Perintah Kesebelas 1
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Bagian 1
Source Hanaoki.wordpress.com Convert Pdf by navaseil@gmail.com THE ELEVENTH
COMMANDMENT Jeffrey Archer Copyrighi ? Jeffrey Archer 1998 Publi.vhed by arrangement with HarperCoIIins
Publishers Ltd. AH rights reserved
PERINTAH KESEBELAS Alih bahasa: Joko Raswono GM 402 00.417 Sampul dikerjakan
Oleh: Marcel A.W. Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah
Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2000
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ARCHER, Jeffrey Perintah Kesebelas/Jeffrey Archer; alih bahasa, Joko Raswono - Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama, 2000. 496 hlm.; 18 cm. Judul asli : The Elevenih Commandment ISBN 979 - 655 - 417 - 8
I. Judul II. Raswono, Joko
813 Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Untuk Neil dan Monigue DAFTAR ISI BUKU SATU Pemain Tim 11 BUKU DUA Pemain Tunggal 165 BUKU TIGA Pembunuh Bayaran
321 BUKU EMPAT Yang Gesit dan yang Tewas
471 UCAPAN TERIMA KASIH Saya berterima kasih kepada orang-orang berikut yang telah membantu dalam
penulisan buku ini: Yang Mulia William Webster, mantan Direktur CTA dan FBI
Yang Mulia Richard Thornburgh, mantan Jaksa Agung Amerika Serikat Yang Mulia
Samuel Berger, United States National Security Advisor Patrick Sullivan, United
States Secret Service, Washington Field Office Agen Khusus J. Patrick Durkin,
United States Di-plomatic Secret Service Melanne Verveer, Kepala Staf Hillary
Rodham Clinton John Kent Cooke Jr., pemilik, Washington Redskins
Robert Petersen, Penyelia^ United States Senate Press Gallery Jerry Gallegos,
Penyelia, Housc Press Gallery King Davis, Kepala Polisi, Sierra Madre,
California Mikhail Piotrovsky, Direktur, Museum Hermitage dan
Istana Musim Dingin, St. P*etersburg Dr. Galina Andreeva, Pengampu Departemen
Lukisan Abad Kedelapan Belas dan Kesembilan Belas, State
Tretyakov Gallery, Moscow Aleksandr Novoselov, Asisten Duta Besar, Kedutaan
Federasi Rusia, Washington D.C. Andrei Titov
Tiga anggota St. Petersburg Mafya yang keberatan disebutkan namanya Malcolm Van
de Riet dan Timothy Rohrbaug, Nicole Radner, Robert Van Hoek, Phil Hochberg,
David Gries, Judy Lowe dan Philip Verveer, Nancy Henrietta, Lewis K.
Loss, Darrell Green, Joan Komlos, Natasha Maximova, John Wood dan Chris Ellis.
Dan, khususnya, Janet Brown, Komisi Presidential Debates; dan Michael Brewer
dari Brewer Consulting Group.
BUKU SATU Pemain Tim BAB SATU Begitu ia membuka pintu, alarm berbunyi.
Kesalahan yang biasa dilakukan seorang amatir Mengherankan, sebab Connor
Fitzgerald dianggap para koleganya sebagai profesionalnya para pro tesional.
Fitzgerala telah mengantisipasi bahwa baru beberapa menit lagi policia akan
bereaksi terhadap pembobolan di distrik San Victorina.
Masih beberapa jam lagi pertandingan sepak bola tahunan melawan Brasil
berlangsung. Tetapi separo dari seluruh pesawat televisi di Kolombia pasti telah dinyalakan. Jika
Fitzgerald membobol pegadaian setelah sepak bola dimulai, policia mungkin tidak akan melacaknya
hingga wasit membunyikan peluit panjang. Sudah diketahui umum bahwa para kriminal setempat
menganggap pertandingan itu sebagai waktu bebas bersyarat selama satu setengah jam. Tetapi
rencana Fitzgerald untuk satu setengah jam itu ialah
13 supaya policia melacaknya berhari-hari. Dan ber-minggu-minggu, bahkan mungkin
berbulan-bulan, akan berlalu sebelum seseorang menyadari arti sesungguhnya pembobolan di Sabtu
siang itu. Alarm masih berdering ketika Fitzgerald menutup pintu belakang dan cepat-cepat
melintasi ruang sempit penyimpan barang menuju pintu depan pegadaian. Ia tidak menggubris
deretan jam di wadah mereka, zamrud dalam kantong-kantong kertas kaca, serta benda-benda dari
emas dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dipamerkan di balijc.terali rapat. Semuanya
ditandai dengan nama dan tanggal sangat cermat sehingga para pemilik dapat kembali dalam waktu
enam bulan untuk menebus warisan keluarga mereka. Tapi hanya sedikit yang datang menebus.
Fitzgerald menyibak tirai manik-manik yang memisahkan ruang penyimpan dengan
toko. Ia berhenti di depan gerai. Matanya menatap koper kulit lusuh di tengah-tengah
etalase. Ada inisial "D.V.R." tercetak di atas tutup koper dengan huruf keemasan. Ia tetap tak
bergerak hingga yakin tak ada orang yang melihat ke dalam.
Ketika tadi pagi menjual senapan istimewa buatan tangan kepada pemilik toko, ia
telah menjelaskan tidak berniat kembali ke Bogota. Maka barang itu dapat langsung
dijual. Fitzgerald tidak heran senapan itu telah dipasang di etalase. Di seluruh Kolombia tidak
akan ada yang serupa dengan itu. Ia baru akan melewati gerai ketika ada seorang pemuda berjalan melewati etalase.
Fitzgerald berhenti. Tetapi perhatian pemuda itu seluruhnya tersita oleh radio kecil yang
menempel pada telinga kiri- 14 nya. Perhatiannya terhadap Fitzgerald hanya seponi perhatian tukang jahit
terhadap boneka model penjahit. Begitu pemuda itu lepas dari penglihatan, Fitzgerald melangkahi gerai
dan menuju ke etalas*-Ia memeriksa jalanan apakah ada yang mengawasinya, tapi ternyata tidak
ada siapa-siapa. Dengan satu gerakan ia mengambil koper kulit dari etalase dan cepat-cepat
berjalan kembali. Ia melompati gerai dan berbalik memandang ke luar lagi untuk memastikan tidak
seorang pun menyaksikan pencurian itu.
Fitzgerald berputar, menyibak tirai manik-manik, dan berjalan ke pintu tertutup.
Ia memeriksa jam tangannya. Alarm telah berbunyi selama 98 detik. Ia memasuki lorong dan
mendengarkan baik-baik. Seandainya mendengar lengking sirene policia, ia pasti
ikan berbelok ke kiri dan menghilang
di sedemikian banyak jalan yang melintas di belakang toko pegadaian. Tapi yang
terdengar hanya alarm. Selain itu sunyi. Ia membelok ke kanan dan berjalan santai ke arah
Carrera Septima. , Sesampainya di trotoar, Connor Fitzgerald menengok ke kiri-kanan. Ia menyelinap
ke antara lalu lintas yang tak padat, dan menyeberangi jalan tanpa menoleh ke belakang. Ia
menghilang di restoran yang ramai pengunjung, tempat sekelompok penggemar sepak bola ramai
mengerumuni televisi berlayar lebar. Tak ada yang memandangnya. Satu-satunya perhatian mereka ialah menonton tiga gol
yang dicetak Kolombia tahun lalu dan ditayangkan berulang-ulang. Ia duduk menghadap meja di
sudut. Walau tak dapat melihat layar televisi dengan jelas, ia dapat meman-15
dang ke seberang jalan dengan leluasa. Sebuah papan lusuh bertulisan
"'J'.Escobar. Monte de Piedad, establecido 1946" terombang-ambing diembus angin siang di atas toko
pegadaian. Beberapa menit berselang, lalu sebuah mobil policia mendecit berhenti di depan
toko. Begitu melihat dua policia berseragam memasuki toko, Fitzgerald meninggalkan mejanya
dan tanpa acuh keluar lewat pintu belakang memasuki jalan lain yang tenang di Sabtu siang itu.
Ia menghentikan taksi kosong pertama yang l^wat, dan berkata dengan logat A/rika Selatan kental,
"El Belvedere di Plaza de Bolivar, por favor." Sopir itu mengangguk singkat, seolah memberitahu
ia tidak berminat bercakap-cakap lebih panjang. Begitu Fitzgerald masuk ke kursi belakang taksi
kuning itu, si sopir langsung menyetel radio. Fitzgerald memeriksa jamnya lagi. Pukul 13.17. Ia beberapa menit terlambat dari
jadwal. Pidato pasti sudah dimulai. Tetapi karena selalu berlangsung empat puluh menit lebih,
ia masih punya waktu cukup untuk melaksanakan tujuan yang sebenarnya berada di Bogota. Ia
beringsut beberapa inci ke kanan supaya benar-benar pasti sopir dapat melihatnya dengan jelas
melalui kaca spion. Begitu policia mulai mengadakan penyelidikan, ia memerlukan semua orang yang
melihatnya hari itu untuk memberikan deskripsi yang kurang-lebih sama: laki-laki, kulit putih,
usia lima puluhan, tinggi 180 sentimeter lebih, berat sekitar 80 kilogram, tak bercukur, rambut
hitam dan acak-acakan, berpakaian seperti orang asing, berlogat asing tapi bukan 16
Amerika. Ia berharap setidaknya ada seorang di antara mereka yang mampu
mengidentifikasi ciri bunyi sengau bahasa Afrika Selatan. Fitzgerald selalu jago dalam menirukan
berbagai logat. Di SMU ia senantiasa mendapat masalah karena menirukan uru-gurunya.
Radio di dalam taksi tak henti-hentinya menyiarkan pandangan pakar, satu
menyusul yang lain, mengenai bagaimana kira-kira hasil acara tahunan tetap itu. Dalam hati
Fitzgerald beralih dari bahasa yang lak ingin dikuasainya, walau akhir-akhir ini ia menambahkan "falta",
"fuera", dan "goV pada kosakatanya yang terbatas.
Tujuh belas menit kemudian Fiat kecil itu berhenti di depan El Belvedere.
Fitzgerald menyerahkan lembaran 10.000 peso kepada si sopir. Dan ia lelah menyelinap keluar taksi
sebelum si sopir sempat berterima kasih atas tip yang begitu besar. Ini bukannya karena para
sopir taksi di Bogota terkenal terlalu sering menggunakan kata-kata "muchas gracias".
Fitzgerald bergegas ke tangga hotel, melewati portir berseragam, dan melalui
pintu putar. Di lobi ia langsung menuju ke deretan lift yang berhadapan dengan meja resepsionis. Ia
menunggu beberapa menit dan salah satu lift kembali ke lantai dasar. Begitu pintu terbuka, ia
masuk dan memencet tombol "8", kemudian cepat-cepat memencet tombol "Close" tanpa memberi
kesempatan orang lain mengikutinya. Saat pintu terbuka di lantai 8, ia melangkah di lorong berkarpet
tipis menuju kamar 807. Ia menggesekkan kartu plastik ke celah dan menunggu cahaya hijau menyala,
baru kemudian menekan pegangan pintu. 17 Begitu pintu terbuka ia memasang tanda "Favor de no Molestai" di luar pintu, la
menutup pintu dan memasang pasaknya. Lagi-lagi ia memeriksa jamnya: pukul 13.36. Menurut perhitungannya, kini polisi
pasti sudah meninggalkan toko pegadaian setelah menyimpulkan bahwa alarm itu salah. Mereka
akan menelepon Mr. Escobar di rumahnya di pedalaman untuk memberi-tahu bahwa
tampaknya segalanya beres. Dan mereka menyarankan supaya ia menelepon polisi jika ada
sesuatu yang hilang sekembalinya ia ke kota hari Senin. Tetapi lama sebelum itu, Fitzgerald pasti
telah mengembalikan koper kulit lusuh itu di etalase. Pada hari Senin pagi yang akan dilaporkan
Escobar hanyalah paket-paket kecil zamrud belum terasah yang diambil policia
ketika mereka pergi. Berapa lama lagi
Escobar akan memergoki benda lain yang juga hilang" Sehari" Seminggu" Sebulan"
Fitzgerald telah memutuskan untuk meninggalkan petunjuk aneh guna mempercepat proses itu.
Fitzgerald melepas jas dan menyampirkannya di kursi terdekat. Dan mengambil
remote control dari meja di sisi tempat tidur. Ia menekan tombol nOnn, lalu duduk di sofa di depan
pesawat televisi. Wajah Ricardo Guzman memenuhi layar televisi.
Fitzgerald tahu bahwa Guzman akan berusia lima puluh tahun di bulan April
berikutnya. Tetapi dengan tinggi tubuh hampir 185 sentimeter dan rambut masih penuh hitam pekat
serta tak ada masalah soal berat badan, ia bisa mengatakan kepada khalayak penyan-jungnya
bahwa ia belum empat puluh tahun. Dan mereka akan mempercayainya. Bagaimanapun tak 18
lunyak orang Kolombia yang mengharapkan para politisi mereka mengatakan
kebenaran tentang apa pun. Khususnya tentang usia mereka.
Ricardo Guzman, favorit dalam pemilihan presiden yang akan datang, adalah bos
kartel Cali yang menguasai 80 persen perdagangan kokain New York. *l m menghasilkan semiliar
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dolar setahun. Fitzgerald inlak menjumpai informasi ini dalam tiga surat kabar n.isional
Kolombia, mungkin karena pasokan kertas koran negeri itu kebanyakan dikendalikan oleh < ni/.man.
'Tindakan pertama yang akan saya ambil sebagai piesiden Anda sekalian adalah
menasionalisasi perusahaan yang mayoritas pemegang sahamnya orang-<>iang Amerika."
Gerombolan kecil orang-orang yang mengerumuni langga Gedung Kongres di Plaza de
Bolivar meneriakkan persetujuan mereka. Berkali-kali para penasihat Ricardo Guzman
memperingatkan bahwa tak iiria gunanya berpidato pada hari dilangsungkannya pertandingan sepak
bola, tetapi tidak digubrisnjta. Karena ia memperhitungkan bahwa berjuta-juta pemirsa
televisi akan menjelajahi saluran mencari sepak bola, dan akan melihatnya di layar walau hanya
sekejap. Orang-orang yang sama itu akan terperanjat, bila hanya sejam kemudian
mereka melihat Guzman memasuki stadion yang penuh sesak. Sepak bola membosankan Guzman, tetapi ia tahu
bahwa kehadirannya yang beberapa saat sebelum tim tuan rumah memasuki lapangan akan
mengalihkan perhatian khalayak dari Antonio Herrera, Wakil Presiden Kolombia dan saingan
utamanya dalam pemilu. 19 Herrera akan duduk di boks VIP. Tapi Guzman akan berada di tengah-tengah para
penonton di belakang salah satu gawang Citra yang ingin ia tampilkan ialah seseorang dari
kalangan rakyat. Fitzgerald memperkirakan pidato itu tinggal enam menit lagi. Ia telah mendengar
kata-kata Guzman setidaknya lusinan kali: di lobi yang penuh sesak, di bar yang setengah
kosong, di sudut-sudut jalan, bahkan di stasiun bus sementara si kandidat sedang
menyampaikan pidatonya kepada
para penduduk setempat di bagian belakang "bus. Ia menarik koper kulit itu dari
ranjang ke pangkuannya. "...Antonio Herrera bukan calon Liberal," desis Guzman. "Tapi dia calon orang-
orang Amerika. Dia tak lebih dari orang tolol yang bisa bicara dengan perut. Kata-katanya
dipilihkan oleh orang yang
duduk di Ruang Oval." Massa bersorak lagi.
Lima menit. Fitzgerald menghitung. Ia membuka koper dan memandangi Remington 700
yang baru beberapa jam hilang dari pandangannya.
"Berani-beraninya orang-orang Amerika mengasumsikan kita akan selalu selaras
dengan apa yang cocok bagi mereka?" teriak Guzman. "Dan itu hanya karena dolar yang mahakuasa.
Persetan dengan dolar yang mahakuasa itu!" Massa bersorak lebih keras lagi ketika si
kandidat mengambil selembar satu dolaran dari dompetnya dan merobek-robek George Washington menjadi
serpihan-serpihan. "Satu hal dapat kupastikan kepada Saudara-saudara," lanjut Guzman sambil
menebarkan serpihan-serpihan kertas hijau itu kepada massa seperti konfeti.
"Tuhan bukan orang Amerika...," cetus Fitzgerald.
'Tuhan bukan orang Amerika!" teriak Guzman.
Dengan hati-hati Fitzgerald mengambil gagang "napan fibreglass McMillan dari
koper. "Dalam waktu dua minggu, warga negara Kolombia akan diberi kesempatan
memperdengarkan pandangan-pandangan mereka ke Seantero dunia," teriak Guzman.
"Empat menit," gumam Fitzgerald sambil memandang ke layar dan menirukan senyum
sang calon presiden. Ia mengambil laras dari baja antikarat Hart dari dudukannya dan
menyekrupkan erat-erat pada popor. Pas seperti sarung tangan.
"Bila ada konferensi tingkat tinggi di seluruh dunia, Kolombia akan hadir lagi
di meja konferensi, bukannya hanya membaca beritanya di koran hari berikutnya. I )alam waktu setahun
aku akan membuat orang-orang Amerika memperlakukan kita bukan sebagai negara Dunia
Ketiga, tapi sebagai negara sederajat."
Massa bergemuruh. Sementara itu Fitzgerald mengangkat alat bidikan penembak-
gelap bertenaga Leupold 10 dari tempatnya dan memasukkannya ke dua galur kecil di pucuk laras.
"Dalam waktu seratus hari Saudara-saudara akan menyaksikan perubahan-perubahan
di negeri kita yang diyakini Herrera takkan mungkin terjadi dalam seratus i thun. Sebab bila
aku menjadi presiden, Saudara-audara..."
Pelan-pelan Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya. Rasanya
seperti sahabat ama. Tetapi dengan syarat: setiap bagian harus dibuat dengan tangan, tepat
sesuai dengan spesifikasinya. Ia menaikkan pandangan melalui teleskop ke arah
21 20 gambar pada layar televisi. Ia menyusun deretan titik-titik kecil hingga
terpusatkan satu inci di atas
jantung calon presiden. "...mengatasi inflasi..."
Tiga menit. "...mengatasi pengangguran..."
Fitzgerald mengembuskan napas.
"...di samping itu menghilangkan kemiskinan."
Fitzgerald menghitung tiga... dua... satu. Kemudian dengan lembut ia menarik
picu. Ia nyaris mendengar bunyi klik mengatasi gemuruh massa.
Fitzgerald menurunkan senapan, beranjak dari sofa, dan menurunkan koper kulit
yang kosong. Sembilan puluh detik lagi Guzman mencapai ritus pengutukan Presiden Lawrence.
Ia mengambil sebutir peluru dengan ujung berlubang dari kantong kecil di dalam
tutup koper. Ia mengokang dan memasukkan peluru .ke ruangan pelor, kemudian meluruskan laras
dengan sentakan ke atas. "Ini akan merupakan kesempatan terakhir bagi warga negara Kolombia untuk
membalikkan kegagalan-kegagalan fatal di masa lalu," teriak Guzman. Nadanya semakin
meninggi. "Maka kita harus memastikan satu hal..."
"Satu menit," gumam Fitzgerald. Ia dapat mengulangi kata demi kata bagian ujung
pidato Guzman selama enam puluh detik terakhir.
Ia mengalihkan perhatian dari televisi dan berjalan pelan-pelan melintasi kamar
menuju jendela. "...jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan emas ini..."
Fitzgerald menarik tali tirai ? yang menghalangi
pemandangan dunia luar. Pandangannya menerawang melintasi Plaza de Bolivar ke
sisi utara alun-alun. Di situ calon presiden berdiri di atas puncak tangga
gedung Kongres. Ia memandang ke
bawah kepada massa. Ia baru akan melepaskan tembakan pamungkasnya alias coup de
grace. Dengan sabar Fitzgerald menunggu. Jangan biarkan dirimu dalam ruangan terbuka
lebih lama daripada yang diperlukan.
"Viva la Colombia!" teriak Guzman. "Viva la Colombia!" kembali massa bersorak
histeris. Walau kebanyakan dari mereka adalah penjilat-penjilat bayaran yang secara strategis
ditempatkan di antara massa. "Aku mencintai negaraku," si calon presiden memberikan pernyataan. Pidato itu
tinggal tiga puluh detik lagi. Fitzgerald membuka jendela. Disambut gemuruh massa yang mengulangi
pidato Guzman kata demi kata. Si calon presiden melirihkan suara menjadi bisikan: "Dan biar kujelaskan satu
hal - rasa cintaku pada negeriku adalah satu-satunya alasan untuk berbakti sebagai presiden
Saudara-saudara." Untuk kedua kalinya Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya.
Semua mata terpancang pada si calon presiden saat ia meng-gelegarkan kata-kata "Dios guarde
a la Colombia!" Gemuruh memekakkan ketika ia mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi guna
menghormati seman massa pendukungnya. "Dios guarde a la Colombia!" Tangan Guzman
masih terangkat tinggi-tinggi penuh kejayaan selama beberapa detik, sebagaimana
lazimnya pada setiap akhir pidatonya. Dan ia selalu
22 23 berdiam diri hening sama sekali selama beberapa saat.
Fitzgerald mengatur titik-titik kecil itu hingga satu inci di atas jantung calon
presiden. Sambil mengembuskan napas ia mempererat pegangan jari-jari tangan kirinya pada popor
"Tiga... dua... satu," gumamnya sambil menahan napas. Kemudian dengan lembut menarik picu.
Guzman masih tetap tersenyum ketika peluru berbuntut seperti perahu merobek
dadanya. Sedetik kemudian ia ambruk di tanah seperti boneka tanpa tali. Serpihan tulang, otot,
dan daging beterbangan ke mana-mana. Darah melumuri mereka yang berdiri di dekatnya. Yang
paling akhir dilihat Fitzgerald ialah tangan Guzman yang terulur ke atas seolah-olah
menyerahkan din kepada musuh yang tak dikenal. Fitzgerald menurunkan senapan. Melipatnya. Dan cepat-cepat menutup jendela.
Tugas telah diselesaikannya. Kini satu-satunya masalah ialah memastikan bahwa ia tidak melanggar Perintah
Kesebelas. 24 BAB DUA Apakah sebaiknya aku mengirimkan ungkapan belasungkawa pada istri dan
keluarganya?" tanya Tom I awrence. "Tidak, Mr. President," jawab Menteri Luar Negeri. 'Menurutku itu harus
diserahkan pada Menteri Pembantu untuk Urusan Antar-Amerika. Sekarang pasti Antonio Herrera yang akan
menjadi Presiden Kolombia berikutnya, jadi dialah orang yang harus kauajak berurusan."
"Maukah kau mewakili ku pada pemakaman" Ataukah Wakil Presiden yang harus ke
sana?" "Nasihatku: kedua-duanya jangan," jawab Menteri I uar Negeri. "Dubes kita di
Bogota sudah pantas mewakilimu. Karena pemakaman akan berlangsung , khir pekan ini, kita tak
dapat diharapkan hadir lengan pemberitahuan yang demikian singkat."
Presiden mengangguk. Ia telah terbiasa dengan pendekatan apa adanya dari Larry
Harrington ter-25 hadap segala hal, termasuk kematian. Ia hanya ber-i tanya-tanya jalur apa yang
akan ditempuh Larry bila ia sendiri yang terbunuh.
"Bila kau sempat, Mr. President, aku ingin men-' jelaskan dengan sangat
terperinci padamu mengenai: kebijakan kita sekarang di Kolombia. Pers mungkin akan menanyaimu
tentang kemungkinan keterlibat-an..."
Presiden baru akan menyelanya ketika terdengar ketukan di pintu. Andy Lloyd
memasuki ruangan. Pasti sudah pukul sebelas, pikir Lawrence. Ia tidak memerlukan jam sebab telah
mengangkat Lloyd sebagai kepala staf. "Nanti saja, Larry," kata Presiden. "Aku baru akan mengadakan konferensi pers
tentang Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional.
Dan tak bisa kubayangkan) bahwa banyak wartawan akan berminat terhadad kematian seorang calon
presiden di negara yangj biar kita akui saja, kebanyakan orang Amerika tak bisa
menempatkannya di peta."
Harrington tidak berkata apa-apa. Menurutnya! bukanlah tanggung jawabnya untuk
menjelaskan kej pada Presiden bahwa kebanyakan orang Amerik^ masih juga belum dapat
menempatkan Vietnam dalam peta. Tetapi begitu Andy Lloyd memasuki ruangan, Harrington tahu
bahwa hanya pernyataan Perang Dunia yang dapat memberikan prioritas kepadanya, Ia mengangguk
singkat kepada Andy Lloyd. Dar meninggalkan Ruang Oval.
"Mengapa aku pernah mengangkat orang itu"' tanya Lawrence, sambil memandangi
pintu tertutup. 26 "Larry mampu menyerahkan Texas, Mr. President, pada saat jajak pendapat kita
menunjukkan bahwa mayoritas orang-orang Selatan memandangmu sebagai orang Utara tak terkenal
yang akan suka mengangkat seorang homo menjadi Ketua Gabungan Kepala Staf."
"Kemungkinan besar akan kulakukan, bila dia kuanggap orang yang tepat untuk
pekerjaan itu," lawab Lawrence. Salah satu alasan mengapa Tom Lawrence menawarkan jabatan Kepala Staf Gedung'
Putih kepada teman sekuliahnya ialah bahwa setelah tiga puluh tahun, mereka tidak saling
menyimpan rahasia sama sekali. Andy mengemukakan apa yang dilihatnya, tanpa ada rasa bersalah
ataupun dengki. Sifat mem luiat dirinya disayang ini memastikan bahwa ia sendiri tidak pernah
mengharapkan dipilih menjadi apa pun, sehingga tidak pernah menjadi saingan.
Presiden membuka berkas arsip biru yang bertulis-kan "SEGERA" yang tadi pagi
diserahkan Andy
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ki-padanya. Ia menduga Kepala Staf ini hampir semalaman mempersiapkannya. Ia
mulai memeriksa l*-rtanyaan-pertanyaan yang menurut anggapan Andy paling mungkin
dipertanyakan dalam konferensi pers lang itu:
Berapa banyak uang yang Anda antisipasi akan dihemat dengan peraturan ini"
"Kuduga Barbara Evans akan mengajukan per-t inyaan pertama, seperti biasanya,"
kata Lawrence sambil mendongak. "Apakah kita punya dugaan apa pertanyaannya?"
"Tidak, Sir," jawab Lloyd.'Tapi karena dia selalu mendesak Rencana Undang-undang
Pengurangan 27 Senjata sejak kau mengalahkan Gore di New Hamp-shire, kini dia tak punya alasan
mengeluh karena kini kau siap melancarkannya "
"Benar. Tapi itu takkan menghalanginya mengajukan pertanyaan nakal."
Andy mengangguk setuju. Sementara itu Presiden melirik pertanyaan berikut.
Berapa banyak orang Amerika yang akan kehilangan pekerjaan karena ini"
Lawrence mendongak. "Apa ada orang khusus yang menurutmu harus kuhindari?"
"Semua orang sisanya," kata Lloyd sambil menyeringai. "Tapi kalau kau mau
singkatnya, temuilah Phil Ansanch." "Mengapa Ansanch?"
"Dia mendukung rencana undang-undang itu pada, setiap tahap, dan dia salah
seorang tamumu pada j makan malam nanti."
Presiden tersenyum dan mengangguk sambil merunut daftar pertanyaan yang
diantisipasi. Ia berhenti pada nomor tujuh.
Apakah ini bukan sebuah contoh lain bahwa Amerika kehilangan arah"
Presiden mengangkat muka memandang Kepala Stafnya. "Kadang kukira kita ini masih
hidup di zaman Wild West bila mengingat reaksi beberapa anggota Kongres terhadap rencana
undang-undang ini." "Memang, Sir. Tapi sebagaimana yang kauketahui, 40 persen orang Amerika masih
menganggap orang Rusia sebagai ancaman terbesar. Dan hampir 30 persen berharap masih akan
mengalami perang melawan Rusia."
Lawrence mengumpat. Dan tangannya menyisir rambut tebal yang terlalu dini mulai
mengelabu. Kemudian ia kembali menelusuri daftar pertanyaan dan berhenti pada nomor
sembilan belas. "Masih berapa lama lagi aku akan ditanyai tentang soal membakar kartu buramku?"
"Selama kau menduduki jabatan panglima tertinggi, menurutku," jawab Andy.
Presiden menggumamkan sesuatu sambil menahan napas. Dan ia melanjutkan
pertanyaan berikutnya. Ia mendongak lagi. "Viktor Zerimski pasti takkan mendapat kesempatan
menjadi Presiden Rusia berikutnya?"
"Mungkin sekali tidak," jawab Andy. "Tapi dia lelah naik ke tempat ketiga dalam
jajak pendapat baru-baru ini. Dan walau dia masih jauh di belakang Perdana Menteri Chernopov
dan Jenderal Borodin, posisinya melawan pidana terorganisasi mulai menggerogoti kepeloporan
mereka ini. Kemungkinan besar karena kebanyakan orang Rusia percaya Chernopov dibiayai Mafia
Rusia." "Kalau Jenderal Borodin bagaimana?"
"Dia sudah kehilangan dasar pijakan. Sebab ke-anyakan tentara Rusia belum digaji
berbulan-bulan. Pers telah melaporkan bahwa para prajurit mulai menjual seragam mereka di
jalanan." "Syukurlah pemilu masih akan berlangsung beberapa tahun lagi. Jika naga-naganya
si fasis Zerimski Uu memperoleh kesempatan menjadi Presiden Rusia berikutnya, Rencana
Undang-undang Pengorangan Senjata takkan lolos melewati babak pertama di kedua
Majelis." 28 29 Lloyd mengangguk sementara Lawrence membalik halaman. Jarinya terus merunut
daftar pertanyaan. Ia berhenti pada pertanyaan nomor 29.
"Berapa banyak anggota Kongres yang memiliki pabrik senjata dan kemudahan-
kemudahan mendasar di distrik mereka?" tanyanya sambil menoleh kepada Lloyd.
"Ada 72 senator dan 211 anggota Majelis," jawab Lloyd tanpa melihat berkasnya
yang masih tertutup. "Setidaknya kau perlu meyakinkan enam puluh persen dari mereka itu
untuk mendukungmu guna memastikan mayoritas di kedua Majelis. Dan itu berarti
kita mengasumsikan dukungan Senator Bedell."
"Frank Bedell meminta diadakannya Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata yang
menyeluruh ketika aku masih di high school di Wiscon-sin," kata Presiden. "Dia
tak punya pilihan lain kecuali mendukung kita."
"Dia mungkin bersimpati terhadap rencana undang-undang, tapi dia merasa
langkahmu belum cukup jauh. Dia menuntut supaya kita mengurangi anggaran pertahanan sebesar lima
puluh persen lebih." "Dan apa yang diharapkannya agar aku dapat melaksanakannya?"
"Dengan mengundurkan diri dari NATO dan membiarkan orang-orang Eropa bertanggung
jawab sendiri atas pertahanan mereka."
"Tapi itu sama sekali tak realistis," kata Lawrence. "Bahkan orang-orang Amerika
yang pro Aksi Demokratis akan melawannya."
"Kau tahu itu, aku pun tahu, dan menurutku senator yang baik itu juga tahu. Tapi
itu tak menghalanginya muncul di setiap stasiun televisi dari linston hingga Los
Angeles. Dia mengklaim bahwa
pengurangan lima puluh persen dari anggaran per-i ihanan akan memecahkan masalah
Amerika dalam perawatan kesehatan dan masalah pensiun dalam waktu singkat."
"Kuharap Bedell menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan pertahanan bangsa
kita sebagaimana dia memikirkan perawatan kesehatan mereka," kala Lawrence.
"Bagaimana aku harus
menanggapinya?" ? Puji dia berlimpah-limpah atas segala usahanya vang mencolok dan tanpa kenal
lelah untuk memi?"la kepentingan kaum lansia. Tapi kemudian tandaskan bahwa
selama kau menjabat panglima
tertinggi, Amerika Serikat takkan mengurangi pertahanannya. I'uoritasmu yang
pertama ialah selalu memastikan bahwa Amerika tetap menjadi bangsa paling berkuasa ih dunia, dan
lain-lain, dan lain- lain. Dengan cara " Itinikian kita selalu menjaga dukungan Bedell. Dan mungkin
bahkan membuat ragu satu-dua orang politisi \ mg agresif."
Presiden melihat jamnya, kemudian membalik halaman. Ia mendesah dalam-dalam
ketika sampai l c pertanyaan nomor 31. Bagaimana Anda dapat mengharapkan RUU ini diberlakukan, bila kaum Demokrat tak
memiliki mayoritas di salah satu Majelis"
"Baiklah, Andy. Bagaimana jawabannya?"
"Jelaskan bahwa orang-orang Amerika yang peluh' telah menerangkan pada para
wakilnya yang - rpilih di seantero negeri ini bahwa RUU ini telah
30 31 lama kedaluwarsa. Dan itu merupakan akal sehat
saja." "Terakhir kali aku telah menggunakan gagasan iti ketika mengajukan RUU
Antinarkotika, ingat, Andy"' "Ya, aku ingat, Mr. President. Dan bangsa Ameriki mendukungmu sepenuhnya."
Larry mendesah dalam-dalam lagi, kemudian ber kata, "Oh, memegang pemerintahan
bangsa yang taJ mengadakan pemilu setiap dua tahun dan tak dihantu korps media massa pasti
lebih baik daripada memegang pemerintahan yang dipilih secara demokratis."
"Bahkan orang-orang Rusia harus menerima korp! media massa itu," kata Lloyd.
"Siapa percaya kita harus hidup mengalami ha itu?" kata Lawrence seraya memindai
pertanyaai terakhir. "Aku punya firasat jika Chernopov berjanj pada orang-orang Rusia bahwa
dia berniat menjad presiden pertama yang akan lebih menganggarka perawatan kesehatan
daripada pertahanan, dia akal menang dengan mudah."
"Mungkin kau benar," kata Lloyd. "Tapi kau jug boleh yakin jika Zeremski
terpilih, dia akan mula membangun kembali persenjataan nuklir Rusia lam sebelum mempertimbangkan
membangun rumah saki baru." "Itu sudah pasti," kata Presiden. "Tapi karen maniak ku tak punya kesempatan
untuk terpilih..." Andy Lloyd diam saja. 32 BAB TIGA 111 /gerald tahu bahwa dua puluh menit berikutnya "kun menentukan nasibnya.
Cepat-cepat ia melintasi kamar dan melihat televisi. Massa berhamburan dari
alun-alun lari ke se- l'.ila penjuru. Teriakan-teriakan gaduh kini menjadi p.niik. Dua orang penasihat
Ricardo Guzman mem-Inmgkuk mengamati sisa-sisa jasad itu.
Fitzgerald menemukan selongsong peluru yang lelah terpakai dan memasukkannya
kembali ke kan-imig di dalam tutup koper kulit. Apakah pemilik loko pegadaian
akan mengetahui bahwa salah satu
I luru telah digunakan"
Dari seberang alun-alun, lengking sirene polisi mengatasi kegaduhan massa. Kali
ini reaksi polisi |auh lebih cepat. . Fitzgerald melepas alat pembidik dan memasukkannya kembali ke wadahnya.
Kemudian ia melepas 33 laras dan menyisipkannya ke tempatnya. Dan akhirny mengembalikan gagang senapan.
Untuk terakhir kalinya ia melayangkan pandanga ke televisi dan menonton polisi
setempat menyerb masuk ke alun-alun. Ia menyambar koper kulit it mengantongi korek api dari asbak
di atas televisi kemudian melintasi kamar dan membuka pintu.
Ia menengok ke kanan-kiri di koridor yang kosong kemudian berjalan cepat ke lift
barang. Ia meneka tombol putih di dinding beberapa kali. Ia tela membuka jendela menuju ke
pintu keluar bila ad kebakaran hanya beberapa saat sebelum ia pergi k pegadaian. Tetapi ia tahu
bahwa jika ia harus kembal ke rencana darurat, segerombolan polisi berseragan sudah menunggunya di
bawah lift yang berkeriat keriut. Tidak akan ada helikopter gaya Rambo pedang-pedang gemerincing
yang akan membuatnyi lolos dengan jaya sementara peluru berdesingan d samping telinganya
dan mengenai apa saja kecual dia sendiri. Ini adalah dunia nyata. Bukan film.
Ketika pintu lift yang berat terbuka pelan-pelan Fitzgerald berhadapan muka
dengan pelayan mud< berjas merah membawa nampan berisikan makar siang. Pelayan ini rupanya kalah
undian maka tsi memperoleh giliran istirahat siang untuk menonton pertandingan.
Pelayan ini tak dapat menyembunyikan keheran annya ketika melihat seorang tamu
berdiri di luar lift barang. "No, senor, perdone, no puede entrar* ia "mencoba menjelaskan
kepada Fitzgerald yang me nerobos melewatinya. Tapi si tamu telah menekat tombol bertuliskan
"Planta Baja" dan
pintu-pintt 34 lift tertutup sebelum pelayan sempat memberitahu hahwa lift itu menuju dapur.
Begitu tiba di lantai dasar, dengan cekatan I itzgerald melewati meja-meja
stainless steel yang I enuh dengan deretan hors d'oeuvres yang menunggu lipesan, dan berbotol-botol
sampanye yang hanya ikan dibuka bila kesebelasan tuan"rumah menang, la i I ah sampai di ujung
dapur, melewati pintu putar, lan menghilang lama sebelum para anggota staf mg berseragam putih
sempat memprotesnya. Ia l> *rlari melalui lorong temaram - hampir seluruh lam-I u pijar
di situ telah dicopotnya malam sebelumnya - menuju ke pintu tebal yang membuka ke tempat parkir
mobil di bawah tanah. la mengeluarkan kunci besar dari saku jasnya, menutup pintu, dan menguncinya. Ia
langsung meng-li impiri Volkswagen kecil warna hitam yang terparkir li sudut
paling gelap. Ia mengambil kunci
lagi yang lebih kecil dari saku pantalon. Ia membuka pintu mobil dan menyelinap
duduk di belakang kemudi. Koper kulit ditaruhnya di bawah tempat duduk penumpang. Lalu ia
menstarter mobil itu. Mesinnya langsung hidup, walau telah dianggurkan selama tiga hari.
Selama beberapa detik ia menginjak pedal gas kemudian memindahkan tangkai persneling ke gigi
satu. Fitzgerald menjalankan kendaraan itu dengan santai melewati deretan mobil-mobil
terparkir dan melalui tanjakan terjal menuju ke jalan luar. Ia berhenti di puncak tanjakan
terjal itu. Polisi sedang mendobrak sebuah mobil yang terparkir, bahkan tak melayangkan pandangan
kepadanya sama sekali. Fitzgerald mem- 35 beJok ke kiri dan pelan-pelan meninggalkan Pla/ de Bolivar.
Kemudian ia mendengar lengking sirene di bela kangnya. Ia melirik ke kaca spion
dan melihat du polisi pengiring mengikutinya dengan lampu ber kilat-kilat terang. Fitzgerald
menepi sementara par polisi pengiring dan ambulans pengangkut jasa Guzman dengan pesat melewatinya.
Pada belokan ke kiri pertama ia menikung, ke mudian mulai mengikuti rute panjang
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berputar-puta menuju ke pegadaian. Sering ia kembali melalui jala yang sama. Dua puluh empat
menit kemudian memasuki lorong dan berhenti di belakang truk. I mengambil koper dari bawah
tempat duduk penumpan dan meninggalkan mobil tak terkunci. Menuru rencananya ia sudah akan
kembali di belakang kemud lagi dalam waktu kurang dari dua menit.
Dengan cepat ia menengok ke kiri-kanan me meriksa lorong itu. Tak seorang pun
tampak. Ketika Fitzgerald memasuki pegadaian, lagi-lagi bel tanda bahaya berbunyi. Tapi
kali ini ia tak khawatir akan segera didatangi polisi patroli. Hampii semua polisi sedang sibuk.
Entah di stadion tempa! pertandingan akan dimulai setengah jam lagi, entah sedang menahan orang
yang masih berada satu mi dari Plaza de Bolivar.
Fitzgerald menutup pintu belakang pegadaian Untuk kedua kalinya hari itu ia
bergegas melalui kantor belakang, menyibak lagi tirai manik-manik. Ia berdiri di belakang gerai,
memeriksa apakah ada orang lewat. Kemudian barulah .ia mengembalikan koper kulit usang di
tempatnya semula di etalase. 36 Bila Escobar kembali ke toko pegadaian hari Senin pagi, berapa lama kemudian ia
akan menemukan bahwa salah satu peluru dari enam peluru mag-niim berekor perahu telah
ditembakkan, dan hanya selongsongnya yang masih ada di tempatnya" Apakah 11
akan berusaha menyampaikan informasi itu kepada polisi"
Fitzgerald telah kembali di belakang kemudi Volkswagen dalam waktu kurang dari
90 detik. Ia masih dapat mendengar alarm berdering sementara 11 mengendarai mobil memasuki
jalan utama. Ia mulai mengikuti rambu-rambu menuju ke bandara El Dorada. Tak seorang pun
memperhatikannya. Bagaimanapun pertandingan akan segera dimulai. Lagi pula apa
hubungan alarm yang berdering di pegadaian ih distrik San Victorina dengan pembunuhan
calon piesiden di Plaza de Bolivar" Begitu tiba di jalan raya, Fitzgerald tetap meng-nnbil jalur tengah, dan tak
pernah melewati batas kecepatan. Beberapa mobil polisi menyalibnya dengan pesat dalam perjalanan
menuju ke kota. Bahkan bila ada orang yang menghentikannya dan me-i leriksa surat-surat, semua
suratnya pasti beres. Koper ing tertutup rapi di tempat duduk belakang tidak i lenunjukkan
sesuatu yang tak lazim bagi seorang isahawan yang sedang berkunjung ke Kolombia guna menjual peralatan
pertambangan. Ketika sampai di jalan keluar menuju bandara, 1 nzgerald menyingkir dari jalan
raya. Sesudah 400 neter, tiba-tiba ia belok kanan dan menuju ke tempat parkir hotel San Sebastian.
Ia membuka kotak dasbor dan mengeluarkan paspor yang telah berstempel
37 banyak. Dengan korek api yang ia ambil dari Belvedere ia menyulut Dirk van
Rensberg. Ketik jari-jarinya hampir terbakar ia membuka pintu mobil dan
menjatuhkan sisa paspor itu ke tanah da1
menginjak-injaknya hingga nyala api padam. Serayl memastikan bahwa puncak
lambang Afrika Selatal masih dapat dikenali. Ia meletakkan korek api atas tempat duduk
penumpang, menyambar kope dari tempat duduk belakang, dan menutup pint| mobil. Sedangkan kunci ia
biarkan tertancap pad lubang starter. Ia berjalan ke pintu depan hotel, lal membuang sisa paspor
Dirk van Rensberg dan kunc besar ke keranjang sampah di bawah tangga.
Fitzgerald masuk melalui pintu putar di belakang sekelompok usahawan Jepang dan
tetap di tengah aruJ mereka sementara mereka diantar menuju lift terbuka] Ia satu-satunya
penumpang yang keluar di lantai tiga. Ia langsung menuju ke kamar 347. Di situ ia mej ngeluarkan kartu
plastik lain yang membuka kama^ lain yang telah dibukukan atas nama orang lain. Il melempar
kopornya ke ranjang dan melihat jamnya Masih 1 jam 17 menit sebelum take ojf.
Ia melepaskan jas dan menyampirkannya padal satu-satunya kursi, lalu membuka
koper serta mengeluarkan kantong cucian. Kemudian ia menghilang ke kamar mandi. Selang
beberapa lama air sudaw cukup hangat baginya, dipasangnya sumbat bak mancfc dan dibukanya .keran.
Sementara menunggu ia menggunting kuku, kemudian menggosok tangan sebersih-bersihnya
seperti dokter bedah yang sedang mempersiapkan diri untuk operasi.
Fitzgerald memerlukan waktu 20 menit untuk men-l
38 " ukur habis janggut yang berumur seminggu. Dan ia memerlukan banyak sampo untuk
digosokkan kerasku eras ke rambutnya di bawah shower hingga rambutnya kembali bergelombang
alami dan berwarna pirang pasir. Fitzgerald mengeringkan tubuh dengan handuk tipis \ang disediakan hotel,
kemudian kembali ke kamar lulur dan mengenakan celana pendek joki yang bersih, la menghampiri lemari
berlaci di sisi seberang, mem-huka laci ketiga, dan meraba-raba hingga menemukan hnngkusan yang
direkatkan pada laci di atasnya. Walau beberapa hari tidak menghuni kamar itu, ia yakin tak
seorang pun tahu tempat persembunyiannya. Fitzgerald menyobek amplop cokelat itu dan dengan cepat memeriksa isinya. Paspor
lain dengan nama lain lagi. Lima ratus dolar dalam lembaran yang telah terpakai. Dan sebuah
tiket kelas satu ke ( ape Town. Para pembunuh yang lolos tidak bepergian dengan kelas satu. Lima
menit kemudian ia meninggalkan kamar 347. Pakaian kotornya bertebaran di lantai dan tanda "Favor
de no Molestar" dipasang pada pintu. Fitzgerald menggunakan lift menuju lantai dasar, yakin tak ada yang
memperhatikan seseorang berusia 51 tahun dengan kemeja biru, dasi bergaris-garis, jaket sport, dan
celana flanel kelabu. Ia keluar dari lift dan berjalan melintasi lobi tanpa berusaha heck out. Ketika
datang delapan hari lalu,
ia telah membayar sewa kamar secara tunai. Ia membiarkan bar mini di kamar
terkunci, dan tak pernah sekali pun memesan makanan untuk di kamar. Ia tak pernah menelepon ke
luar hotel dan tak pernah menonton 39 film pesanan. Maka rekening tamu ini pasti tak akanB dikenai pembayaran ekstra.
9 I Ia hanya harus menunggu selama 40 menit sam-H pai bus layanan pulang-pergi
datang. Ia melihat jamjH nya. Empat puluh tiga menit sebelum take ojf. IM sama sekali tidak
khawatir akan tertinggal Penerbang-B an 63 Aeroperu ke Lima. Ia yakin hari itu tak adaJ yang tepat waktu.
Begitu keluar dari bus di bandara, pelan-pelan vM berjalan menuju meja check 'm.
Ia tidak heran ketik? diberitahu bahwa penerbangan ke Lima tertundil sekitar sejam. Di ruang
kedatangan yang penuh sesak I beberapa polisi dengan curiga mengamati setiaffl penumpang. Dan
walau ia dihentikan serta ditanyail beberapa kali dan kopernya digeledah dua kalifl
akhirnya ia diizinkan menuju ke Gerbang 47. Ia memperlambat langkahnya ketika melihat be" berapa orang beransel dikeluarkan
oleh para anggow staf keamanan bandara. Ia bertanya-tanya dalam hal" berapa banyak orang
kulit putih yang tak berdos J harus meringkuk di sel, diinterogasi karena tindakannya tadi siang
itu. Ketika bergabung dengan antrean yang menuju k Pemeriksaan Paspor, Fitzgerald
berulang kali menghafal nama barunya sambil menahan napas. Nama ketiganya untuk hari itu.
Petugas berseragam biru di dalam gardu membuka paspor Selandia Baru dan dengan cermat
"mengamati foto di dalamnya yang tak pelak lagi mirip dengan orang yang berdandan rapi
berdiri di depannya. Ia mengembalikan paspot itu dan mengizinkan Alistair Douglas, insinyur sipil
dari Christchurch, menuju ke ruang keberangkatan
lali diundur lagi akhirnya penerbangan itu diumumkan. Seorang pramugari
mengantar Mr. Dou-ylas ke tempat duduknya di kelas satu.
"Anda berminat pada segelas sampanye, Sir?"
l-ilzgerald menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Air pulih saja," jawabnya sambil
mencoba logat Selandia Harunya. la mengencangkan sabuk pengaman, duduk ber-mdar, dan pura-pura membaca majalah
edisi penerbangan sementara pesawat mulai menggelinding pelan di landasan yang tak
rata. Karena deretan pesawat terbang yang akan take off panjang, Fitzgerald punya cukup waktu
untuk memilih makanan yang hendak ia santap dan film yang hendak ia tonton lama sebelum 727
mempercepat lajunya. Ketika roda-roda pesawat akhirnya tinggal landas, untuk pertama kalinya
Begitu pesawat mencapai ketinggian jelajah, ia meletakkan majalah edisi
penerbangan itu, menutup 11 ita, dan mulai memikirkan apa yang harus dilakukannya begitu ia mendarat di
Cape Town. "Di sini kapten Anda yang sedang berbicara," (-rdengar suara muram. "Saya harus
mengumumkan sesuatu yang saya tahu akan menyebabkan beberapa h antara Anda merasa tertekan."
Fitzgerald segera duduk tegak. Salah satu hal darurat yang tak ia rencanakan ialah kembali
ke Bogota tanpa bisa dijadwalkan. "Maaf saya harus mengumumkan bahwa terjadi tragedi nasional di Kolombia hari
ini." Fitzgerald setengah mencengkeram lengan kursi dan berusaha bernapas dengan
wajar. 40 41 Kapten itu bimbang sesaat. "Saudara-saudara," katanya serius, "Kolombia sangat
kehilangan." Ia berhenti sejenak. "Kesebelasan nasional kita dikalahkan Brasil dengan satu-dua."
Terdengar erangan di dalam kabin seakan menabrak gunung terdekat malah merupakan
alternatif yang lebih disukai. Fitzgerald membiarkan bibirnya sedikit menyunggingkan
senyum. Pramugari muncul lagi di sisinya. "Sekarang kita sudah dalam perjalanan,
dapatkah minuman Anda saya sajikan, Mr. Douglas?"
"Ya, terima kasih," jawab Fitzgerald. "Saya pikir-pikir saya mau juga segelas
sampanye itu." 42 BAB EMPAT K i n ka Tom Lawrence memasuki ruangan, korps |hts bangkit berdiri.
"Presiden Amerika Serikat," Juru Bicara Presiden mengumumkan, kalau-kalau ada
pengunjung dari .uigkasa luar. Lawrence menaiki tangga ke podium dan menempatkan berkas arsip bini Andy Lloyd
di atas mimbar. Ia memberi isyarat kepada para wartawan dengan gerakan yang kini sudah
tak asing lagi supaya mereka duduk kembali.
"Saya senang dapat mengumumkan," Presiden memulai dengan nada santai, "bahwa
saya akan mengirimkan ke Kongres sebuah RUU yang saya janjikan kepada bangsa Amerika
selama masa kampanye." Sebagian kecil dari para koresponden Gedung Putih senior yang duduk di depannya
mencatat, tetapi sebagian besar tahu bahwa bila ada berita yang
43 pantas dipublikasikan, biasanya akan muncul selama' tanya-jawab dan bukan dari
pernyataan yang telah disiapkan. Lagi pula pernyataan pembukaan Presiden itu akan dibagikan
kepada mereka dalam bentukj paket pers saat mereka meninggalkan ruangan. Para profesional
kawakan hanya bersumber pada teks yang telah dipersiapkan bila mereka harus mengisi beberapa
inci kolom-kolom ekstra. Hal itu tak menghalangi Presiden untuk mengingatkan mereka bahwa lolosnya RUU
Pengurangan Senjata akan memberinya kesempatan mengeluarkan lebih banyak dana untuk
perawatan kesehatan jang-j ka panjang, sehingga para lansia Amerika dapat mengharapkan standar
kehidupan lebih baik setelah memasuki masa pensiun.
"Inilah RUU yang akan disambut baik oleh setiap warga negara yang terhormat dan
peduli. Dan saya bangga menjadi presiden yang akan mengegolkannya melalui Kongres."
Lawrence mendongak dan tersenyum penuh harap, puas karena paling tidak pernyataan
pembukaannya telah berjalan lancar. Teriakan "Mr. President!" muncul dari segala penjuru ketika Lawrence membuka
berkas arsip biru dan memandangi 31 pertanyaan yang mungkin akan di-kemukakan. Ia mendongak dan
tersenyum kepada] wajah yang telah dikenalnya di deretan terdepan.' "Barbara," katanya
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil menunjuk wartawati kawakan dari UPI yang sebagai wartawati paling senior berhak
mengajukan pertanyaan pertama. Pelan-pelan Barbara Evans bangkit berdiri. "Terima kasih, Mr. President." Ia
berhenti sejenak sebelum mengajukan pertanyaan, "Apakah Anda dapat membeli konfirmasi bahwa CIA
tak terlibat dalam pembunuhan Ricardo Guzman, calon Presiden
Kolombia, ih Bogota hari Sabtu siang?"
Dengung perhatian menggema di seluruh ruangan. I awrence memandangi 31
pertanyaan dan jawaban n.mg berlebihan. Andai saja tadi ia tidak menolak i.iwaran Larry
Harrington untuk memberikan penjelasan lebih terperinci begitu saja.
Aku senang pertanyaan itu kaukemukakan, Barium," jawabnya tanpa mengubah nada
bicaranya. Sebab aku ingin kau tahu bahwa selama aku jadi piesiden, saran seperti itu
takkan muncul. Dalam keadaan bagaimana pun, pemerintahan ini takkan mencampuri proses demokrasi
sebuah negara ber-(Inilat. Nyatanya pagi ini juga aku menginstruksikan ki pada Menteri Luar
Negeri untuk menelepon janda mendiang Mr. Guzman dan menyampaikan ungkapan belasungkawaku
pribadi." Lawrence lega bahwa Barbara Evans menyebut n ima orang itu, sebab bila tidak, ia
tidak akan mgat. "Mungkin kau juga tertarik mengetahui bahwa Wakil Presiden telah kuminta
untuk mewakiliku lalam pemakaman yang kudengar akan dilaksanakan h Bogota akhir pekan
ini." Pete Dowd, agen Dinas Rahasia yang mengurusi Divisi Perlindungan Presiden,
segera meninggalkan mangan untuk mengingatkan Wakil Presiden sebelum para wartawan
menemuinya. Barbara Evans tampak tak yakin. Tapi sebelum ia empat melanjutkan dengan
pertanyaan kedua, Presiden telah mengalihkan perhatian kepada seseorang yang berdiri di deretan
belakang yang ia 44 45 harapkan tidak berminat terhadap pemilihan presiden di Kolombia. Tetapi begitu
pertanyaannya terlontar. Lawrence mulai mengharapkan semoga ia punya min.il terhadap hal itu.
"Bagaimana kemungkinan1 KUU Pengurangan Senjata Anda untuk menjadi I undang-undang jika
Viktor Zerimski sangat mungkin menjadi Presiden Rusia yang berikutnya?"
Selama empat puluh menit berikutnya- Lawrence menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional, tetapi disela
dengan tuntutan untuk membeberkan peranan CIA sekarang di Amerika Selatan, dan bagaimana ia akan
menangani Viktor Zerimski bila orang ini menjadi Presiden Rusia yang berikutnya. Karena
jelas sekali bahwa Lawrence tidak' banyak mengetahui kedua hal itu melebihi mereka, para kuli tinta
ini mencium "darah" dan mulai merengek-rengek minta penjelasan mengenai kedua hal itu hingga
hal-hal lain tak disinggung, termasuk RUU Pengurangan Senjata.
Ketika akhirnya memperoleh pertanyaan yang simpatik dari Phil Ansanch mengenai
RUU, Lawrence memberikan jawaban panjang dan logis. Kemudian tanpa memberi peringatan
ia menyudahi konferensi pers itu dengan tersenyum kepada para wartawan yang
"menggonggonginya" seraya berkata, "Terima kasih, Saudara-saudara. Seperti
biasanya pertemuan ini menyenangkan." Dan tanpa sepatah kata pun ia membalikkan badan dan cepat-
cepat meninggalkan ruangan itu menuju ke Ruang Oval.
Saat Andy Lloyd dapat mengejarnya, Presiden menggerutu sambil menahan napas,
"Aku perlu bicara "lengan Larry Harrington secepatnya. Begitu kau bisa menemukannya, telepon
Langley. Aku menginginkan pertemuan dengan Direktur CIA di kantorku sejam la^i."
"Kupikir-pikir, Mr. President, apakah tak lebih in i f...?" Kepala Staf mulai
bicara. "Sejam lagi, Andy," kata Presiden tanpa memandangnya. "Jika ternyata CIA
terlibat dalam pembunuhan di Kolombia, Dexter akan kugantung."
"Aku akan segera menghubungi Menteri Luar Negeri supaya menemui mu secepatnya,
Mr. President," kata Lloyd. Ia menghilang masuk ke kantor samping. Disambarnya
telepon terdekat dan dihubunginya Larry Harrington di Departemen Luar Negeri, liahkan melalui telepon
pun orang Texas itu tidak dapat menyembunyikan kesenangannya karena begitu i -pat terbukti
benar. Setelah meletakkan gagang telepon, Lloyd kembali ke kantornya, menutup pintu,
dan duduk diam di belakang mejanya beberapa saat. Begitu telah memikirkan masak-masak apa yang
harus dikatakannya, ia menghubungi nomor telepon yang hanya dijawab oleh satu orang.
"Direktur," satu-satunya jawaban Helen Dexter.
Connor Fitzgerald menyerahkan paspornya kepada I etugas bea cukai Australia.
Akan sangat ironis bila paspor itu diragukan kebenarannya sebab untuk pertama kalinya dalam tiga
minggu itu, ia menggunakan nama aslinya. Petugas berseragam itu menekan-nekan keyboard
komputer, memeriksa layar, kemudian menekan-nekan keyboard lagi.
46 47 Tak ada keterangan yang muncul, maka ia menstempel visa turis itu dan berkata,
"Semoga Anda menikmati perjalanan Anda ke Australia, Mr. Fitzgerald."
Connor berterima kasih kepadanya dan terus berjalan ke bagian pengambilan
barang, lalu duduk di seberang ban berjalan yang sedang berhenti. Ia menunggu hingga barangnya muncul.
Ia tak pernah menjadi orang pertama yang melewati pabean, bahkan jika tak punya sesuatu pun
untuk dilaporkan. Ketika ia mendarat di Cape Town sehari sebelumnya, Connor dijemput teman dan
kolega lamanya, Cari Koeter. Beberapa jam berikutnya Cari telah mengadakan tanya-jawab
dengannya. Kemudian barulah mereka menikmati makan siang lengkap sambil membicarakan perceraian Cari
serta kabar Maggie dan Tara. Botol kedua Rustenberg Cabernet Sauvignon tahun 1982 hampir
saja membuat Connor terlambat ikut penerbangan ke Sydney. Di dalam toko bebas bea ia buru-
buru membeli hadiah untuk istri dan putrinya yang jelas-jelas bercap "Made in South Africa".
Bahkan paspornya tidak memberikan petunjuk bahwa ia tiba di Cape Town melalui Bogota\ Lima, dan
Buenos Aires. Sambil duduk di bagian pengambilan barang menunggu bekerjanya ban berjalan, ia
mulai merenungkan kehidupan yang telah dijalaninya selama 28 tahun.
Connor Fitzgerald telah dibesarkan dalam keluarga ? yang taat hukum dan
peraturan. Kakek dari garis ayahnya bernama Oscar, sesuai
48 n una pujangga Irlandia, telah beremigrasi ke Ame-nka dari Kilkenny pada
pergantian abad. Beberapa iam setelah mendarat di Ellis Island, ia langsung menuju Chicago untuk
bergabung dengan sepupunya h kepolisian.
Selama masa Larangan Minuman Keras tahun 1920 - 1933, Oscar Fitzgerald termasuk
dalam kelompok kecil polisi yang menolak suap dari ge-lombolan kriminal. Akibatnya
kariernya tidak pernah melebihi pangkat sersan. Tetapi Oscar berhasil men-I idi ayah lima orang
putra yang saleh. Dan hanya menyerah ketika pastor setempat memberitahunya iahwa telah menjadi
kehendak Tuhan Yang Mahakuasa I ahwa dia dan Mary tidak dikaruniai seorang putri I un. Istrinya
sangat berterima kasih dengan kata-kata bijaksana Pastor O'Reilly, sebab cukup sulit membesarkan
lima anak laki-laki yang tegap-tegap dengan aji seorang sersan. Boleh percaya
atau tidak, jika ada kelebihan satu
sen pun dari gaji mingguan yang liberikan Oscar kepadanya, Mary pasti ingin
menge-i thui dengan terperinci dari mana datangnya uang itu.
Setelah menamatkan high school, tiga putra Oscar I ergabung dengan Kepolisian
Chicago. Di situ me-leka dengan cepat mendapat promosi yang sewajarnya telah menjadi hak ayah
mereka. Putra lain men-lapat panggilan hidup menjadi pastor - yang membuat Mary bahagia. Dan si
bungsu, ayah Connor, belajar hukum pidana di De Paul berdasarkan program ketentaraan Amerika.
Setelah diwisuda ia bergabung lengan FBI. Pada tahun 1949 ia menikah dengan Katherine
O'Keefe, gadis yang tinggal dua rumah di sebelahnya di South Lowe Street. Mereka hanya 49
dikaruniai seorang putra yang dibaptis dengan nama j Connor.
Connor lahir di Rumah Sakit Umum Chicago' pada tanggal 8 Februari 1951. Bahkan
sebelum ia cukup umur untuk masuk sekolah Katolik setempat, sudah jelas ia akan menjadi
pemain sepak bola yang berbakat. Ayah Connor gembira ketika putranya menjadi kapten kesebelasan
Mount Carmel High School. Tetapi ibunya selalu menyuruhnya belajar hingga larut malam untuk
memastikan bahwa ia menyelesaikan pekerjaan rumah. "Kau tak bisa main bola terus seumur
hidup," demikian ibunya mengingatkannya terus-menerus.
Kombinasi antara seorang ayah yang bangkit berdiri bilamana ada wanita masuk
kamar dan seorang ibu yang nyaris menjadi santa, menjadikan Connoi sangat pemalu
berhadapan dengan jenis kelamin lain, kendati fisiknya tegap. Beberapa gadis di Mounl Carmel High School
telah jelas-jelas menunjukkan! perasaan mereka terhadapnya, namun ia tetap perjakk hingga kelas
akhir ketika berjumpa dengan Nancy J Beberapa saat setelah ia memimpin Mount Carmel mencapai
kemenangan pada suatu sore di musini gugur, Nancy membawanya ke belakang tempat
duduk di stadion dan merayunya. Saat itu untuk pertama kalinya ia akan melihat wanita
telanjang] jika Nancy melepas semua pakaiannya.
Sekitar sebulan kemudian Nancy menanyainya apakah ia mau mencoba dua gadis
sekaligus. "Aku belum pernah punya dua pacar, apalagi sekaligus," jawabnya. Nancy tampak
tak terkes. dan maju terus. i2?? Ketika memperoleh beasiswa ke Notre Dame, t onnor tidak mengambil satu pun
tawaran yang begitu banyak mendatangi para teman satu timnya, leman-temannya itu tampak
sangat bangga mencoreti nama-nama gadis yang takluk pada pesona mereka ? 11 balik pintu locker
mereka Pada akhir semester I tama, Brett Coleman, sang algojo penalti, telah mencoret tujuh
belas nama di balik pintu locker-nya. Peraturan yang diberitahukannya kepada Connor ialah
bahwa hanya penetrasi yang boleh dihitung. "Pintu Unker tak cukup besar untuk mencakup seks
oral." I'ada akhir semester pertama, Nancy masih tetap aiu-satunya nama yang dicoret Connor. Suatu
sore etelah latihan, ia memeriksa pintu lain-lainnya dan menemukan nama Nancy pada hampir
semua pintu itu, kadang-kadang dimasukkan ke dalam kurung bersama nama gadis lain. Seluruh sisa
kesebelasan tak akan menggubris skor yang rendah itu bila < onnor bukan gelandang baru
terbaik di Notre Dame e lama satu dasawarsa.
Hanya beberapa hari setelah Connor menjadi mahasiswa tingkat dua, semuanya
berubah. Ketika ia muncul dalam acara mingguan di Klub Dansa Irlandia, wanita itu
mengenakan sepatu barunya. Connor tak dapat melihat wajahnya, tapi tak apa-apa, sebab ia tak mampu
mengalihkan pandang dari k.iki panjang yang langsing itu. Sebagai jagoan sepak bola, ia
telah terbiasa melihat gadis-gadis menatapnya, lapi kini satu-satunya gadis yang ingin ia buat terkesan
tampaknya tak sadar bahwa ia ada. Sayangnya, ketika mulai melantai gadis itu berpasangan
dengan Declan (VCasey, yang tak ada tandingannya sebagai pedansa.
Mereka berdua berdansa dengan punggung tegak dan kaki-kaki yang bergerak begitu
ringan hingga mustahil ditandingi Connor.
Ketika acara itu usai, Connor belum juga tahu nama gadis itu. Dan lebih sayang
lagi, gadis itu telah meninggalkan ruangan bersama Declan sebelum Connor mendapatkan cara agar
diperkenalkan kepada si gadis. Karena putus asa ia memutuskan membuntuti mereka ke asrama
putri dengan berjalan kaki kira-kira sejauh empat puluh meter di belakang mereka dan tetap
membayangi. Persis seperti ajaran ayahnya. Ia meringis melihat mereka berdua bergandengan tangan
dan asyik mengobrol. Sesudah sampai di Lc Mans Hall, si gadis mencium pipi Declan lalu
menghilang ke dalam. Connor bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia tidak lebih memusatkan
perhatian pada dansa dan bukannya sepak bola"
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah Declan menuju ke asrama putra, Connor mulai mondar-mandir di bawah
jendela kamar tidur asrama putri sambil memikirkan apa ada yang bisa ia kerjakan. Akhirnya
sekilas ia melihat bayangan gadis itu dalam gaun tidur ketika menutup tirai. Dan' Connor masih
beberapa menit di situ sebelum akhirnya dengan enggan kembali ke kamar. Ia duduk di ujung ranjang
dan mulai menulis surat kepada ibunya memberitahu bahwa ia telah melihat gadis yang akan
dinikahinya, walau sebenarnya ia belum berbicara dengan gadis itu, bahkan belum tahu namanya.
Sambil menjilat amplop untuk merekatkannya, Connor berusaha meyakinkan diri bahwa
Declan O'Casey bagi gadis itu hanyalah pasangan dansa.
Selama minggu itu ia berusaha mengetahui se-
52 hanyak mungkin mengenai gadis itu. Tapi yang didapatkannya hanya sedikit, yaitu
gadis itu bernama Maggie Burke. Ia telah memperoleh beasiswa di St. Mary's dan mahasiswi
tahun pertama Sejarah Kesenian. Ia mengomeli dirinya sendiri karena selama hidup belum pernah
masuk galeri seni. Dalam kenyataan ia berdekatan dengan cat hanya ketika ayahnya menyuruhnya
memperbarui cat pagar yang mengitari kebun belakang mereka di South Lowe Street. I >cclan
ternyata telah mengencani Maggie sejak tahun ikhir Maggie di high school. Dan Declan tak hanya
I dansa terbaik dalam klub, melainkan juga mate-matikus ulung di universitas. Lembaga-lembaga
lain telah menawarinya beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana, bahkan sebelum hasil
ujian akhirnya diketahui. Connor hanya bisa berharap supaya Declan ditawari jabatan menggiurkan
sejauh mungkin dari South Bend. Hari Kamis berikutnya, Connor muncul paling iwal di klub dansa. Ketika Maggie
muncul dari i lang ganti pakaian mengenakan blus katun kuning dan rok pendek hitam, hanya satu
pertanyaan yang menjadi pertimbangan Connor, apakah harus menatap
dalam mata hijau itu ataukah memandangi tungkai I injang langsing itu. Dan
sekali lagi sepanjang petang Maggie berpasangan dengan Declan. Sementara itu ( onnor duduk membisu di
bangku, sambil mencoba berpura-pura tak menyadari keberadaan gadis itu telah lagu
terakhir, kedua orang itu menyelinap k c luar. Lagi-lagi Connor membuntuti mereka kembali ke Le Mans
Hall, tapi kali ini ia tahu gadis itu tidak menggandeng tangan Declan.
53 Setelah obrolan panjang dan ciuman di pipi,! Declan pergi menuju ke asrama
putra. Connor me"| rebahkan diri di bangku yang berhadapan dengan jendela Maggie, dan mendongak ke
balkon asrama^ putri. Ia memutuskan menunggu hingga Maggie me-i nutup tirai, tetapi
saat gadis itu muncul di jendela, Connor telah tertidur.
Hal berikutnya yang ia ingat ialah terjaga dar tidur nyenyak di mana ia bermimpi
Maggie berdiri di depannya mengenakan piama dan gaun tidur.
Ia terjaga dengan terperanjat. Menatapnya tak percaya. Segera bangkit dan
mengulurkan tangan. "Hai aku Connor Fit/gerald,"
"Aku tahu," jawab Maggie sambil menjabat ta ngannya. "Aku Maggie Burke."
"Aku tahu," jawab Connor.
"Masih ada tempat di bangku itu?" tanya Maggie.
Sejak saat itu Connor tidak pernah memandan; wanita lain.
Sabtu berikutnya Maggie menonton sepak boli untuk pertama kali dalam hidupnya,
dan meliha Connor menunjukkan serangkaian permainai gemilang di hadapan penonton yang
menyesaki sta dion. Kamis berikutnya Maggie dan Connor berdam, sepanjang petang, sementara Declan
duduk sedih t sudut. Ia tampak lebih sedih lagi ketika kedua orar^ itu pergi bersama sambil
bergandengan tangan. Ketik mereka tiba di Le Mans Hall, Connor menciun Maggie untuk pertama kali.
Kemudian ia berlutu dan melamarnya. Maggie tertawa, wajahnya meral padam, dan lari masuk.
Dalam perjalanan menuj k iama putra, Connor juga tertawa tapi hanya ketika melihat Declan bersembunyi
di balik pohon. Sejak saat itu Connor dan Maggie selalu meng-Jmbiskan saat-saat senggang mereka
bersama-sama. Maggie belajar mengenai gol, daerah belakang ga-
ig yang menandai masuknya gol, dan operan tnniping. Sedang Connor mempelajari
Bellini, lleinini, dan Luini. Setiap Kamis malam selama tiga lalimi ia berlutut dan melamar.
Manakala teman-i nian satu timnya bertanya mengapa ia tidak menim ct nama Maggie pada balik pintu
locker, ia menjawab biasa saja, "Karena aku akan menikah dengannya."
I'ada akhir tahun terakhir Connor, Maggie akhirnya fc'iuju untuk menjadi
istrinya, tapi Maggie harus menyelesaikan ujian dulu.
"Aku perlu melamar 141 kali untuk membuatmu melihat cahaya terang," kata Connor
penuh kemenangan. "Ah, jangan tolol, Connor Fitzgerald," kata Maggie."Aku tahu aku akan
menghabiskan sisa hidupku bersamamu ketika aku bergabung denganmu di bangku im "
Mereka menikah dua minggu setelah Maggie lulus i lengan summa cum laude. Tara
lahir sepuluh bulan kemudian. 55 54 BAB LIMA "Menurutmu aku harus percaya CIA bahkan tal tahu ada usaha pembunuhan yang
direncanakan?" "Betul, Sir/ jawab Direktur CIA tenang. "Saal kami sadar ada pembunuhan yang
terjadi hanys beberapa detik, aku menghubungi National Securitj Advisor yang sepengetahuanku
segera melapoi padamu di Camp David."
Presiden mulai berjalan di seputar Ruang Ova yang menurutnya tak hanya
memberikan lebih banyal waktu untuk berpikir tetapi biasanya juga membua tamu-tamunya merasa tak
enak. Kebanyakan oranj yang masuk ke Ruang Oval sudah gugup. Sekretaris nya pernah
mengatakan bahwa empat dari lima tami pergi ke kamar kecil dulu beberapa saat sebelun harus
menemui Presiden. Tapi ia meragukan apakah wanita yang dudu I berhadapan dengannya itu tahu di
mana letak kama kecil terdekat. Jika ada bom meledak di Rose Garden Helen Dexter mungkin hanya
akan mengangkat alisny 56 yang terawat rapi. Sejauh ini kariernya telah berlangsung lebih lama daripada
tiga presiden. Ketiganya konon pernah suatu saat memintanya mengundurkan diri.
"Dan ketika Mr. Lloyd meneleponku memberitahu bahwa kau menghendaki keterangan
terperinci lebih anjut, aku menginstruksikan pada wakilku, Nick (Jutenburg, untuk
menghubungi orang-orang kita di I ipangan di Bogota dan secara luas menyelidiki apa t patnya yang
terjadi Sabtu siang itu. Gutenburg nenyelesaikan laporannya kemarin." kata Helen eraya menepuk berkas
arsip di pangkuannya. Lawrence berhenti berjalan dan berdiri di bawah potret Abraham Lincoln yang
tergantung dv at"r"
kerapian. Ia memandangi tengkuk Helen - Dexter. Wanita itu tetap memandang lurus
ke depa' Direktur itu mengenakan setelan rapi berwarna elap dengan kemeja krem sederhana.
Ia jarang nengenakan perhiasan, bahkan dalam acara kenegara-m. Pengangkatannya oleh
Presiden Ford sebagai wakil direktur pada usia 32 dimaksudkan sebagai I cngganti sementara
untuk menenangkan lobi feminis leberapa minggu sebelum pemilihan umum tahun 1976. Ternyata malahan
Ford yang menjadi pengganti ementara. Setelah serangkaian direktur yang menjabat dalam
masa singkat, entah karena mengundurkan diri atau pensiun, akhirnya Ms. Dexter mencapai posisi
yang didambakannya. Banyak desas-desus ter-
bar dalam suasana rumah kaca di Washington me-ii enai pandangan-pandangannya
yang sangat kanan dan cara-cara yang digunakannya untuk meraih promosi, tapi tak ada anggota
Senat yang berani mempertanyakan pengangkatannya. Ia lulusan summa cum 57
laudc Bryn Mawr dan selanjutnya Fakultas Hukum Universitas Pennsylvania, lalu
bergabung dengan salah satu biro pengacara New York yang terkemuka. Setelah serangkaian
perdebatan dengan dewan mengenai lamanya para wanita menjadi mitra, akhirnya disudahi
dengan proses peradilan yang diselesaikan di luar pengadilan. Lalu ia menerima tawaran untuk
bergabung dengan CIA. Ia memulai hidupnya dalam CIA di kantor Direktorat Operasi, akhirnya menanjak
menjadi wakil direktur. Saat pengangkatannya, ia lebih banyak mempunyai musuh daripada
sahabat, tetapi dengan berjalannya waktu musuh-musuh itu tampak menghilang, atau dipecat, atau
mengambil pensiun dipercepat. Ketika diangkat menjadi direktur, ia baru berusia empat puluh.
Washington Post menyebutnya telah berhasil menembus langit-langit kaca, tapi itu tak menghalangi
para bandar bertaruh berapa hari ia akan bertahan. Segera mereka mengubahnya menjadi berapa
minggu, kemudian berapa bulan. Kini mereka bertaruh apakah ia akan menjabat direktur CIA
lebih lama daripada J. Edgar Hoover di FBI.
Beberapa hari setelah mendiami Gedung Putih, Tom Lawrence telah menemukan
seberapa jauh Dex-ter akan menghadangnya bila mencoba mengganggu dunianya. Jika ia meminta
laporan mengenai perkara-perkara sensitif, tidak jarang baru tersedia di mejanya setelah
berminggu-minggu. Dan bila akhirnya tiba, ternyata tak bisa tidak merupakan
laporan panjang, diskursif,
membosankan, dan sudah kedaluwarsa. Jika ia memanggil Dexter ke Ruang Oval untuk
menjelaskan persoalan-persoalan yang tak terjawab, wanita mi bisa bergaya
seorang bisu-tuli yang tampak seperti positif informatif. Jika Lawrence
mendesaknya, Dex-ln akan mengulur-ulur waktu. Jelas dengan asumsi bahwa dia
masih tetap menduduki jabatan, lama >-telah para pemilih Lawrence memecatnya dari jabatan.
Tapi Helen Dexter barulah bersikap mematikan ketika Lawrence mengusulkan
seseorang mengisi lowongan di Mahkamah Agung. Dalam waktu beberapa hari, berkas-berkas laporan
diserahkan ke meja Lawrence, berisi penegasan panjang-lebar bahwa calon yang diusulkan itu
tidak dapat diterima. Lawrence mendesak tetap mengajukan calonnya - ihabat lamanya, yang
ditemukan tewas gantung diri di garasi sehari sebelum menduduki jabatan. Lawrence kemudian
menemukan bahwa berkas rahasia itu telah dikirim ke setiap anggota Panitia Seleksi Senat, tetapi
ia tak pernah dapat membuktikan siapa yang bertanggung jawab atas hal itu.
Andy Lloyd telah memperingatkan Lawrence pada berbagai kesempatan bahwa jika ia
berani mencoba memindahkan Dexter dari jabatannya, sebaiknya ia memiliki sejenis bukti
yang akan meyakinkan publik bahwa Ibu Teresa memiliki rekening bank rahasia di Swiss yang
secara teratur diisi oleh sindikat-sindikat kriminal terorganisasi.
Lawrence telah menerima penilaian Kepala Stafnya, tetapi kini merasa bila ia
dapat membuktikan bahwa CIA terlibat dalam pembunuhan Ricardo tiuzman tanpa bersusah payah memberi
informasi kepada Andy Lloyd, ia bisa memaksa Dexter meninggalkan jabatan dalam beberapa
hari. 58 59 Lawrence kembali ke kursinya dan menekan tombol di bawah tepi meja yang akan
memungkinkan Andy ikut mendengarkan percakapan, ataupun mendengarkan pita rekaman malam
harinya. Lawrence menyadari Dexter tahu persis apa yang sedang diinginkannya. Dan
Lawrence menduga tas ajaib yang tak pernah pisah dari sisi Dexter dan tidak memuat lipstik,
wangi-wangian, dan kotak kosmetik yang lazimnya menyertai para wanita, telah merekam sedap kata dalam
pembicaraan mereka berdua. Namun ia masih juga memerlukan versinya sendiri tentang peristiwa
itu untuk catatan. Begitu Dexter telah duduk Presiden berkata, "Karena tampaknya kau telah tahu
dengan baik, mungkin kau dapat memberiku penjelasan terperinci mengenai apa yang sebenarnya
terjadi di Bogota." Helen Dexter tak menanggapi nada sarkastis itu dan mengambil sebuah berkas dari
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pangkuan. Sampul putih berlogo CIA bertuliskan kata-kata "KHUSUS UNTUK PRESIDEN
SAJA". Lawrence bertanya-tanya dalam hati berapa banyak berkas yang telah disembunyikan
Dexter dengan tulisan "HANYA UNTUK DIREKTUR SAJA".
Dexter membuka berkas itu. "Telah dikonfirmasi kan oleh beberapa sumber bahwa
pembunuhan di laksanakan oleh satu penembak," bacanya.
"Sebutkan salah satu sumber itu," Presiden me nyela.
"Atase kebudayaan kita di Bogota," jawab Dexter.
Lawrence mengangkat alisnya. Separo dari par atase kebudayaan di kedutaan-
kedutaan Amerika di seluruh dunia telah ditempatkan di situ oleh CIA
60 hanya supaya melaporkan kembali langsung ke Helen Dexter di Langley tanpa
konsultasi dengan duta besar setempat, apalagi dengan Departemen Luar Negeri. Kebanyakan dari
mereka memperkirakan Nut-eiacker Suite merupakan sepinggan makanan yang lurus ada dalam
daftar masakan di restoran eksklusif.
Presiden mendesah. "Dan menurut/iyo, siapa yang bertanggung jawab atas
pembunuhan itu?" Dexter membuka lagi beberapa halaman dalam
I rkas, mengambil sehelai foto, dan menyodorkannya ke seberang meja. Presiden
memandangi foto seorang etengah baya yang berpakaian rapi - dan tampak makmur.
'Siapa ini?" "Carlos Velez. Dia mengelola kartel obat bius t i besar kedua di Bogota. Sudah
barang tentu Guzman mengawasi yang terbesar."
"Dan apakah Velez sudah dituntut?"
"Sayang sekali dia telah terbunuh hanya beberapa
Ii m sesudah polisi menerima surat penahanan." "Tepat sekali."
Dexter tidak tersipu-sipu. Mustahil baginya, pikir I iwrence. Tersipu-sipu kan
perlu darah. 'Dan apakah pembunuh tunggal ini punya nama" Ataukah dia juga meninggal hanya
beberapa saat Uelah perintah pengadilan..."
"Tidak, Sir. Dia masih hidup segar bugar," jawab si direktur tegas. "Namanya
Dirk van Rensberg." "Apa saja yang telah diketahui tentang dirinya?" t.mya Lawrence.
"Dia warga Afrika Selatan. Dan hingga belum lama ini dia tinggal di Durban."
61 "Hingga belum lama ini?"
"Ya. Dia sembunyi di bawah tanah segera sesudah pembunuhan."
"Itu mudah dilaksanakan, lebih-lebih jika tak pernah hidup di alas tanah," kata
Presiden. Ia menunggu reaksi si direktur. Tapi wanita itu tetap tenang. Akhirnya Lawrence
berkata, "Apakah para pejabat Kolombia menyetujui versi ini, ataukah atase kebudayaan kita satu-
satunya sumbermu?" "Tidak, Sir. Kami menyerap sebagian besar keterangan rahasia dari Kepala Polisi
Bogota\ Dalam kenyataan dia telah menahan salah seorang kaki-tangan Rensberg yang dipekerjakan
sebagai pelayan di Hotel El Belvedere tempat dari mana tembakan dilepaskan. Dia ditahan
di lorong beberapa saat setelah membant si pembunuh lolos lewat lift barang."
"Dan tahukah kita gerak-gerik van Rensberg setelah pembunuhan?"
"Tampaknya dia telah terbang ke Lima dengan nama Alistair Douglas Kemudian
dilanjutkan ke Buenos Aires menggunakan paspor yang sama. Sesudah itu kita kehilangan
jejaknya." "Dan kuragukan apakah kau akan pernah menemukannya kembali."
"Oh, aku tak begitu pesimistis, Mr. President," kata Dexter tanpa menggubris
nada Lawrence. "Para
pembunuh bayaran cenderung beraksi sendiri dan menghilang beberapa bulan sesudah
tugas sepenting ini. Kemudian mereka muncul kembali setelah merasa panas lelah
mereda." "Nah," kata Presiden. "Kupastikan dalam kasus ini aku tetap akan memanaskan
suasana. Dalam 62 perjumpaan kita berikutnya, mungkin aku punya I iporan sendiri yang dapat
kaupertimbangkan." "Aku ingin sekali membacanya," kata Dexter dengan nada murid nakal yang tak
gentar kepada kepala sekolah. Presiden memencet tombol di bawah meja. Sesaat kemudian ada ketukan di pintu dan
Andy Lloyd masuk. "Mr. President, beberapa saat lagi ada pertemuan lengan Senator Bedell," katanya
tanpa menghiraukan kehadiran Dexter.
"Kalau begitu aku akan meninggalkanmu, Mr. President," kata Dexter sambil
bangkit dari tempat duduk. Ia meletakkan berkas di meja Presiden, meng-iinbil tasnya, dan langsung
meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
Presiden tidak berbicara hingga Direktur CIA menutup pintu, kemudian berpaling
kepada Kepala Staf. \ku tak percaya sama sekali," gumamnya sambil meletakkan berkas di baki surat keluar. Lloyd
mencatat dalam hati akan mengambilnya kembali begitu bosnya meninggalkan
ruangan. "Paling-paling yang dapat kita I arapkan ialah menanamkan rasa takut
pada Tuhan I alam diri wanita itu,
sehingga dia tak berkeinginan melaksanakan operasi lain seperti itu selama aku
mendiami Gedung Putih." "Mengingat perlakuannya padamu semasa kau jadi senator, Mr. President,
kusarankan jangan terlalu banyak menghabiskan uang untuk itu."
"Karena aku tak bisa memanfaatkan jasa pembunuh untuk menyingkirkan wanita itu,
apa saranmu?" "Menurutku dia memberimu dua pilihan: me-
63 mecatnya dan menghadapi penyelidikan Senat yang tak terelakkan; atau menerima
kekalahan, mengikuti versinya mengenai peristiwa di Bogota, dan berharap bisa
mengalahkannya lain waktu."
"Mungkin ada pilihan ketiga," kata Presiden dengan tenang.
Lloyd mendengarkan dengan cermat, tidak berusaha menyela. Dengan segera menjadi
jelas bahwa Presiden telah banyak memikirkan bagaimana cara menyingkirkan Helen Dexter dari
jabatan sebagai direktur CIA. Connor menenangkan pikiran sambil melihat ke layar kedatangan bagasi. Koper-
koper dari penerbangannya telah mulai dimuntahkan, dan beberapa penumpang telah maju hendak
mengambil barang mereka. Ia masih tetap sedih karena tidak dapat hadir pada kelahiran putrinya. Meskipun
meragukan kebijakan Amerika Serikat mengenai Vietnam, Connor berbagi patriotisme
keluarganya. Dengan sukarela ia menggabungkan diri ke dalam dinas militer. Dan ia menyelesaikan
akademi calon perwira sementara menunggu Maggie diwisuda. Mereka akhirnya hanya mempunyai
waktu untuk pernikahan dan melangsungkan bulan madu selama empat hari sebelum Letda
Fitzgerald berangkat ke Vietnam pada bulan Juli 1972.
Dua tahun di Vietnam itu kini tinggal merupakan kenangan lama. la telah naik
pangkat menjadi lettu, lalu ditangkap Vietkonji la berhasil lolos sambil menyelamatkan hidup
seorang temannya - tampaknya semua itu telah lama berlalu sehingga ia mampu meyakinkan diri bahwa
semuanya itu sebenarnya udak pernah terjadi. Lima bulan setelah ia pulang, Presiden menganugerahinya
penghargaan nasional militer tertinggi, Medali Kehormatan. Tetapi setelah menjadi tawanan
perang selama delapan belas bulan di Vietnam, ia hanya bahagia masih diperkenankan hidup dan
bersatu lagi dengan wanita yang dicintainya. Dan saat melihat Tara, ia jatuh hati untuk k
-dua kalinya. Seminggu setelah kembali ke Amerika Serikat, t onnor mulai mencari pekerjaan. Ia
telah diwawan-earai untuk menduduki pos di CIA di kantor wilayah ( hicago,
ketika tiba-tiba Kapten Jackson,
mantan komandan kompinya, muncul dan mengajaknya h -rgabung dalam satuan
istimewa yang akan didirikan tim elite Jackson, ia akan menerima pekerjaan yang mempunyai segi-segi yang tak dapat
dibicarakannya dengan orang lain, termasuk istrinya sendiri. Ketika telah mengetahui apa yang
diharapkan darinya, ia mengatakan perlu sedikit waktu lagi untuk memikirkannya sebelum memutuskan. Ia
membicarakan masalah itu dengan Pastor Graham, pastor keluarga, ang memberikan nasihat
sederhana: "Jangan pernah melakukan sesuatu yang kauanggap tak terhormat, bahkan jika itu atas nama
negeri sendiri." Ketika Maggie ditawari pekerjaan pada Kantor Penerimaan Universitas Georgetown,
Connor menyadari betapa teguh niat Jackson untuk merekrutnya. Keesokan harinya ia
menyurati mantan komandan kompinya itu dan menyatakan senang bergabung (kmgan "Asuransi Maryland"
sebagai karyawan peserta pelatihan eksekutif.
64 65 Itulah saat penipuan dimulai.
Beberapa minggu kemudian Connor, Maggie, dan Tara pindah ke Georgetown.
Mereka menemukan rumah kecil di Avon Place. Uang mukanya dibayar dengan cek-cek
Ketentaraan yang telah didepositokan Maggie dalam rekening Connor, sebab dulu ia menolak percaya
bahwa Connor telah gugur. Kesedihan yang menimpa mereka selama masai permulaan di Washington ialah karena
Maggie mengalami dua kali keguguran. Dan para ahli kandungar menasihati agar menerima
kenyataan bahwa ia hanyj dapat melahirkan satu anak. Maggie mengalami keguguran ketiga
sebelum akhirnya menerima nasihatj itu. Walaupun mereka kini telah menikah selama tiga puluh tahun, Maggie masih mampu
menggairahkan! Connor hanya dengan tersenyum dan memijat punggung! Connor dengan
tangan. Connor tahu, begitu ia keluar! pabean dan melihat Maggie menunggu di ruangai
kedatangan, itu terasa seakan baru pertama kali. Connor tersenyum bila ingat Maggie telah ada di
bandara selama paling sedikit sejam sebelum pesawat dijadwalkan mendarat.
Kopernya telah muncul di depannya. Ia menyambarnya dari ban berjalan dan menuju
ke pintu keluar, Connoi melewati jalur hijau, sebab yakin bih bagasi ini digeledah, petugas
pabean tidak akai tertarik kepada antelop dari kayu yang pada kakinyi jelas-jelas bertuliskan
"Made in South Africa".
Ketika memasuki ruang kedatangan, ia langsung! melihat istri dan putrinya
berdiri dalam rombongan orang banyak. Connor mempercepat langkah d<
iri senyum kepada wanita yang dipujanya itu. Mengapa Maggie mau memandangnya
kembali, bahkan mau menjadi istrinya" Senyumnya semakin lebar ketika ia memeluknya.
"Apa kabar. Sayang?" tanya Connor.
"Aku hanya merasa hidup kembali bila tahu kau kembali dengan selamat sesudah
menunaikan tugas," bisik Maggie. Connor mencoba tidak mengindahkan kata "dengan selamat"
sambil melepas pelukan dan berpaling ke wanita satunya yang ia cintai dalam bulupnya. Tara
sangat mirip ibunya tapi agak lebih imggi, dengan rambut panjang merah dan mata hijau berkilat yang
sama, namun wataknya lebih tenang. Sang putri semata wayang ini menciumi pipi Connor bmgga
ia merasa lebih muda sepuluh tahun. Pada pembaptisan Tara, Pastor Graham berdoa supaya Yang Mahakuasa menganugerahi
anak itu wajah Maggie dan otak - Maggie. Ketika Tara telah tumbuh, angka-angkanya di
sekolah menengah dan banyaknya anak muda yang mengincarnya, telah membuktikan bahwa Pastor Graham
bukannya hanya pastor, melainkan juga nabi. Connor segera menyudahi usaha
menyingkirkan arus para pengagum yang mengetuk pintu depan rumahnya di Georgetown, ilau bahkan
bersusah payah mengangkat telepon, k.irena hampir selalu berhadapan dengan anak muda yang
berlidah kelu dan berharap putrinya mau ber-k ncan dengannya.
'Bagaimana kabar Afrika Selatan?" tanya Maggie sambil menyelipkan tangan ke
lengan suaminya. "Makin gawat sejak kematian Mandela," jawab C onnor. Ia telah mendengarkan
uraian panjang dari 66 67 Cari Koeter mengenai masalah-masalah yang dihadapi Aluka Selatan selama makan
siang di Cape Town, ditambah dengan koran-koran setempat selama seminggu yang ia baca dalam
penerbangan ke Sydney. "Angka kriminalitas meningkat tajam di kebanyakan kota besar, hingga
bermobil
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanggar lampu merah setelah gelap bukan lagi merupakan pelanggaran hukum.
Mbeki berusaha sebaik mungkin. Tapi aku kuatir harus menyarankan supaya perusahaan memotong
investasinya di sana - setidaknya hingga kita yakin perang saudara telah terkendali."
"'Keadaan berantukan; pusat tak dapat bertahan; hanya anarki semata yang melanda
seluruh bumi'" kata Maggie. "Kupikir Yeats belum pernah mengunjungi Afrika Selatan" kata Connor.
Betapa sering ia ingin mengatakan seluruh kebenaran kepada Maggie, dan
menjelaskan mengapa ia hidup dalam dusta bertahun-tahun, tapi nyatanya tak semudah itu. Maggie mungkin
merupakan wanita simpanannya, tetapi mereka itu majikannya, dan Connor selalu menerima
kode bungkam total. Selama bertahun-tahun ia berusaha meyakinkan diri bahwa Maggie tidak
mengetahui seluruh kebenaran itu demi kebaikan Maggie sendiri. Tetapi bila Maggie tanpa sadar
menggunakan kata-kata "tugas" dan "dengan selamat", Connor sadar bahwa Maggie
tahu lebih jauh daripada yang
diakuinya. Apakah ia mengigau dalam tidur" Namun tak lama lagi tidaklah perlu
mengelabui Maggie lebih lanjut. Maggie memang belum tahu, tapi Bogota itu adalah penugasan
terakhir. Selama liburan ia akan mengatakan mengenai
68 promosi tak terduga yang akan berarti tak perlu banyak bepergian lagi.
"Bagaimana dengan perjanjian itu" Kau berhasil menanganinya?" tanya Maggie.
"Perjanjian itu" Oh, ya, semuanya sesuai rencana," kata Connor. Itulah yang
paling mendekati kebenaran .mg bisa diungkapkannya kepada Maggie.
Connor mulai berpikir tentang dua minggu berikutnya berjemur matahari. Ketika
mereka melewati kios koran, sebuah judul berita di kolom kanan Sydney Morning Herald menarik
perhatiannya. Wakil Presiden Amerika Menghadiri Pemakaman di Kolombia
Maggie melepaskan diri dari gandengan suaminya ketika mereka keluar dari ruang
kedatangan, menghirup udara musim panas yang hangat dan menuju ke tempat parkir.
"Di mana Ayah ketika ada bom yang meledak di ( ape Town?" tanya Tara.
Koeter sama sekali tidak menyebutkan bom di < 'ape Town. Apakah ia akan pernah
bisa bersantai" 69 BAB ENAM Ia menyuruh sopirnya untuk mengantarnya ke National Gallery.
Ketika mobil meninggalkan jalan masuk ke Gedung Putih untuk anggota staf,
seorang petugas Dinas Rahasia Uniformed Division di gardu jaga membukakan gerbang logam dan
mengangkat tangan memberi salam. Sopir menuju ke State Place, melaju di antara South
Grounds dan Ellipse serta melewati Departemen Perdagangan.
Empat menit kemudian mobil berhenti di luar jalan masuk ke galeri di sebelah
timur. Penumpangnya berjalan cepat melintasi jalur berbatu-batu dan menaiki tangga
batu. Ketika tiba di tangga teratas, ia menoleh kembali untuk mengagumi pahatan Henry Moore yang
mendominasi sisi lain alun-alun. Dan ia memeriksa apakah ada yang menguntitnya. Ia tak yakin,
namun ia memang bukan seorang profesional.
70 Ia berjalan terus memasuki gedung, lalu berbelok ke kiri mendaki tangga pualam
yang menuju ke aleri-galeri di lantai dua. Semasa muda dulu ia I erjam-jam berada di situ.
Ruangan-ruangan besar I enuh sesak dengan anak-anak sekolah, tidak aneh
i pagi hari kerja. Sementara berjalan menuju ke daleri 71, ia mengedarkan
pandang ke lukisan-lukisan I lomer, Bellow, dan Hopper yang telah ia kenal dan
mlai merasa betah. Ia tak pernah merasa demikian di Gedung Putih. Ia melanjutkan
ke Galeri 66. Sekali lagi mengagumi Tanda Peringatan kepada shaw dan Resimen Massachusetts Ke-
54 karya Au-jmst Saint-Gaudens. Pertama kali melihat dekorasi
ebesar badan yang masif itu, ia berdiri di depannya
lan terpesona selama sejam lebih. Tapi kali ini ia I anya punya waktu senggang
beberapa saat. Karena tak bisa menahan diri untuk berhenti berkali-kali, seperempat jam lagi ia
baru sampai ke I undaran di pusat gedung. Ia bergegas melewati patung Mercury, menuruni tangga,
dan kembali ber-utar melalui toko buku, cepat-cepat menuruni se-i ingkaian
tangga dan melintasi lorong bawah
tanah, lalu akhirnya muncul di Sayap Timur. Ia mendaki
ebaris tangga lagi, lalu melintas di bawah lukisan
'esar Calder yang bergerak-gerak tergantung pada
I ingit-langit, kemudian menerobos melalui pintu putar, keluar gedung, dan
menuju ke jalur berbatu-batu. Sekarang ia telah yakin tak ada yang menguntitnya.
Ii langsung masuk ke tempat duduk bagian belakang i iksi yang sedang antre
paling depan. Sambil me-11 mdang ke luar jendela, ia melihat mobil dan sopirnya di seberang sana
alun-alun. 71 "Ke A.V., di New York Avenue."
Taksi berbelok ke kiri di Pennsylvania, kemudi menuju ke utara ke Sixth Street.
Ia mencoba menat pikirannya. Ia senang, selama dalam perjalanan s: sopir tidak mengajaknya
berbincang mengenai peme rintah atau khususnya Presiden.
Mereka membelok ke kiri ke New York Avenue d taksi langsung melambat. Ia
menyerahkan selemb uang sepuluh dolar kepada si sopir bahkan sebelu mobil berhenti, kemudian
melangkah ke luar da menutup pintu taksi tanpa menunggu uang kembalian.
Ia lewat di bawah awning merah, putih, dan hija yang menandakan asal-usul
pemiliknya dan mem buka pintu. Perlu waktu beberapa saat agar matany menyesuaikan diri dalam cahaya
temaram ata kegelapan. Setelah terbiasa, ia lega karena tempa itu ternyata kosong. Hanya ada
sesosok sendirian yang duduk menghadap meja kecil di seberang ruangan sambil main-main dengan
gelas jus tomat setengah kosong. Setelan bagus dan perlente takj menunjukkan bahwa ia
pengangguran. Walau masih bersosok atlet, kepalanya yang mulai membotak sebelum waktunya membuatnya
tampak lebih tua daripada usia yang dicantumkan dalam berkas. Mata mereka bertemu dan
orang itu mengangguk. Ia melintasi ruangan dan duduk berhadapan dengannya. "Namaku
Andy..." ia memulai. "Misterinya, Mr. Lloyd, bukanlah siapa kau, melainkan mengapa Kepala
Staf Presiden ingin berjumpa denganku," kata Chris Jackson.
* * * 72 N ?1111 apa bidang spesialisasi Anda?" tanya Stuart 94i Kenzie.
Maggie memandang suaminya. Ia tahu suaminya m\ kan suka kehidupan profesionalnya
dicampuri. ' onnor menyadari bahwa Tara tak sempat mem-luiiiahu pemuda terakhir yang
terpesona kepadanya Muluk tidak membicarakan pekerjaan ayahnya.
Hingga saat itu ia tak ingat pernah lebih dapat Lifiiikmati makan siangnya. Ikan
yang hanya di-i.mekap beberapa jam sebelum mereka duduk di kui'ia sudut kafe
kecil di Cronulla. Buah-buahan [yung belum pernah diawetkan atau di dalam kaleng, ?km bir yang ia harapkan
diekspor ke Washington. " onnor menenggak kopi sebelum duduk santai berhindar di kursi dan
menonton para peselancar hanya wkitar seratus meter jauhnya. Olahraga yang ingin fa |umpai dua
puluh tahun sebelumnya. Stuart terkejut melihat betapa fit ayah Tara ketika pertama kali
mencoba papan selancar. Connor membual dengan ("e i cerita bahwa ia masih berlatih dua-tiga
kali seminggu. Dua-tiga kali sehari mungkin lebih mendekati kebenaran.
Walau takkan pernah memandang seseorang cukup baik bagi putrinya, Connor harus
mengakui bahwa "lalam beberapa hari yang lalu ini ia semakin senang I" igaui dengan
pengacara muda itu. "Aku bekerja di bisnis asuransi," jawabnya, sebab .ular putrinya pasti sudah
mengatakan demikian kepada Stuart. "Ya, Tara telah menceritakan Anda eksekutif senior. Tapi dia tak memberikan
keterangan terperinci." Connor tersenyum. "Itu karena spesialisasiku pen 73
culikan dan tebusan, dan sikapku terhadap kepercayaa klien sama seperti dalam
profesimu." Ia ingin tali apakah itu akan menghentikan pemuda Australia it untuk meneruskan
topik tersebut. Ternyata tidak. "Kedengarannya jauh lebih menarik daripad kasus-kasus biasa yang harus saya
tangani," k Stuart, mencoba menariknya dari persembunyian.
"Sembilan puluh persen yang kulakukan hanyal rutin dan membosankan," kata
Connor. "Dalam k nyataannya, aku punya lebih banyak pekerjaan tuli: menulis daripada kau."
"Tapi saya tak pernah bepergian ke Afrika Selatan.
Tara memandang cemas ke arah ayahnya, seba tahu ayahnya tak akan suka informasi
ini telah dai sampaikan kepada seseorang yang relatif asing. Tad Connor tak menunjukkan tanda-
tanda kebosanan. "Ya, memang r^arus kuakui pekerjaanku puny satu-dua kompensasi."
"Apakah akan melanggar kepercayaan klien bil Anda mengajak saya menelusuri kasus
yang khas?"t Maggie baru akan menengahi dengan kalimat yan di masa silam sering ia gunakan,
tetapi Connor tela< sukarela menjawab, "Perusahaan tempatku bekerji mewakili beberapa klien
gabungan yang punya ke< pentingan besar di luar negeri."
"Mengapa klien-klien itu tak menggunakan peri usahaan dari negeri yang terlibat"
Mestinya merek! lebih bisa menangani keadaan setempat."
"Con," Maggie menyela, "kupikir kau kepanasan. Mungkin lebih baik kembali ke
hotel sebelum ka seperti udang bakar."
Connor senang dengan intervensi istrinya yan
74 " i meyakinkan itu, apalagi karena istrinya telah tn nyuruhnya mengenakan topi
sejam sebelumnya. " lak pernah semudah itu," katanya kepada si |" u) acara muda. "Ambillah contoh
Coca-Cola. Harus Imcgaskan dulu kami tak mewakilinya. Mereka punya ?mior di seluruh dunia.
Mempekerjakan puluhan ?mi anggota staf. Di setiap negara mereka punya )t ckutif senior yang
kebanyakan berkeluarga." Maggie tak bisa percaya bahwa Connor telah ) w dibiarkan pembicaraan sejauh itu.
Biasanya me- fik;i cepat mendekati masalah dan selalu menghentikan pertanyaan lebih lanjut
karena mati langkah. ' Tapi kami punya orang-orang yang memiliki kualifikasi untuk melaksanakan
pekerjaan seperti itu ?i Sydney," kata Stuart sambil membungkuk, meluangkan kopi lagi untuk Connor.
"Bagaimanapun krnculikan dan tebusan juga dikenal di Australia." Terima kasih," kata Connor.
Ia kembali meneguk I i sambil memikirkan pernyataan itu. Penelusuran "tumit tak goyah. Seperti
jaksa penuntut yang baik. \<\ sabar menunggu dengan harapan saksi memberikan Ii iban terbuka pada
tahap tertentu. "Sebenarnya aku tak pernah diberi tugas bila tak nila
komplikasi." Komplikasi?"
"Kita ambil contoh sebuah perusahaan dengan banyak perwakilan di negara di mana
kejahatan M'img terjadi, dan penculikan dengan tebusan sudah ilianggap biasa. Direktur
perusahaan itu - walau biasanya istrinya karena sehari-hari tak begitu terlindungi - diculik."
"Nah, di situ Anda masuk?"
75 "Tidak. Tak harus begitu. Bagaimanapun poli setempal mungkin telah berpengalaman
menang perkara sejenis itu. Dan tak banyak perusahaan ya suka diintervensi dari luar,
khususnya dari Amerik Keiap kali aku hanya terbang ke ibu kotanya memulai penyelidikanku
sendiri. Jika sebelumnya pernah berkunjung ke negeri itu dan telah menyusu laporan bersama
kepolisian setempat, mungkin af memberitahukan kehadiranku. Tapi aku lebih su menunggu
mereka minta bantuanku." "Lalu bagaimana jika mereka tak minta bantuan, tanya Tara.
Stuart terkejut karena jelas Tara belum pe mengajukan pertanyaan itu sebelumnya
kepada aya nya. "Kalau begitu aku harus bekerja sendirian," kas Connor. "Dan itu membuat proses
tersebut lebi gawat lagi." "Tapi bila polisi tak bergerak maju, menga^ mereka menginginkan bantuan Anda"
Mereka pas menyadari keahlian khusus Anda," kata Stuart.
"Sebab polisi sendiri sudah tahu, pada tahap te tentu mereka telah terlibat."
"Aku tak begitu mengerti," kata Tara.
"Polisi setempat mungkin menerima sebagia tebusan," Stuart mencoba menjawab,
"jadi mereT tak menyukai intervensi dari luar. Bagaimanap mereka mungkin mengira perusahaan
asing itu marr> pu membayar tebusan."
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Connor mengangguk. Segera jelas mengapa Stua telah mendapat pekerjaan dengan
banyak kasus tind" pidana terkenal di Sydney.
76 "Jadi apa tindakan Anda bila polisi setempat telah memotong tebusan?" tanya
Stuart. lara mulai menyesal, seandainya saja ia telah memberitahu Stuart untuk tidak
mendesak ayahnya ih lalu jauh. Namun ia segera menyimpulkan bahwa in.mg-orang Australia tak punya
gambaran di mana kilas "terlalu jauh" itu.
"Jika itu terjadi, aku harus mempertimbangkan bernegosiasi sendiri. Sebab bila
klien terbunuh, dapat dipastikan investigasi berikut takkan mendalam, dan p.na penculik mungkin
takkan pernah tertangkap." "Dan begitu Anda setuju bernegosiasi, apa langkah p< mbukanya?"
Begini, kita andaikan penculik menuntut satu jiiia dolar - penculik selalu
menuntut jumlah bulat, biasanya dalam dolar Amerika. Seperti setiap nego-Malor profesional, tugas
utamaku adalah mencapai u msaksi sebaik mungkin. Dalam hal itu, unsur terpenting ialah
memastikan karyawan perusahaan tak ti i ancam bahaya. Tapi takkan kubiarkan perkaranya mencapai
tahap negosiasi jika menurutku klien bisa dibebaskan tanpa pembayaran sepeser pun dari perusahaan.
Semakin banyak harus membayar, semakin besar kemungkinan penculik mengulangi kejahatannya
beberapa bulan kemudian. Kadang-kadang dengan menculik orang yang sama."
"Apakah Anda sering sampai ke tahap negosiasi Hii?"
"Sekitar lima puluh persen dari yang kutangani. Saat itulah kita tahu apakah
kita berhadapan dengan piofesional. Makin lama kita dapat mengulur nego-Liasi, para amatir makin
waswas akan tertangkap. 77 Dan sesudah beberapa hari mereka jadi menyuk^ orang yang diculik, yang membuat
mereka mustah( melaksanakan rencana semula. Misalnya dalam- peng pungan Kedutaan Peru,
mereka akhirnya menyr lenggarakan pertandingan catur dan para teror menang."
Mereka bertiga tertawa, sehingga Maggie bc agak santai.
"Orang-orang profesional atau amatir yang m ngirim orang-orang suruhan?" tanya
Stuart deng.. senyum kecut. "Aku senang dapat mengatakan aku tak mewakl perusahaan yang bernegosiasi atas
nama cucu M( Getty. Tapi bahkan bila aku menangani seoranj profesional, aku masih memegang
beberapa kar bagus." Connor tidak tahu istri dan putrinya me biarkan kopi mereka mendingin.
"Silakan meneruskan," kata Stuart.
"Nah, kebanyakan penculikan merupakan peris wa sekali jadi. Dan walau hampir
selalu dilaksam kan oleh seorang profesional, mungkin dia tak be pengalaman bernegosiasi dalam
situasi seperti it> Para penjahat profesional selalu terlalu percaya di Mereka mengira bisa
menangani segalanya. Seper* pengacara yang mengira bisa membuka restoran hany karena dia makan tiga
kali sehari." Stuart tersenyum. "Lalu apa yang mereka lakuka begitu sadar takkan mendapatkan
sejuta dolar?" "Aku hanya dapat bicara dari pengalaman sendiril kata Connor. "Biasanya urusan
itu kuakhiri dengar menyerahkan seperempat dari jumlah yang dituntu berupa lembaran uang yang
telah digunakan dan dap 78 p*lacak. Dalam kesempatan yang tak kerap terjadi aku ni" nyerahkan setengah uang
tuntutan. Hanya sekali fcku setuju menyerahkan jumlah seluruhnya. Tapi Mugai pembelaan
diriku, Tuan Pengacara, dalam Iumis khusus itu bahkan perdana menteri setempat pun mengambil
bagiannya." "Berapa banyak yang bisa lolos?"
"Dalam kasus yang telah kutangani selama tujuh [v las tahun, hanya ada tiga.
Jadi secara kasar itu h'iarti delapan persen."
"Bukan hasil yang jelek. Dan Anda kehilangan |"-iapa klien?"
Kini mereka menginjak wilayah yang bahkan M iggie pun belum pernah merambahnya.
Dan Maggie mulai beringsut gelisah di kursinya.
"Bila kehilangan klien, perusahaan mendukung lila sepenuhnya," kata Connor. la
berhenti sejenak, lapi mereka tak membolehkan seseorang gagal dua ah."
Maggie bangkit dari kursi dan berpaling ke Connor "tiaya berkata, "Aku ingin
berenang. Ada yang mau Ikut?" ] "Tidak, tapi aku ingin sekali lagi berselancar," kiiliut Tara, cepat-cepat
membantu usaha ibunya niengakhiri interogasi itu.
"Berapa kali kau terjatuh pagi ini?" tanya Connor memberi konfirmasi bahwa
pembicaraan telah cukup jauh. 4 "Selusin kali lebih," sahut Tara. "Ini yang terpilah." Dengan bangga ia menunjuk
ke memar besar ih piha kanan. 'Mengapa kaubiarkan dia sejauh itu, Stuart?" tanya
79 Maggie sambil duduk mengamati memar itu lebi] saksama.
"Sebab itu memberi saya kesempatan menolong nya dan tampil sebagai pahlawan."
"Awas, Stuart, akhir minggu ini dia sudah mahir berselancar. Dan akhirnya dia
yang akan me nolongmu," kata Connor sambil tertawa.
"Saya tahu hal itu," jawab Stuart. "Tapi saat it terjadi, saya akan mengajarinya
hungee jumping." Maggie langsung memucat, dan buru-buru me-J mandang ke arah Connor.
"Jangan khawatir, Mrs. Fitzgerald," tambah Stua cepat-cepat. "Lama sebelum itu
Anda berdua tela kembali ke Amerika." Tak seorang pun dari mere" ingin diperingatkan^akan hal
itu. Tara memegang lengan Stuart. "Ayo pergi, Super] man. Sudah waktunya kau
menemukan gelombang lain di mana kau bisa menyelamatkanku."
Stuart melompat berdiri. Sambil berpaling ke( Connor ia berkata, "Jika sampai
menculik putri Anda, saya takkan menuntut tebusan, dan saya tak maJ menyelesaikan persoalan
dengan dolar Amerika ataJ mata uang mana pun."
Tara tersipu-sipu. "Ayolah," katanya, dan mereka lari ke pantai menyongsong
ombak. "Dan untuk pertama kalinya aku takkan mencoba bernegosiasi," kata Connor kepada
Maggie sambfl menggeliat dan tersenyum.
"Dia pemuda yang baik," kata Maggie sambil menggandeng tangan Connor. "Sayang
dia bukajj orang Irlandia." 80 "Bisa lebih buruk lagi," kata Connor sambil bangku dari kursi. "Dia bisa jadi
orang Inggris." Maggie tersenyum sementara mereka mulai menuju ke tempat berselancar. "Tara baru
pulang pukul lima pagi ini." "Jangan bilang kau terjaga semalaman bila putrimu pergi berkencan," kata Connor
sambil menyeti ngai. "Jangan keras-keras, Connor Fitzgerald, dan ingatlah dia itu satu-satunya anak
kita." 'Tara bukan anak kecil lagi, Maggie," kata Connor. Dia wanita dewasa dan kurang
dari setahun lagi iha akan jadi Dr. Fitzgerald."
"Dan tentu saja kau tak mencemaskannya,"
"Kau tahu aku cemas," kata Connor sambil me-i mgkulnya. "Tapi jika dia main api
dengan Stuart - ilan itu bukan urusanku - dia dapat bertindak jauh lebih buruk lagi."
"Aku tak tidur denganmu hingga hari perkawinan kita. Dan bahkan ketika mereka
mengatakan kau hilang di Vietnam, aku tak pernah memandang pria lain. Dan itu bukan karena
kurang ajakan." "Aku tahu, sayangku," kata Connor. 'Tapi saat i lu kau telah menyadari aku tak
tergantikan." Connor melepas rangkulannya dan berlari menuju ke ombak, sambil memastikan ia
selalu selangkah _ lebih dulu dari istrinya. Ketika akhirnya dapat menyusulnya, Maggie
sudah kehabisan napas. "Declan O'Casey melamarku lama sebelum..."
"Aku tahu, Sayang," jawabnya sambil memandangi nata hijau Maggie dan menyibakkan
rambutnya. "Dan tak pernah sehari pun berlalu tanpa kusyukuri 81
bahwa kau menungguku. Itulah satu-satunya hal yang membuatku tetap bertahan
hidup setelah ditawan di 'Nam. Hal itu dan keinginan melihat Tara."
Kata-kata Connor mengingatkan Maggie akan kesedihan ketika ia keguguran dan
ketika mengetahui ia tak dapat melahirkan anak lagi. Maggie telah dididik dalam
keluarga besar dan sangat merindukan mempunyai anak-anak sendiri. Ia tak pernah dapat menerima
filsafat sederhana dari ibunya: itu sudah menjadi kehencfak Tuhan.
Sementara Connor pergi ke Vietnam, ia banyak mengalami masa-masa bahagia bersama
Tara. Tapi setelah Connor pulang, nona muda itu telah memindahkan kasih sayangnya dengan
tiba-tiba. Dan walau tetap dekat dengan putrinya, Maggie tahu ia tak dapat mempunyai hubungan
lagi dengan Tara sebagaimana yang dinikmati Connor.
Ketika Connor menandatangani kontrak dengan Asuransi Maryland sebagai karyawan
peserta pelatihan manajemen, Maggie kebingungan oleh ke-putusan itu. Maggie selalu
mengira Connor selalu ingin terlibat dalam penegakan hukum seperti ayahnya. Itu sebelum ia
menjelaskan untuk siapa sebenarnya ia bekerja. Walau tak menjelaskan secara terperinci, Connor
memberitahu siapa atasannya, dan arti menjadi petugas pelindung secara tak resmi, NOC - non-official
cover officer. Bertahun-tahun Maggie dengan setia menyimpan rahasia itu, walau tak dapat
membicarakan profesi suami dengan teman-teman dan para kolega kadang-kadang terasa aneh.
Tetapi ia memutuskan ketidaknyamanan itu tak seberapa dibandingkan pengalaman banyak istri
dan 82 para suami yang terlalu senang membicarakan pekerjaan mereka, tak habis-habisnya
dan sangat terperinci. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikulerlah yang hendak mereka rahasiakan.
Maggie sungguh-sungguh berharap suatu hari putrinya menemukan seseorang yang
bersedia menunggu di bangku taman semalaman hanya untuk melihatnya menutup tirai.
BAB TUJUH Jackson menyulut rokok, dan mendengarkan dengan cermat setiap kata yang
diucapkan orang dari Gedung Putih itu. Ia tidak berusaha menyelanya.
Ketika akhirnya mengakhiri bagian yang telah dipersiapkannya, Lloyd menyesap air
mineral yang disajikan kepadanya dan mendengarkan apa yang akan menjadi pertanyaan pertama
mantan wakil direktur CIA itu Jackson mematikan rokok. "Boleh aku bertanya mengapa kau menduga akulah orang
yang tepat untuk tugas ini?" Lloyd tidak kaget. Ia telah memutuskan jika Jackson mengajukan pertanyaan itu,
ia akan berterus terang. "Kami tahu kau mengundurkan diri dari CIA karena... perbedaan pendapat" -
ia menekankan kata-kata ini - "dengan Helen Dexter. Walau catatan prestasimu dalam
CIA pantas diteladani. Dan hingga saat itu kau dianggap sebagai pengganti Dexter yang sudah
semestinya. Tapi karena meletakkan jabatan
84 dengan alasan-alasan yang sekilas tampaknya aneh, kau tak dapat menemukan
jabatan yang memadai dengan kualifikasimu. Kami menduga Dexter juga punya sangkut paut dengan
urusan ini." "Hanya perlu sekali telepon," kata Jackson, "tentu saja off the record - dan tiba-
tiba kau dibuang dari setiap daftar orang yang mampu menduduki jabatan. Aku sebenarnya tak suka
menjelek-jelekkan orang yang masih hidup, tapi dalam hal Helen Dexter, aku
senang membuat perkecualian."
Ia menyulut rokok lagi. "Soalnya Dexter percaya Tom Lawrence menduduki jabatan
kedua terpenting di Amerika," ia melanjutkan, "Wanita itulah yang menjadi pembela
iman, benteng akhir bangsa. Dan baginya politisi terpilih itu hanyalah ketidaknyamanan sementara
yang cepat atau lambat akan dibuang oleh pemilih mereka."
"Presiden telah lebih dari sekali disadarkan akan hal itu," kata Lloyd, dengan
agak terharu. "Mr. Lloyd, presiden datang dan pergi. Aku berani bertaruh, seperti kita semua,
bosmu adalah manusia biasa, maka bisa dipastikan Dexter telah menyusun berkas mengenai
Lawrence, penuh dengan alasan mengapa Lawrence tak pantas menjalani masa jabatan kedua. Dan
omong-omong, dia juga memiliki berkas yang sama tebalnya mengenai dirimu."
"Kalau begitu sudah saatnya kita menyusun berkas kita sendiri, Mr. Jackson. Tak
ada orang lain yang kupandang lebih cakap menangani tugas itu."
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana aku harus mulai?"
"Dengan menyelidiki siapa yang berada di belakang pembunuhan atas Ricardo Guzman
di Bogota bulan lalu," kata Lloyd. "Kami punya alasan untuk 85
percaya CIA mungkin terlibat, secara langsung ataupun tidak."
"Tanpa sepengetahuan Presiden?" tanya Jackson tidak percaya.
Lloyd mengangguk. Ia mengeluarkan berkas dari tas dan menyodorkannya di atas
meja. Jackson membukanya. "Tak usah buru-buru," kata Lloyd, "sebab kau harus mengingat-ingat semuanya."
Jackson mulai membacanya. Dan ia mulai berkomentar walau belum sampai pada akhir
halaman pertama. "Jika kita mengasumsikan itu penembak tunggal, mustahil mencoba mencari
informasi yang bisa diandalkan. Orang seperti itu tak meninggalkan alamat surat." Jackson berhenti
sebentar. "Tapi bila
yang sedang kita tangani ini CIA, Helen Dexter punya sepuluh hari lebih dulu
dari kita. Mungkin dia telah membuat buntu setiap jalan yang bisa mengarah ke si pembunuh -
kecuali..." "Kecuali...?" Lloyd menirukan.
"Aku bukan satu-satunya orang yang lelah bertahun-tahun bertemu dengan wanita
itu. Mungkin ada orang lain di Bogota yang - " lu berhenti. "Waktuku berapa lama?"
"Presiden baru Kolombia .ikan mengadakan kunjungan resmi ke Wasluneinn uyn
tnui^tm lagi. Akan membantu bila saat itu kita aulah punya sesuatu."
"Rasanya sekarang ini ikti ml ih mulai mengalami seperti zaman duju,' k u i I u
I mi seiaya mematikan rokoknya. "Kecuali a.l.i k nan an tambah-8(>
an, karena kali ini Helen Dexter secara resmi ber-eberangan denganku." Ia
menyulut rokok lagi. "Aku bekerja untuk siapa?"
"Resminya kau freelance. Tapi secara tak resmi
kau bekerja untukku. Kau akan dibayar sama seperti
waktu meninggalkan CIA. Rekeningmu setiap bulan ikan dikredit. Walau jelas
namamu takkan muncul dalam buku mana pun. Aku akan menghubungimu
bila..." "Jangan, Mr. Lloyd," kata Jackson. "Aku akan menghubungiwH bila ada sesuatu yang
pantas ku-laporkan. Kontak timbal-balik hanya akan melipatgandakan kemungkinan
seseorang menemukan kita. Yang kuperlukan hanyalah nomor telepon yang tak dapat dilacak."
Lloyd menuliskan tujuh nomor pada serbet. "Itu langsung berhubungan dengan
mejaku, bahkan menghindari sekretarisku. Lewat tengah malam otomatis dipindahkan ke telepon di
sisi ranjangku. Kau dapat meneleponku siang atau malam. Tak perlu menghiraukan perbedaan waktu
bila kau di luar negeri, sebab aku tak peduli dibangunkan dari tidur."
"Itu bagus," kata Jackson. "Sebab kuduga Helen Dexter tak pernah tidur."
Lloyd tersenyum. "Apakah semuanya telah kita bahas?"
"Belum semuanya," sahut Jackson. "Bila kau pergi, beloklah ke kanan; lalu
berikutnya ke kanan lagi. Jangan menengok ke belakang. Dan jangan menghentikan taksi sebelum paling
sedikit melewati empat blok. Mulai sekarang kau harus berpikir seperti Helen Dexter. Dan
hati-hatilah, wanita itu telah melakukan
87 hal itu selama tiga puluh tahun. Hanya ada satu orang yang sepengetahuanku lebih
baik daripada dia." "Kuharap itu kau sendiri," kata Lloyd.
"Bukan. Bukan aku," sahut Jackson.
"Jangan-jangan dia telah bekerja untuk Dexter."
Jackson mengangguk. "Walau dia sahabat ter-karibku, jika Dexter menyuruhnya
membunuhku, tak ada perusahaan asuransi di seluruh kota ini yang mau memberi santunan untuk
polis asuransi jiwaku. Jika kau berharap aku mengalahkan mereka berdua, lebih baik kau berharap
aku belum jadi karatan delapan bulan lalu "
Kedua orang itu bangkit. "Selamat jalan, Mr. Lloyd," kata Jackson sambil
berjabat tangan "Maaf
bahwa ini penemuan kita pertama dan yang terakhir."
'Tapi kukira kita telah sepakat -" sergah Lloyd, sambil memandang cemas lekrul
terbarunya. "Untuk bekerja sama, Mr. Lloyd, bukan saling bertemu. Ingat, Dexter takkan
memandang dua pertemuan sebagai kebetulan "
Lloyd mengangguk. "Aku akan menunggu berita dariinu."
"Dan, Mi I loyd " pesan Jackson, "jangan kunjungi NaluMial (i?ilk*ry lagi,
kecuali bila hanya mau iiR-lili.i1 lihat lukisan "
I luvd iueii??eiu\!iknu alis "Mendapi?
"S<*ImI| p" n|nea " l' upah tiilui di (ialen 71 sudah dipasain di ..uni piuln
h.ni pui< aiiyk Maumu Semuanya ul.ih irMuiut Itl i? ikti mu Km | ?111*1 ke sana seimm > U sekuli
Apak.ih llnppei iii.isih puli pelukis kesavaii^.uiinii /"
Lloyd ternganga. "Kalau begitu Dexter telah tahu pertemuan ini?"
'Tidak," sahut Jackson. "Kali ini kau beruntung. Ini hari libur si penjaga."
Walau Connor telah melihat putrinya menangis berulang kali, ketika masih kecil,
karena kakinya yang lerluka, marah hanya karena tak boleh melakukan yang dimauinya, tapi hal
ini jauh berbeda. Sementara Tara menggelayut pada Stuart, Connor berpura-pura tertarik pada buku-
buku bestseller di kios koran. Dan itu merupakan salah satu hari libur yang paling dapat
dinikmatinya yang pernah diingatnya. Connor telah tambah gemuk beberapa kilo dan telah hampir mahir
berselancar, walau lebih sering terjatuh daripada bangga. Selama dua minggu itu, pertama-tama ia
mulai menyukai, kemudian menghargai Stuart. Dan Maggie bahkan telah berhenti mengingatkannya
setiap, pagi bahwa Tara tak kembali ke kamarnya malam sebelumnya. Ia menganggapnya sebagai
tanda bahwa walau enggan, istrinya telah memberi persetujuan.
Connor mengambil Sydney Morning Herald dari kios koran. Ia membuka-buka halaman-
halamannya, hanya melihat judul-judul berita hingga ke rubrik "Berita
Internasional". Ia memandang Maggie yang sedang membayar beberapa cendera mata yang tak pernah
mereka pamerkan atau bahkan mereka perkirakan untuk diberikan sebagai hadiah. Dan tentu
saja akan berakhir dalam obral Natal Pastor Graham.
Connor menunduk lagi. "Kemenangan Besar-besaran bagi Herrera di Kolombia"
merupakan judul berita yang terpampang di tiga kolom di halaman bawah.
89 Ia membaca tentang kemenangan berat sebelah bagi presiden baru Kolombia atas
pengganti Ricardo Guzman dari Partai Nasional di saat terakhir. Herrera, demikian bunyi
artikel itu lebih lanjut, merencanakan berkunjung ke Amerika dalam waktu dekat guna membicarakan
masalah-masalah yang sedang dihadapi Kolombia dengan Presiden Lawrence. Di
antara masalah-masalah yang terpenting... "Apakah ini bagus buat Joan?" Connor memandang kepada
istrinya yang sedang memegang gambar Sydney Harbour karya Ken Done. "Agak terlalu modern buatnya,
menurutku." "Kalau begitu kita harus membeli sesuatu buatnya dai i layanan bebas pajak di
pesawat." "Ini panggilan terakhir untuk United Airlines Penerbangan 816 ke Los Angeles,"
seru suara yang menggema di seputar bandara.
"Para penumpang yang belum masuk ke pesawat dipersilakan secepatnya menuju ke
Gerbang 27." Connor dan Maggie mulai berjalan menuju ke tanda besar keberangkatan, dan
berusaha beberapa langkah di depan putri mereka dan Stuart. Kedua orang muda ini erat berangkulan
seolah sedang mengikuti pacuan dengan tiga kaki. Begitu mereka melewati bagian pemeriksaan
paspor, Connor berhenti, sementara Maggie terus maju menuju ruang keberangkatan guna
Pangeran Iblis 1 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Dewi Maut 12
Source Hanaoki.wordpress.com Convert Pdf by navaseil@gmail.com THE ELEVENTH
COMMANDMENT Jeffrey Archer Copyrighi ? Jeffrey Archer 1998 Publi.vhed by arrangement with HarperCoIIins
Publishers Ltd. AH rights reserved
PERINTAH KESEBELAS Alih bahasa: Joko Raswono GM 402 00.417 Sampul dikerjakan
Oleh: Marcel A.W. Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah
Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2000
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ARCHER, Jeffrey Perintah Kesebelas/Jeffrey Archer; alih bahasa, Joko Raswono - Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama, 2000. 496 hlm.; 18 cm. Judul asli : The Elevenih Commandment ISBN 979 - 655 - 417 - 8
I. Judul II. Raswono, Joko
813 Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Untuk Neil dan Monigue DAFTAR ISI BUKU SATU Pemain Tim 11 BUKU DUA Pemain Tunggal 165 BUKU TIGA Pembunuh Bayaran
321 BUKU EMPAT Yang Gesit dan yang Tewas
471 UCAPAN TERIMA KASIH Saya berterima kasih kepada orang-orang berikut yang telah membantu dalam
penulisan buku ini: Yang Mulia William Webster, mantan Direktur CTA dan FBI
Yang Mulia Richard Thornburgh, mantan Jaksa Agung Amerika Serikat Yang Mulia
Samuel Berger, United States National Security Advisor Patrick Sullivan, United
States Secret Service, Washington Field Office Agen Khusus J. Patrick Durkin,
United States Di-plomatic Secret Service Melanne Verveer, Kepala Staf Hillary
Rodham Clinton John Kent Cooke Jr., pemilik, Washington Redskins
Robert Petersen, Penyelia^ United States Senate Press Gallery Jerry Gallegos,
Penyelia, Housc Press Gallery King Davis, Kepala Polisi, Sierra Madre,
California Mikhail Piotrovsky, Direktur, Museum Hermitage dan
Istana Musim Dingin, St. P*etersburg Dr. Galina Andreeva, Pengampu Departemen
Lukisan Abad Kedelapan Belas dan Kesembilan Belas, State
Tretyakov Gallery, Moscow Aleksandr Novoselov, Asisten Duta Besar, Kedutaan
Federasi Rusia, Washington D.C. Andrei Titov
Tiga anggota St. Petersburg Mafya yang keberatan disebutkan namanya Malcolm Van
de Riet dan Timothy Rohrbaug, Nicole Radner, Robert Van Hoek, Phil Hochberg,
David Gries, Judy Lowe dan Philip Verveer, Nancy Henrietta, Lewis K.
Loss, Darrell Green, Joan Komlos, Natasha Maximova, John Wood dan Chris Ellis.
Dan, khususnya, Janet Brown, Komisi Presidential Debates; dan Michael Brewer
dari Brewer Consulting Group.
BUKU SATU Pemain Tim BAB SATU Begitu ia membuka pintu, alarm berbunyi.
Kesalahan yang biasa dilakukan seorang amatir Mengherankan, sebab Connor
Fitzgerald dianggap para koleganya sebagai profesionalnya para pro tesional.
Fitzgerala telah mengantisipasi bahwa baru beberapa menit lagi policia akan
bereaksi terhadap pembobolan di distrik San Victorina.
Masih beberapa jam lagi pertandingan sepak bola tahunan melawan Brasil
berlangsung. Tetapi separo dari seluruh pesawat televisi di Kolombia pasti telah dinyalakan. Jika
Fitzgerald membobol pegadaian setelah sepak bola dimulai, policia mungkin tidak akan melacaknya
hingga wasit membunyikan peluit panjang. Sudah diketahui umum bahwa para kriminal setempat
menganggap pertandingan itu sebagai waktu bebas bersyarat selama satu setengah jam. Tetapi
rencana Fitzgerald untuk satu setengah jam itu ialah
13 supaya policia melacaknya berhari-hari. Dan ber-minggu-minggu, bahkan mungkin
berbulan-bulan, akan berlalu sebelum seseorang menyadari arti sesungguhnya pembobolan di Sabtu
siang itu. Alarm masih berdering ketika Fitzgerald menutup pintu belakang dan cepat-cepat
melintasi ruang sempit penyimpan barang menuju pintu depan pegadaian. Ia tidak menggubris
deretan jam di wadah mereka, zamrud dalam kantong-kantong kertas kaca, serta benda-benda dari
emas dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dipamerkan di balijc.terali rapat. Semuanya
ditandai dengan nama dan tanggal sangat cermat sehingga para pemilik dapat kembali dalam waktu
enam bulan untuk menebus warisan keluarga mereka. Tapi hanya sedikit yang datang menebus.
Fitzgerald menyibak tirai manik-manik yang memisahkan ruang penyimpan dengan
toko. Ia berhenti di depan gerai. Matanya menatap koper kulit lusuh di tengah-tengah
etalase. Ada inisial "D.V.R." tercetak di atas tutup koper dengan huruf keemasan. Ia tetap tak
bergerak hingga yakin tak ada orang yang melihat ke dalam.
Ketika tadi pagi menjual senapan istimewa buatan tangan kepada pemilik toko, ia
telah menjelaskan tidak berniat kembali ke Bogota. Maka barang itu dapat langsung
dijual. Fitzgerald tidak heran senapan itu telah dipasang di etalase. Di seluruh Kolombia tidak
akan ada yang serupa dengan itu. Ia baru akan melewati gerai ketika ada seorang pemuda berjalan melewati etalase.
Fitzgerald berhenti. Tetapi perhatian pemuda itu seluruhnya tersita oleh radio kecil yang
menempel pada telinga kiri- 14 nya. Perhatiannya terhadap Fitzgerald hanya seponi perhatian tukang jahit
terhadap boneka model penjahit. Begitu pemuda itu lepas dari penglihatan, Fitzgerald melangkahi gerai
dan menuju ke etalas*-Ia memeriksa jalanan apakah ada yang mengawasinya, tapi ternyata tidak
ada siapa-siapa. Dengan satu gerakan ia mengambil koper kulit dari etalase dan cepat-cepat
berjalan kembali. Ia melompati gerai dan berbalik memandang ke luar lagi untuk memastikan tidak
seorang pun menyaksikan pencurian itu.
Fitzgerald berputar, menyibak tirai manik-manik, dan berjalan ke pintu tertutup.
Ia memeriksa jam tangannya. Alarm telah berbunyi selama 98 detik. Ia memasuki lorong dan
mendengarkan baik-baik. Seandainya mendengar lengking sirene policia, ia pasti
ikan berbelok ke kiri dan menghilang
di sedemikian banyak jalan yang melintas di belakang toko pegadaian. Tapi yang
terdengar hanya alarm. Selain itu sunyi. Ia membelok ke kanan dan berjalan santai ke arah
Carrera Septima. , Sesampainya di trotoar, Connor Fitzgerald menengok ke kiri-kanan. Ia menyelinap
ke antara lalu lintas yang tak padat, dan menyeberangi jalan tanpa menoleh ke belakang. Ia
menghilang di restoran yang ramai pengunjung, tempat sekelompok penggemar sepak bola ramai
mengerumuni televisi berlayar lebar. Tak ada yang memandangnya. Satu-satunya perhatian mereka ialah menonton tiga gol
yang dicetak Kolombia tahun lalu dan ditayangkan berulang-ulang. Ia duduk menghadap meja di
sudut. Walau tak dapat melihat layar televisi dengan jelas, ia dapat meman-15
dang ke seberang jalan dengan leluasa. Sebuah papan lusuh bertulisan
"'J'.Escobar. Monte de Piedad, establecido 1946" terombang-ambing diembus angin siang di atas toko
pegadaian. Beberapa menit berselang, lalu sebuah mobil policia mendecit berhenti di depan
toko. Begitu melihat dua policia berseragam memasuki toko, Fitzgerald meninggalkan mejanya
dan tanpa acuh keluar lewat pintu belakang memasuki jalan lain yang tenang di Sabtu siang itu.
Ia menghentikan taksi kosong pertama yang l^wat, dan berkata dengan logat A/rika Selatan kental,
"El Belvedere di Plaza de Bolivar, por favor." Sopir itu mengangguk singkat, seolah memberitahu
ia tidak berminat bercakap-cakap lebih panjang. Begitu Fitzgerald masuk ke kursi belakang taksi
kuning itu, si sopir langsung menyetel radio. Fitzgerald memeriksa jamnya lagi. Pukul 13.17. Ia beberapa menit terlambat dari
jadwal. Pidato pasti sudah dimulai. Tetapi karena selalu berlangsung empat puluh menit lebih,
ia masih punya waktu cukup untuk melaksanakan tujuan yang sebenarnya berada di Bogota. Ia
beringsut beberapa inci ke kanan supaya benar-benar pasti sopir dapat melihatnya dengan jelas
melalui kaca spion. Begitu policia mulai mengadakan penyelidikan, ia memerlukan semua orang yang
melihatnya hari itu untuk memberikan deskripsi yang kurang-lebih sama: laki-laki, kulit putih,
usia lima puluhan, tinggi 180 sentimeter lebih, berat sekitar 80 kilogram, tak bercukur, rambut
hitam dan acak-acakan, berpakaian seperti orang asing, berlogat asing tapi bukan 16
Amerika. Ia berharap setidaknya ada seorang di antara mereka yang mampu
mengidentifikasi ciri bunyi sengau bahasa Afrika Selatan. Fitzgerald selalu jago dalam menirukan
berbagai logat. Di SMU ia senantiasa mendapat masalah karena menirukan uru-gurunya.
Radio di dalam taksi tak henti-hentinya menyiarkan pandangan pakar, satu
menyusul yang lain, mengenai bagaimana kira-kira hasil acara tahunan tetap itu. Dalam hati
Fitzgerald beralih dari bahasa yang lak ingin dikuasainya, walau akhir-akhir ini ia menambahkan "falta",
"fuera", dan "goV pada kosakatanya yang terbatas.
Tujuh belas menit kemudian Fiat kecil itu berhenti di depan El Belvedere.
Fitzgerald menyerahkan lembaran 10.000 peso kepada si sopir. Dan ia lelah menyelinap keluar taksi
sebelum si sopir sempat berterima kasih atas tip yang begitu besar. Ini bukannya karena para
sopir taksi di Bogota terkenal terlalu sering menggunakan kata-kata "muchas gracias".
Fitzgerald bergegas ke tangga hotel, melewati portir berseragam, dan melalui
pintu putar. Di lobi ia langsung menuju ke deretan lift yang berhadapan dengan meja resepsionis. Ia
menunggu beberapa menit dan salah satu lift kembali ke lantai dasar. Begitu pintu terbuka, ia
masuk dan memencet tombol "8", kemudian cepat-cepat memencet tombol "Close" tanpa memberi
kesempatan orang lain mengikutinya. Saat pintu terbuka di lantai 8, ia melangkah di lorong berkarpet
tipis menuju kamar 807. Ia menggesekkan kartu plastik ke celah dan menunggu cahaya hijau menyala,
baru kemudian menekan pegangan pintu. 17 Begitu pintu terbuka ia memasang tanda "Favor de no Molestai" di luar pintu, la
menutup pintu dan memasang pasaknya. Lagi-lagi ia memeriksa jamnya: pukul 13.36. Menurut perhitungannya, kini polisi
pasti sudah meninggalkan toko pegadaian setelah menyimpulkan bahwa alarm itu salah. Mereka
akan menelepon Mr. Escobar di rumahnya di pedalaman untuk memberi-tahu bahwa
tampaknya segalanya beres. Dan mereka menyarankan supaya ia menelepon polisi jika ada
sesuatu yang hilang sekembalinya ia ke kota hari Senin. Tetapi lama sebelum itu, Fitzgerald pasti
telah mengembalikan koper kulit lusuh itu di etalase. Pada hari Senin pagi yang akan dilaporkan
Escobar hanyalah paket-paket kecil zamrud belum terasah yang diambil policia
ketika mereka pergi. Berapa lama lagi
Escobar akan memergoki benda lain yang juga hilang" Sehari" Seminggu" Sebulan"
Fitzgerald telah memutuskan untuk meninggalkan petunjuk aneh guna mempercepat proses itu.
Fitzgerald melepas jas dan menyampirkannya di kursi terdekat. Dan mengambil
remote control dari meja di sisi tempat tidur. Ia menekan tombol nOnn, lalu duduk di sofa di depan
pesawat televisi. Wajah Ricardo Guzman memenuhi layar televisi.
Fitzgerald tahu bahwa Guzman akan berusia lima puluh tahun di bulan April
berikutnya. Tetapi dengan tinggi tubuh hampir 185 sentimeter dan rambut masih penuh hitam pekat
serta tak ada masalah soal berat badan, ia bisa mengatakan kepada khalayak penyan-jungnya
bahwa ia belum empat puluh tahun. Dan mereka akan mempercayainya. Bagaimanapun tak 18
lunyak orang Kolombia yang mengharapkan para politisi mereka mengatakan
kebenaran tentang apa pun. Khususnya tentang usia mereka.
Ricardo Guzman, favorit dalam pemilihan presiden yang akan datang, adalah bos
kartel Cali yang menguasai 80 persen perdagangan kokain New York. *l m menghasilkan semiliar
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dolar setahun. Fitzgerald inlak menjumpai informasi ini dalam tiga surat kabar n.isional
Kolombia, mungkin karena pasokan kertas koran negeri itu kebanyakan dikendalikan oleh < ni/.man.
'Tindakan pertama yang akan saya ambil sebagai piesiden Anda sekalian adalah
menasionalisasi perusahaan yang mayoritas pemegang sahamnya orang-<>iang Amerika."
Gerombolan kecil orang-orang yang mengerumuni langga Gedung Kongres di Plaza de
Bolivar meneriakkan persetujuan mereka. Berkali-kali para penasihat Ricardo Guzman
memperingatkan bahwa tak iiria gunanya berpidato pada hari dilangsungkannya pertandingan sepak
bola, tetapi tidak digubrisnjta. Karena ia memperhitungkan bahwa berjuta-juta pemirsa
televisi akan menjelajahi saluran mencari sepak bola, dan akan melihatnya di layar walau hanya
sekejap. Orang-orang yang sama itu akan terperanjat, bila hanya sejam kemudian
mereka melihat Guzman memasuki stadion yang penuh sesak. Sepak bola membosankan Guzman, tetapi ia tahu
bahwa kehadirannya yang beberapa saat sebelum tim tuan rumah memasuki lapangan akan
mengalihkan perhatian khalayak dari Antonio Herrera, Wakil Presiden Kolombia dan saingan
utamanya dalam pemilu. 19 Herrera akan duduk di boks VIP. Tapi Guzman akan berada di tengah-tengah para
penonton di belakang salah satu gawang Citra yang ingin ia tampilkan ialah seseorang dari
kalangan rakyat. Fitzgerald memperkirakan pidato itu tinggal enam menit lagi. Ia telah mendengar
kata-kata Guzman setidaknya lusinan kali: di lobi yang penuh sesak, di bar yang setengah
kosong, di sudut-sudut jalan, bahkan di stasiun bus sementara si kandidat sedang
menyampaikan pidatonya kepada
para penduduk setempat di bagian belakang "bus. Ia menarik koper kulit itu dari
ranjang ke pangkuannya. "...Antonio Herrera bukan calon Liberal," desis Guzman. "Tapi dia calon orang-
orang Amerika. Dia tak lebih dari orang tolol yang bisa bicara dengan perut. Kata-katanya
dipilihkan oleh orang yang
duduk di Ruang Oval." Massa bersorak lagi.
Lima menit. Fitzgerald menghitung. Ia membuka koper dan memandangi Remington 700
yang baru beberapa jam hilang dari pandangannya.
"Berani-beraninya orang-orang Amerika mengasumsikan kita akan selalu selaras
dengan apa yang cocok bagi mereka?" teriak Guzman. "Dan itu hanya karena dolar yang mahakuasa.
Persetan dengan dolar yang mahakuasa itu!" Massa bersorak lebih keras lagi ketika si
kandidat mengambil selembar satu dolaran dari dompetnya dan merobek-robek George Washington menjadi
serpihan-serpihan. "Satu hal dapat kupastikan kepada Saudara-saudara," lanjut Guzman sambil
menebarkan serpihan-serpihan kertas hijau itu kepada massa seperti konfeti.
"Tuhan bukan orang Amerika...," cetus Fitzgerald.
'Tuhan bukan orang Amerika!" teriak Guzman.
Dengan hati-hati Fitzgerald mengambil gagang "napan fibreglass McMillan dari
koper. "Dalam waktu dua minggu, warga negara Kolombia akan diberi kesempatan
memperdengarkan pandangan-pandangan mereka ke Seantero dunia," teriak Guzman.
"Empat menit," gumam Fitzgerald sambil memandang ke layar dan menirukan senyum
sang calon presiden. Ia mengambil laras dari baja antikarat Hart dari dudukannya dan
menyekrupkan erat-erat pada popor. Pas seperti sarung tangan.
"Bila ada konferensi tingkat tinggi di seluruh dunia, Kolombia akan hadir lagi
di meja konferensi, bukannya hanya membaca beritanya di koran hari berikutnya. I )alam waktu setahun
aku akan membuat orang-orang Amerika memperlakukan kita bukan sebagai negara Dunia
Ketiga, tapi sebagai negara sederajat."
Massa bergemuruh. Sementara itu Fitzgerald mengangkat alat bidikan penembak-
gelap bertenaga Leupold 10 dari tempatnya dan memasukkannya ke dua galur kecil di pucuk laras.
"Dalam waktu seratus hari Saudara-saudara akan menyaksikan perubahan-perubahan
di negeri kita yang diyakini Herrera takkan mungkin terjadi dalam seratus i thun. Sebab bila
aku menjadi presiden, Saudara-audara..."
Pelan-pelan Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya. Rasanya
seperti sahabat ama. Tetapi dengan syarat: setiap bagian harus dibuat dengan tangan, tepat
sesuai dengan spesifikasinya. Ia menaikkan pandangan melalui teleskop ke arah
21 20 gambar pada layar televisi. Ia menyusun deretan titik-titik kecil hingga
terpusatkan satu inci di atas
jantung calon presiden. "...mengatasi inflasi..."
Tiga menit. "...mengatasi pengangguran..."
Fitzgerald mengembuskan napas.
"...di samping itu menghilangkan kemiskinan."
Fitzgerald menghitung tiga... dua... satu. Kemudian dengan lembut ia menarik
picu. Ia nyaris mendengar bunyi klik mengatasi gemuruh massa.
Fitzgerald menurunkan senapan, beranjak dari sofa, dan menurunkan koper kulit
yang kosong. Sembilan puluh detik lagi Guzman mencapai ritus pengutukan Presiden Lawrence.
Ia mengambil sebutir peluru dengan ujung berlubang dari kantong kecil di dalam
tutup koper. Ia mengokang dan memasukkan peluru .ke ruangan pelor, kemudian meluruskan laras
dengan sentakan ke atas. "Ini akan merupakan kesempatan terakhir bagi warga negara Kolombia untuk
membalikkan kegagalan-kegagalan fatal di masa lalu," teriak Guzman. Nadanya semakin
meninggi. "Maka kita harus memastikan satu hal..."
"Satu menit," gumam Fitzgerald. Ia dapat mengulangi kata demi kata bagian ujung
pidato Guzman selama enam puluh detik terakhir.
Ia mengalihkan perhatian dari televisi dan berjalan pelan-pelan melintasi kamar
menuju jendela. "...jangan sampai kita menyia-nyiakan kesempatan emas ini..."
Fitzgerald menarik tali tirai ? yang menghalangi
pemandangan dunia luar. Pandangannya menerawang melintasi Plaza de Bolivar ke
sisi utara alun-alun. Di situ calon presiden berdiri di atas puncak tangga
gedung Kongres. Ia memandang ke
bawah kepada massa. Ia baru akan melepaskan tembakan pamungkasnya alias coup de
grace. Dengan sabar Fitzgerald menunggu. Jangan biarkan dirimu dalam ruangan terbuka
lebih lama daripada yang diperlukan.
"Viva la Colombia!" teriak Guzman. "Viva la Colombia!" kembali massa bersorak
histeris. Walau kebanyakan dari mereka adalah penjilat-penjilat bayaran yang secara strategis
ditempatkan di antara massa. "Aku mencintai negaraku," si calon presiden memberikan pernyataan. Pidato itu
tinggal tiga puluh detik lagi. Fitzgerald membuka jendela. Disambut gemuruh massa yang mengulangi
pidato Guzman kata demi kata. Si calon presiden melirihkan suara menjadi bisikan: "Dan biar kujelaskan satu
hal - rasa cintaku pada negeriku adalah satu-satunya alasan untuk berbakti sebagai presiden
Saudara-saudara." Untuk kedua kalinya Fitzgerald menopangkan popor Remington 700 pada bahunya.
Semua mata terpancang pada si calon presiden saat ia meng-gelegarkan kata-kata "Dios guarde
a la Colombia!" Gemuruh memekakkan ketika ia mengangkat kedua belah tangannya tinggi-tinggi guna
menghormati seman massa pendukungnya. "Dios guarde a la Colombia!" Tangan Guzman
masih terangkat tinggi-tinggi penuh kejayaan selama beberapa detik, sebagaimana
lazimnya pada setiap akhir pidatonya. Dan ia selalu
22 23 berdiam diri hening sama sekali selama beberapa saat.
Fitzgerald mengatur titik-titik kecil itu hingga satu inci di atas jantung calon
presiden. Sambil mengembuskan napas ia mempererat pegangan jari-jari tangan kirinya pada popor
"Tiga... dua... satu," gumamnya sambil menahan napas. Kemudian dengan lembut menarik picu.
Guzman masih tetap tersenyum ketika peluru berbuntut seperti perahu merobek
dadanya. Sedetik kemudian ia ambruk di tanah seperti boneka tanpa tali. Serpihan tulang, otot,
dan daging beterbangan ke mana-mana. Darah melumuri mereka yang berdiri di dekatnya. Yang
paling akhir dilihat Fitzgerald ialah tangan Guzman yang terulur ke atas seolah-olah
menyerahkan din kepada musuh yang tak dikenal. Fitzgerald menurunkan senapan. Melipatnya. Dan cepat-cepat menutup jendela.
Tugas telah diselesaikannya. Kini satu-satunya masalah ialah memastikan bahwa ia tidak melanggar Perintah
Kesebelas. 24 BAB DUA Apakah sebaiknya aku mengirimkan ungkapan belasungkawa pada istri dan
keluarganya?" tanya Tom I awrence. "Tidak, Mr. President," jawab Menteri Luar Negeri. 'Menurutku itu harus
diserahkan pada Menteri Pembantu untuk Urusan Antar-Amerika. Sekarang pasti Antonio Herrera yang akan
menjadi Presiden Kolombia berikutnya, jadi dialah orang yang harus kauajak berurusan."
"Maukah kau mewakili ku pada pemakaman" Ataukah Wakil Presiden yang harus ke
sana?" "Nasihatku: kedua-duanya jangan," jawab Menteri I uar Negeri. "Dubes kita di
Bogota sudah pantas mewakilimu. Karena pemakaman akan berlangsung , khir pekan ini, kita tak
dapat diharapkan hadir lengan pemberitahuan yang demikian singkat."
Presiden mengangguk. Ia telah terbiasa dengan pendekatan apa adanya dari Larry
Harrington ter-25 hadap segala hal, termasuk kematian. Ia hanya ber-i tanya-tanya jalur apa yang
akan ditempuh Larry bila ia sendiri yang terbunuh.
"Bila kau sempat, Mr. President, aku ingin men-' jelaskan dengan sangat
terperinci padamu mengenai: kebijakan kita sekarang di Kolombia. Pers mungkin akan menanyaimu
tentang kemungkinan keterlibat-an..."
Presiden baru akan menyelanya ketika terdengar ketukan di pintu. Andy Lloyd
memasuki ruangan. Pasti sudah pukul sebelas, pikir Lawrence. Ia tidak memerlukan jam sebab telah
mengangkat Lloyd sebagai kepala staf. "Nanti saja, Larry," kata Presiden. "Aku baru akan mengadakan konferensi pers
tentang Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional.
Dan tak bisa kubayangkan) bahwa banyak wartawan akan berminat terhadad kematian seorang calon
presiden di negara yangj biar kita akui saja, kebanyakan orang Amerika tak bisa
menempatkannya di peta."
Harrington tidak berkata apa-apa. Menurutnya! bukanlah tanggung jawabnya untuk
menjelaskan kej pada Presiden bahwa kebanyakan orang Amerik^ masih juga belum dapat
menempatkan Vietnam dalam peta. Tetapi begitu Andy Lloyd memasuki ruangan, Harrington tahu
bahwa hanya pernyataan Perang Dunia yang dapat memberikan prioritas kepadanya, Ia mengangguk
singkat kepada Andy Lloyd. Dar meninggalkan Ruang Oval.
"Mengapa aku pernah mengangkat orang itu"' tanya Lawrence, sambil memandangi
pintu tertutup. 26 "Larry mampu menyerahkan Texas, Mr. President, pada saat jajak pendapat kita
menunjukkan bahwa mayoritas orang-orang Selatan memandangmu sebagai orang Utara tak terkenal
yang akan suka mengangkat seorang homo menjadi Ketua Gabungan Kepala Staf."
"Kemungkinan besar akan kulakukan, bila dia kuanggap orang yang tepat untuk
pekerjaan itu," lawab Lawrence. Salah satu alasan mengapa Tom Lawrence menawarkan jabatan Kepala Staf Gedung'
Putih kepada teman sekuliahnya ialah bahwa setelah tiga puluh tahun, mereka tidak saling
menyimpan rahasia sama sekali. Andy mengemukakan apa yang dilihatnya, tanpa ada rasa bersalah
ataupun dengki. Sifat mem luiat dirinya disayang ini memastikan bahwa ia sendiri tidak pernah
mengharapkan dipilih menjadi apa pun, sehingga tidak pernah menjadi saingan.
Presiden membuka berkas arsip biru yang bertulis-kan "SEGERA" yang tadi pagi
diserahkan Andy
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ki-padanya. Ia menduga Kepala Staf ini hampir semalaman mempersiapkannya. Ia
mulai memeriksa l*-rtanyaan-pertanyaan yang menurut anggapan Andy paling mungkin
dipertanyakan dalam konferensi pers lang itu:
Berapa banyak uang yang Anda antisipasi akan dihemat dengan peraturan ini"
"Kuduga Barbara Evans akan mengajukan per-t inyaan pertama, seperti biasanya,"
kata Lawrence sambil mendongak. "Apakah kita punya dugaan apa pertanyaannya?"
"Tidak, Sir," jawab Lloyd.'Tapi karena dia selalu mendesak Rencana Undang-undang
Pengurangan 27 Senjata sejak kau mengalahkan Gore di New Hamp-shire, kini dia tak punya alasan
mengeluh karena kini kau siap melancarkannya "
"Benar. Tapi itu takkan menghalanginya mengajukan pertanyaan nakal."
Andy mengangguk setuju. Sementara itu Presiden melirik pertanyaan berikut.
Berapa banyak orang Amerika yang akan kehilangan pekerjaan karena ini"
Lawrence mendongak. "Apa ada orang khusus yang menurutmu harus kuhindari?"
"Semua orang sisanya," kata Lloyd sambil menyeringai. "Tapi kalau kau mau
singkatnya, temuilah Phil Ansanch." "Mengapa Ansanch?"
"Dia mendukung rencana undang-undang itu pada, setiap tahap, dan dia salah
seorang tamumu pada j makan malam nanti."
Presiden tersenyum dan mengangguk sambil merunut daftar pertanyaan yang
diantisipasi. Ia berhenti pada nomor tujuh.
Apakah ini bukan sebuah contoh lain bahwa Amerika kehilangan arah"
Presiden mengangkat muka memandang Kepala Stafnya. "Kadang kukira kita ini masih
hidup di zaman Wild West bila mengingat reaksi beberapa anggota Kongres terhadap rencana
undang-undang ini." "Memang, Sir. Tapi sebagaimana yang kauketahui, 40 persen orang Amerika masih
menganggap orang Rusia sebagai ancaman terbesar. Dan hampir 30 persen berharap masih akan
mengalami perang melawan Rusia."
Lawrence mengumpat. Dan tangannya menyisir rambut tebal yang terlalu dini mulai
mengelabu. Kemudian ia kembali menelusuri daftar pertanyaan dan berhenti pada nomor
sembilan belas. "Masih berapa lama lagi aku akan ditanyai tentang soal membakar kartu buramku?"
"Selama kau menduduki jabatan panglima tertinggi, menurutku," jawab Andy.
Presiden menggumamkan sesuatu sambil menahan napas. Dan ia melanjutkan
pertanyaan berikutnya. Ia mendongak lagi. "Viktor Zerimski pasti takkan mendapat kesempatan
menjadi Presiden Rusia berikutnya?"
"Mungkin sekali tidak," jawab Andy. "Tapi dia lelah naik ke tempat ketiga dalam
jajak pendapat baru-baru ini. Dan walau dia masih jauh di belakang Perdana Menteri Chernopov
dan Jenderal Borodin, posisinya melawan pidana terorganisasi mulai menggerogoti kepeloporan
mereka ini. Kemungkinan besar karena kebanyakan orang Rusia percaya Chernopov dibiayai Mafia
Rusia." "Kalau Jenderal Borodin bagaimana?"
"Dia sudah kehilangan dasar pijakan. Sebab ke-anyakan tentara Rusia belum digaji
berbulan-bulan. Pers telah melaporkan bahwa para prajurit mulai menjual seragam mereka di
jalanan." "Syukurlah pemilu masih akan berlangsung beberapa tahun lagi. Jika naga-naganya
si fasis Zerimski Uu memperoleh kesempatan menjadi Presiden Rusia berikutnya, Rencana
Undang-undang Pengorangan Senjata takkan lolos melewati babak pertama di kedua
Majelis." 28 29 Lloyd mengangguk sementara Lawrence membalik halaman. Jarinya terus merunut
daftar pertanyaan. Ia berhenti pada pertanyaan nomor 29.
"Berapa banyak anggota Kongres yang memiliki pabrik senjata dan kemudahan-
kemudahan mendasar di distrik mereka?" tanyanya sambil menoleh kepada Lloyd.
"Ada 72 senator dan 211 anggota Majelis," jawab Lloyd tanpa melihat berkasnya
yang masih tertutup. "Setidaknya kau perlu meyakinkan enam puluh persen dari mereka itu
untuk mendukungmu guna memastikan mayoritas di kedua Majelis. Dan itu berarti
kita mengasumsikan dukungan Senator Bedell."
"Frank Bedell meminta diadakannya Rencana Undang-undang Pengurangan Senjata yang
menyeluruh ketika aku masih di high school di Wiscon-sin," kata Presiden. "Dia
tak punya pilihan lain kecuali mendukung kita."
"Dia mungkin bersimpati terhadap rencana undang-undang, tapi dia merasa
langkahmu belum cukup jauh. Dia menuntut supaya kita mengurangi anggaran pertahanan sebesar lima
puluh persen lebih." "Dan apa yang diharapkannya agar aku dapat melaksanakannya?"
"Dengan mengundurkan diri dari NATO dan membiarkan orang-orang Eropa bertanggung
jawab sendiri atas pertahanan mereka."
"Tapi itu sama sekali tak realistis," kata Lawrence. "Bahkan orang-orang Amerika
yang pro Aksi Demokratis akan melawannya."
"Kau tahu itu, aku pun tahu, dan menurutku senator yang baik itu juga tahu. Tapi
itu tak menghalanginya muncul di setiap stasiun televisi dari linston hingga Los
Angeles. Dia mengklaim bahwa
pengurangan lima puluh persen dari anggaran per-i ihanan akan memecahkan masalah
Amerika dalam perawatan kesehatan dan masalah pensiun dalam waktu singkat."
"Kuharap Bedell menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan pertahanan bangsa
kita sebagaimana dia memikirkan perawatan kesehatan mereka," kala Lawrence.
"Bagaimana aku harus
menanggapinya?" ? Puji dia berlimpah-limpah atas segala usahanya vang mencolok dan tanpa kenal
lelah untuk memi?"la kepentingan kaum lansia. Tapi kemudian tandaskan bahwa
selama kau menjabat panglima
tertinggi, Amerika Serikat takkan mengurangi pertahanannya. I'uoritasmu yang
pertama ialah selalu memastikan bahwa Amerika tetap menjadi bangsa paling berkuasa ih dunia, dan
lain-lain, dan lain- lain. Dengan cara " Itinikian kita selalu menjaga dukungan Bedell. Dan mungkin
bahkan membuat ragu satu-dua orang politisi \ mg agresif."
Presiden melihat jamnya, kemudian membalik halaman. Ia mendesah dalam-dalam
ketika sampai l c pertanyaan nomor 31. Bagaimana Anda dapat mengharapkan RUU ini diberlakukan, bila kaum Demokrat tak
memiliki mayoritas di salah satu Majelis"
"Baiklah, Andy. Bagaimana jawabannya?"
"Jelaskan bahwa orang-orang Amerika yang peluh' telah menerangkan pada para
wakilnya yang - rpilih di seantero negeri ini bahwa RUU ini telah
30 31 lama kedaluwarsa. Dan itu merupakan akal sehat
saja." "Terakhir kali aku telah menggunakan gagasan iti ketika mengajukan RUU
Antinarkotika, ingat, Andy"' "Ya, aku ingat, Mr. President. Dan bangsa Ameriki mendukungmu sepenuhnya."
Larry mendesah dalam-dalam lagi, kemudian ber kata, "Oh, memegang pemerintahan
bangsa yang taJ mengadakan pemilu setiap dua tahun dan tak dihantu korps media massa pasti
lebih baik daripada memegang pemerintahan yang dipilih secara demokratis."
"Bahkan orang-orang Rusia harus menerima korp! media massa itu," kata Lloyd.
"Siapa percaya kita harus hidup mengalami ha itu?" kata Lawrence seraya memindai
pertanyaai terakhir. "Aku punya firasat jika Chernopov berjanj pada orang-orang Rusia bahwa
dia berniat menjad presiden pertama yang akan lebih menganggarka perawatan kesehatan
daripada pertahanan, dia akal menang dengan mudah."
"Mungkin kau benar," kata Lloyd. "Tapi kau jug boleh yakin jika Zeremski
terpilih, dia akan mula membangun kembali persenjataan nuklir Rusia lam sebelum mempertimbangkan
membangun rumah saki baru." "Itu sudah pasti," kata Presiden. "Tapi karen maniak ku tak punya kesempatan
untuk terpilih..." Andy Lloyd diam saja. 32 BAB TIGA 111 /gerald tahu bahwa dua puluh menit berikutnya "kun menentukan nasibnya.
Cepat-cepat ia melintasi kamar dan melihat televisi. Massa berhamburan dari
alun-alun lari ke se- l'.ila penjuru. Teriakan-teriakan gaduh kini menjadi p.niik. Dua orang penasihat
Ricardo Guzman mem-Inmgkuk mengamati sisa-sisa jasad itu.
Fitzgerald menemukan selongsong peluru yang lelah terpakai dan memasukkannya
kembali ke kan-imig di dalam tutup koper kulit. Apakah pemilik loko pegadaian
akan mengetahui bahwa salah satu
I luru telah digunakan"
Dari seberang alun-alun, lengking sirene polisi mengatasi kegaduhan massa. Kali
ini reaksi polisi |auh lebih cepat. . Fitzgerald melepas alat pembidik dan memasukkannya kembali ke wadahnya.
Kemudian ia melepas 33 laras dan menyisipkannya ke tempatnya. Dan akhirny mengembalikan gagang senapan.
Untuk terakhir kalinya ia melayangkan pandanga ke televisi dan menonton polisi
setempat menyerb masuk ke alun-alun. Ia menyambar koper kulit it mengantongi korek api dari asbak
di atas televisi kemudian melintasi kamar dan membuka pintu.
Ia menengok ke kanan-kiri di koridor yang kosong kemudian berjalan cepat ke lift
barang. Ia meneka tombol putih di dinding beberapa kali. Ia tela membuka jendela menuju ke
pintu keluar bila ad kebakaran hanya beberapa saat sebelum ia pergi k pegadaian. Tetapi ia tahu
bahwa jika ia harus kembal ke rencana darurat, segerombolan polisi berseragan sudah menunggunya di
bawah lift yang berkeriat keriut. Tidak akan ada helikopter gaya Rambo pedang-pedang gemerincing
yang akan membuatnyi lolos dengan jaya sementara peluru berdesingan d samping telinganya
dan mengenai apa saja kecual dia sendiri. Ini adalah dunia nyata. Bukan film.
Ketika pintu lift yang berat terbuka pelan-pelan Fitzgerald berhadapan muka
dengan pelayan mud< berjas merah membawa nampan berisikan makar siang. Pelayan ini rupanya kalah
undian maka tsi memperoleh giliran istirahat siang untuk menonton pertandingan.
Pelayan ini tak dapat menyembunyikan keheran annya ketika melihat seorang tamu
berdiri di luar lift barang. "No, senor, perdone, no puede entrar* ia "mencoba menjelaskan
kepada Fitzgerald yang me nerobos melewatinya. Tapi si tamu telah menekat tombol bertuliskan
"Planta Baja" dan
pintu-pintt 34 lift tertutup sebelum pelayan sempat memberitahu hahwa lift itu menuju dapur.
Begitu tiba di lantai dasar, dengan cekatan I itzgerald melewati meja-meja
stainless steel yang I enuh dengan deretan hors d'oeuvres yang menunggu lipesan, dan berbotol-botol
sampanye yang hanya ikan dibuka bila kesebelasan tuan"rumah menang, la i I ah sampai di ujung
dapur, melewati pintu putar, lan menghilang lama sebelum para anggota staf mg berseragam putih
sempat memprotesnya. Ia l> *rlari melalui lorong temaram - hampir seluruh lam-I u pijar
di situ telah dicopotnya malam sebelumnya - menuju ke pintu tebal yang membuka ke tempat parkir
mobil di bawah tanah. la mengeluarkan kunci besar dari saku jasnya, menutup pintu, dan menguncinya. Ia
langsung meng-li impiri Volkswagen kecil warna hitam yang terparkir li sudut
paling gelap. Ia mengambil kunci
lagi yang lebih kecil dari saku pantalon. Ia membuka pintu mobil dan menyelinap
duduk di belakang kemudi. Koper kulit ditaruhnya di bawah tempat duduk penumpang. Lalu ia
menstarter mobil itu. Mesinnya langsung hidup, walau telah dianggurkan selama tiga hari.
Selama beberapa detik ia menginjak pedal gas kemudian memindahkan tangkai persneling ke gigi
satu. Fitzgerald menjalankan kendaraan itu dengan santai melewati deretan mobil-mobil
terparkir dan melalui tanjakan terjal menuju ke jalan luar. Ia berhenti di puncak tanjakan
terjal itu. Polisi sedang mendobrak sebuah mobil yang terparkir, bahkan tak melayangkan pandangan
kepadanya sama sekali. Fitzgerald mem- 35 beJok ke kiri dan pelan-pelan meninggalkan Pla/ de Bolivar.
Kemudian ia mendengar lengking sirene di bela kangnya. Ia melirik ke kaca spion
dan melihat du polisi pengiring mengikutinya dengan lampu ber kilat-kilat terang. Fitzgerald
menepi sementara par polisi pengiring dan ambulans pengangkut jasa Guzman dengan pesat melewatinya.
Pada belokan ke kiri pertama ia menikung, ke mudian mulai mengikuti rute panjang
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berputar-puta menuju ke pegadaian. Sering ia kembali melalui jala yang sama. Dua puluh empat
menit kemudian memasuki lorong dan berhenti di belakang truk. I mengambil koper dari bawah
tempat duduk penumpan dan meninggalkan mobil tak terkunci. Menuru rencananya ia sudah akan
kembali di belakang kemud lagi dalam waktu kurang dari dua menit.
Dengan cepat ia menengok ke kiri-kanan me meriksa lorong itu. Tak seorang pun
tampak. Ketika Fitzgerald memasuki pegadaian, lagi-lagi bel tanda bahaya berbunyi. Tapi
kali ini ia tak khawatir akan segera didatangi polisi patroli. Hampii semua polisi sedang sibuk.
Entah di stadion tempa! pertandingan akan dimulai setengah jam lagi, entah sedang menahan orang
yang masih berada satu mi dari Plaza de Bolivar.
Fitzgerald menutup pintu belakang pegadaian Untuk kedua kalinya hari itu ia
bergegas melalui kantor belakang, menyibak lagi tirai manik-manik. Ia berdiri di belakang gerai,
memeriksa apakah ada orang lewat. Kemudian barulah .ia mengembalikan koper kulit usang di
tempatnya semula di etalase. 36 Bila Escobar kembali ke toko pegadaian hari Senin pagi, berapa lama kemudian ia
akan menemukan bahwa salah satu peluru dari enam peluru mag-niim berekor perahu telah
ditembakkan, dan hanya selongsongnya yang masih ada di tempatnya" Apakah 11
akan berusaha menyampaikan informasi itu kepada polisi"
Fitzgerald telah kembali di belakang kemudi Volkswagen dalam waktu kurang dari
90 detik. Ia masih dapat mendengar alarm berdering sementara 11 mengendarai mobil memasuki
jalan utama. Ia mulai mengikuti rambu-rambu menuju ke bandara El Dorada. Tak seorang pun
memperhatikannya. Bagaimanapun pertandingan akan segera dimulai. Lagi pula apa
hubungan alarm yang berdering di pegadaian ih distrik San Victorina dengan pembunuhan
calon piesiden di Plaza de Bolivar" Begitu tiba di jalan raya, Fitzgerald tetap meng-nnbil jalur tengah, dan tak
pernah melewati batas kecepatan. Beberapa mobil polisi menyalibnya dengan pesat dalam perjalanan
menuju ke kota. Bahkan bila ada orang yang menghentikannya dan me-i leriksa surat-surat, semua
suratnya pasti beres. Koper ing tertutup rapi di tempat duduk belakang tidak i lenunjukkan
sesuatu yang tak lazim bagi seorang isahawan yang sedang berkunjung ke Kolombia guna menjual peralatan
pertambangan. Ketika sampai di jalan keluar menuju bandara, 1 nzgerald menyingkir dari jalan
raya. Sesudah 400 neter, tiba-tiba ia belok kanan dan menuju ke tempat parkir hotel San Sebastian.
Ia membuka kotak dasbor dan mengeluarkan paspor yang telah berstempel
37 banyak. Dengan korek api yang ia ambil dari Belvedere ia menyulut Dirk van
Rensberg. Ketik jari-jarinya hampir terbakar ia membuka pintu mobil dan
menjatuhkan sisa paspor itu ke tanah da1
menginjak-injaknya hingga nyala api padam. Serayl memastikan bahwa puncak
lambang Afrika Selatal masih dapat dikenali. Ia meletakkan korek api atas tempat duduk
penumpang, menyambar kope dari tempat duduk belakang, dan menutup pint| mobil. Sedangkan kunci ia
biarkan tertancap pad lubang starter. Ia berjalan ke pintu depan hotel, lal membuang sisa paspor
Dirk van Rensberg dan kunc besar ke keranjang sampah di bawah tangga.
Fitzgerald masuk melalui pintu putar di belakang sekelompok usahawan Jepang dan
tetap di tengah aruJ mereka sementara mereka diantar menuju lift terbuka] Ia satu-satunya
penumpang yang keluar di lantai tiga. Ia langsung menuju ke kamar 347. Di situ ia mej ngeluarkan kartu
plastik lain yang membuka kama^ lain yang telah dibukukan atas nama orang lain. Il melempar
kopornya ke ranjang dan melihat jamnya Masih 1 jam 17 menit sebelum take ojf.
Ia melepaskan jas dan menyampirkannya padal satu-satunya kursi, lalu membuka
koper serta mengeluarkan kantong cucian. Kemudian ia menghilang ke kamar mandi. Selang
beberapa lama air sudaw cukup hangat baginya, dipasangnya sumbat bak mancfc dan dibukanya .keran.
Sementara menunggu ia menggunting kuku, kemudian menggosok tangan sebersih-bersihnya
seperti dokter bedah yang sedang mempersiapkan diri untuk operasi.
Fitzgerald memerlukan waktu 20 menit untuk men-l
38 " ukur habis janggut yang berumur seminggu. Dan ia memerlukan banyak sampo untuk
digosokkan kerasku eras ke rambutnya di bawah shower hingga rambutnya kembali bergelombang
alami dan berwarna pirang pasir. Fitzgerald mengeringkan tubuh dengan handuk tipis \ang disediakan hotel,
kemudian kembali ke kamar lulur dan mengenakan celana pendek joki yang bersih, la menghampiri lemari
berlaci di sisi seberang, mem-huka laci ketiga, dan meraba-raba hingga menemukan hnngkusan yang
direkatkan pada laci di atasnya. Walau beberapa hari tidak menghuni kamar itu, ia yakin tak
seorang pun tahu tempat persembunyiannya. Fitzgerald menyobek amplop cokelat itu dan dengan cepat memeriksa isinya. Paspor
lain dengan nama lain lagi. Lima ratus dolar dalam lembaran yang telah terpakai. Dan sebuah
tiket kelas satu ke ( ape Town. Para pembunuh yang lolos tidak bepergian dengan kelas satu. Lima
menit kemudian ia meninggalkan kamar 347. Pakaian kotornya bertebaran di lantai dan tanda "Favor
de no Molestar" dipasang pada pintu. Fitzgerald menggunakan lift menuju lantai dasar, yakin tak ada yang
memperhatikan seseorang berusia 51 tahun dengan kemeja biru, dasi bergaris-garis, jaket sport, dan
celana flanel kelabu. Ia keluar dari lift dan berjalan melintasi lobi tanpa berusaha heck out. Ketika
datang delapan hari lalu,
ia telah membayar sewa kamar secara tunai. Ia membiarkan bar mini di kamar
terkunci, dan tak pernah sekali pun memesan makanan untuk di kamar. Ia tak pernah menelepon ke
luar hotel dan tak pernah menonton 39 film pesanan. Maka rekening tamu ini pasti tak akanB dikenai pembayaran ekstra.
9 I Ia hanya harus menunggu selama 40 menit sam-H pai bus layanan pulang-pergi
datang. Ia melihat jamjH nya. Empat puluh tiga menit sebelum take ojf. IM sama sekali tidak
khawatir akan tertinggal Penerbang-B an 63 Aeroperu ke Lima. Ia yakin hari itu tak adaJ yang tepat waktu.
Begitu keluar dari bus di bandara, pelan-pelan vM berjalan menuju meja check 'm.
Ia tidak heran ketik? diberitahu bahwa penerbangan ke Lima tertundil sekitar sejam. Di ruang
kedatangan yang penuh sesak I beberapa polisi dengan curiga mengamati setiaffl penumpang. Dan
walau ia dihentikan serta ditanyail beberapa kali dan kopernya digeledah dua kalifl
akhirnya ia diizinkan menuju ke Gerbang 47. Ia memperlambat langkahnya ketika melihat be" berapa orang beransel dikeluarkan
oleh para anggow staf keamanan bandara. Ia bertanya-tanya dalam hal" berapa banyak orang
kulit putih yang tak berdos J harus meringkuk di sel, diinterogasi karena tindakannya tadi siang
itu. Ketika bergabung dengan antrean yang menuju k Pemeriksaan Paspor, Fitzgerald
berulang kali menghafal nama barunya sambil menahan napas. Nama ketiganya untuk hari itu.
Petugas berseragam biru di dalam gardu membuka paspor Selandia Baru dan dengan cermat
"mengamati foto di dalamnya yang tak pelak lagi mirip dengan orang yang berdandan rapi
berdiri di depannya. Ia mengembalikan paspot itu dan mengizinkan Alistair Douglas, insinyur sipil
dari Christchurch, menuju ke ruang keberangkatan
lali diundur lagi akhirnya penerbangan itu diumumkan. Seorang pramugari
mengantar Mr. Dou-ylas ke tempat duduknya di kelas satu.
"Anda berminat pada segelas sampanye, Sir?"
l-ilzgerald menggeleng. "Tidak. Terima kasih. Air pulih saja," jawabnya sambil
mencoba logat Selandia Harunya. la mengencangkan sabuk pengaman, duduk ber-mdar, dan pura-pura membaca majalah
edisi penerbangan sementara pesawat mulai menggelinding pelan di landasan yang tak
rata. Karena deretan pesawat terbang yang akan take off panjang, Fitzgerald punya cukup waktu
untuk memilih makanan yang hendak ia santap dan film yang hendak ia tonton lama sebelum 727
mempercepat lajunya. Ketika roda-roda pesawat akhirnya tinggal landas, untuk pertama kalinya
penerbangan itu, menutup 11 ita, dan mulai memikirkan apa yang harus dilakukannya begitu ia mendarat di
Cape Town. "Di sini kapten Anda yang sedang berbicara," (-rdengar suara muram. "Saya harus
mengumumkan sesuatu yang saya tahu akan menyebabkan beberapa h antara Anda merasa tertekan."
Fitzgerald segera duduk tegak. Salah satu hal darurat yang tak ia rencanakan ialah kembali
ke Bogota tanpa bisa dijadwalkan. "Maaf saya harus mengumumkan bahwa terjadi tragedi nasional di Kolombia hari
ini." Fitzgerald setengah mencengkeram lengan kursi dan berusaha bernapas dengan
wajar. 40 41 Kapten itu bimbang sesaat. "Saudara-saudara," katanya serius, "Kolombia sangat
kehilangan." Ia berhenti sejenak. "Kesebelasan nasional kita dikalahkan Brasil dengan satu-dua."
Terdengar erangan di dalam kabin seakan menabrak gunung terdekat malah merupakan
alternatif yang lebih disukai. Fitzgerald membiarkan bibirnya sedikit menyunggingkan
senyum. Pramugari muncul lagi di sisinya. "Sekarang kita sudah dalam perjalanan,
dapatkah minuman Anda saya sajikan, Mr. Douglas?"
"Ya, terima kasih," jawab Fitzgerald. "Saya pikir-pikir saya mau juga segelas
sampanye itu." 42 BAB EMPAT K i n ka Tom Lawrence memasuki ruangan, korps |hts bangkit berdiri.
"Presiden Amerika Serikat," Juru Bicara Presiden mengumumkan, kalau-kalau ada
pengunjung dari .uigkasa luar. Lawrence menaiki tangga ke podium dan menempatkan berkas arsip bini Andy Lloyd
di atas mimbar. Ia memberi isyarat kepada para wartawan dengan gerakan yang kini sudah
tak asing lagi supaya mereka duduk kembali.
"Saya senang dapat mengumumkan," Presiden memulai dengan nada santai, "bahwa
saya akan mengirimkan ke Kongres sebuah RUU yang saya janjikan kepada bangsa Amerika
selama masa kampanye." Sebagian kecil dari para koresponden Gedung Putih senior yang duduk di depannya
mencatat, tetapi sebagian besar tahu bahwa bila ada berita yang
43 pantas dipublikasikan, biasanya akan muncul selama' tanya-jawab dan bukan dari
pernyataan yang telah disiapkan. Lagi pula pernyataan pembukaan Presiden itu akan dibagikan
kepada mereka dalam bentukj paket pers saat mereka meninggalkan ruangan. Para profesional
kawakan hanya bersumber pada teks yang telah dipersiapkan bila mereka harus mengisi beberapa
inci kolom-kolom ekstra. Hal itu tak menghalangi Presiden untuk mengingatkan mereka bahwa lolosnya RUU
Pengurangan Senjata akan memberinya kesempatan mengeluarkan lebih banyak dana untuk
perawatan kesehatan jang-j ka panjang, sehingga para lansia Amerika dapat mengharapkan standar
kehidupan lebih baik setelah memasuki masa pensiun.
"Inilah RUU yang akan disambut baik oleh setiap warga negara yang terhormat dan
peduli. Dan saya bangga menjadi presiden yang akan mengegolkannya melalui Kongres."
Lawrence mendongak dan tersenyum penuh harap, puas karena paling tidak pernyataan
pembukaannya telah berjalan lancar. Teriakan "Mr. President!" muncul dari segala penjuru ketika Lawrence membuka
berkas arsip biru dan memandangi 31 pertanyaan yang mungkin akan di-kemukakan. Ia mendongak dan
tersenyum kepada] wajah yang telah dikenalnya di deretan terdepan.' "Barbara," katanya
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil menunjuk wartawati kawakan dari UPI yang sebagai wartawati paling senior berhak
mengajukan pertanyaan pertama. Pelan-pelan Barbara Evans bangkit berdiri. "Terima kasih, Mr. President." Ia
berhenti sejenak sebelum mengajukan pertanyaan, "Apakah Anda dapat membeli konfirmasi bahwa CIA
tak terlibat dalam pembunuhan Ricardo Guzman, calon Presiden
Kolombia, ih Bogota hari Sabtu siang?"
Dengung perhatian menggema di seluruh ruangan. I awrence memandangi 31
pertanyaan dan jawaban n.mg berlebihan. Andai saja tadi ia tidak menolak i.iwaran Larry
Harrington untuk memberikan penjelasan lebih terperinci begitu saja.
Aku senang pertanyaan itu kaukemukakan, Barium," jawabnya tanpa mengubah nada
bicaranya. Sebab aku ingin kau tahu bahwa selama aku jadi piesiden, saran seperti itu
takkan muncul. Dalam keadaan bagaimana pun, pemerintahan ini takkan mencampuri proses demokrasi
sebuah negara ber-(Inilat. Nyatanya pagi ini juga aku menginstruksikan ki pada Menteri Luar
Negeri untuk menelepon janda mendiang Mr. Guzman dan menyampaikan ungkapan belasungkawaku
pribadi." Lawrence lega bahwa Barbara Evans menyebut n ima orang itu, sebab bila tidak, ia
tidak akan mgat. "Mungkin kau juga tertarik mengetahui bahwa Wakil Presiden telah kuminta
untuk mewakiliku lalam pemakaman yang kudengar akan dilaksanakan h Bogota akhir pekan
ini." Pete Dowd, agen Dinas Rahasia yang mengurusi Divisi Perlindungan Presiden,
segera meninggalkan mangan untuk mengingatkan Wakil Presiden sebelum para wartawan
menemuinya. Barbara Evans tampak tak yakin. Tapi sebelum ia empat melanjutkan dengan
pertanyaan kedua, Presiden telah mengalihkan perhatian kepada seseorang yang berdiri di deretan
belakang yang ia 44 45 harapkan tidak berminat terhadap pemilihan presiden di Kolombia. Tetapi begitu
pertanyaannya terlontar. Lawrence mulai mengharapkan semoga ia punya min.il terhadap hal itu.
"Bagaimana kemungkinan1 KUU Pengurangan Senjata Anda untuk menjadi I undang-undang jika
Viktor Zerimski sangat mungkin menjadi Presiden Rusia yang berikutnya?"
Selama empat puluh menit berikutnya- Lawrence menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai RUU Pengurangan Senjata Nuklir, Biologi, Kimia, dan Konvensional, tetapi disela
dengan tuntutan untuk membeberkan peranan CIA sekarang di Amerika Selatan, dan bagaimana ia akan
menangani Viktor Zerimski bila orang ini menjadi Presiden Rusia yang berikutnya. Karena
jelas sekali bahwa Lawrence tidak' banyak mengetahui kedua hal itu melebihi mereka, para kuli tinta
ini mencium "darah" dan mulai merengek-rengek minta penjelasan mengenai kedua hal itu hingga
hal-hal lain tak disinggung, termasuk RUU Pengurangan Senjata.
Ketika akhirnya memperoleh pertanyaan yang simpatik dari Phil Ansanch mengenai
RUU, Lawrence memberikan jawaban panjang dan logis. Kemudian tanpa memberi peringatan
ia menyudahi konferensi pers itu dengan tersenyum kepada para wartawan yang
"menggonggonginya" seraya berkata, "Terima kasih, Saudara-saudara. Seperti
biasanya pertemuan ini menyenangkan." Dan tanpa sepatah kata pun ia membalikkan badan dan cepat-
cepat meninggalkan ruangan itu menuju ke Ruang Oval.
Saat Andy Lloyd dapat mengejarnya, Presiden menggerutu sambil menahan napas,
"Aku perlu bicara "lengan Larry Harrington secepatnya. Begitu kau bisa menemukannya, telepon
Langley. Aku menginginkan pertemuan dengan Direktur CIA di kantorku sejam la^i."
"Kupikir-pikir, Mr. President, apakah tak lebih in i f...?" Kepala Staf mulai
bicara. "Sejam lagi, Andy," kata Presiden tanpa memandangnya. "Jika ternyata CIA
terlibat dalam pembunuhan di Kolombia, Dexter akan kugantung."
"Aku akan segera menghubungi Menteri Luar Negeri supaya menemui mu secepatnya,
Mr. President," kata Lloyd. Ia menghilang masuk ke kantor samping. Disambarnya
telepon terdekat dan dihubunginya Larry Harrington di Departemen Luar Negeri, liahkan melalui telepon
pun orang Texas itu tidak dapat menyembunyikan kesenangannya karena begitu i -pat terbukti
benar. Setelah meletakkan gagang telepon, Lloyd kembali ke kantornya, menutup pintu,
dan duduk diam di belakang mejanya beberapa saat. Begitu telah memikirkan masak-masak apa yang
harus dikatakannya, ia menghubungi nomor telepon yang hanya dijawab oleh satu orang.
"Direktur," satu-satunya jawaban Helen Dexter.
Connor Fitzgerald menyerahkan paspornya kepada I etugas bea cukai Australia.
Akan sangat ironis bila paspor itu diragukan kebenarannya sebab untuk pertama kalinya dalam tiga
minggu itu, ia menggunakan nama aslinya. Petugas berseragam itu menekan-nekan keyboard
komputer, memeriksa layar, kemudian menekan-nekan keyboard lagi.
46 47 Tak ada keterangan yang muncul, maka ia menstempel visa turis itu dan berkata,
"Semoga Anda menikmati perjalanan Anda ke Australia, Mr. Fitzgerald."
Connor berterima kasih kepadanya dan terus berjalan ke bagian pengambilan
barang, lalu duduk di seberang ban berjalan yang sedang berhenti. Ia menunggu hingga barangnya muncul.
Ia tak pernah menjadi orang pertama yang melewati pabean, bahkan jika tak punya sesuatu pun
untuk dilaporkan. Ketika ia mendarat di Cape Town sehari sebelumnya, Connor dijemput teman dan
kolega lamanya, Cari Koeter. Beberapa jam berikutnya Cari telah mengadakan tanya-jawab
dengannya. Kemudian barulah mereka menikmati makan siang lengkap sambil membicarakan perceraian Cari
serta kabar Maggie dan Tara. Botol kedua Rustenberg Cabernet Sauvignon tahun 1982 hampir
saja membuat Connor terlambat ikut penerbangan ke Sydney. Di dalam toko bebas bea ia buru-
buru membeli hadiah untuk istri dan putrinya yang jelas-jelas bercap "Made in South Africa".
Bahkan paspornya tidak memberikan petunjuk bahwa ia tiba di Cape Town melalui Bogota\ Lima, dan
Buenos Aires. Sambil duduk di bagian pengambilan barang menunggu bekerjanya ban berjalan, ia
mulai merenungkan kehidupan yang telah dijalaninya selama 28 tahun.
Connor Fitzgerald telah dibesarkan dalam keluarga ? yang taat hukum dan
peraturan. Kakek dari garis ayahnya bernama Oscar, sesuai
48 n una pujangga Irlandia, telah beremigrasi ke Ame-nka dari Kilkenny pada
pergantian abad. Beberapa iam setelah mendarat di Ellis Island, ia langsung menuju Chicago untuk
bergabung dengan sepupunya h kepolisian.
Selama masa Larangan Minuman Keras tahun 1920 - 1933, Oscar Fitzgerald termasuk
dalam kelompok kecil polisi yang menolak suap dari ge-lombolan kriminal. Akibatnya
kariernya tidak pernah melebihi pangkat sersan. Tetapi Oscar berhasil men-I idi ayah lima orang
putra yang saleh. Dan hanya menyerah ketika pastor setempat memberitahunya iahwa telah menjadi
kehendak Tuhan Yang Mahakuasa I ahwa dia dan Mary tidak dikaruniai seorang putri I un. Istrinya
sangat berterima kasih dengan kata-kata bijaksana Pastor O'Reilly, sebab cukup sulit membesarkan
lima anak laki-laki yang tegap-tegap dengan aji seorang sersan. Boleh percaya
atau tidak, jika ada kelebihan satu
sen pun dari gaji mingguan yang liberikan Oscar kepadanya, Mary pasti ingin
menge-i thui dengan terperinci dari mana datangnya uang itu.
Setelah menamatkan high school, tiga putra Oscar I ergabung dengan Kepolisian
Chicago. Di situ me-leka dengan cepat mendapat promosi yang sewajarnya telah menjadi hak ayah
mereka. Putra lain men-lapat panggilan hidup menjadi pastor - yang membuat Mary bahagia. Dan si
bungsu, ayah Connor, belajar hukum pidana di De Paul berdasarkan program ketentaraan Amerika.
Setelah diwisuda ia bergabung lengan FBI. Pada tahun 1949 ia menikah dengan Katherine
O'Keefe, gadis yang tinggal dua rumah di sebelahnya di South Lowe Street. Mereka hanya 49
dikaruniai seorang putra yang dibaptis dengan nama j Connor.
Connor lahir di Rumah Sakit Umum Chicago' pada tanggal 8 Februari 1951. Bahkan
sebelum ia cukup umur untuk masuk sekolah Katolik setempat, sudah jelas ia akan menjadi
pemain sepak bola yang berbakat. Ayah Connor gembira ketika putranya menjadi kapten kesebelasan
Mount Carmel High School. Tetapi ibunya selalu menyuruhnya belajar hingga larut malam untuk
memastikan bahwa ia menyelesaikan pekerjaan rumah. "Kau tak bisa main bola terus seumur
hidup," demikian ibunya mengingatkannya terus-menerus.
Kombinasi antara seorang ayah yang bangkit berdiri bilamana ada wanita masuk
kamar dan seorang ibu yang nyaris menjadi santa, menjadikan Connoi sangat pemalu
berhadapan dengan jenis kelamin lain, kendati fisiknya tegap. Beberapa gadis di Mounl Carmel High School
telah jelas-jelas menunjukkan! perasaan mereka terhadapnya, namun ia tetap perjakk hingga kelas
akhir ketika berjumpa dengan Nancy J Beberapa saat setelah ia memimpin Mount Carmel mencapai
kemenangan pada suatu sore di musini gugur, Nancy membawanya ke belakang tempat
duduk di stadion dan merayunya. Saat itu untuk pertama kalinya ia akan melihat wanita
telanjang] jika Nancy melepas semua pakaiannya.
Sekitar sebulan kemudian Nancy menanyainya apakah ia mau mencoba dua gadis
sekaligus. "Aku belum pernah punya dua pacar, apalagi sekaligus," jawabnya. Nancy tampak
tak terkes. dan maju terus. i2?? Ketika memperoleh beasiswa ke Notre Dame, t onnor tidak mengambil satu pun
tawaran yang begitu banyak mendatangi para teman satu timnya, leman-temannya itu tampak
sangat bangga mencoreti nama-nama gadis yang takluk pada pesona mereka ? 11 balik pintu locker
mereka Pada akhir semester I tama, Brett Coleman, sang algojo penalti, telah mencoret tujuh
belas nama di balik pintu locker-nya. Peraturan yang diberitahukannya kepada Connor ialah
bahwa hanya penetrasi yang boleh dihitung. "Pintu Unker tak cukup besar untuk mencakup seks
oral." I'ada akhir semester pertama, Nancy masih tetap aiu-satunya nama yang dicoret Connor. Suatu
sore etelah latihan, ia memeriksa pintu lain-lainnya dan menemukan nama Nancy pada hampir
semua pintu itu, kadang-kadang dimasukkan ke dalam kurung bersama nama gadis lain. Seluruh sisa
kesebelasan tak akan menggubris skor yang rendah itu bila < onnor bukan gelandang baru
terbaik di Notre Dame e lama satu dasawarsa.
Hanya beberapa hari setelah Connor menjadi mahasiswa tingkat dua, semuanya
berubah. Ketika ia muncul dalam acara mingguan di Klub Dansa Irlandia, wanita itu
mengenakan sepatu barunya. Connor tak dapat melihat wajahnya, tapi tak apa-apa, sebab ia tak mampu
mengalihkan pandang dari k.iki panjang yang langsing itu. Sebagai jagoan sepak bola, ia
telah terbiasa melihat gadis-gadis menatapnya, lapi kini satu-satunya gadis yang ingin ia buat terkesan
tampaknya tak sadar bahwa ia ada. Sayangnya, ketika mulai melantai gadis itu berpasangan
dengan Declan (VCasey, yang tak ada tandingannya sebagai pedansa.
Mereka berdua berdansa dengan punggung tegak dan kaki-kaki yang bergerak begitu
ringan hingga mustahil ditandingi Connor.
Ketika acara itu usai, Connor belum juga tahu nama gadis itu. Dan lebih sayang
lagi, gadis itu telah meninggalkan ruangan bersama Declan sebelum Connor mendapatkan cara agar
diperkenalkan kepada si gadis. Karena putus asa ia memutuskan membuntuti mereka ke asrama
putri dengan berjalan kaki kira-kira sejauh empat puluh meter di belakang mereka dan tetap
membayangi. Persis seperti ajaran ayahnya. Ia meringis melihat mereka berdua bergandengan tangan
dan asyik mengobrol. Sesudah sampai di Lc Mans Hall, si gadis mencium pipi Declan lalu
menghilang ke dalam. Connor bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia tidak lebih memusatkan
perhatian pada dansa dan bukannya sepak bola"
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah Declan menuju ke asrama putra, Connor mulai mondar-mandir di bawah
jendela kamar tidur asrama putri sambil memikirkan apa ada yang bisa ia kerjakan. Akhirnya
sekilas ia melihat bayangan gadis itu dalam gaun tidur ketika menutup tirai. Dan' Connor masih
beberapa menit di situ sebelum akhirnya dengan enggan kembali ke kamar. Ia duduk di ujung ranjang
dan mulai menulis surat kepada ibunya memberitahu bahwa ia telah melihat gadis yang akan
dinikahinya, walau sebenarnya ia belum berbicara dengan gadis itu, bahkan belum tahu namanya.
Sambil menjilat amplop untuk merekatkannya, Connor berusaha meyakinkan diri bahwa
Declan O'Casey bagi gadis itu hanyalah pasangan dansa.
Selama minggu itu ia berusaha mengetahui se-
52 hanyak mungkin mengenai gadis itu. Tapi yang didapatkannya hanya sedikit, yaitu
gadis itu bernama Maggie Burke. Ia telah memperoleh beasiswa di St. Mary's dan mahasiswi
tahun pertama Sejarah Kesenian. Ia mengomeli dirinya sendiri karena selama hidup belum pernah
masuk galeri seni. Dalam kenyataan ia berdekatan dengan cat hanya ketika ayahnya menyuruhnya
memperbarui cat pagar yang mengitari kebun belakang mereka di South Lowe Street. I >cclan
ternyata telah mengencani Maggie sejak tahun ikhir Maggie di high school. Dan Declan tak hanya
I dansa terbaik dalam klub, melainkan juga mate-matikus ulung di universitas. Lembaga-lembaga
lain telah menawarinya beasiswa untuk melanjutkan studi pascasarjana, bahkan sebelum hasil
ujian akhirnya diketahui. Connor hanya bisa berharap supaya Declan ditawari jabatan menggiurkan
sejauh mungkin dari South Bend. Hari Kamis berikutnya, Connor muncul paling iwal di klub dansa. Ketika Maggie
muncul dari i lang ganti pakaian mengenakan blus katun kuning dan rok pendek hitam, hanya satu
pertanyaan yang menjadi pertimbangan Connor, apakah harus menatap
dalam mata hijau itu ataukah memandangi tungkai I injang langsing itu. Dan
sekali lagi sepanjang petang Maggie berpasangan dengan Declan. Sementara itu ( onnor duduk membisu di
bangku, sambil mencoba berpura-pura tak menyadari keberadaan gadis itu telah lagu
terakhir, kedua orang itu menyelinap k c luar. Lagi-lagi Connor membuntuti mereka kembali ke Le Mans
Hall, tapi kali ini ia tahu gadis itu tidak menggandeng tangan Declan.
53 Setelah obrolan panjang dan ciuman di pipi,! Declan pergi menuju ke asrama
putra. Connor me"| rebahkan diri di bangku yang berhadapan dengan jendela Maggie, dan mendongak ke
balkon asrama^ putri. Ia memutuskan menunggu hingga Maggie me-i nutup tirai, tetapi
saat gadis itu muncul di jendela, Connor telah tertidur.
Hal berikutnya yang ia ingat ialah terjaga dar tidur nyenyak di mana ia bermimpi
Maggie berdiri di depannya mengenakan piama dan gaun tidur.
Ia terjaga dengan terperanjat. Menatapnya tak percaya. Segera bangkit dan
mengulurkan tangan. "Hai aku Connor Fit/gerald,"
"Aku tahu," jawab Maggie sambil menjabat ta ngannya. "Aku Maggie Burke."
"Aku tahu," jawab Connor.
"Masih ada tempat di bangku itu?" tanya Maggie.
Sejak saat itu Connor tidak pernah memandan; wanita lain.
Sabtu berikutnya Maggie menonton sepak boli untuk pertama kali dalam hidupnya,
dan meliha Connor menunjukkan serangkaian permainai gemilang di hadapan penonton yang
menyesaki sta dion. Kamis berikutnya Maggie dan Connor berdam, sepanjang petang, sementara Declan
duduk sedih t sudut. Ia tampak lebih sedih lagi ketika kedua orar^ itu pergi bersama sambil
bergandengan tangan. Ketik mereka tiba di Le Mans Hall, Connor menciun Maggie untuk pertama kali.
Kemudian ia berlutu dan melamarnya. Maggie tertawa, wajahnya meral padam, dan lari masuk.
Dalam perjalanan menuj k iama putra, Connor juga tertawa tapi hanya ketika melihat Declan bersembunyi
di balik pohon. Sejak saat itu Connor dan Maggie selalu meng-Jmbiskan saat-saat senggang mereka
bersama-sama. Maggie belajar mengenai gol, daerah belakang ga-
ig yang menandai masuknya gol, dan operan tnniping. Sedang Connor mempelajari
Bellini, lleinini, dan Luini. Setiap Kamis malam selama tiga lalimi ia berlutut dan melamar.
Manakala teman-i nian satu timnya bertanya mengapa ia tidak menim ct nama Maggie pada balik pintu
locker, ia menjawab biasa saja, "Karena aku akan menikah dengannya."
I'ada akhir tahun terakhir Connor, Maggie akhirnya fc'iuju untuk menjadi
istrinya, tapi Maggie harus menyelesaikan ujian dulu.
"Aku perlu melamar 141 kali untuk membuatmu melihat cahaya terang," kata Connor
penuh kemenangan. "Ah, jangan tolol, Connor Fitzgerald," kata Maggie."Aku tahu aku akan
menghabiskan sisa hidupku bersamamu ketika aku bergabung denganmu di bangku im "
Mereka menikah dua minggu setelah Maggie lulus i lengan summa cum laude. Tara
lahir sepuluh bulan kemudian. 55 54 BAB LIMA "Menurutmu aku harus percaya CIA bahkan tal tahu ada usaha pembunuhan yang
direncanakan?" "Betul, Sir/ jawab Direktur CIA tenang. "Saal kami sadar ada pembunuhan yang
terjadi hanys beberapa detik, aku menghubungi National Securitj Advisor yang sepengetahuanku
segera melapoi padamu di Camp David."
Presiden mulai berjalan di seputar Ruang Ova yang menurutnya tak hanya
memberikan lebih banyal waktu untuk berpikir tetapi biasanya juga membua tamu-tamunya merasa tak
enak. Kebanyakan oranj yang masuk ke Ruang Oval sudah gugup. Sekretaris nya pernah
mengatakan bahwa empat dari lima tami pergi ke kamar kecil dulu beberapa saat sebelun harus
menemui Presiden. Tapi ia meragukan apakah wanita yang dudu I berhadapan dengannya itu tahu di
mana letak kama kecil terdekat. Jika ada bom meledak di Rose Garden Helen Dexter mungkin hanya
akan mengangkat alisny 56 yang terawat rapi. Sejauh ini kariernya telah berlangsung lebih lama daripada
tiga presiden. Ketiganya konon pernah suatu saat memintanya mengundurkan diri.
"Dan ketika Mr. Lloyd meneleponku memberitahu bahwa kau menghendaki keterangan
terperinci lebih anjut, aku menginstruksikan pada wakilku, Nick (Jutenburg, untuk
menghubungi orang-orang kita di I ipangan di Bogota dan secara luas menyelidiki apa t patnya yang
terjadi Sabtu siang itu. Gutenburg nenyelesaikan laporannya kemarin." kata Helen eraya menepuk berkas
arsip di pangkuannya. Lawrence berhenti berjalan dan berdiri di bawah potret Abraham Lincoln yang
tergantung dv at"r"
kerapian. Ia memandangi tengkuk Helen - Dexter. Wanita itu tetap memandang lurus
ke depa' Direktur itu mengenakan setelan rapi berwarna elap dengan kemeja krem sederhana.
Ia jarang nengenakan perhiasan, bahkan dalam acara kenegara-m. Pengangkatannya oleh
Presiden Ford sebagai wakil direktur pada usia 32 dimaksudkan sebagai I cngganti sementara
untuk menenangkan lobi feminis leberapa minggu sebelum pemilihan umum tahun 1976. Ternyata malahan
Ford yang menjadi pengganti ementara. Setelah serangkaian direktur yang menjabat dalam
masa singkat, entah karena mengundurkan diri atau pensiun, akhirnya Ms. Dexter mencapai posisi
yang didambakannya. Banyak desas-desus ter-
bar dalam suasana rumah kaca di Washington me-ii enai pandangan-pandangannya
yang sangat kanan dan cara-cara yang digunakannya untuk meraih promosi, tapi tak ada anggota
Senat yang berani mempertanyakan pengangkatannya. Ia lulusan summa cum 57
laudc Bryn Mawr dan selanjutnya Fakultas Hukum Universitas Pennsylvania, lalu
bergabung dengan salah satu biro pengacara New York yang terkemuka. Setelah serangkaian
perdebatan dengan dewan mengenai lamanya para wanita menjadi mitra, akhirnya disudahi
dengan proses peradilan yang diselesaikan di luar pengadilan. Lalu ia menerima tawaran untuk
bergabung dengan CIA. Ia memulai hidupnya dalam CIA di kantor Direktorat Operasi, akhirnya menanjak
menjadi wakil direktur. Saat pengangkatannya, ia lebih banyak mempunyai musuh daripada
sahabat, tetapi dengan berjalannya waktu musuh-musuh itu tampak menghilang, atau dipecat, atau
mengambil pensiun dipercepat. Ketika diangkat menjadi direktur, ia baru berusia empat puluh.
Washington Post menyebutnya telah berhasil menembus langit-langit kaca, tapi itu tak menghalangi
para bandar bertaruh berapa hari ia akan bertahan. Segera mereka mengubahnya menjadi berapa
minggu, kemudian berapa bulan. Kini mereka bertaruh apakah ia akan menjabat direktur CIA
lebih lama daripada J. Edgar Hoover di FBI.
Beberapa hari setelah mendiami Gedung Putih, Tom Lawrence telah menemukan
seberapa jauh Dex-ter akan menghadangnya bila mencoba mengganggu dunianya. Jika ia meminta
laporan mengenai perkara-perkara sensitif, tidak jarang baru tersedia di mejanya setelah
berminggu-minggu. Dan bila akhirnya tiba, ternyata tak bisa tidak merupakan
laporan panjang, diskursif,
membosankan, dan sudah kedaluwarsa. Jika ia memanggil Dexter ke Ruang Oval untuk
menjelaskan persoalan-persoalan yang tak terjawab, wanita mi bisa bergaya
seorang bisu-tuli yang tampak seperti positif informatif. Jika Lawrence
mendesaknya, Dex-ln akan mengulur-ulur waktu. Jelas dengan asumsi bahwa dia
masih tetap menduduki jabatan, lama >-telah para pemilih Lawrence memecatnya dari jabatan.
Tapi Helen Dexter barulah bersikap mematikan ketika Lawrence mengusulkan
seseorang mengisi lowongan di Mahkamah Agung. Dalam waktu beberapa hari, berkas-berkas laporan
diserahkan ke meja Lawrence, berisi penegasan panjang-lebar bahwa calon yang diusulkan itu
tidak dapat diterima. Lawrence mendesak tetap mengajukan calonnya - ihabat lamanya, yang
ditemukan tewas gantung diri di garasi sehari sebelum menduduki jabatan. Lawrence kemudian
menemukan bahwa berkas rahasia itu telah dikirim ke setiap anggota Panitia Seleksi Senat, tetapi
ia tak pernah dapat membuktikan siapa yang bertanggung jawab atas hal itu.
Andy Lloyd telah memperingatkan Lawrence pada berbagai kesempatan bahwa jika ia
berani mencoba memindahkan Dexter dari jabatannya, sebaiknya ia memiliki sejenis bukti
yang akan meyakinkan publik bahwa Ibu Teresa memiliki rekening bank rahasia di Swiss yang
secara teratur diisi oleh sindikat-sindikat kriminal terorganisasi.
Lawrence telah menerima penilaian Kepala Stafnya, tetapi kini merasa bila ia
dapat membuktikan bahwa CIA terlibat dalam pembunuhan Ricardo tiuzman tanpa bersusah payah memberi
informasi kepada Andy Lloyd, ia bisa memaksa Dexter meninggalkan jabatan dalam beberapa
hari. 58 59 Lawrence kembali ke kursinya dan menekan tombol di bawah tepi meja yang akan
memungkinkan Andy ikut mendengarkan percakapan, ataupun mendengarkan pita rekaman malam
harinya. Lawrence menyadari Dexter tahu persis apa yang sedang diinginkannya. Dan
Lawrence menduga tas ajaib yang tak pernah pisah dari sisi Dexter dan tidak memuat lipstik,
wangi-wangian, dan kotak kosmetik yang lazimnya menyertai para wanita, telah merekam sedap kata dalam
pembicaraan mereka berdua. Namun ia masih juga memerlukan versinya sendiri tentang peristiwa
itu untuk catatan. Begitu Dexter telah duduk Presiden berkata, "Karena tampaknya kau telah tahu
dengan baik, mungkin kau dapat memberiku penjelasan terperinci mengenai apa yang sebenarnya
terjadi di Bogota." Helen Dexter tak menanggapi nada sarkastis itu dan mengambil sebuah berkas dari
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pangkuan. Sampul putih berlogo CIA bertuliskan kata-kata "KHUSUS UNTUK PRESIDEN
SAJA". Lawrence bertanya-tanya dalam hati berapa banyak berkas yang telah disembunyikan
Dexter dengan tulisan "HANYA UNTUK DIREKTUR SAJA".
Dexter membuka berkas itu. "Telah dikonfirmasi kan oleh beberapa sumber bahwa
pembunuhan di laksanakan oleh satu penembak," bacanya.
"Sebutkan salah satu sumber itu," Presiden me nyela.
"Atase kebudayaan kita di Bogota," jawab Dexter.
Lawrence mengangkat alisnya. Separo dari par atase kebudayaan di kedutaan-
kedutaan Amerika di seluruh dunia telah ditempatkan di situ oleh CIA
60 hanya supaya melaporkan kembali langsung ke Helen Dexter di Langley tanpa
konsultasi dengan duta besar setempat, apalagi dengan Departemen Luar Negeri. Kebanyakan dari
mereka memperkirakan Nut-eiacker Suite merupakan sepinggan makanan yang lurus ada dalam
daftar masakan di restoran eksklusif.
Presiden mendesah. "Dan menurut/iyo, siapa yang bertanggung jawab atas
pembunuhan itu?" Dexter membuka lagi beberapa halaman dalam
I rkas, mengambil sehelai foto, dan menyodorkannya ke seberang meja. Presiden
memandangi foto seorang etengah baya yang berpakaian rapi - dan tampak makmur.
'Siapa ini?" "Carlos Velez. Dia mengelola kartel obat bius t i besar kedua di Bogota. Sudah
barang tentu Guzman mengawasi yang terbesar."
"Dan apakah Velez sudah dituntut?"
"Sayang sekali dia telah terbunuh hanya beberapa
Ii m sesudah polisi menerima surat penahanan." "Tepat sekali."
Dexter tidak tersipu-sipu. Mustahil baginya, pikir I iwrence. Tersipu-sipu kan
perlu darah. 'Dan apakah pembunuh tunggal ini punya nama" Ataukah dia juga meninggal hanya
beberapa saat Uelah perintah pengadilan..."
"Tidak, Sir. Dia masih hidup segar bugar," jawab si direktur tegas. "Namanya
Dirk van Rensberg." "Apa saja yang telah diketahui tentang dirinya?" t.mya Lawrence.
"Dia warga Afrika Selatan. Dan hingga belum lama ini dia tinggal di Durban."
61 "Hingga belum lama ini?"
"Ya. Dia sembunyi di bawah tanah segera sesudah pembunuhan."
"Itu mudah dilaksanakan, lebih-lebih jika tak pernah hidup di alas tanah," kata
Presiden. Ia menunggu reaksi si direktur. Tapi wanita itu tetap tenang. Akhirnya Lawrence
berkata, "Apakah para pejabat Kolombia menyetujui versi ini, ataukah atase kebudayaan kita satu-
satunya sumbermu?" "Tidak, Sir. Kami menyerap sebagian besar keterangan rahasia dari Kepala Polisi
Bogota\ Dalam kenyataan dia telah menahan salah seorang kaki-tangan Rensberg yang dipekerjakan
sebagai pelayan di Hotel El Belvedere tempat dari mana tembakan dilepaskan. Dia ditahan
di lorong beberapa saat setelah membant si pembunuh lolos lewat lift barang."
"Dan tahukah kita gerak-gerik van Rensberg setelah pembunuhan?"
"Tampaknya dia telah terbang ke Lima dengan nama Alistair Douglas Kemudian
dilanjutkan ke Buenos Aires menggunakan paspor yang sama. Sesudah itu kita kehilangan
jejaknya." "Dan kuragukan apakah kau akan pernah menemukannya kembali."
"Oh, aku tak begitu pesimistis, Mr. President," kata Dexter tanpa menggubris
nada Lawrence. "Para
pembunuh bayaran cenderung beraksi sendiri dan menghilang beberapa bulan sesudah
tugas sepenting ini. Kemudian mereka muncul kembali setelah merasa panas lelah
mereda." "Nah," kata Presiden. "Kupastikan dalam kasus ini aku tetap akan memanaskan
suasana. Dalam 62 perjumpaan kita berikutnya, mungkin aku punya I iporan sendiri yang dapat
kaupertimbangkan." "Aku ingin sekali membacanya," kata Dexter dengan nada murid nakal yang tak
gentar kepada kepala sekolah. Presiden memencet tombol di bawah meja. Sesaat kemudian ada ketukan di pintu dan
Andy Lloyd masuk. "Mr. President, beberapa saat lagi ada pertemuan lengan Senator Bedell," katanya
tanpa menghiraukan kehadiran Dexter.
"Kalau begitu aku akan meninggalkanmu, Mr. President," kata Dexter sambil
bangkit dari tempat duduk. Ia meletakkan berkas di meja Presiden, meng-iinbil tasnya, dan langsung
meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.
Presiden tidak berbicara hingga Direktur CIA menutup pintu, kemudian berpaling
kepada Kepala Staf. \ku tak percaya sama sekali," gumamnya sambil meletakkan berkas di baki surat keluar. Lloyd
mencatat dalam hati akan mengambilnya kembali begitu bosnya meninggalkan
ruangan. "Paling-paling yang dapat kita I arapkan ialah menanamkan rasa takut
pada Tuhan I alam diri wanita itu,
sehingga dia tak berkeinginan melaksanakan operasi lain seperti itu selama aku
mendiami Gedung Putih." "Mengingat perlakuannya padamu semasa kau jadi senator, Mr. President,
kusarankan jangan terlalu banyak menghabiskan uang untuk itu."
"Karena aku tak bisa memanfaatkan jasa pembunuh untuk menyingkirkan wanita itu,
apa saranmu?" "Menurutku dia memberimu dua pilihan: me-
63 mecatnya dan menghadapi penyelidikan Senat yang tak terelakkan; atau menerima
kekalahan, mengikuti versinya mengenai peristiwa di Bogota, dan berharap bisa
mengalahkannya lain waktu."
"Mungkin ada pilihan ketiga," kata Presiden dengan tenang.
Lloyd mendengarkan dengan cermat, tidak berusaha menyela. Dengan segera menjadi
jelas bahwa Presiden telah banyak memikirkan bagaimana cara menyingkirkan Helen Dexter dari
jabatan sebagai direktur CIA. Connor menenangkan pikiran sambil melihat ke layar kedatangan bagasi. Koper-
koper dari penerbangannya telah mulai dimuntahkan, dan beberapa penumpang telah maju hendak
mengambil barang mereka. Ia masih tetap sedih karena tidak dapat hadir pada kelahiran putrinya. Meskipun
meragukan kebijakan Amerika Serikat mengenai Vietnam, Connor berbagi patriotisme
keluarganya. Dengan sukarela ia menggabungkan diri ke dalam dinas militer. Dan ia menyelesaikan
akademi calon perwira sementara menunggu Maggie diwisuda. Mereka akhirnya hanya mempunyai
waktu untuk pernikahan dan melangsungkan bulan madu selama empat hari sebelum Letda
Fitzgerald berangkat ke Vietnam pada bulan Juli 1972.
Dua tahun di Vietnam itu kini tinggal merupakan kenangan lama. la telah naik
pangkat menjadi lettu, lalu ditangkap Vietkonji la berhasil lolos sambil menyelamatkan hidup
seorang temannya - tampaknya semua itu telah lama berlalu sehingga ia mampu meyakinkan diri bahwa
semuanya itu sebenarnya udak pernah terjadi. Lima bulan setelah ia pulang, Presiden menganugerahinya
penghargaan nasional militer tertinggi, Medali Kehormatan. Tetapi setelah menjadi tawanan
perang selama delapan belas bulan di Vietnam, ia hanya bahagia masih diperkenankan hidup dan
bersatu lagi dengan wanita yang dicintainya. Dan saat melihat Tara, ia jatuh hati untuk k
-dua kalinya. Seminggu setelah kembali ke Amerika Serikat, t onnor mulai mencari pekerjaan. Ia
telah diwawan-earai untuk menduduki pos di CIA di kantor wilayah ( hicago,
ketika tiba-tiba Kapten Jackson,
mantan komandan kompinya, muncul dan mengajaknya h -rgabung dalam satuan
istimewa yang akan didirikan
dibicarakannya dengan orang lain, termasuk istrinya sendiri. Ketika telah mengetahui apa yang
diharapkan darinya, ia mengatakan perlu sedikit waktu lagi untuk memikirkannya sebelum memutuskan. Ia
membicarakan masalah itu dengan Pastor Graham, pastor keluarga, ang memberikan nasihat
sederhana: "Jangan pernah melakukan sesuatu yang kauanggap tak terhormat, bahkan jika itu atas nama
negeri sendiri." Ketika Maggie ditawari pekerjaan pada Kantor Penerimaan Universitas Georgetown,
Connor menyadari betapa teguh niat Jackson untuk merekrutnya. Keesokan harinya ia
menyurati mantan komandan kompinya itu dan menyatakan senang bergabung (kmgan "Asuransi Maryland"
sebagai karyawan peserta pelatihan eksekutif.
64 65 Itulah saat penipuan dimulai.
Beberapa minggu kemudian Connor, Maggie, dan Tara pindah ke Georgetown.
Mereka menemukan rumah kecil di Avon Place. Uang mukanya dibayar dengan cek-cek
Ketentaraan yang telah didepositokan Maggie dalam rekening Connor, sebab dulu ia menolak percaya
bahwa Connor telah gugur. Kesedihan yang menimpa mereka selama masai permulaan di Washington ialah karena
Maggie mengalami dua kali keguguran. Dan para ahli kandungar menasihati agar menerima
kenyataan bahwa ia hanyj dapat melahirkan satu anak. Maggie mengalami keguguran ketiga
sebelum akhirnya menerima nasihatj itu. Walaupun mereka kini telah menikah selama tiga puluh tahun, Maggie masih mampu
menggairahkan! Connor hanya dengan tersenyum dan memijat punggung! Connor dengan
tangan. Connor tahu, begitu ia keluar! pabean dan melihat Maggie menunggu di ruangai
kedatangan, itu terasa seakan baru pertama kali. Connor tersenyum bila ingat Maggie telah ada di
bandara selama paling sedikit sejam sebelum pesawat dijadwalkan mendarat.
Kopernya telah muncul di depannya. Ia menyambarnya dari ban berjalan dan menuju
ke pintu keluar, Connoi melewati jalur hijau, sebab yakin bih bagasi ini digeledah, petugas
pabean tidak akai tertarik kepada antelop dari kayu yang pada kakinyi jelas-jelas bertuliskan
"Made in South Africa".
Ketika memasuki ruang kedatangan, ia langsung! melihat istri dan putrinya
berdiri dalam rombongan orang banyak. Connor mempercepat langkah d<
iri senyum kepada wanita yang dipujanya itu. Mengapa Maggie mau memandangnya
kembali, bahkan mau menjadi istrinya" Senyumnya semakin lebar ketika ia memeluknya.
"Apa kabar. Sayang?" tanya Connor.
"Aku hanya merasa hidup kembali bila tahu kau kembali dengan selamat sesudah
menunaikan tugas," bisik Maggie. Connor mencoba tidak mengindahkan kata "dengan selamat"
sambil melepas pelukan dan berpaling ke wanita satunya yang ia cintai dalam bulupnya. Tara
sangat mirip ibunya tapi agak lebih imggi, dengan rambut panjang merah dan mata hijau berkilat yang
sama, namun wataknya lebih tenang. Sang putri semata wayang ini menciumi pipi Connor bmgga
ia merasa lebih muda sepuluh tahun. Pada pembaptisan Tara, Pastor Graham berdoa supaya Yang Mahakuasa menganugerahi
anak itu wajah Maggie dan otak - Maggie. Ketika Tara telah tumbuh, angka-angkanya di
sekolah menengah dan banyaknya anak muda yang mengincarnya, telah membuktikan bahwa Pastor Graham
bukannya hanya pastor, melainkan juga nabi. Connor segera menyudahi usaha
menyingkirkan arus para pengagum yang mengetuk pintu depan rumahnya di Georgetown, ilau bahkan
bersusah payah mengangkat telepon, k.irena hampir selalu berhadapan dengan anak muda yang
berlidah kelu dan berharap putrinya mau ber-k ncan dengannya.
'Bagaimana kabar Afrika Selatan?" tanya Maggie sambil menyelipkan tangan ke
lengan suaminya. "Makin gawat sejak kematian Mandela," jawab C onnor. Ia telah mendengarkan
uraian panjang dari 66 67 Cari Koeter mengenai masalah-masalah yang dihadapi Aluka Selatan selama makan
siang di Cape Town, ditambah dengan koran-koran setempat selama seminggu yang ia baca dalam
penerbangan ke Sydney. "Angka kriminalitas meningkat tajam di kebanyakan kota besar, hingga
bermobil
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melanggar lampu merah setelah gelap bukan lagi merupakan pelanggaran hukum.
Mbeki berusaha sebaik mungkin. Tapi aku kuatir harus menyarankan supaya perusahaan memotong
investasinya di sana - setidaknya hingga kita yakin perang saudara telah terkendali."
"'Keadaan berantukan; pusat tak dapat bertahan; hanya anarki semata yang melanda
seluruh bumi'" kata Maggie. "Kupikir Yeats belum pernah mengunjungi Afrika Selatan" kata Connor.
Betapa sering ia ingin mengatakan seluruh kebenaran kepada Maggie, dan
menjelaskan mengapa ia hidup dalam dusta bertahun-tahun, tapi nyatanya tak semudah itu. Maggie mungkin
merupakan wanita simpanannya, tetapi mereka itu majikannya, dan Connor selalu menerima
kode bungkam total. Selama bertahun-tahun ia berusaha meyakinkan diri bahwa Maggie tidak
mengetahui seluruh kebenaran itu demi kebaikan Maggie sendiri. Tetapi bila Maggie tanpa sadar
menggunakan kata-kata "tugas" dan "dengan selamat", Connor sadar bahwa Maggie
tahu lebih jauh daripada yang
diakuinya. Apakah ia mengigau dalam tidur" Namun tak lama lagi tidaklah perlu
mengelabui Maggie lebih lanjut. Maggie memang belum tahu, tapi Bogota itu adalah penugasan
terakhir. Selama liburan ia akan mengatakan mengenai
68 promosi tak terduga yang akan berarti tak perlu banyak bepergian lagi.
"Bagaimana dengan perjanjian itu" Kau berhasil menanganinya?" tanya Maggie.
"Perjanjian itu" Oh, ya, semuanya sesuai rencana," kata Connor. Itulah yang
paling mendekati kebenaran .mg bisa diungkapkannya kepada Maggie.
Connor mulai berpikir tentang dua minggu berikutnya berjemur matahari. Ketika
mereka melewati kios koran, sebuah judul berita di kolom kanan Sydney Morning Herald menarik
perhatiannya. Wakil Presiden Amerika Menghadiri Pemakaman di Kolombia
Maggie melepaskan diri dari gandengan suaminya ketika mereka keluar dari ruang
kedatangan, menghirup udara musim panas yang hangat dan menuju ke tempat parkir.
"Di mana Ayah ketika ada bom yang meledak di ( ape Town?" tanya Tara.
Koeter sama sekali tidak menyebutkan bom di < 'ape Town. Apakah ia akan pernah
bisa bersantai" 69 BAB ENAM Ia menyuruh sopirnya untuk mengantarnya ke National Gallery.
Ketika mobil meninggalkan jalan masuk ke Gedung Putih untuk anggota staf,
seorang petugas Dinas Rahasia Uniformed Division di gardu jaga membukakan gerbang logam dan
mengangkat tangan memberi salam. Sopir menuju ke State Place, melaju di antara South
Grounds dan Ellipse serta melewati Departemen Perdagangan.
Empat menit kemudian mobil berhenti di luar jalan masuk ke galeri di sebelah
timur. Penumpangnya berjalan cepat melintasi jalur berbatu-batu dan menaiki tangga
batu. Ketika tiba di tangga teratas, ia menoleh kembali untuk mengagumi pahatan Henry Moore yang
mendominasi sisi lain alun-alun. Dan ia memeriksa apakah ada yang menguntitnya. Ia tak yakin,
namun ia memang bukan seorang profesional.
70 Ia berjalan terus memasuki gedung, lalu berbelok ke kiri mendaki tangga pualam
yang menuju ke aleri-galeri di lantai dua. Semasa muda dulu ia I erjam-jam berada di situ.
Ruangan-ruangan besar I enuh sesak dengan anak-anak sekolah, tidak aneh
i pagi hari kerja. Sementara berjalan menuju ke daleri 71, ia mengedarkan
pandang ke lukisan-lukisan I lomer, Bellow, dan Hopper yang telah ia kenal dan
mlai merasa betah. Ia tak pernah merasa demikian di Gedung Putih. Ia melanjutkan
ke Galeri 66. Sekali lagi mengagumi Tanda Peringatan kepada shaw dan Resimen Massachusetts Ke-
54 karya Au-jmst Saint-Gaudens. Pertama kali melihat dekorasi
ebesar badan yang masif itu, ia berdiri di depannya
lan terpesona selama sejam lebih. Tapi kali ini ia I anya punya waktu senggang
beberapa saat. Karena tak bisa menahan diri untuk berhenti berkali-kali, seperempat jam lagi ia
baru sampai ke I undaran di pusat gedung. Ia bergegas melewati patung Mercury, menuruni tangga,
dan kembali ber-utar melalui toko buku, cepat-cepat menuruni se-i ingkaian
tangga dan melintasi lorong bawah
tanah, lalu akhirnya muncul di Sayap Timur. Ia mendaki
ebaris tangga lagi, lalu melintas di bawah lukisan
'esar Calder yang bergerak-gerak tergantung pada
I ingit-langit, kemudian menerobos melalui pintu putar, keluar gedung, dan
menuju ke jalur berbatu-batu. Sekarang ia telah yakin tak ada yang menguntitnya.
Ii langsung masuk ke tempat duduk bagian belakang i iksi yang sedang antre
paling depan. Sambil me-11 mdang ke luar jendela, ia melihat mobil dan sopirnya di seberang sana
alun-alun. 71 "Ke A.V., di New York Avenue."
Taksi berbelok ke kiri di Pennsylvania, kemudi menuju ke utara ke Sixth Street.
Ia mencoba menat pikirannya. Ia senang, selama dalam perjalanan s: sopir tidak mengajaknya
berbincang mengenai peme rintah atau khususnya Presiden.
Mereka membelok ke kiri ke New York Avenue d taksi langsung melambat. Ia
menyerahkan selemb uang sepuluh dolar kepada si sopir bahkan sebelu mobil berhenti, kemudian
melangkah ke luar da menutup pintu taksi tanpa menunggu uang kembalian.
Ia lewat di bawah awning merah, putih, dan hija yang menandakan asal-usul
pemiliknya dan mem buka pintu. Perlu waktu beberapa saat agar matany menyesuaikan diri dalam cahaya
temaram ata kegelapan. Setelah terbiasa, ia lega karena tempa itu ternyata kosong. Hanya ada
sesosok sendirian yang duduk menghadap meja kecil di seberang ruangan sambil main-main dengan
gelas jus tomat setengah kosong. Setelan bagus dan perlente takj menunjukkan bahwa ia
pengangguran. Walau masih bersosok atlet, kepalanya yang mulai membotak sebelum waktunya membuatnya
tampak lebih tua daripada usia yang dicantumkan dalam berkas. Mata mereka bertemu dan
orang itu mengangguk. Ia melintasi ruangan dan duduk berhadapan dengannya. "Namaku
Andy..." ia memulai. "Misterinya, Mr. Lloyd, bukanlah siapa kau, melainkan mengapa Kepala
Staf Presiden ingin berjumpa denganku," kata Chris Jackson.
* * * 72 N ?1111 apa bidang spesialisasi Anda?" tanya Stuart 94i Kenzie.
Maggie memandang suaminya. Ia tahu suaminya m\ kan suka kehidupan profesionalnya
dicampuri. ' onnor menyadari bahwa Tara tak sempat mem-luiiiahu pemuda terakhir yang
terpesona kepadanya Muluk tidak membicarakan pekerjaan ayahnya.
Hingga saat itu ia tak ingat pernah lebih dapat Lifiiikmati makan siangnya. Ikan
yang hanya di-i.mekap beberapa jam sebelum mereka duduk di kui'ia sudut kafe
kecil di Cronulla. Buah-buahan [yung belum pernah diawetkan atau di dalam kaleng, ?km bir yang ia harapkan
diekspor ke Washington. " onnor menenggak kopi sebelum duduk santai berhindar di kursi dan
menonton para peselancar hanya wkitar seratus meter jauhnya. Olahraga yang ingin fa |umpai dua
puluh tahun sebelumnya. Stuart terkejut melihat betapa fit ayah Tara ketika pertama kali
mencoba papan selancar. Connor membual dengan ("e i cerita bahwa ia masih berlatih dua-tiga
kali seminggu. Dua-tiga kali sehari mungkin lebih mendekati kebenaran.
Walau takkan pernah memandang seseorang cukup baik bagi putrinya, Connor harus
mengakui bahwa "lalam beberapa hari yang lalu ini ia semakin senang I" igaui dengan
pengacara muda itu. "Aku bekerja di bisnis asuransi," jawabnya, sebab .ular putrinya pasti sudah
mengatakan demikian kepada Stuart. "Ya, Tara telah menceritakan Anda eksekutif senior. Tapi dia tak memberikan
keterangan terperinci." Connor tersenyum. "Itu karena spesialisasiku pen 73
culikan dan tebusan, dan sikapku terhadap kepercayaa klien sama seperti dalam
profesimu." Ia ingin tali apakah itu akan menghentikan pemuda Australia it untuk meneruskan
topik tersebut. Ternyata tidak. "Kedengarannya jauh lebih menarik daripad kasus-kasus biasa yang harus saya
tangani," k Stuart, mencoba menariknya dari persembunyian.
"Sembilan puluh persen yang kulakukan hanyal rutin dan membosankan," kata
Connor. "Dalam k nyataannya, aku punya lebih banyak pekerjaan tuli: menulis daripada kau."
"Tapi saya tak pernah bepergian ke Afrika Selatan.
Tara memandang cemas ke arah ayahnya, seba tahu ayahnya tak akan suka informasi
ini telah dai sampaikan kepada seseorang yang relatif asing. Tad Connor tak menunjukkan tanda-
tanda kebosanan. "Ya, memang r^arus kuakui pekerjaanku puny satu-dua kompensasi."
"Apakah akan melanggar kepercayaan klien bil Anda mengajak saya menelusuri kasus
yang khas?"t Maggie baru akan menengahi dengan kalimat yan di masa silam sering ia gunakan,
tetapi Connor tela< sukarela menjawab, "Perusahaan tempatku bekerji mewakili beberapa klien
gabungan yang punya ke< pentingan besar di luar negeri."
"Mengapa klien-klien itu tak menggunakan peri usahaan dari negeri yang terlibat"
Mestinya merek! lebih bisa menangani keadaan setempat."
"Con," Maggie menyela, "kupikir kau kepanasan. Mungkin lebih baik kembali ke
hotel sebelum ka seperti udang bakar."
Connor senang dengan intervensi istrinya yan
74 " i meyakinkan itu, apalagi karena istrinya telah tn nyuruhnya mengenakan topi
sejam sebelumnya. " lak pernah semudah itu," katanya kepada si |" u) acara muda. "Ambillah contoh
Coca-Cola. Harus Imcgaskan dulu kami tak mewakilinya. Mereka punya ?mior di seluruh dunia.
Mempekerjakan puluhan ?mi anggota staf. Di setiap negara mereka punya )t ckutif senior yang
kebanyakan berkeluarga." Maggie tak bisa percaya bahwa Connor telah ) w dibiarkan pembicaraan sejauh itu.
Biasanya me- fik;i cepat mendekati masalah dan selalu menghentikan pertanyaan lebih lanjut
karena mati langkah. ' Tapi kami punya orang-orang yang memiliki kualifikasi untuk melaksanakan
pekerjaan seperti itu ?i Sydney," kata Stuart sambil membungkuk, meluangkan kopi lagi untuk Connor.
"Bagaimanapun krnculikan dan tebusan juga dikenal di Australia." Terima kasih," kata Connor.
Ia kembali meneguk I i sambil memikirkan pernyataan itu. Penelusuran "tumit tak goyah. Seperti
jaksa penuntut yang baik. \<\ sabar menunggu dengan harapan saksi memberikan Ii iban terbuka pada
tahap tertentu. "Sebenarnya aku tak pernah diberi tugas bila tak nila
komplikasi." Komplikasi?"
"Kita ambil contoh sebuah perusahaan dengan banyak perwakilan di negara di mana
kejahatan M'img terjadi, dan penculikan dengan tebusan sudah ilianggap biasa. Direktur
perusahaan itu - walau biasanya istrinya karena sehari-hari tak begitu terlindungi - diculik."
"Nah, di situ Anda masuk?"
75 "Tidak. Tak harus begitu. Bagaimanapun poli setempal mungkin telah berpengalaman
menang perkara sejenis itu. Dan tak banyak perusahaan ya suka diintervensi dari luar,
khususnya dari Amerik Keiap kali aku hanya terbang ke ibu kotanya memulai penyelidikanku
sendiri. Jika sebelumnya pernah berkunjung ke negeri itu dan telah menyusu laporan bersama
kepolisian setempat, mungkin af memberitahukan kehadiranku. Tapi aku lebih su menunggu
mereka minta bantuanku." "Lalu bagaimana jika mereka tak minta bantuan, tanya Tara.
Stuart terkejut karena jelas Tara belum pe mengajukan pertanyaan itu sebelumnya
kepada aya nya. "Kalau begitu aku harus bekerja sendirian," kas Connor. "Dan itu membuat proses
tersebut lebi gawat lagi." "Tapi bila polisi tak bergerak maju, menga^ mereka menginginkan bantuan Anda"
Mereka pas menyadari keahlian khusus Anda," kata Stuart.
"Sebab polisi sendiri sudah tahu, pada tahap te tentu mereka telah terlibat."
"Aku tak begitu mengerti," kata Tara.
"Polisi setempat mungkin menerima sebagia tebusan," Stuart mencoba menjawab,
"jadi mereT tak menyukai intervensi dari luar. Bagaimanap mereka mungkin mengira perusahaan
asing itu marr> pu membayar tebusan."
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Connor mengangguk. Segera jelas mengapa Stua telah mendapat pekerjaan dengan
banyak kasus tind" pidana terkenal di Sydney.
76 "Jadi apa tindakan Anda bila polisi setempat telah memotong tebusan?" tanya
Stuart. lara mulai menyesal, seandainya saja ia telah memberitahu Stuart untuk tidak
mendesak ayahnya ih lalu jauh. Namun ia segera menyimpulkan bahwa in.mg-orang Australia tak punya
gambaran di mana kilas "terlalu jauh" itu.
"Jika itu terjadi, aku harus mempertimbangkan bernegosiasi sendiri. Sebab bila
klien terbunuh, dapat dipastikan investigasi berikut takkan mendalam, dan p.na penculik mungkin
takkan pernah tertangkap." "Dan begitu Anda setuju bernegosiasi, apa langkah p< mbukanya?"
Begini, kita andaikan penculik menuntut satu jiiia dolar - penculik selalu
menuntut jumlah bulat, biasanya dalam dolar Amerika. Seperti setiap nego-Malor profesional, tugas
utamaku adalah mencapai u msaksi sebaik mungkin. Dalam hal itu, unsur terpenting ialah
memastikan karyawan perusahaan tak ti i ancam bahaya. Tapi takkan kubiarkan perkaranya mencapai
tahap negosiasi jika menurutku klien bisa dibebaskan tanpa pembayaran sepeser pun dari perusahaan.
Semakin banyak harus membayar, semakin besar kemungkinan penculik mengulangi kejahatannya
beberapa bulan kemudian. Kadang-kadang dengan menculik orang yang sama."
"Apakah Anda sering sampai ke tahap negosiasi Hii?"
"Sekitar lima puluh persen dari yang kutangani. Saat itulah kita tahu apakah
kita berhadapan dengan piofesional. Makin lama kita dapat mengulur nego-Liasi, para amatir makin
waswas akan tertangkap. 77 Dan sesudah beberapa hari mereka jadi menyuk^ orang yang diculik, yang membuat
mereka mustah( melaksanakan rencana semula. Misalnya dalam- peng pungan Kedutaan Peru,
mereka akhirnya menyr lenggarakan pertandingan catur dan para teror menang."
Mereka bertiga tertawa, sehingga Maggie bc agak santai.
"Orang-orang profesional atau amatir yang m ngirim orang-orang suruhan?" tanya
Stuart deng.. senyum kecut. "Aku senang dapat mengatakan aku tak mewakl perusahaan yang bernegosiasi atas
nama cucu M( Getty. Tapi bahkan bila aku menangani seoranj profesional, aku masih memegang
beberapa kar bagus." Connor tidak tahu istri dan putrinya me biarkan kopi mereka mendingin.
"Silakan meneruskan," kata Stuart.
"Nah, kebanyakan penculikan merupakan peris wa sekali jadi. Dan walau hampir
selalu dilaksam kan oleh seorang profesional, mungkin dia tak be pengalaman bernegosiasi dalam
situasi seperti it> Para penjahat profesional selalu terlalu percaya di Mereka mengira bisa
menangani segalanya. Seper* pengacara yang mengira bisa membuka restoran hany karena dia makan tiga
kali sehari." Stuart tersenyum. "Lalu apa yang mereka lakuka begitu sadar takkan mendapatkan
sejuta dolar?" "Aku hanya dapat bicara dari pengalaman sendiril kata Connor. "Biasanya urusan
itu kuakhiri dengar menyerahkan seperempat dari jumlah yang dituntu berupa lembaran uang yang
telah digunakan dan dap 78 p*lacak. Dalam kesempatan yang tak kerap terjadi aku ni" nyerahkan setengah uang
tuntutan. Hanya sekali fcku setuju menyerahkan jumlah seluruhnya. Tapi Mugai pembelaan
diriku, Tuan Pengacara, dalam Iumis khusus itu bahkan perdana menteri setempat pun mengambil
bagiannya." "Berapa banyak yang bisa lolos?"
"Dalam kasus yang telah kutangani selama tujuh [v las tahun, hanya ada tiga.
Jadi secara kasar itu h'iarti delapan persen."
"Bukan hasil yang jelek. Dan Anda kehilangan |"-iapa klien?"
Kini mereka menginjak wilayah yang bahkan M iggie pun belum pernah merambahnya.
Dan Maggie mulai beringsut gelisah di kursinya.
"Bila kehilangan klien, perusahaan mendukung lila sepenuhnya," kata Connor. la
berhenti sejenak, lapi mereka tak membolehkan seseorang gagal dua ah."
Maggie bangkit dari kursi dan berpaling ke Connor "tiaya berkata, "Aku ingin
berenang. Ada yang mau Ikut?" ] "Tidak, tapi aku ingin sekali lagi berselancar," kiiliut Tara, cepat-cepat
membantu usaha ibunya niengakhiri interogasi itu.
"Berapa kali kau terjatuh pagi ini?" tanya Connor memberi konfirmasi bahwa
pembicaraan telah cukup jauh. 4 "Selusin kali lebih," sahut Tara. "Ini yang terpilah." Dengan bangga ia menunjuk
ke memar besar ih piha kanan. 'Mengapa kaubiarkan dia sejauh itu, Stuart?" tanya
79 Maggie sambil duduk mengamati memar itu lebi] saksama.
"Sebab itu memberi saya kesempatan menolong nya dan tampil sebagai pahlawan."
"Awas, Stuart, akhir minggu ini dia sudah mahir berselancar. Dan akhirnya dia
yang akan me nolongmu," kata Connor sambil tertawa.
"Saya tahu hal itu," jawab Stuart. "Tapi saat it terjadi, saya akan mengajarinya
hungee jumping." Maggie langsung memucat, dan buru-buru me-J mandang ke arah Connor.
"Jangan khawatir, Mrs. Fitzgerald," tambah Stua cepat-cepat. "Lama sebelum itu
Anda berdua tela kembali ke Amerika." Tak seorang pun dari mere" ingin diperingatkan^akan hal
itu. Tara memegang lengan Stuart. "Ayo pergi, Super] man. Sudah waktunya kau
menemukan gelombang lain di mana kau bisa menyelamatkanku."
Stuart melompat berdiri. Sambil berpaling ke( Connor ia berkata, "Jika sampai
menculik putri Anda, saya takkan menuntut tebusan, dan saya tak maJ menyelesaikan persoalan
dengan dolar Amerika ataJ mata uang mana pun."
Tara tersipu-sipu. "Ayolah," katanya, dan mereka lari ke pantai menyongsong
ombak. "Dan untuk pertama kalinya aku takkan mencoba bernegosiasi," kata Connor kepada
Maggie sambfl menggeliat dan tersenyum.
"Dia pemuda yang baik," kata Maggie sambil menggandeng tangan Connor. "Sayang
dia bukajj orang Irlandia." 80 "Bisa lebih buruk lagi," kata Connor sambil bangku dari kursi. "Dia bisa jadi
orang Inggris." Maggie tersenyum sementara mereka mulai menuju ke tempat berselancar. "Tara baru
pulang pukul lima pagi ini." "Jangan bilang kau terjaga semalaman bila putrimu pergi berkencan," kata Connor
sambil menyeti ngai. "Jangan keras-keras, Connor Fitzgerald, dan ingatlah dia itu satu-satunya anak
kita." 'Tara bukan anak kecil lagi, Maggie," kata Connor. Dia wanita dewasa dan kurang
dari setahun lagi iha akan jadi Dr. Fitzgerald."
"Dan tentu saja kau tak mencemaskannya,"
"Kau tahu aku cemas," kata Connor sambil me-i mgkulnya. "Tapi jika dia main api
dengan Stuart - ilan itu bukan urusanku - dia dapat bertindak jauh lebih buruk lagi."
"Aku tak tidur denganmu hingga hari perkawinan kita. Dan bahkan ketika mereka
mengatakan kau hilang di Vietnam, aku tak pernah memandang pria lain. Dan itu bukan karena
kurang ajakan." "Aku tahu, sayangku," kata Connor. 'Tapi saat i lu kau telah menyadari aku tak
tergantikan." Connor melepas rangkulannya dan berlari menuju ke ombak, sambil memastikan ia
selalu selangkah _ lebih dulu dari istrinya. Ketika akhirnya dapat menyusulnya, Maggie
sudah kehabisan napas. "Declan O'Casey melamarku lama sebelum..."
"Aku tahu, Sayang," jawabnya sambil memandangi nata hijau Maggie dan menyibakkan
rambutnya. "Dan tak pernah sehari pun berlalu tanpa kusyukuri 81
bahwa kau menungguku. Itulah satu-satunya hal yang membuatku tetap bertahan
hidup setelah ditawan di 'Nam. Hal itu dan keinginan melihat Tara."
Kata-kata Connor mengingatkan Maggie akan kesedihan ketika ia keguguran dan
ketika mengetahui ia tak dapat melahirkan anak lagi. Maggie telah dididik dalam
keluarga besar dan sangat merindukan mempunyai anak-anak sendiri. Ia tak pernah dapat menerima
filsafat sederhana dari ibunya: itu sudah menjadi kehencfak Tuhan.
Sementara Connor pergi ke Vietnam, ia banyak mengalami masa-masa bahagia bersama
Tara. Tapi setelah Connor pulang, nona muda itu telah memindahkan kasih sayangnya dengan
tiba-tiba. Dan walau tetap dekat dengan putrinya, Maggie tahu ia tak dapat mempunyai hubungan
lagi dengan Tara sebagaimana yang dinikmati Connor.
Ketika Connor menandatangani kontrak dengan Asuransi Maryland sebagai karyawan
peserta pelatihan manajemen, Maggie kebingungan oleh ke-putusan itu. Maggie selalu
mengira Connor selalu ingin terlibat dalam penegakan hukum seperti ayahnya. Itu sebelum ia
menjelaskan untuk siapa sebenarnya ia bekerja. Walau tak menjelaskan secara terperinci, Connor
memberitahu siapa atasannya, dan arti menjadi petugas pelindung secara tak resmi, NOC - non-official
cover officer. Bertahun-tahun Maggie dengan setia menyimpan rahasia itu, walau tak dapat
membicarakan profesi suami dengan teman-teman dan para kolega kadang-kadang terasa aneh.
Tetapi ia memutuskan ketidaknyamanan itu tak seberapa dibandingkan pengalaman banyak istri
dan 82 para suami yang terlalu senang membicarakan pekerjaan mereka, tak habis-habisnya
dan sangat terperinci. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikulerlah yang hendak mereka rahasiakan.
Maggie sungguh-sungguh berharap suatu hari putrinya menemukan seseorang yang
bersedia menunggu di bangku taman semalaman hanya untuk melihatnya menutup tirai.
BAB TUJUH Jackson menyulut rokok, dan mendengarkan dengan cermat setiap kata yang
diucapkan orang dari Gedung Putih itu. Ia tidak berusaha menyelanya.
Ketika akhirnya mengakhiri bagian yang telah dipersiapkannya, Lloyd menyesap air
mineral yang disajikan kepadanya dan mendengarkan apa yang akan menjadi pertanyaan pertama
mantan wakil direktur CIA itu Jackson mematikan rokok. "Boleh aku bertanya mengapa kau menduga akulah orang
yang tepat untuk tugas ini?" Lloyd tidak kaget. Ia telah memutuskan jika Jackson mengajukan pertanyaan itu,
ia akan berterus terang. "Kami tahu kau mengundurkan diri dari CIA karena... perbedaan pendapat" -
ia menekankan kata-kata ini - "dengan Helen Dexter. Walau catatan prestasimu dalam
CIA pantas diteladani. Dan hingga saat itu kau dianggap sebagai pengganti Dexter yang sudah
semestinya. Tapi karena meletakkan jabatan
84 dengan alasan-alasan yang sekilas tampaknya aneh, kau tak dapat menemukan
jabatan yang memadai dengan kualifikasimu. Kami menduga Dexter juga punya sangkut paut dengan
urusan ini." "Hanya perlu sekali telepon," kata Jackson, "tentu saja off the record - dan tiba-
tiba kau dibuang dari setiap daftar orang yang mampu menduduki jabatan. Aku sebenarnya tak suka
menjelek-jelekkan orang yang masih hidup, tapi dalam hal Helen Dexter, aku
senang membuat perkecualian."
Ia menyulut rokok lagi. "Soalnya Dexter percaya Tom Lawrence menduduki jabatan
kedua terpenting di Amerika," ia melanjutkan, "Wanita itulah yang menjadi pembela
iman, benteng akhir bangsa. Dan baginya politisi terpilih itu hanyalah ketidaknyamanan sementara
yang cepat atau lambat akan dibuang oleh pemilih mereka."
"Presiden telah lebih dari sekali disadarkan akan hal itu," kata Lloyd, dengan
agak terharu. "Mr. Lloyd, presiden datang dan pergi. Aku berani bertaruh, seperti kita semua,
bosmu adalah manusia biasa, maka bisa dipastikan Dexter telah menyusun berkas mengenai
Lawrence, penuh dengan alasan mengapa Lawrence tak pantas menjalani masa jabatan kedua. Dan
omong-omong, dia juga memiliki berkas yang sama tebalnya mengenai dirimu."
"Kalau begitu sudah saatnya kita menyusun berkas kita sendiri, Mr. Jackson. Tak
ada orang lain yang kupandang lebih cakap menangani tugas itu."
Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dari mana aku harus mulai?"
"Dengan menyelidiki siapa yang berada di belakang pembunuhan atas Ricardo Guzman
di Bogota bulan lalu," kata Lloyd. "Kami punya alasan untuk 85
percaya CIA mungkin terlibat, secara langsung ataupun tidak."
"Tanpa sepengetahuan Presiden?" tanya Jackson tidak percaya.
Lloyd mengangguk. Ia mengeluarkan berkas dari tas dan menyodorkannya di atas
meja. Jackson membukanya. "Tak usah buru-buru," kata Lloyd, "sebab kau harus mengingat-ingat semuanya."
Jackson mulai membacanya. Dan ia mulai berkomentar walau belum sampai pada akhir
halaman pertama. "Jika kita mengasumsikan itu penembak tunggal, mustahil mencoba mencari
informasi yang bisa diandalkan. Orang seperti itu tak meninggalkan alamat surat." Jackson berhenti
sebentar. "Tapi bila
yang sedang kita tangani ini CIA, Helen Dexter punya sepuluh hari lebih dulu
dari kita. Mungkin dia telah membuat buntu setiap jalan yang bisa mengarah ke si pembunuh -
kecuali..." "Kecuali...?" Lloyd menirukan.
"Aku bukan satu-satunya orang yang lelah bertahun-tahun bertemu dengan wanita
itu. Mungkin ada orang lain di Bogota yang - " lu berhenti. "Waktuku berapa lama?"
"Presiden baru Kolombia .ikan mengadakan kunjungan resmi ke Wasluneinn uyn
tnui^tm lagi. Akan membantu bila saat itu kita aulah punya sesuatu."
"Rasanya sekarang ini ikti ml ih mulai mengalami seperti zaman duju,' k u i I u
I mi seiaya mematikan rokoknya. "Kecuali a.l.i k nan an tambah-8(>
an, karena kali ini Helen Dexter secara resmi ber-eberangan denganku." Ia
menyulut rokok lagi. "Aku bekerja untuk siapa?"
"Resminya kau freelance. Tapi secara tak resmi
kau bekerja untukku. Kau akan dibayar sama seperti
waktu meninggalkan CIA. Rekeningmu setiap bulan ikan dikredit. Walau jelas
namamu takkan muncul dalam buku mana pun. Aku akan menghubungimu
bila..." "Jangan, Mr. Lloyd," kata Jackson. "Aku akan menghubungiwH bila ada sesuatu yang
pantas ku-laporkan. Kontak timbal-balik hanya akan melipatgandakan kemungkinan
seseorang menemukan kita. Yang kuperlukan hanyalah nomor telepon yang tak dapat dilacak."
Lloyd menuliskan tujuh nomor pada serbet. "Itu langsung berhubungan dengan
mejaku, bahkan menghindari sekretarisku. Lewat tengah malam otomatis dipindahkan ke telepon di
sisi ranjangku. Kau dapat meneleponku siang atau malam. Tak perlu menghiraukan perbedaan waktu
bila kau di luar negeri, sebab aku tak peduli dibangunkan dari tidur."
"Itu bagus," kata Jackson. "Sebab kuduga Helen Dexter tak pernah tidur."
Lloyd tersenyum. "Apakah semuanya telah kita bahas?"
"Belum semuanya," sahut Jackson. "Bila kau pergi, beloklah ke kanan; lalu
berikutnya ke kanan lagi. Jangan menengok ke belakang. Dan jangan menghentikan taksi sebelum paling
sedikit melewati empat blok. Mulai sekarang kau harus berpikir seperti Helen Dexter. Dan
hati-hatilah, wanita itu telah melakukan
87 hal itu selama tiga puluh tahun. Hanya ada satu orang yang sepengetahuanku lebih
baik daripada dia." "Kuharap itu kau sendiri," kata Lloyd.
"Bukan. Bukan aku," sahut Jackson.
"Jangan-jangan dia telah bekerja untuk Dexter."
Jackson mengangguk. "Walau dia sahabat ter-karibku, jika Dexter menyuruhnya
membunuhku, tak ada perusahaan asuransi di seluruh kota ini yang mau memberi santunan untuk
polis asuransi jiwaku. Jika kau berharap aku mengalahkan mereka berdua, lebih baik kau berharap
aku belum jadi karatan delapan bulan lalu "
Kedua orang itu bangkit. "Selamat jalan, Mr. Lloyd," kata Jackson sambil
berjabat tangan "Maaf
bahwa ini penemuan kita pertama dan yang terakhir."
'Tapi kukira kita telah sepakat -" sergah Lloyd, sambil memandang cemas lekrul
terbarunya. "Untuk bekerja sama, Mr. Lloyd, bukan saling bertemu. Ingat, Dexter takkan
memandang dua pertemuan sebagai kebetulan "
Lloyd mengangguk. "Aku akan menunggu berita dariinu."
"Dan, Mi I loyd " pesan Jackson, "jangan kunjungi NaluMial (i?ilk*ry lagi,
kecuali bila hanya mau iiR-lili.i1 lihat lukisan "
I luvd iueii??eiu\!iknu alis "Mendapi?
"S<*ImI| p" n|nea " l' upah tiilui di (ialen 71 sudah dipasain di ..uni piuln
h.ni pui< aiiyk Maumu Semuanya ul.ih irMuiut Itl i? ikti mu Km | ?111*1 ke sana seimm > U sekuli
Apak.ih llnppei iii.isih puli pelukis kesavaii^.uiinii /"
Lloyd ternganga. "Kalau begitu Dexter telah tahu pertemuan ini?"
'Tidak," sahut Jackson. "Kali ini kau beruntung. Ini hari libur si penjaga."
Walau Connor telah melihat putrinya menangis berulang kali, ketika masih kecil,
karena kakinya yang lerluka, marah hanya karena tak boleh melakukan yang dimauinya, tapi hal
ini jauh berbeda. Sementara Tara menggelayut pada Stuart, Connor berpura-pura tertarik pada buku-
buku bestseller di kios koran. Dan itu merupakan salah satu hari libur yang paling dapat
dinikmatinya yang pernah diingatnya. Connor telah tambah gemuk beberapa kilo dan telah hampir mahir
berselancar, walau lebih sering terjatuh daripada bangga. Selama dua minggu itu, pertama-tama ia
mulai menyukai, kemudian menghargai Stuart. Dan Maggie bahkan telah berhenti mengingatkannya
setiap, pagi bahwa Tara tak kembali ke kamarnya malam sebelumnya. Ia menganggapnya sebagai
tanda bahwa walau enggan, istrinya telah memberi persetujuan.
Connor mengambil Sydney Morning Herald dari kios koran. Ia membuka-buka halaman-
halamannya, hanya melihat judul-judul berita hingga ke rubrik "Berita
Internasional". Ia memandang Maggie yang sedang membayar beberapa cendera mata yang tak pernah
mereka pamerkan atau bahkan mereka perkirakan untuk diberikan sebagai hadiah. Dan tentu
saja akan berakhir dalam obral Natal Pastor Graham.
Connor menunduk lagi. "Kemenangan Besar-besaran bagi Herrera di Kolombia"
merupakan judul berita yang terpampang di tiga kolom di halaman bawah.
89 Ia membaca tentang kemenangan berat sebelah bagi presiden baru Kolombia atas
pengganti Ricardo Guzman dari Partai Nasional di saat terakhir. Herrera, demikian bunyi
artikel itu lebih lanjut, merencanakan berkunjung ke Amerika dalam waktu dekat guna membicarakan
masalah-masalah yang sedang dihadapi Kolombia dengan Presiden Lawrence. Di
antara masalah-masalah yang terpenting... "Apakah ini bagus buat Joan?" Connor memandang kepada
istrinya yang sedang memegang gambar Sydney Harbour karya Ken Done. "Agak terlalu modern buatnya,
menurutku." "Kalau begitu kita harus membeli sesuatu buatnya dai i layanan bebas pajak di
pesawat." "Ini panggilan terakhir untuk United Airlines Penerbangan 816 ke Los Angeles,"
seru suara yang menggema di seputar bandara.
"Para penumpang yang belum masuk ke pesawat dipersilakan secepatnya menuju ke
Gerbang 27." Connor dan Maggie mulai berjalan menuju ke tanda besar keberangkatan, dan
berusaha beberapa langkah di depan putri mereka dan Stuart. Kedua orang muda ini erat berangkulan
seolah sedang mengikuti pacuan dengan tiga kaki. Begitu mereka melewati bagian pemeriksaan
paspor, Connor berhenti, sementara Maggie terus maju menuju ruang keberangkatan guna
Pangeran Iblis 1 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Dewi Maut 12