Pencarian

Padang Bayang Kelabu 6

Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon Bagian 6


"Baiklah," katanya. "Saya ada satu orang ca-kap yang bisa saya tugasi menjaga Anda. Ka-pan Anda ingin dia memulainya?"
"Senin." Jadi ia benar. Masalahnya tidak terlalu mendesak.
Melina Demiris bangkit berdiri. "Saya akan menelepon Anda. Anda punya kartu nama?"
"Ya, tentu." Katelanos memberikan kepadanya kartu namanya dan mengantarkan dia keluar. Ia klien yang baik, pikirnya. Namanya akan memberi kesan bagus pada klien-klienku yang lain.
Ketika Melina sudah tiba di rumah kembali, ia
423 menelepon kakaknya. "Spyros, aku punya kabar baik." Suaranya penuh dengan kegembiraan. "Costa menginginkan gencatan senjata."
"Apa" Aku tidak percaya kepadanya, Melina. Pasti itu hanya suatu tipuan saja. Ia?"
"Tidak. Ia bersungguh-sungguh. Ia sadar be-tapa bodohnya kalian berdua bertengkar terus setiap saat. Ia menginginkan adanya kedamaian dalam keluarga."
Spyros terdiam. "Aku tidak tahu."
"Setidaknya beri dia kesempatan. Ia ingin kau menemuinya di pondokmu di Acro-Corinth pada jam tiga sore ini."
"Itu empat jam jauhnya dari sini. Mengapa kita tidak bertemu di kota saja?"
"Ia tidak mengatakan alasannya," kata Melina kepadanya, "tapi jika benar ini dimaksudkan untuk perdamaian?"
"Baiklah. Akan kulakukan itu. Tapi ini kulakukan untukmu."
"Untuk kita," kata Melina. "Selamat tinggal, Spyros."
"Selamat tinggal."
Melina lalu menelepon Constantin di kantornya. Suara Demiris kedengaran tidak sabar. "Ada apa" Aku sibuk."
"Aku baru saja menerima telepon dari Spyros. Ia ingin berdamai denganmu."
Terdengar tawa pendek bernada mengejek. "Pasti dia mau begitu. Setelah aku selesai mem"
424 buat perhitungan dengan dia, dia akan memperoleh kedamaian yang diinginkannya."
"Katanya ia tidak akan bersaing lagi denganmu, Costa. Ia bersedia menjual armadanya kepadamu."
"Menjual armada?"Kau pasti itu?" Suaranya tiba-tiba penuh minat.
"Ya. Katanya dia sudah jenuh."
"Baiklah. Bilang padanya untuk mengirimkan para akuntannya ke kantorku, dan?"
"Tidak. Ia ingin bertemu denganmu sore ini jam tiga di Acro-Corinth."
"Pondoknya itu?"
"Ya. Itu tempat yang terpencil. Hanya akan ada kalian berdua saja. Ia tidak mau ini dibo-corkan ke luar."
Sudah pasti ia tidak akan mau, pikir Demiris dengan puas. Saat berita ini betul-betul bocor, ia akan jadi bahan tertawaan. "Baiklah," kata Demiris. "Kau bisa bilang padanya aku akan berada di sana."
Perjalanan dengan mobil ke Acro-Corinth cukup panjang, lewat jalan berliku yang menerobos tanah pedesaan yang subur dan hijau, yang semerbak oleh harumnya anggur dan jeruk lemon dan jerami kering. Spyros Lambrou melewati reruntuhan bangunan kuno di sepanjang jalan itu. Di kejauhan, ia melihat pilar-pilar Eleusis yang telah tumbang, altar-altar para dewa yang telah runtuh. Ia berpikir tentang Demiris.
425 Lambrou-lah yang pertama tiba di pondok itu. Ia memarkir mobilnya di depan pondok itu dan duduk di mobil sebentar, memikirkan pertemuan yang akan dihadapinya. Apakah benar Constantin menginginkan perdamaian, atau ini cu-ma tipuannya yang lain lagi" Jika sesuatu terjadi atas dirinya, sedikitnya Melina tahu ia pergi ke mana. Spyros keluar dari mobil dan berjalan menuju ke pondok yang lama tidak dihuni itu.
Pondok itu adalah sebuah bangunan kayu tua yang cantik dengan pemandangan kota Corinth di bawah di kejauhan. Waktu masih kanak-ka-nak, Spyros Lambrou sering berakhir pekan di situ dengan ayahnya, melakukan permainan berburu kecil-kecilan di bukit-bukit. Sekarang ia sedang menghadapi permainan yang besar.
Lima belas menit kemudian, Constantin Demiris tiba. Ia melihat Spyros berada di dalam, sedang menunggu, dan ini memberikan kepadanya rasa puas yang nikmat. Jadi, setelah bertahun-tahun, orang ini akhirnya mau mengakui bahwa ia sudah kalah. Ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke pondok itu. Kedua laki-laki itu berdiri di sana, saling menatap.
"Well, iparku yang baik," kata Demiris, "jadi kita akhirnya sudah tiba di garis finish."
"Aku ingin kegilaan ini diakhiri, Costa. Sudah terlalu jauh."
"Aku lebih dari setuju. Berapa kapal milikmu sekarang, Spyros?"
426 Lambrou memandangnya dengan heran. "Apa?"
"Berapa kapal yang kaumiliki" Aku" akan membelinya semua. Dengan discount yang me-madai tentunya."
Lambrou tidak percaya pada apa yang didengarnya. "Membeli kapal-kapalku?"
"Aku bersedia membeli semuanya. Itu akan membuatku menjadi pemilik armada kapal yang terbesar di dunia."
"Apa kau sudah gila" Apa"apa yang membuatmu mengira aku akan menjual kapal-kapalku kepadamu?"
Sekarang giliran Demiris bereaksi. "Untuk itu-lah kita bertemu di sini, bukan?"
"Kita bertemu di sini karena kau mengusulkan perdamaian."
Wajah Demiris menjadi gelap. "Aku"siapa yang bilang begitu?"
"Melina." Duduk perkaranya menjadi jelas bagi mereka berdua pada saat yang sama. "Ia mengatakan padamu aku menginginkan perdamaian?"
"Ia bilang aku akan menjual kapal-kapalku?"
"Perempuan tolol itu!" Demiris berseru. "Ku-rasa ia mengira bahwa dengan mempertemukan kita seperti ini, kita akan mencapai semacam persetujuan. Ia benar-benar lebih tolol daripada-mu, Lambrou. Aku menyia-nyiakan seluruh sore ini gara-gara kau."
Constantin Demiris berbalik dan mengham"
427 bur keluar pintu. Spyros Lambrou menyaksikan dia, berpikir, Seharusnya Melina tidak membohongi kami seperti ini. Seharusnya ia tahu bahwa tak mungkin suaminya dan aku akan pernah menjadi rukun. Tidak sekarang. Sudah terlambat. Selalu sudah terlambat.
Sebelum itu, jam dua sore, Melina memanggil pembantu wanitanya. "Andrea, saya minta teh, ya?"
"Tentu, ma"am." Pembantu itu meninggalkan ruangan dan ketika ia kembali dengan membawa nampan teh sepuluh menit kemudian, nyonyanya sedang berbicara di telepon. .Nada suaranya marah.
"Tidak, Costa, niatku sudah bulat. Aku bermaksud menceraikanmu dan aku akan lakukan itu sekacau mungkin dan seramai mungkin su-paya publik tahu."
Merasa risi, Andrea meletakkan nampan itu dan akan pergi. Melina melambaikan tangannya minta ia tinggal.
Melina berbicara lagi ke telepon kosong itu. "Kau boleh ancam aku sesukamu. Aku tidak akan mengubah niatku" Tak akan pernah" Aku tidak peduli kau mau ngomong apa" Aku tidak takut kepadamu, Costa" Tidak" Apa gunanya" "Baik. Aku akan menjumpaimu di rumah pantai tapi tak akan ada gunanya untukmu. Ya, aku akan datang sendiri. Dalam waktu satu jam" Baiklah."
428 Pelan-pelan, Melina meletakkan gagang telepon itu, wajahnya nampak kuatir. Ia menoleh kepada Andrea. "Aku akan pergi ke rumah pantai menjumpai suamiku. Kalau aku belum pu-lang jam enam nanti, aku mau kau memanggil polisi."
Andrea menelan ludah dengan tegang. "Apa sebaiknya kepala pelayan menyetir untuk Anda?"
"Tidak. Mr Demiris minta aku datang sendiri."
"Ya, ma"am."
Ada satu hal lagi yang perlu dilakukan. Hidup Catherine Alexander berada dalam bahaya. Ia harus diperingatkan. Yang akan membunuhnya adalah salah satu anggota delegasi yang datang ke rumah untuk makan malam waktu itu. Kau tak akan pernah melihatnya lagi. Aku sudah mengirim orang untuk menyingkirkan dia. Melina minta disambungkan ke kantor suaminya di London.
"Apa ada yang bernama Catherine Alexander bekerja di sana?"
"Saat ini ia tidak ada di tempat. Apa bisa dibantu orang lain?"
Melina ragu-ragu. Pesan yang akan disampaikannya terlalu penting untuk dipercayakan kepada sembarang orang. Tapi dia tak ada waktu lagi untuk menelepon kembali. Ia ingat Costa pernah menyebut nama Wim Vandeen, si jenius di kantor itu.
429 "Boleh saya bicara dengan Mr Vandeen?" "Tunggu sebentar."
Suara pria terdengar di telepon itu. "Hello." Melina hampir-hampir tidak bisa menangkap ucapannya.
"Saya ada pesan untuk Catherine Alexander. Penting sekali. Bisa Anda pastikan bahwa ia akan menerimanya?"
"Catherine Alexander."
"Ya. Katakan kepadanya"katakan kepadanya bahwa hidupnya ada dalam bahaya. Ada orang yang ingin mencoba membunuhnya. Saya kira orangnya salah satu dari mereka yang datang dari Athena."
"Athena?" "Ya." "Athena mempunyai jumlah penduduk delapan ratus enam ribu?"
Melina nampaknya tak bisa membuat orang ini mengerti. Ia menutup telepon itu. Ia sudah berusaha sebaik-baiknya.
Wim duduk di depan meja tulisnya, mencer-nakan pembicaraan telepon tadi. Ada orang yang akan mencoba membunuh Catherine. Seratus empat betas pembunuhan telah dilakukan di Inggris tahun ini, Catherine akan membuatnya jadi seratus lima betas. Salah satu dari mereka yang datang dari Athena. Jerry Haley. Yves Renard. Dino Mattusi. Salah satu akan membunuh Catherine. Otak komputer Wim seketika itu juga bekerja mensuplai dia
430 dengan semua data mengenai ketiga orang itu. Kukira aku tahu yang mana.
Ketika Catherine kembali tak lama kemudian, Wim tidak mengatakan apa-apa tentang telepon tadi.
Ia ingin tahu apakah ternyata ia benar nanti.
Catherine keluar dengan anggota delegasi yang berbeda setiap malamnya, dan kalau ia datang bekerja keesokan harinya, Wim ada di sana, menunggu. Ia nampak kecewa melihat Catherine.
Kapan akan dibiarkannya pembunuh itu melakukannya" Wim ingin tahu. Barangkali ia sebaiknya memberitahu dia tentang pesan telepon itu. Tapi itu namanya menipu. Tak adil mengubah-ubah taruhan yang telah ditetapkan.
431 Bab 25 Perjalanan menuju ke rumah pantai itu memakan satu jam waktu nyata dan dua puluh tahun kenangan. Begitu banyak yang dipikirkan Melina, begitu banyak yang terkenang. Costa, muda dan tampan, berkata, Pasti Anda dikirim dari surga untuk mengajarkan pada kami makhluk fana ini apa artinya keindahan. Anda di luar jangkauan pujian. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan Anda dengan benar" Tamasya-tamasya indah di atas yacht mereka dan liburan-liburan yang romantis di Psara" Hari-hari yang penuh dengan hadiah-hadiah kejutan dan malam-ma-lam yang penuh gairah cinta. Kemudian peristiwa keguguran itu, dan rangkaian kekasih-ke-kasih gelap, dan affair dengan Noelle Page. Dan siksaan-siksaan serta penghinaan-penghinaan di depan umum. Koritsimon! Kau hidup bukan untuk apa-apa, Demiris pernah berkata. Mengapa kau tidak bunuh diri saja" Dan, akhirnya, ancaman untuk menghancurkan Spyros.
Irulah yang, pada akhirnya, tak sanggup lagi ditanggung oleh Melina.
432 Tatkala Melina tiba di rumah pantai itu, suasana amat sepi. Langit berawan, dan angin di-ngin bertiup dari samudera. Suatu pertanda, pikirnya.
Ia berjalan memasuki rumah yang ramah dan nyaman itu dan melihat berkeliling untuk yang terakhir kalinya.
Lalu ia mulai menjungkirbalikkan perabotan dan memecahkan lampu-lampu. Ia mengoyakkan gaunnya dan menjatuhkannya ke lantai. Ia mengeluarkan kartu nama dari agency detektif itu dan meletakkannya di sebuah meja. Ia mengangkat permadani dan meletakkan kancing emas itu di bawahnya. Lalu ia melepaskan arloji emas pemberian Costa dan membenturkannya ke meja.
Ia mengambil celana renang suaminya yang diambilnya dari rumah dan membawanya ke pantai. Ia mencelupkan celana itu ke dalam air, lalu kembali ke rumah. Akhirnya, tinggal satu hal lagi yang harus dilakukan. Sekarang saatnya, pikirnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan mengambil pisau jagal itu dan melepaskan pembungkusnya, berhati-hati untuk tidak mengoyakkan kertas tissue yang menyelu-bungi tangkainya. Melina memegangnya, menatapnya. Ini bagian yang paling penting. Ia harus menikam dirinya sendiri cukup keras su-paya nampak seperti pembunuhan, dan pada saat yang sama masih punya cukup sisa tenaga untuk bisa melaksanakan rencana selanjutnya.
433 Ia memejamkan matanya, dan menusukkan pisau itu dalam-dalam ke tubuhnya di bagian sarrtping.
Sakitnya tak terhingga. Darah mulai mengucur ke luar. Melina menempelkan celana renang yang basah itu ke samping badannya, dan setelah celana itu dilumuri darah, ia berjalan menghampiri lemari pakaian dan menyorongkan celana itu di bagian belakang. Ia mulai merasa pening. Ia melihat ke sekeliling untuk meyakinkan tak ada yang lupa dikerjakan, lalu ia tertatih-tatih berjalan ke pintu yang menuju ke pantai, darahnya menodai karpet dengan warna merah tua segar.
Ia bergerak menuju ke samudera. Darah mengucur makin deras sekarang, dan ia berpikir, Aku tak akan berhasil. Costa-lah yang akan menang. Aku tak boleh membiarkan itu.
Berjalan menuju ke lautan itu rasanya seperti berabad-abad lamanya. Satu langkah lagi, pikirnya. Satu langkah lagi.
Ia terus berjalan, melawan rasa pening yang mencekam seluruh inderanya. Pandangannya mulai menjadi kabur. Ia jatuh berlutut. Aku tidak boleh berhenti sekarang. Ia bangkit dan terus berjalan sampai ia merasa air dingin membasahi kakinya.
Ketika air yang asin itu mengenai lukanya, ia menjerit keras karena rasa pedih yang tak tertahankan. Aku melakukan ini untuk Spyros, pikirnya. Dear Spyros.
434 Di kejauhan ia melihat segumpal awan melayang rendah di batas cakrawala. Ia mulai berenang menuju ke arahnya, meninggalkan jejak-jejak darah. Lalu sebuah mukjizat terjadi. Awan itu turun menghampirinya, dan ia bisa merasakan kelembutannya yang putih menyelimUti dirinya, memandikan dirinya, membelai dirinya. Rasa sakit itu hilang, dan ia merasakan suatu kedamaian yang syahdu membuai dirinya.
Aku pulang, pikir Melina dengan bahagia. Aku pulang akhirnya.
435 Bab 26 Saya menahan Anda karena pembunuhan terhadap istri Anda.
Setelah itu, segala sesuatu seakan berjalan dalam slow motion. Ia didaftar, dan diambil sidik jarinya lagi. Ia diambil fotonya, dan dimasukkan ke dalam sel penjara. Sungguh sulit dipercaya bahwa mereka berani melakukan itu atas dirinya.
"Panggilkan Peter Demonides. Katakan padanya saya ingin bertemu dengannya sekarang juga."
"Mr Demonides sudah dibebastugaskan. Ia sedang dalam pemeriksaan."
Jadi tak seorang pun yang bisa dimintai to-long. Aku akan lolos dari sini, pikirnya. Aku adalah Constantin Demiris.
Ia memanggil Jaksa Penuntut Khusus itu.
Delma tiba di penjara satu jam kemudian. "Anda minta bertemu dengan saya?"
"Ya," kata Demiris. "Saya tahu Anda telah menetapkan bahwa saat kematian istri saya adalah jam tiga."
436 "Benar." "Kalau begitu, sebelum Anda dan seluruh korps kepolisian nanti malu, saya bisa membuktikan bahwa saya tidak berada di sekitar rumah pantai itu pada jam tersebut kemarin."
"Anda bisa membuktikan itu?"
"Tentu saja. Ada saksinya."
Mereka sedang duduk di kantor Komisaris Polisi ketika Spyros Lambrou tiba. Wajah Demiris menjadi cerah ketika melihat dia.
"Spyros, syukurlah kau ada di sini! Orang-orang tolol ini mengira aku membunuh Melina. Kau tahu itu tidak mungkin. Katakan kepada mereka."
Spyros Lambrou mengerutkan dahi. "Katakan apa kepada mereka?"
"Melina terbunuh pada jam tiga kemarin sore. Kau dan aku bersama-sama berada di Acro-Corinth pada jam tiga. Aku pasti tidak mungkin bisa balik ke rumah pantai itu sebelum jam tujuh. Katakan kepada mereka tentang pertemuan kita itu."
Spyros Lambrou menatap dia. "Pertemuan apa?"
Darah mulai surut dari wajah Demiris. "Per" pertemuan kita kemarin. Di pondok di Acro-Corinth."
"Kau pasti sedang bingung, Costa. Aku keluar sendirian naik mobil kemarin sore. Aku tidak akan berbohong untukmu."
437 Wajah Constantin Demiris penuh dengan kemurkaan. "Kau tak bisa berbuat begitu!" Ia menyambar kerah jas Lambrou. "Katakan yang sebenarnya kepada mereka."
Spyros Lambrou mendorongnya pergi. "Sebenarnya yaitu adikku sudah meninggal dan kaulah yang membunuhnya."
"Pembohong!" Demiris berteriak. "Pembohong!" Ia mencoba mendekati Lambrou lagi dan perlu dua orang polisi untuk menahan dia.
"Kau bajingan. Kau tahu aku tidak bersalah!"
"Para hakim yang akan memutuskan itu. Ku-rasa kau membutuhkan seorang pengacara yang baik."
Dan Constantin Demiris menyadari bahwa hanya ada satu orang yang seharusnya bisa menyelamatkan dia.
Napoleon Chotas. 438 Bab 27 ARSIP PRIBADI CATATAN PEMBICARAAN DENGAN CATHERINE DOUGLAS
C: Kau percaya akan firasat, Alan"
A: Secara ilmiah tidak bisa diterima, tapi terus terang aku percaya. Kau mendapat firasat baru-baru ini"
C: Ya. Aku"aku punya perasaan bahwa sesuatu yang menakutkan akan terjadi atas diri-ku.
A: Ini ada hubungannya dengan mimpimu
yang lama itu" C: Tidak. Aku pernah mengatakan kepadamu
bahwa Mr Demiris mengirimkan beberapa
orang dari Athena" A: Ya.
C: Ia minta aku melayani mereka baik-baik, jadi aku agak sering juga menemani mereka.
A: Kau merasa terancam oleh mereka"
C: Tidak. Tidak juga. Sulit dijelaskan. Mereka belum melakukan apa-apa, tapi tokh aku" aku tetap saja merasa sesuatu akan terjadi.
439 Sesuatu yang sangat buruk. Apa itu masuk akal menurut kau" A: Katakan padaku bagaimana mereka itu.
C: Ada orang Prancis, Yves Renard. Ia mendesak untuk melihat-lihat museum tapi setelah sampai di sana, aku tahu bahwa dia sebenarnya tidak tertarik. Ia minta aku membawanya ke Stonehenge Sabtu ini. Lalu ada Jerry Haley. Ia orang Amerika. Ia cukup menyenangkan, tapi ada sesuatu yang ganjil pada dirinya. Lalu ada lagi Dino Mattusi. Katanya dia itu eksekutif di perusahaan Mr Demiris, tapi ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dia sudah tahu jawabnya. Ia mengajak aku pergi bermobil ke luar kota. Aku ingin mengajak Wim" Oh, ya, ada lagi masalah lain.
A: Ya" C: Wim agak aneh akhir-akhir ini. A: Aneh bagaimana"
C: Kalau aku tiba di kantor pagi hari, Wim selalu sedang menungguku. Biasanya ia tidak begitu. Dan kalau dia melihatku, ia hampir-hampir kelihatan marah kenapa aku ada di situ. Semua ini tidak masuk akal, bukan"
A: Semuanya akan jadi masuk akal kalau kau-temukan kuncinya, Catherine. Apa kau mimpi lagi baru-baru ini"
440 C: Aku bermimpi tentang Constantin Demiris. Sangat tidak jelas.
A: Katakan padaku apa yang kauingat.
C: Aku bertanya kepadanya mengapa ia begitu baik padaku, mengapa ia memberiku pekerjaan di London dan tempat tinggal. Dan mengapa ia memberi aku peniti emas itu.
A: Dan, apa katanya"
C: Aku tidak ingat. Aku terbangun dengan menjerit.
Dr. Alan Hamilton mempelajari catatan ini dengan teliti, mencari-cari tanda-tanda yang tidak kentara dari alam bawah sadar, mencari petunjuk yang bisa menjelaskan apa yang mengganggu pikiran Catherine. Ia agak yakin bahwa ke-gelisahan Catherine ada hubungannya dengan kenyataan bahwa orang-orang asing itu datang dari Athena, dan Athena merupakan kancah dari masa lalunya yang traumatik itu. Bagian yang menyangkut Wim membingungkan Alan. Apa itu hanya imajinasi Catherine saja" Atau memang Wim berkelakuan tidak seperti biasa" Aku akan bertemu dengan Wim beberapa minggu lagi, pikir Alan. Barangkali appointment-nya akan ku-percepat.
Alan duduk di situ memikirkan Catherine. Walaupun ia berprinsip untuk tidak terlibat se-cara emosional dengan pasien-pasiennya,
441 Catherine adalah seorang yang khusus. Ia cantik dan begitu rapuh dan" Apa yang sedang kulakukan" Aku tak bisa membiarkan diriku berpikir seperti ini. Aku akan berkonsentrasi ke hal lain. Tapi pikirannya tetap saja kembali ke Catherine.
Catherine juga tidak bisa melepaskan Alan Hamilton dari pikirannya. Jangan berlaku bodoh, kata Catherine kepada dirinya sendiri. Ia sudah berkeluarga. Semua pasien punya perasaan seperti ini terhadap psikiaternya. Tapi semua pemikiran ini tidak menolong. Barangkali aku sebaiknya menemui seorang psikiater untuk menganalis psikia-terku ini.
Ia akan bertemu dengan Alan lagi dalam waktu dua hari. Barangkali aku sebaiknya membatalkan appointment itu, pikir Catherine, sebelum aku masuk lebih dalam. Terlambat.
Pagi hari saat appointment-nya dengan Alan, Catherine berpakaian sangat cermat dan pergi ke salon kecantikan. Asalkan aku tak akan bertemu lagi dengan dia setelah hari ini, Catherine berdalih, tak ada salahnya aku kelihatan rapi.
Saat Catherine memasuki kantor Alan, niatnya itu jadi luntur. Mengapa dia begitu menawan" Mengapa kami tidak bertemu sebelum dia menikah" Mengapa ia tidak mengenalku ketika aku masih menjadi manusia yang normal dan waras" Tapi, se-baliknya, seandainya aku ini manusia yang waras
442 dan normal, aku tidak akan pernah bertemu dengannya, bukan" "Maaf, kaubilang apa?"
Catherine sadar bahwa ia telah menuangkan angannya itu dalam kata-kata. Inilah saatnya untuk mengatakan padanya bahwa ini adalah kunjungannya yang terakhir.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Alan?" Tapi niatnya itu urung. Ia melihat ke arah foto di atas meja itu. "Sudah berapa lama kau menikah?"
"Menikah?" Ia mengikuti arah pandangan Catherine. "Oh. Itu saudara perempuanku dengan putranya."
Catherine merasakan gelombang kegembiraan merasuki seluruh inderanya. "Oh, hebat itu! Maksudku, ia" ia nampak hebat."
"Kau tidak apa-apa, Catherine?"
Kirk Reynolds dulu sering bertanya seperti itu. Saat itu aku memang apa-apa, pikir Catherine, tapi sekarang aku tidak apa-apa. "Aku tidak apa-apa," kata Catherine. "Kau belum menikah?"
"Belum." Maukah kau makan malam denganku" Maukah kau membawaku tidur" Maukah kau menikah denganku" Seandainya ia mengucapkan salah satu dari hal-hal ini, dokter itu benar-benar akan mengira bahwa ia gila. Mungkin juga aku gila.
Alan sedang mengamatinya, dahinya berke-rut. "Catherine, aku kuatir kita tak akan bisa
443 melanjutkan konsultasi-konsultasi ini. Hari ini adalah yang terakhir."
Jantung Catherine seakan berhenti berdetak. "Mengapa" Apakah aku telah melakukan sesuatu yang?""
"Tidak, bukan" bukan kau soalnya. Hubungan profesional dalam bidang seperti ini tidak membolehkan seorang dokter untuk terlibat se-cara emosional dengan pasiennya."
Ia menatap dokter itu kini, matanya berbinar. "Kau bermaksud mengatakan bahwa kau terlibat secara emosional denganku?"
"Ya. Dan karena itu aku kuatir?"
"Kau benar sekali," kata Catherine dengan bahagia. "Mari kita bicarakan ini nanti malam sambil makan malam."
Mereka makan malam di sebuah restoran Italia kecil di jantung Soho. Masakannya barangkali enak atau payah, tidak jadi soal. Mereka hanya dapat memusatkan perhatian pada diri pasang-annya.
"Ini tidak adil, Alan," kata Catherine. "Kau tahu semuanya mengenai diriku. Ceritakan tentang dirimu. Kau belum pernah menikah?"
"Belum. Aku pernah bertunangan."
"Apa yang terjadi?"
"Saat itu perang sedang berkobar. Kami tinggal bersama di sebuah flat. Itu saat-saat terjadinya serangan Blitz. Aku bekerja di rumah
444 sakit dan ketika aku pulang pada suatu malam?"
Catherine menangkap kepedihan dalam suaranya.
?"bangunan itu sudah musnah. Tak ada yang tersisa."
Catherine meletakkan tangannya di atas ta-ngan Alan. "Aku ikut bersedih."
"Lama sekali baru aku bisa melupakan itu. Aku belum pernah bertemu dengan orang lain yang ingin kunikahi." Dan sinar matanya berkata, sebelum saat ini.
Mereka duduk di sana selama empat jam, berbicara tentang segala macam hal"teater, kedokteran, situasi dunia; tapi perbincangan yang sebenarnya tidak terucapkan. Yaitu arus listrik yang semakin meninggi tegangannya di ant
ara mereka. Mereka berdua bisa merasakan itu. Ke-tertarikan seksual di antara mereka menjadi semakin tak tertahankan.
Akhirnya, Alan-lah yang mengemukakan po-kok itu. "Catherine, yang kukatakan pagi tadi tentang hubungan dokter-pasien?"
"Ceritakan padaku di flatmu nanti."
Mereka sama-sama melepaskan pakaian mereka, dengan cepat dan dengan bergairah, dan saat Catherine membuka pakaiannya, ia ingat bagaimana perasaannya waktu ia bersama Kirk Reynolds dulu dan betapa sekarang itu sangat ber"
445 beda. Perbedaannya adalah soal cinta, pikir Catherine. Aku jatuh cinta kepada laki-laki ini.
Ia berbaring di tempat tidur menunggu Alan dan saat ia datang kepadanya dan memeluk tubuhnya, semua kecemasan, semua ketakutan bahwa ia tak akan pernah bisa bergaul lagi dengan pria, hilang-lenyap. Mereka saling membelai, menjelajah, mula-mula lembut, kemudian beringas, sampai hasrat mereka menjadi makin liar dan tak terbendung lagi, dan mereka lalu menyatu dan Catherine menjerit keras dalam luapan kebahagiaan. Aku utuh kembali, pikirnya. Terima kasihl
Mereka terbaring di situ, terkuras, dan Catherine memeluk Alan erat-erat, tidak ingin me-lepaskannya lagi.
Ketika ia sudah bisa berbicara kembali, ia berkata dengan suara bergetar, "Kau benar-be-nar tahu bagaimana menangani seorang pasien, Dokter."
446 Bab 28 Catherine tahu tentang ditahannya Constantin Demiris karena membunuh istrinya dari berita-berita utama di surat-surat kabar. Ia sangat terkejut. Ketika ia tiba di kantor, segala sesuatu nampak muram.
"Kau sudah dengar beritanya?" Evelyn meratap. "Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita akan tetap bekerja tepat seperti yang dia ingin kita lakukan. Aku yakin pasti ada kekeliruan besar. Aku akan mencoba menghubungi dia."
Tapi Constantin Demiris berada di luar jangkauan.
Constantin Demiris merupakan tahanan paling penting yang pernah menghuni Penjara Pusat di Athena. Jaksa Penuntut telah mengeluarkan perintah bahwa Demiris tidak boleh diperlakukan secara khusus. Demiris menuntut berbagai ke-mudahan: hubungan telepon, mesin-mesin telex dan jasa ekspedisi. Semua tuntutannya ditolak. Demiris menghabiskan sebagian besar wak-447
tunya saat dia terjaga, juga dalam mimpi-mim-pinya, mencoba menganalisis siapa yang telah membunuh Melina.
Mula-mula, Demiris menyimpulkan bahwa seorang pencuri, karena dikejutkan oleh Melina ketika sedang menjarah rumah pantai itu, telah membunuh dia. Tapi begitu polisi memojokkan dia dengan bukti-bukti yang memberatkannya itu, Demiris menjadi sadar bahwa ia sedang difitnah. Pertanyaannya adalah, oleh siapa" Pe-laku yang paling mungkin adalah Spyros Lambrou, tapi kelemahan dari teori ini ialah bahwa Lambrou mencintai adiknya lebih dari siapa pun di dunia ini. Ia tidak mungkin mencelakai adiknya itu.
Lalu kecurigaan Demiris beralih ke geng di mana Tony Rizzoli terlibat di dalamnya. Barangkali mereka tahu apa yang telah dilakukannya terhadap Rizzoli dan ini adalah cara mereka untuk menuntut balas. Constantin Demiris menyingkirkan pula gagasan ini. Seandainya Mafia memang menginginkan pem-balasan, mereka ha-nya perlu membuat kontrak pembunuhan atas dirinya.
Jadi, duduk sendiri di selnya, benak Demiris terus berputar-putar, mencoba memecahkan teka-teki tentang apa yang telah terjadi. Pada akhirnya, ketika semua kemungkinan telah ha-bis digali, hanya tinggal satu kesimpulan: Melina bunuh diri. Ia membunuh dirinya sendiri dan memfitnahnya dengan kematiannya itu.
448 Demiris ingat akan apa yang telah dilakukannya terhadap Noelle Page dan Larry Douglas dan ironinya adalah bahwa sekarang ia berada di posisi yang persis sama dengan mereka dulu. Ia akan diadili untuk sebuah pembunuhan yang tidak dilakukannya.
Sipir penjara ada di pintu sel. "Pengacara Anda ada di sini untuk menemui Anda."
Demiris bangkit dan mengikuti sipir itu ke sebuah ruang pertemuan kecil. Pengacara itu sedang menunggunya. Namanya Vassiliki. Ia berumur lima puluhan, dengan rambut lebat beruban dan raut wajah bagai seorang bintang film. Ia punya reputasi sebagai seorang pengacara perkara pidana kelas satu. Apa itu akan cukup baik"
Sipir itu berkata, "Anda punya waktu lima belas menit." Ia meninggalkan mereka berdua.
"Well," Demiris menuntut. "Kapan bisa Anda keluarkan saya dari sini" Anda saya bayar untuk apa?"
"Mr Demiris, saya kuatir masalahnya tidak sesederhana itu. Kepala Jaksa Penuntut menolak?"
"Kepala Jaksa Penuntut itu goblok. Mereka tidak bisa menahan saya di tempat ini. Bagaimana dengan uang jaminan" Akan saya berikan berapa saja yang mereka minta."
Vassiliki menjilat bibirnya dengan gugup. "Uang jaminan telah ditolak. Saya sudah me"
449 nelaah bukti-bukti yang dipunyai polisi yang memberatkan Anda, Mr Demiris. Itu"itu bisa mencelakakan."
"Mencelakakan atau tidak"saya tidak membunuh Melina. Saya tidak bersalah!"
Pengacara itu menelan ludah. "Ya, tentu, ten-tu. Apakah Anda"er"punya gagasan siapa yang kiranya telah membunuh istri Anda?"
"Tidak ada. Istri saya bunuh diri."
Pengacara itu menatapnya. "Maafkan saya, Mr Demiris, tapi saya rasa itu tak akan jadi bahan pembelaan yang baik. Anda sebaiknya memikirkan sesuatu yang lebih baik daripada itu."
Dan dengan lemas Demiris harus mengakui bahwa ia berkata benar. Tak ada juri di dunia ini yang akan percaya pada ceritanya.
Keesokan harinya, pagi-pagi, pengacara itu mengunjungi Demiris lagi.
"Saya kuatir saya membawa kabar yang ku-rang baik."
Demiris hampir saja tertawa keras. Ia sedang meringkuk di penjara menghadapi hukuman mati, dan si tolol ini mengatakan padanya bahwa ia membawa kabar yang kurang baik. Apa yang lebih buruk daripada situasinya sekarang ini"
"Ya?" "Ini tentang ipar Anda." "Spyros" Kenapa dia?"
450 "Saya memperoleh informasi bahwa ia telah pergi ke polisi dan mengatakan kepada mereka bahwa wanita bernama Catherine Douglas masih hidup. Saya tidak begitu tahu tentang peradilan Noelle Page dan Larry Douglas, tapi?"
Constantin Demiris sudah tidak menyimak lagi. Dalam keadaan tertekan karena semua yang sedang terjadi ini, ia telah sama sekali melupakan Catherine. Jika mereka menemukan dia, dan dia berbicara, mereka akan melihat ke-terlibatan Demiris dalam kematian Noelle dan Larry. Ia sudah mengirim seseorang ke London untuk menyingkirkan Catherine, tapi kini masalah itu tiba-tiba menjadi amat mendesak.
Ia mencondongkan badannya ke depan dan mencengkeram lengan pengacara itu. "Saya minta Anda mengirim pesan ke London dengan segera."
Ia membaca pesan itu dua kali dan merasakan mun-culnya gairah seksual yang selalu teriadi padanya sebelum ia melaksanakan sebuah kontrak. Rasanya bagaikan memainkan peranan sebagai Tuhcin. Ia yang menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati. Ia kagum akan kekuasaannya sendiri. Tapi ada sedikit masalah. Kalau ia harus melaksanakan ini dengan segera, tak akan ada waktu untuk menggarap rencananya yang lain. Ia harus sedikit mengubahnya. Buat itu tampak seperti suatu kecelakaan. Malam ini.
451 Bab 29 ARSIP PRIBADI CATATAN PEMBICARAAN DENGAN


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

WIM VANDEEN A: Bagaimana perasaanmu hari ini"
W: Okay. Tadi aku datang dengan taksi. Nama sopirnya Ronald Christie. Nomor polisinya 30271 nomor sertifikat taksi 3070. Di jalan tadi kami berpapasan dengan tiga puluh tujuh Rover, satu Bentley, sepuluh Jaguar, enam Austin, satu Rolls-Royce, dua puluh tujuh sepeda motor, dan enam sepeda.
A: Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor, Wim"
W: Kau tahu. A: Ceritakanlah. W: Aku membenci orang-orang yang di sana.
A: Bagaimana dengan Catherine Alexander?" Wim, bagaimana dengan Catherine Alexander?" Wim"
W: Oh, dia. Ia tidak akan bekerja lagi di sana.
A: Apa maksudmu" W: Ia akan dibunuh. A: Apa" Mengapa kaukatakan begitu"
452 W: Ia yang mengatakannya kepadaku.
A: Catherine mengatakan kepadamu bahwa ia
akan dibunuh" W: Yang satunya. A: Yang satunya apa" W: Istrinya. A: Istri siapa, Wim" W: Constantin Demiris.
A: Ia mengatakan padamu Catherine Alexander akan dibunuh"
W: Mrs Demiris. Istrinya. Ia meneleponku dari Yunani.
A: Siapa yang akan membunuh Catherine"
W: Salah satu dari para pria itu.
A: Maksudmu, salah satu dari pria-pria yang
diterbangkan dari Athena" W: Ya.
A: Wim, kita harus mengakhiri konsultasi ini
sekarang. Aku harus pergi. W: Okay.
453 Bab 30 Kantor-kantor Hellenic Trade Corporation ditutup pada jam 18.00. Beberapa menit sebelum jam enam, Evelyn dan para karyawan yang lain bersiap-siap untuk pulang.
Evelyn memasuki kantor Catherine. "Miracle on Thirty-fourth Street main di Criterion. Ulasan-ulasannya bagus sekali. Kau mau nonton nanti malam?"
"Aku tidak bisa," kata Catherine. "Terima ka-sih, Evelyn. Aku berjanji dengan Jerry Haley akan pergi ke teater bersamanya."
"Mereka benar-benar membuatmu sibuk, ya" Baiklah. Semoga kau senang."
Catherine mendengar bunyi-bunyi dari para karyawan lain yang sedang meninggalkan kantor. Akhirnya, semuanya sepi sudah. Ia melihat ke meja tulisnya untuk terakhir kali, meyakinkan bahwa semua beres, mengenakan mantel-nya, mengambil dompetnya dan mulai menyusuri koridor. Ia sudah hampir mencapai pintu depan ketika telepon berdering. Catherine ragu-454
ragu, sebaiknya dijawab atau tidak. Ia melihat arlojinya; ia akan terlambat nanti. Telepon itu terus berbunyi. Ia lari balik ke kantornya dan mengangkat telepon itu. "Hello."
"Catherine." Ternyata Alan Hamilton. Ia terdengar terengah-engah. "Syukurlah kau ada."
"Ada masalah?" "Kau dalam bahaya besar. Aku yakin seseorang sedang mencoba membunuhmu."
Catherine merintih dengan suara rendah. Mimpi-mimpinya yang paling buruk sedang menjadi kenyataan. Tiba-tiba ia merasa pening. "Siapa?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku mau kau tetap diam di tempat. Jangan meninggalkan kantor. Jangan berbicara dengan siapa pun. Aku akan datang menjemputmu."
"Alan, aku?" "Jangan takut, aku berangkat sekarang. Kunci pintu ruanganmu. Semua akan beres." Hubungan itu terputus.
Catherine dengan perlahan meletakkan telepon itu. "Oh Tuhan!"
Atanas muncul di depan pintu. Ia melihat sekilas ke wajah Catherine yang pucat dan bergegas mendekat ke sampingnya. "Ada masalah, Miss Alexander?"
Catherine menoleh kepada Atanas. "Seseorang" seseorang sedang mencoba membunuh saya."
Ia memandang dengan ternganga. "Mengapa"
455 Siapa" siapa yang mau melakukan hal seperti itu?"
"Saya tidak pasti."
Mereka mendengar bunyi ketukan di pintu depan.
Atanas melihat kepada Catherine. "Sebaiknya saya?""
"Jangan," katanya cepat. "Jangan bolehkan siapa pun masuk. Dr. Hamilton sedang menuju ke sini."
Ketukan di pintu depan itu diulang lagi, lebih keras.
"Anda bisa juga bersembunyi di basement" Atanas berbisik. "Anda akan aman di sana."
Ia mengangguk dengan gugup. "Baiklah."
Mereka lalu menuju ke bagian belakang koridor itu, ke pintu yang menuju ke basement. "Kalau Dr. Hamilton datang, beritahu dia saya berada di mana."
"Anda tak akan takut di bawah sana?"
"Tidak," kata Catherine.
Atanas menyalakan sebuah lampu, dan berjalan di depan menuruni tangga basement.
"Tak ada yang bisa menemukan Anda di sini," Atanas meyakinkan dia. "Anda benar tidak tahu siapa yang akan membunuh Anda?"
Catherine ingat akan Constantin Demiris dan mimpi-mimpinya. Ia akan membunuhmu. Tapi itu hanyalah mimpi. "Saya tidak yakin."
Atanas memandangnya dan berbisik, "Saya kira saya tahu."
456 Catherine menatapnya. "Siapa?"
"Aku." Tiba-tiba tangannya sudah menggenggam sebuah pisau lipat dan ia menempelkannya di tenggorokan Catherine.
"Atanas,- ini bukan waktunya untuk bercanda?"
Ia merasakan pisau itu makin menekan tenggorokannya.
"Apa kau pernah membaca Appointment in Samarra, Catherine" Tidak pernah" Well, sudah terlambat sekarang, bukan" Itu tentang seseorang yang mencoba menyelamatkan diri dari kematian. Ia pergi ke Samarra dan kematian sedang menantinya di sana. Ini adalah Samarra-mu, Catherine."
Benar-benar tidak layak, kata-kata yang mengerikan ini keluar dari mulut seorang anak yang berwajah suci.
"Atanas, saya mohon. Kau tidak dapat?"
Ia menampar Catherine dengan keras di wajahnya. "Aku tidak dapat melakukannya karena aku masih anak-anak" Aku mengejutkanmu" Itu karena aku ini seorang aktor yang cemerlang. Umurku tiga puluh tahun, Catherine. Kau tahu mengapa aku kelihatan masih seperti anak-anak" Karena ketika aku tumbuh aku tak pernah cukup makan. Aku hidup dari sampah yang kucuri dari tong-tong sampah di malam hari." Ia menempelkan pisau itu di tenggorokan Catherine, mendorong gadis itu ke tembok. "Ketika aku masih kecil, aku menyaksikan para
457 serdadu memperkosa ibuku dan ayahku lalu membacok mereka sampai mati, lalu mereka memperkosaku dan meninggalkan diriku karena mengira aku sudah mati."
Ia terus mendorong Catherine masuk lebih dalam ke basement itu.
"Atanas, aku"aku tidak pernah melakukan apa pun yang menyakitimu. Aku?"
Ia melemparkan senyum kanak-kanaknya. "Ini sama sekali bukan masalah pribadi. Ini bisnis. Kau bernilai lima puluh ribu dolar bagiku, dalam keadaan mati."
Seakan sebuah tirai menghadang di depan matanya, dan kini ia melihat segala sesuatu melalui kabut merah. Sebagian dari dirinya berada di luar semua ini, melihat ke bawah ke apa yang sedang terjadi.
"Tadinya aku punya rencana bagus untukmu. Tapi bos rupanya mau cepat-cepat sekarang, jadi kita harus mengubah arah sedikit, ya?"
Catherine bisa merasakan ujung runcing pisau itu menusuk daging lehernya. Atanas menggerakkan pisaunya dan merobek bagian depan gaun Catherine.
"Cantik," katanya. "Sangat cantik. Aku merencanakan pesta bagi kita berdua sebelumnya, tapi karena teman doktermu itu akan datang, kita tak punya waktu lagi, bukan" Kau tidak beruntung. Aku pemain cinta. yang hebat."
Catherine berdiri di situ sesak napas, hampir-hampir tak bisa bernapas sama sekali. Atanas
458 meraih ke saku jasnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil. Di dalamnya terdapat cairan berwarna merah muda pucat. "Kau pernah minum slivovic" Kita akan minum untuk kecelakaan yang menimpamu ini, huh?" Ia menjauhkan pisaunya untuk membuka botol itu dan, sejenak, Catherine tergoda untuk melarikan diri.
"Ayolah," kata Atanas pelan. "Coba ini. Mari."
Catherine menjilat bibirnya. "Begini, aku" aku akan membayarmu. Aku?"
"Diam!" Atanas meneguk dalam-dalam isi botol itu lalu memberikannya kepada Catherine. "Minum," katanya.
"Tidak. Aku tidak?"
"Minum!" Catherine mengambil botol itu dan meneguknya sedikit. Gigitan brandy yang panas mem-bakar tenggorokannya. Atanas mengambil botol itu kembali lalu meneguknya sekali lagi banyak-banyak.
"Siapa yang memberi info kepada teman doktermu bahwa seseorang akan membunuhmu?" "Aku"aku tidak tahu."
"Tak jadi soal sekarang." Atanas menunjuk salah satu tiang kayu besar yang menopang langit-langit di ruang itu. "Pergi ke sana."
Mata Catherine memandang sekilas ke arah pintu. Ia merasakan mata pisau itu menekan lehernya. "Aku tak perlu mengulang perintah-ku."
Catherine bergerak menuju ke tiang kayu itu.
459 "Kau memang anak manis," kata Atanas. "Duduk." Ia menoleh ke belakang sekejap. Dan, de-tik itu, Catherine memutuskan untuk bertindak.
Ia cepat lari ke arah tangga, jantungnya berdebar keras. Ia lari untuk menyelamatkan nyawanya. Ia sudah mencapai anak tangga pertama dan, ketika ia akan menuju ke atas, ia merasa kakinya dipegang dan ditarik balik. Atanas luar biasa kuatnya.
"Jalang!" Ia menjambak rambut Catherine dan menarik wajah gadis itu dekat dengan wajahnya sendiri. "Kaucoba itu lagi dan akan kupatahkan kedua kakimu."
Catherine merasakan pisau ditempelkan di antara kedua belah tulang belikatnya. "Maju!"
Atanas mendorongnya balik ke tiang kayu itu dan mencampakkan dia ke lantai. "Tetap di situ."
Catherine memperhatikan ketika Atanas berjalan ke arah tumpukan kotak-kotak kardus yang di-ikat dengan tali tebal. Ia memotong tali dua utas dan membawanya ke Catherine.
"Taruh kedua tanganmu di belakang tiang."
"Tidak, Atanas. Aku?"
Ia memukulkan tinjunya ke sisi wajah Catherine, dan ruangan menjadi kabur. Atanas menyandar dekat ke tubuh Catherine dan berbisik, "Jangan pernah mengatakan tidak kepadaku. La"
460 kukan apa yang kubilang sebelum kupotong kepalamu ini."
Catherine menaruh kedua tangannya di belakang tiang itu dan sebentar kemudian ia merasakan tali itu menggigit pergelangannya saat Atanas mengikatkannya. Ia merasa peredaran darahnya diputus di situ.
"Tolong," katanya. "Terlalu kencang."
"Bagus," ia menyeringai. Ia lalu mengambil utas tali yang satunya lagi dan mengikat kedua kaki Catherine dengan kencang di pergelangannya. Lalu ia berdiri. "Beres sudah," katanya. "Semuanya beres dan nyaman." Ia menenggak lagi isi botol itu.
"Kau mau minum lagi?"
Catherine menggelengkan kepala.
Ia mengangkat bahu. "Okay."
Catherine menyaksikan dia menempelkan mulut botol itu ke bibirnya lagi. Barangkali ia akan mabuk dan tertidur, pikir Catherine dengan putus asa.
"Aku biasa minum satu quart setiap hari," Atanas menyombongkan diri. Ia menaruh botol yang sudah kosong itu di lantai semen. "Well, sudah waktunya untuk mulai-bekerja."
"Apa"apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan membuat sedikit kecelakaan. Ini akan jadi masterpiece. Aku bahkan mungkin bisa minta Demiris membayar dua kali lipat."
Demiris! Jadi ternyata itu bukan cuma mimpi. Ia berada di belakang semua ini. Tapi mengapa"
461 Catherine mengawasi Atanas berjalan melintasi ruangan menghampiri ketel pemanas yang besar itu. Ia membuka pelat penutupnya dan memeriksa lampu suarnya dan kedelapan pelat pemanas yang menyalurkan panas ke seluruh unit itu. Kelep pengamannya dipasang pada sebuah kerangka logam yang melindunginya. Atanas memungut sepotong kayu kecil dan me-nyekatkannya ke kerangka itu sehingga kelep pengaman itu berhenti berfungsi. Penunjuk panas dipasang pada titik 150 derajat. Sementara Catherine mengawasi, Atanas memutar penunjuk itu ke titik maksimum. Dengan rasa puas ia kembali ke tempat Catherine.
"Kauingat bagaimana tungku pemanas ini se-lalu merepotkan kita?" Atanas bertanya. "Well, aku kuatir akhirnya akan meledak juga." Ia bergerak lebih dekat ke Catherine. "Kalau penunjuk itu nanti mencapai empat ratus derajat, pemanas itu akan meledak. Kau tahu apa yang akan terjadi setelahnya" Saluran-saluran gas akan terkoyak dan pelat-pelat pemanas akan membuatnya terbakar. Seluruh gedung ini akan meledak seperti bom."
,lKau sudah gila! Ada orang-orang yang tidak bersalah di luar sana yang?"
"Tak ada orang yang tidak bersalah. Kalian orang Amerika percaya akan happy ending, bukan" Kalian semua tolol. Happy ending itu tidak ada." Ia meraih ke bawah dan memeriksa tali pengikat tangan Catherine di balik tiang itu.
462 Pergelangannya berdarah. Tali itu menembus dagingnya dan simpulnya amat ketat. Atanas mengusapkan tangannya perlahan-lahan ke tu-buh Catherine yang setengah telanjang itu, membelai-belainya. "Sayang sekali kita tak punya waktu lebih. Kau tak akan pernah tahu seperti apa rasanya." Ia menjambak rambut Catherine dan mencium bibirnya. Napasnya ber-bau brandy. "Selamat tinggal, Catherine." Ia bangkit berdiri.
"Jangan tinggalkan aku," Catherine memohon. "Mari kita bicarakan dan?"
"Aku harus mengejar pesawat. Aku akan kembali ke Athena." Catherine menyaksikan ia berjalan menuju ke tangga. "Lampu kubiarkan menyala supaya bisa kausaksikan apa yang terjadi." Tak lama kemudian, Catherine mendengar pintu basement yang berat itu menutup dan ge-rendel sebelah luar diturunkan, lalu semuanya sepi. Ia sendirian sekarang. Ia mendongak melihat penunjuk pada pemanas itu. Jarumnya sedang bergerak dengan cepat ke angka yang lebih tinggi. Saat ia mengamatinya, jarum itu bergerak dari 160 derajat ke 170 derajat dan masih terus bergerak. Ia berjuang dengan putus asa untuk melepaskan tangannya, tapi semakin keras ia menarik, semakin menjadi ketat ikatan-nya. Ia mendongak lagi. Penunjuk itu sudah mencapai 180 derajat dan masih terus naik. Tak ada jalan keluar.
Sama sekali tidak ada. 463 Alan Hamilton sedang mengendarai mobil lewat Wimpole Street seperti orang gila, menyalip sana-sini mengabaikan teriakan dan bunyi klakson dari para pengemudi yang marah. Jalan di depannya terhalang. Ia membelok ke kiri dan masuk ke Portland Place dan meluncur ke arah Oxford Circus. Lalu liritas lebih padat lagi di sini, dan laju mobilnya tertahan!
Di basement gedung No. 217 Bond Street itu, jarum penunjuk pada pemanas itu telah naik sampai ke 200 derajat. Basement itu mulai terasa panas.
Lalu lintas hampir-hampir macet total. Orang-orang sedang pulang dari kantor, keluar makan malam, ke teater. Alan Hamilton duduk di depan setir mobilnya, frustrasi. Apa tadi mestinya aku menelepon polisi saja" Tapi apa gunanya" Seorang pasien jiwaku mengira seseorang akan dibunuh" Polisi pasti tertawa. Tidak, aku harus menjumpainya. Lalu lintas mulai bergerak lagi.
Di basement itu, jarum terus naik mencapai ang-ka 300. Ruangan sudah menjadi panas tak tertahankan. Ia berusaha melepaskan tangannya lagi dan pergelangannya tergesek sampai ke dagingnya, tapi tali itu tetap ketat.
Ia berbelok ke Oxford Street, melaju lewat jalur
464 pejalan kaki di mana dua wanita tua sedang menyeberang. Di belakangnya ia mendengar bunyi peluit polisi yang melengking. Sekejap, ia tergoda untuk berhenti dan meminta bantuan. Tapi tak akan ada waktu untuk menjelaskan. Ia terus meluncur.
Di sebuah persimpangan, sebuah truk besar muncul, menghalangi jalannya. Alan Hamilton membunyikan klakson dengan tidak sabar. Di-keluarkannya kepalanya dari jendela mobilnya. "Ayo maju!"
Pengemudi truk itu menoleh dan melihat ke arahnya. "Ada apa, Bung, ada kebakaran?"
Mobil bertumpuk-tumpuk tak teratur, kusut di persimpangan itu. Ketika akhirnya kemacetan itu berkurang, Alan Hamilton mulai melaju lagi, berpacu ke arah Bond Street. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh dalam sepuluh menit, telah menyita waktu hampir setengah jam.
Di basement itu, jarum telah merambat naik ke 400 derajat.
Akhirnya, syukur kepada Tuhan, gedung itu sudah nampak. Alan Hamilton memarkir mobilnya di pinggir trotoar di seberang jalan dan memasang rem tangannya. Ia mendorong pintu mobil dengan keras dan menghambur keluar dari mobil. Saat ia berlari ke arah gedung itu, ia terhenti dengan rasa ngeri. Bumi bergetar dan seluruh bangunan itu meledak seperti sebuah
465 bom raksasa, memenuhi udara dengan nyala api dan serpihan-serpihan. Dan kematian.
466 Bab 31 Atanas stavich merasa gairahnya bangkit dengan hebat. Ia selalu begitu setiap kali melaksanakan sebuah kontrak. Sudah menjadi kebia-saannya untuk melakukan hubungan seks dengan korbannya, baik pria maupun wanita, sebelum membunuhnya dan ia selalu menganggap ini begitu mengasyikkan. Kini, ia frustrasi karena tak ada waktu untuk menyiksa Catherine atau bermain cinta dengannya. Atanas melihat arlojinya. Masih cukup pagi. Pesawatnya baru akan berangkat jam sebelas malam. Ia naik taksi ke Shepherd Market, membayar sopirnya dan menyusuri jalan-jalan yang berliku-liku dan bercabang banyak itu. Sejumlah gadis sedang berdiri di sudut-sudut jalan memanggil-mang-gil pria-pria yang lewat di situ.
"Hello, love, kau mau diberi pelajaran bahasa Prancis malam ini?"
"Bagaimana kalau kita berpesta sedikit?"
"Kau suka bahasa Yunani?"
Tak seorang pun dari wanita-wanita itu yang mendekati Atanas. Ia berjalan menghampiri se"
467 orang perempuan berambut pirang yang mengenakan skirt pendek dari kulit dan blus dan sepatu bertumit tinggi.
"Selamat malam," kata Atanas dengan sopan.
Ia melihat ke bawah kepada Atanas, geli. "Hello, anak kecil. Ibumu tahu kau main keluar?"
Atanas tersenyum malu. "Ya, ma"am. Saya pikir sekiranya Anda tidak sedang sibuk?"
Pelacur itu tertawa. "Kaupikir begitu, sekarang" Dan kau mau apa seandainya aku tidak sibuk" Kau sudah pernah bermain cinta dengan seorang gadis sebelum ini?"
"Sekali," kata Atanas pelan. "Saya suka."
"Kau berukuran mini," gadis itu tertawa. "Biasanya yang kecil-kecil kusisihkan dulu, tapi malam ini sepi. Kau punya sepuluh dolar?"
"Ya, ma"am."
"Baiklah, love. Ayo ke atas."
Ia memandu Atanas lewat sebuah pintu dan menaiki tangga menuju sebuah apartemen kecil satu kamar di tingkat dua.
Atanas memberikan uangnya kepadanya.
"Well, mari kita lihat apa kau tahu apa yang harus dilakukan dengan uang itu, love." Ia menanggalkan pakaiannya dan menyaksikan Atanas membuka pakaian. Ia memandang Atanas dengan heran. "My God\ Itu luar biasa."
"Oh, ya?" Perempuan itu naik ke tempat tidur dan berkata, "Hati-hati. Jangan sakiti aku."
468 Atanas menghampiri tempat tidur. Biasanya, ia gemar memukuli pelacur-pelacur. Itu menambah kepuasan seksualnya. Tapi ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk melakukan sesuatu yang mencurigakan atau meninggalkan jejak yang mengundang perhatian polisi. Jadi Atanas tersenyum dan melihat ke bawah kepadanya dan berkata, "Ini adalah malam keberuntungan-mu."
"Apa?" "Tidak apa-apa." Ia memanjat ke atas tubuh perempuan itu, memejamkan matanya dan me-nyetubuhi dia, menyakiti dia, dan seolah-olah Catherine-lah yang menjerit minta diampuni, memohon supaya dia berhenti. Dan Atanas malahan mengguncang dia uengan lebih buas, semakin keras dan semakin keras, jeritan-jeritan-nya semakin menggairahkan Atanas sampai akhirnya semuanya meledak dan ia menjatuhkan diri ke belakang dengan puas.
"My God," perempuan itu berkata. "Kau be-nar-benar luar biasa."
Atanas membuka matanya dan ia ternyata tidak bersama Catherine. Ia bersama dengan seorang pelacur buruk rupa di dalam sebuah kamar butut. Ia segera berpakaian dan naik taksi ke hotelnya, di mana ia berkemas dan check out.
Ketika ia menuju ke bandara, jam menunjukkan sembilan tiga puluh. Masih banyak waktu untuk mengejar pesawatnya.
469 Hanya sedikit yang antre di Olympic Airways. Ketika Atanas sampai di posisi paling depan, ia memberikan tiketnya kepada petugas. "Flight-nya tepat waktu?"
"Ya." Petugas itu melihat nama pada tiket itu, Atanas Stavich. Ia menatap lagi wajah Atanas, lalu melihat sekilas kepada seorang laki-laki yang berdiri di dekat situ dan mengangguk. Laki-laki itu menghampiri counter tiket itu.
"Boleh saya lihat tiket Anda?"
Atanas memberikan tiketnya. "Ada yang salah?" ia bertanya.
Laki-laki itu berkata, "Saya kuatir kami telah menjual tiket melebihi kapasitas. Kalau Anda sudi ikut kami ke kantor, saya akan mencoba untuk membereskan masalah ini."
Atanas mengangkat bahu. "Baiklah." Ia mengikuti laki-laki itu menuju ke kantor, dipenuhi perasaan gembira yang meluap-luap. Demiris barangkali sudah keluar dari penjara saat ini. Ia orang yang terlalu penting untuk bisa disentuh oleh tangan-tangan hukum. Semuanya berjalan dengan sangat lancar. Ia akan segera mengambil lima puluh ribu dolarnya dan memasukkannya ke dalam salah satu rekening banknya di Swiss. Setelah itu ia akan berlibur sedikit. Riviera, barangkali, atau Rio. Ia menyukai pelacur-pelacur pria di Rio.
Atanas memasuki kantor itu, lalu berhenti, membelalak. Ia menjadi pucat. "Kau sudah mati!
470 Kau sudah mati! Aku sudah membunuhmu!" Ia menjerit-jerit.
Atanas masih terus menjerit-jerit ketika mereka membawanya keluar dari ruang itu dan memasukkannya ke dalam sebuah mobil van polisi. Mereka menyaksikan dia dibawa pergi, dan Alan Hamilton menoleh kepada Catherine. "Semuanya sudah lewat sekarang, darling. Sudah lewat akhirnya."
471 Bab 32 Di basement itu, beberapa jam sebelumnya, Catherine mencoba dengan putus asa untuk melepaskan ikatan tangannya. Semakin keras ia mencoba, semakin ketat ikatan tali itu. Jari-jari-nya mulai mati rasa. Ia terus saja memandang jarum penunjuk pada pemanas itu. Jarum itu telah mencapai 250 derajat. Kalau penunjuk itu mencapai 400 derajat, pemanas itu akan meledak. Harus ada jalan keluar dari ini, pikir Catherine. Harus ada! Matanya tertuju pada botol brandy yang ditinggalkan Atanas di lantai. Ia menatapnya dan hatinya mulai berdebar keras. Ada peluang! Kalau saja dia bisa" Catherine melorot-kan tubuhnya ke bawah sepanjang tiang itu dan menjulurkan kaki-kakinya ke arah botol itu. Tak sampai. Ia mencoba melorot lebih jauh, serpihan-serpihan kayu yang tajam dari tiang itu mengoyak kulit punggungnya. Kurang satu inci lagi dari botol itu. Mata Catherine basah karena air mata. Coba sekali lagi, pikirnya. Sekali lagi saja. Ia melorot lagi, punggungnya bergesek dengan serpihan-serpihan tajam itu, dan mendo-472
rong lagi, dengan sekuat tenaganya. Satu kakinya menyentuh botol itu. Hati-hati. Jangan sampai terdorong pergi. Perlahan-lahan, ia mengait-kan leher botol itu dengan tali yang mengikat kedua kakinya. Dengan sangat hati-hati, ia menarik kaki-kakinya ke dalam, membawa botol itu lebih dekat. Akhirnya, botol itu berada sampingnya.
Ia mendongak melihat penunjuk itu. Jarum telah menunjukkan 280 derajat. Ia memerangi rasa paniknya. Perlahan-lahan, ia mendorong botol itu ke belakang badannya dengan kaki-kakinya. Jari-jarinya kini telah menyentuhnya, tapi terlalu mati rasa untuk bisa menggenggam-nya, dan juga licin karena darah dari pergelangannya yang tergesek tali melumurinya.
Basement itu terasa makin panas. Ia mencoba lagi. Botol itu meleset dari pegangannya. Catherine melihat sekilas ke penunjuk pada pemanas itu. 300 sekarang, dan penunjuk itu se-akan berpacu naik terus. Mulai nampak asap mengepul dari pemanas itu. Ia mencoba lagi untuk bisa mencengkeram botol itu.
Nah! Ia menggenggam botol itu dengan kedua tangannya yang terikat. Sambil memegangnya erat-erat, ia menaikkan kedua lengannya dan meluncurkannya ke bawah sepanjang tiang, membenturkan botol belihg itu ke lantai beton. Tidak terjadi apa-apa. Ia menangis keras karena frustrasi. Ia mencobanya lagi. Belum juga bisa. Penunjuk itu terus menanjak ke atas dengan tak
473 tertahankan lagi. 350! Catherine manarik napas dalam-dalam dan mencampakkan botol itu ke bawah dengan segenap tenaganya. Ia mendengar bunyi botol itu pecah. Terima Masih Tuhan! Bergerak secepat kemampuannya, Catherine menggenggam leher botol yang sudah pecah itu di satu tangan dan.mulai menggergaji tali pengikat tangan-tangannya itu. Pecahan botol itu mengiris pergelangannya, tapi ia mengabaikan rasa sakitnya. Ia merasakan satu ikatan terlepas, kemudian lainnya. Dan tiba-tiba tangannya sudah lepas sama sekali. Ia buru-buru melong-garkan ikatan tali di tangan yang satu lagi dan membuka ikatan tali yang di kaki. Penunjuk telah menunjuk ke angka 380. Kepulan-kepulan asap tebal mulai menyemprot dari tungku pemanas itu. Catherine berjuang keras untuk berdiri. Atanas telah menggembok pintu basement itu. Tak akan ada waktu untuk lari dari gedung itu sebelum ledakan terjadi.
Catherine lari secepat kilat menghampiri tungku itu dan menarik potongan kayu yang mengganjal kelep pengaman itu. Tapi kayu itu terhunjam terlalu kencang. 400!
Waktunya hanya satu detik untuk memutuskan. Ia lari ke pintu yang menuju ke ruang yang dulu merupakan tempat perlindungan terhadap serangan udara, membukanya dan menghambur masuk. Ia membanting pintu yang be-rat itu, menutupkannya di belakangnya. Ia meringkuk di atas beton tempat perlindungan
474 yang luas itu, napasnya sesak, dan lima detik kemudian terdengar bunyi ledakan yang dahsyat dan seluruh ruang itu berguncang hebat. Ia berbaring dalam kegelapan, berkutat untuk bernapas, mendengarkan bunyi nyala api yang menggelegar-gelegar di luar pintu itu. Ia aman kini. Bahaya sudah lewat. Tidak, belum, pikir Catherine. Masih ada satu hal yang harus kulakukan.
Ketika para anggota pemadam kebakaran menemukannya satu jam kemudian dan mengawal dia keluar, Alan Hamilton ada di sana. Catherine lari ke pelukannya dan Alan mendekap-nya erat-erat.
"Catherine, darling. Aku begitu takut tadi! Bagaimana kau bisa?""
"Nanti saja," kata Catherine. "Kita harus mencegah Atanas Stavich."
475 Bab 33 Mereka menikah di dekat tanah pertanian saudara perempuan Alan di Sussex dengan upacara yang dihadiri lingkungan keluarga saja. Saudari Alan itu ternyata seorang wanita yang menyenangkan yang nampak persis seperti di foto yang dilihat Catherine di kantor Alan. Putranya bersekolah di kota lain. Catherine dan Alan menikmati akhir pekan yang tenang di tanah pertanian itu, lalu terbang ke Venesia untuk berbulan madu.
Venesia bagaikan sebuah halaman berwarna cemerlang dari sebuah buku sejarah abad pertengahan, sebuah kota impian mengambang yang terdiri dari kanal-kanal dan 120 pulau, dihubung-hubungkan oleh empa"t ratus jembatan. Alan dan Catherine Hamilton mendarat di Aero-porto Venesia bernama Marco Polo, dekat Mes-tre, menyewa sebuah perahu motor menuju ke terminal di Piazza San Marco, lalu check in di Royal Danieli, hotel kuno yang cantik dekat Doges" Palace.
476 Suite yang mereka sewa itu amat bagus, penuh dengan perabot yang cantik dan antik, dan menghadap ke Grand Canal.
"Apa yang akan kaulakukan terlebih dahulu?" Alan bertanya.
Catherine menghampiri dia dan merangkul-nya. "Coba tebak."
Baru kemudian mereka mengeluarkan ba-rang-barang dari koper.
Venesia merupakan penyembuh, obat mujarab yang membuat Catherine lupa akan mimpi-mimpi buruk dan bayangan-bayangan ngeri ma-sa lalunya.
Ia dan Alan pergi menjelajahi tempat itu. St Mark"s Square hanya terletak beberapa ratus yard dari hotel mereka, tapi berabad-abad tuanya jika dihubungkan dengan waktu. Katedral St Mark adalah sebuah galeri seni tapi juga " sebuah gereja, tembok-tembok dan langit-langit-nya penuh dengan mozaik-mozaik dan lukisan-lukisan yang luar biasa indahnya.
Mereka masuk ke dalam Doges" Palace, yang penuh dengan ruang-ruang yang megah, dan berdiri di Bridge of Sighs"Jembatan Ratapan" di mana, berabad-abad yang lalu, para tahanan menyeberang menuju ke ajal mereka.
Mereka mengunjungi museum-museum dan gereja-gereja dan beberapa pulau yang terletak agak di luar. Mereka berhenti di Murano untuk menyaksikan seni meniup gelas, dan di Burano
477 untuk melihat para wanita membuat renda. Mereka menyewa perahu motor ke Torcello dan makan di Locando Cipriani di taman molek yang dipenuhi bunga-bunga.
Dan Catherine jadi teringat akan taman yang ada di biara, dan ia teringat betapa ia saat itu benar-benar tersesat. Dan ia memandang ke seberang meja ke Alannya yang terkasih dan berpikir, Terima kasih, Tuhan.
Mercerie adalah nama jalan pusat perbelanjaan utama, dan mereka menemukan toko-toko yang amat mengasyikkan: Rubelli untuk bahan pakaian, dan Casella untuk sepatu, dan Giocondo Cassini untuk barang antik. Mereka makan di Quadri dan Al Graspo de Ua dan Harry"s Bar. Mereka naik gondola dan perahu yang lebih kecil, sandoli.
Pada hari Jumat, menjelang akhir kunjungan mereka, tiba-tiba hujan lebat turun dan kilat dan guruh menggelegar.
Catherine dan Alan berpacu untuk bernaung di hotel mereka. Mereka memandang ke luar jendela ke badai yang mengamuk itu.
"Maafkan hujannya, Mrs Hamilton," kata Alan. "Brosurnya menjanjikan sinar matahari."
Catherine tersenyum. "Hujan apa" Aku begitu bahagia, darling."
Kilat menyambar-nyambar di angkasa dan terdengar bunyi guruh menggelegar. Bunyi lain
478 terlintas di benak Catherine: ledakan tungku pemanas itu.
Ia menoleh ke Alan. "Bukankah hari ini juri akan mengumumkan vonisnya?"
Alan ragu-ragu. "Ya. Aku memang sengaja tak mau menyinggung itu karena?"
"Aku tidak apa-apa. Aku ingin tahu."
Ia memandang Catherine sebentar, lalu mengangguk. "Baiklah."
Catherine menyaksikan saat Alan menghampiri radio di sudut ruangan dan menyalakan-nya. Ia memutar penunjuknya sampai ia menemukan pemancar BBC yang menyiarkan berita.
?"dan Perdana Menteri mengajukan pengunduran dirinya hari ini. Premier akan mencoba untuk membentuk pemerintahan baru." Radio tersentak-sentak dan suaranya timbul tenggelam.
"Ini karena guntur sialan itu,!" kata Alan.
Suaranya timbul kembali. "Di Athena, peradilan Constantin Demiris akhirnya sampai ke babak penutup, dan juri telah mengumumkan vonisnya beberapa saat yang lalu. Ternyata vo-nis ini mengherankan banyak kalangan, yaitu?"
Radionya malahan mati sekarang.
Catherine menoleh ke Alan. "Menurut"menurut kau vonisnya apa?"
Ia menarik Catherine ke dalam pelukannya. "Tergantung, kau percaya pada happy ending^ atau tidak."
479 Penutup Lima hari sebelum sidang pengadilan Constantin Demiris dimulai, sipir penjara membuka pintu
selnya. "Ada tamu buat Anda."
Constantin Demiris mendongak. Kecuali pengacaranya, ia tidak diperbolehkan menerima tamu sampai saat ini. Ia tidak mau menunjukkan rasa ingin tahunya. Bangsat-bangsat itu memperlakukan dia seperti penjahat biasa saja. Tapi ia tidak akan membuat mereka senang karena melihat dia menunjukkan emosi. Ia mengikuti sipir itu menyusuri lorong menuju ke sebuah ruang pertemuan kecil.
"Di dalam sana."
Demiris melangkah masuk dan berhenti. Seorang tua yang lumpuh terbungkuk di sebuah kursi roda. Rambutnya memutih seperti salju. Wajahnya seakan sebuah karya tambal sulam dari jaringan sel merah-putih yang hangus. Bibirnya terpilin mati ke atas membentuk senyum yang mengerikan. Demiris tertegun cukup lama
480 sebelum menyadari siapa tamunya ini. Lalu wajahnya berubah jadi pucat. "My God!"
"Aku bukan hantu," kata Napoleon Chotas. Suaranya serak. "Mari masuk, Costa."
Demiris akhirnya bisa juga berbicara. "Kebakaran itu?"
"Aku melompat keluar dari jendela dan punggungku patah. Kepala pelayanku membawaku pergi sebelum pemadam kebakaran tiba. Aku tak mau kau tahu aku masih hidup. Aku sudah terlalu capai untuk bisa melawanmu."
"Tapi" mereka menemukan jenazah."
"Itu pelayanku."
Demiris menjatuhkan dirinya di kursi. "Aku" aku gembira kau masih hidup," katanya dengan lemah.
"Seharusnya begitu. Aku akan menyelamatkan jiwamu."
Demiris mengamati dia dengan waspada. "Be-nar begitu?"
"Ya. Aku akan membelamu."
Demiris tertawa keras. "Sungguh, Leon. Setelah mengenalku begitu lama, kauanggap aku ini tolol" Apa yang membuatmu mengira aku akan mau mempercayakan hidupku di tanganmu?"


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena akulah satu-satunya orang yang bisa menolongmu, Costa."
Constantin Demiris bangkit. "Tidak, terima kasih." Ia mulai berjalan ke arah pintu.
"Aku telah berbicara dengan Spyros Lambrou. Aku telah membujuknya untuk bersaksi bahwa
481 ia berada bersamamu pada saat adiknya terbunuh."
Demiris berhenti dan berbalik. "Mengapa ia mau melakukan itu?"
Chotas mencondongkan badannya ke depan di kursi rodanya. "Karena aku meyakinkan dia bahwa mengambil hartamu akan merupakan ba-las dendam yang lebih nikmat daripada mengambil nyawamu."
"Aku tidak mengerti."
"Aku meyakinkan Lambrou bahwa jika ia bersaksi untuk membelamu, kau akan menyerahkan seluruh kekayaanmu kepadanya. Kapal-kapalmu, perusahaan-perusahaanmu"semua
yang kaumiliki." "Kau sudah gila!"
"Oh, ya" Pikirkan itu, Costa. Kesaksiannya bisa menyelamatkan hidupmu. Apakah kekayaanmu lebih berharga daripada nyawamu?"
Demiris terdiam lama. Ia duduk lagi. "Lambrou bersedia bersaksi bahwa aku sedang bersama dia ketika Melina terbunuh?"
"Benar." "Dan sebagai imbalannya ia menginginkan?"
"Semua yang kaumiliki."
Demiris menggelengkan kepala. "Aku akan
harus mempertahankan?"
"Semuanya. Ia ingin melucutimu secara total. Kau harus tahu, itulah balas dendamnya."
Ada sesuatu yang tak bisa dipahami Demiris.
482 "Dan apa yang akan kauperoleh dari semua ini,( Leon?" Ia mengamati Chotas dengan waspada.
Bibir-bibir Chotas bergerak membentuk seringai ejekan. "Aku akan memperoleh semuanya."
"Aku" aku tidak mengerti."
"Sebelum kau mengalihkan Hellenic Trade Corporation kepada Lambrou, kau akan memindahkan semua asetnya ke sebuah perusahaan baru. Perusahaan yang kumiliki."
Demiris menatapnya. "Jadi, Lambrou tak akan memperoleh apa-apa."
Chotas mengangkat bahu. "Ada yang menang dan ada yang kalah."
"Lambrou tidak curiga nanti?"
"Tidak, jika kutangani dengan caraku."
Demiris berkata, "Jika kau akan mengkhianati Lambrou, bagaimana aku bisa tahu bahwa kau tidak akan mengkhianati aku?"
"Gampang saja, Costa yang baik. Kau akan terlindung. Kita akan menandatangani perjanjian bahwa perusahaan baru itu akan menjadi milikku hanya apabila kau dibebaskan dari tuduhan. Apabila kau dinyatakan bersalah, aku tidak akan memperoleh apa-apa."
Untuk pertama kalinya, Constantin Demiris mendapati dirinya menjadi tertarik. Ia duduk di situ mengamati pengacara yang lumpuh itu. Apa ia akan rela kalah dalam peradilan ini dan kehilangan ratusan juta dolar hanya untuk membalas dendam terhadapku" Tidak. Ia tidak setolol itu. "Baiklah," kata Demiris perlahan. "Aku setuju."
483 Chotas berkata, "Bagus. Kau baru saja menyelamatkan nyawamu, Costa."
Aku telah menyelamatkan lebih dari itu, pikir Demiris dengan penuh rasa kemenangan. Aku menyembunyikan seratus juta dolar di suatu tempat yang tak seorang pun akan pernah tahu.
Pertemuan Chotas dengan Spyros Lambrou berjalan dengan sangat alot. Ia hampir saja mengusir Chotas dari kantornya.
"Kau ingin aku bersaksi untuk menyelamatkan nyawa monster itu" Keluar kau dari tempat ini."
"Kau ingin membalas dendam, bukan?" Chotas bertanya.
"Ya. Dan aku pasti akan mendapatkannya."
"Oh, ya" Kaukenal Costa. Kekayaannya lebih berarti baginya daripada nyawanya. Kalau ia dihukum mati, kesakitannya hanya akan berlangsung beberapa menit saja, tapi jika kauhan-curkan dia dan ambil semua darinya, memak-sanya untuk menjalani hidup ini tanpa uang, kau akan menghukum dia dengan jauh lebih berat."
Ucapan pengacara itu ada benarnya. Demiris adalah orang paling serakah yang pernah dite-muinya. "Kaukatakan tadi bahwa ia mau mengalihkan semua yang dimilikinya kepadaku?"
"Semuanya. Armada kapalnya, bisnis-bisnis-nya, setiap perusahaan yang dimilikinya."
484 Ini benar-benar sebuah godaan hebat. "Biar aku memikirkannya dulu." Lambrou menyaksikan pengacara itu memutar kursi rodanya sendiri keluar dari kantornya. Bajingan yang malang, pikirnya. Untuk apa lagi dia hidup"
Tengah malam, Spyros Lambrou menelepon Napoleon Chotas. "Aku sudah mengambil keputusan. Aku setuju usulmu."
Kalangan pers berpesta-pora. Tidak hanya Constantin Demiris akan diadili karena pembunuhan terhadap istrinya, tapi ia akan dibela oleh orang yang baru kembali dari kematian, sang pengacara perkara pidana cemerlang yang disangka sudah mati dalam sebuah kebakaran.
Persidangan itu dilakukan di ruang sidang yang sama dengan yang dulu dipakai untuk meng-adili Noelle Page dan Larry Douglas. Constantin. Demiris duduk di kursi terdakwa, berpakaian sedemikian rupa sehingga tak begitu nampak. Napoleon Chotas berada di sampingnya di atas kursi rodanya. Negara diwakili oleh Jaksa Penuntut Khusus Delma.
Delma sedang menghadapi para juri.
"Constantin Demiris adalah salah satu orang yang paling berkuasa di dunia. Kekayaannya yang sangat besar memberinya banyak hak istimewa. Tapi ada satu hak istimewa yang tak
485 boleh dipunyainya. Dan itu adalah hak untuk melakukan pembunuhan berdarah dingin. Tak seorang pun boleh memiliki hak seperti itu." Ia menoleh untuk melihat kepada Demiris. "Nega-ra akan membuktikan dengan tanpa keraguan bahwa Constantin Demiris bersalah melakukan pembunuhan biadab atas seorang istri yang mencintainya. Kalau nanti Anda selesai mendengar bukti-buktinya, saya yakin bahwa hanya akan ada satu kemungkinan vonis yang bisa Anda berikan. Bersalah melakukan pembunuhan tingkat pertama." Ia kembali ke tempat duduknya.
Hakim Kepala menoleh ke Napoleon Chotas. "Apakah pembela sudah siap untuk memberikan pernyataan pembukaan?"
"Kami siap, Yang Mulia." Chotas menggerakkan kursi rodanya ke depan para juri. Ia bisa melihat pandangan kasihan di wajah mereka saat mereka mencoba menghindari melihat ke wajahnya yang ganjil dan tubuhnya yang cacat itu. "Constantin Demiris tidak diadili di sini karena dia kaya atau berkuasa. Atau barangkali bisa juga karena itulah ia diseret ke ruang si-dang ini. Si lemah memang selalu mencoba menjatuhkan si kuat, bukan" Mr Demiris barangkali bersalah karena dia kaya dan berkuasa, tapi satu hal akan saya buktikan dengan kepas-tian yang mutlak"ia tidak bersalah membunuh istrinya."
Peradilan telah dimulai. 486 Jaksa Penuntut Delma sedang menanyai Letnan Polisi Theophilos di box saksi.
"Bisa Anda uraikan apa yang Anda lihat ketika Anda memasuki rumah pantai Demiris, Letnan?"
"Kursi dan meja terbalik. Semuanya serba berantakan."
"Kelihatannya seperti baru saja terjadi pergumulan yang hebat?"
"Ya, sir. Kelihatannya seperti rumah itu baru saja dimasuki pencuri."
"Anda menemukan sebilah pisau yang berlumuran darah di tempat kejadian, bukankah begitu?"
"Ya, sir." "Dan terdapat sidik-sidik jari pada pisau itu?" "Benar."
"Sidik-sidik jari itu kepunyaan siapa?"
"Constantin Demiris."
Mata para juri beralih ke Demiris.
"Ketika Anda memeriksa rumah itu, apa lagi yang Anda temukan?"
"Di bagian belakang lemari pakaian kami menemukan celana renang bernoda darah yang di-beri inisial Demiris."
"Apakah tidak mungkin bahwa celana itu sudah ada di rumah itu lama sebelumnya?"
"Tidak, sir. Celana itu masih basah oleh air laut."
"Terima kasih."
Kini giliran Napoleon Chotas. "Detekuf Theo"
487 philos, Anda punya kesempatan untuk berbicara dengan terdakwa sendiri, bukan?" "Ya, sir."
"Bagaimana Anda akan menggambarkan so-sok fisiknya?"
"Well?" Detektif itu melihat ke arah tempat duduk Demiris. "Menurut saya ia orang yang berbadan besar."
"Apa ia nampak kuat" Maksud saya kuat secara fisik?"
"Ya." "Bukan tipe orang yang perlu membuat isi rumah berantakan untuk bisa membunuh istrinya."
Delma bangkit berdiri. "Keberatan." "Diterima. Pembela diminta tidak mengarahkan saksi."
"Saya minta maaf, Yang Mulia." Chotas menoleh ke detektif itu. "Dalam pembicaraan Anda dengan Mr Demiris, Anda menilai dia sebagai orang yang cerdas?"
"Ya, sir. Saya kira orang tak akan bisa jadi sekaya dia kalau tidak pintar."
"Saya sangat setuju, Letnan. Dan itu membawa kita ke sebuah pertanyaan yang menarik. Bagaimana mungkin orang seperti Demiris berlaku begitu bodoh melakukan pembunuhan dan meninggalkan di tempat kejadian pisau dengan sidik jarinya, celana renang dengan noda darah" apakah menurut Anda itu tidak bodoh?"
"Well, kadang-kadang karena kalap saat me"
488 lakukan kejahatan, orang melakukan hal-hal yang aneh."
"Polisi menemukan sebuah kancing emas yang berasal dari jas yang katanya dipakai Demiris. Apa itu benar?"
"Ya, sir." "Dan itu menjadi satu bukti penting yang memberatkan Mr Demiris. Teori polisi yaitu bahwa istrinya telah menarik lepas kancing itu dalam pergumulan ketika Demiris mencoba membunuhnya?"
"Benar." "Jadi, kita punya terdakwa yang biasanya berpakaian sangat rapi. Sebuah kancing dikoyak-kan dari bagian depan jasnya tapi ia tidak me-ngetahuinya. Ia memakai jas itu pulang ke rumah dan masih saja ia tidak tahu. Lalu ia mele-paskannya dan menggantungnya di lemari"dan tetap saja ia tidak tahu. Itu artinya terdakwa tidak hanya bodoh, tapi juga buta."
Mr Katelanos berada di box saksi sekarang. Pemilik agency detektif itu memanfaatkan kesempatan ia berada dalam sorotan publik ini. Delma sedang menanyai dia.
"Anda pemilik agency detektif swasta?"
"Ya, sir." "Dan beberapa hari sebelum Mrs Demiris dibunuh, ia datang menemui Anda?" "Benar."
"Apa yang diinginkannya?"
489 "Perlindungan. Ia mengatakan bahwa ia bermaksud menceraikan suaminya dan suaminya itu lalu mengancam untuk membunuh dia."
Terdengar gemuruh gum am dari yang hadir.
"Jadi, Mrs Demiris sangat terguncang?"
"Oh, ya, sir. Ia benar-benar terguncang."
"Dan ia minta tolong agency Anda untuk melindunginya dari suaminya itu?"
"Ya, sir." "Hanya itu, terima kasih." Delma menoleh ke Chotas. "Giliran Anda."
Chotas menggerakkan kursinya ke dekat box saksi. "Mr Katelanos, berapa lama Anda sudah berkecimpung,dalam bisnis detektif?"
"Hampir lima belas tahun."
Chotas tampak terkesan. "Well. Itu cukup lama. Anda tentu sangat ahli di bidang yang Anda geluti ini."
"Saya kira begitu," kata Katelanos merendah.
"Jadi, Anda sudah punya banyak pengalaman melayani orang-orang yang punya masalah."
"Karena itulah mereka datang kepada saya," kata Katelanos menyombong.
"Dan ketika Mrs Demiris datang kepada Anda, apakah ia nampak sedikit terguncang, atau?"
"Oh tidak. Ia sangat terguncang. Bahkan boleh dikatakan panik."
"Begitu. Karena ia takut suaminya akan membunuhnya."
"Benar." 490 "Jadi, ketika ia telah meninggalkan kantor Anda, berapa orang yang Anda tugasi untuk mengawalnya" Satu" Dua?"
"Well, tidak. Tak ada yang saya tugasi."
Chotas mengerutkan dahi. "Saya kurang pa-ham. Mengapa tidak?"
"Well, ia mengatakan bahwa ia tidak ingin kami memulainya sebelum hari Senin."
Chotas memandangnya, bingung. "Rasanya Anda membingungkan saya, Mr Katelanos. Wa-nita ini, yang datang ke kantor Anda dengan sangat ketakutan karena suaminya akan membunuhnya, begitu saja pergi dan mengatakan bahwa ia tidak butuh perlindungan sampai hari Senin?"
"Well, ya. Itu benar."
Napoleon Chotas berkata, hampir-hampir kepada dirinya sendiri, "Ini membuat orang jadi ragu seberapa takutnya Mrs Demiris itu sebenarnya, bukan?"
Pembantu wanita Demiris ada di box saksi. "Nah, Anda sungguh mendengar pembicaraan antara Mrs Demiris dan suaminya di telepon?" "Ya, sir."
"Maukah Anda menceritakan pembicaraan apa itu?"
"Well, Mrs Demiris mengatakan kepada suaminya bahwa ia menghendaki perceraian dan suaminya berkata ia tak akan setuju dengan itu."
491 Delma melihat sekilas ke juri. "Begitu." Ia menoleh kembali ke saksi itu. "Apa lagi yang telah Anda dengar?"
"Suaminya memintanya menemuinya di rumah pantai pada jam tiga, dan harus datang sendiri."
"Suaminya berkata bahwa ia harus datang sendiri?"
"Ya, sir. Dan ia mengatakan kalau ia tidak pulang pada jam enam, saya disuruh memanggil polisi."
Reaksi juri nampak jelas. Mereka menoleh untuk menatap Demiris.
"Tak ada pertanyaan lagi." Delma menoleh ke Chotas. "Giliran Anda."
Napoleon Chotas menggerakkan kursinya mendekati box saksi itu. "Nama Anda Andrea, ya?"
"Ya, sir." Ia berusaha untuk tidak menatap wajah codet yang hilang bentuk itu.
"Andrea, Anda tadi bilang Anda mendengar Mrs Demiris berkata kepada suaminya bahwa ia minta cerai dan bahwa Anda mendengar Mr Demiris berkata bahwa ia tidak akan menga-bulkan itu, dan bahwa ia minta istrinya datang ke rumah pantai pada jam tiga dan harus sendiri. Benar begitu?"
"Ya, sir," "Anda di bawah sumpah, Andrea. Itu sama sekali bukan yang Anda dengar." "Oh, itu yang saya dengar, sir."
492 "Ada berapa telepon di kamar di mana pembicaraan ini berlangsung?" "Oh, hanya satu."
Napoleon Chotas menggerakkan kursinya lebih dekat. "Jadi, Anda tidak mendengarkan pembicaraan itu dari telepon yang lain?"
"Tidak, sir. Saya tak akan berani."
"Jadi, faktanya yaitu, Anda hanya mendengar apa yang dikatakan Mrs Demiris. Tidak mungkin Anda mendengar apa yang dikatakan suaminya."
"Oh. Well, saya kira?"
"Dengan kata lain, Anda tidak mendengar Mr Demiris mengancam istrinya atau minta dia datang ke rumah pantai atau apa. Anda hanya membayangkan itu semua berdasarkan apa yang dikatakan Mrs Demiris."
Andrea jadi gugup. "Well, saya kira Anda bisa juga mengatakan begitu."
"Saya memang mengatakan begitu. Mengapa Anda berada di dalam kamar itu ketika Mrs Demiris sedang menelepon?"
"Ia minta saya membawa teh untuknya."
"Dan Anda membawa teh itu?"
"Ya, sir." "Anda meletakkannya di meja?" "Ya, sir"
"Mengapa Anda tidak segera pergi?" "Mrs Demiris memberi isyarat dengan tangan supaya saya tinggal."
"Ia ingin Anda mendengarkan pembicaraan
493 itu atau apa yang bisa dianggap sebagai pembicaraan itu?"
"Saya" saya rasa begitu."
Kini suaranya tajam seperti cambuk. "Jadi, Anda tidak tahu apakah ia sedang berbicara dengan suaminya di telepon itu atau apakah benar ia memang berbicara kepada seseorang." Chotas menggerakkan kursinya lebih dekat lagi. "Tidakkah Anda merasa aneh bahwa di tengah pembicaraan yang pribadi itu, Mrs Demiris minta Anda tinggal dan mendengarkan" Saya tahu bahwa di rumah saya jika kami sedang ada perbincangan pribadi, kami tidak minta karyawan kami ikut mencuri dengar. Tidak. Lebih baik Anda tahu sekarang bahwa pembicaraan itu tidak pernah terjadi. Mrs Demiris tidak berbicara kepada siapa pun. Ia sedang membuat perangkap bagi suaminya sehingga pada hari ini, di ruang sidang ini, ia akan diadili dan dihukum mati. Tapi Constantin Demiris tidak membunuh istrinya. Bukti-bukti yang memberatkan dia semuanya disiapkan dengan sangat cermat. Bukti-bukti itu disiapkan dengan terlalu cermat. Tak ada orang pintar yang akan meninggalkan serangkaian petunjuk jelas yang semuanya memberatkan dia. Dan tak jadi soal mengenai ciri-cirinya yang lain, Constantin Demiris adalah orang yang pintar."
Peradilan itu berlangsung sepuluh hari lagi dengan menggelar tuduhan-tuduhan dan tuduhan-tuduhan balik, dan kesaksian ahli dari polisi
494 dan petugas pemeriksa mayat. Opini publik pada umumnya adalah bahwa Constantin Demiris kemungkinan memang bersalah.
Napoleon Chotas menyimpan bomnya untuk babak terakhir. Ia memasang Spyros Lambrou di box saksi. Sebelum persidangan dimulai, Demiris telah menandatangani sebuah kontrak no-tariil yang menghibahkan Hellenic Trade Corporation dan semua asetnya kepada Spyros Lambrou. Sehari sebelumnya, aset-aset itu telah dialihkan secara diam-diam kepada Napoleon Chotas dengan syarat bahwa itu hanya akan berlaku apabila Constantin Demiris dinyatakan tidak bersalah dalam peradilannya.
"Mr Lambrou. Anda dan ipar Anda, Constantin Demiris, tidak begitu cocok satu sama lain, bukan?"
"Benar, memang tidak."
"Pada kenyataannya, apakah bisa dikatakan bahwa kalian saling membenci?"
Lambrou memandang ke arah Constantin Demiris. "Malahan mungkin lebih dari itu."
"Pada hari adik perempuan Anda menghilang, Constantin Demiris mengatakan kepada polisi bahwa ia tidak berada di lingkungan rumah pantai itu; tapi pada jam tiga itu, yaitu waktu yang dianggap sebagai saat kematian adik perempuan Anda, ia sedang menemui Anda di Acro-Corinth. Ketika polisi menanyai Anda tentang pertemuan itu, Anda menyang-kalnya."
495 "Ya, benar." "Mengapa?"
Lambrou lama berdiam diri. Suaranya penuh dengan kemarahan. "Demiris memperlakukan adik saya dengan sangat keterlaluan. Ia terus-menerus berlaku kejam dan menghinanya. Saya tadinya ingin dia dihukum. Ia butuh saya untuk alibi. Saya tidak mau memberikan itu."
"Dan sekarang?"
"Saya tak bisa terus hidup membawa kebo-hongan. Saya merasa saya harus mengungkapkan kebenaran."
"Anda dan Constantin Demiris benar bertemu di Acro-Corinth sore itu?"
"Ya, kenyataannya memang kami bertemu."
Gemuruh suara para hadirin memenuhi ruang sidang itu. Delma berdiri, wajahnya pucat. "Yang Mulia, saya keberatan?"
"Keberatan ditolak."
Delma duduk lagi dengan lemas di kursinya. Constantin Demiris memajukan tubuhnya ke depan, matanya berbinar-binar.
"Ceritakan tentang pertemuan itu. Apakah itu gagasan Anda?"
"Bukan. Itu gagasan Melina. Ia membohongi kami berdua."
"Membohongi bagaimana?"
"Melina menelepon saya dan berkata bahwa suaminya ingin bertemu dengan saya di pondok saya di sana untuk membicarakan sebuah transaksi bisnis. Lalu ia menelepon Demiris dan
496 mengatakan kepadanya bahwa saya mengusulkan untuk bertemu di sana. Ketika kami tiba di sana, kami mendapati bahwa ternyata tak ada yang perlu dibicarakan."
"Dan pertemuan itu terjadi di tengah sore pada saat yang dianggap sebagai waktu kematian Mrs Demiris?"
"Benar." "Jauhnya empat jam perjalanan dengan mobil dari Acro-Corinth ke rumah pantai itu. Saya telah mengukurnya." Napoleon Chotas memandang ke arah juri. "Jadi, tidak mungkin Constantin Demiris bisa berada di Acro-Corinth pada jam tiga dan kembali ke Athena sebelum jam tujuh." Chotas lalu menoleh kembali ke Spyros Lambrou. "Anda di bawah sumpah, Mr Lambrou. Yang baru saja Anda katakan kepada sidang tadi sungguh benar?"
"Ya. Semoga Tuhan meridhoi saya."
Para juri berunding selama empat jam. Constantin Demiris mengamati ketika mereka berbaris masuk kembali ke ruang sidang. Ia tampak pucat dan cemas. Chotas tidak melihat ke para juri. Ia melihat ke wajah Constantin Demiris. Kepercayaan diri serta kesombongan Demiris telah hilang lenyap. Ia kini seorang yang sedang menanti kematian.
Hakim Kepala bertanya, "Sudahkah juri mengambil keputusan?"
497 "Sudah, Yang Mulia." Ketua juri mengacungkan sehelai kertas.
"Harap petugas mengambil surat keputusan ini."
Petugas berjalan menghampiri juri, mengambil kertas itu dan memberikannya kepada Hakim. Ia membuka lipatan kertas itu dan mendongakkan kepalanya. "Juri memutuskan bahwa terdakwa tidak bersalah."
Ruang sidang gempar. Hadirin mulai berdiri, ada yang bertepuk tangan, ada yang mence-mooh.
Wajah Demiris memancarkan ekspresi kegembiraan yang tak terhingga. Ia menarik napas panjang, bangkit dan menghampiri Napoleon Chotas. "Kau berhasil," katanya. "Aku berutang banyak padamu."
Chotas memandang matanya dalam-dalam. "Tidak lagi. Aku sangat kaya dan kau sangat miskin. Mari. Kita harus merayakan ini."
Constantin Demiris mendorong kursi roda Chotas melalui hadirin yang berdesak-desakan, keluar melewati para wartawan, menuju ke tempat parkir. Chotas menunjuk ke sebuah mobil sedan yang diparkir di gerbang depan. "Mo-bilku ada di sana."
Demiris mendorong kursi itu sampai ke pintu mobil. "Kau tak punya sopir?"
"Aku tidak membutuhkannya. Mobil ini sudah disesuaikan secara khusus supaya bisa ku-setir sendiri. Bantu aku masuk."
498 Demiris membuka pintu mobil itu dan mengangkat tubuh Chotas ke tempat duduk di belakang kemudi. Ia lalu melipat kursi roda itu dan meletakkannya di tempat duduk belakang. Demiris lalu masuk ke mobil itu dan duduk di sebelah Chotas.
"Kau masih tetap pengacara yang paling hebat di dunia," Constantin Demiris tersenyum.
"Ya." Napoleon Chotas menggerakkan per-snelingnya dan mobil mulai bergerak maju. "Apa yang akan kaulakukan sekarang, Costa?"
Demiris berkata dengan hati-hati, "Oh, aku akan bisa mengatasinya nanti." Dengan seratus juta dolar aku bisa membangun lagi kcrajaanku. Demiris tergelak. "Spyros akan sangat kecewa nanti kalau ia tahu kau menipunya."
"Dia tak akan bisa melakukan apa-apa," Chotas meyakinkan dia. "Kontrak yang ditandata-nganinya itu memberikan kepadanya perusahaan yang sudah tak ada nilainya."
Mereka menuju ke arah perbukitan. Demiris memperhatikan ketika Chotas menggerakkan tu-as-tuas yang mengendalikan pedal gas dan rem. "Kau sangat terampil menanganinya."
"Kau akan bisa jika kau harus," kata Chotas. Mereka sedang mendaki jalan pegunungan yang sempit.
"Mau ke mana kita?"
"Aku punya rumah kecil di puncak sana. Kita akan minum champagne bersama dan aku akan mengatur taksi yang akan membawamu kem"
499 bali ke kota nanti. Kau tahu, Costa, aku sedang berpikir. Semua yang telah terjadi" kematian Noelle dan kematian Larry Douglas. Dan Stavros yang malang itu. Semuanya tak ada yang disebabkan oleh uang, bukan?" Ia menoleh untuk melihat sekilas ke Demiris. "Semuanya disebabkan oleh kebencian. Kebencian dan cinta. Kau mencintai Noelle."
"Ya," kata Demiris. "Aku mencintai Noelle."
"Aku mencintainya juga," kata Chotas. "Kau tidak tahu itu, kan?"
Demiris memandangnya dengan heran. "Tidak."
"Dan tokh kubantu kau membunuhnya. Aku tidak pernah bisa memaafkan diriku untuk itu. Sudahkah kau memaafkan dirimu sendiri, Costa?"
"Ia memang pantas mendapatkan itu."
"Kurasa pada akhirnya kita semua pantas mendapatkan apa yang kita alami sekarang. Ada sesuatu yang belum kukatakan kepadamu, Costa. Kebakaran itu"sejak malam terjadinya kebakaran itu, aku berada dalam kesakitan yang sangat menyiksa. Para dokter telah mencoba memulihkan kesehatanku, tapi tidak begitu berhasil. Keadaanku sangat parah." Ia mendorong sebuah tuas yang menaikkan kecepatan mobil itu. Mereka melaju dengan cepat melewati tikungan-tikungan tajam, menanjak terus semakin tinggi. Laut Aegea nampak jauh di bawah mereka.
500 "Sebenarnya," kata Chotas dengan suara se-rak, "aku begitu kesakitan sehingga hidupku sudah tidak berarti lagi untuk dijalani." Ia mendorong lagi tuas itu dan mobil melaju makin cepat.
"Pelankan," kata Demiris. "Nanti kau?"
"Karena itu aku memutuskan bahwa kau dan aku akan mengakhirinya bersama-sama."
Demiris menoleh dan membelalak menatap dia, dengan ngeri. "Kau ini bicara apa" Pelankan, Bung. Kau akan membunuh kita berdua."
"Benar," kata Chotas. Ia menggerakkan tuas itu lagi. Mobil itu terlompat ke depan.
"Kau sudah gila!" kata Demiris. "Kau kaya. Kau tidak ingin mati."
Bibir-bibir Chotas yang cacat itu membentuk tiruan senyum yang mengerikan. "Tidak, aku tidak kaya. Kau tahu siapa yang kaya" Temanmu, Suster Theresa. Aku telah memberikan semua uangmu kepada biara di Ioannina itu."
Mereka sekarang berpacu ke arah sebuah tikungan tajam di jalan pegunungan yang curam itu.
"Hentikan mobil ini!" Demiris berteriak. Ia berusaha merebut setir dari Chotas tapi tidak mungkin lagi. __
"Akan kuberikan ajjS^rsaja^^g kau mau," Demiris berseru. "Sj^JX^^iiNj^vV
Chotas berkata, i^4ifeJi!^*PW^aPa vang kumaui." ** [^[pP. SJT} L
Detik berikutn>ra Pme5?"ai!"jBeIayaqg ai atas
tebing itu, terjun ke sisi bukit yang curam itu, mobil berguling-guling berkali-kali hingga akhirnya sampai ke bawah dan tercebur ke dalam laut. Terdengar bunyi ledakan dahsyat, kemudian sunyi dan mati. Semuanya sudah berakhir.
GRAMEDIA penerbit buku utama
Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa 3 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Sembilan Pembawa Cincin 8
^