Pencarian

Kongo 1

Kongo Karya Michael Crichton Bagian 1


Semakin banyak pengalaman dan pemahaman yang saya peroleh mengenai sifat
manusia, semakin yakin saya bahwa sebagian besar diri manusia sepenuhnya
bersifat binatang. Henry Morton Stanley, 1887
Gorila jantan yang besar itu menarik perhatian saya.... Sosoknya memancarkan kesan
berwibawa serta kekuatan tersembunyi, anggun dan penuh percaya diri. Saya sangat
ingin berkomunikasi dengannya.... Perasaan ini tak pernah saya alami sebelumnya.
Sementara kami saling pandang dari lembah yang berseberangan itu, saya bertanya-
tanya, apakah ia merasakan pertalian jenis yang mengikat kami.
George B. Schaller, 1964 DAFTAR ISI Pendahuluan 11 Prolog: Tempat Tulang-Belulang 17
HARI 1 : HOUSTON 27 HARI 2 : SAN FRANCISCO 67
HARI 3 : TANGIER 135 HARI 4 : NAIROBI ' 183 HARI 5 : MORUTI 243 HARI 6 : LIKO 289 HARI 7 : MUKENKO 327 HARI 8 : KANYAMAGUFA 343 HARI 9 : ZINJ 373 HARI 10: ZINJ 393 HARI 11: ZINJ 429 HARI 12: ZINJ 449 HARI 13: MUKENKO 495 Epilog : Tempat Api 541 di-scan dan di-djvu-kan unluk dimhader {dimhad.co.cc) olefa
OBI nil a rang meng-komersil-kan ataa kesialanmenimpaandaselamaiiya^
PENDAHULUAN Hanya karena prasangka serta ketidaksempurnaan peta dengan proyeksi Mercator
kita gagal menyadari dimensi benua Afrika. Dengan luas mendekati 18 juta
kilometer persegi, Afrika ham-pir sebesar Amerika Utara ditambah Eropa, atau dua
kali lebih besar daripada Amerika Selatan. Selain keliru mengenai dimensinya,
kita pun keliru mengenai kondisi alamnya. Sebagian besar Benua Hitam itu berupa
gurun panas dan hamparan sa-bana terbuka.
Sesungguhnya hanya ada satu alasan mengapa Afrika memperoleh sebutan Benua
Hitam, yaitu hutan tropis luas di daerah khatulistiwa di kawasan tengahnya.
Inilah cekungan salir Sungai Kongo, yang meliputi sepersepuluh luas seluruh
benua 2,25 juta kilometer persegi rimba belantara yang hening, lembap, dan ?gelap, hampir setengah luas daratan Amerika Serikat. Hutan raya ini telah lebih
dari 60 juta tahun berada di muka bumi, tanpa mengalami perubahan maupun
gangguan. Sampai sekarang pun hanya ada setengah juta orang bermukim di Cekungan Kongo,
dan hampir semuanya hidup di desa-desa di tepi sungai lebar dan berlumpur itu,
yang mengalir pelan membelah hutan. Sebagian besar rimba belantara tersebut te-
tap merupakan hutan perawan, dan sampai nan ini pun masih ada ribuan kilometer
persegi yang be-lum pernah dijelajahi.
Ini terutama berlaku bagi kawasan timur laut Cekungan Kongo, tempat hutan
belantara bertemu barisan gunung berapi Virunga, di tepi Great Rift Valley.
Akibat tiadanya jalur perdagangan maupun daya tank khusus, sampai hampir seratus
tahun lalu Virunga belum pernah terlihat oleh mata orang Barat.
Lomba yang memperebutkan "temuan terpenting dalam dasawarsa 1980-an" di Kongo
berlangsung selama enam minggu pada tahun 1979. Buku ini menceritakan kisah
ekspedisi terakhir Amerika di Kongo, yang berlangsung selama tiga belas hari
pada bulan Juni 1979 hanya sekitar seratus tahun setelah Henry Morton Stanley
?pertama menjelajahi Kongo antara tahun 1874-1877. Pembandingan an-tara kedua
ekspedisi tersebut mengungkapkan bah-wa dalam kurun waktu satu abad yang
memisahkan keduanya terdapat banyak hal dalam penjelajahan Afrika yang
berubah dan tidak berubah.
?Stanley biasanya dikenang sebagai wartawan yang berhasil melacak Livingstone
pada tahun 1871, tapi peran sesungguhnya terletak dalam sepak terjang
sesudahnya. Moorehead menyebutnya "jenis manusia baru di Afrika... pengusaha-pen-
jelajah. Kehadiran Stanley di Afrika bukan untuk mereformasi masyarakatnya atau
membangun ke-rajaan niaga, dan ia juga tidak didorong oleh mi-nat khusus pada
antropologi, botani, maupun geologi. Singkat kata, ia bertekad mengukir nama
bagi dirinya". Ketika Stanley bertolak dari Zanzibar pada tahun 1874, ia kembali disponsori
oleh sejumlah harian. Dan ketika ia kemudian muncul dari hutan di tepi Samudra
Atlantik, setelah selama 999 hari mengalami penderitaan luar biasa dan
kehilangan dua pertiga dari rombongan awalnya, baik ia maupun koran-koran
penyokongnya memperoleh salah satu berita terbesar sepanjang abad kesembilan
belas: Stanley berhasil menyusuri Sungai Kongo dari hulu sampai hilir.
Tapi dua tahun setelah itu, Stanley kembali ke Afrika dalam kondisi yang sama
sekali berbeda. Ia menggunakan nama samaran; ia menempuh berbagai perjalanan
tamasya yang semata-mata bertujuan untuk mengelabui mata-mata; segelintir orang
yang mengetahui kehadirannya di Afrika pun hanya dapat menduga-duga bahwa ia
menyimpan suatu "rencana komersial berskala besar" dalam benaknya.
Sesungguhnya perjalanan Stanley kali ini dibiayai oleh Raja Leopold II dari
Belgia, yang bermaksud memperoleh wilayah luas di Afrika
sebagai pribadi. Ini bukan soal mendirikan koloni-koloni Belgia, Leopold menulis
dalam suratnya pada Stanley. Ini soal membentuk negara bam, sebesar mungkin.
Kami, sebagai perorangan, ber-kehendak memiliki tanah di Afrika. Belgia tidak
berminat pada koloni maupun wilayah kekuasaan. Oleh karena itu, Mr. Stanley
harus membeli tanah, atau mehgupayakan agar tanah tersebut diserahkan padanya....
Rencana yang luar biasa ini kemudian dijalan-kan. Pada tahun 1885, seorang warga
Amerika berkomentar bahwa Leopold "memiliki Kongo seperti Rockefeller memiliki
Standard Oil". Perbandingan ini tepat dalam beberapa hal, sebab penjelajahan
Afrika telah didominasi oleh kepentingan bisnis.
Dan keadaan tersebut masih bertahan sampai dewasa ini. Stanley tentu akan
menyetujui cara kerja eksfedisi Amerika tahun 1979, yang bergerak secara diam-
diam dengan mengutamakan as-pek kecepatan. Tapi perbedaan-perbedaan yang ada
pasti akan membuatnya tercengang. Ketika Stanley lewat di dekat Virunga pada
tahun 1875, ia telah menghabiskan hampir satu tahun untuk mencapai tempat itu;
pihak Amerika hanya membutuhkan sekitar satu minggu untuk hal yang sama. Dan
Stanley, yang membawa pasukan sebesar empat ratus orang, pasti akan terheran-
heran melihat rombongan dengan dua belas anggota saja salah satunya seekor ?monyet. Wilayah yang dilewati
ekspedisi Amerika seabad kemudian merupakan negara-negara berdaulat, Kongo telah
menjadi Zaire, dan Sungai Kongo kini dikenal sebagai Sungai Zaire. Pada tahun
1979, kata "Kongo" hanya digun.akan sebagai istilah teknis untuk cekungan salir
Sungai Zaire, meskipun Kongo tetap dipakai dalam dunia geologi karena telah
memasyarakat, dan karena konotasi romantik yang dimilikinya.
Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan mencolok, kedua ekspedisi tersebut
memperoleh hasil serupa. Sama seperti Stanley, ekspedisi Amerika juga kehilangan
dua pertiga anggota rombongannya, dan mereka pun keluar dari hutan dalam keadaan
patah arang, tak ubahnya anak buah Stanley satu abad sebelumnya. Dan sama
seperti Stanley, mereka kembali dengan membawa kisah-kisah menakjubkan mengenai
suku kanibal dan pygmy, peradaban hutan yang telah hancur, serta harta karun
yang hilang. Saya hendak menyampaikan ucapan terima kasih pada R.B. Travis dari Earth
Resources Technology Services di Houston, atas izin untuk menggunakan rekaman
video berisi laporan mengenai ekspedisi ERTS; pada Dr. Karen Ross, dari ERTS,
atas informasi latar belakang lebih lanjut; pada Dr. Peter Elliot dari
Department of Zoology, University of California, Berkeley, serta staf Proyek
Amy, termasuk Amy sendiri; pada Dr. William Wens dari Kasai Mining &
Manufacturing, Zaire; pada Dr. Smith Jefferson dari Department of Medical Pathology, University of
Nairobi, Kenya; serta pada Kapten Charles Munro dari Tangier, Maroko.
Saya juga berutang budi pada Mark Warwick di Nairobi, atas minatnya terhadap
proyek ini; pada Alan Binks di Nairobi, atas kesediaannya mengantar saya ke
daerah Virunga di Zaire; pada Joyce Small atas bantuannya mengatur urusan
transportasi, biasanya secara mendadak, ke daerah-daerah terpencil di muka bumi;
dan akhirnya saya ingin mengucapkan terima kasih secara khusus kepada asisten
saya, Judith Lovejoy, yang melalui usaha-usahanya yang tak kenal lelah di masa-
masa sulit mempunyai peran menentukan dalam penyelesaian buku ini.
M.C. PROLOG TEMPAT TULANG-BELULANG
Fajar menyingsing. di rimba belantara Kongo.
Berangsur-angsur matahari mengusir hawa pagi yang dingin serta kabut yang
lembap. Berangsur-angsur pula sebuah dunia raksasa yang sunyi tam-pak di depan
mata. Pohon-pohon besar dengan batang berdiameter dua belas meter menjulang
setinggi enam puluh meter. Atap dedaunan yang lebat menutupi langit. Air menetes
tanpa henti. Tirai-tirai lumut berwarna kelabu, serta tumbuhan rambat dan liana
bergelantungan dari pohon-pohon yang juga menjadi induk semang^ bagi anggrek-
anggrek parasit. Di bawah, pakis-pakis yang berkilau karena lembap tumbuh lebih
tinggi daripada dada pria dewasa dan mengungkung kabut tanah. Di sana-sini
terlihat setitik warna cerah: merahnya kembang acanthema yang mengandung racun
mematikan, serta birunya tumbuhan rambat dicindra yang mekar hanya di pagi hari.
Tapi secara keseluruhan tempat itu memberi kesan sebagai dunia
17 raksasa berwarna hijau-kelabu tempat yang asing dan tidak ramah bagi manusia.
?Jan Kruger meletakkan senapannya, lalu me-regangkan otot-ototnya yang kaku.
Fajar datang dengan cepat di daerah khatulistiwa; tak lama lagi hari sudah cukup
terang, meskipun kabut tipis masih bertahan. Ia mengamati perkemahan ekspedisi
yang dijaganya: delapan tenda nilon berwarna jingga manyala, tenda mes berwarna
biru, peti-peti perlengkapan yang ditutupi terpal usaha sia-sia untuk menjaga ?perlengkapan tersebut dari kelembapan. Kruger melihat penjaga yang satu lagi,
Misulu, sedang duduk di atas batu; tubuh Misulu tampak berayun-ayun karena
serangan kantuk. Peralatan pemancar berada di dekatnya: antena parabola berwarna
perak, kotak pemancar berwarna hitam, serta kabel-kabel koaksial yang meliuk-
Iiuk ke kamera video portabel yang dipasang pada tripod yang dapat dilipat.
Orang-orang Amerika menggunakan peralatan ini untuk mengirim laporan harian
melalui satelit ke kantor pusat mereka di Houston.
Kruger bertindak sebagai bwana mukubwa. Ia disewa untuk membawa ekspedisi itu ke
Kongo pekerjaan yang sudah sering ditanganinya. Di an-tara klien-kliennya
?terdapat perusahaan-perusahaan minyak, rombongan-rombongan survei pemetaan, tim-
tim perkayuan dan pertambangan, serta rombongan-rombongan geologi seperti yang
ini. Perusahaan-perusahaan yang mengirim tim ke la-18
pangan memerlukan orang yang memahami adat-istiadat serta bahasa setempat untuk
menangani para pengangkut dan mengatur perjalanan. Kruger cocok untuk pekerjaan
ini: ia menguasai bahasa Kiswahili dan Bantu serta sedikit Bagindi, ia pun telah
berkali-kali mengunjungi Kongo, meskipun belum pernah sampai ke Virunga.
Kruger tak bisa membayangkan mengapa ahli-ahli geologi dari Amerika hendak pergi
ke daerah Virunga di Zaire, yang terletak di bagian timur laut rimba belantara
Kongo. Zaire merupakan ne-gara terkaya di Afrika Hitam dalam hal mineral.
Sebagai penghasil kobalt dan intan kualitas industri, Zaire menduduki peringkat
pertama dunia; sebagai penghasil tembaga, Zaire menempati urutan ketujuh. Selain
itu masih terdapat cadangan emas, timah, seng, tungsten, dan uranium. Tapi
sebagian besar cadangan bahan galian tersebut berada di Shaba dan Kasai, bukan
di Virunga. Kruger terlalu berpengalaman untuk menanyakan tujuan orang-orang Amerika itu
mengunjungi Virunga, dan rasa ingin tahunya pun segera terpenuhi dengan
sendirinya. Begitu ekspedisi melewati Danau Kivu dan memasuki hutan raya, para
ahli geologi mulai melakukan penelitian pada alur-alur sungai dan kali. Mereka
mencari endapan letakan, dan Kruger tahu itu berarti mereka mencari emas atau
intan mentah. Dan ternyata intanlah yang mereka incar.
Tapi bukan sembarang intan. Para ahli geologi
19 mencari intan yang mereka sebut Tipe lib. Setiap percontoh barn langsung
menjalani pengujian sifat kelistrikan. Percakapan yang menyertai pengujian-
pengujian tersebut berada di luar jangkauan pemahaman Kruger pembicaraan
?mengenai dielectric gaps, lattice ions, resistivity. Tapi ia akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa sifat-sifat kelistrikan intan-intan itulah yang menarik
perhatian para ahli geologi. Yang jelas, percontoh-percontoh yang mereka
kumpulkan tidak mempunyai nilai sebagai batu perhiasan. Kruger sempat memeriksa
beberapa, dan semuanya berwarna biru akibat kontaminasi zat lain.
Selama sepuluh hari ekspedisi itu menelusuri alur-alur sungai tempat mereka
menemukan endapan letakan. Ini prosedur standar: jika menemukan emas atau intan
di suatu alur sungai, kita harus bergerak ke arah hulu, menuju tempat yang
diduga merupakan sumber mineral-mineral tersebut. Ekspedisi itu lalu mulai
mendaki lereng-lereng di sisi barat barisan gunung berapi Virunga. Semuanya
berjalan secara rutin, sampai suatu hari para pengangkut menolak meneruskan
perjalanan. Bagian Virunga ini, kata mereka, bernama kanyamagufa, yang berarti "tempat
tulang-belulang". Para pengangkut berkilah bahwa sia"a pun yang nekat maju lebih
jauh akan tewas dengan tulang-belulang remuk, terutama tulang tengkorak. Mereka
menepuk-nepuk tulang pipi sambil
20 berkeras bahwa tulang tengkorak mereka akan diremukkan.
Para pengangkut merupakan anggota suku Arawani berbahasa Bantu, dan berasal dari
Kisangani, kota besar terdekat. Seperti lazimnya orang pribumi yang berdiam di
kota, mereka percaya segala macam takhayul mengenai rimba belantara Kongo.
Kruger segera memanggil pemimpin mereka.
"Suku apa yang tinggal di sini?" ia bertanya sambil menunjuk hutan di hadapan
mereka. "Tak ada suku yang tinggal di sini," jawab pemimpin para pengangkut.
"Tak ada" Bagaimana dengan suku Bambuti?" Kruger menanyakan kelompok pygmy
terdekat. "Orang tidak datang ke sini," si pemimpin menyahut. "Ini kanyamagufa"
"Kalau begitu, siapa yang meremukkan tengkorak?"
"Dawa," balas si pemimpin, menyebutkan istilah Bantu untuk kekuatan gaib. "Dawa
hebat di sini. Orang tidak berani datang."
Kruger menghela napas. Seperti kebanyakan orang kulit pufih, ia sudah muak
dengan dawa. Dawa ada di mana-mana, di dalam tumbuhan, bebatuan, badai, dan
musuh dalam segala bentuk. Tapi kepercayaan mengenai dawa tersebar di sebagian
besar Afrika, dan telah mendarah daging di kawasan Kongo.
Kruger terpaksa menghabiskan sisa hari itu dengan negosiasi yang melelahkan.
Baru setelah ia 21 melipatduakan upah mereka dan menjanjikan senjata api saat mereka kembali ke
Kisangani, para pengangkut akhirnya setuju untuk meneruskan perjalanan. Kruger
menganggap insiden tersebut sebagai siasat pribumi yang menjengkelkan. Begitu
suatu ekspedisi sudah kepalang berada di lapangan, sehingga tergantung kepada
para pengangkut, mereka umumnya akan menyinggung takhayul setempat untuk
memaksakan kenaikan upah. Kruger telah mencadangkan dana untuk menghadapi
kemungkinan ini dan, setelah menyetujui tuntutan mereka, ia segera melupakan
kejadian tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya, mereka menjumpai beberapa tempat di mana pecahan-
pecahan tulang remuk berserakan. Para pengangkut segera dilanda ketakutan, tapi
Kruger tetap tidak ambil pusing. Ketika mengadakan pemeriksaan, ia menemukan
bahwa tulang-belulang tersebut bukan tulang manusia, melainkan tulang kera
colobus, makhluk cantik berbulu hitam-putih yang hidup di pepohonan di atas
mereka. Memang benar amat banyak tulang berserakan, dan KJuger pun tidak tahu
bagaimana tulang-belulang itu bisa sampai remuk, tapi ia sudah cukup lama berada
di Afrika dan telah melihat banyak hal yang tak dapat dijelaskan.
Ia juga tidak terkesan oleh susunan batu-batu yang telah tertutup tetumbuhan,
tanda bahwa pernah ada kota di daerah itu. Sebelumnya Kruger
22 pernah menjumpai reruntuhan yang belum diketahui orang. Baik di Zimbabwe, di
Broken Hill, maupun di Maniliwi terdapat reruntuhan kota-kota dan kuil-kuil yang
belum pernah dilihat dan diteliti oleh ilmuwan abad kedua puluh.
Malam pertama ia berkemah di dekat reruntuhan.
Para pengangkut dicekam ketakutan. Mereka berkeras akan diserang kekuatan jahat
pada malam hari. Ketakutan orang-orang pribumi lalu menular kepada para ahli
geologi dari Amerika. Untuk menenangkan mereka, Kruger menempatkan dua penjaga
pada malam itu: ia sendiri dan pengangkut yang paling dapat diandalkan, Misulu.
Kruger menganggap semuanya omong kosong belaka, tapi ia pun sadar bahwa tindakan
itulah yang paling bijaksana.
Dan persis seperti yang diduganya, malam itu berlalu tanpa gangguan, meskipun
sekitar tengah malam memang ada sesuatu bergerak-gerak di tengah semak belukar.


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kruger juga sempat mendengar bunyi mendesis, yang ia duga berasal dari seekor
macan tutul. Kucing besar sering kali mengalami gangguan pernapasan, terutama di
rim-ba belantara. Tapi selain itu tidak terjadi apa-apa, dan kini fajar telah
menyingsing; malam telah berlalu.
Bunyi "bip" berulang-ulang menarik perhatiannya. Misulu juga mendengar bunyi
itu, dan ia menatap Kruger sambil mengerutkan kening. Se -
23 buah lampu merah pada peralatan pemancar tam-pak berkedap-kedip. Kruger bangkit
dan melintasi perkemahan untuk menghampiri peralatan tersebut. Ia tahu cara
mengoperasikannya; orang-orang Amerika berkeras agar ia mempelajarinya, sebagai
"prosedur keadaan darurat". Kruger jongkok di depan kotak pemancar dengan LED
hijau berbentuk persegi panjang.
Ia menekan beberapa tombol, dan huruf-huruf TX HX muncul pada layar monitor.
Artinya ada transmisi dari Houston. Ia menekan sandi balasan, lalu melihat
tulisan CAMLOK pada layar. Ini berarti Houston meminta transmisi video. Kruger
melirik ke arah kamera pada tripod dan melihat lampu merah pada kotaknya telah
menyala. Ia menekan tombol pemancar dan layar monitor memperlihatkan tulisan
SATLOK, yang menandakan proses untuk membentuk hubungan satelit sudah dimulai.
Kini ia harus menunggu enam menit, sampai sinyal yang ditransmisikan melalui
satelit berhasil dikunci.
Driscoll, si kepala tim geologi, sebaiknya dib^-ngunkan, Kruger berkata dalam
hati. Driscoll pasti memerlukan beberapa menit sebelum siap mengadakan hubungan.
Kruger geli melihat orang-orang Amerika selalu berganti kemeja bersih dan me-
nyisir rambut dulu sebelum maju ke depan kamera. Persis reporter TV.
Di atas mereka, kawanan kera colobus menjerit-jerit dan berteriak-teriak sambil
menggoyang - 24 goyangkan dahan-dahan pohon. Kruger mendongakkan kepala dan sempat bertanya-
tanya, mengapa kera-kera itu tiba-tiba ribut. Tapi ia tidak menaruh perhatian
lebih lanjut, karena tahu kera-kera colobus memang biasa bertengkar pada pagi
hari. Tiba-tiba sesuatu membentur dadanya. Mula-mula ia menyangka itu serangga, tapi
setelah menatap kemejanya, ia melihat noda merah. Sepotong buah berwarna merah
jatuh ke tanah berlumpur. Kera-kera brengsek itu menimpuknya dengan buah. Kruger
membungkuk untuk memungutnya. Saat itulah ia menyadari bahwa benda tersebut
bukan buah. Yang disangkanya buah itu ternyata bola mata manusia yang "licin dan
putih kemerahan. Sebagian saraf penglihatan yang telah putus masih menempel di
bagian belakang. * Ia langsung membalik sambil membidikkan senapan, lalu
memandang ke tempat Misulu duduk di atas batu. Misulu tidak kelihatan.
Kruger melintasi perkemahan. Kera-kera colobus di pepohonan mendadak membisu.
Perlahan-lahan ia melewati tenda-tenda berisi orang-orang yang masih tidur
lelap. Sekonyong-konyong bunyi mendesis itu kembali terdengar. Bunyi yang
janggal, terbawa oleh kabut pagi yang bergulung-gulung. Kruger mulai ragu,
apakah bunyi itu memang berasal dari macan tutul.
Dan kemudian ia melihat Misulu. Laki-laki itu tergeletak dalam posisi telentang,
di tengah ge - 25 nangan darah. Tengkoraknya telah diremukkan dari kedua sisi. Wajahnya menyempit
dan memanjang. Mulutnya menganga, seakan-akan menguap, dan sebelah matanya
membelalak. Mata satunya telah mencelat ke luar akibat benturan keras.
Jantung Kruger berdebar-debar ketika ia memeriksa mayat Misulu. Sambil terheran-
heran ia bertanya, apa yang sanggup menyebabkan cedera seperti itu. Tiba-tiba ia
kembali mendengar bunyi mendesis, dan kali ini ia yakin itu bukan suara macan
tutul. Kemudian kera-kera colobus mulai memekik-mekik. Kruger melompat berdiri
dan menjerit. 26 HARI 1 HOUSTON 13 Juni 1979 di scan dan di djvu kan untuk dimhader (dImhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersU-kan atau kesialan men imp a an da selamanya
HARI 1 ERTS HOUSTON Enam belas ribu kilometer dari perkemahan di tengah Kongo, di ruang data utama
yang dingin dan tanpa jendela di kantor pusat Earth Resources Technology
Services, Inc., di Houston, Karen Ross duduk membungkuk di hadapan terminal
komputernya, ditemani secangkir kopi. Ross adalah penyelia Proyek Kongo ERTS. Ia
sedang mengamati citra-citra Landsat terbaru yang memperlihatkan benua Afrika.
Sambil memanipulasi citra-citra satelit itu dengan warna-warna kontras
artifisial biru, ungu, dan hijau ia berulang kali melirik jam tangannya. Ia ? ?sedang menanti transmisi lapangan berikut dari Afrika.
Arlojinya menunjukkan pukul 22.15 waktu Houston, tapi ruangan tempat ia berada
tidak memberikan indikasi mengenai waktu maupun tempat. Baik siang maupun malam,
suasana di fasilitas data utama ERTS tidak berubah. Di ba-wah lampu-lampu kalon
khusus, regu-regu programmer berbaju sweater bekerja pada deretan
29 terminal komputer. Mereka sibuk memberi masukan realtime bagi tim-tim lapangan
yang dikirim ERTS ke berbagai pelosok dunia. Suasana yang mengabaikan kenyamanan
itu merupakan keharusan bagi komputer-komputer yang menuntut suhu konstan 15,5
derajat Celcius, serta saluran listrik dan lampu khusus yang tidak
berinterferensi dengan piranti elektronik. Lingkungan tersebut memang diciptakan
untuk mesin-mesin; manusia di-persilakan menyesuaikan diri.
Tapi sebenarnya masih ada pertimbangan lain yang mendasari desain fasilitas data
utama itu. ERTS menginginkan para programmer di Houston merasa senasib dengan
tim-tim lapangan, dan sedapat mungkin hidup sesuai jadwal mereka. Memantau
pertandingan baseball serta acara-acara lo-kal diharamkan; tak ada jam yang
menunjukkan waktu Houston, meski pada dinding di ujung ruangan ada delapan jam
digital besar yang menunjukkan waktu setempat untuk berbagai tim lapangan.
Jam bertanda TIM LAPANGAN KONGO menunjukkan pukul 06.15 ketika pesawat interkom
di langit-langit mengumumkan, "Dr. Ross, ada transmisi di RPK."
Karen Ross meninggalkan terminal komputernya setelah menekan sandi pengunci
digital. Setiap terminal ERTS memiliki kata sandi tersendiri, yang berfungsi
seperti kunci kombinasi. Sandi tersebut merupakan bagian dari suatu sistem
pengamanan 30 canggih, yang mencegah orang luar menyadap bank data mereka. ERTS
memperdagangkan informasi, dan seperti sering dikatakan R.B. Travis, pimpinan
ERTS, cara termudah untuk memperoleh informasi adalah dengan mencunnya.
Ross melintasi ruangan dengan langkah panjang. Tingginya hampir 180 senti. Ia
wanita berpenampilan menarik, meski agak kaku. Usianya 24 tahun, lebih muda
daripada sebagian besar programmer. Tapi, walaupun masih muda, ia memiliki
kemampuan mengendalikan diri yang oleh hampir semua orang dianggap
menakjubkan bahkan cenderung meresahkan.?Karen Ross merupakan anak ajaib dalam bidang matematika. Pada usia dua tahun,
ketika menemani ibunya berbelanja di pasar swalayan, ia telah sanggup berhitung
di luar kepala, apakah kaleng ukuran sepuluh ons seharga 19 sen lebih murah
daripada kaleng 1,7 kilogram seharga 79 sen. Pada usia tiga tahun, ia
mengejutkan ayahnya dengan menyatakan bahwa angka nol, berbeda dengan angka-
angka lain, mempunyai arti berbeda-beda dalam posisi berbeda-beda. Pada usia
delapan tahun, ia telah menguasai aljabar dan geometri; pada usia sepuluh tahun,
ia telah mempelajari kalkulus secara mandiri; ia diterima di M.I.T. ketika
berusia tiga belas, dan selanjutnya mencapai sejumlah ha-sil gemilang dalam
matematika abstrak. Puncak sukses diraihnya dengan karya tulis berjudul Prediksi
Topologis dalam Ruang-n, yang berguna un-31
tuk matriks pengambilan keputusan, analisis jalur kritis, serta pemetaan
multidimensional. Minat ini-lah yang menarik perhatian ERTS, tempat ia ke-
mucfian diangkat sebagai penyelia lapangan termuda dalam perusahaan.
Tidak semua orang menyukainya. Tahun-tahun yang dilewatinya dalam suasana
terisolasi, sebagai orang termuda seruangan, telah menimbulkan sikap suka
menyendiri dan menjaga jarak. Salah satu rekannya menggambarkannya sebagai
"terlampau mengandalkan nalar". Pembawaannya yang dingin menghasilkan julukan
"Gletser Ross" baginya, meminjam nama suatu formasi es di Kutub Selatan.
Dan sampai sekarang pun usianya yang muda masih menjadi penghalang paling
?tidak, faktor usia itulah yang dijadikan alasan oleh Travis ketika menolak
permintaan Ross untuk memimpin tim lapangan ke Kongo. Padahal Ross-lah yang
menyusun seluruh database Kongo, dan sebenarnya berhak menjadi pemimpin tim
lapangan. "Maaf," kata Travis ketika itu, "tapi kontrak ini terlalu penting, dan
aku tak bisa memberikannya padamu." Ross tidak mau menyerah begitu saja. Ia
terus mendesak dan mengingatkan Travis akan ke-berhasilannya memimpin tim
lapangan ke Pahang dan Zambia pada tahun sebelumnya. Akhirnya Travis
menandaskan, "Begini, Karen, lokasi itu berjarak enam belas ribu kilometer dari
Houston dan terletak di medan empat-plus. Kita membutuh-32
kan orang yang bukan sekadar jago komputer di sana."
Ross sempat dibuat berang oleh ucapan yang menyiratkan bahwa ia tak lebih dari
jago kom- puter, hanya pandai memainkan tombol-tombol. Ia ingin membuktikan
?diri dalam situasi lapangan empat-plus, dan bertekad memaksa Travis
membiarkannya pergi pada kesempatan berikut.
Ross menekan tombol lift lantai tiga yang ditandai "Akses Terbatas CX". Ia sadar
akan lirikan iri para programmer ketika menunggu pintu lift membuka. Di ERTS,
status tidak diukur berdasarkan gaji, jabatan, luas ruang kerja, maupun
indikator-indikator kekuasaan yang lazim dalam suatu perusahaan. Status di ERTS
semata-mata ditentukan oleh akses terhadap informasi dan Karen Ross merupakan ?satu dari delapan orang yang setiap saat memiliki akses ke lantai tiga.
Ia memasuki lift lantai tiga, lalu menatap lensa pelarik yang dipasang di atas
pintu. Di ERTS, lift-lift hanya menghubungkan dua lantai berde-katan, dan
semuanya dilengkapi pelarik pasif; ini salah satu cara ERTS memantau pergerakan
per-sonil di dalam bangunan. Ross mengucapkan "Karen Ross" untuk monitor suara,
lalu berputar 360 derajat untuk pelarik visual. Ia mendengar bunyi "bip"
elektronik, kemudian pintu lift membuka di lantai tiga.
Ia melangkah ke ruangan kecil berbentuk bujur sangkar dengan monitor video di
langit-langit, lalu 33 berpaling ke pintu tanpa ciri khusus yang menuju RPK, Ruang Pengendali
Komunikasi. Ia kembali mengucapkan "Karen Ross", kemudian memasukkan kartu
identitas elektroniknya ke celah di samping pintu. Ujung-ujung jarinya dibiarkan
menempel pada tepi kartu yang terbuat dari logam, agar komputer dapat mengukur
potensial galvanik kulitnya. (Ini merupakan langkah penyempurnaan yang
diberlakukan tiga bulan sebelumnya, setelah Travis memperoleh informasi bahwa
eksperimen-eksperi-men dinas medis Angkatan Darat dengan pem-bedahan pita suara
berhasil mengiibah ciri-ciri suara seseorang sedemikian tepat, sehingga dapat
mengelabui program-program identifikasi suara.) Ross menunggu sejenak sampai
komputer selesai memproses informasi yang diterimanya. Kemudian terdengar bunyi
berdengung dan pintu membuka.
Dengan penerangan malamnya yang memancarkan cahaya merah, suasana di Ruang
Pengendali Komunikasi terasa lembut dan hangat, bagaikan di dalam rahim. Kesan
ini diperkuat oleh keadaan ruangan yang penuh sesak dengan peralatan. Puluhan
monitor video dan LED yang menumpuk dari lantai sampai langit-langit tampak
berkerlap-kerlip dan berpendar, sementara para teknisi berbicara pelan sambil
memutar dan menekan *tom-bol-tombol. RPK merupakan pusat saraf elektronik ERTS:
seluruh komunikasi dari tim-tim lapangan di seantero dunia disalurkan melalui
tempat ini. Segala sesuatu di RPK direkam, baik data yang
34 masuk maupun tanggapan para teknisi, sehingga percakapan yang terjadi pada malam
tanggal 13 Juni 1979 diketahui pasti.
Salah satu teknisi berkata pada Ross, "Transponder-nya segera siap. Mau minum
kopi dulu?" "Tidak," jawab Ross.
"Kau ingin bisa keluar dari sini, ya?"
"Aku pantas memperoleh kesempatan itu," Ross menyahut. Ia menatap layar-layar
monitor dan memperhatikan bayangan-bayangan membingungkan yang berputar dan
bergeser ketika para teknisi mulai membacakan "mantra" untuk mengunci transmisi
dari satelit yang mengitari bumi 480 kilometer di atas kepala mereka.
"Signal key." "Signal key. Password mark." "Password mark." "Carrier fix." "Carrier fix."
Ross nyaris tidak memperhatikan ungkapan-ung-kapan yang sudah sangat akrab bagi
telinganya itu. Pandangannya tetap melekat pada layar-layar monitor yang
memperlihatkan bintik-bintik kelabu yang bergerak-gerak bagaikan semut.
"Siapa yang buka hubungan" Kita atau mereka?" ia bertanya.
"Kita," jawab seorang teknisi. "Kita dijadwalkan mengadakan kontak pada waktu
fajar setempat. 35 Karena mereka diam saja, kita yang buka hubungan."
"Hmm, aneh," ujar Ross. "Kenapa mereka menunggu sampai kita bertindak" Jangan-
jangan ada yang tidak beres."
"Rasanya tidak. Pemicu awal yang kita pancarkan ditangkap dan dikunci dalam
waktu lima belas detik oleh mereka, lengkap dengan sandi-sandi yang sesuai. Ah,
ini dia." Pukul 06.22 pagi waktu Kongo, mereka berhasil mengadakan kontak visual: bintik-
bintik kelabu pada layar lenyap, dan layar menjadi bersih. Mereka melihat
sebagian perkemahan di Kongo melalui gambar yang tampaknya diambil dari kamera
video yang dipasang pada tripod: dua tenda, api unggun yang hampir padam,
gumpalan-gumpalan kabut pagi. Tak ada orang maupun tanda-tanda kehidupan.
Salah satu teknisi tertawa. "Sepertinya mereka masih asyik bermimpi.
Kelihatannya mereka memang membutuhkanmu di sana." Ross memang dikenal
berdisiplin tinggi. "Aktifkan pengendali jarak jauh," ia berkata.
Teknisi itu mengetikkan sandi yang sesuai. Kamera lapangan di suatu tempat
berjarak 16.000 kilometer kini berada di bawah kendali Houston.
"Putar ke samping," Ross memberi instruksi.
Teknisi yang duduk menghadapi konsol pengendali menggerakkan joystick. Mereka
memperhatikan gambar video bergeser ke kiri, sehingga mem -
36 perlihatkan lebih banyak lokasi perkemahan itu. Kondisinya hancur berantakan:
tenda-tenda roboh dan terkoyak-koyak, terpal pelindung perlengkapan tersingkap,
peralatan berserakan di lumpur. Satu tenda masih dilalap api. Asap hitam
bergulung-giriung ke angkasa. Mereka melihat sejumlah ma-yat bergelimpangan.
"Ya Tuhan!" salah satu teknisi berkata.
"Putar ke arah berlawanan," ujar Ross. "Resolusi enam-enam."
Pandangan kamera kembali menyapu perkemahan, sampai mengarah rimba belantara.
Namun te-tap tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Arahkan ke bawah. Putar ke arah sebaliknya."
Kamera mulai menunduk dan memperlihatkan piringan antena portabel berwarna
perak, serta ko-tak pemancar berwarna hitam. Di dekatnya ada mayat lain, salah
satu ahli geologi, tergeletak dalam posisi telentang.
"Ya Tuhan, itu Roger...."
"Zoom dan T-lock" Ross memerintahkan. Pada pita rekaman, suaranya terdengar
tenang dan datar, seakan-akan tidak terpengaruh.
Wajah yang dibidik kamera tampak membesar pada layar. Gambar yang terlihat
membuat mereka terkesima: kepala ahli geologi itu remuk, dari mata dan hidungnya
mengalir darah, sementara mulutnya menganga lebar.
"Apa yang terjadi?"
. Sekonyong-konyong sebuah bayangan melintas
37 pada wajah mayat di layar monitor. Seketika Ross melompat maju, menyambar gagang
joystick, dan menekan tombol pengendali zoom. Gambar pada layar segera melebar;
mereka dapat melihat bayangan itu secara keseluruhan. Bayangan
seseorang seseorang yang bergerak.?"Ada orang di sana! Dia masih hidup!"
"Dia pincang. Sepertinya cedera."
Ross mengamati bayangan itu. Ia merasa bayangan tersebut bukan bayangan orang
pincang; ia mempunyai firasat ada sesuatu yang tidak beres, namun tak dapat
memastikan apa. "Dia akan melangkah ke depan kamera," ia berkata. Tapi sebenarnya ia sendiri
tidak berani berharap terlalu banyak. "Aduh, dari mana asalnya gangguan audio
ini?" Mereka mendengar bunyi janggal, menyerupai bunyi mendesis atau tarikan napas.
"Ini bukan gangguan, ini memang ada dalam transmisi."
"Coba diperjelas," ujar Ross. Si teknisi menekan beberapa tombol dan mengubah-
ubah frekuensi audio, tapi bunyi itu tetap terdengar janggal dan samar-samar.
Kemudian bayangan tadi bergerak, dan orang itu maju ke depan kamera.
"Diopter" Ross berkata cepat-cepat, namun ter-Iambat. Wajah itu sudah muncul,
dekat sekali dengan lensa. Terlampau dekat untuk difokus tanpa lensa tambahan.
Mereka hanya melihat bayangan gelap yang buram. Dan sebelum mereka sempat


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

38 mengaktifkan diopter, wajah itu sudah menghilang lagi.
"Orang pribumi?"
"Ini bagian Kongo yang tidak berpenghuni," Ross berkomentar.
"Tapi ada sesuatu di sana."
"Putar ke samping," kata Ross. "Barangkali dia masih ada di sekitar situ."
Kamera mulai bergerak. Ross membayangkan-nya berputar di atas tripod di tengah
hutan, dengan motor berdesir-desir. Kemudian gambarnya mendadak miring dan jatuh
ke samping. "Dia menjatuhkan kamera."
"Brengsek!" Garis-garis gangguan yang bergeser-geser muncul pada layar monitor. Gambarnya
semakin buram. "Diperjelas! Diperjelas!"
Mereka masih sempat melihat sebuah wajah besar dan tangan gelap sebelum piringan
antena dihancurkan. Gambar video dari Kongo mengecil sampai hanya berupa titik,
kemudian titik itu pun lenyap.
39 2 Pada bulan Juni 1979, sejumlah tim Earth Resources Technology tengah berada di
lapangan. Penelitian mereka meliputi cadangan uranium di Bolivia, cadangan
tembaga di Pakistan, pendayagunaan lahan pertanian di Kashmir, pergerakan
gletser di Eslandia, sumber daya hutan di Malaysia, dan cadangan intan di Kongo.
Ini bukan sesuatu yang luar biasa bagi ERTS; pada umumnya mereka mempunyai enam
sampai delapan tim di lapangan pada waktu bersamaan.
Karena tim-tim mereka sering berada di kawasan-kawasan berbahaya atau secara
politik tidak stabil, mereka selalu sangat waspada terhadap tanda-tanda pertama
dari "colok interferensi". (Dalam terminologi pengindraan jarak jauh, "colok"
merupakan tampilan karakteristik dari objek atau ciri geologis tertentu pada
sebuah foto atau gambar video.) Sebagian besar interferensi bersifat politis.
Pada tahun 1977 terjadi pemberontakan komunis di suatu negara Asia, sehingga
ERTS ter-40 paksa mengevakuasi sebuah tim melalui udara. Hal yang sama terulang setahun
kemudian, ketika terjadi kudeta militer di Nigeria. Sesekali ada colok yang
bersifat geologis; pada tahun 1976 ERTS sempat menarik sebuah tim dari Guatemala
setelah terjadi gempa bumi di sana.
Menurut R.B. Travis, yang dibangunkan tengah malam buta pada tanggal 13 Juni
1979, rekaman video dari Kongo merupakan "colok interferensi terparah yang
pernah ada", tapi asal-usul xolok tersebut tetap diselubungi misteri. Mereka
hanya tahu perkemahan itu dihancurkan dalam waktu enam menit saja, yaitu dalam
tenggang waktu an-tara pengiriman sinyal awal dari Houston dan pe-nerimaan di
Kongo. Selang waktu singkat ini sungguh menakutkan. Travis segera memberi in-,
struksi untuk mencari tahu apa yang terjadi di sana.
Travis adalah pria gempal berusia 48 tahun yang telah terbiasa menghadapi
krisis. Ia berpendidikan insinyur, pernah terlibat dalam pembuatan satelit untuk
RCA, dan kemudian Rockwell; pada usia tiga puluhan ia beralih ke jalur
manajemen, lalu menduduki posisi yang di kalangan insinyur ruang antariksa
dikenal sebagai "Pawang Hujan". Perusahaan-perusahaan pembuat satelit
menandatangani kontrak peluncuran satelit antara 18 sampai 24 bulan di
muka selanjutnya mereka hanya bisa berharap satelit yang terdiri atas setengah ?juta elemen penyusun akan selesai pada tanggal yang
41 COLOK INTERFERENSI telah ditentukan. Jika tidak, satu-satunya alternatif adalah memohon cuaca buruk
untuk menunda peluncuran.
Travis berhasil mempertahankan rasa humornya setelah selama satu dasawarsa
menghadapi masalah-masalah hightech; falsafah manajemennya terangkum pada suatu
piagam besar di dinding di belakang mejanya. Piagam itu bertulisan
"S.A.S.Y.T.B.", yang berarti "Selalu Ada Sesuatu Yang Tidak Beres".
Namun pada malam tanggal 13 Juni, rasa humor Travis pun tak dapat membantu. Ia
telah kehilangan satu ekspedisi. Semua anggota rombongan ERTS tewas delapan
?anak buahnya, berikut entah berapa pengangkut setempat yang menyertai mereka.
Delapan orang! Musibah terburuk dalam sejarah ERTS, bahkan lebih buruk daripada
peristiwa Nigeria tahun 1978. Travis merasa letih, terkuras secara mental,
ketika membayangkan telepon-telepon yang menantinya bukan telepon untuk
?menyampaikan berita duka, melainkan telepon yang menanyakan para anggota
ekspedisi. Apakah si anu akan pulang sebelum putrinya diwisuda, sebelum putranya
tampil dalam pertandingan final Little League" Hal-hal seperti itulah yang akan
ditanyakan pada Travis, dan ia akan terpaksa mendengarkan suara-suara riang
penuh harap, lalu jawaban-jawabannya sendiri yang bernada hati-hati ia belum
? tahu pasti apa yang terjadi, ia akan berusaha sekuat tenaga, tentu, tentu....
Sekarang 42 pun ia sudah merasa lelah ketika membayangkan kebohongan-kebohongan yang mau tak
mau akan diucapkannya untuk menenangkan pihak keluarga para korban.
Sebab ia belum dapat memberi keterangan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi
di sana; ia harus menunggu paling tidak dua minggu, mungkin bahkan satu bulan.
Kemudian giliran ia yang akan sibuk menelepon. Ia akan mengunjungi keluarga para
korban, menghadiri upacara-upacara pemakaman tanpa peti jenazah, menghadapi
pertanyaan-pertanyaan dari kerabat orang-orang yang tewas pertanyaan-pertanyaan?yang takkan sanggup ia jawab sementara mereka mengamati wajahnya, seakan-akan
?berharap bisa menemukan penjelasan di sana.
Apa yang ,dapat ia katakan pada mereka"
Itulah satu-satunya hiburan baginya: dalam beberapa minggu, ia mungkin sudah
bisa memberikan keterangan lebih lengkap. Satu hal sudah jelas: seandainya ia
menelepon mereka malam ini juga, ia tak dapat menceritakan apa pun kepada
mereka, sebab pihak ERTS sendiri memang belum tahu musibah apa yang menimpa
rombongan mereka. Hal ini semakin menambah beban yang dipikul Travis. Lalu masih
ada detail-detail yang harus diselesaikan: Morris, akuntan yang menangani urusan
asuransi di ERTS, masuk ke ruang kerja Travis dan berkata, "Bagaimana dengan
polis-polis mereka?" ERTS selalu membeli polis asuransi jiwa
43 berjangka untuk setiap anggota ekspedisi, termasuk untuk para pengangkut
setempat. Masing-masing pengangkut Afrika diasuransikan senilai 15.000 dolar
AS jumlah yang terasa sepele jika kita tidak menyadari bahwa pendapatan per
?kapita di Afrika hanya 180 dolar AS per tahun. Tapi sejak awal Travis
berpendapat anggota-anggota rombongan dari kalangan pribumi patut menerima
imbalan sesuai dengan risiko yang mereka tanggung biarpun untuk itu ERTS harus
?memberikan uang dalam jumlah besar, menurut ukuran Afrika, kepada para janda
mereka. Biarpun itu berarti ERTS terpaksa mengeluarkan uang banyak untuk
asuransi. "Tahan dulu," jawab Travis.
"Untuk polis-polis itu, pengeluaran kita per hari..."
"Tahan dulu," Travis menegaskan. "Sampai kapan?"
"Tiga puluh hari lagi," ujar Travis.
"Tiga puluh hari lagiV
"Ya." "Tapi kita sudah tahu para tertanggung tewas semua!" Jiwa aktuaris Morris tak
bisa menerima penghamburan uang seperti itu.
"Memang," kata Travis. "Tapi sebaiknya kau-berikan sejumlah uang pada keluarga-
keluarga para pengangkut, agar mereka tetap tutup mulut."
"Ya ampun. Seberapa banyak?"
"Masing-masing lima ratus dolar."
44 "Dan bagaimana kita akan mencantumkannya dalam pembukuan?"
"Cantumkan saja sebagai biaya legal," jawab Travis. "Biaya legal, pengeluaran
setempat." "Dan bagaimana dengan orang-orang Amerika yang jadi korban?"
"Mereka punya Master Charge," Travis menyahut. "Sudahlah, jangan khawatir."
Roberts, petugas penghubung pers ERTS ke-lahiran Inggris, menyusul. "Apa yang
harus ku-katakan pada pers?"
"Jangan katakan apa-apa," balas Travis. "Kuminta kau merahasiakan kejadian ini."
"Seberapa lama?"
"Tiga puluh hari."
"Gila! Stafmu sendiri takkan sanggup menjaga rahasia ini selama tiga puluh
hari," ujar Roberts. "Aku jamin itu."
"Kalau sampai ada kebocoran, kaulah yang harus membungkam orang-orang pers,"
sahut Travis. "Aku butuh tiga puluh hari lagi untuk menyelesaikan kontrak ini."
"Kita sudah tahu apa yang terjadi di sana?"
"Belum," jawab Travis. "Tapi kita akan mengetahuinya."
"Caranya?" "Dari rekaman video." "Rekaman video itu kacau-balau." "Sampai saat ini," kata
Travis. Kemudian ia memanggil tim-tim khusus yang terdiri atas jago -
45 jago komputer. Travis telah lama menyadari bahwa meskipun ERTS dapat menghubungi
penasihat-penasihat politik di seluruh dunia, kemungkinan terbesar untuk
memperoleh informasi tetap berada di markas mereka sendiri. "Segala sesuatu yang
kita ketahui tentang ekspedisi lapangan Kongo," ia berkata, "ada dalam rekaman
video terakhir. Kuminta kalian segera melakukan pemulihan data video dan audio
dengan tujuh bidang frekuensi. Sebab rekaman itulah satu-satunya pegangan yang
kita miliki." Tim-tim khusus segera mulai bekerja.
46 3 Erts menggunakan istilah recovery, kadang-kadang juga salvage, untuk proses
pemulihan data. Kedua istilah tersebut lebih lazim digunakan untuk operasi
pengangkatan kapal karam, tapi ternyata juga cocok untuk konteks pengolahan
data. Memulihkan atau menyelamatkan data berarti menyelami penyimpanan informasi
elektronik guna menarik makna yang koheren ke permukaan. Dan sama seperti
operasi penyelamatan di tengah laut, proses tersebut harus dikerjakan secara
pelan-pelan dan hati-hati. Satu langkah keliru dapat mengakibatkan kerusakan
fatal pada elemen-elemen yang hendak dipulihkan. ERTS mempunyai sejumlah tim
penyelamatan yang terampil dalam seni pemulihan data, dan salah satunya segera
mulai mengerjakan pemulihan data audio, sementara tim lain menangani pemulihan
data visual. Tapi Karen Ross juga tidak tinggal diam. Ia pun berupaya memulihkan data visual
melalui prose - 47 PEMULIHAN dur-prosedur sangat canggih yang hanya dapat dilakukan di ERTS.
Earth Resources Technology merupakan perusahaan yang relatif muda. Perusahaan
tersebut didirikan tahun 1975 sebagai tanggapan atas ledakan informasi mengenai
bumi dan sumber dayanya. Jumlah informasi yang ditangani ERTS. sungguh
mencengangkan: citra-citra dari satelit Landsat saja berjumlah lebih dari
500.000; setiap jam diperoleh enam belas citra baru, 24 jam sehari. Dengan
tambahan fotografi udara, fotografi inframerah, serta radar pandangan samping
dengan rana arti-' fisial, informasi total yang tersedia bagi ERTS melebihi dua
juta citra, dengan masukan baru sebanyak tiga puluh citra per jam. Seluruh
informasi ini perlu dipilah dan disimpan, dan harus dapat dipanggil kembali
dengan seketika. ERTS menyerupai perpustakaan yang memperoleh tujuh ratus buku
baru setiap hari. Tak mengherankan kalau para petugas perpustakaan harus bekerja
keras siang-malam. Orang-orang yang berkunjung ke ERTS pada umumnya tidak menyadari bahwa sepuluh
tahun sebelumnya, dengan bantuan komputer sekalipun, kapasitas penanganan data
seperti itu merupakan sesuatu yang mustahil. Para tamu juga mempunyai persepsi
keliru mengenai sifat informasi di ERTS mereka menyangka gambar-gambar yang ?terlihat pada layar-layar monitor merupakan foto biasa, padahal itu tidak benar.
48 Fotografi merupakan sistem kimiawi abad kesembilan belas untuk merekam informasi
dengan menggunakan senyawa-senyawa perak yang peka cahaya. ERTS memanfaatkan,
teknologi elektronik abad kedua puluh untuk tujuan yang sama. Teknologi itu
analog dengan fotografi kimiawi, namun sekaligus sangat berbeda. Sebagai
pengganti kamera, ERTS menggunakan pelarik multispektrum; sebagai pengganti
film, mereka menggunakan CCTs computer compatible tapes. ERTS tidak mengurusi
?"gambar" seperti yang dikenal dalam teknologi fotografi yang kuno. ERTS membeli
"larikan data", yang kemudian diubah menjadi "tampilan data" saat dibutuhkan.
Citra-citra dalam bank data ERTS sesungguhnya berupa sinyal-sinyal listrik yang
direkam pada pita magnet, dan dengan demikian dapat dimanipulasi secara
elektonik. ERTS memiliki 837 program komputer untuk mengubah suatu citra: untuk
mem-pertajamnya, untuk menghapus elemen-elemen yang tidak diinginkan, untuk
menonjolkan detail-detail tertentu. Ross menggunakan empat belas program untuk
menangani rekaman video dari Kongo terutama bagian penuh garis gangguan yang
?memperlihatkan wajah dan tangan itu, tepat sebelum piringan antena dihancurkan.
Ia mulai dengan menjalankan program yang disebut "siklus pencucian", guna
menghapus garis-garis gangguan tersebut. Mula-mula ia memberi instruksi pada
komputer untuk memantau garis -
49 garis tersebut. Hasil pemantauannya menunjukkan bahwa semuanya timbul pada
posisi tertentu, dan memiliki nilai tertentu pula pada skala keabu-abuan.
Kemudian ia menyuruh komputer membatalkan garis-garis itu.
Citra yang dihasilkan memperlihatkan bidang-bidang kosong di tempat garis-garis
gangguan di-hilangkan. Ross lalu menjalankan proses "pengisian-bidang-kosong".
Ia menginstruksikan komputer untuk menambahkan pixel-pixel yang sesuai dengan
keadaan di sekitar bidang-bidang kosong. Dalam operasi ini, komputer melakukan
tebakan logis mengenai apa yang seharusnya mengisi bidang-bidang kosong
tersebut. Ross kini memiliki citra yang bebas gangguan, namun gambarnya buram dan kurang
jelas. Karena itu, ia melakukan high-priced spread, yaitu meng-intensifikasi
citra dengan memperbesar rentang nilai pada skala keabu-abuan. Tapi proses
tersebut ternyata menimbulkan distorsi fasa yang harus di-atasinya, dan ini
menghasilkan spiking glitches yang semula teredam, sedangkan untuk menghilangkan
glitches ini ia terpaksa menjalankan tiga program lagi.
Selama satu jam ia disibukkan oleh detail-detail teknis, sampai citra itu
mendadak tampak jelas dan terang pada layar. Ross menahan napas. Gambar di layar
memperlihatkan sebuah wajah gelap dengan alis menonjol, mata menyorot tajam,
hidung pesek, dan bibir tebal.
50 Yang tampak pada layar video adalah wajah seekor gorila jantan.
Travis menatap gambar pada layar sambil menggelengkan kepala. "Pemulihan audio
untuk bunyi desis itu sudah selesai. Komputer memastikannya sebagai suara napas
manusia, dengan paling tidak empat sumber berbeda. Tapi ada satu keanehan.
Manusia biasanya menimbulkan suara saat mengembuskan napas, sedangkan menurut
analisis komputer, bunyi itu timbul pada saat menarik napas."
"Komputernya keliru," ujar Ross. "Bunyi ini tidak berasal dari manusia." Ia
menunjuk wajah gorila yang tampak di layar.
Sedikit pun Travis tidak memperlihatkan tanda heran maupun bingung. "Gambar
buatan," ia berkomentar singkat.
"Ini bukan gambar buatan." "Kau melakukan pengisian-bidang-kosong, dan kau
memperoleh gambar buatan. Kelihatannya anak-anak mengotak-atik software lagi
pada waktu makan siang." Anak-anak nama julukan untuk para programmer ?muda memang gemar mengubah-ubah data untuk bermain pinball versi canggih.
?Kadang-kadang permainan mereka secara tak sengaja merambat ke program-program
Iain. Ross sendiri sudah sering kali mengeluhkan kebiasaan mereka. "Tapi citra ini
bukan hasil otak-atik," ia berkeras sambil kembali menunjuk ke layar.
51 "Karen," ujar Travis, "minggu lalu Harry melakukan pengisian-bidang-kosong pada
Pegunungan Karakorum dan kau tahu apa yang diperolehnya" Permainan pendaratan di
bulan! Kita diminta mendarat di samping Restoran McDonald's. Lucu, bukan?" Ia
berjalan ke arah pintu. "Lebih baik kau bergabung dengan yang lain di ruang
kerjaku. Kita akan menyusun jadwal untuk ekspedisi berikut."
"Aku yang akan memimpin ekspedisi berikut."
Travis menggelengkan kepala. "Tidak bisa."
"Tapi bagaimana dengan ini?" Ross bertanya sambil menunjuk ke layar.
"Aku tidak percaya gambar itu," balas Travis. "Tingkah laku gorila bukan seperti
itu. Itu pasti gambar buatan." Ia melirik jam tangannya. "Sekarang ini, satu-
satunya hal yang kupikirkan ada-lah seberapa cepat kita bisa memberangkatkan tim
susulan ke Kongo." 52 4 Sejak awal sudah jelas bagi Travis bahwa mereka harus kembali ke Kongo. Sejak
pertama melihat rekaman video dari sana, satu-satunya pertanyaan dalam benaknya
hanyalah bagaimana cara yang terbaik. Malam itu juga ia memanggil semua kepala


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seksi: pembukuan, hubungan luar negeri, pengindraan jarak jauh, geologi,
logistik, legal. Semuanya tampak mengantuk, menguap, dan menggosok-gosok mata.
Travis membuka pertemuan dengan berkata, "Sembilan puluh enam jam dari sekarang,
kita sudah harus berada di Kongo lagi."
Kemudian ia duduk bersandar dan membiarkan mereka menjelaskan mengapa itu tidak
mungkin. Alasan-alasannya memang tidak sedikit.
"Unit-unit kargo udara tak mungkin siap dalam waktu kurang dari 160 jam," ujar
Cameron, ahli logistik. "Kita bisa menunda keberangkatan tim Himalaya, dan memakai unit-unit mereka,"
balas Travis. 53 EKSPEDISI SUSULAN "Tapi itu ekspedisi pegunungan." "Unit-unit mereka bisa dimodifikasi dalam
sembilan jam." "Kita tak mungkin menyewa pesawat secepat itu untuk mengangkut semuanya ke
Afrika," kata Lewis, yang bertanggung jawab atas urusan transportasi.
"Korean Airlines punya jet kargo 747 yang siap terbang di SFX. Mereka bilang
pesawat itu bisa sampai di sini dalam waktu sembilan jam."
"Mereka punya pesawat menganggur di sana?" tanya Lewis sambil terheran-heran.
"Kabarnya ada pembatalan mendadak dari pe-langgan lain," Travis menjelaskan.
Irwin, kepala pembukuan, mengerang tertahan. "Berapa biayanya?" ia bertanya
perlahan sambil geleng-geleng kepala.
"Kita takkan sempat memperoleh visa dari Ke-dutaan Zaire di Washington," kata
Martin, kepala seksi hubungan luar negeri. "Dan aku sangsi mereka bersedia
mengeluarkan visa baru. Visa-visa untuk ekspedisi pertama didasarkan atas hak
eksplorasi mineral yang kita peroleh dari Pemerintah Zaire, dan HEM kita
bersifat nonekslusif. Kita diizinkan memasuki wilayah mereka, tapi begitu pula
pihak Jepang, Jerman, dan Belanda, yang membentuk konsorsium pertambangan.
Persoalan-nya: siapa cepat, dia dapat. Pihak mana pun yang lebih dulu menemukan
bahan galian yang dicari, juga akan memperoleh kontraknya. Jika pihak
54 Zaire tahu ekspedisi kita mengalami masalah, mereka akan mencabut HEM kita dan
memberi kesempatan pada konsorsium Euro-Jepang. Saat ini ada tiga ratus utusan
perdagangan Jepang di Kinshasa, dan mereka sibuk menghambur-hambur-kan yen di
sana." "Memang, HEM kita bisa saja dicabut," kata Travis, "tapi hanya kalau sampai
ketahuan ekspedisi kita dalam kesulitan."
"Mereka akan segera tahu begitu kita mengajukan permohonan visa baru."
"Kita takkan mengajukan permohonan. Setahu mereka," ujar Travis, "kita masih
punya ekspedisi di Virunga. Jika kita bergerak cepat dan segera menerjunkan tim
kedua yang kecil, takkan pernah ada yang tahu itu bukan tim semula."
"Tapi bagaimana dengan visa-visa pribadi untuk melintasi perbatasan, manifes-
manifes..." "Soal sepele," kata Travis. "Apa gunanya minuman?" Yang dimaksudnya adalah
pelicin, yang sering berbentuk minuman keras. Di banyak ba-gian dunia, tim-tim
ekspedisi membawa berpeti-peti minuman keras dan berkotak-kotak pelicin favorit
lainnya, yaitu radio transistor dan kamera Polaroid.
"Soal sepele" Bagaimana mereka bisa melintasi perbatasan tanpa visa?"
"Nan, untuk itu kita butuh orang yang bisa diandalkan. Mungkin Munro."
55 "Munro" Wan, jangan cari perkara. Pemerintah Zaire membenci Munro."
"Dia banyak akal, dan dia kenal daerah itu."
Kepala seksi hubungan luar negeri, Martin, ber-deham dan berkata, "Mungkin lebih
baik kalau aku tidak mengikuti diskusi ini. Sepertinya kau bermaksud memasuki
negara berdaulat dengan rombongan ilegal di bawah pimpinan bekas tentara bayaran
Kongo." "Sama sekali bukan," balas Travis. "Aku perlu mengirim tim pendukung untuk
membantu orang-orangku yang sudah ada di lapangan. Ini soal biasa. Tak ada
alasan untuk menduga bahwa ada masalah; ini hanya tim pendukung rutin. Aku cuma
tak punya waktu untuk melewati jalur resmi, itu saja. Oke, aku mungkin agak
sembrono dalam memilih tenaga sewaan, tapi itu pun bukan kesalahan serius."
Pukul 23.45 tanggal 13 Juni, jadwal pokok ekspedisi ERTS berikut telah selesai
disusun dan dikonfirmasi oleh komputer. Pukul 20.00 keesokan malamnya, tanggal
14 Juni, pesawat 747 ber-muatan penuh sudah bisa bertolak dari Houston; tanggal
15 pesawat itu akan tiba di Afrika untuk menjemput Munro "atau orang lain
seperti dia"; dan tanggal 17 seluruh tim sudah bisa berada di Kongo.
Dalam waktu 96 jam. Dan ruang data utama, Karen Ross bisa meman -
56 dang melalui dinding-dinding kaca ruang kerja Travis dan melihat perdebatan yang
terjadi. Dengan jalan pikirannya yang selalu berlandaskan nalar, ia menyimpulkan
bahwa Travis menarik kesimpulan keliru berdasarkan data yang tidak lengkap. Ross
merasa tak ada gunanya kembali ke Kongo sebelum diketahui apa yang akan mereka
hadapi di sana. Ia tetap duduk di depan komputer, memeriksa citra yang telah
dipulihkannya.' Ross percaya citra itu bukan gambar buatan, tapi bagaimana ia dapat meyakinkan
Travis" Dalam dunia pengolahan data yang canggih di ERTS, selalu ada bahaya bahwa
informasi yang berhasil disaring akan mulai "mengambang" citra-citra tersebut ?akan terlepas dari kenyataan, bagaikan kapal terlepas dari tempat tambatan.
Bahaya ini semakin besar jika suatu database telah berulang kali mengalami
manipulasi jika 106 pixel dirotasikan dalam hyper space yang diciptakan oleh
?komputer. Menyadari bahaya itu, ERTS lalu mengembangkan cara-cara lain untuk menguji
keabsahan citra-citra yang diperoleh melalui komputer. Ross menjalankan dua
program uji untuk memeriksa gambar gorila itu. Program pertama dinamakan APNF,
singkatan untuk Animation Predicted Next Frame.
Rekaman video dapat ditangani seperti film bioskop, sebagai serangkaian gambar
diam yang sambung-menyambung. Ross memperlihatkan sejumlah "gambar diam"
berturut-turut pada kom -
57 puter, lalu memberi instruksi agar komputer meramalkan gambar berikut. Gambar
prediksi ini kemudian dibandingkan dengan gambar berikut sesungguhnya.
Delapan kali ia menjalankan proses ini, dan setiap kali ia memperoleh hasil yang
cocok. Seandainya terdapat kesalahan dalam pengolahan data, paling tidak
kesalahan tersebut bersifat konsisten.
Temuan ini menambah semangat Ross. Ia lalu melakukan "simulasi kasar tiga
dimensi". Dalam simulasi ini, gambar video yang datar diasumsikan memiliki
karakteristik tiga dimensi tertentu, yang didasarkan atas pola skala keabu-
abuan. Intinya, komputer menentukan bayangan sebuah hidung, atau barisan
pegunungan, menunjukkan bahwa hidung atau barisan pegunungan tersebut menonjol
dari permukaan di sekelilingnya. Gambar-gambar berurutan dapat dibandingkan
dengan asumsi-asumsi ini. Ketika gorila itu bergerak, komputer memastikan gambar
datar tersebut bersifat koheren dan tiga dimensi.
Ini membuktikan secara tuntas bahwa gambar tersebut memang nyata.
Ross menemui Travis. "Andai kata aku percaya," ujar Travis sambil mengerutkan kening, "aku tetap
tidak melihat alasan mengapa harus kau yang memimpin ekspedisi berikut."
58 Ross menyahut, "Apa yang ditemukan tim yang satu lagi?"
"Tim yang satu lagi?" Travis bertanya, seakan-akan tidak tahu apa yang dimaksud.
"Kau menyerahkan rekaman video itu pada tim pemulihan lain untuk mengkonfirmasi
temuanku," kata Ross.
Travis melirik jam tangannya. "Mereka belum mendapatkan apa-apa." Dan ia
menambahkan, "Kita semua juga tahu kau cekatan menangani database."
Ross tersenyum. "Karena itulah kau membutuhkan aku sebagai pemimpin ekspedisi,"
ia berkata. "Aku cekatan menangani database, karena aku yang menyusunnya. Dan
kalau kau berniat segera mengirim tim lain sebelum urusan gorila ini di-
bereskan, satu-satunya harapan yang kaumiliki adalah pemimpin timnya cekatan
menangani data di lapangan. Kali ini kau butuh jago komputer di luar sana. Atau
ekspedisi berikut akan berakhir seperti yang pertama. Sebab kau tetap belum
tahu, apa yang terjadi dengan mereka."
Travis duduk di balik mejanya, menatap Ross untuk waktu lama. Ross mengartikan
kebimbangan bosnya sebagai pertanda baik.
"Dan aku ingin minta bantuan orang lain." . "Orang luar?"
"Ya. Seseorang dari daftar penerima sumbangan kita."
"Berbahaya," ujar Travis. "Aku enggan melibat-59
kan orang luar dalam keadaan seperti ini. Pihak konsorsium pasti memantau setiap
langkah kita. Kau memperbesar risiko kebocoran."
"Ini penting," Ross berkeras.
Travis menghela napas. "Baiklah, kalau kaupikir ini penting." Sekali lagi ia
menghela napas. "Pokoknya, jangan sampai persiapan timmu terganggu."
Ross sudah mulai mengemasi berkas-berkas yang dibutuhkannya.
Setelah ditinggal pergi oleh Ross, Travis mengerutkan kening dan merenungkan
keputusannya. Kalaupun ekspedisi Kongo berikutnya bergerak cepat, masuk dan
keluar dalam kurang dari lima belas hari, biaya tetap mereka masih akan melebihi
300.000 dolar. Dewan pimpinan akan marah-marah mengirim anak muda berumur 24 ?
tahun yang belum berpengalaman, perempuan lagi, ke lapangan dengan beban
tanggung jawab sebesar ini. Apalagi menyangkut proyek sepenting ini, di mana
begitu banyak yang dipertaruhkan, dan di mana mereka telah melanggar semua tolok
waktu serta perkiraan biaya. Apalagi Ross begitu dingin, sehingga besar
kemungkinan ia akan gagal sebagai pemimpin di lapangan, karena tak dapat bekerja
sama dengan yang lain. Tapi Travis mempunyai firasat mengenai si Gletser Ross. Falsafah manajemen
Travis, yang terbentuk semasa ia aktif sebagai "pawang hujan", adalah
menyerahkan proyek pada siapa pun yang
60 paling banyak meraih keuntungan jika berhasil atau menderita kerugian terbesar?jika gagal.
Ia berputar dan menghadap komputer yang dipasang di samping mejanya. "Travis,"
ia berkata, dan layarnya langsung menyala.
"Arsip psikografi," ia berkata.
Layar monitor memperlihatkan prompt.
"Ross, Karen," ujar Travis.
Kalimat SABAR SEJENAK tampak berkedap-kedip pada layar. Itu tanggapan standar
untuk menunjukkan bahwa komputer sedang menggali informasi. Travis menunggu.
Kemudian rangkuman psikografi yang dimintanya tampil pada layar. Setiap pegawai
ERTS telah menjalani tes psikologi intensif selama tiga hari, bukan hanya untuk
menentukan kemampuan masing-masing, melainkan juga untuk mengungkapkan
kecenderungan-kecenderungan negatif yang mungkin ada. Travis yakin analisis
kemampuan Ross akan menenangkan Dewan Pimpinan.
SANGAT CERDAS RASIONAL FLEKSIBEL PANJANG AKAL MEMILIKI INTUISI TERHADAP DATA
PROSES BERPIKIR COCOK UNTUK MENGHADAPI KONTEKS-KONTEKS YANG BERUBAH-UBAH SECARA
CEPAT BERMOTIVASI TTNGGI UNTUK MENCAPAI TUJUAN YANG TELAH DITENTUKAN MAMPU
MEMPERTAHANKAN KONSENTRASI UNTUK JANGKA WAKTU PANJANG
61 Kelihatannya seperti gambaran ideal untuk pemimpin tim Kongo berikut. Perhatian
Travis lalu beralih pada aspek-aspek negatif, yang ternyata kurang meyakinkan.
CENDERUNG TERLALU PRAGMATIS SU-KAR MENJALIN HUBUNGAN ANTARMANU-SIA MEMILIKI
KEBUTUHAN UNTUK BERKUASA ANGKUH KARENA KEMAMPUAN INTELEKTUAL KASAR BERSEDIA
MENGGUNAKAN SEGALA CARA UNTUK MENCAPAI TUJUAN
Arsip psikografi Karen Ross ditutup dengan catatan flopover. Konsep pembalikan
watak ini dikembangkan melalui pengujian di ERTS. Konsep tersebut' menyatakan
bahwa setiap aspek watak yang dominan dapat membalik secara mendadak dalam
kondisi stres: pribadi-pribadi yang matang bisa tiba-tiba menampilkan tingkah
kekanak-kanak-an, pribadi-pribadi yang histeris bisa bersikap luar biasa
tenang pribadi-pribadi yang rasional pun bisa mendadak bersikap irasional.
?MATRIKS FLOPOVER: DOMINAN {CENDERUNG TIDAK MENGUNTUNGKAN} OBJEK-TIVITAS MUNGKIN
HILANG JIKA TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI DIANGGAP TELAH BERADA DI DEPAN MATA /
KEINGINAN MERAIH SUKSES DAPAT MEMICU TINDAK -
62 AN IRASIONAL YANG BERBAHAYA / FIGUR BERWIBAWA DIPANDANG SEBAGAI ANCAMAN YANG
HARUS DILAWAN SUB-JEK HARUS DIAWASI DALAM TAHAP AKHIR PROSES MENCAPAI TUJUAN
Travis menatap layar dan memutuskan bahwa kondisi seperti itu kemungkinannya
kecil al^an timbul dalam ekspedisi Kongo berikut.
Karen Ross serasa berada di awang-awang karena wewenangnya yang baru. Beberapa
saat sebelum tengah malam, ia minta komputer menampilkan daftar penerima
sumbangan pada layar monitornya. ERTS secara berkala memberikan bantuan dana
kepada ahli-ahli binatang di berbagai bidang melalui suatu yayasan-nirlaba
bernama Earth Resources Wildlife Fund. Daftar sumbangan tersebut disusun secara
taksonomi. Dalam kategori "Primata", Ross menemukan empat belas nama, termasuk
beberapa orang di Borneo, Malaysia, Afrika, serta Amerika Serikat. Di Amerika
Serikat hanya ada satu periset gorila, ahli primata bernama Dr. Peter Elliot,
yang befcerja di University of California di Berkeley.
Arsip yang tampak pada layar monitor menunjukkan bahwa Elliot berusia 29 tahun,
bujangan, dan menduduki jabatan profesor pada Departemen Zoologi. Sebagai pokok
risetnya tercantum "Ko -
63 munikasi Primata (Gorila)". Sumbangan dana diberikan kepada proyek bernama
Proyek Amy. Ross melirik jam tangannya. Tengah malam di Houston berarti pukul 22.00 di
California. Ia menghubungi nomor telepon rumah yang tercetak pada layar.
"Halo?" sebuah suara pria menyahut dengan hati-hati.
"Dr.^Peter Elliot?"
"Ya..." Suara itu tetap bernada waspada, ragu-ragu. "Anda wartawan?"
"Bukan," jawab Ross. "Saya Dr. Karen Ross di Houston. Saya berhubungan dengan
Earth Resources Wildlife Fund, yang membiayai riset Anda."
"Oh ya..." Nada suara Elliot tidak berubah. "Anda betul-betul bukan wartawan" Saya
rasa Anda perlu tahu bahwa saya merekam percakapan ini untuk digunakan sebagai
dokumen legal jika diperlukan."
Karen Ross mendadak merasa telah membuat kesalahan dengan menelepon Elliot. Ia
tak mungkin membeberkan rahasia ERTS kepada ilmuwan sinting yang akan merekam
percakapan mereka. Karena itu ia diam saja.
"Anda orang Amerika?" tanya Elliot.
"Tentu saja." Karen Ross menatap layar komputer yang menampilkan pesan KONFIRMASI IDENTIFIKASI
SUARA: ELLIOT, PETER, 29 TAHUN.
"Ada perlu apa?" ujar Elliot.
64 "Ehm, kami akan mengirim ekspedisi ke daerah Virunga di Kongo, dan..."
"Betul" Kapan Anda berangkat?" Suara itu mendadak penuh semangat.
"Kami akan berangkat dua hari lagi, dan..."
"Saya mau ikut," kata Elliot.
Ross begitu terkejut, sehingga tidak tahu harus berkata apa. "Terus terang, Dr.
Elliot, bukan itu tujuan saya menelepon Anda. Sebenarnya..."
"Saya toh sudah berencana pergi ke sana," Elliot memotong. "Bersama Amy." *
"Siapa Amy?" m "Amy seekor gorila," jawab Peter Elliot.
65 HARI 2 SAN FRANCISCO 14 Juni 1979 di-s can dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
I Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan men imp a anda selamanya
1 Pendapat bahwa Peter Elliot "terpaksa meninggalkan kota" pada bulan Juni 1979,
seperti yang kemudian dikemukakan beberapa ahli primata lain, sesungguhnya tidak
berdasar. Alasan-alasannya, serta perencanaan di balik keputusan untuk pergi ke
Kongo, dapat diketahui pasti. Paling tidak dua hari sebelum dihubungi oleh Ross,
Profesor Elliot dan stafnya telah memutuskan untuk melakukan perjalanan ke
Afrika. Di pihak lain, tak dapat disangkal bahwa Peter Elliot tengah menghadapi serangan
dari berbagai arah: dari kelompok-kelompok luar, pihak pers, rekan-rekan
ilmuwan, bahkan dari anggota-anggota departemennya sendiri di Berkeley. Ia
sampai dituding sebagai "penjahat Nazi" yang terlibat dalam "penyiksaan binatang
tak berakal [sic]". Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Elliot, pada musim
semi 1979, sedang berjuang untuk menyelamatkan kehidupan profesionalnya.
Padahal risetnya boleh dibilang berawal dari
69 PROYEK AMY suatu kebetulan, saat Peter Elliot masih mahasiswa pascasarjana berumur 23 tahun


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Departemen Antropologi di Berkeley. Ketika itulah ia untuk pertama kali
membaca berita mengenai seekor gorila berusia satu tahun yang menderita disentri
amuba, dan diterbangkan dari kebun binatang Minneapolis guna menjalani perawatan
di Sekolah Kedokteran Hewan San Francisco. Itu terjadi pada tahun 1973, masa
awal riset bahasa primata.
Gagasan bahwa primata dapat diajari bahasa . sesungguhnya sudah tua. Pada tahun
1661, Samuel Pepys melihat seekor simpanse di London, lalu menulis dalam buku
hariannya bahwa "dalam banyak hal, dia begitu mirip manusia, sehingga saya
percaya dia sedikit-banyak sudah memahami bahasa Inggris, dan rasa-rasanya dia
dapat dilatih berbicara atau memberi isyarat." Penulis abad ketujuh belas
lainnya melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan, "Monyet dan kera
sesungguhnya dapat bertutur kata, namun enggan melakukannya karena takut
dipekerjakan oleh manusia."
Meski demikian, selama tiga ratus tahun berikutnya segala usaha melatih monyet
agar dapat berbicara ditandai oleh kegagalan demi kegagalan. Gelombang percobaan
tersebut mencapai puncak-nya dalam usaha ambisius sepasang suami-istri asal
Florida, Keith dan Kathy Hayes. Selama enam tahun di awal dasawarsa 1950-an,
mereka membesarkan seekor simpanse bernama Vicki bagaikan anak manusia. Dalam
masa itu, Vicki mempelajari
70 empat kata "mama", "papa", "cangkir", dan "naik". Namun pengucapannya ?tersendat-sendat dan kemajuannya pun lamban. Kesulitan yang dialaminya seakan-
akan memperkuat keyakinan yang berkembang di kalangan ilmuwan, yaitu bahwa
manusialah satu-satunya binatang yang mampu berbahasa. Keyakinan itu tercermin
dalam pernyataan George Gaylord Simpson: "Bahasa merupakan faktor utama untuk
membedakan manusia dari makhluk hidup lain."
Pendapat tersebut seakan-akan tak tergoyahkan, dan selama lima belas tahun
berikut tak seorang pun mencoba mengajarkan bahasa kepada monyet. Lalu, tahun
1966, sepasang suami-istri asal Reno, Nevada, mempelajari film-film yang
memperlihatkan Vicki sedang berbicara. Menurut pengamatan mereka, Vicki bukannya
tak mampu berbahasa, melainkan tak mampu berbicara. Memang benar gerakan
bibirnya kaku, namun isyarat-isyarat tangannya lancar dan ekspresif.
Bulan Juni 1966, suami-istri Gardner mulai mengajarkan American Sign Language
(Ameslan), bahasa isyarat standar kaum tuna rungu di Amerika Serikat, kepada
bayi simpanse bernama Washoe. Washoe ternyata mencapai kemajuan pe-sat dengan
ASL; pada tahun 1971, simpanse be-tina itu telah menguasai 160 isyarat, dan
mampu menggunakan semuanya dalam percakapan. Ia juga sanggup menyusun berbagai
kombinasi kata baru 71 untuk hal-hal yang tak dikenalnya; ketika pertama melihat semangka, ia memberi
isyarat "buah air".
Riset suami-istri Gardner itu tidak terlepas dari kontroversi; ternyata banyak
ilmuwan berkepen-tingan untuk mempertahankan pendapat bahwa monyet tidak mampu
berbahasa. (Komentar salah satu periset lain, "Ya Tuhan, bayangkan semua nama
besar yang dipasang pada demikian banyak karya tulis ilmiah selama berpuluh-
puluh tahun dan semuanya sependapat bahwa hanya manusia yang mampu berbahasa.
?Ini betul-betul kacau.")
Keterampilan Washoe memicu berbagai eksperimen lain dalam bidang pengajaran
bahasa. Seekor simpanse bernama Lucy diajari berkomunikasi melalui komputer;
simpanse lain, Sarah, dilatih menggunakan tanda-tanda plastik pada papan magnet.
Monyet-monyet lain pun dipelajari. Seekor orang utan bernama Alfred mulai
menjalani pelatihan pada tahun 1971; gorila dataran rendah bernama Koko menyusul
pada tahun 1972; dan pada tahun 1973, Peter Ellio* mengawali ekspe-rimennya
dengan seekor gorila pegunungan, yaitu Amy.
Ketika pertama berkunjung ke rumah sakit untuk menjumpai Amy, Elliot menemukan
makhluk kecil tak berdaya yang tampak grogi akibat pengaruh obat bius, dengan
kaki dan tangan ter-kekang tali pengikat. Ia langsung membelai-belai kepalanya
dan berkata dengan lembut, "Halo, Amy, aku Peter."
72 Amy serta-merta menggigit tangan Elliot sampai berdarah.
Kejadian yang tidak mengenakkan ini menjadi awal dari program riset yang luar
biasa berhasil. Pada tahun 1973, teknik pengajaran dasar yang dinam'akan
pembentukan telah dipahami secara mendalam. Seorang periset menunjukkan sebuah
benda kepada binatang yang ditelitinya, sekaligus mengatur tangan binatang itu
agar membentuk isyarat yang tepat. Ini dilakukan berulang-ulang, sampai hubungan
antara isyarat dan benda tersebut betul-betul dimengerti. Kemudian dilakukan
pengujian lebih lanjut, guna memastikan apakah isyarat bersangkutan telah benar-
benar dipahami. Metodologi dasar ini diterima secara luas, namun aplikasinya diwarnai persaingan
ketat. Para periset berlomba-lomba dalam hal tingkat pemahaman isyarat baru,
atau dengan kata Iain, penam-bahan kosakata. (Di antara manusia, kosakata
dianggap cara terbaik untuk mengukur kecerdasan.) Tingkat pemahamar isyarat baru
dapat dipandang sebagai tolok ukur kecakapan si periset atau kecerdasan binatang
bersangkutan. Saat itu juga telah diketahui bahwa monyet-monyet memiliki kepribadian berlain-
lainan. Salah satu periset berkomentar, "Studi tentang kera mungkin satu-satunya
bidang di mana gosip akademik yang beredar terfokus kepada para murid, bukan
kepada para guru." Dalam dunia riset primata yang semakin kompetitif dan penuh
per-73 selisihan, Lucy dikabarkan sebagai pemabuk, Koko dianggap bertabiat buruk, Lana
dituduh besar kepala karena ketenarannya ("dia mau bekerja hanya kalau ada
wartawan"), sementara Nim dikatakan begitu bodoh, sehingga seharusnya diberi
nama Dim dungu.?- Sepintas lalu rasanya aneh bahwa justru Peter Elliot yang menghadapi serangan
gencar, sebab selama bekerja dengan Amy, pria tampan dan cenderung pemalu ini
malah berupaya menghindari kontroversi. Laporan-laporan Elliot bernada hati-hati
dan moderat; kemajuannya bersama Amy ter-dokumentasi dengan baik; ia tidak
menunjukkan miiiat terhadap publisitas, dan tidak termasuk periset yang
menampilkan monyet-monyet mereka di acara TV Carson atau Griffin.
Namun sikap Elliot yang tenang bukan saja menyembunyikan otak yang cerdas,
melainkan juga ambisi menyala-nyala. Ia menghindari kontroversi semata-mata
karena tak punya waktu untuk berdebat kusir. Bertahun-tahun ia bekerja sampai
larut malam dan pada akhir pekan, dan ia memaksa stafnya serta Amy untuk
memperlihatkan ke-tekunan yang sama. Ia pun piawai dalam menangani segi bisnis
ilmu pengetahuan, yaitu mencari dana. Jika periset-periset lain muncul dengan
jeans dan kemeja flanel bermotif kotak-kotak setiap kali ada konferensi ahli
perilaku binatang, Elliot tampil dengan setelan jas lengkap. Elliot bertekad
men-74 jadi peneliti monyet paling disegani, dan ia berniat menjadikan Amy monyet
paling menonjol. Elliot begitu mahir menggalang dana, sehingga pada tahun 1975 ia telah sanggup
mempekerjakan empat orang secara purnawaktu untuk Proyek Amy. Tahun 1978 Proyek
Amy mempunyai anggaran tahunan sebesar $160,000 AS serta staf delapan orang,
termasuk ahli psikologi ahak dan programmer komputer. Salah satu anggota staf
Bergren Institut kemudian berkomentar bahwa Elliot tidak mengalami kesulitan
mencari penyandang dana untuk risetnya karena ia merupakan "investasi yang baik; sebagai contoh, Proyek Amy memperoleh lima puluh
persen lebih banyak waktu komputer untuk uang kami, karena Elliot menggunakan
komputer pada malam hari dan pada akhir pekan, saat tarifnya lebih rendah. Ia
memanfaatkan setiap sen secara efektif. Dan, tentu saja, ia juga berdedikasi
tinggi: Elliot tampaknya tidak menaruh perhatian pada apa pun selain
pekerjaannya dengan Amy. Terus terang, ini memang berdampak negatif pada
pergaulan sosialnya, namun sangat menguntungkan bagi kami. Mencari orang yang
benar-benar cemerlang sangat sukar; jauh lebih mudah mencari orang berdedikasi
tinggi, yang untuk jangka panjang mungkin lebih penting. Kami mengantisipasi
hal-hal besar dari Elliot." *
Kesulitan Peter Elliot dimulai pada pagi tanggal 2 Februari 1979. Amy tinggal
dalam karavan di 75 kampus Berkeley; ia melewatkan malam hari sendirian, dan biasanya memberikan
sambutan meriah pada keesokan paginya. Namun pagi itu staf Proyek Amy menemukan
Amy dalam keadaan mu-rung yang tidak lazim; ia mudah tersinggung, matanya
berair, dan ia bersikap seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu perasaannya.
Elliot merasa suatu kejadian pada malam se-belumnyalah yang membuat Amy bersikap
demikian. Ketika ditanya, Amy memberi isyarat untuk "kotak tidur", suatu
gabungan kata yang tidak dipahami Elliot. Itu sebenamya biasa; Amy selalu
membuat gabungan kata baru yang sering kali sulit dimengerti. Baru beberapa hari
sebelumnya ia sempat mengejutkan Elliot dan timnya dengan berbicara mengenai
"susu buaya". Akhirnya mereka menemukan bahwa susu yang diberikan pada Amy sudah
asam. Karena Amy tidak menyukai buaya (yang dikenalnya hanya dari buku-buku
bergambar), ia lalu memutuskan bahwa sebutan yang co-cok untuk susu asam adalah
"susu buaya". Kini ia berbicara mengenai "kotak tidur". Mula-mula mereka menyangka yang
dimaksudnya adalah tempat tidurnya yang menyerupai sarang. Tapi ternyata Amy
menggunakan kata "kotak" seperti biasa, untuk menunjuk pesawat TV.
Segala sesuatu di dalam karavan Amy, termasuk pesawat TV, dikendalikan oleh
komputer, baik siang maupun malam. Mereka segera memeriksa apakah TV sempat
dinyalakan pada malam se -
76 belumnya, sehingga mengganggu tidur Amy. Berhubung Amy gemar menonton TV, tidak
tertutup kemungkinan ia berhasil menghidupkannya sendiri. Namun Amy tampak kesal
ketika mereka memeriksa pesawat TV di dalam karavan. Rupanya bukan itu
maksudnya. Akhirnya mereka berhasil menentukan bahwa yang dimaksud dengan "kotak tidur"
adalah "gambar tidur". Ketika ditanya lebih lanjut, Amy memberi isyarat "gambar
jahat" dan "gambar lama", lalu menjelaskan bahwa gambar-gambar itu "membuat Amy
menangis". Ternyata ia bermimpi. Amy-lah primata pertama yang melaporkan mimpinya, dan ini tentu saja memacu
semangat staf Elliot. Tapi luapan. semangat mereka tidak bertahan lama. Meskipun
tetap bermimpi pada malam-malam selanjutnya, Amy tidak bersedia membahas mimpi-
mimpi itu; sepertinya malah rae-nyalahkan para periset atas gangguan yang
membuatnya bingung. Yang lebih parah lagi, perilakunya saat terjaga semakin
memburuk. Tingkat pemahaman isyarat baru turun dari 2,7 kata baru per minggu menjadi 0,8
kata per minggu; tingkat pembentukan kata baru secara spontan turun dari 1,9
menjadi 0,3. Jangka waktu kon-sentrasinya berkurang lima puluh persen. Ia sering
murung tanpa sebab jelas; tindak-tanduknya sukar diramalkan; temper tantrum
terjadi setiap hari. Tinggi badan Amy 135 sentimeter, sementara berat
77 badannya mencapai 65 kilogram. Ia binatang yang - sangat kuat. Staf Elliot mulai
ragu, apakah mereka dapat mengendalikannya.
Mereka juga dibuat frustrasi oleh penolakan Amy untuk membicarakan mimpi-
mimpinya. Mereka mencoba berbagai metode penyelidikan: mereka memperlihatkan
gambar-gambar dari buku-buku dan majalah-majalah; mereka menyalakan monitor
video di langit-langit secara terus-mene-rus, kalau-kalau Amy memberi isyarat
yang patut diperhatikan saat ia sendirian (sama seperti anak kecil, Amy sering
"berbicara sendiri"); mereka bahkan melakukan serangkaian tes neurologik,
termasuk EEC Akhirnya mereka menyuruh Amy melukis dengan jari.
Cara ini langsung membawa hasil. Amy suka melukis'dengan jari, dan setelah cat-
cat khusus itu dicampur dengan bubuk cabe, ia pun jera menjilat jari-jemarinya.
Ia melukis dengan tangkas, menghasilkan gambar yang berulang-ulang, dan
sepertinya ketegangannya agak berkurang, perhbawaan-nya mulai kembali seperti
sediakala. David Bergman, pakar psikologi anak dalam staf Elliot, memperhatikan bahwa
lukisan-lukisan Amy sebenarnya merupakan gugus-gugus gambar yang tampaknya
saling terkait: bentuk-bentuk bulan sabit terbalik, atau setengah lingkaran,
yang selalu berhubungan dengan garis-garis vertikal berwarna hijau. Menurut Amy,
garis-garis hijau itu 78 menggambarkan "hutan", dan bentuk-bentuk setengah lingkaran disebutnya "rumah
jahat" atau "ru-mah tua". Selain itu, ia juga sering menggambar lingkaran-
lingkaran hitam, yang ia sebut "lubang".
Bergman sempat memberi peringatan agar mereka jangan terburu-buru menarik
kesimpulan bahwa Amy menggambar bangunan-bangunan tua di dalam hutan. "Amy
berulang-ulang melukis hal yang sama, dan ini meyakinkan saya bahwa gambar-
gambar tersebut bersifat obsesif dan pribadi. Amy terganggu oleh gambar-gambar
itu, dan dia berusaha mengeluarkan, atau menuangkan, semuanya ke atas kertas."
Dengan demikian, makna gambar-gambar itu tetap merupakan misteri bagi seluruh
staf. Menjelang akhir April 1979, mereka sepakat bahwa mimpi-mimpi Amy dapat
dijelaskan dengan empat cara. Berdasarkan urutan keseriusan, cara-cara tersebut
adalah sebagai berikut: 1. Mimpi-mimpi itu merupakan upaya mera-sionalisasi kejadian-kejadian sehari-
hari dalam hi-dup Amy. Ini penjelasan yang lazim untuk mimpi (manusia), tapi
Elliot serta stafnya sangsi apakah penjelasan tersebut juga berlaku dalam kasus
Amy. . 2. Mimpi-mimpi tersebut merupakan gejala sementara dalam perkembangan
remaja. Pada usia tujuh tahun, Amy tergolong remaja untuk ukuran gorila. Sudah
hampir satu tahun ia menunjukkan gejala-gejala khas remaja, termasuk mengamuk
79 dan mengambek, perhatian berlebihan pada penampilan, serta perhatian pada lawan
jenis. 3. Mimpi-mimpi itu merupakan fenomena khas untuk seluruh spesies gorila. Ada
kemungkinan semua gorila mengalami mimpi-mimpi seperti Amy. Di alam bebas, stres
yang ditimbulkan mungkin diatasi melalui perilaku kelompok. Kehidupan gorila di
alam bebas telah dipelajari selama dua puluh tahun terakhir, namun sampai
sekarang belum ada bukti yang mendukung teori ini.
4. Mimpi-mimpi Amy merupakan gejala awal penurunan daya pikir. Inilah
kemungkinan yang paling ditakuti. Agar seekor monyet dapat dilatih secara
efektif, latihannya harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Seiring berjalannya
waktu, para periset menanti dengan cemas untuk melihat apakah binatang mereka
akan tumbuh cerdas atau bodoh, keras kepala atau mudah dibujuk, sehat atau
sakit-sakitan. Kesehatan seekor monyet selalu memperoleh perhatian khusus.
Banyak program penelitian akhirnya terhenti setelah menghabiskan waktu dan biaya
yang tidak sedikit, karena monyet-monyet bersangkutan mati akibat penyakit fisik
maupun mental. Timothy, seekor simpanse di Atlanta, menjadi gila pada tahun 1976
dan melakukan coprophagia, bunuh diri dengan kematian akibat penyumbatan saluran
pernapasan oleh tinjanya sendiri. Maurice, seekor orang utan di Chicago,
mengalami gangguan jiwa dan mengembangkan berbagai fobia yang menghentikan
proses riset 80 pada tahun 1977. Ternyata selain kecerdasan yang menyebabkan mereka menarik
untuk diteliti, monyet juga mudah goyah seperti manusia. - Proyek Amy pun macet
di tengah jalan. Bulan Mei 1979, Elliot dan stafnya mengambil keputusan yang
kemudian terbukti sangat penting: mereka bersepakat menerbitkan gambar-gambar
Amy dan mengirimnya ke Journal of Behavioral Sciences.
81 2 "Perilaku Mimpi pada Seekor Gorila Pegunungan" akhirnya batal diterbitkan.
Sesuai prosedur, kertas kerja tersebut diserahkan pada tiga ilmuwan yang duduk
dalam dewan penyunting, dan salah satu salinan kemudian jatuh ke tangan Primate
Preservation Agency (sampai sekarang tetap belum diketahui bagaimana hal itu
bisa terjadi). PPA merupakan perkumpulan yang berkedudukan di New York,
didirikan tahun 1975 dengan tujuan mencegah "eksploitasi primata cerdas tanpa
hak dan secara melawan hukum dalam penelitian laboratorium yang tidak perlu".
Tanggal 3 Juni, pihak PPA mulai melakukan unjuk rasa di Departemen Zoologi di
Berkeley, * Uraian berikut mengenai rangkaian kesulitan yang menimpa Elliot disarikan dari
J.A. Peebles, "Infringement of Academic Freedom by Press Innuendo and Hearsay:
The Experience of Dr. Peter Elliot", dalam Journal of Academic Law and
Psychiatry 52, No. 12 (1979) : 19-38.
82 menuntut "pembebasan Amy". Sebagian besar de-monstran adalah wanita, beberapa
anak kecil ikut hadir. Rekaman video yang memperlihatkan anak laki-laki berusia
delapan tahun mengacungkan poster dengan foto Amy sambil berseru-seru "Bebaskan
Amy! Bebaskan Amy!" muncul dalam siaran berita stasiun TV lokal.
Staf Proyek Amy lalu melakukan kesalahan tak-tis dengan memilih untuk tidak
menanggapi protes-protes tersebut, hanya memberi pernyataan singkat bahwa pihak
PPA "memperoleh informasi keliru". Pernyataan ini dikeluarkan dengan menggunakan
kop surat Berkeley Information Office.
Tanggal 5 Juni, pihak PPA menyebarluaskan komentar-komentar sejumlah ahli
primata lain mengenai riset Elliot. (Banyak di antara mereka kemudian menyangkal
komentar-komentar tersebut atau mengaku bahwa keterangan mereka dikutip dengan


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak benar.) Dr. Wayne Turman, dari University of Oklahoma di Norman, konon
menyebut riset Elliot "mengada-ada dan tidak etis". Dr. Felicity Hammond, dari
Yerkes Primate Research Center di Atlanta, berpendapat bahwa "baik Elliot maupun
risetnya tidak termasuk kelompok unggulan". Sementara Dr. Richard Aronson dari
University of Chicago menuding riset Elliot "jelas-jelas bersifat fasis".
Tak satu pun dari ilmuwan-ilmuwan itu membaca kertas kerja Elliot sebelum
memberikan komentar; namun dampak negatif yang ditimbulkan,
83 TEROBOSAN terutama oleh Aronson, sangat besar. Tanggal 8 Juni, Eleanor Vries, juru bicara
PPA, mengecam "riset kriminal yang dilakukan oleh Dr. Elliot dan staf Nazi-nya";
ia menyalahkan riset Elliot sebagai penyebab mimpi buruk Amy, dan menuduh bahwa
Amy mengalami penyiksaan dan diberi obat bius serta kejutan listrik.
Tanggal 10 Juni, staf Proyek Amy akhirnya mengeluarkan keterangan pers secara
panjang-le-bar. Mereka menjelaskan posisi mereka secara detail dan menyinggung
kertas kerja yang batal diterbitkan. Tapi Biro Informasi Universitas kini
"terlampau sibuk" untuk mempublikasikan keterangan tersebut.
Tanggal 11 Juni, staf pengajar Berkeley mengadakan rapat untuk membahas "masalah
perilaku etis" di universitas itu. Eleanor Vries mengumumkan bahwa PPA
menggunakan jasa pengacara ter-kemuka asal San Francisco, Melvin Belli, "untuk
membebaskan Amy dari perbudakan". Kantor Belli tidak bersedia memberikan
komentar. Pada hari yang sama, staf Proyek Amy secara tak terduga membuat terobosan dalam
memahami mimpi-mimpi Amy.
Di tengah hiruk-pikuk dan sorotan masyarakat, mereka tetap melanjutkan kegiatan
riset. Kege^-lisahan Amy dan ledakan-ledakan kemarahannya merupakan tanda ? ?bahwa masalah sesungguhnya belum berhasil diatasi. Mereka terus mencari-cari
84 petunjuk, namun terobosan yang akhirnya diperoleh lebih banyak disebabkan oleh
faktor kebetulan. I Semuanya bermula ketika Sarah Johnson, salah satu periset junior, memutuskan
menyelidiki situs-situs arkeologi prasejarah di Kongo. Gagasannya didasarkan
atas kemungkinan bahwa semasa bayi Amy pernah melihat situs seperti itu
("bangunan-bangunan tua di hutan"), sebelum ia dibawa ke kebun binatang
Minneapolis. Johnson segera menemukan fakta-fakta mengenai Kongo: baru sekitar
seratus tahun lalu wilayah tersebut untuk pertama kali dijelajahi oleh orang
Barat. Dalam tahun-tahun terakhir, perang saudara serta suku-suku yang tidak
bersahabat menyulitkan penelitian il-miah; dan terakhir, lingkungan hutan tropis
yang lembap berdampak buruk bagi kelestarian benda-benda purbakala.
Ini berarti pengetahuan mengenai masa prasejarah Kongo sangat terbatas, dan
Johnson pun menyelesaikan risetnya dalam waktu beberapa jam saja. Namun karena
enggan mengakhiri tugasnya secepat itu, ia kemudian membaca buku-buku lain di
perpustakaan antropologi buku-buku etnografi, kisah-kisah sejarah, laporan-
?laporan perjalanan. Pengunjung-pengunjung pertama daerah pedalaman Kongo
ternyata para pedagang budak dari Arab serta saudagar-saudagar asal Portugal,
dan beberapa di antara mereka membuat catatan mengenai segala sesuatu yang
mereka lihat dan alami. Ber-85
hubung Johnson tidak dapat membaca bahasa Arab maupun Portugal, ia hanya
mengamati gambar-gambar yang menyertai catatan-catatan itu.
Kemudian ia melihat sebuah gambar yang dikatakannya "membuat saya merinding".
Gambar tersebut dibuat oleh orang Portugal pada tahun 1642, dan dicetak kembali
tahun 1842. Meski tintanya sudah menguning pada kertas yang telah rapuh dan
berjumbai-jumbai, Johnson langsung mengenali reruntuhan kota di tengah hutan,
yang tertutup tumbuhan rambat dan pakis raksasa. Semua pintu dan jendela dibuat
dengan lengkungan berbentuk setengah lingkaran, tepat seperti yang digambarkan
Amy. "Kesempatan semacam itu," Elliot belakangan berkomentar, "hanya datang satu kali
dalam hidup seorang periset itu pun kalau dia beruntung. Kami tidak memiliki ?informasi apa pun mengenai gambar tersebut; keterangan di bawahnya ditulis
tangan dan sukar dibaca, tapi sepertinya ada kata 'Zinj' dan angka 1642. Kami
segera menyewa penerjemah yang menguasai bahasa Arab kuno dan bahasa Portugal
abad ketujuh belas. Masalahnya, kami memperoleh kesempatan untuk menjawab sebuah
pertanyaan teoretis yang sangat mendasar. Gambar-gambar Amy tampaknya merupakan
kasus ingatan genetik."
Konsep ingatan genetik diperkenalkan tahun 1911 oleh Marais, dan sejak itu
menimbulkan per - 86 debatan yang tak kunjung selesai. Dalam ben-tuknya yang paling sederhana, teori
tersebut menyatakan bahwa mekanisme pewarisan genetik, yang mengatur penurunan
ciri-ciri fisik, tidak terbatas pada ciri-ciri fisik belaka. Perilaku jelas-
jelas ditentukan secara genetik pada binatang-binatang primitif, yang dilahirkan
dengan perilaku kompleks yang tidak perlu dipelajari lebih dulu. Binatang-
binatang yang lebih tinggi, di pihak lain, memiliki perilaku lebih fleksibel.
Pertanyaannya adalah: apakah sebagian perangkat psikis binatang-binatang yang
lebih tinggi, terutama monyet dan manusia, telah ditentukan sejak lahir melalui
gen-gen mereka. Elliot merasa dengan Amy ia kini mempunyai bukti mengenai ingatan seperti itu.
Amy dibawa pergi dari Afrika ketika usianya baru tujuh bulan. Kecuali jika
semasa bayi ia sempat melihat reruntuhan kota kuno tersebut, maka mimpi-mimpinya
merupakan perwujudan ingatan genetik yang dapat dikonfirmasi dengan melakukan
perjalanan ke Afrika. Pada malam tanggal 11 Juni, staf Proyek Amy telah mencapai
kata sepakat. Andai kata mereka dapat mengatur segala sesuatu juga mem-
?biayainya mereka akan membawa Amy kembali ke Afrika.
?Keesokan harinya, tanggal 12 Juni, mereka menanti-nanti hasil terjemahan naskah-
naskah kuno, yang diharapkan rampung dalam dua hari. Tapi perjalanan ke Afrika
untuk Amy dan dua anggota
87 staf akan menghabiskan paling tidak 30.000 dolar, jumlah yang cukup besar
dibandingkan anggaran operasional tahunan mereka. Dan transportasi seekor gorila
keliling dunia melibatkan prosedur per-izinan yang amat rumit.
Semuanya menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan ahli, namun tak seorang pun
tahu ke mana dapat berpaling. Kemudian, tanggal 13 Juni, seseorang bernama Dr.
Karen Ross dari salah satu lembaga penyandang dana mereka, yaitu Earth Resources
Wildlife Fund, menelepon dari Houston dan memberitahu mereka bahwa ia akan
memimpin suatu ekspedisi ke Kongo, yang akan berangkat dua hari lagi. Dan
meskipun ia tidak menunjukkan minat untuk membawa Peter Elliot maupun Amy, ia
menimbulkan kesan paling tidak melalui telepon bahwa ia memahami seluk-beluk
? ?pe-nyiapan dan pengelolaan ekspedisi ke ujung dunia.
Ketika ia bertanya apakah ia bisa datang ke San Francisco untuk menemui Dr.
Elliot, Dr. Elliot langsung menyambut tawaran itu dengan senang hati.
88 3 Peter elliot mengenang tanggal 14 Juni 1979 sebagai hari penuh kejutan. Ia
memulai hari kerjanya pukul 08.00 pagi di kantor pengacara Sutherland, Morton &
O'Connell di San Francisco, untuk membahas ancaman tuntutan hak asuh dari pihak
PPA ancaman yang menjadi sangat penting, berhubung ia berniat membawa Amy ke
?luar negeri. Ia menemui John Morton di ruang perpustakaan yang menghadap ke Grand Street.
Morton membuat catatan pada kertas kuning. "Pertama-tama," Morton membuka
percakapan, "saya ingin memperoleh kepastian mengenai beberapa fakta. Amy seekor
gorila?" "Ya, gorila pegunungan betina."
"Usia?" "Tujuh tahun." "Berarti dia masih kanak-kanak?" Elliot menjelaskan bahwa gorila menjadi dewasa
dalam enam sampai delapan tahun, sehingga Amy
89 MASALAH-MASALAH HUKUM kini berada di akhir masa remaja, sebanding dengan gadis berumur enam belas
tahun. Morton sibuk mencatat. "Apakah bisa dikatakan dia masih di bawah umur?"
"Apakah perlu kita bilang begitu?"
"Saya rasa ya."
"Kalau begitu ya, dia masih di bawah umur." "Dari mana asalnya" Maksud saya,
tempat ke-lahirannya."
"Dia ditemukan di Afrika oleh turis wanita bernama Swenson, di sebuah desa
bernama Bagimindi. Induk Amy disembelih penduduk setempat untuk dimakan. Mrs.
Swenson membeli Amy ketika masih bayi."
"Berarti dia tidak lahir dalam penangkaran," Morton, menyimpulkan sambil
mencatat. "Tidak. Mrs. Swenson membawanya pulang ke Amerika Serikat, lalu menyumbangkannya
pada kebun binatang Minneapolis."
"Dia melepaskan haknya atas Amy?"
"Saya kira begitu," jawab Elliot. "Kami sudah berusaha menghubungi Mrs. Swenson
untuk menanyakan masa kecil Amy, tapi dia sedang di luar negeri. Rupanya dia
selalu bepergian; saat ini dia ada di Borneo. Tapi kembali ke pembicaraan kita,
waktu Amy dikirim ke San Francisco, saya menelepon kebun binatang Minneapolis
untuk menanyakan apakah saya boleh meminjamnya untuk melakukan riset. Mereka
bilang ya, selama tiga tahun."
90 "Apakah Anda membayar untuk itu?" "Tidak."
"Apakah ada kontrak tertulis?" "Tidak, saya hanya menelepon pimpinan kebun
binatang." Morton mengangguk. "Kesepakatan lisan," ia berkata sambil menulis. "Dan kapan
masa tiga tahun itu berakhir?"
"Musim semi tahun 1976. Saya minta perpan-jangan waktu selama enam tahun, dan
mereka menyetujuinya."
"Secara lisan lagi?"
"Ya. Saya menelepon mereka."
"Tidak ada surat-menyurat?"
"Tidak. Kesan saya, mereka kurang tertarik waktu saya menelepon.^ Terus terang,
saya kira mereka telah melupakan Amy. Mereka punya empat gorila di sana."
Morton mengerutkan kening. "Bukankah gorila binatang mahal" Maksud saya, jika
orang mau membelinya sebagai binatang piaraan atau untuk sirkus."
"Gorila termasuk daftar binatang yang terancam punah, dan tidak bisa dibeli
sebagai binatang piaraan. Tapi ya, mereka cukup mahal."
"Seberapa mahal?"
"Hmm, tiAtk ada nilai pasar tertentu, tapi saya kira antara 20 sampai 30 ribu
dolar." "Dan selama ini, Anda mengajarkan bahasa pada Amy?"
91 "Ya," jawab Peter. "American Sign Language. Amy sudah menguasai 620 kata
sekarang." "Apakah itu banyak?"
"Lebih banyak dari primata mana pun yang diketahui."
Morton mengangguk dan menambah catatannya. "Dalam riset Anda, Anda setiap hari
bekerja dengan Amy?"
"Ya." "Bagus," ujar Morton. "Ini sangat penting dalam kasus-kasus yang menyangkut hak
asuh binatang." Sudah lebih dari seratus tahun negara-negara. Barat mengenai gerakan-gerakan
terorganisasi yang bertujuan menghentikan eksperimen-eksperimen dengan binatang
percobaan. Mereka dipimpin oleh kelompok-kelompok penentang praktek pembedah-an
makhluk hidup untuk tujuan ilmiah, yaitu RSPCA dan ASPCA. Pada awalnya,
organisasi-organisasi tersebut beranggotakan orang-orang ek-sentrik yang
menyayangi binatang dan berniat menghentikan seluruh riset yang melibatkan
binatang. Lambat laun para ilmuwan mengembangkan pembelaan standar yang dapat diterima
oleh pihak pengadilan. Para periset mengaku bahwa eksperimen-eksperimen mereka
bertujuan untuk mening-katkan kesehatan dan kesejahteraan umat manusia, sebuah
prioritas yang lebih tinggi daripada kesejahteraan binatang. Mereka berkilah
bahwa tak seorang pun memprotes kalau hewan dimanfaatkan
92 sebagai binatang pembawa beban, atau untuk membantu pertanian kehidupan ?menjemukan yang sudah beribu-ribu tahun dijalani oleh binatang-binatang.
Menggunakan binatang untuk eksperimen ilmiah semata-mata merupakan perluasan
dari gagasan bahwa binatang harus meng-abdi pada kepentingan manusia.
Kecuali itu, binatang tidak memiliki perasaan. Mereka tidak memiliki kesadaran
diri dan tidak merasa hadir di dunia. Dengan meminjam kata-kata ahli filsafat
George H. Mead, ini berarti "binatang tidak mempunyai hak. Kita bebas mencabut
nyawa mereka; mengakhiri hidup seekor binatang bukanlah dosa. Binatang itu tidak
kehilangan apa pun."
Banyak orang keberatan dengan pandangan-pan-dangan seperti itu, tapi upaya-upaya
untuk menyusun garis pedoman segera terhambat oleh masalah-masalah logika.
Masalah paling nyata menyangkut persepsi binatang-binatang pada bagian bawah
skala evolusi. Hanya segelintir periset mengoperasi anjing, kucing, serta
binatang menyusui lainnya tanpa pembiusan, tapi bagaimana dengan cacing, udang,
lintah, dan cumi-cumi" Mengabaikan makhluk-makhluk itu merupakan semacam
"diskriminasi taksonomik". Namun kalau binatang-binatang tersebut patut
dipertimbangkan, bukankah melempar lobster hidup ke dalam panci berisi air
mendidih seharusnya juga merupakan tindakan ilegal"
93 Pertanyaan apa sebenarnya yang disebut kekejaman terhadap binatang menjadi kabur
justru akibat ulah kelompok-kelompok pembela hak binatang sendiri. Di beberapa
negara, mereka memprotes pemberantasan tikus; dan di tahun 1968 terjadi kasus
farmasi yang aneh di Australia. Dengan adanya ironi-ironi ini, pihak pengadilan
bersikap ragu-ragu menghadapi eksperimen-eksperi-men yang melibatkan binatang,
sehingga dalam praktek para periset bebas melakukan apa saja. Volume riset
dengan binatang percobaan sungguh mencengangkan: 64 juta binatang dibunuh setiap
tahun dalam eksperimen-eksperimen di Amerika Serikat.
Namun lama-kelamaan sikap umum pun ber-
*Sebuah pabrik farmasi baru dibangun di Australia Barat. Di pabrik ini, semua
pil keluar dengan ban berjalan; seorang pekerja mengawasi ban berjalan dan
menekan tombol-tombol untuk me-nyortir pil-pil berdasarkan ukuran dan warna.
Seorang ahli perilaku binatang dari aliran Skinner mengungkapkan bahwa burung
dara dengan mudah dapat dilatih untuk mengamati pil-pil dan mematuk tombol-
tombol berwarna guna melakukan proses penyor-tiran. Pihak pengelola pabrik
bersikap skeptis, namun setuju untuk melakukan uji coba; ternyata burung dara
memang dapat diandalkan, dan beberapa ekor langsung dipekerjakan pada ban
berjalan. Kemudian RSPCA turun tangan dan menghentikan kegiatan tersebut,
sehingga kawanan burung dara akhirnya digantikan oleh operator manusia. Rupanya
RSPCA berpendapat tugas itu merupakan penganiayaan terhadap binatang, tapi tidak
bagi manusia. 94 ubah. Penelitian bahasa pada lumba-lumba dan monyet membuktikan bahwa binatang-
binatang tersebut bukan saja cerdas, melainkan juga memiliki kesadaran diri;
mereka mengenali diri sendiri dalam cermin atau foto. Tahun 1974, kalangan
ilmuwan membentuk International Primate Protection League untuk memantau riset
yang melibatkan monyet dan kera. Bulan Maret 1978, Pemerintah India melarang
ekspor monyet rhesus ke laboratorium-laboratorium riset di seluruh dunia. Dan
ada kasus-kasus pengadilan yang menyimpulkan bahwa dalam keadaan tertentu,
binatang memang mempunyai hak.
Pandangan lama analog dengan perbudakan: binatang merupakan hak milik dan boleh
diperlakukan sesuka hati. Tapi kini kepemilikan tidak lagi pertimbangan utama.
Bulan Februari 1977 terjadi kasus yang menyangkut seekor lumba-lumba bernama
Mary, yang oleh teknisi lab dilepaskan ke laut bebas. University of Hawaii
menuntut orang itu dengan tuduhan menghilangkan binatang riset yang sangat
berharga. Dua kali per-sidangan berakhir dengan juri yang tak dapat mencapai
kata sepakat; kasus tersebut kemudian dibatalkan.
Bulan November 1978 terjadi kasus hak asuh yang melibatkan seekor simpanse
bernama Arthur, yang lancar menggunakan bahasa isyarat. Pemilik-nya, John
Hopkins University, memutuskan men-jualnya dan menutup program itu. Pelatih
Arthur, 95 William Levine, mengajukan masalah tersebut ke pengadilan dan memperoleh hak
asuh atas dasar bahwa Arthur menguasai bahasa, dan karenanya bukan lagi
simpanse. "Salah satu fakta menentukan," ujar Morton, "adalah ketika Arthur dihadapkan
dengan simpanse-simpanse lain. Dia menyebut mereka 'makhluk-makhluk hitam'. Dan
sewaktu Arthur diminta dua kali untuk memilah-milah foto manusia dan foto
simpanse, dia melakukan tugasnya dengan baik, hanya saja setiap kali dia
memasukkan foto dirinya ke tumpukan foto manusia. Dia jelas-jelas tidak
menganggap dirinya simpanse, dan pengadilan memutuskan dia harus tetap berada di
bawah pengawasan pelatihnya, untuk mencegah ketegangan mental yang akan timbul


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika dia dipisah-kan secara paksa."
"Amy menangis kalau saya meninggalkannya," kata Elliot.
"Pada waktu hendak melakukan eksperimen, apakah Anda minta izin lebih dulu pada
Amy?" "Selalu." Elliot tersenyum. Morton rupanya tidak tahu-menahu tentang kehidupan
sehari-hari bersama Amy. Untuk setiap tindakan, bahkan untuk perjalanan naik
mobil pun, Elliot wajib minta persetujuan dulu. Amy sangat kuat, dan bisa
bersikap keras kepala. "Apakah Anda mempunyai bukti tentang itu?"
"Kami punya rekaman video."
96 "Apakah Amy memahami eksperimen-eksperimen yang Anda usulkan?"
Elliot angkat bahu. "Dia mengaku begitu."^ "Anda menggunakan sistem imbalan dan
hukuman?" "Semua ahli perilaku binatang menggunakan sistem itu."
Morton mengerutkan kening. "Hukuman dalam bentuk apa?"
"Hmm, kalau dia nakal, saya menyuruhnya berdiri di pojok sambil menghadap ke
dinding. Atau saya menyuruhnya tidur lebih cepat tanpa roti selai kacang sebagai
snack." "Bagaimana dengan penyiksaan dan kejutan listrik?"
"Itu omong kosong." v
"Anda tidak pernah memberikan hukuman secara fisik?"
"Amy cukup besar. Biasanya saya justru was-was dia marah dan menghukum saya."
Morton tersenyum dan bangkit. "Anda tidak perlu cemas," ia berkata. "Pengadilan
mana pun akan memutuskan Anda yang paling berhak memutuskan nasib Amy." Ia
terdiam sejenak. "Saya tahu ini akan terdengar janggal, tapi dapatkah Amy
ditampilkan sebagai saksi?"
"Saya rasa bisa," jawab Elliot. "Menurut Anda, kita perlu bertindak sejauh itu?"
"Dalam kasus ini tidak," kata Morton, "tapi cepat atau lambat itu akan terjadi.
Perhatikan saja, 97 dalam sepuluh tahun mendatang akan ada kasus hak asuh yang melibatkan primata
dengan kemampuan berbahasa, dan monyet itu akan tampil sebagai saksi."
Elliot bersalaman, dan sambil pergi ia berkata, "Oh ya, apakah saya akan
mengalami kesulitan kalau saya membawa Amy ke luar negeri?"
"Kalau kasus Anda sampai diperkarakan, Anda akan mengalami kesulitan untuk
membawanya melewati perbatasan negara bagian," jawab Morton. "Anda punya rencana
untuk membawanya ke luar negeri?"
"Ya." "Kalau begitu, saya sarankan Anda bergerak cepat, dan jangan ceritakan pada
siapa pun." Pukul sembilan lewat beberapa menit, Elliot memasuki kantornya di lantai tiga
Istana Kumala Putih 16 Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat Ancaman Iblis Betina 2
^