Pencarian

Kekayaan Yang Menyesatkan 9

Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 9


kepala Edward, memainkan rambutnya perlahan. Edward tidak bergerak.
"Kita sebaiknya berdua saja, tanpa dia, mau kan?"
Edward menelan liurnya dan tidak sanggup berkata-kata lagi.
"Mau kan?" tanya Micky sekali lagi.
Akhirnya Edward menyerah. "Ya," bisiknya. "Ya."
Minggu berikutnya, untuk pertama kali Micky memasuki ruangan para mitra
Pilasters Bank. Ia telah membawa beberapa proyek selama tujuh belas tahun untuk dikelola
pendanaannya oleh Pilasters Bank, dan selama itu ia hanya diminta menunggu
Edward di ruang tamu. Ia menduga, seandainya saja dirinya orang Inggris, mungkin
sudah sejak lama ia diperbolehkan masuk ke ruang mitra. Ia mencintai London,
tapi ia sadar dirinya tetap akan dianggap orang luar.
535 Dengan agak gugup ia membeberkan rencana proyek besarnya di meja bundar di
tengah ruangan: Proyek pelabuhan Santamaria di Pantai Atlantik negara Kordoba
yang dilengkapi semua fasilitas pelabuhan internasional.
Sudah tentu tidak ada satu pun yang akan dibangun. Dua juta pound akan masuk
kantong Papa untuk membiayai revolusi menjatuhkan Presiden Garcia. Surveinya
sendiri memang dikerjakan secara profesional dan asli, dan seandainya diwujudkan
memang akan merupakan proyek yang menguntungkan.
Sebagai proyek fiktif, rencana ini akan menjadi usaha penipuan paling ambisius
dalam sejarah perbankan Inggris.
Micky berusaha meyakinkan para mitra dengan menjelaskan satu per satu: material
konstruksi, biaya tenaga kerja, bea masuk dan pabean, dan proyeksi pemasukan
secara total. Walau hatinya waswas, ia berhasil tampil setenang dan seyakin
mungkin. Seluruh kariernya, masa depan keluarganya, dan nasib negaranya sangat
tergantung pada keputusan yang akan dibuat di ruang para mitra Pilasters Bank
hari ini. Para mitra juga ikut tegang. Semua mitra ada di ruangan itu: Dua mitra berstatus
menantu, Mayor Hartshorn dan Sir Harry Tonks; empat lainnya merupakan anggota
keluarga Pilaster: Samuel, Young William, Edward, dan Hugh Pilaster.
Akan ada pertentangan, itu pasti. Edward akan didukung oleh dua mitra berstatus
menantu. Mereka selalu menuruti apa yang diperintahkan istri-istri mereka, dan
Augusta sudah memberitahu para istri ini kepada siapa suami mereka harus
memihak. Samuel pasti akan mendukung Hugh, yang jelas akan menentang. Tinggal
Young William. Suaranya akan sangat menentukan.
Edward tampak sangat antusias pagi ini. Ia mengharapkan proyek ini dicatat
sebagai .proyek besar pertamanya sebagai mitra senior.
536 Sir Harry yang pertama bicara. "Rencana yang sangat bagus dan teliti, dan
kupikir selama ini kita sudah berhasil melakukan bisnis dengan Kordoba. Tidak
ada salahnya kita mengambil proyek ini."
Seperti telah diduga Micky, tentangan pasti datang dari Hugh. Dialah yang
memberitahu Edward tentang pembunuhan Peter. Tujuannya tentu untuk menggagalkan
proyek ini. Dengan berdeham, Hugh berkata, "Sudah kuperiksa beberapa penerbitan
obligasi negara-negara Amerika Selatan selama beberapa tahun terakhir ini." Ia
membeberkan gulungan kertas di meja di tengah ruangan.
Micky mengintip kertas data yang dibeberkan Hugh. "Suku bunga obligasi yang kita
terbitkan tiga tahun yang lalu adalah enam persen, dan tahun lalu mencapai tujuh
setengah persen. Tapi selama beberapa tahun ini, jumlah obligasi negara Amerika
Selatan yang berhasil kita jual menurun terus."
Micky tidak buta soal keuangan, sehingga ia tahu apa arti penjelasan Hugh yang
tenang tapi masuk akal: para investor makin tidak yakin akan keamanan obligasi
negara Amerika Selatan. Hugh melanjutkan, "Dan celakanya, selama tiga paket obligasi terakhir yang kita
terbitkan, Pilasters Bank terpaksa membelinya di pasar uang, demi mempertahankan
harga obligasi tidak anjlok." Ini berarti kenaikan suku bunga tadi juga tidak
realistik, tidak sesuai kaidah pasar obligasi yang sebenarnya, pikir Micky.
"Karena kita bersikeras bertahan dalam pasar obligasi negara Amerika Selatan
yang sudah jenuh ini, bank kitalah yang harus menerima akibatnya... menanggung
beban sebesar satu juta pound lebih. Kita terlalu dibebani oleh satu sektor
saja." Argumentasi ini kuat sekali. Dengan mencoba tetap tenang, Micky membayangkan
dirinya sebagai mitra bank: menerima atau menolak proyek besar ini" Ia
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pasti akan menolaknya. Tapi ini bukan soal uang saja. Ini adalah soal masa depan
keluarga Miranda, dan sudah tentu dirinya sendiri.
Selama beberapa detik ruangan jadi sepi; tak ada satu pun yang berbicara. Edward
tampak berang, tapi ia berusaha tampil sedingin mungkin, membiarkan mitra lain
yang berbicara untuk mendukung proyek Micky.
Akhirnya Sir Harry yang bicara, "Argumenmu bisa diterima, Hugh, tapi aku
khawatir kau terlalu berlebihan."
George Hartshorn ikut mendukung, "Kita semua tentu setuju bahwa rencana bisnis
ini sangat bagus. Risikonya sangat kecil, untungnya sangat besar. Kukira kita
harus menerimanya." Micky sudah menduga sejak awal bahwa kedua mitra menantu itu akan mendukung
Edward. Sekarang tinggal A giliran Young William.
Tetapi Samuel-lah yang bicara berikutnya. "Aku pribadi bisa mengerti bahwa
kalian akan merasa kikuk untuk menolak proyek mitra senior baru kita, apalagi
ini proyek pertamanya." Nadanya netral sekali, seolah tidak sadar bahwa di
ruangan ini sekarang ada dua kubu yang saling bertentangan. "Mungkin kalian
tidak terlalu berminat mendengar pendapat dua mitra yang sebentar lagi akan
mengundurkan diri." Yang ia maksud pasti Hugh dan dirinya sendiri. "Tapi aku ini
orang tua yang sudah makan asam garam dunia bisnis sejak kalian belum lahir, dan
Hugh adalah bankir muda paling berhasil di dunia. Kami berdua merasa proyek ini
sangat berbahaya. Jangan sekali-kali memutuskan suatu bisnis atas dasar hubungan
keluarga atau hubungan emosional.
Samuel memang pintar bicara, pikir Micky, kendati semua orang sudah tahu ia
pasti akan menentang proyek ini. Sekarang tinggal Young William.
Akhirnya William mengutarakan pendapatnya. "Obligasi negara-negara Amerika
Selatan selalu penuh risiko.
538 Jika kita khawatir atas risikonya, selama beberapa tahun ini kita takkan pernah
memperoleh keuntungan dari obligasi mereka." Bagus, pikir Micky senang. "Dan
kukira," lanjut William," Kordoba di bawah pemerintahan Presiden Garcia akan
makin stabil dan kuat di masa yang akan datang. Karena itu kita tak perlu
terlalu khawatir; malah kita perlu mencari proyek-proyek lainnya yang seperti
ini." Micky menghela napas panjang. Berhasil.
Akhirnya Edward bicara. "Empat mitra setuju, dua menentang."
"Tunggu sebentar," sela Hugh cepat.
Oh, Tuhan, jangan sampai ada argumentasi lain! Micky hampir saja berteriak
memprotes. Edward menatap benci pada Hugh. "Apa lagi" Kau sudah kalah suara!"
"Pengambilan suara selalu menjadi cara terakhir dalam memutuskan masalah di
ruang mitra ini," sahut Hugh tak mau kalah. "Jika ada perbedaan pendapat, kita
selalu berusaha mencapai kata sepakat dulu sebelum pemungutan suara dilakukan."
Micky melihat Edward sudah siap mengeluarkan serangannya, tapi William yang
lebih dulu bicara. "Apa maksudmu, Hugh?"
"Aku ingin menanyakan sesuatu pada Edward," kata Hugh. "Apa kau yakin kita mampu
menjual semua obligasi atau sebagian besar obligasi ini?" "Tentu saja bisa, ?jika harganya sesuai," jawab Edward ragu, karena tidak tahu arah pembicaraan
ini. Micky menyumpah dalam hati. Ia merasa dirinya akan dikalahkan.
Hugh melanjutkan. "Kalau begitu, kenapa kita tidak menjual obligasi atas dasar
komisi saja, bukan sebagai penjamin sepenuhnya?"
Sumpah serapah meledak dalam batin Micky. Jelas bukan ini tujuannya menjual
proyek ini. Jika bank men -
539 jadi penjamin penuh, setiap obligasi yang tak laku dijual akan mereka serap
sendiri. Emiten seperti dirinya akan tetap menerima uang sepenuhnya, setelah
dipotong komisi yang cukup besar bagi bank sendiri. Tapi, jika atas dasar
komisi, bank hanya akan membayar senilai obligasi yang laku dijual di pasar
setelah dipotong komisi ala kadarnya. Jadi, jika obligasinya laku hanya sepuluh
ribu pound, sejumlah itulah yang akan diperhitungkan oleh bank. Risiko tetap ada
pada emiten dan bentuk inilah yang tidak diinginkan Micky.
?William mendukung. "Hmmm... ya, boleh juga usulmu."
Hugh sangat licik mengusulkan pola komisi, pikir Micky. Jika ia mencoba
menentang skema Micky secara terang-terangan, semua mitra tidak akan
mendukungnya. Tapi saran Hugh sangat sesuai dengan sifat pada bankir:
konservatif dan ingin menekan risiko sekecil mungkin.
Sir Harry balik mendukung saran Hugh, "Benar. Jika kita menjual atas dasar
komisi, dan berhasil menjual seluruh obligasi, kita akan menerima enam puluh
ribu pound. Sebaliknya jika gagal, kita hanya akan menanggung risiko kecil."
Katakan sesuatu, tolol! bentak Micky dalam hati ke arah Edward. Edward malah
kehilangan kendali, tampak bingung.
Samuel bicara lagi, "Nah, kesepakatan pendapat begini yang kita utamakan dalam
Pilasters Bank." Tetap tak mau menyerah begitu saja, Micky mencoba lagi. "Saya tidak yakin para
pejabat Kordoba mau menerima sistem komisi begini. Pilasters Bank selalu menjadi
penanggung utama obligasi Kordoba. Kalau kebijaksanaan ini diubah..." Ia berhenti
sebentar, agak ragu, tapi lalu melanjutkan, "saya bisa menawarkan proyek ini ke
bank lain." Ancaman kosong belaka, tapi apakah mereka akan tahu"
Young William jadi tersinggung, "Silakan coba bank
lain. Mungkin mereka mau menanggung risiko proyek Anda."
Micky kaget dengan reaksi William. Untuk menetralisir ancamannya, ia berkata,
"Oh, para pemimpin negara saya tak mungkin melakukan itu. Mereka menghargai
hubungan dengan Pilasters Bank dan tak ingin merusaknya."
Edward menjawab, "Ya, kami pun demikian."
"Terima kasih," jawab Micky patah semangat. Ia sadar, tak ada gunanya meneruskan
argumennya. Ia mulai menggulung berkas proyeknya. Hari ini ia kalah, tapi ia tetap tidak mau
menyerah. Ia harus memperoleh dua juta pound itu dengan cara apa pun. Nasib
keluarga Miranda dan dirinya sendiri dipertaruhkan dalam obligasi ini.
Ia akan mencari cara lain.
Edward dan Micky sudah merencanakan makan siang bersama di Cowes Club untuk
merayakan keberhasilan proyek pelabuhan Santamaria. Tapi, dengan kegagalan
presentasi Micky di bank pagi tadi, tidak ada yang bisa dirayakan lagi.
Ketika Edward masuk ke ruang makan klub, Micky sudah tahu apa yang akan
dilakukannya. Membujuk Edward untuk secara rahasia menjadi pendukung penuh
proyeknya. Sebuah rencana yang nekat dan kriminal, tapi dalam keadaan putus asa
begini, apa lagi yang tidak bisa ia perbuat"
Micky sudah lama menunggu. Menyongsong Edward, ia berkomentar pendek, "Aku
kecewa dengan hasil rapat para mitra tadi pagi."
"Itu salah sepupuku Hugh," jawab Edward. Dengan lambaian tangan ia memanggil
pelayan. "Bawakan aku segelas besar anggur madeira."
"Masalah utamanya, jika obligasi ini tidak ditanggung penuh oleh bank, tidak
akan ada jaminan proyek pelabuhan Santamaria akan dibangun," kata Micky.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ya, tapi aku sudah mencoba sebisanya," jawab Edward memelas. "Kau tahu itu. Kau
juga hadir tadi." Micky mengangguk. Memang benar. Seandainya Edward cerdas dan cerdik dalam
memanipulasi orang lain, bisa saja ia mengalahkan argumentasi Hugh. Tapi jika ia
cerdas dan cerdik, tak mungkin Micky bisa memanfaatkan diri Edward.
Kendati jinak, Edward tetap saja punya kemampuan untuk menolak bujukan Micky.
Micky memutar otak, mencari jalan bagaimana sebaiknya memulai strateginya.
Mereka telah memesan makan siang. Setelah pelayan pergi, Edward berkata, "Aku
punya rencana membeli rumah untuk tempat tinggalku. Aku sudah terlalu lama
tinggal bersama ibuku."
Micky pura-pura tertarik dengan gagasan Edward. "Kau akan membeli rumah?"
"Ya, rumah kecil saja. Tidak perlu sebuah istana dengan puluhan pelayan yang
hilir-mudik menganggu kenyamanan diri. Cukup seorang kepala pelayan yang andal
dan beberapa pelayan."
"Tapi kau sudah punya segalanya di rumah ibumu."
"Ya, semuanya kecuali privasi."
Micky mulai bisa menangkap maksud Edward. "Oh, kau tidak mau ibumu mengetahui
segalanya tentang cara hidupmu dan apa yang kaulakukan?"
"Ya, misalnya dia tidak perlu tahu kalau kau menginap beberapa malam di
rumahku." Edward mengatakan ini sambil menatap Micky lekat-lekat.
Micky tiba-tiba tahu, bagaimana memanfaatkan gagasan ini. Ia pasang muka sedih
dan menggelengkan kepala. "Pada saat kau punya rumah sendiri, aku sudah tidak
berada di London lagi."
Edward kaget setengah mati. "Apa" Kau akan pergi dari sini?"
"Ya, terpaksa. Jika gagal memperoleh dana untuk
542 proyek pelabuhan Santamaria, aku yakin akan dipanggil pulang oleh Presiden
Garcia sendiri." "Tidak... tidak boleh! Kau harus tetap tinggal di London," tukas Edward mantap.
"Aku sendiri menginginkan itu, tapi aku tidak punya pilihan."
"Jangan khawatir, obligasimu pasti terjual habis."
"Kuharap demikian. Jika tidak..."
Edward memukul jengkel meja di depannya sampai gelas-gelas ikut berderak.
"Sialan si Hugh. Seharusnya dia tidak menentangku tadi pagi."
Micky mencoba taktik kuncinya, "Kurasa kau harus menuruti keputusan para mitramu
di bank." "Sudah tentu apa lagi?"?"Hmm..." Pura-pura ragu. Lalu dengan nada setenang mungkin ia melanjutkan, "Tapi
bisakah kau mengabaikan mereka, lalu menyuruh stafmu melakukan penanggungan
penuh atas obligasi proyek ini, tentu saja secara diam-diam. Bisakah?"
"Bisa, bisa saja," jawab Edward ragu.
"Bukankah kau mitra senior bank keluargamu sendiri" Jabatan itu tentunya paling
kuat di bank." "Ya." "Simon Oliver akan mempersiapkan semuanya secara diam-diam. Kau bisa mempercayai
dia." "Ya."
Micky hampir tidak mempercayai pendengarannya. Edward begitu mudah menyerah.
Untuk menguatkan rencananya, ia masih mengatakan, "Sudah tentu akan sangat
berbeda apakah aku akan tetap tinggal di London atau dipanggil pulang."
Bagai dihipnotis, Edward menjawab cepat. "Jangan khawatir, akan kulakukan itu
semua." "Dan saat ulahmu ketahuan, sudah terlambat untuk mencegahnya. Kau bisa saja
berdalih kesalahan administrasi dan mengkambinghitamkan para bawahanmu."
543 Micky tahu gagasan ini sangat keterlaluan, dan Edward belum tentu mau menelannya
bulat-bulat. Tapi Edward tidak mendengarkan uraian Micky. "Jika kau tinggal di London..." Ia
berhenti sebentar dan menunduk.
"Ya, ada apa?" "Jika kau tinggal di London, maukah kau sekali-sekali menginap di rumah baruku
nanti?" Jadi, itulah yang dipikirkan Edward, pikir Micky dengan penuh kemenangan. Ia
tersenyum memikat. "Sudah tentu."
Edward mengangguk senang. "Hanya itu yang ingin kudengar. Aku akan bicara dengan
Simon nanti sore." Micky mengangkat gelas anggurnya. "Untuk persahabatan kita."
Edward membalas dengan hangat dan tersenyum malu-malu. "Untuk persahabatan
kita." [H] ANPA pemberitahuan lebih dahulu, Emily pindah ke rumah besar Whitehaven.
Kendati setiap orang masih menganggap rumah Whitehaven sebagai milik Augusta,
secara hukum rumah ini milik Edward karena Joseph mencantumkannya dalam
warisannya. Karena itu, Emily sebagai istri sah Edward berhak diperlakukan
sebagai nyonya rumah. Baik Augusta maupun Edward tidak bisa mengusir Emily dari
rumah besar mereka, sebab hal itu bisa dijadikan dasar untuk menuntut cerai.
Secara teknis, Emily adalah nyonya rumah, dan Augusta sekadar ibu mertua yang
ikut tinggal bersamanya. Seandainya Emily mau bersikap keras, bisa terjadi kon -
544 frontasi antara dia dan ibu mertuanya. Tapi Emily punya strategi lain. Dengan
manis ia mengatakan kepada Augusta, "Ini rumah Ibu. Lakukan apa saja yang Ibu


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehendaki." Sikap manis yang mengalah ini membuat Augusta tersindir.
Emily juga mewarisi gelar yang dulu disandang Augusta. Ia adalah Countess of
Whitehaven sekarang. Augusta cukup bergelar Ibu Countess.
Augusta terus bersikap sebagai ratu dalam rumah-tangga. Para pelayan harus
mengikuti perintah dan kemauannya. Setiap ada kesempatan, ia selalu membatalkan
perintah Emily. Emily tidak pernah protes atau mengeluh. Ia tetap baik dan para
pelayan lebih menyukainya. Menurut Augusta, ia terlalu lembek pada mereka.
Senjata utama para majikan kelas atas adalah referensi kerja. Jika seorang
pelayan tidak disenangi majikannya, ia akan dikeluarkan dan tanpa referensi
kerja ia tidak mungkin bekerja di tempat lain. Senjata ini yang sering dipakai
oleh Augusta, tapi sekarang sudah tidak mempan lagi karena pernah ia memecat
salah satu juru masaknya yang lebih mengikuti instruksi Emily untuk masak ikan ?sole, bukannya ikan salmon seperti yang diminta Augusta tapi dengan segera
?Emily memberinya referensi kerja yang sangat bagus. Si juru masak memperoleh
pekerjaan dengan upah jauh lebih baik di tempat Duke of Kingsbridge. Sejak saat
itu, para pelayan tidak takut lagi pada Augusta.
Teman-teman Emily suka berkunjung di sore hari. Seharusnya nyonya rumah yang
menjamu mereka. Untuk peran ini, Emily meminta Augusta berperan sebagai nyonya
rumah. Tapi untuk itu Augusta harus bersikap ramah pada teman-teman Emily. Ini
sangat tidak menyenangkan, sama halnya seperti kalau ia menyerahkan status
nyonya rumah kepada menantunya.
Jamuan makan malam lebih menyesakkan napas Augusta. Pernah dalam sebuah jamuan
makan malam. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY salah seorang tamu yang melihat Augusta duduk di kursi utama sebagai tanda ?dialah sang nyonya rumah memberi pujian kepada Emily yang begitu besar hati
?memberi tempat terhormat bagi ibu mertua yang menumpang di rumahnya.
Lama-kelamaan Augusta merasa disudutkan secara halus oleh menantunya. Biasanya
ia mempunyai kekuasaan untuk mengusir orang dari lingkungan dekatnya, tapi
sekarang tak mungkin. Emily justru menanti diusir seperti itu, agar ia punya
alasan untuk menuntut cerai dari Edward.
Augusta merasa makin panas dan bersumpah tidak akan menyerah.
Dalam pergaulan sosial, Emily juga makin dikenal. Jika diundang pesta atau makan
malam, Emily tidak akan ragu pergi sendiri jika Edward menolak pergi. Kalangan
atas mulai memperhatikan ada yang tidak beres dengan pernikahan Edward-Emily.
Sewaktu masih tinggal di pedesaan, Emily hampir tidak pernah diperhatikan atau
dipertanyakan oleh kalangan atas London. Tapi sekarang, setelah ia dan Edward
tinggal seatap, orang jadi bertanya-tanya.
Dulu Augusta tidak memedulikan pendapat para kalangan atas. Bagi kaum pengusaha,
kalangan bangsawan tidak lebih dari parasit masyarakat. Tapi setelah menjadi
bangsawan, ia sangat peka terhadap pendapat dan gunjingan dari kalangan atas.
Karena itu, ia tak senang jika Edward mencari segala alasan untuk tidak pergi ke
undangan jamuan makan dari salah seorang bangsawan.
Malam ini misalnya. Marquis of Hocastle berada di London untuk debat di House of
Lords. Istrinya mengatur jamuan makan untuk kalangan terbatas. Emily adalah
temannya, jadi otomatis ia dan Edward serta Augusta diundang.
Selesai berdandan, Augusta turun ke ruang tamu, mengenakan gaun sutra hitam. Ia
melihat Micky Miranda sedang duduk dengan gelas di tangan. Hatinya berdebar.
Micky dengan sigap berdiri dan mencium tangan Augusta. "Untung aku pakai gaun
dengan belahan rendah di dada," pikir Augusta genit.
Edward memang pernah menghindar dari Micky ketika tahu tentang Peter Middleton,
tapi itu hanya berlangsung beberapa hari. Mereka sekarang malah makin erat dan
tak terpisahkan. Augusta merasa senang, karena ia sendiri tak mungkin
terpisahkan dari Micky. Ia tahu Micky sudah membunuh tiga orang, tapi ini justru
membuatnya makin bergairah dan berdebar. Malah ia sering mengharapkan Micky
tiba-tiba datang menyerang dan melahapnya, langsung di lantai rumahnya.
Micky masih terikat dengan perkawinannya. Ia bisa saja menceraikan istrinya,
Rachel, jika mau, berdasarkan desas-desus perselingkuhan Rachel dengan kakak
Maisie, Dan Robinson, anggota Parlemen dari Partai Radikal. Tapi sebagai duta
besar ia tentu tak mau menghancurkan reputasi dan kariernya dengan bercerai.
Augusta duduk di sofa model Mesir, berharap Micky ikut duduk di sisinya. Tapi
Micky malah duduk di depannya. Dengan jengkel ia bertanya, "Ada apa kau datang
malam ini?" "Oh, Edward dan aku akan pergi ke pertandingan tinju."
"Tidak, kalian tidak bisa pergi bersama. Edward akan makan malam di tempat
Marquis of Hocastle."
"Ah," desah Micky ragu. "Apa kami salah jadwal... atau mungkin Edward yang lupa
soal makan malam ini?"
Augusta yakin ini tentu ulah anaknya yang penggemar berat tinju bayaran,
sehingga mengabaikan undangan makan malam ini. Ia memutuskan dengan berkata pada
Micky, "Sebaiknya kau pergi sendirian."
Sesaat Micky berang karena diatur oleh Augusta. Terbersit rasa khawatir dalam
hati Augusta. Tapi Micky 546 547 segera memutuskan untuk mengalah. Dengan sigap ia berdiri dan berpamitan,
"Baiklah kalau begitu. Tolong katakan pada Edward aku pergi dulu." "Ya," sahut
Augusta senang. Terlambat. Sebelum Micky keluar, Edward muncul.
Augusta memperhatikan bercak merah di leher anaknya makin banyak. Sudah sampai
di sisi satu telinganya. Ia khawatir kondisinya akan makin parah, kendati dokter
mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dengan antusias Edward berkata, "Ayo, kita pergi. Aku sudah menanti-nanti tinju
ini." Augusta berkata dengan suara memerintah, "Edward, kau tidak boleh pergi ke tinju
malam ini!" "Kenapa tidak?" tanyanya, seperti anak kecil yang diberitahu bahwa hari Natal
tidak jadi datang. Sesaat Augusta merasa kasihan dan hampir saja menyerah, tapi dengan mengeraskan
hati ia berkata, "Kau tahu malam ini kita diundang makan di rumah Marquis of
Hocastle." "Lho, bukan malam ini kan?"
"Kau tahu malam ini."
"Kalau begitu, aku tidak ikut."
"Kau harus ikut!"
'Tapi baru kemarin malam aku datang ke jamuan makan dengan Emily."
'Tak ada salahnya malam ini ada lagi jamuan makan."
"Sialan! Kenapa kita ikut diundang mereka?"
"Jangan sekali-sekali menyumpah begitu di depan ibumu! Kita diundang karena
mereka teman Emily."
"Emily bisa pergi sen..." Ia berhenti bicara karena melihat wajah cemberut ibunya.
"Katakan pada mereka aku tiba-tiba sakit."
"Jangan seperti anak kecil begitu!"
"Aku berhak pergi ke mana pun aku suka, Ibu!"
"Kau tidak boleh menyinggung perasaan bangsawan, Edward!"
548 "Masa bodoh, pokoknya aku tetap ingin pergi ke tinju malam ini!"
"Tidak bisa, tetap tidak bisa!"
Emily masuk. Melihat suasana perdebatan itu, ia bertanya, "Ada apa?"
Edward menjawab jengkel, "Naik lagi ke atas dan ambil kertas sialanmu itu!"
"Apa maksudmu?" hardik Augusta kaget. "Kertas apa?"
"Kertas persetujuanku untuk cerai dengannya," jawab Edward.
Augusta ketakutan setengah mati, juga sangat marah ketika menyadari bahwa malam
ini memang sudah direncanakan oleh Emily. Sasarannya adalah membuat Edward
jengkel, tak tahan lagi dengan kehadirannya, sehingga mau melakukan apa saja
asalkan Emily pergi dari sisinya. Augusta merasa seperti orang tolol karena
tanpa sadar ikut membantu Emily. Sekarang Emily berada di ambang kemenangan.
Dengan berang ia mencoba mencegah. "Emily! Tetap tinggal di tempatmu!"
Emily hanya tersenyum manis, lalu keluar dari kamar tamu.
Augusta berbalik ke anaknya. "Kau tidak boleh menceraikan dia!"
"Ibu, usiaku sudah empat puluh tahun! Aku tinggal di rumahku sendiri, dan aku
berhak melakukan apa saja. Jangan mengatakan apa yang bisa dan tidak bisa
kulakukan!" Wajah Edward tampak keras dan kaku. Untuk pertama kali Augusta merasa ia akan
kehilangan kendali atas diri anaknya.
Ia merasa ngeri. "Duduk dulu di sini, Teddy," panggilnya sambil menepuk sofa di sisinya.
Dengan enggan Edward duduk di sisi ibunya.
549 Augusta mengelus pipi putra tunggalnya, tapi Edward mengelak.
"Kau tidak bisa mengatur hidupmu sendirian, Teddy," tegas Augusta. "Justru
karena itulah aku dan Micky selalu siap membantumu, bahkan sejak kau masih di
sekolah!" Dengan wajah kaku Edward menjawab. "Mungkin sudah saatnya Ibu berhenti
mencampuri hidupku!"
Rasa panik merayapi hati Augusta. Ia seperti kehilangan pegangan.
Sebelum ia bisa menjawab sanggahan anaknya, Emily sudah masuk dengan membawa
berkas surat di tangannya, yang lalu dibentangkannya di meja tulis. Di dekatnya
sudah tersedia pena dan botol tinta.
Augusta mencoba mempelajari wajah anaknya. Mungkinkah ia lebih takut pada
istrinya ketimbang pada ibunya" Augusta berpikir apakah tidak sebaiknya ia
merebut dokumen itu dan membakarnya" Ia berusaha menahan diri. Mungkin lebih
baik ia membuang niatnya dan berusaha menampilkan wajah tak peduli. Tapi percuma
saja kepura-puraannya. Semua orang akan tahu ia sudah dikalahkan.
"Edward," katanya, "jika kautandatangani dokumen itu, berarti kau harus mundur
dari bank." "Aku tidak melihat kaitannya, apalagi ini bukan perceraian langsung, hanya
pernyataan pembatalan perkawinan!"
Emily berkata, "Gereja tidak berkeberatan atas proses pembatalan perkawinan jika
dasar alasannya kuat." Kalimat itu kedengarannya seperti kalimat dalam kaidah
Gereja yang sudah pasti dikutip langsung oleh Emily dari sumbernya.
Edward duduk di kursi dan memilih pena, lalu mencelupkannya di botol perak
berisi tinta. Augusta masih mencoba mencegahnya. "Edward!"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY bentaknya keras. "Jika kautandatangani dokumen itu, jangan harap aku mau bicara
lagi denganmu!" Edward ragu sesaat, tapi tangannya segera diangkat di atas kertas dokumen.
Semuanya terdiam menunggu. Terdengar suara goretan pena, bagaikan halilintar di
musim kemarau. Setelah selesai, pena ia letakkan kembali di tempatnya.
"Kenapa kau memperlakukan ibumu seperti ini?" isak Augusta.
Emily mengeringkan tanda tangan Edward dengan ulasan alat pengering dan
mengambil dokumen itu. Augusta berdiri di depan pintu keluar, menghalangi Emily.
Edward dan Micky terpana sesaat menyaksikan dua wanita itu saling berhadapan
dengan wajah penuh kebencian.
"Berikan dokumen itu!" bentak Augusta.
Emily maju lebih dekat, diam sejenak, lalu melayangkan tamparan ke wajah
Augusta. Suara tamparan itu terdengar nyaring. Augusta menjerit kaget dan kesakitan.
Tubuhnya limbung. Emily melangkah cepat melewatinya, membuka pintu kamar, dan keluar dengan gesit.
Tangannya masih memegang berkas dokumen.
Augusta terduduk di kursi terdekat dan mulai menangis terisak-isak.
Ia mendengar putranya dan Micky keluar ruangan
Ia merasa kalah. Kesepian dan merana.
[III] PENERBITAN obligasi dua juta pound atas proyek pelabuhan Santamaria gagal,
bahkan lebih jelek dari yang diperkirakan oleh Hugh Pilaster. Pada batas
551 akhir tanggal, Pilasters Bank hanya berhasil menjual obligasi senilai empat
ratus ribu pound dan pada hari berikutnya nilai nominal obligasi merosot terus.
Hugh merasa lega karena ia telah memaksa Edward dan mitra lainnya menerbitkan
atas dasar komisi, bukan atas dasar penanggungan penuh. Dengan dasar komisi,
Pilasters Bank tak perlu menanggung risiko penuh atas jumlah nilai obligasi yang
belum terjual. Di hari Senin berikutnya, kepala administrasi bank Jonas Mulberry membawakan
ringkasan neraca keuangan bisnis yang dilakukan para mitra selama seminggu
sebelumnya. Sebelum ia meninggalkan ruangan, Hugh melihat ada keganjilan dalam
angka neraca. "Tunggu sebentar, Mulberry," perintahnya. "Ada keganjilan dalam
angka-angka ini. Ada tarikan dana yang sangat besar dari kas bank, lebih dari
sejuta pound. Apakah ada deposan yang menarik deposito mereka dengan tiba-tiba?"
"Kurasa tidak ada, Mr. Hugh," jawab Mulberry mantap.
Hugh melihat ke sekeliling ruangan. Para mitra telah hadir semua, kecuali
Edward. Tanyanya, "Apakah ada yang ingat penarikan dana deposito secara besar-
besaran minggu lalu?"
Tidak ada yang ingat. Hugh berdiri dan berkata kepada Mulberry, "Mari kita periksa di bagian
pembukuan." Mereka segera pergi ke lantai atas, tempat pusat pembukuan bank. Yang mereka
cari adalah catatan penarikan dana bank sebesar sejuta pound lebih. Ke mana,
oleh siapa, dan kapan. Metodenya pasti metode transaksi antarbank, mengingat
jumlahnya yang luar biasa besar. Hugh ingat sewaktu ia masih menjadi petugas
pembukuan bank, ada semacam jurnal harian yang mencatat transaksi antarbank yang
dikerjakan setiap hari. Ia duduk dan minta kepada Mulberry, "Tolong carikan
jurnal harian transaksi antarbank."
552 Mulberry menarik sebuah buku besar dari laci dan membukanya di depan Hugh.
Seorang petugas datang dan bertanya dengan wajah ketakutan, "Ada yang bisa saya
bantu, Mr. Hugh" Saya yang mengerjakan jurnal itu." Ia khawatir membuat
kesalahan fatal. Hugh bertanya, "Kau Clemmow, bukan?"
"Ya, Sir." "Apakah minggu lalu ada penarikan dana besar sekitar sejuta pound atau lebih?"
"Ada, hanya satu kali," jawab si petugas cepat. "Perusahaan pelabuhan Santamaria
menarik satu kali sejumlah satu juta delapan ratus ribu pound jumlah yang sama ?dengan nilai total obligasinya, dikurangi komisi bank."
Hugh mendadak berdiri, "Tapi mereka tidak berhak menarik sejumlah itu. Mereka
hanya berhak menarik empat ratus ribu pound, sesuai nilai laku jual obligasi
mereka!" Clemmow pucat pasi: "Nilai kontraknya dua juta pound, obligasi pertanggungan
penuh." "Tapi ini bukan pertanggungan penuh, melainkan kontrak komisi belaka!"
"Saya sudah berulang kali memeriksa jumlahnya ditarik satu juta delapan ratus
ribu pound.'"' "Sialan!" teriak Hugh. Seluruh petugas pembukuan menengok ke arahnya. "Tunjukkan
jurnal lengkapnya!" Seorang petugas lain datang membawa buku tebal dan besar, membukanya di depan
Hugh, di halaman dengan tanda Proyek Pelabuhan Santamaria.
Tercatat tiga masukan: kredit sejumlah dua juta pound, debet sejumlah dua ratus
ribu pound disertai catatan: Komisi bank, dan transfer ke bank lain sejumlah
sejuta delapan ratus ribu pound.
Imbang dan tidak ada keganjilan dalam angka jurnal.
Hugh terkesima, tak bisa berkata apa-apa. Uangnya sudah tertransfer ke bank
lain. Jika hanya kesalahan catat, bisa dengan mudah dikoreksi. Tapi sekarang
sudah 553 terlambat. Ini berarti ada persekongkolan tingkat tinggi dalam bank. "Oh, Tuhan,
ini akan diurus oleh yang berwajib, untuk itu harus ada yang masuk ke penjara,"
desahnya berang. "Siapa yang membuat catatan ini?"
"Saya, Sir," jawab si petugas yang membawakan buku besar. Nadanya ketakutan, dan
tangannya gemetar. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Atas instruksi siapa?"
"Atas dasar kontrak resmi, sesuai prosedur seperti biasanya."
"Dari mana datangnya?" "Dari meja Mr. Oliver, Sir."
Simon Oliver adalah staf bank yang lahir di Kordoba dan masih sepupu Micky
Miranda. Hugh langsung curiga.
Ia memutuskan akan melanjutkan penyelidikannya di ruang para mitra saja.


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya ia menyesal sudah membuka kasus ini di depan dua puluh petugas
pembukuan, tapi siapa sangka kasus ini bukan sekadar kesalahan catat belaka,
tapi merupakan hasil sebuah komplotan besar"
"Bawa Mr. Oliver ke ruang para mitra sekarang," perintahnya kepada Mulberry". Ia
akan melanjutkan penyelidikannya di depan para mitra lainnya, karena Oliver
adalah staf Edward Pilaster, mitra senior bank.
"Baik, segera, Mr. Hugh," jawab Mulberry tangkas. Sebelum meninggalkan ruangan,
ia memberi perintah kepada semua petugas, "Kalian semua kembali bekerja!" Saat
ia dan Hugh sudah keluar ruangan, segera terdengar dengung suara gaduh di ruang
pembukuan. Begitu tiba di ruang mitra, Hugh berkata, "Aku baru saja menemukan sebuah
persekongkolan besar, menyangkut obligasi pelabuhan Santamaria yang ternyata
telah dibayar penuh oleh bank kita, padahal kita hanya berhasil menjual senilai
empat ratus ribu pound."
Para mitra terkejut. "Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Young William.
"Jumlah sejuta delapan ratus ribu pound dikreditkan ke rekening mereka, lalu
ditransfer ke bank lain."
"Siapa yang bertangung jawab?"
"Kukira ini dilakukan oleh Simon Oliver, staf administrasi Edward. Sudah
kuperintahkan Mulberry mencari dan menemukannya, tapi kukira dia sudah berada di
kapal yang berlayar menuju Kordoba saat ini."
Sir Harry bertanya, "Kita tidak bisa menarik kembali uang itu?"
"Tidak tahu. Kukira mereka sudah memindahkan uangnya keluar negeri sekarang
ini." "Mereka tidak bisa membangun sebuah proyek pelabuhan dengan uang curian, bukan?"
"Kukira proyek pelabuhan itu memang tidak ada. Tujuan mereka adalah mencuri uang
kita." "Oh, Tuhan." Mulberry datang dan herannya ia datang bersama Simon Oliver yang membawa
seberkas tebal kontrak bank. Hugh heran. Jika Oliver tidak lari, berarti tidak
ada penipuan uang bank. Oliver berdiri gemetar dengan ketakutan. Mungkin ia
sudah mendengar ancaman Hugh soal penjara atas orang yang bertanggung jawab.
Tanpa basa-basi lagi Oliver berkata, "Sesuai kontraknya, penerbitan obligasi
Santamaria dijamin sepenuhnya oleh Pilasters Bank." Ia menyerahkan berkas
kontraknya pada Hugh. Hugh menjawab tegas, "Keputusan para mitra bukan pertanggungan penuh, tapi
komisi saja." "Mr. Edward yang memerintahkan saya untuk membuat kontrak pertanggungan penuh."
"Kau punya bukti?"
"Ya!" Ia memberikan pada Hugh secarik kertas bertulisan tangan. Isinya ringkasan
kontrak penerbitan obligasi secara pertanggungan penuh dari bank. Tulisannya
tulisan tangan Edward. Jelas dan gamblang perintah itu datang darinya.
Sekarang semuanya jelas. Edward yang harus bertanggung jawab. Tak ada penipuan,
hanya persengkongkolan langsung dari mitra senior sendiri. Uangnya sudah tak
mungkin ditarik kembali. Transaksinya sah dan sesuai prosedur perbankan. Hugh
sangat kecewa dan marah. "Baiklah, Oliver, kau boleh meninggalkan ruangan ini." Hugh memberi perintah
singkat. Oliver, masih berdiri gemetaran, bertanya, "Apakah ini berarti saya tidak
tersangkut dengan masalah ini, Mr. Hugh?"
* "Tidak, selama kau mengikuti perintah Mr. Edward, kau tidak salah sama
sekali." "Terima kasih, Mr. Hugh." Ia beranjak keluar ruangan.
Hugh memandang para mitra. Komentarnya singkat dan dingin, tanpa emosi, tapi
menyimpan rasa sesal mendalam. "Edward telah melangkahi keputusan kolektif kita.
Dia sendiri yang mengganti kontrak obligasi dengan pertanggungan penuh. Sekarang
bank harus menanggung biaya sejuta empat ratus ribu pounds
Sunyi, tak ada suara sedikit pun. Masing-masing mencoba mencerna akibat tindakan
Edward, mitra senior mereka. Akhirnya Samuel yang berkomentar getir, 'Betapa
menyakitkan." Sir Harry dan Mayor Hartshorn tetap membisu.
William bertanya, "Kita akan bangkrut?"
Hugh sadar pertanyaan William ditujukan pada dirinya. Benarkah mereka akan
bangkrut" Belum terpikirkan. Ia mencoba mengevaluasi untuk sesaat, lalu
menjawab, "Secara teknis, tidak. Kendati cadangan kas kita mengalami defisit
sejumlah satu juta empat ratus ribu pound, dan ini masih diimbangi dengan jumlah
obligasi yang belum terjual. Dalam neraca bank, kita masih imbang karena aktiva
sama jumlahnya dengan passiva. Aset kita masih imbang dengan kewajiban kita.
Solvabilitas Pilasters Bank positif."
556 Samuel menambahkan, "Sepanjang nilai obligasi pelabuhan Santamaria tidak
ambruk." "Persis," kata Hugh. "Tapi jika sampai terjadi sesuatu yang menyebabkan nilai
obligasi itu ambruk, tamatlah riwayat kita." Memikirkan kemungkinan ini. Hugh
jadi sedih campur berang terhadap Edward yang telah membuat bank keluarga yang
telah berdiri selama tiga generasi berada dalam posisi amat lemah.
Akhirnya Sir Harry bertanya, "Bisakah kita merahasiakan semua ini?"
"Aku ragu," jawab Hugh," Aku khawatir sekarang pun kabar ini sudah beredar dari
para staf kita sendiri, sebab mereka mendengar semuanya ketika aku mengusut di
ruang pembukuan tadi."
Jonas Mulberry bertanya, "Bagaimana dengan likuiditas kita, Mr. Hugh?"
Pertanyaan yang amat praktis. "Kita membutuhkan cadangan dana yang besar dalam
minggu ini, untuk memenuhi penarikan uang nasabah secara rutin. Kita pasti tidak
bisa menjual semua obligasi ini, harganya pasti akan jatuh sekali."
Pertanyaan yang harus segera dipecahkan. Hugh berpikir sejenak, "Aku bisa
meminjam sejuta pound dari Colonial Bank. Si tua Cunliffe akan merahasiakan ini,
kujamin. Kita juga harus bersikap diam." Ia melihat ke para mitra lainnya, lalu
lanjutnya, "Dan melakukan penghematan luar biasa atas pengeluaran pribadi,
karena pinjaman dari Cunfille hanya untuk sementara dan darurat. Posisi defisit
kita harus secepatnya ditanggulangi. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan
menimpa bank ini." William melontarkan pertanyaan, "Bagaimana dengan Edward sendiri?"
Hugh tahu satu hal yang mesti dilakukan Edward: mundur! Tapi ia tidak mau
pendapat ini keluar dari dirinya.
Akhirnya Samuel yang berkata, "Dia harus mundur
dari bank. Kita sudah tak bisa percaya lagi padanya... tidak akan pernah bisa."
William bertanya lagi, "Tapi dia bisa menarik modalnya?"
"Tidak mungkin bisa," jawab Hugh. "Bank tidak punya dana lagi. Ancaman itu sudah
tidak ada artinya." "Ya, benar." William berkomentar. "Tidak terpikir olehku."
"Lalu siapa yang menjadi mitra senior bank?" tanya Harry Sir.
Tak ada yang menjawab. Samuel yang menjawab dengan nada sinis. "Ya Tuhan, kenapa
mesti ada pertanyaan itu" Siapa yang membongkar pengkhianatan Edward" Siapa yang
menangani krisis ini" Siapa yang kalian jadikan panutan dalam krisis ini" Selama
beberapa jam ini, hanya satu orang yang membuat keputusan penting bagi nasib
bank ini. Kita semua hanya bertanya dan tidak berdaya. Kalian pasti tahu siapa
yang pantas menjadi mitra senior bank kita!"
Hugh jadi terpana. Sejak tadi di benaknya hanya ada satu masalah: bagaimana
menyelamatkan bank keluarganya. Tak sedetik pun ia memikirkan siapa yang harus
menjadi mitra senior. Sekarang Samuel telah dengan gamblang mengemukakan hal
itu, dan ia benar. Sejak tadi Hugh bertindak sebagai penjabat mitra senior dan
hanya dialah yang bisa mengupayakan penyelamatan Pilasters Bank.
Perlahan-lahan ia menyadari bahwa ia hampir mencapai ambisi hidupnya selama ini.
Ia melihat ke arah William, Harry, dan George. Semuanya bermuka jengah dan
kikuk. Mereka yang menjadi sponsor utama sehingga Edward bisa diangkat menjadi
mitra senior. Hugh bisa membaca apa kira-kira yang mereka pikirkan saat ini:
mereka menyesal tidak mendengarkan nasihat Hugh!
Tapi mereka tidak bisa diam begitu saja, pikir Hugh. Mereka harus mengatakan
persetujuan sekarang juga.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia memancing William dengan bertanya, "Bagaimana menurut pendapat Paman, sebagai
mitra paling lama setelah Paman Samuel?"
William agak malu sejenak, lalu berkata tegas," Kau harus menerima jabatan
sebagai mitra senior, Hugh."
"Mayor Hartshorn?"
"Setuju sekali."
"Sir Harry?" "Pasti setuju, dan kuharap kau mau menerimanya." Selesai sudah. Hugh hampir tak
percaya mendengarnya. Ia menarik napas panjang. "Terima kasih atas kepercayaan yang kalian berikan
padaku. Akan kuterima jabatan ini. Kuharap aku bisa mengatasi krisis ini dan
menjaga reputasi terhormat serta harta bank kita."
Bertepatan dengan itu Edward masuk.
Suasana seketika jadi senyap. Baru saja mereka membicarakan dirinya, dengan
menganggap seolah ia sudah mati. Sekarang tiba-tiba ia masuk sungguh ?mengejutkan.
Edward yang tidak sadar dengan suasana sebenarnya, bertanya, "Tempat ini kacau-
balau. Tidak ada yang bekerja. Mereka saling bisik dan berbincang di koridor.
Ada apa sebenarnya?"
Tidak ada yang bicara. Wajah Edward jadi memerah, lalu rasa bersalah merayapinya. "Ada apa?" tanyanya
ke arah Hugh. "Sebaiknya katakan terus terang, bukankah aku mitra senior di
sini?" "Tidak lagi!" tegas Hugh. "Aku yang mitra senior sekarang."
BAB TIGA JVorember DOROTHY PILASTER menikah dengan Viscount Nicholas Ipswich di Kensington
Methodist Hall pada pagi bulan November yang dingin dan cerah. Acaranya
sederhana, tapi upacara gerejanya cukup panjang. Setelah itu disusul makan siang
dengan menu khas Inggris bersama tiga ratus tamu di bawah tenda yang diberi
penghangat ruangan di kebun rumah Hugh Pilaster.
Hugh sangat bahagia. Adik perempuannya tampak sangat cantik dan suaminya juga
tampak serasi di sampingnya. Mereka sedang beramah-tamah dengan para tamu. Tapi
orang yang paling berbahagia pagi ini adalah ibu Hugh. Ia duduk dengan senyuman
anggunnya di samping Duke of Norwich. Untuk pertama kali dalam dua puluh empat
tahun ia tidak berbusana hitam lagi, melainkan bergaun kasmir abu-abu kebiruan,
cocok sekali dengan warna rambutnya yang beruban dan tebal. Hidupnya pernah
kelabu oleh tragedi bunuh diri suaminya, dan selama bertahun-tahun ia hidup
dalam kekurangan, namun sekarang dalam usia enam puluhan ia memiliki segala yang
didambakannya. Putrinya menikah dan menjadi Duchess of Norwich, dan putranya
menjadi 560 mitra senior Pilasters Bank dengan kondisi ekonomi berkecukupan. "Aku dulu
mengira hidupku adalah serentetan nasib buruk," bisiknya pada Hugh. -"Ternyata
aku salah. "Ia menangkupkan tangan ke tangan Hugh sebagai tanda kasih sayang
seorang ibu. Hugh hampir menangis karena haru.
Para tamu wanita berpakaian aneka warna, kecuali putih (khawatir dianggap
menyaingi pengantin putri) dan hitam (warna khusus untuk berkabung). Warna
pakaian mereka bercorak meriah, agar kontras dengan cuaca dingin di akhir musim
gugur: oranye terang, kuning matang, merah rasberi, dan merah jambu matang.
Sedangkan pakaian pria serba formal: jas hitam, putih, atau abu-abu. Hugh
memakai jas hitam berleher tinggi dan dasi sutra biru. Ia benar-benar merasa
sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarganya, bahkan keluarga
besar Pilaster. Ia jadi teringat ketika dirinya dianggap sebagai kambing hitam
seluruh keluarga. Ia menghirup anggur merah favoritnya, Chateau Margaux. Ia merasa agak jengah
menyelenggarakan pesta pernikahan mewah begini, apalagi di tengah suasana
prihatin Pilasters Bank. Memang mereka masih memiliki obligasi pelabuhan
Santamaria senilai sejuta empat ratus ribu pound, dan obligasi-obligasi Kordoba
lainnya senilai sejuta pound; hanya sayangnya mereka tak bisa menjualnya
sekaligus karena akan mengakibatkan harga jatuh, satu-satunya hal yang paling
dikhawatirkan Hugh. Dengan keadaan seperti ini, menurut perhitungan Hugh, neraca
Pilasters Bank akan kembali normal dalam setahun. Krisis dana kontan telah ia
selesaikan dengan pinjaman dari Colonial Bank, jadi jika ada nasabah yang akan
menarik dananya, Pilasters Bank tidak akan menolaknya. Biang keladi krisis,
Edward Pilaster, sudah tidak pernah datang ke bank lagi, kendati secara formal
ia masih berstatus mitra sampai akhir tahun fiskal. Secara umum kedudukan
Pilasters Bank akan aman, kecuali jika ada kejadian-kejadian yang tak diinginkan
seperti: peperangan, gempa bumi atau wabah penyakit menular di Kordoba. Jadi,
dengan situasi seperti ini ia merasa cukup adil memberikan pesta mewah bagi adik
satu-satunya. Selain itu pesta mewah seperti ini juga bagus untuk reputasi Pilasters Bank.
Kalangan keuangan di Inggris tahu bahwa Pilasters Bank menderita kekurangan dana
sejuta pound lebih dari penerbitan obligasi pelabuhan Santamaria di Kordoba.
Dengan menyelengarakan pesta mewah ini, mereka akan yakin kembali bahwa keluarga
Pilaster masih kaya. Pesta murahan malah akan membuat orang curiga.
Hugh telah menyediakan maskawin sebesar seratus ribu pound untuk kedua mempelai.
Dana itu disimpan di bank dengan bunga lima persen setahun. Nick, suami Dotty,
bisa saja menarik dana itu setiap saat, tapi ia lebih memilih menariknya secara
bertahap, sesuai jadwal pembayaran utang ayahnya, serta sekalian mengelola tanah
pertanian milik keluarga. Hugh senang dengan keputusan Nick, karena dengan
menarik sekaligus dana itu akan membuat bank mengalami kesulitan likuiditas.
Setiap orang sudah tahu soal maskawin Dotty. Kendati Hugh dan Nick sudah
berusaha merahasiakannya, berita itu tetap saja menyebar. Sekarang hal ini sudah
menjadi topik pembicaraan di setiap pesta, acara makan malam, dan gosip-gosip di
setiap rumah. Dengan rasa puas Hugh melihat ke sekeliling ruang pesta, dan matanya tertuju ke
salah satu tamunya yang berwajah muram bagai nenek tua kehilangan pegangan
hidup: Augusta "Masyarakat London sudah benar-benar menurun kualitas hidupnya," kata Augusta
kepada Kolonel Mudeford, pria tua yang duduk di sebelahnya.
"Aku khawatir Anda memang benar. Lady Whitehaven," sambut si kolonel dengan
lirih dan sopan. "Orang bisa menjadi bangsawan dengan mudah," sambung Augusta. "Dan orang Yahudi
bisa masuk ke mana pun yang mereka senangi."
"Benar." "Aku adalah Countess of Whitehaven yang pertama, tapi keluarga Pilaster adalah
keluarga terpandang selama satu abad sebelum dianugerahi gelar bangsawan ini.
Sedangkan sekarang, pria yang ayahnya hanya pedagang biasa bisa memperoleh gelar
bangsawan cuma karena dia berhasil kaya raya dengan menjual sosis."
"Persis," sahut Kolonel Mudeford yang lalu berbalik ke wanita di sebelahnya
sambil menawarkan sesuatu, "Mrs. Telston, bolehkah saya mengambilkan saus manis
itu lagi?" Augusta jadi kehilangan minat bercakap-cakap dengan si kolonel. Darahnya
menggelegak menyaksikan pemandangan di sekitarnya. Hugh Pilaster, putra Tobias
Pilaster yang bunuh diri karena bangkrut, sanggup menyelenggarakan pesta
perkawinan adiknya dengan menyediakan makanan berlimpah dan anggur Chateau
Margaux untuk tiga ratus tamu; Lydia Pilaster, janda Tobias, duduk di samping
Duke of Norwich; Dorothy Pilaster, putri Tobias, menikah dengan Viscount Ipswich
dengan maskawin begitu besar. Sedangkan putra tersayang Augusta, Teddy, anak
Joseph Pilaster almarhum bankir terkaya di London, baru saja dipecat dari
jabatannya sebagai mitra senior bank keluarganya sendiri dan istrinya juga
menuntut pembatalan pernikahan.
Sudah tidak ada tata krama lagi di dunia ini! Siapa saja bisa masuk dan diterima
di kalangan atas. Seakan membuktikan kekesalannya, ia melihat di antara tamu,
duduk di sebelah Gubernur Bank of England, Maisie Greenbourne alias nyonya
almarhum Solly Greenbourne! Betapa menyakitkan mata melihat wanita murahan yang
seluruh hidupnya dipenuhi skandal itu diundang ke pesta salah satu anggota
keluarga Pilaster. Apalagi tam-SBOOK BY OBI
PRC/TXT BY OTOY paknya Gubernur menikmati obrolan dengan perempuan itu. Mungkin saja ia sedang
membicarakan para wanita yang mengandung tanpa ayah, yang saat ini dirawat di
rumah sakitnya. Tragisnya, Gubernur mau mendengarkan!
"Coba bayangkan Anda menjadi seorang wanita pelayan yang mengandung tanpa
suami," bisik Maisie kepada Gubernur. Yang diajak bicara tanpa terperanjat.
"Bayangkan akibatnya jika Anda menjadi ibu, tanpa pekerjaan, tanpa tempat
bernaung, tanpa ada yang mendukung, dan tanpa suami. Apakah Anda lantas akan
berpikir: Ah, aku toh bisa melahirkan di rumah sakit Mrs. Greenbourne yang
nyaman itu, jadi nanti aku bebas berbuat lagi dengan siapa pun. Itu salah besar!
Aku hanya menyediakan fasilitas bagi para wanita itu agar tidak melahirkan di


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selokan." Dan Robinson, kakak Maisie, ikut bicara. "Menyelamatkan masyarakat kecil... ya,
sama dengan usulanku ke Parlemen untuk segera mengeluarkan Undang-Undang
Perbankan yang di salah satu pasalnya akan mewajibkan para bankir
mengasuransikan tabungan dan deposito milik masyarakat kecil."
"Aku sudah dengar itu," komentar Gubernur.
Dan melanjutkan, "Beberapa kritikus mengatakan pasal ini malah akan mendorong
bank mudah menyatakan bangkrut karena sudah ada asuransinya. Tapi menurutku itu
omong kosong belaka. Mana ada bankir yang senang bangkrut, dalam kondisi seperti
apa pun." "Benar." "Saat seorang bankir melakukan bisnisnya, tak mungkin dia berpikir akan melumat
uang nasabahnya dengan membuat dia bangkrut. Dia pasti berpikir tentang
bagaimana agar dirinya dan banknya bertambah kaya. Sama halnya membuat para anak
hasil hubungan gelap menderita, takkan membuat para hidung belang berhenti
^64 menggoda para pembantu wanita yang belia dan penuh mimpi romantis."
"Oh, aku mengerti. Sungguh suatu persamaan yang orisinal," komentar Gubernur
Bank of England dengan wajah kecut.
Maisie memutuskan sudah cukup menggelitik Gubernur dengan komentar-komentar
skeptis darinya dan kakaknya. Ia menggamit lengan kakaknya untuk beranjak ke
tempat lain. Dan berkomentar. "Kaulihat, gelar bangsawan selalu jatuh ke orang yang keliru.
Misalnya Hugh dan sepupunya Edward. Hugh jujur, pandai, pekerja keras, sedangkan
Edward pemalas, tolol, dan tak bernilai sama sekali sebagai laki-laki. Tapi
Edward adalah Earl of Whitehaven, sedangkan Hugh hanya Mr. Pilaster, orang
biasa." Maisie diam saja, tanpa komentar. Ia berusaha tidak memandang ke arah Hugh. Ia
tidak tahan melihat Hugh di tengah kerumunan keluarganya: istri, anak, ibu,
adik sementara dirinya berada jauh di luar lingkaran itu. Ia tahu perkawinan ?Hugh dengan Nora sama sekali tidak bahagia dari cara mereka bertukar pandang,
?bercakap, dan bersanding. Tak pernah terpancar kasih sayang dan kebahagiaan di
antara mereka berdua. Tapi ini bukan alasan, biar bagaimanapun mereka adalah
suami-istri yang sah, sedangkan Maisie hanya orang luar.
Ia menyesal datang ke resepsi pernikahan ini.
Seorang penjaga pintu datang mendekati Hugh dan berbisik, "Ada telepon penting
dari bank untuk Anda, Sir."
"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang," sahut Hugh.
Beberapa menit kemudian, kepala pelayan yang datang. "Mr. Mulberry dari bank di
telepon. Sir, ingin bicara dengan Anda."
"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang," sahut Hugh, terganggu.
565 "Baiklah, Sir." Ia membalikkan badan.
"Tunggu," tukas Hugh tiba-tiba. Jika sampai Mulberry yang menelpon dan
bersikeras mau bicara dengan Hugh sendiri, padahal ia tahu Hugh sedang di pesta
perkawinan, pasti ada yang penting sekali.
Moga-moga bukan kabar buruk!
Hugh tiba-tiba merasa dingin.
"Sebaiknya kujawab dia," katanya. Ia berdiri, berkata, "Maaf sebentar, Ibu, Yang
Mulia, ada sesuatu yang harus kutangani."
Ia bergegas keluar dari tenda pesta, menyeberangi lapangan rumput, dan masuk ke
dalam rumah. Pesawat telepon terletak di perpustakaan. Ia mengangkat pesawatnya
dan berkata, "Hugh Pilaster bicara."
Ia mendengar suara kepala administrasi bank, "Mulberry, Sir. Maaf saya..."
"Apa yang terjadi?"
"Telegram dari New York. Terjadi perang di Kordoba."
"Oh, tidak!" Ini kabar mematikan bagi Hugh, keluarganya, dan Pilasters Bank. Tak
ada kabar lain yang melebihi ini.
"Perang saudara, tepatnya," lanjut Mulberry. "Pemberontakan. Keluarga Miranda
telah menyerang ibukota. Palma."
Jantung Hugh berdenyut keras. "Ada kabar tentang kekuatan mereka?" Jika
pemberontakan bisa cepat ditumpas, masih ada harapan baginya.
"Presiden Garcia melarikan diri."
"Sialan." Ini berarti sangat serius. Ia mengutuki Micky dan Edward dengan
sengit. "Ada kabar lainnya?"
"Ada lagi telegram lain dari kantor kita di Kordoba. Sekarang sedang dipecahkan
kode pesannya." "Hubungi aku lagi secepatnya."
"Baik, Sir." Hugh menutup telepon, minta disambungkan oleh
566 operator pusat ke kantor pialang saham Pilasters Bank. Ketika sudah disambung,
ia bertanya, "Danby, ini Hugh Pilaster. Bagaimana kabarnya obligasi Kordoba?"
"Sudah kami tawarkan sampai setengah harga nominal, tapi tidak ada yang
membeli." SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Setengah harga, pikir Hugh pedih. Keluarga Pilaster sudah bangkrut total.
Kekecewaan merayap di hatinya. "Apakah harganya akan jatuh lagi?"
"Akan jatuh sampai nol, kukira. Takkan ada yang bersedia membeli obligasi dari
pemerintah yang sedang mengalami perang saudara."
Nol. Keluarga Pilaster rugi dua setengah juta pound. Tak ada lagi yang bisa
diharapkan untuk menyehatkan neraca bank. Dengan memegang erat boks telepon, ia
bertanya, "Misalnya saja para pemberontak bisa ditumpas dalam beberapa jam ini,
apa yang akan terjadi dengan obligasi Kordoba itu?"
"Tetap saja takkan ada investor yang mau membelinya. Mereka akan menunggu.
Biasanya akan makan waktu sekitar lima sampai enam minggu sebelum kepercayaan
pulih seperti sediakala."
"Ya, aku mengerti." Hugh tahu Danby benar. Ia hanya ingin menguji keyakinan
perhitungannya. "Pilasters Bank akan tetap tegak kan?" tanya Danby cemas. "Kalian pasti masih
menyimpan obligasi obligasi pelabuhan Santamaria. Menurut isu yang beredar,
kalian gagal menjualnya."
Hugh ragu berterus terang. Sebenarnya ia benci berbohong, tapi demi nasib
Pilasters Bank ia menjawab, "Memang benar kami punya banyak obligasi Kordoba,
melebihi yang kita butuhkan, tapi aset kami juga cukup banyak." "Bagus."
"Maaf, aku harus kembali menemani tamu-tamuku." Hugh berusaha terdengar setenang
mungkin. Ia tidak mau memberi kesan panik atau khawatir. "Siang ini
aku sedang menjamu tiga ratus tamu. Pernikahan adik perempuanku."
"Ya, aku dengar. Selamat."
"Sampai nanti."
Sebelum Hugh minta disambungkan ke nomor lain, masuk telepon dari Mulberry.
Suaranya terdengar panik, "Mr. Hugh, baru saja.Mr. Cunliffe dari Colonial Bank
datang. Dia akan menarik pinjamannya pada bank kita."
"Sialan," umpat Hugh pelan. Pilasters Bank telah meminjam sejuta pound dari
Colonial Bank untuk mengatasi defisit dana kontan beberapa minggu yang lalu.
Syaratnya, harus dikembalikan kapan saja dibutuhkan pemiliknya. Sekarang
Cunliffe pasti sudah mendengar tentang perang saudara di Kordoba, dan merasa
khawatir dengan nasib uangnya. Jelas ia ingin menyelamatkan uangnya sebelum
Pilasters Bank dinyatakan bangkrut.
Dan ia baru yang pertama. Besok akan ada nasabah lainnya, lainnya, dan antrean
panjang! Semuanya akan menarik dana kontan mereka. Dan Hugh tak mampu membayar
mereka. "Apakah kita punya dana kontan sejuta pound, Mulberry?"
'Tidak ada. Sir." Hugh langsung lemas. Inilah akhir dari Pilasters Bank. Situasi seperti ini yang
paling ditakuti para bankir: nasabah datang menarik uangnya, bank tidak mampu
membayarnya. Dan sekarang ini sedang dialami oleh Hugh Pilaster.
"Katakan pada Mr. Cunliffe Anda belum berhasil mendapatkan tandatangan para
mitra yang saat ini sedang berada di pesta perkawinan adikku," perintahnya.
"Baik, Mr. Hugh."
"Lalu..." "Ya?" Hugh berhenti sebentar. Ia tahu, tak ada pilihan lain, namun ia masih ragu
memberi perintah yang satu ini.
Dengan memejamkan mata ia memutuskan lebih baik melakukannya sekarang juga.
"Lalu, Mulberry, tutuplah segera semua pintu luar bank, sekarang juga."
"Oh, Mr. Hugh."
"Maaf, Mulberry."
Hugh mendengar isak tangis tertahan dari kepala administrasi itu, orang yang
telah puluhan tahun mengabdikan diri di Pilasters Bank.
Hugh menutup telepon. Matanya menatap deretan buku di ruang perpustakaannya,
tapi yang tampak justru tiang-tiang besar dan anggun di gedung bank yang makin
lama makin mengecil, dan akhirnya lenyap. Terbayang olehnya pintu-pintu gedung
bank yang megah itu tertutup. Para pejalan kaki akan terheran-heran melihatnya.
Lalu orang-orang mulai berkerumun, menunjuk-nunjuk pintu yang tertutup itu
sambil berbicara dengan tegang. Berita tentang kebangkrutan Pilasters Bank akan
merambat lebih cepat daripada rayapan api di genangan bensin.
Pilasters Bank telah tamat.
Hugh menutup wajahnya dengan kedua tangan.
[Ill ITA semua jatuh bangkrut," kata Hugh dengan tenang.
Mereka terkesima, tidak memahami makna pengumuman itu. Ia tahu dari pancaran
wajah mereka. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang duduk rumah Hugh. Ruangan yang ramai
dengan dekorasi dan perabot berukir. Semuanya pilihan Nora. Para tamu lain telah
pulang, tinggal keluarga dekat saja. Tadi Hugh
569 belum memberitahu mereka tentang pecahnya perang saudara di Kordoba. Tampak
Augusta duduk berdekatan dengan Edward, keduanya memasang wajah tak percaya
dengan apa yang mereka dengar. Paman Samuel duduk di dekat Hugh. Mitra lainnya,
Young William, Mayor Hartshorn, dan Sir Harry, berdiri di belakang sofa yang
ditempati para istri mereka: Beatrice, Madeleine, dan Clementine. Nora yang
sedikit pusing karena terlalu banyak meneguk sampanye duduk di kursi favoritnya,
dekat perapian menyala. Pasangan pengantin, Dotty dan Nick, saling berpegangan
tangan, tampak ketakutan.
Hugh merasa kasihan atas nasib pengantin baru itu. "Uang maskawin kalian lenyap,
Nick. Maafkan aku, rencana kita jadi percuma."
Bibi Madeleine menukas pedas, "Kau adalah mitra senior bank, jadi kaulah yang
harus bertanggung jawab!"
Wanita tua yang tolol dan serakah. Kendati reaksinya sudah bisa diperkirakan
sebelumnya, tetap saja hati Hugh tergores. Sungguh tidak adil jika ia sampai
dipersalahkan atas tragedi ini.
Tiba-tiba William menyela, "Jangan bicara tolol, Madeleine. Edward yang menipu
kita semua dan membebani bank dengan obligasi Kordoba yang sekarang tidak punya
nilai sama sekali." Hugh merasa bersyukur karena ada juga yang membelanya.
Lanjut William, "Kesalahan utamanya terletak pada diri kita sendiri yang
memberikan suara pada Edward untuk menjadi mitra senior." Ia memandang Augusta
dengan sinis. Nora tampak masih bingung. "Kita tak mungkin jatuh miskin."
"Kenapa tidak?" tukas Hugh dengan sabar. "Semua uang kita disimpan di bank, dan
banknya sudah bangkrut." Ia maklum atas kenaifan istrinya tentang perbankan:
Nora tidak dibesarkan di keluarga bankir.
Augusta tampak gelisah. Ia berdiri dan pergi ke dekat perapian. Hugh bertanya-
tanya apakah ia akan mencoba membela anaknya. Ternyata tidak. Ia hanya berkata tegas, "Tidak perlu
dicari siapa yang harus dipersalahkan. Sekarang kita harus segera mengambil uang
kontan dan emas yang tersedia di bank, sebelum para kreditor datang merampok
semuanya. Lalu..." Hugh menyela, "Kita tidak akan melakukan itu. Uang itu bukan milik kita."
"Sudah tentu itu uang kita!" teriak Augusta berang.
"Tutup mulut dan duduk, Augusta, atau kupanggil pelayan untuk mengusirmu."
Ia diam. tapi tetap berdiri.
Hugh melanjutkan, "Memang ada dana kontan dalam bank. Saat ini kita belum
dinyatakan bangkrut, jadi kita masih boleh menarik sesuai kebutuhan. Kita semua
harus segera mengeluarkan para pelayan; aku akan membayar mereka sesuai dengan
catatan yang kalian berikan. Juga akan kubayar semua tagihan toko sampai batas
hari ini saja. Mulai besok, semua utang yang kalian buat tidak akan kubayar."
"Memangnya kau ini siapa, berani memerintahkan aku mengeluarkan para pelayanku?"
sanggah Augusta tolol. Hugh sebenarnya kasihan pada seluruh anggota keluarga Pilaster yang harus
menderita karena pengkhianatan satu anggota keluarga; tapi sanggahan-sanggahan
yang tolol dan egois membuatnya jengkel, jadi ia menukas pedas, "Kalaupun tidak
diberhentikan, pada akhirnya mereka akan pergi juga karena bank tidak akan
membayar gaji mereka. Bibi Augusta, cobalah mengerti, Bibi sudah tidak punya
uang Iagi" "Huh, lucu sekali!" desis Augusta.
Nora menyela, "Aku tidak mungkin merumahkan para pelayan di rumah sebesar ini."
"Tidak perlu repot-repot," jawab Hugh sabar. "Kita tidak akan tinggal di rumah
ini lagi. Begitu juga kalian semua. Kita harus menjual rumah, perabotan,
kikisan, perhiasan, dan lain-lainnya."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Sungguh tidak masuk akal!" bantah Ausguta.
"Begitulah hukumnya," sela Hugh cepat. Nadanya jengkel. "Setiap mitra harus
bertanggung jawab secara pribadi atas semua utang bank."
"Aku bukan mitra," bantah Augusta.
"Ya, tapi Edward adalah mitra. Dia memang mundur sebagai mitra senior, tapi dia
tetap mitra, paling tidak secara hukum. Dan dia memiliki rumahmu Joseph ?mewariskannya padanya."
Nora bicara lagi, "Tapi kita harus punya tempat tinggal."
"Besok kita harus mencari rumah kecil dengan sewa semurah mungkin. Jika kalian
memilih yang sedikit mewah saja, kalian akan dituntut oleh para kreditur bank.
Itu berarti kalian harus mencari lagi rumah lain yang lebih kecil dan murah."
Dengan berang Augusta melengking lagi, "Aku sama sekali tidak punya niat untuk
pindah dari rumahku, titik. Dan kukira yang lain juga punya pendapat serupa." Ia
melirik ke arah saudara iparnya. "Madeleine?"
"Benar sekali, Augusta," sambut Madeleine hangat. "George dan aku akan tetap
tinggal di rumah kami. Semuanya ini omong kosong Hugh saja. Tak mungkin kita
bangkrut total." Hugh benci pada mereka. Pada saat-saat seperti ini, kepongahan mereka tetap
tidak berkurang. Sikap yang membuat mereka tidak mau mengakui kenyataan hidup.
Pada akhirnya merekalah yang akan malu dan menderita karena ingin mempertahankan
kekayaan yang sebenarnya bukan milik mereka lagi. Selain itu, mereka bukan saja
akan menghancurkan reputasi keluarga, tetapi juga harta dan martabat. Ia
bertekad akan membuat mereka melangkah dalam kejujuran, baik dalam keadaan
miskin sekalipun. Memang akan sangat berat, tapi tidak berarti ia akan menyerah
begitu saja. Augusta berpaling ke putrinya. "Clementine, aku ya -
572 kin kau dan Harry akan mengambil sikap yang sama denganku dan Madeleine serta
George." "Tidak, Bu," jawab Clementine tegas.
Augusta terpana. Begitu pula Hugh. Tidak biasanya saudara sepupunya membantah
ibunya. Paling tidak, ada seorang anggota keluarga yang bernalar sehat, pikit
Hugh lega. Lanjut Clementine, "Semua ini karena ulah Ibu. Jika saja kita waktu itu memilih
Hugh sebagai mitra senior, bukan Edward, kita semua akan tetap kaya bagai si
raja emas, Croesus."
Hugh merasa senang. Ada juga anggota keluarga Pilaster yang mau mengerti apa
yang telah ia lakukan selama ini.
Clementine meneruskan, "Ibu salah besar, dan Ibu telah menhancurkan kita semua.
Aku tidak mau menuruti nasihat Ibu lagi, tidak akan pernah. Hugh ternyata benar,
dan biarlah dia yang memimpin kita semua dalam krisis ini."
William menyela, "Kau benar, Clementine. Kita harus melakukan apa yang dikatakan
Hugh." Garis peperangan jadi makin jelas. Di satu sisi, ada Hugh, William, Samuel, dan
Clementine yang menguasai suaminya, Sir Harry. Di sisi lainnya ada Augusta,
Edward, dan Madeleine yang bicara atas nama suaminya, Mayor Hartshorn. Mereka
akan merebut apa saja yang masih tersisa dan membiarkan reputasi keluarga besar
Pilaster hancur lebur. Lalu Nora berkata dengan nada berang, "Kau harus menyeretku dari rumah ini kalau


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin menyuruhku pindah!"
Hugh merasa getir. Istrinya sendiri ternyata berpihak kepada musuhnya. "Kau
satu-satunya orang di ruangan ini yang menentang pasangan hidupnya sendiri,"
komentar Hugh dengan sedih. "Apakah kau tidak lagi memiliki kesetiaan?"
573 Sambil menyibakkan rambutnya dia Nora menjawab, "Aku menikah denganmu bukan
untuk hidup dalam kemiskinan."
"Oh, begitu" Sama saja, kau harus meninggalkan rumah ini," sela Hugh dengan
sedih. Lalu ia berpaling lagi ke para penentangnya. "Juga kalian, pada akhirnya.
Tinggal memilih saja, pergi dengan rela dan terhormat, atau pergi karena dipaksa
oleh hukum, dengan disaksikan para wartawan dan sejumlah kreditur yang marah.
Belum lagi dikejar oleh para pelayan kalian yang belum terbayar."
"Kita lihat saja nanti," kata Augusta ketus.
Ketika semua sudah pulang, Hugh menatap ke perapian, memutar otak, mencari cara
untuk membayar para kreditur.
Ia berketetapan tidak akan membiarkan banknya dinyatakan bangkrut secara formal.
Ia masih trauma dengan nasib yang diderita almarhum ayahnya. Seluruh hidupnya ia
curahkan agar tidak mengalami hal yang sama dengan ayahnya. Seandainya,
seandainya saja ia mengalami hal seperti itu, kemungkinan besar ia juga akan
bunuh diri. Pilaster memang sudah tamat riwayatnya sebagai bank. Bank itu telah menutup
pintunya dan ini berarti akhir dari usahanya. Tetapi para nasabah dan kreditur
lainnya akan tetap menerima bagian uang mereka, apalagi jika para mitra bersedia
menjual semua aset mereka.
Saat matahari mulai meredup di ufuk barat, ia sudah mendapatkan jawaban terbaik.
Masih ada harapan, walau hanya secercah.
Pada jam enam sore ia pergi ke rumah Ben Greenbourne.
Usia Ben sudah tujuh puluh tahun, tapi ia masih sehat dan kuat, terutama dalam
melakukan bisnis perbankannya. Selain Solly, ia masih punya seorang putri,
574 Kate Greenbourne. Ia belum mau pensiun karena belum rela menyerahkan bisnisnya
kepada para keponakan. Hugh tiba di rumahnya di kompleks Piccadilly. Sebuah istana yang tidak hanya
mencerminkan kekayaan, tapi juga harta yang tak terbatas jumlahnya. Setiap jam
yang ada bertatahkan berlian, setiap panel dinding diukir halus dengan tangan
ahli, setiap karpet dipesan khusus dengan anyaman tangan para pakar terbaik di
bidangnya. Hugh diantar oleh kepala pelayan ke ruang perpustakaan yang dipenuhi
buku dan nyala perapian yang berderak-derak dan memancarkan kehangatan.
Sambil memeriksa judul rangkaian buku, Hugh mencoba menganalisis, benarkah buku-
buku ini dibaca atau sekadar pajangan belaka" Tapi setelah melihat kebanyakan
buku ditulis dalam aneka bahasa Eropa daratan, ia jadi yakin anggota keluarga
Greenbourne memang pembaca yang selektif.
Ben datang lima belas menit kemudian. Ia berkata dengan sopan, "Maaf, kau sampai
menunggu lama. Ada masalah rumah yang harus kuselesaikan dulu." Nada bicaranya
khas orang Prussia, padahal keluarganya sama sekali bukan keturunan Prussia.
Mereka hanya menirukan aksen bicara kalangan atas Jerman. Walau sudah tinggal
ratusan tahun di Inggris, mereka masih mempertahankan aksen ini. Di mata Hugh,
Ben masih saja sigap seperti dulu, hanya tampak sedikit gelisah dan capek.
Mungkin karena masalah rumah tangga yang ia sebutkan tadi. Hugh tidak berani
menanyakan. Hugh memulai percakapan, "Anda tahu bahwa obligasi pemerintah Kordoba jatuh hari
ini." "Ya." "Dan mungkin Anda sudah mendengar bahwa bank kami terpaksa tutup." "Ya, aku ikut
prihatin." "Ini terjadi lagi setelah dua puluh empat tahun sebuah bank Inggris jatuh
bangkrut." SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Bank Overend and Gurney. Aku ingat sekali haL itu."
"Begitu juga aku. Almarhum ayahku ikut terseret bangkrut, sampai menggantung
diri di kantornya di Leadenhall Street."
Greenbourne menjadi jengah. "Oh, maafkan aku, Pilaster. Fakta itu luput dari
ingatanku tadi." "Memang banyak perusahaan ikut bangkrut waktu itu. Juga besok pagi." Hugh mulai
masuk ke dalam inti pembicaraan. "Dalam jangka waktu seperempat abad ini, bisnis
di London telah meningkat sepuluh kali lipat. Dan perbankan, karena sistem dan
peralatan yang sudah makin modern, bisa dikatakan menjadi saling kait satu
dengan lainnya. Beberapa pengusaha yang terseret bangkrut besok pagi, mungkin
juga akan gagal membayar utangnya pada bank lain. Dan ini akan terus berlanjut.
Minggu depan akan lebih banyak lagi bank yang menyusul bangkrut. Ribuan orang
akan ikut menderita miskin, kecuali kalau kita melakukan sesuatu untuk
mencegahnya." "Sesuatu" Kita?" tanya Ben Greenbourne agak tersinggung.
"Cuma satu yang harus kalian lakukan: membayar kewajiban kalian. Jika kalian tak
mampu, kalian bisa dikatakan tak berdaya."
"Tak berdaya, mungkin, jika kami bertindak sendirian. Tapi kuharap masyarakat
perbankan ikut membantu kami."
"Maksudmu para bankir harus ikut membayar utang-utang kalian" Kenapa mesti
mereka?" Nada Ben mulai marah.
"Jika Anda setuju, Sir, hal ini akan berakibat positif bagi semua bank di
London. Semua kreditor kami terbayar dan tidak ada yang terseret ke bawah."
"Ya, jelas sekali."
"Begini, Mr. Greenbourne. Misalnya saja dibentuk
576 sindikat bankir untuk mengambil alih aset dan kewajiban keluarga Pilaster.
Sindikat ini yang akan menjamin semua kreditur memperoleh uang mereka, kapan
saja mereka butuhkan. Pada saat yang sama, kita jual semua aset keluarga
Pilaster secara tertib dan sesuai dengan harga pasar."
Tiba-tiba Greenbourne jadi tertarik; emosinya mulai mereda dengan bentuk usulan
baru ini. "Ya, jika para anggota sindikat merupakan bankir terhormat, dan
jaminan mereka cukup dihargai dan dipercaya, para nasabah akan tenang dan tidak
terburu-buru menarik dana mereka. Ini berarti arus kas kita akan positif,
apalagi ditunjang dengan hasil penjualan aset keluarga kalian. Dengan nasib
baik, pengeluaran kita bisa ditekan sesedikit mungkin."
"Dan krisis keuangan dapat dihindari."
Greenbourne menggelengkan kepala. "Tapi pada akhirnya para anggota sindikat akan
merugi, karena aset kalian lebih sedikit nilainya dibanding nilai kewajiban
kalian." "Tidak perlu begitu."
"Bagaimana bisa?"
"Kami memiliki obligasi pemerintah Kordoba dengan nilai lebih dari dua juta
pound, walau hari ini tak ada nilainya sama sekali. Dari kalkulasiku, dengan
hasil penjualan rumah dan aset lainnya milik keluarga besar Pilaster, jika
sesuai harga pasaran, defisit kita hanya sekitar satu juta pound."
"Jadi, sindikat harus memperhitungkan risiko rugi satu juta pound?"
"Ya, kemungkinan itu ada. Hanya perlu dicatat bahwa nilai obligasi Kordoba tidak
akan nol terus. Para pemberontak akan dikalahkan. Pemerintah yang baru akan
menjamin ulang pembayaran bunga obligasi, dan pada titik tertentu, nilai
obligasi akan kembali ke nilai semula, bahkan mungkin lebih."
"Ya, itu juga baru kemungkinan."
"Jika nilainya bisa naik setengah harga saja, sindikat sudah memperoleh kembali
modal mereka. Jika lebih tinggi sedikit saja, para anggota sindikat akan memetik
sedikit laba." Greenbourne tetap menggelengkan kepala. "Rencana itu mungkin berhasil, kecuali
untuk nilai obligasi pelabuhan Santamaria itu. Duta besar Kordoba, Micky Miranda
itu, di mataku tak lebih dari pencuri kerah putih; lebih-lebih ayahnya, pemimpin
pemberontakan yang kejam. Kuperkirakan dua juta pound yang mereka peroleh dari
bank kalian sudah habis dipakai membeli senjata, amunisi, dan perbekalan untuk
pemberontak. Para investor tidak akan memperoleh satu sen pun dari uang mereka."
Si tua Ben masih saja tajam dan lihai dalam kalkulasi bisnis, pikir Hugh kagum;
ia sendiri terus terang juga punya rasa takut yang sama. "Ya, aku juga sama
khawatirnya dengan Anda. Hanya saja, kedua sisi tetap sama risikonya. Membiarkan
kami bangkrut, kalian pasti terseret juga."
"Rencanamu memang orisinal dan bagus sekaji. Kau memang generasi muda Pilaster
yang terpandai." "Hanya saja rencana ini tergantung dari Anda."
"Ah." "Jika Anda setuju menjadi kepala sindikat, semua bankir akan setuju ikut. Jika
Anda menolak, tidak akan ada kreditur kami yang percaya."
"Ya, kuakui itu," komentar Ben tanpa malu-malu, karena ia memang bukan tipe
orang yang senang merendah.
"Bersediakah Anda?" tanya Hugh sambil menahan napas.
Ben Greenbourne merenung sejenak, lalu menjawab dengan mantap, 'Tidak, aku tidak
bersedia!" Hugh lemas di tempat duduknya. Upaya terakhirnya
578 hancur berantakan. Ia merasa jadi tua mendadak dan seluruh hidupnya telah
berakhir. Greenbourne menukas lagi. "Sepanjang hidupku, aku selalu melakukan bisnis dengan
hati-hati. Sedangkan pamanmu Joseph bertindak penuh risiko, dengan marjin laba
yang tinggi tentunya. Ini bukan berarti aku tidak melihat peluang berlaba
tinggi; aku melihat, tapi karena risikonya terlalu besar aku mundur. Pamanmu
Joseph tidak seperti aku. Dia berani mengambil risiko tinggi. Putranya, Edward,
lebih buruk lagi. Sedangkan kau belum bisa ditebak karena kau baru saja
mengambil alih manajemen bank kalian. Nah, menurutku keluarga Pilaster sudah
saatnya belajar melihat kenyataan. Kalian telah bertahun-tahun menikmati laba
tinggi, sedangkan aku tidak, lalu kenapa aku harus ikut menanggung bebannya"
Selain itu, jika aku sekarang menolong menyelamatkan kalian, berarti aku
memberikan pelajaran tak adil bagi para investor yang hati-hati. Aku pilih kasih
dengan membantu para investor yang senang mengambil risiko tinggi, yang ingin
cepat kaya, yang senang mengambil jalan pintas. Kalau dunia perbankan dijalankan
secara demikian, bisa-bisa tak ada lagi orang yang hati-hati. Semua orang akan
berani mengambil risiko, sebab bank yang bangkrut akan selalu dibantu oleh bank
lain. Padahal risiko itu selalu ada. Juga kejatuhan. Itu berguna untuk
mengingatkan kepada para investor bahwa yang hati-hati akhirnya yang selamat,
karena risiko adalah fakta, realitas kehidupan."
Sebelum datang ke rumah Ben, sebenarnya Hugh juga sedang memikirkan apakah
sebaiknya ia memberitahukan bahwa Mickylah orang yang mendorong Solly ke depan
kereta. Sekarang ia memikirkan kembali, cerita atau tidak" Ia memutuskan
sebaiknya tidak, karena melihat kondisi Ben yang tampak lelah.
Ia mulai memikirkan, apa lagi yang bisa ia katakan untuk mengubah keputusan Ben
Greenbourne. Tiba-tiba kepala pelayan datang dan berkata, "Maafkan saya, Mr. Greenbourne, tadi Anda
memerintahkan untuk segera memberitahukan jika detektif sudah datang."
Ben segera berdiri, terlihat gelisah, tapi ia tidak lupa berpamitan pada Hugh.
"Maaf, Pilaster, aku harus meninggalkanmu. Cucuku Rebecca... hilang... dan kami
semua khawatir sekali."
"Oh, maafkan aku. Aku ikut prihatin," jawab Hugh tulus. Ia kenal saudara
perempuan Solly, Kate Greenbourne, dan putrinya yang samar-samar ia ingat
sebagai gadis kecil cantik berambut hitam. "Kuharap dia kembali dengan selamat,
Sir." "Ya, kami percaya dia tidak mengalami suatu tindak kejahatan. Dia hanya lari
bersama seorang pemuda. Tapi itu sudah cukup buruk. Maafkan aku."
"Ya, tidak apa-apa."
Hugh tinggal sendirian dengan hati dan harapan hancur.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MAISIE kadang berpikir, kenapa orang bisa melahirkan dalam waktu berdekatan. Ia
sering mengalami hal ini: seorang wanita di satu ranjang siap melahirkan, lalu
wanita di dekatnya ikut-ikutan siap pula, disusul dengan wanita di ranjang
lainnya. Itulah yang terjadi hari ini. Semuanya dimulai pada jam empat pagi, dan mereka
semua melahirkan anak hampir bersamaan waktu. Para bidan dan perawat sibuk
sekali, sampai Rachel dan Maisie harus ikut turun tangan membantu mereka.
Pada jam tujuh pagi, semuanya berhasil melahirkan dengan selamat. Maisie,
Rachel, dan Dan Robinson 580 duduk di kantor, merayakan dengan minum teh hangat. Bertepatan dengan itu, Hugh
datang. Wajahnya kuyu, dan ia berkata lirih, "Aku khawatir aku membawa kabar
buruk pada kalian." Maisie yang sedang menuangkan teh terenyak mendengar nada suara Hugh yang begitu
memelas. Ia menduga mungkin seseorang telah meninggal mendadak. "Hugh, apa yang
terjadi?" "Kukira kalian menyimpan semua uang rumah sakit ini di bank kami, benar bukan?"
Oh, soal uang, pikir Maisie lega. Kalau begitu, tidak serius sekali.
Rachel yang menjawab, "Ya, ayahku yang menangani keuangan kami. Karena dia juga
pengacara bankmu, dia menyimpan semua uang, baik pribadi maupun uang rumah sakit
di tempatmu." "Dan dia ikut investasi di obligasi Kordoba."
"O ya?" Maisie langsung tanggap, "Apa yang salah, Hugh" Demi Tuhan, cepat katakan!"
"Pilasters Bank telah jatuh."
Maisie meneteskan air mata, bukan untuk uangnya, tapi untuk Hugh. "Oh, Hugh!"
isaknya. Ia tahu betapa menderitanya pria yang ia cintai ini. Bagi Hugh, ini
seperti kehilangan orang yang paling dicintainya di dunia. Ia telah
menggantungkan harapan, mimpi, dan masa depannya serta keluarganya di bank itu. Ingin rasanya Maisie mengambil
alih sebagian dari kesedihan Hugh, agar deritanya berkurang.
Dan berkomentar, "Oh, Tuhan, akan terjadi kepanikan.
"Semua uang kalian telah hilang," kata Hugh. "Kalian mungkin terpaksa menutup
rumah sakit ini. Tak bisa kukatakan betapa prihatinnya aku atas kejadian ini."
Rachel yang pucat pasi bertanya panik, "Bagaimana bisa terjadi" Itu tak
mungkin!" 581 Dan yang menjawab, "Mungkin saja. Bank tidak bisa lagi membayar utang-utangnya.
Itulah artinya bangkrut. Artinya tak mampu lagi membayar utang kepada orang-
orang yang berpiutang."
Dalam benak Maisie terbayang betapa kuyu wajah ayahnya ketika pulang siang itu,
dengan mengatakan hal yang kurang-lebih sama dengan yang baru saja dikatakan
Dan. "Mungkin sudah waktunya kau mendesak Parlemen segera menelurkan undang-
undang perlindungan bagi nasabah kecil bank," kata Maisie.
Rachel bertanya lagi, "Hugh, sebenarnya apa yang kaulakukan atas uang kami?"
Hugh mendesah. "Sumbernya adalah kesalahan yang dilakukan Edward ketika dia
masih menjadi mitra senior. Dia melakukan kesalahan fatal, sehingga bank
menderita kerugian sampai sejuta pound lebih. Sejak itu, aku dipilih
menggantikan dia sebagai mitra senior, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk
menormalkan kembali Pilasters Bank, tetapi sayang hari ini aku gagal."
"Aku tetap tak mengerti bagaimana ini sampai terjadi!" sanggah Rachel sekali
lagi. Hugh menjawab, "Bagaimanapun kalian tetap akan memperoleh uang kalian, tapi
waktunya lama, mungkin setahun lagi, bahkan bisa lebih."
Dan merangkul Rachel, tapi ia mengelak, masih emosi, "Lalu bagaimana nasib semua
wanita malang di rumah sakit ini?"
Hugh tampak sedih sekali, sehingga Maisie ingin menyuruh Rachel diam, tapi Hugh
sudah berkata, "Aku pribadi ingin sekali memberikan uangku, jika ada. Masalahnya
uangku juga ikut hilang."
"Tapi pasti ada yang bisa dilakukan, Hugh?" kata Rachel bersikeras.
"Sudah kucoba. Aku baru saja menemui rumah Ben Greenbourne tadi malam. Aku mohon
padanya untuk menyelamatkan Pilasters Bank dengan membentuk .sin -
582 dikat untuk membayar semua kreditur kami, tapi dia menolak mentah-mentah. Aku
bisa mengerti alasannya. Dia sendiri sedang mengalami masalah berat di dalam
keluarganya. Cucunya, Rebecca, lari dengan pacarnya. Yah, tanpa bantuan Ben, aku
tidak bisa apa-apa."
Rachel berdiri. "Mungkin sebaiknya aku menemui ayahku."
"Aku juga harus segera pergi ke House of Commons," kata Dan. Mereka berdua
pergi. Maisie amat sedih memikirkan tutupnya rumah sakit yang dibinanya. Segalanya akan
musnah dalam sekejap. Tapi terutama ia berduka bagi Hugh. Ia ingat malam tujuh
belas tahun yang lalu, di pacuan kuda Goodwood. Dengan antusias dan penuh


Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangat Hugh menceritakan bagaimana ia belajar dari kebangkrutan ayahnya. Ia
akan menjadi bankir paling andal, paling konservatif, dan paling kaya di seluruh
dunia. Dan cita-cita itu hampir saja terlaksana, tinggal satu langkah lagi. Kini
semuanya hancur berantakan, dan penyebabnya bukan diri Hugh sendiri. Hugh
mengalami apa yang diderita oleh almarhum ayahnya.
Maisie menatap Hugh dengan penuh haru. Mata mereka bertemu. Maisie berdiri dan
mendekat, lalu menarik kepala Hugh ke dadanya, mengelus rambutnya. Sesaat Hugh
agak ragu, tapi segera merangkul pinggang wanita yang paling dikasihinya ini,
mendekapnya erat, lalu ia meneteskan air mata.
Ketika Hugh sudah pulang, Maisie berkeliling di kamar-kamar pasiennya. Sekarang
ia melihat semuanya dengan sudut pandang berbeda: dinding-dinding yang baru saja
mereka cat sendiri, ranjang-ranjang rumah sakit yang mereka beli di toko loak,
kain tirai yang dijahit sendiri oleh ibu Rachel. Ia ingat perjuangan dirinya dan
Rachel yang mahaberat ketika akan membuka rumah sakit ini:
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY perdebatan dan pertengkaran dengan para pejabat kesehatan dan dewan kota,
taktik-taktik halus yang harus mereka lakukan untuk menenangkan para pemuka
gereja dan lingkungan sekitar. Dan semuanya ini akan segera berakhir. Ia mencoba
menghibur diri: dua belas tahun sudah ia baktikan bagi rumafi sakit ini. Ya,
tapi cita-citanya untuk mengembangkan tempat ini menjadi rumah sakit besar
khusus wanita sekarang musnah.
Ia mencoba bicara dan menghibur para wanita yang baru saja melahirkan pagi tadi.
Semuanya sehat dan tidak ada masalah. Tapi ia cemas terhadap gadis misterius
yang tak mau memberikan jati dirinya itu. Tubuhnya kurus dan bayinya juga kecil.
Mungkin akibat upayanya menutup-nutupi kandungannya dari mata umum dan
orangtuanya. Maisie heran betapa hebatnya daya tahan wanita dalam derita seperti
itu. la sendiri tak mampu menyembunyikan kehamilannya dalam usia kandungan lima?bulan, perutnya sudah membesar luar biasa.
Ia duduk di tepi ranjang gadis misterius itu. Si ibu baru sedang menyusui bayi
perempuannya. "Dia cantik, bukan?" tanyanya pada Maisie dengan bangga.
Maisie mengangguk setuju. "Ya, rambutnya hitam seperti rambutmu."
"Ya, rambut ibuku juga sama... hitam."
Maisie membelai lembut kepala sang bayi, rambutnya masih halus sekali. Seperti
semua bayi. wajahnya bulat seperti wajah almarhum suaminya, Solly. Dan tiba-
tiba... Ia kaget, seolah baru menyadari sesuatu.
"Oh, Tuhan! Aku tahu siapa kau," katanya.
Gadis itu terpana. "Kau cucu Ben Greenbourne... Rebecca, benar kan" Kau berusaha menutupi
kehamilanmu, lalu lari ke sini menjelang saat melahirkan."
Gadis itu terbelalak kaget. "Bagaimana kau bisa tahu" Kau tidak pernah bertemu
aku lagi sejak usiaku enam tahun!"
"Ya, tapi aku kenal betul ibumu. Bukankah aku menikah dengan pamanmu" Ibumu
selalu bersikap baik padaku kalau ayahnya sedang tidak ada. Dan aku ingat ketika
kau masih bayi. Rambutmu juga hitam seperti rambut anakmu sekarang."
Rebecca tampak ketakutan, "Janji kau tidak akan melaporkan pada mereka?"
"Aku janji tidak akan melakukan apa-apa sebelum kauizinkan. Tapi kupikir kau
harus memberitahu keluargamu. Mereka sedang kebingungan saat ini, khususnya
kakekmu. Dia yang paling khawatir."
"Tapi justru dia yang paling kutakuti."
Maisie mengangguk. "Ya, aku bisa mengerti. Dia sekeras batu karang, karena aku
sendiri pernah mengalami. Tapi jika kauizinkan aku bicara dengannya, kujamin dia
mau mengerti. Bagaimana?"
"Kau bersedia?" tanya Rebecca penuh harap. "Kau benar-benar bersedia melakukan
itu untukku?" "Ya, kenapa tidak?" jawab Maisie tulus. "Dan aku janji tidak akan memberitahukan
di mana kau berada jika dia tak mau berjanji akan bersikap baik padamu."
Rebecca melirik putrinya yang tidur pulas setelah kenyang menyusu. "Dia tidur,"
bisik Rebecca. Maisie tersenyum. "Kau sudah memilih nama untuknya?"
"Oh, ya... namanya Maisie."
Wajah Ben Greenbourne basah oleh air mata begitu keluar dari kamar cucunya.
"Kutinggal dia sebentar dengan Kate," bisiknya kepada Maisie. Ia mengelap kedua
matanya dengan sapu tangan. Maisie belum pernah melihat mertuanya menangis di
depan umum seperti sore hari ini. Ben tampak menyedihkan; mungkin ini bagus
untuk pelajaran, pikir Maisie.
"Mari kita duduk dulu di kantorku," ajak Maisie. "Akan kubuatkan teh hangat."
585 "Terima kasih."
Di dalam kantor, Ben disilakan duduk. Ia pria kedua yang duduk di kursi itu dan
menangis malam ini, pikir Maisie.
"Semua wanita muda itu," kata Ben, "apakah mereka, sama menderitanya dengan
Rebecca?" "Menderita ya, tapi kasusnya berbeda," jawab Maisie. "Ada yang janda. Ada yang
ditelantarkan oleh suami. Beberapa ada yang lari dari suaminya karena sering
disiksa. Seorang wanita bisa tahan walau disiksa suaminya, tapi begitu mereka
mengandung, mereka tidak akan rela karena khawatir akan nasib bayi mereka. Tapi
sebagian besar pasien di sini adalah gadis-gadis belia seperti Rebecca yang
berbuat ketololan dalam hidup mereka."
"Selama ini kukira tak ada lagi yang bisa kupelajari dari hidup ini," kata Ben.
"Sekarang baru kusadari, betapa egois dan bodohnya aku selama ini."
Maisie mengulurkan secangkir teh kepadanya. "Terima kasih," kata Ben. "Kau
selalu baik padaku, padahal selama ini aku tak pernah bersikap baik padamu."
"Kita semua pernah berbuat salah," kata Maisie. .
"Apa yang kalian lakukan di sini sangat mulia. Tanpa ini semua, ke mana gadis-
gadis malang ini akan pergi?"
"Mereka akan melahirkan di mana saja, di ganggang atau di kamar hotel murahan,"
jawab Maisie getir. "Dan, itu bisa terjadi pada diri cucuku, Rebecca."
"Sayangnya kami harus menutup rumah sakit ini," sela Maisie.
"Kenapa?" Ia menatap langsung kedua mata Ben dan berkata, "Semua uang simpanan kami ada di
Pilasters Bank, dan sekarang kami ikut bangkrut bersama bank itu."
"Oh, begitu?" tanya Ben, dan ia langsung tampak termenung serius.
*** 586 Malam harinya Hugh tak bisa memejamkan mata sedikit pun, jadi ia duduk dalam
baju tidurnya di depan perapian kamar, menatap api yang menjilat-jilat bagai
tarian liar. Ia berpikir keras, bagaimana cara terbaik untuk keluar dari kemelut
keuangan bank ini. Semua jalan serasa buntu, tapi ia tetap tak mau menyerah,
terus berpikir dan berpikir.
Pada tengah malam sayup-sayup ia mendengar ketukan pintu. Dengan pakaian tidur
ia turun ke bawah. Sebuah kereta berdiri di tepi jalan dan seorang pengawal
berseragam. Agak di depan pintu, berkata, "Maafkan saya datang mengganggu pada
malam larut ini, Sir. Saya diperintahkan untuk menyampaikan surat ini, malam ini
juga." Ia mengangsurkan amplok surat, lalu berpamitan.
Setelah menutup pintu, Hugh mendengar kepala pelayannya datang. "Apakah tidak
ada masalah, Sir?" tanyanya khawatir.
"Hanya pengantar surat," jawab Hugh. "Kau boleh pergi tidur lagi." "Terima
kasih, Sir." Hugh membuka amplop surat dan mengambil secarik kertas bertulisan tangan yang
rapi, khas tulisan orang tua yang teliti. Isinya membuat Hugh hampir melompat
karena gembiranya. 12 Piccadilly London, S.W.
" 23 November 1890 Yth. Pilaster, Setelah memikirkan lebih jauh, kuputuskan untuk menerima usulanmu
Hormatku, B. Greenbourne. Hugh mengangkat kepala dan menatap"tembok kosong
587 di depannya sambil bergumam, "Wah wah wah," nadanya gembira dan penuh optimisme.
"Kira-kira apa yang membuat si tua Ben mengubah pendiriannya?"
[IV] AUGUSTA duduk di ruang khusus di bagian belakang toko permata termahal di Bond
Street. Lampu gas menyala terang di dalam ruangan, membuat perhiasan-perhiasan
berkilat gemerlapan di kotak kaca. Seluruh dinding ruangan ditutup cermin. Di
depan Augusta tergeletak sebuah kalung emas bertatahkan berlian.
Manajer toko berdiri di sampingnya. "Berapa ini?" tanya Augusta.
"Sembilan ribu pound, Lady Whitehaven," jawabnya dengan santun sekali, seakan
sedang mengucapkan sebuah mantera suci.
Kalungnya sendiri berbentuk sederhana, rantai emas dengan gemerlapan berlian-
berlian berbentuk segi empat. Jika dipakai dengan gaun hitam, akan tampak sangat
serasi dan anggun. Tapi kali ini Augusta member] tidak untuk dipakai.
"Kalung ini benar-benar sebuah mahakarya, bahkan bisa kami katakan yang terindah
di toko ini," kata si manajer penuh harap.
"Sabar, jangan memaksaku," kata Augusta. * Ini merupakan upaya terakhirnya untuk
memperoleh uang kontan. Ia sudah mencoba datang ke bank, terang-terangan ingin
menarik uang kontan seratus pound dalam bentuk koin emas, tapi ditolak oleh
seorang pegawai yang galak bernama Mulberry. Ia bahkan berusaha mengganti
kepemilikan rumah atas namanya, tapi juga gagal. Semuanya harus diperiksa dulu
oleh si tua Bodwin, SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY pengacara bank, lalu disetujui oleh Hugh, si sialan itu! Dengan putus asa ia
mencoba membeli kalung ini secara kredit, untuk dijual lagi secara kontan.
Yang lebih menyakitkan adalah ketika ia datang ke Edward minta pertolongan. Apa
jawaban anaknya" "Apa yang dilakukan Hugh adalah demi kebaikan kita semua. Jika
sampai terdengar kabar para anggota keluarga Pilaster masih hidup royal,
sindikat akan mundur. Mereka mempertaruhkan uang mereka untuk menanggulangi
krisis keuangan bank, bukan untuk menyokong hidup mewah anggota keluarga
Pilaster." Sungguh sebuah khotbah panjang. Jika mengingat bagaimana Edward
begitu penurut setahun yang lalu, kemudian berubah total sejak peristiwa di
malam pertandingan tinju itu, ia jadi sangat sakit hati. Bahkan putrinya
sendiri, Clementine, ikut menyalahkannya. Tunggu balasanku, pikir Augusta.
Ia menatap si manajer, lalu berkata tegas. "Baiklah, akan kuambil kalung ini:"
"Pilihan yang tepat sekali, Yang Mulia."
"Kirimkan tagihannya ke bank."
"Baiklah, Yang Mulia. Kami akan mengirim kalungnya ke rumah Whitehaven."
"Akan kubawa sekarang, karena sore ini akan kupakai pesta."
Si manajer pucat pasi dan serba kikuk. "Anda menyudutkan saya, Yang Mulia."
"Omong kosong apa itu! Cepat bungkus kalungnya!"
"Saya khawatir hal itu tidak mungkin, sampai pembayaran dilunasi dulu!"
"Jangan macam-macam! Kau tahu siapa aku?"
"Ya, tapi koran mengabarkan bank Anda sudah ditutup."
"Ini benar-benar penghinaan." "Maafkan, maafkan saya."
Augusta berdiri dan menyambar kalungnya. "Aku
589 menolak mendengarkan omong kosong seperti itu. Akan kubawa kalung ini!"
Dengan berkeringat dingin, si manajer berlari menghalangi di depan pintu keluar.
"Saya minta jangan Aqda lakukan itu!"
Augusta belum mau menyerah, berusaha menerobos terus. "Minggir!" lengkingnya
nyaring. Tak mau kalah si manajer mengancam, "Kalau terpaksa, akan saya tutup pintu toko
dan saya panggil polisi."
Augusta jadi mundur terkesima. Ia tahu kendati si manajer takut padanya, ancaman
itu pasti akan dilakukan, sebab ia harus mempertanggungjawabkan kalung senilai
sembilan ribu pound. Dengan rasa kesal dan berang, Augusta membuang kalungnya di
lantai, lalu bergegas keluar menuju kereta kudanya. Si manajer tanpa ragu dan
basa-basi memungut kalung itu dan mengembuskan napas panjang.
Augusta berjalan ke kereta dengan kepala tegak. Ia sangat marah, hampir
ditangkap karena tuduhan mencuri kalung, dan di telinganya berbisik suara. "Kau
memang bermaksud mencuri kalung itu... akui saja, Augusta." Tapi ia tak mau
mengakuinya. Dengan membara ia pulang.
Begitu ia masuk ke rumahnya, si kepala pelayan Hastead sedang menungu. Tanpa
memberi kesempatan padanya untuk bicara, ia langsung berkata, "Ambilkan aku susu
hangat." Perutnya terasa nyeri.
Ia pergi ke kamarnya. Duduk di depan meja rias, ia membuka kotak perhiasannya.
Isinya sangat sedikit dan nilainya hanya beberapa ratus pound. Ia membuka kotak
paling bawah dan mengambil sebutir cincin berbentuk ular. Cincin emas yang ia
peroleh dari Strang. Dengan lembut diciumnya cincin kenangan masa mudanya itu.
Sampai mati ia tidak akan menjual cincin ini. Seandainya saja aku dulu menikah
dengan Strang, keadaannya
590 tidak akan begini memelas seperti sekarang. Sesaat ia serasa ingin menangis.
Kemudian ia mendengar suara-suara yang asing, sepertinya suara beberapa pria dan
wanita. Jelas bukan suara para pelayan, karena mereka tidak akan berani berisik
di dekat kamar majikan. Ia keluar kamar. Rupanya suara-suara itu datang dari
kamar mendiang suaminya yang pintunya setengah terbuka. Ketika ia masuk, hatinya
tersentak melihat seorang anak muda berpakaian rapi dan sepasang suami-istri
berpakaian bagus yang belum dikenalnya sama sekali. "Siapa kamu?" tanyanya.
Si pemuda menjawab dengan nada datar, "Stoddart, dari agen pemasaran rumah, Yang
Mulia. Mr. de Graaf dan nyonya sangat tertarik untuk membeli rumah Anda yang
indah ini." "Keluar!" kata Augusta.
Suara si pemuda meninggi, "Tapi kami diberi instruksi untuk memasarkan rumah
ini." "Keluar segera dari rumahku! Rumahku tidak untuk dijual!"
"Tapi saya sudah bicara sendiri..."
Mr. de Graaf menyentuh tangan Stoddart dan membujuknya untuk diam. "Kesalahan
yang memalukan, Mr. Stoddart," katanya sopan. Ia berbalik ke istrinya dan
berkata, "Mari kita meninggalkan rumah ini, Sayang." Keduanya segera berjalan
keluar kamar tanpa menoleh lagi. Stoddart mengikuti dari belakang, juga tanpa
pamit. Augusta merasa terhina dan terpojok sendirian.
Hugh harus bertanggung jawab atas semua ini. Dia yang memberi izin kepada
sindikat untuk menjual rumahnya. Beberapa waktu yang lalu, Augusta sudah
diberitahu bahwa sewaktu-waktu akan datang calon pembeli untuk melihat-lihat
kondisi rumahnya. Tapi ia tetap tak mau pindah.
Ia mencoba beristirahat di kursi Joseph. Kepala pela -
591 yannya datang membawa susu hangat. Kata Augusta, "Jangan mengizinkan masuk
orang-orang seperti tadi, Hastead. Rumah ini tidak untuk dijual. Jelas?"
"Jelas, Yang Mulia." Ia meletakkan gelas susu di meja dan tetap berdiri
menunggu. "Ada lainnya?" tanya Augusta.
"Tukang daging datang pagi ini, minta dibayar."
"Katakan padanya aku akan membayar kapan aku mau, bukan sesuai kemauannya."
"Baik, Yang Mulia. Dan kedua pelayan juga keluar hari ini."
"Mereka memberitahumu?"
"Tidak, langsung pergi begitu saja."
"Orang tak tahu budi."
"Yang Mulia, staf lainnya bertanya-tanya kapan akan menerima bayaran." "Ada
lainnya?" Hastead tampak bingung, "Tapi... tapi saya harus menjawab bagaimana?"
"Katakan pada mereka aku tidak memberi jawaban apa-apa."
"Baiklah." Ia tampak masih ragu untuk pergi, lalu berkata, "Saya perlu
memberitahu bahwa akhir minggu ini saya akan keluar."
"Kenapa?" "Seluruh staf rupiah tangga keluarga Pilaster sudah diberitahu untuk mencari
pekerjaan di tempat lain. Mr. Hugh juga mengatakan pembayaran hanya akan
diberikan sampai hari Jumat, tak peduli berapa lama kami bertahan sesudahnya."
"Pergi dari kamar ini, pengkhianat."
"Baiklah, Yang Mulia."
Augusta terus terang merasa senang tidak akan melihat Hastead lagi. Sejak dulu
ia tak suka melihat matanya yang tak pernah langsung menatap lawan bicara, tapi
bergerak-gerak ke tempat lain. Biarlah para pelayan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY keparat itu pergi semuanya, seperti tikus-tikus yang lari dari kapal yang mulai
karam.

Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menikmati susu hangatnya. Perutnya masih terasa nyeri.
Ia memandang sekeliling ruang kamar. Masih tetap seperti dulu, tahun 1873.
Joseph tak pernah mengizinkan ia mendekorasi ulang kamarnya. Kertas dindingnya
masih sama, dan tirainya masih brokat tebal. Koleksi kotak tembakau kesayangan
mendiang suaminya masih ada, ditata di lemari pajang. Kamar itu terasa mati
seperti bekas penghuninya. Ia berharap suaminya masih mendampingi dirinya saat
ini. Semua ini tak akan terjadi jika Joseph masih hidup. Dalam bayangannya ia
melihat suaminya sedang berdiri di dekat jendela kamar, menikmati kotak tembakau
koleksinya. Augusta menggelengkan kepala untuk menghilangkan bayangan itu.
Tak lama lagi kamar ini akan ditempati penghuni baru. Semua dekorasi kunonya
akan diganti dengan yang lebih cerah, mungkin dengan panel kayu dan kursi model
baru. Mau tak mau ia harus pergi dari rumah ini. Ia memang sudah menyerah, hanya tidak
tahu harus ke mana. Yang jelas, ia tidak sudi pindah ke rumah-rumah modern yang
dikemas dalam corak dan model sama seperti di St. John's Wood atau Clapham.
Kalau Madeleine dan Clementine mau, silakan saja, tapi jangan mimpi mengajaknya.
Tinggal di lingkungan seperti itu akan membuat musuh-musuhnya senang dan ganti
mengejeknya. Ia ingin pergi dari Inggris.
la memang sudah mempertimbangkan hal ini. Calais didengarnya cukup bagus dan
murah, tapi terlalu dekat dengan London. Paris kota yang indah, tapi ia merasa
sudah terlalu tua untuk memulai lagi kehidupan sosial kelas atas di tempat
asing. Ia pernah mendengar orang-orang membicarakan Nice, kota pantai di
Prancis. Di 593 sana banyak orang Inggris seusianya menikmati masa tua dengan biaya hidup murah
dan cuaca pantai yang hangat sepanjang tahun.
Tapi ia hidup dengan apa di Nice" Ia harus punya cukup uang untuk menyewa rumah
besar, membayar pegawai, dan kereta kuda. Ia tak punya banyak uang tunai, hanya
lima puluh pound. Karena itulah ia tadi nekat membawa kalung seharga sembilan
ribu pound itu. Seandainya berhasil, ia akan punya cukup uang untuk hidup selama
beberapa tahun di Nice. Ia sadar dirinya merusak rencana Hugh. Apa yang dikatakan Edward memang benar.
Sukses tidaknya sindikat penyelamat Pilasters Bank tergantung pada niat tulus
para mitra dalam melepas aset mereka. Jika sampai ketahuan ia lari ke Nice
dengan membawa emas berlian, pasti sindikat akan tersinggung. Tapi biar saja.
Biar Hugh yang mengalami kesulitan. Biar tahu rasa.
Tapi sekali lagi ia harus punya uang tunai atau perhiasan berharga untuk dijual.
Yang lain mudah diatur. Ia akan memesan karcis kapal, lalu pergi ke stasiun
dengan diam-diam pada pagi hari. Persetan dengan keluarga Pilaster. Ya, rencana
bagus, tapi harus dibayar dengan apa"
Saat melihat" ke sekeliling kamar suaminya, tampak olehnya sebuah buku catatan
kecil. Dipenuhi rasa ingin tahu, ia membaca isinya. Tulisan tangan agen
pemasaran rumah, mungkin si pemuda sialan tadi. Emosinya meluap melihat isi
catatan. Nilai-nilai barang yang ada di dalam rumahnya: meja makan " 9; penyekat
Mesir 30 Sen; potret seorang wanita karya Joshua Reynolds " 100. Lukisan-lukisan
di dalam rumah pasti bernilai ribuan pound, hanya sayangnya ia tak mungkin
membawanya dalam koper. Ia membalik halaman lain dan membaca: 65 kotak
tembakau lihat ke kolom perhiasan. Ia melihat ke lemari yang dibelinya tujuh ?belas tahun yang lalu: di dalam lemari itu terletak satu-satunya harapannya.
Nilai 594. total koleksi kotak tembakau Joseph bisa mencapai seratus ribu pound. Ia bisa
mengepak rapi semuanya di dalam koper, tanpa terlihat oleh orang lain apalagi
?bentuk kotaknya kecil-kecil, sengaja dibuat sepraktis mungkin agar bisa
dimasukkan ke saku jas. Dan yang terpenting, bisa dijual satu demi satu kapan
saja ia membutuhkan dana kontan.
Jantungnya berdebar keras. Inilah jawaban atas doanya.
Ia mencoba membuka pintu lemari. Ternyata dikunci rapat.
Rasa panik merayapinya sesaat. Ia tidak yakin bisa memaksa buka pintu itu. Daun
pintunya tebal dan kaca depannya terlalu kecil.
Ia menenangkan diri. Di mana kuncinya disimpan" Mungkin di laci meja kerja
Joseph. Ia pergi ke meja itu dan membuka lacinya. Di dalamnya ada buku berjudul
The Duchess of Sodom, yang dengan gemas ia sisihkan ke samping; di bawahnya ada
kunci kecil berwarna perak. Disambarnya.
Dengan tangan gemetar dia mencoba membuka lemari suaminya. Terdengar suara klik,
dan hopla: pintu lemari terbuka lebar.
Augusta menarik napas panjang dan menunggu sampai tangannya berhenti gemetaran.
Lalu ia mulai memindahkan kotak-kotak tembakau mendiang suaminya.
, di scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya
595 BAB EMPAT Desember [i] KEJATUHAN Pilasters Bank menjadi topik pembicaraan masyarakat. Koran gosip
memberitakan setiap perkembangan, lengkap dengan bumbu-bumbunya. Penjualan
gedung Kensington, lelang lukisan, perabot antik, dan berpeti-peti botol anggur
simpanan khusus, pembatalan bulan madu Nick dan Dotty yang direncanakan selama
enam bulan di Eropa, dan rumah-rumah sederhana yang disewa oleh anggota keluarga
Pilaster betapa mereka sekarang harus bekerja sendiri di dapur, merawat rumah,
?mencuci pakaian, dan bepergian naik kereta umum.
Hugh dan Nora menyewa rumah kecil dengan kebun di pedesaan Chingford, sekitar
sembilan roil dari London. Mereka pindah dari rumah besar mereka di pusat kota
tanpa membawa barisan pelayan lama. Sekarang hanya ada satu pelayan, gadis kecil
usia empat belas tahun dari daerah pertanian sekitar rumah. Tugasnya mengepel
dan mengelap jendela. Nora, yang sudah lama tidak pernah memegang peralatan
rumah tangga, sekarang terpaksa harus memasak, mencuci, merawat anak-anak.
Semuanya ia kerjakan dengan omelan dan caci maki. Tapi anak-anak lebih senang
tinggal di tempat 596 baru ini, karena sekarang mereka bisa bebas bermain di hutan kawasan. Hugh
setiap hari masih pergi ke bank dengan naik kereta api. Tugas utamanya, menjual
aset keluarga satu demi satu untuk diserahkan kepada sindikat.
Setiap bulan para mitra masih menerima tunjangan bulanan secukupnya untuk biaya
hidup. Para anggota sindikat yang semuanya dari kalangan bankir tidaklah sekejam
seperti gambaran koran. Mereka berpedoman: Kalau bukan karena belas kasihan
Tuhan, aku pun bisa jadi korban. Selain itu, kerja sama para mitra Pilasters
Bank juga sangat membantu mereka melakukan tugas.
Hugh mengikuti perkembangan perang saudara di Kordoba dengan waswas. Hasil akhir
peperangan akan sangat mempengaruhi nasib sindikat. Ia berusaha sekeras mungkin
untuk tidak merugikan mereka, dan kalau bisa memberi laba kepada masing-masing
anggotanya. Terlebih penting lagi, ia ingin mengusahakan agar setiap orang tidak
mengalami kehilangan uang dalam tragedi jatuhnya Pilasters Bank. Tapi sejauh ini
kemungkinan untuk itu kecil sekali.
Pada awal peperangan, keluarga Miranda memperoleh kemajuan pesat. Mereka rupanya
telah mempersiapkan segalanya dengan teliti dan hati-hati. Presiden Garcia dan
keluarga terpaksa lari ke daerah asal mereka, Cam-panario. Jika sampai keluarga
Miranda memenangkan perang, mereka akan memerintah negara dengan seenaknya.
Takkan ada demokrasi dan takkan ada pengakuan atas obligasi yang diterbitkan
Pilasters Bank di Inggris. Ini berarti tamatlah riwayat Hugh dan sindikat.
Tapi kemudian ada perkembangan lain yang menggembirakan. Keluarga Silva yang
selama bertahun-tahun selalu menjadi pihak oposisi dan pusat gerakan demokrasi,
memutuskan untuk berperang di pihak Presiden Garcia, dengan imbalan janji
Presiden akan terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, pembagian
tanah kepada rakyat, dan pemerintahan yang tidak otoriter. Harapan Hugh timbul
kembali. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Peperangan jadi imbang sekarang. Pasukan Presiden bisa menahan gerakan para
pemberontak. Sumber dana peperangan kedua pihak sudah terkuras habis. Mustahil
mencari sumber dana pinjaman dari luar negeri. Keluarga Miranda yang paling
menderita. Tambang nitrat mereka di sebelah utara negeri tidak bisa berfungsi
karena ekspor tidak jalan. Juga tambang perak di selatan negeri, milik
pemerintah. Tak ada satu bank pun yang bersedia melakukan transaksi keuangan
dalam situasi kacau seperti ini.
Kedua pihak sekarang menggantungkan harapan akhir mereka pada pengakuan
Pemerintah Inggris. Kuncinya adalah pengakuan dunia internasional: Siapa yang
berhak memerintah Kordoba. Micky Miranda, yang secara resmi masih menjabat duta
besar Kordoba, berusaha mati-matian memperoleh pengakuan Inggris pada Papa
Miranda. Ia melobi Parlemen, Kementerian Luar Negeri, dan semua departemen yang
ada. Sejauh ini hasilnya nihil, karena Perdana Menteri, Lord Salisbury, masih
menolak untuk memihak siapa pun.
Lalu tibalah Tonio Silva di London.
Ia datang ke rumah kecil Hugh menjelang Natal. Hugh masih di dapur, menyiapkan
susu panas dan roti panggang mentega untuk anak-anaknya. Nora sedang berdandan
kerena akan pergi belanja Natal di London, kendati uangnya tidak banyak. Hugh
sudah setuju untuk tinggal di rumah menjaga anak-anak; hari ini tidak ada yang
penting di bank. Hugh sendiri yang membukakan pintu, kebiasaan yang ia lakukan sewaktu masih
tinggal bersama ibunya di Folkestone. Tonio sekarang memelihara kumis dan
janggut, memenuhi setengah wajahnya, untuk menutupi bekas luka dua belas tahun
lalu, ketika ia dipukuli oleh para preman bayaran Micky. Hugh masih bisa
mengenalinya 598 dari seringainya dan warna rambutnya yang terang. Bahu mantel dan topinya tampak
putih oleh serpih-serpih salju.
Hugh membawa Tonio ke dapur dan memberinya teh. "Bagaimana kau bisa menemukan
aku?" tanyanya. "Tidak mudah," jawab Tonio. "Mula-mula aku pergi ke alamatmu di London. Tidak
ada seorang pun di situ, bank juga tutup. Lalu aku pergi ke rumah Whitehaven,
hanya bertemu Augusta, bibimu. Dia tidak berubah. Dia tidak tahu alamatmu, hanya
menyebut nama daerahnya, Chingford, dan cara menyebutnya seperti menyebut nama
kamp penjara saja." - Hugh berkata sambil tersenyum, "Ya, inilah aku. Lumayan di sini, terutama
anak-anak senang dengan situasi pedesaan. Hanya Nora yang masih susah
menyesuaikan diri." "Augusta belum pindah."
"Ya, dia satu-satunya anggota keluarga yang tidak mau mengakui kenyataan,
padahal dialah penyebab semua ini. Dia mestinya tahu, masih banyak tempat yang
lebih jelek daripada Chingford."
"Ya, misalnya saja Kordoba "
"Bagaimana kabarnya?"
"Kakakku terbunuh dalam perang."
"Oh, aku ikut prihatin."
"Perang saat ini sudah mencapai titik kulminasi. Siapa yang mendapat pengakuan
pemerintah Inggris, berarti akan memenangkan perang. Dia akan segera menerima
pinjaman luar negeri, suplai senjata baru, dan pasti akan segera mengalahkan
pihak musuh. Untuk itulah aku sekarang di sini."
"Apa kau diutus oleh Presiden Garcia?"
"Lebih dari itu. Sekarang aku sah diangkat menjadi duta besar Kordoba untuk
Inggris. Miranda sudah dipecat.?"
"Bagus sekali," komentar Hugh spontan, la senang
599 karena selama ini Micky seperti tidak pernah bersalah. Ia telah mencuri uang
bank dua juta pound dan masih bersikap seperti biasa, seolah tak bersalah pada
keluarga Pilaster: pesta-pesta, klub, undangan, teater semuanya ia hadiri ?dengan gayanya yang perlente.
Lanjut Tonio, "Aku juga membawa Surat Pengangkatan Sah untuk diserahkan pada
Menteri Luar Negeri."
"Dan kau berharap bisa membujuk Perdana Menteri untuk memberi pengakuan pada
pihakmu?" "Ya." Hugh menatap temannya penuh tanda tanya, "Bagaimana?"
"Garcia masih presiden sah. Pemerintah Inggris seharusnya menghormati asas
legalitas." Argumentasinya terlalu lemah, pikir Hugh. "Dan bagaimana kau bisa meyakinkan
beliau?" "Akan kukatakan pada Perdana Menteri, begitulah seharusnya."
"Lord Salisbury sekarang sedang disibukkan dengan pergolakan di Irlandia. Mana
mungkin dia punya waktu untuk memperhatikan masalah perang saudara di Kordoba?"
Hugh mengatakan hal ini dengan terus terang, tanpa berniat menyudutkan atau
mengecilkan upaya Tonio. Tonio bertanya dengan nada kecewa," Kalau begitu, bagaimana menurutmu sebagai
orang Inggris yang pasti tahu pola pikir beliau" Masalahnya, tugas utamaku
adalah membujuk beliau untuk memberikan sedikit perhatian pada masalah di
Kordoba." Tonio mengatakan kalimat terakhir dengan nada pesimis, karena ia sadar
caranya mengandung banyak kelemahan.
Tiba-tiba Hugh mendapat gagasan cemerlang, "Begini, kau bisa menjanjikan akan
melindungi hak-hak para investor Inggris. Beliau pasti akan memikirkan masalah
Kordoba dengan serius."
"Hmmm, kau benar, tapi bagaimana caranya?"
"Tunggu, akan kupikirkan." Hugh menggeser kur -
600 sinya. Sol kecil sedang membangun istana kecil dari potongan kayu. Sungguh
ironis, membahas masa depan sebuah negara di dapur kecil sebuah rumah murah di
pinggiran London. Akhirnya Hugh menemukan jawabannya, "Begini... para investor
Inggris telah menanamkan sekitar dua juta pound untuk membeli obligasi pelabuhan
Santamaria. Semua anggota direksi proyek itu dari anggota keluarga Miranda. Aku
yakin semua uang itu sudah habis untuk belanja senjata dan perbekalan perang.
Nah, sekarang kita harus mengatur strategi bagaimana mendapatkan uang itu
kembali." "Tapi semua uang itu sudah dibelanjakan senjata."
"Memang. Tapi keluarga Miranda pasti punya aset bernilai jutaan."
"Ya, mereka punya tambang nitrat yang amat besar."
"Nah, sekarang bagaimana mengusahakan agar pihak pemerintah memenangkan perang.
Hanya masalahnya bisakah kita mempercayai Presiden Garcia untuk menyerahkan
tambang nitrat itu ke pihak Inggris" Jika bisa, nilai obligasi akan naik kembali
sesuai pasar." Tonio menjawab tegas, "Presiden Garcia memberiku wewenang untuk melakukan dan
berjanji apa pun demi pengakuan pemerintah Inggris."
Hugh merasa bergairah mendengarnya. Tiba-tiba prospek memperoleh kembali hak-hak
Pilasters Bank jadi makin positif. Jari-jarinya mengetuk meja, berpikir keras.
Pendekar Bayangan Malaikat 7 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh 12
^