dijalan.
John melalui hari-hari berikutnya seakan dalam mimpi buruk. Dari tembok-tembok
kota terlihat jelas tentara-tentara Persia mengelilingi api unggun. Serangan
kadang berlangsung sehari penuh.
Para lelaki tidak memperbolehkan keluarga mereka keluar dan tembok-tembok rumah
mereka, sementara pasukan tentara menghadapi serangan yang selalu datang. Masih
belum terjadi kekurangan bahan makanan dan air karena raja Edessa sudah menimbun
gandum dan daging asin, juga sudah membawa banyak ternak ke dalam kota agar
tentaranya bisa makan dan tetap kuat.
"Apa kau tidur, John?"
"Tidak, Kalman, rasanya sudah berhari-hari aku tidak tidur. Suara desing anak
panah dan suara gemuruh alat pelantak yang menghantam tembok terus menyusupi
kepalaku, dan aku tidak bisa tidur."
"Kabarnya tak lama lagi kota akan jatuh. Kita tidak dapat menahan lebih lama
lagi." Bulan-bulan sudah berlalu, hampir dua tahun, sementara Edessa tetap
melawan. "Aku tahu, Kalman, aku tahu. Aku lelah membaluti luka para tentara dan merawat
perempuan dan anak-anak yang mati di tanganku karena kejang atau terkena wabah.
Tanganku kapalan karena menggali lubang ditanah untuk mengubur jenazah mereka.
Pada akhirnya tentara Khusro tidak akan menunjukkan belas kasihan pada siapa
pun. Bagaimana keadaan Eulalius" Aku belum sempat menemuinya... Aku menyesal."
"Jangan, dia memang menginginkan kau menolong orang-orang yang paling
membutuhkan. Tubuhnya ringkih akibat puasa yang berkepanjangan ini dan rasa
nyeri yang mencengkeram tulang-tulangnya.
Perutnya membengkak, tetapi dia tidak pernah mengeluh."
John mendesah. Ia seperti tidak pernah beristirahat, lari dan satu tempat ke
tempat lain di tembok, mengobati luka parah para tentara yang tidak bisa lagi ia
beri pereda sakit karena ia sudah tidak punya tanam-tanaman untuk membuat olesan
atau ramuan. Siang dan malam perempuan-perempuan yang putus asa datang ke pintunya,
memintanya menyelamatkan anak-anak mereka, dan ia menitikkan air mata tak
berdaya karena tidak ada yang bisa ia perbuat untuk mereka. Mereka kelaparan dan
kelelahan, dan nyawa mereka lambat laun pergi.
Betapa hidupnya berubah sejak ia meninggalkan Alexandria. Saat terkantuk-kantuk
karena lelah, ia memimpikan aroma bersih lautan, tangan lembut Myriam, makanan
panas yang disiapkan pembantu tuanya untuk mereka, rumahnya yang dikelilingi
pohon-pohon jeruk. Selama bulan-bulan pertama pengepungan ia mengutuki nasibnya
dan menyalahkan diri sendiri karena datang ke Edessa untuk mengejar sebuah
mimpi, tetapi sekarang tidak lagi. Ia tidak punya tenaga untuk itu, dan mimpinya
tetap terpendam, mungkin tak akan terjangkau selamanya.
John menepis kantuknya dan bangkit berdiri. "Aku akan menemui Eulalius," katanya
kepada sang pastor. "Keadaannya pasti akan lebih baik setelah melihatmu."
Dengan ditemani Kalman ia berjalan ke kamar tempat sang uskup berbaring di
ranjang sambil berdoa. "Eulalius..." "Selamat datang, John. Duduklah di sini di sampingku."
Pedih hati sang tabib melihat perubahan penampilan uskup tua itu.
Laki-laki itu sudah menciut dan garis-garis tulangnya terlihat melalui kulitnya
yang nyaris transparan. Pucat wajahnya menandakan kematian.
John sangat tergugah melihat sang uskup yang sudah mendekati ajal. Ia, yang
datang ke Edessa dengan sikap mendekati angkuh, yang bangga karena akan
menunjukkan wajah Tuhan kepada dunia Kristen, tidak memiliki keberanian untuk
menuntaskan tugasnya. Ia jarang sekali memikirkan kafan itu selama bulan-bulan
pengepungan ini, dan kini, melihat kematian mendekat di wajah Eulalius, ia tahu
bahwa tidak lama lagi kematian akan mendatangi dirinya juga.
"Kalman, tolong tinggalkan aku berdua dengan Eulalius."
Dengan lemah sang uskup memberi isyarat kepada Kalman agar meninggalkan mereka.
Kalman cemas ketika meninggalkan kamar karena ia tahu kedua pria itu tidak
sehat. Pada diri John jelas terlihat bahwa kesedihan telah meninggalkan bekas-
bekasnya; pada diri Eulalius, raganyalah yang mulai menyerah.
John menatap mata Eulalius dan, sambil menggenggam tangannya, duduk di samping
sang uskup. "Maafkan aku, Eulalius, aku tidak melakukan apa pun selain keburukan sejak aku
datang ke sini, dan yang terburuk dan dosa-dosaku adalah tidak memercayakan
rahasiaku padamu. Aku telah berdosa karena berbangga diri tidak mengatakan
kepadamu rahasia tempat kafan itu disembunyikan. Sekarang akan kukatakan
kepadamu, dan kau akan memutuskan apa yang harus kita lakukan. Semoga Tuhan
mengampuniku jika yang akan kukatakan ini menunjukkan keraguan, tetapi jika pada
kain itu wajahTuhan kita benar-benar tercetak, maka Ia akan menyelamatkan kita,
sebagaimana Ia menyelamatkan Abgar dari kematian yang sudah di depan mata."
Dengan takjub Eulalius mendengarkan John membuka rahasia itu.
Selama lebih dari empat ratus tahun kain kafan Yesus tersimpan di balik batu-
batu bata di sebuah celah yang dibuat di dalam tembok di atas gerbang barat
kota. Itulah satu-satunya tempat yang selama ini mampu menahan gempuran tentara
Persia. Laki-laki tua itu berusaha duduk dan, sambil menangis, merangkul si orang
Alexandria. "Puji Tuhan! Aku merasakan kegembiraan yang sangat dalam hatiku. Sekarang juga
kau harus pergi ke tembok barat dan menyelamatkan kain itu. Ephron dan Kalman
akan membantumu, tetapi kau harus pergi sekarang. Aku merasa bahwa Yesus masih
mengasihi kita dan menghadirkan keajaiban."
"Eulalius, aku tidak mungkin muncul di hadapan tentara-tentara yang sedang
mempertaruhkan nyawa menjaga gerbang barat dan mengatakan bahwa aku mencari
sebuah celah yang tersembunyi di tembok. Mereka akan mengira aku gila, atau
bahwa aku menyembunyikan harta karun... Tidak, aku tidak bisa pergi ke sana."
"Kau harus pergi, John."
Sekonyong-konyong suara Eulalius kembali tegas dan kuat. Begitu tegasnya hingga
John tertunduk, tahu bahwa kali ini ia harus patuh.
"Kalau begitu, Eulalius, izinkan aku mengatakan bahwa kau yang mengutusku."
"Memang aku yang mengutusmu! Sebelum kau tiba, dalam mimpiku aku mendengar suara
ibunda Yesus mengatakan kepadaku bahwa Edessa akan diselamatkan. Dan itulah yang
akan terjadi, dengan perkenan Tuhan."
Di luar mereka bisa mendengar teriakan para tentara berbaur dengan tangisan
beberapa bayi yang masih hidup. Eulalius memanggil Kalman dan Ephron.
"Aku mendapat mimpi. Kalian harus pergi bersama John ke gerbang barat dan - "
"Tetapi, Eulalius," teriak Ephron, "para tentara tidak akan membolehkan kami
lewat." "Kalian tetap pergi, dan kalian akan mematuhi perintah John.
Edessa bisa diselamatkan."
Sang kapten, yang meradang, memerintahkan kedua pastor dan teman mereka
meninggalkan tempat itu. "Gerbang sudah hampir rubuh, dan kalian ingin kami pergi mencari sebuah celah
tersembunyi, kalian gila! Aku tidak peduli meski uskup yang mengutus kalian!
Pergi!" John melangkah maju dan memberitahu sang kapten bahwa dengan atau tanpa
bantuannya mereka akan memanjat tembok di atas gerbang barat dan menggali.
Anak-anak panah berjatuhan di sekeliling mereka, tetapi di depan tatapan kagum
para tentara, mereka tetap tak tersentuh. Dengan mengerahkan sisa tenaga
terakhir, tentara-tentara menggandakan upaya mereka mempertahankan bagian tembok
itu sementara ketiga laki-laki menggali dengan panik.
"Ada sesuatu di sini!" teriak Kalman.
Beberapa saat kemudian, John memegang sebuah keranjang yang sudah menghitam oleh
waktu. Ia membuka keranjang itu dan dengan lembut menyentuh kain yang terlipat.
Tanpa menunggu Kalman atau Ephron, ia merayap turun dan mulai berlari menuju
rumah Eulalius. Ayahnya telah mengatakan kebenaran: Ayahnya dan semua ayah sebelum ayahnya
adalah penjaga rahasia kain kafan yang dipakai Yosef dan Arimathea untuk
membalut jenazah Yesus. Sang uskup gemetar penuh emosi ketika John memasuki kamar.
Pemuda itu mengeluarkan kain kafan dari balik tuniknya dan membentangkan di
hadapan sang uskup, yang bangkit dari tempat tidur dan jatuh berlutut karena
terpukau melihat wajah seorang pria yang tercetak sempurna di kain itu.
24 Dikelilingi buku-buku, Sofia begitu terserap dalam bacaannya hingga tidak sadar
bahwa Marco sudah masuk keruangan kantor. Sudah berjam-jam Sofia di sana,
memanfaatkan keheningan pagi sebelum hari mereka resmi dimulai.
"Apa pun itu, pasti menakjubkan," ujar Marco, "karena kau bahkan tidak tahu aku
di sini." "Oh, maaf, Marco," jawab Sofia, agak terlompat.
"Sedang membaca apa?"
"Sejarah kafan Yesus."
"Tapi kau sudah hafal di luar kepala. Semua orang Italia tahu sejarah itu."
"Itu betul. Tapi aku ingin menggali sedikit lebih dalam. Mungkin ada sesuatu di
sini yang bisa memberi kita petunjuk."
"Sesuatu dalam sejarah kafan itu?"
"Sebut saja ini riset spekulatif. Tidak satu batu pun yang tidak diangkat."


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menarik. Sudah menemukan sesuatu?"
"Belum. Aku hanya membaca sambil berharap cahaya itu akan muncul." Sofia
tersenyum dan mengetuk dahi.
"Sudah sejauh mana?"
"Abad keenam, waktu seorang uskup di Edessa bernama Eulalius mendapat mimpi.
Dalam mimpi itu seorang perempuan mengungkapkan kepadanya di mana kafan itu
berada. Kau tahu bahwa selama itu Kafan Suci menghilang, tidak ada yang tahu di
mana keberadaannya. Sebenarnya, sama sekali tidak diketahui bahwa kain itu ada. Tetapi Evagrius-"
"Evagrius" Siapa itu Evagrius?" Minerva menjatuhkan bawaannya di sebuah meja dan
bergabung dengan mereka. "Evagrius Ponticus. Menurut Evagrius dalam bukunya Historia Ecclesiasticus, pada
544 Edessa dikepung oleh pasukan raja Persia, Khusro, tapi entah bagaimana kota
itu balik menyerang pasukan Persia dan menang, semua itu, diduga, berkat
Mandylion, yang diarak penduduk kota itu sepanjang tembok pertahanan dan-"
"Tapi siapa pula itu Evagrius dan apa pula itu Mandylion?" Minerva berkeras.
"Kalau kau membiarkanku menyelesaikan," kata Sofia dengan ketidaksabaran yang
hampir tidak disembunyikan, "kau mungkin akan tahu." "Maaf." Minerva mengangkat
tangan dan meringkuk. Marco tersenyum. "Sofia," jelasnya, "sedang meneliti sejarah Kafan Suci, dan
kami tadi sedang membicarakan kemunculan kain itu di Edessa pada 544 ketika kota
itu dikepung pasukan Persia. Rakyat Edessa sudah putus harapan, hampir menyerah
atau takluk. Tak peduli berapa banyak anak panah berujung api yang mereka
tembakkan ke arah pasukan Persia, alat-alat pengepungan itu tidak terbakar."
"Jadi apa yang terjadi?" tanya Minerva.
"Nah, menurut Evagrius," Sofia melanjutkan sambil mengangkat alisnya ke arah
Marco dan mengangguk penuh penghargaan, "Eulalius, uskup Edessa, bermimpi dan
dalam mimpi itu seorang perempuan mengungkapkan kepadanya tempat kafan itu
disembunyikan. Mereka pergi mencari kain itu dan mereka temukan di gerbang barat
kota, dalam sebuah celah yang dibuat di dalam tembok. Penemuan itu memulihkan
semangat kota dan kafanYesus diarak sepanjang tembok pertahanan di atas tembok
kota, sementara tentara yang bertahan terus menembakkan anak panah mereka ke
arah alat-alat pengepungan milik pasukan Persia.
Tetapi kali ini alat-alat itu benar terbakar dan tentara Persia akhirnya
meninggalkan pengepungan."
"Cerita yang bagus, tapi apa itu benar?" tanya Minerva.
"Coba pikir, Minerva. Ada banyak hal yang selama sekian periode oleh para ahli
sejarah dianggap legenda yang turun temurun tetapi akhirnya ternyata adalah
tuturan peristiwa yang benar terjadi. Contoh yang paling baik adalah Troy,
Mycenae, Knossos... kota-kota yang selama ratusan tahun diyakini milik dunia
mitos tetapi keberadaan historisnya akhirnya dibuktikan oleh Schliemaan, Evans,
dan arkeolog-arkeolog lain,"
jawab Sofia. "Tapi, apa pun kejadian lainnya, uskup itu pasti tahu kafan itu ada di sana,
bukan" Tak peduli seberapa inginnya kau percaya, kau tidak mungkin memercayai
urusan mimpi itu, bukan?"
"Yah, itulah kisah yang diturunkan pada kita," Marco menjawab,
"tapi kau mungkin benar. Eulalius pasti tahu tempat kafan itu disembunyikan,
atau mungkin dia yang menyimpan di sana supaya bisa dia keluarkan pada saat yang
tepat dan mengatakan telah terjadi keajaiban. Siapa yang tahu bagaimana kejadian
sebenarnya seribu lima ratus tahun yang lalu" Sedangkan pertanyaanmu tentang
Mandylion, Mandylion diduga sehelai kain kecil yang ditutupkan pada Kristus saat
kematiannya, yang memiliki citra wajahnya. Banyak orang menganggap Mandylion
adalah kafan itu, tetapi dilipat agar hanya memperlihatkan wajah, bukan seluruh
tubuh." Tepat saat itu Pietro, Giuseppe, dan Antonino masuk sambil panas memperdebatkan
sepak bola. Marco memanggil semuanya agar berkumpul untuk menyampaikan perkembangan terbaru
mengenai pembebasan si Bisu di Turin.
Pietro melirik Sofia. Selama ini keduanya sebisa mungkin saling menghindar, dan
meski mereka berusaha untuk mempertahankan hubungan profesional yang akrab,
mereka jelas tidak nyaman bersama-sama. Jelas kelihatan bahwa Pietro masih
mencintai Sofia dan bahwa Sofia mulai menjauhinya. Marco dan yang lainnya
berusaha sebisa-bisanya untuk memisahkan mereka.
"Baiklah," Marco memulai. "Dewan pembebasan bersyarat akan kembali ke penjara
Turin beberapa hari lagi. Sewaktu mereka tiba di sel si Bisu, kepala penjara,
pekerja sosial, dan psikolog penjara akan diminta memberikan penilaian terakhir
mengenai si Bisu. Ketiganya akan sepakat bahwa dia hanya pencuri kelas teri yang
tidak menimbulkan bahaya bagi dirinya sendiri ataupun masyarakat dan sudah
ditahan cukup lama."
"Terlalu gampang ditebak," Pietro memotong.
"Tidak, tidak akan terlihat seperti itu," jelas Marco.
"Mereka akan berpura-pura hanya sekedar melakukan formalitas. Si pekerja sosial
akan mengusulkan si Bisu dikirim ke penjara khusus, unit psikiatri, untuk
dievaluasi apakah dia mampu berdiri sendiri. Kita lihat apakah dia jadi gugup
dengan ide terkurung di rumah sakit psikiatri atau tetap tenang. Langkah
berikutnya adalah membisu. Kita biarkan dia merasa gerah beberapa lama dan
meminta para penjaga mengamati reaksinya. Jika semuanya berjalan baik, sebulan
kemudian dewan akan kembali ke penjara itu lagi, mengambil keputusan final, dan
dua minggu kemudian dia dibebaskan. Sofia, aku ingin kau pergi keTurin bersama
Giuseppe dan mulai membentuk tim disana. Beritahu aku apa saja yang akan kita
perlukan. "Dan jangan lupa makan malam nanti," Marco mengingatkan mereka setelah ia
selesai. Hari ini hari ulang tahunnya dan Paola mengadakan pesta kecil di
rumahmereka. "Jadi kau akan membebaskan orang itu. Riskan sekali." Marco dan Santiago Jimenez
menyesap soda Gampari yang baru saja dibawakan Paola sementara mereka berbicara.
"Ya, tapi hanya dia satu-satunya petunjuk yang kami punya. Entah dia membawa
kami ke suatu tempat atau kasus ini akan terbuka sepanjang sisa hidup kami."
Karena meja mereka tidak cukup besar untuk semua orang, Paola menyiapkan
hidangan secara prasmanan dan, dengan dibantu putri-putri mereka, sekarang
berkeliling mengisi kembali gelas dan piring dan mengurusi sekitar dua puluh
tamu. Selain anggota divisi Marco dan teman-teman lain, John dan Lisa Barry juga
datang. "Sofia dan Giuseppe akan mulai menyiapkan segala sesuatunya di Turin minggu
depan." "Adikku Ana juga akan pergi ke Turin. Aku harus memberitahu, sejak kau
mengundang kami makan malam, Ana terobsesi dengan kasus ini. Dia baru saja
mengirimiku e-mail panjang tentang sejarah kafan itu, di sanalah menurutnya
kunci kasus ini berada." Santiago terus berbicara meski Marco memperlihatkan
ekspresi kesal. "Bagaimanapun juga, aku memang ingin kautahu. Ana bersumpah tidak akan
menerbitkan satu kata pun dari pembicaraan kita, tetapi dia memutuskan untuk
menyelidiki sendiri, di Turin. Dia hebat, cerdas, tahan banting, dan ambisius,
seperti semua wartawan yang baik, kurasa, dan dia punya insting yang kuat.
Kuharap penyelidikannya tidak akan menyulitkanmu, tetapi kalau kau dengar ada
wartawan yang mengendus-ngendus di tempat yang tertutup baginya dan menimbulkan
masalah, beritahu aku. Maafkan aku, Marco, seperti inilah jadinya kalau
berhubungan dengan pers, meski itu keluarga sendiri."
"Boleh kulihat e-mail itu?" tanya Marco.
"E-mail Ana?" "Ya. Sofia juga sedang membaca sejarah kafan itu. Mereka punya jalan pemikiran
yang sama dan harus kuakui menurutku itu bukan ide jelek." "Oh, ya" Boleh saja,
nanti kukirim, tetapi semuanya sangat spekulatif. Aku tidak yakin ada yang bisa
kaugunakan." "Nantinya akan kuteruskan pada Sofia meski aku benar-benar tidak suka melibatkan
wartawan dalam kasu sini atau kasus lainnya. Cepat atau lambat mereka
akanmengacaukan semuanya, dan demi menjadi orang pertama yang menurunkan berita
tertentu mereka sanggup - "
"Tidak, tidak, Marco, aku tidak menutup-nutupi apapun darimu. Ana itu jujur, dan
dia adikku, dia mencintaiku, dia tidak akan melakukan apa pun yang akan
merugikanku. Dia tahu aku tidak boleh terlibat masalah dengan pihak-pihak
berwenang di sini, apalagi dengan seseorang yang kuperkenalkan kepadanya."
"Dia akan mengatakan kepadamu kalau dia menemukan sesuatu?"
"Ya. Dia ingin membuat kesepakatan denganmu, mengirimimu semua yang dia yakin
akan dia temukan, dan sebagai gantinya kau memberinya yang sudah kautahu. Tentu
saja aku sudah mengatakan kepadanya bahwa dia bermimpi kalau berpikir dia bisa
membuat kesepakatan denganmu atau siapa saja yang berkaitan denganmu, tetapi aku
kenal Ana, dan jika dia menemukan sesuatu, dia tentu harus menyediakan bukti
yang memperkuat halitu, jadi dia akan meneleponku dan memintaku menyampaikan
kepadamu-" "Jadi kami sudah punya seorang sukarelawan, seorang magang di Kejahatan Seni,
boleh dibilang begitu! Baiklah, Santiago, tidak masalah.
Akan kuberitahu Giuseppe dan Sofia agar membuka mata mewaspadai Ana bila mereka
sudah di Turin." "Untuk apa kami membuka mata?"
"Sofia!" Marco menoleh pada sang ahli sejarah ketika Sofia bergabung. "Santiago
menceritakan kepadaku tentang adiknya Ana, aku tidak tahu apakah kau pernah
bertemu dengannya... "
"Kurasa pernah, beberapa tahun yang lalu. Bukankah dia kau ajak ke pesta untuk
merayakan pensiunnya Turcio?" Sofia bertanya kepada Santiago.
"He-eh, kau benar. Waktu itu Ana sedang di Roma dan ikut denganku. Dia sering
menengokku, aku yang tertua, dan satu-satunya kakak lelaki. Ayah kami meninggal
sewaktu dia masih kecil, dan kami selalu sangat akrab."
Sofia mengangguk. "Aku ingat kami berbicara sebentar mengenai hubungan pers,
polisi. Menurutnya kadang-kadang keduanya bisa bersanding bersama demi
keuntungan tertentu, tetapi akan selalu berakhir di pengadilan perceraian. Aku
suka Ana, dia cerdas."
"Aku lega kau menyukainya, karena mungkin kau akan berpapasan dengannya di
Turin, sedang mengejar kisah tentang kain kafan kita,"
Marco memberitahu Sofia. Sofia mengangkat alis karena kaget dan Santiago cepat-cepat menjelaskan.
"Tapi kautahu apa yang baru saja dikatakan Santiago kepadaku, Sofia?" ujar Marco
ketika Santiago selesai. " Ana juga sedang mengorek-ngorek sejarah kafan itu.
Menurutnya di sanalah kita akan menemukan jawaban."
"Ya, sama seperti yang kupikirkan."
"Itulah yang kukatakan kepada Santiago. Dia akan meneruskan pada kita e-mail
yang Ana kirim tentang sejarah itu. Mungkin akhirnya Ana akan berlari-lari
membunyikan bel di sekeliling kita!"
"Jadi kenapa kita tidak bicara saja dengannya?" tanya Sofia.
"Untuk sekarang ini, biar kita berpegang pada tim kita sendiri,"
jawab Marco bijak. "Ini bukan pertama kalinya, dan kau tahu itu, polisi bekerja bersama-sama
wartawan dalam suatu kasus."
"Aku tahu, tapi aku tidak ingin menarik perhatian dan menjaga kisah ini hanya
dalam lingkungan yang bisa dikendalikan, selama kita bisa. Jika Ana menemukan
sesuatu yang bisa kita gunakan, baru kita pikirkan lagi."
25 Guner sudah selesai menyikat setelan hitam Addaio dan menggantung pakaian itu di
lemari pakaian di ruang ganti. Dalam perjalanannya kembali ke kamar tidur ia
merapikan kertas-kertas yang ditinggalkan Addaio di meja dan mengembalikan
beberapa buku ke rak. Addaio kemarin bekerja sampai larut. Bau harum tembakau Turki masih tercium di
kamar yang sederhana itu. Guner membuka jendela dan berdiri sejenak memandang ke
luar ke kebun. Ia tidak mendengar langkah kaki halus di belakangnya atau melihat
ekspresi resah di wajah tuannya.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Guner?" Guner berbalik, berusaha agar tidak
menampakkan perasaan apa pun dari balik wajahnya yang kaku.
"Tidak ada, sungguh. Ini hari yang indah sekali dan membuat orang merasa ingin
keluar." "Kenapa kau tidak melewatkan beberapa hari bersama keluargamu"
Kau bisa pergi begitu aku berangkat.?"Kau akan pergi?"
"Ya. Aku akan ke Jerman dan Italia, aku ingin mengunjungi orang-orang kita. Aku
harus tahu kenapa kita terus melakukan kesalahan dan di mana pengkhianatan itu
terjadi. Penyelidikanku di sini tidak membuahkan hasil." "Sebaiknya kau tidak
pergi, Addaio. Itu berbahaya."
"Aku tidak mungkin menyuruh mereka semua datang ke sini: itu baru berbahaya."
"Suruh mereka menemuimu di Istambul. Kota itu penuh wisatawan sepanjang tahun,
tidak akan ada yang memerhatikan mereka di sana."
"Tetapi tidak semua akan bisa datang. Lebih mudah bagiku jika aku yang pergi
menemui mereka daripada jika mereka yang datang menemuiku. Bagaimanapun juga,
aku sudah memutuskan. Aku akan berangkat besok."
"Apa yang akan kaukatakan pada orang-orang di sini?"
"Bahwa aku lelah dan akan berlibur sebentar, untuk mengunjungi teman-teman di
Jerman dan Italia.?"Berapa lama kau pergi?"
"Satu minggu, sepuluh hari, tidak lebih lama dari itu, jadi manfaatkan
kepergianku dan istirahatkan dirimu. Tentu baik bagimu jauh dariku sebentar.
Akhir-akhir ini kau kelihatan tegang, seperti marah kepadaku. Kenapa begitu?"
"Baiklah, Addaio, akan kukatakan yang sebenarnya. Mungkin kau mau memikirkan
selama kau pergi. Aku sudah menderita, jauh di dalam hatiku, karena masalah ini
selama berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun." Pelayan itu berhenti sejenak dan
menatap sang pastor, lalu menghela nafas dalam-dalam dan melanjutkan. "Aku
merasa sepertinya kita sudah mengkhianati semua yang seharusnya kita junjung
sesuai sumpah yang sudah kita ucapkan. Aku kasihan sekali pada pemuda-pemuda
yang kaukorbankan. Dunia ini sudah berubah, tetapi kau berkeras kepala bahwa
segala sesuatunya harus tetap sama. Kau tidak bisa terus mengandalkan mutilasi
yang kejam ini dan mengirim pemuda-pemuda untuk menjemput ajal, dan.."
Tuannya menghentikan sebelum ia bisa melanjutkan. "Kita berhasil bertahan hidup
selama dua ribu tahun karena pengorbanan dan kebisuan orang-orang sebelumkita,
pengorbanan yang membuat pengorbanan kita tampak tak ada apa-apanya. Ya, aku
memang menuntut pengorbanan yang besar, aku sendiri pun sudah mengorbankan
hidupku, hidup yang tidak pernah menjadi milikku, seperti juga hidupmu bukanlah
milikmu. Mati demi tujuan kita adalah suatu kehormatan; mengorbankan suara pun begitu.
Aku tidak memotong lidah mereka; merekalah yang dengan sukarela menawarkan
pengorbanan itu karena mereka tahu itu sangat penting bagi tujuan kita. Dengan
berbuat begitu, mereka melindungi kita semua dan melindungi diri mereka
sendiri." "Kenapa kita tidak memunculkan diri saja?"
"Apa kau gila, Guner" Apa kau benar-benar mengira bahwa kita akan selamat jika
kita mengungkapkan diri" Kautahu kekuatan orang-orang yang menentang kita dan
bahaya yang kita timbulkan bagi mereka.
Sejarah kita dan mereka saling terjalin dan mereka sudah menghabisi semua orang,
semua, sepanjang abad ini, yang mencoba mengikuti jalinan itu ke titik asalnya.
Kita sendiri hanya menemukan setengah kebenaran dan kebohongan, meski dengan
semua jerih payah kita. Kau ini kenapa, iblis apa yang merasuki pikiranmu?"
"Kadang aku berpikir bahwa iblis sudah menguasaimu. Kau jadi keras dan kejam.
Kau tidak merasa kasihan pada siapa pun, pada apa pun. Apakah itu demi memenuhi
sumpahmu, Addaio" Atau apakah itu seseorang yang sepanjang hidupmu kau hindari?"
Mereka berdiri membisu, saling menatap. Guner sadar bahwa ia sudah mengatakan
lebih dari yang seharusnya, dan Addaio terkejut sendiri bahwa ia menerima, tanpa
membalas sepatah kata pun, teguran Guner. Hidup mereka sudah saling terlilit dan
tidak bisa diurai lagi, dan mereka sama-sama tidak bahagia.
Sanggupkah Guner mengkhianatinya" Addaio menolak pikiran itu, tidak, tidak
sanggup. Ia memercayai Guner; sebenarnya, ia memercayakan hidupnya pada Guner.
"Kemas tasku untuk besok,"
akhirnya ia memerintahkan.
Tanpa menjawab, Guner berbalik dan menyibukkan diri dengan menutup jendela.
Rahangnya sakit karena terus menggertakkan gigi. Ia menarik nafas dalam ketika
mendengar suara lirih pintu yang menutup di belakang sang pastor.
Ia melihat secarik kertas di lantai, di samping tempat tidur Addaio, dan ia
membungkuk untuk memungut. Ternyata sepucuk surat yang ditulis dalam bahasa
Turki, tanpa tanda tangan. Orang yang menulis surat itu memberitahu Addaio bahwa
dewan pembebasan bersyarat di Turin sedang meneliti kemungkinan pembebasan
Mendib, dan meminta petunjuk, khususnya apa yang harus dilakukan jika Mendib
dibebaskan. Guner bertanya kepada dirinya sendiri mengapa Addaio tidak menyimpan surat
sepenting ini. Apakah Addaio ingin Guner menemukan surat ini" Apakah Addaio
sedang mengujinya, apakah Addaio menduga dialah si pengkhianat"
Sambil membawa surat itu ia melangkah ke kantor Addaio, mengetuk halus di pintu,


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menunggu pastor itu mengizinkannya masuk.
"Addaio, surat ini ada di lantai di sebelah tempat tidurmu," katanya tanpa
pendahuluan ketika ia menghadap tuannya lagi.
Sang pastor menatapnya tanpa perasaan dan mengulurkan tangan meminta surat itu.
"Surat itu sudah kubaca. Kukira kau sengaja menjatuhkan surat itu supaya
kutemukan dan kubaca, jebakan untuk melihat apakah akulah si pengkhianat. Bukan
aku. Aku sudah mengatakan pada diriku sendiri ribuan kali bahwa seharusnya aku
pergi saja; aku sudah berpikir ribuan kali untuk memberitahu dunia siapa kita
dan apa yang kita lakukan.
Tetapi itu belum, dan tidak akan, kulakukan, demi menGenarig ibuku, dan supaya
keluargaku bisa terus hidup dengan kepala tegak dan keponakan-keponakanku bisa
menikmati hidup yang lebih baik dan lebih bahagia daripada hidupku selama ini.
Demi merekalah, dan karena aku tidak tahu akan bagaimana nasibku nanti, aku
tidak mengungkapkan keberadaan kita. Aku ini hanya seorang laki-laki, seorang
laki-laki miskin, yang terlalu tua untuk memulai hidup baru. Aku ini pengecut,
seperti dirimu, kita berdua sudah jadi pengecut sewaktu kita menerima kehidupan
ini." Addaio menatap Guner tanpa berbicara, mencoba melihat dalam ekspresi pelayannya
itu pikiran tertentu, emosi tertentu, jejak dari sesuatu yang bisa mengatakan
kepadanya bahwa satu-satunya temannya ini masih menyimpan kasih sayang untuknya.
"Sekarang aku tahu kenapa kau berangkat besok,"lanjut pelayan kecil itu. "Kau
cemas, kau takut pada apayang mungkin menimpa Mendib.
Apakah ayahnya sudah kau beritahu?"
"Karena kau begitu yakin bahwa kau tidak akan pernah mengkhianatiku, kau akan
kuberitahu bahwa aku cemas karena mereka akan membebaskan Mendib. Kalau kau
sudah baca surat ini, maka kau tahu bahwa kontak kita di penjara melihat Kepala
Divisi Kejahatan Seni mengunjungi Mendib, dan menyampaikan pada kita bahwa jelas
terlihat kepala penjara sedang merencanakan sesuatu. Kita tidak boleh mengambil
risiko apa pun." "Apa yang akan kaulakukan?"
"Apa pun yang mungkin perlu dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup
komunitas kita." "Bahkan memerintahkan Mendib dibunuh?"
"Sebenarnya kau atau aku yang sampai pada kesimpulan itu?"
"Aku kenal kau, dan aku tahu apa yang sanggup kau lakukan."
"Guner, kaulah satu-satunya teman yang pernah kumiliki. Aku tidak pernah
menyembunyikan apa pun darimu; kautahu semua rahasia komunitas kita. Tetapi
sekarang aku sadar bahwa kau tidak menyimpan rasa kasih apa pun untukku, sedari
dulu pun tidak." "Kau salah, Addaio, kau salah. Kau selalu baik padaku, sejak hari pertama aku
tiba di rumahmu, ketika usiaku sepuluh tahun. Saat itu kau tahu betapa aku sedih
meninggalkan orang tuaku, dan kau melakukan semua yang bisa kaulakukan untuk
membantuku menemui mereka. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana kau
bersedia pergi ke rumah keluargaku bersamaku dan membiarkan aku melewatkan malam
di sana sementara kau berkelana menjelajahi pedesaan, sengaja berlama-lama agar
kehadiranmu tidak jadi beban bagi kami. Aku tidak akan pernah bisa menyalahkanmu
atas perilakumu terhadapku. Tetapi perilakumu terhadap dunia, terhadap komunitas
kita, kepedihan yang begitu parah yang kautimbulkan, itu yang tidak bisa
kusetujui." Guner meninggalkan kantor itu dan berjalan ke kapel. Di sana, sambil berlutut,
ia biarkan air mata membasahi pipinya selagi ia mencari pada salib yang terletak
di altar jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyiksanya.
26 944 Masehi Edessa berkobar dilahap api. Jeritan penduduknya membumbung mengalahkan suara
berdebam kayu-kayu yang terbakar dan suara pertempuran saat pasukan sang kaisar
mulai menelan kota. Mengapa Tuhan meninggalkan mereka"
Uskup tua itu terhuyung bangkit ketika komandan pasukan emir yang tinggi besar
memasuki kapel, wajahnya yang lelah oleh beban peperangan penuh garis-garis
penyesalan. Para pejuang Muslim kota itu bertempur dengan gagah berani atas nama
orang-orang Kristen, ratusan sudah tewas untuk mempertahankan bagi Edessa
Mandylion milik sang rasul Yesus, semoga Allah melindunginya.
Tetapi sekarang tidak ada pilihan lagi. Mandylion itu harus diserahkan. Tangisan
keras terdengar dan kerumunan umat Kristen yang memenuhi gereja ketika sang
uskup melangkah maju ke altar dan mengeluarkan kain yang sangat bernilai itu
dari peti penyimpanan yang sederhana.
Lalu, bersama para tetua komunitasnya yang berkumpul mengelilinginya, ia
berjalan dengan langkah tertatih menghampiri komandan yang menunggu dan
menyerahkan kain yang terlipat itu dengan hati-hati. Mereka jatuh bertulut
ketika kafan Yesus diambil dari mereka, untuk memulai perjalanan panjang dari
tempatnya yang sebenarnya di Edessa ke tangan Kaisar Bizantium. Mereka telah
melanggar sumpah, padahal leluhur-leluhur mereka tewas demi menjunjung sumpah
itu. Orang-orang ini, keturunan si penulis istana Timaeus, si raksasa Obodas, Izaz
keponakan Josar, John si orang Alexandna, dan begitu banyak pemeluk Kristen yang
telah mengorbankan nyawa demi Kafan Suci, akan mengambil kembali kain itu, dan
jika mereka tidak berhasil, maka anak-anak mereka sendiri, dan sesudah itu anak-
anak dan anak-anak mereka, bila perlu, tidak akan berhenti sampai misi itu
tercapai. Mereka bersumpah di hadapan Tuhan, di hadapan salib kayu besar yang menggantung
di atas altar, di hadapan lukisan sang Bunda yang Terberkati, di hadapan Kitab
Injil. 27 "Kau jadi sedikit Neurotik dalam masalah ini, bos," Giuseppe mengeluh ketika
Marco sekali lagi mengemukakan topik terowongan Turin. "Kami sudah meneliti
peta-peta itu, dan tidak ada terowongan yang menuju katedral. Titik."
"Dengar, Giuseppe, orang-orang ini keluar masuk melalui sesuatu yang bukan pintu
depan. Tanah di bawah Turin ini seperti keju Swiss.
Penuh dengan terowongan dan tidak semuanya ada di peta."
Sofia merasa Marco benar. Penyusup-penyusup katedral itu sepertinya muncul dan
menghilang seolah dengan sihir, dan tanpa jejak apa pun.
Pada detik terakhir atasannya itu memutuskan akan pergi ke Turin bersama mereka.
Menteri Kebudayaan sudah membujuk Menteri Pertahanan agar mengeluarkan surat
izin bagi Marco untuk menjelajahi terowongan-terowongan Turin, termasuk yang
sudah ditutup untuk umum. Pada peta-peta infrastruktur bawah tanah kota Turin
yang dipegang angkatan darat, tidak ada terowongan yang menuju katedral, tetapi
Marco merasa peta-peta itu salah. Dengan bantuan seorang komandan di bagian reka
cipta dan beberapa spesialis fortifikasi dari regimen Petro Micca, Marco akan
menjelajahi terowongan-terowongan yang ditutup itu. Dia sudah menanda-tangani
surat pernyataan yang membebaskan angkatan darat dan pemerintah kota dari semua
tanggung jawab jika ia menyebabkan dirinya sendiri tewas atau cedera, dan sang
menteri sudah mengatakan dengan sangat jelas bahwa ia tidak boleh membahayakan
nyawa orang-orang yang mendampinginya.
"Giuseppe," Sofia menyela, "kita ini sebenarnya tidak tahu ada apa di bawah
Turin. Jika kita menggali, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan kita temukan.
Sebagia nterowongan yang menjalar di bawah kota ini belum pernah diteliti di
zaman modern; yang lainnya kelihatannya tidak menuju ke mana-mana. Sebenarnya,
salah satu dari terowongan-terowongan itu mungkin saja menuju katedral.
Bagaimanapun juga, itu masuk akal kota ini sudah pernah dikepung berapa kali"
Dan katedral menyimpan banyak sekali benda yang tidak mungkin tergantikan dan
warga Turin tentu ingin melindungi harta itu jika kota mereka diserang atau
ditaklukkan musuh." Giuseppe terdiam. Dia tahu kapan harus menyerah.
Mereka menginap di Hotel Alexandra, di dekat pusat kota tua yang bersejarah.
Esok hari mereka akan mulai bekerja. Marco akan pergi menyusuri terowongan-
terowongan kota, Sofia sudah membuat perjanjian dengan Kardinal, dan Giuseppe akan menemui carabinieri kota untuk memutuskan berapa banyak
petugas yang mereka perlukan untuk membuntuti si Bisu. Tetapi saat itu, atas
undangan Marco, mereka sedang menikmati makan malam di Al Ghibellin Fuggiasco,
sebuah restoran Turin yang klasik dan nyaman dan terkenal akan hidangan laut
kelas dunianya. Hidangan kedua baru saja disajikan ketika mereka dikejutkan oleh Padre Yves.
Pastor itu menghampiri meja mereka dengan senyum tersungging dan menjabat tangan
setiap orang dengan hangat seolah ia senang sekali bertemu mereka.
"Saya tidak tahu Anda juga datang ke Turin, Signor Valoni. Kardinal memang
memberitahu saya bahwa Dottoressa Galloni akan mengunjungi kami, saya rasa Anda
punya janji dengan Yang Agung besok, Dottoressa?"
"Ya, benar," jawab Sofia.
"Dan bagaimana perkembangan investigasi Anda" Baik, saya harap?" Marco
mengangguk tetapi tidak mengatakan apa-apa ketika Padre Yves meneruskan.
"Pekerjaan di katedral sudah selesai, dan Kafan Suci sudah bisa dilihat kembali
oleh mereka yang beriman. Kami sudah memperkuat langkah-langkah pengamanan, dan
COCSA sudah memasang sistem pemantau kebakaran yang canggih. Saya rasa sekarang
tidak akan ada lagi bencana."
"Saya harap Anda benar, Padre," ujar Marco.
"Ya, sesungguhnya saya juga berharap begitu. Nah, saya pamit.
Buon appetito." Mereka melihatnya duduk di sebuah meja tak jauh dari mereka, dan di sana seorang
perempuan muda berambut gelap sedang menunggunya.
Marco tertawa. "Tahu siapa yang bersama Padre Yves kita yang baik itu?"
"Seorang gadis cantik, rupanya, mau tak mau kauheran dengan pastor-pastor itu,"
kata Giuseppe terkejut. "Itu Ana Jimenez, adik Santiago. Sekarang giliranku harus ke sana dan
menyapanya!" Marco melintasi ruangan, mendekati mereka. Ana melemparkan senyum lebar dan
bertanya apakah Marco bisa menyisihkan beberapa menit untuk berbicara bila
sedang punya waktu. Dia tiba di Turin empat hari yang lalu.
Marco tidak menjanjikan apa-apa; ia mengatakan akan senang sekali minum kopi
jika punya waktu tetapi ia tidak akan lama di Turin.
Ketika ia bertanya hotel mana yang bisa ia telepon untuk menemui Ana, adik
Santiago itu menjawab Hotel Alexandra.
"Kebetulan sekali. Kami juga menginap di sana."
"Kakakku yang merekomendasikan, dan hotel itu sempurna untuk beberapa hari."
"Nah, kalau begitu, aku yakin kita bisa mencari sedikit waktu untuk berbicara."
"Dia menginap di Alexandra," kata Marco setelah kembali bergabung dengan Sofia
dan Giuseppe. "Oh, ya" Kebetulan sekali!"
"Itu bukan kebetulan. Santiago yang menyarankan, seharusnya aku menduga. Itu
akan membuat kita semakin sulit menghindarinya."
"Aku tidak yakin aku ingin menghindari gadis cantik seperti itu!"
Giuseppe berkata sambil tertawa.
"Yah, kau harus menghindarinya, dengan dua alasan: pertama, karena dia seorang
wartawan dan dia bertekad untuk mengetahui apa yang kita lakukan dalam kasus
katedral ini, dan kedua, karena dia adik Santiago dan aku tidak ingin ada
masalah, mengerti?" "Mengerti, Bos, tadi itu cuma bercanda."
"Ana Jimenez adalah perempuan yang gigih dan pandai, aku akan serius
memperhitungkannya jika aku jadi kau."
"E-mail yang dia kirim pada kakaknya penuh dengan ide-ide menarik. Aku tidak
keberatan bicara dengannya," Sofia menyela.
"Aku tidak akan melarang, Sofia, tetapi kita harus berhati-hati memilih apa yang
kita sampaikan padanya."
"Aku ingin tahu apa yang dia lakukan bersama Padre Yves," Sofia merenung.
"Dia cerdik," jawab Marco. "Seperti yang kukatakan, kita harus berhati-hati."
Pria tua itu menutup telepon dan membiarkan matanya mengembara mengamati
pemandangan di luar jendela selama beberapa saat. Daerah pedesaan Inggris itu
berkilau hijau zamrud di bawah hangatnya sinar matahari.
Teman-temannya menunggunya berbicara dengan penuh harap.
"Dia akan dibebaskan dalam bulan ini. Dewan pembebasan bersyarat sudah secara
resmi mengaji permohonan pembebasan bersyarat untuknya."
"Itulah sebabnya Addaio pergi ke Jerman dan, menurut informan kita, akan
menyeberang ke Italia. Mendib sudah menjadi masalahnya yang paling besar dan
mendesak," ujar si orang Italia.
"Apa menurutmu dia akan membunuh Mendib?" pria dengan aksen Prancis bertanya.
"Addaio tidak mungkin membiarkan polisi membuntuti Mendib pulang atau menuntun
mereka ke kontak-kontak yang lain. Karena kalaupun Mendib tidak mendatangi
kontak-kontak itu, dia bisa saja mengungkap kehadiran mereka tanpa sengaja.
Addaio sadar bahwa ini jebakan, dan dia datang untuk mencegah konsekuensi yang
nyata itu," tanggap si mantan perwira militer.
"Di mana mereka akan menghabisinya?" si orang Prancis ingin tahu.
"Di penjara, tentu saja," kata si orang Italia. "Di sana tempat yang paling
aman. Memang akan ada skandal kecil tapi tidak lebih dan itu."
"Jadi bagaimana usul kalian?" si pria tua bertanya.
"Yang terbaik bagi semua orang adalah jika Addaio menyelesaikan masalah kita,"
ujar si orang Italia. "Rencana apa yang sudah kausiapkan seandainya Mendib berhasil keluar dari
penjara hidup-hidup?" tanya si orang tua.
"Saudara-saudara kita akan berusaha mencegah polisi mengikutinya," jawab si orang Italia.
"Tidak cukup jika saudara-saudara kita berusaha; mereka tidak boleh gagal."
Suara sang pemimpin terdengar menakutkan seperti guntur.
"Mereka pasti berhasil," jawab si Italia. "Dalam beberapa jam ini aku berharap
sudah mengetahui detail-detail operasi ini."
"Baiklah, kita tiba pada inti persoalan, hanya bisa ada satu kesimpulan: Kita
harus mengalihkan perhatian carabinieri dari Mendib, atau..."
Si pria tua tidak menyelesaikan kalimatnya. Yang lain mengangguk, hampir
serentak; mereka tahu bahwa dalam hal Mendib, kepentingan mereka sama dengan
kepentingan Addaio. Mereka tidak bisa membiarkan si Bisu itu menjadi kuda Troya
dan menyebabkan komunitasnya diselidiki.
Sebuah ketukan ringan terdengar di pintu, mendahului masuknya seorang pelayan
berseragam ke dalam ruangan, dan menghentikan pertemuan pagi itu.
"Para tamu sudah mulai berpakaian untuk berburu, Tuan. Mereka akan segera
turun." "Baiklah." Seorang demi seorang, ketujuh pria, yang sudah mengenakan pakaian berburu untuk
hari itu, meninggalkan perpustakaan dan memasuki ruang makan yang hangat, tempat
hidangan makan pagi menanti mereka. Beberapa menit kemudian seorang aristokrat
tua dengan ditemani istrinya memasuki ruangan.
"Astaga, kukira kitalah si burung yang selalu bangun pagi, tapi kau lihat,
Charles, teman-teman kita sudah bangun bahkan lebih pagi lagi dari kita."
"Benar-benar burung yang bangun pagi, keluar untuk mencari cacing. Pasti
memanfaatkan pagi untuk membica-rakan bisnis," dengus si suami.
Si orang Prancis meyakinkan keduanya bahwa mereka bertujuh hanya ingin segera
memulai. Semakin banyak tamu yang masuk ke ruang makan, sampai akhirnya ada
paling sedikit tiga puluh orang yang berdiri atau berjalan ke sana ke mari.
Hampir semua pembicaraan terdengar penuh semangat.
Si pria tua memandangi mereka dengan tatapan kalah. Dia benci berburu, seperti
juga teman-teman sepersaudaraannya, tetapi dia tidak mungkin menghindar dari
hiburan yang sangat Inggris itu. Para anggota keluarga kerajaan sangat menyukai
olah raga ini dan mereka memintanya, seperti dalam banyak kesempatan sebelum
ini, untuk menyelenggarakan acara di tanahnya yang indah ini. Dan di sinilah
mereka. Sofia menghabiskan hampir sepanjang pagi bersama sang kardinal.
Dia belum melihat Padre Yves; seorang pastor lain tadi mengantarnya ke kantor
Yang Agung. Petinggi gereja itu senang dengan hasil akhir pekerjaan perbaikan dan pemugaran.
Pujiannya terutama ditujukan pada Umberto D'Alaqua, yang sudah secara pribadi
turun tangan dan menambah jumlah pekerja, tanpa biaya tambahan bagi katedral,
dan memastikan bahwa pekerjaan itu selesai lebih cepat dari yang diperkirakan.
Di bawah pengawasan Dr. Bolard, Kafan Suci sudah dikembalikan ke Kapel Guanni,
ke peti peraga yang terbuat dari perak. Tetapi baik Sofia maupun Marco belum
menelepon sang kardinal untuk melaporkan perkembangan terbaru dalam investigasi
mereka, dan sang kardinal dengan halus memberitahu Sofia bahwa dia tidak senang.
Sofia meminta maaf dan berhasil mengambil hati sang kardinal kembali dengan


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyampaikan secara garis besar sudah sejauh mana pekerjaan mereka.
Sesuai arahan Marco, dengan halus ia mendorong sang kardinal untuk mengambil
langkah-langkah pengamanan yang lebih ketat lagi dan biasanya karena sekarang
kafan itu sudah kembali ke katedral dan ia juga memberitahukan upaya Marco
mencari titik-titik masuk yang mungkin dari terowongan-terowongan di bawah kota.
"Anda mengatakan bahwa Signor Valoni mencari terowongan bawah tanah yang menuju
katedral ini" Tetapi itu tidak mungkin. Tim Anda sudah meminta Padre Yves
menelaah lagi arsip kami, dan saya yakin dia sudah mengirimi Anda laporan yang
terperinci mengenai sejarah katedral ini. Dalam laporan itu sama sekali tidak
disebut-sebut bahwa ada terowongan atau jalan rahasia."
"Tapi itu tidak berarti tidak ada."
"Atau bahwa memang ada. Jangan percaya semua cerita fantastis yang ditulis
tentang katedral-katedral."
"Yang Agung, saya ini ahli sejarah. Saya tidak biasa mengurusi cerita-cerita
fantastis." "Saya tahu, saya tahu, Dottoressa; saya minta maaf. Saya mengagumi dan
menghormati pekerjaan yang Anda dan tim Anda lakukan. Bukan niat saya
menyinggung Anda, yakinlah."
"Saya yakin, Yang Agung, tetapi saya juga ingin meyakinkan Anda, bahwa sejarah
bukan sekadar yang sudah ditulis. Kita tidak mengetahui segala sesuatu yang
terjadi di masa lalu, apalagi niat orang-orang yang hidup saat itu."
Ketika Sofia kembali ke hotel, ia berpapasan dengan Ana Jimenez di lobi.
Ia punya perasaan bahwa sang wartawan sudah menunggunya.
" Dottoressa Galloni..."
"Apa kabar?" "Baik, terima kasih. Masih ingat aku?"
"Tentu saja. Kau adik teman kami Santiago Jimenez."
"Kautahu apa yang sedang kukerjakan di Turin?"
"Menyelidiki kebakaran-kebakaran di katedral."
"Aku tahu bosmu tidak terlalu senang dengan kegiatanku itu."
"Itu wajar saja, bukan" Kau sendiri tentu tidak terlalu suka jika polisi mulai
mencampuri pekerjaanmu."
"Benar, dan aku mencoba sebisaku untuk menghindar. Tapi ini berbeda. Aku tahu
aku mungkin kelihatan naif, tetapi aku benar-benar yakin aku bisa membantu
kalian, dan aku ingin kalian tahu bahwa kalian bisa memercayaiku. Kakakku adalah
segalanya bagiku- aku tidak akan pernah melakukan apa pun yang bisa
menyulitkannya, atau bahkan membuatnya sakit kepala. Memang benar aku ingin
menulis artikel tentang masalah ini- aku ingin sekali meliput. Tetapi tidak akan
kulakukan. Aku bersumpah aku tidak akan menulis satu baris pun sampai kau dan
timmu menutup investigasi, sampai kasus ini dipecahkan."
"Ana, ini bukan masalah memercayai atau tidak memercayaimu.
Kau harus paham bahwa divisi kami tidak bisa mengizinkanmu masuk tim investigasi
'hanya karena', karena kau jujur dan bisa dipercaya dan berminat pada kasus ini.
Tentu kau paham itu?" jawab Sofia.
"Tapi kita bisa bekerja sejajar. Aku akan menceritakan kepadamu apa yang
kutemukan, dan kau juga begitu kepadaku."
"Ana, ini investigasi resmi."
"Aku tahu, aku tahu..."
Sofia terkesan melihat kegigihan dalam ekspresi perempuan muda itu. "Kenapa
kasus ini begitu pentingbagimu?" tanyanya.
"Aku tidak yakin aku bisa menjelaskan. Kenyataannya adalah, sebelumnya aku tidak
pernah peduli padaKafan Suci atau memerhatikan segala hal yang terjadi di
katedral. Tetapi kakakku mengajakku makan malam dirumah bosmu dengan kesan
seolah itu makan malam biasa, hanya mengundang beberapa teman, yang seperti
itulah, dan ternyata Signor Valoni ingin Santiago dan seorang pria lain, John
Barry, memberikan pendapat mengenai kebakaran itu. Mereka berbicara sepanjang
malam, membahas berbagai spekulasi, tahu sendirilah, dan aku terpincut. Kasus
ini begitu kaya-lapis demi lapis sejarah, intrik - "
"Apa yang sudah kautemukan?" Sofia menyelanya. "Bisa kita sambil minum kopi?"
Sofia bimbang lalu berkata, "Tentu," dan langsung menyesali keputusannya ketika
muka Ana berseri lega. Dia suka perempuan muda ini, bahkan berpikir dia bisa memercayai Ana, tetapi
Marco benar, kenapa mereka harus percaya" Apa untungnya"
"Baiklah, ceritakan padaku apa yang sudah kau temukan sejauh ini," ujar Sofia
setelah mereka mendapat meja.
"Aku sudah membaca beberapa versi sejarah kain kafan itu, menarik sekali."
"Ya, memang." "Menurut pendapatku, seseorang menginginkan kain itu, persis seperti yang
dispekulasikan Signor Valoni malam itu. Kebakaran itu hanya tabir asap, maafkan
istilahku ini, untuk membingungkan polisi. Atau mungkin ada faktor lain yang
menghubungkan pembobolan dengan kecelakaan. Yang manapun alasannya, tujuannya
adalah mencuri kafan itu. Tetapi kita harus melihat ke masa lalu. Masalahnya
bukanlah sekadar mencuri Kafan Suci, seseorang ingin mengambil kembali kain
itu," Ana setengah berbisik dengan berapi-api. "Seseorang yang memiliki
keterkaitan dengan masa lalu, masa lalu kain kafan itu."
"Dan bagaimana kau sampai pada kesimpulan itu?"
Si wartawan menggeleng dan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu.
Itu hanya perasaan yang timbul sewaktu aku memikirkan jalan panjang yang sudah
ditempuh Kafan Suci, tangan-tangan yang dilewatinya, gelora yang selalu
ditimbulkannya. Aku punya seratus teori, masing-masing lebih gila dari yang
sebelumnya, tapi-" "Ya, aku sudah baca e-mailmu."
"Jadi, bagaimana pendapatmu?"
"Menurutku, kau punya imajinasi yang hebat, tak diragukan lagi, dan bahkan
mungkin kau benar." Ana mendadak berubah haluan. "Kurasa Padre Yves tahu lebih banyak dari yang dia
sampaikan tentang kafanitu."
"Kenapa kau berpendapat begitu?"
"Karena dia terlalu sempurna, terlalu benar, terlalu tidak bersalah, dan terlalu
transparan, aku jadi berpikir dia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan tampan,
maksudku, dia benar-benar seksi. Kau sependapat, kan?"
"Dia pria yang sangat menarik, itu betul. Bagaimana kau bisa kenal dia?"
"Aku menelepon kantor uskup, menjelaskan bahwa aku seorang jurnalis dan ingin
menulis artikel tentang Kafan Suci. Ada seorang perempuan berumur di sana,
seorang mantan wartawan, yang bertanggung jawab atas hubungan pers. Kami bertemu
selama dua jam, dan pada dasarnya perempuan itu mengulang isi brosur wisatawan
tentang Kafan Suci, meski dia juga memberiku pelajaran sejarah tentang Keluarga
Savoy. "Sewaktu aku pergi, pengetahuanku sama saja seperti ketika aku datang. Dia bukan
orang yang benar-benar tepat untuk bisa diharapkan memberi petunjuk. Jadi aku
menelepon lagi dan minta berbicara dengan sang kardinal; mereka bertanya aku ini
siapa dan apa yang kuinginkan, dan kujelaskan bahwa aku adalah wartawan yang
sedang menyelidiki kebakaran dan kecelakaan-kecelakaan lain yang terjadi di
katedral itu. Mereka mengirimku kembali ke perempuan yang ramah itu, yang kali ini agak
jengkel padaku. Aku mendesaknya membuatkan perjanjian dengan Kardinal. Tidak
berhasil. Akhirnya aku mainkan kartu terakhirku, kukatakan kepadanya bahwa
mereka menyembunyikan sesuatu dan bahwa aku akan memublikasikan kecurigaanku,
ditambah beberapa hal yang sudah kutemukan.
"Sesudah itu barulah Padre Yves meneleponku. Dia menjelaskan bahwa dia adalah
sekretaris kardinal dan bahwa sang kardinal tidak bisa menemuiku tetapi sudah
meminta Yves agar 'siap melayaniku', yang kuanggap per-tanda baik. Maka kami
bertemu dan berbicara lama sekali.
Tampaknya dia cukup jujur ketika menceritakan apa yang terjadi dalam kebakaran
yang terakhir ini, dan ia pergi bersamaku mengunjungi katedral, lalu kami pergi
minum kopi. Kami sudah sepakat untuk berbicara lagi. Waktu aku menelepon untuk
membuat janji kemarin, dia berkata akan sibuk sepanjang hari tetapi jika aku
tidak berkeberatan, kami bisa makan malam. Begitulah."
"Dia pastor yang aneh sekali," kata Sofia menyuarakan pikirannya.
"Kubayangkan kalau dia memimpin Misa, katedral pasti penuh sampai ke langit-
langit, ya?" Ana tertawa. "Kalau saja dia bukan pastor, aku akan..."
Sofia kaget menyadari betapa bebasnya Ana Jimenez. Dia sendiri tidak akan pernah
mengatakan kepada seseorang yang tidak ia kenal baik bahwa menurutnya pastor
muda itu seksi. Tetapi memang seperti itulah perempuan-perempuan yang lebih
muda. Umur Ana pasti tidak lebih dari dua puluh lima dan Ana termasuk generasi
yang terbiasa bercinta kapan saja mereka merasa ingin, tanpa kemunafikan atau
kerumitan, meskipun fakta bahwa Padre Yves adalah seorang pastor sepertinya
memang agak menahan Ana, paling tidak untuk saat ini.
"Kautahu, Ana, aku juga menganggap Padre Yves itu bikin penasaran, tapi kami
sudah menyelidikinya dan benar-benar tidak ada apa pun yang mengindikasikan
sesuatu selain yang tampak oleh mata.
Kadang manusia memang seperti itu, bersih, transparan. Nah, apa rencanamu
selanjutnya?" "Kalau kau membolehkanku ikut, kita bisa berbagi informasi... "
"Tidak, aku tidak bisa."
"Tidak akan ada yang tahu."
"Jangan salah menafsirkanku, Ana. Aku tidak suka melakukan sesuatu di belakang
siapa pun, apalagi orang-orang yang kupercayai, orang-orang yang bekerja
bersamaku. Aku menyukaimu, tetapi aku punya tugasku sendiri dan kau punya
tugasmu sendiri. Jika suatu saat nanti Marco memutuskan bahwa kami bisa
mengizinkanmu bergabung, maka dengan senang hati aku akan berbagi informasi
denganmu, dan jika Marco tidak memutuskan begitu, maka sejujurnya, bagiku sama
saja." "Jika seseorang ingin mencuri atau menghancurkan kafan itu, masyarakat berhak
tahu." "Aku yakin kau benar. Tapi kaulah yang mengemukakan klaim-klaim itu. Kami
sekarang sedang menyelidiki penyebab atau penyebab-penyebab kebakaran. Bila kami
sudah menyelesaikan penyelidikan, kami mengirimkan laporan kepada atasan kami,
dan merekalah yang akan mengumumkan kepada masyarakat jika mereka yakin temuan
kami itu menyangkut kepentingan masyarakat."
"Aku tidak memintamu mengkhianati bosmu."
"Ana, aku paham apa yang kau minta dariku, dan jawabannya tidak. Maafkan aku."
Ana menggigit bibir, kecewa. Dia bangkit dari meja tanpa menghabiskan
cappuccinonya. "Nah, mau bagaimana sekarang?" Dia mengangkat bahu, lalu tersenyum. "Tapi, kalau
aku menemukan sesuatu, boleh aku meneleponmu?"
"Tentu, teleponlah kapanpun kau mau."
Perempuan muda itu tersenyum lagi dan melangkah mantap dari kafe hotel. Sofia
ingin tahu ke mana tujuan Ana. Ponselnya berbunyi, dan ketika didengarnya suara
Padre Yves, dia hampir tertawa keras.
"Kami baru saja membicarakan Anda," katanya. "Siapa?"
"Ana Jimenez dan saya."
"Oh! Wartawan itu. Dia menawan, dan sangat cerdas, bukan" Dia sedang menyelidiki
kebakaran-kebakaran di katedral, persis seperti Anda, rupanya. Dia memberitahu
saya bahwa bos Anda, Marco, adalah teman kakaknya, wakil Spanyol di Europol di
Italia." "Itu benar. Santiago Jimenez adalah teman Marco dan kami semua.
Dia orang baik dan sangat profesional."
"Ya, ya, begitulah tampaknya. Tetapi alasan saya menelepon, Dottoressa Galloni,
adalah karena Kardinal meminta saya menelepon Anda. Beliau ingin mengundang Anda
dan Signor Valoni ke sebuah resepsi."
"Resepsi?" "Ya, untuk komite ilmuwan Katolik yang secara teratur datang ke Turin untuk
memeriksa Kafan Suci. Mereka memastikan kain itu terjaga dalam kondisi yang
baik. Dr.Bolard adalah ketua komite itu. Setiap kali mereka datang, Kardinal
mengadakan resepsi untuk mereka, tidak terlalu banyak orang, paling banyak tiga
puluh atau empat puluh, dan beliau ingin Anda berdua datang. Signor Valoni
pernah menyinggung bahwa dia ingin bertemu para ilmuwan ini, dan sekarang
kesempatan itu datang sendiri."
"Dan saya juga diundang?"
"Ya, tentu saja, Dottoressa, Yang Agung jelas-jelas meminta agar Anda diundang.
Lusa, di kediaman Kardinal, pukul tujuh. Kami juga mengharapkan kedatangan
sejumlah pengusaha yang bekerja bersama kami dalam memelihara katedral ini,
bapak walikota, wakil-wakil dari pemerintah daerah, dan mungkin Monsinyur Aubry,
pembantu penjabat Sekretaris Muda Negara Vatikan, serta Yang Agung Kardinal
Visier, penanggung jawab keuangan Vatikan."
"Baiklah, Padre. Terima kasih banyak atas undangan ini."
"Sama-sama, Dottoressa Galloni."
Marco sedang uring-uringan. Hampir sepanjang hari itu dia habiskan di
terowongan-terowongan di bawah kota Turin. Catatan-catatan arkeologi menunjukkan
bahwa sebagian terowongan dibuat pada abad-abad pertama sesudah Masehi. Banyak
yang berasal dari abad ke enam belas, lainnya abad ke delapan belas, dan bahkan
ada beberapa yang diperlebar oleh Mussolini di tempat-tempat tertentu.
Menelusuri terowongan-terowongan itu sungguh pekerjaan yang berat dan berbahaya.
Di bawah tanah, terbentang Turin yang sama sekali berbeda, sebenarnya, beberapa
Turin : wilayah lama kota- negara yang ditaklukkan Roma; Turin yang dikepung
oleh Hannibal; Turin yang diserbu oleh bangsa Lombard; dan akhirnya kota yang
diperintah oleh Keluarga Savoy. Turin adalah tempat sejarah dan fantasi saling
berbelit tak putus-putus, disetiap langkah kaki.
Comandante Colombaria bersikap sabar dan membantu, sampai saat tertentu. Saat
itu tiba ketika Marco mencoba membujuknya memasuki terowongan yang kondisinya
jelek atau membobol bagian tembok tertentu untuk melihat apakah di baliknya
tersembunyi jalan rahasia yang menuju ke arah lain.
"Perintah yang saya terima adalah memandu Anda menelusuri terowongan-terowongan
ini, Signor Valoni, dan saya tidak akan membahayakan nyawa Anda atau nyawa anak
buah saya dengan memasuki terowongan yang tidak ada di peta atau yang bisa saja
ambruk. Dan saya tidak berwenang untuk membobol tembok. Maafkan saya," kata sang
comandante kaku. Tetapi yang menyesal sebenarnya Marco, yang di penghujung hari itu merasa bahwa
dia sudah bepergian menelusuri terowongan-terowongan bawah tanah Turin tanpa
hasil apa-apa. Giuseppe mencoba memberikan pandangan dari sisi lain, tetapi tidak terlalu
berhasil. "Oh, sudahlah, lupakan saja, Marco. Comandante Colombaria benar. Dia
hanya mengikuti perintah. Memang gila kalau kau mulai merubuhkan tembok seperti
penambang batu bara."
Usaha Sofia juga tidak membuahkan hasil yang lebih baik. "Marco, yang ingin kau
lakukan itu hanya mungkin terlaksana jika Menteri Kebudayaan, bekerja sama
dengan Badan Arkeologi Turin, membentuk tim arkeolog dan teknisi di bawah
wewenangmu untuk mengekskavasi lebih banyak lagi terowongan. Kau jangan berharap
bisa begitu saja masuk dan membobol setiap tempat yang menurut firasatmu ada
terowongan tersembunyi. Maksudku, itu tidak bakal terjadi. Kau tidak berpikir
logis." "Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu apakah ada sesuatu di
sana atau tidak," Marco meradang.
"Kalau begitu bicaralah dengan Menteri dan "
"Dalam hari-hari ini Menteri akan mengatakan kepadaku di mana aku harus
menjejalkan firasat-firasatku. Dia sudah agak muak padaku dan kasus Kafan Suci
ini." "Nah, aku punya berita yang mungkin bisa menghiburmu," Sofia mencoba. "Kardinal
mengundang kita ke resepsi lusa."
"Resepsi" Dan 'kita' itu siapa?"
"Kita itu kau dan aku. Padre Yves tadi meneleponku. Komite ilmuwan yang
bertanggung jawab menjaga kondisi Kafan Suci sedang berada di Turin, dan
Kardinal selalu mengadakan resepsi untuk mereka.
Semua tokoh penting kota yang berhubungan dengan katedral akan hadir. Rupanya
kau pernah menunjukkan minat untuk bertemu dengan ilmuwan-ilmuwan ini, jadi dia
mengundangmu." "Aku sedang tidak ingin pesta-pesta. Aku lebih suka bicara dengan mereka dalam
situasi lain misalnya, entahlah, di katedral, sewaktu mereka memeriksa kain itu.
Sejauh ini kita tidak dapat apa-apa dan menyelidiki nama dan organisasi dalam
daftar yang diberikan Kardinal.
Tapi inilah adanya, bukan" Jadi, kita akan datang. Aku akan minta setelan jasku
disetrika. Dan kau, Giuseppe, sudah dapat apa?"
"Kepala carabinieri di sini tidak punya cukup orang, atau satu pun orang,
sebenarnya, untuk tim yang kita perlukan. Katanya dia akan membantu sebisanya
bila saatnya tiba. Aku sudah berbicara dengan Europol seperti yang kausuruh, dan
mereka bisa membantu kita dengan dua atau tiga orang. Jadi kau harus bicara
dengan Roma untuk meminta kekurangannya."
"Aku tidak ingin orang dan Roma. Aku lebih suka masalah ini tetap dalam tim.
Siapa orang kita yang bisa datang?"


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Divisi sedang kewalahan, Bos," kata Giuseppe. "Pokoknya tidak ada satu orang
pun, kecuali kalau ada yang menghentikan pekerjaan yang sedang dipegang, jika
mereka bisa, dan kau mendatangkan mereka ketika operasi dimulai."
"Aku lebih suka begitu. Perasaanku lebih tenang kalau orang kita sendiri yang
membuntuti. Kita terima saja yang bisa diberikan carabinieri di sini, setelah
itu kita akan berpura-pura jadi polisi sebentar."
"Tadinya kukira kita memang polisi," kata Giuseppe dengan sarkastis.
"Kau dan aku memang polisi, tetapi Sofia bukan, atau Antonino, atau Minerva."
"Maksudmu mereka akan membuntuti si Bisu itu?"
"Kita semua akan melakukan apa pun yang harus dilakukan, jelas itu?"
"Sejelas kristal, Pak Kepala, sejelas kristal. Nah, kalau sudah selesai, aku
punya janji makan malam dengan seorang temanku di carabinieri, orang baik yang
bersedia membantu kita. Dia akan datang kira-kira setengah jam lagi. Mungkin
kalian bisa minum bersama kami sebelum kami pergi?"
"Tentu, aku ikut," kata Sofia.
"Baiklah," ujar Marco, "aku akan ke atas dan mandi dan turun lagi.
Bagaimana rencanamu, Dottoressa?"
"Aku tidak punya rencana, kalau kau mau, kitabisa makan malam di sekitar sini."
"Bagus. Mungkin itu bisa membuat hatiku lebih riang."
28 Sofia tidak membawa pakaian yang pantas untuk resepsi, maka ia melihat-lihat
toko-toko di Via Roma sampai ia tiba di Armani dan di sana, selain sehelai gaun
sutra hitam untuk dirinya sendiri, ia membeli dasi untuk Marco.
"Kau akan jadi gadis paling cantik di sana," kata Giuseppe ketika Sofia dan
Marco berangkat ke kediaman Kardinal.
"Sudah pasti," Marco membenarkan.
"Aku akan membentuk klub penggemar, dimulai dengan kalian berdua," kata Sofia
sambil tertawa. Padre Yves menyambut mereka di pintu. Kerah dan jubah pastornya tidak kelihatan
di manapun. Sebaliknya, dia memakai setelan biru gelap dan dasi Armani yang
persis sama dengan yang Sofia berikan kepada Marco.
" Dottoressa... Signor Valoni... silakan masuk, silakan. Yang Agung akan senang
sekali bertemu kalian."
Marco melirik dasi Padre Yves dan Padre Yves tersenyum kecil kepadanya.
"Anda punya selera yang bagus sekali dalam soal dasi, Signor Valoni."
"Selera yang bagus itu milik Dottoressa Galloni. Dasi ini hadiah darinya."
"Sudah kuduga!" tawa sang pastor. Mereka berjalan menghampiri sang kardinal, dan
sang kardinal memperkenalkan mereka kepada Monsinyur Aubry, seorang pria Prancis
yang tinggi ramping dengan pembawaan anggun dan sikap ramah. Usianya sekitar
lima puluh tahun dan penampilannya sesuai dengan pekerjaannya, seorang diplomat
yang berpengalaman dan lihai. Dan rupanya dia sangat tertarik pada perkembangan
investigasi Kafan Suci, karena tanpa membuang waktu dia memberitahukan minatnya
itu kepada Marco dan Sofia.
Mereka sudah berbincang selama beberapa menit dengan sang monsinyur ketika
mereka melihat semua mata tertuju pada dua tamu yang baru tiba.
Yang Agung Kardinal Visier dan Umberto D'Alaqua baru saja masuk.
Sang kardinal dan Monsinyur Aubry mohon diri dan pergi menyambut mereka.
Sofia bisa merasakan jantungnya mulai berdegup cepat di luar kendalinya. Dia
sudah mengatakan kepada dirinya sendiri dia tidak akan melihat D'Alaqua lagi.
Apakah D'Alaqua akan bersikap sopan tetapi dingin atau akan mengabaikannya sama
sekali" "Sofia, mukamu merah sekali," Marco berbisik.
"Aku" Aku hanya kaget."
"Kemungkinannya memang sangat besar bahwa D'Alaqua akan ada di sini."
"Tidak terpikir olehku. Aku tidak pernah menduga."
"Dia salah satu penyantun Gereja, seorang 'pria kepercayaan,'
seperti sebutan untuk orang-orang ini. Sebagian uang Vatikan diam-diam lewat
melalui tangannya. Dan ingat bahwa, menurut laporan Minerva, dialah yang
membiayai komite ilmiah yang malam ini ada di sini. Tetapi tenang saja, kau
tampak spektakuler, jika D'Alaqua menyukai perempuan, tidak mungkin dia tidak
jatuh dikakimu." Mereka disela oleh Padre Yves, yang membimbing walikota dan dua pria berumur.
"Saya ingin memperkenalkan Anda dengan Sofia Galloni dan Marco Valoni, Kepala
Divisi Kejahatan Seni," katanya pada orang-orang yang diajaknya. "Bapak
Walikota. Dr. Bolard, dan Dottore Castiglia..."
Mereka mulai bercakap-cakap hangat mengenai Kafan Suci meski pikiran Sofia ada
di tempat lain dan telinganya hanya separuh mendengarkan.
Dia terlompat ketika Umberto D'Alaqua melangkah didepannya. Pria itu didampingi
Kardinal Visier. Setelah saling menyapa, D'Alaqua menggamit lengan Sofia dan mengajaknya pergi
dari kelompok itu hingga semua orang terkejut.
"Bagaimana perkembangan investigasimu?"
"Terus terang, tidak bisa kukatakan kami sudah banyak kemajuan.
Kami perlu waktu." "Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini."
"Kardinal mengundang kami; beliau tahu kami ingin bertemu dengan para anggota
komite, dan aku berharap kami bisa melewatkan waktu sebentar bersama mereka
sebelum mereka pergi."
"Jadi kau datang ke Turin untuk resepsi ini... "
"Tidak, tidak persis begitu."
"Bagaimanapun juga, aku senang bertemu denganmu. Akan berapa lama kau di sini?"
"Aku belum tahu pasti-"
"Sofia!" Lengking suara seorang pria memutus momen itu. Sofia tersenyum lemah
ketika melihat seorang profesor tua dari universitas datang mendekat, profesor
yang pernah mengajarinya seni abad pertengahan, seorang ilmuwan terkenal yang
sudah menulis sejumlah buku, seorang bintang di lingkungan akademis Eropa.
"Mahasiswi terbaikku! Aku senang, senang sekali bertemu denganmu! Apa kegiatanmu
sekarang?" "Professore Bonomi! Senang bertemu lagi denganmu."
"Umberto, aku tidak tahu kau kenal Sofia. Meskipun aku tidak kaget: Sofia adalah
salah satu spesialis seni yang paling terkemuka di Italia. Sayang dia tidak mau
tetap di kalangan akademis. Aku sudah menawannya agar menjadi asistenku, tapi
kurasa permohonanku tidak digubris."
"Jangan begitu, Professore'."
"Tidak, sungguh, aku tidak pernah punya murid sepandai dan secakap kau, Sofia."
"Ya," D'Alaqua menyela, "aku tahu Dottoressa Galloni sangat kompeten."
"Kompeten, salah, brilian, Umberto, dan dengan otak spekulatif yang luar biasa.
Maafkan kelancanganku, tetapi apa yang kaulakukan di sini, Sofia?"
"Aku bekerja untuk Divisi Kejahatan Seni," Sofia menjawab dengan gelisah, "dan
aku di Turin hanya beberapa hari."
"Ah! Divisi Kejahatan Seni. Entah bagaimana aku tidak pernah membayangkan kau
bekerja sebagai investigator."
"Pekerjaanku lebih bersifat ilmiah. Aku tidak benar-benar melakukan pekerjaan
investigatif itu sendiri."
"Ayo, Sofia, akan kuperkenalkan kau pada beberapa kolegaku."
D'Alaqua meraih lengan Sofia dan menahannya tetap di tempat hingga Professore
Bonomi tidak bisa mengajaknya pergi.
"Tunggu, Guido. Aku baru saja akan memperkenalkan Dottoressa pada Yang Agung."
"Oh, baiklah, mm... Apa kau akan datang ke konser Pavarotti besok malam,
Umberto" Dan makan malam yang kuadakan untuk Kardinal Visier?"
"Ya, tentu." "Kenapa tidak kauajak Sofia" Aku ingin sekali kaudatang, Sayang, kalau kau tidak
punya rencana lain."
"Yah, aku ..." "Dengan senang hati aku akan mendampingi Dottoressa Galloni jika dia tidak punya
rencana lain. Nah, permisi, sang kardinal menunggu...
Nanti kita bicara lagi,Guido."
D'Alaqua membimbing Sofia kembali ke kelompok yang berdiri bersama Kardinal
Visier. Sang kardinal mengamati Sofia penuh keingin tahuan, seolah sedang
menilainya; Kardial Visier terlihat ramah tetapi sikapnya sedingin es. Memang
tampaknya dia punya hubungan yang dekat dengan D'Alaqua; mereka memperlakukan
satu sama lain dengan akrab, seolah dihubungkan oleh benang yang halus.
Mereka berbicara tentang seni sebentar, lalu politik, kemudian tentang Kafan
Suci. Saat itu pukul sembilan lebih sedikit ketika para tamu mulai meninggalkan acara.
D'Alaqua bersiap-siap pergi bersama Aubry dan kedua kardinal, ditambah Dr.
Bolard dan dua ilmuwan lain, tetapi mula-mula ia mencari Sofia, yang saat itu
sedang bersama Marco dan mantan profesornya.
Selamat malam, Dottoressa, Guido, Signor Valoni..."
"Kau akan makan malam di mana, Umberto?" tanya Bonomi.
"Di kediaman Yang Agung Kardinal Turin."
"Begitu. Baiklah, kuharap bisa bertemu denganmu besok malam bersama Sofia."
Sofia bisa merasakan mukanya memerah.
"Ya, tentu. Aku akan menghubungimu, Dottoressa Galloni. Selamat malam."
Sofia dan Marco berpamitan kepada Kardinal dan Padre Yves. Sang kardinal
menegaskan bahwa mereka sudah mengatur pertemuan dengan Dr. Bolard dan kemudian
mengusulkan agar Yves mengajak Sofia dan Marco malam malam. Dan meski keduanya
protes, mereka semua pergi bersama-sama ke La Vecchia Lanterna, salah satu
restoran terbaik di kota itu.
Sudah lewat tengah malam ketika Padre Yves menurunkan Sofia dan Marco di pintu
hotel mereka. Malam itu berjalan dalam suasana bersahabat. Mereka membicarakan
segala macam hal dan menyantap hidangan yang luar biasa, seperti yang memang
diharapkan di restoran semasyhur La Vecchia Lanterna.
"Kehidupan sosial ini bisa membunuhku!" Marco tertawa selagi ia dan Sofia
berjalan ke bar hotel untuk minum sedikit sebelum tidur dan membahas
perkembangan malam itu. "Tetapi tadi kita bersenang-senang."
"Kau ini seorang putri, jadi tadi itu kau memang dalam duniamu.
Aku ini polisi, jadi tadi itu aku bekerja."
"Marco, kau jauh dari sekadar seorang polisi. Kau punya gelar dalam bidang
sejarah, dan kau mengajari kami semua lebih banyak lagi tentang seni dan yang
pernah kami pelajari di universitas."
"Oh, sudahlah... Nah, apa yang bisa kau ceritakan tentang D'Alaqua?"
"Aku tidak tahu harus menceritakan apa. Padre Yves dan dia sangat mirip,
menurutku: Mereka sama-sama pandai, lurus, 'baik,' tampan, dan sama sekali tidak
bisa dijangkau." "Menurut yang kulihat D'Alaqua tidak sebegitu tidak terjangkaunya untukmu; lagi
pula, dia bukan pastor."
"Bukan, memang bukan, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya terlihat
seperti dia... seperti dia bukan dari dunia ini, kalau kau paham yang kumaksud,
seolah dia mengambang di atas kita yang makhluk fana dibawah sini... Entahlah,
ini perasaan yang asing bagiku, aku tidak terlalu bisa menjelaskan."
"Sepertinya dia memerhatikan setiap kata yang kau ucapkan."
"Tetapi tidak lebih dan dia memerhatikan ucapan orang lain. Aku memang ingin
berpikir dia tertarik padaku, tetapi kenyataannya tidak begitu, Marco, dan aku
tidak mau menipu diri sendiri. Aku sudah cukup tua untuk tahu bila seorang pria
tertarik padaku." "Dia bilang apa padamu?"
"Sewaktu kami hanya berdua sebentar, dia menanyakan tentang investigasi kita.
Tidak kukatakan kepadanya apa yang kita lakukan di sini, kecuali bahwa kau ingin
bertemu dengan komite yang menangani Kafan Suci." "Bagaimana pendapatmu tentang
Bolard?" "Janggal rasanya, tetapi dia pria yang sejenis dengan D'Alaqua dan Padre Yves.
Sekarang kita tahu bahwa mereka saling kenal, kurasa itu mudah ditebak, ya?"
"Tahu tidak" Aku memikirkan hal yang sama, ada sesuatu yang sangat menyolok dan
tidak biasa pada diri mereka itu. Aku tidak yakin apa. Aku jadi agak ngeri. Aku
sudah biasa mempelajari manusia itu sudah bagian dari bawaanku, tetapi ada
sesuatu yang lain di sini. Ketiga pria ini sangat mengesankan, hampir seperti
dari dunia lain, seperti yang kau katakan. Mungkin karena penampilan fisik
mereka, keanggunan mereka, keyakinan diri mereka. Mereka terbiasa memberi
perintah. Professore Bonomi kita yang senang bicara itu mengatakan kepadaku
bahwa Bolard sangat mengabdi pada sains, dan itulah sebabnya Bolard tidak pernah
menikah." "Menurutmu mengapa dia begitu mengabdikan diri pada Kafan Suci, padahal karbon
keempat belas menarikhkan kain itu berasal dan Abad Pertengahan?"
"Entahlah. Tetapi sewaktu dia membicarakan Kafan Suci malam ini, tak diragukan
lagi bahwa dia menganggap relik itu pekerjaan utamanya.
Kita lihat saja bagaimana pertemuanku dengan dia berjalan besok. Aku ingin kau
ikut. Ada apa dengan makan malam di kediaman Bonomi?"
"Bonomi berkeras agar D'Alaqua mengajakku ke opera lalu ke rumahnya, menghadiri
makan malam yang dia adakan untuk Kardinal Visier. D'Alaqua tidak punya pilihan
lagi selain setuju. Tetapi aku tidak tahu apakah aku harus pergi."
"Oh, kau sudah pasti harus pergi. Dan kau akan memasang mata dan telinga lebar-
lebar. Ini sebuah misi, dan kau menerima; semua pria terhormat dan berkuasa itu
pasti menyimpan rahasia masa lalu, dan salah seorang dari mereka mungkin tahu
sesuatu tentang kasus kita."
"Marco, please!. Konyol kalau kau mengira orang-orang itu ada sedikit saja
kaitannya dengan semua ini.."
"Tidak, tidak konyol, Dottoressa. Yang sedang berbicara denganmu ini polisi. Aku
tidak percaya pada orang-orang yang berkuasa. Untuk sampai ke tempat mereka
sekarang, mereka harus mengarungi banyak sekali kesulitan dan menginjak kaki
banyak orang. Kau sendiri pasti ingat bahwa setiap kali kita membongkar kelompok
pencuri benda seni, kita mendapati penerima karya seni itu adalah seorang
miliuner eksentrik yang merasa wajib menyimpan benda milik seluruh umat manusia
di dalam galeri pribadinya sendiri.
"Kau seorang putri, seperti yang tadi kukatakan, tetapi mereka itu hiu, dan
mereka melahap apa saja yang menghalangi mereka. Jangan lupakan itu besok malam.
Semua tindak tanduk mereka yang sempurna, pembicaraan mereka yang terjaga,
kemewahan mereka, topeng, itu murni topeng. Aku lebih percaya pada pencuri dan
pencopet di Trastevere, yakinlah."
29 Wajah sang pengantin perempuan berseri ketika menerima ucapan selamat dari
kerabat-kerabatnya yang tak terhitung jumlahnya. Ruangan itu penuh sesak. Ini
samaran yang sempurna, pikir Addaio.
Ia menempuh perjalanan bersama Bakkalbasi, salah satu dari delapan uskup rahasia
dalam komunitas mereka, yang resminya adalah seorang saudagar kaya di Urfa.
Pesta pernikahan keponakan perempuan sang uskup telah memungkinkan Addaio
bertemu dengan sebagian besar anggota komunitasnya di Berlin.
Bersama tujuh pemimpin komunitas di Jerman dan tujuh di Italia, ia masuk ke
sebuah ruangan kecil di samping ruangan pesta yang sangat besar itu. Di sana
mereka semua menyalakan cerutu panjang. Salah seorang keponakan laki-laki
Bakkalbasi berjaga-jaga di dekat mereka supaya tidak ada orang yang mendekat
tanpa terduga. Dengan sabar Addaio mendengarkan laporan orang-orang itu, perincian kehidupan
komunitas di negeri-negeri barbar itu. Lalu salah seorang pemimpin dan Italia
menyinggung masalah yang paling menyita pikiran Addaio.
"Bulan ini Mendib akan dibebaskan. Kepala Penjara sudah berbicara beberapa kali
lewat telepon dengan Kepala Divisi Kejahatan Seni. Mereka menyuguhkan semacam
permainan, untuk menyingkirkan setiap kecurigaan yang mungkin dirasakan Mendib.
Si pekerja sosial dan psikolog sudah mengajukan protes, tetapi sudah jelas bahwa
rencana itu terus dilanjutkan."
"Siapa kontakmu di dalam penjara?" tanya Addaio.
"Ipar perempuanku. Dia bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih. Sudah
bertahun-tahun dia membersihkan kantor adminstrasi dan tempat-tempat lain
dipenjara itu, dan menurutnya mereka semua sudah begitu terbiasa dengan
kehadirannya di sana hingga mereka tidak memerhatikannya. Bila si kepala penjara
masuk kerja di pagi hari, dia hanya memberi isyarat agar iparku itu terus
bekerja bahkan juga sewaktu dia terlibat pembicaraan yang sensitif di telepon
atau bertemu dengan pejabat tertentu. Mereka memercayai iparku. Umur iparku itu
sudah lebih dari enam puluh tahun, dan tidak pernah ada orang yang mencurigai
seorang perempuan tua beruban yang membawa ember dan pel."
"Bisa kita tahu hari persisnya Mendib dibebaskan?"
"Ya, tentu saja," jawab pria itu.
"Bagaimana caranya?" Addaio berkeras.
"Surat-surat perintah pembebasan selalu dikirim ke kantor kepala penjara lewat
fax. Iparku sudah di sana sebelum si kepala penjara tiba, dan dia sudah mendapat
perintah untuk membaca apa saja yang ada di mesin faks untuk melihat apakah
surat perintah pembebasan awal Mendib sudah masuk. Jika sudah, iparku akan
segera meneleponku. Dia sudah kubelikan ponsel khusus untuk meneleponku."
"Siapa lagi yang kita punya di penjara?"


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua kakak beradik yang sedang menjalani hukuman karena membunuh. Salah satunya
dulu bekerja sebagai sopir seorang pejabat tinggi di pemerintah daerah Turin;
yang lainnya punya kedai sayuran.
Suatu malam, di disko, mereka terlibat perkelahian dengan beberapa orang yang
mengata-ngatai pacar mereka. Keduanya tidak berkenan, boleh dikatakan begitu,
dan salah seorang dan pengejek itu mati akibat luka tusuk. Keduanya orang baik
dan setia pada tujuan kita."
"Semoga Tuhan mengampuni mereka! Apa mereka benar anggota komunitas kita?"
"Bukan, bukan, tapi salah seorang kerabat mereka anggota kita.
Dialah yang berbicara dengan mereka dan bertanya apakah mereka bisa... kautahu,
apakah mereka bisa..."
Pria itu bergerak-gerak gelisah di bawah tatapan tajam Addaio.
"Dan apa kata mereka?"
"Tergantung bayarannya. Jika kita memberi keluarga mereka satu juta euro, mereka
akan laksanakan." "Bagaimana kita menyampaikan pesan pada mereka?"
"Seseorang dari keluarga mereka akan berkunjung ke penjara dan memberitahu
mereka apakah kita punya uangnya dan kapan mereka harus... melaksanakan... yang
sudah kau perintahkan."
"Uang itu akan kau terima. Tetapi kita harus bersiap diri menghadapi kemungkinan
Mendib meninggalkan penjara hidup-hidup."
Seorang pria muda berkumis tebal dengan pembawaan anggun angkat bicara.
"Pastor, seandainya itu terjadi, dia akan berusaha melakukan kontak dengan kita
melalui jalur-jalur yang biasa."
"Bahas lagi." "Dia akan pergi ke Parco Mano Carrara, di bagian utara kota, pukul sembilan
pagi, dan berjalan-jalan di bagian selatan taman, dekat Corso Appio Claudio.
Setiap hari pada jam itu, sepupuku Arslan lewat untuk mengantar putrinya ke
sekolah. Selama bertahun-tahun, anggota komunitas yang punya masalah pergi ke
sana jika mereka yakin tidak ada yang mengikuti. Bila melihat Arslan lewat,
mereka menjatuhkan secarik kertas yang bertuliskan tempat mereka bisa ditemui
beberapa jam kemudian. Waktu tim-tim yang kau kirim tiba di Turin, kami memberi
mereka instruksi-instruksi ini juga.
"Arslan lalu mengontakku, memberitahukan di mana pertemuan akan diadakan, dan
kami menyusun tim untuk memeriksa apakah orang-orang kami diikuti; jika ya, kami
tidak mendekati mereka, tetapi memang kami mengikuti mereka dan menghubungi jika
bisa. "Jika kontak tidak mungkin dilakukan, saudara atau saudara-saudara kita itu tahu
bahwa ada yang tidak beres, dan mereka mengusahakan pertemuan lain. Kali ini
mereka harus pergi ke toko buah dan sayuran di Viadell 'Accademia Albertina, di
pusat kota, dan membeli apel; sewaktu membayar, mereka memberi si penjual
secarik kertas bertuliskan tempat pertemuan berikutnya. Si penjual itu anggota
komunitas kita dan akan mengontak kami.
"Tempat pertemuan yang ketiga-"
"Aku berharap tidak perlu ada tempat pertemuanyang ketiga,"
Addaio memotong. "Jika Mendib meninggalkan penjara hidup-hidup, dia tidak boleh
sampai ke pertemuan pertama. Jelas itu" Risiko yang kita hadapi besar sekali.
Carabinieri sudah pasti membuntutinya, dan mereka ahli dalam pekerjaan mereka.
Kita harus menemukan tim yang sanggup melakukan apa yang harus dilakukan dan
menghilang tanpa tertangkap.
Itu tidak akan mudah, dan meski sangat disayangkan, kita tidak bisa memberi
Mendib kesempatan untuk mengontak salah seorang dari kita.
Paham?" Orang-orang itu mengangguk dengan takzim. Salah seorang dari mereka, yang tertua
dari semuanya, berbicara.
"Aku paman ayah Mendib."
"Maafkan aku." "Aku tahu ini kau lakukan untuk menyelamatkan kami, tetapi apakah tidak ada
kemungkinan mengeluarkan dia dari Turin?"
"Bagaimana caranya" Mereka akan menugaskan satu tim untuk membuntutinya ke
manapun dia pergi. Mereka akan memotret dan merekam siapa pun yang mendekatinya
atau yang dia dekati, kemudian mereka akan menyelidiki orang-orang itu. Kita
akan runtuh seperti susunan kartu. Bahkan kalaupun dia berhasil mengelabui
mereka untuk beberapa saat, sekarang dia sudah mereka kenali, sudah dijadikan
sasaran. Mereka akan mengirim fotonya ke polisi di seluruh Eropa. Aku merasakan
kepedihan yang sama, tetapi aku tidak bisa membiarkannya menghubungi kita. Meski
dengan segala rintangan, kita sudah mempertahankan sumpah kita selama lebih dan
dua ratus tahun. Banyak leluhur kita yang merelakan nyawa mereka, lidah mereka,
harta milik mereka, keluarga mereka, untuk tujuan ini. Kita tidak mungkin
mengkhianati mereka atau mengkhianati diri kita sendiri. Maafkan aku."
"Baiklah, Pastor. Aku mengerti dan menerima pertimbanganmu.
Maukah kau mengizinkan aku yang melakukan jika anak itu meninggalkan penjara
hidup-hidup?" "Kau" Kau adalah pria terhormat, salah satu tetua komunitas kita.
Bagaimana kau sanggup melakukan tugas itu" Kau paman buyutnya."
"Aku sebatang kara. Istri dan dua putriku meninggal tiga tahun yang lalu dalam
kecelakaan mobil. Aku sudah berencana kembali ke Urfa untuk menghabiskan hari
tuaku bersama anggota keluargaku yang masih ada. Sebentar lagi umurku delapan
puluh, aku sudah hidup sepanjang yang diperkenankan Tuhan, dan Dia akan
mengampuniku jika akulah yang mencabut nyawa Mendib lalu nyawaku sendiri. Inilah
cara yang paling ringkas untuk melakukan tugas ini."
"Kau akan mencabut nyawamu sendiri?"
"Ya, Pastor. Bila Mendib pergi ke Parco Carrara, aku akan sudah menunggunya di
sana. Aku paman buyutnya, dia tidak akan curiga. Aku akan memeluknya, dan dalam
pelukan itu belatiku akan mencabut nyawanya. Lalu akan kuhunjamkan belati yang
sama ke jantungku." Tak seorang pun dalam kelompok itu berbicara. Mereka membisu menatap orang tua
itu penuh hormat, takjub.
"Aku tidak yakin ini ide bagus," akhirnya Addaio menanggapi. "Ini bukan sesuatu
yang bisa kita, aku, harapkan darimu. Dan mereka akan menemukan mayatmu. Mereka
akan tahu siapa jati dirimu."
"Tidak, mereka tidak akan tahu. Aku akan mencabut semua gigiku dan membakar
sidik jariku. Bagi polisi, aku hanya laki-laki tanpa identitas."
"Apakah kau sungguh-sungguh sanggup melakukan tugas ini?"
"Aku sudah lelah hidup. Aku akan melakukan pengorbanan yang sama seperti yang
sudah dilakukan begitu banyak saudara kita. Biarlah ini menjadi tindak
pengabdianku yang terakhir, yang paling menyakitkan, agar komunitas kita tetap
bertahan. Akankah Tuhan mengampuniku?"
"Tuhan memaklumi alasanmu."
"Kalau begitu, jika Mendib meninggalkan penjara, utus orang untuk memanggilku
dan menyiapkanku menghadapi kematian."
"Jika kau mengkhianati kami, seluruh keluargamu diUrfa akan menanggung
akibatnya." "Jangan menyinggung kehormatanku atau namaku dengan ancaman. Jangan lupa siapa
aku ini, siapa leluhur-leluhurku."
Addaio merundukkan kepala sebagai tanda menerima, dan orang tua itu meninggalkan
mereka untuk menyendiri dengan pikiran-pikirannya.
Sang pastor memecah keheningan yang ditinggalkan paman buyut Mendib. "Bagaimana
status Francesco Turgut, si tukang sapu di Katedral Turin?"
Ia dijawab oleh seorang laki-laki pendek gempal dengan tampang kuli bongkar
muat, yang bekerja sebagai tukang sapu di Museum Mesir.
"Turgut ketakutan. Orang-orang dari Divisi Kejahatan Seni sudah
menginterogasinya beberapa kali, dan dia yakin bahwa sekretaris kardinal,
seorang yang bernama Padre Yves, menganggapnya mencurigakan."
"Apa yang kita ketahui tentang pastor Yves ini?"
"Dia orang Prancis, dia punya pengaruh di Vatikan, dan sebentar lagi dia akan
diangkat menjadi wakil uskup di Turin."
"Mungkinkah dia salah seorang dari mereka?"
"Mungkin saja. Dia punya semua karakteristik mereka. Dia bukan pastor yang
biasa. Dia berasal dari keluarga aristokrat, dia bisa berbicara dalam beberapa
bahasa, berpendidikan sangat bagus, unggul dalam olah raga...dan dia berselibat,
selibat total. Kau tahu bahwa mereka tidak pernah melanggar aturan itu. Dia
adalah anak didik Kardinal Visier dan Monsinyur Aubry."
"Yang kita yakin merupakan anggota ordo mereka," kata Addaio datar. "Ya, itu
tidak diragukan lagi. Mereka sangat mahir menginfiltrasi Vatikan dan meraih
jabatan-jabatan tertinggi di Kuria. Aku tidak akan kaget jika suatu hari nanti
salah seorang dari mereka jadi paus. Itu, sungguh, seperti mengolok-olok
takdir." "Turgut punya seorang keponakan laki-laki di Urfa, Ismet, pemuda yang baik. Aku
akan menyuruhnya tinggal bersama pamannya," sang pastor merenung.
"Kardinal di sana baik; kurasa dia akan mengizinkan Francesco mengajak
keponakannya." "Ismet ini cerdik; ayahnya sudah memintaku mengurusnya. Aku akan memberi Ismet
misi untuk memantapkan dirinya di Turin dan bersiap-siap membebaskan Turgut bila
waktunya tiba. Untuk itu, dia harus menikahi gadis Italia supaya dia bisa tetap
di katedral sebagai tukang sapu menggantikan pamannya. Selain itu, dia akan
mengawasi Padre Yves dan mencoba mencari lebih banyak informasi tentang pastor
itu." "Apakah terowongan kita masih belum ketahuan?"
"Ya. Dua hari yang lalu Kepala Divisi Kejahatan Seni memeriksa terowongan-
terowongan bawah tanah; dia disertai beberapa tentara.
Sewaktu dia keluar, rasa frustrasi di wajahnya menceritakan semuanya.
Mereka tidak menemukan apa-apa."
Mereka terus berbicara dan meneguk minuman raki hingga larut malam, saat kedua
mempelai berpamitan kepada keluarga mereka.
Addaio, yang tidak pernah minum minuman beralkohol, bahkan tidak mencicipi raki
itu. Dengan didampingi Bakkalbasi dan tiga pria, ia meninggalkan hotel tempat
dilangsungkannya pesta pernikahan dan kembali ke rumah persembunyian milik salah
seorang anggota komunitas.
Esok hari dia akan kembali ke Urfa. Dia sudah berencana untuk pergi ke Turin,
tetapi itu akan menempatkan komunitasnya dalam bahaya besar. Dia sudah
memberikan perintah yang sangat teliti; setiap orang tahu apa tugas yang harus
dilakukan. Sisa malam itu ia habiskan dengan berdoa, mencari Tuhan sambil berulang-ulang
memohon petunjuk, tetapi ia tahu, seperti yang selalu ia ketahui, bahwa Tuhan
tidak mendengarkan, Tuhan tidak pernah mendekatinya, atau memberinya tanda apa
pun. Tetapi dia, Addaio, Addaio yang menderita ini, sudah menghancurkan hidupnya
dan hidup begitu banyak orang lain atas nama-Nya. Bagaimana jika Tuhan ternyata
tidak ada" Bagaimana jika semua ini hanya kebohongan" Kadang ia membiarkan
dirinya digoda oleh setan dan membiarkan dirinya berpikir bahwa komunitasnya
selama ini tetap hidup karena mitos, karena impian-impian yang sudah tertutup
debu, dan bahwa tak satu pun yang mereka sampaikan pada anak-anak mereka itu
benar. Tetapi sekarang sudah tidak mungkin berbalik. Hidupnya telah dipilihkan
untuknya: untuk melayani dan memimpin komunitasnya dan, di atas segalanya, untuk
mengamankan kafan Yesus Kristus demi komunitasnya. Dia tahu bahwa mereka akan
sekali lagi berusaha menghalangi, seperti yang sudah mereka lakukan selama
sekian abad ini. Komunitasnya sudah balas melawan sebisanya, melacak musuh-musuh serta jarahan
mereka selama abad-abad itu, mengikuti kegiatan mereka yang mengejar tujuan yang
sama. Pengetahuan yang sudah mereka kumpulkan membawa mereka ke jalan-jalan yang
penuh godaan, ke misteri-misteri dan jawaban-jawaban yang dirasa Addaio berada
tepat di luar jangkauan akalnya. Tetapi tidak ada misteri dalam tujuan utamanya
dibumi ini. Suatu hari kelak komunitasnya akan memiliki kembali kain suci yang
mereka warisi, dan dirinyalah, Addaio, yang setelah sekian lama akhirnya akan
mencapai tujuan yang mustahil itu.
30 Umberto D'Alaqua mengirim mobil untuk menjemput Sofia di hotel, dan di pintu
gedung opera asisten manajerteater itu sudah menunggu untuk mengantar Sofia
mene-mui pengundangnya. Sambutan itu saja sudah mengesankan, tetapi Sofia merasakan seluruh kehebatan
D'Alaqua saat memasuki bilik khusus. Tamu-tamu lainnya adalah orang-orang kaya
dan berkuasa dari kalangan elit kota-dan negara-itu: Kardinal Visier, Dr.
Bolard, dua bankir terkemuka, seorang anggota keluarga Agnelli dan istrinya,
serta Walikota Torriani dan istrinya.
D'Alaqua berdiri dan menyambut Sofia dengan hangat, sambil meremas tangannya.
Dia mengantar Sofia untuk duduk di sebelah sang walikota beserta istrinya dan
Dr. Bolard. Dia sendiri duduk di samping Kardinal Visier,yang menyapa Sofia
dengan senyuman teduh. Sofia merasa para lelaki menatapnya dari sudut mata merekasemua, kecuali sang
kardinal, Bolard, dan D'Alaqua. Sofia sudah bersusah-payah untuk tampil tida
khanya cantik tetapi memesona. Sore itu dia pergi menata rambutnya dan kembali
ke toko Armani, kali ini untuk membeli tunik dan celana panjang warna merah yang
anggun. Merah bukanlah warna yang sering digunaka nsang desainer, tetapi pakaian itu
spektakuler, begitulah Marco dan Giuseppe meyakinkannya.
Tuniknya berpotongan leher rendah, dan sang walikota seperti tidak sanggup
mengalihkan mata dari sana.
Marco terkejut karena D'Alaqua mengirim mobil untuk menjemput Sofia dan bukan
datang sendiri, tetapi Sofia memahami pesan itu.
D'Alaqua tidak punya minat pribadi pada dirinya; dia hanyalah tamu D'Alaqua
untuk menonton opera. Pria itu sudah meletakkan penghalang-penghalang yang tak
tertembuskan di antara mereka, dan meski dilakukan dengan sangat halus, dia
tidak menyisakan sedikitpun ruang keraguan.
Saat jeda, mereka menuju ruang pribadi D'Alaqua untuk menikmati sampanye dan
canape. "Anda menikmati opera ini, Dottoressa!"
Kardinal Visier mengamatinya seraya mengajukan pertanyaan klise itu.
"Ya, Yang Agung. Malam ini Pavarotti luar biasa."
"Benar sekali, meski La Boherne bukan opera terbaik-nya."
Guido Bonomi memasuki ruangan dan dengan gaya berlebihan menyapa tamu-tamu
D'Alaqua. "Sofia! Kau kelihatan cantik luar biasa! Banyak temanku yang tak sabar ingin
berkenalan denganmu, dan tidak sedikit istri yang cemburu karena kacamata opera
suami mereka lebih sering mengarah padamu daripada pada Pauarotti! Kau ini
termasuk perempuan yang membuat perempuan-perempuan lain sangat gelisah, Sayang-
ku!" Muka Sofia memerah. Dia sudah mulai hilang kesabaran menghadapi gaya Bonomi yang
tidak pada tempatnya dan ia menatap marah pada mantan profesornya itu. Sang
profesor menangkap pesan dalam mata birunya dan dengan cepat mengganti topik.
"Nah, baiklah, aku akan menanti kedatangan kalian semua untuk makan malam. Yang
Agung, Dottoressa, Bapak Walikota..."
D'Alaqua melihat ketidak senangan Sofia dan melangkah ke sampingnya.
"Guido memang seperti itu; selalu begitu. Seorang pria yang luar biasa, ahli
abad pertengahan yang terpandang, tetapi secara pribadi agak... mungkin bisa
kita katakan... energetik" Tidak usah kesal."
"Aku tidak kesal padanya, aku kesal pada diriku sendiri. Aku harus bertanya apa
yang kulakukan di sini; ini bukan tempatku. Kalau kau tidak berkeberatan,
setelah pertunjukan nanti aku akan kembali ke hotel."
"Jangan, jangan pergi, Dottoressa. Tinggallah, dan maafkan profesor tuamu, yang
sepertinya tidak bisa menemukan cara yang pantas untuk mengungkapkan
kekagumannya padamu. Tapi dia memang tulus dalam hal itu."
"Maafkan aku, tetapi aku benar-benar harus pergi. Sama sekali tidak ada alasan
bagiku untuk pergi makan malam di rumah Bonomi; aku dulu mahasiswanya, itu saja.
Bahkan seharusnya aku tidak membiarkan diriku di undang ke opera ini karena dia.
Ikut duduk di bilikmu, di antara tamu-tamumu, teman-temanmu... sungguh, aku
minta maaf sudah merepotkanmu."
"Kau sama sekali tidak merepotkanku, yakinlah."
Bunyi lonceng menandai berakhirnya jeda, dan dengan enggan Sofia membiarkan
D'Alaqua membimbingnyakembali ke bilik.
Ketika adegan berikutnya mulai berjalan, Sofia melihat bahwa D'Alaqua diam-diam
memerhatikannya. Dia merasa ingin lari dan situ, tetapi terkutuklah dia kalau
bertingkah seperti gadis bodoh. Dia akan bertahan sampai akhir pertunjukan, lalu
dia akan berpamitan dan tidak akan pernah bersilang jalan dengan laki-laki itu
lagi. D'Alaqua tidak punya hubungan apa-apa dengan Kafan Suci, itu absurd, dan
dia sudah berniat mengatakan pendapatnya itu kepada Marco.
Ketika pertunjukan selesai, hadirin seperti biasa memberi Pavarotti aplaus.
Sofia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengucapkan selamat malam kepada sang
walikota, istrinya, suami istri Agnelli, kedua bankir.
Akhirnya, dia menghampiri Kardinal Visier.
"Selamat malam, Yang Agung."


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda sudah mau pergi?"
"Ya." Visier, yang terkejut, berusaha menangkap mata D'Alaqua, tetapi D'Alaqua sedang
asyik berbincang dengan Bolard.
" Dottoressa, saya akan sangat kecewa jika Anda tidak ikut makan malam bersama
kami," ujar sang kardinal.
"Oh, Yang Agung, saya yakin Anda lebih paham dibandingkan siapa pun juga betapa
tidak enaknya saya.Saya benar-benar harus pergi. Saya tidak ingin merepotkan."
"Yah, kalau tidak ada lagi cara untuk meyakinkan Anda... tetapi saya sungguh
berharap bisa bertemu Anda lagi. Pandangan Anda tentang metode-metode arkeologi
modern membangkitkan minat saya, ide-ide Anda inovatif, sungguh. Anda tahu, saya
menekuni arkeologi sebelum mengabdikan diri sepenuhnya pada Gereja."
D'Alaqua menyela mereka. "Mobil-mobil sudah menunggu... "
" Dottoressa Galloni tidak ikut pergi bersama kita," Visier memberitahu.
"Aku sungguh menyesal, tadinya aku berharap kau ikut, tapi kalau kau lebih
memilih tidak, mobil akan mengantarmu ke hotel."
"Terima kasih, tapi aku lebih suka berjalan kaki, hotelnya tidak jauh."
"Maafkan saya, Dottoressa," sang kardinal memotong," tetapi saya rasa sebaiknya
Anda tidak berjalan sendirian. Turin kota yang rumit; pikiran saya akan lebih
tenang jika Anda mengizinkan mobil kami mengantar Anda."
Sofia mengalah agar mereka tidak menganggapnya tidak tahu sopan santun.
"Baiklah, terima kasih."
"Jangan berterima kasih pada saya," gumam sang kardinal. "Anda orang yang
mengagumkan, dengan kemampuan yang luar biasa, Anda tidak boleh membiarkan orang
lain terlalu memengaruhi Anda. Walaupun saya rasa Anda merasa kecantikan Anda
lebih merupakan beban daripada keuntungan, tepat karena Anda tidak pernah
mengandalkan kecantikan itu."
Kata-kata yang tak terduga dari sang kardinal menenangkan Sofia. D'Alaqua
menemaninya ke mobil. "Aku senang kau datang, Dottoressa Galloni."
"Terima kasih."
"Apa kau masih di Turin beberapa hari ke depan?"
"Ya, mungkin sampai dua minggu."
"Aku akan meneleponmu, dan kalau kau punya waktu, aku ingin kita makan siang
bersama." Sofia terbata-bata mengucapkan "Baiklah" ketika D'Alaqua menutup pintu mobil dan
memberi perintah kepada supirnya untuk membawa Sofia ke hotel.
Ketika rombongan selebihnya sudah berangkat, Kardinal Visier mengonfrontasi
bekas dosen Sofia. "Professore Bonomi, kau sudah menyinggung Dottoressa Galloni dan menyinggung
kami semua yang bersamanya. Sumbanganmu pada Gereja memang tak dapat disangkal
lagi, dan kami sangat berterima kasih atas semua yang kaulakukan sebagai pakar
utama kami dalam bidang seni abad pertengahan yang sakral itu, tetapi itu tidak
membuatmu berhak berkelakuan seperti orang udik."
D'Alaqua memerhatikan, bingung.
"Paul, aku tidak menyangka Dottoressa Galloni sudah membuatmu demikian
terkesan," komentarnya beberapa saat kemudian ketika mereka berdua saja.
Sang kardinal menggeleng. "Menurutku sikap Bonomi buruk sekali, dia bertingkah
seperti bandot tua, dan dia sudah menyinggung perasaan Dottoressa secara tidak
semestinya. Kadang aku bertanya-tanya sendiri bagaimana bakat artistik Bonomi
bisa begitu tidak tersangkut paut dengan kehidupannya selebihnya. Menurutku
Galloni orang yang baik dan serius-pandai, berpendidikan, sopan, seorang
perempuan yang bisa membuatku jatuh cinta seandainya aku bukan kardinal.
Seandainya kita ... seandainya kita bukan kita dengan jati diri ini."
"Aku terkejut mendengar keterus teranganmu."
"Oh, sudahlah, Umberto, kau tahu sebaik aku tahu bahwa selibat itu pilihan yang
sangat berat-berat sekaligus perlu. Aku menjunjung sumpahku, Tuhan tahuitu,
tetapi itu tidak berarti jika aku melihat seorang perempuan yang pandai dan
cantik, lalu aku tidak menghargainya.
Munafik kalau aku menyangkal hal itu. Kita punya mata, kita bisa melihat, dan
persis seperti kita mengagumi patung karya Bernini, atau tergerak oleh pahatan-
pahatan Phidias, atau gemetar menyentuh kerasnya granit makam Etruna, kita
mengakui nilai orang-orang di sekeliling kita. Tidak usahlah kita saling
menghina kecerdasan kita dengan berpura-pura kita tidak melihat kecantikan dan
nilai Dottoressa Galloni. Kuharap kau akan berbuat sesuatu untuk menyenangkan
hatinya." "Ya, aku akan meneleponnya dan mengundangnya makan siang.
Aku tidak bisa berbuat lebih dan itu."
"Tidak. Kita tidak bisa berbuat lebih dan itu."
"Wow! Kau kelihatan hebat! Habis dari pesta?" Ana Jimenez baru saja memasuki
hotel ketika Sofia keluar dari mobil.
"Habis dan mimpi buruk. Kau sendiri" Bagaimana pekerjaanmu?"
"Baik, kurasa. Ini lebih sukar dan yang kuduga, tetapi aku tidak akan menyerah."
"Baguslah." "Sudah makan malam?"
"Belum, tapi aku akan menelepon kamar Marco; kalau dia belum makan, akan kutanya
apa dia mau turun ke ruang makan."
"Keberatan kalau aku bergabung?"
"Aku tidak. Entah Marco, tunggu sebentar, nanti kuberitahu."
Sofia datang lagi dan meja resepsionis sambil memegang secarik kertas.
"Dia sudah keluar makan malam dengan Giuseppe. Mereka sedang di rumah komandan
carabinieri Turin." "Kalau begitu ayo kau dan aku makan. Aku yang bayar."
"Tidak, aku yang traktir."
Mereka memesan makan malam dan sebotol Barolo dan saling menilai.
"Sofia, ada satu episode dalam sejarah Kafan Suci yang kelihatannya sangat
membingungkan." "Hanya satu" Menurutku semuanya. Kemunculan kain itu di Edessa, lenyapnya kain
itu di Konstantinopel... "
"Aku membaca bahwa di Edessa dulu ada sebuah komunitas Kristen yang sangat mapan
dan berpengaruh, dan keadaan begitu gentingnya hingga emir Edessa bertempur
melawan pasukan Bizantium ketimbang dipaksa menyerahkan kain itu."
"Ya, itu benar," Sofia menegaskan. "Pada 944 pasukan Bizantium mencuri Kafan
Suci dalam sebuah pertempuran melawan kaum Muslim yang pada masa itu memerintah
Edessa. Kaisar Bizantium, Romanus Lecapenus, menginginkan Mandylion, begitulah
orang Yunani menyebut benda itu, karena mengira jika dia memiliki kain itu, dia
akan mendapat perlindungan Tuhan dan tak terkalahkan. Dia mengirim pasukan di
bawah pimpinan jenderal terbaiknya dan menawarkan kesepakatan kepada emir
Edessa: Jika sang emir menyerahkan Kafan Suci, pasukan itu akan mundur tanpa
merusak kota sama sekali, Romanus bersedia membayar banyak untuk Mandylion, dan
dia akan membebaskan dua ratus tawanan Muslim."
"Tetapi komunitas Kristen di Edessa menolak menyerahkan Mandylion kepada sang
emir, dan karena sang emir, meski dia Muslim, takut kain itu menyimpan kekuatan
magis, dia memutuskan untuk bertempur. Pasukan Bizantium menang dan Mandylion
dibawa ke Bizantium pada Agustus 944. Liturgi Bizantium merayakan hari itu.
Ruang arsip Vatikan menyimpan teks homili Paus Gregorypada 16 Agustus ketika ia
menerima Kafan Suci. "Sang kaisar mengirim kain itu untuk disimpan ke Gereja St. Mary of Blachernae
di Konstantinopel, dan disana setiap Jumat kain itu disembah oleh kaum beriman,"
lanjutnya. "Dan sana kain itu menghilang dan tidak terlihat lagi sampai akhirnya
muncul di Perancis pada abad keempat belas."
"Dan itulah yang ingin kuketahui. Apakah orang-orang Templar mengambilnya?"
tanya Ana. "Beberapa penulis mengatakan para Ksatria Templarlah yang mencuri
Kafan Suci dari orang-orang Bizantium."
"Sulit dipastikan. Kelompok Templar disalahkan atas segala macam hal-mereka
digambarkan sebagai orang-orang super yang bisa melakukan segalanya. Mungkin
saja mereka mengambil Mandylion, mungkin juga tidak. Tentara-tentara Perang
Salib menebar kematian dan kehancuran, dan kebingungan, ke manapun mereka pergi.
Atau mungkin saja Balduino de Courtenay, yang menjadi kaisar Konstantinopel,
menggadaikan Mandylion dan sesudah itu kain itu lenyap.
"Dia bisa menggadaikan kafan itu?"
"Itu salah satu dari sekian banyak teori. Dia tidak punya cukup uang untuk
mempertahankan kekaisarannya, maka dia pergi mengemis pada raja-raja dan
pangeran-pangeran Eropa dan akhirnya menjual segala jenis relik keagamaan yang
dibawa tentara Perang Salib dari Tanah Suci sebenarnya, pamannya, Louis
Kesembilan dari Prancis, membeli beberapa. Mungkin juga anggota-anggota ordo
Templar, yang pada masa itu merupakan bankir-bankir paling berkuasa dan juga
terus- menerus berusaha mengumpulkan relik-relik suci, membayar Balduino untuk kain
itu. Tetapi tidak ada dokumen yang mendukung teori itu."
"Yah, menurutku orang-orang Templar yang mengambil." Mata Ana tampak menantang.
"Kenapa?" Sofia tidak memahami lompatan pemikiran ini, yang ternyata sama sekali
bukan pemikiran. "Entahlah, hanya dari petunjuk-petunjuk kecil dalam semua yang sudah kubaca. Kau
sendiri mengemukakan kemungkinan itu. Mereka membawa Kafan Suci ke Prancis,
tempat akhirnya kain itu muncul kembali."
Kedua perempuan itu terus berbicara cukup lama, Ana berspekulasi tentang orang-
orang Templar, Sofia dengan lancar mengemukakan fakta-fakta.
Marco dan Giuseppe tak sengaja bertemu mereka sewaktu menuju lift.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya Giuseppe terkejut.
"Kami tadi makan malam bersama dan bersenang-senang, betul, Ana?" Marco menyapa
sang wartawan dengan hangat tetapi hanya mengajak Sofia dan Giuseppe untuk minum
satu gelas terakhir bersamanya di bar hotel.
"Ada apa, kenapa kau pulang begini cepat?" ia bertanya ketika mereka sudah
duduk. "Oh, Bonomi membuatku kesal. Dia terpesona melihatku dan membuat kami berdua
kelihatan dungu. Aku merasa sangat tidak nyaman dan waktu opera selesai, aku
kembali ke sini. Maksudku, Marco, aku sejujurnya tidak ingin berada di tempat
yang bukan tempatku, aku benar-benar salah tempat di sana, dan itu memalukan."
"Bagaimana dengan D'Alaqua?"
"Dia sangat sopan, dan yang cukup mengejutkan, Kardinal Visier juga. Mereka
tidak usah kita utak-atik, bagaimana?"
"Kita lihat nanti. Aku tidak berniat menutup satu pun alur investigasi ini, tak
peduli semustahil apa kelihatannya. Kali ini aku akan mengejar setiap
kemungkinan." Sofia tahu Marco bersunggung-sungguh dengan ucapannya.
Sambil duduk di tepian tempat tidur, yang selebihnya tertutup kertas, catatan,
Datuk Lembah Neraka 1 Pendekar Mata Keranjang 13 Mendung Di Langit Kepatihan Geger Topeng Sang Pendekar 2
^