Pencarian

Kelas Dua Di Malory 2

Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton Bagian 2


minggu! Munafik!" "Oh, mungkin ada yang dipikirkannya, mungkin ia tak merasa bahagia di sini,
mungkin ia belum bisa menyesuaikan diri dengan keadaan di sini," ini pasti
ucapan Jean, dan Sally tersenyum setuju padanya. Jean memang melakukan suatu
tugas yang tak mungkin berhasil, tetapi agaknya ia tak kenal putus asa!
Saat itu cuaca memburuk, pertandingan lacrosse terpaksa dibatalkan. Demikian.
juga acara jalan-jalan lintas alam, sebab daerah di sekitar sekolah itu telah
penuh lumpur. Anak-anak jadi gelisah, begitu lama mereka terkurung di dalam
gedung saja. Begitu gelisah anak-anak itu, sehingga akhirnya guru-guru
memutuskan untuk melakukan juga jalan-jalan lintas alam tersebut, tak peduli
cuaca baik atau buruk, keesokan harinya.
Semua mengeluh. Hujan turun dengan sangat deras. Langit hitam berawan tebal.
Lapangan untuk bermain lacrosse separuh terendam di bawah air. Entah bagaimana
jalan-jalan setapak yang harus mereka lalui. Lautan mengamuk, angin bertiup
begitu kencang di atas tebing, sehingga anak-anak dilarang mendekati tebing itu,
takut kalau-kalau terlempar ke laut.
Gwendoline dan Daphne paling keras mengeluh. Gwendoline menyedot-nyedot hidung
terus, seolah-olah pilek berat, ia berharap Nona Parker akan mengiranya sakit
pilek dan membebaskan dirinya dari acara jalan-jalan itu. Tetapi Nona Parker
telah diberi peringatan oleh Potty tentang ulah Gwendoline. Maka ia sama sekali
tak tertarik pada anak itu.
"Kalau sekali lagi kau menyedot hidung, maka kau harus keluar dan menyedot
hidung sepuasmu di gang," kata Nona Parker. "Aku paling tak tahan mendengar
orang menyedot hidung. Menjijikkan, tak ada gunanya, dan pada dirimu, mungkin
itu hanya pura-pura saja."
Gwendoline merah mukanya. Mengapa di sini tak ada guru-guru seperti Nona Winters
di rumah. Nona Winters selalu langsung mencari termometer begitu Gwendoline
terdengar batuk, betapapun lemahnya. Nona Winters pasti tak akan bermimpi untuk
menyuruhnya jalan-jalan di cuaca yang begini ganas ini.
Tetapi Gwendoline tak berani menyedot hidung lagi. Gemas sekali ia ketika
melihat Darrell menyeringai padanya. Dengan rasa iba Daphne menatap Gwendoline.
Sesungguhnya ia tak peduli apa yang terjadi pada Gwendoline. Tetapi ia tahu
bahwa hal itu harus dilakukannya. Gwendoline sangat suka bila merasa ada
seseorang yang iba pada dirinya.
Daphne sendiri mencoba siasat lain untuk bisa bebas dari tugas jalan-jalan itu.
Ia sama sekali tak berminat untuk jalan-jalan sepanjang beberapa kilometer
dengan kaki terbenam di lumpur. Karena itu ia pergi ke Mam'zelle Dupont membawa
buku pekerjaannya. Ditampilkannya senyumnya yang paling manis saat sore itu ia
mengetuk pintu ruang kecil yang menjadi tempat tinggal Nona Potts dan Mam'zelle.
Mudah-mudahan Potty sedang tak ada di situ. Potty agaknya selalu merasa
terganggu bila Daphne muncul.
Untunglah Potty tak ada. Mam'zelle sendiri yang membukakan pintu. "Ah, ternyata
kau, ma petite Daphne!" serunya menyambut kedatangan murid tersayangnya dengan
senyum semanis senyum Daphne dan merangkul anak itu. "Ada sesuatu yang ingin
kaukatakan padaku" Kau tak mengerti sesuatu, ya?"
"Begini, Mam'zelle, aku sungguh sangat kebingungan mengerjakan kalimat ini,"
kata Daphne. Rasanya aku memang harus memperoleh pelajaran tambahan. Kalau Anda
punya banyak waktu terluang, mungkin Anda mau mengajariku. Aku ingin sekali bisa
berbahasa Prancis." "Tetapi bahasa Prancismu akhir-akhir ini membaik," seru Mam'zelle dengan wajah
berseri-seri, tak tahu bahwa sebagian besar tugas Daphne dikerjakan oleh Mary-
Lou. "Aku cukup bangga atas kemajuanmu."
Daphne tersenyum lagi dan hati Mam'zelle luluh seketika. Ah, si Cantik Daphne
ini! Dipeluknya anak tersebut dan ia berbisik, "Ya, ya, kau pasti bisa
memperoleh pelajaran tambahan dariku," katanya. "Kita akan membetulkan kalimat-
kalimat ini, bukan" Kau bisa mulai sekarang, Mungil?"
"Sayang sekali tidak, Mam'zelle," kata Daphne. "Tetapi aku bisa melepaskan
kesempatan indah untuk jalan-jalan besok itu. Memang sayang sekali kalau
kesempatan itu tak kugunakan, tetapi tak apalah demi bahasa Prancisku. Mungkin
Anda bisa menerima aku besok" Itulah satu-satunya waktuku yang terluang."
"Oh, baik sekali kau, Anakku. Sampai mengorbankan saat jalan-jalan yang begitu
digemari anak-anak Inggris!" seru Mam'zelle yang menganggap semua kegiatan
jalan-jalan adalah suatu kegiatan yang tolol. "Ya, baiklah! Aku bisa menerimamu
besok. Akan kukatakan pada Nona Parker. Kau sungguh murid yang sangat baik,
Daphne. Aku sungguh senang punya murid seperti kau."
"Terima kasih, Mam'zelle," kata Daphne kegirangan, dan tersenyum sangat manis
padanya sambil dengan perasaan lega meninggalkan ruangan itu.
9. DAPHNE SANGAT KECEWA Nona Parker sungguh terkejut dan tersinggung ketika mendengar bahwa Mam'zelle
minta agar Daphne tak usah ikut jalan-jalan, dan akan memperoleh pelajaran
khusus dalam bahasa Prancis.
'Tetapi mengapa Daphne tiba-tiba sangat tertarik pada bahasa Prancis?" tanyanya
gusar pada guru bahasa Prancis itu. "Ia justru memerlukan jalan-jalan, ya,
bahkan di jalan yang berlumpur! Dengan begitu mungkin keangkuhan dan gaya nona
besarnya bisa sedikit lenyap. Berilah ia pelajaran tambahan lain kali saja,
Mam'zelle!" Tetapi Mam'zelle keras kepala, ia juga tak suka pada Nona Parker yang hidungnya
terlalu besar. Dimoncongkannya mulutnya dan ia menggelengkan kepala. "Aku tak
bisa menerima Daphne di waktu yang lain," katanya. "Sungguh besar
pengorbanannya, tak ikut jalan-jalan untuk memperbaiki bahasa Prancisnya!
Bukankah itu suatu hal yang bagus?"
Nona Parker membuat suara yang menyatakan ia tak percaya pada kata-kata
Mam'zelle. Ini membuat Mam'zelle makin tak suka padanya. "Dia hanya ingin tak
ikut jalan-jalan itu, Mam'zelle," kata Nona Parker. "Sungguh buruk akibatnya
bila kita membiarkan saja dia mendapatkan apa yang dimauinya secara itu. Banyak
kali ia lolos dari hal-hal yang tak disukainya, dengan cara-cara yang aku sama
sekali tak setuju. Cara-cara yang sangat licik!"
Mam'zelle membela anak emasnya mati-matian, dan bahkan mulai melebih-lebihkan.
"Nona Parker! Anda mestinya tahu bahwa anak itu sesungguhnya sangat ingin ikut
jalan-jalan! Ah, betapa senangnya baginya untuk bisa berjalan-jalan di tanah
berlumpur musim gugur! Ah, betapa senangnya bisa menghirup udara laut yang
begitu segar setelah sekian lama terkurung! Tetapi Daphne mengorbankan semua
kesenangan itu! Mestinya ia dipuji! Bukannya malah ditegur! Ia akan bersusah
payah belajar denganku sementara kalian bergembira ria di udara bebas!"
"Yah, ia takkan mungkin begitu mudah menipu Mam'zelle Rougier seperti ia
mengelabui Anda!" Nona Parker jadi gusar juga kini. "Ia telah menguasai Anda!"
"Aku harus buat perhitungan dengan Mam'zelle Rougier," kata Mam'zelle Dupont
sangat murka. "Bukan hanya sekali, tetapi dua, tiga-empat kali! Aku tak mau ia
mengeluarkan laporan yang tidak-tidak tentang Daphne yang kini telah begitu maju
dalam bahasa Prancis."
"Sudahlah, tak usah dibicarakan lagi hal ini!" kata Nona Parker akhirnya, begitu
bosan ia membicarakan Daphne. "Kalau Anda ingin mengamuk pada Mam'zelle Rougier,
silakan. Aku tak peduli. Kecuali bahwa aku yakin ia telah mengelabui kita, maka
sesungguhnya aku senang ia tak ikut jalan-jalan. Ia akan merusak suasana dengan
keluhannya yang pasti tak akan habis-habisnya!
Daphne tak bisa menahan diri untuk tidak menceritakan bagaimana ia lolos dari
keharusan mengikuti jalan-jalan lintas alam itu. Gwendoline begitu iri, menyesal
mengapa ia tak punya pikiran untuk berbuat serupa itu. Anak-anak lain terang-
terangan merasa jijik oleh siasat licik tersebut.
"Bayangkan sampai berbuat seperti itu hanya untuk bisa tidak ikut jalan-jalan!"
kata Darrell. "Padahal akan sangat menyenangkan berjalan mencipratkan lumpur dan
air dengan sepatu karet tinggi kita! Yah, kalau kau ingin menghabiskan waktumu
mengerjakan kata-kata kerja Prancis, ya terserahlah! Sungguh pantas kalau kau
selicik itu, Daphne!"
Tetapi ternyata jalan-jalan lintas alam itu dibatalkan! Angin bertiup jadi
badai, dan Nona Parker merasa terlalu berbahaya untuk melanjutkan rencananya.
Anak-anak sedang memakai jas hujan serta sepatu karet tinggi mereka saat Nona
Parker mendatangi mereka di ruang penyimpanan pakaian luar. Saat itu Daphne
sudah berangkat ke tempat Mam'zelle dengan membawa buku-buku Prancisnya.
"Anak-anak, maaf! Tetapi angin telah menjadi badai," kata Nona Parker. "Acara
jalan-jalan terpaksa dibatalkan. Sebagai obat kecewa, maka kita semua akan
berkumpul di ruang senam. Sore ini akan kita isi dengan berbagai permainan, dan
Ibu Asrama akan menyediakan kue-kue dan makanan ringan untuk kita di tempat
itu... asal kalian membantunya membawa makanan itu ke sana."
Anak-anak bersorak gembira. Sore yang penuh permainan gembira - lomba lari,
pertandingan, tertawa, berteriak-teriak - ditambah dengan makanan-makanan kecil
di lantai ruang senam! Sungguh luar biasa!
Ibu Asrama juga membuat suatu kejutan - dua botol madu dan empat kue coklat
raksasa sebagai tambahan! Anak-anak begitu gembira!
"Bagaimana dengan Daphne, Nona Parker?" tanya Mary-Lou, teringat bahwa Daphne
sedang bersama Mam'zelle. "Bolehkah aku memanggilnya?"
"Tolol!" desis Alicia. "Masa untuk kegembiraan seperti ini teringat pada Daphne.
Biar saja dia tak sempat mengikuti ini semua! Awas Mary-Lou nanti!"
Nona Parker memperhatikan muka kecil Mary-Lou yang tampak betul-betul
mengkhawatirkan Daphne. Gntuk kesekian kalinya Nona Parker bertanya dalam hati,
mengapa Mary-Lou begitu memperhatikan Daphne, padahal ia punya dua orang sahabat
seperti Darrell dan Sally.
"Oh, Mary-Lou, kita tak boleh mengganggu Daphne," kata Nona Parker dengan suara
nyaring sehingga semua mendengarnya, "Ia sangat ingin memperoleh pelajaran
tambahan, begitulah kata Mam'zelle. Ia telah berkorban, tak usah ikut jalan-
jalan asal bisa dapat pelajaran tambahan itu. Pastilah ia juga mau mengorbankan
kesempatan untuk bermain bersama dan berpiknik, di dalam ruangan ini. Kita tak
boleh mengganggunya. Bila ada seorang murid yang serajin itu, maka amatlah
sayang kalau kita mengganggunya, bukan?"
Mary-Lou adalah satu-satunya yang tidak mengerti sindiran Nona Parker. Anak-anak
lain langsung tertawa keras. Nona Parker juga tersenyum.
"Puas!" kata Alicia. "Setimpal dengan kemalasannya!"
Ramai sekali permainan mereka, sehingga semua merasa lelah dan haus. Kemudian
semua istirahat dan makan makanan ringan yang lezat luar biasa. Sekejap saja
kue-kue lezat yang terhidang segera lenyap.
Daphne muncul pada saat potongan terakhir kue-kue itu lenyap di dalam mulut
seorang anak. Sore itu ia merasa sangat bosan sebab ternyata Mam'zelle
menganggapnya betul-betul sangat ingin belajar. Karenanya Mam'zelle memberinya
pelajaran yang sangat dalam tentang kata-kata kerja bahasa Prancis. Daphne
diharuskannya mengulangi setiap patah kata berulang kali, dibetulkannya setiap
pengucapannya dengan sangat teliti, bahkan berulang kali disuruhnya Daphne
menuliskan kata-kata tersebut.
Separuh pelajaran Daphne sudah putus asa. Rasanya lebih baik susah payah
berjalan-jalan daripada mendapat pelajaran seperti itu. Tadinya dikiranya
Mam'zelle hanya akan mengajaknya bercakap-cakap ringan saja, serta enak-enakan
duduk-duduk di tempat hangat sambil makan makanan kecil. Tetapi ternyata
walaupun Mam'zelle sangat menyukai Daphne, ia bersikeras untuk menjalankan
tugasnya sebagai seorang guru yang baik. Maka dipaksanya Daphne belajar terus.
Dan ketika dengan lemah Daphne mencoba mengundurkan diri dengan alasan ia sudah
cukup lama mengganggu Mam'zelle, maka serta-merta Mam'zelle mengatakan bahwa ia
tak merasa diganggu, malah senang sekali memberi pelajaran pada Daphne. Daphne
kemudian mengajukan alasan bahwa mungkin anak-anak lain sudah datang, dan
Mam'zelle berkata kalau mereka sudah datang, pasti suara mereka terdengar.
"Kita pasti mendengar suara mereka," kata Mam'zelle, sama sekali tak tahu bahwa
anak-anak tak jadi jalan-jalan. "Begitu terdengar suara mereka, kau boleh segera
bergabung dengan mereka, Sayang. Kau bisa makan dengan mereka di ruang makan.
Jika kita sudah selesai mengerjakan sesuatu yang baik, pasti selera makan kita
bertambah." Tetapi setelah menunggu sekian lama, heran juga Mam'zelle karena tak terdengar
suara anak-anak kembali. Akhirnya ia menyuruh Daphne untuk menengok apakah
kawan-kawannya sudah datang atau belum. Hampir menangis Daphne waktu mengetahui
ternyata teman-temannya baru saja selesai bergembira ria, baru saja makan
makanan yang enak-enak. "Kalian jahat sekali!" serunya marah. "Kalian tak jadi jalan-jalan, ya! Dan
kalian sudah makan mendului aku!"
"Kami tak berani mengganggu pelajaran bahasa Prancis yang sangat kausukai itu,"
kata Alicia, menyeringai. "Dan Nona Parker tercinta juga setuju akan hal itu. Ia
merasa sayang kalau kau sampai kecewa karena terganggu pelajaran tambahanmu
itu." Dengan marah Daphne menatap Gwendoline. "Mestinya kau bisa menyusulku," katanya.
"Kan mudah bagimu untuk menyelinap ke luar dan memberi tahu aku tentang ini."
"Satu-satunya yang teringat untuk memberi tahumu hanyalah Mary-Lou," kata Sally.
"Ia bahkan berani minta pada Nona Parker agar kau diberi tahu. Mary-Lou tidak
percaya bahwa pelajaran bahasa Prancis lebih menyenangkan daripada jalan-jalan
atau bermain-main!" Daphne berpaling pada Mary-Lou dan merasa sangat berterima kasih pada anak
bertubuh kecil itu. Bahkan Gwendoline, sahabatnya, tidak berusaha untuk
menjemput dia dari pelajaran bahasa Prancis yang menyebalkan itu. Tetapi Mary-
Lou telah berani maju mengusulkannya pada Nona Parker! Betapa setianya Mary-Lou.
"Terima kasih, Mary-Lou," kata Daphne dengan senyum manisnya. "Aku takkan lupa
itu. Kau sungguh baik."
Mulai saat itu si Sombong yang selalu mementingkan diri sendiri dan tak bisa
dipercaya itu bersikap baik sekali terhadap Mary-Lou. Tidak hanya karena Mary-
Lou selalu membantunya dalam bahasa Prancis, tetapi karena Daphne betul-betul
menyukai dan mengagumi si Kecil itu! Belum pernah Daphne menyukai seseorang
karena sifat baik orang itu.
Mary-Lou tentu saja sangat gembira. Ia betul-betul jatuh dalam pesona Daphne.
Pikirannya terlalu sederhana untuk bisa menemukan kesalahan dalam pribadi gadis
cantik itu. Ia merasa sangat bahagia bila bisa berada di dekat Daphne, bila bisa
memberi bantuan apa saja. Ia bahkan tak melihat bahwa bantuannya pada Daphne
sudah menjurus ke kecurangan, sebab sering ia tidak saja membantu, tetapi malah
mengerjakan pekerjaan rumah Daphne seluruhnya!
Gwendoline mulai merasa iri pada Mary-Lou sebab ia merasa bahwa Daphne kini
betul-betul menyukai anak itu. Tetapi Daphne hanya tertawa bila Gwendoline
mengatakan hal ini padanya.
"Kau tahu, aku hanya memperalat dia," kata Daphne. "Jangan tolol, Gwendoline.
Kaulah sahabatku dan aku tak akan memilih yang lain. Tak ada yang kusukai dalam
diri Mary-Lou. Ia hanyalah anak yang terlalu sederhana dan tolol!"
Untung Mary-Lou tidak mendengar hal ini. Kalau dengar, pastilah sangat sakit
hatinya, ia merasa bahagia karena ia merasa Daphne betul-betul menyukainya.
Sering ia berbaring di tempat tidur, melamunkan betapa indah rambut Daphne,
betapa manis senyumnya. Alangkah senangnya kalau ia bisa secantik itu. Tetapi
itu pastilah tidak mungkin.
Daphne tidak bisa memaafkan anak-anak lain yang begitu tega tidak memberitahukan
padanya bahwa acara jalan-jalan tidak jadi. Ia bahkan bersikap dingin pada
Gwendoline. Gwendoline takut sekali kalau-kalau Daphne meninggalkannya, ia
berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa ia cukup setia pada Daphne, bahwa
ia masih suka sekali mendengar cerita-cerita Daphne tentang kekayaan keluarganya
yang luar biasa itu. Sally mendengar salah satu cerita Daphne itu suatu malam. Saat itu ia duduk di
dekat tirai di ruang rekreasi, dan Daphne serta Gwendoline tak melihatnya.
"Pernahkah aku bercerita padamu tentang saat Ibu mengadakan pesta di kapal
pesiar kami dan aku duduk di samping sang pangeran waktu makan malam?" tanya
Daphne. "Apakah kau diizinkan untuk tidak tidur sampai waktu makan malam?" tanya
Gwendoline. "Dan apa yang bisa kaubicarakan dengan sang pangeran?"
"Oh, yah, aku tak bicara banyak - sang pangeran agaknya sangat kagum akan
rambutku. Dialah yang bicara banyak tentang itu," kata Daphne, mulai memperindah
dongengnya. "Aku terjaga sampai jam satu malam itu. Kapal pesiar kami sangat
indah, dihiasi lampu-lampu kecil. Kata orang-orang di daratan, kapal itu sangat
mirip kapal dari negeri dongeng!"
"Kau memakai pakaian apa?" tanya Gwendoline.
"Oh, gaun pesta putih, lembut, berkembang lebar dengan taburan mutiara," kata
Daphne. "Harganya ratusan poundl"
Gwendoline ternganga. "Di mana gaun itu sekarang?"
"Oh, aku tak boleh membawa barang-barang berharga ke sekolah ini," kata Daphne.
"Ibu sangat tegas dalam hal seperti itu. Aku tak bawa barang-barang perhiasan
atau gaun-gaun mahal. Seperti kau juga, kan?"
"Ya, benar juga. Ibumu sungguh bijaksana," kata Gwendoline.
Sally begitu mual akan bualan Daphne itu. Ia menyelinap masuk. "Sungguh sayang
ibumu tidak membekalimu dengan tongkat lacrosse, Daphne, hingga kau selalu
pinjam punya anak lain. Dan kau mestinya bawa sepatu lebih dari sepasang serta
bawa kertas surat yang lebih banyak Dengan begitu kau tidak selalu harus pinjam
atau minta dari anak-anak lain! Mestinya kau tak usah punya kapal pesiar, tak


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usah punya terlalu banyak mobil. Aku sudah akan kagum padamu kalau kau punya
banyak amplop dan prangko, Daphne!"
Daphne tampak sangat gusar. "Jangan ikut campur urusanku!" katanya. "Aku tak
berbicara padamu!" "Ini urusanku," kata Sally tegas. "Kau selalu meminjam atau minta pada anak-anak
lain, dan tak pernah membayar kembali hutang-hutangmu!. Kalau kau begitu kaya,
maka lebih baik kaugunakan uang sakumu untuk membeli barang-barang yang
kaupinjam itu!" Sialan!" maki Daphne setelah Sally keluar, ia pasti sangat iri padaku, hanya
karena orang tuanya tidak sekaya orang tuaku!"
10. ANTARA DUA MAM'ZELLE Hari libur tengah semester tiba. Sally dan Darrell pergi bersenang-senang
bersama ayah-ibu Darrell sehari itu. Gwendoline sangat kecewa ketika ayah-ibu
Daphne tidak datang, jadi tak ada kesempatan untuk makan di restoran besar atau
bepergian dengan mobil mewah.
"Aku ingin sekali melihat ibumu," kata Gwendoline. "Ia tampak cantik sekali di
potretnya." Di meja rias Daphne terdapat sebuah potret seorang wanita yang sangat cantik,
dengan gaun anggun dan kalung berlian berkilauan di lehernya. Semua anak kagum
akan potret itu. "Kau tampaknya tak mirip dengan ibumu," kata Darrell setelah meneliti potret
tersebut. "Mata ibumu agak jauh terpisah, sedang matamu begitu dekat. Dan
hidungmu tidak mirip dengan hidungnya."
"Kan tidak semua orang mirip dengan ibunya," kata Daphne. "Aku lebih mirip
keluarga ayahku. Aku punya seorang bibi yang sangat-sangat cantik!"
"Dan mungkin kau mengira dirimu sangat mirip dia kan, Daphne?" kata Jean dengan
suaranya yang tenang penuh arti. "Bagaimana rasanya punya sanak saudara yang
cantik-cantik, ya" Ibuku mukanya biasa saja, tetapi aku rasa dia adalah ibu yang
paling pengasih di dunia ini. Dan ayahku lumayan buruknya, bibi-bibiku mirip
dengan aku - sederhana semua. Tetapi aku tak peduli. Semua keluargaku periang
dan aku mencintai mereka semuanya."
Gwendoline telah minta pada Daphne untuk bersamanya di hari libur tengah
semester. Daphne setuju. Dan Nyonya Lacey, ibu Gwendoline, sangat terpesona oleh
anak cantik dengan senyum memukau ini. Dan Nona Winters, guru pribadi Gwendoline
yang dengan setia selalu mengunjungi murid kesayangannya tiap tengah semester,
begitu terpukau pada Daphne sehingga Gwendoline merasa iri dan gusar.
"Sungguh cantik sahabatmu itu," kata Nyonya Lacey pada Gwendoline, "dan begitu
manis tingkah lakunya. Pastilah keluarganya sangat kaya, punya kapal pesiar dan
begitu ibanyak mobil. Alangkah senangnya kau kalau bisa tinggal dengannya selama
liburan yang akan datang."
"Sssh, Ibu," tukas Gwendoline, takut kalau Daphne dengar. Tetapi Daphne sedang
sibuk memikat Nona Winters. Ia juga mengangkat-angkat Gwendoline, mengatakan
betapa sahabatnya itu sangat pandai di kelas, selalu jadi kesayangan semua guru.
Nyonya Lacey mendengarkan dengan bangga dan gembira. "Wah, kau tak pernah
mengatakan semua ini padaku dalam surat-suratmu, Gwen," katanya. "Kau begitu
rendah hati!" Gwendoline malu sendiri dan berharap Daphne tidak keterlaluan memuji-muji dia -
ini sangat bahaya bila ia menerima rapor nanti dan ternyata nilainya tidak
sesuai dengan apa yang telah dikatakan Daphne.
Belinda dan Irene pergi berdua, keduanya lupa memakai topi dan ketika kembali
sama-sama kehilangan sarung tangan. Mereka berdua pergi dengan ayah-ibu Belinda
yang ternyata sama pelupanya seperti Belinda - keduanya lupa jalan ke Malory
Towers sehingga baru muncul satu jam lewat batas waktu yang telah ditentukan.
Nona Parker gusar juga karena hal ini, sebab baginya pembagian waktu sangatlah
penting. Tetapi baik Belinda maupun Irene sama sekali tak mengerti bahwa wali
kelas mereka merasa gusar. Sambil terus berceloteh gembira, mereka kembali ke
asrama. Alicia dan Betty bepergian bersama tentu, dan mereka kembali sambil terus-
menerus tertawa terpingkal-pingkal. Agaknya seorang kakak laki-laki Alicia ikut
datang dan banyak bercerita tentang kelucuan di sekolahnya.
Semua merasa heran ketika ternyata Jean mengajak Ellen yang bersifat pemarah
itu. Mula-mula dengan kasar Ellen menolak - tetapi kemudian setuju. Tetapi bagi
Jean, sertanya Ellen membuat suasana tidak begitu menyenangkan. Ellen tak bisa
diajak bercakap-cakap dan bahkan bersikap dingin terhadap ayah-ibu Jean. Jean
sangat menyesal telah mengajaknya.
"Paling sedikit kau bisa pura-pura tersenyum, Ellen," kata Jean sewaktu mereka
pulang dari jalan-jalan itu. "Kau tak banyak bicara dan bahkan tidak tersenyum
sedikit pun, padahal ayahku berusaha keras melucu... dan memang sangat lucu
ceritanya!" "Kalau begitu lain kali jangan ajak aku!" tukas Ellen dan dengan gusar
meninggalkan Jean. Sekilas Jean melihat mata Ellen berlinang air mata. Anak
aneh. Bicara sedikit saja sudah membuatnya sedemikian tersinggung. Jean merasa
bahwa tugasnya untuk berbaik dengan Ellen agaknya tugas yang sangat berat.
"Kini kita tinggal menunggu libur Natal," kata Darrell puas. "Tengah semester
sudah lewat." "Tapi sebelum itu kita harus berjuang keras untuk menguasai kedua drama bahasa
Prancis itu," keluh Alicia. "Entah bagaimana kedua mam'zelle kita bisa memilih
lakon-lakon yang sangat sulit itu! Dan lagi, siapa yang akan menonton kita
memainkan drama berbahasa Prancis?"
Di akhir semester tiap kelas diharuskan mengadakan suatu pertunjukan. Sesuai
dengan hasil undian, maka kelas dua ditugaskan untuk mempertunjukkan dua buah
drama bahasa Prancis. Satu dipilih oleh Mam'zelle Dupont, satunya oleh Mam'zelle
Rougier. Dalam memilih pemain untuk tokoh-tokoh penting di kedua drama itulah kedua
mam'zelle tersebut hampir saja berkelahi.
Di salah satu lakon terdapat putri - Putri Hati Tulus. Di lakon lainnya terdapat
tokoh malaikat - Malaikat Kebaikan. Mam'zelle Dupont ingin anak emasnya, Daphne,
memainkan kedua peran tersebut, ia membayangkan, betapa anak yang begitu cantik
dengan rambut emasnya yang indah akan sangat cocok untuk menjadi seorang putri -
ah, pasti mempesona para penonton! Dan sebagai malaikat - rasanya tak akan ada
yang lebih cocok daripada Daphne yang memang berwajah malaikat itu.
Tetapi sayang sekali Mam'zelle Rougier berpendapat lain. "Apa" Memilih si Tolol
Daphne itu untuk peran-peran besar tersebut?" tukasnya, "Ia pasti takkan bisa
mengucapkan satu kalimat pun dengan benar. Ucapan bahasa Prancisnya sungguh
memalukan! Kau sendiri tahu hal itu. Aku tak mau anak itu memainkan peran
penting apa pun!" "Ah, tetapi wajahnya sangat cocok untuk kedua peran tersebut!" kata Mam'zelle
Dupont sambil melambaikan kedua tangannya untuk memberi tekanan pada kata-
katanya. "Ia mirip sekali dengan putri, dan bila ia tersenyum, maka senyumnya
mirip senyum malaikat!''-
"Bah!" kata Mam'zelle tak sopan. "Itu karena dia anak emasmu, murid
kesayanganmu! Sally yang paling cocok untuk peran itu. Ia bisa mempelajari
perannya, dan ucapannya juga baik. Atau Darrell. Atau bahkan si Kecil Mary-Lou!
Ia jauh lebih baik daripada Daphne, sebab ia bisa bercakap-cakap dalam bahasa
Prancis dengan pengucapan yang tepat dan lancar."
"Anda gila!" seru Mam'zelle Dupont. "Tak seorang pun yang Anda sebutkan tadi
yang cocok untuk memainkan peran-peran itu. Aku minta agar Daphne yang dipilih!"
"Kalau begitu aku tak mau ikut campur menyiapkan drama ini!" kata Mam'zelle
Rougier dengan tegas. "Tak baik untuk selalu menuruti kehendakmu, Mam'zelle
Dupont! Anda selalu main anak-anak emasan. Jangan paksakan itu padaku!"
"Aku tak main anak emas!" seru Mam'zelle Dupont, menghentakkan kaki. "Aku
menyukai semua murid, tak pilih kasih!"
Mam'zelle Rougier mendengus marah dan tak percaya. "Kalau begitu hanya Andalah
yang berpendapat seperti itu," katanya. "Aku tak mau bicara lagi tentang anak
setolol Daphne itu!"
Dengan geram Mam'zelle Rougier meninggalkan tempat itu, berjalan kaku bagaikan
tongkat kayu dengan tubuhnya yang tinggi kurus. Mam'zelle Dupont yang pendek
gemuk jadi sangat marah. Masa ia dituduh pilih kasih! Berani benar Mam'zelle
Rougier berkata seperti itu. Ia takkan mau berbicara dengan Mam'zelle Rougier
lagi. Ia akan meninggalkan Malory Towers dan pulang saja ke Prancis yang
dicintainya, ia akan menulis di surat kabar tentang perlakuan yang didapatnya di
sini. Ia menggeram-geram bagaikan anjing memikirkan itu semua. Dan ini membuat
Nona Potts sangat terkejut sewaktu ia masuk ke kamar itu.
"Apakah Anda sakit, Mam'zelle?" tanyanya, agak khawatir melihat mata merah
melotot guru bahasa Prancis itu.
"Aku sakit hati! Aku telah dihina!" teriak Mam'zelle Dupont. "Aku tidak boleh
memilih sendiri anak-anak yang akan berperan di dramaku! Mam'zelle Rougier tidak
setuju kalau aku memilih si Cantik Daphne untuk peran sang putri, ia bahkan
melarang aku - Mam'zelle Dupont - untuk memilihnya menjadi Malaikat Kebaikan!"
"Dalam hal itu aku sependapat dengan Mam'zelle Rougier," kata Nona Potts, duduk
di mejanya dan mengatur beberapa kertas. "Daphne bagiku memang tampak selalu
bermuka dua, jadi tak pantas jadi malaikat."
"Anda juga berkomplot untuk memusuhiku!" seru Mam'zelle Dupont semakin garang.
"Anda juga! Ah, orang-orang Inggris ini betul-betul keterlaluan! Tak punya hati,
tak punya perasaan!"
Nona Potts sangat gembira ketika mendengar ketukan di pintu, sebab ini mungkin
bisa menghindarkannya dari pertengkaran dengan mam'zelle itu. Ternyata yang
masuk adalah Ibu Asrama, tersenyum dan berkata, "Bisakah aku bicara sedikit
dengan Anda, Mam'zelle?"
"Tidak!" teriak Mam'zelle. "Aku sedang gusar! Jantungku berdebar-debar begitu
keras! Tetapi akan kukatakan pada semua orang bahwa aku akan memilih siapa pun
yang aku sukai! Ahhhhh!"
Dan sambil menggeram seperti anjing lagi, Mam'zelle Dupont meninggalkan ruang
itu dengan marah, membuat Ibu Asrama terpaku heran.
"Apa yang dibicarakannya tadi?" ia bertanya pada Nona Potts.
"Oh, ia sedang bertengkar dengan mam'zelle satunya," kata Nona Potts, mulai
memeriksa kertas pekerjaan murid-muridnya. "Mereka memang sering bentrok. Tetapi
kali ini agaknya cukup berat juga persoalannya. Mudah-mudahan mereka bisa
menyelesaikan sendiri keruwetan ini."
Mam'zelle Dupont dan Mam'zelle Rougier bergantian melatih anak-anak itu untuk
drama mereka. Kalau Mam'zelle Dupont yang melatih, maka Daphne memainkan kedua
peran utama di kedua drama itu. Daphne cukup bangga karenanya. Tetapi begitu
Mam'zelle Rougier memimpin, maka Sally dan Darrell dijadikan peran utama.
Sungguh membingungkan! Tak satu pun di antara kedua mam'zelle itu yang mau mengalah. Pertengkaran kali
ini agaknya ^emang sangat serius. Mereka tak mau lagi saling pandang, tak mau
lagi berbicara. Anak-anak menganggap keadaan ini sangat lucu, tetapi kebanyakan
di antara mereka lebih suka pada Mam'zelle Dupont yang lebih ramah. Mereka
memang tak setuju Daphne dipilih menjadi pemain utama, tetapi hal itu tak bisa
diubah. Belinda yang sangat terkesan oleh pertengkaran ini membuat satu seri lukisan
karikatur tentang kedua mam'zelle itu. Digambarkannya Mam'zelle Rougier lebih
kurus dan lebih tinggi dari ukuran sebenarnya. Digambarkannya guru itu sedang
mengendap-endap hendak menyergap Mam'zelle Dupont dengan pisau di tangan. Di
gambar lain terlihat Mam'zelle Rougier bersembunyi di balik semak-semak membawa
pistol, menunggu Mam'zelle Dupont lewat. Di gambar lain lagi ia menuangkan racun
untuk diberikan pada musuhnya. Dan banyak lagi. Anak-anak tertawa terpingkal-
pingkal melihat gambar-gambar ini. Alicia, terutama, sangat tertarik. Dan timbul
suatu niat jahat di hatinya.
"Belinda! Mam'zelle Dupont pasti sangat menyukai gambar-gambar ini!" katanya.
"Kau tahu, sesungguhnya ia sangat gemar akan hal-hal yang lucu. Ia harus melihat
ini semua. Taruhlah buku sketsa ini di mejanya besok, sebelum ia memulai
pelajaran terjemahan bahasa Prancis di jam pelajaran sore. Lihat saja mukanya
kalau ia melihat ini semua!"
"Pasti ia takkan sempat memberi pelajaran!" Belinda tertawa terkikik-kikik. Dan
anak-anak lain setuju akan pendapat ini.
Belinda mengumpulkan gambar-gambarnya. Ia tidak menuliskan nama-nama di gambar-
gambar tersebut, tetapi gambarannya begitu tepat walaupun dibuat lucu, sehingga
semua bisa mengetahui siapa yang digambarkan di situ. "Baiklah, akan kutaruh di
meja guru sebelum pelajaran dimulai," kata Belinda. "Tapi kalian harus berjanji
untuk membantuku membuat pekerjaan rumah malam ini. Kan besok kalian tak usah
repot dengan pelajaran terjemahan itu!"
Alicia membisikkan sesuatu pada Betty. Sesaat Betty tampak terkejut, kemudian ia
menyeringai lebar. Alicia baru saja membisikkan padanya sesuatu yang sangat
menarik. "Besok jam pelajaran Mam'zelle Dupont akan digantikan dengan jam
pelajaran Mam'zelle Rougier! Bisa kaubayangkan hebatnya ledakan yang akan
terjadi!" 11. GUNCANGAN UNTUK KELAS DUA
Buku berisi gambar-gambar karikatur itu diletakkan di meja guru pada waktu yang
ditentukan. Anak-anak berdebar-debar menunggu kedatangan Mam'zelle. Pastilah
Mam'zelle Dupont akan tertawa terbahak-bahak. Betapa senangnya ia menikmati
lelucon yang ditujukan pada Mam'zelle Rougier itu!
Alicia bertugas membukakan pintu bagi Mam'zelle. Secara sangat kebetulan ia
mengetahui bahwa Mam'zelle Dupont berhalangan sehingga jam pelajaran itu akan
digunakan oleh Mam'zelle Rougier. Disimpannya rahasia ini baik-baik, sebab ia
yakin ini akan membuat suatu kejutan hebat! Sekalian ia ingin membalas dendam
pada Mam'zelle Rougier yang begitu sering menegurnya dengan tajam.
Terdengar langkah-langkah cepat di gang di depan kelas. Anak-anak kaku seketika.
Seseorang masuk - dan ternyata bukan Mam'zelle Dupont yang mereka harapkan!
Mam'zelle Rougier yang bergegas ke mejanya dan duduk.
"Asseyez-vous, s'il vous plait!" Mam'zelle menyuruh anak-anak duduk.
Beberapa anak sampai tak mendengar perintah itu. Mereka begitu terpaku oleh rasa
takut melihat Mam'zelle Rougier duduk dengan buku karikatur di depannya.
Mam'zelle mengetuk mejanya.
"Apakah kalian tuli" Duduk!"
Semua duduk. Dengan takut Belinda melihat berkeliling, minta bantuan. Sekilas ia
melihat Alicia menyeringai puas. Belinda jadi sangat marah. Jadi Alicia tahu
bahwa yang datang adalah Mam'zelle Rougier dan bukannya Mam'zelle Dupont seperti
daftar pelajaran seharusnya. Dan ia telah diumpankan oleh Alicia untuk muslihat
yang keji ini! Semua orang tahu betapa galaknya Mam'zelle Rougier. Ia pasti akan
langsung melaporkan hal ini pada Kepala Sekolah!
Belinda tak tahu harus berbuat apa. Darrell melihat betapa takutnya Belinda dan
ia berbuat nekat, ia maju ke meja Mam'zeHe Rougier dan memegang buku gambar
Belinda itu. "Maaf, Mam'zelle, buku ini tertinggal di sini," katanya dengan sopan. Anak-anak
menunggu dengan menahan napas. Hampir saja Darrell berhasil membawa pergi buku
itu. Tetapi tiba-tiba Mam'zelle Rougier menahannya. "Tunggu," katanya. "Buku
yang terletak di meja guru tak bisa diambil begitu saja tanpa izin. Buku apa
ini?" "Oh... hanya buku gambar, Mam'zelle," kata Darrell putus asa. Mam'zelle melihat
berkeliling. Mengapa anak-anak yang lain tampak begitu tegang" Pastilah ada
sesuatu yang aneh. Diambilnya buku itu dari tangan Darrell, dan dibukanya. Pandangannya jatuh pada
gambar dirinya yang sedang mengendap-endap hendak menyerang Mam'zelle Dupont
dengan belati. Hampir tak percaya ia memperhatikan gambar itu. Ya. Ini pasti
dirinya. Tinggi, kurus, dan dengan muka yang begitu jahat. Memegang belati lagi!
Dibukanya halaman lain. Wah! Ada lagi gambar dirinya. Kini dengan pistol! Ah,
ini sudah keterlaluan! Satu per satu dibukanya halaman buku itu. Selalu ada
gambar dirinya yang dengan air muka sangat mengerikan mengejar atau mengancam
Mam'zelle Dupont yang tampaknya begitu memelas. Jelas di gambar-gambar itu
Mam'zelle Dupont-lah yang menjadi pahlawan, dan Mam'zelle Rougier jadi
penjahatnya! "Ini hampir tak bisa dipercaya!" desisnya geram, lupa bahwa di depannya Darrell
berdiri terpaku. Anak-anak lain semakin tegang menunggu. Belinda sangat pucat.
Sial sekali! Apa yang akan terjadi kini" Mengapa ia menuruti saja usul tolol
Alicia yang keji itu" Mengapa ia terjebak siasat Alicia dan Betty agar mendapat
teguran berat dari guru-guru"
Mam'zelle jadi sadar kembali bahwa ia berada di depan kelas, ia membentak
Darrell sehingga anak itu terlompat terkejut. "Kembali ke tempatmu!"
Sedikit bersyukur Darrell lari ke mejanya sendiri. Mam'zelle melihat berkeliling
dengan mata membara. "Siapa yang melakukan ini" Siapa yang begitu berani menaruh buku ini di depan
mataku?" tanyanya. Sally segera berdiri menjawab. "Kami semua, Mam'zelle. Tetapi maksud kami buku
itu bukan untuk Anda. Kami maksudkan untuk Mam'zelle Dupont. Kami tak tahu bahwa
Anda akan menggantikannya hari ini."
Sayang sekali kata-kata Sally ini sangatlah tidak pada tempatnya. Sungguh suatu
kesalahan besar untuk mengatakannya pada Mam'zelle Rougier. Mam'zelle langsung
berdiri. "Apa" Jadi kalian bermaksud untuk memberikan ini pada Mam'zelle Dupont! Kalian


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin dia ikut menertawakan aku! Apakah begini selalu kelakuannya di belakangku"
Menertawakan aku bersama kalian" Ah, sungguh senang aku kini. Aku tahu bagaimana
orang Prancis itu sangat tak tahu malu! Ia harus tahu rasa! Ia harus kulaporkan
pada Nona Grayling saat ini juga!"
Seisi kelas terpaku ketakutan. Baru sadar mereka bahwa Mam'zelle Rougier akan
merasa sangat tersinggung jika gambar-gambar konyol itu ditunjukkan kepada
Mam'zelle Dupont. Belinda merasa akan pingsan.
"Mam'zelle, harap jangan pergi ke Nona Grayling... aku akan..."
Tetapi anak-anak lain tak akan mengizinkan Belinda bertanggung jawab sendiri.
Bahkan Alicia kini merasa ketakutan. Hampir semua anak berseru memohon pada
Mam'zelle, menenggelamkan suara lemah Belinda.
"Mam'zelle, kami menyesal! Jangan laporkan kami!"
Tetapi Mam'zelle yang telah begitu marah tak mendengar permohonan mereka. Dengan
sangat gusar ia meninggalkan kelas itu. Sekali lagi anak-anak itu saling
pandang. "Alicia... kau tahu bahwa Mam'zelle Rougier akan menggantikan Mam'zelle Dupont
sore ini!" kata Belinda. "Kulihat kau mengerdipkan mata pada Betty! Kau tahu!
Dan kaukorbankan aku untuk muslihatmu yang keji ini! Kau tahu bahwa takkan
mungkin aku memperlihatkan gambar-gambar itu pada Mam'zelle Rougier!"
Alicia seorang yang jujur walaupun berhati keji. Ia tak menyangkal tuduhan
Belinda itu. "Aku tak menyangka ia akan begitu marah," katanya.
"Alicia, kau kejam sekali!" kata Darrell, merasakan betapa dadanya begitu sesak
menahan amarah. "Mestinya kau bisa tahu apa yang akan terjadi, bagaimana Belinda
pasti akan menderita karena ini! Kau... kau..."
"Biarlah aku yang mengurus ini." Suara Sally yang tenang menyela Darrell.
"Tenanglah, Darrell. Biar aku yang mengurus Alicia!"
"Oh, bisakah kau?" tanya Alicia mengejek. "Tak sudi aku kauurus! Jangan kira kau
bisa menghukumku, Nona Ketua Kelas, Nona Sok Alim!"
"Jangan tolol," kata Sally geram. "Entah kenapa kau akhir-akhir ini, Alicia. Kau
selalu berusaha mempersulit aku. Aku akan menghadap Kepala Sekolah sekarang
juga. Dan kau harus ikut juga, Belinda. Kita akan mencoba menjernihkan perkara
ini sebelum berlarut-larut."
"Kau pasti akan menyalahkan aku, tentu," kata Alicia gusar. "Aku tahu kau. Akan
kauhapuskan kesalahan Belinda dan menimpakannya padaku!"
"Aku takkan mengatakan apa pun tentang kau," kata Sally. "Aku bukan tukang
mengadu! Tetapi aku akan lebih menghargai dirimu kalau kau ikut juga bersama
kami untuk menjelaskan perkara ini."
"Aku tak peduli kau menghargai aku atau tidak!" Alicia semakin marah. "Aku tak
akan suka rela mengikutimu dan berkata, 'Aku yang melakukan kesalahan.' Kau
takkan mungkin bisa menyuruhku mengerjakan apa saja yang tak mau kulakukan!"
"Aku takkan mencobanya," kata Sally. "Ayo, Belinda, mari kita segera menghadap
Nona Grayling." Kasihan sekali Belinda. Begitu lemas dan ketakutan ia mengikuti Sally berjalan
di gang, menuruni tangga, dan menyeberangi Taman Dalam menuju kantor Nona
Grayling. "Oh, Sally, aku sungguh takut!" kata Belinda. Lenyap kegembiraan yang biasa ada
padanya. Mam'zelle sangat marah. Dan beberapa gambar itu memang sangat tajam!"
Ketika Sally mengetuk pintu Kepala Sekolah, mereka mendengar suara-suara di
dalamnya. Di situ ada Nona Grayling, Mam'zelle Rougier, dan Nona Linnie yang
dipanggil untuk mencoba menentukan siapa yang telah begitu pandai menggambar
karikatur yang tepat tetapi tajam itu.
"Belinda Morris, pasti!" kata Nona Linnie setelah melihat sekilas. "Tak ada anak
lain yang lebih pandai dari dia dalam membuat sketsa. Suatu hari kelak, pastilah
ia akan menjadi seorang seniwati terkenal. Wah... ini sungguh-sungguh bagus!"
"Bagus?" santap Mam'zelle. "Tak ada bagusnya gambar-gambar ini. Semuanya kejam.
Kurang ajar! Buruk! Jelek! Aku minta Anda menghukum anak itu, Nona Grayling! Aku
minta seisi kelas juga ikut dihukum!"
Tepat saat itu Sally mengetuk pintu. "Masuk!" kata Nona Grayling. Kedua anak
tersebut masuk. "Ada apa?" tanya Nona Grayling. Sally menelan ludah. Sulit untuk memulai
pembicaraan - terutama karena Mam'zelle melotot garang padanya.
"Nona Grayling," akhirnya Sally mulai, "kami sangat, sangat menyesal atas
peristiwa ini." "Apa hubungannya dengan kau?" tanya Nona Grayling. "Bukankah Belinda yang
membuat lukisan-lukisan ini?"
"Memang aku yang melukis, Nona Grayling,". kata Belinda hampir tak terdengar.
"Tetapi seluruh isi kelaslah yang menginginkan untuk menaruh buku ini di meja
guru - agar dilihat oleh Mam'zelle Dupont," kata Sally. "Tetapi ternyata
Mam'zelle Rougier yang datang. Dan beliau melihatnya. Kami sungguh sangat
menyesal." "Tetapi mengapa di sini digambarkan Mam'zelle Rougier mengejar rekannya dengan
sikap yang begitu mengancam?" tanya Kepala Sekolah, membolak-balik lembaran buku
itu. "Aku tak mengerti bagaimana gambar-gambar seperti ini bisa menyenangkan
hati Mam'zelle Dupont."
Hening sesaat. Kemudian Mam'zelle Rougier berkata kaku, Mam'zelle Dupont bukan
rekanku. Dia bukan sahabatku!"
Dan sebelum Nona Grayling bisa menghentikannya, dari mulut Mam'zelle Rougier
meluncur keluhan tentang drama-drama bahasa Prancis yang sedang disiapkan. Nona
Grayling mendengarkan dengan teliti, kemudian berpaling pada Sally dan Belinda.
"Jadi kalau aku tak salah tangkap, di satu hari peran utama dimainkan oleh Sally
dan Darrell, dan keesokan harinya dimainkan oleh Daphne?" ia bertanya.
Sally mengiyakan bahwa memang itulah yang terjadi. Tiba-tiba Mam'zelle Rougier
tampak kemalu-maluan. Kini ia sadar, betapa kekanak-kanakan tingkah lakunya dan
tingkah laku Mam'zelle Dupont. Betapa tololnya membuat suatu persoalan kecil,
mengacaukan drama mereka, dan membuat suasana kikuk bagi murid-muridnya.
Alangkah baiknya kalau ia tidak begitu tergesa-gesa membawa persoalan ini ke
Kepala Sekolah. Tak heran bila anak-anak membawa pertengkaran antara kedua guru
mereka itu ke dalam gambar-gambar ini. Tetapi mengapa Mam'zelle Dupont yang
digambarkan sebagai yang berhati baik" Ini sungguh tidak adil!
"Jadi kau tidak tahu bahwa Mam'zelle Rougier akan menggantikan Mam'zelle
Dupont?" tanya Nona Grayling tiba-tiba. Sally tertegun sejenak. Alicia telah
tahu akan hal itu. Juga Betty. Tetapi dia sendiri, Sally, tidak tahu. Begitu
juga anak-anak lain. "Aku tidak mengetahuinya, Nona Grayling," katanya.
"Apakah ada anak lain yang tahu?" desak Kepala Sekolah. Sally tak tahu harus
menjawab apa. Ia tak ingin mengadu. Tetapi ia juga tak bisa berdiam diri saja.
Ternyata Belinda yang menjawab.
"Ya, seseorang di kelas kami telah mengetahui adanya perubahan itu," katanya.
"Dan seseorang itu telah mengorbankan aku. Aku takkan berani menunjukkan gambar-
gambar tersebut pada Mam'zelle Rougier. Aku tak ingin mengatakan siapa nama anak
itu, tetapi harap Anda percaya bahwa aku takkan berani menyakiti hati Mam'zelle
Rougier apa pun yang akan terjadi. Bagiku, ini semua hanyalah lelucon."
"Ya, aku tahu itu," kata Nona Grayling. "Sebuah lelucon yang salah alamat,
tetapi toh masih suatu lelucon. Kaulihat kini, bila kau tak berhati-hati maka
lelucon yang mungkin sangat lucu bisa saja membuat orang marah dan kecewa."
Kemudian ia berpaling pada Mam'zelle Rougier yang mukanya kini merah padam.
"Tetapi awal segalanya ini ternyata adalah sebuah pertengkaran. Tanpa
pertengkaran ini, yang lain tak akan terjadi. Sally dan Belinda, kalian boleh
pergi. Aku akan membicarakan dengan Mam'zelle Rougier, hukuman apa yang akan
kalian terima." Tak bersuara Sally dan Belinda keluar dari ruangan itu. Nona Linnie ikut keluar
bersama mereka. Mam'zelle Rougier tinggal untuk meneruskan berbicara dengan Nona
Grayling. "Belinda, kelakuanmu ini sungguh sangat tolol," kata Nona Linnie.
"Aku takkan mau menggambar seseorang lagi," kata Belinda sedih.
"Oh, tak usah seperti itu," kata Nona Linnie. "Usahakan saja untuk menggambar
dengan suasana hati yang lebih lembut. Jangan menggambar untuk menunjukkan bahwa
kau pandai menggambar, Belinda. Hal seperti itu cepat atau lambat akan
menyeretmu pada suatu persoalan."
12. MAM'ZELLE DUPONT MENJERNIHKAN SUASANA
Sementara itu di lantai dua terjadi sesuatu. Mam'zelle Dupont kebetulan berjalan
melewati ruang kelas dua. Dilihatnya pintu kelas itu terbuka. Dan alangkah
herannya ia ketika menjenguk ke dalam dan ternyata tak ada guru di tempat itu.
Mam'zelle Rougier telah meninggalkan murid-muridnya - dan lebih aneh lagi:
murid-murid itu begitu diam, tak ribut seperti biasanya! Dan mereka tampak
sangat sedih. "Ada apa, mes petites" Anak-anakku?" tanya Mam'zelle, matanya yang bulat kecil
menjelajah ke seluruh wajah anak-anak di kelas itu. "Apa yang terjadi?"
Mary-Lou yang sangat terguncang oleh kejadian yang sedang dialaminya tak terasa
terisak. Mam'zelle berpaling padanya. Mary-Lou salah seorang murid
kesayangannya, sebab anak itu sangat lancar berbahasa Prancis.
"Ayo, katakan padaku, Mary-Lou! Apa yang terjadi" Bukankah aku sahabatmu"
Katakanlah!" "Oh, Mam'zelle, sesuatu yang buruk baru saja terjadi." Mary-Lou tak tahan lagi,
menceritakan apa yang terjadi. 'Belinda membuat beberapa gambar tentang Anda dan
Mam'zelle Rougier. Gambar yang baik-baik tentang Anda, dan yang tidak baik
tentang Mam'zelle Rougier. Kami tak tahu bahwa Mam'zelle Rougier akan
menggantikan Anda sore ini. Kami taruh buku gambarnya di meja guru, agar Anda
bisa melihatnya. Tetapi ternyata... ternyata..."
"Ah, ternyata Mam'zelle Rougier yang melihatnya, dan mukanya jadi biru, dan ia
menyeret Sally dan Belinda untuk menghadap Nona Grayling!" seru Mam'zelle
menyelesaikan kalimat Mary-Lou. "Oh, sungguh buruk adat perempuan itu. Ia tak
tahu arti sebuah lelucon! Aku, aku sendiri yang akan menghadap Nona Grayling.
Akan aku ceritakan padanya banyak hal tentang Mam'zelle Rougier! A-h-h-h!"
Dan berangkatlah Mam'zelle Dupont bergegas bagaikan seekor kelinci terusir dari
sarangnya. Anak-anak kembali saling pandang. Alangkah ramainya sore ini!
Mam'zelle Dupont tidak bertemu dengan Sally dan Belinda yang mengambil jalan
lain. Pada saat Mam'zelle mencapai ruang kantor Nona Grayling, Sally dan Belinda
masuk ke ruang kelas mereka dengan wajah murung. Mereka menceritakan apa yang
terjadi. "Oh, jadinya ternyata kau menimpakan kesalahan padaku juga," kata Alicia
mengejek. "Kami sama sekali tidak menyebutkan namamu, jadi kau tak usah takut, Alicia,"
kata Belinda. "Aku tidak takut!" tukas Alicia. Tetapi sesungguhnya ia ketakutan. Akhir-akhir
ini cukup-banyak kelakuannya yang pasti tak berkenan pada Kepala Sekolah, ia
kini tak mau harus menanggung akibat perbuatannya. Tetapi ia juga tak suka
melihat pandangan menuduh anak-anak sekelas.
"Mam'zelle Dupont kini sedang bergabung dengan rekan senegaranya itu," kata
Darrell. "Entah apa yang terjadi.'
Mam'zelle Dupont masuk begitu saja ke ruang Nona Grayling, membuat kepala
sekolah itu dan Mam'zelle Rougier sangat terkejut. Nona Grayling sedang
menelusur pertengkaran yang terjadi di antara kedua mam'zelle tersebut dari
Mam'zelle Rougier yang kini semakin merasa malu. Mam'zelle Dupont langsung
melihat buku yang ada di meja Nona Grayling dan mengambilnya, memeriksa gambar
di dalamnya satu per satu.
"Ah, ia Ia! Belinda ini sungguh seorang anak jenius!" serunya. "Ha ha ha! Lihat
Nona Grayling, gambarku ini. Pernahkah Anda melihat kelinci segemuk ini" Dan
memang sangat mirip dengan aku! Dan oh, Mam'zelle Rougier, untuk apa Anda
membawa belati itu" Sungguh indah, luar biasa! Hei, lihat ini. Aku akan
diracun!" Mam'zelle Dupont tak henti-hentinya tertawa terpingkal-pingkal, sambil sekali-
sekali menghapus air matanya. "Apa Anda berdua tak mengerti bagaimana lucunya
gambar ini?" Sesaat ia berhenti tertawa dan bertanya pada kedua guru itu, yang
memandangnya dengan tercengang.
"Lihat di sini. Aku akan ditembak dengan pistol. Seolah-olah hal itu mungkin
terjadi! Padahal Mam'zelle Rougier sahabatku! Ah, kami memang sering bertengkar,
dia dan aku. Tapi kami sama-sama wanita Prancis, bukan" Dan kami harus banyak
mempertahankan diri terhadap kekurangajaran anak-anak Inggris ini!"
Kekakuan di wajah Mam'zelle Rougier mulai terlihat hilang. Nona Grayling
memperhatikan lagi satu-dua gambar di buku itu dan mau tak mau kini ia terpaksa
tersenyum. "Yang ini betul-betul lucu, Mam'zelle Dupont," katanya. "Dan yang ini
juga. Memang, seluruhnya bisa digolongkan kurang ajar. Dan aku setuju kelas itu
harus dihukum, terutama Belinda. Hukumannya kuserahkan pada Anda berdua."
Sesaat hening. Kemudian Mam'zelle Rougiei berkata, "Kurasa... kurasa
sesungguhnya Mam'zelle Dupont dan akulah yang bersalah dalam hal ini, Nona
Grayling. Pertengkaran kami hanya suatu soal kecil, tak heran bila terlalu
mengganggu pikiran anak-anak itu... dan..."
"Ah, ya, Anda benar!" seru Mam'zelle Dupont bersemangat. "Anda sangat benar,
Sahabatku! Akulah yang harus disalahkan. Nona Grayling, kami minta Anda tidak
memberi hukuman pada anak-anak yang kurang ajar itu. Kami akan mengampuni
mereka!" Mam'zelle Rougier tampak tertegun. Untuk apa Mam'zelle Dupont mengampuni anak-
anak itu" Toh memang ia digambarkan baik-baik saja, tidak diperjelek seperti
dirinya. Sudah barang tentu dengan mudah Mam'zelle Dupont memberi ampun- Tetapi
Mam'zelle Rougier tak sempat menyanggah. Mam'zelle Dupont terus saja berbicara
tak putus-putusnya. "Gambar-gambar ini... lebih banyak lucunya daripada kurangajarnya! Ini semua
lelucon, untuk membuat orang tertawa! Kami tak keberatan. Pertengkaran kami yang
jadi sumbernya. Tapi kini kita bersahabat bukan, Mam'zelle Rougier?"
Mam'zelle Rougier tak mungkin berkata tidak. Di luar kehendaknya ia mengangguk.
Mam'zelle Dupont dengan penuh semangat menciumnya dua kali. Nona Grayling
melihat itu semua dengan sangat tertarik.
"Belinda itu!" kata Mam'zelle Dupont memperhatikan gambar-gambar di buku. "Ah,
sungguh sangat pandai! Suatu hari, Nona Grayling, mungkin kita akan bangga pada
gambar-gambar ini. Kelak kalau Belinda sudah termasyhur! Mam'zelle Rougier dan
aku saat itu akan melihat gambar-gambar ini dan berkata, Ah, Belinda yang
masyhur itu dulu pernah menggambar kami, saat ia jadi murid kami!' "
Mam'zelle Rougier tak berkata apa-apa. Ia merasa telah terpaksa melakukan banyak
hal yang sesungguhnya tak ingin dilakukannya. Tetapi ia tak mungkin mengubah
keputusan yang telah dikeluarkannya, tentu.
"Kalau begitu, mungkin Anda bisa kembali ke kelas Anda kini," kata Nona
Grayling. "Dan Anda mau bukan untuk mengatakan ini pada anak-anak itu agar
mereka tak gelisah lagi" Belinda tentu saja harus minta maaf. Tetapi aku yakin
tak usah disuruh ia pasti minta maaf pada Anda berdua."
Kedua mam'zelle itu meninggalkan ruang Mona Grayling dengan bergandengan tangan.
Ini membuat siapa saja yang bertemu dengan mereka sangat heran. Semua tahu bahwa
selama dua minggu ini kedua mam'zelle tersebut saling membenci. Keduanya
memasuki ruang kelas dua yang anak-anaknya langsung berdiri memberi hormat
tetapi sunyi senyap semua. Namun ketegangan di hati mereka sedikit lenyap
melihat Mam'zelle Dupont begitu cerah mukanya, sementara Mam'zelle Rougier tidak
semasam biasanya. Mam'zelle Dupont membuat seisi kelas bisa bernapas lega kembali. "Kalian semua
anak nakal. Sangat kurang ajar! Belinda, kau membuat pensilmu bertingkah tak
terkendalikan! Aku sungguh sangat marah!"
Tetapi ia sama sekali tidak tampak marah. Matanya yang hitam bersinar-sinar
ramah. Belinda berdiri lagi.
"Aku sangat menyesal, Mam'zelle," katanya. "Aku mohon maaf pada Anda berdua."
Mam'zelle Rougier merasa bahwa sesungguhnya Belinda tak perlu minta maaf pada
Mam'zelle Dupont. Tetapi hal itu tak diucapkannya, ia menerima permintaan maaf
tersebut setenang mungkin.
"Dan kini, hukuman," kata Mam'zelle Dupont dengan suara keras, tetapi mata tetap
gembira. "Sebagai hukuman kalian harus lebih giat lagi belajar bahasa Prancis,
jauh lebih giat dari hari-hari sebelum ini! Kalian harus belajar yang baik,
menerjemahkan dengan baik, dan menjadi murid-muridku yang terbaik. Kalian mau
berjanji?" "Oh, tentu, Mam'zelle!" serentak anak-anak itu menjawab. Dan paling tidak untuk
saat itu mereka betul-betul memutuskan untuk belajar lebih baik dalam hati.
Bahkan Daphne dan Gwendoline dalam hati juga bertekad untuk menjadi murid
terbaik. Mam'zelle Rougier meninggalkan kelas itu. Mam'zelle Dupont mengambil
alih kelas tersebut, walaupun waktunya tinggal lima menit lagi.
"Mam'zelle, bolehkah kami bertanya?" tanya Darrell pada saat pelajaran bahasa
Prancis hampir selesai. "Siapakah sebenarnya yang akan memegang peran utama
dalam drama kita" Hal itu cukup membingungkan kami. Mungkin Anda dan Mam'zelle
Rougier telah mengambil keputusan bagaimana sebaiknya."
"Kami belum mencapai kata sepakat tentang hal itu," kata Mam'zelle Dupont.
"Tetapi, aku, aku hari ini merasa sangat baik hati. Aku akan mengalah, agar
Mam'zelle Rougier terobati hatinya oleh guncangan yang kalian buat hari ini. Aku
akan membatalkan peran Daphne, dan memberikannya pada Sally dan Darrell. Itu


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti akan membuat Mam'zelle Rougier gembira dan karenanya beliau akan tersenyum
pada kalian semua." Daphne tak begitu gembira akan putusan ini. Ia menatap Mam'zelle dengan
pandangan tersinggung. Tetapi dalam hati ia sedikit bersyukur. Sebab rasanya tak
akan mungkin ia bisa menghafalkan begitu banyak kalimat Prancis yang artinya pun
tak begitu ia tahu. Mungkin untung juga ia tak jadi memegang peran utama itu.
Tetapi ia harus tampak kecewa, kemudian bersikap merelakan dengan satu senyum
manis. Maka dengan wajah sedikit kaku ia berkata pada Mam'zelle, "Terserah Anda,
Mam'zelle. Sesungguhnya aku sudah bersusah payah menyiapkan diri agar Anda puas
dengan permainanku - tetapi agar anak lain bisa puas, biarlah aku lepaskan
peranan itu." "Ah, kau sungguh baik hati!" kata Mam'zelle Dupont berseri-seri. Aku akan
membalas kebaikan hatimu itu, Daphne. Kita berdua nanti akan bersama-sama
membaca sebuah buku Prancis yang sangat kusukai sewaktu aku masih kecil dulu!
Pasti itu akan membuatmu gembira, bukan?"
Seisi kelas terpaksa menyembunyikan tawa mereka melihat air muka Daphne. Membaca
buku Prancis bersama Mam'zelle! Alangkah mengerikan! Ia harus mencari jalan agar
lolos dari bencana itu! Peristiwa gambar-gambar Belinda itu membawa tiga akibat. Pertama, Alicia jadi
semakin cemberut, sebab menurut perasaannya dialah yang paling rugi - anak-anak
teman sekelasnya kini tak begitu menghormatinya lagi, karena ternyata bukan saja
ia yang sesungguhnya penyebab gara-gara itu, tetapi ternyata ia juga tak berani
bertanggung jawab. Kedua, kini Mam'zelle Dupont dan Mam'zelle Rougier jadi
bersahabat erat, tidak lagi bermusuhan. Dan ketiga: Daphne hanya kebagian peran
yang sangat kecil, tidak lagi sebagai putri cantik, tetapi sebagai seorang pria
tua yang harus berkerudung terus hingga tak tampak mukanya, ia sangat kecewa.
"Padahal aku telah menulis surat pada ayah-ibuku tentang peran pentingku itu,"
keluhnya. Sungguh memalukan!"
"Ya, memang," kata Gwendoline. "Tetapi tak apalah, Daphne. Kau tak usah berusaha
keras untuk menghafal bagianmu kini."
Jean datang dengan membawa kotak sumbangan. Diguncangkannya kotak itu di hadapan
Gwendoline dan Daphne. "Iuran olahraga. Sudah siap" Hari ini dikumpulkan. Lima
shilling seorang!" "Ini iuranku," Gwendoline mengeluarkan dompetnya.
"Kau, Daphne," kata Jean. Daphne mengeluarkan dompetnya. "Sialan," katanya.
"Kukira uangku masih sepuluh shilling. Ternyata tinggal enam pence! Oh, ya!
Minggu lalu aku harus membeli hadiah ulang tahun guru pribadiku. Gwen, tolong
pinjami aku dulu sampai aku dapat kiriman dari rumah, ya?"
"Dia meminjamimu dua shilling minggu lalu," kata Jean, mengguncangkan kotak
iurannya. "Aku yakin kau belum membayarnya kembali. Dan kau pinjam dariku enam
pence untuk iuran gereja. Sebaiknya kausiapkan buku kecil untuk mencatat hutang-
hutangmu." "Apa sih arti jumlah seperti itu," kata Daphne, tampak tersinggung. "Aku akan
segera menerima uang banyak sekali untuk ulang tahunku nanti. Betapapun, minggu
ini pasti kubayar semua. Pamanku akan mengirimiku tiga puluh shilling."
"Baiklah, akan kubayari iuranmu kali ini," kata Gwendoline, memasukkan selembar
uang sepuluh shilling ke dalam kotak iuran. Jean berpaling pada Darrell yang
memasukkan uang iurannya. Kemudian kotak itu diguncangkannya di depan hidung
Ellen. "Lima shilling, Ellen!"
"Jangan membuatku terkejut!" Ellen terlompat. "Apa yang kauinginkan" Lima
shilling" Aku tak punya. Lain kali saja."
"Tapi iuran yang lalu kau juga berkata begitu," kata Jean yang sangat keras
kepala kalau mendapat tugas mengumpulkan iuran. "Ayolah, Ellen. Ambil uangmu dan
selesai sudah iuran kita."
"Aku sedang belajar!" kata Ellen gusar. "Pergilah! Lain kali saja kuberi iuran
itu!" Jean pergi dengan geram. Daphne berbisik pada Gwendoline, "Aku yakin ia tak
punya uang! Ia memang memenangkan bea siswa untuk masuk kemari. Aku yakin
keluarganya tak kuat membayar untuk sekolah sebagus ini."
Ellen tak tahu apa yang dibisikkan Daphne, tetapi ia menduga pastilah sesuatu
yang buruk tentang dirinya kalau didengar dari nada mengejek Daphne. Ia
membantingkan bukunya ke meja dan berkata, "Selalu tak bisa belajar di sini!
Jangan berisik, Daphne. Dan jangan tersenyum seperti orang tolol begitu!"
13. KASIHAN ELLEN! "Wah! Sungguh tak punya sopan santun!" kata Daphne saat Ellen keluar dan
membanting pintu. "Kenapa sih dia?"
Tak ada yang tahu. Tak ada yang tahu bahwa Ellen makin lama makin khawatir
dengan hasil pelajarannya, ia tahu sebentar lagi ulangan akhir semester akan
dimulai, dan ia ingin mencapai hasil yang baik. Ia harus! Karena itulah ia
selalu belajar dan belajar terus, ia mulai merasa bahwa ia bisa menghadapi
ulangan akhir itu dengan baik.
Tetapi sore itu badannya merasa tak enak. Tenggorokannya sakit. Matanya juga
terasa sakit, terutama bila digerakkan. Dan ia mulai batuk.
Apakah ia akan sakit" Kalau ia sakit, maka ia pasti akan ketinggalan pelajaran.
Ini tak boleh terjadi. Karena itu Ellen mengulum pastiles obat batuk banyak-
banyak, dan diam-diam memakai obat kumur di kamar mandi, berharap mudah-mudahan
Ibu Asrama tak melihatnya.
Malam itu matanya terasa panas. Pipinya merah padam. Dan pada waktu belajar
malam ia terbatuk-batuk. Nona Potts yang mengawasi belajar malam itu menoleh
padanya. "Ada apa, Ellen?" tanyanya.
"Oh. tak apa-apa. Nona Potts," jawab Ellen berdusta, ia menunduk menekuni
bukunya. Tetapi kemudian ia terbatuk lagi.
"Aku tak suka mendengar batuk seperti itu," kata Nona Potts. "Mungkin kau harus
menemui..." "Oh, Nona Potts, hanya gatal sedikit di kerongkonganku," kata Ellen hampir putus
asa. Mungkin dengan minum sedikit akan hilang."
"Kalau begitu cepatlah minum," kata Nona Potts. masih belum yakin akan kebenaran
kata-kata Ellen. Ellen cepat-cepat ke luar ruangan. Di ruang penyimpanan pakaian luar ia
berhenti, menyandarkan kepalanya pada dinding ruangan yang dingin itu. Alangkah
senangnya bila ia punya sahabat yang bisa diajaknya berbicara tentang kesulitan
yang sedang dihadapinya. Tetapi kekasarannya telah menjauhkan semua teman
sekelasnya! Bahkan Jean juga. Jean telah mencoba untuk bersikap manis padanya,
tetapi ia mengambil uang iuran saja tak sempat.
"Entah kenapa aku ini," pikirnya. "Dulu aku tidak seperti ini. Kawanku banyak di
sekolahku dulu. Alangkah senangnya kalau aku tak usah meninggalkan sekolahku
itu. Alangkah senangnya kalau aku tak memenangkan bea siswa kemari."
Ia harus kembali ke ruang belajar. Tenggorokannya masih terasa sakit. Dikulumnya
sebutir pastiles obat batuk. Kemudian ia kembali ke ruang belajar dengan mencoba
berjalan tegap, walaupun kakinya terasa begitu lemas.
Suhu badannya naik, dan mestinya ia langsung saja ke tempat tidur. Tetapi ia tak mau menyerah,
ia harus belajar terus, ia tak boleh tertinggal, ia harus berhasil baik dalam
ulangan akhir, apa pun yang terjadi.
Ia mencoba menghafalkan sebuah sajak Prancis. Tetapi telinganya berdengung
terus. Dan ia mulai batuk lagi.
"Oh, tutup mulut!" desis Alicia. "Kau hanya pura-pura agar dikasihani Potty!"
Begitulah sifat Alicia. Ia tak suka anak yang batuk, menyedot hidung, karena
pilek, atau berkeluh kesah, ia tak bisa merasa iba pada anak yang sesungguhnya
harus dikasihaninya. Ia kuat, sehat, dan pandai, ia tak pernah sakit sekali pun.
Karenanya ia sangat memandang rendah pada anak yang bodoh, lemah, atau yang
mendapat kesulitan. Hatinya begitu keras dan tak pernah terpikir olehnya untuk
berbaik hati pada yang memerlukannya. Sering Darrell merasa heran sendiri,
mengapa dulu sewaktu ia baru masuk ke Malory Towers, ia begitu ingin menjadi
sahabat Alicia! Ellen memandang Alicia dengan marah. "Aku tidak berpura-pura!" katanya. Dan ia
bersin. Alicia berseru jijik,
"Jangan bersin di sini! Kalau kau memang sakit, pergi tidur sana!" desisnya.
"Diam!" kata Nona Potts terganggu. Alicia tidak berbicara lagi. Ellen mengeluh
dan mencoba memusatkan perhatian pada buku di depannya. Ia gembira ketika
lonceng waktu belajar malam habis berbunyi. Badannya terasa panas dan ia sedikit
gemetar. Oh, sialan! Masa ia akan terkena demam" Mungkin besok keadaannya akan
membaik. Ia berusaha keras untuk makan banyak waktu makan malam itu. Ia takut kalau
berkurangnya napsu makannya diperhatikan oleh Nona Parker. Tetapi sesungguhnya
Nona Parker jarang memperhatikan Ellen yang biasanya pendiam dan terkenal buruk
adatnya. Hanya satu hal yang menarik perhatian Nona Parker, yaitu mengapa nilai
pelajaran Ellen tak pernah membaik.
Sally-lah yang memperhatikan bahwa Ellen sakit malam itu. Ia mendengar suara
napas Ellen yang serak, cepat, dan ia teringat batuk-batuk Ellen di ruang
belajar tadi. Ellen yang malang. Apakah anak itu sesungguhnya sakit tetapi tak
ingin orang lain tahu"
Sally hatinya lembut dan berpikiran cerdas. Dipegangnya tangan Ellen dan ia
merasakan betapa panasnya tangan tersebut. "Ellen, kau sakit! Mari kuantar ke
Ibu Asrama sekarang juga!"
Kebaikan Sally ini membuat Ellen terharu, dan hampir ia meruntuhkan air mata.
Tetapi dengan gusar ia menggelengkan kepala.
"Aku tak apa-apa! Biarkan aku! Hanya pusing sedikit!"
"Kasihan kau, Ellen," kata Sally. "Kau pasti tidak hanya pusing. Ayolah pergi ke
Ibu Asrama. Kau harus istirahat!"
Tetapi Ellen tak mau pergi. Baru beberapa lama kemudian sewaktu Jean datang dan
menanyainya, ia tak tahan lagi. Ia mengaku dirinya sakit, tetapi ia tak mau
istirahat sebab ulangan akhir semakin dekat "Aku harus berhasil dengan baik,"
katanya pada Jean. "Aku harus!" Air mata mengalir di pipinya, dan badannya
gemetar. "Kau takkan bisa mencapai hasil yang baik bila memaksa diri seperti ini," kata
Jean. "Ayolah menghadap Ibu Asrama. Aku berjanji akan memberimu semua catatan
pelajaran-pelajaran yang tidak kauikuti."
"Oh, betulkah?" tanya Ellen, batuk. "Baiklah. Tapi kau harus berjanji untuk
mencatat pelajaran itu, ya" Ayolah menghadap Ibu Asrama. Mungkin istirahat satu
hari saja aku akan sembuh."
Tetapi ternyata menurut pemeriksaan Ellen harus istirahat lebih dari satu hari!
Sakitnya cukup parah, sehingga Ibu Asrama langsung mengirimkannya ke san.,
sanatorium, tempat anak-anak yang sakit di sekolah itu dirawat. Ellen
sesungguhnya bersyukur bisa beristirahat dengan baik di situ. Ia begitu terharu
hingga menangis. Sesungguhnya malu juga menangis, tapi air matanya tak
tertahankan lagi. "Sudahlah, jangan khawatir," kata jururawat "Kalau melihat keadaanmu, mestinya
sudah beberapa hari yang lalu kau berada di san. ini. Anak tolol, kini
istirahatlah, dan tenang-tenang sajalah selama seminggu ini."
Seminggu! Ellen terbelalak ketakutan. Ia tak bisa meninggalkan pelajaran selama
seminggu! Dengan cepat ia bangkit untuk membantah, tetapi jururawat mendorongnya
hingga berbaring kembali.
"Jangan begitu ketakutan! Kau akan senang tinggal di sini. Dan segera setelah
sakitmu mendingan, setelah kau tidak akan menularkan penyakit lagi, kau boleh
memilih seseorang teman untuk mengunjungimu."
"Kasihan Ellen! Dia betul-betul sakit," kata Jean pada yang lain setelah ia
kembali dari tempat Ibu Asrama. "Tak tahu aku berapa derajat panas tubuhnya,
tetapi kulihat tadi jururawat tampak terkejut membaca temperaturnya. Pastilah
sangat tinggi." "Ia tadi terbatuk-batuk sewaktu belajar," kata Sally. "Memang kasihan dia."
"Hanya Alicia yang tak merasa kasihan padanya," kata Gwen licik. "Tadi ia
membentaknya. Sungguh baik hati Alicia!"
Alicia melotot pada Gwen. Biasanya dialah yang mengejek Gwen, tetapi kini Gwen
berhasil membuatnya tersudut!
"Oh, tetapi kita kan tahu bahwa Alicia memang tak pernah merasa kasihan pada
siapa pun," kata Darrell tanpa berpikir panjang, ia memang agak kesal pada
Alicia akhir-akhir ini, sebab Alicia sering mengejek Sally. Lagi pula ia merasa
mestinya Alicia harus bersikap berani dan mengaku bahwa dialah i yang menjadi
biang keladi peristiwa yang menggusarkan Mam'zelle Rougier dulu itu, sebab
sesungguhnya dialah yang tahu bahwa yang akan datang' bukanlah Mam'zelle Dupont
tetapi Mam'zelle Rougier. Alicia tak minta maaf pada Belinda yang waktu itu jadi
ketakutan setengah mati. Sesungguhnya dalam hati Alicia memang merasa malu pada peranannya di peristiwa
itu. Tetapi ia merasa tak ada gunanya minta maaf lagi, kan perkaranya sudah
selesai. Tetapi bila teringat akan hal itu, tak habis-habisnya ia menyesali
dirinya. Ia pun menyesal dalam hati telah berlaku kasar terhadap Ellen - tetapi bagaimana
ia tahu bahwa anak itu betul-betul sakit" Tetapi ia tak begitu peduli. Untuk apa
ia mengurus Ellen yang selalu membentaki orang dan selalu marah-marah itu"
Biarlah dia sakit! Malah kebetulan, agar suasana kelas sedikit lebih
menyenangkan tanpa dia! Empat hari sakit Ellen cukup parah. Kemudian demamnya mulai berkurang. Tetapi
dengan berkurangnya sakitnya, kekhawatirannya tentang pelajaran mulai datang
lagi. Ulangan-ulangan itu! Ia tahu bahwa hasil ulangan tersebut akan menentukan urutan
kedudukannya di kelas. Dan sangatlah penting bahwa ia harus berada di puncak
atau dekat dengan puncak. Ayah dan ibunya telah begitu bangga karena ia berhasil
memenangkan bea siswa di sekolah sebaik Malory Towers ini. Mereka tak begitu
kecukupan, tetapi mereka telah berjanji untuk bekerja keras mempertahankan Ellen
di sekolah itu karena Ellen sendiri telah bekerja keras untuk bisa memasukinya.
Uang seragam cukup tinggi. Bahkan karcis kereta apinya cukup mahal. Untunglah
Ellen bisa menumpang pada mobil seorang kenalan ayah-ibunya. Dan Ibu telah
membeli kopor besar baru serta tas baru. Uang lagi. Ya, ampun! Apakah ada
untungnya memenangkan bea siswa ke sekolah jemahal Malory Towers ini kalau
ternyata mereka kemudian harus begitu payah mencari uang guna mempertahankannya
di sana" Mungkin juga lebih baik tidak kemari saja.
Kemudian terpikir pula olehnya sesuatu - ongkos dokter! Satu lagi yang pasti
terpaksa dibayar oleh ayah-ibunya. Dan sementara itu pelajarannya mundur serta
mendapat nilai buruk di semester pertama. Ayah-ibunya pastilah sangat kecewa!
Begitulah. Kekhawatiran Ellen makin lama makin berat. Ibu Asrama dan jururawat
tak mengerti mengapa penyakit anak ini tak segera enyap seperti perkiraan
mereka. Tiap hari Ellen minta agar ia diperbolehkan meninggalkan san., tetapi
jururawat terpaksa berkata, "Tak bisa, Sayang, kau belum cukup kuat. Tapi kalau
kau ingin dikunjungi seseorang, kau sudah boleh menerimanya. Siapa yang
kaupilih?" "Oh, ya, tolong minta agar Jean mengunjungiku," kata Ellen segera. Jean telah
berjanji akan mencatatkan semua pelajaran yang tak diikutinya, dan Jean bisa
diandalkan. Maka Jean pun mengunjunginya, membawa sebotol madu. Tetapi Ellen sama sekali tak
tertarik pada madu itu. "Kaubawa catatan yang kaujanjikan itu, Jean?" tanyanya harap-harap cemas. 'Oh,
Jean, kaubawa tidak?"
"Ya, ampun! Untuk apa kau memerlukan catatan pelajaran sekarang?" tanya Jean
heran. "Kau bahkan belum boleh bangun!"
"Tapi, Jean, kau telah berjanji!" kata Ellen. "Kalau kau berkunjung lagi kau
harus membawanya. Kini ceritakan saja apa yang telah kaupelajari."
Jean mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. Baginya aneh juga Ellen ingin
membicarakan pelajaran dan bukannya ingin bermain-main.
'Di matematika, kita sudah mulai mengerjakan soal-soal baru itu. Besok akan
kubawa beberapa soal untukmu. Dan bahasa Prancis kita sudah sampai pada sajak
panjang di halaman enam. puluh empat itu. Bisa kuhapalkan di sini nanti. Di ilmu
bumi kita belajar..."
"Jean!" tiba-tiba Ibu Asrama muncul dan menegur Jean. "Ellen sama sekali belum
boleh mendengar apa pun tentang pelajaran, ia tak boleh memberatkan pikirannya
dengan memikirkan pelajaran. Nona Parker dan Mam'zelle akan mengerti mengapa ia
tertinggal dan tak akan menegurnya."
"Tetapi, Ibu, aku harus mengetahuinya!" kata Ellen putus asa. "Aku harus! Oh,
biarkan Jean bercerita terus padaku. Dan biarkan dia membawa catatan pelajaran
untukku!" "Tidak boleh! Aku melarangnya!" kata Ibu Asrama tegas. Dan itu tak bisa diubah
lagi. Ellen tak lagi tertarik pada cerita-cerita Jean. Ia berbaring dengan putus
asa. Pastilah ia akan turun ke kedudukan yang paling bawah di kelas! Betapa
sialnya! 14. ELLEN PUNYA PIKIRAN BURUK
Tak banyak yang merasa kehilangan Ellen. Ia tak begitu menonjol seperti Darrell
yang menonjol karena periang serta bersahabat, Alicia karena nakal dan lucu -
bahkan Mary-Lou cukup menonjol karena pemalu, penakut, serta pendiam.


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau Mary-Lou ada, maka kita tak pernah memperhatikannya. Tetapi begitu ia tak
ada, maka kita merasa ada sesuatu yang kurang," kata Darrell saatu saat. Dan itu
memang benar. Akhir-akhir ini Darrell merasa sering kehilangan Mary-Lou. Mary-Lou hampir
selalu mengikuti Daphne. Tak seorang pun mengerti akan persahabatan aneh itu.
Tak seorang pun percaya bahwa Daphne menginginkan Mary-Lou sebagai sahabatnya -
ia hanya ingin Mary-Lou membantunya dalam bahasa Prancis. Darrell sudah
menunjukkan pada Mary-Lou bahwa apa yang dilakukannya sebetulnya suatu
kecurangan, mengerjakan pekerjaan rumah Daphne. Tetapi Mary-Lou tak mau
mendengarkannya. "Aku tak bisa membantu siapa pun," kata Mary-Lou. "Hanya dalam bahasa Prancis
aku pandai. Dan sungguh menyenangkan untuk bisa membantu seseorang. Lagi pula...
Daphne betul-betul menyukaiku, Darrell."
"Begitu juga aku, dan Sally," kata Darrell, agak kesal karena Mary-Lou bergaul
rapat dengan anak bermuka dua seperti Daphne itu.
"Ya, aku tahu. Tetapi kau menyukaiku hanya karena kau baik hati," kata Mary-Lou.
"Kau telah punya sahabat, Sally. Kau membiarkan aku mengikuti kalian berdua,
tetapi sesungguhnya kau tak menginginkan aku ikut. Lagi pula aku tak bisa
membantumu apa pun, jadi kau tak memerlukan diriku. Sementara itu aku bisa
membantu Daphne - dan walaupun kau bilang ia hanya memperalat aku untuk
membantunya dalam bahasa Prancis, aku yakin bukan itu alasannya menyukaiku."
Darrell merasa yakin bahwa Daphne pura-pura saja baik terhadap Mary-Lou karena
bahasa Prancisnya. Tetapi sesungguhnya dugaannya ini tak begitu tepat. Kini
Daphne betul-betul menyukai Mary-Lou. Ia sendiri tak tahu kenapa, sebab tak
pernah ia sampai begitu suka pada seseorang. Mungkin karena Mary-Lou tak pernah
menonjolkan diri, selalu mengalah padanya, selalu ingin membantunya, "Ia
bagaikan seekor tikus peliharaan yang ingin kita lindungi dan merawatnya," pikir
Daphne. Ia sering bercerita tentang kekayaan keluarganya pada Mary-Lou. Mary-Lou
mendengarkan dengan perasaan kagum. Gadis cilik itu bangga bahwa seseorang yang
begitu agung seperti Daphne mau memperhatikannya dan menceritakan begitu banyak
tentang keluarganya. Ellen tak masuk sekolah selama sebelas hari. Enam hari di antaranya penuh dengan
rasa khawatir karena Jean dilarang membawa catatan apa pun sewaktu
mengunjunginya. Ketika ia sudah boleh mengikuti pelajaran lagi, maka ia tampak
begitu pucat, lebih kurus tetapi dengan pandangan mata yang menggambarkan tekad
mantap, ia harus bisa mengejar pelajarannya! Tak peduli untuk itu ia harus
bangun jam enam pagi dan belajar di bawah selimutnya dengan memakai senter,
misalnya! Ia minta pada Nona Parker untuk diberi pelajaran tambahan. Tetapi dengan lembut
Nona Parker menolak permintaan itu.
"Tidak, Ellen. Kau belum cukup kuat untuk pelajaran sehari-harimu, apalagi
ditambah pelajaran tambahan. Tak apa bila kau tertinggal dan memperoleh nilai
rendah. Kami semua mengerti bahwa kau baru sakit. Tak usah khawatir akan hal
itu." Ellen menemui Mam'zelle Dupont, dan bahkan kemudian ia menemui Mam'zelle
Rougier. "Aku ingin sekali mengetahui apa saja yang telah terlewat olehku agar
aku bisa mengejarnya," katanya. "Sudikah Anda memberi pelajaran tambahan?"
Tetapi kedua mam'zelle itu menolaknya. "Kau belum cukup kuat, Anakku," kata
Mam'zelle Dupont. "Tak usah khawatir tentang ketinggalanmu. Tak seorang pun
meminta kau berbuat cemerlang semester ini. Santai sajalah!"
Ellen begitu putus asa. Tak seorang pun mau menolongnya! Semua agaknya
memusuhinya - Ibu Asrama, dokter, Nona Parker, dan kedua mam'zelle itu.
Dan sepuluh hari lagi ulangan akhir semester akan dimulai! Ellen biasanya
menyukai ulangan. Tetapi kali ini ia malah sangat ketakutan, ia tak mengerti
bagaimana anak-anak lain malah bercanda tentang ulangan-ulangan itu!
Kemudian muncul suatu pikiran di benak Ellen - pikiran buruk. Mula-mula pikiran
tersebut langsung dibuangnya jauh-jauh. Tetapi muncul lagi dan muncul lagi,
membisikkan suatu jalan agar ia bisa berhasil baik dalam ulangannya.
"Kalau kau bisa melihat kertas-kertas ulangan itu sebelum dibagikan, maka kau
bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik!" Begitulah, bisikan itu selalu
terngiang-ngiang di telinganya.
Ellen tak pernah berbuat curang selama ini. Ia tak perlu berbuat curang sebab
otaknya cemerlang dan ia tekun belajar. Curang dalam ulangan hanya dilakukan
oleh mereka yang tak siap, dan itu takkan dilakukan oleh mereka yang tanpa
kecurangan pun bisa memperoleh nilai cemerlang! Tetapi bila kita tidak siap,
bila sesuatu terjadi sehingga kita tak menguasai pelajaran - apakah kecurangan
itu akan kita lakukan jika itu satu-satunya jalan untuk memperoleh nilai yang
baik" Pertanyaan seperti itu sangat jarang muncul di hati seorang anak yang biasanya
berotak cemerlang, yang biasanya sangat membenci kecurangan dalam pelajaran.
Tetapi kini pertanyaan itu dihadapkan pada Ellen. Mudah saja untuk tidak berbuat
curang kalau memang tak perlu berbuat curang. Tetapi apakah mudah pula untuk
tidak berbuat curang kalau memang itu satu-satunya cara untuk memperoleh nilai
baik" Pertanyaan seperti inilah yang menentukan apakah pribadi kita lemah, kuat,
jujur, ataukah memang bengkok.
Ellen tak lagi bisa mengusir pikiran buruk tadi dari otaknya. Pikiran tadi terus
mendesaknya. Dan suatu hari ia berada di kamar Nona Parker serta melihat di meja
guru itu sesuatu yang mirip kertas ulangan. Nona Parker tak ada di situ. Tak
memakan waktu untuk mendekat dan mencuri lihat.
Dengan cepat Ellen membaca pertanyaan-pertanyaan yang ada di kertas itu. Betapa
mudahnya! Tetapi dengan terkejut ia baru melihat bahwa itu ulangan untuk kelas
satu. Hatinya runtuh seketika.
Belum sempat ia mencari kertas ulangan kelas dua, terdengar suara sepatu Nona
Parker dari arah gang. Ellen cepat-cepat menyelinap keluar lewat pintu lain. Tak
boleh ada yang tahu apa yang dilakukannya!
Sejak saat itu Ellen sering sekali menyelinap masuk ke kamar Nona Parker atau
Nona Potts. Ia memilih saat-saat kedua guru itu tak ada di tempat.
Ia bahkan pernah menyelinap ke ruang guru-guru dan mencari-cari kertas ulangan
di meja Nona Parker. Alicia memergokinya di tempat itu dan tampak heran. "Apa yang kaulakukan itu?"
tanya Alicia. "Kau tahu kita tak boleh masuk ke situ!"
"Pulpenku hilang," Ellen kebingungan asal menjawab. "Mungkin Nona Parker telah
menemukannya dan..."
"Walaupun misalnya Nona Parker menyimpan pulpenmu, kan kau tak boleh masuk
sesuka hatimu ke situ," kata Alicia.
Di saat lain Darrell melihat Ellen berdiri di dekat meja Mam'zelle di dalam
kamar Nona Potts, sedang mencari-cari di antara kertas-kertas di meja itu.
Darrell tertegun melihatnya.
"Er... oh! Mam'zelle menyuruhku mengambil sebuah bukunya di sini," kata Ellen
dan ia merasa terkejut sendiri, ia pernah mendengar bahwa satu kejahatan akan
membuahkan kejahatan lainnya. Dan kini ia tahu bahwa hal itu benar, ia mencoba
untuk berbuat curang dalam ulangan dan kini ia malah berdusta! Entah apa lagi
yang akan dilakukannya kelak.
"Agaknya Ellen semakin hebat setelah istirahat dua minggu," kata Betty suatu
sore di ruang rekreasi saat Ellen membentak seseorang dan kemudian dengan berang
pergi. "Ia kini semakin galak! Dan agaknya ia belum begitu sembuh!"
"Sakitnya mungkin takkan bisa sembuh, yaitu sakit mudah marah!" kata Alicia.
"Aku sudah muak padanya. Selalu mengerutkan kening, selalu mengeluh, selalu
tampak dalam kesulitan."
Gwendoline masuk, tampaknya bingung. "Ada yang melihat dompetku?" tanyanya. "Aku
yakin aku telah menaruhnya di mejaku, tetapi kini tak ada. Padahal pagi tadi
baru kumasuki uang sepuluh shilling, karena aku ingin membeli sesuatu."
"Mari kubantu kau mencarinya," kata Daphne serta-merta. "Aku yakin masih ada di
dalam laci mejamu itu."
Tetapi dompet itu tak bisa ditemukan. Sungguh mengesalkan. Gwendoline
mengerutkan kening mencoba untuk mengingat-ingat.
"Tidak, aku merasa pasti tak menaruhnya di tempat lain," katanya akhirnya. "Oh,
betapa menjengkelkan! Bisakah kau meminjamiku uang, Daphne?"
"Tentu saja. Dompetku ada di sakuku, dan memang aku bermaksud membayar hutangku
padamu," kata Daphne, memasukkan tangannya ke sakunya. "Aku baru saja mendapat
kiriman dari pamanku."
Tiba-tiba ia tertegun, mukanya memberi kesan kaget. "Sial! Dompetku hilang! Ada
lubang di sakuku... wah, jatuh di mana ya dompet itu?"
"Wah, kalian ini memang pasangan yang cocok!" kata Alicia. "Dua-duanya
kehilangan dompet yang penuh berisi uang! Kalian lebih buruk dari Belinda atau
Irene!" Sehari sebelumnya, Belinda kehilangan uang setengah crown!
Ia telah merangkak-rangkak ke seluruh lantai di kelasnya hingga membuat
Mam'zelle terheran-heran. Ia tak berhasil menemukan uang tersebut dan minta agar
Jean mengembalikan uang iurannya. Jean tak mau mengembalikan uang tersebut,
sebab semua iuran sudah disetorkannya pada ketua seksi olahraga.
Kedua dompet yang hilang tadi tak bisa ditemukan. Sungguh mengherankan. Dua buah
dompet - penuh uang! Gwendoline berbisik pada Daphne, "Kaupikir... mungkinkah
ada seseorang yang mengambil dompet kita itu" Rasanya tak mungkin ada anak di
kelas kita yang sampai berbuat seperti itu!"
Alicia juga sangat heran akan dompet tadi. Dan terbayang olehnya Ellen yang
dipergokinya di dekat meja guru. Untuk apa ia berada di tempat itu" Ia berkata
pulpennya hilang, tetapi itu pasti dusta, sebab kemudian Alicia melihatnya
memakai pulpen tersebut! Kalau begitu...
Alicia memutuskan untuk terus mengawasi Ellen. Kalau ia berbuat sesuatu yang
tidak jujur atau menyalahi peraturan, ia akan terpaksa melaporkannya pada Sally.
Tetapi enak sekali Sally! Sebagai ketua kelas, Sally punya hak untuk
mendengarkan apa saja yang ingin dikeluhkan oleh teman-temannya, kemudian
memutuskan apakah perkara itu diselesaikan sendiri di antara mereka ataukah
dibawa ke Nona Parker. Alicia selalu merasa iri setiap kali memikirkan bahwa
Sally-lah yang menjadi ketua kelasnya.
Ellen tak tahu bahwa ia selalu diawasi Alicia. Yang ia tahu adalah tiba-tiba
saja sulit untuk bisa menyendiri atau memasuki kamar guru-guru atau memasuki
ruang kelas pada waktu tak ada pelajaran. Selalu saja Alicia muncul dan berkata,
"Halo, Ellen! Mencari siapa" Bisa kubantu?"
Seperti biasa Daphne berhutang lagi entah pada siapa. Gwendoline tak mau
berhutang, ia telah dididik untuk tidak berhutang. Maka untuk keperluan
selanjutnya ia berkirim surat pada ibunya minta dikirimi uang lagi. Daphne
berhutang pada Mary-Lou serta menawarkan separuh dari jumlah uang yang
diterimanya itu pada Gwendoline.
"Oh, tidak!" kata Gwendoline terkejut. "Jangan meminjamkan uang orang lain
padaku, Daphne. Aku tahu kau meminjamnya dari Mary-Lou. Mengapa kau tak
melakukan seperti aku, berkirim surat ke rumah minta tambahan uang" Kukira
itulah akibatnya bila kau terlalu kaya - pastilah kau sesungguhnya tak bisa
mengerti bagaimana nilai uang sebenarnya!"
Daphne tampak heran. Inilah pertama kali ia mendapat teguran dari Gwendoline
yang setia itu. Kemudian digandengnya lengan sahabatnya tersebut.
"Kau benar juga!" katanya. "Aku selalu punya uang tak terhitung jumlahnya hingga
aku tak tahu nilai uang sebenarnya! Yah, begitulah kalau terlalu dimanja,
kukira. Jangan marah, Gwen."
"Entah bagaimana jadinya kalau kau betul-betul sedang memerlukan uang!" kata
Gwendoline.. "Pastilah kau sangat sengsara tak bisa menikmati kapal pesiarmu,
mobil-mobilmu, pelayan-pelayanmu, dan rumahmu yang begitu indah! Oh! Alangkah
senangnya bila aku bisa melihat semua itu!"
Tetapi Daphne tidak menyambuti kata-kata Gwen itu dengan ajakan 'Ikut saja
denganku dalam liburan ini, tinggallah di rumahku!' yang ditunggu-tunggunya itu.
Tampaknya Gwendoline tak akan mendapat kesempatan berlibur dengan sahabatnya
yang kaya raya tadi di libur Matai ini, tak ada kesempatan baginya untuk diajak
ke pesta atau ke gedung pertunjukan. Tampaknya liburan ini sekali lagi ia akan
terpaksa tinggal saja di rumahnya sendiri, ditemani oleh ibu yang mencintainya
dan guru pribadi yang memujanya itu.
15. MALAM YANG MURAM Besok ulangan akan dimulai. Beberapa orang anak susah payah belajar, menyesal
selama ini tidak mempergunakan waktu mereka sebaik-baiknya. Betty Hill bagaikan
terpaku pada bukunya. Begitu juga Gwendoline. Dan seperti biasa Ellen terbenam
di halaman-halaman bukunya, ia mencoba memaksakan apa yang seharusnya secara
perlahan-lahan masuk dalam otaknya dalam waktu yang singkat.
Nona Parker sangat mengkhawatirkan Ellen. Anak itu jelas memberi kesan sangat
memperhatikan di kelas. Tetapi hasilnya sebegitu jauh hanyalah biasa-biasa saja.
Itu bukan karena malas, Nona Parker tahu. Mungkin juga karena Ellen baru saja
sakit, sehingga belum pulih daya pikirnya.
Ellen tahu bahwa soal-soal ulangan sudah selesai dibuat, ia pernah mendengar
Nona Parker membicarakannya. Dan Mam'zelle Dupont seperti biasa menggoda anak-
anak dengan mengibarkan soal ulangan tersebut di depan kelas, berkata, "Ah,
pasti kalian ingin tahu apa yang kubuat untuk menguji kepandaian kalian, bukan"
Pasti kalian ingin tahu apa saja yang akan kutanyakan. Semuanya sulit! Dengarkan
saja, pertanyaan pertama yang berbunyi..."
Tetapi kalimat itu tak pernah diselesaikannya dan seisi kelas tertawa. Betapapun
Mam'zelle Dupont tidak terlalu keras dalam membuat ulangan, tidak seperti
Mam'zelle Rougier yang membuat soal-soal sulit yang harus dijawab dengan tepat -
tetapi selalu berkeluh kesah karena ternyata hampir semua muridnya tak ada yang
memperoleh angka tinggi! Hari itu adalah hari terakhir, kesempatan terakhir bagi Ellen untuk mencuri
lihat soal-soal ulangan tersebut. Kalau saja Alicia yang menjengkelkan itu tidak
selalu muncul pada saat-saat yang genting - hei, mungkinkah Alicia memang
memata-matainya" Tapi untuk apa" Tak seorang pun tahu bahwa ia akan mencuri
lihat soal-soal ulangan itu.
Malam itu ia berdiri atau duduk di gang di luar kamar Nona Parker. Tetapi
ternyata sama sekali tak ada kesempatan untuk menyelinap masuk! Rasanya selalu
saja ada anak yang lewat. Heran juga, begitu banyak yang memakai gang tersebut.
Lebih mengesalkan lagi, pada waktu gang tersebut sepi, ternyata Nona Parker
datang. Bersama Nona Potts ia masuk ke dalam kamarnya. Ellen mendekati pintu,
menundukkan badan seolah-olah membetulkan tali sepatunya dan ia mendengar
pembicaraan kedua guru tersebut.
"Semester ini kelas dua tak begitu buruk hasilnya," ia mendengar Nona Parker
berkata pada Nona Potts. "Agaknya mereka mendapat pelajaran banyak dari masa
mereka berada di bawah asuhan Anda. Hampir semua bisa menggunakan otak mereka
dengan baik! Sungguh luar biasa!"
"Kuharap saja mereka berhasil baik di ulangan akhir semester ini," kata Nona
Potts. "Aku selalu tertarik pada hasil ulangan mereka di semester pertama bila
mereka berada di kelas dua untuk pertama kalinya. Dengan mengasuh mereka selama
tiga atau empat semester, rasanya sulit untuk langsung melepaskan mereka begitu
saja. Kukira kali ini Alicia atau Irene, atau Darrell akan berada di puncak
kelas. Mereka bertiga berotak sangat cerdas."
"Coba lihat soal-soal ini," kata Nona Parker. Dan Ellen mendengar suara kertas
gemersik berpindah tangan! Oh! Alangkah senangnya bila bisa melihat kertas-
kertas itu! Beberapa saat hening, mungkin Nona Potts sedang meneliti kertas-kertas ulangan
tersebut. "Ya, satu-dua agak berat, tetapi bila anak-anak itu belajar dengan
baik, rasanya mereka akan dapat mengerjakannya dengan mudah. Bagaimana dengan
ulangan bahasa Prancis?"
"Mam'zelle menyimpannya di kamarnya," kata Nona Parker. "Aku akan membawa semua
ini padanya, ia akan menjaga kelas dua pada jam pertama besok pagi, maka ia
sekalian bisa membawakan kertas-kertas ini."
Hati Ellen melonjak. Kini ia tahu di mana soal-soal itu akan disimpan. Di ruang
kerja Mam'zelle! Dan itu tak terlalu jauh dari kamar tidurnya. Beranikah dia...
dapatkah dia... bangun tengah malam dan mencoba melihat kertas-kertas itu"
Seseorang mendatangi dari tikungan gang dan hampir menubruk Ellen. Alicia.
"Ya, ampun! Kau Ellen?" tanya Alicia heran. "Kau berada di sini sewaktu aku tadi
naik, dan kau masih ada di sini sekarang! Kau sedang apa?"
"Bukan urusanmu!" tukas Ellen dan pergi menuju kamar rekreasi, ia memikirkan apa
yang akan dilakukannya. Beranikah dia keluar malam-malam dan mencari kertas-
kertas ulangan itu" Itu memang suatu perbuatan yang sangat buruk. Kalau saja
semester ini ia tidak sakit dan bisa menggunakan otaknya dengan baik. dengan
mudah ia bisa menjadi juara kelas, atau dekat dengan puncak urutan juara.
Sesungguhnya bukan salahnyalah nilainya begitu buruk.
Ia mencoba mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya, dan setiap kali ia
membujuk dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa rencananya tidaklah seburuk
yang dipikirkannya, ia melakukannya untuk mencegah agar orang tuanya tidak
kecewa. Ia tak boleh mengecewakan mereka! Kasihan Ellen! Tak pernah terpikir
olehnya bahwa kedua orang tuanya pasti lebih suka melihat ia di tingkat terbawah
tetapi berbuat jujur daripada melihat dia menjadi juara dengan jalan curang!
Sementara itu Alicia kini semakin yakin bahwa Ellen-lah yang mengambil uang
teman-temannya.

Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau tidak, mengapa ia selalu menyelinap-nyelinap seorang diri, mengintip-intip
di pintu, dan melakukan hal-hal yang aneh itu" Dompet-dompet yang hilang tak
ketemu, begitu juga uang Belinda. Kemudian ada dompet lagi yang hilang. Juga
uang. Disusul oleh Emily yang melapor bahwa bros emas pemberian ibu baptisnya
semester lalu juga lenyap.
Emily selalu rapi dan hati-hati, tak pernah kehilangan suatu pun seperti Belinda
atau Irene. Ketika Alicia mendengar bahwa ia kehilangan bros emasnya di ruang
rekreasi, Alicia memutuskan untuk mengatakan kecurigaannya pada teman-temannya.
Seperti biasa Ellen tak ada di ruang itu. Pasti sedang mengintip-intip di pintu
seseorang," pikir Alicia.
"Begini," kata Alicia memperkeras suaranya, "Sally, ada yang ingin kukatakan.
Tentang kehilangan-kehilangan yang terjadi akhir-akhir ini. Aku tak ingin
menuduh seseorang - tetapi terus terang saja aku telah mengawasi seseorang, dan
ternyata orang itu memang sangat mencurigakan."
Semua anak yang ada di ruang itu tertegun heran. Sally melihat berkeliling.
"Apakah kita semua hadir?" tanyanya. "Hal itu harus kita bicarakan bersama.
Tunggu... Ellen tidak ada. Tolong panggilkan!"
"Tidak. Lebih baik jangan," kata Alicia.
"Apa maksudmu?" Sally heran. Kemudian matanya membelalak "Oh... kaumaksud...
tidak, Alicia, kau pasti tidak bermaksud mengatakan bahwa Ellen yang kaucurigai,
bukan" Perbuatan aneh apa yang dilakukannya?"
Alicia bercerita bagaimana ia selalu memata-matai Ellen dan bagaimana Ellen
didapatinya sering berada di gang tanpa pekerjaan tertentu, agaknya menunggu
untuk masuk ke suatu kamar yang kosong. Diceritakannya bagaimana ia memergoki
Ellen di dekat meja Nona Parker. Semua mendengarkan dengan terheran-heran.
"Rasanya tak mungkin!" kata Daphne dengan nada geram. "Sungguh memalukan
perbuatannya itu! Aku memang tak pernah suka padanya. Tak ragu lagi, pasti
dialah yang mengambil dompetku. Dan dompet Gwen, bros Emily, dan entah apa
lagi.:." "Kau tak boleh berkata begitu sebelum kita berhasil membuktikannya," tukas Sally
tajam. "Kita belum punya bukti, dan agaknya hanya Alicia yang melihat Ellen
memasuki atau mencoba masuk ke kamar-kamar itu...."
"Mmmh," Darrell ragu-ragu sejenak, "Sally, aku pernah melihatnya sekali. Ellen
di kamar Nona Potts, sedang mencari-cari sesuatu di mejanya."
"Sungguh menjijikkan!" kata Daphne, yang langsung diulang oleh Gwen. Jean tak
berkata sepatah pun. Ia lebih dekat dengan Ellen daripada anak-anak lain. Dan
walaupun ia tak bisa menyukai anak itu, tapi agaknya sangat sulit untuk menerima
bahwa Ellen bisa mencuri. Mencuri! Betapa buruknya kata itu terdengar. Jean
mengerutkan kening. Tak mungkin Ellen berbuat itu!
"Aku tak percaya," katanya perlahan dengan logat Skotnya yang jelas, "Ia memang
aneh, tetapi keanehannya tidaklah seburuk itu!"
"Aku yakin dia tidak memberikan iuran olahraganya," kata Alicia teringat saat
Ellen menolak untuk mengambil uang iuran olahraga itu.
"Dia sudah memberikan iurannya saat aku memintanya lagi," kata Jean.
"Ya, dan aku yakin itu setelah salah satu dompet tadi hilang," kata Betty. Jean
terdiam. Memang betul. Ellen baru memberikan iurannya setelah dompet Gwen dan
Daphne hilang. Agaknya sungguh buruk keadaan Ellen.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Darrell. "Sally, kau ketua kelas. Apa yang
akan kaulakukan?" "Harus kupikirkan lebih dulu," kata Sally. "Tak bisa kuputuskan sekarang juga!"
"Tak ada yang harus diputuskan," kata Alicia dengan nada mengejek. "Dialah
pencurinya. Sudah jelas itu. Kita tanyakan saja langsung padanya sampai dia
mengaku. Kalau kau tak mau melakukannya, biarlah aku yang menanyainya."
"Tidak! Jangan!" tukas Sally segera. "Dengarkan. Tak seorang pun di antara kita
yang betul-betul punya bukti. Dan sangatlah tidak baik untuk menuduh seseorang
tanpa bukti nyata. Kau tak boleh berkata sepatah pun tentang ini padanya,
Alicia. Sebagai ketua kelas, aku melarangmu!"
Mata Alicia bersinar menantang. "Tunggu saja nanti!" katanya. Tepat saat itu
pintu terbuka, dan Ellen masuk, ia langsung merasakan bahwa suasana di ruang itu
sedang panas, dan ia melihat berkeliling setengah ketakutan.
Anak-anak memandang padanya dengan diam, agak terkejut oleh kemunculannya yang
tiba-tiba. Kemudian Sally mulai bercakap-cakap dengan Darrell, Jean berpaling
pada Emily. Tetapi Alicia tak mau mengalihkan pembicaraan. Dan ia tak mau
diperintah oleh Sally. "Ellen!" katanya dengan suara keras dan jelas. "Apa yang kaucari jika kau
menyelinap masuk ke kamar-kamar kosong serta menggeledah mejanya?"
Ellen langsung pucat, ia terpaku di tempatnya, matanya menatap Alicia. "Apa...
apa maksudmu?" ia tergagap. Tak mungkin ada yang mencurigainya bahwa ia mencari
kertas-kertas ulangan itu!
"Tutup mulut, Alicia!" tukas Sally. "Kau tahu apa yang kukatakan tadi!"
Alicia tak memperhatikannya. "Kau tahu apa yang kumaksud, kan?" tanyanya pada
Ellen dengan nada dingin. "Kau tahu apa yang kauambil saat kau masuk ke kamar
kosong, atau membuka laci anak lain, atau menggeledah mejanya, lemarinya!
Bukankah begitu?" "Aku tak pernah mengambil apa pun!" seru Ellen dengan mata ketakutan. "Apa yang
kuambil?" "Oh, mungkin dompet dengan uang di dalamnya. Atau bros, atau... yah, sebangsa
itulah!" kata Alicia mengejek. "Ayolah, Ellen, mengakulah! Kau sudah tampak
begitu berdosa, untuk apa lagi mengingkarinya?"
Ellen membelalakkan mata tak percaya. Kemudian ia memandang berkeliling. Semua
diam. Beberapa orang tak berani menatap matanya. Mary-Lou menangis, sebab ia tak
pernah menyukai pertengkaran. Sally tampak marah dan geram pada Alicia. Ia tahu
ia takkan bisa membendung Alicia lagi. Berani betul Alicia melanggar
perintahnya! Darrell juga marah, tetapi sebagian marahnya tertuju pada Ellen yang pada
pandangan matanya memang menunjukkan orang yang berdosa. Ia juga marah pada
Alicia yang telah menentang Sally, ketua kelas. Tetapi, ya. ada benarnya juga
Alicia. Kalau Ellen memang bersalah, mengapa tidak segera saja dibereskan
perkaranya" "Kaumaksud... kaupikir aku mencuri barang-barang itu?" tanya Ellen akhirnya
setelah berusaha keras. "Jangan sembarangan!"
"Memang, itulah maksud kami," kata Alicia tegas. "Untuk apa lagi kau mengintip-
intip kamar kosong" Mengapa kau mencari sesuatu di meja Nona Parker" Bisakah
kauterangkan itu semua?"
Tidak. Ellen takkan dapat mengatakan bahwa sebetulnya ia mencari kertas-kertas
ulangan itu, bahwa ia akan berbuat curang. Oh, memang kalau sekali kita berbuat
salah maka takkan berakhir di satu kali itu saja kesalahan kita. Selalu
berlarut-larut! Ditutupnya mukanya dengan kedua belah tangannya.
"Aku tak bisa mengatakan apa pun padamu!" katanya. Air mata membuat jari-jarinya
basah. "Tetapi aku tidak mencuri barang-barang kalian. Tidak!"
"Kau mencurinya!" kata Alicia kejam. "Kau penakut dan pencuri! Kau tak berani
mengaku dan tak bisa mengembalikan apa yang kauambil!"
Ellen terhuyung ke luar kamar itu. Pintu dihempaskannya tertutup. Mary-Lou
terisak sedih. "Aku kasihan sekali padanya," katanya. "Apa pun yang
dilakukannya, aku kasihan padanya!"
16. DI TENGAH MALAM Sunyi. Hanya terdengar isakan tangis Mary-Lou. Hampir semua gelisah dan gusar.
Alicia tampak seakan puas akan dirinya. Sally tampak marah. Alicia memandang
padanya dan tersenyum mengejek.
"Maafkan aku membuatmu marah, Sally," kata Alicia. "Tetapi aku yakin inilah
saatnya kita menanggulangi Ellen. Dan sebagai ketua kelas, mestinya kau yang
melakukannya. Dan karena kau tak bertindak, telah kuwakili kau."
"Aku tidak menyuruhmu berbuat seperti itu!" tukas Sally. "Aku larang kau berkata
apa pun. Kita tak boleh berkata atau menuduh Ellen sebelum ada bukti yang nyata!
Dan aku sedang memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikan peristiwa ini - yang
jelas hal itu tak akan kulakukan di depan semua anak seperti ini!"
Darrell semakin gelisah. Kini ia merasa yakin bahwa Sally benar. Alangkah
baiknya bila mereka menunggu dulu beberapa lama, memikirkan cara yang terbaik,
dan kemudian Sally membicarakannya empat mata dengan Ellen. Kini sudah
terlanjur. Semua anak tahu. Dan entah apa yang akan dilakukan Ellen nanti.
"Paling tidak aku bersyukur bahwa Alicia telah membuat jelas perkara ini," kata
Daphne sambil mengibaskan rambutnya yang indah kemilau. "Paling tidak Ellen tahu
bahwa semua anak tahu. Karenanya milik kita akan aman kini."
"Mestinya kau menuruti kata-kata Sally dan bukannya Alicia!" kata Darrell marah.
"Sudahlah. Tak usah kita bicarakan lagi hal ini," kata Sally. "Sudah terlanjur.
Sayang sekali. Nah, itu lonceng makan. Ayo, semua ke ruang makan!"
Tanpa bersuara mereka duduk di meja makan. Ellen tak tampak. Jean berkata pada
Nona Parker, "Bolehkah aku menjemput Ellen, Nona Parker?"
"Tak usah. Ia sakit kepala dan pergi tidur lebih awal," jawab Nona Parker. Anak-
anak itu saling pandang. Jadi Ellen tak berani menghadapi mereka!
"Pasti merasa berdosa," bisik Alicia pada Betty, cukup keras hingga bisa
terdengar oleh Sally dan Darrell.
Ellen sudah berbaring di tempat tidur sewaktu anak-anak kelas dua itu pergi
tidur, ia berbaring miring, dengan muka dibenamkan ke bantalnya, tak bergerak
"Pura-pura tidur, tuh!" kata Alicia.
"Tutup mulut!" desis Jean tiba-tiba. "Kau telah cukup membuat onar, Alicia
Johns! Tak usah mengejek lagi. Tutup mulutmu!"
Alicia tertegun, memandang berang pada Jean. Tetapi Jean tak mau kalah, melotot
padanya. Alicia tak berbicara lagi. Tak lama semua anak-anak itu sudah berada di
tempat tidur dan lampu dimatikan. Sally menekankan bahwa mereka harus mengikuti
peraturan dan anak-anak itu mematuhi perintahnya.
Seruling Sakti 26 Siluman Ular Putih 22 Hantu Tangan Api Rahasia Tukang Sulap 1
^