Pencarian

Twilight 3

Twilight Karya Stephenie Meyer Bagian 3


"Sungguh, Mike, kau ini buta ya?"
"Oh," ia menarik napas-jelas bingung. Aku menggunakan kesempatan ini untuk kabur
dari situ. "Waktunya masuk kelas, dan aku tak boleh terlambat lagi." Kukumpulkan buku-
bukuku dan menjejalkannya ke tas.
Kami berjalan tanpa bicara ke gedung tiga dan raut wajahnya gelisah. Kuharap apa
pun yang dipikirkannya akan membawanya ke arah yang benar.
Ketika aku melihat Jessica di kelas Trigono, ia kelihatan sangat antusias. Ia,
Angela, dan Lauren akan berbelanja ke Port Angeles malam ini. Mereka ingin
membeli gaun yang akan dikenakan di pesta dansa, dan Jessica ingin aku ikut
bersama mereka, meskipun sebenarnya aku tidak perlu membeli gaun. Aku tak bisa
memutuskan. Pasti menyenangkan bisa jalan-jalan ke luar kota dengan sahabat-
sahabat cewek, tapi Lauren juga bakal ikut. Dan siapa tahu apa yang akan
kulakukan malam nanti... Tapi aku tak boleh membiarkan pikiranku berkelana ke
sana. Tentu saja aku gembira karena matahari bersinar hari ini. Tapi sinar
matahari tak sepenuhnya bertanggung jawab atas suasana gembira yang kurasakan
saat ini, tidak sama sekali.
Jadi kubilang akan memikirkannya, kubilang akan minta izin Charlie dulu.
Sepanjang perjalanan menuju kelas Spanyol, yang dibicarakan Jessica hanya pesta
dansa. Ia kembali membicarakannya lagi setelah kelas selesai lima menit lebih
lama, dan kami pun menuju kafetaria untuk makan siang. Aku sendiri terlalu larut
dalam penantian yang sarat emosi sehingga tidak menyimak apa yang
dibicarakannya. Aku bukan hanya ingin sekali bertemu dengannya, melainkan juga
semua keluarga Cullen-untuk membandingkan mereka dengan kecurigaan yang
menggayuti pikiranku. Ketika melintasi pintu kafetaria, kurasakan rasa takut
pertama yang sesungguhnya menuruni punggungku, lalu menetap di perut. Apakah
mereka bisa mengetahui apa yang kupikirkan" Lalu perasaan yang lain menyapuku-
apakah Edward menunggu untuk duduk bersamaku lagi"
Seperti biasa mula-mula aku memandang meja keluarga Cullen. Gelombang panik
bergejolak dalam perutku ketika menyadari tempat itu kosong. Dengan harapan yang
semakin menipis pandanganku menyapu sekeliling kafetaria, berharap menemukannya
duduk sendirian, menungguku. Kafeteria sudah nyaris penuh - kelas Spanyol
menahan kami - tapi tak ada tanda-tanda kehadiran Edward atau saudara-
saudaranya. Kesepian menghantamku dengan kekuatan menghancurkan
Aku berjalan tertatih-tatih di belakang Jessica, sama sekali tak repot-repot
berpura-pura mendengarkan.
Sepertinya kami sangat terlambat karena yang lain sudah duduk di meja kami. Aku
menghindari kursi kosong di sebelah Mike, dan memilih duduk di sebelah Angela.
Samar-samar kuperhatikan Mike mempersilakan Jessica duduk dengan sopan, dan
tentu saja wajah Jessica berseri-seri karenanya.
Angela menanyakan beberapa hal tentang makalah Macbeth-ku. Sebisa mungkin
kujawab sewajarnya, meskipun hatiku sedih. Angela juga mengajakku ikut malam
ini, dan sekarang aku mengatakan ya, menggapai apa saja yang bisa mengalihkan
perhatian. Aku tersadar aku ternyata masih berharap ketika memasuki kelas Biologi dan
melihat kursinya kosong. Gelombang kekecewaan melanda diriku lagi.
Sisa hari itu berjalan sangat pelan, muram. Di pelajaran Olahraga kami membahas
tentang peraturan bulu tangkis, siksaan berikut yang sudah mereka siapkan
untukku. Tapi setidaknya itu artinya aku hanya perlu duduk mendengarkan,
bukannya terpeleset di lapangan. Bagian terbaiknya adalah, pelatih tidak selesai
menjelaskan, jadi besok aku terbebas lagi dari penyiksaan. Lupakan saja
kenyataan bahwa lusa mereka akan memberiku raket sebelum melepaskanku untuk
menjadi santapan seluruh kelas.
Aku senang bisa meninggalkan sekolah akhirnya. Itu artinya aku bisa bebas
menekuk wajahku dan mengasihani diriku sebelum nanti malam pergi bersama Jessica
dan kawan-kawan. Tapi tepat setelah aku masuk ke rumah, Jessica menelepon
membatalkan rencana kami. Aku mencoba terdengar ceria ketika ia bercerita bahwa
Mike mengajaknya makan malam - aku benar-benar lega karena akhirnya Mike
mengerti - tapi semangatku terdengar tidak tulus di telingaku sendiri. Jessica
menunda rencana belanja kami jadi besok malam.
Yang berarti hanya tinggal sedikit hal untuk mengalihkan perhatian. Aku
membumbui ikan untuk makan malam, dan menyiapkan salad dan roti sisa semalam,
jadi tak ada apa-apa lagi yang bisa kukerjakan. Aku menghabiskan setengah jam
mengerjakan PR, tapi lalu berhasil menyelesaikannya dengan cepat. Kuperiksa e-
mail-ku, membaca tumpukan surat dari ibuku, yang semakin lama semakin sinis. Aku
menghela napas dan mengetik jawaban singkat.
Mom, Maaf. Aku nggak ada di rumah. Aku pergi ke pantai dengan beberapa teman. Dan aku
harus membuat makalah. Alasanku terdengar menyedihkan, jadi aku menyerah saja.
Hari ini cuaca cerah aku tahu, aku juga terkejut - jadi aku akan keluar dan
menyerap vitamin D sebanyak yang kubisa. Aku sayang kau.
Bella. Kuputuskan untuk menghabiskan waktu satu jam membaca sesuatu yang tak ada
hubungannya dengan pelajaran sekolah. Aku membawa beberapa buku ke Forks, dan
yang paling tebal merupakan kumpulan karya Jane Austen. Aku memilihnya dan pergi
ke halaman belakang. Dalam perjalanan turun aku menyambar selembar selimut tua
usang dari lemari di tangga teratas.
Di luar, di halaman kecil Charlie yang berbentuk persegi, selimutnya kulipat dua
lalu kuhamparkan di bawah pepohonan, di atas rumput tebal yang selalu agak
basah, tak peduli seberapa lama matahari menyinarinya. Aku berbaring
menelungkup, mengangkat dan menyilangkan pergelangan kaki membalik-balik halaman
novel itu, mencoba memutuskan cerita manakah yang paling menarik. Favoritku
adalah Pride and Prejudice dan Sense and Sensibility. Baru-baru ini aku telah
membaca yang pertama, jadi kupilih Sense and Sensibility. Setelah sampai bab
tiga aku pun teringat bahwa tokoh pahlawan di cerita itu kebetulan bernama
Edward. Dengan marah kuganti bacaanku dengan Mansfield Park, tapi pahlawan di
buku itu bernama Edmund, hampir mirip. Memangnya tak ada nama lain pada akhir
abad kedelapan belas ya" Kubanting buku itu hingga menutup, merasa jengkel, lalu
berguling hingga telentang. Kutarik lengan bajuku setinggi mungkin dan memejamkan mata.
Aku tidak memikirkan apa pun kecuali kehangatan yang kurasakan pada kulitku,
ujarku kasar pada diri sendiri. Angin masih sepoi-sepoi, tapi mampu meniup bulu-
bulu halus di wajahku, dan rasanya agak geli. Kutarik rambutku ke atas,
membiarkannya mengering di selimut di atas kepalaku, dan kembali berkonsentrasi
pada kehangatan yang menyentuh kelopak mata, tulang pipi, hidung, bibir, lengan
bawah, leher, menembus kausku yang tipis...
Hal berikut yang kusadari adalah suara mobil patroli Charlie memasuki halaman.
Aku langsung terbangun, duduk, menyadari sinar matahari sudah lenyap di balik
pohon. Rupanya aku tertidur. Aku mengedarkan pandang, bingung karena perasaan
yang muncul tiba-tiba bahwa aku tak lagi sendirian.
"Charlie?" panggilku. Tapi aku mendengar pintunya terbanting menutup.
Aku melompat, merasa gugup dan konyol, mengumpulkan selimut yang sekarang lembab
dan buku-bukuku. Aku berlari masuk untuk memanaskan minyak, sadar waktu maka
malam sudah tiba. Charlie sedang menggantungkan sabuk senjatanya dan melepaskan
sepatu bot ketika aku masuk.
"Maaf, Dad, makan malam belum siap-aku ketiduran di luar sana. Aku mengatakannya
sambil menguap. "Jangan khawatir," katanya. "Aku hanya ingin cepat-cepat nonton pertandingan
kok." Setelah makan malam aku nonton TV bersama Charlie sekadar mengisi waktu. Tak ada
yang ingin kutonton, tapi ia tahu aku tidak suka bisbol, jadi ia menggantinya ke
sitkom membosankan. Tak satu pun dari kami menikmatinya. Meski begitu ia
kelihatan senang karena bisa melakukan sesuatu bersamaku. Dan meskipun aku
sedang sedih, rasanya menyenangkan bisa membuatnya senang.
"Dad," karaku saat jeda iklan, "besok malam Jessica dan Angela ingin ke Port
Angeles mencari gaun pesta dansa, dan mereka ingin aku membantu memilih...
apakah aku boleh ikut bersama mereka?"
"Jessica Stanley?" tanyanya.
"Dan Angela Weber." Aku menghela napas ketika memberi keterangan tambahan
padanya. Ia bingung. "Tapi kau tidak akan pergi ke pesta dansa, kan?"
"Tidak, Dad, tapi aku membantu mereka memilih pakaian - kau tahu, memberi kritik
yang membangun." Aku nggak perlu menjelaskan hal ini kalau ayahku perempuan.
"Well, baiklah." Ia sepertinya menyadari dirinya sama sekali tidak mengerti
urusan anak perempuan. "Itu masih malam sekolah, kan?"
"Kami langsung pergi sepulang sekolah, jadi bisa pulang lebih cepat. Kau bisa
menyiapkan makan malam sendiri, kan?"
"Bella, aku memasak makananku sendiri selama tujuh belas tahun sebelum kau
datang," ia mengingatkanku.
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa bertahan hidup selama itu," gumamku, lalu
menambahkan sesuatu yang lebih jelas, "aku akan menyiapkan bahan-bahan sandwich
di kulkas, oke" Persis di sebelah atas."
Paginya matahari bersinar cerah lagi. Aku terbangun dengan harapan baru yang
susah payah coba kutekan. Aku mengenakan pakaian yang cocok untuk udara hangat
seperti sekarang, blus berpotongan V biru tua-sesuatu yang kukenakan pada musim
dingin yang parah di Phoenix.
Aku telah mengatur kedatanganku di sekolah agar tidak terlalu pagi, sampai-
sampai nyaris tak punya waktu untuk bergegas ke kelas. Dengan hati mencelos aku
mengitari parkiran yang penuh, mencari tempat yang masih kosong, sambil mencari
Volvo silver yang jelas-jelas tak ada di situ. Aku memarkir truk di baris
terakhir dan bergegas ke kelas bahasa Inggris. Aku tiba terengah-engah, tapi
berhasil sampai sebelum bel terakhir berbunyi.
Hari ini sama seperti kemarin - aku tak bisa menahan secercah harapan tumbuh
dalam benakku, hanya untuk menyaksikannya hancur berantakan saat dengan hati
hancur aku mencari-cari mereka di ruang makan siang, dan duduk sendirian di
kelas Biologi. Perjalanan ke Port Angeles akhirnya akan terwujud malam ini. Rencana itu jadi
semakin menarik karena Lauren mendadak ada urusan. Aku benar-benar tak sabar
lagi ingin meninggalkan kota supaya bisa berhenti menoleh ke belakang, berharap
melihatnya muncul tiba-tiba seperti yang selalu dilakukannya. Aku berjanji akan
bersikap ceria malam ini dan tidak merusak kesenangan Angela dan Jessica berburu
pakaian. Mungkin aku juga bisa membeli beberapa potong pakaian. Kuenyahkan
pikiran bahwa aku mungkin akan berbelanja sendirian di Seattle akhir pekan ini,
tak lagi tertarik dengan kesepakatan tempo hari. Tak mungkin ia membatalkannya
tanpa setidaknya memberitahuku.
Usai sekolah Jessica ikut ke rumahku dengan Mercury tuanya yang putih, jadi aku
bisa meninggalkan buku-buku dan trukku. Kusisir rambutku cepat-cepat selagi di
dalam, merasa sedikit senang membayangkan meninggalkan Forks. Aku meninggalkan
pesan di meja untuk Charlie, kujelaskan lagi di mana kusimpan makan malamnya.
Lalu aku memindahkan dompet lipatku dari tas sekolah ke tas kecil yang jarang
kugunakan, lalu lari keluar dan bergabung dengan Jessica. Selanjurnya kami pergi
ke rumah Angela, ia sudah menunggu kami. Kegembiraanku meningkat cepat ketika
kami akhirnya mengemudi meninggalkan batas kota.
8. PORT ANGELES JESS mengemudi lebih cepat daripada Charlie, jadi kami bisa tiba di Port Angeles
pukul 14.00. Sudah lama aku tidak kumpul-kumpul dan nongkrong dengan teman-teman
cewekku, hingga aliran estrogen membuatku bersemangat. Kami mendengarkan lagu-
lagu rock berisik sementara Jessica berceloteh tentang cowok-cowok yang sering
nongkrong bersama kami. Makan malamnya bersama Mike berlangsung sangat baik, dan
ia berharap malam Minggu nanti mereka bakal berciuman. Aku tersenyum sendiri,
merasa senang. Secara tidak kentara Angela juga senang akan pergi ke pesta
dansa, tapi ia tidak benar-benar naksir Eric. Jess mencoba membuat Angela
mengaku tipe cowok seperti apa yang disukainya, tapi aku menyela dengan
menanyakan soal pakaian, untuk mengalihkan perhatiannya. Angela memandangku
dengan ekspresi terima kasih.
Port Angeles adalah daya tarik yang indah bagi wisatawan. Meskipun hanya kota
kecil, tempat itu lebih tertata dan menarik dibanding Forks. Tapi Jessica dan
Angela sudah sangat mengenalnya, jadi mereka tidak berencana menghabiskan waktu
untuk jalan-jalan di semenanjung, mengagumi keindahan kota. Jess langsung menuju
department store terbesar di sana yang jaraknya hanya beberapa ruas jalan dari
semenanjung yang sangat menarik bagi pengunjung.
Pesta dansa nanti sifatnya setengah formal, dan kami tidak terlalu yakin apa
maksudnya. Jessica dan Angela kelihatannya terkejut dan nyaris tak percaya
ketika kubilang aku tak pernah pergi ke pesta dansa ketika masih di Phoenix.
"Apa kau tak pernah berkencan atau apa?" Jess bertanya ragu-ragu ketika kami
memasuki toko. "Sungguh," aku berusaha meyakinkannya, tanpa harus menceritakan masalah yang
kualami bila berdansa. "Aku tidak pernah punya pacar, atau teman dekat. Aku
jarang keluar." "Kenapa?" tanya Jessica.
"Tidak ada yang mengajakku," jawabku jujur.
Ia tampak ragu. "Di sini orang-orang mengajakmu berkencan," ia mengingatkanku,
"dan kau menolaknya."
Kami sekarang berada di bagian remaja, melihat-lihat rak di sekitar kami,
mencari gaun. " Well, kecuali Tyler," ralat Angela.
"Maaf?" aku menahan napas. "Apa katamu?"
"Tyler bilang ke semua orang dia akan mengajakmu ke pesta prom," Jessica
memberitahuku dengan pandangan curiga.
"Dia bilang apa?" aku kedengaran seperti tersedak.
"Sudah kubilang itu tidak benar, kan," Angela bergumam kepada Jessica.
Aku terdiam, masih syok yang dengan cepat berganti jadi sebal. Tapi kami sudah
menemukan pakaian yang kami cari, dan sekarang ada pekerjaan lain yang harus
dilakukan. "Itu sebabnya Lauren tidak menyukaimu," Jessica cekikikan sementara kami
memilih-milih. Dengan geram aku berkata, "Apa kalian pikir kalau aku menabraknya dengan trukku,
dia bakal berhenti merasa bersalah mengenai kecelakaan itu" Apakah dia akan
berhenti berusaha membayar semuanya dan menganggapnya impas?"
"Mungkin," Jess nyengir. "Kalau memang itulah alasannya mengajakmu."
Pilihan pakaiannya tidak terlalu banyak, tapi mereka menemukan beberapa untuk
dicoba. Aku duduk di kursi pendek di kamar pas, di depan cermin tiga arah,
berusaha mengendalikan amarahku.
Jess bimbang di antara dua pilihan-gaun panjang hitam tanpa lengan, atau gaun
selutut warna biru elektrik dengan tali tipis di pundak. Kusarankan ia memilih
yang biru; kenapa tidak mencoba sesuatu yang berbeda" Angela memilih gaun pink
pucat yang membalut tubuh jangkungnya dengan indah dan menegaskan warna keemasan
rambutnya yang kecokelatan. Aku memuji mereka dengan tulus dan membantu
mengembalikan pakaian yang tak jadi dipilih ke rak. Proses memilih pakaian
ternyata hanya berlangsung sebentar dan lebih mudah daripada yang kulakukan
bersama Renee di Phoenix. Kurasa karena pilihan di sini lebih terbatas.
Kami beralih ke bagian sepatu dan aksesori. Sementara mereka menjajal macam-
macam, aku hanya memerhatikan dan mengkritik. Aku sedang tidak ingin belanja,
meskipun sebenarnya membutuhkan sepatu baru. Semangatku lenyap seiring munculnya
perasaan sebalku terhadap Tyler dan itu kembali menciptakan ruang untuk
kesedihan. "Angela?" ujarku ragu-ragu. sementara ia mencoba sepasang sepatu tali tumit
tinggi berwarna pink - ia senang sekali pasangan kencannya cukup tinggi sehingga
ia bisa mengenakan sepatu tumit tinggi. Jessica sudah pindah ke bagian aksesori
tinggal aku dan Angela sendirian.
"Ya?" Ia menjulurkan kaki, menggerakkan pergelangan kakinya supaya bisa
mengamati sepatunya dari sudut pandang berbeda.
Lalu aku mendadak takut. "Aku suka yang itu."
"Kurasa aku akan membelinya - meskipun hanya cocok dengan gaun baruku ini," ia
melamun. "Beli saja - sedang diskon kok," dukungku. Ia tersenyum, menutup kembali kotak
sepatu putih yang kelihatannya lebih praktis.
Aku mencoba lagi. "Mmm, Angela..." Ia menatap penasaran.
"Apakah anak-anak... Cullen"-aku terus memandangi sepatu- "memang sering
membolos sekolah?" Aku benar-benar gagal untuk terdengar biasa saja.
"Ya, ketika cuaca bagus mereka pergi berkemah - bahkan ayah mereka juga. Mereka
benar-benar pencinta alam sejati," ujarnya tenang, sambil mengamati sepatunya.
Ia tidak menanyakan apa pun, tidak seperti Jessica yang pasti akan melontarkan
ratusan pertanyaan. Aku mulai benar-benar menyukai Angela.
"Oh." Aku tidak membahasnya lagi ketika Jessica kembali untuk memperlihatkan
perhiasan yang serasi dengan sepatu silvernya.
Kami bermaksud makan malam di restoran Italia kecil di pinggir jalan, tapi acara


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belanjanya ternyata tak selama yang kami kira. Jess dan Angela akan membawa
pakaian baru mereka ke mobil, kemudian kami akan berjalan kaki ke teluk.
Kukatakan akan menemui mereka di restoran satu jam lagi - aku mau mencari toko
buku. Mereka sebenarnya bersedia ikut denganku, tapi aku menyuruh mereka
bersenang-senang - mereka tak tahu betapa asyiknya aku bila sudah dikelilingi
buku-buku, sesuatu yang lebih suka kulakukan sendirian. Mereka pergi ke mobil
sambil mengobrol riang, dan aku pergi ke arah yang tadi ditunjuk Jess.
Mudah bagiku menemukannya, tapi ternyata itu bukan toko buku yang kucari.
Jendelanya penuh kristal, penangkap mimpi, dan buku-buku penyembuhan spiritual.
Aku bahkan tidak masuk. Lewat jendela kaca aku bisa melihat perempuan berumur
lima puluh tahunan dengan rambut panjang beruban tergerai di punggung,
mengenakan pakaian tahun '60-an. Ia tersenyum ramah dari balik konter.
Kuputuskan tidak mencoba bicara dengannya. Pasti ada toko buku normal di kota
ini. Aku menelusuri jalan demi jalan yang padat oleh orang-orang yang pulang kerja,
berharap aku sedang menuju pusat kota. Aku tidak terlalu memerhatikan arah
langkahku; aku sedang berkutat dengan kesedihanku. Aku sedang berusaha keras
tidak memikirkan Edward, juga apa yang dikatakan Angela... Lebih lagi, aku
mencoba mematikan harapanku untuk Sabtu nanti, khawatir akan lebih kecewa lagi.
Ketika itulah aku mendongak dan melihat sebuah Volvo silver diparkir dijalan.
Tiba-tiba saja pikiran itu menyergapku. Dasar vampir tolol yang tak bisa
dipercaya, pikirku. Aku melangkah marah ke selatan, menuju beberapa toko berjendela kaca yang
sepertinya menjanjikan. Tapi ketika tiba di sana, itu hanya toko reparasi dan
toko kosong. Masih ada terlalu banyak waktu sebelum bertemu Jess dan Angela, dan
jelas aku perlu memulihkan suasana hatiku sebelum bertemu mereka lagi. Kusisir
rambutku dengan jemari dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbelok di sudut
jalan. Ketika menyeberang, aku tersadar telah menuju ke arah yang salah. Rambu lalu
lintas yang kulihat menunjuk arah utara, dan sepertinya bangunan-bangunan di
sini kebanyakan gudang. Kuputuskan untuk membelok ke timur di belokan berikut,
kemudian setelah beberapa blok aku berputar dan mencoba keberuntunganku dengan
mengambil jalan yang berbeda.
Empat cowok muncul dari pojokan yang kutuju, berpakaian terlalu santai untuk
kategori pekerja yang baru pulang kerja, tapi terlalu lusuh sebagai turis.
Ketika mereka mendekat, aku menyadari umur mereka tidak terlalu jauh dariku.
Mereka bercanda sambil berteriak-teriak, tertawa liar dan saling menonjok
lengan. Aku bergegas menyingkir sejauh mungkin, memberi jarak pada mereka,
berjalan cepat, sambil menoleh ke arah mereka.
"Hei, kau!" panggil salah satu dari mereka saat kami berpapasan, dan ia pasti
berbicara denganku, mengingat tak ada orang lain di sekitarku. Aku pun
memandangnya. Dua dari mereka telah menghentikan langkah, dua lagi memperlambat
jalannya. Sepertinya yang berbicara denganku tadi adalah yang paling dekat
denganku. Tubuhnya besar, berambut gelap, kira-kira awal dua puluhan. Ia
mengenakan kaus flanel di atas Tshirt kotornya, jins sobek-sobek, dan sandal. Ia
melangkah ke arahku. "Halo," gumamku sebagai reaksi spontan. Lalu aku cepat-cepat mengalihkan
pandangan dan berjalan lebih cepat menuju belokan. Bisa kudengar mereka tertawa
keras di belakangku. "Hei, tunggu!" salah satu memanggil lagi, tapi aku terus menunduk dan berbelok
sambil menghela napas lega. Masih kudengar mereka tertawa tergelak-gelak di
belakangku. Aku mendapati diriku berjalan di trotoar yang melintasi bagian belakang gudang-
gudang yang suram, masing-masing dilengkapi pintu untuk bongkar-muat truk,
terkunci pada malam hari. Sisi selatan jalan tidak bertrotoar, hanya pagar kawat
dengan kawat berduri untuk melindungi sejenis tempat penyimpanan mesin.
Sepertinya aku telah sampai di bagian Port Angeles yang bukan diperuntukkan bagi
turis. Aku tersadar hari mulai gelap, awan-awan akhirnya berkumpul lagi di
langit barat, membuat matahari terbenam lebih awal. Langit timur masih bersih,
tapi mulai kelabu dengan semburat merah jambu dan Jingga. Aku tadi meninggalkan
jaketku di mobil, dan dingin yang sekonyong-konyong kurasakan membuatku
bersedekap erat-erat. Sebuah van melintas di depanku, lalu jalanan kembali
kosong. Langit tiba-tiba menggelap, dan ketika menoleh untuk memandang awan yang semakin
mengancam, aku terkejut menyadari dua cowok diam-diam mengendap-endap enam meter
di belakangku. Mereka cowok-cowok yang tadi, meski bukan yang berambut gelap yang telah bicara
denganku. Aku langsung membuang muka dan mempercepat langkah. Perasaan merinding
yang tak ada hubungannya dengan cuaca membuatku gemetar lagi. Tas kecilku
kuselempangkan di tubuh seperti yang seharusnya dilakukan supaya tidak bisa
dicuri. Aku tahu persis di mana aku menaruh semprotan ladaku - masih di ranselku
di kolong tempat tidur, belum dibuka. Aku tidak membawa banyak uang, hanya
selembar dua puluh dolar dan sedikit recehan. Aku berpikir akan
menjatuhkan tasku dengan sengaja lalu kabur. Tapi suara ketakutan di sudut
benakku mengingatkanku mereka mungkin saja lebih dari sekadar pencuri.
Aku mendengarkan langkah mereka dengan saksama, yang sekarang jauh lebih pelan
daripada langkah berisik yang mereka buat tadi. Kedengarannya mereka tidak
mempercepat langkah ataupun semakin dekat denganku. Tarik napas, Bella, aku
mengingatkan diri sendiri. Kau tidak tahu apakah mereka mengikutimu. Aku terus
berjalan secepat mungkin tanpa benar-benar berlari, berkonsentrasi pada belokan
kanan yang sekarang tinggal beberapa meter. Aku bisa mendengar mereka tertinggal
jauh di belakang. Sebuah mobil biru muncul dari selatan dan meluncur cepat ke
arahku. Aku berpikir untuk menyetopnya, tapi ragu, tak yakin apakah mereka
benar-benar mengejarku. Aku sampai di sudut, tapi hanya dengan pandangan sekilas aku tahu itu jalan
buntu ke belakang bangunan yang lain. Aku setengah berbalik dengan siaga; aku
harus bergegas berian menyeberangi gang sempit itu, kembali ke trotoar.
Jalanannya berakhir di sudut berikut, di sana ada rambu stop. Aku berkonsentrasi
mendengarkan langkah-langkah samar di belakangku, memutuskan akan lari atau
tidak. Mereka sepertinya tertinggal jauh di belakang, dan aku tahu kapan saja
mereka bisa menyusulku. Aku yakin bakal tersandung dan jatuh kalau berjalan
lebih cepat lagi. Suara langkah kaki itu jelas sudah jauh di belakang. Aku
memberanikan diri menoleh sekilas, dan dengan lega melihat mereka kurang-lebih
dua belas meter di belakangku. Tapi kedua cowok itu sedang memandangiku.
Rasanya lama sekali baru aku sampai di sudut. Langkahku tetap stabil, dan kedua
cowok di belakangku semakin jauh tertinggal. Mungkin mereka sadar telah
membuatku takut dan menyesalinya. Aku melihat dua
mobil yang menuju utara melewati persimpangan yang akan kutuju, dan aku menghela
napas lega. Akan ada lebih banyak orang begitu aku keluar jari jalanan sepi ini.
Aku membelok dengan helaan napas lega.
Lalu menghentikan langkah.
Di kedua sisi jalan tampak dinding kosong tanpa pintu dan jendela. Dari jauh aku
bisa melihat dua persimpangan, lampu jalan, mobil-mobil, dan lebih banyak
pejalan kaki, tapi mereka terlalu jauh. Karena terhalang bangunan di sebelah
barat, di tengah jalan berdiri dua cowok lainnya. Mereka menatapku sambil
tersenyum puas, sementara aku berdiri membeku di trotoar. Aku pun tersadar, aku
tidak sedang diikuti. Aku dijebak. Aku berhenti sedetik yang rasanya lama sekali. Kemudian aku berbalik dan berlari
ke sisi lain jalan. Dengan hari ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara
langkah di belakangku semakin jelas sekarang.
"Di situ kau rupanya!" Suara gelegar cowok berambut gelap dan bertubuh kekar itu
memecah keheningan dan membuatku kaget. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ia
seolah-olah memandang ke belakangku.
"Yeah," suara keras menyahut dari belakangku, membuatku terperanjat sekali lagi
ketika mencoba lari. "Kami hanya mengambil jalan pintas."
Langkahku sekarang pelan. Jarak yang memisahkanku dengan dua pasang cowok itu
semakin dekat. Teriakanku cukup keras dan lantang, karenanya aku menghirup napas
dalam-dalam, bersiap-siap berteriak. Tapi tenggorokanku begitu kering sehingga
aku tak yakin seberapa keras aku bisa berteriak. Dengan cepat aku meloloskan
tali tasku dari kepala, menggenggamnya, siap menyerahkan atau menggunakannya
sebagai senjata bila perlu.
Si cowok kekar meninggalkan tembok ketika aku berhenti dengan hari-hari. dan
berjalan pelan ke jalan. "Jangan dekati aku." aku mengingatkan dengan suara yang seharusnya lantang dan
berani. Tapi aku benar tentang tenggorokkan yang kering-tak ada suara yang
keluar. "Jangan begitu, Manis," seru cowok itu, dan suara tawa liar itu terdengar lagi
di belakangku. Aku memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik berusaha mengingat-ingat
jurus bela diri yang kutahu. Kepalan tangan siap kulayangkan, mudah-mudahan bisa
mematahkan hidungnya atau menghantam kepalanya. Menusukkan jari ke matanya-
mencoba menusuk dan mencongkel keluar matanya. Dan tentu saja jurus standar,
tendangan lutut ke daerah vitalnya. Suara pesimis dalam benakku terdengar lagi,
mengingatkanku bahwa aku tak mungkin bisa mengalahkan salah satu dari mereka,
apalagi mereka berempat. Diam! Kuperintah suara itu diam sebelum mulai
ketakutan. Aku takkan menyerah sebelum mengalahkan salah satu dari mereka.
Kutelan liurku supaya bisa berteriak lantang.
Sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan dan sebuah mobil nyaris
menabrak si kekar, memaksanya melompat ke trotoar. Aku berlari ke tengah jalan -
mobil ini akan berhenti, atau menabrakku. Tapi mobil silver itu tak disangka-
sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu terbuka hanya beberapa
jengkal dariku. "Masuk," terdengar suara gusar memerintahku. Sungguh mengagumkan betapa cepatnya
cekaman rasa takut itu lenyap, mengagumkan bagaimana perasaan aman tiba-tiba
menyelimutiku - bahkan sebelum aku meninggalkan jalanan - hanya sedetik setelah
aku mendengar suaranya. Aku melompat masuk, membanting pintu hingga tertutup.
Suasana di dalam mobil gelap, tak ada cahaya seiring pintu yang tadi terbuka,
dan aku nyaris tak bisa melihat wajahnya dalam cahaya temaram yang terpancar
dari dasbor. Ban mencicit ketika ia berputar menuju utara, melaju terlalu cepat,
berbelok menuju keempat cowok yang terperangah itu. Sekilas kulihat mereka
melompat ke trotoar saat kami melaju menuju pelabuhan.
"Pakai sabuk pengamanmu," perintahnya, dan aku tersadar kedua tanganku meremas
jok erat-erat. Aku langsung mematuhinya; suara klik ketika sabuk pengaman
terpasang terdengar nyata dalam kegelapan. Ia membelok tajam ke kiri, terus
melesat cepat, melewati beberapa rambu stop tanpa menghentikan laju mobil.
Tapi aku merasa sangat aman, dan sejenak aku sama sekali tak peduli ke mana
tujuan kami. Kutatap wajahnya dengan perasaan lega yang dalam, kelegaan yang
melebihi kebebasanku yang mendadak itu. Kuamati rupanya yang tak bercela dalam
cahaya yang terbatas, menunggu napasku kembali normal, hingga tampak olehku
ekspresinya yang amat sangat marah.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku, terkejut mendengar betapa parau suaraku.
"Tidak," katanya kasar, nada suaranya marah.
Aku duduk diam, memerhatikan wajahnya sementara matanya yang berkilat-kilat
menatap lurus ke depan, sampai mobilnya tiba-tiba berhenti. Aku memandang
berkeliling, tapi terlalu gelap untuk melihat apa pun selain barisan pepohonan
di sisi jalan. Kami sudah meninggalkan kota.
"Bella?" ujarnya, suaranya tegang tapi terkendali.
"Ya?" suaraku masih parau. Diam-diam aku berusaha berdeham.
"Kau baik-baik saja?" Ia masih tidak memandang ke arahku tapi amarah tampak
jelas di wajahnya. "Ya," jawabku lembut.
"Tolong alihkan perhatianku," perintahnya.
"Maaf, apa katamu?"
Ia menghela napas keras-keras.
"Ceritakan apa saja yang remeh sampai aku tenang," ia menjelaskan. Dipejamkannya
matanya dan dicubitnya cuping hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.
"Mmm." Aku memutar otak untuk menemukan sesuatu yang remeh. "Aku akan menabrak
Tyler Crowley besok sebelum sekolah dimulai?"
Ia masih memejamkan mata dengan susah payah, tapi sudut bibirnya menegang.
"Kenapa?" "Dia memberitahu semua orang akan mengajakku ke pesta prom - entah dia itu tidak
waras atau masih mencoba menebus kesalahannya karena hampir membunuhku tempo...
Well, kau pasti ingat, dan dia pikir pesta prom cara yang tepat. Jadi kupikir
kalau aku membahayakan hidupnya, berarti kedudukan kami seri, dan dia tidak
perlu terus-menerus memperbaiki hubungan. Aku tidak memerlukan musuh, dan
barangkali Lauren akan kembali bersikap biasa kalau Tyler menjauhiku. Meski
begitu aku mungkin perlu menghancurkan mobil Sentra-nya. Kalau tidak punya
kendaraan, berarti dia tidak bisa mengajak siapa-siapa ke prom...," cerocosku.
"Aku sudah dengar." Ia terdengar lebih tenang.
"Oh ya"' tanyaku tidak percaya, kejengkelanku menyala-nyala lagi sekarang.
"Kalau dia lumpuh dari leher ke bawah, dia juga tidak bisa pergi ke prom,"
gumamku, menjelaskan rencanaku.
Edward menghela napas, akhirnya membuka mata.
"Lebih baik?" "Tidak juga." Aku menunggu, tapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia menyandarkan kepala ke
kursi, menatap langit-langit mobil. Wajahnya kaku.
"Apa yang terjadi?" bisikku.
"Kadang-kadang aku punya masalah dengan emosiku, Bella." Ia juga berbisik,
memandang ke luar jendela, matanya menyipit. "Tapi tidak akan lebih baik bagiku
bila aku berbalik dan memburu... " Ia tidak menyelesaikan kata-katanya,
memalingkan wajah, beberapa saat berusaha keras mengendalikan amarahnya lagi.
"Setidaknya," lanjutnya, "itulah yang sedang coba kukatakan pada diriku
sendiri." "Oh." Kata itu sepertinya tidak cukup, tapi aku tak bisa memikirkan jawaban yang
lebih baik. Kami duduk diam lagi. Aku melihat jam di dasbor. Sudah lewat 18.30.
"Jessica dan Angela pasti khawatir," gumamku. "Aku seharusnya menemui mereka."
Ia menyalakan mesin mobil tanpa mengatakan apa-apa, berbelok mulus dan meluncur
kembali menuju kota. Tak lama kemudian kami sudah disinari lampu-lampu jalan,
mobilnya masih ngebut, dengan mudah menyalip mobil-mobil yang melaju pelan di
jalur boardwalk. Ia memarkir paralel di tempat sempit yang tadinya kukira tak
cukup untuk Volvo-nya, tapi ia melakukannya dengan mudah. Aku memandang ke luar
dan melihat tulisan La Bella Italia. Jess dan Angela tampak baru saja
meninggalkan meja. berjalan waswas menjauhi kami.
"Bagaimana kau tahu di mana..." aku memulai, tapi lalu aku hanya menggeleng-
gelengkan kepala. Aku mendengar pintunya terbuka dan melihat ia hendak keluar
dari mobil. "Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Mengajakmu makan malam," katanya sedikit tersenyum, tapi sorot matanya tetap
tajam. Ia melangkah keluar dari mobil dan membanting pintunya. Kulepaskan sabuk
pengamanku, kemudian bergegas keluar dari mobil. Ia menungguku di trotoar.
Ia berbicara mendahuluiku. "Pergilah, hentikan Jessica dan Angela sebelum aku
harus mencari mereka juga. Kurasa aku takkan bisa menahan diriku kalau bertemu
'teman-temanmu' yang tadi itu lagi."
Aku bergidik mendengar ancaman dalam suaranya.
"Jess! Angela!" seruku mengejar mereka, melambai ketika mereka menoleh. Mereka
bergegas menghampiriku. Kelegaan di wajah mereka langsung berubah jadi terkejut
melihat siapa yang berdiri di sampingku. Mereka ragu, enggan mendekat.
"Kau dari mana saja?" suara Jessica terdengar curiga.
"Aku tersesat," aku mengaku malu-malu. "Kemudian aku berpapasan dengan Edward,"
kataku sambil menunjuknya.
"Boleh aku bergabung dengan kalian?" ia bertanya, suaranya lembut dan menggoda.
Dari ekspresi mereka yang terkejut, aku tahu Edward belum pernah bicara seperti
itu pada mereka. "Mmm... tentu saja," dengus Jessica.
"Mmm, sebenarnya, Bella, kami sudah makan ketika menunggumu tadi - maaf," aku
Angela. "Tidak apa-apa-lagi pula aku tidak lapar." Aku mengangkat bahu.
"Kurasa kau harus makan sesuatu." Suara Edward pelan, tapi bernada memerintah.
Ia menatap Jessica dan berkata sedikit lebih keras, "Apakah kau keberatan kalau
aku saja yang mengantar Bella pulang malam ini" Dengan begitu kalian tak perlu
menunggu dia makan."
"Eehh, tidak masalah, kurasa..." Jessica menggigit bibir, berusaha menebak lewat
ekspresiku apakah aku menginginkannya. Aku mengedip padanya. Tak ada yang
kuinginkan selain bisa berduaan dengan penyelamatku. Ada begitu banyak
pertanyaan yang tak bisa kulontarkan hingga kami tinggal berdua saja.
"Oke." Angela mendahului Jessica. "Sampai besok. Bella... Edward." Ia meraih
tangan Jessica dan menariknya ke mobil, yang samar-samar kulihat diparkir di
seberang First Street. Ketika akan masuk ke mobil, Jess berbalik dan melambai,


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya penasaran. Aku balas melambai, menunggu mereka menjauh sebelum berbalik
menghadap Edward. "Sejujurnya, aku tidak lapar," aku berkeras, mengamati wajahnya. Ekspresinya tak
bisa ditebak. "Kalau begitu, hibur aku."
Ia berjalan ke pintu restoran dan membukakannya untukku dengan raut keras
kepala. Jelas sekali ia tak ingin didebat. Aku berjalan melewatinya ke dalam
restoran sambil menghela napas tanda menyerah.
Restorannya tidak ramai-saat ini Port Angeles sedang sepi pengunjung. Kami
disambut seorang cewek, dan aku memahami sorot matanya ketika ia menilai Edward.
Ia menyambutnya dengan kehangatan lebih daripada seharusnya. Aku terkejut
menyadari betapa itu menggangguku. Ia lebih tinggi beberapa senti dariku, dan
rambutnya dicat pirang. "Untuk dua orang?" suara Edward terdengar menawan, entah disengaja atau tidak.
Kulihat mata si cewek berkilat ke arahku lalu berpaling lagi, puas dengan rupaku
yang sangat biasa dan kenyataan bahwa Edward berdiri tidak terlalu dekat
denganku. Aku hendak duduk, tapi Edward menggeleng.
"Barangkali ada tempat yang lebih pribadi?" desaknya lembut. Aku tak yakin, tapi
sepertinya Edward menyelipkan tip ke tangan si cewek. Aku tak pernah melihat ada
orang yang menolak tawaran meja kecuali di film-film lama.
"Tentu." Ia juga tampak sama terkejutnya dengan aku. Ia berbalik dan memandu
kami ke deretan booth, semua kursinya kosong. "Bagaimana dengan yang ini?"
"Sempurna." Edward memamerkan senyumnya yang memukau, membuat cewek itu sesaat
terpana. "Mmm"-ia menggeleng, matanya mengerjap-"pelayan kalian akan segera datang." Ia
berlalu dengan langkah sempoyongan.
"Kau seharusnya tidak melakukan itu pada orang-orang," aku mengkritiknya. "Tidak
adil." "Melakukan apa?"
"Membuat mereka terpesona seperti itu - barangkali sekarang dia sedang sesak
napas di dapur." Ia tampak bingung. "Oh, ayolah," aku berkata ragu. "Kau pasti tahu bagaimana reaksi orang
terhadapmu." Ia memiringkan kepala, sorot matanya penasaran. "Aku membuat orang terpesona?"
"Kau tidak sadar" Kaupikir orang bisa jadi seperti itu dengan mudahnya?"
Ia mengabaikan pertanyaanku. "Apakah aku membuatmu terpesona?"
"Sering kali," aku mengakuinya.
Pelayan datang, wajahnya penuh harap. Cewek tadi pasti sudah bercerita di
belakang, dan cewek yang baru datang ini tidak tampak kecewa. Ia menyelipkan
helaian rambut hitam pendeknya di belakang telinga dan tersenyum dibuat-buat.
"Hai. Namaku Amber, dan aku akan menjadi pelayan kalian malam ini. Kalian mau
minum apa"' Tentu saja aku menyadari ia hanya bertanya kepada Edward.
Edward memandangku. "Aku mau Coke." Jawabanku lebih terdengar seperti bertanya.
"Dua," kata Edwatd.
"Aku akan segera kembali dengan pesanan kalian," ia meyakinkan Edward sambil
lagi-lagi tersenyum dibuat-buat. Tapi Edward tidak memandangnya. Ia sedang
memerhatikanku. "Kenapa?" tanyaku ketika si pelayan berlalu.
Pandangannya terpaku di wajahku. "Bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik-baik saja," jawabku, terkejut karena kesungguhan hatinya.
"Kau tidak merasa pusing, sakit, kedinginan...?"
"Apakah harusnya aku merasa seperti itu?"
Ia tergelak mendengar kebingunganku.
"Well, sebenarnya aku menunggumu syok." Senyum lebar mengembang di wajahnya.
"Kupikir itu tidak bakal terjadi," kataku setelah bisa bernapas lagi. "Aku
selalu pandai menahan diri bila terjadi hal-hal tidak menyenangkan."
"Sama, aku akan merasa lebih baik kalau kau makan sesuatu atau minum yang manis-
manis." Pucuk dicinta ulam tiba, si pelayan muncul membawa minuman kami dan sekeranjang
roti Prancis. Ia berdiri memunggungiku sambil menaruh barang-barang bawaannya di
meja. "Kau sudah mau memesan?" tanyanya pada Edward.
"Bella?" tanya Edward. Si pelayan dengan enggan berbalik menghadapku.
Aku memilih makanan pertama yang kulihat di menu. "Mmm... aku mau mushroom
ravioli." "Kau?" ia berbalik lagi sambil tersenyum.
"Aku tidak pesan." kara Edward. Tentu saja.
"Panggil aku kalau kau berubah pikiran." Senyum malu-malu masih mengembang di
bibirnya, tapi Edward tidak melihatnya, dan si pelayan pergi meninggalkan kami
dengan perasaan kecewa. "Minum," ia menyuruhku.
Kusesap sodanya dengan paruh, lalu minum lagi lebih banyak. Aku terkejut
menyadari betapa hausnya aku. Aku baru sadar telah menenggak habis minumanku
ketika ia mendorong gelasnya ke arahku.
"Terima kasih," gumamku, masih haus. Rasa sejuk soda yang dingin itu masih
terasa di dadaku, membuatku gemetaran.
"Kau kedinginan?"
"Tidak, hanya Coke yang kuminum," aku menjelaskan, kembali gemetaran.
"Kau tidak punya jaket?" suaranya tidak puas dengan penjelasanku.
"Punya." Aku memandang kursi kosong di sebelahku. "Oh-ketinggalan di mobil
Jessica," aku tersadar.
Edward menanggalkan jaketnya. Tiba-tiba aku menyadari tak sekali pun aku pernah
memerhatikan pakaian yang dikenakannya - bukan hanya malam ini, tapi sejak awal.
Sepertinya aku tak bisa berpaling dari wajahnya. Namun sekarang aku melihatnya,
benar-benar memerhatikannya. Ia menanggalkan jaket kulit warna krem muda; di
balik jaketnya ia mengenakan sweter turtleneck kuning gading. Sweter itu amat
pas di tubuhnya, memperjelas bentuk dadanya yang kekar.
Ia memberikan jaketnya padaku, mengalihkan kerlingan mataku.
"Terima kasih," kataku lagi, sambil mengenakan jaketnya. Rasanya sejuk-seperti
ketika pertama kali memakai jaketku di pagi hari. Aku kembali gemetaran. Aromanya menyenangkan. Aku
menghirupnya, mencoba mengenali aroma itu. Tidak seperti aroma kolonye.
Lengannya kelewat panjang; aku harus mendorongnya naik supaya tanganku
kelihatan. "Warna biru itu kelihatan indah di kulitmu," katanya memerhatikan. Aku terkejut;
lalu menunduk, wajahku memerah tentu saja.
Ia menyorongkan keranjang rotinya ke arahku.
"Sungguh, aku tidak merasa syok," protesku.
"Kau seharusnya syok - seperti umumnya orang normal. Kau bahkan tidak terlihat
gemetaran." Ia tampak khawatir. Ia menatap ke dalam mataku, dan aku melihat
betapa matanya terang, lebih terang daripada yang pernah kulihat, cokelat
keemasan. "Aku merasa sangat aman denganmu," ujarku, begitu terkesima hingga mengatakan
yang sebenarnya lagi. Perkataanku membuatnya tidak nyaman; alisnya yang berwarna pualam mengerut. Ia
menggeleng, wajahnya cemberut.
"Ini lebih rumit daripada yang kurencanakan." gumamnya pada diri sendiri.
Aku mengambil roti dan menggigit ujungnya, sambil menebak ekspresinya. Aku
bertanya-tanya kapan saat yang tepat untuk mulai bertanya padanya.
"Biasanya suasana hatimu lebih baik bila warna matamu terang." ujarku, mencoba
mengalihkannya dari pikiran apa pun yang membuatnya cemberut dan murung.
Ia menatapku, terkesima. "Apa?"
"Kau selalu lebih pemarah ketika matamu berwarna hitam - tadi kupikir matamu
berubah kelam," lanjutku. Aku punya teori tentang itu.
Matanya menyipit. "Teori lagi?"
"Mm-hm." Aku mengunyah sepotong kecil roti, berusaha terlihat cuek.
"Kuharap kau lebih kreatif kali ini... atau kau masih mengutip dari buku-buku
komik?" Senyumnya mengejek, namun tatapannya masih tegang.
" Well, tidak, aku tidak mendapatkannya dari komik, tapi aku juga tidak menduga-
duganya sendiri," aku mengakui.
"Dan?" sambarnya.
Tapi kemudian si pelayan muncul membawa pesananku. Aku menyadari tanpa sadar
kami telah mencondongkan tubuh kami ke tengah, karena kami langsung duduk tegak
lagi ketika si pelayan datang. Ia menaruh makanan itu di depanku - sepertinya
lumayan enak - dan langsung berbalik menghadap Edward.
"Apakah kau berubah pikiran?" tanyanya. "Kau tak ingin kubawakan sesuatu?" Aku
mungkin saja membayangkan makna ambigu dalam kata-katanya.
"Tidak, terima kasih, tapi kau boleh membawakan soda lagi." Dengan tangan
pucatnya yang jenjang ia menunjuk gelasku yang kosong.
"Tentu." Ia menyingkirkan gelas-gelas kosong dari meja dan berlalu.
"Apa katamu tadi?" tanya Edward
"Aku akan menceritakannya di mobil. Kalau..." aku berhenti.
"Ada syaratnya?" Ia mengangkat satu alisnya, suaranya terdengar waswas.
"Tentu saja aku punya beberapa pertanyaan."
"Tidak masalah."
Si pelayan kembali dengan dua gelas Coke. Kali ini ia meletakkannya tanpa
bicara, lalu pergi. Aku menyesapnya. "Well, ayo mulai," ia mendesakku, suaranya masih tegang.
Aku memulai dengan yang paling sederhana. Atau begitulah menurutku. "Kenapa kau
berada di Port Angeles?"
Ia menunduk, perlahan-lahan melipat tangannya yang besar di meja. Meski
menunduk, bisa kulihat matanya berkilat menatapku dari balik bulu matanya,
menandakan ia mengejekku.
"Berikutnya." "Tapi itu yang paling mudah," ujarku keberatan.
"Berikutnya," ia mengulangi perkataannya.
Aku menunduk, kesal. Kuambil garpu dan dengan hati-hati membelah ravioli-nya.
Pelan-pelan aku memasukkannya ke mulut, masih menunduk, mengunyah sambil
berpikir. Jamurnya enak. Aku menelan dan menyesap Coke lagi sebelum mendongak.
"Oke, kalau begitu." Aku memandangnya marah, dan perlahan melanjutkan
pertanyaan. "Katakan saja, secara hipotesis tentu saja, seseorang... bisa
mengetahui apa yang dipikirkan orang lain, membaca pikiran, kau tahu-dengan
beberapa pengecualian."
"Hanya satu pengecualian," ia meralatku, "secara hipotesis."
"Baik kalau begitu, dengan satu pengecualian. Aku senang ia bersedia meladeniku.
tapi aku berusaha terlihat kasual "Bagaimana cara kerjanya" Apa saja batasan-
batasannya" Bagaimana bisa... seseorang... menemukan orang lain pada saat yang
tepat" Bagaimana kau bisa tahu dia sedang dalam kesulitan?" Aku bertanya-tanya
apakah pertanyaanku yang kusut ini bisa dimengerti.
"Secara hipotetis?" tanyanya.
"Tentu saja." " Well, kalau... seseorang itu..."
"Sebut saja dia Joe," aku mengusulkan.
Ia tersenyum ironis. "Ya sudah. Kalau Joe memerhatikan, pemilihan waktunya tak
perlu setepat itu." Ia menggeleng, memutar bola matanya. "Hanya kau yang bisa
mendapat masalah di kota sekecil ini. Kau bisa membuat angka tindak kriminal
meningkat untuk kurun waktu satu dekade, kau tahu itu."
"Kita sedang membicarakan kasus secara hipotetis," aku mengingatkannya dengan
nada dingin. Ia tertawa, matanya hangat.
"Betul juga," sahurnya menyetujui. "Bisakah kita memanggilmu Jane?"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku, tak mampu membendung rasa penasaranku. Aku
menyadari telah mencondongkan tubuhku ke arahnya lagi.
Sepertinya ia bergidik, disiksa dilema yang berkecamuk dalam batinnya. Kami
bertatapan, dan kurasa ia sedang
membuat keputusan, mengatakan yang sejujurnya atau tidak.
"Kau tahu, kau bisa memercayaiku," gumamku. Tanpa berpikir aku mengulurkan
tangan dan menyentuh tangannya yang terlipat, tapi ia langsung menariknya,
begitu juga aku. "Aku tak tahu apakah aku masih punya pilihan." Suaranya nyaris seperti bisikan.
"Aku salah - kau lebih teliti daripada yang kukira."
"Kupikir kau selalu benar."
"Biasanya begitu." Ia kembali menggeleng. "Aku juga salah menilaimu mengenai
suatu hal. Kau bukan daya tarik terhadap kecelakaan-penggolongan itu tidak cukup
luas. Kau daya tarik terhadap masalah. Kalau ada sesuatu yang berbahaya dalam
radius sepuluh mil, masalah itu selalu bisa menemukanmu."
"Dan kau menempatkan dirimu sendiri dalam kategori itu?" tebakku.
Raut wajahnya berubah dingin, tanpa ekspresi. "Tak salah lagi."
Kuulurkan tanganku sekali lagi-mengabaikan ketika ia mencoba menariknya - dan
dengan hati-hati menyentuh punggung tangannya. Kulitnya dingin dan keras,
seperti batu. "Terima kasih." Suaraku benar-benar tulus. "Sudah dua kali kau menyelamatkanku."
Ketegangan di wajahnya mencair. "Jangan ada yang ketiga kali, oke?"
Aku cemberut, tapi mengangguk. Ia menarik tangannya dan menaruhnya di bawah
meja. Tapi ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Aku membuntutimu ke Port Angeles," akunya terburu-buru. "Aku tak pernah menjaga
seseorang sebelumnya, dan ini lebih merepotkan dari yang kusangka. Tapi
barangkali itu hanya karena itu adalah kau. Orang normal sepertinya bisa
melewati satu hati tanpa mengalami begitu banyak bencana." Ia berhenti. Aku
bertanya-tanya apakah seharusnya aku merasa terganggu mengetahui ia
membuntutiku: tapi sebaliknya aku malah senang. Ia menatapku, barangkali
bertanya-tanya mengapa aku tiba-tiba tersenyum.
"Pernahkah kau berpikir mungkin takdir telah memilihku sejak pertama, pada
insiden van itu, dan kau malah mencampurinya?" tanyaku berspekulasi, mengalihkan
kecurigaanku. "Itu bukan yang pertama," katanya, suaranya sulit didengar. Aku menatapnya
terpana, tapi ia menundukkan kepala. "Takdir pertama kali memilihmu ketika aku
bertemu denganmu." Aku merasakan sekelumit perasaan ngeri mendengar kata-katanya, ditambah ingatan
akan tatapan kelam matanya yang sekonyong-konyong hari itu... tapi perasaan aman
yang sangat hebat berkat kehadirannya mengenyahkan semuanya. Ketika ia mendongak
untuk menatap mataku, tak ada secercah pun rasa takut di dalamnya.
"Kau ingat?" tanyanya, wajahnya yang tampan berubah serius.
"Ya," sahutku tenang.
"Tapi toh sekarang kau duduk di sini." Ada secercah keraguan dalam suaranya,
salah satu alisnya terangkat.
"Ya, di sinilah aku duduk... berkat dirimu." Aku terdiam sebentar. "Karena entah
bagaimana kau tahu bagaimana menemukanku hari ini...?" semburku.
Ia mengatupkan bibirnya erat-erat, matanya yang menyipit menatapku, kembali
menimbang-nimbang. Ia memandangi piringku yang masih penuh, lalu menatapku lagi.
"Kau makan, aku bicara," usulnya.
Aku cepat-cepat menyendok ravioli-ku lagi dan mengunyahnya.
"Mengikuti jejakmu lebih sulit daripada seharusnya. Biasanya, setelah pernah
mendengar pikiran seseorang, aku bisa dengan mudah menemukannya." Ia menatapku
waswas, dan aku menyadari tubuhku mematung. Kupaksa menelan makananku, lalu
menusuk ravioli-nya lagi dan menyuapnya.
"Secara tidak hati-hati aku mengikuti Jessica - seperti kataku, hanya kau yang
bisa mendapat masalah di Port Angeles - dan awalnya aku tidak memerhatikan
ketika kau pergi sendirian. Lalu, ketika aku menyadari kau tidak bersamanya
lagi, aku pergi mencarimu di toko buku yang kulihat dalam pikirannya. Aku tahu
kau tidak masuk ke sana, dan kau pergi ke arah selatan... dan aku tahu kau toh
harus kembali. Jadi, aku hanya menunggumu, sambil secara acak membaca pikiran
orang-orang di jalan-melihat apakah ada yang memperhatikanmu sehingga aku tahu
di mana kau berada. Aku tak punya alasan untuk khawatir... tapi anehnya aku toh
khawatir juga." Ia melamun, tatapannya menembusku, melihat hal-hal yang tak bisa
kubayangkan. "Aku mulai bermobil berputar-putar, masih sambil... mendengarkan. Matahari
akhirnya terbenam, dan aku nyaris keluar dan mengikutimu dengan berjalan kaki.
Dan lalu-" la berhenti, menggertakkan giginya akibat amarah yang sekonyong-
konyong muncul. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Lalu apa?" bisikku. Pandangannya tetap menerawang.
"Aku mendengar apa yang mereka pikirkan," geramnya, bibir atasnya menyelip masuk
di antara giginya. "Aku melihat wajahmu dalam pikirannya." Tiba-tiba Edward
mencondongkan tubuh, satu siku bertengger di meja, tangan menutupi mata. Gerakan
itu begitu cepat sehingga membuatku bingung.
"Sulit... sekali - kau tak bisa membayangkan betapa sulitnya - hanya pergi


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkanmu, dan membiarkan mereka... tetap hidup." Suaranya tidak jelas,
tertutup lengannya. "Aku bisa saja membiarkanmu pergi dengan Jessica dan Angela tapi aku takut kalau
kau meninggalkanku sendirian, aku akan pergi mencari mereka," ia mengakui dalam
bisikan. Aku duduk diam. kepalaku pening, pikiranku campur aduk. Tanganku terlipat di
pangkuan, dan aku bersandar lemah di kursi. Tangannya masih menutupi wajah, dan
ia masih tak bergerak, bagai patung batu.
Akhirnya ia mendongak, matanya mencari-cari mataku, penuh dengan pertanyaannya
sendiri. "Kau sudah siap pulang?" tanyanya.
"Ya, aku siap," aku mengiyakan, amat sangat bersyukur dapat pulang bersamanya.
Aku belum siap berpisah dengannya.
Pelayan muncul seolah ia telah dipanggil. Atau memerhatikan.
"Jadi bagaimana?" ia bertanya kepada Edward.
"Kami mau bayar, terima kasih." Suaranya tenang, agak serak, masih tegang oleh
obrolan tadi. Sepertinya ini membuat si pelayan bingung. Edward mendongak,
menunggu. "T-tentu," ujar pelayan itu terbata-bata. "Ini dia." Ia mengeluarkan folder
kulit kecil dari saku depan celemek hitamnya dan menyerahkannya pada Edward.
Ternyata Edward sudah menyiapkan uangnya. Ia menyelipkannya ke folder itu dan
menyerahkannya lagi pada si pelayan.
"Simpan saja kembaliannya." Edward tersenyum, lalu bangkit. Aku ikut berdiri
dengan susah payah. Ia tersenyum menggoda lagi kepada Edward. "Semoga malammu menyenangkan."
Edward tidak berpaling dariku ketika mengucapkan terima padanya. Aku
menyembunyikan senyumku. Ia berjalan dekat di sisiku menuju pintu, masih berhati-hati agar tidak
menyentuhku. Aku teringat ucapan Jessica tentang hubungannya dengan Mike,
bagaimana mereka nyaris sampai ke tahap ciuman. Aku menghela napas. Edward
sepertinya mendengar, dan ia menunduk penasaran. Aku memandang trotoar,
bersyukur karena ia sepertinya tidak bisa mengetahui apa yang kupikirkan.
Ia membukakan pintu untukku dan menunggu sampai aku masuk, lalu menutupnya
dengan lembut. Aku memerhatikannya memutar ke depan, masih mengagumi
keanggunannya. Barangkali seharusnya aku sudah terbiasa dengan itu sekarang -
tapi nyatanya belum. Firasatku mengatakan tak seorang pun akan pernah terbiasa
dengan Edward. Begitu masuk ke mobil ia menyalakan mesin dan pemanas hingga maksimal. Udara
dingin sekali, dan kurasa cuaca bagusnya sudah berakhir. Meski begitu aku merasa
hangat dalam balutan jaketnya, menghirup aromanya ketika kupikir ia sedang tidak
melihat. Edward mengeluarkan mobilnya dari parkiran, sepertinya tanpa melirik, berputar
menuju jalan tol. "Sekarang," katanya, "giliranmu."
9. TEORI "BOLEH aku bertanya satu hal lagi?" aku memohon ketika Edward memacu mobilnya
cepat sekali di jalan yang sepi. Sepertinya ia tidak memerhatikan jalan. Ia
menghela napas. "Satu saja," katanya menyetujui. Bibirnya mengatup membentuk ekspresi hati-hati.
"Well... katamu kau tahu aku tidak masuk ke toko buku itu, dan aku pergi ke
selatan. Aku hanya bertanya-tanya bagaimana kau mengetahuinya."
Ia berpaling, sengaja. "Kupikir kita telah melewati tahap pura-pura itu," gerutuku.
Ia nyaris tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Aku mengikuti aroma tubuhmu." Ia memandang jalan,
memberiku waktu untuk mengatur ekspresi. Aku tak bisa memikirkan reaksi yang
tepat untuk menanggapinya, tapi akan kusimpan jauh-jauh untuk dipikirkan nanti.
Aku mencoba berkonsentrasi lagi. Aku belum siap membiarkannya selesai, mengingat
sekarang ia mau menjelaskan semuanya.
"Lalu kau tidak menjawab satu pertanyaanku tadi...," aku tidak menyelesaikan
kalimatku. Ia memandang tidak setuju padaku. "Yang mana?"
"Bagaimana caranya-membaca pikiran" Bisakah kau membaca pikiran siapa saja, di
mana saja" Bagaimana kau melakukannya" Apakah keluargamu yang lain bisa...?" Aku
merasa konyol, meminta penjelasan atas sesuatu yang tidak nyata.
"Itu lebih dari satu pertanyaan," protesnya. Aku hanya menjalin jari-jariku dan
menatapnya, menanti jawaban.
"Tidak, hanya aku yang bisa. Dan aku tak bisa mendengar siapa saja, di mana
saja. Aku harus cukup dekat dengan orang itu. Semakin aku mengenal "suara"
seseorang, meski jauh pun aku bisa mendengar mereka. Tapi tetap saja, tak lebih
dari beberapa mil." Ia berhenti dengan penuh pertimbangan. "Kurang-lebih seperti
berada di ruangan besar penuh orang, semua bicara serentak. Hanya suara
senandung - suara-suara dengungan di latar belakang. Setelah aku terfokus pada
satu suara, barulah apa yang mereka pikirkan menjadi jelas.
"Kebanyakan aku mendengarkan semuanya - dan itu bisa sangat mengganggu. Kemudian
lebih mudah untuk terlihat normal"-dahinya berkerut ketika mengatakannya-
"ketika aku sedang tidak sengaja menjawab pikiran seseorang dan bukannya apa
yang dikatakannya." "Kenapa pikirmu kau tak bisa mendengarku?" tanyaku penasaran.
Ia menatapku, sorot matanya misterius.
"Aku tidak tahu," gumamnya. "Satu-satunya dugaanku, adalah mungkin jalan
pikiranmu berbeda dengan yang lainnya. Dengan kata lain misalnya pikiranmu ada
di gelombang AM sementara aku hanya bisa menangkap gelombang FM." tersenyum
jail, tiba-tiba tertawa. "Pikiranku tidak berjalan dengan benar" Maksudmu, aku aneh?" Kata-katanya
menggangguku lebih dari yang seharusnya - barangkali karena memang benar. Aku
sendiri menduga diriku memang aneh, hingga akhirnya merasa malu bila terbukti
benar. "Akulah yang mendengar suara-suara dalam pikiranku dan justru kau yang khawatir
dirimu aneh," ia tertawa. "Jangan khawatir, itu cuma teori..." Wajahnya
menegang. "Yang mengingatkan aku, sekarang giliranmu."
Aku menghela napas. Bagaimana memulainya"
"Bukankah kita sudah melewati tahap mengelak sekarang ini?" dengan lembut ia
mengingatkanku. Untuk pertama kali aku memalingkan wajah darinya, mencoba berpikir. Kebetulan
aku memerhatikan spidometernya.
"Gila!" seruku. "Pelankan mobilnya!"
"Kenapa?" Ia bingung. Tapi kecepatan mobil tidak berkurang.
"Kau melaju seratus mil per jam!" aku masih berteriak. Aku menatap panik ke luar
jendela, tapi terlalu gelap sehingga tak bisa melihat apa-apa. Jalanan hanya
tampak sejauh jangkauan cahaya kebiruan lampu mobil. Hamparan hutan di kedua
sisi jalan bagai dinding hitam - sekeras
dinding baja bila kami melaju keluar jalan dengan kecepatan ini.
"Tenang, Bella." Ia memutar bola matanya, masih tidak memperlambat kecepatannya.
"Apa kau mencoba membunuh kita berdua?" tanyaku.
"Kita tidak akan tabrakan."
Aku mencoba mengubah intonasiku. "Kenapa kau terburu-buru seperti ini?"
"Aku selalu mengemudi seperti ini." Ia berbalik, tersenyum lebar padaku.
"Jangan alihkan pandanganmu dari jalan!"
"Aku belum pernah mengalami kecelakaan, Bella - aku bahkan belum pernah
ditilang." Ia nyengir dan menepuk-nepuk dahinya. "Radar pendeteksi alami."
"Sangat lucu," tukasku marah. "Charlie polisi, kau tidak lupa, kan" Aku
dibesarkan untuk mematuhi aturan lalu lintas. Lagi pula, kalau kau menabrak
pohon dan membuat kita berdua cedera, barangkali kau masih bisa selamat."
"Barangkali," ia menyetujui gurauanku, kemudian tertawa sebentar. "Tapi kau
tidak." Ia menghela napas, dan dengan lega aku memerhatikan jarum kecepatan
perlahan-lahan menunjukkan angka delapan puluh. "Puas?"
"Hampir." "Aku tidak suka mengemudi pelan-pelan," gumamnya. "Kaubilang ini pelan?"
"Sudah cukup mengomentari cara mengemudiku," tukasnya. "Aku masih menantikan
teori terakhirmu." Aku menggigit bibir. Ia menunduk memandangku, matanya yang kuning keemasan tak
disangka-sangka melembut.
"Aku tidak bakal tertawa," janjinya.
"Aku lebih khawatir kau bakal marah padaku."
"Seburuk itukah?"
"Kurang-lebih, ya."
Ia menunggu. Aku menunduk memandang tanganku, jadi aku tak bisa melihat raut
wajahnya. Katakan saja." Suaranya tenang.
"Aku tak tahu bagaimana memulainya," akuku.
"Kenapa kau tidak mulai dari awal... katamu kesimpulanmu tidak muncul begitu
saja." "Tidak." "Apa yang memicunya-buku" Film?" ia mencoba menebak.
"Tidak-semuanya berawal hari Sabtu, di pantai." Aku memberanikan diri melirik
wajahnya. Ia tampak bingung.
"Aku bertemu teman lama keluargaku - Jacob Black," aku melanjutkan. "Ayahnya dan
Charlie telah berteman sejak aku masih bayi."
Ia masih tampak bingung. "Ayahnya salah satu tetua suku Quileute." Aku mengamatinya dengan hati-hati.
Ekspresinya masih sama. "Kami jalan-jalan-" aku mengubah ceritaku, tidak seperti
rencana semula "-dan dia menceritakan beberapa legenda tua - kurasa dia mencoba
menakut-nakutiku. Dia menceritakan salah satunya... " aku berhenti, ragu-ragu.
"Lanjutkan," katanya.
"Tentang vampir." Aku sadar suaraku berbisik. Aku tak sanggup menatap wajahnya
sekarang. Tapi aku melihat genggamannya menguat, mencengkeram roda kemudi.
"Dan kau langsung teringat padaku?" Suaranya masih tenang.
"Tidak. Dia... menyebut keluargamu." Ia tak mengatakan apa-apa, terus menatap
jalan. Sekonyong-konyong aku mengkhawatirkan keselamatan Jacob.
"Dia hanya menganggap itu takhayul yang konyol," aku buru-buru berkata. "Dia
tidak bermaksud supaya aku berpikir yang bukan-bukan." Sepertinya ucapanku itu
tidak cukup; aku harus mengaku. "Itu salahku, aku yang memaksanya bercerita
padaku." "Kenapa?" "Lauren mengatakan sesuatu tentang kau - dia mencoba memprovokasiku. Dan seorang
cowok yang lebih tua dari suku itu bilang keluargamu tidak datang ke reservasi,
hanya saja sepertinya ada maksud lain di balik perkataannya. Jadi aku memancing
Jacob pergi berduaan denganku dan memancingnya agar mau bercerita," aku
mengakuinya. Ia tertawa, dan aku terkejut dibuatnya. Aku menatapnya. Ia tertawa, tapi sorot
matanya sengit, menatap lurus ke depan.
"Memancingnya bagaimana?" tanyanya.
"Aku mencoba merayunya - dan ternyata hasilnya lebih baik dari yang kuduga."
Saat mengingatnya lagi, suaraku memancarkan keraguan.
"Kalau saja aku melihatnya." Ia tergelak. "Dan kau menuduhku membuat orang
terpesona - Jacob Black yang malang."
Wajahku merah padam dan aku memandang ke luar jendela menembus malam.
"Lalu apa yang kaulakukan?" ia bertanya lagi setelah beberapa saat.
"Aku mencari keterangan di Internet."
"Dan apakah hasilnya membuatmu yakin?" Suaranya nyaris terdengar tidak tertarik.
Tapi tangannya semakin kuat mencengkeram kemudi.
"Tidak. Tidak ada yang cocok. Kebanyakan konyol. Kemudian... " aku berhenti.
"Apa?" "Kuputuskan itu tidak penting," bisikku.
"Itu tidak penting?" nada suaranya membuatku mendongak - akhirnya aku berhasil
membuatnya menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. Wajahnya memancarkan
ketidakpercayaan, dengan sedikit amarah yang membuatku waswas.
"Tidak," kataku lembut. "Tidak penting bagiku apa pun kau ini."
Nada mengejek terdengar dalam suaranya. "Kau tidak peduli kalau aku monster"
Kalau aku bukan manusiai"
"Tidak." Ia terdiam, kembali memandang lurus ke depan. Wajahnya pucat dan kaku.
"Kau marah," keluhku. "Aku seharusnya tidak mengatakan apa-apa."
"Tidak," katanya, tapi suaranya setegang wajahnya. "Lebih baik aku tahu apa yang
kaupikirkan - bahkan meskipun pikiranmu itu tidak waras."
"Jadi aku salah lagi?" tantangku.
"Bukan itu maksudku. 'Itu tidak penting!'" ia mengutip kata-kataku, sambil
mengatupkan rahangnya erat-erat.
"Aku benar?" tanyaku menahan napas.
"Apakah itu penting?" Aku menghela napas panjang.
"Tidak juga." Aku diam sebentar. "Tapi aku memang penasaran." Setidaknya aku
bisa mengendalikan suaraku.
Tiba-tiba ia menyerah. "Apa yang membuatmu penasaran?"
"Berapa umurmu?"
"Tujuh belas," ia langsung menjawab.
"Dan sudah berapa lama kau berumur tujuh belas?"
Bibirnya mengejang ketika memandang jalan. "Cukup lama," akhirnya ia mengaku.
"Oke." Aku tersenyum, senang karena setidaknya ia mau jujur padaku. Ia menunduk
menatapku dengan sorot memerhatikan, seperti yang dilakukannya sebelumnya,
ketika ia khawatir aku syok. Aku tersenyum lebar, menghiburnya, dan ia cemberut.
"Jangan tertawa - tapi bagaimana kau bisa keluar di siang hari?"
Bagaimanapun juga ia tertawa. "Mitos."
"Terbakar matahari?"
"Mitos." "Tidur di peti mati?"
"Mitos." Ia ragu sesaat, lalu nada suaranya berubah aneh. "Aku tidak bisa
tidur." Butuh beberapa saat bagiku untuk memahami jawabannya. "Sama sekali?"
"Tidak pernah," katanya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menengok ke arahku
dengan ekspresi sedih. Mata emasnya bertemu pandang denganku, dan aku tak mampu
berkata-kata. Aku menatapnya sampai ia berpaling.
"Kau belum melontarkan pertanyaan paling penting." Suaranya tegang sekarang, dan
ketika menatapku lagi, tatapannya dingin.
Aku berkedip, masih terkesima. "Yang mana?"
"Kau tidak peduli dengan makananku?" tanyanya sinis.
"Oh," gumamku, "itu."
"Ya, itu." Suaranya muram. "Tidakkah kau ingin tahu apakah aku minum darah?"
Aku tersentak. " Well, Jacob mengatakan sesuatu tentang
itu." "Apa yang dikatakan Jacob?" tanyanya datar.
"Dia bilang kau tidak... memburu manusia. Katanya keluargamu seharusnya tidak
berbahaya karena kalian hanya memburu binatang."
"Dia bilang kami tidak berbahaya?" Suaranya terdengar sangat sinis.
"Tidak juga. Dia bilang kalian seharusnya tidak berbahaya. Tapi suku Quileute
masih tidak menginginkan kehadiran kalian di tanah mereka, untuk berjaga-jaga."
Ia menatap ke depan, tapi aku tak bisa menduga apakah ia sedang melihat ke jalan
atau tidak. "Jadi apakah dia benar" Tentang tidak memburu manusia?" Aku berusaha membuat
suaraku sewajar mungkin. "Suku Quileute punya ingatan yang panjang," bisiknya.
Aku menganggapnya sebagai pembenaran.
"Tapi jangan senang dulu," ia mengingatkanku. "Mereka benar untuk tetap menjaga
jarak dengan kami. Kami masih berbahaya."
"Aku tidak mengerti."
"Kami berusaha," ia menjelaskan perlahan. "Kami biasanya sangat andal dengan apa
yang kami lakukan. Tapi terkadang kami juga membuat kesalahan. Aku, contohnya,
membiarkan diriku berduaan denganmu."
"Kausebut ini kesalahan?" aku mendengar nada sedih dalam suaraku, tapi tak tahu
apakah ia mendengarnya juga.
"Kesalahan yang sangat berbahaya," gumamnya.
Kami sama-sama terdiam. Aku mengamati lampu sorot yang meliuk mengikuti jalan.
Sorot lampu itu bergerak terlalu cepat; hingga tidak umpak nyata, seperti dalam
video game. Aku sadar waktu berlalu begitu cepat, seperti jalanan hitam di bawah
kami. dan aku teramat sangat takut takkan ada lagi kesempatan untuk bisa
bersamanya seperti ini - secara terbuka, tanpa dinding di antara kami. Kata-
katanya mencerminkan nada final, dan aku tersentak dibuatnya. Aku tak boleh
menyia-nyiakan setiap detik berharga bersamanya.
"Ceritakan lagi," pintaku putus asa, tak peduli apa yang dipikirkannya, hanya
supaya aku bisa mendengar suaranya lagi.
Ia menatapku, terkejut karena perubahan nada suaraku. "Apa lagi yang ingin


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kauketahui?" "Katakan kenapa kau memburu binatang dan bukan manusia," kataku, suaraku masih
memancarkan keputusasaan. Aku menyadari mataku basah, dan aku bergulat melawan
kesedihan yang mencoba menguasaiku.
"Aku tidak ingin menjadi monster." Suaranya sangat pelan.
"Tapi binatang tidak cukup bukan?"
Ia berhenti. "Aku tidak yakin tentu saja, tapi aku membandingkannya dengan hidup
hanya dengan makan tahu dan susu kedelai; kami menyebut diri kami vegetarian,
lelucon di antara kami sendiri. Tidak benar-benar memuaskan lapar kami - atau
dahaga tepatnya. Tapi membuat kami cukup kuat untuk bertahan. Hampir sepanjang
waktu." Suaranya berubah Licik. "Kadang-kadang lebih sulit dari yang lainnya."
"Apakah sekarang sangat sulit bagimu?" tanyaku.
Ia menghela napas. "Ya."
"Tapi kau tidak sedang lapar," kataku yakin- menyatakan, bukan bertanya.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Matamu. Sudah kubilang aku punya teori. Aku memerhatikan bahwa orang-orang -
khususnya cowok - lebih pemarah ketika mereka lapar."
Ia tergelak. "Kau ini memang pengamat, ya kan?"
Aku tidak menjawab; hanya mendengarkan suara tawanya, berusaha mematrinya dalam
ingatan. "Apakah kau pergi berburu akhir pekan ini, dengan Emmett?" tanyaku memecah
kesunyian. "Ya." Ia berhenti sesaat, seolah-olah sedang memutuskan akan mengatakan sesuatu
atau tidak. "Aku tidak ingin pergi, tapi ini penting. Lebih mudah berada di
sekitarmu ketika aku tidak sedang haus."
"Kenapa kau tidak ingin pergi?"
"Itu membuatku... khawatir... berada jauh darimu." Tatapannya lembut namun
dalam, dan sepertinya membuatku lemah. "Aku tidak bercanda ketika memintamu
untuk tidak jatuh ke laut atau tidak tertabrak hari Kamis lalu. Sepanjang akhir
pekan aku tak bisa berkonsentrasi karena mengkhawatirkanmu. Dan setelah apa yang
terjadi malam ini, aku terkejut kau bisa melewati seluruh akhir pekan ini tanpa
tergores." Ia menggeleng, lalu sepertinya ia ingat sesuatu. " Well, tidak benar-
benar tanpa tergores."
"Apa?" "Tanganmu," ia mengingatkanku. Aku memandang telapak tanganku, ke guratan-
guratan yang nyaris sembuh di pergelangan tanganku. Matanya tak pernah luput
dari apa pun. "Aku terjatuh," keluhku.
"Sudah kuduga." Bibirnya tersenyum. "Kurasa, mengingat siapa dirimu, kejadiannya
bisa lebih buruk lagi - dan kemungkinan ini menyiksaku selama kepergianku. Tiga
hari yang amat panjang. Aku benar-benar membuat Emmett kesal." Ia tersenyum
menyesal. "Tiga hari" Bukankah kau baru kembali hari ini?"
"Tidak, kami kembali hari Minggu."
"Lalu kenapa tak satu pun dari kalian masuk sekolah?" Aku merasa kesal, nyaris
marah memikirkan betapa kecewanya aku karena ia tidak muncul.
"Well, kau bertanya apakah matahari menyakitiku, dan memang tidak. Tapi aku tak
bisa keluar ketika matahari bersinar - setidaknya, tidak di tempat yang bisa
dilihat orang." "Kenapa?" "Kapan-kapan akan kutunjukkan padamu," ia berjanji.
Aku memikirkannya beberapa saat.
"Kau kan bisa meneleponku," kataku.
Ia bingung. "Tapi aku tahu kau baik-baik saja."
"Tapi aku tidak tahu di mana kau berada. Aku-" aku ragu-ragu, mengalihkan
pandanganku. "Apa?" suaranya yang lembut mendesakku.
"Aku tidak suka tidak bertemu denganmu. Itu juga membuatku waswas." Wajahku
merona ketika mengatakannya terus terang.
Ia terdiam. Aku melirik, waswas, dan melihat ekspresi terluka di wajahnya. "Ah,"
erangnya pelan. "Ini salah."
Aku tak bisa memahami reaksinya. "Memangnya aku bilang apa?"
"Tidakkah kau mengerti, Bella" Tidak masalah bagiku membuat diriku sendiri
merana, tapi kalau kau melibatkan dirimu terlalu jauh, itu masalah lain lagi."
Ia memalingkan tatapannya yang terluka ke jalan, kata-katanya meluncur terlalu
cepat untuk dimengerti. "Aku tak mau mendengar kau merasa seperti itu lagi."
Suaranya pelan namun tegas.
Kata-katanya melukaiku. "Ini salah. Ini tidak aman. Aku berbahaya. Bella-
kumohon, mengertilah."
"Tidak." Aku berusaha sangat keras supaya tidak terdengar seperti anak kecil
yang merajuk. "Aku serius," geramnya.
"Begitu juga aku. Sudah kubilang, tidak penting kau itu apa. Sudah terlambat."
Suaranya menghardik, pelan dan parau. "Jangan pernah katakan itu."
Kugigit bibitku, lega ia tidak bisa mengetahui betapa itu menyakitiku. Aku
memandang jalan. Pasti kami sudah dekat sekarang. Ia mengemudi terlalu cepat.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya, suaranya masih muram. Aku hanya menggeleng,
tak yakin apakah aku sanggup bicara. Kurasakan tatapannya di wajahku, tapi aku
tetap memandang lurus ke muka.
"Kau menangis?" Ia terdengar terkejut. Aku tidak sadar air mataku telah menetes.
Bergegas aku menyekanya , dalam hati sangat yakin tak bisa menahannya lagi.
"Tidak," kataku, tapi suaraku parau.
Aku melihatnya hendak mengulurkan tangan kanannya, ragu-ragu ingin meraihku,
tapi kemudian mengurungkannya dan pelan-pelan meletakkannya lagi di roda kemudi.
"Maafkan aku." Suaranya sarat penyesalan. Aku tahu ia tidak sekadar meminta maaf
atas kata-katanya yang telah membuatku sedih.
Kegelapan menyusup di antara keheningan.
"Katakan," ia bertanya setelah beberapa menit, dan aku bisa mendengarnya
berusaha lebih ceria. "Ya?" "Apa yang kaupikirkan malam ini, sebelum aku muncul" Aku tak bisa mengerti
ekspresimu - kau tidak terlihat setakut itu, kau seperti sedang berkonsentrasi
keras pada sesuatu."
"Aku sedang mencoba mengingat bagaimana cara menghadapi serangan - kau tahu kan,
ilmu bela diri. Aku bermaksud menghancurkan hidungnya hingga melesak ke
kepalanya." Aku membayangkan cowok berambut gelap itu dengan penuh kebencian.
"Kau akan melawan mereka?"
Ini membuatnya kecewa. "Tidakkah kau ingin melarikan diri?"
"Aku sering terjatuh kalau lari," aku mengakuinya.
"Bagaimana kalau berteriak meminta tolong?"
"Aku juga bermaksud melakukannya."
Ia menggeleng. "Kau benar - aku jelas-jelas melawan takdir karena mencoba
menjagamu tetap hidup."
Aku menghela napas. Laju mobil memelan, melewati perbatasan Forks. Hanya butuh
kurang dari dua puluh menit.
"Apakah besok kita akan bertemu?" tanyaku.
"Ya - ada tugas yang harus dikumpulkan." Ia tersenyum. "Aku akan menunggumu saat
makan siang." Konyol, setelah semua yang kami lalui malam ini, janji kecil itu masih saja
membuat perutku mulas, dan aku tak mampu bicara.
Kami di depan rumah Charlie. Lampu-lampunya menyala, trukku ada di tempatnya,
semuanya sangat wajar. Rasanya seperti terbangun dari mimpi. Edward menghentikan
mobilnya, tapi aku tidak beranjak.
"Kau janji akan datang besok?"
"Aku janji." Aku mempertimbangkannya beberapa saat, lalu mengangguk. Kutanggalkan jaketnya,
dan menghirup aromanya untuk terakhir kali.
"Kau boleh menyimpannya - kau tidak punya jaket yang bisa kaupakai besok," ia
mengingatkanku. Kukembalikan jaket itu padanya. "Aku tak mau menjelaskannya pada Charlie."
"Oh, benar." Ia tersenyum.
Aku ragu-ragu, tanganku pada pegangan pintu, mencoba mengulur-ulur waktu.
"Bella?" panggilnya dengan nada berbeda-serius tapi ragu.
"Ya?" aku berbalik padanya, terlalu antusias. "Maukah kau berjanji padaku?"
"Ya," kataku, dan langsung menyesali kesepakatan tanpa syarat itu. Bagaimana
kalau ia memintaku menjauhinya" Aku tak bisa menepati janji itu.
"Jangan pergi ke hutan seorang diri."
Aku menatapnya bingung. "Kenapa?"
Dahinya mengerut, tatapannya tegang ketika menerawang melewatiku, terus menembus
jendela. "Aku tidak selalu yang paling berbahaya di luar sana. Anggap saja begitu."
Aku agak gemetar mendengar suaranya yang tiba-tiba dingin, tapi lega. Ini,
setidaknya, janji yang mudah dipenuhi. "Terserah apa katamu."
"Sampai ketemu besok," desahnya, dan aku tahu ia menginginkanku pergi sekarang.
"Baik kalau begitu." Dengan enggan kubuka pintunya.
"Bella?" aku berbalik dan ia mendekat padaku, wajah tampannya yang pucat hanya
beberapa senti dari wajahku. Jantungku berhenti berdetak.
"Tidur nyenyak ya," katanya. Napasnya menyapu wajahku, membuatku terpana. Ini
aroma menyenangkan yang sama dengan yang tercium di jaketnya, namun lebih
kental. Mataku mengerjap, benar-benar terpesona. Lalu ia menjauh.
Aku tak bisa bergerak hingga otakku mengurai dengan sendirinya. Lalu aku
melangkah canggung keluar, sampai harus berpegangan pada sisi pintu. Kupikir aku
mendengarnya tertawa, tapi suaranya terlalu pelan jadi aku tak yakin.
Ia menunggu hingga aku sampai di pintu depan, kemudian aku mendengar mesin
mobilnya menyala pelan. Aku berbalik dan melihat mobil silver itu menghilang di
pojokan. Aku menyadari udara sangat dingin.
Aku meraih kunciku tanpa berpikir, membuka pintu, dan masuk ke dalam.
Charlie memanggilku dari ruang tamu. "Bella?"
"Ya, Dad, ini aku." Aku beranjak masuk untuk menemuinya. Ia sedang menonton
pertandingan bisbol. "Kau pulang cepat."
"Oh ya?" aku terkejut.
"Sekarang bahkan belum jam delapan," ia memberitahuku. "Apakah kalian bersenang-
senang?" "Yeah - sangat menyenangkan." Kepalaku berputar-putar ketika mencoba mengingat
saat-saat belanja tadi. "Mereka membeli gaun."
"Kau baik-baik saja?"
"Aku hanya lelah. Aku cukup banyak berjalan tadi."
"Well, barangkali kau harus berbaring." Ia terdengar waswas. Aku membayangkan
bagaimana rupaku. "Aku akan menelepon Jessica dulu."
"Bukankah kau baru saja bersamanya?" ia bertanya, terkejut.
"Ya - tapi jaketku tertinggal di mobilnya. Aku mau mengingatkan supaya dia
membawakannya besok. " Well, biarkan dia sampai rumah dulu."
"Benar," aku menyetujuinya.
Aku pergi ke dapur, menjatuhkan diri di kursi, kelelahan. Sekarang aku benar-
benar merasa pusing. Aku membayangkan apakah akhirnya aku bakal syok juga.
Pegangan, perintahku. Tiba-tiba telepon berbunyi, mengagetkanku. Aku mengangkatnya.
"Halo?" desahku. "Bella?"
"Hei, Jess, aku baru saja mau meneleponmu."
"Kau sudah sampai rumah?" Suaranya terdengar lega dan terkejut.
"Ya. Jaketku tertinggal di mobilmu-bisakah kau membawakannya besok?"
"Tentu saja. Tapi ceritakan apa yang terjadi!" pintanya.
"Mmm, besok saja - di kelas Trigono, oke?"
Ia langsung mengerti. "Oh, ayahmu ada di sana ya?"
"Ya, benar." "Oke, kalau begitu kita ngobrol besok. Bye."
Aku tahu ia sudah tidak sabar. "Bye, Jess."
Aku menaiki tangga perlahan, benar-benar nyaris pingsan. Aku melakukan semua
ritual persiapan tidur tanpa memerhatikan apa yang kulakukan. Baru ketika aku
berada di kamar mandi - airnya terlalu panas, menyengat kulitku - aku tersadar
diriku kedinginan. Selama beberapa menit tubuhku bergetar cukup keras, hingga
akhirnya semburan air hangat melemaskan otot-ototku yang kaku. Lalu aku berdiri
di bawah pancuran, terlalu lelah untuk bergerak, sampai air hangatnya menyembur
lagi. Aku melangkah sempoyongan, membalut diriku dengan handuk, berusaha menahan
panasnya air di tubuhku supaya aku tidak gemetar lagi. Aku langsung mengenakan
pakaian tidur dan menyusup ke bawah selimut, meringkuk, memeluk diriku sendiri
agar tetap hangat. Beberapa kali aku sempat gemetaran.
Pikiranku masih berputar-putar dipenuhi bayangan yang tak bisa kumengerti, dan
beberapa yang kucoba enyahkan.
Awalnya tak ada yang jelas, tapi semakin aku nyaris tertidur, beberapa
kemungkinan pun menjadi nyata.
Ada tiga hal yang kuyakini kebenarannya. Pertama, Edward adalah vampir. Kedua,
ada sebagian dirinya-dan aku tak tahu seberapa kuat bagian itu - yang haus akan
darahku. Dan ketiga, aku jatuh cinta padanya, tanpa syarat, selamanya.
10. INTEROGASI KEESOKAN paginya, sulit berdebat dengan bagian diriku yang yakin bahwa semalam
adalah mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal sehat. Aku bergantung
pada bagian yang tak mungkin cuma khayalanku-seperti aroma tubuhnya. Aku yakin
takkan pernah bisa memimpikannya dengan usahaku sendiri.
Di luar jendela cuaca gelap dan berkabut, benar-benar sempurna. Ia tak punya
alasan untuk tidak ke sekolah hari ini. Aku mengenakan pakaian yang cukup
hangat, teringat aku tidak memiliki jaket. Bukti lagi bahwa ingatanku benar.
Ketika aku tiba di lantai dasar, Charlie sudah pergi lagi - aku terlambat lebih
dari yang kukira. Aku menelan tiga gigitan granola, dan menyapunya dengan susu
yang langsung kuminum dari karton, lalu bergegas meninggalkan rumah. Mudah-
mudahan hujan tidak turun sampai aku bertemu Jessica.
Cuaca di luar berkabut lebih dari biasa, udara nyaris tertutup kabut. Embun
sedingin es menerpa kulit leher dan wajahku yang telanjang. Tak sabar rasanya
ingin menyalakan pemanas di dalam truk. Kabut sangat tebal, sehingga aku baru
bisa melihat ada mobil terparkir di sana, ketika hanya tinggal beberapa jengkal
dari jalan raya - mobil berwarna silver. Jantungku berdetak cepat, berhenti,
lalu berdebar lagi dua kali lebih cepat.
Aku tak melihat dari mana datangnya, tapi tiba-tiba ia sudah di sana, membukakan
pintu untukku. "Kau mau berangkat bersamaku hari ini?" tanyanya, tersenyum melihat ekspresiku
berkat kejutan yang diberikannya lagi ini. Ada keraguan dalam suaranya. Ia
benar-benar memberiku pilihan - aku bebas menolak, dan sebagian dirinya berharap
begitu. Harapan yang sia-sia.
"Ya, terima kasih," kataku, berusaha tetap tenang. Ketika masuk ke mobilnya yang
hangat, aku memerhatikan jaket krem mudanya disampirkan di sandaran kursiku. Ia
menutup pintu, dan lebih cepat dari seharusnya, ia sudah duduk di sebelahku,
menyalakan mobil. "Aku membawakan jaket untukmu. Aku tak ingin kau sakit atau apa." Suaranya hati-
hati. Aku melihat ia sendiri tidak mengenakan jaket, hanya kaus rajut lengan
panjang berkerah V warna abu-abu muda. Lagi-lagi bahan itu melekat sempurna di
dadanya yang bidang. Seperti biasa, wajahnyalah yang membuatku mengalihkan
pandang dari tubuhnya. "Aku tak selemah itu, kau tahu," kataku, tapi kutarik jaketnya ke pangkuan,
mendorong lenganku ke lengan jaket yang kelewat panjang, penasaran ingin
mengetahui apakah aromanya masih seperti yang ada dalam ingatanku. Ternyata
lebih baik. "Benarkah?" ia menyangsikannya, suaranya sangat pelan hingga aku tak yakin ia
ingin aku mendengarnya. Kami mengemudi melewati jalanan berselimut kabut, Selalu terlalu cepat, terasa
canggung. Setidaknya aku merasa begitu. Semalam semua penghalang itu lenyap...
hampir semuanya. Aku tak tahu apakah hari ini kami bisa seterbuka itu. Ini
membuat lidahku kelu. Aku menunggunya memulai.
Ia berbalik dan nyengir. "Apa" Tidak ada rentetan pertanyaan hari ini?"
"Apakah pertanyaan-pertanyaanku mengganggumu?" tanyaku, lega.
"Tidak seperti reaksimu." Ia kelihatan bergurau, tapi aku tak yakin.
Aku cemberut. "Apakah reaksiku buruk?"
"Tidak, itu masalahnya. Kau menerimanya dengan tenang sekali - tidak wajar. Itu
membuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kaupikirkan."
"Aku selalu mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan."
"Kau mengeditnya," tuduhnya.
"Tidak terlalu banyak."
"Cukup untuk membuatku gila."


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak ingin mendengarnya," gumamku pelan, nyaris berbisik. Begitu kata-
kataku terucap, aku langsung menyesalinya. Kepedihan dalam suaraku nyaris samar,
aku hanya berharap ia tidak memerhatikan.
Ia tidak bereaksi, dan aku bertanya-tanya apakah aku telah merusak suasana
hatinya. Ekspresinya tak dapat ditebak ketika kami memasuki parkiran sekolah.
Aku terlambat menyadari sesuatu.
"Di mana keluargamu yang lain?" aku bertanya - lebih dari bahagia bisa berduaan
dengannya, mengingat biasanya mobil ini penuh dengan yang lain.
"Mereka naik mobil Rosalie." Ia mengangkat bahu ketika memarkir mobilnya di
sebelah mobil kap terbuka warna merah mengilap. "Kelewat mencolok, kan?"
"Mmm, wow." desahku. "Kalau Rosalie memilikinya, kenapa dia pergi bersamamu?"
"Seperti kataku, kelewat mencolok. Kami berusaha membaur."
"Kalian tidak berhasil." Aku tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala ketika kami
keluar dari mobil. Aku tidak terlambat; cara mengemudinya yang gila-gilaan
membuatku punya banyak waktu sebelum sekolah dimulai. "Jadi, kenapa Rosalie
mengemudi sendiri kalau itu kelewat menarik perhatian?"
"Tidakkah kau tahu" Aku melanggar semua aturan sekarang." Ia menghampiriku di
depan mobil, berjalan sangat dekat di sisiku menuju gedung sekolah. Aku ingin
mempersempit jarak itu, ingin menggapai dan menyentuhnya, tapi khawatir ia tidak
menyukainya. "Kenapa kalian mempunyai mobil-mobil seperti itu?" aku bertanya terang-terangan.
"Kalau kalian memang menginginkan privasi?"
"Memanjakan diri," ia mengakuinya, dengan senyum jail. "Kami semua suka ngebut."
"Sudah kuduga," gumamku pelan.
Di bawah naungan atap kafetaria yang menjuntai, Jessica menungguku, matanya
nyaris keluar dari rongganya. Di atas lipatan lengannya ada jaketku, syukurlah.
"Hei, Jessica," kataku ketika kami sudah dekat. "Terima kasih sudah ingat
membawanya." Ia menyerahkan jaketku tanpa bicara.
"Selamat pagi, Jessica," sapa Edward sopan. Bukan sepenuhnya salah Edward, bahwa
suaranya begitu menggoda. Atau daya sihir tatapannya.
"Err... hai." Jessica melirik ke arahku dengan mata melotot, berusaha
mengumpulkan pikirannya yang tercecer. "Kalau begitu sampai ketemu di kelas
Trigono." Ia menatapku penuh makna, dan aku mencoba tidak mengerang. Apa yang
akan kukatakan padanya"
"Yeah, sampai ketemu nanti."
Ia berlalu, berhenti dua kali untuk menoleh ke arah kami.
"Apa yang akan kaukatakan padanya?" gumam Edward.
"Hei, kupikir kau tak bisa membaca pikiranku!" tukasku.
"Aku tak bisa," katanya, terkejut. Lalu ia tampak mengerti. "Bagaimanapun, aku
bisa membaca pikirannya - dia tak sabar ingin menginterogasimu di kelas."
Aku mengerang seraya melepaskan jaketnya dan menyerahkannya padanya, kemudian
mengenakan jaketku sendiri, ia melipatnya, lalu menyampirkannya di lengan.
"Jadi, kau akan bilang apa padanya?"
"Tolong bantu aku sedikit," aku memohon padanya. "Apa yang ingin diketahuinya?"
Ia menggeleng, tersenyum nakal. "Itu tidak adil."
"Tidak, kau tidak akan memberitahu apa yang kauketahui - itu baru tidak adil."
Ia sengaja berdiam diri selama beberapa saat. Kami berhenti di depan pintu kelas
pertamaku. "Dia ingin tahu apakah kita diam-diam berkencan. Dan dia ingin tahu bagaimana
perasaanmu terhadapku," akhirnya ia mengatakannya.
"Iihh. Apa yang harus kukatakan?" Aku mencoba menjaga ekspresiku tetap polos.
Orang-orang melewati kami menuju kelas, barangkali menatap kami, tapi aku nyaris tak menyadari
keberadaan mereka. "Hmmm.'" Ia berhenti untuk meraih rambutku yang terlepas dari ikatan di leherku
dan menyelipkannya ke tempatnya. Jantungku memburu. "Kurasa kau bisa mengatakan
ya untuk pertanyaan pertama... kalau kau tidak keberatan - itu lebih mudah
daripada penjelasan lainnya."
"Aku tak keberatan," kataku pelan.
"Dan untuk pertanyaan yang satu lagi... Well, aku akan mendengar jawabannya
langsung darimu." Salah satu ujung bibirnya membentuk senyuman yang sangat
kusuka. Aku tak cukup cepat untuk menunjukkan reaksiku. Ia sudah berbalik dan
berlalu. "Sampai ketemu saat makan siang," ujarnya seraya menoleh ke belakang. Tiga orang
yang berjalan ke pintu berhenti untuk menatapku.
Aku bergegas memasuki kelas, wajahku merah padam dan malu. Dasar curang.
Sekarang aku bahkan lebih khawatir lagi tentang apa yang akan kukatakan pada
Jessica. Aku duduk di bangkuku yang biasa, karena kesal kubanting tasku.
"Selamat pagi, Bella," sapa Mike, yang duduk di sebelahku. Aku mendongak dan
melihat raut aneh dan pasrah di wajahnya. "Bagaimana di Port Angeles?"
"Yah..." tak ada cara yang bagus untuk menyimpulkannya. "Hebat," jawabku
sekenanya. "Jessica membeli gaun yang sangat keren."
"Apa dia bilang sesuatu tentang Senin malam?" tanyanya, matanya bersinar-sinar.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Katanya dia benar-benar menikmatinya," aku meyakinkannya.
"Benarkah?" tanyanya bersemangat.
"Sudah pasti." Mr. Mason mengabsen kami, menyuruh kami mengumpulkan tugas. Pelajaran bahasa
Inggris dan Pemerintahan lewat begitu saja, sementara aku waswas bagaimana
menjelaskan semuanya kepada Jessica. dan apakah Edward akan benar-benar
mendengarkan apa yang kukatakan lewat pikiran Jess. Berapa bakat kecilnya itu
sangat membuat tidak nyaman - kalau sedang tidak digunakan untuk menyelamatkan
jiwaku. Kabut nyaris lenyap pada akhir pelajaran kedua, tapi hati masih gelap dan awan
mendung masih menutupi langit. Aku tersenyum menatap langit.
Tentu saja Edward benar. Ketika aku memasuki kelas Trigono, Jessica sudah duduk
di deret belakang nyaris melompat-lompat di bangkunya, penasaran. Dengan enggan
aku duduk di sebelahnya, mencoba meyakinkan diriku sendiri lebih baik
menyelesaikannya secepat mungkin.
"Ceritakan semuanya!" perintahnya sebelum aku duduk.
"Apa yang ingin kauketahui?" tanyaku hati-hati.
"Apa yang terjadi semalam?"
"Dia mengajakku makan malam, lalu mengantarku pulang."
Ia memandang marah padaku, wajahnya tegang, sinis. "Bagaimana kau bisa pulang
secepat itu?" "Dia ngebut seperti orang sinting. Mengerikan." Kuharap Edward mendengarnya.
"Apakah itu semacam kencan - apakah kau memberitahunya untuk menemuimu di sana?"
Tak terpikir olehku hal itu. "Tidak - aku sangat terkejut melihatnya di sana."
Bibirnya mencibir, kecewa mendengar kejujuranku.
"Tapi hari ini dia menjemputmu ke sekolah?" ia menganalisis.
"Ya - itu juga kejutan. Dia memerhatikan aku tidak membawa jaket semalam," aku
menjelaskan. "Jadi, kalian akan berkencan lagi?"
"Dia menawarkan mengantarku ke Seattle Sabtu nanti, karena menurut dia, trukku
tidak bakal sanggup-apakah itu masuk hitungan?"
"Ya." ia mengangguk.
" Well, kalau begitu, ya."
"W-o-w." Ia melebih-lebihkan kata itu menjadi tiga suku kata. "Edward Cullen."
"Aku tahu," aku setuju dengannya. "Wow" bahkan tidak cukup mewakili.
"Tunggu!" Tangannya terangkat, telapak tangannya menghadapku, seperti sedang
menghentikan laju mobil. "Apakah dia sudah menciummu?"
"Belum," gumamku. "Bukan begitu."
Ia kelihatan kecewa. Aku yakin diriku juga.
"Menurutmu hari Sabtu...?" Alisnya terangkat.
"Aku sangat meragukannya." Kekecewaan terasa nyata dalam suaraku.
"Apa yang kalian obrolkan?" desaknya, berbisik meminta informasi lebih lanjut.
Kelas sudah dimulai, tapi Mr. Varner tidak terlalu memerhatikan dan kami bukan
satu-satunya yang masih mengobrol.
"Entahlah, Jess, banyak," aku balas berbisik. "Kami membicarakan tentang tugas
esai bahasa Inggris, sedikit." Sangat, sangat sedikit. Kurasa dia menyinggungnya
sekilas. "Ayolah, Bella," ia merajuk. "Ceritakan detailnya."
"Well, baiklah... akan kuceritakan satu. Mestinya kaulihat pelayan restoran
merayunya - terang-terangan sekali. Tapi dia tidak memerhatikan cewek itu sama
sekali" Biar saja Edward menebak-nebak apa maksud perkataanku itu.
"Itu pertanda baik." Jessica mengangguk. "Apakah pelayan itu cantik?"
"Sangat - dan barangkali umurnya 19 atau 20."
"Lebih baik lagi. Dia pasti menyukaimu."
"Kurasa, tapi sulit mengetahuinya. Sikapnya selalu misterius," kataku
membelanya, seraya menghela napas.
"Aku tidak mengira kau berani sekali hanya berduaan dengannya," desahnya.
"Kenapa?" aku terkejut, tapi ia tidak memahami reaksiku.
"Dia begitu... mengintimidasi. Aku takkan tahu apa yang harus kukatakan
padanya." Wajahnya berubah, barangkali mengingat kejadian pagi ini atau semalam,
ketika Edward menebarkan pesona tatapannya pada Jess.
"Tapi aku memang punya beberapa masalah dengan logika ketika bersamanya," aku
mengakui. "Oh Well. Dia memang luar biasa tampan." Jessica mengangkat bahu seolah-olah apa
yang dikatakannya menghapus semua kekurangan Edward. Yang barangkali memang
begitulah menurut pandangannya.
"Dia jauh lebih daripada sekadar sangat tampan."
"Sungguh" Seperti apa?"
Aku berharap tidak pernah mengatakan apa-apa, sama seperti aku berharap Edward
hanya bercanda mengenai mendengarkan percakapan kami.
"Aku tak bisa menjelaskannya dengan tepat... tapi dia jauh lebih luar biasa di
balik wajahnya." Vampir yang ingin menjadi baik - yang berkeliaran menyelamatkan nyawa orang
supaya dirinya tidak menjadi monster... Aku menatap ke depan kelas.
"Apakah itu mungkin?" Jessica cekikikan.
Aku mengabaikannya, mencoba terlihat seperti memerhatikan Mr. Varner.
"Jadi, kau menyukainya?" Ia belum mau menyerah.
"Ya," kataku kasar.
"Maksudku, kau benar-benar menyukainya?" desaknya.
"Ya," kataku lagi, wajahku merona. Kuharap detail itu tidak melekat dalam
ingatannya. Sudah cukup dengan pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban satu kata.
"Seberapa suka?"
"Terlalu suka," aku balas berbisik. "Lebih daripada dia menyukaiku. Tapi aku tak
tahu bagaimana mengatasinya." Aku mendesah, wajahku terus merona.
Kemudian, untungnya, Mr. Varner menyuruh Jessica menjawab pertanyaan.
Ia tak bisa memulai percakapan lagi selama di kelas, dan begitu bel berbunyi,
aku langsung menyelamatkan diri.
"Di kelas Inggris, Mike bertanya apakah kau mengatakan sesuatu tentang Senin
malam," aku memberitahunya.
"Kau bercanda! Apa katamu"!" ia menahan napas, perhatiannya benar-benar teralih.
"Kubilang kau sangat menikmatinya-dia kelihatan senang."
"Katakan apa persisnya yang dikatakannya, juga jawabanmu!"
Kami menghabiskan perjalanan kami ke kelas selanjutnya, dan juga hampir
sepanjang pelajaran Spanyol, dengan menggambarkan ekspresi Mike sampai sedetail-
detailnya. Aku tidak bakal repot-repot menggambarkannya selama mungkin kalau
tidak khawatir pembicaraan akan berbalik padaku.
Bel istirahat siang berbunyi. Ketika aku melompat dari bangku, memasukkan buku-
buku sembarangan ke tas, ekspresi wajahku yang bersemangat pasti membuat Jess
menyadari sesuatu. "Hari ini kau tidak akan duduk bersama kami, kan?" tebaknya.
"Kurasa tidak." Aku tak yakin Edward tidak akan menghilang seperti yang pernah
dilakukannya. Tapi di luar pintu kelas bahasa Spanyol kami - tampak sangat mirip dewa Yunani -
Edward sedang menungguku. Jessica melihatnya, memutar bola mata, lalu pergi.
"Sampai nanti. Bella" Kata-katanya penuh maksud tersembunyi. Kurasa aku harus
mematikan teleponku nanti.
"Halo." Suara Edward memesona sekaligus mengusik. Ia tadi mendengarkan. Sudah
pasti. "Hai." Aku tak bisa memikirkan perkataan apa lagi, dan ia tidak bicara - kurasa ia
mengulur-ulur waktu - jadi perjalanan kami ke kafetaria berlangsung hening.
Berjalan di sisi Edward menuju kafetaria pada jam makan siang yang padat seperti
ini rasanya mirip hari pertamaku di sini; semua orang memandangiku.
Ia membimbingku menuju antrean, masih diam, meski beberapa detik sekali ia
memandangku, ekspresinya berubah-ubah. Tampak olehku rasa kesal lebih
mendominasi wajahnya daripada perasaan senang. Aku memainkan ritsleting jaketku
karena gugup. Ia maju ke konter dan mengisi nampan dengan makanan.
"Apa yang kaulakukan?" tanyaku. "Kau tidak mengambil itu semua untukku, kan?"
Ia menggeleng, maju untuk membayar makanannya. "Tentu saja separuhnya untukku."
Alisku terangkat. Ia membimbingku ke tempat yang kami duduki bersama terakhir kali. Dari ujung
meja sekelompok murid senior menatap kami, terkagum-kagum, sementara kami duduk
berhadapan. Edward seperti tidak menyadarinya.
"Ambil apa saja yang kau mau," katanya seraya mendorong nampannya ke arahku.
"Aku penasaran," kataku sambil mengambil apel dan menggenggamnya, "apa yang
kaulakukan bila ada yang menantangmu makan?"
"Kau selalu penasaran." Ia meringis, menggeleng-gelengkan kepala. Ia memandangku
geram, dan sambil terus menatap mataku ia mengambil pizza dari nampan, dan dengan sengaja
menggigitnya besar-besar, cepat-cepat mengunyah, lalu menelannya. Aku
mengamatinya dengan mata membelalak.
"Kalau seseorang menantangmu makan kotoran, kau bisa melakukannya, ya kan?"
tanyanya meremehkan. Aku mengerutkan hidung. "Aku pernah melakukannya... ketika ditantang," aku
mengakuinya. "Tidak terlalu buruk."
Ia tertawa. "Kurasa aku tidak terkejut." Sesuatu di belakangku seperti menarik
perhatiannya. "Jessica sedang memerhatikan semua tindak-tandukku - dia akan memaparkannya
padamu nanti." Ia menyorongkan sisa pizza padaku. Menyebutkan nama Jessica
membuatnya bersikap menyebalkan lagi.
Aku meletakkan apel dan menggigit pizza. lalu memalingkan wajah ketika tahu ia
hendak bicara. "Jadi pelayannya cantik, ya?" tanyanya santai.
"Kau benar-benar tidak memerhatikan?"
"Tidak. Aku memikirkan banyak hal."
"Cewek malang." Sekarang aku bisa bersimpati dengan tulus.
"Sesuatu yang kaukatakan pada Jessica... Well, itu menggangguku." Ia menolak
dialihkan perhatiannya. Suaranya parau, ia melirik dari balik bulu matanya,
gelisah. "Aku tidak terkejut kau mendengar sesuatu yang tidak kausukai. Itu risiko suka
menguping pembicaraan orang," aku mengingatkannya.
"Aku sudah mengingatkan bahwa aku akan mendengarkan."
"Dan aku sudah mengingatkan tidak semua yang kupikirkan baik untuk kauketahui."
"Memang," ia menyetujuinya, tapi suaranya masih parau. "Meski begitu, kau tidak
sepenuhnya benar. Aku ingin tahu apa yang kaupikirkan - semuanya. Aku hanya
berharap... kau tidak memikirkan beberapa hal."
Wajahku merengut. "Itu sama saja."
"Tapi bukan itu masalahnya sekarang."
"Lalu apa?" Sekarang kami saling mencondongkan tubuh. Ia duduk dengan tangan
menumpu dagu; sementara tubuhku condong ke depan, tangan kananku memegangi
leher. Aku harus mengingatkan diriku bahwa kami berada di kafetaria penuh orang,
dan barangkali ada banyak tatapan penasaran tertuju pada kami. Begitu mudahnya
larut dalam percakapan rahasia, terutama bila menegangkan.
"Apakah kau benar-benar yakin kau lebih peduli padaku daripada aku padamu?"
gumamnya, semakin mendekat saat bicara, matanya yang gelap keemasan menyorot
tajam. Aku berusaha mengingat bagaimana caranya bernapas. Aku harus berpaling sebelum
hal itu terjadi lagi. "Kau melakukannya lagi," bisikku.
Matanya membelalak terkejut. "Apa?"
"Membuatku terpesona," aku mengakuinya, mencoba berkonsentrasi untuk menatapnya
lagi. "Oh." Dahinya berkerut.
"Bukan salahmu," aku mendesah. "Kau tak bisa mencegahnya."
"Apakah kau akan menjawab pertanyaanku?"


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menunduk. "Ya."
"Ya, kau akan menjawab, atau ya, kau benar-benar berpendapat begitu?" Lagi-lagi
ia jengkel. "Ya, aku benar-benar berpendapat begitu." Aku tetap menunduk memandang meja,
mataku menelusuri kayunya. Keheningan terus berlanjut. Dengan keras kepala aku
menolak menjadi yang pertama memecah keheningan. Aku berusaha keras melawan
godaan untuk melihat ekspresinya.
Akhirnya ia bicara, suaranya sangat lembut. "Kau salah."
Aku menatapnya dan mendapati sorot matanya yang lembut.
"Kau tak bisa mengetahuinya," bantahku sambil berbisik. Aku menggeleng ragu,
meskipun jantungku berdebar mendengar ucapannya, dan aku ingin sekali
memercayainya. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Mata topaz-nya sangat menusuk - menurutku
sia-sia saja berusaha mencari kebenaran dari dalam benakku.
Aku balas menatapnya, berusaha berpikir jernih, tak peduli seperti apa pun raut
wajahnya, dan mencari cara untuk menjelaskan. Ketika aku sedang memilih kata-
kataku, kulihat ia mulai tidak sabar. Gelisah karena sikap diamku, ia mulai
kesal. Kuangkat tanganku dari leher, dan mengacungkan satu jari.
"Biarkan aku berpikir," aku berkeras. Keregangan di wajahnya mencair, karena
kini ia puas bahwa aku berniat menjawab pertanyaannya. Kujatuhkan tanganku ke
meja, lalu menutupkan keduanya. Aku memandangi tanganku, mengaitkan jemari lalu
menguraikannya, ketika akhirnya aku bicara.
"Well, terlepas dari kenyataannya, kadang-kadang..." Aku berhenti. "Aku tidak
yakin - aku tidak tahu caranya membaca pikiran - tapi terkadang rasanya seolah
kau berusaha mengucapkan selamat tinggal ketika kau mengatakan sesuatu yang
lain." Itu kesimpulan terbaik dari sensasi sedih yang sering ditimbulkan
perkataannya. "Peka," bisiknya. Lagi-lagi aku menangkap kepedihan dalam kata-katanya,
membenarkan ketakutanku. "Tapi justru itulah kenapa kau salah," ia mulai
menjelaskan, tapi kemudian matanya menyipit. "Apa maksudmu 'kenyataannya'?"
"Well, lihat aku," kataku, yang benar-benar tidak penting karena Edward sudah
menatapku. "Aku sungguh-sungguh manusia biasa - Well, kecuali untuk hal-hal
buruk seperti pengalaman yang sangat dekat dengan kematian itu, dan aku begitu
canggung sehingga bisa dibilang nyaris lumpuh. Sedangkan kau?" Kulambaikan
tanganku padanya dan semua kesempurnaannya yang membingungkan.
Alisnya mengerut marah sesaat, lalu santai lagi ketika ia akhirnya mengerti.
"Kau sendiri tidak melihat dirimu dengan jelas. Kuakui kau benar tentang hal-hal
buruk itu," ia tergelak ironis, "tapi kau tidak mendengar apa yang dipikirkan
setiap laki-laki di sekolah ini tentangmu pada hari pertamamu di sini."
Mataku mengerjap, terperanjat. "Aku tak percaya...," aku menggumam pada diriku
sendiri. "Percayalah sekali ini saja - kau bukan manusia biasa."
Rasa maluku lebih kuat daripada perasaan senang melihat sorot di matanya saat ia
mengatakannya. Aku langsung mengingatkannya tentang argumentasiku sebelumnya.
"Tapi aku tidak mengucapkan selamat tinggal," tukasku.
"Tidakkah kau mengerti" Itu yang membuktikan bahwa aku benar. Akulah yang paling
peduli, karena seandainya aku bisa melakukannya"-ia menggeleng, mencoba melawan
pendapat itu-"seandainya meninggalkanmu adalah sesuatu yang harus kulakukan,
akan kusakiti diriku sendiri demi menjagamu agar tidak terluka, supaya kau tetap
aman." Aku menatapnya marah. "Dan pikirmu aku takkan melakukan hal yang sama?"
"Kau takkan pernah perlu membuat keputusan itu."
Tiba-tiba suasana hatinya yang tak bisa ditebak berubah lagi; senyum jail dan
memesona itu muncul di wajahnya. "Tentu saja menjagamu tetap aman mulai terasa
seperti pekerjaan purnawaktu yang senantiasa memerlukan kehadiranku."
"Tak seorang pun mencoba membunuhku hari ini," aku mengingatkannya, bersyukur
topiknya sudah lebih ringan. Aku tak ingin ia membicarakan perpisahan lagi.
Kalau perlu, kurasa aku bisa dengan sengaja membahayakan diriku sendiri agar ia
tetap di dekatku... Kusingkirkan pikiran itu sebelum ia bisa membacanya di
wajahku. Ide itu jelas bakal mendatangkan masalah buatku.
"Belum," ia menambahkan.
"Belum," aku setuju. Aku bisa saja mendebatnya, tapi sekarang aku ingin ia
menghadapi masalah besar.
"Aku punya pertanyaan lain untukmu." Raut wajahnya masih kasual.
"Tanyakan saja."
"Apakah kau benar-benar harus ke Seattle Sabtu ini, ataukah itu hanya alasan
untuk menolak semua penggemarmu?"
Aku merengut mengingat hal itu. "Kau tahu, aku belum memaafkanmu untuk masalah
Tyler," aku mengingatkannya. "Itu semua salahmu, sehingga dia mengira aku akan
pergi ke prom bersamanya."
"Oh, dia akan mengajakmu sendiri tanpa bantuanku - aku hanya benar-benar ingin
melihat reaksimu," ia tergelak.
Aku pasti akan lebih marah lagi kalau tawanya tidak semenawan itu.
"Kalau aku mengajakmu, apakah kau akan menolak?" tanyanya, masih tertawa
sendiri. "Mungkin tidak," kataku jujur. "Tapi aku kemudian akan membatalkannya-berpura-
pura sakit atau mengalami cedera pergelangan kaki."
Ia bingung. "Kenapa kau melakukan itu?" Aku menggeleng sedih. "Kau tak pernah
melihatku di kelas Olahraga, tapi kupikir kau bakal mengerti."
"Apakah kau sedang bicara tentang fakta bahwa kau tak bisa berjalan di permukaan
rata dan stabil tanpa tersandung?"
"Tentu saja." "Itu bukan masalah." Ia terdengar sangat yakin. "Sudah sepantasnya." Tahu aku
akan memprotes, ia pun menyela. "Tapi kau tak pernah bilang padaku - apakah kau
sudah mantap ingin ke Seattle, atau kau tidak keberatan kita melakukan sesuatu
yang berbeda?" Selama kata "kita" dilibatkan, aku tak peduli yang lainnya.
"Aku terbuka untuk tawaran lain," kataku. "Tapi aku punya satu permintaan."
Ia tampak waswas, seperti biasa setiap kali aku melontarkan pertanyaan terbuka.
"Apa?" "Boleh aku yang mengemudi?"
Ia merengut. "Kenapa?"
"Well, terutama karena waktu kubilang kepada Charlie akan pergi ke Seattle, dia
secara spesifik bertanya apakah aku pergi sendirian, dan waktu itu, memang ya.
Kalau dia bertanya lagi, barangkali aku tidak akan berbohong, tapi rasanya dia
tidak akan bertanya lagi, dan meninggalkan truk di rumah akan membuatnya
bertanya-tanya. Juga karena cara menyetirmu membuatku takut."
Ia memutar bola matanya. "Dari semua hal dalam diriku yang bisa membuatmu takut,
kau malah takut dengan caraku mengemudi." Ia menggeleng-geleng tak percaya, tapi
kemudian matanya berubah serius lagi. "Tidakkah kau ingin memberitahu ayahmu, kau akan melewatkan hari
itu bersamaku?" Ada maksud lain yang tak kumengerti di balik pertanyaannya.
"Dengan Charlie, berbohong selalu lebih baik." Aku yakin soal itu. "Lagi pula,
memangnya kita mau ke mana?"
"Prakiraan cuacanya bagus, jadi aku akan menghilang untuk sementara... dan kau
bisa ikut bersamaku kalau mau." Lagi-lagi ia membiarkanku memilih keputusanku.
"Dan kau akan memperlihatkan padaku yang kaumaksud mengenai matahari?" tanyaku,
gembira oleh gagasan akan terungkapnya misteri ini.
"Ya." Ia tersenyum, lalu terdiam. "Tapi kalau kau tidak ingin... berduaan
denganku, aku tetap tak ingin kau pergi ke Seattle sendirian. Aku khawatir
memikirkan masalah yang mungkin menimpamu di kota sebesar itu."
Aku jengkel. "Phoenix tiga kali lebih besar daripada Seattle - itu baru jumlah
populasinya. Untuk ukuran-"
"Tapi nyatanya," ia menyelaku, "kecelakaan yang kaualami tidak bermula di
Phoenix. Jadi, lebih baik kau berada di dekatku." Matanya kembali menyala-nyala.
Aku tak bisa membantah, baik tatapan maupun maksudnya, lagi pula ia benar
"Karena itu sudah terjadi, aku tak keberatan berduaan saja denganmu."
"Aku tahu." desahnya, merenung. "Meski begitu, kau harus memberitahu Charlie."
"Kenapa aku harus repot-repot melakukannya?"
Sorot matanya tiba-tiba mengeras. "Sebagai satu alasan kecil bagiku untuk
memulangkanmu." Aku menelan ludah. Tapi setelah berpikir sesaat, aku menjadi yakin. "Kurasa aku
akan mengambil risiko itu."
Ia menghela napas marah, dan memalingkan wajah.
"Kita bicara yang lain saja," usulku.
"Apa yang ingin kaubicarakan?" tanyanya. Ia masih kesal. Aku memandang
sekelilingku, memastikan tak seorang pun mendengarkan. Ketika menyapukan
pandangan ke seluruh ruangan, aku bertemu pandang dengan adiknya, Alice, yang
sedang menatapku. Yang lain memandangi Edward. Aku buru-buru mengalihkan
pandangan kepada Edward, dan melontarkan hal pertama yang terlintas dalam
benakku. "Kenapa kau pergi ke Goar Rocks akhir pekan lalu... untuk berburu" Charlie
bilang, itu bukan tempat yang baik untuk hiking, banyak beruang."
Ia menatapku seolah aku melewatkan sesuatu yang sangat jelas.
"Beruang?" Aku menahan napas dan ia tersenyum mencemooh. "Kau tahu, sekarang
bukan musim berburu beruang" aku menambahkan dengan tegas, untuk menyembunyikan
keterkejutanku. "Kalau kau membaca dengan teliti, peraturannya hanya mencakup berburu dengan
senjata," ia memberitahuku.
Dengan perasaan senang ia mengamati wajahku sementara aku perlahan-lahan
memahami ucapannya. "Beruang?" ulangku terbata-bata.
"Beruang Grizzly adalah kesukaan Emmett." Suaranya masih tenang, namun matanya
mengamati reaksiku. Aku mencoba mengendalikan diri.
"Hmmm," kataku sambil menggigit pizza lagi agar bisa menunduk. Aku mengunyah
perlahan lalu meminum Coke, tanpa memandang ke arahnya.
"Jadi," kataku setelah sesaat, akhirnya menatap matanya yang gelisah.
"Kesukaanmu apa?"
Alisnya terangkat dan senyum kecewa tersungging di ujung bibirnya. "Singa
gunung." "Ah," kataku sopan, berpura-pura tidak tertarik, sambil mencari sodaku lagi.
"Tentu saja," katanya, nada suaranya menyamai nada suaraku, "kami harus berhati-
hati agar tidak membahayakan lingkungan dengan kegiatan berburu kami. Kami
berusaha fokus pada area yang jumlah populasi binatang predatornya tinggi -
menciptakan daerah jangkauan sejauh mungkin. Di sekitar sini ada banyak rusa
dan kijang, dan itu sebenarnya cukup, tapi di mana kesenangannya?" Ia tersenyum
menggoda. "Ya, benar," aku bergumam sambil menggigit pizza lagi.
"Awal musim semi adalah musim berburu beruang kesukaan Emmett-mereka baru saja
selesai hibernasi, jadi lebih pemarah." Ia tersenyum mengingat sesuatu yang
lucu. "Tak ada yang lebih menyenangkan daripada beruang Grizzly yang sedang marah."
Aku mengangguk menyetujuinya.
Ia tertawa terbahak-bahak, menggelengkan kepala. "Tolong katakan apa yang benar-
benar kaupikirkan." "Aku mencoba membayangkannya - tapi tidak bisa. Aku mengakuinya. "Bagaimana
kalian berburu beruang tanpa senjata?"
"Oh, kami punya senjata." Ia memamerkan gigi putihnya dengan senyum mengerikan.
Aku menahan tubuhku agar tidak bergidik sebelum ia melihatnya. "Pokoknya bukan
jenis senjata yang terpikir oleh mereka ketika membuat peraturan berburu. Kalau
kau pernah melihat beruang menyerang di acara televisi, kau seharusnya bisa
membayangkan cara Emmett berburu."
Aku tak bisa menghentikan rasa rakut yang menjalari punggungku. Aku melirik ke
seberang kafetaria, ke arah Emmett, untung ia tidak sedang melihat ke arahku.
Otot kekar yang membungkus lengan dan torsonya sekarang bahkan lebih menakutkan
lagi. Edward mengikuti arah pandanganku dan tergelak. Aku menatapnya, ngeri.
"Apa kau juga seperti beruang?" tanyaku pelan.
"Lebih seperti singa, atau begitulah kata mereka," katanya enteng. "Barangkali
pilihan kami mencerminkan kepribadian kami."
Aku berusaha tersenyum. "Barangkali," aku mengulanginya. Tapi pikiranku dipenuhi
bayangan-bayangan yang bertolak belakang dan tak bisa kusatukan. "Apakah aku
akan pernah melihatnya?"
"Tentu saja tidak!" Wajahnya memucat bahkan lebih dari biasanya, dan matanya
tiba-tiba berkilat marah. Aku menyandarkan tubuhku ke belakang, tertegun, dan -
meskipun tak pernah mengaku padanya - takut melihat reaksinya. Ia juga
menyandarkan tubuh, bersedekap.
"Terlalu menakutkan buatku?" tanyaku ketika dapat mengendalikan suaraku lagi.
"Kalau memang itu, aku akan mengajakmu keluar malam ini," katanya, nada suaranya
dingin. "Kau perlu merasakan ketakutan yang sebenarnya. Tak ada cara yang lebih
baik buatmu." "Lalu kenapa?" desakku, mencoba mengabaikan kemarahannya.
Ia menatapku marah selama satu menit yang panjang.
"Sampai nanti," akhirnya ia berkat, Dengan satu gerakan kecil ia sudah bangkit
berdiri. "Kita bakal terlambat."
Aku memandang berkeliling, ia benar, kafetaria hampir kosong. Saat aku
bersamanya, waktu dan keberadaanku begitu tak nyata hingga aku benar-benar tak
menyadari keduanya Aku melompat, meraih tasku dari sandaran kursi.
"Kalau begitu, sampai nanti," timpalku. Aku takkan lupa.
Pisau Tanduk Hantu 2 Pendekar Mabuk 038 Telur Mata Setan Darah Ksatria 3
^