Twilight 4
Twilight Karya Stephenie Meyer Bagian 4
11. KESULITAN SEMUA memerhatikan ketika kami berjalan bersama-sama menuju meja lab. Aku sadar
ia tak lagi duduk jauh-jauh seperti biasa. Sebagai gantinya, ia duduk cukup
dekat, lengan kami nyaris bersentuhan.
Mr. Banner sudah masuk kelas - betapa perencanaan waktunya sangat tepat - sambil
menarik kereta beroda dengan TV dan VCR yang kelihatannya berat dan ketinggalan
zaman. Hari menonton film - suasana senang di kelas nyaris nyata.
Mr. Banner memasukkan tape ke VCR dan berjalan ke dinding untuk mematikan lampu.
Kemudian, ketika ruangan sudah gelap, sekonyong-konyong aku terkejut menyadari
Edward duduk sangat dekat denganku. Aku terkesiap oleh aliran listrik yang
melanda sekujur tubuhku, kagum karena kesadaranku akan keberadaannya melebihi
yang sudah-sudah. Dorongan sinting untuk meraih dan menyentuhnya, membelai
wajahnya yang sempurna sekali saja dalam gelap, nyaris membuatku sinting. Aku
menyilangkan lengan erat-erat di dada, jemariku mengepal. Aku kehilangan akal
sehat. Pembukaan film dimulai, cahayanya sekejap menyinari ruangan. Otomatis aku
melirik ke arahnya. Aku tersenyum malu-malu menyadari postur tubuhnya sama
seperti aku, tangannya mengepal di balik lengan, matanya melirikku juga. Aku
langsung memalingkan wajah sebelum kehabisan napas. Benar-benar konyol kalau aku
sampai pening. Jam pelajaran sepertinya sangat panjang. Aku tak bisa berkonsentrasi pada
filmnya - aku bahkan tidak tahu filmnya tentang apa. Sia-sia aku berusaha
tenang, aliran listrik yang sepertinya mengalir dari salah satu bagian tubuhnya
tak pernah berkurang. Sesekali aku membiarkan diriku melirik ke arahnya, tapi
kelihatannya ia juga tak pernah bisa tenang. Hasrat kuat untuk menyentuhnya pun sama sekali tak
berkurang, dan kepalan tanganku semakin erat hingga jari-jariku sakit karenanya.
Aku mendesah lega ketika Mr. Banner menyalakan lampu kembali. Kurenggangkan
dekapan lenganku, melemaskan jemariku yang kaku. Edward tertawa geli di
sebelahku. "Well, tadi itu menarik," gumamnya. Suaranya misterius dan ratapannya hati-hati.
"Hmmm," hanya itu yang bisa kukatakan.
"Yuk?" ajaknya, sambil bangkit dengan lincah.
Aku nyaris mengerang. Waktunya kelas Olahraga. Aku berdiri hati-hati, khawatir
keseimbanganku terpengaruh oleh hasrat baru yang muncul di antara kami.
Tanpa bicara ia mengantarku ke kelas berikut, lalu berhenti di ambang pintu. Aku
berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal. Wajahnya membuatku bingung -
ekspresinya sedih, nyaris terluka, sekaligus begitu menawan hingga keinginan
untuk menyentuhnya kembali menyala-nyala, sama kuatnya seperti sebelumnya. Aku
tak sanggup bicara. Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu, matanya sarat pergumulan, dan dengan lembut ia
membelai pipiku dengan ujung jemarinya. Kulitnya dingin seperti biasa, namun
jejak yang ditinggalkan jari-jarinya terasa hangat di kulitku - seperti
terbakar, tapi aku tidak merasa nyeri.
Ia berbalik tanpa berkata-kata dan langsung meninggalkanku.
Aku berjalan memasuki gimnasium, nyaris melayang-layang dan sempoyongan. Aku
menuju ruang ganti, mengganti pakaian dalam keadaan melamun, hanya samar-samar
menyadari kehadiran orang-orang di sekitarku. Barulah ketika seseorang
menyerahkan raket padaku, aku sepenuhnya sadar. Raket itu tidak berat, namun tak
terasa mantap di tanganku. Kulihat beberapa anak mengamatiku diam-diam. Pelatih
Clapp menyuruh kami berpasang-pasangan.
Untung sisa-sisa kesopanan Mike masih ada; dan ia berdiri di sebelahku.
"Mau berpasangan denganku?"
"Terima kasih, Mike - kau tahu, kau tak perlu melakukannya," aku meringis penuh
penyesalan. "Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu." Ia tersenyum. Kadang-kadang
rasanya mudah sekali untuk menyukai Mike.
Keadaan tidak berjalan lancar. Entah bagaimana aku memukul kepalaku sendiri
dengan raket dan mengenai bahu Mike dengan ayunan yang sama. Aku menghabiskan
sisa pelajaran menyendiri di pojok belakang lapangan, raketnya aman tersimpan.
Meski aku telah mencederainya, Mike bermain cukup baik; ia memenangkan tiga dari
empat babak seorang diri. Ia mengajakku ber-high five yang seharusnya tak perlu
ketika pelatih akhirnya meniup peluit tanda kelas berakhir.
"Jadi," katanya sambil berjalan meninggalkan lapangan.
"Jadi apa?" "Kau jalan dengan Cullen, heh?" tanyanya, nadanya menantang. Perasaan suka yang
tadi kurasakan padanya lenyap.
"Itu bukan urusanmu, Mike," aku mengingatkannya, diam-diam mengutuk Jessica ke
pusat neraka paling panas.
"Aku tidak suka," ia tetap mengatakannya juga.
"Memang tidak perlu," sergahku marah.
"Caranya memandangmu... seolah ingin memakanmu." ia meneruskan, mengabaikan
keberatanku. Kutahan emosiku yang sewaktu-waktu bisa meledak, tapi akhirnya aku toh tertawa
kecil. Ia memandang marah padaku. Aku melambai dan langsung menuju ruang loker.
Aku berpakaian dengan cepat, sesuatu yang lebih hebat mengaduk-aduk perutku,
pertengkaranku dengan Mike sudah jauh dari ingatanku. Aku bertanya-tanya apakah
Edward menungguku, atau apakah aku seharusnya menemuinya di mobil. Bagaimana
kalau saudara-saudaranya ada di sana" Aku merasakan gelombang ketakutan yang
mendalam. Tahukah mereka bahwa aku tahu" Apakah seharusnya aku tahu mereka tahu
bahwa aku tahu, atau tidak"
Ketika beranjak meninggalkan gimnasium, aku baru saja memutuskan akan langsung
pulang tanpa melihat ke lapangan parkir. Tapi kekhawatiranku tidak perlu. Edward
menantiku, bersandar santai di dinding gimnasium. wajahnya yang luar biasa
tampan kini tampak tenang. Ketika aku berjalan ke sisinya, aku merasakan sensasi
lega yang aneh. "Hai, desahku, tersenyum lebar.
"Halo." Senyumannya memesona. "Bagaimana kelas Olahraga-mu?"
Wajahku berubah agak kecewa. "Baik-baik saja." Aku berbohong.
"Benarkah?" tanyanya tidak percaya. Pandangannya bergeser sedikit, melirik ke
belakangku, matanya menyipit. Aku menoleh dan melihat Mike berjalan memunggungi
kami. "Apa?" desakku.
Ia kembali menatapku, masih tegang. "Newton membuatku kesal."
"Kau tidak sedang mendengarkan lagi, kan?" aku terperanjat. Tiba-tiba selera
humorku lenyap. "Bagaimana kepalamu?" tanyanya polos.
"Kau ini bukan main!" Aku berbalik, berjalan cepat ke lapangan parkir, meskipun
tak bermaksud begitu. Dengan mudah Edward menyusul.
"Kau sendiri yang bilang, aku tak pernah melihatmu di kelas Olahraga-aku jadi
penasaran." Ia tidak terdengar menyesal, jadi aku mengabaikannya.
Kami berjalan tanpa bicara - aku diam karena malu dan geram - menuju mobilnya.
Tapi belum sampai di tempat Edward memarkir Volvo-nya, langkahku terhenti -
kerumunan orang, semua cowok, tampak mengerumuninya. Lalu aku tersadar mereka
tidak sedang mengerumuni Volvo, melainkan mobil convertible merah Rosalie,
mereka tampak sangat tertarik. Tak satu pun dari mereka bahkan mendongak ketika
Edward menyelinap di antara mereka dan membuka pintu mobilnya. Aku langsung
masuk ke jok penumpang, juga luput dari perhatian.
"Kelewat mencolok," gumamnya.
"Mobil apa itu?" tanyaku.
"M3." "Aku tidak paham jenis-jenis mobil."
"Itu keluaran BMW" Ia memutar bola matanya, tanpa memandangku, mencoba
memundurkan mobil tanpa menabrak para penggila mobil yang sedang berkerumun itu.
Aku mengangguk - aku pernah mendengarnya.
"Kau masih marah?" tanyanya sambil berhati-hati mengemudikan mobilnya
meninggalkan sekolah. "Jelas." Ia menghela napas. "Maukah kau memaafkanku kalau aku meminta maaf"'
"Mungkin... kalau kau bersungguh-sungguh. Dan kalau kau berjanji tidak
mengulanginya lagi," aku bersikeras.
Sorot matanya sekonyong-konyong berubah tajam. "Bagaimana kalau aku bersungguh-
sungguh, dan aku setuju membiarkanmu mengemudi Sabtu nanti?" ujarnya.
Aku mempertimbangkannya, dan memutuskan barangkali itu tawaran terbaik yang bisa
kudapat. "Setuju," sahutku.
"Kalau begitu aku sangat menyesal telah membuatmu marah." Ketulusan membara di
matanya untuk waktu lama - membuat irama jantungku berantakan - kemudian berubah
jadi santai. "Dan aku akan tiba di depan rumahmu pagi-pagi sekali Sabtu nanti."
"Mmm, rasanya tidak akan terlalu membantu bila Charlie melihat Volvo asing di
halaman rumahnya." Senyumannya kini rendah hati. "Aku tidak berencana membawa mobil."
"Bagaimana-" menyelaku.
"Jangan khawatir soal itu. Aku akan datang, tanpa mobil."
Aku tidak mendesaknya lagi. Aku punya pertanyaan yang lebih penting.
"Apakah sudah tiba saatnya?" tanyaku.
Dahinya berkerut. "Kurasa sudah."
Aku tetap menjaga kesopananku sambil menunggu.
Ia menghentikan mobilnya. Aku mendongak, terkejut - tentu saja kami sudah sampai
di rumah Charlie. Edward memarkir mobilnya di belakang trukku. Bermobil
dengannya akan lebih mudah bila aku hanya membuka mata ketika kami sudah sampai.
Ketika aku menatapnya lagi, ia sedang menatapku, mengamatiku.
"Dan kau masih ingin tahu kenapa kau tak bisa melihatku berburu?" Ia tampak
serius, tapi rasanya aku melihat kejailan di matanya.
"Well" ujarku, "aku terutama ingin tahu bagaimana reaksimu."
"Apa aku membuatmu takut?" Ya, sudah jelas ia sedang melucu.
"Tidak," aku berbohong.
Ia tidak percaya. Aku minta maaf telah membuatmu takut," ia tetap bersikeras sambil tersenyum
simpul, tapi kemudian semua gurauan ini lenyap. "Hanya saja membayangkan kau ada
di sana... sementara kami berburu." Rahangnya mengeras.
"Pasti buruk?" Ia berkata dengan rahang rapat. "Sangat."
"Karena... " Ia menarik napas dalam-dalam dan memandang melewati kaca depan, ke awan-awan
yang menggayut tebal, yang seolah dapat diraih.
"Ketika kami berburu," katanya pelan, dengan enggan, kami, membiarkan indra
mengendalikan diri kami... tanpa banyak menggunakan pikiran. Terutama indra
penciuman kami. Kalau kau berada di dekatku ketika aku kehilangan kendali
seperti itu..." Ia menggeleng, masih menatap awan-awan tebal itu dengan murung.
Aku tetap menjaga ekspresiku, menantikan kelebaran matanya yang beberapa saat
kemudian mengamati reaksiku atas ucapannya. Wajahku tidak menunjukkan apa-apa.
Namun pandangan kami bertemu, dan keheningan itu semakin kental - dan berubah.
Getaran yang kurasakan siang tadi memenuhi atmosfer saat ia menatap mataku tanpa
berkedip. Ketika kepalaku mulai berputar, aku sadar aku tak bernapas. Ketika
akhirnya aku menghela napas gemetar, memecah kekakuan di antara kami, ia
memejamkan mata. "Bella, kurasa kau harus masuk sekarang." Suaranya rendah dan serak, matanya
kembali menatap awan. Kubuka pintunya, dan embusan angin sangat dingin yang menyerbu ke dalam mobil
menjernihkan pikiranku. Khawatir kehilangan keseimbangan, dengan hati-hati aku
keluar dari mobil dan menutupnya tanpa menoleh. Suara jendela diturunkan
membuatku berbalik. "Oh, Bella?" ia memanggilku, suaranya lebih tenang. Ia menjulurkan tubuhnya di
jendela yang terbuka, tersenyum tipis.
"Ya?" "Besok giliranku."
"Giliran apa?" Senyumnya melebar, memamerkan kilauan deretan giginya. "Bertanya padamu."
Lalu ia menghilang, mobilnya melaju cepat sepanjang jalan dan lenyap di belokan
bahkan sebelum aku mengumpulkan kesadaranku. Aku berjalan menuju rumah sambil
tersenyum. Jelas ia berencana menemuiku besok, kalau tak ada halangan.
Malam itu Edward muncul dalam mimpiku, seperti biasa. Bagaimanapun tidurku
berubah. Mimpi itu menimbulkan getaran yang sama seperti yang muncul siangnya,
dan aku berguling kian kemari, gelisah, hingga sering kali terbangun. Menjelang
subuh akhirnya aku jatuh ke dalam tidur yang melelahkan dan tanpa mimpi.
Ketika terbangun aku masih merasa lelah, tapi juga tegang. Aku mengenakan kaus
turtleneck cokelat dan jinsku, sambil mendesah membayangkan tank top dan celana
pendek. Makan pagi berlangsung biasa, tenang seperti yang kuharapkan. Charlie
menggoreng telur untuknya sendiri; aku makan semangkuk sereal. Aku bertanya-
tanya apakah ia lupa mengenai rencanaku Sabtu ini. Ia menjawab pertanyaanku yang
tak sempat terlontar ini ketika beranjak membawa piringnya ke tempat cuci
piring. "Mengenai Sabtu ini...," katanya, berjalan menyeberangi dapur, dan menyalakan
keran. Aku berkata takut-takut, "Ya, Dad?"
"Kau masih kepingin ke Seattle?" tanyanya.
"Begitulah rencanaku." Aku nyengir, berharap ia tidak menyinggungnya sehingga
aku tak perlu berbohong. Ia menuang sabun cuci piring ke piringnya dan menggosok-gosoknya dengan sikat.
"Dan kau yakin takkan sempat ke pesta dansa?"
"Aku tidak akan ke pesta dansa, Dad." Aku menatapnya jengkel.
"Tak adakah yang mengajakmu?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kepeduliannya
dengan berkonsentrasi membilas piring.
Aku berkelit. "Kali ini anak ceweklah yang mengajak."
"Oh." Ia mengeringkan piring dengan wajah cemberut.
Aku merasa kasihan padanya. Pasti sulit menjadi ayah; hidup dalam kekhawatiran
bahwa anak gadisnya akan bertemu cowok yang disukainya, tapi juga
mengkhawatirkan sebaliknya. Betapa ngeri, pikirku bergidik, seandainya Charlie
bahkan sedikit saja mencurigai siapa yang sebenarnya yang kusukai.
Kemudian Charlie pergi sambil melambai, dan aku naik, menyikat gigi, dan
mengumpulkan buku-bukuku. Ketika mendengar mobil patroli Charlie menjauh, aku
hanya bisa bertahan sebentar sekali sebelum mengintip ke luar jendela. Mobil
silver itu sudah ada di sana, menunggu di tempat Charlie biasa parkir. Aku
setengah berlari menuruni tangga, keluar rumah, membayangkan berapa lama
rutinitas aneh ini akan berlanjut. Aku tak pernah menginginkannya berakhir.
Ia menunggu di mobil, sepertinya tidak memerhatikan waktu aku menutup pintu
tanpa repot-repot mengunci. Aku berjalan menuju mobil, berhenti malu-malu
sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tersenyum, tenang - dan seperti
biasa, begitu sempurna dan tampan hingga membuatku tersiksa.
"Selamat pagi." Suaranya lembut. "Bagaimana kabarmu hari ini?" Matanya
menjelajahi wajahku, seolah pertanyaannya lebih daripada sekadar basa-basi.
"Baik, terima kasih." Aku selalu baik-lebih dari baik - setiap kali berada di
dekatnya. Pandangannya melekat pada lingkaran di bawah mataku. "Kau tampak lelah."
"Aku tak bisa tidur," aku mengaku, tanpa sadar menggerai rambutku agar sedikit
menutupi wajah. "Aku juga," godanya sambil menyalakan mesin mobil Aku mulai terbiasa dengan
suara deruman halus itu. Aku yakin deruman trukku akan membuatku kaget, kalau
aku sempat mengendarainya lagi.
Aku tertawa. "Kurasa itu benar. Kurasa aku tidur agak lebih banyak darimu."
"Aku berani bertaruh untuk itu."
"Jadi, apa yang kaulakukan semalam?" tanyaku.
Ia tergelak. "Tidak bisa. Hari ini giliranku bertanya."
"Oh, kau benar. Apa yang ingin kauketahui?" Dahiku mengerut. Aku tak bisa
membayangkan apa pun tentangku yang bisa membuatnya tertarik.
"Apa warna kesukaanmu?" tanyanya, raut wajahnya serius.
Aku menggerak-gerakkan mataku. "Setiap hari berubah-ubah."
"Kalau hari ini?" Ia masih tenang.
"Barangkali cokelat." Aku biasa berpakaian sesuai dengan suasana hatiku.
Ia mendengus, ekspresi seriusnya berubah. "Cokelat?" tanyanya ragu-ragu.
"Tentu. Warna cokelat itu hangat. Aku rindu cokelat. Semua yang seharusnya
berwarna cokelat - batang pohon, bebatuan, debu - di sini semua itu dilapisi
warna hijau," keluhku.
Ia sepertinya terkesima mendengar celotehanku. Sesaat ia berpikir, menatap
mataku. "Kau benar," katanya serius. "Warna cokelat itu hangat." Tangannya menyentuh
lembut, tapi masih sedikit ragu-ragu, merapikan rambutku ke balik bahu.
Kami sudah tiba di sekolah. Ia berbalik menghadapku sambil memarkir mobil.
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Musik apa yang kaumainkan di CD player-mu saat ini?" tanyanya, wajahnya muram,
seolah sedang menginterogasi pembunuh.
Aku jadi sadar tak pernah memindahkan CD yang diberikan Phil. Ketika kusebut
nama bandnya, ia tersenyum mengejek, tatapan aneh terpancar di matanya. Ia
membuka laci di bawah CD player mobilnya, mengeluarkan satu dari tiga puluh atau
lebih CD yang diselipkan dalam satu wadah sempit dan menyerahkannya padaku.
"Debussy, lalu ini?" Satu alisnya terangkat.
Itu CD yang sama. Aku mengamati sampulnya yang tak asing lagi, sambil terus
menunduk. Sepanjang hari itu berlanjut seperti itu. Sambil mengantarku ke kelas bahasa
Inggris, ketika menemuiku seusai kelas bahasa Spanyol, sepanjang waktu makan
siang, ia terus-menerus menanyaiku detail-detail remeh dalam hidupku. Film yang
kusuka dan tidak kusuka, beberapa tempat yang pernah kukunjungi, dan tempat-
tempat yang ingin kukunjungi, dan mengenai buku-buku - untuk yang satu ini tak
ada habisnya. Aku tidak bisa mengingat terakhir kali aku bicara sebanyak itu. Sering kali aku
tersadar, pasti aku telah membuatnya bosan. Tapi ia kelihatannya menyerap semua
informasi yang kusampaikan, dan rentetan pertanyaannya yang bertubi-tubi
memaksaku meneruskannya. Kebanyakan pertanyaannya mudah, hanya sedikit sekali
yang membuat wajahku merona malu. Tapi ketika wajahku akhirnya toh merah padam,
ia malah mulai melontarkan rentetan pertanyaan baru lagi.
Seperti ketika ia menanyakan batu kesukaanku, dan aku langsung menjawab topaz
tanpa berpikir. Ia menderaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu begitu cepat
sehingga aku merasa sedang menjalani psikotes saat km langsung menyebutkan kata
pertama yang terlintas dalam benakmu. Aku yakin ia pasti akan melanjutkan daftar
pertanyaan dalam benaknya, kalau saja wajahku tidak merah padam. Wajahku memerah
karena, selama ini batu kesukaanku adalah garnet. Ketika memandang matanya yang
berwarna topaz, mustahil aku tidak ingat alasannya mengapa aku kini menyukai
topaz. Dan, tentu saja, ia takkan menyerah hingga aku mengakui mengapa aku jadi
malu. "Katakan," akhirnya ia memerintahkan setelah bujukannya tak berhasil - gagal
hanya karena aku berhasil mengelak menatap wajahnya.
"Itu warna matamu hari ini," desahku, pasrah, memandangi tanganku yang bermain-
main dengan rambutku. "Kurasa kalau kau menanyakannya dua minggu lalu, aku akan
bilang onyx." Aku mengatakan terlalu banyak dari yang seharusnya, dan aku
khawatir ini akan menimbulkan kemarahan aneh yang muncul setiap kali aku salah
bicara dan mengungkapkan obsesiku terlalu jelas.
Tapi ia terdiam hanya sedetik.
"Kau suka bunga apa?" desaknya lagi.
Aku menghela napas lega, dan terus menjawab pertanyaannya.
Kelas Biologi menjadi masalah lagi. Edward terus melontarkan pertanyaan sampai
Mr. Banner memasuki kelas, sambil menarik kereta audiovisual lagi. Ketika guru
itu mendekati panel lampu, aku melihat Edward menggeser kursinya agak sedikit
jauh. Tapi itu tidak membantu. Begitu ruangan gelap, percikan listrik itu muncul
lagi, hasrat yang sama untuk mengulurkan tangan dan menyentuh kulitnya yang
dingin seperti kemarin telah kembali.
Aku mencondongkan tubuh ke meja, meletakkan dagu di atas lengan yang kulipat,
jemariku yang tersembunyi meremas ujung meja saat aku berusaha mengabaikan
hasrat konyol yang membuatku resah. Aku tak melihat ke arahnya, khawatir ia juga
sedang memandangku, dan itu hanya akan membuatku sulit mengendalikan diri. Aku
mencoba menonton dengan sungguh-sungguh, namun pada akhir pelajaran aku tak tahu
apa yang baru saja kusaksikan. Aku menghela napas lega ketika Mr. Banner
menyalakan lampu kembali, akhirnya memandang Edward; ia sedang menatapku, sorot
matanya bingung. Tanpa berkata-kata ia bangkit dan diam tak bergerak, menungguku. Kami berjalan
ke gimnasium tanpa bicara, seperti kemarin. Dan seperti kemarin juga ia
menyentuh wajahku tanpa berkata-kata-kali ini dengan punggung tangannya yang
dingin, membelai kening hingga rahangku - sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Pelajaran Olahraga berlalu cepat ketika aku menyaksikan Mike berlaga dalam nomor
tunggal bulu tangkis. Ia tidak berbicara padaku hari ini, entah karena
ekspresiku yang hampa atau karena ia masih marah karena pertengkaran kami
kemarin. Di suatu tempat, di sudut benakku, aku merasa bersalah. Tapi aku tak
bisa berkonsentrasi padanya.
Setelah itu aku langsung mengganti pakaian, gelisah, tahu semakin cepat aku
bergerak, semakin cepat pula aku akan menemui Edward. Tekanan itu membuatku
lebih tegang daripada biasanya, tapi akhirnya aku melangkah keluar, merasakan
kelegaan yang sama ketika melihatnya berdiri di sana. Senyum lebar mengembang di
wajahku. Ia balas tersenyum sebelum mengamatiku lebih dalam.
Pertanyaan-pertanyaannya berbeda sekarang, tak mudah untuk dijawab. Ia ingin
tahu apa yang kurindukan dari rumahku, ia memaksaku menggambarkan apa saja yang
tidak biasa baginya, berjam-jam kami duduk di depan rumah Charlie, langit mulai
gelap dan hujan sekonyong-konyong turun membasahi sekeliling kami.
Aku berusaha menggambarkan hal-hal abstrak seperti aroma antiseptik-pahit, agak
lengket, tapi masih menyenangkan - bunyi cicada yang melengking dan lantang,
pepohonan kering yang rapuh, luasnya langit, warna biru dan putih membentang
sepanjang kaki langit, nyaris tak terselingi pegunungan-pegunungan rendah dengan
bebatuan vulkanik ungu. Hal tersulit yang harus kujelaskan adalah mengapa itu
semua begitu indah bagiku - untuk menjelaskan keindahan yang tidak ada
hubungannya dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang sering tampak sekarat, keindahan
yang lebih berkaitan dengan lekuk tanah yang menonjol, dengan lembah-lembah yang
menekuk dangkal di antara bukit-bukit berbatu, dan cara mereka menggapai
matahari. Aku sadar menggunakan kedua tanganku ketika menggambarkan semua itu
padanya. Pertanyaannya yang sederhana namun menyelidik membuatku terus bicara dengan
bebasnya. Dalam cahaya temaram badai, aku dibuatnya lupa untuk merasa malu
karena telah memonopoli pembicaraan. Akhirnya, ketika aku selesai
mendeskripsikan kamarku yang berantakan di rumah, bukannya melontarkan
pertanyaan lain, ia malah terdiam.
"Kau sudah selesai?" tanyaku lega.
"Hampir selesai pun tidak - tapi ayahmu sebentar lagi pulang."
"Charlie!" Aku tiba-tiba menyadari keberadaannya, dan mendesah. Aku menerawang
ke langit yang gelap karena derasnya hujan, tapi aku tak tahu jam berapa
sekarang. "Jam berapa sekarang?" tanyaku sambil melihat jam. Aku kaget melihat waktu -
Charlie sedang dalam perjalanan pulang sekarang.
"Sudah twilight - rembang petang," gumam Edward memandang langit barat yang
gelap tertutup awan. Nada suaranya melamun, seolah pikirannya jauh entah di
mana. Aku menatapnya ketika ia memandang ke luar kaca depan mobil.
Aku masih menatapnya ketika matanya tiba-tiba kembali menatapku.
"Ini saat paling aman bagi kami," katanya, menjawab tatapanku yang bertanya-
tanya. "Saat termudah, tapi juga yang paling sedih, mengingat... ini adalah
akhir satu hari lain, kembalinya sang malam. Kegelapan begitu mudah ditebak,
bukankah begitu?" Ia tersenyum muram.
"Aku suka malam. Tanpa kegelapan kita takkan pernah melihat bintang." Aku
mengerutkan kening. "Meski di sini tak banyak yang bisa dilihat."
Ia tertawa, dan suasana di tengah-tengah kami tiba-tiba ceria lagi.
"Charlie akan sampai sebentar lagi. Jadi, kecuali kau mau memberitahunya kau
akan bersamaku Sabtu nanti... " Alisnya naik sebelah.
"Terima kasih, tapi tidak." Kukumpulkan buku-bukuku, tubuhku kaku karena terlalu
lama duduk. "Jadi, kalau begitu besok giliranku?"
"Tentu saja tidak!" Wajah marahnya menggodaku. "Aku sudah bilang belum selesai,
kan?" "Ada apa lagi sih?"
"Kau akan tahu besok." Ia mencondongkan tubuh meraih pegangan pintuku dan
membukakannya. Kedekatannya yang tiba-tiba membuat jantungku berdetak liar.
Tapi tangannya membeku di pegangan pintu. "Kacau," gumamnya.
"Apa?" aku terkejut melihat rahangnya terkunci erat, tatapannya gelisah.
Ia melirikku sebentar. "Masalah lagi," katanya muram.
Ia membuka pintu itu dalam gerakan luwes, lalu bergerak nyaris menarik dirinya
menjauh dariku. Lampu sorot yang menembus hujan menarik perhatianku. Sebuah mobil menepi dan
berhenti hanya beberapa meter di depan kami.
"Charlie sudah dekat," ia mengingatkanku, memandang menembus hujan lebat yang
mengguyur mobil tadi. Meski bingung dan penasaran, aku langsung melompat keluar. Hujan terdengar lebih
keras ketika membasahi jaketku.
Aku mencoba mengenali sosok yang duduk di jok depan mobil tadi, tapi terlalu
gelap. Aku bisa melihat sosok Edward dalam sorotan lampu mobil yang baru saja
datang tadi; ia masih menatap ke depan, tatapannya terpaku pada sesuatu atau
seseorang yang tak bisa kulihat. Ekspresinya aneh, antara putus asa dan
menantang. Kemudian ia menyalakan mesin mobilnya, bannya berdecit di pelataran yang basah.
Dalam sekejap Volvo itu lenyap dari pandangan.
"Hei, Bella," suara serak yang tak asing lagi memanggilku dari jok pengemudi
mobil hitam kecil itu. "Jacob?" tanyaku, menyipitkan mata menembus hujan. Mobil patroli Charlie muncul
dari belokan jalan, lampunya menyinari mobil di depanku.
Jacob sudah keluar dari mobil, senyumnya yang lebar tampak nyata meski saat itu
gelap. Di jok penumpang duduk seseorang yang jauh lebih tua, pria bertubuh kekar
dengan wajah yang kuingat-wajah yang berkeriput, pipi yang kendur, dengan kulit
keriput bagai jaket kulit tua. Dan sepasang mata yang tak disangka-sangka sangat
familier, mata hitam yang tampak terlalu muda dan sekaligus kuno untuk sebentuk
wajahnya yang lebar. Itu ayah Jacob, Billy Black. Aku langsung mengenalinya,
meski sudah lebih dari lima tahun sejak terkir kali aku melihatnya. Aku nyaris
lupa namanya jika Charlie tidak menyebutnya pada hari pertama kedatanganku di
sini. Ia memandangku, mengamati wajahku, jadi aku tersenyum malu-malu padanya.
Matanya lebar, seolah-olah ngeri, hidungnya kembang-kempis. Senyumku memudar.
Masalah lagi, seperti kata Edward.
Billy masih menatapku lekat-lekat, waswas. Diam-diam aku mengerang. Apakah Billy
mengenali Edward semudah itu" Mungkinkah ia benar-benar memercayai legenda
mustahil yang diceritakan anaknya"
Jawabannya tampak jelas di mata Billy. Ya. Ya, ia percaya.
12. PENYEIMBANGAN "BILLY!" seru Charlie begitu ia keluar dari mobil.
Aku berbalik menuju rumah, memberi isyarat pada Jacob untuk mendekat, sambil
meraih-raih ke bawah serambi. Aku mendengar Charlie menyambut mereka lantang di
belakangku. "Tadinya aku mau berpura-pura tidak melihatmu di belakang kemudi, Jake,"
protesnya. "Kami mendapat izin meninggalkan reservasi," kata Jacob, sementara aku membuka
pintu dan menyalakan lampu teras.
"Ya, tentu saja," Charlie tertawa.
"Bagaimanapun aku harus mampir kemari." Aku mengenali suara Billy yang
menggelegar itu dengan mudah, meski sudah bertahun-tahun. Suaranya membuatku
tiba-tiba merasa lebih muda, masih kanak-kanak.
Aku masuk, membiarkan pintu terbuka dan menyalakan semua lampu sebelum
menanggalkan jaket. Lalu aku berdiri di ambang pintu, dengan waswas memerhatikan
Charlie dan Jacob membantu Billy keluar dari mobil dan mendudukkannya di kursi
roda. Aku menepi memberi jalan ketika ketiganya bergegas masuk, menghindari hujan.
"Ini kejutan," kata Charlie.
"Sudah terlalu lama," sahut Billy. "Kuharap kami datang di waktu yang tepat."
Matanya yang gelap bersinar-sinar menatapku, ekspresinya tak dapat ditebak.
"Tidak masalah. Kuharap kau bisa tinggal untuk menyaksikan pertandingan."
Jacob nyengir. "Kurasa itulah rencananya - TV kami rusak sejak minggu lalu."
Billy menatap anaknya dengan pandangan menegur. "Dan tentu saja Jacob sudah tak
sabar ingin bertemu Bella lagi," ia menambahkan.
Jacob cemberut dan menunduk sementara aku mencoba mengenyahkan perasaan menyesal
yang menyelimutiku. Barangkali rayuanku di pantai tempo hari kelewat meyakinkan.
"Kalian lapar?" tanyaku, berbalik menuju dapur. Aku ingin sekali melarikan diri
dari tatapan Billy yang penasaran.
"Tidak, kami sudah makan sebelum kemari," sahur Jacob.
"Bagaimana denganmu, Charlie?" aku menengok sambil meluncur ke sudut.
"Tentu saja," balasnya, suaranya terdengar berpindah ke ruang depan, ke TV. Bisa
kudengar suara kursi roda Billy menyusul di belakangnya.
Sandwich panggang keju sudah siap di wajan dan aku sedang mengiris tomat ketika
merasakan seseorang di belakangku.
"Jadi, bagaimana keadaanmu?" tanya Jacob.
"Baik." Aku tersenyum. Semangatnya sangat sulit ditolak. "Bagaimana denganmu"
Apakah mobilmu sudah selesai?"
"Belum." Keningnya berkerut. "Aku masih perlu beberapa bagian lainnya. Kami
meminjam mobil itu." Ia menunjuk pekarangan dengan ibu jarinya.
"Maaf. Aku belum melihat... apa yang kaucari itu?"
"Master cylinder." Ia nyengir. "Apakah trukmu bermasalah?" lanjutnya tiba-tiba.
"Tidak." "Oh. Aku hanya penasaran sebab kau tidak menggunakannya."
Aku menunduk menatap wajan, mengintip bagian bawah sandwich-nya. "Seorang teman
memberiku tumpangan."
"Tumpangan yang keren." Suara Jacob terkagum-kagum. "Tapi aku tidak mengenali
pemiliknya. Kusangka aku kenal hampir semua anak di sini."
Aku mengangguk lemah sambil terus menunduk, membalikkan sandwich.
"Sepertinya ayahku mengenalinya."
"Jacob, bisakah kau mengambilkan piring" Ada di lemari di atas tempat cuci
piring." "Tentu saja." Ia mengambil piring tanpa mengatakan apa-apa. Kuharap ia tidak meneruskan topik
itu lagi. "Jadi, siapa dia?" tanyanya, menaruh dua piring di konter di sebelahku.
Akhirnya aku mengalah. "Edward Cullen."
Yang membuatku terkejut, ia tertawa. Aku mendongak memandangnya. Ia kelihatan
sedikit malu. "Kurasa itu menjelaskan semuanya," katanya. "Kenapa ayahku bersikap sangat
aneh." "Benar sekali." Aku berpura-pura polos. "Dia tidak menyukai keluarga Cullen."
"Dasar orang tua yang percaya takhayul," gumam Jacob.
"Dia tidak bakal bilang apa-apa pada Charlie, kan?" Aku tak bisa menahannya,
kata-kata itu keluar dalam bisikan.
Jacob menatapku sesaat, dan aku tak bisa menebak ekspresi yang terpancar di
matanya yang gelap. "Aku sih tidak yakin dia bakal bilang," akhirnya ia
menjawab. "Kurasa Charlie sudah membuatnya mengerti terakhir kali mereka
bertemu. Mereka tidak banyak bercakap-cakap sejak-boleh dibilang malam ini
semacam reuni, kurasa. Menurutku dia takkan mengungkitnya lagi."
"Oh," kataku, mencoba terdengar tak peduli.
Aku tetap tinggal di ruang depan setelah mengantar makanan kepada Charlie,
berpura-pura menonton pertandingan sementara Jacob terus berceloteh. Sebenarnya
aku mendengarkan pembicaraan pria-pria dewasa itu, memerhatikan tanda apa pun
yang menunjukkan Billy akan menginterogasiku, mencoba mencari jalan untuk
menghentikannya bila ia memulainya.
Sungguh malam yang panjang. PR-ku banyak yang belum selesai, tapi aku khawatir
meninggalkan Billy sendirian bersama Charlie. Akhirnya pertandingannya selesai.
"Apakah kau dan teman-temanmu akan ke pantai lagi?" tanya Jacob sambil mendorong
ayahnya ke pintu. "Entahlah," sahutku menarik diri.
"Tadi itu menyenangkan, Charlie," kata Billy.
"Datanglah untuk menonton pertandingan berikutnya," ujar Charlie membesarkan
hati Billy. "Tentu, tentu," timpal Billy. "Kami akan datang. Selamat tidur." Ketika
tatapannya beralih padaku, senyumnya memudar. "Jaga dirimu, Bella," tambahnya
serius. "Terima kasih," gumamku, lalu berpaling.
Aku bergegas menuju tangga sementara Charlie melambaikan tangannya di ambang
pintu. "Bella, tunggu," serunya.
Hatiku mencelos. Apakah Billy sempat mengatakan sesuatu sebelum aku bergabung
dengan mereka di ruang tamu"
Tapi Charlie tampak tenang, di wajahnya masih tersisa senyuman dari kunjungan
yang tak disangka-sangka tadi.
"Kita belum sempat mengobrol malam ini. Bagaimana harimu?"
"Baik," aku menyahut enggan, satu kakiku pada undakan pertama, benakku
memikirkan informasi mana yang bisa kuceritakan pada Charlie. "Tim bulu
tangkisku memenangkan empat nomor pertandingan yang digelar."
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wow, aku tak tahu kau bisa main bulu tangkis."
"Well, sebenarnya sih tidak, tapi partnerku sangat hebat," aku mengakuinya.
"Siapa?" tanyanya, nadanya tertarik.
"Mmm... Mike Newton," sahutku ogah-ogahan.
"Oh ya - kau pernah bilang kau berteman dengan si Newton itu." Suaranya penuh
semangat. "Keluarganya baik." Ia terkagum-kagum sebentar. "Kenapa kau tidak
mengajaknya ke pesta dansa akhir pekan ini?"
"Dad!" erangku. "Dia berkencan dengan Jessica, temanku. Lagi pula kau kan tahu
aku tidak bisa berdansa."
"Oh iya," gumamnya. Lalu ia tersenyum menyesal padaku. "Jadi kurasa bagus bagimu
untuk pergi Sabtu nanti... Aku berencana pergi memancing bersama teman-temanku
sepulang kerja. Cuacanya seharusnya cukup hangat. Tapi kalau kau ingin menunda
perjalananmu hingga ada yang bisa menemanimu, aku akan di rumah saja. Aku tahu
aku terlalu sering meninggalkanmu sendirian di rumah."
"Dad, kau oke." Aku tersenyum, berharap kelegaanku tidak kentara. "Aku tak
pernah keberatan tinggal di rumah sendirian - kita kan mirip." Aku mengerling
padanya dan ia tersenyum hingga sudut-sudut matanya mengerut.
Tidurku lebih pulas malam itu, kelewat lelah untuk bermimpi. Ketika aku
terbangun di pagi hari yang kelabu, suasana hatiku bahagia. Malam yang
menegangkan bersama Bily dan Jacob kelihatannya tidak terlalu berbahaya lagi
sekarang; jadi kuputuskan untuk melupakan semuanya. Aku mendapati diriku bersiul
ketika menjepit rambutku, dan lagi ketika aku melompat-melompat menuruni tangga.
Charlie memerhatikan. "Pagi ini kau ceria sekali," sahutnya saat sarapan.
Aku mengangkat bahu. "Ini Jumat."
Aku bergegas, sehingga begitu Charlie berangkat aku sudah siap. Tasku sudah
siap, sepatu sudah kukenakan, gigi sudah bersih, namun meskipun aku bergegas ke
pintu begitu yakin Charlie sudah hilang dari pandangan, ternyata Edward lebih
cepat dariku. Ia sedang menanti di mobilnya yang mengilap, jendelanya terbuka,
mesinnya mati. Kali ini aku tidak ragu-ragu lagi, langsung masuk ke jok penumpang, supaya lebih
cepat memandang wajahnya. Ia tersenyum lebar padaku, membuat napas dan jantungku
berhenti. Aku tak bisa membayangkan malaikat bisa lebih indah daripada dia. Tak
ada yang bisa menandinginya dalam hal apa pun.
"Bagaimana tidurmu semalam?" tanyanya. Aku bertanya-tanya apakah ia menyadari,
betapa menggoda suaranya.
"Baik. Bagaimana dengan malammu?"
"Menyenangkan."
Senyumannya memukau; aku merasa ada humor dalamnya yang tak berhasil kutangkap.
"Boleh aku bertanya apa saja yang kaulakukan?" tanyaku.
"Tidak." Ia nyengir. "Hari ini masih milikku!"
Hari ini ia ingin tahu tentang orang-orang dalam hidupku: lebih banyak tentang
Renee, hobinya, apa yang kami lakukan bersama-sama waktu senggang. Kemudian
satu-satunya nenek yang kutahu, beberapa teman sekolah - membuatku malu ketika
ia menanyakan tentang cowok-cowok yang berkencan denganku. Aku lega karena tak
pernah benar-benar berkencan, jadi topik yang satu itu tidak berlangsung lama.
Ia, sama seperti Jessica dan Angela, terkejut mendengar sejarah kehidupan
percintaanku yang sama sekali nol.
"Jadi kau tak pernah bertemu orang-orang yang ingin kaujumpai?" tanyanya serius,
membuatku bertanya-tanya apa yang dipikirkannya.
Dengan enggan aku mengakuinya. "Tidak di Phoenix." Bibirnya terkatup erat.
Saat ini kami di kafetaria. Hari berlalu cepat dalam kelebatan yang segera
berubah jadi rutinitas. Aku memanfaatkan diamnya untuk menggigit bagelku.
"Aku seharusnya membiarkanmu mengemudi sendiri hari ini," katanya, sama sekali
tak ada hubungannya, sementara aku mengunyah.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku akan pergi dengan Alice setelah makan siang."
"Oh." Mataku mengerjap, bingung dan kecewa. "Tidak masalah, berjalan kaki tidak
terlalu jauh kok." Ia menatapku tidak sabaran. "Aku takkan membiarkanmu pulang jalan kaki. Kami
akan mengambil trukmu dan meninggalkannya di parkiran "
"Aku tidak membawa kuncinya," desahku. "Aku benar-benar tidak keberatan berjalan
kaki." Yang membuatku keberatan adalah kehilangan waktu bersamanya.
Ia menggeleng. "Trukmu akan ada di sini, kuncinya tergantung di lubang starter -
kecuali kau khawatir seseorang mengambilnya." Ia menertawai perkataannya
sendiri. "Baiklah," aku menyetujuinya, bibirku merengut. Aku cukup yakin kunciku ada di
kantong jins yang kupakai hari Rabu, di tumpukan pakaian di ruang cuci. Bahkan
kalaupun ia menerobos masuk ke rumahku, atau apa pun
yang direncanakannya, ia takkan menemukannya. Ia sepertinya merasa tertantang
dengan jawabanku tadi. Ia nyengir, terlalu percaya diri.
"Jadi, kau mau ke mana?" tanyaku sewajar mungkin.
"Berburu," jawabnya dingin. "Kalau akan berduaan denganmu besok, aku akan
melakukan tindakan pencegahan apa pun yang kubisa." Wajahnya bertambah muram...
dan memelas. "Kau boleh membatalkannya kapan saja, kau tahu itu."
Aku menunduk, khawatir akan tatapannya yang persuasif. Aku menolak merasa takut
padanya, tak peduli betapa nyata bahaya yang mungkin menghadang. Itu tidak
masalah, ulangku dalam benakku.
"Tidak," bisikku, balas menatapnya. "Aku tak bisa."
"Barangkali kau benar," gumamnya putus asa. Warna matanya berubah gelap ketika
kuperhatikan. Aku mengubah topik kami. "Jam berapa kita ketemu besok?" tanyaku, sudah merasa
sedih memikirkan ia bakal pergi.
"Tergantung... itu kan Sabtu, tidakkah kau ingin bangun lebih siang?" ia
menawarkan. "Tidak," aku menjawab terlalu cepat. Ia menahan senyum.
"Kalau begitu waktu yang sama seperti biasa." katanya. Charlie akan ada di
rumah?" "Tidak, besok dia pergi mancing," ujarku membayangkan betapa semuanya berjalan
lancar. Suaranya berubah tajam. "Dan kalau kau tidak pulang, apa yang akan
dipikirkannya?" "Aku tidak tahu," jawabku tenang. "Dia tahu aku berencana mencuci pakaian.
Barangkali dipikirnya aku terjatuh ke dalam mesin cuci."
Ia memandangku marah dan aku membalasnya. Kemarahannya jauh lebih mengesankan
daripada kemarahanku. "Kau akan berburu apa malam ini?" tanyaku akhirnya, ketika yakin telah kalah
dalam adu tatapan marah. "Apa saja yang kami temukan. Kami tidak pergi jauh-jauh." Ia tampak heran dengan
sikapku yang biasa saja menanggapi rahasia gelapnya.
"Kenapa kau pergi dengan Alice?" tanyaku.
"Alice yang paling... mendukung." Dahinya mengerut ketika mengatakan itu.
"Dan yang lain?" tanyaku hati-hati. "Mereka apa?"
Sesaat ia mengernyitkan alis. "Bisa dibilang tidak percaya."
Aku langsung menoleh ke arah keluarganya. Mereka duduk, memandang ke berbagai
arah, persis seperti ketika aku pertama kali melihat mereka. Hanya saja sekarang
mereka berempat, saudara laki-laki mereka yang menawan dan berambut perunggu
duduk berseberangan denganku, matanya yang keemasan tampak gelisah.
"Mereka tidak menyukaiku," aku mencoba menebak.
"Bukan itu," protesnya, tapi tatapannya kelewat polos. "Mereka tidak mengerti
kenapa aku tak bisa meninggalkanmu."
Aku meringis. "Untuk masalah ini, aku juga tidak mengerti."
Edward menggeleng pelan, matanya memandangi langit-langit sebelum menatapku
lagi. "Sudah kubilang - kau sendiri tidak memahami dirimu. Kau tidak seperti
orang-orang yang pernah kukenal. Kau membuatku kagum."
Aku memandang marah padanya, karena yakin ia sedang menggodaku sekarang.
Ia tersenyum begitu memahami ekspresiku. "Dengan keunggulan yang kumiliki,"
gumamnya, menyentuh dahinya dengan hati-hati, "aku lebih baik daripada manusia
umumnya. Manusia bisa ditebak. Tapi kau... kau tak pernah seperti yang kuduga.
Kau selalu membuatku terkejut."
Aku berpaling, mataku kembali mengamati keluarganya, merasa malu dan tidak puas.
Kata-katanya membuatku merasa seperti kelinci percobaan. Aku ingin menertawai
diriku sendiri karena mengharapkan yang lain.
"Bagian itu cukup mudah untuk dijelaskan," lanjutnya. Aku merasakan tatapannya
di wajahku, tapi aku belum bisa menatapnya, khawatir ia bisa saja membaca
kekecewaan di mataku. Tapi ada lagi... dan tak mudah menjelaskannya dengan kata-
kata-" Aku masih memandangi keluarga Cullen ketika ia berbicara. Tiba-tiba Rosalie,
saudaranya yang berambut pirang dan luar biasa cantik, berpaling dan menatapku.
Tidak, bukan melihat-melainkan menatap marah dengan tatapan gelap dan dingin.
Aku ingin berpaling, tapi tatapannya memerangkapku sampai akhirnya Edward
menghentikan kata-katanya dan menggeram marah. Suaranya nyaris seperti desisan.
Rosalie membuang muka. dan aku lega karena terbebas dari tatapannya. Aku kembali
menatap Edward - dan tahu
ia melihat perasaan bingung dan takut yang memenuhi mataku.
Wajahnya tegang ketika menjelaskan. "Maaf soal itu. Dia hanya khawatir.
Begini... bukan hanya aku yang bakal terancam, kalau setelah menghabiskan begitu
banyak waktu denganmu terang-terangan... " Ia menunduk.
"Kalau?" "Kalau ini berakhir... dengan buruk." Ia menaruh kepalanya di antara kedua
tangannya seperti yang dilakukannya malam itu di Port Angeles. Kesedihannya
sangat nyata; ingin rasanya aku menenangkannya, tapi aku tak tahu bagaimana
caranya. Kupaksakan tanganku meraihnya; dengan cepat, meski akhirnya kujatuhkan
lagi ke meja, khawatir sentuhanku malah memperburuk keadaan. Perlahan aku
menyadari kata-katanya seharusnya membuatku takut. Aku menunggu rasa takut itu,
tapi sepertinya yang dapat kurasakan hanya perasaan pedih karena rasa sakit yang
dialaminya. Dan perasaan frustrasi-frustrasi karena Rosalie telah menyela apa pun itu yang
hendak dikatakannya. Aku tak tahu bagaimana caranya membuatnya membicarakannya
lagi. Ia masih memegangi kepalanya.
Aku berusaha bicara sewajar mungkin. "Kau harus pergi sekarang?"
"Ya." Ia mengangkat wajah; sesaat wajahnya serius, kemudian suasana hatinya
berubah dan ia tersenyum. "Mungkin ini yang terbaik. Kita masih punya lima belas
menit menonton film menyedihkan itu di kelas Biologi - aku tidak yakin bisa
melakukannya lagi." Aku hendak beranjak. Alice - rambut gelapnya yang pendek berpotongan lancip
membingkai wajahnya yang seperti peri kecil-tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakang Edward. Posturnya
ramping, elegan meski tidak bergerak.
Edward menyapanya tanpa memalingkan pandangan dariku. "Alice."
"Edward." balasnya, suara soprano tingginya nyaris sama menariknya seperti suara
Edward. "Alice, ini Bella - Bella, ini Alice," ia memperkenalkan kami, menunjuk kami
sesantai mungkin, senyum sinis mengembang di wajahnya.
"Halo, Bella." Warna matanya yang seperti batu obsidian tak bisa ditebak, tapi
senyumnya bersahabat. "Senang akhirnya bisa berkenalan."
Edward melontarkan pandangan misterius ke arahnya.
"Hai, Alice," sapaku malu-malu.
"Sudah siap?" tanyanya pada Edward.
Suaranya dingin. "Hampir. Kita ketemu di mobil."
Tanpa mengucapkan apa-apa Alice meninggalkan kami; langkahnya sangat gemulai,
begitu anggun sehingga membuatku iri.
"Haruskah aku mengucapkan 'Selamat bersenang-senang', atau kalimat itu tidak
tepat?" tanyaku, berbalik menghadap Edward lagi.
"Tidak, selamat bersenang-senang' sudah cukup." Ia tersenyum.
"Kalau begitu, selamat bersenang-senang." Aku berusaha terdengar tulus. Tentu
saja aku tidak bisa menipunya.
"Akan kucoba." Ia masih tersenyum. "Dan kau, jagalah dirimu, kumohon."
"Aman di Forks - itu sih gampang."
"Bagimu memang gampang." Rahangnya mengeras. "Janji."
"Aku janji akan menjaga diri," ulangku. "Aku akan mencuci malam ini - pasti
bakal penuh bahaya."
"Jangan terjatuh," ejeknya.
"Lihat saja." Ia bangkit berdiri, aku juga.
"Sampai ketemu besok," desahku.
"Sepertinya bakalan lama bagimu, ya kan?" godanya.
Aku mengangguk sedih. "Aku akan datang esok pagi," ia berjanji, tersenyum lebar. Ia mengulurkan
tangan, menyentuh wajahku, mengusap lembut pipiku. Lalu ia berbalik dan pergi.
Aku memandanginya hingga ia tak terlihat lagi.
Aku amat tergoda untuk membolos selama sisa pelajaran hari itu, setidaknya
pelajaran Olahraga, tapi insting menghentikan niatku. Aku tahu kalau aku
menghilang sekarang, Mike dan yang lain pasti menduga aku pergi dengan Edward.
Dan Edward sendiri mengkhawatirkan kebersamaan kami yang terang-terangan seperti
ini... kalau saja semuanya tidak berjalan semestinya. Aku mencoba mengenyahkan
keinginanku itu, dan lebih berkonsentrasi membuat segalanya lebih aman baginya.
Dengan sendirinya aku tahu - dan rasanya ia juga - bahwa esok adalah saat yang
penting. Hubungan kami tak bisa berlanjut secara seimbang, seperti layaknya
hubungan di ujung tanduk. Kami akan terjatuh ke satu sisi atau sisi lain,
tergantung sepenuhnya pada keputusannya, atau instingnya. Keputusanku sendiri
sudah bulat, bahkan sebelum aku memutuskannya dengan sadar, dan aku bertekad
menjalankannya. Karena tak ada yang lebih menakutkan buatku, lebih menyakitkan,
daripada menjauhkan diriku darinya. Itu sesuatu yang mustahil.
Aku pergi ke kelas dengan patuh. Aku tak bisa mengatakan sejujurnya apa yang
terjadi di kelas Biologi; pikiranku kelewat sibuk memikirkan hari esok. Di
Olahraga, Mike mengajakku bicara lagi; berharap aku bersenang-senang di Seattle.
Hati-hati kujelaskan bahwa aku tidak jadi pergi, khawatir trukku takkan sanggup.
"Kau akan ke pesta dansa dengan Cullen?" tanyanya, tiba-tiba marah.
"Tidak, aku sama sekali tidak akan ke pesta dansa."
"Lalu, apa yang akan kaulakukan?" tanyanya, kelewat ingin tahu.
Keinginanku paling besar adalah menyuruhnya tidak ikut campur. Tapi sebagai
gantinya dengan cerdik aku berbohong.
"Cucian, dan aku harus belajar untuk ujian Trigono atau nilaiku bakal jelek."
"Apakah Cullen membantumu belajar?"
"Edward" aku menekankan, "tidak akan membantuku belajar. Dia pergi entah ke mana
akhir pekan ini." Kebohongan itu mengalir lebih alami dari biasanya, dan ini
membuatku terkejut. "Oh," katanya kembali bersemangat. "Kau tahu, kau bisa datang ke pesta bersama
kami - pasti keren. Kami semua akan berdansa denganmu," janjinya.
Bayangan wajah Jessica mengubah nada suaraku lebih tajam dari seharusnya.
"Aku tidak akan pergi ke pesta dansa, Mike, oke?"
"Ya sudah." Ia marah lagi. "Aku hanya menawarkan."
Ketika sekolah akhirnya selesai, aku berjalan lemas menuju parkiran. Aku
terutama tak ingin pulang berjalan kaki, tapi aku tak mengerti bagaimana ia bisa
membawa trukku ke sini. Tapi aku mulai percaya tak ada yang mustahil baginya.
Insting terakhirku terbukti benar - trukku diparkir di tempat ia memarkir Volvo-
nya tadi pagi. Aku menggeleng tak percaya, membuka pintu yang tak terkunci dan
melihat kuncinya menggantung di lubang starter.
Selembar kertas tergeletak di jokku. Aku mengambilnya dan menutup pintu sebelum
membuka lipatannya, dua kata dalam tulisan yang elegan.
Jaga dirimu Suara deru truk membuatku kaget. Aku menertawai diriku sendiri.
Ketika aku sampai di rumah pintunya terkunci, namun gemboknya terbuka, persis
seperti yang kutinggalkan pagi tadi. Sesampai di dalam aku langsung ke ruang
cuci. Kelihatannya juga sama seperti ketika kutinggalkan tadi. Aku mencari
jinsku, dan setelah menemukannya, kuperiksa sakunya. Kosong. Barangkali kuncinya
telah kugantungkan di suatu tempat, pikirku sambil menggeleng.
Mengikuti insting sama yang telah membuatku berbohong pada Mike, aku menelepon
Jessica untuk berpura-pura mendoakan semoga pesta dansanya berjalan lancar.
Ketika ia menyampaikan harapan yang sama untuk hariku bersama Edward, aku
memberitahunya tentang pembatalan itu. Sebagai pihak ketiga yang tak ada
hubungannya sama sekali, ia terdengar lebih kecewa dari seharusnya. Aku langsung
mengakhiri pembicaraan setelah itu.
Sepanjang makan malam Charlie melamun, mengkhawatirkan sesuatu tentang
pekerjaannya, kurasa, atau mungkin pertandingan basket, atau mungkin ia hanya
benar-benar menikmati lasagna yang kubuat - sulit menebak apa yang dipikirkan
Charlie. "Kau tahu, Dad..?" aku memulai, membuyarkan lamunannya.
"Ada apa, Bell?"
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa kau benar tentang Seattle. Kurasa aku akan menunggu Jessica atau orang
lain bisa pergi bersamaku."
"Oh" katanya, terkejut. "Oh, oke. Jadi kau ingin aku menemanimu di rumah?"
"Tidak Dad, jangan ubah rencanamu. Aku punya banyak harus kulakukan... PR,
mencuci.... Aku perlu ke perpustakaan dan ke toko kelontong. Aku akan pergi ke
sana kemari seharian... kau pergi saja dan bersenang-senanglah."
"Kau yakin?" "Tentu Dad. Lagi pula, persediaan ikan kita sudah menipis - persediaan kita
tinggal cukup untuk dua atau tiga tahun barangkali."
"Mudah sekali hidup bersamamu. Bella." Ia tersenyum.
"Kau juga, Dad," kataku, tertawa. Tawaku reda, tapi sepertinya Dad tidak
memerhatikan. Aku merasa sangat bersalah telah membohonginya, sampai-sampai aku
nyaris mengikuti nasihat Edward dan mengatakan yang sebenarnya. Nyaris.
Setelah makan malam aku melipat pakaian dan memindahkan sebagian lagi ke mesin
pengering. Sayangnya ini jenis pekerjaan yang hanya dapat menyibukkan tangan
saja. Pikiranku jelas punya banyak waktu senggang, dan sudah mulai tak
terkendali. Pikiranku berpindah-pindah antara antisipasi yang begitu kuat hingga
nyaris menyakitkan, dan perasaan sangat takut yang membulatkan tekadku. Aku
harus terus mengingatkan diri bahwa aku telah membuat keputusan, dan tak akan
mengubahnya. Aku mengeluarkan kertas berisi tulisannya dari sakuku lebih sering
dari yang diperlukan untuk menyerap dua kata yang ditulisnya. Ia ingin agar aku
selamat, aku mengingatkan diriku sendiri berulang-ulang. Aku hanya perlu
berpegangan pada keyakinan bahwa akhirnya, hasrat itu mengalihkan segalanya. Dan
apa pilihanku yang lainnya -mengenyahkannya dari hidupku" Tidak mungkin. Lagi
pula. sejalaku datang ke Forks, kelihatannya hidupku benar-benar tentang
dirinya. Tapi suara kecil di relung benakku yang terdalam khawatir, bertanya-tanya apakah
akan sangat menyakitkan... bila semua ini berakhir buruk.
Aku merasa lega ketika hari sudah cukup malam untuk pergi tidur. Aku tahu aku
terlalu tegang untuk bisa tidur, jadi aku melakukan sesuatu yang belum pernah
kulakukan sebelumnya. Aku sengaja meminum pil demam yang sebenarnya tidak
kuperlukan - obat itu bisa membuatku tidur selama delapan jam. Dalam keadaan
normal aku tidak akan memaafkan tindakan seperti itu, tapi besok bakal cukup
rumit tanpa aku menjadi sinting karena kurang tidur. Sambil menunggu obatnya
bekerja, aku mengeringkan rambutku yang sudah bersih hingga benar-benar lurus,
dan memikirkan apa yang akan kukenakan besok.
Setelah semua siap untuk esok, akhirnya aku berbaring di tempat tidur. Aku
merasa tegang, hingga tak bisa berhenti bolak-balik. Aku terbangun, dan mencari-
cari di kotak sepatuku hingga menemukan koleksi instrumental Chopin. Aku
menyalakannya dengan volume sangat pelan lalu berbaring lagi, berusaha
menenangkan setiap bagian tubuhku. Di tengah-tengah itu obat yang kuminum tadi
mulai bekerja, dan aku pun tidur pulas.
Aku bangun cepat, tidurku benar-benar nyenyak dan tanpa mimpi, berkat obat yang
sengaja kuminum. Meski istirahatku cukup, aku kembali tergesa-gesa seperti
semalam. Aku berpakaian terburu-buru, melicinkan kerah pakaianku, merapikan
sweter cokelatku hingga jatuh alami di pinggangku. Aku mengintip ke luar jendela
untuk memastikan Charlie sudah benar-benar pergi. Awan tipis bagai kapas
menyelimuti langit. Sepertinya tidak akan bertahan lama.
Aku menyantap sarapanku tanpa benar-benar merasakannya, buru-buru membereskannya
ketika selesai. Aku mengintip ke jendela lagi, tapi tak ada yang berubah. Aku
baru saja selesai menggosok gigi dan hendak turun ketika sebuah ketukan pelan
membuat jantungku berdetak kencang.
Aku meluncur ke pintu; sedikit kesulitan dengan selotnya, tapi akhirnya berhasil
membukanya. Dan ia tampak berdiri di sana. Semua kegelisahanku lenyap begitu aku
melihat wajahnya. Kini aku merasa tenang. Aku mendesah lega - ketakutan yang
kurasakan kemarin terasa konyol setelah sekarang ia sudah di sini bersamaku.
Awalnya ia tidak tersenyum - wajahnya muram. Tapi kemudian raut wajahnya sedikit
ceria ketika melihatku, dan ia pun tertawa.
"Selamat pagi," sapanya sambil tergelak.
"Ada apa?" aku menunduk untuk memastikan tidak melupakan sesuatu yang penting
seperti sepatu, atau celana.
"Kira serasi." Ia tertawa lagi. Aku baru menyadari bahwa ia mengenakan sweter
tangan panjang cokelat muda, dengan kerah putih mengintip di baliknya, dan jins.
Aku ikut tertawa, menyembunyikan sekelumit kekecewaan - kenapa ia terlihat
seperti model peragaan busana sementara aku tidak"
Aku mengunci pintu rumah sementara ia berjalan ke truk. Ia menunggu di pintu
penumpang dengan ekspresi tak berdosa yang mudah ditebak.
"Kita sudah sepakat," aku mengingatkannya, merasa puas. Lalu aku masuk ke kursi
kemudi, dan meraih ke seberang untuk membukakan pintu baginya.
"Ke mana?" tanyaku.
"Kenakan sabuk pengamanmu - belum-belum aku sudah gugup."
Aku menatapnya jengkel ketika melakukan perintahnya.
"Ke mana?" ulangku sambil mendesah.
"Ke arah satu - kosong - satu utara," perintahnya.
Aku terkejut menemukan diriku sulit berkonsentrasi pada jalanan di depanku
ketika merasakan tatapannya di wajahku. Karenanya aku mengemudi lebih berhati-
hati dari biasa, menembus kota yang masih tidur.
"Apakah kau bermaksud meninggalkan Forks sebelum malam tiba?"
"Truk ini cukup tua untuk menjadi mobil kakekmu - hargailah sedikit," tukasku
gusar. Tak lama kemudian kami sampai di perbatasan kota, meskipun ia terus saja
mencela. Pemandangan semak belukar yang lebat dan batang-batang pohon berselimut
lumut menggantikan pekarangan dan rumah-rumah yang tadi kami lewati.
"Belok kiri di satu - sepuluh," perintahnya ketika aku hendak bertanya. Aku
mematuhinya tanpa berkata-kata.
"Sekarang terus hingga ke ujung jalan."
Aku bisa mendengar senyum dalam suaranya, tapi terlalu takut bakal keluar jalur
dan membuktikan ia benar untuk merasa waswas.
"Dan di ujung jalan sana ada apa?" aku bertanya-tanya. "Jalan setapak."
"Kita akan mendaki gunung?" Untung aku memakai sepatu tenis.
"Apakah itu masalah?" Ia terdengar tidak kaget.
"Tidak." Aku berusaha agar jawabanku terdengar meyakinkan. Tapi, kalau pikirnya
trukku berjalan pelan.. "Jangan khawatir, jaraknya hanya kurang-lebih lima mil, dan kita tidak perlu
terburu-buru." Lima mil. Aku tidak menyahut, supaya ia tidak mendengar kepanikan dalam suaraku.
Lima mil dengan akar-akar berbahaya dan bebatuan yang mudah luruh, sepertinya ia
berencana membuat pergelangan kakiku keseleo, atau bahkan melukaiku. Ini akan
jadi perjalanan memalukan.
Selama beberapa saat kami melanjutkan tanpa bicara, sementara aku membayangkan
kengerian yang bakal kuhadapi.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya tak sabar setelah beberapa saat.
Lagi-lagi aku berbohong. "Hanya membayangkan tempat yang kita tuju."
"Tempat itu sering kudatangi ketika cuaca sedang bersahabat." Kami memandang ke
luar jendela, ke awan-awan yang mulai menipis.
"Charlie bilang hari ini bakal hangat."
"Apakah kau menceritakan rencanamu padanya?" tanyanya.
"Tidak." "Tapi Jessica mengira kita pergi ke Seattle bersama-sama?" Ia kelihatannya
senang dengan pemikiran itu.
"Tidak, aku bilang kau membatalkan rencana itu - dan itu benar."
"Tak ada yang tahu kau bersamaku?" Sekarang ia marah.
"Tergantung... kurasa kau memberitahu Alice?"
"Sangat membantu. Bella," tukasnya jengkel. Aku berpura-pura tidak mendengar.
"Apakah Forks membuatmu begitu tertekan sehingga kau kepingin bunuh diri?"
tanyanya ketika aku mengabaikan kata katanya.
"Katamu kau bisa mendapat masalah... kalau kita terlihat bersama-sama di depan
orang banyak, aku mengingatkannya.
"Jadi kau mengkhawatirkan masalah yang mungkin menimpaku - kalau kau tidak
pulang ke rumah?" Ia masih terdengar marah, dan sangat sinis.
Aku mengangguk, pandanganku tetap ke jalan.
Ia menggumamkan sesuatu, berbicara begitu cepat hingga aku tak bisa memahaminya.
Selama sisa perjalanan kami membisu. Aku bisa merasakan gelombang kemarahan dan
kekecewaan dalam dirinya, dan aku tak tahu harus bilang apa.
Kemudian jalanan berakhir, menyempit menjadi jalan setapak dengan penanda dari
kayu kecil. Aku memarkir truk di sisi jalan yang sempit dan melangkah keluar,
waswas karena ia marah padaku dan aku tak bisa menjadikan mengemudi sebagai
alasan untuk tidak memandangnya. Sekarang di luar terasa hangat, lebih hangat
daripada yang pernah kurasakan sejak tiba di Forks, nyaris lembab di bawah
selimut awan. Aku melepaskan sweter dan mengikatkannya di pinggang, bersyukur
telah mengenakan kaus tipis tanpa lengan di baliknya-apalagi karena aku harus
berjalan kaki sejauh lima mil.
Aku mendengarnya menutup pintu, dan melihat apakah ia juga melepas sweternya. Ia
tidak sedang memandangku, melainkan hutan tak berujung di sebelah trukku.
"Lewat sini," katanya sambil menoleh, sorot matanya masih kesal. Ia mulai
memasuki hutan gelap itu.
"Jalan setapaknya?" suaraku jelas terdengar panik ketika mengitari truk dan
mengejarnya. "Kubilang ada jalan setapak di ujung jalan, bukannya berarti kita akan
melaluinya." "Tanpa jalan setapak?" tanyaku putus asa.
"Aku takkan membiarkanmu tersesat." Kemudian ia berbalik, dengan senyum
mengejek, dan aku mendengus pelan. Kaus putihnya tanpa lengan dan ia tidak
mengancingkannya, sehingga kulit putihnya yang mulus terpapar dari leher hingga
ke dada, otot-ototnya yang sempurna tak lagi tampak samar dari balik pakaian
yang membalutnya. Ia terlalu sempurna, pikirku sambil menatap tajam dengan putus asa. Tidak
mungkin makhluk yang menyerupai dewa ini ditakdirkan untukku.
Ia menatapku, keheranan melihat ekspresiku yang tersiksa.
"Kau ingin pulang?" tanyanya tenang, perasaan tersiksa yang sedikit berbeda
dariku terdengar dalam suaranya.
"Tidak." Aku melangkah maju sampai ke dekatnya, tak ingin membuang-buang lagi
satu detik atau berapa pun lamanya waktuku bersamanya.
"Ada apa?" tanyanya lembut.
"Aku bukan pendaki yang baik," sahutku tolol. "Kau harus sangat sabar."
"Aku bisa sabar - kalau aku berusaha keras." Ia tersenyum, sambil menatap
mataku, berusaha mengangkatku dari kesedihan yang mendadak dan tak bisa
dijelaskan. Aku mencoba membalas senyumnya, tapi senyumku tidak meyakinkan. Ia mengamati
wajahku. "Aku akan membawamu pulang," janjinya.
Aku tak bisa mengatakan apakah janji itu tanpa syarat, atau artinya ia akan
mengantarku lalu pulang ke rumahnya sendiri. Aku tahu ia mengira rasa takutlah
yang membuatku sedih, dan sekali lagi aku bersyukur akulah satu-satunya orang
dengan pikiran yang (tak) terbaca olehnya.
"Kalau kau mau aku menempuh lima mil ke dalam hutan sebelum matahari terbenam,
sebaiknya kau mulai menunjukkan arahnya," kataku dingin. Ia memandang marah padaku, mencoba memahami
maksudku. Sesaat akhirnya ia menyerah dan mulai berjalan ke dalam hutan.
Ternyata tidak sesulit yang kukhawatirkan. Jalan yang kami lalui kebanyakan
datar, dan ia menahan dahan-dahan basah dan juntaian lumut supaya aku bisa
lewat. Ketika jalan lurus yang dilaluinya terhalang pohon tumbang, atau bebatuan
besar, ia membantuku, mengangkatku dengan memegangi sikuku, dan langsung
melepasku begitu selesai melewati rintangan. Sentuhan dingin kulitnya selalu
membuat jantungku berdebar tak keruan. Ketika terjadi untuk kedua kali, aku
sempat melihat wajahnya dan yakin entah bagaimana ia bisa mendengar detak
jantungku. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari kesempurnaannya sebisa mungkin, tapi
sering kali aku gagal. Setiap kali ketampanannya menusukku dengan kepedihan.
Kami lebih sering berjalan dalam diam. Kadang-kadang ia melontarkan pertanyaan
asal yang belum ditanyakannya dua hari yang lalu ketika menginterogasiku. Ia
menanyakan hari ulang tahunku, guru-guru sekolah dasarku, hewan peliharaanku
semasa kecil - dan harus kuakui setelah tiga ekor ikan yang kupelihara berturut-
turut mati, aku menyerah, tak ingin lagi memiliki hewan peliharaan. Ia
menertawaiku, lebih keras dari biasanya - gema yang seperti bunyi lonceng
memantul ke arah kami dari hutan yang kosong.
Pendakian itu nyaris menghabiskan waktu sepagian, tapi tak sekali pun ia
menunjukkan tanda-tanda tidak sabar. Hutan itu membentang di sekeliling kami,
dipenuhi jaring pepohonan kuno, dan aku mulai merasa gugup bahwa kami takkan
menemukan jalan keluar lagi. Sebaliknya ia sangat tenang, merasa nyaman berada
di tengah-tengah jaring hijau, tak pernah tampak ragu tentang arah yang kami
tuju. Setelah beberapa jam cahaya yang menyusup di antara dedaunan pohon berubah,
warna kehijauan yang suram berganti jadi hijau cerah. Hari telah berubah cerah,
tepat seperti yang diramalkannya. Untuk pertama kali sejak kami memasuki hutan,
aku merasa gembira - yang dengan cepat berubah menjadi tidak sabar.
"Apakah kita sudah sampai?" godaku, pura-pura kesal.
"Hampir." Ia tersenyum melihat suasana hatiku yang sudah ceria lagi. "Kaulihat
cahaya terang di depan sana?"
Mataku menyipit memandang hutan lebat itu. "Apakah seharusnya aku bisa
melihatnya?" Ia nyengir. "Barangkali belum kasat oleh matamu."
"Waktunya mengunjungi dokter mata," gumamku.
Ia nyengir semakin lebar.
Tapi kemudian, setelah melangkah seratus meter lagi, aku bisa melihat jelas
cahaya di pepohonan di depan kami. Cahaya itu kuning, bukan hijau. Aku
mempercepat langkah, hasratku semakin bertambah di setiap langkahku. Ia
membiarkanku berjalan di depan sekarang, dan mengikutiku tanpa suara.
Aku mencapai ujung kolam cahaya dan melangkah menembus tumbuhan pakis terakhir
menuju tempat terindah yang pernah kulihat. Padang rumput itu kecil, melingkar
sempurna, dan ditumbuhi bunga-bunga liar - biru keunguan, kuning, dan putih
lembut. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar senandung sungai.
Matahari bersinar tepat di atas kami, menyinari lingkaran itu dengan kabut
kekuningan. Aku berjalan pelan,
terpesona, melintasi rumput halus, bunga, bunga yang melambai-lambai, serta
udara hangat dan keemasan. Aku setengah membalikkan badan, ingin berbagi ini
semua dengannya, tapi ia tak ada di belakangku seperti yang kukira. Aku
memandang berkeliling, dengan ketakutan mencari-carinya. Akhirnya aku
menemukannya, berdiri di bawah bayangan pepohonan lebat di tepi kegelapan hutan,
memerhatikanku dengan tatapan waswas.
Aku kembali melangkah ke arahnya, sorot mataku sarat oleh rasa ingin tahu.
Tatapannya hati-hati, enggan. Aku tersenyum menyemangati, mengulurkan tangan,
sambil terus melangkah ke arahnya. Ia mengangkat tangan mengingatkan, dan aku
pun ragu. lalu terdiri. Edward tampak menghela napas dalam-dalam, lalu ia melangkah ke tengah cahaya
terang mentari siang. 13. PENGAKUAN MELIHAT Edward di bawah sinar matahari sungguh membuatku terpesona. Aku takkan
pernah terbiasa dengannya, meskipun aku telah memandanginya seharian ini.
Kulitnya, putih meski agak memerah sepulang berburu kemarin, tampak kemilau,
seolah-olah ribuan berlian mungil tertanam di bawah permukaan kulitnya. Ia
berbaring tak bergerak di rerumputan, kausnya tersingkap dan memamerkan dada
bidangnya yang bercahaya, lengannya yang telanjang juga berkilauan. Kelopak
matanya yang keunguan dan berbinar terpejam, meski tentu saja ia tidak tertidur.
Patung yang sempurna, terukir dari bebatuan entah apa namanya, halus bagai
pualam, berkilauan bagai kristal.
Terkadang bibirnya bergerak-gerak, begitu cepat hingga seperti gemetar. Tapi
ketika kutanya, katanya ia sedang bernyanyi untuk dirinya sendiri: terlalu pelan
untuk bisa kudengar. Aku juga menikmati sinar matahari, meskipun udara tidak cukup kering bagiku. Aku
ingin berbaring, seperti yang dilakukannya, dan membiarkan matahari
menghangatkan wajahku. Tapi toh aku hanya duduk memeluk kakiku, dagu kuletakkan
di lutut, tak ingin berpaling dari wajahnya. Angin bertiup pelan. membelai
rambutku dan rerumputan yang menari-nari di selatar tubuh Edward yang tak
bergerak. Padang rumput yang awalnya sangat mengagumkan bagiku, kini tampak pudar di
samping keberadaan Edward yang bersinar cemerlang.
Dengan ragu-ragu, selalu khawatir, bahkan sekarang, bahwa ia akan menghilang
bagai halusinasi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan... kuulurkan satu jariku
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kuelus punggung tangannya yang berkilauan, yang berada di dekatku. Aku
kembali mengagumi tekstur kulitnya yang sempurna, halus bagai satin, dingin
seperti batu. Ketika aku memandangnya lagi matanya terbuka, mengamatiku. Hari
ini warnanya cokelat keemasan, lebih ringan dan hangat setelah berburu.
Senyumnya dengan cepat mengembang di sudut bibirnya yang tak bercela.
"Aku tidak membuatmu takut, kan?" guraunya, tapi aku bisa mendengar rasa
penasaran yang sesungguhnya dalam suara lembutnya.
"Tak lebih dari biasanya."
Ia tersenyum lebih lebar; giginya mengilap di bawah sinar matahari.
Aku beringsut mendekat, sekarang mengulurkan tangan untuk menyusuri lekuk lengan
bawahnya dengan ujung jari.
Jemariku gemetaran, dan aku tahu ini pun takkan luput dari perhatiannya.
"Kau keberatan?" tanyaku, karena ia sudah memejamkan mata lagi.
"Tidak," katanya tanpa membuka mata "Kau tak dapat membayangkan bagaimana
rasanya." Ia mendesah.
Dengan lembut tanganku menyusuri otot lengannya yang sempurna, mengikuti jejak
samar nadinya yang kebiruan menuju lipatan sikunya. Dengan tangan lain, aku
meraih dan membalikkan tangannya. Menyadari apa yang kuinginkan, ia membalikkan
tangan dengan cepat, gerakannya membuatku terkesiap. Aku terkejut, sesaat jari-
jariku membeku di lengannya.
"Maaf," gumamnya. Aku mendongak tepat saat matanya yang berwarna emas menutup
lagi. "Terlalu mudah menjadi diriku sendiri ketika bersamamu."
Kuangkat tangannya, membolak-balikkannya sambil mengamati matahari yang
menyinari telapak tangannya. Kudekatkan tangannya ke wajahku, mencoba melihat
sisi kulitnya yang tersembunyi.
"Katakan apa yang kaupikirkan," bisiknya.
Aku melihat dan mendapatinya menatapku, mendadak begitu lekat. "Masih tidak
biasa untukku, untuk tidak mengetahui."
"Kau tahu, kita semua merasa seperti itu setiap saat."
"Hidup ini sulit." Apakah aku hanya membayangkan nada sesal dalam suaranya"
"Tapi kau tidak memberitahuku."
"Aku sedang berharap dapat mengetahui apa yang kaupikirkan...," ujarku ragu-
ragu. "Dan?" "Aku berharap dapat memercayai bahwa dirimu nyata. Dan aku berharap aku tidak
takut." "Aku tidak ingin kau takut." Suaranya menggumam lembut. Aku mendengar apa yang
tak sanggup dikatakannya sejujurnya, bahwa aku tak perlu takut, bahwa tak ada
yang perlu ditakuti. "Well, bukan rasa takut itu yang kumaksud, meskipun jelas itu sesuatu yang perlu
dipikirkan." Semua berlangsung begini cepat hingga aku tidak melihat gerakannya, sekarang ia
setengah duduk, bertopang pada lengan kanannya, telapak tangan kirinya masih
dalam genggamanku. Wajah malaikatnya hanya beberapa senti dariku. Aku mungkin
saja - seharusnya - menjauh dari kedekatannya yang tak disangka-sangka, tapi aku
tak bisa bergerak. Matanya yang keemasan memesonaku.
"Lalu apa yang kautakutkan?" bisiknya sungguh-sungguh. Tapi aku tak bisa
menjawab. Seperti yang pernah kualami sebelumnya, aku mencium napas sejuknya di
wajahku. Manis, nikmat, aroma yang membuatku meneteskan air liur. Tidak seperti
apa pun di dunia ini. Secara naluriah, tanpa berpikir, aku mendekat padanya,
menghirupnya. Dan ia menghilang, melepaskan tangannya dariku. Ketika akhirnya mataku bisa
melihat dengan fokus, ia berada enam meter dariku, berdiri di ujung padang
rumput kecil ini, di bawah bayangan gelap pohon fir raksasa. Ia menatapku,
matanya tampak kelam dalam bayangan itu, ekspresinya tak dapat kutebak.
Aku bisa merasakan kekecewaan dan perasaan syok terpancar di wajahku. Tanganku
yang kosong bagai tersengat.
"Maafkan... aku... , Edward," bisikku. Aku tahu ia bisa mendengarnya.
"Beri aku waktu sebentar," sahutnya, cukup lantang untuk bisa didengar telingaku
yang tidak terlalu peka. Aku duduk diam tak bergerak.
Setelah sepuluh detik yang terasa sangat lama, ia berjalan kembali ke arahku,
pelan untuk ukurannya. Ia berhenti, masih beberapa meter jauhnya, dan duduk
anggun di tanah, kakinya menyilang. Tak sekali pun ia pernah melepaskan
pandangannya dariku. Ia menghela napas panjang dua kali, lalu senyum menyesal.
"Aku sangat menyesal," ujarnya ragu. "Apakah kau bisa mengerti maksudku, kalau
kubilang aku hanya manusia?"
Aku mengangguk sekali, tak bisa tersenyum mendengar gurauannya. Adrenalin
memompa deras di nadiku ketika pemahamanku akan bahaya pelan-pelan muncul. Ia
dapat menciumnya dari tempatnya duduk sekarang. Senyumnya berubah mengejek.
"Aku predator terbaik di dunia, bukankah begitu" Segala sesuatu tentang diriku
mengundangmu mendekat - suaraku, wajahku, bahkan aromaku. Seperti aku
membutuhkannya saja!" Tak disangka-sangka ia sudah bangkit berdiri, pergi,
langsung lenyap dari pandangan, dan muncul kembali di bawah pohon yang sama
seperti sebelumnya, setelah mengelilingi padang rumput hanya dalam setengah
detik. "Seperti kau bisa kabur dariku saja," ia tertawa getir.
Ia mengulurkan satu tangannya, dan tanpa kesulitan mematahkan dahan yang sangat
tebal dari batang pohonnya, hingga menimbulkan bunyi patahan yang mengerikan.
Beberapa saat ia menimbang-nimbangnya dengan tangannya, lalu melemparnya begitu
cepat, mengempaskannya ke pohon besar lain. Pohon itu bergoyang dan bergetar.
Lalu ia sudah berada di hadapanku lagi, setengah meter dariku, kaku bagai batu.
"Seperti kau bisa melawanku saja." katanya lembut.
Aku duduk tak bergerak, merasa lebih takut padanya dari pada selama ini. Aku tak
pernah melihatnya begitu bebas di balik penyamarannya yang sempurna. Ia tak
pernah benar-benar lebih tidak manusiawi... atau lebih menawan. Dengan wajah
pucat dan mata membelalak, aku duduk bagai burung siap dimangsa ular.
Matanya yang indah seolah berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-
luap. Lalu, ketika detik demi detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya
perlahan berganti menjadi kesedihan yang purba.
"Jangan takut," gumamnya, suara lembutnya tak disengaja terdengar menggoda.
"Aku berjanji...," ujarnya ragu. "Aku bersumpah tidak akan menyakitimu." Ia
kelihatan lebih ingin meyakinkan dirinya sendiri daripada aku.
"Jangan takut," bisiknya lagi sambil mendekat, dengan amat perlahan. Ia duduk
luwes, dengan gerakan tak bergegas yang disengaja, hingga wajah kami sejajar,
hanya terpisah tiga puluh senti.
"Kumohon maafkan aku," pintanya. "Aku bisa mengendalikan diri. Kau membuatku tak
berdaya. Tapi sekarang aku dalam keadaan sangat terkendali." Ia menunggu, tapi
aku masih tak sanggup bicara. "Sejujurnya, hari ini aku tidak merasa haus." Ia
mengedipkan mata. Mendengar itu aku harus tertawa, meski suara tawaku gemetar dan tertahan.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya lembut, perlahan dan hati-hati mengulurkan
tangannya yang bak pualam dan kembali menggenggam tanganku.
Aku memandang tangannya yang dingin dan halus, lalu matanya. Mata itu lembut,
penuh penyesalan. Aku kembali menatap tangannya, kemudian dengan sengaja
menelusuri garis tangannya dengan ujung jariku. Aku memandangnya dan tersenyum
gugup. Senyuman balasannya sungguh memesona.
"Jadi, tadi kita sampai di mana, sebelum aku bersikap kasar," tanyanya dengan
aksen tempo dulu yang lembut.
"Sejujurnya, aku tidak bisa mengingatnya."
Ia tersenyum, tapi wajahnya tampak malu. "Kurasa kita sedang membicarakan kenapa
kau merasa takut, di samping alasan yang sudah jelas."
"Oh, benar." "Jadi?" Aku menunduk menatap tangannya, dan dengan lembut menggerak-gerakkan tanganku di
telapak tangannya yang berkilauan. Detik demi detik pun berlalu.
"Betapa mudahnya aku marah," desahnya.
Aku menatap matanya, dengan cepat memahami bahwa setiap kejadian ini adalah hal
baru baginya, juga bagiku. Dan terlepas dari begitu banyaknya hal tak terpahami
yang dialaminya bertahun-tahun, ini juga masih sama sulitnya baginya. Kubesarkan
hatiku melihat kenyataan ini.
"Aku takut... karena, untuk, Well, alasan yang jelas, aku tak bisa terus di
dekatmu. Dan aku takut keinginan untuk terus bersamamu lebih kuat daripada
seharusnya." Aku menunduk menatap tangan-tangannya ketika mengatakan semua itu. Sulit bagiku
untuk menyatakannya secara gamblang.
"Ya," timpalnya pelan. "Jelas, itu sesuatu yang perlu ditakutkan. Keinginan
untuk bersamaku. Itu sungguh bukan keinginanmu yang terbaik."
Aku cemberut. "Aku seharusnya pergi sejak lama," desahnya. "Aku seharusnya pergi sekarang.
Tapi aku tak tahu apakah aku bisa."
"Aku tidak ingin kau pergi," gumamku sedih, seraya menunduk lagi.
"Itulah sebabnya aku harus pergi. Tapi jangan khawatir. Pada dasarnya aku
makhluk egois. Aku terlalu menginginkan kehadiranmu untuk melakukan apa yang
seharusnya kulakukan."
"Aku senang." "Jangan!" Ia menarik tangannya, kali ini lebih lembut; suaranya lebih parau
daripada biasanya. Parau untuk ukurannya, tapi toh tetap masih lebih indah
daripada suara manusia mana pun. Sulit rasanya untuk mengikutinya- perubahan
suasana hatinya yang tiba-tiba selalu membuatku terlambat memahami situasi, dan
bingung. "Bukan hanya keberadaanmu yang kuinginkan! Jangan pernah lupakan itu. Jangan
pernah lupa aku lebih berbahaya bagimu daripada bagi orang lain." Ia berhenti,
dan aku melihatnya diam-diam memandang ke dalam hutan. Aku berpikir sesaat.
"Sepertinya aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kaumaksud - terutama bagian
terakhir," kataku. Ia kembali menatapku dan tersenyum, belum apa-apa suasana harinya lagi-lagi
berubah. "Bagaimana aku menjelaskannya?" godanya. "Tanpa membuatmu takut lagi... hmmmm."
Tanpa terlihat memikirkannya, ia meletakkan tangannya dalam genggamanku; dan aku
menggenggamnya erat-erat dengan kedua tanganku. Ia memandang tangan kami.
"Kehangatan ini luar biasa menyenangkan." Ia mendesah.
Sesaat berlalu saat ia mengumpulkan pikirannya.
"Kau tahu bagaimana orang-orang menikmati rasa yang berbeda-beda?" ia memulai.
"Beberapa orang menyukai es krim cokelat, yang lain memilih stroberi?"
Aku mengangguk. "Maaf aku menggunakan makanan sebagai perumpamaan aku tak tahu cara lain untuk
menjelaskannya." Aku tersenyum. Ia balas tersenyum menyesal. "Kau tahu, setiap
orang punya aroma berbeda, inti berbeda. Bila kau mengunci seorang peminum dalam
ruangan penuh bir basi, dia akan dengan senang meminumnya. Tapi dia bisa
menolaknya, kalau ia memang ingin, kalau ia bukan peminum lagi. Sekarang
misalnya kautaruh sebotol brendi berumur ratusan tahun di ruangan itu, cognac
langka terbaik - dan memenuhi ruangan itu dengan aromanya yang hangat -
menurutmu, apa yang akan dilakukannya?"
Kami duduk diam, saling menatap-mencoba membaca pikiran satu sama lain.
Dialah yang akhirnya mengakhiri keheningan itu. "Barangkali itu bukan
perbandingan yang tepat. Barangkali
terlalu mudah untuk menolak brendi. Mungkin aku harus mengganti si peminum
dengan pencandu heroin."
"Jadi maksudmu, aku semacam heroin bagimu?" godaku, berusaha mencairkan suasana.
Ia langsung tersenyum, sepertinya menghargai usahaku. "Ya, kau adalah heroin
bagiku." "Apakah itu sering terjadi?" tanyaku. Ia memandang melampaui puncak pohon,
memikirkan jawabannya. "Aku membicarakan hal ini dengan saudara-saudara laki-lakiku." Ia masih
memandang kejauhan. "Bagi Jasper, kalian manusia kurang-lebih sama. Dialah yang
terakhir bergabung dalam keluarga kami. Sulit baginya untuk sama sekali
berpantang. Dia tak punya waktu untuk menumbuhkan kepekaan untuk membedakan
aroma, juga rasa." Ia memandangku, raut wajahnya menyesal.
"Maaf," katanya.
"Aku tak keberatan. Kumohon jangan khawatir kau akan membuatku tersinggung, atau
takut, atau apa pun. Begitulah caramu berpikir. Aku bisa mengerti, atau
setidaknya mencoba. Jelaskan saja sebisamu."
Ia menghela napas dalam-dalam dan kembali menatap langit.
"Jadi, Jasper tak yakin apakah dia pernah menemukan seseorang yang sama"- ia
ragu, mencari-cari kara yang tepat-" menariknya seperti kau bagiku. Yang
membuatku tidak menggunakan akal sehat. Emmett, boleh dibilang sudah lebih lama
bersama kami, jadi dia mengerti maksudku. Dia mengatakan sudah dua kali
mengalaminya, yang kedua lebih kuat daripada yang pertama."
"Dan kau?" "Tidak pernah."
Kata itu melayang sesaat di sana, dalam embusan angin yang hangat.
"Apa yang dilakukan Emmett?" tanyaku memecah keheningan.
Pertanyaan yang salah. Wajahnya menjadi gelap, tangannya mengepal dalam
genggamanku. Ia membuang muka. Aku menunggu, tapi ia takkan menjawab.
"Kurasa aku tahu," kataku akhirnya.
Ia melirik; wajahnya muram, memohon.
"Bahkan yang terkuat di antara kita pun pernah khilaf, bukan begitu?"
"Apa yang kauminta dariku" Izinku?" Suaraku lebih tajam daripada yang
kuinginkan. Aku mencoba membuat suaraku lebih ramah - aku bisa menebak harga
yang harus dibayarnya karena telah bersikap jujur. "Maksudku, apakah tidak ada
harapan lagi?" Betapa tenangnya aku membahas kematianku sendiri!
"Tidak, tidak!" Ia langsung menyesal. "Tentu saja ada harapan! Maksudku, tentu
saja aku tidak akan..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, matanya nanar
menatapku. "Kisah kita berbeda. Emmett... dia tidak mengenal kedua gadis itu,
mereka hanya kebetulan berpapasan dengannya. Kejadiannya sudah lama sekali, dan
dia tidak... setangkas dan sehati-hati sekarang."
Ia terdiam dan mengamanku lekat-lekat ketika aku merenungkannya.
"Jadi kalau kita bertemu... oh, di lorong gelap atau apa..." Nyaliku ciut.
"Aku harus mengerahkan segenap kemampuan agar tidak melompat ke tengah kelas
penuh murid dan-" Sekonyong-konyong ia berhenti, memalingkan wajah. "Ketika kau
berjalan melewatiku, aku bisa saja menghancurkan semua yang Carlisle bangun
untuk kami, saat itu juga. Seandainya aku tidak menyangkal rasa hausku sejak,
yah, bertahun-tahun yang lalu, aku takkan sanggup menghentikan diriku sendiri."
Ia berhenti, memandang geram pepohonan.
Ia memandangku muram, kami mengingat saat-saat itu. "Kau pasti menduga aku
kerasukan." "Aku tidak mengerti alasannya. Bagaimana kau bisa membenciku secepat itu... "
"Bagiku rasanya kau seperti semacam roh jahat yang di kirim langsung dari
nerakaku sendiri untuk menghancurkanku. Aroma yang menguar dari kulitmu...
Kupikir akan membuatku gila pada hari pertama itu. Dalam satu jam itu aku
memikirkan seratus cara berbeda untuk memancingmu keluar dari ruangan itu
bersamaku, agar aku bisa berdua saja denganmu. Dan aku terus melawan keinginan
itu, memikirkan keluargaku, apa yang akan menimpa mereka akibat kebodohanku. Aku
harus pergi, menghilang, sebelum aku mengucapkan, kata-kata yang bisa membuatmu
mengikutiku... " Ia menatap ekspresiku yang gentar ketika mencoba memahami ingatannya yang pahit.
Matanya yang keemasan membara di balik bulu matanya, menghipnotis dan mematikan.
"Kau pasti datang," ujarnya.
Aku mencoba berkata dengan tenang, "Tak diragukan lagi."
Dahinya mengerut ketika ia menatap tanganku, membebaskanku dari kekuatan
tatapannya. "Kemudian, ketika aku sia-sia berusaha mengatur jadwalku agar bisa
menghindarimu, kau ada di sana - di ruangan kecil hangat itu, begitu dekat,
aroma tubuhmu membuatku sinting. Saat itu aku nyaris menculikmu. Hanya ada satu
manusia lemah di sana-sangat mudah untuk diatasi."
Tubuhku gemetar di bawah hangatnya matahari, ingatanku diperbarui lewat matanya,
hanya saja sekarang aku menyadari bahayanya. Miss Cope yang malang; aku bergidik
lagi mengingat betapa aku nyaris menjadi penyebab kematiannya.
"Tapi aku menolaknya. Aku tidak tahu bagaimana. Aku memaksa diriku agar tidak
menunggumu, tidak mengikutimu dari sekolah. Bagiku di luar lebih mudah, karena
di sana aku tak bisa mencium aromamu. Aku bisa berpikir dengan jernih, membuat
keputusan yang tepat. Aku meninggalkan yang lain di dekat rumah - aku kelewat
malu memberitahu mereka betapa lemahnya diriku, mereka hanya tahu ada sesuatu
yang sangat salah - lalu aku pergi menemui Carlisle, di rumah sakit, untuk
memberitahunya aku akan pergi."
Aku menatapnya terpana. "Aku bertukar mobil dengannya - bahan bakar mobilnya penuh dan aku tak ingin
berhenti. Aku tidak berani pulang menemui Esme. Dia tidak akan tinggal diam
sampai mengetahui apa yang terjadi. Dia akan mencoba meyakinkanku bahwa itu
tidak penting...
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keesokan paginya aku sudah berada di Alaska." Ia terdengar malu, seolah-olah
mengakui betapa pengecut dirinya. "Dua hari aku di sana, bersama beberapa
kenalan lama... tapi aku rindu rumah. Aku benci karena telah mengecewakan Esme,
dan yang lainnya, keluarga adopsiku. Dalam udara bersih pegunungan, sulit
memercayai betapa sangat menggodanya dirimu. Aku meyakinkan diriku sendiri,
bahwa melarikan diri menunjukkan betapa lemah diriku. Sebelumnya aku juga pernah
menghadapi cobaan, tidak sebesar ini, dekat pun tidak, tapi aku kuat. Siapa kau
ini, gadis kecil tak penting"-tiba-tiba ia nyengir-"yang mengusirku dari tempat
yang ingin kutinggali" Jadi aku pun kembali... " Pandangannya menerawang.
Aku tak sanggup berkata-kata.
"Aku melakukan tindakan pencegahan, berburu, makan lebih banyak daripada biasa
sebelum bertemu lagi denganmu. Aku yakin aku cukup kuat untuk memperlakukanmu
seperti manusia lainnya. Aku sombong mengenai hal ini.
"Kenyataan bahwa aku tak dapat membaca pikiranmu untuk mengetahui reaksimu
terhadapku benar-benar menggangguku. Aku tak terbiasa melakukannya lewat
perantara, mendengarkan pikiranmu melalui pikiran Jessica... pikirannya tidak
terlalu orisinal, dan sangat mengganggu harus merendahkan diri seperti itu. Lagi
pula aku tidak tahu apakah kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu. Sangat
menyebalkan." Ia cemberut mengingatnya.
"Aku ingin kau melupakan sikapku pada hari pertama itu, bila mungkin, jadi aku
mencoba berbicara denganmu seperti yang akan kulakukan dengan siapa pun.
Sebenarnya aku sangat ingin, aku berharap dapat menguraikan sebagian pikiranmu.
Tapi kau terlalu menarik, aku mendapati diriku tertawan dalam ekspresimu... dan
sesekali kau mengibas-ngibaskan tangan atau rambutmu, dan aroma yang menguar
membuatku terkesima lagi...
"Tentu saja, kemudian kau nyaris mati tepat di hadapanku. Baru setelahnya aku
menemukan alasan yang sangat tepat mengapa aku beraksi saat itu - karena jika aku tidak
menyelamatkanmu, jika darahmu tercecer di sana di depanku, kurasa aku takkan
bisa menghentikan diriku mengungkapkan siapa diri kami sebenarnya. Tapi aku baru
memikirkan alasan itu setelahnya. Saat itu, yang bisa kupikirkan hanya, 'Jangan
dia.'" Ia memejamkan mata, larut dalam pengakuannya yang menyiksa. Aku mendengarkan,
lebih antusias daripada rasional. Akal sehatku mengingatkan seharusnya aku
takut. Tapi sebagai ganti aku lega akhirnya bisa mengerti. Aku sangat bersimpati
atas penderitaannya, bahkan sekarang, ketika ia mengakui hasratnya untuk
menghabisi nyawaku. Akhirnya aku bisa bicara, meski suaraku samar-samar. "Di rumah sakit?"
Matanya berkilat-kilat menatapku. "Aku kaget. Aku tak percaya aku telah
membahayakan diri kami, menaruh diriku dalam kuasamu dirimu, dari semua orang
yang ada. Seolah-olah aku memerlukan alasan lain untuk membunuhmu."
Kami beringsut menjauh ketika kata itu terucap.
"Tapi efeknya justru kebalikannya," ia bergegas melanjutkan. "Aku bertengkar
dengan Rosalie, Emmett, dan Jasper ketika mereka bilang sekaranglah waktunya...
pertengkaran terburuk kami. Carlisle membelaku, begitu juga Alice." Ia meringis
ketika menyebut nama itu. Aku tak bisa menebak alasannya. "Esme menyuruhku
melakukan apa saja yang harus kulakukan untuk tetap tinggal." Ia menggeleng
tulus. "Sepanjang keesokan harinya, aku membaca pikiran setiap orang yang berbicara
denganmu, dan aku terkejut kau memegang kata-katamu. Aku sama sekali tidak
memahami dirimu. Tapi aku tahu aku tak bisa terlibat lebih jauh lagi denganmu.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauhimu. Dan setiap hari aroma kulitmu,
napasmu, rambutmu... memukulku sama kerasnya seperti hari pertama."
Mata kami kembali bertemu, dan aku terkejut melihat betapa lembut tatapannya.
"Karenanya," lanjutnya, "akan lebih baik jika aku mengungkapkan siapa kami pada
saat pertama itu, daripada sekarang, di sini - tanpa saksi dan apa pun yang bisa
menghentikanku - seandainya aku akan menyakitimu."
Cukup manusiawi bagiku untuk bertanya, "Kenapa?"
"Isabella." Ia mengucapkan nama lengkapku dengan hati-hati, kemudian mengacak-
acak rambutku dengan tangannya. Sentuhan ringannya membuat sekujur tubuhku
tegang. "Bella, aku takkan bisa memaafkan diriku jika aku sampai menyakitimu.
Kau tak tahu betapa itu menyiksaku." Ia menunduk, kembali malu-malu. "Bayangan
dirimu, kaku, putih, dingin... tak bisa melihatmu merona lagi, tak bisa melihat
kelebatan intuisi di matamu ketika mengetahui kepura-puraanku... rasanya tak
tertahankan." Ia menatapku dengan matanya yang indah, namun tersiksa. "Kau yang
terpenting bagiku sekarang. Terpenting bagiku sampai kapan pun."
Kepalaku berputar karena betapa cepatnya pembicaraan kami berubah-ubah. Dari
topik menyenangkan tentang kematianku sekonyong-konyong kami mengungkapkan
perasaan kami. Ia menunggu, dan meskipun aku menunduk mengamati tangan kami aku
tahu matanya yang keemasan mengawasiku.
"Kau sudah tahu bagaimana perasaanku, tentu saja," kataku akhirnya "Aku ada di
sini... yang secara kasar berarti aku lebih baik mati daripada harus menjauh
darimu." Wajahku muram. "Bodohnya aku."
"Kau memang bodoh," ia menimpaliku sambil tertawa. Tatapan kami bertemu, dan aku
ikut tertawa. Kami sama-sama menertawakan kebodohan dan kemustahilan situasi
itu. "Jadi singa jatuh cinta pada domba... ," gumamnya.
Aku berpaling menyembunyikan mataku sementara hatiku senang mendengar kata-kata
itu. "Domba bodoh," desahku.
"Singa masokistik menjijikkan." Lama sekali ia memandang hutan yang gelap, dan
aku bertanya-tanya ke mana pikirannya telah membawanya.
"Kenapa... ?" aku memulai, kemudian berhenti, tak yakin bagaimana meneruskannya.
Ia memandangku dan tersenyum; sinar matahari membuat wajah dan giginya
berkilauan. "Ya?" "Katakan padaku kenapa kau lari dariku sebelumnya."
Senyumnya memudar. "Kau tahu kenapa."
"Tidak, maksudku, tepatnya apa salahku" Aku harus berjaga-jaga, tahu, jadi
sebaiknya aku mulai belajar apa yang tidak seharusnya kulakukan. Ini,
contohnya"-aku membelai punggung tangannya - "sepertinya tidak masalah."
Ia tersenyum lagi. "Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Bella. Itu salahku."
"Tapi aku ingin membantu, kalau bisa, agar ini tidak lebih sulit lagi bagimu."
"Well... " Sesaat ia memikirkannya. "Masalahnya kau begitu dekat. Kebanyakan
manusia dengan sendirinya menjauhi kami mundur karena keanehan kami... Aku tidak
berharap kau akan sedekat ini. Dan aroma lehermu." Ia berhenti sesaat, melihat
apakah ia membuatku marah.
"Baik kalau begitu," kataku bergurau, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba
tegang. Aku melipat daguku. "Aku takkan memperlihatkan leherku."
Berhasil; ia tertawa. "Tidak, sungguh, lebih pada kejutannya daripada yang
lainnya." Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan lembut di leherku. Aku
duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang dingin bagai peringatan alami -
peringatan yang menyuruhku untuk takut. Namun tak ada rasa takut dalam diriku.
Bagaimanapun yang ada justru perasaan lain...
"Lihat, kan," katanya. "Benar-benar tidak apa-apa."
Darahku mengalir deras, dan aku berharap bisa memperlambatnya, sadar ini pasti
membuat segalanya lebih sulit - detak jantung dalam nadiku. Pasti ia bisa
mendengarnya. "Rona pipimu cantik," gumamnya. Dengan lembut ia membebaskan tangannya yang
lain. Tanganku jatuh lunglai di pangkuan. Dengan lembut ia membelai pipiku, lalu
memegang wajahku di antara sepasang tangan pualamnya.
"Jangan bergerak," bisiknya, seolah aku belum membeku saja.
Perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dariku, ia mencondongkan wajah ke arahku.
Lalu tiba-tiba, namun dengan teramat lembut, ia menempelkan pipinya yang dingin
di relung leherku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bila menginginkannya. Aku
mendengarkan suara napasnya yang teratur, mengawasi bagaimana matahari dan angin
bermain-main di rambutnya yang perunggu, lebih manusiawi daripada bagian dirinya
yang lain. Dengan kelambatan disengaja, tangan-tangannya meluncur menuruni leherku. Aku
gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi tangannya tidak berhenti ketika
dengan lembut beralih ke bahuku, kemudian berhenti.
Wajahnya bergeser ke samping, hidungnya menyusuri tulang selangkaku. Ia
berhenti, salah satu sisi wajahnya menempel lembut di dadaku. Mendengarkan detak
jantungku. "Ah," desahnya.
Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi berjam-jam.
Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak bergerak atau bicara lagi ketika
memegangku. Aku tahu kapan pun ini bisa jadi kelewat berlebihan, dan hidupku
bisa berakhir-begitu cepat hingga aku bahkan mungkin takkan menyadarinya. Dan
aku tak bisa membuat diriku ketakutan. Aku tak bisa memikirkan apa pun, kecuali
bahwa ia sedang menyentuhku.
Kemudian, terlalu cepat, ia melepaskanku.
Sorot matanya damai. "Tidak akan sesulit itu lagi," katanya puas.
"Apakah sulit sekali bagimu?"
"Tak seburuk yang kubayangkan. Kau?"
"Tidak, itu tidak buruk... bagiku."
Ia tersenyum mendengar nada suaraku. "Kau tahu maksudku."
Aku tersenyum. "Kemarilah." Ia meraih tanganku dan menaruhnya di pipinya "Bisa kaurasakan
hangatnya?" Kulitnya yang biasanya dingin nyaris hangat. Tapi aku nyaris tidak memerhatikan,
berhubung aku sedang menyentuh wajahnya, sesuatu yang selalu kuimpikan sejak
hari pertama aku melihatnya.
"Jangan bergerak," bisikku.
Tak ada yang bisa setenang Edward. Ia memejamkan mata dan diam tak bergerak
bagai batu, sebuah ukiran dalam genggamanku.
Aku bergerak bahkan lebih pelan daripadanya, berhati-hati agar tidak membuat
gerakan yang tidak diinginkan. Kubelai pipinya, dengan lembut mengusap kelopak
matanya, bayangan keunguan di bawah matanya. Kutelusuri bentuk hidungnya yang
sempurna, kemudian, dengan sangat berhati-hati kutelusuri bibirnya yang tak
bercela. Bibirnya membuka di bawah tanganku, dan aku bisa merasakan embusan
napasnya yang sejuk di ujung jemariku. Aku ingin mencondongkan tubuh, menghirup
aromanya. Jadi kujatuhkan tanganku dan menjauh, tak ingin mendorongnya terlalu
jauh. Ia membuka mata, dan keduanya tampak kelaparan. Bukan dengan cara yang membuatku
takut, tapi yang membuat otot perutku tegang dan jantungku berdebar-debar lagi.
"Kuharap," bisiknya, "kuharap kau bisa merasakan... kesulitan... kebingungan...
yang kurasakan. Agar kau mengerti."
Ia mengulurkan tangannya ke rambutku, kemudian dengan hati-hati mengusap
wajahku. "Katakan padaku," desahku.
"Kurasa aku tidak bisa. Sudah kubilang, di lain sisi, rasa lapar - haus - yang
menjadikanku makhluk tercela, kurasakan padamu. Dan kurasa kau bisa memahami
itu. Meskipun" - ia setengah tersenyum - "berhubung kau tidak kecanduan obat-
obat terlarang barangkali kau tak bisa mengerti sepenuhnya."
"Tapi... " Jemarinya menyentuh lembut bibirku, membuatku gemetaran lagi. "Ada
hasrat lain. Hasrat yang tak bisa kumengerti, sesuatu yang asing bagiku."
"Aku mungkin mengerti itu lebih baik dari yang kausangka."
"Aku tak terbiasa merasa begitu manusiawi. Apakah rasanya selalu seperti ini"
"Bagiku?" aku berhenti. "Tidak, tidak pernah. Tidak pernah sebelumnya."
Ia menggenggam tanganku di antara kedua tangannya. Begitu rapuh dalam kekuatan
baja yang dimilikinya. "Aku tak tahu bagaimana caranya dekat denganmu," ia mengaku. "Aku tak tahu
apakah aku bisa." Dengan sangat perlahan kucondongkan tubuhku, mengingatkannya lewat tatapanku.
Kutempelkan pipiku di dadanya yang keras. Aku hanya bisa mendengar desah
napasnya, tak ada yang lain.
"Ini sudah cukup," desahku, memejamkan mata.
Dengan gerakan yang amat manusiawi ia memelukku dan menekankan wajahnya di
rambutku. "Untuk urusan ini kau lebih baik daripada yang kausangka," sahutku.
"Aku punya naluri manusia - naluri itu mungkin saja terkubur dalam-dalam, tapi
masih ada." Lama sekali kami duduk seperti itu; aku bertanya-tanya mungkinkah ia sama
enggannya untuk bergerak seperti halnya diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya
mulai memudar, bayangan hutan mulai menyentuh kami, dan aku pun mendesah.
"Kau harus pergi."
"Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku."
"Sudah jelas." Aku bisa mendengar senyuman dalam perkataannya.
Ia meraih bahuku, dan aku menatap wajahnya.
"Bisakah aku memperlihatkanmu sesuatu?" pintanya, kegembiraan tiba-tiba menyala-
nyala di matanya. "Memperlihatkan apa?"
"Akan kuperlihatkan bagaimana aku berjalan-jalan di hutan." Ia mengamati
ekspresiku. "Jangan khawatir, kau akan sangat aman, dan kita akan tiba di trukmu
lebih cepat dari pada yang kaubayangkan." Bibirnya menyunggingkan senyum yang
begitu indah hingga jantungku nyaris berhenti berdetak.
"Apakah kau akan berubah menjadi kelelawar?" tanyaku hati-hati.
Ia tertawa, lebih keras daripada yang pernah kudengar. "Seolah-olah aku belum
pernah mendengar yang satu itu saja!"
"Benar, aku yakin kau sering mendengarnya."
"Ayo, pengecut kecilku, naik ke punggungku."
Aku menunggu untuk meyakinkan apakah ia bergurau, tapi tampaknya ia bersungguh-
sungguh. Ia tersenyum melihat keraguanku, lalu mengulurkan tangan meraihku.
Jantungku bereaksi; meskipun tak bisa mendengar pikiranku, ia tetap bisa
mengetahuinya lewat detak jantungku. Kemudian ia mengayunkanku ke punggungnya
tanpa aku perlu bersusah-payah. Setelah itu aku mengaitkan tangan dan kakiku di
tubuhnya begitu erat hingga bisa membuat orang biasa tersedak. Rasanya seperti
memeluk batu. "Aku agak lebih berat daripada tas ranselmu," aku mengingatkannya.
"Hah!" dengusnya. Aku nyaris bisa mendengar ia memutar bola matanya. Aku tak
pernah melihatnya begitu bersemangat sebelumnya.
Ia membuatku terkejut ketika sekonyong-konyong ia meraih tanganku, menekankan
telapak tanganku ke wajahnya, dan menghirupnya dalam-dalam.
"Selalu lebih mudah daripada sebelumnya" gumamnya.
Kemudian ia berlari. Jika sebelumnya keberadaannya pernah membuatku mengkhawatirkan kematian, itu tak
sebanding dengan yang kurasakan saat ini.
Ia menerobos kegelapan hutan yang lebat bagai peluru, bagai hantu. Tak ada
suara, tak ada bukti ia memijakkan kakinya di tanah. Irama napasnya tak pernah
berubah, tidak menunjukkan bahwa ia mengerahkan segenap tenaga. Tapi pepohonan
di sekitar kami berkelebat sangat cepat, selalu luput menyentuh kami.
Aku terlalu takut untuk memejamkan mata, meskipun hawa hutan yang sejuk menyapu
wajahku dan membakarnya. Aku merasa seolah-olah dengan bodoh menjulurkan kepala
ke luar jendela pesawat yang sedang mengudara. Dan untuk pertama kali dalam
hidupku, aku merasa mabuk.
Kemudian selesai. Kami mendaki berjam-jam tadi pagi untuk mencapai padang rumput
Edward, dan sekarang, dalam hitungan menit, kami sudah sampai lagi di truk.
"Asyik, bukan?" Suaranya meninggi, senang. Ia berdiri tak bergerak, menungguku
turun. Aku mencobanya, tapi otot-ototku kaku. Lengan dan kakiku tetap mengunci
tubuhnya sementara kepalaku berputar-putar dan membuatku tidak nyaman.
"Bella?" panggilnya, sekarang terdengar waswas.
"Rasanya aku perlu berbaring," aku menahan napas.
"Oh, maaf." Ia menungguku, tapi aku masih tetap tak bisa bergerak.
"Sepertinya aku perlu bantuan," ujarku.
Ia tertawa pelan, dan dengan lembut melepaskan cengkeramanku di lehernya.
Kupasrahkan diriku. Kemudian ia menarikku menghadapnya, menggendongku seolah aku
kanak-kanak. Ia memelukku sebentar, lalu hati-hati menurunkanku ke atas hamparan
pakis. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
Aku tidak yakin apa yang kurasakan saat kepalaku berputar cepat sekali. "Rasanya
pusing." "Letakkan kepalamu di antara kedua lututmu."
Aku mencobanya, dan lumayan membantu. Aku bernapas pelan, menjaga kepalaku tetap
tenang. Aku merasakan ia duduk di sisiku. Waktu berlalu, dan akhirnya aku dapat
mengangkat kepala. Telingaku berdenging.
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa itu bukan gagasan yang bagus," gumamnya.
Aku mencoba bersikap positif, namun suaraku lemah. "Tidak, itu tadi sangat
menarik." "Hah! Wajahmu sepucat hantu begitu - oh bukan, kau sepucat aku!"
"Seharusnya tadi aku memejamkan mata."
"Lain kali ingat itu."
"Lain kali!" erangku.
Ia tertawa. Suasana hatinya masih bagus.
"Tukang pamer," gumamku.
"Buka matamu, Bella," ujarnya pelan.
Dan di sanalah dia, wajahnya sangat dekat denganku. Ketampanannya memukauku -
terlalu berlebihan, kelebihan yang belum bisa membuatku terbiasa.
"Aku sedang berpikir, ketika aku berlari..." Ia terdiam.
"Kuharap bukan tentang tidak menabrak pepohonan."
"Bella kau lucu." ia tergelak. "Berlari adalah sesuatu yang alami, bukan sesuatu
yang harus kupikirkan."
"Tukang pamer," gumamku lagi.
Ia tersenyum. "Bukan," lanjutnya, "aku berpikir ada sesuatu yang ingin kucoba." Dan ia
memegangi wajahku dengan tangannya lagi. Aku tak bisa bernapas.
Ia ragu-ragu - tidak seperti biasanya, seperti cara manusia.
Bukan seperti pria yang ragu-ragu sebelum mencium wanita, untuk mengira-ngira
bagaimana reaksinya, untuk melihat bagaimana wanita itu menerimanya. Barangkali
ia ingin mengulur-ulur waktu, saat penantian yang tepat terkadang lebih baik
daripada ciuman itu sendiri.
Edward ragu untuk menguji dirinya sendiri, untuk mengetahui apakah ini aman,
untuk memastikan dirinya masih dapat mengendalikan hasratnya.
Kemudian bibir pualamnya yang dingin menekan lembut bibirku.
Tapi kami sama sekali tidak siap dengan reaksiku.
Darahku mendidih dan membara di bibirku. Napasku terengah-engah. Jemariku
meremas rambutnya, mencengkeram tubuhnya di tubuhku. Bibirku membuka saat
kuhirup aroma tubuhnya yang keras.
Tiba-tiba kurasakan ia mematung di bawah bibirku. Dengan lembut dan tegas
tangannya mendorong wajahku. Aku membuka mata dan melihat ekspresinya yang
waspada. "Ups," desahku.
"Itu namanya melecehkan."
Tatapannya liar, rahangnya menegang, meski begitu artikulasinya tetap sempurna.
Ia memegang wajahku hanya beberapa senti dari wajahnya. Aku terpana dibuatnya.
"Haruskah aku... ?" Aku mencoba menahan diri, memberinya sedikit ruang.
Tangannya tidak mengizinkanku bergerak sedikit pun.
"Tidak, aku bisa menolerirnya. Tolong tunggu sebentar." Suaranya sopan,
terkendali. Aku terus menatap matanya, memerhatikan hasrat yang berkobar-kobar di dalamnya
mulai memudar dan melembut.
Kemudian ia tersenyum, dan senyumnya tak disangka-sangka nakal.
"Nah," katanya, jelas puas dengan dirinya sendiri.
"Bisa ditolerir?" tanyaku.
Ia tertawa keras. "Aku lebih kuat daripada yang kuduga. Senang mengetahuinya."
"Kuharap aku bisa mengatakan yang sama. Maafkan aku."
"Kau toh hanya manusia biasa."
"Terima kasih banyak," sahutku getir.
Dalam satu gerakan luwes dan cepat ia sudah berdiri. Ia mengulurkan tangan
padaku, gerakan yang tak kusangka-sangka. Aku begitu terbiasa berhati-hati agar
kami tak bersentuhan. Kugenggam tangannya yang dingin, memerlukannya lebih dari
dugaanku. Keseimbanganku belum kembali sepenuhnya.
"Apa kau masih mau pingsan akibat lari kita tadi" Atau karena ciumanku yang
menghanyutkan?" Betapa ceria, betapa manusianya dia ketika sedang tertawa
sekarang ini, wajah malaikatnya tampak tenang. Ia adalah Edward yang berbeda
dari yang kukenal. Dan aku merasa lebih tergila-gila padanya. Akan menyakitkan
bila harus berpisah darinya sekarang.
"Aku tidak yakin, aku masih pening," akhirnya aku berhasil menyahut. "Kurasa
gabungan keduanya." "Kurasa kau harus membiarkanku mengemudi."
"Kau gila ya?" protesku.
"Aku bisa mengemudi lebih baik darimu bahkan pada hari terbaikmu." godanya.
"Refleksmu jauh lebih lambat."
"Aku yakin itu benar, tapi kurasa keberanianku, atau trukku, bisa menerimanya."
"Percayalah, Bella, sedikit saja."
Kuselipkan tanganku di saku celana, menggenggam kunci mobilku erat-erat.
"Tidak. Tidak sedikit pun."
Alisnya terangkat tak percaya.
Aku mulai mengitarinya, menuju sisi pengemudi. Ia mungkin membiarkanku lewat
kalau saja aku tidak terhuyung. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ia mungkin tidak
akan membiarkanku lewat sama sekali. Lengannya menciptakan perangkap tak
tertembus di sekeliling pinggangku.
"Bella, aku telah mengerahkan segenap usaha yang kubisa untuk menjagamu tetap
hidup. Aku takkan membiarkanmu mengemudi ketika berjalan lurus pun kau tak bisa.
Lagi pula, seorang teman takkan membiarkan temannya mengemudi dalam keadaan
mabuk," kutipnya sambil tergelak. Aku bisa mencium aroma manis yang tak
tertahankan dari dadanya.
"Mabuk?" timpalku keberatan.
"Kau mabuk oleh kehadiranku." Ia memamerkan senyumnya yang menggoda lagi.
"Aku tak bisa menyangkal yang satu itu," desahku. Tak ada jalan keluar, aku tak
bisa menolaknya untuk apa pun. Aku mengangkat kunci trukku tinggi-tinggi dan
menjatuhkannya, mengamati tangannya berkelebat bagai kilat dan menyambarnya
tanpa suara. "Santai saja - trukku sudah cukup tua."
"Sangat masuk akal," timpalnya.
"Dan apakah kau sama sekali tidak terpengaruh?" tanyaku jengkel. "Oleh
kehadiranku?" Lagi-lagi ekspresinya yang mudah berubah berganti lagi menjadi lembut dan
hangat. Awalnya ia tidak menjawab hanya menundukkan wajahnya ke arahku, dan
mengusapkan bibirnya perlahan sepanjang rahangku, mulai dari telinga ke dagu,
berulang-ulang. Aku gemetaran.
"Bagaimanapun," akhirnya ia bergumam, "refleksku lebih baik.
14. TEKAD YANG KUAT MENGALAHKAN SEGALA HAMBATAN FISIK
HARUS kuakui ia bisa mengemudi dengan baik saat ia menjaga kecepatannya tetap
wajar. Seperti banyak hal, tampaknya itu mudah baginya. Meskipun ia nyaris tidak
melihat jalanan, ban trukku tak pernah keluar satu senti pun dari batas jalur.
Ia mengemudi dengan satu tangan, tangan yang lain menggenggam tanganku yang
bersandar di kursi. Kadang-kadang ia memandang matahari yang mulai terbenam,
kadang-kadang menatapku - wajahku, rambutku yang berkibaran dari jendela yang
terbuka, tangan kami yang bertaut.
Ia menyetel saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu lama, dan ikut menyanyikan
lagu yang tak pernah kudengar. Ia hafal setiap barisnya.
"Kau suka musik '50-an?" tanyaku.
"Musik'50-an bagus. Jauh lebih bagus daripada musik '60-an, atau 70-an, uhh!" Ia
bergidik. "Delapan puluhan masih bisa diterima."
"Apa kau akan pernah memberitahuku berapa usiamu?" tanyaku, ragu-ragu, tak ingin
merusak selera humornya yang ceria.
"Apakah itu sangat penting?" Untungnya senyumnya tetap mengembang.
"Tidak juga, tapi aku masih bertanya-tanya... " aku nyengir. "Misteri tak
terpecahkan selalu bisa membuatmu terjaga sepanjang malam."
"Aku membayangkan apakah itu akan membuatmu kecewa," ia bergumam pada dirinya
sendiri. Ia memandang matahari; menit demi menit berlalu.
"Coba saja," kataku akhirnya.
Ia mendesah, kemudian menatap mataku, seolah-olah benar-benar melupakan jalanan
selama beberapa saat. Apa pun yang dilihatnya pasti telah membangkitkan
keberaniannya. Ia melihat ke arah matahari-cahaya benda langit bundar yang
terbenam itu membuat kulitnya bercahaya dalam kilauan butir-butir kemerahan -
lalu berkata, "Aku lahir di Chicago tahun 1901."
Ia berhenti sejenak dan melirikku dari sudut matanya. Dengan hati-hati kujaga
wajahku tetap tenang, sabar menantikan penjelasan selanjutnya. Ia tersenyum
simpul dan melanjutkan, "Carlisle menemukanku di rumah sakit pada tahun 1918.
Usiaku tujuh belas saat itu, sekarat akibat flu Spanyol."
Ia mendengarku terkesiap, meski bagiku sendiri nyaris tak terdengar. Ia menunduk
menatap mataku lagi. "Aku tak mengingatnya dengan baik-sudah lama sekali, dan ingatan manusia
memudar." Sesaat ia larut dalam ingatannya sebelum melanjutkan lagi, "Tapi aku
ingat bagaimana rasanya, ketika Carlisle menyelamatkanku. Bukan hal mudah, bukan
sesuatu yang bisa kaulupakan."
"Orangtuamu?" "Mereka telah meninggal lebih dulu akibat penyakit itu. Aku sebatang kara. Itu
sebabnya dia memilihku. Di tengah-tengah kekacauan bencana epidemik itu, tak
seorang pun bakal menyadari bahwa aku menghilang.
"Bagaimana dia... menyelamatkanmu?"
Beberapa detik berlalu sebelum ia menyahut. Sepertinya ia memilih kata-katanya
dengan hati-hati "Sulit. Tak banyak dari kami memiliki kendali diri yang diperlukan untuk
menyelesaikannya. Tapi Carlisle selalu menjadi yang paling manusiawi, yang
paling berbelas kasih di antara kami.... Kurasa kau tak bisa menemukan yang
setara dengannya sepanjang sejarah." Ia terdiam. "Bagiku, rasanya amat, sangat
menyakitkan." Dari garis bibirnya aku tahu ia tidak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai
masalah ini. Kutekan rasa penasaranku, meskipun nyaris tak mungkin. Banyak yang
perlu kupikirkan mengenai hal ini, hal-hal yang baru saja muncul dalam benakku.
Tak diragukan lagi benaknya yang berputar cepat telah mengetahui setiap aspek
yang tidak kumengerti. Suaranya yang lembut membuyarkan lamunanku. "Kesendirianlah yang
menggerakkannya. Biasanya itulah alasan di balik pilihan tersebut. Aku adalah
yang pertama dalam keluarga Carlisle, meski tak lama setelah itu dia menemukan
Esme. Dia terjatuh dari tebing. Mereka langsung membawanya ke kamar mayat di
rumah sakit, meski entah bagaimana jantungnya masih berdenyut."
"Kalau begitu kau harus dalam kondisi sekarat untuk menjadi... " Kami tak pernah
mengucapkan kata itu, dan aku tak dapat mengucapkannya sekarang.
"Tidak, itu hanya Carlisle. Dia takkan pernah melakukannya pada orang yang
memiliki pilihan lain." Rasa hormat yang sangat dalam terpancar dalam suaranya
setiap kali ia membicarakan orang yang menjadi figur ayah baginya itu. "Meski
begitu, katanya lebih mudah bila aliran darahnya lemah," lanjutnya. Ia memandang
jalanan yang sekarang telah menggelap, dan aku bisa merasakan topik ini telah
berakhir. "Emmett dan Rosalie?"
"Carlisle membawa Rosalie ke keluarga kami setelah Esme. Lama setelahnya barulah
aku menyadari bahwa dia berharap Rosalie akan menjadi seseorang bagiku seperti
Esme baginya - Carlisle berhati-hati dengan pikirannya yang menyangkut diriku."
Ia memutar bola matanya. "Tapi Rosalie tak pernah lebih daripada seorang adik.
Dua tahun kemudian dia menemukan Emmett. Rosalie sedang berburu - waktu itu kami
sedang di Appalachia - dan mendapati seekor beruang nyaris menghabisi Emmett.
Rosalie membawanya kepada Carlisle, menempuh jarak lebih dari seratus mil,
khawatir dia tak dapat melakukannya sendiri. Aku hanya menduga-duga bagaimana
sulitnya perjalanan itu baginya." Ia menatapku dalam-dalam, dan mengangkat
tangan kami, masih terjalin, lalu mengusap pipiku dengan punggung tangannya.
Perawan Lembah Wilis 9 Wiro Sableng 140 Misteri Pedang Naga Suci 212 Dendam Dalam Titisan 2
11. KESULITAN SEMUA memerhatikan ketika kami berjalan bersama-sama menuju meja lab. Aku sadar
ia tak lagi duduk jauh-jauh seperti biasa. Sebagai gantinya, ia duduk cukup
dekat, lengan kami nyaris bersentuhan.
Mr. Banner sudah masuk kelas - betapa perencanaan waktunya sangat tepat - sambil
menarik kereta beroda dengan TV dan VCR yang kelihatannya berat dan ketinggalan
zaman. Hari menonton film - suasana senang di kelas nyaris nyata.
Mr. Banner memasukkan tape ke VCR dan berjalan ke dinding untuk mematikan lampu.
Kemudian, ketika ruangan sudah gelap, sekonyong-konyong aku terkejut menyadari
Edward duduk sangat dekat denganku. Aku terkesiap oleh aliran listrik yang
melanda sekujur tubuhku, kagum karena kesadaranku akan keberadaannya melebihi
yang sudah-sudah. Dorongan sinting untuk meraih dan menyentuhnya, membelai
wajahnya yang sempurna sekali saja dalam gelap, nyaris membuatku sinting. Aku
menyilangkan lengan erat-erat di dada, jemariku mengepal. Aku kehilangan akal
sehat. Pembukaan film dimulai, cahayanya sekejap menyinari ruangan. Otomatis aku
melirik ke arahnya. Aku tersenyum malu-malu menyadari postur tubuhnya sama
seperti aku, tangannya mengepal di balik lengan, matanya melirikku juga. Aku
langsung memalingkan wajah sebelum kehabisan napas. Benar-benar konyol kalau aku
sampai pening. Jam pelajaran sepertinya sangat panjang. Aku tak bisa berkonsentrasi pada
filmnya - aku bahkan tidak tahu filmnya tentang apa. Sia-sia aku berusaha
tenang, aliran listrik yang sepertinya mengalir dari salah satu bagian tubuhnya
tak pernah berkurang. Sesekali aku membiarkan diriku melirik ke arahnya, tapi
kelihatannya ia juga tak pernah bisa tenang. Hasrat kuat untuk menyentuhnya pun sama sekali tak
berkurang, dan kepalan tanganku semakin erat hingga jari-jariku sakit karenanya.
Aku mendesah lega ketika Mr. Banner menyalakan lampu kembali. Kurenggangkan
dekapan lenganku, melemaskan jemariku yang kaku. Edward tertawa geli di
sebelahku. "Well, tadi itu menarik," gumamnya. Suaranya misterius dan ratapannya hati-hati.
"Hmmm," hanya itu yang bisa kukatakan.
"Yuk?" ajaknya, sambil bangkit dengan lincah.
Aku nyaris mengerang. Waktunya kelas Olahraga. Aku berdiri hati-hati, khawatir
keseimbanganku terpengaruh oleh hasrat baru yang muncul di antara kami.
Tanpa bicara ia mengantarku ke kelas berikut, lalu berhenti di ambang pintu. Aku
berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal. Wajahnya membuatku bingung -
ekspresinya sedih, nyaris terluka, sekaligus begitu menawan hingga keinginan
untuk menyentuhnya kembali menyala-nyala, sama kuatnya seperti sebelumnya. Aku
tak sanggup bicara. Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu, matanya sarat pergumulan, dan dengan lembut ia
membelai pipiku dengan ujung jemarinya. Kulitnya dingin seperti biasa, namun
jejak yang ditinggalkan jari-jarinya terasa hangat di kulitku - seperti
terbakar, tapi aku tidak merasa nyeri.
Ia berbalik tanpa berkata-kata dan langsung meninggalkanku.
Aku berjalan memasuki gimnasium, nyaris melayang-layang dan sempoyongan. Aku
menuju ruang ganti, mengganti pakaian dalam keadaan melamun, hanya samar-samar
menyadari kehadiran orang-orang di sekitarku. Barulah ketika seseorang
menyerahkan raket padaku, aku sepenuhnya sadar. Raket itu tidak berat, namun tak
terasa mantap di tanganku. Kulihat beberapa anak mengamatiku diam-diam. Pelatih
Clapp menyuruh kami berpasang-pasangan.
Untung sisa-sisa kesopanan Mike masih ada; dan ia berdiri di sebelahku.
"Mau berpasangan denganku?"
"Terima kasih, Mike - kau tahu, kau tak perlu melakukannya," aku meringis penuh
penyesalan. "Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu." Ia tersenyum. Kadang-kadang
rasanya mudah sekali untuk menyukai Mike.
Keadaan tidak berjalan lancar. Entah bagaimana aku memukul kepalaku sendiri
dengan raket dan mengenai bahu Mike dengan ayunan yang sama. Aku menghabiskan
sisa pelajaran menyendiri di pojok belakang lapangan, raketnya aman tersimpan.
Meski aku telah mencederainya, Mike bermain cukup baik; ia memenangkan tiga dari
empat babak seorang diri. Ia mengajakku ber-high five yang seharusnya tak perlu
ketika pelatih akhirnya meniup peluit tanda kelas berakhir.
"Jadi," katanya sambil berjalan meninggalkan lapangan.
"Jadi apa?" "Kau jalan dengan Cullen, heh?" tanyanya, nadanya menantang. Perasaan suka yang
tadi kurasakan padanya lenyap.
"Itu bukan urusanmu, Mike," aku mengingatkannya, diam-diam mengutuk Jessica ke
pusat neraka paling panas.
"Aku tidak suka," ia tetap mengatakannya juga.
"Memang tidak perlu," sergahku marah.
"Caranya memandangmu... seolah ingin memakanmu." ia meneruskan, mengabaikan
keberatanku. Kutahan emosiku yang sewaktu-waktu bisa meledak, tapi akhirnya aku toh tertawa
kecil. Ia memandang marah padaku. Aku melambai dan langsung menuju ruang loker.
Aku berpakaian dengan cepat, sesuatu yang lebih hebat mengaduk-aduk perutku,
pertengkaranku dengan Mike sudah jauh dari ingatanku. Aku bertanya-tanya apakah
Edward menungguku, atau apakah aku seharusnya menemuinya di mobil. Bagaimana
kalau saudara-saudaranya ada di sana" Aku merasakan gelombang ketakutan yang
mendalam. Tahukah mereka bahwa aku tahu" Apakah seharusnya aku tahu mereka tahu
bahwa aku tahu, atau tidak"
Ketika beranjak meninggalkan gimnasium, aku baru saja memutuskan akan langsung
pulang tanpa melihat ke lapangan parkir. Tapi kekhawatiranku tidak perlu. Edward
menantiku, bersandar santai di dinding gimnasium. wajahnya yang luar biasa
tampan kini tampak tenang. Ketika aku berjalan ke sisinya, aku merasakan sensasi
lega yang aneh. "Hai, desahku, tersenyum lebar.
"Halo." Senyumannya memesona. "Bagaimana kelas Olahraga-mu?"
Wajahku berubah agak kecewa. "Baik-baik saja." Aku berbohong.
"Benarkah?" tanyanya tidak percaya. Pandangannya bergeser sedikit, melirik ke
belakangku, matanya menyipit. Aku menoleh dan melihat Mike berjalan memunggungi
kami. "Apa?" desakku.
Ia kembali menatapku, masih tegang. "Newton membuatku kesal."
"Kau tidak sedang mendengarkan lagi, kan?" aku terperanjat. Tiba-tiba selera
humorku lenyap. "Bagaimana kepalamu?" tanyanya polos.
"Kau ini bukan main!" Aku berbalik, berjalan cepat ke lapangan parkir, meskipun
tak bermaksud begitu. Dengan mudah Edward menyusul.
"Kau sendiri yang bilang, aku tak pernah melihatmu di kelas Olahraga-aku jadi
penasaran." Ia tidak terdengar menyesal, jadi aku mengabaikannya.
Kami berjalan tanpa bicara - aku diam karena malu dan geram - menuju mobilnya.
Tapi belum sampai di tempat Edward memarkir Volvo-nya, langkahku terhenti -
kerumunan orang, semua cowok, tampak mengerumuninya. Lalu aku tersadar mereka
tidak sedang mengerumuni Volvo, melainkan mobil convertible merah Rosalie,
mereka tampak sangat tertarik. Tak satu pun dari mereka bahkan mendongak ketika
Edward menyelinap di antara mereka dan membuka pintu mobilnya. Aku langsung
masuk ke jok penumpang, juga luput dari perhatian.
"Kelewat mencolok," gumamnya.
"Mobil apa itu?" tanyaku.
"M3." "Aku tidak paham jenis-jenis mobil."
"Itu keluaran BMW" Ia memutar bola matanya, tanpa memandangku, mencoba
memundurkan mobil tanpa menabrak para penggila mobil yang sedang berkerumun itu.
Aku mengangguk - aku pernah mendengarnya.
"Kau masih marah?" tanyanya sambil berhati-hati mengemudikan mobilnya
meninggalkan sekolah. "Jelas." Ia menghela napas. "Maukah kau memaafkanku kalau aku meminta maaf"'
"Mungkin... kalau kau bersungguh-sungguh. Dan kalau kau berjanji tidak
mengulanginya lagi," aku bersikeras.
Sorot matanya sekonyong-konyong berubah tajam. "Bagaimana kalau aku bersungguh-
sungguh, dan aku setuju membiarkanmu mengemudi Sabtu nanti?" ujarnya.
Aku mempertimbangkannya, dan memutuskan barangkali itu tawaran terbaik yang bisa
kudapat. "Setuju," sahutku.
"Kalau begitu aku sangat menyesal telah membuatmu marah." Ketulusan membara di
matanya untuk waktu lama - membuat irama jantungku berantakan - kemudian berubah
jadi santai. "Dan aku akan tiba di depan rumahmu pagi-pagi sekali Sabtu nanti."
"Mmm, rasanya tidak akan terlalu membantu bila Charlie melihat Volvo asing di
halaman rumahnya." Senyumannya kini rendah hati. "Aku tidak berencana membawa mobil."
"Bagaimana-" menyelaku.
"Jangan khawatir soal itu. Aku akan datang, tanpa mobil."
Aku tidak mendesaknya lagi. Aku punya pertanyaan yang lebih penting.
"Apakah sudah tiba saatnya?" tanyaku.
Dahinya berkerut. "Kurasa sudah."
Aku tetap menjaga kesopananku sambil menunggu.
Ia menghentikan mobilnya. Aku mendongak, terkejut - tentu saja kami sudah sampai
di rumah Charlie. Edward memarkir mobilnya di belakang trukku. Bermobil
dengannya akan lebih mudah bila aku hanya membuka mata ketika kami sudah sampai.
Ketika aku menatapnya lagi, ia sedang menatapku, mengamatiku.
"Dan kau masih ingin tahu kenapa kau tak bisa melihatku berburu?" Ia tampak
serius, tapi rasanya aku melihat kejailan di matanya.
"Well" ujarku, "aku terutama ingin tahu bagaimana reaksimu."
"Apa aku membuatmu takut?" Ya, sudah jelas ia sedang melucu.
"Tidak," aku berbohong.
Ia tidak percaya. Aku minta maaf telah membuatmu takut," ia tetap bersikeras sambil tersenyum
simpul, tapi kemudian semua gurauan ini lenyap. "Hanya saja membayangkan kau ada
di sana... sementara kami berburu." Rahangnya mengeras.
"Pasti buruk?" Ia berkata dengan rahang rapat. "Sangat."
"Karena... " Ia menarik napas dalam-dalam dan memandang melewati kaca depan, ke awan-awan
yang menggayut tebal, yang seolah dapat diraih.
"Ketika kami berburu," katanya pelan, dengan enggan, kami, membiarkan indra
mengendalikan diri kami... tanpa banyak menggunakan pikiran. Terutama indra
penciuman kami. Kalau kau berada di dekatku ketika aku kehilangan kendali
seperti itu..." Ia menggeleng, masih menatap awan-awan tebal itu dengan murung.
Aku tetap menjaga ekspresiku, menantikan kelebaran matanya yang beberapa saat
kemudian mengamati reaksiku atas ucapannya. Wajahku tidak menunjukkan apa-apa.
Namun pandangan kami bertemu, dan keheningan itu semakin kental - dan berubah.
Getaran yang kurasakan siang tadi memenuhi atmosfer saat ia menatap mataku tanpa
berkedip. Ketika kepalaku mulai berputar, aku sadar aku tak bernapas. Ketika
akhirnya aku menghela napas gemetar, memecah kekakuan di antara kami, ia
memejamkan mata. "Bella, kurasa kau harus masuk sekarang." Suaranya rendah dan serak, matanya
kembali menatap awan. Kubuka pintunya, dan embusan angin sangat dingin yang menyerbu ke dalam mobil
menjernihkan pikiranku. Khawatir kehilangan keseimbangan, dengan hati-hati aku
keluar dari mobil dan menutupnya tanpa menoleh. Suara jendela diturunkan
membuatku berbalik. "Oh, Bella?" ia memanggilku, suaranya lebih tenang. Ia menjulurkan tubuhnya di
jendela yang terbuka, tersenyum tipis.
"Ya?" "Besok giliranku."
"Giliran apa?" Senyumnya melebar, memamerkan kilauan deretan giginya. "Bertanya padamu."
Lalu ia menghilang, mobilnya melaju cepat sepanjang jalan dan lenyap di belokan
bahkan sebelum aku mengumpulkan kesadaranku. Aku berjalan menuju rumah sambil
tersenyum. Jelas ia berencana menemuiku besok, kalau tak ada halangan.
Malam itu Edward muncul dalam mimpiku, seperti biasa. Bagaimanapun tidurku
berubah. Mimpi itu menimbulkan getaran yang sama seperti yang muncul siangnya,
dan aku berguling kian kemari, gelisah, hingga sering kali terbangun. Menjelang
subuh akhirnya aku jatuh ke dalam tidur yang melelahkan dan tanpa mimpi.
Ketika terbangun aku masih merasa lelah, tapi juga tegang. Aku mengenakan kaus
turtleneck cokelat dan jinsku, sambil mendesah membayangkan tank top dan celana
pendek. Makan pagi berlangsung biasa, tenang seperti yang kuharapkan. Charlie
menggoreng telur untuknya sendiri; aku makan semangkuk sereal. Aku bertanya-
tanya apakah ia lupa mengenai rencanaku Sabtu ini. Ia menjawab pertanyaanku yang
tak sempat terlontar ini ketika beranjak membawa piringnya ke tempat cuci
piring. "Mengenai Sabtu ini...," katanya, berjalan menyeberangi dapur, dan menyalakan
keran. Aku berkata takut-takut, "Ya, Dad?"
"Kau masih kepingin ke Seattle?" tanyanya.
"Begitulah rencanaku." Aku nyengir, berharap ia tidak menyinggungnya sehingga
aku tak perlu berbohong. Ia menuang sabun cuci piring ke piringnya dan menggosok-gosoknya dengan sikat.
"Dan kau yakin takkan sempat ke pesta dansa?"
"Aku tidak akan ke pesta dansa, Dad." Aku menatapnya jengkel.
"Tak adakah yang mengajakmu?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kepeduliannya
dengan berkonsentrasi membilas piring.
Aku berkelit. "Kali ini anak ceweklah yang mengajak."
"Oh." Ia mengeringkan piring dengan wajah cemberut.
Aku merasa kasihan padanya. Pasti sulit menjadi ayah; hidup dalam kekhawatiran
bahwa anak gadisnya akan bertemu cowok yang disukainya, tapi juga
mengkhawatirkan sebaliknya. Betapa ngeri, pikirku bergidik, seandainya Charlie
bahkan sedikit saja mencurigai siapa yang sebenarnya yang kusukai.
Kemudian Charlie pergi sambil melambai, dan aku naik, menyikat gigi, dan
mengumpulkan buku-bukuku. Ketika mendengar mobil patroli Charlie menjauh, aku
hanya bisa bertahan sebentar sekali sebelum mengintip ke luar jendela. Mobil
silver itu sudah ada di sana, menunggu di tempat Charlie biasa parkir. Aku
setengah berlari menuruni tangga, keluar rumah, membayangkan berapa lama
rutinitas aneh ini akan berlanjut. Aku tak pernah menginginkannya berakhir.
Ia menunggu di mobil, sepertinya tidak memerhatikan waktu aku menutup pintu
tanpa repot-repot mengunci. Aku berjalan menuju mobil, berhenti malu-malu
sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tersenyum, tenang - dan seperti
biasa, begitu sempurna dan tampan hingga membuatku tersiksa.
"Selamat pagi." Suaranya lembut. "Bagaimana kabarmu hari ini?" Matanya
menjelajahi wajahku, seolah pertanyaannya lebih daripada sekadar basa-basi.
"Baik, terima kasih." Aku selalu baik-lebih dari baik - setiap kali berada di
dekatnya. Pandangannya melekat pada lingkaran di bawah mataku. "Kau tampak lelah."
"Aku tak bisa tidur," aku mengaku, tanpa sadar menggerai rambutku agar sedikit
menutupi wajah. "Aku juga," godanya sambil menyalakan mesin mobil Aku mulai terbiasa dengan
suara deruman halus itu. Aku yakin deruman trukku akan membuatku kaget, kalau
aku sempat mengendarainya lagi.
Aku tertawa. "Kurasa itu benar. Kurasa aku tidur agak lebih banyak darimu."
"Aku berani bertaruh untuk itu."
"Jadi, apa yang kaulakukan semalam?" tanyaku.
Ia tergelak. "Tidak bisa. Hari ini giliranku bertanya."
"Oh, kau benar. Apa yang ingin kauketahui?" Dahiku mengerut. Aku tak bisa
membayangkan apa pun tentangku yang bisa membuatnya tertarik.
"Apa warna kesukaanmu?" tanyanya, raut wajahnya serius.
Aku menggerak-gerakkan mataku. "Setiap hari berubah-ubah."
"Kalau hari ini?" Ia masih tenang.
"Barangkali cokelat." Aku biasa berpakaian sesuai dengan suasana hatiku.
Ia mendengus, ekspresi seriusnya berubah. "Cokelat?" tanyanya ragu-ragu.
"Tentu. Warna cokelat itu hangat. Aku rindu cokelat. Semua yang seharusnya
berwarna cokelat - batang pohon, bebatuan, debu - di sini semua itu dilapisi
warna hijau," keluhku.
Ia sepertinya terkesima mendengar celotehanku. Sesaat ia berpikir, menatap
mataku. "Kau benar," katanya serius. "Warna cokelat itu hangat." Tangannya menyentuh
lembut, tapi masih sedikit ragu-ragu, merapikan rambutku ke balik bahu.
Kami sudah tiba di sekolah. Ia berbalik menghadapku sambil memarkir mobil.
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Musik apa yang kaumainkan di CD player-mu saat ini?" tanyanya, wajahnya muram,
seolah sedang menginterogasi pembunuh.
Aku jadi sadar tak pernah memindahkan CD yang diberikan Phil. Ketika kusebut
nama bandnya, ia tersenyum mengejek, tatapan aneh terpancar di matanya. Ia
membuka laci di bawah CD player mobilnya, mengeluarkan satu dari tiga puluh atau
lebih CD yang diselipkan dalam satu wadah sempit dan menyerahkannya padaku.
"Debussy, lalu ini?" Satu alisnya terangkat.
Itu CD yang sama. Aku mengamati sampulnya yang tak asing lagi, sambil terus
menunduk. Sepanjang hari itu berlanjut seperti itu. Sambil mengantarku ke kelas bahasa
Inggris, ketika menemuiku seusai kelas bahasa Spanyol, sepanjang waktu makan
siang, ia terus-menerus menanyaiku detail-detail remeh dalam hidupku. Film yang
kusuka dan tidak kusuka, beberapa tempat yang pernah kukunjungi, dan tempat-
tempat yang ingin kukunjungi, dan mengenai buku-buku - untuk yang satu ini tak
ada habisnya. Aku tidak bisa mengingat terakhir kali aku bicara sebanyak itu. Sering kali aku
tersadar, pasti aku telah membuatnya bosan. Tapi ia kelihatannya menyerap semua
informasi yang kusampaikan, dan rentetan pertanyaannya yang bertubi-tubi
memaksaku meneruskannya. Kebanyakan pertanyaannya mudah, hanya sedikit sekali
yang membuat wajahku merona malu. Tapi ketika wajahku akhirnya toh merah padam,
ia malah mulai melontarkan rentetan pertanyaan baru lagi.
Seperti ketika ia menanyakan batu kesukaanku, dan aku langsung menjawab topaz
tanpa berpikir. Ia menderaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu begitu cepat
sehingga aku merasa sedang menjalani psikotes saat km langsung menyebutkan kata
pertama yang terlintas dalam benakmu. Aku yakin ia pasti akan melanjutkan daftar
pertanyaan dalam benaknya, kalau saja wajahku tidak merah padam. Wajahku memerah
karena, selama ini batu kesukaanku adalah garnet. Ketika memandang matanya yang
berwarna topaz, mustahil aku tidak ingat alasannya mengapa aku kini menyukai
topaz. Dan, tentu saja, ia takkan menyerah hingga aku mengakui mengapa aku jadi
malu. "Katakan," akhirnya ia memerintahkan setelah bujukannya tak berhasil - gagal
hanya karena aku berhasil mengelak menatap wajahnya.
"Itu warna matamu hari ini," desahku, pasrah, memandangi tanganku yang bermain-
main dengan rambutku. "Kurasa kalau kau menanyakannya dua minggu lalu, aku akan
bilang onyx." Aku mengatakan terlalu banyak dari yang seharusnya, dan aku
khawatir ini akan menimbulkan kemarahan aneh yang muncul setiap kali aku salah
bicara dan mengungkapkan obsesiku terlalu jelas.
Tapi ia terdiam hanya sedetik.
"Kau suka bunga apa?" desaknya lagi.
Aku menghela napas lega, dan terus menjawab pertanyaannya.
Kelas Biologi menjadi masalah lagi. Edward terus melontarkan pertanyaan sampai
Mr. Banner memasuki kelas, sambil menarik kereta audiovisual lagi. Ketika guru
itu mendekati panel lampu, aku melihat Edward menggeser kursinya agak sedikit
jauh. Tapi itu tidak membantu. Begitu ruangan gelap, percikan listrik itu muncul
lagi, hasrat yang sama untuk mengulurkan tangan dan menyentuh kulitnya yang
dingin seperti kemarin telah kembali.
Aku mencondongkan tubuh ke meja, meletakkan dagu di atas lengan yang kulipat,
jemariku yang tersembunyi meremas ujung meja saat aku berusaha mengabaikan
hasrat konyol yang membuatku resah. Aku tak melihat ke arahnya, khawatir ia juga
sedang memandangku, dan itu hanya akan membuatku sulit mengendalikan diri. Aku
mencoba menonton dengan sungguh-sungguh, namun pada akhir pelajaran aku tak tahu
apa yang baru saja kusaksikan. Aku menghela napas lega ketika Mr. Banner
menyalakan lampu kembali, akhirnya memandang Edward; ia sedang menatapku, sorot
matanya bingung. Tanpa berkata-kata ia bangkit dan diam tak bergerak, menungguku. Kami berjalan
ke gimnasium tanpa bicara, seperti kemarin. Dan seperti kemarin juga ia
menyentuh wajahku tanpa berkata-kata-kali ini dengan punggung tangannya yang
dingin, membelai kening hingga rahangku - sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Pelajaran Olahraga berlalu cepat ketika aku menyaksikan Mike berlaga dalam nomor
tunggal bulu tangkis. Ia tidak berbicara padaku hari ini, entah karena
ekspresiku yang hampa atau karena ia masih marah karena pertengkaran kami
kemarin. Di suatu tempat, di sudut benakku, aku merasa bersalah. Tapi aku tak
bisa berkonsentrasi padanya.
Setelah itu aku langsung mengganti pakaian, gelisah, tahu semakin cepat aku
bergerak, semakin cepat pula aku akan menemui Edward. Tekanan itu membuatku
lebih tegang daripada biasanya, tapi akhirnya aku melangkah keluar, merasakan
kelegaan yang sama ketika melihatnya berdiri di sana. Senyum lebar mengembang di
wajahku. Ia balas tersenyum sebelum mengamatiku lebih dalam.
Pertanyaan-pertanyaannya berbeda sekarang, tak mudah untuk dijawab. Ia ingin
tahu apa yang kurindukan dari rumahku, ia memaksaku menggambarkan apa saja yang
tidak biasa baginya, berjam-jam kami duduk di depan rumah Charlie, langit mulai
gelap dan hujan sekonyong-konyong turun membasahi sekeliling kami.
Aku berusaha menggambarkan hal-hal abstrak seperti aroma antiseptik-pahit, agak
lengket, tapi masih menyenangkan - bunyi cicada yang melengking dan lantang,
pepohonan kering yang rapuh, luasnya langit, warna biru dan putih membentang
sepanjang kaki langit, nyaris tak terselingi pegunungan-pegunungan rendah dengan
bebatuan vulkanik ungu. Hal tersulit yang harus kujelaskan adalah mengapa itu
semua begitu indah bagiku - untuk menjelaskan keindahan yang tidak ada
hubungannya dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang sering tampak sekarat, keindahan
yang lebih berkaitan dengan lekuk tanah yang menonjol, dengan lembah-lembah yang
menekuk dangkal di antara bukit-bukit berbatu, dan cara mereka menggapai
matahari. Aku sadar menggunakan kedua tanganku ketika menggambarkan semua itu
padanya. Pertanyaannya yang sederhana namun menyelidik membuatku terus bicara dengan
bebasnya. Dalam cahaya temaram badai, aku dibuatnya lupa untuk merasa malu
karena telah memonopoli pembicaraan. Akhirnya, ketika aku selesai
mendeskripsikan kamarku yang berantakan di rumah, bukannya melontarkan
pertanyaan lain, ia malah terdiam.
"Kau sudah selesai?" tanyaku lega.
"Hampir selesai pun tidak - tapi ayahmu sebentar lagi pulang."
"Charlie!" Aku tiba-tiba menyadari keberadaannya, dan mendesah. Aku menerawang
ke langit yang gelap karena derasnya hujan, tapi aku tak tahu jam berapa
sekarang. "Jam berapa sekarang?" tanyaku sambil melihat jam. Aku kaget melihat waktu -
Charlie sedang dalam perjalanan pulang sekarang.
"Sudah twilight - rembang petang," gumam Edward memandang langit barat yang
gelap tertutup awan. Nada suaranya melamun, seolah pikirannya jauh entah di
mana. Aku menatapnya ketika ia memandang ke luar kaca depan mobil.
Aku masih menatapnya ketika matanya tiba-tiba kembali menatapku.
"Ini saat paling aman bagi kami," katanya, menjawab tatapanku yang bertanya-
tanya. "Saat termudah, tapi juga yang paling sedih, mengingat... ini adalah
akhir satu hari lain, kembalinya sang malam. Kegelapan begitu mudah ditebak,
bukankah begitu?" Ia tersenyum muram.
"Aku suka malam. Tanpa kegelapan kita takkan pernah melihat bintang." Aku
mengerutkan kening. "Meski di sini tak banyak yang bisa dilihat."
Ia tertawa, dan suasana di tengah-tengah kami tiba-tiba ceria lagi.
"Charlie akan sampai sebentar lagi. Jadi, kecuali kau mau memberitahunya kau
akan bersamaku Sabtu nanti... " Alisnya naik sebelah.
"Terima kasih, tapi tidak." Kukumpulkan buku-bukuku, tubuhku kaku karena terlalu
lama duduk. "Jadi, kalau begitu besok giliranku?"
"Tentu saja tidak!" Wajah marahnya menggodaku. "Aku sudah bilang belum selesai,
kan?" "Ada apa lagi sih?"
"Kau akan tahu besok." Ia mencondongkan tubuh meraih pegangan pintuku dan
membukakannya. Kedekatannya yang tiba-tiba membuat jantungku berdetak liar.
Tapi tangannya membeku di pegangan pintu. "Kacau," gumamnya.
"Apa?" aku terkejut melihat rahangnya terkunci erat, tatapannya gelisah.
Ia melirikku sebentar. "Masalah lagi," katanya muram.
Ia membuka pintu itu dalam gerakan luwes, lalu bergerak nyaris menarik dirinya
menjauh dariku. Lampu sorot yang menembus hujan menarik perhatianku. Sebuah mobil menepi dan
berhenti hanya beberapa meter di depan kami.
"Charlie sudah dekat," ia mengingatkanku, memandang menembus hujan lebat yang
mengguyur mobil tadi. Meski bingung dan penasaran, aku langsung melompat keluar. Hujan terdengar lebih
keras ketika membasahi jaketku.
Aku mencoba mengenali sosok yang duduk di jok depan mobil tadi, tapi terlalu
gelap. Aku bisa melihat sosok Edward dalam sorotan lampu mobil yang baru saja
datang tadi; ia masih menatap ke depan, tatapannya terpaku pada sesuatu atau
seseorang yang tak bisa kulihat. Ekspresinya aneh, antara putus asa dan
menantang. Kemudian ia menyalakan mesin mobilnya, bannya berdecit di pelataran yang basah.
Dalam sekejap Volvo itu lenyap dari pandangan.
"Hei, Bella," suara serak yang tak asing lagi memanggilku dari jok pengemudi
mobil hitam kecil itu. "Jacob?" tanyaku, menyipitkan mata menembus hujan. Mobil patroli Charlie muncul
dari belokan jalan, lampunya menyinari mobil di depanku.
Jacob sudah keluar dari mobil, senyumnya yang lebar tampak nyata meski saat itu
gelap. Di jok penumpang duduk seseorang yang jauh lebih tua, pria bertubuh kekar
dengan wajah yang kuingat-wajah yang berkeriput, pipi yang kendur, dengan kulit
keriput bagai jaket kulit tua. Dan sepasang mata yang tak disangka-sangka sangat
familier, mata hitam yang tampak terlalu muda dan sekaligus kuno untuk sebentuk
wajahnya yang lebar. Itu ayah Jacob, Billy Black. Aku langsung mengenalinya,
meski sudah lebih dari lima tahun sejak terkir kali aku melihatnya. Aku nyaris
lupa namanya jika Charlie tidak menyebutnya pada hari pertama kedatanganku di
sini. Ia memandangku, mengamati wajahku, jadi aku tersenyum malu-malu padanya.
Matanya lebar, seolah-olah ngeri, hidungnya kembang-kempis. Senyumku memudar.
Masalah lagi, seperti kata Edward.
Billy masih menatapku lekat-lekat, waswas. Diam-diam aku mengerang. Apakah Billy
mengenali Edward semudah itu" Mungkinkah ia benar-benar memercayai legenda
mustahil yang diceritakan anaknya"
Jawabannya tampak jelas di mata Billy. Ya. Ya, ia percaya.
12. PENYEIMBANGAN "BILLY!" seru Charlie begitu ia keluar dari mobil.
Aku berbalik menuju rumah, memberi isyarat pada Jacob untuk mendekat, sambil
meraih-raih ke bawah serambi. Aku mendengar Charlie menyambut mereka lantang di
belakangku. "Tadinya aku mau berpura-pura tidak melihatmu di belakang kemudi, Jake,"
protesnya. "Kami mendapat izin meninggalkan reservasi," kata Jacob, sementara aku membuka
pintu dan menyalakan lampu teras.
"Ya, tentu saja," Charlie tertawa.
"Bagaimanapun aku harus mampir kemari." Aku mengenali suara Billy yang
menggelegar itu dengan mudah, meski sudah bertahun-tahun. Suaranya membuatku
tiba-tiba merasa lebih muda, masih kanak-kanak.
Aku masuk, membiarkan pintu terbuka dan menyalakan semua lampu sebelum
menanggalkan jaket. Lalu aku berdiri di ambang pintu, dengan waswas memerhatikan
Charlie dan Jacob membantu Billy keluar dari mobil dan mendudukkannya di kursi
roda. Aku menepi memberi jalan ketika ketiganya bergegas masuk, menghindari hujan.
"Ini kejutan," kata Charlie.
"Sudah terlalu lama," sahut Billy. "Kuharap kami datang di waktu yang tepat."
Matanya yang gelap bersinar-sinar menatapku, ekspresinya tak dapat ditebak.
"Tidak masalah. Kuharap kau bisa tinggal untuk menyaksikan pertandingan."
Jacob nyengir. "Kurasa itulah rencananya - TV kami rusak sejak minggu lalu."
Billy menatap anaknya dengan pandangan menegur. "Dan tentu saja Jacob sudah tak
sabar ingin bertemu Bella lagi," ia menambahkan.
Jacob cemberut dan menunduk sementara aku mencoba mengenyahkan perasaan menyesal
yang menyelimutiku. Barangkali rayuanku di pantai tempo hari kelewat meyakinkan.
"Kalian lapar?" tanyaku, berbalik menuju dapur. Aku ingin sekali melarikan diri
dari tatapan Billy yang penasaran.
"Tidak, kami sudah makan sebelum kemari," sahur Jacob.
"Bagaimana denganmu, Charlie?" aku menengok sambil meluncur ke sudut.
"Tentu saja," balasnya, suaranya terdengar berpindah ke ruang depan, ke TV. Bisa
kudengar suara kursi roda Billy menyusul di belakangnya.
Sandwich panggang keju sudah siap di wajan dan aku sedang mengiris tomat ketika
merasakan seseorang di belakangku.
"Jadi, bagaimana keadaanmu?" tanya Jacob.
"Baik." Aku tersenyum. Semangatnya sangat sulit ditolak. "Bagaimana denganmu"
Apakah mobilmu sudah selesai?"
"Belum." Keningnya berkerut. "Aku masih perlu beberapa bagian lainnya. Kami
meminjam mobil itu." Ia menunjuk pekarangan dengan ibu jarinya.
"Maaf. Aku belum melihat... apa yang kaucari itu?"
"Master cylinder." Ia nyengir. "Apakah trukmu bermasalah?" lanjutnya tiba-tiba.
"Tidak." "Oh. Aku hanya penasaran sebab kau tidak menggunakannya."
Aku menunduk menatap wajan, mengintip bagian bawah sandwich-nya. "Seorang teman
memberiku tumpangan."
"Tumpangan yang keren." Suara Jacob terkagum-kagum. "Tapi aku tidak mengenali
pemiliknya. Kusangka aku kenal hampir semua anak di sini."
Aku mengangguk lemah sambil terus menunduk, membalikkan sandwich.
"Sepertinya ayahku mengenalinya."
"Jacob, bisakah kau mengambilkan piring" Ada di lemari di atas tempat cuci
piring." "Tentu saja." Ia mengambil piring tanpa mengatakan apa-apa. Kuharap ia tidak meneruskan topik
itu lagi. "Jadi, siapa dia?" tanyanya, menaruh dua piring di konter di sebelahku.
Akhirnya aku mengalah. "Edward Cullen."
Yang membuatku terkejut, ia tertawa. Aku mendongak memandangnya. Ia kelihatan
sedikit malu. "Kurasa itu menjelaskan semuanya," katanya. "Kenapa ayahku bersikap sangat
aneh." "Benar sekali." Aku berpura-pura polos. "Dia tidak menyukai keluarga Cullen."
"Dasar orang tua yang percaya takhayul," gumam Jacob.
"Dia tidak bakal bilang apa-apa pada Charlie, kan?" Aku tak bisa menahannya,
kata-kata itu keluar dalam bisikan.
Jacob menatapku sesaat, dan aku tak bisa menebak ekspresi yang terpancar di
matanya yang gelap. "Aku sih tidak yakin dia bakal bilang," akhirnya ia
menjawab. "Kurasa Charlie sudah membuatnya mengerti terakhir kali mereka
bertemu. Mereka tidak banyak bercakap-cakap sejak-boleh dibilang malam ini
semacam reuni, kurasa. Menurutku dia takkan mengungkitnya lagi."
"Oh," kataku, mencoba terdengar tak peduli.
Aku tetap tinggal di ruang depan setelah mengantar makanan kepada Charlie,
berpura-pura menonton pertandingan sementara Jacob terus berceloteh. Sebenarnya
aku mendengarkan pembicaraan pria-pria dewasa itu, memerhatikan tanda apa pun
yang menunjukkan Billy akan menginterogasiku, mencoba mencari jalan untuk
menghentikannya bila ia memulainya.
Sungguh malam yang panjang. PR-ku banyak yang belum selesai, tapi aku khawatir
meninggalkan Billy sendirian bersama Charlie. Akhirnya pertandingannya selesai.
"Apakah kau dan teman-temanmu akan ke pantai lagi?" tanya Jacob sambil mendorong
ayahnya ke pintu. "Entahlah," sahutku menarik diri.
"Tadi itu menyenangkan, Charlie," kata Billy.
"Datanglah untuk menonton pertandingan berikutnya," ujar Charlie membesarkan
hati Billy. "Tentu, tentu," timpal Billy. "Kami akan datang. Selamat tidur." Ketika
tatapannya beralih padaku, senyumnya memudar. "Jaga dirimu, Bella," tambahnya
serius. "Terima kasih," gumamku, lalu berpaling.
Aku bergegas menuju tangga sementara Charlie melambaikan tangannya di ambang
pintu. "Bella, tunggu," serunya.
Hatiku mencelos. Apakah Billy sempat mengatakan sesuatu sebelum aku bergabung
dengan mereka di ruang tamu"
Tapi Charlie tampak tenang, di wajahnya masih tersisa senyuman dari kunjungan
yang tak disangka-sangka tadi.
"Kita belum sempat mengobrol malam ini. Bagaimana harimu?"
"Baik," aku menyahut enggan, satu kakiku pada undakan pertama, benakku
memikirkan informasi mana yang bisa kuceritakan pada Charlie. "Tim bulu
tangkisku memenangkan empat nomor pertandingan yang digelar."
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wow, aku tak tahu kau bisa main bulu tangkis."
"Well, sebenarnya sih tidak, tapi partnerku sangat hebat," aku mengakuinya.
"Siapa?" tanyanya, nadanya tertarik.
"Mmm... Mike Newton," sahutku ogah-ogahan.
"Oh ya - kau pernah bilang kau berteman dengan si Newton itu." Suaranya penuh
semangat. "Keluarganya baik." Ia terkagum-kagum sebentar. "Kenapa kau tidak
mengajaknya ke pesta dansa akhir pekan ini?"
"Dad!" erangku. "Dia berkencan dengan Jessica, temanku. Lagi pula kau kan tahu
aku tidak bisa berdansa."
"Oh iya," gumamnya. Lalu ia tersenyum menyesal padaku. "Jadi kurasa bagus bagimu
untuk pergi Sabtu nanti... Aku berencana pergi memancing bersama teman-temanku
sepulang kerja. Cuacanya seharusnya cukup hangat. Tapi kalau kau ingin menunda
perjalananmu hingga ada yang bisa menemanimu, aku akan di rumah saja. Aku tahu
aku terlalu sering meninggalkanmu sendirian di rumah."
"Dad, kau oke." Aku tersenyum, berharap kelegaanku tidak kentara. "Aku tak
pernah keberatan tinggal di rumah sendirian - kita kan mirip." Aku mengerling
padanya dan ia tersenyum hingga sudut-sudut matanya mengerut.
Tidurku lebih pulas malam itu, kelewat lelah untuk bermimpi. Ketika aku
terbangun di pagi hari yang kelabu, suasana hatiku bahagia. Malam yang
menegangkan bersama Bily dan Jacob kelihatannya tidak terlalu berbahaya lagi
sekarang; jadi kuputuskan untuk melupakan semuanya. Aku mendapati diriku bersiul
ketika menjepit rambutku, dan lagi ketika aku melompat-melompat menuruni tangga.
Charlie memerhatikan. "Pagi ini kau ceria sekali," sahutnya saat sarapan.
Aku mengangkat bahu. "Ini Jumat."
Aku bergegas, sehingga begitu Charlie berangkat aku sudah siap. Tasku sudah
siap, sepatu sudah kukenakan, gigi sudah bersih, namun meskipun aku bergegas ke
pintu begitu yakin Charlie sudah hilang dari pandangan, ternyata Edward lebih
cepat dariku. Ia sedang menanti di mobilnya yang mengilap, jendelanya terbuka,
mesinnya mati. Kali ini aku tidak ragu-ragu lagi, langsung masuk ke jok penumpang, supaya lebih
cepat memandang wajahnya. Ia tersenyum lebar padaku, membuat napas dan jantungku
berhenti. Aku tak bisa membayangkan malaikat bisa lebih indah daripada dia. Tak
ada yang bisa menandinginya dalam hal apa pun.
"Bagaimana tidurmu semalam?" tanyanya. Aku bertanya-tanya apakah ia menyadari,
betapa menggoda suaranya.
"Baik. Bagaimana dengan malammu?"
"Menyenangkan."
Senyumannya memukau; aku merasa ada humor dalamnya yang tak berhasil kutangkap.
"Boleh aku bertanya apa saja yang kaulakukan?" tanyaku.
"Tidak." Ia nyengir. "Hari ini masih milikku!"
Hari ini ia ingin tahu tentang orang-orang dalam hidupku: lebih banyak tentang
Renee, hobinya, apa yang kami lakukan bersama-sama waktu senggang. Kemudian
satu-satunya nenek yang kutahu, beberapa teman sekolah - membuatku malu ketika
ia menanyakan tentang cowok-cowok yang berkencan denganku. Aku lega karena tak
pernah benar-benar berkencan, jadi topik yang satu itu tidak berlangsung lama.
Ia, sama seperti Jessica dan Angela, terkejut mendengar sejarah kehidupan
percintaanku yang sama sekali nol.
"Jadi kau tak pernah bertemu orang-orang yang ingin kaujumpai?" tanyanya serius,
membuatku bertanya-tanya apa yang dipikirkannya.
Dengan enggan aku mengakuinya. "Tidak di Phoenix." Bibirnya terkatup erat.
Saat ini kami di kafetaria. Hari berlalu cepat dalam kelebatan yang segera
berubah jadi rutinitas. Aku memanfaatkan diamnya untuk menggigit bagelku.
"Aku seharusnya membiarkanmu mengemudi sendiri hari ini," katanya, sama sekali
tak ada hubungannya, sementara aku mengunyah.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku akan pergi dengan Alice setelah makan siang."
"Oh." Mataku mengerjap, bingung dan kecewa. "Tidak masalah, berjalan kaki tidak
terlalu jauh kok." Ia menatapku tidak sabaran. "Aku takkan membiarkanmu pulang jalan kaki. Kami
akan mengambil trukmu dan meninggalkannya di parkiran "
"Aku tidak membawa kuncinya," desahku. "Aku benar-benar tidak keberatan berjalan
kaki." Yang membuatku keberatan adalah kehilangan waktu bersamanya.
Ia menggeleng. "Trukmu akan ada di sini, kuncinya tergantung di lubang starter -
kecuali kau khawatir seseorang mengambilnya." Ia menertawai perkataannya
sendiri. "Baiklah," aku menyetujuinya, bibirku merengut. Aku cukup yakin kunciku ada di
kantong jins yang kupakai hari Rabu, di tumpukan pakaian di ruang cuci. Bahkan
kalaupun ia menerobos masuk ke rumahku, atau apa pun
yang direncanakannya, ia takkan menemukannya. Ia sepertinya merasa tertantang
dengan jawabanku tadi. Ia nyengir, terlalu percaya diri.
"Jadi, kau mau ke mana?" tanyaku sewajar mungkin.
"Berburu," jawabnya dingin. "Kalau akan berduaan denganmu besok, aku akan
melakukan tindakan pencegahan apa pun yang kubisa." Wajahnya bertambah muram...
dan memelas. "Kau boleh membatalkannya kapan saja, kau tahu itu."
Aku menunduk, khawatir akan tatapannya yang persuasif. Aku menolak merasa takut
padanya, tak peduli betapa nyata bahaya yang mungkin menghadang. Itu tidak
masalah, ulangku dalam benakku.
"Tidak," bisikku, balas menatapnya. "Aku tak bisa."
"Barangkali kau benar," gumamnya putus asa. Warna matanya berubah gelap ketika
kuperhatikan. Aku mengubah topik kami. "Jam berapa kita ketemu besok?" tanyaku, sudah merasa
sedih memikirkan ia bakal pergi.
"Tergantung... itu kan Sabtu, tidakkah kau ingin bangun lebih siang?" ia
menawarkan. "Tidak," aku menjawab terlalu cepat. Ia menahan senyum.
"Kalau begitu waktu yang sama seperti biasa." katanya. Charlie akan ada di
rumah?" "Tidak, besok dia pergi mancing," ujarku membayangkan betapa semuanya berjalan
lancar. Suaranya berubah tajam. "Dan kalau kau tidak pulang, apa yang akan
dipikirkannya?" "Aku tidak tahu," jawabku tenang. "Dia tahu aku berencana mencuci pakaian.
Barangkali dipikirnya aku terjatuh ke dalam mesin cuci."
Ia memandangku marah dan aku membalasnya. Kemarahannya jauh lebih mengesankan
daripada kemarahanku. "Kau akan berburu apa malam ini?" tanyaku akhirnya, ketika yakin telah kalah
dalam adu tatapan marah. "Apa saja yang kami temukan. Kami tidak pergi jauh-jauh." Ia tampak heran dengan
sikapku yang biasa saja menanggapi rahasia gelapnya.
"Kenapa kau pergi dengan Alice?" tanyaku.
"Alice yang paling... mendukung." Dahinya mengerut ketika mengatakan itu.
"Dan yang lain?" tanyaku hati-hati. "Mereka apa?"
Sesaat ia mengernyitkan alis. "Bisa dibilang tidak percaya."
Aku langsung menoleh ke arah keluarganya. Mereka duduk, memandang ke berbagai
arah, persis seperti ketika aku pertama kali melihat mereka. Hanya saja sekarang
mereka berempat, saudara laki-laki mereka yang menawan dan berambut perunggu
duduk berseberangan denganku, matanya yang keemasan tampak gelisah.
"Mereka tidak menyukaiku," aku mencoba menebak.
"Bukan itu," protesnya, tapi tatapannya kelewat polos. "Mereka tidak mengerti
kenapa aku tak bisa meninggalkanmu."
Aku meringis. "Untuk masalah ini, aku juga tidak mengerti."
Edward menggeleng pelan, matanya memandangi langit-langit sebelum menatapku
lagi. "Sudah kubilang - kau sendiri tidak memahami dirimu. Kau tidak seperti
orang-orang yang pernah kukenal. Kau membuatku kagum."
Aku memandang marah padanya, karena yakin ia sedang menggodaku sekarang.
Ia tersenyum begitu memahami ekspresiku. "Dengan keunggulan yang kumiliki,"
gumamnya, menyentuh dahinya dengan hati-hati, "aku lebih baik daripada manusia
umumnya. Manusia bisa ditebak. Tapi kau... kau tak pernah seperti yang kuduga.
Kau selalu membuatku terkejut."
Aku berpaling, mataku kembali mengamati keluarganya, merasa malu dan tidak puas.
Kata-katanya membuatku merasa seperti kelinci percobaan. Aku ingin menertawai
diriku sendiri karena mengharapkan yang lain.
"Bagian itu cukup mudah untuk dijelaskan," lanjutnya. Aku merasakan tatapannya
di wajahku, tapi aku belum bisa menatapnya, khawatir ia bisa saja membaca
kekecewaan di mataku. Tapi ada lagi... dan tak mudah menjelaskannya dengan kata-
kata-" Aku masih memandangi keluarga Cullen ketika ia berbicara. Tiba-tiba Rosalie,
saudaranya yang berambut pirang dan luar biasa cantik, berpaling dan menatapku.
Tidak, bukan melihat-melainkan menatap marah dengan tatapan gelap dan dingin.
Aku ingin berpaling, tapi tatapannya memerangkapku sampai akhirnya Edward
menghentikan kata-katanya dan menggeram marah. Suaranya nyaris seperti desisan.
Rosalie membuang muka. dan aku lega karena terbebas dari tatapannya. Aku kembali
menatap Edward - dan tahu
ia melihat perasaan bingung dan takut yang memenuhi mataku.
Wajahnya tegang ketika menjelaskan. "Maaf soal itu. Dia hanya khawatir.
Begini... bukan hanya aku yang bakal terancam, kalau setelah menghabiskan begitu
banyak waktu denganmu terang-terangan... " Ia menunduk.
"Kalau?" "Kalau ini berakhir... dengan buruk." Ia menaruh kepalanya di antara kedua
tangannya seperti yang dilakukannya malam itu di Port Angeles. Kesedihannya
sangat nyata; ingin rasanya aku menenangkannya, tapi aku tak tahu bagaimana
caranya. Kupaksakan tanganku meraihnya; dengan cepat, meski akhirnya kujatuhkan
lagi ke meja, khawatir sentuhanku malah memperburuk keadaan. Perlahan aku
menyadari kata-katanya seharusnya membuatku takut. Aku menunggu rasa takut itu,
tapi sepertinya yang dapat kurasakan hanya perasaan pedih karena rasa sakit yang
dialaminya. Dan perasaan frustrasi-frustrasi karena Rosalie telah menyela apa pun itu yang
hendak dikatakannya. Aku tak tahu bagaimana caranya membuatnya membicarakannya
lagi. Ia masih memegangi kepalanya.
Aku berusaha bicara sewajar mungkin. "Kau harus pergi sekarang?"
"Ya." Ia mengangkat wajah; sesaat wajahnya serius, kemudian suasana hatinya
berubah dan ia tersenyum. "Mungkin ini yang terbaik. Kita masih punya lima belas
menit menonton film menyedihkan itu di kelas Biologi - aku tidak yakin bisa
melakukannya lagi." Aku hendak beranjak. Alice - rambut gelapnya yang pendek berpotongan lancip
membingkai wajahnya yang seperti peri kecil-tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakang Edward. Posturnya
ramping, elegan meski tidak bergerak.
Edward menyapanya tanpa memalingkan pandangan dariku. "Alice."
"Edward." balasnya, suara soprano tingginya nyaris sama menariknya seperti suara
Edward. "Alice, ini Bella - Bella, ini Alice," ia memperkenalkan kami, menunjuk kami
sesantai mungkin, senyum sinis mengembang di wajahnya.
"Halo, Bella." Warna matanya yang seperti batu obsidian tak bisa ditebak, tapi
senyumnya bersahabat. "Senang akhirnya bisa berkenalan."
Edward melontarkan pandangan misterius ke arahnya.
"Hai, Alice," sapaku malu-malu.
"Sudah siap?" tanyanya pada Edward.
Suaranya dingin. "Hampir. Kita ketemu di mobil."
Tanpa mengucapkan apa-apa Alice meninggalkan kami; langkahnya sangat gemulai,
begitu anggun sehingga membuatku iri.
"Haruskah aku mengucapkan 'Selamat bersenang-senang', atau kalimat itu tidak
tepat?" tanyaku, berbalik menghadap Edward lagi.
"Tidak, selamat bersenang-senang' sudah cukup." Ia tersenyum.
"Kalau begitu, selamat bersenang-senang." Aku berusaha terdengar tulus. Tentu
saja aku tidak bisa menipunya.
"Akan kucoba." Ia masih tersenyum. "Dan kau, jagalah dirimu, kumohon."
"Aman di Forks - itu sih gampang."
"Bagimu memang gampang." Rahangnya mengeras. "Janji."
"Aku janji akan menjaga diri," ulangku. "Aku akan mencuci malam ini - pasti
bakal penuh bahaya."
"Jangan terjatuh," ejeknya.
"Lihat saja." Ia bangkit berdiri, aku juga.
"Sampai ketemu besok," desahku.
"Sepertinya bakalan lama bagimu, ya kan?" godanya.
Aku mengangguk sedih. "Aku akan datang esok pagi," ia berjanji, tersenyum lebar. Ia mengulurkan
tangan, menyentuh wajahku, mengusap lembut pipiku. Lalu ia berbalik dan pergi.
Aku memandanginya hingga ia tak terlihat lagi.
Aku amat tergoda untuk membolos selama sisa pelajaran hari itu, setidaknya
pelajaran Olahraga, tapi insting menghentikan niatku. Aku tahu kalau aku
menghilang sekarang, Mike dan yang lain pasti menduga aku pergi dengan Edward.
Dan Edward sendiri mengkhawatirkan kebersamaan kami yang terang-terangan seperti
ini... kalau saja semuanya tidak berjalan semestinya. Aku mencoba mengenyahkan
keinginanku itu, dan lebih berkonsentrasi membuat segalanya lebih aman baginya.
Dengan sendirinya aku tahu - dan rasanya ia juga - bahwa esok adalah saat yang
penting. Hubungan kami tak bisa berlanjut secara seimbang, seperti layaknya
hubungan di ujung tanduk. Kami akan terjatuh ke satu sisi atau sisi lain,
tergantung sepenuhnya pada keputusannya, atau instingnya. Keputusanku sendiri
sudah bulat, bahkan sebelum aku memutuskannya dengan sadar, dan aku bertekad
menjalankannya. Karena tak ada yang lebih menakutkan buatku, lebih menyakitkan,
daripada menjauhkan diriku darinya. Itu sesuatu yang mustahil.
Aku pergi ke kelas dengan patuh. Aku tak bisa mengatakan sejujurnya apa yang
terjadi di kelas Biologi; pikiranku kelewat sibuk memikirkan hari esok. Di
Olahraga, Mike mengajakku bicara lagi; berharap aku bersenang-senang di Seattle.
Hati-hati kujelaskan bahwa aku tidak jadi pergi, khawatir trukku takkan sanggup.
"Kau akan ke pesta dansa dengan Cullen?" tanyanya, tiba-tiba marah.
"Tidak, aku sama sekali tidak akan ke pesta dansa."
"Lalu, apa yang akan kaulakukan?" tanyanya, kelewat ingin tahu.
Keinginanku paling besar adalah menyuruhnya tidak ikut campur. Tapi sebagai
gantinya dengan cerdik aku berbohong.
"Cucian, dan aku harus belajar untuk ujian Trigono atau nilaiku bakal jelek."
"Apakah Cullen membantumu belajar?"
"Edward" aku menekankan, "tidak akan membantuku belajar. Dia pergi entah ke mana
akhir pekan ini." Kebohongan itu mengalir lebih alami dari biasanya, dan ini
membuatku terkejut. "Oh," katanya kembali bersemangat. "Kau tahu, kau bisa datang ke pesta bersama
kami - pasti keren. Kami semua akan berdansa denganmu," janjinya.
Bayangan wajah Jessica mengubah nada suaraku lebih tajam dari seharusnya.
"Aku tidak akan pergi ke pesta dansa, Mike, oke?"
"Ya sudah." Ia marah lagi. "Aku hanya menawarkan."
Ketika sekolah akhirnya selesai, aku berjalan lemas menuju parkiran. Aku
terutama tak ingin pulang berjalan kaki, tapi aku tak mengerti bagaimana ia bisa
membawa trukku ke sini. Tapi aku mulai percaya tak ada yang mustahil baginya.
Insting terakhirku terbukti benar - trukku diparkir di tempat ia memarkir Volvo-
nya tadi pagi. Aku menggeleng tak percaya, membuka pintu yang tak terkunci dan
melihat kuncinya menggantung di lubang starter.
Selembar kertas tergeletak di jokku. Aku mengambilnya dan menutup pintu sebelum
membuka lipatannya, dua kata dalam tulisan yang elegan.
Jaga dirimu Suara deru truk membuatku kaget. Aku menertawai diriku sendiri.
Ketika aku sampai di rumah pintunya terkunci, namun gemboknya terbuka, persis
seperti yang kutinggalkan pagi tadi. Sesampai di dalam aku langsung ke ruang
cuci. Kelihatannya juga sama seperti ketika kutinggalkan tadi. Aku mencari
jinsku, dan setelah menemukannya, kuperiksa sakunya. Kosong. Barangkali kuncinya
telah kugantungkan di suatu tempat, pikirku sambil menggeleng.
Mengikuti insting sama yang telah membuatku berbohong pada Mike, aku menelepon
Jessica untuk berpura-pura mendoakan semoga pesta dansanya berjalan lancar.
Ketika ia menyampaikan harapan yang sama untuk hariku bersama Edward, aku
memberitahunya tentang pembatalan itu. Sebagai pihak ketiga yang tak ada
hubungannya sama sekali, ia terdengar lebih kecewa dari seharusnya. Aku langsung
mengakhiri pembicaraan setelah itu.
Sepanjang makan malam Charlie melamun, mengkhawatirkan sesuatu tentang
pekerjaannya, kurasa, atau mungkin pertandingan basket, atau mungkin ia hanya
benar-benar menikmati lasagna yang kubuat - sulit menebak apa yang dipikirkan
Charlie. "Kau tahu, Dad..?" aku memulai, membuyarkan lamunannya.
"Ada apa, Bell?"
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa kau benar tentang Seattle. Kurasa aku akan menunggu Jessica atau orang
lain bisa pergi bersamaku."
"Oh" katanya, terkejut. "Oh, oke. Jadi kau ingin aku menemanimu di rumah?"
"Tidak Dad, jangan ubah rencanamu. Aku punya banyak harus kulakukan... PR,
mencuci.... Aku perlu ke perpustakaan dan ke toko kelontong. Aku akan pergi ke
sana kemari seharian... kau pergi saja dan bersenang-senanglah."
"Kau yakin?" "Tentu Dad. Lagi pula, persediaan ikan kita sudah menipis - persediaan kita
tinggal cukup untuk dua atau tiga tahun barangkali."
"Mudah sekali hidup bersamamu. Bella." Ia tersenyum.
"Kau juga, Dad," kataku, tertawa. Tawaku reda, tapi sepertinya Dad tidak
memerhatikan. Aku merasa sangat bersalah telah membohonginya, sampai-sampai aku
nyaris mengikuti nasihat Edward dan mengatakan yang sebenarnya. Nyaris.
Setelah makan malam aku melipat pakaian dan memindahkan sebagian lagi ke mesin
pengering. Sayangnya ini jenis pekerjaan yang hanya dapat menyibukkan tangan
saja. Pikiranku jelas punya banyak waktu senggang, dan sudah mulai tak
terkendali. Pikiranku berpindah-pindah antara antisipasi yang begitu kuat hingga
nyaris menyakitkan, dan perasaan sangat takut yang membulatkan tekadku. Aku
harus terus mengingatkan diri bahwa aku telah membuat keputusan, dan tak akan
mengubahnya. Aku mengeluarkan kertas berisi tulisannya dari sakuku lebih sering
dari yang diperlukan untuk menyerap dua kata yang ditulisnya. Ia ingin agar aku
selamat, aku mengingatkan diriku sendiri berulang-ulang. Aku hanya perlu
berpegangan pada keyakinan bahwa akhirnya, hasrat itu mengalihkan segalanya. Dan
apa pilihanku yang lainnya -mengenyahkannya dari hidupku" Tidak mungkin. Lagi
pula. sejalaku datang ke Forks, kelihatannya hidupku benar-benar tentang
dirinya. Tapi suara kecil di relung benakku yang terdalam khawatir, bertanya-tanya apakah
akan sangat menyakitkan... bila semua ini berakhir buruk.
Aku merasa lega ketika hari sudah cukup malam untuk pergi tidur. Aku tahu aku
terlalu tegang untuk bisa tidur, jadi aku melakukan sesuatu yang belum pernah
kulakukan sebelumnya. Aku sengaja meminum pil demam yang sebenarnya tidak
kuperlukan - obat itu bisa membuatku tidur selama delapan jam. Dalam keadaan
normal aku tidak akan memaafkan tindakan seperti itu, tapi besok bakal cukup
rumit tanpa aku menjadi sinting karena kurang tidur. Sambil menunggu obatnya
bekerja, aku mengeringkan rambutku yang sudah bersih hingga benar-benar lurus,
dan memikirkan apa yang akan kukenakan besok.
Setelah semua siap untuk esok, akhirnya aku berbaring di tempat tidur. Aku
merasa tegang, hingga tak bisa berhenti bolak-balik. Aku terbangun, dan mencari-
cari di kotak sepatuku hingga menemukan koleksi instrumental Chopin. Aku
menyalakannya dengan volume sangat pelan lalu berbaring lagi, berusaha
menenangkan setiap bagian tubuhku. Di tengah-tengah itu obat yang kuminum tadi
mulai bekerja, dan aku pun tidur pulas.
Aku bangun cepat, tidurku benar-benar nyenyak dan tanpa mimpi, berkat obat yang
sengaja kuminum. Meski istirahatku cukup, aku kembali tergesa-gesa seperti
semalam. Aku berpakaian terburu-buru, melicinkan kerah pakaianku, merapikan
sweter cokelatku hingga jatuh alami di pinggangku. Aku mengintip ke luar jendela
untuk memastikan Charlie sudah benar-benar pergi. Awan tipis bagai kapas
menyelimuti langit. Sepertinya tidak akan bertahan lama.
Aku menyantap sarapanku tanpa benar-benar merasakannya, buru-buru membereskannya
ketika selesai. Aku mengintip ke jendela lagi, tapi tak ada yang berubah. Aku
baru saja selesai menggosok gigi dan hendak turun ketika sebuah ketukan pelan
membuat jantungku berdetak kencang.
Aku meluncur ke pintu; sedikit kesulitan dengan selotnya, tapi akhirnya berhasil
membukanya. Dan ia tampak berdiri di sana. Semua kegelisahanku lenyap begitu aku
melihat wajahnya. Kini aku merasa tenang. Aku mendesah lega - ketakutan yang
kurasakan kemarin terasa konyol setelah sekarang ia sudah di sini bersamaku.
Awalnya ia tidak tersenyum - wajahnya muram. Tapi kemudian raut wajahnya sedikit
ceria ketika melihatku, dan ia pun tertawa.
"Selamat pagi," sapanya sambil tergelak.
"Ada apa?" aku menunduk untuk memastikan tidak melupakan sesuatu yang penting
seperti sepatu, atau celana.
"Kira serasi." Ia tertawa lagi. Aku baru menyadari bahwa ia mengenakan sweter
tangan panjang cokelat muda, dengan kerah putih mengintip di baliknya, dan jins.
Aku ikut tertawa, menyembunyikan sekelumit kekecewaan - kenapa ia terlihat
seperti model peragaan busana sementara aku tidak"
Aku mengunci pintu rumah sementara ia berjalan ke truk. Ia menunggu di pintu
penumpang dengan ekspresi tak berdosa yang mudah ditebak.
"Kita sudah sepakat," aku mengingatkannya, merasa puas. Lalu aku masuk ke kursi
kemudi, dan meraih ke seberang untuk membukakan pintu baginya.
"Ke mana?" tanyaku.
"Kenakan sabuk pengamanmu - belum-belum aku sudah gugup."
Aku menatapnya jengkel ketika melakukan perintahnya.
"Ke mana?" ulangku sambil mendesah.
"Ke arah satu - kosong - satu utara," perintahnya.
Aku terkejut menemukan diriku sulit berkonsentrasi pada jalanan di depanku
ketika merasakan tatapannya di wajahku. Karenanya aku mengemudi lebih berhati-
hati dari biasa, menembus kota yang masih tidur.
"Apakah kau bermaksud meninggalkan Forks sebelum malam tiba?"
"Truk ini cukup tua untuk menjadi mobil kakekmu - hargailah sedikit," tukasku
gusar. Tak lama kemudian kami sampai di perbatasan kota, meskipun ia terus saja
mencela. Pemandangan semak belukar yang lebat dan batang-batang pohon berselimut
lumut menggantikan pekarangan dan rumah-rumah yang tadi kami lewati.
"Belok kiri di satu - sepuluh," perintahnya ketika aku hendak bertanya. Aku
mematuhinya tanpa berkata-kata.
"Sekarang terus hingga ke ujung jalan."
Aku bisa mendengar senyum dalam suaranya, tapi terlalu takut bakal keluar jalur
dan membuktikan ia benar untuk merasa waswas.
"Dan di ujung jalan sana ada apa?" aku bertanya-tanya. "Jalan setapak."
"Kita akan mendaki gunung?" Untung aku memakai sepatu tenis.
"Apakah itu masalah?" Ia terdengar tidak kaget.
"Tidak." Aku berusaha agar jawabanku terdengar meyakinkan. Tapi, kalau pikirnya
trukku berjalan pelan.. "Jangan khawatir, jaraknya hanya kurang-lebih lima mil, dan kita tidak perlu
terburu-buru." Lima mil. Aku tidak menyahut, supaya ia tidak mendengar kepanikan dalam suaraku.
Lima mil dengan akar-akar berbahaya dan bebatuan yang mudah luruh, sepertinya ia
berencana membuat pergelangan kakiku keseleo, atau bahkan melukaiku. Ini akan
jadi perjalanan memalukan.
Selama beberapa saat kami melanjutkan tanpa bicara, sementara aku membayangkan
kengerian yang bakal kuhadapi.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya tak sabar setelah beberapa saat.
Lagi-lagi aku berbohong. "Hanya membayangkan tempat yang kita tuju."
"Tempat itu sering kudatangi ketika cuaca sedang bersahabat." Kami memandang ke
luar jendela, ke awan-awan yang mulai menipis.
"Charlie bilang hari ini bakal hangat."
"Apakah kau menceritakan rencanamu padanya?" tanyanya.
"Tidak." "Tapi Jessica mengira kita pergi ke Seattle bersama-sama?" Ia kelihatannya
senang dengan pemikiran itu.
"Tidak, aku bilang kau membatalkan rencana itu - dan itu benar."
"Tak ada yang tahu kau bersamaku?" Sekarang ia marah.
"Tergantung... kurasa kau memberitahu Alice?"
"Sangat membantu. Bella," tukasnya jengkel. Aku berpura-pura tidak mendengar.
"Apakah Forks membuatmu begitu tertekan sehingga kau kepingin bunuh diri?"
tanyanya ketika aku mengabaikan kata katanya.
"Katamu kau bisa mendapat masalah... kalau kita terlihat bersama-sama di depan
orang banyak, aku mengingatkannya.
"Jadi kau mengkhawatirkan masalah yang mungkin menimpaku - kalau kau tidak
pulang ke rumah?" Ia masih terdengar marah, dan sangat sinis.
Aku mengangguk, pandanganku tetap ke jalan.
Ia menggumamkan sesuatu, berbicara begitu cepat hingga aku tak bisa memahaminya.
Selama sisa perjalanan kami membisu. Aku bisa merasakan gelombang kemarahan dan
kekecewaan dalam dirinya, dan aku tak tahu harus bilang apa.
Kemudian jalanan berakhir, menyempit menjadi jalan setapak dengan penanda dari
kayu kecil. Aku memarkir truk di sisi jalan yang sempit dan melangkah keluar,
waswas karena ia marah padaku dan aku tak bisa menjadikan mengemudi sebagai
alasan untuk tidak memandangnya. Sekarang di luar terasa hangat, lebih hangat
daripada yang pernah kurasakan sejak tiba di Forks, nyaris lembab di bawah
selimut awan. Aku melepaskan sweter dan mengikatkannya di pinggang, bersyukur
telah mengenakan kaus tipis tanpa lengan di baliknya-apalagi karena aku harus
berjalan kaki sejauh lima mil.
Aku mendengarnya menutup pintu, dan melihat apakah ia juga melepas sweternya. Ia
tidak sedang memandangku, melainkan hutan tak berujung di sebelah trukku.
"Lewat sini," katanya sambil menoleh, sorot matanya masih kesal. Ia mulai
memasuki hutan gelap itu.
"Jalan setapaknya?" suaraku jelas terdengar panik ketika mengitari truk dan
mengejarnya. "Kubilang ada jalan setapak di ujung jalan, bukannya berarti kita akan
melaluinya." "Tanpa jalan setapak?" tanyaku putus asa.
"Aku takkan membiarkanmu tersesat." Kemudian ia berbalik, dengan senyum
mengejek, dan aku mendengus pelan. Kaus putihnya tanpa lengan dan ia tidak
mengancingkannya, sehingga kulit putihnya yang mulus terpapar dari leher hingga
ke dada, otot-ototnya yang sempurna tak lagi tampak samar dari balik pakaian
yang membalutnya. Ia terlalu sempurna, pikirku sambil menatap tajam dengan putus asa. Tidak
mungkin makhluk yang menyerupai dewa ini ditakdirkan untukku.
Ia menatapku, keheranan melihat ekspresiku yang tersiksa.
"Kau ingin pulang?" tanyanya tenang, perasaan tersiksa yang sedikit berbeda
dariku terdengar dalam suaranya.
"Tidak." Aku melangkah maju sampai ke dekatnya, tak ingin membuang-buang lagi
satu detik atau berapa pun lamanya waktuku bersamanya.
"Ada apa?" tanyanya lembut.
"Aku bukan pendaki yang baik," sahutku tolol. "Kau harus sangat sabar."
"Aku bisa sabar - kalau aku berusaha keras." Ia tersenyum, sambil menatap
mataku, berusaha mengangkatku dari kesedihan yang mendadak dan tak bisa
dijelaskan. Aku mencoba membalas senyumnya, tapi senyumku tidak meyakinkan. Ia mengamati
wajahku. "Aku akan membawamu pulang," janjinya.
Aku tak bisa mengatakan apakah janji itu tanpa syarat, atau artinya ia akan
mengantarku lalu pulang ke rumahnya sendiri. Aku tahu ia mengira rasa takutlah
yang membuatku sedih, dan sekali lagi aku bersyukur akulah satu-satunya orang
dengan pikiran yang (tak) terbaca olehnya.
"Kalau kau mau aku menempuh lima mil ke dalam hutan sebelum matahari terbenam,
sebaiknya kau mulai menunjukkan arahnya," kataku dingin. Ia memandang marah padaku, mencoba memahami
maksudku. Sesaat akhirnya ia menyerah dan mulai berjalan ke dalam hutan.
Ternyata tidak sesulit yang kukhawatirkan. Jalan yang kami lalui kebanyakan
datar, dan ia menahan dahan-dahan basah dan juntaian lumut supaya aku bisa
lewat. Ketika jalan lurus yang dilaluinya terhalang pohon tumbang, atau bebatuan
besar, ia membantuku, mengangkatku dengan memegangi sikuku, dan langsung
melepasku begitu selesai melewati rintangan. Sentuhan dingin kulitnya selalu
membuat jantungku berdebar tak keruan. Ketika terjadi untuk kedua kali, aku
sempat melihat wajahnya dan yakin entah bagaimana ia bisa mendengar detak
jantungku. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dari kesempurnaannya sebisa mungkin, tapi
sering kali aku gagal. Setiap kali ketampanannya menusukku dengan kepedihan.
Kami lebih sering berjalan dalam diam. Kadang-kadang ia melontarkan pertanyaan
asal yang belum ditanyakannya dua hari yang lalu ketika menginterogasiku. Ia
menanyakan hari ulang tahunku, guru-guru sekolah dasarku, hewan peliharaanku
semasa kecil - dan harus kuakui setelah tiga ekor ikan yang kupelihara berturut-
turut mati, aku menyerah, tak ingin lagi memiliki hewan peliharaan. Ia
menertawaiku, lebih keras dari biasanya - gema yang seperti bunyi lonceng
memantul ke arah kami dari hutan yang kosong.
Pendakian itu nyaris menghabiskan waktu sepagian, tapi tak sekali pun ia
menunjukkan tanda-tanda tidak sabar. Hutan itu membentang di sekeliling kami,
dipenuhi jaring pepohonan kuno, dan aku mulai merasa gugup bahwa kami takkan
menemukan jalan keluar lagi. Sebaliknya ia sangat tenang, merasa nyaman berada
di tengah-tengah jaring hijau, tak pernah tampak ragu tentang arah yang kami
tuju. Setelah beberapa jam cahaya yang menyusup di antara dedaunan pohon berubah,
warna kehijauan yang suram berganti jadi hijau cerah. Hari telah berubah cerah,
tepat seperti yang diramalkannya. Untuk pertama kali sejak kami memasuki hutan,
aku merasa gembira - yang dengan cepat berubah menjadi tidak sabar.
"Apakah kita sudah sampai?" godaku, pura-pura kesal.
"Hampir." Ia tersenyum melihat suasana hatiku yang sudah ceria lagi. "Kaulihat
cahaya terang di depan sana?"
Mataku menyipit memandang hutan lebat itu. "Apakah seharusnya aku bisa
melihatnya?" Ia nyengir. "Barangkali belum kasat oleh matamu."
"Waktunya mengunjungi dokter mata," gumamku.
Ia nyengir semakin lebar.
Tapi kemudian, setelah melangkah seratus meter lagi, aku bisa melihat jelas
cahaya di pepohonan di depan kami. Cahaya itu kuning, bukan hijau. Aku
mempercepat langkah, hasratku semakin bertambah di setiap langkahku. Ia
membiarkanku berjalan di depan sekarang, dan mengikutiku tanpa suara.
Aku mencapai ujung kolam cahaya dan melangkah menembus tumbuhan pakis terakhir
menuju tempat terindah yang pernah kulihat. Padang rumput itu kecil, melingkar
sempurna, dan ditumbuhi bunga-bunga liar - biru keunguan, kuning, dan putih
lembut. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar senandung sungai.
Matahari bersinar tepat di atas kami, menyinari lingkaran itu dengan kabut
kekuningan. Aku berjalan pelan,
terpesona, melintasi rumput halus, bunga, bunga yang melambai-lambai, serta
udara hangat dan keemasan. Aku setengah membalikkan badan, ingin berbagi ini
semua dengannya, tapi ia tak ada di belakangku seperti yang kukira. Aku
memandang berkeliling, dengan ketakutan mencari-carinya. Akhirnya aku
menemukannya, berdiri di bawah bayangan pepohonan lebat di tepi kegelapan hutan,
memerhatikanku dengan tatapan waswas.
Aku kembali melangkah ke arahnya, sorot mataku sarat oleh rasa ingin tahu.
Tatapannya hati-hati, enggan. Aku tersenyum menyemangati, mengulurkan tangan,
sambil terus melangkah ke arahnya. Ia mengangkat tangan mengingatkan, dan aku
pun ragu. lalu terdiri. Edward tampak menghela napas dalam-dalam, lalu ia melangkah ke tengah cahaya
terang mentari siang. 13. PENGAKUAN MELIHAT Edward di bawah sinar matahari sungguh membuatku terpesona. Aku takkan
pernah terbiasa dengannya, meskipun aku telah memandanginya seharian ini.
Kulitnya, putih meski agak memerah sepulang berburu kemarin, tampak kemilau,
seolah-olah ribuan berlian mungil tertanam di bawah permukaan kulitnya. Ia
berbaring tak bergerak di rerumputan, kausnya tersingkap dan memamerkan dada
bidangnya yang bercahaya, lengannya yang telanjang juga berkilauan. Kelopak
matanya yang keunguan dan berbinar terpejam, meski tentu saja ia tidak tertidur.
Patung yang sempurna, terukir dari bebatuan entah apa namanya, halus bagai
pualam, berkilauan bagai kristal.
Terkadang bibirnya bergerak-gerak, begitu cepat hingga seperti gemetar. Tapi
ketika kutanya, katanya ia sedang bernyanyi untuk dirinya sendiri: terlalu pelan
untuk bisa kudengar. Aku juga menikmati sinar matahari, meskipun udara tidak cukup kering bagiku. Aku
ingin berbaring, seperti yang dilakukannya, dan membiarkan matahari
menghangatkan wajahku. Tapi toh aku hanya duduk memeluk kakiku, dagu kuletakkan
di lutut, tak ingin berpaling dari wajahnya. Angin bertiup pelan. membelai
rambutku dan rerumputan yang menari-nari di selatar tubuh Edward yang tak
bergerak. Padang rumput yang awalnya sangat mengagumkan bagiku, kini tampak pudar di
samping keberadaan Edward yang bersinar cemerlang.
Dengan ragu-ragu, selalu khawatir, bahkan sekarang, bahwa ia akan menghilang
bagai halusinasi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan... kuulurkan satu jariku
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kuelus punggung tangannya yang berkilauan, yang berada di dekatku. Aku
kembali mengagumi tekstur kulitnya yang sempurna, halus bagai satin, dingin
seperti batu. Ketika aku memandangnya lagi matanya terbuka, mengamatiku. Hari
ini warnanya cokelat keemasan, lebih ringan dan hangat setelah berburu.
Senyumnya dengan cepat mengembang di sudut bibirnya yang tak bercela.
"Aku tidak membuatmu takut, kan?" guraunya, tapi aku bisa mendengar rasa
penasaran yang sesungguhnya dalam suara lembutnya.
"Tak lebih dari biasanya."
Ia tersenyum lebih lebar; giginya mengilap di bawah sinar matahari.
Aku beringsut mendekat, sekarang mengulurkan tangan untuk menyusuri lekuk lengan
bawahnya dengan ujung jari.
Jemariku gemetaran, dan aku tahu ini pun takkan luput dari perhatiannya.
"Kau keberatan?" tanyaku, karena ia sudah memejamkan mata lagi.
"Tidak," katanya tanpa membuka mata "Kau tak dapat membayangkan bagaimana
rasanya." Ia mendesah.
Dengan lembut tanganku menyusuri otot lengannya yang sempurna, mengikuti jejak
samar nadinya yang kebiruan menuju lipatan sikunya. Dengan tangan lain, aku
meraih dan membalikkan tangannya. Menyadari apa yang kuinginkan, ia membalikkan
tangan dengan cepat, gerakannya membuatku terkesiap. Aku terkejut, sesaat jari-
jariku membeku di lengannya.
"Maaf," gumamnya. Aku mendongak tepat saat matanya yang berwarna emas menutup
lagi. "Terlalu mudah menjadi diriku sendiri ketika bersamamu."
Kuangkat tangannya, membolak-balikkannya sambil mengamati matahari yang
menyinari telapak tangannya. Kudekatkan tangannya ke wajahku, mencoba melihat
sisi kulitnya yang tersembunyi.
"Katakan apa yang kaupikirkan," bisiknya.
Aku melihat dan mendapatinya menatapku, mendadak begitu lekat. "Masih tidak
biasa untukku, untuk tidak mengetahui."
"Kau tahu, kita semua merasa seperti itu setiap saat."
"Hidup ini sulit." Apakah aku hanya membayangkan nada sesal dalam suaranya"
"Tapi kau tidak memberitahuku."
"Aku sedang berharap dapat mengetahui apa yang kaupikirkan...," ujarku ragu-
ragu. "Dan?" "Aku berharap dapat memercayai bahwa dirimu nyata. Dan aku berharap aku tidak
takut." "Aku tidak ingin kau takut." Suaranya menggumam lembut. Aku mendengar apa yang
tak sanggup dikatakannya sejujurnya, bahwa aku tak perlu takut, bahwa tak ada
yang perlu ditakuti. "Well, bukan rasa takut itu yang kumaksud, meskipun jelas itu sesuatu yang perlu
dipikirkan." Semua berlangsung begini cepat hingga aku tidak melihat gerakannya, sekarang ia
setengah duduk, bertopang pada lengan kanannya, telapak tangan kirinya masih
dalam genggamanku. Wajah malaikatnya hanya beberapa senti dariku. Aku mungkin
saja - seharusnya - menjauh dari kedekatannya yang tak disangka-sangka, tapi aku
tak bisa bergerak. Matanya yang keemasan memesonaku.
"Lalu apa yang kautakutkan?" bisiknya sungguh-sungguh. Tapi aku tak bisa
menjawab. Seperti yang pernah kualami sebelumnya, aku mencium napas sejuknya di
wajahku. Manis, nikmat, aroma yang membuatku meneteskan air liur. Tidak seperti
apa pun di dunia ini. Secara naluriah, tanpa berpikir, aku mendekat padanya,
menghirupnya. Dan ia menghilang, melepaskan tangannya dariku. Ketika akhirnya mataku bisa
melihat dengan fokus, ia berada enam meter dariku, berdiri di ujung padang
rumput kecil ini, di bawah bayangan gelap pohon fir raksasa. Ia menatapku,
matanya tampak kelam dalam bayangan itu, ekspresinya tak dapat kutebak.
Aku bisa merasakan kekecewaan dan perasaan syok terpancar di wajahku. Tanganku
yang kosong bagai tersengat.
"Maafkan... aku... , Edward," bisikku. Aku tahu ia bisa mendengarnya.
"Beri aku waktu sebentar," sahutnya, cukup lantang untuk bisa didengar telingaku
yang tidak terlalu peka. Aku duduk diam tak bergerak.
Setelah sepuluh detik yang terasa sangat lama, ia berjalan kembali ke arahku,
pelan untuk ukurannya. Ia berhenti, masih beberapa meter jauhnya, dan duduk
anggun di tanah, kakinya menyilang. Tak sekali pun ia pernah melepaskan
pandangannya dariku. Ia menghela napas panjang dua kali, lalu senyum menyesal.
"Aku sangat menyesal," ujarnya ragu. "Apakah kau bisa mengerti maksudku, kalau
kubilang aku hanya manusia?"
Aku mengangguk sekali, tak bisa tersenyum mendengar gurauannya. Adrenalin
memompa deras di nadiku ketika pemahamanku akan bahaya pelan-pelan muncul. Ia
dapat menciumnya dari tempatnya duduk sekarang. Senyumnya berubah mengejek.
"Aku predator terbaik di dunia, bukankah begitu" Segala sesuatu tentang diriku
mengundangmu mendekat - suaraku, wajahku, bahkan aromaku. Seperti aku
membutuhkannya saja!" Tak disangka-sangka ia sudah bangkit berdiri, pergi,
langsung lenyap dari pandangan, dan muncul kembali di bawah pohon yang sama
seperti sebelumnya, setelah mengelilingi padang rumput hanya dalam setengah
detik. "Seperti kau bisa kabur dariku saja," ia tertawa getir.
Ia mengulurkan satu tangannya, dan tanpa kesulitan mematahkan dahan yang sangat
tebal dari batang pohonnya, hingga menimbulkan bunyi patahan yang mengerikan.
Beberapa saat ia menimbang-nimbangnya dengan tangannya, lalu melemparnya begitu
cepat, mengempaskannya ke pohon besar lain. Pohon itu bergoyang dan bergetar.
Lalu ia sudah berada di hadapanku lagi, setengah meter dariku, kaku bagai batu.
"Seperti kau bisa melawanku saja." katanya lembut.
Aku duduk tak bergerak, merasa lebih takut padanya dari pada selama ini. Aku tak
pernah melihatnya begitu bebas di balik penyamarannya yang sempurna. Ia tak
pernah benar-benar lebih tidak manusiawi... atau lebih menawan. Dengan wajah
pucat dan mata membelalak, aku duduk bagai burung siap dimangsa ular.
Matanya yang indah seolah berkilat-kilat karena perasaan senang yang meluap-
luap. Lalu, ketika detik demi detik berlalu, percikan itu memudar. Ekspresinya
perlahan berganti menjadi kesedihan yang purba.
"Jangan takut," gumamnya, suara lembutnya tak disengaja terdengar menggoda.
"Aku berjanji...," ujarnya ragu. "Aku bersumpah tidak akan menyakitimu." Ia
kelihatan lebih ingin meyakinkan dirinya sendiri daripada aku.
"Jangan takut," bisiknya lagi sambil mendekat, dengan amat perlahan. Ia duduk
luwes, dengan gerakan tak bergegas yang disengaja, hingga wajah kami sejajar,
hanya terpisah tiga puluh senti.
"Kumohon maafkan aku," pintanya. "Aku bisa mengendalikan diri. Kau membuatku tak
berdaya. Tapi sekarang aku dalam keadaan sangat terkendali." Ia menunggu, tapi
aku masih tak sanggup bicara. "Sejujurnya, hari ini aku tidak merasa haus." Ia
mengedipkan mata. Mendengar itu aku harus tertawa, meski suara tawaku gemetar dan tertahan.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya lembut, perlahan dan hati-hati mengulurkan
tangannya yang bak pualam dan kembali menggenggam tanganku.
Aku memandang tangannya yang dingin dan halus, lalu matanya. Mata itu lembut,
penuh penyesalan. Aku kembali menatap tangannya, kemudian dengan sengaja
menelusuri garis tangannya dengan ujung jariku. Aku memandangnya dan tersenyum
gugup. Senyuman balasannya sungguh memesona.
"Jadi, tadi kita sampai di mana, sebelum aku bersikap kasar," tanyanya dengan
aksen tempo dulu yang lembut.
"Sejujurnya, aku tidak bisa mengingatnya."
Ia tersenyum, tapi wajahnya tampak malu. "Kurasa kita sedang membicarakan kenapa
kau merasa takut, di samping alasan yang sudah jelas."
"Oh, benar." "Jadi?" Aku menunduk menatap tangannya, dan dengan lembut menggerak-gerakkan tanganku di
telapak tangannya yang berkilauan. Detik demi detik pun berlalu.
"Betapa mudahnya aku marah," desahnya.
Aku menatap matanya, dengan cepat memahami bahwa setiap kejadian ini adalah hal
baru baginya, juga bagiku. Dan terlepas dari begitu banyaknya hal tak terpahami
yang dialaminya bertahun-tahun, ini juga masih sama sulitnya baginya. Kubesarkan
hatiku melihat kenyataan ini.
"Aku takut... karena, untuk, Well, alasan yang jelas, aku tak bisa terus di
dekatmu. Dan aku takut keinginan untuk terus bersamamu lebih kuat daripada
seharusnya." Aku menunduk menatap tangan-tangannya ketika mengatakan semua itu. Sulit bagiku
untuk menyatakannya secara gamblang.
"Ya," timpalnya pelan. "Jelas, itu sesuatu yang perlu ditakutkan. Keinginan
untuk bersamaku. Itu sungguh bukan keinginanmu yang terbaik."
Aku cemberut. "Aku seharusnya pergi sejak lama," desahnya. "Aku seharusnya pergi sekarang.
Tapi aku tak tahu apakah aku bisa."
"Aku tidak ingin kau pergi," gumamku sedih, seraya menunduk lagi.
"Itulah sebabnya aku harus pergi. Tapi jangan khawatir. Pada dasarnya aku
makhluk egois. Aku terlalu menginginkan kehadiranmu untuk melakukan apa yang
seharusnya kulakukan."
"Aku senang." "Jangan!" Ia menarik tangannya, kali ini lebih lembut; suaranya lebih parau
daripada biasanya. Parau untuk ukurannya, tapi toh tetap masih lebih indah
daripada suara manusia mana pun. Sulit rasanya untuk mengikutinya- perubahan
suasana hatinya yang tiba-tiba selalu membuatku terlambat memahami situasi, dan
bingung. "Bukan hanya keberadaanmu yang kuinginkan! Jangan pernah lupakan itu. Jangan
pernah lupa aku lebih berbahaya bagimu daripada bagi orang lain." Ia berhenti,
dan aku melihatnya diam-diam memandang ke dalam hutan. Aku berpikir sesaat.
"Sepertinya aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kaumaksud - terutama bagian
terakhir," kataku. Ia kembali menatapku dan tersenyum, belum apa-apa suasana harinya lagi-lagi
berubah. "Bagaimana aku menjelaskannya?" godanya. "Tanpa membuatmu takut lagi... hmmmm."
Tanpa terlihat memikirkannya, ia meletakkan tangannya dalam genggamanku; dan aku
menggenggamnya erat-erat dengan kedua tanganku. Ia memandang tangan kami.
"Kehangatan ini luar biasa menyenangkan." Ia mendesah.
Sesaat berlalu saat ia mengumpulkan pikirannya.
"Kau tahu bagaimana orang-orang menikmati rasa yang berbeda-beda?" ia memulai.
"Beberapa orang menyukai es krim cokelat, yang lain memilih stroberi?"
Aku mengangguk. "Maaf aku menggunakan makanan sebagai perumpamaan aku tak tahu cara lain untuk
menjelaskannya." Aku tersenyum. Ia balas tersenyum menyesal. "Kau tahu, setiap
orang punya aroma berbeda, inti berbeda. Bila kau mengunci seorang peminum dalam
ruangan penuh bir basi, dia akan dengan senang meminumnya. Tapi dia bisa
menolaknya, kalau ia memang ingin, kalau ia bukan peminum lagi. Sekarang
misalnya kautaruh sebotol brendi berumur ratusan tahun di ruangan itu, cognac
langka terbaik - dan memenuhi ruangan itu dengan aromanya yang hangat -
menurutmu, apa yang akan dilakukannya?"
Kami duduk diam, saling menatap-mencoba membaca pikiran satu sama lain.
Dialah yang akhirnya mengakhiri keheningan itu. "Barangkali itu bukan
perbandingan yang tepat. Barangkali
terlalu mudah untuk menolak brendi. Mungkin aku harus mengganti si peminum
dengan pencandu heroin."
"Jadi maksudmu, aku semacam heroin bagimu?" godaku, berusaha mencairkan suasana.
Ia langsung tersenyum, sepertinya menghargai usahaku. "Ya, kau adalah heroin
bagiku." "Apakah itu sering terjadi?" tanyaku. Ia memandang melampaui puncak pohon,
memikirkan jawabannya. "Aku membicarakan hal ini dengan saudara-saudara laki-lakiku." Ia masih
memandang kejauhan. "Bagi Jasper, kalian manusia kurang-lebih sama. Dialah yang
terakhir bergabung dalam keluarga kami. Sulit baginya untuk sama sekali
berpantang. Dia tak punya waktu untuk menumbuhkan kepekaan untuk membedakan
aroma, juga rasa." Ia memandangku, raut wajahnya menyesal.
"Maaf," katanya.
"Aku tak keberatan. Kumohon jangan khawatir kau akan membuatku tersinggung, atau
takut, atau apa pun. Begitulah caramu berpikir. Aku bisa mengerti, atau
setidaknya mencoba. Jelaskan saja sebisamu."
Ia menghela napas dalam-dalam dan kembali menatap langit.
"Jadi, Jasper tak yakin apakah dia pernah menemukan seseorang yang sama"- ia
ragu, mencari-cari kara yang tepat-" menariknya seperti kau bagiku. Yang
membuatku tidak menggunakan akal sehat. Emmett, boleh dibilang sudah lebih lama
bersama kami, jadi dia mengerti maksudku. Dia mengatakan sudah dua kali
mengalaminya, yang kedua lebih kuat daripada yang pertama."
"Dan kau?" "Tidak pernah."
Kata itu melayang sesaat di sana, dalam embusan angin yang hangat.
"Apa yang dilakukan Emmett?" tanyaku memecah keheningan.
Pertanyaan yang salah. Wajahnya menjadi gelap, tangannya mengepal dalam
genggamanku. Ia membuang muka. Aku menunggu, tapi ia takkan menjawab.
"Kurasa aku tahu," kataku akhirnya.
Ia melirik; wajahnya muram, memohon.
"Bahkan yang terkuat di antara kita pun pernah khilaf, bukan begitu?"
"Apa yang kauminta dariku" Izinku?" Suaraku lebih tajam daripada yang
kuinginkan. Aku mencoba membuat suaraku lebih ramah - aku bisa menebak harga
yang harus dibayarnya karena telah bersikap jujur. "Maksudku, apakah tidak ada
harapan lagi?" Betapa tenangnya aku membahas kematianku sendiri!
"Tidak, tidak!" Ia langsung menyesal. "Tentu saja ada harapan! Maksudku, tentu
saja aku tidak akan..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, matanya nanar
menatapku. "Kisah kita berbeda. Emmett... dia tidak mengenal kedua gadis itu,
mereka hanya kebetulan berpapasan dengannya. Kejadiannya sudah lama sekali, dan
dia tidak... setangkas dan sehati-hati sekarang."
Ia terdiam dan mengamanku lekat-lekat ketika aku merenungkannya.
"Jadi kalau kita bertemu... oh, di lorong gelap atau apa..." Nyaliku ciut.
"Aku harus mengerahkan segenap kemampuan agar tidak melompat ke tengah kelas
penuh murid dan-" Sekonyong-konyong ia berhenti, memalingkan wajah. "Ketika kau
berjalan melewatiku, aku bisa saja menghancurkan semua yang Carlisle bangun
untuk kami, saat itu juga. Seandainya aku tidak menyangkal rasa hausku sejak,
yah, bertahun-tahun yang lalu, aku takkan sanggup menghentikan diriku sendiri."
Ia berhenti, memandang geram pepohonan.
Ia memandangku muram, kami mengingat saat-saat itu. "Kau pasti menduga aku
kerasukan." "Aku tidak mengerti alasannya. Bagaimana kau bisa membenciku secepat itu... "
"Bagiku rasanya kau seperti semacam roh jahat yang di kirim langsung dari
nerakaku sendiri untuk menghancurkanku. Aroma yang menguar dari kulitmu...
Kupikir akan membuatku gila pada hari pertama itu. Dalam satu jam itu aku
memikirkan seratus cara berbeda untuk memancingmu keluar dari ruangan itu
bersamaku, agar aku bisa berdua saja denganmu. Dan aku terus melawan keinginan
itu, memikirkan keluargaku, apa yang akan menimpa mereka akibat kebodohanku. Aku
harus pergi, menghilang, sebelum aku mengucapkan, kata-kata yang bisa membuatmu
mengikutiku... " Ia menatap ekspresiku yang gentar ketika mencoba memahami ingatannya yang pahit.
Matanya yang keemasan membara di balik bulu matanya, menghipnotis dan mematikan.
"Kau pasti datang," ujarnya.
Aku mencoba berkata dengan tenang, "Tak diragukan lagi."
Dahinya mengerut ketika ia menatap tanganku, membebaskanku dari kekuatan
tatapannya. "Kemudian, ketika aku sia-sia berusaha mengatur jadwalku agar bisa
menghindarimu, kau ada di sana - di ruangan kecil hangat itu, begitu dekat,
aroma tubuhmu membuatku sinting. Saat itu aku nyaris menculikmu. Hanya ada satu
manusia lemah di sana-sangat mudah untuk diatasi."
Tubuhku gemetar di bawah hangatnya matahari, ingatanku diperbarui lewat matanya,
hanya saja sekarang aku menyadari bahayanya. Miss Cope yang malang; aku bergidik
lagi mengingat betapa aku nyaris menjadi penyebab kematiannya.
"Tapi aku menolaknya. Aku tidak tahu bagaimana. Aku memaksa diriku agar tidak
menunggumu, tidak mengikutimu dari sekolah. Bagiku di luar lebih mudah, karena
di sana aku tak bisa mencium aromamu. Aku bisa berpikir dengan jernih, membuat
keputusan yang tepat. Aku meninggalkan yang lain di dekat rumah - aku kelewat
malu memberitahu mereka betapa lemahnya diriku, mereka hanya tahu ada sesuatu
yang sangat salah - lalu aku pergi menemui Carlisle, di rumah sakit, untuk
memberitahunya aku akan pergi."
Aku menatapnya terpana. "Aku bertukar mobil dengannya - bahan bakar mobilnya penuh dan aku tak ingin
berhenti. Aku tidak berani pulang menemui Esme. Dia tidak akan tinggal diam
sampai mengetahui apa yang terjadi. Dia akan mencoba meyakinkanku bahwa itu
tidak penting...
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keesokan paginya aku sudah berada di Alaska." Ia terdengar malu, seolah-olah
mengakui betapa pengecut dirinya. "Dua hari aku di sana, bersama beberapa
kenalan lama... tapi aku rindu rumah. Aku benci karena telah mengecewakan Esme,
dan yang lainnya, keluarga adopsiku. Dalam udara bersih pegunungan, sulit
memercayai betapa sangat menggodanya dirimu. Aku meyakinkan diriku sendiri,
bahwa melarikan diri menunjukkan betapa lemah diriku. Sebelumnya aku juga pernah
menghadapi cobaan, tidak sebesar ini, dekat pun tidak, tapi aku kuat. Siapa kau
ini, gadis kecil tak penting"-tiba-tiba ia nyengir-"yang mengusirku dari tempat
yang ingin kutinggali" Jadi aku pun kembali... " Pandangannya menerawang.
Aku tak sanggup berkata-kata.
"Aku melakukan tindakan pencegahan, berburu, makan lebih banyak daripada biasa
sebelum bertemu lagi denganmu. Aku yakin aku cukup kuat untuk memperlakukanmu
seperti manusia lainnya. Aku sombong mengenai hal ini.
"Kenyataan bahwa aku tak dapat membaca pikiranmu untuk mengetahui reaksimu
terhadapku benar-benar menggangguku. Aku tak terbiasa melakukannya lewat
perantara, mendengarkan pikiranmu melalui pikiran Jessica... pikirannya tidak
terlalu orisinal, dan sangat mengganggu harus merendahkan diri seperti itu. Lagi
pula aku tidak tahu apakah kau bersungguh-sungguh dengan ucapanmu. Sangat
menyebalkan." Ia cemberut mengingatnya.
"Aku ingin kau melupakan sikapku pada hari pertama itu, bila mungkin, jadi aku
mencoba berbicara denganmu seperti yang akan kulakukan dengan siapa pun.
Sebenarnya aku sangat ingin, aku berharap dapat menguraikan sebagian pikiranmu.
Tapi kau terlalu menarik, aku mendapati diriku tertawan dalam ekspresimu... dan
sesekali kau mengibas-ngibaskan tangan atau rambutmu, dan aroma yang menguar
membuatku terkesima lagi...
"Tentu saja, kemudian kau nyaris mati tepat di hadapanku. Baru setelahnya aku
menemukan alasan yang sangat tepat mengapa aku beraksi saat itu - karena jika aku tidak
menyelamatkanmu, jika darahmu tercecer di sana di depanku, kurasa aku takkan
bisa menghentikan diriku mengungkapkan siapa diri kami sebenarnya. Tapi aku baru
memikirkan alasan itu setelahnya. Saat itu, yang bisa kupikirkan hanya, 'Jangan
dia.'" Ia memejamkan mata, larut dalam pengakuannya yang menyiksa. Aku mendengarkan,
lebih antusias daripada rasional. Akal sehatku mengingatkan seharusnya aku
takut. Tapi sebagai ganti aku lega akhirnya bisa mengerti. Aku sangat bersimpati
atas penderitaannya, bahkan sekarang, ketika ia mengakui hasratnya untuk
menghabisi nyawaku. Akhirnya aku bisa bicara, meski suaraku samar-samar. "Di rumah sakit?"
Matanya berkilat-kilat menatapku. "Aku kaget. Aku tak percaya aku telah
membahayakan diri kami, menaruh diriku dalam kuasamu dirimu, dari semua orang
yang ada. Seolah-olah aku memerlukan alasan lain untuk membunuhmu."
Kami beringsut menjauh ketika kata itu terucap.
"Tapi efeknya justru kebalikannya," ia bergegas melanjutkan. "Aku bertengkar
dengan Rosalie, Emmett, dan Jasper ketika mereka bilang sekaranglah waktunya...
pertengkaran terburuk kami. Carlisle membelaku, begitu juga Alice." Ia meringis
ketika menyebut nama itu. Aku tak bisa menebak alasannya. "Esme menyuruhku
melakukan apa saja yang harus kulakukan untuk tetap tinggal." Ia menggeleng
tulus. "Sepanjang keesokan harinya, aku membaca pikiran setiap orang yang berbicara
denganmu, dan aku terkejut kau memegang kata-katamu. Aku sama sekali tidak
memahami dirimu. Tapi aku tahu aku tak bisa terlibat lebih jauh lagi denganmu.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauhimu. Dan setiap hari aroma kulitmu,
napasmu, rambutmu... memukulku sama kerasnya seperti hari pertama."
Mata kami kembali bertemu, dan aku terkejut melihat betapa lembut tatapannya.
"Karenanya," lanjutnya, "akan lebih baik jika aku mengungkapkan siapa kami pada
saat pertama itu, daripada sekarang, di sini - tanpa saksi dan apa pun yang bisa
menghentikanku - seandainya aku akan menyakitimu."
Cukup manusiawi bagiku untuk bertanya, "Kenapa?"
"Isabella." Ia mengucapkan nama lengkapku dengan hati-hati, kemudian mengacak-
acak rambutku dengan tangannya. Sentuhan ringannya membuat sekujur tubuhku
tegang. "Bella, aku takkan bisa memaafkan diriku jika aku sampai menyakitimu.
Kau tak tahu betapa itu menyiksaku." Ia menunduk, kembali malu-malu. "Bayangan
dirimu, kaku, putih, dingin... tak bisa melihatmu merona lagi, tak bisa melihat
kelebatan intuisi di matamu ketika mengetahui kepura-puraanku... rasanya tak
tertahankan." Ia menatapku dengan matanya yang indah, namun tersiksa. "Kau yang
terpenting bagiku sekarang. Terpenting bagiku sampai kapan pun."
Kepalaku berputar karena betapa cepatnya pembicaraan kami berubah-ubah. Dari
topik menyenangkan tentang kematianku sekonyong-konyong kami mengungkapkan
perasaan kami. Ia menunggu, dan meskipun aku menunduk mengamati tangan kami aku
tahu matanya yang keemasan mengawasiku.
"Kau sudah tahu bagaimana perasaanku, tentu saja," kataku akhirnya "Aku ada di
sini... yang secara kasar berarti aku lebih baik mati daripada harus menjauh
darimu." Wajahku muram. "Bodohnya aku."
"Kau memang bodoh," ia menimpaliku sambil tertawa. Tatapan kami bertemu, dan aku
ikut tertawa. Kami sama-sama menertawakan kebodohan dan kemustahilan situasi
itu. "Jadi singa jatuh cinta pada domba... ," gumamnya.
Aku berpaling menyembunyikan mataku sementara hatiku senang mendengar kata-kata
itu. "Domba bodoh," desahku.
"Singa masokistik menjijikkan." Lama sekali ia memandang hutan yang gelap, dan
aku bertanya-tanya ke mana pikirannya telah membawanya.
"Kenapa... ?" aku memulai, kemudian berhenti, tak yakin bagaimana meneruskannya.
Ia memandangku dan tersenyum; sinar matahari membuat wajah dan giginya
berkilauan. "Ya?" "Katakan padaku kenapa kau lari dariku sebelumnya."
Senyumnya memudar. "Kau tahu kenapa."
"Tidak, maksudku, tepatnya apa salahku" Aku harus berjaga-jaga, tahu, jadi
sebaiknya aku mulai belajar apa yang tidak seharusnya kulakukan. Ini,
contohnya"-aku membelai punggung tangannya - "sepertinya tidak masalah."
Ia tersenyum lagi. "Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Bella. Itu salahku."
"Tapi aku ingin membantu, kalau bisa, agar ini tidak lebih sulit lagi bagimu."
"Well... " Sesaat ia memikirkannya. "Masalahnya kau begitu dekat. Kebanyakan
manusia dengan sendirinya menjauhi kami mundur karena keanehan kami... Aku tidak
berharap kau akan sedekat ini. Dan aroma lehermu." Ia berhenti sesaat, melihat
apakah ia membuatku marah.
"Baik kalau begitu," kataku bergurau, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba
tegang. Aku melipat daguku. "Aku takkan memperlihatkan leherku."
Berhasil; ia tertawa. "Tidak, sungguh, lebih pada kejutannya daripada yang
lainnya." Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan lembut di leherku. Aku
duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang dingin bagai peringatan alami -
peringatan yang menyuruhku untuk takut. Namun tak ada rasa takut dalam diriku.
Bagaimanapun yang ada justru perasaan lain...
"Lihat, kan," katanya. "Benar-benar tidak apa-apa."
Darahku mengalir deras, dan aku berharap bisa memperlambatnya, sadar ini pasti
membuat segalanya lebih sulit - detak jantung dalam nadiku. Pasti ia bisa
mendengarnya. "Rona pipimu cantik," gumamnya. Dengan lembut ia membebaskan tangannya yang
lain. Tanganku jatuh lunglai di pangkuan. Dengan lembut ia membelai pipiku, lalu
memegang wajahku di antara sepasang tangan pualamnya.
"Jangan bergerak," bisiknya, seolah aku belum membeku saja.
Perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dariku, ia mencondongkan wajah ke arahku.
Lalu tiba-tiba, namun dengan teramat lembut, ia menempelkan pipinya yang dingin
di relung leherku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bila menginginkannya. Aku
mendengarkan suara napasnya yang teratur, mengawasi bagaimana matahari dan angin
bermain-main di rambutnya yang perunggu, lebih manusiawi daripada bagian dirinya
yang lain. Dengan kelambatan disengaja, tangan-tangannya meluncur menuruni leherku. Aku
gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi tangannya tidak berhenti ketika
dengan lembut beralih ke bahuku, kemudian berhenti.
Wajahnya bergeser ke samping, hidungnya menyusuri tulang selangkaku. Ia
berhenti, salah satu sisi wajahnya menempel lembut di dadaku. Mendengarkan detak
jantungku. "Ah," desahnya.
Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi berjam-jam.
Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak bergerak atau bicara lagi ketika
memegangku. Aku tahu kapan pun ini bisa jadi kelewat berlebihan, dan hidupku
bisa berakhir-begitu cepat hingga aku bahkan mungkin takkan menyadarinya. Dan
aku tak bisa membuat diriku ketakutan. Aku tak bisa memikirkan apa pun, kecuali
bahwa ia sedang menyentuhku.
Kemudian, terlalu cepat, ia melepaskanku.
Sorot matanya damai. "Tidak akan sesulit itu lagi," katanya puas.
"Apakah sulit sekali bagimu?"
"Tak seburuk yang kubayangkan. Kau?"
"Tidak, itu tidak buruk... bagiku."
Ia tersenyum mendengar nada suaraku. "Kau tahu maksudku."
Aku tersenyum. "Kemarilah." Ia meraih tanganku dan menaruhnya di pipinya "Bisa kaurasakan
hangatnya?" Kulitnya yang biasanya dingin nyaris hangat. Tapi aku nyaris tidak memerhatikan,
berhubung aku sedang menyentuh wajahnya, sesuatu yang selalu kuimpikan sejak
hari pertama aku melihatnya.
"Jangan bergerak," bisikku.
Tak ada yang bisa setenang Edward. Ia memejamkan mata dan diam tak bergerak
bagai batu, sebuah ukiran dalam genggamanku.
Aku bergerak bahkan lebih pelan daripadanya, berhati-hati agar tidak membuat
gerakan yang tidak diinginkan. Kubelai pipinya, dengan lembut mengusap kelopak
matanya, bayangan keunguan di bawah matanya. Kutelusuri bentuk hidungnya yang
sempurna, kemudian, dengan sangat berhati-hati kutelusuri bibirnya yang tak
bercela. Bibirnya membuka di bawah tanganku, dan aku bisa merasakan embusan
napasnya yang sejuk di ujung jemariku. Aku ingin mencondongkan tubuh, menghirup
aromanya. Jadi kujatuhkan tanganku dan menjauh, tak ingin mendorongnya terlalu
jauh. Ia membuka mata, dan keduanya tampak kelaparan. Bukan dengan cara yang membuatku
takut, tapi yang membuat otot perutku tegang dan jantungku berdebar-debar lagi.
"Kuharap," bisiknya, "kuharap kau bisa merasakan... kesulitan... kebingungan...
yang kurasakan. Agar kau mengerti."
Ia mengulurkan tangannya ke rambutku, kemudian dengan hati-hati mengusap
wajahku. "Katakan padaku," desahku.
"Kurasa aku tidak bisa. Sudah kubilang, di lain sisi, rasa lapar - haus - yang
menjadikanku makhluk tercela, kurasakan padamu. Dan kurasa kau bisa memahami
itu. Meskipun" - ia setengah tersenyum - "berhubung kau tidak kecanduan obat-
obat terlarang barangkali kau tak bisa mengerti sepenuhnya."
"Tapi... " Jemarinya menyentuh lembut bibirku, membuatku gemetaran lagi. "Ada
hasrat lain. Hasrat yang tak bisa kumengerti, sesuatu yang asing bagiku."
"Aku mungkin mengerti itu lebih baik dari yang kausangka."
"Aku tak terbiasa merasa begitu manusiawi. Apakah rasanya selalu seperti ini"
"Bagiku?" aku berhenti. "Tidak, tidak pernah. Tidak pernah sebelumnya."
Ia menggenggam tanganku di antara kedua tangannya. Begitu rapuh dalam kekuatan
baja yang dimilikinya. "Aku tak tahu bagaimana caranya dekat denganmu," ia mengaku. "Aku tak tahu
apakah aku bisa." Dengan sangat perlahan kucondongkan tubuhku, mengingatkannya lewat tatapanku.
Kutempelkan pipiku di dadanya yang keras. Aku hanya bisa mendengar desah
napasnya, tak ada yang lain.
"Ini sudah cukup," desahku, memejamkan mata.
Dengan gerakan yang amat manusiawi ia memelukku dan menekankan wajahnya di
rambutku. "Untuk urusan ini kau lebih baik daripada yang kausangka," sahutku.
"Aku punya naluri manusia - naluri itu mungkin saja terkubur dalam-dalam, tapi
masih ada." Lama sekali kami duduk seperti itu; aku bertanya-tanya mungkinkah ia sama
enggannya untuk bergerak seperti halnya diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya
mulai memudar, bayangan hutan mulai menyentuh kami, dan aku pun mendesah.
"Kau harus pergi."
"Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku."
"Sudah jelas." Aku bisa mendengar senyuman dalam perkataannya.
Ia meraih bahuku, dan aku menatap wajahnya.
"Bisakah aku memperlihatkanmu sesuatu?" pintanya, kegembiraan tiba-tiba menyala-
nyala di matanya. "Memperlihatkan apa?"
"Akan kuperlihatkan bagaimana aku berjalan-jalan di hutan." Ia mengamati
ekspresiku. "Jangan khawatir, kau akan sangat aman, dan kita akan tiba di trukmu
lebih cepat dari pada yang kaubayangkan." Bibirnya menyunggingkan senyum yang
begitu indah hingga jantungku nyaris berhenti berdetak.
"Apakah kau akan berubah menjadi kelelawar?" tanyaku hati-hati.
Ia tertawa, lebih keras daripada yang pernah kudengar. "Seolah-olah aku belum
pernah mendengar yang satu itu saja!"
"Benar, aku yakin kau sering mendengarnya."
"Ayo, pengecut kecilku, naik ke punggungku."
Aku menunggu untuk meyakinkan apakah ia bergurau, tapi tampaknya ia bersungguh-
sungguh. Ia tersenyum melihat keraguanku, lalu mengulurkan tangan meraihku.
Jantungku bereaksi; meskipun tak bisa mendengar pikiranku, ia tetap bisa
mengetahuinya lewat detak jantungku. Kemudian ia mengayunkanku ke punggungnya
tanpa aku perlu bersusah-payah. Setelah itu aku mengaitkan tangan dan kakiku di
tubuhnya begitu erat hingga bisa membuat orang biasa tersedak. Rasanya seperti
memeluk batu. "Aku agak lebih berat daripada tas ranselmu," aku mengingatkannya.
"Hah!" dengusnya. Aku nyaris bisa mendengar ia memutar bola matanya. Aku tak
pernah melihatnya begitu bersemangat sebelumnya.
Ia membuatku terkejut ketika sekonyong-konyong ia meraih tanganku, menekankan
telapak tanganku ke wajahnya, dan menghirupnya dalam-dalam.
"Selalu lebih mudah daripada sebelumnya" gumamnya.
Kemudian ia berlari. Jika sebelumnya keberadaannya pernah membuatku mengkhawatirkan kematian, itu tak
sebanding dengan yang kurasakan saat ini.
Ia menerobos kegelapan hutan yang lebat bagai peluru, bagai hantu. Tak ada
suara, tak ada bukti ia memijakkan kakinya di tanah. Irama napasnya tak pernah
berubah, tidak menunjukkan bahwa ia mengerahkan segenap tenaga. Tapi pepohonan
di sekitar kami berkelebat sangat cepat, selalu luput menyentuh kami.
Aku terlalu takut untuk memejamkan mata, meskipun hawa hutan yang sejuk menyapu
wajahku dan membakarnya. Aku merasa seolah-olah dengan bodoh menjulurkan kepala
ke luar jendela pesawat yang sedang mengudara. Dan untuk pertama kali dalam
hidupku, aku merasa mabuk.
Kemudian selesai. Kami mendaki berjam-jam tadi pagi untuk mencapai padang rumput
Edward, dan sekarang, dalam hitungan menit, kami sudah sampai lagi di truk.
"Asyik, bukan?" Suaranya meninggi, senang. Ia berdiri tak bergerak, menungguku
turun. Aku mencobanya, tapi otot-ototku kaku. Lengan dan kakiku tetap mengunci
tubuhnya sementara kepalaku berputar-putar dan membuatku tidak nyaman.
"Bella?" panggilnya, sekarang terdengar waswas.
"Rasanya aku perlu berbaring," aku menahan napas.
"Oh, maaf." Ia menungguku, tapi aku masih tetap tak bisa bergerak.
"Sepertinya aku perlu bantuan," ujarku.
Ia tertawa pelan, dan dengan lembut melepaskan cengkeramanku di lehernya.
Kupasrahkan diriku. Kemudian ia menarikku menghadapnya, menggendongku seolah aku
kanak-kanak. Ia memelukku sebentar, lalu hati-hati menurunkanku ke atas hamparan
pakis. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
Aku tidak yakin apa yang kurasakan saat kepalaku berputar cepat sekali. "Rasanya
pusing." "Letakkan kepalamu di antara kedua lututmu."
Aku mencobanya, dan lumayan membantu. Aku bernapas pelan, menjaga kepalaku tetap
tenang. Aku merasakan ia duduk di sisiku. Waktu berlalu, dan akhirnya aku dapat
mengangkat kepala. Telingaku berdenging.
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurasa itu bukan gagasan yang bagus," gumamnya.
Aku mencoba bersikap positif, namun suaraku lemah. "Tidak, itu tadi sangat
menarik." "Hah! Wajahmu sepucat hantu begitu - oh bukan, kau sepucat aku!"
"Seharusnya tadi aku memejamkan mata."
"Lain kali ingat itu."
"Lain kali!" erangku.
Ia tertawa. Suasana hatinya masih bagus.
"Tukang pamer," gumamku.
"Buka matamu, Bella," ujarnya pelan.
Dan di sanalah dia, wajahnya sangat dekat denganku. Ketampanannya memukauku -
terlalu berlebihan, kelebihan yang belum bisa membuatku terbiasa.
"Aku sedang berpikir, ketika aku berlari..." Ia terdiam.
"Kuharap bukan tentang tidak menabrak pepohonan."
"Bella kau lucu." ia tergelak. "Berlari adalah sesuatu yang alami, bukan sesuatu
yang harus kupikirkan."
"Tukang pamer," gumamku lagi.
Ia tersenyum. "Bukan," lanjutnya, "aku berpikir ada sesuatu yang ingin kucoba." Dan ia
memegangi wajahku dengan tangannya lagi. Aku tak bisa bernapas.
Ia ragu-ragu - tidak seperti biasanya, seperti cara manusia.
Bukan seperti pria yang ragu-ragu sebelum mencium wanita, untuk mengira-ngira
bagaimana reaksinya, untuk melihat bagaimana wanita itu menerimanya. Barangkali
ia ingin mengulur-ulur waktu, saat penantian yang tepat terkadang lebih baik
daripada ciuman itu sendiri.
Edward ragu untuk menguji dirinya sendiri, untuk mengetahui apakah ini aman,
untuk memastikan dirinya masih dapat mengendalikan hasratnya.
Kemudian bibir pualamnya yang dingin menekan lembut bibirku.
Tapi kami sama sekali tidak siap dengan reaksiku.
Darahku mendidih dan membara di bibirku. Napasku terengah-engah. Jemariku
meremas rambutnya, mencengkeram tubuhnya di tubuhku. Bibirku membuka saat
kuhirup aroma tubuhnya yang keras.
Tiba-tiba kurasakan ia mematung di bawah bibirku. Dengan lembut dan tegas
tangannya mendorong wajahku. Aku membuka mata dan melihat ekspresinya yang
waspada. "Ups," desahku.
"Itu namanya melecehkan."
Tatapannya liar, rahangnya menegang, meski begitu artikulasinya tetap sempurna.
Ia memegang wajahku hanya beberapa senti dari wajahnya. Aku terpana dibuatnya.
"Haruskah aku... ?" Aku mencoba menahan diri, memberinya sedikit ruang.
Tangannya tidak mengizinkanku bergerak sedikit pun.
"Tidak, aku bisa menolerirnya. Tolong tunggu sebentar." Suaranya sopan,
terkendali. Aku terus menatap matanya, memerhatikan hasrat yang berkobar-kobar di dalamnya
mulai memudar dan melembut.
Kemudian ia tersenyum, dan senyumnya tak disangka-sangka nakal.
"Nah," katanya, jelas puas dengan dirinya sendiri.
"Bisa ditolerir?" tanyaku.
Ia tertawa keras. "Aku lebih kuat daripada yang kuduga. Senang mengetahuinya."
"Kuharap aku bisa mengatakan yang sama. Maafkan aku."
"Kau toh hanya manusia biasa."
"Terima kasih banyak," sahutku getir.
Dalam satu gerakan luwes dan cepat ia sudah berdiri. Ia mengulurkan tangan
padaku, gerakan yang tak kusangka-sangka. Aku begitu terbiasa berhati-hati agar
kami tak bersentuhan. Kugenggam tangannya yang dingin, memerlukannya lebih dari
dugaanku. Keseimbanganku belum kembali sepenuhnya.
"Apa kau masih mau pingsan akibat lari kita tadi" Atau karena ciumanku yang
menghanyutkan?" Betapa ceria, betapa manusianya dia ketika sedang tertawa
sekarang ini, wajah malaikatnya tampak tenang. Ia adalah Edward yang berbeda
dari yang kukenal. Dan aku merasa lebih tergila-gila padanya. Akan menyakitkan
bila harus berpisah darinya sekarang.
"Aku tidak yakin, aku masih pening," akhirnya aku berhasil menyahut. "Kurasa
gabungan keduanya." "Kurasa kau harus membiarkanku mengemudi."
"Kau gila ya?" protesku.
"Aku bisa mengemudi lebih baik darimu bahkan pada hari terbaikmu." godanya.
"Refleksmu jauh lebih lambat."
"Aku yakin itu benar, tapi kurasa keberanianku, atau trukku, bisa menerimanya."
"Percayalah, Bella, sedikit saja."
Kuselipkan tanganku di saku celana, menggenggam kunci mobilku erat-erat.
"Tidak. Tidak sedikit pun."
Alisnya terangkat tak percaya.
Aku mulai mengitarinya, menuju sisi pengemudi. Ia mungkin membiarkanku lewat
kalau saja aku tidak terhuyung. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ia mungkin tidak
akan membiarkanku lewat sama sekali. Lengannya menciptakan perangkap tak
tertembus di sekeliling pinggangku.
"Bella, aku telah mengerahkan segenap usaha yang kubisa untuk menjagamu tetap
hidup. Aku takkan membiarkanmu mengemudi ketika berjalan lurus pun kau tak bisa.
Lagi pula, seorang teman takkan membiarkan temannya mengemudi dalam keadaan
mabuk," kutipnya sambil tergelak. Aku bisa mencium aroma manis yang tak
tertahankan dari dadanya.
"Mabuk?" timpalku keberatan.
"Kau mabuk oleh kehadiranku." Ia memamerkan senyumnya yang menggoda lagi.
"Aku tak bisa menyangkal yang satu itu," desahku. Tak ada jalan keluar, aku tak
bisa menolaknya untuk apa pun. Aku mengangkat kunci trukku tinggi-tinggi dan
menjatuhkannya, mengamati tangannya berkelebat bagai kilat dan menyambarnya
tanpa suara. "Santai saja - trukku sudah cukup tua."
"Sangat masuk akal," timpalnya.
"Dan apakah kau sama sekali tidak terpengaruh?" tanyaku jengkel. "Oleh
kehadiranku?" Lagi-lagi ekspresinya yang mudah berubah berganti lagi menjadi lembut dan
hangat. Awalnya ia tidak menjawab hanya menundukkan wajahnya ke arahku, dan
mengusapkan bibirnya perlahan sepanjang rahangku, mulai dari telinga ke dagu,
berulang-ulang. Aku gemetaran.
"Bagaimanapun," akhirnya ia bergumam, "refleksku lebih baik.
14. TEKAD YANG KUAT MENGALAHKAN SEGALA HAMBATAN FISIK
HARUS kuakui ia bisa mengemudi dengan baik saat ia menjaga kecepatannya tetap
wajar. Seperti banyak hal, tampaknya itu mudah baginya. Meskipun ia nyaris tidak
melihat jalanan, ban trukku tak pernah keluar satu senti pun dari batas jalur.
Ia mengemudi dengan satu tangan, tangan yang lain menggenggam tanganku yang
bersandar di kursi. Kadang-kadang ia memandang matahari yang mulai terbenam,
kadang-kadang menatapku - wajahku, rambutku yang berkibaran dari jendela yang
terbuka, tangan kami yang bertaut.
Ia menyetel saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu lama, dan ikut menyanyikan
lagu yang tak pernah kudengar. Ia hafal setiap barisnya.
"Kau suka musik '50-an?" tanyaku.
"Musik'50-an bagus. Jauh lebih bagus daripada musik '60-an, atau 70-an, uhh!" Ia
bergidik. "Delapan puluhan masih bisa diterima."
"Apa kau akan pernah memberitahuku berapa usiamu?" tanyaku, ragu-ragu, tak ingin
merusak selera humornya yang ceria.
"Apakah itu sangat penting?" Untungnya senyumnya tetap mengembang.
"Tidak juga, tapi aku masih bertanya-tanya... " aku nyengir. "Misteri tak
terpecahkan selalu bisa membuatmu terjaga sepanjang malam."
"Aku membayangkan apakah itu akan membuatmu kecewa," ia bergumam pada dirinya
sendiri. Ia memandang matahari; menit demi menit berlalu.
"Coba saja," kataku akhirnya.
Ia mendesah, kemudian menatap mataku, seolah-olah benar-benar melupakan jalanan
selama beberapa saat. Apa pun yang dilihatnya pasti telah membangkitkan
keberaniannya. Ia melihat ke arah matahari-cahaya benda langit bundar yang
terbenam itu membuat kulitnya bercahaya dalam kilauan butir-butir kemerahan -
lalu berkata, "Aku lahir di Chicago tahun 1901."
Ia berhenti sejenak dan melirikku dari sudut matanya. Dengan hati-hati kujaga
wajahku tetap tenang, sabar menantikan penjelasan selanjutnya. Ia tersenyum
simpul dan melanjutkan, "Carlisle menemukanku di rumah sakit pada tahun 1918.
Usiaku tujuh belas saat itu, sekarat akibat flu Spanyol."
Ia mendengarku terkesiap, meski bagiku sendiri nyaris tak terdengar. Ia menunduk
menatap mataku lagi. "Aku tak mengingatnya dengan baik-sudah lama sekali, dan ingatan manusia
memudar." Sesaat ia larut dalam ingatannya sebelum melanjutkan lagi, "Tapi aku
ingat bagaimana rasanya, ketika Carlisle menyelamatkanku. Bukan hal mudah, bukan
sesuatu yang bisa kaulupakan."
"Orangtuamu?" "Mereka telah meninggal lebih dulu akibat penyakit itu. Aku sebatang kara. Itu
sebabnya dia memilihku. Di tengah-tengah kekacauan bencana epidemik itu, tak
seorang pun bakal menyadari bahwa aku menghilang.
"Bagaimana dia... menyelamatkanmu?"
Beberapa detik berlalu sebelum ia menyahut. Sepertinya ia memilih kata-katanya
dengan hati-hati "Sulit. Tak banyak dari kami memiliki kendali diri yang diperlukan untuk
menyelesaikannya. Tapi Carlisle selalu menjadi yang paling manusiawi, yang
paling berbelas kasih di antara kami.... Kurasa kau tak bisa menemukan yang
setara dengannya sepanjang sejarah." Ia terdiam. "Bagiku, rasanya amat, sangat
menyakitkan." Dari garis bibirnya aku tahu ia tidak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai
masalah ini. Kutekan rasa penasaranku, meskipun nyaris tak mungkin. Banyak yang
perlu kupikirkan mengenai hal ini, hal-hal yang baru saja muncul dalam benakku.
Tak diragukan lagi benaknya yang berputar cepat telah mengetahui setiap aspek
yang tidak kumengerti. Suaranya yang lembut membuyarkan lamunanku. "Kesendirianlah yang
menggerakkannya. Biasanya itulah alasan di balik pilihan tersebut. Aku adalah
yang pertama dalam keluarga Carlisle, meski tak lama setelah itu dia menemukan
Esme. Dia terjatuh dari tebing. Mereka langsung membawanya ke kamar mayat di
rumah sakit, meski entah bagaimana jantungnya masih berdenyut."
"Kalau begitu kau harus dalam kondisi sekarat untuk menjadi... " Kami tak pernah
mengucapkan kata itu, dan aku tak dapat mengucapkannya sekarang.
"Tidak, itu hanya Carlisle. Dia takkan pernah melakukannya pada orang yang
memiliki pilihan lain." Rasa hormat yang sangat dalam terpancar dalam suaranya
setiap kali ia membicarakan orang yang menjadi figur ayah baginya itu. "Meski
begitu, katanya lebih mudah bila aliran darahnya lemah," lanjutnya. Ia memandang
jalanan yang sekarang telah menggelap, dan aku bisa merasakan topik ini telah
berakhir. "Emmett dan Rosalie?"
"Carlisle membawa Rosalie ke keluarga kami setelah Esme. Lama setelahnya barulah
aku menyadari bahwa dia berharap Rosalie akan menjadi seseorang bagiku seperti
Esme baginya - Carlisle berhati-hati dengan pikirannya yang menyangkut diriku."
Ia memutar bola matanya. "Tapi Rosalie tak pernah lebih daripada seorang adik.
Dua tahun kemudian dia menemukan Emmett. Rosalie sedang berburu - waktu itu kami
sedang di Appalachia - dan mendapati seekor beruang nyaris menghabisi Emmett.
Rosalie membawanya kepada Carlisle, menempuh jarak lebih dari seratus mil,
khawatir dia tak dapat melakukannya sendiri. Aku hanya menduga-duga bagaimana
sulitnya perjalanan itu baginya." Ia menatapku dalam-dalam, dan mengangkat
tangan kami, masih terjalin, lalu mengusap pipiku dengan punggung tangannya.
Perawan Lembah Wilis 9 Wiro Sableng 140 Misteri Pedang Naga Suci 212 Dendam Dalam Titisan 2