Pesan Misterius Di Water 2
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh Bagian 2
Mereka nggak pernah membicarakan hal-hal seperti ini, dan neneknya berpikir,
lebih baik mengatakan hal semacam itu kepadanya daripada mengatakan hal yang
sejujurnya." "Apa yang sejujurnya?" tanya Harriet antusias.
Beth Ellen tidak peduli tentang hal yang sejujurnya. Batu-batu itu cukup buruk
untukdipikirkan. Seperti apa hal yang sejujurnya"
"Sekarang kamu bisa melihat dengan jelas," kata Janie, tampak seperti guru yang
membosankan,"bahwa orang-orang harus belajar untuk hidup dengan fakta'. Fakta
tidak, pernah seburuk fantasi yang mereka buat."
"Oh, Janie, lanjutkan saja," kata Harriet, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ah, pertanyaan bagus," kata Janie.
"JANIE!" kata Harriet sebal. Janie bisa menjadi sangat dramatis dan
menjengkelkan kalau dia berubah filosofis.
"Oke, oke , " kata Janie, seolah-olah mereka berdua terlalu bodoh untuk
menghargainya, "sebenarnya sangat sederhana. Aku akan menjelaskannya." Dia
duduk, seolah-olah hal itu akan makan waktu lama.
"Sekarang, kalian tahu kalau bayi tumbuh didalam tubuh seorang wanita, di dalam
rahimnya, dikandungan?"
Mereka mengangguk. "Nah. Kalian pikir, di mana bayi hidup saat dia tumbuh?"
Mereka berdua bengong. "Di dinding rahim, bodoh!" teriaknya pada mereka berdua.
Mereka mengerjap. "Jadi, hal ini sangat sederhana. Jika kau punya bayi yang tumbuh di dalam rahim,
bayi itu akan hidup di dindingnya; tapi kalau kau tidak punya bayi, seperti kita
ini, maka tubuh kita dengan pintar akan membuang dinding rahim yang dibuat untuk
si bayi. Dinding rahim itu akan luruh begitu saja."
"Jatuh keluar begitu saja dari dalam?" jerit Harriet.
Oh, pikir Beth Ellen, kenapa aku"
"Nggak, nggak, nggak. Kamu selalu melebih-lebihkan, Harriet .
Kamu akan jadi ilmuwan yang buruk. Kamu harus menguasai masalah.
Benda itu nggak jatuh keluar begitu saja seperti yang kamu bilang; ia luruh
sedikit demi sedikit, yah, katakan saja, selama empat sampai enam hari,
tergantung pada si wanita. Pada satu waktu, jumlahnya sangat sedikit, dan hal
itu nggak membuat sakit atau apa pun. Kamu cuma merasa lelah."
"Aku kesakitan," kata Beth Ellen.
"Yah ..." kata Janie, "kadang-kadang ada sedikit rasa sakit, tapi sebenarnya
nggak terlalu parah. Sejujurnya, aku mencoba untuk nggak peduli soal itu,"
katanya seolah-olah dia sedang ditanya apakah dia menyukai buku tertentu."Wah,"
kata Harriet . "Hal lain yang nggak aku suka adalah, orang-orang yang membuat cerita konyol
soal ini, seperti cerita tentang batu-batu itu. Kenapa orang-orang nggak bisa
menerima hidup seperti apa adanya?"
Beth Ellen membayangkan neneknya yang menerima hidup apa adanya. Dia tidak bisa
membayangkan neneknya membicarakan soal bayi-bayi, dinding rahim, tuba falopii
(saluran dari rahim ke indung telur), dan seterusnya. Dia merasa sedikit kasihan
pada neneknya. Mungkin neneknya hanya berusaha membuat hal itu terasa lebih
menyenangkan untuknya, tapi itu salah karena cerita batu-batu itu malah
membuatnya takut. "Masalahnya adalah," kata Harriet, "apakah nenekmu benar-benar
percaya bahwa batu-batu itu benar-benar ada" Mungkin kita harus memberitahu
dia." "Tentu saja nggak," kata Beth Ellen, "dan kamu nggak akan memberitahu dia apa
pun." "Itu konyol," kata Janie pada Harriet. "Kamu nggak mempertimbangkan perbedaan tiap generasi."
"Yah!" kata Harriet, cukup kesal. "Daripada hanya bicara saja, kenapa kamu nggak
membuat obatnya?" "Aku pasti akan mengobati hal ini, kalau ini hal terakhir yang bisa dilakukan."
Janie memandang keluar jendela dengan tekad yang bulat, seolah-olah ada obat
yang sedang duduk di halaman belakang.
"Aku nggak sabar untuk menstruasi," kata Harriet.
"Yah," ujar Janie, "sebaiknya begitu karena semua orang juga seperti begitu.
Kamu akan merasa cukup aneh kalau kamu tidak mendapatkannya. Lagipula, kamu
harus melewatkan pelajaran olahraga kalau kamu sedang menstruasi."
"Oh, yaaa?" kata Harriet dan Beth Ellen serempak. Mereka berdua benci pelajaran
olahraga. "Yap," kata Janie dengan salah satu senyum bengalnya.
"Wah!" kata Harriet .
Itu, pikir Beth Ellen, sudah pasti sebuah keuntungan.
10 Memata-matai Bunny Beth Ellen, Harriet , dan Janie berdiskusi tentang tujuan hari itu.
"Ayo kita kembali dan melihat Mama Jenkins. Dia pernah menyuruh kita datang lagi
kapan-kapan sebelum mereka bekerja untuk minum limun, ingat?" kata Harriet ,
memandang Beth Ellen. Sepertinya, itu terjadi seribu tahun yang lalu, pikir Beth Ellen, tapi dia cuma
mengatakan, "Ayo kita pergi ke hotel."
'"Ayo pergi ke hotel, ayo pergi ke hotel' - itu saja yang selalu kamu katakan,"
kata Harriet. "Hotel apa?" tanya Janie. "Oh ya, kupikir orang-orang di sini pergi ke pantai.
Bukannya kalian datang kemari untuk itu?"
Harriet menatap Janie. Beth Ellen tahu apa yang sedang Harriet pikirkan: Janie
adalah tamu dan mereka harus melakukan apa pun yang dia inginkan. Dia
memerhatikan Harriet dan perjuangan batinnya.
"Yaah. Ayo kita ke pantai," kata Harriet lemas, tapi bersahabat.
"Aku sih nggak peduli," kata Janie. "Lagi pula, matahari akan membuatmu terkena
kanker kulit." "Bagaimana kalau kita melakukan ketiganya?" kata Harriet, sepertinya sebuah bola
lampu baru saja menyala di kepalanya.
"Asyik," kata Janie.
Beth Ellen merasakan senyum rahasia yang tidak akan dia biarkan muncul di
wajahnya. Dia akan melihat Bunny. Entah bagaimana, tapi perasaannya tentang
melihat Bunny sudah berkurang karena rencana kunjungan ibunya dan penemuannya
tentang kedewasaan dirinya.
Sekarang pikiran tentang Bunny kembali sebagai kesenangan masa kanak-kanak yang
hangat, seolah-olah Bunny adalah seekor kelinci betulan dan dirinya sedang mulai
mencari telur berwarna pada pagi hari Paskah.
Janie dan Harriet sudah memakai baju renang mereka. Mereka sudah bangun pagi dan
segera memakainya, jadi sekarang mereka tinggal mengenakan celana pendek
sementara Beth Ellen menunggu.
"Aku nggak akan memakai ini," kata Janie nyaring. Mereka menatapnya, sepertinya
dia sedang berbicara pada sebuah kemeja - besar dan berbunga-bunga. "Ibuku
memasukkannya ke dalam tas, aku tahu itu. Aku nggak pernah melihat benda ini
sebelumnya selama hidupku."
"Kuharap aku nggak pernah melihatnya," kata Harriet dengan kasar. "Mungkin aku
bisa menguburnya di suatu tempat," kata Janie.
"Aku akan membawanya pulang untuk juru masakku," kata Beth Ellen. "Dia punya
banyak anak dan cucu."
"Sempurna," kata Janie dan melemparkan kemeja itu padanya.
Beth Ellen melipatnya dengan rapi dan berniat untuk menyimpannya di keranjang
sepeda. Setelah mereka semua siap, mereka menuruni tangga.
Nyonya Welsch sedang berjemur di dek. "Makan siang kalian ada di meja dapur,"
serunya pada Harriet. "Aku memberi Janie sesuatu yang berbeda, tapi kalau dia
mau tomat, dia bisa minta sedikit punyamu."
"Tidak, terima kasih, Nyonya Welsch," kata Janie. "Aku tidak terlalu terpesona
oleh tomat seperti anak Anda."
Nyonya Welsch tertawa. "Aku senang mendengarnya. Aku mulai berpikir kalau dia
ketularan penyakit itu di sekolah."
Mereka meraih kantong-kantong kertas itu dan lari melewati dek untuk melompat ke
atas sepeda mereka. "Jangan terlalu sore," kata Nyonya Welsch. "Ayahmu sedang di Montauk membeli
lobster. Kita akan piknik di tepi pantai sambil menikmati makanan laut malam
ini." Harriet dan Janie berteriak keras, "Horeee!" Beth Ellen memandang keranjang
sepedanya dengan kikuk. "Menurutmu, apakah kamu juga bisa ikut, Beth Ellen?" tanya Nyonya Welsch. Beth
Ellen mengangguk. "Begini saja. Aku akan menelepon nenekmu selagi kamu pergi. Aku yakin dia tidak
akan keberatan." Nyonya Welsch punya senyum yang indah. Beth Ellen balas
tersenyum, senyuman yang lebar. Betapa menyenangkannya kalau tidak harus
memikirkan Zeeney untuk semalam.
Mereka melambai pada Nyonya Welsch dan meluncur keluar dari halaman. "Ke mana
dulu?" tanya Harriet tanpa berbalik.
"Kalau hotel ini bagaimana?" tanya Janie.
"Oke, hotel dulu," kata Harriet, yang tidak mendengar dengan saksama.
Bersyukur karena tidak perlu meminta lagi untuk pergi ke sana, Beth Ellen
mengayuh sepedanya dengan penuh energi. Tak lama kemudian, ketiganya meluncur
cepat seriang burung-burung. Jalan yang mereka lalui datar dan menyenangkan,
tidak ada jalan raya atau rel kereta menyeramkan yang harus diseberangi.
Harriet bersepeda agak di depan. Beth Ellen dan Janie, merasakan panasnya
matahari, mengayuh lambat-lambat agak di belakang. Harriet ragu-ragu kalau harus
memata-matai beramai-ramai. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya.
Sepertinya, itu sama sekali tidak efektif. Jauh lebih mudah menangkap tiga orang
daripada satu. Dia memutar sepedanya dan kembali pada Beth Ellen dan Janie untuk
mengatakan hal ini. "...jadi setelah itu," Janie sedang berbicara ketika Harriet
berhenti di samping mereka, "dinding rahim itu terbentuk kembali."
"Oh, ya Tuhan," kata Harriet, "tidak bisakah kalian membicarakan hal lain?"
Harriet terdengar begitu galak sehingga mereka menutup mulut begitu saja dan
memandangnya. "Yah," kata Janie dan tersenyum penuh kemenangan, "itu karena kamu belum-"
Harriet tahu betul hal yang akan dia katakan dan merasa betul-betul jengkel
sehingga dia cepat memotong dan berteriak, "Dengar, ya, kalian berdua, aku
mungkin belum berkembang, tapi aku tahu banyak soal memata-matai dan seumur
hidupaku belum pernah mendengar tiga orang pergi memata-matai."
Mereka berdua memandangnya sebisa mungkin, mengingat mereka semua sedang
meluncur terbang. "Jadi?" kata Janie.
"Yah, sekarang kamu sudah dengar," kata Beth Ellen.
Harriet menatap heran pada Beth Ellen. Sama sekali bukan sifat Beth Ellen untuk
bicara tajam. "Beri tahu dia, Tikus," kata Janie dan tertawa.
"Yah," kata Harriet, "kalau kalian tertangkap karena tidak berpengalaman, jangan
salahkan aku. Dan jangan pernah katakan kalian mengenalku. Nggak ada yang saling
kenal kalau kita tertangkap."
"Kita hanya tiga cewek aneh yang berkeliaran ke hotel, begitu?"
tanya Janie, lalu menambahkan, "Itu bukan alasan yang tepat. Orang bodoh mana
yang akan memercayainya?"
"BUNNY!" teriak Harriet dan hampir jatuh dari sepeda karena gurauannya.
Beth Ellen meradang, tapi tidak mengatakan apa-apa. Bunny bukan orang bodoh. Dia
adalah pria manis yang pandai main piano. Beth Ellenmemikirkan wajah tembemnya
yang manis saat dia bernyanyi dan bermain piano.
Harriet , yang sudah merasa lebih baik, melesat ke depan.
"Siapa Bunny?" tanya Janie.
"Pemain piano di hotel," kata Beth Ellen judes dan mengayuh lebih cepat. Janie
menyusul dan tak lama kemudian mereka tiba di hotel itu.
Mereka menyandarkan sepeda-sepeda mereka di pagar tanaman yang tinggi itu.
Janie, yang tidak tahu apa-apa, mulai berjalan kehalaman depan. Harriet menarik
kemejanya dan dengan panik menyeretnya kembali. "Dengar,"Harriet mendesis, "kamu
ingin membuat kita semua terbunuh" Sekarang kamu ikuti aku karena aku tahu apa
yang sedang kulakukan."
Lalu, mereka mendengar suara itu. Beth Ellen berdiri tersihir. Itu suara piano
di bar. Bunny sedang melatih sebuah lagu baru. Beth Ellen harus disadarkan dari
lamunannya oleh Harriet, yang berbisik dengan keras di telinganya, "Cara terbaik
untuk masuk ke bar pada saat seperti ini adalah melalui pintu depan. Nggak ada
seorang pun disana, dan kita nggak bisa masuk lewat dapur karena si koki ada di
sana." Harriet membariskan mereka seperti tentara. "Cara terbaik agar nggak ketahuan
adalah langsung masuk saja tanpa tampak mencurigakan." Dia memimpin mereka
berjalan melewati halaman dan menuju pintu depan. Bar itu berada di sebelah
kanan, ruang makan di sebelah kiri. Harriet menarik mereka ke ruang makan yang
kosong. Kain-kain putih yang panjang tampak membentang bermeter-meter
panjangnya. "Hal terbaik yang harus dilakukan," bisiknya, "adalah masuk ke pintu belakang
bar, jadi kita keluar dari belakang bar. Lalu, kita bisa melihat apa yang sedang
Bunny kerjakan dengan mengintip, dan dia nggak akan melihat kita. Ikuti aku."
Dia memimpin kedua temannya melewati ruang makan menuju pintu belakang yang
menembus ke ruang tengah dan langsung berseberangan dengan pintu belakang bar.
Mereka berjingkat-jingkat melintasi ruang tengah, kemudian, mencontoh Harriet,
menunduk rendah saat mereka memasuki bar. Hidung mereka berhadapan langsung
dengan ribuan botol yang baunya agak tidak enak.
Harriet menunjukkan posisi yang berbeda untuk mereka dan mereka menuruti
perintahnya. Kemudian, dengan gerakan lambat, Harriet mengintip ke atas bar,
lalu berjongkok. Wah, ini membosankan sekali, pikirnya. Di sana cuma ada Bunny yang sedang
bermain piano. Aku akan biarkan Beth Ellen memandangnya sepuas hatinya, lalu
kita akan keluar dari sini.
Tepat pada saat itu, telepon yang terletak diatas bar berdering.
Bunny tidak berhenti bermain. Seseorang akan datang, pikir Harriet, dan sebagai
mata-mata yang baik, dia bersembunyi. Masalahnya, tidak ada tempat lain untuk
bersembunyi selain tempat pendingin bir itu.
Harriet mengendap-endap kesana, mengangkat tutupnya dan masuk. Dia membuat
keributan besar di atas botol-botol bir itu dan sepatu kanvasnya jadi basah,
tapi itu tidak bisa dihindari. Dia menarik tutup kotak itu kearahnya, menyisakan
sedikit ruangan untuk bernapas, dan memikirkan apa yang sedang dilakukan kedua
temannya. Bunny berhenti bermain dan menjawab telepon. "AGATHA, Sayang!"
teriaknya. Sepertinya dia selalu berteriak. "Ya, Sayangku, aku baru saja kembali
dan gereja. Aku sedang membuat sesuatu di sini ... berlatih, ya."
Agatha, pikir Harriet ; kenapa nama itu kedengarannya akrab" Dia memikirkan
dengan tegang apa yang sedang dilakukan Beth Ellen dan Janie sekarang.
Beth Ellen, meskipun setengah mati ingin memandang Bunny, sudah menjatuhkan diri
dan menelungkup ketakutan di lantai bar. Janie, yang dikalahkan oleh
keingintahuan ilmiahnya, hanya berdiri dan memandang Bunny. Punggung Bunny
menghadap Janie. Dia begitu asyik dengan percakapannya sehingga tidak menyadari
kehadiran Janie, jadi Janie berjongkok kembali sesudah melihat sedikit.
"Yah, tentu, Sayang, ya ... jangan khawatir tentang Bunny tua ini, Sayang, aku
akan mengurus hal ini. Aku cuma akan bilang pada mereka kalau Nyonya Plumber
menyuruhku untuk menagihnya."
Nyonya Plumber!. Harriet hampir berdiri dan berteriak. Bunny sedang bicara pada
Agatha Plumber. Harriet tidak memercayai pendengarannya. Agatha Plumber adalah
salah satu orang yang paling istimewa yang dimata-matai Harriet sepanjang musim
dingin lalu (Baca: Harriet si Mata-Mata). Dia seorang wanita tua kaya yang
tingkahnya tak keruan dan selalu berusaha mencari-cari sesuatu yang menarik
untuk dikerjakan. "Yah, Sayang, aku memang berpikir bahwa kau seharusnya mengurusi beberapa hal di
sini sekali-sekali ...Ya, aku tahu ... Tapi, kami harus ingat, di sini tidak ada
manajer ... Yah, aku tahu pria itu sudah menghilang ... Tapi, aku sudah
menjalankan klub-klub di seluruh dunia, Agatha, diCapri, di Roma, Paris, New
York, dan-aku melakukan apa yang aku bisa di sini, tapi Agatha, kamulah
PEMILIKNYA!" suara serak Bunny yang seperti kodok menjadi makin samar bersama
tiap teriakan. Harriet duduk terpana di atas es. Agatha Plumber adalah pemilik tempat ini"
"Sayang, aku dan istriku menjalankan sebuah klub seperti mesin yang sudah
panas ... Aku tidak peduli ...Ya, pecat saja aku ... Aku tidak peduli ...Kamu
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjalankan tempat ini seperti kereta dorong!" Bunny membanting telepon dan
sambil mengentakkan kaki kembali ke piano.
Musik yang garang dan menggelegar memenuhi ruangan saat dia duduk.
Bunny bermain piano dengan marah. Dia bermain dengan sangat keras sampai papan-
papan lantai bergetar. Harriet keluar dari kotak pendingin itu dengan memanfaatkan suara piano yang
menggelegar. Dia memberi isyarat pada Janie, yang sedang berlutut dengan tenang,
dan pada Beth Ellen, yang sedang memandangnya dan lantai. Mereka mengendap-endap
mengikutinya. Harriet berlari seperti burung yang kebasahan menuju ruang utama, sepatu
kanvasnya basah kuyup. Kedua temannya berlari mengikuti jejaknya yang becek dan
sebentar kemudian mereka semua sudah berada di luar.
"Ya Tuhan," kata Harriet ; "pergelangan kakiku membeku." Saat mereka berjalan
melintasi halaman depan, mereka mendengar telepon di bar berbunyi kembali.
"Kasihan Bunny," kata Beth Ellen. "Dia harus mengerjakan semuanya."
Harriet memandangnya. Dia bersiap-siap untuk mengolok-olok Beth Ellen, lalu
membatalkan niatnya. "Mungkin begitu, jika pemiliknya seperti Nyonya Plumber,"
ujarnya dengan nada penting.
"Siapa dia?" tanya Janie.
"Oh, cuma seorang wanita yang kukenal di New York," kata Harriet acuh tak acuh.
Mereka menaiki sepeda. "Apakah Bunny ...sudahkah Bunny ...?"
Beth Ellen, putus asa, ingin sekali mengetahui sesuatu tentang Bunny dan Agatha
Plumber, tapi tidak tahu bagaimana mengatakannya.
"Wah," kata Harriet , terpukau oleh ide itu, "Aku nggak tahu!"
Beth Ellen terhenyak. Mungkin si Agatha ini akan menikahi Bunny dan membawanya
pergi. "Ayo," kata Harriet. "Mari kita pergi ke rumah Mama Jenkins." Dia mendorong
sepedanya. Janie dan Beth Ellen mengikuti.
Meskipun sekarang matahari bersinar terik, mereka mengayuh dengan sangat cepat
dan dengan segera mereka memasuki jalan mobil di halaman rumah keluarga Jenkins.
Keheningan yang aneh melingkupi rumah itu. Mereka berhenti di belakang dan
melihat garasi yang kosong.
Kuah raksasa itu sedang mendidih dengan hebat, tapi tidak ada seorangpun yang
mengawasinya. Kebanyakan semangka itu sudah tidak ada, tapi yang masih tersisa
cukup untuk memberi makan ribuan orang.
"Apa ITU?" tanya Janie. Dia meletakkan sepedanya di tanah dan mendekat untuk
melihat kedalam kuah. "Kamu tahu, ini bisa menimbulkan kebakaran." Janie
mengintip ke dalam campuran yang sedang bergolak itu.
Harriet sudah menaiki tangga belakang dan mencoba membuka pintu belakang.
"Dikunci," ujarnya yakin. "Mereka nggak ada di sini."
"Ini obat untuk jari kaki," kata Beth Ellen pada Janie.
"APA?" Janie tampak heran. "Itu menggelikan. Bagaimana kamu bisa membuat obat
jari kaki dari semangka?"
"Yah, aku nggak tahu, tapi, memangnya kamu pernah mencoba?"
tanya Harriet cerdas. "Huh!" kata Janie.
"Ayo," kata Harriet. "Mereka sudah pergi kesuatu tempat." Dia menaiki sepedanya
dan meluncur keluar dari jalan mobil di halaman rumah itu. Janie dan Beth Ellen
mengikuti. "Ayo kita kepantai!" Harriet berteriak pada mereka.
Janie memakai topi anyaman lebarnya seolah-olah kanker akan menyerangnya sebelum
dia sampai di sana, lalu mereka bersepeda di tengah hari yang terik.
11 Bisnis Toilet Bekas Mereka bertiga duduk di pantai setelah berenang cukup lama. Janie sedang membaca
jurnal kimia dan Beth Ellen sedang memandangi lautan.
Harriet sedang mengerjakan cerita tentang Bunny. Dia sudah memutuskan bahwa
Bunny telah dibesarkan oleh seorang bibi yang sangat tua karena orang tuanya
menghilang. Harriet berencana, jika dia tidak berhasil menangkap si penulis
pesan sampai akhir musim panas nanti, dia akan menjadikan Bunny sebagai
penjahatnya. Supaya hal ini bisa dipercaya, Harriet memutuskan untuk menjadikan
Pak Pendeta sebagai ayah Bunny yang telah lama menghilang. Dia menggigit-gigit
pensilnya dan memikirkan tentang ini. Bunny sama sekali tidak mirip Pak Pendeta,
itu saja kekurangannya. Mungkin lebih baik kalau Agatha ternyata adalah ibu
Bunny, atau biarkan saja Agatha menikahi Bunny dan semuanya berakhir dengan
bunga-bunga putih dan orkestra pernikahan.
Itu sebuah masalah. Harriet menggigit-gigit pensilnya dan memandangi sekeliling pantai.
Untuk hari sepanas ini, pantai tidak terlalu penuh. Dia menoleh dan memerhatikan
segala arah. "Hei!" ujarnya tiba-tiba dan menunjuk ke puncak bukit pasir di belakang mereka.
Beth Ellen menoleh dan mengikuti pandangan Harriet. Matanya melebar.
Janie mendongak dengan jengkel. "Nggak bisakah kita menikmati sedikit kedamaian
dan keheningan disini?"
"Nggak ada seorang pun yang bicara selama sejam," semprot Harriet, matanya tidak
pernah meninggalkan bukit itu. Di seberang bukit pasir, Mama Jenkins berjalan
seperti raksasa yang sedang mencari makanan. Norman dan Jessie Mae berjalan
tersandung-sandung di belakangnya. Magnolia tampak seperti titik yang sedang
menggeliat-geliat. "Dengar, Beth Ellen," kata Harriet, "ini kesempatan kita."
Beth Ellen memandangnya dengan terkejut dan Janie menarik topinya menjauhi
matanya dan menyembunyikan hidungnya di balik jurnal. Mereka terbiasa pada
kelakuan gila Harriet . Harriet menarik buku mata-matanya dan menulis:
Saat mereka sedang berenang, mungkin aku bisa memeriksa barang-barang mereka dan
siapa pun yang memiliki krayon merah pasti si penulis pesan. Mungkin aku bisa
membiarkan Bunny memecahkan kasus ini di ceritaku, menjadikan dia seorang
detektif dan nggak ada seorang pun yang tahu tentang hal itu. Tapi, bagaimana
aku bisa membuatnya memecahkan kasus ini kalau aku sendiri nggak bisa
memecahkannya" Harriet mengamati mereka berjalan melewati pasir di puncak bukit pasir itu.
Norman membawa semua handuk dan Jessie Mae menjinjing keranjang piknik yang
sangat besar. Mama Jenkins tidak membawa apa-apa. Magnolia kerepotan karena
beratnya dinosaurus karet besar berwarna hijau yang dia bopong.
"HEI!" kata Harriet dan berteriak-teriak terus sambil berlari menyeberangi pasir
menuju mereka. Akhirnya, mereka mendengarnya dan Mama Jenkinsberhenti, diam
seperti batu. Ketika akhirnya keluarga Jenkins sampai ke bawah bukit pasir,
Harriet berteriak, "Kenapa kalian nggak duduk di sini saja" Dekat air lebih
sejuk." Mama Jenkins memandang ke bawah, ke arahnya, dan tertawa.
"Hai," kata Jessie Mae dan Norman mengumpat. Magnolia terkekeh.
"Ayo ke bawah sana, Mama," kata Jessie Mae.
Mama Jenkins tertawa dan meluncur menuruni bukit pasir itu. Dia mengenakan
pakaian hitam yang tampaknya selalu dia kenakan, tapi itu tidak menghentikannya
untuk meluncur di tengah longsoran pasir sampai ke dasar bukit. Dia hampir saja
menghantam Harriet ketika mendarat, tapiHarriet sudah meloncat untuk menghindari
tubrukan dengan sisa keluarga Jenkins, yang datang dengan semrawut setelah ibu
mereka. "Nah, Anak Ayam, di mana tempat yang nyaman itu?" tanya Mama Jenkins.
"Di sebelah sini, di tempat kami," kata Harriet sambil berpikir saat dia
melakukan itu, Janie akan membunuhku.
Mama Jenkins memimpin mereka berjalan terseok-seok melewati pasir menuju Janie
dan Beth Ellen, yang mengawasi langkah-langkah mereka yang mendekat dengan mulut
menganga. "Sepertinya di sini lebih sejuk," kata Mama Jenkins, menjatuhkan diri di samping
Janie yang memandangnya dengan wajah sengsara, lalu mengubur dirinya di bukunya
lagi. Norman, Jessie Mae, dan Magnolia seolah-olah langsung memenuhi tempat itu,
membentangkan handuk dan mengeluarkan semua barang mereka dari keranjang besar
itu. Mama Jenkins seperti tidak peduli soal handuk, tapi langsung duduk di atas
pasir. "Jessie Mae, ini Janie. Janie, ini Mama Jenkins dan Norman dan Jessie Mae dan
Magnolia, dan kalian kenal Beth Ellen." Harriet melakukannya cepat karena dia
mulai berpikir, apa yang bisa dilakukan Janie.
"Hai, Kamu-Kamu," kata Jessie Mae dengan sikap ramah. Magnolia mengambil paha
ayam dari keranjang piknik, lalu memakannya. Norman berlari menuju laut. Mama
Jenkins mengangguk pada mereka dan mengipasi dirinya dengan sebuah buku. "Panas
banget, ya?" "MAMA!" jerit Jessie Mae begitu keras hingga mereka semua terloncat, "jangan
lakukan itu. Itukan Kitab Suci!"
Mama Jenkins memandang takjub pada Alkitab yang dia gunakan untuk mengipasi
dirinya. "Oh, ya. Kenapa benda ini ada di sini?" Jessie Mae merampasnya, tapi
Mama Jenkins menggodanya dengan terus memegang buku itu. "Tapi, ini kipas yang
bagus banget," kata Mama Jenkins dan menyemburkan tawa yang membuat Janie duduk
tegak. Jessie Mae melompat mendekati Mama Jenkins, tapi dia hanya membuka Alkitab itu
dengan tangan. "Lihat ini," ujarnya sambil membaca,
"Diberikan pada Sekolah Minggu Saint John untuk mengenang Nona Eulalee Banks.'
Siapa si Eulalee ini, Jessie Mae?"
Jessie Mae merampas Alkitabnya dan sekarang berkata dengan kesal, "Mama ingat,
dia anak kecil yang hangus terbakar itu."
"Oh, ya, aku ingat sekarang, anak perempuan Harvey Banks itu, menyalakan terlalu
banyak korek api, langsung hangus terbakar." Sambil berkata begitu, dia tampak
seperti sama sekali menjadi tidak tertarik dan memberikan buku itu pada Jessie
Mae. Jessie Mae langsung menyambarnya, seolah-olah itu satu-satunya hartanya.
Harriet memerhatikan semuanya dengan liar, pandangannya berpindah dan satu
pemain ke pemain lain dalam pertandingan tenis ini.
"Bukan bukunya yang suci, Jessie Mae," kata Mama Jenkins dengan nada bosan. "Isi
bukunya yang suci." Jessie Mae berdiri mematung. Harriet, Beth Ellen, dan bahkan Janie memandangnya,
menunggu reaksi berikutnya.
"Aku akan berenang," kata Mama Jenkins dan mengangkat dirinya untuk berdiri.
"Ayo Magnolia, aku akan membawamu berenang." Tanpa basa basi, dia mengangkat
Magnolia ke bahunya dan berjalan menuju air.
"Dia masih memakai baju!" kata Harriet, terkejut.
"Mama nggak pernah memakai baju renang; dia terlalu gemuk,"
kata Jessie Mae, memandang Mama Jenkins dengan tatapan kalah.
Mereka terpana, seperti semua orang di pantai itu, saat Mama Jenkins berjalan
langsung ke laut dan masuk ke air. Magnolia bertepuk tangan kegirangan saat Mama
Jenkins berjalan terus dengan langkah mantap.
"Wah!" kata Harriet , yang tidak bisa mengomentari pemandangan itu. Jessie Mae
duduk, meluruskan handuknya, dan tampak muram.
Harriet memerhatikannya dengan mata yang setengah terpicing, berpikir. Orang
aneh macam apa yang membawa Alkitab ke pantai" Pasti dia yang meninggalkan semua
pesan itu. Siapa lagi yang cukup gila untuk melakukannya" Tapi, bagaimana aku
bisa menangkapnya" Norman kembali ke handuk-handuk itu, mengaduk aduk keranjang piknik, dan mulai
memakan apa saja yang dia lihat.
"Norman, tanya pada mereka kalau-kalau mereka mau. Jangan rakus," kata Jessie
Mae, dan ketika Norman tidak berkata apa-apa, dia memandang mereka bertiga.
"Kamu-kamu mau ayam goreng" Ada banyak untuk semua orang. Mama membuat cukup
banyak untuk satu batalion."
Harriet memandang Norman yang sedang mengunyah dan berpikir, itu batalionmu.
Janie menjulurkan lengannya yang kurus seolah-olah Jessie Mae akan menggigitnya.
Jessie Mae memberinya beberapa potong ayam. Beth Ellen dan Harriet menolak.
Jessie Mae mengunyah paha ayam dengan perhatian terpecah dan memerhatikan Mama
Jenkins berada dalam air. Jessie Mae duduk dekat Harriet, jadi dia berkata pelan
padanya. "Aku nggak yakin, tapi Mama seharusnya memakai baju berenang di sini.
Lagi pula, kami nggak lagi di Mississippi."
Norman duduk di sampingnya. "Kenapa?" ujarnya dengan mulut penuh. "Lebih murah
seperti ini." "Uang bukan segalanya, Norman," kata Jessie Mae dengan nada yang membuat Harriet
berpikir kalau dia bersikap judes cuma karena Harriet ada disitu. "Aku cuma
nggak yakin kalau memakai baju hitam di air adalah cara yang normal."
"Kenormalan juga bukan segalanya," cela Norman dan menjulurkan tangannya sekali
lagi ke dalam keranjang piknik.
Sekarang Mama Jenkins sudah keluar dari air, bergerak seperti mobil perang hitam
melewati kumpulan orang yang mendongak dengan pandangan takjub. Baju hitamnya
menempel basah kuyup pada tubuhnya yang bergumpal-gumpal. Rambut cokelatnya
terjurai basah menutupi wajahnya yang berbintik-bintik. Tapi, wajahnya sangat
ceria dan Magnolia sedang berteriak-teriak karena senang.
Beth Ellen memerhatikan seluruh pemandangan itu dengan mata membelalak. Ada
sesuatu dalam keramahan sekaligus kekasaran mirip beruang dari keluarga Jenkins
yang membuatnya merasa gugup. Dan, entah bagaimana, takut. Mereka membuatnya
ingin bersembunyi supaya mereka tidak melihatnya secara mendadak dan memaksanya
memainkan permainan yang liar dan bebas. Beth Ellen memandang ke arah Janie,
yang diam-diam sedang memerhatikan setiap orang dari balik topi lebarnya. Dia
tahu Janie tidak takut karena Janie tidak takut pada apa pun. Harriet sudah
pasti tidak. Harriet mirip keluarga Jenkins, selalu langsung melakukan sesuatu
dan berpikir kemudian. Jessie Mae sendiri tidak terlalu buruk, pikirnya; tapi
anggota keluarganya yang lain. Dia memerhatikan Norman makan. Luar biasa,
pikirnya. Taruhan, aku tidak makan sebanyak itu selama seminggu.
Jessie Mae sekarang duduk di sampingnya dan memandangnya dengan ramah. "Yakin
kamu nggak mau" Enak banget, lho."
"Nggak, terima kasih," kata Beth Ellen.
Harriet mencondongkan kepalanya untuk menguping pembicaraan mereka.
Sekarang, Norman dan Mama Jenkins sedang memulai lomba berteriak di atas kepala
orang-orang. Mereka seolah-olah tidak menyadari kalau ada orang lain.
"Aku beri tahu, Nak," teriak Mama Jenkins, menyambung pembicaraan sebelumnya,
"selama kau hidup denganku, kau harus bekerja, dan itu akhir dari segalanya."
"Aku nggak mau!" teriak Norman.
"Kupikir kau mau uang!" teriak Mama Jenkins, mengeringkan wajahnya.
"Tepat sekali!" kata Norman, sambil menggigit besar sepotong kue kemiri.
"Norman, tutup mulutmu." Jessie Mae tampak seperti sebatang pensil yang marah.
"Nggak ada alasan mengapa kita dibayar. Mama juga ingin dibayar, dan Mama akan
menghasilkan uang dan kemudian kita semua akan menghasilkan uang."
"Hei, kau dengar, ya!" teriak Norman tepat dimuka Jessie Mae. "Kau nggak tahu
apa-apa. Aku sudah mendapat 25 sen dari satu toilet di tempat itu sampai di
Bridgehampton, tempat mereka menghancurkan hotel tua itu Mukanya tampak jelas
menjadi merah, sepertinya dia tidak berniat mengatakan semua ini.
"Ap-a-a?" Mama Jenkins tidak bisa mengatakannya tanpa tertawa.
Mulut Jessie Mae menganga. Bahkan, Janie tidak bisa menahan senyum bengalnya dan
duduk tegak supaya bisa mendengarkan lebih baik.
"Ceritakan padaku tentang ini," kata Mama Jenkins. Sepertinya dia tidak marah.
Sebaliknya, dia seperti menunjukkan ketertarikan yang dalam dan lembut.
"Ya-a-h"-Norman membenamkan kakinya ke pasir "aku melihat mereka sedang
menghancurkan hotel tua di pinggir jalan raya itu. Aku melihat semua toilet itu
dan bertanya pada tukang di sana kalau aku boleh membelinya, 5 sen untuk satu
toilet ..." Mama Jenkins tertawa keras. "Jadi, kau sudah mendapat keuntungan 25 sen untuk
tiap toilet" Bagaimana kau mengangkut toilet-toilet itu?"
Muka Norman tampak jadi lebih merah. "Yah, aku memakai gerobak dan mengaitkannya
ke sepeda Jessie Mae-"
"Jadi ITU sebabnya sepeda itu sudah rusak lima kali" Aku harus menghajar
kepalamu!" Mama Jenkins tampak murka.
Jessie Mae menahan napas. "Kenapa kau nggak memakai sepedamu sendiri, Anak
Nakal?" "Dengar," kata Norman sungguh-sungguh, "aku sedang berbisnis.
Itu angkutanku. Aku harus punya itu supaya bisa bergerak. Kau hanya memakainya
untuk bersenang-senang. Lagi pula, aku nggak punya uang untuk membetulkannya."
"Huh, kupikir itu jahat," kata Jessie Mae.
"Kupikir juga begitu," kata Harriet, dan semua orang menatapnya seolah-olah
mereka sudah lupa dia ada di sana.
"Pakai sepedamu sendiri," kata Mama Jenkins singkat. Kemudian, tiba-tiba, tanpa
penjelasan dia tersenyum pada Norman. "Wow, aku kagum! Kau membawa toilet-toilet
itu ke tukang loak, dan kau mengambil keuntungan 20 sen dari tiap toilet?"
Norman mengangguk bangga.
Mama Jenkins mengentakkan kaki ke handuk dan memukul punggung Norman seperti
yang biasa dilakukan seorang lelaki pada lelaki lain. Dia dan Norman saling
menatap dengan cara yang konyol untuk waktu yang cukup lama. Lalu, Mama Jenkins
mendongakkan kepalanya dan mengeluarkan teriakan senang. "Wah," ujarnya
tersenyum lebar, "kau memang anakku. Selalu mencari sedikit keuntungan. Nah, hebat bukan" Kupikir
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keuntunganmu lebih besar daripada keuntunganku.
Kupikir lebih baik kalau aku berbisnis toilet!" Dia memukul Norman sekali lagi
dan Norman tampak lebih konyol lagi. Kemudian, Mama Jenkins melangkah di atas
keranjang piknik dan menyanyi, "Ayo, anakku, anak kurus, kuajarkan cara hidup!"
dan dia mulai membagikan makanan pada semua orang, tidak peduli mereka mau atau
tidak. Beth Ellen memandang Jessie Mae dan berpikir, kurasa aku tidak akan melupakan
ekspresi diwajahnya, seumur hidupku.
12 Api Unggun Saat senja tiba, setelah berpisah dari keluarga Jenkins, mereka bertiga
bersepeda menuju rumah Harriet untuk piknik di pantai. Tak lama kemudian, mereka
meluncur menuruni bukit yang menuju pondok Harriet. Pondok itu terletak di kaki
bukit dan berada tepat di Teluk Mecox.
Mereka meluncur turun, melintas bebatuan di halaman pondok, dan Beth Ellen yakin
dia akan jatuh terjerembab. Ternyata tidak.
Mereka berhenti dan mendorong sepeda mereka. Janie berdiri sejenak memandangi sekawanan angsa di
danau. Di bawah sinar matahari sore, mereka tampak seperti sedang mengadakan
pertemuan penduduk desa. "Lihat," kata Janie. "Lihat yang besar itu di depan" Ia pemimpinnya.
Mereka semua mengikutinya."
"Mmmm," kata Harriet, tidak peduli sedikit pun.
"Oh, ya?" kata Beth Ellen, sambil berpikir bahwa pemimpin angsa itu tampak agak
mirip dengan Harriet . Mereka naik ke atas dek. Tuan Welsch sedang berbaring, sepertinya sedang tidur
pulas di sebuah kursi dek, dan hanya mengenakan celana pendek dengan sehelai
surat kabar di atas perutnya. Nyonya Welsch duduk di atas kasur angin sambil
mengoleskan krim anti sinar matahari.
"Ibu sedang apa" Tidak ada matahari," Harriet berkata sangat keras sehingga
membangunkan ayahnya. "Aku mengoleskan krim setelah berjemur. Hai, Janie. Hai, Beth Ellen; nenekmu
bilang kamu boleh ikut makan malam. Hai, Sayang, sini cium aku. Harimu
menyenangkan?" Nyonya Welsch tersenyum manis.
Harriet membungkuk dan mencium pipi ibunya yang berbau krim anti matahari dan
mendadak dia merasa bersyukur. Dia bersyukur karena dia bukan Beth Ellen dengan
seorang ibu asing yang akan segera datang, atau Janie, dengan ibu yang sinis,
atau Jessie Mae, dengan ibu yang memiliki segala keanehan seperti Mama Jenkins.
Dia begitu bersyukur sehingga dia berlari dan meloncat langsung ke atas perut
ayahnya. Ayahnya terduduk sambil menjerit, "Ooooohh," dan sambil menarik Harriet,
memberinya pelukan. "Nah, nah," Tuan Welsch bergumam, lalu menguap.
"Ayah, apakah kita harus mendirikan tenda?" ujarnya sambil melompat-lompat.
"Sudah selesai. Kamu kira, kenapa aku tidur disini seperti orang mati" Kerja
sepanjang minggu, dan apa yang Ayah kerjakan akhir pekan"
Mendirikan tenda!" Dia tersenyum pada Janie dan Beth Ellen, dan mereka balas
tersenyum. Mereka menyukai Tuan Welsch. "Aku kenal kamu, Janie.
Tapi, kamu siapa?" Tuan Welsch bertanya pada Beth Ellen, yang tampak seperti
akan pingsan karena malu.
"Ini Beth Ellen Hansen," kata Nyonya Welsch.
"Betulkah kamu-?" Tuan Welsch memandang penasaran pada Beth Ellen. "Kamu anak
Zeeney Hansen?" Beth Ellen mengangguk. Sepertinya begitu, pikirnya.
"Dengar," kata Nyonya Welsch sedikit terburu-buru, "kupikir kalian sebaiknya
memakai celana panjang. Udara mulai dingin dan akan bertambah dingin lagi nanti.
Harriet , pinjamkan Beth Ellen celana panjang punyamu. Kamu membawa celana
panjang kan, Janie?"
Perhatian Harriet tidak begitu mudah dialihkan. "Zeeney akan pulang kembali!"
ujarnya pada ayahnya, membuat Beth Ellen kecewa, yang ingin agar pembicaraan itu
segera dihentikan. "Datang dari mana?" tanya ayahnya.
"Aku nggak tahu dari mana ...." Harriet tergagap.
"Eropa," kata Beth Ellen dengan suara kecil.
"Bisakah kau lebih spesifik?" kata Janie, yang selalu kesal oleh ketidak
tepatan. "Athena," kata Beth Ellen berbisik.
"Ayo, Sayang," kata Nyonya Welsch pada Beth Ellen yang merasa bersyukur, "mari
kita cari celana panjang untukmu." Nyonya Welsch menuntun Beth Ellen melalui
pintu menuju rumah. Janie mengikuti.
Harriet masih di sana, menatap ayahnya, yang sedang memandangi teluk. "Ada apa,
Harriet?" tanya Tuan Welsch setelah beberapa saat terdiam.
"Ayah kena! Zeeney ini?" tanya Harriet dengan suara tenang yang biasa dia
gunakan untuk memaksa orangtuanya bicara.
"Yah kata Tuan Welsch, memandangi air seolah-olah setengah sadar.
"Yah ... APA?" tanya Harriet keras, berusaha membangunkannya.
"Aku kenal dia," jawab Tuan Welsch sambil menerawang, "bertahun
... tahun ... yang lalu."
"Seperti apa dia?" desak Harriet .
"Yah ..." kata Tuan Welsch.
Harriet menunggu. "Yah ...." Tuan Welsch berkata lagi.
"Yah, yah-tidak bisakah Ayah mengatakan hal lain selain 'yah'" Ada apa sih
dengan 'yah .. yah' terus-menerus?" Harriet lupa, dia sedang bicara pada
ayahnya. Tuan Welsch masih memandangi air. "Yah, dia ...dia wanita yang agak aneh, itu
saja." Nyonya Welsch baru keluar menuju dek saat Tuan Welsch mengatakan kalimat yang
terakhir. "Apakah dia si Zeeney kecil dan kurus yang sering bermain tenis
denganmu?" tanyanya pada Tuan Welsch.
"Ya," kata Tuan Welsch. Dia bangkit dan sepertinya sudah siuman.
"Seperti apa dia, Ayah?" tanya Harriet bersikukuh.
"Wanita yang agak ... urakan, menurutku, bukan begitu, Sayang?"
Nyonya Welsch menatap Tuan Welsch.
Tuan Welsch mengangguk dan tersenyum.
"Lucu bukan?" kata Nyonya Welsch, dan Harriet menahan napas.
"Lucu bukan" Pada hari-hari tertentu, angsa-angsa ada di mana-mana di sekitar
teluk, tapi pada hari-hari lain mereka sama sekali menghilang."
"Ya," kata Tuan Welsch. "Ke mana perginya mereka?"
"Cuma itu yang kalian mau katakan?" Harriet memekik putus asa.
"Tentang apa, Sayang?" tanya Nyonya Welsch datar. "Oh, aku harus mulai
mencairkan mentega!" Dia melompat dan pergi ke dalam.
Harriet kesal. Dia duduk di pegangan dek dan memandang teluk dengan marah.
Kenapa sih, pikirnya, hal yang paling menarik di dunia selalu disembunyikan dari
anak-anak" Tidak adakah cara untuk memaksa orangtua untuk berkata jujur" Mereka
selalu menyuruh kita untuk berkata jujur, lalu mereka sendiri jelas-jelas
berbohong. "Sebenarnya, dia bukan wanita yang sangat menarik, Harriet," kata Tuan Welsch,
yang masih memerhatikannya. "Dia tidak pernah memikirkan apa-apa selain pakaian,
pria, dan uang. Orang-orang seperti itu selalu membuatku bosan."
Harriet memandangi ayahnya dengan kekaguman baru. Bukan saja dia sepertinya
membaca pikirannya, tapi dia juga sepertinya mengatakan hal-hal yang masuk akal.
Apakah itu muslihat" Apakah sebenarnya ada lebih banyak hal yang perlu diketahui
tentang wanita ini" "Ayah kenal Wallace?" tanyanya.
"Siapa?" "Suaminya. Suami Zeeney."
"Oh. Tidak." Tuan Welsch berbalik seolah-olah ia merasa tidak nyaman.
"Tidak, aku tidak kenal Wallace, tapi kubayangkan, dia pasti mirip dengan
Bernard, atau Mano, atau Alfred, atau orang-orang sebelum mereka."
"Oh," kata Harriet, agak terkejut dan merasa kurang nyaman setelah sekarang
seseorang benar-benar bicara padanya seperti orang dewasa. Apa yang orang
katakan pada hal-hal seperti ini" Ayahnya tampak penat. Apakah seseorang tampak
penat dan berkata, "Oh, ya, mereka semua sama," sambil berpaling lewat bahunya"
Harriet tidak berkata apa-apa. Dia duduk di sana, malu, dan tidak tahu harus
berkata apa. "Aku tidak akan memusingkan kepalaku dengan orang-orang seperti itu," lanjut
ayahnya, "dan ada banyak orang seperti mereka di luar sana. Tapi, mereka tidak
benar-benar menarik. Mereka selalu melakukan hal yang sama dan mereka benar-
benar membosankan." Apakah ini sebuah kepura-puraan" Apakah ini dirancang untuk mengalihkan
perhatiannya dari sesuatu yang sebenarnya sangat menarik"
Harriet berdebat. Pasti ada suatu cara untuk mengetahui, apakah ayahnya benar-
benar berpikir kalau mereka menarik. Itu berarti dia berbohong. Atau, apakah
ayahnya benar-benar berpikir kalau mereka itu membosankan"
"Bagaimana ... eh, bagaimana ayah bisa kenal Zeeney?" Ini berbahaya dan Harriet
tahu itu. Ini bisa membuat ayahnya menutup mulut rapat-rapat. Tapi, dia harus
mengambil kesempatan. "Oh, bertahun-tahun yang lalu, sebenarnya, di klub. Sering bermain tenis
dengannya. Tapi, bahkan saat itu pun, dia jarang berada di sini. Dia selalu
pergi ke Eropa sepanjang waktu. Sekolah di Eropa, seingatku. Apa pun yang dia
pelajari, berani taruhan, pasti tidak banyak." Ayahnya mengatakan hal ini dengan
setengah melamun, yang tidak bisa Harriet artikan. Tuan Welsch selalu agak
melamun setiap kali akhir pekan pada musim panas, tapi yang satu ini bisa jadi
lamunan khusus yang berhubungan dengan Zeeney.
"Apakah dia bodoh?" tanya Harriet .
"Yah, tidak, dia ........" katanya memulai dan kemudian menoleh dan menatap
langsung pada Harriet, lalu berkata, "Ya. Ya, dia wanita bodoh."
Untuk beberapa alasan, ini membuat Harriet ingin menutup mulutnya soal Zeeney.
Sesuatu yang sangat kuat sedang berlangsung di dalam diri ayahnya. Tuan Welsch
menunjukkan tanda-tanda seseorang yang tidak ingin membahas sesuatu. Contohnya,
dia terus memalingkan wajahnya. Harriet sudah lama menyadari bahwa setiap kali
orang-orang tidak ingin membahas sesuatu, mereka selalu memalingkan muka seolah-
olah berusaha menyeretmu agar berpindah pada pokok pembicaraan yang lain.
"Yah," kata Harriet , "ini hari yang indah."
"Ya," kata ayahnya yang jelas tampak lega. "Hari ini sempurna untuk piknik di
pantai." Tuan Welsch tertawa dan menatap mata Harriet.
Setelah itu, Nyonya Welsch keluar, diikuti oleh Janie yang sudah memakai jeans
dan Beth Ellen yang memakai jeans Harriet. "Oh, aku sudah tidak sabar!" kata
Nyonya Welsch. Kapan panggangannya siap" Kita punya lobster dan kerang dan remis
dan jagung, dan bayangkan saja bagaimana rasanya!"
"Horeee!" teriak Harriet , Janie, dan Beth Ellen tampak senang.
"Tidak lama lagi," kata Tuan Welsch sambil bangkit. "Aku akan ganti baju, lalu
kita lihat pemanggangnya. Dengar Harriet, lebih baik kalian letakkan sepeda-
sepeda itu di garasi. Kalian tahu, bagaimana akibat udara bergaram pada mereka."
Tuan Welsch masuk ke dalam.
"Hei, Ibu ...." kata Harriet.
"Jangan bilang 'hei' pada ibumu," kata Nyonya Welsch, membersihkan asbak sambil
setengah melamun. "Begini, bolehkan Beth Ellen menginap di sini?"
"Tentu saja, Sayang," kata Nyonya Welsch, tersenyum pada Beth Ellen, yang
tersenyum sambil menatap lantai. "Aku sudah bertanya pada Nyonya Hansen dan
katanya boleh saja."
"Oh, asyik," kata Harriet, memerhatikan Beth Ellen tersenyum lebar ke arah
tanah. "Ayo," kata Janie, "hidroksida asam besi adalah setan yang harus disingkirkan."
Janie langsung melompat dari dek.
"APA?" kata Harriet, mengejarnya. "Karat," kata Janie sok, "akibat logam terkena
sodium klorida. Sebenarnya, kombinasi oksida besi dengan hidroksida besi
cenderung menimbulkan noda di mana-mana. Apa kamu sudah melihat kromdi mobil-
mobil di sana?" "Aku nggak bisa bilang kalau aku sudah," kata Harriet sambil mendorong sepedanya
dengan kencang menuju garasi.
Janie menyandarkan sepedanya di dinding dalam. Beth Ellen melakukan hal yang
sama. Harriet akan mengerjakan hal yang sama, ketika mendadak dia berteriak,
"LIHAT!" Dia berdiri membeku, memandang ke dalam keranjang sepedanya. "Itu
TERJADI!" " "Apa?" kata Janie."Ada apa?"kata Bethbersamaan.
Mereka menghampiri Harriet dan melihat ke dalam keranjang itu.
Ada sepotong kertas tergeletak di dasarnya.
"Aku sudah mendapat sebuah pesan!" kata Harriet bersemangat.
Dia mengambilnya seolah-olah benda itu sebuah perhiasan, lalu membaca keras:
DIA YANG TINGGI HATI AKAN MENIMBULKAN PERSELISIHAN
TAPI, DIA YANG PERCAYA AKAN DIKENYANGKAN OLEH TUHAN
"Apa itu?" teriak Harriet. "Apa maksudnya" Kenapa mereka ingin mengirimkan pesan
itu padaku?" "Maksudnya, kamu menimbulkan masalah karena kamu begitu sombong," kata Janie
singkat. "AHA!" kata Harriet. "Kamu lihat, mereka ingin menyingkirkanku dari kasus ini.
Yah, mereka boleh melihat! Aku tidak akan memercayai siapa pun selain diriku
sendiri." "Tepat, itulah maksudnya," kata Janie. "Kamu terlalu sombong.
Kamu akan jatuh terjerembab."
"Terlalu sombong untuk apa?" kata Harriet, yang tampak penasaran. "Selain itu,
coba lihat bagian ini, 'akan dikenyangkan.' Siapa yang mau dikenyangkan?"
"Kurasa maksudnya 'akan dimakmurkan,'" kata Beth Ellen dengan lembut.
"Oh, Beth Ellen, kamu tahu apa" Dengar, ya, taruhan, kalian berdua pasti bahkan
belum berpikir kalau satu-satunya orang yang mungkin meninggalkannya di sini
hari ini adalah Jessie Mae Jenkins!"
"Itu menggelikan," kata Janie. "Aku bisa saja meninggalkannya di situ, atau Beth
Ellen, atau si Norman atau ibu mereka yang gemuk itu atau bahkan anak kecil
itu." "Dia bahkan nggak bisa menulis'." kata Harriet meremehkan.
"Atau orangtuamu," kata Janie. "Otakmu sangat kacau. Ada banyak, variabel dalam
hal ini." "Buat apa orangtuaku melakukannya?" wajah Harriet menjadi sangat merah. "Kamu
sangat konyol!" dia berteriak pada Janie.
"Aku mungkin konyol, tapi aku pasti nggak langsung mengambil kesimpulan seperti
kamu," kata Janie judes dan keluar dari garasi.
"HUH!" kata Harriet keras.
"Apakah menurutmu," kata Beth Ellen dengan suara rendah,
"mereka ingin kamu berhenti berusaha mencari siapa yang meninggalkan pesan-pesan
itu?" "Tentu saja!" kata Harriet. "Janie belum lama menyelidiki kasus ini seperti
kita. Dia nggak tahu apa-apa. Ini adalah peringatan!."
Beth Ellen mengangguk serius.
"Jangan membahas lagi masalah ini dengan Janie. Dia nggak paham keseluruhan
kasus ini. Dan besok kita benar-benar mengurusi bisnis."
Harriet menepuk punggung Beth Ellen seolah-olah dia seorang inspektur polisi.
Mereka kembali ke dek. Harriet menyimpan buku catatannya dengan hati-hati di
sakunya. Janie sedang berdiri di dek. "Pokoknya rahasia. Kau harus bisu seperti
mumi," kata Harriet , menyikut Beth Ellen pelan. "Huh ... selalu saja kasak-
kusuk," kata Janie. Mumi ... mami ... Mama, pikir Beth Ellen.
"Yang lain mana?" tanya Harriet sambil tidak mengacuhkan Janie.
"Di luar, di sana," kata Janie.
Di seberang, di ceruk yang melengkung ke Teluk Mecox, mereka bisa melihat Nyonya
Welsch sedang melambai pada mereka dan Tuan Welsch sedang membungkuk di atas
pemanggang. "Ayo ke sana," kata Harriet , dan mereka berlari melintasi pasir.
Tuan Welsch sudah melepaskan terpal sehingga mereka hanya beratap langit. Dengan
bantuan penjepit, dia menumpuk bahan-bahan ke dalam keranjang-keranjang, lapis
demi lapis. Pertama jagung, direbus dengan kulitnya. Harriet mengambil selembar,
tangannya terbakar, lalu menjatuhkan jagung itu sambil berteriak.
"Tunggu," kata Nyonya Welsch, "tunggu saja."
Setelah itu, di atasnya diletakkan susunan kerang rebus, lalu sebaris remis,
jagung lagi, lalu lobster. Mereka hampir-hampir tidak bisa menunggu sampai
semuanya ditumpukkan tinggi di piring mereka. Ada sebuah mangkuk besar berisi
mentega, yang oleh Nyonya Welsch sudah dibagi-bagikan kedalam mangkuk untuk
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap orang. Mereka semua duduk melingkar di atas gelondongan kayu dan batu, mencelupkan
daging lobster, kerang, remis. Wajah mereka berlumuran mentega dan bibir mereka
tidak berhenti tersenyum. Semuanya terasa sangat lembut dan asapnya beraroma
nikmat. "Benar-benar asyik!" kata Janie, sambil menggigit jagung yang keempat.
"Yap!" kata Harriet .
Bahkan, Beth Ellen makan banyak. Mereka semua makan hingga kenyang. Harriet
berbaring telentang di atas pasir dan berpura-pura mati kekenyangan.
"Inilah asyiknya makan malam seperti ini," kata Nyonya Welsch,
"tidak ada piring-piring yang harus dicuci." Dia melemparkan piring kertasnya ke
api dengan santai dan memerhatikan benda itu terbakar.
Mereka semua melemparkan piring-piring mereka dan api unggun semakin berkobar.
Hari semakin gelap. Mereka berbaring, memandangi api yang menyala dan kegelapan
yang datang, semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, Nyonya Welsch menggeliat sedikit dan berkata,
"Kupikir aku akan berjalan-jalan sampai ujung ceruk. Ada yang mau ikut?" "Aku
mau," kata Janie dan melompat berdiri. "Harriet bilang, di sana ada kerangka
angsa!" "Memang ada," kata Nyonya Welsch. "Sini, aku akan membawa lampu senter dan
menunjukkannya padamu."
"Aku juga ikut," kata Beth Ellen perlahan dan bangkit.
"Aku nggak ikut," kata Harriet. "Aku makan terlalu banyak."
"Kamu akan dikenyangkan," kata Janie dan mendapat lemparan sepatu karena
keisengannya. Janie menghindar sambil tertawa.
"Aku akan mengawasi api," kata Tuan Welsch.
Mereka pergi. Harriet dan ayahnya memerhatikan bintang yang satu per satu mulai
muncul. "Ayah?" panggil Harriet setelah hening sesaat.
"Ya?" jawab Tuan Welsch.
"Apakah Ayah takut masuk neraka?"
"Entahlah, " kata Tuan Welsch, sambil mendongak ke langit. "Tapi, aku sudah
menganut sekumpulan nilai-nilai moral yang aku yakin, itu baik."
"Apakah Ayah yakin akan masuk surga?"
"Mmm ...... pertanyaan yang sulit, Harriet . Kenapa?" Tuan Welsch duduk di
sebuah gelondong kayu di atas kepala Harriet dan memandangnya dengan sangat
serius, sangat tulus. "Karena ... aku sedang memikirkan orang-orang yang sangat religius," Harriet
bergeser sedikit. Dia bertanya-tanya tentang hal-hal yang sudah dia pikirkan.
"Memangnya kenapa mereka?"
"Yah ... aku nggak tahu. Aku hanya memikirkannya. Apakah mereka benar-benar
bersungguh-sungguh?"
"Beberapa dari mereka. Beberapa tidak. Beberapa dari mereka hanya mengatakan
banyak hal dan tidak melakukan apa-apa. Semua bergantung pada orangnya. Biarpun
begitu, aku benar-benar berpendapat bahwa kita harus menghormati agama
seseorang, apakah kita menganutnya atau tidak."
"Maksud Ayah?" "Maksudku, jangan menertawakan agama siapapun karena bagaimanapun anggapanmu,
serius atau tidak, mereka menganggapnya serius. Dan lebih dari itu, orang-orang
yang cukup banyak berpikir sampai mereka akhirnya memilih suatu agama,
setidaknya harus dihormati karena memikirkannya. Tentu saja itu bisa jadi
jebakan. Beberapa orang tidak memikirkannya sama sekali, mereka hanya mengikuti
orang lain dan memeluk agama mereka tanpa berpikir sama sekali. Tapi, kamu tidak
boleh menertawakan mereka, melainkan mengasihani mereka."
Semuanya jadi semakin membingungkan. Sepertinya ayahnya selalu bicara seperti
ini-awalnya sangat jelas, dan semakin lama semakin membingungkan.
"Yah ... maksudku ... misalnya, sebagai contoh, seseorang memikirkan tentang
agama sepanjang waktu?"
"Itu bergantung pada hal yang mereka pikirkan."
"Yah ... maksudku, seperti orang fanatik."
"Sejujurnya , aku tidak pernah bisa memahami orang-orang yang fanatik, apa pun
bentuknya. Mereka cenderung berpikir untuk menghalalkan segala cara. Ayah tidak
pernah melihat orang fanatik yang tidak berpikir seperti itu, dan hal itu benar-
benar bodoh." Tuan Welsch tampak menjadi sangat kesal. "Bagaimana bisa" Kalau
tidak pernah ada akhir ... semuanya terus berlangsung dan terus berlangsung ...
selalu seperti itu, jadi kita semua hanya alat ... Aku hanya tidak bisa mengerti
kenapa orang tidak mengerti hal itu. Itulah yang menyebabkan semua masalah
sekarang ini." Ayah sedang bicara apa sih" Harriet agak bingung. Dia memutuskan untuk tidak
mengacuhkannya. "Apa Ayah hapal isi Kitab Suci?" tanya Harriet.
"Aku tidak hapal, tapi aku kadang-kadang membacanya, tentu saja.
Buku itu menakjubkan. Kalau kau ingin menjadi penulis, tidak ada buku yang lebih
bagus untuk dibaca."
Harriet hampir terjatuh ke dalam api. "Benarkah?"
"Pasti. Menurutku, puisinya tidak terkalahkan."
Sambil memulihkan dirinya, Harriet berusaha untuk berada pada jalur. "Apakah Ibu
membaca Alkitab?" "Kadang-kadang."
"Oh, ya?" Harriet terkejut sekali. Mengapa dia tidak pernah mengetahui hal ini"
"Apakah Ayah percaya keajaiban doa?" Harriet bertanya dengan bersemangat.
"Mmm ...... Aku tidak tahu. Tapi, aku percaya bahwa usaha keras disertai doa
akan membuat keajaiban. Aku tidak tahu apakah keajaiban hanya terjadi begitu
saja, cukup dengan doa," jawab Tuan Welsch.
"Apakah Ayah tahu apa yang diminta Ibu saat berdoa?" tanya Harriet .
"Aku tidak tahu," kata Tuan Welsch, tampak agak sengit. "Kupikir, doa seseorang
adalah hal yang privasi."
"Oh," kata Harriet sedikit terkejut mendengarnya. Bukankah orang yang menikah
tahu segala sesuatu tentang pasangannya" Jika tidak, apa alasannya" Dia
berencana untuk mengetahui segala sesuatu tentang pria yang akan dia nikahi
nanti. Harriet berpikir, dia sudah tahu segala sesuatu tentang Sport, jadi jika
dia menikahi Sport, dia tidak perlu banyak mencari tahu.
"Malam ini kamu banyak bertanya, ya?" Tuan Welsch bertanya sambil tersenyum.
Harriet berharap ayahnya tidak melakukan hal itu. Dia tidak tahu harus
berkomentar apa untuk hal-hal seperti itu: Ya, aku banyak bertanya" Tidak,
tidak, aku selalu banyak bertanya" ... Kalau anak lain akan tersipu-sipu atau
menggumamkan sesuatu, Harriet selalu mengatasi situasi seperti ini dengan
menatap mata si penanya dengan mata terbelalak. Hanya sedikit orang dewasa yang
bisa bertahan. Mereka memalingkan muka.
Tuan Welsch memalingkan muka. "Mereka datang," katanya memandang ke arah ceruk,
"dan, ya ampun, apa itu yang Janie bawa?"
"Itu mayat seekor angsa tua," kata Harriet . "Dia menyukai hal-hal semacam itu."
Harriet dan Tuan Welsch memerhatikan mereka berjalan menghampiri api unggun.
"Lihat!" kata Janie penuh kemenangan, menyodorkan kerangka itu melewati Beth
Ellen, yang menghindar ketakutan. "Hebat bukan?"
"Aku tidak tahu, Janie," kata Nyonya Welsch tertawa. "Aku tidak ingin melihat
wajah ibumu kalau kamu keluar mobil. Ini bukan perabotan baru untuk di rumah."
"Aku tahu pasti apa yang akan dia lakukan," kata Janie sebal, "lari berteriak ke
dalam rumah dan menelepon ayahku. Mereka akan membujukku
untuk melupakannya, tapi mereka nggak bisa membuangnya. Ibuku maupun pembantuku nggak akan pernah mau menyentuhnya." Janie
memandang tulang leher angsa yang panjang itu dengan penuh cinta. "Lihat ini,"
katanya sambil mengelus tulang belakangnya.
"Ini adalah salah satu ciptaan Tuhan yang lebih indah," kata Nyonya Welsch. Dia
tersenyum pada Janie. "Bahkan, sudah mati pun ia nggak tampak jelek,"kata Harriet, 13
Doa dan Keajaiban Tiga matras dibentangkan di balkon tidur di atas ruang keluarga. Kalau teman-
teman Harriet yang menginap terlalu banyak, mereka selalu tidur disana. Saat
semuanya sudah berbaring, Harriet berkata, "Dengar, aku mau menanyakan sesuatu
pada kalian berdua. Percayakah kalian pada doa dan keajaiban?"
Beth Ellen segara teringat pada satu malam gelap yang sudah lama berlalu ketika
dia masih berumur empat tahun. Dia sedang duduk bersama nenek dan kakeknya di
kursi belakang mobil hitamnya yang panjang. Badai besar sedang mengamuk dan
menggelegar di luar mobil saat mobil itu melintasi jalan desa yang panjang. Air
hujan menciprati jendela. Nyonya Hansen mengatakan sesuatu tentang Tuhan dan
doa. Di atas suara badai, Beth Ellen bertanya pada neneknya. "Apakah Tuhan
baik?" Hening sesaat, lalu neneknya menjawab dengan pelan, "Ya."
"Kalau begitu, kenapa Dia menciptakan badai yang membuat kita takut?" Beth Ellen
langsung bertanya. Itu membuat kakeknya tertawa. Beth Ellen menyukai saat itu karena dia senang
membuat kakeknya tertawa. "Pikiranmu sangat logis, Nona Kecil," katanya, dan
Beth Ellen merasa bangga. Neneknya juga tersenyum. "Jika badai selesai, kau bisa
merasakan keindahan dunia sesungguhnya, Nona. Dan jika kau takut, sebaiknya kau
berdoa." Beth Ellen ingat, dia berdoa dengan khusuk setelah itu. Dan dia menjadi
tenang. Ajaib, badai itu segera mereda. Kenangan itu terbang cepat, hanya muncul
sesaat. "Aku nggak tahu," katanya pada Harriet . "Kurasa aku percaya. Aku juga percaya
keajaiban." "Janie?" tanya Harriet .
"Apa?" kata Janie keras.
"Apa pendapatmu tentang keajaiban?"
"Kupikir keajaiban itu nggak ada," kata Janie langsung.
"Apa?" "Keajaiban itu menyesatkan. Aku lebih percaya, semua sudah ada aturannya.
Seperti hujan terjadi karena sinar matahari yang membuat air menguap, lalu uap
air berubah jadi awan, lalu mencair lagi, kembali jadi hujan. Aku sudah
mengatakannya pada ibuku beberapa hari yang lalu dan dia hampir pingsan."
Beth Ellen hampir bisa merasakan senyum bengal Janie dalam kegelapan. "Banyak
orang yang percaya keajaiban," kata Beth Ellen malu-malu.
"Siapa?" kata Janie. "Lagi pula," ujarnya, "itu urusan mereka.
Banyak orang yang berpikir kalau bumi ini datar. Jadi, kenapa" Mereka tahu apa?"
"Hmmm ... bagaimana kamu bisa tahu?" tanya Harriet.
"Pokoknya aku tahu," kata Janie menekankan. "Keajaiban itu nggak ada, dan nggak
pernah ada keajaiban, dan itu pasti."
"Kalau begitu ... dari mana datangnya hal-hal menakjubkan?"
Harriet bersikukuh. "Siapa yang tahu dari mana datangnya hal-hal itu" Lupakan saja, itu maksudku,"
umpat Janie. Kau tidak bisa tidak mengagumi Janie, pikir Beth Ellen. Sepertinya dia tidak
pernah ragu-ragu tentang apa pun.
"Lagi pula, kamu juga nggak percaya pada dewa-dewi Yunani, bukan" Yah, mereka
percaya, kemudian ide itu menjadi usang karena nggak ada manfaatnya. Maksudku,
semua dewa-dewi itu katanya sedang duduk-duduk di atas gunung. Menggelikan!"
Janie terdengar marah. Hening sejenak. "Kurasa," lanjut Janie, dengan suara yang penuh pemikiran,
"orang-orang menciptakan keajaiban untuk membuat mereka merasa lebih baik. Lagi
pula, jika kamu berpikir tentang alam semesta, maksudku, semua alam semesta di
luar sana, hal itu agak menyeramkan."
Itu pasti. Beth Ellen merasa diserang oleh seluruh penghuni alam semesta seperti
orang yang ditampar. Pikiran seperti itu benar-benar buruk. Alam semesta. Hanya
alam semesta yang kosong, dan dia melayang-layang di dalamnya.
Janie mendengkur sekali, singkat.
"Lihat itu," kata Harriet keras. "Dia langsung KO!"
Beth Ellen tetap memikirkan tentang alam semesta. Apa yang terjadi ketika bom
atom dijatuhkan dan dunia hancur" Apakah dunia terbelah dua seperti jeruk dan
orang-orang melayang-layang" Sepi, pasti akan sepi sekali. Dan karena alasan
tertentu, rasanya agak memalukan, menyedihkan, berada di sana sendirian, tanpa
ada tempat untuk menjejakkan kakimu dan berjalan-jalan. Tidak ada yang bisa
diajak bicara, hanya pikiran kesepian yang beterbangan dikepalamu.
"Aku nggak tahu apa yang mengerikan soal alam semesta," kata Harriet . "Aku
ingin pergi ke bulan. Sebenarnya, aku lebih suka pergi ke Mars. Aku nggak sabar
menunggu untuk melihat wajah makhluk-makhluk lain." "Seandainya nggak ada
makhluk lain?" kata Beth Ellen, yang merasa lebih kesepian dibanding sebelumnya.
"Tentu saja ada," kata Harriet. "Ada makhluk disetiap planet, aku yakin itu.
Mereka bisa tampak seperti pohon sepatu atau semacamnya, tapi mereka ada."
Beth Ellen memikirkan orang-orang di planet lain. Apakah mereka merasakan sakit"
Apakah mereka bisa merasakan"
"Bagaimana rasanya kalau kau percaya pada keajaiban?" tanya Harriet pada
kegelapan. "Aku tidak tahu," kata Beth Ellen. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan soal
itu, ujarnya pada dirinya sendiri.
"Oh, Beth Ellen, kamu benar-benar tikus yang lucu," kata Harriet dengan sebal
bercampur sayang. Dia berbalik dengan berisik di atas matrasnya untuk
menunjukkan bahwa percakapan itu sudah selesai dan dia akan segera tertidur.
Beth Ellen mulai berpikir tentang permulaan dunia, permulaan waktu. Sebenarnya,
siapa yang memulai semua itu" Dia membiarkan pikirannya kembali ke manusia gua.
Sebuah gua. Di ujung gua itu ada Tuhan. Dan pasti ada keajaiban. Dia tertidur.
Sesaat sebelum tertidur, dia berbelok di gua yang berkelok-kelok tersebut dan
tiba diujungnya. Di ujung gua ada sebuah rak dari tanah liat. Sebuah selimut bulu dibentangkan di
atas rak itu dan di atas bulu-bulu itu duduk seekor harimau, seekor harimau yang
besar yang menatapnya tanpa mengatakan apa-apa.
Tuhan" Beth Ellen yakin, Tuhan ada meskipun tidak berwujud.
Harimau besar itu pasti keajaiban.
Tapi, apakah ada keajaiban sehingga tiba-tiba tercipta selimut itu"
Mungkin saja. 14 Beth Ellen dan Mama Besok paginya, telepon berdering tepat saat mereka baru saja menghabiskan
sarapan besar hari Minggu yang terdiri dan panekuk dan daging. Nyonya Welsch
menjawabnya. "Oh! Menyenangkan sekali! Ya, tentu saja, saya akan langsung menyuruhnya
pulang!" Dia menutup telepon dan memandangi Beth Ellen.
"Mereka disini" ujarnya senang, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Beth Ellen tenggelam di kursinya.
"Ibumu dan Wallace baru saja tiba dan mereka tidak sabar untuk bertemu
denganmu!" kata Nyonya Welsch. "Sebaiknya kamu bergegas, Sayang."
"Horeee!" kata Harriet dan melompat.
"Kamu mau ke mana, Harriet ?" tanya Nyonya Welsch. "Kurasa Beth Ellen lebih suka
menemui orangtuanya sendirian untuk pertama kalinya."
Beth Ellen berdiri. Aku tidak yakin apakah aku benar-benar ingin menemui mereka,
pikirnya. "Kami hanya akan bersepeda dengannya sampai ke jalan rumahnya." Harriet
menyiapkan barang-barang untuk ke pantai dan bergegas ke pintu.
Janie mengangkat bahu dan menyelesaikan sarapannya. Beth Ellen berterima kasih
pada Nyonya Welsch dan Tuan Welsch dengan suara kecil dan malu-malu, lalu dia
berjalan menuju sepedanya seolah-olah sedang berjalan menuju kursi listrik.
Harriet sudah berada di halaman. "Ayo Janie, kita pergi ke pantai!"
dia berteriak. Janie berdiri, mengambil barang-barangnya, lalu menghampiri
sepedanya. Ketika mereka bertiga sudah berada dijalan dan jauh dari rumah, Harriet
menghentikan sepedanya. Beth Ellen dan Janie berhenti di sampingnya.
"Kamu nggak keberatan kan, Tikus, kalau kami mengintip sedikit?"
tanya Harriet dengan sikap paling membujuk.
"Aku nggak-" Beth Ellen menggumam.
"Kami hanya akan bersepeda sampai halaman, dan saat mereka sampai ke pintu, kami
akan melihat mereka dan kami akan langsung pergi."
"Kurasa sebaiknya jangan ..." Beth Ellen ragu-ragu.
"Kami bisa melihat dan jendela; mereka bahkan nggak akan melihat kami." Harriet
putus asa. "Mungkin dia nggak ingin kita melakukannya," kata Janie. "Mereka kan
orangtuanya. Kamu harus memikirkan tentang itu."
"Kenapa?" Harriet lupa diri. Dia hampir-hampir tidak tahu apa yang dia katakan.
"Begini Beth Ellen," lanjutnya, cepat sekali hingga tergagap-gagap,
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"kalau kami bisa bersepeda pelan sekali dan melihat di jendela atau bersembunyi
di semak-semak atau lari ke belakang atau hanya menunggu di jalan sampai mereka
keluar dari mobil, setidaknya kami bisa melihat mereka dari jendela mobil. Nggak
apa-apa, kan" Apa ruginya?"
"Harriet , kenapa sih kamu nggak mengerti?" kata Janie, tapi dia bosan dengan
hal itu, dan setelah meletakkan sepedanya di bawah, dia duduk di jalan.
Beth Ellen memandang Janie seolah-olah harapan terakhirnya sudah tersapu ombak.
Sebenarnya harapannya sudah hilang karena Harriet pantang menyerah. "Beth Ellen,
dengar. Jika aku nggak melihat orangtuamu, bagaimana aku akan tahu mereka
seperti apa" Jawab itu.
Bagaimana aku akan tahu?"
Beth Ellen berpikir, sama sekali tidak penting apakah Harriet tahu atau tidak,
tapi dia tidak yakin bagaimana mengatakan hal ini. Karena itu, dia hanya
memandangi kakinya. "Harriet ," kata Janie, "kamu benar-benar mengesalkan."
"Dengar Janie, kamu itu tamuku; jangan banyak omong!" Harriet benar-benar ingin
bertemu dengan orangtua Beth Ellen.
"Aku," kata Janie, "seorang ilmuwan. Aku bisa naik kereta api. Aku nggak harus
menuruti perintah apa pun dari siapa pun."
Harriet ternganga. Beth Ellen menggeser pandangannya dari kakinya ke sebuah
keropeng di lututnya. Seandainya mereka bisa berdiri dan bicara sepanjang hari,
dan dia tidak harus pulang.
Mata Janie bersinar-sinar. Dia dan Harriet bertarung mata sampai Harriet
berkata. "Baik!" ujarnya tegas. Janie memalingkan muka. "Janie?" kata Harriet dengan nada
mencoba-coba. Harriet menggunakan suara yang dia gunakan saat meminta izin pada
ibunya untuk pergi ke bioskop. Janie mendongak, siap untuk mengatakan "tidak".
"Janie, nggak ada salahnya kalau kita Cuma melihat wajah mereka.
Kita nggak harus bertemu dengan mereka. Kita nggak harus mengucapkan apa-apa."
"Itu terserah Beth Ellen," kata Janie dengan gigi gemertak, dan tidak ada yang
lebih pasti daripada itu.
Mereka berdua memandang Beth Ellen. Harriet merasa sangat frustrasi. Dia ingin
mengguncangkan Beth Ellen dan rambut keritingnya.
Sepertinya tidak ada seorang pun yang bisa memahami pentingnya melihat, hanya
melihat, melihat semuanya.
"Baiklah," kata Beth Ellen akhirnya. Tidak akan lebih buruk jika mereka ada di
sana, pikirnya. Harriet bersorak dan mereka bertiga menaiki sepeda mereka lagi.
Ketika bersepeda memasuki jalan mobil di halaman keluarga Hansen, mereka melihat
sebuah limusin hitam panjang diparkir dihadapan pintu depan.
Harriet melihat nomor kendaraan. Mobil itu sewaan; dia tahu karena ayahnya
pernah berkata kalau mobil-mobil semacam itu punya nomor khusus. "Hei!" ujarnya.
"Itukah mereka?"
"Bagaimana aku tahu?" kata Beth Ellen. Wajahnya pucat seperti awan. "Aku nggak
kenal mereka," tambahnya.
"Apakah kita sebaiknya langsung masuk atau memutar ke belakang?" tanya Harriet ,
tersengal-sengal penuh harap.
Beth Ellen menggigit bibirnya, menarik napas dalam-dalam, kemudian bicara dengan
sangat keras sampai dia sendiri terkejut. "Ayo kita pergi langsung ke pintu
depan. Lagi pula, aku tinggal di situ."
Harriet menoleh dan memandangnya dengan kagum. Janie tampak agak khawatir. "Kami
ngga kharus melakukannya lho, Tikus," ujarnya lembut.
"Kita akan masuk," kata Beth Ellen tiba-tiba dan mulai mengayuh.
Harriet mengikutinya dan Janie menyusul. Harriet teringat pada gerakan tentara
di dalam film-film. Mereka meluncur memasuki halaman. Harriet berpikir-pikir apakah mereka sedang
diamati dari dalam rumah.
Pintu depan terbuka dan seorang wanita yang paling cantik di dunia muncul. Dia
mengenakan baju putih, dan bergegas keluar dari pintu.
Wanita itu berhenti, seolah-olah sedang menggambar potretnya sendiri, lalu
melesat menyeberangi taman, jeritan kecil "Sayang, Sayang!" keluar dari
bibirnya. Semuanya begitu mengejutkan bagi Beth Ellen sehingga dia langsung jatuh dari
sepedanya. Wanita berbaju putih itu berlari menuju tubuhnya yang tergeletak di tanah.
Harriet mengerem dan berhenti, mulutnya menganga. Janie berhenti segera dan
berdiri agak jauh di belakang.
"Sayangku, Gadis Kecilku, Malaikat Kecilku, Cantikku, Anakku yang Manis, sini,
biarkan Mama menolongmu," kata gambar itu, berjongkok dekat Beth Ellen.
Harriet menatapnya lekat-lekat. Mengatakan dia seorang wanita cantik adalah
pernyataan yang meremehkan. Ada sinar yang luar biasa pada wajahnya yang
terbakar matahari; tubuh kurusnya, seperti tubuh seorang penari, bergerak dengan
sangat anggun dan gemulai. Yah, pikir Harriet, aku belum pernah melihat seorang
ibu seperti itu. Aku bahkan tidak pernah melihat wanita mana pun yang tampak
seperti itu. Beth Ellen terbaring di sana dan memandang keatas melalui jeruji sepedanya pada
sosok yang katanya adalah ibunya. Sosok putih yang cantik itu bergumam padanya,
mengulurkan lengan, bicara bahasa bayi, dan semua itu membuat Beth Ellen sangat
ketakutan. Wanita itu berusaha menarik sepeda Beth Ellen ke atas seperti menarik
sebuah selimut. Orang ini tidak mirip dengan ibu mana pun yang pernah dia lihat.
Tidak ada satu pun ibu dari anak-anak di sekolah yang tampak seperti ini.
Apa yang akan dipikirkan Janie dan Harriet "
"Sayang, ... mendekatlah pada Mama, Sayang." Wanita itu mengulurkan lengannya
yang wangi. Matanya yang besar dan gelap setengah terpejam.
Oh Tuhan, pikir Beth Ellen, kenapa dia tidak gemuk dan memakai baju berbunga-
bunga saja" "Sayang ...?" Dia berusaha sekali lagi untuk memancing respons Beth Ellen,
kemudian menyerah, dan berseru keras dengan suara merdu,
"Wallace ...Wallace" Tolonglah kemari, Sayang; sepertinya dia kesakitan."
Harriet dan Janie berdiri tegak dan mematung, seperti letnan bawahan kapten Beth
Ellen yang sedang jatuh. Ketika Wallace muncul di pintu, Harriet berkata, "Wow!"
katanya perlahan. "Mereka seperti Putri dan Pangeran," bisiknya pada Janie.
Janie mencibir. Tetapi, ketika Wallace bergerak, dia mengecewakan. Dia tidak berjalan; dia
seperti berjingkat-jingkat. Dia tidak tersenyum; dia mengerenyitkan setengah
wajahnya seperti boneka yang didandani. Dia adalah pria teraneh yang pernah
kulihat, pikir Harriet. Dia seperti pria dalam jam kukuk, atau prajurit dari
kayu. Mungkin jika angin kencang meniupnya, dia akan melayang, terbang kembali
ke Eropa. Pria itu berjingkat-jingkat mendekati ibu Beth Ellen. Ibu Beth Ellen mengintip
dari balik jeruji sepeda. Beth Ellen mundur ke belakang.
"Hep, hep," dia berkata, "sini, sini, Nak. Ulurkan tanganmu dan kami akan
menarikmu." Beth Ellen semakin jauh menarik diri. "Ayolah, Nak, ayo,"ujarnya.
Seperti memanggil seekor anjing, pikir Harriet. Pria itu mengangkat sepeda dari
tubuh Beth Ellen, yang saat itu tampak seperti kerang tanpa cangkang. Ibunya
membantu dia berdiri dan menepuk-nepuk celana pendeknya. Beth Ellen memandangi
kakinya. "Biarkan Mama memandangmu," ujar wanita cantik itu, mengangkat wajah Beth Ellen
kearahnya. "Ah, ya, kamu sama sekali tidak jelek, bukan" Kamu perlu sedikit
didandani, tapi kamu punya banyak sekali kesempatan."
"Harriet," bisik Janie dari belakang, "ayo pergi." Suaranya pasti terdengar
karena menit berikutnya, Wallace, sang Dewi Kecantikan, dan Beth Ellen menoleh
dengan mata bingung pada Harriet dan Janie. Mereka tidak berkata apa-apa. Mereka
hanya menatap. "Ssst," kata Janie.
Harriet merasa aneh. Dia ingin memerhatikan. Tapi, dia juga merasa bodoh hanya
berdiri saja disana. Mereka sudah jelas tidak akan mengatakan hal-hal yang biasa
dikatakan para orangtua, seperti "Apakah mereka teman-temanmu?" atau "Katakan
sampai jumpa lagi pada teman-temanmu, Sayang," atau omong kosong semacam itu.
Mereka hanya menatap. Mustahil melakukan apa pun, kecuali berbalik dan mengayuh
sepeda. Harriet memutarkan sepedanya.
Janie sudah berada di halaman. Harriet melompat dan mengayuh ke jalan. Ketika
sudah di luar, dia berbalik dan memandang ke belakang.
Beth Ellen sedang digiring ke dalam seperti tahanan yang diborgol.
Janie mulai mengomel saat mereka mengayuh. "Kenapa kamu nggak ikut waktu aku
mengatakan itu" Mereka nggak ingin kita ada di sana. Dasar."
Harriet merasa kacau dan sedikit malu. Dia mengangkat bahu. "Aku hanya ingin
melihat seperti apa mereka."
"Aku," kata Janie, "nggak mengerti bagaimana kamu bisa begitu penasaran tentang
orang lain. Maksudku, penyebab atau kenapa suatu hal bereaksi menjadi suatu hal,
itu aku mengerti-tapi orang-orang.
Orang-orang begitu konyol. Lihat kekacauan yang sudah mereka buat terhadap hidup
mereka sendiri. Kamu nggak selalu bisa mengandalkan mereka."
"Yah, aku nggak tahu apa-apa soal reaksi," kata Harriet lemas.
Yang terutama, dia merasa diasingkan, dan sedikit terluka. Dia juga mulai merasa
kesepian karena Janie akan kembali ke kota malam ini bersama Tuan Welsch karena
hari ini hari Minggu malam, dan Beth Ellen akan terperangkap bersama orangtua
barunya selama beberapa waktu.
"Tentu saja," kata Janie, "orang yang benar-benar nggak kumengerti adalah Beth
Ellen. Sepertinya dia nggak pernah ingin tahu soal apapun."
"Ayo kita ke pantai," kata Harriet. Dia sudah tidak sabar untuk membuat cerita
tentang orangtua Beth Ellen. Dia akan menjadikan Wallace seorang penipu dan
akhirnya, Zeeney membunuhnya saat dia sedang mandi.
15 MengunjungiSobat Lama Beth Ellen digiring ke dalam. Tubuhnya gemetar. Tangan ibunya terasa kurus dan
muda, tidak seperti tangan neneknya. Wallace membuka lebar pintu ruang keluarga
dan di sana neneknya duduk di kursi rodanya. Ini peristiwa khusus karena
neneknya jarang bangun, kecuali untuk ke gereja hari Minggu.
"Nah, Sayang!" kata Nyonya Hansen dan tersenyum ke mata Beth Ellen. Sepertinya
dia sedang mengira-ngira reaksi Beth Ellen.
Beth Ellen memandang wajah yang akrab itu dan merasakan gumpalan tangis yang
siap pecah menyesakkan tenggorokannya.
Nyonya Hansen sepertinya tidak menyadarinya. Dia memandang Zeeney. "Nah ... apa
pendapatmu tentang putri kecilmu?"
"Menyenangkan," kata Zeeney, sambil menjatuhkan tangan Beth Ellen seolah-olah
tangannya berkeringat. "Tolong minta bawakan minuman dingin, Sayang; hari ini
panas sekali," katanya pada ibunya dan terduduk lemas di sofa.
"Tentu saja," kata Nyonya Hansen dan mengulurkan tangan untuk memeluk Beth
Ellen. "Kamu tahu letaknya, Beth Ellen. Pergilah, tank talinya." Saat Beth Ellen
berlari melintasi ruangan menuju tempat penarik bel berhias yang disembunyikan
dibalik gorden-gorden tebal, dia mendengar Zeeney berkata, "Dan itulah hal
pertama yang harus dibuang.
Aku tidak bisa membayangkan, apa yang merasuki ayahnya sehingga menamainya Beth
Ellen." "Aku yakin itu nama ibunya, bukan?" kata Nyonya Hansen, memutar kursi rodanya
lebih dekat ke sofa. Wallace seperti siap bangkit untuk membantunya, tapi
kemudian duduk kembali, kelelahan.
"Sama sekali tidak ada hubungannya dengan anak ini sekarang,"
kata Zeeney. "Nama itu harus diganti. Benar-benar jelek."
"Kamu tidak bisa mengganti nama seseorang kalau mereka sudah berumur dua belas,"
kata Nyonya Hansen dengan nada suara kesal. Dia memandang Beth Ellen yang
berdiri kebingungan di sebelah tali bel itu.
Neneknya bergerak sedikit dan Beth Ellen menghampirinya seperti anak anjing yang
tidak punya rumah. Nyonya Hansen memeluk pinggangnya dan Beth Ellen bersandar
padanya. "Setidaknya, kita bisa memanggilnya Beth!" kata Zeeney dengan kesal.
"Hep, ya, betul," kata Wallace. Beth Ellen memandangnya dengan mata menyelidik.
Sepertinya itu bunyi khasnya, cuma untuk menandakan bahwa dia sedang ada di
ruangan itu. Harry masuk membawa sebuah baki berisi botol-botol, es batu, dan soda. Dia
meletakkannya di atas meja samping. Wallace melompat ke atas kakinya, mendadak
hidup. "Hep, Sayang, kamu mau apa" Nyonya Hansen?"
"Martini," kata Zeeney.
"Tidak untukku," kata Nyonya Hansen, memandang Wallace dengan kritis. "Di sana
pasti ada Coca-Cola untuk Beth Ellen, bukan?"
"Hep, ya, tentu," kata Wallace.
Beth Ellen memandang berterima kasih pada neneknya, yang tersenyum dan kemudian
memeluknya. "Dia menyukainya," Nyonya Hansen berkata dengan lembut.
Beth Ellen menatap Zeeney. Sepertinya dia sudah melupakan kehadiran Beth Ellen.
Zeeney mendekat pada neneknya. Aku harap dia tidak pernah ingat, pikirnya.
"Dan, kemudian, tentu saja kami akan membawanya ke Elizabeth Arden di
Southampton. Terima kasih, Sayang," Zeeney berkata sambil mengambil minuman dari
Wallace. "Kudengar itu satu-satunya hiburan di tempat yang membosankan ini."
"Oh, kurasa itu tidak benar, Zeeney," kata Nyonya Hansen. "Di sekitar sini ada
tempat-tempat yang cukup menyenangkan, toko-toko kecil ...bahkan beberapa tempat
yang cukup menyenangkan untuk makan, kudengar. Aku, tentu saja, tidak sering
pergi ke luar, itu pun hanya ke klub itu, tapi-"
Beth Ellen begitu takjub mendengar Zeeney langsung memotong kalimat Nyonya
Hansen. "Oh, ya, aku memang membaca sesuatu tentang sebuah tempat ... Shark's
Tooth Inn. Sepertinya di situ ada kehidupan.
Siapa yang bermain di sana, Ibu tahu?"
Mata Beth Ellen melebar. "Tidak, aku tidak tahu, Sayang, tapi aku yakin kita bisa mencari tahu. Kita bisa
menelepon ke sana jika kamu mau."
"BUNNY," kata Beth Ellen keras.
"Apa?" tiga orang dewasa itu kaget. Lidah Beth Ellen jadi kaku.
"Oh, ya," kata Nyonya Hansen, "pria menyenangkan yang kita undang untuk pesta
ulang tahunmu. Aku yakin kamu betul. Kamu pintar!"
"Bunny, katamu?" tanya Zeeney. Beth Ellen mengangguk. "Bunny.
Hmm, hanya ada satu Bunny. Dia pasti Bunny Maguire."
Beth Ellen mengangguk. Dia merasa agak panik saat sadar ibunya mengenal Bunny.
"Wow, itu menyenangkan," kata Zeeney. "Bunny Maguire. Bun-bun tua. Kamu ingat,
Sayang, klub yang memesona di Capri dan di Roma?"
Wallace mendongak. Dia duduk seperti trenggiling, setengah dan hidung panjangnya
selalu berada di dalam gelas, dalam keadaan setengah tidur yang parah. "Ya,"
tiba-tiba dia berkata. "Hep, pria yang menyenangkan. Di Venice juga, bukan?"
"Ya!" kata Zeeney, yang tampak sangat senang sekarang. "Tentu saja; aku lupa.
Bunny yang ganteng. Kenapa kita tidak ke sana sekarang dan menyapanya?"
"Mm, hep, asyik," kata Wallace sambil menenggak minuman terakhirnya.
"Tapi, kalian baru saja tiba," kata Nyonya Hansen dengan khawatir.
"Makan siang yang lezat sedang disiapkan dan aku sudah memesan teh.
Tidak bisakah kalian pergi nanti saja?"
"Oh, Ibu, kami tidak ingin teh," kata Zeeney sambil berdiri cepat-cepat dan
mengibaskan lengan panjangnya dengan anggun. "Ayo ikut, Wallace."
Beth Ellen memandang wajah neneknya yang kecewa. Dia senang sekali kalau
neneknya minum teh setiap sore. Jika ada tamu, ada juga teh khusus dengan roti
isi mungil dan kue-kue kecil. Dia tidak bisa membayangkan ada orang yang tidak
menginginkannya. Mungkin Zeeney tidak tahu betapa enak rasanya.
"Tapi, Beth Ellen baru saja bertemu kalian."
"Oh!" kata Zeeney, mengingat Beth Ellen. "Itu bukan masalah.
Masih ada tempat di mobil. Dia akan berdesak-desakan dengan kami."
Wallace sudah berdiri dan mereka sudah berada di pintu sekarang. "Ayo ikut,"
kata Zeeney dingin. "Aku kira itu bukan tempat yang baik untuknya sebuah bar" Pada siang hari?"
tanya Nyonya Hansen. "Ah!" kata Zeeney dan berbalik seperti ular berbisa. "Lebih baik dia membiasakan
diri dengan hal itu. Dia kan anak-ku." Zeeney berjalan melintasi ruangan, lalu
menggamit tangan Beth Ellen. "Dia akan aman bersama kami. Ayo ikut, Beth Ellen.
Kita akan naik mobil, dan kamu boleh minum Coca-Cola kalau kita sudah sampai."
Dia bicara seperti pada seorang anak kecil.
Nyonya Hansen memutar kursi rodanya ketika mereka sampai ke pintu. "Dia harus
sudah ada di rumah lagi waktu makan malam, Zeeney,"
ujarnya tajam, dan ketika Beth Ellen menoleh ke belakang, dia bisa melihat dahi
neneknya berkerut dan masam.
"Tentu saja, Ibu," kata Zeeney dan menyeret Beth Ellen keluar dari pintu.
Wallace sudah membawa mobil kecil itu ke depan pintu dan Zeeney masuk, mendorong
Beth Ellen ke tengah. Kedua tungkainya mengapit tongkat persneling sebuah mobil
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balap yang penuh hiasan, panjang dan berwarna hitam tanpa atap dengan kain
pembungkus jok berwarna merah.
"Hep," kata Wallace, "mudah-mudahan benda gila ini berfungsi."
"Tentu saja dia akan berfungsi, Sayang," kata Zeeney. "Aku memesan mobil yang
berfungsi. Jika tidak, kita akan segera kembalikan dan kita bisa menggunakan
Rolls Royce Ibu." Mobil itu berfungsi. Berfungsi dengan baik sampai-sampai mereka meluncur dan
jalan mobil di halaman dengan kecepatan seratus enam puluh kilometer per jam.
Beth Ellen menatap jarum penunjuk kecepatan dengan ketakutan ketika mereka
meluncur dan meliuk-liuk di jalan-jalan desa.
"MENAKJUBKAN!" teriak Wallace.
"SEMPURNA!" seru Zeeney mengalahkan deru mesin yang keras.
Aku bisa mati, pikir Beth Ellen. Dia memandang wajah mereka secara bergantian
dan takjub melihat ekspresi gembira yang tolol terpancar dari sana. Mungkin
mereka orang-orang gila, pikirnya saat mereka hampir menabrak sebuah truk susu.
"Ayo kita bawa mobil ini ke jalan raya!"
"AYO! " teriak Zeeney, dan Beth Ellen ingin menyembunyikan matanya. "Tidak,
tidak-ini, Sayang, ini penginapannya."
Ketika kata-kata itu meluncur dari mulutnya, mereka telah melewati jalan masuk
ke penginapan. Tapi, hal ini tidak mengganggu Wallace, yang dengan mudah
melakukan putaran seratus delapan puluh derajat yang menyeramkan, meluncur
melewati gerbang, dan berhenti di halaman berumput.
"HEBAT SEKALI, SAYANG!" teriak Zeeney.
Wallace mematikan mesin dan melompat keluar dari mobil.
"Rumputnya terpotong sedikit, tapi ia memang perlu dipotong, " ujarnya
bersemangat. "Jangan menginjak rumput, jangan menginjak rumput." Sebuah suara yang lemah
terdengar dari beranda, dan saat memandang ke atas, mereka melihat ibu Bunny
mengayunkan tongkatnya dan mengumpat-umpat mereka. "Aku akan memanggilpolisi,
polisi. Sekarang pindahkan mobilnya dari sana."
"Oh, Tuhan," kata Zeeney sebal saat dia keluar dari mobil. "Wanita tua! Apa yang
dibutuhkan dunia dari mereka?"
Dia maksud nenekku, pikir Beth Ellen.
"Jangan kuatir, Ibu Tua," kata Wallace saat dia berjalan melewati tongkatnya.
"Kami hanya akan sebentar di sini, hep." Dia menghilang ke dalam.
Wanita tua itu mengangkat tongkatnya dengan penuh ancaman ke atas kepalanya saat
Zeeney menuntun Beth Ellen menaiki tangga.
"Berhenti disitu sekarang juga," teriaknya, "atau pindahkan mobil itu!"
"Hai, ini Nyonya Maguire, bukan?" kata Zeeney dengan nada yang sangat sopan.
Tongkat itu diturunkan dan wanita tua itu menatap Zeeney dengan tajam. "Anda
ibunya Bunny, bukan?" kata Zeeney, sambil berjalan cepat melewati tongkat itu
menuju pintu depan. "Ya?" kata ibu Bunny. "Dan Bunny juga ingin kau memindahkan mobil itu."
"Ya, tentu saja, tentu saja begitu," kata Zeeney sambil mendorong Beth Ellen
melewati pintu dan memasuki bar.
"BUNNY!" jerit Zeeney begitu dia melihat Bunny. Bunny bangkit dan piano. Dia
mengenakan jas oranye yang indah dan celana putih. Beth Ellen menatapnya dengan
penuh kekaguman. "ZEENEY!" dia balik menjerit dan setelah mendekat, memeluk Zeeney seperti
beruang. "Hai, kalau begitu itu pasti Wallace!" ujarnya berbalik dan memandang
Wallace yang sudah mendapatkan minuman dari bartender dan kembali menjadi
trenggiling. "WALLACE!" teriak Bunny, dan sambil berlari mendekatinya, dia
menepuk punggung Wallace sangat keras sampai dia tersedak.
"Hep!" kata Wallace setelah dia bisa bernapas. "Bunny, Sobat, senang bertemu
denganmu." Bunny menjadi sangat sibuk. Dia menarik beberapa kursi, memesan minuman. Tiba-
tiba, dia melihat Beth Ellen. "Lho, ini bukannya ... tapi, ini tidak mungkin ...
anakmu?" tanyanya pada Wallace.
"Bukan," kata Wallace singkat.
"Kalau begitu anakmu!." kata Bunny, menunjuk pada Zeeney dengan cepat.
"Oh, jangan konyol, Bunny. Aku meminjamnya dari panti asuhan untuk hari ini. Aku
dengar orang tidak bisa masuk ke sini tanpa anak-anak, seperti pesta
menyenangkan yang diadakan keluarga Hibbard untuk Mykonos itu. Ingat?"
Ketiganya kemudian tertawa terbahak-bahak dan berteriak-teriak cukup lama,
menertawakan pesta itu. Beth Ellen, yang tidak diakui, duduk.
Dia memandang Bunny. Apakah dia seperti Zeeney dan Wallace"
Bunny lebih seperti mereka daripada seperti Nyonya Hansen, atau seperti Nyonya
Welsch dan Tuan Welsch. "Tapi, kamu memang tampak akrab," ujarnya, dan saat mendongak, Beth Ellen
melihat bahwa dia sedang tersenyum padanya.
"Kurasa kau pernah bermain di pesta ulang tahunnya," kata Zeeney, "meskipun aku
tidak bisa membayangkan, bagaimana kau bisa mengingatnya diantara wajah-wajah
kotor kecil itu." Zeeney membalikkan punggungnya menghadap Beth Ellen.
Kami tidak kotor, pikir Beth Ellen. Kami semua berdandan rapi.
Bahkan, Harriet pun bersih.
"AH!" kata Bunny. "Ya! Itu dia!" dia meletakkan telunjuknya di hidung Beth Ellen
dan mendorongnya lembut. "Kau akan cantik seperti ibumu." Dia tersenyum, dan
sambil berjalan mendekat, melingkarkan tangannya memeluk Zeeney. "Senang sekali
bisa bertemu denganmu. Musim panas ini sangat membosankan. Jangan bilang padanya aku bilang begitu,
tapi ide Agatha untuk menjalankan klub tidak lebih baik daripada ide seekor
kelinci besar." "Bukan Agatha Plumber kan?" kata Zeeney, tawanya berderai. "Dia masih
mengikutimu" Aku belum pernah bertemu dia lagi sejak dari Venesia!"
"Ya Tuhan, ya," kata Bunny. "Yah, dialah pemilik tempat ini."
"Tunggu sampai dia bertemu Wallace ! Agatha akan langsung pingsan- Agatha
tergila-gila pada Wallace, tergila-gila!"
Beth Ellen melihat ke sekelilingnya. Tidak ada yang memandangnya. Tidak ada yang menawarinya soda. Dia bertanya-tanya, apakah orang-
orang akan tahu jika dia berdiri dan duduk di beranda.
Suara-suara mereka membuatnya sakit kepala. Dia melihat Moo-Moo berjalan
melintasi ruang utama menuju beranda depan. Dia memutuskan untuk mencobanya.
Beth Ellen sampai ke pintu tanpa terlihat oleh siapa pun. Dia berjongkok dan
mengelus-elus Moo-Moo, yang memandangnya dengan mata seekor sapi. Dia mengangkat
Moo-Moo, dan memegangi tali lehernya kuat-kuat supaya Moo-Moo tidak bisa lari
lagi, lalu membawanya keberanda.
Dia duduk sambil memegangi Moo-Moo erat-erat di pangkuannya.
Dia melihat sebuah mobil berlalu. Ibu Bunny sudah tidak ada. Dia dan Moo-Moo
duduk berdua saja di beranda yang besar dan luas itu. Saat itu hening.
Dia mencium kepala Moo-Moo. "Kita ingin kabur," ujarnya ke telinga Moo-Moo.
"Kita berdua ingin kabur."
Setelah berjam-jam duduk di tangga beranda yang semakin dingin sambil
mendengarkan teriakan dari dalam, Beth Ellen menyadari bahwa seseorang sudah
membawa sebuah kursi, meletakkannya didekat halaman di sudut hotel, dan duduk.
Dia hanya bisa melihat bagian belakang sebuah kepala. Kuharap, siapa pun itu,
dia tidak akan datang kemari dan berbicara denganku, pikir Beth Ellen.
Sebuah mobil masuk. Seorang pria dan seorang wanita keluar dari mobil. Kepala
itu berdiri cepat. Beth Ellen melihat dengan takjub. Kepala itu ternyata milik
Norman. "Langsung ke sana, parkir saja langsung kesana," dia menggeram pada pria itu,
yang kembali ke dalam mobilnya dan memarkirnya di ujung halaman berumput. Ketika
pria itu kembali, dia menerima tiket dari Norman, menjemput istrinya, dan
berjalan melewati Beth Ellen memasuki penginapan.
Saat Norman berbalik, dia melihat Beth Ellen yang sedang duduk di tangga, lalu
mengumpat.Lalu, dia berjalan agak marah ke kursinya dan duduk seperti direktur
perusahaan. Terima kasih, Tuhan, pikir Beth Ellen, dia tidak mau bicara. Derai tawa itu
mendekati pintu sekarang, dan tiba-tiba Zeeney, Wallace, dan Bunny berada di
beranda. Begitu dia menoleh dan melihat Wallace, Norman melompat dari kursinya, berjalan
seperti bebek, dan berkata dengan nada penting dan keras, "Mobil ini harus
dipindahkan sekarang juga. Mobil-mobil diparkir di sana." Lalu, saat dia melihat
Bunny dibelakang Wallace, mulutnya menganga.
"Tidak apa-apa," ujar Bunny tajam, "mereka ini teman-temanku."
"Tadi itu apa?" tanya Wallace takjub.
"Itu tukang parkir baru," kata Bunny. "Aku juga tidak suka nada bicaranya."
"Kamu pintar sekali karena menyewa kurcaci," kata Zeeney sambil menuruni tangga
beranda. "Apakah dia cukup besar untuk menyetir?" tanya Wallace.
"Oh, dia bisa mengatasinya," kata Bunny riang. "Kami harus menerima siapa saja
yang bisa kami dapatkan. Agatha sama sekali menolak untuk membayar upah siapa
pun dengan layak." Beth Ellen memandang ke kejauhan untuk melihat kalau-kalau Norman mendengar
kalimat terakhir tadi. Dia mendengarnya dan wajahnya tampak marah. Beth Ellen
berpikir, pasti Norman berniat untuk minta upah lebih banyak.
Mereka turun dan masuk ke mobil setelah banyak tertawa bodoh dan setelah
berjanji untuk melakukan banyak makan malam, pesta berlayar, piknik, dan
berenang tengah malam. Kemudian, Bunny kembali ke hotel dan Wallace memacu mobil
melalui gerbang hotel dengan kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam.
Meskipun semuanya samar-samar karena kecepatan mobil yang begitu tinggi, Beth
Ellen bisa melihat Jessie Mae yang sedang berdiri di balik semak-semak berbentuk
bola salju. Aku harus memberi tahu Harriet, pikirnya, saat mereka berbelok
dengan satu ban. Aku harap aku bisa bersepeda berkeliling seperti Harriet, hanya
memikirkan siapa yang sudah meninggalkan pesan-pesan itu, dan pulang ke rumah
untuk menikmati panggangan makanan laut tiap malam. Kuharap aku tidak harus
mengebut di Jalan Raya Montauk dengan kecepatan seratus enam puluh kilometer per
jam. "ASYIIIIIIK!" jerit Zeeney.
"KEREEEEN," jerit Wallace. *
16 Mulut Orang Fanatik Tidak Berbusa
Pada malam yang sama setelah makan malam, Harriet duduk berdua dengan ibunya.
Janie dan Tuan Welsch sudah kembali ke kota. Waktu tidur sebentar lagi. Nyonya
Welsch sedang memperbaiki salah satu kemeja Harriet sementara Harriet bermain-
main dengan puzzle yang berserakan diatas meja, bergambar sebuah lukisan dan
pelukis Utrillo. Entah mengapa, dia merasa gugup dan terganggu sehingga potongan-potongan kecil
yang menjengkelkan itu sepertinya tidak mau cocok satu sama lain. Harriet
memandang ibunya. "Ibu, apakah Ibu percaya keajaiban karena doa?" tanyanya tiba-tiba. Ibunya
mendongak. Matanya begitu jernih dan cokelat. "Kenapa kamu bertanya?"
"Yah ... Ayah nggak yakin." Harriet mengatakan hal ini dengan ragu-ragu, tidak
yakin apakah dia seharusnya mengatakan hal ini atau tidak.
"Dia tidak yakin?" Nyonya Welsch memandang jahitannya. "Tidak, kurasa dia tidak
tahu. Yah, ini hal yang sangat pribadi."
Harriet merasa, sebaiknya dia tidak mengatakan apa-apa lagi mengenai topik ini.
Dia menunggu sesaat, melihat kalau-kalau ibunya akan mengatakan hal lain.
Nyonya Welsch meletakkan jahitannya. "Meskipun begitu, kami sudah
mendiskusikan pelajaran agama untuk- mu." Harriet memandangnya dengan terkejut saat dia melanjutkan. "Kami tidak keberatan jika
kau bertanya-tanya tentang Tuhan dan agama. Itu bagus sekali. Apakah kau ingin
ada kursus privat pelajaran agama?"
"Tidak," kata Harriet cepat.
"Yah, " kata ibunya, menghela napas, "apa perasaanmu tentang Tuhan?"
"Aku tidak tahu," kata Harriet. "Aku tidak tahu harus berpikir apa."
Nyonya Welsch kembali menjahit, lalu mendongak kembali. "Kadang-kadang, aku juga
percaya keajaiban doa. Aku percaya pada Tuhan. Aku berpaling kepada-Nya untuk
mendapatkan ketenangan dan aku juga merasa bahwa aku akan merasa sesat tanpa
Dia. Tapi, agama atau kepercayaan apa pun yang harus dianut, benar-benar masalah
pribadi. Kurasa, seseorang sebaiknya memikirkan soal ini, tidak begitu saja menerima apa
yang diberikan pada mereka, tapi memikirkannya. Pada saatnya, kau akan yakin.
Dan kau sama sekali tidak boleh membenci agama lain. Karena, manusia diciptakan
sama oleh Tuhan." Harriet duduk sambil memikirkan hal itu. Dia menemukan satu potongan yang cocok
dan merasakan kepuasan yang besar. Betapa konyolnya, pikirnya, bahwa hal itu
bisa membuatnya merasa senang; sepotong karton yang dipotong dari potongan
karton lain dan kemudian dicocokkan kembali, bisa membuat seseorang merasa
senang. Ucapan ibuku kedengaran masuk akal, pikirnya, tapi kuharap aku bisa bertanya
tentang perasaannya. Seperti apa rasanya pasrah sepenuhnya kepada Tuhan" Apa
yang Jessie Mae rasakan" Atau Pak Pendeta"
"Apakah mulut orang-orang fanatik berbusa?" Ibunya langsung tertawa. "Dan mana
kau mendapatkan ide itu?"
"Aku pernah mendengarnya sekali," kata Harriet. Dia benar-benar terganggu oleh
ide mulut berbusa ini. Membayangkan Pak Pendeta dengan mulut berbusa, memutar-
mutar bola matanya, dan bicara tanpa henti adalah satu hal, tapi ide Jessie Mae
dengan mulut berbusa tampak menggelikan. Jessie Mae secara keseluruhan tampak
terlalu ceria untuk memiliki mulut yang berbusa.
"Itu pepatah lama," kata Nyonya Welsch, "ide yang sangat kuno bahwa orang-orang
fanatik itu gila dan mulutnya berbusa. Saat ini sulit membedakan orang-orang
fanatik dan orang biasa. Mereka tampak seperti orang biasa sampai kau mengenal
mereka, dan kemudian kamu tahu kalau mereka ternyata terobsesi."
"Huuh," kata Harriet keras. Hal ini sangat menjengkelkan. Ini berarti Janie
benar. Orang fanatik ini bisa siapa pun. Dia menguap.
"Bagaimana kalau kamu tidur, Sayang?" tanya ibunya sambil melipat jahitannya.
"Kamu pasti ingin bangun pagi untuk pergi ke pantai."
Nyonya Welsch pergi ke dapur. "Mau sesuatu sebelum tidur?" panggilnya.
Harriet berpikir cepat-cepat. Apa yang aku mau" Aku tidak mau alam semesta. Aku
tidak tahu kalau aku ingin di sana ada Tuhan. Apakah Dia akan memata-matai aku
setiap saat dan mengetahui segala sesuatu yang aku pikirkan" Lagi pula, dimana
Dia" "Sayang?" Nyonya Welsch berdiri di ambang pintu dapur. Harriet memandang ibunya
yang tersenyum hangat. Dia merasakan aliran cinta, keamanan dan kebahagiaan
dalam rutinitas pergi tidur yang hangat, rutinitas makan, dengan adanya ibu,
rumah, kamarnya sendiri, dan dirinya sendiri.
"YA!" Harriet tertawa. Dia berteriak, "Aku mau sesuatu. Aku mau semuanya. Aku
mau keripik jagung dan sarden dan lobster dan kerang dan remis dengan saus tomat
..." dia membuat ibunya tertawa dengan berlari ke dalam lemari es, membuka
pintunya dan berteriak ke dalamnya, "...dan acar dan 'sewada' dan jus jeruk dan
bistik dan kentang dan kue dan saus tomat dan empat belas roti isi tomat dan
semuanya, semuanya, semuanya!"
17 Memata-matai Zeeney dan Wallace
Pagi berikutnya, Harriet bangun, berpakaian, sarapan, dan melompat ke atas
sepedanya. Dia segera menuju rumah Beth Ellen tanpa menelepon lebih dahulu. Dia
yakin kalau dia melakukannya, Beth Ellen tidak akan mengizinkannya datang.
Harriet bertekad untuk mengetahui lebih banyak tentang orangtua Beth Ellen.
Dia bersepeda memasuki jalan mobil di halaman rumah Beth Ellen yang panjang,
merasakan jutaan mata yang mungkin sedang mengawasinya dari belakang jendela
gelap yang berjajar di depan rumah.
Dia memarkir sepedanya dan berjalan menuju pintu kasa yang terhubung dengan
beranda belakang. Harriet mengintip melalui pintu belakang kedalam dapur. Harry sedang duduk
membaca koran.Juru Masak sedang berada di depan kompor dan pembantu keluarga
Hansen berada di ruang penyimpanan makanan. Harriet berpikir, mungkinkah
orangtuanya meninggalkan pesan bahwa Beth Ellen tidak boleh ditemui siapa pun"
Mereka mungkin berusaha menghentikan aku. Aku harus berlari secepat kilat.
Dia membuka pintu kasa itu, melesat melewati dapur, ruang penyimpanan makanan,
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan keluar dari pintu ruangan itu dalam hitungan detik. Susie berteriak dan
Harry meletakkan korannya sambil berkata,
"Apa itu tadi?" Juru Masak berbalik dan berkata, "Sepertinya angin. Lebih baik
kamu memperbaiki pintu jaring itu. Aku tidak mau ada lalat di sini selama musim
panas." Harriet menjejakkan kakinya keras-keras di anak tangga teratas dan berlari
berputar menuju sudut gelap di depan pintu kamar Beth Ellen.
Diamengetuk. "Ya?" terdengar sahutan pelan dari dalam.
"Ini aku," ujar Harriet dengan bisikan keras.
Beth Ellen membuka pintu dengan cepat. "Sssst,"ujarnya dan tampak ketakutan,
"mereka tidur."
"Aku tenang sekali," kata Harriet kasar sambil duduk di sebuah kursi, "mereka
seperti apa" Apakah kamu menyukai mereka" Ibumu cantik, kamu setujubukan" Aku
pikir dia cantik. Janie dan akumembicarakan tentang itu. Dia ibu paling cantik
yang pernah kami lihat. Kamu menyukai Wallace" Apakah dia menyukaimu" Kamu
bersenang-senang dengan mereka?"
Beth Ellen hanya menatapnya.
"BETH ELLEN!" teriak Harriet .
"Aku sedang berpikir," kata Beth Ellen. "Lagi pula, aku harus dipanggil Beth
sekarang." "Kenapa?" "Karena ibuku bilang Beth Ellen kedengaran seperti gembel."
Harriet tidak tahu bagaimana dia harus mencerna informasi ini. Dia memutuskan
untukmembiarkan hal itu. "Yah, ceritakan padaku. Apa yang terjadi kemarin"
Setelah mereka memungutmu dari tanah dan membawamu ke dalam, apa yang terjadi?"
"Kami duduk, lalu kami berdiri dan pergi ke Shark's Tooth Inn."
"Kamu BERCANDA!" Harriet sangat bersemangat "Apakah kamu meminta mereka
mengajakmu kesana?" "Nggak," kata Beth Ellen, membayangkan bagaimana Harriet bisa memikirkan hal
seperti itu, "mereka ingin pergi. Mereka kenal Bunny"
"YANG BENAR?" Harriet hampir terbang melintasi ruangan. "Yah, ceritakan lagi,
ceritakan lagi." "Nggak ada lagi yang harus diceritakan."
Inilah salah satu sifat yang paling menjengkelkan dari Beth Ellen.
Harriet menatapnya dan ingin mencekiknya. Begitu ceritanya menjadi seru,dengan
gampang dia akan mengatakan tidak ada lagi yang bisa diceritakan. Bagus juga
kalau dia tidak ingin menjadi penulis karena kalau ya, semua bukunya akan
dilempar melintasi ruangan.
Dia berkata dengan sabar, "Sesuatu pasti telah terjadi, Beth. Kamu nggak pergi
ke Shark's Tooth dan kemudian menguap begitu saja menjadi asap!"
"Kami pergi ke sana, mereka pergi ke bar dan bertemu Bunny. dan aku duduk di
beranda." "Dan?" "Dan ... Norman ada di sana."
"APA?" Harriet berdiri. "Dan kamu menunggu selama ini untuk memberitahu aku?"
Beth Ellen memandangnya. "Aku hanya tidak mengerti kamu. Hal terpenting dari semua hal dan kamu menunggu
sampai saat-saat terakhir untuk memberitahu aku."
"Tutup mulutmu," kata Beth Ellen.
"Apa?" "Tutup mulutmu."
"Yah," kata Harriet dan pergi ke jendela untuk memberi waktu padanya merancang
alur cerita. Dia terlalu penasaran untuk membiarkan dirinya dihina. "Kamu harus
mengakui, mencari tahu sesuatu dan kamu seperti mencabut gigi." Dia berbalik
untuk memandang Beth Ellen dan tiba-tiba dia menyadari kalau mata Beth Ellen
merah dan sembap. Beth Ellen habis menangis, pikir Harriet . Mungkin mereka
jahat dan dia tidak memberi tahu aku.
"Apa yang dikerjakan Norman di sana?" tanyanya lembut.
"Dia bekerja jadi tukang parkir mobil," kata Beth Ellen dan tampak bersyukur
karena mereka berbicara. "Aku tidak tahu itu," kata Harriet , melangkah cepat. "Hmmmm.
Apa kamu sadar, bahwa kalau dia ada di sana terus, mungkin dialah yang
meninggalkan pesan-pesan itu."
"Oh," kata Beth Ellen. "Aku sudah lupa soal pesan-pesan itu."
"SUDAH LUPA?" teriak Harriet , lalu ingat bahwa sebaiknya dia bersikap lebih
lembut. Dia berbalik dan berkata dengan santai, "Kamar mereka yang mana?"
"Oh, jangan, kamu nggak bisa ..." kata Beth Ellen, tampak ketakutan, "kamu nggak
bisa melakukannya." "Oh, tentu aku bisa," kata Harriet dan melompat ke pintu. Dia menarik tangan
Beth Ellen saat dia pergi dan berkata, "Apa kamu nggak ingin tahu seperti apa
mereka sebenarnya" Mereka kan orang tua-mu.
Harusnya kamu yang menarik aku turun. Ayolah. Apa kamu nggak ingin tahu tentang
mereka sebelum semuanya sudah terlambat?"
Mata Beth Ellen membesar.
"Ayo," kata Harriet seperti pada seorang anak di dokter gigi. "Ini nggak akan
lama." Harriet menarik Beth Ellen hingga berdiri. Beth Ellen membiarkan dirinya ditarik
seperti seseorang yang terhipnotis.
Mereka berjingkat-jingkat turun menuju ruang tengah. Beth Ellen akhirnya
menunjuk sebuah pintu. Ketika mereka sampai di depannya, Harriet berjongkok di
depan lubang kunci. Dia bisa melihat sebuah ruangan yang indah dengan sinar
matahari yang membanjirinya lewat jendela. Zeeney berdiri didepan sebuah lemari
besar yang penuh sesak dengan baju. Dia mengenakan gaun tidur panjang berwarna
putih. Wallace sedang duduk di depan sebuah meja kecil. Dia mengenakan piama flanel
putih dan mantel tenis putih. Wallace tampak santai, pikir Harriet , dengan
pakaian apa pun. Dia membiarkan Beth Ellen mengintip sedikit, lalu mendorongnya
menjauh kembali. Zeeney sedang berbicara. Mereka bisa mendengarnya dengan jelas.
Bahkan, Beth Ellen pun mendekat dan mendengarkan dengan penuh keingintahuan.
"Sayang" Apa, apa yang harus aku pakai malam ini" Apa aku sebaiknya mengenakan
mawar liar yang merah itu, atau baju yang sopan ini ... Wallace, kamu tidak
mendengarkan." "Hep," kata Wallace, yang sedang menulis sesuatu di meja.
"Yang merah?" Ia menatapnya. Matanya melebar saat ia memandang bagian belakang
leher Wallace. "Semuanya bergantung ...
Sayang, apakah sudah pasti Agatha akan ada di sana?"
"Hep." "SAYANG!" Wallace terlonjak. Dia mengenakan yang membuatnya tampak seolah-olah meloncat
dari abad lain. "Apa" Hep, apa?"
"Apakah Agatha akan ada di sana?"
"Hmmm. Ya." Wallace kembali pada pekerjaannya.
"Apakah mereka akan pergi ke Shark's Tooth malam ini?" tanya Harriet dengan
bisikan yang begitu keras hingga Beth Ellen menyusut ketakutan. Dia mengangguk.
"Wow!" kata Harriet. "Kamu juga?" Beth Ellen mengangguk lagi.
"Suara desir apa itu?" tanya Zeeney. "Tikus, mungkin," gumam Wallace.
"Kamu sedang mengerjakan apa sih" " tanya Zeeney dengan marah.
"Hmmmm, hep, mengerjakan gunungku, mengerjakan perjanjian tentang gunungku."
Wallace mulai menyiulkan sebuah lagu aneh yang sumbang.
Zeeney diam kaku. "Apamu?"
"Ada tanda-tanda adanya orang-orang yang tertarik pada gunungku. Berbaik
hatilah, Zeen, dan jangan mengganggu aku. Aku sedang bekerja."
"Tepatnya tentang apa?"
"Penjualan." Hening sejenak. Zeeney berdiri. Mungkin, kalau saja Wallace melihatnya, dia akan
mati ketakutan. "Maksudmu gunung yang aku berikan padamu?"
"Hep." "Wallace ...." Dia merengut, lalu melanjutkan. "Wallace, apakah menurutmu Agatha
berusaha untuk mendapatkanmu?"
"Apa" Oh, hep." Dia mendongak dengan seringai jahat. "Ya, ya, aku bilang
begitu." Dia kembali pada kertas-kertasnya.
"Seseorang ingin membeli gunung itu?"
"Mmm." "Orang itu kebetulan bukan Agatha, bukan?"
"Hep." "Aku benci sekali bunyi yang kau buat itu. Apakah Agatha orangnya?"
"Ya." "Yah, kalau begitu, Sayangku, kupikir aku akan mengenakan baju kuning. Kuning
selalu membuatnya sangat jengkel karena dia tidak pernah bisa memakainya. Kuning
tampak aneh dengan warna kulitnya yang pucat itu. Nah, itu sudah diputuskan ...
dan aku tidak akan kaget sedikit pun kalau dia jadi iri - tidak! Putih! Aku akan
mengenakan baju putih! Aku tampak memesona dengan warna putih! Dia akan MATI!"
Zeeney menatap Wallace, dan yakin bahwa Wallace tidak mendengarkan satu patah
kata pun. Zeeney berkata, dengan nada suara yang sama sekali tidak berubah,
"Lihat saja penampilanku kalau aku keluar dari Elizabeth Arden! Jimmy akan
menyanggul rambutku begitu tinggi sampai aku tidak bisa berjalan melewati pintu.
Jimmy sayang. Dia juga akan menata rambut si anak bandel itu, tentu saja.
Rambutnya benar-benar mengerikan!"
Zeeney berputar setengah lingkaran tanpa dilihat Wallace. "Dan kamu sebetulnya
tidak perlu susah-susah dengan apa yang kamu kerjakan, kamu tahu, karena aku
cuma memberimu setengah dari gunung itu. Dalam perjanjiannya disebutkan kalau
yang setengah tidak bisa dijual tanpa setengah sisanya. Zeeney kecilmu lebih
pintar daripada yang kamu pikirkan. Agatha akan marah besar. Meskipun aku tidak
bisa membayangkan kenapa dia pikir kau memiliki gunung itu. Sarapan, Sayang?"
"Hep." Wah, pikir Harriet . Dia baru saja dijebak dan dia bahkan tidak tahu itu. Beth
Ellen membelalakkan matanya lebih besar dari yang pernah Harriet lihat.
"Apakah aku sebaiknya memesan sarapan?" Zeeney berjalan mendekati pintu.
Harriet dan Beth Ellen berlari berjatuhan ke ruang utama. Mereka jatuh terengah-
engah didalam kamar Beth Ellen. Harriet jatuh di atas tempat tidur.
Beth Ellen sepertinya mendadak ingin berganti baju karena dia bergegas membuka
lemari dan mulai memilih-milih baju. Kaus, celana pendek, sepatu kanvas, dan
dengan satu lompatan dia sudah masuk ke kamar mandi dan membanting pintu didepan
muka Harriet . Harriet berbaring di kasur sambil memikirkan ceritanya tentang Zeeney dan
Wallace. Zeeney bisa membunuh Agatha, atau mengejar Wallace dengan pengupas
kentang. Kenapa Agatha berpikir bahwa mendapatkan gunung itu akan membuatnya
mendapatkan Wallace" Tiba-tiba, dia ingin pergi kepantai dan mengerjakan
ceritanya. Dia mengetuk pintu kamar mandi.
"Beth Ellen?" "Apa?" kata Beth Ellen, menutup keran air. "Kamu bisa ikut ke pantai?"
"Tidak," jawabnya, "aku harus pergi ke Ehzabeth Arden."
"Sial," kata Harriet . "Bagaimana kalau sesudahnya?"
"Tidak, aku harus menjaga rambutku agar tetap bersih untuk malam ini," kata Beth
Ellen dengan putus asa. "Aduh, minta ampun. Aku pergi," kata Harriet dan bergegas melewati pintu dan
menuruni tangga sambil membayangkan gambar Beth Ellen dengan rambutnya yang
disanggul begitu tinggi hingga dia tidak bisa melewati pintu.
"Anak beruntung," gumamnya pada dirinya sendiri. "Bisa pergi ke hotel dan tidak
peduli sedikit pun."
Dia melesat melalui dapur kembali, hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri, dan
tertawa ketika pembantu Beth Ellen melompat kaget ke udara..
18 Makan Malam di Shark's Tooth Inn
Siang itu, Harriet kembali terburu-buru dari pantai dan mulai memohon-mohon
kepada ibunya. "Tolonglah, oh, tolong, tolonglah Ibu."
"Harriet , kamu ini kerasukan apa " Kenapa kamu ingin pergi ke sana" Lagi pula,
apa yang membuatmu memikirkan Shark's Tooth ke dalam kepalamu?"
"Aku sudah BILANG pada Ibu. Beth Ellen akan pergi makan malam di sana bersama
orangtuanya. Kenapa kita nggak bisa pergi ke sana"
Kenapa Ibu dan Ayah nggak pernah pergi ke sana" Tempat itu menyenangkan dan ada
pemain piano yang bagus ...." Harriet menelan ludah dan berharap ibunya tidak
bertanya dari mana dia bisa tahu hal itu.
"Aku tidak bisa membayangkan apa yang begitu menarik dengan pergi ke tempat
itu." "Ayolah, oh, tolonglah, tolong, Bu. Aku akan melakukan apa pun yang Ibu katakan,
apa pun, APAPUN, selama sebulan, selama setahun, selama DUA TAHUN AKU AKAN
MELAKUKAN APA PUN YANG IBU
KATAKAN!" "Berhentilah berteriak, Sayang. Lagi pula, kamu akan melakukan apa pun yang
kukatakan. Apakah kamu ingin makan di luar malam ini"
Itu kan sebenarnya" Apakah kamu sudah bosan dengan makanan rumah?"
"Aku ingin makan di sana!"
"Sayang, itu bukan tempat orang tua bisa mengajak anak-anak!"
"BETH ELLEN AKAN PERGI DAN DIA MASIH ANAK-ANAK!"
"Tapi, orangtuanya ........... Aku tidak bisa menjelaskannya. Ada tempat-tempat
yang bisa didatangi dengan mengajak anak-anak, tapi akan lebih baik kalau tidak
mengajak anak-anak. Sekarang, kita bisa makan lobster yang enak kalau kamu suka itu. Kita bisa naik mobil ke Montauk atau Amagansett. Kamu mau itu?"
"IBU. Bukan itu intinya." Harriet mulai lagi dengan sangat sabar.
"Beth Ellen pergi ke sana malam ini. Aku pikir, kenapa kita tidak pergi ke sana
kapan-kapan, misalnya malam ini."
"Yah, kapan-kapan kita bisa ke sana, mungkin. Ibu akan bicarakan dengan ayahmu
hari Jumat. Mungkin kita bisa ke sana kalau Ayah ada di sini."
"Itu sudah TERLAMBAT!" teriak Harriet menggila. Dia lari melewati ibunya yang
melongo, keluar menuju dek, turun ke teluk dan menjatuhkan dirinya dengan putus
asa di atas pasir yang sangat basah.
Tepat pada saat yang bersamaan, Beth Ellen berendam di dalam bak mandi sambil
memandangi tubuhnya. Dia dan ibunya baru saja kembali dari Elizabeth Arden. Dia
harus langsung mandi dan berpakaian sebelum mereka keluar untuk makan malam.
Dia berbaring di sana dengan pikiran kosong. Dia menekukkan lehernya supaya
bagian belakang rambutnya tidak basah. Rambut lurus.
Beth Ellen ingat, sekarang rambutnya menjadi lurus. Zeeney sudah memerintahkan
agar rambut Beth Ellen ditarik sekeras mungkin untuk membuatnya lurus. Zeeney
bahkan sudah mendiskusikan kemungkinan untuk meluruskan rambut Beth Ellen
memakai proses yang baru, tapi Jimmy, sang penata rambut, tidak menganjurkannya.
Beth Ellen sedang membaca buku favoritnya didalam bak mandi, setelah
mengeluarkannya dari persembunyian di bawah tempat tidur. Dia membalikkan
halaman dengan hati-hati walaupun agak basah.
Rambutku lurus. Aku dipanggil Beth. Dia sudah mendengar Zeeney dan Wallace
membicarakannya pagi itu saat sarapan, seolah-olah Beth Ellen hanya sepotong
roti. Zeeney berkata, "Kupikir kepalanya terlalu kecil." Wallace tidak setuju,
tapi mengatakan, "Tidak. Kupikir tidak begitu, tapi lututnya memang aneh."
Rambutku lurus. Aku dipanggil Beth. Kepalaku terlalu kecil dan lututku aneh.
Tiba-tiba, dia ingin memasukkan kepalanya ke dalam air dan membuat semuanya
berantakan. Kepalanya akan kembali menjadi miliknya, dengan jutaan keriting yang
muncul sekehendak hati mereka.
Harriet akan melakukan itu, pikir Beth Ellen. Dia berusaha membayangkan Harriet
di Elizabeth Arden dan tertawa terbahak-bahak.
"Beth Ellen" Kamu yang tertawa di dalam sana?" Itu suara Zeeney.
"Ya," kata Beth Ellen perlahan dan berusaha menyembunyikan buku itu di balik
tirai mandi meskipun dia tahu kalau pintunya terkunci.
"Berhenti bermain-main di bak mandi. Kita ditunggu jam enam dan aku harus
mendandanimu." Suara Zeeney dingin, bingung, tegang.
"Aku akan berdandan sendiri," kata Beth Ellen. "Oh, terserah, " kata Zeeney.
Beth Ellen bisa mendengar Zeeney pergi ke luar kamar sambil membanting pintu di
belakangnya. Beth Ellen keluar dari bak dan mengeringkan dirinya. Dia hampir-hampir tidak
mengenali dirinya sendiri di kaca dengan rambut lurusnya yang aneh.
Suara kursi roda neneknya terdengar. Melalui pintu, Nyonya Hansen berkata dengan
sangat lembut, "Segeralah, Beth Ellen Sayang.
Temperamennya jadi sangat buruk."
Naluri pertama Beth Ellen adalah meraih bukunya dan menyembunyikannya di lemari
seprei. "Ya, Nenek," ujarnya pada akhirnya.
"Dan biarkan dia mengancingkan bajumu," kata neneknya dengan suara aneh, agak
takut. "Kamu tahu, dia senang mengurusimu sedikit.
Dan biarpun kita tahu kalau kamu bisa berdandan sendiri, hal itu akan
menyenangkan ibumu. Kamu harus memakai baju putih karena dia juga memakai baju
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih, Sayang. Sekarang bergegaslah."
Kursi roda itu pergi menjauh dan Beth Ellen berdiri sambil berpikir.
Aku ingin memasukkan kepalaku ke dalam bak, berlarian tanpa baju, dan
menyiramkan air ke seluruh pakaian putih Zeeney. Kenapa dia selalu memakai baju
putih" Malam ini dia sudah memutuskan untuk memakai baju putih karena itu pula
yang akan dikenakan Agatha. Aku akan membenci warna putih seumur hidupku, pikir
Beth Ellen. Aku tidak akan pernah lagi memakai baju berwarna putih.
Setelah dia selesai memakai baju, Zeeney sudah mengancingkan bajunya dengan
kacau, dan neneknya sudah mengulang mengancingkan bajunya, Beth Ellen dituntun
oleh Wallace ke dalam mobil balap itu.
Zeeney terlambat karena dia harus melihat penampilannya di kaca sekali lagi.
Wallace menyalakan mesin dengan keras.
Sebuah sepeda melindas kerikil-kerikil. Beth Ellen mendongak dengan terkejut
ketika melihat Jessie Mae yang berhenti di dekatnya.
"Halo," kata Beth Ellen tiba-tiba, yang anehnya merasa senang bertemu dengannya.
"Hai," kata Jessie Mae. "Aku berpikir-pikir, mungkin kamu dan temanmu mau datang
untuk makan malam di rumahku" Mama nggak ada dan aku memasak." Wajah Jessie Mae
yang berbintik-bintik cerah karena rencananya dan mata kecil cokelatnya
bersinar. "Aku nggak bisa," kata Beth Ellen, bersyukur karena Wallace begitu sibuk
mendengarkan suara mesin sampai dia tidak menyadari kehadiran Jessie Mae. "Aku
harus pergi ke Shark's Tooth Inn untuk makan malam."
"Oh," kata Jessie Mae, "Aku melihatmu di sana tadi malam. Pria di bengkel sepeda
memberi tahu aku tempat tinggalmu. Norman sekarang bekerja disana."
"Aku tahu," kata Beth Ellen.
"Dia nggak bisa nyetir dan mereka nggak tahu itu," kata Jessie Mae dengan suara
sangat khawatir. "Aku pergi tadi malam untuk mengawasi dia, tapi aku nggak bisa
pergi tiap malam. Aku harus mengawasi Magnolia."
"Aku akan mengawasi Norman," kata Beth Ellen sambil membayangkan bagaimana dia
akan melakukannya. Tapi, dia merasa dia harus mengatakannya karena Jessie Mae
tampak begitu khawatir. "Oh! Maukah kamu?" wajah berbintik itu menjadi santai dan tersenyum hangat.
"Kurasa aku akan menunggu mengajak temanmu sampai kamu bisa datang. Bisakah kamu
datang besok?" "Aku nggak tahu," kata Beth Ellen, "Lihat saja nanti." Aku tidak berencana
tinggal di Shark's Tooth, pikirnya.
"Ayo berangkat, Sayang," ujar Zeeney dengan keras sambil berjalan melewati
mereka, mengerling pada Jessie Mae dan meninggalkan mereka dalam lautan aroma
minyak wangi. Jessie Mae melongo. "Itukah ibumu?" ujarnya liar
"Ya," kata Beth Ellen buru-buru dan masuk kedalam, ke depan persneling. Zeeney
membanting pintu dan melotot lagi pada Jessie Mae.
Mobil itu meluncur begitu kencang dari jalan mobil di halaman sampai Jessie Mae
benar-benar tertutup debu dan bahkan terkena sedikit lemparan kerikil.
"Minta ampun, tadi itu apa?" tanya Zeeney terkejut. Tapi, dia tidak benar-benar
menginginkan jawaban, jadi Beth Ellen tidak mengatakan apa-apa. Temanku,
jawabnya pada dirinya sendiri dan berharap sepenuh hati untuk bisa pergi ke
rumah Jessie Mae. 19 Agatha Plumber "Sekarang, ingat, Harriet , aku akan memesan satu minuman dan kamu akan minum
satu gelas Coca-Cola, itu saja! Janji adalah janji, dan kamu sudah berjanji
tidak akan memohon untuk makan malam. Kita hanya akan masuk, mendengarkan
pianonya sebentar, lalu pergi dan makan lobster."
"Oke." Wajah Harriet dipenuhi senyum. Dia bahkan akan mengiyakan permintaan
Bangau Sakti 17 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Pendekar Baju Putih 6
Mereka nggak pernah membicarakan hal-hal seperti ini, dan neneknya berpikir,
lebih baik mengatakan hal semacam itu kepadanya daripada mengatakan hal yang
sejujurnya." "Apa yang sejujurnya?" tanya Harriet antusias.
Beth Ellen tidak peduli tentang hal yang sejujurnya. Batu-batu itu cukup buruk
untukdipikirkan. Seperti apa hal yang sejujurnya"
"Sekarang kamu bisa melihat dengan jelas," kata Janie, tampak seperti guru yang
membosankan,"bahwa orang-orang harus belajar untuk hidup dengan fakta'. Fakta
tidak, pernah seburuk fantasi yang mereka buat."
"Oh, Janie, lanjutkan saja," kata Harriet, "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Ah, pertanyaan bagus," kata Janie.
"JANIE!" kata Harriet sebal. Janie bisa menjadi sangat dramatis dan
menjengkelkan kalau dia berubah filosofis.
"Oke, oke , " kata Janie, seolah-olah mereka berdua terlalu bodoh untuk
menghargainya, "sebenarnya sangat sederhana. Aku akan menjelaskannya." Dia
duduk, seolah-olah hal itu akan makan waktu lama.
"Sekarang, kalian tahu kalau bayi tumbuh didalam tubuh seorang wanita, di dalam
rahimnya, dikandungan?"
Mereka mengangguk. "Nah. Kalian pikir, di mana bayi hidup saat dia tumbuh?"
Mereka berdua bengong. "Di dinding rahim, bodoh!" teriaknya pada mereka berdua.
Mereka mengerjap. "Jadi, hal ini sangat sederhana. Jika kau punya bayi yang tumbuh di dalam rahim,
bayi itu akan hidup di dindingnya; tapi kalau kau tidak punya bayi, seperti kita
ini, maka tubuh kita dengan pintar akan membuang dinding rahim yang dibuat untuk
si bayi. Dinding rahim itu akan luruh begitu saja."
"Jatuh keluar begitu saja dari dalam?" jerit Harriet.
Oh, pikir Beth Ellen, kenapa aku"
"Nggak, nggak, nggak. Kamu selalu melebih-lebihkan, Harriet .
Kamu akan jadi ilmuwan yang buruk. Kamu harus menguasai masalah.
Benda itu nggak jatuh keluar begitu saja seperti yang kamu bilang; ia luruh
sedikit demi sedikit, yah, katakan saja, selama empat sampai enam hari,
tergantung pada si wanita. Pada satu waktu, jumlahnya sangat sedikit, dan hal
itu nggak membuat sakit atau apa pun. Kamu cuma merasa lelah."
"Aku kesakitan," kata Beth Ellen.
"Yah ..." kata Janie, "kadang-kadang ada sedikit rasa sakit, tapi sebenarnya
nggak terlalu parah. Sejujurnya, aku mencoba untuk nggak peduli soal itu,"
katanya seolah-olah dia sedang ditanya apakah dia menyukai buku tertentu."Wah,"
kata Harriet . "Hal lain yang nggak aku suka adalah, orang-orang yang membuat cerita konyol
soal ini, seperti cerita tentang batu-batu itu. Kenapa orang-orang nggak bisa
menerima hidup seperti apa adanya?"
Beth Ellen membayangkan neneknya yang menerima hidup apa adanya. Dia tidak bisa
membayangkan neneknya membicarakan soal bayi-bayi, dinding rahim, tuba falopii
(saluran dari rahim ke indung telur), dan seterusnya. Dia merasa sedikit kasihan
pada neneknya. Mungkin neneknya hanya berusaha membuat hal itu terasa lebih
menyenangkan untuknya, tapi itu salah karena cerita batu-batu itu malah
membuatnya takut. "Masalahnya adalah," kata Harriet, "apakah nenekmu benar-benar
percaya bahwa batu-batu itu benar-benar ada" Mungkin kita harus memberitahu
dia." "Tentu saja nggak," kata Beth Ellen, "dan kamu nggak akan memberitahu dia apa
pun." "Itu konyol," kata Janie pada Harriet. "Kamu nggak mempertimbangkan perbedaan tiap generasi."
"Yah!" kata Harriet, cukup kesal. "Daripada hanya bicara saja, kenapa kamu nggak
membuat obatnya?" "Aku pasti akan mengobati hal ini, kalau ini hal terakhir yang bisa dilakukan."
Janie memandang keluar jendela dengan tekad yang bulat, seolah-olah ada obat
yang sedang duduk di halaman belakang.
"Aku nggak sabar untuk menstruasi," kata Harriet.
"Yah," ujar Janie, "sebaiknya begitu karena semua orang juga seperti begitu.
Kamu akan merasa cukup aneh kalau kamu tidak mendapatkannya. Lagipula, kamu
harus melewatkan pelajaran olahraga kalau kamu sedang menstruasi."
"Oh, yaaa?" kata Harriet dan Beth Ellen serempak. Mereka berdua benci pelajaran
olahraga. "Yap," kata Janie dengan salah satu senyum bengalnya.
"Wah!" kata Harriet .
Itu, pikir Beth Ellen, sudah pasti sebuah keuntungan.
10 Memata-matai Bunny Beth Ellen, Harriet , dan Janie berdiskusi tentang tujuan hari itu.
"Ayo kita kembali dan melihat Mama Jenkins. Dia pernah menyuruh kita datang lagi
kapan-kapan sebelum mereka bekerja untuk minum limun, ingat?" kata Harriet ,
memandang Beth Ellen. Sepertinya, itu terjadi seribu tahun yang lalu, pikir Beth Ellen, tapi dia cuma
mengatakan, "Ayo kita pergi ke hotel."
'"Ayo pergi ke hotel, ayo pergi ke hotel' - itu saja yang selalu kamu katakan,"
kata Harriet. "Hotel apa?" tanya Janie. "Oh ya, kupikir orang-orang di sini pergi ke pantai.
Bukannya kalian datang kemari untuk itu?"
Harriet menatap Janie. Beth Ellen tahu apa yang sedang Harriet pikirkan: Janie
adalah tamu dan mereka harus melakukan apa pun yang dia inginkan. Dia
memerhatikan Harriet dan perjuangan batinnya.
"Yaah. Ayo kita ke pantai," kata Harriet lemas, tapi bersahabat.
"Aku sih nggak peduli," kata Janie. "Lagi pula, matahari akan membuatmu terkena
kanker kulit." "Bagaimana kalau kita melakukan ketiganya?" kata Harriet, sepertinya sebuah bola
lampu baru saja menyala di kepalanya.
"Asyik," kata Janie.
Beth Ellen merasakan senyum rahasia yang tidak akan dia biarkan muncul di
wajahnya. Dia akan melihat Bunny. Entah bagaimana, tapi perasaannya tentang
melihat Bunny sudah berkurang karena rencana kunjungan ibunya dan penemuannya
tentang kedewasaan dirinya.
Sekarang pikiran tentang Bunny kembali sebagai kesenangan masa kanak-kanak yang
hangat, seolah-olah Bunny adalah seekor kelinci betulan dan dirinya sedang mulai
mencari telur berwarna pada pagi hari Paskah.
Janie dan Harriet sudah memakai baju renang mereka. Mereka sudah bangun pagi dan
segera memakainya, jadi sekarang mereka tinggal mengenakan celana pendek
sementara Beth Ellen menunggu.
"Aku nggak akan memakai ini," kata Janie nyaring. Mereka menatapnya, sepertinya
dia sedang berbicara pada sebuah kemeja - besar dan berbunga-bunga. "Ibuku
memasukkannya ke dalam tas, aku tahu itu. Aku nggak pernah melihat benda ini
sebelumnya selama hidupku."
"Kuharap aku nggak pernah melihatnya," kata Harriet dengan kasar. "Mungkin aku
bisa menguburnya di suatu tempat," kata Janie.
"Aku akan membawanya pulang untuk juru masakku," kata Beth Ellen. "Dia punya
banyak anak dan cucu."
"Sempurna," kata Janie dan melemparkan kemeja itu padanya.
Beth Ellen melipatnya dengan rapi dan berniat untuk menyimpannya di keranjang
sepeda. Setelah mereka semua siap, mereka menuruni tangga.
Nyonya Welsch sedang berjemur di dek. "Makan siang kalian ada di meja dapur,"
serunya pada Harriet. "Aku memberi Janie sesuatu yang berbeda, tapi kalau dia
mau tomat, dia bisa minta sedikit punyamu."
"Tidak, terima kasih, Nyonya Welsch," kata Janie. "Aku tidak terlalu terpesona
oleh tomat seperti anak Anda."
Nyonya Welsch tertawa. "Aku senang mendengarnya. Aku mulai berpikir kalau dia
ketularan penyakit itu di sekolah."
Mereka meraih kantong-kantong kertas itu dan lari melewati dek untuk melompat ke
atas sepeda mereka. "Jangan terlalu sore," kata Nyonya Welsch. "Ayahmu sedang di Montauk membeli
lobster. Kita akan piknik di tepi pantai sambil menikmati makanan laut malam
ini." Harriet dan Janie berteriak keras, "Horeee!" Beth Ellen memandang keranjang
sepedanya dengan kikuk. "Menurutmu, apakah kamu juga bisa ikut, Beth Ellen?" tanya Nyonya Welsch. Beth
Ellen mengangguk. "Begini saja. Aku akan menelepon nenekmu selagi kamu pergi. Aku yakin dia tidak
akan keberatan." Nyonya Welsch punya senyum yang indah. Beth Ellen balas
tersenyum, senyuman yang lebar. Betapa menyenangkannya kalau tidak harus
memikirkan Zeeney untuk semalam.
Mereka melambai pada Nyonya Welsch dan meluncur keluar dari halaman. "Ke mana
dulu?" tanya Harriet tanpa berbalik.
"Kalau hotel ini bagaimana?" tanya Janie.
"Oke, hotel dulu," kata Harriet, yang tidak mendengar dengan saksama.
Bersyukur karena tidak perlu meminta lagi untuk pergi ke sana, Beth Ellen
mengayuh sepedanya dengan penuh energi. Tak lama kemudian, ketiganya meluncur
cepat seriang burung-burung. Jalan yang mereka lalui datar dan menyenangkan,
tidak ada jalan raya atau rel kereta menyeramkan yang harus diseberangi.
Harriet bersepeda agak di depan. Beth Ellen dan Janie, merasakan panasnya
matahari, mengayuh lambat-lambat agak di belakang. Harriet ragu-ragu kalau harus
memata-matai beramai-ramai. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya.
Sepertinya, itu sama sekali tidak efektif. Jauh lebih mudah menangkap tiga orang
daripada satu. Dia memutar sepedanya dan kembali pada Beth Ellen dan Janie untuk
mengatakan hal ini. "...jadi setelah itu," Janie sedang berbicara ketika Harriet
berhenti di samping mereka, "dinding rahim itu terbentuk kembali."
"Oh, ya Tuhan," kata Harriet, "tidak bisakah kalian membicarakan hal lain?"
Harriet terdengar begitu galak sehingga mereka menutup mulut begitu saja dan
memandangnya. "Yah," kata Janie dan tersenyum penuh kemenangan, "itu karena kamu belum-"
Harriet tahu betul hal yang akan dia katakan dan merasa betul-betul jengkel
sehingga dia cepat memotong dan berteriak, "Dengar, ya, kalian berdua, aku
mungkin belum berkembang, tapi aku tahu banyak soal memata-matai dan seumur
hidupaku belum pernah mendengar tiga orang pergi memata-matai."
Mereka berdua memandangnya sebisa mungkin, mengingat mereka semua sedang
meluncur terbang. "Jadi?" kata Janie.
"Yah, sekarang kamu sudah dengar," kata Beth Ellen.
Harriet menatap heran pada Beth Ellen. Sama sekali bukan sifat Beth Ellen untuk
bicara tajam. "Beri tahu dia, Tikus," kata Janie dan tertawa.
"Yah," kata Harriet, "kalau kalian tertangkap karena tidak berpengalaman, jangan
salahkan aku. Dan jangan pernah katakan kalian mengenalku. Nggak ada yang saling
kenal kalau kita tertangkap."
"Kita hanya tiga cewek aneh yang berkeliaran ke hotel, begitu?"
tanya Janie, lalu menambahkan, "Itu bukan alasan yang tepat. Orang bodoh mana
yang akan memercayainya?"
"BUNNY!" teriak Harriet dan hampir jatuh dari sepeda karena gurauannya.
Beth Ellen meradang, tapi tidak mengatakan apa-apa. Bunny bukan orang bodoh. Dia
adalah pria manis yang pandai main piano. Beth Ellenmemikirkan wajah tembemnya
yang manis saat dia bernyanyi dan bermain piano.
Harriet , yang sudah merasa lebih baik, melesat ke depan.
"Siapa Bunny?" tanya Janie.
"Pemain piano di hotel," kata Beth Ellen judes dan mengayuh lebih cepat. Janie
menyusul dan tak lama kemudian mereka tiba di hotel itu.
Mereka menyandarkan sepeda-sepeda mereka di pagar tanaman yang tinggi itu.
Janie, yang tidak tahu apa-apa, mulai berjalan kehalaman depan. Harriet menarik
kemejanya dan dengan panik menyeretnya kembali. "Dengar,"Harriet mendesis, "kamu
ingin membuat kita semua terbunuh" Sekarang kamu ikuti aku karena aku tahu apa
yang sedang kulakukan."
Lalu, mereka mendengar suara itu. Beth Ellen berdiri tersihir. Itu suara piano
di bar. Bunny sedang melatih sebuah lagu baru. Beth Ellen harus disadarkan dari
lamunannya oleh Harriet, yang berbisik dengan keras di telinganya, "Cara terbaik
untuk masuk ke bar pada saat seperti ini adalah melalui pintu depan. Nggak ada
seorang pun disana, dan kita nggak bisa masuk lewat dapur karena si koki ada di
sana." Harriet membariskan mereka seperti tentara. "Cara terbaik agar nggak ketahuan
adalah langsung masuk saja tanpa tampak mencurigakan." Dia memimpin mereka
berjalan melewati halaman dan menuju pintu depan. Bar itu berada di sebelah
kanan, ruang makan di sebelah kiri. Harriet menarik mereka ke ruang makan yang
kosong. Kain-kain putih yang panjang tampak membentang bermeter-meter
panjangnya. "Hal terbaik yang harus dilakukan," bisiknya, "adalah masuk ke pintu belakang
bar, jadi kita keluar dari belakang bar. Lalu, kita bisa melihat apa yang sedang
Bunny kerjakan dengan mengintip, dan dia nggak akan melihat kita. Ikuti aku."
Dia memimpin kedua temannya melewati ruang makan menuju pintu belakang yang
menembus ke ruang tengah dan langsung berseberangan dengan pintu belakang bar.
Mereka berjingkat-jingkat melintasi ruang tengah, kemudian, mencontoh Harriet,
menunduk rendah saat mereka memasuki bar. Hidung mereka berhadapan langsung
dengan ribuan botol yang baunya agak tidak enak.
Harriet menunjukkan posisi yang berbeda untuk mereka dan mereka menuruti
perintahnya. Kemudian, dengan gerakan lambat, Harriet mengintip ke atas bar,
lalu berjongkok. Wah, ini membosankan sekali, pikirnya. Di sana cuma ada Bunny yang sedang
bermain piano. Aku akan biarkan Beth Ellen memandangnya sepuas hatinya, lalu
kita akan keluar dari sini.
Tepat pada saat itu, telepon yang terletak diatas bar berdering.
Bunny tidak berhenti bermain. Seseorang akan datang, pikir Harriet, dan sebagai
mata-mata yang baik, dia bersembunyi. Masalahnya, tidak ada tempat lain untuk
bersembunyi selain tempat pendingin bir itu.
Harriet mengendap-endap kesana, mengangkat tutupnya dan masuk. Dia membuat
keributan besar di atas botol-botol bir itu dan sepatu kanvasnya jadi basah,
tapi itu tidak bisa dihindari. Dia menarik tutup kotak itu kearahnya, menyisakan
sedikit ruangan untuk bernapas, dan memikirkan apa yang sedang dilakukan kedua
temannya. Bunny berhenti bermain dan menjawab telepon. "AGATHA, Sayang!"
teriaknya. Sepertinya dia selalu berteriak. "Ya, Sayangku, aku baru saja kembali
dan gereja. Aku sedang membuat sesuatu di sini ... berlatih, ya."
Agatha, pikir Harriet ; kenapa nama itu kedengarannya akrab" Dia memikirkan
dengan tegang apa yang sedang dilakukan Beth Ellen dan Janie sekarang.
Beth Ellen, meskipun setengah mati ingin memandang Bunny, sudah menjatuhkan diri
dan menelungkup ketakutan di lantai bar. Janie, yang dikalahkan oleh
keingintahuan ilmiahnya, hanya berdiri dan memandang Bunny. Punggung Bunny
menghadap Janie. Dia begitu asyik dengan percakapannya sehingga tidak menyadari
kehadiran Janie, jadi Janie berjongkok kembali sesudah melihat sedikit.
"Yah, tentu, Sayang, ya ... jangan khawatir tentang Bunny tua ini, Sayang, aku
akan mengurus hal ini. Aku cuma akan bilang pada mereka kalau Nyonya Plumber
menyuruhku untuk menagihnya."
Nyonya Plumber!. Harriet hampir berdiri dan berteriak. Bunny sedang bicara pada
Agatha Plumber. Harriet tidak memercayai pendengarannya. Agatha Plumber adalah
salah satu orang yang paling istimewa yang dimata-matai Harriet sepanjang musim
dingin lalu (Baca: Harriet si Mata-Mata). Dia seorang wanita tua kaya yang
tingkahnya tak keruan dan selalu berusaha mencari-cari sesuatu yang menarik
untuk dikerjakan. "Yah, Sayang, aku memang berpikir bahwa kau seharusnya mengurusi beberapa hal di
sini sekali-sekali ...Ya, aku tahu ... Tapi, kami harus ingat, di sini tidak ada
manajer ... Yah, aku tahu pria itu sudah menghilang ... Tapi, aku sudah
menjalankan klub-klub di seluruh dunia, Agatha, diCapri, di Roma, Paris, New
York, dan-aku melakukan apa yang aku bisa di sini, tapi Agatha, kamulah
PEMILIKNYA!" suara serak Bunny yang seperti kodok menjadi makin samar bersama
tiap teriakan. Harriet duduk terpana di atas es. Agatha Plumber adalah pemilik tempat ini"
"Sayang, aku dan istriku menjalankan sebuah klub seperti mesin yang sudah
panas ... Aku tidak peduli ...Ya, pecat saja aku ... Aku tidak peduli ...Kamu
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjalankan tempat ini seperti kereta dorong!" Bunny membanting telepon dan
sambil mengentakkan kaki kembali ke piano.
Musik yang garang dan menggelegar memenuhi ruangan saat dia duduk.
Bunny bermain piano dengan marah. Dia bermain dengan sangat keras sampai papan-
papan lantai bergetar. Harriet keluar dari kotak pendingin itu dengan memanfaatkan suara piano yang
menggelegar. Dia memberi isyarat pada Janie, yang sedang berlutut dengan tenang,
dan pada Beth Ellen, yang sedang memandangnya dan lantai. Mereka mengendap-endap
mengikutinya. Harriet berlari seperti burung yang kebasahan menuju ruang utama, sepatu
kanvasnya basah kuyup. Kedua temannya berlari mengikuti jejaknya yang becek dan
sebentar kemudian mereka semua sudah berada di luar.
"Ya Tuhan," kata Harriet ; "pergelangan kakiku membeku." Saat mereka berjalan
melintasi halaman depan, mereka mendengar telepon di bar berbunyi kembali.
"Kasihan Bunny," kata Beth Ellen. "Dia harus mengerjakan semuanya."
Harriet memandangnya. Dia bersiap-siap untuk mengolok-olok Beth Ellen, lalu
membatalkan niatnya. "Mungkin begitu, jika pemiliknya seperti Nyonya Plumber,"
ujarnya dengan nada penting.
"Siapa dia?" tanya Janie.
"Oh, cuma seorang wanita yang kukenal di New York," kata Harriet acuh tak acuh.
Mereka menaiki sepeda. "Apakah Bunny ...sudahkah Bunny ...?"
Beth Ellen, putus asa, ingin sekali mengetahui sesuatu tentang Bunny dan Agatha
Plumber, tapi tidak tahu bagaimana mengatakannya.
"Wah," kata Harriet , terpukau oleh ide itu, "Aku nggak tahu!"
Beth Ellen terhenyak. Mungkin si Agatha ini akan menikahi Bunny dan membawanya
pergi. "Ayo," kata Harriet. "Mari kita pergi ke rumah Mama Jenkins." Dia mendorong
sepedanya. Janie dan Beth Ellen mengikuti.
Meskipun sekarang matahari bersinar terik, mereka mengayuh dengan sangat cepat
dan dengan segera mereka memasuki jalan mobil di halaman rumah keluarga Jenkins.
Keheningan yang aneh melingkupi rumah itu. Mereka berhenti di belakang dan
melihat garasi yang kosong.
Kuah raksasa itu sedang mendidih dengan hebat, tapi tidak ada seorangpun yang
mengawasinya. Kebanyakan semangka itu sudah tidak ada, tapi yang masih tersisa
cukup untuk memberi makan ribuan orang.
"Apa ITU?" tanya Janie. Dia meletakkan sepedanya di tanah dan mendekat untuk
melihat kedalam kuah. "Kamu tahu, ini bisa menimbulkan kebakaran." Janie
mengintip ke dalam campuran yang sedang bergolak itu.
Harriet sudah menaiki tangga belakang dan mencoba membuka pintu belakang.
"Dikunci," ujarnya yakin. "Mereka nggak ada di sini."
"Ini obat untuk jari kaki," kata Beth Ellen pada Janie.
"APA?" Janie tampak heran. "Itu menggelikan. Bagaimana kamu bisa membuat obat
jari kaki dari semangka?"
"Yah, aku nggak tahu, tapi, memangnya kamu pernah mencoba?"
tanya Harriet cerdas. "Huh!" kata Janie.
"Ayo," kata Harriet. "Mereka sudah pergi kesuatu tempat." Dia menaiki sepedanya
dan meluncur keluar dari jalan mobil di halaman rumah itu. Janie dan Beth Ellen
mengikuti. "Ayo kita kepantai!" Harriet berteriak pada mereka.
Janie memakai topi anyaman lebarnya seolah-olah kanker akan menyerangnya sebelum
dia sampai di sana, lalu mereka bersepeda di tengah hari yang terik.
11 Bisnis Toilet Bekas Mereka bertiga duduk di pantai setelah berenang cukup lama. Janie sedang membaca
jurnal kimia dan Beth Ellen sedang memandangi lautan.
Harriet sedang mengerjakan cerita tentang Bunny. Dia sudah memutuskan bahwa
Bunny telah dibesarkan oleh seorang bibi yang sangat tua karena orang tuanya
menghilang. Harriet berencana, jika dia tidak berhasil menangkap si penulis
pesan sampai akhir musim panas nanti, dia akan menjadikan Bunny sebagai
penjahatnya. Supaya hal ini bisa dipercaya, Harriet memutuskan untuk menjadikan
Pak Pendeta sebagai ayah Bunny yang telah lama menghilang. Dia menggigit-gigit
pensilnya dan memikirkan tentang ini. Bunny sama sekali tidak mirip Pak Pendeta,
itu saja kekurangannya. Mungkin lebih baik kalau Agatha ternyata adalah ibu
Bunny, atau biarkan saja Agatha menikahi Bunny dan semuanya berakhir dengan
bunga-bunga putih dan orkestra pernikahan.
Itu sebuah masalah. Harriet menggigit-gigit pensilnya dan memandangi sekeliling pantai.
Untuk hari sepanas ini, pantai tidak terlalu penuh. Dia menoleh dan memerhatikan
segala arah. "Hei!" ujarnya tiba-tiba dan menunjuk ke puncak bukit pasir di belakang mereka.
Beth Ellen menoleh dan mengikuti pandangan Harriet. Matanya melebar.
Janie mendongak dengan jengkel. "Nggak bisakah kita menikmati sedikit kedamaian
dan keheningan disini?"
"Nggak ada seorang pun yang bicara selama sejam," semprot Harriet, matanya tidak
pernah meninggalkan bukit itu. Di seberang bukit pasir, Mama Jenkins berjalan
seperti raksasa yang sedang mencari makanan. Norman dan Jessie Mae berjalan
tersandung-sandung di belakangnya. Magnolia tampak seperti titik yang sedang
menggeliat-geliat. "Dengar, Beth Ellen," kata Harriet, "ini kesempatan kita."
Beth Ellen memandangnya dengan terkejut dan Janie menarik topinya menjauhi
matanya dan menyembunyikan hidungnya di balik jurnal. Mereka terbiasa pada
kelakuan gila Harriet . Harriet menarik buku mata-matanya dan menulis:
Saat mereka sedang berenang, mungkin aku bisa memeriksa barang-barang mereka dan
siapa pun yang memiliki krayon merah pasti si penulis pesan. Mungkin aku bisa
membiarkan Bunny memecahkan kasus ini di ceritaku, menjadikan dia seorang
detektif dan nggak ada seorang pun yang tahu tentang hal itu. Tapi, bagaimana
aku bisa membuatnya memecahkan kasus ini kalau aku sendiri nggak bisa
memecahkannya" Harriet mengamati mereka berjalan melewati pasir di puncak bukit pasir itu.
Norman membawa semua handuk dan Jessie Mae menjinjing keranjang piknik yang
sangat besar. Mama Jenkins tidak membawa apa-apa. Magnolia kerepotan karena
beratnya dinosaurus karet besar berwarna hijau yang dia bopong.
"HEI!" kata Harriet dan berteriak-teriak terus sambil berlari menyeberangi pasir
menuju mereka. Akhirnya, mereka mendengarnya dan Mama Jenkinsberhenti, diam
seperti batu. Ketika akhirnya keluarga Jenkins sampai ke bawah bukit pasir,
Harriet berteriak, "Kenapa kalian nggak duduk di sini saja" Dekat air lebih
sejuk." Mama Jenkins memandang ke bawah, ke arahnya, dan tertawa.
"Hai," kata Jessie Mae dan Norman mengumpat. Magnolia terkekeh.
"Ayo ke bawah sana, Mama," kata Jessie Mae.
Mama Jenkins tertawa dan meluncur menuruni bukit pasir itu. Dia mengenakan
pakaian hitam yang tampaknya selalu dia kenakan, tapi itu tidak menghentikannya
untuk meluncur di tengah longsoran pasir sampai ke dasar bukit. Dia hampir saja
menghantam Harriet ketika mendarat, tapiHarriet sudah meloncat untuk menghindari
tubrukan dengan sisa keluarga Jenkins, yang datang dengan semrawut setelah ibu
mereka. "Nah, Anak Ayam, di mana tempat yang nyaman itu?" tanya Mama Jenkins.
"Di sebelah sini, di tempat kami," kata Harriet sambil berpikir saat dia
melakukan itu, Janie akan membunuhku.
Mama Jenkins memimpin mereka berjalan terseok-seok melewati pasir menuju Janie
dan Beth Ellen, yang mengawasi langkah-langkah mereka yang mendekat dengan mulut
menganga. "Sepertinya di sini lebih sejuk," kata Mama Jenkins, menjatuhkan diri di samping
Janie yang memandangnya dengan wajah sengsara, lalu mengubur dirinya di bukunya
lagi. Norman, Jessie Mae, dan Magnolia seolah-olah langsung memenuhi tempat itu,
membentangkan handuk dan mengeluarkan semua barang mereka dari keranjang besar
itu. Mama Jenkins seperti tidak peduli soal handuk, tapi langsung duduk di atas
pasir. "Jessie Mae, ini Janie. Janie, ini Mama Jenkins dan Norman dan Jessie Mae dan
Magnolia, dan kalian kenal Beth Ellen." Harriet melakukannya cepat karena dia
mulai berpikir, apa yang bisa dilakukan Janie.
"Hai, Kamu-Kamu," kata Jessie Mae dengan sikap ramah. Magnolia mengambil paha
ayam dari keranjang piknik, lalu memakannya. Norman berlari menuju laut. Mama
Jenkins mengangguk pada mereka dan mengipasi dirinya dengan sebuah buku. "Panas
banget, ya?" "MAMA!" jerit Jessie Mae begitu keras hingga mereka semua terloncat, "jangan
lakukan itu. Itukan Kitab Suci!"
Mama Jenkins memandang takjub pada Alkitab yang dia gunakan untuk mengipasi
dirinya. "Oh, ya. Kenapa benda ini ada di sini?" Jessie Mae merampasnya, tapi
Mama Jenkins menggodanya dengan terus memegang buku itu. "Tapi, ini kipas yang
bagus banget," kata Mama Jenkins dan menyemburkan tawa yang membuat Janie duduk
tegak. Jessie Mae melompat mendekati Mama Jenkins, tapi dia hanya membuka Alkitab itu
dengan tangan. "Lihat ini," ujarnya sambil membaca,
"Diberikan pada Sekolah Minggu Saint John untuk mengenang Nona Eulalee Banks.'
Siapa si Eulalee ini, Jessie Mae?"
Jessie Mae merampas Alkitabnya dan sekarang berkata dengan kesal, "Mama ingat,
dia anak kecil yang hangus terbakar itu."
"Oh, ya, aku ingat sekarang, anak perempuan Harvey Banks itu, menyalakan terlalu
banyak korek api, langsung hangus terbakar." Sambil berkata begitu, dia tampak
seperti sama sekali menjadi tidak tertarik dan memberikan buku itu pada Jessie
Mae. Jessie Mae langsung menyambarnya, seolah-olah itu satu-satunya hartanya.
Harriet memerhatikan semuanya dengan liar, pandangannya berpindah dan satu
pemain ke pemain lain dalam pertandingan tenis ini.
"Bukan bukunya yang suci, Jessie Mae," kata Mama Jenkins dengan nada bosan. "Isi
bukunya yang suci." Jessie Mae berdiri mematung. Harriet, Beth Ellen, dan bahkan Janie memandangnya,
menunggu reaksi berikutnya.
"Aku akan berenang," kata Mama Jenkins dan mengangkat dirinya untuk berdiri.
"Ayo Magnolia, aku akan membawamu berenang." Tanpa basa basi, dia mengangkat
Magnolia ke bahunya dan berjalan menuju air.
"Dia masih memakai baju!" kata Harriet, terkejut.
"Mama nggak pernah memakai baju renang; dia terlalu gemuk,"
kata Jessie Mae, memandang Mama Jenkins dengan tatapan kalah.
Mereka terpana, seperti semua orang di pantai itu, saat Mama Jenkins berjalan
langsung ke laut dan masuk ke air. Magnolia bertepuk tangan kegirangan saat Mama
Jenkins berjalan terus dengan langkah mantap.
"Wah!" kata Harriet , yang tidak bisa mengomentari pemandangan itu. Jessie Mae
duduk, meluruskan handuknya, dan tampak muram.
Harriet memerhatikannya dengan mata yang setengah terpicing, berpikir. Orang
aneh macam apa yang membawa Alkitab ke pantai" Pasti dia yang meninggalkan semua
pesan itu. Siapa lagi yang cukup gila untuk melakukannya" Tapi, bagaimana aku
bisa menangkapnya" Norman kembali ke handuk-handuk itu, mengaduk aduk keranjang piknik, dan mulai
memakan apa saja yang dia lihat.
"Norman, tanya pada mereka kalau-kalau mereka mau. Jangan rakus," kata Jessie
Mae, dan ketika Norman tidak berkata apa-apa, dia memandang mereka bertiga.
"Kamu-kamu mau ayam goreng" Ada banyak untuk semua orang. Mama membuat cukup
banyak untuk satu batalion."
Harriet memandang Norman yang sedang mengunyah dan berpikir, itu batalionmu.
Janie menjulurkan lengannya yang kurus seolah-olah Jessie Mae akan menggigitnya.
Jessie Mae memberinya beberapa potong ayam. Beth Ellen dan Harriet menolak.
Jessie Mae mengunyah paha ayam dengan perhatian terpecah dan memerhatikan Mama
Jenkins berada dalam air. Jessie Mae duduk dekat Harriet, jadi dia berkata pelan
padanya. "Aku nggak yakin, tapi Mama seharusnya memakai baju berenang di sini.
Lagi pula, kami nggak lagi di Mississippi."
Norman duduk di sampingnya. "Kenapa?" ujarnya dengan mulut penuh. "Lebih murah
seperti ini." "Uang bukan segalanya, Norman," kata Jessie Mae dengan nada yang membuat Harriet
berpikir kalau dia bersikap judes cuma karena Harriet ada disitu. "Aku cuma
nggak yakin kalau memakai baju hitam di air adalah cara yang normal."
"Kenormalan juga bukan segalanya," cela Norman dan menjulurkan tangannya sekali
lagi ke dalam keranjang piknik.
Sekarang Mama Jenkins sudah keluar dari air, bergerak seperti mobil perang hitam
melewati kumpulan orang yang mendongak dengan pandangan takjub. Baju hitamnya
menempel basah kuyup pada tubuhnya yang bergumpal-gumpal. Rambut cokelatnya
terjurai basah menutupi wajahnya yang berbintik-bintik. Tapi, wajahnya sangat
ceria dan Magnolia sedang berteriak-teriak karena senang.
Beth Ellen memerhatikan seluruh pemandangan itu dengan mata membelalak. Ada
sesuatu dalam keramahan sekaligus kekasaran mirip beruang dari keluarga Jenkins
yang membuatnya merasa gugup. Dan, entah bagaimana, takut. Mereka membuatnya
ingin bersembunyi supaya mereka tidak melihatnya secara mendadak dan memaksanya
memainkan permainan yang liar dan bebas. Beth Ellen memandang ke arah Janie,
yang diam-diam sedang memerhatikan setiap orang dari balik topi lebarnya. Dia
tahu Janie tidak takut karena Janie tidak takut pada apa pun. Harriet sudah
pasti tidak. Harriet mirip keluarga Jenkins, selalu langsung melakukan sesuatu
dan berpikir kemudian. Jessie Mae sendiri tidak terlalu buruk, pikirnya; tapi
anggota keluarganya yang lain. Dia memerhatikan Norman makan. Luar biasa,
pikirnya. Taruhan, aku tidak makan sebanyak itu selama seminggu.
Jessie Mae sekarang duduk di sampingnya dan memandangnya dengan ramah. "Yakin
kamu nggak mau" Enak banget, lho."
"Nggak, terima kasih," kata Beth Ellen.
Harriet mencondongkan kepalanya untuk menguping pembicaraan mereka.
Sekarang, Norman dan Mama Jenkins sedang memulai lomba berteriak di atas kepala
orang-orang. Mereka seolah-olah tidak menyadari kalau ada orang lain.
"Aku beri tahu, Nak," teriak Mama Jenkins, menyambung pembicaraan sebelumnya,
"selama kau hidup denganku, kau harus bekerja, dan itu akhir dari segalanya."
"Aku nggak mau!" teriak Norman.
"Kupikir kau mau uang!" teriak Mama Jenkins, mengeringkan wajahnya.
"Tepat sekali!" kata Norman, sambil menggigit besar sepotong kue kemiri.
"Norman, tutup mulutmu." Jessie Mae tampak seperti sebatang pensil yang marah.
"Nggak ada alasan mengapa kita dibayar. Mama juga ingin dibayar, dan Mama akan
menghasilkan uang dan kemudian kita semua akan menghasilkan uang."
"Hei, kau dengar, ya!" teriak Norman tepat dimuka Jessie Mae. "Kau nggak tahu
apa-apa. Aku sudah mendapat 25 sen dari satu toilet di tempat itu sampai di
Bridgehampton, tempat mereka menghancurkan hotel tua itu Mukanya tampak jelas
menjadi merah, sepertinya dia tidak berniat mengatakan semua ini.
"Ap-a-a?" Mama Jenkins tidak bisa mengatakannya tanpa tertawa.
Mulut Jessie Mae menganga. Bahkan, Janie tidak bisa menahan senyum bengalnya dan
duduk tegak supaya bisa mendengarkan lebih baik.
"Ceritakan padaku tentang ini," kata Mama Jenkins. Sepertinya dia tidak marah.
Sebaliknya, dia seperti menunjukkan ketertarikan yang dalam dan lembut.
"Ya-a-h"-Norman membenamkan kakinya ke pasir "aku melihat mereka sedang
menghancurkan hotel tua di pinggir jalan raya itu. Aku melihat semua toilet itu
dan bertanya pada tukang di sana kalau aku boleh membelinya, 5 sen untuk satu
toilet ..." Mama Jenkins tertawa keras. "Jadi, kau sudah mendapat keuntungan 25 sen untuk
tiap toilet" Bagaimana kau mengangkut toilet-toilet itu?"
Muka Norman tampak jadi lebih merah. "Yah, aku memakai gerobak dan mengaitkannya
ke sepeda Jessie Mae-"
"Jadi ITU sebabnya sepeda itu sudah rusak lima kali" Aku harus menghajar
kepalamu!" Mama Jenkins tampak murka.
Jessie Mae menahan napas. "Kenapa kau nggak memakai sepedamu sendiri, Anak
Nakal?" "Dengar," kata Norman sungguh-sungguh, "aku sedang berbisnis.
Itu angkutanku. Aku harus punya itu supaya bisa bergerak. Kau hanya memakainya
untuk bersenang-senang. Lagi pula, aku nggak punya uang untuk membetulkannya."
"Huh, kupikir itu jahat," kata Jessie Mae.
"Kupikir juga begitu," kata Harriet, dan semua orang menatapnya seolah-olah
mereka sudah lupa dia ada di sana.
"Pakai sepedamu sendiri," kata Mama Jenkins singkat. Kemudian, tiba-tiba, tanpa
penjelasan dia tersenyum pada Norman. "Wow, aku kagum! Kau membawa toilet-toilet
itu ke tukang loak, dan kau mengambil keuntungan 20 sen dari tiap toilet?"
Norman mengangguk bangga.
Mama Jenkins mengentakkan kaki ke handuk dan memukul punggung Norman seperti
yang biasa dilakukan seorang lelaki pada lelaki lain. Dia dan Norman saling
menatap dengan cara yang konyol untuk waktu yang cukup lama. Lalu, Mama Jenkins
mendongakkan kepalanya dan mengeluarkan teriakan senang. "Wah," ujarnya
tersenyum lebar, "kau memang anakku. Selalu mencari sedikit keuntungan. Nah, hebat bukan" Kupikir
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keuntunganmu lebih besar daripada keuntunganku.
Kupikir lebih baik kalau aku berbisnis toilet!" Dia memukul Norman sekali lagi
dan Norman tampak lebih konyol lagi. Kemudian, Mama Jenkins melangkah di atas
keranjang piknik dan menyanyi, "Ayo, anakku, anak kurus, kuajarkan cara hidup!"
dan dia mulai membagikan makanan pada semua orang, tidak peduli mereka mau atau
tidak. Beth Ellen memandang Jessie Mae dan berpikir, kurasa aku tidak akan melupakan
ekspresi diwajahnya, seumur hidupku.
12 Api Unggun Saat senja tiba, setelah berpisah dari keluarga Jenkins, mereka bertiga
bersepeda menuju rumah Harriet untuk piknik di pantai. Tak lama kemudian, mereka
meluncur menuruni bukit yang menuju pondok Harriet. Pondok itu terletak di kaki
bukit dan berada tepat di Teluk Mecox.
Mereka meluncur turun, melintas bebatuan di halaman pondok, dan Beth Ellen yakin
dia akan jatuh terjerembab. Ternyata tidak.
Mereka berhenti dan mendorong sepeda mereka. Janie berdiri sejenak memandangi sekawanan angsa di
danau. Di bawah sinar matahari sore, mereka tampak seperti sedang mengadakan
pertemuan penduduk desa. "Lihat," kata Janie. "Lihat yang besar itu di depan" Ia pemimpinnya.
Mereka semua mengikutinya."
"Mmmm," kata Harriet, tidak peduli sedikit pun.
"Oh, ya?" kata Beth Ellen, sambil berpikir bahwa pemimpin angsa itu tampak agak
mirip dengan Harriet . Mereka naik ke atas dek. Tuan Welsch sedang berbaring, sepertinya sedang tidur
pulas di sebuah kursi dek, dan hanya mengenakan celana pendek dengan sehelai
surat kabar di atas perutnya. Nyonya Welsch duduk di atas kasur angin sambil
mengoleskan krim anti sinar matahari.
"Ibu sedang apa" Tidak ada matahari," Harriet berkata sangat keras sehingga
membangunkan ayahnya. "Aku mengoleskan krim setelah berjemur. Hai, Janie. Hai, Beth Ellen; nenekmu
bilang kamu boleh ikut makan malam. Hai, Sayang, sini cium aku. Harimu
menyenangkan?" Nyonya Welsch tersenyum manis.
Harriet membungkuk dan mencium pipi ibunya yang berbau krim anti matahari dan
mendadak dia merasa bersyukur. Dia bersyukur karena dia bukan Beth Ellen dengan
seorang ibu asing yang akan segera datang, atau Janie, dengan ibu yang sinis,
atau Jessie Mae, dengan ibu yang memiliki segala keanehan seperti Mama Jenkins.
Dia begitu bersyukur sehingga dia berlari dan meloncat langsung ke atas perut
ayahnya. Ayahnya terduduk sambil menjerit, "Ooooohh," dan sambil menarik Harriet,
memberinya pelukan. "Nah, nah," Tuan Welsch bergumam, lalu menguap.
"Ayah, apakah kita harus mendirikan tenda?" ujarnya sambil melompat-lompat.
"Sudah selesai. Kamu kira, kenapa aku tidur disini seperti orang mati" Kerja
sepanjang minggu, dan apa yang Ayah kerjakan akhir pekan"
Mendirikan tenda!" Dia tersenyum pada Janie dan Beth Ellen, dan mereka balas
tersenyum. Mereka menyukai Tuan Welsch. "Aku kenal kamu, Janie.
Tapi, kamu siapa?" Tuan Welsch bertanya pada Beth Ellen, yang tampak seperti
akan pingsan karena malu.
"Ini Beth Ellen Hansen," kata Nyonya Welsch.
"Betulkah kamu-?" Tuan Welsch memandang penasaran pada Beth Ellen. "Kamu anak
Zeeney Hansen?" Beth Ellen mengangguk. Sepertinya begitu, pikirnya.
"Dengar," kata Nyonya Welsch sedikit terburu-buru, "kupikir kalian sebaiknya
memakai celana panjang. Udara mulai dingin dan akan bertambah dingin lagi nanti.
Harriet , pinjamkan Beth Ellen celana panjang punyamu. Kamu membawa celana
panjang kan, Janie?"
Perhatian Harriet tidak begitu mudah dialihkan. "Zeeney akan pulang kembali!"
ujarnya pada ayahnya, membuat Beth Ellen kecewa, yang ingin agar pembicaraan itu
segera dihentikan. "Datang dari mana?" tanya ayahnya.
"Aku nggak tahu dari mana ...." Harriet tergagap.
"Eropa," kata Beth Ellen dengan suara kecil.
"Bisakah kau lebih spesifik?" kata Janie, yang selalu kesal oleh ketidak
tepatan. "Athena," kata Beth Ellen berbisik.
"Ayo, Sayang," kata Nyonya Welsch pada Beth Ellen yang merasa bersyukur, "mari
kita cari celana panjang untukmu." Nyonya Welsch menuntun Beth Ellen melalui
pintu menuju rumah. Janie mengikuti.
Harriet masih di sana, menatap ayahnya, yang sedang memandangi teluk. "Ada apa,
Harriet?" tanya Tuan Welsch setelah beberapa saat terdiam.
"Ayah kena! Zeeney ini?" tanya Harriet dengan suara tenang yang biasa dia
gunakan untuk memaksa orangtuanya bicara.
"Yah kata Tuan Welsch, memandangi air seolah-olah setengah sadar.
"Yah ... APA?" tanya Harriet keras, berusaha membangunkannya.
"Aku kenal dia," jawab Tuan Welsch sambil menerawang, "bertahun
... tahun ... yang lalu."
"Seperti apa dia?" desak Harriet .
"Yah ..." kata Tuan Welsch.
Harriet menunggu. "Yah ...." Tuan Welsch berkata lagi.
"Yah, yah-tidak bisakah Ayah mengatakan hal lain selain 'yah'" Ada apa sih
dengan 'yah .. yah' terus-menerus?" Harriet lupa, dia sedang bicara pada
ayahnya. Tuan Welsch masih memandangi air. "Yah, dia ...dia wanita yang agak aneh, itu
saja." Nyonya Welsch baru keluar menuju dek saat Tuan Welsch mengatakan kalimat yang
terakhir. "Apakah dia si Zeeney kecil dan kurus yang sering bermain tenis
denganmu?" tanyanya pada Tuan Welsch.
"Ya," kata Tuan Welsch. Dia bangkit dan sepertinya sudah siuman.
"Seperti apa dia, Ayah?" tanya Harriet bersikukuh.
"Wanita yang agak ... urakan, menurutku, bukan begitu, Sayang?"
Nyonya Welsch menatap Tuan Welsch.
Tuan Welsch mengangguk dan tersenyum.
"Lucu bukan?" kata Nyonya Welsch, dan Harriet menahan napas.
"Lucu bukan" Pada hari-hari tertentu, angsa-angsa ada di mana-mana di sekitar
teluk, tapi pada hari-hari lain mereka sama sekali menghilang."
"Ya," kata Tuan Welsch. "Ke mana perginya mereka?"
"Cuma itu yang kalian mau katakan?" Harriet memekik putus asa.
"Tentang apa, Sayang?" tanya Nyonya Welsch datar. "Oh, aku harus mulai
mencairkan mentega!" Dia melompat dan pergi ke dalam.
Harriet kesal. Dia duduk di pegangan dek dan memandang teluk dengan marah.
Kenapa sih, pikirnya, hal yang paling menarik di dunia selalu disembunyikan dari
anak-anak" Tidak adakah cara untuk memaksa orangtua untuk berkata jujur" Mereka
selalu menyuruh kita untuk berkata jujur, lalu mereka sendiri jelas-jelas
berbohong. "Sebenarnya, dia bukan wanita yang sangat menarik, Harriet," kata Tuan Welsch,
yang masih memerhatikannya. "Dia tidak pernah memikirkan apa-apa selain pakaian,
pria, dan uang. Orang-orang seperti itu selalu membuatku bosan."
Harriet memandangi ayahnya dengan kekaguman baru. Bukan saja dia sepertinya
membaca pikirannya, tapi dia juga sepertinya mengatakan hal-hal yang masuk akal.
Apakah itu muslihat" Apakah sebenarnya ada lebih banyak hal yang perlu diketahui
tentang wanita ini" "Ayah kenal Wallace?" tanyanya.
"Siapa?" "Suaminya. Suami Zeeney."
"Oh. Tidak." Tuan Welsch berbalik seolah-olah ia merasa tidak nyaman.
"Tidak, aku tidak kenal Wallace, tapi kubayangkan, dia pasti mirip dengan
Bernard, atau Mano, atau Alfred, atau orang-orang sebelum mereka."
"Oh," kata Harriet, agak terkejut dan merasa kurang nyaman setelah sekarang
seseorang benar-benar bicara padanya seperti orang dewasa. Apa yang orang
katakan pada hal-hal seperti ini" Ayahnya tampak penat. Apakah seseorang tampak
penat dan berkata, "Oh, ya, mereka semua sama," sambil berpaling lewat bahunya"
Harriet tidak berkata apa-apa. Dia duduk di sana, malu, dan tidak tahu harus
berkata apa. "Aku tidak akan memusingkan kepalaku dengan orang-orang seperti itu," lanjut
ayahnya, "dan ada banyak orang seperti mereka di luar sana. Tapi, mereka tidak
benar-benar menarik. Mereka selalu melakukan hal yang sama dan mereka benar-
benar membosankan." Apakah ini sebuah kepura-puraan" Apakah ini dirancang untuk mengalihkan
perhatiannya dari sesuatu yang sebenarnya sangat menarik"
Harriet berdebat. Pasti ada suatu cara untuk mengetahui, apakah ayahnya benar-
benar berpikir kalau mereka menarik. Itu berarti dia berbohong. Atau, apakah
ayahnya benar-benar berpikir kalau mereka itu membosankan"
"Bagaimana ... eh, bagaimana ayah bisa kenal Zeeney?" Ini berbahaya dan Harriet
tahu itu. Ini bisa membuat ayahnya menutup mulut rapat-rapat. Tapi, dia harus
mengambil kesempatan. "Oh, bertahun-tahun yang lalu, sebenarnya, di klub. Sering bermain tenis
dengannya. Tapi, bahkan saat itu pun, dia jarang berada di sini. Dia selalu
pergi ke Eropa sepanjang waktu. Sekolah di Eropa, seingatku. Apa pun yang dia
pelajari, berani taruhan, pasti tidak banyak." Ayahnya mengatakan hal ini dengan
setengah melamun, yang tidak bisa Harriet artikan. Tuan Welsch selalu agak
melamun setiap kali akhir pekan pada musim panas, tapi yang satu ini bisa jadi
lamunan khusus yang berhubungan dengan Zeeney.
"Apakah dia bodoh?" tanya Harriet .
"Yah, tidak, dia ........" katanya memulai dan kemudian menoleh dan menatap
langsung pada Harriet, lalu berkata, "Ya. Ya, dia wanita bodoh."
Untuk beberapa alasan, ini membuat Harriet ingin menutup mulutnya soal Zeeney.
Sesuatu yang sangat kuat sedang berlangsung di dalam diri ayahnya. Tuan Welsch
menunjukkan tanda-tanda seseorang yang tidak ingin membahas sesuatu. Contohnya,
dia terus memalingkan wajahnya. Harriet sudah lama menyadari bahwa setiap kali
orang-orang tidak ingin membahas sesuatu, mereka selalu memalingkan muka seolah-
olah berusaha menyeretmu agar berpindah pada pokok pembicaraan yang lain.
"Yah," kata Harriet , "ini hari yang indah."
"Ya," kata ayahnya yang jelas tampak lega. "Hari ini sempurna untuk piknik di
pantai." Tuan Welsch tertawa dan menatap mata Harriet.
Setelah itu, Nyonya Welsch keluar, diikuti oleh Janie yang sudah memakai jeans
dan Beth Ellen yang memakai jeans Harriet. "Oh, aku sudah tidak sabar!" kata
Nyonya Welsch. Kapan panggangannya siap" Kita punya lobster dan kerang dan remis
dan jagung, dan bayangkan saja bagaimana rasanya!"
"Horeee!" teriak Harriet , Janie, dan Beth Ellen tampak senang.
"Tidak lama lagi," kata Tuan Welsch sambil bangkit. "Aku akan ganti baju, lalu
kita lihat pemanggangnya. Dengar Harriet, lebih baik kalian letakkan sepeda-
sepeda itu di garasi. Kalian tahu, bagaimana akibat udara bergaram pada mereka."
Tuan Welsch masuk ke dalam.
"Hei, Ibu ...." kata Harriet.
"Jangan bilang 'hei' pada ibumu," kata Nyonya Welsch, membersihkan asbak sambil
setengah melamun. "Begini, bolehkan Beth Ellen menginap di sini?"
"Tentu saja, Sayang," kata Nyonya Welsch, tersenyum pada Beth Ellen, yang
tersenyum sambil menatap lantai. "Aku sudah bertanya pada Nyonya Hansen dan
katanya boleh saja."
"Oh, asyik," kata Harriet, memerhatikan Beth Ellen tersenyum lebar ke arah
tanah. "Ayo," kata Janie, "hidroksida asam besi adalah setan yang harus disingkirkan."
Janie langsung melompat dari dek.
"APA?" kata Harriet, mengejarnya. "Karat," kata Janie sok, "akibat logam terkena
sodium klorida. Sebenarnya, kombinasi oksida besi dengan hidroksida besi
cenderung menimbulkan noda di mana-mana. Apa kamu sudah melihat kromdi mobil-
mobil di sana?" "Aku nggak bisa bilang kalau aku sudah," kata Harriet sambil mendorong sepedanya
dengan kencang menuju garasi.
Janie menyandarkan sepedanya di dinding dalam. Beth Ellen melakukan hal yang
sama. Harriet akan mengerjakan hal yang sama, ketika mendadak dia berteriak,
"LIHAT!" Dia berdiri membeku, memandang ke dalam keranjang sepedanya. "Itu
TERJADI!" " "Apa?" kata Janie."Ada apa?"kata Bethbersamaan.
Mereka menghampiri Harriet dan melihat ke dalam keranjang itu.
Ada sepotong kertas tergeletak di dasarnya.
"Aku sudah mendapat sebuah pesan!" kata Harriet bersemangat.
Dia mengambilnya seolah-olah benda itu sebuah perhiasan, lalu membaca keras:
DIA YANG TINGGI HATI AKAN MENIMBULKAN PERSELISIHAN
TAPI, DIA YANG PERCAYA AKAN DIKENYANGKAN OLEH TUHAN
"Apa itu?" teriak Harriet. "Apa maksudnya" Kenapa mereka ingin mengirimkan pesan
itu padaku?" "Maksudnya, kamu menimbulkan masalah karena kamu begitu sombong," kata Janie
singkat. "AHA!" kata Harriet. "Kamu lihat, mereka ingin menyingkirkanku dari kasus ini.
Yah, mereka boleh melihat! Aku tidak akan memercayai siapa pun selain diriku
sendiri." "Tepat, itulah maksudnya," kata Janie. "Kamu terlalu sombong.
Kamu akan jatuh terjerembab."
"Terlalu sombong untuk apa?" kata Harriet, yang tampak penasaran. "Selain itu,
coba lihat bagian ini, 'akan dikenyangkan.' Siapa yang mau dikenyangkan?"
"Kurasa maksudnya 'akan dimakmurkan,'" kata Beth Ellen dengan lembut.
"Oh, Beth Ellen, kamu tahu apa" Dengar, ya, taruhan, kalian berdua pasti bahkan
belum berpikir kalau satu-satunya orang yang mungkin meninggalkannya di sini
hari ini adalah Jessie Mae Jenkins!"
"Itu menggelikan," kata Janie. "Aku bisa saja meninggalkannya di situ, atau Beth
Ellen, atau si Norman atau ibu mereka yang gemuk itu atau bahkan anak kecil
itu." "Dia bahkan nggak bisa menulis'." kata Harriet meremehkan.
"Atau orangtuamu," kata Janie. "Otakmu sangat kacau. Ada banyak, variabel dalam
hal ini." "Buat apa orangtuaku melakukannya?" wajah Harriet menjadi sangat merah. "Kamu
sangat konyol!" dia berteriak pada Janie.
"Aku mungkin konyol, tapi aku pasti nggak langsung mengambil kesimpulan seperti
kamu," kata Janie judes dan keluar dari garasi.
"HUH!" kata Harriet keras.
"Apakah menurutmu," kata Beth Ellen dengan suara rendah,
"mereka ingin kamu berhenti berusaha mencari siapa yang meninggalkan pesan-pesan
itu?" "Tentu saja!" kata Harriet. "Janie belum lama menyelidiki kasus ini seperti
kita. Dia nggak tahu apa-apa. Ini adalah peringatan!."
Beth Ellen mengangguk serius.
"Jangan membahas lagi masalah ini dengan Janie. Dia nggak paham keseluruhan
kasus ini. Dan besok kita benar-benar mengurusi bisnis."
Harriet menepuk punggung Beth Ellen seolah-olah dia seorang inspektur polisi.
Mereka kembali ke dek. Harriet menyimpan buku catatannya dengan hati-hati di
sakunya. Janie sedang berdiri di dek. "Pokoknya rahasia. Kau harus bisu seperti
mumi," kata Harriet , menyikut Beth Ellen pelan. "Huh ... selalu saja kasak-
kusuk," kata Janie. Mumi ... mami ... Mama, pikir Beth Ellen.
"Yang lain mana?" tanya Harriet sambil tidak mengacuhkan Janie.
"Di luar, di sana," kata Janie.
Di seberang, di ceruk yang melengkung ke Teluk Mecox, mereka bisa melihat Nyonya
Welsch sedang melambai pada mereka dan Tuan Welsch sedang membungkuk di atas
pemanggang. "Ayo ke sana," kata Harriet , dan mereka berlari melintasi pasir.
Tuan Welsch sudah melepaskan terpal sehingga mereka hanya beratap langit. Dengan
bantuan penjepit, dia menumpuk bahan-bahan ke dalam keranjang-keranjang, lapis
demi lapis. Pertama jagung, direbus dengan kulitnya. Harriet mengambil selembar,
tangannya terbakar, lalu menjatuhkan jagung itu sambil berteriak.
"Tunggu," kata Nyonya Welsch, "tunggu saja."
Setelah itu, di atasnya diletakkan susunan kerang rebus, lalu sebaris remis,
jagung lagi, lalu lobster. Mereka hampir-hampir tidak bisa menunggu sampai
semuanya ditumpukkan tinggi di piring mereka. Ada sebuah mangkuk besar berisi
mentega, yang oleh Nyonya Welsch sudah dibagi-bagikan kedalam mangkuk untuk
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setiap orang. Mereka semua duduk melingkar di atas gelondongan kayu dan batu, mencelupkan
daging lobster, kerang, remis. Wajah mereka berlumuran mentega dan bibir mereka
tidak berhenti tersenyum. Semuanya terasa sangat lembut dan asapnya beraroma
nikmat. "Benar-benar asyik!" kata Janie, sambil menggigit jagung yang keempat.
"Yap!" kata Harriet .
Bahkan, Beth Ellen makan banyak. Mereka semua makan hingga kenyang. Harriet
berbaring telentang di atas pasir dan berpura-pura mati kekenyangan.
"Inilah asyiknya makan malam seperti ini," kata Nyonya Welsch,
"tidak ada piring-piring yang harus dicuci." Dia melemparkan piring kertasnya ke
api dengan santai dan memerhatikan benda itu terbakar.
Mereka semua melemparkan piring-piring mereka dan api unggun semakin berkobar.
Hari semakin gelap. Mereka berbaring, memandangi api yang menyala dan kegelapan
yang datang, semua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Beberapa saat kemudian, Nyonya Welsch menggeliat sedikit dan berkata,
"Kupikir aku akan berjalan-jalan sampai ujung ceruk. Ada yang mau ikut?" "Aku
mau," kata Janie dan melompat berdiri. "Harriet bilang, di sana ada kerangka
angsa!" "Memang ada," kata Nyonya Welsch. "Sini, aku akan membawa lampu senter dan
menunjukkannya padamu."
"Aku juga ikut," kata Beth Ellen perlahan dan bangkit.
"Aku nggak ikut," kata Harriet. "Aku makan terlalu banyak."
"Kamu akan dikenyangkan," kata Janie dan mendapat lemparan sepatu karena
keisengannya. Janie menghindar sambil tertawa.
"Aku akan mengawasi api," kata Tuan Welsch.
Mereka pergi. Harriet dan ayahnya memerhatikan bintang yang satu per satu mulai
muncul. "Ayah?" panggil Harriet setelah hening sesaat.
"Ya?" jawab Tuan Welsch.
"Apakah Ayah takut masuk neraka?"
"Entahlah, " kata Tuan Welsch, sambil mendongak ke langit. "Tapi, aku sudah
menganut sekumpulan nilai-nilai moral yang aku yakin, itu baik."
"Apakah Ayah yakin akan masuk surga?"
"Mmm ...... pertanyaan yang sulit, Harriet . Kenapa?" Tuan Welsch duduk di
sebuah gelondong kayu di atas kepala Harriet dan memandangnya dengan sangat
serius, sangat tulus. "Karena ... aku sedang memikirkan orang-orang yang sangat religius," Harriet
bergeser sedikit. Dia bertanya-tanya tentang hal-hal yang sudah dia pikirkan.
"Memangnya kenapa mereka?"
"Yah ... aku nggak tahu. Aku hanya memikirkannya. Apakah mereka benar-benar
bersungguh-sungguh?"
"Beberapa dari mereka. Beberapa tidak. Beberapa dari mereka hanya mengatakan
banyak hal dan tidak melakukan apa-apa. Semua bergantung pada orangnya. Biarpun
begitu, aku benar-benar berpendapat bahwa kita harus menghormati agama
seseorang, apakah kita menganutnya atau tidak."
"Maksud Ayah?" "Maksudku, jangan menertawakan agama siapapun karena bagaimanapun anggapanmu,
serius atau tidak, mereka menganggapnya serius. Dan lebih dari itu, orang-orang
yang cukup banyak berpikir sampai mereka akhirnya memilih suatu agama,
setidaknya harus dihormati karena memikirkannya. Tentu saja itu bisa jadi
jebakan. Beberapa orang tidak memikirkannya sama sekali, mereka hanya mengikuti
orang lain dan memeluk agama mereka tanpa berpikir sama sekali. Tapi, kamu tidak
boleh menertawakan mereka, melainkan mengasihani mereka."
Semuanya jadi semakin membingungkan. Sepertinya ayahnya selalu bicara seperti
ini-awalnya sangat jelas, dan semakin lama semakin membingungkan.
"Yah ... maksudku ... misalnya, sebagai contoh, seseorang memikirkan tentang
agama sepanjang waktu?"
"Itu bergantung pada hal yang mereka pikirkan."
"Yah ... maksudku, seperti orang fanatik."
"Sejujurnya , aku tidak pernah bisa memahami orang-orang yang fanatik, apa pun
bentuknya. Mereka cenderung berpikir untuk menghalalkan segala cara. Ayah tidak
pernah melihat orang fanatik yang tidak berpikir seperti itu, dan hal itu benar-
benar bodoh." Tuan Welsch tampak menjadi sangat kesal. "Bagaimana bisa" Kalau
tidak pernah ada akhir ... semuanya terus berlangsung dan terus berlangsung ...
selalu seperti itu, jadi kita semua hanya alat ... Aku hanya tidak bisa mengerti
kenapa orang tidak mengerti hal itu. Itulah yang menyebabkan semua masalah
sekarang ini." Ayah sedang bicara apa sih" Harriet agak bingung. Dia memutuskan untuk tidak
mengacuhkannya. "Apa Ayah hapal isi Kitab Suci?" tanya Harriet.
"Aku tidak hapal, tapi aku kadang-kadang membacanya, tentu saja.
Buku itu menakjubkan. Kalau kau ingin menjadi penulis, tidak ada buku yang lebih
bagus untuk dibaca."
Harriet hampir terjatuh ke dalam api. "Benarkah?"
"Pasti. Menurutku, puisinya tidak terkalahkan."
Sambil memulihkan dirinya, Harriet berusaha untuk berada pada jalur. "Apakah Ibu
membaca Alkitab?" "Kadang-kadang."
"Oh, ya?" Harriet terkejut sekali. Mengapa dia tidak pernah mengetahui hal ini"
"Apakah Ayah percaya keajaiban doa?" Harriet bertanya dengan bersemangat.
"Mmm ...... Aku tidak tahu. Tapi, aku percaya bahwa usaha keras disertai doa
akan membuat keajaiban. Aku tidak tahu apakah keajaiban hanya terjadi begitu
saja, cukup dengan doa," jawab Tuan Welsch.
"Apakah Ayah tahu apa yang diminta Ibu saat berdoa?" tanya Harriet .
"Aku tidak tahu," kata Tuan Welsch, tampak agak sengit. "Kupikir, doa seseorang
adalah hal yang privasi."
"Oh," kata Harriet sedikit terkejut mendengarnya. Bukankah orang yang menikah
tahu segala sesuatu tentang pasangannya" Jika tidak, apa alasannya" Dia
berencana untuk mengetahui segala sesuatu tentang pria yang akan dia nikahi
nanti. Harriet berpikir, dia sudah tahu segala sesuatu tentang Sport, jadi jika
dia menikahi Sport, dia tidak perlu banyak mencari tahu.
"Malam ini kamu banyak bertanya, ya?" Tuan Welsch bertanya sambil tersenyum.
Harriet berharap ayahnya tidak melakukan hal itu. Dia tidak tahu harus
berkomentar apa untuk hal-hal seperti itu: Ya, aku banyak bertanya" Tidak,
tidak, aku selalu banyak bertanya" ... Kalau anak lain akan tersipu-sipu atau
menggumamkan sesuatu, Harriet selalu mengatasi situasi seperti ini dengan
menatap mata si penanya dengan mata terbelalak. Hanya sedikit orang dewasa yang
bisa bertahan. Mereka memalingkan muka.
Tuan Welsch memalingkan muka. "Mereka datang," katanya memandang ke arah ceruk,
"dan, ya ampun, apa itu yang Janie bawa?"
"Itu mayat seekor angsa tua," kata Harriet . "Dia menyukai hal-hal semacam itu."
Harriet dan Tuan Welsch memerhatikan mereka berjalan menghampiri api unggun.
"Lihat!" kata Janie penuh kemenangan, menyodorkan kerangka itu melewati Beth
Ellen, yang menghindar ketakutan. "Hebat bukan?"
"Aku tidak tahu, Janie," kata Nyonya Welsch tertawa. "Aku tidak ingin melihat
wajah ibumu kalau kamu keluar mobil. Ini bukan perabotan baru untuk di rumah."
"Aku tahu pasti apa yang akan dia lakukan," kata Janie sebal, "lari berteriak ke
dalam rumah dan menelepon ayahku. Mereka akan membujukku
untuk melupakannya, tapi mereka nggak bisa membuangnya. Ibuku maupun pembantuku nggak akan pernah mau menyentuhnya." Janie
memandang tulang leher angsa yang panjang itu dengan penuh cinta. "Lihat ini,"
katanya sambil mengelus tulang belakangnya.
"Ini adalah salah satu ciptaan Tuhan yang lebih indah," kata Nyonya Welsch. Dia
tersenyum pada Janie. "Bahkan, sudah mati pun ia nggak tampak jelek,"kata Harriet, 13
Doa dan Keajaiban Tiga matras dibentangkan di balkon tidur di atas ruang keluarga. Kalau teman-
teman Harriet yang menginap terlalu banyak, mereka selalu tidur disana. Saat
semuanya sudah berbaring, Harriet berkata, "Dengar, aku mau menanyakan sesuatu
pada kalian berdua. Percayakah kalian pada doa dan keajaiban?"
Beth Ellen segara teringat pada satu malam gelap yang sudah lama berlalu ketika
dia masih berumur empat tahun. Dia sedang duduk bersama nenek dan kakeknya di
kursi belakang mobil hitamnya yang panjang. Badai besar sedang mengamuk dan
menggelegar di luar mobil saat mobil itu melintasi jalan desa yang panjang. Air
hujan menciprati jendela. Nyonya Hansen mengatakan sesuatu tentang Tuhan dan
doa. Di atas suara badai, Beth Ellen bertanya pada neneknya. "Apakah Tuhan
baik?" Hening sesaat, lalu neneknya menjawab dengan pelan, "Ya."
"Kalau begitu, kenapa Dia menciptakan badai yang membuat kita takut?" Beth Ellen
langsung bertanya. Itu membuat kakeknya tertawa. Beth Ellen menyukai saat itu karena dia senang
membuat kakeknya tertawa. "Pikiranmu sangat logis, Nona Kecil," katanya, dan
Beth Ellen merasa bangga. Neneknya juga tersenyum. "Jika badai selesai, kau bisa
merasakan keindahan dunia sesungguhnya, Nona. Dan jika kau takut, sebaiknya kau
berdoa." Beth Ellen ingat, dia berdoa dengan khusuk setelah itu. Dan dia menjadi
tenang. Ajaib, badai itu segera mereda. Kenangan itu terbang cepat, hanya muncul
sesaat. "Aku nggak tahu," katanya pada Harriet . "Kurasa aku percaya. Aku juga percaya
keajaiban." "Janie?" tanya Harriet .
"Apa?" kata Janie keras.
"Apa pendapatmu tentang keajaiban?"
"Kupikir keajaiban itu nggak ada," kata Janie langsung.
"Apa?" "Keajaiban itu menyesatkan. Aku lebih percaya, semua sudah ada aturannya.
Seperti hujan terjadi karena sinar matahari yang membuat air menguap, lalu uap
air berubah jadi awan, lalu mencair lagi, kembali jadi hujan. Aku sudah
mengatakannya pada ibuku beberapa hari yang lalu dan dia hampir pingsan."
Beth Ellen hampir bisa merasakan senyum bengal Janie dalam kegelapan. "Banyak
orang yang percaya keajaiban," kata Beth Ellen malu-malu.
"Siapa?" kata Janie. "Lagi pula," ujarnya, "itu urusan mereka.
Banyak orang yang berpikir kalau bumi ini datar. Jadi, kenapa" Mereka tahu apa?"
"Hmmm ... bagaimana kamu bisa tahu?" tanya Harriet.
"Pokoknya aku tahu," kata Janie menekankan. "Keajaiban itu nggak ada, dan nggak
pernah ada keajaiban, dan itu pasti."
"Kalau begitu ... dari mana datangnya hal-hal menakjubkan?"
Harriet bersikukuh. "Siapa yang tahu dari mana datangnya hal-hal itu" Lupakan saja, itu maksudku,"
umpat Janie. Kau tidak bisa tidak mengagumi Janie, pikir Beth Ellen. Sepertinya dia tidak
pernah ragu-ragu tentang apa pun.
"Lagi pula, kamu juga nggak percaya pada dewa-dewi Yunani, bukan" Yah, mereka
percaya, kemudian ide itu menjadi usang karena nggak ada manfaatnya. Maksudku,
semua dewa-dewi itu katanya sedang duduk-duduk di atas gunung. Menggelikan!"
Janie terdengar marah. Hening sejenak. "Kurasa," lanjut Janie, dengan suara yang penuh pemikiran,
"orang-orang menciptakan keajaiban untuk membuat mereka merasa lebih baik. Lagi
pula, jika kamu berpikir tentang alam semesta, maksudku, semua alam semesta di
luar sana, hal itu agak menyeramkan."
Itu pasti. Beth Ellen merasa diserang oleh seluruh penghuni alam semesta seperti
orang yang ditampar. Pikiran seperti itu benar-benar buruk. Alam semesta. Hanya
alam semesta yang kosong, dan dia melayang-layang di dalamnya.
Janie mendengkur sekali, singkat.
"Lihat itu," kata Harriet keras. "Dia langsung KO!"
Beth Ellen tetap memikirkan tentang alam semesta. Apa yang terjadi ketika bom
atom dijatuhkan dan dunia hancur" Apakah dunia terbelah dua seperti jeruk dan
orang-orang melayang-layang" Sepi, pasti akan sepi sekali. Dan karena alasan
tertentu, rasanya agak memalukan, menyedihkan, berada di sana sendirian, tanpa
ada tempat untuk menjejakkan kakimu dan berjalan-jalan. Tidak ada yang bisa
diajak bicara, hanya pikiran kesepian yang beterbangan dikepalamu.
"Aku nggak tahu apa yang mengerikan soal alam semesta," kata Harriet . "Aku
ingin pergi ke bulan. Sebenarnya, aku lebih suka pergi ke Mars. Aku nggak sabar
menunggu untuk melihat wajah makhluk-makhluk lain." "Seandainya nggak ada
makhluk lain?" kata Beth Ellen, yang merasa lebih kesepian dibanding sebelumnya.
"Tentu saja ada," kata Harriet. "Ada makhluk disetiap planet, aku yakin itu.
Mereka bisa tampak seperti pohon sepatu atau semacamnya, tapi mereka ada."
Beth Ellen memikirkan orang-orang di planet lain. Apakah mereka merasakan sakit"
Apakah mereka bisa merasakan"
"Bagaimana rasanya kalau kau percaya pada keajaiban?" tanya Harriet pada
kegelapan. "Aku tidak tahu," kata Beth Ellen. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan soal
itu, ujarnya pada dirinya sendiri.
"Oh, Beth Ellen, kamu benar-benar tikus yang lucu," kata Harriet dengan sebal
bercampur sayang. Dia berbalik dengan berisik di atas matrasnya untuk
menunjukkan bahwa percakapan itu sudah selesai dan dia akan segera tertidur.
Beth Ellen mulai berpikir tentang permulaan dunia, permulaan waktu. Sebenarnya,
siapa yang memulai semua itu" Dia membiarkan pikirannya kembali ke manusia gua.
Sebuah gua. Di ujung gua itu ada Tuhan. Dan pasti ada keajaiban. Dia tertidur.
Sesaat sebelum tertidur, dia berbelok di gua yang berkelok-kelok tersebut dan
tiba diujungnya. Di ujung gua ada sebuah rak dari tanah liat. Sebuah selimut bulu dibentangkan di
atas rak itu dan di atas bulu-bulu itu duduk seekor harimau, seekor harimau yang
besar yang menatapnya tanpa mengatakan apa-apa.
Tuhan" Beth Ellen yakin, Tuhan ada meskipun tidak berwujud.
Harimau besar itu pasti keajaiban.
Tapi, apakah ada keajaiban sehingga tiba-tiba tercipta selimut itu"
Mungkin saja. 14 Beth Ellen dan Mama Besok paginya, telepon berdering tepat saat mereka baru saja menghabiskan
sarapan besar hari Minggu yang terdiri dan panekuk dan daging. Nyonya Welsch
menjawabnya. "Oh! Menyenangkan sekali! Ya, tentu saja, saya akan langsung menyuruhnya
pulang!" Dia menutup telepon dan memandangi Beth Ellen.
"Mereka disini" ujarnya senang, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Beth Ellen tenggelam di kursinya.
"Ibumu dan Wallace baru saja tiba dan mereka tidak sabar untuk bertemu
denganmu!" kata Nyonya Welsch. "Sebaiknya kamu bergegas, Sayang."
"Horeee!" kata Harriet dan melompat.
"Kamu mau ke mana, Harriet ?" tanya Nyonya Welsch. "Kurasa Beth Ellen lebih suka
menemui orangtuanya sendirian untuk pertama kalinya."
Beth Ellen berdiri. Aku tidak yakin apakah aku benar-benar ingin menemui mereka,
pikirnya. "Kami hanya akan bersepeda dengannya sampai ke jalan rumahnya." Harriet
menyiapkan barang-barang untuk ke pantai dan bergegas ke pintu.
Janie mengangkat bahu dan menyelesaikan sarapannya. Beth Ellen berterima kasih
pada Nyonya Welsch dan Tuan Welsch dengan suara kecil dan malu-malu, lalu dia
berjalan menuju sepedanya seolah-olah sedang berjalan menuju kursi listrik.
Harriet sudah berada di halaman. "Ayo Janie, kita pergi ke pantai!"
dia berteriak. Janie berdiri, mengambil barang-barangnya, lalu menghampiri
sepedanya. Ketika mereka bertiga sudah berada dijalan dan jauh dari rumah, Harriet
menghentikan sepedanya. Beth Ellen dan Janie berhenti di sampingnya.
"Kamu nggak keberatan kan, Tikus, kalau kami mengintip sedikit?"
tanya Harriet dengan sikap paling membujuk.
"Aku nggak-" Beth Ellen menggumam.
"Kami hanya akan bersepeda sampai halaman, dan saat mereka sampai ke pintu, kami
akan melihat mereka dan kami akan langsung pergi."
"Kurasa sebaiknya jangan ..." Beth Ellen ragu-ragu.
"Kami bisa melihat dan jendela; mereka bahkan nggak akan melihat kami." Harriet
putus asa. "Mungkin dia nggak ingin kita melakukannya," kata Janie. "Mereka kan
orangtuanya. Kamu harus memikirkan tentang itu."
"Kenapa?" Harriet lupa diri. Dia hampir-hampir tidak tahu apa yang dia katakan.
"Begini Beth Ellen," lanjutnya, cepat sekali hingga tergagap-gagap,
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"kalau kami bisa bersepeda pelan sekali dan melihat di jendela atau bersembunyi
di semak-semak atau lari ke belakang atau hanya menunggu di jalan sampai mereka
keluar dari mobil, setidaknya kami bisa melihat mereka dari jendela mobil. Nggak
apa-apa, kan" Apa ruginya?"
"Harriet , kenapa sih kamu nggak mengerti?" kata Janie, tapi dia bosan dengan
hal itu, dan setelah meletakkan sepedanya di bawah, dia duduk di jalan.
Beth Ellen memandang Janie seolah-olah harapan terakhirnya sudah tersapu ombak.
Sebenarnya harapannya sudah hilang karena Harriet pantang menyerah. "Beth Ellen,
dengar. Jika aku nggak melihat orangtuamu, bagaimana aku akan tahu mereka
seperti apa" Jawab itu.
Bagaimana aku akan tahu?"
Beth Ellen berpikir, sama sekali tidak penting apakah Harriet tahu atau tidak,
tapi dia tidak yakin bagaimana mengatakan hal ini. Karena itu, dia hanya
memandangi kakinya. "Harriet ," kata Janie, "kamu benar-benar mengesalkan."
"Dengar Janie, kamu itu tamuku; jangan banyak omong!" Harriet benar-benar ingin
bertemu dengan orangtua Beth Ellen.
"Aku," kata Janie, "seorang ilmuwan. Aku bisa naik kereta api. Aku nggak harus
menuruti perintah apa pun dari siapa pun."
Harriet ternganga. Beth Ellen menggeser pandangannya dari kakinya ke sebuah
keropeng di lututnya. Seandainya mereka bisa berdiri dan bicara sepanjang hari,
dan dia tidak harus pulang.
Mata Janie bersinar-sinar. Dia dan Harriet bertarung mata sampai Harriet
berkata. "Baik!" ujarnya tegas. Janie memalingkan muka. "Janie?" kata Harriet dengan nada
mencoba-coba. Harriet menggunakan suara yang dia gunakan saat meminta izin pada
ibunya untuk pergi ke bioskop. Janie mendongak, siap untuk mengatakan "tidak".
"Janie, nggak ada salahnya kalau kita Cuma melihat wajah mereka.
Kita nggak harus bertemu dengan mereka. Kita nggak harus mengucapkan apa-apa."
"Itu terserah Beth Ellen," kata Janie dengan gigi gemertak, dan tidak ada yang
lebih pasti daripada itu.
Mereka berdua memandang Beth Ellen. Harriet merasa sangat frustrasi. Dia ingin
mengguncangkan Beth Ellen dan rambut keritingnya.
Sepertinya tidak ada seorang pun yang bisa memahami pentingnya melihat, hanya
melihat, melihat semuanya.
"Baiklah," kata Beth Ellen akhirnya. Tidak akan lebih buruk jika mereka ada di
sana, pikirnya. Harriet bersorak dan mereka bertiga menaiki sepeda mereka lagi.
Ketika bersepeda memasuki jalan mobil di halaman keluarga Hansen, mereka melihat
sebuah limusin hitam panjang diparkir dihadapan pintu depan.
Harriet melihat nomor kendaraan. Mobil itu sewaan; dia tahu karena ayahnya
pernah berkata kalau mobil-mobil semacam itu punya nomor khusus. "Hei!" ujarnya.
"Itukah mereka?"
"Bagaimana aku tahu?" kata Beth Ellen. Wajahnya pucat seperti awan. "Aku nggak
kenal mereka," tambahnya.
"Apakah kita sebaiknya langsung masuk atau memutar ke belakang?" tanya Harriet ,
tersengal-sengal penuh harap.
Beth Ellen menggigit bibirnya, menarik napas dalam-dalam, kemudian bicara dengan
sangat keras sampai dia sendiri terkejut. "Ayo kita pergi langsung ke pintu
depan. Lagi pula, aku tinggal di situ."
Harriet menoleh dan memandangnya dengan kagum. Janie tampak agak khawatir. "Kami
ngga kharus melakukannya lho, Tikus," ujarnya lembut.
"Kita akan masuk," kata Beth Ellen tiba-tiba dan mulai mengayuh.
Harriet mengikutinya dan Janie menyusul. Harriet teringat pada gerakan tentara
di dalam film-film. Mereka meluncur memasuki halaman. Harriet berpikir-pikir apakah mereka sedang
diamati dari dalam rumah.
Pintu depan terbuka dan seorang wanita yang paling cantik di dunia muncul. Dia
mengenakan baju putih, dan bergegas keluar dari pintu.
Wanita itu berhenti, seolah-olah sedang menggambar potretnya sendiri, lalu
melesat menyeberangi taman, jeritan kecil "Sayang, Sayang!" keluar dari
bibirnya. Semuanya begitu mengejutkan bagi Beth Ellen sehingga dia langsung jatuh dari
sepedanya. Wanita berbaju putih itu berlari menuju tubuhnya yang tergeletak di tanah.
Harriet mengerem dan berhenti, mulutnya menganga. Janie berhenti segera dan
berdiri agak jauh di belakang.
"Sayangku, Gadis Kecilku, Malaikat Kecilku, Cantikku, Anakku yang Manis, sini,
biarkan Mama menolongmu," kata gambar itu, berjongkok dekat Beth Ellen.
Harriet menatapnya lekat-lekat. Mengatakan dia seorang wanita cantik adalah
pernyataan yang meremehkan. Ada sinar yang luar biasa pada wajahnya yang
terbakar matahari; tubuh kurusnya, seperti tubuh seorang penari, bergerak dengan
sangat anggun dan gemulai. Yah, pikir Harriet, aku belum pernah melihat seorang
ibu seperti itu. Aku bahkan tidak pernah melihat wanita mana pun yang tampak
seperti itu. Beth Ellen terbaring di sana dan memandang keatas melalui jeruji sepedanya pada
sosok yang katanya adalah ibunya. Sosok putih yang cantik itu bergumam padanya,
mengulurkan lengan, bicara bahasa bayi, dan semua itu membuat Beth Ellen sangat
ketakutan. Wanita itu berusaha menarik sepeda Beth Ellen ke atas seperti menarik
sebuah selimut. Orang ini tidak mirip dengan ibu mana pun yang pernah dia lihat.
Tidak ada satu pun ibu dari anak-anak di sekolah yang tampak seperti ini.
Apa yang akan dipikirkan Janie dan Harriet "
"Sayang, ... mendekatlah pada Mama, Sayang." Wanita itu mengulurkan lengannya
yang wangi. Matanya yang besar dan gelap setengah terpejam.
Oh Tuhan, pikir Beth Ellen, kenapa dia tidak gemuk dan memakai baju berbunga-
bunga saja" "Sayang ...?" Dia berusaha sekali lagi untuk memancing respons Beth Ellen,
kemudian menyerah, dan berseru keras dengan suara merdu,
"Wallace ...Wallace" Tolonglah kemari, Sayang; sepertinya dia kesakitan."
Harriet dan Janie berdiri tegak dan mematung, seperti letnan bawahan kapten Beth
Ellen yang sedang jatuh. Ketika Wallace muncul di pintu, Harriet berkata, "Wow!"
katanya perlahan. "Mereka seperti Putri dan Pangeran," bisiknya pada Janie.
Janie mencibir. Tetapi, ketika Wallace bergerak, dia mengecewakan. Dia tidak berjalan; dia
seperti berjingkat-jingkat. Dia tidak tersenyum; dia mengerenyitkan setengah
wajahnya seperti boneka yang didandani. Dia adalah pria teraneh yang pernah
kulihat, pikir Harriet. Dia seperti pria dalam jam kukuk, atau prajurit dari
kayu. Mungkin jika angin kencang meniupnya, dia akan melayang, terbang kembali
ke Eropa. Pria itu berjingkat-jingkat mendekati ibu Beth Ellen. Ibu Beth Ellen mengintip
dari balik jeruji sepeda. Beth Ellen mundur ke belakang.
"Hep, hep," dia berkata, "sini, sini, Nak. Ulurkan tanganmu dan kami akan
menarikmu." Beth Ellen semakin jauh menarik diri. "Ayolah, Nak, ayo,"ujarnya.
Seperti memanggil seekor anjing, pikir Harriet. Pria itu mengangkat sepeda dari
tubuh Beth Ellen, yang saat itu tampak seperti kerang tanpa cangkang. Ibunya
membantu dia berdiri dan menepuk-nepuk celana pendeknya. Beth Ellen memandangi
kakinya. "Biarkan Mama memandangmu," ujar wanita cantik itu, mengangkat wajah Beth Ellen
kearahnya. "Ah, ya, kamu sama sekali tidak jelek, bukan" Kamu perlu sedikit
didandani, tapi kamu punya banyak sekali kesempatan."
"Harriet," bisik Janie dari belakang, "ayo pergi." Suaranya pasti terdengar
karena menit berikutnya, Wallace, sang Dewi Kecantikan, dan Beth Ellen menoleh
dengan mata bingung pada Harriet dan Janie. Mereka tidak berkata apa-apa. Mereka
hanya menatap. "Ssst," kata Janie.
Harriet merasa aneh. Dia ingin memerhatikan. Tapi, dia juga merasa bodoh hanya
berdiri saja disana. Mereka sudah jelas tidak akan mengatakan hal-hal yang biasa
dikatakan para orangtua, seperti "Apakah mereka teman-temanmu?" atau "Katakan
sampai jumpa lagi pada teman-temanmu, Sayang," atau omong kosong semacam itu.
Mereka hanya menatap. Mustahil melakukan apa pun, kecuali berbalik dan mengayuh
sepeda. Harriet memutarkan sepedanya.
Janie sudah berada di halaman. Harriet melompat dan mengayuh ke jalan. Ketika
sudah di luar, dia berbalik dan memandang ke belakang.
Beth Ellen sedang digiring ke dalam seperti tahanan yang diborgol.
Janie mulai mengomel saat mereka mengayuh. "Kenapa kamu nggak ikut waktu aku
mengatakan itu" Mereka nggak ingin kita ada di sana. Dasar."
Harriet merasa kacau dan sedikit malu. Dia mengangkat bahu. "Aku hanya ingin
melihat seperti apa mereka."
"Aku," kata Janie, "nggak mengerti bagaimana kamu bisa begitu penasaran tentang
orang lain. Maksudku, penyebab atau kenapa suatu hal bereaksi menjadi suatu hal,
itu aku mengerti-tapi orang-orang.
Orang-orang begitu konyol. Lihat kekacauan yang sudah mereka buat terhadap hidup
mereka sendiri. Kamu nggak selalu bisa mengandalkan mereka."
"Yah, aku nggak tahu apa-apa soal reaksi," kata Harriet lemas.
Yang terutama, dia merasa diasingkan, dan sedikit terluka. Dia juga mulai merasa
kesepian karena Janie akan kembali ke kota malam ini bersama Tuan Welsch karena
hari ini hari Minggu malam, dan Beth Ellen akan terperangkap bersama orangtua
barunya selama beberapa waktu.
"Tentu saja," kata Janie, "orang yang benar-benar nggak kumengerti adalah Beth
Ellen. Sepertinya dia nggak pernah ingin tahu soal apapun."
"Ayo kita ke pantai," kata Harriet. Dia sudah tidak sabar untuk membuat cerita
tentang orangtua Beth Ellen. Dia akan menjadikan Wallace seorang penipu dan
akhirnya, Zeeney membunuhnya saat dia sedang mandi.
15 MengunjungiSobat Lama Beth Ellen digiring ke dalam. Tubuhnya gemetar. Tangan ibunya terasa kurus dan
muda, tidak seperti tangan neneknya. Wallace membuka lebar pintu ruang keluarga
dan di sana neneknya duduk di kursi rodanya. Ini peristiwa khusus karena
neneknya jarang bangun, kecuali untuk ke gereja hari Minggu.
"Nah, Sayang!" kata Nyonya Hansen dan tersenyum ke mata Beth Ellen. Sepertinya
dia sedang mengira-ngira reaksi Beth Ellen.
Beth Ellen memandang wajah yang akrab itu dan merasakan gumpalan tangis yang
siap pecah menyesakkan tenggorokannya.
Nyonya Hansen sepertinya tidak menyadarinya. Dia memandang Zeeney. "Nah ... apa
pendapatmu tentang putri kecilmu?"
"Menyenangkan," kata Zeeney, sambil menjatuhkan tangan Beth Ellen seolah-olah
tangannya berkeringat. "Tolong minta bawakan minuman dingin, Sayang; hari ini
panas sekali," katanya pada ibunya dan terduduk lemas di sofa.
"Tentu saja," kata Nyonya Hansen dan mengulurkan tangan untuk memeluk Beth
Ellen. "Kamu tahu letaknya, Beth Ellen. Pergilah, tank talinya." Saat Beth Ellen
berlari melintasi ruangan menuju tempat penarik bel berhias yang disembunyikan
dibalik gorden-gorden tebal, dia mendengar Zeeney berkata, "Dan itulah hal
pertama yang harus dibuang.
Aku tidak bisa membayangkan, apa yang merasuki ayahnya sehingga menamainya Beth
Ellen." "Aku yakin itu nama ibunya, bukan?" kata Nyonya Hansen, memutar kursi rodanya
lebih dekat ke sofa. Wallace seperti siap bangkit untuk membantunya, tapi
kemudian duduk kembali, kelelahan.
"Sama sekali tidak ada hubungannya dengan anak ini sekarang,"
kata Zeeney. "Nama itu harus diganti. Benar-benar jelek."
"Kamu tidak bisa mengganti nama seseorang kalau mereka sudah berumur dua belas,"
kata Nyonya Hansen dengan nada suara kesal. Dia memandang Beth Ellen yang
berdiri kebingungan di sebelah tali bel itu.
Neneknya bergerak sedikit dan Beth Ellen menghampirinya seperti anak anjing yang
tidak punya rumah. Nyonya Hansen memeluk pinggangnya dan Beth Ellen bersandar
padanya. "Setidaknya, kita bisa memanggilnya Beth!" kata Zeeney dengan kesal.
"Hep, ya, betul," kata Wallace. Beth Ellen memandangnya dengan mata menyelidik.
Sepertinya itu bunyi khasnya, cuma untuk menandakan bahwa dia sedang ada di
ruangan itu. Harry masuk membawa sebuah baki berisi botol-botol, es batu, dan soda. Dia
meletakkannya di atas meja samping. Wallace melompat ke atas kakinya, mendadak
hidup. "Hep, Sayang, kamu mau apa" Nyonya Hansen?"
"Martini," kata Zeeney.
"Tidak untukku," kata Nyonya Hansen, memandang Wallace dengan kritis. "Di sana
pasti ada Coca-Cola untuk Beth Ellen, bukan?"
"Hep, ya, tentu," kata Wallace.
Beth Ellen memandang berterima kasih pada neneknya, yang tersenyum dan kemudian
memeluknya. "Dia menyukainya," Nyonya Hansen berkata dengan lembut.
Beth Ellen menatap Zeeney. Sepertinya dia sudah melupakan kehadiran Beth Ellen.
Zeeney mendekat pada neneknya. Aku harap dia tidak pernah ingat, pikirnya.
"Dan, kemudian, tentu saja kami akan membawanya ke Elizabeth Arden di
Southampton. Terima kasih, Sayang," Zeeney berkata sambil mengambil minuman dari
Wallace. "Kudengar itu satu-satunya hiburan di tempat yang membosankan ini."
"Oh, kurasa itu tidak benar, Zeeney," kata Nyonya Hansen. "Di sekitar sini ada
tempat-tempat yang cukup menyenangkan, toko-toko kecil ...bahkan beberapa tempat
yang cukup menyenangkan untuk makan, kudengar. Aku, tentu saja, tidak sering
pergi ke luar, itu pun hanya ke klub itu, tapi-"
Beth Ellen begitu takjub mendengar Zeeney langsung memotong kalimat Nyonya
Hansen. "Oh, ya, aku memang membaca sesuatu tentang sebuah tempat ... Shark's
Tooth Inn. Sepertinya di situ ada kehidupan.
Siapa yang bermain di sana, Ibu tahu?"
Mata Beth Ellen melebar. "Tidak, aku tidak tahu, Sayang, tapi aku yakin kita bisa mencari tahu. Kita bisa
menelepon ke sana jika kamu mau."
"BUNNY," kata Beth Ellen keras.
"Apa?" tiga orang dewasa itu kaget. Lidah Beth Ellen jadi kaku.
"Oh, ya," kata Nyonya Hansen, "pria menyenangkan yang kita undang untuk pesta
ulang tahunmu. Aku yakin kamu betul. Kamu pintar!"
"Bunny, katamu?" tanya Zeeney. Beth Ellen mengangguk. "Bunny.
Hmm, hanya ada satu Bunny. Dia pasti Bunny Maguire."
Beth Ellen mengangguk. Dia merasa agak panik saat sadar ibunya mengenal Bunny.
"Wow, itu menyenangkan," kata Zeeney. "Bunny Maguire. Bun-bun tua. Kamu ingat,
Sayang, klub yang memesona di Capri dan di Roma?"
Wallace mendongak. Dia duduk seperti trenggiling, setengah dan hidung panjangnya
selalu berada di dalam gelas, dalam keadaan setengah tidur yang parah. "Ya,"
tiba-tiba dia berkata. "Hep, pria yang menyenangkan. Di Venice juga, bukan?"
"Ya!" kata Zeeney, yang tampak sangat senang sekarang. "Tentu saja; aku lupa.
Bunny yang ganteng. Kenapa kita tidak ke sana sekarang dan menyapanya?"
"Mm, hep, asyik," kata Wallace sambil menenggak minuman terakhirnya.
"Tapi, kalian baru saja tiba," kata Nyonya Hansen dengan khawatir.
"Makan siang yang lezat sedang disiapkan dan aku sudah memesan teh.
Tidak bisakah kalian pergi nanti saja?"
"Oh, Ibu, kami tidak ingin teh," kata Zeeney sambil berdiri cepat-cepat dan
mengibaskan lengan panjangnya dengan anggun. "Ayo ikut, Wallace."
Beth Ellen memandang wajah neneknya yang kecewa. Dia senang sekali kalau
neneknya minum teh setiap sore. Jika ada tamu, ada juga teh khusus dengan roti
isi mungil dan kue-kue kecil. Dia tidak bisa membayangkan ada orang yang tidak
menginginkannya. Mungkin Zeeney tidak tahu betapa enak rasanya.
"Tapi, Beth Ellen baru saja bertemu kalian."
"Oh!" kata Zeeney, mengingat Beth Ellen. "Itu bukan masalah.
Masih ada tempat di mobil. Dia akan berdesak-desakan dengan kami."
Wallace sudah berdiri dan mereka sudah berada di pintu sekarang. "Ayo ikut,"
kata Zeeney dingin. "Aku kira itu bukan tempat yang baik untuknya sebuah bar" Pada siang hari?"
tanya Nyonya Hansen. "Ah!" kata Zeeney dan berbalik seperti ular berbisa. "Lebih baik dia membiasakan
diri dengan hal itu. Dia kan anak-ku." Zeeney berjalan melintasi ruangan, lalu
menggamit tangan Beth Ellen. "Dia akan aman bersama kami. Ayo ikut, Beth Ellen.
Kita akan naik mobil, dan kamu boleh minum Coca-Cola kalau kita sudah sampai."
Dia bicara seperti pada seorang anak kecil.
Nyonya Hansen memutar kursi rodanya ketika mereka sampai ke pintu. "Dia harus
sudah ada di rumah lagi waktu makan malam, Zeeney,"
ujarnya tajam, dan ketika Beth Ellen menoleh ke belakang, dia bisa melihat dahi
neneknya berkerut dan masam.
"Tentu saja, Ibu," kata Zeeney dan menyeret Beth Ellen keluar dari pintu.
Wallace sudah membawa mobil kecil itu ke depan pintu dan Zeeney masuk, mendorong
Beth Ellen ke tengah. Kedua tungkainya mengapit tongkat persneling sebuah mobil
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balap yang penuh hiasan, panjang dan berwarna hitam tanpa atap dengan kain
pembungkus jok berwarna merah.
"Hep," kata Wallace, "mudah-mudahan benda gila ini berfungsi."
"Tentu saja dia akan berfungsi, Sayang," kata Zeeney. "Aku memesan mobil yang
berfungsi. Jika tidak, kita akan segera kembalikan dan kita bisa menggunakan
Rolls Royce Ibu." Mobil itu berfungsi. Berfungsi dengan baik sampai-sampai mereka meluncur dan
jalan mobil di halaman dengan kecepatan seratus enam puluh kilometer per jam.
Beth Ellen menatap jarum penunjuk kecepatan dengan ketakutan ketika mereka
meluncur dan meliuk-liuk di jalan-jalan desa.
"MENAKJUBKAN!" teriak Wallace.
"SEMPURNA!" seru Zeeney mengalahkan deru mesin yang keras.
Aku bisa mati, pikir Beth Ellen. Dia memandang wajah mereka secara bergantian
dan takjub melihat ekspresi gembira yang tolol terpancar dari sana. Mungkin
mereka orang-orang gila, pikirnya saat mereka hampir menabrak sebuah truk susu.
"Ayo kita bawa mobil ini ke jalan raya!"
"AYO! " teriak Zeeney, dan Beth Ellen ingin menyembunyikan matanya. "Tidak,
tidak-ini, Sayang, ini penginapannya."
Ketika kata-kata itu meluncur dari mulutnya, mereka telah melewati jalan masuk
ke penginapan. Tapi, hal ini tidak mengganggu Wallace, yang dengan mudah
melakukan putaran seratus delapan puluh derajat yang menyeramkan, meluncur
melewati gerbang, dan berhenti di halaman berumput.
"HEBAT SEKALI, SAYANG!" teriak Zeeney.
Wallace mematikan mesin dan melompat keluar dari mobil.
"Rumputnya terpotong sedikit, tapi ia memang perlu dipotong, " ujarnya
bersemangat. "Jangan menginjak rumput, jangan menginjak rumput." Sebuah suara yang lemah
terdengar dari beranda, dan saat memandang ke atas, mereka melihat ibu Bunny
mengayunkan tongkatnya dan mengumpat-umpat mereka. "Aku akan memanggilpolisi,
polisi. Sekarang pindahkan mobilnya dari sana."
"Oh, Tuhan," kata Zeeney sebal saat dia keluar dari mobil. "Wanita tua! Apa yang
dibutuhkan dunia dari mereka?"
Dia maksud nenekku, pikir Beth Ellen.
"Jangan kuatir, Ibu Tua," kata Wallace saat dia berjalan melewati tongkatnya.
"Kami hanya akan sebentar di sini, hep." Dia menghilang ke dalam.
Wanita tua itu mengangkat tongkatnya dengan penuh ancaman ke atas kepalanya saat
Zeeney menuntun Beth Ellen menaiki tangga.
"Berhenti disitu sekarang juga," teriaknya, "atau pindahkan mobil itu!"
"Hai, ini Nyonya Maguire, bukan?" kata Zeeney dengan nada yang sangat sopan.
Tongkat itu diturunkan dan wanita tua itu menatap Zeeney dengan tajam. "Anda
ibunya Bunny, bukan?" kata Zeeney, sambil berjalan cepat melewati tongkat itu
menuju pintu depan. "Ya?" kata ibu Bunny. "Dan Bunny juga ingin kau memindahkan mobil itu."
"Ya, tentu saja, tentu saja begitu," kata Zeeney sambil mendorong Beth Ellen
melewati pintu dan memasuki bar.
"BUNNY!" jerit Zeeney begitu dia melihat Bunny. Bunny bangkit dan piano. Dia
mengenakan jas oranye yang indah dan celana putih. Beth Ellen menatapnya dengan
penuh kekaguman. "ZEENEY!" dia balik menjerit dan setelah mendekat, memeluk Zeeney seperti
beruang. "Hai, kalau begitu itu pasti Wallace!" ujarnya berbalik dan memandang
Wallace yang sudah mendapatkan minuman dari bartender dan kembali menjadi
trenggiling. "WALLACE!" teriak Bunny, dan sambil berlari mendekatinya, dia
menepuk punggung Wallace sangat keras sampai dia tersedak.
"Hep!" kata Wallace setelah dia bisa bernapas. "Bunny, Sobat, senang bertemu
denganmu." Bunny menjadi sangat sibuk. Dia menarik beberapa kursi, memesan minuman. Tiba-
tiba, dia melihat Beth Ellen. "Lho, ini bukannya ... tapi, ini tidak mungkin ...
anakmu?" tanyanya pada Wallace.
"Bukan," kata Wallace singkat.
"Kalau begitu anakmu!." kata Bunny, menunjuk pada Zeeney dengan cepat.
"Oh, jangan konyol, Bunny. Aku meminjamnya dari panti asuhan untuk hari ini. Aku
dengar orang tidak bisa masuk ke sini tanpa anak-anak, seperti pesta
menyenangkan yang diadakan keluarga Hibbard untuk Mykonos itu. Ingat?"
Ketiganya kemudian tertawa terbahak-bahak dan berteriak-teriak cukup lama,
menertawakan pesta itu. Beth Ellen, yang tidak diakui, duduk.
Dia memandang Bunny. Apakah dia seperti Zeeney dan Wallace"
Bunny lebih seperti mereka daripada seperti Nyonya Hansen, atau seperti Nyonya
Welsch dan Tuan Welsch. "Tapi, kamu memang tampak akrab," ujarnya, dan saat mendongak, Beth Ellen
melihat bahwa dia sedang tersenyum padanya.
"Kurasa kau pernah bermain di pesta ulang tahunnya," kata Zeeney, "meskipun aku
tidak bisa membayangkan, bagaimana kau bisa mengingatnya diantara wajah-wajah
kotor kecil itu." Zeeney membalikkan punggungnya menghadap Beth Ellen.
Kami tidak kotor, pikir Beth Ellen. Kami semua berdandan rapi.
Bahkan, Harriet pun bersih.
"AH!" kata Bunny. "Ya! Itu dia!" dia meletakkan telunjuknya di hidung Beth Ellen
dan mendorongnya lembut. "Kau akan cantik seperti ibumu." Dia tersenyum, dan
sambil berjalan mendekat, melingkarkan tangannya memeluk Zeeney. "Senang sekali
bisa bertemu denganmu. Musim panas ini sangat membosankan. Jangan bilang padanya aku bilang begitu,
tapi ide Agatha untuk menjalankan klub tidak lebih baik daripada ide seekor
kelinci besar." "Bukan Agatha Plumber kan?" kata Zeeney, tawanya berderai. "Dia masih
mengikutimu" Aku belum pernah bertemu dia lagi sejak dari Venesia!"
"Ya Tuhan, ya," kata Bunny. "Yah, dialah pemilik tempat ini."
"Tunggu sampai dia bertemu Wallace ! Agatha akan langsung pingsan- Agatha
tergila-gila pada Wallace, tergila-gila!"
Beth Ellen melihat ke sekelilingnya. Tidak ada yang memandangnya. Tidak ada yang menawarinya soda. Dia bertanya-tanya, apakah orang-
orang akan tahu jika dia berdiri dan duduk di beranda.
Suara-suara mereka membuatnya sakit kepala. Dia melihat Moo-Moo berjalan
melintasi ruang utama menuju beranda depan. Dia memutuskan untuk mencobanya.
Beth Ellen sampai ke pintu tanpa terlihat oleh siapa pun. Dia berjongkok dan
mengelus-elus Moo-Moo, yang memandangnya dengan mata seekor sapi. Dia mengangkat
Moo-Moo, dan memegangi tali lehernya kuat-kuat supaya Moo-Moo tidak bisa lari
lagi, lalu membawanya keberanda.
Dia duduk sambil memegangi Moo-Moo erat-erat di pangkuannya.
Dia melihat sebuah mobil berlalu. Ibu Bunny sudah tidak ada. Dia dan Moo-Moo
duduk berdua saja di beranda yang besar dan luas itu. Saat itu hening.
Dia mencium kepala Moo-Moo. "Kita ingin kabur," ujarnya ke telinga Moo-Moo.
"Kita berdua ingin kabur."
Setelah berjam-jam duduk di tangga beranda yang semakin dingin sambil
mendengarkan teriakan dari dalam, Beth Ellen menyadari bahwa seseorang sudah
membawa sebuah kursi, meletakkannya didekat halaman di sudut hotel, dan duduk.
Dia hanya bisa melihat bagian belakang sebuah kepala. Kuharap, siapa pun itu,
dia tidak akan datang kemari dan berbicara denganku, pikir Beth Ellen.
Sebuah mobil masuk. Seorang pria dan seorang wanita keluar dari mobil. Kepala
itu berdiri cepat. Beth Ellen melihat dengan takjub. Kepala itu ternyata milik
Norman. "Langsung ke sana, parkir saja langsung kesana," dia menggeram pada pria itu,
yang kembali ke dalam mobilnya dan memarkirnya di ujung halaman berumput. Ketika
pria itu kembali, dia menerima tiket dari Norman, menjemput istrinya, dan
berjalan melewati Beth Ellen memasuki penginapan.
Saat Norman berbalik, dia melihat Beth Ellen yang sedang duduk di tangga, lalu
mengumpat.Lalu, dia berjalan agak marah ke kursinya dan duduk seperti direktur
perusahaan. Terima kasih, Tuhan, pikir Beth Ellen, dia tidak mau bicara. Derai tawa itu
mendekati pintu sekarang, dan tiba-tiba Zeeney, Wallace, dan Bunny berada di
beranda. Begitu dia menoleh dan melihat Wallace, Norman melompat dari kursinya, berjalan
seperti bebek, dan berkata dengan nada penting dan keras, "Mobil ini harus
dipindahkan sekarang juga. Mobil-mobil diparkir di sana." Lalu, saat dia melihat
Bunny dibelakang Wallace, mulutnya menganga.
"Tidak apa-apa," ujar Bunny tajam, "mereka ini teman-temanku."
"Tadi itu apa?" tanya Wallace takjub.
"Itu tukang parkir baru," kata Bunny. "Aku juga tidak suka nada bicaranya."
"Kamu pintar sekali karena menyewa kurcaci," kata Zeeney sambil menuruni tangga
beranda. "Apakah dia cukup besar untuk menyetir?" tanya Wallace.
"Oh, dia bisa mengatasinya," kata Bunny riang. "Kami harus menerima siapa saja
yang bisa kami dapatkan. Agatha sama sekali menolak untuk membayar upah siapa
pun dengan layak." Beth Ellen memandang ke kejauhan untuk melihat kalau-kalau Norman mendengar
kalimat terakhir tadi. Dia mendengarnya dan wajahnya tampak marah. Beth Ellen
berpikir, pasti Norman berniat untuk minta upah lebih banyak.
Mereka turun dan masuk ke mobil setelah banyak tertawa bodoh dan setelah
berjanji untuk melakukan banyak makan malam, pesta berlayar, piknik, dan
berenang tengah malam. Kemudian, Bunny kembali ke hotel dan Wallace memacu mobil
melalui gerbang hotel dengan kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam.
Meskipun semuanya samar-samar karena kecepatan mobil yang begitu tinggi, Beth
Ellen bisa melihat Jessie Mae yang sedang berdiri di balik semak-semak berbentuk
bola salju. Aku harus memberi tahu Harriet, pikirnya, saat mereka berbelok
dengan satu ban. Aku harap aku bisa bersepeda berkeliling seperti Harriet, hanya
memikirkan siapa yang sudah meninggalkan pesan-pesan itu, dan pulang ke rumah
untuk menikmati panggangan makanan laut tiap malam. Kuharap aku tidak harus
mengebut di Jalan Raya Montauk dengan kecepatan seratus enam puluh kilometer per
jam. "ASYIIIIIIK!" jerit Zeeney.
"KEREEEEN," jerit Wallace. *
16 Mulut Orang Fanatik Tidak Berbusa
Pada malam yang sama setelah makan malam, Harriet duduk berdua dengan ibunya.
Janie dan Tuan Welsch sudah kembali ke kota. Waktu tidur sebentar lagi. Nyonya
Welsch sedang memperbaiki salah satu kemeja Harriet sementara Harriet bermain-
main dengan puzzle yang berserakan diatas meja, bergambar sebuah lukisan dan
pelukis Utrillo. Entah mengapa, dia merasa gugup dan terganggu sehingga potongan-potongan kecil
yang menjengkelkan itu sepertinya tidak mau cocok satu sama lain. Harriet
memandang ibunya. "Ibu, apakah Ibu percaya keajaiban karena doa?" tanyanya tiba-tiba. Ibunya
mendongak. Matanya begitu jernih dan cokelat. "Kenapa kamu bertanya?"
"Yah ... Ayah nggak yakin." Harriet mengatakan hal ini dengan ragu-ragu, tidak
yakin apakah dia seharusnya mengatakan hal ini atau tidak.
"Dia tidak yakin?" Nyonya Welsch memandang jahitannya. "Tidak, kurasa dia tidak
tahu. Yah, ini hal yang sangat pribadi."
Harriet merasa, sebaiknya dia tidak mengatakan apa-apa lagi mengenai topik ini.
Dia menunggu sesaat, melihat kalau-kalau ibunya akan mengatakan hal lain.
Nyonya Welsch meletakkan jahitannya. "Meskipun begitu, kami sudah
mendiskusikan pelajaran agama untuk- mu." Harriet memandangnya dengan terkejut saat dia melanjutkan. "Kami tidak keberatan jika
kau bertanya-tanya tentang Tuhan dan agama. Itu bagus sekali. Apakah kau ingin
ada kursus privat pelajaran agama?"
"Tidak," kata Harriet cepat.
"Yah, " kata ibunya, menghela napas, "apa perasaanmu tentang Tuhan?"
"Aku tidak tahu," kata Harriet. "Aku tidak tahu harus berpikir apa."
Nyonya Welsch kembali menjahit, lalu mendongak kembali. "Kadang-kadang, aku juga
percaya keajaiban doa. Aku percaya pada Tuhan. Aku berpaling kepada-Nya untuk
mendapatkan ketenangan dan aku juga merasa bahwa aku akan merasa sesat tanpa
Dia. Tapi, agama atau kepercayaan apa pun yang harus dianut, benar-benar masalah
pribadi. Kurasa, seseorang sebaiknya memikirkan soal ini, tidak begitu saja menerima apa
yang diberikan pada mereka, tapi memikirkannya. Pada saatnya, kau akan yakin.
Dan kau sama sekali tidak boleh membenci agama lain. Karena, manusia diciptakan
sama oleh Tuhan." Harriet duduk sambil memikirkan hal itu. Dia menemukan satu potongan yang cocok
dan merasakan kepuasan yang besar. Betapa konyolnya, pikirnya, bahwa hal itu
bisa membuatnya merasa senang; sepotong karton yang dipotong dari potongan
karton lain dan kemudian dicocokkan kembali, bisa membuat seseorang merasa
senang. Ucapan ibuku kedengaran masuk akal, pikirnya, tapi kuharap aku bisa bertanya
tentang perasaannya. Seperti apa rasanya pasrah sepenuhnya kepada Tuhan" Apa
yang Jessie Mae rasakan" Atau Pak Pendeta"
"Apakah mulut orang-orang fanatik berbusa?" Ibunya langsung tertawa. "Dan mana
kau mendapatkan ide itu?"
"Aku pernah mendengarnya sekali," kata Harriet. Dia benar-benar terganggu oleh
ide mulut berbusa ini. Membayangkan Pak Pendeta dengan mulut berbusa, memutar-
mutar bola matanya, dan bicara tanpa henti adalah satu hal, tapi ide Jessie Mae
dengan mulut berbusa tampak menggelikan. Jessie Mae secara keseluruhan tampak
terlalu ceria untuk memiliki mulut yang berbusa.
"Itu pepatah lama," kata Nyonya Welsch, "ide yang sangat kuno bahwa orang-orang
fanatik itu gila dan mulutnya berbusa. Saat ini sulit membedakan orang-orang
fanatik dan orang biasa. Mereka tampak seperti orang biasa sampai kau mengenal
mereka, dan kemudian kamu tahu kalau mereka ternyata terobsesi."
"Huuh," kata Harriet keras. Hal ini sangat menjengkelkan. Ini berarti Janie
benar. Orang fanatik ini bisa siapa pun. Dia menguap.
"Bagaimana kalau kamu tidur, Sayang?" tanya ibunya sambil melipat jahitannya.
"Kamu pasti ingin bangun pagi untuk pergi ke pantai."
Nyonya Welsch pergi ke dapur. "Mau sesuatu sebelum tidur?" panggilnya.
Harriet berpikir cepat-cepat. Apa yang aku mau" Aku tidak mau alam semesta. Aku
tidak tahu kalau aku ingin di sana ada Tuhan. Apakah Dia akan memata-matai aku
setiap saat dan mengetahui segala sesuatu yang aku pikirkan" Lagi pula, dimana
Dia" "Sayang?" Nyonya Welsch berdiri di ambang pintu dapur. Harriet memandang ibunya
yang tersenyum hangat. Dia merasakan aliran cinta, keamanan dan kebahagiaan
dalam rutinitas pergi tidur yang hangat, rutinitas makan, dengan adanya ibu,
rumah, kamarnya sendiri, dan dirinya sendiri.
"YA!" Harriet tertawa. Dia berteriak, "Aku mau sesuatu. Aku mau semuanya. Aku
mau keripik jagung dan sarden dan lobster dan kerang dan remis dengan saus tomat
..." dia membuat ibunya tertawa dengan berlari ke dalam lemari es, membuka
pintunya dan berteriak ke dalamnya, "...dan acar dan 'sewada' dan jus jeruk dan
bistik dan kentang dan kue dan saus tomat dan empat belas roti isi tomat dan
semuanya, semuanya, semuanya!"
17 Memata-matai Zeeney dan Wallace
Pagi berikutnya, Harriet bangun, berpakaian, sarapan, dan melompat ke atas
sepedanya. Dia segera menuju rumah Beth Ellen tanpa menelepon lebih dahulu. Dia
yakin kalau dia melakukannya, Beth Ellen tidak akan mengizinkannya datang.
Harriet bertekad untuk mengetahui lebih banyak tentang orangtua Beth Ellen.
Dia bersepeda memasuki jalan mobil di halaman rumah Beth Ellen yang panjang,
merasakan jutaan mata yang mungkin sedang mengawasinya dari belakang jendela
gelap yang berjajar di depan rumah.
Dia memarkir sepedanya dan berjalan menuju pintu kasa yang terhubung dengan
beranda belakang. Harriet mengintip melalui pintu belakang kedalam dapur. Harry sedang duduk
membaca koran.Juru Masak sedang berada di depan kompor dan pembantu keluarga
Hansen berada di ruang penyimpanan makanan. Harriet berpikir, mungkinkah
orangtuanya meninggalkan pesan bahwa Beth Ellen tidak boleh ditemui siapa pun"
Mereka mungkin berusaha menghentikan aku. Aku harus berlari secepat kilat.
Dia membuka pintu kasa itu, melesat melewati dapur, ruang penyimpanan makanan,
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan keluar dari pintu ruangan itu dalam hitungan detik. Susie berteriak dan
Harry meletakkan korannya sambil berkata,
"Apa itu tadi?" Juru Masak berbalik dan berkata, "Sepertinya angin. Lebih baik
kamu memperbaiki pintu jaring itu. Aku tidak mau ada lalat di sini selama musim
panas." Harriet menjejakkan kakinya keras-keras di anak tangga teratas dan berlari
berputar menuju sudut gelap di depan pintu kamar Beth Ellen.
Diamengetuk. "Ya?" terdengar sahutan pelan dari dalam.
"Ini aku," ujar Harriet dengan bisikan keras.
Beth Ellen membuka pintu dengan cepat. "Sssst,"ujarnya dan tampak ketakutan,
"mereka tidur."
"Aku tenang sekali," kata Harriet kasar sambil duduk di sebuah kursi, "mereka
seperti apa" Apakah kamu menyukai mereka" Ibumu cantik, kamu setujubukan" Aku
pikir dia cantik. Janie dan akumembicarakan tentang itu. Dia ibu paling cantik
yang pernah kami lihat. Kamu menyukai Wallace" Apakah dia menyukaimu" Kamu
bersenang-senang dengan mereka?"
Beth Ellen hanya menatapnya.
"BETH ELLEN!" teriak Harriet .
"Aku sedang berpikir," kata Beth Ellen. "Lagi pula, aku harus dipanggil Beth
sekarang." "Kenapa?" "Karena ibuku bilang Beth Ellen kedengaran seperti gembel."
Harriet tidak tahu bagaimana dia harus mencerna informasi ini. Dia memutuskan
untukmembiarkan hal itu. "Yah, ceritakan padaku. Apa yang terjadi kemarin"
Setelah mereka memungutmu dari tanah dan membawamu ke dalam, apa yang terjadi?"
"Kami duduk, lalu kami berdiri dan pergi ke Shark's Tooth Inn."
"Kamu BERCANDA!" Harriet sangat bersemangat "Apakah kamu meminta mereka
mengajakmu kesana?" "Nggak," kata Beth Ellen, membayangkan bagaimana Harriet bisa memikirkan hal
seperti itu, "mereka ingin pergi. Mereka kenal Bunny"
"YANG BENAR?" Harriet hampir terbang melintasi ruangan. "Yah, ceritakan lagi,
ceritakan lagi." "Nggak ada lagi yang harus diceritakan."
Inilah salah satu sifat yang paling menjengkelkan dari Beth Ellen.
Harriet menatapnya dan ingin mencekiknya. Begitu ceritanya menjadi seru,dengan
gampang dia akan mengatakan tidak ada lagi yang bisa diceritakan. Bagus juga
kalau dia tidak ingin menjadi penulis karena kalau ya, semua bukunya akan
dilempar melintasi ruangan.
Dia berkata dengan sabar, "Sesuatu pasti telah terjadi, Beth. Kamu nggak pergi
ke Shark's Tooth dan kemudian menguap begitu saja menjadi asap!"
"Kami pergi ke sana, mereka pergi ke bar dan bertemu Bunny. dan aku duduk di
beranda." "Dan?" "Dan ... Norman ada di sana."
"APA?" Harriet berdiri. "Dan kamu menunggu selama ini untuk memberitahu aku?"
Beth Ellen memandangnya. "Aku hanya tidak mengerti kamu. Hal terpenting dari semua hal dan kamu menunggu
sampai saat-saat terakhir untuk memberitahu aku."
"Tutup mulutmu," kata Beth Ellen.
"Apa?" "Tutup mulutmu."
"Yah," kata Harriet dan pergi ke jendela untuk memberi waktu padanya merancang
alur cerita. Dia terlalu penasaran untuk membiarkan dirinya dihina. "Kamu harus
mengakui, mencari tahu sesuatu dan kamu seperti mencabut gigi." Dia berbalik
untuk memandang Beth Ellen dan tiba-tiba dia menyadari kalau mata Beth Ellen
merah dan sembap. Beth Ellen habis menangis, pikir Harriet . Mungkin mereka
jahat dan dia tidak memberi tahu aku.
"Apa yang dikerjakan Norman di sana?" tanyanya lembut.
"Dia bekerja jadi tukang parkir mobil," kata Beth Ellen dan tampak bersyukur
karena mereka berbicara. "Aku tidak tahu itu," kata Harriet , melangkah cepat. "Hmmmm.
Apa kamu sadar, bahwa kalau dia ada di sana terus, mungkin dialah yang
meninggalkan pesan-pesan itu."
"Oh," kata Beth Ellen. "Aku sudah lupa soal pesan-pesan itu."
"SUDAH LUPA?" teriak Harriet , lalu ingat bahwa sebaiknya dia bersikap lebih
lembut. Dia berbalik dan berkata dengan santai, "Kamar mereka yang mana?"
"Oh, jangan, kamu nggak bisa ..." kata Beth Ellen, tampak ketakutan, "kamu nggak
bisa melakukannya." "Oh, tentu aku bisa," kata Harriet dan melompat ke pintu. Dia menarik tangan
Beth Ellen saat dia pergi dan berkata, "Apa kamu nggak ingin tahu seperti apa
mereka sebenarnya" Mereka kan orang tua-mu.
Harusnya kamu yang menarik aku turun. Ayolah. Apa kamu nggak ingin tahu tentang
mereka sebelum semuanya sudah terlambat?"
Mata Beth Ellen membesar.
"Ayo," kata Harriet seperti pada seorang anak di dokter gigi. "Ini nggak akan
lama." Harriet menarik Beth Ellen hingga berdiri. Beth Ellen membiarkan dirinya ditarik
seperti seseorang yang terhipnotis.
Mereka berjingkat-jingkat turun menuju ruang tengah. Beth Ellen akhirnya
menunjuk sebuah pintu. Ketika mereka sampai di depannya, Harriet berjongkok di
depan lubang kunci. Dia bisa melihat sebuah ruangan yang indah dengan sinar
matahari yang membanjirinya lewat jendela. Zeeney berdiri didepan sebuah lemari
besar yang penuh sesak dengan baju. Dia mengenakan gaun tidur panjang berwarna
putih. Wallace sedang duduk di depan sebuah meja kecil. Dia mengenakan piama flanel
putih dan mantel tenis putih. Wallace tampak santai, pikir Harriet , dengan
pakaian apa pun. Dia membiarkan Beth Ellen mengintip sedikit, lalu mendorongnya
menjauh kembali. Zeeney sedang berbicara. Mereka bisa mendengarnya dengan jelas.
Bahkan, Beth Ellen pun mendekat dan mendengarkan dengan penuh keingintahuan.
"Sayang" Apa, apa yang harus aku pakai malam ini" Apa aku sebaiknya mengenakan
mawar liar yang merah itu, atau baju yang sopan ini ... Wallace, kamu tidak
mendengarkan." "Hep," kata Wallace, yang sedang menulis sesuatu di meja.
"Yang merah?" Ia menatapnya. Matanya melebar saat ia memandang bagian belakang
leher Wallace. "Semuanya bergantung ...
Sayang, apakah sudah pasti Agatha akan ada di sana?"
"Hep." "SAYANG!" Wallace terlonjak. Dia mengenakan yang membuatnya tampak seolah-olah meloncat
dari abad lain. "Apa" Hep, apa?"
"Apakah Agatha akan ada di sana?"
"Hmmm. Ya." Wallace kembali pada pekerjaannya.
"Apakah mereka akan pergi ke Shark's Tooth malam ini?" tanya Harriet dengan
bisikan yang begitu keras hingga Beth Ellen menyusut ketakutan. Dia mengangguk.
"Wow!" kata Harriet. "Kamu juga?" Beth Ellen mengangguk lagi.
"Suara desir apa itu?" tanya Zeeney. "Tikus, mungkin," gumam Wallace.
"Kamu sedang mengerjakan apa sih" " tanya Zeeney dengan marah.
"Hmmmm, hep, mengerjakan gunungku, mengerjakan perjanjian tentang gunungku."
Wallace mulai menyiulkan sebuah lagu aneh yang sumbang.
Zeeney diam kaku. "Apamu?"
"Ada tanda-tanda adanya orang-orang yang tertarik pada gunungku. Berbaik
hatilah, Zeen, dan jangan mengganggu aku. Aku sedang bekerja."
"Tepatnya tentang apa?"
"Penjualan." Hening sejenak. Zeeney berdiri. Mungkin, kalau saja Wallace melihatnya, dia akan
mati ketakutan. "Maksudmu gunung yang aku berikan padamu?"
"Hep." "Wallace ...." Dia merengut, lalu melanjutkan. "Wallace, apakah menurutmu Agatha
berusaha untuk mendapatkanmu?"
"Apa" Oh, hep." Dia mendongak dengan seringai jahat. "Ya, ya, aku bilang
begitu." Dia kembali pada kertas-kertasnya.
"Seseorang ingin membeli gunung itu?"
"Mmm." "Orang itu kebetulan bukan Agatha, bukan?"
"Hep." "Aku benci sekali bunyi yang kau buat itu. Apakah Agatha orangnya?"
"Ya." "Yah, kalau begitu, Sayangku, kupikir aku akan mengenakan baju kuning. Kuning
selalu membuatnya sangat jengkel karena dia tidak pernah bisa memakainya. Kuning
tampak aneh dengan warna kulitnya yang pucat itu. Nah, itu sudah diputuskan ...
dan aku tidak akan kaget sedikit pun kalau dia jadi iri - tidak! Putih! Aku akan
mengenakan baju putih! Aku tampak memesona dengan warna putih! Dia akan MATI!"
Zeeney menatap Wallace, dan yakin bahwa Wallace tidak mendengarkan satu patah
kata pun. Zeeney berkata, dengan nada suara yang sama sekali tidak berubah,
"Lihat saja penampilanku kalau aku keluar dari Elizabeth Arden! Jimmy akan
menyanggul rambutku begitu tinggi sampai aku tidak bisa berjalan melewati pintu.
Jimmy sayang. Dia juga akan menata rambut si anak bandel itu, tentu saja.
Rambutnya benar-benar mengerikan!"
Zeeney berputar setengah lingkaran tanpa dilihat Wallace. "Dan kamu sebetulnya
tidak perlu susah-susah dengan apa yang kamu kerjakan, kamu tahu, karena aku
cuma memberimu setengah dari gunung itu. Dalam perjanjiannya disebutkan kalau
yang setengah tidak bisa dijual tanpa setengah sisanya. Zeeney kecilmu lebih
pintar daripada yang kamu pikirkan. Agatha akan marah besar. Meskipun aku tidak
bisa membayangkan kenapa dia pikir kau memiliki gunung itu. Sarapan, Sayang?"
"Hep." Wah, pikir Harriet . Dia baru saja dijebak dan dia bahkan tidak tahu itu. Beth
Ellen membelalakkan matanya lebih besar dari yang pernah Harriet lihat.
"Apakah aku sebaiknya memesan sarapan?" Zeeney berjalan mendekati pintu.
Harriet dan Beth Ellen berlari berjatuhan ke ruang utama. Mereka jatuh terengah-
engah didalam kamar Beth Ellen. Harriet jatuh di atas tempat tidur.
Beth Ellen sepertinya mendadak ingin berganti baju karena dia bergegas membuka
lemari dan mulai memilih-milih baju. Kaus, celana pendek, sepatu kanvas, dan
dengan satu lompatan dia sudah masuk ke kamar mandi dan membanting pintu didepan
muka Harriet . Harriet berbaring di kasur sambil memikirkan ceritanya tentang Zeeney dan
Wallace. Zeeney bisa membunuh Agatha, atau mengejar Wallace dengan pengupas
kentang. Kenapa Agatha berpikir bahwa mendapatkan gunung itu akan membuatnya
mendapatkan Wallace" Tiba-tiba, dia ingin pergi kepantai dan mengerjakan
ceritanya. Dia mengetuk pintu kamar mandi.
"Beth Ellen?" "Apa?" kata Beth Ellen, menutup keran air. "Kamu bisa ikut ke pantai?"
"Tidak," jawabnya, "aku harus pergi ke Ehzabeth Arden."
"Sial," kata Harriet . "Bagaimana kalau sesudahnya?"
"Tidak, aku harus menjaga rambutku agar tetap bersih untuk malam ini," kata Beth
Ellen dengan putus asa. "Aduh, minta ampun. Aku pergi," kata Harriet dan bergegas melewati pintu dan
menuruni tangga sambil membayangkan gambar Beth Ellen dengan rambutnya yang
disanggul begitu tinggi hingga dia tidak bisa melewati pintu.
"Anak beruntung," gumamnya pada dirinya sendiri. "Bisa pergi ke hotel dan tidak
peduli sedikit pun."
Dia melesat melalui dapur kembali, hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri, dan
tertawa ketika pembantu Beth Ellen melompat kaget ke udara..
18 Makan Malam di Shark's Tooth Inn
Siang itu, Harriet kembali terburu-buru dari pantai dan mulai memohon-mohon
kepada ibunya. "Tolonglah, oh, tolong, tolonglah Ibu."
"Harriet , kamu ini kerasukan apa " Kenapa kamu ingin pergi ke sana" Lagi pula,
apa yang membuatmu memikirkan Shark's Tooth ke dalam kepalamu?"
"Aku sudah BILANG pada Ibu. Beth Ellen akan pergi makan malam di sana bersama
orangtuanya. Kenapa kita nggak bisa pergi ke sana"
Kenapa Ibu dan Ayah nggak pernah pergi ke sana" Tempat itu menyenangkan dan ada
pemain piano yang bagus ...." Harriet menelan ludah dan berharap ibunya tidak
bertanya dari mana dia bisa tahu hal itu.
"Aku tidak bisa membayangkan apa yang begitu menarik dengan pergi ke tempat
itu." "Ayolah, oh, tolonglah, tolong, Bu. Aku akan melakukan apa pun yang Ibu katakan,
apa pun, APAPUN, selama sebulan, selama setahun, selama DUA TAHUN AKU AKAN
MELAKUKAN APA PUN YANG IBU
KATAKAN!" "Berhentilah berteriak, Sayang. Lagi pula, kamu akan melakukan apa pun yang
kukatakan. Apakah kamu ingin makan di luar malam ini"
Itu kan sebenarnya" Apakah kamu sudah bosan dengan makanan rumah?"
"Aku ingin makan di sana!"
"Sayang, itu bukan tempat orang tua bisa mengajak anak-anak!"
"BETH ELLEN AKAN PERGI DAN DIA MASIH ANAK-ANAK!"
"Tapi, orangtuanya ........... Aku tidak bisa menjelaskannya. Ada tempat-tempat
yang bisa didatangi dengan mengajak anak-anak, tapi akan lebih baik kalau tidak
mengajak anak-anak. Sekarang, kita bisa makan lobster yang enak kalau kamu suka itu. Kita bisa naik mobil ke Montauk atau Amagansett. Kamu mau itu?"
"IBU. Bukan itu intinya." Harriet mulai lagi dengan sangat sabar.
"Beth Ellen pergi ke sana malam ini. Aku pikir, kenapa kita tidak pergi ke sana
kapan-kapan, misalnya malam ini."
"Yah, kapan-kapan kita bisa ke sana, mungkin. Ibu akan bicarakan dengan ayahmu
hari Jumat. Mungkin kita bisa ke sana kalau Ayah ada di sini."
"Itu sudah TERLAMBAT!" teriak Harriet menggila. Dia lari melewati ibunya yang
melongo, keluar menuju dek, turun ke teluk dan menjatuhkan dirinya dengan putus
asa di atas pasir yang sangat basah.
Tepat pada saat yang bersamaan, Beth Ellen berendam di dalam bak mandi sambil
memandangi tubuhnya. Dia dan ibunya baru saja kembali dari Elizabeth Arden. Dia
harus langsung mandi dan berpakaian sebelum mereka keluar untuk makan malam.
Dia berbaring di sana dengan pikiran kosong. Dia menekukkan lehernya supaya
bagian belakang rambutnya tidak basah. Rambut lurus.
Beth Ellen ingat, sekarang rambutnya menjadi lurus. Zeeney sudah memerintahkan
agar rambut Beth Ellen ditarik sekeras mungkin untuk membuatnya lurus. Zeeney
bahkan sudah mendiskusikan kemungkinan untuk meluruskan rambut Beth Ellen
memakai proses yang baru, tapi Jimmy, sang penata rambut, tidak menganjurkannya.
Beth Ellen sedang membaca buku favoritnya didalam bak mandi, setelah
mengeluarkannya dari persembunyian di bawah tempat tidur. Dia membalikkan
halaman dengan hati-hati walaupun agak basah.
Rambutku lurus. Aku dipanggil Beth. Dia sudah mendengar Zeeney dan Wallace
membicarakannya pagi itu saat sarapan, seolah-olah Beth Ellen hanya sepotong
roti. Zeeney berkata, "Kupikir kepalanya terlalu kecil." Wallace tidak setuju,
tapi mengatakan, "Tidak. Kupikir tidak begitu, tapi lututnya memang aneh."
Rambutku lurus. Aku dipanggil Beth. Kepalaku terlalu kecil dan lututku aneh.
Tiba-tiba, dia ingin memasukkan kepalanya ke dalam air dan membuat semuanya
berantakan. Kepalanya akan kembali menjadi miliknya, dengan jutaan keriting yang
muncul sekehendak hati mereka.
Harriet akan melakukan itu, pikir Beth Ellen. Dia berusaha membayangkan Harriet
di Elizabeth Arden dan tertawa terbahak-bahak.
"Beth Ellen" Kamu yang tertawa di dalam sana?" Itu suara Zeeney.
"Ya," kata Beth Ellen perlahan dan berusaha menyembunyikan buku itu di balik
tirai mandi meskipun dia tahu kalau pintunya terkunci.
"Berhenti bermain-main di bak mandi. Kita ditunggu jam enam dan aku harus
mendandanimu." Suara Zeeney dingin, bingung, tegang.
"Aku akan berdandan sendiri," kata Beth Ellen. "Oh, terserah, " kata Zeeney.
Beth Ellen bisa mendengar Zeeney pergi ke luar kamar sambil membanting pintu di
belakangnya. Beth Ellen keluar dari bak dan mengeringkan dirinya. Dia hampir-hampir tidak
mengenali dirinya sendiri di kaca dengan rambut lurusnya yang aneh.
Suara kursi roda neneknya terdengar. Melalui pintu, Nyonya Hansen berkata dengan
sangat lembut, "Segeralah, Beth Ellen Sayang.
Temperamennya jadi sangat buruk."
Naluri pertama Beth Ellen adalah meraih bukunya dan menyembunyikannya di lemari
seprei. "Ya, Nenek," ujarnya pada akhirnya.
"Dan biarkan dia mengancingkan bajumu," kata neneknya dengan suara aneh, agak
takut. "Kamu tahu, dia senang mengurusimu sedikit.
Dan biarpun kita tahu kalau kamu bisa berdandan sendiri, hal itu akan
menyenangkan ibumu. Kamu harus memakai baju putih karena dia juga memakai baju
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih, Sayang. Sekarang bergegaslah."
Kursi roda itu pergi menjauh dan Beth Ellen berdiri sambil berpikir.
Aku ingin memasukkan kepalaku ke dalam bak, berlarian tanpa baju, dan
menyiramkan air ke seluruh pakaian putih Zeeney. Kenapa dia selalu memakai baju
putih" Malam ini dia sudah memutuskan untuk memakai baju putih karena itu pula
yang akan dikenakan Agatha. Aku akan membenci warna putih seumur hidupku, pikir
Beth Ellen. Aku tidak akan pernah lagi memakai baju berwarna putih.
Setelah dia selesai memakai baju, Zeeney sudah mengancingkan bajunya dengan
kacau, dan neneknya sudah mengulang mengancingkan bajunya, Beth Ellen dituntun
oleh Wallace ke dalam mobil balap itu.
Zeeney terlambat karena dia harus melihat penampilannya di kaca sekali lagi.
Wallace menyalakan mesin dengan keras.
Sebuah sepeda melindas kerikil-kerikil. Beth Ellen mendongak dengan terkejut
ketika melihat Jessie Mae yang berhenti di dekatnya.
"Halo," kata Beth Ellen tiba-tiba, yang anehnya merasa senang bertemu dengannya.
"Hai," kata Jessie Mae. "Aku berpikir-pikir, mungkin kamu dan temanmu mau datang
untuk makan malam di rumahku" Mama nggak ada dan aku memasak." Wajah Jessie Mae
yang berbintik-bintik cerah karena rencananya dan mata kecil cokelatnya
bersinar. "Aku nggak bisa," kata Beth Ellen, bersyukur karena Wallace begitu sibuk
mendengarkan suara mesin sampai dia tidak menyadari kehadiran Jessie Mae. "Aku
harus pergi ke Shark's Tooth Inn untuk makan malam."
"Oh," kata Jessie Mae, "Aku melihatmu di sana tadi malam. Pria di bengkel sepeda
memberi tahu aku tempat tinggalmu. Norman sekarang bekerja disana."
"Aku tahu," kata Beth Ellen.
"Dia nggak bisa nyetir dan mereka nggak tahu itu," kata Jessie Mae dengan suara
sangat khawatir. "Aku pergi tadi malam untuk mengawasi dia, tapi aku nggak bisa
pergi tiap malam. Aku harus mengawasi Magnolia."
"Aku akan mengawasi Norman," kata Beth Ellen sambil membayangkan bagaimana dia
akan melakukannya. Tapi, dia merasa dia harus mengatakannya karena Jessie Mae
tampak begitu khawatir. "Oh! Maukah kamu?" wajah berbintik itu menjadi santai dan tersenyum hangat.
"Kurasa aku akan menunggu mengajak temanmu sampai kamu bisa datang. Bisakah kamu
datang besok?" "Aku nggak tahu," kata Beth Ellen, "Lihat saja nanti." Aku tidak berencana
tinggal di Shark's Tooth, pikirnya.
"Ayo berangkat, Sayang," ujar Zeeney dengan keras sambil berjalan melewati
mereka, mengerling pada Jessie Mae dan meninggalkan mereka dalam lautan aroma
minyak wangi. Jessie Mae melongo. "Itukah ibumu?" ujarnya liar
"Ya," kata Beth Ellen buru-buru dan masuk kedalam, ke depan persneling. Zeeney
membanting pintu dan melotot lagi pada Jessie Mae.
Mobil itu meluncur begitu kencang dari jalan mobil di halaman sampai Jessie Mae
benar-benar tertutup debu dan bahkan terkena sedikit lemparan kerikil.
"Minta ampun, tadi itu apa?" tanya Zeeney terkejut. Tapi, dia tidak benar-benar
menginginkan jawaban, jadi Beth Ellen tidak mengatakan apa-apa. Temanku,
jawabnya pada dirinya sendiri dan berharap sepenuh hati untuk bisa pergi ke
rumah Jessie Mae. 19 Agatha Plumber "Sekarang, ingat, Harriet , aku akan memesan satu minuman dan kamu akan minum
satu gelas Coca-Cola, itu saja! Janji adalah janji, dan kamu sudah berjanji
tidak akan memohon untuk makan malam. Kita hanya akan masuk, mendengarkan
pianonya sebentar, lalu pergi dan makan lobster."
"Oke." Wajah Harriet dipenuhi senyum. Dia bahkan akan mengiyakan permintaan
Bangau Sakti 17 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Pendekar Baju Putih 6