Pencarian

Misteri Kain Kafan Jesus 7

Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro Bagian 7


Perbuatannya itu akan tercatat dalam sejarah ketidak adilan.
Api mulai membakar tubuh para kesatria Tempar yang telah remuk itu. Mata de
Molay menatap tajam pada Philippe, dan di hadapan penduduk Paris si Imam Besar
menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dan mengharap keadilan Tuhan terhadap
Raja Prancis dan Paus Clement, mengumpulkan mereka bersamanya di hadapan
pengadilan Tuhan tahun itu juga.
Bulu kuduk Philippe meremang saat kata-kata de Molay itu terdengar keras. Dia
gemetar ketakutan dan harus menyadarkan dirinya sendiri bahwa dia adalah raja
dan tidak ada yang bisa membahayakan keselamatnya, karena dia telah mendapatkan
restu dari Paus dan otoritas tertinggi Gereja sebelum dia bertindak.
Tidak, tidak mungkin Tuhan memihak para kesatria Templar ini, orang-orang bidah
yang menyembah berhala rahasia ini, yang telah berbuat dosa karena melakukan
sodomi, dan yang dikenal sebagai kawan bangsa Sarasen. Dia, Philippe, Raja
Prancis, mematuhi hukum-hukum Gereja.
Tetapi apakah dia mematuhi hukum-hukum Tuhan"
45 "Kamu sudah selesai?"
Ana melompat. "Profesor! Anda membuat saya takut! Saya tadi sedang di tengah-
tengah membaca eksekusi Jacques de Molay. Bulu kuduk saya sampai berdiri. Lagi
pula, apakah pengadilan Tuhan itu?"
Profesor McFadden menghela nafas berat dan memandangnya dengan tatapan bosan.
Sudah dua hari ini Ana berada di institut, membolak-balik arsip dan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan yang ada kalanya benar-benar terdengar seperti omong
kosong. Dia cerdas tapi tidak banyak tahu, dan Profesor Mc-Fadden harus memberikan
sejumlah pelajaran sejarah dasar. Pengetahuannya tentang Perang Salib dan dunia
abad ke-12, ke-13, dan ke-14 yang penuh kekacauan itu masih sangat mendasar.
Tetapi dia tidak bodoh, ketidak-tahuan akademiknya tampaknya berbanding terbalik
dengan nalurinya dalam menemukan mutiara di lautan informasi, dan nalurinya
untuk langsung mencari ke jantung cerita. Dia mencari terus dan terus, dan dia
tahu di mana dan bagaimana menemukan hal-hal yang penting. Dia memahami frasa,
kata, atau kejadian sambil terus menjalankan riset anarkisnya. Segalanya bisa
dijadikan petunjuk. Profesor McFadden berhati-hati; dia berjuang mati-matian mengalihkan perhatian
Ana dari kejadian-kejadian yang dia tahu mungkin akan berbahaya di tangan
seorang reporter. Dia membetulkan letak kacamatanya dan mulai menjelaskan tentang pengadilan
Tuhan. Ana sekonyong-konyong merinding ketika dengan nada bicaranya yang
dramatis Profesor mengulangi kata-kata Jacgues de Molay. Kemudian dia
menjelaskan dampak ucapan itu.
"Paus Clemen meninggal empat puluh hari kemudian, dan delapan bulan setelah itu
Philippe yang Adil meninggal. Kematian mereka sangat mengerikan, sebagaimana
saya katakan sebelumnya. Tuhan menegakkan keadilan-Nya."
"Saya senang dengan Jacques de Molay," kata Ana kepadanya.
"Maaf?" "Saya suka dia. Tampaknya dia adalah orang yang baik, dan adil, dan Philippe
yang Adil, sebagaimana kalian orang-orang Inggris menyebutnya, sama sekali tidak
adil. Anda harus mengakui betapa melegakannya, setidaknya dalam hal ini, ketika
tahu Tuhan menegakkan keadilannya, sebagaimana Anda menyebutnya. Sayang sekali
Dia kurang sering melakukannya. Tetapi tidakkah Anda beranggapan bahwa kesatria
Templar ada di balik kedua kematian itu?"
"Tidak, sama sekali tidak."
"Kenapa" Bagaimana Anda bisa begitu yakin?"
"Ada dokumentasi mendetail mengenai situasi ketika Raja dan Sri Paus meninggal,
dan saya berani menjamin bahwa Anda tidak akan menemukan sumber yang
mengesankan, bahkan dalam bentuk spekulasi, kemungkinan para kesatria Templar
menuntut balas. Di samping itu, para kesatria Templar tidak hidup dan bertindak
dengan cara seperti itu. Dengan segala yang telah Anda baca, Anda harus menyadarinya."
"Kalau saya, pasti akan melakukannya."
"Apa?" "Memimpin sekelompok kesatria untuk membunuh Paus dan Philippe."
"Mungkin begitu. Tetapi para Kesatria Templar tidak akan pernah membiarkan diri
mereka melakukan hal itu. Mereka membunuh untuk menjalankan tugas mereka,
sebagaimana menurut mereka. Namun mereka tidak pernah membalas dendam."
"Apa kiranya harta karun yang dikejar-kejar Raja ini" Menurut arsip-arsip itu,
dia sudah hampir mengambil segalanya. Namun Philippe bersikukuh agar Jacques
deMolay menyerahkan 'harta karun' itu. Harta karun apa yang dia bicarakan" Pasti
sesuatu yang konkret, sesuatu yang sangat berharga, kan?"
"Philippe juga mengetahui betapa besar kekayaan yang telah dikumpulkan Biara.
Dia terobsesi untuk menelanjangi Ordo Templar dan mengira Jacques de Molay telah
menipunya dengan menyembunyikan sebagian besar emas ordo tersebut."
"Tidak... Saya rasa dia tidak mencari emas lebih banyak lagi."
"Tidak" Menarik sekali! Menurutmu apa yang dicarinya?"
"Well, sesuatu yang konkret, seperti saya bilang, sesuatu yang spesifik. Sebuah
benda yang hebat, besar nilainya bagi Biara dan bagi Raja Prancis, mungkin bagi
umat Kristiani, ada petunjuk ke sana dalam catatan-catatan ini. Saya pernah
membaca bahwa perdagangan relik-relik Kristen lumayan marak pada masa itu dan
benda-benda itu dianggap sama berharganya dengan emas, atau bahkan lebih
berharga. Mengapa pula urusan itu menjadi sedemikian besarnya?"
"Ah. Baiklah kalau begitu, katakanlah apakah kiranya benda itu, karena saya
berani menjamin bahwa inilah pertama kalinya saya mendengar sesuatu yang
sedemikian.. . sedemikian... "
"Jika Anda tidak ingin bersopan-sopan, Anda akan bilang
'sedemikian omong kosongnya'. Mungkin Anda benar, Anda adalah seorang sejarawan
dan saya adalah seorang reporter; Anda mencari fakta-fakta yang bisa diketahui,
saya berspekulasi untuk mendapatkan fakta-fakta yang tidak kita ketahui."
"Dan begitulah kita, Nona Jimenez. Kita mendiskusikan sejarah, dan sejarah itu
tidak tersusun atas spekulasi, Nona Manis, sejarah terdiri dari fakta yang bisa
dibuktikan kebenarannya, yang dikuatkan oleh beberapa sumber."
Ana melanjutkan seolah dia tidak mendengar sepatah kata pun yang diucapkan
Profesor Mc Fadden. "Menurut arsip-arsip yang telah saya lihat sejauh ini, pada bulan-bulan sebelum
dia ditangkap Raja, Imam Besar mengirimkan kurir-kurir yang membawa surat untuk
beberapa Rumah Induk. Banyak kesatria yang pergi dan tidak ada yang kembali.
Apakah ada salinan surat-surat yang ditulis oleh de Molay?"
"Kami punya beberapa, salinan yang sudah bisa kami jamin sebagai surat otentik.
Yang lainnya telah hilang."
"Bolehkan saya melihat salinan-salinan yang Anda punya?"
"Saya akan tanyakan apakah bisa saya tunjukkan kepada Anda."
"Saya sudah ingin melihat surat itu besok, jika memungkinkan; saya akan
berangkat pagi-pagi keesokan harinya."
"Oh, Anda berangkat!"
"Ya, dan kelihatannya Anda senang saya pergi."
"Jangan begitu, Nona Jimenez!"
"Profesor, saya tahu saya merepotkan Anda dan mengganggu pekerjaan Anda."
McFadden berusaha tersenyum. "Saya akan mencoba menyiapkan dokumen-dokumen itu
besok. Apakah Anda akan kembali ke Spanyol?"
"Tidak, ke Paris."
"Ah, Paris. Baik sekali, kalau begitu. Pertama-tama, datanglah besok pagi."
Malam itu Ana Jimenez meninggalkan rumah besar tersebut lebih awal. Dia berharap
bisa berbicara lagi dengan Anthony McGilles, tetapi tampaknya lelaki itu sudah
hilang tanpa bekas sejak pertemuan pertama mereka.
Dia kelelahan. Dia menghabiskan seharian penuh membaca tentang bulan-bulan
terakhir Biara. Fakta-fakta membosankan, tanggal, dan pengisahan kejadian-
kejadian yang tak jelas sumbernya, semua itu membuatnya jenuh setengah mati.
Tetapi dia mendapat anugerah, atau kutukan, seperti yang terus-terusan dikatakan
abangnya, imajinasi yang hebat, sehingga setiap kali dia membaca, "Imam Besar
Jacques de Molay mengirimkan sepucuk surat pada Rumah Induk di Maguncia bersama
Kesatria de Lacey, yang berangkat pada pagi hari tanggal 15 Juli ditemani dua
pengawalnya," dia mencoba membayangkan seperti apa tampang de Lacey ini, apakah
dia menunggangi kuda hitam atau kuda putih, apakah hari itu panas, apakah
suasana hati para pengawal tersebut sedang buruk atau baik. Tetapi dia tahu
bahwa imajinasinya tidak pernah memberinya kebenaran tentang orang-orang itu dan
dia tidak pernah tahu hal-hal penting apa saja yang ditulis Jacgues de Molay di
dalam suratnya kepada para imam Templar itu. Salinan-salinan yang didapatkannya
hanya berisi urusan administrasi yang kering, tidak lebih.
Ada daftar mendetail berisi nama-nama kesatria yang dikirimkan bersama surat-
surat itu tepat sebelum jatuhnya Biara, dan bertentangan dengan yang telah dia
bayangkan, beberapa di antara mereka dikabarkan telah kembali. Salah satu dan
mereka, Geoffroy de Charney, preseptor Normandia, telah dibakar di kayusula
berdampingan dengan tuannya.
Segala jejak mengenai yang lain-lain telah hilang untuk selamanya, setidaknya
sejauh yang bisa dia kumpulkan dari arsip-arsip itu.
Dia berangkat ke Paris keesokan paginya, untuk menepati janji bertemu dengan seorang
profesor sejarah di Sorbonne. Profesor Elianne Marchais, seorang perempuan
terhormat berusia enam puluh sekian tahun yang telah menulis sejumlah buku yang
umumnya hanya dibaca para sarjana seperti Marchais sendiri, adalah nama
akademisi terbesar mengenai abad ke-14, atau kira-kira begitulah kata kontak
Ana. Ana langsung balik ke hotel. Harga hotel tersebut lebih tinggi daripada yang
seharusnya dia bayarkan, tetapi dia bisa memanjakan dirinya dengan tidur di
Dorchester seperti seorang putri raja. Ditambah lagi, lebih aman baginya berada
di hotel mewah. Nalurinya mulai mengatakan bahwa dia sedang dibuntuti. Dia
berkata pada dirinya sendiri bahwa hal itu konyol, siapa yang akan mengikutinya"
Kemudian Ana memutuskan bahwa mungkin mereka adalah para agen dari Divisi
Kejahatan Seni yang mencoba mencari tahu apa yang dia ketahui, dan hal itu
menenangkan pikirannya. Atau mungkin saja itu hanya karena pengkhianatan dari
kematian yang telah dia selidiki. Akhirnya abad ke-14
meracuni pikirannya. Hal itu jelas-jelas telah menyedot hidupnya, baik ketika
terjaga maupun tertidur. Dia tidak bisa memikirkan yang lain-lain.
Dia menelepon layanan kamar untuk meminta sandwich dan salad, ingin segera naik
ke peraduan. Orang-orang di Divisi Kejahatan Seni bisa memikirkan apa saja yang
mereka mau, tetapi dia benar-benar yakin bahwa kesatria Templarlah yang membeli
kafan tersebut dan Balduino.
Yang tidak masuk akal adalah, kafan tersebut muncul di Lirey, di Prancis.
Bagaimana kafan itu bisa sampai ke sana" Jika para kesatria Templar tampaknya
diam-diam memindahkan segala barang berharga hingga sejauh mungkin dari
cengkeraman Philippe, mengapa mereka meninggalkan harta karun yang sebegitu
berharganya di Prancis"
Dia berharap Profesor Marchais bisa menjelaskan kepadanya tentang sesuatu yang
jelas-jelas disembunyikan Profesor McFadden yang baik itu. Karena setiap kali
dia mulai menyinggung-nyinggung soal apakah para kesatria Templar telah membeli
kafan tersebut di Konstantinopel, profesor itu segera menukas agar dia hanya
berpegangan pada fakta yang ada. Profesor McFadden tidak bisa, atau tidak mau,
memahami bahwa tidak ada dokumen, atau sumber, yang membenarkan teorinya-teori
gilanya, begitulah sebutan yang diberikan profesor itu, dan Profesor McFadden
menjelaskan bahwa menurutnya orang-orang misterius yang dianggap sebagai
kesatriaTemplar itu hanya fakta yang menjemukan.
Maka Profesor McFadden dan institutnya, sebuah institut yang diyakini bertujuan
mempelajari Biara, bahkan menyangkal kemungkinan bahwa kesatria Templar pernah
memiliki kafan tersebut. Dia juga mati-matian mengingatkan Ana bahwa relik yang
dipuja di Turin itu berasal dari abad ke-14, bukan abad pertama, sehingga benda
itu sendiri pun masih bisa diragukan keasliannya. Dia bisa memahami tahyul di
kalangan orang awam, katanya, tetapi hal itu tidak menarik baginya.
Ana tahu dia melewatkan sesuatu. Sesuatu yang benar di depannya. Perasaan
tersebut membuatnya gila seharian itu. Dia mengeluarkan buku agendanya dan mulai
membacanya dan membaca catatan-catatan yang telah dia buat, melacak kembali
langkah-langkahnya. Dan tiba-tiba terlintas di pikirannya. Ini dia. Bisa-bisanya
dia melewatkannya" Api menyala-nyala di depan matanya, menjilat-jilat tinggi hingga ke angkasa. Di
dalamnya sosok-sosok lelaki berkelonjotan. Apakah mereka berteriak" Ana tidak
tahu; dia dikuasai panas dan raungan dan deru lautan api yang memangsa apa saja.
Lalu, ada yang lebih terang daripada api, lebih panas daripada sulur-sulur api
yang tampaknya membuat kulitnya melepuh, sepasang mata menatap tajam kepadanya
dari tengah-tengah api unggun raksasa dan terdengarlah suara yang lebih keras
dari suara lainnya. "Pergilah, jangan cari lagi, atau kau akan binasa dihadapan pengadilan Tuhan."
Sekali lagi dia terduduk dan bangun, ngeri, basah kuyup oleh keringat. Dia akan
mati jika melanjutkannya, dia yakin tentang itu.
Selama sisa malam itu Ana tidak bisa tidur. Pada kenyataannya, sekarang jarang
sekali dia melewati malam tanpa diserbu mimpi buruk.
Dia pernah, bahkan sering, mengikuti kisah-kisah mengerikan sebelumnya, tetapi
dia tidak pernah mengalami sesuatu yang seperti ini.
Rasanya seolah-olah ada kekuatan luar yang menyeretnya sedikit demi sedikit ke
dalam adegan-adegan mematikan dari masa lalu dan membuatnya, seorang reporter
abad ke-21, menghadapi kengerian dan transendensi sejati.
Entah bagaimana, dia tahu bahwa dia ada di sana, pada 19 Maret 1314 itu, di
pelataran depan Katedral Notre Dame, hanya beberapa kaki dari unggun raksasa
dimana Jacques de Molay dan kesatria-kesatrianya dieksekusi, dan Jacques
meminta, memerintah, dia agar tidak melanjutkan. Agar tidak mencari kebenaran di
balik kafan tersebut. Tetapi nasibnya telah ditentukan, begitu katanya didalam hati, dia tidak akan
berhenti betapapun dia takut kepada Jacques de Molay, tak peduli meskipun
kebenaran itu terlarang baginya. Dia tidak akan balik kucing. Apalagi sekarang
dia sudah bisa melihat mata rantai itu dengan jelas.
46 Bakkalbasi, orang yang merupakan pastor Ismet, kemenakan Francesco Turgut,
tukang sapu katedral, telah menempuh perjalanan dengan lelaki muda itu dari
Istambul ke Turin. Orang-orang lain dalam komunitas tersebut akan tiba melalui
jalur berbeda-beda, dari Jerman, dari tempat-tempat lain di Italia, bahkan dari
Urfa sendiri. Masing-masing orang membawa beberapa ponsel, meskipun Addaio
memerintahkan agar mereka tidak terlalu banyak menggunakannya dan agar mereka
mencoba berkomunikasi antara satu dengan lainnya memakai telepon umum agar
sebisa mungkin sulit dilacak.
Bakkalbasi menduga Addaio juga akan tiba. Tidak ada yang tahu dia di mana,
tetapi dia akan mengawasi mereka, mengendalikan gerakan-gerakan mereka,
mengarahkan seluruh operasi. Mendib harus mati, dan Turgut harus bisa
dikendalikan atau dia juga akan mati. Tidak ada alternatif lain.
Polisi Turki telah mondar-mandir di sekitar rumah-rumah mereka di Urfa, pertanda
yang pasti bahwa Divisi Kejahatan Seni sudah tahu lebih banyak daripada yang
ingin mereka akui. Bakkalbasi telah mengetahui pengawasan itu dari seorang
sepupunya di markas besar kepolisian Urfa, seorang anggota setia perkumpulan
mereka yang telah menginformasikan bahwa tiba-tiba Interpol menaruh minat kepada
orang-orang Turki yang beremigrasi dari Urfa ke Italia. Interpol belum
memberitahukan apa yang mereka cari, tetapi mereka telah meminta laporan lengkap
mengenai keluarga-keluarga tertentu, atau semua orang yang tergabung dalam
perkumpulan. Saat itu semua tanda bahaya telah menyala, dan Addaio telah menunjuk seorang
penerus, untuk berjaga-jaga jika sesuatu menimpanya. Dalam perkumpulan tersebut
terdapat sebuah bagian lagi, yang bahkan lebih dirahasiakan. Merekalah yang akan
melanjutkan perjuangan jika kelompok utama gagal, dan mereka memang akan gagal;
perasaan samar-samar di relung hatinya yang paling dalam mengatakan demikian.
Begitu tiba di Turin, dia lalu membawa Ismet ke rumah Turgut.
Ketika penjaga pintu itu membuka pintu, dia berteriak kaget.
"Tenangkan dirimu, bung!" Bakkalbasi mencengkeram lengan penjaga pintu itu dan
menggiringnya ke dalam."Mengapa kamu berteriak"
Apakah kamu ingin membuat seluruh katedral tahu?"
Mereka duduk, dan ketika Turgut sudah bisa menenangkan dirinya lagi, dia memberi
mereka informasi tentang kejadian-kejadian terakhir.
Dia tahu dirinya sedang diawasi; dia sudah mengetahui hal itu sejak hari
terjadinya kebakaran. Dan cara Padre Yves memandangnya ... Oh, ya, dia sangat
ramah kepada Turgut, tetapi ada sesuatu di matanya yang memberitahu Turgut untuk
berhati-hati dengannya atau dia akan mati, ya, ya, persis seperti itulah yang
dia rasakan. Mereka saling bertukar kabar selama beberapa saat lagi sambil ditemani kopi, dan
pastor tersebut menginstruksikan kepada Ismet supaya terus menemani pamannya.
Turgut akan memperkenalkannya ke kantor-kantor kardinal dan memberitahukan bahwa
kemenakannya akan tinggal bersamanya. Pastor tersebut meminta Turgut menunjukkan


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ismet pintu rahasia yang mengarah keterowongan bawah tanah-beberapa di antara
orang-orang yang akan datang dari Urfa mungkin perlu bersembunyi di sana, dan
jika jadi bersembunyi, mereka akan membutuhkan makanan yang hanya bisa
disediakan olehTurgut. Kemudian Bakkalbasi meninggalkan mereka. Dia harus menghadiri pertemuan-
pertemuan lagi dengan para anggota komunitas yang lain, di Turin dan di tempat-
tempat lain. "Apa yang kita lakukan?" tanya Pietro. "Mungkin kita harus membuntutinya."
Dia dan Giuseppe telah mengelilingi sudut katedral dan sedang menuju kamar
penjaga pintu tepat ketika seorang laki-laki keluar dan sepertinya bergerak
dengan sembunyi-sembunyi ke jalan. Ada sesuatu yang menarik pada diri orang itu;
dia menoleh tidak sekali tetapi duakali.
"Kita tidak tahu siapa dia," jawab Giuseppe.
"Dia orang Turki, lihat saja."
"Baiklah, kalau begitu aku akan membuntutinya."
"Aku tidak tahu, mungkin kita akan mendapat lebih banyak di sini. Dengar, mari
kita lakukan menurut rencana dan berbicara dengan si tukang sapu; mungkin kita
bisa mendapatkan informasi tentang tamunya itu dari dia."
Ismet membukakan pintu, dia pikir Bakkalbasi telah melupakan sesuatu. Dia
mengernyitkan dahi saat melihat kedua laki-laki itu, pastinya polisi. Polisi,
pikirnya, selalub ertampang seperti polisi.
"Buon giorn, kami ingin berbicara dengan Francesco Turgut," kata Pietro. Pria
muda itu mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya seolah dia tidak yakin apa
yang mereka inginkan, dan kemudian menoleh serta berteriak ke bagian dalam
ruangan dalam bahasa Turki. Turgut muncul di pintu, tidak bisa menahan
gemetarnya. "Buon giorno, Signor Turgut," kata Pietro. "Kami masih menyelidiki kebakaran
tempo hari, dan kami ingin tahu siapa tahu Anda sudah ingat sesuatu yang lain,
segala detail yang tidak wajar."
Turgut nyerocos dalam bahasa Turki sambil melambai-lambaikan tangannya kepada
mereka. Sepertinya dia nyaris tidak bisa menahan tangis. Ismet memegang pundak
Turgut dari atas untuk melindunginya dan membantunya menjawab untuknya dalam
bahasa Italia pasaran bercampur Inggris.
"Paman saya orang tua, dan sangat menderita sejak kebakaran. Dia takut, setelah
bertahun-tahun di sini, orang-orang akan kira dia tidak baik seperti dulu dan
usir dia, karena dia tidak becus mengawasi. Tolong jangan ganggu paman lagi. Dia
sudah cerita semua yang dia ingat."
"Dan siapa kamu?" tanya Pietro.
"Saya Ismet Turgut, keponakan paman ini. Saya datang hari ini. Saya ke Turin
cari kerja." "Dari mana asalmu?"
"Urfa... Dari Urfa."
"Tidak ada pekerjaan di sana?" tanya Giuseppe.
"Di ladang minyak, ada, tetapi saya, yang saya inginkan pekerjaan bagus,
menabung, dan pulang ke Urfa untuk buka usaha. Saya... tidak ada istri" Pacar?"
Anak itu kelihatannya cukup menyenangkan, pikir Pietro, bahkan lugu. Mungkin dia
memang lugu. "Baiklah, tidak apa-apa. Apakah pamanmu tetap berhubungan dengan orang-orang
lain dari Urfa" Bagaimana dengan orang yang baru saja pergi tadi" Apakah dia dan
sana?" tanya Giuseppe.
Turgut gemetar. Kini dia yakin polisi tahu segalanya. Sekali lagi Ismet
mengatasi keadaan, cepat-cepat menjawab, mengabaikan pertanyaan tentang
Bakkalbasi. "Ya, pasti, dia masih berhubungan, dan saya yakin saya juga akan coba berteman
dengan orang-orang dari kota saya. Paman saya, Anda tahu, separuh Italia, tetapi
orang Turki tidak pernah lupa asal-usulnya, ya kan, paman?"
Pria muda itu sepertinya bersikukuh tidak membiarkan Francesco Turgut berbicara.
Pietro bertanya, "Tuan Turgut, Anda kenal keluarga Bajerai?"
"Bajerai!" seru Ismet girang. "Di sekolah saya dulu ada anak yang bernama
Bajerai! Saya rasa di Turin sini ada sepupu atau semacam itulah... bukan sepupu
sebaya, Anda tahu, tetapi ayah mereka sepupu saya."
"Aku ingin pamanmu yang menjawab pertanyaanku," Pietro ngotot.
Francesco Turgut menelan ludah dan bersiap-siap mengatakan sesuatu, dia sudah
latihan berulang kali untuk mengatakannya.
"Ya, ya, tentu saya kenal mereka. Mereka adalah keluarga terhormat yang tertimpa
aib besar. Anak-anak mereka... begini, anak-anak mereka berbuat salah dan mereka
menerima akibatnya. Tetapi mereka orang baik, maksud saya orang tua mereka.
Sangat baik. Tanyakan siapa saja, mereka akan membenarkannya."
"Pernahkah Anda mengunjungi keluarga Bajerai akhir-akhir ini?"
"Tidak, kesehatan saya... kurang bagus. Saya tidak banyak keluar rumah."
"Permisi," sela Ismet dengan raut muka tak berdosa. "Apa yang telah diperbuat
Bajerai?" "Mengapa kau pikir mereka berbuat sesuatu?" tanya Giuseppe.
"Karena kalau Anda, polisi, datang kemari dan menanyakan tentang Bajerai,
berarti mereka telah melakukan sesuatu, kan" Saya pikir, Anda tidak akan
bertanya jika mereka tidak berbuat apa-apa."
Pria muda itu tersenyum, jelas-jelas bangga dengan alasan yang dikemukakannya.
Giuseppe dan Pietro memandangnya, tidak bisa memutuskan apakah dia benar-benar
selugu kelihatannya atau dia ini sangat pandai berbohong.
Giuseppe menoleh ke Turgut. "Mari kita ingat lagi hari terjadinya kebakaran
itu," ajaknya. "Saya sudah ceritakan semua yang saya ingat. Jika sudah ada lagi yang saya
ingat, saya pasti sudah menelpon Anda," jawab orang tua itu, suaranya gemetar.
Pietro menyambar lagi. " Signor Turgut, siapa orang yang baru saja pergi itu?"
desaknya. "Apakah dia dari Urfa?"
Penjaga pintu itu menggelengkan kepalanya dengan sangat berapi-api. "Tidak,
tidak! Seorang teman, hanya seorang teman." Dia menyandarkan dirinya ke tubuh
kemenakannya. "Saya tidak enak badan,"
katanya geme-tar. "Saya harus istirahat."
"Saya baru tiba," kata Ismet tiba-tiba mengiba. "Saya belum sempat tanya paman
saya di mana saya tidur, bisakah Anda kembali lain kali?"
Pietro dan Giuseppe saling pandang dan tampaknya sudah memutuskan. "Hubungi kami
begitu Anda sudah agak sehat," kata Pietro.
"Saya rasa masih banyak yang harus kita bicarakan." Mereka berpamitan dan pergi.
"Bagaimana menurutmu keponakannya?" tanya Poetro kepada mitranya ketika mereka
berjalan menjauh. "Tidak tahu, sepertinya dia anak baik."
"Mereka mungkin mengirimnya untuk mengendalikanpamannya."
"Oh, sudahlah!" protes Giuseppe. "Apa itu tidak terlalu mengada-ada"
Dengar, kurasa kau benar, Sofia dan Marco terlalu membesar-besarkan kasus ini
hingga terlalu berlebihan, meskipun tidak sering membuat kesalahan ... Tetapi
kafan ini, benda ini sudah seperti obsesi."
"Kalau begitu, terima kasih kemarin sudah membiarkan aku terpojok sendirian saat
mengatakan itu. Kenapa waktu itu kau tidak bilang apa-apa?"
"Apa tujuannya" Dan apa yang kita perdebatkan sekarang" Kita harus melakukan
yang diperintahkan Marco. Dan itu tidak masalah buat aku. Jika dia benar, hebat,
kasus kita selesai; jika tidak, nggak apa-apa, setidaknya kita sudah mencoba
menemukan jawaban atas kebakaran-kebakaran keparat itu. Lagi pula, kita hanya
menjalankan perintah, tetapi kita tidak perlu mengorbankan diri sendiri, tahu
kan maksudku?" "Seperti anjuran 'kuatkan dirimu' dan yang semacam itu, kan" Kau lebih pantas
jadi orang Inggris daripada jadi orang Italia, Bung."
"Masalahnya semuanya kau anggap serius, dan kau itu terlalu cepat emosi. Jika
aku bilang langit itu biru kau akan mendebatnya."
"Masalahnya semua sudah tidak seperti dulu lagi. Tim kita ini jadi amburadul."
"Tentu saja tim kita jadi amburadul. Kau dan Sofia tidak pernah akur seperti
anjing dan kucing setiap kali bertemu, dan kau selalu ingin saling beradu mulut.
Sumpah, kalian berdua tampak siap berperang mulut sewaktu-waktu. Marco benar:
Jangan campur adukkan antara pekerjaan dan pacaran. Kalau boleh jujur kepadamu,
Pietro, semuanya jadi kacau karena salahmu sendiri."
"Siapa yang menyuruh kau jujur kepadaku?"
"Yeah, bagaimana ya" Sudah lama aku ingin bicara denganmu soal ini, jadi itu
tadi keluar begitu saja."
"Jadi bisa dibilang ini semua salahku dan Sofia. Terus kami harus bagaimana?"
"Tidak ada. Ini akan berlalu, lagi pula, dia akan pergi. Saat kasus ini ditutup
dia akan minggat, pergi ke padang yang lebih hijau. Dia ingin melakukan sesuatu
yang lebih hebat daripada sekadar mengejar maling."
"Dia benar-benar luar biasa..." kata Pietro sambil matanya menatap kosong ke
kejauhan. "Yang aneh adalah kenapa dia dulu pernah pacaran sama kamu."
"Terima kasih."
"Sudahlah! Seseorang tidak bisa diubah, dan lebih baik mereka menerimanya. Kau
dan aku adalah polisi. Tidak satu pun dari kita yang masuk lingkarannya,
ataujuga lingkaran Marco. Dia pernah mengenyam pendidikan,dan kau sendiri tahu.
Maksudku, aku bahagia menjadi diriku saat ini dan pernah menjadi apa yang pernah
kujalani. Bekerja di Kejahatan Seni adalah tugas yang bagus, dan polisi-polisi
lain menghormatimu."
"Dedikasimu membangkitkan semangatku."
"Oke, aku akan tutup mulut, tetapi kurasa aku dan kau bisa saling jujur, blak-
blakan saja." "Bagus. Seperti katamu. Ayo kita sudahi saja ini dan kembali ke markas. Kita
akan suruh Interpol meminta orang-orang Turki itu mengirimkan kepada kita
informa siapa saja yang mereka punya tentang keponakan yang telah mendarat di
Turin ini." 47 Elianne Marchais adalah seorang perempuan kecil dan anggun dengan kejelian yang
dahsyat khas orang Prancis. Dia menyambut Ana Jimenez dengan campuran sikap
pasrah dan penasaran. Dia tidak suka reporter. Mereka menyederhanakan segala yang mereka dengar
sedemikian rupa hingga ujung-ujungnya yang mereka cetak hanya penyimpangan-
penyimpangan, karena itulah dia tidak mau diwawancarai. Ketika orang-orang
meminta opininya mengenai sesuatu, jawabannya selalu sama: "Bacalah buku saya.
Jangan minta saya menjelaskannya dengan tiga kata saat saya butuh menjelaskan
dalam tiga ratus halaman."
Tetapi perempuan muda ini adalah kekecualian. Duta Spanyol untuk UNESCO telah
menelponnya tentang perempuan ini, begitu juga dua rektor universitas ternama di
Spanyol dan tiga koleganya di Sorbonne.
Jika bukan benar-benar orang yang sangat penting, pasti perempuan itu adalah
anjing bulldog yang tidak akan mau berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia
inginkan, dalam kasus ini Marchais mau memberikan kesempatan kepadanya beberapa
menit untuk berbicara dengan Ana, karena profesor itu hanya punya kesabaran
selama beberapa menit. Ana telah memutuskan bahwa dalam berurusan dengan perempuan seperti Elianne
Marchais, tidak boleh ada yang namanya berdalih. Dia akan segera mengatakan
beberapa hal secara blak-blakan, dan satu di antara dua hal akan terjadi:
Profesor itu akan mencampakkannya atau membantunya.
Dia butuh waktu sedikit lebih lama untuk menjelaskan kepada Profesor Marchais
bahwa dia ingin menulis sejarah Kafan Turin dan bahwa dia butuh bantuanp rofesor
itu untuk memisahkan antara fantasi dengan kenyataan dalam sejarah relik itu.
"Dan mengapa kamu tertarik dengan kafan itu" Apakah kamu beragama Katolik?"
"Tidak... maksud saya... saya rasa dalam beberapa hal saya Katolik.
Saya pernah dibaptis, namun saya tidak pernah menghadiri Misa."
"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kamu tertarik pada kafan itu?"
"Karena kafan tersebut adalah benda kontroversial yang tampaknya juga
menyebabkan sejumlah tindak kekerasan, kebakaran, perampokan di katedral... "
Profesor marchais mengangkat alisnya. "Mademoiselle Jimenez, sayangnya aku tidak
bisa membantumu," katanya bernada menghina.
"Spesialisasiku bukanlah persoalan-persoalan esoterik."
Ana tidak meninggalkan kursinya. Dia menatap tajam pada profesor tersebut dan
mencoba taktik lain dan berketetapan akan terus melanjutkan dengan hati-hati.
"Saya rasa saya telah salah bicara, Professor Marchais. Saya tidak tertarik
dengan persoalan esoterik, dan jika saya terkesan demikian maka saya minta maaf.
Yang saya coba lakukan adalah menulis sejarah yang terdokumentasi, sesuatu yang
sejauh mungkin penafsiran-penafsiran esoteris dan magis. Saya mencari fakta,
fakta, hanya fakta, bukan spekulasi. Karena itulah saya datang kepada Anda, agar
Anda bisa membantu membedakana pa-apa yang benar dalam penafsiran penulis-
penulis tertentu yang sedikit banyak dikenal. Anda tahu kejadian-kejadian di
Prancis pada abad ke-13 dan abad ke-14 seakan, akan baru terjadi kemarin, dan
pengetahuan seperti itulah yang saya butuhkan."
Profesor Marchais ragu-ragu. Penjelasan yang diberikan perempuan muda itu
setidaknya serius. "Aku tidak punya banyak waktu, jadi katakan persisnya apa yang ingin kamu
ketahui." Ana menghembuskan nafas lega. Dia tahu bahwa dia tidak boleh melakukan kesalahan
sekali lagi atau dia akan dicampakkan seperti duri ikan sisa kemarin.
"Baiklah, secara khusus, saya ingin Anda menceritakan segala yang Anda ketahui
tentang kemunculan kafan tersebut di Prancis."
Dengan gerak-gerik jenuh, sang profesor mulai menceritakan secara rinci.
"Hikayat terbaik sepanjang masa menyebutkan bahwa pada 1349, Geoffroy de Charny,
orang berpangkat dari Lirey, memberitahukan bahwa dia memiliki selembar kain
penguburan yang ada berkas-berkas tubuh Yesus, yang sangat diagung-agungkan
keluarganya. Geoffroy mengirim surat kepada Paus dan Raja Prancis, meminta izin
pendirian gereja kolese untuk memamerkan kafan tersebut agar bisa disembah oleh
orang-orang beriman. Gereja kolese, jika pendidikan agama Katolik yang kamu
dapatkan tidak membuatmu tahu artinya, adalah gereja yang sangat mirip katedral,
dengan seorang kepala biara dan sekawanan pendeta, dalam hal ini disebut
'kanon.' Dan sekawanan kanon inilah istilah itu diambil. Jadi, saya lanjutkan:
Baik Paus maupun Raja tidak menjawab permintaannya, yang artinya gereja
perguruan tinggi itu tidak bisa dibangun. Tetapi dengan keterlibatan pendeta
Lirey, yang melihat adanya peluang untuk meningkatkan pengaruh dan arti penting
mereka di wilayah tersebut, kafan tersebut mulai menjadi barang pemujaan
publik." "Tetapi dari mana asalnya kafan tersebut?"
"Dalam surat yang de Charny tulis kepada Raja Prancis, yang bisa ditemukan di
arsip kerajaan, dia meyakinkan raja bahwa dia merahasiakan kepemilikannya atas
kafan tersebut agar tidak memicu perselisihan di antara berbagai persaudaraan
Kristen, sebab muncul kafan-kafan lain di tempat-tempat yang jauh sekali seperti
Aixla-Chapelle dan Mainz di Jerman, Jaen dan Tolosa di Spanyol, dan Roma.
Sebenarnya, di Roma, mulai tahun 1350, terdapat sebuah kafan, yang tentu saja
dipercaya keasliannya, dipamerkan di basilika Vatikan.
Geoffroy de Charny bersumpah kepada Raja dan Paus demi kehormatan keluarganya,
bahwa kafan yang dia miliki itulah yang asli, tetapi yang tidak pernah dia
beritahukan kepada kedua orang itu adalah bagaimana kafan tersebut sampa ike
tangannya. Apakah ini warisan keluarga"
Apakah dia membelinya" Dia tidak pernah mengatakannya, dan dengan begitu kita
tetap tidak tahu. "Dia harus menunggu datangnya perizinan untuk membangun gereja kolese itu selama
bertahun-tahun dan tidak pernah berkesempatan melihat kafan tersebut dipamerkan,
karena dia meninggal di Poitiers ketika menyelamatkan nyawa Raja Prancis, yang
dia tamengi dengan tubuhnya sendiri dalam sebuah peperangan. Jandanya
menyumbangkan kafan tersebut ke gereja di Lirey, yang mendatangkan kekayaan
kepada kependetaan kota tersebut sekaligus membangkitkan rasa iri para wali
gereja di kota-kota lainnya, baik kota besar maupun kecil, dan, tentu saja, hal
itu menciptakan konflik yang dahsyat di seluruh Prancis.
"Uskup Troyes memerintahkan penyelidikan tanpa henti atas kafan Lirey. Bahkan
dihadirkan seorang saksi penting untuk mendiskreditkan keasliannya, seorang
pelukis bersumpah bahwa dia pernah diperintahkan oleh bangsawan Lirey untuk
melukis gambar itu, dan dengan itu, Uskup melarang kafan tersebut dipamerkan
lagi. "Adalah seorang Geoffroy lain, Geoffroy de Charny II, yang bertahun-tahun
kemudian, tepatnya pada 1389, membujuk Paus Clement VII agar memberinya hak
untuk memamerkan kembali kafan tersebut.
Dan sekali lagi, Uskup Troyes turut campur karena marah melihat gelombang
peziarah yang datang untuk menyembah relik tersebut.
Selama beberapa bulan dia berhasil memaksa de Charny menyimpan kafan tersebut di
dalam petinya dan tidak benar-benar memamerkannya, namun sementara itu, de
Charney mencapai persetujuan lebih jauh dengan Paus: Dia diperbolehkan
memamerkan kafan tersebut dengan syarat kependetaan Lirey diharuskan menjelaskan
kepada orang-orang beriman bahwa itu adalah hasil lukisan untuk meniru kain


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penguburan Kristus."
Dengan nada yang tetap monoton, Profesor Marchais melanjutkan kisah tersebut
sepanjang sejarah, menjelaskan bahwa putri Geoffroy II, Marguente de Charney,
memutuskan untuk menyimpan kafan tersebut disebuah kastil milik suami keduanya,
Comte de la Roche. "Mengapa?" tanya Ana.
"Karena pada 1415, selama Perang Seratus Tahun, penjarahan merajalela. Jadi dia
pikir relik tersebut akan lebih aman di kastil suaminya, di Saint Hippolyte sur
le Doubs. Dia adalah perempuan kreatif, dan ketika suami keduanya meninggal, dia
bisa menambah sedikit penghasilan peninggalan suaminya tersebut dengan cara
menarik tarif beberapa penny dari siapa saja yang ingin melihat kafan tersebut
dari dekat dan berdoa di depannya. Dan kesulitan keuangan yang dia alami
membuatnya menjual relik tersebut beberapa dasawarsa kemudian kepada Balai
Savoy*, tepatnya pada tanggal 22 Maret 1453. Tentu saja pihak kependetaan Lirey
memprotesnya; mereka menganggap merekalah pemilik kafan tersebut, karena janda
Geoffroy de Charny pertama itu telah
menyerahkannya kepada mereka. Tetapi Marguente mengabaikannya. Dia tinggal di Kastil Varambom dan menikmati sewa dari kawasan
Minbel yang diberikan kepadanya oleh Balai Savoy. Oh ya, ada kontrak yang
menjelaskannya, dengan ditandatangani duke penguasa Savoy itu, Louis I. Sejak
saat itu, sejarah kafan tersebut menjadi transparan."
"Saya ingin tanya mungkinkah kafan tersebut sampai ke Prancis melalui kesatria
Templar." "Ah! Templar! Begitu banyak legenda, begitu tidak adilnya perlakuan yang mereka
terima, dan semuanya karena kebodohan!
Omong kosong, literatur gadungan tentang Templar itu benar-benar omong kosong.
Banyak organisasi, misalnya beberapa Ordo Mason, mengaku sebagai penerus Biara.
Beberapa di antara mereka, dalam istilah populernya, 'berada di pihak yang
benar,' misalnya selama Revolusi Prancis, tetapi yang lain..."
"Jadi Biara tidak mati?"
"Yah, tentu saja ada organisasi-organisasi yang, seperti saya bilang tadi,
mengaku sebagai penerus Biara. Ingatlah, di Skotlandia Biara tidak pernah
dibubarkan. Tetapi menurut saya Biara sudah mati sejak 19 Maret 1314, di api
unggung raksasa yang dibuat atas perintah Philippe le Beau untuk membakar
Jacques de Molay beserta kesatria-kesatria yang bersama dengannya."
"Saya pernah ke London. Saya menemukan pusat studi Templar."
"Sudah kubilang, ada loji-loji dan organisasi-organisasi yang mengklaim sebagai
penerus Biara. Saya tidak tertarik dengan mereka."
"Mengapa begitu?"
"Masakan tidak tahu, Mademoiselle Jimenez. Saya ini sejarawan."
"Ya, saya tahu, tapi "
"Tidak ada tapi-tapian. Ada lagi yang lain?"
"Ya, saya ingin tahu apakah keluarga de Charney masih ada sampai zaman sekarang,
apakah keturunan mereka masih ada?"
* Kawasan geografis penting; kawasan di bawah pimpinan seorang Duke yang ada di
daerah yang kini dikenal sebagai Prancis Barat Daya. Swiss Barat, dan Italia
Barat Laut. "Keluarga besar itu kawin-mengawini di antara mereka sendiri.
Kamu harus menanyakannya ke seorang pakar genealogi."
"Maafkan saya jika terlalu mendesak, Profesor, tetapi menurut Anda dari manakah
Geoffroy de Charney ini mendapatkan kafan tersebut?"
"Saya tidak tahu. Sudah saya jelaskan kepadamu bahwa dia tidak pernah bilang.
Begitu pula jandanya atau keturunan-keturunannya sampai kafan tersebut berpindah
tangan ke Balai Savoy. Bisa saja kafan tersebut didapat dari membeli atau dari
hadiah. Siapa tahu" Selama abad-abad itu, Eropa dipenuhi relik yang telah dibawa
kembali dari Perang Salib. Tentu saja kebanyakan di antaranya palsu. Karena
itulah ada banyak 'cawan suci,' kafan suci, tulang-belulang santo, potongan
Salib Asli... " "Apakah ada cara mengetahui adanya hubungan antara keluarga Geoffroy de Charny
dengan Perang Salib?"
"Seperti saya bilang tadi, kamu harus menemui pakar genealogi untuk itu. Tentu
saja..." Profesor Marchais berpikir lebih dalam, sambil mengetuk-ngetukkan ujung penanya
ke meja. Ana duduk membisu penuh harap.
"Mungkin, tentu saja, Geoffroy de Charny, yang dalam ejaan namanya tidak
terdapat e di belakang, barangkali punya keterkaitan dengan Geoffroy de Charney,
dengan e, preseptor Biara di Normandia yang meninggal di kayusula berdampingan
dengan Jacques de Molay yang juga berperang di Tanah Suci. Ini cuma soal
perbedaan ejaan nama, dan-" "Ya, ya, itu dia! Mereka berasal dari keluarga yang
sama!" "Mademoiselle Jimenez, jangan biarkan diri Anda terbawa oleh apa yang Anda
harapkan sebagai fakta. Saya cuma bilang kedua nama itu barangkali berasal dari
garis keturunan yang sama, sehingga Geoffroy de Charny yang memiliki kafan
itu.." "...andaikan hal ini karena bertahun-tahun sebelumnya Geoffroy yang lain
membawanya kembali dari TanahSuci dan menyimpannya di rumah keluarga. Kalau itu
masih memungkinkan."
"Sebenarnya, tidak. Preseptor Normadia adalah seorang Templar.
Jika dia memiliki relik tersebut, pasti relik tersebut sudah jadi milik Biara,
bukan miliknya atau milik keluarganya. Kami punya banyak sekali dokumentasi
mengenai si Geoffroy ini, karena dia tetap setia kepada de Molay dan Biara.
Jangan biarkan imajinasi menjerumuskan kita."
"Tetapi mungkin ada beberapa alasan mengapa dia tidak menyerahkan kafan tersebut
kepada Biara." " Aku menyangsikan itu. Maaf jika membuat mubingung; menurutku masalahnya bukanlah
pada ejaan, tapi kedua Geoffroy itu berasal dari keluarga yang berlainan. Dan
bahkan jika mereka punya hubungan, itu tidak akan menjelaskan kepemilikan
keluarga itu atas kafan suci, sebagaimana telah saya jelaskan kepadamu."
"Saya akan pergi ke Lirey."
"Baiklah, boleh saja. Ada lagi yang lain?"
"Profesor Marchais, terima kasih, Anda boleh tidak setuju, tetapi saya rasa Anda
telah menyibak sebagian dari sebuah teka-teki."
Pada saat Elianne Marchais melihat Ana Jimenez menuju pintu, sekali lagi dia
menegaskan opininya tentang para reporter: dangkal, kebanyakan tidak
berpendidikan, dan mudah terbawa fantasi-fantasi yang sangat bodoh. Wajar saja
jika banyak sekali sampah yang dicetak disurat kabar. Ana tiba di Troyes
keesokan hari setelah pertemuannya dengan Professor Marchais. Dia menyewa mobil
untuk menempuh perjalanan ke Lirey dan terkejut ketika mendapati sebuah desa
kecil, yang dihuni tak lebih dari limapuluh orang.
Dia berkeliling menelusuri sisa-sisa lahan perkebunan seorang tuan tanah zaman
dahulu, kedua tangannya menyentuh bebatuan kuno, dengan sedikit harapan
persentuhan dengan batu-batu itu bisa memberinya ilham. Akhir-akhir ini dia
telah membiarkan dirinya sebagian terbawa intuisi, tanpa perencanaan terlebih
dahulu. Dia mendekati seorang perempuan baya berbusana cantik yang mengajak anjingnya
jalan-jalan di sepanjang sisi jalan.
"Bonjour." Perempuan tua itu memerhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Bonjour." "Indah sekali tempat ini."
"Ya, tetapi menurut anak muda tidak begitu, mereka lebih suka kota."
"Soalnya di kota terdapat lebih banyak pekerjaan."
"Pekerjaan itu ada di mana saja kita ingin menemukannya. Di Lirey sini tanahnya
bagus. Dan mana asal Anda?"
"Saya dan Spanyol."
"Ah! Tadi saya juga pikir begitu, dari aksen Anda. Tetapi bahasa Prancis Anda
sangat bagus." "Terima kasih."
"Dan apa yang Anda lakukan di sini" Apakah Anda tersesat?"
"Oh tidak, sema sekali tidak." Ana tersenyum. "Saya datang secara khusus untuk
melihat tempat ini. Saya seorang reporter, dan saya sedang menulis kisah Kafan
Turin, dan karena kafan tersebut muncul di sini, di Lirey..."
"Hmmm! Itu sudah beratus-ratus tahun yang lalu! Sekarang orang-orang bilang
kafan tersebut tidak asli, kafan itu palsu, kafan itu dilukis di sini." "Dan
menurut Anda bagaimana?"
"Sejujurnya saya tidak begitu peduli, saya seorang atheis, dan saya belum pernah
tertarik dengan kisah-kisah para santo atau relik."
"Begitu juga saya, tetapi saya ditugasi menulis kisah ini dan pekerjaan adalah
pekerjaan." "Tetapi Anda tidak akan menemukan apa-apa di sini. Benteng itu, sisa-sisa
benteng itu- yah, Anda lihat saja disana."
"Dan tidak ada arsip atau dokumen tentang keluarga de Charny?"
"Mungkin di Troyes ada, meskipun keturunan keluarga tersebut sekarang hidup di
Paris." "Hidup?" "Bagaimana, ya" Keluarga itu punya banyak cabang."
"Bagaimana caranya agar bisa menemui mereka?"
"Saya tidak tahu. Mereka sekarang sudah tidak banyak berhubungan dengan desa
ini. Sesekali salah seorang dari keluarga mereka suka datang, tetapi tidak
sering. Tiga atau tempat tahun yang lalu seorang lelaki muda datang kemari. Dia
sungguh pemuda yang ganteng! Kami semua keluar melihatnya."
"Apakah ada orang yang bisa bercerita lebih banyak di sini?"
Perempuan itu memberi isyarat ke arah jalan. "Tanyakan di rumah yang ada di
ujung lembah itu. Monsieur Didier tinggal di sana, dia yang menjaga tanah
keluarga de Charny."
Ana berterima kasih kepadanya dan mulai berjalan cepat-cepat menuju rumah yang
sudah ditunjukkan perempuan itu, pengharapannya meningkat seiring langkah
kakinya. Dia yakin bahwa di tempat kecil nan sederhana ini dia akan menemukan
pertalian antara masa lalu dan masa kini, dan bukti nyata untuk mendukung rasa
penasarannya. Monsteur Didier adalah lelaki berusia sekitar enam puluh tahunan.
Lelaki yang tinggi dan bertampang keras dengan rambut abu-abu serta wajah bengis
ini menatap Ana penuh curiga.
"Monsteur Didier, saya seorang reporter dan sedang menulis kisah tentang Kafan
Suci," Ana mengawali. "Saya datang ke Lirey karena di sinilah Kafan Turin itu
pertama kali muncul di Eropa. Saya tahu tanah ini milik keluarga de Charny, dan
saya diberitahu bahwa Anda bekerja untuk mereka."
"Saya tidak punya urusan dengan keperluan Anda, Nona,"
katanya, tampak jelas kejengkelannya. "Apa urusan saya dengan yang Anda
kerjakan" Anda pikir saya akan berbicara tentang keluarga de Charny karena Anda
seorang reporter?" "Saya rasa saya tidak meminta Anda melakukan se-suatu yang salah, Pak. Saya tahu
Anda pasti bangga karena kafan tersebut ditemukan di Lirey sini."
"Kami tidak mau berkomentar tentang kafan, Nona Muda, tak satu pun dari kami mau
berkomentar. Jika Anda ingin tahu tentang keluarga itu, bicaralah dengan mereka
di Paris. Kami bukan biang gosip."
"Monsteur Didier, saya rasa Anda salah paham. Saya sama sekali tidak menulis
gosip, saya hanya ingin menulis sebuah kisah di mana kota ini beserta keluarga
de Charny memainkan peran penting. Mereka memiliki kafan tersebut, kafan
tersebut pernah dipamerkan di sini, dan...
yah, saya yakin Anda bangga dengan itu."
"Beberapa dari kami bangga." Perempuan Tinggi dan tegap yang baru saja bergabung
dengan Didier di ambang pintu itu tampak sedikit lebih muda daripada Didier, dan
jauh lebih ramah. "Sayangnya Anda telah membangunkan suami saya dari tidur siangnya, dan itu
membuatnya uring-uringan," katanya kepada Ana dengan senyuman yang hangat.
"Masuklah, masuklah, Anda mau minum teh, kopi?"
Ana melangkahkan kakinya memasuki rumah itu sebelum tawaran tersebut ditarik
lagi oleh si tua uring-uringan yang akhirnya masuk ke dalam kamar sambil
membelalakkan mata untuk terakhir kalinya ketika istrinya mengajak si reporter
ke dapur. Di sana, Ana mengulangi lagi tujuan kedatangannya sementara Madame Didier
menuangkan kopi untuk mereka berdua.
" Keluarga de Charny telah menjadi pemilik tanah ini sejak dulu sejauh yang bisa
diingat penduduk sini," kata Madarne Didier saat dia duduk. "Anda harus pergi ke
gereja, di sana Anda akan mendapat informasi mengenai mereka, dan tentu saja di
arsip-arsip sejarah Troyes."
Sebentar kemudian dia meneruskan dengan bercerita tentang kehidupan di Lirey,
meratapi perginya generasi muda. Kedua putranya tinggal di Troyes; satu menjadi
dokter dan satu lagi bekerja di bank. Dia melanjutkan dengan detail-detail
pekerjaan seluruh keluarganya sementara Ana mendengarkan dengan sabar,
membiarkan dia mengoceh. Pada akhirnya, dia berhasil mengarahkan pembicaraan ke topik tulisannya.
"Seperti apakah keluarga de Charny itu?" tanyanya kepada tuan rumah. "Pasti
menyenangkan rasanya saat mereka berkunjung kemari."
"Oh, keluarga mereka sudah banyak bercabang sekarang. Kami tidak tahu banyak di
antara mereka, dan mereka tidak sering-sering datang kemari, tetapi kami
mengawasi tanah mereka dan saham-saham mereka disini. Mereka orangnya agak kaku,
Anda pasti tahu, seperti kebanyakan aristokrat. Beberapa tahun yang lalu seorang
kerabat jauh datang, dia adalah pria muda yang sungguh ganteng! Dan begitu
memesona, begitu ramah. Sama sekali berbeda dengan yang lain. Dia datang bersama
wali gereja. Dia lebih banyak bertemu dengan mereka daripada dengan kami, maksud
saya wali gereja itu. Kami berhubungan dengan administrator yang tinggal di
Troyes, Monseieur Capell. Saya akan memberi Anda alamatnya agar Anda bisa
menelponnya." Dua jam kemudian, Ana meninggalkan rumah keluarga Didier dengan informasi yang
sedikit lebih banyak daripada ketika dia datang.
Dia memutuskan untuk mencoba peruntungannya di gereja parisian, dengan harapan
wali gereja akan menemuinya. Catatan-catatan kelahiran di sana mungkin akan
memberikan informasi yang perlu dia ketahui.
Pendeta parisian bernama Pere Salvaning itu ternyata seorang berumur tujuh puluh
tahunan berpembawaan ceria yang tampaknya sungguh-sungguh bahagia ada yang
mengunjungi. "Keluarga de Charny selalu punya hubungan dengan tempat ini,"
katanya kepada Ana. "Mereka telah melanjutkan kepemilikan tanah mereka, meskipun
sudah berabad-abad mereka tidak tinggal di sana lagi.
"Apakah Anda kenal keluarga yang sekarang?"
"Beberapa di antara mereka. Salah satu cabang keluarga, cabang yang punya ikatan
paling dekat dengan Lirey, punya beberapa orang penting.
Mereka tinggal diParis."
"Apakah mereka sering datang kemari?"
"Tidak, sungguh tidak. Sudah bertahun-tahun ini tidak satu pun dari mereka
datang kemari." "Madame Didier, di Lirey, memberitahu saya bahwa tiga atau empat tahun yang lalu
seorang pemuda yang sangat tampan datang kemari, seorang anggota keluarga."
"Oh, pendeta itu!"
"Pendeta?" "Ya. Apakah mengherankan jika seseorang menjadi pendeta?" Dia tertawa.
"Tidak, tidak, maksud saya bukan begitu. Hanya saja di Lirey, mereka hanya
cerita bahwa dia adalah pemuda yang sangat ganteng, mereka tidak bilang bahwa
dia adalah pendeta."
"Mereka mungkin tidak mengetahuinya; tidak ada alasan bagi mereka untuk
mengetahuinya. Sekali-kalinya dia datang, dia tidak mengenakan kerah pendeta dan
dia berbusana seperti layaknya anak muda seumurannya. Dia tidak tampak seperti
pendeta, tetapi dia pendeta, dan saya rasa penyamarannya sangat bagus. Maksud
saya dia tidak tampak seperti orang yang lama menjadi pendeta gereja parisian.
Sebetulnya, saya tahu kedudukannya sedang meningkat di hierarki Gereja. Tetapi
dia tidak memberitahukan namanya sebagai de Charny, meskipun jelas-jelas
leluhurnya punya hubungan dengan tanah ini. Dia tidak banyak memberi penjelasan.
Mereka menelpon saya dari Paris untuk mengatakan bahwa dia akan datang dan
meminta saya membantunya jika saya bisa."
Ana tak kuasa menahan ketakjubannya. Setelah berminggu-minggu mengejar serpihan-
serpihan informasi, petunjuk, dan kebenaran-kebenaran sebagian yang terpendam di
gunung mitos, pada akhirnya dia mendapatkan ujung sebuah jalinan fakta nyata


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang hampir bisa dia jangkau, dan pembenaran bahwa ikatan yang telah dia lihat
dengan begitu jelasnya pada tengah malam dalam sebuah kamar hotel di London itu
sangat nyata. Dan sangat-sangat hidup.
Tetapi tidaklah mudah membujuk Pere Salvaing membiarkannya melihat sertifikat
pembaptisan dalam arsip-arsip gereja yang disimpan dalam lemari layaknya
berlian. Pendeta itu memanggil penjaga perpustakaan kanon, yang terkesiap ketika
mendengar keinginan Ana. "Jika Anda seorang sarjana, seorang sejarawan, tetapi
Anda hanya seorang reporter, tidak ada yang tahu apa yang Anda cari!" gerutunya.
"Saya mencoba menulis kisah paling lengkap tentang kafan itu.
Saya ingin tahu apakah kesatria Templar abad ke-14, Geoffroy de Charney, dengan
e, yang meninggal di kayusula pada 1314, memiliki kafan tersebut dan mungkin
menyembunyikannya di sini, di rumah keluarganya, Sehingga Geoffroy de Charny,
tanpa e, bisa muncul sebagai pemiliknya tiga puluh lima tahun kemudian.
"Itulah, Anda ingin membuktikan bahwa kafan tersebut milik kesatria Templar,"
ucapan Pere Salvaing lebih seperti menyatakan daripada menanyakan.
"Dan jika yang sebenarnya bukan begitu, dia akan membuatnya jadi begitu," sergah
pegawai tersebut. "Tidak, Pak, saya tidak akan mengarang apa-apa, jika yang sebenarnya tidak
begitu, berarti ya tidak begitu. Saya hanya mencoba menjelaskan mengapa kafan
tersebut muncul di sini, dan sepertinya kafan tersebut dibawa seseorang dari
Tanah Suci, seorang prajurit Perang Salib atau seorang kesatria Templar. Siapa
lagi yang mungkin membawanya" Jika Geoffroy de Charny bersumpah bahwa itu adalah
kafan yang asli, maka seharusnya dia punya alasan."
"Dia tidak pernah membuktikannya," kata wali biara yang sudah renta itu.
"Mungkin dia tidak bisa membuktikannya. Tetapi saya ingin tanya dulu, apakah
Anda berdua percaya bahwa kafan yang sekarang ada di Turin itu asli?"
"Nona yang baik," kata Salvaing setelah membisu sesaat, "kafan itu adalah relik
yang dicintai jutaan kaum beriman. Keasliannya telah dipertanyakan oleh para
ilmuwan, namun ... harus saya akui bahwa hati saya berdebar ketika melihatnya di
Katedral Turin. Ada sesuatu yang supranatural dalam kain tersebut, apa pun hasil
uji karbon ke-14 yang dilakukan."
Selama setengah jam lagi, Ana memohon dengan bersungguh-sungguh kepada kedua
pendeta itu, minta keinginannya dikabulkan.
Akhirnya, dengan ogah-ogahan mereka setuju dia melanjutkan keinginannya dengan
pengawasan si pegawai. Selama sisa sore yang indah itu, mereka memusatkan perhatian menelusuri catatan-
catatan kuno. Alhasil, pada saat matahari sudah tenggelam di kaki langit, dia
menemukan yang dia cari-cari. Selain Charny di Lirey, ada juga sebuah keluarga
yang namanya dieja dengan Charney, dengan e, dan kedua keluarga itu memiliki
ikatan. Pejuang Perang Salib yang hebat, Geoffroy de Charney, pernah pulang- Ana
yakin tentang ini. Ana kembali ke Troyes dalam keadaan bahagia. Tetapi meskipun dia telah
membuktikan keberadaan keluarga Geoffroy de Charney di Lirey, dia hanya
menemukan sedikit hal menarik tentang kesatria itu sendiri. Dia membuat janji
bertemu administrator properti de Charny, Capell, keesokan harinya. Setelah itu
dia akan mencaritahu apa yang bisa dia temukan di arsip besar kota praja Troyes.
Ternyata Monsteur Cappel adalah orang yang serius dan bicaranya hanya beberapa
kata saja, yang dengan sangat sopannya menjelaskan kepada Ana bahwa dia tidak
berniat memberikan informasi apa pun tentang klien-kliennya. Namun, lelaki itu
membenarkan bahwa ada puluhan garis keturunan de Charny di Prancis dan klien-
kliennya adalah salah satu dari keluarga itu. Ana meninggalkan kantor
administrator itu dengan kecewa.
Pria muda yang memegang kantor arsip kota di Troyes punya tindikan di hidung dan
tiga anting di tiap kupingnya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Jean dan
mengaku bosan setengah mati dengan pekerjaannya, namun mengingat hal-hal lain,
dia beruntung bisa mendapatkan pekerjaan, karena gelarnya adalah ilmu
kepustakaan. Ana menjelaskan yang ingin dia cari dan Jean menawarkan diri membantunya.
"Jadi menurutmu preseptor Biara Normandia ini adalah leluhur Geoffroy de Charny
ini meskipun namanya berbeda?"
"Seperti kataku, ada jejak-jejak kedua versi nama itu di gereja parisian di luar
Lirey. Sekarang aku mencoba mencari hal-hal yang lebih spefisik dan informasi
lebih banyak tentang Geoffroy de Charney sendiri, keluarga kandungnya dan
gerakan-gerakannya sebelum dia dibakar di kayusula bersama para kesatria Templar
lainnya pada 1314." "Baiklah, ini tidak akan mudah. Sekarang aku bisa bilang bahwa kita tidak akan
punya banyak informasi, kalaupun memang ada, tentang kegiatan-kegiatan kesatria
Templar. Tetapi jika kamu mau membantu, kita akan cari kira-kira apa yang bisa
kita temukan." Pertama-tama mereka mencari di arsip-arsip yang telah di komputerisasi, kemudian
mulai mencari berkas-berkas lama yang belum diubah ke dalam format digital. Ana
terkejut namun senang atas kecerdasan dan kecakapan Jean dalam mencari catatan-
catatan itu. Selain menjadi pustakawan dia juga pernah kuliah filsafat Prancis, sehingga
Prancis abad pertengahan adalah wilayah yang sudah di akrabinya.
Mereka bekerja terus-menerus dan berhasil mengeluarkan segala catatan sipil
lokal yang tersedia mengenai silsilah keluarga de Charny, tetapi keduanya tahu
bahwa informasi itu masih belum lengkap. Mereka masih belum tahu apa-apa tentang
kehidupan sesungguhnya orang-orang ini, orang-orang yang suka menikah demi
menjalin persekutuan dengan keluarga-keluarga bangsawan lain dan yang jejaknya,
serta jejak anak-anaknya, nyaris mustahil diikuti.
"Kurasa kamu perlu mencari seorang sejarawan yang punya pengalaman lebih banyak
dalam hal genealogi," akhirnya Jean mengatakan itu kepadanya setelah lewat waktu
makan malam. Mereka sudah merasa nyaman satu sama lain, bahkan dekat, selama melakukan
pekerjaan berdua itu, dan Ana memutuskan untuk memercayai lelaki muda yang penuh
semangat ini untuk mendengar seluruh ceritanya, atau setidaknya sebagian besar
cerita itu. Dia baru saja mengenalnya, tetapi mereka sudah membentuk ikatan
instan yang langka, yang membuat mereka merasa seolah sudah berteman selama
bertahun-tahun. Jean adalah orang yang bijaksana, cerdas, dan rasional.
Di balik wajahnya yang separuh Gothik itu dia adalah orang yang mengagumkan,
orang yang berkepribadian.
Ana memberitahunya hampir segala yang dia ketahui, tanpa menyebutkan Divisi
Kejahatan Seni atau saudaranya, Santiago, dan menunggu pendapatnya.
"Mungkin kedua Geoffroy itu benar-benar berkaitan, Ana," Jean memulainya. "Aku
setuju denganmu. Tetapi kita beranggapan bahwa kafan tersebut milik Geoffroy
yang pertama tanpa bukti sama sekali. Hal ini benar-benar tanpa dasar. Jika
kafan itu asli, pasti sudah ditangan Biara. Ingatlah bahwa kesatria-kesatria itu
bersumpah akan hidup melarat tanpa memiliki apa pun. Jadi, mustahil saja seorang
kesatria Templar memiliki benda seperti itu di tangannya atau mewariskan benda
itu kepada keluarganya. "Teorimu menarik, tetapi jangka waktunya ini sangat panjang, dan kamu tahu itu,"
lanjutnya. "Kamu harus berhati-hati jika mau menulis tentang ini. Jika tidak,
orang-orang akan menganggapnya sebagai cerita khayalan tentang kafan itu, dan
kamu tahu berapa banyak cerita-cerita macam itu."
Ana mulai memprotes, tetapi Jean mengangkat tangannya dan melanjutkan. "Untuk
sebuah buku mengenai hal-hal esoterik, hal itu tidak buruk. Tetapi, Ana,
sejujurnya yang kamu katakan kepadaku itu
'firasat','intuisi', dan 'perasaan'. Yang kamu ceritakan kepadaku, dengan baik
itu, bisa menjadi kisah menarik untuk majalah, tetapi tidak satu pun yang kamu
ceritakan itu didasarkan pada fakta, semua ini hanya hubungan keluarga yang
samar-samar. Maaf, sungguh, tapi jika aku menemukan kisah seperti ini di surat
kabar, aku tidak akan memercayainya. Aku akan menganggapnya cerita bertele-tele
karya salah satu penulis kisah UFO dan melihat gambar Perawan Maria di permukaan
pizza peperoni." Ana tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, meski di lubuk hatinya dia tahu
Jean benar. Meski begitu, dia mengangkat dagunya dan menjawab dengan nada yang
sama seriusnya dengan Jean.
"Aku tidak akan menyerah, Jean. Jika ternyata aku tidak menemukan bukti yang
kuat, aku tidak akan menulis satu kata pun, itu janji yang kuucapkan pada saat
memulai dari sekarang kuucapkan lagi.
Dengan begitu aku tidak akan mengecewakan orang-orang sepertimu yang telah
membantuku. Tetapi akan kulanjutkan melacak kisah ini sampai ke pangkalnya
meskipun bisa membuatku terbunuh. Aku belum cerita ke kamu, sebenarnya aku tahu
de Charny yang ada sekarang, semacam 'kesatria' gagah yang aku pernah lihat."
"Siapakah dia?"
"Seorang lelaki yang sangat ganteng, menarik, dan misterus, yang kebetulan telah
mengunjungi rumah keluarganya di masa lampau dalam beberapa tahun terakhir. Aku
akan pergi ke Paris; akan lebih memudahkan aku berhubungan dengan keluarganya di
sana, jika itu memang keluarganya."
Jean meletakkan tangannya pada tangan Ana diatas meja. "Aku mau pergi denganmu
jika aku bisa, Ana, tetapi aku tidak mendapat liburan saat ini. Tetapi ada lagi
hal bagus, aku punya teman di Paris yang mungkin bisa membantumu. Dia asli dari
Troyes sini. Kami kuliah di universitas yang sama. Dia pindah ke Paris dan
kuliah S3 di Sorbonne. Dia bahkan pernah mengajar di sana. Tetapi dia jatuh cinta dengan seorang
reporter Skotlandia, dan dalam waktu kurang dari tiga tahun dia banting setir
dan kuliah di bidang yang lain lagi, jurnalisme, dan sekarang mereka punya
majalah: Enigmas. Majalah itu bukan seleraku, mereka menerbitkan hal-hal
spekulatif mengenai sejarah, misteri-misteri yang tak terpecahkan, kamu tahulah.
Mereka punya jajaran pakar genealogi, sejarawan, dan ilmuwan yang menulis untuk
mereka. Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu, tepatnya sejak dia menikah.
Istrinya mengalami semacam kecelakaan dan mereka tidak pernah kembali ke sini.
Tetapi dia adalah teman baikku. Akan kutelepon dia."
Dia merona ketika Ana membungkuk di atas meja untuk mencium pipinya. "Jean, kamu
baik sekali. Terimakasih," katanya. "Setelah Paris, kurasa aku akan meluncur
kembali ke Turin, tergantung apa yang kudapat di sana. Aku akan menelponmu dan
terus memberimu kabar. Kamu tahu, kamulah satu-satunya orang yang pernah kuajak ngomong jujur tentang
ini, dan aku akan mengandalkan akal sehatmu untuk mengendalikan fantasi liarku."
48 Kesatria Templar itu memacu kudanya. Baru beberapa saat saja dia sudah bisa
melihat Sungai Guadiana dan bagian atas benteng Castro Marim. Dia telah berkuda
tanpa henti dari Paris, tempat dia melihat Imam Besar dan saudara-saudaranya
dibakar di kayusula. Masih terngiang-ngiang di telinganya bagaimana suara Jacques de Molay yang berat
itu meminta pengadilan Tuhan atas Philippe le Beau dan Paus Clement. Sedikitpun
dia tidak ragu bahwa Tuhan akan menuntut balas atas pembunuhan para pelayan
setianya oleh Raja Prancis dan Paus, dan Tuhan tidak akan membiarkan kejahatan
busuk tidak mendapat ganjaran.
Mereka memang telah mengambil nyawa Jacques de Molay tetapi tidak martabatnya,
dan begitu tiba di bagian Portugal, dia berkuda cepat-cepat menuju Rumah Induk
yang telah menjadi rumahnya selama tiga tahun terakhir, sejak dia kembali dari
peperangannya di Mesir dan mempertahankan Cyprus.
Master Jose Sa Beiro segera menerima Joao de Tomar. Dia meminta agar Joao
dipersilakan duduk dan ditawari air dingin untuk melepas dahaga setelah menempuh
perjalanan. Kemudian wali biara duduk bersama kesatria tersebut untuk
mendengarkan kabar yang dia bawa dari Paris.
Selama dua jam de Tomar memberikan laporan yang jelas tentang hari-hari terakhir
Biara dan khususnya tanggal 19 Maret, hari yang kelam ketika Jacques de Molay
dan kesatria-kesatria Templarnya yang terakhir dibakar di kayusula disertai
tatapan kasar rakyat jelata dan seisi istana di Paris. Ngeri dan ketakutan
mendengar laporan tersebut, imam itu harus mengerahkan seluruh martabat
kedudukannya untuk menahan agar emosinya tidak tumpah.
Philippe le Beau telah menghukum mati Biara, atau bahkan kesatria-kesatrianya,
dan selama beberapa minggu selanjutnya perintah paus untuk menumpas ordo itu
dilaksanakan tanpa henti di seluruh Eropa. Kesatria-kesatrianya diadili di
pengadilan-pengadilan gereja di setiap negara Kristen. Di beberapa kerajaan,
mereka kemudian dibebaskan, sementara di beberapa kerajaan lainnya perintah-
perintah paus itu diterjemahkan dengan memperbolehkan kesatria-kesatria Templar
bergabung dengan ordo-ordo keagamaan lainnya.
Jose Sa Beiro tahu bahwa Raja Dinis tidak punya masalah dengan Biara dan
sesungguhnya dia punya niat baik terhadap biara, tapi mampukah raja Portugal itu
menentang perintah Paus" Dia perlu tahu, dan untuk mengetahuinya dia akan
mengirimkan seorang kesatria yang bisa berbicara dengan Raja atas namanya dan
dengan itu juga memperjelas kedudukannya.
"Aku tahu kau letih, tetapi aku harus memintamu menjalankan satu misi baru,"
katanya kepada de Tomar. "Kau harus pergi ke Lisbon dan membawa sepucuk surat
untuk Raja. Katakan kepadanya segala yang telah kau lihat, jangan sampai ada
yang terlewat sedikit pun. Dan tunggulah jawaban darinya. Sekarang aku akan
mempersiapkan suratnya; sementara itu, pergi dan beristirahatlah. Jika
memungkinkan, kau akan pergi besok."
Matahari belum lagi terbit ketika de Tornar dipanggil lagi ke hadapan wali
gereja. Sa Beiro menyerahkan surat itu kepadanya dan menepuk pundaknya. "Sekarang
pergilah ke Lisbon, Joao. Semoga Tuhan menyertaimu."
Lisbon terlihat indah saat fajar baru saja menyingsing. De Tomar telah menempuh
perjalanan selama beberapa hari, karena dia harus berhenti sejenak agar kaki
kudanya yang luka-luka karena batu-batu jalanan itu pulih. Kuda bangsawan itu
adalah kawannya yang paling setia dan terpercaya, dan ia telah menyelamatkan
nyawanya dalam pertarungan lebih dan sekali. Dia sendiri memasang plester di
kaki kuda itu dan menunggunya selama dua hari sampai kuda itu sembuh. Dia tidak
akan menukar kuda itu dengan kuda lain apa pun alasannya, meskipun risikonya dia
diomeli wali gerejanya karena keterlambatan.
Dengan Raja Dinis, Portugal telah menjadi sebuah bangsa yang makmur.
Kejeniusannya telah memberi negara itu sebuah universitas, dan dia sedang
mengatur sebuah reformasi penting dalam bidang pertanian, sehingga untuk pertama
kalinya di Portugal berlimpah ruah gandum dan minyak zaitun, juga ada anggur
yang bagus untuk diekspor.
Dalam waktu kurang dari dua hari raja menerima Joao de Tomar, dan setelah
menyerahkan surat Jose Sa Beiro kepada Dinis, kesatria Templar Portugal itu
sekali lagi menceritakan apa yang telah dia saksikan di Paris.
Raja meyakinkan kesatria itu bahwa dia akan segera memberi jawaban, dia telah
menerima kabar tentang niatan Paus untuk membubarkan Ordo.
De Tomar tahu tentang hubungan baik Raja dengan kependetaan, yang telah
menandatangani sebuah kesepahaman dengannya beberapa tahun sebelumnya. Beranikah
dia menentang Paus" Baru tiga hari kemudian kesatria Templar itu dipanggil sekali lagi menghadap
Raja. Dinis telah membuat sebuah keputusan bijak, bahkan sebijak Sulaiman. Dia
tidak akan membuat perseteruan dengan Sri Paus, tetapi dia juga tidak akan
mengeksekusi Ordo. Dinis dan Portugal telah memutuskan harus didirikan ordo
baru, Ordo Kristus, dan semua kesatria Templar akan menjadi anggotanya, dengan
hukum dan aturan yang sama, satu-satunya pengecualian adalah bahwasanya ordo
baru itu nantinya di bawah kekuasaan seorang raja, bukan paus.
Dengan cara ini Raja yang arif itu bisa menjamin kekayaan Templar akan tetap ada
di Portugal, tidak jatuh ke tangan Gereja ordo-ordo lain.
Dia akan bisa mengandalkan pada rasa syukur, bantuan, dan yang paling penting,
emas dari Templar, untuk menjalankan rencana-rencana kerajaannya.
Keputusan Raja itu sudah mantap. Dia akan menginformasikan itu pada para wali
gereja dan semua Rumah Induk. Sejak saat itu, Biara di Portugal akan berada
dibawah hukum kerajaan. Ketika Imam Jose Sa Beiro mengetahui tentang ordo raja itu, dia menyadari bahwa
meskipun kesatria Templar tidak akan dieksekusi, dikejar-kejar, atau dibakar di
kayu-sula sebagaimana terjadi di Prancis, sejak saat itu harta kekayaan mereka
akan menjadi milik raja. Dengan begitu, dia harus membuat keputusan sendiri,
karena mungkin saja Lisbon meminta inventarisasi kekayaan yang disimpan di Rumah
Induk. Maka, Castro Marim bukan lagi tempat yang aman untuk menyimpan harta karun
terbesar Biara, dan Jose sa Beiro menetapkan bahwa dia harus merencanakan
pengirimannya ke sebuah tempat yang tak bisa dijangkau tangan-tangan paus atau
raja. 49 Aroma dupa memenuhi gereja.
Misa baru usai beberapa saat yang lalu. Seorang pendeta berambut hitam, tinggi,
dan bertubuh kekar, berjalan ke arah bilik pengakuan dosa yang paling jauh dari
altar, terpasang di sebuah bilik yang jauh dari mata mereka yang ingin tahu.
Buku doa yang dia bawa tampak kecil di tangannya yang bertulang besar itu.
Tak seorang pun tahu Addaio berada di Milan, bahkan Guner pun tidak. Dia di sana
tanpa sepengetahuan para anggota perkumpulan, untuk menjalankan rencana-


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencananya membayang-bayangi operasi Bakkalbasi mengakhiri hidup Mendib.
Pertemuan tersebut rencananya akan digelar pada pukul tujuh; sekarang baru
setengah tujuh, tetapi dia lebih memilih datang lebih dulu. Dia telah
berkeliling lingkungan tersebut dengan menyamar menjadi pendeta selama lebih
dari dua jam, mencoba memastikan apakah dia sedang dibuntuti.
Orang yang dia tunggu-tunggu adalah seorang pembunuh, seorang pembunuh
profesional yang bekerja sendiri dan belum pernah gagal, setidaknya sejauh ini.
Addaio mengetahui tentangnya dari seorang lelaki di Urfa, seorang anggota
perkumpulan yang beberapa tahun sebelumnya pernah datang ke pastor itu untuk
meminta pengampunan atas dosa-dosanya. Orang itu telah beremigrasi ke Jerman dan
kemudian ke Amerika Serikat, tetapi tidak membuahkan hasil, katanya, dia dia pun
memilih jalan gelap, menjadi kaya dengan mengedarkan obat bius, membanjiri
jalan-jalan Eropa dengan heroin. Dia telah berbuat dosa, dosa yang amat besar,
tetapi dia tidak pernah mengkhianati perkumpulannya. Dia telah kembali ke Urfa,
rumah masa mudanya, ketika dia didiagnosis mengidap kanker mematikan, meminta
pengampunan dosa, dan menawarkan akan memberikan sumbangan besar pada
perkumpulan untuk menjamin kelangsungannya. Orang kaya selalu mengira mereka
bisa memberi keselamatan.
Dia memohon bisa membantu pelaksanaan tugas suci perkumpulan, tetapi Addaio
menolak bantuannya. Seorang yang tidak bertuhan, meskipun dia anggota
perkumpulan, tidak pernah bisa menjadi bagian dan misi, namun tugas Addaio
sebagai seorang pastor adalah membimbingnya pada hari-hari terakhir hidupnya.
Dan dalam perbincangan merangkap pengakuan dosa itu, si penyesal telah memberi
Addaio informasi kontak seorang lelaki yang harus bisa dihubungi pastor itu jika
dia terpaksa membutuhkan seseorang untuk melakukan sebuah pekerjaan sulit.
Kini Addaio duduk di dalam bilik pengakuan dosa, tenggelam dalam pikirannya,
menunggu datangnya pembunuh itu.
" Mi benedica, padre, perche ho peccato."
Suara itu membuatnya terhenyak. Dia tidak memerhatikan ada seseorang yang masuk
ke sisi lain bilik pengakuan dosa dan berlutut seolah akan berdoa. Setelah
Addaio buru-buru menggumamkan salam pembuka yang telah dia persiapkan
sebelumnya, orang itu melanjutkan.
"Anda perlu lebih berhati-hati. Anda tadi melamun."
"Itu bukan urusanmu. Tetapi kau bisa yakin itu tidak akan terjadi lagi," sergah
pastor tersebut, kemudian berhenti. "Aku ingin kau membunuh seseorang," pada
akhirnya dia bicara. "Itu pekerjaan saya. Anda bawa data-data orang itu?"
"Tidak, tidak ada data-data, tidak ada foto. Kau harus mencarinya sendiri."
"Kalau itu biayanya lebih tinggi."
Selama beberapa saat kemudian, Addaio menjelaskan apa yang harus dilakukan
pembunuh itu. Setelah selesai, pembunuh tersebut meninggalkan bilik pengakuan
dosa dan menghilang dalam keremangan gereja.
Addaio menuju salah satu bangku gereja di depan altar. Di sana, sambil menutupi
wajahnya dengan kedua tangan, tumpahlah air matanya.
Bakkalbasi duduk di tepi sofa menunggu yang lain. Rumah di Berlin aman;
perkumpulan tidak pernah menggunakannya.
Dia sudah kenal orang-orang ini sejak kanak-kanak. Tiga di antara mereka asli
Urfa, anggota-anggota perkumpulan yang bekerja di Jerman.
Dua lainnya, juga anggota perkumpulan, datang langsung dari Urfa melalui jalur
yang berbeda-beda. Mereka semua sudah siap menyerahkan nyawa mereka jika
diperlukan, sebagaimana telah dilakukan sanak-saudara dan kerabat mereka di masa
lampau. Ketika mereka sudah berkumpul, Bakkalbasi menjelaskan apa yang akan mereka
lakukan. Mereka menerima perintah itu dengan wajah muram, terguncang oleh derita
karena membayangkan pembunuhan salah satu dari mereka. Tetapi ketika Bakkalbasi
melanjutkan, jelaslah bahwa tidak ada cara lain untuk memastikan tetap amannya
perkumpulan mereka. Kakek paman Mendib akan diberi kesempatan atas permintaannya secara sukarela,
rencananya adalah sayatan pisau yang mematikan, tetapi kelima orang di dalam
kelompok itu akan memastikan bahwa Mendib tewas. Mereka akan mengorganisasi
sebuah kelompok untuk mengikuti saudara muda mereka itu sejak saat keluar dari
penjara dan mencari tahu semampu mereka tentang siapayang hampir bisa dipastikan
menggunakan Mendib sebagai penunjuk jalan menuju perkumpulan. Lagi pula, mereka
tidak ingin mengambil risiko ataupun menyerahkan diri mereka pada kepolisian.
Mereka akan dibantu dua anggota perkumpulan di Turin. Masing-masing orang akan
segera menempuh perjalanan ke kota itu dengan caranya sendiri-sendiri,
kebanyakan memakai mobil. Tidak adanya batasan dalam Uni Eropa memungkinkan
mereka berkendaraan dari satu negara ke negara lain tanpa meninggalkan jejak.
Kemudian mereka akan menuju Pekuburan Bersejarah untuk mencari pusara nomor 117.
Sebuah kunci kecil yang tersembunyi di belakang pot hiasan di sebelah pintu
mausoleum akan membantu mereka memasuki bangunan itu. Begitu di dalam, mereka
akan mencari dan menggerakkan sebuah tuas tersembunyi yang akan membukakan pintu
menuju sebuah undak-undak rahasia di bawah sarkofagus, undak-undak itu mengarah
ke sebuah terowongan, yang selanjutnya mengarah ke katedral, ke rumah tempat
Francesco Turgut tinggal. Perkumpulantelah menggunakan terowongan itu selama
berabad-abad dan telah berusaha memastikan bahwa terowongan itu tetap tidak
diketahui, tidak terlacak dalam peta manapun.
Tak seorang pun akan menemukan mereka.
Mereka akan berlindung di sebuah bilik di terowongan itu hingga berhasil
menyelesaikan misi mereka. Pekuburan itu relatif sepi, meskipun beberapa turis
yang ingin tahu seringkah pergi ke sana untuk melihat pusara-pusara zaman barok.
Penjaganya adalah seorang anggota komunitas, dia adalah orang yang sudah tua,
putra seorang imigran dari Urfa dan seorang perempuan Italia, dan lelaki tua itu
adalah seorang penganut Kristen, seperti mereka, dan sekutu terbaik mereka dalam
misi ini. Turgut dan Ismet telah mempersiapkan kamar bawah tanah. Jika bisa, mereka akan
membawa mayat Mendib kembali ke terowongan, untuk ditanam di dindingnya hingga
akhir zaman. 50 Ketika tiba di Paris, Ana langsung pergi ke kantor editor, yang berada di lantai
dua sebuah bangunan abad ke-19. Paul Bisol benar-benar kebalikan dari Jean.
Dengan penampilan rapi memakai setelan berpotongan bagus dan dasi berkelas, dia
lebih tampak seperti seorang eksekutif yang memegang perusahaan internasional
ketimbang seorang jurnalis. Jean telah sebaik yang di katakannya dan telah
menelpon Paul Bisol untuk memberikan bantuan.
Bisol menyimak kisah Ana dengan sabar. Tak sekalipun dia menyela Ana, itulah
yang mengejutkan. "Kamu tahu kamu berurusan dengan siapa?" tanyanya saat Ana telah selesai
berbicara. "Apa maksudmu?"
"Mademoiselle Jimenez -"
"Tolong, panggil saja Ana."
"Baiklah kalau begitu, Ana, pertama-tama kamu harus tahu bahwa kesatria Templar
memang masih ada. Tetapi mereka bukan cuma para sejarawan elegan yang katamu
telah kautemui di London, atau pria-pria baik dikelompok-kelompok yang disebut
'perkumpulan rahasia' yang mengaku diri sebagai pewaris semangat Biara. Sebelum
meninggal, Jacques de Molay memastikan bahwa Ordo Biara akan terus berlanjut.
Banyak kesatria menghilang tanpa jejak; mereka berubah menjadi gerakan yang
mungkin kita sebut sebagai pergerakan bawah tanah.
Tetapi semuanya terus berhubungan dengan pusat yang baru, Rumah Induk utama,
Biara Skotlandia, sebuah tempat yang telah diputuskan de Molay untuk di jadikan
tempat berdirinya pusat ordo yang resmi dan sesungguhnya. Ordo Templar belajar
hidup tanpa terlihat, secara klandestin; mereka memasuki pengadilan-pengadilan
Eropa, bahkan Pemerintahan Kepausan, dan mereka terus hidup dengan cara itu
hingga hari ini. Mereka tidak pernah 'mati.'"
Ana terkejut merasakan gelombang kecurigaan dan kebencian.
Orang ini lebih terdengar seperti seorang illuminati* ketimbang seorang jurnalis
serius. Dia sudah keliling Eropa mengejar teori-teori gilanya, dan dia telah
terbiasa dengan penghinaan 'para pakar' yang memintanya untuk tidak membiarkan
dirinya terseret fantasi. Kini tiba-tiba dia bersama seseorang yang setuju
dengannya, dan dia tidak menyukainya.
Bisol mengangkat teleponnya dan berbicara kepada sekretarisnya, kemudian meminta
Ana mengikutinya. Dia mengajak Ana ke sebuah kantor tak jauh dari sana, tempat
seorang perempuan berambut gelap dan bermata hijau besar sedang duduk di
belakang komputer, mengetik.
* Kelompok ilmuan yang selalu bentrok dengan pendeta.
Perempuan itu tersenyum saat mereka masuk, dan Paul memperkenalkan perempuan itu
sebagai istrinya, Elisabeth.
"Duduklah," Elisabeth mempersilakan Ana. "Jadi kau temannya Jean?"
"Well, sebenarnya kami belum lama ini bertemu, tetapi kurasa kami cocok, dan dia
banyak sekali membantuku."
"Itulah Jean," kata Paul. "Dia seperti anggota Three Musketeer, semua untuk satu
dan satu untuk semua, meskipun kurasa dia tidak menyadarinya. Tetapi dia sangat
pandai menilai sifat orang. Nah, Ana, aku ingin kaucentakan kepada Elisabeth
semua yang telah kau ceritakan kepadaku."
Situasi itu mulai membuat Ana gugup. Tampaknya Paul Bison ini orang yang cukup
baik, tetapi ada sesuatu yang tidak dia sukai dari orang ini; demikian juga
Elisabeth, perempuan itu membuat Ana merasa rikuh, namun dia tidak tahu pasti
apa sebabnya. Yang dia tahu adalah, dia ingin keluar dari tempat itu sesegera
mungkin. Pengalamannya menjadi reporter bertahun-tahun telah mengasah nalurinya
akan sesuatu yang meragukan serta bahaya, dan kini dia merasa seperti berlayar
ke lautan yang tak terpetakan dengan kedua orang ini. Tetapi dia menepis
perasaan itu, setidaknya untuk saat itu, dan diapun membeberkan lagi rasa
penasarannya tentang Kafan Suci.
Elisabeth juga menyimak tanpa menyela, sebagaimana suaminya tadi. Ketika Ana
selesai, pasangan tersebut saling pandang, jelas-jelas menimbang tanpa berkata-
kata bagaimana harus melanjutkan. Pada akhirnya, Elisabeth memecah kesunyian
yang dalam itu. "Begini, Ana, menurutku jalur yang kau tempuh sudah benar. Kami tidak pernah
membuat pertalian seperti punyamu ini, tetapi jika kau telah menemukan mata
rantai antara Templar de Charney dengan keluarga pemilik kafan di arsip-arsip
Lirey, berarti ya ... sepertinya jelas bahwa kedua Geoffroy itu punya ikatan.
Jadi kafan itu benar-benar milik kesatria Templar. Aku tidak terkejut; hal it
cocok dengan indikasi-indikasi yang telah kami temukan juga, dengan pendekataan
dari arah-arah yang berlainan. Mengapa kafan itu sampai ke tangan Geoffroy de
Charney" Asumsiku yang paling kuat adalah karena Philippe le Beau ingin meraup harta
karun Biara untukdirinya sendiri, Imam Besar mungkin telah memutuskan untuk
mengirimnya ke tempat yang aman. Logis sekali, Jacques de Molay memerintahkan
Geoffroy de Charney untuk membawa pergi kafan tersebut ke tempatnya sendiri dan
menyimpannya di sana, dan bertahun-tahun kemudian kafan tersebut sudah sampai ke
tangan seorang kerabat, Geoffroy yang lain itu. Selalu ada perbincangan mengenai
harta karun rahasia terkait dengan Biara, dan pasti kafan inilah yang dimaksud
harta karun itu lagi pula, semua orang menganggapnya asli." "Tetapi kafan itu
tidak asli," jawab Ana, memberikan argumen dari sudut pandang lain. "Dan mereka
pasti tahu benda itu tidak asli. Kafan Suci itu berasal dan abad ke-13 atau ke-
14, jadi..." "Ya, kamu benar, tetapi kafan itu mungkin telah digambarkan sebagai relik asli
kepada para kesatria Templar di Tanah Suci. Saat itu sangatlah sulit menemukan
apakah sebuah relik itu asli atau palsu. Yang jelas mereka percaya kafan ini
asli ketika mereka mengirimnya untuk dilindungi. Kau benar tentang ini, Ana, aku
yakin begitu. Tetapi kau harus berhati-hati; jangan mendekati Templar tanpa
mengambil risiko. Kami punya pakar genealogi yang bagus, salah satu yang
terbaik, dan dia akan membantumu mencarinya jika ada bukti-bukti kuat di luar
sana. Sedangkan tentang kawan di keluarga itu, beri aku waktu satu dua jam dan aku
akan bisa memberimu sedikit lagi informasi tentang dia.
Ketika Ana meninggalkan kantor Elisabeth bersama Paul, dia memberitahu Paul
bahwa dia akan kembali sore itu untuk bertemu dengan si pakar genealogi. Lalu
dia akan melihat apa yang telah ditemukan Elisabeth tentang lelaki yang dia
yakin telah mengunjungi perkebunan keluarga di Lirey belum lama ini, Padre Yves
de Charny, sekretaris Kardinal Turin.
Dia berjalan-jalan keliling Paris tanpa tujuan, memutar otaknya untuk memikirkan
segala yang dia ketahui dan segala hasil tebakan. Pada tengah hari dia duduk di
alcove jendela sebuah bistro dan menyantap makan siang, sambil membaca koran
Spanyol yang dia temukan di sebuah kios di jalan. Sudah berhari-hari ini dia
tidak mendapat kabar apa pun tentang apa yang sedang terjadi di Spanyol atau
Italia. Dia bahkan belum menghubungi korannya, atau Santiago, meskipun nalurinya
berkata investigasi Divisi Kejahatan Seni sudah mendekati akhir. Dia yakin
kesatria Templar punya andil dalam urusan kafan ini, bahwa sebagaimana menurut
kecurigaan yang merebak selama berabad-abad, merekalah yang telah membawanya
kembali dari Konstantinopel. Dia ingat malam saat dia menginap di Dorchester
London, ketika tiba-tiba dia tersadar, saat membaca buku janji pertemuan, bahwa
pendeta asal Prancis yang ganteng, sekaligus sekretaris Kardinal di Turin itu
bernama de Charny. Hingga kini dia belum punya petunjuk yang kuat, hanya saja
sepertinya Padre Yves telah mengunjungi Lirey beberapa tahun lalu-jika ada satu
hal yang dia yakini, maka hal itu adalah bahwasanya Padre Yveslahyang berkunjung
itu. Tidaklah banyak pendeta yang bukan main tampannya sampai-sampai semua orang
yang menceritakan selalu mengatakan betapa gantengnya mereka.
Mungkin saja Padre Yves terkait dengan Templar, tetapi apakah itu keterkaitan
dengan masa yang benar-benar lampau, dengan kesatria-kesatria yang telah lama
mati, atau dengan sesuatu yang terjadi pada saat ini" Dengan orang-orang, kaum
Templar, yang hidup sekarang"
Tetapi itu tidak akan ada artinya, katanya dalam hati. Ana bisa bayangkan
pendeta ganteng tersebut dengan senyum tak berdosa bercerita kepadanya bahwa,
ya, leluhurnya bertempur di Perang Salib, dan sesungguhnya keluarganya berasal
dari kawasan Troyes. Dan apa hubungannya" Apa yang mungkin bisa dibuktikan dan
hal itu" Tidak ada, hal itu tidak membuktikan apa-apa. Tentu saja Ana tidak bisa
membayangkan dia menyulut kebakaran di katedral itu. Tetapi nalurinya berkata
bahwa ada benang yang membentang ke suatu tempat, seutas benang yang membentang
dari Geoffroy de Charney ke Geoffroy de Charny yang kemudian melilit-lilit dan
melingkar-lingkar selama beberapa generasi hingga akhirnya mencapai Padre Yves.
Dia nyaris tidak bisa makan. Dia menelpon Jean dan merasa lebih baik ketika
mendengar suara Jean meyakinkannya kembali bahwa, sebenarnya Paul Bisol itu
orang baik meskipun agak aneh, dan Ana bisa memercayainya.
Pada pukul tiga dia kembali ke kantor Enigmas. Ketika dia tiba, Paul sudah
menunggunya di kantor Elisabeth.
"Wah, kami memang menemukan sesuatu," kata Elisabeth.
"Pendeta yang membuatmu penasaran ini berasal dari sebuah keluarga orang-orang
berpangkat. Abangnya adalah wakil rakyat di Dewan Nasional Prancis dan sekarang
duduk di kabinet, dan saudara perempuannya menjadi hakim di Mahkamah Agung.
Mereka berasal dari tingkatan bangsawan yang agak rendah, meskipun sejak Revolusi Prancis
keluarga de Charny, tanpa e, hidup seperti kaum borjuis sejati. Yves punya
pelindung di Vatikan sana, Kardinal Visier, yang bertanggung jawab atas keuangan
gereja, hanya itu, yang merupakan teman abangnya. Yang mengagetkan adalah,
Edouard, pakar genealogi kita, yang telah bekerja selama tiga jam menelusuri
silsilah keluarga itu, hampir bisa memastikan bahwa Yves de Charny ini benar-
benar keturunan keluarga de Charney, dengan e, yang berjuang di Perang Salib
dan, yang lebih menarik lagi, dia adalah keturunan dekat dari Geoffroy de
Charney yang menjadi preseptor di Biara Normandia dan meninggal di kayusula di
sisi Jacques deMolay."
"Apakah Anda yakin?" tanya Ana, tidak yakin harus memercainya atau tidak.
"Seyakin-yakinnya," jawab Elisabeth tanpa sedikitpun keraguan.
Paul Bisol melihat keraguan membayang di mata Ana.
"Ana, Edouard adalah seorang sejarawan, seorang profesor di universitasnya. Aku
tahu Jean agak meragukan majalah kami, tetapi kuyakinkan kamu, kami tidak pernah
menerbitkan apa-apa yang tidak bisa kami buktikan. Enigmas adalah majalah yang
menyelidiki teka-teki sejarah dan mencoba menemukan jawaban. Jawaban-jawabannya
selalu dikembangkan dan diberikan para sejarawan, terkadang dibantu tim
investigasi yang dibentuk dari para reporter. Kami belum pernah memuat penarikan
tulisan atau ralat. Dan kami tidak pernah memuat apa-apa yang tidak kami yakini
dengan seyakin-yakinnya. Jika seseorang punya hipotesis, kami menulis-nya
sebagai sebuah hipotesis, tidak pernah jadi fakta.
"Kamu bersikeras bahwa beberapa kecelakaan di katedral Turin berhubungan dengan
kejadian-kejadian di masa lalu. Aku tidak tahu, kami tidak pernah
menyelidikinya. Kamu mengira kesatria-kesatria Templar adalah pemilik kafan itu,
dan kau mungkin benar, seperti halnya dugaanmu yang jelas-jelas benar bahwa
Padre Yves ini berasal dari keluarga kaum aristokrat dari Templar di masa
lampau. Kau ingin tahu apakah ada keterkaitan antara orang-orang Templar dengan
kejadian-kejadian di katedral itu. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, aku


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tahu, tetapi aku sangat-sangat meragukannya. Sejujurnya aku beranggapan
orang-orang Templar tidak punya minat untuk merusak kafan itu, dan ada satu hal
yang bisa kuyakinkan kepadamu: jika mereka menginginkan kafan itu untuk mereka
sendiri, mereka sudah mendapatkannya. Organisasi mereka itu sangat kuat, lebih
kuat dari yang bisa kau bayangkan, betul, Elisabeth?"
Paul memandang Elisabeth, yang kemudian mengangguk. Ana membeku ketika kursi
yang diduduki Elisabeth bergerak dari belakang meja dan maju. Sebelumnya dia
tidak memerhatikan, kelihatannya seperti kursi kantor, tetapi ternyata kursi itu
sudah dipaskan untuk juga menjadi kursi roda.
Elisabeth berhenti di depan Ana dan menepiskan selendang dari atas kakinya yang
jelas-jelas tidak bisa digunakan.
"Kurasa, kurasa kami, atau kau, tidak punya banyak waktu. Aku akan memberitahumu
bagian kami dari keseluruhan cerita itu, sekarang juga. Aku ini orang
Skotlandia, entah Jean sudah bilang kepadamu atau belum. Ayahku adalah Lord
McKenny, dan dia kenal Lord McCall. Mungkin kau belum pernah mendengar tentang
dia. Dia adalah salah satu orang terkaya di dunia, tetapi kau tidak akan pernah
melihatnya di koran atau TV. Dia hidup didunia yang hanya bisa di masuki orang-
orang yang berkuasa atau kaya luar biasa. Meski menghabiskan sebagian besar
waktunya di London, dia mempunyai sebuah kastil, benteng Templar kuno, yang
terletak di pesisir barat Skotlandia, dekat Small Isles. Tetapi tidak satu pun
rakyat biasa yang pernah diundang ke sana, dan para pegawai di kastil itu adalah
orang-orang profesional yang selalu tutup mulut dan asalnya dari tempat-tempat
lain. Kami orang-orang Skotlandia ini suka percaya legenda, dan ada sejumlah
legenda tentang Lord McCall.
Beberapa penduduk desa yang tinggal di dekat kastil itu menyebutnya Kastil
Templar, dan mereka bilang bahwa sering ada orang yang datang berkunjung dengan
helikopter, di antara mereka terdapat anggota keluarga kerajaan Inggris serta
keluarga-keluarga darah biru dan orang-orang berpangkat dari seluruh dunia.
"Suatu hari aku memberitahu Paul tentang Lord Mc-Call, dan terbetiklah suatu
gagasan bahwa kami harus membuat berita tentang tanah serta benteng-benteng
Templar di seluruh daratan Eropa.
Semacam inventarisasilah: mencari tahu mana yang masih berdiri, siapa yang
memilikinya, mana yang sudah hancur seiring bergantinya abad.
Kami pikir mungkin akan sangat bagus jika Lord McCall mengizinkan kami
mengunjungi kastilnya. Kami mulai bekerja dan pada awalnya kami tidak menemui
banyak masalah. Sesungguhnya ada ratusan bentengTemplar, kebanyakan sudah
tinggal puing-puing. Aku meminta ayahku untuk berbicara dengan McCall untuk
menanyakan apakah kami boleh mengunjungi kastilnya dan memotretnya. Tetapi
ayahku tidak mendapat kesempatan, McCall orangnya sangat ramah, tetapi dia
selalu punya alasan. Aku tidak mau mendapat jawaban tidak, jadi kuputuskan untuk
membujuknya sendiri. Aku menelponnya, tetapi dia bahkan tidak mau berbicara
denganku, seorang sekretaris yang sangat ramah memberitahuku bahwa Lord McCall sedang pergi, ke Amerika Serikat, jadi dia tidak
bisa menerimaku, dan tentu saja si sekretaris tidak berkewenangan mengizinkan
aku memotret benteng itu. Aku bersikeras agar dia membiarkanku datang kekastil
tersebut setidaknya sekali, tetapi sekretaris itu tetap bergeming, tanpa izin
Lord McCall, tidak seorangpun boleh menginjakkan kaki di tanahnya.
"Tetapi aku masih belum mau menyerah, jadi aku pun tetap pergi ke kastil itu.
Aku yakin begitu aku sudah benar-benar ada di sana, mereka harus membiarkanku
masuk, setidaknya untuk melihat-lihat.
Tidak biasanya aku berhubungan langsung dengan koneksi keluargaku, tetapi dalam
hal ini dengan bodohnya aku mengira mereka akan memberiku izin masuk.
"Sebelum tiba di kastil tersebut aku berbicara dengan sejumlah warga desa.
Mereka semua menaruh rasa hormat yang amat besar kepada Lord McCall, dan mereka
bilang dia orang ramah dan dermawan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan mereka.
Bisa dibilang mereka lebih dari sekadar menaruh hormat kepadanya, mereka
memujanya. Tak satu pun dari mereka yang akan melukainya biar hanya secuil atau
membahayakannya dengan cara apa pun. Salah seorang dari mereka mengatakan
kepadaku bahwa anaknya masih hidup berkat McCall, yang telah membayar seluruh
biaya bedah jantung terbuka di Houston.
"Ketika aku tiba di gerbang besi untuk memasuki kawasan kastil itu, aku tidak
menemukan jalan masuk, dan tidak seorang pun menjawab bel.
Aku mulai menyusur itembok kastil, sekadar untuk melihat-lihat apa yang kira-
kira bisa kutemukan. Akhirnya tibalah aku di sebuah bagian yang batunya telah
agak lapuk, yang cukup untuk dijadikan pegangan lemah.
Kau harus tahu bahwa salah satu kegiatan waktu senggangku dulu adalah panjat
tebing. Aku memulai panjat tebing saat berumur sepuluh tahun, dan aku sudah
memanjat banyak tebing. Jadi memanjat tembok itu sepertinya tidak terlalu sulit
buatku, kendati aku tidak punya tali atau apa saja. Pokoknya, aku tidak bisa
menahan diri. "Jangan tanya bagaimana aku melakukannya, yang jelas aku berhasil memanjat
dinding itu dan melompat masuk, ke tanah properti itu. Di kejauhan, di tengah
rerimbunan, aku melihat kapel batu tertutup tumbuhan rambat ivy dan aku mulai
berjalan ke sana. Aku mendengar suara, dan merasakan sakit bukan main dan jatuh.
Aku tidak ingat lebih banyak lagi. Aku menangis dan menggeliat-geliat kesakitan.
Ada seorang lelaki yang berdiri di sana sambil membawa bedil yang ditodongkan
kepadaku. Dia memanggil seseorang memakai walki-talkie, sebuah jeep gardan ganda
datang, mereka memasukkanku ke dalamnya dan mengantarku ke rumah sakit.
"Aku lumpuh. Mereka menembak tidak untuk membunuhku, tetapi mereka membidik
dengan hati-hati sekadar untuk membuatku jadi begini.
"Tentulah, orang-orang bilang para penjaga tanah itu telah melakukan tugas
mereka. Aku seorang penyusup yang telah melompati pagar. Dan percayalah, tak
satupun pihak berwenang yang tertarik untuk mengusutnya."
Ana mendengarkan cerita Elisabeth sambil membisu. Kini, sambil memandang
perempuan muda yang penuh semangat itu, di hatinya timbul rasa simpati dan
geram. "Aku turut menyesal," katanya. Mengatakan yang lain-lain hanya akan terdengar
berlebih-lebihan. " Yeah, aku juga. Tetapi intinya adalah, tampaknya lumayan meyakinkan bahwa Lord
McCall itu adalah orang yang sama sekali tidak ramah. Aku meminta ayahku untuk
memberi daftar mendetail tentang kenalannya yang punya hubungan dengan McCall.
Awalnya dia tidak mau melakukan itu, tetapi pada akhirnya memberikannya juga.
Sikapnya sudah berubah sejak kecelakaan yang menimpaku. Dulunya dia tidak pernah
mengizinkan aku menjadi reporter, apalagi mencurahkan kari rku melakukan hal-hal
yang nyerempet bahaya ini. Jadi kami terus menggali informasi, aku dan Paul,
dengan bantuan yang semakin tidak sepenuh hati dan ayahku, dan kami berhasil
menyusun sebuah gambaran dasar.
"Lord McCall adalah orang yang aneh. Tidak pernah menikah, ahli seni keagamaan,
luar biasa kaya. Setiap seratus hari sekelompok orang tiba di kastil tersebut
dengan naik mobil atau helikopter dan tinggal di sana selama tiga atau empat
hari. Tidak seorang pun warga setempat tahu siapa mereka, tetapi orang-orang
desa itu memiliki kesan mereka adalah orang-orang yang sama pentingnya dengan
McCall sendiri. Namun kami berhasil mengidentifikasi sebagian dari mereka dan
kami juga telah melacak bisnis mereka, dan aku bisa bilang kepadamu bahwa tidak
ada kejadian finansial penting di dunia ini yang tidak ada kaitannya dengan
mereka entah bagaimana caranya."
"Apa artinya?" "Artinya mereka adalah kelompok orang yang memegang kendali, yang kekuatan
finansialnya hampir sebesar kekuasaan pemerintah, yang artinya mereka
memengaruhi pemerintahan di seluruh dunia."
"Dan apa hubungannya dengan Templar?"
"Ana, sudah bertahun-tahun ini aku mempelajari segala catatan tertulis tentang
mereka. Aku punya banyak waktu, dan aku sudah tiba pada sejumlah kesimpulan.
Selain semua organisasi yang mengaku sebagai pewaris Biara, ada satu lagi,
organisasi rahasia, beranggotakan orang-orang yang tetap tak terjamah, yang
kesemuanya merupakan orang-orang maha penting, dan berkedudukan di jantung
masyarakat. Aku tidak tahu berapa banyak jumlah mereka atau siapa saja mereka, atau
setidaknya aku tidak yakin bahwa semua orang yang kuduga menjadi anggota
kelompok ini benar-benar anggota. Tetapi aku yakin para kesatria Templar sejati,
penerus Jacques de Molay, benar-benar ada dan McCall adalah satu di antaranya.
Aku telah banyak mempelajari tanah perkebunannya di Skotlandia, dan tanah itu
sangat menarik. Selama berabad-abad tanah perkebunan itu berpindah-pindah
tangan, selalu kepada orang-orang yang lajang, bahkan hidup menyendiri, dan kaya
serta berdarah biru, dan semuanya terobsesi untuk melarang masuknya orang asing.
Kurasa ada angkatan bersenjata Templar, jika itu yang kau inginkan, sebuah
angkatan bersenjata yang tidak pernah membuka mulut dan terstruktur dengan rapi
yang para anggotanya memegang jabatan tinggi hampir di semua negara."
"Kelihatannya Anda berbicara tentang organisasi Mason."
"Tidak, aku mengacu pada organisasi inti yang otentik, organisasi yang tidak
diketahui orang, bahkan keberadaannya pun tidak diketahui.
Dengan daftar yang diberikan ayahku dan atas bantuan seorang wartawan penyelidik
yang hebat, aku berhasil membuat daftar organisasi parsial Biara baru ini.
Tetapi, aku beritahu kamu, ini tidak mudah.
Michael, wartawan itu, sudah meninggal, setahun yang lalu dia mengalami
kecelakaan mematikan. Aku menduga mereka membunuhnya.
Terjadi hal-hal kejam terhadap mereka yang terlalu dekat. Aku tahu, aku telah
menelusuri hal-hal yang telah terjadi kepada orang-orang yang ingin tahu seperti
kita." "Konspirasi dunia, pembunuhan, pemeti esan ini, benar-benar pandangan yang agak
paranoid atas segala hal."
"Ya, tetapi aku tetap saja beranggapan ada dua dunia: dunia yang kita lihat, di
mana sebagian besar dari kita hidup, dan selanjutnya dunia lainnya, dunia bawah
tanah yang tidak kita ketahui. Dan tempat seperti itulah berbagai organisasi
semacam ini, organisasi keuangan,Mason, apa saja, memegang kendali. Dan di
sanalah Biara baru ini bisa ditemukan, di dunia bawah tanah itu."
"Aku tidak tahu. Maaf. Aku memberitahukan semua ini kepadamu karena Padre Yvesmu
itu bisa jadi..." "Katakan." "Bisa jadi dia salah satu darimereka."
"Seorang Templar dalam perkumpulan rahasia yang kau kira-kira, maaf, ada?"
"Kau boleh mengira melihat hal-hal ini, kecelakaan ini, kursi roda ini, telah
membuat aku paranoid, tapi aku ini reporter persis seperti dirimu, Ana, dan aku
masih bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Aku sudah memberi-tahukan kepadamu
apa yang kuperkirakan. Kini kau bisa melanjutkan jika kau merasa ada kecocokan.
Jika kafan itu ada pada Templar, dan Padre Yves berasal dari keluarga Geoffroy
de Charney-" "Bahkan jika begitu," Ana menyelanya. "Bahkan dengan semua itu, kafan Turin
bukanlah kain yang dipakai untuk menguburkan Kristus. Pada dasarnya, kita tahu
kain itu berasal dari zaman Charney dan kurasa kesatria Templar akan tahu bahwa
benda itu baru dibuat, atau setidaknya tahu bahwa asal-usulnya meragukan, dan
aku tidak melihat mereka mempertaruhkan apa saja demi relik setengah jadi
lainnya, sebagaimana telah mereka lakukan... "
Saat menyimak Elisabeth, Ana baru sadar bahwa dia tampak begitu konyol,
membuang-buang waktu para sarjana serius untuk menjelaskan teori-teorinya
sendiri. Pada saat itu dia tidak begitu menyukai dirinya. Dia merasa seperti seorang
bodoh hingga tenggelam dalam cerita khayalan, mencoba mengalahkan penyelidikan
para profesional di Divisi Kejahatan Seni.
Selesai sudah, katanya dalam hati; dia akan kembali ke Barcelona dengan
penerbangan pertama keesokan harinya. Dia akan menelpon Santiago.
Dia tahu Santiago akan gembira saat mendengar bahwa dia mulai berangkat, bahwa
dia sudah kenyang dengan urusan kafan yang menyedot hidupnya itu.
Elisabeth dan Paul membiarkan Ana berpikir sendiri. Mereka bisa melihat
skeptisisme, keraguan, sungguh, terbayang di wajahnya. Mereka memberitahukan
penyelidikan mereka atas Biara itu hanya kepada segelintir orang saja, karena
mereka takut hal itu membahayakan nyawa mereka dan orang-orang lain yang
membantu mereka. Tetapi reporter ini telah menceburkan dirinya cukup dalam, dan
mereka pikir dia berhak tahu apa yang akan dia hadapi.
"Elisabeth, apakah akan kau berikan kepadanya?"
Kata-kata Paul membangunkan Ana dari lamunannya.
"Memberiku apa?" tanya Ana.
"Berkas ini, Ana. Ini adalah rangkuman pekerjaanku selama lima tahun terakhir.
Lebih tepatnya pekerjaan Michael dan aku. Berkas ini berisi daftar nama dan
biografi orang-orang yang kami duga sebagai para imam baru diBiara. Menurutku,
Lord McCall adalah Imam Besarnya.
Tetapi bacalah dan kita lihat saja nanti bagaimana pendapatmu. Dan betapapun
kami terlihat konyol di matamu, berhati-hatilah, demi keselamatanmu dan kami.
Hanya beberapa orang saja yang tahu tentang ini. Kami memercayaimu karena kami
rasa kau nyaris mendapatkan sebuah penemuan penting, kami belum tahu persisnya
apa itu, atau ke arah mana dia akan membawamu, tetapi tampaknya kau nyaris
mendekati sesuatu, sesuatu yang besar, sesuatu yang telah kami lewatkan. Ada
catatan-catatan serta detail-detail historis di dalam berkas itu yang mungkin
ingin kau pertimbangkan juga, yang mungkin terkait dengan kafanmu, hal-hal yang
telah kami temukan tentang jatuhnya ordo itu, kemana mereka kabur, spekulasi-
spekulasi tentang yang terjadi kepada catatan-catatan dan kekayaan-kekayaan
mereka, bagaimana mereka menggabungkan diri mereka...
"Jika kertas-kertas ini jatuh ke tangan orang yang salah, kita semua akan mati,
itu sudah pasti. Jadi aku memintamu untuk tidak menceritakan kepada siapa pun,
tak seorang pun. Mereka punya kuping di mana-mana, di pengadilan, di kepolisian,
di parlemen, di pasar saham, dimana-mana. Aku yakin mereka sudah mengamatimu.
Mereka tahu kamu bersama kami; yang tidak mereka ketahui adalah apa yang telah
kami katakan kepadamu. Kami telah mengeluarkan banyak uang untuk keamanan, dan
bahkan kami punya pemindai elektronik untuk menemukan mikrofon penyadap. Meski
begitu, mungkin sajakami belum menemukan semuanya."
"Elisabeth, maaf. Ini sudah terlalu jauh memasuki kawasan John le Carre, bahkan
bagiku." "Kamu boleh berpikir apa saja yang kau inginkan, Ana, tapi kamu telah terlibat
ke dalam urusan ini. Bersediakah kamu melakukan yang kami minta?"
"Dengar, kau telah menaruh kepercayaan kepadaku, dan aku sangat berterima kasih.
Rahasiamu aman bersamaku. Aku janji, tidak akan mengatakannya kepada siapa pun
meski hanya sepatah kata.
Haruskah kukembalikan berkas ini ketika aku sudah selesai membacanya?"
"Hancurkan saja. Ini cuma rangkuman, tapi aku berjanji, berkas ini akan berguna
bagimu, sangat berguna, khususnya jika kau memutuskan untuk melanjutkannya."
"Apa yang membuatmu berpikir aku balik kucing?"
Elisabeth menarik nafas panjang sebelum menjawab, kemudian dia tersenyum dengan
begitu ringannya. "Itulah yang seharusnya kaulakukan, Ana, hentikanlah. Hentikanlah sekarang.
Namun aku merasa kau tidak akan berhenti."
51 Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika para anggota inti Divisi
Kejahatan Seni terlihat seperti baru saja bangkit dari tempat tidur setelah
tidak bisa tidur semalaman. Kini mereka menunggu sarapan mereka diantarkan.
Ruang makan hotel baru saja dibuka dan mereka menjadi tamu pertama yang datang.
Pukul sembilan hari ini si Bisu akan dibebaskan dari penjara Turin.
Marco telah merencanakan operasi untuk membuntutinya dengan hati-hati. Mereka
akan didukung sekelompok carabinieri dan interpol.
Sofia gugup, dan dia pikir Minerva juga tidak nyaman. Bahkan Antonino
menunjukkan ketegangannya dari caranya menegangkan bibir.
Namun, Marco, Pietro, dan Giuseppe tampak baik-baik saja, santai dan enteng.
Mereka bertiga adalah polisi, dan bagi mereka membuntuti adalah urusan rutin.
Mereka telah mempelajari peran dan tanggung jawab mereka masing-masing hingga
bisa mengatakannya dalam mimpi mereka. Tidak ada yang dilakukan selain menunggu.
Untuk mengisi waktu, Sofia mulai memberitahukan kepada Marco dan tim lainnya
tentang bukti-bukti, atau sebenarnya petunjuk-yang lebih memancing rasa
penasaran yang telah ditemukannya dalam penggalian-penggalian sejarah terakhir
mengenai kafan itu, setelah membuka-buka kitab Apocrypha dan buku-buku mengenai
Edessa dan perannya sebagai pusat perdagangan kuno. Semakin dia menyelidiki
tentang hubungan yang telah mereka temukan dengan Urfa, titisan Edessa di zaman
modern, dia pun semakin yakin bahwa memang ada benang merah yang membentang dari
sana selama berabad-abad, kiasan samar-samar tentang penelusuran-penelusuran
yang digelar kekuatan-kekuatan besar dari dalam kota yang bertujuan mencari
lokasi harta karun misterius yang hilang. Pencarian tersebut sepertinya mencapai


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke setiap kerajaan di benua Eropa dan diluarnya, bahkan sampai menjangkau
Inggris, Skotlandia, dan Irlandia. Dia yakin bahwa harta karun itu adalah kafan
Edessa yang dicuri, dan barangkali upaya untukmerebutnya kembali tidak pernah
berhenti ketika catatan-catatan sejarah terputus.
"Ya ampun, aku tidak pernah mendengar sesuatu yang sekonyol itu!" sela Pietro.
"Kurasa sekarang masih terlalu dini untuk omong kosong ini, Sofia."
"Ini bukan omong-kosong! Maksudku, ini spekulasi, dan ini sedikit
'melenceng,' dan aku tidak bilang ini kebenaran, tetapi kau tidak bisa menyebut
apa saja yang tidak sesuai dengan pikiranmu sebagai 'omong kosong.'"
"Tenang!" bentak Marco. "Sofia, aku tidak tahu ... sepertinya terlalu fantastis
jika inilah yang terjadi selama bertahun-tahun. Tapi dengan sedikit
keberuntungan, dan perhatian yang jeli terhadap pekerjaan yang ada di tangan
kita," dia memandang tajam pada mereka semua di sekeliling meja, "sebentar lagi
kita akan mendapatkan jawaban yang mantap. Sekarang mari kita periksa segalanya
sekali lagi." Jauh dan Turin, hawa yang penuh semangat di dalam penthouse mewah milik salah
seorang jawara pengapalan terkuat di dunia benar-benar bertolak belakang dengan
adai di luar yang tengah menyerang New York City. Para tamu berkeliling ruangan,
berbincang-bincang penuh sukacita, tertawa-tawa, dan meski waktu sudah lewat
tengah malam, pesta tampaknya baru saja dimulai. Kelompok pria yang berkumpul
dengan nyamannya disebuah sudut yang tersembunyi dengan ditemani sampanye dan
cerutu Havana tampak benar-benar mencerminkan suasana malam yang seronok.
Namun, perbincangan mereka bertolak belakang dengan sikap badan mereka yang
santai. "Sebentar lagi Mendib akan meninggalkan penjara," yang paling tua menggumam
hati-hati kepada yang lain."Segalanya sudah siap."
"Aku kuatir dengan situasi ini. Secara keseluruhan Bakkalbasi punya tujuh orang
pembunuh profesional, dan Marco Valoni telah mengerahkan seluruh tim dan
peralatannya di sana. Tidakkah kita nanti akan terlalu mencolok" Tidakkah lebih
baik membiarkan mereka memecahkan masalah ini sendiri?" tanya si orang Prancis.
"Kita telah mendapat laporan singkat tentang detail-detail kedua operasi itu,
kita bisa memonitor mereka dengan sedikit risiko orang-orang kita kelihatan.
Sementara itu, orang-orang Addaio tidak ada masalah. Dia bisa dikendalikan
dengan mudah," jawab yang lebih tua.
"Meski demikian, aku juga cenderung percaya bahwa terlalu banyak orang yang
terlibat di sini," kata salah seorang dengan aksen tidak tentu.
"Mendib menjadi masalah bagi Addaio dan bagi kita karena Valoni tidak akan
melepaskan begitu saja selama dia punya bukti," kata orang yang lebih tua itu
agak ngotot. "Tetapi aku lebih mengkhawatirkan si reporter, adik perwakilan
Europol itu, dan si Dottoressa Galloni.
Kesimpulan yang mereka dapatkan membawa mereka kian dekat kepada kita. Ana
Jimenez telah bertemu dengan Lady Elisabeth McKenny, yang memberinya sebuah
berkas, atau rangkuman berkas, mengenai Templar.
Kalian pasti tahu. Maaf, aku sungguh-sungguh minta maaf, jika akhirnya sampai ke
sini, tetapi Lady Elisabeth, Nona Jimenez, dan Dottoressa Galloni kini kian
menjadi masalah. Benar-benar menjadi ancaman bagi keberadaan kita."
Yang lainnya pun membisu seribu bahasa, dan saling melihat dengan tatapan
sembunyi-sembunyi. "Tindakan apa yang kau sarankan?" ada nada mengancam dalam logat Italia itu
ketika dia melontarkan pertanyaan langsung tersebut.
"Apa yang harus dilakukan. Maaf."
"Kita tidak boleh ikut-ikutan di sini."
"Kita belum melakukannya, dan itulah yang menyebabkan spekulasi mereka sudah
terlalu jauh dan membahayakan bagi kita. Kita harus bertindak sebelum terlambat.
Aku ingin saran kalian, tetapi aku juga ingin persetujuan kalian."
"Tidak bisakah kita menunggu sedikit lagi?" tanya si mantan tentara.
"Tidak, tidak bisa, jika kita tidak ingin mengacaukan segalanya.
Tidak waras namanya jika kita terus-terusan mengambil risiko seperti ini.
Maaf, sungguh-sungguh maaf. Keputusan itu sama menjijikkannya bagiku maupun
bagimu, tetapi aku tidak bisa menemukan solusi lain. Jika menurut kalian ada
solusi, katakan kepadaku."
Enam orang lainnya membisu. Sejujurnya mereka semua tahu dia benar. Banyaknya
uang yang telah dikeluarkan Paul Bisol untuk kemananan telah sia-sia. Selama
bertahun-tahun mereka telah mencegat surat-surat yang diterima pasangan
tersebut. Mereka telah memasukkan spyware dalam komputer mereka, sebuah
keystroke logger program, dan mereka telah menyadap telepon Enigmas: mereka
telah menginstal mikrofon penyadap dikantor editorial dan rumah mereka. Mereka
tahu segalanya tentang pasangan itu, seperti halnya selama berbulan-bulan mereka
telah mempelajari segala hal tentang Sofia Galloni dan Ana Jimenez, mulai parfum
yang mereka pakai hingga apa yang mereka baca pada malam hari, siapa yang mereka
ajak bicara, kehidupan cinta mereka... segalanya, tanpa terkecuali.
Anggota-anggota Divisi Kejahatan Seni yang lainnya juga di bawah pengawasan
tanpa henti, semua telepon yang mereka terima, baik telepon rumah maupun telepon
genggam, telah disadap, dan masing-masing mereka dibuntuti terus-menerus.
"Jadi?" desak orang yang lebih tua itu.
"Aku ragu-ragu untuk-"
"Aku mengerti," kata orang yang lebih tua menyela orang Italia itu,
"Aku mengerti. Jangan bicara lagi. Kau tidak perlu ambil bagian dalam pembuatan
keputusan." "Apa kaupikir itu meringankan beban pikiranku?"
"Tidak, aku tahu ini tidak menngankanmu. Tetapi ini bisa menolong.
Kurasa kau butuh bantuan itu, bantuan spiritual itu. Kita pernah mengalami
kejadian-kejadian seperti ini dalam hidup kita. Memang tidak mudah, tetapi kita
sudah memilih jalan yang tidak mudah, kita telah memilih kemustahilan. Dalam
suasana-suasana seperti inilah kemuliaan misi kita ini menjadi tolok ukur diri
kita sendiri." "Setelah mencurahkan seluruh hidupku... apakah menurutmu aku masih harus
membuktikan kelayakanku dalam misi kita?"
"Tentu tidak. Kau tidak perlu membuktikan apa-apa," jawab pimpinannya. "Tetapi
kau menderita. Kami semua bisa melihatnya. Kau harus mencari dalam dirimu
sendiri, dan kepada Tuhan, untuk mendapatkan kekuatan yang biasanya kau miliki.
Untuk saat ini, kumohon, percayakan kepada penilaian kami dan biarkan kami
bertindak sebagaimana mestinya."
"Tidak, aku tidak setuju dengan itu."
"Aku bisa menangguhkan keanggotaanmu untuk sementara waktu, hingga kamu bisa
berpikir jernih lagi."
"Kamu boleh melakukannya. Apa lagi yang akan kau lakukan?"
Kisah Pedang Di Sungai Es 6 Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Kemelut Blambangan 7
^