Pencarian

Sungai Lampion 3

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Bagian 3


Mongol muncul dari dalam rumah berlampu hijau itu.
Separo di antara mereka ditugaskan untuk menjaga
pelataran, sementara yang separo lagi mengawal panglima
jenderal mereka di dalam bordil. Yang terakhir ini sekarang
dalam keadaan mabuk, sehingga yang tampak di mata
mereka bukanlah wajah kotor Peony serta pakaiannya yang
sudah compang-camping, melainkan tubuhnya yang masih
muda serta geraian rambutnya yang indah berkilauan.
Peony menjerit saat serdadu pertama meletakkan
tangan di pundaknya. Ia mulai menendang dan menggigit
saat yang kedua meraih payudaranya. Mula-mula ia
membenamkan gigi-giginya yang tajam pada tangan kurang
ajar itu, kemudian pada tangan yang berada di pundaknya.
Kedua serdadu itu mengaduh kesakitan. Di pihak lain, si
penjual takjub melihat keberanian gadis jangkung itu.
Peony segera merenggut gunting besar dari tangan si
penjual yang gemetaran, sebelum salah seorang di antara
para serdadu itu menyergapnya. Ia mengacungkan senjata
barunya ke arah para serdadu itu sambil melangkah mun-
dur. "Kalau ada di antara kalian yang mengejarku, akan
kucungkil matanya!" serunya, kemudian tiba-tiba ia
membalikkan tubuh, lalu kabur.
Napas Peony tersengal-sengal saat ia tiba di kaki bukit
pertama. Ia mendaki sampai ke puncaknya, kemudian
beristirahat di belakang sebatang pohon pinus tinggi
sampai pinggangnya tidak terasa sakit lagi. Sesudah itu ia
mendaki bukit berikutnya, lalu yang berikutnya, terus ke
arah bangunan beratap biru di atas gunung tinggi itu.
Angin malam mendesir melalui pohon-pohon pinus yang
menjulang ke langit dan mengelilingi bangunan Kuil
Bangau Putih. Dalam mimpi Peony, suaranya terdengar bak
orang yang sedang meratap. Peony membuka mata,
kemudian langsung duduk tegak, mengawasi suasana
sekelilingnya yang gelap serta mendengarkan suara napas
teratur sekian banyak wanita yang tertidur nyenyak dalam
ruangan itu. Perlahan-lahan pikirannya kembali jernih. Perutnya tak
terasa pedih, seperti biasanya setiap kali ia terjaga dari
tidur. Para biksuni kuil itu telah memberinya makanan, dan
seperangkat pakaian petani yang bersih dan hanya koyak
sedikit. Sinar bulan membias masuk melalui kertas merang yang
menutupi lubang jendela, menerangi ke-23 sosok lain yang
sedang terbaring di tikartikar jerami. Peony teringat apa
yang diungkapkan Sumber Kedamaian padanya, bahwa
mereka semua membutuhkan perlindungan seperti dirinya.
Peony tahu wanita-wanita ini akan segera menjadi biksuni
untuk menghindari kekerasan dunia luar. Ia menghela
napas. Saat ini ia sendiri pun tergoda untuk menjadikan
kuil ini tempat bernaungnya untuk selamanya, meskipun
peraturan-peraturan yang diberlakukan di sini amat keras.
Selama setahun terakhir ini, sesekali ia bernaung di
kuil-kuil. Tapi setiap kali tenaganya pulih, ia kembali ke
jalan. "Lama-lama rasanya berat juga bertahan hidup
seorang diri," bisiknya pada diri sendiri. Ia menarik napas,
lalu menatap ke arah jendela.
Mula-mula ia menyangka melihat bayangan sebatang
pohon pinus. Namun ia teringat bahwa beberapa saat yang
lalu ia tidak melihat bayangan apa-apa di situ. Pohon pinus
tidak bisa muncul dan menghilang begitu saja.
Sementara ia bengong, bayangan itu mulai bergerak.
"Burung bangau!" Peony menahan napas.
Makhluk anggun itu mengembangkan sayapnya,
kemudian mengepakkannya perlahan-lahan dalam gerakan
amat gemulai. Ia memutar tubuh, lalu mulai melesat
menjauhi jendela, menuju bulan. Sementara itu, semakin
banyak wujudnya terungkap.
"Bangau itu memiliki kepala seperti manusia!" Sambil
menahan napas, Peony berdiri.
Tapi begitu ia selesai berpakaian, bangau itu sudah
menghilang. Sesaat ia menatap ke arah jendela yang
diterangi sinar bulan. Kemudian ia teringat bahwa di sisi
lain bangunan itu ada sebuah tempat terbuka. Diam-diam ia
menyelinap di antara kaum wanita yang sedang tidur.
Sebuah patung Buddha menjaga halaman terbuka itu.
Dari baliknya, Peony mengintip para biksu yang menyebar
mulai dari pelataran batu sampai ke daerah perbukitan di
kejauhan. Jumlah mereka begitu banyak, sehingga Peony
yakin seluruh populasi biksu kuil itu berada di sana. Jubah
panjang mereka sudah dilepaskan. Mereka hanya
mengenakan sepasang celana longgar, sepatu lembut, dan
sehelai baju pendek berlengan lebar.
Sementara ia mengintai, mereka mengembangkan
lengan perlahan-lahan, sehingga lengan baju mereka yang
ringan berkibas-kibas ditiup angin. "Aku menemukan
burung-burung bangauku!" ujar Peony pada dirinya.
Begitu kata-kata itu terlompat keluar dari mulutnya,
biksu-biksu itu tersentak.
"Ada yang memata-matai kita!" seru seorang biksu
muda. Peony tidak mendengar ada yang bergerak, namun pada
saat berikutnya ia sudah menjadi tawanan, terbelenggu
oleh jarl-jari besi dan lengan-lengan baja. Ia berusaha
meronta, tapi tak dapat melonggarkan cekalan itu sedikit
pun. Ia bahkan tak dapat berteriak. Sebuah telapak tangan
yang dingin dan keras membekap mulutnya.
Ia diangkat dari tempatnya berdiri, dan merasa seakan
dibawa terbang melintasi halaman dalam cekalan beberapa
biksu. Mereka menurunkan dirinya di hadapan Sumber
Kedamaian. Bulan menyinarkan cahayanya ke atas alis putih si biksu
tua yang tampak menyatu. Perlahan-lahan ia menggeleng,
lalu berkata, "Perasaanku memang sudah mengatakan
bahwa kau banyak ulah seiak kau memperlihatkan gunting
itu kepadaku. Seha rusnya aku tahu, seorang gadis yang
berani mengancam orang-orang Mongol akan berkeliaran
di kuilku di tengah malam.- Aku tak punya pilihan lain. Aku
terpaksa mengusirmu dari sini. Begitu fajar menyingsing,
kau harus pergi dengan seuntal uang logam dan sebuah
buntelan makanan." Setelah bebas, Peony menggosok-gosok pergelangan
tangannya, lalu bergumam, "Aku memang sudah berniat
angkat kaki. Untuk menjadi biksuni dan harus mematuhi
peraturan-peraturan konyol itu demi atap di atas kepalaku
serta sedikit makanan untuk mengisi perutku rasanya
terlalu berat untukku. Omong-omong, bolehkah aku makan
sampai kenyang sebelum berangkat" Selain itu, aku ingin
meminta gunting itu kembali. Siapa tahu aku membutuhkannya lagi."
Ia mengangkat dagunya, membayangkan betapa
enaknya andai kata ia dapat bergerak begitu cepat dan
ringan seperti para biksu itu. Ia bisa mencuri makanan dan
pakaian serta apa saja yang dibutuhkannya, kemudian
menghilang begitu saja seperti angin lalu.
Sumber Kedamaian mengangguk. "Kau boleh makan
sekenyangmu dan memperoleh guntingmu kembali. Tapi
kau harus berjanji tidak akan pernah mengungkapkan pada
siapa pun apa yang sudah kausaksikan malam ini."
Peony menatap mata si biksu tua, lalu menangkap
sedikit kekhawatiran. Dalam perjalanan ia mendengar
diberlakukannya sebuah peraturan baru, yang melarang
dipraktekkannya teknik-teknik bela diri gaya Cina dalam
bentuk apa pun. Dengan cepat ia menarik kesimpulan, lalu
mendoyongkan tubuh ke arah Sumber Kedamaian. Ia
mempelajari ekspresl di wajahnya untuk menandaskan
kecurigaannya. Ya, orang tua ini memang betul-betul
khawatir. Peony tersenyum. Ia melangkah mundur, menegakkan
pundaknya, lalu berkata tenang, "Shih-fu yang kuhormati,
aku berubah pikiran."
"Apa maksudmu?" Biksu tua itu mengumpati dirinya.
Ekspresinya saat itu tak lagi sesuai dengan namanya.
"Aku mau tinggal di sini dan mempelajari apa yang
sedang kalian lakukan. Tapi aku tak ingin menjadi biksuni,
atau digunduli dan terikat berbagai peraturan." Peony
membungkuk dalam-dalam, kemudian melanjutkan sambil
tersenyum lebar, "Aku tak berani mengancam Anda, shih-fu
yang kuhormati. Tapi aku bermulut besar. Sungguh
berbahaya membiarkanku meninggalkan kuil ini dan
melantur mengenai berbagai macam hal di kota Gunung
Makmur. Kalau aku tidak keliru, orang-orang Mongol itu
masih ada di sana." Para biksu di belakangnya bergerak mendekat, seakan
menggertak. Melihat mereka dari sudut matanya, Peony
meninggikan suaranya, "Tentu saja kalian dapat mengurungku dengan mudah untuk selamanya. Kalian
dapat membunuhku, kemudian menguburkan mayatku di
sebelah kuburan si bocah. Orang-orang Mongol itu toh
sudah membantai habis seluruh keluargaku. Biar
bagaimanapun, aku cuma gadis miskin yang tak punya
siapa-siapa lagi." Suaranya agak tersendat pada akhir
kalimatnya. Tapi itu tidak sulit. Ia tak perlu bersandiwara
untuk itu. Sumber Kedamaian mengangkat matanya ke arah bulan,
menggeleng-gelengkan kepala, lalu mendesah tak berdaya.
Peony diperbolehkan ikut ambil bagian malam itu juga,
tapi tidak bersama para biksu di halaman belakang yang
terbuka. Ia diantar ke sebuah ruang tertutup. Di sana enam
biksu muda yang masih baru di kuil itu sedang mendapat
pelajaran pertama. Instrukturnya, seorang biksu berusia tiga puluh tahun,
sedikit enggan menerima Peony sebagai murid, namun
sebagai biksu yang baik ia terpaksa menerima nasibnya. Ia
bahkan mengulangi pelajaran pertama untuknya.
Katanya, "Apa yang akan kaupelajari ini dinamakan jurus
tai chi, jurus paling canggih. Gayanya paling lembut di
antara sekian jenis kungfu, tapi secara praktis paling kuat.
Diciptakan persis sebelum orang-orang Mongol menguasai.
Cina, sebagai bentuk latihan jasmani untuk biksu-biksu
Shaolin. Namun orang-orangMongol memaksa kita
mengubah serta mengembangkannya menjadi jurus
mematikan." Sinar bulan mengungkapkan sorot kebencian yang
tersembunyi di balik mata biksu yang sudah setengah baya
itu. Ia memejamkan mata selama beberapa saat. Ketika ia
membukanya kembali, kedengkian yang terpancar dari
dalamnya sudah hilang, dan ia tampak kembali damai
dengan dirinya. Sesudah itu Ia melanjutkan, "Intinya adalah
kombinasi pikiran serta gerakan fisik. Kalian harus
berkonsentrasi dan menggunakan tenaga dalam sebagai
sumber gerak kalian."
Peony belajar berdiri tegak dengan kedua tangan di
dekat pinggang. Padanya dikatakan bahwa ia harus rileks
serta bernapas teratur. Dengan tumit bersentuhan
sekadarnya ia menekuk lutut, lalu merenggangkan kaki
selebar bahunya. Sedikit demi sedikit ia menurunkan
tubuhnya, sehingga bokongnya nyaris menyentuh tanah,
kemudian perlahan-lahan dan dengan luwes ia harus
menegakkan diri kembali. Dengan lembut ia mengangkat
lengannya ke muka, hingga sejajar dengan bahu, sementara
telapak tangannya mengarah ke bawah. Sesudah itu ia
mengembalikan posisi lengannya ke dekat pinggang lagi.
Dan ia harus mengulangi proses Ini berulang kali.
"Jurus berikut ini dinamakan menyentuh ekor burung,"
ujar si instruktur sambil memperagakan gerakan itu. "Raih
dengan tangan kirimu dan bayangkan kau sedang
memegang leher seekor burung mungil yang rapuh.
Kemudian gerakkan tangan kananmu dengan gemulai ke
bawah, seakan membelai bulu-bulu halus ekor si burung
yang panjang dan indah. Perlahan-lahan, perlahan-lahan
sekali, pindahkan berat tubuhmu ke kaki kiri."
Peony mengikuti instruksi si biksu, lalu mendapati
dirinya bermandikan keringat. Ia menutup mata, lalu
teringat bahwa beberapa tahun yang lalu, ketika keluarga
Shu dan Ma sedang kumpul-kumpul, Shu menangkap
seekor burung yang kemudian dihadiahkannya kepadanya.
Sekarang Peony membayangkan ia memegang burung yang
sama. Ia membelai bulu-bulunya yang halus serta
menikmati kelembutannya. Saat membuka mata, ia melihat
gurunya mengangguk-angguk puas ke arahnya.
Yang membuat Peony kecewa adalah jurus tai chi tak
dapat dipelajari dengan mudah atau cepat. Selama setahun
ia tinggal di Kuil Bangau Putih, membantu para biksuni
memasak serta mencuci sepanjang hari. Setiap malam ia
bergabung dengan keenam biksu muda untuk berlatih
jurus keras yang menjadi dasar seluruh aliran itu, hingga ia
dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada tingkat ini ia
dilatih untuk menguasai jurus lembut yang amat sulit dan
berat. Ketika musim semi tahun 1346 tiba, Peony berhasil
menguasai tiga puluh dari seratus variasi jurus yang ada. Ia
masih belum dapat bergerak secepat dan selembut para
biksu, tapi sudah dianggap cukup menguasai ilmunya. Pada
suatu malam, ketika kelasnya kembali berlatih di bawah
sinar bulan musim semi, akhirnya ia berhasil menguasai
langkah-langkah bangau putih dengan benar. Ia begitu
antusias, sehingga dirangkulnya biksu yang berdiri paling
dekat dengannya saat Itu, sambil berteriak, "Asyiknya!"


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para biksu menghentikan gerakan mereka. Tak seorang
pun mengeluarkan suara. Wajah biksu yang dirangkul
Peony merah padam. Sumber Kedamaian menghentikan
latihan, kemudian memerintahkan Peony kembali ke
kamarnya. Sebelum Peony memprotes, biksu itu sudah menggeleng-gelengkan kepala dengan tegas. "Kau boleh
berjanji takkan pernah merangkul seorang biksu lagi, dan
aku yakin kau akan selalu mengingat janjimu. Tapi itu tidak
cukup." Biksu tua itu menyatukan alisnya yang putih, sambil
mempelajari tubuh remaja Peony seperti ayah mengamati
anaknya yang sudah beranjak dewasa. Peony mendapat
makan secara teratur dan tidak lagi kurus kering. Di balik
berlapis-lapis pakaian taninya, bentuk tubuhnya mengingatkan biksu tua itu pada apel ranum yang lezat.
Para biksu itu sebetulnya hanyalah laki-laki normal, lahir
dengan nafsu lapar, dahaga, dan berahi. Melihat buah lezat
yang amat menggiurkan itu, tak sulit bagi mereka untuk
melupakan sumpah mereka. "Kau satu-satunya wanita di kuil ini yang bukan biksuni.
Kau akan mengganggu konsentrasi para biksu muda,
terutama selama latihan tai chi, di mana kontak fisik sulit
dihindarkan." Ia mendoyongkan tubuh ke muka, lalu berkata,
"Kalau kau masih belum berminat menjadi biksuni, kau
harus pergi. Sadarilah, tak ada gunanya mengancamku kali
ini." Peony menatap mata biksu tua itu dengan berani, tapi
ketika orang tua itu tidak juga mengalihkan pandang, ia
tersenyum, lalu- mengangguk. "Aku takkan mempersulit
Anda Aku akan segera angkat kaki." Peony membungkuk
dalam-dalam di hadapan biksu yang belakangan ini
semakin dihormatinya. "Semua di sini telah amat berbalik
hati padaku, dan aku amat berterima kasih. Shih-fu yang
kuhormati, aku ingin Anda tahu bahwa setahun yang lalu,
bahkan andai kata Anda menolak mengajarkan tai chi
kepadaku dan memaksaku angkat kaki, aku takkan
mengadukan Anda pada orang-orang Mongol."
Sumber Kedamaian mengangguk tenang. "Aku tahu.
Demikian pula para biksu lainnya. Kalau tidak, sudah lama
kau terkubur di samping bocah malang itu." Biksu itu
tersenyum melihat ekspresi tercengang yang terpancar dari
mata Peony. "Jangan lupa menikmati makanan gratismu
yang terakhir, serta untaian uang logam untuk bekal per-
jalananmu. Tapi aku tak akan mengembalikan guntingmu.
Dengan tai chi-mu, kau tidak membutuhkan senjata untuk
melindungi dirimu." 14 RUMAH penjara di kota Gunung Makmur berupa
bangunan batu yang hanya terdiri atas sebuah ruangan
besar untuk menampung semua tahanan pria. Kebanyakan
di antara mereka tertangkap dan sudah dijatuhi hukuman
di desa-desa Provinsi Honan yang lebih kecil, kemudian
dipindahkan ke situ. Setiap bulan sebuah tim pelaksana
yang terdiri atas orang-orang Mongol muncul untuk meng-
gantung mereka yang dijatuhi hukuman mati, serta
melaksanakan hukuman-hukuman lain yang lebih ringan.
Andaikata Sipir Li dan istrinya tidak begitu mudah
terbawa perasaan, tugas mereka takkan terasa begitu berat.
Mereka tak perlu khawatir para tahanan akan memberontak atau kabur. Orang-orang ini sudah mendapat
perlakuan yang kasar sekali dalam perjalanan. Tanpa
memedulikan jarak, mereka harus berjalan kaki sementara
para pengawal mereka menunggang kuda. Begitu tiba di
kota Gunung Makmur, kebanyakan. di antara mereka sudah
setengah mati. Namun Sipir Li dan istrinya jauh dari kejam.
Mereka sama-sama orang Cina, dan sementara si istri
memasak untuk para tahanan, si suami memastikan tak
seorang pun di antara mereka bunuh diri.
Malam itu Sipir Li dan istrinya sudah menyelesaikan
tugas mereka untuk hari itu, dan para tahanan sudah tidur.
Pasangan itu berada di ruang istirahat mereka yang
terpisah dari ruang utama oleh balok-balok kayu tebal. Dari
jendela terbuka mereka dapat melihat bulan musim semi
yang masih berbentuk sabit - para tahanan masih punya
waktu sepuluh harl sebelum orang-orang Mongol itu
datang. Mereka bertukar pandang dengan sedih, kemudian
mengalihkan mata melalul balok-balok kayu, ke arah
mereka yang dijatuhi hukuman mati.
Di antaranya terdapat beberapa cendekiawan yang
dituduh mengorganisir kelompok-kelompok pemberontak
serta petani-petani yang dihukum karena tidak membayar
pajak dengan hasil bumi yang tidak mereka miliki. Ada
beberapa penambang yang tertangkap karena memiliki
alat-alat menambang yang dapat digunakan sebagai senjata
mematikan, dan bukannya menggunakan alat-alat yang
seharusnya dipakai bersama-sama dalam suatu kelompok
yang terdiri atas sepuluh penambang atau lebih. Selain itu
masih ada penduduk desa yang dihukum karena
berkeliaran di jalan di waktu malam, serta beberapa
pedagang kecil yang ditangkap karena memiliki kuda atau
keledai, yang hanya boleh dimiliki oleh orang-orang
Mongol. "Andai kata kita bisa hidup dari mata pencarian lain.
Kadang-kadang aku sangat ingin membuka pintu penjara
itu dan melepaskan orang-orang tak berdosa itu," ujar Sipir
Li. Istrinya mengangguk, kemudian mengalihkan mata ke
bagian lain ruangan yang penuh sesak itu. Delapan pemuda
tidur berdekatan satu sama lain, masing-masing menampakkan tanda-tanda kelaparan dan habis disiksa.
"Yang besar itu," ujar si istri sambil menunjuk seorang
tahanan yang tidur dengan pundaknya yang lebar tapi
kurus ke arah mereka. "Andaikata anak kita masih hidup,
dia akan mirip pemuda itu. Jarang sekali ada yang seperti
dia. Alis matanya hitam lurus. Hidungnya lebar. Setiap kali
melihat ke dalam matanya yang tajam, aku melihat anak
kita. Setiap kali dia membuka mulut berbibir tebal itu, aku
bisa mendengar suara anak kita memanggilku 'Mama'." Si
istri menghapus air matanya begitu terkenang pada
anaknya yang terbunuh dalam suatu penyergapan yang
dilakukan oleh orang-orang Mongol.
Sipir Li menghela napas. Hampir setahun yang lalu
kedelapan pemuda itu tertangkap saat mencuri bakpao
sekitar tiga puluh mil di sebelah selatan kota itu. Sebelum
sampai di kota Gunung Makmur, mereka dipindahkan dari
penjara yang satu ke penjara yang lain. Para sipir
penjara-penjara itu semuanya orang Cina, namun tak ada
yang cukup berbaik hati. Semua memandang para pemuda
itu sebagai tenaga kerja gratis untuk kepentingan pribadi
serta kota mereka, dan karenanya menahan mereka lebih
lama dari seharusnya untuk mempekerjakan mereka
sepuas-puasnya. Begitu sampai di kota Gunung Makmur
tiga hari yang lalu, dengan rantai di pergelangan kaki dan
tali kulit panjang di leher, mereka sudah dalam keadaan
nyaris mati. Sipir Li berkata kepada istrinya, "Kau tak perlu khawatir.
Mereka tidak dihukum mati atau dijatuhi hukuman penggal
tangan." Si istri menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi saat
hukuman sudah dilaksanakan, mereka pasti lebih suka
mati." Ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan.
"Aku tahu anak kita akan lebih suka mati, andai kata dia
berada di tempat mereka." Ia menggeleng-gelengkan kepala
kembali, lalu ber gumam nekat, "Aku yakin aku takkan
tahan menyaksikannya. Tidak kalau hukuman itu
dilaksanakan atas si pemuda besar itu. Rasanya seperti
yang dihukum itu bukan dia, tapi anak kita!"
Di sisi lain penjara itu, Shu berbaring dalam keadaan
terjaga penuh. Ia terlalu sedih dan marah untuk dapat tidur.
Ia telah salah memperhitungkan kemampuannya. Serdadu-serdadu Mongol tidak seperti para pemuda desa
yang biasanya ia kalahkan. Selama setahun ia dan
teman-temannya hidup seperti di neraka dan tak dapat
menemukan cara untuk keluar dari sana. Mereka seperti
delapan semut kecil yang mencoba merayap ke Selatan,
hanya untuk diciduk seorang bocah nakal bernama Takdir,
untuk dipermainkan, disiksa, kemudian dilempar kembali
ke Utara. "Kalian takkan dapat menundukkan aku! Suatu saat aku
akan menang!" sumpah Shu dalam hati. Namun keraguan
kembali meliputi dirinya. Ia sudah menghabiskan satu
tahun penuh untuk mencoba kabur.
Di luar penjara, seorang gadis jangkung bersandar pada
dinding untuk mengistirahatkan kakinya yang penat. Peony
sudah meninggalkan Kuil Bangau Putih, sebagaimana telah
dijanjikannya pada Sumber Kedamaian. Ia baru saja
menuruni daerah perbukitan dan ttiba di kota Gunung
Makmur di bawah cahaya bulan. Ia belum melupakan apa
yang terjadi atas dirinya saat terakhir berada di kota ini.
Peony tersenyum. Rumah penjara merupakan tempat
berlindung terbaik bagi seorang gadis. Bahkan orang-orang
Mongol yang mabuk takkan memerkosa seorang gadis
persis di bawah naungan atap penjara.
Ia memiliki uang dan makanan dalam buntelannya.
Pakaiannya tidak compang-camping, dan perutnya masih
kenyang. Di samping itu, ia menguasal ilmu tai chi.
Meskipun Sumber Kedamaian sudah membuatnya berjanji
untuk tidak per nah menggunakannya kecuali terpaksa, ia
toh akan membela diri kalau diserang.
Peony agak ragu saat menimbang-nimbang kemana ia
akan pergi sesudah ini. Setelah tinggal di kuil selama
setahun, ia jadi terbiasa memiliki atap di atas kepalanya
serta makan tiga kali sehari. Ia tidak berniat mengembara
dari satu kota ke kota lain lagi. Ia memutuskan untuk
mencari pekerjaan. Ia dapat memasak dan membersihkan
rumah. Ia sudah belajar menjahit di kuil.
Dengan tinggal di kota Gunung Makmur, ia dapat
mengunjungi kuil itu kembali. Dengan cara itu, ia dapat
melanjutkan pelajaran tai chi-nya. Sebagai peziarah,
kehadirannya takkan terlalu mengganggu para biksu muda.
Mata Peony berbinar-binar oleh idenya yang cemeriang
itu. Ia dapat mengajarkan tai chi pada para biksuni dan
melatih mereka. Saat bulan sabit perlahan-lahan beralih menjadi penuh,
hati Peony semakin kecil. Setiap hari ia berusaha mencari
pekerjaan, tapi tak ada yang mau menerimanya, kecuali
salah satu di antara rumah-rumah berlampu hijau.
Pemiliknya yakin Peony dapat menarik perhatian
orang-orang Mongol yang menyukal gadis-gadis tinggi
besar. "Saat aku dipertemukan kembali dengan Shu di alam
baka, aku harus dapat menatapnya dengan penuh percaya
diri," ujarnya pada si pemilik. "Bagaimana aku dapat
menjelaskan padanya nanti, bahwa banyak laki-laki sudah
menyentuhku?" Peony kembali ke rumah penjara itu setiap malam, tidur
di lantainya dan berlindung di bawah susuran atapnya. Ia
sering mendengar erangan para tahanan di dalam. Ia
kasihan pada mereka, dan sadar bahwa kalau dibandingkan
dengan mereka, ia amat beruntung-
Ketika bulan akhirnya penuh, persediaan makanan dan
uang Peony pun habis. Ia mulai resah memikirkan masa
depannya. Setiap malam ia berdoa pada Buddha Malam
agar ia memperoleh tempat tinggal tetap di kota itu.
Pada pagi setelah bulan purnama bersinar penuh, tim
petugas pelaksana hukuman tiba di atas kuda mereka.
Mereka terdiri atas dua puluh serdadu Mongol yang
mengenakan topi-topi metal berujung runcing dan sepatu
bot tinggi yang ujungnya juga runcing. Mereka makan dan
minum anggur yang disediakan oleh Sipir Li dan istrinya,
kemudian mulai bekerja. Enam tiang gantungan sudah berdiri di belakang penjara
itu. Lebih dari tiga puluh tahanan menunggu giliran.
Orang-orang mengerumuni tempat itu. Ada yang berasal
dari kota Gunung Makmur itu sendiri, ada pula yang datang
dari jauh. Yang berwajah sedih telah menempuh jarak
cukup jauh untuk menghadiri kematian orang-orang yang
mereka cintai, serta untuk mengumpulkan jenazah-jenazah
mereka. Yang sikapnya acuh tak acuh datang hanya sekadar
untuk melihat-lihat. Seluruh kawasan penjara penuh
kesibukan serta suara hiruk-pikuk, dan ketika enam orang
pertama sudah selesai digantung, suasana jadi semakin
ramai. Semua mata

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertuju pada kaki-kaki yang menendang-nendang, tubuh-tubuh yang menggeliat-geliut,
tangan-tangan yang menggapai-gapai, serta wajah wajah
yang berkedut-kedut. Bahkan sisa tahanan yang berkumpul. di balik dua jendela tinggi yang menghadap ke
belakang, berusaha melihat ke luar dengan berjingkat-jingkat. Tiba-tiba Shu merasa seseorang menarik-narik lengannya. Saat berpaling, ia melihat istri si sipir berdiri di
belakangnya. Wanita itu meletakkan jarinya di bibir,
kemudian menunjuk ke arah leher dan pergelangan kaki
Shu. Setelah melewati begitu banyak penderitaan, sampai
saat itu Shu tidak menyadari bahwa si wanita telah
melepaskan tali kulit dan rantai metalnya selagi semua
orang sibuk sendiri. Wanita itu menyerahkan buntelan berisi pakaiatua,
kemudian menunjuk ke arah pintu yang menuju tempat
tinggal sipir. Shu menoleh ke arah ketujuh temannya yang
berdiri di dekat jendela, kemudian ragu. Istri si sipir telah
memberinya kesempatan untuk mengalahkan takdir. Ia
harus merenggut kesempatan itu. Diam-diam ia menyelinap
cepat ke pintu, meskipun hatinya berat oleh rasa bersalah.
Hanya keyakinan bahwa temantemannya tidak akan
dihukum mati membuatnya sanggup untuk tidak menoleh
lagi. Pintu terbuka begitu disentuh. Setelah menutup di
belakangnya, Shu cepat-cepat berganti pakaian. Ia sedikit
tercengang, ternyata pakaian tua yang sudah pudar
warnanya itu tidak terlalu pendek atau sempit baginya, dan
sepatunya ternyata pas sekali di kakinya yang besar.
Setelah hukuman gantung terakhir selesai dilaksanakan,
tiba giliran pelaksanaan hukuman yang lebih ringan.
Di antara para tahanan itu ada beberapa orang Mongol,
yang dibawa ke rumah penjara itu dalam gerobak. Tak
seorang pun di antara mereka tampak cedera akibat
siksaan. Sipir Li dan istrinya menempatkan mereka
terpisah dari para tahanan Cina, di sudut yang tanahnya
dialasi tikar-tikar jerami, dan mereka mendapat ransum
yang lebih baik. Orang-orang Mongol ini ditahan atas tuduhan
membunuh. Untuk setiap korban berkebangsaan Mongol
atau non-Cina lainnya, mereka dikenal denda masing-masing empat puluh keping emas. Tapi jika
korbannya orang Cina, pembayarannya dikurangi menjadi
satu ekor keledai atau uang senilai itu.
Para petugas pelaksana mengumpulkan semua uang
denda, menepuk-nepuk pundak para tahanan itu, kemudian
membiarkan mereka pergi sambil mendoakan agar lain kali
mereka lebih beruntung. Sesudah itu mereka memerintahkan agar para maling
dibawa ke alun-alun. Di antara ke-29 orang itu, tujuh tampak bingung. Mereka
menoleh ke sana kemari, seakanakan mencari-cari
seseorang. Mereka bertukar pandang, kemudian menggeleng-geleng begitu tidak dapat memecahkan misteri
itu. Kebingungan mereka berakhir oleh suara keras seorang
petugas, "Bawa kemari si tukang tato!"
Seorang lelaki tua muncul dari antara kerumunan orang
banyak, membawa kotak perkakas. Ia membungkukkan
tubuh di muka orang-orang Mongol, namun tidak menoleh
ke arah para tahanan. Rasa tak sukanya pada tugasnya jelas
tersirat di wajahnya yang sudah keriput itu. Tato sudah
merupakan hiasan tubuh untuk orang-orang Cina selama
lima ratus tahun, tapi orang-orang Mongol telah mengubah
seni itu menjadi suatu bentuk hukuman.
"Tidak! Bunuhlah aku! Tolonglah! Lebih baik aku mati!"
jerit salah seorang di antara ke-29 pemuda itu, Begitu
lkatannya dilepas. Ia digiring ke arah pelataran dan dipaksa
menaiki tangga-tangganya. Dua serdadu memegangi
lengannya, dua yang lain kaki-kakinya. Masih dibutuhkan
empat orang lagi untuk menahan pundak dan kepalanya.
"Tidak! Aku lebih baik mati! Bunuhlah aku!" jerit pemuda
itu lagi. Salah seorang di antara para serdadu itu berteriak
lantang, "Kalian kenapa pikir kaml menciptakan jenis
hukuman seperti ini" Karena kami tahu bahwa bagi kalian,
orang-orang Cina, wajah lebih penting daripada hidup itu
sendiri!" Si tukang tato mulai bekerja. Suara teriakan pemuda itu
terdengar ke seluruh penjuru kota, sampai ke gunung-gunung di sekitarnya, menggema dari bukit yang.
satu ke bukit yang lain. Aksara maling ditatokan ke
wajahnya sebanyak tiga kali, satu di dahi, dua di
masing-masing pipi. Setelah tinta hitam dituangkan ke atas
luka-lukanya, pemuda itu menutupi pipinya yang berdarah
dengan kedua tangannya, lalu lari. Meskipun ia hanya
tampak bak titik kecil yang menghilang menuju garis
cakrawala, teriakannya masih terdengar.
Masih ada tiga orang lagi yang ditato. Sesudah itu satu
mencari pohon untuk menggantung diri, dua menuju tepi
Sungai Kuning yang terdekat.
Para tahanan itu meronta-ronta saat penatoan,
tapi tak seorang pun di antara mereka senekat ketujuh
pemuda yang tadi mencari-cari teman mereka yang hilang
itu. Sobat mereka, Shu, telah mengajari mereka untuk
memiliki harga diri dan keberanian. Mereka sudah
menghabiskan waktu dua tahun bersamanya; yang pertama
lebih menyenangkan daripada yang kedua. Mereka cukup
setia padanya untuk tidak mengungkapkan misteri
ketidakberadaannya di antara mereka. Mereka percaya
bahwa andai kata mungkin, Shu pasti akan membawa
mereka bersamanya. Mereka senang ia terbebas dari beban
rasa malu ini, yang lebih berat daripada kematian.
"Kalian harus membunuhku lebih dulu sebelum
menatoku seumur hidup dengan kata memalukan itu!"
Yang pertama di antara ketujuh sahabat itu langsung
menyerang orang-orang Mongol begitu tiba gilirannya
ditato. Ia menendang dan mencakari para serdadu, sampal
akhirnya mereka merobohkannya.
Ia tidak memberi mereka banyak pilihan. Mereka
terpaksa membunuhnya dengan memenggal kepalanya,
untuk kemudian dipancangkan ke sebatang tonggak tinggi.
Enam sekawan yang masih tersisa itu menatap teman
mereka, kemudian serentak menyerang orang-orang
Mongol tanpa memedulikan fakta bahwa mereka masih
terikat menjadi satu. Tali kulit di leher mereka mencekik
tenggorokan mereka. Kemudian mereka tersungkur oleh
belitan rantai di pergelangan kaki. Kebodohan mereka
membuat orang-orang Mongol marah. Satu per satu mereka
digiring ke pelataran, mula-mula untuk ditato, sesudah itu
dipaksa berkaca di sebuah cermin kuningan, agar mereka
melihat kata maling di dahi dan pipi-pipi mereka.
Kemudian kepala mereka langsung dipenggal.
Persis sebelum pemenggalan, kepada mereka diungkapkan, "Sekarang kau akan tahu bahwa di alam baka
pun, kau tetap akan kehilangan muka dan gentayangan
dalam keadaan malu!"
Berhubung hanya ada satu tiang untuk pemancangan
kepala, keenam kepala baru itu dijejerkan dalam satu
barisan di pinggir pelataran, menghadap ke penonton.
Setelah itu, tak seorang terhukum pun berani mengajukan
perlawanan saat penatoan. Sementara para penonton
menyaksikan pelaksanaannya dalam suasana hening
mencekam. Sipir Li dan istrinya saling mengangguk. Mereka telah
melakukan hal yang benar dengan melepaskan si tinggi
besar yang begitu mirip anak mereka sendiri.
Jauh dari pelataran itu, di dekat pasar, seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar dalam pakaian petani berdiri sambil
menatapi tonggak yang tinggi itu. Matanya kering, namun
bibir bawahnya berdarah oleh gigitannya sendiri.
"Sobat-sobatku yang juga saudara-saudaraku, aku akan
membalas kematian kalian. Aku bersumpah!" ujar Shu. Ia
memutar tubuh, kemudian melangkah masuk ke pasar.
Sampai saat itu orang-orang Mongol belum menghitung
jumlah tawanan mereka. Namun Shu tidak berniat
mempertaruhkan peruntungannya.
Pasar merupakan tempat paling ideal untuk bersembunyi. Namun, mengingat hampir semua orang
berada di alun-alun, tempat itu tidak sepenuh yang
diperkirakan Shu. Ia mengeluyur di antara para pedagang
dan orang-orang yang berbelanja, sambil menunggu
dengan sabar datangnya malam. Para serdadu sudah akan
pergi saat itu, sehingga lebih aman baginya untuk
meninggalkan kota Gunung Makmur.
Saat melayangkan pandang ke ujung pasar, ia melihat
beberapa kandang untuk sapi, kuda, keledai, dan kambing.
Tertarik oleh pemandangan yang tidak biasa itu, ia
menjulurkan leher untuk melihat kandang paling jauh, tapi
kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala dengan
perasaan risi. Ternyata itu kandang manusia.
Tidak seperti kandang-kandang lain, pintu pagar untuk
kandang manusia tidak tertutup dan tidak ada penjaganya.
Lantainya ditutupi tikar, bukan rumput jerami. Sementara
binatang-binatang lain dijual oleh para pemilik mereka,
manusia menjual dirinya sendiri atau anak-anak dan
bayi-bayi mereka. Shu mengernyitkan alis ke arah orang-orang dewasa
yang berdiri di kandang itu, sambil menyebutkan harga
untuk dirinya sendiri. Ia muak melihat orangtua yang
mengacungkan tangan anak-anak mereka atau menggendong bayi-bayi mereka, sambil memohon pada
yang kaya untuk membeli tanggungan mereka.
Shu tidak akan menjual dirinya. Itu sudah diputuskannya
dulu sekali. Ia tahu bahwa sekali terjual, mereka akan
disamakan dengan kerbau dan keledai berkaki dua. Mereka
harus melakukan apa saja yang diperintahkan demi atap di
atas kepala mereka atau makanan sekadarnya untuk
bertahan hidup. Pemilik berhak mempekerjakan serta
memukuli mereka sesuka hati. Di samping sebagai budak,
banyak di antara mereka akan dipekerjakan sebagai selir
atau pelacur laki-laki. Dan kalau seorang majikan
membunuh budak beliannya, ia dianggap sama tidak
bersalahnya seperti jika ia membunuh binatang. Shu
memutar tubuhnya dari kandang manusia itu sambil
mengepalkan tinju. Peony menatap pintu kandang manusia itu cukup lama,
kemudian meletakkan tangan di atas simpul tali yang
mengikat pintu itu ke sebuah tiang.
Ia telah meninggalkan kawasan rumah penjara sebelum
orang-orang Mongol muncul. Ia tidak berminat menonton
pelaksanaan hukuman gantung dan penatoan itul dan
karenanya sepanjang pagi ia menjauhi alun-alun.
Sambil berpegangan pada simpul tali itu, ia melongok ke
dalam. Hatinya pedih melihat para orangtua yang menjual
anak-anak mereka. Ia melayangkan matanya ke arah
orang-orang dewasa yang menjual diri sendiri. Pakaian
mereka compang-camping, dan mereka berlutut dengan
kepala tertunduk. "Aku menjual diriku. Tolong beli aku, Tuan-tuan dan
Nyonya-nyonya yang baik budi. Aku akan menjadi hamba
setia. Anda tidak perlu membayarku. Berikan saja tempat
untuk tidur serta makanan secukupnya. Dan makanku tidak
banyak," ujar mereka dengan nada mengemis.
Peony mengentakkan kaki dengan mantap, kemudian


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat simpul tali pembuka pintu kadang. Ia
melangkah masuk, lalu mendorong yang lain untuk
mendapatkan posisi yang lebih baik. Ia tak dapat memaksa
diri untuk berlutut. Ia tetap berdiri tegak dan penuh harga
diri. Ia juga tidak berminat menundukkan kepala. Dengan
dagu terangkat ia menatap semua yang lewat dengan
matanya yang besar dan bulat.
Ia membuka mulut lebar-lebar, kemudian meninggikan
suara, untuk menjajakan dirinya dengan penuh percaya
diri. "Ini hari keberuntungan Anda, Tuan-tuan dan
Nyonya-nyonya. Anda bisa mendapatkan pelayan paling
tangguh yang pernah Anda miliki seumur hidup Anda. Tapi
Anda harus membayarku cukup, karena aku membutuhkannya untuk membeli pakaian baru... yang
kukenakan saat ini sudah bau dan sobek-sobek. Aku juga
membutuhkan sepasang sepatu baru... lihatlah kakiku yang
besar dengan jari-jarinya yang menonjol keluar! Aku akan
bekerja keras untuk Anda jika Anda memperlakukan aku
dengan baik; kalau tidak, Andalah yang akan menyesal
nanti. Dan aku harus mengingatkan Anda bahwa aku suka
makan banyak! " Sebuah tandu tertutup yang diusung oleh empat
lakti-laki tiba-tiba berhenti di muka kandang. Tirai
sutranya disingkap oleh sebuah tangan mulus. Penumpang
tandu itu tak dapat melihat, tapi rupanya ingin sekali
mendengar penawaran yang tidak umum itu dengan lebih
jelas. Ketika Peony berhenti berbicara, nyonya di dalam tandu
itu tertawa, kemudian meminta kepada para pengusung
dengan suara lembut, "Apakah gadis ini tampak cukup
tangguh untuk menjadi pendamping seorang wanita buta?"
Shu berhenti di dekat sebatang pohon pinus tua, di
sebelah timur kota Gunung Makmur. Ia menengadahkan
wajah ke arah matahari musim semi, kemudian menghirup
aroma kebebasannya dalam-dalam.
"Apa yang membuatmu tampak begtitu bahagia di dunia
yang penuh keprihatinan?" tanya seseorang dengan suara
parau yang nyaris tak terdengar.
Shu tersentak kaget, kemudian merasa lebih lega setelah
melihat seorang lelaki tua muncul dari sisi lain pohon tua
itu. Ia menatap ke dalam mata berkabut orang tua itu, lalu
menjawab, "Umurku baru delapan belas. Aku masih muda."
Ia meraba lengan kirinya yang kurus dengan tangan
kanannya. "Otot-otot dan kekuatanku akan pulih." Ia
meraba luka-luka di punggungnya. "Luka-lukaku pun akan
pulih." Namun matanya menjadi suram begitu teringat akan
semua yang dicintainya dan telah meninggalkan dirinya.
"Banyak yang masih harus kukerjakan." Dari matanya yang
tajam terpancar sinar dingin dan keras. "Dan itu akan
kulakukan begitu aku kuat dan siap."
Orang tua itu mengangguk, meskipun tak mengerti. Ia
menatap postur tubuh pemuda yang tinggi besar itu, lalu
berkata, "Ah, kalau begitu kau mesti ke Kanal Chi-chou."
"Apa itu?" tanya Shu.
Laki-laki tua itu menunjuk ke arah timur laut sambil
berkata, "Ssst... dengarkan baik-baik."
Shu berdiri diam-diam. Tak lama kemudian ia
mendengar suara berdebam, seperti ada penggalian tanah.
"Suara apa itu?"
Orang tua itu berkata, "Keempat anak laki-lakiku.
Mereka juga tinggi besar. Orang-orang Mongol kekurangan
kuli tangkapan, dan mulai menyewa tenaga pekerja.
Mereka hanya mau menyewa orang-orang tangguh untuk
membuat saluran air itu. Kau tahu, saluran air itu digall ke
utara menuju Sungai Kuning, dan ke selatan ke Sungai
Yangtze..." Shu memotong kalimatnya, "Maksud Anda, dengan
bekerja di Kanal Chi-chou, anak-anak Anda menuju
Selatan?" Orang tua itu mengangguk-angguk lagi, sambil
melayangkan matanya ke garis cakrawala. "Sewaktu
mereka belum jauh dari sini, aku masih dapat menjenguk
mereka. Mereka mendapat makan tiga kali sehari, dengan
begitu mereka punya cukup banyak tenaga untuk menggall
lebih cepat. Di waktu malam mereka tidur di tanah. Setiap
hari mereka berada semakin jauh ke Selatan. Orang tua itu
berhenti berbicara, takjub melihat pemuda yang berlari ke
arah suara yang terdengar di kejauhan itu.
Saat bulan kembali penuh, Shu akhirnya terbiasa rutin
mengerjakan penggalian yang ternyata menuntut banyak
tenaga itu. Ia sudah dapat membungkuk dan menegakkan
tubuhnya dari pagi hingga malam tanpa merasa
punggungnya akan patah. Lepuh di telapak tangannya telah
berubah menjadi lapisan kulit tebal. Otot-otot di lengan dan
pundaknya tidak terasa linu lagi saat ia mengangkat
tajaknya yang berat. Orang-orang Mongol melihat tenaga Shu semakin
bertambah dari hari ke harl, dan saat ia mengambil jatah
bakpao dan bubur lebih dari semestinya, mereka pura-pura
tidak melihat. Panglima Tertinggi Pedang Dahsyat sudah
menetapkan jadwal, kapan saluran air itu harus mencapai
kota Yin-tin, dan para mandor membutuhkan lebih banyak
pekerja seperti Shu untuk memenuhl tuntutan itu.
Shu melihat Pedang Dahsyat persis setelah ia diterima
bekerja di situ. Panglima jenderal itu muncul bersama para
pengawalnya untuk menginspeksi pembangunan saluran
tersebut. Shu segera menundukkan kepala dan mengalihkan perhatian ke arah lain sampai si jenderal
pergi. Ia sudah mendapat pelajaran dengan nyawa Ma
sebagai bayaran. Ia yakin jenderal itu akan mengenalinya
begitu pandangan mereka bertemu.
Karena jadwalnya sudah sangat mendesak, para kuil
terpaksa terus bekerja di bawah sinar bulan musim semi
itu. Pedang Dahsyat beserta para serdadunya muncul lagi
untuk inspeksi mendadak. Shu mengertiakkan gigi sambil
mencengkeram gagang tajaknya kuat-kuat. Namun ia tidak
mengankkat wajahnya sampai mendengar derap langkah
rombongan berkuda itu menjauh.
Bulu kuda jantan Pedang Dahsyat berkilauan di bawah
cahaya bulan, mewujudkan sosok berwarna hitam legam.
Stola merah si jenderal berkibas di belakangnya diembus
angin malam. Di mata Shu, warna itu bak aliran darah -
darah Peony dan kedua orangtuanya, si bocah Ma, serta
ketujuh temannya yang kurang beruntung itu.
15 1346, kota Yin-tin MENTARI muncul dari balik Gunung Emas Ungu, sesaat
dalam wujud bulatan kuning lembut, kemudian berubah
menjadi bola api. Sinarnya menerangi rumah kediaman
Gubernur Mongol yang bak istana, membias di atas rumah
kediaman keluarga Lu, serta menghangatkan kulit para
petani yang masih berdiri dalam barisan sejak bulan masih
tinggi. "Aku masih merasa tidak enak gara-gara melempari
putra Wali Kota dengan batu tempo hari," ujar seseorang
pada yang lain. "Waktu itu kukira wali kota kita
pengkhianat. Tapi selama dua tahun terakhir ini ternyata
dia dan anaknya telah menurunkan uang sewa dan pajak,
serta menyelamatkan banyak di antara kita dari perlakuan
semena-mena orang-orang Mongol. Dan sebagaimana kita
semua tahu, untuk itu mereka mempertaruhkan keselamatan mereka sendiri."
"Mudah-mudahan wali kota kita dapat memper tahankan
kedudukannya untuk selamanya. Bahkan kalau mungkin
menjadi Gubernur kelak. Atau, jika kabar angin yang
mengatakan bahwa kesehatannya kurang begitu baik itu
benar, mudah-mudahan putranya yang baik itu dapat
menggantikannya." Para petani itu berhenti berbicara begitu Lu muncul.
Jubah kuning kepucatan menutupi tubuhnya yang kurus.
Topi berwarna kuning gelap melindungi kulit wajahnya
yang halus. Di usia dua puluh tahun, rupa Lu yang matang
membuatnya tampak lebih tua. Kelembutan terpancar dari
matanya yang agak miring ke atas saat Ia menatap para
petani miskin itu. "Keluarkan teh," perintahnya pada para pelayan yang
mengangkut wadah-wadah nasi yang masih mengepul-ngepul dan susu kedelai. Kemudian ia,
mengeluarkan sehelai saputangan sutra dari sakunya,
untuk menghapus keringat di dahinya. "Dan dirikan tempat
berteduh sepanjang tembok ini."
Begitu para pelayan pergi melaksanakan perintahnya, Lu
menggulung lengan bajunya yang lebar, kemudian
mengambil sendok nasi dari kayu dengan jari-jarinya yang
kurus. Ia menyendok nasi panas ke wadah-wadah yang
diacungkan tangan-tangan para petani.
"Sang Buddha akan memberkahi amal Anda, Bangsawan
Lu," ujar seorang petani sambil membungkuk saat
menerima nasinya. Lu tersenyum, namun Ia tidak mempunyai tenaga lagi
untuk berbincang-bincang. Lengannya hanya terbiasa
menggenggam sepasang sumpit atau kuas. Menyendok nasi
menguras banyak tenaganya. Sendok nasi itu terasa
semakin berat baginya. Uap nasi yang masih mengepul-ngepul itu naik, membuat tangannya terasa
panas. Ia memindahkan sendok nasinya ke tangan kiri agar
yang kanan dapat beristirahat, namun yang kiri ternyata
tidak begitu kuat. Ia menghela napas.
Lu sudah letih saat para pelayan kembali. Setelah
menyerahkan sendok nasi pada salah seorang di antara
mereka, ia menyingkir, kemudian menyandarkan tubuh
pada sebuah arca singa untuk beristirahat. Pelayan
pribadinya yang melihatnya kepanasan, langsung meletakkan benda yang dipegangnya, kemudian bergegas
mendekat dengan sebuah kipas.
Sambil berdiri di tempat yang lebih teduh dan dikipasi
oleh pelayan pribadinya, Lu mengawasi para pelayan
membagi-bagi makanan, sampai muncul pelayan lain dan
dalam rumah dengan wajah berseri-seri.
"Tuan Muda, Bapak Wali Kota punya berita baik untuk
Anda!" Lu langsung melupakan rasa penatnya, lalu bergegas
masuk. Ia nyaris kehabisan napas begitu sampai ke bagian
rumah yang didiami kedua orangtuanya. Wali Kota Lu dan
istrinya sedang berlutut di muka patung Buddha,
masing-masing sibuk menyalakan beberapa batang hio.
Ayahnya berkata, "Cepat berlutut, Lu. Istrimu baru saja
melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat, dan aku
sudah menamakannya Teguh."
Tradisi menuntut seorang laki-laki tak boleh menyentuh
istrinya selama seratus hari terakhir menjelang si bayi
lahir. Karena itu, sejak. musim semi Lu dan Lotus tidur di
kamar terpisah. Pada malam sebelumnya, begitu proses
persalinan dimulai, Lu diminta meninggalkan bagian rumah
yang mereka tempati bersama, agar istrinya lebih leluasa
menjerit-jerit saat akan melahirkan. Ia tidak diperbolehkan
melihat istri maupun anaknya sebelum keduanya bersih
dan seluruh ruangan rapi kembali.
Pelayan pribadi Lotus, Jasmine, yang sekarang sudah
bersuamikan pelayan laki-laki bernama Ah Chin dan
menjadi ibu seorang bayi laki-laki, membungkuk
dalam-dalam pada tuan mudanya, kemudian memberikan
tanda pada para. pelayan lain untuk segera keluar dari
kamar itu bersamanya. Lu duduk di tepi tempat tidur, tersenyum pada istrinya.
Tubuh Lotus tertutup selimut merah sampai ke batas teher.
Wajahnya lebih pucat dari biasanya, dan matanya yang
seperti buah badam setengah tertutup. Mulutnya yang bak
ceri membentuk seutas senyum begitu melihat suaminya.
Kemudian dengan nada lemah ia berbisik, "Senangkah
hatimu melihat putra kita, suamiku?"
Sebuah sosok kecil dalam selimut merah tergeletak di
sebelah Lotus. Yang tampak hanya wajah si bayi. Matanya
tertutup. Wajahnya merah dan agak keriput, mulutnya bak
titik kecil yang lembap. "Anak kita tak beralis,"' seru Lu heran.
"Tak lama lagi alisnya akan tumbuh," ujar Lotus tertawa,
kemudian menggerenyitkan wajah, menahan sakit.
Lu ingin sekali memeluk istrinya, namun takut akan
melukainya. Ia menyusupkan tangan ke bawah selimut,


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari tangan Lotus, kemudian menggenggam dan
meremasnya dengan lembut. "Aku amat merindukanmu."
Lotus tersenyum, amat bahagia mendengar itu. Dengan
sopan Ia bertanya, "Apakah Sesame selalu memenuhi
semua kebutuhanmu?" Selama seratus hari terakhir menjelang masa melahirkan, seorang suami biasanya tinggal bersama
selir-selirnya. Lu hanya memiliki seorang selir, dan ia tidak
berminat memperbanyak jumlah itu.
"Sesame wanita yang baik," gurmam Lu. Ia takkan
pernah mengungkapkan pada istrinya bahwa Sesame,
meskipun kini jauh lebih tua, masih mampu meluluhkan
awan serta mencurahkan hujan dengan derasnya. "Tapi aku
sudah tak sabar untuk segera kembali ke sini," ujarnya
sambil menatap ke arah bantal kosong di sebelah Lotus.
Wajah Lotus merona. "Masih seratus hari lagl,"
gumamnya. Tradisl menyatakan bahwa tubuh seorang
wanita dianggap kotor setelah melahirkan, dan tidak baik
bagi peruntungan jika si suami menidurinya selama seratus
hari berikutnya. Lotus memalingkan wajah ke arah jendela, untuk
menyembunyikan rasa sedih yang tiba-tiba melanda
dirinya. Ia amat merindukan kehadiran ibunya saat itu.
Selama dua tahun terakhir Lotus hanya sekali berjumpa
dengan lbunya. Itu terjadi Tahun Baru yang lalu, ketika
kaum wanita keluarga Lin dan Lu pergi ke Kuil
Bintang-bintang Damai untuk membakar dupa. Kandungan
Lotus mulai tampak, dan ibunya berseru bahagia
melihatnya. Luapan emosi ini membuat ayah Lotus sangat
marah. Sejak itu ia melarang istrinya menemui siapa saja
yang datang dari rumah keluarga Lu. Lady Lin terpaksa
mengikuti perkembangan Lotus melalui nyonya-nyonya
lain di Yin-tin. Lu melihat air mata menggenang di mata Lotus saat
istrinya itu berpaling kembali ke arahnya. Ia marah sekali
pada ayah mertuanya, karena melarang Lady Lin dan Lotus
saling berkunjung. "Akan kukirim orang untuk menemui
ibumu. Mungkin kali ini ayahmu akan membiarkan ibumu
menemuimu," ujarnya sambil berdiri. "Omong-omong, aku
punya hadiah untukmu."
Ia menuju kamarnya sendiri, kemudian kembali lagi
bersama Sesame, yang membawa sebuah kotak berat di
tangannya. "Selamat, nyonyaku," ujar Sesame, sambil
melirik ke arah si bayi dengan pandangan lembut,
kemudian meletakkan kotak itu di meja di sebelah tempat
tidur Lotus. "Selama seratus hari terakhir, tuanku sibuk
sepanjang hari dan malam membuatkan hadiah ini untuk
nyonyaku." Ia membungkuk sekali lagi, lalu meninggalkan
ruangan itu. Lu mengeluarkan sepasang patung yang diukir dari kayu
jati dan berwujud sepasang bangsawan dari kotak Itu. Ia
duduk di tepi tempat tidur, lalu meletakkan kedua patung
ltu di pangkuannya. Kayunya ternyata berat. "Dengan
bantuan guru seniku, kuukir ini dengan menggunakan
gambar yang pernah kuberikan padamu di malam
pengantin kita sebagai model. Tapi ini hanya berfungsi
sebagai model untuk pasangan kekasih dari batu kemala
yang akan kuukir kelak. Kayu jati bukan bahan yang ideal
untuk mengungkapkan apa yang ingin kusampalkan."
Kelopak mata Lotus mulai terasa berat. Ia memaksa
dinnya untuk tidak jatuh tertidur dengan menatap
patung-patung itu, lalu tersenyum lemah. Apa yang
dikatakan Sesame ternyata benar. Begitu banyak waktu dan
tenaga telah dicurahkan untuk mewujudkan detail-detail
pada kedua patung itu. Lipatan-lipatan jubah serta hiasan di kepala masing-
masing pasangan itu. Tentunya Lu tak punya banyak waktu
tersisa untuk Sesame. Lotus menguap. Seperti lbu yang merasa wajib
menanyakan pada seorang bocah mengenai permainannya,
ia bertanya dengan lembut, "Apa sebetulnya yang ingin
kausampaikan melalui ukiran-ukiranmu ini, suamiku?"
Lu menatap istrinya yang sedang memejamkan mata.
Sambil merendahkan suaranya ia melantunkan dengan
lembut, "Ribuan tahun yang akan datang, orang akan
menatap pasangan kekasih dari batu kemala itu, lalu
menyadari bahwa Cina adalah negerl indah yang tak hanya
penuh dengan kaum ksatria dan pemberontak, tapi juga
dengan penyair dan seniman. Kekayaan Cina akan
terungkap, demikian pula kejayaannya..."
Ia mendengar suara napas Lotus yang teratur. Setelah
meletakkan kedua patung berdiri, kemudian keluar dari
ruangan itu tanpa membangunkan istrinya.
Ketika Teguh berusia seratus hari, sebuah perayaan
besar diselenggarakan di rumah kediaman Wali Kota Lu.
Saat matahari mulai terbenam, para tamu Cina mulai
berdatangan dalam tandu-tandu tertutup mereka, sedangkan orang-orang asing dan Mongol menunggang
kuda atau naik kereta. Bahkan di Yin-tin, tempat orang Cina
dapat menduduki jabatan wali kota, undang-undang
melarang mereka memiliki kuda atau keledai.
Lu si Teguh dimandikan serta dibedaki, kemudian diberi
pakaian jubah penuh sulaman merah. Kepalanya yang
gundul ditutupi topi satin merah yang dihiasi berbagai
jimat keberuntungan dari batu kemala, mirah, dan emas
murni. Di kakinya yang mungil ia mengenakan sepasang
sepatu satin merah yang bentuknya miripkepala harimau.
Wajahnya putih oleh bedak, pipinya diberi perona. Di
tengah-tengah dahinya terdapat sebuah titik merah yang
dibuat dengan perona bibir, untuk mengusir roh jahat. Ia
sudah cukup tidur dan tampaknya merasa cukup nyaman.
Ia tersenyum kepada para tamu saat Jasmine membawanya
berkeliling di ruang bangsal utama itu dalam gendongannya. Para tamu senang karena senyuman bayi laki-laki akan
membawa berkah bagi mereka.
Kondisi kesehatan Wali Kota Lu sudah mulai merosot,
tapi begitu melihat cucu laki-lakinya, ia merasa muda dan
kuat kembali. "Sebagian dari diriku akan hidup dalam bayi
ini." Ia menunjuk ke arah Teguh dengan bangga, kemudian
mengalihkan perhatiannya kembali kepada para tamunya.
"Ayo kita mulai dengan upacara menentukan masa depan."
Sesame muncul dengan baki yang dipemis, dialasi taplak
sutra merah. Di atasnya terdapat beberapa macam benda:
uang logam emas, kuas, pedang-pedangan, alat musik petik
yang mungil, lilin, dan banyak lagi.
Wali Kota Lu menerima Teguh, kemudian me-
letakkannya di pangkuannya. Sesame membungkuk agar
Teguh dapat meraih sesuatu yang terletak d i baki. Lady Lu,
Lu si Bijak, dan Lotus duduk di dekatnya sambil
memperhatikan ulah bayi itu dengan hati berdebar-debar.
Semua orang menahan napas ketika Teguh menguturkan
lengannya yang montok. "Hati-hati, cucuku," ujar Wali Kota Lu mengingatkan.
"Apa yang kauambil akan menentukan nasibmu." Seakan si
bayi mengertii, kakeknya berkata lagi, "Kauambil kuas, dan
kau akan menjadi cendeklawan. Kauambil pedang, kau
akan menjadi ksatria." Sesaat si kakek menatap Sesame
dengan pandangan menuduh, karena tidak menempatkan
pedang-pedangan itu cukup jauh dari jangkauan si bayi.
"Kauambil keping uang logam itu, dan kau akan menjadi
bangsawan kaya. Kaupilih alat musik, dan kau akan
menciptakan lagu-lagu indah. Kauraih lilin itu, cucuku, dan
kau akan memberi dunia ini terang dan harapan."
Si bayi tak dapat memutuskan. Tangan Sesame mulai
bergetar karena beratnya baki, sehingga lilin merah hasil
olahan sendiri menggelinding ke tepi. Teguh, yang tertarik.
melihatnya, kemudian meraihnya dengan tangannya yang
mungil dan montok. Para tamu bertepuk tangan. Kedua orangtua serta
kakek-neneknya langsung lega. Bisa saja ia memungut
kotak berisi perona pipi, yang kelak akan membuatnya
menjadi perayu wanita. Gulungan benang berarti Ia akan
menjadi tukang jahit; tajak miniatur, petani; tangkal bambu,
nelayan; dan gergaji-gergajian, tukang kayu.
Setelah pesta dan berbagai acara hiburan, para tamu
memberikan hadiah-hadiah mereka kepada si bayi. Rantai
emas yang berat diberikan agar si bayi terikat pada dunia
mereka yang hidup. Gelang dan rantai kaki dihadiahkan
dengan alasan yang sama. Meja yang disediakan di ruang
bangsal utama kemudian penuh dengan hadiah-hadiah, na-
mun tak seorang pun dan anggota keluarga Lu menoleh ke
situ. Bahkan si bayi sudah mulai capek dan tidak begitu
menunjukkan perhatian. Setelah pesta usai, sejumlah tamu mendapat undangan
untuk kembali. Melalui pintu belakang, sebagaimana biasa.
Saat akan menemui mereka, Lu mendapati anak tangganya
penuh dengan hadiah-hadiah untuk anaknya. Semua itu
dari para petani - penutup kepala dari perca-perca katun,
baju tidur dari bahan selimut, mangkuk kayu yang dibuat
oleh seorang tukang kayu, dan sebuah suling bambu seperti
yang biasa dimainkan anakanak gembala saat menunggang
kerbau. Hati Lu amat tersentuh.
Liga Rahasia, yang pada awalnya hanya beranggotakan
sekitar tiga puluh orang dari kalangan elite, sekarang sudah
memiliki lebih dari seratus anggota, termasuk di antaranya
beberapa cendekiawan miskin. Namun tak seorang pun
berasal dari kalangan militer. Sesuai dengan nama yang
disandang organisasi itu, semuanya dari kalangan
terpelajar yang tak dapat dan tak mau menggunakan jalan
kekerasan. "Semakin banyak tinju diayunkan ke arah orang-orang
Mongol belakangan ini, baik di Utara maupun Selatan," ujar
Lu sambil menyapukan pandang ke bangsal utama yang
tertutup rapat. Sebelumnya mereka selalu menyelenggarakan pertemuan di ruang baca, tapi ruangan
itu akhirnya terlalu sempit. Matanya melayang ke
wajah-wajah mereka yang sudah tua, dan hatinya langsung
sedih begitu menyadari bahwa ayahnya tampak paling
rapuh di antara mereka. Lu melanjutkan, "Pasukan pergerakan yang baru amat
membutuhkan senjata, tenda, obat-obatan, gerobak, dan
bahan makanan. Aku memang sudah meminta banyak dari
Anda sekalian selama dua tahun terakhir ini, tapi sekarang
aku betul-betul terpaksa meminta lagi."
Mereka yang dari kalangan kaya menyumbangkan uang
emas dan perak, sementara para cendekiawan miskin
menyumbangkan uang tembaga. Mereka meletakkan
sumbangan mereka di meja yang saat itu masih penuh
dengan hadiah-hadiah untuk Teguh.
Lu berkata, "Ayahku dan aku akan menyumbangkan
semua barang berharga yang kami terima malam ini untuk
dana Liga Rahasia. Teguh baru berusia seratus hari, tapi
sudah menjadi anggota termuda kita. Anakku akan
berbesar hati kalau dia sudah cukup besar nanti untuk
mengerti." Liga Rahasia sudah cukup punya nama di kalangan dunia
pergerakan. Para pemimpin pemberontakan yang membutuhkan dana sering menemui Lu melalui jaringan
bawah tanah. Lu selalu mempertimbangkan baik-baik
sebelum mengambil keputusan, apakah liga mereka akan
memenuhi atau menampik permohonan tunjangan yang
diharapkan. Setelah semua urusan selesai dibicarakan, para anggota
yang lebih senior meninggalkan ruangan, sementara yang
muda mulai membuat tinta dengan menggerus batu bak
dalam relungan tinta berisi air. Kemudian mereka
menggelar gulungan kertas merang, lalu mulai merangkai
puisi. Beberapa di antara mereka mengambil Sungai Yangtze
di kala banjir sebagai topik. Mereka melukiskan
penderitaan rakyat selama terjadinya bencana itu, dan
mengapa sungai itu kemudian di namakan Sungai Air Mata,
persis hainya Sungai Kuning yang juga dikenal sebagai
Sungai Nestapa. Tujuan mereka adalah membangkitkan
rasa kebangsaan, agar yang kaya tergugah untuk menolong
yang miskin. Yang lain menulis tentang situasi di lokasi pembangunan
saluran air. Kanal Hui-tung telah memakan korban jutaan
jiwa, dan Kanal Chi-chou beberapa juta lagi. Saat itu
Panglima Tertinggl Pedang Dahsyat sedang dalam
perjalanan ke Yin-tin untuk mengawasi pembangunan
saluran air itu, dengan membawa lebih dari tiga ribu orang
bersamanya. Sementara para cendekiawan itu merangkai syair-syair
patrlotlk mereka, malam pun semakin larut. Bulan sudah
berada di sebelah barat, saat mereka akhirnya siap


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencetak. Aksara-aksara dalam bentuk terbalik sudah terpahat
pada lempengan-lempengan kayu yang masing-masing
tebalnya empat kali sebatang sumpit. Para cendekiawan itu
kemudian memilih karakter-karakter yang mereka
butuhkan dari peti kayunya yang besar, untuk disusun
dalam rangkaian yang dikehendaki.
Lempengan-lempengan itu diletakkan dalam sebuah
kotak yang dibingkai bambu, lalu diikat menjadi satu. Tinta
disapukan pada sisinya yang rata, selembar kertas merang
ditekankan di atasnya, kemudian sebuah pelindas
digelindingkan. Para cendekiawan itu lalu mencopoti
lembaran kertas mereka, untuk dialihkan dari tangan ke
tangan - sambil tersenyum. Dan yang tampak saat itu
adalah senyum khas seorang penulis yang akhirnya melihat
ungkapan hati mereka yang sesungguhnya dalam bentuk
tulisan hitam di atas putih.
Para anggota Liga Rahasia itu terus bekerja sampai
subuh. Ketika salah seorang di antara mereka melongok ke
luar melalul jendela, ia melihat bulan sabit yang mulai
memudar di langit menjelang fajar itu. Sebentar lagi
waktunya untuk Perayaan Bintang, yang merupakan salah
satu kesempatan bagi orang-orang Cina bertukar kue-kue
manis tanpa menimbulkan kecurigaan di antara orang-orang Mongol. Lu memasuki kamar yang ditempatinya bersama Lotus,
dan melihat cahaya pertama matahari pagi membias masuk
melalui jendela yang ditutupi kertas merang, menyinari
wajah istri dan anaknya dengan lembut. Berjingkat ia
mendekati tempat tidur, lalu berdiri diam-diam, mengagumi potret indah dan penuh kedamaian itu.
Tiba-tiba sebuah suara keras dari balik tembok kebun
memecah suasana hening itu. Lotus tersentak dari tidurnya,
membuka mata, lalu duduk tegak. Bak disengat si bayi
menggerakkan lengan-lengan montoknya, kemudian menangis. "Ada apa?" tanya Lotus.
Lu memasang telinga, kemudian mengepalkan jari-jarinya yang kurus menjadi dua kepalan tinju
kepucatan. "Rupanya pengerjaan Kanal Chi-chou sudah
mencapai Yin-tin. Itu suara para kuli yang menggali!"
16 PARA pekerja mengangkat tajak mereka tinggi-tinggi.
Suara yang ditimbulkan oleh kesibukan mereka menggali
menyaingi debur ombak Sungai Yangtze. Pengerjaan Kanal
Chi-chou sudah mencapai tahap akhir. Begitu jaringan
antara Sungai Yangtze dan Kuning terjalin, orang-orang ini
akan bebas. "Aku akan bisa pulang," ujar pemuda di sebelah Shu. Ia
ditangkap orang-orang Mongol untuk dipaksa bekerja di
situ dua tahun yang lalu. "Aku bisa membayangkan ibuku
yang sudah beruban berdiri menunggu kedatangan putra
satu-satunya... andai kata dia masih hidup."
"Aku akan berkumpul lagi dengan istriku," ujar seorang
pemuda lain. "Kami baru menikah ketika aku meninggalkannya setahun yang lalu. Mudah-mudahan dia
belum mati kelaparan seperti kedua orangtuaku." Ia
seorang petani sebelum desanya diratakan untuk dijadikan
padang rumput. Shu mengempaskan tajaknya dengan sengit. Mereka
yang mengasihinya dan seharusnya menantikannya sudah
tiada. Begitu bebas, ia tak punya tempat untuk dituju.
Desa asal keluarga Shu terletak di sebelah barat Provinsi
Kiangsu. Untuk sampai di sana, ia harus melintasi Provinsi
Kiangsi, lalu terus ke arah barat daya, sampai ke Phoenix.
Para serdadu Mongol berjaga-jaga di sepanjang perbatasan
provinsi dan kota-kota. Perjalanan Shu menuju ke Selatan
ternyata tidak mengalami banyak rintangan selama ia
bekerja dalam tim penggalian kanal itu. Namun, begitu
sendirian, ia harus menyelinap di antara para serdadu itu,
seperti tikus menghindari cengkeraman kucing-kucing.
"Betapa bencinya aku pada si Pedang Dahsyat!" ujarnya
sambil mengertakkan gigi, namun ucapannya itu ditelan
oleh suara mereka yang sedang menggali.
Seakan menjawab panggilannya, Pedang Dahsyat
muncul. Shu menundukkan kepala, sambil melirik ke arah
panglima tertinggi itu melalul sudut matanya. Si jenderal
mengenakan stola merahnya yang berpinggiran emas. Saat
ia menderapkan kudanya ke arah lokasi penggalian,
stolanya berkibas di belakangnya, memancarkan kilauan
seperti matahari sehingga membuatnya tampak seperti
Buddha Matahari yang turun dari langit.
Shu membanding-bandingkan dirinya. Dengan panglima
tertinggi itu - Pedang Dahsyat memiliki dunia ini,
sementara ia sendiri tak punya apa-apa kecuali beberapa
keping uang tembaga. Para kuli dibayar tak lebih dari kebutuhan makan
mereka sehari-hari, kecuali saat si mandor betul-betul
merasa dikejar target yang ditentukan oleh Pedang
Dahsyat. Mereka yang ternyata dapat menggali paling cepat
mendapat satu koin ekstra per hari. Shu telah menabung
kepingan-kepingan uangnya yang berharga itu selama
perjalanannya dari Utara ke Selatan.
Proses penggalian itu berakhir tengah malam.
Sementara kuli-kuli lainnya tidur nyenyak di dalam
tenda-tenda mereka, Shu menjelajahi kota Yin-tin seorang
diri. Ia bergerak ke sebelah tenggara, lokasi kerjanya,
meninggalkan sungai yang berbuih-buih, menuju arah
cahaya lampion. Begitu sampai di kota, ia menelusuri
jalan-jalannya yang tampak terang benderang. Ia belum
pernah melihat kota yang penduduknya masih berkeliaran
di malam selarut itu. Dibandingkan dengan YIh-tin, kota
Gunung Makmur bukan apa-apa.
Para pedagang makanan menjajakan dagangan mereka
dalam bahasa Selatan. Air liur Shu menetes begitu melihat
bakmi. Ia teringat bahwa ia belum merayakan ulang
tahunnya selama dua tahun terakhir ini. Ia berhenti di
sebuah warung bakmi, kemudian memandangi kualinya
yang besar. Di antara tabir uap yang mengepul ke atas, ia melihat
ibunya melangkah ke arahnya dengan semangkuk bakmi.
Dalam bayangannya ia mendengar suaranya, "Anakku, aku
membuat bakmi ini ekstra panjang agar hidupmu juga
panjang. Ada sayuran merah dan hijau di dalamnya, agar
kau tak pernah kekurangan serta selalu sehat. Kau akan
menemukan sepotong lobak merah perlambang kebahagiaan." "Aku mau semangkuk bakmi yang besar," ujar Shu pada
si penjual. "Dengan banyak sayuran dan sepotong lobak
merah di dalamnya." Si penjual memenuhi instruksl Shu, namun rasa
bakminya sama sekali berbeda dengan yang di-
bayangkannya. Shu menghabiskan isi mangkuknya, lalu
meninggalkan tempat itu dengan perasaan tak puas.
Beberapa langkah dari warung bakmi itu, sebuah lampu
hijau berayun-ayun di bawah embusan angin, sinarnya
jatuh ke atas dua gadis muda yang sedang bersandar di
ambang pintu yang terbuka. Sewaktu Shu menatapi wajah
mereka yang dipoles make-up, mereka meliukkan tubuh
mereka. yang ramping, lalu cekikikan sambil bermain mata
ke arahnya. Shu teringat derai tawa Peony bertahun-tahun
yang lalu, saat gadis itu berkata, "Di malam pengantin kita
nanti, sebaiknya kau sudah tahu mengenai itu semua...
maksudku mengenai awan luluh dan curah hujan!"
Shu mengawasl gadis-gadis itu. Peony sudah tiada,
demikian pula bagian paling lembut dalam hatinya. Namun
tubuhnya masih penuh gelora muda. Gadis yang berdiri
paling dekat dengannya tersenyum lebar ke arahnya. Shu
merogoh sakunya, kemudian membuka telapak tangannya
untuk memperlihatkan kepingan uang logam yang masih
dimilikinya. "Apa ini cukup untuk menidurimu?" tanyanya.
Si gadis merenggut uang itu, lalu lari ke dalam rumah.
Shu menyusulnya dari belakang. Gadis itu menyibak tirai
sebuah ruangan kecil yang diterangi lilin yang terletak di
sebuah bufet rendah, kemudian masuk. Satu-satunya
perabotan yang ada selain itu adalah sebuah tempat tidur
sempit. Shu memperhatikan saat gadis itu berjongkok
untuk menarik sebuah kotak rotan dari bawah tempat
tidur, lalu menyusupkan sebagian kepingan uang logamnya
ke bawah tumpukan pakaiannya. Sisa kepingan uang
diletakkannya di bufet. Ada yang tidak beres rupanya. Shu memiringkan kepala,
berpikir, kemudian menyadari apa yang telah dilakukan si
gadis. Shu menyapukan telapak tangannya yang besar ke
bufet itu, mengambil setiap keping uang logam di atasnya,
kemudian memasukkannya. kembali ke sakunya.
"Kaupikir aku tolol" Kau mencoba menipuku. Kau
membuatku membayar dirimu sekaligus nyonyamu."
Wajahnya merah karena marah saat ia mendorong gadis itu
dengan kasar. "Setiap keping uang logam-ku ditandai
dengan darah dan keringatku! "
Si gadis jatuh ke tempat tidur. Kemarahan Shu tidak
mereda saat melihat rasa takut yang terbayang di
wajahnya. "Sebaiknya kausimpan kelihaian menipurnu itu untuk
orang-orang Mongol!" seru Shu sambil melepaskan
celananya. Ia tidak menanggalkan bagian atas pakaiannya,
sehingga ia mendengar dencing uang di dalam sakunya saat
ia menindih gadis itu. Si gadis menjerit-jerit, "Jangan sampal pakaianku sobek,
tolol! Aku mau membuka kancingnya dulu! Kau tak bisa
menunggu" Mama akan memukuliku kalau dia harus
membelikan aku pakaian baru lagi!"
"Bagus! Kau memang patut dipukuli," Ujar Shu, sambil
membolak-balikkan tubuh gadis itu untuk menelanjanginya. Ia tak peduli pakaiannya nanti sobek atau
tidak. Begitu gadis itu telanjang, Shu membiarkan instingnya
membimbingnya. Tubuhnya yang gelap dan kuat menutupi
tubuh ramping si gadis yang kepucatan bagaikan awan
musim dingin yang sudah padat menelan kabut tipis musim
semi. Ia memaksakan dirinya bak hujan badai melindas
secercah angin semilir. Shu mengeluarkan semua perasaan
yang sekian lama menekannya. St gadis menjerit-jerit di
bawahnya, kemudian menggigil sesaat, seperti kabut yang
tiba-tiba menguap. Shu merasakan awan seakan luluh,
kemudian hujan, namun hatinya tidak lega.
Ia bangkit dari tempat tidur itu, memungut celananya,
kemudian menoleh ke arah gadis itu sambil berpakaian.
"Bajingan kau!" Gadis itu menatapnya sengit, sambil
terisak-isak kesakitan. "Belum pernah aku melayani orang
Cina yang begitu besar seperti kau! Orang Mongol saja tidak
sampai sebegitu! bakal tak bisa bekerja setidaknya tiga hari
gara-gara kau!" Secercah angin berembus melalui lubang di jendela
kertas ruangan itu, membuat lidah api lilin meliuk-liuk. Shu
melihat bercak-bercak darah di atas seprai yang kumal dan
di antara kaki gadis yang terentang itu. Perutnya mual.
Sambil berpaling ia merogoh sakunya.
"Ambil ini." Ia meletakkan semua sisa uangnya di bufet,
kemudian cepat-cepat meninggatkan rumah itu.
Ketika melewati lampion kertas yang tergantung di luar
tempat itu, ia menghantamnya dengan tinjunya sampai
cahayanya yang hijau padam.
Selagi melangkah ke arah barat menuju lokasi kerjanya,
Shu melewati sebuah lorong gelap. Di kejauhan ia melihat
dua sosok berjalan sempoyongan. Ia dapat mendengar
ocehan mereka, namun tak dapat menangkap maknanya.
Dari cara berpakaian mereka yang aneh, ia mengenali me-
reka sebagai orang-orang yang matanya berwarna, yang
biasanya berkunjung ke lokasi penggalian kanal bersama
Pedang Dahsyat. Terlintas di kepalanya kata Turki. Ya, itu
nama negeri asal mereka. Kedua orang Turki itu rupanya terlalu mabuk untuk
dapat melangkah normal. Selagi mereka saling menopang,
sebuah tas kulit bertali panjang yang berat jatuh ke tanah
dan menimbulkan suara gedebuk keras. Rupanya mereka
tidak menyadarinya, dan terus melanjutkan perjalanan.


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shu menunggu sampai mereka berlalu, kemudian
bergegas menghampiri tas itu. Ia memungutnya, lalu
tersenyum. Isinya penuh dengan kepingan uang logam.
Shu memutar tubuh, kemudian kembali ke jalan utama
dengan tas yang disembunyikannya di batik baju. Ia melihat
sebuah lampion putih tergantung di sebatang tiang bambu.
Aksara arak tertulis di atasnya dengan tinta hitam. Angin
malam membuat lampion itu terayun-ayun, seakan
menggodanya. Tiba-tiba ia ingin sekali menuangkan arak ke
tenggorokannya, untuk menghalau rasa sepi, sedih, dan
amarahnya. Di kedai arak ltu hanya terdapat tujuh meja bundar. Tiga
yang terletak di luar sudah ditempati orang-orang Mongol,
karenanya Shu memilih duduk di meja paling dalam dan
sudah diduduki beberapa orang Cina, mengingat sudah
menjadi kebiasaan bagi orang-orang yang tidak mengenal
untuk berbagi meja di tempat-tempat yang penuh.
Shu mengangguk ke arah para pengunjung lain. Mereka
adalah para tukang dan kuli yang mencoba melupakan
kesusahan yang membebani pikiran, sehingga mereka tidak
tertarik berbasa-basi. Shu minum diam-diam, sementara
waktu terus bergulir. "Tapi tuan-tuanku yang terhormat, ini cuma kedai arak
kecil. Aku tak bisa memberikan utang," ujar si pemllik,
seorang lelaki tua kecil, dengan nada memohon kepada dua
orang Mongol yang baru akan meninggalkan meja pertama.
"Kau berani menantang tuan-tuanmu?" tanya salah
seorang di antara mereka. "Kami orang-orang Mongol
adalah tuan-tuan kalian, tahu!"
"Tapi tuan-tuanku yang terhormat..." Si pemllik tidak
mendapat kesempatan untuk mengakhiri kalimatnya.
Orang Mongol yang lain meninju rahangnya, sehingga ia
tersungkur ke belakang, menghantam dinding.
Istri si pemilik, seorang wanita tua kecil, datang
bergegas dari bagian belakang ruangan itu untuk menolong
suaminya. Kedua orang Mongol itu tertawa terbahak-bahak
sambil melangkah ke pintu.
Saat melongokkan kepala, Shu mengenali mereka
sebagai anggota barisan pengawal Pedang Dahsyat. Mereka
sering mengiringi jenderal tertinggi itu persis di belakang
kibasan stolanya. Shu merasa kebencian merayap naik ke
tenggorokannya. Ia baru saja menghabiskan dua botol arak,
dan tidak lagi mengenal rasa takut.
"Suamiku yang malang... suamiku yang malang!" ratap
istri si pemilik sewaktu Shu mengempaskan uang
pembayar minumannya, kemudian bergegas keluar.
Wanita tua itu menoleh, terbelalak melihat segenggam
mata uang logam di mejanya, kemudian menahan napas.
"Itu terlalu banyak!" serunya, tapi Shu sudah menghilang.
Ia membuntuti kedua orang Mongol itu dari jarak cukup
aman. Malam sudah semakin larut, dan jalan-jalan sudah
tidak begitu penuh lagi. Mereka menelusuri beberapa jalan
besar, lalu membelok ke sebuah lorong sempit.
Shu mendekat, kemudian melihat pedang-pedang yang
menggelayut di pinggang mereka. Satu-satunya senjata
yang dimilikinya adalah tas bertali panjang berisi uang
logam. "Berhenti, babi-babi Mongol!" serunya sambil menyerbu
mereka. Dalam keheningan malam, suaranya terdengar
nyaring. Kedua orang Mongol yang sedang mabuk itu berpaling
dengan gerakan tak terkontrol. Mereka melihat sosok
laki-laki bertubuh raksasa berlari ke arah mereka, sambil
memutar-mutar sebuah tas berat di atas kepalanya.
Mereka mengumpat dalam bahasa mereka. Sebelum
sempat mencabut pedang, si raksasa sudah menerjang
mereka. Tas yang berputar itu menghantam yang satu di
pelipisnya. Hantaman kedua mengenai yang lain di dahinya.
Keduanya langsung ambruk ke tanah, seperti batu.
Mereka hanya sempat sadar untuk melihat langit malam
yang diterangi bulan sabit. Di depan bulan itu si raksasa
mengangkat senjatanya yang berat dengan kedua
tangannya, seperti kuli yang siap mengayunkan tajaknya
yang berat. Sekelebat kedua orang Mongol itu mengenali si raksasa.
Mereka mengumpat kembali dalam bahasa mereka. Tapi
tak lama setelah itu Shu kembali menghantam kepala serta
wajah mereka beberapa kali, sampai cahaya bulan akhirnya
menghilang untuk selamanya bagi mereka, bak lampion
yang padam dalam hujan badai.
Dalam waktu singkat kedua orang Mongol itu sudah
tampak seperti kol yang hancur terinjak kaki kerbau. Shu
melangkah mundur sambil menjatuhkan tasnya yang berisi
uang logam, yang kini penuh darah.
Ia sedang menimbang-nimbang, apakah akan meninggalkan uang di dalam tas itu atau memindahkannya
ke sakunya, saat mendengar suara di kejauhan. Seseorang
sedang menunggang kudanya di jalan yang dilapisi batu.
Bunyi derapnya yang tenang dan teratur menandakan
bahwa penunggangnya orang yang penuh percaya diri di
dtas seekor kuda yang tinggi.
Suatu sosok yang tak asing lagi baginya membayang di
hadapannya. Hatinya langsung ciut. Rasa takut melanda
dirinya. Sesaat ia berdiri terpaku di samping orang-orang
Mongol yang sekarang sudah mati itu, sambil berharap jika
Ia tidak membuat gerakan mencurigakan, si penunggang
takkan menuju ke arahnya.
Saat Ia menunggu, si penunggang kuda bergerak ke
arahnya. Ketika Shu memutuskan untuk lari, segalanya
terlambat. Di bawah sinar bulan, dari ujung lain lorong itu muncul
seekor kuda jantan hitam; bulunya berkilauan bak
permukaan danau di waktu malam. Kuda itu berhenti
melangkah sementara si penunggang, yang siaga begitu
mendengar pekik kematian rekan-rekan sebangsanya,
merentangkan busur dengan anak panah terpasang
padanya. Mata Shu beradu dengan mata Pedang Dahsyat. Si
jenderal menurunkan senjata sambil mengerutkan alisnya
dengan tertegun. Daya ingat jenderal yang masih muda itu
tajam sekali, sehingga Ia tidak membutuhkan waktu lama
untuk berpikir. "Kau! Gunung Makmur!" seru Pedang Dahsyat begitu
mengenali mangsa lamanya.
Dalam sekejap terbayang kembali setiap detail
pertemuan terakhir mereka. Ia menyunggingkan senyum
serigala ke arah kuli muda itu. Sebuah permainan yang
amat menyenangkan sedang menanti.
"Kau yang begitu lancang memelototi aku dulu! Sudah
waktunya kau bergabung dengan sobat kecilmu yang
kepalanya sudah dipenggal itu!" teriak si jenderal sambil
menyisihkan busurnya dan menggusah kudanya untuk
maju. "Kepalamu cukup bagus untuk dipancang!" ujar Pedang
Dahsyat. "Kau takkan bisa menangkapku!" seru Shu sambil kabur
meninggalkan lorong itu. Ia dapat menangkap suara tawa si
jenderal begitu perburuan itu dimulai.
Shu berlari, semangatnya membuat kakinya seakan
bersayap. Namun derap langkah kaki si kuda terus
membuntutinya. Ia melesat menerobos jalan-jalan yang
sudah sepi, bak kelinci yang tak ber daya. Dalam waktu
singkat paru-parunya seakan meledak, pinggangnya pedih.
Namun si pemburu semakin dekat dan semakin dekat,
tanpa berusaha menambah kecepatan lari tunggangannya.
Ketika Shu mencapai tepi sungai, ia sadar bahwa ia tidak
kuat larl lebih jauh lagi. Hamparan sawah yang sunyi
membentang seakan tanpa akhir di sebelah kanannya. Di
sebelah kirinya tumbuh sebatang pohon yangliu tua. Ia
langsung bersembunyl di belakangnya sambil menyandarkan tubuh pada batangnya dan terengah-engah,
sampai ia melihat si pemburu semakin mendekat di bawah
cahaya bulan. Si jenderal menghentikan kudanya. Senyum dingin
membayang di wajahnya saat ia meraih busur, lalu
perlahan-lahan menarik anak panahnya
"Tidak!" seru Shu sambil keluar daei tempat
persembunyiannya, kemudian melesat menembus kegelapan. Bulan tiba-tiba menghilang di balik gumpalan awan.
Angin berembus lebih kencang. Shu menangkap desiran
anak panah pertama persis sebelum rasa sakit yang amat
sangat menyengat bahu kirinya.
Shu terhuyung sesaat, kemudian jatuh terjerembap ke
tanah. Ia mendengar derai tawa si jenderal dan suara derap
kuda yang semakin mendekat. Di bawah sadar Ia juga
mendengar suara sobat kecilnya, Ma, "Lari! Ayo, sobat
besarku, cepat! Kalau tidak, dia akan menebas kepalamu
juga!" Shu mengertiakkan giginya menahan sakit, kemudian
merangkak masuk ke sawah yang saat itu penuh dengan
rerumputan tinggi. Ia menghela tubuhnya maju, sambil
menggelusur di atas perutnya. Ia hanya dapat menggerakkan lengan kanannya. Pundak kiri serta
tangannya kelu. Ia meraba pundak kirinya dengan tangan
kanan, dan ternyata sebatang anak panah telah menembus
tulanh belikatnya. Mata panah yang lebih dari lima senti
panjangnya tersembul dari dadanya, persis di atas jantung.
Ia terus merangkak. Alang-alang yang tumbuh liar di
bawah sinar matahari musim panas itu tinggi dan liat.
Tempat persembunyian yang ideal, tapi juga menyayat-nyayat kulitnya, bak mata pisau yang tajam. Shu
mendengar suara gemuruh yang semakin mendekat. Persis
derap kuda. Ia merangkak lebih cepat.
Cahaya kilat berkelebat di langit, menerangi garis
lintasan Buddha Cuaca. Buddha mengayunkan pecutnya,
suaranya menggelegar mengguncangkan langit dan bumi.
Tetesan hujan berjatuhan membasahl Shu, yang tiarap
dengan tubuh gemetar di sawah yang sudah ditinggalkan
itu. Rasa sakit yang tak tertahankan di bahu kirinya segera
menebar dengan cepat. Dalam sekejap hampir seluruh
bagian atas tubuhnya mulai terasa kelu. Ia menggerakkan
kakinya untuk terus maju Saat ia menggelusur keluar dari
bawah sebuah batang pohon yang sudah mati, sebuah anak
panah yang ditujukan ke arahnya mengenai dahan yang
rendah. Shu mengelakkan tubuhnya, jatuh dengan waJah ke
tanah, kemudian pingsan. 17 WALI KOTA Lu belum lama pulih dari sakit, sehingga ia
tak mampu menghadiri pesta Gubernur Mongol yang
diselenggarakan untuk menghormati Panglima Jenderal
Pedang Dahsyat. Karena itu Lu-lah yang mewakilinya. Saat
pesta usai, malam sudah larut. Tandu tertutup yang
mengusungnya bergerak perlahan di bawah curahan hujan
deras, dan akhirnya mereka sampai di sawah dekat sungai.
"Aku menangkap suara erangan seseorang!" ujar Lu,
sambil menyapukan pandangan ke hamparan sawah yang
sudah ditinggalkan itu. "Berhenti!" perintahnya kepada
para pengusungnya. "Coba periksa, kalau-kalau ada
seseorang di sana." Para pengusung itu baru saja mengambil beberapa
langkah ketika melihat seorang laki-laki bergelimang darah,
di kaki sebatang pohon yang sudah mati. "Ada orang mati
dengan anak panah di pundaknya!" seru mereka sambil
berlari kembali ke tempat tuan muda mereka.
Lu keluar dari tandu, tanpa memedulikan hujan.
"Kalau dia memang sudah mati, kita harus me-
nguburnya. Tapi kalau tidak..." Setelah mendekat dan
memeriksanya, ia melihat dada laki-laki yang berlumuran
darah itu naik-tur-un. Ia berjongkok, lalu dengan tangan
bergetar menyentuh leher laki-laki itu dan merasakan
denyut nadinya ternyata cukup kuat. "Dia masih hidup!"
Ia berpaling ke arah para pengusung. "Ayo, angkat orang
ini. Dia sudah kehilangan banyak darah. Coba lihat darah
yang berceceran di sini! Dia akan mati kalau kita tidak
segera melakukan sesuatu! "
Para pengusung tampak ragu-ragu. Menyelamatkan
orang yang terluka tanpa izin orang-orang Mongol
dianggap pelanggaran yang serius.
"Cepat!" seru Lu. "Naikkan dia ke tandu, lalu kita bawa
dia pulang!" Para pengusung itu amat setia dan patuh pada Lu,
namun tetap menggerutu pada saat mengangkat tubuh
laki-laki itu. "Berat amat sih! Apa orang ini dari batu?"
Mereka menaikkannya ke tandu, menutup tirai, lalu
mengusungnya menuju rumah kediaman keluarga Lu. Lu
melangkah di samping tandu itu, menerobos tirai hujan dan
gelimang lumpur saat badai berlalu.
Beberapa saat kemudian, bulan yang keperakan kembali


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersinar di antara gumpalan awan. Di bawah cahayanya
muncul seorang penunggang kuda yang bergerak
perlahan-lahan, seakan mencari sesuatu atau seseorang di
sawah itu. "Pedang Dahsyat! Si jenderal Mongol!" desis Lu sambil
menahan napas. Pedang Dahsyat juga mengenali Lu. "Ah! Putra wali kota
Yin-tin!" ujarnya. "Senang sekali bertemu dengan Anda
lagi!" Ia menatap Lu dengan pandangan curiga. "Anda basah
kuyup! Kenapa Anda mengotori kaki Anda dengan berjalan
di lumpur dan bukannya naik tandu?"
"A-aku..." Lu tidak suka berbohong, tapi setelah
mengambil keputusan kilat, ia menaikkan suaranya, lalu
menjawab mantap, "Perutku kurang enak karena
kebanyakan makan di pesta Gubernur. Aku merasa perlu
berjalan kaki." Kemudian ia tersenyum pada si jenderal
sambil bertanya, "Apakah Anda juga merasa kurang enak"
Apakah karena itu Anda bergerak begitu pelan?"
Pedang Dahsyat menggeleng. "Aku sedang mencari
mayat seorang laki-laki yang baru saja kubunuh. Tapi
mungkin dia sudah diseret anjing-anjing lapar daerah ini."
Pedang Dahsyat sedikit pun tidak ragu bahwa seorang wali
kota Cina adalah pengkhianat bangsanya dan putranya
pengecut, karenanya ia sama sekali tidak mencurigai
ucapanucapan Lu. Ia mengentakkan perut kudanya dengan
tumit, kemudian segera berlalu.
Lu berjalan kaki sepanjang perjalanan pulang ke
rumahnya, sementara laki-laki yang terluka itu me-
ngendarai tandunya. Para pengusungnya menggerutu
karena kecapekan, mengingat berat tubuh laki-laki itu
hampir dua kali berat majikan mereka. Tapi mereka
berjiwa patriotik dan amat setia pada tuan muda mereka.
Mereka takkan pernah mengkhlanatinya.
Sesampainya di rumah kediaman keluarga Lu, para
pengusung menuju pintu belakang. Mereka mengeluarkan
laki-laki yang terluka itu dari tandu tertutup tuan muda
mereka, lalu menggotongnya menerobos hujan dan kebun
yang diterangi sinar bulan.
Di ruangan dalam rumah kediaman itu, seorang nyonya
berpakaian merah muda sedang membaca di bawah
penerangan lampu, dan seorang wanita berpakaian
abu-abu menyulam. "Hari sudah larut, Jasmine. Tolong katakan pada para
pelayan yang lain bahwa mereka boleh tidur," ujar Lotus
sambil mengangkat wajah dari buku puisinya. "Kita berdua
dapat menunggu Tuan."
Jasmine mengangguk, kemudian meninggalkan ruangan
untuk melaksanakan perintah nyonyanya. Para pelayan
yang sudah lelah itu bersyukur. Mereka sudah bekerja
sepanjang hari dan diharapkan mengerjakan tugas-tugas
mereka kembali subuh nanti. Jasmine sedang berjalan
kembali ke tempat nyonyanya ketika mendengar suara
ribut-ribut dari pintu belakang. Cepat-cepat ia ke sana, dan
melihat tuannya bersama para pengusung tandunya.
Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk mengungkapkan apa yang telah terjadi padanya.
Ketika Jasmine muncul kembali, ada bercak darah di
pakaiannya. Lotus langsung menjerit.
"Ini bukan darah junjungan kita," ujar Jasmine cepat.
"Mereka membawa seorang asing." Sesudah itu Ia bergegas
menuju sebuah ruangan kosong yang tersembunyi di
belakang lemari buku tinggi yang menutupi sisi salah satu
dinding. Ia segera menyiapkan ruangan itu.
Kemudian Lotus Lu melihat Lu si Bijak menahan napas.
Jarak dari sawah di kaki Gunung Emas Ungu ke situ cukup
jauh, sementara Lu belum pernah berjalan sejauh itu dalam
hidupnya. Sepatunya rusak sama sekali oleh lumpur.
Bagian bawah pakaiannya penuh percikan tanah. Tusuk
sanggul emasnya hilang, sementara rambutnya tergerai
berantakan. Wajahnya kotor, namun bibirnya putih. Setelah
mengambil beberapa langkah terakhir dengan sempoyongan, ia menjatuhkan diri di sebuah kursi.
Lotus segera berlutut di sebelahnya, kemudian meraih
tangannya yang bergetar. Para pengusung memasuki
ruangan itu dengan beban mereka yang berat. Sekilas Lotus
sempat melihat sesosok tubuh besar dan bermandikan
darah, kemudian langsung menutup mata. Ia membenamkan wajah ke lengan suaminya, sementara
Jasmine menolong keempat pengusung meletakkan orang
yang terluka itu di tempat tidur.
Jasmine melewati Lotus dan Lu dalam per jalanannya
menuju dapur. "Aku membutuhkan air panas untuk
membersihkan luka-lukanya," ujarnya sambil berlalu.
Lu meremas tangan Lotus untuk memberitahunya
bahwa ia tidak apa-apa. "Panggilkan tabib," gumamnya
pada para pengusungnya. "Yang dapat dipercaya."
Ketika Shu membuka mata, ternyata dirinya berada di
sebuah ruangan termegah yang pernah dilihatnya. Wanita
yang menjaganya adalah wanita tercantik yang pernah
ditemuinya. "Jadi, aku sudah mati. Jadi, inilah surga," gumamnya,
sambil mengerutkan alis ke arah sosok cantik yang duduk
di sebelah tempat tidurnya. "Mana Peony-ku" Jangan
tersinggung. Anda cantik sekali, tapi dialah gadisku.
Bisakah Anda mencarinya untukku" Dia hampir dua kali
lebih besar dari Anda..." Shu tidak meneruskan
kata-katanya begitu melihat seorang bangsawan muda
bertampang kusut. Ia menatap laki-laki itu, lalu berseru, "Rupanya aku
tersesat. Di manakah bagian yang diperuntukkan bagi para
petani di surga ini" Namaku Shu, dan aku yakin ini bukan
tempatku." Bangsawan muda itu tersenyum. Setelah berdiri di
samping wanita yang mengenakan pakaian merah muda
itu, ia memperkenaikan dirinya dan istrinya. "Kau belum
mati, Shu. Bahkan si tabib tercengang melihat daya tahan
tubuhmu. Dia mengatakan kau akan bisa bangun segera.
Luka di bahumu bersih, dan akan pulih pada waktunya."
Shu lega bahwa ia belum sampai di surga, mengingat
masih banyak yang harus dikerjakannya di bumi. Namun ia
juga sedih karena ia dan Peony masih berada di dua dunia
yang berbeda. Kemudian ia teringat pada senyum serigala Pedang
Dahsyat di lorong itu. "Bajingan itu berhasil melukai aku!" Ia mencoba berdiri,
tapi kemudian mengernyitkan wajahnya, menahan sakit.
"Apakah aku masih dapat menggunakan lengan kiriku lagi"
Aku membutuhkan kedua-duanya untuk menghadapi
orang-orang Mongol itu! Lebih baik aku mati daripada cacat
seumur hidup!" Ia mencoba mengangkat lengan kirinya
yang dibebat perban, tapi kemudian menggerenyit ke-
sakitan lagi. Seorang wanita muncul di ambang pintu. "Sebaiknya
kaujaga mulutmu di hadapan nyonyaku!"
Shu melihat seorang wanita setengah baya berpakaian
abu-abu melangkah ke arahnya dengan mangkuk besar
berisi sesuatu yang mengepul-ngepul. "Namaku Jasmine,"
ujar wanita itu sambil mendekatkan mangkuk ke bibirnya.
Shu melihat isi mangkuk yang hijau itu dengan curiga.
"Ini sari ranting-ranting yangliu. Mengikuti resep yang
ditulis si tabib. Ini akan mengurangi sakitmu." Wanita itu
meletakkan tangannya di bawah tengkuk Shu dengan
mantap, kemudian mengangkat kepala. "Minumlah!"
perintahnya. Shu mereguk ramuan panas itu. Rasanya pahit sekali,
dan ia menyeringai saat Jasmine memaksanya menelan
seluruh isi mangkuk. Jasmine mengelap dagu Shu,
kemudian meninggalkan ruangan itu bersama mangkuk
kosongnya. Lotus bangkit dari kursi di sebelah tempat tidur itu. Ia
dan Jasmine telah menunggui Shu sepanjang malam,
sementara Lu beristirahat. "Suamiku yang akan menjagamu
sekarang. Permisi." Kemudian Lotus membungkuk ke arah
Shu, seakan mereka sederajat.
Shu tertegun. Ia belum pernah mendapat perlakuan
sesopan itu dari seorang wanita bangsawan. Ia mencoba
membalasnya, namun sia-sia. Seluruh bagian atas tubuhnya
terasa kaku. Lu membantu istrinya menuju kamar tidur mereka,
kemudian kembali ke ruangan tersembunyi itu. Ia menarik
kursinya ke dekat tempat tidur, lalu mencondongkan tubuh
ke muka. Dengan nada rendah ia berkata, "Tadi kau menyebut
bahwa kau membutuhkan kedua tanganmu untuk
menghadapi orang-orang Mongol. Kau mengatakannya
dengan begitu mantap. Bolehkah aku tahu, apa yang
membuatmu begitu nekat menghadapi mereka?"
Shu menatap mata Lu dan melihat sesuatu yang lebih
kuat daripada penampilannya yang berkesan rapuh itu. Ia
memutuskan untuk mempercayainya. "Aku sedang menuju
Phoenix. Tempat asal ayahku. Dua pertiga penduduk kota
itu bermarga Shu, seperti aku. Seperti Anda ketahui,
sebagai orang Cina kita selalu mempercayai mereka yang
bermarga sama seperti kita sendiri, meskipun orang itu
tidak kita kenal sama sekali. Aku yakin dapat
mengumpulkan cukup banyak pengikut untuk membentuk
sekelompok pejuang."
Shu mengungkapkan rasa frustrasi serta ketidaksabarannya pada Lu. Sudah lama ia ingin meng-
hadapi orang-orang Mongol itu. Tapi sejauh ini ia belum
berhasil mencapai apa-apa.
Setelah Shu selesai berbicara, Lu berkata, "Kau perlu
istirahat agar dapat pulih. Baru sesudah itu kau dapat
membentuk kelompok pejuangmu. Begitu kau siap, kabari
aku." Lu lalu mengungkapkan usaha penyelamatan yang
dilakukannya di sawah yang sudah ditinggalkan itu. Shu
mendengarkan dengan baik. Selain amat berterima kasih, ia
juga menganggap Lu laki-laki yang amat menarik.
Sebaliknya Lu, tak hanya mengagumi keberanian Shu,
tapi juga tertegun mendengar kisah hidupnya.
Mereka masih berbincang-bincang saat Lotus kembali
muncul bersama Jasmine siang itu. Sudah waktunya makan
siang. Lu meminta makanannya dibawa ke kamar Shu, agar
mereka dapat terus melanjutkan pembicaraan.
Sementara menolong Lotus menuju ruang makan,
Jasmine bergumam, "Yin dan yang adalah dua kekuatan
yang berlawanan, tapi memiliki daya tarik yang amat kuat
satu terhadap yang lain."
Lotus mengangguk. "Junjungan kita melihat sesuatu yang
tidak dimiliki teman-temannya dari kalangan atas di dalam
diri Shu. Dan Shu melihat sebuah dunia yang sebelumnya
tak pernah terbayangkannya di dalam diri junjungan kita.
Mereka berbeda bak siang dan malam. Tapi siang selalu
bergulir menuju malam, dan malam beralih ke pagi.
Keduanya membentuk siklus yang utuh; junjungan kita dan
Shu akan menjadi pasangan yang saling mengisi."
Di ruang makan, Lotus menunggu sampai ia dan kedua
mertuanya tinggal bertiga. Baru kemudian ia mengungkapkan kepada mereka mengenai petani yang
terluka itu. Wali Kota Lu mengangguk-angguk lemah,
sambil memberikan restunya. "Katakan pada Lu, aku
bangga dia berani menyelamatkan orang ini. Katakan
padanya, teman petaninya itu boleh tinggal di rumah kita
selama dia mau." Dua bulan kemudian, Shu diperkenaikan kepada para
anggota Liga Rahasia. Tidak seperti Lu, mereka tidak
menganggapnya mengesankan, demikian.pula sebaliknya.
Para anggota Liga Rahasia itu sama sekali tidak berusaha
melihat apa yang terdapat di balik penampilannya yang
kasar itu. Saat Shu meludah ke karpet, mereka
mengerutkan dahi. Saat ia membersihkan hidung pada
lengan bajunya, mereka menyeringai.
Di pihak lain, Shu sudah jemu di awal pertemuan itu.
Bahkan sekeping mata uang tembaga saja tidak dimilikinya
untuk disumbangkan pada liga itu. Saat mereka mulai
merangkai puisi, ia mengumpat melihat wajah-wajah
tertegun mereka ketika ia mengungkapkan bahwa menulis
namanya saja ia tak bisa. Mengingat ia tak dapat membaca,
ia tak dapat membantu proses mencetak surat selebaran
yang akan disisipkan ke kotak-kotak berisi kue-kue manis
untuk menghadapi Perayaan Bulan yang akan datang.
"Kau dapat membantu mengangkuti kotak-kotak itu,"
ujar salah satu orang kaya dengan kasar. "Bahkan dengan
satu lengan, kau dapat mengangkat lebih banyak daripada
pelayan mana pun dalam rumah keluarga Lu ini.
Orang-orang Mongol itu melarang kita memiliki kuda atau


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keledai sendiri. Tapi mereka tak dapat melarang kita me-
miliki orang seperti kau."
"Sebaiknya kau bekerja dengan giat, sobat," ujar salah
satu di antara para cendekiawan miskin dengan ketus,
sambil melirik ke arah pakaian baru Shu yang dibelikan
oleh Lu. "Kau baru menemukan sebuah mangkuk nasi emas
bagi dirimu. Ingatlah untuk selalu membungkuk dengan
rendah hati di hadapan majikanmu, dan kau takkan pernah
kelaparan lagi." "Aku bukan keledai! Dan Lu bukan majikanku!" sahut
Shu sambil mengertakkan gigi.
Para anggota Liga Rahasia itu berhenti bekerja dan
menatap ke arahnya. Shu mengamati ekspresi wajah
mereka, namun tak ada satu pun yang tampak simpatik. Ia
segera angkat kaki dari ruangan itu.
Lu segera menyusulnya, sambil memohon maaf
sepanjang perjalanan menuju kamar yang ditempatinya.
"Seandainya aku tahu mereka akan bersikap seperti itu, aku
takkan pernah memperkenaikan mereka padamu. Aku
menyesal sekali. Maafkanlah mereka demi aku."
Lu berhenti melangkah untuk berpikir, kemudian
berkata dengan nada tak mengerti, "Apa yang membuat
mereka bersikap seperti itu" Aku belum pernah melihat
mereka bersikap begitu angkuh. Kukira mereka akan
senang menerimamu sebagai anggota Liga Rahasia,
mengingat kita punya tuJuan yang sama."
Slkap Lu yang naif meredakan amarah Shu. Ia mulai
tertawa. "Tidakkah aku beruntung karena aku miskin"
Dengan kekayaan dan statusmu, kau takkan pernah dapat
melihat sifat asli orang sebagaimana yang kulihat."
Shu berdiri tegak, lalu meletakkan tangan kanannya
yang besar di atas pundak Lu. "Jangan khawatir, Lu. Kau
akan selalu kuanggap temanku. Kau tidak seperti
orang-orang dungu itu." Sorot mata di bawah alisnya yang
tebal mengingatkan Lu pada harimau yang terluka. "Kelak
aku akan membuat mereka menyesal karena pernah meng-
hinaku." Nadanya yang dingin membuat Lu merinding.
Namun ia lega Shu tidak marah padanya. "Sobatku,"
ujarnya membujuk, "jangan pergi gara-gara ulah mereka."
Shu mengangguk. "Aku akan tinggal sampai lenganku
pulih - andai kata kau mau mengajariku membaca dan
menulls." Ia melihat ekspresi tak percaya di mata Lu; lalu
melanjutkan, "Pedang Dahsyat telah melukai tubuhku,
sementara teman-temanmu yang terpelajar itu telah
melukai harga diriku. Bagiku mereka sama-sama musuhku.
Aku ingin sebanding dengan musuh-musuhku dalam se gala
bidang." Melihat Lu masih tertegun, ia meneruskan, "Aku ingin
menjadi pemanah ulung suatu hari nanti. Begitu lain kali
bertemu dengan Pedang Dahsyat, akulah yang akan
menjadl pemburunya dan dia buruanku. Aku juga ingin
memahami seni puisi. Begitu aku berhadapan dengan
teman-teman terpelajarmu itu kelak, mereka takkan
menertawakanku lagi."
Hati Lu amat tersentuh mendengar tekad yang
diucapkan sobatnya itu. Ia meraih tangan Shu yang besar
dan menggenggamnya kuat-kuat. "Aku akan mengajarimu
membaca dan menulis. Dan aku tahu persis di mana kau
dapat melatih keterampilan memanahmu tanpa diketahui
orang-orang Mongol."
Lu mengendarai tandunya, sementara Shu melangkah di
sampingnya. Sementara mereka mendaki semakin tinggi ke
gunung, Lu berkata, "Ada dua kuil tersembunyi di balik
hutan Gunung Emas Ungu, dan keduanya cukup jauh dari
rumah kediaman Gubernur. Yang ditempati para penganut
Buddha adalah Kuil Bintang-bintang Damai. Kita akan
menuju Kuil Gaung Sunyi, tempat para penganut aliran
Taois. Aku yakin pemimpinnya, Iman Teguh, akan
memberimu izin untuk melatih keterampilan memanahmu
di kawasan kuilnya."
Pohon-pohon yangliu tua beuejer di sepanjang jalan
masuk ke kuil itu, bak penjaga gerbang. Begitu melihat
tandu Lu muncul, para biksu Tao yang masih belia segera
mengirimkan tanda dari atas dahan-dahan tinggi. Mereka
langsung mengenali simbol keluarga Lu yang tersulam di
penutup tandu yang dinaikinya, lalu mengawasi laki-laki
bertubuh besar yang berjalan di sampingnya. Para biksu
yang lebih tua segera diberitahu untuk bersiap-siap. Be gitu
Lu dan Shu sampai, mereka mendapati Iman Teguh sudah
menanti dengan teh panas dan penganan-penganan manis.
Biksu itu memiliki rambut serta janggut yang panjang
dan putih. Saat ia menatap Shu, si petani merasa seakan ia
dapat membaca setiap rahasia yang tersirat di dadanya.
"Memanah" Itu beberapa tingkat di bawah seni silat. Itu
hanya cocok untuk orang-orang barbar." Biksu tua itu
menggeleng-gelengkan kepala ke arah Shu. "Akan
kuperlihatkan padamu apa yang dikuasai biksu-biksu kami.
Tapi andai kata setelah melihat mereka beraksi kau masih
tetap ingin berlatih dengan busur dan anak panah, kau
boleh menggunakan kawasan gunung di balik kuil ini."
Pohon-pohon mengelilingi kawasan kuil itu, bak tirai
tebal yang menyelubungi serta menyerap semua suara.
Para biksu itu melatih keterampilan memainkan pedang
serta tombak mereka di lapangan terbuka. Suara pekikan
yang keluar dari mulut para pesilat serta dencing keras
yang ditimbulkan senjata mereka yang saling beradu tidak
menembus kerimbunan kehijauan yang tebal itu.
"Karena itulah mereka menamakan tempat ini Gaung
Sunyi," ujar Lu kepada Shu. "Ini satu-satunya gunung yang
aku tahu, tempat suara tak bisa menggema ke mana-mana."
Ia menambahkan bahwa pedang dan tombak-tombak itu
dibuat sendiri oleh para biksu, dan begitu melihat ada
orang asing memasuki kawasan itu dari menara
pengawasan mereka, semua senjata segera disembunyikan.
Namun Shu hanya mendengarkan sambil lalu, karena
begitu terpesona pada peragaan di hadapannya.
Lebih dari seratus biksu yang mengenakan sepatu
lembut, celana hitam ketat, dan baju berlengan panjang
terbagi dalam dua kelompok." Yang satu sedang latihan
pedang, yang lain tombak panjang.
Mata pedang yang mereka gunakan selebar telapak
tangan laki-laki dewasa dan lebih panjang dari lengannya.
Sedangkan panjang tombak mereka sekitar dua meter. Para
biksu itu telah membebatkan sepotong kain merah selebar
setengah meter pada gagang pedang mereka, dan sepotong
jumbai hijau sepanjang tiga puluh senti pada setiap bagian
bawah mata tombak. Mula-mula kedua kelompok itu berlatih secara terpisah.
Pedang-pedang diayunkan demikian cepat, hingga setiap
biksu tampak hanya sebagai inti suatu kilauan keperakan
dan kemerahan. Tombaktombak panjang tampak bagai
kilatan petir yang dihiasi cahaya hijau.
Kedua kelompok itu kemudian bergabung, pedang lawan
tombak. Setiap lingkar kilau keperakan dan kemerahan
berusaha menembus tirai kilatan petir berujung kehijauan.
Suara denting keras terdengar saat para pemain tombak
menangkis serbuan para pemain pedang. Kemudian kedua
kelompok itu bertukar tempat. Saat kilauan petir berusaha.
menyengat salah seorang biksu yang memainkan pedang,
tebasan cepat dalam gerak memutar menjaganya agar tetap
berada di luar jangkauan serangan itu.
"Ambilkan busur dan beberapa anak panah untukku,"
Ujar Iman Teguh pada seorang biksu muda, ketika para
pesilat itu berhenti sebentar untuk beristirahat.
Shu belum betul-betul pullh dari rasa tertegunnya
setelah menyaksikan permainan pedang dan tombak ketika
Iman Teguh mulai membentangkan tali busurnya yang
besar. Orang tua itu bahkan sama sekali tidak berusaha
menggulung lengan jubahnya yang panjang lebih dulu.
Dengan santai ia melepaskan anak panah deml anak panah
ke arah kerumunan pesilat itu. Para biksu itu tidak
bergeming, sampai anak-anak panah itu tinggal beberapa
senti dari mereka. Kemudian barulah mereka mengayunkan pedang serta tombak-tombak untuk
menangkis anak-anak panah itu.
Shu berdiri terpana. Iman Teguh melontarkan busur
beserta anak panahnya ke samping, kemudian tersenyum
ke arah petani bertubuh raksasa itu. "Para biksu kedua kuil
di daerah ini juga lihai dalam teknik bela diri dengan
tangan kosong. Mereka sudah memperagakan kemampuan
mereka di hadapan para tamu Wali Kota beberapa waktu
yang lalu. Mereka dapat menangkap anak-anak panah yang
beterbangan dengan tangan kosong. Kau masih berminat
berlatih memanah?" Shu tidak pernah ber-kowtow pada siapa pun. Ketika
kedua orangtuanya niasih hidup, mereka mengalami
kesulitan menyuruhnya berlutut di muka patung-patung
Buddha atau plaket leluhur keluarga Shu. Namun kali ini
Shu segera menjatuhkan diri berlutut secara spontan, lalu
ber-kowtow tiga kali di hadapan Iman Teguh.
"Shih-fu yang kuhormati," ujarnya saat kepalanya
menyentuh ujung kaki si biksu tua. "Aku ingin mempelajari
ketiga-tiganya, teknik kungfu dengan tangan kosong,
pedang, dan tombak panjang. Aku takkan meninggalkan
kota Yin-tin sebelum menguasai semuanya."
18 PEDANG DAHSYAT tidak menyukai daerah Cina Selatan.
Terlalu panas dan padat bagi seorang Mongol. Ia dapat
membasmi habis penduduknya serta membuat daerah itu
berkesan lebih terbuka, namun ia tak dapat mengubah
cuacanya. Ia juga amat merindukan kakaknya, Shadow
Tamu serta adiknya, Kilau Bintang, yang masih tetap
menjadi favorit Khan yang Agung. Pedang Dahsyat ingin
kembali ke Da-du agar dapat lebih sering berkumpul
dengan mereka. Ia meninggalkan kedua ratus serdadunya di kota Yin-tin,
kemudian berangkat bersama beberapa pengawal pribadinya ke arah Utara. Sesekali mereka berhenti di
tempat-tempat yang dianggapnya menarik, sementara di
sepanjang perjalanan ia terus merekrut serdadu-serdadu
Mongol. Ia tiba di Sungai Kuning pada musim dingin tahun
1347, dan berhasil merekrut lebih dari lima ratus serdadu
baru. Meskipun sudah menduduki Cina selama lebih dari tujuh
dekade, orang-orang Mongol masih tetap lebih suka tinggal
di tenda-tenda yang terbuat dari kulit binatang. Begitu
sampai di Gunung Makmur, ia langsung memerintahkan
untuk membakar rumah-rumah Cina, meratakan tanah per-
tanian, serta menghancurkan kota-kota mereka. Di tempat
yang sama kemudian didirikan tenda-tenda dari kulit
binatang yang disanggah oleh kerangka dari batang-batang
pohon yangliu, sehingga terbentuklah lautan tenda. Setelah
itu, si panglima jenderal beserta serdadu-serdadunya mulai
membantai orang-orang Cina yang bermukim di sepanjang
tepi sungai. Orang-orang Cina di daerah Utara ini memiliki
pelindung, yaitu orang bernama Tzu-hsing.
"Aku begitu bangga bekerja untuk keluarga ini!" ujar
Peony sambil menyisir rambut Lady Joy Kuo. Ruang itu
penuh dengan perabotan mewah, tapi tak ada sebuah
cermin pun di sana, karena Lady Kuo tunanetra.
"Apakah Tuan masih berdiri di tengah-tengah salju?"
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 3 Pendekar Slebor 04 Geger Ratu Racun Naga Sasra Dan Sabuk Inten 11
^