Misteri Kain Kafan Jesus 8
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro Bagian 8
Saat tamu-tamu lain mulai memandang mereka, si mantan tentara menyela. "Cukup.
Semua orang melihat kita. Kita lanjutkan saja lain kali."
"Tidak ada waktu lagi," jawab orang yang lebih tua.
"Aku butuh persetujuan kalian sekarang."
"Baiklah kalau begitu," kata semua orang kecuali satu, yang bibirnya mengatup
geram dan frustasi, mengangkat kakinya dan pergi.
Sofia dan Minerva berada di markas besar carabinieri Turin. Saat itu pukul
sembilan kurang dua menit, dan melalui mikrofon yang tersembunyi di bawah
kelepak jaketnya, Marco memberitahukan kepada mereka bahwa gerbang penjara
dibuka. Dia memerhatikan si Bisu keluar, berjalan perlahan, matanya menatap
lurus ke depan, bahkan ketika pintu gerbang menutup di belakangnya.
Ketenangannya mengejutkan, pikir Marco.
Tidak ada emosi, tidak ada tanda-tanda dia menyambut kebebasan setelah bertahun-
tahun dikurung. Mendib mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia sedang diawasi. Dia tidak
melihat mereka, tetapi dia tahu bahwa mereka di sana, mengawasi. Dia akan
membuat mereka kehilangan jejaknya, meninggalkan mereka, tapi bagaimana" Dia
akan mencoba mengikuti rencana yang telah dia buat di penjara. Dia akan pergi ke
pusat kota, keluyuran, tidur di bangku taman. Dia tidak punya banyak uang; dia
bisa menyewa sebuah kamar di pensione paling banter selama tiga atau empat hari
dan hanya makan panini. Dia juga akan menyingkirkan pakaian dan sepatu-nya ini;
meskipun dia sudah memeriksanya dengan cermat dan tidak menemukan apa-apa,
secara naluriah dia tidak nyaman dengan pakaian itu karena pakaian tersebut
pernah diambil penjaga untuk dicuci.
Dia hapal Turin. Addaio telah mengirim dia dan saudara-saudaranya kemari setahun
sebelum usaha mereka mencuri kafan, persisnya agar mereka bisa akrab dengan kota
ini. Dia telah mengikuti instruksi-instruksi pastor itu: berjalan dan berjalan
dan berjalan, ke seluruh kota. Itulah cara paling bagus untuk mengenalnya. Dia
juga mempelajari rute bus.
Dia mendekati pusat kota Turin, berjalan melewati distrik Crocetta.
Saat kebenaran telah tiba-saatnya kabur dan orang-orang yang pasti
membuntutinya. "Kurasa kita punya teman."
Terdengarlah suara Marco dari pemancar di pusat operasi mereka.
"Siapa mereka?" tanya Minerva.
"Tidak tahu, tetapi tampang mereka seperti orang Turki."
"Orang Turki atau Italia," terdengarlah suara Giuseppe. "Rambut hitam, kulit
zaitun." "Berapa banyak?" Tanya Sofia.
"Sementara baru dua," kata Marco, "tapi mungkin lebih banyak.
Mereka masih muda. Si Bisu tampaknya lupa. Ia hanya berputar-putar, melihat
jendela-jendela, seperti biasanya orang keluar mencari makan siang."
Mereka mendengar Marco memberi instruksi kepada carabinieri agar tidak
kehilangan jejak orang yang tak dikenal itu.
Tak satu pun dan Marco atau para polisi itu memerhatikan lelaki tua penjual
kupon lotere. Dengan postur yang tidak tinggi ataupun pendek, tidak kekar
ataupun kurus, tidak berpakaian seperti orang pada umumnya ataupun tampak
mencolok, orang tua itu hanyalah bagian dari pemandangan di lingkungan tersebut.
Tetapi orang tua itu pernah melihat mereka. Pembunuh yang disewa Addaio itu
tidak melewatkan apa pun, dan sejauh ini dia telah mengidentifikasi setengah
lusin polisi, ditambah empat orang yang dikirim Bakkalbasi.
Dia jengkel, orang yang membayarnya itu sama sekali tidak memberitahu bahwa akan
ada polisi yang berkeliaran di seluruh tempat itu atau bahwa ada pembunuh-
pembunuh lain seperti dia yang mengejar sasarannya. Dia harus melakukannya
pelan-pelan, merancang rencana baru. Pada awalnya, seorang lelaki lain juga
membuatnya curiga, tetapi sebentar kemudian dia sudah menepisnya. Tidak, orang
itu bukan polisi, dari tampangnya juga bukan seperti orang Turki, dia tidak ada
hubungannya dengan ini, meskipun cara bergeraknya ... Kemudian dia menghilang,
dan pembunuh itu bisa bernafas lega. Orang itu bukan siapa-siapa.
Sepanjang hari, Mendib berputar-putar keliling kota. Dia telah menepis gagasan
tidur di bangku; itu merupakan sebuah kesalahan. Jika ada orang yang ingin
membunuhnya, dia akan mempermudah tugas orang itu jika dia tidur di ruang
terbuka di taman. Maka pada saat senja dia menuju sebuah rumah singgah tunawisma
yang dia lihat pagi itu. Rumah ini dijalankan oleh para Suster Amal. Dia akan lebih aman di sana.
Begitu mereka yakin bahwa si Bisu telah makan dan merebahkan tubuhnya di
selembar karpet tipis dekat pintu masuk asrama, tempat salah satu biarawati
duduk untuk mencegah perkelahian di antara sesama penghuni, Marco merasa yakin
bahwa orang yang mereka buntuti tidak akan bergerak lagi malam itu. Dia
memutuskan untuk pergi ke hotel dan tidur sebentar, dan dia memerintahkan timnya
untuk melakukan hal yang sama, kecuali Pietro, yang dia beri tanggung jawab
dengan tim pengganti yang terdiri dan tiga carabinieri baru, yang cukup untuk
mengikuti si Bisu jika dia sekonyong-konyong muncul lagi.
Di Bandara Paris, Ana Jimenez menunggu penerbangan malam ke Roma.
Dan sana dia akan melanjutkan ke Turin. Dia gugup dan resah atas apa yang dia
baca di berkas Elisabeth. Jika setitik saja dari isi berkas tersebut benar,
berarti sungguh mengerikan. Ada dimensi-dimensi kisah ini yang tidak pernah
dibayangkannya ketika dia baru memulai, hal-hal yang tampaknya berhubungan
dengan kafan itu, atau rahasia besar tertentu, namun tidak ada hubungannya
dengan Prancis atau Turin. Tetapi alasan dia tetap kembali ke Turin adalah
karena dia telah melihat salah satu nama yang muncul di berkas dalam laporan
lain, laporan yang telah diberikan Marco Valoni untuk dibaca saudaranya. Dan
jika yang dikatakan Elisabeth itu benar, itu adalah nama salah satu imam di
Biara baru dan memiliki hubungan dengan kafan tersebut.
Dia telah membuat dua keputusan: satu, berbicara kepada Sofia, dan dua, pergi ke
katedral dan mengejutkan Padre Yves. Hampir sepanjang pagi dan sebagian sorenya
dia habiskan untuk mencoba menghubungi Sofia, tetapi petugas jaga di Alexandra
telah memberitahunya bahwa Sofia berangkat pagi-pagi sekali, dan Ana masih belum
menerima jawaban dan beberapa pesan voice mail yang dia tinggalkan untuk Sofia.
Tampaknya tidak mungkin menghubungi Dottoressa itu pada saat ini.
Sementara untuk Padre Yves, dia akan menemuinya keesokan harinya, dengan satu
atau lain cara. Elisabeth benar, dia sudah mendekati sesuatu, meskipun apa itu dia belum yakin.
Orang-orang Bakkalbasi telah berhasil mengelabuhi carabinieri. Salah satu dari
mereka tetap tinggal di luar rumah singgah para Suster Amal, mengawasi untuk
memastikan bahwa Mendib tidak pergi; yang lainnya bubar. Pada saat mereka
mencapai kuburan, hari suda hmalam dan penjaga menunggu mereka dengan gugup.
"Buruan, buruan, aku harus pergi," dia mendesis saat menyuruh mereka masuk. "Aku
akan memberimu kunci gerbang, kalau-kalau suatu malam kau pulang terlalu larut
dan aku harus pergi."
Pintu masuk mausoleum di mana dia menunjukkan jalan bagi mereka dilindungi
sesosok malaikat memegang pedang yang diangkat tinggi-tinggi. Keempat laki-laki
itu masuk, menerangi jalan mereka dengan lampu senter, dan menghilang ke perut
bumi. Ismet sudah menunggu mereka di ruangan bawah tanah. Dia sudah membawa air buat
mereka mandi, dan makanan. Mereka lapar dan lelah, dan mereka semua ingin tidur.
"Di mana Mehmet?"
"Dia tetap tinggal di tempat Mendib tidur, untuk jaga-jaga kalau Mendib
memutuskan meninggalkan rumah singgah itu malam ini. Addaio benar, mereka ingin
Mendib menggiring mereka kepada kita. Mereka punya tim besar yang membayang-
bayangi Mendib," kata salah satu dari orang-orang itu, yang di Urfa pekerjaannya
menjadi polisi, sebagaimana salah satu kawannya.
"Apakah mereka melihatmu?" tanya Ismet waswas.
"Kurasa tidak," seorang lagi menjawab, "tetapi kita tidak bisa yakin, jumlah
mereka banyak." "Kalian tidak boleh membawa mereka kemari. Kalian paham" Jika kalian merasa
dibuntuti, kalian tidak boleh kembali kemari," tegas Ismet.
"Kami tahu, kami tahu, " polisi itu meyakinkannya. "Jangan kuatir, tidak ada
yang mengikuti kami."
Pada pukul enam pagi Marco sudah mengambil tempat di dekat rumah singgah Para
Suster Amal lagi. Dia menginstruksikan penguatan untuk tim carabinieri, yang
telah kehilangan jejak dua penguntit Turki pada malam sebelumnya.
"Jika, ketika, mereka muncul lagi, pastikan mereka tidak melihat kalian,"
bentaknya. "Aku ingin mereka masih hidup dan bisa mengoceh saat semua ini
berakhir. "Jika mereka membuntuti si Bisu, berarti kita juga menginginkan
mereka. Sementara ini, kita perlu memberi mereka sedikit lagi kelonggaran."
Para anak buahnya mengangguk. Pietro bersikeras akan tetap bekerja, kendati dia
belum tidur malam itu. Sofia telah mendengar meningkatnya kecemasan dalam nada bicara Ana di pesan-
pesan voice mail yangtelah dia tinggalkan. Di hotel, para petugas juga telah
mengatakan kepadanya bahwa Ana juga sudah menelpon ke sana lima kali. Dia
merasakan tusukan penyesalan karena tidak membalas teleponnya, tetapi sekarang
ini bukan saatnya megacaukan konsentrasinya dengan teori-teori gila reporter
tersebut. Dia akan menelpon Ana saat kasusnya sudah ditutup; sementara itu dia
akan memusatkan seluruh energinya untuk mengikuti perintah Marco. Dia dan
Minerva akan berangkat ke carabinieri ketika seorang bellboy berlari ke arah
mereka. " Dottoressa Galloni, Dottoressa!"
"Ya, ada apa?" "Anda mendapat telepon; katanya mendesak."
"Aku tidak bisa menerimanya sekarang; suruh meja depan minta dia meninggalkan
pesan dan ....." "Meja depan memberitahu saya bahwa Signor D'Alaqua bilang ini sangat penting."
"D'Alaqua?" "Ya. Beliau yang menelpon."
Sofia mengisyaratkan agar Minerva terus pergi, lalu menoleh, dan langsung menuju
salah satu telepon rumah.
"Ini Dottoressa Galloni; sepertinya saya dapat telpon."
"Oh, Dottoressa, syukurlah! Signor D'Alaqua ngotot kami harus menemukan Anda.
Sebentar." Terasa ada yang berbeda dalam suara khas Umberto D'Alaqua, tegang, terkendali.
"Sofia..." "Ya, apa kabar?"
"Aku perlu bertemu denganmu."
"Silakan, tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian. Mobilku akan ke sana sepuluh menit lagi."
"Maaf, saya sedang berangkat ke tempat kerja. Saya tidak bisa kalau hari ini.
Ada yang tidak beres?"
"Aku punya tawaran untukmu. Kau tahu aku punya minat yang sangat besar kepada
arkeologi, nah, aku akan berangkat ke Syria. Aku mendapat izin melakukan
penggalian di sana, dan orang-orangku telah menemukan beberapa hal yang aku
ingin kaulihat. Aku harus segera berangkat, tetapi aku ingin berbicara denganmu
dalam perjalanan. Aku ingin memberimu tawaran pekerjaan."
"Saya sangat menghargainya, sungguh, tetapi sekarang tidak mungkin saya bisa
pergi. Maaf," jawabnya, terkejut atas keseluruhan perbincangan itu.
"Sofia, terkadang ada kesempatan-kesempatan sekali seumur hidup."
"Itu benar. Tetapi ada juga tanggung jawab yang tidak bisa kita tinggalkan. Dan
saat ini saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya.
Jika Anda bisa menunggu dua atau tiga hari lagi, mungkin..."
"Tidak, yang ini tidak bisa menunggu tiga hari."
"Apakah sebegitu pentingnya sampai Anda berangkat ke Syria hari ini?"
"Ya." "Yah, kalau begitu saya minta maaf. Saya sungguh minta maaf.
Mungkin saya bisa pergi beberapa hari lagi... "
"Tidak, kurasa tidak bisa. Aku mohon kau ikut denganku sekarang."
Sofia ragu-ragu. Ajakan Umberto D'Alaqua dan nada bicaranya yang agak memaksa
itu sama-sama membuatnya bingung.
"Ada apa" Katakan."
"Akan kuberitahu."
"Maaf, sungguh maaf. Begini, saya harus pergi, mereka sedang menunggu saya."
"Kalau begitu semoga berhasil, Dottoressa," katanya, semangat yang tadi ada pada
suaranya kini telah menguap. "Jaga diri baik-baik."
"Ya, tentu, terima kasih." Dia mendengar bunyi klik dari seberang sana dan
mengembalikan gagang telepon ketempatnya.
Mengapa Umberto mendoakan keberhasilannya" Suaranya terdengar benar-benar kalah.
Semoga berhasil apa" Mungkinkah dia tahu tentang operasi yang tengah mereka
gelar" Saat kasusnya sudah selesai nanti, dia akan menelponnya. Dia yakin ada sesuatu
di balik tawarannya yang tidak biasa itu dan yang ada di pikirannya bukanlah
hubungan cinta. "Apa yang diinginkan D'Alaqua?" Minerva telah menunggunya, dan mereka keluar
hotel bersama-sama. "Ingin mengajakku ke Syria."
"Syria! Untuk apa?"
"Dia mendapat izin melakukan penggalian arkeologi disana. Dia ingin aku
membantunya." "Semacam liburan romantis."
"Dia mengajakku pergi, tetapi bukan urusan cinta. Kedengarannya dia khawatir."
Pada saat mereka mencapai markas besar carabinieri, Marco telah menelepon dua
kali. Suasana hatinya sedang tidak enak. Pemancar yang telah mereka pasang pada
si Bisu tidak bekerja. Alat itu berkedip-kedip, tetapi kedip-kedipnya itu tidak
sesuai dengan jalur yang dia tempuh.
Mereka segera sadar bahwa orang itu telah berganti sepatu. Sepatu yang dia pakai
sekarang lebih tua, lebih tampak usang. Dia juga telah mengenakan celana jins
dekil dan jaket yang sama dekilnya. Seseorang benar-benar telah beruntung bisa
bertukar baju dengannya. Pada saat mereka memerhatikan sasaran mereka itu berjalan tak tentu arah di
seputar Parco Carrara, dua orang yang kemarin membuntutinya kini tak terlihat
dimanapun, setidaknya sejauh itu.
Si Bisu membawa sepotong roti, dan sambil berjalan dia merepih roti itu dan
menyebarkannya untuk makan burung-burung. Dia berpapasan dengan seorang lelaki
yang berjalan bergandengan tangan dengan dua gadis kecil, dan Marco merasa orang
itu menatap kepada si Bisu selama beberapa saat sebelum meneruskan berjalan.
Pembunuh itu pun menarik kesimpulan yang sama. Itu pasti kontak si Bisu. Dia
masih tidak bisa mengambil tindakan, tidak ada cara; orang itu dikelilingi
polisi. Menembaknya sama saja dengan bunuh diri. Dia akan mengikutinya beberapa
hari lagi, dan jika keadaan masih belum berubah, dia akan melupakan kontrak itu,
dia tidak akan mempertaruhkan lehernya sendiri untuk membunuh seorang Turki sial
tak punya lidah itu. Marco dan anak buahnya, orang-orang Turki yang membuntuti Mendib, bahkan, kali
ini, si pembunuh, sama sekali tidak sadar bahwa mereka sedang diawasi. Setelah
mengantarkan gadis-gadisnya pulang, Arslan, orang yang sudah lama menjadi kontak
perkumpulan itu, menelpon sepupunya. Ya, dia sudah melihat Mendib; mereka sudah
berpapasan di Parco Carrara. Kelihatannya dia baik-baiksaja. Tetapi dia tidak
membuat tanda, tidak sama sekali .Jelas-jelas dia masih belum merasa aman, dan
dengan alasan yang bagus.
Ana Jimenez meminta sopir taksi membawanya ke Katedral Turin. Dia memasuki
kantor katedral lewat pintu masuk katedral dan meminta bertemu Padre Yves.
Sayangnya, beliau sedang tidak di tempat," kata sekretarisnya.
"Beliau bersama Kardinal, mengikuti kunjungan kependetaan.
Sepertinya Anda belum membuatjanji, bukan begitu?"
"Ya, Anda benar, tetapi saya tahu bahwa Padre Yves akan senang bertemu saya,"
kata Ana agak sengak, dengan sadar dia bersikap kasar, jengkel melihat
keangkuhan si sekretaris.
Dia benar-benar sedang sial. Dia sudah menelepon Sofia lagi tapi Sofia sudah
buru-buru pergi. Dia memutuskan untuk tidak pergi jauh-jauh dari lingkungan
disekitar katedral dan menunggu Yves de Charny kembali.
Bakkalbasi kebingungan saat mendengar laporan tersebut. Mendib masih keluyuran
di seluruh kota, kelihatannya amat sangat sulit, atau bahkan mustahil,
membunuhnya. Ada carabinieri di mana-mana. Jika anak buah Bakkalbasi melanjutkan
pengejaran, ujung-ujungnya mereka sendiri yang akan ketahuan.
Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada timnya. Jika operasi itu gagal,
Mendib mungkin akan menyebabkan jatuhnya perkumpulan. Cepat atau lambat dia akan
menuju ke pekuburan, atau rumah. Kakek paman Mendib sudah menunggu. Beberapa
hari yang lalu dia sudah mempersiapkan dirinya sendiri, sebagaimana yang telah
dilakukan banyak anggota perkumpulan selama berabad-abad. Seluruh giginya telah
dicabut, lidahnya telah dipotong, dan sidik jarinya telah dibakar sampai hilang.
Seorang dokter telah membiusnya agar dia tidak terlalu menderita. Sekarang sudah
terlambat untuk mengantarkannya...
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendib merasa dia telah melihat seraut wajah yang tidak asing baginya, wajah
seorang lelaki dari Urfa, apakah dia di sana untuk membantunya atau membunuhnya"
Dia kenal Addaio, dan dia tahu bahwa Addaio tidak akan membiarkan perkumpulan
ketahuan. Mendib sadar bahwa jika ceroboh, bisa-bisa dia mengantarkan orang luar
keperkumpulannya, dan dia juga sadar bahwa Addaio akan mencegahnya dengan segala
cara. Begitu hari beranjak gelap, dia akan kembali ke rumah singgah dan jika
memungkinkan dia akan menyelinap dari sana ke pekuburan. Dia akan melompati
pagar dan menuju ke pusara itu. Dia benar-benar masih ingat, dan dia ingat di
mana kunci itu disembunyikan. Dia akan masuk ke terowongan untuk menuju ke rumah
Turgut dan meminta Turgut menyelamatkannya. Jika dia bisa ke rumah Turgut tanpa
diketahui, Addaio bisa mengatur pelarian dirinya. Dia tidak keberatan menunggu
di bawah tanah selama dua atau tiga bulan, sampai carabinieri lelah mencarinya.
Dia sudah menunggu bertahun-tahun di dalam sel.
Dia berjalan menuju Porta Palazzo, pasar di luar ruangan, untuk membeli makanan
dan mencoba menghilang dari pandangan mereka di sela-sela kedai. Orang-orang
yang mengikutinya akan kesulitan menyembunyikan diri mereka di koridor pasar
yang sempit, dan jika dia berhasil melihat wajah-wajah mereka, selanjutnya akan
lebih mudah untuk melepaskan diri dan mereka.
Mereka sudah menjemputnya. Orang tua itu mengambil pisau dan Bakkalbasi tanpa
ragu lagi. Putra keponakannya itu harus dibunuh, dan dia lebih suka melakukannya
sendiri daripada membiarkan orang lain mencemari diri mereka sendiri.
Di dalam mobil, ponsel Bakkalbasi berbunyi; Mendib telah bergerak ke arah Piazza
della Repubhca, mungkin ke Porta Palazzo, kawasan pasar.
Bakkalbasi memerintahka nsopirnya menuju tempat tersebut dan menghentikan
mobildi dekat tempat Mendib terlihat. Saat mobil menepi, dia memeluk lelaki tua
itu dan mengucapkan selamat tinggal. Dia berdoa agar lelaki tua itu berhasil
merampungkan misinya. Hanya dalam waktu beberapa menit, Mendib melihat paman ayahnya dan hatinya pun
terasa lega. Perkumpulan, keluarganya, tidak menyia-nyiakannya. Dia mulai
berjalan dengan hati-hati ke arah lelaki tua itu. Kemudian dia melihat kesedihan
di wajah kakek pamannya itu.
Tampangnya seperti orang yang putus asa.
Mereka pun bertemu pandang. Mendib tidak tahu harus berbuat apa, kabur atau
mendekati orang tua itu dengan sikap wajar dan memberinya kesempatan untuk
menyampaikan pesan atau membisikkan instruksi.
Dia memutuskan untuk memercayai kakek pamannya. Rasa putus asa di matanya benar-
benar mencerminkan ketakutan, tak salah lagi.
Ketakutan kepada Addaio, ketakutan kepada carabinieri.
Saat tubuhnya bertubrukan, Mendib merasakan sakit yang amat sangat di sisi
tubuhnya. Kemudian lelaki tua itu jatuh berlutut dan rubuh dengan wajah
menelangkup di atas tanah. Sebilah pisau menyembul di punggungnya. Orang-orang
di sekitarnya mulai berteriak-teriak dan menepi, dan Mendib melakukan hal yang
sama, dia pun berlari karena panik. Seseorang telah membunuh ayah pamannya,
tetapi siapa" Pembunuh itu berlari di antara kerumunan orang, berlagak ketakutan seperti
orang-orang lain. Dia telah menikam lelaki tua itu, bukannya si Bisu. Seorang
lelaki tua yang juga membawa pisau. Itu tadi berhasil; dia tidak akan
mengupayakannya lagi. Orang yang membayarnya itu tidak menceritakan kepadanya
secara panjang lebar, dan dia tidak bisa bekerja di dalam gelap, tidak tahu apa
yang akan dihadapinya. Perjanjiannya batal, dan dia akan membawa uang mukanya.
Di tepi pasar, Bakkalbasi menyaksikan Mendib melarikan diri saat lelaki tua itu
terbaring sekarat di atas trotoar. Siapa yang telah membunuhnya"
Yang jelas bukan carabinieri. Mungkinkah mereka" Tetapi mereka membunuh lelaki
tua itu" Dalam kebingungannya, dia pun menelepon Addaio. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Segalanya berantakan. Pastor tersebut menyimaknya dan memberinya
perintah singkat. Bakkalbasi menganggu, menenangkan dirinya sendiri.
Dengan diikuti anak buahnya, Marco berlari ke lelaki tua yang sekarat di atas
trotoar itu. Mereka tampak belingsatan, jika saja orang memerhatikan.
"Apakah dia sudah tewas?" tanya Pietro.
Denyut nadi lelaki tua itu melemah. Dia membuka matanya, menatap Marco seolah
ingin mengatakan sesuatu, dan dia pun meninggal.
Sofia dan Minerva mengikuti semuanya dari radio polisi; mereka mendengar tapak
kaki Marco, perintah-perintah yang dia keluarkan dengan cepat, pertanyaan
Pietro. "Marco! Marco! Apa yang terjadi?" teriak Minerva ke mikrofon.
"Demi Tuhan, katakan sesuatu!"
"Ada seseorang yang mencoba membunuh si Bisu, kami tidak tahu siapa, kami tidak
melihatnya, tetapi dia membunuh seorang lelaki tua yang berhenti di depannya.
Kami tidak tahu siapa orang ini, dia tidak memiliki kartu identitas. Ambulans
sudah datang. Astaga! Bangsat!
Bangsat! Bangsat!" "Kau ingin kami ke sana?" tanya Sofia.
"Tidak, tetaplah di sana. Di mana si Bisu brengsek itu"!" mereka mendengarnya
berteriak. "Kami kehilangan jejaknya," kata sebuah suara diwalkie-talkie.
"Kami kehilangan jejaknya," ulangnya lagi.
"Dia kabur saat terjadi ribut-ribut."
"Keparat! Bagaimana bisa kalian membiarkannya lolos" Keparat!"
"Tenanglah, Marco, tenanglah..." kata Giuseppe. Minerva dan Sofia mendengarnya
tanpa bisa berkata-kata. Setelah mempersiapkan kuda Troya selama berbulan-bulan,
kuda itu akhirnya kabur. "Temukan dia! Kalian semua, temukan dia!"
Begitu sudah meninggalkan lingkungan tersebut, Mendib kesulitan bernafas. Dia
menekankan tangannya pada luka tikaman di sisi tubuhnya.
Rasa sakit itu kian tak tertahankan. Sialnya dia meninggalkan jejak tetesan
darah. Dia berhenti dan mencari-cari pintu untuk dia masuki dan beristirahat
sejenak. Dia pikir dia berhasil mengelabuhi para pengejarnya, tetapi dia tidak
yakin. Satu-satunya kesempatan yang dia miliki adalah mencapai pekuburan, tetapi
tempat itu masih jauh, dan dia harus menunggu hingga malam tiba. Tapi di mana"
Karena menginginkan bisa terus maju, dia mendorong pintu khusus layanan di
sepanjang jalan yang dia lewati sampai ada satu yang bisa membuka. Itu adalah
pintu gudang tukang kebun berukuran kecil, yang isinya pel, ember-ember, dan
sebuah tempat sampah besar. Dia duduk di lantai di belakang tempat sampah itu,
sambil mencoba menjaga kesadarannya. Dia kehilangan banyak darah, dan dia perlu
menyumbat - pendarahannya. Dia lepaskan jaket yang dia kenakan dan menarik tepiannya untuk
dijadikan perban yang kemudian dia ikatkan kuat-kuat pada lukanya itu. Dia
kelelahan; dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bersembunyi di sana, mungkin
sampai malam tiba, itu pun kalau dia mujur.
Pamannya yang sudah tua itu, lelaki yang mencintainya sejak dia masih bayi,
telah menikamnya. Apa-apaan ini" Lalu Mendib merasa kian mengantuk dan hilang
kesadaran. Ana duduk di sebuah teras di Porta Palatina, menunggu kembali ke kantor Padre
Yves, ketika orang-orang mulai berlarian dan berjeritan. Mereka berteriak ada
orang telah terbunuh, pembunuhnya masih berkeliaran.
Pandangan nyamenyapu kerumunan orang-orang itu dan memerhatikan seorang pemuda
berlari terhuyung-huyung di tepi kerumunan itu.
Seakan-akan dia terluka. Pemuda itu merunduk memasuki sebuah pintu dan
menghilang. Ana berjalan ke arah datangnya orang-orang, mencoba mencari tahu apa
yang terjadi. Tetapi tak seorang pun bisa menceritakan apa-apa selain tentang
seseorang telah terbunuh.
Dia melihat dua lelaki muda, yang penampilannya serupa dengan orang yang
kelihatannya terluka tadi, menuju ke arah yang sama, dan secara naluriah Ana
mengikuti mereka. Kedua orang dari Urfa itu melihat perempuan tersebut membuntuti mereka, sehingga
mereka mulai memperlambat langkah mereka, dan kemudian mundur. Mungkin perempuan
itu polisi. Mereka bisa menunggui munculnya Mendib dari kejauhan sambil juga
tetap mengawasi perempuan itu. Jika perlu, mereka akan membunuh gadisitu juga.
Yves de Charny telah kembali ke kantornya sebentar. Raut mukanya yang ganteng
dibayang-bayangi kekhawatiran.
Sekretarisnya memasuki kantor. "Padre, kedua teman Anda, Bapak Pendeta Padre
Yosef dan Padre David, sudah ada di sini. Saya baru memberitahu mereka Anda baru
datang dan saya tidak yakin Anda bisa menemui mereka."
"Bisa, bisa, persilakan mereka masuk. Yang Mulia tidak membutuhkanku lagi,
Beliau akan pergi ke Roma, dan pekerjaan hari ini sudah nyaris selesai. Jika
jika kau mau, kau boleh pulang sekarang."
"Apakah Anda telah mendengar pembunuhan di dekat-dekat sini, di Porta Palazzo?"
"Ya, aku dengar di radio. Ya Tuhan, sungguh kejam!"
"Demi Tuhan, betul sekali, Padre... baiklah, jika Anda tidak keberatan saya
pergi, saya pulang dulu, saya sudah lama ingin menata rambut; besok saya ada
acara makan malam di rumah putri saya."
"Ya, pergilah, jangan khawatir."
Padre Yosef dan Padre David terlihat muram saat memasuki kantor Padre Yves.
Ketiga orang itu menunggu suara perginya si sekretaris.
"Kau sudah dengar yang terjadi," akhirnya Padre David berkata saat mereka
mendengar pintu luar menutup setelah si sekretaris keluar.
"Ya. Di mana dia?"
"Dia bersembunyi di dekat-dekat sini. Orang-orang kita mengawasinya, tetapi
tidak bijak jika kita mengejarnya. Si reporter juga berkeliaran di sana."
"Si reporter" Kenapa?"
"Celaka. Dia duduk di teras untuk minum soft drink, mungkin menunggumu. Jika dia
muncul lagi di sini, kita harus melakukannya,"
kata Padre Yosef. "Jangan di sini, terlalu berbahaya."
"Tidak ada siapa pun di sini," Padre Yosef bersikeras.
"Kau tidak pernah tahu. Bagaimana dengan Galloni?"
"Segera, kapan saja, begitu dia meninggalkan markas besar carabinieri. Segalanya
sudah siap," lapor Padre David.
"Kadang-kadang..."
"Kadang-kadang kau ragu-ragu, seperti halnya kami, tetapi kita adalah prajurit,
dan kita mengikuti perintah," kata Yosef.
"Ini tidak penting." Yves menatap tajam kepadanya.
"Kita tidak punya pilihan selain mematuhi," kata David pelan-pelan.
"Ya. Tetapi bukan berarti kita tidak boleh angkat bicara menentang perintah
kita, bahkan meskipun kita mematuhinya. Kita telah diajarkan berpikir untuk diri
kita sendiri." Akhirnya, keberuntungan berbelok ke arah Marco. Giuseppe baru saja
memberitahukan lewat walkie-talkie bahwa dia telah melihat melihat salah seorang
Turki yang membuntuti itu di dekat katedral, dan Marco buru-buru kesana. Ketika
tiba di piassa dia melambatkan langkahnya agar selaras dengan langkah para
pejalan kaki lainnya, yang masih meributkan insiden sebelumnya.
"Di mana dia?" tanyanya saat dia bergabung dengan Giuseppe.
"Di sana, mereka berdua di sana, di teras. Orang yang kemarin."
"Perhatian seluruh unit, bersiagalah. Ulangi: bersiaga-lah. Kalian semua tidak
terlihat. Pietro, kemarilah; lainnya kepunglah Piazza, tetapi jaga jarak kalian.
Para penguntit sudah pernah berhasil mengelabuhi kita.
Tetapi sekarang mereka adalah tangkapan terbaik kita."
Sore telah larut, dan Ana Jimenez memutuskan untuk mencoba menemui Padre Yves
lagi. Orang-orang yang telah menarik perhatiannya tadi kini telah menghilang.
Tak seorang pun menjawab bel kantor katedral, tetapi pintunya tidak dikunci saat
dia mencoba membukanya. Sepertinya semua orang sudah pulang karena hari telah
malam, tetapi si penjaga pintu belum juga mengunci pintunya. Ana berjalan menuju
kantor Padre Yves dan akan mengetuk pintunya ketika dia mendengar suara-suara
dari dalam. Dia tidak mengenali suara orang yang berbicara itu, tetapi yang mereka katakan
membuatnya membeku di tempatnya berdiri.
"Kebanyakan dari mereka masuk melalui terowongan. Mereka ingin semua
meninggalkan jalan karena carabinieri berkeliaran di seluruh tempat itu.
Bagaimana dengan yang lain-lain"... Baiklah, kita akan berangkat. Jika dia
keluar, dia akan mencoba bersembunyi di sini; ini adalah tempat yang paling
aman." Di dalam kantor, Padre Yves menutup ponselnya dan beralih ke yang lain.
"Dua anak buah Addaio sedang menunggu di Piazza, dan Mendib masih di gudang
tempatnya bersembunyi. Mereka pasti tahu persisnya di mana dia berada, tetapi
aku perkirakan dia akan bergerak lagi; dia tidak terlalu aman di sana."
"Di mana Valoni?" tanya Padre David.
"Mereka bilang dia mengamuk, operasinya kacau-balau," jawab Padre Yosef.
"Itu sudah lebih dekat dengan kebenaran daripada yang dia sadari,"
kata Padre Yves masam. "Tidak, kau salah," kata David dengan tegas. "Dia tidak tahu apa-apa; dia cuma
punya ide bagus, menggunakan Mendib untuk mendapatkan buruan yang lebih besar.
Tetapi sebenarnya dia tidak tahu apa-apa tentang perkumpulan itu, jauh lebih
sedikit daripada yang kita ketahui."
"Jangan membohongi dirimu sendiri," desak Padre Yves. "Dia sudah mendekati
Addaio dan orang-orangnya. Mereka sudah menyibak hubungan Urfa dengan kafan.
Dottoressa Galloni sudah menunjuk lurus ke arah itu. Memalukan sekali kenapa
perempuan seperti dia harus-"
"Bailah," sela Padre Yosef. "Mereka ingin kita ke terowongan. Mari berharap
Turgut dan keponakannya sudah ada di sana. Orang-orang kita sudah di pekuburan."
Ana meringkuk di belakang lemari berkas di kantor luar, gemetaran, saat ketiga
orang itu menuju pintu. Apakah Padre Yves anggota Templar, ataukah dia anggota
organisasi lain" Dan bagaimana dengan kedua orang yang bersamanya itu" Suara
mereka seperti orang-orang yang masih muda. Dia menahan nafas saat mereka
bergegas melintasi ruangan dan melewati kantor utama. Dia menunggu beberapa saat
dan kemudian, setelah mengumpulkan keberaniannya, berjalan perlahan di belakang
mereka, mengikuti suara-suara langkah mereka yang teredam tak jauh di depannya.
Mereka tiba di sebuah pintu kecil yang mengarah ke apartemen tukang sapu
katedral. Padre Yves mengetuk pintu itu, tetapi tidak ada jawaban. Beberapa
detik kemudian, dia mengeluarkan kunci dari dalam jubahnya dan membuka pintu.
Mereka menghilang ke dalam.
Sambil tetap lengket ke dinding, Ana merayap ke pintu masuk apartemen tukang
sapu itu, dan menyimak. Tidak terdengar apa-apa. Dia pun masuk, sambil berdoa
ketiga orang itu tidak mengejutkannya.
52 Mendib mendengar ribut-ribut dan dia melompat kaget. Baru saja dia sadar
kembali, bangun karena rasa sakit yang menusuk-nusuk di sisi tubuhnya.
Setidaknya pendarahannya telah berhenti. Kemeja kotornya menjadi kaku karena
noda gelap yang mengering. Dia tidak tahu bisa berdiri apa tidak, tetapi dia
mencobanya. Dia memikirkan betapa anehnya kematian paman ayahnya itu.
Mungkinkah Addaio mengirim seseorang untuk membunuh paman kakeknya karena dia
tahu lelaki tua itu akan membantunya" Tetapi lelaki tua itu telah melakukan ini
kepadanya. Dia tidak mungkin salah tentang hal itu.
Dia tidak memercayai siapa pun, apalagi orang-orang yang memiliki hubungan
dengan Addaio. Pastor tersebut adalah orang yang sebaik malaikat tetapi tidak
mau berkompromi, mampu melakukan apa saja untuk menyelamatkan perkumpulan.
Mendib tahu bahwa diri sendiri, tanpa disengaja, bisa menyingkap keberadaan
perkumpulannya kepada pihak berwenang dan membawa mereka kepada saudara-saudara.
Dia ingin mencegah hal itu; dia telah mencoba mencegahnya sejak dia dibebaskan.
Tetapi pasti Addaio tahu hal-hal yang dia sendiri tidak tahu, sehingga dia tidak
boleh mengacuhkan kemungkinan dirinya dijadikan target pembunuhan oleh pastor
itu. Dia sudah mengetahui sejauh itu.
Pintu lemari tukang kebun itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya membawa
sebuah tas masuk sebelum dia melihatnya dan berteriak sedikit. Dengan gerakan
super cepat, Mendib mendorong tubuhnya agar bangkit dan menangkupkan tangannya
ke mulut perempuan itu. Perempuan itu harus menenangkan dirinya sendiri atau Mendib terpaksa harus
memukulnya hingga tidak sadarkan diri. Dia tidak pernah memukul seorang
perempuan tua, amit-amit! tetapi masalahnya sekarang adalah bagaimana dia harus
menyelamatkan nyawanya. Untuk pertama kalinya sejak lidahnya diputus, hatinya tersiksa karena tidak bisa
berbicara. Dia dorong perempuan itu ke arah pintu, saat dia berontak dan mencoba
menarik tangan Mendib. Mendib menyarangkan pukulan cepat ke belakang leher
perempuan itu dan diapun rubuh, pingsan.
Saat tergeletak di atas lantai, perempuan itu kesulitan bernafas.
Mendib merogoh tas tangan perempuan itu dan menemukan sebuah pena dan sebuah
buku notes, dia sobek selembar, dan menulis dengan tergesa-gesa. Saat perempuan
itu mulai sadar, dia telangkupkan tangannya untuk menutup mulutnya dan
menunjukkan selembar kertas itu. Ikutlah denganku, lakukan apa yang
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuperintahkan, maka kamu akan baik-baik saja, tetapi jika kamu berteriak, atau
mencoba kabur, kamu akan menyesalinya. Kamu punya mobil"
Perempuan itu membaca pesan aneh itu dan mengangguk, matanya membelalak
ketakutan. Setelah memasukkan kertas dan pena itu ke sakunya, Mendib perlahan-
lahan melepaskan tangannya dari mulut perempuan itu, tetapi dia tetap menjaga
agar bisa mencengkeram tangan perempuan itu dengan mantap saat mereka keluar
dari sana. "Marco, bisa kaudengar aku?"
"Aku di sini, Sofia."
"Kamu di mana?"
"Dekat katedral."
"Baiklah. Aku dapat kabar dari koroner. Lelaki tua yang terbunuh itu tidak punya
lidah dan sidik jari. Dia mendapati bahwa lidahnya dipotong belum lama ini dan
sidik jarinya dibakar kira-kira pada saat yang bersamaan. Dia tidak membawa satu
pun kartu identitas. Oh-dia juga tidak punya gigi sama sekali; mulutnya seperti
goa kosong, tidak ada apa-apanya."
"Bangsat!" "Koroner tersebut belum menyelesaikan otopsinya, tetapi dia keluar untuk
menelpon dan memberitahukan bahwa kita mendapatkan orang bisu lagi."
Sebuah suara menyela pembicaraan. Ternyata suara Pietro.
"Marco, dengar aku! Sasaran kita ada di sudut Piazza. Ada seorang perempuan
bersamanya, tangannya dia lingkarkan di tubuh perempuan itu. Apakah kita tangkap
saja dia?" "Terus awasi saja mereka, kecuali jika kelihatan dia mengancam perempuan itu.
Jangan sampai kehilangan dia; aku berangkat ke sana.
Awasi juga para penguntit itu, jika kita telah melihatnya, berarti mereka juga.
Dan jangan bikin kacau lagi, jika sampai satu dari mereka lolos lagi, akan
kutendang anumu." Perempuan itu mengajak Mendib ke mobilnya, sebuah SUV kecil. Mendib mendorongnya
dari kursi penumpang dan dia sendiri duduk di belakang kemudi. Sisi tubuhnya
serasa terbakar dan dia nyaris tidak bisa bernafas, tetapi dia berhasil
menyalakan mesin mobil itu dan meluncur di lalu lintas sore menjelang petang
yang kacau. Dia mengendarai mobilnya keliling kota tanpa tujuan sambil berpikir keras. Dia
harus menyingkirkan perempua nitu, tetapi dia tahu bahwa begitu dia
melakukannya, perempuan itu akan memberitahu carabinieri.
Meski demikian, Mendib harus mengambil risiko, dia tidak bisa mengajak perempuan
itu ke kuburan. Dan jika dia meninggalkan mobil itu dekat pekuburan, carabinieri
akan bisa melacaknya. Tetapi tidak mungkin dia berjalan jauh, darahnya sudah
banyak yang hilang dan luka berdenyut-denyut di sisi tubuhnya itu menjadikannya
mustahil. Dia lalu berdoa dengan harapan penjaga pekuburan itu ada diposnya;
orang baik itu adalah seorang saudara, seorang anggota perkumpulan, dan dia akan
membantu Mendib, kecuali jika dia seperti yang lain, sudah diperintah Addaio
untuk membunuhnya. Dia memutuskan untuk mengambil risiko itu: Dia harus mencoba pekuburan itu. Tak
ada lagi yang bisa dia tuju.
Ketika mereka sudah dekat, tetapi tidak terlalu dekat untuk membuat perempuan
itu sadar Mendib berencana pergi ke mana, dia menghentikan mobil dan melotot ke
arah perempuan itu dan perempuan itu menatapnya ketakutan. Dia mengeluarkan pena
dan kertas lagi dan menulis: Aku akan melepaskanmu. Jika kau beritahu polisi,
kau akan menyesalinya. Kalaupun sekarang mereka melindungimu, pasti suatu saat
mereka tidak, akan melindungimu, dan saat itu aku akan datang.
Pergilah, dan jangan beritahu siapa pun apa yang telah terjadi. Ingat, jika kau
melakukannya, aku akan kembali untuk menghajarmu.
Dia menyodorkan kertas itu kepadanya, dan ketakutan di wajahnya pun semakin
berlipat ganda saat dia membacanya.
"Sumpah aku tidak akan melapor... kumohon, lepaskan aku..."
rengek perempuan itu. Mendib menyobek kertas hingga kecil-kecil dan membuangnya keluar jendela.
Kemudian dia keluar dari mobil dan berdiri tegak, meskipun dengan kesulitan. Dia
takut hilang kesadaran lagi sebelum dia mencapai pekuburan. Saat dia mendekati
dindingnya dan mulai berjalan di sepanjang dinding itu, dia mendengar suara
mobil itu menjauh. Dia berjalan selama beberapa saat, duduk ketika rasa sakitnya sudah tidak
tertahankan, berdoa kepada Tuhan agar dia bisa bertahan hidup dan diselamatkan.
Dia masih ingin hidup, dia tidak akan mau lagi menyerahkan nyawanya demi
perkumpulan, atau demi siapa pun. Dia telah memberikan lidahnya dan dua tahun
yang panjang dibalik jeruji penjara.
Sekilas Marco melihat sosok si Bisu berjalan sempoyongan. Dia dan anak buahnya
bersabar, sebagaimana tadi ketika mereka membuntuti SUV itu.
Jelas-jelas lelak iitu terluka dan nyaris tidak bisa berjalan. Mereka melihat
dua penguntit dan Turki itu lagi, sambil tetap menjaga jarak. Marco telah
menugaskan orang-orang tersendiri untuk mengawasi mereka saat tim inti berpencar
untuk mengikuti si Bisu itu dan sanderanya.
"Tetap waspada, kita harus menangkap mereka semua," dia memperingatkan anak
buahnya yang lain. Jika para penguntit itu memutuskan untuk berpisah atau bubar,
kalian tahu apa yang harus kalian lakukan, berpencarlah, beberapa mengikuti
mereka, yang lainnya ikuti sasaran kita."
Tak satu pun dari mereka yang mewaspadai orang-orang lain yang diam-diam
memantau mereka semua, membaur tidak kentara bersama lingkungan sekeliling.
Cahaya kemerahan muncul di kaki langit saat matahari mulai tenggelam.
Mendib mencoba berjalan lebih cepat, dia ingin tiba di pekuburan sebelum penjaga
menutup gerbangnya. Jika tidak, dia harus melompati tembok, dan mustahil dia
melakukannya. Pendarahannya mengalir lagi, dan dia menekankan syal yang dia
ambil dari perempuanitu pada lukanya.
Setidaknya syal itu bersih.
Sosok tubuh si penjaga tampak seperti siluet berlatarkan pepohonan cemara di
gerbang masuk pekuburan. Dia terlihat penuh harap, seolah menunggu seseorang
atau sesuatu. Mendib bisa merasakan ketakutan orang itu, dan bahkan, ketika penjaga tersebut
melihat si Bisu bersusah payah mendekatinya, dia buru-buru menutup gerbangnya.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Mendib mencapai pintu masuk dan berhasil
menyelipkan tubuhnya masuk. Dia buru-buru menuju pusara 117.
Suara Marco terdengar di jaringan seluruh personil.
"Dia memaksa masuk ke pekuburan, melewati penjaga. Aku ingin kalian masuk. Di
mana orang-orang Turki itu?"
Terdengarlah suara kedua di saluran itu: "Sebentar lagi kau bisa melihat mereka.
Mereka juga menuju ke pekuburan."
Yang mengejutkan Marco dan anak buahnya yang mengawasi itu, para penguntit itu
membuka gerbang dengan sebuah kunci, dan menutupnya dengan hati-hati setelah
mereka masuk. Ketika mereka tiba di gerbang itu, beberapa anggota carabinieri memanjat
temboknya untuk menjaga agar jarak mereka benar-benar dekat dengan orang-orang
Turki itu, sementara seorang lainnya mengotak-atik kuncinya. Dia butuh waktu
beberapa saat untuk membukanya, dan Marco pun melangkah dengan tidak sabaran.
"Giuseppe, temukan penjaga itu," perintah Marco begitu tiba di dalam. "Kami
belum melihatnya pergi, jadi dia pasti masih di dalam sini, entah di mana."
"Baik, bos. Lalu apa?"
"Laporkan kembali kepadaku apa saja yang dia katakan, dan akan kita putuskan
nanti. Ajaklah beberapa orang untuk membantumu."
"Betul." "Pietro, ikutlah denganku. Di mana sih mereka itu?"tanya Marco kepada
carabinieri dengan walkte talkie.
"Kurasa mereka menuju ke sebuah mausoleum, yang besar, yang di atasnya ada
patung malaikat dan marmer," kata sebuah suara.
"Bagus. Di mana itu" Kami akan ke tempatmu."
Tak seorang pun ada di apartemen Turgut, Padre Yves dan teman-temannya
sepertinya telah menghilang. Ana cepat-cepat berdiri, menyimak suara-suara lain,
tetapi hanya kesunyian yang bertahta.
Pandangannya menyapu seluruh ruangan, mencari apa-apa yang tidak wajar. Tidak
ada satu pun yang menonjol. Sambil mencoba-coba membuka pintu sebuah kamar
tidur, dia melongok ke dalam dan mendapati ruangan itu juga kosong. Di belakang
ruang tamu, dapur, bahkan kamar mandi. Tidak ada apa-apa. Ana tahu bahwa mereka
pasti ada di sini, karena pintu depan diselot dari dalam dan itulah satu-satunya
cara lain keluar rumah tersebut.
Dia memasuki rumah lagi. Di dapur terdapat sebuah pintu yang mengarah ke pantry.
Dia mengetuk dinding, tetapi sepertinya dinding itu padat. Lalu, sambil
berlutut, ia memeriksa lantai kayunya, mencari-cari pintu atau bukaan untuk ke
ruang bawah tanah... apa saja. Pasti ada semacam jalan tersembunyi untuk keluar
dan rumah itu. Akhirnya, dia menemukan bagian yang lantainya terasa seperti gerowong. Dan di
sanalah, ada garis samar-samar pintu mengarah ke ruang bawah tanah. Dengan
menggunakan pisau, dia berhasil mengangkatnya sedikit sekadar untuk bisa
dipegang dengan nyaman dan kemudian mengangkatnya sampai benar-benar terbuka.
Terdapat tangga menuju kegelapan di bawah sana. Tak ada suara apa pun dari kamar
bawah tanah itu, atau apa pun namanya. Pasti mereka telah pergi ke arah ini.
Setelah agak lama mencari, akhirnya dia menemukan sebuah senter kecil di sebuah
laci dapur - senter itu tidak banyak menerangi, tetapi hanya itulah yang dia
dapatkan. Dia juga memasukkan sekotak besar korek api ke tas tangannya, untuk
berjaga-jaga. Dia melihat sekeliling seolah mencari hal-hal lain yang mungkin
akan dia butuhkan di bawah sana, dan kemudian, dengan sedikit berdoa kepada St.
Gemma, Santo pendukung hal-hal yang mustahil, yang dengan bantuannya, dia yakin,
dia sudah bisa lulus kuliah, dia mulai turun melewati tangga kecil yang akan
membawanya entah ke mana, hanya Tuhan yang tahu.
Mendib meraba-raba di sepanjang terowongan. Dia ingat setiap inci tembok yang
basah dan lengket itu. Penjaga tua itu telah mencoba menghentikannya agar tidak
bisa memasuki pusara itu, tetapi pada akhirnya dia berhasil kabur ketika Mendib
mengangkat sepotong tongkat besar, siap memukulnya jika memang terpaksa. Ketika
pada akhirnya dia berhasil mencapai pintu mausoleum itu, kuncinya masih ada di
sana, tersembunyi di bawah pot hias, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.
Dia membuka pintu masuk mausoleum, masuk, dan mendapati pegas di belakang
sarkofagus untuk membuka pintu menuju undak-undak tangga.
Jalan setapak yang sempit itu menurun ke terowongan yang pada akhirnya mengarah
ke katedral. Semakin sulit saja dia bernafas. Kurangnya oksigen dan kegelapan terowongan
membuatnya pusing, tetapi dia tahu bahwa satu-satunya kesempatan dia bisa
selamat adalah mencapai rumah Turgut. Sambil memerangi rasa sakit dan
mengerahkan seluruh sisa-sisa kekuatannya, dia memaksa maju.
Cahaya keretannya yang sudah usang itu tidak cukup menerangi terowongan
tersebut, tetapi itulah satu-satunya cahaya yang dia punya.
Ketakutan terbesarnya adalah menyusun kegelapan itu dan kehilangan kesadarannya
atas arah. Anak buah Bakkalbasi memasuki pekuburan beberapa saat setelah Mendib. Mereka
berlari ke mausoleum, membukanya dengan sebuah kunci yang telah diberikan
Turgut, dan beberapa saat kemudian mereka sudah di bawah tanah, mengikuti jejak
saudaranya yang sekarat itu.
"Mereka masuk ke sana." Seorang carabinieri menunjuk.
Marco memandang malaikat seukuran manusia itu, malaikat itu menghunus sebilah
pedang dan sepertinya memperingatkan mereka untuk tidak mendekat.
Polisi yang membawa beliung itu mulai bekerja lagi. Kunci ini lebih keras, dan
sementara dia bermain-main dengan mekanismenya, Marco dan anak buahnya merokok
dan membuat rencana darurat, tidak sadar bahwa mereka juga tengah diawasi.
Turgut dan Ismet berjalan mondar-mandir gugup di ruang bawah tanah selepas
terowongan. Tiga atau empat orang dari Urfa sedang menunggu bersama mereka,
mereka sudah berhasil mengelabuhi carabinieri dan sudah beberapa jam berada di
ruangan rahasia itu, menunggu. Anak buah Bakkalbasi yang lain seharusnya datang
sebentar lagi. Pastor itu telah memperingatkan mereka bahwa tidak mungkin Mendib
berhasil ke sana, dan mereka harus menenangkan dia dan menunggu saudara-saudara
yang lain datang. Setelah itu, mereka tahu harus berbuat apa.
Tak satu pun dari mereka pergi terlalu jauh kekegelapan yang menyelubungi
terowongan itu. Jika mereka melakukannya, mereka mungkin telah melihat ketiga
orang yang meringkuk di ruangan kecil tak jauh dari sana, yang telah menguping
mereka beberapa saat. Kerah mereka tersembunyi, wajah mereka murung, Yves,
David, dan Yosef telah meninggalkan segala jebakan kependetaan.
Mereka mendengar langkah kaki, dan Turgut merasakan bulu kuduknya berdiri.
Keponakannya menepuk punggungnya untuk membangkitkan semangatnya.
"Tenanglah. Kita sudah mendapat perintah, kita tahu harus berbuat apa."
"Akan terjadi sesuatu yang mengerikan," gerutu tukang sapu tersebut.
"Paman, berhentilah kuatir! Semuanya akan baik-baiksaja."
"Tidak. Akan terjadi sesuatu. Aku tahu."
"Tenanglah, Paman, kumohon!"
Cengkeraman Ismet mengeras di pundak lelaki tua itu ketika Mendib terhuyung-
huyung memasuki ruangan. Matanya yang menyala itu menatap Turgut sebentar, dan
kemudian dia rubuh tak sadarkan diri di atas lantai. Ismet berlutut di
sampingnya memeriksa denyut nadinya.
"Dia berdarah. Dia terluka di dekat paru-parunya, kurasa paru-parunya tidak
bocor, sebab jika bocor pasti dia sekarang sudah mati.
Ambilkan air dan sesuatu untuk membersihkan lukanya."
Si tua Turgut, matanya selebar lepek, datang tergesa-gesa membawa sebotol air
dan handuk. Ismet merobek kemeja kotor itu dari tubuh Mendib dan membersihkan
lukanya dengan hati-hati.
"Tidak adakah kotak P3K di sini?"
Turgut mengangguk, tak bisa berbicara. Dia mengambil kotak P3K
dan menyerahkannya kepada keponakannya.
Ismet membersihkan luka itu lagi dengan hidrogen peroksida, kemudian menyekanya
dengan perban yang telah dicelup desinfektan.
Hanya itulah yang bisa dialakukan untuk Mendib, yang dulu dia kagumi ketika
dirinya masih kecil di Urfa. Tak seorang pun bergerak menghentikannya, meskipun
mereka semua tahu dia hanya menunda nasibnya untuk sementara waktu saja.
"Itu tidak perlu." Salah seorang anak buah Bakkalbasi keluar dari kekelaman
terowongan, salah seorang polisi dari Urfa, yang telah menunggu di belakang
untuk melacak si Bisu dari Piazza. Seorang lainnya mengikuti. Beberapa saat
kemudian mereka menceritakan kepada yang lain tentang pengejaran itu. Perbincangan mereka mengalahkan
suara lembut lain dari arah pintu masuk yang gelap.
Tiba-tiba, Marco ditemani Pietro dan segerombolan carabinieri memasuki ruangan
itu dengan pistol teracung.
"Jangan bergerak! Jangan bergerak! Kalian semua ditangkap!"
teriak Marco. 53 Marco tidak punya waktu untuk berbicara lebih banyak. Sebutir peluru dari
kegelapan berdesing di dekat kepalanya. Tembakan-tembakan lain mengenai dua anak
buahnya. Anak buah Bakkalbasi mengambil kesempatan dari kekacauan tiba-tiba itu
untuk berlindung dan mulai menembak.
Para opsir carabinieri itu berlindung sebisanya. Marco bertiarap di lantai;
berusaha ke belakang orang-orang Turki itu, tetapi dia terhenti ketika seseorang
menembak ke arahnya dari kegelapan. Sekejap mata setelah itu, dia mendengar
teriakan seorang perempuan: "Awas, Marco, mereka dari sini! Awas!"
Ana keluar dari persembunyiannya. Lama sekali dia tadi bersembunyi, nyaris tidak
bergerak sedikit pun, agar tak terlihat ketiga pendeta itu - dengan izin Tuhan
dan St. Gemma - sebelum mereka melihatnya, setelah merunut terowongan itu dari
kamar Turgut. Padre Yves membalik badannya, matanya membelalak: "Ana!"
Perempuan muda itu mencoba melarikan diri, tetapi Padre Yosef berhasil
menangkapnya. Yang terakhir dialihat adalah tinju yang mengarah ke kepalanya.
Padre Yosef meninjunya begitu keras hingga Ana tak sadarkan diri.
"Apa-apaan kau ini"!" seru Yves de Charny.
Tidak ada jawaban. Tidak mungkin ada jawaban. erdengar tembakan dari berbagai
arah, dan para pendeta itu kembali ke sasaran mereka, melancarkan tembakan ke
kamar yang ada di sana. Baru beberapa saat kemudian ada orang-orang lagi, mereka yang mengejar para
pengejar tadi, muncul di arena. Mereka segera membunuh si tua Turgut,
keponakannya Ismet, dan dua orang anak buah Bakkalbasi; mereka tidak berniat
berhenti sampai seluruh lawanmereka tewas.
Letusan-letusan pistol yang menggema itu begitu kerasnya hingga kerikil dan
bebatuan mulai runtuh dari atap dan dinding, tetapi suara tembakan itu terus-
menerus tak terhenti dari segala sudut.
Ana mulai sadar kembali. Kepalanya terasa seolah-olah pecah. Dia sempoyongan dan
melihat ketiga pendeta itu persis di depannya, masih menembak. Setelah mengambil
batu yang ukurannya pas, Ana merangkak ke depan ke arah mereka, dan ketika sudah
cukup dekat dia angkat batu itu ke atas kepalanya dan menurunkannya dengan keras
ke kepala salah seorang kawan Yves. Dia tidak punya waktu lagi untuk melakukan
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa-apa, seorang lainnya membalikkan badan untuk menembak dia. Tetapi saat
pendeta itu baru mau melakukannya, batu-batu mulai berjatuhan dan atap dan
mengenainya hingga dia tersungkur.
Yves de Charny sudah menyerang Ana dengan kemarahan yang tak lagi ditutup-
tutupi, dan kini dia juga tertimpa batu yang berjatuhan.
Reporter tersebut mulai berjalan sempoyongan, berlari, mencoba mengambil jarak
dari si pendeta serta menghindarkan diri dari reruntuhan yang kini sudah berupa
bongkahan-bongkahan dan batu-batu yang ukurannya mengerikan. Letusan pistol dan
reruntuhan yang semakin dahsyat serta dentuman atap yang runtuh itu membuatnya
tak tahu arah-dia tidak tahu dari mana dia tadi datang. Dia merasa panik yang
kian meningkat, dan mengancam akan membinasakannya saat dia dengar Padre Yves
sudah ada tepat di belakangnya, berteriak, dan suara Marco juga, tetapi kata-
kata mereka tenggelam dalam gemuruh yang menulikan ketika seluruh bagian
terowongan itu runtuh. Dia terhuyung-huyung dan jatuh. Kegelapan melingkupinya.
Ana memekik saat merasakan ada jari-jari yang mendekati tangannya.
"Ana?" "Ya Tuhan!" Dia tidak tahu di mana dia berada, tetapi suasana benar-benar gelap gulita,
pandangannya benar-benar tertutupi. Mengerikan.
Kepalanya terluka dan seluruh tubuhnya memar-memar, seolah dia habis dipukuli.
Dia tahu bahwa tangan yang memegang lengannya itu adalah tangan Yves de Charny;
dia tidak mencoba menahannya ketika Ana menarik menjauh. Dia tidak bisa lagi
mendengar suara tembakan; suasana sunyi senyap. Apa yang terjadi" Di manakah
dia" Dia berteriak, dan berteriak lagi, lebih keras, dan kemudian terisak-isak.
"Kita kalah, Ana, kita tidak akan pernah bisa keluar dari sini."
Suara Yves de Charny memecah kesunyian, dan Ana sadar pendeta itu terluka.
"Aku kehilangan senter saat mengikutimu," kata pendeta itu. "Kita akan mati di
dalam gelap." "Tutup mulutmu! Tutup mulutmu!"
"Maaf, Ana, aku sungguh-sungguh minta maaf. Tidak sepantasnya kamu mati, kamu
tidak harus mati." "Kalian semua membunuhku! Kalian membunuh kita semua! Jadi tutup mulutmu!"
De Charny membisu. Ana meraba-raba di tas tangannya, yang anehnya tetap terikat
di tubuhnya, dan mengeluarkan senter kecil dan kotak korek api. Dia gembira
mendapatkannya, dan kemudian jari-jarinya menyentuh telepon genggam. Dia
menyalakan cahaya kecil itu dan melihat wajah ganteng Padre Yves berubah karena
kesakitan. Dia terluka parah.
Ana bangkit dan memeriksa rongga tempat mereka terjebak. Dia tidak menemukan
celah sekecil apa pun didinding batu yang mengubur mereka. Dia berteriak, dan
suaranya memantul kepadanya di ruangan kecil itu. Tidak ada lagi lainnya. Tiba-
tiba dia tersentak menyadari bahwa mungkin dia sungguh tidak mungkin keluar dari
sana hidup-hidup. Dia menyangga lampu itu dan duduk di sebelah pendeta itu.
Dengan menyadari bahwa pendeta itu sudah menerima takdirnya, Ana memutuskan
untuk memainkan kartu terakhirnya sebagai seorang reporter. Di dalam kegelapan
yang melingkupi mereka, Padre Yves tidak melihat Ana mengeluarkan telepon
genggam dari dalam tas tangannya.
Terakhir kali dia menelpon Sofia. Ya Tuhan, dia berharap kali ini Sofia
membalasnya. Dan dia harap ada sinyal yang bisa menghubungkan suara mereka,
sebab jika tidak tempat ini akan menjadi gua kematian mereka.
Dia hanya perlu menekan tombol redial...
Dengan kain belacu yang dia ambil dari apartemenTurgut, Ana menekankannya pada
luka yang dia lihat dibawah tulang rusuk Yves.
Pendeta tersebut menyeringai dan mengangkat mukanya menatap Anda dengan mata
berkilat-kilat. "Maafkan aku, Ana."
Yeah, kamu sudah bilang. Sekarang ceritakan, mengapa, ada apa di balik semua
kegilaan ini?" "Apa yang ingin kau dengar dariku" Apa bedanya, jika kita berdua akan mati?"
"Aku ingin tahu mengapa aku akan mati. Kau seorang kesatria Templar, seperti
kawan-kawanmu itu." "Ya, kami adalah kesatria Templar."
"Dan siapa yang lain itu, orang-orang yang mirip orang Turki, orang-orang yang
bersama si penjaga pintu itu?"
"Orang-orang kiriman Addaio."
"Siapa itu Addaio?"
"Sang pimpinan, Pastor Perkumpulan Kafan. Mereka menginginkannya... "
"Menginginkan kafan suci?"
"Ya." "Ingin mencurinya?"
"Mereka pikir kafan itu milik mereka. Yesus mengirimkannya kepada mereka."
Ana mengira dia mengigau. Dia mendekatkan cahaya ke wajahnya dan bisa melihat
seulas senyum di bibirnya.
"Tidak, aku tidak gila. Pada abad pertama masehi, ada seorang raja bernama
Edessa, Raja Abgar. Dia menderita lepra, tetapi dia bisa sembuh dengan kafan
yang dipakai untuk penguburan Yesus. Begitulah menurut legenda. Dan itulah yang
diyakini keturunan masyarakat Kristen pertama itu, masyarakat Kristen yang hidup
rukun di Edessa. Mereka yakin seseorang membawa kafan tersebut ke Edessa dan
ketika Abgar membungkus dirinya dalam kafan itu dia sembuh."
"Tetapi siapakah yang membawanya?"
"Salah seorang murid Yesus, menurut tradisi."
"Tetapi kafan itu sudah melewati perjalanan jauh sejak saat itu, kafan tersebut
meninggalkan Edessa beratus-ratus tahun yang lalu."
"Ya, tetapi sejak kafan itu dicuri dari orang-orang Kristen di Edessa oleh
pasukan kaisar Bizantium..."
"Romanus Lecapenus."
"Ya, Romanus Lecapenus, mereka bersumpah mereka tidak akan tenang sebelum
berhasil merebut kembali relik tersebut. Masyarakat Kristen di Edessa waktu ini-
sampai sekarang, adalah salah satu masyarakat Kristen tertua didunia, dan mereka
tidak pernah menyia-nyiakan waktu barang sehari untuk mencoba merebut kembali
warisan suci mereka, begitulah menurut mereka, seperti halnya kami yang tak
pernah berhenti mencegah mereka melakukannya. Kafan itu bukan lagi milik mereka,
dan kami terikat sumpah untuk melindunginya bagi kaum beriman."
"Dan orang-orang tak berlidah ini, mereka bagian dari perkumpulan itu?" "Ya,
mereka adalah laskar Addaio, orang-orang muda yang beranggapan mengorbankan diri
demi merebut kembali kafan suci adalah sebuah kehormatan. Mereka merelakan lidah
mereka dipotong sehingga mereka tidak bisa bicara jika mereka tertangkap
polisi." "Itu mengerikan!"
"Mereka yakin itulah yang dilakukan para leluhur mereka, untuk melindungi kafan
di masa mereka. Mereka telah mengejarnya selama berabad-abad, dan kami selalu
ada untuk menghentikan mereka. Lucu, kami bisa menumpas mereka dalam semalam,
tetapi kami belum pernah melakukannya ... Mereka juga orang Kristen yang taat
dengan cara mereka sendiri, dan kami sendiri sangat tahu jahatnya penganiayaan
semacam itu ... dan kini takdir telah mempertemukan kami." Kepala De Charny
serasa berputar-putar dan dia nyaris tidak bisa melihat wajah Ana dalam
kegelapan. Dia menghela nafas kesakitan dan melanjutkan. "Marco Valoni benar. Api itu,
kecelakaan-kecelakaan di katedral itu, semua digelar...
sebagian besar oleh perkumpulan itu untuk menyebabkan kebingungan ketika mereka
mengejar kafan itu, terkadang kami yang membuatnya untuk menarik perhatian pihak
berwenang sebelum mereka berhasil melakukannya. Kami selalu bisa menghentikan
mereka, tetapi kami juga mencoba melindungi mereka. Kini mereka sudah tahu
terlalu banyak tentang kami... "
Ana sudah menyangga ponselnya di sebelah Padre Yves. Dia tidak tahu apakah Sofia
sudah menjawabnya, apakah seseorang mendengarkan kata-kata mereka. Dia tidak
tahu apa-apa. Tetapi dia harus mencoba, dia tidak bisa membiarkan kebenaran mati
bersamanya. "Apa yang harus dilakukan kesatria Templar dengan kafan ini dan perkumpulan
ini?" desaknya kepada Padre Yves. "Mengapa kau begitu peduli dengannya?"
"Kami membelinya dari kaisar Balduino, kafan itu milik kami.
Banyak di antara saudara-saudara kami... banyak... yang meninggal untuk
melindunginya." "Tetapi kafan itu palsu! Kau tahu bahwa perunutan dengan karbon ke-14
menunjukkan bahwa kain tersebut berasal dari abad ke-13 atau ke-14."
"Para ilmuwan itu benar, kain itu persisnya berasal dari abad ke-13.
Tetapi bagaimana dengan butir serbuk yang menempel di kain itu, butir yang
persis sama dengan yang ditemukan dalam lapisan berumur dua ribu tahun di
kawasan Danau Genezaret" Darah itu juga asli, berasal dari pembuluh darah halus
dari pembuluh nadi. Oh, dan kain itu, kain itu berasal dari Negeri Timur, dan di
situ para ilmuwan telah menemukan bekas-bekas albumin darah di sekitar garis
tepi bekas Yesus terkena cambukan."
"Jadi bagaimana kau menjelaskannya?"
"Kau tahu jawabannya, atau hampir menemukannya. Kau pergi ke Prancis, kau pergi
ke Lirey." "Bagaimana kautahu itu?"
"Ana, kau pikir ada tindakanmu yang tidak kami ketahui" Adakah tindakan kalian
yang tidak kami ketahui" Kami tahu semuanya, segalanya. Kau benar, aku adalah
keturunan adik Geoffroy de Charney, preseptor terakhir Biara Normandia.
Keluargaku telah memberikan banyak putranya kepada Ordo."
Ana terkesima. Yves de Charny telah membuat pengakuan yang sensasional,
pengakuan yang mungkin sekali ikut terpendam bersama mereka di kuburan batu itu.
Tetapi entah dia bisa menerbitkannya atau tidak, pada saat itu dia merasakan
rasa bangganya meningkat karena tahu bahwa dia telah berhasil mengurai jalinan
misteri itu. "Lanjutkan." "Tidak... Tidak, aku tidak akan melakukannya."
Ana merasakan aliran kekuatan dan mengatakan dengan yakin ketika dia menggenggam
tangan pendeta itu, seolah-olah orang lain sedang berbicara kepada kesatria
Templar itu melalui dirinya. "De Charny, kau akan berdiri di hadapan Tuhan.
Lakukanlah dengan kesadaran penuh; akuilah dosa-dosamu, bawalah cahaya yang akan
menerangi kegelapan yang telah kau tinggalkan, segala misteri yang telah memakan
banyak korban." "Mengaku" Kepada siapa?"
"Kepadaku. Aku bisa membantumu meringankan nuranimu dan memahami kematianku
sendiri. Jika kau percaya kepada Tuhan, Dia akan mendengarkan."
"Tuhan tidak perlu mendengar untuk tahu apa yang ada di hati manusia. Apakah kau
percaya kepada-Nya?"
"Aku tidak yakin. Kuharap Dia ada."
Padre Yves tidak berkomentar. Kemudian , sambil menyeringai dia menghapus bulir-
bulir keringat dari dahi-nya dan meremas lengan Ana.
"Francois de Charney, yang namanya saat itu dieja dengan huruf e, sebagaimana
telah kau temukan, adalah seorang kesatria Templar yang lama hidup di Timur,
sejak dia masih muda. Aku tidak perlu menceritakan kepadamu seluruh petualangan
yang ditempuh leluhurku ini, hanya saja, beberapa hari sebelum jatuhnya Saint-
Jean d'Acre di Tanah Suci, Imam Besar Biara memberinya tugas menjaga kafan yang
dijaga di benteng bersama dengan harta karun biara yang lainnya.
"Leluhurku membungkus kafan itu dengan selembar kain yang sangat mirip dengan
kafan itu sendiri, dan dia kembali ke Prancis sambil membawanya sebagaimana yang
diperintahkan kepadanya. Yang mengejutkan dia dan imamnya di Biara Marseilles,
ketika mereka membuka kafan yang asli, mereka mendapati bahwa kain yangdipakai
untuk membungkusnya juga bergambar sosok Kristus. Mungkin ada, sebut saja,
penjelasan 'kimiawi' untuk ini, atau kita bisa yakin bahwa yang terjadi adalah
mukjizat, yang jelas, sejak saat itu ada dua kafan suci, dengan gambar Kristus
asli pada keduanya."
"Ya Tuhan!" Ana menghela nafas. "Hal itu menjelaskan.."
"Itu menjelaskan mengapa para ilmuwan benar ketika mereka bilang bahwa kain di
katedral Turin berasal dari abad ke-13 atau ke-14-meskipun mereka tidak bisa
mengerti adanya butir-butir serbuk sari atau sisa-sisa darah itu, tetapi ini
juga berarti bahwa mereka yang yakin bahwa kafan itu memiliki gambar asli
Kristus juga benar. Kafan itu suci; ia memiliki residu, 'sisa-sisa,' jika kamu
tidak keberatan, dari penderitaan Yesus dan gambarnya seperti itulah rupa
Kristus, Ana; itulah rupanya yang sebenarnya. Dan itulah mukjizat yang
dianugerahkanTuhan kepada Rumah Charney, meskipun selanjutnya cabang keluarga
yang lain mengambil relik kami- sejarahmencatat ini, dan menjualnya ke Balai
Savoy. Dan ini kamu tahu rahasia Kafan Suci. Hanya segelintir orang pilihan di
seluruh dunia ini yang mengetahui kebenaran tersebut. Inilah penjelasan dari
yang tak terjelaskan, dari mukjizat itu, Ana, karena kafan itu adalah mukjizat."
"Tetapi kau bilang ada dua kafan: yang asli, yang dibawa dari Kaisar Balduino,
dan satunya lagi, yang ini, maksudku yang di katedral itu, yang terkadang
seperti negatif foto dari yang asli. Di mana yang asli itu" Ceritakan."
"Di mana apanya?" suara kesatria Templar itu semakin lemah, kebanyakan sisa
tenaganya habis untuk menceritakan kisah luar biasa itu.
"Tidak, yang ini juga asli."
"Ya, tapi di mana yang lain lagi, yang pertama?" teriak Ana.
"Bahkan aku, seorang de Charny. tidak mengetahui-nya, Jacques de Molay
mengirimkannya untuk disembunyikan. Ini adalah rahasia yang hanya diketahui
sedikit orang. Hanya Imam Besar dan enam imam lainnya yangtahu lokasinya
sekarang." "Mungkinkah ada di kastil McCall di Skotlandia."
"Aku tidak tahu. Sumpah."
"Tetapi kau benar-benar tahu bahwa McCall adalah Imam Besar, dan Umberto
D'Alaqua, Paul Bolard, Armando de Quiroz, Geoffroy Mountbatten, Kardinal Visier
" "Ana, kumohon diamlah... aku kesakitan sekali... aku sekarat."
Tetapi Ana tidak mau, tidak bisa, berhenti. "Mereka adalah para imam Biara,
bukan begitu, Yves" Oleh karena itu, kan, mereka tidak pernah menikah atau
terlibat dalam kegiatan-kegiatan lain manusia dengan uang dan kekuasaan sebanyak
yang mereka punya. Mereka tetap tidak mau tersorot, menghindari publisitas.
Elisabeth benar." "Lady McKenny adalah perempuan yang sangat cerdas, seperti kau, seperti
Dottoressa Galloni."
"Kalian adalah orang-orang sekte! Sebuah sekte yang berbahaya, mematikan."
"Tidak, Ana, tidak. Memang benar kami menggunakan tindakan keras... tetapi hanya
ketika benar-benar diperlukan. Tindakan-tindakan yang terkadang kami, aku,
pertanyakan. Tetapi kau musti tahu sisi baiknya. Biara tetap bertahan karena
tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya salah. Philippe dari Prancis dan Paus
Clement tahu itu tetapi mereka ingin harta karun kami untuk mereka sendiri. Dan
selain emas, Raja ingin juga memiliki kafan itu. Dia mengira jika dia bisa
mendapatkannya, dia akan menjadi penguasa paling kuat di Eropa. Ana, aku
bersumpah bahwa selama berabad-abad, kami para kesatria Templar telah berpihak
kepada kebaikan. Kami turut berperan dalam banyak kejadian
fundamental, Revolusi Prancis, kekaisaran Napoleon, kemerdekaan Yunani, dan perlawanan Prancis selama Perang Dunia Kedua. Kami telah
membantu menggulirkan proses-proses demokrasi di seluruh dunia-"
Ana menggelengkan kepalanya. "Biara hidup di bawah bayang-bayang, dan tidak ada
demokrasi di bawah bayang-bayang. Para pimpinannya adalah orang-orang kaya luar
biasa, dan tidak ada yang menjadi kaya tanpa membayar biaya moralnya."
"Mereka itu kaya, tetapi kekayaan itu bukanlah milik mereka, kekayaan itu milik
Biara. Mereka mengurusnya, mengelolanya, meskipun benar juga bahwa kepandaian
mereka sendiri membuat mereka kaya dari usaha mereka sendiri, tetapi ketika
mereka meninggal, segala yang mereka milik akan menjadi milik Ordo."
"Menjadi milik Ordo?"
"Menjadi milik Yayasan... di pusat keuangan Biara, pusat seluruh identigas dan
perbuatan kami. Kami ada dimana-mana... kami ada di mana-mana," Padre Yves
mengulangnya, suaranya kini lebih lirih dari bisikan.
"Bahkan di Vatikan."
"Semoga Tuhan mengampuniku." Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Yves de
Charny. Ana menjerit ketakutan ketika dia menyadari bahwa dia sudah mati, dengan
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata menatap kosong pada ketidak terbatasan. Ana menutup kedua mata itu dengan
telapak tangannya dan mulai menangis, dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri
berapa lama lagi dia juga akan mati. Mungkin berhari-hari, dan yang terburuk
bukanlah matinya, tetapi bahwasanya dia tahu akan terkubur hidup-hidup. Dia
mendekatkan telepon itu ke bibirnya.
"Sofia" Sofia, tolong aku!"
Telepon itu mati. Tidak ada jawaban dari sana.
"Ana, Ana! Bertahanlah! Kami akan mengeluarkanmu!"
Sambungan tersebut baru terputus beberapa detik sebelumnya.
Baterai di ponsel Ana mungkin habis. Sofia telah mendengar tembakan senjata di
terowongan itu lewat waiki-taikie, kemudian Marco dan carabinieri berteriak
bahwa terowongan itu akan runtuh. Sofia tidak menunda barang sedetik pun, dia
berlari ke jalan. Tetapi dia belum mencapai undak-undak tangga ketika ponselnya
mulai berdering; dia pikir itu Marco. Dia tercengang ketika dia mendengar suara
Ana Jimenez dan Padre Yves. Dengan telepon tergenggam keras di kupingnya agar
tidak melewatkan sepatah kata pun, dia berdiri tak bergerak sedikitpun, nyaris
tidak mengetahui orang-orang yang berlalu lalang melintasinya, yang berpacu
untuk menyelamatkan teman-teman mereka yang terjebak di terowongan itu.
Minerva mendapati dia sedang menangis dengan ponsel di tangannya. Dia merangkul
Sofia dan menggoyangnya lembut. "Sofia, ayolah! Ada apa" Tenanglah!"
Sofia pun sangat sulit dipahami, hanya mampu melontarkan sedikit dari yang
didengarnya. Minerva menuntunnya keluar. "Ayo kita ke pekuburan, kita tidak bisa berbuat apa-
apa di sini." Dia tidak melihat adanya mobil dinas di sana. Kedua perempuan itu melambai pada
taksi yang lewat. Airmata terus mengalir di wajah Sofia saat teriakan Ana
memasuki pikirannya. Taksi berhenti karena lampu merah. Baru pada saat mulai lagi, si sopir
berteriak. Mereka mengangkat muka dan melihat truk besar ke arah mereka.
Tabrakan keras itu memecahkan kesunyian malam.
54 Addaio menangis tanpa suara.
Dia mengunci diri di kamarnya dan tak membiarkan siapa pun masuk, bahkan Guner.
Dia telah terkunci di situ selama lebih dari sepuluh jam, duduk, berjalan
mondar-mandir, memandang ke angkasa, membiarkan dirinya tersapu gelombang emosi
yang saling bertentangan.
Dia telah gagal, dan banyak anak buahnya tewas karena sikapnya yang keras
kepala. Di koran tidak ada berita tentang yang telah terjadi, hanya kabar
runtuhnya terowongan di bawah kota Turin dan bahwa sejumlah pekerja telah
terbunuh, di antara mereka ada beberapa orang Turki. Mendib, Turgut, Ismet, dan
saudara-saudara yang lain telah terkubur hidup-hidup di bawah puing-puing itu,
tubuh mereka tidak akan bisa dipulangkan. Dia harus menanggung tatapan mata
kasar dari ibu Mendib dan Ismet. Mereka tidak memaafkannya; mereka tidak akan
pernah memaafkannya. Begitu juga dengan ibu-ibu para pemuda yang telah dia minta
untuk mengorbankan diri mereka dalam misi mulia nan mustahil itu.
Tuhan tidak berpihak kepadanya. Kini perkumpulan harus menghentikan usahanya
karena tidak pernah berhasil merebut kembali kain pembungkus Kristus, karena
itulah kehendak Tuhan. Addaio tidak habis pikir bahwa begitu banyaknya kegagalan
hanya merupakan ujian bahwa tujuan Tuhan menempatkan mereka dalam kondisi
seperti itu adalah untuk membuktikan kekuatan mereka.
Mungkin keikhlasan terhadap kehendak Tuhan inilah pelajaran yang bisa dipetik
dari kafan itu, pelajaran yang harus selalu mereka pahami.
Addaio terlambat mempelajarinya. Dia bertanya-tanya apakah musuh-musuh
bebuyutannya, mereka yang menjaga kafan tersebut dengan begitu kukuhnya, suatu
hari mungkin juga akan memahami pelajaran serupa.
Dia selesai menuliskan surat wasiatnya. Dengan mengesampingkan perintah-
perintahnya yang terdahulu, dia meninggalkan instruksi mendetail tentang orang
yang harus menjadi penerusnya, seorang lelaki baik berhati bersih, tanpa ambisi,
dan yang juga mencintai kehidupan, berbeda dengan Addaio yang tidak mencintai
kehidupan. Guner akan menjadi pimpinan mereka, pastor mereka. Dia melipat surat
tersebut dan menyegelnya. Surat itu ditujukan kepada kedelapan pastor di
perkumpulan; merekalah yang akan melihat bahwa keinginan-keinginan terakhirnya
dijalankan dengan baik. Dia tidak akan diingkari, dia tahu: Pastor kelompok itu
memilih pimpinan selanjutnya. Dan begitulah yang telah terjadi selama berabad-
abad, dan akan selalu begitulah yang terjadi.
Dia mengeluarkan sebotol pil yang dia simpan di laci mejanya dan menelannya
semua. Kemudian dia duduk dikursi berpunggung dan membiarkan dirinya dikuasai
kantuk. Keabadian telah menanti. 55 1314 Masehi Beltran de Santillana telah melipat Kafan Suci dengan hati-hati dan menaruhnya
di sebuah tas selempang yang tak pernah lepas dari pandangannya.
Dia menunggu air pasang sebelum naik ke perahu yang ada di sungai itu, sehingga
dia bisa mencapai laut dan kapal yang akan membawanya ke Skotlandia. Dari semua
bangsa di dunia Kristen, Skotlandia adalah satu-satunya tempat yang belum
terjamah, atau tidak akan pernah terjamah, kabar tentang perintah pembubaran
Biara. Raja Skotlandia, Robert Bruce, telah dikucilkan, dan dia tidak
memedulikan Gereja, tidak pula Gereja Skotlandia.
Dengan begitu, tidak ada yang perlu ditakutkan para kesatria Templar dari Robert
Bruce, dan Skotlandia telah menjadi satu-satunya negeri tempat Biara bisa
mempertahankan kekuatannya yang besar.
Jose sa Beiro tahu bahwa untuk memenuhi instruksi terakhir Imam Besar terakhir,
Jacques de Molay yang hebat dan telah dibunuh itu, dia harus mengirim Kafan Suci
itu ke Skotlandia, untuk memastikan keamanan relik tersebut selamanya. Dia telah
mengatur agar Beltran de Santillana pergi membawa harta karun itu ke rumah Biara
di Arbroath, ditemani Joao de Tomar, Wilfred de Payens, dan kesatria-kesatria
lain, yang semuanya telah disumpah untuk melindungi Kafan Suci, dengan taruhan
nyawa jika memang diperlukan.
Imam Castro Marim itu telah memberi de Santillana surat untuk imam Skotlandia
dan juga surat asli yang dikirimkan oleh Jacques de Molay. yang menyatakan
alasan untuk tetap benar-benar merahasiakan bahwa Biara memiliki kafan suci
Yesus tersebut. Imam Skotlandia akan menentukan tempat menyembunyikan relik
tersebut. Dialah yang bertanggung jawab untuk tidak pernah membiarkan kafan itu
jatuh ke tangan orang lain selain para kesatria Templar, dan menjaga kerahasiaan
kepemilikan kafan itu untuk selamanya.
Perahu tersebut menaikkan belokannya dua kali lipat di Guadiana dalam
perjalanannya ke laut, tempat sebuah kapal sudah menunggu.
Para kesatria itu tidak melihat kebelakang; mereka berharap tidak dikuasai emosi
saat meninggalkan Portugal untuk selamanya.
Kapal yang ditumpangi para kesatria tersebut nyaris karam, badai yang mereka
hadapi dalam pelayaran ke Skotlandia tersebut begitu dahsyat. Angin dan
hujanmengombang-ambingkan kapal tersebut seperti kulit kacang, tetapi sejauh itu
mereka tetap bisa menahan badai.
Pada akhirnya, tebing pantai Skotlandia mengatakan ujung pelayaran mereka.
Mereka berjalan melewati bukit-bukit terjal ke Arbroath dan ke gereja.
Para bruder Biara Skotlandia telah mendengarnya dan mereka meningkatkan
kemarahan Paus dan Raja Prancis kepada para kesatria Templar. Di sini mereka dan
saudara-saudara mereka akan aman, berkat hubungan yang biak dengan Robert Bruce,
yang bersamanya mereka berjuang untuk mempertahankan Skotlandia dari musuh-
musuhnya. Setelah sesaat, imam memanggil seluruh biara untuk berkumpul di ruang pertemuan,
bersama-sama dengan para bruder yang telah berlayar dari Portugal. Di sana,
dihadapan semua mata takjub para kesatria yang telah berkumpul itu, dia membuka
lipatan kain suci itu dan membentangkannya. Kafan itu memiliki lukisan serupa
dengan yang mereka puja di kapel khusus di Rumah Induk,wajah dan sosok kristus
yang asli tersebut telah disalin dari relik suci ini agar para kesatria Templar
bisa selalu memiliki gambar Juru Selamat mereka.
Matahari terbit di atas laut ketika para kesatria itu keluar dari balai di mana,
semalam suntuk, mereka berdoa di hadapan wajah tunggal Kristus yang tercetak
pada kafan yang pernah membawa tubuh Kristus dalam lipatannya.
Beltran de Santillana tetap di belakang Imam Templar Skotlandia.
Kedua orang itu berbicara sebentar dan kemudian, setelah hati-hati melipat Kafan
Suci tersebut, dia menyimpan harta karun Templar yang paling berharga itu-
sebuah harta karun yang, dengan bergulirnya abad demi abad dan sebagaimana
diperintahkan oleh Imam Besar terakhir, hanya sedikit kaum terpilih yang
sekarang bisa melihatnya.
Di sinilah kafan tersebut akan tinggal di tengah gereja yang tersucikan, aman
selamanya dari intrik-intrik mereka yang akan berusaha merusak esensi sucinya
untuk tujuan mereka sendiri, atau menggunakannya untuk menebar perselisihan di
antara kerajaan-kerajaan di muka bumi. Mereka yang berusaha untuk mengganggunya
akan melakukannya dengan risiko yang harus mereka tanggung sendiri.
Setidaknya Jacques de Molay bisa beristirahat dengan tenang.
56 Sudah hampir tujuh bulan sejak kecelakaan itu. Dia lumpuh. Mereka sudah empat
kali mengoperasinya, dan satu kakinya kini lebih pendek.
Wajahnya tidak lagi bersinar seperti dulu; wajahnya kini belang-belang karena
luka dan kerut-merut. Baru empat hari yang lalu dia meninggalkan rumah sakit.
Luka-luka di tubuhnya tidak melukainya, tetapi duka, yang menyesakkan dadanya
seperti diikat besi, lebih buruk daripada rasa sakit yang telah dia rasakan
karena kecelakaan tersebut dan dampak buruknya selama bulan-bulan terakhir itu.
Sofia Galloni baru saja meninggalkan rapat di kantor Menteri Dalam Negeri.
Sebelumnya, dia telah pergi kepekuburan untuk meninggalkan bunga di pusara
Minerva dan Pietro. Marco dan dia telah beruntung; mereka selamat. Tentu saja
Marco tidak mungkin bisa bekerja lagi;dia duduk di kursi roda, dan dari waktu ke
waktu dia diserang kepanikan. Dia mengutuk dirinya sendiri karena selamat
sementara banyak anak buahnya telah meninggal di reruntuhan terowongan tersebut,
terowongan yang telah diketahuinya ada. Yah, pada akhirnya dia berhasil
menemukan terowongan itu.
Menteri Kebudayaan telah menghadiri rapat Sofia dengan Menteri Dalam Negeri;
mereka terus berbagi wawasan tentang Divisi Kejahatan Seni. Mereka berdua
meminta Sofia mengambil posisi direktur, dan dia menolaknya dengan sopan. Dia
tahu dirinya telah menumbuhkan keraguan terhadap kedua politikus tersebut dan
dia tahu bahwa sekali lagi hidupnya mungkin terancam bahaya, tetapi dia tidak
ambil pusing. Dia telah mengirimkan sebuah laporan kepada mereka tentang kasus kafan tersebut.
Laporan tersebut berisi laporan terperinci tentang segala yang dia ketahui,
termasuk perbincangan antara Ana dan Padre Yves. Kasus tersebut telah ditutup,
diklasifikasikan sebagai rahasia negara yang tidak pernah lagi diungkapkan
kepada publik, dan Ana tewas di dalam terowongan dibawah Turin itu di samping
kesatria Templar terakhir dari Keluarga de Charney.
Para menteri memberitahunya, dengan sangat ramah, bahwa cerita itu tidak bisa
dipercaya, tidak ada saksi-saksi, tidak ada apa pun, bahkan selembar dokumen
yang mendukung laporannya pun tidak ada. Tentu saja mereka memercayainya, kata
mereka, tetapi apakah tidak mungkin dia yang salah" Mereka sudah mencari-cari
informasi di Paris, tetapi Elisabeth McKenny ataupun suaminya, Paul Bisol, tidak
bisa ditemukan di manapun. Sangat kecil kemungkinannya mereka bisa menuduh
orang-orang seperti Lord McCall, Umberto D'Alaqua, Dr. Bolard terlibat
perkumpulan kriminal tanpa bukti-bukti yang tidak bisa disanggah.
Orang-orang ini adalah pilar keuangan internasional, dan kekayaan mereka
sangatlah penting artinya bagi pembangunan bangsa mereka masing-masing.
Bagaimana bisa menteri menghadap ke Vatikan dan mengatakan kepada Paus bahwa
Kardinal Visier adalah seorang kesatria Templar" Bagaimana mungkin dia menuduh
mereka, mereka tidak melakukan apa-apa, meskipun jika segala yang Sofia katakan
kepada mereka itu benar. Orang-orang ini tidak pernah berkomplot melawan negara,
melawan negara manapun; mereka tidak mencoba merongrong pemerintahan demokrasi;
mereka tidak terlibat dengan Mafia atau organisasi kriminal lainnya; mereka
tidak melakukan apa pun bahkan yang bisa dicela, apalagi dijadikan tuduhan. Dan
lagi, menjadi kesatria Templar bukanlah kejahatan, seandainya pun mereka memang
kesatria Templar. Mereka mencoba meyakinkan Sofia untuk menerima pekerjaan yang ditinggalkan Marco
Valoni. Jika dia tidak mau, pekerjaan itu akan jatuh ke tangan Antonino atau
Giuseppe. Bagaimana menurutnya"
Tetapi dia tidak memikirkannya, dia tahu bahwa salah satu dari mereka, entah si
polisi atau si sejarawan, pengkhianat. Salah satu dari mereka pasti melaporkan
kepada pada kesatria Templar tentang segala yang terjadi di Divisi Kejahatan
Seni. Padre Yves secara tidak langsung menyatakannya : Mereka tahu segalanya
karenamereka punya informan di mana-mana.
Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya untuk mengisi sisa umurnya, tetapi dia
tahu bahwa dia harus menghadapi seorang lelaki, seorang lelaki yang membuatnya
jatuh cinta, tak peduli apa pun yang telah terjadi. Jatuh cinta atau terobsesi"
Dia telah mencoba menjernihkannya selama dia menjalani masa penyembuhan yang
panjang itu, dan dia masih belum yakin.
Kakinya terasa sakit saat dia menginjak pedal gas. Sudah berbulan-bulan dia
tidak mengemudi, tidak sama sekali sejak kecelakaan itu. Dia tahu itu bukan
kecelakaan. Dia tahu mereka telah mencoba membunuhnya, dan D'Alaqua mencoba
menyelamatkannya ketika dia menelponnya untuk pergi bersamanya ke Syria.
Tindakan keras, kata Padre Yves,. hanya jika diperlukan.
Dia tiba di gerbang besi megah yang mengarah kesebuah rumah besar, dan dia
menunggu. Beberapa detik kemudian gerbang itu terbuka.
Dia mengendarai mobilnya naik menuju pintu rumah dan keluar dari mobil.
Umberto D'Alagua sudah menunggunya.
"Sofia..." Dia mengajak Sofia ke kantornya. Dia duduk di belakang meja, menjaga jarak, atau
mungkin melindungi dirinya sendiri dari perempuan berkaki pincang dan berwajah
belang-belang karena bekas luka itu, seorang perempuan yang mata birunya lebih
keras daripada ketika terakhir kali dia melihat mata itu. Meski begitu,
perempuan tersebut masih cantik; namun sekarang kecantikannya adalah kecantikan
yang tragis. "Kurasa kau tahu bahwa aku mengirimkan sebuah laporan mengenai kasus kafan itu
kepada administrasi,"katanya sambil menatap lelaki itu. "Laporan yang didalamnya
kusebutkan bahwa ada sebuah organisasi rahasia terdiri dari orang-orang yang
yakin mereka berdiri lebih tinggi daripada orang lain, pemerintah, perkumpulan
itu sendiri, dan aku meminta agar identitas mereka diberitahukan dan agar mereka
diselidiki. Tetapi kau tahu tak satupun dari hal-hal itu akan terjadi, bahwa
tidak akan ada yang menyelidikimu, bahwa kau tetap akan bisa melakukan
pekerjaanmu dari bayang-bayang."
D'Alaqua tidak menjawab, meskipun tampaknya dia mengangguk, hampir tidak
terlihat. "Aku tahu bahwa kau adalah seorang imam Biara, bahwa kau memandang misimu
sebagai misi spiritual, da nbahwa kau telah bersumpah akan hidup selibat.
Melarat" Tidak, dan yang kulihat, tidak melarat. Sedangkan untuk larangan-
larangan itu, aku tahu bahwa kau mematuhi larangan-larangan yang tidak
merugikanmu, dan larangan-larangan yang menyulitkanmu... Aneh, aku selalu
terkesan oleh orang-orang Gereja tertentu, dan dalam beberapa hal kau termasuk
satu di antara mereka. Beberapa diantara mereka berpikir mereka boleh berbohong,
mencuri, membunuh, tetapi semua itu hanyalah dosa ringan jika dibandingkan
dengan dosa besar... berzina" Jika aku menggunakan kata itu, hal itu tidak
melukai kerasaanmu,kan?"
"Aku sudah mau menjengukmu di rumah sakit, tetap iaku tidak mengira kau akan
datang menemuiku," dia membuka mulutnya. "Aku turut prihatin atas apa yang telah
terjadi kepadamu dan Signor Valoni dan atas hilangnya kawanmu Minerva dan
Pietro... " "Dan bagaimana dengan kematian Ana Jimenez, yang terkubur hidup-hidup itu"
Apakah kau turut prihatin dengannya" Ya, Tuhan, semoga kematian-kematian itu
mengusik nuranimu, hingga kau tak punya sedetik pun kesempatan untuk
beristirahat. Aku tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa seputar dirimu atau
organisasimu. Aku baru saja diberitahu tentang itu, dan mereka mencoba menyuapku
dengan menawarkan kedudukan direktur di Divisi Kejahatan Seni. Sedikit sekali
kalian mengenal umat manusia!"
"Apa yang kau ingin kulakukan" Katakan... "
"Apa yang bisa kaulakukan" Tidak ada-benar-benar tidak ada satu pun yang bisa
kau lakukan, karena kau tidak bisa menghidupkan orang mati, kan" Lalu mungkin
kau bisa beritahu aku apakah aku akan ada dalam daftar orang-orang yang harus
disingkirkan oleh organisasimu, apakah aku masih harus mengalami kecelakaan lalu
lintas sial seperti ini, atau mungkin lift di gedung apartemenku akan jatuh. Aku
ingin tahu, supaya aku bisa memastikan bahwa tidak akan ada orang lain yang
meninggal bersamaku lain kali, seperti Minerva."
"Tidak akan ada yang terjadi kepadamu, kau bisa pegang kata-kataku."
"Dan kau, apa yang akan kau lakukan" Pergi seolah yang telah terjadi itu hanya
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah kecelakaan, sebuah kecelakaan yang diperlukan?"
"Jika kau ingin tahu, aku sudah pensiun. Aku menyerahkan kekuasaanku sebagai
pengacara kepada orang lain, mengurusi urusan-urusanku sehingga usahaku itu bisa
tetap berjalan tanpa aku."
Sofia merasa gemetar. Dia cinta dan benci pada orang ini secara serentak, dengan
sama besarnya. "Apakah itu artinya kau meninggalkan Biara" Mustahil, kau adalah seorang imam,
satu di antara tujuh orang yang memimpin Biara. Kautahu terlalu banyak, dan
orang-orang sepertimu tidak bisa pergi begitu saja."
"Aku tidak pergi begitu saja. Tidak ada sesuatu atau seorang pun yang
kutinggalkan begitu saja. Aku hanyamenjawab pertanyaanmu. Aku telah memutuskan
untuk pensiun, mengabdikan diriku sendiri untuk belajar, untuk membantu
masyarakat dengan cara yang lain, berbeda dengan cara-caraku membantu mereka
sekarang." "Dan hidup selibatmu?" Sekali lagi, D'Alaqua tidak berkata apa-apa.
Dia tahu bahwa hati Sofia hancur, dan terluka, dan dia tidak bisa menawarkan
apa-apa untuk membantunya. Dia tidak tahu apakah dia mampu melangkah lebih jauh
lagi, merampungkan pelacakan atas apa yang telah lama menjadi esensi hidupnya.
"Sofia, aku juga telah terluka. Ada luka, luka yang menyakitkan, yang tidak bisa
kalian lihat, tetapi luka itu ada. Aku bersumpah turut prihatin atas segala yang
terjadi, yang kau derita, hilangnya kawan-kawanmu, aib yang harus kau tanggung
sekarang. Jika saja aku memang mampu mencegahnya, pasti sudah kulakukan, tetapi
aku bukanlah orang yang bisa menguasai segala keadaan, dan kita hanyalah manusia
yang memiliki kehendak bebas. Kita semua memutuskan apa yang ingin kita lakukan
dalam drama kehidupan kita, kita semua, termasuk Ana."
"Tidak, itu tidak benar. Dia tidak memutuskan untuk mati. Dia tidak ingin mati,
dan begitu pula dengan Minerva atau Pietro atau para carabinieri atau orang-
orang dari perkumpulan itu, atau bahkan orang-orangmu sendiri, kawan-kawan Padre
Yves itu, atau orang-orang lain yang tidak jelas identitasnya yang juga
meninggal dalam baku tembak itu, sementara yang lain selamat. Siapakah para
prajuritmu" Angkatan rahasia Biara" Tidak, tidak apa-apa,aku tahu kau akan
menjawab seperti itu; kau tidak bisa,atau lebih tepat kau menolaknya.
Kau akan menjadi kesatria Templar saat kau hidup, meskipun kau bilang kau sudah
pensiun." "Dan apa yang akan kaulakukan?"
"Apakah kamu masih tertarik?"
"Ya, kautahu aku tertarik. Aku ingin tahu apa yang kau kerjakan nanti, di mana
kau tinggal, di mana aku bisa menemukanmu."
"Aku tahu kamu benar-benar datang ke rumah sakit dan tinggal untuk menjagaku
beberapa malam." "Jawab aku. Apa yang akan kaulakukan?"
"Lisa, saudara Mary Stuart, menemukan tempat untukku di universitas. Aku akan
mengajar, mulai bulanSeptember." Dia tersenyum tipis. "Aku berencana mengajar
mata kuliah sejarah, asal-usul, dan dampak kultural sejumlah benda-benda seni
dari agama tertentu, dan pelajaran-pelajaran lainnya."
"Aku senang," kata Umberto D'Alagua beberapa saatkemudian.
"Mengapa?" "Karena aku tahu kau akan menyukainya dan kau pintar dalam bidang itu."
Mereka saling memandang sesaat, keduanya tidak mengatakan barang sepatah kata.
Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Sofia bangkit dari kursinya, dan Umberto
D'Alaqua menemaninya ke pintu. Dia memegang tangan Sofia dan menciumnya,
menahannya selama beberapa saat sebelum akhirnya dia lepaskan.
Sofia berjalan terpincang-pincang menuruni undak-undak tangga tanpa memandang ke
belakang, tetapi dia merasa mata D'Alaqua terpaku padanya dan tahu bahwa tidak
seorang pun memiliki kuasa atas masa lalu, bahwa masa lalu tidak bisa diubah,
bahwa masa kini adalah bayangan dari diri kita di masa lalu, dan hanya akan ada
jika kita tidak mengambil langkah mundur.
Ucapan Terima Kasih Saya berterima kasih kepada Fernando Escribano, yang menyingkapkan terowongan-
terowongan kota Turin bagi saya, dan yang selalu "bertugas jaga" di saat teman-
temannya membutuhkan. Saya juga berutang terima kasih kepada Gian Maria Nicastro, yang sudah menjadi
pemandu saya dalam mengunjungi rahasia-rahasia Turin, kotanya. Dia sudah menjadi
mata saya di kota ini dan dengan murah hati dan sigap menyediakan setiap
informasi yang saya minta.
Garmen Fernandez de Bias dan David Trias yakin akan novel ini. Terima kasih.
Dan terima kasih juga kepada Olga, suara yang bersahabat di Random House
Mondadori. Tentang Penulis JULIA NAVARRO adalah seorang jurnalis dan analis politik ternama untuk Agencia
OTR/Europa Press, juga seorang koresponden untuk stasiun TV
dan radio serta media cetak terkemuka di Spanyol. Dia berdomisili di Madrid.
Terjemahan Inggris novel keduanya, The Bible of Clay, akan diterbitkan pada
2008. Tentang Penerjemah ANDREW HURLEV terkenal sebagai penerjemah Collected Fictions karya Jorge Luis
Borges dan novel-novel Pentagonia karya Reinaldo Arena, selain juga banyak
terjemahannya atas karya-karya sastra, kritik, sejarah, dan memoar. Dia tinggal
dan bekerja di San Juan, PuertoRico.
Pertentangan Dua Datuk 3 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Rahasia Istana Terlarang 8
Saat tamu-tamu lain mulai memandang mereka, si mantan tentara menyela. "Cukup.
Semua orang melihat kita. Kita lanjutkan saja lain kali."
"Tidak ada waktu lagi," jawab orang yang lebih tua.
"Aku butuh persetujuan kalian sekarang."
"Baiklah kalau begitu," kata semua orang kecuali satu, yang bibirnya mengatup
geram dan frustasi, mengangkat kakinya dan pergi.
Sofia dan Minerva berada di markas besar carabinieri Turin. Saat itu pukul
sembilan kurang dua menit, dan melalui mikrofon yang tersembunyi di bawah
kelepak jaketnya, Marco memberitahukan kepada mereka bahwa gerbang penjara
dibuka. Dia memerhatikan si Bisu keluar, berjalan perlahan, matanya menatap
lurus ke depan, bahkan ketika pintu gerbang menutup di belakangnya.
Ketenangannya mengejutkan, pikir Marco.
Tidak ada emosi, tidak ada tanda-tanda dia menyambut kebebasan setelah bertahun-
tahun dikurung. Mendib mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia sedang diawasi. Dia tidak
melihat mereka, tetapi dia tahu bahwa mereka di sana, mengawasi. Dia akan
membuat mereka kehilangan jejaknya, meninggalkan mereka, tapi bagaimana" Dia
akan mencoba mengikuti rencana yang telah dia buat di penjara. Dia akan pergi ke
pusat kota, keluyuran, tidur di bangku taman. Dia tidak punya banyak uang; dia
bisa menyewa sebuah kamar di pensione paling banter selama tiga atau empat hari
dan hanya makan panini. Dia juga akan menyingkirkan pakaian dan sepatu-nya ini;
meskipun dia sudah memeriksanya dengan cermat dan tidak menemukan apa-apa,
secara naluriah dia tidak nyaman dengan pakaian itu karena pakaian tersebut
pernah diambil penjaga untuk dicuci.
Dia hapal Turin. Addaio telah mengirim dia dan saudara-saudaranya kemari setahun
sebelum usaha mereka mencuri kafan, persisnya agar mereka bisa akrab dengan kota
ini. Dia telah mengikuti instruksi-instruksi pastor itu: berjalan dan berjalan
dan berjalan, ke seluruh kota. Itulah cara paling bagus untuk mengenalnya. Dia
juga mempelajari rute bus.
Dia mendekati pusat kota Turin, berjalan melewati distrik Crocetta.
Saat kebenaran telah tiba-saatnya kabur dan orang-orang yang pasti
membuntutinya. "Kurasa kita punya teman."
Terdengarlah suara Marco dari pemancar di pusat operasi mereka.
"Siapa mereka?" tanya Minerva.
"Tidak tahu, tetapi tampang mereka seperti orang Turki."
"Orang Turki atau Italia," terdengarlah suara Giuseppe. "Rambut hitam, kulit
zaitun." "Berapa banyak?" Tanya Sofia.
"Sementara baru dua," kata Marco, "tapi mungkin lebih banyak.
Mereka masih muda. Si Bisu tampaknya lupa. Ia hanya berputar-putar, melihat
jendela-jendela, seperti biasanya orang keluar mencari makan siang."
Mereka mendengar Marco memberi instruksi kepada carabinieri agar tidak
kehilangan jejak orang yang tak dikenal itu.
Tak satu pun dan Marco atau para polisi itu memerhatikan lelaki tua penjual
kupon lotere. Dengan postur yang tidak tinggi ataupun pendek, tidak kekar
ataupun kurus, tidak berpakaian seperti orang pada umumnya ataupun tampak
mencolok, orang tua itu hanyalah bagian dari pemandangan di lingkungan tersebut.
Tetapi orang tua itu pernah melihat mereka. Pembunuh yang disewa Addaio itu
tidak melewatkan apa pun, dan sejauh ini dia telah mengidentifikasi setengah
lusin polisi, ditambah empat orang yang dikirim Bakkalbasi.
Dia jengkel, orang yang membayarnya itu sama sekali tidak memberitahu bahwa akan
ada polisi yang berkeliaran di seluruh tempat itu atau bahwa ada pembunuh-
pembunuh lain seperti dia yang mengejar sasarannya. Dia harus melakukannya
pelan-pelan, merancang rencana baru. Pada awalnya, seorang lelaki lain juga
membuatnya curiga, tetapi sebentar kemudian dia sudah menepisnya. Tidak, orang
itu bukan polisi, dari tampangnya juga bukan seperti orang Turki, dia tidak ada
hubungannya dengan ini, meskipun cara bergeraknya ... Kemudian dia menghilang,
dan pembunuh itu bisa bernafas lega. Orang itu bukan siapa-siapa.
Sepanjang hari, Mendib berputar-putar keliling kota. Dia telah menepis gagasan
tidur di bangku; itu merupakan sebuah kesalahan. Jika ada orang yang ingin
membunuhnya, dia akan mempermudah tugas orang itu jika dia tidur di ruang
terbuka di taman. Maka pada saat senja dia menuju sebuah rumah singgah tunawisma
yang dia lihat pagi itu. Rumah ini dijalankan oleh para Suster Amal. Dia akan lebih aman di sana.
Begitu mereka yakin bahwa si Bisu telah makan dan merebahkan tubuhnya di
selembar karpet tipis dekat pintu masuk asrama, tempat salah satu biarawati
duduk untuk mencegah perkelahian di antara sesama penghuni, Marco merasa yakin
bahwa orang yang mereka buntuti tidak akan bergerak lagi malam itu. Dia
memutuskan untuk pergi ke hotel dan tidur sebentar, dan dia memerintahkan timnya
untuk melakukan hal yang sama, kecuali Pietro, yang dia beri tanggung jawab
dengan tim pengganti yang terdiri dan tiga carabinieri baru, yang cukup untuk
mengikuti si Bisu jika dia sekonyong-konyong muncul lagi.
Di Bandara Paris, Ana Jimenez menunggu penerbangan malam ke Roma.
Dan sana dia akan melanjutkan ke Turin. Dia gugup dan resah atas apa yang dia
baca di berkas Elisabeth. Jika setitik saja dari isi berkas tersebut benar,
berarti sungguh mengerikan. Ada dimensi-dimensi kisah ini yang tidak pernah
dibayangkannya ketika dia baru memulai, hal-hal yang tampaknya berhubungan
dengan kafan itu, atau rahasia besar tertentu, namun tidak ada hubungannya
dengan Prancis atau Turin. Tetapi alasan dia tetap kembali ke Turin adalah
karena dia telah melihat salah satu nama yang muncul di berkas dalam laporan
lain, laporan yang telah diberikan Marco Valoni untuk dibaca saudaranya. Dan
jika yang dikatakan Elisabeth itu benar, itu adalah nama salah satu imam di
Biara baru dan memiliki hubungan dengan kafan tersebut.
Dia telah membuat dua keputusan: satu, berbicara kepada Sofia, dan dua, pergi ke
katedral dan mengejutkan Padre Yves. Hampir sepanjang pagi dan sebagian sorenya
dia habiskan untuk mencoba menghubungi Sofia, tetapi petugas jaga di Alexandra
telah memberitahunya bahwa Sofia berangkat pagi-pagi sekali, dan Ana masih belum
menerima jawaban dan beberapa pesan voice mail yang dia tinggalkan untuk Sofia.
Tampaknya tidak mungkin menghubungi Dottoressa itu pada saat ini.
Sementara untuk Padre Yves, dia akan menemuinya keesokan harinya, dengan satu
atau lain cara. Elisabeth benar, dia sudah mendekati sesuatu, meskipun apa itu dia belum yakin.
Orang-orang Bakkalbasi telah berhasil mengelabuhi carabinieri. Salah satu dari
mereka tetap tinggal di luar rumah singgah para Suster Amal, mengawasi untuk
memastikan bahwa Mendib tidak pergi; yang lainnya bubar. Pada saat mereka
mencapai kuburan, hari suda hmalam dan penjaga menunggu mereka dengan gugup.
"Buruan, buruan, aku harus pergi," dia mendesis saat menyuruh mereka masuk. "Aku
akan memberimu kunci gerbang, kalau-kalau suatu malam kau pulang terlalu larut
dan aku harus pergi."
Pintu masuk mausoleum di mana dia menunjukkan jalan bagi mereka dilindungi
sesosok malaikat memegang pedang yang diangkat tinggi-tinggi. Keempat laki-laki
itu masuk, menerangi jalan mereka dengan lampu senter, dan menghilang ke perut
bumi. Ismet sudah menunggu mereka di ruangan bawah tanah. Dia sudah membawa air buat
mereka mandi, dan makanan. Mereka lapar dan lelah, dan mereka semua ingin tidur.
"Di mana Mehmet?"
"Dia tetap tinggal di tempat Mendib tidur, untuk jaga-jaga kalau Mendib
memutuskan meninggalkan rumah singgah itu malam ini. Addaio benar, mereka ingin
Mendib menggiring mereka kepada kita. Mereka punya tim besar yang membayang-
bayangi Mendib," kata salah satu dari orang-orang itu, yang di Urfa pekerjaannya
menjadi polisi, sebagaimana salah satu kawannya.
"Apakah mereka melihatmu?" tanya Ismet waswas.
"Kurasa tidak," seorang lagi menjawab, "tetapi kita tidak bisa yakin, jumlah
mereka banyak." "Kalian tidak boleh membawa mereka kemari. Kalian paham" Jika kalian merasa
dibuntuti, kalian tidak boleh kembali kemari," tegas Ismet.
"Kami tahu, kami tahu, " polisi itu meyakinkannya. "Jangan kuatir, tidak ada
yang mengikuti kami."
Pada pukul enam pagi Marco sudah mengambil tempat di dekat rumah singgah Para
Suster Amal lagi. Dia menginstruksikan penguatan untuk tim carabinieri, yang
telah kehilangan jejak dua penguntit Turki pada malam sebelumnya.
"Jika, ketika, mereka muncul lagi, pastikan mereka tidak melihat kalian,"
bentaknya. "Aku ingin mereka masih hidup dan bisa mengoceh saat semua ini
berakhir. "Jika mereka membuntuti si Bisu, berarti kita juga menginginkan
mereka. Sementara ini, kita perlu memberi mereka sedikit lagi kelonggaran."
Para anak buahnya mengangguk. Pietro bersikeras akan tetap bekerja, kendati dia
belum tidur malam itu. Sofia telah mendengar meningkatnya kecemasan dalam nada bicara Ana di pesan-
pesan voice mail yangtelah dia tinggalkan. Di hotel, para petugas juga telah
mengatakan kepadanya bahwa Ana juga sudah menelpon ke sana lima kali. Dia
merasakan tusukan penyesalan karena tidak membalas teleponnya, tetapi sekarang
ini bukan saatnya megacaukan konsentrasinya dengan teori-teori gila reporter
tersebut. Dia akan menelpon Ana saat kasusnya sudah ditutup; sementara itu dia
akan memusatkan seluruh energinya untuk mengikuti perintah Marco. Dia dan
Minerva akan berangkat ke carabinieri ketika seorang bellboy berlari ke arah
mereka. " Dottoressa Galloni, Dottoressa!"
"Ya, ada apa?" "Anda mendapat telepon; katanya mendesak."
"Aku tidak bisa menerimanya sekarang; suruh meja depan minta dia meninggalkan
pesan dan ....." "Meja depan memberitahu saya bahwa Signor D'Alaqua bilang ini sangat penting."
"D'Alaqua?" "Ya. Beliau yang menelpon."
Sofia mengisyaratkan agar Minerva terus pergi, lalu menoleh, dan langsung menuju
salah satu telepon rumah.
"Ini Dottoressa Galloni; sepertinya saya dapat telpon."
"Oh, Dottoressa, syukurlah! Signor D'Alaqua ngotot kami harus menemukan Anda.
Sebentar." Terasa ada yang berbeda dalam suara khas Umberto D'Alaqua, tegang, terkendali.
"Sofia..." "Ya, apa kabar?"
"Aku perlu bertemu denganmu."
"Silakan, tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian. Mobilku akan ke sana sepuluh menit lagi."
"Maaf, saya sedang berangkat ke tempat kerja. Saya tidak bisa kalau hari ini.
Ada yang tidak beres?"
"Aku punya tawaran untukmu. Kau tahu aku punya minat yang sangat besar kepada
arkeologi, nah, aku akan berangkat ke Syria. Aku mendapat izin melakukan
penggalian di sana, dan orang-orangku telah menemukan beberapa hal yang aku
ingin kaulihat. Aku harus segera berangkat, tetapi aku ingin berbicara denganmu
dalam perjalanan. Aku ingin memberimu tawaran pekerjaan."
"Saya sangat menghargainya, sungguh, tetapi sekarang tidak mungkin saya bisa
pergi. Maaf," jawabnya, terkejut atas keseluruhan perbincangan itu.
"Sofia, terkadang ada kesempatan-kesempatan sekali seumur hidup."
"Itu benar. Tetapi ada juga tanggung jawab yang tidak bisa kita tinggalkan. Dan
saat ini saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya.
Jika Anda bisa menunggu dua atau tiga hari lagi, mungkin..."
"Tidak, yang ini tidak bisa menunggu tiga hari."
"Apakah sebegitu pentingnya sampai Anda berangkat ke Syria hari ini?"
"Ya." "Yah, kalau begitu saya minta maaf. Saya sungguh minta maaf.
Mungkin saya bisa pergi beberapa hari lagi... "
"Tidak, kurasa tidak bisa. Aku mohon kau ikut denganku sekarang."
Sofia ragu-ragu. Ajakan Umberto D'Alaqua dan nada bicaranya yang agak memaksa
itu sama-sama membuatnya bingung.
"Ada apa" Katakan."
"Akan kuberitahu."
"Maaf, sungguh maaf. Begini, saya harus pergi, mereka sedang menunggu saya."
"Kalau begitu semoga berhasil, Dottoressa," katanya, semangat yang tadi ada pada
suaranya kini telah menguap. "Jaga diri baik-baik."
"Ya, tentu, terima kasih." Dia mendengar bunyi klik dari seberang sana dan
mengembalikan gagang telepon ketempatnya.
Mengapa Umberto mendoakan keberhasilannya" Suaranya terdengar benar-benar kalah.
Semoga berhasil apa" Mungkinkah dia tahu tentang operasi yang tengah mereka
gelar" Saat kasusnya sudah selesai nanti, dia akan menelponnya. Dia yakin ada sesuatu
di balik tawarannya yang tidak biasa itu dan yang ada di pikirannya bukanlah
hubungan cinta. "Apa yang diinginkan D'Alaqua?" Minerva telah menunggunya, dan mereka keluar
hotel bersama-sama. "Ingin mengajakku ke Syria."
"Syria! Untuk apa?"
"Dia mendapat izin melakukan penggalian arkeologi disana. Dia ingin aku
membantunya." "Semacam liburan romantis."
"Dia mengajakku pergi, tetapi bukan urusan cinta. Kedengarannya dia khawatir."
Pada saat mereka mencapai markas besar carabinieri, Marco telah menelepon dua
kali. Suasana hatinya sedang tidak enak. Pemancar yang telah mereka pasang pada
si Bisu tidak bekerja. Alat itu berkedip-kedip, tetapi kedip-kedipnya itu tidak
sesuai dengan jalur yang dia tempuh.
Mereka segera sadar bahwa orang itu telah berganti sepatu. Sepatu yang dia pakai
sekarang lebih tua, lebih tampak usang. Dia juga telah mengenakan celana jins
dekil dan jaket yang sama dekilnya. Seseorang benar-benar telah beruntung bisa
bertukar baju dengannya. Pada saat mereka memerhatikan sasaran mereka itu berjalan tak tentu arah di
seputar Parco Carrara, dua orang yang kemarin membuntutinya kini tak terlihat
dimanapun, setidaknya sejauh itu.
Si Bisu membawa sepotong roti, dan sambil berjalan dia merepih roti itu dan
menyebarkannya untuk makan burung-burung. Dia berpapasan dengan seorang lelaki
yang berjalan bergandengan tangan dengan dua gadis kecil, dan Marco merasa orang
itu menatap kepada si Bisu selama beberapa saat sebelum meneruskan berjalan.
Pembunuh itu pun menarik kesimpulan yang sama. Itu pasti kontak si Bisu. Dia
masih tidak bisa mengambil tindakan, tidak ada cara; orang itu dikelilingi
polisi. Menembaknya sama saja dengan bunuh diri. Dia akan mengikutinya beberapa
hari lagi, dan jika keadaan masih belum berubah, dia akan melupakan kontrak itu,
dia tidak akan mempertaruhkan lehernya sendiri untuk membunuh seorang Turki sial
tak punya lidah itu. Marco dan anak buahnya, orang-orang Turki yang membuntuti Mendib, bahkan, kali
ini, si pembunuh, sama sekali tidak sadar bahwa mereka sedang diawasi. Setelah
mengantarkan gadis-gadisnya pulang, Arslan, orang yang sudah lama menjadi kontak
perkumpulan itu, menelpon sepupunya. Ya, dia sudah melihat Mendib; mereka sudah
berpapasan di Parco Carrara. Kelihatannya dia baik-baiksaja. Tetapi dia tidak
membuat tanda, tidak sama sekali .Jelas-jelas dia masih belum merasa aman, dan
dengan alasan yang bagus.
Ana Jimenez meminta sopir taksi membawanya ke Katedral Turin. Dia memasuki
kantor katedral lewat pintu masuk katedral dan meminta bertemu Padre Yves.
Sayangnya, beliau sedang tidak di tempat," kata sekretarisnya.
"Beliau bersama Kardinal, mengikuti kunjungan kependetaan.
Sepertinya Anda belum membuatjanji, bukan begitu?"
"Ya, Anda benar, tetapi saya tahu bahwa Padre Yves akan senang bertemu saya,"
kata Ana agak sengak, dengan sadar dia bersikap kasar, jengkel melihat
keangkuhan si sekretaris.
Dia benar-benar sedang sial. Dia sudah menelepon Sofia lagi tapi Sofia sudah
buru-buru pergi. Dia memutuskan untuk tidak pergi jauh-jauh dari lingkungan
disekitar katedral dan menunggu Yves de Charny kembali.
Bakkalbasi kebingungan saat mendengar laporan tersebut. Mendib masih keluyuran
di seluruh kota, kelihatannya amat sangat sulit, atau bahkan mustahil,
membunuhnya. Ada carabinieri di mana-mana. Jika anak buah Bakkalbasi melanjutkan
pengejaran, ujung-ujungnya mereka sendiri yang akan ketahuan.
Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada timnya. Jika operasi itu gagal,
Mendib mungkin akan menyebabkan jatuhnya perkumpulan. Cepat atau lambat dia akan
menuju ke pekuburan, atau rumah. Kakek paman Mendib sudah menunggu. Beberapa
hari yang lalu dia sudah mempersiapkan dirinya sendiri, sebagaimana yang telah
dilakukan banyak anggota perkumpulan selama berabad-abad. Seluruh giginya telah
dicabut, lidahnya telah dipotong, dan sidik jarinya telah dibakar sampai hilang.
Seorang dokter telah membiusnya agar dia tidak terlalu menderita. Sekarang sudah
terlambat untuk mengantarkannya...
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendib merasa dia telah melihat seraut wajah yang tidak asing baginya, wajah
seorang lelaki dari Urfa, apakah dia di sana untuk membantunya atau membunuhnya"
Dia kenal Addaio, dan dia tahu bahwa Addaio tidak akan membiarkan perkumpulan
ketahuan. Mendib sadar bahwa jika ceroboh, bisa-bisa dia mengantarkan orang luar
keperkumpulannya, dan dia juga sadar bahwa Addaio akan mencegahnya dengan segala
cara. Begitu hari beranjak gelap, dia akan kembali ke rumah singgah dan jika
memungkinkan dia akan menyelinap dari sana ke pekuburan. Dia akan melompati
pagar dan menuju ke pusara itu. Dia benar-benar masih ingat, dan dia ingat di
mana kunci itu disembunyikan. Dia akan masuk ke terowongan untuk menuju ke rumah
Turgut dan meminta Turgut menyelamatkannya. Jika dia bisa ke rumah Turgut tanpa
diketahui, Addaio bisa mengatur pelarian dirinya. Dia tidak keberatan menunggu
di bawah tanah selama dua atau tiga bulan, sampai carabinieri lelah mencarinya.
Dia sudah menunggu bertahun-tahun di dalam sel.
Dia berjalan menuju Porta Palazzo, pasar di luar ruangan, untuk membeli makanan
dan mencoba menghilang dari pandangan mereka di sela-sela kedai. Orang-orang
yang mengikutinya akan kesulitan menyembunyikan diri mereka di koridor pasar
yang sempit, dan jika dia berhasil melihat wajah-wajah mereka, selanjutnya akan
lebih mudah untuk melepaskan diri dan mereka.
Mereka sudah menjemputnya. Orang tua itu mengambil pisau dan Bakkalbasi tanpa
ragu lagi. Putra keponakannya itu harus dibunuh, dan dia lebih suka melakukannya
sendiri daripada membiarkan orang lain mencemari diri mereka sendiri.
Di dalam mobil, ponsel Bakkalbasi berbunyi; Mendib telah bergerak ke arah Piazza
della Repubhca, mungkin ke Porta Palazzo, kawasan pasar.
Bakkalbasi memerintahka nsopirnya menuju tempat tersebut dan menghentikan
mobildi dekat tempat Mendib terlihat. Saat mobil menepi, dia memeluk lelaki tua
itu dan mengucapkan selamat tinggal. Dia berdoa agar lelaki tua itu berhasil
merampungkan misinya. Hanya dalam waktu beberapa menit, Mendib melihat paman ayahnya dan hatinya pun
terasa lega. Perkumpulan, keluarganya, tidak menyia-nyiakannya. Dia mulai
berjalan dengan hati-hati ke arah lelaki tua itu. Kemudian dia melihat kesedihan
di wajah kakek pamannya itu.
Tampangnya seperti orang yang putus asa.
Mereka pun bertemu pandang. Mendib tidak tahu harus berbuat apa, kabur atau
mendekati orang tua itu dengan sikap wajar dan memberinya kesempatan untuk
menyampaikan pesan atau membisikkan instruksi.
Dia memutuskan untuk memercayai kakek pamannya. Rasa putus asa di matanya benar-
benar mencerminkan ketakutan, tak salah lagi.
Ketakutan kepada Addaio, ketakutan kepada carabinieri.
Saat tubuhnya bertubrukan, Mendib merasakan sakit yang amat sangat di sisi
tubuhnya. Kemudian lelaki tua itu jatuh berlutut dan rubuh dengan wajah
menelangkup di atas tanah. Sebilah pisau menyembul di punggungnya. Orang-orang
di sekitarnya mulai berteriak-teriak dan menepi, dan Mendib melakukan hal yang
sama, dia pun berlari karena panik. Seseorang telah membunuh ayah pamannya,
tetapi siapa" Pembunuh itu berlari di antara kerumunan orang, berlagak ketakutan seperti
orang-orang lain. Dia telah menikam lelaki tua itu, bukannya si Bisu. Seorang
lelaki tua yang juga membawa pisau. Itu tadi berhasil; dia tidak akan
mengupayakannya lagi. Orang yang membayarnya itu tidak menceritakan kepadanya
secara panjang lebar, dan dia tidak bisa bekerja di dalam gelap, tidak tahu apa
yang akan dihadapinya. Perjanjiannya batal, dan dia akan membawa uang mukanya.
Di tepi pasar, Bakkalbasi menyaksikan Mendib melarikan diri saat lelaki tua itu
terbaring sekarat di atas trotoar. Siapa yang telah membunuhnya"
Yang jelas bukan carabinieri. Mungkinkah mereka" Tetapi mereka membunuh lelaki
tua itu" Dalam kebingungannya, dia pun menelepon Addaio. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Segalanya berantakan. Pastor tersebut menyimaknya dan memberinya
perintah singkat. Bakkalbasi menganggu, menenangkan dirinya sendiri.
Dengan diikuti anak buahnya, Marco berlari ke lelaki tua yang sekarat di atas
trotoar itu. Mereka tampak belingsatan, jika saja orang memerhatikan.
"Apakah dia sudah tewas?" tanya Pietro.
Denyut nadi lelaki tua itu melemah. Dia membuka matanya, menatap Marco seolah
ingin mengatakan sesuatu, dan dia pun meninggal.
Sofia dan Minerva mengikuti semuanya dari radio polisi; mereka mendengar tapak
kaki Marco, perintah-perintah yang dia keluarkan dengan cepat, pertanyaan
Pietro. "Marco! Marco! Apa yang terjadi?" teriak Minerva ke mikrofon.
"Demi Tuhan, katakan sesuatu!"
"Ada seseorang yang mencoba membunuh si Bisu, kami tidak tahu siapa, kami tidak
melihatnya, tetapi dia membunuh seorang lelaki tua yang berhenti di depannya.
Kami tidak tahu siapa orang ini, dia tidak memiliki kartu identitas. Ambulans
sudah datang. Astaga! Bangsat!
Bangsat! Bangsat!" "Kau ingin kami ke sana?" tanya Sofia.
"Tidak, tetaplah di sana. Di mana si Bisu brengsek itu"!" mereka mendengarnya
berteriak. "Kami kehilangan jejaknya," kata sebuah suara diwalkie-talkie.
"Kami kehilangan jejaknya," ulangnya lagi.
"Dia kabur saat terjadi ribut-ribut."
"Keparat! Bagaimana bisa kalian membiarkannya lolos" Keparat!"
"Tenanglah, Marco, tenanglah..." kata Giuseppe. Minerva dan Sofia mendengarnya
tanpa bisa berkata-kata. Setelah mempersiapkan kuda Troya selama berbulan-bulan,
kuda itu akhirnya kabur. "Temukan dia! Kalian semua, temukan dia!"
Begitu sudah meninggalkan lingkungan tersebut, Mendib kesulitan bernafas. Dia
menekankan tangannya pada luka tikaman di sisi tubuhnya.
Rasa sakit itu kian tak tertahankan. Sialnya dia meninggalkan jejak tetesan
darah. Dia berhenti dan mencari-cari pintu untuk dia masuki dan beristirahat
sejenak. Dia pikir dia berhasil mengelabuhi para pengejarnya, tetapi dia tidak
yakin. Satu-satunya kesempatan yang dia miliki adalah mencapai pekuburan, tetapi
tempat itu masih jauh, dan dia harus menunggu hingga malam tiba. Tapi di mana"
Karena menginginkan bisa terus maju, dia mendorong pintu khusus layanan di
sepanjang jalan yang dia lewati sampai ada satu yang bisa membuka. Itu adalah
pintu gudang tukang kebun berukuran kecil, yang isinya pel, ember-ember, dan
sebuah tempat sampah besar. Dia duduk di lantai di belakang tempat sampah itu,
sambil mencoba menjaga kesadarannya. Dia kehilangan banyak darah, dan dia perlu
menyumbat - pendarahannya. Dia lepaskan jaket yang dia kenakan dan menarik tepiannya untuk
dijadikan perban yang kemudian dia ikatkan kuat-kuat pada lukanya itu. Dia
kelelahan; dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bersembunyi di sana, mungkin
sampai malam tiba, itu pun kalau dia mujur.
Pamannya yang sudah tua itu, lelaki yang mencintainya sejak dia masih bayi,
telah menikamnya. Apa-apaan ini" Lalu Mendib merasa kian mengantuk dan hilang
kesadaran. Ana duduk di sebuah teras di Porta Palatina, menunggu kembali ke kantor Padre
Yves, ketika orang-orang mulai berlarian dan berjeritan. Mereka berteriak ada
orang telah terbunuh, pembunuhnya masih berkeliaran.
Pandangan nyamenyapu kerumunan orang-orang itu dan memerhatikan seorang pemuda
berlari terhuyung-huyung di tepi kerumunan itu.
Seakan-akan dia terluka. Pemuda itu merunduk memasuki sebuah pintu dan
menghilang. Ana berjalan ke arah datangnya orang-orang, mencoba mencari tahu apa
yang terjadi. Tetapi tak seorang pun bisa menceritakan apa-apa selain tentang
seseorang telah terbunuh.
Dia melihat dua lelaki muda, yang penampilannya serupa dengan orang yang
kelihatannya terluka tadi, menuju ke arah yang sama, dan secara naluriah Ana
mengikuti mereka. Kedua orang dari Urfa itu melihat perempuan tersebut membuntuti mereka, sehingga
mereka mulai memperlambat langkah mereka, dan kemudian mundur. Mungkin perempuan
itu polisi. Mereka bisa menunggui munculnya Mendib dari kejauhan sambil juga
tetap mengawasi perempuan itu. Jika perlu, mereka akan membunuh gadisitu juga.
Yves de Charny telah kembali ke kantornya sebentar. Raut mukanya yang ganteng
dibayang-bayangi kekhawatiran.
Sekretarisnya memasuki kantor. "Padre, kedua teman Anda, Bapak Pendeta Padre
Yosef dan Padre David, sudah ada di sini. Saya baru memberitahu mereka Anda baru
datang dan saya tidak yakin Anda bisa menemui mereka."
"Bisa, bisa, persilakan mereka masuk. Yang Mulia tidak membutuhkanku lagi,
Beliau akan pergi ke Roma, dan pekerjaan hari ini sudah nyaris selesai. Jika
jika kau mau, kau boleh pulang sekarang."
"Apakah Anda telah mendengar pembunuhan di dekat-dekat sini, di Porta Palazzo?"
"Ya, aku dengar di radio. Ya Tuhan, sungguh kejam!"
"Demi Tuhan, betul sekali, Padre... baiklah, jika Anda tidak keberatan saya
pergi, saya pulang dulu, saya sudah lama ingin menata rambut; besok saya ada
acara makan malam di rumah putri saya."
"Ya, pergilah, jangan khawatir."
Padre Yosef dan Padre David terlihat muram saat memasuki kantor Padre Yves.
Ketiga orang itu menunggu suara perginya si sekretaris.
"Kau sudah dengar yang terjadi," akhirnya Padre David berkata saat mereka
mendengar pintu luar menutup setelah si sekretaris keluar.
"Ya. Di mana dia?"
"Dia bersembunyi di dekat-dekat sini. Orang-orang kita mengawasinya, tetapi
tidak bijak jika kita mengejarnya. Si reporter juga berkeliaran di sana."
"Si reporter" Kenapa?"
"Celaka. Dia duduk di teras untuk minum soft drink, mungkin menunggumu. Jika dia
muncul lagi di sini, kita harus melakukannya,"
kata Padre Yosef. "Jangan di sini, terlalu berbahaya."
"Tidak ada siapa pun di sini," Padre Yosef bersikeras.
"Kau tidak pernah tahu. Bagaimana dengan Galloni?"
"Segera, kapan saja, begitu dia meninggalkan markas besar carabinieri. Segalanya
sudah siap," lapor Padre David.
"Kadang-kadang..."
"Kadang-kadang kau ragu-ragu, seperti halnya kami, tetapi kita adalah prajurit,
dan kita mengikuti perintah," kata Yosef.
"Ini tidak penting." Yves menatap tajam kepadanya.
"Kita tidak punya pilihan selain mematuhi," kata David pelan-pelan.
"Ya. Tetapi bukan berarti kita tidak boleh angkat bicara menentang perintah
kita, bahkan meskipun kita mematuhinya. Kita telah diajarkan berpikir untuk diri
kita sendiri." Akhirnya, keberuntungan berbelok ke arah Marco. Giuseppe baru saja
memberitahukan lewat walkie-talkie bahwa dia telah melihat melihat salah seorang
Turki yang membuntuti itu di dekat katedral, dan Marco buru-buru kesana. Ketika
tiba di piassa dia melambatkan langkahnya agar selaras dengan langkah para
pejalan kaki lainnya, yang masih meributkan insiden sebelumnya.
"Di mana dia?" tanyanya saat dia bergabung dengan Giuseppe.
"Di sana, mereka berdua di sana, di teras. Orang yang kemarin."
"Perhatian seluruh unit, bersiagalah. Ulangi: bersiaga-lah. Kalian semua tidak
terlihat. Pietro, kemarilah; lainnya kepunglah Piazza, tetapi jaga jarak kalian.
Para penguntit sudah pernah berhasil mengelabuhi kita.
Tetapi sekarang mereka adalah tangkapan terbaik kita."
Sore telah larut, dan Ana Jimenez memutuskan untuk mencoba menemui Padre Yves
lagi. Orang-orang yang telah menarik perhatiannya tadi kini telah menghilang.
Tak seorang pun menjawab bel kantor katedral, tetapi pintunya tidak dikunci saat
dia mencoba membukanya. Sepertinya semua orang sudah pulang karena hari telah
malam, tetapi si penjaga pintu belum juga mengunci pintunya. Ana berjalan menuju
kantor Padre Yves dan akan mengetuk pintunya ketika dia mendengar suara-suara
dari dalam. Dia tidak mengenali suara orang yang berbicara itu, tetapi yang mereka katakan
membuatnya membeku di tempatnya berdiri.
"Kebanyakan dari mereka masuk melalui terowongan. Mereka ingin semua
meninggalkan jalan karena carabinieri berkeliaran di seluruh tempat itu.
Bagaimana dengan yang lain-lain"... Baiklah, kita akan berangkat. Jika dia
keluar, dia akan mencoba bersembunyi di sini; ini adalah tempat yang paling
aman." Di dalam kantor, Padre Yves menutup ponselnya dan beralih ke yang lain.
"Dua anak buah Addaio sedang menunggu di Piazza, dan Mendib masih di gudang
tempatnya bersembunyi. Mereka pasti tahu persisnya di mana dia berada, tetapi
aku perkirakan dia akan bergerak lagi; dia tidak terlalu aman di sana."
"Di mana Valoni?" tanya Padre David.
"Mereka bilang dia mengamuk, operasinya kacau-balau," jawab Padre Yosef.
"Itu sudah lebih dekat dengan kebenaran daripada yang dia sadari,"
kata Padre Yves masam. "Tidak, kau salah," kata David dengan tegas. "Dia tidak tahu apa-apa; dia cuma
punya ide bagus, menggunakan Mendib untuk mendapatkan buruan yang lebih besar.
Tetapi sebenarnya dia tidak tahu apa-apa tentang perkumpulan itu, jauh lebih
sedikit daripada yang kita ketahui."
"Jangan membohongi dirimu sendiri," desak Padre Yves. "Dia sudah mendekati
Addaio dan orang-orangnya. Mereka sudah menyibak hubungan Urfa dengan kafan.
Dottoressa Galloni sudah menunjuk lurus ke arah itu. Memalukan sekali kenapa
perempuan seperti dia harus-"
"Bailah," sela Padre Yosef. "Mereka ingin kita ke terowongan. Mari berharap
Turgut dan keponakannya sudah ada di sana. Orang-orang kita sudah di pekuburan."
Ana meringkuk di belakang lemari berkas di kantor luar, gemetaran, saat ketiga
orang itu menuju pintu. Apakah Padre Yves anggota Templar, ataukah dia anggota
organisasi lain" Dan bagaimana dengan kedua orang yang bersamanya itu" Suara
mereka seperti orang-orang yang masih muda. Dia menahan nafas saat mereka
bergegas melintasi ruangan dan melewati kantor utama. Dia menunggu beberapa saat
dan kemudian, setelah mengumpulkan keberaniannya, berjalan perlahan di belakang
mereka, mengikuti suara-suara langkah mereka yang teredam tak jauh di depannya.
Mereka tiba di sebuah pintu kecil yang mengarah ke apartemen tukang sapu
katedral. Padre Yves mengetuk pintu itu, tetapi tidak ada jawaban. Beberapa
detik kemudian, dia mengeluarkan kunci dari dalam jubahnya dan membuka pintu.
Mereka menghilang ke dalam.
Sambil tetap lengket ke dinding, Ana merayap ke pintu masuk apartemen tukang
sapu itu, dan menyimak. Tidak terdengar apa-apa. Dia pun masuk, sambil berdoa
ketiga orang itu tidak mengejutkannya.
52 Mendib mendengar ribut-ribut dan dia melompat kaget. Baru saja dia sadar
kembali, bangun karena rasa sakit yang menusuk-nusuk di sisi tubuhnya.
Setidaknya pendarahannya telah berhenti. Kemeja kotornya menjadi kaku karena
noda gelap yang mengering. Dia tidak tahu bisa berdiri apa tidak, tetapi dia
mencobanya. Dia memikirkan betapa anehnya kematian paman ayahnya itu.
Mungkinkah Addaio mengirim seseorang untuk membunuh paman kakeknya karena dia
tahu lelaki tua itu akan membantunya" Tetapi lelaki tua itu telah melakukan ini
kepadanya. Dia tidak mungkin salah tentang hal itu.
Dia tidak memercayai siapa pun, apalagi orang-orang yang memiliki hubungan
dengan Addaio. Pastor tersebut adalah orang yang sebaik malaikat tetapi tidak
mau berkompromi, mampu melakukan apa saja untuk menyelamatkan perkumpulan.
Mendib tahu bahwa diri sendiri, tanpa disengaja, bisa menyingkap keberadaan
perkumpulannya kepada pihak berwenang dan membawa mereka kepada saudara-saudara.
Dia ingin mencegah hal itu; dia telah mencoba mencegahnya sejak dia dibebaskan.
Tetapi pasti Addaio tahu hal-hal yang dia sendiri tidak tahu, sehingga dia tidak
boleh mengacuhkan kemungkinan dirinya dijadikan target pembunuhan oleh pastor
itu. Dia sudah mengetahui sejauh itu.
Pintu lemari tukang kebun itu terbuka. Seorang perempuan paruh baya membawa
sebuah tas masuk sebelum dia melihatnya dan berteriak sedikit. Dengan gerakan
super cepat, Mendib mendorong tubuhnya agar bangkit dan menangkupkan tangannya
ke mulut perempuan itu. Perempuan itu harus menenangkan dirinya sendiri atau Mendib terpaksa harus
memukulnya hingga tidak sadarkan diri. Dia tidak pernah memukul seorang
perempuan tua, amit-amit! tetapi masalahnya sekarang adalah bagaimana dia harus
menyelamatkan nyawanya. Untuk pertama kalinya sejak lidahnya diputus, hatinya tersiksa karena tidak bisa
berbicara. Dia dorong perempuan itu ke arah pintu, saat dia berontak dan mencoba
menarik tangan Mendib. Mendib menyarangkan pukulan cepat ke belakang leher
perempuan itu dan diapun rubuh, pingsan.
Saat tergeletak di atas lantai, perempuan itu kesulitan bernafas.
Mendib merogoh tas tangan perempuan itu dan menemukan sebuah pena dan sebuah
buku notes, dia sobek selembar, dan menulis dengan tergesa-gesa. Saat perempuan
itu mulai sadar, dia telangkupkan tangannya untuk menutup mulutnya dan
menunjukkan selembar kertas itu. Ikutlah denganku, lakukan apa yang
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuperintahkan, maka kamu akan baik-baik saja, tetapi jika kamu berteriak, atau
mencoba kabur, kamu akan menyesalinya. Kamu punya mobil"
Perempuan itu membaca pesan aneh itu dan mengangguk, matanya membelalak
ketakutan. Setelah memasukkan kertas dan pena itu ke sakunya, Mendib perlahan-
lahan melepaskan tangannya dari mulut perempuan itu, tetapi dia tetap menjaga
agar bisa mencengkeram tangan perempuan itu dengan mantap saat mereka keluar
dari sana. "Marco, bisa kaudengar aku?"
"Aku di sini, Sofia."
"Kamu di mana?"
"Dekat katedral."
"Baiklah. Aku dapat kabar dari koroner. Lelaki tua yang terbunuh itu tidak punya
lidah dan sidik jari. Dia mendapati bahwa lidahnya dipotong belum lama ini dan
sidik jarinya dibakar kira-kira pada saat yang bersamaan. Dia tidak membawa satu
pun kartu identitas. Oh-dia juga tidak punya gigi sama sekali; mulutnya seperti
goa kosong, tidak ada apa-apanya."
"Bangsat!" "Koroner tersebut belum menyelesaikan otopsinya, tetapi dia keluar untuk
menelpon dan memberitahukan bahwa kita mendapatkan orang bisu lagi."
Sebuah suara menyela pembicaraan. Ternyata suara Pietro.
"Marco, dengar aku! Sasaran kita ada di sudut Piazza. Ada seorang perempuan
bersamanya, tangannya dia lingkarkan di tubuh perempuan itu. Apakah kita tangkap
saja dia?" "Terus awasi saja mereka, kecuali jika kelihatan dia mengancam perempuan itu.
Jangan sampai kehilangan dia; aku berangkat ke sana.
Awasi juga para penguntit itu, jika kita telah melihatnya, berarti mereka juga.
Dan jangan bikin kacau lagi, jika sampai satu dari mereka lolos lagi, akan
kutendang anumu." Perempuan itu mengajak Mendib ke mobilnya, sebuah SUV kecil. Mendib mendorongnya
dari kursi penumpang dan dia sendiri duduk di belakang kemudi. Sisi tubuhnya
serasa terbakar dan dia nyaris tidak bisa bernafas, tetapi dia berhasil
menyalakan mesin mobil itu dan meluncur di lalu lintas sore menjelang petang
yang kacau. Dia mengendarai mobilnya keliling kota tanpa tujuan sambil berpikir keras. Dia
harus menyingkirkan perempua nitu, tetapi dia tahu bahwa begitu dia
melakukannya, perempuan itu akan memberitahu carabinieri.
Meski demikian, Mendib harus mengambil risiko, dia tidak bisa mengajak perempuan
itu ke kuburan. Dan jika dia meninggalkan mobil itu dekat pekuburan, carabinieri
akan bisa melacaknya. Tetapi tidak mungkin dia berjalan jauh, darahnya sudah
banyak yang hilang dan luka berdenyut-denyut di sisi tubuhnya itu menjadikannya
mustahil. Dia lalu berdoa dengan harapan penjaga pekuburan itu ada diposnya;
orang baik itu adalah seorang saudara, seorang anggota perkumpulan, dan dia akan
membantu Mendib, kecuali jika dia seperti yang lain, sudah diperintah Addaio
untuk membunuhnya. Dia memutuskan untuk mengambil risiko itu: Dia harus mencoba pekuburan itu. Tak
ada lagi yang bisa dia tuju.
Ketika mereka sudah dekat, tetapi tidak terlalu dekat untuk membuat perempuan
itu sadar Mendib berencana pergi ke mana, dia menghentikan mobil dan melotot ke
arah perempuan itu dan perempuan itu menatapnya ketakutan. Dia mengeluarkan pena
dan kertas lagi dan menulis: Aku akan melepaskanmu. Jika kau beritahu polisi,
kau akan menyesalinya. Kalaupun sekarang mereka melindungimu, pasti suatu saat
mereka tidak, akan melindungimu, dan saat itu aku akan datang.
Pergilah, dan jangan beritahu siapa pun apa yang telah terjadi. Ingat, jika kau
melakukannya, aku akan kembali untuk menghajarmu.
Dia menyodorkan kertas itu kepadanya, dan ketakutan di wajahnya pun semakin
berlipat ganda saat dia membacanya.
"Sumpah aku tidak akan melapor... kumohon, lepaskan aku..."
rengek perempuan itu. Mendib menyobek kertas hingga kecil-kecil dan membuangnya keluar jendela.
Kemudian dia keluar dari mobil dan berdiri tegak, meskipun dengan kesulitan. Dia
takut hilang kesadaran lagi sebelum dia mencapai pekuburan. Saat dia mendekati
dindingnya dan mulai berjalan di sepanjang dinding itu, dia mendengar suara
mobil itu menjauh. Dia berjalan selama beberapa saat, duduk ketika rasa sakitnya sudah tidak
tertahankan, berdoa kepada Tuhan agar dia bisa bertahan hidup dan diselamatkan.
Dia masih ingin hidup, dia tidak akan mau lagi menyerahkan nyawanya demi
perkumpulan, atau demi siapa pun. Dia telah memberikan lidahnya dan dua tahun
yang panjang dibalik jeruji penjara.
Sekilas Marco melihat sosok si Bisu berjalan sempoyongan. Dia dan anak buahnya
bersabar, sebagaimana tadi ketika mereka membuntuti SUV itu.
Jelas-jelas lelak iitu terluka dan nyaris tidak bisa berjalan. Mereka melihat
dua penguntit dan Turki itu lagi, sambil tetap menjaga jarak. Marco telah
menugaskan orang-orang tersendiri untuk mengawasi mereka saat tim inti berpencar
untuk mengikuti si Bisu itu dan sanderanya.
"Tetap waspada, kita harus menangkap mereka semua," dia memperingatkan anak
buahnya yang lain. Jika para penguntit itu memutuskan untuk berpisah atau bubar,
kalian tahu apa yang harus kalian lakukan, berpencarlah, beberapa mengikuti
mereka, yang lainnya ikuti sasaran kita."
Tak satu pun dari mereka yang mewaspadai orang-orang lain yang diam-diam
memantau mereka semua, membaur tidak kentara bersama lingkungan sekeliling.
Cahaya kemerahan muncul di kaki langit saat matahari mulai tenggelam.
Mendib mencoba berjalan lebih cepat, dia ingin tiba di pekuburan sebelum penjaga
menutup gerbangnya. Jika tidak, dia harus melompati tembok, dan mustahil dia
melakukannya. Pendarahannya mengalir lagi, dan dia menekankan syal yang dia
ambil dari perempuanitu pada lukanya.
Setidaknya syal itu bersih.
Sosok tubuh si penjaga tampak seperti siluet berlatarkan pepohonan cemara di
gerbang masuk pekuburan. Dia terlihat penuh harap, seolah menunggu seseorang
atau sesuatu. Mendib bisa merasakan ketakutan orang itu, dan bahkan, ketika penjaga tersebut
melihat si Bisu bersusah payah mendekatinya, dia buru-buru menutup gerbangnya.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Mendib mencapai pintu masuk dan berhasil
menyelipkan tubuhnya masuk. Dia buru-buru menuju pusara 117.
Suara Marco terdengar di jaringan seluruh personil.
"Dia memaksa masuk ke pekuburan, melewati penjaga. Aku ingin kalian masuk. Di
mana orang-orang Turki itu?"
Terdengarlah suara kedua di saluran itu: "Sebentar lagi kau bisa melihat mereka.
Mereka juga menuju ke pekuburan."
Yang mengejutkan Marco dan anak buahnya yang mengawasi itu, para penguntit itu
membuka gerbang dengan sebuah kunci, dan menutupnya dengan hati-hati setelah
mereka masuk. Ketika mereka tiba di gerbang itu, beberapa anggota carabinieri memanjat
temboknya untuk menjaga agar jarak mereka benar-benar dekat dengan orang-orang
Turki itu, sementara seorang lainnya mengotak-atik kuncinya. Dia butuh waktu
beberapa saat untuk membukanya, dan Marco pun melangkah dengan tidak sabaran.
"Giuseppe, temukan penjaga itu," perintah Marco begitu tiba di dalam. "Kami
belum melihatnya pergi, jadi dia pasti masih di dalam sini, entah di mana."
"Baik, bos. Lalu apa?"
"Laporkan kembali kepadaku apa saja yang dia katakan, dan akan kita putuskan
nanti. Ajaklah beberapa orang untuk membantumu."
"Betul." "Pietro, ikutlah denganku. Di mana sih mereka itu?"tanya Marco kepada
carabinieri dengan walkte talkie.
"Kurasa mereka menuju ke sebuah mausoleum, yang besar, yang di atasnya ada
patung malaikat dan marmer," kata sebuah suara.
"Bagus. Di mana itu" Kami akan ke tempatmu."
Tak seorang pun ada di apartemen Turgut, Padre Yves dan teman-temannya
sepertinya telah menghilang. Ana cepat-cepat berdiri, menyimak suara-suara lain,
tetapi hanya kesunyian yang bertahta.
Pandangannya menyapu seluruh ruangan, mencari apa-apa yang tidak wajar. Tidak
ada satu pun yang menonjol. Sambil mencoba-coba membuka pintu sebuah kamar
tidur, dia melongok ke dalam dan mendapati ruangan itu juga kosong. Di belakang
ruang tamu, dapur, bahkan kamar mandi. Tidak ada apa-apa. Ana tahu bahwa mereka
pasti ada di sini, karena pintu depan diselot dari dalam dan itulah satu-satunya
cara lain keluar rumah tersebut.
Dia memasuki rumah lagi. Di dapur terdapat sebuah pintu yang mengarah ke pantry.
Dia mengetuk dinding, tetapi sepertinya dinding itu padat. Lalu, sambil
berlutut, ia memeriksa lantai kayunya, mencari-cari pintu atau bukaan untuk ke
ruang bawah tanah... apa saja. Pasti ada semacam jalan tersembunyi untuk keluar
dan rumah itu. Akhirnya, dia menemukan bagian yang lantainya terasa seperti gerowong. Dan di
sanalah, ada garis samar-samar pintu mengarah ke ruang bawah tanah. Dengan
menggunakan pisau, dia berhasil mengangkatnya sedikit sekadar untuk bisa
dipegang dengan nyaman dan kemudian mengangkatnya sampai benar-benar terbuka.
Terdapat tangga menuju kegelapan di bawah sana. Tak ada suara apa pun dari kamar
bawah tanah itu, atau apa pun namanya. Pasti mereka telah pergi ke arah ini.
Setelah agak lama mencari, akhirnya dia menemukan sebuah senter kecil di sebuah
laci dapur - senter itu tidak banyak menerangi, tetapi hanya itulah yang dia
dapatkan. Dia juga memasukkan sekotak besar korek api ke tas tangannya, untuk
berjaga-jaga. Dia melihat sekeliling seolah mencari hal-hal lain yang mungkin
akan dia butuhkan di bawah sana, dan kemudian, dengan sedikit berdoa kepada St.
Gemma, Santo pendukung hal-hal yang mustahil, yang dengan bantuannya, dia yakin,
dia sudah bisa lulus kuliah, dia mulai turun melewati tangga kecil yang akan
membawanya entah ke mana, hanya Tuhan yang tahu.
Mendib meraba-raba di sepanjang terowongan. Dia ingat setiap inci tembok yang
basah dan lengket itu. Penjaga tua itu telah mencoba menghentikannya agar tidak
bisa memasuki pusara itu, tetapi pada akhirnya dia berhasil kabur ketika Mendib
mengangkat sepotong tongkat besar, siap memukulnya jika memang terpaksa. Ketika
pada akhirnya dia berhasil mencapai pintu mausoleum itu, kuncinya masih ada di
sana, tersembunyi di bawah pot hias, persis seperti bertahun-tahun yang lalu.
Dia membuka pintu masuk mausoleum, masuk, dan mendapati pegas di belakang
sarkofagus untuk membuka pintu menuju undak-undak tangga.
Jalan setapak yang sempit itu menurun ke terowongan yang pada akhirnya mengarah
ke katedral. Semakin sulit saja dia bernafas. Kurangnya oksigen dan kegelapan terowongan
membuatnya pusing, tetapi dia tahu bahwa satu-satunya kesempatan dia bisa
selamat adalah mencapai rumah Turgut. Sambil memerangi rasa sakit dan
mengerahkan seluruh sisa-sisa kekuatannya, dia memaksa maju.
Cahaya keretannya yang sudah usang itu tidak cukup menerangi terowongan
tersebut, tetapi itulah satu-satunya cahaya yang dia punya.
Ketakutan terbesarnya adalah menyusun kegelapan itu dan kehilangan kesadarannya
atas arah. Anak buah Bakkalbasi memasuki pekuburan beberapa saat setelah Mendib. Mereka
berlari ke mausoleum, membukanya dengan sebuah kunci yang telah diberikan
Turgut, dan beberapa saat kemudian mereka sudah di bawah tanah, mengikuti jejak
saudaranya yang sekarat itu.
"Mereka masuk ke sana." Seorang carabinieri menunjuk.
Marco memandang malaikat seukuran manusia itu, malaikat itu menghunus sebilah
pedang dan sepertinya memperingatkan mereka untuk tidak mendekat.
Polisi yang membawa beliung itu mulai bekerja lagi. Kunci ini lebih keras, dan
sementara dia bermain-main dengan mekanismenya, Marco dan anak buahnya merokok
dan membuat rencana darurat, tidak sadar bahwa mereka juga tengah diawasi.
Turgut dan Ismet berjalan mondar-mandir gugup di ruang bawah tanah selepas
terowongan. Tiga atau empat orang dari Urfa sedang menunggu bersama mereka,
mereka sudah berhasil mengelabuhi carabinieri dan sudah beberapa jam berada di
ruangan rahasia itu, menunggu. Anak buah Bakkalbasi yang lain seharusnya datang
sebentar lagi. Pastor itu telah memperingatkan mereka bahwa tidak mungkin Mendib
berhasil ke sana, dan mereka harus menenangkan dia dan menunggu saudara-saudara
yang lain datang. Setelah itu, mereka tahu harus berbuat apa.
Tak satu pun dari mereka pergi terlalu jauh kekegelapan yang menyelubungi
terowongan itu. Jika mereka melakukannya, mereka mungkin telah melihat ketiga
orang yang meringkuk di ruangan kecil tak jauh dari sana, yang telah menguping
mereka beberapa saat. Kerah mereka tersembunyi, wajah mereka murung, Yves,
David, dan Yosef telah meninggalkan segala jebakan kependetaan.
Mereka mendengar langkah kaki, dan Turgut merasakan bulu kuduknya berdiri.
Keponakannya menepuk punggungnya untuk membangkitkan semangatnya.
"Tenanglah. Kita sudah mendapat perintah, kita tahu harus berbuat apa."
"Akan terjadi sesuatu yang mengerikan," gerutu tukang sapu tersebut.
"Paman, berhentilah kuatir! Semuanya akan baik-baiksaja."
"Tidak. Akan terjadi sesuatu. Aku tahu."
"Tenanglah, Paman, kumohon!"
Cengkeraman Ismet mengeras di pundak lelaki tua itu ketika Mendib terhuyung-
huyung memasuki ruangan. Matanya yang menyala itu menatap Turgut sebentar, dan
kemudian dia rubuh tak sadarkan diri di atas lantai. Ismet berlutut di
sampingnya memeriksa denyut nadinya.
"Dia berdarah. Dia terluka di dekat paru-parunya, kurasa paru-parunya tidak
bocor, sebab jika bocor pasti dia sekarang sudah mati.
Ambilkan air dan sesuatu untuk membersihkan lukanya."
Si tua Turgut, matanya selebar lepek, datang tergesa-gesa membawa sebotol air
dan handuk. Ismet merobek kemeja kotor itu dari tubuh Mendib dan membersihkan
lukanya dengan hati-hati.
"Tidak adakah kotak P3K di sini?"
Turgut mengangguk, tak bisa berbicara. Dia mengambil kotak P3K
dan menyerahkannya kepada keponakannya.
Ismet membersihkan luka itu lagi dengan hidrogen peroksida, kemudian menyekanya
dengan perban yang telah dicelup desinfektan.
Hanya itulah yang bisa dialakukan untuk Mendib, yang dulu dia kagumi ketika
dirinya masih kecil di Urfa. Tak seorang pun bergerak menghentikannya, meskipun
mereka semua tahu dia hanya menunda nasibnya untuk sementara waktu saja.
"Itu tidak perlu." Salah seorang anak buah Bakkalbasi keluar dari kekelaman
terowongan, salah seorang polisi dari Urfa, yang telah menunggu di belakang
untuk melacak si Bisu dari Piazza. Seorang lainnya mengikuti. Beberapa saat
kemudian mereka menceritakan kepada yang lain tentang pengejaran itu. Perbincangan mereka mengalahkan
suara lembut lain dari arah pintu masuk yang gelap.
Tiba-tiba, Marco ditemani Pietro dan segerombolan carabinieri memasuki ruangan
itu dengan pistol teracung.
"Jangan bergerak! Jangan bergerak! Kalian semua ditangkap!"
teriak Marco. 53 Marco tidak punya waktu untuk berbicara lebih banyak. Sebutir peluru dari
kegelapan berdesing di dekat kepalanya. Tembakan-tembakan lain mengenai dua anak
buahnya. Anak buah Bakkalbasi mengambil kesempatan dari kekacauan tiba-tiba itu
untuk berlindung dan mulai menembak.
Para opsir carabinieri itu berlindung sebisanya. Marco bertiarap di lantai;
berusaha ke belakang orang-orang Turki itu, tetapi dia terhenti ketika seseorang
menembak ke arahnya dari kegelapan. Sekejap mata setelah itu, dia mendengar
teriakan seorang perempuan: "Awas, Marco, mereka dari sini! Awas!"
Ana keluar dari persembunyiannya. Lama sekali dia tadi bersembunyi, nyaris tidak
bergerak sedikit pun, agar tak terlihat ketiga pendeta itu - dengan izin Tuhan
dan St. Gemma - sebelum mereka melihatnya, setelah merunut terowongan itu dari
kamar Turgut. Padre Yves membalik badannya, matanya membelalak: "Ana!"
Perempuan muda itu mencoba melarikan diri, tetapi Padre Yosef berhasil
menangkapnya. Yang terakhir dialihat adalah tinju yang mengarah ke kepalanya.
Padre Yosef meninjunya begitu keras hingga Ana tak sadarkan diri.
"Apa-apaan kau ini"!" seru Yves de Charny.
Tidak ada jawaban. Tidak mungkin ada jawaban. erdengar tembakan dari berbagai
arah, dan para pendeta itu kembali ke sasaran mereka, melancarkan tembakan ke
kamar yang ada di sana. Baru beberapa saat kemudian ada orang-orang lagi, mereka yang mengejar para
pengejar tadi, muncul di arena. Mereka segera membunuh si tua Turgut,
keponakannya Ismet, dan dua orang anak buah Bakkalbasi; mereka tidak berniat
berhenti sampai seluruh lawanmereka tewas.
Letusan-letusan pistol yang menggema itu begitu kerasnya hingga kerikil dan
bebatuan mulai runtuh dari atap dan dinding, tetapi suara tembakan itu terus-
menerus tak terhenti dari segala sudut.
Ana mulai sadar kembali. Kepalanya terasa seolah-olah pecah. Dia sempoyongan dan
melihat ketiga pendeta itu persis di depannya, masih menembak. Setelah mengambil
batu yang ukurannya pas, Ana merangkak ke depan ke arah mereka, dan ketika sudah
cukup dekat dia angkat batu itu ke atas kepalanya dan menurunkannya dengan keras
ke kepala salah seorang kawan Yves. Dia tidak punya waktu lagi untuk melakukan
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa-apa, seorang lainnya membalikkan badan untuk menembak dia. Tetapi saat
pendeta itu baru mau melakukannya, batu-batu mulai berjatuhan dan atap dan
mengenainya hingga dia tersungkur.
Yves de Charny sudah menyerang Ana dengan kemarahan yang tak lagi ditutup-
tutupi, dan kini dia juga tertimpa batu yang berjatuhan.
Reporter tersebut mulai berjalan sempoyongan, berlari, mencoba mengambil jarak
dari si pendeta serta menghindarkan diri dari reruntuhan yang kini sudah berupa
bongkahan-bongkahan dan batu-batu yang ukurannya mengerikan. Letusan pistol dan
reruntuhan yang semakin dahsyat serta dentuman atap yang runtuh itu membuatnya
tak tahu arah-dia tidak tahu dari mana dia tadi datang. Dia merasa panik yang
kian meningkat, dan mengancam akan membinasakannya saat dia dengar Padre Yves
sudah ada tepat di belakangnya, berteriak, dan suara Marco juga, tetapi kata-
kata mereka tenggelam dalam gemuruh yang menulikan ketika seluruh bagian
terowongan itu runtuh. Dia terhuyung-huyung dan jatuh. Kegelapan melingkupinya.
Ana memekik saat merasakan ada jari-jari yang mendekati tangannya.
"Ana?" "Ya Tuhan!" Dia tidak tahu di mana dia berada, tetapi suasana benar-benar gelap gulita,
pandangannya benar-benar tertutupi. Mengerikan.
Kepalanya terluka dan seluruh tubuhnya memar-memar, seolah dia habis dipukuli.
Dia tahu bahwa tangan yang memegang lengannya itu adalah tangan Yves de Charny;
dia tidak mencoba menahannya ketika Ana menarik menjauh. Dia tidak bisa lagi
mendengar suara tembakan; suasana sunyi senyap. Apa yang terjadi" Di manakah
dia" Dia berteriak, dan berteriak lagi, lebih keras, dan kemudian terisak-isak.
"Kita kalah, Ana, kita tidak akan pernah bisa keluar dari sini."
Suara Yves de Charny memecah kesunyian, dan Ana sadar pendeta itu terluka.
"Aku kehilangan senter saat mengikutimu," kata pendeta itu. "Kita akan mati di
dalam gelap." "Tutup mulutmu! Tutup mulutmu!"
"Maaf, Ana, aku sungguh-sungguh minta maaf. Tidak sepantasnya kamu mati, kamu
tidak harus mati." "Kalian semua membunuhku! Kalian membunuh kita semua! Jadi tutup mulutmu!"
De Charny membisu. Ana meraba-raba di tas tangannya, yang anehnya tetap terikat
di tubuhnya, dan mengeluarkan senter kecil dan kotak korek api. Dia gembira
mendapatkannya, dan kemudian jari-jarinya menyentuh telepon genggam. Dia
menyalakan cahaya kecil itu dan melihat wajah ganteng Padre Yves berubah karena
kesakitan. Dia terluka parah.
Ana bangkit dan memeriksa rongga tempat mereka terjebak. Dia tidak menemukan
celah sekecil apa pun didinding batu yang mengubur mereka. Dia berteriak, dan
suaranya memantul kepadanya di ruangan kecil itu. Tidak ada lagi lainnya. Tiba-
tiba dia tersentak menyadari bahwa mungkin dia sungguh tidak mungkin keluar dari
sana hidup-hidup. Dia menyangga lampu itu dan duduk di sebelah pendeta itu.
Dengan menyadari bahwa pendeta itu sudah menerima takdirnya, Ana memutuskan
untuk memainkan kartu terakhirnya sebagai seorang reporter. Di dalam kegelapan
yang melingkupi mereka, Padre Yves tidak melihat Ana mengeluarkan telepon
genggam dari dalam tas tangannya.
Terakhir kali dia menelpon Sofia. Ya Tuhan, dia berharap kali ini Sofia
membalasnya. Dan dia harap ada sinyal yang bisa menghubungkan suara mereka,
sebab jika tidak tempat ini akan menjadi gua kematian mereka.
Dia hanya perlu menekan tombol redial...
Dengan kain belacu yang dia ambil dari apartemenTurgut, Ana menekankannya pada
luka yang dia lihat dibawah tulang rusuk Yves.
Pendeta tersebut menyeringai dan mengangkat mukanya menatap Anda dengan mata
berkilat-kilat. "Maafkan aku, Ana."
Yeah, kamu sudah bilang. Sekarang ceritakan, mengapa, ada apa di balik semua
kegilaan ini?" "Apa yang ingin kau dengar dariku" Apa bedanya, jika kita berdua akan mati?"
"Aku ingin tahu mengapa aku akan mati. Kau seorang kesatria Templar, seperti
kawan-kawanmu itu." "Ya, kami adalah kesatria Templar."
"Dan siapa yang lain itu, orang-orang yang mirip orang Turki, orang-orang yang
bersama si penjaga pintu itu?"
"Orang-orang kiriman Addaio."
"Siapa itu Addaio?"
"Sang pimpinan, Pastor Perkumpulan Kafan. Mereka menginginkannya... "
"Menginginkan kafan suci?"
"Ya." "Ingin mencurinya?"
"Mereka pikir kafan itu milik mereka. Yesus mengirimkannya kepada mereka."
Ana mengira dia mengigau. Dia mendekatkan cahaya ke wajahnya dan bisa melihat
seulas senyum di bibirnya.
"Tidak, aku tidak gila. Pada abad pertama masehi, ada seorang raja bernama
Edessa, Raja Abgar. Dia menderita lepra, tetapi dia bisa sembuh dengan kafan
yang dipakai untuk penguburan Yesus. Begitulah menurut legenda. Dan itulah yang
diyakini keturunan masyarakat Kristen pertama itu, masyarakat Kristen yang hidup
rukun di Edessa. Mereka yakin seseorang membawa kafan tersebut ke Edessa dan
ketika Abgar membungkus dirinya dalam kafan itu dia sembuh."
"Tetapi siapakah yang membawanya?"
"Salah seorang murid Yesus, menurut tradisi."
"Tetapi kafan itu sudah melewati perjalanan jauh sejak saat itu, kafan tersebut
meninggalkan Edessa beratus-ratus tahun yang lalu."
"Ya, tetapi sejak kafan itu dicuri dari orang-orang Kristen di Edessa oleh
pasukan kaisar Bizantium..."
"Romanus Lecapenus."
"Ya, Romanus Lecapenus, mereka bersumpah mereka tidak akan tenang sebelum
berhasil merebut kembali relik tersebut. Masyarakat Kristen di Edessa waktu ini-
sampai sekarang, adalah salah satu masyarakat Kristen tertua didunia, dan mereka
tidak pernah menyia-nyiakan waktu barang sehari untuk mencoba merebut kembali
warisan suci mereka, begitulah menurut mereka, seperti halnya kami yang tak
pernah berhenti mencegah mereka melakukannya. Kafan itu bukan lagi milik mereka,
dan kami terikat sumpah untuk melindunginya bagi kaum beriman."
"Dan orang-orang tak berlidah ini, mereka bagian dari perkumpulan itu?" "Ya,
mereka adalah laskar Addaio, orang-orang muda yang beranggapan mengorbankan diri
demi merebut kembali kafan suci adalah sebuah kehormatan. Mereka merelakan lidah
mereka dipotong sehingga mereka tidak bisa bicara jika mereka tertangkap
polisi." "Itu mengerikan!"
"Mereka yakin itulah yang dilakukan para leluhur mereka, untuk melindungi kafan
di masa mereka. Mereka telah mengejarnya selama berabad-abad, dan kami selalu
ada untuk menghentikan mereka. Lucu, kami bisa menumpas mereka dalam semalam,
tetapi kami belum pernah melakukannya ... Mereka juga orang Kristen yang taat
dengan cara mereka sendiri, dan kami sendiri sangat tahu jahatnya penganiayaan
semacam itu ... dan kini takdir telah mempertemukan kami." Kepala De Charny
serasa berputar-putar dan dia nyaris tidak bisa melihat wajah Ana dalam
kegelapan. Dia menghela nafas kesakitan dan melanjutkan. "Marco Valoni benar. Api itu,
kecelakaan-kecelakaan di katedral itu, semua digelar...
sebagian besar oleh perkumpulan itu untuk menyebabkan kebingungan ketika mereka
mengejar kafan itu, terkadang kami yang membuatnya untuk menarik perhatian pihak
berwenang sebelum mereka berhasil melakukannya. Kami selalu bisa menghentikan
mereka, tetapi kami juga mencoba melindungi mereka. Kini mereka sudah tahu
terlalu banyak tentang kami... "
Ana sudah menyangga ponselnya di sebelah Padre Yves. Dia tidak tahu apakah Sofia
sudah menjawabnya, apakah seseorang mendengarkan kata-kata mereka. Dia tidak
tahu apa-apa. Tetapi dia harus mencoba, dia tidak bisa membiarkan kebenaran mati
bersamanya. "Apa yang harus dilakukan kesatria Templar dengan kafan ini dan perkumpulan
ini?" desaknya kepada Padre Yves. "Mengapa kau begitu peduli dengannya?"
"Kami membelinya dari kaisar Balduino, kafan itu milik kami.
Banyak di antara saudara-saudara kami... banyak... yang meninggal untuk
melindunginya." "Tetapi kafan itu palsu! Kau tahu bahwa perunutan dengan karbon ke-14
menunjukkan bahwa kain tersebut berasal dari abad ke-13 atau ke-14."
"Para ilmuwan itu benar, kain itu persisnya berasal dari abad ke-13.
Tetapi bagaimana dengan butir serbuk yang menempel di kain itu, butir yang
persis sama dengan yang ditemukan dalam lapisan berumur dua ribu tahun di
kawasan Danau Genezaret" Darah itu juga asli, berasal dari pembuluh darah halus
dari pembuluh nadi. Oh, dan kain itu, kain itu berasal dari Negeri Timur, dan di
situ para ilmuwan telah menemukan bekas-bekas albumin darah di sekitar garis
tepi bekas Yesus terkena cambukan."
"Jadi bagaimana kau menjelaskannya?"
"Kau tahu jawabannya, atau hampir menemukannya. Kau pergi ke Prancis, kau pergi
ke Lirey." "Bagaimana kautahu itu?"
"Ana, kau pikir ada tindakanmu yang tidak kami ketahui" Adakah tindakan kalian
yang tidak kami ketahui" Kami tahu semuanya, segalanya. Kau benar, aku adalah
keturunan adik Geoffroy de Charney, preseptor terakhir Biara Normandia.
Keluargaku telah memberikan banyak putranya kepada Ordo."
Ana terkesima. Yves de Charny telah membuat pengakuan yang sensasional,
pengakuan yang mungkin sekali ikut terpendam bersama mereka di kuburan batu itu.
Tetapi entah dia bisa menerbitkannya atau tidak, pada saat itu dia merasakan
rasa bangganya meningkat karena tahu bahwa dia telah berhasil mengurai jalinan
misteri itu. "Lanjutkan." "Tidak... Tidak, aku tidak akan melakukannya."
Ana merasakan aliran kekuatan dan mengatakan dengan yakin ketika dia menggenggam
tangan pendeta itu, seolah-olah orang lain sedang berbicara kepada kesatria
Templar itu melalui dirinya. "De Charny, kau akan berdiri di hadapan Tuhan.
Lakukanlah dengan kesadaran penuh; akuilah dosa-dosamu, bawalah cahaya yang akan
menerangi kegelapan yang telah kau tinggalkan, segala misteri yang telah memakan
banyak korban." "Mengaku" Kepada siapa?"
"Kepadaku. Aku bisa membantumu meringankan nuranimu dan memahami kematianku
sendiri. Jika kau percaya kepada Tuhan, Dia akan mendengarkan."
"Tuhan tidak perlu mendengar untuk tahu apa yang ada di hati manusia. Apakah kau
percaya kepada-Nya?"
"Aku tidak yakin. Kuharap Dia ada."
Padre Yves tidak berkomentar. Kemudian , sambil menyeringai dia menghapus bulir-
bulir keringat dari dahi-nya dan meremas lengan Ana.
"Francois de Charney, yang namanya saat itu dieja dengan huruf e, sebagaimana
telah kau temukan, adalah seorang kesatria Templar yang lama hidup di Timur,
sejak dia masih muda. Aku tidak perlu menceritakan kepadamu seluruh petualangan
yang ditempuh leluhurku ini, hanya saja, beberapa hari sebelum jatuhnya Saint-
Jean d'Acre di Tanah Suci, Imam Besar Biara memberinya tugas menjaga kafan yang
dijaga di benteng bersama dengan harta karun biara yang lainnya.
"Leluhurku membungkus kafan itu dengan selembar kain yang sangat mirip dengan
kafan itu sendiri, dan dia kembali ke Prancis sambil membawanya sebagaimana yang
diperintahkan kepadanya. Yang mengejutkan dia dan imamnya di Biara Marseilles,
ketika mereka membuka kafan yang asli, mereka mendapati bahwa kain yangdipakai
untuk membungkusnya juga bergambar sosok Kristus. Mungkin ada, sebut saja,
penjelasan 'kimiawi' untuk ini, atau kita bisa yakin bahwa yang terjadi adalah
mukjizat, yang jelas, sejak saat itu ada dua kafan suci, dengan gambar Kristus
asli pada keduanya."
"Ya Tuhan!" Ana menghela nafas. "Hal itu menjelaskan.."
"Itu menjelaskan mengapa para ilmuwan benar ketika mereka bilang bahwa kain di
katedral Turin berasal dari abad ke-13 atau ke-14-meskipun mereka tidak bisa
mengerti adanya butir-butir serbuk sari atau sisa-sisa darah itu, tetapi ini
juga berarti bahwa mereka yang yakin bahwa kafan itu memiliki gambar asli
Kristus juga benar. Kafan itu suci; ia memiliki residu, 'sisa-sisa,' jika kamu
tidak keberatan, dari penderitaan Yesus dan gambarnya seperti itulah rupa
Kristus, Ana; itulah rupanya yang sebenarnya. Dan itulah mukjizat yang
dianugerahkanTuhan kepada Rumah Charney, meskipun selanjutnya cabang keluarga
yang lain mengambil relik kami- sejarahmencatat ini, dan menjualnya ke Balai
Savoy. Dan ini kamu tahu rahasia Kafan Suci. Hanya segelintir orang pilihan di
seluruh dunia ini yang mengetahui kebenaran tersebut. Inilah penjelasan dari
yang tak terjelaskan, dari mukjizat itu, Ana, karena kafan itu adalah mukjizat."
"Tetapi kau bilang ada dua kafan: yang asli, yang dibawa dari Kaisar Balduino,
dan satunya lagi, yang ini, maksudku yang di katedral itu, yang terkadang
seperti negatif foto dari yang asli. Di mana yang asli itu" Ceritakan."
"Di mana apanya?" suara kesatria Templar itu semakin lemah, kebanyakan sisa
tenaganya habis untuk menceritakan kisah luar biasa itu.
"Tidak, yang ini juga asli."
"Ya, tapi di mana yang lain lagi, yang pertama?" teriak Ana.
"Bahkan aku, seorang de Charny. tidak mengetahui-nya, Jacques de Molay
mengirimkannya untuk disembunyikan. Ini adalah rahasia yang hanya diketahui
sedikit orang. Hanya Imam Besar dan enam imam lainnya yangtahu lokasinya
sekarang." "Mungkinkah ada di kastil McCall di Skotlandia."
"Aku tidak tahu. Sumpah."
"Tetapi kau benar-benar tahu bahwa McCall adalah Imam Besar, dan Umberto
D'Alaqua, Paul Bolard, Armando de Quiroz, Geoffroy Mountbatten, Kardinal Visier
" "Ana, kumohon diamlah... aku kesakitan sekali... aku sekarat."
Tetapi Ana tidak mau, tidak bisa, berhenti. "Mereka adalah para imam Biara,
bukan begitu, Yves" Oleh karena itu, kan, mereka tidak pernah menikah atau
terlibat dalam kegiatan-kegiatan lain manusia dengan uang dan kekuasaan sebanyak
yang mereka punya. Mereka tetap tidak mau tersorot, menghindari publisitas.
Elisabeth benar." "Lady McKenny adalah perempuan yang sangat cerdas, seperti kau, seperti
Dottoressa Galloni."
"Kalian adalah orang-orang sekte! Sebuah sekte yang berbahaya, mematikan."
"Tidak, Ana, tidak. Memang benar kami menggunakan tindakan keras... tetapi hanya
ketika benar-benar diperlukan. Tindakan-tindakan yang terkadang kami, aku,
pertanyakan. Tetapi kau musti tahu sisi baiknya. Biara tetap bertahan karena
tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadanya salah. Philippe dari Prancis dan Paus
Clement tahu itu tetapi mereka ingin harta karun kami untuk mereka sendiri. Dan
selain emas, Raja ingin juga memiliki kafan itu. Dia mengira jika dia bisa
mendapatkannya, dia akan menjadi penguasa paling kuat di Eropa. Ana, aku
bersumpah bahwa selama berabad-abad, kami para kesatria Templar telah berpihak
kepada kebaikan. Kami turut berperan dalam banyak kejadian
fundamental, Revolusi Prancis, kekaisaran Napoleon, kemerdekaan Yunani, dan perlawanan Prancis selama Perang Dunia Kedua. Kami telah
membantu menggulirkan proses-proses demokrasi di seluruh dunia-"
Ana menggelengkan kepalanya. "Biara hidup di bawah bayang-bayang, dan tidak ada
demokrasi di bawah bayang-bayang. Para pimpinannya adalah orang-orang kaya luar
biasa, dan tidak ada yang menjadi kaya tanpa membayar biaya moralnya."
"Mereka itu kaya, tetapi kekayaan itu bukanlah milik mereka, kekayaan itu milik
Biara. Mereka mengurusnya, mengelolanya, meskipun benar juga bahwa kepandaian
mereka sendiri membuat mereka kaya dari usaha mereka sendiri, tetapi ketika
mereka meninggal, segala yang mereka milik akan menjadi milik Ordo."
"Menjadi milik Ordo?"
"Menjadi milik Yayasan... di pusat keuangan Biara, pusat seluruh identigas dan
perbuatan kami. Kami ada dimana-mana... kami ada di mana-mana," Padre Yves
mengulangnya, suaranya kini lebih lirih dari bisikan.
"Bahkan di Vatikan."
"Semoga Tuhan mengampuniku." Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Yves de
Charny. Ana menjerit ketakutan ketika dia menyadari bahwa dia sudah mati, dengan
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata menatap kosong pada ketidak terbatasan. Ana menutup kedua mata itu dengan
telapak tangannya dan mulai menangis, dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri
berapa lama lagi dia juga akan mati. Mungkin berhari-hari, dan yang terburuk
bukanlah matinya, tetapi bahwasanya dia tahu akan terkubur hidup-hidup. Dia
mendekatkan telepon itu ke bibirnya.
"Sofia" Sofia, tolong aku!"
Telepon itu mati. Tidak ada jawaban dari sana.
"Ana, Ana! Bertahanlah! Kami akan mengeluarkanmu!"
Sambungan tersebut baru terputus beberapa detik sebelumnya.
Baterai di ponsel Ana mungkin habis. Sofia telah mendengar tembakan senjata di
terowongan itu lewat waiki-taikie, kemudian Marco dan carabinieri berteriak
bahwa terowongan itu akan runtuh. Sofia tidak menunda barang sedetik pun, dia
berlari ke jalan. Tetapi dia belum mencapai undak-undak tangga ketika ponselnya
mulai berdering; dia pikir itu Marco. Dia tercengang ketika dia mendengar suara
Ana Jimenez dan Padre Yves. Dengan telepon tergenggam keras di kupingnya agar
tidak melewatkan sepatah kata pun, dia berdiri tak bergerak sedikitpun, nyaris
tidak mengetahui orang-orang yang berlalu lalang melintasinya, yang berpacu
untuk menyelamatkan teman-teman mereka yang terjebak di terowongan itu.
Minerva mendapati dia sedang menangis dengan ponsel di tangannya. Dia merangkul
Sofia dan menggoyangnya lembut. "Sofia, ayolah! Ada apa" Tenanglah!"
Sofia pun sangat sulit dipahami, hanya mampu melontarkan sedikit dari yang
didengarnya. Minerva menuntunnya keluar. "Ayo kita ke pekuburan, kita tidak bisa berbuat apa-
apa di sini." Dia tidak melihat adanya mobil dinas di sana. Kedua perempuan itu melambai pada
taksi yang lewat. Airmata terus mengalir di wajah Sofia saat teriakan Ana
memasuki pikirannya. Taksi berhenti karena lampu merah. Baru pada saat mulai lagi, si sopir
berteriak. Mereka mengangkat muka dan melihat truk besar ke arah mereka.
Tabrakan keras itu memecahkan kesunyian malam.
54 Addaio menangis tanpa suara.
Dia mengunci diri di kamarnya dan tak membiarkan siapa pun masuk, bahkan Guner.
Dia telah terkunci di situ selama lebih dari sepuluh jam, duduk, berjalan
mondar-mandir, memandang ke angkasa, membiarkan dirinya tersapu gelombang emosi
yang saling bertentangan.
Dia telah gagal, dan banyak anak buahnya tewas karena sikapnya yang keras
kepala. Di koran tidak ada berita tentang yang telah terjadi, hanya kabar
runtuhnya terowongan di bawah kota Turin dan bahwa sejumlah pekerja telah
terbunuh, di antara mereka ada beberapa orang Turki. Mendib, Turgut, Ismet, dan
saudara-saudara yang lain telah terkubur hidup-hidup di bawah puing-puing itu,
tubuh mereka tidak akan bisa dipulangkan. Dia harus menanggung tatapan mata
kasar dari ibu Mendib dan Ismet. Mereka tidak memaafkannya; mereka tidak akan
pernah memaafkannya. Begitu juga dengan ibu-ibu para pemuda yang telah dia minta
untuk mengorbankan diri mereka dalam misi mulia nan mustahil itu.
Tuhan tidak berpihak kepadanya. Kini perkumpulan harus menghentikan usahanya
karena tidak pernah berhasil merebut kembali kain pembungkus Kristus, karena
itulah kehendak Tuhan. Addaio tidak habis pikir bahwa begitu banyaknya kegagalan
hanya merupakan ujian bahwa tujuan Tuhan menempatkan mereka dalam kondisi
seperti itu adalah untuk membuktikan kekuatan mereka.
Mungkin keikhlasan terhadap kehendak Tuhan inilah pelajaran yang bisa dipetik
dari kafan itu, pelajaran yang harus selalu mereka pahami.
Addaio terlambat mempelajarinya. Dia bertanya-tanya apakah musuh-musuh
bebuyutannya, mereka yang menjaga kafan tersebut dengan begitu kukuhnya, suatu
hari mungkin juga akan memahami pelajaran serupa.
Dia selesai menuliskan surat wasiatnya. Dengan mengesampingkan perintah-
perintahnya yang terdahulu, dia meninggalkan instruksi mendetail tentang orang
yang harus menjadi penerusnya, seorang lelaki baik berhati bersih, tanpa ambisi,
dan yang juga mencintai kehidupan, berbeda dengan Addaio yang tidak mencintai
kehidupan. Guner akan menjadi pimpinan mereka, pastor mereka. Dia melipat surat
tersebut dan menyegelnya. Surat itu ditujukan kepada kedelapan pastor di
perkumpulan; merekalah yang akan melihat bahwa keinginan-keinginan terakhirnya
dijalankan dengan baik. Dia tidak akan diingkari, dia tahu: Pastor kelompok itu
memilih pimpinan selanjutnya. Dan begitulah yang telah terjadi selama berabad-
abad, dan akan selalu begitulah yang terjadi.
Dia mengeluarkan sebotol pil yang dia simpan di laci mejanya dan menelannya
semua. Kemudian dia duduk dikursi berpunggung dan membiarkan dirinya dikuasai
kantuk. Keabadian telah menanti. 55 1314 Masehi Beltran de Santillana telah melipat Kafan Suci dengan hati-hati dan menaruhnya
di sebuah tas selempang yang tak pernah lepas dari pandangannya.
Dia menunggu air pasang sebelum naik ke perahu yang ada di sungai itu, sehingga
dia bisa mencapai laut dan kapal yang akan membawanya ke Skotlandia. Dari semua
bangsa di dunia Kristen, Skotlandia adalah satu-satunya tempat yang belum
terjamah, atau tidak akan pernah terjamah, kabar tentang perintah pembubaran
Biara. Raja Skotlandia, Robert Bruce, telah dikucilkan, dan dia tidak
memedulikan Gereja, tidak pula Gereja Skotlandia.
Dengan begitu, tidak ada yang perlu ditakutkan para kesatria Templar dari Robert
Bruce, dan Skotlandia telah menjadi satu-satunya negeri tempat Biara bisa
mempertahankan kekuatannya yang besar.
Jose sa Beiro tahu bahwa untuk memenuhi instruksi terakhir Imam Besar terakhir,
Jacques de Molay yang hebat dan telah dibunuh itu, dia harus mengirim Kafan Suci
itu ke Skotlandia, untuk memastikan keamanan relik tersebut selamanya. Dia telah
mengatur agar Beltran de Santillana pergi membawa harta karun itu ke rumah Biara
di Arbroath, ditemani Joao de Tomar, Wilfred de Payens, dan kesatria-kesatria
lain, yang semuanya telah disumpah untuk melindungi Kafan Suci, dengan taruhan
nyawa jika memang diperlukan.
Imam Castro Marim itu telah memberi de Santillana surat untuk imam Skotlandia
dan juga surat asli yang dikirimkan oleh Jacques de Molay. yang menyatakan
alasan untuk tetap benar-benar merahasiakan bahwa Biara memiliki kafan suci
Yesus tersebut. Imam Skotlandia akan menentukan tempat menyembunyikan relik
tersebut. Dialah yang bertanggung jawab untuk tidak pernah membiarkan kafan itu
jatuh ke tangan orang lain selain para kesatria Templar, dan menjaga kerahasiaan
kepemilikan kafan itu untuk selamanya.
Perahu tersebut menaikkan belokannya dua kali lipat di Guadiana dalam
perjalanannya ke laut, tempat sebuah kapal sudah menunggu.
Para kesatria itu tidak melihat kebelakang; mereka berharap tidak dikuasai emosi
saat meninggalkan Portugal untuk selamanya.
Kapal yang ditumpangi para kesatria tersebut nyaris karam, badai yang mereka
hadapi dalam pelayaran ke Skotlandia tersebut begitu dahsyat. Angin dan
hujanmengombang-ambingkan kapal tersebut seperti kulit kacang, tetapi sejauh itu
mereka tetap bisa menahan badai.
Pada akhirnya, tebing pantai Skotlandia mengatakan ujung pelayaran mereka.
Mereka berjalan melewati bukit-bukit terjal ke Arbroath dan ke gereja.
Para bruder Biara Skotlandia telah mendengarnya dan mereka meningkatkan
kemarahan Paus dan Raja Prancis kepada para kesatria Templar. Di sini mereka dan
saudara-saudara mereka akan aman, berkat hubungan yang biak dengan Robert Bruce,
yang bersamanya mereka berjuang untuk mempertahankan Skotlandia dari musuh-
musuhnya. Setelah sesaat, imam memanggil seluruh biara untuk berkumpul di ruang pertemuan,
bersama-sama dengan para bruder yang telah berlayar dari Portugal. Di sana,
dihadapan semua mata takjub para kesatria yang telah berkumpul itu, dia membuka
lipatan kain suci itu dan membentangkannya. Kafan itu memiliki lukisan serupa
dengan yang mereka puja di kapel khusus di Rumah Induk,wajah dan sosok kristus
yang asli tersebut telah disalin dari relik suci ini agar para kesatria Templar
bisa selalu memiliki gambar Juru Selamat mereka.
Matahari terbit di atas laut ketika para kesatria itu keluar dari balai di mana,
semalam suntuk, mereka berdoa di hadapan wajah tunggal Kristus yang tercetak
pada kafan yang pernah membawa tubuh Kristus dalam lipatannya.
Beltran de Santillana tetap di belakang Imam Templar Skotlandia.
Kedua orang itu berbicara sebentar dan kemudian, setelah hati-hati melipat Kafan
Suci tersebut, dia menyimpan harta karun Templar yang paling berharga itu-
sebuah harta karun yang, dengan bergulirnya abad demi abad dan sebagaimana
diperintahkan oleh Imam Besar terakhir, hanya sedikit kaum terpilih yang
sekarang bisa melihatnya.
Di sinilah kafan tersebut akan tinggal di tengah gereja yang tersucikan, aman
selamanya dari intrik-intrik mereka yang akan berusaha merusak esensi sucinya
untuk tujuan mereka sendiri, atau menggunakannya untuk menebar perselisihan di
antara kerajaan-kerajaan di muka bumi. Mereka yang berusaha untuk mengganggunya
akan melakukannya dengan risiko yang harus mereka tanggung sendiri.
Setidaknya Jacques de Molay bisa beristirahat dengan tenang.
56 Sudah hampir tujuh bulan sejak kecelakaan itu. Dia lumpuh. Mereka sudah empat
kali mengoperasinya, dan satu kakinya kini lebih pendek.
Wajahnya tidak lagi bersinar seperti dulu; wajahnya kini belang-belang karena
luka dan kerut-merut. Baru empat hari yang lalu dia meninggalkan rumah sakit.
Luka-luka di tubuhnya tidak melukainya, tetapi duka, yang menyesakkan dadanya
seperti diikat besi, lebih buruk daripada rasa sakit yang telah dia rasakan
karena kecelakaan tersebut dan dampak buruknya selama bulan-bulan terakhir itu.
Sofia Galloni baru saja meninggalkan rapat di kantor Menteri Dalam Negeri.
Sebelumnya, dia telah pergi kepekuburan untuk meninggalkan bunga di pusara
Minerva dan Pietro. Marco dan dia telah beruntung; mereka selamat. Tentu saja
Marco tidak mungkin bisa bekerja lagi;dia duduk di kursi roda, dan dari waktu ke
waktu dia diserang kepanikan. Dia mengutuk dirinya sendiri karena selamat
sementara banyak anak buahnya telah meninggal di reruntuhan terowongan tersebut,
terowongan yang telah diketahuinya ada. Yah, pada akhirnya dia berhasil
menemukan terowongan itu.
Menteri Kebudayaan telah menghadiri rapat Sofia dengan Menteri Dalam Negeri;
mereka terus berbagi wawasan tentang Divisi Kejahatan Seni. Mereka berdua
meminta Sofia mengambil posisi direktur, dan dia menolaknya dengan sopan. Dia
tahu dirinya telah menumbuhkan keraguan terhadap kedua politikus tersebut dan
dia tahu bahwa sekali lagi hidupnya mungkin terancam bahaya, tetapi dia tidak
ambil pusing. Dia telah mengirimkan sebuah laporan kepada mereka tentang kasus kafan tersebut.
Laporan tersebut berisi laporan terperinci tentang segala yang dia ketahui,
termasuk perbincangan antara Ana dan Padre Yves. Kasus tersebut telah ditutup,
diklasifikasikan sebagai rahasia negara yang tidak pernah lagi diungkapkan
kepada publik, dan Ana tewas di dalam terowongan dibawah Turin itu di samping
kesatria Templar terakhir dari Keluarga de Charney.
Para menteri memberitahunya, dengan sangat ramah, bahwa cerita itu tidak bisa
dipercaya, tidak ada saksi-saksi, tidak ada apa pun, bahkan selembar dokumen
yang mendukung laporannya pun tidak ada. Tentu saja mereka memercayainya, kata
mereka, tetapi apakah tidak mungkin dia yang salah" Mereka sudah mencari-cari
informasi di Paris, tetapi Elisabeth McKenny ataupun suaminya, Paul Bisol, tidak
bisa ditemukan di manapun. Sangat kecil kemungkinannya mereka bisa menuduh
orang-orang seperti Lord McCall, Umberto D'Alaqua, Dr. Bolard terlibat
perkumpulan kriminal tanpa bukti-bukti yang tidak bisa disanggah.
Orang-orang ini adalah pilar keuangan internasional, dan kekayaan mereka
sangatlah penting artinya bagi pembangunan bangsa mereka masing-masing.
Bagaimana bisa menteri menghadap ke Vatikan dan mengatakan kepada Paus bahwa
Kardinal Visier adalah seorang kesatria Templar" Bagaimana mungkin dia menuduh
mereka, mereka tidak melakukan apa-apa, meskipun jika segala yang Sofia katakan
kepada mereka itu benar. Orang-orang ini tidak pernah berkomplot melawan negara,
melawan negara manapun; mereka tidak mencoba merongrong pemerintahan demokrasi;
mereka tidak terlibat dengan Mafia atau organisasi kriminal lainnya; mereka
tidak melakukan apa pun bahkan yang bisa dicela, apalagi dijadikan tuduhan. Dan
lagi, menjadi kesatria Templar bukanlah kejahatan, seandainya pun mereka memang
kesatria Templar. Mereka mencoba meyakinkan Sofia untuk menerima pekerjaan yang ditinggalkan Marco
Valoni. Jika dia tidak mau, pekerjaan itu akan jatuh ke tangan Antonino atau
Giuseppe. Bagaimana menurutnya"
Tetapi dia tidak memikirkannya, dia tahu bahwa salah satu dari mereka, entah si
polisi atau si sejarawan, pengkhianat. Salah satu dari mereka pasti melaporkan
kepada pada kesatria Templar tentang segala yang terjadi di Divisi Kejahatan
Seni. Padre Yves secara tidak langsung menyatakannya : Mereka tahu segalanya
karenamereka punya informan di mana-mana.
Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya untuk mengisi sisa umurnya, tetapi dia
tahu bahwa dia harus menghadapi seorang lelaki, seorang lelaki yang membuatnya
jatuh cinta, tak peduli apa pun yang telah terjadi. Jatuh cinta atau terobsesi"
Dia telah mencoba menjernihkannya selama dia menjalani masa penyembuhan yang
panjang itu, dan dia masih belum yakin.
Kakinya terasa sakit saat dia menginjak pedal gas. Sudah berbulan-bulan dia
tidak mengemudi, tidak sama sekali sejak kecelakaan itu. Dia tahu itu bukan
kecelakaan. Dia tahu mereka telah mencoba membunuhnya, dan D'Alaqua mencoba
menyelamatkannya ketika dia menelponnya untuk pergi bersamanya ke Syria.
Tindakan keras, kata Padre Yves,. hanya jika diperlukan.
Dia tiba di gerbang besi megah yang mengarah kesebuah rumah besar, dan dia
menunggu. Beberapa detik kemudian gerbang itu terbuka.
Dia mengendarai mobilnya naik menuju pintu rumah dan keluar dari mobil.
Umberto D'Alagua sudah menunggunya.
"Sofia..." Dia mengajak Sofia ke kantornya. Dia duduk di belakang meja, menjaga jarak, atau
mungkin melindungi dirinya sendiri dari perempuan berkaki pincang dan berwajah
belang-belang karena bekas luka itu, seorang perempuan yang mata birunya lebih
keras daripada ketika terakhir kali dia melihat mata itu. Meski begitu,
perempuan tersebut masih cantik; namun sekarang kecantikannya adalah kecantikan
yang tragis. "Kurasa kau tahu bahwa aku mengirimkan sebuah laporan mengenai kasus kafan itu
kepada administrasi,"katanya sambil menatap lelaki itu. "Laporan yang didalamnya
kusebutkan bahwa ada sebuah organisasi rahasia terdiri dari orang-orang yang
yakin mereka berdiri lebih tinggi daripada orang lain, pemerintah, perkumpulan
itu sendiri, dan aku meminta agar identitas mereka diberitahukan dan agar mereka
diselidiki. Tetapi kau tahu tak satupun dari hal-hal itu akan terjadi, bahwa
tidak akan ada yang menyelidikimu, bahwa kau tetap akan bisa melakukan
pekerjaanmu dari bayang-bayang."
D'Alaqua tidak menjawab, meskipun tampaknya dia mengangguk, hampir tidak
terlihat. "Aku tahu bahwa kau adalah seorang imam Biara, bahwa kau memandang misimu
sebagai misi spiritual, da nbahwa kau telah bersumpah akan hidup selibat.
Melarat" Tidak, dan yang kulihat, tidak melarat. Sedangkan untuk larangan-
larangan itu, aku tahu bahwa kau mematuhi larangan-larangan yang tidak
merugikanmu, dan larangan-larangan yang menyulitkanmu... Aneh, aku selalu
terkesan oleh orang-orang Gereja tertentu, dan dalam beberapa hal kau termasuk
satu di antara mereka. Beberapa diantara mereka berpikir mereka boleh berbohong,
mencuri, membunuh, tetapi semua itu hanyalah dosa ringan jika dibandingkan
dengan dosa besar... berzina" Jika aku menggunakan kata itu, hal itu tidak
melukai kerasaanmu,kan?"
"Aku sudah mau menjengukmu di rumah sakit, tetap iaku tidak mengira kau akan
datang menemuiku," dia membuka mulutnya. "Aku turut prihatin atas apa yang telah
terjadi kepadamu dan Signor Valoni dan atas hilangnya kawanmu Minerva dan
Pietro... " "Dan bagaimana dengan kematian Ana Jimenez, yang terkubur hidup-hidup itu"
Apakah kau turut prihatin dengannya" Ya, Tuhan, semoga kematian-kematian itu
mengusik nuranimu, hingga kau tak punya sedetik pun kesempatan untuk
beristirahat. Aku tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa seputar dirimu atau
organisasimu. Aku baru saja diberitahu tentang itu, dan mereka mencoba menyuapku
dengan menawarkan kedudukan direktur di Divisi Kejahatan Seni. Sedikit sekali
kalian mengenal umat manusia!"
"Apa yang kau ingin kulakukan" Katakan... "
"Apa yang bisa kaulakukan" Tidak ada-benar-benar tidak ada satu pun yang bisa
kau lakukan, karena kau tidak bisa menghidupkan orang mati, kan" Lalu mungkin
kau bisa beritahu aku apakah aku akan ada dalam daftar orang-orang yang harus
disingkirkan oleh organisasimu, apakah aku masih harus mengalami kecelakaan lalu
lintas sial seperti ini, atau mungkin lift di gedung apartemenku akan jatuh. Aku
ingin tahu, supaya aku bisa memastikan bahwa tidak akan ada orang lain yang
meninggal bersamaku lain kali, seperti Minerva."
"Tidak akan ada yang terjadi kepadamu, kau bisa pegang kata-kataku."
"Dan kau, apa yang akan kau lakukan" Pergi seolah yang telah terjadi itu hanya
Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah kecelakaan, sebuah kecelakaan yang diperlukan?"
"Jika kau ingin tahu, aku sudah pensiun. Aku menyerahkan kekuasaanku sebagai
pengacara kepada orang lain, mengurusi urusan-urusanku sehingga usahaku itu bisa
tetap berjalan tanpa aku."
Sofia merasa gemetar. Dia cinta dan benci pada orang ini secara serentak, dengan
sama besarnya. "Apakah itu artinya kau meninggalkan Biara" Mustahil, kau adalah seorang imam,
satu di antara tujuh orang yang memimpin Biara. Kautahu terlalu banyak, dan
orang-orang sepertimu tidak bisa pergi begitu saja."
"Aku tidak pergi begitu saja. Tidak ada sesuatu atau seorang pun yang
kutinggalkan begitu saja. Aku hanyamenjawab pertanyaanmu. Aku telah memutuskan
untuk pensiun, mengabdikan diriku sendiri untuk belajar, untuk membantu
masyarakat dengan cara yang lain, berbeda dengan cara-caraku membantu mereka
sekarang." "Dan hidup selibatmu?" Sekali lagi, D'Alaqua tidak berkata apa-apa.
Dia tahu bahwa hati Sofia hancur, dan terluka, dan dia tidak bisa menawarkan
apa-apa untuk membantunya. Dia tidak tahu apakah dia mampu melangkah lebih jauh
lagi, merampungkan pelacakan atas apa yang telah lama menjadi esensi hidupnya.
"Sofia, aku juga telah terluka. Ada luka, luka yang menyakitkan, yang tidak bisa
kalian lihat, tetapi luka itu ada. Aku bersumpah turut prihatin atas segala yang
terjadi, yang kau derita, hilangnya kawan-kawanmu, aib yang harus kau tanggung
sekarang. Jika saja aku memang mampu mencegahnya, pasti sudah kulakukan, tetapi
aku bukanlah orang yang bisa menguasai segala keadaan, dan kita hanyalah manusia
yang memiliki kehendak bebas. Kita semua memutuskan apa yang ingin kita lakukan
dalam drama kehidupan kita, kita semua, termasuk Ana."
"Tidak, itu tidak benar. Dia tidak memutuskan untuk mati. Dia tidak ingin mati,
dan begitu pula dengan Minerva atau Pietro atau para carabinieri atau orang-
orang dari perkumpulan itu, atau bahkan orang-orangmu sendiri, kawan-kawan Padre
Yves itu, atau orang-orang lain yang tidak jelas identitasnya yang juga
meninggal dalam baku tembak itu, sementara yang lain selamat. Siapakah para
prajuritmu" Angkatan rahasia Biara" Tidak, tidak apa-apa,aku tahu kau akan
menjawab seperti itu; kau tidak bisa,atau lebih tepat kau menolaknya.
Kau akan menjadi kesatria Templar saat kau hidup, meskipun kau bilang kau sudah
pensiun." "Dan apa yang akan kaulakukan?"
"Apakah kamu masih tertarik?"
"Ya, kautahu aku tertarik. Aku ingin tahu apa yang kau kerjakan nanti, di mana
kau tinggal, di mana aku bisa menemukanmu."
"Aku tahu kamu benar-benar datang ke rumah sakit dan tinggal untuk menjagaku
beberapa malam." "Jawab aku. Apa yang akan kaulakukan?"
"Lisa, saudara Mary Stuart, menemukan tempat untukku di universitas. Aku akan
mengajar, mulai bulanSeptember." Dia tersenyum tipis. "Aku berencana mengajar
mata kuliah sejarah, asal-usul, dan dampak kultural sejumlah benda-benda seni
dari agama tertentu, dan pelajaran-pelajaran lainnya."
"Aku senang," kata Umberto D'Alagua beberapa saatkemudian.
"Mengapa?" "Karena aku tahu kau akan menyukainya dan kau pintar dalam bidang itu."
Mereka saling memandang sesaat, keduanya tidak mengatakan barang sepatah kata.
Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Sofia bangkit dari kursinya, dan Umberto
D'Alaqua menemaninya ke pintu. Dia memegang tangan Sofia dan menciumnya,
menahannya selama beberapa saat sebelum akhirnya dia lepaskan.
Sofia berjalan terpincang-pincang menuruni undak-undak tangga tanpa memandang ke
belakang, tetapi dia merasa mata D'Alaqua terpaku padanya dan tahu bahwa tidak
seorang pun memiliki kuasa atas masa lalu, bahwa masa lalu tidak bisa diubah,
bahwa masa kini adalah bayangan dari diri kita di masa lalu, dan hanya akan ada
jika kita tidak mengambil langkah mundur.
Ucapan Terima Kasih Saya berterima kasih kepada Fernando Escribano, yang menyingkapkan terowongan-
terowongan kota Turin bagi saya, dan yang selalu "bertugas jaga" di saat teman-
temannya membutuhkan. Saya juga berutang terima kasih kepada Gian Maria Nicastro, yang sudah menjadi
pemandu saya dalam mengunjungi rahasia-rahasia Turin, kotanya. Dia sudah menjadi
mata saya di kota ini dan dengan murah hati dan sigap menyediakan setiap
informasi yang saya minta.
Garmen Fernandez de Bias dan David Trias yakin akan novel ini. Terima kasih.
Dan terima kasih juga kepada Olga, suara yang bersahabat di Random House
Mondadori. Tentang Penulis JULIA NAVARRO adalah seorang jurnalis dan analis politik ternama untuk Agencia
OTR/Europa Press, juga seorang koresponden untuk stasiun TV
dan radio serta media cetak terkemuka di Spanyol. Dia berdomisili di Madrid.
Terjemahan Inggris novel keduanya, The Bible of Clay, akan diterbitkan pada
2008. Tentang Penerjemah ANDREW HURLEV terkenal sebagai penerjemah Collected Fictions karya Jorge Luis
Borges dan novel-novel Pentagonia karya Reinaldo Arena, selain juga banyak
terjemahannya atas karya-karya sastra, kritik, sejarah, dan memoar. Dia tinggal
dan bekerja di San Juan, PuertoRico.
Pertentangan Dua Datuk 3 Jodoh Rajawali 07 Mempelai Liang Kubur Rahasia Istana Terlarang 8