Pencarian

Kelas Dua Di Malory 3

Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton Bagian 3


Satu per satu mereka tertidur. Daphne adalah salah satu yang tertidur
belakangan. Tetapi akhirnya ia pun tertidur. Tinggal seorang lagi yang masih
belum tidur. Ellen. Ia telah masuk kamar tidur lebih dulu karena tiga alasan. Pertama adalah karena
ia memang sakit kepala. Kedua karena ia tak mau berhadapan dengan teman-temannya
yang telah menuduhnya mencuri. Dan ketiga ia memerlukan waktu untuk berpikir.
Ia hampir tak percaya bahwa dirinya betul-betul dituduh mencuri. Ellen tak
pernah mengambil barang apa pun. Dalam hal ini ia betul-betul jujur. Betapa pun
ia ingin mencuri lihat soal-soal ulangan, tak pernah terpikir olehnya untuk
mencuri. Pencuri! Alicia telah menuduhnya seperti itu di hadapan anak banyak.
Ini tidak adil. Ini kejam dan tidak adil! Dan tak beralasan sama sekali!
Tetapi betulkah tak beralasan" Toh paling tidak ada dua orang anak yang
melihatnya menyelinap ke ruang Nona Parker dan ruang Nona Potts. Sudah pasti
kelakuannya itu diartikan mereka sebagai sesuatu yang patut dicurigai - dan
memang ini berarti ia tidak Jujur, walaupun tak seperti yang mereka tuduhkan.
"Mengapa aku begini" Mengapa aku tergoda untuk berbuat curang" Mengapa aku
melakukan hal-hal yang memalukan ini?" Dalam hati Ellen menangis. "Entah apa
kata Ibu bila mengetahui perbuatanku. Tetapi, Ibu, karena Ibu dan Ayah-lah aku
ingin sekali berhasil dengan baik di sekolah! Ini semua kulakukan bukan untukku
sendiri! Bukankah tak terlalu salah aku bila aku hanya ingin menyenangkan orang
tuaku, dan bukan hanya menyenangkan diriku sendiri?"
"Salah!" kata hati nuraninya. "Kau tahu perbuatanmu itu salah! Lihat, bagaimana
makin lama kau makin terseret ke dalam kesulitan! Kau telah dituduh dengan
tuduhan yang sangat berat! Hanya karena kau ingin melakukan sesuatu yang keliru,
belum melakukannya, baru ingin saja!"
"Aku takkan berbuat curang!" Ellen memutuskan dalam hati. "Aku takkan memikirkan
hal itu lagi. Mungkin ulanganku buruk, tetapi biarlah. Bisa kuterangkan pada Ibu
sebabnya." Kemudian teman-temannya datang, serta didengarnya kata-kata Alicia yang begitu
menyakitkan hati, "Pura-pura tidur, tuh!" Sekejap teringat lagi olehnya tuduhan
yang baginya begitu tak adil itu, ejekan Alicia, dan teringat betapa anak-anak
lain sebagian besar tampak percaya bahwa ia memang telah berbuat sangat buruk.
Ellen jadi sangat marah. Bagaimana mereka bisa menuduhnya tanpa suatu alasan apa
pun" Mereka semua telah menganggapnya bertabiat buruk. Bagaimanapun mereka tak akan
bisa percaya bila ia menyanggah tuduhan itu. Baiklah kalau begitu, ia akan
betul-betul berbuat buruk! Ia akan berlaku curang! Nanti malam ia akan bangun
dan mencari kertas-kertas ulangan itu. Ia tahu kini di mana soal-soal ulangan
tersebut disimpan. Di kamar kerja Mam'zelle.
Ellen berbaring di kegelapan. Pikirannya berputar-putar memikirkan hal yang sama
terus. Kini ia merasa keras kepala dan sakit hati. Ia telah dianggap 'jahat'
oleh teman-temannya. Ia akan betul-betul menjadi jahat! Ia suka menjadi jahat!
Akan dipelajarinya soal-soal ulangan itu, dan akan dibuatnya semua orang
tercengang dengan meraih nilai-nilai yang hampir sempurna. Itulah balasan yang
telak bagi mereka! Tak sulit baginya untuk tidak tidur, begitu banyak yang dipikirkannya. Waktu
untuk tidur bagi semua karyawan telah tiba. Mata Ellen masih terbuka lebar
menatap kegelapan. Kepalanya terasa sangat panas. Ia mengepalkan tinju, geram
setiap kali teringat kata-kata Alicia.
Akhirnya ia berpendapat sudah aman baginya untuk bangkit, ia duduk di tempat
tidurnya, melihat berkeliling. Tak ada yang bergerak sedikit pun. Yang terdengar
hanyalah suara napas teratur teman-temannya. Ia meluncur turun dari tempat
tidur. Kakinya menyentuh sandal, dan ia memakai gaun kamarnya. Dadanya berdebar
begitu keras! Tak bersuara ia meraba-raba ke pintu. Sekali ia terantuk pada sebuah tempat
tidur, ia menahan napas, kalau-kalau pemilik tempat tidur itu terbangun. Tetapi
masih tak terdengar gerakan sedikit pun.
Ia sudah berjalan di gang yang diterangi sinar rembulan, ia menuruni tangga,
menuju kamar-kamar tempat tinggal Nona Potts dan Mam'zelle. Dicapainya kamar
kerja Mam'zelle. Gelap sekali. Mam'zelle telah pergi tidur lama sekali.
Ellen masuk. Diperiksanya apakah tirai di jendela" sudah tertutup rapat, ia tak
ingin ada cahaya dari dalam kamar kerja itu yang memancar ke luar. Tirai jendela
tadi tebal, dan telah tertutup rapat, sehinggga cahaya rembulan tak bisa masuk
ke dalam. Puas akan hal ini, barulah Ellen menyalakan lampu.
Ia langsung ke meja Mam'zelle. Seperti biasa, meja itu tak keruan, buku dan
kertas berantakan di atasnya. Ellen mulai dengan cepat memeriksa kertas-kertas
di meja tersebut. Dua kali diperiksanya. Kertas ulangan itu tak ada! Jantungnya serasa beku.
Bagaimana mungkin" Pasti ada di sini! Mungkin ada di dalam lemari kecil meja
itu. Mudah-mudahan tak dikunci, pikir Ellen yang pernah melihat Mam'zelle
mengunci lemari kecil tersebut.
Ditariknya daun pintu lemari kecil tersebut. Dan, ya. Terkunci! Sialan! Ia sudah
merasa pasti kertas yang dicarinya ada di dalam! Ellen lemas terduduk. Lututnya
gemetar. Kemudian pandangan matanya jatuh pada sebuah kunci yang tergeletak di
tempat pena. Cepat diambilnya, dicobanya dimasukkannya ke lubang kunci lemari
kecil tadi. Dan ya, cocok! Dasar Mam'zelle! Pintu lemari kecil itu dikunci baik-
baik tetapi kuncinya dibiarkan tergeletak begitu saja!
Dengan tangan gemetar Ellen memeriksa kertas-kertas yang ada di dalamnya. Di
sudut, diikat dengan rapi oleh Nona Parker, adalah bundel kertas-kertas ulangan
untuk kelas dua! Bernapas lega Ellen mengambil bundel tadi. I'an ia sudah akan membaca isinya
saat tiba-tiba ia mendengar suatu suara. Jantungnya beku seketika. Dan secepat
kilat ia melesat ke pintu, mematikan lampu. Kemudian perlahan ia menutup lemari
meja dan kembali ke pintu memasang telinga.
Suara itu terdengar lagi. Suara apakah" Apakah seseorang sedang berjalan" Ia
harus hati-hati. Dimasukkannya bundel kertas-kertas ulangan tadi ke dalam gaun
kamarnya, ia harus segera keluar dari kamar Mam'zelle itu. Sungguh celaka bila
ada seseorang memergokinya di dalam kamar tersebut!
Sementara itu, begitu Ellen keluar dari kamar tidur tadi, Darrell terbangun.
Tempat tidurnyalah yang tadi tersinggung oleh Ellen. Ia tidak langsung terbangun
waktu itu. Tetapi setengah menit kemudian, ketika Ellen sudah keluar, ia
terjaga, merasa heran apa yang telah membuatnya terbangun.
Ia sudah hampir tidur lagi saat dilihatnya tempat tidur Ellen kosong. Cahaya
rembulan masuk menembus jendela dan mengenai tempat tidur itu, dan tak terlihat
gundukan di dalam tempat tidur itu yang menunjukkan bahwa Ellen sedang tidur.
Tempat tidur itu kosong! Darrell tertegun. Di mana Ellen" Apakah ia sakit lagi" Atau... mungkinkah ia
mulai mencari-cari barang-barang yang bisa dicurinya lagi"
Darrell memandang ke arah tempat tidur Sally. Mestinya ia harus membangunkan
Sally, agar Sally bisa mengerti harus berbuat apa. Ia tak mau ambil tindakan
sendiri. Bisa-bisa ia keliru bertindak seperti Alicia tadi. Baiklah ditunggunya
sebentar. Kalau Ellen tak segera kembali, ia akan segera membangunkan Sally.
Ellen tidak kembali. Dengan tak sabar Darrell menunggu terus. Akhirnya ia
memutuskan untuk mencari Ellen. Ia tak akan membangunkan Sally dulu. Ia begitu
ingin tahu dan ingin mengikuti Ellen sendiri. Rasanya sungguh menggairahkan
melakukan pekerjaan 'mata-mata' di tengah malam seperti ini.
Darrell memakai sandal dan gaun kamarnya. Hati-hati ia ke luar kamar. Mungkin
Ellen sedang menggeledah meja-meja anak-anak kelas dua. Bahkan mungkin sekali ia
memasuki kamar-kamar kelas satu! Darrell menuruni tangga, ia sampai ke kamar
anak-anak kelas satu. Dibukanya pintunya. Tetapi di dalam kamar itu gelap
gulita. Darrell menutup kembali pintu itu. Terdengar bunyi klik'.
Ia pergi ke ruang kelas dua. Dibukanya pintunya. Seperti ada suatu suara di
situ. Dinyalakannya lampu. Tidak. Ruang itu kosong. Dipadamkannya lampu dan ia
sudah akan menutup pintu lagi ketika sekali lagi ia mendengar suatu suara. Cepat
dinyalakannya lampu lagi. Dan ia melihat suatu gerakan dari lemari besar.
Seolah-olah pintunya baru tertutup!
Dada Darrell berdebar keras. Apakah Ellen ada di dalam lemari besar itu"
Bagaimana kalau bukan Ellen yang ada di dalamnya, tetapi seorang pencuri" Tapi
tak mungkin. Pasti itu Ellen. Sebab sekian lama ia belum melihat anak itu.
Pastilah ia bersembunyi di dalam lemari itu!
Darrell cepat mendekati lemari tadi dan dengan gerakan kuat dihentakkannya
pintunya. Betul juga! Ellen tampak meringkuk ketakutan di dalam lemari! Ia telah
menyelinap keluar dari kamar Mam'zelle dan masuk ke dalam ruang kelas dua itu
ketika didengarnya Darrell datang, ia gugup, masuk ke dalam lemari.
"Beberapa saat Darrell tak bisa bicara. "Keluar!" katanya akhirnya. "Kau jahat
sekali, Ellen! Apakah kau mencuri sesuatu lagi?"
"Tidak," kata Ellen, keluar. Dipegangnya kertas-kertas ulangan di sakunya.
Darrell melihat gerakan tangannya tersebut.
"Apa yang kausembunyikan itu?" tanyanya. "Tunjukkan! Cepat! Kau menyembunyikan
sesuatu!" "Tidak! Tidak!" teriak Ellen. Ia lupa bahwa hari-, telah larut malam. Darrell
mencoba merenggut tangan Ellen dari saku gaunnya, dan Ellen karena takut
ketahuan memukul Darrell dengan tangannya yang bebas. Tepat kena muka Darrell!
Darrell tak bisa menguasai diri lagi. Dicengkeramnya Ellen, diguncangkannya anak
itu keras-keras dan ditamparnya pipinya! Mereka bergulat beberapa saat. Tapi
Darrell lebih kuat. Dipukulinya Ellen keras-keras. "Kau jahat!" teriak Darrell.
"Kau mencuri! Ayo, kembalikan yang kauambil!"
Ellen tiba-tiba merasa lemas, ia tak melawan lagi. Darrell menariknya berdiri,
menyingkirkan tangan yang melindungi saku itu. Direbutnya bundel kertas di dalam
saku Ellen. Ikatannya terbuka dan kertas-kertas ulangan bertebaran jatuh ke
lantai! Ellen menutupi mukanya dengan tangannya dan mulai menangis.
Darrell ternganga melihat kertas-kertas itu. Diperiksanya satu-dua. "Oh, kau
juga berbuat curang, ya?" katanya marah. "Soal ulangan untuk besok! Ellen
Wilson, kau ini anak macam apakah" Pencuri dan curang dalam pelajaran! Bagaimana
kau begitu berani datang ke Malory Towers ini?"
"Oh, kumpulkan kertas itu, jangan sampai ada yang tahu!" Ellen tersedu-sedu.
"Jangan bilang pada anak lain!"
"Aku memang akan mengembalikan kertas ini," kata Darrell geram. "Tetapi sungguh
tak mungkin aku tak menceritakan hal ini pada orang lain!"
Diseretnya Ellen ke pintu. "Dari mana kauambil kertas-kertas ini" Dari meja
Mam'zelle" Baik, akan kita kembalikan ke sana."
Darrell mengembalikan kertas-kertas tadi ke tempat semula, kemudian dengan
tangan gemetar Ellen mengunci pintu lemari meja itu. Berdua mereka kembali ke
kamar tidur. Anak-anak lain masih tidur nyenyak.
"Besok aku akan melaporkan hal ini pada Sally, Ellen," kata Darrell. "Dan ia
akan memutuskan akan diapakan kau ini. Aku yakin kau akan dikeluarkan dari
sekolah ini. Kini pergilah tidur!"
17. DESAS DESUS DAN KASAK-KUSUK
Tak seorang pun mendengar kedua anak itu kembali ke tempat tidur masing-masing.
Tak ada yang tahu bahwa Ellen dan Darrell telah keluar kemudian kembali lagi.
Darrell yang marah dan gusar tak bisa tidur untuk beberapa saat, memikirkan
apakah membangunkan Sally atau tidak.
"Ah, biarlah besok saja," akhirnya ia memutuskan. "Bila kubangunkan sekarang,
yang lain akan terbangun juga. Biarlah besok aku akan berbicara hanya padanya
saja." Dan tiba-tiba ia tertidur, begitu lelah oleh pengalamannya tadi. Tetapi Ellen
sama sekali tak bisa tidur, dan hal ini bukanlah kali pertama untuknya. Sering
kali ia baru bisa tidur menjelang pagi, dan kini pikirannya begitu gempar oleh
kejadian yang baru dialaminya. Tapi lama-kelamaan ia tidak memikirkan lagi
persoalan itu sebab ada persoalan yang lebih berat: sakit kepalanya terasa lagi,
kini semakin hebat, serasa kepalanya itu hampir pecah! Palu merah panas bagaikan
menghantami kepalanya dari dalam, dan lama-kelamaan Ellen jadi sangat ketakutan.
Apa yang terjadi" Apakah ia akan jadi gila" Beginikah rasanya kalau akan gila"
Ia memejamkan mata, berharap rasa sakitnya berkurang. Tapi tidak. Semakin sakit
terasa. Begitu sakit sehingga akhirnya ia perlahan merintih. Teringat olehnya Ibu Asrama
yang begitu lembut dan baik hati. Ibu Asrama! Ibu Asrama telah begitu baik
merawatnya. Pasti sekarang pun ia masih baik hati. Ellen merasa kalau sedikit
saja ia merasakan ada yang baik padanya, pastilah rasa sakitnya hilang.
Dengan susah payah ia berdiri. Kepalanya serasa berputar cepat. Bulan kini
semakin terang cahayanya. Ellen bisa melihat teman-temannya tidur dalam berbagai
gaya. Semua tidur nyenyak.
Perlahan Ellen bangkit dan turun, ia tak berani bergerak cepat. Setiap gerakan
membuat kepalanya sangat sakit! Ia lupa untuk memakai sandal dan gaun kamarnya.
Perlahan ia berjalan menuju pintu, bagaikan berjalan dalam mimpi saja. Ia
menyelinap ke luar, seperti hantu memakai piyama.
Ia tak pernah ingat bagaimana ia bisa mencapai kamar Ibu Asrama. Tiba-tiba saja
Ibu Asrama terbangun oleh ketukan lembut di pintunya, ketukan yang terus-menerus
dan tak berhenti-henti. "Masuklah!" ia berteriak. "Siapa itu?" Dinyatakannya lampu. Tetapi tak ada yang
masuk. Ketukan tadi terus terdengar. Lemah. Ibu Asrama begitu heran. Dan sedikit
takut. "Masuklah!" teriaknya lagi. Tetapi tak ada yang masuk. Ibu Asrama melompat turun
dari tempat tidur, pergi ke pintu. Tubuhnya yang besar itu tampak lebih besar
dengan pakaian tidur yang longgar berkibar-kibar. Dibukanya pintu - dan di
depannya berdiri Ellen yang malang, lemas hampir roboh, dan tangannya terus saja
terayun untuk mengetuk pintu.
"Ellen! Kenapa kau, Nak?" seru Ibu Asrama khawatir. "Kau sakit?" Dibimbingnya
anak itu masuk. "Kepalaku," bisik Ellen lemah. "Rasanya akan pecah, Ibu!"
Ibu Asrama melihat bahwa Ellen betul-betul sedang kesakitan, dan ia hampir tak
bisa membuka matanya. Cepat-cepat dibawanya anak itu ke tempat tidur di kamar
kecil yang berhubungan dengan kamarnya sendiri. Dibaringkannya Ellen di tempat
tidur yang hangat dan nyaman. Diberinya minuman hangat serta obat. Dikompresnya
pula dengan air panas. Ibu Asrama memperlakukan Ellen dengan penuh kasih sayang
serta berbicara dengan lembut agar tidak membuat Ellen semakin sakit.
"Kini tidurlah," katanya. "Kau pasti sembuh besok pagi."
Ellen memang tertidur. Ibu Asrama menungguinya, memperhatikannya, ia heran. Ada
yang tak beres dengan anak ini. Agaknya secara diam-diam ia mengkhawatirkan
sesuatu. Dan sebelum ini, sewaktu ia dirawat di sana, ia juga mengkhawatirkan
sesuatu sehingga tak bisa segera sembuh. Mungkin lebih baik bila ia
diperkenankan pulang. Mungkin istirahat di antara keluarganya akan sangat
membantunya. Pagi harinya, Darrell bangun bersama anak-anak yang lain pada saat lonceng
bangun pagi berbunyi. Beberapa saat ia termenung, mengingat perkelahiannya tadi
malam dengan Ellen. Ia berpaling pada Sally. Sally harus diberi tahu, tetapi
yang lain tak boleh dengar lebih dulu.
Kemudian terdengar Sally berseru, "Di mana Ellen" Tempat tidurnya kosong!"
Semua berpaling ke arah tempat tidur Ellen. "Mungkin ia bangun lebih pagi," kata
Emily. "Pasti nanti ia sudah berada di ruang makan lebih dulu."
Darrell merasa khawatir. Apakah Ellen bangun lebih dulu" Di mana dia"
Ellen tentu saja tidak ada sewaktu makan pagi. Anak-anak itu heran melihat
tempatnya yang kosong. Darrell mulai gelisah. Apakah... apakah Ellen melarikan
diri" Mam'zelle muncul untuk sarapan.
"Di mana Ellen, Mam'zelle?" tanya Darrell.
"Ia tak bisa ikut sarapan," jawab Mam'zelle. Tetapi ia tak tahu lagi lebih dari
itu. Nona Parker tadi telah memberi tahukan padanya sekilas ketika mereka
berpapasan di gang. "Aku tak tahu kenapa. Mungkin sakit."
Kini Alicia mulai gelisah juga. Ia ingat betapa ia menuduh Ellen begitu kejam
kemarin. Di mana Ellen kini" Ia juga mulai memikirkan kemungkinan bahwa Ellen
melarikan diri. Dengan susah payah ia menelan buburnya.
Berita selanjutnya datang dari seorang anak kelas satu, Katie. Ia mendengar Nona
Parker berkata pada Nona Potts tentang Ellen.
"Hei. kenapa Ellen?" tanya Katie pada anak-anak Kelas dua. "Kudengar si Hidung
Panjang berkata pada Potty bahwa Ellen akan dipulangkan. Kenapa?"
Dipulangkan! Anak-anak kelas dua saling pandang. Apakah itu berarti Dewan Guru
telah mengetahui tentang Ellen, bahwa ia mencuri" Kemudian ia dipulangkan,
dikeluarkan" Ya, ampun!
"Mungkin ia ketahuan atau mengakui kesalahannya," kata Alicia akhirnya. "Lebih
baik kita tidak membicarakan lagi apa yang kita ketahui. Sungguh memalukan
sekolah kita. Dan aku yakin peristiwa ini juga akan dirahasiakan."
"Kaumaksud... Ellen betul-betul dipulangkan, dikeluarkan dari sekolah ini hanya
karena ia mencuri barang-barang itu?" tanya Daphne, tiba-tiba pucat. "Rasanya
tak mungkin." "Kenapa tidak?" sahut Betty dengan suara tajam sehingga Daphne terkejut. "Dan
memang sudah pantas! Anak semacam dia sama sekali tak boleh ada di Malory Towers
ini!" Darrell sungguh bingung oleh jalur peristiwa yang terjadi. Kini ia tak tahu


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus melaporkan kejadian tadi malam ataukah tidak. Kalau Ellen dipulangkan
karena mencuri, maka tak ada gunanya ia melaporkan bahwa ia memergoki Ellen
mencoba untuk melihat soal-soal ulangan! Sebab Ellen toh takkan bisa mengikuti
ulangan kini, mengapa membuat namanya lebih buruk lagi" Dan lagi bukankah
penderitaannya sudah cukup dengan diusir dari sekolah itu"
Darrell seorang yang murah hati. Bahkan' terhadap mereka yang dianggapnya musuh,
ia teringat tadi malam. Rasanya sudah cukup banyak hukuman yang ditimpakannya
pada Ellen. Malu juga ia bila mengingat betapa ia menampar muka Ellen,
memukulinya hingga terjatuh. Kembali ia telah tak bisa menguasai kemarahannya
lagi. Sally takkan mungkin berlaku seperti dia. Sally akan bisa menyelesaikan
perkara yang dihadapinya dengan cara yang tenang. Sally akan dapat membuat Ellen
menunjukkan kertas ulangan yang diambilnya tanpa harus berlaku kasar.
"Agaknya aku memang tak bisa melakukan beberapa hal dengan baik," kata Darrell
dalam hatinya, mengusap hidungnya. "Aku selalu bertindak terburu-buru. Selalu
aku meledak marah, dan kemudian menyesal. Nah, soalnya kini, apakah akan
kukatakan pada Sally kejadian tadi malam?"
Akhirnya ia memutuskan untuk tidak bercerita pada Sally. Rasanya tak ada gunanya
lagi untuk menunjukkan kesalahan Ellen, membuatnya lebih buruk lagi. Karena itu
Darrell tutup mulut tentang Ellen ini, sesuatu yang mungkin sulit untuk
dilakukan anak kelas dua lainnya, sebab mereka semua sangat senang berbisik-
bisik tentang Ellen kini.
Begitu banyak desas-desus tentang Ellen di kelas dua. Agaknya semua berpendapat
bahwa Ellen telah ketahuan mencuri dompet, uang, bros, dan mungkin sekali
beberapa barang lainnya. Dan arenanya Ellen telah dikeluarkan dari sekolah.
Sungguh aneh, anak yang sangat gelisah tentang hal ini ternyata adalah Daphne.
"Masa ia dikeluarkan tanpa bukti sama sekali?" berulang kali ia bertanya.
"Darrell, Sally, kalian berkata pada Alicia kemarin bahwa tak ada bukti nyata
Ellen melakukan pencurian itu. Apa yang terjadi dengan Ellen" Mungkinkah ia bisa
diterima di sekolah lain?"
"Tak tahulah," kata Alicia. "Kurasa tak akan ada yang mau menerimanya. Habis
sudah kesempatannya untuk bersekolah. Hukuman yang layak baginya!"
"Jangan begitu kejam," kata Jean. "Bukannya aku membela dia, tetapi kau selalu
keras dan kejam pada semua orang, Alicia."
"Tetapi aku kan bertindak benar kemarin, dengan menuduhnya secara langsung,"
kata Alicia. "Kalian terlalu lemah, tak berani menuduhnya langsung. Kalau aku
tidak bertindak, persoalan ini tak akan segera selesai."
Anak-anak kelas dua memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun tentang Ellen
kepada guru-guru. Kalau Nona Grayling ingin mengeluarkan Ellen secara diam-diam,
ya mereka pun akan diam juga. Makin sedikit yang diketahui guru-guru, makin
baik. Maka Nona Parker cukup heran saat tak seorang pun bertanya tentang Ellen.
"Heran, mengapa mereka tak punya perhatian sedikit pun pada Ellen?" pikirnya.
Tetapi ia tak mengatakan apa-apa tentang ini. Anak-anak tak ada yang tahu kapan
atau bagaimana Ellen pulang. Tetapi suatu desas-desus mengatakan ada sebuah
mobil muncul di halaman depan pagi itu. Mungkin untuk menjemput Ellen.
Sesungguhnya tidak begitu. Mobil tadi adalah mobil dokter yang dipanggil untuk
memeriksa Ellen. Dan dokter itu dengan bersungguh-sungguh berkata pada Nona
Grayling, "Ada sesuatu yang tak bisa kumengerti pada anak ini. Apakah ia sedang
mengkhawatirkan sesuatu" Adakah sesuatu yang terjadi di rumahnya" Atau mungkin
di kelasnya?" Baik Ibu Asrama maupun Kepala Sekolah tak bisa menjawab pertanyaan dokter itu.
Sepanjang yang mereka ketahui tak ada berita buruk dari rumah Ellen. Dan juga
tak ada peristiwa yang mengganggu di kelasnya. Nona Parker dipanggil, dan ia
juga memberi keterangan tak ada kejadian apa pun di kelasnya, kecuali beberapa
teguran ringan karena hasil belajar Ellen agak di bawah rata-rata.
Ketika dokter telah pergi, Nona Grayling berkata lembut pada Ellen, "Ellen, kami
kira lebih baik kau pulang saja dulu bila kau telah cukup kuat. Kami rasa dengan
berada di rumah, keadaanmu akan cepat pulih."
Tanggapan Ellen sungguh sangat membuat Nona Grayling terkejut. Anak itu langsung
bangkit dari tidurnya, dan berkata gugup serta putus asa, "Oh, tidak, Nona
Grayling! Jangan aku dikeluarkan! Jangan!"
"Mengeluarkan kau?" tanya Nona Grayling tercengang. "Untuk apa" Apa maksudmu?"
Ellen tak menjawab, ia menangis terisak-isak. Ibu Asrama segera datang dan
memberi, isyarat agar Nona Grayling meninggalkan Ellen. "Ia tak boleh terguncang
hatinya," bisiknya pada kepala sekolah itu. "Maaf, Nona Grayling. Kukira lebih
baik Anda meninggalkannya dulu. Biarlah kuurus dia."
Sambil masih terus bertanya-tanya dalam hati, Nona Grayling meninggalkan ruangan
itu. Mengapa Ellen berpikir bahwa ia akan dikeluarkan" Ada sesuatu yang tak
beres di sini. Lama sekali baru Ellen bisa tenang kembali. Ia betul-betul mengira bahwa usul
Nona Grayling untuk mengirimkannya pulang adalah berarti ia akan diusir dari
sekolah, dikeluarkan secara tidak hormat. Mungkin Darrell telah melaporkan bahwa
ia berbuat curang. Mungkin Alicia telah melaporkan mereka semua percaya Ellen
mencuri barang-barang mereka. Ellen tak tahu. Ia mulai mengkhawatirkan lagi
semua kemungkinan itu dan jururawat tercengang melihat suhu badannya naik secara
tajam. Beberapa anak kelas dua merasa menyesal tak bisa bertemu dengan Ellen sebelum
teman mereka itu pergi. Mary-Lou bahkan merasa sangat sedih, ia tak pernah
menyukai Ellen, namun iba juga hatinya. Di waktu istirahat ia berkata pada
Daphne, "Mengerikan ya nasib Ellen" Apa katanya nanti pada kedua orang tuanya"
Apakah ia harus berkata sendiri pada mereka bahwa ia dikeluarkan dari sekolah
karena mencuri?" "Oh, jangan membicarakan hal itu lagi, Mary-Lou!" kata Daphne, seolah ketakutan.
"Coba lihat, kita masih punya waktu sepuluh menit, ya" Ada sebuah bungkusan
penting yang harus segera kukirimkan pagi ini. Tetapi aku tak punya tali untuk
mengikatnya. Tolong carikan tali kecil, sementara aku akan mencari kertas
pembungkus." Mary-Lou segera berangkat, sambil berpikir-pikir apa gerangan isi bungkusan
penting itu. Dan walaupun ia berusaha keras, ia tak berhasil mencari seutas tali
kecil pun untuk mengikat bungkusan Daphne itu! Heran! Ketika ia kembali lagi ke
Daphne, waktu istirahat telah habis.
"Kau tak bisa menemukan tali sedikit pun?" tanya Daphne kecewa. "Oh, sialan!
Biarlah nanti_ setelah pelajaran pagi habis akan kucari lagi. Dan aku akan
membawanya ke kantor pos. Ada waktu setengah jam bagiku sebelum pelajaran sore
dimulai, sebab guru musikku agaknya takkan datang hari ini."
"Apakah bungkusan itu sangat penting?" tanya Mary-Lou. "Kalau kau mengizinkan,
aku bisa membawakannya ke kantor pos untukmu."
"Tak usah. Kau takkan bisa menempuh jarak itu pulang-pergi dan tiba kembali ke
sekolah sebelum pelajaran dimulai," kata Daphne. "Terlalu jauh jaraknya lewat
jalan yang berputar. Menyusuri tepi rantai memang lebih dekat, tetapi angin
bertiup keras sekali, bisa-bisa kau terlempar ke laut nanti. Biarlah aku sendiri
yang pergi sebelum pelajaran sore."
Tetapi ternyata waktu yang setengah jam itu pun tak bisa digunakannya, sebab
ternyata guru musiknya datang. Daphne terpaksa mengikuti pelajaran itu hingga
bungkusannya tak jadi dikirimkannya.
"Sialan," kata Daphne pada Gwendoline dan Mary-Lou saat mereka istirahat untuk
minum teh sore itu. "Bungkusan itu mestinya sudah harus kukirimkan! Dan ternyata
pelajaran musik itu ada! Dan habis ini aku harus menghadap Nona Parker, setelah
itu aku harus mengikuti latihan sandiwara Prancis itu!"
"Mengapa sih bungkusan itu harus segera kaukirim?" tanya Gwen. "Ulang tahun
seseorang?" Daphne ragu-ragu sesaat. "Ah, ya!" katanya kemudian. "Benar. Kalau tidak segera
berangkat, maka bungkusan tadi tak akan tiba pada waktunya."
"Kukira kau terpaksa harus mengeposkannya besok," kata Gwen. Mary-Lou
memperhatikan wajah Daphne. Wajah cantik itu tampak sangat khawatir. Sayang
sekali ia tak bisa membawakan bungkusan tadi. Ia begitu senang melakukan apa
saja untuk Daphne, ia begitu senang menerima senyuman manis itu sebagai upahnya.
Mary-Lou mulai berpikir-pikir, bagaimana ia bisa membantu Daphne. "Aku bebas
nanti jam tujuh, setelah belajar malam," pikirnya. "Ada waktu setengah jam
sebelum makan malam. Aku takkan bisa pergi ke kantor pos dan pulang lagi dalam
waktu setengah jam bila aku memakai jalan darat itu. Kalau aku jalan menyusuri
pantai, mungkin bisa. Tapi beranikah aku" Pastilah sangat gelap. Dan bagaimana
kalau hujan" Ia memikirkan hal itu terus selama pelajaran sore. "Kurasa kita harus berkorban
untuk kepentingan seorang sahabat," pikir Mary-Lou. "Untuk seorang sahabat, kita
harus berani melakukan apa pun. Daphne akan sangat gembira bila aku bisa
mengirimkan bungkusan ulang tahun itu untuknya. Betapa baik hatinya, mengirimi
seseorang hadiah ulang tahun dan ingin agar hadiah tadi datang tepat pada
waktunya. Tapi Daphne memang selalu baik hati. Baiklah. Kalau hari tak terlalu
gelap dan tak terlalu mengerikan, aku akan mengirimkan bungkusan itu untuknya
malam ini. Tapi jangan sampai ada anak lain yang tahu, sebab itu menyalahi
peraturan. Lagi pula bila Sally tahu, pasti ia akan menahanku."
Begitulah. Si Kecil pemalu dan biasanya penakut itu memutuskan untuk melakukan
sesuatu yang mungkin anak-anak yang lebih besar darinya takkan berani
melakukannya - menempuh jalan pantai di atas tebing, di dalam gelap, dan saat
angin bertiup kencang serta liar!
18. MARY-LOU Selesai waktu belajar malam itu, Mary-Lou bergegas kembali ke ruang kelas dua.
Ruang itu kosong. Hanya ada Gwendoline, yang sedang berkemas-kemas di mejanya.
Mary-Lou langsung menuju meja Daphne. Dengan rasa iri Gwendoline
memperhatikannya. "Apa yang kaucari di meja Daphne" Bisa kuambilkan apa saja
yang tertinggal olehnya. Kuharap kau tidak begitu menjilat padanya, May-Lou."
"Tidak," kata Mary-Lou. Dibukanya laci meja Daphne, diambilnya bungkusan kertas
coklat yang kini telah rapi diikat dengan tali itu. "Aku akan pergi ke kantor
pos, mengeposkan ini untuk Daphne. Harap jangan mengatakan kepergianku ini pada
siapa pun, Gwen. Aku tahu itu melanggar peraturan."
Gwendoline ternganga. "Kau! Kau melanggar peraturan!" katanya tercengang. "Aku
yakin tak pernah sekali pun kau melanggar peraturan. Kau gila bila kaupikir kau
bisa mencapai kantor pos dan kembali sebelum makan malam."
"Kenapa tidak. Aku akan lewat jalan pantai," kata Mary-Lou dengan gagah,
walaupun hatinya sedikit takut juga. "Lewat jalan pantai hanya memakan waktu
sepuluh menit." "Mary-Lou! Sinting kau!" kata Gwendoline. .. Angin keras bertiup di pantai.
Gelap lagi. Kau pasti akan terlempar ke laut!"
"Tak mungkin," kata Mary-Lou tegas, walaupun sekali lagi hatinya semakin takut.
"Lagi pula ini hanyalah suatu hal kecil yang bisa kulakukan untuk sahabatku. Aku
yakin Daphne sangat menginginkan bungkusan ini segera dikirimkan."
"Daphne bukan sahabatmu!" tukas Gwendoline, rasa irinya menjadi-jadi.
"Siapa bilang?" tanya Mary-Lou, membuat Gwendoline gusar.
"Dasar anak ingusan!" dengus Gwen. "Kau begitu tolol hingga tak mengerti bahwa
dirimu hanya diperalat Daphne. Daphne hanya menginginkan kepandaianmu dalam
bahasa Prancis! Itulah satu-satunya alasan mengapa ia mau kaudekati. Ia telah
mengatakan hal itu padaku!"
Tertegun Mary-Lou memperhatikan Gwendoline, dengan bungkusan itu di tangannya.
Tiba-tiba ia merasa hatinya begitu kosong. "Tak benar itu," "ratanya. "Hanya
karanganmu saja!" "Tidak!" kata Gwendoline. "Daphne mengatakan padaku tentang itu berulang kali.
Apa yang dicari oleh seorang anak seperti Daphne pada seseorang seperti kau"
Hanya karena kau berguna bagi dirinyalah! Dan kalau kau tidak begitu besar
kepala, pastilah kau bisa merasakan hal itu sendiri!"
Mary-Lou memang bisa merasakan bahwa hal itu benar. Lagi pula Gwendoline tak
akan berkata begitu berapi-api kalau apa yang dikatakannya tidak benar. Tetapi
diambilnya juga bungkusan itu, dengan bibir gemetar. Ia berpaling untuk
berangkat. "Mary-Lou! Masa kau masih mau pergi juga dengan bungkusan itu setelah mendengar
apa yang kukatakan padamu?" tanya Gwendoline. "Jangan terlalu tolol!"
"Aku lakukan ini untuk Daphne karena aku sahabatnya," kata Mary-Lou, suaranya
gemetar. 'Mungkin ia tak menganggap aku sahabatnya, tapi tak apalah bila aku
menganggap dia sahabatku. Aku akan rela melakukan apa saja untuknya."
"Keledai tolol!" kata Gwendoline. Tetapi Mary-Lou telah keluar, meninggalkannya
sendiri. Gwendoline membanting-banting buku ke rak buku hingga menimbulkan
kepulan debu kapur. Ia tak berkata pada Daphne bahwa Mary-Lou telah berangkat membawa bungkusannya,
ia agak malu karena ternyata kalah omong melawan Mary-Lou. Daphne akan lebih
menyukai Mary-Lou kalau tahu nanti. Tetapi sebentar lagi semester akan berakhir
dan untuk waktu yang lama Daphne tak akan bertemu dengan Mary-Lou. Lagi pula
kini Daphne tak akan memerlukan Mary-Lou lagi, sebab untuk beberapa lama ia tak
akan memerlukan bahasa Prancis lagi.
Setengah delapan. Lonceng makan malam berbunyi. Anak-anak berhamburan dari
berbagai arah menuju ruang makan. "Oooh! Malam ini ada kopi! Asyiiik! Dan roti
selai, daging bumbu, serta roti tawar!"
Semua duduk dan mulai makan dengan lahap. Sambil menuangkan kopi untuk anak-anak
kelas dua, Nona Parker melihat berkeliling dan berkata, Dua kursi kosong! Siapa
yang tak ada" Oh, Ellen tentu. Siapa lagi?"
"Mary-Lou," kata Sally. "Aku melihatnya tadi sesudah jam belajar. Mungkin ia
segera datang, Nona Parker."
Tetapi lima menit, sepuluh menit lewat. Dan Mary-Lou tidak juga muncul. Nona
Parker mengerutkan kening.
Tak mungkin ia tak mendengar lonceng makan. Coba tolong cari dia sebentar,
Sally! Sally bergegas pergi. Tapi ia segera kembali dengan laporan bahwa ia tak bisa
menemukan Mary-Lou. Gwendoline bingung kini. Hanya dia sajalah yang tahu ke mana
Mary-Lou pergi. Tetapi bila dikatakannya, Mary-Lou pasti akan mendapat hukuman
berat. Pasti ia segera datang, pikir Gwendoline. Mungkin anak itu harus menunggu
di kantor pos. Tiba-tiba ia terkejut sendiri, teringat sesuatu. Kantor pos tutup jam tujuh! Tak
mungkin Mary-Lou bisa. mengeposkan bungkusan itu, sebab pastilah kantor pos itu
sudah tutup saat ia tiba di sana. Mengapa ia tak memikirkan hal ini tadi" Lalu
ke mana Mary-Lou" Ketakutan mencekam hati Gwendoline. Bagaimana Kalau Mary-Lou terlempar ke laut
oleh angin ribut" Bagaimana kalau saat itu juga Mary-Lou sedang berbaring di
antara batu karang, luka parah, atau mungkin sudah tewas" Begitu mengerikan
pikiran tadi, sehingga roti yang ditelannya tiba-tiba tersangkut di
kerongkongannya. Gwendoline terbatuk-batuk, sesak napas.
Daphne memukul punggungnya hingga roti tadi terlepas. Gwendoline berbisik pada
Daphne dengan suara bersungguh-sungguh,
"Daphne! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, setelah makan ini. Sangat penting.
Pergilah nanti ke ruang latihan musik."
Daphne tampak ketakutan. Tetapi ia mengangguk juga. Begitu makan selesai,
keduanya pergi ke ruangan latihan, masuk ke sebuah bilik latihan dan menyalakan
lampunya. "Ada apa?" tanya Daphne pada Gwendoline. "Kau seperti baru saja
melihat hantu!" "Mary-Lou. Aku tahu ke mana dia pergi!" bisik Gwendoline.
"Mengapa tak kaukatakan pada Nona Parker?" tanya Daphne gusar. "Untuk apa
kaukatakan padaku?" "Daphne, ia membawa bungkusanmu, yang kaukatakan sangat penting itu. Ia akan
membawanya ke kantor pos. Ia berangkat tadi tepat sesudah jam tujuh. Ia lewat
jalan tepi pantai. Apakah kira-kira ia celaka?"
Sulit rasanya bagi Daphne untuk mencerna ini semua. "Ia mengambil bungkusanku"
Untuk apa" Malam-malam begini, iagi."
"Sikapnya cengeng sekali. Katanya ini dilakukannya untukmu, ia tak peduli badai
dan gelap, dilakukannya juga karena ia menganggapmu sahabatnya!"
"Kau tolol, mengapa tak kaularang dia pergi?" tanya Daphne gusar.
"Sudah kucoba," kata Gwendoline. "Aku bahkan berkata padanya bahwa kau bukan
sahabatnya, bahwa kau hanya memperalat dia untuk bahasa Prancisnya seperti yang
sering kaukatakan padaku. Mestinya dengan begitu ia tak akan jadi berangkat
menempuh malam gelap dan angin badai, kan?"
"Dan bagaimana dia?" tanya Daphne dengan suara aneh.
"Dia berangkat juga. Ia berkata ia melakukan itu karena merasa bahwa ia adalah
sahabatmu!" kata Gwendoline dengan nada mengejek. "Dia berkata mungkin kau
merasa ia bukan sahabatmu, tapi ia tak peduli, asal ia merasa bahwa kau
sahabatnya. Dan karena itu ia akan rela melakukan apa saja untukmu."
Gwendoline tercengang ketika melihat air mata di mata Daphne. Daphne tak pernah
menangis! "Ada apa?" tanyanya heran.
"Kau tak akan mengerti," kata Daphne mengejap-ngejapkan matanya. "Ya, ampun!
Keluar di malam seperti ini, lewat jalan pantai lagi, hanya karena ingin
melakukan sesuatu untukku! Dan bahkan kantor pos itu pastilah sudah tutup!
Kasihan sekali Mary-Lou. Apa yang terjadi padanya?"
"Mungkinkah ia terjatuh dari tebing?" tanya Gwendoline.
Daphne sangat pucat. "Tidak. Jangan berkata begitu," katanya. 'Betapa


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan! Aku tak akan mengampuni diriku."
"Bukankah kau tak bersalah apa-apa dalam hal ini?" kata Gwendoline, heran
mengapa Daphne begitu ribut.
"Kesalahankulah yang menyebabkannya! Oh, kau takkan mengerti," kata Daphne.
"Mary-Lou yang malang. Dan kau membuatnya pergi dengan pikiran bahwa aku tak
menyukainya! Ia pergi dengan mengira bahwa aku hanya memperalat dia! Aku sangat
menyukainya. Aku menyukainya sepuluh kali lebih besar daripada aku menyukaimu!
Ia begitu baik hati, murah hati, tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Memang
mula-mula mula aku memperalat dia, menerimanya karena ia bisa menolongku, tetapi
lama-lama aku betul suka padanya. Ia memberikan segalanya tanpa mengharapkan
apa-apa!" "Tetapi... kau selalu berkata padaku bahwa kau hanya memperalat dia!" kata
Gwendoline tergagap, sama sekali tak menduga akan begitu jadinya. Runtuh
kesombongannya. "Memang. Dan betapa kejinya aku mengatakan hal itu. Tapi itu cara termudah
bagiku agar kau tak selalu menggangguku tentang Mary-Lou. Oh, aku takkan bisa
memaafkan diriku bila terjadi apa-apa dengannya! Aku akan menyusulnya. Akan
kucari dia!" "Jangan!" seru Gwendoline ketakutan. "Dengarkan deru angin itu. Makin lama makin
mengerikan!" "Kalau Mary-Lou berani keluar hanya untuk mengeposkan bungkusan terkutuk itu,
mengapa aku tak berani keluar untuk mencarinya?" kata Daphne. Sesuatu tampak di
wajahnya yang cantik dan pucat itu, sesuatu yang belum pernah disaksikan
Gwendoline - suatu perasaan bahwa ia harus melakukan apa yang dianggapnya benar,
sesuatu yang memberi wajah itu suatu kepribadian yang belum pernah muncul.
"Tetapi, Daphne," kata Gwendoline lemah, kemudian ia tak melanjutkan kata-
katanya. Daphne telah meninggalkan ruang latihan musik, berlari ke kamarnya.
Diambilnya jas hujan, topi hujan, dan ia lari lagi ke ruang penyimpanan pakaian
luar. Dipakainya sepatu karet tingginya. Tak seorang pun melihatnya. Tanpa ragu-
ragu ia pun memasuki malam yang gelap dan ribut itu, dengan membawa senter untuk
menerangi jalannya. Angin bertiup begitu keras, begitu ribut. Sesak napas Daphne saat ia mulai jalan
di jalan pantai. Makin jauh ia berjalan, makin keras angin bertiup. Bisa-bisa ia terlempar ke
laut! Ia menyorotkan senternya ke sana kemari. Tak ada yang bisa dilihatnya, kecuali
semak-semak yang bungkuk oleh angin, basah oleh hujan.
Ia berjalan terus, berteriak-teriak putus asa memanggil Mary-Lou,
"Mary-Lou! MARY-LOU! Di mana kau?"
Angin bagaikan merenggut kata-kata yang keluar dari mulutnya, ia berteriak lagi
dengan memakai telapak tangannya sebagai corong, "Mary-Lou! MARY-LOU! MARY-LOU!"
Dan beberapa saat kemudian terdengar sayup-sayup sebuah jawaban, "Di sini! Aku
di sini! Tolong! Tolong!"
19. PAHLAWAN! Daphne tertegun diam mendengarkan. Teriakan itu terdengar lagi dibawa angin.
Sangat lemah. "Di sini! Tolong!"
Agaknya datang dari arah depan. Daphne berjalan maju melawan angin, dan sampai
ke tempat di mana tebing menekuk ke arah daratan, ia mengikuti tepi tebing
dengan sangat hati-hati, tak berani terlalu ke tepi karena angin sangat kuat.
Untunglah, agaknya angin pun mulai sedikit lebih lemah, walau ia masih terpaksa
sedikit membungkuk untuk bisa terus maju.
Tiba-tiba didengarnya suara Mary-Lou lebih dekat, lebih jelas, "Tolong! Tolong!"
Daphne begitu takut akan tertiup terlempar ke laut bila ia terlalu dekat ke tepi
tebing. Tetapi suara tadi agaknya datang dari tepi tebing, entah di mana. Daphne
duduk di tanah yang basah, sebab dengan begitu ia merasa angin takkan begitu
mudah membuat dirinya terlempar. Dan sambil merangkak, memegang rumput-rumput di
sana-sini, ia maju lagi. Ia sampai di tempat di mana tepi tebing runtuh sebagian, sehingga membuat
telundakan menurun ke tebing itu, curam sekali ke arah laut sana. Ia merangkak
ke tempat itu, kini bahkan merayap rapat di tanah karena begitu takut, sambil
sekali-sekali menyorotkan senternya.
Dan di tebing yang runtuh itu, sekitar beberapa meter di bawahnya, terlihat
Mary-Lou bergantung pada beberapa tonjolan tanah, mukanya begitu pucat ketakutan
di sinar lampu senter. "Tolong!" serunya lemah, menatap senter itu. "Oh, tolonglah! Aku tak kuat
berpegangan lagi!" Daphne tersirap darahnya, ia segera melihat bahwa begitu Mary-Lou melepaskan
pegangannya yang tak seberapa itu, ia akan jatuh dan terhempas ke batu-batu
karang jauh di bawah sana! Jantungnya seakan tak bisa berdetak. Apa yang akan
dilakukannya" "Aku di sini, Mary-Lou!" teriaknya. "Tahan dulu! Aku akan minta pertolongan!"
"Oh, Daphne! Kaukah itu" Jangan pergi! Aku akan jatuh nanti. Tolong, Daphne!"
teriak Mary-Lou. Daphne memandang ke bawah, ke Mary-Lou. Rasanya memang akan berbahaya bila Mary-
Lou ditinggalkan. Setiap saat ia bisa terjatuh! Tidak! Ia tak boleh pergi minta
tolong. Harus dicarinya sendiri jalan untuk menolong Mary-Lou. Dan ia harus
melakukannya sekarang juga!
Terpikir olehnya ikat pinggang jas hujannya. Kemudian ikat pinggang seragam
sekolahnya. Jika keduanya disambung, dan diulurkan pada Mary-Lou, mungkin Mary-
Lou bisa memegangnya dan kemudian merayap ke atas. Tetapi apakah kedua ikat
pinggang itu bisa mencapai Mary-Lou"
Dilepaskannya ikat pinggang jas hujannya, kemudian ikat pinggang seragamnya
dengan jari-jarinya yang hampir beku karena kedinginan dan ketakutan. Rasanya
sulit sekali, dan sementara itu ia terus menghibur Mary-Lou di bawahnya.
"Akan kutolong kau, Mary-Lou, jangan khawatir! Kau pasti akan segera berada di
atas sini. Aku sedang menyambung kedua ikat pinggangku. Dan akan kuulurkan ke
bawah. Tahan, Mary-Lou, tahan! Kau pasti selamat!"
Terhibur oleh kata-kata Daphne, Mary-Lou bertahan, fa ketakutan sekali tadi
ketika tiba-tiba sebuah hembusan angin yang sangat kuat membuatnya terguling ke
tepi tebing dan jatuh. Entah bagaimana ia bisa meraih dan mencengkeram serumpun
rumput yang tumbuh di tebing itu, dan karenanya jiwanya tertolong - untuk
sementara. Rasanya sudah berabad-abad baru didengarnya suara Daphne. Kini Daphne
telah datang. Ia pasti akan menolongnya. Apa pun kata Gwendoline, ia yakin
Daphne sahabatnya. Daphne berbaring lagi, rapat di tanah. Kakinya dikaitkannya pada sebuah semak-
semak kuat di belakangnya. Tak menghiraukan tusukan duri-duri yang ada di batang
semak-semak berdahan lebat itu, ia melingkarkan kakinya sedemikian rupa sehingga
takkan mungkin ia tertarik ke bawah oleh berat badan Mary-Lou.
Suara Mary-Lou terdengar tergopoh dan ketakutan, "Daphne! Rumput yang kupegang
hampir copot! Aku akan jatuh! Cepat!"
Daphne bergegas menurunkan kedua ikat pinggang yang telah disambungnya itu.
Mary-Lou menangkapnya dengan sebelah tangan, melibatkan pergelangan tangannya,
dan Daphne merasa betapa ia mulai ditarik ke bawah oleh berat badan Mary-Lou.
"Bagaimana" Apakah kau merasa akan jatuh?" teriak Daphne.
"Tidak," sahut Mary-Lou. "Kini kakiku mendapat tempat berpijak yang kuat!" Kini
Mary-Lou agaknya merasa lebih yakin dengan adanya ujung ikat pinggang yang
melibat pergelangan tangannya itu. "Aku takkan menarikmu jatuh, kan?"
"Tidak Tapi kurasa aku takkan cukup kuat untuk menarikmu naik," kata Daphne,
putus asa. "Dan ikat pinggangku mungkin takkan begitu kuat untuk waktu yang
lama. Kurasa kita takkan bisa berbuat apa-apa sampai seseorang menemukan kita!"
"Kasihan kau, Daphne, pasti kau sungguh tersiksa!" kata Mary-Lou. "Alangkah
baiknya bila tadi aku tak pergi dengan membawa bungkusan itu."
"Kau sungguh baik hati," kata Daphne, tak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Tetapi kau memang selalu baik hati, Mary-Lou. Dan Mary-Lou, aku sahabatmu. Kau
tahu itu, kan" Gwen mengatakan hal yang tidak-tidak padamu. Ia menceritakannya
sendiri padaku. Tapi itu semua tidak benar. Aku anggap kau yang paling baik di
antara semua temanku. Tak pernah aku menyukai anak lain seperti aku menyukaimu."
"Aku tahu bahwa Gwen tak berkata benar begitu kudengar tadi suaramu mencari
aku," kata Mary-Lou dari kegelapan. "Aku anggap kau sebagai pahlawan
penyelamatku, Daphne."
"Aku bukan pahlawan!" sahut Daphne. "Aku seorang anak yang berhati keji. Kau tak
tahu betapa jahatnya aku."
"Lucu juga ya, dalam keadaan sangat berbahaya seperti ini kita berbicara seperti
itu," kata Mary-Lou, mencoba untuk bersikap riang. "Ampun! Aku menyesal telah
membuatmu terancam bahaya juga, Daphne. Kira-kira kapan kita akan dicari orang?"
"Hanya Gwen yang tahu kepergianku," kata Daphne. "Kalau aku tak segera kembali,
mestinya ia akan lapor ke si Hidung Panjang. Dan kita pasti akan dicari. Kuharap
saja Gwen cukup punya otak untuk mengatakan hal ini pada orang lain."
Dan memang itulah yang dilakukan Gwendoline. Ia sangat khawatir, mula-mula
tentang Mary-Lou, dan kemudian tentang Daphne. Ketika Daphne tak juga kembali
setelah pergi sekitar setengah jam, Gwendoline menghadap Nona Parker.
Diceritakannya ke mana Mary-Lou pergi dan bahwa Daphne telah menyusulnya.
"Apa" Berjalan di jalan pai.tai di malam seperti ini" Dalam cuaca seperti ini"
Ini gila-gilaan!" seru Nona Parker yang segera berlari ke ruang Nona Grayling.
Dua-tiga menit kemudian sebuah regu pencari berangkat, membawa lentera, tali,
dan termos berisi coklat susu panas. Dan tak lama kedua anak itu sudah
ditemukan. Nona Grayling berseru terkejut melihat keadaan mereka. "Sungguh
berbahaya!" serunya.
Lengan Daphne sudah begitu kaku ketika regu pencari itu tiba. Mereka melihatnya
tengkurap di tanah, dengan kaki membelit semak-semak berduri, sementara kedua
tangannya memegang seutas ikat pinggang - dan di balik tebing, di bawahnya,
tergantung Mary-Lou, sementara jauh-di bawahnya lagi menanti laut serta batu-
batu karang. Tali segera diturunkan, menjerat Mary-Lou, mengikat lengan dan bahunya. Seutas
tali lain mengikat pinggangnya. Dan dengan bantuan kedua tali tadi, Daphne bisa
melepaskan pegangannya atas ikat pinggangnya. Ia bangkit, hampir roboh karena
kakinya sudah begitu kaku. Nona Grayling langsung merangkulnya. "Peganglah aku,"
katanya. Tukang kebun sekolah menarik Mary-Lou ke atas, dan Mary-Lou roboh ke tanah,
menangis tersedu-sedu lega. Tukang kebun itu melepaskan ikatannya dan mengangkat
anak bertubuh kecil itu. "Biar kubopong dia," katanya. "Beri dia minuman panas. Agaknya dia sudah beku
sekali." Kedua anak itu dengan girang menerima coklat susu hangat. Kemudian sambil terus
berpegangan pada Nona Grayling, Daphne terhuyung berjalan pulang, diikuti oleh
tukang kebun dan anggota regu penolong lainnya.
"Tidurkan anak-anak ini," kata Nona Grayling pada Ibu Asrama. "Mereka baru saja
mengalami bencana. Mudah-mudahan mereka tak kena pneumonia. Daphne, kau telah
menyelamatkan jiwa Mary-Lou. Aku sungguh bangga akan kau."
Daphne tak berkata sepatah pun. Dan dengan heran Nona Grayling melihat anak itu
menundukkan kepala dan pergi. Tetapi ia tak sempat memikirkan hal ini, sebab ia
kemudian ikut sibuk membuka pakaian Mary-Lou dan menidurkannya. Kedua anak itu
segera saja berbaring di tempat tidur hangat dengan perut berisi makanan dan
minuman panas. Mereka memang sangat lelah, hingga tak lama mereka pun tertidur
dengan nyenyak. Sementara itu anak-anak kelas dua juga sudah berada di tempat tidur, khawatir
dan gelisah setelah mendengar cerita Gwendoline. Mereka juga tahu bahwa regu
penolong telah berangkat mencari Mary-Lou dan Daphne. Berbagai bayangan buruk
tergambar di pikiran mereka yang berbaring gelisah di tempat tidur masing-
masing, sementara di luar angin masih menderu-deru seru.
Mereka bahkan memberanikan diri untuk berbicara walaupun lampu telah dimatikan.
Sally tidak melarang hal ini. Ia merasa bahwa malam ini malam perkecualian.
Malam penuh kekhawatiran. Dan dengan bercakap-cakap, maka rasa khawatir itu bisa
sedikit diperingan. Kemudian, setelah waktu yang sangat lama terasa, terdengar suara langkah Nona
Parker di gang depan kamar. Berita! Mereka langsung duduk.
Nona Parker masuk, menyalakan lampu dan menatap muka tujuh orang anak yang
gelisah menanti itu. Kemudian diceritakannya bagaimana Mary-Lou dan Daphne telah
ditemukan, bagaimana Daphne dengan akalnya telah menyelamatkan Mary-Lou dari
bahaya maut. Digambarkannya tentang Daphne yang tengkurap di tanah basah,
membelitkan kaki di semak berduri, menahan Mary-Lou dengan ikat pinggangnya
sampai pertolongan tiba. "Daphne seorang pahlawan!" seru Darrell. "Aku tak pernah menyukainya - tapi Nona
Parker, ia betul-betul luar biasa, bukan" Ia seorang pahlawan!"
"Betul," kata Nona Parker. "Aku juga tak mengira ia bisa berbuat seperti itu.
Kini ia tidur, di san. Tetapi aku yakin, ia segera akan dapat masuk ke kelas.
Aku mengusulkan untuk memberinya sorakan tiga kali bila ia masuk."
Nona Parker mematikan lampu dan mengucapkan selamat malam. Anak-anak itu
bercakap-cakap lagi beberapa menit, bersyukur bahwa Daphne dan Mary-Lou selamat.
Heran juga, Daphne sampai berani bertindak seperti itu! Dan untuk Mary-Lou,
iagi! Padahal Gwen selalu berkata bahwa Daphne hanya memperalat Mary-Lou, tidak
betul-betul menyukainya. "Daphne pastilah sangat menyukai Mary-Lou," kata Darrell menyuarakan apa yang
dipikirkan oleh anak-anak lainnya. "Aku senang kalau memang begitu keadaannya.
Aku selalu merasa bahwa selama ini Daphne licik sekali, memperalat Mary-Lou
hanya untuk kepandaian bahasa Prancisnya."
"Entah apa yang terjadi dengan bungkusan yang tampaknya sangat berharga itu,"
kata Belinda. "Mary-Lou pastilah tak jadi mengeposkannya, sebab kantor pos telah
tutup. Aku yakin tak ada yang memperhatikan bungkusan itu."
"Besok kita cari," kata Sally. "Wah, sungguh sedikit rasanya kita saat ini.
Ellen pergi, Daphne dan Mary-Lou di san... tapi syukurlah mereka tidak berada di
luar sana, di atas tebing."
Angin bertiup menghebat lagi, meraung-raung sekeliling Menara Utara. Anak-anak
meringkuk mencari kehangatan. "Aku betul-betul berpendapat bahwa Daphne sangat
gagah berani," kata Darrell. "Dan tak bisa kubayangkan bagaimana si Penakut
Mary-Lou itu berani keluar melawan badai! Mary-Lou! Bayangkan saja!"
Memang manusia itu aneh," kata Irene. "Kita sama sekali tak bisa menduga apa
yang akan dilakukan seseorang."
"Tepat sekali, Irene." Darrell tertawa. "Hari ini. misalnya, kau telah menyimpan
buku bahasa Prancismu di lemari olahraga, dan kemudian memaksa memasukkan
tongkat lacrosse-mu ke dalam laci di kelas - memang kita tak bisa menduga apa
yang akan kaulakukan!"
20. BUNGKUSAN ANEH Rasanya sulit sekali mengerjakan pekerjaan ulangan. Begitu menegangkan kisah
Mary-Lou dan Daphne. Seisi sekolah tahu semua, dan semua membicarakannya. Hari
itu kedua anak tersebut tidak diperkenankan masuk sekolah oleh Ibu Asrama.
Mereka tidak sakit, hanya harus beristirahat penuh.
Sebelum jam pelajaran sore, Darrell, Sally, Irene, dan Belinda berangkat
menyusuri jalan tepi tebing untuk mencari bungkusan Daphne. Angin tak lagi
bertiup. Cuaca begitu indah. Laut biru membayangkan kecerahan kebiruan langit,
dan pemandangan sangatlah indah.
"Lihat, itu pasti tempat Mary-Lou tertiup jatuh," kata Darrell, menunjuk bagian
tebing yang runtuh. "Dan, ya, lihat, pasti itulah semak-semak tempat Daphne
mengaitkan kakinya! Wah, pasti hancur kakinya kena duri-duri itu!"
Anak-anak itu memperhatikan tempat Mary-Lou dan Daphne mengalami kejadian
mengerikan itu. Tak terasa Sally menggeletar ngeri, membayangkan kejadian yang
terjadi di malam gelap itu.
Dengan angin meraung-raung, dan ombak menghempas ganas di bawah.
"Sungguh mengerikan," katanya. "Ayolah, mari kita cari bungkusan itu. Mary-Lou
mungkin telah menjatuhkan di sekitar sini."
Mereka mulai mencari-cari. Darrell yang akhirnya menemukannya. Tergeletak di
rumput basah, bungkusnya koyak, agak jauh dari tempat Mary-Lou jatuh.
"Itu dia!" kata Darrell, berlari mengambil bungkusan itu. "Oh, koyak-koyak, dan
hampir hancur kena hujan!"
"Lebih baik buka saja bungkusnya, dan kita bawa isinya," kata Sally. Darrell
membuang kertas-kertas koyak basah pembungkus bungkusan itu dan mengeluarkan
isinya. Dan anak-anak itu tertegun.
Isi bungkusan tersebut jatuh ke rumput. Empat buah dompet dan berbagai ukuran.
Tiga buah kotak tempat bros atau tempat perhiasan seperti yang biasa dijual di
toko-toko perhiasan - kotak dari kulit yang kancingnya terbuka bila dipijit.
Darrell mengambil satu, dipijitnya terbuka. Sebuah bros emas gemilang di
dalamnya. Tercengang Darrell memberikan bros itu pada Sally.
"Bukankah ini punya Emily... yang hilang?" tanyanya.
"Punya Emily ada namanya," kata Sally ragu-ragu, membalikkan bros tersebut.
Sesaat ia terdiam. "Ya," katanya kemudian, "ini punya Emily. Namanya tertulis di sini."
Sally membuka lagi kotak lainnya. Di situ tersimpan seuntai kalung emas. Kecil,
sederhana. "Ini punya Katie!" kata Irene. "Pernah kulihat dia memakainya. Ya, ampun!
Bagaimana benda-benda ini ada di dalam bungkusan ini" Apakah ini betul-betul


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bungkusan yang dibawa Mary-Lou?"
Sally mengambil barang-barang tadi, mukanya tampak bersungguh-sungguh, "Kurasa
ini memang bungkusan yang dibawa Mary-Lou. Tapi, lihat. Ini punya orang-orang
yang kita ketahui. Ini dompet Gwen. Ini dompet Mary-Lou. Dan ini punya Betty."
Dengan perasaan tegang keempat anak itu saling pandang.
"Kalau ini memang bungkusan yang akan diposkan Mary-Lou untuk Daphne, bagaimana
barang-barang ini bisa berada di dalamnya?" tanya Sally, menyatakan apa yang
dipikirkan oleh kawan-kawannya.
"Mungkinkah ia memperolehnya dari Ellen?" tanya Darrell bingung. "Kita semua
tahu bahwa Ellen yang mengambil benda-benda itu. Dari mana Daphne memperolehnya"
Apakah ia berusaha untuk menutup-nutupi Ellen?"
"Kita harus mengetahuinya," kata Irene. "Sally, lebih baik kita bawa semua ini
kepada Nona Grayling. Kita tak boleh menyimpannya."
"Memang," kata Sally. "Mari cepat kembali ke sekolah."
Mereka kembali ke sekolah. Tak banyak berbicara. Bingung dan diam. Mereka
membawa barang-barang curian. Mereka telah menuduh Ellen sebagai pencurinya.
Daphne entah bagaimana telah menyimpan barang-barang itu. Dan Mary-Lou hampir
celaka karena akan mengeposkannya. Tetapi ia kemudian ditolong Daphne! Sungguh
rumit. "Peristiwa ini begitu sulit untuk dimengerti," kata Belinda. "Aku tak bisa
memikirkannya. Sayang sekali Ellen sudah dikeluarkan. Kalau tidak, bisa kita
tunjukkan padanya barang-barang yang kita temukan ini."
Mereka sama sekali tak tahu bahwa Ellen masih ada di Malory Towers. Dengan
begitu banyak desas-desus, maka mereka yakin bahwa Ellen telah dipulangkan.
Ketika mereka sampai di halaman sekolah, lonceng berbunyi tanda waktu pelajaran
sore dimulai. Mereka menemui Nona Parker dan minta izin untuk menghadap Nona
Grayling. "Kami menemukan bungkusan yang akan diposkan oleh Mary-Lou," kata Sally. "Kami
akan menyampaikan pada Nona Grayling."
"Baiklah, tapi jangan terlalu lama," kata Nona Parker. Keempat anak itu menuju
kamar kerja Nona Grayling, mengetuk pintunya.
"Masuklah," sahut suara perlahan dari dalam. Mereka membuka pintu dan masuk.
Kepala sekolah itu sedang sendirian. Beliau mengangkat muka sewaktu keempat anak
tadi masuk. Dan tersenyum, ia menyukai keempatnya, termasuk Belinda yang pelupa
itu. "Maafkan kami, Nona Grayling," Sally maju. "Kami menemukan bungkusan yang akan
diposkan oleh Mary-Lou untuk Daphne. Dan inilah barang-barang di dalamnya.
Bungkusnya sendiri hancur terkena air hujan, sehingga terpaksa kami buka dan
buang." Sally meletakkan semua benda yang ditemukannya di meja Nona Grayling. Nona
Grayling melihat itu semua dengan heran. "Semua ini ada di dalam bungkusan itu?"
tanyanya. "Lalu... apakah semua ini milik Daphne" Bukankah bungkusan itu milik
Daphne?" Kikuk sejenak. Anak-anak itu ragu-ragu menjawab. Kemudian Sally berkata,
"Begini, Nona Grayling. Barang-barang ini punya beberapa orang dari kami.
Beberapa waktu yang lalu barang-barang ini hilang. Dan dompet-dompet ini ada
uangnya pada waktu hilang itu. Kini kosong semua."
Nona Grayling berubah air mukanya. Suatu pandangan dingin terpancar di matanya.
Dan ia duduk begitu tegak.
"Kau harus memberi keterangan lebih baik dari itu, Sally," katanya. "Jadi...
barang-barang ini pernah dicuri dari kalian atau kawan-kawan kalian, entah
kapan, tetapi di semester ini?"
"Benar, Nona Grayling," Sally menyahut, dan yang lain mengangguk.
"Kalian mengira Daphne mengambilnya?" tanya Nona Grayling setelah terdiam
beberapa saat. Anak-anak itu saling pandang.
"Kami... kami pikir Ellen yang mengambilnya," kata Sally akhirnya. "Tapi karena
dia telah dikeluarkan dari sekolah ini dan dipulangkan, maka..."
"Tunggu!" tukas Nona Grayling dengan suara yang begitu tajam sehingga keempat
anak itu terkejut. "Ellen dikeluarkan" Apa maksud kalian" Ia berada di san.! Dua
malam yang lalu ia dibawa ke san. oleh Ibu Asrama karena sakit kepalanya yang
begitu hebat. Dan kini ia sedang dirawat serta diperiksa apa penyebab sakitnya
itu."' Anak-anak itu ternganga. Muka Sally merah padam. Mestinya ia tak boleh begitu
saja mempercayai desas-desus yang ada! Ia percaya pada desas-desus itu karena ia
tidak menyukai Ellen! Nona Grayling menatap mereka dengan pandangan mata tajam. "Ini sungguh
keterlaluan!" katanya. "Aku sama sekali tak bisa mengerti. Mengapa kalian
mengira Ellen dikeluarkan" Mengapa kalian mengira ia yang mengambil barang-
barang ini" Mestinya kalian bisa mengetahui bahwa bukan macam itulah Ellen itu.
Kalian tahu, ia masuk ke Malory Towers karena memenangkan bea siswa yang
dicapainya dengan bekerja keras dan tekun belajar, ia masuk kemari dengan
disertai surat keterangan tentang pribadi dan kelakuannya, yang menyatakan ia
sangat baik. dari sekolahnya yang terdahulu!"
"Kami... kami kira dia yang mengambilnya," Sally berkata gagap. "Paling tidak...
aku telah berusaha meyakinkan kawan-kawan bahwa kami tak boleh menuduh tanpa
bukti tetapi... tetapi..."
"Aku mengerti kini. Jadi kau terang-terangan telah menuduh anak malang itu"
Kapan itu?" "Dua malam yang lalu, Nona Grayling," kata Sally, mencoba untuk menghindari
pandangan mata begitu tajam dan dingin dari Nona Grayling.
"Dua malam yang lalu!" kata Nona Grayling. "Ah, kalau begitu memang cocok.
Mungkin karena itulah hati Ellen terguncang, dan sakit kepalanya yang begitu
hebat kambuh, ia pergi ke Ibu Asrama. Dan entah bagaimana kau mengira ia telah
dikeluarkan! Entah kenapa kalian bisa berpikir seperti itu. Aku yakin kalian
mempercayai desas-desus yang tidak benar karena kalian memang ingin kalau
perkiraan kalian itu terjadi betul! Bisa-bisa kalian telah membuat suatu
kerusakan berat dalam pribadi seorang anak yang sebenarnya tak berdosa!"
Darrell beberapa kali menelan ludah. Teringat olehnya pergulatannya malam itu
melawan Ellen. Jelas Ellen berbuat curang dalam pelajaran. Tetapi Darrell telah
mengata-ngatainya 'pencuri' dan beberapa kata yang takkan bisa dimaafkan lagi.
Ia memandang Nona Grayling dan merasa bahwa ia harus menceritakan apa yang
terjadi malam itu. Ia yakin karena peristiwa itulah Ellen sakit. Ya, ampun!
Betapa semua jadi tak keruan bila kita mulai bertindak tanpa berpikir!
"Bolehkah aku berbicara sendirian saja dengan Anda, Nona Grayling?" Darrell
memberanikan diri. "Aku ingin mengatakan sesuatu yang belum pernah diketahui
anak lain, dan ingin kukatakan pada Anda, untuk minta pertimbangan Anda."
"Tunggu di luar sebentar." Nona Grayling mengangguk pada Sally, Belinda, dan
Irene. "Setelah Darell berbicara nanti kalian masuk lagi."
Ketiga anak itu keluar, menutup pintu, merasa heran. Apa yang akan dibicarakan
Darrell" Mengapa ia tak bercerita pada mereka lebih dulu"
Darrell menceritakan dengan teliti bagaimana ia mengikuti Ellen malam itu dan
memergokinya mengambil kertas ulangan dari lemari Mam'zelle.
"Dan kutuduh dia berbuat curang, yang aku yakin memang sudah tepat," kata
Darrell, "dan kukatakan juga dia itu pencuri, dan aku berkata aku akan
mengadukannya pada Sally dan peristiwa itu pasti akan dilaporkan pada guru-guru
dengan akibat ia pasti akan dikeluarkan. Kukira karena peristiwa itulah ia jadi
sangat sakit kepalanya dan pergi ke Ibu Asrama. Kami tak mengetahui hal itu.
Kami semua berpikir bahwa ia memang dikeluarkan karena entah bagaimana Anda
mengetahui bahwa ia mencuri. Kami kira Anda mengeluarkan dia secara diam-diam
agar nama sekolah kita terjaga."
"Sungguh keterlaluan!" kata Nona Grayling setelah cerita Darrell selesai.
"Banyak sekali peristiwa yang terjadi di sekolah dan ternyata tak kuketahui!
Sungguh tak masuk akal. Apakah betul katamu, Darrell, bahwa kau dan Ellen
berkelahi di ruang kelas dua di tengah malam" Itu bukannya sesuatu yang bisa
dibanggakan sekolah kita!"
"Aku tahu, dan aku sangat menyesal karenanya," kata Darrell. "Tetapi aku betul-
betul tak tahan melihat ada anak berbuat curang, Nona Grayling. dan aku tak bisa
mengendalikan diri lagi."
"Sungguh aneh," kata Nona Grayling termenung. "Ellen adalah seorang anak bea
siswa. Dan biasanya anak seperti itu tak pernah akan merasa perlu untuk berbuat
curang dalam pelajaran. Kalaupun itu dilakukannya, pastilah ada suatu alasan
yang kuat baginya. Apakah tak ada yang menyukai Ellen, Darrell?"
Darrell ragu-ragu sesaat. "Dia... dia begitu penggugup, suka membentak, serta
mudah sekali marah, Nona Grayling. Ia membentak bila mejanya tersentuh, ia
menjerit bila kita menyela saat ia membaca, ia sangat mudah marah. Kukira hanya
Jean yang suka padanya, ia begitu sabar menghadapi Ellen."
"Alangkah baiknya bila hal ini kuketahui sebelumnya," kata Nona Grayling. "Kini
aku tahu mengapa Ellen begitu gugup sewaktu kusarankan agar ia beristirahat di
rumah. Kupikir ia akan lebih merasa tenang di antara keluarganya, ia pasti
mengira aku telah mengusirnya karena seseorang telah datang padaku, mengadu
bahwa ia mencuri atau berbuat curang. Kasihan Ellen. Kukira ia terlalu berat
membebani otaknya, dan inilah akibatnya."
Darrell termangu, ia merasa bahwa Nona Grayling gusar terhadap kelakuannya. "Aku
sangat menyesal akan apa yang pernah kulakukan." Darrell mengerjapkan mata agar
air matanya tak keluar. "Aku tahu bahwa aku selalu mengatakan aku akan menguasai
sifat marahku, dan ternyata suatu saat aku selalu begitu marah hingga aku tak
bisa menguasai diri lagi. Anda pasti sudah tak percaya lagi padaku, Nona
Grayling." "Aku akan tetap mempercayaimu, mempercayaimu kapan saja," kata Nona Grayling.
Matanya yang biru kini tampak begitu hangat dan sabar, dan kini ia tersenyum.
"Dan suatu hari aku percaya kau akan menepati janjimu itu, Darrell. Mungkin bila
kau berada di kelas enam. Nah, panggillah teman-temanmu."
Sally, Belinda, dan Irene masuk. Nona Grayling berkata bersungguh-sungguh pada
mereka, "Apa yang telah dikatakan Darrell padaku kurasa lebih baik tak kuulangi
pada kalian. Dan kurasa Darrell juga tak boleh mengatakan lagi peristiwa yang
dialaminya kepada siapa pun. Aku hanya ingin berkata bahwa Ellen bukanlah
pencuri seperti yang kalian tuduhkan. Ontuk hal ini aku merasa sangat yakin."
"Bukan pencurinya!" kata Sally. "Tetapi kami pikir dia... dan Alicia telah
menuduhnya terang-terangan!"
Sally tak sengaja mengucapkan nama Alicia. Nona Grayling termenung, mengetuk-
ngetuk meja dengari pensilnya. "Oh, jadi Alicia yang menuduhnya, ya?" tanyanya.
"Maka kukira ia pasti akan sangat menyesal nanti. Aku yakin tuduhan terbuka
itulah yang membuat Ellen tak tahan lagi. Sally, kau ketua kelas. Aku-
menyerahkan padamu tugas untuk membuat Alicia berhati lebih lembut, lebih kasih
terhadap teman-temannya. Sifat-sifat seperti itulah yang lebih dikagumi oleh
aku, kau, dan semua orang."
"Baik, Nona Grayling," kata Sally, yang juga merasa sangat ikut berdosa kini.
"Tetapi, Nona Grayling, ialu siapa pencurinya?"
"Rasanya tak mungkin Daphne," kata Irene. "Tak mungkin anak yang begitu berani
dan tak memikirkan dirinya sendiri seperti Daphne semalam bisa berbuat begitu
buruk! Daphne seorang pahlawan! Semua orang mengatakannya begitu!"
"Apakah kau berpikir bahwa bila seseorang tiba-tiba bisa berlaku begitu berani
dan baik, maka tak mungkin ia pernah berbuat jahat?" tanya Nona Grayling. "Kau
keliru, Irene. Semua orang punya sifat baik dan buruk dan kita semua harus
berusaha keras untuk menekan sifat buruk kita, dan berbuat hanya yang baik saja.
Kita takkan pernah sempurna. Sekali-sekali kita akan berbuat baik, sekali-sekali
kita akan berbuat buruk. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha melenyapkan
perbuatan buruk kita dengan berbuat kebaikan. Daphne memang sudah melakukan
sesuatu yang mungkin bisa melenyapkan perbuatan buruknya. Tetapi itu tak berarti
bahwa ia tak pernah berbuat sesuatu yang buruk."
"Apakah ia pencurinya?" tanya Sally tak percaya.
"Itulah yang akan kuselidiki," kata Nona Grayling. "Kalau benar ia pencurinya,
maka ia akan datang sendiri mengatakannya pada kalian, dan kalian sendiri yang
akan menentukan tentang dia. Kini kembalilah ke kelas. Aku akan menjenguk Daphne
dan Ellen di san. Oh, ya. Hari ini Ellen boleh menerima tamu. Bagaimana kalau
kalian menyuruh Jean mengunjunginya" Darrell bilang hanya Jean yang suka pada
Ellen. Mintalah agar ia mengunjungi Ellen setelah minum teh dan menghiburnya."
"Apakah ia boleh berkata pada Ellen bahwa kami sekarang tahu dia bukan
pencurinya?" tanya Darrell. "Dan oh, Nona Grayling, bolehkah aku juga
mengunjunginya" Sebentar saja?"
"Ya," kata Nona Grayling. "Tapi jagalah jangan berkelahi dengannya lagi. Aku
yakin jururawat akan langsung meringkusmu!"
21. DAPHNE, ELLEN - DAN NONA GRAYLING
Nona Grayling pergi ke san. Ia berbicara sebentar dengan jururawat yang
mengangguk dan berkata, "Ya, Daphne sudah cukup kuat. Ia baru saja bangun."
Kepala sekolah itu minta agar Daphne dibawa ke kamar sebelah di mana mereka bisa
berbicara berdua saja. Dengan dibantu jururawat, Daphne masuk dan duduk di
kursi. Melihat wajah Nona Grayling yang bersungguh-sungguh, was-was juga hati
Daphne. "Daphne," kata Nona Grayling, "barang-barang ini ditemukan di dalam bungkusan
yang akan diposkan Mary-Lou untukmu. Kau sendirilah yang membungkus barang-
barang itu. Dari mana kaudapat barang-barang tersebut" Dan mengapa akan
kaukirimkan entah ke mana?"
Nona Grayling meletakkan dompet dan barang-barang lainnya ke pangkuan Daphne.
Daphne terbelalak ketakutan. Wajahnya jadi pucat sekali, ia membuka mulut untuk
menjawab, tetapi tak sepatah kata pun keluar.
"Bolehkah kukatakan dari mana barang-barang ini kaudapat?" tanya Nona Grayling.
"Kau telah mengambilnya dari meja, laci, dan lemari teman-temanmu. Kauhabiskan
uangnya. Daphne, kaulakukan di sini apa yang pernah kaulakukan di dua sekolahmu
yang terdahulu. Kedua sekolah itu secara halus telah minta pada kedua orang
tuamu untuk mengambilmu kembali, tanpa menyatakan apa sebenarnya yang jadi
penyebabnya." "Bagaimana Anda tahu itu?" bisik Daphne, wajahnya yang biasa cantik itu tampak
begitu merana. "Sudah menjadi kebiasaan Malory Towers untuk minta laporan khusus dari sekolah
dari mana seorang murid datang. Terutama tentang kepribadian anak itu. Kalau
bisa, Daphne, kami tak mau menerima anak-anak yang kelakuannya buruk."
"Lalu, mengapa Anda menerima aku?" tanya Daphne, tak berani menatap pandangan
kepala sekolah itu. "Sebab, Daphne, kepala sekolahmu yang terakhir menyatakan bahwa sesungguhnya
sifatmu tidaklah seluruhnya buruk," kata Nona Grayling. "Beliau berkata mungkin
di sekolah seperti Malory Towers ini kau bisa berubah menjadi baik, sebab Malory
Towers terkenal sebagai sekolah yang mengutamakan pendidikan tentang keadilan,
kebaikan hati, dan kejujuran. Mungkin dengan pendidikan di Malory Towers, sifat
baikmu bisa mengganti sifat burukmu. Dan aku suka memberi seseorang kesempatan
untuk menjadi baik lagi."
"Begitu..." kata Daphne. "Tetapi ternyata aku di sini semakin buruk, Nona
Grayling. Aku tidak saja mencuri, tetapi juga berdusta. Aku berkata aku tak
pernah bersekolah, sebab aku takut kalau teman-teman tahu aku sudah dua kali
dikeluarkan dari sekolahku. Aku juga pura-pura kaya. Aku... aku pasang potret
seorang wanita kaya dan cantik di mejaku, dan kukatakan bahwa wanita itu
ibuku... padahal bukan."
"Aku tahu. Semua guru telah diberi tahu tentang kau. Tetapi murid-murid tak ada
yang tahu. Banyak yang kudengar tentang dirimu, Daphne, yang membuat aku sedih,
membuat aku berpikir bahwa tak sepantasnya kau diberi kesempatan lagi.
Kelemahanmu yang terbesar adalah kecantikanmu. Kau ingin agar semua orang
mengagumimu, mengira kau datang dari keluarga kaya raya dengan ayah-ibu yang
tampan terhormat - kau ingin orang lain kagum dan iri padamu, bukan" Dan karena
orang tuamu tidak sekaya yang kaukhayalkan, dan tak bisa memberimu uang saku
serta barang-barang seperti anak-anak lain, maka kauambil saja apa yang
kauinginkan - kau mencuri."
"Aku memang buruk, sangat buruk sifatku," kata Daphne, menundukkan kepala.
"Tetapi ternyata kau telah melakukan sesuatu yang sangat berani, sangat luar
biasa," kata Nona Grayling. "Pandanglah aku, Daphne. Hari ini semua murid Malory
Towers mengagumimu. Teman-temanmu mengatakan kau seorang pahlawan.
Mereka ingin menyambutmu dengan meriah. Mereka bangga akan dirimu. Sesungguhnya
banyak sifat baikmu yang terpendam."
Daphne telah mengangkat muka dan memandang Nona Grayling. Merah mukanya. "Tapi
sesungguhnya akulah penyebab kecelakaan yang terjadi pada Mary-Lou," katanya.
"Ketika kudengar bahwa Ellen telah dikeluarkan dari sekolah karena tuduhan
mencuri barang-barang yang sebenarnya kucuri, aku jadi sangat takut. Aku begitu
penakut sehingga tak berani mengaku. Dan kupikir kalau barang-barang yang kucuri
itu ditemukan, dan diperiksa sidik jarinya, aku akan ketahuan. Maka aku berpikir
untuk mengirimnya jauh-jauh, dengan pos, ke sebuah alamat palsu. Ternyata Mary-
Lou sangat ingin untuk membantu mengeposkan bungkusan itu. Karena itulah ia
mendapat kecelakaan."
"Begitu," kata Nona Grayling. "Aku tadinya tak mengerti mengapa kaukirimkan
barang-barang itu, Daphne. Sungguh untung kau akhirnya bisa menemukan Mary-Lou.
Kalau tidak, kesalahanmu akan bisa menimbulkan suatu kecelakaan hebat!"
"Mungkin Anda akan menyuruhku pulang kini, Nona Grayling," kata Daphne setelah


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdiam sejenak. "Kedua orang tuaku kini akan tahu kenapa. Mereka setidak-
tidaknya akan menduga-duga bahwa suatu persoalan besar sedang kuhadapi. Anda
tahu bukan mereka yang membayar uang sekolahku, mereka tak mampu. Ibu baptisku
yang membayar. Dan bila ia tahu tentang perbuatanku, ia pasti menghentikan
bantuannya padaku. Aku tak akan bisa menikmati pendidikan lagi. Apakah aku akan
Anda suruh pulang, Nona Grayling?"
"Aku akan memberi kesempatan pada teman-teman sekelasmu untuk menentukan hal
itu," kata Nona Grayling bersungguh-sungguh. "Itu kalau kau cukup berani untuk
menghadapi mereka, dan menerima keputusan mereka, Daphne. Aku ingin kau menemui
mereka, dan menceritakan apa yang kauperbuat. Semuanya. Dan kemudian terserah
pada pendapat mereka."
"Oh, aku takkan bisa!" kata Daphne, menutup mukanya dengan tangan. "Begitu
banyak bualku pada mereka! Aku tak bisa!"
"Kau punya pilihan," kata Nona Grayling, berdiri. "Kau dikeluarkan tanpa banyak
urusan lagi, atau kauserahkan nasibmu pada keputusan teman-temanmu. Memang
sangat berat, tetapi kalau kau memang ingin mengubah sifatmu, pasti bisa
kaulakukan. Aku tahu banyak sifat baikmu yang terpendam. Kinilah saatnya
kautunjukkan, walaupun itu berarti kau harus punya keberanian - jauh lebih besar
dari keberanian yang kautunjukkan tadi malam."
Ditinggalkannya Daphne dan ia pun pergi menemui Ellen. Kepala sekolah itu duduk
di pinggir tempat tidur anak tersebut. "Ellen," katanya, "Daphne sedang
menghadapi kesulitan besar. Anak-anak lain akan segera tahu dan aku datang untuk
memberi tahu engkau. Telah ditemukan bahwa Daphne-lah yang ternyata mengambil
uang dan beberapa perhiasan yang hilang."
Beberapa saat Ellen tak bisa mengerti. Betulkah yang didengarnya" Kemudian ia
cepat bangkit. "Daphne!" katanya. "Tetapi semua kawanku berkata bahwa akulah
yang mengambil barang-barang itu! Mereka menuduhku terang-terangan. Mereka tak
akan percaya bahwa Daphne yang berbuat."
"Mereka pasti akan percaya, sebab Daphne sendiri yang akan bercerita pada
mereka. Dan kini, Ellen, coba katakan padaku, mengapa kau mencoba mengambil
kertas-kertas ulangan itu" Kau seorang anak yang dibiayai bea siswa. Mestinya
kau pandai. Tak perlu bagimu untuk berbuat curang."
Ellen lemas berbaring lagi. Ia sangat malu. Bagaimana Nona Grayling bisa tahu"
Apakah Darrell telah memberitahukan pada semua anak" Tentu. Pasti dia yang
berbicara! "Tak ada yang tahu tentang ini kecuali aku dan Darrell," kata Nona Grayling.
"Darrell telah mengatakannya padaku, tetapi tidak pada anak lain, dan kularang
ia bercerita pada anak lain. Jadi kau tak perlu khawatir. Tapi aku ingin tahu,
mengapa itu kaulakukan. Ada sesuatu yang membuatmu khawatir terus, Ellen. Dan
sakit kepalamu takkan bisa sembuh bila kau tak melenyapkan rasa khawatir itu."
"Aku memang perlu untuk berbuat curang," kata Ellen lemah. "Otakku tak bisa
bekerja dengan baik lagi. Dan kemudian aku sakit kepala. Aku yakin aku takkan
bisa berhasil dengan baik dalam ulangan, kemudian malam itu teman-teman
menuduhku pencuri, padahal aku tak tahu apa-apa. Aku begitu putus asa, hingga
akhirnya aku berpendapat lebih baik berbuat curang sekalian, kalau semua anak
menuduhku pencuri." "Lalu... kenapa otakmu tak bisa bekerja dengan baik?" tanya Nona Grayling.
"Aku tak tahu. Mungkin juga karena aku bekerja terlalu keras sewaktu akan minta
bea siswa itu. Anda pasti tahu, sebetulnya aku tak begitu cemerlang. Aku
memperoleh nilai-nilai terbaik karena aku begitu tekun belajar, terus-menerus
tanpa hentinya. Seorang anak bea siswa, dengan mudah akan bisa mencapai hasil
yang baik, tanpa belajar terlalu keras. Masa liburan aku juga belajar. Aku capai
sekali sewaktu pertama kali datang kemari - dan aku ingin nilaiku paling tidak
termasuk paling baik."
"Apakah itu sangat perlu bagimu?" tanya Nona Grayling lembut.
"Ya, aku tak mau kedua orang tuaku kecewa," jawab Ellen. "Mereka harus membayar
lebih dari batas kemampuan mereka untuk pakaian seragam dan yang lain-lainnya.
Mereka begitu bangga padaku. Aku harus berhasil. Dan kini aku telah
menghancurkan semuanya."
"Tidak semuanya," kata Nona Grayling, merasa lega karena ternyata yang jadi
pokok kekhawatiran Ellen adalah pikiran tentang keluarganya dan penyebab
kelemahannya dalam belajar hanyalah karena terlalu banyak belajar sehingga
otaknya lelah. "Aku akan menulis surat pada ayah-ibumu, bahwa kau telah belajar
dengan giat dan hasilnya cukup baik, tetapi kau telah terlalu lelah belajar,
sehingga harus betul-betul istirahat di liburan mendatang. Dengan begitu
semester yang akan datang kau akan segar kembali, kau akan lupa persoalanmu
sekarang ini dan siap lagi untuk melaju ke puncak tertinggi di kelasmu."
Ellen tersenyum dan garis kekhawatiran di dahinya lenyap seketika. "Terima
kasih," katanya. "Aku ingin berkata lebih dari itu, tetapi aku tak bisa."
Nona Grayling kemudian berbicara sebentar dengan Mary-Lou sebelum kembali ke
ruang kerjanya. Begitu banyak, murid, dengan berbagai persoalan - begitu besar
tanggung jawabnya untuk membetulkan yang salah, serta membuat yang terbaik dari
tiap murid yang menonjol. Tak heran bila Nona Grayling cepat sekali penuh uban
kepalanya, lebih dari yang semestinya dimilikinya.
22. DAPHNE MENGAKU - AKHIR SEMESTER
Sehabis minum teh hari itu, anak-anak kelas dua disuruh Nona Parker berkumpul di
ruang rekreasi mereka dan menunggu di sana.
"Untuk apa?" tanya Belinda heran.
"Tunggu saja di sana," kata Nona Parker. "Sudahlah. Pergilah. Ada seseorang yang
menunggu kalian di sana."
Semua berebut pulang ke ruang rekreasi mereka, bertanya-tanya dalam hati, apa
gerangan yang akan terjadi. Mary-Lou telah menunggu mereka, tampak kecil dan
ketakutan, memakai, gaun kamar. Ibu Asrama telah mendukungnya turun ke tempat
itu. Dan Daphne juga ada di situ. Berpakaian lengkap! Anak-anak itu langsung
mengerumuninya dan ribut berkata, "Daphne! Kau hebat sekali! Kau pahlawan!
Daphne! Bagus sekali! Kau telah menyelamatkan nyawa Mary-Lou!"
Daphne tidak menjawab. Ia duduk saja dan menatap mereka dengan wajah pucat. Ia
bahkan tidak tersenyum. "Ada apa?" tanya Gwendoline.
"Duduklah," kata Daphne. "Ada yang ingin kukatakan. Kemudian aku akan pergi.
Kalian takkan melihat aku lagi."
"Ya, ampun! Ada apa sih begini seram?" tanya Jean, heran mendengar nada bicara
Daphne yang begitu sedih.
"Dengar, kalian dengarkan dulu," kata Daphne. "Akulah yang mencuri barang-barang
kalian. Aku telah dikeluarkan dari dua sekolahku yang terdahulu karena persoalan
yang sama. Nona Grayling tahu hal itu, tetapi beliau bersedia memberiku
kesempatan untuk memperbaiki diri di sini. Karenanya aku diterima di sini. Aku
banyak sekali berdusta pada kalian - terutama pada Gwen. Kami tidak punya kapal
pesiar. Kami tidak punya mobil tiga atau empat buah. Kukatakan pada kalian bahwa
aku belum pernah bersekolah sebab aku tak ingin ada di antara kalian kemudian
mendengar bahwa aku pernah dikeluarkan. Aku tak punya cukup uang untuk membayar
beberapa iuran. Jean menagih iuran itu, dan tentu saja aku tak bisa menolak
karena kalian mengira ayahku jutawan. Karena itu aku mengambil uang dan dompet
kalian. Dan aku juga suka pada perhiasan sebab aku senang pada benda-benda yang
indah tapi aku tak punya."
Ia berhenti sejenak. Wajah-wajah di sekelilingnya tampak terkejut dan ngeri.
Gwendoline tampak bagaikan akan pingsan. Temannya si anak jutawan ini! Tak heran
kini, mengapa Daphne tak pernah mengundangnya berlibur bersama. Semuanya
hanyalah dusta! "Kalian tampak sangat terkejut. Sudah kuduga. Nona Grayling berkata bahwa aku
harus menceritakan ini semua pada kalian. Kemudian kalian boleh menentukan apa
yang akan kalian lakukan padaku. Kalian boleh mengadiliku. Aku mengerti, dalam
hati kalian telah memutuskan betapa buruknya aku ini. Aku tak menyalahkan
kalian. Aku sendiri sudah menilai diriku. Dan aku jadi membenci diriku. Aku
membuat kalian menuduh Ellen. Aku...'"
"Dan aku terjebak, aku telah menuduh Ellen secara terus terang!" kata Alicia
dengan suara getir. "Kau sungguh keji, Daphne. Mestinya kaucegah aku berbuat
itu. Aku takkan bisa memaafkan diriku karena membuat Ellen begitu sengsara!"
Hening lagi. Kali ini agak lama. Kemudian Sally bertanya, "Sudah selesaikah
bicaramu, Daphne?" "Apakah itu belum cukup?" tanya Daphne sedih. "Mungkin kalian ingin tahu mengapa
aku merasa ketakutan dan mengirim barang-barang itu lewat pos" Yang kemudian
menyebabkan Mary-Lou hampir celaka" Aku mendengar desas-desus bahwa Ellen telah
dikeluarkan karena dituduh mencuri. Aku sangat takut kalau-kalau polisi akan
mengadakan penyelidikan, kemudian akan melihat sidik jari pada barang-barang
itu. Karenanya aku memutuskan untuk mengirimkannya ke suatu alamat palsu. Takkan
bisa dilacak padaku bila kelak bungkusan itu ditemukan, sebab alamat pengirimnya
juga palsu. Tetapi karena pikiran tolol itu hampir saja Mary-Lou celaka!"
"Dan karena kau khawatir akan hal itu, kau telah menyusulku. Tanpa mempedulikan
bahaya yang juga mengancam dirimu, kau berusaha menyelamatkanku," kata Mary-Lou
dengan suara lembutnya, ia kemudian berdiri dan mendampingi Daphne. "Aku tak
peduli apa kata anak-anak lainnya. Aku akan tetap percaya padamu, Daphne. Aku
tak ingin kau meninggalkan sekolah ini. Aku yakin kau tak akan berbuat seburuk
itu lagi. Aku yakin sifat baikmu lebih banyak daripada sifat burukmu."
"Kalau aku, aku tak mau lagi berteman dengan dia," kata Gwendoline dengan nada
jijik. "Kalau ibuku tahu bahwa..."
"Tutup mulut, Gwendoline!" tukas Darrell. "Aku juga setuju Daphne tak usah pergi
dari sini. Aku sendiri sudah melakukan beberapa kelakuan yang jauh dari
membanggakan, walaupun tak bisa kukatakan pada kalian apa kelakuanku itu. Dan
aku pikir apa yang diperbuat oleh Daphne dalam semester ini, yang buruk-buruk,
telah terhapus sama sekali oleh perbuatannya yang tak mementingkan dirinya
sendiri tadi malam. Kita semua sepakat bahwa tindakannya tadi malam gagah
berani, mulia - dan apa yang baru saja dikatakannya takkan mengurangi pendapat
kita tersebut." "Benar," kata Sally. "Ia telah menghapus keburukannya dengan suatu kebaikan yang
luar biasa. Dan lebih dari itu. sangatlah memerlukan keberanian untuk menghadapi
kita semua dan menceritakan ini semua. Kau punya keberanian, Daphne. Kalau kami
setuju untuk menerimamu di antara kami, apakah kau akan menggunakan keberanianmu
itu untuk tidak lagi berbuat hal-hal buruk seperti yang kaulakukan sebelumnya?"
"Apakah kau betul-betul mau menerimaku kembali?" tanya Daphne, suatu harapan
terpancar di wajahnya. "Tapi bagaimana dengan yang lain?"
"Aku setuju dengan Sally dan Darrell," kata Jean.
"Aku juga," kata Belinda. Dan Irene mengangguk. Emily berpikir, sesaat kemudian
menyatakan bisa menerima kehadiran Daphne.
"Ya, aku setuju," katanya. "Aku tahu kau telah berbuat sangat buruk, Daphne,
tetapi kau juga berbuat sangat baik. Betapapun aku yakin kau pantas diberi
kesempatan untuk menjadi baik."
"Kau, Alicia?" tanya Sally. Alicia diam saja sejak tadi, begitu menyesal ia
karena sembarangan menuduh Ellen. Ia mengangkat muka.
"Ya, rasanya seperti juga Daphne, aku merasa aku juga harus diberi kesempatan
untuk menjadi lebih baik," katanya dengan perasaan menyesal. "Kukira aku juga
punya sifat-sifat buruk."
"Kau begitu keras dan tak bisa memaafkan," kata Sally. "Kau selalu mengejek aku
yang ingin mencari bukti lebih dulu sebelum menuduh, karena aku ingin selalu
adil dan bersikap lembut - tetapi kukira sifatmu itu bisa kautinggalkan."
"Memang," kata Alicia. "Maafkan aku. Aku benci padamu karena kau yang terpilih
menjadi ketua kelas semester ini, Sally. Aku betul-betul tolol. Aku tak berhak
mengadili Daphne. Aku akan selalu mengikuti keputusanmu."
"Kalau begitu tinggal Gwendoline yang belum setuju," kata Sally, berpaling pada
anak yang tunduk cemberut itu. "Kasihan sekali Gwendoline. Ia telah kehilangan
temannya yang agung itu dan tak bisa mengatasi kekecewaannya. Baiklah. Kita akan
menghadap Nona Grayling dan berkata bahwa semua setuju Daphne tetap berada di
sini, kecuali Gwendoline. Kita setuju akan memberi Daphne kesempatan sekali
lagi." "Tidak, tidak, jangan berkata begitu pada Nona Grayling," kata Gwendoline cepat-
cepat. Takut apa pendapat Nona Grayling tentang dirinya. "Aku juga setuju."
"Dan kau. Daphne, apakah kau juga setuju?" tanya Sally pada anak yang duduk
murung di kursinya itu. "Oh, terima kasih, Sally. Aku setuju sepenuh hatiku," kata Daphne, memalingkan
kepala agar tak ada yang melihat air matanya. Ini suatu titik yang sangat
penting baginya. Kini terserah padanya untuk menjadi baik ataukah menjadi buruk,
ia harus cukup kuat untuk tidak menyia-nyiakan kepercayaan teman-temannya ini.
Sebuah tangan kecil menyentuh tangannya. Mary-Lou. 'Ayo, kita kembali ke san.,"
kata Mary-Lou. "Ibu Asrama berkata kita harus segera kembali ke sana begitu
pertemuan ini selesai. Akan kubantu kau menaiki tangga."
Untuk pertama kalinya Daphne tersenyum lagi. Dan kali ini senyum yang tulus,
bukan yang dibuatnya hanya untuk memikat perhatian orang lain. "Kaulah yang
harus dibantu," katanya. "Ayolah. Kalau tidak. Ibu Asrama akan mengusir kita
dari sini." Jean mengunjungi Ellen - yang sekarang sudah sangat berubah. Agaknya semua
kekhawatirannya telah lenyap. "Aku merasa sangat lega kini," katanya pada Jean.
"Aku takkan mengerjakan pelajaran lagi di akhir semester ini. Jean. Santai-
santai saja. Juga di liburan nanti aku akan betul-betul beristirahat. Aku takkan
membentak dan menyantap lagi seperti dulu. Sakit kepalaku juga sudah lenyap.
Sungguh aneh cara Nona Grayling menyembuhkan aku."
"Kau sungguh beruntung boleh tinggal di tempat tidur terus," kata Jean. "Ulangan
matematika sangat sulit! Aku paling-paling hanya bisa mengerjakan separuhnya.
Apa lagi ulangan Prancis dari Mam'zelle Dupont! Wah! Ajaib bila bisa mendapat
nilai baik!" Minggu-minggu ulangan lewat dengan cepat. Tahu-tahu minggu terakhir semester itu
tiba. Guru-guru mulai tampak tertekan oleh waktu - memeriksa ulangan, memberi
nilai, mengumpulkan nilai-nilai, membuat laporan - tugas mereka makin hari makin
berat. Mam'zelle Dupont sampai bagaikan gila, apalagi ketika ternyata daftar
nilai yang telah dibuatnya hilang, ia minta tolong agar Nona Parker
membuatkannya lagi. Tentu saja Nona Parker tak mau melakukan itu. "Aku banyak pekerjaan, Mam'zelle,"
katanya. "Anda ini sungguh mirip Belinda. Entah bagaimana, dalam ulangan ilmu
bumi ternyata ia mengerjakan ulangan sejarah! Anak itu betul-betul tak keruan
otaknya! Aku tak mengerti bagaimana ia bisa menerima soal ulangan sejarah,
padahal yang kubagikan adalah kertas ulangan ilmu bumi!"
"Tetapi apakah ia tidak menanyakan hal itu pada Anda?" tanya Mam'zelle heran.
"Katanya ia tak sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dijawabnya adalah
pertanyaan sejarah!" keluh Nona Parker. "Anak-anak ini sungguh membuat umurku
cepat tua! Untung tinggal dua-tiga hari lagi semester ini berakhir."
Tinggal dua hari lagi. Tetapi alangkah ributnya! Anak-anak mulai berkemas-kemas,
membersihkan lemari, menyusun kembali buku-buku, membersihkan ruangan... hal-hal
kecil yang membuat akhir semester selalu terasa sibuk, ditambah perasaan senang
karena akan pulang bertemu dengan ayah-ibu lagi.
"Semester ini agak aneh ya?" kata Darrell pada Sally. "Aku tak begitu puas
dengan hasil yang kucapai dan tindakan yang kulakukan. Tidak seperti kau. Kau
tak pernah berbuat salah!"
"Omong kosong!" tukas Sally. "Kau tak tahu betapa dalam hati aku sangat membenci
Alicia karena ia selalu menghalang-halangiku. Tak banyak yang kauketahui tentang
diriku!" "Tetapi senang juga aku pada semester ini," kata Darrell, mengenangkan segala
kejadian yang ada. "Sungguh menarik. Ellen yang suka tersinggung itu, dan desas-
desus tentang dirinya. Kini semuanya beres dan Ellen jadi sangat berubah, ia dan
Jean kini rapat hubungannya, selalu kasak-kusuk berdua saja, bagaikan dua orang
pencuri!" "Dan Daphne juga berubah," kata Sally. Kata 'pencuri' selalu mengingatkan dia
pada Daphne. "Peristiwanya sungguh sangat luar biasa. Aku senang bahwa akhirnya
kita memberinya kesempatan sekali lagi. Aneh ya, bagaimana ia langsung mengambil
Mary-Lou sebagai sahabatnya dan tak lagi memperhatikan Gwendoline Mary?"
"Tetapi tindakannya itu tepat," kata Darrell. "Mary-Lou memang pemalu dan
pendiam, tetapi hatinya keras. Kurasa lebih baik bila ia punya sahabat sendiri
daripada terus mengikuti kita saja. Tetapi aku akan tetap menyukai Mary-Lou."
"Gwendoline tampak masam saja akhir-akhir ini," kata Sally, menggamit sahabatnya
itu, menunjukkan Gwendoline yang sedang lewat. "Kini ia tak ada yang menyayangi
lagi." "Tak apa," kata Darrell sedikit kejam. "Sebentar lagi ia akan jadi kesayangan
Ibu dan kesayangan Nona Winter. Sebentar lagi segala pekerjaannya akan dilakukan
orang lain untuknya. Kasihan Gwendoline Mary. Ia yang paling menderita dalam
peristiwa Daphne ini."
"Ya. Mudah-mudahan semester mendatang ia lebih baik," kata Sally agak ragu-ragu.
"Ya, ampun. Apa yang dilakukan Belinda itu?"
Belinda bergegas kian kemari dengan membawa keranjang jahitan. Dari keranjang
itu terguling segulung benang wol. Benangnya tercecer membelit kaki anak-anak di
ruang tersebut "Jangan injak benangku!" Malah Belinda yang marah. "Aku tak bisa bergerak ini!"


Kelas Dua Di Malory Towers Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, Belinda, kau memang tolol!" seru Darrell, melepaskan belitan benang di
kakinya. "Pergilah! Akulah yang kautahan! Sudah, pulang sana! Dan jangan lupa
membawa gambar-gambar lucu!"
"Tentu!" sahut Belinda menyeringai. "Dan Alicia harus merancang lelucon yang
sangat lucu untuk semester yang akan datang. Hai, Alicia! Ada pekerjaan rumah
untukmu selama liburan ini! Kau harus merancang berbagai muslihat yang hebat
untuk semester depan!"
"Oy" Apa itu Oy?" tanya Mam'zelle Dupont yang kebetulan lewat. "Sebuah Oy di
belakangku" Apa yang kaulakukan padaku?"
"Jangan khawatir!" teriak Alicia. "Pasti! Dan pasti jauh lebih lucu dari sebuah
OY! di belakang Mam'zelle seperti yang kaubuat itu, Darrell!"
Mam'zelle memutar-mutar diri mencoba untuk melihat punggungnya sendiri. Anak-
anak tertawa terbahak-bahak.
"Punggung Anda tak apa-apa, Mam'zelle. Oy-nya sudah hilang!"
"Tetapi Oy itu apa?" tanya Mam'zelle. "Akan kutanyakan pada Nona Parker."
Tetapi Nona Parker tak tertarik pada Oy Mam'zelle. Ia lebih tertarik
memberangkatkan anak-anak untuk liburan. Bila mereka semua sudah berangkat, maka
ia bisa beristirahat dengan tenang.
Dan akhirnya mereka memang berangkat semua. Mobil-mobil menderu meninggalkan
halaman sekolah. Bis-bis yang mengangkut anak-anak ke stasiun juga berangkat,
dengan membawa anak-anak yang riuh-rendah bernyanyi. Belinda melompat turun
sebentar dari bis untuk menyambar tasnya yang seperti biasa tertinggal.
"Selamat tinggal, Malory Towers!" teriak anak-anak itu. "Selamat tinggal, Potty!
Selamat tinggal Hidung Panjang! Selamat tinggal, Mam'zelle Oy!"
"Mereka pergi sudah," kata Mam'zelle. "Ah, anak-anak yang baik, betapa senangnya
aku melihat mereka datang - dan betapa senangnya aku melihat mereka cepat-cepat
pergi. Nona Parker, apakah Oy itu" Aku belum pernah mendengarnya."
"Lihat saja di kamus," kata Nona Parker, seolah-olah berkata pada muridnya.
"Empat minggu penuh damai, empat minggu kita bisa beristirahat tenang! Hampir
tak bisa dipercaya!"
"Mereka pasti akan segera kembali, anak-anak nakal ini!" kata Mam'zelle. Dan ia
benar. Mereka pasti kembali.
TAMAT Utusan Dari Neraka 1 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Samurai Pengembara 9 1
^