Pencarian

Sungai Lampion 4

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Bagian 4


tanya Joy Kuo. "Ya," jawab Peony setelah melihat ke luar melalui
jendela. Kuo adalah laki-laki bertubuh tinggi semampai, usianya
hampir empat puluhan. Ia berada di kebunnya yang
dikelilingi tembok, dan begitu tenggelam dalam alam
pikirannya, sehingga tak terasa olehnya dinginnya salju
yang mengelilinginya. "Apakah Nyonya ingin aku memanggil Tuan masuk?"
tanya Peony. "Jangan," ujar Joy Kuo lirih. "Dia butuh waktu untuk
meredakan kemelut yang memenuhi pikirannya, dan dia
lebih suka melakukannya di luar. Memang sudah begitu
sejak awal pernikahan kami." Ia kemudian mengungkapkan
pada Peony bahwa ayahnya dulu pedagang kaya yang amat
mencintainya, meskipun ia buta sejak lahir. Kuo masih
miskin ketika itu, tapi ia satu-satunya orang yang dipercaya
oleh ayahnya. Dan ternyata ayah Joy yang bijaksana itu
tidak keliru. Dari tahun ke tahun Kuo menggunakan
maskawin yang diperolehnya untuk membuka toko demi
toko dan dengan demikian semakin kaya, namun ia tetap
suami yang setia dan sayang kepada istrinya.
Joy Kuo berkata, "Peony, kau tahu mengenai rahasia
kami. Suamiku dikenal sebagai pedagang yang memiliki
lebih dari sekitar dua puluh toko di berbagai kota dan desa
di seluruh pelosok daerah Utara, tapi sesungguhnya dia
salah satu di antara dua pemimpin paling disegani dalam
dunia pergerakan di Provinsi Honan..."
Ucapan Joy dipotong oleh kehadiran seorang wanita tua
di ambang pintu. Wanita itu adalah Meadow, pengurus
rumah tangga yang dulu mengasuh Joy. Ia memiliki wajah
keras serta nada bicara ketus. "Tandu Nyonya sudah siap.
Tapi aku betul-betul berkeberatan Nyonya keluar dalam
cuaca seperti ini. Hujan salju sedang turun, tapi tak seorang
pun memedulikan kesehatan Nyonya."
Tanpa mengindahkan kata-kata Meadow, Joy berkata
kepada Peony, "Temui Cendekiawan Tou untuk surat-surat
selebaran itu." Tahu bahwa Joy tak dapat melihat apa yang sedang
dilakukannya, Peony menjulurkan lidah ke arah Meadow.
Ketika Lady Kuo membawa Peony pulang dari istal manusia
itu setahun yang lalu, Meadow bersikeras bahwa salah
seorang di antara pelayan laki-laki harus membawa Peony
kembali ke pasar. "Dasar anak jalanan!" ujar Meadow sambil mengangkat
tangan, siap menampar Peony.
Peony segera berkelit dengan lincah. Setelah meletakkan
kedua ibu jarinya pada cuping hidungnya, dan
menggerakkan jari-jarinya ke arah wanita tua itu, ia berlari
ke luar, meninggalkan ruangan tersebut.
Peony berlari melintasi halaman belakang, menuju
kamar Cendekiawan Tou. Pintunya terbuka dan tampaknya
orang tua itu sedang sendirian. Ia berdiri di muka sebuah
lempengan kuningan lebar dan mengilat, yang digunakannya sebagai cermin untuk memeriksa sejumlah
aksara terbalik yang terukir di permukaan balok kayu yang
besar. "Kenapa Anda tidak memakai cara yang lebih
sederhana?" tanya Peony, mengejutkan orang tua itu. "Aku
bisa membantu Anda mengukir kata-kata yang paling
sering digunakan di potongan-potongan kayu. Kalau ada
yang harus Anda cetak, Anda tinggal merangkai
kata-katanya, lalu mengikat potongan-potongan kayu itu
menjadi satu, daripada mengukirnya satu per satu
berulang-ulang." Cendekiawan Tou mengalihkan matanya dari cermin
kuningan itu. "Aku lelaki tua yang suka melakukan
segalanya dengan cara lama. Kau boleh membantuku
mencetak ini," jawabnya sederhana.
Orang tua itu menyukai Peony. Tak lama setelah dibeli
oleh keluarga Kuo, Peony menyaksikan bagaimana orang
tua itu mencetak pesan untuk tuan mereka. Ia amat tertarik
melihat sekian banyak karakter, yang masing-masing
tampak seperti gambar. Ia lalu mengungkapkan kepada
orang tua itu bahwa ia ingin belajar membaca dan menulis.
Cendekiawan Tou benar-benar tertegun mendapati gadis
polos itu ternyata begitu cerdas. Dalam waktu setahun
Peony sudah belajar cukup banyak untuk dapat membantu
orang tua itu mengukir dan mencetak.
Saat orang tua itu mencampur tinta hitam dengan
minyak untuk mencetak, Peony berdiri di muka cermin
kuningan sambil mengawasi bayangannya. Baru setelah
menginjak usia sembilan belas tahun ia akhirnya berhenti
tumbuh. Makanan bergizi serta hidup yang lebih tenteram
membuat tubuhnya yang besar tampak lebih berisi.
Kulitnya yang semula gelap karena terbakar matahari juga
tidak begitu cokelat lagi. Ia mengenakan baju hijau kemala
di atas celana panjang biru tuanya, dan akhirnya kembali
dapat memakai pita-pita merah untuk dijalin dan diikatkan
pada rambutnya yang hitam berkilauan. Meadow
bersikeras bahwa sebagai pelayan, Peony hanya boleh
mengenakan warna-warna gelap, tapi Lady Kuo telah mem-
berikan kelonggaran padanya untuk memperbaiki penampilannya yang tidak begitu mencolok itu sesuka
hatinya. Peony mengangkat matanya ke arah langit-langit. "Shu,
andai kata kau dapat melihatku dari surga saat ini, kau
pasti akan mengakui rupaku lebih cantik daripada dulu,"
gumamnya. Akhirnya tintanya siap. Cendekiawan Tou menyapukannya ke balok-balok kayunya, kemudian
membentangkan selembar kertas merang di atasnya.
Dengan tangannya ia meratakan kertas itu, sehingga
seluruh bagiannya menempel di balok kayu itu.
Peony membaca pesan yang tertera di atasnya,
"Satu-satunya cara untuk membuat kue bulan yang baik
adalah dengan mengolah bahan-bahannya dengan baik.
Para biksu Tao dan Buddha harus saling menggabungkan
resep-resep mereka."
Arti sesungguhnya di balik kata-kata ini adalah, "Para
biksu Tao dan Buddha harus menggabungkan kekuatan
untuk menghadapi para biksu Lama, karena itu
satu-satunya cara untuk menghadapi orang-orang Mongol."
"Sebaiknya para biksu itu mengikuti saran Master Kuo,"
ujar Cendekiawan Tou. "Pedang Dahsyat meratakan
desa-desa tidak hanya untuk membuat padang-padang
rumput, tapi juga untuk menyediakan tempat membangun
kuil-kuil Lama. Sejumlah biksu Lama akan tiba dari daerah
padang gurun. Mereka bukan orang-orang ramah dan saleh,
tapi kejam dan serakah, sama seperti para serdadu
Mongol." Setelah setumpuk selebaran berisl pesan Master Kuo
selesai dicetak dan kering, Peony mengangkutnya ke dapur.
Di situ, di atas sebuah rak, sudah menunggu kue-kue
matang yang dibuat di rumah itu. Peony menyusupkan
pesan-pesan ltu ke dalam kue-kue yang tersedia, yang
kemudian ia masukkan ke kotak-kotak untuk dimuat di
sebuah gerobak yang ditarik sapi.
Saat masih berdiri di samping gerobaknya, ia melihat
seorang petani sedang bergegas menuju rumah keluarga
Kuo. Laki-laki itu mengenali Peony, lalu menyerahkan
sebuah kotak kepadanya. "Isinya manisan buah kurma dari
Sungai Yangtze. Master Kuo harus mencicipinya secara
pribadi." Peony segera menemui Kuo yang saat itu masih berdiri
di kebun. Ia mengawasi saat tuannya membuka kotak itu,
lalu mengintip untuk membaca kata-kata yang tertulis pada
sepotong kertas. "Penguasa Danau Angin Berblsik
membuka pintu untuk semua orang Cina pencinta kurma
yang berniat menghubunginya. Marilah kita satukan semua
buah manisan yang kita miliki, untuk dipanggang menjadi
kue musim semi yang lezat."
Kuo, yang menaruh kepercayaan pada Peony sama
seperti istrinya, berkata, "Penguasa Danau Angin Berbisik.
Dia pasti Lu yang begitu sering dibicarakan orang. Dia
memintaku ke sana di musim semi nanti, untuk bergabung
dengan organisasi-organisasi pergerakan lainnya." Ia
menatap Peony, lalu tersenyum. "Ini kabar yang sudah lama
kutunggu-tunggu." Peony dan Lady Kuo meninggalkan rumah dengan dua
tandu tertutup, karena tak aman bagi wanita Cina mana
pun untuk berjalan kaki melewati tempat yang penuh
dengan orang-orang Mongol. Namun begitu tiba di kaki
bukit, Peony melompat keluar dari tandunya. Ia menaiki
gunung itu dengan berjalan kaki, sambil menikmati udara
segar. Hujan salju sudah mereda, yang tinggal serpihan-serpihan salju yang jatuh lembut di sekitarnya.
Tanaman honeysuckte berkembang di antara hamparan
salju, menebarkan keharumannya ke seluruh penjuru.
Pohon-pohon bunga yang tumbuh di sana sudah ratusan
tahun usianya, penuh dengan kuncup-kuncup merah,
merah muda, kuning, dan putih. Peony berlari dari pohon
yang satu ke yang lain, sambil tertawa-tawa begitu
kelopak-kelopak bunga yang dingin jafuh ke atasnya dan
menggelitik hidungnya. Tak lama kemudian ia melihat dahan penuh bunga agak
di luar jangkauannya. Ia segera melompat, lalu menghilang
di antara kerimbunan hijau yang terselubung salju. Pada
saat berikutnya ia sudah mendarat dengan lengan-lengan
terentang. Bergegas ia menghampiri tandu Lady Kuo, untuk
mempersembahkan sebuah buket bunga padanya.
"Hati-hati, Nak," ujar majikannya lembut, sambil
mencium bunga-bunganya. Ia tahu kemampuan Peony
dalam ilmu tai chi, namun tetap sulit bagi seorang wanita
tunanetra untuk membayangkan bagaimana seseorang
dapat melakukannya tanpa mengalami cedera.
Sejam kemudian mereka sampai di Kuil Bangau Putih.
Biksu Sumber Damai menyambut Lady Kuo dengan penuh
hormat, kemudian tersenyum hangat ke arah Peony. Biksu
tua itu sempat khawatir mernikirkan Peony setelah ia
meminta gadis itu meninggalkan tempat tersebut, dan amat
lega melihatnya kembali bersama Lady Kuo setahun setelah
itu. Pasangan suami-istri Kuo adalah pelindung kuil itu.
Sejak saat itu, setiap kali Lady Kuo datang untuk membakar
batang-batang dupa, Peony menemaninya.
Dalam salah satu kunjungan pertamanya, Peony
menemui para biksuni untuk membujuk mereka agar mau
belajar seni tai chi darinya. Setiap kali berkunjung, ia
mengajarkan lebih banyak kepada mereka, dan semakin
lama para biksuni ini semakin antusias berlatih. Beberapa
di antara mereka kemudian dipindahkan ke kuil-kuil lain,
baik di daerah Utara maupun Selatan, dan mereka mem-
bawa keterampilan ber-tai chi ini bersama mereka.
Akibatnya, seni yang luar biasa ini kemudian dipelajari oleh
para biksuni di seluruh pelosok Cina.
Sumber Damai membimbing Lady Kuo ke sebuah kursi,
lalu wanita itu berkata, "Aku datang ke sini untuk
menyampaikan permohonan suamiku pada Anda. Kami
membawa kue manis di dalam gerobak. Apakah
biksu-biksu Anda dapat membagi-bagikannya pada
kuil-kuil di sepanjang Sungai Kuning" Di dalam setiap kotak
kue ada pesan, dan kita harus amat berhati-hati agar tak
satu pun jatuh ke tangan orang-orang Mongol atau salah
seorang biksu Lama. Kalau mereka sampai menerka isi
pesan itu, kita akan celaka."
Biksu tua itu menjawab dengan nada rendah, "Apa pun
akan kulakukan untuk Anda dan Master Kuo. Tapi jika itu
juga berarti mempertaruhkan keselamatan banyak orang,
kita harus mengadakan rapat dulu. Aku akan mengirim
kabar pada Nyonya dalam beberapa hari ini."
Sementara Lady Kuo dan Sumber Damai berbincang-bincang, Peony meninggalkan mereka ke-
mudian menuju bagian yang didiami para biksuni, yang
terpisah oleh kebun sayur dari tempat tinggal para biksu
laki-laki. Para biksuni itu dapat melatih keterampilan tai chi
mereka dengan mengenakan celana dan baju ketat hitam
tanpa perlu merasa rikuh akan mengganggu konsentrasi
para biksu laki-laki yang masih muda.
Begitu hampir sampai, ia mendengar suara beberapa
biksuni yang sedang cekikikan. Nadanya ceria sekali. Peony
tersenyum bangga. Dialah yang membawa keceriaan itu ke
dalam hidup mereka yang dulu amat suram.
Sewaktu memasuki kebun itu, mata Peony terbeliak
saking tertegunnya. Para biksuni itu rupanya telah berlatih
tai chi dalam hujan salju. Mereka mengenakan serban


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah terang untuk menutupi kepala-kepala botak mereka.
Sekarang, setelah hujan salju itu reda, mereka masih tetap
memakai penutup kepala. Warnanya yang hidup tampak
kontras dengan pakaian mereka yang hitam dan membuat
mereka tampak cantik. "Seorang nyonya kaya menyumbangkan kepada kami
beberapa meter sutra merah untuk dibuat selimut.
Tentunya selimut sutra merah kurang sesuai untuk dipakai
dalam kuil, tapi sayang sekali kalau bahan yang begitu
halus disia-siakan," salah seorang biksuni menjelaskan.
Peony lebih tertegun lagi melihat beberapa biksuni yang
kakinya terbebat di antara yang sedang latihan.
"Latihan tai chi meniadakan keterbatasan kami. Kami
bukan makhluk-makhluk yang tak berdaya lagi!" seru salah
seorang biksuni yang dulunya putri bangsawan. "Sekarang
aku dapat membalas kematian keluargaku!" Sebetulnya
para biksu dan biksuni tak boleh memikirkan hal-hal
seperti itu, tapi Peony telah menghapuskannya dari pikiran
para biksuni ini. "Omong-omong soal balas dendam, ada yang ingin
kusampaikan pada kalian." Peony mengungkapkan pada
mereka mengenai pesan yang dIkirimkan ke semua kuil
daerah Honan, yang terletak di sepanjang Sungai Kuning.
"Para biksu diminta bergabung dalam pergerakan. Tapi tak
sepatah kata pun disebut-sebut mengenai kita, para
pejuang dari kalangan wanita. Ini penghinaan. Kita sama
baiknya dengan kaum laki-laki, malah mungkin lebih baik.
Mengingat mereka tidak meminta kita untuk bergabung
dengan mereka, kita akan berjuang sendiri."
Sebelum melanjutkan kata-katanya, Peony menaiki
podium, lalu berdiri dengan memunggungi patung sang
Buddha. Dengan nada rendah ia mengungkapkan kepada
para biksuni itu mengenai keonaran yang ditimbulkan oleh
kelima ratus serdadu yang tiba bersama-sama dengan
Pedang Dahsyat. "Bangsa kita dibantai setiap hari. Kita tak dapat
melakukan perlawanan secara terbuka di siang hari, tapi
malam-malam kalian dapat menyelinap ke luar kuil, dan
aku dapat menemui kalian di Gunung Makmur. Kita dapat
menggunakan teknik tai chi kita untuk menelusuri
jalan-jalan tanpa suara. Begitu memergoki kaum wanita
yang diperlakukan semena-mena oleh orang-orang Mongol,
kita basmi monster-monster itu."
Peony melihat bayangan ketakutan tersirat di wajah
beberapa biksuni, lalu dengan nada menuduh ia berkata,
"Kalian tak punya hak untuk bersikap seperti pengecut. Apa
kalian sudah lupa bagaimana keluarga kalian dibantai" Apa
kalian sudah tak ingat lagi bagaimana kepala-kepala me-
reka dipancang di tonggak-tonggak tinggi" Coba lihat ke
arah padang rumput yang dulu tempat tinggal kalian. Kuda
orang-orang Mongol menginjak-injak bumi tumpah darah
orangtua kalian!" Peony melembutkan suaranya begitu melihat air mata
berlinang dari mata beberapa biksuni serta tekad yang
kemudian membayang di wajah-wajah mereka yang
terangkat. "Kalau kalian muncul di alun-alun Gunung
Makmur nanti malam, kenakanlah celana panjang dan
kemeja ketat hitam kalian, serta tutup kepala kalian dengan
serban merah."' Tak lama sesudah itu, Peony meninggalkan para biksuni
untuk menemani Lady Kuo pulang Nyonya itu heran karena
sepanjang perjalanan Peony tidak mengeluarkan sepatah
kata pun. Sesungguhnya Peony menggunakan kesempatan
itu untuk beristirahat, karena ia tahu ia takkan punya
waktu untuk tidur malam itu.
Di bawah langit musim dingin yang bening, bulan
purnama bersinar, menerangi alun-alun kota yang
berselimut salju. Sesosok bayangan bertubuh tinggi muncul dari sebuah
jalan, menuju daerah yang ditinggali orang-orang kaya.
Celana panjang serta bajunya yang ketat mengungkapkan
sosok wanita berdada besar, dengan tungkai panjang dan
kaki besar. Saat ia menengadahkan kepala, bulan menyinari
serban merah yang dikenakannya. Matanya yang besar dan
bulat memancarkan kekecewaan begitu melihat tak
seorang pun ada di pelataran itu.
"Peony," bisik seorang biksuni yang muncul dari tempat
persembunyiannya, di balik sebuah tonggak tinggi. "Kami
sudah menunggu lama sekali di sini. Kenapa kau
terlambat?" "Si Meadow tua tidak mau memberiku kesempatan
untuk menyelinap keluar dari dapur..." Peony memutuskan
kalimatnya begitu melihat tiga biksuni lagi keluar dari
bawah pelataran, semua berpakaian sama seperti dirinya.
"Aku begitu bangga melihat kalian! Nah, kita bisa memulai
misi suci ini berlima."
Peony memimpin yang lain menelusuri jalan-jalan kota
Gunung Makmur. Mereka melewati rumah penjara,
kemudian terus ke daerah lampu hijau. Tempat itu sudah
sepi sekali. Hanya beberapa kedai arak yang masih buka.
"Jangan ganggu anak perempuanku!" seru seorang
laki-laki dengan nada marah, melalui jendela sebuah kedai
arak yang tertutup kertas. "Jangan kausentuh dia dengan
tangan kotormu itu!"
Seorang Mongol mengumpat dalam bahasanya, disusul
lengking kesakitan seorang laki-laki. Seorang wanita
menjerit, kemudian terdengar ratapan memelas seorang
gadis. Tiga pelanggan yang ketakutan bergegas kabur melalui
pintu. Salah seorang di antaranya sempat mengumpat,
"Dasar si tua goblok! Kalau ada orang Mongol yang
berminat meniduri anaknya, seharusnya dia meninggalkan
ruangan itu dan pura-pura tidak melihat dan mendengar
apa-apa!" Peony dan keempat biksuni menggeleng-gelengkan
kepala mendengar komentar pengecut itu, kemudian
diam-diam menyelinap ke kedai arak itu.
Mereka melihat seorang lelaki tergeletak di lantai,
dengan sayatan di leher dari telinga yang satu sampai ke
telinga yang lain, seorang wanita bersimpuh di tanah
sambil mengguncang-guncang dan memeluk tubuh
suaminya, serta seorang gadis dalam keadaan setengah
telanjang meronta-ronta dalam rangkulan seorang Mongol.
Dengan menggunakan jurus favoritnya, bangau putih
mengepakkan kedua sayapnya, Peony mengibas si Mongol
ke sisi lain ruangan. Keempat biksuni menggunakan
tebaran tangan bak awan untuk membawa si ibu dan anak
perempuannya keluar dari kedai arak itu. Saat si Mongol
berusaha berdiri, Peony segera mengubah gerakannya
dengan jurus memetik sekuntum bunga. Si Mongol segera
menjerit kesakitan begitu bola matanya dicungkil secepat
kilat oleh Peony dengan jari-jarinya.
Peony segera menyusul keenam wanita yang sedang
kabur itu. Dengan tegas ia mengingatkan si ibu dan
anaknya untuk tidak bersuara. Ia mengajari mereka cara
membungkuk serendah mungkin, lalu mengendap-endap
dengan jurus seperti ikan di dasar sungai. Mereka melebur
dalam kegelapan, meninggalkan kota tanpa sepengetahuan
para serdadu Mongol yang berlarian ke sana kemari de-
ngan gempar. Sumber Damai menampung ibu dan anak itu dalam
perlindungannya. Ia terpaksa menegur Peony dan keempat
biksuni karena menyelinap keluar tanpa izin, namun mata
biksu tua itu tampak berbinar bangga saat menatap kelima
wanita itu. Para biksuni lain melihat reaksinya dan merasa malu
karena tak ikut ambil bagian malam itu. Mereka
memperlakukan keempat biksuni yang gagah berani itu bak
pahlawan, dan memutuskan lain kali mereka akan ikut
bergabung. Peony kembali ke rumah kediaman keluarga Kuo
sebelum Meadow menyadari ia telah menghilang.
Tapi paginya ia menceritakan pada kedua majikannya
apa yang telah dilakukannya malam Itu. Kedua majikannya
terkejut. Tubuh Lady Kuo merinding membayangkan risiko
yang telah diambil Peony. Tapi setelah berhasil meyakinkan
mereka bahwa ia dan para biksuni itu melakukannya untuk
membantu pihak pergerakan, pasangan suami-istri Kuo
amat bangga atas dirinya.
"Apakah itu berarti nanti malam aku boleh keluar dari
rumah ini secara terang-terangan, tanpa harus menyelinap
di belakang punggung Meadow?" tanya Peony pada kedua
majikannya. Pasangan suami-istri Kuo tak dapat menjawab tidak.
Enam bulan kemudian, nama Serban Merah dikenal
orang mulai dari daerah sekitar Sungai Kuning sampai
Sungai Yangtze. Dengan nada rendah, baik orang-orang Cina maupun
Mongol mengungkapkan bahwa para biksuni yang
mengenakan serban merah itu dapat berjalan di atas air
dan melayang di udara, dan pemimpin mereka seorang
gadis bertubuh tinggi besar yang namanya tidak jelas,
namun mempunyai kaki sebesar kaki kuli laki-laki.
19 1348 SEMENTARA Khan dan favoritnya, Kilau Bintang,
menikmati udara musim semi di Da-du, desir angin hangat
bertiup melintasi kota Yin-tin, membelai dahan-dahan
lentur tanaman yangliu dengan sentuhan lembut.
Di halaman rumah kediaman keluarga Lu, Lu berkata,
"Coba umpamakan angin bak seorang ibu yang hangat, dan
setiap dahan tanaman yangliu sebagai anaknya yang masih
kecil. Si ibu merengkuh anaknya, berbisik ke telinganya
untuk mengungkapkan betapa cantiknya ia dengan jubah
barunya." Shu menatap tanaman-tanaman yang dimaksud itu
sesaat, lalu berpaling kepada Lu. "Apakah para penyair
selalu harus sedikit sinting?"
Si bangsawan muda tertawa. Shu sudah mempelajari
seni membaca dan menulis selama dua tahun terakhir. Tapi
jika membaca, ia tak dapat melakukannya dalam hati; Ia
harus mengucapkan kata demi kata dengan suara keras.
Dan kalau ia menulis, setiap karakternya sebesar tinjunya;
selembar kertas yang cukup untuk memuat satu syair
panjang paling banyak hanya dapat memuat dua atau tiga
kata tullsannya. Sementara puisi-puisinya... Lu meng-
geleng-gelengkan kepala. "Katakan, sobatku, apa yang
terlintas dalam pikiranmu begitu kau melihat tanaman
yangliu yang indah ini?"
Shu mengerutkan alis, merapatkan bibir sambil
mengawasi tanaman ltu dengan serlus. "Aku melihat bahan
yang bagus untuk menganyam keranjang. Aku juga melihat
kayu bakar, tapi itu mungkin dapat diambil setelah pohon
itu mati dan kering. Kalau dipakai sekarang, akan terlalu
banyak asap..." Lu memotongnya, "Sudahlah, lupakan itu. Hari ini begitu
indah. Kau mau ke kuil?"
Lu tercengang ketika Shu menggeleng-gelengkan kepala.
"Para biksu itu melihat kungfu dengan cara yang sama
seperti kau melihat tanaman-tanaman itu," ujar Shu.
"Terakhir aku di sana, Iman Teguh memintaku
mengucapkan sumpah untuk tidak menggunakan kungfu
untuk keuntungan pribadi. Dia juga mengatakan dalam
pertarungan aku tak boleh mencabut nyawa lawanku kalau
aku hanya perlu melukkai matanya, dan aku tak boleh
melukai matanya jika mematahkan lengannya sudah me-
rupakan hukuman setimpal untuk apa yang dilakukannya."
"Apa sudah kauucapkan sumpah itu?" tanya Lu prihatin,
sambil berhenti melangkah di ambang pintu yang
berbentuk bulan. Jika seseorang sudah mencapai peringkat
tertentu dalam kungfu, para biksu biasanya memintanya
mengucapkan suatu ikrar. Jika orang yang bersangkutan
menolak, ia takkan boleh melanjutkan pelajaran kungfunya
lagi. Lu tahu bahwa selama dua tahun terakhir ini, pelajaran
kungfu Shu berfungsi seperti rantai yang mengikat elang
liar pada sebatang pohon. Tanpa itu, ia akan langsung
kabur. "Tentu saja tidak!" sahut Shu dengan nada tinggi. Ia
kemudian mengungkapkan pada Lu mengenai perdebatan
antara dirinya dan Iman Teguh. Biksu tua itu tidak
mengizinkannya kembali, kecuali ia mau berubah pikiran,
namun Shu bertekad mempertahankan pendapatnya. "Aku
sudah belajar banyak. Sudah kutangkap sari ilmu bela diri
dengan tangan kosong, ilmu pedang, dan tombak. Sekarang
aku tinggal menyempumakan kungfuku, tapi itu dapat
kulakukan sendiri." Shu meletakkan tangannya yang besar di pundak
ramping sobatnya, lalu berkata, "Kau takkan dapat
menjadikan aku penyair. Dan aku takkan pernah
sependapat dengan para biksu itu. Lenganku sudah pulih,
dan masa belajarku sudah berlalu. Aku harus mencari
pekerjaan." Bulu kuda itu berbercak cokelat-putih, tidak terlalu
bagus, tapi amat kuat. Shu menungganginya. Ia dapat
mendengar desir angin di telinganya, dan merasakan
hangatnya matahari di wajahnya. Saat ia melintasi sebuah
kota, para penduduknya menepi untuk memberinya jalan.
Saat ia memacunya di lapangan rumput terbuka,
pohon-pohon yang semula di depannya dalam sekejap
sudah berada jauh di belakangnya.
"Sekarang aku betul-betul bebas!" ia memekik, kemudian
mengentak sisi kudanya untuk mempercepat derapnya.
Kudanya tidak hanya memanggul penunggangnya, tapi
juga sebuah kantong besar berisi surat-surat. Lu telah
menggunakan pengaruhnya untuk mencarl pekerjaan bagi
Shu. Dalam seragam kuning mereka, para pengantar surat
diperbolehkan melakukan perjalanan berkuda dari provinsi
yang satu ke yang lain tanpa harus berhenti di setiap pos
perbatasan. Shu melintasi perbatasan Provinsi Kiangsi di suatu hari


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musim panas. Ketika ia sampai di kota Phoenix, matahari
mulal masuk ke peraduannya, menciptakan ilusi sebuah
negerl dongeng yang diselubungi sayap burung phoenix.
Hati Shu berdebar-debar penuh emosi. "Akhirnya aku
sampai di kampung halamanku!"
Setelah mengantarkan sepucuk surat ke rumah seorang
pejabat Mongol, ia mencari tempat untuk menginap. Para
pengantar surat diperbolehkan memiliki kuda, namun tak
diizinkan tinggal di tempat penginapan bagi orang-orang
Mongol atau para penjelajah asing. Shu berhenti di muka
sebuah rumah penduduk, lalu menanyakan nama keluarga
mereka. Ketika laki-laki itu dengan ragu-ragu meng-
ungkapkan bahwa nama keluarga mereka Shu, hati Shu
langsung berbunga-bunga. "Ayahku ternyata benar! Dia mengatakan padaku bahwa
kebanyakan di antara kalian memiliki hubungan keluarga
denganku, entah bagaimana. Leluhurku adalah..." Sebelum
ia mengatakan lebih banyak, pintu rumah itu sudah
dibanting di mukanya. Sementara malam semakin larut, Shu mendapati
semakin banyak rumah ditinggali oleh mereka yang
menyandang nama keluarga Shu, namun tak satu keluarga
pun mau menerimanya. Ia amat kecewa. Ia tak mengertii
mengapa kaum kerabatnya bersikap begitu dingin
terhadapnya. Dengan hati sakit ia teringat Ma, sahabat
kecilnya, serta ketujuh temannya yang lain. Ia juga teringat
akan Lu dan Lotus, serta istri Sipir Li yang telah
menyelamatkan hidupnya. Akhirnya ia mengangkat bahu
dan berhenti mengetuki pintu rumah-rumah. "Rupanya ada
banyak orang Cina yang berhati dingin selain yang hangat,"
gerutunya, kemudian berlalu dengan kudanya.
Sambil berderap di bawah cahaya bulan musim panas, ia
meninggalkan jalan terakhir menuju luar kota, dan
akhirnya sampai di sebuah tanah pekuburan. Ia teringat
nama beberapa kerabatnya dan bersyukur dapat membaca
apa yang tertulis di batu-batu nisan itu. Sambil melangkah
di bawah cahaya bulan, ia menemukan makam para
leluhurnya. Ia berlutut, lalu memohon, "Maafkan aku karena tidak
datang lebih awal ke sini. Takdir membuatku menempuh
jalan lain. Tapi aku sudah siap bertindak sekarang.
Bantulah aku merebut kembali tanah Cina dari tangan
orang-orang Mongol, serta membalas kematian rekan-rekan sebangsaku!"
Shu menemukan sebuah kuil Buddha tak jauh dari
pemakaman itu. Kepala biara itu menatap laki-laki yang
tampak amat penat beserta kudanya yang sudah kecapekan
itu sekilas, kemudian segera menggiring si kuda ke sebuah
istal, sementara Shu dibawa ke sebuah ruangan, melalui
sebuah tempat terbuka. Tempat itu penuh dengan biksu-biksu berpakaian ketat
dan sepatu lembut. Di bawah sinar bulan, wajah-wajah
mereka tampak berkeringat dan bercahaya. "Para biksu di
sini juga berlatih kungfu!" seru Shu tertegun.
"Mana ada biksu yang tidak berlatih?" jawab kepala
biksu itu tenang. "Bahkan para biksuni berlatih di bagian
bangunan yang diperuntukkan bagi mereka sendiri."
Shu mengangguk. Ia sudah pernah mendengar mengenal
para biksuni yang tergabung dalam Gerakan Serban Merah.
Anehnya, lebih dari sekali gambaran mengenal pemimpinnya sering mengingatkan dirinya pada Peony-nya. Mungkin kekasihnya itu juga sedang berlatih
kungfu di surga, serta asyik mengusik kedamaian dunia
Buddha yang biasanya tenteram itu. Tiba-tiba Shu merasa
terlalu sedih untuk tidur. Ia bertanya, "Apakah tidak apa-
apa kalau aku menonton mereka?"
"Tentu saja tidak. Tapi kalau ternyata kau mata-mata
orang-orang Mongol, kau takkan bisa meninggalkan kuil ini
dengan lidah utuh." Suara biksu itu amat lembut, tapi bulu kuduk Shu
merinding mendengar nadanya. "Aku takkan pernah
mengungkapkan kepada siapa-siapa, apa yang kulihat di
sini." Shu mengawasi gerakan-gerakan para biksu itu sesaat,
kemudian tanpa disadarinya ia sudah bergabung dengan
mereka. Gaya mereka berbeda dengan apa yang pernah
dipelajarinya. Ia menyerap teknik mereka, untuk kemudian
dipadukannya dengan gayanya sendiri. Begitu warna langit
di timur memucat menjadi keabu-abuan menjelang subuh,
para biksu itu menarik diri, lalu Shu pergi tidur sambil
terus berlatih kungfu dalam mimpinya.
Tempat tuiuan berikutnya adalah Hangchow, ibu kota
Sung yang terakhir. Setelah melaksanakan tugasnya, ia
mampir di Danau Barat yang amat terkenal dan berkunjung
ke sebuah kuil Tao yang terletak di sekitar situ. Kembali ia
bergabung dengan para biksu dalam latihan kungfu
mereka, sambil menyerap gaya andalan mereka yang paling
ampuh. Selama berbulan-bulan ia berjalan menuju Selatan.
Akhirnya ia sampai di tepi Sungai Mutiara yang mengalir di
Provinsi Hu-kuang. Ia tak dapat menangkap dialek para
blksu di daerah itu, namun ketika menginap di kuil-kuil
mereka, ia merengkuh gaya kungfu mereka yang unik dan
merasa bak hartawan yang memperoleh lebih banyak
kekayaan untuk ditambahkan pada apa yang sudah
dimilikinya saat itu. "Kau berubah," ujar Lu begitu ia bertemu kembali
dengan Shu di musim semi tahun 1349. Ia mengamati
tubuh sobatnya yang berotot serta wajahnya yang bersinar.
"Kau tampak lebih matang, lebih besar, dan lebih bahagia."
"Aku belajar banyak mengenal manusia, kehidupan,
serta teknik kungfu." Ia mengungkapkan pada Lu mengenai
pengalamannya menghadapi para penyandang nama
keluarga Shu yang bersikap dingin, para biksu yang ramah,
serta bagaimana ia menciptakan teknik kungfu yang baru
dengan mengombinasikan bagian-bagian terbaik dari
semua gaya yang ada. Ia mengawasi wajah Lu yang
kepucatan serta tubuhnya yang ramping, lalu tertawa.
"Wah, kau tidak bertambah tua, juga tidak tumbuh lebih
besar. Tapi setidaknya kau tidak menciut. Dan tampaknya
kau bahagia sekali."
"Aku tidak hanya bahagia, tapi juga amat berbesar hati.
Lotus dan aku sudah mempunyai seorang bayi laki-laki lagi
sekarang. Dia lahir musim dingin yang lalu. Ayahku
menamakannya Tulus."
Lu mengajak Shu ke ruang kerjanya, sambil berusaha
membujuknya untuk tinggal di kamar lamanya malam itu.
"Begitu banyak yang masih harus kita ceritakan," ujar Lu.
Ia mengungkapkan pada Shu mengenai surat-surat
selebaran yang dikirimkannya kepada para pemimpin
pergerakan di mana-mana. Mereka semua mengharapkan
dukungan dana darinya, namun tak satu kelompok pun
menyatakan bersedia bergabung dengan kelompok lainnya.
"Aku kecewa sekali," ujar Lu. "Para pemimpin revolusi
kita hanya berjuang untuk kepentingan kelompok mereka
sendiri, bukannya untuk Cina. Kudengar tentang orang
bernama Kuo, yang tinggal di Utara, di Provinsi Honan.
Katanya dia mempunyai pandangan berbeda. Aku sudah
mengirimkan undangan padanya, namun aku belum
menerima jawabannya."
Akhirnya Lu mulai menceritakan pada Shu mengenai
Liga Rahasia. "Kami masih melakukan hal-hal yang sama..."
Shu memotong, "Aku tak peduli mengenai makhluk-makhluk angkuh itu, dan aku tak ingin tahu
apa-apa mengenai mereka. Aku benci semua orang
terpelajar, kecuali kau!" Tanpa memberi kesempatan pada
Lu untuk membantah, Shu berkata lagi, "Tapi aku
membutuhkan bantuanmu."
Ia mengingatkan Lu akan mimpinya dulu. "Aku pernah
menyebutkannya padamu saat pertama kita bertemu.
Katamu aku harus memberitahumu begitu aku siap. Saat itu
tidak terlintas dalam diriku bahwa aku akan membutuhkan
bantuanmu. Aku begitu yakin para penghuni kota Phoenix
akan mengikuti aku, mengingat ayahku salah satu di antara
mereka. Tapi ternyata aku keliru."
Dalam perjalanan berikutnya ke kota Phoenix, Shu
membawa kepingan-kepingan uang perak dan emas di
bagian dasar kantong suratnya.
Sikap enggan orang-orang Cina untuk menerima seorang
pengantar surat miskin berubah begitu melihat kepingan
uang peraknya. Dan begitu Shu memperlihatkan kepingan
uang emasnya, kata-katanya tiba-tiba terdengar lebih
meyakinkan. Shu berhasil mengumpulkan lebih dari dua puluh orang
di kampung kelahiran leluhurnya, serta meminta mereka
menemuinya di tanah pekuburan kota mereka malam itu.
"Tanggung jawab kalian adalah memata-matai orang-orang
Mongol. Setiap kali aku ke sini, kalian harus menampungku
di rumah-rumah kalian, bukannya menutup pintu. Kalian
harus mengabari aku begitu sekelompok orang Mongol ber-
kemah di dekat sini, lalu mengantarku ke perkemahan
mereka. Dan, tentu saja, kalian akan mendapat imbalan
memadai untuk informasi itu."
Berkat dukungan dana dari Lu, Shu berhasil merekrut
lebih banyak orang dari berbagai desa lain untuk menjadi
mata-mata. Tapi setiap kali ia mampir di suatu kuil dan
mencoba mengajak para biksunya bergabung dengannya, ia
mendapati kepingan-kepingan uang perak dan emasnya
takkan dapat mengubah pikiran mereka. Mereka tetap ber-
siteguh berpegang pada ajaran yang mereka anut, yakni
menggunakan kungfu hanya untuk keperluan membela diri.
Yang kemudian menjadi inti gerakan yang di pimpin Shu
adalah sebuah kelompok yang terdiri atas beberapa puluh
pembawa berita. Orang-orang yang berhati tegar dan
tangguh ini tidak mengharapkan bayaran untuk partisipasi
mereka; mereka berjiwa patriotik. Di siang harl mereka
berkuda dari kota yang satu ke kota yang lain,
mengumpulkan informasi dari para mata-mata bayaran. Di
waktu malam mereka menyerang kelompok orang Mongol
yang terisolir, kemudian bersembunyi di kuil-kuil. Dan
begitu matahari terbit kembali, mereka melanjutkan
perialanan dengan seragam kuning mereka, menjalankan
tugas sebagaimana layaknya pembawa berita.
Shu menjalln hubungan akrab dengan mereka, dan
dalam waktu singkat Ia sama dekatnya dengan mereka
seperti dengan ketujuh pemuda yang dulu bersamanya.
Shu tiba kembali di kota Yin-tin tepat pada waktunya
untuk ikut merayakan Pesta Bulan. Lu mengirimkan
sepucuk surat yang bersifat pribadi kepada atasan Shu,
meminta padanya agar Shu diperbolehkan beristirahat
selama beberapa hari dan merayakan pesta itu bersama
keluarga Lu. Pada waktu Lu dan Shu duduk berdua di
bawah sinar bulan musim gugur, si bangsawan muda
mengucapkan selamat atas keberhasilan Shu.
"Aku menganggap kedua belas pendekar itu saudara-saudaraku. Ayo kita juga minum demi kesehatan
dan keberhasilan mereka," ujar Shu, sambil mengangkat
cangkir araknya tinggi-tinggi.
Untuk kaum berada kota Yin-tin, Pesta Bulan tak bisa
disebut lengkap tanpa kepiting yang diambil dari
anak-anak sungai di sekitar perairan Su-ngai Yangtze.
Kepiting yang masih hidup tampak seperti bunga krisan
keabu-abuan. Begitu dimasak, warnanya berubah menjadi
merah terang Orang-orang percaya daging kepiting akan
terasa paling enak pada saat bulan di musim gugur sedang
purnama penuh. Kepiting krisan ini juga dikirim ke Da-du, yang jaraknya
hampir 1.200 mil dari kota itu, untuk dipersembahkan
kepada selir favorit Khan Badai Pasir yang Agung - Kilau
Bintang. Wanita itu tidak hanya menyukai rasa dagingnya,
tapi juga senang melihat bagaimana kulit kepiting berubah
warna serta suara yang ditimbulkan binatang-binatang itu
saat berusaha merayap keluar dari wajan berisi air panas.
Sesuai dengan instruksinya, dua belas karung kepiting
krisan harus meninggalkan kota Yin-tin pada Pesta Bulan
dan sampai di istana beberapa hari berikutnya.
Untuk pengiriman kepiting itu, dua belas pembawa
berita biasanya dibebastugaskan dari kewajiban mereka.
Sebagai ganti kantong-kantong surat, mereka harus
membawa karung-karung berisi kepiting hidup. Kedua
belas anak buah Shu merupakan penunggang-penunggang
kuda terbaik, karena itu merekalah yang kemudian terpilih
untuk tugas ini. Shu juga termasuk dalam rombongan ini,
andai ia tidak diundang oleh putra Wali Kota untuk
perayaan Pesta Bulan kali itu.
Kedua belas orang itu menempuh jarak lebih dari dua
ratus mil sehari, berganti tunggangan beberapa kali, dan


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya berhasil mencapal 1.200 mil dalam lima hari.
Setelah mengantarkan kepiting-kepiting itu ke istana,
mereka segera meninggalkan kota Da-du. Tapi mereka
ditangkap sebelum cukup jauh dari kota itu.
Entah kenapa, semua kepiting yang mereka bawa itu
mati. Kilau Bintang amat marah. Khan yang Agung
kemudian memerintahkan agar kedua belas orang itu
dihukum mati. Shu berada di kota Phoenix ketika mendengar berita itu.
Ia langsung kembali ke Yin-tin, melompat dari kudanya,
kemudian menghambur masuk ke rumah kediaman
keluarga Lu di siang bolong, untuk menemui Lu di salah
satu ruangan. "Katakan itu cuma kabar burung!" serunya pada Lu.
"Aku menyesal sekali, sobatku," ujar Lu. Suaranya
bergetar. Wajah Shu langsung pucat pasi. Jaringan pernbuluh
darah di matanya memerah. Dengan suara tertahan ia
berteriak, "Apa betul Kilau Bintang ingin melihat anggota
tubuh mereka direnggut sampai berantakan seperti
kepiting" Kudengar kakaknya, Pedang Dahsyat, juga di
sana, dan dialah yang kemudian melaksanakan eksekusinya..." Shu tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Masing-masing pembawa berita diikat pada empat ekor
kuda, dengan satu anggota tubuh pada satu kuda. Begitu
Pedang Dahsyat mengentakkan cambuknya, kuda-kuda itu
berlari ke empat arah berlainan. Anggota-anggota tubuh
orang yang terikat itu kemudian terenggut lepas, persis
kepiting matang yang siap dilahap.
Lu mengangguk, kemudian memalingkan wajah ke arah
kamar tidurnya. Seorang wanita terdengar muntah-muntah. Rupanya Lotus menangkap apa yang baru
saja dikatakan Shu. Jasmine menghambur keluar dari kamar itu, lalu sambil
mengacungkan jarinya ke arah Shu, ia berseru, "Pergi dari
sini, petani yang tak punya perasaan! Kau membuat perut
nyonyaku mual! Berani-beraninya kau bicara seperti itu di
rumah yang tenang ini."
"Jangan pedulikan kata-katanya, duduklah dan..."
Lu mencoba menahannya, tapi Shu sudah berlari keluar
dari rumah, secepat angin.
Shu berjalan tanpa tujuan, melintasi jalan-jalan kota
Yin-tin, kemudian berhenti di tepi Sungai Yangtze, di bawah
terik matahari. Ia tahu Pedang Dahsyat berada di lbu kota,
namun pada wajah setiap orang Mongol yang sedang
berkeliaran di sekitar tepi sungai itu ia melihat bayangan si
jenderal. "Kau membunuh kelompok pengikutku yang kedua! Dan
kau melakukannya dengan cara paling kejam, tepat saat
mereka sudah menjadi sahabat-sahabatku dan kuanggap
saudara-saudaraku! Aku membencimu! Kau akan kubasmi!
Dunia ini terlalu sempit untuk ditinggali kita berdua!"
serunya, tak peduli pada mereka yang berada di sekitarnya.
Tiga orang Mongol yang lewat mendengar umpatannya,
kemudian tertawa. "Cina gila!" salah seorang di antara
mereka berkata sambil menunjuk ke arah Shu. "Sudah
bongsor mengomel sendiri seperti bayi!"
Derai tawa ketiganya tiba-tiba terhenti begitu Shu
menghampirl mereka. Secepat kilat Shu menendang yang
berdiri di tengah, kemudian meninju kedua temannya.
"Babi!" Meskipun masih terkejut, orang-orang Mongol ini
langsung mencabut pedang. Mereka mengepung Shu sambil
menghunuskan senjata mereka ke arahnya. Secara serentak
ketiganya mengangkat pedang mereka ke atas, siap
menebas Shu. Shu memutar tubuhtnya bak angin puting beliung.
Orang-orang Mongol tak dapat melihatnya dengan jelas,
namun dapat merasakan angin sekelebat yang merengaut
pedang-pedang mereka. Mereka mencoba mempertahankan senjata masing-masing, namun kekuatan
mereka tak seimbang dengan kuatnya angin. Pedang
mereka terlempar dari tangan, kemudian mendarat di tepi
sungai. Kemudian raksasa Cina itu menggunakan kakinya
untuk menjumput salah satu pedang. Yang terakhir dapat
mereka lihat adalah senyum si petani.
Beberapa orang Mongol yang berdiri tak jauh dari sana
melihat saat Shu mengayunkan pedang untuk menebas
kepala ketiga orang Mongol itu dalam gerakan begitu cepat,
sehingga tampak seakan hanya dalam sekali ayun. Salah
seorang di antaranya mengenali Shu, lalu berseru, "Itu kan
Shu, si tukang bawa berita! "
Seruan itu membuat Shu sadar. Ia menoleh sambil
menjatuhkan pedangnya, kemudian kabur.
Di halaman bagian dalam rumah kediaman keluarga Lu,
Lotus menyerahkan buntelan berisi makanan, pakaian, dan
sekantong uang perak dan emas.
Lu berkata, "Kau harus segera meninggalkan daerah
Selatan, dan untuk sementara jangan kembali ke sini. Kau
terpaksa berjalan kaki sekarang, karena kau bukan petugas
pembawa berita lagi. Jangan khawatirkan diriku. Kalaupun
mereka ingat kau menjadi tamuku pada perayaan Pesta
Bulan, mereka tak punya cukup bukti. Kau harus
bersembunyi di kuil-kuil. Jangan mempercayai siapa pun
kecuali para biksu."
Lotus mengingatkan suaminya, "Jangan lupa hadiah yang
kaubuat untuk sobatmu."
Lu menghela napas. "Aku membuat sesuatu untukmu.
Tadinya akan kusimpan untuk hari ulang tahunmu yang
akan datang, tapi aku terpaksa memberikannya padamu
sekarang." Dari laci Lu mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Setelah menyerahkannya kepada Shu, ia menunggu
untuk melihat reaksinya. Benda itu sebuah rantai emas dengan liontin batu
kemala yang dipahat berbentuk dua tangan yang
berjabatan. Shu mendekatkan bandul itu ke wajahnya,
mengamatinya dengan lebih baik, kemudian tersenyum.
"Bisa-bisanya kau membuat sesuatu begini halus. Tangan
yang satu ramping seperti milikmu, dan yang lain besar dan
kasar seperti milikku!"
Lu menunjuk ke arah dua patung kayu yang terletak di
meja. "Aku sangat suka memahat. Kelak aku akan
mewujudkan sepasang kekasih dari batu kemala." Shu
tertawa. Ia sudah sering mendengar impian sobatnya itu.
"Aku akan selalu memakai rantai ini, dan setiap kali
menyentuhnya, aku akan teringat padamu. Kau sahabatku.
Kita akan bertemu kelak, setelah suasana kacau ini berlalu,"
ujar Shu dengan nada penuh keyakinan, sambil mencoba
memasang rantai itu di lehernya.
Lu mengitari Shu, berjingkat, kemudian menjulurkan
leher untuk membantunya dari belakang. Suaranya
bergetar menahan sedih dan air matanya berlinang.
"Kenapa harus ada perang kejam ini" Kalau tidak, tentunya
kau bisa menjadi petani dan aku pemahat. Tapi sekarang
kita harus terlibat di dalamnya, dengan cara sendiri-sendiri,
dan mungkin perjalanan nasib kita takkan pernah
bersilangan lagi." Shu dapat merasakan air mata Lu membasahi bagian
belakang bajunya yang tipis. Ia ingin mengatakan sesuatu,
tapi suaranya seakan tersumbat. Ia mengangkat tangan
untuk menyentuh bandul rantainya, lalu mendekap kedua
tangan yang berjabatan itu dekat jantungnya.
BAGIAN III 20 PARA tukang masak kerajaan sedang melakukan
persiapan untuk suatu perjamuan besar. Saat itu
merupakan hari kelima setelah Pesta Bulan untuk
orang-orang Cina, yang sebagaimana biasanya tidak
dirayakan oleh orang-orang Mongol di Da-du, meskipun
hidangan kepiting dari kota Yin-tin toh mereka nikmati.
Kilau Bintang bangga karena selama dua tahun terakhir ini,
semua kepiting krisan sampai dalam keadaan hidup.
Pesta kerajaan itu dihadiri oleh semua pangeran, putri,
pejabat istana beserta keluarga mereka, sementara di
tempat terhormat Khan Badai Pasir duduk di antara
Shadow Tamu dan Pedang Dahsyat. Selama bertahun-tahun
si penasihat mengambil semua keputusan baginya, dan
panglima jenderalnya menyelesaikan semua urusan
pertahanan negerinya. Karenanya ia dapat menghabiskan
hari-harinya yang panjang dengan bercinta dengan Kilau
Bintang serta menikmati kecantikannya.
"Coba lihat," ujar khan tua itu sambil menudingkan jari
ke selirnya, yang saat itu berdiri di sisi lain bangsal makan
yang megah itu, mengawasi kepiting-kepiting hidup yang
sedang direbus. "Tertawa seperti kanak-kanak. Wajahnya
begitu polos." Pedang Dahsyat dan Shadow Tamu berpandangan di
belakang Khan Badai Pasir. Mereka sama-sama tidak punya
keturunan, dan mereka mencintal adik bungsu mereka
seakan ia anak perempuan mereka. Namun belakangan ini
mereka mulal khawatir, mengingat usia Kilau Bintang
sudah menjelang 29 tahun. Fakta bahwa ia masih tetap
menjadi favorit Khan Badai Pasir selama enam tahun
terakhir ini sungguh-sungguh menakjubkan. Biasanya
seorang khan hanya akan tertank pada wanita yang sama
selama paling lama satu tahun atau malah kurang, dan
jarang sekali ada yang menunjukkan minat pada wanita
yang sudah berusia di atas 25 tahun.
"Adik kita memang betul-betul istimewa," ujar Shadow
tamu sambil tersenyum ke arah adlknya.
Pedang Dahsyat mengangkat cangkir emasnya. "Untuk
khan kita yang agung dan adik bungsu kita! "
Saat pesta berlangsung, tak seorang pun memperhatikan
ketidakhadiran Pangeran Taufan, salah satu di antara
kemenakan Khan Badai Pasir. Pangeran ini masih muda,
bertubuh kekar, dan amat brillan. Selain itu, ia juga amat
ambisius. Tempat kediamannya agak jauh dari bangsal makan
yang megah itu. Para pengawal pribadinya berdiri di muka
pintu-pintunya yang tertutup, siap mencegat siapa pun
yang berniat masuk. Bau bahan peledak yang menyengat memenuhi bagian
istana yang didiami Pangeran Taufan, yang sedang sibuk
bersama enam pandai besi terpilih karena keterampilan
mereka yang menonjol. Berbagai jenis senapan tergelar di
meja besar. Benda-benda itu merupakan hasil ciptaan
orang-orang dari Dinasti Sung, sekitar lebih dari tujuh
tahun yang lalu. Pangeran Taufan memungut naga terbang, sebuah roket
yang bisa melesat setelah bagian-bagiannya yang terbuat
dari bambu tebal diisi bahan peledak. Begitu didorong
keluar dari sebuah bumbung bambu pendek dengan sebuah
tongkat panjang, benda ini dapat mengenai sasaran
berjarak enam meter dan membakarnya. "Kurang bagus!"
ujar pangeran itu sambil meletakkannya kembali.
Kemudian ia mengambil naga kilat, sebuah wadah tanah
liat berbentuk tabung yang harus diisi bahan peledak.
Setelah dilempar, tabung itu akan pecah begitu menyentuh
tanah, bahan-bahan peledaknya akan menimbulkan suara
keras, lalu suatu lidah api akan membubung tinggi. "Ini
efektif untuk melacak musuh dalam kegelapan, tapi bukan
yang kuinginkan." Si pangeran menggeleng-gelengkan
kepala sambil mengembalikan senjata itu ke tempatnya.
"Yang Mulia, rasanya kami sudah menciptakan sesuatu
yang sesuai dengan harapan Anda," ujar salah seorang
pandai besi dengan nada antusias.
Sebuah tabung besi sepanjang lengan laki-laki dewasa
yang agak melengkung di pangkalnya, diisi dengan
campuran bahan peledak, remukan batu-batu, serta bubuk
besi. Di bagian yang agak melengkung itu ada pemicu yang
tertahan di tempat oleh sebatang kawat tipis.
Si pandai besi menjelaskan, "Begitu pemicunya dilepas,
campuran itu akan menghambur keluar dengan amat cepat,
mengenai sasaran, kemudian menghancurkannya. Anda
bisa berdiri dalam jarak lima belas meter dari musuh Anda
dan membunuhnya, andai kata bidikan Anda tepat."
Pangeran Taufan meraih, kemudian menggenggam
tabung besi itu di tangannya. Sesudah itu ia membidikkannya ke arah suatu sasaran bayangan. Senyum
menghiasi wajahnya saat ia berkata, "Mulai besok kalian
berenam harus ikut denganku ke dalam hutan, tempat tak
seorang pun dapat melihat atau mendengarku latihan."
Sambil termenung si pangeran berkata lagi, "Kita namakan
apa benda ini" Coba kupikir dulu. Ini tangan yang akan
membunuh untukku. Tangan Maut! Ya, itu!"
Di suatu hari, pada musim semi 1352, Khan Badai Pasir
yang Agung berjalan-jalan di kebunnya, di bawah
penjagaan ketat para pengawalnya, sebagaimana biasa.
Dengan nekat, Pangeran Taufan bersembunyi di balik
sebuah batu besar di sisi lain kebun itu. Ia membidikkan


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan Maut-nya ke arah Khan, kemudian menarik
picunya. Campuran bahan peledaknya menimbulkan
lubang yang menembus jantung Khan.
Meskipun tidak dinobatkan untuk naik takhta, Pangeran
Taufan akhirnya berhasil menguasai istana beserta semua
yang tinggal di dalamnya. "Bunuh semua selir yang tak
punya anak dan umurnya lebih tua dariku!" perintah calon
penguasa baru yang berusia 21 tahun itu. "Aku mau
istanaku diisi dengan gadis-gadis cantik yang masih muda.
Kalau seorang selir tua tak punya anak, tak ada alasan
baginya untuk makan tempat."
Perintah si calon penguasa langsung dilaksanakan.
Begitu Shadow Tamu mendengar mengenai pemenggalan
kepala Kilau Bintang, ia langsung menjatuhkan cangkir
emasnya, lalu menjerit, "Adikku yang malang baru berusia
tiga puluh tahun dan masih cantik!"
Si penasihat khan yang terdahulu tidak hanya sedih
karena adiknya mati, tapi juga amat tersinggung karena
khan yang baru telah menitahkan sesuatu tanpa
menanyakan pendapatnya lebih dulu. Namun Shadow
Tamu selihai musang, dan saat menguburkan Kilau Bintang
di samping makam Khan Badai Pasir, di wajahnya tidak
terungkap apa-apa. Tak seorang pun dapat membaca apa
yang berkecamuk dalam pikirannya, kecuali Pedang Dah-
syat, yang langsung kembali ke istana untuk menghadiri
upacara pemakaman itu. "Akan kita balas kematian adik kita," ujarnya begitu
mereka tinggal berdua. "Tentu saja," jawab Shadow Tamu. "Kita tinggal
menunggu waktunya." Musim semi hampir berakhir, kebun istana penuh
dengan bunga-bunga berguguran. Shadow Tamu melangkah di atas kuntum-kuntum itu dalam perjalanannya menuju sebuah kuil Lama, untuk mendoakan
arwah adiknya. Ia sedang bersujud di hadapan sebuah
patung Buddha sambil memohon dengan penuh ketulusan
hati saat Pangeran Taufan memasuki ruangan yang sama.
"Aku membutuhkan bantuanmu," ujar calon khan yang
baru itu. Ia memerintahkan para pengawal untuk
meninggalkan kuil, lalu menutup pintu-pintunya. Ia
meletakkan Tangan Maut-nya di altar, lalu duduk di
sebelahnya. Pangeran itu amat jarang terlihat tanpa senjata
ajaibnya. "Aku akan naik takhta besok, dan kau akan tetap
menduduki jabatanmu sebagai penasihatku. Itu kalau kau
dapat memecahkan sebuah masalah untukku. Coba kita uji,
sampai di mana kecerdikanmu."
Pangeran Taufan ingin mengisi istananya dengan
gadis-gadis muda yang cantik dan menyenangkan
dipandang mata, namun hatinya terpaut pada seorang
wanita yang sudah menikah, yang bersuamikan seorang
jenderal yang kedudukannya hanya setingkat di bawah
Pedang Dahsyat. Sebagai pangeran, Taufan dapat menjalin
hubungan gelapnya tanpa menimbulkan kecurigaan siapa
pun, tapi sebagai Khan yang Agung, setiap gerak-gerlknya
akan menjadi rahasia umum.
"Aku tak tahan untuk tidak bertemu dengannya lagi. Tapi
aku juga tak boleh membuat suaminya marah," ujar si
pangeran putus asa. Mata Shadow Tamu berbinar, karena sesungguhnya
jenderal itu merupakan perintang utamanya dalam
usahanya menggulingkan khan baru ini. Dengan nada yang
tak sedikit pun mengungkapkan emosinya, ia berkata,
"Tidak sulit tentunya bagi seorang khan yang berkuasa
untuk menyingkirkan seorang jenderal. Dia bahkan sama
sekali tidak membutuhkan alasan itu. Janda si jenderal
kemudian dapat diboyong ke istana untuk mengisi tempat
kosong yang tersedia." Ia menunggu sampai si pangeran
yang masih muda masuk ke jebakannya.
"Tidak. Aku tidak menghendaki itu," ujar Pangeran
Taufan. "Aku cuma ingin bertemu dengan istri si jenderal
secara diam-diam. Kalau dia juga tinggal di istana, dia akan
menjadi perintang hubunganku dengan gadis-gadis cantik
lainnya." Kemudian dengan ragu si pangeran muda menam-
bahkan, "Mungkin cintaku padanya tidak cukup besar. Aku
tidak begitu yakin, apa sebetulnya cinta sejati itu."
Shadow Tamu menyembunyikan kekecewaannya. Tapi
setelah menimbang-nimbang kembali masalah itu, sebuah
gagasan yang luar biasa melintas dalam pikirannya.
Bagaimanapun juga, yang pertama harus dilakukannya
adalah mendapatkan kepercayaan penuh dari khan baru
ini. Dua ratus orang Cina kemudian dikerahkan secara paksa
untuk menggali terowongan. Satu ujungnya menembus
kamar kepala biksu sebuah kuil Lama yang terletak di
dekat rumah si jenderal, yang lainnya menembus halaman
istana. Orang-orang itu bekerja siang-malam, dan selama itu
mereka tak dapat berhubungan dengan dunia luar.
Terowongan rahasia itu akhirnya rampung dalam waktu
dua puluh hari, dan kedua ratus pekerja itu langsung
dibunuh setelah tugas mereka selesai.
Sesudah itu Shadow Tamu memberikan laporan kepada
khan yang baru naik takhta itu mengenai terowongan
tersebut. Khan itu meninggalkan gadis-gadis mudanya yang
cantik-cantik untuk mengikuti penasihatnya ke kebun
istana. Pada saat bersamaan, seorang pesuruh mendapat tugas
untuk menemul istri si jenderal. Begitu menerima
pesannya, wanita cantik itu mengenakan pakaian
terbaiknya, lalu bergegas ke kuil yang terletak di dekat
tempat tinggainya. Setelah memanjatkan doa ke hadirat
sang Buddha, ia memerintahkan para pelayannya
menunggu di luar kuil, sementara Ia masih ingin
berbincang-bincang dengan kepala biksu di ruangan
pribadinya. Khan Taufan yang Agung tidak melihat perlunya
membawa Tangan Maut-nya dalam petualangan cintanya,
karena itu ia menitlpkan seniata ajaibnya itu pada kepala
kedua puluh pengawal pribadinya. Pasukannya ini tetap
berdiri di tempat begitu Khan sampai di undak-undakan
tangga yang menuju sebuah patung Buddha. Khan berlutut
di kaki patung itu, kemudian menekankan ibu jarl kaki
kirinya. Mata para pengawal terbeliak saat sebuah pintu kayu di
sisi pelataran mulai bergeser ke samping, menyingkapkan
sebuah jalan masuk. Khan berdiri, lalu menuruni sebuah
tangga rendah. Dari dalam terdengar suara seorang wanita,
"Aku begitu rindu padamu! Kukira kau sudah lupa padaku!"
Shadow Tamu berdiri di dekat hasil ciptaannya, namun
sama sekali tidak bangga. Di matanya membayang sinar
kebencian yang amat sangat saat ia menyaksikan Khan
merengkuh kekasihnya dalam pelukannya, kemudian
menuruni tangga yang akan membawa mereka ke sebuah
ruangan kecil yang dihias dengan megah. Setelah Khan
memutar sebuah tempat Illin emas yang terletak di meja di
samping tempat tidurnya, pintunya mulai bergeser kembali
ke tempat semula. Baik Shadow Tamu maupun para pengawalnya
menunggu dengan sabar, sampai Khan yang Agung muncul
kembali dengan senyum puas di wajahnya yang masih
muda. "Perintahkan pada bendaharaku untuk memberimu
sekantong emas," ujar Khan kepada Shadow Tamu. "Kau
memang pantas mendapatkan penghargaan itu."
Si penasihat membungkukkan tubuh untuk menyatakan
rasa terima kasihnya, kemudian menyipitkan matanya di
belakang Khan yang sedang beranjak dari ruangan itu.
Baginya memenangkan hati Taufan yang masih muda
adalah permainan anak-anak. Tak ada lagi keraguan dalam
dirinya bahwa kematian adiknya akan segera terbalas.
21 SEBUAH rombongan bergerak di bawah sengatan panas
matahari. Dua tandu tertutup dlikuti sepuluh gerobak yang
ditarik oleh sapi dan masing-masing dikawal oleh enam
orang. Di luar kebiasaannya, Peony menaiki salah sebuah tandu
itu. Tanggap Kuo sedikit tertunda dalam perjalanan
panjangnya, sehingga ia terlambat pulang. Joy Kuo menjadi
resah. Karenanya, Peony dikirim untuk mencari tahu. Ia
berpapasan dengan rombongan majikannya di perbatasan
Provinsi Honan dua hari yang lalu. Setelah menugaskan
seorang pesuruh untuk segera menyampaikan kepada Lady
Kuo bahwa suaminya selamat, Peony menemani majikannya pulang ke kota Gunung Makmur.
Saat menatap ke luar tandunya di daerah pinggiran kota
ia melihat genting-genting biru sebuah kuil Lama yang
hampir jadi, berkilauan di bawah matahari musim panas.
Beberapa orang Cina sedang merampungkan hiasan-hiasannya. Peony mengerutkan alis. Ia semakin
geram saat mereka mendekati sebuah pos penjagaan
Mongol. Semua orang yang akan memasuki Gunung
Makmur harus digeledah. "Berhenti!" ujar seorang serdadu-Mongol, yang berdiri di
tengah jalan dengan kaki terentang dan pedang terhunus ke
arah kedua tandu. Yang tertua di antara mereka menjawab dengan senyum
di wajah, namun nada suaranya sinis, "Tidakkah kaulihat
simbol keluarga pada penyingkap tandu" Yah, tapi rupanya
kau tidak dapat membaca. Kami anak buah Master Kuo.
Beliau dan pelayannya baru kembali dari Selatan, sehabis
melakukan perjalanan dagang."
Sementara itu tiga serdadu bergabung dengan yang
pertama. Salah seorang di antara mereka mengamati
simbol pada tirai tandu, lalu berkata, "Kami sudah pernah
mendengar nama majikanmu, tapi kami harus menggeledah
gerobak-gerobak itu. Kalau tidak, dari mana kami tahu
kalian tidak membawa senjata" Kalian, orang-orang Cina,
memang tak dapat dipercaya. Jangan pikir kami tidak tahu
mengenal pisau dan pedang-pedang yang kalian buat
secara diam-diam." Kedua tandu itu diturunkan dengan hati-hati ke tanah.
Tirai tandu pertama dibuka oleh sebuah tangan, kemudian
seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi dan
ramping muncul dengan jubah sutranya yang cokelat.
Dengan tenang Tanggap Kuo berkata pada keempat
serdadu itu, "Kalian boleh memeriksa isi gerobak-gerobakku, tapi kalian hanya akan menemukan
barang-barang porselen. Kalian masing-masing boleh
mengambil sesuatu sebagai hadiah. Aku hanya minta
kepada kalian untuk berhati-hati dengan benda-benda seni
yang halus itu." Mata para serdadu melebar begitu melihat seorang gadis
keluar dari tandu kedua. Tubuhnya yang tinggi besar
mengingatkan mereka akan kaum wanita dari tempat asal
mereka. Peony berdiri dengan kaki mengangkang dan
tangan di pinggang. Ia menatap mereka dengan pandangan
menantang. Para serdadu mengalihkan mata. Saat itu mereka lebih
tertarik pada apa yang termuat di dalam gerobak-gerobak
Master Kuo. Dua serdadu lain muncul untuk bergabung,
lalu langsung ikut menyerbu jarahan mereka.
Keenam puluh anak buah Kuo berdiri sambil mengawasi
serdadu-serdadu itu, tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa,
namun tinju mereka terkepal kuat-kuat. Setelah lima tahun,
anggota pasukan Kuo sudah berjumlah sekitar seribu
orang, dan yang bersamanya kali ini adalah yang paling
elite di antara mereka. Mereka semua tahu bahwa di
gerobak paling belakang, di bawah barang-barang porselen,
terdapat sesuatu yang sebaiknya tidak sampai diketahui
oleh orang-orang Mongol ini.
Keenam serdadu ini menghampiri keenam gerobak
pertama, masing-masing satu. Mereka menyingkapkan
jeraminya dan menemukan barang pecah belah dari
porselen, seperti piring, mangkuk, vas bunga, serta
kotak-kotak perhiasan. Dalam waktu singkat mereka
menemukan sesuatu yang mereka anggap cukup memadai,
sehingga merasa tak perlu menggeledah keempat gerobak
yang lain. Mereka mengacungkan barang-barang jarahan
mereka ke arah Kuo saat kembali ke pos mereka.
Peony menghela napas lega. Para anggota pasukan Kuo
meregangkan kepalan mereka. Dengan sinis Kuo berseru
kepada serdadu-serdadu itu, "Aku senang kalian dapat
menghargai barang-barang porselen kota Yin-tin. Tak ada
yang lebih baik dari itu di Cina."
Rombongan itu melanjutkan perjalanan. Tak lama
kemudian di kejauhan terlihat rumah keluarga Kuo, dengan
beberapa rangkaian kembang api panjang bergelantungan
dari tiang-tiang bambu. Sewaktu mereka mendekat,


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang penjaga berteriak. Rangkaian kembang api itu
kemudian dinyalakan. "Selamat datang, Master Kuo!" seru
seluruh penghuni rumah sambil membungkuk, menyambut
kedatangan majikan yang amat mereka hormati.
Kuo berkata kepada empat pengawalnya, "Ambilkan
kedua benda yang kusembunyikan dalam gerobak
terakhrr." Kemudian ia bergegas masuk.
Peony segera membuntuti tuannya, lalu melihat
nyonyanya duduk di sebuah kursi berlapis satin. Jubahnya
hijau kepucatan. Peony mengernyitkan wajah ke arah
Meadow, si pengurus rumah tangga keluarga Kuo yang
sudah tua, yang sedang mendampingi Lady Kuo, lalu
berseru, "Nyonyaku, sudah kulakukan seperti yang Anda
perintahkan kepadaku. Aku memastikan Tuan makan tiga
kali sehari, dan tidur cepat-cepat setiap malam! "
Kuo membungkukkan tubuh di dekat istrinya, lalu
meraih tangannya yang halus tanpa memedulikan
kehadiran yang lain, ia mengecup tangannya, kemudian
mengusapkannya ke wajahnya sambil berkata, "Aku begitu
merindukan dirimu." Wajah Joy merona. Tidak biasanya laki-laki mengecup
tangan wanita di depan banyak orang. Kemudian ia
mengerutkan alis, seakan ada sesuatu yang tidak beres.
Indra pendengaran Lady Kuo lebih tajam daripada mereka
yang dapat melihat. "Aku menangkap nada kecewa dalam suaramu,
suamiku," ujarnya, sambil mencoba melepaskan tangannya
dari genggaman suaminya. Karena sia-sia, dengan
menggunakan tangan lainnya ia meraba wajah suaminya.
Jari-jarinya menjelajahi sekitar alisnya. "Adakah sesuatu
yang berjalan tidak sesual dengan harapan?"
Kuo menengadahkan wajahnya persis pada saat empat
pengawainya muncul dengan dua kotak besar. "Aku
membawa pulang beberapa benda yang sangat menarik,"
ujarnya setelah memberikan tanda kepada para anak
buahnya untuk meletakkan kotak-kotak itu di meja.
"Untung orang-orang Mongol itu tidak menemukannya."
Meadow sama sekali tidak menaruh minat pada isi
kedua kotak itu. "Membuang-buang uang nyonyaku untuk
barang-barang yang tak berguna," gerutunya dengan nada
rendah saat ia meninggalkan ruangan itu bersama keempat
pengawal Master Kuo. Peony tidak berniat ikut beranjak dari sana. Ia
memperhatikan saat majikannya membawa kotak yang
lebih kecil ke dekat istrinya. Setelah dibuka, tampak
beberapa batang kayu yang panjangnya sekitar sepuluh
sentimeter. Kuo mengeluarkan sebatang dari kotaknya, kemudian
meletakkannya dalam genggaman istrinya. "Batang api ini
hasil penemuan beberapa orang Selatan yang pintar."
"Baunya seperti kembang apl," ujar Joy Kuo, sambil
mengendus ujung merah batang itu.
"Betul," ujar suaminya. "Para pembuatnya mencelupkan
batang-batang ini ke dalam suatu campuran bahan peledak
dan lem." Ia membiarkan Joy meraba salah satu sisi kotak
kayu yang cukup kasar. "Dan mereka juga menempelkan
pasir halus pada kotaknya. Begitu mereka membutuhkan
api, mereka cuma perlu begini..." Ia mengambil benda di
tangan istrinya, lalu menggoreskan ujungnya yang merah
pada bagian kasar kotaknya dengan cepat.
"Batangnya terbakar!" seru Peony antusias.
"Ajaib sekali!" Ia membawa tangan nyonyanya ke dekat
lidah api untuk merasakan kehangatannya, kemudian
menatap majikannya dengan pandangan memohon, persis
seorang bocah yang meminta izin mencoba permainan
baru. "Ayolah," ujar Kuo sambil tersenyum pada pelayan
favorit istrinya. Peony menunggu sampai batangnya mulai terbakar, lalu
berseru dengan penuh semangat, "Akhirnya Buddha Api
mau membagi rahasianya dengan kita! Kita tak perlu lagi
menggosok-gosok batu api untuk menyalakan api utama
setiap pagi!" "Tak sulit membuat batang api seperti ini. Aku sudah
mempelajari caranya, dan aku akan meneruskannya pada
orang-orang Utara," ujar Kuo bangga. "Tak aneh kalau kelak
seluruh dunia mengetahui rahasia pembuatan batang-batang api ini."
"Batang api," ulang Joy Kuo. "Nama yang cocok sekali."
Kemudian ia bertanya, "Tapi kenapa kita harus
merahasiakannya dari orang-orang Mongol?"
"Sebetuinya ada yang lebih penting daripada batang-batang api itu." Kuo menunjuk kotak yang lebih
besar. "Peony, coba bawakan kotak itu ke sini."
Kotak ini panjangnya lebih dari satu meter dan lumayan
berat. Peony menyerahkannya pada majikannya, kemudian
mengawasinya saat ia mengeluarkan sebuah tabung besi
dari dalamnya, dan menunggu sampai ia menerangkan
kepada mereka, benda aneh apa yang ada dalam
genggamannya itu. Suara Kuo amat rendah dan serius. "Khan yang sekarang
berkuasa memiliki enam pandai besi yang menciptakan
Tangan Maut ini baginya, yang kemudian dipakai untuk
membunuh khan yang terdahulu. Sementara salah satu di
antara keenam pandai besi itu sekarat, dia menurunkan
desainnya kepada putra sulungnya, yang kemudian pergi ke
daerah Selatan untuk menjual desain itu pada kaum patriot
kita. Bangsa kita mengganti namanya menjadi Naga Kobar.
Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk ini."
Joy mengelus permukaan tabung besi yang dingin itu,
kemudian menggigil. Kuo meraih tangannya, lalu
mendekatkannya ke dadanya. "Aku dapat merasakan
ketakutanmu terhadap benda ini."
Khan Taufan, lanjutnya, tak ingin ada orang lain dalam
kalangan istana memiliki Tangan Maut. Artinya senjata ini
tidak akan digunakan oleh orang-orang Mongol selama ia
masih hidup. Di lain pihak, para pemimpin pergerakan
orang-orang Cina di Selatan sudah mulai membuat Naga
Kobar. Namun biayanya tinggi sekali, sehingga tak ada yang
sanggup membuat dalam jumlah cukup besar. Di antara
para pemimpin pergerakan di daerah Utara, hanya Kuo
yang memiliki sebuah Naga Kobar.
Kuo berkata, "Andai kata senjata pribadi Khan ini juga
boleh digunakan para serdadu Mongol, dan andai kata
semua orang Cina yang memberontak. juga menggunakannya, perang yang berkecamuk akan sepuluh
kali lebih dahsyat daripada sekarang." Nada bicara Kuo
terdengar amat prihatin saat ia berkata lagi, "Begitu dunia
luar mengetahui keberadaan senjata ini, pertumpahan
darah di antara umat manusia akan tidak terkendali lagi."
Peony menyukai rasa tabung besi itu dalam
genggamannya. Ia mempermainkannya sambil mengikuti
pembicaraan di antara kedua majikannya.
"Kau belum mengungkapkan mengapa nadamu terdengar begitu kecewa tadi," ujar Joy keprihatin.
"Tujuan utama perjalananku kali ini adalah menjawab
undangan yang kuterima dari Lu. Aku berharap bisa
mempersatukan kekuatan orang-orang Selatan dengan
orang-orang Utara serta menentukan tanggal untuk suatu
revolusi nasional..."
Kuo menjelaskan lebih jauh, sementara Peony
mendengarkan dengan penuh perhatian setelah me-
letakkan Naga Kobar kembali di tempatnya.
"Semua orang Cina penduduk kota Yin-tin tahu tempat
kediaman Lu. Mereka bersikap amat hormat saat
membicarakan keluarga Lu atau menunjuk ke rumah di
dekat Danau Angin Berbisik yang didiami keluarga itu. Air
mata mereka berlinang saat mengungkapkan kepadaku
bahwa Wali Kota Lu belum lama meninggal, dan mereka
sekarang kehilangan seorang figur bapak yang selalu siap
melindungi mereka. "Hujan turun amat deras saat aku tiba di muka kediaman
keluarga Lu. Aku menunggu dalam hujan, namun Lu tak
juga mau keluar menemuiku. Kemudian aku mendengar, di
daerah Selatan, tradisi berkabung selama seratus hari
ternyata dilaksanakan lebih ketat daripada di Utara,
terutama di kalangan Kaum cendekiawan kaya yang
mampu melakukannya."
Menurut tradisi, jika seorang ayah meninggal, putranya
harus berkabung untuknya selama seratus harl. Selama
periode itu, ia harus tetap tinggal di rumah serta
mengenakan pakaian hitam, tidak makan daging, minum air
dingin, pantang bersetubuh, serta tidak menemui
siapa-siapa kecuali keluarga terdekat.
Kuo berkata, "Aku menunggu dalam hujan sambil
berharap pikirannya akan berubah, tapi sia-sia. Aku tak
bisa tinggal di Yin-tin terlalu lama. Sebagai orang asing, aku
tak dapat menemukan perantara yang mempunyai
hubungan cukup dekat dengannya. Karena itu, aku terpaksa
pergi tanpa bertemu dengan Lu. Sepertinya aku harus
menunggu sampai akhir musim gugur, setelah masa
berkabung selesai, baru kemudian aku dapat menghubunginya kembali."
Peony menjaga agar Lady Kuo tidak kesepian selama
suaminya menghabiskan musim panas tahun 1352 untuk
mengawasi orang-orangnya membuat batang-batang api. Ia
membagi-bagi tugas di antara penduduk kota Gunung
Makmur, sehingga seluruh proses berlangsung lebih mudah
dan sederhana. Begitu musim gugur mulai, para biksu Lama
berdatangan dari daerah Mongolia, berkuda dalam jubah
marak yang serasi dengan penutup kepala mereka. Mereka
menempati kuil-kuil baru mereka, kemudian langsung
membuktikan bahwa aliran Buddha dari Mongolia sama
sekali berbeda dengan yang dari Cina.
"Biksu-biksu itu ke sini untuk membeli arak dariku!"
ungkap pemilik kedai arak pada Peony dengan nada tak
mengerti. "Dan aku terpaksa menjualnya kepada mereka."
"Mereka juga datang untuk membeli daging babi dan
sapi dariku!" seru seorang tukang daging takjub. "Lalu
mereka bertanya, apakah gadis-gadis dari rumah-rumah
bordil mau melayani panggilan ke kuil!"
Penduduk Gunung Makmur percaya bahwa dalam dunia
yang serba kacau ini, para cendekiawan Konfusius, para
biksu Buddha, dan biksu Tao merupakan tiga pilar utama
penyangga moral. Kalau ternyata satu di antaranya begitu
rapuh, membuat mereka amat resah. Akibatnya, di suatu
malam gelap, lima pemuda menyulut kuil yang didiami oleh
para biksu Lama itu. Namun api berhasil dipadamkan
sebelum menimbulkan bencana, dan para pengacaunya
ditangkap serta dihukum pancung di alun-alun kota.
Penduduk kota amat berang, sehingga tak dapat
dikendalikan lagi, baik oleh para biksu maupun biksuni
atau bahkan Kuo. "Master Kuo," ujar Peony saat mengungkapkan kepada
majikannya apa yang baru didengarnya, "penduduk kota
sudah siap memberontak, dengan atau tanpa restu Anda."
Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, Kuo
menghela napas. "Kukira daerah Utara sudah menyatakan
perang secara terbuka tanpa dukungan dari daerah
Selatan." Kemudian ia bertanya kepada Peony, "Apakah kau
dan Joy bersedia menemui Sumber Damai dan
menyampaikan rencana kami?"
Dengan tandu Peony dan Lady Kuo menuju Kuil Bangau
Putih sore itu juga dan mendapati Sumber Damai sudah
menantikan kedatangan mereka. Sikapnya yang biasanya
penuh damai kali ini digantikan oleh kemarahan yang amat
sangat. "Tingkah laku para biksu Lama itu telah menimbulkan
keresahan di hati para biksu kuil ini. Dan sikap Khan yang
membiarkan ajaran Kristen memasuki negeri ini membuat
kemarahan mereka semakin menjadi-jadi. Kita bersalah
karena memakai kungfu hanya untuk membela diri. Mulai
sekarang kami takkan ragu-ragu lagi mengambil
tindakan-tindakan yang diperlukan," ujarnya.
Sesudah itu ia mengatakan sudah menghubungi para
biksu kuil-kuil lain di sepanjang Sungai Kuning, sesual
instruksi Kuo. Mereka menyatakan bersedia memberi
dukungan jika perang sampai pecah.
Lady Kuo berkata, "Suamiku membutuhkan dukungan
Anda, juga para biksu di semua kuil di Utara." Sementara ia
mengatakan itu, Peony menyelinap pergi.
Begitu sampai di bagian yang didiami para biksuni, ia
memanggil para penghuninya ke halaman. Ia menaiki
podium, lalu sambil berdiri di hadapan para biksuni itu ia
berkata, "Perang akan segera pecah. Orang-orang Utara
akan bersatu berjuang melawan orang-orang Mongol, tapi


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

majikanku hanya merekrut para biksu. Tak ada yang
memikirkan kita, kaum biksuni!"
Sesungguhnya Peony memang menganggap dirinya
biksuni. Usianya sudah 24 tahun, sudah bisa dianggap
perawan tua. Lady Kuo sudah pernah menganjurkannya
menikah dengan salah satu pelayan laki-laki yang ada,
namun Peony menampik usul itu. Memimpin para biksuni
yang tergabung dalam Gerakan Serban Merah sudah
menjadi prioritas utamanya sekarang. Ia merasa seakan
sudah membalas kematian Shu setiap kali ia menghukum
seorang Mongol yang meneror seorang Cina. Ia puas setiap
kali mendengar bahwa karena ulah Serban Merah,
orang-orang Mongol agak gentar begitu mereka berlaku tak
semestinya terhadap orang-orang Cina.
"Ayo, sebagai anggota Gerakan Serban Merah, kita
perlihatkan pada kaum laki-laki, apa yang dapat kita
lakukan!" seru Peony sambil mengangkat tinjunya.
Para biksuni itu menyambutnya dengan sorak-sorai dan
acungan tinju. Hanya sedikit di antara mereka yang menjadi
biksuni karena rasa pengabdian yang besar - kebanyakan
dipaksa oleh takdir. Masing-masing memiliki kisah sedih,
dan sudah lama terbiasa hidup seperti anak kambing yang
tak berdaya. Namun setelah menjadi anggota Serban
Merah, mereka mendapat kesempatan untuk melindungi
yang lemah serta menghukum yang berkuasa. Kemampuan
itu memberi mereka rasa bangga dan percaya diri.
Sekarang mereka bukan lagi anak-anak kambing yang bisa
diperlakukan semena-mena oleh si serigala kejam.
"Kami siap berperang bersamamu, Peony!" seru mereka.
"Begitu Master Kuo siap, kalian akan kuhubungi. Kita
akan ikut berjuang bersama kaum laki-laki, entah mereka
suka atau tidak!" seru Peony. Akhirnya ia mengungkapkan
kepada mereka bahwa untuk sementara, para anggota
Serban Merah takkan berkumpul di alun-alun kota lagi,
sebab mereka harus mempersiapkan diri untuk pertem-
puran yang lebih besar lagi.
Peony kembali ke tempat Lady Kuo menunggu. Di sana ia
mendengar Sumber Damai berkata, "...akan kukirim
seorang biksu ke rumah Anda malam ini, untuk berdiskusi
secara lebih terperinci dengan Master Kuo."
Ketika Lady Kuo dan Peony sudah pulang, Sumber Damai
memerintahkan para biksu yang masih muda dan cukup
kuat untuk berbaris. Ia menceritakan mengenai pemberontakan yang akan segera pecah di daerah Utara.
"Aku membutuhkan seorang sukarelawan untuk suatu misi
berbahaya. Dia harus ke rumah Master Kuo dulu, lalu
berkunjung ke semua kuil di daerah Utara. Master Kuo akan
memberitahunya tanggal dimulainya pemberontakan itu,
lalu dia akan meneruskannya kepada para kepala biksu di
semua kuil sepanjang Sungai Kuning. Orang ini harus
berani dan pintar, sebab pada saat dia bergerak dengan
berjalan kaki dari tempat yang satu ke tempat yang lain,
kemungkinan tertangkapnya besar sekali."
Sumber Kedamaian berhenti begitu melihat seorang
biksu yang belum pernah ia perhatikan kehadirannya di
situ sebelumnya. Pendeta muda itu sangat jangkung,
berbahu lebar, dan berdada bidang. Lehernya berkesan
kokoh seperti batang kayu, pinggangnya bagaikan drum.
Lengan dan kaki-kakinya mengingatkannya pada batang-batang pohon yang besar. Kulit wajahnya gelap,
dengan cuping hidung lebar, bibir tebal, serta alis yang
membentuk garis lurus dan mata tajam.
Baru dua hari ia berada di Kuil Bangau Putih itu, namun
kehadirannya sudah menimbulkan banyak masalah.
Ulahnya yang beringas membuat para biksu resah, bahkan
mereka yang paling sabar sekalipun.
Ia menguasai seni kungfu yang aneh. Suatu kombinasi
berbagai teknik bela diri, yang sekaligus juga melanggar
semua etika yang berlaku. Ia dapat menggunakan sebatang
bambu seperti tombak, dan sebilah papan kayu seperti
golok. Ia begitu lihai menggunakannya, sehingga tak
seorang pun dapat mendekat atau membela diri
menghadapi serangan-serangannya.
Si raksasa pemberang ini dikirim untuk menemui
Sumber Damai oleh kepala biksu sebuah kuil Buddha yang
terletak di utara kota Gunung Makmur. Begitu tiba, ia
langsung menghadap Sumber Damai lalu menyerahkan
sepucuk surat kepadanya. "Agar waktu Anda tidak habis
untuk membacanya, aku dapat mengatakan pada Anda
isinya." Biksu muda bertubuh besar ini tersenyum.
Ia sama sekali tidak berusaha menyembunyikan fakta
bahwa ia telah membaca surat yang sebetulnya hanya
diperuntukkan bagi Sumber Damai.
Secara, terus terang ia berkata, "Anda diminta untuk
memberiku perlindungan. Aku dicari di daerah Selatan
sebagai pernbunuh. Aku sudah membunuh banyak orang
Mongol di berbagai kota dan desa di sepanjang Sungai
Yangtze, terutama di Phoenix dan Yin-tin. Aku belum
pernah membunuh orang Cina, tapi setiap membunuh
seorang Mongol, aku melakukannya bukan semata-mata
untuk membela diri atau sebagai hukuman untuk suatu
perbuatan jahat. Kadang-kadang aku membunuh seorang
Mongol sebagai balas dendam gara-gara ulah orang Mongol
yang lain." Si raksasa berjubah biksu itu tersenyum, lalu berkata
lagi, "Di dalam surat itu dikatakan aku pesilat terbaik,
sekaligus biksu yang brengsek. Tiga tahun terakhir ini
kujalani sebagai calon biksu di berbagai kuil, namun baik
para biksu Buddha maupun Tao tak dapat menolerir
ulahku. Menurut mereka, lebih baik aku menjadi biksu
Lama, karena aku tidak suka sayur, suka makan daging, dan
sesekali perlu minum sedikit arak. Pokoknya, semua yang
dikatakan di dalam surat itu memang benar."
Siapa calon yang paling cocok untuk menjadi penerus
berita terbaik" ujar Sumber Damai pada dirinya, sambil
menatap sosok yang menjulang di antara kerumunan para
biksu itu. Ia berpaling ke arah patung Buddha, lalu berkata
dalam hati, "Maafkan aku, sang Buddha yang Agung, karena ingin
mengirim dia keluar dari kuilku. Tapi terus terang, dia juga
calon terbaik untuk tugas berbahaya ini."
22 LANGIT malam musim gugur itu tak berawan dan bulan
yang masih muda nyaris tenggelam di antara sekian banyak
bintang yang berkilau terang. Seorang laki-laki bertubuh
besar berjubah biksu menyelinap keluar dari Kuil Bangau
Putih. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia bergerak
tanpa suara ke arah jalan setapak yang sempit, menuju
hutan pinus. Saat Shu mendengar gemeresik buah pinus tua remuk di
bawah telapak kakinya, ia teringat pada pohon-pohon
pinus tinggi di kampung halamannya. Selama tiga tahun
terakhir ini ia sudah melintasi hampir semua kota kecil
daerah Utara, namun ia terus berusaha menghindari
Lembah Zamrud dan desa Pinus. Ia akan kembali ke kedua
tempat itu kelak, tapi sebelum itu ia harus membalas ke-
matian Peony dan kedua keluarga mereka.
Dendamnya merupakan bara yang tak kunjung mau
padam, menimbulkan rasa sakit di dalam hati.
Kadang-kadang ia begitu membenci dirinya karena belum
juga mencapai apa-apa dalam usianya yang menginjak 24
tahun itu. Setelah bersembunyi di balik tembok sekian
banyak kuil dan gagal membentuk gerombolan pemberontak selama sekian lama, ia betul-betul menyambut kesempatan untuk berjuang di bawah seorang
tokoh yang menurut Sumber Damai adalah pemimpin
revolusi yang amat disegani di bagian utara Provinsi
Honan. Sewaktu menuruni gunung, ia melihat sebuah kuil Lama
yang baru. Dari balik pintunya yang tertutup ia dapat
mendengar suara ingar-bingar yang membuatnya menarik
kesimpulan bahwa saat itu para biksunya sedang bersuka
ria dengan minum-minum dan makan-makan bersama
beberapa wanita. "Andai kata para biksu Cina bisa diajak
kompromi seperti para biksu Mongolia itu, mungkin
mereka akan bersikap lebih terbuka padaku," gumamnya
pada diri sendiri sambil meneruskan perjalanannya.
Begitu sampai di jalan yang akan membawanya ke
rumah keluarga Kuo, sesuai petunjuk. yang diperolehnya, ia
melihat sekelompok serdadu Mongol yang berkemah tak
jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa di antara mereka
sedang memanggang kelinci liar di atas api unggun yang
cukup besar. Aroma daging itu sampai ke hidungnya dan
menerbitkan air liurnya. Melihat daging kelinci itu, ia
mendekati api unggun mereka.
Makanan vegetarian di berbagai kuil yang di-
tumpanginya sangat mengesalkan hatinya, begitu pula
peraturan-peraturan ketat yang berlaku di dalamnya. Ia
sudah meresahkan banyak kepala biksu dengan menyelinap keluar dari kuil-kuil mereka, entah untuk
mencuri atau merampok makanan, baik dari orang-orang
Cina maupun Mongol. Tapi bagaimana orang dapat
menyalahkan seorang pemuda bertubuh begitu besar
karena tak. bisa hidup hanya dari tahu dan taoge" Biar
bagaimanapun, ia tak pernah mengucapkan sumpah untuk
tidak menggunakan kungfunya untuk keuntungan pribadinya. "Berhenti!" seru seorang serdadu yang tiba-tiba muncul
di tengah jalan dengan kaki terentang dan pedang
terhunus. Shu tersenyum. Takkan sulit baginya merenggut pedang
itu dari tangan si serdadu. Namun persis saat ia akan
bertindak, lima orang Mongol lain muncul dari kegelapan.
Mereka mengepungnya. Shu langsung berpikir cepat, lalu memutuskan tak
mungkin baginya membunuh mereka semua tanpa
menimbulkan kegemparan di seluruh perkemahan. Ia
mengangkat kedua tangannya ke dekat dada, lalu berkata
dengan nada rendah hati yang dipaksakan, "Semoga kalian
diberkati sang Buddha, orang-orang yang baik, serta
diberkahi umur panjang dan berkantong-kantong emas."
"Kenapa malam-malam begini kau keluar dari kuil?"
tanya salah seorang serdadu sambil mengawasi biksu
bertubuh besar itu dengan pandangan curiga.
Shu menjawab, "Satu di antara para biksu yang sudah
tua sedang sakit keras. Aku harus pergi ke rumah tabib
untuk meminta bantuan. Kalau aku tidak cepat-cepat, sang
Buddha akan menyalahkan aku kalau biksu tua itu sampai
mati - aku dan siapa pun yang menghalangi perjalananku."
Mendengar ancaman itu, para serdadu Mongol langsung
menyingkir. Shu melanjutkan perjalanan dan akhirnya
sampai ke kota Gunung Makmur. Ia tak pernah mampir di
kota itu sejak ia kembali Utara, sesuai dengan anjuran Lu
agar ia selalu berusaha menjauhi kota-kota besar. Andai
kata kepala biksu kuil yang terakhir dikunjunginya tidak
mengirimnya ke Kuil Bangau Putih, ia takkan pernah
mengunjungi daerah ini kembali.
Pemandangan di sekelilingnya membangkitkan kembali
kenangan-kenangan memedihkan. Begitu sampai di
alun-alun kota, ia mendapati sebatang tonggak bambu
masih terpancang di sana. Ia pun hanyut oleh arus masa
lampau, dan akhirnya terdampar di tahun 1345.
Terbayang olehnya kepala seorang bocah berusia tiga
belas tahun terpancang di ujung tonggak itu. Ia
menengadahkan wajahnya. Ujung tonggak itu seakan
menyentuh bintang-bintang di langit. Dengan lembut ia
berkata, "Di manakah kau sekarang, sobat kecilku" Di
dalam pelukan ibumukah?"
Shu memaksa dirinya mengalihkan pandangan dari
ujung tonggak itu, namun air dingin masa lalu kembali
mengguyurnya. Kali ini arusnya menghanyutkannya ke
tahun 1346. Ia menatap pelataran, lalu melihat wajah ketujuh
temannya. Ia mendengar suara teriakan mereka, "Lebih
baik aku mati daripada harus menyandang tato seperti ini!"
Dengan sempoyongan ia melanjutkan perjalanan, dan
akhirnya sampai di muka rumah penjara. Hatinya terasa
lebih ringan begitu teringat si sipir tua dan istrinya yang
baik. Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka,
karena menyelamatkan dirinya. Namun ketika ia mengetuk
pintu rumah penjara itu, yang muncul adalah seorang sipir
yang masth muda, yang kemudian menatapnya curiga.


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Buat apa kau mencari kedua pembelot tua yang tolol itu"
Sipir Li dan istrinya sering melepaskan para tahanan.
Akhirnya perbuatan mereka diketahui orang-orang Mongol.
Mereka ditangkap, kemudian dibunuh sekitar dua tahun
yang lalu, tepatnya di sana, di alun-alun kota."
Shu segera berlari meninggalkan rumah penjara itu,
sampai hampir kehabisan napas. Di tengah-tengah kota ia
berhenti. Kota itu lebih besar sekarang. Lampu-lampu
merah dan kuning bergelantungan di atas banyak toko dan
restorannya, mengingatkannya pada bunga-bunga yang
berkembang di sebuah taman malam. Jumlah lampu hijau
menyaingi yang merah dan kuning, bak daun yang lebih
banyak daripada kuncup bunga.
Di antaranya terdapat satu yang lebih besar dari yang
lain. Sinarnya jatuh ke atas beberapa orang Mongol yang
berdiri di bawahnya, memperlihatkan wajah-wajah
mereka. "Pedang Dahsyat!" Shu menahan napas, kemudian
langsung menyelinap ke tempat yang lebih gelap, di dekat
gerobak seorang penjaja makanan.
Si panglima jenderal sudah berumur sekitar tiga puluh
sekarang. Ia menggenggam topi metal berujung lancipnya
di tangannya. Rambut di pelipisnya sudah mulat keperakan,
namun itu malah membuat penampilannya semakin
meyakinkan. Sepatu botnya yang tinggi dan berujung
runcing terpoles begitu baik, sehingga bahannya yang dari
kulit berwarna hitam tampak berkilauan di bawah cahaya
lampu kehijauan. Ia lebih gemuk sekarang. Sebilah pedang
berat menggelantung dari sabuk lebar yang melilit di
pinggangnya. Ia ditemani oleh empat pengawal bersenjata.
Ia mengatakan sesuatu kepada mereka, kemudian
memasuki rumah berlampu hijau itu sambil tertawa. Stola
sutra merahnya berkibas di belakangnya.
Sementara para pengawalnya ikut masuk bersamanya,
Shu tetap tinggal di tempat gelap, mengawasi pintu yang
kemudian ditutup. Sesudah itu ia memperhatikan
penampilannya sendiri. Ia mengenakan sandal tua dan
jubah biksu dari bahan katun sederhana.
"Itu tidak adil!" serunya tiba-tiba, mengejutkan si penjaja
makanan. Shu segera meninggalkan tempat persembunyiannya, kemudian menghambur ke arah rumah
berlampu hijau itu. Akal sehatnya mengingatkan dirinya bahwa masih ada
tugas yang harus diselesaikannya, ia tak punya waktu
untuk mengikuti dorongan hatinya. Namun gejolak untuk
membuat perhitungan dengan musuh yang telah
membunuh teman-temannya serta menghabisi kelompok
anak buahnya bersama impian masa mudanya, begitu
besar. Sambil mengendap-endap ia mendekati rumah itu, lalu
dengan mudah berada di atapnya. Perlahan-lahan ia
menelusuri genting-gentingng, sambil berusaha menangkap suara Pedang Dahsyat. Setelah yakin di mana
kedudukan mangsanya, ia mempelajari situasi ruangannya,
kemudian melompat turun ke halaman kebunnya,
tubuhnya seakan seringan bulu.
Ia mengitari rumah itu dengan langkah-langkah lembut
bak kucing, sampai menemukan jendela yang dicarinya. Ia
mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, kemudian menyerbu masuk. Jendela
kertasnya langsung sobek, sementara ia mendarat di lantai
ruangan itu, persis di sebelah sebuah tempat tidur.
Lampu yang terletak di meja di samping tempat tidur itu
mati. Tapi meski jendelanya sudah berantakan, sinar dari
luar tidak cukup terang untuk mengenali wajah kedua
makhluk yang sedang berada di tempat tidur itu. Shu
mendengar suara jeritan seorang perempuan dan umpatan
seorang laki-laki. Setelah matanya terblasa pada suasana
gelap itu, ia melihat sesuatu berkilauan di lantai, di atas
tumpukan pakaian yang berserakan. Ia tersenyum begitu
menyadari bahwa itu sebilah pedang.
Ia memungutnya, kemudian mencabutnya dari sarungnya. Ia menghampiri tempat tidur, lalu menghunjamkan pedangnya ke tubuh laki-laki itu. Begitu
dahsyat tusukannya hingga mata pisaunya menembus
tubuh orang itu sampai ke papan tempat tidurnya.
"Sekarang kau boleh membusuk di neraka, Pedang
Dahsyat!" ujar Shu sambil mengawasi kemilau pedang yang
berayun-ayun ke muka dan ke belakang dalam kegelapan.
Suara yang ditimbulkannya saat menyerbu masuk serta
jeritan histeris si perempuan membuat seluruh isi rumah
itu gempar. Shu menangkap suara orang berlarian menuju
ruangan itu. Ia memutar tubuh untuk melompat keluar dari
jendela. Pada saat bersamaan ia melihat sepasang sepatu
laki-laki di lantai. Ternyata itu bukan sepatu bot hitam
Pedang Dahsyat yang terbuat dari kulit. Shu segera
mendekati tempat tidur itu lagi, kemudian mendoyongkan
tubuh untuk memeriksa wajah mayat itu. Ternyata bukan
wajah si panglima jenderal.
Ia melirik ke arah si gadis dan mendapati dirinya sedang
diawasi. Terlintas dalam pikirannya bahwa gadis itu sudah
berada di sana sejak tadi, dan matanya sudah terbiasa akan
suasana gelap itu, sehingga dapat mengenalinya. Ia harus
dibunuh. Tanpa berpikir Shu meraih lehernya. Si gadis
menutup mata sambil menggigit bibirnya.
Sesaat Shu bimbang. Perasaannya mengatakan ia tak
boleh melakukannya. Sekali lagi terjadi pergumulan antara
hati dan akal sehatnya, namun kali ini yang terakhirlah
yang menang. Sementara pintu mulai diketuk-ketuk orang,
ia melingkarkan jari-jarinya di leher gadis itu, kemudian
mencekiknya kuat-kuat. Gadis itu membuka matanya, lalu
menatap Shu penuh kebencian. Bola matanya mulai
melotot. Ia membuka mulut, lidahnya keluar.
Ketukan berubah menjadi gedoran. Sebentar lagi pintu
itu jebol. Setelah yakin gadis itu sudah mati, ia segera
menghainbur keluar melalui jendela, lalu menghilang
dalam kegelapan kota Gunung Makmur.
Di rumahnya, Kuo berkata kepada istrinya, "Sayang, kau
punya kemampuan untuk mengetahui ketulusan hati orang
dari nada bicaranya. Aku ingin kau keluar untuk
mendengar apa yang akan dikatakan pemuda ini. Kita harus
berhati-hati sekali, agar tidak terjebak dalam jaringan
perangkap mata-mata orang Mongol. Sumber Damai sudah
tua, sehingga mungkin saja dia tertipu biksu muda yang
dikirimnya menemui kita."
Di sebuah sudut ruang duduk itu terdapat penyekat
ruangan yang terdiri atas empat panel. Di baliknya
tersembunyl sebuah kursi yang nyaman. Peony membimbing Lady Kuo ke kursi di belakang penyekat itu,
kemudian tetap tinggal di sebelah majikannya, sambil
menunggu kedatangan si biksu dengan sabar. Ia
bertanya-tanya pada dirinya, siapa kah biksu ini. Selama
enam tahun terakhir ini, setiap kali ia dan Lady Kuo
mengunjungi Kuil Bangau Putih, Sumber Damai selalu
memastikan agar mereka tidak berpapasan dengan para
biksu yang masih muda-muda.
Seseorang menggedor pintu. Master Kuo berdiri untuk
menemui tamunya. Kedua lelaki itu tidak membuang-buang
waktu untuk berbasa-basi. Saat memasuki ruang duduk itu,
mereka sudah berkenalan. Mereka bahkan sudah mulai
membicarakan maksud pertemuan itu.
"Selain yang ada di bawah pimpinanku, masih ada
sedikitnya enam kelompok pemberontak yang cukup besar
di Cina, masing-masing berkedudukan di beberapa provinsi
yang berlainan," Ujar Kuo. "Tujuan utama kita adalah
menentang orang-orang Mongol serta mempersatukan
kaum revolusioner Cina. Keduanya sama beratnya. Seperti
Anda ketahui, masing-masing pemimpin pergerakan ingin
menjadi penguasa tertinggi di Cina, sehingga ada
kemungkinan mereka akan menolak dipersatukan."
Kuo menguraikan lebih lanjut pada tamunya bahwa
masing-masing pemimpin menyatakan dirinya sebagai raja
provinsinya. Di sebelah selatan Gunung Makmur, seorang
pemimpin bernama Wan telah menobatkan dirinya sebagai
Raja Honan. Kedua wanita yang menunggu di balik penyekat belum
dapat menangkap suara orang asing itu, karena ia memang
belum mengatakan apa-apa.
Kuo melanjutkan, "Demikian juga halnya dengan para
biksu. Nafsu untuk berkuasa dan mengumpulkan harta
rupanya juga mempengaruhi orang-orang saleh. Sikap tidak
mendahulukan kepentingan pribadi Sumber Kedamalan
benar-benar suatu perkecualian, dan tugas Anda dalam hal
ini adalah membujuk para kepala biksu lain di utara
Provinsi Honan untuk juga berpikiran seperti itu. Tapi
sebelum itu, aku harus betul-betul yakin bahwa Anda
memang cocok untuk misi yang amat penting ini."
Peony dan Lady Kuo mendengar orang asing itu
menjawab dengan nada rendah namun mantap, "Master
Kuo, aku dapat meyakinkan Anda bahwa alasanku
menentang orang-orang Mongol ini bukan didasari nafsu
memperoleh kekuasaan ataupun harta. Aku hanya ingin
membalas kematian orang-orang yang kucintai..."
Kata-kata si orang asing terputus oleh jeritan seorang
wanita. Ia berpaling ke arah penyekat ruangan dan melihat
dua pasang sepatu di bawahnya, yang satu kecil dan yang
lain besar sekali. Kaki-kaki yang besar langsung bergerak
dengan langkah-langkah lebar, sehingga penyekat ruangan
itu nyaris ambruk kena terjangannya. Seorang gadis
bertubuh tinggi menghambur ke arah biksu muda itu.
"Shu! Shu! Kusangka kau sudah mati! Aku melihat
kuburanmu! Bagaimana mungkin kau masih hidup?" seru
Peony sambil meletakkan tangan di pundak Shu lalu
meremasnya untuk memastikan Ia benar-benar bukan
hantu. "Pe-o-ny! Peony M-ma!" seru Shu terbata-bata. Wajahnya
langsung pucat, sementara seluruh tubuhnya bergetar saat
ia menambahkan, "A-aku melihat... mayatmu! Aku yang
mengubur mayatmu dan... mayat kedua orangtuamu!
Mayatmu sudah hangus sama sekali! B-bagaimana... kau
bisa berdiri di sini, dalam keadaan hidup dan... l-lebih tinggi
dan besar dari dulu?"
"Aku" Terbakar sampai hangus" Kau jangan mengada-ada!" seru Peony sambil mengamati wajah Shu
yang pucat serta tubuhnya yang gemetaran. Ia menurunkan
tangannya dari pundak biksu muda itu, mengitarinya, lalu
tiba-tiba tertawa. "Rupamu lucu sekali dengan jubah konyol ini! Kau
tampak jelek sekali dengan kepala botakmu! Baru sekali ini
aku melihat kau dicukur licin. Kau benar-benar tidak
pantas mengenakan pakaian seperti itu. Seorang biksu
mestinya tampak saleh. Rupamu seperti baru membunuh
orang." Tiba-tiba Peony berhenti tertawa, kemudian mulai
menangis. Sambil berdiri di hadapannya, ia mulai
memukuil dada Shu dengan tinjunya. "Di mana kau
bersembunyi selama delapan tahun terakhir ini" Kenapa
kau tidak mencariku dan memberi kabar bahwa kau masih
hidup?" Baru saja ia akan membuat Shu merasakan salah
satu jurus tai chi-nya, ia melihat air mata di mata pemuda
itu. Shu mengawasi Peony tertawa dan menangis, namun
sama sekali tidak menyadari bahwa ia juga melakukan hal
yang sama. Ia meletakkan tangannya di pinggang Peony,
lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Peony! Peony-ku!" serunya sambil berputar-putar
dengan Peony dalam pelukannya. "Kita takkan pernah
berpisah lagi!" Mereka berangkulan sebagaimana layaknya dua
makhluk yang saling merindukan, kemudian tiba-tiba
bertemu kembali. Masing-masing berebut menceritakan
apa saja yang telah menimpa dirinya selama tahun itu.
Kuo menghampiri istrinya. Ia mengajak Joy keluar dari
balik penyekat ruangannya, lalu membimbingnya ke kursi
lain. Ia duduk di sebelahnya, lalu sambil bergenggaman
tangan mereka mendengarkan percakapan itu.
Shu dan Peony masih asylk berbicara saat salah seorang
anak buah Kuo memasuki ruangan itu dengan napas
terengah-engah. Orang itu berkata, "Orang-orang Mongol menggeledah


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah ini untuk mencari pembunuh perwira Mongol.
Seorang pelacur Cina menyaksikan pembunuhan itu. Dia
nyaris mati d i tangan si pembunuh, tapi akhirnya lolos dari
maut. Dia memberikan deskripsi terperinci mengenai pe-
nyerang itu pada Pedang Dahsyat. Mereka mencari seorang
biksu bertubuh tinggi besar, hidup atau mati. Hadiah untuk
kepalanya adalah dua puluh keping uang emas."
Orang itu kemudian menambahkan bahwa menurut
dugaan, si pembunuh menuju arah ini. "Orang-orang
Mongol menggeledah semua jalan, toko, rumah-rumah
pribadi, dan rumah-rumah sewa, serta berbagai tempat
yang mungkin menjadi tempat persembunyian, termasuk
Kuil Bangau Putih!" 23 Musim Gugur, 1352 "KITA sudah tidak tidur bersama lebih dari seratus hari,
Lotus-ku," ujar Lu kepada istrinya di kamar tidur mereka.
"Hatiku merana ditinggal ayahku, tapi tubuhku juga merana
merindukan dirimu. Kadang-kadang aku tak mengertii
kenapa tradisi yang berlaku dalam keluarga kita, begitu
sering menyangkal hal-hal menyenangkan. Kalau ada se-
suatu yang terjadi, selalu harus seratus hari tanpa hal-hal
paling nikmat." Wajah Lotus merona saat ia menyandarkan kepala di
pundak suaminya sambil dengan hati-hati mendorongnya
ke tempat tidur. "Sekarang ini masih siang. Menurut tradisi,
ini tidak boleh," ujarnya sambil melirik ke sebuah patung
Buddha kecil di meja di samping tempat tidur. "Kita tak
boleh melanggar ajaran sang Buddha."
Lu melepaskan jubahnya, kemudian menyampirkannya
ke atas kepala si patung. "Bagi sang Buddha, sekarang
malam." Setelah menikah selama delapan tahun serta melahirkan
tiga anak, gadis yang dulu pemalu itu kini sudah menjadi
wanita matang. Lotus melirik ke arah patung yang sekarang
terselubung, lalu cekikikan. Ia tidak menunggu sampai Lu
menanggalkan pakaiannya, melainkan membukanya sendiri. Lu adalah awan laki-lakinya, dan Lotus awan wanitanya.
Mereka saling merengkuh penuh kerinduan. Kilat
menerangi langit yang selama seratus malam selalu gelap.
Tetesan hujan membasahi bumi yang selama seratus hari
begitu gersang. Angin musim gugur berembus, berubah
menjadi badai, menggelegar melampiaskan pemuasan.
Di luar kamar tidur itu, Jasmine, pelayan Lotus yang
setia, memasang telinga, kemudian tersenyum penuh
pengertian. Ia menjaga di muka pintu tertutup itu, sampai ia
mendengar panggilan majikannya. Saat ia masuk, ia melihat
Lu dan Lotus sudah berpakaian kembali dan duduk
berhadapan dibatasi sebuah meja di antara mereka. Angin
puyuh telah meninggalkan aroma khas di dalam ruangan
itu, dan tahap akhir pergolakan cuacanya masih terasa.
Jasmine membuka jendela-jendela kertasnya, kemudian
merapikan kembali seprai yang kusut serta bantal-bantal
yang berserakan. Setelah itu ia membantu majikannya
memperbaiki tata rias wajahnya serta rambutnya yang
sedikit berantakan. "Aku harus ke bangsal sekarang," ujar Lu. Ia berdiri di
belakang istrinya, menatap wajahnya yang cantik di
permukaan cermin kuningan. Ia tak ingin meninggalkannya, tapi tidak punya pilihan lain. "Mereka
sedang menantikan kehadiranku. Sudah tiga bulan Liga
Rahasia tidak mengadakan pertemuan."
Lu berdiri di hadapan para cendekiawan berwajah pucat
dan berjubah panjang berlapis-lapis. "Selama tiga bulan
terakhir ini kehidupan betul-betul sulit bagi rakyat kita,"
ujarnya. Selanjutnya ia menguraikan kepada mereka apa
saja yang sudah terjadi. Serdadu-serdadu Mongol memaksakan kehadiran mereka di dalam rumah-rumah penduduk Yin-tin;
sementara itu, si tuan rumah harus berusaha memuaskan
selera mereka dengan menyediakan hidangan daging setiap
kali mereka makan. Kalau si tuan rumah kehabisan uang
dan terpaksa menyajikan hidangan sayur, akan dibunuh.
Selain itu, dengan tinggal di rumah-rumah penduduk,
orang-orang Mongol ini amat mudah tergoda mengusik
istri-istri yang masih muda serta gadis-gadis yang
cantik-cantik. Saat melindungi kehormatan kaum wanita
mereka, semakin banyak lagi orang Cina yang terbunuh.
"Selama seratus hari terakhir ini, aku tak dapat berbuat
apa-apa bagi rakyat. Andai kata cuma petani biasa, aku tak
perlu mengikuti tradisi kita yang begitu ketat ini!" ujar Lu
tak berdaya. "Aku ingin meninggalkan masa berkabungku,
tapi tidak bisa. Aku hampir melanggar tradisi saat Kuo da-
tang mengunjungiku dari Utara. Hujan turun amat deras
hari itu, dan dia terus menantikan aku di luar. Aku sudah
menuju pintu untuk menemuinya, tapi kemudian ibuku
mulai menangis dan mengatakan bahwa gara-gara aku,
arwah ayahku akan menangis di surga. Aku begitu
berharap Kuo menemukan salah seorang keluarga dekatku,
untuk memintanya menjadi perantara. Tapi kemudian aku
menyadari, sebagai orang asing di kota ini, tak mungkin dia
tahu siapa yang dapat dihubuginya. Yah, dan kerabatku
tidak akan langsung mempercayai pendatang. Orang Utara
apalagi." Ia menambahkan, "Mungkin ada baiknya kita mengirim
orang untuk menemui Kuo." Ia terdiam seJenak begitu
teringat Shu, yang sebetulnya cocok untuk tugas sepertt itu.
Dalam tiga tahun terakhir ini, keduanya agak jarang
berhubungan. Shu tidak suka menulis karena tulisan
tangannya yang besar, dan Lu agak sulit mengirim surat
kepadanya, mengingat alamatnya terus berubah-ubah dari
kuil yang satu ke kuil yang lain. Dalam surat terakhirnya,
Shu mengungkapkan bahwa ia sedang mencoba mempersatukan kelompok-kelompok pesilat dari kalangan
biksu, tapi entah kenapa tak ada yang menunjukkan minat
untuk bergabung dengannya. "Aku selalu bicara terus
terang dan cukup meyakinkan, jadi tak mungkin karena..."
Lamunan Lu dipotong oleh suara seorang anggota Liga
Rahasia. "Situasi keuangan kita menurun. Kita sudah
mengeluarkan banyak untuk membeli bahan peledak bagi
Kaum patriot daerah Selatan, agar mereka dapat membuat
beberapa Naga Kobar. Selain Bangsawan Lin yang serakah
dan pelit, semua orang berada telah menyumbangkan apa
yang dapat mereka berikan. Dalam pertemuan hari ini, kita
harus membuat anggaran yang lebih teliti untuk mengatur
pengeluaran kita yang akan datang."
Para anggota liga mengusulkan, sebaiknya mereka
berhenti memberi dukungan dana kepada para pemimpin
daerah Utara yang tidak begitu penting, yang terus
merengek meminta bantuan sejak menerima pesan rahasia
Lu. Salah seorang di antara mereka berkata, "Sebaiknya kita
mengulurkan dana hanya kepada para pejuang kita di
Selatan. Kita lebih terpelajar daripada orang-orang Utara,
dan begitu Cina kembali di bawah kekuasaan seorang Cina,
kita juga menginginkannya berpikiran persis seperti kita."
Para anggota liga kemudian mencapai persepakatan,
uang mereka hanya akan disalurkan kepada para pejuang
daerah Selatan, dan mereka akan mulai mencari orang yang
cocok untuk menghubungi Kuo.
Lu melintasi kebunnya yang tertutup daun-daun musim
gugur. Sampai di dekat kamarnya, ia menangkap suara
Teguh, putranya yang berusia enam tahun, sedang
membaca. "Saat manusia mencapai usia seratus tahun, dia sudah
melewati banyak impian. Saat manusia sudah menjelajahi
dunia, jarak yang ditempuh hanyalah selebar papan catur.
Di langit ada banyak gugusan bintang, namun kita, manusia,
tidak lebih dari setitik debu."
Lu tersenyum mendengar kata-kata yang tak asing
baginya itu. Ia juga harus menghafal pulsi kuno yang sama
ketika masih seusia Teguh.
"Mama, aku juga bisa membaca!" ujar Tulus, yang baru
berusia empat tahun, dengan antusias. "'Cuma orang yang
tidak bijaksana berusaha meraih kejayaan dan sukses,
karena keduanya sama-sama seperti asap yang takkan
pernah dapat dimilikinya. Tapi, Mama, apa itu kejayaan dan
sukses?" Lu tersenyum kembali. Itu sebuah puisi tua lain yang
juga diajarkan kepada anak-anak kecil. Ia berhenti
melangkah begitu sampai di ambang pintu kamarnya,
untuk menikmati panorama yang memberikan kehangatan
dalam hatinya itu. Sementara mereka yang miskin tak dapat mengenakan
pakaian putih untuk meratapi anggota keluarga yang
meninggal, kehidupan si kaya masih terus didominasi oleh
tradisi. Lotus mengenakan pakaian kelabu serta untaian
mutiaranya. Sama seperti Lu, ia harus pantang
mengenakan pakaian dan perhiasan berwarna cerah
sepanjang tahun itu. Baru setelah tahun berganti mereka
boleh meninggalkan pakaian berkabung. Saat Ia duduk di
kursi di samping jendela yang terbuka, rambut hitamnya
tampak amat kontras dengan warna pakaiannya yang
pucat. Wajahnya yang lembut bersinar di bawah cahaya
matahari musim gugur. Di dalam pelukannya ada
bungkusan merah muda Kuncup Jingga. Melihat suaminya,
Lotus tersenyum. Putra-putra mereka, yang sedang duduk
di atas karpet di hadapan sebuah meja rendah, langsung
berdiri, lalu membungkuk ke arah ayah mereka. Jasmine,
Pendekar Muka Buruk 1 Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Maling Romantis 4
^