Pesan Misterius Di Water 1
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh Bagian 1
PESAN MISTERIUS DI WATER MILL Louise Fitzhugh PESAN MISTERIUS DI WATER MILL
Diterjemahkan dari The Long Secret
Karya Louise Fitzhugh Terbitan Dell Tearling an imprint of Random House
Children's Book, New York 2002
Penterjemah : Mutia Dharma
Penyunting : Maria M Lubis
Proofreader : Ela Karmila
Copyright : ? 1965 by Lois Anne Morehead
Indonesian Language copyright ? 2005 by Little K
The Long Secret ?1965 by Louise Fitzhugh
Copyright ? 1993 renewed by Lois Anne Morehead
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Little K
All Rights reserved Cetakan I April 2006 Diterbitkan oleh Penerbit Little K
PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jln Cinambo no 15 Cisaranten Wetan Bandung 40294
Telp (022) 7334310 Faks (022) 7334311
Email : kaifa@mizan.com http://www.mizan.com Desain dan ilustrasi sampul
Untuk Connie, Dr Slaff, dan Ursula,
orang-orang fanatik yang paling menyenangkan
yang kukenal 1 Pesan Misterius Pesan itu muncul di mana-mana. Semua orang membicarakannya. Pada suatu hari di
bulan Juli, untuk pertama kalinya Harriet dan Beth Ellen melihat seseorang
mendapatkan satu pesan. Saat itu, mereka sedang berada di supermarket di Water
Mill. Mereka berdiri di lorong dekat kasir, mengantre untuk membayar kue-kue
mereka. Kasir wanita galak yang selalu mencurigai anak-anak sedang bersiap untuk
menghitung belanjaan mereka. Tiba-tiba, dia menarik tangannya dari belakang
mesin hitung seolah-olah baru saja digigit ular.
"Ya ampun, apa ...?" dia menjerit, dan perut Harriet hampir terbelah dua karena
dia menjulurkan badannya melewati meja kasir untuk melihat. Wanita itu memegang
sebuah potongan kertas besar berisi tulisan yang kaku dan ditulis dengan krayon
merah: TUHAN MEMBENCIMU "Apa sih, ini" Apa maksudnya" Kenapa ada orangyang ingin melakukan hal ini" Apa
yang bisa merekadapatkan dengan ini" Kenapa mereka ingin mengatakan hal ini
padaku" Kepadaku ... kepadaku?"Wanita itu berteriak terus dan terus. Seorang
pegawai lari mendekat. Manajer toko lari mendekat. Harriet berdiri dengan mata
menyipit sambil memerhatikan. Beth Ellen melongo. Semua orang mulai bicara
secara bersamaan. "Jake dan toko makanan ternak pun dapat satu."
"Pesan-pesan itu ada di semua tempat di kota.Setiap orang di Water Mill sudah
dapat satu." "Kenapa nggak ada yang berbuat sesuatu" Apa sih ini?"
"Mereka sudah berbuat sesuatu. Tuan Jackson sudah melapor ke polisi."
"Apa yang terjadi?"
"Yah, mereka sedang menyelidiki. Mereka bisa apa" Mereka nggak bisa menemukan
pelakunya." "Mungkin mereka melindungi seseorang."
"Ya. Ini tidak ada waktu musim dingin. Mungkin salah satu dari turis-turis musim
panas itu jadi gila."
Karena satu dan lain hal, semua orang menoleh dan memandang Harriet dan Beth
Ellen. Harriet terlalu sibuk menulis semua hal di buku catatan yang selalu dia
bawa sehingga dia tidak sadar, tapi Beth Ellen mulai berjalan ke pintu.
"Ini saja semuanya, Anak-Anak?" Kasir wanita itu tiba-tiba menjadi sangat judes
dan resmi. "Ya," kata Harriet, berharap kedengaran tak acuh.
Beth Ellen sudah berada di luar, di jalan. Harriet melihatnya bergegas menuju
sebuah mobil hitam yang panjang.
"Yah, kamu perlu tahu," kata kasir wanita itu sambil memasukkan kue-kue ke dalam
kantong,"ada orang-orang yang amat-sangat aneh selama musim panas ini."
Harriet berdiri sesaat dengan kantong plastik ditangannya, berharap wanita itu
akan mengatakan lebih banyak, tapi dia hanya menatap Harriet seperti
mengharapkan sesuatu. Merasa bodoh,Harriet berbalik mendadak dan meninggalkan
toko itu. Di luar, dia berjalan lambat menuju mobil. Udara pagi terasa nyaman, agak
lembap, seperti memeluknya dengan hangat. Dia merasakan kebahagiaan yang dia
rasakan setiap tahun. Kenangan setiap musim panas dalam hidupnya membuat udara
seperti bertambah nyaman dan hangat. Semuanya begitu indah dan akrab: deretan
pendek toko-toko sepanjang Jalan Raya Montauk, bendera di depan kantor pos
kecil, papan bertuliskan ANDA MEMASUKI WATER MILL, NEW YORK.
PERLAMBAT KENDARAAN DAN SELAMAT BERSENANG-SENANG, yang sekarang dicat putih
bersih dengan tulisan hitam. Tetapi, pada akhir musim panas biasanya papan itu
sudah dicorat-coret dengan tulisan-tulisan sinting.
Bahkan, Beth Ellen yang sedang duduk menunggu di kursi belakang mobil besar yang
dikemudikan Harry, supir keluarga Hansen, terasa seperti kenangan yang setia.
Persahabatan dengan Beth Ellen agak lucu, pikir Harriet sambil naik ke kursi
belakang. Harriet tidak pernah bertemu Beth Ellen selama musim dingin, tidak
seperti Janie dan Sport, meskipun Harriet pergi ke sekolah bersamanya; dan
selama musim panas dia adalah sahabat Harriet. Harriet mengira ini cuma karena
dia juga tinggal di Water Mill.
Mobil itu mulai bergerak. Harriet menekan tombol yang menaikkan kaca antara
kursi belakang dan kursi depan. Dia senang privasi. Selain itu, dia senang
menekan tombol-tombol itu.
"Jangan, jangan," kata Beth Ellen dan menekan tombol itu lagi supaya kacanya
sedikit turun, "kita harus memberi tahu dia tujuan kita."
"Aku harus pergi ke rumahmu. Sepedaku kutinggalkan di sana," ujar Harriet sambil
menekan kembali tombol itu dengan cepat. "Setelah itu, bagaimana kalau kita ke
pantai?" Beth Ellen tampak ketakutan, tapi itu memang ekspresi normalnya, jadi Harriet
tidak memedulikannya. "Aku tidak yakin kalau aku bisa bersepeda cukup baik untuk
bisa pergi sejauh itu."
"Tentu saja kamu bisa. Bagaimana kamu akan mulai belajar kalau kamu tidak
mencobanya" Apa bagusnya sepeda kalau kamu cuma bisa mengendarainya mengelilingi
halamanmu?" "Tapi, aku baru belajar sebulan yang lalu." Beth Ellen mulai mengunyah sepotong
kue dengan ekspresi setengah melamun.
"Yah, aku nggak peduli kamu ikut atau nggak." Harriet mengatakan kalimat
terakhir sambil melirik kesamping ke arah Beth Ellen. Itu berhasil.
"Aku nggak bilang kalau aku nggak bakal ikut. Aku mau ikut."
"Aku tahu apa yang bisa kita lakukan." Harriet menyipitkan mata dan mengerling
jauh ke samping sampai kepalanya terasa sakit. "Ayo kita bersepeda melewati
Hotel Angker." Wajah Beth Ellen berubah menjadi sangat merah.
"Haa, haa," kata Harriet dan melihat ke luar jendela.
"Kalau kamu mau," kata Beth Ellen, berusaha agar tampak bosan.
Yang ada, dia tampak seperti ingin muntah.
"Kalau aku mau!" kata Harriet kasar. "HUH!"
"Kupikir kamu sedang menulis cerita soal itu,"kata Beth Ellen.
"Memang," kata Harriet, "tapi hanya karena kita praktis menghabiskan seluruh
musim panas disana! Aku nggak punya hal lain untuk dibuat cerita'. Dan apa yang
sudah kulihat selama musim panas ini" Cuma si Bunny konyol itu! Dan apa yang
sudahaku dengar selama musim panas ini" Cuma si Bunny konyol itu bermain piano!"
Dia kedengaran cukup marah. "Yah!" ujarnya tegas, lalu berhenti.
"Yah, kamu nggak harus ikut," kata Beth Ellen, tersenyum kecil.
"Aku mau ikut, "kata Harriet ."Aku harus menyelesaikan ceritaku sekarang,
bukan?" Dia merampas kotak kue dan memasukkan tiga potongke dalam mulutnya. Beth
Ellen tersenyum. Harriet melihatnya dan berkata dengan mulut penuh, "Dengar, ya,
Tikus Kecil, untuk seekor tikus, kamu benar-benar mendapatkan kemauanmu setiap
saat." Beth Ellen menatap ke luar jendela untuk menyembunyikan senyum kecilnya.
Mobil itu berbelok memasuki halaman rumah Beth Ellen. "Aku harus masuk dan
bertemu nenekku sebelum aku pergi," kata Beth Ellen dengan nada sedikit murung.
"Nggak apa-apa," kata Harriet. "Aku akan menunggu saja di sini."
Dia bahkan tidak menatap Beth Ellen karena dia sedang mengawasi Harry.Harriet
sedang memata-matai Harry sepanjang musim panas. Harry layak diawasi dengan
ketat. Sepertinya dia menjalani kehidupan yang sangat mencurigakan.
"Lagi pula," ujar Beth Ellen selagi membanting pintu mobil, "kamu yang
menyebutnya Hotel Angker. Bukan aku."
Harriet bersiap-siap untuk sesuatu di belakangnya, tapi Beth Ellen sudah
langsung menerobos melewati pintu. Huuh, pikir Harriet, aku bilang begitu cuma
untuk membuat dia jengkel. Aku tidak pernah melihat orang jatuh cinta seperti
itu. Mudah-mudahan aku tidak akan pernah mengalami hal itu.
Harriet berjalan menuju ruangan para pembantu yang menempel ke garasi. Sambil
menutupi aksinya sebaik mungkin di balik sederetan pagar, dia mematai-matai
jendela kamar Harry. 2 Wanita Sejati SelaluBisa Menyembunyikan Amarah
Beth Ellen mengetuk pintu kamar neneknya."Masuk," sahut sebuah suara tegas dari
balik pintu. Beth Ellen masuk dan melihat neneknya bersandar pada setumpuk
bantal. Susie, pembantunya, sedang berdiri di samping tempat tidur, tampak
sangat pucat. "Halo, Sayang. Ayo kemari, duduklah," ujar neneknya sambil tersenyum singkat,
lalu menoleh pada pembantunya. Beth Ellen mendekat dan dudukdi sofa.
"Bukan itu masalahnya," lanjut neneknya pada Susie. "Aku tidak ingin membahasnya
lebih jauh lagi. Aku hanya ingin dimengerti kalau hal seperti ini tidak boleh
terjadi lagi." Beth Ellen mengangkat wajahnya saat mendengar nada aneh dalam suara neneknya.
Suara Nyonya Hansen biasanya terdengar sangat lembut, tapi hari ini dia
terdengar tajam, kaku, tegas. Wajahnya tampak dingin. Susie tampak ketakutan.
"Itu saja untuk sekarang," kata Nyonya Hansen dan berbalik pada Beth Ellen saat
Susie meninggalkan kamar itu. "Jadi, Sayang, kamu akan pergi ke pantai?"
"Ya," kata Beth Ellen singkat dan melihat ke lantai. Dia tidak pernah terlalu
yakin apa yang bisa dibicarakan dengan neneknya. Dia selalu ingin meledak-ledak
dan mengatakan banyak hal yang akan membuat neneknya tertarik. Beth Ellen ingin
neneknya memandangnya dan menahan napas, melihat kejenakaan dan keluarbiasaan
yang dia miliki. Tapi, Beth Ellen selalu dikuasai oleh rasa malu dan rasa takut yang sangat kuat,
yang mengubah otaknya menjadi adonan terigu.
Sambil mendongakkan wajahnya dari lantai, Beth Ellen menyadari bahwa neneknya
sama sekali tidak sedang memikirkannya. Nyonya Hansen bahkan sedang menatap ke
luar jendela dengan ekspresi agak marah. Ketika mulai bicara, dia terus menatap
ke luar jendela. "Menjadi seorang wanita sejati sepanjang waktu sangat penting dan tidak bisa
diremehkan. Ada saatnya hal ini sangat menguji kesabaran."
Beth Ellen sudah mendengar kata-kata ini berkali-kali. Dia tahu artinya.
Artinya adalah "Jangan marah". Ada juga versi-versi lain, seperti "Wanita sejati
tidak pernah kehilangan kendali," "Ketenangan adalah tanda pertama didikan yang
baik," dan "Tidak ada pemandangan yang begitu buruk selain wajah manusia yang
marah," tapi semua ini artinya sama.
Nyonya Hansen melanjutkan, "Sekarang ini, Susie sudah memberiku alasan untuk
marah ...Sebenarnya, sederhana saja hal yang sudah dia lakukan ... Kupikir,
semakin tua seorang wanita tua, dia akan semakin eksentrik ... tapi dia
MEMINDAHKAN botol-botol minyak wangiku!"
Beth Ellen ingin sekali tertawa, tapi dia menahan diri.
"Kita harus membiarkan Tuhan menghukum kita atas kesalahan-kesalahan yang kita
lakukan."Nyonya Hansen menoleh untuk memandang Beth Ellen saat mengatakan hal
ini. Dia seperti baru saja melihat Beth Ellen. Nyonya Hansen tersenyum seperti
orang yang tidak marah sama sekali, dan berkata dengan suara manis, "Aku ingin
mengatakan padamu, Sayang, kupikir kamu akan mendapat kejutan yang indah
beberapa minggu lagi!"
"Oh, apa itu, Nek?" tanya Beth Ellen, berpikir-pikir, mungkin mereka akan
bepergian. "Aku tidak ingin mengatakannya sekarang karena mungkin saja hal ini tidak
terjadi, tapi kali ini aku cukup yakin bahwa hal ini akan terjadi."
Beth Ellen menatapnya penuh pengharapan.
"Apa itu?" "Oh, nanti saja. Kalau kukatakan sekarang, itu bukan jadi kejutan lagi. Benar
kan, Sayang?" senyum Nyonya Hansen sangat indah jika dia benar-benar tersenyum
dari dalam hati. "Sebaiknya kamu pergi, iya kan, Sayang" Kamu pasti tidak ingin
kehilangan semua sinar matahari yang indah itu."
Beth Ellen berdiri dan mendekati neneknya untuk menerima ciuman di dahinya.
"Selamat bersenang-senang, Sayang," ujar neneknya sambil melamun saat Beth Ellen
menutup pintu. 3 Mama Jenkins Sesampainya di lantai bawah, Beth Ellen melihat Harriet sedang tertawa terbahak-
bahak. "Apa yang lucu?" tanya Beth Ellen sambil menaiki sepedanya dengan canggung.
"Harry dapat satu dan pesan-pesan itu, dan aku mencurinya setelah dia
meninggalkan kamarnya, sebagai bukti," kata Harriet dengan penuh kemenangan.
"Bukti?" "Tentu! Kita akan menangkap si penulis pesan."
Harriet menaiki sepedanya, melihat kertas pesan itu dengan kaca pembesar. Tentu
saja dia hanya melihat huruf-huruf besar berwarna merah. "Sini, lihat ini."
Harriet menyerahkan kertas pesan itu pada Beth Ellen, yang membaca:
seorang hamba tidak bisa melayani dua TUAN "Apa yang lucu soal itu?" tanya Beth Ellen
"Masa kamu nggak tahu?"
Beth Ellen menggeleng. "Begini," kata Harriet , tampak sombong, "Aku kebetulan tahu sesuatu yang kamu
nggak tahu, yaitu bahwa selama ini Harry menjalankan bisnis limusin dengan mobil
itu. Ketika dia seharusnya berada di sini dan menunggu kalau-kalau nenekmu mau
pergi ke suatu tempat, dia pergi ke luar dan mengantarkan orang-orang ke bandara
dan ke seluruh penjuru kota, bahkan ke New York."
"Oh, ya?" kata Beth Ellen dengan suara bosan."Aku juga berpikir-pikir, ke mana
saja dia selama ini."
"Kamu ini mata-mata busuk, Beth Ellen." Harriet mengatakannya dengan tenang,
sesuai kenyataan, sehingga Beth Ellen bahkan tidak merasa terganggu. Lagi pula,
dia tidak ingin menjadi mata-mata, busuk maupun tidak. "Yang nggak bisa
kumengerti adalah bagaimana orang yang menulis hal ini bisa sampai tahu."
Harriet bahkan tidak melihat pada Beth Ellen untuk mendapat jawaban, tapi terus
mendorong sepedanya. Beth Ellen mengikutinya, bergoyang-goyang sedikit, tapi tetap tegak.
Harriet meluncur ke luar jalan mobil di halaman disusul Beth Ellen yang
bersepeda miring dibelakangnya. Ketika mereka sampai di ujung, ada sebuah bukit
kecil dan Beth Ellen terjatuh.
"Kamu luka?" tanya Harriet , setelah berbelok dengan ahli dan kembali ke tempat
Beth Ellen berbaring telentang. Sebuah ekspresi kaget terpancar di wajah Beth
Ellen. "Nggak, kupikir aku nggak luka." Beth Ellen berdiri seakan-akan dia adalah
sebuah gelas, memeriksa dirinya sendiri, lalu mengangkat sepedanya dengan keras
kepala. "Dengar" - Harriet memeriksa semua peralatan yang tergantung di pengait ikat
pinggang celana pendeknya dengan cepat, tanpa mengangkat wajahnya-"kupikir,
pertama-tama kita akan melihat dulu keluarga baru itu." Semuanya ada di sana:
lampu senternya, pisau pramuka, botol minum, kantong untuk pensil, dan kantong
untuk buku catatan. Tahun ini, Harriet membawa dua buku catatan. Satu yang biasa
digunakan untuk memata-matai dan satunya lagi untuk menulis cerita.
"Kupikir kita akan pergi ke hotel," kata Beth Ellen, santai seperti biasanya.
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia membersihkan keropeng bekas luka dari lututnya.
"Tenang saja," kata Harriet . "Kita akan ke sana. Sesudah urusan ini."
Harriet mendorong sepedanya."Pertama-tama, ayo kita lihat keluarga itu dulu.
Kamu tahu, sekarang kan Jumat!" serunya.
"Jadi, kenapa?" teriak Beth Ellen. Dia jadi latah kalau ada orang yang tiba-tiba
berteriak. Harriet berteriak lagi, "Mama Jenkins yang dibicarakan orang-orang itu datang
dari kota hari ini untuk liburan akhir minggu. Aku ingin melihat tampangnya."
Beth Ellen terlalu sibuk menghindari bahaya yang ada di jalan untuk bisa
menjawab, jadi mereka terus bersepeda tanpa bicara. Jalan itu menuruni sebuah
bukit, melewati kebun kentang, melalui sebuah tempat yang datar dengan tiga
pohon yang berdiri di kejauhan. Setelah sekitar tiga menit, mereka sampai ke
Jalan Raya Montauk. Harriet berhenti tiba-tiba, dan di belakangnya, Beth Ellen
mengerem sepedanya kuat-kuat.
"Hati-hati. Sekarang kita menyeberang ke sana, lalu naik ke jalan kecil dekat
pom bensin itu." Harriet menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengayuh setelah dia
melihat tidak ada mobil. Beth Ellen mengikuti, dan mereka terus mengayuh sepedanya melewati hari musim
panas itu. Matahari bersinar terik tepat di atas kebun kentang itu. Setang
sepeda terasa panas. Setelah melewati satu jalan yang panjang, satu belokan, dan
sebuah jalan panjang yang lain, Harriet beristirahat dibawah sebuah bayangan
pohon. Beth Ellen mengikuti. Di sana terasa sejuk, dan mata mereka mulai melihat
segala sesuatu yang tampak sangat hijau.
"Mereka ada di situ - rumah kecil kedua - tapi sekarang kita sudah terlalu dekat,
kita bisa kelihatan. Jadi, kupikir lebih baik kita meninggalkan sepeda kita di
sini dan mengendap-endap dari belakang."
Harriet terbiasa berpikir dan bertindak sangat efisien. Jantung Beth Ellen mulai
sedikit berdebar. Harriet menyandarkan sepedanya pada satu sisi pohon, dan Beth Ellen bersiap-siap
untuk menyandarkan miliknya di situ ketika dia ingat standar penyangga sepeda
dan berkutat cukup lama untuk menurunkannya.
"Ayo cepat!" ujar Harriet tidak sabar.
Mereka akhirnya siap dan mulai mengendap-endap mengelilingi rumah itu. Ketika
mereka sedang mendekati sebuah pagar dari tanaman di belakang, seorang anak
laki-laki yang sangat gemuk, kira-kira seumur mereka, berjalan gontai melintasi
salah satu halaman belakang.
"Itu Norman," bisik Harriet , "anak kembar yang laki - laki. Dia menyebalkan."
"Berapa umur mereka?" tanya Beth Ellen.
"Dua belas," kata Harriet . "Tunggu sampai kamu melihat yang satunya."
Beth Ellen memandang Norman. Norman seperti manusia kue jahe.
Badannya bundar dan menggelembung. Dia memiliki wajah bundar berbintik-bintik
yang menempel di atas badannya, dua lengan yang bundar, dan dua kaki yang
seakan-akan terperangkap di dalam celana renangnya. Norman memakai sepatu kanvas
tinggi berwarna hitam, kaus kaki putih tebal, dan kaus yang tampak kotor. Dia
masuk ke rumah kedua di deretan itu.
Mereka mulai mengendap-endap lagi dan kali ini melewati rumah pertama. Saat
mereka mendekati jendela pinggir yang sedang Harriet gunakan,tiba-tiba Harriet
berbalik dan berbisik, "Ingat aturannya: jangan bersuara. Dan kalau sesuatu
terjadi, bilang saja kita kebetulan sedang melewati halaman ini karena kita
kehilangan sebuah bola disini."
Beth Ellen mengangguk, ketakutan.
Mereka merayap ke atas, ke arah jendela dan melihat ke dalam.
Ada sebuah dapur besar yang diterangi sinar matahari dengan tiga orang anak
didalamnya. Salah satunya Norman. Kemudian, ada seorang anak perempuan kurus
yang sama tinggi, dengan rambut cokelat yang panjang dan lurus. Seorang anak
perempuan yang masih kecil, kira-kira berumur empat tahun, juga ada di situ,
duduk diatas meja. "Aku minta 25 sen," Norman menggeram ke arah kembarannya.
Suaranya seperti gaung di sebuah gua tambang batubara.
"Dengar Norman Jenkins, kau nggak akan dapat 25 sen," kata kembarannya dengan
sangat manis dan ceria. "Aku mau uangku yang 25 sen."
"Dua wima, dua wima, dua wirna," nyanyi si anak umur empat tahun.
"Aku dapat 25 jika aku mau 25 sen. Mama Jenkins bilang begitu."
Norman mulai berteriak. "Sekarang tutup mulutmu, Norman Jenkins. Kau dapat 25 sen kalau kau baik, dan
aku belum lihat apa pun yang sangat baik. 'Tuhan akan mencukupkan.' Itu yang
Mama Jenkins bilang. Tuhan akan mencukupkan kalau kau baik."
"Aku BAIK." Norman tampak seperti siap untuk mengguncang-guncang saudaranya.
"Apa, baik" Coba katakan padaku satu saja hal baik yang kamu kerjakan minggu
ini!" Mereka saling menatap dengan pandangan tajam. Norman tidak bisa memikirkan
sesuatu pun. "Jessie Mae?" panggil si anak kecil.
"Ya, Magnolia, apa?"
Jessie Mae! pikir Harriet .
"Kwapan Mama Jenkinth puwang?" ocehan Magnolia tidak mudah dimengerti, apa lagi
kalau mulutnya penuh. "Mama datang jam tujuh, Sayang, jika Tuhan mengizinkan," ujar Jessie Mae lalu
berbalik. "Kau seharusnya memberikan uang jajanku." Norman bersikukuh.
"Sebenarnya, aku nggak tahu kenapa kau yang harus mengurusi ini.
Kenapa bukan aku yang mengurusi uang jajanmu?"
"Kau tahu kenapa - Mama Jenkins sudah bilang padamu - karena kau terlalu peduli pada
uang dan aku berjalan bersama Tuhan."
"Kau nggak berjalan bersama Tuhan, satu langkah lebih depan daripada aku,
sialan!" ketika Norman meneriakkan kata-kata ini, dia benar-benar marah.
"Kau baru saja menunjukkan siapa dirimu. Menyumpah. Kita nggak punya banyak uang
untuk diberikan pada orang-orang jahat." Jessie Mae bahkan tidak menatapnya.
"Kita KAYA sekarang!" Norman berdiri di tengah ruangan dan berteriak. Wajah
gemuknya berubah oranye. "Kenapa kita kaya?" tanya Magnolia.
"Karena, Sayangku yang mungil," - Jessie Mae bicara dengan suara mendayu-
dayu-"Mama sudah menciptakan sesuatu."
"Apa?" Magnolia dan Jessie Mae terus bicara seolah-olah Norrnan tidak di sana dan
sedang berdiri dengan murka.
"Sesuatu untuk jari kaki. Obat jari kaki."
"Dari apa Marna membuatnya?" Magnolia bertanya, sungguh-sungguh tertarik.
"Kotoran ayam!" teriak Norman dan mulai tertawa terbahak-bahak.
"Dengar, Norman Jenkins, kau akan mendapatkan kotoran ayam tepat di mulutmu,"
teriak Jessie Mae, benar-benar kehilangan kesabaran.
"Aku nggak peduli, dasar gila," Norman mengumpat sambil berlari menyelamatkan
diri ke ruang keluarga. "Kotoran ayam, kotoran ayam, kotoran ayam," nyanyi Magnolia.
"Magnolia, diam kau. Itu nggak benar. Obat itu sebenarnya dibuat dari semangka.
Semangka dan beberapa bahan rahasia yang nggak diketahui orang lain kecuali Mama
Jenkins." Jessie Mae tampak sangat tersinggung.
Magnolia berkata tiba-tiba, "Aku mau roti isi acar wagi."
"Kau sudah makan dua; itu cukup," kata Jessie Mae dengan tenang, kembali mencuci
piring. "Acar dan sewada. Acar dan sewada." Magnolia memukuli meja dengan kepalan
tangannya yang kecil. "Nggak ada lagi selada. Sekarang pergi dan main di luar, Sayang,"
Jessie Mae berkata pelan. Harriet menulis di buku catatannya: Siapa pula yang
pernah mendengar roti isi acar dan selada"
Sekarang - meskipun nggak boleh - aku berani bertaruh dengan seluruh uang jajanku,
nggak ada satu pun di dunia yang bisa menyamai roti isi tomat.
Beth Ellen berbisik, "Aku lapar." Dan tepat ketika Harriet menempelkan jari ke
bibirnya untuk menyuruh Beth Ellen diam, mereka mendengar bunyi gesekan
persneling disusul suara mobil yang melaju kencang. Tidak ada waktu untuk
berlari, karena tepat menuju ke halaman tempat mereka berdiri, melaju sebuah
mobil Maserati putih. Mobil itu direm tiba-tiba sekitar tiga puluh sentimeter
dari tempat mereka berdiri dan segera menutupi mereka dengan gumpalan debu.
Pintu mobil itu dibanting dan seorang wanita bertubuh raksasa meloncat dan kursi
sopir seperti kanguru, langsung ke arah mereka melalui kabut debu, bahkan
sebelum mereka bisa bergerak.
"Hei, lihat! Siapa yang ada di halamanku?" dia berteriak dengan suara riang
sambil menepuk-nepuk kepala mereka dengan telapak tangannya yang gemuk. Mereka
berdiri kaku dan memutar bola mata untuk melihat wajah bundarnya yang sedang
tertawa. Tangan dan lengannya merah, wajah dan lehernya lebar penuh bintik-
bintik dan keringat. Harriet memandangnya dengan
saksama. Mama Jenkins mengenakan pakaian hitam yang bisa dikatakan paling sederhana di dunia. Baju itu
membalut tubuhnya dengan ketat, dan melebar di sekeliling keliman. Lengan
bajunya yang pendek disatukan dengan aneh dan berlipat-lipat mengelilingi
gumpalan lengannya yang besar berbintik-bintik dan menyerupai paha babi. Wanita
itu punya gigi-gigi yang jumlahnya tidak normal, dan Harriet melongo, terpesona
oleh gigi-gigi yang dimiliki Mama Jenkins.
Gunung itu bergetar dan bergoyang, dan dari sana keluar sebuah suara kotek keras
seperti badai musim semi. "Mintalah dan Tuhan akan mencukupkan. Kalian, Anak-
Anak Ayam, mau bekerja untukku?"
Jessie Mae membanting pintu belakang, disusul Magnolia tepat di belakangnya, dan
Norman menghampiri dari pintu depan.
"Mama Jenkins, Mama Jenkins, Mama Jenkins!"Mereka berteriak serentak.
"Hai, Anak-Anak, lihat apa yang kutemukan sedang mengintip di jendela!" Mama
Jenkins memutar tangannya, sekaligus juga memutar leher barang temuannya.
Suaranya seperti terompet. "Apakah mereka teman-teman kalian?"
Ketiga anak itu berhenti, diam dan menatap. Mereka memandangi Harriet dan Beth
Ellen dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Mereka cewek," kata Norman dengan jijik, menunjukkan dengan jelas bahwa mereka
tidak mungkin temannya. "Tewek, tewek, tewek," kata Magnolia sambil tertawa dan meloncat-loncat.
"Aku nggak pernah mendapat kehormatan itu," kata Jessie Mae judes. Harriet
berpikir, dari buku kuno mana dia mendapatkan kata-kata itu"
"Jadi," kata Mama Jenkins dengan suara yang terdengar sangat riang, "menurut
kalian, apa yang harus kita perbuat dengan mereka?"
"Suruh mereka kerja," kata Norman serak.
"Apa yang sedang mereka kerjakan di sini?" tanya Jessie Mae.
"Ayo kita makan saja mereka!" teriak Magnolia, sambil berguling ke tanah bersama
leluconnya. "Sepertinya mereka sedang mengintip ke dalam dapur kita," kata Mama Jenkins.
"Mereka kelihatan ingin pulang," kata Jessie Mae.
"Yap,"kata Mama Jenkins penuh penyesalan, "kurasa kau benar.
Sayang kita nggak bisa menyimpan mereka. Sangat lucu. Pasti bagus untuk
sesuatu." Sambil berkata begitu, dia mendorong keduanya dengan penuh canda
dengan cakar-cakar raksasanya.
Wanita itu tertawa keras. Dia terus memandangi mereka selama satu menit,
kemudian mencondongkan mukanya sangat dekat dengan wajah Harriet dan Beth Ellen
sampai mereka bisa mencium napasnya, yang anehnya, berbau acar semangka. Mama
Jenkins berdiri seperti itu untuk waktu yang rasanya sangat lama. Dia berkata
"DOR!" dengan sangat mendadak dan sangat keras sampai mereka berdua lari
terbirit-birit keluar dari halaman rumah itu.
Mereka lari sangat cepat dan tak beraturan sampai tersandung satu sama lain.
Keduanya jatuh terjerembab.
Mereka duduk di atas lumpur sambil memandangi rumah itu. Mama Jenkins tertawa
lagi, lalu masuk kedalam rumah. "Dia berjalan bagaikan truk," kata Harriet di
sela-sela napasnya. Anak-anak itu mengikuti ibu mereka, berteriak-teriak di sekelilingnya seperti
segerombolan anak anjing. Jessie Mae menoleh ke belakang sekali lagi dengan rasa
ingin tahu, seperti yang dilakukan orang kalau ada ular mati di jalan.
Ketika mereka menghilang ke dalam rumah, Harriet berdiri, mengambil buku
catatannya, dan membersihkan dirinya. Beth Ellen lebih lambat.
"Ayo," kata Harriet , "mari kita pergi dari sini." Dia menatap ke bawah, ke arah
Beth Ellen yang tampak kaget. Itu pertama kalinya Harriet melihat Beth Ellen
tampak kotor. Ada beberapa percikan lumpur di wajahnya. Untuk sesaat, Harriet
merasa kasihan padanya. "Yah, aku kan nggak pernah bilang bahwa hal ini gampang,"
ujarnya singkat. Dia mengulurkan tangan untuk membantu Beth Ellen berdiri. Beth
Ellen tidak berkata apa-apa, tapi Harriet tahu, Beth Ellen sedang berpikir,
mengapa dia tadi mau ikut. "Mungkin sebaiknya kita pergi ke pantai," kata
Harriet cepat. "Nggak," kata Beth Ellen dengan suara kecil tapi tegas, "ke hotel."
Ketika mereka mengendap-endap melewati jendela itu, mereka mendengar suara-suara
dan berhenti untuk mendengarkan. "Untuk apa uang 25 sen itu, Nak?" Mama Jenkins
berdiri di depan Norman seperti Nabi Musa yang berdiri di depan semak-semak yang
sedang terbakar. Norman memutar bola matanya, ragu-ragu, lalu berkata, "Ada pertemuan remaja
dekat Bridgehampton." Dia memutar bola matanya seakan-akan benda itu kelereng.
"Hei, Norman Jenkins, itu nggak benar. Kau mau 25 sen itu untuk membeli es krim.
Mama, dia makan tiga liter es krim sehari!" Jessie Mae tampak murka.
"Apa yang salah dengan itu?" tanya Mama Jenkins.
"MAMA, itu rakus!" teriak Jessie Mae.
"Nah, sekali lagi," kata Mama Jenkins, menahan senyum, "ada pertemuan atau nggak
ada pertemuan?" Norman memutar bola matanya. "Ada sebuah poster yang bilang bahwa mungkin akan
ada pertemuan." "Jadi, kalau itu memang ada, kau mau 25 sen. Begitu" Kalau kebetulan ada
pertemuan tahun depan?" tanya Mama Jenkins dengan pandangan curiga. Jessie Mae
mengeluarkan tawa melengking dan mengejek. Norman menendang tulang keringnya.
Mama Jenkins mendekat dan menarik kaus Norman ke depan.
"Dengar, Nak, untuk apa uang 25 sen itu?"
"Untuk es krim!" jerit Norman sambil meronta-ronta dengan wajah ungu. "Kupikir,
Norman Sayang, kau akan mulai dietmu Senin besok, bukan begitu?" tanya Jessie
Mae dengan manis. "Diet?" Mama Jenkins menatap Jessie Mae dengan wajah terkejut.
"Memang kenapa dengan penampilannya?"
Harriet mengangkat tangan mendengar ketololan ini, dan mereka berjalan menuju
sepeda mereka, . 4 Bunny dan Moo-Moo Saat mereka tiba di tempat sepeda mereka, matahari bersinar sangat terik
sehingga mereka bersepeda perlahan-lahan.
"Harriet ?" "Ya?" "Kenapa kamu melakukan semua kegiatan mata-mata ini?"
"Karena" - Harriet sangat putus asa hingga dia mulai berteriak -
"aku akan menjadi penulis. Jadi, aku harus punya sesuatu untuk ditulis, iya
nggak" Aku nggak seperti kamu, menemui dan melihat orang-orang hanya karena
kupikir mereka menyenangkan. Selain itu, kamu tahu nggak" Aku akan menangkap si
penulis pesan!" Harriet mendapat percikan energi dari antusiasmenya sehingga
mulai mengayuh sepedanya lebih cepat.
Oh, Harriet , pikir Beth Ellen, kamu akan selalu menjadi Harriet si Mata-Mata.
Dia mengayuh sepedanya kuat-kuat, berusaha mengejar.
"Selain itu juga," kata Harriet , memperlambat lajunya sedikit,
"kupikir kamu juga ingin menjadi penulis. Tahun lalu, waktu kita berdua
mengerjakantugas sekolah, kupikir kamu menyukainya."
"Kupikir aku nggak menyukainya," kata Beth Ellen, tampak tidak nyaman, seolah-
olah menulis adalah sebuah mantel yang membuatnya gatal. "Kenapa kamu nggak
menulis tentang si Bunny yang kamu sukai"
Aku sedang menulis tentang si Bunny, padahal kamulah yang seharusnya menulis
soal Bunny. Aku bahkan sama sekali nggak tertarik kepadanya!"
"Aku nggak mau menulis tentang dia, aku mau menikah dengannya," kata Beth Ellen.
"Dengar! " kata Harriet. " Itu hal yang paling menggelikan yang pernah aku
dengar. Kamu baru sebelas tahun."
"Dua belas." "Bagaimana umurmu bisa dua belas sedangkan aku baru sebelas?"
Harriet tampak marah.Beth Ellen menunggu.
"Oh, benar ya," kata Harriet akhirnya. "Aku selalu lupa hal-hal seperti ulang
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahun. Aku ingat, kamu baru saja berulang tahun."
"Ya," kata Beth Ellen singkat dan mulai melamunkan pesta ulang tahunnya. Sebuah
piano diletakkan di luar dan Bunny memainkannya.
Beberapa anak laki-laki yang menyebalkan datang dan dia seharusnya berdansa
dengan mereka, tapi Beth Ellen menghabiskan seluruh waktunya di piano. Akhirnya,
Beth Ellen diseret oleh pembantunya, atas perintah neneknya, dan dipaksa untuk
duduk untuk menonton seorang pesulap dengan setelan hitam mengilat dan hidung
merah. " Aku lahir bulan Oktober," kata Harriet, seolah-seolah Oktober adalah satu-
satunya bulan yang benar-benar memuaskan untuk lahir.
Beth Ellen menatap kosong padanya.
Mereka menyeberangi jalan raya dan terus menuju hotel. Bangunan itu berdiri di
tepi jalan desa di Water Mill. Mereka melihat sebuah papan bertuliskan SHARK'S
TOOTH INN. Cerita yang beredar mengatakan bahwa hotel itu mendapatkan namanya
ketika pemilik aslinya - seorang kapten pelaut yang gemuk dan suka tertawa - dimakan
oleh seekor ikan hiu. Hotel itu sangat tua dan berdiri nyaman disebuah lembah yang terpencil,
dikelilingi olehpohon-pohon tua yang indah. Penginapan itu sendiri sangat indah,
langit-langitnya tinggi, dan susunan bangunannya tidak beraturan. Pemiliknya
yang sekarang, seorang wanita gemuk yang suka bergaul dan tertawa, sudah
mendekorasi ulang penginapan itu.
Setiap kali Harriet dan Beth Ellen memandangnya, penginapan itu tampak sejuk dan
tenang - atapnya melindunginya dari matahari - tapi kabarnya, suasana hotel itu
pada malam hari sangat luar biasa. Tidak pernah ada orang di sana pada siang
hari kecuali si koki dan istrinya dan, Bunny, tentu saja. Hal ini membuat Beth
Ellen sangat bahagia, tapi Harriet - sebaliknya - sangat putus asa karena dia belum
pernah bertemu dengan pemiliknya yang tidak pernah muncul sampai waktu makan
malam tiba. Harriet sudah mencoba - sejauh ini tidak pernah berhasil - untuk
membujuk orangtuanya agar membawanya makan malam disana.
Mereka selalu merespons dengan pandangan aneh yang sama, dan setiap kali
mengalihkan topik pembicaraan dengan segera.
Keduanya menyandarkan sepeda mereka ke pagar tanaman dan bersiap-siap untuk
mengendap-endap ke belakang, tempat berjemur favorit Bunny, ketika mereka
mendengar teriakan. Mereka menunduk dan lalu berjalan memutar ke dekat tempat
sampah, lalu ke belakang pagar tanaman yang lain. Mereka menelungkup, dan saat
sudah berada dalam posisi nyaman, mereka memandang ke arah pintu belakang.
Dekat pintu belakang terdapat sebuah beranda yang tertutup kasa nyamuk dengan
sebuah ruang pendingin yang sangat besar. Seorang pria sedang berjalan ke
beranda itu. Tubuhnya pendek dan kepalanya agak botak dengan parut bekas luka
yang panjang di wajah. Ia membuka pintu ruang pendingin itu, masuk ke dalamnya,
dan segera keluar, dan berteriak melalui pintu jaring itu kedalam dapur.
" Bon, bon, bon, bon, BON! Tu vois! Il n'y a rien dans ce fngidaire!"
(Baik, baik, baik, baik, BAIK! Kamu lihat! Tidak ada apa-apa di dalam kulkas
ini!) Seorang wanita kecil dan gemuk dengan wajah ketakutan berjalan cepat melalui
pintu dapur. Dia mengintip ke dalam ruang pendingin.
" Qu'est-ce que tu racontes?" (Apa katamu") pria itu berteriak padanya.
" Mais, voila la note!" (Tapi itu, ada pesan itu!) Dia menunjuk dengan jari yang
gemetar. Beth Ellen mencoba dengan putus asa untuk mengingat setiap kata Prancis yang
pernah diajarkan Mademoiselle Shwartz di Sekolah Gregory, tapi dia cuma bisa
mengingat crayon. Dia memandang Harriet , yang tampaknya mengerti setiap kata
dan mendengarkan dengan sabar.
" Mais ou?" (Tapi, di mana") Pria itu menjulurkan leher kerbaunya ke dalam
lemari es. " La, la, sur la viande." (Itu, itu, di atas daging.) Setidaknya aku mengerti
itu, pikir Beth Ellen. Pria itu mengulurkan tangannya yang gemuk dan menarik sebuah kertas kecil. Dia
menatap kertas itu, lalu menatap istrinya. " Mais, c'est quoi, ?a?" (Hei, apa
ini, di sini") " C'est ?a. C'est ce que je t'ai dit, ce matin,"(Itu dia. Itulah yang kubilang
padamu siang ini,) jawabnya.
Pria itu berbalik padanya dengan marah. " Tu dois la lire. Tu sais bien que je
ne peux pas lire l'anglais. " (Kamu yang harus membacanya.
Kamu tahu pasti, kalau aku tidak bisa membaca bahasa Inggris.) Wanita itu mulai
berusaha membaca tulisan berbahasa Inggris itu dengan susah payah. "Zebuua...
zawaban ... lembut ... akan ... menolakh
...kemara'an." Dia mengangkat bahu.
Pria itu juga mengangkat bahu. " ?a veut dire quoi?" (Apa maksudnya") tanyanya.
Dia tampak lebih marah lagi daripada sebelumnya.
" Sais pas." (Tidak tahu.) Istrinya mengangkat bahu lagi.
Harriet berbisik, "Mereka bilang apa?" dan Beth Ellen mengangkat bahu. Dia ikut
latah. Tiba-tiba, terdengar teriakan parau dari arah pondok di belakang penginapan.
"Moo-Moo, Moooooo, ke sini sekarang juga!" Suara itu tidak hanya terdengar
parau, tapi juga tercekik. "Tolong, siapa saja, ia kumat lagi!"
"Itu Bunny!" kata Beth Ellen panik.
Harriet sangat penasaran, dia hampir berlari dari belakang semak-semak dan harus
ditahan oleh Beth Ellen. Pasangan suami istri di teras itu menjadi sangat gelisah. Sang suami melemparkan
tangannya keudara dan berseru, " Ooo, la, c'est Moo-Moo encore.'" (Ya ampun, si
Moo-Moo lagi!) Mereka berdua melompat keluar dari teras dan mengitari hotel
menuju datangnya suara itu.
Terdengar banyak teriakan yang berlangsung beberapa menit.
Kemudian, dari belakang semak-semak itu sesuatu muncul tiba-tiba.
Benda itu sangat gemuk, kaki-kaki kecilnya sangat pendek, dan bintik-bintik
besar berwarna cokelat dan putih menutupi sekujur tubuhnya.
Sebenarnya, benda itu tampak seperti seekor sapi kecil.
Ia bergerak liar di sekitar semak-semak itu dan Harriet berbaring menempel ketat
ke tanah, yakin bahwa pengejarnya akan berada tepat di belakang. Moo-Moo berlari
melewati mereka dan menuju teras belakang, duduk di sana menunggu, hampir
tertawa. Dari balik semak-semak, Bunny datang. Harriet mundur lagi, tidak terlalu jauh,
cukup untuk tidak terlihat dan tidak kena lemparan sepatu.
Bunny memakai celana renang yang kecil dan ketat, kemeja yang sangat besar yang
menyembunyikan badannya yang gempal, serta topi jerami yang lebar dan datar.
Beth Ellen menahan napas.
Tergopoh-gopoh di belakang Bunny, mula-mula tampak si koki dengan wajah parutnya
dan istrinya yang gemuk pendek, yang berjalan seperti bebek dan megap-megap,
berusaha untuk mengejar. "Ternyata kamu di situ, Moo-ku, Moo-Moo-ku yang bandel," bujuk Bunny, mengangkat
binatang yang mirip sapi kecil itu dan menggendongnya dilengannya.
" Eh, voila," (Eh, itu dia,) kata si bos. Istrinya hanya bisa megap-megap.
Mereka memandang anjing itu. "Ia selalu berusaha untuk kabur,"
kata si koki penuh pengertian.
"Kaupikir, kamu nggak senang ada di sini, ya, Moo-Moo?" tanya Bunny, memandang
lembut pada mata anjingnya. Moo-Moo meloncat dari pelukannya, berjalan menuju
sebuah mangkuk, dan minum dari situ.
Ia bosan, pikir Harriet . Moo-Moo adalah seekor anjing yang sangat bosan.
"Hei Bunny," kata si koki, "kami menemukan zezuatu pagi ini di lemakhi ez."
"Apa?" tanya Bunny, matanya tidak beralih dari Moo-Moo.
Si koki menyerahkan pesan itu padanya. Bunny menatap kertas itu lama, lalu
membaca dengan suara nyaring:
sebuah jawaban lembut akan menolak kemarahan Ketiganya saling bertatapan, kemudian Bunny tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa
dan terus tertawa. Tawanya begitu keras sampai-sampai dia harus membungkuk dan
memegangi perutnya. Si koki tampak tersinggung. Istrinya mulai tertawa. Dia menutup wajahnya dengan
tangan untuk menutupi tawanya. Si koki menatap istrinya dengan marah. " Eh,
bien, guoi?" (Hei, ada apa") ujarnya keras, tangannya terlempar ke udara.
"Tepat, Pak Tua," kata Bunny, setelah tawanya berhenti, "jahat sekali, tapi
tepat." "Tepath?" tanya si koki dengan cemas.
"Begini ...," kata Bunny.
Istri si koki tertawa keras. Si koki menoleh seperti siap untuk memukulnya, dan
Bunny menyela, "Lagi pula, kamu betul-betul membuatku KO minggu lalu, kupikir
aku bahkan nggak akan bisa bermain piano."
Harriet dan Beth Ellen bertatapan dan mengangguk. Mereka juga ada di sana.
"Biarpun begitu, ini," lanjut Bunny, mengambil secarik kertas dari kemeja
besarnya, "untuk membuatmu merasa lebih baik, aku juga mendapat sesuatu yang
istimewa pagi ini." Bunny memandang berkeliling untuk melihat keberadaan Moo,
lalu membaca dengan suara sangat keras:
terkutuklah mereka yang bangun cepat pagi hari
hanya untuk minum minuman keras
Si koki mulai tertawa begitu keras dan agak culas. Istrinya ikut tertawa, dan
ketiganya tertawa bersama-sama. Bunny mengeluarkan tawa yang menular yang bisa
didengar sejauh satu blok.
"Kupikir itu nggak terlalu lucu," kata Beth Ellen judes. "Dia memang nggak
seharusnya minum terlalu banyak."
"Bukan itu yang membuat mereka tertawa, Bodoh," bisik Harriet .
"Mereka tertawa karena siapapun yang menulis kata-kata itu mengenal Bunny dengan
sangat baik." "Dan kemarin," kata Bunny, "aku dapat yang satu ini!" Sekali lagi dia mencari-
cari di sakunya, dan setelah mengeluarkan kertasnya, dia membaca:
jangan membenci ibumu ketika Dia tua
Bunny menatap kertas pesan itu lama, mendadak serius. "Yang mungkin memberi kita
petunjuk tentang orang yang meninggalkan pesan-pesan tercinta ini."
Harriet menyondongkan badannya ke depan dengan penuh rasa ingin tahu. Dia
menoleh dan berkata, " Hmmmmm," sangat keras pada Beth Ellen. Beth Ellen
sepertinya tidak tertarik pada pesan-pesan itu. Dia hanya terus menatap Bunny
dengan penuh kerinduan. "Wow," kata Harriet , "betapa cinta bisa meracuni pikiran. Dengar, aku akan
datang ke sini lebih sering lagi. Ini tempat yang besar, mereka sudah jelas
mendapat lebih banyak pesan; jadi, si penulis pesan harus berada di sini lebih
sering, betul nggak?"
Beth Ellen mengangguk dengan sentimental, matanya tidak pernah beranjak dari
Bunny barang semenit pun.
"Wah, panjang umur," kata Bunny dan memandang ke halaman.
Seorang wanita tua, kecil, tampak kesakitan, berjalan tertatih-tatih menggunakan
tongkat melintasi halaman. Saat sudah dekat dengan teras belakang, dia mulai
mengeluh, "Oh, tidurku tidak nyenyak. Aduh, kambuh lagi. Aduh, Tuhan, aku merasa
sangat buruk." "Oh, hebat," kata Bunny, sambil memukulkan salah satu tangannya ke kakinya,
"Satu lagi awal yang menakjubkan untuk satu lagi hari yang menakjubkan, satu
lagi pagi yang kacau di Shark'sTooth Inn!"
"Nak, aku tidak pernah mengerti pikiranmu karena membawaku ke tempat seperti
ini. Rematik ini membunuhku, dan tempat ini merupakan salah satu tempat yang
paling lembap di Amerika!"
Bunny melesat ke dalam, kemejanya yang besar dan Moo-Moo berkibar di
belakangnya. Si koki dan istrinya juga masuk melalui pintu seolah-olah mereka
semua digiring masuk oleh kata-kata wanita tua itu.
Sang wanita tua mengomel sambil berjalan mengikuti mereka dan membanting pintu
kasa itu. Harriet dan Beth Ellen menunggu sejenak, tapi tidak terjadi apa-apa lagi. Beth
Ellen menghela napas. "Oh, minta ampun," kata Harriet .
Mereka merangkak keluar dari semak-semak. Kaus mereka cokelat karena lumpur.
Harriet mengambil buku catatannya, yang tidak pernah lepas dari sisinya, tempat
dia menulis segala hal yang sudah terjadi padanya. Beth Ellen menggigit jari
seolah-seolah giginya sakit.
Harriet menuliskan semuanya, menaruh beberapa tanda seru di belakang komentar-
komentar tentang kelakuan Beth Ellen terhadap Bunny, dan menutupnya dengan
kalimat ini: Sekarang masalahnya, siapa yang ingin meninggalkan pesan-pesan seperti ini"
Pasti seseorang yang membaca Alkitab karena pesan-pesan itu sepertinya dikutip
langsung dari Alkitab. Siapa yang BENAR-BENAR membaca Alkitab" Apa ada orang
yang melakukannya" Apakah ibuku membacanya" Cari tahu, periksa hal ini
5 Cita-Cita Beth Ellen Harriet menyimpan bukunya dan menyadarkan Beth Ellen yang sedang berdiri seperti
orang kena sihir. "Kamu mau pergi ke pantai?"
"Ya" ujar Beth Ellen dan tersenyum sangat bahagia. Mereka meloncat menaiki
sepeda mereka, dan memutar menuju pantai.
Sesampainya di sana, mereka menyimpan sepeda mereka di puncak sebuah bukit
supaya bisa diawasi dari pantai. Harriet mengambil handuk pantainya yang
berwarna kuning, bekal makan siangnya, lalu mengeluarkan buku catatannya dan
keranjang itu dan mulai berjalan menuruni bukit. Beth Ellen membawa papan
gambarnya, bekal makan siangnya, dan handuk pantainya yang berwarna putih dan
oranye terang. Pasir pantai terasa panas. Tidak ada angin. Pasir pantai membakar telapak kaki
dan masuk ke sepatu kanvas mereka. Mereka berjalan terseok-seok menuju air. Di
sana lebih sejuk. Harriet melihat berkeliling untuk mencari tempat yang nyaman. Dia menemukan
sebuah tempat tidak jauh dari dua orang ibu-ibu yang sedang duduk mengawasi
anak-anak balita mereka. Mereka sedang mengobrol seru. Harriet berharap dia bisa
menguping mereka tanpa tampak terlalu kentara.
Keduanya melebarkan handuk-handuk mereka. Beth Ellen melepaskan celana pendek,
sepatu kanvas, dan kausnya, lalu duduk dengan memakai baju renangnya. Dia
memandang lautan. Setelah memandangi Bunny, laut jadi tampak membosankan.
Harriet melepaskan kaus, celana pendek yang penuh dengan pengait dan peralatan
untuk memata-matai, dan sepatu kanvasnya, lalu berlari seperti kilat menuju air.
Larinya begitu cepat sehingga baju berenangnya yang bergaris-garis putih dan
merah tampak seperti kilatan berwarna merah muda. Beth Ellen memandanginya, lalu
melompat dan mengikuti. Harriet meloncat-loncat seperti benda liar menuju laut.
Ketika air laut sudah mencapai perutnya, dia menyelam ke dalam air. Beth Ellen
memerhatikan dengan tatapan iri. Dia tidak akan pernah bisa seperti Harriet ,
lari begitu saja ke dalam air. Beth Ellen harus selalu membujuk dirinya sendiri,
berjalan pelan-pelan menyusuri pantai, lalu menahan napas dan berlari pada saat
yang paling tidak dia harapkan. Tahun-tahun yang dia lewatkan untuk belajar
berenang di berbagai tempat sama sekali tidak berguna karena dia yakin, begitu
masuk ke air, dia akan tenggelam.
Beth Ellen buru-buru mencebur, jantungnya berdebar kencang.
Airnya tidak terlalu dingin. Badannya basah kuyup. Dia lalu melihat berkeliling
mencari Harriet . Harriet seolah-olah akan berenang ke Eropa.
"Hei!" teriaknya pada sebuah kepala yang sedang timbul tenggelam.
Mendadak Harriet berhenti dan berdiri. Airnya dangkal. Beth Ellen merasa agak
idiot karena begitu takut pada air yang begitu dangkal.
"Hei, Tikus! Ayo kemari!" teriak Harriet . Beth Ellen berlari menyusun air yang
setinggi lutut. Meskipun begitu, saat sebuah ombak menerjangnya, dia merasa
sudah cukup. Mereka bermain-main dan berenang lama, mata-hari yang terik membakar punggung
dan wajah mereka. Air dingin di sekeliling mereka membentuk garis biru panjang
yang tidak menuju ke mana pun.
"Ayo kita makan," kata Harriet , dan mereka mulai berenang kembali. Harriet
berhasil menemukan sebuah ombak kecil yang membawanya sedikit ketepi, tapi Beth
Ellen tetap berjalan dengan gontai, selalu melihat ke belakang untuk melihat
kalau kalau ada ombak yang akan menenggelamkannya.
Ketika mereka tiba kembali di tempat handuk-handuk itu, basah kuyup, kepanasan,
dan sedikit merasa asin pada lidah, keduanya menjatuhkan diri ke atas handuk dan
menarik kotak makan siang mereka. Beth Ellen mengambil sepotong roti isi
danmulai memakannya. "Apa isinya?" tanya Harriet .
"Keju paprika."
Harriet mengeluarkan beberapa potong roti isi. Semuanya tomat.
Beth Ellen tahu semuanya berisi tomat, jadi dia bahkan tidak bertanya.
Semuanya selalu tomat. Sepanjang ingatannya, Harriet selalu membawa roti isi
tomat, ke sekolah pada musim dingin, dan ke pantai pada musim panas.
Sambil mengunyah sepotong, Harriet bertanya, "Kamu mengerti semua bahasa Prancis
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi?" "Memangnya tadi itu bahasa Prancis?" jawab Beth Ellen sambil memandang ke laut
dan mengunyah. Mendadak dia merasa sebal pada Harriet dan roti isi tomatnya.
Mata Harriet membelalak. "Kamu tahu, Beth Ellen, kadang-kadang aku membayangkan
di mana jiwamu sebenarnya ketika badanmu ada di sini." Beth Ellen memandangnya
sekilas tanpa menunjukkan perasaan apa pun, juga tanpa tampak memikirkan apa
pun. Mereka terus makan tanpa berkata-kata.
Harriet menajamkan pendengarannya agar bisa mendengar percakapan kedua ibu muda
itu, tapi dia hanya bisa mendengarkan laut.
Mungkin, pikirnya, kalau aku menempelkan cangkang kerang ketelingaku, aku bisa
mendengar mereka. Dia tertawa sendiri, tapi memutuskan untuk tidak mengatakan
apa pun pada Beth Ellen karena itu kedengaran gila.
Kadang-kadang, sulit bicara dengan Beth Ellen karena dia akan menatapmu dengan
mata yang begitu besar dan kosong sehingga kau mulai bertanya-tanya, apa yang
sudah kau ucapkan. Harriet mengeluarkan buku catatannya dan menelusuri tulisan-tulisannya.
"Menurutmu, siapa yang bisa melakukan ini?" tanyanya pada Beth Ellen.
"Apa?" tanya Beth Ellen.
"Meninggalkan pesan-pesan itu!" teriak Harriet. Benar deh, anak ini kadang-
kadang seperti idiot. "Oh," kata Beth Ellen, membelalakkan mata pada Harriet, "Aku nggak punya ide."
"Huuh!" kata Harriet kesal.
Beth Ellen terus menatap sampai Harriet melihat kembali ke buku catatannya.
Kemudian, dia mengambil papan gambarnya dan sebatang pensil. Beth Ellen mulai
menggambar seorang wanita gemuk yang sedang dimakan kura-kura, tapi dia merasa
bosan dan mulai menggambar dua ibu dan anak-anak mereka.
Harriet menyimpan buku yang berisi catatan hasil memata-matai dan mengambil buku
lain tempat dia menulis sebuah cerita berjudul
"Hotel Angker". Dia membaca kembali hal-hal yang sudah ditulisnya terakhir kali,
dan menurutnya, tulisannya luar biasa.
Harriet mengosongkan beberapa halaman karena dia tidak ingin melanjutkan cerita
itu sekarang. Sudah dua hari ini dia mencoba menulis puisi.
Baru-baru ini, dia berkenalan dengan puisi, dan sesuatu mengenai penghematan
kata di dalam puisi menarik hatinya. Dia duduk tenang, sangat tenang, memandang
ke arah laut, tapi memikirkan suatu hari saat musim gugur yang lalu. Pada hari
itu, dia berdiri di sebuah taman di seberang sekolahnya di New York. Dia
memerhatikan si Pria Riang yang membersihkan hidungnya dengan saputangan
berwarna biru cerah. Tulisan itu tentang hujan dan Harriet merasa tersesat. Perasaan-perasaan yang
muncul begitu saja dan tidak terkait dengan apa pun selalu memukaunya. Dia
menulis: Hari itu akan hujan Dia memandang tulisan itu, lalu mencoretnya dan menulis: Sebelum hujan
Dia lalu menulis: Taman ini Dan mengubahnya menjadi: Dunia ini Sekarang dia punya: Sebelum hujan Dunia ini Harriet duduk sambil memikirkan keadaan taman tersebut hari itu, begitu hijau,
begitu penuh harapan, tenang, dan tegang. Dia memikirkan kata-kata, seperti
"menunggu", "diam", "lelah", tapi semuanya tidak terasa pas. Dia memikirkan kata
"muda" dan mulai menyatukan kata-kata seperti "kehijauan yang menunggu",
"rerumputan yang melukai", dan
"pohon yang ketakutan". Lalu tiba-tiba, dia menulis: Sebelum hujan
Dunia ini Hijau Tapi, sisanya harus ada di situ. Mendadak, dia ingin semuanya berima. Apa yang
berima dengan hujan" Hujan, hutan, dahan. Dia memutuskan untuk menelusuri sesuai
abjad: An (tidak ada). Batuan (jelek ... oh, ya, Bahan).Curahan.
Dahan (Dahan panjang di pohon")
Han (tidak ada). Va ampun, aku lupa abjad.
Dahan. Ean (tidak ada).Fan (fans").
Gambaran (tanpa gambaran apa pun").
Tidak.Sambil memikirkan frase-frasenya lagi, dia sedikit mengernyit dan
berpikir, Membosankan. Ini agak mirip dengan permainan scrabble, pikirnya dengan
gembira dan mulai lagi. Hujan (sudah ada). Ian (Siapa Ian" Tidak ada teman yang bernama Ian).
Jan (Janie").Kan (tidak ada).
Landasan (dan di dalam taman, sebuah landasan" Mungkin. Nggak.
Jelek). Makan. Nan (tidak ada).O (tidak ada).Penderitaan (nah, itu!).
Memang seperti penderitaan, tatapan yang di-miliki dunia. Dia menulis: Dan
dipenuhi penderitaan Tidak, tidak. Dia menggantinya menjadi:
Dan penuh penderitaan Bukan itu. Itu lebih jelek lagi. Dia mencoretnya dan menulis: Dan dalam
penderitaan Sejenak Harriet berpikir untuk melupakan semuanya. Tapi tidak, ini menyenangkan.
Dia malah meneruskan daftar itu.
Q (tidak ada). Riskan (jelek). Sinaran (siraman" Siraman mentari" Mungkin. Tidak).
Tan (tidak ada). Van (tidak ada). X (tidak ada). Y (tidak ada). Z (tidak ada). Huuuh, pikirnya, dan duduk mencerna kata itu, penderitaan. Dia memandang ke
sekitar pantai itu. Tidak banyak yang berubah. Beth Ellen berbaring tengkurap,
menggambar dengan hidung dekat ke kertas.
"Kamu menggambar apa?" tanya Harriet, berbalik untuk melihatnya.
"Rumah yang sedang terbakar," jawab Beth Ellen tenang.
"Kamu suka menggambar kan?" tanya Harriet.
"Ya." "Kalau begitu, kamu mau menjadi seniman?"
"Aku nggak tahu."
"Jadi seniman saja," kata Harriet, memutuskannya sebagai pemecahan masalah bagi
Beth Ellen. Beth Ellen duduk dan menatap bagian belakang leher Harriet lama.
"Aku nggak," ujarnya pelan, "mau jadi apa pun juga."
Harriet tidak berbalik, tapi berkata, "Itu menggelikan. Bagaimana mungkin kamu
melakukannya?" "Aku mau jadi dewasa dan menikah dengan pria kaya. Aku mau punya seorang anak
laki-laki dan, mungkin, seorang anak perempuan.
Aku mau pergike Biarritz."
Harriet menatapnya. "Itu hal paling membosankan yang pernah aku dengar." Dia
menatap langsung ke mata Beth Ellen.
"Lagi pula, ada apa di sana?" tanya Harriet .
"Di mana?" tanya Beth Ellen, tahu jelas maksudnya.
"BIARRITZ! "teriak Harriet ."BETH ELLEN, KADANG-KADANG KAMU
MEMBUATKU GILA!" "Yah," ujarnya sambil berpikir: Mamaku ada di Biarritz.
"Dengar," kata Harriet sabar, seolah-olah dia sedang berbicara pada seorang anak
kecil, "Kamu baru dua belas tahun. Kamu akan melupakan hal ini."
"Aku nggak akan melupakannya."
"Oh, tentu. Apa yang ingin kamu kerjakan" Memeras seseorang?"
"Ya." "Kamu akan membosankan. Kamu akan jadi orang paling membosankan." Muka Harriet
menjadi sangat merah. "Nggak akan ada orang yang datang mengunjungimu. Aku pasti
nggak bakal datang untuk mampir di rumahmu. Aku akan bekerja. Aku nggak akan
punya waktu untuk omong-kosong semacam itu. Kamu akan memintaku melihat foto-
foto bayimu. Kamu akan meminta semua orang melihat gambar-gambar bodoh itu
sepanjang waktu dan nggak seorang pun ingin melihat." Harriet berhenti agak
mendadak, sadar bahwa dia sedang berteriak. Dia berpikir, kenapa aku ini" Aku
nggak peduli apa yang akan Beth Ellen lakukan.
"Aku akan punya banyak bayi dan pergi ke Biarritz," kata Beth Ellen penuh wibawa
dan bertelungkup kembali.
Kemudian hening. Yah, pikir Harriet. Harriet mengambil buku tempat dia menulis
catatan-catatan tentang orang-orang dan menulis: Kau nggak pernah bisa mengenal
orang-orang. Kenapa ada orang yang mau melakukan hal itu" Beth Ellen sudah
sinting. Mungkin aku juga harus mempertimbangkan soal punya bayi. Apakah aku mau
bayi" Apa yang akan aku lakukan dengan bayi itu" Dia pasti akan menangis terus
dan ingin disuapi. Dan semua popok itu. Wah.
Harriet meletakkan kedua buku itu dan tidur telentang. Dia berusaha menatap
langsung ke matahari. Tapi, karena silau dia tidak bisa.
6 Mama Zeeney akan Datang Tiga hari kemudian, Beth Ellen duduk di dalam kamarnya, menulis sepucuk surat
untuk dirinya sendiri. Halo Aku, Kenapa aku begitu berbeda" Kenapa aku nggak pernah bahagia"
Apakah semua orang seperti ini, atau apakah hanya aku saja" Aku benar-benar
seekor tikus. Aku sama sekali nggak punya keinginan untuk menjadi diriku.
Selamat tinggal, Tikus Telepon berbunyi. Beth Ellen mendengar Susie di lantai bawah mengangkatnya, lalu
memanggil namanya, "Nona Beth! Nona Beth, telepon untukmu." Beth Ellen berdiri
lalu pergi ke kamar kakeknya untuk menjawab karena di kamarnya tidak ada
telepon. "Halo?" "Hai." Ternyata Harriet .
"Kenapa kamu nggak ke sini?" tanya Beth Ellen, tiba-tiba merasa kesepian.
"Sekarang sedang hujan" kata Harriet sangat jengkel. "Kamu saja yang ke sini.
Harry bisa mengantarmu, tapi aku kan cuma punya sepeda."
"Oke." "Jadi, kapan?" "Aku harus tanyakan dulu." Beth Ellen merasa sangat samar.
"Ya sudah, tanya!." Kadang-kadang, Harriet seperti tidak pernah punya kesabaran.
"Oke." Beth Ellen meletakkan gagang telepon dan lari ke kamar neneknya. Dia
membuka sedikit pintu itu dan melihat bahwa ruangan itu gelap. Neneknya sedang
tidur. Dia menutup pintu itu perlahan dan lari ke dapur. Sarah si juru masak
sedang membuat makan siang untuk pembantu dan supir.
"Bisakah kau mengantarku ke rumah Harriet?" tanyanya pada Harry yang ada di
balik surat kabar. "Kamu tidak boleh pergi sebelum kamu minta izin kepada nenekmu," kata Susie.
"Kenapa?" Mata Beth Ellen menjadi sangat besar.
"Sesuatu telah terjadi," kata supirnya sambil memiringkan tubuh dan balik surat
kabarnya. Wajahnya dihiasi senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi.
"Apa?" "Jangan hiraukan dia," kata Sarah. "Nenekmu punya sesuatu untuk diceritakan
padamu dan dia ingin menceritakannya langsung setelah bangun tidur siang. Dia
berpesan begitu." Dua kata terakhir terdengar seperti ancaman. Jika neneknya meninggalkan pesan
tentang sesuatu, pasti ada sesuatu yang serius. Beth Ellen berbalik tiba-tiba
dan meninggalkan dapur. Dia lari ke atas menuju telepon.
"Aku nggak bisa ke sana," ujarnya pada Harriet di ujung sana.
"Kenapa?" "Aku harus tinggal di rumah. Nenekku mau bicara denganku.
Sesuatu telah terjadi." Beth Ellen mulai merasa penting.
"APA?" Harriet memekik. Dia tidak tahan jika tahu ada sesuatu yang telah terjadi
tanpa sepengetahuannya. "Aku nggak tahu."
"Baiklah, kalau kamu sudah tahu, maukah kamu meneleponku?"
"Ya." "Oke. Sampai nanti!"
"Tunggu! Harriet ?"
"Ya?" "Dengar Harriet, aku sudah mencobanya. Kamu ingat pernah bilang padaku kalau aku
harus menulis lagi" Yah, aku sudah mencoba dan aku membencinya."
"Apa yang kamu tulis?"
"Surat untuk diriku sendiri."
"Menulis surat nggak sama dengan menulis," kata Harriet tegas.
"Ngomong-ngomong, apa isinya?"
"Itu pribadi." "Jadi, kenapa karnu menceritakan soal itu padaku, Bodoh?"
"Karena kupikir aku akan mencoba lagi seperti katamu, tapi aku membencinya."
"Dengar Beth Ellen" - Harriet kedengaran sangat kasar-"kamu harus menemukan satu
profesi, cepat atau lambat, kamu tahu itu."
"Aku nggak mau bekerja. Aku membencinya."
"Kamu harus melakukan sesuatu'. Kamu nggak bisa cuma tidur-tiduran."
"Kenapa nggak?"
"Pokoknya NGGAK BISA !" Harriet benar-benar berteriak kali ini.
"Tapi, aku harus melakukan sesuatu yang aku suka!." kata Beth Ellen dengan suara
panik. "Baiklah!." Sepertinya Harriet sudah menjadi tenang. "Jangan khawatir, kita akan
pikirkan sesuatu. Dengar, ngomong-ngomong, apakah dirumahmu ada orang yang
sering membaca Alkitab?"
"Kenapa?" "KENAPA KADANG-KADANG KAMU BODOH SEKALI SIH?" Teriakan Harriet pasti terdengar
sampai Kansas. Dia melanjutkan dengan sabar,
"Kita harus mencari tahu apakah semua kutipan itu berasal dari Alkitab, dan jika
ya, kita sedang berurusan dengan seorang religius yang fanatik.
Kita harus tahu siapa yang harus DICARI!" Suaranya mulai tidak terkendali lagi
akhirnya. "Aku akan tanyakan," kata Beth Ellen dengan lelah.
"Oke. Pekerjaan yang bagus. Nah, jangan lupa untuk langsung meneleponku kalau
kamu sudah tahu berita dari nenekmu."
"Oke," kata Beth Ellen sambil berpikir: Berita dari nenekku itu sama sekali
bukan urusan Harriet Welsch.
"Oke, dah." "Dah." Beth Ellen menutup telepon dan memandang ke sekeliling ruangan.
Ruangan itu berwarna biru gelap dan dalam cahaya yang temaram, tampak
menyeramkan. Semuanya tampak biru - seprai beludru tebal, karpet tebal, dan gorden
tebal yang tidak pernah dibuka untuk membiarkan cahaya matahari masuk. Kakeknya
meninggal tujuh tahun yang lalu. Dia mengingatnya dengan perasaan aneh. Kakek
selalu memberi Beth Ellen 25 sen setiapkali mereka bertemu, dan itu
menyenangkan; tetapi sebelum memberikan 25 sen itu, kakeknya selalu bertanya
apakah dia juara kelas di sekolahnya. Beth Ellen akan menjawab
"Ya," dan mendapatkan 25 sen itu. Aneh, karena saat itu dia belum mulai
bersekolah. Umurnya baru empat tahun. Tapi, karena itu Beth Ellen mencintai
kakeknya. Beth Ellen menatap sebuah ceruk di dinding. Sebuah altar kecil berdiri di situ
dengan sebuah Alkitab sangat besar terbuka di atasnya. Di atas altar tersebut
berdiri dua batang lilin dan sebuah tempat kecil untuk berlutut. Di atas altar
tersebut, di dinding itu, tampak lukisan Perawan Maria yang kecil dan indah.
Beth Ellen kerap bertanya tentang hal ini, dan neneknya mengatakan bahwa pemilik
lama rumah ini adalah penganut Katolik dan neneknya membiarkan segala sesuatunya
seperti saat rumah ini ditinggalkan karena semuanya indah.
Beth Ellen duduk sambil memikirkan tentang orang-orang Katolik.
Apa rasanya menjadi Katolik" Apakah kau akan lebih banyak merasakan dibanding
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang lain" Mungkin untuk hal-hal yang lebih indah. Mungkin kepalamu berisi hal-
hal indah. Dia memikirkan tentang berada di gereja bersama neneknya. Dia
menghampiri Alkitab itu dan membaca halamannya yang terbuka. Apakah neneknya
membaca Alkitab" Ya, tapi bukan yang ini. Nenek membaca Alkitab yang ada di
pinggir tempat tidurnya. Apakah juru masak, supir, dan pembantu di rumahnya juga
membaca Alkitab" Dia tidak tahu, pikirnya, dan aku tidak terlalu peduli.
Dia menyadari kalau Alkitab itu terbuka pada bagian kitab Mazmur. Beth Ellen
membaca sebuah kalimat, "Oh, nyanyikanlah bagi Tuhan sebuah kidung baru."
Kuharap aku punya satu kidung baru untuk dinyanyikan, pikirnya. Mendadak, Beth
Ellen menjadi sangat bosan dan ingin menutup buku itu. Akan tetapi, dia tidak
melakukannya karena buku itu lebih indah jika terbuka. Satu-satunya orang yang
kusukai dalam Alkitab adalah Yeremia, pikirnya lelah.
Beth Ellen memandang berkeliling, lalu meninggalkan altar itu dan menutup pintu.
Kemudian, dia mengambil sebuah buku dari bawah tempat tidur yang jauh lebih dia
sukai. Buku itu jarang sekali dia tinggalkan, dan dia menyembunyikannya di kamar
ini karena tidak ada seorang pun yang masuk, kecuali untuk membersihkan kamar,
dan tampaknya mereka tidak pernah membersihkan bagian bawah tempat tidur. Dia
membuka pintu perlahan-lahan, berencana untuk membawa buku itu ke kamarnya. Dia
melihat Susie keluar dari kamar neneknya.
Wanita itu memberi isyarat padanya.
"Nenekmu sudah bangun sekarang," katanya tersenyum bersahabat.
"Baiklah," kata Beth Ellen.
"Masuklah dan bicara padanya," kata Susie, masih dengan senyum penuh arti, dan
menuruni tangga. Beth Ellen menunggu sampai wanita itu pergi, lalu kembali ke kamarnya dan
menyimpan buku itu dibawah tempat tidurnya. Kemudian, dia pergi dan mengetuk
pintu kamar tidur neneknya. Jawaban "Masuk,"
dari neneknya terdengar riang. Beritanya pasti tidak terlalu buruk, pikir Beth
Ellen saat membuka pintu.
"Masuklah, Sayang, Nenek punya berita baik untukmu." Nyonya Hansen duduk di
tempat tidur dan tampak ceria. Beth Ellen berdiri di pinggir tempat tidur. Dia
menyadari bahwa garis-garis kecil di sekeliling mata neneknya berwarna ungu. Dia
berpikir-pikir, akankah aku punya mata ungu kalau aku sudah tua"
"Coba tebak!" Mata neneknya bersinar.
Beth Ellen membisu. "Ibumu akan pulang!" Neneknya mengatakan hal ini dengan suara yang sedikit
bergetar karena gembira. Beth Ellen berdiri beku di tempatnya. Dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk
dikatakan. Dia berpikir, kenapa Mama ingin datang kemari"
Ibunya benci Amerika. "Dia akan pergi ke Paris pagi ini, dan biarpun tidak mengatakan kapan tepatnya,
dia akan terbang langsung ke New York dari sana.
Menurutnya, Paris benar-benar mati selama musim panas, jadi kupikir dia tidak
akan lama tinggal di sana." Senyum lebar menghiasi wajah neneknya. Dia memandang
Beth Ellen, menunggu. Beth Ellen tidak bisa memikirkan apa-apa untuk dikatakan. Beth Ellen merasa, dia
diharapkan untuk mengatakan sesuatu, jadi dia berkata, "Bagaimana Nenek bisa
tahu?" Mata neneknya melebar. "Yah, aku tahu karena dia menelepon! Dia meneleponku dari
Athena! Menyenangkan bukan?"
Beth Ellen hanya berdiri, merasa tolol. Apakah kesenangan yang dia rasakan saat
ini" Dia tidak tahu harus merasakan apa. Dia ingat ibunya sebagai gambaran kabur
berwarna putih dengan topi putih yang lebar.
"Itu ciri khas Zeeney. Dia tidak pernah bisa mengatakan kapan dia akan datang.
Sejak kecil, dia sudah benci kalau dipaksa memberikan informasi yang tepat.
Kupikir, itu sebabnya dia tidak pernah bisa berada lama di satu tempat. Tapi,
itu tidak masalah, bukan" Aku mendapat hadiah anak yang paling menawan di dunia.
Tapi, coba pikirkan! Kamu belum pernah bertemu ibumu sejak kakek meninggal,
sejak kamu berumur lima tahun! Ini pasti kabar yang paling menyenangkan bagimu
di dunia ini!" Nyonya Hansen mengatakan ini dengan sangat antusias, lalu menatap
Beth Ellen dengan pandangan menyelidik.
Mendadak, Beth Ellen ingin berlari, menangis, tertawa, mencakar, berteriak, dan
melompat dari jendela, semua dilakukan pada saat yangbersamaan. Dia juga merasa
dipaku ke lantai. Kalau saja dia bisa keluar dari kamar itu, jauh dari tatapan
itu, dan membawa berita itu, cepat seperti tupai, ke kamarnya.
"Nenek, aku akan kembali lagi. Aku lupa menyelesaikan sesuatu yang sedang
kukerjakan."Dia menahan napas.
"Oh, Sayangku yang malang. Kemarilah, Sayang." Nyonya Hansen mengulurkan
tangannya. Ini mengerikan, hal paling mengerikan yang bisa terjadi. Jantung Beth Ellen
berdebar ketakutan. Jika Nenek menyentuhku, jika Nenek memelukku, jika Nenek
mengatakan satu kata saja, aku akan tenggelam dalam air mata. Beth Ellen lari
dari kamar itu. Dia lari secepat mungkin menuju ruang tengah. Dia mendengar
neneknya memanggil, tapi dia tahu, neneknya tidak akan mengejarnya, jadi dia
lari ke kamarnya dan menutup pintu.
Beth Ellen berdiri dengan satu tangan pada pegangan pintu sambil memandanginya.
Benda itu terbuat dari kuningan dan diukir. Dia menatap ukirannya yang melingkar
rumit di sepanjang gagang pintu yang berbentuk tabung.
Dia pergi dan duduk di tepi tempat tidur. Mama-ku, pikirnya, kemudian mencoba-
coba, "Ibu." Ia mengatakannya keras. "Ibu."
Suaranya terdengar seperti dengkuran halus dalam kamarnya yang hening.
Tidak. Tidak ada. Dia tidak merasakan apa-apa. Apa yang harus dirasakan" Apa
yang seharusnya dirasakan seseorang" Neneknya menggunakan kata "menyenangkan".
Itu dipakai kalau sesuatu yang indah akan terjadi. Atau untuk pekerjaan mata-
mata bersama Harriet , seperti kemarin, itu menyenangkan. Dia tidak merasa
senang. Ini bukanlah rasa senang. Ini lebih mirip dengan rasa sakit. Seperti
rasa sebuah gigi tepat sebelum gigi itu akan sakit. Bukan saat gigi itu mulai
sakit, karena saat itu sakitnya sudah terasa. Dia tidak merasa sakit. Dia hanya
merasa agak lemah dan ...peka.
Beth Ellen berusaha mengingat semua hal yang bisa dia ingat tentang ibunya.
Gambaran putih besar yang kabur, topi putih besar, anggrek ... oh, ya, dia lupa
soal anggrek itu ... Kenapa sekuntum anggrek" ... Wallace ... sekarang dia
merasakan sesuatu ... Akhirnya, dia akan bertemu Wallace ... si Wallace yang ada
di dalam surat-surat itu ...
SiWallace yang begini dan si Wallace yang begitu ...dan foto-foto ibunya,
seorang wanita yang ramping, tinggi, dan cantik ... dan Wallace, seorang pria
kurus, ganteng, pirang ... dengan baju ski ... ditepi pantai ... sedang memegang
gelas minuman dalam sebuah pesta ... sedang pergi naik perahu ...sedang pergi
naik pesawat ... sedang pergi ke suatu tempat dengan menunggang kuda ... dengan
unta ...dengan gajah. Beth Ellen sudah melihat setiap foto itu begitu mereka tiba.
Neneknya berniat memberinya beberapa supaya dia bisa memandanginya sendirian di
kamarnya, tapi dia berkata, "Tidak, terima kasih," dengan sopan dan bertanya
pada dirinya sendiri, "Untuk apa?" Mereka adalah dua orang asing yang sekarang
tampak akrab. Seperti ketika kau merasa mengenal seseorang di jalan dan ternyata
kau sadar kalau dia hanya seorang bintang film.
Jadi, foto-foto itu akan bergerak sekarang. Dia memikirkan mereka hampir seperti
boneka-boneka yang didandani. Mereka punya baju berkuda, baju renang, baju untuk
berjalan-jalan, baju untuk pesta malam, dan saat dia melihat mereka, mereka akan
mengenakan baju bepergian lengkap dengan semua aksesorisnya. Atau mungkin baju
untuk daerah pedesaan karena mereka akan datang ke Water Mill. Wallace akan
memakai jaket wol ... tidak, sekarang kan musim panas.
Tiba-tiba, Beth Ellen merasa sangat lelah. Meskipun sudah berusaha keras, dia
tidak bisa menemukan satu pun emosi yang bisa dikaitkan dengan berita ini. Dia
berbaring di tempat tidur. Dia meraba seprainya.
Rasanya menyenangkan bisa merasakan sesuatu dengan tangannya, sesuatu yang
nyata. Apakah ibunya datang untuk membawanya pergi, seperti sesuatu yang dia
beli di toko pakaian dan tidak sabar menunggu sampai benda itu diantar" Apakah
neneknya akan membiarkan mereka membawanya" Apakah neneknya ingin dia pergi" Di
mana aku tinggal" Beth Ellen berpikir, lalu mulai menangis. Dia menangis lama sekali, lalu jatuh
tertidur, wajahnya tertelungkup di atas kain yang basah oleh air mata.
Satu jam berlalu. Sebuah ketukan terdengar dipintunya. Beth Ellen bangun dan
membukanya. Ternyata Susie.
"Nyonya Hansen menyuruhmu pergi ke kamarnya." Susie menatap Beth Ellen dengan
pandangan ingin tahu. "Baik," kata Beth Ellen, lalu sambil berbalik,"Terima kasih."
"Terima kasih kembali, Sayang," kata si pembantu dan pergi dengan cepat menuruni
tangga. Beth Ellen mati rasa. Dia ingat semuanya. Dia pergi ke kamar mandi dan mencuci
muka, lalu berjalan keluar dan turun menuju kamar neneknya. Dia mengetuk pintu.
Ketika mendengar suara neneknya, dia membuka pintu. Bagi Beth Ellen, tindakan
sederhana itu penuh tekad kuat.
"Nah, Sayang, sudahkah kamu menyelesaikan pekerjaanmu?"
"Ya." "Duduklah di sini dan katakan padaku, bagaimana perasaanmu tentang kedatangan
ibumu?" Beth Ellen duduk dan menatap neneknya. Ada secercah sinar yang hampir mirip
dengan perlawanan di bola matanya yang bulat dan biru.
Neneknya sepertinya tidak menyadari hal itu. "Bukankah ini hal yang paling
menyenangkan" Pikirkan, bukan saja kau akan bertemu ibumu, tapi aku juga akan
melihat anakku setelah tujuh tahun berpisah!
Aku benar-benar menyukainya, kalau cuma untuk sebentar. Dan Wallace!
Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Wallace'. Menurut ibumu, dia sangat
memesona! Bukankah semua ini begitu menyenangkan?"
"Tidak." "Apa, Sayang?" "Tidak." "Tidak, apa?" "Tidak, ini tidak menyenangkan."
"Kenapa, apa maksudmu, Sayang?"
"Buatku, ini tidak menyenangkan."
"Kenapa, apa yang sedang kamu bicarakan" Tentu saja ini menyenangkan. Ini saat
yang paling menyenangkan dalam hidupmu yang muda. Nenek bisa membayangkan. Kalau
aku akan bertemu ibuku setelah tujuh tahun, aku pasti akan merasa sangat-sangat
senang, jadi aku tahu hal yang pasti kamu rasakan."
"Tidak ada." "Apa?" "Aku tidak merasakan apa pun."
"Hei, itu menggelikan. Tentu saja kamu merasakan sesuatu."
"Aku tidak." Suara Beth Ellen terdengar tajam. Sebenarnya dia tidak merencanakan
hal itu. Dia sendiri merasa sedikit heran oleh sikapnya sendiri. Namun, apakah
dia salah karena merasa kalau neneknya tampak sedikit senang di balik semua
reaksi terkejutnya" "Beth Ellen Hansen! Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu?"
"Tidak ada apa-apa."
"Kemari sekarang juga dan biarkan aku melihat wajahmu. Aku tidak bisa melihat
sejauh itu." Beth Ellen berdiri dengan patuh, lalu melangkah ke tepi tempat tidur. "Kamu
habis menangis," kata neneknya terkejut.
"Tidak." "Ya, kamu habis menangis. Tidak ada salahnya jika kamu menangis. Kenapa harus
berbohong soal itu" Aku agak senang kamu punya perasaan tentang hal ini."
Neneknya mengatakan ini, tapi dia sama sekali tidak tampak senang. "Aku tidak
mau kamu bersikap seperti ini di depan ibumu kalau dia sudah ada di sini.
Pikiran ibumu penuh tipu daya.
Dia akan berpikir kalau nenek sudah membuatmu menentangnya dengan cara-cara
licik. Kukira, kenanganmu tentang dirinya tidak cukup baik untuk bisa mengingat
hal-hal seperti itu, bukan?"
Beth Ellen menggelengkan kepalanya. Dia senang karena percakapan itu beralih
darinya pada diri ibunya. Seperti apa ibunya dahulu" Orang macam apa"
Seakan-akan memberi jawaban, neneknya mulai berbicara.
"Dia wanita yang sangat hidup, ibumu itu. Dia cantik sekali, penuh semangat,
wanita yang paling menyenangkan. Dia bisa mengubah seruangan penuh pria cerdas
menjadi orang-orang idiot yang gagap hanya dalam beberapa detik setelah dia
masuk. Tapi, pikirannya melayang-layang, selalu berubah, dan selalu mengambil
jalan pintas yang misterius. Wallace, kukira, merupakan salah satu jalan
pintasnya." Nyonya Hansen mengatakan kalimat terakhir sambil menatap ke luar jendela,
seakan-akan Beth Ellen tidak ada di ruangan itu.
"Ayahmu, tentu saja, orang yang sangat berbeda. Agak kaku, tapi benar-benar
mudah disukai. Dia tidak pernah banyak bicara. Dia bahkan tidak mengatakan apa
pun saat dia pergi pagi itu - hanya bangun, menyiapkan tas, dan pergi untuk
selamanya. Beth Ellen sedikit menyukai hal itu. Setidaknya, ayahnya kedengaran seperti
orang yang masuk akal. "Tapi ibumu, selalu liar, dahulu dan sekarang, dan dia akan selalu menjadi liar.
Dia orang yang aneh, senang berfoya-foya, dipuja karena beberapa hal sekaligus
dihindari karena hal lain. Dia juga sangat mudah gugup, mudah tegang seperti
kuda." Beth Ellen membayangkan seekor kuda dengan topi putih yang besar. "Kamu akan
menyukainya, aku yakin." Neneknya memandang Beth Ellen dengan penuh keraguan.
"Yah, mungkin 'suka' bukan kata yang tepat. Tapi, kamu akan mengaguminya. Kalau
soal itu, aku yakin."
Nyonya Hansen tersenyum dan matanya bersinar meyakinkan.
Beth Ellen tidak yakin soal apa pun. Ibu macam apa dia"
Kedengarannya seperti orang yang tidak stabil.
"Dia suka bersenang-senang. Aku tidak pernah begitu mengerti hal itu, karena
bagiku, tidak ada apa pun dalam hidup ini yang tampak seperti kesenangan. Ada saat-saat menyenangkan dalam hidup, tapi satu saat yang
menyenangkan adalah hal yang berbeda. Tetapi, ibumu berpendapat hampir semua
hal, kecuali pikiran serius dan orang-orang serius, bisa dianggap sebagai saat
yang menyenangkan." Apakah aku orang yang serius" Beth Ellen berpikir cepat.
"Sebaliknya, ayahmu, menurutku, termasuk orang yang serius dan dia meraih banyak
hal. Ibumu punya selera yang kuat untuk tidak melakukan apapun. Tidak pernah
sekali pun, sejak kecil, dia menginginkan apa pun selain mengawini pria kaya dan
bersenang-senang. Jadi, dia mengawini ayahmu, dan tentu saja sekarang ...
Wallace." "Kenapa aku memakai nama Nenek dan bukannya nama ayahku?"
tanya Beth Ellen tiba-tiba. Dia heran kenapa sebelumnya dia tidak pernah
berpikir untuk menanyakan hal ini.
"Karena ibumu marah sekali ketika ayahmu pergi sehingga dia mengganti namamu.
Pria kaya yang meninggalkanmu dan merusak waktumu untuk bersenang-senang sudah
tentu tidak ada manfaatnya sama sekali."
Beth Ellen memikirkan kata-katanya pada Harriet di pantai. "Aku harus menelepon
Harriet ," ujarnya. "Tentu saja; telepon dia sekarang juga. Kamu ingin menceritakan padanya tentang
kedatangan ibumu, kan" Nah, pergi sana, Sayang, dan kita akan bertemu lagi waktu
makan malam. Mungkin kita bisa lihat-lihat beberapa foto nanti. Agak sulit
bagiku untuk mengingat wajah Zeeney."
Beth Ellen menutup pintu di belakangnya, lalu mendadak berhenti.
Zeeney" Oh, ya, itu nama ibunya. Dia lari menuju telepon.
"Halo, " Harriet menjawab. Jika hujan sedang turun, dia selalu duduk di dekat
telepon supaya bisa segera menerima setiap berita yang datang.
"Ini aku. Beth Ellen."
"Aku tahu. Apa yang terjadi?"
"Ibuku akan pulang."
"APAAA?" "Mereka akan pulang."
"Siapa mereka?"
"Ibuku, Zeeney, dan Wallace."
"Ibumu dan SIAPA?" teriak Harriet .
"Itu nama-nya. Zeeney," kata Beth Ellen dengan sabar.
"Kalau Wallace?"
"Suaminya." "Kapan?" Harriet praktis harus menahan napas. Dia begitu bersemangat.
"Aku tidak tahu. Dia nggak pernah mengatakan hal-hal semacam itu. Dia akan
muncul begitu saja," kata Beth Ellen, merasa penting.
"WOW." Setidaknya Harriet memberikan reaksi yang memuaskan. Beth Ellen terdiam karena
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memikirkan Harriet yang selalu berkata, "Wow." Lalu, dia memikirkan tentang
"Wow" lama. "Halo, halo, apa kamu masih di situ?" teriak Harriet di telepon, seolah-olah itu
pembicaraan antar benua. "Ya." "Jadi, kapan aku boleh bertemu mereka" Bisakah aku bertemu mereka segera"
Seperti apa mereka" Apa kau menyukai mereka" Aku bahkan nggak pernah tahu kalau
kamu punya orang tua. Kamu nggak punya orangtua. Dengar Beth Ellen, aku kenal
kamu sejak TK dan kamu nggak, punya orangtua. Apa ini sebenarnya?"
"Aku punya seorang Mama dan dia sedang menuju kemari."
"Aku nggak pernah tahu itu. Aku nggak tahu sama sekali. Kukira ibumu sudah ..."
Harriet menghentikan rentetan kata-katanya dan memperlambat bicaranya.
"Apa?" tanya Beth Ellen, untuk pertama kali merasa tertarik.
"Aku nggak tahu. Maksudku, aku cuma berpikir, dia nggak pernah ada di sana."
"Dia memang nggak ada."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu ceritakan lebih banyak lagi padaku" Kapan
aku bisa bertemu mereka?"
"Aku nggak tahu. Kukira, kalau mereka sudah sampai di sini. Nggak ada lagi yang
bisa diceritakan." "Dengar Beth Ellen" - suara Harriet melemah menjadi bisikan-"aku punya sesuatu
untuk diceritakan padamu!"
"Apa?" kata Beth Ellen, berharap akan dikuliahi.
"Si Jessie Mae Jenkins itu, detik ini, sedang berada di bengkel sepeda!."
"Jadi?" "Ya, dia harus tetap di sana selama satu jam, untuk memperbaiki sepedanya, jadi
aku pergi kerumahnya dan aku melihat sesuatu di garasi.
Kamu pasti nggak akan percaya!."
"Apa?" "Aku nggak bisa bilang padamu. Aku harus menunjukkannya. Kamu bisa keluar?"
"Sekarang kan hujan?"
"Nggak lagi. Hujan sudah berhenti. Memang kamu nggak sadar"
Pikirmu bagaimana" Aku bersepeda di luar sampai basah kuyup?"
"Oh." "Begini saja, ayo ikut. Kita bertemu di bengkel itu. Aku punya ide."
Beth Ellen memikirkan sejenak udara sejuk sore yang akan menerpa wajahnya saat
ia bersepeda, lalu berkata, "Ya, baiklah. Sampai ketemu."
"Oke, lima menit lagi. Lebih baik kita ketemu dikantor pos saja. Kita nggak mau
membuatnya curiga," kata Harriet .
Beth Ellen menutup telepon dan berlari ke luar kamar. Dia mengambil jaket dan
lari ke luar rumah tanpa mengatakan apa pun pada siapa pun.
7 Sepeda Rusak Jessie Mae Harriet sedang berdiri di dekat kantor pos. Ketika Beth Ellen muncul, Harriet
berbisik, "Sekarang kesempatan kita."
"Untuk apa?" tanya Beth Ellen.
"Untuk bicara padanya!" jawab Harriet sambil meluncur dengan sepedanya menuju ke
bengkel itu. Saat meluncur, terdengar suara-suara aneh dari bagian bawah sepeda.
"Sepedamu kenapa?" tanya Beth Ellen. Sepeda Beth Ellen memang terus-menerus
rusak sehingga dia banyak melewatkan musim panas yang lalu dibengkel sepeda.
Tapi yang dia tahu, sepeda Harriet tidak pernah rusak. "Aku merusakkannya,"
bisik Harriet , "jadi kita punya alasan untuk pergi ke sana."
"Oh," kata Beth Ellen, takjub.
Mereka mendorong sepeda mereka sampai bengkel itu. Jessie Mae sedang duduk di
trotoar sambil menggigit-gigit sehelai daun. Jessie Mae memandangi mereka dengan
rasa ingin tahu yang ditutup-tutupi.
Tukang sepeda mengangguk pada Beth Ellen dan menghampiri sepedanya, tapi Harriet
berkata "Punyaku!"
Tukang sepeda berjongkok dan memeriksa kerusakannya.
"Bagaimana bisa sampai begini?"
"Aku nggak tahu," jawab Harriet sambil memandang ke jalan raya.
"Yah, ini akan makan waktu sekitar satu jam," kata pria itu.
"SATU JAM," kata Harriet. "PELAYANAN macam apa yang Anda tawarkan di sini?"
Akhirnya Harriet menyerah karena si tukang sepeda seperti siap untuk melemparkan
sepeda itu kepadanya. "Satu jam," kata pria itu pendek, mengangkat sepeda itu dengan satu tangan
kemudian masuk ke bengkel.
Mereka berdiri di situ sejenak setelah pergi. Harriet melirik ke arah Jessie
Mae, "Ayo," akhirnya dia berkata pada Beth Ellen.
Beth Ellen tidak yakin apa yang sedang mereka lakukan, tapi dia mengikuti
Harriet dengan patuh saat Harriet melenggang menuju Jessie Mae.
"Hai," kata Harriet .
Jessie Mae mengangkat kepalanya dan memindahkan daun itu ke sisi lain mulutnya.
"Hai juga, Kamu-Kamu," ujarnya.
"Sepedamu rusak juga?" tanya Harriet .
"Yah ... hampir selalu rusak," kata Jessie Mae.
"Punyaku juga," kata Beth Ellen, tapi Harriet menatapnya seolah-olah berkata:
Aku yang memimpin penyelidikan ini.
"Ngomong-ngomong," kata Jessie Mae, "aku Jessie Mae Jenkins, dan mungkin kita
bisa ngobrol-ngobrol sedikit. Nama kamu-kamu?"
"APA?" tanya Harriet , sama sekali tidak mengerti satu kata pun.
"Kamu-kamu dipanggil apa?" tanya Jessie Mae.
"Beth Ellen Hansen," jawab Beth Ellen.
"Oh!" kata Harriet . "Harriet M. Welsch."
"Semoga kamu-kamu baik-baik," kata Jessie Mae dan bergeser sedikit supaya mereka
bisa duduk. Beth Ellen menyandarkan sepedanya, lalu duduk, tapi Harriet tetap
berdiri supaya dia bisa memerhatikan Jessie Mae. Jika Jessie Mae merasakan mata
itu sedang mengamatinya dengan tajam, dia tidak menunjukkan hal itu. "Panas
banget, ya?" ujarnya bersahabat.
Sebetulnya, sore itu hari tidak terlalu panas, tapi Beth Ellen tahu, bahwa yang
dimaksud Jessie Mae adalah tadi, jadi dia berkata, "Ya."
"Kamu bicara apa, Beth Ellen" Sekarang ini sama sekali tidak panas," kata
Harriet, mulai merasa tertinggal karena dia hampir-hampir tidak mengerti ucapan
Jessie Mae. Jessie Mae memandang pada Harriet seolah-olah dia sebuah batang pohon dan
berkata pada Beth Ellen dengan suara riang, "Aku bisa jadi noda minyak pagi ini
di dapur rumah. Di dekat rumah, kamu bisa goreng telur di trotoar," dan dia
mengangguk-angguk dengan arif.
Beth Ellen merasa dia harus menutupi sikap kasar Harriet, jadi dia berkata
dengan manis, "Kamu tinggal di mana?"
"Alaah, jangan pura-pura," kata Jessie Mae, tenang seperti air,
"kamu-kamu pasti sudah tahu, bukannya kemarin kamu-kamu mengintip dijendelaku."
Jessie Mae memungut buku komik yang dia letakkan di sisinya, lalu mengipasi
dirinya sendiri. Wajah Beth Ellen berubah merah dan memandang Harriet untuk minta tolong. Harriet
menguap. Dia sudah memutuskan untuk menunggu dan mengamati sikap Jessie Mae
mengenai masalah ini. Jessie Mae melihatnya menguap.
"Betul kan, 'Ndut?" ujarnya riang dan menepuk Harriet dengan komik yang
digulung. "Aku NGGAK GENDUT!" kata Harriet keras.
Jessie Mae terkekeh-kekeh dan memandang Beth Ellen yang langsung tertawa.
"Hentikan!" kata Harriet pada Beth Ellen, yang begitu kaget sehingga dia
langsung berhenti tertawa.
"Kamu kapten dan dia letnan, ya?" kata Jessie Mae, ujarnya di sela tawanya.
Beth Ellen pun mulai tertawa lagi, dan mereka berdua memandang Harriet dan
tertawa lebih keras lagi.
"Dengar!." kata Harriet , tapi dia tidak bisa memikirkan hal lain, jadi dia
duduk secara tiba-tiba. Harriet memutuskan untuk tidak mengacuhkan mereka.
"Bagaimana dengan bisnis semangka?" tanyanya ringan.
Jessie Mae sibuk mengipasi dirinya. "Oh, bagus sekali, kami sedang menerima
uangnya. Sekarangkami harus bekerja di sini. Tapi, nanti kami akan pindah ke
kota dan akan ada banyak orang yang bekerja untuk kami, dan kami akan punya
banyak uang." Jessie Mae mengipas-ngipas lebih cepat dan tampak bangga. "Kalau
Tuhan mengizinkan," tambahnya.
"Sebenarnya, aku mesti pulang begitu sepedaku selesai. Kami banyak pekerjaan
hari ini karena semua semangka itu baru tiba."
"Aku tahu," kata Harriet .
"Kau sudah ke sana lagi?" Jessie Mae memandangnya dengan terkejut. "Gila, Cewek-
Cewek, kenapa kamu-kamu nggak sekalian saja ikut kerumahku" Nanti kutunjukkan
semua yang kalian ingin lihat. Kamu-kamu nggak perlu mengendap endap seperti
kemarin." Mata Harriet membelalak. Beth Ellen berkata sopan, "Terima kasih banyak."
"Nggak masalah," kata Jessie Mae, masih mengipas-ngipas. "Mama akan senang jika
ditemani. Aku sering melihat kamu-kamu di sekitar sini.
Tapi aku heran kenapa aku nggak pernah bertemu kamu-kamu di sekolah Minggu."
"SEKOLAH MINGGU?" kata Harriet dengan suara parau.
"Aku pergi ke sekolah Minggu di New York," kata Beth Ellen buru-buru, "tapi
selama musim panas, aku hanya pergi ke gereja dengan nenekku."
"Oh ya?" kata Jessie Mae tertarik. "Gereja mana?"
"Episkopal." "Aku pergi ke Gereja Metodis," kata Jessie Mae. "Kamu nggak pernah cerita soal
itu padaku, Beth Ellen," kata Harriet keras. "Kamu nggak pernah pergi ke sekolah
Minggu. Kamu ini bicara apa, sih?"
"Aku benar-benar pergi ke gereja," kata Beth Ellen.
"Yah, aku nggak," kata Harriet . "Seperti apa disana?"
"Menarik," kata Jessie Mae. "Kamu harus ikut sesekali denganku.
Kamu pasti akan suka. Kamu mau bilang padaku" - suara Jessie Mae meninggi "kalau
kamu nggak pergi ke gereja atau sekolah Minggu" Kamu punya sekolah Injil di
kota?" "Injil?" pekik Harriet .
"Ya. Kamu pasti tahu, untuk belajar Alkitab dan semacamnya?"
"Tidak." Harriet menyipitkan matanya. "Kenapa?" ujarnya membujuk.
"Yah, aku heran. Aku sangat tertarik pada hal ini karena aku mau menjadi
pendeta, seperti itu." Jessie Mae menatap Harriet lekat-lekat.
"YANG BETUL ... maksudku, BETULKAH?"
"Lho, memangnya kenapa, Harriet ?" Beth Ellen ikut bicara. "Jika dia ingin jadi
pendeta, biarkan saja."
"Kamu sendiri" Sepertinya kamu nggak punya keinginan apa-apa,"
kata Jessie Mae, nyengir.
"Aku akan menjadi seorang istri'." kata Beth Ellen."Oh, Beth Ellen, tolonglah,"
kata Harriet jijik. Jessie Mae tertawa. "Lho, aku pikir itu indah.
Memangnya kenapa dengan menjadi istri" Kamu mau jadi apa, Gendut, astronot?"
"Hei, jangan KELEWATAN, ya!" teriak Harriet .
Beth Ellen mulai menyukai Jessie Mae. Dengan nada bicaranya yang mendayu-dayu,
sepertinya dia selalu bisa mengatakan hal-hal paling menjengkelkan pada
Harriet , hal-hal yang hanya bisa Beth Ellen pikirkan kemudian, dalam perjalanan
pulang, kalau semuanya sudah terlambat.
"Aku juga berencana menjadi seorang istri. Apa salahnya dengan itu?" Jessie Mae
memandang Harriet dengan kilatan jenaka di matanya, seolah-olah dia siap
melepaskan segalon tawa. "NGGAK ADA!" Harriet mulai bicara tak beraturan. "Tapi, kamu nggak bisa tidur-
tiduran saja kalau menjadi istri ... Itu saja yang ingin dia lakukan" - Harriet
menunjuk Beth Ellen-"tidur-tiduran saja sepanjang hari, nggak melakukan apa-apa,
hanya menjadi istri. Yang aku maksudkan hanya kau juga harus melakukan sesuatu;
misalnya temanku Janie ingin menjadi ilmuwan dan temanku Sport ingin menjadi
pemain bola dan aku ingin menjadi penulis dan kamu ingin menjadi pendeta."
Harriet pikir, dia cerdas sekali karena memasukkan kata-kata terakhir.
Beth Ellen mendadak merasa depresi. Dia ingin menjauh dari mereka. Jadi, dia
berdiri dan mulai berjalan menuju bengkel.
"Kamu mau ke mana?" panggil Harriet padanya.
"Kamu pikir aku mau ke mana, Harriet ?" teriak Beth Ellen dengan sangat kesal
dan menghilang ke dalam bengkel. Setelah menerima sebuah kunci dari tukang
sepeda, dia keluar lagi dan menghilang dibalik bangunan itu.
Harriet dan Jessie Mae duduk diam sejenak. Jessie Mae mengipasi dirinya. Tiba-
tiba, dia menoleh dan memandang Harriet. "Kalau aku boleh bilang, omonganmu pada
temanmu agak kasar."
"Dia temanKU," kata Harriet , sebal.
"Yah kata Jessie Mae, membuang muka dan mengipas cepat, "Aku merasa, seperti
yang dikatakan Kitab Suci, bahwa kita harusmenghormati ayah dan ibu kita. Tapi,
aku pribadi berpendapat, kita juga seharusnya menghormati teman kita."
Harriet terdiam. Mereka duduk agak lama kali ini. Satu-satunya suara hanyalah
suara desahan dan kipas Jessie Mae. Harriet berpikir cepat. Akhirnya, dia
berkata pada Jessie Mae, "Bagaimana seseorang bisa menjadi pendeta?"
"Yah," kata Jessie Mae, "itu nggak terlalu mudah, terutama untuk perempuan.
Tapi, aku sedang belajar pada seorang pria yang aku kenal."
"Siapa?" tanya Harriet .
"Pria yang tinggal di sana. Dia dipanggil Pak Pendeta. Aku pergi ke tempatnya
dan kita bicara banyak. Dia tahu banyak hal."
"Maksudmu, lelaki Afro-Amerika tua yang tinggal di hutan?" Harriet takjub. Pak
Pendeta adalah pemandangan akrab di Water Mill.
"Dia tahu banyak hal," kata Jessie Mae, mengipas dengan sangat cepat.
"Hal-hal apa?" sekarang Harriet benar-benar kagum.
"Oh, dia tahu Alkitab dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Setiap
tahun dia membaca ulang, mulai Kitab Kejadian dan terus kebelakang." Jessie Mae
sangat terkesan. Harriet tidak.
"Apa dia nggak punya buku lain untuk dibaca" Kenapa dia nggak pergi ke
perpustakaan?" "Hah, dia nggak perlu itu! Memangnya kamu nggak tahu?" Jessie Mae bertanya
dengan suara dibuat-buat. "Semua hal ada di Kitab Suci.
Kamu cuma harus menemukannya. Kalau kamu membacanya sebanyak dia, yah, dia sudah
selesai menemukan hampir semua yang bisa ditemukan."
"Apa kamu membacanya?" tanya Harriet menjebak.
"Oh, tentu," kata Jessie Mae, "setiap malam dan setiap pagi."
"Bicaramu aneh," kata Harriet tiba-tiba. Dia tidak bermaksud jahat.
Itu muncul tiba-tiba dalam pikirannya dan dia mengatakannya.
"Kamu juga, cewek Yankee" jawab Jessie Mae dengan aksennya, sama sekali tidak
tersinggung. Yankee itu julukan untuk penduduk New York.
Beth Ellen sedang berjalan menghampiri mereka dan sekarang dia duduk lagi.
"Aku baru saja ingin melakukan itu," kata Jessie Mae, lalu bangkit dan masuk ke
dalam dan mengambil kunci, lalu menghilang ke belakang bangunan itu.
"Dengar Beth Ellen," kata Harriet liar, menarik lengan Beth Ellen begitu Jessie
Mae hilang dari jangkauan pendengaran, "kita mendapatkan dia!" "Siapa?" tanya
Beth Ellen. "Pelakunya adalah dia!" kata Harriet, tertawa-tawa bangga.
"Sekarang, aku yakin soal itu." Ketika dia melihat Beth Ellen tampak bengong,
dia berkata "Si Penulis Pesan! Itu dia. Dia membaca Alkitab setiap saat. Dia
sedang belajar bagaimana menjadi pendeta dari seorang pria bernama Pak Pendeta,
dan pria ini tidak melakukan apa-apa selain membaca Alkitab!" kata Harriet penuh
kemenangan. "Kalau begitu, pelakunya mungkin Pak Pendeta," kata Beth Ellen.
Harriet memandangnya terkejut. Dia menepuk keningnya dengan tangan dan berkata,
"Aku tidak pernah berpikir begitu!" dan memandang Beth Ellen dengan tatapan
memuji. "Sepeda kita sudah selesai," kata Beth Ellen kalem dan berdiri, meninggalkan
Harriet yang sedang menatapnya. Dia berjalan menuju bengkel. Harriet M. Welsch
nggak tahu tentang semua hal di dunia ini, pikirnya sambil terus berjalan.
Jessie Mae sudah kembali dan sedang membayar biaya sepedanya. Harriet berlari
mendekat. Si tukang bengkel mendorong sepeda Harriet keluar. "Aku tidak bawa uang. Anda
harus mengirimkan surat tagihannya," kata Harriet dengan nada penting.
Beth Ellen mendorong sepedanya. Jessie Mae sedang berjongkok untuk memeriksa
sepedanya dengan cermat. Dia melihat ke dalam keranjang didepan. "Hei, lihat
nih!" ujarnya dengan suara tinggi. "Apa ini?" Harriet dan Beth Ellen melihat
melalui bahunya. Di dasar keranjang itu tergeletak sepotong kertas.
Biarkan yang tak berdosa di antara kalian yang pertama melemparimu batu
"Hah, gimana caranya benda ini bisa berada disitu?" kata Jessie Mae dengan suara
yang sangat tinggi. Hmmmmm, pikir Harriet, mungkinkah dia sengaja meletakkannya di situ supaya dia
tidak dicurigai"
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si tukang sepeda juga melihat. "Benda itu ada di mana-mana, di seputar kota. Aku
sudah dapat dua pesan. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Kudengar semua orang
di Water Mill sudah melaporkan hal ini ke polisi, dan mereka juga nggak bisa
menemukan apa-apa. Ini cukup aneh. Kita tidak pernah mengalami hal-hal seperti
ini di Water Mill." "Apa yang dilakukan polisi?" tanya Harriet sambil memerhatikan Jessie Mae dengan
cermat. "Apa yang bisa mereka lakukan?" tanya si tukang sepeda dan mengangkat bahu.
"Sebenarnya hal ini tidak benar-benar melanggar hukum, hanya membuat orang sebal
saja, semacam gangguan."
Dia bergidik sedikit. "Beberapa pesan itu kadang-kadang mengena juga." "Bolehkah
aku melihat pesan yang Anda dapat?" kata Harriet, merasa sangat penting dan
sedikit seperti Sherlock Holmes.
Dia tertawa. "Ya, tentu, kalau kamu mau. Aku tidak ingat, aku masih menyimpannya
atau tidak, ya" Kalau masih ada, kamu boleh melihatnya." Dia masuk ke dalam.
"Hmm, aku nggak ngerti. Pesan yang satu ini tentang cewek nakal."
"Tentang apa?" tanya Harriet .
"Tentang pelacur," kata Beth Ellen.
Harriet menoleh pada Jessie Mae, suaranya dipenuhi kecurigaan.
"Dari mana kamu tahu soal itu?"
"Lho, semua orang tahu itu," kata Jessie Mae. "Sebenarnya, semua orang yang
pergi ke sekolah Minggu." Dan dia menoleh pada Beth Ellen dan tertawa. Dia dan
Beth Ellen tertawa bersama seolah-olah mereka punya rahasia berdua. Harriet
tampak tersinggung. "Tapi, itu bisa juga berarti kalau beberapa orang bersikap jahat padamu," kata
Beth Ellen pada Jessie Mae.
"Itu betul," kata Jessie Mae.
"Huuuh," kata Harriet , terlalu kesal untuk bicara.
Si tukang sepeda keluar dengan dua lembar kertas di tangannya dan memberikannya
pada Harriet. "Tapi, kembalikan lagi," ujarnya.
"Mungkin polisi memintanya kapan-kapan." Dia lalu pergi untuk menunggu pelanggan
lain. Harriet bergeser di antara mereka, dengan Jessie Mae dan Beth Ellen yang melihat
dari belakangnya: Sekarang Barabas adalah seorang perampok adalah pesan pertama. Lalu:
Siapa yang menabur, dia akan menuai
"Aku punya perasaan," kata Harriet , "kalau tukang bengkel ini menipumu."
"Ya Tuhan," kata Jessie Mae, "siapa pun yang menulis pesan-pesan itu sudah jelas
mengenal isi Alkitabnya, mmmm, mmmmm."
Dia, pikir Harriet, bisa saja sedang menepuk-nepuk punggungnya sendiri.
"Dengar Jessie Mae," kata Harriet berbisik, "kamu mau membantu kami menangkap si
penulis pesan?" Aku ini ahli sekali, pikir Harriet. Kalau dia si penulis pesan,
dia pasti bilang Tidak. "Yah!" kata Jessie Mae tertawa. "Aku nggak tahu, tapi yang dilakukan orang ini
membawa kebaikan bagi dunia. Sama sekali nggak merugikan membuat orang sedikit
mengenal Alkitab!" Harriet memicingkan mata. Si tukang sepeda datang menghampiri.
"Aneh, bukan" Kalian pasti berpikir aku ini penjahat, menurut bunyi pesan-pesan
itu. Itu yang akan dilaporkan orang-orang kepolisi. Pesan-pesan ini membuatmu
tampak seperti orang jahat."
Harriet menatap pria itu dengan mata yang sangat disipitkan sampai dia hampir-
hampir tidak bisa melihat. Lalu, dia mengembalikan pesan-pesan itu. "Mungkin dia
tidak akan terus ada," ujarnya tegas. Si tukang sepeda tampak agak terpana, tapi
tidak menjawab. "Ayo kita pergi ke rumahku, oke?" Jessie Mae berteriak riang sambil melompat
menaiki sepedanya. "Tentu," kata Beth Ellen dan menaiki sepedanya. Jessie Mae mulai mengayuh dan
Beth Ellen mengikuti, kemudian Harriet mengayuh sepedanya seperti anjing pemburu
yang sedang membaui jejak.
8 Perusahaan Salep SemangkaMania Jenkins
Mereka hampir-hampir tidak bicara selama perjalanan ke rumah keluarga Jenkins.
Jessie Maemengayuh sepedanya sangat cepat, dan Harriet berusaha mengikuti.
Kepala Beth Ellen dipenuhi terlalu banyak pikiran muram sehingga dia tidak ingin
bicara. Mengendarai sepeda dalam udara yang sejuk membuatnya melupakan bengkel
itu. Dia hanya mengingat kejadian dengan neneknya. Beth Ellen mulai mengucapkan
kalimat, "Aku nggak akan memikirkan soal itu," berulang-ulang dalam benaknya.
Aku tidak akan memikirkan kata Mama. Saat mereka berhenti di depan rumah Jessie
Mae, dia berpikir: Mama - apapun itu artinya.
Kali ini, mereka langsung masuk ke halaman rumah. Harriet berkata, "Ayo cepat,
Beth Ellen, aku nggak sabar," dan mengikuti Jessie Mae. Beth Ellen mempercepat
sepedanya. Anehnya, berjalan terburu-buru di belakang Harriet membuat dia merasa
bebas, seolah-olah dia bisa selalu jadi anak kecil. Aman sekali rasanya. Harriet
selalu memberinya perasaan ini. Sebenarnya, ini adalah satu dari sedikit hal
yang benar-benar dia sukai dari Harriet . Perasaan utama yang sebetulnya dia
rasakan saat bersama Harriet adalah sebal, karena terus-menerus dibentak.
Di ujung halaman, mereka mengerem mendadak di depan suatu pemandangan yang aneh.
Melalui lorong yang terbentuk oleh tumpukan semangka-semangka raksasa yang
berjejer di kanan kiri jalan mobil itu, mereka bisa melihat garasi yang terbuka
di ujung lain halaman. Mama Jenkins, yang tubuhnya lebih besar tiga kali
daripada tubuh seorang penyihir, dengan wajah yang mirip dengan bola merah yang
berkilat dan keringat membanjiri seluruh baju hitamnya, berdiri sambil mengaduk
sebuah mangkuk raksasa yang sedang mendidih. Benda itu ada di atas tungku dengan
api besar yang menyala-nyala. Di dalamnya, ada ramuan yang meletup-letup dan
mengeluarkan bau yang aneh, yang meskipun tajam tapi bukan bau yang tidak enak.
Aroma itu menerpa wajah mereka bersama dengan embusan keras asap dari mangkuk
itu. Ada bau sepatu tenis usang, ada bau enak seperti aroma jeruk segar, lalu
ada juga sentuhan sesuatu, seperti bau asap rokok. Setiap kali asap itu mengepul
ke arah mereka, mereka menutup hidung dan menahan napas sampai asap itu
menghilang. Mama Jenkins sedang berteriak-teriak aneh. Sulit diketahui sebabnya karena dia
sendirian. Kecuali, mungkin kalau hal itu bagian dari rutinitasnya jika sedang
mengaduk-aduk mangkuk itu.
"Dengar, dengar yang di sana, ayo ikut usaha ini, ikutlah menyiapkannya, ikutlah
mendidihkannya, ikutlah mendidihkannya, ikutlah mengirimkannya, dapatkan
uangnya, untuk kebesaran Tuhan yang Maha besar. Hei, kamu yang di shana, ayo
keshini, bawa sssemangka-sssemangka itu." Lalu, dia melihat mereka. "Halo kamu
yang di sana, Pembantu-Pembantu Kecil. Jiwamu terberkati, Jessie Mae, kau
membawa bala bantuan. Aku nggak bisa membuat dua anak itu melakukan apa pun!"
Lalu, Mama Jenkins berteriak ke arah rumahnya kembali, "Hei, kamu yang di sana,
hei kamu, hei kamu, kamu dan kamu dan kamu.
Norman, ayo cepat kemari! Magnolia, ayo cepat kemari; bawa dirimu kemari; bawa
dirimu ke shini Kemudian, ritme itu tiba-tiba terhenti ketika Mama Jenkins,
dengan kedua kaki terentang masing-masing sejauh satu kilometer dari yang lain,
berteriak dengan sangat keras, "AYO KE SHINI SAAT INI JUGA!"
Pintu belakang terbuka tiba-tiba dan seperti dua kurcaci yang patuh, Norman dan
Magnolia melesat dari pintu menuju ke garasi. Saat Jessie Mae sedang menyimpan
sepedanya, mereka mulai bekerja dengan sangat cepat. Tanpa berkata-kata, mereka
masing-masing mengangkat sebuah semangka. Bagi anak-anak yang besar, pekerjaan
itu cukup sulit. Apa lagi bagi Magnolia. Dia mengangkatnya kira-kira setinggi lutut, dan benda
itu terus berada di situ, sementara dia mencoba bertahan dan melihat berkeliling
dengan putus asa. Norman mengangkat semangkanya tanpa bersusah payah, berjalan
terhuyung-huyung menuju mangkuk itu, dan dengan satu dorongan melemparkannya
masuk. Mama Jenkins mundur dengan cekatan untuk menghindari gelombang cairan
pekat yang memercik ke atas dan masuk lagi ke dalam mangkuk.
"Terus masukkan, terus masukkan, terus masukkan," dia berteriak seperti tukang
obat di pasar malam. Sekarang Jessie Mae mengambil sebuah semangka dan
mendorongnya ke dalam mangkuk, mukanya merah karena beban yang berat dan otot
lengannya yang tipis tampak mengejang."Kita bakal jadi kaya, kita bakal jadi
lebih kaya, kita bakal jadi paling kaya!" Mama Jenkins bernyanyi sambil
menghindar ke kanan dan ke kiri, menghindar percikan yang dibuat Jessie Mae.
Norman berlari menghampiri Magnolia, yang masih berdiri terpaku, bola matanya
hampir keluar. Norman mengangkat semangka Magnolia dan melemparkan ke dalam
mangkuk. Magnolia terjatuh.
Saat memerhatikan Mama Jenkins melompat-lompat, Beth Ellen teringat pada seekor
kuda nil cantik yang pernah dia lihat di kebun binatang. Dengan langkah gemulai,
hewan itu keluar dari lumpur tempatnya berkubang. Sambil mengangkat kepala, ia
tampak seperti sedang tertawa dan menceritakan beberapa lelucon pada
pasangannya. Saat itu, Beth Ellen berpendapat hal itu tampak manis, membayangkan bagaimana
rasanya menjadi kuda nil dan menikah dengan seekor kuda nil. Setidaknya, mereka
tidak kesepian. Nyanyian Mama Jenkins saat ini memenuhi dirinya dengan perasaan
yang sama. Pasti menyenangkan menjadi Jessie Mae dan tinggal di sini.
"Aku mesti kerja sekarang, maaf, ya. Kita bertemu lagi saja besok,"
kata Jessie Mae, tiba-tiba ingat mereka.
"Biarkan mereka masuk dan bekerja juga," kata Mama Jenkins ceria. "Ini nggak
berbahaya, mungkin malah bagus buat mereka."
"Tapi, mereka temanku, Mama! Mereka datang untuk berkunjung.
Mereka nggak mesti bekerja!." Jessie Mae berdiri, tampak tegang sambil memegang
sebuah semangka dan menatap Mama Jenkins seolah-olah dia siap menangis.
"Yah, benar juga," kata Mama Jenkins dengan riang. "Kalian datang lagi saja
kemari kapan-kapan, sebelum kami mulai bekerja. Akan kusuguhi limun dan kue
buatanku sendiri." Dia tersenyum seperti senyum kuda nil yang cantik, lalu
Harriet dan Beth Ellen tersenyum balik tanpa menyadarinya.
"Sampai ketemu lagi, oke?" kata Jessie Mae dan melambai.
Mereka berkata, "Oke," dan menuntun sepeda mereka keluar halaman.
Ketika sampai ke jalan, mereka menoleh ke belakang. Dan depan rumah itu,
tampaknya mustahil bahwa sebuah pemandangan aneh sedang berlangsung di belakang.
Hanya asap yang sesekali mengepul yang menunjukkannya. Harriet mulai menaiki
sepedanya. "Mungkin seharusnya kita membantu," kata Beth Ellen.
"Apa?" kata Harriet. "Bayangkan, mengangkat semua barang-barang itu. Bisa-bisa
punggung kita patah, atau jari kaki kita, atau Tuhan tahu apa yang bisa
patah ...." Harriet tampak sangat marah sehingga Beth Ellen mulai tertawa.
"Apa yang kamu tertawakan, Beth Ellen" Sepertinya, hari ini aku lucu sekali,
seember kelucuan. Aku nggak melihat ..." Beth Ellen terus tertawa dan tertawa
ketika tiba-tiba sebuah suara yang dalam seperti suara bass berseru dari
belakang mereka. "Dan jika aku boleh bertanya, apa yang begitu menghibur bagi dua bocah kaya
penghuni rumah musim panas ini?"
Mereka berbalik, terkejut, saat menyadari bahwa mereka sedang memandang wajah
panjang berkulit cokelat yang mirip wajah kuda milik Pak Pendeta.
Mereka memandangnya dengan mulut menganga. Pria itu bertubuh sangat tinggi dan
sangat kurus. Wajahnya hampir sama panjang dengan rompinya. Dia tampak seperti
anjing pemburu yang dilumuri cokelat.
"Apakah kalian tidak punya lidah?" tanyanya tanpa keramahan.
Meskipun begitu, ada sinar di mata kuningnya, dan untuk sesaat kedua pipinya
tidak tampak terlalu menyedihkan.
"Ehm," kata Harriet , "apa?" kata-kata yang sebenarnya tidak terlalu cerdas,
tapi bisa dipahami dalam situasi seperti itu.
"Apa yang membuat kalian riang, Bocah-Bocah Kaya" Apakah kalian akan memasuki
kerajaan surga?" "Tentu saja," kata Harriet tanpa berpikir.Beth Ellen merasakan semacam teror.
Pak Pendeta dan Harriet saling bertatapan seolah-olah mereka siap untuk berduel,
satu lawan satu. "Kamu begitu percaya diri." Dia berkata perlahan-lahan, dengan penuh pemikiran,
seperti yang sedang menilai Harriet .
Harriet tampak sedikit terkejut, tapi dia tetap berdiri di situ, sama sekali
tidak berkedip. "Tahukah kamu, bahaya dari rasa ingin tahu yang kelewat besar?"
Pak Pendeta berkata dengan tajam.
Lagi-lagi Beth Ellen merasa ketakutan, tapi hanya sesaat, karena dia mendengar
Harriet berteriak dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh Harriet .
"HEI, DENGAR! APA YANG ANDA BICARAKAN?" Harriet benar-benar marah sehingga dia
tampak seperti permen loli merah. Beth Ellen berputar cepat untuk memandang Pak
Pendeta. Pria itu tersenyum perlahan, sebuah senyum yang sangat misterius, lalu dia
berbalik. Dia memuntir tongkatnya dan dengan langkah yang cepat, hampir seperti
menari, dia melangkah santai ke arah jalan. Dia menoleh ke belakang saat
berjalan dengan gayanya yang santai, tersenyum lagi, lalu mulai bersiul. Bagi
Beth Ellen, siulannya terdengar seperti jenis lagu tema dalam film Italia.
Beth Ellen menatap Harriet , tapi Harriet, untuk pertama kalinya, tidak bisa
berkata-kata. Dia menatap dengan cara yang sama dengan Beth Ellen tadi. Mereka
memerhatikan tubuh asing. Gerak-geriknya bisa dibilang jenaka. Dia berjalan
dengan gaya yang hampir seperti menari tapi tidak menari, menelusuri jalan itu.
Ketika mereka menoleh dan saling berpandangan, dunia seolah-olah menjadi hening
secara tiba-tiba, sangat hening. Sepertinya, mereka baru saja mengalami suatu
peristiwa supranatural. "Yah," kata Harriet. Beth Ellen tidak mengatakan apa-apa, kecuali menatap
Harriet, berusaha mencari petunjuk tentang cara bersikap.
Harriet sama sekali tidak tahu. Dia berdiri dengan satu kaki di sadel sepedanya,
lalu menunduk seperti siap untuk mengayuh sepedanya, lalu berhenti dan mendongak
kembali ke jalan. Pendeta itu sekarang sudah menjadi sebentuk bayangan hitam
kecil, sebuah boneka dengan latar belakang pemandangan yang datar.
Beth Ellen menaiki sepedanya dan mulai mengayuh gontai menuruni jalan itu.
Ketika mengingat apa yang akan dia temui di rumah, makan malam dengan neneknya
dan lebih banyak diskusi tentang Zeeney, tiba-tiba saja Beth Ellen merasa
perutnya kosong. Perasaan itu membuatnya kehilangan keseimbangan dan dia harus
menjulurkan satu kaki supaya tidak jatuh. Dia berdiri dengan satu kaki di tanah,
menoleh pada Harriet di belakangnya. Harriet berdiri diam, terhipnotis,
mengawasi pria yang sudah menjadi titik itu.
"Ayo pulang," kata Beth Ellen, mulai gelisah dibawah langit yang mulai
menghitam. Harriet meluncurkan sepedanya. "Kamu tahu,"ujarnya, tanpa mengalihkan matanya
dari Pendeta itu, "dia tahu terlalu banyak. Aku nggak suka ini, sedikit pun."
Harriet menyandarkan sepedanya pada perutnya. Di tempat itu, di tengah jalan,
dia mengeluarkan buku catatannya dan menulis beberapa catatan.
Meskipun banyak melakukan kegiatan mata-mata, pikir Beth Ellen, dia benci kalau
dirinya dimata-matai. Tapi, Harriet memang sangat aneh.
Apa asyiknya menulis semua hal setiap saat" Sangat menjemukan.
Harriet menutup bukunya dengan kasar dan menyimpannya. Dia menaiki sepedanya dan
mengayuh ke depan. Beth Ellen mengikuti.
Sebenarnya, pikir Beth Ellen, dibandingkan dengan hal-hal yang akan kuhadapi di
rumah, pekerjaan mata-mata ini sama sekali tidak buruk. Dia memandang Harriet
yang sedang mengayuh didepannya dan merasa sayang padanya.
9 Batu-Batu dari Dalam Perut
Hari berikutnya, Beth Ellen terbangun dengan perasaan yang amat buruk.
Sambil berbaring, dia berpikir, dia sudah merasa tidak enak selama dua hari. Dia
ingin duduk-duduk saja. Dia juga merasa gemuk. Mungkin aku bersepeda terlalu
jauh kemarin, pikirnya. Tidak, aku merasa lebih buruk dan itu. Aku merasa
sengsara. Dia bicara keras-keras pada dirinya sendiri, "Aku melakukan hal-hal
buruk." Dia bangkit, lalu bergeser dan memandang seprainya. Dia merasa ketakutan. Aku
sakit, pikirnya. Dia melihat ke sekeliling ruangan seolah-olah mencari
pertolongan. Dia bangun dan pergi kekamar mandi.
Ketika keluar, Beth Ellen sudah berpakaian rapi. Dia menuruni tangga dan
menelusuri rumahnya yang hening dan gelap. Rasanya sangat aneh. Dia berjalan
melewati ruang keluarga, melewati serambi, dan keluar ke halaman berumput di
belakang rumah. Merasa seolah-olah akan pingsan, dia berjalan lambat-lambat - meskipun dia ingin
berlari karena ingin bersembunyi - menuju paviliun musim panas, yang terhalang
oleh sederet pot tanaman dan kayu. Begitu sampai di balik pagar, dia merasa
aman. Dia berjalan ke dalam paviliun musim panas yang dipenuhi permainan cahaya
dan bayang-bayang, lalu duduk melingkar di atas sebuah kursi malas terbuat dari
rotan.
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia bersandar sambil memandangi dedaunan diatas kepalanya, daun-daun hijau
kehitaman yang melingkar dengan latar belakang biru muda langit musim panas.
Tempat itu beraroma musim panas, siang hari zaman Victoria, dan berbau kemewahan
yang lembut. Dia tenggelam ke dalam jok tempat duduknya.
Beth Ellen tinggal di sana sepanjang hari, melewatkan panggilan Juru Masak untuk
makan siang, melewatkan beberapa panggilan telepon, sampai hari hampir beranjak
sore. Dia tidak memikirkan apa pun saat berbaring disana, hanya membiarkan daun-daun,
kesejukan yang berganti-ganti antara bayangan dan panas, saat sinar matahari
menerobos daun-daun dan menghangatkan wajahnya, membanjirinya, mengisinya dengan
harapan. Semua itu sebuah kesalahan. Dia akan bangun, masuk ke dalam, dan tahu kalau
semua itu hanya sebuah mimpi.
Saat udara mulai menjadi sejuk, bayangan pagar tanaman mulai memanjang, Susie
keluar melintasi halaman memanggilnya. Beth Ellen tidak menjawab, tapi dia tahu
pasti Susie akan menemukannya. Ini tempat kesukaannya untuk menangis dan para
pembantu tahu. Susie muncul di dekat pagar. "Kenapa kamu ti-dak menjawab?"
"Aku tertidur," kata Beth Ellen, dan suaranya terdengar parau karena dia tidak
bicara seharian. "Nenekmu ingin bertemu," kata Susie.
Beth Ellen berdiri, merasa seperti seorang wanita tua. Dia mengikuti pembantunya
menyeberangi taman, bayangan-bayangan itu sekarang gelap dan dingin.
Harriet menelepon tepat saat Beth Ellen baru keluar dari kamar neneknya."Hei!"
"Harriet " " bisik Beth Ellen. Dia merasa seperti baru keluar dari tempat
perlindungan bom. "Kamu kira siapa - Mary Poppins?" teriak Harriet dan membanjiri Beth Ellen dengan
semburan tawa tanpa henti.
"Mmm," gumam Beth Ellen, merasa tersesat. Aku benar-benar sendirian, pikirnya.
"Dengar, Tikus," lanjut Harriet , setelah suaranya pulih, "ada berita bagus.
Janie akan datang akhir pekan ini!"
"Mmm," kata Beth Ellen, mendengarkan Janie sebagai kata yang jauh dari
menyenangkan. "Bukankah itu asyik?" Harriet seakan-akan sedang berteriak untuk menembus
kesamar-samaran Beth Ellen. "Dia datang malam ini bersama ayahku dan akan
tinggal sampai Minggu!"
"Mmm," kata Beth Ellen.
"TIKUS!" Harriet meneriakkan satu seruan putus asa.
"Apa?" bisik Beth Ellen.
"KAMU INI KENAPA?"
"Aku-" "APA?" Suara Beth Ellen tiba-tiba pulih dengan sendirinya dan keluar dengan keras
sampai dia sendiri terkejut. "Aku - menstruasi!"
"Apa itu?" tanya Harriet , takjub.
"Itu-" "Aku baru ingat," teriak Harriet. "Kenapa kamu sudah dan aku belum?"
Itu adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab. "Aku nggak tahu-"
Beth Ellen tergagap. Harriet menutup telepon. Hari berikutnya adalah hari Sabtu dan Beth Ellen berada di rumah Harriet
seharian. Ketika Beth Ellen datang ke kamar tidur Harriet, Harriet dan Janie
sedang mendiskusikan situasi itu.
"Aku sedang membuat obatnya sejak hal itu menimpaku," kata Janie sambil merengut
dan tampak sangat serius meskipun dia berbaring dikasur memakai baju renang
dengan kaki yang lurus di dinding dan kepala di bawah.
"Obat seperti apa?" tanya Harriet setelah menyapa Beth Ellen.
"Aku hanya ingin mengakhirinya, itu saja," kata Janie dengan nada marah.
"Tapi ........ bukankah itu berhubungan dengan bayi?" tanya Harriet.
"Kamu tahu apa, Harriet Welsch" Kamu bahkan belum dapat,"
semprot Janie, menggoyangkan kakinya ke lantai dan duduk. "Kamu nggak akan tahu
apa artinya tuba falopii meskipun kamu tersandung pada benda itu."
Sambil nyengir, Harriet menunjuk pada Beth Ellen. "Dia sudah dapat, kemarin. Dia
cerita padaku." Wajah Beth Ellen berubah merah, memandangi lantai, dan ingin mati. Mereka berdua
menatapnya. Janie akhirnya bicara dengan lembut. "Apa yang harus dipikirkan"
Itu hanya mengganggu, itu saja, dan sejujurnya, aku rasa seharusnya dilupakan
saja." Beth Ellen tetap memandangi lantai.
"Rasanya seperti apa?" tanya Harriet .
"Wueeeeeek," kata Janie. "Pokoknya benar-benar tidak disarankan untuk
mencobanya." Dia memandangi Beth Ellen saat melanjutkan.
"Kamu nggak ingin bekerja atau bermain atau apa pun kecuali berbaring dan
memandang langit-langit, ya kan" Menjijikkan. Benar kan, Tikus?"
Beth Ellen mengangguk, tetapi karena satu dan lain hal, dia tetap belum bisa
mendongak. Janie memandangnya sejenak, lalu berkata, "Biarpun begitu, hal itu terjadi pada
setiap orang, setiap wanita di dunia, bahkan Madame Curie.
Itu hal yang sangat normal. Dan kurasa, karena itu berarti kau sudah dewasa dan
bisa punya bayi, itu hal yang bagus. Tapi aku, contohnya, saat ini aku kebetulan
nggak ingin punya bayi. Aku curiga, di dunia ini sudah ada terlalu banyak bayi.
Jadi, aku sedang membuat obat untuk orang-orang yang nggak ingin punya bayi,
jadi mereka nggak harus melalui hal ini."
Beth Ellen mendongak dan memandang Janie, lalu bertanya dengan ragu-ragu,
"Apakah batu-batu itu juga membuatmu sakit?"
"Batu-batu?" teriak Janie.
"Batu-batu yang berjatuhan di dalam perutmu," kata Beth Ellen malu.
"APA?" jerit Harriet. "Ya ampun, kalau mereka pikir aku mau dapat yang seperti
itu, mereka gila." "Nggak ada batu-batu. Siapa yang bilang begitu padamu?" Janie marah sekali
sampai-sampai dia berdiri. "Siapa yang bilang padamu kalau di dalam perutmu ada
batu" Nggak ada batu-batu. Aku akan bunuh mereka. Siapa yang bilang padamu soal
batu-batu?" Beth Ellen tampak takut. "Nenekku," katanya hampir pingsan.
"Bukannya itu betul" Bukankah ada batu-batu kecil yang berjatuhan dan membuatmu
berdarah dan sakit?"
"Betul" Nggak ada yang lebih salah dari itu." Janie berdiri di hadapannya.
"Nggak ada satu batupun. Kamu mengerti" Nggak, ada batu sama sekali'."
"WOW!" kata Harriet . "BATU-BATU!"
"Tunggu sebentar," kata Janie, mengangkat tangannya seperti seorang dosen, "mari
kita bereskan. Sesuatu perlu diluruskan sebelum kalian berdua jadi ketakutan."
Mereka berdua memandang Janie. Beth Ellen ketakutan dan bingung. Harriet marah
dan bingung. "Sekarang, kalian harus mengerti," kata Janie, tampak sangat sungguh-sungguh,
"bahwa generasi nenek Beth Ellen sangat kuno.
Cincin Maut 9 Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Rahasia Syair Leluhur 2
PESAN MISTERIUS DI WATER MILL Louise Fitzhugh PESAN MISTERIUS DI WATER MILL
Diterjemahkan dari The Long Secret
Karya Louise Fitzhugh Terbitan Dell Tearling an imprint of Random House
Children's Book, New York 2002
Penterjemah : Mutia Dharma
Penyunting : Maria M Lubis
Proofreader : Ela Karmila
Copyright : ? 1965 by Lois Anne Morehead
Indonesian Language copyright ? 2005 by Little K
The Long Secret ?1965 by Louise Fitzhugh
Copyright ? 1993 renewed by Lois Anne Morehead
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Little K
All Rights reserved Cetakan I April 2006 Diterbitkan oleh Penerbit Little K
PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jln Cinambo no 15 Cisaranten Wetan Bandung 40294
Telp (022) 7334310 Faks (022) 7334311
Email : kaifa@mizan.com http://www.mizan.com Desain dan ilustrasi sampul
Untuk Connie, Dr Slaff, dan Ursula,
orang-orang fanatik yang paling menyenangkan
yang kukenal 1 Pesan Misterius Pesan itu muncul di mana-mana. Semua orang membicarakannya. Pada suatu hari di
bulan Juli, untuk pertama kalinya Harriet dan Beth Ellen melihat seseorang
mendapatkan satu pesan. Saat itu, mereka sedang berada di supermarket di Water
Mill. Mereka berdiri di lorong dekat kasir, mengantre untuk membayar kue-kue
mereka. Kasir wanita galak yang selalu mencurigai anak-anak sedang bersiap untuk
menghitung belanjaan mereka. Tiba-tiba, dia menarik tangannya dari belakang
mesin hitung seolah-olah baru saja digigit ular.
"Ya ampun, apa ...?" dia menjerit, dan perut Harriet hampir terbelah dua karena
dia menjulurkan badannya melewati meja kasir untuk melihat. Wanita itu memegang
sebuah potongan kertas besar berisi tulisan yang kaku dan ditulis dengan krayon
merah: TUHAN MEMBENCIMU "Apa sih, ini" Apa maksudnya" Kenapa ada orangyang ingin melakukan hal ini" Apa
yang bisa merekadapatkan dengan ini" Kenapa mereka ingin mengatakan hal ini
padaku" Kepadaku ... kepadaku?"Wanita itu berteriak terus dan terus. Seorang
pegawai lari mendekat. Manajer toko lari mendekat. Harriet berdiri dengan mata
menyipit sambil memerhatikan. Beth Ellen melongo. Semua orang mulai bicara
secara bersamaan. "Jake dan toko makanan ternak pun dapat satu."
"Pesan-pesan itu ada di semua tempat di kota.Setiap orang di Water Mill sudah
dapat satu." "Kenapa nggak ada yang berbuat sesuatu" Apa sih ini?"
"Mereka sudah berbuat sesuatu. Tuan Jackson sudah melapor ke polisi."
"Apa yang terjadi?"
"Yah, mereka sedang menyelidiki. Mereka bisa apa" Mereka nggak bisa menemukan
pelakunya." "Mungkin mereka melindungi seseorang."
"Ya. Ini tidak ada waktu musim dingin. Mungkin salah satu dari turis-turis musim
panas itu jadi gila."
Karena satu dan lain hal, semua orang menoleh dan memandang Harriet dan Beth
Ellen. Harriet terlalu sibuk menulis semua hal di buku catatan yang selalu dia
bawa sehingga dia tidak sadar, tapi Beth Ellen mulai berjalan ke pintu.
"Ini saja semuanya, Anak-Anak?" Kasir wanita itu tiba-tiba menjadi sangat judes
dan resmi. "Ya," kata Harriet, berharap kedengaran tak acuh.
Beth Ellen sudah berada di luar, di jalan. Harriet melihatnya bergegas menuju
sebuah mobil hitam yang panjang.
"Yah, kamu perlu tahu," kata kasir wanita itu sambil memasukkan kue-kue ke dalam
kantong,"ada orang-orang yang amat-sangat aneh selama musim panas ini."
Harriet berdiri sesaat dengan kantong plastik ditangannya, berharap wanita itu
akan mengatakan lebih banyak, tapi dia hanya menatap Harriet seperti
mengharapkan sesuatu. Merasa bodoh,Harriet berbalik mendadak dan meninggalkan
toko itu. Di luar, dia berjalan lambat menuju mobil. Udara pagi terasa nyaman, agak
lembap, seperti memeluknya dengan hangat. Dia merasakan kebahagiaan yang dia
rasakan setiap tahun. Kenangan setiap musim panas dalam hidupnya membuat udara
seperti bertambah nyaman dan hangat. Semuanya begitu indah dan akrab: deretan
pendek toko-toko sepanjang Jalan Raya Montauk, bendera di depan kantor pos
kecil, papan bertuliskan ANDA MEMASUKI WATER MILL, NEW YORK.
PERLAMBAT KENDARAAN DAN SELAMAT BERSENANG-SENANG, yang sekarang dicat putih
bersih dengan tulisan hitam. Tetapi, pada akhir musim panas biasanya papan itu
sudah dicorat-coret dengan tulisan-tulisan sinting.
Bahkan, Beth Ellen yang sedang duduk menunggu di kursi belakang mobil besar yang
dikemudikan Harry, supir keluarga Hansen, terasa seperti kenangan yang setia.
Persahabatan dengan Beth Ellen agak lucu, pikir Harriet sambil naik ke kursi
belakang. Harriet tidak pernah bertemu Beth Ellen selama musim dingin, tidak
seperti Janie dan Sport, meskipun Harriet pergi ke sekolah bersamanya; dan
selama musim panas dia adalah sahabat Harriet. Harriet mengira ini cuma karena
dia juga tinggal di Water Mill.
Mobil itu mulai bergerak. Harriet menekan tombol yang menaikkan kaca antara
kursi belakang dan kursi depan. Dia senang privasi. Selain itu, dia senang
menekan tombol-tombol itu.
"Jangan, jangan," kata Beth Ellen dan menekan tombol itu lagi supaya kacanya
sedikit turun, "kita harus memberi tahu dia tujuan kita."
"Aku harus pergi ke rumahmu. Sepedaku kutinggalkan di sana," ujar Harriet sambil
menekan kembali tombol itu dengan cepat. "Setelah itu, bagaimana kalau kita ke
pantai?" Beth Ellen tampak ketakutan, tapi itu memang ekspresi normalnya, jadi Harriet
tidak memedulikannya. "Aku tidak yakin kalau aku bisa bersepeda cukup baik untuk
bisa pergi sejauh itu."
"Tentu saja kamu bisa. Bagaimana kamu akan mulai belajar kalau kamu tidak
mencobanya" Apa bagusnya sepeda kalau kamu cuma bisa mengendarainya mengelilingi
halamanmu?" "Tapi, aku baru belajar sebulan yang lalu." Beth Ellen mulai mengunyah sepotong
kue dengan ekspresi setengah melamun.
"Yah, aku nggak peduli kamu ikut atau nggak." Harriet mengatakan kalimat
terakhir sambil melirik kesamping ke arah Beth Ellen. Itu berhasil.
"Aku nggak bilang kalau aku nggak bakal ikut. Aku mau ikut."
"Aku tahu apa yang bisa kita lakukan." Harriet menyipitkan mata dan mengerling
jauh ke samping sampai kepalanya terasa sakit. "Ayo kita bersepeda melewati
Hotel Angker." Wajah Beth Ellen berubah menjadi sangat merah.
"Haa, haa," kata Harriet dan melihat ke luar jendela.
"Kalau kamu mau," kata Beth Ellen, berusaha agar tampak bosan.
Yang ada, dia tampak seperti ingin muntah.
"Kalau aku mau!" kata Harriet kasar. "HUH!"
"Kupikir kamu sedang menulis cerita soal itu,"kata Beth Ellen.
"Memang," kata Harriet, "tapi hanya karena kita praktis menghabiskan seluruh
musim panas disana! Aku nggak punya hal lain untuk dibuat cerita'. Dan apa yang
sudah kulihat selama musim panas ini" Cuma si Bunny konyol itu! Dan apa yang
sudahaku dengar selama musim panas ini" Cuma si Bunny konyol itu bermain piano!"
Dia kedengaran cukup marah. "Yah!" ujarnya tegas, lalu berhenti.
"Yah, kamu nggak harus ikut," kata Beth Ellen, tersenyum kecil.
"Aku mau ikut, "kata Harriet ."Aku harus menyelesaikan ceritaku sekarang,
bukan?" Dia merampas kotak kue dan memasukkan tiga potongke dalam mulutnya. Beth
Ellen tersenyum. Harriet melihatnya dan berkata dengan mulut penuh, "Dengar, ya,
Tikus Kecil, untuk seekor tikus, kamu benar-benar mendapatkan kemauanmu setiap
saat." Beth Ellen menatap ke luar jendela untuk menyembunyikan senyum kecilnya.
Mobil itu berbelok memasuki halaman rumah Beth Ellen. "Aku harus masuk dan
bertemu nenekku sebelum aku pergi," kata Beth Ellen dengan nada sedikit murung.
"Nggak apa-apa," kata Harriet. "Aku akan menunggu saja di sini."
Dia bahkan tidak menatap Beth Ellen karena dia sedang mengawasi Harry.Harriet
sedang memata-matai Harry sepanjang musim panas. Harry layak diawasi dengan
ketat. Sepertinya dia menjalani kehidupan yang sangat mencurigakan.
"Lagi pula," ujar Beth Ellen selagi membanting pintu mobil, "kamu yang
menyebutnya Hotel Angker. Bukan aku."
Harriet bersiap-siap untuk sesuatu di belakangnya, tapi Beth Ellen sudah
langsung menerobos melewati pintu. Huuh, pikir Harriet, aku bilang begitu cuma
untuk membuat dia jengkel. Aku tidak pernah melihat orang jatuh cinta seperti
itu. Mudah-mudahan aku tidak akan pernah mengalami hal itu.
Harriet berjalan menuju ruangan para pembantu yang menempel ke garasi. Sambil
menutupi aksinya sebaik mungkin di balik sederetan pagar, dia mematai-matai
jendela kamar Harry. 2 Wanita Sejati SelaluBisa Menyembunyikan Amarah
Beth Ellen mengetuk pintu kamar neneknya."Masuk," sahut sebuah suara tegas dari
balik pintu. Beth Ellen masuk dan melihat neneknya bersandar pada setumpuk
bantal. Susie, pembantunya, sedang berdiri di samping tempat tidur, tampak
sangat pucat. "Halo, Sayang. Ayo kemari, duduklah," ujar neneknya sambil tersenyum singkat,
lalu menoleh pada pembantunya. Beth Ellen mendekat dan dudukdi sofa.
"Bukan itu masalahnya," lanjut neneknya pada Susie. "Aku tidak ingin membahasnya
lebih jauh lagi. Aku hanya ingin dimengerti kalau hal seperti ini tidak boleh
terjadi lagi." Beth Ellen mengangkat wajahnya saat mendengar nada aneh dalam suara neneknya.
Suara Nyonya Hansen biasanya terdengar sangat lembut, tapi hari ini dia
terdengar tajam, kaku, tegas. Wajahnya tampak dingin. Susie tampak ketakutan.
"Itu saja untuk sekarang," kata Nyonya Hansen dan berbalik pada Beth Ellen saat
Susie meninggalkan kamar itu. "Jadi, Sayang, kamu akan pergi ke pantai?"
"Ya," kata Beth Ellen singkat dan melihat ke lantai. Dia tidak pernah terlalu
yakin apa yang bisa dibicarakan dengan neneknya. Dia selalu ingin meledak-ledak
dan mengatakan banyak hal yang akan membuat neneknya tertarik. Beth Ellen ingin
neneknya memandangnya dan menahan napas, melihat kejenakaan dan keluarbiasaan
yang dia miliki. Tapi, Beth Ellen selalu dikuasai oleh rasa malu dan rasa takut yang sangat kuat,
yang mengubah otaknya menjadi adonan terigu.
Sambil mendongakkan wajahnya dari lantai, Beth Ellen menyadari bahwa neneknya
sama sekali tidak sedang memikirkannya. Nyonya Hansen bahkan sedang menatap ke
luar jendela dengan ekspresi agak marah. Ketika mulai bicara, dia terus menatap
ke luar jendela. "Menjadi seorang wanita sejati sepanjang waktu sangat penting dan tidak bisa
diremehkan. Ada saatnya hal ini sangat menguji kesabaran."
Beth Ellen sudah mendengar kata-kata ini berkali-kali. Dia tahu artinya.
Artinya adalah "Jangan marah". Ada juga versi-versi lain, seperti "Wanita sejati
tidak pernah kehilangan kendali," "Ketenangan adalah tanda pertama didikan yang
baik," dan "Tidak ada pemandangan yang begitu buruk selain wajah manusia yang
marah," tapi semua ini artinya sama.
Nyonya Hansen melanjutkan, "Sekarang ini, Susie sudah memberiku alasan untuk
marah ...Sebenarnya, sederhana saja hal yang sudah dia lakukan ... Kupikir,
semakin tua seorang wanita tua, dia akan semakin eksentrik ... tapi dia
MEMINDAHKAN botol-botol minyak wangiku!"
Beth Ellen ingin sekali tertawa, tapi dia menahan diri.
"Kita harus membiarkan Tuhan menghukum kita atas kesalahan-kesalahan yang kita
lakukan."Nyonya Hansen menoleh untuk memandang Beth Ellen saat mengatakan hal
ini. Dia seperti baru saja melihat Beth Ellen. Nyonya Hansen tersenyum seperti
orang yang tidak marah sama sekali, dan berkata dengan suara manis, "Aku ingin
mengatakan padamu, Sayang, kupikir kamu akan mendapat kejutan yang indah
beberapa minggu lagi!"
"Oh, apa itu, Nek?" tanya Beth Ellen, berpikir-pikir, mungkin mereka akan
bepergian. "Aku tidak ingin mengatakannya sekarang karena mungkin saja hal ini tidak
terjadi, tapi kali ini aku cukup yakin bahwa hal ini akan terjadi."
Beth Ellen menatapnya penuh pengharapan.
"Apa itu?" "Oh, nanti saja. Kalau kukatakan sekarang, itu bukan jadi kejutan lagi. Benar
kan, Sayang?" senyum Nyonya Hansen sangat indah jika dia benar-benar tersenyum
dari dalam hati. "Sebaiknya kamu pergi, iya kan, Sayang" Kamu pasti tidak ingin
kehilangan semua sinar matahari yang indah itu."
Beth Ellen berdiri dan mendekati neneknya untuk menerima ciuman di dahinya.
"Selamat bersenang-senang, Sayang," ujar neneknya sambil melamun saat Beth Ellen
menutup pintu. 3 Mama Jenkins Sesampainya di lantai bawah, Beth Ellen melihat Harriet sedang tertawa terbahak-
bahak. "Apa yang lucu?" tanya Beth Ellen sambil menaiki sepedanya dengan canggung.
"Harry dapat satu dan pesan-pesan itu, dan aku mencurinya setelah dia
meninggalkan kamarnya, sebagai bukti," kata Harriet dengan penuh kemenangan.
"Bukti?" "Tentu! Kita akan menangkap si penulis pesan."
Harriet menaiki sepedanya, melihat kertas pesan itu dengan kaca pembesar. Tentu
saja dia hanya melihat huruf-huruf besar berwarna merah. "Sini, lihat ini."
Harriet menyerahkan kertas pesan itu pada Beth Ellen, yang membaca:
seorang hamba tidak bisa melayani dua TUAN "Apa yang lucu soal itu?" tanya Beth Ellen
"Masa kamu nggak tahu?"
Beth Ellen menggeleng. "Begini," kata Harriet , tampak sombong, "Aku kebetulan tahu sesuatu yang kamu
nggak tahu, yaitu bahwa selama ini Harry menjalankan bisnis limusin dengan mobil
itu. Ketika dia seharusnya berada di sini dan menunggu kalau-kalau nenekmu mau
pergi ke suatu tempat, dia pergi ke luar dan mengantarkan orang-orang ke bandara
dan ke seluruh penjuru kota, bahkan ke New York."
"Oh, ya?" kata Beth Ellen dengan suara bosan."Aku juga berpikir-pikir, ke mana
saja dia selama ini."
"Kamu ini mata-mata busuk, Beth Ellen." Harriet mengatakannya dengan tenang,
sesuai kenyataan, sehingga Beth Ellen bahkan tidak merasa terganggu. Lagi pula,
dia tidak ingin menjadi mata-mata, busuk maupun tidak. "Yang nggak bisa
kumengerti adalah bagaimana orang yang menulis hal ini bisa sampai tahu."
Harriet bahkan tidak melihat pada Beth Ellen untuk mendapat jawaban, tapi terus
mendorong sepedanya. Beth Ellen mengikutinya, bergoyang-goyang sedikit, tapi tetap tegak.
Harriet meluncur ke luar jalan mobil di halaman disusul Beth Ellen yang
bersepeda miring dibelakangnya. Ketika mereka sampai di ujung, ada sebuah bukit
kecil dan Beth Ellen terjatuh.
"Kamu luka?" tanya Harriet , setelah berbelok dengan ahli dan kembali ke tempat
Beth Ellen berbaring telentang. Sebuah ekspresi kaget terpancar di wajah Beth
Ellen. "Nggak, kupikir aku nggak luka." Beth Ellen berdiri seakan-akan dia adalah
sebuah gelas, memeriksa dirinya sendiri, lalu mengangkat sepedanya dengan keras
kepala. "Dengar" - Harriet memeriksa semua peralatan yang tergantung di pengait ikat
pinggang celana pendeknya dengan cepat, tanpa mengangkat wajahnya-"kupikir,
pertama-tama kita akan melihat dulu keluarga baru itu." Semuanya ada di sana:
lampu senternya, pisau pramuka, botol minum, kantong untuk pensil, dan kantong
untuk buku catatan. Tahun ini, Harriet membawa dua buku catatan. Satu yang biasa
digunakan untuk memata-matai dan satunya lagi untuk menulis cerita.
"Kupikir kita akan pergi ke hotel," kata Beth Ellen, santai seperti biasanya.
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia membersihkan keropeng bekas luka dari lututnya.
"Tenang saja," kata Harriet . "Kita akan ke sana. Sesudah urusan ini."
Harriet mendorong sepedanya."Pertama-tama, ayo kita lihat keluarga itu dulu.
Kamu tahu, sekarang kan Jumat!" serunya.
"Jadi, kenapa?" teriak Beth Ellen. Dia jadi latah kalau ada orang yang tiba-tiba
berteriak. Harriet berteriak lagi, "Mama Jenkins yang dibicarakan orang-orang itu datang
dari kota hari ini untuk liburan akhir minggu. Aku ingin melihat tampangnya."
Beth Ellen terlalu sibuk menghindari bahaya yang ada di jalan untuk bisa
menjawab, jadi mereka terus bersepeda tanpa bicara. Jalan itu menuruni sebuah
bukit, melewati kebun kentang, melalui sebuah tempat yang datar dengan tiga
pohon yang berdiri di kejauhan. Setelah sekitar tiga menit, mereka sampai ke
Jalan Raya Montauk. Harriet berhenti tiba-tiba, dan di belakangnya, Beth Ellen
mengerem sepedanya kuat-kuat.
"Hati-hati. Sekarang kita menyeberang ke sana, lalu naik ke jalan kecil dekat
pom bensin itu." Harriet menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mengayuh setelah dia
melihat tidak ada mobil. Beth Ellen mengikuti, dan mereka terus mengayuh sepedanya melewati hari musim
panas itu. Matahari bersinar terik tepat di atas kebun kentang itu. Setang
sepeda terasa panas. Setelah melewati satu jalan yang panjang, satu belokan, dan
sebuah jalan panjang yang lain, Harriet beristirahat dibawah sebuah bayangan
pohon. Beth Ellen mengikuti. Di sana terasa sejuk, dan mata mereka mulai melihat
segala sesuatu yang tampak sangat hijau.
"Mereka ada di situ - rumah kecil kedua - tapi sekarang kita sudah terlalu dekat,
kita bisa kelihatan. Jadi, kupikir lebih baik kita meninggalkan sepeda kita di
sini dan mengendap-endap dari belakang."
Harriet terbiasa berpikir dan bertindak sangat efisien. Jantung Beth Ellen mulai
sedikit berdebar. Harriet menyandarkan sepedanya pada satu sisi pohon, dan Beth Ellen bersiap-siap
untuk menyandarkan miliknya di situ ketika dia ingat standar penyangga sepeda
dan berkutat cukup lama untuk menurunkannya.
"Ayo cepat!" ujar Harriet tidak sabar.
Mereka akhirnya siap dan mulai mengendap-endap mengelilingi rumah itu. Ketika
mereka sedang mendekati sebuah pagar dari tanaman di belakang, seorang anak
laki-laki yang sangat gemuk, kira-kira seumur mereka, berjalan gontai melintasi
salah satu halaman belakang.
"Itu Norman," bisik Harriet , "anak kembar yang laki - laki. Dia menyebalkan."
"Berapa umur mereka?" tanya Beth Ellen.
"Dua belas," kata Harriet . "Tunggu sampai kamu melihat yang satunya."
Beth Ellen memandang Norman. Norman seperti manusia kue jahe.
Badannya bundar dan menggelembung. Dia memiliki wajah bundar berbintik-bintik
yang menempel di atas badannya, dua lengan yang bundar, dan dua kaki yang
seakan-akan terperangkap di dalam celana renangnya. Norman memakai sepatu kanvas
tinggi berwarna hitam, kaus kaki putih tebal, dan kaus yang tampak kotor. Dia
masuk ke rumah kedua di deretan itu.
Mereka mulai mengendap-endap lagi dan kali ini melewati rumah pertama. Saat
mereka mendekati jendela pinggir yang sedang Harriet gunakan,tiba-tiba Harriet
berbalik dan berbisik, "Ingat aturannya: jangan bersuara. Dan kalau sesuatu
terjadi, bilang saja kita kebetulan sedang melewati halaman ini karena kita
kehilangan sebuah bola disini."
Beth Ellen mengangguk, ketakutan.
Mereka merayap ke atas, ke arah jendela dan melihat ke dalam.
Ada sebuah dapur besar yang diterangi sinar matahari dengan tiga orang anak
didalamnya. Salah satunya Norman. Kemudian, ada seorang anak perempuan kurus
yang sama tinggi, dengan rambut cokelat yang panjang dan lurus. Seorang anak
perempuan yang masih kecil, kira-kira berumur empat tahun, juga ada di situ,
duduk diatas meja. "Aku minta 25 sen," Norman menggeram ke arah kembarannya.
Suaranya seperti gaung di sebuah gua tambang batubara.
"Dengar Norman Jenkins, kau nggak akan dapat 25 sen," kata kembarannya dengan
sangat manis dan ceria. "Aku mau uangku yang 25 sen."
"Dua wima, dua wima, dua wirna," nyanyi si anak umur empat tahun.
"Aku dapat 25 jika aku mau 25 sen. Mama Jenkins bilang begitu."
Norman mulai berteriak. "Sekarang tutup mulutmu, Norman Jenkins. Kau dapat 25 sen kalau kau baik, dan
aku belum lihat apa pun yang sangat baik. 'Tuhan akan mencukupkan.' Itu yang
Mama Jenkins bilang. Tuhan akan mencukupkan kalau kau baik."
"Aku BAIK." Norman tampak seperti siap untuk mengguncang-guncang saudaranya.
"Apa, baik" Coba katakan padaku satu saja hal baik yang kamu kerjakan minggu
ini!" Mereka saling menatap dengan pandangan tajam. Norman tidak bisa memikirkan
sesuatu pun. "Jessie Mae?" panggil si anak kecil.
"Ya, Magnolia, apa?"
Jessie Mae! pikir Harriet .
"Kwapan Mama Jenkinth puwang?" ocehan Magnolia tidak mudah dimengerti, apa lagi
kalau mulutnya penuh. "Mama datang jam tujuh, Sayang, jika Tuhan mengizinkan," ujar Jessie Mae lalu
berbalik. "Kau seharusnya memberikan uang jajanku." Norman bersikukuh.
"Sebenarnya, aku nggak tahu kenapa kau yang harus mengurusi ini.
Kenapa bukan aku yang mengurusi uang jajanmu?"
"Kau tahu kenapa - Mama Jenkins sudah bilang padamu - karena kau terlalu peduli pada
uang dan aku berjalan bersama Tuhan."
"Kau nggak berjalan bersama Tuhan, satu langkah lebih depan daripada aku,
sialan!" ketika Norman meneriakkan kata-kata ini, dia benar-benar marah.
"Kau baru saja menunjukkan siapa dirimu. Menyumpah. Kita nggak punya banyak uang
untuk diberikan pada orang-orang jahat." Jessie Mae bahkan tidak menatapnya.
"Kita KAYA sekarang!" Norman berdiri di tengah ruangan dan berteriak. Wajah
gemuknya berubah oranye. "Kenapa kita kaya?" tanya Magnolia.
"Karena, Sayangku yang mungil," - Jessie Mae bicara dengan suara mendayu-
dayu-"Mama sudah menciptakan sesuatu."
"Apa?" Magnolia dan Jessie Mae terus bicara seolah-olah Norrnan tidak di sana dan
sedang berdiri dengan murka.
"Sesuatu untuk jari kaki. Obat jari kaki."
"Dari apa Marna membuatnya?" Magnolia bertanya, sungguh-sungguh tertarik.
"Kotoran ayam!" teriak Norman dan mulai tertawa terbahak-bahak.
"Dengar, Norman Jenkins, kau akan mendapatkan kotoran ayam tepat di mulutmu,"
teriak Jessie Mae, benar-benar kehilangan kesabaran.
"Aku nggak peduli, dasar gila," Norman mengumpat sambil berlari menyelamatkan
diri ke ruang keluarga. "Kotoran ayam, kotoran ayam, kotoran ayam," nyanyi Magnolia.
"Magnolia, diam kau. Itu nggak benar. Obat itu sebenarnya dibuat dari semangka.
Semangka dan beberapa bahan rahasia yang nggak diketahui orang lain kecuali Mama
Jenkins." Jessie Mae tampak sangat tersinggung.
Magnolia berkata tiba-tiba, "Aku mau roti isi acar wagi."
"Kau sudah makan dua; itu cukup," kata Jessie Mae dengan tenang, kembali mencuci
piring. "Acar dan sewada. Acar dan sewada." Magnolia memukuli meja dengan kepalan
tangannya yang kecil. "Nggak ada lagi selada. Sekarang pergi dan main di luar, Sayang,"
Jessie Mae berkata pelan. Harriet menulis di buku catatannya: Siapa pula yang
pernah mendengar roti isi acar dan selada"
Sekarang - meskipun nggak boleh - aku berani bertaruh dengan seluruh uang jajanku,
nggak ada satu pun di dunia yang bisa menyamai roti isi tomat.
Beth Ellen berbisik, "Aku lapar." Dan tepat ketika Harriet menempelkan jari ke
bibirnya untuk menyuruh Beth Ellen diam, mereka mendengar bunyi gesekan
persneling disusul suara mobil yang melaju kencang. Tidak ada waktu untuk
berlari, karena tepat menuju ke halaman tempat mereka berdiri, melaju sebuah
mobil Maserati putih. Mobil itu direm tiba-tiba sekitar tiga puluh sentimeter
dari tempat mereka berdiri dan segera menutupi mereka dengan gumpalan debu.
Pintu mobil itu dibanting dan seorang wanita bertubuh raksasa meloncat dan kursi
sopir seperti kanguru, langsung ke arah mereka melalui kabut debu, bahkan
sebelum mereka bisa bergerak.
"Hei, lihat! Siapa yang ada di halamanku?" dia berteriak dengan suara riang
sambil menepuk-nepuk kepala mereka dengan telapak tangannya yang gemuk. Mereka
berdiri kaku dan memutar bola mata untuk melihat wajah bundarnya yang sedang
tertawa. Tangan dan lengannya merah, wajah dan lehernya lebar penuh bintik-
bintik dan keringat. Harriet memandangnya dengan
saksama. Mama Jenkins mengenakan pakaian hitam yang bisa dikatakan paling sederhana di dunia. Baju itu
membalut tubuhnya dengan ketat, dan melebar di sekeliling keliman. Lengan
bajunya yang pendek disatukan dengan aneh dan berlipat-lipat mengelilingi
gumpalan lengannya yang besar berbintik-bintik dan menyerupai paha babi. Wanita
itu punya gigi-gigi yang jumlahnya tidak normal, dan Harriet melongo, terpesona
oleh gigi-gigi yang dimiliki Mama Jenkins.
Gunung itu bergetar dan bergoyang, dan dari sana keluar sebuah suara kotek keras
seperti badai musim semi. "Mintalah dan Tuhan akan mencukupkan. Kalian, Anak-
Anak Ayam, mau bekerja untukku?"
Jessie Mae membanting pintu belakang, disusul Magnolia tepat di belakangnya, dan
Norman menghampiri dari pintu depan.
"Mama Jenkins, Mama Jenkins, Mama Jenkins!"Mereka berteriak serentak.
"Hai, Anak-Anak, lihat apa yang kutemukan sedang mengintip di jendela!" Mama
Jenkins memutar tangannya, sekaligus juga memutar leher barang temuannya.
Suaranya seperti terompet. "Apakah mereka teman-teman kalian?"
Ketiga anak itu berhenti, diam dan menatap. Mereka memandangi Harriet dan Beth
Ellen dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Mereka cewek," kata Norman dengan jijik, menunjukkan dengan jelas bahwa mereka
tidak mungkin temannya. "Tewek, tewek, tewek," kata Magnolia sambil tertawa dan meloncat-loncat.
"Aku nggak pernah mendapat kehormatan itu," kata Jessie Mae judes. Harriet
berpikir, dari buku kuno mana dia mendapatkan kata-kata itu"
"Jadi," kata Mama Jenkins dengan suara yang terdengar sangat riang, "menurut
kalian, apa yang harus kita perbuat dengan mereka?"
"Suruh mereka kerja," kata Norman serak.
"Apa yang sedang mereka kerjakan di sini?" tanya Jessie Mae.
"Ayo kita makan saja mereka!" teriak Magnolia, sambil berguling ke tanah bersama
leluconnya. "Sepertinya mereka sedang mengintip ke dalam dapur kita," kata Mama Jenkins.
"Mereka kelihatan ingin pulang," kata Jessie Mae.
"Yap,"kata Mama Jenkins penuh penyesalan, "kurasa kau benar.
Sayang kita nggak bisa menyimpan mereka. Sangat lucu. Pasti bagus untuk
sesuatu." Sambil berkata begitu, dia mendorong keduanya dengan penuh canda
dengan cakar-cakar raksasanya.
Wanita itu tertawa keras. Dia terus memandangi mereka selama satu menit,
kemudian mencondongkan mukanya sangat dekat dengan wajah Harriet dan Beth Ellen
sampai mereka bisa mencium napasnya, yang anehnya, berbau acar semangka. Mama
Jenkins berdiri seperti itu untuk waktu yang rasanya sangat lama. Dia berkata
"DOR!" dengan sangat mendadak dan sangat keras sampai mereka berdua lari
terbirit-birit keluar dari halaman rumah itu.
Mereka lari sangat cepat dan tak beraturan sampai tersandung satu sama lain.
Keduanya jatuh terjerembab.
Mereka duduk di atas lumpur sambil memandangi rumah itu. Mama Jenkins tertawa
lagi, lalu masuk kedalam rumah. "Dia berjalan bagaikan truk," kata Harriet di
sela-sela napasnya. Anak-anak itu mengikuti ibu mereka, berteriak-teriak di sekelilingnya seperti
segerombolan anak anjing. Jessie Mae menoleh ke belakang sekali lagi dengan rasa
ingin tahu, seperti yang dilakukan orang kalau ada ular mati di jalan.
Ketika mereka menghilang ke dalam rumah, Harriet berdiri, mengambil buku
catatannya, dan membersihkan dirinya. Beth Ellen lebih lambat.
"Ayo," kata Harriet , "mari kita pergi dari sini." Dia menatap ke bawah, ke arah
Beth Ellen yang tampak kaget. Itu pertama kalinya Harriet melihat Beth Ellen
tampak kotor. Ada beberapa percikan lumpur di wajahnya. Untuk sesaat, Harriet
merasa kasihan padanya. "Yah, aku kan nggak pernah bilang bahwa hal ini gampang,"
ujarnya singkat. Dia mengulurkan tangan untuk membantu Beth Ellen berdiri. Beth
Ellen tidak berkata apa-apa, tapi Harriet tahu, Beth Ellen sedang berpikir,
mengapa dia tadi mau ikut. "Mungkin sebaiknya kita pergi ke pantai," kata
Harriet cepat. "Nggak," kata Beth Ellen dengan suara kecil tapi tegas, "ke hotel."
Ketika mereka mengendap-endap melewati jendela itu, mereka mendengar suara-suara
dan berhenti untuk mendengarkan. "Untuk apa uang 25 sen itu, Nak?" Mama Jenkins
berdiri di depan Norman seperti Nabi Musa yang berdiri di depan semak-semak yang
sedang terbakar. Norman memutar bola matanya, ragu-ragu, lalu berkata, "Ada pertemuan remaja
dekat Bridgehampton." Dia memutar bola matanya seakan-akan benda itu kelereng.
"Hei, Norman Jenkins, itu nggak benar. Kau mau 25 sen itu untuk membeli es krim.
Mama, dia makan tiga liter es krim sehari!" Jessie Mae tampak murka.
"Apa yang salah dengan itu?" tanya Mama Jenkins.
"MAMA, itu rakus!" teriak Jessie Mae.
"Nah, sekali lagi," kata Mama Jenkins, menahan senyum, "ada pertemuan atau nggak
ada pertemuan?" Norman memutar bola matanya. "Ada sebuah poster yang bilang bahwa mungkin akan
ada pertemuan." "Jadi, kalau itu memang ada, kau mau 25 sen. Begitu" Kalau kebetulan ada
pertemuan tahun depan?" tanya Mama Jenkins dengan pandangan curiga. Jessie Mae
mengeluarkan tawa melengking dan mengejek. Norman menendang tulang keringnya.
Mama Jenkins mendekat dan menarik kaus Norman ke depan.
"Dengar, Nak, untuk apa uang 25 sen itu?"
"Untuk es krim!" jerit Norman sambil meronta-ronta dengan wajah ungu. "Kupikir,
Norman Sayang, kau akan mulai dietmu Senin besok, bukan begitu?" tanya Jessie
Mae dengan manis. "Diet?" Mama Jenkins menatap Jessie Mae dengan wajah terkejut.
"Memang kenapa dengan penampilannya?"
Harriet mengangkat tangan mendengar ketololan ini, dan mereka berjalan menuju
sepeda mereka, . 4 Bunny dan Moo-Moo Saat mereka tiba di tempat sepeda mereka, matahari bersinar sangat terik
sehingga mereka bersepeda perlahan-lahan.
"Harriet ?" "Ya?" "Kenapa kamu melakukan semua kegiatan mata-mata ini?"
"Karena" - Harriet sangat putus asa hingga dia mulai berteriak -
"aku akan menjadi penulis. Jadi, aku harus punya sesuatu untuk ditulis, iya
nggak" Aku nggak seperti kamu, menemui dan melihat orang-orang hanya karena
kupikir mereka menyenangkan. Selain itu, kamu tahu nggak" Aku akan menangkap si
penulis pesan!" Harriet mendapat percikan energi dari antusiasmenya sehingga
mulai mengayuh sepedanya lebih cepat.
Oh, Harriet , pikir Beth Ellen, kamu akan selalu menjadi Harriet si Mata-Mata.
Dia mengayuh sepedanya kuat-kuat, berusaha mengejar.
"Selain itu juga," kata Harriet , memperlambat lajunya sedikit,
"kupikir kamu juga ingin menjadi penulis. Tahun lalu, waktu kita berdua
mengerjakantugas sekolah, kupikir kamu menyukainya."
"Kupikir aku nggak menyukainya," kata Beth Ellen, tampak tidak nyaman, seolah-
olah menulis adalah sebuah mantel yang membuatnya gatal. "Kenapa kamu nggak
menulis tentang si Bunny yang kamu sukai"
Aku sedang menulis tentang si Bunny, padahal kamulah yang seharusnya menulis
soal Bunny. Aku bahkan sama sekali nggak tertarik kepadanya!"
"Aku nggak mau menulis tentang dia, aku mau menikah dengannya," kata Beth Ellen.
"Dengar! " kata Harriet. " Itu hal yang paling menggelikan yang pernah aku
dengar. Kamu baru sebelas tahun."
"Dua belas." "Bagaimana umurmu bisa dua belas sedangkan aku baru sebelas?"
Harriet tampak marah.Beth Ellen menunggu.
"Oh, benar ya," kata Harriet akhirnya. "Aku selalu lupa hal-hal seperti ulang
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahun. Aku ingat, kamu baru saja berulang tahun."
"Ya," kata Beth Ellen singkat dan mulai melamunkan pesta ulang tahunnya. Sebuah
piano diletakkan di luar dan Bunny memainkannya.
Beberapa anak laki-laki yang menyebalkan datang dan dia seharusnya berdansa
dengan mereka, tapi Beth Ellen menghabiskan seluruh waktunya di piano. Akhirnya,
Beth Ellen diseret oleh pembantunya, atas perintah neneknya, dan dipaksa untuk
duduk untuk menonton seorang pesulap dengan setelan hitam mengilat dan hidung
merah. " Aku lahir bulan Oktober," kata Harriet, seolah-seolah Oktober adalah satu-
satunya bulan yang benar-benar memuaskan untuk lahir.
Beth Ellen menatap kosong padanya.
Mereka menyeberangi jalan raya dan terus menuju hotel. Bangunan itu berdiri di
tepi jalan desa di Water Mill. Mereka melihat sebuah papan bertuliskan SHARK'S
TOOTH INN. Cerita yang beredar mengatakan bahwa hotel itu mendapatkan namanya
ketika pemilik aslinya - seorang kapten pelaut yang gemuk dan suka tertawa - dimakan
oleh seekor ikan hiu. Hotel itu sangat tua dan berdiri nyaman disebuah lembah yang terpencil,
dikelilingi olehpohon-pohon tua yang indah. Penginapan itu sendiri sangat indah,
langit-langitnya tinggi, dan susunan bangunannya tidak beraturan. Pemiliknya
yang sekarang, seorang wanita gemuk yang suka bergaul dan tertawa, sudah
mendekorasi ulang penginapan itu.
Setiap kali Harriet dan Beth Ellen memandangnya, penginapan itu tampak sejuk dan
tenang - atapnya melindunginya dari matahari - tapi kabarnya, suasana hotel itu
pada malam hari sangat luar biasa. Tidak pernah ada orang di sana pada siang
hari kecuali si koki dan istrinya dan, Bunny, tentu saja. Hal ini membuat Beth
Ellen sangat bahagia, tapi Harriet - sebaliknya - sangat putus asa karena dia belum
pernah bertemu dengan pemiliknya yang tidak pernah muncul sampai waktu makan
malam tiba. Harriet sudah mencoba - sejauh ini tidak pernah berhasil - untuk
membujuk orangtuanya agar membawanya makan malam disana.
Mereka selalu merespons dengan pandangan aneh yang sama, dan setiap kali
mengalihkan topik pembicaraan dengan segera.
Keduanya menyandarkan sepeda mereka ke pagar tanaman dan bersiap-siap untuk
mengendap-endap ke belakang, tempat berjemur favorit Bunny, ketika mereka
mendengar teriakan. Mereka menunduk dan lalu berjalan memutar ke dekat tempat
sampah, lalu ke belakang pagar tanaman yang lain. Mereka menelungkup, dan saat
sudah berada dalam posisi nyaman, mereka memandang ke arah pintu belakang.
Dekat pintu belakang terdapat sebuah beranda yang tertutup kasa nyamuk dengan
sebuah ruang pendingin yang sangat besar. Seorang pria sedang berjalan ke
beranda itu. Tubuhnya pendek dan kepalanya agak botak dengan parut bekas luka
yang panjang di wajah. Ia membuka pintu ruang pendingin itu, masuk ke dalamnya,
dan segera keluar, dan berteriak melalui pintu jaring itu kedalam dapur.
" Bon, bon, bon, bon, BON! Tu vois! Il n'y a rien dans ce fngidaire!"
(Baik, baik, baik, baik, BAIK! Kamu lihat! Tidak ada apa-apa di dalam kulkas
ini!) Seorang wanita kecil dan gemuk dengan wajah ketakutan berjalan cepat melalui
pintu dapur. Dia mengintip ke dalam ruang pendingin.
" Qu'est-ce que tu racontes?" (Apa katamu") pria itu berteriak padanya.
" Mais, voila la note!" (Tapi itu, ada pesan itu!) Dia menunjuk dengan jari yang
gemetar. Beth Ellen mencoba dengan putus asa untuk mengingat setiap kata Prancis yang
pernah diajarkan Mademoiselle Shwartz di Sekolah Gregory, tapi dia cuma bisa
mengingat crayon. Dia memandang Harriet , yang tampaknya mengerti setiap kata
dan mendengarkan dengan sabar.
" Mais ou?" (Tapi, di mana") Pria itu menjulurkan leher kerbaunya ke dalam
lemari es. " La, la, sur la viande." (Itu, itu, di atas daging.) Setidaknya aku mengerti
itu, pikir Beth Ellen. Pria itu mengulurkan tangannya yang gemuk dan menarik sebuah kertas kecil. Dia
menatap kertas itu, lalu menatap istrinya. " Mais, c'est quoi, ?a?" (Hei, apa
ini, di sini") " C'est ?a. C'est ce que je t'ai dit, ce matin,"(Itu dia. Itulah yang kubilang
padamu siang ini,) jawabnya.
Pria itu berbalik padanya dengan marah. " Tu dois la lire. Tu sais bien que je
ne peux pas lire l'anglais. " (Kamu yang harus membacanya.
Kamu tahu pasti, kalau aku tidak bisa membaca bahasa Inggris.) Wanita itu mulai
berusaha membaca tulisan berbahasa Inggris itu dengan susah payah. "Zebuua...
zawaban ... lembut ... akan ... menolakh
...kemara'an." Dia mengangkat bahu.
Pria itu juga mengangkat bahu. " ?a veut dire quoi?" (Apa maksudnya") tanyanya.
Dia tampak lebih marah lagi daripada sebelumnya.
" Sais pas." (Tidak tahu.) Istrinya mengangkat bahu lagi.
Harriet berbisik, "Mereka bilang apa?" dan Beth Ellen mengangkat bahu. Dia ikut
latah. Tiba-tiba, terdengar teriakan parau dari arah pondok di belakang penginapan.
"Moo-Moo, Moooooo, ke sini sekarang juga!" Suara itu tidak hanya terdengar
parau, tapi juga tercekik. "Tolong, siapa saja, ia kumat lagi!"
"Itu Bunny!" kata Beth Ellen panik.
Harriet sangat penasaran, dia hampir berlari dari belakang semak-semak dan harus
ditahan oleh Beth Ellen. Pasangan suami istri di teras itu menjadi sangat gelisah. Sang suami melemparkan
tangannya keudara dan berseru, " Ooo, la, c'est Moo-Moo encore.'" (Ya ampun, si
Moo-Moo lagi!) Mereka berdua melompat keluar dari teras dan mengitari hotel
menuju datangnya suara itu.
Terdengar banyak teriakan yang berlangsung beberapa menit.
Kemudian, dari belakang semak-semak itu sesuatu muncul tiba-tiba.
Benda itu sangat gemuk, kaki-kaki kecilnya sangat pendek, dan bintik-bintik
besar berwarna cokelat dan putih menutupi sekujur tubuhnya.
Sebenarnya, benda itu tampak seperti seekor sapi kecil.
Ia bergerak liar di sekitar semak-semak itu dan Harriet berbaring menempel ketat
ke tanah, yakin bahwa pengejarnya akan berada tepat di belakang. Moo-Moo berlari
melewati mereka dan menuju teras belakang, duduk di sana menunggu, hampir
tertawa. Dari balik semak-semak, Bunny datang. Harriet mundur lagi, tidak terlalu jauh,
cukup untuk tidak terlihat dan tidak kena lemparan sepatu.
Bunny memakai celana renang yang kecil dan ketat, kemeja yang sangat besar yang
menyembunyikan badannya yang gempal, serta topi jerami yang lebar dan datar.
Beth Ellen menahan napas.
Tergopoh-gopoh di belakang Bunny, mula-mula tampak si koki dengan wajah parutnya
dan istrinya yang gemuk pendek, yang berjalan seperti bebek dan megap-megap,
berusaha untuk mengejar. "Ternyata kamu di situ, Moo-ku, Moo-Moo-ku yang bandel," bujuk Bunny, mengangkat
binatang yang mirip sapi kecil itu dan menggendongnya dilengannya.
" Eh, voila," (Eh, itu dia,) kata si bos. Istrinya hanya bisa megap-megap.
Mereka memandang anjing itu. "Ia selalu berusaha untuk kabur,"
kata si koki penuh pengertian.
"Kaupikir, kamu nggak senang ada di sini, ya, Moo-Moo?" tanya Bunny, memandang
lembut pada mata anjingnya. Moo-Moo meloncat dari pelukannya, berjalan menuju
sebuah mangkuk, dan minum dari situ.
Ia bosan, pikir Harriet . Moo-Moo adalah seekor anjing yang sangat bosan.
"Hei Bunny," kata si koki, "kami menemukan zezuatu pagi ini di lemakhi ez."
"Apa?" tanya Bunny, matanya tidak beralih dari Moo-Moo.
Si koki menyerahkan pesan itu padanya. Bunny menatap kertas itu lama, lalu
membaca dengan suara nyaring:
sebuah jawaban lembut akan menolak kemarahan Ketiganya saling bertatapan, kemudian Bunny tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa
dan terus tertawa. Tawanya begitu keras sampai-sampai dia harus membungkuk dan
memegangi perutnya. Si koki tampak tersinggung. Istrinya mulai tertawa. Dia menutup wajahnya dengan
tangan untuk menutupi tawanya. Si koki menatap istrinya dengan marah. " Eh,
bien, guoi?" (Hei, ada apa") ujarnya keras, tangannya terlempar ke udara.
"Tepat, Pak Tua," kata Bunny, setelah tawanya berhenti, "jahat sekali, tapi
tepat." "Tepath?" tanya si koki dengan cemas.
"Begini ...," kata Bunny.
Istri si koki tertawa keras. Si koki menoleh seperti siap untuk memukulnya, dan
Bunny menyela, "Lagi pula, kamu betul-betul membuatku KO minggu lalu, kupikir
aku bahkan nggak akan bisa bermain piano."
Harriet dan Beth Ellen bertatapan dan mengangguk. Mereka juga ada di sana.
"Biarpun begitu, ini," lanjut Bunny, mengambil secarik kertas dari kemeja
besarnya, "untuk membuatmu merasa lebih baik, aku juga mendapat sesuatu yang
istimewa pagi ini." Bunny memandang berkeliling untuk melihat keberadaan Moo,
lalu membaca dengan suara sangat keras:
terkutuklah mereka yang bangun cepat pagi hari
hanya untuk minum minuman keras
Si koki mulai tertawa begitu keras dan agak culas. Istrinya ikut tertawa, dan
ketiganya tertawa bersama-sama. Bunny mengeluarkan tawa yang menular yang bisa
didengar sejauh satu blok.
"Kupikir itu nggak terlalu lucu," kata Beth Ellen judes. "Dia memang nggak
seharusnya minum terlalu banyak."
"Bukan itu yang membuat mereka tertawa, Bodoh," bisik Harriet .
"Mereka tertawa karena siapapun yang menulis kata-kata itu mengenal Bunny dengan
sangat baik." "Dan kemarin," kata Bunny, "aku dapat yang satu ini!" Sekali lagi dia mencari-
cari di sakunya, dan setelah mengeluarkan kertasnya, dia membaca:
jangan membenci ibumu ketika Dia tua
Bunny menatap kertas pesan itu lama, mendadak serius. "Yang mungkin memberi kita
petunjuk tentang orang yang meninggalkan pesan-pesan tercinta ini."
Harriet menyondongkan badannya ke depan dengan penuh rasa ingin tahu. Dia
menoleh dan berkata, " Hmmmmm," sangat keras pada Beth Ellen. Beth Ellen
sepertinya tidak tertarik pada pesan-pesan itu. Dia hanya terus menatap Bunny
dengan penuh kerinduan. "Wow," kata Harriet , "betapa cinta bisa meracuni pikiran. Dengar, aku akan
datang ke sini lebih sering lagi. Ini tempat yang besar, mereka sudah jelas
mendapat lebih banyak pesan; jadi, si penulis pesan harus berada di sini lebih
sering, betul nggak?"
Beth Ellen mengangguk dengan sentimental, matanya tidak pernah beranjak dari
Bunny barang semenit pun.
"Wah, panjang umur," kata Bunny dan memandang ke halaman.
Seorang wanita tua, kecil, tampak kesakitan, berjalan tertatih-tatih menggunakan
tongkat melintasi halaman. Saat sudah dekat dengan teras belakang, dia mulai
mengeluh, "Oh, tidurku tidak nyenyak. Aduh, kambuh lagi. Aduh, Tuhan, aku merasa
sangat buruk." "Oh, hebat," kata Bunny, sambil memukulkan salah satu tangannya ke kakinya,
"Satu lagi awal yang menakjubkan untuk satu lagi hari yang menakjubkan, satu
lagi pagi yang kacau di Shark'sTooth Inn!"
"Nak, aku tidak pernah mengerti pikiranmu karena membawaku ke tempat seperti
ini. Rematik ini membunuhku, dan tempat ini merupakan salah satu tempat yang
paling lembap di Amerika!"
Bunny melesat ke dalam, kemejanya yang besar dan Moo-Moo berkibar di
belakangnya. Si koki dan istrinya juga masuk melalui pintu seolah-olah mereka
semua digiring masuk oleh kata-kata wanita tua itu.
Sang wanita tua mengomel sambil berjalan mengikuti mereka dan membanting pintu
kasa itu. Harriet dan Beth Ellen menunggu sejenak, tapi tidak terjadi apa-apa lagi. Beth
Ellen menghela napas. "Oh, minta ampun," kata Harriet .
Mereka merangkak keluar dari semak-semak. Kaus mereka cokelat karena lumpur.
Harriet mengambil buku catatannya, yang tidak pernah lepas dari sisinya, tempat
dia menulis segala hal yang sudah terjadi padanya. Beth Ellen menggigit jari
seolah-seolah giginya sakit.
Harriet menuliskan semuanya, menaruh beberapa tanda seru di belakang komentar-
komentar tentang kelakuan Beth Ellen terhadap Bunny, dan menutupnya dengan
kalimat ini: Sekarang masalahnya, siapa yang ingin meninggalkan pesan-pesan seperti ini"
Pasti seseorang yang membaca Alkitab karena pesan-pesan itu sepertinya dikutip
langsung dari Alkitab. Siapa yang BENAR-BENAR membaca Alkitab" Apa ada orang
yang melakukannya" Apakah ibuku membacanya" Cari tahu, periksa hal ini
5 Cita-Cita Beth Ellen Harriet menyimpan bukunya dan menyadarkan Beth Ellen yang sedang berdiri seperti
orang kena sihir. "Kamu mau pergi ke pantai?"
"Ya" ujar Beth Ellen dan tersenyum sangat bahagia. Mereka meloncat menaiki
sepeda mereka, dan memutar menuju pantai.
Sesampainya di sana, mereka menyimpan sepeda mereka di puncak sebuah bukit
supaya bisa diawasi dari pantai. Harriet mengambil handuk pantainya yang
berwarna kuning, bekal makan siangnya, lalu mengeluarkan buku catatannya dan
keranjang itu dan mulai berjalan menuruni bukit. Beth Ellen membawa papan
gambarnya, bekal makan siangnya, dan handuk pantainya yang berwarna putih dan
oranye terang. Pasir pantai terasa panas. Tidak ada angin. Pasir pantai membakar telapak kaki
dan masuk ke sepatu kanvas mereka. Mereka berjalan terseok-seok menuju air. Di
sana lebih sejuk. Harriet melihat berkeliling untuk mencari tempat yang nyaman. Dia menemukan
sebuah tempat tidak jauh dari dua orang ibu-ibu yang sedang duduk mengawasi
anak-anak balita mereka. Mereka sedang mengobrol seru. Harriet berharap dia bisa
menguping mereka tanpa tampak terlalu kentara.
Keduanya melebarkan handuk-handuk mereka. Beth Ellen melepaskan celana pendek,
sepatu kanvas, dan kausnya, lalu duduk dengan memakai baju renangnya. Dia
memandang lautan. Setelah memandangi Bunny, laut jadi tampak membosankan.
Harriet melepaskan kaus, celana pendek yang penuh dengan pengait dan peralatan
untuk memata-matai, dan sepatu kanvasnya, lalu berlari seperti kilat menuju air.
Larinya begitu cepat sehingga baju berenangnya yang bergaris-garis putih dan
merah tampak seperti kilatan berwarna merah muda. Beth Ellen memandanginya, lalu
melompat dan mengikuti. Harriet meloncat-loncat seperti benda liar menuju laut.
Ketika air laut sudah mencapai perutnya, dia menyelam ke dalam air. Beth Ellen
memerhatikan dengan tatapan iri. Dia tidak akan pernah bisa seperti Harriet ,
lari begitu saja ke dalam air. Beth Ellen harus selalu membujuk dirinya sendiri,
berjalan pelan-pelan menyusuri pantai, lalu menahan napas dan berlari pada saat
yang paling tidak dia harapkan. Tahun-tahun yang dia lewatkan untuk belajar
berenang di berbagai tempat sama sekali tidak berguna karena dia yakin, begitu
masuk ke air, dia akan tenggelam.
Beth Ellen buru-buru mencebur, jantungnya berdebar kencang.
Airnya tidak terlalu dingin. Badannya basah kuyup. Dia lalu melihat berkeliling
mencari Harriet . Harriet seolah-olah akan berenang ke Eropa.
"Hei!" teriaknya pada sebuah kepala yang sedang timbul tenggelam.
Mendadak Harriet berhenti dan berdiri. Airnya dangkal. Beth Ellen merasa agak
idiot karena begitu takut pada air yang begitu dangkal.
"Hei, Tikus! Ayo kemari!" teriak Harriet . Beth Ellen berlari menyusun air yang
setinggi lutut. Meskipun begitu, saat sebuah ombak menerjangnya, dia merasa
sudah cukup. Mereka bermain-main dan berenang lama, mata-hari yang terik membakar punggung
dan wajah mereka. Air dingin di sekeliling mereka membentuk garis biru panjang
yang tidak menuju ke mana pun.
"Ayo kita makan," kata Harriet , dan mereka mulai berenang kembali. Harriet
berhasil menemukan sebuah ombak kecil yang membawanya sedikit ketepi, tapi Beth
Ellen tetap berjalan dengan gontai, selalu melihat ke belakang untuk melihat
kalau kalau ada ombak yang akan menenggelamkannya.
Ketika mereka tiba kembali di tempat handuk-handuk itu, basah kuyup, kepanasan,
dan sedikit merasa asin pada lidah, keduanya menjatuhkan diri ke atas handuk dan
menarik kotak makan siang mereka. Beth Ellen mengambil sepotong roti isi
danmulai memakannya. "Apa isinya?" tanya Harriet .
"Keju paprika."
Harriet mengeluarkan beberapa potong roti isi. Semuanya tomat.
Beth Ellen tahu semuanya berisi tomat, jadi dia bahkan tidak bertanya.
Semuanya selalu tomat. Sepanjang ingatannya, Harriet selalu membawa roti isi
tomat, ke sekolah pada musim dingin, dan ke pantai pada musim panas.
Sambil mengunyah sepotong, Harriet bertanya, "Kamu mengerti semua bahasa Prancis
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi?" "Memangnya tadi itu bahasa Prancis?" jawab Beth Ellen sambil memandang ke laut
dan mengunyah. Mendadak dia merasa sebal pada Harriet dan roti isi tomatnya.
Mata Harriet membelalak. "Kamu tahu, Beth Ellen, kadang-kadang aku membayangkan
di mana jiwamu sebenarnya ketika badanmu ada di sini." Beth Ellen memandangnya
sekilas tanpa menunjukkan perasaan apa pun, juga tanpa tampak memikirkan apa
pun. Mereka terus makan tanpa berkata-kata.
Harriet menajamkan pendengarannya agar bisa mendengar percakapan kedua ibu muda
itu, tapi dia hanya bisa mendengarkan laut.
Mungkin, pikirnya, kalau aku menempelkan cangkang kerang ketelingaku, aku bisa
mendengar mereka. Dia tertawa sendiri, tapi memutuskan untuk tidak mengatakan
apa pun pada Beth Ellen karena itu kedengaran gila.
Kadang-kadang, sulit bicara dengan Beth Ellen karena dia akan menatapmu dengan
mata yang begitu besar dan kosong sehingga kau mulai bertanya-tanya, apa yang
sudah kau ucapkan. Harriet mengeluarkan buku catatannya dan menelusuri tulisan-tulisannya.
"Menurutmu, siapa yang bisa melakukan ini?" tanyanya pada Beth Ellen.
"Apa?" tanya Beth Ellen.
"Meninggalkan pesan-pesan itu!" teriak Harriet. Benar deh, anak ini kadang-
kadang seperti idiot. "Oh," kata Beth Ellen, membelalakkan mata pada Harriet, "Aku nggak punya ide."
"Huuh!" kata Harriet kesal.
Beth Ellen terus menatap sampai Harriet melihat kembali ke buku catatannya.
Kemudian, dia mengambil papan gambarnya dan sebatang pensil. Beth Ellen mulai
menggambar seorang wanita gemuk yang sedang dimakan kura-kura, tapi dia merasa
bosan dan mulai menggambar dua ibu dan anak-anak mereka.
Harriet menyimpan buku yang berisi catatan hasil memata-matai dan mengambil buku
lain tempat dia menulis sebuah cerita berjudul
"Hotel Angker". Dia membaca kembali hal-hal yang sudah ditulisnya terakhir kali,
dan menurutnya, tulisannya luar biasa.
Harriet mengosongkan beberapa halaman karena dia tidak ingin melanjutkan cerita
itu sekarang. Sudah dua hari ini dia mencoba menulis puisi.
Baru-baru ini, dia berkenalan dengan puisi, dan sesuatu mengenai penghematan
kata di dalam puisi menarik hatinya. Dia duduk tenang, sangat tenang, memandang
ke arah laut, tapi memikirkan suatu hari saat musim gugur yang lalu. Pada hari
itu, dia berdiri di sebuah taman di seberang sekolahnya di New York. Dia
memerhatikan si Pria Riang yang membersihkan hidungnya dengan saputangan
berwarna biru cerah. Tulisan itu tentang hujan dan Harriet merasa tersesat. Perasaan-perasaan yang
muncul begitu saja dan tidak terkait dengan apa pun selalu memukaunya. Dia
menulis: Hari itu akan hujan Dia memandang tulisan itu, lalu mencoretnya dan menulis: Sebelum hujan
Dia lalu menulis: Taman ini Dan mengubahnya menjadi: Dunia ini Sekarang dia punya: Sebelum hujan Dunia ini Harriet duduk sambil memikirkan keadaan taman tersebut hari itu, begitu hijau,
begitu penuh harapan, tenang, dan tegang. Dia memikirkan kata-kata, seperti
"menunggu", "diam", "lelah", tapi semuanya tidak terasa pas. Dia memikirkan kata
"muda" dan mulai menyatukan kata-kata seperti "kehijauan yang menunggu",
"rerumputan yang melukai", dan
"pohon yang ketakutan". Lalu tiba-tiba, dia menulis: Sebelum hujan
Dunia ini Hijau Tapi, sisanya harus ada di situ. Mendadak, dia ingin semuanya berima. Apa yang
berima dengan hujan" Hujan, hutan, dahan. Dia memutuskan untuk menelusuri sesuai
abjad: An (tidak ada). Batuan (jelek ... oh, ya, Bahan).Curahan.
Dahan (Dahan panjang di pohon")
Han (tidak ada). Va ampun, aku lupa abjad.
Dahan. Ean (tidak ada).Fan (fans").
Gambaran (tanpa gambaran apa pun").
Tidak.Sambil memikirkan frase-frasenya lagi, dia sedikit mengernyit dan
berpikir, Membosankan. Ini agak mirip dengan permainan scrabble, pikirnya dengan
gembira dan mulai lagi. Hujan (sudah ada). Ian (Siapa Ian" Tidak ada teman yang bernama Ian).
Jan (Janie").Kan (tidak ada).
Landasan (dan di dalam taman, sebuah landasan" Mungkin. Nggak.
Jelek). Makan. Nan (tidak ada).O (tidak ada).Penderitaan (nah, itu!).
Memang seperti penderitaan, tatapan yang di-miliki dunia. Dia menulis: Dan
dipenuhi penderitaan Tidak, tidak. Dia menggantinya menjadi:
Dan penuh penderitaan Bukan itu. Itu lebih jelek lagi. Dia mencoretnya dan menulis: Dan dalam
penderitaan Sejenak Harriet berpikir untuk melupakan semuanya. Tapi tidak, ini menyenangkan.
Dia malah meneruskan daftar itu.
Q (tidak ada). Riskan (jelek). Sinaran (siraman" Siraman mentari" Mungkin. Tidak).
Tan (tidak ada). Van (tidak ada). X (tidak ada). Y (tidak ada). Z (tidak ada). Huuuh, pikirnya, dan duduk mencerna kata itu, penderitaan. Dia memandang ke
sekitar pantai itu. Tidak banyak yang berubah. Beth Ellen berbaring tengkurap,
menggambar dengan hidung dekat ke kertas.
"Kamu menggambar apa?" tanya Harriet, berbalik untuk melihatnya.
"Rumah yang sedang terbakar," jawab Beth Ellen tenang.
"Kamu suka menggambar kan?" tanya Harriet.
"Ya." "Kalau begitu, kamu mau menjadi seniman?"
"Aku nggak tahu."
"Jadi seniman saja," kata Harriet, memutuskannya sebagai pemecahan masalah bagi
Beth Ellen. Beth Ellen duduk dan menatap bagian belakang leher Harriet lama.
"Aku nggak," ujarnya pelan, "mau jadi apa pun juga."
Harriet tidak berbalik, tapi berkata, "Itu menggelikan. Bagaimana mungkin kamu
melakukannya?" "Aku mau jadi dewasa dan menikah dengan pria kaya. Aku mau punya seorang anak
laki-laki dan, mungkin, seorang anak perempuan.
Aku mau pergike Biarritz."
Harriet menatapnya. "Itu hal paling membosankan yang pernah aku dengar." Dia
menatap langsung ke mata Beth Ellen.
"Lagi pula, ada apa di sana?" tanya Harriet .
"Di mana?" tanya Beth Ellen, tahu jelas maksudnya.
"BIARRITZ! "teriak Harriet ."BETH ELLEN, KADANG-KADANG KAMU
MEMBUATKU GILA!" "Yah," ujarnya sambil berpikir: Mamaku ada di Biarritz.
"Dengar," kata Harriet sabar, seolah-olah dia sedang berbicara pada seorang anak
kecil, "Kamu baru dua belas tahun. Kamu akan melupakan hal ini."
"Aku nggak akan melupakannya."
"Oh, tentu. Apa yang ingin kamu kerjakan" Memeras seseorang?"
"Ya." "Kamu akan membosankan. Kamu akan jadi orang paling membosankan." Muka Harriet
menjadi sangat merah. "Nggak akan ada orang yang datang mengunjungimu. Aku pasti
nggak bakal datang untuk mampir di rumahmu. Aku akan bekerja. Aku nggak akan
punya waktu untuk omong-kosong semacam itu. Kamu akan memintaku melihat foto-
foto bayimu. Kamu akan meminta semua orang melihat gambar-gambar bodoh itu
sepanjang waktu dan nggak seorang pun ingin melihat." Harriet berhenti agak
mendadak, sadar bahwa dia sedang berteriak. Dia berpikir, kenapa aku ini" Aku
nggak peduli apa yang akan Beth Ellen lakukan.
"Aku akan punya banyak bayi dan pergi ke Biarritz," kata Beth Ellen penuh wibawa
dan bertelungkup kembali.
Kemudian hening. Yah, pikir Harriet. Harriet mengambil buku tempat dia menulis
catatan-catatan tentang orang-orang dan menulis: Kau nggak pernah bisa mengenal
orang-orang. Kenapa ada orang yang mau melakukan hal itu" Beth Ellen sudah
sinting. Mungkin aku juga harus mempertimbangkan soal punya bayi. Apakah aku mau
bayi" Apa yang akan aku lakukan dengan bayi itu" Dia pasti akan menangis terus
dan ingin disuapi. Dan semua popok itu. Wah.
Harriet meletakkan kedua buku itu dan tidur telentang. Dia berusaha menatap
langsung ke matahari. Tapi, karena silau dia tidak bisa.
6 Mama Zeeney akan Datang Tiga hari kemudian, Beth Ellen duduk di dalam kamarnya, menulis sepucuk surat
untuk dirinya sendiri. Halo Aku, Kenapa aku begitu berbeda" Kenapa aku nggak pernah bahagia"
Apakah semua orang seperti ini, atau apakah hanya aku saja" Aku benar-benar
seekor tikus. Aku sama sekali nggak punya keinginan untuk menjadi diriku.
Selamat tinggal, Tikus Telepon berbunyi. Beth Ellen mendengar Susie di lantai bawah mengangkatnya, lalu
memanggil namanya, "Nona Beth! Nona Beth, telepon untukmu." Beth Ellen berdiri
lalu pergi ke kamar kakeknya untuk menjawab karena di kamarnya tidak ada
telepon. "Halo?" "Hai." Ternyata Harriet .
"Kenapa kamu nggak ke sini?" tanya Beth Ellen, tiba-tiba merasa kesepian.
"Sekarang sedang hujan" kata Harriet sangat jengkel. "Kamu saja yang ke sini.
Harry bisa mengantarmu, tapi aku kan cuma punya sepeda."
"Oke." "Jadi, kapan?" "Aku harus tanyakan dulu." Beth Ellen merasa sangat samar.
"Ya sudah, tanya!." Kadang-kadang, Harriet seperti tidak pernah punya kesabaran.
"Oke." Beth Ellen meletakkan gagang telepon dan lari ke kamar neneknya. Dia
membuka sedikit pintu itu dan melihat bahwa ruangan itu gelap. Neneknya sedang
tidur. Dia menutup pintu itu perlahan dan lari ke dapur. Sarah si juru masak
sedang membuat makan siang untuk pembantu dan supir.
"Bisakah kau mengantarku ke rumah Harriet?" tanyanya pada Harry yang ada di
balik surat kabar. "Kamu tidak boleh pergi sebelum kamu minta izin kepada nenekmu," kata Susie.
"Kenapa?" Mata Beth Ellen menjadi sangat besar.
"Sesuatu telah terjadi," kata supirnya sambil memiringkan tubuh dan balik surat
kabarnya. Wajahnya dihiasi senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi.
"Apa?" "Jangan hiraukan dia," kata Sarah. "Nenekmu punya sesuatu untuk diceritakan
padamu dan dia ingin menceritakannya langsung setelah bangun tidur siang. Dia
berpesan begitu." Dua kata terakhir terdengar seperti ancaman. Jika neneknya meninggalkan pesan
tentang sesuatu, pasti ada sesuatu yang serius. Beth Ellen berbalik tiba-tiba
dan meninggalkan dapur. Dia lari ke atas menuju telepon.
"Aku nggak bisa ke sana," ujarnya pada Harriet di ujung sana.
"Kenapa?" "Aku harus tinggal di rumah. Nenekku mau bicara denganku.
Sesuatu telah terjadi." Beth Ellen mulai merasa penting.
"APA?" Harriet memekik. Dia tidak tahan jika tahu ada sesuatu yang telah terjadi
tanpa sepengetahuannya. "Aku nggak tahu."
"Baiklah, kalau kamu sudah tahu, maukah kamu meneleponku?"
"Ya." "Oke. Sampai nanti!"
"Tunggu! Harriet ?"
"Ya?" "Dengar Harriet, aku sudah mencobanya. Kamu ingat pernah bilang padaku kalau aku
harus menulis lagi" Yah, aku sudah mencoba dan aku membencinya."
"Apa yang kamu tulis?"
"Surat untuk diriku sendiri."
"Menulis surat nggak sama dengan menulis," kata Harriet tegas.
"Ngomong-ngomong, apa isinya?"
"Itu pribadi." "Jadi, kenapa karnu menceritakan soal itu padaku, Bodoh?"
"Karena kupikir aku akan mencoba lagi seperti katamu, tapi aku membencinya."
"Dengar Beth Ellen" - Harriet kedengaran sangat kasar-"kamu harus menemukan satu
profesi, cepat atau lambat, kamu tahu itu."
"Aku nggak mau bekerja. Aku membencinya."
"Kamu harus melakukan sesuatu'. Kamu nggak bisa cuma tidur-tiduran."
"Kenapa nggak?"
"Pokoknya NGGAK BISA !" Harriet benar-benar berteriak kali ini.
"Tapi, aku harus melakukan sesuatu yang aku suka!." kata Beth Ellen dengan suara
panik. "Baiklah!." Sepertinya Harriet sudah menjadi tenang. "Jangan khawatir, kita akan
pikirkan sesuatu. Dengar, ngomong-ngomong, apakah dirumahmu ada orang yang
sering membaca Alkitab?"
"Kenapa?" "KENAPA KADANG-KADANG KAMU BODOH SEKALI SIH?" Teriakan Harriet pasti terdengar
sampai Kansas. Dia melanjutkan dengan sabar,
"Kita harus mencari tahu apakah semua kutipan itu berasal dari Alkitab, dan jika
ya, kita sedang berurusan dengan seorang religius yang fanatik.
Kita harus tahu siapa yang harus DICARI!" Suaranya mulai tidak terkendali lagi
akhirnya. "Aku akan tanyakan," kata Beth Ellen dengan lelah.
"Oke. Pekerjaan yang bagus. Nah, jangan lupa untuk langsung meneleponku kalau
kamu sudah tahu berita dari nenekmu."
"Oke," kata Beth Ellen sambil berpikir: Berita dari nenekku itu sama sekali
bukan urusan Harriet Welsch.
"Oke, dah." "Dah." Beth Ellen menutup telepon dan memandang ke sekeliling ruangan.
Ruangan itu berwarna biru gelap dan dalam cahaya yang temaram, tampak
menyeramkan. Semuanya tampak biru - seprai beludru tebal, karpet tebal, dan gorden
tebal yang tidak pernah dibuka untuk membiarkan cahaya matahari masuk. Kakeknya
meninggal tujuh tahun yang lalu. Dia mengingatnya dengan perasaan aneh. Kakek
selalu memberi Beth Ellen 25 sen setiapkali mereka bertemu, dan itu
menyenangkan; tetapi sebelum memberikan 25 sen itu, kakeknya selalu bertanya
apakah dia juara kelas di sekolahnya. Beth Ellen akan menjawab
"Ya," dan mendapatkan 25 sen itu. Aneh, karena saat itu dia belum mulai
bersekolah. Umurnya baru empat tahun. Tapi, karena itu Beth Ellen mencintai
kakeknya. Beth Ellen menatap sebuah ceruk di dinding. Sebuah altar kecil berdiri di situ
dengan sebuah Alkitab sangat besar terbuka di atasnya. Di atas altar tersebut
berdiri dua batang lilin dan sebuah tempat kecil untuk berlutut. Di atas altar
tersebut, di dinding itu, tampak lukisan Perawan Maria yang kecil dan indah.
Beth Ellen kerap bertanya tentang hal ini, dan neneknya mengatakan bahwa pemilik
lama rumah ini adalah penganut Katolik dan neneknya membiarkan segala sesuatunya
seperti saat rumah ini ditinggalkan karena semuanya indah.
Beth Ellen duduk sambil memikirkan tentang orang-orang Katolik.
Apa rasanya menjadi Katolik" Apakah kau akan lebih banyak merasakan dibanding
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang lain" Mungkin untuk hal-hal yang lebih indah. Mungkin kepalamu berisi hal-
hal indah. Dia memikirkan tentang berada di gereja bersama neneknya. Dia
menghampiri Alkitab itu dan membaca halamannya yang terbuka. Apakah neneknya
membaca Alkitab" Ya, tapi bukan yang ini. Nenek membaca Alkitab yang ada di
pinggir tempat tidurnya. Apakah juru masak, supir, dan pembantu di rumahnya juga
membaca Alkitab" Dia tidak tahu, pikirnya, dan aku tidak terlalu peduli.
Dia menyadari kalau Alkitab itu terbuka pada bagian kitab Mazmur. Beth Ellen
membaca sebuah kalimat, "Oh, nyanyikanlah bagi Tuhan sebuah kidung baru."
Kuharap aku punya satu kidung baru untuk dinyanyikan, pikirnya. Mendadak, Beth
Ellen menjadi sangat bosan dan ingin menutup buku itu. Akan tetapi, dia tidak
melakukannya karena buku itu lebih indah jika terbuka. Satu-satunya orang yang
kusukai dalam Alkitab adalah Yeremia, pikirnya lelah.
Beth Ellen memandang berkeliling, lalu meninggalkan altar itu dan menutup pintu.
Kemudian, dia mengambil sebuah buku dari bawah tempat tidur yang jauh lebih dia
sukai. Buku itu jarang sekali dia tinggalkan, dan dia menyembunyikannya di kamar
ini karena tidak ada seorang pun yang masuk, kecuali untuk membersihkan kamar,
dan tampaknya mereka tidak pernah membersihkan bagian bawah tempat tidur. Dia
membuka pintu perlahan-lahan, berencana untuk membawa buku itu ke kamarnya. Dia
melihat Susie keluar dari kamar neneknya.
Wanita itu memberi isyarat padanya.
"Nenekmu sudah bangun sekarang," katanya tersenyum bersahabat.
"Baiklah," kata Beth Ellen.
"Masuklah dan bicara padanya," kata Susie, masih dengan senyum penuh arti, dan
menuruni tangga. Beth Ellen menunggu sampai wanita itu pergi, lalu kembali ke kamarnya dan
menyimpan buku itu dibawah tempat tidurnya. Kemudian, dia pergi dan mengetuk
pintu kamar tidur neneknya. Jawaban "Masuk,"
dari neneknya terdengar riang. Beritanya pasti tidak terlalu buruk, pikir Beth
Ellen saat membuka pintu.
"Masuklah, Sayang, Nenek punya berita baik untukmu." Nyonya Hansen duduk di
tempat tidur dan tampak ceria. Beth Ellen berdiri di pinggir tempat tidur. Dia
menyadari bahwa garis-garis kecil di sekeliling mata neneknya berwarna ungu. Dia
berpikir-pikir, akankah aku punya mata ungu kalau aku sudah tua"
"Coba tebak!" Mata neneknya bersinar.
Beth Ellen membisu. "Ibumu akan pulang!" Neneknya mengatakan hal ini dengan suara yang sedikit
bergetar karena gembira. Beth Ellen berdiri beku di tempatnya. Dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk
dikatakan. Dia berpikir, kenapa Mama ingin datang kemari"
Ibunya benci Amerika. "Dia akan pergi ke Paris pagi ini, dan biarpun tidak mengatakan kapan tepatnya,
dia akan terbang langsung ke New York dari sana.
Menurutnya, Paris benar-benar mati selama musim panas, jadi kupikir dia tidak
akan lama tinggal di sana." Senyum lebar menghiasi wajah neneknya. Dia memandang
Beth Ellen, menunggu. Beth Ellen tidak bisa memikirkan apa-apa untuk dikatakan. Beth Ellen merasa, dia
diharapkan untuk mengatakan sesuatu, jadi dia berkata, "Bagaimana Nenek bisa
tahu?" Mata neneknya melebar. "Yah, aku tahu karena dia menelepon! Dia meneleponku dari
Athena! Menyenangkan bukan?"
Beth Ellen hanya berdiri, merasa tolol. Apakah kesenangan yang dia rasakan saat
ini" Dia tidak tahu harus merasakan apa. Dia ingat ibunya sebagai gambaran kabur
berwarna putih dengan topi putih yang lebar.
"Itu ciri khas Zeeney. Dia tidak pernah bisa mengatakan kapan dia akan datang.
Sejak kecil, dia sudah benci kalau dipaksa memberikan informasi yang tepat.
Kupikir, itu sebabnya dia tidak pernah bisa berada lama di satu tempat. Tapi,
itu tidak masalah, bukan" Aku mendapat hadiah anak yang paling menawan di dunia.
Tapi, coba pikirkan! Kamu belum pernah bertemu ibumu sejak kakek meninggal,
sejak kamu berumur lima tahun! Ini pasti kabar yang paling menyenangkan bagimu
di dunia ini!" Nyonya Hansen mengatakan ini dengan sangat antusias, lalu menatap
Beth Ellen dengan pandangan menyelidik.
Mendadak, Beth Ellen ingin berlari, menangis, tertawa, mencakar, berteriak, dan
melompat dari jendela, semua dilakukan pada saat yangbersamaan. Dia juga merasa
dipaku ke lantai. Kalau saja dia bisa keluar dari kamar itu, jauh dari tatapan
itu, dan membawa berita itu, cepat seperti tupai, ke kamarnya.
"Nenek, aku akan kembali lagi. Aku lupa menyelesaikan sesuatu yang sedang
kukerjakan."Dia menahan napas.
"Oh, Sayangku yang malang. Kemarilah, Sayang." Nyonya Hansen mengulurkan
tangannya. Ini mengerikan, hal paling mengerikan yang bisa terjadi. Jantung Beth Ellen
berdebar ketakutan. Jika Nenek menyentuhku, jika Nenek memelukku, jika Nenek
mengatakan satu kata saja, aku akan tenggelam dalam air mata. Beth Ellen lari
dari kamar itu. Dia lari secepat mungkin menuju ruang tengah. Dia mendengar
neneknya memanggil, tapi dia tahu, neneknya tidak akan mengejarnya, jadi dia
lari ke kamarnya dan menutup pintu.
Beth Ellen berdiri dengan satu tangan pada pegangan pintu sambil memandanginya.
Benda itu terbuat dari kuningan dan diukir. Dia menatap ukirannya yang melingkar
rumit di sepanjang gagang pintu yang berbentuk tabung.
Dia pergi dan duduk di tepi tempat tidur. Mama-ku, pikirnya, kemudian mencoba-
coba, "Ibu." Ia mengatakannya keras. "Ibu."
Suaranya terdengar seperti dengkuran halus dalam kamarnya yang hening.
Tidak. Tidak ada. Dia tidak merasakan apa-apa. Apa yang harus dirasakan" Apa
yang seharusnya dirasakan seseorang" Neneknya menggunakan kata "menyenangkan".
Itu dipakai kalau sesuatu yang indah akan terjadi. Atau untuk pekerjaan mata-
mata bersama Harriet , seperti kemarin, itu menyenangkan. Dia tidak merasa
senang. Ini bukanlah rasa senang. Ini lebih mirip dengan rasa sakit. Seperti
rasa sebuah gigi tepat sebelum gigi itu akan sakit. Bukan saat gigi itu mulai
sakit, karena saat itu sakitnya sudah terasa. Dia tidak merasa sakit. Dia hanya
merasa agak lemah dan ...peka.
Beth Ellen berusaha mengingat semua hal yang bisa dia ingat tentang ibunya.
Gambaran putih besar yang kabur, topi putih besar, anggrek ... oh, ya, dia lupa
soal anggrek itu ... Kenapa sekuntum anggrek" ... Wallace ... sekarang dia
merasakan sesuatu ... Akhirnya, dia akan bertemu Wallace ... si Wallace yang ada
di dalam surat-surat itu ...
SiWallace yang begini dan si Wallace yang begitu ...dan foto-foto ibunya,
seorang wanita yang ramping, tinggi, dan cantik ... dan Wallace, seorang pria
kurus, ganteng, pirang ... dengan baju ski ... ditepi pantai ... sedang memegang
gelas minuman dalam sebuah pesta ... sedang pergi naik perahu ...sedang pergi
naik pesawat ... sedang pergi ke suatu tempat dengan menunggang kuda ... dengan
unta ...dengan gajah. Beth Ellen sudah melihat setiap foto itu begitu mereka tiba.
Neneknya berniat memberinya beberapa supaya dia bisa memandanginya sendirian di
kamarnya, tapi dia berkata, "Tidak, terima kasih," dengan sopan dan bertanya
pada dirinya sendiri, "Untuk apa?" Mereka adalah dua orang asing yang sekarang
tampak akrab. Seperti ketika kau merasa mengenal seseorang di jalan dan ternyata
kau sadar kalau dia hanya seorang bintang film.
Jadi, foto-foto itu akan bergerak sekarang. Dia memikirkan mereka hampir seperti
boneka-boneka yang didandani. Mereka punya baju berkuda, baju renang, baju untuk
berjalan-jalan, baju untuk pesta malam, dan saat dia melihat mereka, mereka akan
mengenakan baju bepergian lengkap dengan semua aksesorisnya. Atau mungkin baju
untuk daerah pedesaan karena mereka akan datang ke Water Mill. Wallace akan
memakai jaket wol ... tidak, sekarang kan musim panas.
Tiba-tiba, Beth Ellen merasa sangat lelah. Meskipun sudah berusaha keras, dia
tidak bisa menemukan satu pun emosi yang bisa dikaitkan dengan berita ini. Dia
berbaring di tempat tidur. Dia meraba seprainya.
Rasanya menyenangkan bisa merasakan sesuatu dengan tangannya, sesuatu yang
nyata. Apakah ibunya datang untuk membawanya pergi, seperti sesuatu yang dia
beli di toko pakaian dan tidak sabar menunggu sampai benda itu diantar" Apakah
neneknya akan membiarkan mereka membawanya" Apakah neneknya ingin dia pergi" Di
mana aku tinggal" Beth Ellen berpikir, lalu mulai menangis. Dia menangis lama sekali, lalu jatuh
tertidur, wajahnya tertelungkup di atas kain yang basah oleh air mata.
Satu jam berlalu. Sebuah ketukan terdengar dipintunya. Beth Ellen bangun dan
membukanya. Ternyata Susie.
"Nyonya Hansen menyuruhmu pergi ke kamarnya." Susie menatap Beth Ellen dengan
pandangan ingin tahu. "Baik," kata Beth Ellen, lalu sambil berbalik,"Terima kasih."
"Terima kasih kembali, Sayang," kata si pembantu dan pergi dengan cepat menuruni
tangga. Beth Ellen mati rasa. Dia ingat semuanya. Dia pergi ke kamar mandi dan mencuci
muka, lalu berjalan keluar dan turun menuju kamar neneknya. Dia mengetuk pintu.
Ketika mendengar suara neneknya, dia membuka pintu. Bagi Beth Ellen, tindakan
sederhana itu penuh tekad kuat.
"Nah, Sayang, sudahkah kamu menyelesaikan pekerjaanmu?"
"Ya." "Duduklah di sini dan katakan padaku, bagaimana perasaanmu tentang kedatangan
ibumu?" Beth Ellen duduk dan menatap neneknya. Ada secercah sinar yang hampir mirip
dengan perlawanan di bola matanya yang bulat dan biru.
Neneknya sepertinya tidak menyadari hal itu. "Bukankah ini hal yang paling
menyenangkan" Pikirkan, bukan saja kau akan bertemu ibumu, tapi aku juga akan
melihat anakku setelah tujuh tahun berpisah!
Aku benar-benar menyukainya, kalau cuma untuk sebentar. Dan Wallace!
Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Wallace'. Menurut ibumu, dia sangat
memesona! Bukankah semua ini begitu menyenangkan?"
"Tidak." "Apa, Sayang?" "Tidak." "Tidak, apa?" "Tidak, ini tidak menyenangkan."
"Kenapa, apa maksudmu, Sayang?"
"Buatku, ini tidak menyenangkan."
"Kenapa, apa yang sedang kamu bicarakan" Tentu saja ini menyenangkan. Ini saat
yang paling menyenangkan dalam hidupmu yang muda. Nenek bisa membayangkan. Kalau
aku akan bertemu ibuku setelah tujuh tahun, aku pasti akan merasa sangat-sangat
senang, jadi aku tahu hal yang pasti kamu rasakan."
"Tidak ada." "Apa?" "Aku tidak merasakan apa pun."
"Hei, itu menggelikan. Tentu saja kamu merasakan sesuatu."
"Aku tidak." Suara Beth Ellen terdengar tajam. Sebenarnya dia tidak merencanakan
hal itu. Dia sendiri merasa sedikit heran oleh sikapnya sendiri. Namun, apakah
dia salah karena merasa kalau neneknya tampak sedikit senang di balik semua
reaksi terkejutnya" "Beth Ellen Hansen! Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu?"
"Tidak ada apa-apa."
"Kemari sekarang juga dan biarkan aku melihat wajahmu. Aku tidak bisa melihat
sejauh itu." Beth Ellen berdiri dengan patuh, lalu melangkah ke tepi tempat tidur. "Kamu
habis menangis," kata neneknya terkejut.
"Tidak." "Ya, kamu habis menangis. Tidak ada salahnya jika kamu menangis. Kenapa harus
berbohong soal itu" Aku agak senang kamu punya perasaan tentang hal ini."
Neneknya mengatakan ini, tapi dia sama sekali tidak tampak senang. "Aku tidak
mau kamu bersikap seperti ini di depan ibumu kalau dia sudah ada di sini.
Pikiran ibumu penuh tipu daya.
Dia akan berpikir kalau nenek sudah membuatmu menentangnya dengan cara-cara
licik. Kukira, kenanganmu tentang dirinya tidak cukup baik untuk bisa mengingat
hal-hal seperti itu, bukan?"
Beth Ellen menggelengkan kepalanya. Dia senang karena percakapan itu beralih
darinya pada diri ibunya. Seperti apa ibunya dahulu" Orang macam apa"
Seakan-akan memberi jawaban, neneknya mulai berbicara.
"Dia wanita yang sangat hidup, ibumu itu. Dia cantik sekali, penuh semangat,
wanita yang paling menyenangkan. Dia bisa mengubah seruangan penuh pria cerdas
menjadi orang-orang idiot yang gagap hanya dalam beberapa detik setelah dia
masuk. Tapi, pikirannya melayang-layang, selalu berubah, dan selalu mengambil
jalan pintas yang misterius. Wallace, kukira, merupakan salah satu jalan
pintasnya." Nyonya Hansen mengatakan kalimat terakhir sambil menatap ke luar jendela,
seakan-akan Beth Ellen tidak ada di ruangan itu.
"Ayahmu, tentu saja, orang yang sangat berbeda. Agak kaku, tapi benar-benar
mudah disukai. Dia tidak pernah banyak bicara. Dia bahkan tidak mengatakan apa
pun saat dia pergi pagi itu - hanya bangun, menyiapkan tas, dan pergi untuk
selamanya. Beth Ellen sedikit menyukai hal itu. Setidaknya, ayahnya kedengaran seperti
orang yang masuk akal. "Tapi ibumu, selalu liar, dahulu dan sekarang, dan dia akan selalu menjadi liar.
Dia orang yang aneh, senang berfoya-foya, dipuja karena beberapa hal sekaligus
dihindari karena hal lain. Dia juga sangat mudah gugup, mudah tegang seperti
kuda." Beth Ellen membayangkan seekor kuda dengan topi putih yang besar. "Kamu akan
menyukainya, aku yakin." Neneknya memandang Beth Ellen dengan penuh keraguan.
"Yah, mungkin 'suka' bukan kata yang tepat. Tapi, kamu akan mengaguminya. Kalau
soal itu, aku yakin."
Nyonya Hansen tersenyum dan matanya bersinar meyakinkan.
Beth Ellen tidak yakin soal apa pun. Ibu macam apa dia"
Kedengarannya seperti orang yang tidak stabil.
"Dia suka bersenang-senang. Aku tidak pernah begitu mengerti hal itu, karena
bagiku, tidak ada apa pun dalam hidup ini yang tampak seperti kesenangan. Ada saat-saat menyenangkan dalam hidup, tapi satu saat yang
menyenangkan adalah hal yang berbeda. Tetapi, ibumu berpendapat hampir semua
hal, kecuali pikiran serius dan orang-orang serius, bisa dianggap sebagai saat
yang menyenangkan." Apakah aku orang yang serius" Beth Ellen berpikir cepat.
"Sebaliknya, ayahmu, menurutku, termasuk orang yang serius dan dia meraih banyak
hal. Ibumu punya selera yang kuat untuk tidak melakukan apapun. Tidak pernah
sekali pun, sejak kecil, dia menginginkan apa pun selain mengawini pria kaya dan
bersenang-senang. Jadi, dia mengawini ayahmu, dan tentu saja sekarang ...
Wallace." "Kenapa aku memakai nama Nenek dan bukannya nama ayahku?"
tanya Beth Ellen tiba-tiba. Dia heran kenapa sebelumnya dia tidak pernah
berpikir untuk menanyakan hal ini.
"Karena ibumu marah sekali ketika ayahmu pergi sehingga dia mengganti namamu.
Pria kaya yang meninggalkanmu dan merusak waktumu untuk bersenang-senang sudah
tentu tidak ada manfaatnya sama sekali."
Beth Ellen memikirkan kata-katanya pada Harriet di pantai. "Aku harus menelepon
Harriet ," ujarnya. "Tentu saja; telepon dia sekarang juga. Kamu ingin menceritakan padanya tentang
kedatangan ibumu, kan" Nah, pergi sana, Sayang, dan kita akan bertemu lagi waktu
makan malam. Mungkin kita bisa lihat-lihat beberapa foto nanti. Agak sulit
bagiku untuk mengingat wajah Zeeney."
Beth Ellen menutup pintu di belakangnya, lalu mendadak berhenti.
Zeeney" Oh, ya, itu nama ibunya. Dia lari menuju telepon.
"Halo, " Harriet menjawab. Jika hujan sedang turun, dia selalu duduk di dekat
telepon supaya bisa segera menerima setiap berita yang datang.
"Ini aku. Beth Ellen."
"Aku tahu. Apa yang terjadi?"
"Ibuku akan pulang."
"APAAA?" "Mereka akan pulang."
"Siapa mereka?"
"Ibuku, Zeeney, dan Wallace."
"Ibumu dan SIAPA?" teriak Harriet .
"Itu nama-nya. Zeeney," kata Beth Ellen dengan sabar.
"Kalau Wallace?"
"Suaminya." "Kapan?" Harriet praktis harus menahan napas. Dia begitu bersemangat.
"Aku tidak tahu. Dia nggak pernah mengatakan hal-hal semacam itu. Dia akan
muncul begitu saja," kata Beth Ellen, merasa penting.
"WOW." Setidaknya Harriet memberikan reaksi yang memuaskan. Beth Ellen terdiam karena
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memikirkan Harriet yang selalu berkata, "Wow." Lalu, dia memikirkan tentang
"Wow" lama. "Halo, halo, apa kamu masih di situ?" teriak Harriet di telepon, seolah-olah itu
pembicaraan antar benua. "Ya." "Jadi, kapan aku boleh bertemu mereka" Bisakah aku bertemu mereka segera"
Seperti apa mereka" Apa kau menyukai mereka" Aku bahkan nggak pernah tahu kalau
kamu punya orang tua. Kamu nggak punya orangtua. Dengar Beth Ellen, aku kenal
kamu sejak TK dan kamu nggak, punya orangtua. Apa ini sebenarnya?"
"Aku punya seorang Mama dan dia sedang menuju kemari."
"Aku nggak pernah tahu itu. Aku nggak tahu sama sekali. Kukira ibumu sudah ..."
Harriet menghentikan rentetan kata-katanya dan memperlambat bicaranya.
"Apa?" tanya Beth Ellen, untuk pertama kali merasa tertarik.
"Aku nggak tahu. Maksudku, aku cuma berpikir, dia nggak pernah ada di sana."
"Dia memang nggak ada."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu ceritakan lebih banyak lagi padaku" Kapan
aku bisa bertemu mereka?"
"Aku nggak tahu. Kukira, kalau mereka sudah sampai di sini. Nggak ada lagi yang
bisa diceritakan." "Dengar Beth Ellen" - suara Harriet melemah menjadi bisikan-"aku punya sesuatu
untuk diceritakan padamu!"
"Apa?" kata Beth Ellen, berharap akan dikuliahi.
"Si Jessie Mae Jenkins itu, detik ini, sedang berada di bengkel sepeda!."
"Jadi?" "Ya, dia harus tetap di sana selama satu jam, untuk memperbaiki sepedanya, jadi
aku pergi kerumahnya dan aku melihat sesuatu di garasi.
Kamu pasti nggak akan percaya!."
"Apa?" "Aku nggak bisa bilang padamu. Aku harus menunjukkannya. Kamu bisa keluar?"
"Sekarang kan hujan?"
"Nggak lagi. Hujan sudah berhenti. Memang kamu nggak sadar"
Pikirmu bagaimana" Aku bersepeda di luar sampai basah kuyup?"
"Oh." "Begini saja, ayo ikut. Kita bertemu di bengkel itu. Aku punya ide."
Beth Ellen memikirkan sejenak udara sejuk sore yang akan menerpa wajahnya saat
ia bersepeda, lalu berkata, "Ya, baiklah. Sampai ketemu."
"Oke, lima menit lagi. Lebih baik kita ketemu dikantor pos saja. Kita nggak mau
membuatnya curiga," kata Harriet .
Beth Ellen menutup telepon dan berlari ke luar kamar. Dia mengambil jaket dan
lari ke luar rumah tanpa mengatakan apa pun pada siapa pun.
7 Sepeda Rusak Jessie Mae Harriet sedang berdiri di dekat kantor pos. Ketika Beth Ellen muncul, Harriet
berbisik, "Sekarang kesempatan kita."
"Untuk apa?" tanya Beth Ellen.
"Untuk bicara padanya!" jawab Harriet sambil meluncur dengan sepedanya menuju ke
bengkel itu. Saat meluncur, terdengar suara-suara aneh dari bagian bawah sepeda.
"Sepedamu kenapa?" tanya Beth Ellen. Sepeda Beth Ellen memang terus-menerus
rusak sehingga dia banyak melewatkan musim panas yang lalu dibengkel sepeda.
Tapi yang dia tahu, sepeda Harriet tidak pernah rusak. "Aku merusakkannya,"
bisik Harriet , "jadi kita punya alasan untuk pergi ke sana."
"Oh," kata Beth Ellen, takjub.
Mereka mendorong sepeda mereka sampai bengkel itu. Jessie Mae sedang duduk di
trotoar sambil menggigit-gigit sehelai daun. Jessie Mae memandangi mereka dengan
rasa ingin tahu yang ditutup-tutupi.
Tukang sepeda mengangguk pada Beth Ellen dan menghampiri sepedanya, tapi Harriet
berkata "Punyaku!"
Tukang sepeda berjongkok dan memeriksa kerusakannya.
"Bagaimana bisa sampai begini?"
"Aku nggak tahu," jawab Harriet sambil memandang ke jalan raya.
"Yah, ini akan makan waktu sekitar satu jam," kata pria itu.
"SATU JAM," kata Harriet. "PELAYANAN macam apa yang Anda tawarkan di sini?"
Akhirnya Harriet menyerah karena si tukang sepeda seperti siap untuk melemparkan
sepeda itu kepadanya. "Satu jam," kata pria itu pendek, mengangkat sepeda itu dengan satu tangan
kemudian masuk ke bengkel.
Mereka berdiri di situ sejenak setelah pergi. Harriet melirik ke arah Jessie
Mae, "Ayo," akhirnya dia berkata pada Beth Ellen.
Beth Ellen tidak yakin apa yang sedang mereka lakukan, tapi dia mengikuti
Harriet dengan patuh saat Harriet melenggang menuju Jessie Mae.
"Hai," kata Harriet .
Jessie Mae mengangkat kepalanya dan memindahkan daun itu ke sisi lain mulutnya.
"Hai juga, Kamu-Kamu," ujarnya.
"Sepedamu rusak juga?" tanya Harriet .
"Yah ... hampir selalu rusak," kata Jessie Mae.
"Punyaku juga," kata Beth Ellen, tapi Harriet menatapnya seolah-olah berkata:
Aku yang memimpin penyelidikan ini.
"Ngomong-ngomong," kata Jessie Mae, "aku Jessie Mae Jenkins, dan mungkin kita
bisa ngobrol-ngobrol sedikit. Nama kamu-kamu?"
"APA?" tanya Harriet , sama sekali tidak mengerti satu kata pun.
"Kamu-kamu dipanggil apa?" tanya Jessie Mae.
"Beth Ellen Hansen," jawab Beth Ellen.
"Oh!" kata Harriet . "Harriet M. Welsch."
"Semoga kamu-kamu baik-baik," kata Jessie Mae dan bergeser sedikit supaya mereka
bisa duduk. Beth Ellen menyandarkan sepedanya, lalu duduk, tapi Harriet tetap
berdiri supaya dia bisa memerhatikan Jessie Mae. Jika Jessie Mae merasakan mata
itu sedang mengamatinya dengan tajam, dia tidak menunjukkan hal itu. "Panas
banget, ya?" ujarnya bersahabat.
Sebetulnya, sore itu hari tidak terlalu panas, tapi Beth Ellen tahu, bahwa yang
dimaksud Jessie Mae adalah tadi, jadi dia berkata, "Ya."
"Kamu bicara apa, Beth Ellen" Sekarang ini sama sekali tidak panas," kata
Harriet, mulai merasa tertinggal karena dia hampir-hampir tidak mengerti ucapan
Jessie Mae. Jessie Mae memandang pada Harriet seolah-olah dia sebuah batang pohon dan
berkata pada Beth Ellen dengan suara riang, "Aku bisa jadi noda minyak pagi ini
di dapur rumah. Di dekat rumah, kamu bisa goreng telur di trotoar," dan dia
mengangguk-angguk dengan arif.
Beth Ellen merasa dia harus menutupi sikap kasar Harriet, jadi dia berkata
dengan manis, "Kamu tinggal di mana?"
"Alaah, jangan pura-pura," kata Jessie Mae, tenang seperti air,
"kamu-kamu pasti sudah tahu, bukannya kemarin kamu-kamu mengintip dijendelaku."
Jessie Mae memungut buku komik yang dia letakkan di sisinya, lalu mengipasi
dirinya sendiri. Wajah Beth Ellen berubah merah dan memandang Harriet untuk minta tolong. Harriet
menguap. Dia sudah memutuskan untuk menunggu dan mengamati sikap Jessie Mae
mengenai masalah ini. Jessie Mae melihatnya menguap.
"Betul kan, 'Ndut?" ujarnya riang dan menepuk Harriet dengan komik yang
digulung. "Aku NGGAK GENDUT!" kata Harriet keras.
Jessie Mae terkekeh-kekeh dan memandang Beth Ellen yang langsung tertawa.
"Hentikan!" kata Harriet pada Beth Ellen, yang begitu kaget sehingga dia
langsung berhenti tertawa.
"Kamu kapten dan dia letnan, ya?" kata Jessie Mae, ujarnya di sela tawanya.
Beth Ellen pun mulai tertawa lagi, dan mereka berdua memandang Harriet dan
tertawa lebih keras lagi.
"Dengar!." kata Harriet , tapi dia tidak bisa memikirkan hal lain, jadi dia
duduk secara tiba-tiba. Harriet memutuskan untuk tidak mengacuhkan mereka.
"Bagaimana dengan bisnis semangka?" tanyanya ringan.
Jessie Mae sibuk mengipasi dirinya. "Oh, bagus sekali, kami sedang menerima
uangnya. Sekarangkami harus bekerja di sini. Tapi, nanti kami akan pindah ke
kota dan akan ada banyak orang yang bekerja untuk kami, dan kami akan punya
banyak uang." Jessie Mae mengipas-ngipas lebih cepat dan tampak bangga. "Kalau
Tuhan mengizinkan," tambahnya.
"Sebenarnya, aku mesti pulang begitu sepedaku selesai. Kami banyak pekerjaan
hari ini karena semua semangka itu baru tiba."
"Aku tahu," kata Harriet .
"Kau sudah ke sana lagi?" Jessie Mae memandangnya dengan terkejut. "Gila, Cewek-
Cewek, kenapa kamu-kamu nggak sekalian saja ikut kerumahku" Nanti kutunjukkan
semua yang kalian ingin lihat. Kamu-kamu nggak perlu mengendap endap seperti
kemarin." Mata Harriet membelalak. Beth Ellen berkata sopan, "Terima kasih banyak."
"Nggak masalah," kata Jessie Mae, masih mengipas-ngipas. "Mama akan senang jika
ditemani. Aku sering melihat kamu-kamu di sekitar sini.
Tapi aku heran kenapa aku nggak pernah bertemu kamu-kamu di sekolah Minggu."
"SEKOLAH MINGGU?" kata Harriet dengan suara parau.
"Aku pergi ke sekolah Minggu di New York," kata Beth Ellen buru-buru, "tapi
selama musim panas, aku hanya pergi ke gereja dengan nenekku."
"Oh ya?" kata Jessie Mae tertarik. "Gereja mana?"
"Episkopal." "Aku pergi ke Gereja Metodis," kata Jessie Mae. "Kamu nggak pernah cerita soal
itu padaku, Beth Ellen," kata Harriet keras. "Kamu nggak pernah pergi ke sekolah
Minggu. Kamu ini bicara apa, sih?"
"Aku benar-benar pergi ke gereja," kata Beth Ellen.
"Yah, aku nggak," kata Harriet . "Seperti apa disana?"
"Menarik," kata Jessie Mae. "Kamu harus ikut sesekali denganku.
Kamu pasti akan suka. Kamu mau bilang padaku" - suara Jessie Mae meninggi "kalau
kamu nggak pergi ke gereja atau sekolah Minggu" Kamu punya sekolah Injil di
kota?" "Injil?" pekik Harriet .
"Ya. Kamu pasti tahu, untuk belajar Alkitab dan semacamnya?"
"Tidak." Harriet menyipitkan matanya. "Kenapa?" ujarnya membujuk.
"Yah, aku heran. Aku sangat tertarik pada hal ini karena aku mau menjadi
pendeta, seperti itu." Jessie Mae menatap Harriet lekat-lekat.
"YANG BETUL ... maksudku, BETULKAH?"
"Lho, memangnya kenapa, Harriet ?" Beth Ellen ikut bicara. "Jika dia ingin jadi
pendeta, biarkan saja."
"Kamu sendiri" Sepertinya kamu nggak punya keinginan apa-apa,"
kata Jessie Mae, nyengir.
"Aku akan menjadi seorang istri'." kata Beth Ellen."Oh, Beth Ellen, tolonglah,"
kata Harriet jijik. Jessie Mae tertawa. "Lho, aku pikir itu indah.
Memangnya kenapa dengan menjadi istri" Kamu mau jadi apa, Gendut, astronot?"
"Hei, jangan KELEWATAN, ya!" teriak Harriet .
Beth Ellen mulai menyukai Jessie Mae. Dengan nada bicaranya yang mendayu-dayu,
sepertinya dia selalu bisa mengatakan hal-hal paling menjengkelkan pada
Harriet , hal-hal yang hanya bisa Beth Ellen pikirkan kemudian, dalam perjalanan
pulang, kalau semuanya sudah terlambat.
"Aku juga berencana menjadi seorang istri. Apa salahnya dengan itu?" Jessie Mae
memandang Harriet dengan kilatan jenaka di matanya, seolah-olah dia siap
melepaskan segalon tawa. "NGGAK ADA!" Harriet mulai bicara tak beraturan. "Tapi, kamu nggak bisa tidur-
tiduran saja kalau menjadi istri ... Itu saja yang ingin dia lakukan" - Harriet
menunjuk Beth Ellen-"tidur-tiduran saja sepanjang hari, nggak melakukan apa-apa,
hanya menjadi istri. Yang aku maksudkan hanya kau juga harus melakukan sesuatu;
misalnya temanku Janie ingin menjadi ilmuwan dan temanku Sport ingin menjadi
pemain bola dan aku ingin menjadi penulis dan kamu ingin menjadi pendeta."
Harriet pikir, dia cerdas sekali karena memasukkan kata-kata terakhir.
Beth Ellen mendadak merasa depresi. Dia ingin menjauh dari mereka. Jadi, dia
berdiri dan mulai berjalan menuju bengkel.
"Kamu mau ke mana?" panggil Harriet padanya.
"Kamu pikir aku mau ke mana, Harriet ?" teriak Beth Ellen dengan sangat kesal
dan menghilang ke dalam bengkel. Setelah menerima sebuah kunci dari tukang
sepeda, dia keluar lagi dan menghilang dibalik bangunan itu.
Harriet dan Jessie Mae duduk diam sejenak. Jessie Mae mengipasi dirinya. Tiba-
tiba, dia menoleh dan memandang Harriet. "Kalau aku boleh bilang, omonganmu pada
temanmu agak kasar."
"Dia temanKU," kata Harriet , sebal.
"Yah kata Jessie Mae, membuang muka dan mengipas cepat, "Aku merasa, seperti
yang dikatakan Kitab Suci, bahwa kita harusmenghormati ayah dan ibu kita. Tapi,
aku pribadi berpendapat, kita juga seharusnya menghormati teman kita."
Harriet terdiam. Mereka duduk agak lama kali ini. Satu-satunya suara hanyalah
suara desahan dan kipas Jessie Mae. Harriet berpikir cepat. Akhirnya, dia
berkata pada Jessie Mae, "Bagaimana seseorang bisa menjadi pendeta?"
"Yah," kata Jessie Mae, "itu nggak terlalu mudah, terutama untuk perempuan.
Tapi, aku sedang belajar pada seorang pria yang aku kenal."
"Siapa?" tanya Harriet .
"Pria yang tinggal di sana. Dia dipanggil Pak Pendeta. Aku pergi ke tempatnya
dan kita bicara banyak. Dia tahu banyak hal."
"Maksudmu, lelaki Afro-Amerika tua yang tinggal di hutan?" Harriet takjub. Pak
Pendeta adalah pemandangan akrab di Water Mill.
"Dia tahu banyak hal," kata Jessie Mae, mengipas dengan sangat cepat.
"Hal-hal apa?" sekarang Harriet benar-benar kagum.
"Oh, dia tahu Alkitab dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan. Setiap
tahun dia membaca ulang, mulai Kitab Kejadian dan terus kebelakang." Jessie Mae
sangat terkesan. Harriet tidak.
"Apa dia nggak punya buku lain untuk dibaca" Kenapa dia nggak pergi ke
perpustakaan?" "Hah, dia nggak perlu itu! Memangnya kamu nggak tahu?" Jessie Mae bertanya
dengan suara dibuat-buat. "Semua hal ada di Kitab Suci.
Kamu cuma harus menemukannya. Kalau kamu membacanya sebanyak dia, yah, dia sudah
selesai menemukan hampir semua yang bisa ditemukan."
"Apa kamu membacanya?" tanya Harriet menjebak.
"Oh, tentu," kata Jessie Mae, "setiap malam dan setiap pagi."
"Bicaramu aneh," kata Harriet tiba-tiba. Dia tidak bermaksud jahat.
Itu muncul tiba-tiba dalam pikirannya dan dia mengatakannya.
"Kamu juga, cewek Yankee" jawab Jessie Mae dengan aksennya, sama sekali tidak
tersinggung. Yankee itu julukan untuk penduduk New York.
Beth Ellen sedang berjalan menghampiri mereka dan sekarang dia duduk lagi.
"Aku baru saja ingin melakukan itu," kata Jessie Mae, lalu bangkit dan masuk ke
dalam dan mengambil kunci, lalu menghilang ke belakang bangunan itu.
"Dengar Beth Ellen," kata Harriet liar, menarik lengan Beth Ellen begitu Jessie
Mae hilang dari jangkauan pendengaran, "kita mendapatkan dia!" "Siapa?" tanya
Beth Ellen. "Pelakunya adalah dia!" kata Harriet, tertawa-tawa bangga.
"Sekarang, aku yakin soal itu." Ketika dia melihat Beth Ellen tampak bengong,
dia berkata "Si Penulis Pesan! Itu dia. Dia membaca Alkitab setiap saat. Dia
sedang belajar bagaimana menjadi pendeta dari seorang pria bernama Pak Pendeta,
dan pria ini tidak melakukan apa-apa selain membaca Alkitab!" kata Harriet penuh
kemenangan. "Kalau begitu, pelakunya mungkin Pak Pendeta," kata Beth Ellen.
Harriet memandangnya terkejut. Dia menepuk keningnya dengan tangan dan berkata,
"Aku tidak pernah berpikir begitu!" dan memandang Beth Ellen dengan tatapan
memuji. "Sepeda kita sudah selesai," kata Beth Ellen kalem dan berdiri, meninggalkan
Harriet yang sedang menatapnya. Dia berjalan menuju bengkel. Harriet M. Welsch
nggak tahu tentang semua hal di dunia ini, pikirnya sambil terus berjalan.
Jessie Mae sudah kembali dan sedang membayar biaya sepedanya. Harriet berlari
mendekat. Si tukang bengkel mendorong sepeda Harriet keluar. "Aku tidak bawa uang. Anda
harus mengirimkan surat tagihannya," kata Harriet dengan nada penting.
Beth Ellen mendorong sepedanya. Jessie Mae sedang berjongkok untuk memeriksa
sepedanya dengan cermat. Dia melihat ke dalam keranjang didepan. "Hei, lihat
nih!" ujarnya dengan suara tinggi. "Apa ini?" Harriet dan Beth Ellen melihat
melalui bahunya. Di dasar keranjang itu tergeletak sepotong kertas.
Biarkan yang tak berdosa di antara kalian yang pertama melemparimu batu
"Hah, gimana caranya benda ini bisa berada disitu?" kata Jessie Mae dengan suara
yang sangat tinggi. Hmmmmm, pikir Harriet, mungkinkah dia sengaja meletakkannya di situ supaya dia
tidak dicurigai"
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si tukang sepeda juga melihat. "Benda itu ada di mana-mana, di seputar kota. Aku
sudah dapat dua pesan. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya. Kudengar semua orang
di Water Mill sudah melaporkan hal ini ke polisi, dan mereka juga nggak bisa
menemukan apa-apa. Ini cukup aneh. Kita tidak pernah mengalami hal-hal seperti
ini di Water Mill." "Apa yang dilakukan polisi?" tanya Harriet sambil memerhatikan Jessie Mae dengan
cermat. "Apa yang bisa mereka lakukan?" tanya si tukang sepeda dan mengangkat bahu.
"Sebenarnya hal ini tidak benar-benar melanggar hukum, hanya membuat orang sebal
saja, semacam gangguan."
Dia bergidik sedikit. "Beberapa pesan itu kadang-kadang mengena juga." "Bolehkah
aku melihat pesan yang Anda dapat?" kata Harriet, merasa sangat penting dan
sedikit seperti Sherlock Holmes.
Dia tertawa. "Ya, tentu, kalau kamu mau. Aku tidak ingat, aku masih menyimpannya
atau tidak, ya" Kalau masih ada, kamu boleh melihatnya." Dia masuk ke dalam.
"Hmm, aku nggak ngerti. Pesan yang satu ini tentang cewek nakal."
"Tentang apa?" tanya Harriet .
"Tentang pelacur," kata Beth Ellen.
Harriet menoleh pada Jessie Mae, suaranya dipenuhi kecurigaan.
"Dari mana kamu tahu soal itu?"
"Lho, semua orang tahu itu," kata Jessie Mae. "Sebenarnya, semua orang yang
pergi ke sekolah Minggu." Dan dia menoleh pada Beth Ellen dan tertawa. Dia dan
Beth Ellen tertawa bersama seolah-olah mereka punya rahasia berdua. Harriet
tampak tersinggung. "Tapi, itu bisa juga berarti kalau beberapa orang bersikap jahat padamu," kata
Beth Ellen pada Jessie Mae.
"Itu betul," kata Jessie Mae.
"Huuuh," kata Harriet , terlalu kesal untuk bicara.
Si tukang sepeda keluar dengan dua lembar kertas di tangannya dan memberikannya
pada Harriet. "Tapi, kembalikan lagi," ujarnya.
"Mungkin polisi memintanya kapan-kapan." Dia lalu pergi untuk menunggu pelanggan
lain. Harriet bergeser di antara mereka, dengan Jessie Mae dan Beth Ellen yang melihat
dari belakangnya: Sekarang Barabas adalah seorang perampok adalah pesan pertama. Lalu:
Siapa yang menabur, dia akan menuai
"Aku punya perasaan," kata Harriet , "kalau tukang bengkel ini menipumu."
"Ya Tuhan," kata Jessie Mae, "siapa pun yang menulis pesan-pesan itu sudah jelas
mengenal isi Alkitabnya, mmmm, mmmmm."
Dia, pikir Harriet, bisa saja sedang menepuk-nepuk punggungnya sendiri.
"Dengar Jessie Mae," kata Harriet berbisik, "kamu mau membantu kami menangkap si
penulis pesan?" Aku ini ahli sekali, pikir Harriet. Kalau dia si penulis pesan,
dia pasti bilang Tidak. "Yah!" kata Jessie Mae tertawa. "Aku nggak tahu, tapi yang dilakukan orang ini
membawa kebaikan bagi dunia. Sama sekali nggak merugikan membuat orang sedikit
mengenal Alkitab!" Harriet memicingkan mata. Si tukang sepeda datang menghampiri.
"Aneh, bukan" Kalian pasti berpikir aku ini penjahat, menurut bunyi pesan-pesan
itu. Itu yang akan dilaporkan orang-orang kepolisi. Pesan-pesan ini membuatmu
tampak seperti orang jahat."
Harriet menatap pria itu dengan mata yang sangat disipitkan sampai dia hampir-
hampir tidak bisa melihat. Lalu, dia mengembalikan pesan-pesan itu. "Mungkin dia
tidak akan terus ada," ujarnya tegas. Si tukang sepeda tampak agak terpana, tapi
tidak menjawab. "Ayo kita pergi ke rumahku, oke?" Jessie Mae berteriak riang sambil melompat
menaiki sepedanya. "Tentu," kata Beth Ellen dan menaiki sepedanya. Jessie Mae mulai mengayuh dan
Beth Ellen mengikuti, kemudian Harriet mengayuh sepedanya seperti anjing pemburu
yang sedang membaui jejak.
8 Perusahaan Salep SemangkaMania Jenkins
Mereka hampir-hampir tidak bicara selama perjalanan ke rumah keluarga Jenkins.
Jessie Maemengayuh sepedanya sangat cepat, dan Harriet berusaha mengikuti.
Kepala Beth Ellen dipenuhi terlalu banyak pikiran muram sehingga dia tidak ingin
bicara. Mengendarai sepeda dalam udara yang sejuk membuatnya melupakan bengkel
itu. Dia hanya mengingat kejadian dengan neneknya. Beth Ellen mulai mengucapkan
kalimat, "Aku nggak akan memikirkan soal itu," berulang-ulang dalam benaknya.
Aku tidak akan memikirkan kata Mama. Saat mereka berhenti di depan rumah Jessie
Mae, dia berpikir: Mama - apapun itu artinya.
Kali ini, mereka langsung masuk ke halaman rumah. Harriet berkata, "Ayo cepat,
Beth Ellen, aku nggak sabar," dan mengikuti Jessie Mae. Beth Ellen mempercepat
sepedanya. Anehnya, berjalan terburu-buru di belakang Harriet membuat dia merasa
bebas, seolah-olah dia bisa selalu jadi anak kecil. Aman sekali rasanya. Harriet
selalu memberinya perasaan ini. Sebenarnya, ini adalah satu dari sedikit hal
yang benar-benar dia sukai dari Harriet . Perasaan utama yang sebetulnya dia
rasakan saat bersama Harriet adalah sebal, karena terus-menerus dibentak.
Di ujung halaman, mereka mengerem mendadak di depan suatu pemandangan yang aneh.
Melalui lorong yang terbentuk oleh tumpukan semangka-semangka raksasa yang
berjejer di kanan kiri jalan mobil itu, mereka bisa melihat garasi yang terbuka
di ujung lain halaman. Mama Jenkins, yang tubuhnya lebih besar tiga kali
daripada tubuh seorang penyihir, dengan wajah yang mirip dengan bola merah yang
berkilat dan keringat membanjiri seluruh baju hitamnya, berdiri sambil mengaduk
sebuah mangkuk raksasa yang sedang mendidih. Benda itu ada di atas tungku dengan
api besar yang menyala-nyala. Di dalamnya, ada ramuan yang meletup-letup dan
mengeluarkan bau yang aneh, yang meskipun tajam tapi bukan bau yang tidak enak.
Aroma itu menerpa wajah mereka bersama dengan embusan keras asap dari mangkuk
itu. Ada bau sepatu tenis usang, ada bau enak seperti aroma jeruk segar, lalu
ada juga sentuhan sesuatu, seperti bau asap rokok. Setiap kali asap itu mengepul
ke arah mereka, mereka menutup hidung dan menahan napas sampai asap itu
menghilang. Mama Jenkins sedang berteriak-teriak aneh. Sulit diketahui sebabnya karena dia
sendirian. Kecuali, mungkin kalau hal itu bagian dari rutinitasnya jika sedang
mengaduk-aduk mangkuk itu.
"Dengar, dengar yang di sana, ayo ikut usaha ini, ikutlah menyiapkannya, ikutlah
mendidihkannya, ikutlah mendidihkannya, ikutlah mengirimkannya, dapatkan
uangnya, untuk kebesaran Tuhan yang Maha besar. Hei, kamu yang di shana, ayo
keshini, bawa sssemangka-sssemangka itu." Lalu, dia melihat mereka. "Halo kamu
yang di sana, Pembantu-Pembantu Kecil. Jiwamu terberkati, Jessie Mae, kau
membawa bala bantuan. Aku nggak bisa membuat dua anak itu melakukan apa pun!"
Lalu, Mama Jenkins berteriak ke arah rumahnya kembali, "Hei, kamu yang di sana,
hei kamu, hei kamu, kamu dan kamu dan kamu.
Norman, ayo cepat kemari! Magnolia, ayo cepat kemari; bawa dirimu kemari; bawa
dirimu ke shini Kemudian, ritme itu tiba-tiba terhenti ketika Mama Jenkins,
dengan kedua kaki terentang masing-masing sejauh satu kilometer dari yang lain,
berteriak dengan sangat keras, "AYO KE SHINI SAAT INI JUGA!"
Pintu belakang terbuka tiba-tiba dan seperti dua kurcaci yang patuh, Norman dan
Magnolia melesat dari pintu menuju ke garasi. Saat Jessie Mae sedang menyimpan
sepedanya, mereka mulai bekerja dengan sangat cepat. Tanpa berkata-kata, mereka
masing-masing mengangkat sebuah semangka. Bagi anak-anak yang besar, pekerjaan
itu cukup sulit. Apa lagi bagi Magnolia. Dia mengangkatnya kira-kira setinggi lutut, dan benda
itu terus berada di situ, sementara dia mencoba bertahan dan melihat berkeliling
dengan putus asa. Norman mengangkat semangkanya tanpa bersusah payah, berjalan
terhuyung-huyung menuju mangkuk itu, dan dengan satu dorongan melemparkannya
masuk. Mama Jenkins mundur dengan cekatan untuk menghindari gelombang cairan
pekat yang memercik ke atas dan masuk lagi ke dalam mangkuk.
"Terus masukkan, terus masukkan, terus masukkan," dia berteriak seperti tukang
obat di pasar malam. Sekarang Jessie Mae mengambil sebuah semangka dan
mendorongnya ke dalam mangkuk, mukanya merah karena beban yang berat dan otot
lengannya yang tipis tampak mengejang."Kita bakal jadi kaya, kita bakal jadi
lebih kaya, kita bakal jadi paling kaya!" Mama Jenkins bernyanyi sambil
menghindar ke kanan dan ke kiri, menghindar percikan yang dibuat Jessie Mae.
Norman berlari menghampiri Magnolia, yang masih berdiri terpaku, bola matanya
hampir keluar. Norman mengangkat semangka Magnolia dan melemparkan ke dalam
mangkuk. Magnolia terjatuh.
Saat memerhatikan Mama Jenkins melompat-lompat, Beth Ellen teringat pada seekor
kuda nil cantik yang pernah dia lihat di kebun binatang. Dengan langkah gemulai,
hewan itu keluar dari lumpur tempatnya berkubang. Sambil mengangkat kepala, ia
tampak seperti sedang tertawa dan menceritakan beberapa lelucon pada
pasangannya. Saat itu, Beth Ellen berpendapat hal itu tampak manis, membayangkan bagaimana
rasanya menjadi kuda nil dan menikah dengan seekor kuda nil. Setidaknya, mereka
tidak kesepian. Nyanyian Mama Jenkins saat ini memenuhi dirinya dengan perasaan
yang sama. Pasti menyenangkan menjadi Jessie Mae dan tinggal di sini.
"Aku mesti kerja sekarang, maaf, ya. Kita bertemu lagi saja besok,"
kata Jessie Mae, tiba-tiba ingat mereka.
"Biarkan mereka masuk dan bekerja juga," kata Mama Jenkins ceria. "Ini nggak
berbahaya, mungkin malah bagus buat mereka."
"Tapi, mereka temanku, Mama! Mereka datang untuk berkunjung.
Mereka nggak mesti bekerja!." Jessie Mae berdiri, tampak tegang sambil memegang
sebuah semangka dan menatap Mama Jenkins seolah-olah dia siap menangis.
"Yah, benar juga," kata Mama Jenkins dengan riang. "Kalian datang lagi saja
kemari kapan-kapan, sebelum kami mulai bekerja. Akan kusuguhi limun dan kue
buatanku sendiri." Dia tersenyum seperti senyum kuda nil yang cantik, lalu
Harriet dan Beth Ellen tersenyum balik tanpa menyadarinya.
"Sampai ketemu lagi, oke?" kata Jessie Mae dan melambai.
Mereka berkata, "Oke," dan menuntun sepeda mereka keluar halaman.
Ketika sampai ke jalan, mereka menoleh ke belakang. Dan depan rumah itu,
tampaknya mustahil bahwa sebuah pemandangan aneh sedang berlangsung di belakang.
Hanya asap yang sesekali mengepul yang menunjukkannya. Harriet mulai menaiki
sepedanya. "Mungkin seharusnya kita membantu," kata Beth Ellen.
"Apa?" kata Harriet. "Bayangkan, mengangkat semua barang-barang itu. Bisa-bisa
punggung kita patah, atau jari kaki kita, atau Tuhan tahu apa yang bisa
patah ...." Harriet tampak sangat marah sehingga Beth Ellen mulai tertawa.
"Apa yang kamu tertawakan, Beth Ellen" Sepertinya, hari ini aku lucu sekali,
seember kelucuan. Aku nggak melihat ..." Beth Ellen terus tertawa dan tertawa
ketika tiba-tiba sebuah suara yang dalam seperti suara bass berseru dari
belakang mereka. "Dan jika aku boleh bertanya, apa yang begitu menghibur bagi dua bocah kaya
penghuni rumah musim panas ini?"
Mereka berbalik, terkejut, saat menyadari bahwa mereka sedang memandang wajah
panjang berkulit cokelat yang mirip wajah kuda milik Pak Pendeta.
Mereka memandangnya dengan mulut menganga. Pria itu bertubuh sangat tinggi dan
sangat kurus. Wajahnya hampir sama panjang dengan rompinya. Dia tampak seperti
anjing pemburu yang dilumuri cokelat.
"Apakah kalian tidak punya lidah?" tanyanya tanpa keramahan.
Meskipun begitu, ada sinar di mata kuningnya, dan untuk sesaat kedua pipinya
tidak tampak terlalu menyedihkan.
"Ehm," kata Harriet , "apa?" kata-kata yang sebenarnya tidak terlalu cerdas,
tapi bisa dipahami dalam situasi seperti itu.
"Apa yang membuat kalian riang, Bocah-Bocah Kaya" Apakah kalian akan memasuki
kerajaan surga?" "Tentu saja," kata Harriet tanpa berpikir.Beth Ellen merasakan semacam teror.
Pak Pendeta dan Harriet saling bertatapan seolah-olah mereka siap untuk berduel,
satu lawan satu. "Kamu begitu percaya diri." Dia berkata perlahan-lahan, dengan penuh pemikiran,
seperti yang sedang menilai Harriet .
Harriet tampak sedikit terkejut, tapi dia tetap berdiri di situ, sama sekali
tidak berkedip. "Tahukah kamu, bahaya dari rasa ingin tahu yang kelewat besar?"
Pak Pendeta berkata dengan tajam.
Lagi-lagi Beth Ellen merasa ketakutan, tapi hanya sesaat, karena dia mendengar
Harriet berteriak dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh Harriet .
"HEI, DENGAR! APA YANG ANDA BICARAKAN?" Harriet benar-benar marah sehingga dia
tampak seperti permen loli merah. Beth Ellen berputar cepat untuk memandang Pak
Pendeta. Pria itu tersenyum perlahan, sebuah senyum yang sangat misterius, lalu dia
berbalik. Dia memuntir tongkatnya dan dengan langkah yang cepat, hampir seperti
menari, dia melangkah santai ke arah jalan. Dia menoleh ke belakang saat
berjalan dengan gayanya yang santai, tersenyum lagi, lalu mulai bersiul. Bagi
Beth Ellen, siulannya terdengar seperti jenis lagu tema dalam film Italia.
Beth Ellen menatap Harriet , tapi Harriet, untuk pertama kalinya, tidak bisa
berkata-kata. Dia menatap dengan cara yang sama dengan Beth Ellen tadi. Mereka
memerhatikan tubuh asing. Gerak-geriknya bisa dibilang jenaka. Dia berjalan
dengan gaya yang hampir seperti menari tapi tidak menari, menelusuri jalan itu.
Ketika mereka menoleh dan saling berpandangan, dunia seolah-olah menjadi hening
secara tiba-tiba, sangat hening. Sepertinya, mereka baru saja mengalami suatu
peristiwa supranatural. "Yah," kata Harriet. Beth Ellen tidak mengatakan apa-apa, kecuali menatap
Harriet, berusaha mencari petunjuk tentang cara bersikap.
Harriet sama sekali tidak tahu. Dia berdiri dengan satu kaki di sadel sepedanya,
lalu menunduk seperti siap untuk mengayuh sepedanya, lalu berhenti dan mendongak
kembali ke jalan. Pendeta itu sekarang sudah menjadi sebentuk bayangan hitam
kecil, sebuah boneka dengan latar belakang pemandangan yang datar.
Beth Ellen menaiki sepedanya dan mulai mengayuh gontai menuruni jalan itu.
Ketika mengingat apa yang akan dia temui di rumah, makan malam dengan neneknya
dan lebih banyak diskusi tentang Zeeney, tiba-tiba saja Beth Ellen merasa
perutnya kosong. Perasaan itu membuatnya kehilangan keseimbangan dan dia harus
menjulurkan satu kaki supaya tidak jatuh. Dia berdiri dengan satu kaki di tanah,
menoleh pada Harriet di belakangnya. Harriet berdiri diam, terhipnotis,
mengawasi pria yang sudah menjadi titik itu.
"Ayo pulang," kata Beth Ellen, mulai gelisah dibawah langit yang mulai
menghitam. Harriet meluncurkan sepedanya. "Kamu tahu,"ujarnya, tanpa mengalihkan matanya
dari Pendeta itu, "dia tahu terlalu banyak. Aku nggak suka ini, sedikit pun."
Harriet menyandarkan sepedanya pada perutnya. Di tempat itu, di tengah jalan,
dia mengeluarkan buku catatannya dan menulis beberapa catatan.
Meskipun banyak melakukan kegiatan mata-mata, pikir Beth Ellen, dia benci kalau
dirinya dimata-matai. Tapi, Harriet memang sangat aneh.
Apa asyiknya menulis semua hal setiap saat" Sangat menjemukan.
Harriet menutup bukunya dengan kasar dan menyimpannya. Dia menaiki sepedanya dan
mengayuh ke depan. Beth Ellen mengikuti.
Sebenarnya, pikir Beth Ellen, dibandingkan dengan hal-hal yang akan kuhadapi di
rumah, pekerjaan mata-mata ini sama sekali tidak buruk. Dia memandang Harriet
yang sedang mengayuh didepannya dan merasa sayang padanya.
9 Batu-Batu dari Dalam Perut
Hari berikutnya, Beth Ellen terbangun dengan perasaan yang amat buruk.
Sambil berbaring, dia berpikir, dia sudah merasa tidak enak selama dua hari. Dia
ingin duduk-duduk saja. Dia juga merasa gemuk. Mungkin aku bersepeda terlalu
jauh kemarin, pikirnya. Tidak, aku merasa lebih buruk dan itu. Aku merasa
sengsara. Dia bicara keras-keras pada dirinya sendiri, "Aku melakukan hal-hal
buruk." Dia bangkit, lalu bergeser dan memandang seprainya. Dia merasa ketakutan. Aku
sakit, pikirnya. Dia melihat ke sekeliling ruangan seolah-olah mencari
pertolongan. Dia bangun dan pergi kekamar mandi.
Ketika keluar, Beth Ellen sudah berpakaian rapi. Dia menuruni tangga dan
menelusuri rumahnya yang hening dan gelap. Rasanya sangat aneh. Dia berjalan
melewati ruang keluarga, melewati serambi, dan keluar ke halaman berumput di
belakang rumah. Merasa seolah-olah akan pingsan, dia berjalan lambat-lambat - meskipun dia ingin
berlari karena ingin bersembunyi - menuju paviliun musim panas, yang terhalang
oleh sederet pot tanaman dan kayu. Begitu sampai di balik pagar, dia merasa
aman. Dia berjalan ke dalam paviliun musim panas yang dipenuhi permainan cahaya
dan bayang-bayang, lalu duduk melingkar di atas sebuah kursi malas terbuat dari
rotan.
Pesan Misterius Di Water Mill The Long Secret Karya Louise Fitzhugh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia bersandar sambil memandangi dedaunan diatas kepalanya, daun-daun hijau
kehitaman yang melingkar dengan latar belakang biru muda langit musim panas.
Tempat itu beraroma musim panas, siang hari zaman Victoria, dan berbau kemewahan
yang lembut. Dia tenggelam ke dalam jok tempat duduknya.
Beth Ellen tinggal di sana sepanjang hari, melewatkan panggilan Juru Masak untuk
makan siang, melewatkan beberapa panggilan telepon, sampai hari hampir beranjak
sore. Dia tidak memikirkan apa pun saat berbaring disana, hanya membiarkan daun-daun,
kesejukan yang berganti-ganti antara bayangan dan panas, saat sinar matahari
menerobos daun-daun dan menghangatkan wajahnya, membanjirinya, mengisinya dengan
harapan. Semua itu sebuah kesalahan. Dia akan bangun, masuk ke dalam, dan tahu kalau
semua itu hanya sebuah mimpi.
Saat udara mulai menjadi sejuk, bayangan pagar tanaman mulai memanjang, Susie
keluar melintasi halaman memanggilnya. Beth Ellen tidak menjawab, tapi dia tahu
pasti Susie akan menemukannya. Ini tempat kesukaannya untuk menangis dan para
pembantu tahu. Susie muncul di dekat pagar. "Kenapa kamu ti-dak menjawab?"
"Aku tertidur," kata Beth Ellen, dan suaranya terdengar parau karena dia tidak
bicara seharian. "Nenekmu ingin bertemu," kata Susie.
Beth Ellen berdiri, merasa seperti seorang wanita tua. Dia mengikuti pembantunya
menyeberangi taman, bayangan-bayangan itu sekarang gelap dan dingin.
Harriet menelepon tepat saat Beth Ellen baru keluar dari kamar neneknya."Hei!"
"Harriet " " bisik Beth Ellen. Dia merasa seperti baru keluar dari tempat
perlindungan bom. "Kamu kira siapa - Mary Poppins?" teriak Harriet dan membanjiri Beth Ellen dengan
semburan tawa tanpa henti.
"Mmm," gumam Beth Ellen, merasa tersesat. Aku benar-benar sendirian, pikirnya.
"Dengar, Tikus," lanjut Harriet , setelah suaranya pulih, "ada berita bagus.
Janie akan datang akhir pekan ini!"
"Mmm," kata Beth Ellen, mendengarkan Janie sebagai kata yang jauh dari
menyenangkan. "Bukankah itu asyik?" Harriet seakan-akan sedang berteriak untuk menembus
kesamar-samaran Beth Ellen. "Dia datang malam ini bersama ayahku dan akan
tinggal sampai Minggu!"
"Mmm," kata Beth Ellen.
"TIKUS!" Harriet meneriakkan satu seruan putus asa.
"Apa?" bisik Beth Ellen.
"KAMU INI KENAPA?"
"Aku-" "APA?" Suara Beth Ellen tiba-tiba pulih dengan sendirinya dan keluar dengan keras
sampai dia sendiri terkejut. "Aku - menstruasi!"
"Apa itu?" tanya Harriet , takjub.
"Itu-" "Aku baru ingat," teriak Harriet. "Kenapa kamu sudah dan aku belum?"
Itu adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab. "Aku nggak tahu-"
Beth Ellen tergagap. Harriet menutup telepon. Hari berikutnya adalah hari Sabtu dan Beth Ellen berada di rumah Harriet
seharian. Ketika Beth Ellen datang ke kamar tidur Harriet, Harriet dan Janie
sedang mendiskusikan situasi itu.
"Aku sedang membuat obatnya sejak hal itu menimpaku," kata Janie sambil merengut
dan tampak sangat serius meskipun dia berbaring dikasur memakai baju renang
dengan kaki yang lurus di dinding dan kepala di bawah.
"Obat seperti apa?" tanya Harriet setelah menyapa Beth Ellen.
"Aku hanya ingin mengakhirinya, itu saja," kata Janie dengan nada marah.
"Tapi ........ bukankah itu berhubungan dengan bayi?" tanya Harriet.
"Kamu tahu apa, Harriet Welsch" Kamu bahkan belum dapat,"
semprot Janie, menggoyangkan kakinya ke lantai dan duduk. "Kamu nggak akan tahu
apa artinya tuba falopii meskipun kamu tersandung pada benda itu."
Sambil nyengir, Harriet menunjuk pada Beth Ellen. "Dia sudah dapat, kemarin. Dia
cerita padaku." Wajah Beth Ellen berubah merah, memandangi lantai, dan ingin mati. Mereka berdua
menatapnya. Janie akhirnya bicara dengan lembut. "Apa yang harus dipikirkan"
Itu hanya mengganggu, itu saja, dan sejujurnya, aku rasa seharusnya dilupakan
saja." Beth Ellen tetap memandangi lantai.
"Rasanya seperti apa?" tanya Harriet .
"Wueeeeeek," kata Janie. "Pokoknya benar-benar tidak disarankan untuk
mencobanya." Dia memandangi Beth Ellen saat melanjutkan.
"Kamu nggak ingin bekerja atau bermain atau apa pun kecuali berbaring dan
memandang langit-langit, ya kan" Menjijikkan. Benar kan, Tikus?"
Beth Ellen mengangguk, tetapi karena satu dan lain hal, dia tetap belum bisa
mendongak. Janie memandangnya sejenak, lalu berkata, "Biarpun begitu, hal itu terjadi pada
setiap orang, setiap wanita di dunia, bahkan Madame Curie.
Itu hal yang sangat normal. Dan kurasa, karena itu berarti kau sudah dewasa dan
bisa punya bayi, itu hal yang bagus. Tapi aku, contohnya, saat ini aku kebetulan
nggak ingin punya bayi. Aku curiga, di dunia ini sudah ada terlalu banyak bayi.
Jadi, aku sedang membuat obat untuk orang-orang yang nggak ingin punya bayi,
jadi mereka nggak harus melalui hal ini."
Beth Ellen mendongak dan memandang Janie, lalu bertanya dengan ragu-ragu,
"Apakah batu-batu itu juga membuatmu sakit?"
"Batu-batu?" teriak Janie.
"Batu-batu yang berjatuhan di dalam perutmu," kata Beth Ellen malu.
"APA?" jerit Harriet. "Ya ampun, kalau mereka pikir aku mau dapat yang seperti
itu, mereka gila." "Nggak ada batu-batu. Siapa yang bilang begitu padamu?" Janie marah sekali
sampai-sampai dia berdiri. "Siapa yang bilang padamu kalau di dalam perutmu ada
batu" Nggak ada batu-batu. Aku akan bunuh mereka. Siapa yang bilang padamu soal
batu-batu?" Beth Ellen tampak takut. "Nenekku," katanya hampir pingsan.
"Bukannya itu betul" Bukankah ada batu-batu kecil yang berjatuhan dan membuatmu
berdarah dan sakit?"
"Betul" Nggak ada yang lebih salah dari itu." Janie berdiri di hadapannya.
"Nggak ada satu batupun. Kamu mengerti" Nggak, ada batu sama sekali'."
"WOW!" kata Harriet . "BATU-BATU!"
"Tunggu sebentar," kata Janie, mengangkat tangannya seperti seorang dosen, "mari
kita bereskan. Sesuatu perlu diluruskan sebelum kalian berdua jadi ketakutan."
Mereka berdua memandang Janie. Beth Ellen ketakutan dan bingung. Harriet marah
dan bingung. "Sekarang, kalian harus mengerti," kata Janie, tampak sangat sungguh-sungguh,
"bahwa generasi nenek Beth Ellen sangat kuno.
Cincin Maut 9 Pendekar Rajawali Sakti 183 Jahanam Bermuka Dua Rahasia Syair Leluhur 2