Pencarian

Sungai Lampion 2

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Bagian 2


Si singa terbuat dari sutra, dihiasi benang perak dan
emas, serta manik-manik kaca dan batu-batuan setengah
berharga. Kostum singa itu merupakan sumber penghidupan para penarinya, dan mereka tak ingin itu
terbakar. Oleh karenanya mereka mencoba melindunginya
dengan tubuh-tubuh mereka sendiri dan atraksi itulah yang
sebetulnya ditunggu-tunggu para tamu.
Orang-orang kaya itu langsung beraksi, diikuti oleh
tamu-tamu asing. Mata uang yang putih dan panas itu
segera mendarat di tubuh telanjang para penari, membakar
kulit mereka sehingga menimbulkan suara mendesis dan
bau aneh. Para penari berteriak sambil menggeliat
kesakitan. Si singa bergulir, kemudian sempoyongan
seakan mabuk. Orang-orang Cina kaya itu tertawa. Orang-orang asing
geli. Kebanyakan di antara petani yang ikut menyaksikan
pertunjukan itu marah, tapi sebagian lagi ikut menikmati
permainan itu, mengingat bukan kulit mereka yang
terbakar saat itu. "Cukup!" seru Lu begitu ia tak tahan lagi. Ia melambaikan
tangan ke arah si pelayan yang mengeluarkan kuali itu.
"Bawa pergi kepingan-kepingan logam panas itu dari sini!"
Para tamu kehormatan menoleh ke arah Wali Kota Lu
dengan tertegun. Mereka berharap ia akan menegur
putranya. Wali Kota tidak mengacuhkan cara mereka menatapnya,
melainkan mengangguk ke arah si pelayan. "Laksanakan
apa yang baru dikatakan tuan mudamu. Mulai hari ini,
kalau ada tarian barongsai yang disponsori keluarga kami,
jangan pernah keluarkan mata uang panas seperti itu lagi."
Si singa berhenti menari untuk sesaat. Para penarinya
berdiri tertegun, tidak yakin apakah mereka harus
berterima kasih pada wali kota baru dan putranya atau
protes. Meskipun pernyataan ini membebaskan mereka
dari siksaan, mereka juga tidak mendapatkan mata uang
logam lagi, yang biasanya mereka pungut saat
kepingan-kepingan itu sudah dingin.
Suara Wali Kota Lu itu terdengar oleh semua yang hadir
di sekitar tepi danau. "Berikan seluruh isi kuali itu kepada
para penari. Mereka bisa membagi-baginya, begitu sudah
tidak panas lagi." Orang-orang asing kecewa permainan sudah berakhir,
sementara orang-orang Cina protes keras. "Wali Kota Lu
baru saja melanggar tradisi yang usianya sudah ribuan
tahun! Para penari barongsai biasanya diupah dengan
kepingan mata uang panas seperti itu!
Di pihak lain, para petani mengungkapkan kekaguman
mereka. "Wali Kota Lu dan putranya sama sekali tidak
seperti yang kita bayangkan semula. Setidaknya ada dua
orang kaya yang tidak sama sekali tak punya hati!"
Makan malam yang terdiri atas sekian-banyak sajian itu
dihidangkan dalam beberapa ruang makan. Sambil
ditunggui pelayan masing-masing, kaum wanita boleh
makan sesuka hati sambil bergosip mengenai berbagai
masalah kewanitaan. Kaum pria makan sambil dihibur oleh
gadis-gadis penyanyi. Mereka menikmati daun-daun muda
cantik yang duduk di pangkuan mereka, sambil menyuapi
mereka dengan aneka makanan dan minuman.
Mereka mendapat sajian lidah burung kolibri, otak
monyet, sirip ikan hiu, dan cakar beruang. Setelah semua
selesai makan, mangkuk-mangkuk porselen berisi air
hangat diantarkan ke meja-meja, masing-masing penuh
dengan kuncup-kuncup bunga yang mengambang. Para
tamu mencuci tangan dalam air yang harum itu,
mengeringkan jari-jari mereka pada lembaran saputangan
lembut yang disodorkan para pelayan, kemudian menuju
balairung utama. Wali Kota Lu dan istrinya duduk berdampingan,
menerima hadiah-hadiah dari barisan tamu mereka yang
panjang. Gubernur Mongol memimpin iring-iringan itu,
meletakkan hadiah di sebuah meja besar, kemudian
melangkah pergi. Orang-orang Cina maju satu per satu
menghadap wali kota mereka yang baru beserta istrinya,
membungkuk, lalu menyerahkan bingkisan. Tanpa melirik
sedikit pun ke arah hadiah yang diberikan, pasangan Lu
memberikan tanda kepada dua pelayan untuk menerima
dan meletakkannya di meja, yang dalam waktu singkat
sudah menggunung. Orang-orang asing tampak bingung melihat sikap tak
peduli pasangan penerima hadiah-hadiah ini. "Bahkan
melirik pun mereka tidak!" komentar salah seorang di
antara mereka. "Kami orang-orang Cina menganggap tak pantas
memperlihatkan bahwa kami senang menerima hadiah-hadiah itu," si penerjemah menjelaskan. "Konfusius
mengajarkan pada kami bahwa ber harap-harap menerima
hadiah merupakan sikap tamak, yang juga dosa besar.
Orang yang tahu tata krama selalu berusaha untuk tidak
menoleh ke arah hadiah itu, sampai si pemberi pergi."
Tanpa berusaha menghapuskan senyumnya yang seakan
sudah menyatu dengan ekspresinya, si penerjemah
bergumam dalam bahasa Cina, "Dasar kalian orang barbar
tak tahu aturan!" Begitu upacara serah-terima hadiah berakhir, para tamu
keluar dari ruangan itu, menuju kamar musik. Di sana
mereka dihibur oleh sekelompok pemain alat musik gesek
sampai larut malam. Setelah mengantar tamu terakhir keluar dari pintu, Lady
Lu menarik diri. Sebaliknya, Wali Kota Lu dan Lu si Bijak
menuju ruang kerja mereka untuk menunggu.
Setelah meninggalkan rumah kediaman keluarga Lu,
beberapa tandu tertutup mengitari Danau Angin Berbisik,
kemudian kembali ke kaki Gunung Emas Ungu. Para
pemilik tandu memerintahkan para pelayan mematikan
lampion, kemudian dalam gelap kembali ke rumah
kediaman keluarga Lu. Mereka langsung dipersilakan
masuk oleh dua pelayan tua kepercayaan keluarga Lu.
Bersama surat undangan mereka, para tamu khusus ini
juga menerima kotak berisi kue-kue manis. Masing-masing
penerima menemukan sebuah kue yang ditandai dengan
titik merah di dalam kotak mereka. Ketika kue itu dibelah,
mereka menemukan surat yang ditulis di sehelai kertas. Si
penerima membawa kertasnya itu ke ruang pribadi mereka
untuk membaca isi pesan rahasianya. "Kembalilah
diam-diam begitu pesta selesai, untuk menikmati hidangan
penutup kami yang istimewa."
Lebih dari sekitar tiga puluh orang, tua dan muda,
berkumpul di ruang kerja wali kota baru, di belakang pintu
tertutup. Para pelayan setia mereka menunggu di bagian
rumah yang didiami para pelayan keluarga Lu. Mereka akan
menjaga rahasia majikan mereka dengan nyawa.
Wali Kota Lu berdiri kemudian berdeham. "Saya
mengucapkan terima kasih kepada Anda sekalian atas
kesediaan Anda untuk kembali. Anda telah mempertaruhkan keselamatan Anda dengan melakukannya." Ia menatap Lu, kemudian menyingkir agar
anaknya dapat mengambil alih. "Lulah yang memiliki
gagasan untuk mengirimkan pesan rahasia melalui kue-kue
manis kepada Anda sekalian. Dia akan mengungkapkan apa
yang menjadi bahan pernikiran kami berdua."
Lu membungkuk dalam-dalam, lalu memulai, "Anda
sekalian yang terpilih adalah para cendekiawan serta
pengikut ajaran Konfusius. Kita selalu bersikap sebagaimana layaknya seorang gentleman dan kita tak
pernah terjun langsung dalam pertempuran. Sebagaimana
diajarkan oleh Konfusius, cendekiawan sejati tak perlu kuat
secara fisik untuk menyembelih ayam, atau sedemikian
tegar hati untuk menyaksikan pertumpahan darah."
Lu tersenyum. Sinar matanya memancarkan ketetapan
hatinya. "Baba dan saya akan selalu bersikap sebagai
gentleman terpelajar. Namun kami sudah mengambil
keputusan untuk mendirikan suatu kelompok cendekiawan
yang berpandangan sama seperti kami, untuk menyelamatkan Cina secara diam-diam dan tidak
mencolok." Lu mengawasi wajah para. hadirin dengan cermat,
khawatir kalau-kalau di antara para undangan ada
beberapa pengkhianat. Semua yang hadir di ruangan ini pernah diperlakukan
secara tidak adil oleh orang-orang Mongol; masing-masing
memiliki cukup alasan untuk berani mempertaruhkan
nyawa mereka demi kelangsungan perkara yang akan
diajukannya ini. Ia melihat dua cendekiawan yang
kakak-kakaknya dihukum penggal di Pelataran Bunga
Hujan belum lama ini. Adik-adik perempuan beberapa
bangsawan muda direnggut begitu saja oleh orang-orang
Mongol saat mereka bersembahyang di kuil, untuk
kemudian diperkosa dan dibunuh. Beberapa bangsawan
tua di dalam ruangan itu pernah dipaksa menyerahkan
anak-anak gadis mereka kepada khan-khan Mongol, dan
orang-orang yang pernah kaya, yang kemudian sama sekali
bangkrut gara-gara hartanya dirampok oleh pangeran-pangeran bangsa Mongol.
Lu melanjutkan, "Di seluruh pelosok Cina ada
ksatria-ksatria yang terus menantang orang-orang Mongol
dengan tangan kosong, sambil bergerak maju dengan
berjalan kaki. Pedang-pedang, pisau, serta alat-alat
transportasi sudah berulang kali direnggut dari mereka.
Mereka membutuhkan senjata yang dibuat diam-diam oleh
para pengrajin berjiwa patriotik, dan makanan, kereta, sapi,
keledai, serta berbagai kebutuhan lainnya. Semua ini harus
dibeli, dan saya mengusulkan kita menyokong mereka
dengan menyediakan dana yang tidak mereka miliki."
Kesedihan membayang di wajah Lu yang masih muda
saat ia menambahkan, "Di samping kaum revolusioner kita
yang gagah berani ini, para penduduk miskin juga
membutuhkan uluran tangan kita. Kita adalah segelintir
orang yang beruntung. Sementara perut kita kenyang,
rekan-rekan sebangsa kita banyak yang mati kelaparan. Di
antara mereka yang sedang sekarat itu terdapat beberapa
cendekiawan seperti kita yang kurang beruntung."
Wali Kota Lu serta para hadirin yang lebih tua
mengangguk-angguk setuju, sementara yang lebih muda
menyambut dengan komentar-komentar antusias. Begitu
Lu selesai berbicara, para cendekiawan itu mulai
mengeluarkan kepingan-kepingan uang emas dan perak,
yang mereka tumpuk bersama perhiasan-perhiasan mereka
di meja. Lu terpilih sebagai pemimpin mereka, yang bertanggung
jawab untuk menyimpan dan membagibagikan uang itu di
antara kaum pemberontak dan penduduk miskin. Ia akan
mengundang mereka untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan mengirimkan pesan-pesan rahasia di
dalam kue-kue manis. Tempatnya akan selalu sama,
mengingat orang-orang Mongol takkan pernah menggeledah rumah seorang wali kota. Di dalam
pesan-pesan itu, pada saat-saat perlu, Lu akan
menggunakan nama Penguasa Danau Angin Berbisik. Di
Cina ada banyak danau dengan nama seperti itu, sehingga
julukan itu akan aman. Kelompok itu kemudian menyadari bahwa organisasi
mereka juga membutuhkan nama. Setelah berdiskusi,
akhirnya diputuskan nama Liga Rahasia.
Setelah mengangkat cangkir-cangkir teh mereka, para
anggota liga yang baru itu bersumpah untuk membela
persekutuan serta melaksanakan misi mereka untuk
hari-hari selanjutnya. Wali Kota Lu menutup pertemuan itu dengan
membenikan peringatan sederhana, "Kita tak boleh lupa
bahwa di luar, kita masih tetap akan membungkuk di
hadapan Gubernur serta berusaha sebaik-baiknya untuk


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rnenyenangkan hati orang-orang Mongol."
"Menyenangkan hati orang-orang Mongol" Bagaimana
aku dapat menyenangkan hati orang-orang Mongol itu
dengan cara sebaik-baiknya?" tanya Bangsawan Lin pada
dirinya berulang kali, di dalam tandu tertutupnya. .
Selama berlangsungnya pesta, ia mendengar Gubemur
Mongol mengucapkan terima kasih pada Wali Kota Lu
untuk hadiah-hadiah yang telah menyenangkan hati
istrinya. Lin mengumpat-umpat dalam hati, "Jadi, begitulah
cara si sialan itu mendapatkan posisinya!" Kemudian ia
mulai mempertanyakan pada diri sendiri, "Bagaimana aku
dapat membuat Gubernur Mongol itu lebih senang lagi,
sehingga dia mau melepaskan jabatan si Lu sialan itu?"
Ia amat tersiksa saat kembang api mulai dinyalakan tadi,
seakan kilau cemerlang bunga-bunga apinya melambangkan keberhasilan Wali Kota Lu, sedangkan bara
yang kemudian berubah menjadi asap itu adalah dirinya
sendiri. Ia merasakan kepedihan yang diderita para penari
barongsai, seakan sukses yang dicapai Wali Kota Lu meru-
pakan kepingan-kepingan panas yang menusuk-nusuk
harga dinnya. Ia telah mengunyah setiap suap makanan
yang disajikan di hadapannya dengan gemas, seakan daging
itu milik musuhnya. Ia memperhatikan tumpukan hadiah
yang diterima Bangsawan Lu dengan hati dengki. Andai
kata hadiah-hadiah itu miliknya untuk dibawa pulang.
"Pulang." Ia menghela napas dalam-dalam, sementara
tandunya semakin dekat ke rumahnya. "Aku tak punya
apa-apa di rumah selain kedua orangtuaku yang sudah
mulai jompo, tiga anak laki-laki konyol yang dilahirkan oleh
selir-selirku, saudara-saudara yang malas, istri yang rapuh,
dan seorang anak perempuan yang tak berguna..." Ia
tersentak. Matanya membelalak lebar. Ia baru saja
menemukan hadiah yang dicari-carinya.
Saat tandunya berhenti di muka rumah kediamannya,
Bangsawan Lin sudah merumuskan suatu keputusan. Ia
menerobos pintu ganda yang dijaga oleh sepasang singa
marmer, kemudian menuju ambang pintu yang bentuknya
melengkung sambil tersenyum lebar. "Bangunkan istriku
dan Lady Lotus. Suruh mereka ke ruang kerjaku!"
perintahnya. Begitu bangun dari tidur, Lotus segera berpakaian
dengan bantuan para pelayannya. Sesudah itu ia pergi ke
ibunya. Dengan dipapah empat pelayan wanita, mereka
bergerak dengan langkah-langkah kecil, menghadap lelaki
yang sama-sama mereka takuti. Mereka sama-sama tak
dapat menebak, apa yang membuat mereka dipanggil di
malam selarut itu. "Mungkin akhirnya dia sampai pada keputusan akan
mencabut jabatanku, untuk diberikan pada salah seorang
selir yang telah melahirkan anak laki-laki baginya," ujar
Lady Lin dengan suara bergetar.
"Mungkin Baba tahu aku bermain layang-layang setiap
hari, dan ingin menghukumku untuk kelakuanku yang
kekanak-kanakan," ujar Lotus sambil menggigil.
Mereka tercengang saat mendapati Bangsawan Lin
tersenyum pada mereka dari kursi, yang kaki serta
sandaran tangannya terukir membentuk cakar naga.
"Duduk," perintah Bangsawan Lin, sambil menunjuk ke
arah dua kursi sejenis. Lotus dan ibunya menarik napas
lega. Mereka menduga bahwa mereka dipanggil karena
Bangsawan Lin ingin menceritakan tentang pesta yang baru
dihadirinya itu. "Suamiku," ujar Lady Lin, "apa yang dikenakan oleh istri
Wali Kota tadi?" Ia melirik ke arah anak perempuannya,
lalu menambahkan, "Apakah putra Wali Kota juga di sana
untuk menyambut para tamu" Dan..."
Lin mengibaskan tangannya, lalu membentak, "Tutup
mulutmu, perempuan tolol!"
Wajah pucat Lady Lin berubah keabu-abuan. Ia menatap
suaminya sementara Bangsawan Lin memerintahnya,
"Bawa Lotus ke kamarnya. Bantu dia mengemasi pakaian
dan perhiasan-perhiasannya."
Sesudah itu ia menatap anak perempuannya, lalu
menambahkan, "Lotus, apa ada sesuatu di antara perhiasan
ibumu yang ingin kaubawa?"
"Perhiasan Mama" Untuk kubawa" Memangnya aku mau
ke mana, babaku yang mulia?" tanya Lotus gemetar.
"Ke tempat yang akan menjadi rumahmu," Jawab Lin.
Matanya berbinar senang saat mengamati penampilan
Lotus dengan cermat. Sepertinya terakhir ia melihatnya,
Lotus masih tampak begitu kekanakan. Kapan ia
berkembang menjadi gadis secantik ini" Senyumnya
semakin melebar setelah ia memperhatikannya dari atas ke
bawah sekali lagi. "Untuk mengambil hati seorang laki-laki,
anakku." Pada mulanya Lotus merasa lega. Ayahnya ingin
memajukan hari perkawinannya dan menikahkannya
dengan Lu secepatnya. Seulas rona merah menjalar naik
dari lehernya, membuat telinganya merah dan wajahnya
seakan terbakar. Ia melihat ke bawah sambil menundukkan
kepala, namun tak dapat menyembunyikan senyum yang
mulai mengembang di bibirnya. "Baik, Baba," jawabnya
lembut. "Aku akan mematuhi perintah Baba."
"Untuk apa mempercepat perkawinan yang baru akan
kita langsungkan setahun dari sekarang?" tanya Lady Lin.
Nadanya terdengar ceria; ia merasa senang.
"Lotus takkan menikah dengan anak si Lu sialan itu. Dia
akan ke rumah Gubernur Mongol untuk menjadi salah satu
selirnya!" seru Bangsawan Lin.
Lotus merasa dunianya ambruk seketika. Matanya
berkunang-kunang saat ia mencengkeram erat-erat lengan
kursinya, hingga ukiran cakar naga
nyaris melukai telapak tangannya. Beberapa hari yang
lalu, saat ayahnya mengatakan ia mempunyai rencana yang
lebih besar baginya, baik si ibu maupun anak menganggap
itu ancaman kosong yang terlompat keluar dalam keadaan
marah. Sekarang, saat ia menundukkan kepala, ia melihat
kupu-kupu yang disulamkan di sepatunya yang mungil. Aku
seperti mereka, ujarnya dalam hati. Seperti kupu-kupu, aku
tak bisa menghindari takdirku.
Telinganya mendenging saat ia menangkap suara ibunya
yang seakan terdengar dari jauh. "Aku tak bisa membiarkan
kau melakukan ini pada Lotus-ku! Kalau kau ingin
memberikannya kepada orang Mongol, kau harus
membunuhku dulu. Dan jangan lupa, aku bukan berasal
dari keluarga seinbarangan yang tak punya pengaruh
apa-apa. Kalau kau berani melukaiku entah dengan cara
bagaimana, mereka takkan membiarkan dirimu bebas!"
Lady Lin sama sekali tidak menaikkan nada suaranya,
namun setiap kata-katanya tajam seperti mata pisau.
Lotus tak pernah mendengar ibunya menyanggah
kata-kata ayahnya. Ia bahkan tak pernah membayangkan
ibunya memiliki kemampuan untuk membangkang. Ia
mengangkat matanya, kemudian melihat ibunya berdiri
tanpa bantuan para pelayan.
Lady Lin menuding suaminya dengan jari bergetar.
"Lotus sudah dijanjikan pada keluarga Lu dalam
pertunangan yang berlangsung saat dia masih di dalam
kandungan. Bahkan laki-laki yang tak punya perasaan
seperti kau seharusnya tahu bahwa kau harus
menghormati pertunangan yang sifatnya begitu sakral! "
Lotus menatap ibunya dengan tercengang. Seorang
wanita baik-baik tidak akan mengucapkan kata kandungan
begitu saja, meskipun ibunya hanya ingin mengingatkan
ayahnya akan suatu fakta. Ketika Lu berusia tiga tahun,
ibunya mengajaknya bertandang ke rumah keluarga Lin,
karena Lady Lin sedang mengandung ketika itu. Lady Lu
berharap ia akan melahirkan anak laki-laki, namun. sambil
menunjuk perut besar Lady Lin ia juga berkata, "Andai kata
anakmu perempuan, aku ingin sekali ia menjadi istri
anakku, Lu si Bijak." Lady Lin mengajak suaminya
berunding, lalu menerima lamaran itu. Pertunangan itu
diresmikan kemudian, pada hari yang bersamaan dengan
kelahiran Lotus. Tanpa bergeming Lady Lin melanjutkan, "Pertunangan
seperti itu sudah diakui sejak masa Konfusius masih hidup,
dan masih akan dianggap sakral selama kebudayaan Cina
masih hidup." Ia mengingatkan suaminya bahwa meskipun salah satu
di antara anak-anak itu meninggal sebelum pernikahan
berlangsung, upacara itu masih tetap akan dilangsungkan -
yang meninggal akan diwakili oleh sebuah plaket kayu yang
diukiri sebuah nama. Saat pengantin laki-laki menjadi duda
pada hari pernikahannya, ia diharapkan akan menikah lagi,
tapi saat seorang pengantin wanita tertimpa nasib yang
sama, ia harus tetap hidup menjanda untuk selamanya.
Bangsawan Lin tak menduga istrinya dapat mengambil
sikap seperti itu. Ia maju selangkah sambil mengangkat
tangan untuk memukulnya. Tangannya berhenti di udara,
meskipun Lady Lin sama sekali tidak berusaha mengelak
atau berkedip. Kemudian ia mempertimbangkan kembali
apa yang dikatakan istrinya mengenai keluarganya.
Bangsawan Lin menyadari bahwa ia tak dapat menghina
ayah dan sekian banyak paman istrinya yang kaya-kaya
serta amat disegani di Yin-tin. Ia menurunkan tangannya,
kemudian menatap tajam ke arahnya. Lady Lin membalas
tatapannya tanpa berkedip. Akhirnya Bangsawan Lin-lah
yang berpaling ke arah lain.
"Aku tak mau menghabiskan tenagaku berdebat dengan
seorang perempuan," ujarnya untuk menutupi rasa
malunya di hadapan para pelayan. Sebelum keluar dari
ruangan itu, ia memberikan perintahnya yang terakhir,
"Tapi Lotus akan menjadi selir Gubernur Mongol sebelum
besok malam!" Di waktu subuh, para pelayan di rumah kediaman
keluarga Lin mulai menggeliit di tempat tidur mereka, dan
dengan enggan bangun untuk menghadapi tugas-tugas
yang seakan tidak berkesudahan hari itu.
Namun tiga sosok diam-diam sudah menyelinap menuju
gerbang belakang. Wanita yang di tengah berkaki besar dan
lebih tinggi daripada dua yang lain. Sambil menopang
keduanya dengan lengannya, ia berbisik, "Cepat!"
Jasmine, pelayan wanita yang kuat itu, tidak memiliki
nama keluarga. Ia dijual oleh orangtuanya pada pedagang
budak, yang dalam waktu singkat sudah lupa siapa nama
bocah itu. Ia mendapatkan namanya saat pedagang budak
itu kebetulan mengantarkannya ke hadapan orangtua Lady
Lin ketika mereka sedang minum teh jasmine. Di usianya
yang 33 tahun itu ia belum pernah menikah. Ia sudah
menjadi pelayan Lady Lin sejak mereka sama-sama masih
kecil, dan ketika diputuskan bahwa Lotus harus kabur,
Lady Lin langsung mengambil keputusan bahwa
Jasmine-lah yang harus mengawal anaknya.
"Sebaiknya kau jalan lebih cepat kalau kau tak mau
dijadikan selir si Mongol," ujar Jasmine kepada Lotus, yang
mencoba bergegas sebisanya. "Dan Anda, nyonyaku,
bagaimana Anda bisa kembali ke kamar Anda tanpa
bantuanku?" tanya Jasmine.
"Aku pasti bisa," ujar Lady Lin. "Aku bisa merambati
tembok serta berpegangan pada pohon-pohon." Ia mencoba
tertawa. "Kalau aku bisa mengumpulkan keberanian untuk
menentang suami yang juga junjunganku, aku pasti dapat
menemukan cara untuk kembali ke kamarku sendiri."
Nadanya sedikit bergetar saat ia menokh ke arah anaknya.
"Anakku, kau harus berusaha hidup bahagia tanpa
mamamu. Jadilah istri yang baik untuk Lu dan patuhilah
kedua orangtuanya. Penuhi semua keinginan suamimu saat
dia benar, tapi kalau ulahnya mulai keterlaluan, kau harus
mengikuti teladan yang sudah kuberikan padamu.
Hadapilah dia. Ingatlah selalu kata-kataku, buah hatiku,
karena aku tak yakin kita akan bertemu lagi."
Lady Lin tidak merasa ragu bahwa keluarga Lu akan
menampung Lotus, dan bahwa perkawinan akan segera
dilangsungkan. Mengingat Wali Kota Lu sekarang
menduduki tempat kedua tertinggi sesudah Gubernur
Mongol, Bangsawan Lin takkan berani melakukan apa pun
untuk mencegah perkawinan itu begitu Lotus sudah berada
di luar jangkauannya. Yang dapat dilakukannya sesudah itu
hanyalah menyiksa istrinya.
"Mama, ikutlah denganku," ujar Lotus memohon di
antara deraian air matanya. "Bukankah Mama juga bisa
tinggal di rumah keluarga Lu?"
"Anak bodoh," ujar Lady Lin sambil menggeleng. "Kau
akan menjadi istri utama tuan muda di dalam rumah
keluarga Lu. Sedangkan aku apa" Maskawinmu?"
Lotus menghapus air mata yang mengalir membasahi
wajahnya. Apa yang dikatakan ibunya memang benar.
Tidak akan ada tempat bagi Lady Lin di dalam rumah
keluarga Lu, meskipun kedua wanita itu masih memiliki
hubungan saudara. Salah satu alasan mengapa seorang
anak laki-laki begitu berharga sedangkan anak perempuan
tidak, adalah bahwa para orangtua mempunyai hak untuk
tinggal bersama anak laki-laki mereka, tapi tidak bersama
anak perempuan mereka. Untuk mempermudah perpisahan itu, Lady Lin
menunjuk Jasmine, lalu berkata dengan nada yang
dibuatnya terdengar seceria mungkin, "Kuharap keluarga
Lu tidak merendahkan dirimu karena tidak membawa
maskawin selain Jasmine."
"Jangan khawatir, nyonyaku," ujar si pelayan pada Lady
Lin. "Aku akan menjaga Lady Lotus dengan sebaik-baiknya,
seperti aku menjaga Anda selama ini."
Begitu mereka sampai di gerbang, Lotus berpaling ke
arah ibunya, lalu memohon sekali lagi, "Mama, ayolah ikut
denganku. Biar bagaimanapun tradisinya, keluarga Lu akan
memperbolehkan Mama tinggal bersamaku."


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si ibu tersenyum sedih. "Aku menikahi ayahmu ketika
aku seusiamu. Aku tidak mengenal laki-laki lain dalam
hidupku. Setiap gadis memiliki cinta di hatinya, yang ingin
diberikannya kepada seseorang. Aku memberikan cintaku
kepada ayahmu. Aku takut dan tidak suka padanya, tapi aku
tak pernah berhenti mencintainya." Lady Lin meng-
geleng-gelengkan kepala dengan tegas. "Aku takkan pernah
meninggalkan rumahnya selama dia membiarkan aku
tinggal untuk mendampinginya."
9 SEPANJANG pesisir Sungai Kuning, pohon-pohon apel
sudah tidak berbunga lagi. Bagian tengah kuntum bunganya
yang keputihan sudah berubah menjadi bintik-bintik buah
berwarna hijau. Sambil berjalan di bawah pohon-pohon itu,
Peony menelusuri jalan yang biasanya ditempuhnya
bersama kedua orangtuanya dalam perjalanan mereka me-
nuju ke desa Pinus. Sementara itu, semua makanan yang
diberikan Welas Asih sudah habis, dan ia merasa lapar
sekali. Begitu sampai di sebuah desa Peony melihat seorang
penjual tahu. Ia mengikuti laki-laki itu dari belakang. Si
pedagang mendorong gerobak yang penuh dengan tahu. Ia
melewati rumah para petani satu per satu, sambil
mendentingkan sumpit bambu untuk menjajakan barang
dagangannya, yang akan ia lepas baik dengan cara menjual
atau menukarkannya dengan telur atau gandum.
Peony mengawasinya selagi ia sedang tawar-menawar
dengan seorang wanita tua, menimbang-nimbang gandumnya di atas sebuah timbangan sederhana yang
terbuat dari tongkat, kayu, piring kecil, dan beberapa anak
timbangan. Saat mereka berdebat dengan sengit, Peony
menyambar sepotong tahu yang besar kemudian kabur.
Si penjual mengejarnya selama beberapa waktu,
kemudian menyerah, khawatir bahwa penduduk desa akan
menyapu habis seluruh isi gerobaknya. Peony berhenti di
tepi sungai, lalu duduk untuk memakan tahunya yang
hambar. Sambil melakukan itu, ia mengawasi beberapa
lampion kertas yang terapung-apung lewat di mukanya.
Pembantaian yang dilakukan orang-orang Mongol sudah
meluas ke mana-mana. Di seluruh pelosok penduduk
meratapi orang-orang yang mereka cintai. Di antara para
pelarung lampion, Peony mendengar seorang anak
perempuan memanggil-manggil ayah dan ibunya, lalu
menyerukan bahwa ia akan menceburkan dirinya ke dalam
air agar seluruh keluarganya dapat berkumpul kembali.
Peony merasakan tenggorokannya bak tersumbat. Cepat-cepat ia meninggalkan tepi sungai untuk melanjutkan perjalanannya.
Tak lama kemudian perutnya mulai kosong lagi. Tidak
hanya itu, langit pun berubah gelap. Dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, ia dan kedua orangtuanya selalu menginap di rumah teman ayahnya
yang tinggal di desa berikutnya. Mengingat ini, ia segera
mempercepat langkahnya. Sesampainya di sana, ternyata dinding pondok yang
diplester tanah dan beratap rumbia itu sudah tiada. Sebagai
gantinya berdiri sederetan bangunan batu dan sebuah istal.
Ia menyipitkan mata dan melihat papan dengan tanda
bergambar guci anggur dan wadah makanan di bawah sinar
bulan musim semi itu. Ia mendekat, kemudian bersembunyi di belakang pohon
pinus yang tinggi. Ia mendengar derai tawa dari sebuah
ruangan yang jendelanya terbuka. Ia dapat mencium bau
daging dimasak. Aromanya membuatnya meninggalkan
persembunyiannya. Ia menghampiri jendela itu untuk
mengintip ke dalam. Ia melihat enam orang Mongol duduk mengelfilingi meja
sambil minum-minum. Seekor anak kambing utuh
dipanggang di atas api terbuka, di bagian lain ruangan itu.
Kulit binatang itu.sudah cokelat keemasan. Sarinya
menetes ke atas bara kayu api, membuat lidah-lidah api
menjilat ke atas dan mengeluarkan bunyi mendesis.
Peony menelan ludah saat melihat dua pelayan Cina
mengantarkan daging panggang itu ke meja. Orang-orang
Mongol langsung mengulurkan tangan untuk mencomot
daging yang masih panas itu. Mereka mencabik
keratan-keratan besar dari tubuh kambing itu, mengunyah
dengan lahap, sesudah itu menjilati jari-jari mereka yang
terbakar. Salah seorang di antara mereka yang duduk de-
ngan punggung menghadap jendela, berada begitu dekat
dengan Peony, sehingga seakan-akan sengaja melambai-lambaikan daging di tangannya ke mukanya.
Seorang petugas istal muncul untuk menanyakan apakah
besok mereka ingin melanjutkan perjalanan dengan
kuda-kuda mereka sendiri atau yang disediakan di pos
penginapan itu. Si Mongol yang duduk di dekat jendela
menyandarkan tubuh untuk berpikir. Selagi ia menopangkan siku di ambang jendela, kaki kambing di
tangannya nyaris menyentuh ujung hidung Peony.
Tanpa berpikir Peony langsung meraih daging itu. Ia tak
menyangka si Mongol mencengkeram keratan daging itu
dengan begitu kuat. Ia terpaksa merenggutnya dari
tangannya. Si Mongol terkejut oleh ulah tangan yang tidak tampak
itu. Ia langsung berteriak, lalu memutar tubuhnya
sementara Peony kabur ke dalam kegelapan.
Di belakangnya terdengar orang-orang Mongol memaki-maki para pelayan Cina agar segera menggeledah
daerah sekitar pos penginapan itu. Namun orang-orang
Cina itu melakukan perintah mereka dengan setengah hati.
Peony dapat menangkap kata-kata mereka saat mereka
melaporkan pada orang-orang Mongol bahwa tak ada siapa
pun di luar. Di bawah penerangan cahaya bulan, Peony sampai di
Sungai Kuning. Ia duduk di tepinya, lalu mulai makan.
Baginya daging itu adalah makanan terenak yang pernah
disantapnya seumur hidup, sementara riak air sungai
seakan menjanjikan ia akan segera bertemu dengan Shu. Ia
menggeliatkan tubuh di rumput. Bayangan terakhir baginya
malam itu adalah bentangan langit dengan cahaya ribuan
bintang dan sebentuk bulan yang indah.
Ia terbangun begitu fajar menyingsing, lalu melanjutkan
perjalanan. Ia merasa lebih bugar karena energi yang
diperolehnya dari daging kambing pada malam sebelumnya. Sekitar tengah hari ia mulai mendaki gunung yang
menghadap ke desa Pinus. Ia teringat kisah-kisah para
pencari kayu yang diterkam harimau di tempat ini. Ia
berlari melintasi hutan itu, dan begitu sampai di tempat
yang agak terbuka, ia melayangkan pandangan sekilas ke
arah desa Pinus. Ia mengerutkan alis melihat sedikitnya
petani yang bekerja di sawah. DI manakah para pemuda"
Bahkan dari jauh ia dapat melihat bahwa kebanyakan di
antara mereka yang menggiring kerbau untuk meratakan
dan membajak tanah yang tergenang air itu terdiri atas
kaum wanita dan orang-orang tua.
Kecemasannya berkurang saat ia melihat beberapa
bocah bermain di sebuah kolam dangkal yang memantulkan bayangan langit biru serta awan-awan putih
selembut kapas. Panoramanya indah sekali, dan hidupnya
akan semakin menyenangkan lagi begitu ia bertemu
dengan Shu nanti. Peony berdiri lebih tegak, tersenyum,
kemudian menggunakan lengan bajunya untuk membersihkan wajah semampunya.
Desa itu sudah tidak seperti yang diingatnya. Jumlah
penduduknya lebih sedikit, sehingga tempat itu terasa
lengang. Ia mengenali pohon ek kembar yang tumbuh di
antara rumah keluarga Shu dan tetangga mereka.
Kemudian ia melihat ranting-ranting pohon yang menjorok
ke rumah keluarga Shu hangus. Di tempat rumah keluarga
itu semula berdiri, kini hanya ada tumpukan puing bekas
kebakaran. Peony berlari mendekati lelaki tua yang sedang
berjongkok di antara kedua pohon itu. Sambil menunjuk ke
arah puing-puing kehitaman, ia berseru, "Apa yang terjadi"
Di mana mereka semua?"
Orang tua itu tidak mengangkat wajahnya, juga tidak
melihat ke mana Peony menunjuk. Ia ada di sana untuk
menengok kedelapan gundukan baru yang merupakan
makam para anggota keluarganya, dan pikirannya masih
dipenuhi oleh kematian mereka.
"Mati gumamnya, sambil mengacungkan tangannya
yang gemetar ke makam-makam baru yang berderet di
belakangnya. "Orang-orang Mongol... kuda... tali menjerat
leher mereka... busur dan anak panah... semua mati... tak
satu pun lolos." "Tidak!" jerit Peony, kemudian berlari meninggalkan
orang tua itu. Ia menghitung gundukan kuburan di tanah
milik keluarga Shu. Semua ada enam. Dua untuk kedua
orangtua dan empat untuk anak laki-laki mereka.
"Tidak! Tidak! Tidak!" teriak Peony sambil berlari
meninggalkan desa Pinus tanpa berhenti.
Shu-nya sudah tiada. Ucapan terpatah-patah dari mulut
orang tua itu mewujudkan bayangan yang begitu
mengerikan baginya. Hatinya penuh amarah dan kesedihan.
Andai kata ia menanyakan pada seseorang secara
mendetail bagaimana Shu menemui ajal, ia pasti bakal
histeris. Harga dirinya terIalu besar untuk membiarkan
orang melihat atau mendengarnya menangis, karena itu ia
terus berlari tanpa menengok ke belakang lagi.
Shu sudah amat lelah ketika sampai di Sungai Kuning. Ia
beristirahat di tepinya. Ia sudah menghabiskan seluruh
bekal yang diterimanya dari Naga Tanah beberapa waktu
yang lalu. Ia amat lapar dan tubuhnya lemah.
Akhirnya ia memaksa diri untuk berdiri, kemudian
melangkah sampai ia melihat sebuah pos penginapan di
kejauhan. Ia bersembunyi di belakang pohon pinus ketika
melihat sekelompok orang Mongol berkuda ke arahnya. Ia
pindah ke sisi lain batang pohon besar itu ketika mereka
lewat. Setelah menduduki Cina selama beberapa dekade,
orang-orang Mongol belajar menguasai bahasa Cina.
Keenam penunggang kuda itu berbincang-bincang dalam
lafal yang sudah mereka kuasai. Shu dapat mendengar
kata-kata mereka dengan jelas, namun tidak mengertii
maksud mereka. Salah satu di antara mereka sedang berkata bahwa
hantu sebetulnya memang ada. Kalau seorang Cina
meninggal karena kelaparan, rohnya akan kembali untuk
menghantui orang-orang Mongol yang bertanggung jawab
atas kematiannya. Caranya menghantui dilaksanakan
dengan berbagai cara aneh; salah satunya adalah membuat
makanan menghilang begitu saja dari genggaman orang
Mongol. Begitu mereka hilang dari pandangan, Shu keluar dari
tempat persembunyiannya, lalu menuju tempat sampah
yang tertumpuk di luar bangunan pos penginapan itu. Ia
menemukan beberapa potong tulang kambing yang masih
banyak dagingnya.

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah mengumpulkannya, ia meneruskan perjalanan sambil makan. Ia bersenandung
sambil mengunyah, kemudian melemparkan tulang demi
tulang yang sudah habis dagingnya ke belakangnya. Sesaat
ia dapat melupakan kematian keluarganya. Setelah lepas
dari omelan si biksu tua, dan menyadari bahwa ia sedang
dalam perjalanan untuk menemui Peony-nya, hatinya
terasa lebih ringan. Ketika malam tiba, ia beristirahat di pinggir hutan pinus
di bawah langit terbuka. Ia menggunakan daun pinus tua
yang lembut sebagai alas tidur, kemudian melipat
lengannya sebagai bantal. Ia menerawangi langit yang
diterangi cahaya bulan melalui puncak pepohonan, sampai
kelopak matanya terasa berat.
Keesokan paginya, seekor kelinci liar melompati Shu dan
membangunkannya. Ia mengusap wajahnya dengan lengan
baju, kemudian memungut buntelannya. Dalam waktu
singkat ia sudah memasuki desa terakhir menjelang desa
yang didiami Peony, dan mendapati dirinya melangkah di
belakang pedagang tahu. Ia ingin menghantam si penjaja
yang terus menoleh curiga ke arahnya, seakan ia berniat
mencuri sepotong tahunya yang tawar itu.
Saat melintasi desa, di antara banyak rumah yang
rumputnya dibiarkan tumbuh liar, ia melihat sebuah rumah
yang dipercantik oleh sederetan tanaman bunga azalea
merah yang marak. Pada saat itu juga ia memutuskan
bahwa begitu ia dan Peony menikah, mereka akan memiliki
rumah penuh tanaman azalea seperti itu.
Ia juga melihat hampir setiap rumah memiliki dua pintu
yang masing-masing dihiasi sepotong kertas merah yang
sudah memudar bertuliskan sebait karya seorang
cendekiawan kota itu, yang mengharapkan keberuntungan
di Tahun Baru yang lalu. Shu memutuskan bahwa setelah
menikah, ia menginginkan sebuah bait yang mengungkapkan bahwa rumah mereka akan menjadi
tempat tinggal banyak anak. Membayangkan ini, Shu
tersenyum-senyum sendiri. Ia memasuki Lembah Zamrud
dengan semangat menggebu-gebu.
Namun hatinya segera menciut begitu melihat desa yang
sudah porak-poranda itu. Ia mencengkam pundak kurus
seorang wanita tua, lalu bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
Perempuan tua itu menatapnya ketakutan, kemudian
mengatakan bahwa desa itu sudah dua kali diserang
beberapa hari terakhir ini. Yang pertama gara-gara seorang
pedagang yang menolak uang kertas dari tangan orang
Mongol, yang kedua gara-gara seorang penambang batu
kemala yang diam-diam mencoba menjual sepotong batu
berharga itu. Pembantaian terakhir baru saja terjadi ke-
marin, pagi-pagi. Selain membunuhi penduduk, orang-orang Mongol itu juga membakar semua rumah di
desa itu, kecuali bangunan Kuil Langit.
Shu menanyakan keadaan keluarga penambang Ma
kepada si wanita tua, namun wanita berambut putih itu
menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, "Ma adalah
nama yang sangat umum. Ada lebih dari dua puluh keluarga
penambang yang memakai nama yang sama. Nah, lepaskan
aku sekarang!" Shu melepaskan pundak wanita tua itu, yang kemudian
dengan langkah sempoyongan meninggalkan desa dengan
benda-benda yang berhasil dikumpulkannya dalam
pelukan lengannya yang seperti tongkat. Ia menuju
jembatan gantung yang akan membawanya ke seberang
Sungai Kuning, kemudian terus ke gunung, ke arah Kuil
Langit. Shu memperhatikan langkah-langkahnya dari belakang,
lalu mengawasi sekelilingnya. Rupanya wanita tua itu
merupakan penduduk terakhir yang meninggalkan desa itu.
Kecuali beberapa orang yang berada di sisi lain tepi sungai,
ia berada seorang diri di antara tumpukan-tumpukan
puing. Dan setiap tumpukan membubung alur-alur asap
yang menari-nari bak pita-pita hitam di bawah embusan
angin. Saat itu juga Shu teringat akan pita-pita merah yang
menghiasi jalinan kepang Peony. Dengan hati berdebar-debar ia melangkah ke arah rumah keluarga Ma,
perasaannya was-was. Ketiga tubuh yang ditemukannya berada dalam keadaan
hangus dan sama sekali tak dapat dikenali. Namun
demikian, Shu masih dapat membedakan bahwa mereka
terdiri atas seorang laki-laki dewasa, seorang wanita
dewasa, dan seorang gadis. Tidak, ia tak ingin menerima
kenyataan bahwa mereka adalah suami-istri Ma dan Peony.
Ia menatap kuil yang letaknya agak tersembunyi di gunung,
sambil menimbang-nimbang akan ke sana untuk mendapat
kepastian mengenai nasib keluarga Ma dari para biksu dan
biksuni. Tapi ia pun teringat pada Naga Tanah. Semua
orang suci sama saja. Mereka hanya akan mengomeli
dirinya seperti biksu-tua yang sudah hampir pikun itu.
Ia menatap jenazah-jenazah yang hangus itu, sampai
akhirnya ia yakin mereka betul-betul Peony dan kedua
orangtuanya. Dalam bayangannya ia dapat mendengar
suara mereka mengatakan betapa teganya ia membiarkan
mereka tergeletak di situ begitu saja.
Shu berlutut di samping tubuh-tubuh itu, kemudian
untuk sesaat kehilangan kendali. Namun setelah melampiaskan air mata selama beberapa saat, tiba-tiba ia
sadar, lalu malu dan marah. Ia menghapus air mata dengan
punggung tangannya, kemudian berdiri tegak. Ia
mengayunkan tinjunya ke langit, lalu berteriak. Berulang
kali ia berteriak, bak binatang terluka yang kesakitan.
Suaranya menjadi serak dan tenggorokannya terasa
berdarah. Ia berhenti berteriak, kemudian menjatuhkan
diri dengan lemas. Seluruh harapannya sirna. Akhirnya ia
berdiri untuk mencari tajak.
Sesuai dengan ketentuan orang-orang Mongol, setiap
sepuluh keluarga berbagi sebuah tajak. Shu terpaksa
mencari di antara tumpukan-tumpukan puing yang
terbakar sebelum dapat menemukan satu, namun hampir
seluruh gagangnya sudah habis dimakan api. Ia
menguburkan ketiga jenazah itu di dekat rumah keluarga
Ma. Sesudah itu ia memasukkan tajak yang sudah tak utuh
lagi ke dalam buntelannya, lalu membungkuk di muka
makam baru itu untuk minta diri.
Setelah beberapa langkah ia berhenti, kemudian kembali
ke makam-makam itu. Ia mengangkat wajah ke langit,
kemudian berseru sekali lagi,
"Peony! Kematianmu pasti terbalas! Kaudengar aku" Aku
akan membalas kematianmu!"
Ucapannya yang terpatah-patah itu menggema ke
seluruh lembah, membuat kepala orang-orang yang
berkumpul di tepi sungai berpaling. Lampion mereka yang
sederhana berkedip-kedip di kejauhan, mengingatkan Shu
bahwa kewajibannya terhadap keluarga Ma belum tuntas
seluruhnya. Masih dalam keadaan marah ia melangkah
menuju sungai. Ia tak punya uang untuk membeli lampion-lampion yang
dibutuhkannya, dan ia sama sekali tidak berminat
meminta-minta sedekah dari orang-orang yang tak
dikenalnya itu. Ia merampas tiga lampion berikut api untuk
menyalakannya dari seorang wanita yang berdiri di
dekatnya, kemudian kabur. Ia terus berlari sampai jauh.
Akhirnya ia berjongkok di tepi air, menyalakan
lampion-lampion yang sudah sedikit sobek itu, kemudian
melarungkannya di sungai. Dengan hati hancur ia
mengawasi lampion-lamplon itu menjauh.
10 LOTUS LIN duduk di muka cermin kuningan berbentuk
oval yang dipoles dengan baik. Cermin itu berbingkai emas.
Wajahnya sudah dihias dengan warna putih-merah,
rambutnya diminyaki, diberi parfum, dan ditata ke atas. Ia
sudah mengenakan gaun pengantinnya yang berlapis-lapis,
namun banyak yang masih harus dikenakannya.
Sambil menatap para pelayan yang memenuhi ruangan
itu, ia berkata, "Kalian boleh keluar sekarang. Jasmine
membantuku dengan persiapan terakhirnya."
Setelah para pelayan keluar, Jasmine mendekat untuk
membantunya. Rok pengantinnya yang paling luar
berwarna merah dan memiliki tepatnya seratus lipitan.
Sepuluh butir mutiara menghiasi setiap lipitan, sebagai
simbol kemurnian si pengantin wanita. Bagian atas gaun
merah itu disulam dengan seratus kuntum krisan berwarna
keemasan, masing-masing dengan sebuah batu ruby di te-
ngah-tengahnya. Ini akan membawa kebahagiaan baginya
selama seratus tahun berikutnya.
Mahkotanya setengah meter tingginya, berhiaskan
bunga-bunga buatan dari batu-batu ruby dan koral sebagai
kelopaknya, dan batu kemala sebagai daun-daunnya.
Untaian-untaian mutiara panjang menggelantung di bagian
muka mahkota itu, membentuk semacam cadar. Saat itu
untaian-untaian itu dijepitkan ke samping, tapi akan
diturunkan untuk menutupi wajah si pengantin.
Sembilan merupakan simbol sesuatu yang abadi
sifatnya. Sembilan untaian rantai emas murni meng-
gelantung dari lehernya. Sembilan kupu-kupu tersulam
pada masing-masing sepatunya yang merah. Sembilan batu
ruby menghiasi masing-masing anting-anting yang mencapai pundaknya. "Oh, Buddha!" desah Jasmine. "Pakaian-pakaian ini lebih
berat dari tubuhmu. Teganya mereka berharap kau dapat
bergerak setelah mengenakan itu semua. Agaknya aku
harus membopongmu di punggungku, nonaku yang
malang..." Jasmine tidak meneruskan ocehannya begitu
melihat air mata berlinang di mata si pengantin. "Kau
teringat ibumu lagi tentunya?" tanyanya lembut.
Diam-diam Lotus mengangguk, sambil berusaha keras
menahan air matanya. Wali Kota Lu sudah mengundang Bangsawan Lin dan
istrinya untuk menghadiri pernikahan anak perempuan
mereka, namun Bangsawan Lin menampik undangan itu
dan melarang keras istrinya untuk hadir.
Bunyi gong menggema dari halaman belakang, langsung
disusul suara petasan. Sebentar lagi upacara perkawinan
itu akan dilangsungkan. Lotus menengok ke langit tak
berbulan sekali lagi. "Mama, aku mencintaimu dan amat
merindukanmu. Sayang sekali Mama tak bisa hadir di sini
menghadiri hari terpenting dalam hidupku," bisiknya.
Jasmine menepukkan tangan agar pelayan-pelayan lain
masuk. Dituntun oleh empat orang di antara mereka,
pengantin wanita melangkah senti demi senti menuju
bangsal utama. Saat ia mengangkat kepala sedikit d i bawah
mahkotanya yang berat untuk mengintip melalui cadar
mutiaranya, ia melihat lautan manusia dalam pakaian-pakaian upacara yang semarak. Di antara mereka
terdapat banyak orang asing, semua sedang berbincang-bincang, tertawa, atau menatap dirinya. Ia
menundukkan kepala, kemudian melanjutkan langkah
sambil memusatkan perhatian hanya ke arah sepatunya.
Perjalanan menuju bangsal utama itu seakan bermil-mil
jauhnya. Alat-alat musik gesek terus-menerus dibunyikan.
Lotus amat lelah ketika akhirnya ia sampai dan melihat
sepasang sepatu laki-laki di sebelah sepatunya sendiri.
Upacara itu dirancang sewaktu Konfusius masih hidup,
dan selama lebih dari 1.800 tahun ritus yang sama masih
tetap dilaksanakan dengan patuh. Laki-laki yang akan
memimpin upacara itu cendekiawan kalangan atas. Ia
mengawalinya dengan mengingatkan pasangan pengantin
itu bahwa untuk menjadikan kehidupan ini harmonis,
orang harus mulai dengan menciptakan harmoni dalam
dirinya sendiri. Lotus mendengar suara tua itu berkata, "Harmoni hanya
dapat tercipta melalui kepatuhan. Manusia harus mematuhi
aturan di dalam keluarga dan masyarakat, dengan
memenuhi tanggung jawabnya dari hari ke hari, serta
kewajiban-kewajibannya yang lebih luhur. Tidak patuh
pada yang lebih tinggi merupakan dosa yang tidak
terampuni. Seorang wanita harus selalu ingat bahwa
suaminya lebih tinggi dari dirinya..."


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lotus teringat pada hari ia meninggalkan ibunya,
kemudian tersenyum. Lu takkan pernah memaksanya.
bersikap tidak patuh terhadapnya. Lu akan selalu lembut,
baik dan sayang padanya, dan ia akan selalu bersikap
hormat kepada suami yang juga tuannya itu. Dengan ibu
jarinya, Lotus meraba cincin-cincin batu kemala di
jari-jarinya. Lu-lah yang mengukir cincin-cincin ini
untuknya sejak ia pindah ke rumah keluarga Lu. Lotus tahu
ia akan menikahi seorang cendekiawan, bangsawan, pa-
triot, yang juga seniman.
Setelah ber-kowtow ke arah langit, bumi, roh para
leluhur serta. Kaum kerabat dan para tamu, Lu dan Lotus
akhirnya resmi menjadi suami-istri. Mereka digiring ke
bagian rumah yang baru dipugar.
Di sana terdapat beberapa ruangan dan sebuah kebun
yang dikelilingi tembok. Mereka. akan menikmati hidangan
malam di kamar pengantin. Mulai besok mereka akan
tinggal di bawah sayap si bangsawan tua dan istrinya, tapi
dengan kebebasan pribadi penuh. Saat anak-anak mereka
cukup besar untuk berkeliaran ke mana-mana, suara-suara
muda mereka takkan mengganggu ketenangan bagian
rumah yang didiami para sesepuh ini.
Di bagian rumah yang didiami oleh orangtua Lu, kaum
laki-laki tidak makan bersama-sama dengan wanita.
Para tamu itu terdiri atas orang-orang Cina dan Mongol,
para pedagang dan duta-duta dari negeri seberang, kaum
misionaris, serta para cendekiawan. Hidangan yang
disajikan beraneka ragam, dan masing-masing menyiratkan
makna khusus, umur panjang, keberuntungan, kemakmuran, dan kebahagiaan untuk pasangan pengantin
baru itu serta semua yang hadir.
Sementara dilayani oleh gadis-gadis penyanyi, kaum pria
juga dihibur dengan program yang khusus dirancang untuk
kesempatan ini. Para biksu memasuki ruangan ini dalam
dua barisan, yang satu berjubah jingga, yang lain kuning.
Mereka melangkah tenang sambil menundukkan kepala.
Telapak tangan mereka terkatup dengan ujung jari
menyentuh dagu. Mereka membentuk lingkaran di
tengah-tengah ruangan, sehingga setiap biksu berjubah
kuning dari aliran Taois diseling seorang biksu Buddha
berjubah jingga. Mereka memutar tubuh, memunggungi
pusat lingkaran, menghadap ke arah para tamu. Sesudah itu
mereka membungkuk dalam-dalam.
"Siapa mereka?" tanya seorang Inggris pada pe-
nerjemahnya. "Para biksu dari Yin-tin," jawab si penerjemah. "Kalau
Anda pernah ke Gunung Emas Ungu, Anda tentunya pernah
memperhatikan bahwa jauh di tengah hutannya, jauh dari
rumah kediaman Gubernur Mongol, terdapat dua kuil. Yang
didiami para biksu Buddha dikenal dengan nama Bintang-
bintang Damai, yang didiami para biksu Tao, Gaung Sunyi.
Wali Kota Lu adalah pelindung kedua kuil itu. Sekarang
para biksu itu akan menunjukkan penghargaan mereka..."
Ia berhenti bicara saat para biksu tiba-tiba bergerak.
Mereka melepaskan jubah-jubah mereka secara
serentak, kemudian meletakkan pakaian mereka di
tengah-tengah lingkaran, dalam tumpukan rapi. Di bawah
jubah itu mereka hanya mengenakan sepasang celana
panjang hitam dan sepatu lembut. Bagian atas tubuh
mereka yang telanjang membuat para tamu menahan
napas. "Tak kusangka kalian orang-orang Cina daerah Selatan
begitu berotot!" seru seorang tamu Mongol sambil berdiri
lebih tegak dan bertolak pinggang. Namun kegusarannya
berubah menjadi ketakutan begitu kedamaian yang
meliputi wajah para biksu itu menghilang. Ekspresi mereka
yang sebelumnya tampak lembut menjadi keras. Para biksu
itu bergerak seakan mereka satu. Semua mengambil satu
langkah ke samping dengan kaki kiri. Kepalan kiri mereka
mengembang, membentuk lingkaran horizontal. Tinju
kanan dientakkan ke muka, dengan punggung tangan
menghadap ke atas. Semua mata menatap lurus ke depan,
bersinar oleh suatu kekuatan yang memancar dari dalam.
Tibatiba kaki kanan menendang ke atas, tinju kiri
menghunjam ke depan, seakan menghantam musuh yang
tidak tampak dengan cara mematikan.
Secepat angin masing-masing biksu menggunakan kaki
kanan untuk maju selangkah, lalu mengambil ancang-ancang untuk melompat tinggi. Begitu berada di
udara, masing-masing mengangkat lutut kiri sambil
mengayunkan kedua lengan ke muka, lalu ke atas. Sebuah
suara dahsyat kemudian terdengar saat telapak tangan kiri
menghantam punggung tangan kanan.
Sebelum mendarat, masing-masing biksu mengentakkan
kaki kanan mereka dengan keras, kemudian berdiri di atas
kaki kiri tanpa suara, sementara kaki kanan masih tinggi di
atas. Mata mereka menatap tajam ke arah penonton, seakan
menantang siapa saja untuk mau dan mencoba
peruntungan. Selagi peragaan itu berlangsung, para hadirin sama
sekali melupakan hidangan yang tersaji di piring-piring
mereka. Para anggota Liga. Rahasia bertukar pandang penuh arti.
Mereka adalah bapak angkat para biksu kungfu ini, dan
mereka tahu bahwa biksu-biksu di seluruh pelosok Cina
sudah menciptakan cara untuk melindungi negeri mereka.
Hanya mereka yang mengenali kemarahan yang terpancar
dari mata para biksu ini: semangat juang orang-orang Cina
takkan pernah dapat dipadamkan hanya dengan merenggut
senjata-senjata mereka. Di ruang makan khusus wanita, para nyonya dihibur
oleh drama musikal berjudul Cinta di Bawah Sinar Bulan,
yang ditulis oleh salah seorang di antara sekian banyak
cendekiawan melarat yang dikucilkan dari istana penguasa
Mongol, sehingga terpaksa hidup dari menulis cerita untuk
umum. "Pemeran utama wanitanya cantik sekali!" komentar
seorang nyonya dari Turki.
Penerjemahnya. berkata, "Pemeran utama wanita, itu
sebetulnya laki-laki, budak dalam rumah tangga keluarga
Lu." Ia menambahkan dengan menjelaskan bahwa sebuah
keluarga kaya memiliki banyak budak yang dibeli saat
mereka masih kecil. Anak laki-laki yang parasnya tampan
akan diajari menyanyi, menari, dan berakting oleh aktor tua
yang juga merupakan bagian dari rumah tangga itu; yang
parasnya biasa-biasa saja akan menjadi pelayan. Anak-anak
perempuan juga dibagi berdasarkan paras mereka. Yang
cantik akan menjadi selir beberapa tuan, yang kurang
menarik menjadi pelayan, sampai mereka cukup tua untuk
menikah dengan pelayan laki-laki.
Sandiwara itu terdiri atas dialog-dialog yang dilantunkan, lagu-lagu bagus, serta tari-tarian indah. Para
nyonya amat menikmati acara itu sambil makan - kecuali
seorang. Di usianya yang 31 tahun, Sesame ibarat bunga yang
masih mekar, yang membutuhkan air agar tidak layu. Ia
perlu merasa bahagia untuk memberi sinar pada wajahnya
yang cantik, agar tidak semakin cepat layu. Pakaiannya
yang hijau lebih bagus daripada. seragam kelabu para
pelayan lainnya, dan ia ikut makan, bukannya melayani
para tamu. Namun ia duduk menyendiri di sebuah sudut
yang tidak diterangi cahaya lampu, bersama tiga wanita
lain yang juga berwajah sedih, tapi jauh lebih tua. Ketiga
wanita. yang lebih tua itu adalah selir-selir Wali Kota Lu
yang sudah terlupakan, sedangkan Sesame adalah wanita
pertama dalam kehidupan Lu si Bijak.
Sesame dijual oleh kedua orangtuanya ketika ia. baru
berusia enam tahun. Ketika Lu lahir, ia berusia tiga belas
tahun, dan ia pernah membantu si pengasuh menjaga si
bayi. Mengingat ia cerdas dan cantik, Bangsawan Lu dan
istrinya mengangkatnya menjadi selir Lu, yang ketika itu
berusia dua tahun. Kedudukan barunya membuat statusnya
lebih tinggi daripada pelayan, dan pada waktu bersamaan
Bangsawan Lu dan istrinya tahu ia akan mengabdikan diri
sepenuhnya untuk melindungi serta memberikan kesenangan kepada anak mereka.
Para tuan muda harus belajar menguasai seni bercinta,
yang juga dikenal dengan istilah meluluhkan awan dan
mencurahkan hujan. Para orangtua lebih suka putra-putra
mereka memperoleh keterampilan ini dari selir-selir
pilihan yang kesehatannya terjamin dan tidak bergaul
sembarangan. Ketika Lu berusia empat belas tahun, Wali
Kota Lu memerintahkan salah seorang selir tuanya untuk
mengajarkan seni itu pada Sesame, yang kemudian akan
meneruskannya pada tuan mudanya yang belum
berpengalaman itu. Tradisi masih akan terus berlanjut, sehingga para
pengantin wanita bangsawan selalu akan memperoleh
pasangan yang sudah terlatih baik. Namun si selir yang
telah memberikan pelajaran pertama mengenai salah satu
segi kehidupan pada pemuda itu akhirnya terpaksa
mundur. Dan pada hari perkawinan si tuan muda, ia
terpaksa menyembunyikan air mata di belakang senyum
yang dipaksakannya. Sesame menjumput makanan di piringnya tanpa nafsu.
Terbayang olehnya Lu di kamar pengantinnya, mengajarkan seni yang didapatnya darinya pada pengantin
wanita yang masih perawan.
Semua ritus sudah dilaksanakan, semua tradisi dipenuhi.
Para pelayan sudah menutup pintu-pintu di belakang
mereka, sehingga pasangan pengantin itu akhirnya tinggal
berduaan. Hiasan kepala Lotus serta berlapis-lapis pakaian
upacaranya sudah dilepaskan. Sekarang ia mengenakan
jubah merah muda dan duduk di hadapan sebuah cermin
kuningan, mengawasi bayangan Lu dalam pakaian
merahnya. Suara jantungnya terdengar bergemuruh di
telinga. Ia sudah pernah mendengar mengenai awan yang
meluluh serta hujan yang tercurah, tapi masih tak
terbayang olehnya apa itu serta mengapa hal itu disebut
demikian. Melalui pantulan cermin ia melihat pasangannya
melangkah menghampirinya. Wajahnya langsung memerah.
Begitu ia merasakan tangan Lu di pundaknya, seluruh
tubuhnya bergetar. "Aku punya hadiah untukmu," ujar Lu lembut.
Lotus menengadahkan kepalanya dan melihat di cermin
bahwa Lu sedang menggenggam sebuah gulungan kertas.
Ekspresinya amat tenang. Perlahan-lahan Lotus memutar
tubuh. Saat Lu membuka gulungan kertasnya, sebuah lukisan
yang menggambarkan sepasang manusia tampak di
atasnya. Seorang pria bangsawan yang mirip Lu, dan wanita
bangsawan yang mirip Lotus.
"Kau seniman hebat," ujar Lotus. Ia mulai lebih percaya
diri. Ia berpaling ke kotak perhiasannya, dan begitu
menemukan sisir batu kemalanya, ia berdiri untuk
membandingkannya dengan gambar itu. "Lukisan ini
bahkan lebih bagus lagi daripada ukiran pada sisirku ini,"
ujarnya. "Ada baiknya kau mewujudkan bakatmu di atas
sesuatu yang proporsinya lebih besar."
Ia sudah tidak begitu ketakutan dan malu lagi. Ketika Lu
meletakkan lukisan itu di bufet, lalu menggenggam
tangannya, ia sudah merasa jauh lebih rileks.
Lu berkata, "Kelak aku akan menemukan sebongkah
batu kemala yang besar, lalu aku akan memahat sepasang
kekasih." Ia membimbing Lotus ke tempat tidur. "Seperti
dalam ukiran dan lukisan itu, wanita cantiknya akan mirip
kau, dan tuan muda yang terpesona oleh kecantikannya
akan mirip aku." Dengan lembut Lu menarik Lotus duduk di sebelahnya di
tempat tidur, kemudian mulai membuka baju luarnya.
Begitu menyadari tubuh Lotus mulai gemetar lagi, Lu mulai
berbicara mengenai hal-hal yang tidak berhubungan
dengan malam pengantin mereka. Dengan lembut ia
berkata, "Batu kemala adalah jenis batu yang amat berhar-
ga. Warnanya yang anggun tak kan memudar, juga kilaunya
yang indah. Pasangan kekasih dari batu kemala akan
mengungkapkan cinta kita yang abadi."
Ia merangkul Lotus dalam pelukannya, kemudian
dengan hati-hati mengecup pipinya, lalu bibirnya. Ia
merebahkan kepalanya di bantal sambil melepaskan jubah
sutranya sendiri pada saat bersamaan. Ia melepaskan
pakaian dalam Lotus dengan jari-jarinya yang sensitif,
namun tak sekali pun menyentuh sepatunya. Ia sudah
belajar bahwa kaki wanita hanya boleh terlihat saat sudah
terbebat dan terselubung rapi.


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lu mencondongkan tubuh untuk mengecupinya kembali.
Ciumannya semakin hangat, tangannya membangkitkan
sesuatu yang sudah lama terpendam dalam tubuh Lotus
yang muda. Dua gumpalan awan beriringan melintasi langit Sebuah
tangan yang tidak kelihatan menyatukan mereka. Awan
laki-laki bergerak dengan amat hati-hati, menyelimuti awan
wanita dengan keberadaannya sendiri. Tanpa terburu-buru
sama sekali akhirnya ia melebur dengan pasangannya.
Dua menjadi satu, bergulung-gulung di langit. Angin
berembus kencang, bintang-bintang berjatuhan. Matahari
dan bulan bertukar tempat, namun dua gumpalan awan itu
terus melayang semakin tinggi.
Petir menggelegar, dan pada saat bersamaan membuat
mereka terguncang. Kilat menyilaukan sekeliling mereka,
bumi bergetar di bawah mereka, sampai akhirnya
segalanya mereda. Akhirnya kedua awan itu luluh, menjadi
tetesan air hujan hangat yang menyimbur ke ranjang
pengantin mereka. BAGIAN II 11 1345 SEORANG Mongol setengah baya berderap di atas kuda
jantan hitam yang tinggi, diikuti barisan panjang para
pengawalnya. Angin mengibaskan stola keunguan Shadow Tamu, yang
dilapisi bulu binatang berwarna putih, menyingkapkan
jubahnya yang merah. Di seputar pinggangnya ia
mengenakan sabuk lebar bergesper besar yang dihiasi
batu-batu ruby dan zamrud berkilauan. Tidak seperti
orang-orang Mongol yang kulitnya gelap, wajah Shadow
Tamu yang kecil berwarna putih, demikian pula tangan
kurusnya yang penuh perhiasan, yang memegang tali ken-
dali. Bibirnya yang tipis tampak kecokelatan seperti warna
darah kering, matanya yang dalam dan dingin seakan dua
lubang tak berdasar yang penuh dengan es berwarna gelap.
Alis matanya hitam dan menyatu dalam satu garis lurus
saat ia melihat ke ujung jalan di kejauhan.
"Menyenangkan sekali berada kembali di Da-du!" Ujar
Shadow pada pengawal di dekatnya Ia mengentakkan kaki
ke pinggang kudanya, lalu berderap maju lebih cepat.
Dari jauh Shadow dan para anak buahnya dapat melihat
matahari memantulkan sinarnya yang berkilauan ke atas
atap-atap sekian banyak bangunan yang dipakai untuk
peribadatan - kubah-kubah bulat mesjid orang-orang Islam,
pucuk-pucuk runcing kuil Buddha, puncak melengkung
tempat pemujaan mereka yang beraliran Taois, salib di atas
bangunan kapel-kapel Katolik Roma. Para khan Mongol
takut pada semua dewa, dan menyambut semua aliran
agama untuk membangun tempat-tempat keramat mereka
di Cina. Shadow Tamu dan para pengawalnya sampai di bagian
paling luar tembok kota Da-du yang terdiri atas tiga lapis.
Tembok yang mengelilingi seluruh kota ini terdiri atas
empat sisi yang masing-masing panjangnya delapan mil
dan memiliki dua pintu gerbang yang selalu dijaga oleh
serdadu-serdadu Mongol dan ditutup di waktu malam.
Di sebelah dalam pintu gerbang merupakan bagian kota
yang didiami oleh orang-orang Mongol kebanyakan dan
orang-orang Cina, penuh dengan toko-toko, gedung
pertunjukan, serta tempat-tempat makan. Orang-orang
asing dari Jepang, Korea, Turki, serta negeri-negeri Eropa
memenuhi jalan-jalannya yang lebar dan lurus bak
garis-garis di papan catur. Berbagai aksen bahasa serta
aroma berbagai makanan memenuhi udaranya.
Shadow dan para pengiringnya langsung menuju lapisan
tembok kedua, yang mengelilingi daerah yang didominasi
oleh para perwira Mongol. Di bagian tengah keempat
sisinya berdiri sebuah puri yang menakjubkan, dan di
setiap sudutnya ada benteng lain. Di setiap bangunan ini
tinggal seorang jenderal Mongol bersama keluarga dan
para serdadu berikut keluarga mereka. Tempatnya cukup
luas untuk juga memuat gudang persediaan makanan, istal
kuda, gudang senjata, serta tempat tinggal para budak Cina.
Begitu melihat Shadow Tamu, para budak segera
berlutut. Para perwira Mongol dan prajurit menghentikan
pekerjaan mereka saat itu untuk membungkuk dalam sikap
tegap, tangan kiri menutupi kepalan tinju tangan kanan.
Shadow Tamu mengangguk tanpa menoleh ke arah mereka,
lalu terus bergegas ke bagian dalam tembok terdalam, yang
melindungi bangunan istana kerajaan.
Shadow Tamu dan para anak buahnya turun dari kuda
mereka di sebuah kaki tangga marmer yang tinggi,
kemudian naik menuju sepasang pintu ganda berkilauan
yang terbuat dari tembaga murni, yang tingginya sembilan
meter. Para serdadu di dalam sudah melihat Shadow Tamu
dari sekian banyak menara jaga. Empat di antaranya segera
membuka pintu-pintu yang berat itu, kemudian membungkuk, menantikan atasan mereka beserta pengawal-pengawalnya masuk, lalu menutup pintu-pintu
penuh ukiran itu sekali lagi.
Sambil melangkah cepat menuju istana, ia menatap
atapnya. Jantungnya ikut berdebar lebih cepat.
Secara resmi kemenangan gemilang itu dicapai atas
nama Khan yang Agung, tapi sesungguhnya semua itu
adalah hasil usahanya. Ia melewati tempat kediaman
pangeran satu per satu, melintasi beberapa kebun sebelum
sampai di tempat kediamannya sendiri yang luas dan
kemegahannya hanya nomor dua setelah istana Khan yang
Agung. Begitu ia tiba, para pengawalnya dalam perjalanan
digantikan oleh kelompok lain. Merekalah yang kemudian
mengiringinya masuk ke sebuah ruangan berlantal
marmer. Di sana Shadow Tamu lalu ditelanjangi dan
dimandikan oleh para pelayan wanitanya. Tubuhnya dipijat
dan diurut dengan minyak, sesudah itu ia didandani
kembali dengan pakaian bersih. Di sepanjang tembok para
pengawal mengawasi saat dua wanita mencicipi makanan
yang disajikan di piring-piring emas, untuk memastikan
tidak ada yang diracuni. Shadow Tamu kemudian
menikmati seluruh hidangan. Akhirnya, setelah beristirahat, ia berangkat ke istana untuk menghadap Khan
yang Agung. Langit-langit balairung kerajaan yang berlapis emas
tingginya mencapai lima belas meter. Aneka burung yang
biasa hidup di gurun dibawa dari Gurun Gobi untuk
dibiarkan beterbangan di atas kepala orang-orang sambil
berteriak liar. Lantai marmernya dipenuhi oleh gadis-gadis
muda yang menari-nari, pemuda-pemuda ramping yang
melompat jungkir-balik, para musisi yang memainkan
berbagai instrumen, serta para penyanyi dengan lagu-lagu
mereka yang mendayu-dayu.
Di sebuah kursi sofa lebar yang ditutupi brokat merah
dan keemasan duduk santai Khan Badai Pasir yang Agung.
Usianya lima puluhan, sementara jubahnya yang biru dan
penuh bordiran emas dan perak tak dapat menyembunyikan lapisan-lapisan lemak di tubuhnya.
Wajahnya agak sembap dan kepucatan, sedangkan matanya
kemerahan. Sulit rasanya untuk percaya bahwa laki-laki ini
pernah berjuang keras untuk mengalahkan sekian banyak
paman, saudara-saudara, dan sepupu-sepupunya untuk
memperebutkan takhta "Ah, Shadow," ujarnya begitu melihat penasihatnya. "Aku
senang sekali kau sudah kembali. Bagkaimana hasil
perjalananmu ke Tsinan?" Khan sedang menggenggam
cangkir emas di tangan yang satu, sementara lengannya
melingkar di bahu seorang gadis cantik. Meskipun ajaran
Buddha amat menghargai gaya hidup membujang, baik
para khan maupun para penasihat mereka tak pernah
mengindahkan bagian khusus doktrin tersebut.
"Perjalananku biasa-blasa saja, hanya kemajuan
pembangunan kanal itu kurang begitu cepat," ujar Shadow
Tamu. Setelah membungkuk sebentar, ia menegakkan
tubuh kembali, lalu mengambil tempat di sofa di sebelah
Khan. Ia ke Tsinan untuk mengawasi pembangunan Kanal
Hui-Tung, yang sudah dimulai sekitar enam dekade
sebelumnya. Kanal itu akhirnya akan berakhir di Sungai Ku-
ning, sehingga mempermudah hubungan antara Da-du dan
bagian-bagian lain Negeri Cina.
Beberapa gadis muda langsung mengelilingi Shadow
Tamu. Ia membiarkan dua gadis Mongol duduk di
sampingnya, kemudian memberikan tanda pada gadis-gadis Cina sisanya untuk duduk di dekat kakinya.
Sebagai bujangan, ia punya banyak selir. Ia. berniat
menikahi wanita pertama yang dapat memberikan anak
laki-laki padanya, tapi sejauh ini ia belum juga mendapat
keturunan. Orang-orang Mongol menghormati Kaum
wanita mereka yang selalu membantu mereka bertahan
menghadapi kehidupan keras di padang gurun. Oleh karena
itu, Shadow Tamu dan para anak buahnya menempatkan
kaum wanita Cina lebih tinggi daripada kaum laki-laki Cina.
"Sekarang, setelah kau kembali, aku membutuhkan
nasihat yang cukup baik darimu," ujar Khan. "Aku jenuh
sekali. Hidup begitu membosankan. Aku membutuhkan
sesuatu untuk menggairahkannya."
Shadow Tamu menatap Khan yang mulai uzur itu, yang
nafsunya terhadap wanita-wanita muda masih tidak
terpuaskan. "Bak kebun di musim gugur, kehidupan
Khan-ku yang Agung hanya dapat disemarakkan oleh
bunga-bunga musim semi. Aku akan mengirimkan
utusan-utusan untuk menelusuri seluruh Cina dan mencari
anak-anak perawan, yang akan dibawa ke sini dan
dijadikan gadis istana. Tapi andai kata Khan-ku yang Agung
bosan pada gadis-gadis Cina serta tertarik untuk bertemu
dengan gadis Mongol tercantik di muka bumi ini..." Shadow
Tamu berhenti sebentar untuk menggugah rasa ingin tahu
khan-nya. "Tentu saja aku tertarik," jawab Khan tak sabar
"Siapa dia" Mana dia" Kapan aku bisa memperolehnya?"
Shadow Tamu membungkuk sekali lagi. "Namanya Kilau
Bintang, dan dia masih di Mongolia. Khan-ku yang Agung
dapat bertemu dengannya saat terang bulan berikutnya,
kalau kita mengirim orang untuk menjemputnya.
sekarang." Si penasihat menatap Khan, lalu berkata
perlahan-lahan, "Kilau Bintang adalah adik kandungku
sendiri." Nadanya yang rendah tidak lagi terdengar keras dan
dingin, melainkan lembut dijiwai oleh pengabdian, dan
hangat oleh kepedulian yang mendalam. "Ibuku tak ingin
tinggal di Cina lagi setelah ayahku gugur, kemudian kembali
ke Mongolia membawa kedua anaknya yang paling muda
bersamanya. Kilau Bintang tiga belas tahun lebih muda
dariku. Dia baru berusia tujuh tahun ketika kami berpisah.
Aku menengok keluargaku beberapa tahun sekali, dan aku
melihat betapa kecantikannya semakin berkembang dari
tahun ke tahun. Sekarang dia berusia dua puluh tahun dan
dia bunga tercantik di Gurun Gobi. Mengingat ibuku sudah
meninggal dan Kilau Bintang sudah cukup umur untuk
dinikahkan, aku bermaksud membawanya. kembali ke
Cina." Shadow Tamu tidak mengungkapkan bahwa ia telah
menyimpan adiknya itu untuk seorang laki-laki yang dapat
dikendalikan oleh seorang wanita yang pintar dan cantik.
Pengaruhnya sudah besar sekali, namun ia menginginkan
lebih. Ia mengangkat bahunya dengan ringan, lalu berkata,
"Tapi tentu saja Khan-ku yang Agung tidak harus
memeliharanya. Andai kata Paduka kurang berkenan
padanya, akan kucarikan suami lain baginya."
Khan Badai Pasir, yang mengekspresikan rasa
antusiasme yang besar untuk mendapatkan gadis Mongol
yang cantik, kemudian bertanya dengan ringan, "Kaubilang
ibumu membawa dua adikmu ke Mongolia. Apakah yang
satunya juga seorang gadis?"
"Tidak," jawab Shadow Tamu sambil membungkuk lagi
dengan rendah hati. "Yang satunya laki-laki, sepuluh tahun
lebih muda dariku. Namanya Pedang Dahsyat, dan dialah
yang akan mengawal Kilau Bintang ke Da-du." Kemudian
sambil lalu ia menambahkan, "Pedang Dahsyat pun dapat
mengabdikan diri demi kejayaan Khan-ku yang Agung."
Kilau Bintang adalah kaktus gurun, cantik dengan
duri-duri beracun. Ia bermain cinta untuk pertama kalinya
saat berusia empat belas tahun, dan sesudah itu terus
berganti-ganti pasangan. Keterampilannya di tempat tidur
betul-betul seimbang dengan kecantikannya yang

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memesona. Bersamanya di tempat tidur, Khan Badai Pasir
yang Agung merasa dirinya muda kembali. Dalam waktu
singkat si Khan sudah berada di bawah telapak kakinya.
Biasanya Ia memelihara selir-selirnya di berbagai istana
dan memanggil mereka bergantian. Sekarang ia menempatkan Kilau Bintang di tempat kediamannya
sendiri, serta tidak menginginkan siapa pun lagi selain adik
Shadow Tamu itu. Suatu malam Khan memasuki kamar Kilau Bintang dan
melihat gadis itu terbaring di sebuah sofa. Jubah merahnya
nyaris tidak menutupi tubuhnya yang merangsang.
Bergegas Khan mendekat untuk merengkuhnya dalam
pelukannya. Namun wanita itu menampiknya. "Jangan sentuh aku
saat aku sedang gundah."
Khan menatap wajah cantiknya yang cemberut.
"Akan kubunuh siapa pun yang berani membuat hatimu
gundah. Dan aku bersedia melakukan apa pun untuk
membuatmu tersenyum lagi."
Kilau Bintang menarik napas dalam-dalam, membusungkan buah dadanya yang penuh, kemudian
mendesah panjang. "Aku rindu suasana gurun. Semalam
aku bermimpi tentang padang-padang itu lagi. Aku
menunggang kudaku, dan angin menerpa wajahku. Aku
begitu bahagia dalam mimpiku. Kemudian aku terbangun
dan menyadari bahwa aku berada di Cina - negeri yang
sama sekali tidak menyenangkan dan penuh manusia."
Ia berhenti sesaat, lalu menatap Khan dengan mata
berlinang. "Aku mau pulang - kecuall kalau Paduka dapat
mengubah Cina menjadi padang berkuda bagiku. Kakakku
mengatakan Paduka khan yang hebat dan dapat melakukan
segalanya." Ia berhenti dengan bibir basah yang merekah
sensual, menantikan jawaban Khan.
Badai Pasir berkata mantap, "Apa yang dikatakan
kakakmu memang benar. Aku khan yang hebat, dan Cina
adalah milikku." Sesudah itu ia menjentikkan jarinya.
Setengah lusin pengawal langsung muncul. "Panggil
penasihatku!" Shadow Tamu memang sudah menantikan panggilan ini,
namun ia tiba dengan wajah penuh tanya. Ia mendengarkan
kata-kata Khan dengan penuh perhatian, seakan sama
sekali tidak tahu apa-apa mengenai ulah adiknya.
Penasihat Khan sudah menyurvei Cina dalam sekian
banyak perjalanannya dan ternyata para petani miskin
bekerja untuk menghasilkan sesuatu bagi tuan tanah
mereka yang kaya, yang sepatutnya dipaksa berbagi
kekayaan dengan keluarga Tamu.
"Ya, Khan-ku yang Agung, itu dapat dilaksanakan, tapi..."
Ia pura-pura berpikir keras. "Orang-orang Cina sudah mulal
kurang dapat diatur belakangan ini. Untuk dapat
membongkar tanah pertanian yang sudah ada agar dapat
diratakan untuk dijadikan padang rumput, kita membutuhkan seorang jenderal tangguh untuk melaksanakan komando seperti itu. Kita harus mendapatkan seorang perwira muda yang mampu
melakukan tugas berat itu. Siapa, ya, yang mampu untuk
itu" Coba, sebentar..." Ia mengetuk-ngetukkan jari-jarinya
yang seperti cakar burung itu pada dagunya, sambil
mengerutkan alis. Badai Pasir menyebutkan nama beberapa perwira,
namun Shadow Tamu menampiknya satu per satu.
Akhirnya Kilau B intang kehilangan kesabarannya. "Tak ada
satu perwira pun yang setangguh kakakku, si Pedang
Dahsyat." Ia menatap Khan sambil tersenyum amat yakin.
"Panggil saja dia dari Mongolia, dan masalah itu akan
terpecahkan. Aku akan mendapatkan padang berkudaku
dan tinggal di Cina untuk selamanya "
Tak lama sesudah itu Pedang Dahsyat muncul di kota
Da-du, langsung memasuki gerbang istana di atas kuda
jantan hitamnya yang besar. Ia mengenakan stola merah,
pakaian perang kuningan, dan sepatu bot tinggi. Ia
menyandang busur dan anak-anak panah di pundaknya,
dan sebilah pedang berat yang sudah sering menembus
jantung manusia mapun binatang. Ia berusia 26 tahun,
tampan, bertubuh kekar serta tinggi besar.
Ia sudah menunggu di pinggiran kota Da-du selama
beberapa waktu, untuk menantikan saat memasuki kota
dengan segala kemegahannya. Ia sudah tak sabar lagi untuk
segera ikut menikmati pengaruh serta kekayaan kakaknya.
Sama halnya dengan Shadow, ternyata ia pun aktor yang
baik. Setelah mendengarkan ucapan Khan-nya yang Agung,
ia pura-pura tidak antusias menerima tawaran itu.
"Aku berat meninggalkan tanah kelahiranku," ujarnya,
mengulangi kata-kata yang diinstruksikan kakaknya
sebelumnya. "Aku akan mempertimbangkan penawaran
untuk tinggal di Cina hanya kalau aku diberi mandat untuk
menguasai seluruh tentara kerajaan. Untuk itu aku
membutuhkan pangkat setingkat panglima tertinggi.".
Khan Badai Pasir yang Agung menatap wajah perwira
muda yang tangguh itu, kemudian penasihatnya yang lihai,
sambil menimbang-nimbang apakah cukup bijaksana
membiarkan dua orang dari satu keluarga menduduki
jabatan-jabatan setinggi itu. Sesudah itu ia menatap wajah
Kilau Bintang yang menawan serta tubuhnya yang
menggiurkan. Ia menyingkirkan semua keraguan dari
kepalanya, lalu tersenyum pada wanita itu sambil menghela
napas. "Kau milikku. Kedua kakakmu adalah kakak-kakak
iparku. Sebaiknya aku mempercayal kalian bertiga."
Khan Badai Pasir mengangkat Pedang Dahsyat Tamu
sebagai panglima tertinggi tentara kerajaan. Sejak hari itu,
secara tak langsung Cina dikuasai oleh Shadow Tamu, Kilau
Bintang, dan Pedang Dahsyat.
12 DI tengah-tengah musim semi, permukaan Sungai
Kuning sudah kembali penuh dengan kuntum-kuntum
bunga pohon apel yang putih dan kemerahan. Di daerah
pinggiran sebuah desa pertanian yang termasuk dalam
Provinsi Honan, delapan pemuda melangkah gontai di
bawah sinar matahari pagi, menuju sungai. Penampilan
mereka yang berantakan membuat anak-anak gadis yang
berkumpul di bawah pepohonan rimbun itu ketakutan.
Mereka langsung memungut cucian mereka, menyambar
keranjang-keranjang rotan mereka, kemudian kabur sambil
menjerit-jerit. "Dasar tolol! Kenapa kalian kabur melihat kami"
Bukankah kami sebangsa dengan kalian, bukan orang-orang Mongol!"
Kemudian mereka melihat bayangan mereka di air
keruh. Pakaian mereka lusuh dan kumal, sandal-sandal
mereka sobek. Wajah mereka kotor, rambut mereka seperti
ijuk, dan cambang mereka panjang. Kebanyakan di antara
mereka mempunyai luka-luka terbuka, baik di wajah
maupun tubuh. Penampilan mereka seperti binatang yang
sudah biasa dikejar-kejar sebagai mangsa.
Mereka tidak berlama-lama mengamati bayangan
mereka. Mereka langsung menjatuhkan diri ke tanah, dan
dengan tangan-tangan kotor, membawa air berlumpur itu
ke bibir mereka yang pecah-pecah, lalu minum
sebagaimana layaknya orang-orang kehausan.
"Cukup!" seru salah seorang di antara. mereka. "Kalau
kalian minum lebih banyak lagi, kalian akan sakit."
Mendengar itu, mereka langsung berdiri. Mereka
percaya pada Shu si Tangguh, yang sudah membuktikan
kemampuannya memimpin mereka keluar dari mara
bahaya. "Desa di depan kita tampaknya cukup tenang. Mungkin
kita bisa mendapat makanan di sana, entah dengan cara
bagaimana," ujar Shu, sambil melihat ke arah padang hijau
serta rumah-rumah kecil di kejauhan itu.
Tubuhnya lebih tinggi dan besar setelah setahun,
meskipun kenyataannya ia tak pernah kenyang. Ketujuh
temannya yang kelaparan tampak seperti bocah-bocah di
sisinya. Mereka juga korban nasib yang tak berbelas
kasihan, yang merenggut rumah serta orang-orang yang
mereka cintai. Tak seorang pun di antara mereka mau
masuk biara, tapi semua bertekad untuk tetap bertahan
hidup. Shu bertemu dengan yang pertama begitu ia
meninggalkan Lembah Zamrud. Bersama-sama mereka
menelusuri Sungai Kuning, saling berbagi duka dan amarah.
Kemudian mereka bertemu dengan anggota ketiga, sesudah
ltu yang keempat dan kelima.
Kedelapan pemuda itu memutuskan untuk bergabung
agar dapat saling mendukung. Ternyata Shu yang paling
besar dan kuat di antara mereka, juga paling bijaksana dan
banyak akal. Kelihaiannya menjadikannya pelindung dan
pemimpin mereka, sedangkan kekuatan fisiknya membuat
kata-katanya dipatuhi. Selama setahun terakhir ini, kelompok itu hidup sebagai
pengemis, pencuri, dan sesekali buruh saat ada yang mau
mempekerjakan mereka. Cara mereka mengisi perut amat
beragam, namun langkah-langkah mereka mantap menuju
Selatan, berkat tekad Shu yang bersikeras bahwa mereka
harus ke Sungai Yangtze. Kelompok itu tak pernah
mempertanyakan tujuan mereka yang terletak di Provinsi
Kiangsi dan ternyata jarak tempuhnya lebih dari tujuh
ratus mil. "Kita akan menemukan sebuah kota bernama Phoenix,
yang merupakan tempat asal keluargaku. Ayahku
mengatakan tempat itu kota terindah di seluruh Cina.
Musim dinginnya tidak terlalu dingin, sedangkan musim
panasnya panjang," ujar Shu berulang kali selama
perjalanan yang seakan tak pernah berakhir. "Begitu
sampai di sana, kita akan mendapat pekerjaan tetap, lalu
bisa menetap. Dari luar kita akan tampil sebagai penduduk
biasa, sambil mengumpulkan lebih banyak orang untuk
memperbesar kelompok kita. Kelak kita akan cukup kuat
untuk menghadapi orang-orang Mongol dan membalas
kematian keluarga kita."
Mereka meninggalkan tepi sungai, lalu menuju desa.
Semua dalam keadaan penat, lapar, dan membutuhkan
sedikit semangat ekstra. Shu menatap langit biru, sambil
menghirup aroma bunga pohon apel yang memenuhl udara.
Sekali lagi ia menceritakan pada teman-temannya
mengenai daerah Selatan, persis sebagaimana kedua
orangtuanya selalu menceritakannya kepadanya.
"Di daerah Selatan, musim semi terus berlangsung
sepanjang tahun, dan langitnya selalu biru. Bunga-bunganya selalu bermekaran. Kalian dengar kicauan
burung gereja" Di daerah Selatan, mereka berkicau
sepanjang tahun... Shu berhenti bercerita begitu mendengar derap kuda
dan jeritan panik para penduduk. Ia memberi aba-aba
kepada ketujuh temannya untuk bersembunyi di belakang
batu-batu besar yang berbatasan dengan daerah pertanian
itu. Mereka menjulurkan leher dan melihat sepasukan
serdadu Mongol berkuda memasuki desa. Pemimpin
mereka seorang laki-laki bertubuh besar yang mengendarai
kuda jantan hitam. Ia mengenakan stola merah manyala
dan baju perang berkilauan. Suaranya yang kuat terdengar
jelas sampai ke tempat persembunyian mereka. Ia
berteriak dalam bahasa Mongolia agar serdadu-serdadunya
bekerja lebih cepat. Berderet-deret rumah kecil dibakar, berekar-ekar tanah
pertanian yang baru diolah dengan cermat dirusak.
Kerbau-kerbau dibunuh, kaum laki-laki dan perempuan
dibantai, tua-muda dibasmi. Sambil menjerit-jerit penduduk desa berlarian ke segala penjuru, namun tak
banyak yang berhasil melarikan diri. Kuda-kuda mereka
amat cepat, sementara para penunggangnya amat tangkas
memainkan tali dan anak panah.
"Cepat! Kau ini lambat seperti kura-kura!" seru Shu pada
seorang bocah lelaki yang sedang berlari ke arah batu-batu


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar tempat ia dan kawan-kawannya bersembunyi.
Bocah itu menoleh untuk melihat sampai di mana para
pengejarnya. Tiba-tiba, karena begitu takutnya, ia berhenti
berlari. Sebuah anak panah melesat, nyaris mengenainya.
Shu keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke arah si
bocah, kemudian setelah menggendongnya, ia berlari kem-
bali ke belakang batu besarnya.
Bocah yang ketakutan itu, karena mengira ia baru saja
ditangkap oleh orang Mongol, segera meronta-ronta sambil
berteriak-teriak, "Lepaskan aku! Guei-tze sialan!"
Shu tertawa saat meletakkan bocah itu di tanah. "Kau
benar-benar tangguh. Peony juga suka memaki orang-orang
Mongol guei-tze..." Ia menelan ludah. Ia tak dapat
meneruskan kata-katanya. Bayangan Peony masih tetap
hidup dalam hatinya selama ini. Namun ia tak suka
menyebut-nyebut namanya. "Siapa namamu?" tanyanya.
"Ma si Umur Panjang," jawab si bocah sambil mengawasi
kedelapan laki-laki bertampang kumal itu, kemudian
menoleh ke arah desanya. "Bahkan nama keluargamu sama!" seru Shu, yang
langsung menyukai si bocah. Ia meletakkan tangannya yang
besar di pundak kecil bocah itu, lalu memaksanya
berjongkok di belakang batu besar itu. "Jangan mengintip.
Kalau masih ada di antara keluargamu yang hidup, kau
dapat menemuinya nanti."
Tak mudah bagi Shu untuk menahan Ma agar ia tidak
melarikan diri mencari keluarganya. Tapi lebih berat lagi
menahan dirinya beserta ketujuh temannya agar tidak
langsung menghambur ke desa itu untuk membantu
penduduknya. "Kita tak boleh menyia-nyiakan nyawa kita,"
ujar Shu berulang kali, mengingatkan dirinya serta
teman-temannya. "Orang-orang Mongol itu banyak, sedang-
kan kita cuma berdelapan."
"Sama sekali tidak! Kita bersembilan! Aku juga bisa
berkelahi!" seru Ma sambil menatap Shu berapi-api.
"Berani-beraninya kau lupa menghitung aku?"
"Kau juga suka marah-marah seperti Peony!" ujar Shu
sambil mengacau-ngacaukan rambut Ma yang panjang dan
dibiarkan lepas. "Berapa umurmu" Rambutmu saja belum
dikepang." "Sebentar lagi umurku empat belas. Aku hampir dewasa,
dan ibuku sudah berjanji akan mengepang rambutku pada
hari ulang tahunku yang akan datang." Begitu teringat
ibunya, Ma menjulurkan leher. Shu langsung menarlknya ke
dekatnya. Bersembilan mereka menanti dari pagi sampai sore.
Akhirnya orang-orang Mongol meninggalkan desa dalam
kabut debu kekuningan. Kesembilan pemuda itu kemudian
berlari menerobos kabut debu, untuk mencari keluarga Ma
serta siapa saja yang selamat.
Tubuh orang-orang Cina bergelimpangan di mana-mana,
baik yang sudah mati ataupun yang sekarat, darah mereka
merembes di tanah. Mereka tidak membutuhkan waktu
lama untuk menemukan ibu Ma, ayahnya, kemudian kakak
laki-laki. dan adik perempuannya.
Seorang lelaki tua yang sekarat mengenali Ma, lalu
mencoba berbicara. "Ini semua gara-gara tuan tanah kita.
Orang-orang Mongol itu ke sini beberapa hari yang lalu,
untuk meminta perak dan emas. Si tuan tanah ketakutan,
tapi terlalu pelit untuk berpisah dengan uangnya.
Orang-orang Mongol itu akan kembali dengan penggiling
yang ditarik oleh kuda-kuda mereka. Mereka akan me-
ratakan desa kita, untuk dijadikan padang rumput. Aku
mendengar pembicaraan mereka tadi. Sebaiknya kaukubur
yang mati cepat-cepat, lalu pergi dari sini, dan jangan
kembali lagi ... " Tiba-tiba ia roboh, mati.
Shu membantu Ma mengubur keluarganya di bawah
cahaya matahari terbenam, kemudian mengajak bocah itu
menjadi anggota tambahan dalam rombongannya. Ia
melangkah di samping si bocah, namun tidak mengungkapkan kepadanya bahwa ia telah menemukan
adik yang sudah lama dirindukannya.
Mereka terpaksa tidur dengan perut kosong sepanjang
malam. Pagi berikutnya mereka sudah terlalu lemah karena
kelaparan, saat mereka tiba di sebuah kota besar yang
dikelilingi bukit-bukit dan gunung tinggi. Tak lama
kemudian mereka mulai mengertii bahwa Gunung Makmur
adalah kota terbesar di Provinsi Honan Utara.
"Coba lihat orang yang lalu-lalang," ujar Shu, sambil
mengawasi begitu banyak kuda, keledai, kereta yang ditarik
sapi, serta pejalan kaki. "Kita pasti akan mendapat makanan
di sini. Aku begitu lapar, sampai hampir tidak kuat
mengangkat kakiku sendiri. Dan aku yakin kalian semua
sama laparnya seperti aku."
Pada saat itu sebuah tandu tertutup melintas di hadapan
mereka. Tirainya disingkap oleh sebuah tangan kepucatan.
Wajah seorang wanita setengah baya dengan dandanan
mencolok muncul dari baliknya. Ia menatap tajam ke arah
mereka, lalu berbisik, "Kalau kalian mau makan, datanglah
ke rumah ketiga dari jalan pertama yang berlampu hijau."
Sementara tandu tertutup itu menghilang, kesembilan
pemuda itu berpandangan. Ma berkata, "Rumah berlampu hijau" Aku tak pernah
mendekati tempat-tempat seperti itu. Babaku akan
memukuli aku." Kemudian ia teringat bahwa ayahnya
sudah tiada. "Di pihak lain," ujar Shu, "para pelacur bisa saja berhati
baik. Wanita itu mau memberi kita makan. Kenapa kita
harus menolak uluran tangannya?" Ia menatap si bocah
yang tampak ketakutan itu, lalu tertawa. "Kau mesti ikut. Ini
perintah." Begitu memasuki alun-alun kota, mereka terpukau
melihat suasananya yang serba sibuk. Mereka anak-anak
desa yang belum pernah melihat begitu banyak toko serta
tempat-tempat makan di satu jalan. Meskipun masih pagi,
mereka melihat ada beberapa rumah berlampu hijau yang
menyala terang. Begitu mereka sampai di muka rumah
ketiga, pintunya terbuka, dan wanita yang tadi me-
ngendaral tandu tertutup itu memberikan tanda kepada
mereka untuk masuk. "Baba akan mengamuk di surga," ujar Ma sambil
berpegangan pada ambang pintu.
"Kalau kau tidak mau melepaskan pintu itu, aku akan
mengamuk di sini," Ujar Shu, mengacungkan tinjunya.
Si wanita menggiring mereka ke dapur. "Beri mereka
makan sampai kenyang, lalu beri mereka bekal untuk di
jalan," ujarnya pada seorang koki tua, lalu pergi.
Si koki memberi kesembilan pemuda kelaparan itu
masing-masing semangkuk penuh bakmi yang dimasak
dalam saus daging kental. "Nyonya kami memang baik
sekali," ujarnya sambil mengumpulkan beberapa bakpao
untuk mereka, yang kemudian dibungkusnya dalam daun
kol lebar. "Tapi ada kisah sedih di balik alasannya memberi
kalian makan." Wanita itu menghela napas. "Anak tunggal Nyonya,
seorang putra yang baik, sudah besar dan kuat tubuhnya
sewaktu berumur empat belas tahun, ketika orang-orang
Mongol menelusuri seluruh kota mencari anak-anak muda
untuk dipekerjakan di Kanal Hui-tung. Mereka mengambil
si bocah. Dia kabur dari lokasi kerjanya di Tsinan dan
mencoba pulang. Dalam perjalanan panjangnya dia
mengemis untuk mendapatkan makanan. Karena tak ada
yang mau memberi, dia terpaksa mencuri. Dia tertangkap
tak jauh dari sini, ketika hampir sampai di rumah.
Tangannya dipenggal, kemudian dia mati karena
perdarahan. Ketika nyonya kami melihat jenazah anaknya,
dia bersumpah akan menolong semua pemuda Cina yang
tampaknya sedang melarikan diri dari kejaran orang-orang
Mongol." Perut mereka kenyang dan hati mereka penuh semangat
saat meninggalkan rumah berlampu hijau itu menjelang
siang, membawa bungkusan berisi bakpao. Mereka
mengeluyur dari sisi jalan yang satu ke sisi yang lain,
sambil memperhatikan segalanya.
Suatu saat mereka lewat di muka seorang peramal yang
duduk di belakang meja kecil. Di atasnya terdapat sangkar
dengan burung kuning di dalamnya, serta banyak gulungan
kertas yang tertumpuk di piring, masing-masing selesar
jarum. Seorang wanita berhenti dan meletakkan sekeping
uang tembaga. Si peramal melepaskan burung yang sudah
terlatih itu dan menunggu sampai binatang tersebut
menjumput sebuah gulungan kertas dengan paruhnya.
"Peruntungan bagus," baca si peramal setelah membuka
gulungan kertas itu. "Dengan syarat andal kata bulan
sedang purnama, Anda tidak melangkah ke arah selatan
dari tenggara." "Ke arah selatan dari tenggara..." ulang wanita itu
sambil melanjutkan langkah dan mengangguk-angguk.
Ekspresinya begitu serius, sehingga ke sembilan pengamatnya mulai cekikikan seperti kanak-kanak.
Tak jauh dari tempat si peramal, seorang tukang gigi
sedang mencabut gigi seorang laki-laki. Sementara
pasiennya berteriak-teriak kesakitan, si tukang gigi
berseru, "Bukankah sudah kubilang tidak akan terasa sakit!
Coba,ingat-ingat itu, nanti sakitnya akan hilang!"
Shu dan kawan-kawannya tertawa keras-keras. Betapa
menyenangkan rasanya dapat tertawa lagi.
"Orang-orang Cina ini menertawakan kita!" seru seorang
serdadu Mongol yang muncul dari balik kios si tukang gigi.
"Kita harus memberi pelajaran pada orang-orang tak
tahu aturan ini!" tambah orang Mongol kedua.
Shu menelan tawanya. Ia melihat sekelilingnya dan
menyadari bahwa mereka dikepung oleh dua puluh orang
Mongol yang muncul dari semua jurusan. "Lari!"
perintahnya pada teman-temannya yang berdiri terpaku
ketakutan. Suaranya yang berwibawa menyadarkan mereka.
Mereka langsung kabur, membaur di antara kerumunan
orang, dan dengan pakaian mereka yang lusuh dan kumal
langsung menyatu dengan rekan-rekan sebangsanya.
Orang-orang Mongol yang mengejar mereka menjadl
bingung. Semua orang Cina tampak sama di mata mereka.
Shu masih berdiri di dekat kios tukang gigi. Sebagai
pemimpin, ia selalu yang terakhir melarikan diri. Setelah
melihat teman-temannya selamat, baru Ia kabur.
Ia merasa seseorang mencolek punggungnya. Ia
berpaling, kemudian melihat Ma yang berada tepat di
belakangnya, menunjuk ke seberang jalan itu. "Itu orang
yang memberikan perintah untuk membunuh keluargaku!"
Seekor kuda jantan hitam berderap ke arah mereka.
Stola merah si penunggang berkibas diembus angin di
belakangnya. Shu begitu tertegun, sehingga lupa lari.
Hampir semua orang Mongol memiliki postur tubuh besar,
tapi yang ini betul-betul raksasa.
Shu melihat baju perangnya yang berkilauan, sepatu
botnya yang tinggi, pedangnya yang berat, serta busur dan
anak-anak panahnya yang menakjubkan. Begitu melihat
wajah si penunggang, ia tak dapat mengalihkan mata
darinya. Laki-laki itu lebih dari sekadar tampan. Ia amat
arogan dan sombong. Matanya berkilauan bak mata
binatang buas, tapi pembawaannya seperti bangsawan
yang amat berkuasa. Shu langsung membencinya, melebihi kebencian yang
biasa dirasakannya terhadap orang-orang Mongol lain pada
umumnya. Selain musuh, orang itu juga membuatnya
merasa seperti kelinci yang tak berdaya saat berhadapan
dengan harimau yang buas. Rasa kecil hati itu seakan
membakar seluruh keberadaan Shu.
Pedang Dahsyat baru saja keluar dari sebuah rumah
berlampu hijau yang terbesar di kota itu, dan saat itu masih
belum menyadari bahwa serdadu-serdadunya sedang
mengejar-ngejar beberapa orang Cina. Ia takkan pernah
menaruh perhatian pada kedua sosok yang menyedihkan
itu, andai kata mereka tidak begitu terang-terangan
memandangi dirinya. Pedang Dahsyat tidak terbiasa menghadapi orang-orang
Cina yang berani menatap dirinya. Ia tak peduli pada bocah
ceking itu. Tapi ketika melihat kebencian yang terpancar di
wajah Shu, ia menarik tali kudanya.
Sambil mendekat perlahan-lahan, Pedang Dahsyat
menatap pemuda yang daya tarlknya memancar dari ballk
pakaian kumalnya itu. Si panglima mengamati postur tubuh
tinggi serta fisik kuat pemuda petani itu. Ia mengamati
wajah Shu yang gelap, hidungnya yang lebar, serta bibirnya
yang tebal. Begitu melihat ke dalam matanya yang tajam, ia
menghentikan langkah kudanya.
Kebencian yang terpancar dari dalam mata anak petani
Cina ini membuatnya merinding, meskipun saat itu ia
bersenjata lengkap. Si jenderal dapat merasakan tubuhnya
menggigil, dan itu membuatnya sangat kesal. "Kaupikir kau
siapa" Berani-beraninya kau menatapku geperti itu!"
serunya dengan suara menggelegar, sambil mengangkat
pedangnya. Mata pedang itu berkilauan di bawah terik sinar
matahari sore, membuat mata Shu silau sesaat. Kemudian
ia kembali tersadar dan mulai berlari sambil berseru
kepada Ma, "Ayo! Ikut aku!"
Shu langsung berlari ke arah kerumunan orang.
Bak bunglon ia langsung melebur di antara para


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedagang dan orang-orang yang berbelanja. Ketika ia
berusaha mengembalikan napasnya, barulah ia menyadari
bahwa semua orang di sekitarnya masih melihat ke arah
kios tukang gigi. Shu menoleh, lalu berteriak, "Ma!"
Bocah itu berada dalam genggaman tangan raksasa si
jenderal Mongol, bak seekor belalang. Kesal karena Shu
berhasil lolos dari cengkeramannya, Pedang Dahsyat
sekarang melampiaskan amarahnya pada Ma.
Para serdadu berlarian menghampiri jenderal mereka,
menantikan perintahnya. Pedang Dahsyat melemparkan si
bocah pada seseorang yang berdiri di dekatnya, kemudian
sambil mengertiakkan gigi memerintahkan, "Bunuh bocah
ini pelan-pelan, kemudian penggal kepalanya untuk
dipancang di depan umum. Bulan musim semi naik periahan-lahan, memancarkan
kilau mencekam di atas alun-alun kota itu. Shu dan
teman-temannya yang lain sudah saling bertemu, dan saat
itu berjongkok di balik tembok yang runtuh sebagian.
Salah seorang di antara mereka berbisik, "Kita harus
menurunkan kepalanya dari tiang itu, dan mengambil
tubuhnya dari bawah panggung. Kepala dan tubuhnya
harus disatukan. Kalau tidak, arwah Ma yang malang akan
terus gentayangan, mencari kepalanya."
Shu tidak menjawab. Giginya terkatup rapat, demikian
pula tinjunya. Matanya kering, air mata hanya ada di dalam
hatinya. Pandangannya menerobos kerumunan orang
banyak yang berkumpul di jalan malam itu, serta toko-toko
yang diterangi sinar lampu. Perhatiannya hanya tertuju
pada sebuah panggung yang blasanya dipakat untuk
upacara-upacara istimewa. Tempat itu masih basah setelah
disirami beberapa ember air.
Shu menggigit bibir, sementara matanya perlahan-lahan
beralih ke arah sebuah tiang bambu yang tinggi di belakang
panggung itu. Di bawah cahaya bulan, ujung tiang yang
pucat tampak gelap oleh tetesan darah.
Shu menutup mata dan sekali lagi terdengar olehnya
jeritan si bocah sepanjang sore itu, selagi ia disiksa. Para
serdadu telah menderanya dengan penuh keahlian. Setiap
kali bocah itu hampir pingsan, mereka memberinya waktu
untuk memulihkan diri, agar dapat merasakan siksaan
berikutnya. Si jenderal tetap berdiri tegak di sebelah
panggung sambil memunggungi Ma, menatap kerumunan
orang banyak untuk mencari teman si bocah.
Sementara itu Shu sudah menemukan beberapa
temannya. Mereka terpaksa mengerahkan segenap
kekuatan untuk merobohkan serta menahannya di tanah,
sambil memohonnya untuk diam. Ketika Shu terus
meraung-raung, salah seorang di antara mereka membuka
bajunya untuk disumbatkan ke mulutnya. Setelah itu ia
hanya dapat memukuli tanah dengan tinjunya, sambil
mendengar jeritan-jeritan Ma yang seakan tiada akhirnya.
Shu mengamati tinjunya yang penuh darah.
Orang-orang Mongol sudah tak ada di pelataran itu,
namun mereka masih berada di sekitar situ untuk
menangkap siapa pun yang tetap nekat menyentuh tubuh
Ma atau menurunkan kepalanya.
Shu menatap ketujuh temannya, lalu berkata,
"Sebaiknya kita berkepala dingin. Ma sudah meninggal.
Hanya menguburkan kepalanya bersama tubuhnya saja
takkan membuatnya beristirahat dengan tenang. Kita harus
meninggalkan kota ini malam ini juga, dan berangkat ke
Selatan sesuai rencana. Begitu kita sudah menjadi
kelompok yang kuat, akan kita bantai orang-orang Mongol
yang kejam ini. Baru kemudian Ma akan tersenyum di alam
baka." Berdelapan mereka meninggalkan kota Gunung Makmur
saat bulan tertutup kabut. Begitu berada di luar alun-alun
kota, mereka berpaling. Mereka masih dapat melihat pucuk
tiang bambu itu dengan jelas.
Shii berdiri terpaku di tempatnya. Ia melihat cahaya
bulan membias di antara kabut, menerangi wajah Ma yang
rusak dengan cahayanya yang keperakan. Air mata
merambah di mata Shu. Samar-samar seakan Ma
tersenyum ke arahnya. Darahnya terasa mengalir
meninggalkan tubuhnya. Telinganya berdesing, kemudian
Ia mendengar sebuah suara yang mirip suara polos sahabat
kecilnya. "Ibuku ada di sini! Masa kau tak bisa melihat lengannya
merangkulku dengan penuh kasih sayang?" Suara itu
berdesir bagai dibawa angin. "Semua deritaku sudah
berakhir dan terlupakan Sobatku yang perkasa, pergilah."
Tiba-tiba Shu memutar tubuh, kemudian melangkah
pergi sebelum larut oleh perasaan dukanya.
13 MATAHARI mulai naik dari balik gunung yang tinggi,
menerangi bukit-bukit yang mengelilingi kota Gunung
Makmur. Seorang gadis bertubuh tinggi melangkah menuju
alun-alun kota dengan punggung lurus dan kepala tegak.
Pakaiannya yang berantakan sudah terlalu pendek untuk
kakinya yang panjang, terlalu sempit untuk tubuhnya yang
besar. Peony Ma ternyata masih terus bertumbuh selama
setahun terakhir ini, meskipun ia kurang makan.
Ia sudah pernah mencuri, menipu, serta berbohong
untuk dapat bertahan. Kakinya yang besar telanjang,
sepatunya hilang saat ia lari dari kejaran seorang penjaja
makanan yang mengancam akan membunuhnya karena ia
mencuri semangkuk bakmi darinya. Ia sudah menempuh
jarak bermil-mil setelah itu, dan kakinya yang semula lecet
dan berdarah-darah sekarang sudah keras dan kapalan.
Di ujung alun-alun ia berhenti untuk mengawasi
beberapa gadis yang sedang mencuci pakaian di sebuah
kolam. Ia tersenyum, mulutnya yang lebar terbuka,
menyingkapkan sederetan gigi putih yang ternyata amat
kontras dengan kulit wajahnya yang gelap. Ia menatap
sekelilingnya dengan matanya yang besar dan bulat, namun
tidak melihat tepi sungai. Senyumnya semakin melebar.
Rasanya begitu asyik setelah akhirnya meninggalkan
Sungai Kuning yang menyebalkan itu di belakangnya.
Ia telah menyusuri tepiannya sejak meninggalkan desa
Pinus, menuju ke Selatan. Setiap pagi, saat akan berangkat,
ia selalu memastikan bahwa matahari terbit di sebelah
kirinya. Ayahnya pernah mengajarinya soal arah, dan
pengetahuan itu ternyata amat berguna baginya untuk
pergi dari tanah kelahirannya yang bergelimang darah
serta menyimpan begitu banyak kenangan memilukan. "Le-
bih dari sekadar memilukan. Tidak tertahankan,"
gumamnya. "Baba, Ma'ma, dan Shu, aku harus pergi jauh,
jauh dari tempat kalian dibunuh."
Ia mengerutkan wajah begitu matanya tertumbuk pada
sebuah pelataran sepi, kemudian mencoba mereka-reka
apa yang terpancang di ujung tonggaknya yang tinggi. Ia
menjerit begitu menyadari bahwa itu kepala manusia. Ia
menutup mulut dengan punggunj tangannya, tidak yakin
apakah itu hanya imajinasinya atau kepala itu memang
sungguh-sungguh sedang tersenyum.
Ia mendekat untuk mengamati wajah yang sudah rusak
itu dengan lebih baik. Ternyata kepala itu milik seorang
bocah berambut panjang. Bibirnya yang krabu-abuan
merekah, menampakkan sederetan gigi yang sudah
patah-patah. Matanya yang kosong terbuka, seakan
menatap ke arah bulan berwarna pucat di langit sebelah.
barat. Sekelompok biksu berjubah jingga muncul di belakang
Peony. Melihat kepala itu, mereka bergegas mendekat. Dua
di antara mereka mulai mencabut tiangnya dari tanah. Dua
yang lain menggelar sehelai saputangan lebar di pelataran,
siap membungkus kepala itu.
"Stop!" Beberapa puluh serdadu Mongol tiba-tiba
muncul entah dari mana, sambil menudingkan pedang
panjang mereka ke arah para biksu itu.
"Panglima jenderal kami memerintahkan untuk menangkap siapa pun yang berani menyentuh kepala itu!"
Selama beberapa saat, para biksu seakan terpaku di
tempat mereka berdiri. Kemudian salah seorang di antara
mereka, seorang biksu tua beralis putih, melangkah maju.
"Namaku Sumber Kedamaian. Aku kepala para biksu di Kuil
Bangau Putih." Ia menunjuk ke puncak sebuah gunung di
kejauhan. Di sana sebuah atap biru yang melengkung
tampak berkilauan di atas pohon-pohon pinus yang tinggi.
"Antar aku menghadap panglima jenderalmu."
Penuh rasa ingin tahu, Peony menanti bersama para
biksu lainnya. Si biksu tua akhirnya kembali dengan
senyum puas. "Turunkan kepala itu dan pindahkan
tubuhnya dari bawah pelataran. Kita akan menggali
kuburan untuk anak malang ini, di suatu tempat di
belakang kuil-kita."
Setelah para biksu itu mengangkut jenazah serta kepala
Ma menuju perbukitan, Peony mengalihkan perhatiannya
kembali pada kota yang baru di masukinya itu.
Ia berjalan di antara kuda dan keledai-keledai,
kereta-kereta yang ditarik oleh sapi, serta para pejalan
kaki. Sesaat ia berdiri di dekat si peramal. Perutnya terasa
begitu lapar, sehingga burung kuning mungil itu tiba-tiba
menggugah selera. Ketika si peramal melihatnya menatapi
peliharaannya dengan penuh nafsu, ia segera diusir dari
situ. Peony mengawasi tukang gigi mengganti gigi seorang
wanita dengan sebuah gigi bagus yang baru dibelinya dari
seseorang yang sedang membutuhkan uang. Si tukang gigi
menoleh ke arah Peony, kemudian memintanya membuka
mulut. Peony tidak menyadari apa yang berkecamuk dalam
pikiran laki-laki itu dan meluluskan permintaannya. Ketika
si tukang gigi menanyakan apakah ia berminat menjual
beberapa di antara gigi-giginya yang bagus, Peony langsung
lari ketakutan. Saat melewati beberapa pintu dengan lampu-lampu
hijau tergantung di mukanya, ia teringat bagaimana ibunya
selalu mengancamnya dengan mengatakan, kalau seorang
gadis tidur dengan seorang laki-laki sebelum menikah,
rumah berlampu hijau akan menjadi tempat tinggainya
untuk selanjutnya. Di muka rumah bordil yang paling besar terdapat kios
pedagang rambut. Peony berhenti untuk mengamati
seorang wanita muda yang menawarkan rambutnya.
Meskipun pakaiannya kumal, rambut wanita petani yang
panjangnya sampai ke pinggang itu jatuh bak geraian sutra
hitam. Saat pedagang itu mengangkat guntingnya yang
besar, wanita miskin itu menutup matanya. Hanya dalam
beberapa detik saja rambutnya yang panjang sudah
terpangkas habis. Sambil terisak si wanita mengeluarkan
saputangan lebar yang sudah ia sediakan sebelumnya dari
dalam sakunya, untuk membungkus kepalanya yang kini
tampak berantakan. "'Sekarang bayi-bayiku tak perlu mati
kelaparan... setidaknya untuk sementara."
Peony meraba rambutnya sendiri. Pita merah yang
melilit di kepangnya sudah berubah menjadi serpihan-serpihan kain kotor keabu-abuan. Ia menarik
ranting tanaman yangliu yang menahan jalinan rambutnya
yang membelit di atas kepalanya dalam bentuk mahkota.
Kepangnya yang panjang jatuh sampai ke pinggul.
Ia tahu rambutnya merupakan satu-satunya kelebihan
yang dimilikinya, dan ia selalu mencucinya dengan teratur
di sungai. Baru saat itulah terlintas dalam dirinya bahwa
penampilannya sudah tak berartl lagi baginya sekarang.
Shu sudah tiada, dan ia tak berminat mengabdikan diri
pada laki-laki lain. "Berapa yang dapat kuperokh untuk rambutku?"
tanyanya pada si pedagang.
"Lima keping uang tembaga," jawab pedagang itu, sambil
berusaha menyembunyikan rasa senangnya. Rambut Peony
berkilauan bak permukaan mutiara hitam. Seorang nyonya
kaya yang rambutnya sudah mulai menipis pasti bersedia
membayar banyak untuk sebuah wig yang dibuat dari po-
tongan rambut indah ini. "Itu cukup untuk membeli bakpao selama sepuluh hari,"
ujar Peony sambil membuka kepangnya. Namun persis saat
rambutnya sudah tergerai lepas, sekelompok serdadu
Pesanggrahan Goa Larangan 1 Animorphs - 49 The Diversion Suling Naga 9
^