Pencarian

Pembawa Kabar Dari 4

Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem Bagian 4


ketaatan para rakyat sebagaimana yang diimpikan para petualang ambisius.
Dalam gelimang kemewahan, Aisyah melupakan masa lalunya yang penuh penderitaan,
kesengsaraan, dan pengusiran. Ia lupa saat diusir dari Cordova sendirian
ditemani angin badai dan topan. Ia menyusuri jalan penuh terjal dan berliku dengan sengatan terik
matahari. Ia lupa gereja yang telah menyambutnya dengan penuh kasih sayang.
Di sana hanya ada kasih sayang namun tak ada kebajikan. Aisyah melupakan semua
itu. Namun, ia tidak mampu melupakan dua orang yang telah mengengsarakan dirinya:
Ibnu Zaidun dan Ibnu Jahwar, atau Ibnu Jahwar dan Ibnu Zaidun! Dia tidak dapat memisahkan
keduanya. Baginya, dua orang itu sama saja ingin menjerumuskan dirinya dengan penuh rasa
dengki, dendam, dan keinginan untuk melawannya.
Ibnu Zaidun harus tunduk padanya sebagaimana seorang budak. Dia mesti
menikahinya meski tidak mau. Ia akan mengasingkan Wilada, perempuan manja yang kerap menipu orang-
orang dengan kecantikannya, mengelabuinya dengan keramah-tamahan, dan keturunannya
selalu dikaitkan dengan darah khalifah.
Menurutnya, Ibnu Jahwar adalah lelaki jelek dan penipu. Memaksa memimpin walau
dia tidak menyukai pemerintahan. Dia telah menyelewengkan kekuasaan. Dialah lelaki yang
aib dan cacatnya cukup telanjang sehingga dapat menelantarkannya dari muka bumi. Seolah-
olah negaranya yang hilang itu menjadi penyebab kehancurannya sehingga ia meminta
bantuan pada raja asing yang tak lain seorang perempuan lemah yang tidak memiliki kekuatan!
Aisyah tidak melupakan dua hal ini. Saat ia melihat peluang untuk menyerang,
cerahlah pikirannya dan bersinarlah kedua matanya gembira. Tidak tampak padanya selain
bersitan hati yang berbisik pada dirinya sendiri, "Besok, Ibnu Jahwar akan tahu bahwa api yang
menyulut ketelanjangan aibku akan mengguncangkan negaranya. Besok juga Ibnu
Zaidun akan tahu tangannya yang terulur lembut akan berganti badai yang menyeretnya ke Neraka
Jahim. Selain itu, ia akan mengemis pertolongan dengan tunduk dan merendah
hina." 0==0 11 Pagi itu lagi berseri tatkala Aisyah mulai bersiap-siap untuk perjalanan
panjangnya. Benarkah pagi itu berseri" Bila pun ia cerah berseri, ia hanya mengelabui orang-orang
yang bodoh dan kerap menipu sesamanya. Suasana pagi itu hanya tersenyum membangunkan orang-
orang dari tidurnya. Mereka tidak berpikir indahnya siang yang bersinar, bunga-bunga yang
tersenyum, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
burung-burung yang berkicau, dan angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan dedahanan
pohon- pohon. Mereka tidak beranjak pergi sedikit pun untuk menikmati anugerah yang diberikan
Allah. Ia merasakan kebajikan tak lebih bayangan dusta yang tidak menetap. Keutamaan
hanyalah legenda yang ditulis para filosof yang tidak mengerti. Mereka bangun dari tidurnya di
pagi hari dalam pelukan bantal bersama kedengkian yang menyertai mimpi.
Bayangan-bayangan iblis menyertai benak mereka setelah lelah menipu dan bencana.
Hewan- hewan yang bertaring menjadi senjata untuk mempertahankan dirinya dan memelihara
kelestariannya. Sesekali tampak giginya, racunnya, cara-cara melarikan diri, dan
cara memikul beban. Dia tidak menggunakan senjata selain untuk membela diri di saat lapar.
Kebanyakan orang menggunakan kecerdikan sebagai senjata yang racunnya lebih
berbahaya dari bisa ular dan lebih kuat dari gigitan singa. Mereka menggunakan senjata
ini, memperalat, dan memperdayai sesama manusia maupun binatang dengan keji.
Mereka tidak menghendaki apa pun selain pemuas syahwat yang memenuhi hati.
Mereka berkata, "Impian akan terwujud dan kasih sayang akan tergenggam." Toleransi itu
adalah memaksa. Mereka mengira dusta hanyalah kepintaran, tipuan adalah
kemahiran dan politik. Dalam perangkap ada kejeniusan dan dalam fitnah ada kecerdikan.
Mereka telah menipu diri sendiri. Mereka menipu diri sendiri hanya demi
menghindari kejahatan. Kejahatan dibalas dengan kejahatan. Mereka memperoleh hak mereka,
namun tidak memperoleh hak itu selain dengan cara yang batil. Mereka berlomba-lomba merebut
kehidupan dan saling berkelahi demi mencapai kedudukan yang diinginkan.
Mereka selamanya berada sebagai petarung maupun lawan, perampok dan yang
dirampok, pendengki dan yang didengki, yang berhasil dan yang gagal. Karena itu semua,
pagi bermuka masam pada mereka. Mengejek kepandaian mereka. Oleh karena itu, para filosof
yang muak sering berdendang: Serigala melolong maka jinaklah
serigala saat melolong Suara manusia nyaris terbang
Sebelumnya para pemberi kabar bersenandung:
Siapa yang mengenal hari-hari pengetahuanku dengannya
Dan dengan orang-orang, terlempar tombaknya tanpa rasa iba
Aisyah siap untuk berangkat. Tiga kuda perkasa dan enam kuda terbaru telah
menunggunya di pintu gerbang. Para tentara itu memberi hormat. Ia lalu diserahi kuda merah
kekuning-kuningan seolah-olah belahan rasa rindu. Ia gigih selama dalam perjalanan. Hampir saja
mereka terperangkap dalam kegelapan fajar seolah mereka tengah menghadapi kepastian
ajal. Bukit-bukit pegunungan membuatnya surut langkah. Di belakangnya bertumpuk gua-
gua. Mereka menaiki bukit-bukit tinggi dan menuruni jurang hingga malam tiba. Mereka
lalu meminta agar ia berlindung di tengah-tengah senjata dan sekeliling mereka untuk berjaga-
jaga. Seolah-olah mereka terjaga padahal tengah tertidur. Begitulah hari-hari
berlalu. Cahaya dan kegelapan silih berganti hingga mereka sampai di pinggiran
Cordova pada hari yang terik.
Aisyah turun dari kudanya. Ia memerintahkan untuk membangun tenda. Tidak lama
kemudian muncullah bayangan dari arah yang tak pasti hingga membuat kaget para pengawal.
Ia kemudian masuk ke dalam kemah untuk mencari Aisyah yang beberapa saat itu tinggal bersama
mereka. Aisyah tampak seperti seorang perempuan desa yang membawa tempayan tua yang
telah usang di atas kepalanya. Tatkala ia melihat kebingungan yang tampak pada
pengawalnya, ia hanya tersenyum seraya berkata, "Kita mesti menyamar agar terhindar dari bahaya
di negeri musuh." Kepala pengawal menjawab dengan lantang, "Hampir saja aku menebaskan pedangku.
Tuan Putri. Aku memohon petunjukmu apa yang mesti kami perbuat terhadapnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya sedih, "Tidak, aku tidak akan tewas di
tangan orang Spanyol!"
"Kami semua adalah pembelamu. Tuan Putri!"
"Semoga kegadisan terberkahi. Kembalillah kalian ke Qistalla dan tinggakanlah
aku. Aku akan menggencarkan perang yang tidak kalian ketahui. Tipu daya bagiku
adalah senjata yang lebih
ampuh dari senjata kalian. Kita semua adalah patriot bangsa pembela panji bangsa
Spanyol guna mempersiapkan kekuasaan dan kerajaan. Senjata kita berbeda. Bisa diperoleh
dengan kecerdikan apa yang tidak bisa ditembus pedang tajam. Wahai para patriot, aku adalah
tentara cerdas yang akan memberi strategi mencapai cita-cita kalian dan menebarkan fitnah. Jika
kalian datang setelah aku, cukup bagimu berkeliling dalam keadaan negara ini di
bawah telapak kakimu. Pergilah kalian!
Kita akan bersua kembali di Cordova dengan nyanyian kemenangan dan kemerdekaan."
Aisyah kemudian pergi menuju kota dengan berjalan hati-hati seperti rayap yang
mendaki jalan terjal yang sangat panjang.
Aisyah tiba di Cordova dengan membawa tempayan. Baru saja ia tiba di kampung
'Madoria', ia melihat kegaduhan dan suara rebut. Ia menyaksikan orang-orang berlomba-lomba di
medan perang seolah peristiwa agung atau petunjukan indah yang memikat hati. Ia
mendekati lelaki berwajah tua dan berpakaian seperti ulama. Tergores pasti kemuraman pada
wajahnya. Aisyah lalu bertanya kepadanya dengan dialek orang desa yang cukup sederhana,
"Apa yang tengah terjadi. Tuan?"
Sang tua renta itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya kecewa dan sedih seraya
berkata, "Anakku, kami senantiasa gelisah tanpa ujung. Cobaan yang tidak mampu memadamkan
gejolak apinya. Setiap hari ada pemberontakan, ada mata-mata, dan ada pencuri yang
merampok. Sementara si penyamar dan penebar fitnah gila-gilaan melebihi batas sehingga
melampaui wewenang para malaikat di langit. Celakalah Cordova oleh generasinya sendiri!
Celakalah para musuh! Inilah murka Allah pada manusia. Tuhan menyiksa desa yang zhalim ketika
banyak para pendurhaka menzhalimi penduduknya."
Aisyah berdiri dan berkata, "Apakah kabar Islam baik-baik saja, Tuan?"
"Kabar Islam baik-baik saja. Nak. Akan tetapi pemeluknya tidak sehat.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mau mengubahnya sendiri."
"Tetapi apa penyebab kekacauan dan keributan ini. Tuan?"
"Ini ulah Ibnu Al Murtadha. Dia adalah sisa keturunan Al Nashir. Ia kembali ke
Cordova sembunyi-sembunyi. Ia menoleh di sekelilingnya terbuka peluang jalan pada
kekhalifahan. Ia melihat kekayaan menanti sehingga ia sangat berani. Ia mengirimkan beberapa
intel ke istana Ibnu Jahwar. Gubernur kota lalu menangkapnya dengan mengutus polisi dan para
pengawalnya ke rumahnya di Desa Burg. Dia sekarang dibawa ke kepala pemerintahan dengan
dirantai. Dengan kata lain, ia digiring pada ajalnya dengan dirantai. Bagiku, keduanya
sama saja." Aisyah sontak kaget mendengar berita naas itu seolah petir yang menyambar atau
seperti badai yang membuatnya terapung di antara langit dan bumi. Ia berdiri sembari
tidak sadar di mana ia berpijak. Hatinya guncang. Tempayannya terjatuh. Meleleh
air dari selaput matamya.
Si lelaki tua itu melihatnya dengan penuh kaget kepadanya seraya bertanya dengan
lembut, "Apa yang telah terjadi, Nak?"
"Sakitlah aku, Tuan. Kami tidak ingin senantiasa berada dalam kekacauan dan
keributan." "Rakyat Cordova tidak menyukai hukum dan pemimpinnya. Ia adalah sumber penyakit
dan kejahatan. Aku khawatir ada musuh yang datang tiba-tiba pada umat Islam, namun
lebih khawatir lagi akan kepribadian mereka. Pergilah ke desamu anakku. Hiduplah engkau dengan
tenteram bersama keluargamu. Engkau tidak akan menyaksikan kota ini selain pertentangan
dan pertikaian." Aisyah pulang dengan sangat kecewa. Langkahnya menggambarkan dirinya yang tengah
dilanda keresahan. Menggambarkan pikiran yang bimbang dan lunglai. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya luluh seraya berkata, "Ini adalah bait pertama sebuah syair. Semuanya
kesedihan, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ratapan dan tangisan. Ini langkah pertama kakiku dalam melawan musuh-musuhku.
Semuanya hanyalah kehancuran. Inikah balasan selama sebulan penuh sampai ke Cordova yang
disertai keletihan dan jalan yang terjal sepanjang perjalanan" Hari ini, Ibnu Jahwar
berhasil meringkus Ibnu Al Murtadha. Berakhirlah sudah dan hancurlah semua
rencana. Yang tersisa hanyalah
dendamku akan singgasana kerajaannya juga Raja Qistalla. Wahai sang penipu!
Wahai pendurhaka! Seolah-olah kekuasaan menanti dikuasai Ibnu Al Murtadha. Bahkan,
kami merencanakan untuk menyiksanya dengan terikat agar kami bisa meninggalkannya
sebagai pesaing yang bingung. Rencana itu telah terbukti. Angan-angan itu berjalan
mulus. Seolah-olah tujuan telah terwujud. Tapi, siapakah yang mampu bernyanyi di balik ketiadaan"
Tangan siapa yang mampu melawan kekuasan?"
Ia tersenyum kecut seraya bergumam, "Kekuasaan" Ini adalah simbol ketundukan
orang-orang lemah. Raihlah, wahai Aisyah! Bagi orang pintar, jika tidak bisa melumpuhkan
kekuasaan maka ia mampu untuk berangan-angan tentang jalannya kekuasaaan dan
mengembalikan semuanya seperti semula." Ia kemudian pergi menuju rumah Ramirez. Saat pertama kali Rarnirez melihatnya,
ia nyaris menolak kehadirannya. Saat ia memperkenalkan diri, Rarnirez segera menghampiri
dan memeluknya dengan penuh kasih dan sayang seraya berkata dengan suara tertahan,
"Kenapa kau semrawut begini, Aisyah?"
"Namaku Rozali."
"Rozali. Selamat datang, Rozali. Berjayalah Spanyol seperti keadaanmu. Kenapa


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau kembali ke Cordova sementara musuh-musuhmu di sini jumlahnya tidak
terbilang?" "Rozali tidak mempunyai musuh. Aisyah binti Galib telah mati dan tak akan
bangkit kembali. Kejeniusan Aisyah tidak akan terungkap setelah ditutup oleh Rozali dengan cadar
penyamaran yang lebih samar. Apakah engkau telah mendengar berita baru yang menyesakkan?"
Ramirez membelalakkan matanya dengan gemetar seraya berkata pelan, "Berita
mengenai apa?" "Ibnu Jahwar menangkap Ibnu Al Murtadha."
Ramirez pun tertawa terbahak-bahak dan berkata lantang, "Sungguh aku khawatir,
Rozali. Kenapa sedih dan berputus asa dengan kejadian ini" Akulah yang telah melaporkan
dan memberitahukan tempat persembunyiannya pada Ibnu Jahwar."
Aisyah pun berteriak, "Kau! Wahai tolol, bodoh, dan dungu!" Ia mengulurkan
tangannya pada leher Ramirez hendak mencekiknya saking kaget dan marah.
Rarnirez kaget seraya bertanya bingung, "Ada apa denganmu" Aku kini telah
bergabung dengan pemerintahan kekhalifahan. Suatu cita-cita puncak yang selama ini kita
usahakan dan rencanakan. Tahta kerajaan tidak akan kembali lagi kepada kita. Bendera Spanyol
tidak akan lagi berkibar di negara jajahan yang begitu kuat kecuali kita
membunuh mereka satu per satu. Yang
satu dengan tipu daya dan yang lainnya di medan peperangan. Aku mendengar raja
Qistalla berkata, 'Kita akan menghancurkan bangunan bangsa ini batu demi batu. Apakah dia
ingin selain pejabat-pejabatnya itu menyerah satu per satu?"
"Kau mendengar dia berkata seperti itu?"
"Ya, aku mendengarnya. Aku memberitahu orang-orang dengan apa yang ia inginkan."
"Duduklah. Semoga Tuhan membunuh orang-orang bodoh dan para penipu! Tahukah kau
wahai yang menyelewengkan kepintarannya, ulahmu itu tidak akan merobohkan
temboknya. Tersisakah tahun demi tahun terus terjaga?"
Ramirez berseri dan berkata lembut, "Apa maksudnya, Rozali?"
"Tuan Raja semula berangan-angan jika Ibnu Al Murtadha itu mengalahkan Ibnu
Jahwar, ia lalu akan menduduki singgasana Cordova dengan kekuatan tentara dan
senjatanya. Ia akan menggunakannya dalam menyerang negara-negara yang lainnya. Ia akan menjadikan
kekuasaannya untuk memburu negara-negara Arab Raya yang lain. Surat yang aku
bawa dari Qistalla ke Cordova tiada lain untuk memberitahukan rencana ini. Apakah kau
mengerti, wahai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akal udang" Tahukah kau bahwa kecerdikamu itu telah menghilangkan kesempatan
baik bagi Spanyol yang tidak akan terulang lagi sepanjang sejarah?"
Memerahlah wajah Ramirez. Dengan penuh takut dan terputus-putus ia berkata,
"Saya tidak mengetahui semua ini. Tuan Putri! Aku hanya akan membuat sungguh-sungguh apa
yang aku kira baik untuk bangsa Spanyol. Aku khawatir tindakanku ini sampai kepada Tuan Raja
sehingga aku tergolong sebagai pengkhianat."
"Tidak, Ibnu Petro. Dia tidak akan mengetahui berita ini selain kau dan aku.
Peribahasa Spanyol mengatakan, 'Tidak berguna kesedihan pada kaca yang telah pecah. Apakah
kau mendapat berita tentang Ibnu Zaidun?"
"Ia masih dipenjara dengan berbagai siksaan."
"Andai aku bisa menjenguknya."
"Bisa saja. Kepala sipir penjara itu kebetulan sahabatku. Dia sering datang ke
kedaiku setiap waktu."
"Kita tinggalkan soal ini kapan saja."
0==0 12 Ibnu Zaidun masih dalam penjara. Ia menemui berbagai siksaan dan penderitaan. Ia
menangis karena jauh dari Wilada. Harapan-harapannya kini terbang bersama angin. Ia
menghabiskan waktu di penjara hanya dengan berbicara dengan dinding-dinding, menyesali
perbuatanya, dan mengadukan keresahannya pada dirinya sendiri.
Ia selalu menunggu kebebasan setiap saat. Sia-sia pula harapan itu setiap waktu.
Ia menyambut siang yang cerah sama dengan menyambut malam yang gulita. Saat gelap
tiba, apa gunanya cahaya" Kebahagiaan dan kesengsaraan anak manusia sering saling
tertukar. Melihat ketenangan seolah ketakutan dan melihat kesengsaraan sebagai kesenangan.
Meski ia terus mengirimkan syair-syair permohonan maaf pada Ibnu Jahwar,
ternyata semua itu tidak berguna. Berkali-kali ia meminta pertolongan pada anaknya. Abu Walid.
Namun, tetap saja tidak terkabul. Ia lalu berlindung pada sahabat menterinya Abu Hafs bin Burad. Ibnu Burad
menempati kedudukan berpengaruh dalam rezim Ibnu Jahwar. Ia menulis kepadanya:
Tidak kuduga kesengsaran Melukai tahun yang penuh putus asa
Mungkin mulia seseorang Memberi asa pada keputusasaan
Telah menolongmu kelalaian
Dikelilingi para penjaga Bagimu keindahan intan Demikian tahun jika Seorang menguatkan dihinakan yang lain
Wahai, Abu Hafs! Apakah kamu memahami putus asa
Aku bingung, urusan ini Tampak samar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Masamu tidak akan menjadi bunga
Karena masaku bagimu adalah keputusasaan
Mengingatku adalah juga mahkota
Semoga Tuhan memaafkan Matahari pun telah lama bersinar
Belum lagi Ibnu Burad menghabiskan bait-bait syair itu, ia buru-buru pergi
kepada Ibnu Jahwar untuk mengemis meminta pertolongan darinya. Ia kemudian
meminta kepadanya untuk menulis surat pada Kepala Dewan Pemerintahan yang
memberitahu penderitaan Ibnu Zaidun selama di penjara. Ia memohon untuk
mengampuninya. Ia menyebut kegigihan masa lalunya dalam mengabdi kepada Ibnu Jahwar dan
kesetiaannya pada negara. Ibnu Zaidun menulis surat setelah beberapa hari. Ia
mengirimkan surat itu bersama Naila. Sebuah surat indah yang yang pernah ada.
Wahai Tuan Yang Agung, Yang kasih cintaku padanya, loyalitasku padanya, pe mbelaanku padanya, dan yang
Allah langgengkan masa lalunya dengan hukuman yang past i, aku melihat senapan
harapan tegak pada masa kejayaan. Jika aku terpenjara semoga Allah meng uatkan
baju kejayaanmu. Telah mengoyakku rasa kelembutanmu, telah menjauh-kanku dari
perlindunganmu, dan telah merontokkanku dari naunganmu. Terlebih setelah orang
-orang buta meliliat cita-citaku dalam membelamu dan setelah orang tuli
mendengar pujianku atasmu, aku merasa beku kekakuanku padamu. Tidak aneh air
dapat menye-dakkan peminum nya, obat membunuh si penderitanya, ancaman
memberikan ketenteraman, harapan menjadik an angan-angannya, dan waktu
menganugeralikan kesungguhan usaha:
Setiap bencana yang menimpa seorang pemuda
Mudah tanpa kemuraman dengki
Ia kemudian melanjutkan: Ini adalah penghinaan yang berbuah terpuji. Ini adala li berita bohong yang
membuat terang. Ini adalah bencana awan di musim panas yang tidak tercer ai-
beraikan. Tidak mengkhawatirkanku cacian yang terlambat dari Tuanku atau
terlambat nyany iannya yang tanpa dengki. Bencana terlambat keburu penuh badai,
awan yang berat berjalan karena banyaknya, nikmatnya minuman menimpa si dahaga.
Bersama hari ini masih tersimpan h ari esok. Setiap kepastian akan tertulis.
Ia melanjutkan: Dosa apa yang tidak termaafkan olehmu " Kebodoha n tidak menjamin wujud
impianmu" Kelaliman yang tidak seimbang dengan kelalimanmu" K esewenang-wenangan yang di
luar batas kesewenang-wenanganmu " Tetap mungkin jika aku be rsalah, tapi,
tiadakah pengampunan"
Bukankah setiap kesalahan terliampar keadilanmu
Jika aku berdosa maka pengampunanmu lebih terbu ka Lembutmu menjadi kebengisan
Aku pun terpaksa merasa cukup
ia melanjutkan: Cukup bagimu dalam bencana seseorang Kau melih at pendengkinya menyayangi kami
Bagaimana tidak bersalah, selain adu domba yang diteb arkan orang-orang fanatik"
Berita yang dibawa orang fasik" Mereka hanyalah para pengembara propaganda dan
penebar fitnah tanpa bersenjatakan tombak kelaliman yang tidak meninggalk an
jejak yang benar. Dia juga mengatakan: Apakah pagi memakai dingin untuk merayu pengamp unanmu" Kesaksian hanyalah
keyakinan yang terpudarkan egoismemu" Sejak musim semi tak la in pujian yang
sarat dengan kebajikanmu.
Tersebarlah wangi yang tak lain cerita yang tersiar dalam memujimu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia melanjutkan: Aku berlindung padamu dari terkena kebodohan, terhujani siksaan, dan dari
menggigit pada tempat yang tidak tergigit. Aku mengajukan pengaduan luka pada kearifan dan
kelembutan. Ia melanjutkan: Mudah-mudalian aku menemukan tongkat di istanamu, menenteramkanku bernaung di
bawah lindunganmu, dan merasa sejuk dengan kesantunanmu. Cukuplah engkau yang pantas
bagi-Nya dan aku daripadamu adalah hamba sahaya yang terbebas dengan-Nya.
Dalam surat itu, Ibnu Zaidun menggambarkan Kepala Dewan Pemerintahan sebagai
sosok yang bingung. Keputusannya berubah-ubah, terkadang mengampuni, mencela, dan
mengakui keshalihan-nya dengan penuh nista.
Ia kembali dan memonopoli dirinya serta mengangkatnya dengan penuh kepercayaan
berikut hamparan kesalahan demi kesalahan maupun pengakuan dosa. Ia lalu mengabaikan
hura-hura tentang pemerintahan sebelumnya. Ia terangguk oleh kelembutan seorang penyair.
Ia memandang bahwa cita-cita telah terwujud sesuai keinginannya.
Ia lalu menyertakan sebuah syair dalam suratnya itu:
Keinginan saat terbitnya bintang-bintang itu
Harapan pada embusan angin-angin sepoi itu
Kami hidup gembira dengan penuh kebaliagiaan
Seandainya kegembiraan itu abadi bagi yang nestapa
Keinginan yang terwujud bila terwujud
Waktu, apa yang mencelanya dengan celaan
Ketulusan akhir Wilada terharumi wangi
Campuran dari air surga Wahai sang penyeru di gelap malam!
Bukan hariku yang menemukan kegelapan
Bulan di ufuk berharap matahari
Keduanya gerhana tanpa gemintang
Itulah bencana tidak terurai menghadapi
Musibah besar sebesar-besarnya
Allah menyemayamkan keberanian mulia
Yang hitam dalam gembira dan hati yang bisu
Satu menyelamatkan semua Yang istimewa menyepakati yang biasa
Wahai sang menteri aku mengadu
Tombak itu awal ujungnya lembut
Apakah kesabaran lima hari
Dapat menghalau siksaan yang pedih
Luka yang tidak akan pernalt terobati
Saat terobati pun meninggalkan sisa luka
Demi engkau dan ayahku Jika engkau mengfwndaki, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jadilah dingin dan menenteramkan
Layaknya api Ibrahim Surat dan syair itu sampai ke tangan Ibnu Jahwar. Namun, keduanya tetap tidak
berpengaruh pada dirinya selain ibarat bekas rayapan semut di gunung-gunung.
Ibnu Zaidun semakin sedih. Hatinya hancur setelah segala hubungan dengan Ibnu
Jahwar terputus sama sekali. Terputuslah persahabatan.
Naila mengunjunginya. Wilada senantiasa menyertainya. Keduanya melihat Ibnu
Zaidun pupus harapan dan putus asa dari hidup, bahkan merindukan kematian dengan
berulang-ulang mengatakan:
"Adakah malam ini yang terakhir" Bagi burung yang terpenjara mungkinkah
mengepakkan sayapnya di ruang yang bebas" Tidaklah sang jenazah merintih selain
ketika amalnya diperhitungkan dengan perhitungan yang ringan atau berat."
Wilada menjawab, "Burung tidak merasa bebas kecuali saat lepas dari sangkarnya."
Naila memandangnya marah seraya berkata, "Apa maksud itu semua, Wilada" Yang
menyakitkan orang yang putus harapan adalah menyanyikan padanya harapan yang
tidak terwujud." "Karena penjara ini bukanlah kurungan yang membelenggu. Karena pengawal burung
itu lebih kejam dan sadis."
"Tipu daya bisa mepedaya kekuatan."
Ibnu Zaidun buru-buru menyela,
"Tipu daya apa, Tuan Putri"
"Tipu daya ringan. Sekian lama aku merencanakannya hingga ranjangku bergoyang
membayangkannya." "Apakah itu?" "Kami senantiasa mengirimkan makanan setiap hari padamu. Besok, berbagai makanan
itu berupa semangkuk puding yang di dalamnya tersembunyi arak. Saat sipir
penjara membawakannya padamu, ia akan tergiur. Cukuplah satu mangkuk puding ia
telan sekaligus dan sisanya untukmu."
Ibnu Zaidun pun memeluk Wilada dan menciumi kedua pipinya seraya berujar,
"Engkau memang mulia. Tuan Putri! Luar biasa! Kenapa tipu daya ini tidak
terpikirkan olehku?"
Naila menoleh kepadanya seraya berkata, "Jika kamu ke luar dari penjara dengan
selamat, pergilah kamu ke rumah putri bibiku. Rumalrnya berdekatan dengan Ibnu
Al Hannath yang buta itu. Bersembunyilah di sana hingga kami mendapatkan jalan
untuk melarikan diri dari Cordova.
Aku akan memberitahunya agar dia tidak kaget dengan kedatanganmu. Jangan
khawatir sedikit pun kepadanya. Dia hanya hidup dengan pelayannya yang sudah
lemah dan pikun seiring usianya yang semakin senja."
Setelah lama berbincang-bincang mengenai rencana melarikan diri dan berbagai
akibatnya sehingga dapat mengurangi bahayanya, keduanya pun mohon pamit dan
pulang.

Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

0==0 Besok pun tiba. Sipir penjara datang membawakan makan malam. Dia sangat kejam
dan kasar. Hatinya kebal dari berbagai kesengsaraan dan kepedihan kehidupan penjara.
Ibnu Zaidun melihat wajahnya ceria, ia pun bertanya, "Bukankah biasanya kau
kecut, wahai penjaga?"
"Buat apa aku muram jika kamu sedang bergembira"!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku telah rela dengan siksaan dan menjadikan penjara sebagai tempat tinggalku.
Allah memberikan ketenteraman pada keterpurukanku. Aku kembali beriman pada kebenaran
dan tunduk pada kekuasaan hukum."
"Di sini mereka juga kembali insyaf. Pada dasarnya mereka membenci dan mengumpat
langit dan bumi. Sampai penjara mengekang dan merendahkan diri mereka, mereka pun
kembali menghormati aturan hukum. Mereka melihat kepastian pada kemungkinan."
"Wahai penjaga, dalam sakit ada bahagia. Dalam perputaran hari-hari tidak
selamanya jelek atau selamanya baik. Bukankah kelebihan orang-orang yang di
penjara itu aman dari gosip
sehingga dapat tidur nyenyak, dan tidak takut fitnah yang digencarkan musuh-
musuh" Bukankah kelebihan orang yang di penjara itu dapat terhindar dari berbagai kejahatan dan
keburukan sesamanya" Bukankah kesempatan baik bagi orang yang terpenjara itu untuk
memalingkan dirinya pada Tuhan sebagaimana para sufi yang beribadah di bukit-bukit
pegunungan" Bukankah... ."!"
Buru-buru si penjaga itu menyela, "Cukup, Tuan! Aku pun menjadikan penjara
sebagai surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."
Ibnu Zaidun pun tertawa dan menyodorkan tangannya pada hidangan makanan seraya
berkata, "Berikanlah apa yang engkau hidangkan hari ini, wahai penjaga!"
"Ada macam-macam makanan yang membuat kita menelan air liur. Ini ayam panggang,
ini daging yang dibumbui dengan santan, roti kerat yang di dalamnya parutan kelapa,
ini goreng buah tin, dan ini puding dengan kacang tanah. Aku tidak menyukainya!"
Ibnu Zaidun hanya tersenyum dan berkata, "Aku akan memperlihatkan sesuatu yang
lebih berharga dari apa yang kau lihat. Ambillah, semoga Allah memberkatimu! Aku tidak
suka menyaksikan seseorang memakan makanan yang tidak disukainya. Ambillah wahai
penjaga dan kenyanglah aku melihatmu memakannya. Telanlah sekaligus dan janganlah dirasa
walaupun engkau berhak untuk mengecap seleranya."
Belum saja si penjaga menoleh ke arah Ibnu Zaidun, kepalanya diletakkan ke dalam
mangkuk itu. Ibnu Zaidun tidak mengangkatnya sampai mangkuk itu ditarik dari telapak
tangan si penjaga itu. Belum lagi berlangsung lama si penjaga itu terhuyung-
huyung dan menceracau dengan kata-kata yang tidak jelas huruf-hurufnya. Ia
kemudian terjatuh ke tanah tidak sadarkan diri.
Larilah Ibnu Zaidun dengan secepatnya ia melucuti baju penjaga itu lalu
dipakainya dan ke luar dari penjara dengan penuh takut akan kegarangan,
kekejaman, siksaan, dan kesadisan para
penjaga. Tatkala ia menelusuri kepekatan dan kegelapan malam menuju pintu gerbang, tiba-
tiba penjaga lain berteriak, "Mau ke mana wahai penjaga" Waktu istirahatmu sebentar lagi!"
Ibnu Zaidun hanya mengepalkan tangannya seperti orang marah. Penjaga itu pun
tertawa seraya berkata, "Beginilah engkau selamanya membenci dunia."
Ibnu Zaidun sudah berlalu jauh. Ia agak tenang dan segera menyusuri jalan-jalan
di Cordova sampai ia tiba di rumah Hamdana, putri bibi Naila. Ia mengetuk pintu dengan
penuh takut. Si tua itu membukakan pintu dan berteriak kaget, "Pencuri! Pencuri!"
Ibnu Zaidun pun menutup mulutnya dengan lembut. Ia masuk dan mengunci pintu.
Hamdana datang sambil tertawa melihat kepanikan pelayannya itu. Akan tetapi, saat ia
melihat ke arah Ibnu Zaidun, ia tampak ragu.
Ibnu Zaidun mendekatinya seraya berkata, "Saya, Puan, tamu Naila".
Hamdana pun memegang erat tangannya menyambut gembira. Ia kemudian mengajak Ibnu
Zaidun masuk salah satu kamar yang menyendiri yang sudah dipersiapkan berikut
makanan yang masih hangat. Keduanya pun larut dalam pembicaraan panjang seputar penahanannya
dan berbagai siksaan yang ditemuinya selama di penjara. Dibicarakan juga tipu daya
pelariannya sehingga ia dapat terbebas.
Ibnu Zaidun menghabiskan malam itu penuh resah. Ia mencoba menenangkan dirinya
dengan sebuah syair: Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku terdampar dan tidak ada perlindungan dan r atapan di rumah itu Tapi sebuah
kain yang tidak bertepi Apakah sahabat-sahabat kami mengabaikan ben cana yang menimpa kami Bencana yang
tidak ada keyakinan maupun sara t Kebahagiaanmu bahwa waktu berlalu Menyelimuti
semuanya tanpa terlewati!
Bukankah kepemudaan datang dan ia menjadi
Kuda kekuataan melumpuhkan lawan dan musu h
Kuda yang hilang petirnya karena dikebiri
Ia pun meragukan bentuk bajuku dengan ikatan
Kebijakan hanya tampak pada amarah kasarnya
Makian asing yang menyengat dan menyala
Menjadi tua dan tidaklah uban menjadi garis per pisahan Dalam uban yang bingung
hanyalah tipuan garis Apakah kau memetik bunga-bunga surga untuk sekelompok orang Tujuanku hanyalah
sedikit bidara ataukah pohon yang tak berduri"
Aku tiba pada waktu tiba-tiba mereka
memangkas dari hati mereka
Penuh kedengkian pekat yang mendendam
Mengangkatku pada derajat dan martabat mulia
Tujuan mereka hanyalah persaingan yang mere ndahkan Sungguh mereka meracunku
pada seseorang yang tidak berhak menerimanya
Tidaklali sama antara aku dan lainnya
Aku melarikan diri, sekalipun mereka berkata:
Melarikan diri itu kejaliatan
Musa pun melarikan diri tatkala ditangkap orang-orang Qibti
Aku berharap seperti semula
Dengan watak ceria dan perangai yang dermaw an
Berita kaburnya Ibnu Zaidun mulai tersiar pada pagi harinya. Ibnu Jahwar berdiri
lalu duduk. Ia mengumpulkan para menteri dan panglima militer untuk membicarakan
hal ini. Kepala kepolisian memerintahkan pasukannya agar menyisir setiap kota
dan pelosok desa agar membelalakan penglihatan mereka di setiap tempat untuk
mengendus tempat persembunyiannya.
Semua orang membicarakan kaburnya Ibnu Zaidun di berbagai tempat dan kejeniusan
tipu daya yang dilakukannya. Orang-orang menertawakan kelalaian pejabat-pejabat
pemerintah yang kerap tak sadar akan serangan, perlawanan, dan ancaman bahaya.
Berita itu berpindah dari mulut ke mulut. Ibnu Abdus dan kawan-kawan yang
mendengki Ibnu Zaidun pun merasa khawatir.
Tatkala berita itu sampai ke Aisyah, ia pun bingung apakah harus sedih atau
gembira. Dia tidak tahu. Bersedih; karena Ibnu Zaidun adalah musuh yang semula
dipenjara dan disiksa ternyata telah bebas. Bergembira; karena harapannya untuk
segera menemuinya segera terwujud.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertemuannya itu harus menghindarkan diri dari rasa benci dan memadamkan rasa
cinta kepadanya Ia lalu menemui Ramirez seraya berkata kepadanya, "Ibnu Zaidun telah melarikan
diri dari penjara." Segera ia menjawab, "Benar-benar suatu kesempatan. Ia lebih berani daripada Ibnu
Jahwar. Orang Arab akan mengatakan, anjing telah mengalahkan sapi!"
"Anjing yang mana" Sapi yang mana, " Ramirez?"
"Apa yang Tuan Putri inginkan?"
"Aku ingin tahu tempatnya tanpa mau menangkapnya."
"Apakah Anda perlu bantuan?"
"Tidak perlu." Aisyah tersenyum seraya berujar, "Aku tidak tahu kenapa aku menceritakan ini
kepadamu. Kelemahaan seorang wanitalah yang memba-yangiku waktu demi waktu."
Bulan-bulan berlalu dalam persembunyian Ibnu Zaidun. Adalah Aisyah selalu
berangan-angan untuk menemuinya. Hal itu terus terlintas sampai pada suatu malam ia menuju
rumah pelayannya, Bilal. Tatkala Bilal melihatnya, ia tampak bengong dan lidahnya terbata-bata berkata,
"Puan Aisyah" Apa pendapatku..."! Selamat datang, Tuan Putri! Bagaimana ceritanya kau bisa ke
rumahku" Tidakkah kau takut akan mata-mata Ibnu Jahwar..." Aku turut berdukacita sejak
kau kehilangan ibumu. Semoga Tuhan melindunginya! Kematiannya pasti membuatmu sedih, Tuan
Putri!" "Aku tahu kematiannya sejak aku kembali ke Cordova. Dengarlah," sambil ia
meletakkan di tangannya segepok uang dinar, "aku ingin tahu tempat persembunyian
Ibnu Zaidun!" "Ibnu Zaidun" Bagaimana aku bisa menemukannya sementara para polisi reserse dan
intelejen pun tidak mampu menemukannya?"
"Dengarlah, wahai Bilal! Dia pasti masih ada di dalam kota. Ia tidak dapat
keluar kota karena bisa ditangkap polisi perbatasan."
"Ya, di dalam kota. Benar!" Ia pun tersenyum seraya berkata, "Tapi Tuan Putri,
kota itu bukan sebatas ruangan kamar, rumah, perkampungan maupun satu desa" Ia
adalah lautan yang meliputi
berbagai kabilah dari sebelah timur dan jazirah Arab. Mencari tempat
persembunyiannya sama saja dengan mencari uang dinar yang jatuh di danau 'Al Wadi Al Kabir'."
"Tidaklah seperti yang kau kira, Bilal. Mungkin kau bisa mencarinya di rumah
para sahabatnya." "Sahabat-sahabatnya tidak bodoh untuk menyembunyikannya."
"Bilal, tenanglah sebentar. Mulailah kau cari sahabat-sahabat Ibnu Zaidun dari
dua orang perempuan: Wilada dan Naila Al Dimasykia."
"Benar, Tuan Putri"
"Kau harus terus menyelidiki rumahnya sampai kau tahu tempat persembunyiannya.
Aku yakin, dulu Wilada sering menjenguknya. Apakah kau bisa masuk ke rumahnya
dengan diam-diam?" Bilal berteriak, "Bisa! Bisa! Pelayannya, Utba, adalah sahabatku. Ia
menginginkan aku menjadi suaminya."
"Bagus! Terus kunjungi dia dan jangan sampai ada yang tahu sampai kau memperoleh
apa yang kauinginkan tanpa memberitahu siapa pun. Aku akan memberimu imbalan uang
dinar yang lebih berkali lipat lagi dari hari ini." Ia mengulurkan tangannya dan ia hilang
dalam kegelapan seolah-olah impian dan khayalan.
Bilal pun mulai mencari tempat persembunyian Ibnu Zaidun. Berkali-kali ia
mendatangi rumah Utba karena ia memang mencintainya. Ia mencurahkan upaya dan berbagai tipu daya
sampai ia tahu sebagian yang ia inginkan. Ia pun menunggu Aisyah mengunjunginya hingga
malam gelap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gulita. Bintang-bintang sakit. Ia lalu mendengar ketukan pintu. Segera ia
menemui Aisyah dengan gembira karena akan mendapatkan imbalan.
Namun, belum lama pintu terbuka, ia kaget bahkan terkejut hampir terjatuh ke
tanah. Tidak dinyana yang ia lihat justru Ubaidillah bin Yazid sang walikota bersama para
polisi dan pengawalnya. Mereka tidaklah menemui seseorang di malam hari untuk berbincang-
bincang melainkan untuk menanyakan soal-soal yang penting.
Bilal diam termangu. Sang walikota pun berteriak, "Kau berada di mana setelah
waktu isya terakhir?" Bilal hanya menunduk dan menelan air liur. Ia tetap terdiam membisu.
"Kemarin kau berada di mana, Anak Muda" Katakanlah dan janganlah kau sembunyikan
dariku sedikit pun. Mata-mataku telah bisa membaca apa yang ada dalam hati dan
mengetahui berbagai rahasia." "Saya..., Tuan..., di rumah Utba.... Di rumah Utba!"
"Pelayan Wilada binti Al Mustakfi" Apa yang kau kerjakan di rumah Wilada?"
"Menemui Utba, Tuan."
"Kau menemuiya hampir setiap malam"!"
"Benar, Tuan, saya memang salah dan telah melanggar batas. Apakah putri Wilada
mengadukan kedatanganku ke rumahnya itu" Saya hanya ingin menikahi Utba, Tuan.
Kami berencana untuk menikah maka saya berjanji kepada Tuan, tidak akan mengetuk lagi
pintu rumahnya." "Bukan itu yang aku maksud. Anak Muda. Apakah kau pernah menemui Wilada dalam
kunjunganmu itu?" "Tidak, Tuan. Pantaskah orang sepertiku menemuinya?"
"Apakah kau membawakan surat darinya untuk sahabatnya atau menyampaikan surat
dari salah satu temannya?"
"Teman yang mana, Tuan?"
"Kau tidak jelas, Anak Muda. Kamu mesti bersumpah. Kami tidaklah bodoh untuk
begitu saja memercayai apa yang telah kamu katakan!"
"Saya bersumpah atas nama Allah, Tuan, saya tidak memiliki hubungan apa-apa
dengan Wilada. Saya tidak tahu-menahu soal surat yang kau sebutkan itu!"
"Ketahuilah, Anak Muda, jika kau melangkahkan kaki lagi ke rumah Wilada maka
darahmu akan tercucur."
"Aku berjanji atas nama Allah, Tuan, untuk tidak melihat seorang yang ada di
rumahnya sekalipun!" Sang wali kota itu memandangnya agak lama penuh keraguan. Antara benar dan
dusta. Ia kemudian pulang meninggalkannya. Bilal terdiam sambil menarik napas panjang dan
gemetaran. Ia lalu memberitahu polisi dan para pengawalnya. Perkiraan kedatangan Aisyah


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata berubah dengan keraguan. Rumahnya jadi dipenuhi pejabat kerajaan yang membuat jantungnya
tercopot dari tempatnya. Malam itu ia tidak menyentuh makanan. Ia menghamparkan kasurnya dengan malas dan
berat hati. Ia meyakinkan sepanjang tidur tidak ada lagi yang mengetuk pintu dengan
keras. Baru saja ia berbaring di kasurnya dengan penuh kegelisahan sehingga
mengguncangkan hati sang pemberani sekalipun, tiba-tiba pintu rumah diketuk lembut. Ia terdiam
seraya berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk dan dari kejahatan para polisi.
Ia berdiri lalu berkata pada dirinya sendiri, "Kembalilah kalian untuk
menangkapku dan menjebloskanku pada kegelapan penjara. Karena aku melihat kelopak mata pemimpin
kalian Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seolah-olah meragukanku. Aku tidak bisa apa-apa selain menyerahkan diri. Namun,
kezhaliman mereka itu memang tidak terperikan."
Dibukalah pintu. Tampak di depannya Aisyah dengan muka yang teduh dan tersenyum
ramah seraya memberi hormat padanya. Aisyah mengulurkan tangannya yang membawa kantong
hitam seperti lempeYigan ampas susu dalam mangkuk besar dari ter.
Bilal berbisik bercampur takut, "Selamat datang, Tuan Putri Aisyah! Apakah di
jalan, Anda bertemu dengan Walikota?"
"Walikota siapa" Apakah engkau sedang bermimpi, wahai Bilal?"
"Tidak, Tuan Putri. Saya terjaga. Lihatlah, tanganku bergetar dan tubuhku
menggigil." "Apa yang telah terjadi padamu, wahai Bilal?"
"Baru saja satu jam yang lalu, Walikota menemuiku, Tuan Putri!"
"Bualan apa lagi ini" Walikota itu selamanya tidak menemui seseorang untuk
membunuhnya. Ia mencari sesuatu guna mencari informasi tentang ini dan itu."
"Tapi sorot matanya menakutkan, Tuan Putri. Aku tidak ingin lagi menemui seorang
pun dari mereka walau mereka bertanva tentang jalan sekalipun!"
"Tenangkanlah dirimu, Bilal. Apa yang ditanyakannya padamu?"
"Ia bertanya seputar kunjunganku yang berkali-kali ke rumah Tuan Putri Wilada."
"O, aku paham. Mereka itu mengawasi rumahnya agar mendapat petunjuk untuk
mengetahui rumah persembunyian Ibnu Zaidun. Lalu mereka akan membuntutinya dari belakang;
Tapi aku kini pada tujuanku sebelum mereka. Informasi apa yang kamu dapatkan dari Utba?"
Bilal lalu menoleh dua kantong di tangannya. Ia lama memandangi keduanya seraya
berkata, "Informasi dari Utba?"
"Ya, Bilal, informasi dari Utba."
Aisyah menyerahkan dua kantong yang ada di tangannya itu. Terdengarlah suara
gemericik dari kedua kantong itu seraya Bilal berkata, "Aku diberitahu Utba bahwa menteri
Abu Hafs bin Burad sering menemui Wilada setiap hari Kamis setelah tengah malam
dan bersamanya lelaki yang bercadar. Mereka menyendiri dalam kamar yang jauh dari para pelayan. Kedua
laki-laki itu pergi sebelum terbit fajar."
"Bagus, Bilal! Apa yang kau kerjakan setelah itu?"
"Saya bersembunyi di balik dinding. Saat keduanya pulang, saya membuntutinya
dari jauh secara diam-diam. Ketika Ibnu Burad berpindah menuju rumahnya, lelaki bercadar
itu pergi sampai menuju daerah Jundusyam. ia lalu masuk ke rumah dekat masjid Al Syuhada."
"Selamat kamu, wahai Bilal! Kita telah menemukan uang dinar yang hilang di danau
Al Wadi Al Kabir. Lelaki bercadar itu tiada lain Ibnu Zaidun. Kau akan
memperoleh berkali lipat lagi uang jika aku dapat menangkap burung yang terbang
ini. Selamat sore, Bilal!"
Aisyah menuju pintu dengan ceria seolah-olah dicucuri mutiara dunia dan seluruh
isinya. Pagi hari tiba. Habislah terang, terbitlah malam. Berlalulah petang. Pada saat
itu, Aisyah berjalan diikuti Bilal di belakangnya menuju daerah Jundusyam. Antara harap dan
cemas; antara pesimis dan optimis. Aisyah sampai di rumah Hamdana. Ia menoleh kepadanya seraya berkata,
"Bersembunyilah kamu di balik dinding ini, Bilal. Aku akan masuk rumah dan tinggal di sana
sebentar atau mungkin juga agak lama. Apabila kau mendengarku menyebut namamu,
panggillah polisi dan berserulah
dengan suara yang keras bahwa Ibnu Zaidun bersembunyi di rumah ini!"
Aisyah kemudian mengetuk pintu. Pintu pun dibuka seorang tua yang lemah. Ia
langsung masuk ke ruangan tengah seraya berkata, "Aku mau bertemu tuan yang ada di dalam
rumahmu ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hamdana terbangun dari tidurnya seraya pergi untuk memastikan apa yang terjadi.
Ibnu Zaidun juga terbangun dengan suara yang bercampur marah, menggerutu, dan
memaki. Ia membuka pintu kamar sedikit. Aisyah melihatnya dan berteriak
memanggil namanya. "Berakhir sudah riwayatmu, wahai Abu Walid! Ajalmu telah tiba masanya. Telah
terbentang jalan bagi kuda perang. Burung bulbul telah kena perangkap. Kamu
hanya berhak terkena senjata tajam yang memusnahkan!"
Ia lalu masuk ke kamar Ibnu Zaidun seraya mengunci pintunya dari dalam. Ia
berkata dengan tenang seakan-akan barang-barang yang ada di sekitarnya terdiam
untuk mendengarkan pembicaraannya.
"Duduklah, wahai Abu Walid! Kita telah berbicara panjang lebar. Kau telah
mendapatkan seluruh anugerah berupa akal, kepandaian, dan kejujuran. Kau mesti
keluar dari masalah ini dengan selamat tanpa tertimpa bahaya dan kesulitan.
Diamlah di depanku, Abu Walid! Sejak lama kau gagah berbicara di depanku dan
merasa sejuk mendengar syairku. Kau saat itu benar-benar seorang pemuda yang
jantan, luas wawasannya, bijak pandanganya, tidak mempermainkan hatimu yang
baik, tidak pernah tertipu para pendusta, tampan perawakannya, kata-katanya
memecahkan kedunguan, tidak pernah terjerat ranjau yang terkubur di dalam tanah,
dan tidak memperdayaimu cita-cita sesat orang-orang yang membencimu karena
hidupmu senang dan penuh kebahagiaan. Untuk menghalangi hidupmu dalam pangkat,
kedudukan, jabatan, dan kekuasaan. Yang tidak kalah lagi mereka menginginkanmu
masuk jurang neraka Hawiyyah dengan menjebloskanmu pada kegelapan penjara. Kau
mencintaiku, wahai Abu Walid! Kau ingin menjadi suamiku. Sementara aku, kau
perdayai. Cintamu penuh dengki dan penuh tipu daya. Kita akan hidup di ranting cinta ini
bagai dua burung yang berkicau. Terbentang di depannya taman-taman dengan
pepohonan yang rindang, hijau daun-daunnya, bunganya berseri-seri, sungai-
sungainya mengalir untuk menggambarkan apa yang ada dalam diri kita berdua yang
hidup bahagia, senang, dan tenteram. Namun burung hantu yang jahat telah merusak
segalanya; berpura-pura bersuara burung bulbul. Ia selalu diam di sekitar kita
untuk membentangkan benang dusta dari sebuah harapan.
Memoles penipuan dengan kecantikan untuk menghancurkan kebahagiaan dan
membinasakan dirimu. Dengarlah, wahai Abu Walid! Aku tidak akan melupakanmu
walau kau melupakanku. Aku tidak akan mengusirmu walau kau mengusirku. Aku akan
berbuat apa saja hingga kita menjadi suami-istri yang hidup bahagia. Jangan kau
kira kau dapat lepas dariku. Kau adalah milikku dan aku adalah milikmu. Tak ada
seorang pun di dunia ini yang dapat memisahkan kau dan aku. Jika saja kematian
akan memisahkan kita maka aku akan mari bersamamu. Dengan begitu aku akan mati
dengan tenang dan bahagia. Dengarlah, Abu Walid! Berpikirlah kau! Telah
memedayaimu manusia dan waktu. Apakah kau merasa waktumu lebih sempurna dariku
dan cintamu itu lebih jujur"
Benar aku pernah melaporkanmu pada Ibnu Jahwar dan sempat menjerumuskanmu ke
penjara. Tapi, aku bersumpah aku melakukan sesuatu yang benar-benar tidak aku
inginkan. Kau ternyata orang yang lebih kuat dariku. Diriku lebih dicintai
mereka. Cinta itu buta, wahai Abu Walid.
Saat kuat, ia tidak mengenal apa yang datang dan pergi. Cemburu menjadi api
menyala yang menyulut segala sesuatu. Apakah kau pernah mendengar seorang
penyair timur yang membunuh kekasihnya saking cemburu karena banyak orang yang
melirikkan pandangan pada kekasihnya itu" Atau, karena telinganya sering digoda
dengan cerita-cerita romantis. Aku mencintaimu, Abu Walid, dalam cinta badai.
Aku mencemburuimu di waktu pagi dalam terangnya dan di waktu petang dalam
gelapnya. Maafkanlah aku, wahai Abu Walid!"
Dada Ibnu Zaidun penuh sesak. Ia khawatir kembali ke penjara. Kejutan mendadak
itu membuatnya hancur luluh. Ia lalu berkata dengan sedih dan tertahan, "Soal
permohonan maaf, aku sedari dulu telah memaafkanmu. Sedikit pun aku tidak
menyimpan rasa dendam maupun dengki padamu. Jika kita pernah menjalin kasih pada
masa lalu, maka aku akan berusaha mengenangnya. Tapi keadaan telah berubah dan
hati pun telah berbalik. Dua ujung tanduk tak pernah berpisah
Walau malam menyerang siang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lebih baik kita bersahabat saja, itu lebih mulia, Tuan Putri. Cinta kita telah
sirna. Inilah yang aku bisa. Nostalgia di masa lalu hanya dapat aku kenang
saja." "Cinta kita tidak akan pernah sirna, Ahmad!"
"Berkatalah sekehendakmu, Tuan Putri."
"Jangan panggil aku Tuan Putri, panggillah 'Aisyah'!"
"Katakanlah sekehendakmu, Aisyah! Jika hatiku telah berpaling dari sesuatu,
penduduk seisi bumi tidak akan kuasa untuk membencinya."
"Biarlah aku, Ahmad! Aku tahu bagaimana aku menundukkannya dan bagaimana aku
mengembalikan masa lalunya. Biarkanlah aku, Ahmad! Marilah kita melarikan diri
dari negeri terkutuk ini untuk hidup di negeri lain dengan penuh kebahagiaan."
"Hatiku bukan berada di antara dua tulang rusukku."
"Ah, dia itu ada di selangkangan Wilada, tolol! Padahal, aku menginginkan hidup
bahagia, menyelamatkanmu dari Ibnu Jahwar, dan menyelamatkanmu dari Wilada. Tetapi kamu
seperti ranjang terbakar yang jatuh pada api. Kau tidak dapat membedakannya sampai ia
terbakar. Teriakkanku sekarang akan mengumpulkan para penjaga malam dan polisi untuk
menyeretmu kembali ke penjara. Katakanlah satu kata, apakah kau mau menikahiku?"
"Tidak!" Aisyah lalu berteriak, "Wahai Bilal!"
Saat mendengar panggilannya, Bilal pun berteriak sejadi-jadinya, "Tangkap Ibnu
Zaidun! Tangkap Ibnu Zaidun!"
Terdengarlah oleh para polisi. Mereka segera menuju rumah itu dengan segera dan
buru-buru. Mereka lalu datang untuk memastikan kebenarannya.
"Mana Ibnu Zaidun?"
Bilal lalu menunjuk ke rumah Hamdana. Para tentara berkumpul di depan pintu lalu
mendobraknya. Berhamburanlah mereka ke dalam rumah seolah-olah air bah yang
mengalir deras. Aisyah menyelinap dari sebuah pintu. Ia melangkah hati-hati menuju Bilal
untuk melarikan diri bersamanya.
Belum sempat para polisi menangkap Ibnu Zaidun, tiba-tiba mereka mendengar
pengumuman dari masjid Al Syuhada, mereka pun termangu mendengar seruan itu:
"Keselamatan atas Islam setelah Ibnu Jahwar! Keselamatan atas kebenaran dan
keadilan setelah Ibnu Jahwar! Keselamatan atas jihad di jalan Allah setelah Ibnu Jahwar!
Umat Islam sekalian! Telah berpulang ke rahmatullah Ibnu Jahwar dengan tenang. Wahai rakyat
Cordova! Telah meninggal dunia seorang pelayan agama dan pelindung umat Islam. Sayangilah
jiwa yang suci ini. Mohonkanlah kepada agar Allah menempatkannya di sisi-Nya dalam surga
yang penuh kenikmatan. Wahai rakyat Cordova! Ibnu Jahwar telah meninggal dan akan
menggantikanya puteranya. Abu Walid Muhammad! Dia kalian kenal bagaimana kebijakannya,
agamanya, dan semangat keislamannya. Berdoalah untuknya agar senantiasa diberi taufik dan
kekuatan!" Saat Ibnu Zaidun mendengar seruan itu, ia berseru pada para polisi, "Tangkap
wanita Spanyol itu! Tangkap mata-mata barat itu!"
Ia kemudian menarik lengan kepala pasukan polisi dan menunjuk dengan tangannya
ke arah wanita itu. Sayangnya, ia telah menghilang dari sana. Para tentara itu
memikirkan tentangnya dan menangkapnya.
Ibnu Zaidun menghadap kepala pasukan seraya berkata, "Sekarang kau bisa
memercayaiku jika kau berkenan." Tentara itu menjawab sombong, "Jika aku tidak mau?"
"Itu lebih baik darimu. Aku akan memecatmu!"
"Bagaimana bisa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dulu aku musuh Ibnu Jahwar. Tapi kini dia telah menemui ajalnya sebagaimana
yang kau dengar dari seruan tadi. Penggantinya tiada lain Abu Walid. Dia itu
sangat menyayangiku dan mencintaiku. Ia selalu berusaha keras untuk
membebaskanku dari penjara pada masa pemerintahan ayahnya, tapi dia tidak
kuasa." "Maaf, Tuanku. Aku tidak mengetahui itu semua. Tapi aku berada di depan orang
yang konon melarikan diri dari penjara. Aku tidak memiliki wewenang selain
membawamu pergi menghadap Walikota untuk mengetahui bagaimana pendapatnya."
"Berbuatlah sekehendakmu, wahai polisi pemberani! Tapi berwaspadalah jika kau
melihat wanita itu. Dia itu musuh negara paling berbahaya dari Spanyol utara."
Mereka semua akhirnya pergi kepada dewan pemerintahan yang baru. Dalam
perjalanan, Ibnu Zaidun terus berdendang dengan bait-bait syair yang memenuhi
dadanya yang tengah bergembira. Tatkala ia berdiri di hadapan Abu Walid bin
Jahwar, ia memeluknya mesra dengan penuh rindu dan pengampunan padanya dari
semua siksaan yang dialaminya tempo hari.
Beliau kemudian memegang erat tangan Ibnu Zaidun seraya berkata, "Sebelum wafat,
ayahku telah memaafkanmu. Aku menjenguknya saat beliau sakit lalu aku memujinya.
Aku menjelaskan kalau engkau itu lemah jiwa dan raganya. Aku mendesaknya agar
tidak menyia-nyiakan hidupmu hingga ajal menjemputnya.
Ia menjawab dengan suara perlahan, 'Ibnu Zaidun itu bintang Andalusia. Bintang
itu tidak akan pernah padam hanya dengan fitnah. Terkadang awan berlalu
menghalangi cahayanya kemudian menghilang."
Buru-buru aku potong ucapannya itu, ' Apakah kau mengampuninya ayah"'
Ia pun menganggukan kepala pertanda meng-iyakan seraya berkata, 'Siapakah aku
anakku jika aku tidak memaafkannya" Sementara Allah pun mampu mengampuninya dan
mengampuni kesalahan kita semua.
"Aku tidak ingin memberatkannya setelah aku tahu tanggapan bagus tentang dirimu.
Aku harap sakitnya segera sembuh dalam beberapa hari.
Hingga ia dapat membebaskanmu dengan dirinya sendiri. Akan tetapi keinginan itu
sirna!" Ibnu Zaidun menengadah ke langit mengharapkan turunnya rahmat pada orang yang
telah meninggalkannya itu. Ia memaafkan kesalahannya karena tidaklari ia berbuat
sesuatu kecuali yang dinilainya benar dan tepat. Kendati dia diam dari desas-
desus yang mereka campuri kebohongan. Merekalah yang memasukkan rekayasa
sehingga ia tidak dapat mendustakannya. Ia kemudian mengucapkan selamat pada
pemerintahan yang baru dan mendoakanya agar senantiasa diberi taufik dan


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidayah-Nya. Ia lalu mengambil secarik kertas dari sakunya kemudian bersenandung: Tidakkah
kau lihat matahari dirangkul kuburan
Telah cukup bagi kami kehilangan bulan purnama
Jika hidup berlayar dengan benar
Maka telah luput kekayaan cita-cita di lautan
Buruknya bencana membaguskan tindakan sesudahnya
Dosa zaman datang menyusul pengampunan
Musuh-musuh tidak mampu melawan karena malam
Tidak gelap bagi kami kecuali fajar yang terlambat terbit
Kendati Jahwar memimpin tetapi Muhammad
Penggantinya simbol keadilan setia dan anaknya yang sh alih Kuat jiwanya
sekalipun ia mati Sesungguhnya kamu tidaklah lemah kendati lawan merongrong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagimu kemenangan karena aku "percaya padamu sepenuhnya
Terpujilah anganmu yang melawan kekufuran
Luruskan prasangka padaku, cukup karena aku
Pemilik tangan putih dari padamu tanpa angkuh
Seisi dunia dan kekayaan yang teraih
Dekat denganmu adalah dunia
Dan sambutmu adalah kekayaan
Abu Walid bersorak pada si pemuji. Ia berdiri dan mendudukkan si penyair itu di
sampingnya. Ia mencurahkan segala penghormatan kepadanya dengan penuh
kepercayaan dan kegembiraan.
Singkat cerita, Ibnu Zaidun menoleh ke arah Aisyah dan berkata:
"Tuanku, inilah Aisyah binti Galib mata-mata raja Spanyol yang pernah ditato
dengan api oleh ayahmu dan dibuang ke belahan utara. Hari ini kembali ke Cordova
sebagai mata-mata Spanyol
dan untuk menebar fitnah di kalangan umat Islam"
Abu Walid memandang kepadanya seraya berkata dengan marah:
"Kapan kau tiba di Cordova wahai gadis?"
"Beberapa bulan yang lalu."
"Lantas, kenapa kau kembali?"
"Entah kenapa..."
"Siapa yang membiayaimu?"
"Para dermawan dan orang-orang yang murah hati."
Abu Walid pun marah seraya memanggil Ubaidillah bin Yazid, sang walikota dan
berkata: "Penjarakanlah perempuan ini di tempat di mana Abu Walid bin Zaidun dipenjarakan
sebagai balasan setimpal atas kesalahan dan pengkhianatannya."
Ibnu Zaidun hanya menyeringai pada sang walikota dan berbisik di telinganya:
"Katakan pada sipir penjara, perempuan ini sangat cerdik. Ia memiliki ragam tipu
daya. Iblis terkutuk pun takut padanya. Katakan juga padanya bahwa Ibnu Zaidun
menitipkan salam padamu dan memberi saran kepadamu agar tidak memakan kue puding kalau dicampur dengan
kacang tanah dari surga!" 0==0 13 Pertemuan Ibnu Zaidun dengan Wilada di alam bebas setelah sirnanya ragam
kebimbangan, laksana perjumpaan burung yang kembali ke sarangnya setelah sekian lama terjerat
perangkap. Atau perjumpaan orang yang sehat yang tersenyum penuh harapan dengan orang koma
yang resah sepanjang malam dan ranjangnya bergoyang kesakitan. Pertemuan antara
keresahan dan kelembutan yang bercampur berbagai perasaan di dalamnya. Ada tawa, tangisan,
kesenangan, kepedihan, ketulusan, dan kebencian.
Saat cinta kokoh ia sering melebihi batas, beralihlah pada sebaliknya. Perasaan
adalah bahasa lunak untuk menampakkan apa yang terbersit. Tetapi, saat ia memiliki perasaan
yang sensitif, bersatulah semua bahasa itu yang dikiranya tak mampu menyirnakan perasaan yang
tersiar itu. Ia berlindung pada mahkamah dan menangis gembira serta tertawa
penuh sesak dengan bencana.
Bisa jadi, penyebab kegelisahan perasaan karena hati mengenang gembira kesedihan
yang dilaluinya, dan senang saat mengingat kepedihan maka kau pun bingung
menggambarkan dua Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perasaan dalam waktu yang bersamaan. Maka salah satu perasaan yang lebih kuat
akan mengalahkannya dan salah satu yang lebih dominan akan melapangkannya.
Sungguh perjumpaan luar biasa yang seandainya digambarkan oleh pena, pena itu
tidak akan pernah cukup untuk menuliskannya. Ya, keduanya memang bertemu. Pintu penjara
tidak terkunci sehari pun untuk wajah Wilada. Namun, pertemuan di penjara ternyata lebih baik
dari perpisahan. Perjumpaan yang awalnya adalah kecewa dan ujungnya kepedihan. Pertemuan yang
penuh anugerah dari pandangan para mata-mata. Sebenarnya, itu bukanlah sebuah
perjumpaan melainkan sisa-sisa kepedihan dan peringatan bagi penidur yang nyenyak.
Dalam pertemuan ini, cinta diam hingga kehilangan akal dan menjauh. Kenangan
kuat nan indah terus menghantui. Harapan pun berkelebatan sehingga melapangkan jiwa dan
menceriakan muka. Ibnu Zaidun kemudian menerima berbagai penawaran Abu Walid bin Jahwar
dengan menjaga kepercayaannya dan mendesaknya agar tetap mau memangku jabatan tertentu.
Wilada merenung seperti seorang pemikir seraya berkata, "Semua itu memang baik,
Ahmad. Tapi, berhati-hatilah. Seorang anak itu "adalah potret dari orang tuanya. Abu
Walid mewarisi ayahnya dalam segala hal. Semakin dia bertambah dewasa, semakin
bertambah pula tipu daya di
antara watak-watak ayahnya. Musuh-musuhmu tidak akan pernah tidur sekejap mata
pun darimu! Menurutku, Ibnu Abdus dan Ibnu Al Makrie bersekutu dalam menjebloskanmu kembali
ke penjara atau melemparkanmu pada jurang kebinasaan. Bukan hal sukar bagi mereka berdua
untuk membangkitkan kuburan lama yang telah membuatmu terjerumus dengan cara yang
mulus. Kau mengibaskan bajumu dari debu dengan riang dan gembira. Bukan hal sukar bagi
mereka berdua untuk menunjukkan kepadamu telah kembali pada jabatanmu di kerajaan untuk
memerintah dan melarang. Menyalakan untukmu kedermawanan dan menyambutmu arak-arakan. Bukan hal sukar
bagi mereka berdua untuk menggunakan kepandaian-mu dalam pemerintahan maka terbukalah
cahaya-cahaya lampu yang rusak dan pelita yang meredup."
Ia pun tersenyum malu-malu seraya melanjutkan ucapannya, "Kemudian, bukan hal
sukar bagi mereka berdua untuk memfitnah cinta dengan desas-desus. Meski Allah telah
menyatukan dua hati, keduanya tidak merasa tenteram sampai memisahkan keduanya. Kita sudah
lepas dari fitnah Aisyah binti Galib karena ia telah terjeblos-kan ke penjara sebagaimana selimut
yang hanyut dan tenggelam. Ia adalah musuh yang cerdik dan lawan yang pintar. Ia
memiliki banyak tipu daya yang tidak mempan ditembus azimat maupun ancaman. Tapi
ingatlah, di seluruh pelosok Cordova,
musuh-musuhmu yang mendengki yang tipu dayanya tidak kalah dahsyatnya dari
seorang Aisyah, senantiasa mengintai. Kau harus belajar dari masa lalu yang telah menyeretmu ke
penjara tanpa iba. Perkuatlah orang-orang di sekelilingmu.
Kurangnya persiapan menjadikan malapetaka di balik setiap omongan.
Menjungkirkanmu seekor kuda tanpa wabah. Menghampirimu kesengsaraan menuju kemuliaan tanpa
tujuan. Dan men-jerumuskanmu perangkap dengan akibat tak pasti. Aku ingin kau lebih berhati-
hati mulai hari ini. Memperbanyak diam, menjauhi kawan-kawan busuk, dan lebih
terjaga setiap hari. Kekacauan
di Cordova sedang berkobar. Biarlah kami menjadi penyaksi tanpa kayu bakar.
Seandainya engkau mempunyai pendapat keharusan tegaknya hukum dalam suatu perkara, demi
Allah, biarkanlah itu semua sekarang. Marilah kita menuju hidup yang tenang dan penuh
kebahagiaan. Di mana sayap-sayap ketenteraman dan kenyamanan hidup berkibas-kibas di
atasnya." Ibnu Zaidun memandangnya penuh kasih sayang dan haru seraya berkata, "Siapa yang
menunjukimu demikian, Tuan Putri, kenapa menyarankan aku agar melarikan diri
denganmu ke puncak gunung yang jauh dari desas-desus dan gosip orang-orang" Hidup yang ada
dalam naunganmu suatu bukti kita tidak berada di surga yang penuh kenikmatan. Namun,
apa yang bisa aku perbuat, Tuan Putri, dalam kekeraskepalaan yang tidak mampu dilunakkan para
pemimpin dan dihinakan para penguasa" Aku tercipta untuk kemuliaan dan keagungan. Apabila
terbersit keinginan maka tersusunlah baris-baris tombak. Aku tidak peduli jalanku penuh
jerat dan perangkap, ejekan para oposan, dan tipu daya para pendengki. Hanya satu hal yang
dapat meluluhkan watak keras kepalaku dan menundukkan kegigihan. Apakah kamu tahu
apakah itu?" Wilada tersenyum seraya menjawab, "Aku tahu. Atas nama kebenaran cintaku, aku
menginginkan agar kau menenangkan diri sejenak. Biarlah kita hidup selamat dan
tenang sebagai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
suami-istri yang bahagia. Singkirkanlah cita-citamu ini jauh-jauh, Abu Walid,
untuk sekadar mendatangkan ketenangan sejenak bagi kita."
"Tidak. Cita-citaku lebih tinggi. Aku akan berbuat karenanya dan mati tanpanya.
Aku tidak berhak menjadi suami bagi seorang istri Cordova yang mulia kecuali
apabila ia memahami cita-citaku."
"Cita-cita yang mana?"
"Untuk mengembalikan kejayaan bangsa Arab di Andalusia seperti pada masa
kejayaan Abdurrahman Al Dakhil, Al Nashir, dan Al Manshur bin Abu Amir. Bangsa Arab mesti
teguh dan bersatu dalam satu ikatan yang tidak terpecahkan. Menyatukan negara-negara
Andalusia dalam satu kesatuan negara Arab. Berkibar dalam satu bendera di atasnya sebagai simbol
persatuan, satu kekuatan, dan satu tujuan. Orang-orang dulu sering mengatakan dan ucapan
mereka itu sungguh benar adanya; 'Serigala hanya memangsa kambing yang memisahkan diri dari
kawanannya. Tahukah kamu, Tuan Putri, kami merasa tidak berguna selain
menyatukan visi raja- raja Barat itu. Menjauhkan mereka dari pertentangan, permusuhan, dan perebutan
kekuasaan. Jika bukan karena itu semua, aku tidak akan ada di sampingmu hari ini di
Cordova. Kita mungkin tersesat di tengah padang pasir Miracus. Kita mendengki
sekawanan gembala unta atas apa yang
dianugerahkan Allah dengan negara dan bangsa mereka. Kebencian orang-orang Barat
itu tidak akan berlangsung lama. Kita akan mengajarkan mereka mencintai semangat
'mengalah' dan menganjurkan mereka pada pentingnya persatuan dan kesatuan serta melupakan
kedengkian maupun kebencian pada bangsa-bangsa Arab di seluruh dunia. Apabila kita terlena
untuk misi yang agung ini dan tidak mempersiapkan penghalau berbagai tipu daya, maka akan
hilang semuanya dari genggaman tangan kita."
Wilada berdiri seraya berkata, "Hari ini kau tidak bisa mengembalikan kejayaan
Dinasti Umayah seperti halnya masa Al Nashir. Kau tidak akan menemukan para
pejabat yang akan membantumu
untuk mengembalikan masa itu. Satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang
adalah menumbuhkan dan meneruskan semangat Abdurrahman Al Dakhil, cita-citanya,
kepandaiannya, dan nilai-nilai kepahlawanannya di bumi Andalusia saat ini. Bersatulah kelompok-
kelompok, misi kebangsaan, dan kemurnian visi kita. Menolak ajakan-ajakan
perpecahan serta menghalau para
penebar propaganda. Tapi, adakah orang itu kini, wahai Abu Walid, terlebih
setelah Andalusia kekurangan para kader bangsanya?"
Ibnu Zaidun kemudian berpikir dan menengadahkan kepalanya seraya berkata,
"Setelah Ibnu Al Murtadha meninggal, tidak ada lagi orang yang pantas untuk mewujudkan cita-
cita itu selain ada satu orang. Tapi itu juga masih harapan yang lemah."
"Siapakah dia gerangan?"
"Di Kerajaan Aspilia."
"Orang-orang Bani Ibad?"
"Mungkin." "Mereka itu gendang yang sumbang."
"Tapi, mereka itu sebaik-baik orang yang jahat."
"Apakah dalam suatu keburukan ada pilihan?"
"Ya, jika kita terdesak waktu dan para pendukungnya semakin sedikit."
Tatkala keduanya asyik berbincang-bincang, tiba-tiba Naila masuk seraya mencium
kedua pipi Ibnu Zaidun layaknya seorang ibu yang sangat menyayanginya. Ia langsung ikut
nimbrung bicara tanpa menanyakan topik pembicaraan terlebih dahulu kepada keduanya saat itu.
Ia berujar, "Apakah kalian sudah mendengar berita yang menakjubkan?"
"Kabarkanlah, wahai sang informan cerdik!"
"Abu Walid bin Jahwar telah mengangkat Sophia dan kekasihnya, Ibnu Al Saqa dalam
sebuah jabatan pemerintahan. Ia kini menggengam seluruh wewenang kerajaan di tangannya.
Ia menggunakan kekuasaan sekehendak hatinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia berteriak, "Inilah awal malapetaka dan kehancuran. Ibnu Al Saqa itu sosok
seorang yang wawasannya luas dan tinggi cita-citanya. Tetapi keluasan wawasannya
itu menjauhkan cita-citanya sehingga hal ini cukup riskan dan berbahaya bagi
keutuhan negara. Dia adalah sosok
yang fasih gaya bicaranya dalam berpropaganda. Ia tidak mampu tidak berbuat
jahat untuk menyampaikan dirinya pada tujuan yang diinginkannya. Dia selalu memotong tangan
orang yang

Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantunya setelah keinginannya tercapai."
Naila menyahut, "Jangan berlebih-lebihan, wahai Abu Walid!"
"Kau akan mengetahui kebenarannya kelak."
"Abu Walid bin Jahwar mengutus Ibnu Al Saqa menjadi duta besar antara dirinya
dan kaum Bani Ibad." "Serigala bertemu anjing hutan?"
"Siapa kuda perangnya?"
"Cordova yang nestapa."
"Janganlah meramal. Dunia tidak selamanya baik."
Naila lalu bergegas menuju pintu seraya menoleh ke arah Wilada dan berkata,
"Dunia selalu baik selama ada cinta dan cita-cita di dalamnya."
Hiduplah Ibnu Zaidun di bawah naungan Abu Walid bin Jahwar dengan senang dan
bahagia. Kembalilah kedudukan dan jabatan mulianya. Ia berkumpul pada petang harinya
dalam acara perkumpulan Wilada dengan beberapa tokoh penyair dan sastrawan. Larutlah malam
di antara pekatnya, nyanyian, dan canda tawa.
Hari-hari berlalu. Malam pun silih berganti. Kecintaan Ibnu Jahwar pada Ibnu
Zaidun ternyata berlangsung sebentar berubah rasa jemu dan muak. Musuh-musuh Ibnu Zaidun terus-
menerus membuat tipu daya demi tipu daya. Adu domba di balik adu domba. Mereka begitu
luwes dalam berbohong dan enteng dalam memfitnah dengan cara membesar-besarkan kesalahan dan
kekhilafannya. Ia tidak merasa bahwa mereka tengah menjerumuskan dan
menggelincirkan kepercayaannya. Ibnu Jahwar kemudian mengutus Ibnu Zaidun untuk menjadi duta di antara beliau
dan Idris Al Husna di Malaqa. Diam-diam Al Husna adalah pengagum berat kecerdikan dan
keandalan sastranya. Beliau memberikan kepercayaan penuh. Ia memberikan penghormatan dan
menyuguhkan sambutan yang cukup agung. Ia mempersilakannya duduk dan gemar
mendengarkan syair-syairnya. Ia sangat tertarik dengan kehalusan tutur katanya
dan keelokan perangainya. Ia mendesak agar dirinya memperpanjang masa tinggalnya bersamanya.
Bahkan meminta dirinya agar menjadikan Malaqa sebagai tempat tinggalnya. Ia menawarkan
pada dirinya untuk memilih jabatan tertinggi sesuai dengan yang dikehendakinya.
Hati Ibnu Zaidun sempat tergiur. Ia merasa enggan untuk kembali pulang. Ia
teringat musuh- musuhnya di Cordova. Ia teringat penghinaan Ibnu Jahwar kepadanya, dan ia pun
teringat bahwa dirinya hanya hidup di bawah pimpinannya sebagaimana kehidupan nelayan laut yang
terus- menerus takut dan terancam meski angin berembus tenang dan langit terang.
Tetapi, ia juga teringat Wilada. Ia sadar, hidup tanpanya sia-sia. Urunglah
keinginan untuk tetap tinggal. Ia merasa Cordova adalah surga yang penuh
kenikmatan kendati dikelilingi api neraka di setiap sudutnya.
Tatkala Ibnu Zaidun lama tinggal di Malaqa, masuklah Ibnu Abdus dan Ibnu Al
Makrie ke istana Ibnu Jahwar suatu pagi. Ibnu Abdus berkata, "Apakah Tuanku mendengar bahwa Ibnu Zaidun ada niat untuk
tinggal di Malaqa?" "Tidak. Bagaimana bisa seorang menteri di suatu negara membantu negara lain yang
saling bersaing dan bermusuhan?"
Ibnu Al Makrie berkata, "Dia itu. Tuan, ditelantarkan ke Cordova dari asalnya
sebagai pelayan. Sementara di Malaqa dia dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat ia lakukan di
sini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seorang panglima yang disiplin tidak akan meninggalkan medan perang begitu
saja. Aku pun telah mendapatkan kabar angin dari Malaqa bahwa dia mendukung
kepemimpinan Al Husna dengan menuruti apa yang ia kehendaki."
Ibnu Abdus menyahut, "Saya tahu dia berencana dengannya untuk mengembalikan
Cordova pada Bani Hasan bin Ali."
Wajah Ibnu Jahwar tampak marah seraya berkata, "Tidak, Abu Amir, dia tidak akan
senekat itu. Ia tidak akan memusuhi musuhnya hingga mengatakan dia hendak mencerai-beraikan
bangsa yang menjadi taruhan nyawanya sebesar biji sawi sekalipun! Ibnu Zaidun itu jika
sifat-sifat patriotisme dan heroismenya belum ditanggalkan, maka tak seorang pun dapat
mengajaknya berkhianat pada negaranya. Dia juga tidak bodoh, apa sejarah Cordova dengan
Dinasti Hasanain - dua hasan yaitu Hasan dan Husain, anak Sayyidina Ali bin Abu Thalib
dan cucu Rasullah saw. Dengan kata lain, dinasti ini disandarkan pada keturunan Ali bin
Abu Thalib r.a., - dari kekacauan dan permusuhan. Penduduk Cordova tidak akan pernah melupakan
peristiwa pada tahun-tahun kekejaman mereka yang hampir menghancurleburkan istana-istana Al
Zahra. Mereka membantai penduduk dan membinasakan semuanya. Mereka bersekutu mereka bangsa
Barbar, maka tersebarlah pembunuhan dan pemusnahan etnis Genocide. Hingga, Abu Al Bilad
menyelamatkan Cordova dari kekejian mereka. Kemudian, pemerintahan pun direbut
Dinasti Umayah. Tidak, wahai Ibnu Abdus. Abu Walid tidak akan menjual negaranya pada
seorang pun. Bagaimana mungkin ia menjualnya pada mereka yang terkenal kejam dan bengis itu?"
Ibnu Al Makrie menjawab, "Semula, aku juga mengira demikian. Tuan. Tapi, berita
yang sampai pada kami adalah angin dari Malaqa yang menggoyangkan keyakinan kami
sehingga kami sangsi dan ragu. Menurutku, sebaiknya Tuan mendahulukan prasangka buruk. Hal itu lebih
selamat akibatnya dan lebih rendah bahayanya."
"Ancaman dan bahaya yang mana" Dia itu orang yang banyak dihujani prasangka
dalam soal ini." Buru-buru Ibnu Abdus menyela sambil tersenyum, "Hati itu berubah-ubah. Tuan.
Cita-cita dan harapan menjadi dusta sehingga ia akan menipu dirinya sendiri. Kau
mengira bahwa kebaikan tidak dapat diperoleh selain dengan kejahatan. Kebenaran tidak akan tegak
kecuali di atas dua kaki kebatilan. Jika tidak, kenapa setiap kali aku menemui Ibnu Zakwan, Tsabit
Al Ghafiqi, dan Ammar Al Baghi, mereka itu membawa suratnya dan rahasia-rahasia
bangsanya" Penuh tipu daya
dan memalingkan wajah mereka dariku dengan penuh takut, malu, dan berhati-hati.
Kenapa setiap kali aku bertanya pada salah seorang di antara mereka tentang Ibnu Zaidun dan
lamanya tinggal di Malaqa, mereka hanya bingung, membisu, dan wajahnya penuh kaku, bahkan
cenderung menghindar" Tidak, Tuanku, apabila hal ini dibiarkan, ia akan berkobar membakar.
Membiarkan suatu kejahatan adalah kejahatan."
Ibnu Al Makrie segera menambahkan, "Saya mendengar kabar ia mengirimkan surat
pada pelayannya, Ali, agar menyusulnya ke Malaqa bersama Ubaidah dan seisi penghuni
rumahnya. Tapi aku tidak yakin dengan berita ini."
Ibnu Jahwar bergeser di atas tempat duduknya. Wajahnya tampak bingung. Ia
meminta pada sekretarisnya untuk mengirimkan surat pada Ibnu Zaidun agar ia mempercepat
kunjungannya dan segera pulang." Ibnu Zaidun pulang ke Cordova dengan sedih dan kecewa karena ia tahu bahwa ular
Cordova kembali menggoyangkan kepalanya. Titik keburukan telah reda, sebentar kemudian
kembali bersatu untuk memulai tipu daya yang baru. Dia di Cordova seperti di antara dua
impitan singa yang senantiasa menyertainya. Tidak luput sehari pun ia bisa menggerakkan
tubuhnya. Ibnu Zaidun tiba di Cordova. Ibnu Jahwar menyambutnya. Ia lalu menegurnya dengan
teguran ringan dan diselingi canda tawa. Ia saat ini kurang mengumbar senyuman. Ibnu
Zaidun merasa, senyumannya itu hanya menyerupai kilat yang mendahului petir. Di balik
kelembutan ini tersimpan perangkap yang dipasang dan keputusan sebuah hukuman.
Ia pun menemui Wilada dan Naila. Ia mengadukan nasibnya itu pada keduanya.
Hatinya selalu dirundung ketakutan. Ia lalu mengeluarkan dari sakunya sepucuk surat yang
dikirim oleh Al Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Muktadlid bin Ibad yang mengajaknya bergabung dengan Kerajaan Aspilia. Telah
dipersiapkan untuknya jabatan dan kedudukan yang tinggi.
Naila berkata, "Ibnu Ibad itu penipu ulung. Aku khawatir ia tengah memasang
jerat perangkap untukmu demi memenuhi keinginannya."
Wilada bertanya heran, "Keinginan apa, maksudmu?"
"Untuk menduduki Cordova. Dia tergila-gila pada Cordova. Apakah kau tahu dia
membunuh anaknya sendiri, Ismail, karena perintahnya untuk menyerang Cordova tidak
digubrisnya dengan alasan sedikitnya tentara berikut perbekalan mereka saat itu?"
"Dia membunuhnya tatkala menangkapnya. Ia berkolusi dengan para tentara untuk
membunuhnya." "Kenapa dia berkolusi dalam membunuhnya?"
"Dia berkolusi untuk membunuhnya karena dia tahu bahwa setelah penolakan
penyerangan ke Cordova itu ia telah ditemukan tewas mengenaskan."
Ibnu Zaidun berkata, "Apa salahnya seseorang ingin menguasai Cordova" Ia itu
lebih terhormat dari pemimpm-pemimpin Andalusia. Dia itu bersikeras untuk
menguasai Cordova dan seluruh
daerah-daerahnya dan menjadikannya negara yang tunduk pada kekuasaan Barat. Ia
khawatir, dengan kekejaman bangsa Arab dan juga Barbar. Dia juga tidak menolak cita-citaku
setiap kali terlintas pikiran untuk menyatukan bangsa Arab."
Naila buru-buru memotong, "Jangan kausebarkan rahasia ini pada seorang pun
kecuali jika kita mau kembali pada siksaan dan penjara."
Ia tertawa dan berkata, "Kita sudah pintar untuk mengelabui sipir penjara dengan
kue puding setiap kali!"
Mereka pun bubar. Ibnu Zaidun tinggal satu bulan untuk mempersiapkan
pelariannya. Wilada dan Naila pun berniat menyusulnya ke Aspilia.
Pada suatu malam, Ibnu Zaidun pergi ke Aspilia dengan kudanya dengan cukup
berhati-hati dan penuh rasa takut. Ia melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari kedua
busurnya. Gelapnya malam seolah menyelimuti orang-orang yang tidur dan khayalan para
penyair. Kota pun penuh dengan berita pelarian Ibnu Zaidun. Ibnu Abdus dan Ibnu Al Makrie
pun merasa gembira karena mereka berhasil memperdayainya. Tapi yang penting, ada
kepentingan lain yang terbuka lebar. Di depan keduanya jalan yang kosong dari saingan.
Ibnu Jahwar lalu mengirimkan balatentaranya ke seluruh Cordova untuk mencari dan
menangkapnya. Kalau-kalau ia tenggelam di dalam lautan atau terbang di udara.
Tetapi mereka tidak mendapatkan jejaknya sekalipun telah menyisir berbagai jalan. Mereka pun
kemudian mencarinya di balik bebatuan.
Beberapa bulan kemudian orang-orang pun lupa dengan peristiwa larinya Ibnu
Zaidun. Mulailah Wilada dan Naila berencana pergi menyusul ke Aspilia. Namun mata-mata Ibnu Abdus
mengendus rencana itu. Ia pun mem-beritahu Ibnu Jahwar yang kemudian melarang
mereka berdua pergi. Diutuslah pada mereka berdua sang walikota untuk mengancamnya
dengan hukuman berat seandainya mereka berdua tetap meninggalkan Cordova. Tersebarlah
di rumah keduanya mata-mata dan pengawasan.
0==0 14 Ibnu Zaidun tiba di Aspilia setelah beberapa hari. Pada masa itu, Aspilia
termasuk kota sejahtera di dunia yang makmur, tanahnya subur, udaranya sejuk dan ladangnya
luas. Terletak di sebelah kiri pantai 'Al Wadi Al Kabir' yang naik memanjang
sekitar 72 mil. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tersiramlah ladang dan taman-taman. Ia terbentang sebagaimana terbentangnya awan
di malam yang terang dari hamparan langit. Ada gunung tinggi. Yaitu debu merah yang
memanjang dari utara ke selatan sekitar 40 mil. Cahaya matahari senantiasa menyinari
sebagian tanahnya untuk menyinari pohon-pohon zaitun dan tin.
Di Aspilia ada pasar, transaksi perdagangan, istana-istana megah, dan kebun-
kebun nan hijau. Sebuah perumpamaan penduduknya 'tentang kegilaan dan kemabukan dalam sebuah
peribahasa mereka, "Setiap kali ilmuwan Aspilia mati maka karya-karyanya akan dijual di
Cordova, dan setiap kali penyanyi Cordova meninggal maka alat-alat musiknya
dijual di Aspilia." Ibnu Zaidun tidak sampai di kota itu selain guna menuju istana Al Muktadlid.
Inilah istana mewah sepanjang sungai, luas ruangannya, dan mewah bangunannya. Kubah-kubahnya
menjulang tinggi seolah tidak mau berpisah dengan langit. Sebaiknya kami tidak
usah menggambarkan lagi kemegahannya. Cukup kita katakan: itulah istana Bani Ibad!
Bani Ibad memang diciptakan sebagai ras yang paling agung. Keunggulan mereka
melebihi kera-jaan-kerajaan masa lalu. Watak mereka suka berlebih-lebihan dan bersenang-
senang dalam kesenangan dunia. Ibnu Zaidun meminta izin pada Al Muktadlid. Ia duduk di ruangan tamu tempat para
menteri, duta, dan petinggi negara berkumpul. Ia tidak sampai ke hadapannya kecuali
setelah melalui

Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

birokrasi yang sangat panjang. Mula-mula ia diterima seorang hamba sahaya yang
hitam. Kemudian diserahkan pada pelayan Slavia untuk dituntun ke sebagian pejabat
istana, lalu pada pemilik dua kementerian. Abu Ali bin Gabla. Ia bagaikan bola yang disepak ke
sana kemari. Tatkala Ibnu Gabla melihatnya, ia menyambut dan memeluknya dengan penuh rasa
cinta dan hormat Halaman sebagoan sobek Al Muktadlid berusia empat puluh lima tahun. Perawakannya tinggi, wajahnya seram
dan matanya tajam hingga membuat orang lain seram memandangnya. Para pembesar dan
pembantunnya sangat melebihi kecerdikan biasa. Terlebih dalam soal wawasan
politik. Mereka pun dikenal sangat kejam. Seolah-olah singa yang siap menerkam mangsanya dan
serigala yang tahu kapan memangsa dan mempertahankan diri. Ia banyak mengharap sesuatu yang di
luar kemampuan hingga pedang tajam selalu ada di tangannya. Kuda-kuda telah siap.
Para menteri di sekelilingnya selamanya selalu siap untuk menyerang dan berperang.
Ibnu Zaidun masuk lalu memberi hormat pada raja di singgasana kebesarannya. Sang
Raja mempersembahkan senyuman lebar dan kata-kata sejuk menyambut kedatangannya.
Keadaan itu seolah-olah mengatakan: "Inilah sambutan optimal yang mampu aku persembahkan
kepadamu. Bersyukurlah kepada Allah atasnya karena aku tidak memberikan semua ini pada
yang lain." lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku bajunya yang sejak
semula disiapkan untuk memujinya: Sebagian sobek ..................pemimpin itu tujuan
..........meringankan beban kerinduan itu cita-
...............ah cita-cita dariku saat tenang .
Menyebut mereka menenangkan tempat tidur"
Aku menjauh, maka tempat mulia yang
Di sebelah barat aku kecewa dengan sinarnya, aku keluar
Atau aku berlindung dari buruan raja-raja di sekelilingku
Mereka itu tiada lain budak raja mereka Ibad
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemuliaan adakah maaf berpisah bagi orang yang berlindung
Sang pencipta akan tahu bagaimana bernyanyi
Di keluarga Ibad yang terpecah lalu aku teguhkan
Kebimbanganku di saat aku mendaki gunung-gunung
Orang-orang yang sadar yang mengharap anugerah
Pada raja-raja, saat raja-raja terpuruk
Rumah tertancap pada bukit di puncaknya
Meski rumah itu bangunannya kokoh
Diriku jaminanmu wahai Raja yang
Berseri bintang pada wajahnya yang pendengki!
Tampak padamu perlawanan tipu daya
Tergesa-gesa padanya jiwa-jiwa yang mengasihi
Tidak terbalas olehmu mata pandangan pertama
Seandainya anugerah kembali bertambah
Jika aku bangga pada apa yang aku sampaikan maka sedikit untukku
Tidak ada bintang yang indah
Hanya saja pujianku untuk memujimu
Kupersembahkan.... Al Muktadlid menggeleng-gelengkan kepala pada si pemuji. Ia semakin memuji dan
menyambutnya. Ia lalu menyerahkan padanya jabatan mentri. Ia memerintah Ibnu
Gabla untuk mempersiapkan rumah yang sesuai dengan kedudukannya. Mempersiapkan padanya para
pelayan dan budak-budak untuk melayaninya.
Ibnu Zaidun hidup di bawah naungan Al Muktadlid dengan kedudukan mulia yang
begitu indah terdengar dan enak dipandang. Penerimaan dan kegembiraan sang Raja dari hari ke
hari semakin bertambah tatkala tampak kecekatannya dalam mengerjakan berbagai pekerjaan.
Orang-orang kota ramai membicarakan Ibnu Zaidun. Setiap wajah yang ceria
menyukai untuk menyambut bait-bait syair cinta yang makin mengakrabkan persahabatannya dan
menjinakkan tunangannya. Telah sampai di Aspilia syair-syair
Wilada. Ia mengulang-ulang baitnya. Didendangkannya syair itu oleh para penyair
dan dinyanyikan pula para biduanita.
Akan tetapi penyair-penyair kita sekarang sering melampaui batas-batas
kepemudaan namun melupakan permainan masa kanak-kanaknya. Harinya tidak kembali lapang karena
musibah baru tentang kebingungan cintanya pada Wilada dan tidak membiarkan salah satu sisinya
sekalipun tempat yang kosong. Ibnu Zaidun tidak melupakan masa Wilada dan tidak dilaluinya hari-hari kecuali
mencintainya dan kenangan manis dalam mengenangnya. Bila malam berlalu panjang, ia berdiri di
depan jendela rumahnya. Ia menoleh sinar berkelebatan di ufuk utara dan angin berembus
dari arah Cordova pada malam yang gulita. Ia menatap khidmat tanpa terusik sambil
mendendangkan syairnya. Kelembutan menjadi pengganti dari keniscayaan kami
Manis kenangan kami kembali membekukan kami
Sang waktu yang penuh canda tawa kami
Lembut dengan kedekatan mereka dan Tersisalah tangis kami
Amarah musuh yang mendahagakan nafsu kami biarkanlah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk menggigit dan berkata bencana telah aman
Uraikanlah apa yang membelenggu jiwa-jiwa kami
Lepaskanlah apa yang mengikat tangan-tangan kami
Sungguh kami ada dan tidak khawatir memisahkan kami
Hari ini kami mengharap pertemuan kami
Kami tidak yakin setelanmu kecuali menepati janji
Satu pandangan dan kami tidak mengikutkan selainnya
Kecuali agama Antara kamu dan kami tidak terpisah sayap-sayap kami
Karena rindu kepadamu, dan tidak kering tempat minum kami
Menjanjikan kepada kami walaupun tidak mengharap
Resah kehilanganmu pada hari-hari kami Maka siang menjadi
Gelap, dan bagimu terang pada malam-malam kami
Sisi kehidupan bebas dari kasih sayang kami
Dorongan-dorongan syahwat berbaris pada barisan kami
Untuk mendahagakan masamu
Masa penuh gembira maka tidaklah
Kalian bagi arwah-arwah kami selain berembus angin
Demi Allah, Aku tidak meminta hawa nafsu kami sebagai pengganti
Darimu, dan Tidak memalingkan darimu keimanan kami
Wahai pengendali kilat, petirkanlah istana
Dan hujanilah siapa Yang memalingkan nafsu Dan rasa cinta pengobat dahaga kami
Pemelihara raja jika Allah menghendakinya
Mewangi, takdirkanlali jika sang makhluk menghendaki tanah
Wahai taman tatkala menghiasi waktu-waktu kami
Dengan bunga, kanak-kanak terkena gigitan burung nasar kami
Wahai kehidupan, penuhilah kami dengan serinya
Pada gosip yang dinikmati memisahkan kami perangai waktu
Kami tidak menyebutmu luhur dan mulia
Kuasamu yang luhur dari itu cukuplah bagi kami
Tibalah hari raya Iedul Adha. Jauh dari pemuasan nafsu dan permainan anak-
anaknya. Kenangan pun silih berganti, kasih dan sayang kepadanya pun semakin bertambah
dan meluluhkannya rasa rindu itu. Ia merenung dalam nyanyian pedih, dan kicau burung
terpenjara. Kekasihku, tidak pagi tidak siang menggembirakan
Apa kabar orang petang yang merindu sebagaimana sang siang"
Ingatlah, apakah pada bunga ada harum yang jauh
Terbentang jauhnya saluran-saluran airnya yang berjauhan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tempat istirahat mengenang keabadian yang indah
Jika kuat sang pemuda mati
Tukang pos datang kepadanya dengan membawa kabar kematian Naila. Maka hilanglah
asa dalam dirinya dan terputuslah anggukan. Ia pun menangis sejadi-jadinya dengan
penuh kasih dan sayang bagaikan langit yang suci nan murni.
Ia pun bersenandung: Kedermawananmu mencucurkan air mata
Maka semisalnya Jika cinta di hati tercopot
walau mata mencucurkan airnya
Aku menangis tulus kemarin dengan tangisan
Karenamu sebagamana janji yang ditepati.
Maka kembalilah Di dunia kita dapatkan hidup dalam harapan
Kami beralasan dengan harapan tapi kami tertipu
Kilat-kilat yang bukan kelompoknya dengan satu tipuan
Adalah utusan antara Ibnu Jahwar dan Wilada tidak terputus datang dan pergi
seolah atap rumah yang menenun tanpa mampu menemukan tangan kanannya sehingga kembali ke
tangan kirinya. Akan tetapi apa yang dikerjakan utusan itu" Apa ia dapatkan hal yang
baru dari surat-surat itu"
Kekasihnya adalah kekasih Ibnu Jahwar. Simbol kekuatan Cordova yang tidak bisa
dicerai- beraikan" Semoga Allah membinasakan Ibnu Jahwar! Semoga Allah melaknat hari-hari
kelam yang telah menjebloskannya - Kepala Dewan Pemerintahan - dengan bengis dan kejam di
antara kekuasan dan keangkuhannya!
Ia telah mencurahkan dirinya dalam berbakti kepadanya tapi ternyata tidak
berguna. Ia mencopot dari si pemuji pahala yang melintas tahun namun tidak terlintas. Ia
kemudian datang untuk urusan lain. Ia berusaha antara dirinya dan kesenangan hidup serta akhir
cita-cita hidupnya: Bani Jahwar membakarmu dengan kekasaran Hidupku tetapi
pujian-pujian kau gemari Kau
menyebutku minyak wangi yang hanya Mengharumkanmu jiwa-jiwanya ketika terbakar
Tatkala Wilada hendak menyusulnya ke Aspilia di bawah remangnya malam, ternyata
rahasia kepergiannya itu tercium oleh Ibnu Abdus sehingga ia menghalanginya untuk pergi.
Ibnu Zaidun hidup di Aspilia dalam tahun-tahun penuh kebimbangan dan keresahan.
Ia tidak merasa tenteram di bawah kekhalifahan Al Muktadlid meski ia memberikan
segalanya. Hatinya tidak tenang sekalipun penuh dengan kesenangan karena dia diberi sesuatu yang
tidak diinginkannya. Ia tersenyum tanpa cinta. Bertanya padamu tanpa kerinduan dan berbicara denganmu
tanpa kasih sayang. Sosok yang merasa bahwa engkau duduk dengannya namun engkau
bagaikan gua tersembunyi karena dia melihatmu untuk sosok yang lain. Ia ingin lembut dan
ramah, tapi berkecamuk antara yang alami dan rekayasa. Kecamuk antara jiwa yang ringan
menggembirakan. Ruh yang diinginkan ringan dan kau ingin ruh itu bergembira.
Orang ini telah memujimu. Tapi pujiannya itu memekakkan telingamu sebagaimana
pekak pujian seorang majikan pada pelayannya. Ia memerintahmu dengan suruhan. Ia
lapang berbicara akan tetapi selamanya hanya mencari agar ia bersyair untukmu dalam kemerduannya.
Semua itu hanya membenarkanmu dengan kerendah-hatiannya dan meminta jalan padamu untuk
beristirahat dari kebesaran yang membuat dadanya menyempit.
Karena semua ini, Ibnu Zaidun menjadi urung untuk mengungkapkan cita-citanya
pada Al Muktadlid yang hanya akan membuatnya terancam siksa, penjara, dan pengusiran. Ia
urung untuk Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengajaknya dalam menyatukan negara-negara Arab di Andalusia karena dia
memandang perang akan berkecamuk. Kekacauan akan tersulut tak terkendali selain politik kekerasan
dan peperangan. Karenanya, ia hanya menyembunyikan rahasianya itu di dalam dadanya.
Tidak diberitahukannya rahasia itu pada seorang pun baik dengan terang-terangan maupun
bisikan. Yang menjadi penghiburnya di kala sepi tiada lain Muhammad bin Ibad, putera
mahkota raja. Ia adalah seorang pemuda cerdas. Cita-citanya dipenuhi dengan harapan-harapan
besar. Semangat patriotismenya menyembunyikan keceriaan, canda tawa, dan segar. Ia sering
berkumpul dengan Ibnu Zaidun, Ibnu Ammar, dan Ibnu Marrarin. Perkumpulan ini merupakan gambaran
keter- purukkan Andalusia di bawah pemerintahan bangsa Arab. Tenggelamlah generasinya
dari cita- cita, ketegaran, dan keluhuran misi.
Hari-hari berlalu. Tahun berganti tahun. Al Muktadlid pun akhirnya menghadap
Sang Maha Penguasa. Orang-orang pun resah bercampur sedih. Ibnu Zaidun menguatkan
kesedihannya itu dengan mempersembahkan beberapa syair kepiluan di atas pusaranya.
Al Muktamad, ayahnya, menggantikan Al Muktadlid. Ia lalu naik tahta singgasana
Aspilia. Tersiarlah di antara orang-orang dan memohon kepada Allah seandainya khayalan
mereka itu benar adanya. Ia adalah seorang sastrawan penyair. Ia menghadap Ibnu Zaidunlalu
memberikannya jabatan. Terbersitlah rasa dengki pada hati para pendengki.
Sekelompok orang memisahkan diri dengan membawa bendera mereka sendiri. Dian-taranya; Ibnu Ammar
dan Ibnu Marratin. Mereka senantiasa menyebarkan isu tentang Al Muktamad. Bahkan mereka


Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyuruh "Sabah' sang penyanyi, untuk berdendang:
Wahai Raja yang agung Potonglah urat leherku Dengan kesewenang-zvenangan
Putuskanlah dengan pedangmu Sakit kemunafikan Tampak indah dan sebalik dari itu Adalah
menyembunyikan Al Muktamad tampak marah seraya berkata pada Ibnu Ammar, "Apa maksud syair ini?"
Ibnu Ammar tersenyum kecut seraya menjawab, "Tidak tahu, Tuanku, siapa yang kau
maksud ini sebenarnya. Akan tetapi hal ini sudah menjadi pembicaraan di berbagai
pertemuan dan kumpulan di Aspilia."
"Apa yang mereka bicarakan?"
"Maafkan kami, Tuanku, mereka berbicara seputar orang yang sangat dekat dan
akrab denganmu." "Siapa dia" Katakanlah! Jika tidak, jawaban pedangku akan mendahuluinya."
"Ibnu Zaidun, Tuanku."
"Ibnu Zaidun?" "Benar, Tuanku. Mereka membicarakan kelan-cangannya seputar dua bait syair yang
didendangkannya tatkala sampai padanya berita kematian tuanku Al Muktadlid."
"Apa kedua bait syair itu?"
"Mereka mengatakan bahwa dia pernah bersyair,
Telah menggembirakanku Berita kematian seorang pemimpin
Dengan kesewenang-wenangan
Yang telah meresahkan orang-orang resah
Jauhlah cucuran air kuburmu karena kekeringan
Hisab datang padanya dan dia cemberut
Al Muktamad tertawa terbahak-bahak mengejek dengan meremehkan seraya berkata,
"Kini aku tahu betapa lemahnya desas-desus itu dan apa yang dilontarkan dari racun gosip-
gosip itu! Inilah dua bait yang aku katakan juga saat aku mengetahui kematian
Ibnu Dzunnun penguasa Tulaitilla.
Ibnu Zaidun tidak bersalah karena kedua bait syair itu sebagaimana kebebasanku
untuk mencaci semua musuh-musuh dan para pesaing-pesaingku/'
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibnu Zaidun akhirnya mengetahui kabar itu. Ia lalu mendendangkan sebuah syair
indah memuji Al Muktamad yang berhasil menjauhkan diri dari isu para pendengki:
Katakan pada para pemberontak yang melontarkan kekejian mereka
Mereka melihat diamnya sebagai busur panahi
Tidaklah mimpi Muhammad dapat menyingkirkannya
Dari masanya kedengkian hati yang busuk
Kedudukan Ibnu Zaidun di mata Al Muktamad semakin tinggi dan luhur. Tibalah pada
suatu malam ia menyendiri dengannya. Ia pun lalu membeberkan cita-citanya selama ini
dalam mengembalikan kejayaan bangsa Arab dan memajukan generasi-generasinya. Ia
menyebutkan bah-wasannya dirinya memiliki kekuatan dan kekuasaan. Ia juga menjelaskan
keterpurukan yang terjadi setelah sendi-sendi kekuatannya mulai pudar.
Ia mengeluh dengan penuh sedih dan penyesalan, "Lihatlah, Tuanku, pada mereka
yang telah meracuni diri mereka sendiri dari kalangan pemimpm-pemimpin itu. Katakanlah
padaku siapa yang pantas untuk memimpin perjuangan ini. Ibnu Hud si pengkhianat itu atau Ibnu Al
Afthas yang menghabiskan malam dan siangnya hanya dengan nyanyian dan hiburan" Atau, Ibnu
Dzunnun yang selalu menjadi pedang di tangan raja-raja Spanyol" Atau, Ibnu Badis yang
bodoh dan Barbar itu" Tidak ada, Tuanku, selain Andalah yang dapat mendamaikan
permusuhan dan mempersatukan mereka. Pikullah beban berat ini agar kau diabadikan dalam sejarah sebagai tokoh
pahlawan yang selalu disebut-sebut di setiap pagi dan petang. Engkau tidak akan masuk dalam
catatan raja-raja dan para pemimpin. Engkau adalah pemersatu. Engkau akan
digolongkan kepada anak-anak
dunia yang muncul dari rahim langit sebagai penguasa Arab Raya dan Sang Raja
Diraja." Al Muktamad tampak tersanjung dan bangga akan dirinya. Ia lalu memandang Ibnu
Zaidun seraya berkata, "Lalu, bagaimana caranya kita dapat sampai pada cita-cita mulia
dan misi yang berat ini?"
"Strateginya, Tuanku, engkau mesti menguasai Cordova terlebih dahulu dan
menjadikannya sebagai bagian dari kerajaanmu. Rebutlah negara-negara ini dari negara tersebut
satu per satu. Perjuangan itu akan mendatangkan pertolongan. Rasa takut akan mulai mengancam
musuh- musuhmu sehingga dapat menahan pedang-pedang mereka dalam sarung-sarungnya."
"Saat ini, Cordova berada di bawah kekuasaan raja yang lalim dan diktator,
Haretz bin Ukasha. Cordova akhirnya dapat dikuasai setelah Al Makmun bin Dzunnun dan balatentaranya
pergi. Aku mengetahui bahwa Abdul Malik bin Jahwai kini hanyalah kaki tangan Ibnu Ukasha
yang lebih buruk dari kematian dan lebih nista dari antara kehinaan dan kebusukan!"
"Benar, Tuanku. Menurutku, hendaklah Tuanku mengirimkan balatentara ke Cordova
guna menyampaikan ke hadapannya bahwa engkau datang untuk melepaskan dirinya dari
cengkeraman kekuasaan Ibnu Ukasha dan mengembalikan kekuasaan pada Abdul Malik
bin Jahwar. Tuanku mesti melibatkan para menteri dan pejabat Cordova untuk
membicarakan rencana ini agar tidak ada tentara Cordova yang menentang dari melawan Anda."
"Kaki tangan kita di sana adalah menteri Ibnu Al Saqa. Dialah orang yang paling
setia dan paling gigih berbakti pada bangsa kita."
"Bagus, Tuanku. Utuslah seseorang padanya malam ini dan kita mempersiapkan
tentara untuk menanti hari-hari penyerangan ke Cordova."
Al Muktamad sangat menyetujui rencana ini. Pergilah sang utusan itu. Balatentara
pun dipersiapkan yang dipimpin langsung oleh Al Muktamad dan Ibnu Zaidun. Tibalah
balatentara itu ke benteng perbatasan Cordova lalu merangsek ke dalamnya. Terbukalah di depan
mereka gerbang-gerbang itu. Terbentanglah jalan-jalan di depan mereka.
Al Muktamad berhasil membunuh Ibnu Ukasha dan mencerai-beraikan balatentaranya.
Abdul Malik mengira bahwa rencana itu sudah berakhir di sini. Ternyata Al Muktamad dan
balatentaranya kembali menyerang Aspilia. Tetapi Al Muktamad tidak melakukannya
sampai di sini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja. Bahkan, ia menangkap Abdul Malik dan para pendukungnya serta seluruh
keluarganya dan menyeretnya ke penjara. Ibnu Zaidun gembira bertemu Wilada. Keduanya menangis saking bahagia dengan
pertemuan itu. Terlebih dalam pertemuan itu tanpa kehadiran Naila setelah sekian hari
berlalu. Ibnu Zaidun bertemu Wilada namun setelah hari-hari berlalu. Masa mudanya berlalu
sirna termakan usia. Ia melewati hari-hari dengan penuh kepedihan demi kepedihan. Tak
terasa, ternyata usianya sudah menginjak enam puluh delapan tahun. Ia seperti pemimpin
yang melihat kebimbangan dari keceriaan. Saat ia melihatnya sungguh buta.
Ibnu Zaidun kembali ke Cordova namun ketenangan dan kenangan indah Cordova telah
sirna. Yang tersisa hanyalah kepedihan rasa sakit dan kekecewaan. Karena ia menyaksikan
setelah waktu-waktu berlalu bahwa Al Muktamad ternyata tidak seperti yang dibayangkan
dalam menjalankan misi dan cita-cita perjuangannya.
Pada suatu malam, Ibnu Zaidun sakit keras. Wilada duduk di sisi ranjang tidurnya
sambil menangis menyayat hati. Dia memperhatikan dirinya dengan saksama dan melantunkan
jiwa-jiwa luluh bagaikan redupnya lampu di akhir malam dan bersenandung:
Tidaklah terlambat Menangis gumam sepertiku Ia meminta jejak kilat Menyambung keturunan Tidakkah gemintang malam Selalu terbit sempurna Untuk menyempurnakan ufuk-ufuk
Yang menyirnakan cita-citaku
Ia terus mengulang-ulang keempat bait syair itu hingga ia mendapatkan Ibnu
Zaidun menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Ia melepas raganya. Akhirnya, Wilada tidak
mendapatkan lagi dirinya di keesokan harinya.
TAMAT Korban Ratu Pelangi 1 Animorphs - 40 Yang Lain The Other Matahari Esok Pagi 2
^