Sungai Lampion 5
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Bagian 5
yang sedang menyulam di deka mereka, juga langsung
berdiri, kemudian menuangkan secangkir teh untuk
majikannya. "Teguh dan Tulus, aku mendengar suara kalian selagi
membaca. Aku bangga sekali," ujar Lu pada kedua
putranya. Ia menghampiri istrinya, kemudian mengamati
wajah Kuncup Jingga yang sedang tidur. "Putri kita amat
cantik, persis ibunya, dan dia juga sama manisnya."
Kemudian sambil tersenyum lembut ia menambahkan, "Dia
tak pernah menjerit-jerit atau menendang-nendang seperti
anak laki-laki." "Baba! Aku tak pernah menjerit-jerit. Aku kan laki-laki
Selatan baik-baik!" protes Teguh.
"Baba! Aku tidak suka menendang-nendang. Aku kan
orang terpelajar!" sanggah Tulus.
"Teh Anda, Yang Mulia," ujar Jasmine, sambil meletakkan
sebuah cangkir yang mengepul-ngepul di hadapan Lu.
Lu melihat kesedihan yang terpancar dan mata wanita
itu. "Jasmine, aku tahu betapa berat bagimu hidup terpisah
dari suami dan anak-anakmu. Kalau kau mau berkumpul
lagi dengan mereka, lakukanlah. Aku sudah membebaskan
kau dan Ah Chin pada hari dia cedera. Kau tidak wajib
tinggal bersama kami lagi."
Sewaktu menyampaikan suatu pesan rahasia, Ah Chin
membangkitkan kecurigaan seorang serdadu Mongol.
Sebuah anak panah kemudian menghunjam kakinya. Ia
berhasil lolos, namun sejak itu ia pincang seumur hidupnya.
Lu memberinya kebebasan, berikut uang pensiun yang
lumayan, sebuah rumah, dan sebidang tanah pertanian di
dekat Pelataran Bunga Hujan. Ah Chin dan Jasmine di-
anugerahi seorang putra berusia enam tahun dan putri
berusia dua tahun. Keduanya ikut ayah mereka. Jasmine
bersikeras tetap tinggal di rumah keluarga Lu, namun
menjadi sedih setiap kali meIihat keluarga itu bercengkerama bersama. Begitu mendengar nama Ah Chin disebut-sebut, Teguh
berseru, "Aku juga mau ke tanah pertanian itu! Enak sekali
di sana. Sewaktu kita ke sana, Ah Chin memperbolehkan
aku naik kerbau." Tulus sudah lupa siapa Ah Chin, namun ia ikut antusias
bersama. kakaknya. "Ke tanah pertanian! Aku juga mau!"
"Ini yang katanya terpelajar dan baik-baik," ujar Lotus,
yang kemudian terdiam begitu mendengar suara
ribut-ribut di sisi lain tembok kebun itu.
Sesaat terdengar suara kuda dan banyak orang, lalu
seseorang berteriak, "Sediakan jalan untuk pembawa berita
dari Istana Da-du!" Wajah Lu memucat. Lotus menggigil disisinya, sehingga
bayi di pelukannya hampir jatuh. Jasmine mengambil alih
Kuncup Jingga. Kedua bocah laki-laki ltu berlari
menghampiri ayah mereka, lalu masing-masing meraih satu
tangannya. Hal yang sama melintas dalam pikiran ketiga orang
dewasa itu - apakah pihak istana sudah tahu bahwa Lu
pemimpin pergerakan Liga Rahasia"
Lu melepaskan diri dari anak-anaknya. "Jaga ibu dan
adlkmu baik-baik," ujarnya sebelum meninggalkan ruangan
itu. Sekali lagi ia menatap istrinya dengan penuh sayang.
Kedua wanita beserta ketiga bocah itu meringkuk
bersama sampai Lu akhirnya kembali. Mereka langsung
menghela napas lega begitu melihat senyum di wajah
junjungan mereka. "Mereka membawakan ini bagiku." Lu memperlihatkan
selembar surat gulung berstempel kerajaan. Sambil
membuka gulungan itu, Ia berkata, "Jabatan wali kota
Yin-tin kosong sejak Ayah meninggal. Baik pihak Cina
maupun Mongol sama-sama giat memperebutkannya. Tapi
sejauh ini aku tak pernah melibatkan diri di dalamnya. Na-
mun demikian..." Ia mulai membaca, "Sesuai dengan rekomendasi yang
diberikan Gubernur Provinsi Kiang-su, istana menunjuk Lu
sebagai Wali Kota Yin-tin yang baru."
24 BUNGA salju berjatuhan di atas kota Gunung Makmur,
sementara kembang api membuat suasana Tahun Baru
semakin meriah. Setiap dentuman menebar menjadi ribuan
bintik merah, dan setiap bintik kemudian menjadi
pasangan berdansa bunga salju. Pada saat bersamaan
sebuah pesta sedang berlangsung di rumah keluarga Kuo.
Para pendekar, yang menyamar sebagai pedagang dan
seniman, mengalir masuk melalui pintu depan, membawa
hadiah-hadiah. Para biksu Tao muncul dengan jubah-jubah
kuning mereka, sementara para biksu Buddha dengan
warna jingga. Bahkan beberapa biksuni hadir dalam
pakaian abu-abu sederhana. Mereka melangkah tenang,
mata melihat ke bawah dan telapak tangan tetap terkatup.
Sebagai orang Utara yang lebih berjiwa pedagang
daripada cendekiawan, Kuo tidak mengikuti tradisi untuk
memisahkan tamu-tamu lelaki dan perempuan. Ia
mengepalai sebuah meja makan, sementara Istrinya meja
yang lain. Lady Kuo duduk di kursinya dengan pakaian
merah, sambil menampilkan senyum ramah. Peony yang
mengenakan pakaian kuning berdiri di sebelahnya untuk
menggambarkan suasana pesta itu secara mendetail bagi
nyonyanya. Ia berkata, "Ada sepuluh meja bundar di ruangan ini, dan
sepuluh lagi di ruang duduk. Sementara itu, di mana-mana
ada meja bundar. Di ruang baca, di ruang masuk, bahkan di
baglan rumah yang didiami para pelayan."
Joy Kuo mengangguk. "Kedengarannya seperti suasana
Tahun Baru di rumah ayahku. Ayahku selalu mengatakan
hari im merupakan hari orang kaya harus menjamu semua
teman dan kenalannya, terutama mereka yang kurang
beruntung. Ceritakan mengenai tamu-tamu kita, Peony, lalu
hidangannya." Peony mulai bercerita, "Bola-bola daging yang biasa
disebut kepala singa besarnya memang sebanding dengan
namanya. Selain itu ada kue-kue manis dari tepung beras
yang diisi manisan..." Peony tidak meneruskan kalimatnya
melainkan menghela napas.
Joy Kuo langsung mengertii, apa yang membuat
pelayannya gelisah. "Baik, pergilah. Ambilkan makanan
untuk kekasihmu yang terus kelaparan itu," ujarnya.
Peony mengucapkan terima kasih kepada majikannya,
kemudian langsung berlari ke dapur. Ia meminta nampan
besar serta empat mangkuk yang kemudian diisinya
dengan bakso, sup ayam, daging bebek panggang, serta kaki
kambing. Ia agak kesal ketika ternyata tak ada tempat lagi
untuk membawa kue-kue manis. "Biar aku kembali nanti."
Saat memutar tubuh untuk meninggalkan dapur, ia
berpapasan dengan Meadow.
Pengurus rumah tangga yang sudah tua itu melirik
keempat mangkuk di nampan Peony, lalu langsung ribut,
"Apa perut pacarmu itu gentong bolong" Bisa bobol gudang
makanan keluarga Kuo gara-gara dia!" Perempuan tua itu
berusaha merampas beberapa mangkuk. "Kembalikan
bebek panggang dan kaki kambing itu!"
Sambil angkat bahu, Peony segera berlalu. Andaikata ia
tidak begitu setia kepada Lady Kuo, pasti ia sudah
menendang nenek sihir ltu dengan senang hati. Ia
membawa nampan itu melintasi kebun, terus ke gudang
alat-alat. "Ini aku!" serunya tertahan, sambil menaiki tangga
yang setengah tersembunyl di antara beberapa pacul dan
tajak. Dua tangan raksasa muncul di atasnya untuk
menyambut nampan itu. "Aku lapar sekali," ujar Shu. Sambil duduk bersila di
lantal yang ditutupi jerami, ia meletakkan nampan di
pangkuannya, kemudian mulai makan. Peony duduk di
sebelahnya. Langit-langit tempat itu amat rendah, sehingga
mereka tak dapat berdiri tegak. Lantainya berderak di
bawah mereka, karena papan-papannya sebetulnya tidak
cukup kuat untuk menyangga bobot dua orang. Dengan
perabotan, lantai itu pasti akan ambruk. Namun Shu tak
punya pillhan lain. Ia terpaksa tidur dan duduk di lantai itu
sepanjang hari. Ia sudah bersembunyi di tempat itu sejak
awal musim gugur, sedangkan imbalan untuk kepalanya
masih tetap berlaku. Kuo telah menganjurkan padanya untuk tidak
meninggalkan rumah itu sampai suasana lebih reda.
Mulanya Shu tidak keberatan, mengingat ia masih harus
berbagi cerita begitu banyak dengan Peony. Namun waktu
yang dihabiskan Peony bersama Shu membuat Meadow
marah-marah. Wanita itu terus mengomeli Peony yang
dianggapnya menelantarkan tugas-tugas rumah tangganya.
Ia menuding Peony telah menyerahkan diri pada laki-laki
yang belum menjadi suaminya, serta mengenai jumlah
makanan yang dilahap Shu setiap kali Ia makan.
"Bisa-bisanya kau membawakan makanan begini
banyak," ujar Shu setelah menelan potongan dagingnya
yang terakhir, kemudian menatap mangkuk-mangkuk
kosong itu dengan pandangan sedih. "Apa sudah kaubunuh
nenek sihir itu?" "Tadi aku benar-benar tergoda," jawab Peony sambil
menggeleng-gelengkan kepala, "tapi Lady Kuo membutuhkan dia." Ia berdiri, membungkuk, lalu mulai
mengumpulkan mangkuk-mangkuk yang berserakan.
"Akan kuambilkan kue-kue manis untukmu nanti."
"Jangan pergi dulu." Shu menengadahkan wajah dengan
pandangan memohon, sambil meraih tangan Peony, lalu
menarlknya ke dekatnya. "Tinggallah bersamaku sedikit
lebih lama. Aku begitu kesepian sepanjang hari. Tanpa
udara segar, tanpa pemandangan ke luar. Aku merasa
seperti binatang yang terkurung. Aku tak yakin akan tahan
bersembunyi terus lebih lama lagi."
Hati Peony menciut. Ia duduk di hadapan Shu, kemudian
menempelkan pipinya ke dekat jantung pemuda itu. "Aku
akan tinggal bersamamu sebisaku. Tapi sekarang Tahun
Baru, dan aku harus membantu melayani tamu-tamu itu.
Aku tahu bagaimana perasaanmu, Shu. Tapi cobalah
bersabar sedikit." '
Shu mencakup wajah Peony dengan kedua tangannya,
kemudian menjauhkannya sedikit agar dapat menatap
matanya dengan lebih baik. "Kesabaran bukanlah sifatku,
sama seperti kau." Mereka sama-sama tersenyum. Sewaktu kecil, mereka
merupakan tim yang selalu menang dalam setiap
permainan, kecuali main sembunyi-sembunyian. Masalahnya mereka tidak betah bersembunyi terlalu lama.
Peony berkata, "Kita harus bersabar saat ini. Ini bukan
permainan anak-anak. Yang kita pertaruhkan di sini adalah
nyawamu, Shu." Cara Peony menyebutkan namanya membuat Shu
melupakan seluruh penderitaannya. Ruangan yang suram
tak berjendela itu tiba-tiba menjadi amat cerah. Ia menatap
ke dalam mata Peony, lalu merasa seakan mereka dua
orang bocah kembali, yang bebas berlarian melawan arus
angin di sepanjang tepi sungai. Ia mendekatkan wajahnya
ke wajah Peony sambil menundukkan kepala, lalu mulai
mengecupinya, mula-mula lembut, kemudian
lebih bemafsu. Peony membalas kecupannya dengan hangat. Ia
melingkarkan lengannya di leher Shu lalu merangkulnya
kuat-kuat. "Peony! Semua orang di rumah ini membanting tulang!
Berani-beraninya kau membuang-buang waktumu dengan
laki-laki malas yang tak berguna itu!" terdengar suara
Meadow dari bawah tangga.
"Akan kubunuh dia!" umpat Peony sambil melompat
berdiri, sampal kepalanya membentur langit-langit. "Aku
tak peduli hati Lady Kuo akan hancur berkeping-keping!"
Peony berlalu, membawa matahari, angin, serta tepi
sungai itu bersamanya. Shu merebahkan diri di jerami,
sambil melipat lengan di bawah kepala. Ia menatap ke arah
langit-langit yang rendah. Rasanya seperti berbaring dalam
peti mati. "Aku bukan- laki-laki malas dan tak berguna!"
serunya kepada langit-langit itu. Pada saat bersamaan ia
memutuskan tak akan tinggal di tempat persembunylan itu
lebih lama lagi. Besok ia akan melanjutkan misinya untuk
mengajak para biksu di daerah Utara bergabung. Kuo
belum menentukan kapan pergerakan serentak itu akan
dilakukan. Shu akan meneruskan itu dalam tugasnya yang
akan datang. "Dan aku akan membawa Peony bersamaku kali ini!
Sementara itu, kami sudah akan menjadi suami-istri secara
resmi. Malam sudah amat larut dan sepi, tapi Peony masih
berbaring dalam keadaan terjaga. Ia berpaling ke ara-h
jendela terbuka, mengawasi salju yang masih terus
berjatuhan di luar. "Tutup jendela itu, anak edan!" seru Meadow dari
tempat tidur di sebelahnya.
"Tutup saja sendiri, nenek sihir!" jawab Peony.
Karena tak dapat tidur, ia berdiri, lalu berpakaian. Ia
menuju dapur, lalu menyalakan sebatang lilin dengan
batang api, kemudian mulal mencari-cari makanan. Dalam
waktu singkat sebuah keranjang rotan sudah penuh dengan
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daging dingin dan bakpao. Tapi semua ini untuk nanti.
Sekarang ia ingin memberl Shu sesuatu yang hangat untuk
dimakannya, kemudian ia akan mengatakan bahwa mereka
dapat berangkat malam itu juga.
Peony menyalakan kayu api, kemudian menuangkan
sedikit air ke dalam wajan. Ia meletakkan empat batang
sumpit di dasar wajan yang melengkung, itu, untuk
menyangga sebuah mangkuk. Sesudah itu ia menaruh
beberapa kue manis di mangkuk itu. Saat ia menutup
wajan, dan menunggu sampai airnya bergolak, lidah api
lilinnya berkedip. Peony melihat bayangannya menari-narl
di tembok dapur. Hatinya ikut menari-narl penuh antusias;
ia dan Shu akan segera menantang takdir mereka.
Sambil menjinjing keranjang rotan di tangan yang satu,
ta menggunakan tangannya yang lain untuk membawa
mangkuk panas yang sudah di bungkusnya dalam kain
lampin. Saat memanjat tangga gudang alat-alat, ia
merangkul mangkuk itu dalam pelukannya dan merasakan
panasnya menjilat dadanya. "Shu, ini aku," serunya sambil
memasuki ruangan berlangit-langit rendah itu.
Peony melihat lilin menyala di atas batu bata tipis. Shu
berjongkok di dekatnya, sibuk mengikat simpul untuk
membuat buntelan kecil. "Kau mau pergl!" seru Peony
sambil menjatuhkan keranjang dan mangkuknya, lalu
mendekat. "Kau mau berangkat tanpa aku?"
"Cuma untuk kali ini," jawab Shu. Kemudian ia
mengungkapkan seluruh rencananya kepada Peony.
Peony menggeleng. "Aku kan bukan Lady Kuo. Aku tak
mau menunggu di rumah sampai suamiku pulang dari
perang. Aku mau ikut beruang di sampingmu, dan jangan
coba-coba berani bilang aku tidak mampu." Wajah sendu
Shu terus membayangi dirinya, ungkapnya kepada Shu,
sehingga ia tak dapat tidur. Akhirnya ia memutuskan sudah
tiba waktunya bagi mereka untuk bergerak lagi.
"Kita jenis orang yang mengambil tindakan. Aku akan
meninggalkan pesan untuk Master dan Lady Kuo, lalu ikut
bersamamu malam ini. Saat kau makan kue-kue manis itu,
aku akan kembali ke kamarku untuk mengemasi
pakaianku." "Aku senang sekali kau sampai pada keputusan itu!" ujar
Shu, sambil menarik Peony ke dalam pelukannya. "Aku tak
suka meninggalkanmu di sini, tapi perasaanku mengatakan
aku tak boleh membawamu bersamaku, mengingat kita
belum menikah." Ia mempererat pelukannya, sehingga
Peony mengaduh -kesakitan. "Sakit?" tanyanya sambil
menarik tubuh Peony, talu menatapnya heran. "Sejak kapan
kau menjadi sekuntum bunga yang rapuh, yang tak tahan
dipeluk keras-keras?"
"Dadaku," jawab Peony, sambil meraba di balik
pakaiannya. "Mangkuk tempat kue-kue manis itu tadi panas
sekali. Rupanya kulitku melepuh sekarang."
"Coba kulihat," ujar Shu sambil menyingkap baju Peony,
lalu memeriksa dengan bantuan cahaya lilin. "Kasihan kau!
Merah sekali celah dadamu, dan rupanya hampir melepuh!"
Ketika masih kecil, kalau salah satu di antara mereka
terluka, yang lain biasanya menjilati luka itu supaya rasa
sakitnya mereda. Maka Shu mencondongkan tubuh, lalu
mulai menjilati bagian yang mulai melepuh itu dengan
ujung lidahnya. Lidahnya bergerak menelusuri dada Peony,
sampai ia merasakan tubuh gadis itu menggeliat dalam
pelukannya. Mengira ia menyakitinya, ia berhenti sesaat.
Tapi ketika mengangkat wajah, ia menyadari bahwa Peony
menggeliat bukan karena kesakitan. Shu tersenyum, gadis
kecilnya sudah tumbuh dewasa sekarang.
Pandangan mereka bertemu beberapa saat, kemudian
kepala mereka mendekat, dan bibir mereka akhirnya
bertemu. Mereka saling mencurahkan cinta yang
terpendam, ia sama sekali tak menduga mereka akan
mendapat kesempatan untuk melampiaskannya.
Sementara mereka berciuman, tangan Shu mengambil
alih tugas lidahnya untuk menghilangkan rasa sakit di dada
Peony. Perlahan-lahan jari-jannya bergerak ke arah
kancing-kancing bajunya. Satu per satu ia membuka
pakaian gadis ltu, kemudian ia mulai menanggalkan
pakaiannya sendiri. Meadow tak dapat tidur lagi setelah menutup jendela. Ia
terus bolak-balik dengan resah di tempat tidurnya,
menantikan Peony kembali. Ketika menyadari Peony telah
pergi lebih jauh daripada kamar mandl, ia teringat akan
persedlaan makanan di dapur, lalu menjadi gelisah. Ia
bangkit dari tempat tidurnya dan mengenakan jubahnya.
Ketika Meadow melihat Peony mengemasi makanan, ia
memiringkan kepala sambil berpikir keras. Perempuan itu
tidak sekadar berniat mengambilkan makanan untuk si
raksasa! Ia berniat kabur bersamanya! Senyum membayang
di wajah tuanya, sampal akhirnya terlintas dalam
pikirannya bahwa Peony mungkin akan mencuri lebih dari
sekadar makanan. Karena itulah Meadow bersembunyi di
luar pintu dapur, mengawasi Peony saat gadis itu
mengukus kue-kue manisnya. Kemudian ia membuntuti
Peony menuju tempat persembunyian Shu.
Meadow, yang bertubuh ringan dan masih sigap, menaiki
tangga tanpa suara. Ia berdiri di bagian atas
undak-undakan itu, sampai matanya sejajar dengan
permukaan lantai yang dilapisi jerami, lalu mengawasi
setiap gerakan yang dilakukan pasangan kekasih yang
masih muda itu. Nyaris ia menggebrak mereka saat keduanya asyik
berciuman. Namun kemudian ia memutuskan untuk
menunggu. Meski tak pernah menikah, ia tahu nafsu berahi
adalah bagian kehidupan yang paling sulit ditahan.
Sepasang kekasih dari kalangan atas akan berhenti tepat
pada saatnya, sesuai yang digariskan tradisi, namun hal
seperti itu tidak berlaku bagi dua anak petani seperti Peony
dan Shu. Meadow menyipitkan matanya yang tua sambil
cepat-cepat memutar otak, kemudian ia turun dlam-diam
dari tangga itu. Ia berniat memanfaatkan situasi ini.
Meadow segera membangunkan empat pelayan laki-laki
yang biasanya mau bersekongkol dengannya. Ia menyuruh
mereka membawa obor dan gong. Dengan cermat ia
memperhitungkan waktunya, sambil berharap kedua
kekasih itu tidak melakukan adegan ranjang mereka terialu
cepat atau terlalu lambat.
"Peony, kau pernah mengatakan padaku bahwa sebelum
malam pengantin kita, ada baiknya aku belajar dulu seni
melarutkan awan serta rnewujudkan hujah. Nah, aku sudah
menguasainya sekarang," bisik Shu sambil menindih Peony,
tangannya masih terus mengusap-usap dada gadis itu.
"O ya?" ujar Peony dengan mata terbuka lebar. "Apakah
dia cantik?" "Tidak!" jawab Shu getir. "Dia cuma pelacur Selatan,
rapuh seperti ranting kecil. Lalu dia berlagak kesakitan!"
"Yah, tapi aku kan tidak kesakitan," jawab Peony.
"Sentuhan tanganmu memberikan rasa nyaman. Rasa
sakitnya sudah hilang sama sekali. Teruskanlah Shu, aku
berani jamin aku takkan remuk..."
Keduanya tersentak kaget ketika gong dipukul persis di
atas kepala mereka. Empat laki-laki tiba-tiba muncul, dua
dengan obor menyala dan dua memukul gong. Di belakang
mereka tampak Meadow yang cepat-cepat memungut
selimut, seprai, dan pakaian-pakaian mereka. Setelah
terkumpul, ia segera meninggalkan ruangan itu. Lantai
mulai berderak, dibebani oleh banyak orang.
"Siapkan pintu kayu! Ambil paku dan palu! Dua orang
tak tahu malu tertangkap basah. Ayo lihat, ada dua
pezinah!" seru wanita tua itu kuat-kuat sambil menuruni
tangga. Peony dan Shu sama-sama selalu terus terang dan tak
kenal takut, namun mereka tidak terbiasa memperlihatkan
ketelanjangan mereka di hadapan empat laki-laki. Mereka
begitu terkejut, sehingga lupa mengadakan perlawanan.
Mata mereka mencarl ke sana kemari, tapi tak dapat
menemukan apa-apa untuk menutupi diri mereka. Shu
berdiri di depan Peony, menggunakan tubuhnya sebagai
perisai. Peony merapatkan tubuh ke tembok sambil
mencondongkan tubuh ke muka dengan satu tangan di
dada, sementara yang lain di antara kedua pahanya.
Kuo muncul di ambang pintu. Ia melongokkan kepala ke
arah pasangan itu, kemudian memutar tubuh. Sesuai
tradisi, jika seorang laki-laki dan wanita tertangkap basah
saat berzinah, mereka akan dipaku berdampingan pada
sebuah pintu kayu. Pakunya akan menembus telapak
tangan dan kaki mereka. Kemudian pintu itu akan
dilemparkan ke Sungai Kuning, dan sementara terapung--
apung mengikuti arus airnya, penduduk desa-desa yang
mereka lewati akan melempari pasangan pezinah itu
dengan batu. Tak seorang pun berani menolong mereka.
Pasangan itu akan mati perlahan-lahan, dan akhirnya dua
tengkorak akan terlihat terapung-apung di atas pintu yang
sudah lapuk. "Hati Joy akan hancur berkeping-keping!" ujar Kuo
sambil menggeleng-gelengkan kepala ke arah Peony,
bertanya-tanya pada dirinya, bagaimana pasangan ini dapat
lolos dari aib yang akan segera menimpa mereka.
Kepala Meadow muncul di tangga. "Pintunya sudah
slap," ujarnya sambil tersenyum ke arah keempat laki-laki
itu. "Bawa kedua pezinah itu turun!"
Keempat laki-laki itu meletakkan gong mereka di lantai
serta menyerahkan obor mereka kepada Meadow. Sesudah
itu mereka menghampiri Shu dan Peony. Shu betul-betul
tak berdaya menghadapi tradisi yang keras itu. Dengan
cepat Peony membisikkan sesuatu ke telinga Shu, lalu ber-
gumam, "Satu, dua, tiga!"
Pada hitungan ketiga, keduanya membungkuk rendah-rendah, kemudian melompat. Kepala mereka
membentur langit-langit, dan sekejap kemudian kaki
mereka sudah menjejak lantai kembali.
Pampaknya begitu besar, sehingga papannya yang tipis
membelah dan tembok-temboknya berderak. Dengan
gemulai Peony dan Shu sampai ke bawah, bak dua
gumpalan bunga salju melayang terbawa angin.
Keempat laki-laki yang melesat melalui lubang yang
sama seakan-akan terpaku begitu menyadari bahwa
seluruh ruangan akan segera ambruk di atas kepala
mereka. Tangganya kehilangan penyangga, lalu ikut
ambruk. Meadow ikut jatuh dalam gerakan perlahan,
sambil menjerit-jerit dan mengayun-ayunkan obor,
kemudian terjun ke dalam tumpukan jerami. Dengan panik
ia menggerakgerakkan lengannya untuk menjaga agar
apinya tak sampai menyentuh jerami kering.
Kuo, yang masih sempat melompat ke tempat aman,
segera meninggalkan suasana kacau itu, menuju pintu
gudang peralatannya. Ia masih sempat melihat dua sosok
telanjang berlari melintasi kebun sambil berpegangan
tangan. "Ada pakaian di tali jemuran!" serunya, kemudian
tertawa terpingkal-pingkal. Ia begitu geli, sehingga
terpaksa membungkukkan badan, menahan sakit di perut-
nya. Ketika akhirnya dapat menguasai diri kembali, ia melihat
Shu dan Peony sudah sibuk memanjat tembok kebun,
masing-masing dengan beberapa potong pakaian di tangan.
Pasangan muda itu berhenti sesaat setelah sampai di atas,
berpaling dan melambaikan tangan ke arah Kuo.
"Sampaikan salamku pada Nyonya!" seru Peony.
"Kami akan berusaha mempersatukan para biksu di
daerah Utara!" seru Shu.
Peony dan Shu berhenti untuk berpakaian, kemudian
berlari lagi dalam hujan salju, di bawah penerangan bulan
sabit. Mereka berhasil merenggut dua pasang pakaian
laki-laki dari tali jemuran, namun mereka tidak memiliki
sepatu, padahal tanah dingin sekali.
Seluruh kota Gunung Makmur masih tidur pada subuh
Tahun Baru itu. Bahkan orang-orang Mongol merayakan
pesta Cina yang paling penting itu. Rumah-rumah berlampu
hijau dipenuhi oleh pelanggan, yang kebanyakan terdiri
atas perwiraperwira Mongol yang mengenakan sepatu-sepatu bot kulit. Peony dan Shu mengendap-endap
mendekati salah sebuah rumah. Mereka menyelinap ke
dalam dua kamar, lalu mencuri dua pasang sepatu bot kulit
sementara pemiliknya masih mendengkur di samping
pelacur masing-masing. Kedua pasang sepatu itu sudah tua
dan agak retak, namun dapat melindungi kaki pemilik
barunya. "Kau tampak cantik dalam pakaian laki-laki dan sepatu
bot tinggi!" ujar Shu, sambil mengagumi penampilan Peony
di bawah cahaya bulan. Cepat-cepat ia mengecup bibirnya.
"Mulai saat ini, aku hanya akan memakai pakaian
laki-laki dan sepatu bot tinggi," ujar Peony sambil
membalas kecupan Shu. "Selama aku tampak cantik di
matamu, siapa peduli pendapat orang-orang sedunia?"
Meskipun seluruh kota masih tidur, mereka menyelinap
dengan hati-hati dalam gelap. Mereka menghindari
jalan-jalan yang terang benderang, dan setiap kali
mendengar suara ordng mendekat, mereka mengambil
jalan lain. "Aku belum pernah sehati-hati sekarang," ujar
Shu. "Ketika mengira kau mati, aku tak ingin hidup lagi.
Tapi aku tak ingin mati sekarang." Ia tersenyum pada
Peony. "Apakah seorang wanita dapat mengubah pendekar
menjadi pengecut?" "Tidak," jawab Peony. "Dia hanya dapat mengubah
seorang anak muda yang sembrono menjadi laki-laki yang
bijaksana."
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka melewati perkemahan orang-orang Mongol dan
sebuah kuil Lama, kemudian mendaki kaki bukit, terus
menuju puncaknya yang tinggi. Mereka sampai di Kuil
Bangau Putih begitu hujan salju berhenti turun dan sinar
bulan mulai memudar. Mereka membangunkan Sumber
Damai, lalu memintanya menikahkan mereka.
Pakaian cokelat yang dikenakan Peony semula milik
seorang laki-laki berlengan panjang, sehingga lengan
bajunya nyaris menutupi jari-jarinya. Baju biru yang
dikenakan Shu terlalu ketat baginya. Dengan resah ia
menggeliat-geliutkan tubuh, sehingga jahitan di bahunya
akhirnya sobek. Keduanya rupanya tak sempat menyisir
rambut mereka. Sisa jerami dari gudang peralatan Kuo
masih menempel di kepang panjang pengantin wanita dan
cambang pengantin laki-laki yang baru tumbuh kembali.
Mereka juga tak sempat mencuci muka. Ada percikan
lumpur di dahi Peony dan sedikit tanah di pipi Shu. Namun
di mata Shu, Peony adalah wanita tercantik di muka bumi
ini, dan di mata Peony, Shu adalah laki-laki paling tampan.
Bangsal pemikahan mereka adalah sebuah kuil tua
penuh dengan patung-patung Buddha. Masing-masing
menatap mereka, entah sambil tersenyum atau dengan
kerutan di dahi, yang dihiasi oleh kemerlip cahaya lilin dan
bara batang-batang dupa. Saksi-saksi mereka adalah para
biksu dan biksuni tua, kaum pesilat dan anggota Serban
Merah yang masih belia. "...kalian sekarang sudah menjadi
satu", ujar Sumber Damai akhirnya.
Ketika Shu dan Peony memasuki kamar pengantin,
mereka tercengang. Para biksuni telah memberikan
suasana cerah pada ruangan semadi yang kecil itu dengan
menyalakan semua lilin merah yang dapat mereka
temukan. Bantal-bantal untuk berdoa mereka sulap
menjadi bantal pengantin yang di atasnya disebari buah
kurma dan kacang. "Kita akan mendapat banyak anak
laki-laki yang sehat," ujar Shu sambil menunjuk ke arah biji-
bijian itu. Kemudian dengan lembut ia melingkarkan
lengannya ke pundak istrinya.
Saat Peony merebahkan kepala di atas bantal-bantal itu,
ia mendengar suara gemeresik. Ia mendapati satu di antara
bantal-bantal itu betul-betul berisi kuntum-kuntum bunga
kering. Pandangannya menjadi kabur oleh air mata.
Beberapa tahun yang lalu, ketika ia bersama teman-temannya sedang mengumpulkan bunga-bunga
musim semi untuk mengisi bantal pengantin mereka,
mimpi buruk itu dimulai. Ia mengejapkan air matanya,
kemudian tersenyum. Tahun-tahun suram itu sudah
berlalu. Ia dan Shu takkan pernah lagi lepas dari pandangan
mata masing-masing, ujarnya dalam hati sambil memeluk
suaminya erat-gat. Angin berembus di antara batang-batang pohon pinus
tua saat kedua gumpalan awan yang sudah lama terpisah
itu akhirnya menyatu. Berulang kali mereka melebur
kembali, hanyut, kemudian larut di dalam yang lain, dan
setiap kali sedikit lebih lama. Untuk pertama kali dalam
seiarah, suasana kuil tua itu dihangatkan oleh panas curah
hujan yang terus melimpah sampai matahari pagi sudah
tinggi di langit. BAGIAN IV 25 Musim Semi, 1353 "MANA Tangan Maut-ku" Mana" Mana" Mana?"
Seorang pemuda berlari keluar dari istana, menghambur
ke kebun. Jubahnya yang keemasan terbuka, sepatunya
hanya sebelah. Angin musim semi menyibak jubahnya,
menyingkapkan dada telanjangnya, yang penuh bercak
merah lipstik dan bedak putih. Langkah-langkahnya yang
lebar menampakkan bagian bawah tubuhnya, mengingat ia
tidak mengenakan apa-apa.
"Siapa yang mengambil Tangan Maut-ku" Dan di mana
para pengawalku?" serunya lagi. Sambil berlari, ia menokh
ke belakang. Ia menabrak sebatang pohon apel, sehingga bunganya
berguguran dan menghujani dirinya dengan warna merah
muda dan putih. Ia tersandung serumpun semak mawar,
sehingga duri-durinya menggores kakinya. Para gadis
cantik menahan napas, lalu menutup wajah dengan
kipas-kipas sutra sambil mengintip Khan Agung yang
kebingungan. Taufan berhenti berlari begitu tiba di pelataran. Ia
menaiki tangganya, beberapa undakan sekaligus. Ia
menjatuhkan diri di kaki sebuah patung Buddha yang
terletak di tengah-tengah pelataran itu. De ngan tangan
gemetar ia menekan. Ujung jari kaki kiri si patung dengan
keras. Salah satu papan kayunya bergerak, menyingkapkan
sebuah lorong rahasia. Si Khan mengumpati pintu itu, yang
menurutnya bergeser kurang cepat, kemudian menerobos
lorong yang masih setengah terbuka. Selagi menuruni
tangganya dan dengan cepat menelusuri lorong sempit itu,
ia mendengar suara para pengejarnya memasuki halaman
kebun sambil membentak-bentak gadis-gadis istana untuk
memberitahukan di mana dia. Ia dapat mengenali suara
saudara-saudara dan pamanpamannya, para sepupu serta
para kemenakannya, bahkan suara para serdadu dan para
pengawal pribadinya. Taufan sampai di sebuah ruang kecil tapi mewah, yang
didominasi oleh sebuah tempat tidur megah. Tangannya
langsung meraih tempat lilin emas yang kemudian
diputarnya. Sambil terengah-engah ia mendengarkan suara
papan di atas kepalanya bergeser kembali, menutupi jalan
masuknya. Ia tersenyum, lalu menjatuhkan diri di tempat
tidur, ke atas tumpukan bantal satinnya.
"Aku berhasil," ujarnya, sambil berusaha mengembalikan napas dan memikirkan langkah-langkah
berikutnya. Ia akan menelusuri terowongan, menuju kuil Lama di
dekat rumah kekasihnya, namun kali ini yang akan
dipanggllnya bukannya wanita itu, melainkan suaminya,
yaitu jenderal yang paling berkuasa di Da-du. Si jenderal ini
tentunya akan segera bergabung dengan Pedang Dahsyat.
Taufan sudah dapat membayangkan dirinya keluar dan
tempat persembunyiannya setelah para pemberontak
istana itu dibasmi oleh kedua kekuatan militer paling
ampuh dalam kerajaannya. "Khan-ku yang Agung tampak sangat tenang menghadapi situasi ini." Suara rendah itu berasal dari balik
sebuah cermin kuningan berbingkai emas, yang lebih tinggi
dari ukuran tubuh seorang laki-laki.
"Ah, kau!" seru Khan setelah pullh dari rasa kagetnya.
"Aku senang sekali melihatmu di sini! Jadi, kau gagal
mencegah niat jahat mereka dan tahu aku akan ke tempat
ini. Tapi kenapa kau tidak mengingatkan aku... ?" Ia tidak
menyelesaikan ucapannya. Shadow Tamu meraih belakang cermin kuningan, lalu
menunjukkan si Tangan Maut. Wajahnya yang sempit tidak
berekspresi, matanya yang hitam menyorot dingin.
"Kau menyimpannya untukku!" Khan yang masih muda
itu tidak memperhatikan apa yang baru saja tersirat di
wajah Shadow, saking senangnya ia melihat senjata
ajaibnya. "Aku mencarinya ke mana-mana sewaktu mereka
menyerbu istanaku. Aku terpaksa kabur tanpanya sewaktu
mereka semakin mendekati kamar tidurku. Terima kasih
karena membawanya kepadaku. Kau memang penasihatku
yang betul-betul setia... lho, kenapa?"
Shadow Tamu mengangkat tabung besi itu per-
lahan-lahan, lalu membidikkannya ke Khan-nya. "Dasar
bajingan! Kaupikir aku akan tetap setia padamu setelah
kaubunuh adikku?" "Tidak! Jangan!" Khan menaikkan tangannya, kemudian
memohon dengan suara bergetar, "Jangan bunuh aku! Akan
kuberikan apa saja yang kau mau! Bahkan takhtaku!"
Shadow Tamu merapatkan rahangnya, di bibirnya
membayang senyum sinis. Tiba-tiba tawanya menggema,
memenuhl seluruh ruangan itu. Sambil tertawa, Shadow
Tamu menarik pemicu senjata di tangannya. Suara ledakan
yang memekakkan telinga berkumandang di ruangan kecil
itu, asap tebal segera menebar. Setelah getaran mengerikan
itu mereda dan asap berbau mesiu itu mempis, Shadow
Tamu melangkah maju, menghampiri tempat tidur.
Tubuh Khan terjungkal ke belakang oleh dorongan yang
ditimbulkan Tangan Maut, namun kepalanya tertahan
bantal-bantal satinnya. Mulutnya terbuka, sementara
matanya menerawang ke arah penasihatnya. Darah dari
sebuah lubang yang menembus jantungnya segera berubah
menjadi sungai merah yang mengalir ke tempat tidurnya
yang mewah. "Goblok!" Shadow Tamu meludahi wajah Khan yang
sudah mati. "Hanya orang-orang tolol yang mau menjadi
khan. Tak ada khan yang bisa hidup lama, berbeda dengan
penasihatnya, yang sebetulnya menguasai seluruh negeri
dan akan terus berjaya."
Shadow Tamu memutar tempat lilin emas. Saat pintu
terowongan terbuka, lorong itu dipenuhi para pangeran
serta pengikut-pengikut mereka. Begitu masuk, mereka
melihat Shadow Tamu yang berdiri di samping Khan yang
sudah meninggal. Sambil membungkuk dengan rendah hati
ke arah mereka semua, ia berkata tulus, "Aku siap
mengabdikan diriku pada Khan Agung yang baru!"
Di istana itu ada 27 pangeran; 26 di antaranya sedang
berkumpul di balairung utama. Di belakang setiap
pangeran berdiri pengawal pribadi masing-masing, setiap
pengawal menggenggam sebilah pedang panjang. Tangan
Maut khan yang sudah almarhum sekarang berada di
tangan Shadow Tamu. Si penasihat tidak berniat membagi
senjata itu dengan siapa pun, kecuall adiknya sendiri. Bila
panglima jenderal itu berpendapat bahwa para serdadu
Mongol harus menggunakannya sebagai senjiata, barulah
Tangan Maut diproduksi dalam jumlah besar.
Sidang sudah berlangsung sejak pagi, dan saat itu sudah
menjelang malam. Makanan sudah tersaji, sementara
mereka semua sudah beristirahat beberapa kali. Namun
seorang penerus belum juga terpilih.
Para pangeran itu sama kuatnya, dan tak seorang pun di
antara mereka dapat membunuh yang lain, untuk
kemudian menjadi penguasa tunggal.
Mereka sudah lelah dan kesabaran mereka sudah habis
setelah berdebat sekian lama, sehingga mereka lega ketika
akhIrnya Shadow Tamu membuka mulut.
"Aku punya usul," ujar si penasihat tenang. "Pangeran
Timur Tohan merupakan calon yang sempurna." Ia
menutup mulutnya kembali begitu para pangeran mulai
tertawa. Pangeran Timur Tohan baru berusia sembilan belas
tahun, satu-satunya pangeran yang tidak terlibat dalam
usaha pembunuhan Taufan, juga satu-satunya yang tidak
hadir dalam sidang itu. "Tapi dia bukan ksatria! Dia belum pernah membunuh
orang seumur hidupnya!"
"Dia bahkan tak suka berburu! Beberapa waktu yang
lalu, ketika dia melihat kita menguliti kijang, dia menangis
seperti orang dungu!"
"Dia bukan laki-laki dalam banyak hal. Contohnya, dia
hanya mau menggauli satu wanita. Dia dan Bunga
Matahari-nya tidak hidup di alam nyata. Mereka cuma dua
pemimpi yang tidak becus!"
Secara bergiliran masing-masing pangeran mengajukan
keberatan serta kritik mereka terhadap Pangeran Timur
Tohan. Shadow Tamu mendengarkan dengan sabar. Baru
setelah mereka selesal berkomentar, ia mulai berbicara
kembali. Nadanya rendah dan sama sekali tidak
tergesa-gesa, kata-katanya singkat, "Pangeran Timur Tohan
bisa menjadi boneka yang baik. Kalianlah yang menarik
tali-talinya. Si boneka bisa disetir ke sana kemari, namun
para dalangnya takkan cedera."
Di sebuah kebun kecil, jauh dari ruang balairung utama,
seorang pangeran tampan bersama seorang putri cantik
menghibur beberapa pedagang dari Mekah dan beberapa
penjelajah dari Roma. Pangeran Timur Tohan amat senang belajar sejak masih
kecil. Bahasa-bahasa asing serta kebudayaan negeri-negeri
lain amat menarik baginya. Ia juga mendalami seni musik,
dan kesusastraan berbagai negara. Selain itu, ia juga
menaruh minat yang amat besar terhadap berbagai hal
yang berhubungan dengan keindahan serta penemuan-pe-
nemuan ilmiah. "Aku tak tahu bahan gelas sudah ditemukan lebih dari
seribu tahun yang lalu. Coba bayangkan, barang-barang
seni dari gelas ditemukan di antara puing-pulng Pompeii,"
ujar pangeran yang masih muda itu dalam bahasa Itali
kepada sekelompok penjelajah Roma. Kemudian ia
berpaling ke arah para pedagang Arab. "Apakah kalian
yakin orang-orang kalianlah yang membawa vas-vas dan
barang pecah belah ke Cina sekitar empat ratus tahun yang
lalu?" Putri Bunga Matahari, yang juga sepupu jauh Timur
Tohan dan teman bertukar pikiran sedari mereka tumbuh
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama-sama, memperbaiki kata-kata Pangeran. "Barang-barang pecah belah dari gelas dibawa ke Cina oleh
orang-orang Roma tak lama setelah benda-benda itu
ditemukan. Orang-orang Arab hanya membawa formula
untuk membuat gelas ke Cina." Pangeran tersenyum
mendengar uraiannya, sementara Putri Bunga Matahari
menambahkan, "Orang-orang Cina mengagumi benda-ben-
da dari gelas itu. Mereka mengira itu batu kemala yang
tembus pandang. Karena itulah mereka berniat menambangnya dari dalam tanah, namun tak pernah
terpikir untuk membuatnya. Akibatnya selama empat ratus
tahun terakhir ini orang-orang Cina tak pernah menyentuh
formulanya." Pangeran Timur Tohan menatap Putri Bunga Matahari
dengan kagum. Kemampuan berbicara serta memahami
bahasa-bahasa asing gadis itu menandingi kemampuannya
sendiri. Kemudian ia menoleh ke arah para pedagang Arab,
lalu bertanya, "Apakah kalian dapat membantuku membuat
gelas" Yang kumaksud bukan vas atau barang pecah belah
dari gelas. Aku menginginkan lembaran gelas yang lebih
praktis fungsinya." Mata Pangeran bersinar-sinar saat mengucapkan apa
yang terlintas di kepalanya. "Bayangkan kalau lampion-lampion terbuat dari gelas - cahayanya takkan
terusik lagi oleh hujan dan angin. Dan cobabayangkan kalau
semua jendela ditutup dengan gelas, bukannya kertas
merang - kita bisa melihat melalui gelas dan suasana di
dalam ruangan akan lebih terang."
Para pedagang itu mengangguk, kemudian salah seorang
berkata, "Kita membutuhkan pasir, silika, kapur, dan bubuk
soda..." Pintu tiba-tiba terbuka. Para pengawal pribadi Pangeran
Timur Tohan yang jumlahnya sedikit, didorong ke samping
oleh serombongan tamu tak diundang. Shadow Tamu
datang diikuti sekitar 26 pangeran serta para pengawal
pribadi mereka. Tanpa berusaha menyembunyikan sikap merendahkan
mereka, para pangeran dan pengawal itu membungkuk ke
arah Pangeran Timur Tohan sekadar untuk memenuhi
formalitas. Shadow Tamu menghampiri Pangeran Timur Tohan,
menatapnya, kemudian berkata dengan angkuh, "Yang
Mulia sekarang khan agung kami. Upacara penobatannya
akan berlangsung besok."
Pangeran Timur Tohan dan Putri Bunga Matahari
langsung saling mendekat, terkejut dan takut. Mereka
sama-sama merinding melihat senyum sinis para pangeran
serta ekspresi dingin si penasihat."
26 Musim Panas, 1353 MENEMANI bulan sabit ketujuh yang keperakan, sebuah
gugusan bintang yang membentuk lajur cahaya kemilau
menghiasi langit. Benda-benda angkasa ini menyentuh
garis cakrawala dan bertemu di permukaan Sungai Kuning.
Di padang rumput di dekat tepinya berdiri sepasang anak
muda. Tubuh si pria yang mengenakan pakaian-cokelat dari
bahan kasar, diikat seenaknya di pinggangnya yang lebar
dengan tali rami. Lehernya yang terbuka menyingkapkan
dadanya yang berbulu, setengah tertutup oleh jenggotnya
yang panjang. Yang wanita mengenakan pakaian pria
berwarna biru serta sepatu bot tinggi. Rambutnya
dikepang, tapi tidak digelung ke atas. Kepangnya yang tebal
diikat pita merah yang mengayun di pinggulnya, mengikuti
setiap gerakannya. Mereka sedang menuju sungai ketika si wanita tiba-tiba
berhenti, sehingga langkah pasangannya tersentak di
tengah jalan. Ia berkata, "Shu, bagaimana kalau kita latihan
tai chi sebentar" Aku harus menenangkan diri. Aku jadi
panas begitu teringat kematian keluarga kita."
Shu mengangguk. DI bawah sinar bulan sabit, tanpa
terlihat siapa pun, mereka mulal bergerak perlahan-lahan
dan lembut, dari satu jurus ke jurus lain, sambil
mengayunkan lengan dan kaki-kaki mereka dalam irama
yang serasi, bak dua penari.
Tak lama setelah meninggalkan Gunung Makmur, Peony
mengajarkan jurus-jurus tai chi pada Shu, sementara Shu
membagikan ilmu kungfunya. Teknik-teknik bela diri itu
membangkitkan rasa antusias mereka, nyaris dalam porsi
yang sama seperti seni bercinta. Selagi mengembara dari
satu desa ke desa yang lain di daerah Utara, mereka
menjadikan setiap bukit atau hutan sepi sebagai tempat
mereka berlatih. Batang-batang bambu menjadi tombak
panjang, potongan-potongan kayu menjadi pedang-pedang
mereka. Selain saling belajar, mereka juga menyerap
teknik-teknik baru dari para biksu dan biksuni yang
mereka ajak bersatu. Setelah menyelesaikan rutinitas tai chi mereka,
kemarahan Peony mereda. Mereka melanjutkan perjalanan,
dan tak lama kemudian sampai di desa Pinus.
Mereka pergi ke tempat yang pernah didiami keluarga
Shu, untuk menengok makam keluarganya. Mereka
berlutut, meminta arwah para almarhum untuk memberkati pernikahan mereka.
Peony menengadahkan wajah ke langit malam,
kemudian berbicara kepada para arwah itu, "Keluarga Shu
biasanya bertemu dengan keluarga Ma pada waktu-waktu
ini. Shu dan aku kini bersama-sama dan bahagia. Apakah
kalian juga sedang berkumpul dan bersenang-senang di
surga?" Secercah angin musim panas mendesir melalui
pohon-pohon yang mengelilingi tempat itu. Bin- tang-bintang berkedip. Sungai Kuning bergemercik di
kejauhan. Shu dan Peony memasang telinga untuk
mendengarkan suara orang-orang yang mereka cintai,
namun tak dapat menangkap jawaban mereka. Akhirnya
mereka berdiri, kemudian menuju Kuil Raja-raja.
Biksu Naga Tanah yang bertubuh tinggi dan berwibawa
tampak lebih tua, namun ia belum melupakan Shu. "Kau
kelihatan lebih dewasa!" ujarnya sambil menatap Shu dari
atas ke bawah. Sama halnya para biksu dan biksuni di bagian-bagian
lain Negeri Cina, hampir semua penghuni kuil itu
melakukan latihan seni silat, meskipun mereka mengenakan jubah keagamaan. Naga Tanah menghela
napas, lalu berkata, "Pernahkah kalian melihat tikus kecil
yang disudutkan kucing" Menyadari akhirnya dia toh akan
dimakan si kucing, dia berdiri di atas kaki belakangnya, lalu
memberikan perlawanan terakhir dengan kaki depannya.
Kepada kami, para biksu dan biksuni, diajarkan untuk
bersikap damai, namun orang-orang Mongol ltu sudah
menyudutkan kami dengan mengunggulkan ajaran Lamais
dan Kristen." Shu dan Peony tidak mendapat kesulltan untuk
mengajak para biksu dan biksuni ini bergabung dengan
mereka. "Begitu mendapat kabar, kami akan menghambur
keluar dari kuil-kuil kami, untuk mengusir semua orang
Mongol dari desa Pinus!" ujar Naga Tanah dengan tegas.
Shu dan Peony meninggalkan desa Pinus, dan setelah
berjalan selama dua hari, akhirnya sampai di Lembah
Zamrud pada waktu subuh. Kuil Langit lebih penuh dari sebelumnya. Welas Asih
yang kurus tapi tegar langsung mencengkeram lengan
Peony, lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku
senang sekali melihat kau sudah menikah anakku, dan
dengan seorang lelaki yang seimbang denganmu."
Blksu tua itu mendengarkan kisah panjang yang
dituturkan kedua anak muda iiu, kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, "Jangan
kalian salahkan perpisahan kalian pada takdir. Semua
perkawinan sudah diatur sang Buddha. Memang sudah
suratan kalian tidak menikah lebih dulu."
Peony memiringkan kepala, lalu bertanya dengan nada
seakan tak percaya, "Aku sudah melihat banyak
perkawinan gagal. Kenapa sang Buddha suka memberikan
cobaan kepada manusia?"
Welas Asih tertawa. "Peony, rupanya perkawinan tidak
membuatmu dapat lebih menahan mulut besarmu." Biksu
itu kemudian menjelaskan bahwa bahkan kegagalan dalam
perkawinan ada hikmahnya. "Kalau dalam kehidupan ini
seseorang melakukan sesuatu yang kurang baik terhadap
sesamanya, dalam kehidupan berikutnya dia akan menjadi
istri yang baik. Si suami akan menjadi orang yang akan
berlaku kasar, sementara si istri harus menerima per-
lakuannya itu." Shu menyentakkan kepala ke belakang, kemudian
tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, aku sudah
melakukan sesuatu yang kurang baik kepada Peony-ku
dalam kehidupan kami sebelumnya. Dia terus memperlakukanku dengan kasar. Coba lihat memar-memar
ini... aduh!" Peony meninju suaminya dengan keras di lengannya.
"Sejauh ini aku baru melukaimu selagi kita latihan kungfu!
Tapi itu akan berubah kalau kau berani mengungkapkan
sepatah kata saja yang tidak benar! "
Shu menggosok-gosok lengannya secara berlebihan, lalu
menatap Welas Asih dengan pandangan pura-pura sedih.
"Anda lihat maksudku, shih-fu yang kuhormati. Aku suami
yang selalu mendapat perlakuan kasar, yang bahkan tidak
berani melawan, seperti tikus kecil yang tersudut itu!"
Welas Asih tertawa. "Andai kata semua pasangan
suami-istri sebahagia kalian berdua. Aku yakin kalian
betul-betul baik sekali yang satu terhadap yang lain, dalam
kehidupan kalian sebelumnya."
Para biksu dan biksuni Kuil Langit berkumpul sore itu,
untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Shu
dan Peony. Penuh antusias mereka menyatakan setuju
untuk melawan orang-orang Mongol.
Begitu misi mereka selesai, Shu dan Peony makan malam
bersama Welas Asih. Saat mempersiapkan diri untuk
melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya, Welas Asih
berkata, "Tunggu. Ada yang ingin kuperlihatkan pada kalian
berdua." Bertiga mereka menuju bangsal utama. Welas Asih
menutup pintu di belakang mereka. Begitu mereka sampai
di muka patung Buddha Kemakmuran, si biksu memilih
salah satu cuping telinganya yang panjang. Sebuah tempat
persembunyian rahasia di perut sang Buddha yang gendut
terbuka. Sinar kehijauan menyapa cahaya lilin yang ber-
kedip-kedip dalam ruangan itu.
Biksu tua itu mengulurkan tangan ke dalam lubang gelap
itu, lalu meraih sebuah batu yang diangkatnya keluar
dengan hati-hati. Ketika ia meletakkannya di altar, Peony
menahan napas, lalu berkata, "Kelihatannya seperti sebuah
bulan berbentuk lonjong yang jatuh ke bumi, terus mem-
barakan sinar kehijauan, seakan minta dikembalikan ke
tempat asalnya!" . "Bulan hijau ini adalah batu kemala ayahmu." Welas Asih
tersenyum pada Peony. Peony mengawasi batu indah yang berkilauan itu. Ia
ingin menyentuhnya, namun tidak berani. "Tidak mungkin!
Dari gunung ayahku menggali batu yang masih kasar
wujudnya. Sama sekali bukan seperti ini."
Welas AsIh mengangguk, lalu menghela napas
dalam-dalam. "Sejak kau meninggalkan Lembah Zamrud,
telah terjadi beberapa pembantaian lagi di desa. Seorang
penambang batu kemala yang dibuat cacat oleh
orang-orang Mongol muncul meminta perlindungan dalam
kuilku ini. Kuperlihatkan batu ini padanya. Orang ini sudah
kehilangan seluruh keluarganya, namun mendapatkan
semangat hidupnya gara-gara batu ayahmu yang indah. ini.
Dia bekerja siang-malam untuk memahat batu kemala yang
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berharga ini dari kulit luarnya yang kasar, kemudian
dipolesnya dengan cinta dan kelembutan ibu kepada
anaknya. Dia meninggal sebulan yang lalu, sambil
menggenggam batu kemala yang sudah selesai dipolesnya
dan menyunggingkan senyum kepuasan."
Biksu tua itu menggenggam batu kemala tersebut di
tangannya sekali lagi, sebelum menyerahkannya kepada
Peony. "Ini warisan keluargamu. Kau boleh membawanya
bersamamu." Peony menggeleng-gelengkan kepala sambil melangkah
mundur. Dengan mantap biksu itu berpaling kepada Shu.
"Tradisi menyatakan bahwa semua barang berharga milik
istri juga akan menjadi milik suaminya. Batu kemala ini
milikmu, Shu." Shu menolak menerimanya. "Kami tak mampu
menyimpan barang berharga." Ia terdiam begitu tangannya
menyentuh rantai emas di lehernya. Menggelayut di rantai
itu, setengah tersembunyi di balik jenggotnya, adalah
bandul batu kemalanya yang berbentuk dua tangan yang
berjabatan. "Tapi jika batu berharga ini bisa sampai ke
tangan sobatku, akan menjadi benda seni tercantik di muka
bumi ini." Tatapan Shu yang tajam melembut begitu ia
menambahkan, "Dia pernah mengungkapkan padaku
bahwa impiannya adalah memahat sepasang kekasih dari
batu kemala. Nama sobatku itu Lu si Bijak."
27 Musim Dingin, 1354 BULAN penuh bersinar di atas Sungai Yangtze, ditemani
langit yang penuh bintang-bintang berkilauan. Namun
tiba-tiba suhu udara menurun dan gumpalan-gumpalan
awan tebal mulai bergulung-gulung melintasi langit. Begitu
embusan angin mereda, jutaan bunga es berwarna putih
menutupi permukaan sungai, menyentuh setiap sudut kota
Yin-tin, termasuk rumah kediaman keluarga Lu.
Lu sedang berunding dengan para anggota Liga Rahasia
dengan nada tertahan. Sebagai orang-orang terpelajar,
mereka sudah terlatih untuk selalu berbicara dengan nada
rendah sejak masih kecil; mereka yang berbicara dengan
suara keras dianggap tidak tahu aturan. Sementara
menyimak dengan cermat, ia dapat menangkap di atas
bisikan teman-temannya, suara Lotus yang sedang berada
di halaman belakang, memainkan serulingnya untuk
anak-anak mereka. Lu tersenyum. Suasana rumahnya
begitu tenang dan harmonis, meski di luar perang sedang
berkecamuk. "Perang akan segera berakhir, Lu," ujar salah seorang
anggota Liga Rahasia. "Berapa banyak waktu akan
kauberikan pada khan yang baru, sebelum dia menyatakan
kalah kepada salah seorang pemimpin revolusi kita?"
Lu menjawab dengan nada rendah, "Perang takkan
berakhir secepat itu, mengingat para pemimpin kita belum
bersatu." Ia menghela napas, kemudian mengingatkan
kawan-kawannya untuk menengok kembali pada sekian
banyak pertempuran antara orang-orang Cina melawan
Mongol di tahun-tahun sebelumnya.
Begitu Kuo memulai perjuangannya melawan orang-orang Mongol secara terbuka, para biksu yang
menguasai kungfu dan biksuni-biksuni anggota Serban
Merah di bagian utara Provinsi Honan bergabung
dengannya. Mereka berhasil mengusir orang-orang Mongol
dari desa dan kota-kota mereka, membobol penjara-penjara, dan melepaskan semua tawanan Cina.
Lu berkata, "Andai kata orang-orang sipil juga bisa diajak
kerja sama. Tidak seperti Kuo, yang dikenal sebagai Master
Kuo, keenam pemimpin dari kalangan orang-orang sipil ini
mengangkat diri mereka menjadi raja. Mereka menduduki
empat daerah: timur laut, tenggara, pusat, dan barat. Kuo
adalah salah satu di antara dua pemimpin daerah timur
laut." Para cendekiawan lain mengangguk-angguk saat Wali
Kota Lu menambahkan dengan nada rendah, "Kuo
mengirimkan pesan kepada para pemimpin lain, meminta
mereka angkat senjata pada malam terakhir Pesta Bulan.
Tapi ketika malam yang ditentukan tiba, keenam pemimpin
itu menginstruks1kan anak buah mereka untuk memblarkan Kuo dan anak buahnya maju sendiri, dengan
harapan orang-orangnya dibasmi tentara Mongol. Tentu
saja akhirnya mereka kecewa. Dengan bantuan para biksu
dan biksuni, Kuo memenangkan pertempuran demi
pertempuran. Tentara Kuo tidak hanya berhasil mengusir
orang-orang Mongol keluar dari Gunung Makmur, tapi juga
merebut kembali sekian banyak kota dan desa di sepanjang
Sungai Kuning. Seluruh bagian utara Provinsi Honan se-
karang berada di bawah mereka."
Salah seorang di antara orang-orang terpelajar itu
kemudian teringat akan kabar angin yang' sampai ke
telinganya. Ia menatap Lu, lalu tertawa. "Wali Kota Lu,
apakah betul teman barbar Anda, Shu, sekarang salah satu
di antara jago silat si Kuo" Kalau memang benar, apa
jabatannya" Pembawa berita" Atau mungkin salah seorang
serdadu?" Lu mengerutkan alisnya. Tak seorang pun di antara para
anggota Liga Rahasia melupakan Shu, dan mereka masih
sering mengejek Lu karena persahabatannya yang aneh.
Seorang wali kota terpelajar dengan pewarta yang masih
barbar. Sesaat Lu menelan rasa kesalnya, kemudian
memutuskan untuk mengungkapkan apa yang sudah
diketahuinya selama beberapa waktu.
"Tak bisa diungkiri bahwa aku amat bangga atas
keberhasilan dicapai Shu selama ini," ujarnya sambil
menaikkan suaranya. "Aku tahu kalian tidak menyukainya,
karenanya aku tidak mengungkapkan apa pun pada
kalian..." Lu pernah mengirim Ah Chin, bekas pelayannya yang
sudah pensiun, beberapa kali ke daerah Utara, mengingat
seorang cacat yang sesekali menempuh perjalanan antara
daerah Utara dan Selatan tidak akan mengusik kecurigaan
orang-orang Mongol. Musim dingin yang lalu Ah Chin
kembali dengan membawa berita baik dari daerah Utara.
Shu sudah menjadi orang kedua tertinggi di antara para
jago silat Kuo. 28 Musim Semi, 1355 "SUARA burungkah yang kudengar itu" Atau sakitku
membuat pikiranku melantur ke mana-mana?" tanya
Peony sambil mengangkat kepala, lalu memusatkan
pendengarannya. Ia mencoba duduk di tikar jerami
tempatnya tergeletak lebih dari sehari, namun pada saat
berikutnya ia menjerit, kemudian menjatuhkan tubuhnya
kembali. Ada lima orang di dalam tenda itu: Peony, Shu, serta tiga
dukun beranak yang berpengalaman. Sejak awal masa
perang, Shu dan Peony terus berpindah-pindah tempat.
Tenda mereka yang berbentuk kubah terbuat dari lapisan
kulit binatang yang menyelubungi kerangka tonggak-tonggak kayu, yang kemudian diikat dengan tali.
Tenda itu dapat dilipat menjadi buntelan yang ringan, lalu
dimuat bersama perabotan rumah tangga mereka yang lain
di atas punggung kerbau. "Pikiranmu tidak melantur. Kita berada di Honan
Selatan, tempat musim semi datang lebih awal. Begitu anak
kita lahir, kita bisa berjalan-jalan menyusuri tepi sungai
dan menikmati pohon-pohon yang sedang berbunga," bisik
Shu, sambil mengusap keringat di dahl istrinya dan
memindahkan berat tubuhnya sendiri dari lutut yang satu
ke lutut yang lain. Ia sudah berlutut di samping Peony sejak
awal proses melahirkan itu, dan kakinya mulai kesemutan.
Peony menengadahkan wajah untuk menatap wajah
prihatin suaminya. Ia ingin menyuruhnya pergi, namun
tahu usahanya akan sia-sia. Menyimpang dari tradisi yang
berlaku, Shu terus mendampinginya saat ia melahirkan
anaknya yang pertama, Kuat. Ia mencoba berbicara,
"Setelah anak ini lahir, kita akan menjadl berempat. Kita
akan membutuhkan tenda yang lebih besar..." Sebuah
jeritan terlontar dari mulutnya.
Shu menggenggam tangan Peony, sambil mencondongkan tubuh ke muka, sehingga wajah mereka
nyaris bersentuhan. "Ini semua salahku. Gara-gara aku, kau
kesakitan sekarang." Kemudian ia berseru keras, tanpa
memedulikan kehadiran ketiga wanita lainnya, "Kita tak
usah bercinta lagi!"
Peony menghela napas. Sesaat rasa sakit yang
menderanya mereda. Ia mencoba tersenyum. "Shu, konyol
sekali kau!" Ia juga tidak memedulikan kehadiran ketiga
wanita itu. "Aku suka bercinta! Akan kucari selir laki-laki
kalau kau tak mau melakukannya lagi denganku..." Ia
menjerit saat air ketubannya mengalir dari antara kedua
kakinya. Ketiga wanita yang wajahnya merah menahan malu
setelah mendengar percakapan itu, mendekat kemudian
mengatakan pada Shu bahwa saatnya sudah tiba dan ia
betul-betul harus keluar. Shu tidak memedulikan mereka
dan tetap berlutut di tempatnya, sampai Peony
mengangguk lemah ke arahnya sambil berkata, "Keluarlah...
kukira sudah waktunya."
Shu disambut oleh Kuo di luar tenda.
"Bagaimana Peony?" tanya komandan itu prihatin. Shu
tidak hanya menduduki jabatan sebagai orang kedua dalam
pasukannya, tapi juga sahabatnya. Di samping itu, Kuo amat
menghargai Peony atas semua yang pernah dilakukannya
bagi istrinya yang rapuh.
"Dia tegar sekali," jawab Shu, kemudian terdiam sesaat
begitu terdengar jeritan Peony. "Sang Buddha betul-betul
tidak adil!" umpatnya sambil mengacungkan tinju ke langit.
"Kenapa bukan laki-laki saja yang disuruhnya menderita
saat melahirkan" Aku mau tukar tempat dengan Peony,
kalau mungkin!" Kuo mencengkeram lengan Shu, kemudian menggiringnya menjauhi tenda keluarga Shu. Dalam
pasukan mereka, sebuah lingkaran terdiri atas dua puluh
tenda. Para perwira beserta keluarga mereka memperoleh
tenda-tenda pribadi, namun para serdadu tidak diperkenankan memboyong keluarga mereka. Mereka yang
jabatannya lebih tinggi tinggal di tenda, sedangkan yang
rendah tidur di tanah. Di dalam tendanya, Kuo mengajak Shu duduk
bersamanya di tikar. Di samping sebuah bantal berisi
jerami terdapat sebuah lukisan di atas sutra yang dibinakai.
Shu memungut lukisan itu, melihat wajah Joy Kuo yang
tersenyum dengan mata tertutup lembut. Lukisan itu
dibuat oleh Cendekiawan Tou, artis terpelajar yang telah
mengajari Peony membaca. "Dia tampak seperti bocah cantik yang sedang bermimpi
indah," ujar Kuo, sambil menerima potret itu dari Shu,
kemudian mendekatkannya ke hatinya. "Dia mendorongku
berangkat, karena dia tahu aku harus ikut ambil bagian
dalam perjuangan ini. Tapi perjuangan yang terberat yang
kuhadapi adalah memerangi diriku sendiri untuk dapat
meninggalkannya." Ia mengecup potret itu, kemudian
mengembalikannya ke samping bantalnya. "Kaum wanita
lebih tegar dari kaum pria, sobatku. Karena itulah sang
Buddha menentukan merekalah yang harus memikul pen-
deritaan saat melahirkan. Kalau kita kaum laki-laki harus
menjalaninya, kebanyakan di antara kita akan mati."
Kuo menepukkan tangannya, minta dibawakan arak. Ia
dan Shu kemudian mulai minum, sementara burung-burung berkicau di bawah cahaya matahari musim
semi. Mereka masih asyik minum saat siang berganti
malam, dan burung-burung sudah pulang ke sarang.
Sepanjang hari itu Shu hilir-mudik ke tendanya sendiri,
namun setiap kali didapatnya jawaban, "Istri Anda
mengatakan Anda akan merasakan tinju tai chi-nya kalau
nekat masuk juga."
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara Shu melangkah sempoyongan ke tenda
komandannya, para serdadu memberinya jalan.
Mereka masih ingat ketika istrinya akan melahirkan
anak pertamanya, beberapa orang yang dianggapnya
merintangi jalannya mendapati diri mereka telentang di
tanah. Ketika bulan yang bak bola kristal itu akhirnya melintas
di tengah langit biru kelam, jerit tangis seorang bayi
memecah keheningan tanah perkemahan itu. Shu segera
melompat berdiri, kemudian lari ke tendanya. Kuo
mengikutinya dari belakang. Semua perwira beserta
serdadu mereka bangun dan menanti, sementara salah
seorang dukun beranak muncul di ambang pintu tenda:
"Laki-laki lagi," ujar wanita itu. "Dan ibunya baik-baik."
Semua bersorak. Kuo tersenyum lega.
Di dalam, Shu berlutut di samping Peony, lalu mencakup
wajah istrinya yang berkeringat dalam tangannya yang
besar. "Kau tampak begitu lemah. Aku belum pernah
melihatmu begini. Ini semua gara-gara aku..."
Peony memotong kata-katanya dengan mengangkat
tangannya untuk menutup mulutnya. "Ssst... jangan mulai
lagi. Kekuatanku bakal pulih kembali dalam satu-dua hari
ini. Akan kutantang kau berduel, supaya terbukti apa yang
kukatakan memang benar." Ia menunjuk ke buntelan di
sebelahnya. "Anak kedua kita sama bagusnya seperti yang
pertama," ujarnya bangga.
Shu melirik ke wajah yang masih merah dan keriput itu.
Ia tak bisa melihat bagusnya. Ia ingin mengatakan bahwa
makhluk jelek itu bukan imbalan yang seimbang untuk
sakit yang harus diderita Peony-nya, namun ia tidak berani.
Karenanya ia berkata, "Mata kaum ibu lebih jeli daripada
kaum ayah rupanya. Aku tak sabar menunggu saat anak--
anak kita cukup besar untuk melakukan berbagai hal
bersamaku: berburu, bergelut, membunuh orang-orang
Mongol, memimpin serdadu... bagaimana kalau kita
menamakan dia Tegar?".
"Tegar," ulang Peony. "Aku suka itu." Ia memejamkan
mata. "Jangan tidur dulu, Peony," ujar Shu lembut.
"Kau masih harus mengatakan padaku, apa yang
kauinginkan sebagai hadiah untuk melewatkan rasa sakit
ini kembali." Peony membuka matanya sedikit, kemudian menjawab
dengan nada mengantuk, "Kau sedang mempersiapkan diri
untuk mengusir orang-orang Mongol dari Honan Selatan
saat aku mulai sakit perut. Kau menunda penyeranganmu
gara-gara aku. Bagaimana kalau kau memberiku Honan
yang bebas dari orang-orang Mongol sebagai hadiah?"
Peony melihat keraguan membayangi wajah suaminya, lalu
menambahkan persis sebelum ia terlelap, "Jangan kha-
watirkan aku. Kuo akan tinggal di markas, melindungi istri
dan putra-putramu." Sementara Peony hanyut dalam tidurnya, Shu
menunggui di sampingnya, sambil menatapi wajahnya.
Akhirnya ia meraih ke bagian belakang lehernya, untuk
melepaskan rantai emas yang selalu dikenakannya. Ia
meletakkan rantai itu di sebelah bantal Peony, lalu berbisik,
"Sampai aku dapat menyerahkan Honan kepadamu, bandul
batu kemala dari Lu ini adalah milikmu."
Orang-orang Mongol sudah hidup di tenda-tenda selama
lebih dari tiga ribu tahun yang lalu. Akibatnya kehidupan
nomad sudah amat mendarah daging dalam diri mereka.
Keluarga kerajaan sudah bisa menyesuaikan diri untuk
hidup di dalam bangunan-bangunan istana di Da-du,
namun para serdadu umumnya merasa seperti binatang di
dalam kerangkeng begitu mereka harus tinggal dalam
kungkungan empat dinding. Penasihat Khan sudah
menginstruksikan mereka untuk tinggal di rumah para
orang Cina di kota-kota, namun di daerah-daerah yang
lebih terpencil mereka tetap tinggal di kemah.
Shu dan dua ratus Pesilat Kuo bergerak tanpa suara saat
mereka mengepung sebuah perkemahan Mongol yang
terletak di tengah-tengah hutan bambu. Begitu mereka
menempati posisi masing-masing, Shu membisikkan
instruksinya, "Jangan bergerak dulu. Tunggu!"
Perintahnya diteruskan dari satu serdadu ke yang lain
dengan nada tertahan, nyaris tertelan gesekan batang
bambu yang diembus angin.
Diam total merupakan bagian seni kungfu yang paling
sulit dikuasai. Para Pesilat Kuo yang sudah terlatih
kemudian menjadi bagian dari hutan bambu itu, sementara
malam semakin larut dan orang-orang Mongol semakin
mengantuk. Ketika bara api unggun terakhir padam dan
para serdadu yang mengelilinginya mulai mengangguk-anggukkan kepala, tiba-tiba Shu berteriak,
"Serbu!" Orang-orang Mongol itu tersentak. Dalam keadaan panik
mereka mencari-cari senjata. Mereka melihat orang-orang
Cina keluar dari hutan bambu. Kebanyakan dengan tangan
kosong, tapi beberapa mengacungkan tombak-tombak atau
golok buatan sendiri. Orang-orang Mongol segera meraih
pisau dan pedang, busur beserta anak panah mereka.
Pertempuran segera dimulai.
Orang-orang Mongol adalah serdadu-serdadu tangguh
jika harus beradu senjata di tempat terbuka, namun hutan
bambu serta tenda-tenda membatasi gerak mereka. Para
pesilat Cina berkelit di antara rumpun bambu, merunduk di
belakang tenda-tenda, melompat di hadapan orang-orang
Mongol, lalu tiba-tiba menghilang dalam kegelapan.
Meskipun pada umumnya fisik orang-orang Mongol lebih
kuat, orang-orang Cina jauh lebih lincah.
Di tengah-tengah pertarungan itu, seorang Cina
berjenggot panjang tampak amat menonjol. Ia memiliki
kekuatan orang Mongol serta kelenturan tubuh orang Cina.
Ia lebih sering berkelahi dengan tangan kosong, dan
orang-orang Mongol menggigil begitu melihatnya mematahkan leher para serdadu mereka, seperti tukang
kayu mematahkan sebatang ranting. Ketika orang-orang
Mongol itu membidikkan busur ke arahnya, ia merenggut
entah pedang atau tombak dari orang yang berdiri paling
dekat dengannya, kemudian mengayunkan senjata itu
untuk menciptakan perisai baginya. Semua anak panah
ditangkisnya dengan cara menakjubkan. Tak satu pedang
atau pisau pun melukainya.
Tapi baglan paling mengerikan mengenai dirinya adalah
setiap kali membunuh salah seorang musuhnya, ia
menyempatkan diri menangkupkan kedua tangannya yang
besar di sekitar mulutnya, kemudian meraung bak binatang
liar, "Pedang Dahsyat! Aku baru saja membunuh salah satu
orangmu!" Pertempuran itu selesai saat malam sedang gelap-gelapnya, persis sebelum fajar menyingsing.
Beberapa orang Mongol berhasil kabur, namun yang lain
kemudian dibantai. Kampung perkemahan orang-orang
Mongol itu, yang merupakan salah satu yang terbesar di
selatan Honan, sekarang dikuasal oleh Kuo, Shu, serta anak
buah mereka. Para Pesilat Kuo dari jajaran paling rendah menyeret
tubuh-tubuh kedua belah pihak ke dalam hutan bambu.
Mereka melucuti senjata, perisai, dan sepatu bot mereka,
lalu mengenakan apa saja yang masih dapat dipakai. Tak
jauh dari hutan bambu itu, di daerah perbukitan yang
berlatar belakang bulan musim semi, beberapa serigala
lapar sedang menanti. Para Pesilat Kuo dari jajaran yang lebih tinggi
memeriksa kuda-kuda dan kuda poni yang ditinggalkan
oleh orang-orang Mongol, lalu membagi-bagi yang terbaik
di antara mereka. Para perwira memasuki tenda-tenda yang bekas
ditinggali orang-orang Mongol. Di bawah cahaya
lampionnya, mereka menemukan pakaian-pakaian bagus,
mata uang emas, berbagai benda berharga lainnya, serta
beberapa gadis desa yang menggigil ketakutan dan
mencoba menutupi ketelanjangan mereka dengan selimut-selimut bulu binatang. Sejenak jiwa patriot serta
rasa dendam untuk membalas kematian orang-orang yang
mereka cintai terlupakan. Para perwira itu tidak hanya
saling membagi apa saja yang mereka anggap berharga,
tapi juga gadis-gadis muda itu.
"Bagaimana kalau kita sisihkan yang satu itu untuk wakil
komandan kita?" usul salah seorang di antara mereka,
sambil menunjuk seorang gadis muda berwajah manis. "Dia
yang tercantik. Mungkin dia dapat membuat wajah kusut
Komandan Shu tersenyum."
Yang lain tertawa. "Mana ada yang bisa membuat
Komandan Shu tersenyum selain Istrinya" Selain itu,
Komandan Shu tak bisa melihat kecantikan wajah-wajah
tercantik sekalipun, kecuali wajah istrinya."
Sementara para serdadu dan perwira menikmati
kemenangan mereka, Shu melangkah ke arah tenda
terbesar Setelah menyibakkan permadaninya yang berat, ia
berdiri di ambang pintu sambil melihat ke sekeliling
ruangan yang cukup terang itu.
Di balik tenda yang tampak kasar dari luar terdapat tata
ruang yang berkesan nyaman dan mewah. Dinding-dindingnya yang terbuat dari kulit binatang'
ditutupi kain-kain penuh bordiran. Berlapis-lapis bulu
binatang digelar di lantainya yang bertikar jerami.
Karpet-karpet berwarna cerah membagi tata ruang tenda
itu menjadi tempat makan dan duduk-duduk. Tempat
tidurnya berupa dipan lebar berkaki rendah, diperlembut
oleh kulit harimau dan macan tutul salju serta setumpuk
bantal dari bulu binatang. Sebuah tungku besi berdiri di
tengah ruangan, dengan cerobong asap membubung
menembus atap tenda. Di atasnya terdapat panci besi
dengan suatu cairan putih bergolak di dalamnya. Shu
mendekati panci itu, kemudian mencelupkan jarinya.
Rasanya seperti susu kambing.
"Mulai saat ini, Peony-ku akan memiliki tenda sebagus
ini," ujarnya, sambil mengingatkan diri bahwa Ia harus
memberikan instruksi kepada para serdadunya untuk
mengangkut semua barang berikut tendanya ke markas
Para Pesilat Kuo. Dalam keadaan penat ia menjatuhkan diri ke tempat
tidurnya, lalu memjamkan mata sambil berbisik, "Peony,
aku sudah tak sabar lagi untuk segera bercinta denganmu
di atas kulit harimau dan bulu macan tutul salju ini."
29 BULAN musim semi itu sudah memucat, meninggalkan
bintang timur sendirian di langit subuh. Para Pesilat Kuo
termasuk Komandan Shu masih tidur lelap. Di samping
tenda yang ditempati Shh berdiri sebatang pohon yangliu,
dahan-dahan tuanya menutupi rumah seekor burung
hantu. Burung yang bijaksana itu mengeluarkan suara,
kemudian tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar.
Sekitar lebih dari seratus orang Cina berpakaian hitam
muncul dari balik butan bambu. Mereka menyebar
membentuk lingicaran, kemudian menyelinap di antara
semak-semak. Mereka bergerak amat cepat, tapi tanpa
suara. Mereka menerobos hutan, kemudian dalam waktu
singkat sudah mengepung seluruh tanah perkemahan itu. Si
burung hantu melirik ke arah simbol bordiran putih pada
seragam hitam mereka, mengepakkan sayap, kemudian
terbang ke arah bulan. Sulaman itu membentuk gambar tengkorak. Di matanya
terdapat dua aksara. Yang kiri berbunyi Wan, yang kanan
Tin-check, yang artinya "yang dipertuan". Tin-check Wan
sederajat dengan Kuo dalam kedudukan. Ia menyebut
dirinya Raja Honan. Para pengikutnya terkenal amat kejam.
Bahkan burung hantu itu pun takut pada hawa jahat
mereka. Tin-check Wan adalah laki-laki bertubuh kecil dengan
ide-ide besar. Wajahnya yang putih amat tampak jelas di
antara semak-semak gelap, seperti juga sulaman tengkorak
putih di punggung bajunya. Matanya sipit, namun tampak
berkilauan oleh sinar dingin dan menusuk. Bibirnya
tertutup kumis yang bergelayut bak sayap-sayap lebar bu-
rung yang sudah mati. Wan mempelajari situasi
perkemahan itu dengan cermat. Tawa dingin terlepas dari
tenggorokannya begitu ia melihat para penjaga perkemahan itu tidur. Mulut di bawah sayap-sayap burung
mati ltu membuka saat ia memberi perintah, "Serbu!"
Para Pesilat Kuo diserang persis seperti cara mereka
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang orang-orang Mongol beberapa waktu sebelumnya. Shu dan orang-orangnya tersentak dari tidur,
kemudian terbengong-bengong begitu menyadari diserang
oleh orang-orang Cina, dan nyaris tak dapat mempercayai
apa yang sedang terjadi. Mereka pernah mendengar bahwa kelompok-kelompok
pergerakan Cina sering berkelahi di antara mereka sendiri,
namun baru sekaranglah mereka berhadapan dengan
musuh yang juga rekan sebangsa mereka sendiri. Mereka
memandangi gambar tengkorak putih di punggung Para
Pesilat Wan, kemudian mengejap-ngejapkan mata untuk
memastikan mereka tidak bermimpi.
Begitu Shu dan para anak buahnya melihat darah
teman-teman seperjuangan mereka mulai tumpah, barulah
mereka menyadari kenyataan. Mereka meraih senjata,
dalam keadaan capek, mebgantuk, dan terkejut.
Secara teknis orang-orang Wan tidak lebih baik dari Para
Pesilat Kuo; peralatan mereka pun tidak lebih baik. Namun
Raja Wan dan anak buahnya sudah cukup lama
membuntuti Para Pesilat Kuo. Mereka berhenti di sisi lain
hutan bambu untuk beristirahat dan memakan bekal yang
mereka bawa, sementara Shu dan ahak buahnya terlibat da-
lam pertempuran sengit melawan orang-orang Mongol.
Ketika itu Raja Wan mengatakan kepada ser-
dadu-serdadunya, "Kalau Para Pesilat Kuo berhasil
membunuh semua orang Mongol, itu baik. Tapi kalau
orang-orang Mongol itu sampai membunuh Shu dan kedua
ratus anak buahnya, itu juga tidak jelek. Jumlah anggota si
pemenang akan berkurang sampai separo, sehingga bagi
kita segalanya akan lebih mudah. Seperti biasa, si
pemenang akan berpesta-pora. Kita tinggal menunggu
sampai mereka betul-betul mabuk dan tertidur. Lalu kita,
bunuh mereka seperti menginjak-injak belalang."
Sementara orang-orang Wan terus membunuhi Para
Pesilat Kuo di bawah fajar menyingsing, mereka melihat
rasa sakit serta kemarahan yang tersirat di wajah
korban-korban mereka. Para serdadu itu sudah diindoktrinasi oleh pemimpin-pemimpin mereka, sehingga
mereka percaya bahwa begitu Raja Wan menjadi Kaisar
Cina, mereka akan memperoleh kedudukan tinggi di istana.
Tapi begitu melihat pandangan menuduh di mata orang-
orang yang sebangsa dengan mereka itu, beberapa di
antara mereka mulai bimbang.
"Lari, tolol!" seru salah satu anak buah Wan kepada
seorang Pesilat Kuo saat Raja Wan berada cukup jauh.
Meskipun Para Pesilat Kuo memperoleh kesempatan
kabur, rasa setia kepada Shu membuat mereka tetap
bertahan di sana. Sementara itu Shu sudah dikepung oleh
Raja Wan beserta dua puluh anak buah terbaik dan jago
kungfunya. Dalam keadaan luka dan berdarah-darah, Shu
menyadari bahwa sekitar separo anak buahnya sudah
dibantai. Ia tahu bahwa yang lain takkan meninggalkan
tempat itu tanpa perintahnya. Sambil. mengawasi
musuh-musuhnya, ia berteriak bak binatang yang tersudut,
"Lari! Dan jangan berhenti sebelum kalian sampai di
markas Komandan Kuo!"
Matahari sore bersinar di atas Shu yang terikat telanjang
pada sebatang tonggak. Seluruh tubuhnya penuh luka. Dua
yang terbesar, di paha kanannya, didapatnya sewaktu
bertarung. Luka-luka kecil yang tak terhitung jumlahnya
adalah akibat ia diseret di belakang kuda, sepanjang
perjalanan yang ditempuhnya menuju markas Wan.
"Ada sebuah meja di tendaku, yang disiapkan untuk dua
orang." Raja Wan tersenyum pada Shu, sambil menunjuk ke
arah tenda terbesar. "Kau hanya perlu mengangguk, lalu
kau akan duduk di sana bersamaku, untuk menlkmati
hidangan pesta." Shu menatap Wan dengan mata berapi-api. "Untuk
menjadi komandan pasukanmu, untuk membantumu
membunuh. semua pemimpin pergerakan, mulai dari Kuo"
Tin-check Wan, kau gila!" Ia meludahi wajah Raja Wan, lalu
mengawasi air liurnya mengalir di kumis Wan yang
menggelantung ke bawah. Raja Wan menghapus ludah itu dengan tangannya,
kemudian tertawa pelan. "Baik. Kalau begitu, akan kuberi
kau satu kesempatan lagi. Katakan di mana istri Kuo saat
ini. Kami sudah ke rumah mereka di Gunung Makmur, tapi
tak ada seorang pun di sana, kecuali beberapa pelayan.
Pengurus rumah tangganya yang tua sudah kami siksa, tapi
akhirnya dia mati tanpa memberitahu kami di mana
nyonyanya. Kami membutuhkan Joy Kuo Katanya dia buta
dan amat berarti bagi suaminya. Aku ingin menawannya
untuk memaksa suaminya menyerah."
Shu teringat pada Meadow. Ia tidak dendam lagi
padanya karena pernah bermaksud memaku dirinya
bersama Peony di sebuah pintu. Jadi, si tua yang tangguh
itu tak ikut bersama Joy Kuo ke Kuil Bangau Putih. Shu
memejamkan mata sambil menggigit bibir. Ia tak ingin
melihat wajah Tincheck Wan ataupun berbicara kepadanya.
Wan menghela napas. "Kau keras kepala sekali.
Kesetiaan tak ada artinya. Rasa sakit itu nyata, dan
kematian adalah fakta yang tak dapat diubah lagi." Ia
mengayunkan tangannya. Seorang laki-laki bertubuh besar
muncul dengan cambuk kulit yang panjang di tangannya.
Wan memberikan perintah, "Cambuki sampai dia sadar
dan keras kepalanya hilang! Setiap kali dia jatuh pingsan,
beritahu aku. Lelaki sebesar dia bakal pingsan sedikitnya
lima atau enam kali sebelum mati!"
Begitu Wan memutar tubuhnya, laki-laki bertubuh besar
itu mengayunkan cambuknya.
Setelah cambuk itu mendarat di punggung Shu, laki-laki
yang sudah berpengalaman itu menunggu sampai sakitnya
menusuk. Pada awalnya Shu hanya merasakan suatu sengatan.
Beberapa saat kemudian sakitnya baru mulal terasa. Persis
aliran api yang merambatt tubuhnya, kemudian melalapnya
dalam kobaran panas. Ia berusaha keras keluar dari kobaran itu, namun
laki-laki itu mengangkat cambuknya berkali-kali, dan
akhirnya ia betul-betul tenggelam di dalamnya.
Shu mendengar teriakannya sendiri. Ia ingin berhenti
berteriak, tapi tak bisa. Kemudian ia mendengar suaranya
melemah. Ia terhanyut dalam arus yang akan menenggelamkannya itu, lalu jatuh pingsan.
Ketika membuka mata, ia melihat Wan berdiri di
hadapannya, memberikan perintah kepada si raksasa untuk
mengguyur tubuhnya. Melihat Shu sudah kembali siuman, Wan tersenyum.
"Kuharap pikiranmu sudah berubah sekarang. Provinsi
Honan adalah daerahku. Aku tak berminat untuk
membaginya dengan siapa pun. Dengan atau tanpa
bantuanmu, aku tetap akan membunuh Kuo serta semua
orang Cina yang berani membangkang terhadapku."
Shu yang masih kesakitan nyaris tak bertenaga lagi
untuk berbicara, "A-aku... b-belum... pernah membunuh
orang Cina. Kita, orang Cina... sehharusnya h-hanya
membunuh... orang-orang Mongol. Aku takkan pernah sudi
membantumu... entah apa pun yang kaulakukan terhadapku!" Wan memutar tubuhnya, kemudian berlalu sambil
mengayunkan tangannya agar siksaan itu dilanjutkan.
Lecutan pertama membawa ingatan Shu kembali pada
seorang pelacur muda di kota Yin-tin, yang pernah
menipunya untuk mendapatkan uang yang diperolehnya
dari hasil keringatnya. Pada lecutan kedua ia teringat
penduduk kota Phoenix yang menutup pintu mereka di
muka hidungnya. Yang ketiga membuatnya melihat si
pelacur di Gunung Makmur, yang telah memberikan
gambaran dirinya pada orang-orang Mongol. Pada
cambukan berikutnya, wajah-wajah dingin para anggota
Liga Rahasia-lah yang muncul.
Siksaan itu berjalan terus. Setiap cambukan mem-
bantunya mengubah pikirannya mengenai rekan-rekan
sebangsanya. Persis sebelum ia jatuh pingsan kembali,
kebenciannya terhadap orang-orang Cina itu hampir
mengimbangi kebenciannya terhadap orang-orang Mongol.
Berember-ember air diguyurkan ke tubuh Shu untuk
membuatnya sadar. Wan tersenyum ke arahnya. "Sudah
jera?" Shu menggeleng-gelengkan kepala. Wan berlalu dan
acara cambukan pun berlanjut. Shu berteriak-teriak
sementara tubuhnya dilalap oleh lidah-lidah api yang
menyakitkan. Ia sudah tak tahan lagi. Jasadnya masih
terikat pada batang tonggak, namun jiwanya sudah siap
kabur. Sensasi aneh melanda dirinya. Rohnya seakan
meninggalkan tubuhnya, melayang di atas jasad seorang
laki-laki yang terikat. Ia melihat laki-laki malang itu
dicambuki, namun tidak merasakan sakitnya. Ia melihat
kulit laki-laki yang tak berdaya itu sobek dan darahnya
mengalir, lalu menyadari betapa lugunya ia, mengira
kungfunya dapat membuatnya tak terkalahkan.
Dari atas, Shu menggeleng-gelengkan kepala ke arah
laki-laki sekarat itu. Dari tendanya, Raja Wan muncul
kembali menggenggam sepotong ayam, lalu dengan giginya
merenggut dagingnya dari tulangnya.
"Dia sudah mati?" tanya Wan.
Lelaki bertubuh besar itu menurunkan cambuknya,
kemudian mendekati laki-laki yang terikat itu.
Ia mencekal rambutnya, lalu menengadahkan kepalanya
yang terkulai itu untuk memeriksanya. "Ya," jawab si
raksasa. "Berapa kali dia pingsan?" tanya Wan dengan mulut
penuh. "Enam kali," sahut si raksasa.
Dalam keadaan melayang di atas tubuh lelaki yang
terikat itu, Shu mencoba memusatkan perhatiannya.
Seingatnya ia hanya jatuh pingsan dua atau tiga kali. Begitu
mudahkah rasa sakit itu terlupakan" Ia teringat senyuman
Peony setiap kali habis melahirkan. Setelah menjerit-jerit
menahan deraan yang tak terkira itu, ia bisa lupa begitu
saja, begitu segalanya berialu.
Peony! Tiba-tiba Shu sadar ia tak boleh mati. Peony!
Arwahnya menyebut nama istrinya, kemudian menukik
kembali ke dalam tubuh lelaki yang masih terikat pada
tonggak itu. Ia langsung merasakan sakit yang tak tertahan-
kan itu. Kata-kata Kuo kembali terngiang di telinganya: kaum
wanita memang lebih tangguh daripada kaum pria. Kalau
kaum pria diserabi tanggung jawab untuk melahirkan,
mereka takkan dapat menanggungnya.
"Akan kutanggung semua ini demi kau! Aku harus tetap
hidup untukmu, Peony-ku!" Bibir Shu bergerak, namun tak
ada suara keluar. Gerak bibir yang penuh darah dan nyaris
tak tampak itu luput dari perhatian si algojo maupun Wan.
Raja Wan makan siang sebelum yang lain. Sekarang tiba
waktu makan bagi seluruh. Perkemahan itu. Si algojo
segera berlalu. Ia menganggap tak perlu segera melepaskan
ikatan lelaki yang sudah mati itu.
Begitu mereka selesai makan, seorang pengintai
membunylkan tanda bahaya. Segerombolan serdadu
Mongol terlihat di sekitar hutan, sebaiknya orang-orang
Wan segera angkat kaki dari situ.
"Akan kita apakan orang mati itu?" tanya seseorang.
"Biarkan saja dia terikat di situ," 'awab Raja Wan.
"Mungkin orang-orang Mongol itu dapat memberikan
dagingnya pada anjing-anjing mereka!"
Dengan menggerakkan otot-ototnya, Shu berusaha
melepaskan pergelangan tangannya dari ikatan. Setelah
sekian lama, akhirnya ia berhasil membebaskan diri dari
tonggak itu. Ia langsung jatuh berlutut. Ia memaksa diri
berdiri, kemudian dengan langkah terhuyung-huyung
berusaha meninggalkan perkemahan itu. Ia dapat
menangkap suara orang-orang Wan yang disergap oleh
para serdadu Mongol. Teriakan-teriakan mereka membuatnya bergegas. Ia merasa dirinya seakan dilanda
oleh suatu gelombang yang terus menghanyutkannya
dalam arus rasa sakit yang nyaris tak tertahankan.
Shu merasa tak mampu berdiri lebih lama lagi. Ia
menjatuhkan diri di atas tangan dan lututnya, lalu mulai
merangkak. Setelah menempuh jarak yang seakan
bermil-mil jauhnya, ia merasa tak sanggup menahan sakit
dan kelelahannya lagi. Ia merebahkan diri di tanah sambil
terengah-engah. Kemudian dengan suatu dorongan kuat
dari dalam, dibantu oleh konsentrasinya pada Peony, ia me-
maksa diri terus maju.
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia bersembunyi di hutan, sampai siang berganti malam.
Istirahat itu memberinya lebih banyak kekuatan. Ia
menatap bintang-bintang, kemudian menentukan letak
perkemahan pasukan Kuo. Ia merangkak di bawah langit
yang diterangi sinar bulan, sementara vitalitasnya sedikit
demi sedikit menghilang dengan memudarnya cahaya
bulan. Saat langit timur berwarna keabu-abuan, ia tahu bahwa
ia tak dapat maju lagi sedikit pun. "Maafkan aku, Peony,"
bisiknya sebelum menutup mata lalu membiarkan rohnya
meninggalkan tubuhnya. Rasanya begitu nyaman terlepas dari derita itu.
Sekali lagi ia merasakan sakit yang tak tertahankan itu.
Gelombang itu menghanyutkan dirinya. Ia menggeliatkan
tubuh, sehingga sengatan menyakitkan itu semakin terasa.
"Ambil salep lebih banyak, cepat!" Itu suara Peony.
Shu membuka matanya dan ternyata dirinya berada di
dalam tendanya, berbaring di tikar jerami, sementara
tubuhnya dibebat potongan-potongan kain penuh salep.
Kuo berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan
pandangan amat prihatin. Peony berlutut, menangis di
sebelahnya. "Jangan sampai air matamu yang asin jatuh ke atas
luka-lukaku... Peony-ku!" gumam Shu, hampir tidak
terdengar. "Shu! Shu!" ratap Peony di antara derai air matanya. Ia
menggenggam tangan suaminya sambil terisak-isak.
"Mereka menemukanmu di dekat perkemahan kita. Mereka
mengangkat tubuhmu kemari, tapi kau tak bergeming sama
sekali. Aku bebat luka-lukamu, tapi kau tidak mengeluarkan
sepatah kata pun. Baru sekarang kau bisa buka mulut!
Kenapa kau tidak bilang apa-apa sebelumnya" Kau
membuatku ketakutan setengah mati.
Sambil menangis dan berbicara sekaligus, ia meletakkan
rantai emas dengan bandulan batu kemalanya di samping
bantal Shu. "Kau tidak membawa jimat keberuntunganmu
bersamamu, karena itulah ini terjadi. Sekarang ini milikmu
lagi, dan kau harus mengenakannya begitu luka-lukamu
sembuh." Peony menangis. "Tak satu senti pun kulitmu
yang tak terluka!" Kuo menghampiri Shu, kemudian berjongkok di
sampingnya. "Sobatku, aku menyesal sekali hal ini
menimpamu. Kalau saja aku bersamamu."
Ia memberitahu Shu bahwa setengah dari Para Pesilat
Kuo akhirnya sampai dengan selamat di markas mereka.
Mereka melaporkan bagaimana Shu memerintah mereka
untuk segera angkat kaki dari sana, tanpa memedulikan
keselamatannya sendiri. "Kami sedang dalam perjalanan untuk membebaskanmu
saat kami menemukanmu tergeletak di tanah." Kuo terdiam
beberapa saat, kemudian menambahkan, "Aku punya kabar
baik untukmu, dan ini pasti akan meringankan sakitmu.
Orang-orang Wan ditangkap para serdadu Mongol di luar
perkemahan mereka. Mereka semua dibantai. Kepala
Tin-check dipancang di tonggak tempatmu dlikat dan
dicambuki. Kemudian orang-orang Mongol itu meninggalkan Honan, menuju Da-du."
Sambil tersenyum ia melanjutkan, "Kau berhasil
membawa pulang seturuh Provinsi Honan sebagai hadiah
untuk istrimu." Berita baik itu tidak menerbitkan senyum di wajah Shu.
Ia menatap istrinya, kemudian sahabatnya, lalu mengumpulkan seluruh kekuatannya, cukup untuk
mengucapkan beberapa patah kata, "Aku benci orang-orang
Mongol itu, karena mereka telah membunuh si Wan.
Tadinya aku sendiri yang ingin membunuhnya. Mulai
sekarang, kita harus membasmi... tidak hanya orang-orang
Mongol, tapi... juga orang-orang Cina yang suka berkhianat.
Masih banyak orang-orang seperti si Wan. Kita harus
menghancurkan mereka... sebelum mereka menghancurkan
kita." 30 Musim semi, 1356 LU sedang berdiri di ruang kerjanya, menghadap ke
jendela terbuka. Ia mengenakan pakaian biru tua, dan pada
saat itu pikirannya pun seperti laut yang biru kelam, tak
berdasar, penuh dengan berbagai masalah yang memusingkan. Ia menatap ke arah awan-awan rendah yang melintasi
puncak gunung, namun tak dapat
melihat Kuil Bintang-bintang Damai ataupun Kuil Gaung Sunyi. "Shu,
aku tak dapat melihat arti sesungguhnya isi suratmu, sama
seperti aku tak dapat melihat kuil-kuil misterius itu dari
sini," ujar Lu, sambil menatap surat di tangannya. Ia sudah
membacanya berulang-ulang, namun masih belum mengertii isinya. Ia meninggalkan ruang kerjanya, ke-
mudian melangkah menuju halaman dalam.
Ia senang melihat Lotus sendirian. Dalam jubah
kuningnya, Lotus tampak secantik bunga krisan yang
sedang mekar-mekarnya. Istrinya mengangkat matanya
dari buku puisi yang sedang dibacanya, kemudian
tersenyum ke arahnya. "Di mana anak-anak?" tanya Lu sambil melangkah
mendekat. , "Mereka ikut bersama kedua nenek mereka ke Pelataran
Bunga Hujan," jawab Lotus, tersenyum. "Mereka baru akan
pulang besok sore." Ah Chin mulai sakit-sakitan sejak tahun lalu, sehingga
Jasmine terpaksa meninggalkan rumah keluarga Lu, untuk
bergabung dengan suami dan anak-anaknya di rumah
peternakan mereka, di dekat Pelataran Bunga Hujan.
Anak-anak keluarga Lu amat rindu pada Jasmine, sehingga
mereka sering merengek pada kedua nenek mereka untuk
mengantarkan mereka ke rumah peternakan itu.
Untungnya, baik Lady Lu maupun Lady Lin suka
berialan-jalan ke pedesaan.
Lu menghela napas. "Aku juga sama sekali tidak
keberatan pergi ke sana."
Lotus menatap mata suaminya. "Apa yang sedang
mengganggu pikiranmu?"
Alangkah beruntungnya memiliki istri yang dapat
membaca apa yang tersirat dalam pikirannya. Lu
menyerahkan surat di tangannya kepada Lotus. "Bacalah,
kau pun akan bingung nanti."
Lotus tertawa pada awalnya. "Rupanya tulisan Shu
masih tetap besar seperti tubuhnya sendiri."
Namun tawanya terhenti setelah Ia mulai membaca
isinya. Dahinya yang mulus mengerut begitu ia selesai.
"Pasti ada kekeliruan," ujarnya. Surat itu melesat di antara
jari-jarinya yang bergetar, lalu jatuh ke lantai.
Lu memungutnya, lalu membaca isinya sekali lagi
dengan suara keras, "Kami, Para Pesilat Kuo, tidak hanya
akan memerangi orang-orang Mongol, tapi juga orang-orang Cina. Kami bertekad untuk menghan-curkan
Kekaisaran Mongol, dan pada saat bersamaan membasmi
semua kelompok pergerakan Cina yang menghalangi
perjuangan kami!" Lotus melihat kertas surat itu bergetar dalam tangan
suaminya yang gemetar. Ia meletakkan tangannya sendiri
di atas tangan suaminya. "Aku bisa membayangkan rupa
teman kita yang tinggi besar itu. Dia orang yang amat terus
terang dan selalu berkata apa adanya, dia juga amat berani
dan berjiwa ksatria. Dia takkan menyerang rekan-rekan
sebangsanya sendiri," ujarnya mantap.
"Tapi ini kan tulisan tangannya sendiri!" ujar Lu.
Lotus terdiam, kemudian menjawab dengan hati-hati,
"Shu memang suka berangasan. Bisa saja dia sedang kesal
pada salah seorang Cina pada saat menulis surat ini.
Mungkin dia hanya membesar-besarkan masalahnya."
"Surat-surat Shu selalu begitu pendek," gumam Lu,
sambil memandangi goresan-goresan yang besar-besar itu.
"Seandainya aku bisa mengirim orang untuk menemuinya
dan memintanya menjelaskan maksud sesungguhnya. Aku
juga harus menjelaskan padanya bahwa Liga Rahasia men-
danai para pemimpin pergerakan daerah Selatan agar
mereka dapat membuat Naga Kobar secukupnya. Kalau itu
sampai ke telinganya sebelum aku sempat menjelaskan
duduk perkaranya sendiri kepadanya, dia akan mengamuk." Kembali Lotus membaca apa yang mengganggu pikiran
suaminya. "Tapi kau tak dapat menghubungi Shu. Ah Chin
terlalu lemah untuk menempuh perjalanan itu, dan kau
tidak mempunyai seorang pun yang dapat diandalkan. Kota
Yin-tin masih di bawah kekuasaan orang-orang Mongol.
Kau beruntung dapat menerima surat ini dari Shu tanpa
harus menghadapi masalah dengan Gubernur. Dia sudah
memberikan instruksi bahwa kantong setiap pembawa
benta harus digeledah."
Lu berdiri, kemudian melangkah ke jendela. Ia masih
belum dapat melihat kedua kuil dari balik awan-awan tebal
itu. "Seandainya aku dapat memanjatkan doa ke hadirat
sang Buddha. Aku ingin sobatku masih tetap seperti dulu.
Aku berharap Shu akan memenangkan semua pertempuran
melawan orang-orang Mongol dan tidak cedera, dan
mudah-mudahan dia tidak sampai melukai seorang pun
dari kalangannya sendiri."
Lotus menepukkan tangannya. Dua pelayan muncul.
"Siapkan tandu-tandu," perintahnya. "Kami mau berziarah
ke kuil." Pasangan itu membakar dupa, kemudian memanjatkan
doa, pertama-tama di Kuil Bintang-bintang Damai,
kemudian di Kuil Gaung Sunyi. Para biksu dan biksuni
kedua kuil itu sedang giat berlatih kungfu, siap bergabung
untuk mengusir orang-orang Mongol keluar dari kota
Yin-tin. Saat iring-iringan itu dalam perjalanan pulang, mereka
lewat di muka rumah kediaman Gubernur Mongol. Akan
dianggap menyalahi tata krama jika seorang wali kota
lewat di muka rumah gubernurnya tanpa mampir. Lu dan
Lotus langsung diterima dengan baik. Saat mereka duduk di
bangsal utama dan berbincang-bincang dengan Gubernur
dan istrinya yang juga orang Mongol, keduanya tertegun
menyadari keresahan yang terbayang begitu jelas di mata
pasangan Mongol itu. "Rupanya mereka sadar bahwa hari-hari mereka
bercokol di sini sudah dapat dihitung dengan jari!" bisik Lu
kepada Lotus sewaktu mereka meninggalkan rumah itu.
BAGIAN V 31 PADA awal musim panas tahun 1360, seorang gadis
muda meninggal karena sakit di sebuah desa kecil di tepi
Sungai Kuning. Ia salah satu di antara sekian banyak anak
perempuan dalam sebuah keluarga miskin. Ayahnya, yang
selama ini harus memikul beban kehidupan yang begitu
berat, sama sekali tidak menyesali kematiannya. Ia
dimakamkan di sebuah lubang dangkal. Anjing-anjing lapar
segera berdatangan untuk membuka lubang itu kembali
dan memakan sebagian besar jenazahnya. Yang masih
tersisa kemudian dibiarkan begitu saja di bawah terik
matahari. Belatung putih dan lalatlalat hitam segera
mengerumuni jasad itu. Lalat-lalat itu terbang masuk ke
rumah-rumah penduduk, kemudian hinggap di mangkuk-mangkuk nasi, dan pada waktu bersamaan
menebarkan bibit-bibit kematian.
Wabah itu menyebar dengan cepat, baik di kalangan
orang-orang Cina maupun Mongol. Di Dadu, penduduk
setempatlah yang dijadikan kambing hitamnya, sehingga
tak seorang Cina pun diperkenankan masuk dari luar kota.
Para pedagang dan pemilik toko Cina yang biasa bergerak
di antara lingkaran pertama dan kedua tembok kota
dikarantina. Di balik tembok kedua, para perwira serta
serdadu-serdadu Mongol tinggal, kesehatan para budak
Cina diperiksa secara teratur. Begitu tampak gejala-gejala
pertama penyakit itu, si budak langsung dibunuh dan
tubuhnya dibakar. Akibat tindakan-tindakan ini, wabah itu tidak menjalar
masuk ke tembok-tembok yang mengelilingi istana. Sang
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penasihat Khan akan merayakan ulang tahunnya yang
ke-51 pada pertengahan musim panas itu, dan suasananya
sudah sangat terasa. Pesta perjamuan akan segera di-
selenggarakan di ruang bangsal utama. Para pangeran dan
putri sedang sibuk mencarikan hadiah terhebat untuk
Shadow Tamu. "Untuk apa memberinya sesuatu" Selama tujuh tahun
terakhir ini, selain memaksamu naik takhta, dia tidak
memberikan apa-apa padamu selain instruksi dan
penghinaan," ujar Ratu Bunga Matahari, matanya yang
cantik berapi-api. Khan Timur Tohan yang Agung menghela napas. "Kita
tak punya pilihan lain. Kita tak perlu memberikan sesuatu
yang istimewa padanya. Berikan saja sesuatu yang tidak
begitu kita sukai." Pasangan kerajaan itu mengelilingi kamar mereka.
Timur Tohan tampak tampan dalam jubah keemasannya,
dan Bunga Matahari anggun dalam pakaian hijau mudanya.
Mereka tidak mengenakan terlalu banyak perhiasan.
Mereka lebih suka menikmati hal-hal indah dengan mata
daripada memakainya. "Yang pasti, aku tak mau memberinya ini. Ini
kebanggaanku," ujar Timur Tohan, sambil menunjuk ke
sebuah meja marmer. Di atasnya menggelayut sebuah
lampion dari mulut sebuah naga kayu yang sedang berdiri.
Lamplon itu terdiri atas delapan panel, masing-masing
terbuat dari lembaran gelas. Bunga-bunga keempat musim
terlukis di atasnya, berikut adegan-adegan yang urutannya
sesuai dengan pergantian musim. Setelah khan yang masih
muda itu menyalakan lilin di dalamnya, setiap panel
tampak tembus pandang, sehingga bunga-bunga serta
adegan-adegan yang terlukis di atasnya tampak melayang
di udara. Ratu Bunga Matahari menyandarkan kepala pada bahu
suaminya saat mereka mengawasi lampion yang menyala
itu. "Sayang sekali pembuatan gelas tak bisa disebarluaskan." "Negeri ini sedang perang. Orang-orang Cina sibuk
membuat senjata untuk menghadapi kita, dan plhak kita
sedang berusaha keras membasmi para pemberontak itu.
Di saat-saat seperti ini gelas tak berguna, dan tak seorang
pun bakal tertarik pada formulaku," ujar Khan sedih, sambil
meneruskan langkahnya, meninggalkan lampion kaca yang
sedang berkedip-kedip itu di belakang mereka.
Mereka berhenti pada sebuah sipoa yang terbuat dari
butiran-butiran batu kemala dan rangka-rangka emas.
"Yang ini takkan kuberikan. Aku menyukainya," ujar Bunga
Matahari. Ia memungut benda itu, lalu mempermainkan
manik-maniknya. "Ahli matematika istana mengatakan aku
murid terpandai mereka," ujarnya bangga.
Setelah meletakkan kembali sipoa itu, mereka menatap
patung manusia dari perunggu berukuran sesungguhnya,
dalamnya kopong sementara permukaannya penuh
lubang-lubang kecil. "Dan aku juga tak bisa berpisah
dengan pasienku," ujar Khan Muda. Ia mengambil sebatang
jarum panjang dari kotak di dekatnya, lalu menusukkannya
ke sebuah lubang. "Dengan latihan, aku akan menjadi ahli
akupunktur andal suatu hari nanti."
Mereka meninggalkan si manusia perunggu, kemudian
berhenti di muka meja terbesar di ruangan luas itu. Di
atasnya terdapat sebuah perahu naga yang cukup besar
untuk mengangkut Khan bersama permaisurinya.
"Kauingat musim semi yang lalu?" tanya Timur Tohan
sambil merangkul pinggang Bunga Matahari. "Kita berlayar
di Kanal Hui-tung. Mereka memakai tenaga gadis-gadis
Cina yang cantik sebagai kuli, yang mereka dandani dengan
pakaian yang serasi dengan tambang-tambang sutra
penarik perahu yang mirip naga itu. Si naga bisa membuka
mulut dan matanya selagi dihela dari tepi kanal."
"Orang-orang Cina tampaknya kurang suka melihat kita
menyusuri kanal itu dengan perahu naga." Permaisuri yang
masih muda itu menggeleng-gelengkan kepala, seakan
mencoba mengusir kenangan yang kurang menyenangkan
itu dari pikirannya. Mereka sampai di depan sebuah pelataran yang luas, di
tengah-tengahnya terdapat patung gadis cantik dari batu
koral merah muda. Gadis itu mengenakan pakaian Mongol.
Ia menyandang busur perak di bahu kirinya, sementara di
tangan kanannya ada anak panah emas dengan ujungnya
lurus ke bawah. Anak panah itu mengarah ke sebuah wadah
air perunggu yang terletak di dekat kakinya. Sekali dalam
sehari wadah itu diisi air, yang kemudian mengalir sedikit
demi sedikit melalui sebuah lubang kecil dan pipa panjang.
Pada anak panah emas itu terdapat 24 tanda, masing-
masing berupa batu mirah merah. Semakin rendah
permukaan air dalam wadah itu, semakin banyak tanda
merah akan kelihatan. Khan menghitung jumlah tanda merah di permukaan air
itu, lalu berkata, "Menurut penghitungan waktu ini,
sekarang sudah jam kedelapan belas dari hari ini dan
waktu pesta itu dimulai. Sebaiknya kita cepat-cepat
menghadiri pesta ulang tahun Shadow Tamu."
Ratu Bunga Matahari tampak enggan meninggalkan
ruangan itu. "Benda ini amat berharga di mataku, karena
kaulah yang menciptakannya. Kau betul-betul jenius, dan
kau masih akan menciptakan banyak hal yang lebih bagus
lagi." Timur Tohan menarik permaisurinya dari hadapan
patung. "Kita sudah terlambat sekarang, tapi masih belum
punya apa-apa untuk diberikan kepada Shadow Tamu
sebagai hadiah." Ia berhenti di muka lampion kacanya.
Lilinnya masih menyala dan panci-pancinya masih tampak
tembus pandang. Mengingat Bunga Matahari tidak
menganggap benda ini favoritnya, ia tidak keberatan
berpisah dengannya, demi menyenangkan hati penasihat
yang ditakutinya itu. Shadow Tamu, yang berwajah kurus dan sudah amat
keriput, mengenakan pakaian ungu dari bahan sutra musim
panas yang paling ringan. Di lehernya melingkar beberapa
rantai emas yang diganduli bandul-bandul dari batu-batuan
berharga. Ia menatap ke arah kursi-kursi kosong Khan Ti-
mur Tohan yang Agung dan Ratu Bunga Matahari,
kemudian mengerutkan alis. Betul-betul kurang ajar
mereka, datang lebih lambat darinya. Matanya melirik ke
arah kursi-kursi kosong lainnya. Rasanya ia tak dapat
mempercayai penglihatannya. "Berani-beraninya begitu
banyak dari mereka terlambat hadir?" ujarnya pada Pedang
Dahsyat yang duduk di sebelahnya.
Pedang Dahsyat berusia 41 tahun, dan sama seperti
kakaknya, masih menanti untuk menikahi wanita pertama
yang bisa mempersembahkan seorang putra baginya. Tapi
mengingat tak seorang pun wanita yang melayaninya
berhasil membuahkan anak baginya, ia tetap mempertahankan status lajangnya. Jubah musim panasnya
yang merah tampak amat ketat di tubuh masifnya yang
terdiri atas otot dan juga lemak. Rambut di pelipisnya
sudah keperakan dan beberapa garis sudah terlihat di
dahinya. Namun bobot ekstra, rambut keperakan, dan
garis-garis usia itu justru menambah tampan penampilannya, seperti waktu memperkuat rasa arak. Ia
tertawa mendengar komentar kakaknya, lalu menjawab,
"Aku yakin tak ada yang berani muncul terlambat begitu
saja, bahkan Timur Tohan dan istrinya. Pasti mereka
sedang bermain-main dengan barang-barang koleksi
mereka yang konyol itu. Mengenai tempat-tempat kosong
lainnya..." Pedang Dahsyat mengawasi sekitarnya untuk
memastikan tak ada yang mengikuti pembicaraan mereka.
"Aku khawatir itu takkan pernah terisi kembali."
"Masa mereka berani mengabaikan undanganku?" ujar
Shadow Tamu sambil menatap adiknya.
"Tak seorang pun berani menghinamu seandainya
mereka masih hidup, tapi apa boleh buat kalau mereka
sudah mati." "Mati?" Wajah kepucatan Shadow Tamu berubah
semakin pucat. "Maksudmu wabah itu sudah merambah
masuk ke Da-du?" "Bukan." Pedang Dahsyat melihat sekelilingnya sekali
lagi, kemudian merendahkan suaranya, "Kebanyakan
tempat-tempat kosong itu adalah kursi yang diperuntukkan
bagi para pejabat tinggi dalam kekuatan militer kita. Empat
tahun terakhir ini, banyak perwira dan serdadu kita
terbunuh. Kakakku tercinta, tidak tahukah kau bahwa kita
sudah kehilangan sebagian besar Negeri Cina ini gara-gara
ulah Para Pesilat Kuo?"
"Aku tahu." Shadow Tamu mengangguk-angguk penuh
percaya diri. "Tapi aku tidak khawatir. Daerah mana pun
yang berhasil mereka duduki saat ini, akan segera kaurebut
kembali." Panglima jenderal itu menjawab agak was-was, "Semula
aku juga yakin akan begitu."
"Sekarang tidak lagi?" tanya si penasihat tajam.
Si panglima jenderal menjawab hati-hati, "Itu agak sulit
dijelaskan. Aku yakin Para Pesilat Kuo itu akan berhasil
ditundukkan, tapi belum tentu oleh aku." Ia melirik ke arah
kakaknya yang tampak masih belum menangkap
maksudnya. Ia menghela napas, lalu berkata lagi, "Aku
sudah beberapa kali berhadapan dengan mereka. Pada
awal setiap pertempuran, aku selalu yakin dapat
membasmi mereka, tapi akhirnya aku selalu kehilangan
lebih banyak orang dan terpaksa mundur lebih jauh ke arah
Da-du. " Shadow Tamu tak pernah bisa menolerir para
pecundang, bahkan adik kandungnya sendiri. Ia menatap
Pedang Dahsyat dengan tajam, alisnya nyaris bertaut.
"Mungkin kau lupa pepatah lama yang mengatakan, 'Kalau
ingin membunuh ular, incar lehernya, dan kalau ingin
menghancurkan sebuah pasukan, incar dulu pemimpinnya."' "Tentu saja aku masih ingat itu!" ujar si panglima
jenderal sambil membalas tatapan kakaknya dengan sengit.
"Para Pesilat Kuo punya dua pemimpin. Sama sekali tidak
mudah mengalahkan Kuo, apalagi menaklukkan Shu!"
Setelah mencondongkan tubuh ke dekat Shadow Tamu,
Pedang Dahsyat mulai membisikkan peng- alaman-pengalamannya menghadapi Shu.
Yang dianggapnya paling mengecilkan hati adalah
pertumbuhan anak petani itu. Ia telah menyaksikan sendiri
bagaimana Shu menjadi dewasa, dari bocah tanggung
menjadi laki-laki, dan dari tukang bikin ribut di jalanan
menjadi pesilat tangguh. "Kami sama-sama membenci, sehingga bisa dikatakan
aku haus akan darahnya, dan aku yakin demikian juga
sebaliknya..." Pedang Dahsyat memutus kalimatnya begitu
Timur Tohan dan Bunga Matahari tiba-tiba muncul.
Napas Khan yang Agung terengah-engah, demikian pula
istrinya. "Menyesal sekali kami terlambat. Kami sedang
mencari sesuatu yang cocok untuk hadiah ulang tahun
Anda," ujar Khan sambil melintasi ruang yang luas itu.
Begitu sampai di muka penasihatnya, ia, meletakkan
lampion kaca itu di mejanya. "Ini salah satu hasil
penemuanku yang paling kuhargai. Bagiku benda ini tak
ternilal. Mudah-mudahan Anda pun menyukainya. Bertahun-tahun yang akan datang, lampion ini masih terus
dinyalakan, sinarnya yang lembut akan menerangi umat
manusia masa mendatang..."
Sementara Khan masih berbicara, penasihatnya menggeliat sambil merentangkan lengan, sehingga lampion
itu jatuh dari meja. Lilinnya langsung mati, ukiran naga
yang indah itu patah-patah di beberapa tempat, dan
panel-panel kacanya hancur berkeping-keping.
"Ah, ceroboh sekali aku ini," ujar Shadow Tamu,
pura-pura menyesal. "Sekarang lampion malang itu takkan
pernah sempat menerangi umat manusia di masa
mendatang, terpaksa aku tak punya hadiah darimu."
"Oh!" seru Khan yang masih muda itu sambil maju
selangkah. "Anda menyenggolnya dengan sengaja!"
Tujuh Satria Perkasa 1 Pendekar Baja Wu Lin Wai Shi Karya Gu Long Bendera Darah 1
yang sedang menyulam di deka mereka, juga langsung
berdiri, kemudian menuangkan secangkir teh untuk
majikannya. "Teguh dan Tulus, aku mendengar suara kalian selagi
membaca. Aku bangga sekali," ujar Lu pada kedua
putranya. Ia menghampiri istrinya, kemudian mengamati
wajah Kuncup Jingga yang sedang tidur. "Putri kita amat
cantik, persis ibunya, dan dia juga sama manisnya."
Kemudian sambil tersenyum lembut ia menambahkan, "Dia
tak pernah menjerit-jerit atau menendang-nendang seperti
anak laki-laki." "Baba! Aku tak pernah menjerit-jerit. Aku kan laki-laki
Selatan baik-baik!" protes Teguh.
"Baba! Aku tidak suka menendang-nendang. Aku kan
orang terpelajar!" sanggah Tulus.
"Teh Anda, Yang Mulia," ujar Jasmine, sambil meletakkan
sebuah cangkir yang mengepul-ngepul di hadapan Lu.
Lu melihat kesedihan yang terpancar dan mata wanita
itu. "Jasmine, aku tahu betapa berat bagimu hidup terpisah
dari suami dan anak-anakmu. Kalau kau mau berkumpul
lagi dengan mereka, lakukanlah. Aku sudah membebaskan
kau dan Ah Chin pada hari dia cedera. Kau tidak wajib
tinggal bersama kami lagi."
Sewaktu menyampaikan suatu pesan rahasia, Ah Chin
membangkitkan kecurigaan seorang serdadu Mongol.
Sebuah anak panah kemudian menghunjam kakinya. Ia
berhasil lolos, namun sejak itu ia pincang seumur hidupnya.
Lu memberinya kebebasan, berikut uang pensiun yang
lumayan, sebuah rumah, dan sebidang tanah pertanian di
dekat Pelataran Bunga Hujan. Ah Chin dan Jasmine di-
anugerahi seorang putra berusia enam tahun dan putri
berusia dua tahun. Keduanya ikut ayah mereka. Jasmine
bersikeras tetap tinggal di rumah keluarga Lu, namun
menjadi sedih setiap kali meIihat keluarga itu bercengkerama bersama. Begitu mendengar nama Ah Chin disebut-sebut, Teguh
berseru, "Aku juga mau ke tanah pertanian itu! Enak sekali
di sana. Sewaktu kita ke sana, Ah Chin memperbolehkan
aku naik kerbau." Tulus sudah lupa siapa Ah Chin, namun ia ikut antusias
bersama. kakaknya. "Ke tanah pertanian! Aku juga mau!"
"Ini yang katanya terpelajar dan baik-baik," ujar Lotus,
yang kemudian terdiam begitu mendengar suara
ribut-ribut di sisi lain tembok kebun itu.
Sesaat terdengar suara kuda dan banyak orang, lalu
seseorang berteriak, "Sediakan jalan untuk pembawa berita
dari Istana Da-du!" Wajah Lu memucat. Lotus menggigil disisinya, sehingga
bayi di pelukannya hampir jatuh. Jasmine mengambil alih
Kuncup Jingga. Kedua bocah laki-laki ltu berlari
menghampiri ayah mereka, lalu masing-masing meraih satu
tangannya. Hal yang sama melintas dalam pikiran ketiga orang
dewasa itu - apakah pihak istana sudah tahu bahwa Lu
pemimpin pergerakan Liga Rahasia"
Lu melepaskan diri dari anak-anaknya. "Jaga ibu dan
adlkmu baik-baik," ujarnya sebelum meninggalkan ruangan
itu. Sekali lagi ia menatap istrinya dengan penuh sayang.
Kedua wanita beserta ketiga bocah itu meringkuk
bersama sampai Lu akhirnya kembali. Mereka langsung
menghela napas lega begitu melihat senyum di wajah
junjungan mereka. "Mereka membawakan ini bagiku." Lu memperlihatkan
selembar surat gulung berstempel kerajaan. Sambil
membuka gulungan itu, Ia berkata, "Jabatan wali kota
Yin-tin kosong sejak Ayah meninggal. Baik pihak Cina
maupun Mongol sama-sama giat memperebutkannya. Tapi
sejauh ini aku tak pernah melibatkan diri di dalamnya. Na-
mun demikian..." Ia mulai membaca, "Sesuai dengan rekomendasi yang
diberikan Gubernur Provinsi Kiang-su, istana menunjuk Lu
sebagai Wali Kota Yin-tin yang baru."
24 BUNGA salju berjatuhan di atas kota Gunung Makmur,
sementara kembang api membuat suasana Tahun Baru
semakin meriah. Setiap dentuman menebar menjadi ribuan
bintik merah, dan setiap bintik kemudian menjadi
pasangan berdansa bunga salju. Pada saat bersamaan
sebuah pesta sedang berlangsung di rumah keluarga Kuo.
Para pendekar, yang menyamar sebagai pedagang dan
seniman, mengalir masuk melalui pintu depan, membawa
hadiah-hadiah. Para biksu Tao muncul dengan jubah-jubah
kuning mereka, sementara para biksu Buddha dengan
warna jingga. Bahkan beberapa biksuni hadir dalam
pakaian abu-abu sederhana. Mereka melangkah tenang,
mata melihat ke bawah dan telapak tangan tetap terkatup.
Sebagai orang Utara yang lebih berjiwa pedagang
daripada cendekiawan, Kuo tidak mengikuti tradisi untuk
memisahkan tamu-tamu lelaki dan perempuan. Ia
mengepalai sebuah meja makan, sementara Istrinya meja
yang lain. Lady Kuo duduk di kursinya dengan pakaian
merah, sambil menampilkan senyum ramah. Peony yang
mengenakan pakaian kuning berdiri di sebelahnya untuk
menggambarkan suasana pesta itu secara mendetail bagi
nyonyanya. Ia berkata, "Ada sepuluh meja bundar di ruangan ini, dan
sepuluh lagi di ruang duduk. Sementara itu, di mana-mana
ada meja bundar. Di ruang baca, di ruang masuk, bahkan di
baglan rumah yang didiami para pelayan."
Joy Kuo mengangguk. "Kedengarannya seperti suasana
Tahun Baru di rumah ayahku. Ayahku selalu mengatakan
hari im merupakan hari orang kaya harus menjamu semua
teman dan kenalannya, terutama mereka yang kurang
beruntung. Ceritakan mengenai tamu-tamu kita, Peony, lalu
hidangannya." Peony mulai bercerita, "Bola-bola daging yang biasa
disebut kepala singa besarnya memang sebanding dengan
namanya. Selain itu ada kue-kue manis dari tepung beras
yang diisi manisan..." Peony tidak meneruskan kalimatnya
melainkan menghela napas.
Joy Kuo langsung mengertii, apa yang membuat
pelayannya gelisah. "Baik, pergilah. Ambilkan makanan
untuk kekasihmu yang terus kelaparan itu," ujarnya.
Peony mengucapkan terima kasih kepada majikannya,
kemudian langsung berlari ke dapur. Ia meminta nampan
besar serta empat mangkuk yang kemudian diisinya
dengan bakso, sup ayam, daging bebek panggang, serta kaki
kambing. Ia agak kesal ketika ternyata tak ada tempat lagi
untuk membawa kue-kue manis. "Biar aku kembali nanti."
Saat memutar tubuh untuk meninggalkan dapur, ia
berpapasan dengan Meadow.
Pengurus rumah tangga yang sudah tua itu melirik
keempat mangkuk di nampan Peony, lalu langsung ribut,
"Apa perut pacarmu itu gentong bolong" Bisa bobol gudang
makanan keluarga Kuo gara-gara dia!" Perempuan tua itu
berusaha merampas beberapa mangkuk. "Kembalikan
bebek panggang dan kaki kambing itu!"
Sambil angkat bahu, Peony segera berlalu. Andaikata ia
tidak begitu setia kepada Lady Kuo, pasti ia sudah
menendang nenek sihir ltu dengan senang hati. Ia
membawa nampan itu melintasi kebun, terus ke gudang
alat-alat. "Ini aku!" serunya tertahan, sambil menaiki tangga
yang setengah tersembunyl di antara beberapa pacul dan
tajak. Dua tangan raksasa muncul di atasnya untuk
menyambut nampan itu. "Aku lapar sekali," ujar Shu. Sambil duduk bersila di
lantal yang ditutupi jerami, ia meletakkan nampan di
pangkuannya, kemudian mulai makan. Peony duduk di
sebelahnya. Langit-langit tempat itu amat rendah, sehingga
mereka tak dapat berdiri tegak. Lantainya berderak di
bawah mereka, karena papan-papannya sebetulnya tidak
cukup kuat untuk menyangga bobot dua orang. Dengan
perabotan, lantai itu pasti akan ambruk. Namun Shu tak
punya pillhan lain. Ia terpaksa tidur dan duduk di lantai itu
sepanjang hari. Ia sudah bersembunyi di tempat itu sejak
awal musim gugur, sedangkan imbalan untuk kepalanya
masih tetap berlaku. Kuo telah menganjurkan padanya untuk tidak
meninggalkan rumah itu sampai suasana lebih reda.
Mulanya Shu tidak keberatan, mengingat ia masih harus
berbagi cerita begitu banyak dengan Peony. Namun waktu
yang dihabiskan Peony bersama Shu membuat Meadow
marah-marah. Wanita itu terus mengomeli Peony yang
dianggapnya menelantarkan tugas-tugas rumah tangganya.
Ia menuding Peony telah menyerahkan diri pada laki-laki
yang belum menjadi suaminya, serta mengenai jumlah
makanan yang dilahap Shu setiap kali Ia makan.
"Bisa-bisanya kau membawakan makanan begini
banyak," ujar Shu setelah menelan potongan dagingnya
yang terakhir, kemudian menatap mangkuk-mangkuk
kosong itu dengan pandangan sedih. "Apa sudah kaubunuh
nenek sihir itu?" "Tadi aku benar-benar tergoda," jawab Peony sambil
menggeleng-gelengkan kepala, "tapi Lady Kuo membutuhkan dia." Ia berdiri, membungkuk, lalu mulai
mengumpulkan mangkuk-mangkuk yang berserakan.
"Akan kuambilkan kue-kue manis untukmu nanti."
"Jangan pergi dulu." Shu menengadahkan wajah dengan
pandangan memohon, sambil meraih tangan Peony, lalu
menarlknya ke dekatnya. "Tinggallah bersamaku sedikit
lebih lama. Aku begitu kesepian sepanjang hari. Tanpa
udara segar, tanpa pemandangan ke luar. Aku merasa
seperti binatang yang terkurung. Aku tak yakin akan tahan
bersembunyi terus lebih lama lagi."
Hati Peony menciut. Ia duduk di hadapan Shu, kemudian
menempelkan pipinya ke dekat jantung pemuda itu. "Aku
akan tinggal bersamamu sebisaku. Tapi sekarang Tahun
Baru, dan aku harus membantu melayani tamu-tamu itu.
Aku tahu bagaimana perasaanmu, Shu. Tapi cobalah
bersabar sedikit." '
Shu mencakup wajah Peony dengan kedua tangannya,
kemudian menjauhkannya sedikit agar dapat menatap
matanya dengan lebih baik. "Kesabaran bukanlah sifatku,
sama seperti kau." Mereka sama-sama tersenyum. Sewaktu kecil, mereka
merupakan tim yang selalu menang dalam setiap
permainan, kecuali main sembunyi-sembunyian. Masalahnya mereka tidak betah bersembunyi terlalu lama.
Peony berkata, "Kita harus bersabar saat ini. Ini bukan
permainan anak-anak. Yang kita pertaruhkan di sini adalah
nyawamu, Shu." Cara Peony menyebutkan namanya membuat Shu
melupakan seluruh penderitaannya. Ruangan yang suram
tak berjendela itu tiba-tiba menjadi amat cerah. Ia menatap
ke dalam mata Peony, lalu merasa seakan mereka dua
orang bocah kembali, yang bebas berlarian melawan arus
angin di sepanjang tepi sungai. Ia mendekatkan wajahnya
ke wajah Peony sambil menundukkan kepala, lalu mulai
mengecupinya, mula-mula lembut, kemudian
lebih bemafsu. Peony membalas kecupannya dengan hangat. Ia
melingkarkan lengannya di leher Shu lalu merangkulnya
kuat-kuat. "Peony! Semua orang di rumah ini membanting tulang!
Berani-beraninya kau membuang-buang waktumu dengan
laki-laki malas yang tak berguna itu!" terdengar suara
Meadow dari bawah tangga.
"Akan kubunuh dia!" umpat Peony sambil melompat
berdiri, sampal kepalanya membentur langit-langit. "Aku
tak peduli hati Lady Kuo akan hancur berkeping-keping!"
Peony berlalu, membawa matahari, angin, serta tepi
sungai itu bersamanya. Shu merebahkan diri di jerami,
sambil melipat lengan di bawah kepala. Ia menatap ke arah
langit-langit yang rendah. Rasanya seperti berbaring dalam
peti mati. "Aku bukan- laki-laki malas dan tak berguna!"
serunya kepada langit-langit itu. Pada saat bersamaan ia
memutuskan tak akan tinggal di tempat persembunylan itu
lebih lama lagi. Besok ia akan melanjutkan misinya untuk
mengajak para biksu di daerah Utara bergabung. Kuo
belum menentukan kapan pergerakan serentak itu akan
dilakukan. Shu akan meneruskan itu dalam tugasnya yang
akan datang. "Dan aku akan membawa Peony bersamaku kali ini!
Sementara itu, kami sudah akan menjadi suami-istri secara
resmi. Malam sudah amat larut dan sepi, tapi Peony masih
berbaring dalam keadaan terjaga. Ia berpaling ke ara-h
jendela terbuka, mengawasi salju yang masih terus
berjatuhan di luar. "Tutup jendela itu, anak edan!" seru Meadow dari
tempat tidur di sebelahnya.
"Tutup saja sendiri, nenek sihir!" jawab Peony.
Karena tak dapat tidur, ia berdiri, lalu berpakaian. Ia
menuju dapur, lalu menyalakan sebatang lilin dengan
batang api, kemudian mulal mencari-cari makanan. Dalam
waktu singkat sebuah keranjang rotan sudah penuh dengan
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daging dingin dan bakpao. Tapi semua ini untuk nanti.
Sekarang ia ingin memberl Shu sesuatu yang hangat untuk
dimakannya, kemudian ia akan mengatakan bahwa mereka
dapat berangkat malam itu juga.
Peony menyalakan kayu api, kemudian menuangkan
sedikit air ke dalam wajan. Ia meletakkan empat batang
sumpit di dasar wajan yang melengkung, itu, untuk
menyangga sebuah mangkuk. Sesudah itu ia menaruh
beberapa kue manis di mangkuk itu. Saat ia menutup
wajan, dan menunggu sampai airnya bergolak, lidah api
lilinnya berkedip. Peony melihat bayangannya menari-narl
di tembok dapur. Hatinya ikut menari-narl penuh antusias;
ia dan Shu akan segera menantang takdir mereka.
Sambil menjinjing keranjang rotan di tangan yang satu,
ta menggunakan tangannya yang lain untuk membawa
mangkuk panas yang sudah di bungkusnya dalam kain
lampin. Saat memanjat tangga gudang alat-alat, ia
merangkul mangkuk itu dalam pelukannya dan merasakan
panasnya menjilat dadanya. "Shu, ini aku," serunya sambil
memasuki ruangan berlangit-langit rendah itu.
Peony melihat lilin menyala di atas batu bata tipis. Shu
berjongkok di dekatnya, sibuk mengikat simpul untuk
membuat buntelan kecil. "Kau mau pergl!" seru Peony
sambil menjatuhkan keranjang dan mangkuknya, lalu
mendekat. "Kau mau berangkat tanpa aku?"
"Cuma untuk kali ini," jawab Shu. Kemudian ia
mengungkapkan seluruh rencananya kepada Peony.
Peony menggeleng. "Aku kan bukan Lady Kuo. Aku tak
mau menunggu di rumah sampai suamiku pulang dari
perang. Aku mau ikut beruang di sampingmu, dan jangan
coba-coba berani bilang aku tidak mampu." Wajah sendu
Shu terus membayangi dirinya, ungkapnya kepada Shu,
sehingga ia tak dapat tidur. Akhirnya ia memutuskan sudah
tiba waktunya bagi mereka untuk bergerak lagi.
"Kita jenis orang yang mengambil tindakan. Aku akan
meninggalkan pesan untuk Master dan Lady Kuo, lalu ikut
bersamamu malam ini. Saat kau makan kue-kue manis itu,
aku akan kembali ke kamarku untuk mengemasi
pakaianku." "Aku senang sekali kau sampai pada keputusan itu!" ujar
Shu, sambil menarik Peony ke dalam pelukannya. "Aku tak
suka meninggalkanmu di sini, tapi perasaanku mengatakan
aku tak boleh membawamu bersamaku, mengingat kita
belum menikah." Ia mempererat pelukannya, sehingga
Peony mengaduh -kesakitan. "Sakit?" tanyanya sambil
menarik tubuh Peony, talu menatapnya heran. "Sejak kapan
kau menjadi sekuntum bunga yang rapuh, yang tak tahan
dipeluk keras-keras?"
"Dadaku," jawab Peony, sambil meraba di balik
pakaiannya. "Mangkuk tempat kue-kue manis itu tadi panas
sekali. Rupanya kulitku melepuh sekarang."
"Coba kulihat," ujar Shu sambil menyingkap baju Peony,
lalu memeriksa dengan bantuan cahaya lilin. "Kasihan kau!
Merah sekali celah dadamu, dan rupanya hampir melepuh!"
Ketika masih kecil, kalau salah satu di antara mereka
terluka, yang lain biasanya menjilati luka itu supaya rasa
sakitnya mereda. Maka Shu mencondongkan tubuh, lalu
mulai menjilati bagian yang mulai melepuh itu dengan
ujung lidahnya. Lidahnya bergerak menelusuri dada Peony,
sampai ia merasakan tubuh gadis itu menggeliat dalam
pelukannya. Mengira ia menyakitinya, ia berhenti sesaat.
Tapi ketika mengangkat wajah, ia menyadari bahwa Peony
menggeliat bukan karena kesakitan. Shu tersenyum, gadis
kecilnya sudah tumbuh dewasa sekarang.
Pandangan mereka bertemu beberapa saat, kemudian
kepala mereka mendekat, dan bibir mereka akhirnya
bertemu. Mereka saling mencurahkan cinta yang
terpendam, ia sama sekali tak menduga mereka akan
mendapat kesempatan untuk melampiaskannya.
Sementara mereka berciuman, tangan Shu mengambil
alih tugas lidahnya untuk menghilangkan rasa sakit di dada
Peony. Perlahan-lahan jari-jannya bergerak ke arah
kancing-kancing bajunya. Satu per satu ia membuka
pakaian gadis ltu, kemudian ia mulai menanggalkan
pakaiannya sendiri. Meadow tak dapat tidur lagi setelah menutup jendela. Ia
terus bolak-balik dengan resah di tempat tidurnya,
menantikan Peony kembali. Ketika menyadari Peony telah
pergi lebih jauh daripada kamar mandl, ia teringat akan
persedlaan makanan di dapur, lalu menjadi gelisah. Ia
bangkit dari tempat tidurnya dan mengenakan jubahnya.
Ketika Meadow melihat Peony mengemasi makanan, ia
memiringkan kepala sambil berpikir keras. Perempuan itu
tidak sekadar berniat mengambilkan makanan untuk si
raksasa! Ia berniat kabur bersamanya! Senyum membayang
di wajah tuanya, sampal akhirnya terlintas dalam
pikirannya bahwa Peony mungkin akan mencuri lebih dari
sekadar makanan. Karena itulah Meadow bersembunyi di
luar pintu dapur, mengawasi Peony saat gadis itu
mengukus kue-kue manisnya. Kemudian ia membuntuti
Peony menuju tempat persembunyian Shu.
Meadow, yang bertubuh ringan dan masih sigap, menaiki
tangga tanpa suara. Ia berdiri di bagian atas
undak-undakan itu, sampai matanya sejajar dengan
permukaan lantai yang dilapisi jerami, lalu mengawasi
setiap gerakan yang dilakukan pasangan kekasih yang
masih muda itu. Nyaris ia menggebrak mereka saat keduanya asyik
berciuman. Namun kemudian ia memutuskan untuk
menunggu. Meski tak pernah menikah, ia tahu nafsu berahi
adalah bagian kehidupan yang paling sulit ditahan.
Sepasang kekasih dari kalangan atas akan berhenti tepat
pada saatnya, sesuai yang digariskan tradisi, namun hal
seperti itu tidak berlaku bagi dua anak petani seperti Peony
dan Shu. Meadow menyipitkan matanya yang tua sambil
cepat-cepat memutar otak, kemudian ia turun dlam-diam
dari tangga itu. Ia berniat memanfaatkan situasi ini.
Meadow segera membangunkan empat pelayan laki-laki
yang biasanya mau bersekongkol dengannya. Ia menyuruh
mereka membawa obor dan gong. Dengan cermat ia
memperhitungkan waktunya, sambil berharap kedua
kekasih itu tidak melakukan adegan ranjang mereka terialu
cepat atau terlalu lambat.
"Peony, kau pernah mengatakan padaku bahwa sebelum
malam pengantin kita, ada baiknya aku belajar dulu seni
melarutkan awan serta rnewujudkan hujah. Nah, aku sudah
menguasainya sekarang," bisik Shu sambil menindih Peony,
tangannya masih terus mengusap-usap dada gadis itu.
"O ya?" ujar Peony dengan mata terbuka lebar. "Apakah
dia cantik?" "Tidak!" jawab Shu getir. "Dia cuma pelacur Selatan,
rapuh seperti ranting kecil. Lalu dia berlagak kesakitan!"
"Yah, tapi aku kan tidak kesakitan," jawab Peony.
"Sentuhan tanganmu memberikan rasa nyaman. Rasa
sakitnya sudah hilang sama sekali. Teruskanlah Shu, aku
berani jamin aku takkan remuk..."
Keduanya tersentak kaget ketika gong dipukul persis di
atas kepala mereka. Empat laki-laki tiba-tiba muncul, dua
dengan obor menyala dan dua memukul gong. Di belakang
mereka tampak Meadow yang cepat-cepat memungut
selimut, seprai, dan pakaian-pakaian mereka. Setelah
terkumpul, ia segera meninggalkan ruangan itu. Lantai
mulai berderak, dibebani oleh banyak orang.
"Siapkan pintu kayu! Ambil paku dan palu! Dua orang
tak tahu malu tertangkap basah. Ayo lihat, ada dua
pezinah!" seru wanita tua itu kuat-kuat sambil menuruni
tangga. Peony dan Shu sama-sama selalu terus terang dan tak
kenal takut, namun mereka tidak terbiasa memperlihatkan
ketelanjangan mereka di hadapan empat laki-laki. Mereka
begitu terkejut, sehingga lupa mengadakan perlawanan.
Mata mereka mencarl ke sana kemari, tapi tak dapat
menemukan apa-apa untuk menutupi diri mereka. Shu
berdiri di depan Peony, menggunakan tubuhnya sebagai
perisai. Peony merapatkan tubuh ke tembok sambil
mencondongkan tubuh ke muka dengan satu tangan di
dada, sementara yang lain di antara kedua pahanya.
Kuo muncul di ambang pintu. Ia melongokkan kepala ke
arah pasangan itu, kemudian memutar tubuh. Sesuai
tradisi, jika seorang laki-laki dan wanita tertangkap basah
saat berzinah, mereka akan dipaku berdampingan pada
sebuah pintu kayu. Pakunya akan menembus telapak
tangan dan kaki mereka. Kemudian pintu itu akan
dilemparkan ke Sungai Kuning, dan sementara terapung--
apung mengikuti arus airnya, penduduk desa-desa yang
mereka lewati akan melempari pasangan pezinah itu
dengan batu. Tak seorang pun berani menolong mereka.
Pasangan itu akan mati perlahan-lahan, dan akhirnya dua
tengkorak akan terlihat terapung-apung di atas pintu yang
sudah lapuk. "Hati Joy akan hancur berkeping-keping!" ujar Kuo
sambil menggeleng-gelengkan kepala ke arah Peony,
bertanya-tanya pada dirinya, bagaimana pasangan ini dapat
lolos dari aib yang akan segera menimpa mereka.
Kepala Meadow muncul di tangga. "Pintunya sudah
slap," ujarnya sambil tersenyum ke arah keempat laki-laki
itu. "Bawa kedua pezinah itu turun!"
Keempat laki-laki itu meletakkan gong mereka di lantai
serta menyerahkan obor mereka kepada Meadow. Sesudah
itu mereka menghampiri Shu dan Peony. Shu betul-betul
tak berdaya menghadapi tradisi yang keras itu. Dengan
cepat Peony membisikkan sesuatu ke telinga Shu, lalu ber-
gumam, "Satu, dua, tiga!"
Pada hitungan ketiga, keduanya membungkuk rendah-rendah, kemudian melompat. Kepala mereka
membentur langit-langit, dan sekejap kemudian kaki
mereka sudah menjejak lantai kembali.
Pampaknya begitu besar, sehingga papannya yang tipis
membelah dan tembok-temboknya berderak. Dengan
gemulai Peony dan Shu sampai ke bawah, bak dua
gumpalan bunga salju melayang terbawa angin.
Keempat laki-laki yang melesat melalui lubang yang
sama seakan-akan terpaku begitu menyadari bahwa
seluruh ruangan akan segera ambruk di atas kepala
mereka. Tangganya kehilangan penyangga, lalu ikut
ambruk. Meadow ikut jatuh dalam gerakan perlahan,
sambil menjerit-jerit dan mengayun-ayunkan obor,
kemudian terjun ke dalam tumpukan jerami. Dengan panik
ia menggerakgerakkan lengannya untuk menjaga agar
apinya tak sampai menyentuh jerami kering.
Kuo, yang masih sempat melompat ke tempat aman,
segera meninggalkan suasana kacau itu, menuju pintu
gudang peralatannya. Ia masih sempat melihat dua sosok
telanjang berlari melintasi kebun sambil berpegangan
tangan. "Ada pakaian di tali jemuran!" serunya, kemudian
tertawa terpingkal-pingkal. Ia begitu geli, sehingga
terpaksa membungkukkan badan, menahan sakit di perut-
nya. Ketika akhirnya dapat menguasai diri kembali, ia melihat
Shu dan Peony sudah sibuk memanjat tembok kebun,
masing-masing dengan beberapa potong pakaian di tangan.
Pasangan muda itu berhenti sesaat setelah sampai di atas,
berpaling dan melambaikan tangan ke arah Kuo.
"Sampaikan salamku pada Nyonya!" seru Peony.
"Kami akan berusaha mempersatukan para biksu di
daerah Utara!" seru Shu.
Peony dan Shu berhenti untuk berpakaian, kemudian
berlari lagi dalam hujan salju, di bawah penerangan bulan
sabit. Mereka berhasil merenggut dua pasang pakaian
laki-laki dari tali jemuran, namun mereka tidak memiliki
sepatu, padahal tanah dingin sekali.
Seluruh kota Gunung Makmur masih tidur pada subuh
Tahun Baru itu. Bahkan orang-orang Mongol merayakan
pesta Cina yang paling penting itu. Rumah-rumah berlampu
hijau dipenuhi oleh pelanggan, yang kebanyakan terdiri
atas perwiraperwira Mongol yang mengenakan sepatu-sepatu bot kulit. Peony dan Shu mengendap-endap
mendekati salah sebuah rumah. Mereka menyelinap ke
dalam dua kamar, lalu mencuri dua pasang sepatu bot kulit
sementara pemiliknya masih mendengkur di samping
pelacur masing-masing. Kedua pasang sepatu itu sudah tua
dan agak retak, namun dapat melindungi kaki pemilik
barunya. "Kau tampak cantik dalam pakaian laki-laki dan sepatu
bot tinggi!" ujar Shu, sambil mengagumi penampilan Peony
di bawah cahaya bulan. Cepat-cepat ia mengecup bibirnya.
"Mulai saat ini, aku hanya akan memakai pakaian
laki-laki dan sepatu bot tinggi," ujar Peony sambil
membalas kecupan Shu. "Selama aku tampak cantik di
matamu, siapa peduli pendapat orang-orang sedunia?"
Meskipun seluruh kota masih tidur, mereka menyelinap
dengan hati-hati dalam gelap. Mereka menghindari
jalan-jalan yang terang benderang, dan setiap kali
mendengar suara ordng mendekat, mereka mengambil
jalan lain. "Aku belum pernah sehati-hati sekarang," ujar
Shu. "Ketika mengira kau mati, aku tak ingin hidup lagi.
Tapi aku tak ingin mati sekarang." Ia tersenyum pada
Peony. "Apakah seorang wanita dapat mengubah pendekar
menjadi pengecut?" "Tidak," jawab Peony. "Dia hanya dapat mengubah
seorang anak muda yang sembrono menjadi laki-laki yang
bijaksana."
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka melewati perkemahan orang-orang Mongol dan
sebuah kuil Lama, kemudian mendaki kaki bukit, terus
menuju puncaknya yang tinggi. Mereka sampai di Kuil
Bangau Putih begitu hujan salju berhenti turun dan sinar
bulan mulai memudar. Mereka membangunkan Sumber
Damai, lalu memintanya menikahkan mereka.
Pakaian cokelat yang dikenakan Peony semula milik
seorang laki-laki berlengan panjang, sehingga lengan
bajunya nyaris menutupi jari-jarinya. Baju biru yang
dikenakan Shu terlalu ketat baginya. Dengan resah ia
menggeliat-geliutkan tubuh, sehingga jahitan di bahunya
akhirnya sobek. Keduanya rupanya tak sempat menyisir
rambut mereka. Sisa jerami dari gudang peralatan Kuo
masih menempel di kepang panjang pengantin wanita dan
cambang pengantin laki-laki yang baru tumbuh kembali.
Mereka juga tak sempat mencuci muka. Ada percikan
lumpur di dahi Peony dan sedikit tanah di pipi Shu. Namun
di mata Shu, Peony adalah wanita tercantik di muka bumi
ini, dan di mata Peony, Shu adalah laki-laki paling tampan.
Bangsal pemikahan mereka adalah sebuah kuil tua
penuh dengan patung-patung Buddha. Masing-masing
menatap mereka, entah sambil tersenyum atau dengan
kerutan di dahi, yang dihiasi oleh kemerlip cahaya lilin dan
bara batang-batang dupa. Saksi-saksi mereka adalah para
biksu dan biksuni tua, kaum pesilat dan anggota Serban
Merah yang masih belia. "...kalian sekarang sudah menjadi
satu", ujar Sumber Damai akhirnya.
Ketika Shu dan Peony memasuki kamar pengantin,
mereka tercengang. Para biksuni telah memberikan
suasana cerah pada ruangan semadi yang kecil itu dengan
menyalakan semua lilin merah yang dapat mereka
temukan. Bantal-bantal untuk berdoa mereka sulap
menjadi bantal pengantin yang di atasnya disebari buah
kurma dan kacang. "Kita akan mendapat banyak anak
laki-laki yang sehat," ujar Shu sambil menunjuk ke arah biji-
bijian itu. Kemudian dengan lembut ia melingkarkan
lengannya ke pundak istrinya.
Saat Peony merebahkan kepala di atas bantal-bantal itu,
ia mendengar suara gemeresik. Ia mendapati satu di antara
bantal-bantal itu betul-betul berisi kuntum-kuntum bunga
kering. Pandangannya menjadi kabur oleh air mata.
Beberapa tahun yang lalu, ketika ia bersama teman-temannya sedang mengumpulkan bunga-bunga
musim semi untuk mengisi bantal pengantin mereka,
mimpi buruk itu dimulai. Ia mengejapkan air matanya,
kemudian tersenyum. Tahun-tahun suram itu sudah
berlalu. Ia dan Shu takkan pernah lagi lepas dari pandangan
mata masing-masing, ujarnya dalam hati sambil memeluk
suaminya erat-gat. Angin berembus di antara batang-batang pohon pinus
tua saat kedua gumpalan awan yang sudah lama terpisah
itu akhirnya menyatu. Berulang kali mereka melebur
kembali, hanyut, kemudian larut di dalam yang lain, dan
setiap kali sedikit lebih lama. Untuk pertama kali dalam
seiarah, suasana kuil tua itu dihangatkan oleh panas curah
hujan yang terus melimpah sampai matahari pagi sudah
tinggi di langit. BAGIAN IV 25 Musim Semi, 1353 "MANA Tangan Maut-ku" Mana" Mana" Mana?"
Seorang pemuda berlari keluar dari istana, menghambur
ke kebun. Jubahnya yang keemasan terbuka, sepatunya
hanya sebelah. Angin musim semi menyibak jubahnya,
menyingkapkan dada telanjangnya, yang penuh bercak
merah lipstik dan bedak putih. Langkah-langkahnya yang
lebar menampakkan bagian bawah tubuhnya, mengingat ia
tidak mengenakan apa-apa.
"Siapa yang mengambil Tangan Maut-ku" Dan di mana
para pengawalku?" serunya lagi. Sambil berlari, ia menokh
ke belakang. Ia menabrak sebatang pohon apel, sehingga bunganya
berguguran dan menghujani dirinya dengan warna merah
muda dan putih. Ia tersandung serumpun semak mawar,
sehingga duri-durinya menggores kakinya. Para gadis
cantik menahan napas, lalu menutup wajah dengan
kipas-kipas sutra sambil mengintip Khan Agung yang
kebingungan. Taufan berhenti berlari begitu tiba di pelataran. Ia
menaiki tangganya, beberapa undakan sekaligus. Ia
menjatuhkan diri di kaki sebuah patung Buddha yang
terletak di tengah-tengah pelataran itu. De ngan tangan
gemetar ia menekan. Ujung jari kaki kiri si patung dengan
keras. Salah satu papan kayunya bergerak, menyingkapkan
sebuah lorong rahasia. Si Khan mengumpati pintu itu, yang
menurutnya bergeser kurang cepat, kemudian menerobos
lorong yang masih setengah terbuka. Selagi menuruni
tangganya dan dengan cepat menelusuri lorong sempit itu,
ia mendengar suara para pengejarnya memasuki halaman
kebun sambil membentak-bentak gadis-gadis istana untuk
memberitahukan di mana dia. Ia dapat mengenali suara
saudara-saudara dan pamanpamannya, para sepupu serta
para kemenakannya, bahkan suara para serdadu dan para
pengawal pribadinya. Taufan sampai di sebuah ruang kecil tapi mewah, yang
didominasi oleh sebuah tempat tidur megah. Tangannya
langsung meraih tempat lilin emas yang kemudian
diputarnya. Sambil terengah-engah ia mendengarkan suara
papan di atas kepalanya bergeser kembali, menutupi jalan
masuknya. Ia tersenyum, lalu menjatuhkan diri di tempat
tidur, ke atas tumpukan bantal satinnya.
"Aku berhasil," ujarnya, sambil berusaha mengembalikan napas dan memikirkan langkah-langkah
berikutnya. Ia akan menelusuri terowongan, menuju kuil Lama di
dekat rumah kekasihnya, namun kali ini yang akan
dipanggllnya bukannya wanita itu, melainkan suaminya,
yaitu jenderal yang paling berkuasa di Da-du. Si jenderal ini
tentunya akan segera bergabung dengan Pedang Dahsyat.
Taufan sudah dapat membayangkan dirinya keluar dan
tempat persembunyiannya setelah para pemberontak
istana itu dibasmi oleh kedua kekuatan militer paling
ampuh dalam kerajaannya. "Khan-ku yang Agung tampak sangat tenang menghadapi situasi ini." Suara rendah itu berasal dari balik
sebuah cermin kuningan berbingkai emas, yang lebih tinggi
dari ukuran tubuh seorang laki-laki.
"Ah, kau!" seru Khan setelah pullh dari rasa kagetnya.
"Aku senang sekali melihatmu di sini! Jadi, kau gagal
mencegah niat jahat mereka dan tahu aku akan ke tempat
ini. Tapi kenapa kau tidak mengingatkan aku... ?" Ia tidak
menyelesaikan ucapannya. Shadow Tamu meraih belakang cermin kuningan, lalu
menunjukkan si Tangan Maut. Wajahnya yang sempit tidak
berekspresi, matanya yang hitam menyorot dingin.
"Kau menyimpannya untukku!" Khan yang masih muda
itu tidak memperhatikan apa yang baru saja tersirat di
wajah Shadow, saking senangnya ia melihat senjata
ajaibnya. "Aku mencarinya ke mana-mana sewaktu mereka
menyerbu istanaku. Aku terpaksa kabur tanpanya sewaktu
mereka semakin mendekati kamar tidurku. Terima kasih
karena membawanya kepadaku. Kau memang penasihatku
yang betul-betul setia... lho, kenapa?"
Shadow Tamu mengangkat tabung besi itu per-
lahan-lahan, lalu membidikkannya ke Khan-nya. "Dasar
bajingan! Kaupikir aku akan tetap setia padamu setelah
kaubunuh adikku?" "Tidak! Jangan!" Khan menaikkan tangannya, kemudian
memohon dengan suara bergetar, "Jangan bunuh aku! Akan
kuberikan apa saja yang kau mau! Bahkan takhtaku!"
Shadow Tamu merapatkan rahangnya, di bibirnya
membayang senyum sinis. Tiba-tiba tawanya menggema,
memenuhl seluruh ruangan itu. Sambil tertawa, Shadow
Tamu menarik pemicu senjata di tangannya. Suara ledakan
yang memekakkan telinga berkumandang di ruangan kecil
itu, asap tebal segera menebar. Setelah getaran mengerikan
itu mereda dan asap berbau mesiu itu mempis, Shadow
Tamu melangkah maju, menghampiri tempat tidur.
Tubuh Khan terjungkal ke belakang oleh dorongan yang
ditimbulkan Tangan Maut, namun kepalanya tertahan
bantal-bantal satinnya. Mulutnya terbuka, sementara
matanya menerawang ke arah penasihatnya. Darah dari
sebuah lubang yang menembus jantungnya segera berubah
menjadi sungai merah yang mengalir ke tempat tidurnya
yang mewah. "Goblok!" Shadow Tamu meludahi wajah Khan yang
sudah mati. "Hanya orang-orang tolol yang mau menjadi
khan. Tak ada khan yang bisa hidup lama, berbeda dengan
penasihatnya, yang sebetulnya menguasai seluruh negeri
dan akan terus berjaya."
Shadow Tamu memutar tempat lilin emas. Saat pintu
terowongan terbuka, lorong itu dipenuhi para pangeran
serta pengikut-pengikut mereka. Begitu masuk, mereka
melihat Shadow Tamu yang berdiri di samping Khan yang
sudah meninggal. Sambil membungkuk dengan rendah hati
ke arah mereka semua, ia berkata tulus, "Aku siap
mengabdikan diriku pada Khan Agung yang baru!"
Di istana itu ada 27 pangeran; 26 di antaranya sedang
berkumpul di balairung utama. Di belakang setiap
pangeran berdiri pengawal pribadi masing-masing, setiap
pengawal menggenggam sebilah pedang panjang. Tangan
Maut khan yang sudah almarhum sekarang berada di
tangan Shadow Tamu. Si penasihat tidak berniat membagi
senjata itu dengan siapa pun, kecuall adiknya sendiri. Bila
panglima jenderal itu berpendapat bahwa para serdadu
Mongol harus menggunakannya sebagai senjiata, barulah
Tangan Maut diproduksi dalam jumlah besar.
Sidang sudah berlangsung sejak pagi, dan saat itu sudah
menjelang malam. Makanan sudah tersaji, sementara
mereka semua sudah beristirahat beberapa kali. Namun
seorang penerus belum juga terpilih.
Para pangeran itu sama kuatnya, dan tak seorang pun di
antara mereka dapat membunuh yang lain, untuk
kemudian menjadi penguasa tunggal.
Mereka sudah lelah dan kesabaran mereka sudah habis
setelah berdebat sekian lama, sehingga mereka lega ketika
akhIrnya Shadow Tamu membuka mulut.
"Aku punya usul," ujar si penasihat tenang. "Pangeran
Timur Tohan merupakan calon yang sempurna." Ia
menutup mulutnya kembali begitu para pangeran mulai
tertawa. Pangeran Timur Tohan baru berusia sembilan belas
tahun, satu-satunya pangeran yang tidak terlibat dalam
usaha pembunuhan Taufan, juga satu-satunya yang tidak
hadir dalam sidang itu. "Tapi dia bukan ksatria! Dia belum pernah membunuh
orang seumur hidupnya!"
"Dia bahkan tak suka berburu! Beberapa waktu yang
lalu, ketika dia melihat kita menguliti kijang, dia menangis
seperti orang dungu!"
"Dia bukan laki-laki dalam banyak hal. Contohnya, dia
hanya mau menggauli satu wanita. Dia dan Bunga
Matahari-nya tidak hidup di alam nyata. Mereka cuma dua
pemimpi yang tidak becus!"
Secara bergiliran masing-masing pangeran mengajukan
keberatan serta kritik mereka terhadap Pangeran Timur
Tohan. Shadow Tamu mendengarkan dengan sabar. Baru
setelah mereka selesal berkomentar, ia mulai berbicara
kembali. Nadanya rendah dan sama sekali tidak
tergesa-gesa, kata-katanya singkat, "Pangeran Timur Tohan
bisa menjadi boneka yang baik. Kalianlah yang menarik
tali-talinya. Si boneka bisa disetir ke sana kemari, namun
para dalangnya takkan cedera."
Di sebuah kebun kecil, jauh dari ruang balairung utama,
seorang pangeran tampan bersama seorang putri cantik
menghibur beberapa pedagang dari Mekah dan beberapa
penjelajah dari Roma. Pangeran Timur Tohan amat senang belajar sejak masih
kecil. Bahasa-bahasa asing serta kebudayaan negeri-negeri
lain amat menarik baginya. Ia juga mendalami seni musik,
dan kesusastraan berbagai negara. Selain itu, ia juga
menaruh minat yang amat besar terhadap berbagai hal
yang berhubungan dengan keindahan serta penemuan-pe-
nemuan ilmiah. "Aku tak tahu bahan gelas sudah ditemukan lebih dari
seribu tahun yang lalu. Coba bayangkan, barang-barang
seni dari gelas ditemukan di antara puing-pulng Pompeii,"
ujar pangeran yang masih muda itu dalam bahasa Itali
kepada sekelompok penjelajah Roma. Kemudian ia
berpaling ke arah para pedagang Arab. "Apakah kalian
yakin orang-orang kalianlah yang membawa vas-vas dan
barang pecah belah ke Cina sekitar empat ratus tahun yang
lalu?" Putri Bunga Matahari, yang juga sepupu jauh Timur
Tohan dan teman bertukar pikiran sedari mereka tumbuh
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama-sama, memperbaiki kata-kata Pangeran. "Barang-barang pecah belah dari gelas dibawa ke Cina oleh
orang-orang Roma tak lama setelah benda-benda itu
ditemukan. Orang-orang Arab hanya membawa formula
untuk membuat gelas ke Cina." Pangeran tersenyum
mendengar uraiannya, sementara Putri Bunga Matahari
menambahkan, "Orang-orang Cina mengagumi benda-ben-
da dari gelas itu. Mereka mengira itu batu kemala yang
tembus pandang. Karena itulah mereka berniat menambangnya dari dalam tanah, namun tak pernah
terpikir untuk membuatnya. Akibatnya selama empat ratus
tahun terakhir ini orang-orang Cina tak pernah menyentuh
formulanya." Pangeran Timur Tohan menatap Putri Bunga Matahari
dengan kagum. Kemampuan berbicara serta memahami
bahasa-bahasa asing gadis itu menandingi kemampuannya
sendiri. Kemudian ia menoleh ke arah para pedagang Arab,
lalu bertanya, "Apakah kalian dapat membantuku membuat
gelas" Yang kumaksud bukan vas atau barang pecah belah
dari gelas. Aku menginginkan lembaran gelas yang lebih
praktis fungsinya." Mata Pangeran bersinar-sinar saat mengucapkan apa
yang terlintas di kepalanya. "Bayangkan kalau lampion-lampion terbuat dari gelas - cahayanya takkan
terusik lagi oleh hujan dan angin. Dan cobabayangkan kalau
semua jendela ditutup dengan gelas, bukannya kertas
merang - kita bisa melihat melalui gelas dan suasana di
dalam ruangan akan lebih terang."
Para pedagang itu mengangguk, kemudian salah seorang
berkata, "Kita membutuhkan pasir, silika, kapur, dan bubuk
soda..." Pintu tiba-tiba terbuka. Para pengawal pribadi Pangeran
Timur Tohan yang jumlahnya sedikit, didorong ke samping
oleh serombongan tamu tak diundang. Shadow Tamu
datang diikuti sekitar 26 pangeran serta para pengawal
pribadi mereka. Tanpa berusaha menyembunyikan sikap merendahkan
mereka, para pangeran dan pengawal itu membungkuk ke
arah Pangeran Timur Tohan sekadar untuk memenuhi
formalitas. Shadow Tamu menghampiri Pangeran Timur Tohan,
menatapnya, kemudian berkata dengan angkuh, "Yang
Mulia sekarang khan agung kami. Upacara penobatannya
akan berlangsung besok."
Pangeran Timur Tohan dan Putri Bunga Matahari
langsung saling mendekat, terkejut dan takut. Mereka
sama-sama merinding melihat senyum sinis para pangeran
serta ekspresi dingin si penasihat."
26 Musim Panas, 1353 MENEMANI bulan sabit ketujuh yang keperakan, sebuah
gugusan bintang yang membentuk lajur cahaya kemilau
menghiasi langit. Benda-benda angkasa ini menyentuh
garis cakrawala dan bertemu di permukaan Sungai Kuning.
Di padang rumput di dekat tepinya berdiri sepasang anak
muda. Tubuh si pria yang mengenakan pakaian-cokelat dari
bahan kasar, diikat seenaknya di pinggangnya yang lebar
dengan tali rami. Lehernya yang terbuka menyingkapkan
dadanya yang berbulu, setengah tertutup oleh jenggotnya
yang panjang. Yang wanita mengenakan pakaian pria
berwarna biru serta sepatu bot tinggi. Rambutnya
dikepang, tapi tidak digelung ke atas. Kepangnya yang tebal
diikat pita merah yang mengayun di pinggulnya, mengikuti
setiap gerakannya. Mereka sedang menuju sungai ketika si wanita tiba-tiba
berhenti, sehingga langkah pasangannya tersentak di
tengah jalan. Ia berkata, "Shu, bagaimana kalau kita latihan
tai chi sebentar" Aku harus menenangkan diri. Aku jadi
panas begitu teringat kematian keluarga kita."
Shu mengangguk. DI bawah sinar bulan sabit, tanpa
terlihat siapa pun, mereka mulal bergerak perlahan-lahan
dan lembut, dari satu jurus ke jurus lain, sambil
mengayunkan lengan dan kaki-kaki mereka dalam irama
yang serasi, bak dua penari.
Tak lama setelah meninggalkan Gunung Makmur, Peony
mengajarkan jurus-jurus tai chi pada Shu, sementara Shu
membagikan ilmu kungfunya. Teknik-teknik bela diri itu
membangkitkan rasa antusias mereka, nyaris dalam porsi
yang sama seperti seni bercinta. Selagi mengembara dari
satu desa ke desa yang lain di daerah Utara, mereka
menjadikan setiap bukit atau hutan sepi sebagai tempat
mereka berlatih. Batang-batang bambu menjadi tombak
panjang, potongan-potongan kayu menjadi pedang-pedang
mereka. Selain saling belajar, mereka juga menyerap
teknik-teknik baru dari para biksu dan biksuni yang
mereka ajak bersatu. Setelah menyelesaikan rutinitas tai chi mereka,
kemarahan Peony mereda. Mereka melanjutkan perjalanan,
dan tak lama kemudian sampai di desa Pinus.
Mereka pergi ke tempat yang pernah didiami keluarga
Shu, untuk menengok makam keluarganya. Mereka
berlutut, meminta arwah para almarhum untuk memberkati pernikahan mereka.
Peony menengadahkan wajah ke langit malam,
kemudian berbicara kepada para arwah itu, "Keluarga Shu
biasanya bertemu dengan keluarga Ma pada waktu-waktu
ini. Shu dan aku kini bersama-sama dan bahagia. Apakah
kalian juga sedang berkumpul dan bersenang-senang di
surga?" Secercah angin musim panas mendesir melalui
pohon-pohon yang mengelilingi tempat itu. Bin- tang-bintang berkedip. Sungai Kuning bergemercik di
kejauhan. Shu dan Peony memasang telinga untuk
mendengarkan suara orang-orang yang mereka cintai,
namun tak dapat menangkap jawaban mereka. Akhirnya
mereka berdiri, kemudian menuju Kuil Raja-raja.
Biksu Naga Tanah yang bertubuh tinggi dan berwibawa
tampak lebih tua, namun ia belum melupakan Shu. "Kau
kelihatan lebih dewasa!" ujarnya sambil menatap Shu dari
atas ke bawah. Sama halnya para biksu dan biksuni di bagian-bagian
lain Negeri Cina, hampir semua penghuni kuil itu
melakukan latihan seni silat, meskipun mereka mengenakan jubah keagamaan. Naga Tanah menghela
napas, lalu berkata, "Pernahkah kalian melihat tikus kecil
yang disudutkan kucing" Menyadari akhirnya dia toh akan
dimakan si kucing, dia berdiri di atas kaki belakangnya, lalu
memberikan perlawanan terakhir dengan kaki depannya.
Kepada kami, para biksu dan biksuni, diajarkan untuk
bersikap damai, namun orang-orang Mongol ltu sudah
menyudutkan kami dengan mengunggulkan ajaran Lamais
dan Kristen." Shu dan Peony tidak mendapat kesulltan untuk
mengajak para biksu dan biksuni ini bergabung dengan
mereka. "Begitu mendapat kabar, kami akan menghambur
keluar dari kuil-kuil kami, untuk mengusir semua orang
Mongol dari desa Pinus!" ujar Naga Tanah dengan tegas.
Shu dan Peony meninggalkan desa Pinus, dan setelah
berjalan selama dua hari, akhirnya sampai di Lembah
Zamrud pada waktu subuh. Kuil Langit lebih penuh dari sebelumnya. Welas Asih
yang kurus tapi tegar langsung mencengkeram lengan
Peony, lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku
senang sekali melihat kau sudah menikah anakku, dan
dengan seorang lelaki yang seimbang denganmu."
Blksu tua itu mendengarkan kisah panjang yang
dituturkan kedua anak muda iiu, kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, "Jangan
kalian salahkan perpisahan kalian pada takdir. Semua
perkawinan sudah diatur sang Buddha. Memang sudah
suratan kalian tidak menikah lebih dulu."
Peony memiringkan kepala, lalu bertanya dengan nada
seakan tak percaya, "Aku sudah melihat banyak
perkawinan gagal. Kenapa sang Buddha suka memberikan
cobaan kepada manusia?"
Welas Asih tertawa. "Peony, rupanya perkawinan tidak
membuatmu dapat lebih menahan mulut besarmu." Biksu
itu kemudian menjelaskan bahwa bahkan kegagalan dalam
perkawinan ada hikmahnya. "Kalau dalam kehidupan ini
seseorang melakukan sesuatu yang kurang baik terhadap
sesamanya, dalam kehidupan berikutnya dia akan menjadi
istri yang baik. Si suami akan menjadi orang yang akan
berlaku kasar, sementara si istri harus menerima per-
lakuannya itu." Shu menyentakkan kepala ke belakang, kemudian
tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, aku sudah
melakukan sesuatu yang kurang baik kepada Peony-ku
dalam kehidupan kami sebelumnya. Dia terus memperlakukanku dengan kasar. Coba lihat memar-memar
ini... aduh!" Peony meninju suaminya dengan keras di lengannya.
"Sejauh ini aku baru melukaimu selagi kita latihan kungfu!
Tapi itu akan berubah kalau kau berani mengungkapkan
sepatah kata saja yang tidak benar! "
Shu menggosok-gosok lengannya secara berlebihan, lalu
menatap Welas Asih dengan pandangan pura-pura sedih.
"Anda lihat maksudku, shih-fu yang kuhormati. Aku suami
yang selalu mendapat perlakuan kasar, yang bahkan tidak
berani melawan, seperti tikus kecil yang tersudut itu!"
Welas Asih tertawa. "Andai kata semua pasangan
suami-istri sebahagia kalian berdua. Aku yakin kalian
betul-betul baik sekali yang satu terhadap yang lain, dalam
kehidupan kalian sebelumnya."
Para biksu dan biksuni Kuil Langit berkumpul sore itu,
untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Shu
dan Peony. Penuh antusias mereka menyatakan setuju
untuk melawan orang-orang Mongol.
Begitu misi mereka selesai, Shu dan Peony makan malam
bersama Welas Asih. Saat mempersiapkan diri untuk
melanjutkan perjalanan ke desa berikutnya, Welas Asih
berkata, "Tunggu. Ada yang ingin kuperlihatkan pada kalian
berdua." Bertiga mereka menuju bangsal utama. Welas Asih
menutup pintu di belakang mereka. Begitu mereka sampai
di muka patung Buddha Kemakmuran, si biksu memilih
salah satu cuping telinganya yang panjang. Sebuah tempat
persembunyian rahasia di perut sang Buddha yang gendut
terbuka. Sinar kehijauan menyapa cahaya lilin yang ber-
kedip-kedip dalam ruangan itu.
Biksu tua itu mengulurkan tangan ke dalam lubang gelap
itu, lalu meraih sebuah batu yang diangkatnya keluar
dengan hati-hati. Ketika ia meletakkannya di altar, Peony
menahan napas, lalu berkata, "Kelihatannya seperti sebuah
bulan berbentuk lonjong yang jatuh ke bumi, terus mem-
barakan sinar kehijauan, seakan minta dikembalikan ke
tempat asalnya!" . "Bulan hijau ini adalah batu kemala ayahmu." Welas Asih
tersenyum pada Peony. Peony mengawasi batu indah yang berkilauan itu. Ia
ingin menyentuhnya, namun tidak berani. "Tidak mungkin!
Dari gunung ayahku menggali batu yang masih kasar
wujudnya. Sama sekali bukan seperti ini."
Welas AsIh mengangguk, lalu menghela napas
dalam-dalam. "Sejak kau meninggalkan Lembah Zamrud,
telah terjadi beberapa pembantaian lagi di desa. Seorang
penambang batu kemala yang dibuat cacat oleh
orang-orang Mongol muncul meminta perlindungan dalam
kuilku ini. Kuperlihatkan batu ini padanya. Orang ini sudah
kehilangan seluruh keluarganya, namun mendapatkan
semangat hidupnya gara-gara batu ayahmu yang indah. ini.
Dia bekerja siang-malam untuk memahat batu kemala yang
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berharga ini dari kulit luarnya yang kasar, kemudian
dipolesnya dengan cinta dan kelembutan ibu kepada
anaknya. Dia meninggal sebulan yang lalu, sambil
menggenggam batu kemala yang sudah selesai dipolesnya
dan menyunggingkan senyum kepuasan."
Biksu tua itu menggenggam batu kemala tersebut di
tangannya sekali lagi, sebelum menyerahkannya kepada
Peony. "Ini warisan keluargamu. Kau boleh membawanya
bersamamu." Peony menggeleng-gelengkan kepala sambil melangkah
mundur. Dengan mantap biksu itu berpaling kepada Shu.
"Tradisi menyatakan bahwa semua barang berharga milik
istri juga akan menjadi milik suaminya. Batu kemala ini
milikmu, Shu." Shu menolak menerimanya. "Kami tak mampu
menyimpan barang berharga." Ia terdiam begitu tangannya
menyentuh rantai emas di lehernya. Menggelayut di rantai
itu, setengah tersembunyi di balik jenggotnya, adalah
bandul batu kemalanya yang berbentuk dua tangan yang
berjabatan. "Tapi jika batu berharga ini bisa sampai ke
tangan sobatku, akan menjadi benda seni tercantik di muka
bumi ini." Tatapan Shu yang tajam melembut begitu ia
menambahkan, "Dia pernah mengungkapkan padaku
bahwa impiannya adalah memahat sepasang kekasih dari
batu kemala. Nama sobatku itu Lu si Bijak."
27 Musim Dingin, 1354 BULAN penuh bersinar di atas Sungai Yangtze, ditemani
langit yang penuh bintang-bintang berkilauan. Namun
tiba-tiba suhu udara menurun dan gumpalan-gumpalan
awan tebal mulai bergulung-gulung melintasi langit. Begitu
embusan angin mereda, jutaan bunga es berwarna putih
menutupi permukaan sungai, menyentuh setiap sudut kota
Yin-tin, termasuk rumah kediaman keluarga Lu.
Lu sedang berunding dengan para anggota Liga Rahasia
dengan nada tertahan. Sebagai orang-orang terpelajar,
mereka sudah terlatih untuk selalu berbicara dengan nada
rendah sejak masih kecil; mereka yang berbicara dengan
suara keras dianggap tidak tahu aturan. Sementara
menyimak dengan cermat, ia dapat menangkap di atas
bisikan teman-temannya, suara Lotus yang sedang berada
di halaman belakang, memainkan serulingnya untuk
anak-anak mereka. Lu tersenyum. Suasana rumahnya
begitu tenang dan harmonis, meski di luar perang sedang
berkecamuk. "Perang akan segera berakhir, Lu," ujar salah seorang
anggota Liga Rahasia. "Berapa banyak waktu akan
kauberikan pada khan yang baru, sebelum dia menyatakan
kalah kepada salah seorang pemimpin revolusi kita?"
Lu menjawab dengan nada rendah, "Perang takkan
berakhir secepat itu, mengingat para pemimpin kita belum
bersatu." Ia menghela napas, kemudian mengingatkan
kawan-kawannya untuk menengok kembali pada sekian
banyak pertempuran antara orang-orang Cina melawan
Mongol di tahun-tahun sebelumnya.
Begitu Kuo memulai perjuangannya melawan orang-orang Mongol secara terbuka, para biksu yang
menguasai kungfu dan biksuni-biksuni anggota Serban
Merah di bagian utara Provinsi Honan bergabung
dengannya. Mereka berhasil mengusir orang-orang Mongol
dari desa dan kota-kota mereka, membobol penjara-penjara, dan melepaskan semua tawanan Cina.
Lu berkata, "Andai kata orang-orang sipil juga bisa diajak
kerja sama. Tidak seperti Kuo, yang dikenal sebagai Master
Kuo, keenam pemimpin dari kalangan orang-orang sipil ini
mengangkat diri mereka menjadi raja. Mereka menduduki
empat daerah: timur laut, tenggara, pusat, dan barat. Kuo
adalah salah satu di antara dua pemimpin daerah timur
laut." Para cendekiawan lain mengangguk-angguk saat Wali
Kota Lu menambahkan dengan nada rendah, "Kuo
mengirimkan pesan kepada para pemimpin lain, meminta
mereka angkat senjata pada malam terakhir Pesta Bulan.
Tapi ketika malam yang ditentukan tiba, keenam pemimpin
itu menginstruks1kan anak buah mereka untuk memblarkan Kuo dan anak buahnya maju sendiri, dengan
harapan orang-orangnya dibasmi tentara Mongol. Tentu
saja akhirnya mereka kecewa. Dengan bantuan para biksu
dan biksuni, Kuo memenangkan pertempuran demi
pertempuran. Tentara Kuo tidak hanya berhasil mengusir
orang-orang Mongol keluar dari Gunung Makmur, tapi juga
merebut kembali sekian banyak kota dan desa di sepanjang
Sungai Kuning. Seluruh bagian utara Provinsi Honan se-
karang berada di bawah mereka."
Salah seorang di antara orang-orang terpelajar itu
kemudian teringat akan kabar angin yang' sampai ke
telinganya. Ia menatap Lu, lalu tertawa. "Wali Kota Lu,
apakah betul teman barbar Anda, Shu, sekarang salah satu
di antara jago silat si Kuo" Kalau memang benar, apa
jabatannya" Pembawa berita" Atau mungkin salah seorang
serdadu?" Lu mengerutkan alisnya. Tak seorang pun di antara para
anggota Liga Rahasia melupakan Shu, dan mereka masih
sering mengejek Lu karena persahabatannya yang aneh.
Seorang wali kota terpelajar dengan pewarta yang masih
barbar. Sesaat Lu menelan rasa kesalnya, kemudian
memutuskan untuk mengungkapkan apa yang sudah
diketahuinya selama beberapa waktu.
"Tak bisa diungkiri bahwa aku amat bangga atas
keberhasilan dicapai Shu selama ini," ujarnya sambil
menaikkan suaranya. "Aku tahu kalian tidak menyukainya,
karenanya aku tidak mengungkapkan apa pun pada
kalian..." Lu pernah mengirim Ah Chin, bekas pelayannya yang
sudah pensiun, beberapa kali ke daerah Utara, mengingat
seorang cacat yang sesekali menempuh perjalanan antara
daerah Utara dan Selatan tidak akan mengusik kecurigaan
orang-orang Mongol. Musim dingin yang lalu Ah Chin
kembali dengan membawa berita baik dari daerah Utara.
Shu sudah menjadi orang kedua tertinggi di antara para
jago silat Kuo. 28 Musim Semi, 1355 "SUARA burungkah yang kudengar itu" Atau sakitku
membuat pikiranku melantur ke mana-mana?" tanya
Peony sambil mengangkat kepala, lalu memusatkan
pendengarannya. Ia mencoba duduk di tikar jerami
tempatnya tergeletak lebih dari sehari, namun pada saat
berikutnya ia menjerit, kemudian menjatuhkan tubuhnya
kembali. Ada lima orang di dalam tenda itu: Peony, Shu, serta tiga
dukun beranak yang berpengalaman. Sejak awal masa
perang, Shu dan Peony terus berpindah-pindah tempat.
Tenda mereka yang berbentuk kubah terbuat dari lapisan
kulit binatang yang menyelubungi kerangka tonggak-tonggak kayu, yang kemudian diikat dengan tali.
Tenda itu dapat dilipat menjadi buntelan yang ringan, lalu
dimuat bersama perabotan rumah tangga mereka yang lain
di atas punggung kerbau. "Pikiranmu tidak melantur. Kita berada di Honan
Selatan, tempat musim semi datang lebih awal. Begitu anak
kita lahir, kita bisa berjalan-jalan menyusuri tepi sungai
dan menikmati pohon-pohon yang sedang berbunga," bisik
Shu, sambil mengusap keringat di dahl istrinya dan
memindahkan berat tubuhnya sendiri dari lutut yang satu
ke lutut yang lain. Ia sudah berlutut di samping Peony sejak
awal proses melahirkan itu, dan kakinya mulai kesemutan.
Peony menengadahkan wajah untuk menatap wajah
prihatin suaminya. Ia ingin menyuruhnya pergi, namun
tahu usahanya akan sia-sia. Menyimpang dari tradisi yang
berlaku, Shu terus mendampinginya saat ia melahirkan
anaknya yang pertama, Kuat. Ia mencoba berbicara,
"Setelah anak ini lahir, kita akan menjadl berempat. Kita
akan membutuhkan tenda yang lebih besar..." Sebuah
jeritan terlontar dari mulutnya.
Shu menggenggam tangan Peony, sambil mencondongkan tubuh ke muka, sehingga wajah mereka
nyaris bersentuhan. "Ini semua salahku. Gara-gara aku, kau
kesakitan sekarang." Kemudian ia berseru keras, tanpa
memedulikan kehadiran ketiga wanita lainnya, "Kita tak
usah bercinta lagi!"
Peony menghela napas. Sesaat rasa sakit yang
menderanya mereda. Ia mencoba tersenyum. "Shu, konyol
sekali kau!" Ia juga tidak memedulikan kehadiran ketiga
wanita itu. "Aku suka bercinta! Akan kucari selir laki-laki
kalau kau tak mau melakukannya lagi denganku..." Ia
menjerit saat air ketubannya mengalir dari antara kedua
kakinya. Ketiga wanita yang wajahnya merah menahan malu
setelah mendengar percakapan itu, mendekat kemudian
mengatakan pada Shu bahwa saatnya sudah tiba dan ia
betul-betul harus keluar. Shu tidak memedulikan mereka
dan tetap berlutut di tempatnya, sampai Peony
mengangguk lemah ke arahnya sambil berkata, "Keluarlah...
kukira sudah waktunya."
Shu disambut oleh Kuo di luar tenda.
"Bagaimana Peony?" tanya komandan itu prihatin. Shu
tidak hanya menduduki jabatan sebagai orang kedua dalam
pasukannya, tapi juga sahabatnya. Di samping itu, Kuo amat
menghargai Peony atas semua yang pernah dilakukannya
bagi istrinya yang rapuh.
"Dia tegar sekali," jawab Shu, kemudian terdiam sesaat
begitu terdengar jeritan Peony. "Sang Buddha betul-betul
tidak adil!" umpatnya sambil mengacungkan tinju ke langit.
"Kenapa bukan laki-laki saja yang disuruhnya menderita
saat melahirkan" Aku mau tukar tempat dengan Peony,
kalau mungkin!" Kuo mencengkeram lengan Shu, kemudian menggiringnya menjauhi tenda keluarga Shu. Dalam
pasukan mereka, sebuah lingkaran terdiri atas dua puluh
tenda. Para perwira beserta keluarga mereka memperoleh
tenda-tenda pribadi, namun para serdadu tidak diperkenankan memboyong keluarga mereka. Mereka yang
jabatannya lebih tinggi tinggal di tenda, sedangkan yang
rendah tidur di tanah. Di dalam tendanya, Kuo mengajak Shu duduk
bersamanya di tikar. Di samping sebuah bantal berisi
jerami terdapat sebuah lukisan di atas sutra yang dibinakai.
Shu memungut lukisan itu, melihat wajah Joy Kuo yang
tersenyum dengan mata tertutup lembut. Lukisan itu
dibuat oleh Cendekiawan Tou, artis terpelajar yang telah
mengajari Peony membaca. "Dia tampak seperti bocah cantik yang sedang bermimpi
indah," ujar Kuo, sambil menerima potret itu dari Shu,
kemudian mendekatkannya ke hatinya. "Dia mendorongku
berangkat, karena dia tahu aku harus ikut ambil bagian
dalam perjuangan ini. Tapi perjuangan yang terberat yang
kuhadapi adalah memerangi diriku sendiri untuk dapat
meninggalkannya." Ia mengecup potret itu, kemudian
mengembalikannya ke samping bantalnya. "Kaum wanita
lebih tegar dari kaum pria, sobatku. Karena itulah sang
Buddha menentukan merekalah yang harus memikul pen-
deritaan saat melahirkan. Kalau kita kaum laki-laki harus
menjalaninya, kebanyakan di antara kita akan mati."
Kuo menepukkan tangannya, minta dibawakan arak. Ia
dan Shu kemudian mulai minum, sementara burung-burung berkicau di bawah cahaya matahari musim
semi. Mereka masih asyik minum saat siang berganti
malam, dan burung-burung sudah pulang ke sarang.
Sepanjang hari itu Shu hilir-mudik ke tendanya sendiri,
namun setiap kali didapatnya jawaban, "Istri Anda
mengatakan Anda akan merasakan tinju tai chi-nya kalau
nekat masuk juga."
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara Shu melangkah sempoyongan ke tenda
komandannya, para serdadu memberinya jalan.
Mereka masih ingat ketika istrinya akan melahirkan
anak pertamanya, beberapa orang yang dianggapnya
merintangi jalannya mendapati diri mereka telentang di
tanah. Ketika bulan yang bak bola kristal itu akhirnya melintas
di tengah langit biru kelam, jerit tangis seorang bayi
memecah keheningan tanah perkemahan itu. Shu segera
melompat berdiri, kemudian lari ke tendanya. Kuo
mengikutinya dari belakang. Semua perwira beserta
serdadu mereka bangun dan menanti, sementara salah
seorang dukun beranak muncul di ambang pintu tenda:
"Laki-laki lagi," ujar wanita itu. "Dan ibunya baik-baik."
Semua bersorak. Kuo tersenyum lega.
Di dalam, Shu berlutut di samping Peony, lalu mencakup
wajah istrinya yang berkeringat dalam tangannya yang
besar. "Kau tampak begitu lemah. Aku belum pernah
melihatmu begini. Ini semua gara-gara aku..."
Peony memotong kata-katanya dengan mengangkat
tangannya untuk menutup mulutnya. "Ssst... jangan mulai
lagi. Kekuatanku bakal pulih kembali dalam satu-dua hari
ini. Akan kutantang kau berduel, supaya terbukti apa yang
kukatakan memang benar." Ia menunjuk ke buntelan di
sebelahnya. "Anak kedua kita sama bagusnya seperti yang
pertama," ujarnya bangga.
Shu melirik ke wajah yang masih merah dan keriput itu.
Ia tak bisa melihat bagusnya. Ia ingin mengatakan bahwa
makhluk jelek itu bukan imbalan yang seimbang untuk
sakit yang harus diderita Peony-nya, namun ia tidak berani.
Karenanya ia berkata, "Mata kaum ibu lebih jeli daripada
kaum ayah rupanya. Aku tak sabar menunggu saat anak--
anak kita cukup besar untuk melakukan berbagai hal
bersamaku: berburu, bergelut, membunuh orang-orang
Mongol, memimpin serdadu... bagaimana kalau kita
menamakan dia Tegar?".
"Tegar," ulang Peony. "Aku suka itu." Ia memejamkan
mata. "Jangan tidur dulu, Peony," ujar Shu lembut.
"Kau masih harus mengatakan padaku, apa yang
kauinginkan sebagai hadiah untuk melewatkan rasa sakit
ini kembali." Peony membuka matanya sedikit, kemudian menjawab
dengan nada mengantuk, "Kau sedang mempersiapkan diri
untuk mengusir orang-orang Mongol dari Honan Selatan
saat aku mulai sakit perut. Kau menunda penyeranganmu
gara-gara aku. Bagaimana kalau kau memberiku Honan
yang bebas dari orang-orang Mongol sebagai hadiah?"
Peony melihat keraguan membayangi wajah suaminya, lalu
menambahkan persis sebelum ia terlelap, "Jangan kha-
watirkan aku. Kuo akan tinggal di markas, melindungi istri
dan putra-putramu." Sementara Peony hanyut dalam tidurnya, Shu
menunggui di sampingnya, sambil menatapi wajahnya.
Akhirnya ia meraih ke bagian belakang lehernya, untuk
melepaskan rantai emas yang selalu dikenakannya. Ia
meletakkan rantai itu di sebelah bantal Peony, lalu berbisik,
"Sampai aku dapat menyerahkan Honan kepadamu, bandul
batu kemala dari Lu ini adalah milikmu."
Orang-orang Mongol sudah hidup di tenda-tenda selama
lebih dari tiga ribu tahun yang lalu. Akibatnya kehidupan
nomad sudah amat mendarah daging dalam diri mereka.
Keluarga kerajaan sudah bisa menyesuaikan diri untuk
hidup di dalam bangunan-bangunan istana di Da-du,
namun para serdadu umumnya merasa seperti binatang di
dalam kerangkeng begitu mereka harus tinggal dalam
kungkungan empat dinding. Penasihat Khan sudah
menginstruksikan mereka untuk tinggal di rumah para
orang Cina di kota-kota, namun di daerah-daerah yang
lebih terpencil mereka tetap tinggal di kemah.
Shu dan dua ratus Pesilat Kuo bergerak tanpa suara saat
mereka mengepung sebuah perkemahan Mongol yang
terletak di tengah-tengah hutan bambu. Begitu mereka
menempati posisi masing-masing, Shu membisikkan
instruksinya, "Jangan bergerak dulu. Tunggu!"
Perintahnya diteruskan dari satu serdadu ke yang lain
dengan nada tertahan, nyaris tertelan gesekan batang
bambu yang diembus angin.
Diam total merupakan bagian seni kungfu yang paling
sulit dikuasai. Para Pesilat Kuo yang sudah terlatih
kemudian menjadi bagian dari hutan bambu itu, sementara
malam semakin larut dan orang-orang Mongol semakin
mengantuk. Ketika bara api unggun terakhir padam dan
para serdadu yang mengelilinginya mulai mengangguk-anggukkan kepala, tiba-tiba Shu berteriak,
"Serbu!" Orang-orang Mongol itu tersentak. Dalam keadaan panik
mereka mencari-cari senjata. Mereka melihat orang-orang
Cina keluar dari hutan bambu. Kebanyakan dengan tangan
kosong, tapi beberapa mengacungkan tombak-tombak atau
golok buatan sendiri. Orang-orang Mongol segera meraih
pisau dan pedang, busur beserta anak panah mereka.
Pertempuran segera dimulai.
Orang-orang Mongol adalah serdadu-serdadu tangguh
jika harus beradu senjata di tempat terbuka, namun hutan
bambu serta tenda-tenda membatasi gerak mereka. Para
pesilat Cina berkelit di antara rumpun bambu, merunduk di
belakang tenda-tenda, melompat di hadapan orang-orang
Mongol, lalu tiba-tiba menghilang dalam kegelapan.
Meskipun pada umumnya fisik orang-orang Mongol lebih
kuat, orang-orang Cina jauh lebih lincah.
Di tengah-tengah pertarungan itu, seorang Cina
berjenggot panjang tampak amat menonjol. Ia memiliki
kekuatan orang Mongol serta kelenturan tubuh orang Cina.
Ia lebih sering berkelahi dengan tangan kosong, dan
orang-orang Mongol menggigil begitu melihatnya mematahkan leher para serdadu mereka, seperti tukang
kayu mematahkan sebatang ranting. Ketika orang-orang
Mongol itu membidikkan busur ke arahnya, ia merenggut
entah pedang atau tombak dari orang yang berdiri paling
dekat dengannya, kemudian mengayunkan senjata itu
untuk menciptakan perisai baginya. Semua anak panah
ditangkisnya dengan cara menakjubkan. Tak satu pedang
atau pisau pun melukainya.
Tapi baglan paling mengerikan mengenai dirinya adalah
setiap kali membunuh salah seorang musuhnya, ia
menyempatkan diri menangkupkan kedua tangannya yang
besar di sekitar mulutnya, kemudian meraung bak binatang
liar, "Pedang Dahsyat! Aku baru saja membunuh salah satu
orangmu!" Pertempuran itu selesai saat malam sedang gelap-gelapnya, persis sebelum fajar menyingsing.
Beberapa orang Mongol berhasil kabur, namun yang lain
kemudian dibantai. Kampung perkemahan orang-orang
Mongol itu, yang merupakan salah satu yang terbesar di
selatan Honan, sekarang dikuasal oleh Kuo, Shu, serta anak
buah mereka. Para Pesilat Kuo dari jajaran paling rendah menyeret
tubuh-tubuh kedua belah pihak ke dalam hutan bambu.
Mereka melucuti senjata, perisai, dan sepatu bot mereka,
lalu mengenakan apa saja yang masih dapat dipakai. Tak
jauh dari hutan bambu itu, di daerah perbukitan yang
berlatar belakang bulan musim semi, beberapa serigala
lapar sedang menanti. Para Pesilat Kuo dari jajaran yang lebih tinggi
memeriksa kuda-kuda dan kuda poni yang ditinggalkan
oleh orang-orang Mongol, lalu membagi-bagi yang terbaik
di antara mereka. Para perwira memasuki tenda-tenda yang bekas
ditinggali orang-orang Mongol. Di bawah cahaya
lampionnya, mereka menemukan pakaian-pakaian bagus,
mata uang emas, berbagai benda berharga lainnya, serta
beberapa gadis desa yang menggigil ketakutan dan
mencoba menutupi ketelanjangan mereka dengan selimut-selimut bulu binatang. Sejenak jiwa patriot serta
rasa dendam untuk membalas kematian orang-orang yang
mereka cintai terlupakan. Para perwira itu tidak hanya
saling membagi apa saja yang mereka anggap berharga,
tapi juga gadis-gadis muda itu.
"Bagaimana kalau kita sisihkan yang satu itu untuk wakil
komandan kita?" usul salah seorang di antara mereka,
sambil menunjuk seorang gadis muda berwajah manis. "Dia
yang tercantik. Mungkin dia dapat membuat wajah kusut
Komandan Shu tersenyum."
Yang lain tertawa. "Mana ada yang bisa membuat
Komandan Shu tersenyum selain Istrinya" Selain itu,
Komandan Shu tak bisa melihat kecantikan wajah-wajah
tercantik sekalipun, kecuali wajah istrinya."
Sementara para serdadu dan perwira menikmati
kemenangan mereka, Shu melangkah ke arah tenda
terbesar Setelah menyibakkan permadaninya yang berat, ia
berdiri di ambang pintu sambil melihat ke sekeliling
ruangan yang cukup terang itu.
Di balik tenda yang tampak kasar dari luar terdapat tata
ruang yang berkesan nyaman dan mewah. Dinding-dindingnya yang terbuat dari kulit binatang'
ditutupi kain-kain penuh bordiran. Berlapis-lapis bulu
binatang digelar di lantainya yang bertikar jerami.
Karpet-karpet berwarna cerah membagi tata ruang tenda
itu menjadi tempat makan dan duduk-duduk. Tempat
tidurnya berupa dipan lebar berkaki rendah, diperlembut
oleh kulit harimau dan macan tutul salju serta setumpuk
bantal dari bulu binatang. Sebuah tungku besi berdiri di
tengah ruangan, dengan cerobong asap membubung
menembus atap tenda. Di atasnya terdapat panci besi
dengan suatu cairan putih bergolak di dalamnya. Shu
mendekati panci itu, kemudian mencelupkan jarinya.
Rasanya seperti susu kambing.
"Mulai saat ini, Peony-ku akan memiliki tenda sebagus
ini," ujarnya, sambil mengingatkan diri bahwa Ia harus
memberikan instruksi kepada para serdadunya untuk
mengangkut semua barang berikut tendanya ke markas
Para Pesilat Kuo. Dalam keadaan penat ia menjatuhkan diri ke tempat
tidurnya, lalu memjamkan mata sambil berbisik, "Peony,
aku sudah tak sabar lagi untuk segera bercinta denganmu
di atas kulit harimau dan bulu macan tutul salju ini."
29 BULAN musim semi itu sudah memucat, meninggalkan
bintang timur sendirian di langit subuh. Para Pesilat Kuo
termasuk Komandan Shu masih tidur lelap. Di samping
tenda yang ditempati Shh berdiri sebatang pohon yangliu,
dahan-dahan tuanya menutupi rumah seekor burung
hantu. Burung yang bijaksana itu mengeluarkan suara,
kemudian tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar.
Sekitar lebih dari seratus orang Cina berpakaian hitam
muncul dari balik butan bambu. Mereka menyebar
membentuk lingicaran, kemudian menyelinap di antara
semak-semak. Mereka bergerak amat cepat, tapi tanpa
suara. Mereka menerobos hutan, kemudian dalam waktu
singkat sudah mengepung seluruh tanah perkemahan itu. Si
burung hantu melirik ke arah simbol bordiran putih pada
seragam hitam mereka, mengepakkan sayap, kemudian
terbang ke arah bulan. Sulaman itu membentuk gambar tengkorak. Di matanya
terdapat dua aksara. Yang kiri berbunyi Wan, yang kanan
Tin-check, yang artinya "yang dipertuan". Tin-check Wan
sederajat dengan Kuo dalam kedudukan. Ia menyebut
dirinya Raja Honan. Para pengikutnya terkenal amat kejam.
Bahkan burung hantu itu pun takut pada hawa jahat
mereka. Tin-check Wan adalah laki-laki bertubuh kecil dengan
ide-ide besar. Wajahnya yang putih amat tampak jelas di
antara semak-semak gelap, seperti juga sulaman tengkorak
putih di punggung bajunya. Matanya sipit, namun tampak
berkilauan oleh sinar dingin dan menusuk. Bibirnya
tertutup kumis yang bergelayut bak sayap-sayap lebar bu-
rung yang sudah mati. Wan mempelajari situasi
perkemahan itu dengan cermat. Tawa dingin terlepas dari
tenggorokannya begitu ia melihat para penjaga perkemahan itu tidur. Mulut di bawah sayap-sayap burung
mati ltu membuka saat ia memberi perintah, "Serbu!"
Para Pesilat Kuo diserang persis seperti cara mereka
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang orang-orang Mongol beberapa waktu sebelumnya. Shu dan orang-orangnya tersentak dari tidur,
kemudian terbengong-bengong begitu menyadari diserang
oleh orang-orang Cina, dan nyaris tak dapat mempercayai
apa yang sedang terjadi. Mereka pernah mendengar bahwa kelompok-kelompok
pergerakan Cina sering berkelahi di antara mereka sendiri,
namun baru sekaranglah mereka berhadapan dengan
musuh yang juga rekan sebangsa mereka sendiri. Mereka
memandangi gambar tengkorak putih di punggung Para
Pesilat Wan, kemudian mengejap-ngejapkan mata untuk
memastikan mereka tidak bermimpi.
Begitu Shu dan para anak buahnya melihat darah
teman-teman seperjuangan mereka mulai tumpah, barulah
mereka menyadari kenyataan. Mereka meraih senjata,
dalam keadaan capek, mebgantuk, dan terkejut.
Secara teknis orang-orang Wan tidak lebih baik dari Para
Pesilat Kuo; peralatan mereka pun tidak lebih baik. Namun
Raja Wan dan anak buahnya sudah cukup lama
membuntuti Para Pesilat Kuo. Mereka berhenti di sisi lain
hutan bambu untuk beristirahat dan memakan bekal yang
mereka bawa, sementara Shu dan ahak buahnya terlibat da-
lam pertempuran sengit melawan orang-orang Mongol.
Ketika itu Raja Wan mengatakan kepada ser-
dadu-serdadunya, "Kalau Para Pesilat Kuo berhasil
membunuh semua orang Mongol, itu baik. Tapi kalau
orang-orang Mongol itu sampai membunuh Shu dan kedua
ratus anak buahnya, itu juga tidak jelek. Jumlah anggota si
pemenang akan berkurang sampai separo, sehingga bagi
kita segalanya akan lebih mudah. Seperti biasa, si
pemenang akan berpesta-pora. Kita tinggal menunggu
sampai mereka betul-betul mabuk dan tertidur. Lalu kita,
bunuh mereka seperti menginjak-injak belalang."
Sementara orang-orang Wan terus membunuhi Para
Pesilat Kuo di bawah fajar menyingsing, mereka melihat
rasa sakit serta kemarahan yang tersirat di wajah
korban-korban mereka. Para serdadu itu sudah diindoktrinasi oleh pemimpin-pemimpin mereka, sehingga
mereka percaya bahwa begitu Raja Wan menjadi Kaisar
Cina, mereka akan memperoleh kedudukan tinggi di istana.
Tapi begitu melihat pandangan menuduh di mata orang-
orang yang sebangsa dengan mereka itu, beberapa di
antara mereka mulai bimbang.
"Lari, tolol!" seru salah satu anak buah Wan kepada
seorang Pesilat Kuo saat Raja Wan berada cukup jauh.
Meskipun Para Pesilat Kuo memperoleh kesempatan
kabur, rasa setia kepada Shu membuat mereka tetap
bertahan di sana. Sementara itu Shu sudah dikepung oleh
Raja Wan beserta dua puluh anak buah terbaik dan jago
kungfunya. Dalam keadaan luka dan berdarah-darah, Shu
menyadari bahwa sekitar separo anak buahnya sudah
dibantai. Ia tahu bahwa yang lain takkan meninggalkan
tempat itu tanpa perintahnya. Sambil. mengawasi
musuh-musuhnya, ia berteriak bak binatang yang tersudut,
"Lari! Dan jangan berhenti sebelum kalian sampai di
markas Komandan Kuo!"
Matahari sore bersinar di atas Shu yang terikat telanjang
pada sebatang tonggak. Seluruh tubuhnya penuh luka. Dua
yang terbesar, di paha kanannya, didapatnya sewaktu
bertarung. Luka-luka kecil yang tak terhitung jumlahnya
adalah akibat ia diseret di belakang kuda, sepanjang
perjalanan yang ditempuhnya menuju markas Wan.
"Ada sebuah meja di tendaku, yang disiapkan untuk dua
orang." Raja Wan tersenyum pada Shu, sambil menunjuk ke
arah tenda terbesar. "Kau hanya perlu mengangguk, lalu
kau akan duduk di sana bersamaku, untuk menlkmati
hidangan pesta." Shu menatap Wan dengan mata berapi-api. "Untuk
menjadi komandan pasukanmu, untuk membantumu
membunuh. semua pemimpin pergerakan, mulai dari Kuo"
Tin-check Wan, kau gila!" Ia meludahi wajah Raja Wan, lalu
mengawasi air liurnya mengalir di kumis Wan yang
menggelantung ke bawah. Raja Wan menghapus ludah itu dengan tangannya,
kemudian tertawa pelan. "Baik. Kalau begitu, akan kuberi
kau satu kesempatan lagi. Katakan di mana istri Kuo saat
ini. Kami sudah ke rumah mereka di Gunung Makmur, tapi
tak ada seorang pun di sana, kecuali beberapa pelayan.
Pengurus rumah tangganya yang tua sudah kami siksa, tapi
akhirnya dia mati tanpa memberitahu kami di mana
nyonyanya. Kami membutuhkan Joy Kuo Katanya dia buta
dan amat berarti bagi suaminya. Aku ingin menawannya
untuk memaksa suaminya menyerah."
Shu teringat pada Meadow. Ia tidak dendam lagi
padanya karena pernah bermaksud memaku dirinya
bersama Peony di sebuah pintu. Jadi, si tua yang tangguh
itu tak ikut bersama Joy Kuo ke Kuil Bangau Putih. Shu
memejamkan mata sambil menggigit bibir. Ia tak ingin
melihat wajah Tincheck Wan ataupun berbicara kepadanya.
Wan menghela napas. "Kau keras kepala sekali.
Kesetiaan tak ada artinya. Rasa sakit itu nyata, dan
kematian adalah fakta yang tak dapat diubah lagi." Ia
mengayunkan tangannya. Seorang laki-laki bertubuh besar
muncul dengan cambuk kulit yang panjang di tangannya.
Wan memberikan perintah, "Cambuki sampai dia sadar
dan keras kepalanya hilang! Setiap kali dia jatuh pingsan,
beritahu aku. Lelaki sebesar dia bakal pingsan sedikitnya
lima atau enam kali sebelum mati!"
Begitu Wan memutar tubuhnya, laki-laki bertubuh besar
itu mengayunkan cambuknya.
Setelah cambuk itu mendarat di punggung Shu, laki-laki
yang sudah berpengalaman itu menunggu sampai sakitnya
menusuk. Pada awalnya Shu hanya merasakan suatu sengatan.
Beberapa saat kemudian sakitnya baru mulal terasa. Persis
aliran api yang merambatt tubuhnya, kemudian melalapnya
dalam kobaran panas. Ia berusaha keras keluar dari kobaran itu, namun
laki-laki itu mengangkat cambuknya berkali-kali, dan
akhirnya ia betul-betul tenggelam di dalamnya.
Shu mendengar teriakannya sendiri. Ia ingin berhenti
berteriak, tapi tak bisa. Kemudian ia mendengar suaranya
melemah. Ia terhanyut dalam arus yang akan menenggelamkannya itu, lalu jatuh pingsan.
Ketika membuka mata, ia melihat Wan berdiri di
hadapannya, memberikan perintah kepada si raksasa untuk
mengguyur tubuhnya. Melihat Shu sudah kembali siuman, Wan tersenyum.
"Kuharap pikiranmu sudah berubah sekarang. Provinsi
Honan adalah daerahku. Aku tak berminat untuk
membaginya dengan siapa pun. Dengan atau tanpa
bantuanmu, aku tetap akan membunuh Kuo serta semua
orang Cina yang berani membangkang terhadapku."
Shu yang masih kesakitan nyaris tak bertenaga lagi
untuk berbicara, "A-aku... b-belum... pernah membunuh
orang Cina. Kita, orang Cina... sehharusnya h-hanya
membunuh... orang-orang Mongol. Aku takkan pernah sudi
membantumu... entah apa pun yang kaulakukan terhadapku!" Wan memutar tubuhnya, kemudian berlalu sambil
mengayunkan tangannya agar siksaan itu dilanjutkan.
Lecutan pertama membawa ingatan Shu kembali pada
seorang pelacur muda di kota Yin-tin, yang pernah
menipunya untuk mendapatkan uang yang diperolehnya
dari hasil keringatnya. Pada lecutan kedua ia teringat
penduduk kota Phoenix yang menutup pintu mereka di
muka hidungnya. Yang ketiga membuatnya melihat si
pelacur di Gunung Makmur, yang telah memberikan
gambaran dirinya pada orang-orang Mongol. Pada
cambukan berikutnya, wajah-wajah dingin para anggota
Liga Rahasia-lah yang muncul.
Siksaan itu berjalan terus. Setiap cambukan mem-
bantunya mengubah pikirannya mengenai rekan-rekan
sebangsanya. Persis sebelum ia jatuh pingsan kembali,
kebenciannya terhadap orang-orang Cina itu hampir
mengimbangi kebenciannya terhadap orang-orang Mongol.
Berember-ember air diguyurkan ke tubuh Shu untuk
membuatnya sadar. Wan tersenyum ke arahnya. "Sudah
jera?" Shu menggeleng-gelengkan kepala. Wan berlalu dan
acara cambukan pun berlanjut. Shu berteriak-teriak
sementara tubuhnya dilalap oleh lidah-lidah api yang
menyakitkan. Ia sudah tak tahan lagi. Jasadnya masih
terikat pada batang tonggak, namun jiwanya sudah siap
kabur. Sensasi aneh melanda dirinya. Rohnya seakan
meninggalkan tubuhnya, melayang di atas jasad seorang
laki-laki yang terikat. Ia melihat laki-laki malang itu
dicambuki, namun tidak merasakan sakitnya. Ia melihat
kulit laki-laki yang tak berdaya itu sobek dan darahnya
mengalir, lalu menyadari betapa lugunya ia, mengira
kungfunya dapat membuatnya tak terkalahkan.
Dari atas, Shu menggeleng-gelengkan kepala ke arah
laki-laki sekarat itu. Dari tendanya, Raja Wan muncul
kembali menggenggam sepotong ayam, lalu dengan giginya
merenggut dagingnya dari tulangnya.
"Dia sudah mati?" tanya Wan.
Lelaki bertubuh besar itu menurunkan cambuknya,
kemudian mendekati laki-laki yang terikat itu.
Ia mencekal rambutnya, lalu menengadahkan kepalanya
yang terkulai itu untuk memeriksanya. "Ya," jawab si
raksasa. "Berapa kali dia pingsan?" tanya Wan dengan mulut
penuh. "Enam kali," sahut si raksasa.
Dalam keadaan melayang di atas tubuh lelaki yang
terikat itu, Shu mencoba memusatkan perhatiannya.
Seingatnya ia hanya jatuh pingsan dua atau tiga kali. Begitu
mudahkah rasa sakit itu terlupakan" Ia teringat senyuman
Peony setiap kali habis melahirkan. Setelah menjerit-jerit
menahan deraan yang tak terkira itu, ia bisa lupa begitu
saja, begitu segalanya berialu.
Peony! Tiba-tiba Shu sadar ia tak boleh mati. Peony!
Arwahnya menyebut nama istrinya, kemudian menukik
kembali ke dalam tubuh lelaki yang masih terikat pada
tonggak itu. Ia langsung merasakan sakit yang tak tertahan-
kan itu. Kata-kata Kuo kembali terngiang di telinganya: kaum
wanita memang lebih tangguh daripada kaum pria. Kalau
kaum pria diserabi tanggung jawab untuk melahirkan,
mereka takkan dapat menanggungnya.
"Akan kutanggung semua ini demi kau! Aku harus tetap
hidup untukmu, Peony-ku!" Bibir Shu bergerak, namun tak
ada suara keluar. Gerak bibir yang penuh darah dan nyaris
tak tampak itu luput dari perhatian si algojo maupun Wan.
Raja Wan makan siang sebelum yang lain. Sekarang tiba
waktu makan bagi seluruh. Perkemahan itu. Si algojo
segera berlalu. Ia menganggap tak perlu segera melepaskan
ikatan lelaki yang sudah mati itu.
Begitu mereka selesai makan, seorang pengintai
membunylkan tanda bahaya. Segerombolan serdadu
Mongol terlihat di sekitar hutan, sebaiknya orang-orang
Wan segera angkat kaki dari situ.
"Akan kita apakan orang mati itu?" tanya seseorang.
"Biarkan saja dia terikat di situ," 'awab Raja Wan.
"Mungkin orang-orang Mongol itu dapat memberikan
dagingnya pada anjing-anjing mereka!"
Dengan menggerakkan otot-ototnya, Shu berusaha
melepaskan pergelangan tangannya dari ikatan. Setelah
sekian lama, akhirnya ia berhasil membebaskan diri dari
tonggak itu. Ia langsung jatuh berlutut. Ia memaksa diri
berdiri, kemudian dengan langkah terhuyung-huyung
berusaha meninggalkan perkemahan itu. Ia dapat
menangkap suara orang-orang Wan yang disergap oleh
para serdadu Mongol. Teriakan-teriakan mereka membuatnya bergegas. Ia merasa dirinya seakan dilanda
oleh suatu gelombang yang terus menghanyutkannya
dalam arus rasa sakit yang nyaris tak tertahankan.
Shu merasa tak mampu berdiri lebih lama lagi. Ia
menjatuhkan diri di atas tangan dan lututnya, lalu mulai
merangkak. Setelah menempuh jarak yang seakan
bermil-mil jauhnya, ia merasa tak sanggup menahan sakit
dan kelelahannya lagi. Ia merebahkan diri di tanah sambil
terengah-engah. Kemudian dengan suatu dorongan kuat
dari dalam, dibantu oleh konsentrasinya pada Peony, ia me-
maksa diri terus maju.
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia bersembunyi di hutan, sampai siang berganti malam.
Istirahat itu memberinya lebih banyak kekuatan. Ia
menatap bintang-bintang, kemudian menentukan letak
perkemahan pasukan Kuo. Ia merangkak di bawah langit
yang diterangi sinar bulan, sementara vitalitasnya sedikit
demi sedikit menghilang dengan memudarnya cahaya
bulan. Saat langit timur berwarna keabu-abuan, ia tahu bahwa
ia tak dapat maju lagi sedikit pun. "Maafkan aku, Peony,"
bisiknya sebelum menutup mata lalu membiarkan rohnya
meninggalkan tubuhnya. Rasanya begitu nyaman terlepas dari derita itu.
Sekali lagi ia merasakan sakit yang tak tertahankan itu.
Gelombang itu menghanyutkan dirinya. Ia menggeliatkan
tubuh, sehingga sengatan menyakitkan itu semakin terasa.
"Ambil salep lebih banyak, cepat!" Itu suara Peony.
Shu membuka matanya dan ternyata dirinya berada di
dalam tendanya, berbaring di tikar jerami, sementara
tubuhnya dibebat potongan-potongan kain penuh salep.
Kuo berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan
pandangan amat prihatin. Peony berlutut, menangis di
sebelahnya. "Jangan sampai air matamu yang asin jatuh ke atas
luka-lukaku... Peony-ku!" gumam Shu, hampir tidak
terdengar. "Shu! Shu!" ratap Peony di antara derai air matanya. Ia
menggenggam tangan suaminya sambil terisak-isak.
"Mereka menemukanmu di dekat perkemahan kita. Mereka
mengangkat tubuhmu kemari, tapi kau tak bergeming sama
sekali. Aku bebat luka-lukamu, tapi kau tidak mengeluarkan
sepatah kata pun. Baru sekarang kau bisa buka mulut!
Kenapa kau tidak bilang apa-apa sebelumnya" Kau
membuatku ketakutan setengah mati.
Sambil menangis dan berbicara sekaligus, ia meletakkan
rantai emas dengan bandulan batu kemalanya di samping
bantal Shu. "Kau tidak membawa jimat keberuntunganmu
bersamamu, karena itulah ini terjadi. Sekarang ini milikmu
lagi, dan kau harus mengenakannya begitu luka-lukamu
sembuh." Peony menangis. "Tak satu senti pun kulitmu
yang tak terluka!" Kuo menghampiri Shu, kemudian berjongkok di
sampingnya. "Sobatku, aku menyesal sekali hal ini
menimpamu. Kalau saja aku bersamamu."
Ia memberitahu Shu bahwa setengah dari Para Pesilat
Kuo akhirnya sampai dengan selamat di markas mereka.
Mereka melaporkan bagaimana Shu memerintah mereka
untuk segera angkat kaki dari sana, tanpa memedulikan
keselamatannya sendiri. "Kami sedang dalam perjalanan untuk membebaskanmu
saat kami menemukanmu tergeletak di tanah." Kuo terdiam
beberapa saat, kemudian menambahkan, "Aku punya kabar
baik untukmu, dan ini pasti akan meringankan sakitmu.
Orang-orang Wan ditangkap para serdadu Mongol di luar
perkemahan mereka. Mereka semua dibantai. Kepala
Tin-check dipancang di tonggak tempatmu dlikat dan
dicambuki. Kemudian orang-orang Mongol itu meninggalkan Honan, menuju Da-du."
Sambil tersenyum ia melanjutkan, "Kau berhasil
membawa pulang seturuh Provinsi Honan sebagai hadiah
untuk istrimu." Berita baik itu tidak menerbitkan senyum di wajah Shu.
Ia menatap istrinya, kemudian sahabatnya, lalu mengumpulkan seluruh kekuatannya, cukup untuk
mengucapkan beberapa patah kata, "Aku benci orang-orang
Mongol itu, karena mereka telah membunuh si Wan.
Tadinya aku sendiri yang ingin membunuhnya. Mulai
sekarang, kita harus membasmi... tidak hanya orang-orang
Mongol, tapi... juga orang-orang Cina yang suka berkhianat.
Masih banyak orang-orang seperti si Wan. Kita harus
menghancurkan mereka... sebelum mereka menghancurkan
kita." 30 Musim semi, 1356 LU sedang berdiri di ruang kerjanya, menghadap ke
jendela terbuka. Ia mengenakan pakaian biru tua, dan pada
saat itu pikirannya pun seperti laut yang biru kelam, tak
berdasar, penuh dengan berbagai masalah yang memusingkan. Ia menatap ke arah awan-awan rendah yang melintasi
puncak gunung, namun tak dapat
melihat Kuil Bintang-bintang Damai ataupun Kuil Gaung Sunyi. "Shu,
aku tak dapat melihat arti sesungguhnya isi suratmu, sama
seperti aku tak dapat melihat kuil-kuil misterius itu dari
sini," ujar Lu, sambil menatap surat di tangannya. Ia sudah
membacanya berulang-ulang, namun masih belum mengertii isinya. Ia meninggalkan ruang kerjanya, ke-
mudian melangkah menuju halaman dalam.
Ia senang melihat Lotus sendirian. Dalam jubah
kuningnya, Lotus tampak secantik bunga krisan yang
sedang mekar-mekarnya. Istrinya mengangkat matanya
dari buku puisi yang sedang dibacanya, kemudian
tersenyum ke arahnya. "Di mana anak-anak?" tanya Lu sambil melangkah
mendekat. , "Mereka ikut bersama kedua nenek mereka ke Pelataran
Bunga Hujan," jawab Lotus, tersenyum. "Mereka baru akan
pulang besok sore." Ah Chin mulai sakit-sakitan sejak tahun lalu, sehingga
Jasmine terpaksa meninggalkan rumah keluarga Lu, untuk
bergabung dengan suami dan anak-anaknya di rumah
peternakan mereka, di dekat Pelataran Bunga Hujan.
Anak-anak keluarga Lu amat rindu pada Jasmine, sehingga
mereka sering merengek pada kedua nenek mereka untuk
mengantarkan mereka ke rumah peternakan itu.
Untungnya, baik Lady Lu maupun Lady Lin suka
berialan-jalan ke pedesaan.
Lu menghela napas. "Aku juga sama sekali tidak
keberatan pergi ke sana."
Lotus menatap mata suaminya. "Apa yang sedang
mengganggu pikiranmu?"
Alangkah beruntungnya memiliki istri yang dapat
membaca apa yang tersirat dalam pikirannya. Lu
menyerahkan surat di tangannya kepada Lotus. "Bacalah,
kau pun akan bingung nanti."
Lotus tertawa pada awalnya. "Rupanya tulisan Shu
masih tetap besar seperti tubuhnya sendiri."
Namun tawanya terhenti setelah Ia mulai membaca
isinya. Dahinya yang mulus mengerut begitu ia selesai.
"Pasti ada kekeliruan," ujarnya. Surat itu melesat di antara
jari-jarinya yang bergetar, lalu jatuh ke lantai.
Lu memungutnya, lalu membaca isinya sekali lagi
dengan suara keras, "Kami, Para Pesilat Kuo, tidak hanya
akan memerangi orang-orang Mongol, tapi juga orang-orang Cina. Kami bertekad untuk menghan-curkan
Kekaisaran Mongol, dan pada saat bersamaan membasmi
semua kelompok pergerakan Cina yang menghalangi
perjuangan kami!" Lotus melihat kertas surat itu bergetar dalam tangan
suaminya yang gemetar. Ia meletakkan tangannya sendiri
di atas tangan suaminya. "Aku bisa membayangkan rupa
teman kita yang tinggi besar itu. Dia orang yang amat terus
terang dan selalu berkata apa adanya, dia juga amat berani
dan berjiwa ksatria. Dia takkan menyerang rekan-rekan
sebangsanya sendiri," ujarnya mantap.
"Tapi ini kan tulisan tangannya sendiri!" ujar Lu.
Lotus terdiam, kemudian menjawab dengan hati-hati,
"Shu memang suka berangasan. Bisa saja dia sedang kesal
pada salah seorang Cina pada saat menulis surat ini.
Mungkin dia hanya membesar-besarkan masalahnya."
"Surat-surat Shu selalu begitu pendek," gumam Lu,
sambil memandangi goresan-goresan yang besar-besar itu.
"Seandainya aku bisa mengirim orang untuk menemuinya
dan memintanya menjelaskan maksud sesungguhnya. Aku
juga harus menjelaskan padanya bahwa Liga Rahasia men-
danai para pemimpin pergerakan daerah Selatan agar
mereka dapat membuat Naga Kobar secukupnya. Kalau itu
sampai ke telinganya sebelum aku sempat menjelaskan
duduk perkaranya sendiri kepadanya, dia akan mengamuk." Kembali Lotus membaca apa yang mengganggu pikiran
suaminya. "Tapi kau tak dapat menghubungi Shu. Ah Chin
terlalu lemah untuk menempuh perjalanan itu, dan kau
tidak mempunyai seorang pun yang dapat diandalkan. Kota
Yin-tin masih di bawah kekuasaan orang-orang Mongol.
Kau beruntung dapat menerima surat ini dari Shu tanpa
harus menghadapi masalah dengan Gubernur. Dia sudah
memberikan instruksi bahwa kantong setiap pembawa
benta harus digeledah."
Lu berdiri, kemudian melangkah ke jendela. Ia masih
belum dapat melihat kedua kuil dari balik awan-awan tebal
itu. "Seandainya aku dapat memanjatkan doa ke hadirat
sang Buddha. Aku ingin sobatku masih tetap seperti dulu.
Aku berharap Shu akan memenangkan semua pertempuran
melawan orang-orang Mongol dan tidak cedera, dan
mudah-mudahan dia tidak sampai melukai seorang pun
dari kalangannya sendiri."
Lotus menepukkan tangannya. Dua pelayan muncul.
"Siapkan tandu-tandu," perintahnya. "Kami mau berziarah
ke kuil." Pasangan itu membakar dupa, kemudian memanjatkan
doa, pertama-tama di Kuil Bintang-bintang Damai,
kemudian di Kuil Gaung Sunyi. Para biksu dan biksuni
kedua kuil itu sedang giat berlatih kungfu, siap bergabung
untuk mengusir orang-orang Mongol keluar dari kota
Yin-tin. Saat iring-iringan itu dalam perjalanan pulang, mereka
lewat di muka rumah kediaman Gubernur Mongol. Akan
dianggap menyalahi tata krama jika seorang wali kota
lewat di muka rumah gubernurnya tanpa mampir. Lu dan
Lotus langsung diterima dengan baik. Saat mereka duduk di
bangsal utama dan berbincang-bincang dengan Gubernur
dan istrinya yang juga orang Mongol, keduanya tertegun
menyadari keresahan yang terbayang begitu jelas di mata
pasangan Mongol itu. "Rupanya mereka sadar bahwa hari-hari mereka
bercokol di sini sudah dapat dihitung dengan jari!" bisik Lu
kepada Lotus sewaktu mereka meninggalkan rumah itu.
BAGIAN V 31 PADA awal musim panas tahun 1360, seorang gadis
muda meninggal karena sakit di sebuah desa kecil di tepi
Sungai Kuning. Ia salah satu di antara sekian banyak anak
perempuan dalam sebuah keluarga miskin. Ayahnya, yang
selama ini harus memikul beban kehidupan yang begitu
berat, sama sekali tidak menyesali kematiannya. Ia
dimakamkan di sebuah lubang dangkal. Anjing-anjing lapar
segera berdatangan untuk membuka lubang itu kembali
dan memakan sebagian besar jenazahnya. Yang masih
tersisa kemudian dibiarkan begitu saja di bawah terik
matahari. Belatung putih dan lalatlalat hitam segera
mengerumuni jasad itu. Lalat-lalat itu terbang masuk ke
rumah-rumah penduduk, kemudian hinggap di mangkuk-mangkuk nasi, dan pada waktu bersamaan
menebarkan bibit-bibit kematian.
Wabah itu menyebar dengan cepat, baik di kalangan
orang-orang Cina maupun Mongol. Di Dadu, penduduk
setempatlah yang dijadikan kambing hitamnya, sehingga
tak seorang Cina pun diperkenankan masuk dari luar kota.
Para pedagang dan pemilik toko Cina yang biasa bergerak
di antara lingkaran pertama dan kedua tembok kota
dikarantina. Di balik tembok kedua, para perwira serta
serdadu-serdadu Mongol tinggal, kesehatan para budak
Cina diperiksa secara teratur. Begitu tampak gejala-gejala
pertama penyakit itu, si budak langsung dibunuh dan
tubuhnya dibakar. Akibat tindakan-tindakan ini, wabah itu tidak menjalar
masuk ke tembok-tembok yang mengelilingi istana. Sang
Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penasihat Khan akan merayakan ulang tahunnya yang
ke-51 pada pertengahan musim panas itu, dan suasananya
sudah sangat terasa. Pesta perjamuan akan segera di-
selenggarakan di ruang bangsal utama. Para pangeran dan
putri sedang sibuk mencarikan hadiah terhebat untuk
Shadow Tamu. "Untuk apa memberinya sesuatu" Selama tujuh tahun
terakhir ini, selain memaksamu naik takhta, dia tidak
memberikan apa-apa padamu selain instruksi dan
penghinaan," ujar Ratu Bunga Matahari, matanya yang
cantik berapi-api. Khan Timur Tohan yang Agung menghela napas. "Kita
tak punya pilihan lain. Kita tak perlu memberikan sesuatu
yang istimewa padanya. Berikan saja sesuatu yang tidak
begitu kita sukai." Pasangan kerajaan itu mengelilingi kamar mereka.
Timur Tohan tampak tampan dalam jubah keemasannya,
dan Bunga Matahari anggun dalam pakaian hijau mudanya.
Mereka tidak mengenakan terlalu banyak perhiasan.
Mereka lebih suka menikmati hal-hal indah dengan mata
daripada memakainya. "Yang pasti, aku tak mau memberinya ini. Ini
kebanggaanku," ujar Timur Tohan, sambil menunjuk ke
sebuah meja marmer. Di atasnya menggelayut sebuah
lampion dari mulut sebuah naga kayu yang sedang berdiri.
Lamplon itu terdiri atas delapan panel, masing-masing
terbuat dari lembaran gelas. Bunga-bunga keempat musim
terlukis di atasnya, berikut adegan-adegan yang urutannya
sesuai dengan pergantian musim. Setelah khan yang masih
muda itu menyalakan lilin di dalamnya, setiap panel
tampak tembus pandang, sehingga bunga-bunga serta
adegan-adegan yang terlukis di atasnya tampak melayang
di udara. Ratu Bunga Matahari menyandarkan kepala pada bahu
suaminya saat mereka mengawasi lampion yang menyala
itu. "Sayang sekali pembuatan gelas tak bisa disebarluaskan." "Negeri ini sedang perang. Orang-orang Cina sibuk
membuat senjata untuk menghadapi kita, dan plhak kita
sedang berusaha keras membasmi para pemberontak itu.
Di saat-saat seperti ini gelas tak berguna, dan tak seorang
pun bakal tertarik pada formulaku," ujar Khan sedih, sambil
meneruskan langkahnya, meninggalkan lampion kaca yang
sedang berkedip-kedip itu di belakang mereka.
Mereka berhenti pada sebuah sipoa yang terbuat dari
butiran-butiran batu kemala dan rangka-rangka emas.
"Yang ini takkan kuberikan. Aku menyukainya," ujar Bunga
Matahari. Ia memungut benda itu, lalu mempermainkan
manik-maniknya. "Ahli matematika istana mengatakan aku
murid terpandai mereka," ujarnya bangga.
Setelah meletakkan kembali sipoa itu, mereka menatap
patung manusia dari perunggu berukuran sesungguhnya,
dalamnya kopong sementara permukaannya penuh
lubang-lubang kecil. "Dan aku juga tak bisa berpisah
dengan pasienku," ujar Khan Muda. Ia mengambil sebatang
jarum panjang dari kotak di dekatnya, lalu menusukkannya
ke sebuah lubang. "Dengan latihan, aku akan menjadi ahli
akupunktur andal suatu hari nanti."
Mereka meninggalkan si manusia perunggu, kemudian
berhenti di muka meja terbesar di ruangan luas itu. Di
atasnya terdapat sebuah perahu naga yang cukup besar
untuk mengangkut Khan bersama permaisurinya.
"Kauingat musim semi yang lalu?" tanya Timur Tohan
sambil merangkul pinggang Bunga Matahari. "Kita berlayar
di Kanal Hui-tung. Mereka memakai tenaga gadis-gadis
Cina yang cantik sebagai kuli, yang mereka dandani dengan
pakaian yang serasi dengan tambang-tambang sutra
penarik perahu yang mirip naga itu. Si naga bisa membuka
mulut dan matanya selagi dihela dari tepi kanal."
"Orang-orang Cina tampaknya kurang suka melihat kita
menyusuri kanal itu dengan perahu naga." Permaisuri yang
masih muda itu menggeleng-gelengkan kepala, seakan
mencoba mengusir kenangan yang kurang menyenangkan
itu dari pikirannya. Mereka sampai di depan sebuah pelataran yang luas, di
tengah-tengahnya terdapat patung gadis cantik dari batu
koral merah muda. Gadis itu mengenakan pakaian Mongol.
Ia menyandang busur perak di bahu kirinya, sementara di
tangan kanannya ada anak panah emas dengan ujungnya
lurus ke bawah. Anak panah itu mengarah ke sebuah wadah
air perunggu yang terletak di dekat kakinya. Sekali dalam
sehari wadah itu diisi air, yang kemudian mengalir sedikit
demi sedikit melalui sebuah lubang kecil dan pipa panjang.
Pada anak panah emas itu terdapat 24 tanda, masing-
masing berupa batu mirah merah. Semakin rendah
permukaan air dalam wadah itu, semakin banyak tanda
merah akan kelihatan. Khan menghitung jumlah tanda merah di permukaan air
itu, lalu berkata, "Menurut penghitungan waktu ini,
sekarang sudah jam kedelapan belas dari hari ini dan
waktu pesta itu dimulai. Sebaiknya kita cepat-cepat
menghadiri pesta ulang tahun Shadow Tamu."
Ratu Bunga Matahari tampak enggan meninggalkan
ruangan itu. "Benda ini amat berharga di mataku, karena
kaulah yang menciptakannya. Kau betul-betul jenius, dan
kau masih akan menciptakan banyak hal yang lebih bagus
lagi." Timur Tohan menarik permaisurinya dari hadapan
patung. "Kita sudah terlambat sekarang, tapi masih belum
punya apa-apa untuk diberikan kepada Shadow Tamu
sebagai hadiah." Ia berhenti di muka lampion kacanya.
Lilinnya masih menyala dan panci-pancinya masih tampak
tembus pandang. Mengingat Bunga Matahari tidak
menganggap benda ini favoritnya, ia tidak keberatan
berpisah dengannya, demi menyenangkan hati penasihat
yang ditakutinya itu. Shadow Tamu, yang berwajah kurus dan sudah amat
keriput, mengenakan pakaian ungu dari bahan sutra musim
panas yang paling ringan. Di lehernya melingkar beberapa
rantai emas yang diganduli bandul-bandul dari batu-batuan
berharga. Ia menatap ke arah kursi-kursi kosong Khan Ti-
mur Tohan yang Agung dan Ratu Bunga Matahari,
kemudian mengerutkan alis. Betul-betul kurang ajar
mereka, datang lebih lambat darinya. Matanya melirik ke
arah kursi-kursi kosong lainnya. Rasanya ia tak dapat
mempercayai penglihatannya. "Berani-beraninya begitu
banyak dari mereka terlambat hadir?" ujarnya pada Pedang
Dahsyat yang duduk di sebelahnya.
Pedang Dahsyat berusia 41 tahun, dan sama seperti
kakaknya, masih menanti untuk menikahi wanita pertama
yang bisa mempersembahkan seorang putra baginya. Tapi
mengingat tak seorang pun wanita yang melayaninya
berhasil membuahkan anak baginya, ia tetap mempertahankan status lajangnya. Jubah musim panasnya
yang merah tampak amat ketat di tubuh masifnya yang
terdiri atas otot dan juga lemak. Rambut di pelipisnya
sudah keperakan dan beberapa garis sudah terlihat di
dahinya. Namun bobot ekstra, rambut keperakan, dan
garis-garis usia itu justru menambah tampan penampilannya, seperti waktu memperkuat rasa arak. Ia
tertawa mendengar komentar kakaknya, lalu menjawab,
"Aku yakin tak ada yang berani muncul terlambat begitu
saja, bahkan Timur Tohan dan istrinya. Pasti mereka
sedang bermain-main dengan barang-barang koleksi
mereka yang konyol itu. Mengenai tempat-tempat kosong
lainnya..." Pedang Dahsyat mengawasi sekitarnya untuk
memastikan tak ada yang mengikuti pembicaraan mereka.
"Aku khawatir itu takkan pernah terisi kembali."
"Masa mereka berani mengabaikan undanganku?" ujar
Shadow Tamu sambil menatap adiknya.
"Tak seorang pun berani menghinamu seandainya
mereka masih hidup, tapi apa boleh buat kalau mereka
sudah mati." "Mati?" Wajah kepucatan Shadow Tamu berubah
semakin pucat. "Maksudmu wabah itu sudah merambah
masuk ke Da-du?" "Bukan." Pedang Dahsyat melihat sekelilingnya sekali
lagi, kemudian merendahkan suaranya, "Kebanyakan
tempat-tempat kosong itu adalah kursi yang diperuntukkan
bagi para pejabat tinggi dalam kekuatan militer kita. Empat
tahun terakhir ini, banyak perwira dan serdadu kita
terbunuh. Kakakku tercinta, tidak tahukah kau bahwa kita
sudah kehilangan sebagian besar Negeri Cina ini gara-gara
ulah Para Pesilat Kuo?"
"Aku tahu." Shadow Tamu mengangguk-angguk penuh
percaya diri. "Tapi aku tidak khawatir. Daerah mana pun
yang berhasil mereka duduki saat ini, akan segera kaurebut
kembali." Panglima jenderal itu menjawab agak was-was, "Semula
aku juga yakin akan begitu."
"Sekarang tidak lagi?" tanya si penasihat tajam.
Si panglima jenderal menjawab hati-hati, "Itu agak sulit
dijelaskan. Aku yakin Para Pesilat Kuo itu akan berhasil
ditundukkan, tapi belum tentu oleh aku." Ia melirik ke arah
kakaknya yang tampak masih belum menangkap
maksudnya. Ia menghela napas, lalu berkata lagi, "Aku
sudah beberapa kali berhadapan dengan mereka. Pada
awal setiap pertempuran, aku selalu yakin dapat
membasmi mereka, tapi akhirnya aku selalu kehilangan
lebih banyak orang dan terpaksa mundur lebih jauh ke arah
Da-du. " Shadow Tamu tak pernah bisa menolerir para
pecundang, bahkan adik kandungnya sendiri. Ia menatap
Pedang Dahsyat dengan tajam, alisnya nyaris bertaut.
"Mungkin kau lupa pepatah lama yang mengatakan, 'Kalau
ingin membunuh ular, incar lehernya, dan kalau ingin
menghancurkan sebuah pasukan, incar dulu pemimpinnya."' "Tentu saja aku masih ingat itu!" ujar si panglima
jenderal sambil membalas tatapan kakaknya dengan sengit.
"Para Pesilat Kuo punya dua pemimpin. Sama sekali tidak
mudah mengalahkan Kuo, apalagi menaklukkan Shu!"
Setelah mencondongkan tubuh ke dekat Shadow Tamu,
Pedang Dahsyat mulai membisikkan peng- alaman-pengalamannya menghadapi Shu.
Yang dianggapnya paling mengecilkan hati adalah
pertumbuhan anak petani itu. Ia telah menyaksikan sendiri
bagaimana Shu menjadi dewasa, dari bocah tanggung
menjadi laki-laki, dan dari tukang bikin ribut di jalanan
menjadi pesilat tangguh. "Kami sama-sama membenci, sehingga bisa dikatakan
aku haus akan darahnya, dan aku yakin demikian juga
sebaliknya..." Pedang Dahsyat memutus kalimatnya begitu
Timur Tohan dan Bunga Matahari tiba-tiba muncul.
Napas Khan yang Agung terengah-engah, demikian pula
istrinya. "Menyesal sekali kami terlambat. Kami sedang
mencari sesuatu yang cocok untuk hadiah ulang tahun
Anda," ujar Khan sambil melintasi ruang yang luas itu.
Begitu sampai di muka penasihatnya, ia, meletakkan
lampion kaca itu di mejanya. "Ini salah satu hasil
penemuanku yang paling kuhargai. Bagiku benda ini tak
ternilal. Mudah-mudahan Anda pun menyukainya. Bertahun-tahun yang akan datang, lampion ini masih terus
dinyalakan, sinarnya yang lembut akan menerangi umat
manusia masa mendatang..."
Sementara Khan masih berbicara, penasihatnya menggeliat sambil merentangkan lengan, sehingga lampion
itu jatuh dari meja. Lilinnya langsung mati, ukiran naga
yang indah itu patah-patah di beberapa tempat, dan
panel-panel kacanya hancur berkeping-keping.
"Ah, ceroboh sekali aku ini," ujar Shadow Tamu,
pura-pura menyesal. "Sekarang lampion malang itu takkan
pernah sempat menerangi umat manusia di masa
mendatang, terpaksa aku tak punya hadiah darimu."
"Oh!" seru Khan yang masih muda itu sambil maju
selangkah. "Anda menyenggolnya dengan sengaja!"
Tujuh Satria Perkasa 1 Pendekar Baja Wu Lin Wai Shi Karya Gu Long Bendera Darah 1