Pencarian

Sang Penebus 2

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 2


Nedra bersih dari barang, papan
buletin di belakangnya kosong.
"Tetapi, dia membawa sesuatu milikku," protesku. "Sesuatu yang penting.
Bagaimana aku bisa menghubunginya"1
Dia mengangkat bahu. Ketua jurusannya pun mengangkat bahu.
Ketua fakultas sastra mengatakan bahwa dia akan berusaha mencari Ms. Frank dan
menyampaikan pesanku, tetapi dia tak bisa menjanjikan kalau aku akan dihubungi.
Perjanjian yang kami buat hanyalah antara kami berdua, dia mengingatkan padaku:
itu tidak berhubungan dengan urusan universitas. Dia juga tak bisa memberi tahu
alamat yang bisa digunakan untuk menghubungi Nedra Frank.
* Ibuku koma pada 1 Mei 1987, Ray dan aku berjaga semalaman, mengamati napasnya
yang semakin berat dan satu-satu hingga akhir, usahanya untuk melepaskan masker
oksigen dari mulutnya. "Ada kemungkinan besar seseorang yang koma masih bisa
mendengar dan mengerti," kata pendamping pasien pada kami malam sebelumnya.
"Jika menurut Anda pantas, Anda bisa memberinya izin untuk pergi." Hal itu tidak
terasa pantas bagi Ray; dia menolak gagasan semacam itu. Tetapi sepuluh menit
sebelum Ma meninggal, ketika Ray pergi ke toilet, aku membungkuk ke dekat
telinga ibuku dan berbisik. "Aku mencintaimu, Ma. Jangan khawatir.
Aku akan menjaganya. Kau bisa pergi sekarang."
Kematian Ma berbeda dengan versi melodramatis yang aku bayangkan pada bulan-
bulan terakhir sakitnya. Dia tak pernah punya kesempatan membaca kisah ayahnya.
Dia tak pernah duduk menjelang ajal dan mengatakan nama pria yang menjadi ayahku
dan Thomas. Sejak kanak-kanak, aku memunculkan berbagai teori tentang siapa ayah
kami yang "sebenarnya": Buffalo Bob; Vic Morrow dari Combat; guru keterampilanku
di kelas tujuh, Mr. Nettleson; Mr. Anthony dari seberang jalan. Menjelang
kematian Ma, kecurigaanku jatuh pada Angelo Nardi, stenografer pengadilan salah
tempat yang dipekerjakan untuk mengetik kisah kakekku. Tetapi, itu juga hanya
teori. Akhirnya, kukatakan pada diriku sendiri bahwa hal itu tak penting.
Setelah urusan administrasi rumah sakit selesai, Ray dan aku pergi ke rumah
pemakaman untuk persiapan akhir, lalu kembali ke Hollyhock Avenue dan meminum
botol Scotch Ray yang bagus. Album foto itu tergeletak di meja makan. Aku tak
bisa membukanya tak bisa melihatnya tetapi dorongan hati membuatku membawanya ? ?ketika kami pergi ke rumah sakit jiwa untuk mengabarkan berita kematian Ma pada
Thomas. Air mata menggenang di mata Thomas ketika dia mendengarnya, tetapi tidak ada
keributan tidak ada reaksi berlebihan yang sulit seperti yang kubayangkan.
?Kutakutkan. Ketika Ray bertanya pada Thomas apakah dia punya pertanyaan, Thomas
mengajukan dua hal. Apakah Ma menderita
menjelang ajalnya" Apakah dia bisa meminta kembali karyanya yang bertuliskan GOD
= LOVE!" Ray pergi setengah jam kemudian, tetapi aku tinggal. Jika Thomas akan mengalami
reaksi buruk yang tertunda, kataku dalam hati, maka aku ingin ada di samping dia
untuk membantunya. Tetapi, itu tak sepenuhnya benar. Aku tinggal karena aku
memerlukannya butuh berada bersama
?kembaranku, setengah dari diriku, pada pagi hari ketika ibu kami meninggal, tak
pe-duli apa yang telah terjadi pada kakak kembarku, tak peduli ke mana hidup
membawaku membawa kami. ?"Aku menyesal,Thomas," kataku.
"Bukan salahmu," jawabnya. "Kau tidak memberinya kanker. Tuhan yang memberikan
padanya." Dengan kelegaan yang murung, aku mengetahui bahwa Thomas tak lagi
menyalahkan Kellog's Cereal Company atas penyakit Ma.
"Maksudku, aku menyesal karena marah padamu. Ingat waktu itu, ketika kita
menjenguknya" Di mobil dalam perjalanan pulang" Aku seharusnya tidak kehilangan
kendali seperti itu. Aku seharusnya lebih sabar."
Thomas mengangkat bahu, menggigit salah satu kukunya. "Nggak apa-apa. Kau tak
sengaja." "Ya, aku sengaja. Aku memang marah waktu itu. Itu selalu menjadi masalahku, aku
membiarkan hal-hal terpendam dan memakanku dari dalam lalu bam! semuanya
? ?meledak. Aku melakukannya padamu, aku melakukannya pada Ma, pada Dessa. Kau
pikir, kenapa dia meninggalkanku" Karena
kemarahanku, itu sebabnya."
"Kau seperti TV kita dulu," keluh Thomas. "Apa"1
"Kau seperti TV kita dulu. Yang meledak. Satu menit kita menonton TV dan menit
berikutnya kaboom!" ?"Kaboom!" ulangku, perlahan. Selama beberapa saat kami terdiam.
"Ingatkah kau ketika Ma lari keluar dari rumah hari itu?" kata Thomas akhirnya.
Dia mengulurkan tangan, mengambil album foto, menyentuh sampul kulitnya. "Dia
memegang ini." Aku mengangguk. "Mantelnya berasap. Api membakar alisnya."
"Dia terlihat persis seperti Agatha." "Siapa?"
"Agatha. Santa tempatku berdoa ketika Ma sakit." Thomas berdiri dan mengambil
bukunya yang penuh dengan indeks kertas dari laci terbawah meja di samping
tempat tidurnya. Lives of The Martyred Saints. Membalik halaman-halaman yang
penuh dengan gambaran penderitaan: orang beriman dikepung setan mengerikan;
martir yang disiksa memandang ke Surga, luka berdarah-darah, memerah oleh
pewarnaan Technicolor. Dia menemukan ilustrasi Agatha satu halaman penuh dan
memperlihatkannya padaku. Mengenakan pakaian biarawati, Agatha berdiri tenang di
tengah kekacauan, membawa nampan berisikan dua payudara wanita. Di belakangnya,
sebuah gunung meletus. Ular berjatuhan dari langit. Tubuhnya
dilingkari oleh api berwarna Jingga.
Tubuh Thomas bergetar dua kali dan dia mulai menangis.
"Tidak apa-apa," kataku. "Tak apa-apa. Tak apa-apa." Aku mengambil album foto
itu. Membukanya. Kami berdua melihatnya dalam diam, bersama.
Ketika Ray memperbaiki album ibuku yang lepas, dia tidak berusaha menempatkan
halaman yang lepas sesuai dengan urutan kronologisnya. Hasilnya adalah album
yang penuh kebalikan: Foto-foto kamera instan dari tahun '60-an dijejerkan
dengan potret studio dari tahun 1900-an; waktu bercampur baur dan muncul
sendiri-sendiri. Di satu halaman terlihat foto Thomas dan aku di depan Unisphere
di World's Fair tahun 1964; Ray dengan seragam angkatan laut; Papa dengan kumis
tebal berminyak, bergandengan tangan dengan mempelainya yang masih muda, yang
kemudian tenggelam di Rosemark's Pond. Meskipun kakekku meninggal beberapa bulan
sebelum Thomas dan aku lahir, di album Ma kami bertemu dengannya. Dengan bodoh
dan ceroboh, aku telah menghilangkan kisah Domenico, tetapi ibuku dengan berani
masuk ke api dan menyelamatkan fotonya.
Thomas membuka lipatan berita koran yang memuat foto kami berdua dalam baju
pelaut, menghormat ke arah kamera dan mengapit Mamie. Meskipun sedih, aku
terpaksa tersenyum memandang dua wajah kanak-kanak yang kebingungan itu.
Thomas mengatakan, dia sama sekali tak ingat hari ketika Nautilus, kapal selam
nuklir Amerika pertama diluncurkan dari galangan menuju Sungai Thames untuk
membantu menyelamatkan dunia dari Komunisme. Sedangkan aku, ingatanku berupa
potongan-potongan kenangan suara dan sensasi yang mungkin lebih dipengaruhi ?oleh cerita ibuku tentang hari itu daripada ingatanku sendiri. Yang kuingat
adalah ini: riak air saat kapal selam yang diselimuti bendera Amerika itu
meluncur ke air sungai, gelitikan gelembung soda jeruk di bibirku, gesekan bulu
mantel mink Mamie. Tiga KaldU kau adalah saudara waras dari kembar identikmu yang menderita skizofrenia,
hal paling sulit dalam masalah menyelamatkan dirimu sendiri adalah darah yang
ada di tanganmu ketidaknyamanan melihat mayat yang mirip denganmu terbaring di
bawah kakimu. Dan jika kau berusaha bertahan hidup dan sekaligus menjadi penjaga
saudaramu jika kau berjanji pada ibumu yang sekarat maka katakan selamat tinggal
tidur dan selamat datang tengah malam. Ambil buku atau bir. Biasakan diri
melihat senyum ompong Letterman yang absurd, atau langit-langit kamarmu, atau
mencari-cari gelombang radio sekenanya. Ini adalah pengalaman seorang insomnia
tak bertuhan. Pengalaman saudara kembar yang tak gila yang berhasil menghindari
penyimpangan biokimia. Lima hari setelah pengorbanan kakak kembarku di perpustakaan umum, Dr. Ellis
Moore, dokter bedah yang mencangkokkan kulit untuk menutupi luka Thomas,
menyatakan bahaya infeksi sudah lewat dan Thomas sudah stabil untuk dikeluarkan
dari rumah sakit. Pada hari yang sama, Dr. Moore
mengisi formulir Physician Emergency Certificate yang dikeluarkan pengadilan,
menyatakan secara tertulis bahwa Thomas bisa "membahayakan dirinya sendiri atau
orang lain". Hal ini membuat keluarnya perintah pengamatan wajib selama lima
belas hari di kompleks Three Rivers State Hospital. Di hari ke lima belas, satu
dari tiga hal ini akan terjadi pada kakakku: dia dibebaskan untuk menghadapi
dakwaan mengganggu ketertiban dan mengacau; dia bisa dengan sukarela masuk ke
rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut; atau jika tim dokter yang mengevaluasi
Thomas merasa bahwa pembebasannya bisa membahayakan dirinya atau masyarakat,
maka Thomas bisa ditahan di rumah sakit jiwa selama enam bulan hingga setahun,
atas perintah pengadilan.
Setelah urusan administrasi selesai dan polisi datang untuk mengawal pemindahan,
waktu sudah melewati pukul 20.00 malam. Mereka mengenakan sabuk rantai model
Texas di pinggang Thomas, lalu memborgolnya, berhati-hati menempatkan borgol
sebelah kiri sekitar enam inci di atas pergelangannya yang terpotong. Ketika
mereka mengunci borgol itu ke sabuk, maka badan Thomas terbungkuk ke depan dalam
posisi menyerah. Saat seorang perawat membantu Thomas duduk di kursi roda, aku
menarik kedua polisi itu ke sisi. "Tolonglah. Pemborgolan ini sama sekali tak
perlu," kataku pada mereka. "Tak bisakah kalian membiarkan dia sedikit lebih
bermartabat ketika didorong keluar dari sini?"
Polisi yang lebih muda, pendek, dan kekar. Yang
lain tinggi, lelah, dan terlihat kedodoran. "Ini prosedur standar," kata polisi
yang lebih tua mengangkat bahu, bersimpati.
"Dia mungkin berbahaya," tambah polisi yang muda.
"Tidak, dia tak berbahaya," kataku. "Dia mencoba menghentikan perang. Dia tidak
berbahaya." Aku mengikuti pandangan mata polisi itu ke tangan Thomas yang
hilang. "Ini sudah prosedur," ulang polisi yang tua. Thomas memimpin arakan keluar rumah
sakit, perawat mendorong kursi rodanya sepanjang lorong, dua polisi dan aku di
belakangnya. Setiap orang yang berpapasan dengan kami, melirik-lirik ke arah
kakakku yang diborgol. Aku membawa barang-barang Thomas: tanaman ucapan semoga
lekas sembuh dari mantan istriku, tas baju, tas peralatan mandi, dan Injilnya.
Perjalanan membelah kota dari Shanley Memorial ke rumah sakit jiwa jaraknya
sekitar lima atau enam mil. Thomas memintaku menemaninya di kursi belakang; aku
tahu dia takut. Awalnya, polisi yang muda menolakku ikut pergi bersama mereka,
tetapi lalu polisi yang tua mengatakan aku boleh ikut bersama mereka. Mereka
menyuruhku duduk di depan. Sedangkan polisi yang tua duduk di belakang dengan
Thomas. Awalnya tak ada yang bicara. Di antara derak suara radio polisi, stasiun radio
AM menyiarkan berita terbaru tentang Operation Desert Shield. "Jika kau tanya
aku," kata polisi tua yang duduk di
belakang. "Bush harus menunjukkan pada si Saddam Hussein gila itu siapa bosnya,
sama seperti Reagan menunjukkan pada mereka di Grenada. Tunjukkan otot. Pangkas
sebelum bertunas." "Itulah masalah Carter dengan para penghuni tenda di Iran," kata polisi muda
menyetujui. "Dia membuat Amerika Serikat terlihat seperti segerombolan
pengecut." Thomas telah diberi ramuan Valium untuk di jalan, tetapi aku khawatir
pembicaraan mereka akan memancing Thomas. Jadi, aku mencondongkan badan ke arah
polisi yang menyetir dan menggumamkan permintaan agar dia mengubah topik
pembicaraan. Dia tidak menjawab kecuali memandangku sebal, tetapi dia diam
setelah itu. Berkendara melewati kota, kami melewati Mc Donald di Crescent Street di mana
Thomas pernah bekerja sebentar, dan bioskop Loew's Poli, di mana dulu aku dan
Thomas pernah berjabat tangan dengan Roy Rogers dan Dale Evans saat perayaan
ulang tahun kota yang ketiga ratus. Kami melewati Sachem River Bridge. Melewati
Constantine Motors, diler mobil milik mantan mertuaku. Melewati perpustakaan
umum. "Dominick," Thomas memanggil.
"Hmm?" "Berapa lama lagi?"
"Kita sudah setengah jalan."
Rumah Sakit Three Rivers ada di dekat batas kota
sebelah selatan, belok kiri di John Mason Parkway, jalan raya negara bagian
empat jalur yang menuju garis pantai Connecticut. Dulu menjadi tempat berburu
dan memancing suku Indian Wequonnoc, bangunan rumah sakit yang luas itu dibatasi
oleh Sungai Sachem di belakang, di bagian utara lapangan tempat pameran, dan di
bagian selatan dibatasi pemakaman suci suku Wequonnoc. Pada musim panas 1969,
Thomas dan aku menyiangi dan memotong rumput pemakaman Indian itu. Kami dulu
adalah pekerja musiman, pulang ke rumah saat liburan pertama kuliah. Saat itu,
penyakit Thomas sudah mulai menunjukkan gejala dengan perubahan-perubahan kecil
yang tak bisa atau tak ingin kulihat. Sembilan bulan kemudian, tak mungkin lagi
menghindar: Bulan Maret 1970 adalah bulan ketika otak Thomas membuatnya bertekuk
lutut. Susah dipercaya sudah hampir dua puluh tahun berlalu sejak musim panas yang gila
itu dengan perjalanan di mobil polisi kini. Aku lulus kuliah, mengajar sejarah
di SMU untuk beberapa waktu, lalu memulai bisnis pengecatanku. Ma sudah
meninggal, dan juga bayiku. Dessa meninggalkanku; aku tinggal bersama Joy.
Sekarang, di sinilah aku, setelah berbagai arus deras yang menerjang, masih
berkendara dengan kakakku ke rumah sakit jiwa. Selama dua dekade, Thomas
mendapatkan diagnosa berbeda-beda, pengobatan baru, dan psikiater berganti-ganti
dari negara. Kami sudah lama tidak lagi mengharapkan keajaiban terjadi pada
Thomas, sebaliknya kami pasrah dengan adanya kesembuhan
sementara di antara kekambuhan yang buruk dan parah. Tahun 1977 dan 1978
seingatku adalah tahun yang bagus. Itu adalah saat mereka memutuskan bahwa
Thomas ternyata bukan penderita manicdepresif, tidak memberinya lithium lagi dan
mulai memberinya Stelazine. Lalu, Dr. Bradbury pensiun dan dokter baru Thomas,
si kecil Dr. Schooner sialan memutuskan kalau empat miligram Stelazine per hari
baik untuk kakakku, maka delapan belas miligram akan lebih baik lagi. Aku masih
bisa merasakan kerah jas wol dukun brengsek itu dalam genggamanku, pada hari
ketika aku menjenguk Thomas dan menemukannya duduk terpaku dan matanya kosong,
lidahnya menjulur keluar, kemejanya basah kuyup terkena air liur. Schooner sudah
berniat mengecek kondisi kakakku, katanya setelah aku melepaskan cengkeramanku
padanya, tetapi dia sangat sibuk. Dia harus mengganti dokter lain; mertuanya
berkunjung. Salah seorang perawat mengatakan padaku kalau mereka telah
menghubungi dokter brengsek itu dan meninggalkan pesan tentang kondisi Thomas
sepanjang akhir minggu. Pada awal '80-an, Thomas mengalami kesembuhan lumayan lama. Dr. Filyaw mulai
meresepkan Haldol untuk Thomas pada 1983. Kondisi kakakku mulai bertambah baik
sehingga mereka mentransfer dia ke asrama dan mencarikan kerja sebagai petugas
kebersihan di McDonald. (Aku ingat, Thomas memintaku memfotokopi cek gaji
pertamanya sebelum kami menguangkannya. Dia
membingkai fotokopi cek itu dan menggantungnya di dinding kamarnya di asrama,
bersama dengan uang sepuluh dolar yang kemudian dicuri seseorang untuk membeli
rokok.) Waktu itu, Thomas bahkan punya pacar, mempelai Frankesteinnya ini
seorang cewek bernama Nadine yang juga punya gangguan jiwa seperti dia, tetapi
secara resmi tidak gila. Dia tidak dikategorikan sebagai gila. Mereka bertemu di
kelompok belajar Alkitab. Nadine berusia pertengahan empat puluhan, sepuluh
tahun lebih tua daripada Thomas waktu itu. Jangan tanya padaku bagaimana mereka
memperhitungkannya di hadapan Tuhan dan kelompok teman-teman sesama pasien
mereka, tetapi kakakku dan Nadine lumayan bergairah. Aku tahu itu, karena aku
adalah orang yang harus membelikan kondom untuknya. Nadinelah yang meyakinkan
Thomas kalau keimanannya cukup kuat, dia tak perlu lagi bergantung pada obat-
obatan-bahwa yang diinginkan Tuhan adalah menguji keimanannya.
Ketika saudaramu yang gila mulai bisa mandiri dan bertindak waras selama
beberapa waktu, kamu cenderung mudah terlena. Kamu mulai menyepelekan kewarasan
itu-yakin bahwa akhirnya ada harapan. Thomas punya pacar dan pekerjaan dan hidup
semi-mandiri. Jika muncul pertanda aneh, kurasa aku tak memerhatikannya.
Menurunkan kewaspadaanku. Salah besar.
Tak seorang pun kecuali Thomas dan Nadine yang tahu bahwa Thomas berhenti minum
Haldolnya. Atau dia mulai memakai lingkaran
aluminium foil di atas kepalanya tiap malam saat pergi tidur karena lingkaran
itu membuatnya bisa mendengar suara Tuhan dan mengacak suara para musuhnya.
Kakakku: manusia radio penerima frekuensi Yesus. Mr. Tinfoil Head (Tuan Kepala
Kaleng). Maksudku, itu tidak lucu, tetapi memang lucu. Jika aku tak tertawa
tentang ini kadang-kadang, aku pasti segera menghuni ranjang sebelahnya di rumah
sakit jiwa. Kasir drive thru yang baru di McDonald baru ditugaskan seminggu atau dua minggu
sebelum Thomas kumat. Belakangan, Thomas menyalahkan asisten manajernya yang
marah pagi itu ketika Thomas pergi kerja mengenakan topi aluminium foilnya.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thomas mencoba menerangkan pada asisten manajernya bahwa agen-agen Komunis
mengejeknya melalui speaker drive thru di luar-mencemoohnya saat dia membuang
sampah atau menyapu tempat parkir, mengajaknya masuk dan makan racun tikus di
lemari perlengkapan. Saat polisi datang ke McDonald, Thomas, memegang pengepel
lantai, sudah menghancurkan kepala fiberglass Ronald McDonald dan speaker drive
thru baru milik restoran. Polisi menemukan Thomas menangis tersedu-sedu di
belakang tempat sampah, lebah beterbangan di atas kepalanya. Thomas terpaksa
harus keluar dari asrama dan kembali ke rumah sakit jiwa. Sekitar sebulan
setelah kejadian itu, dia mendapatkan kartu pos bergambar Grand Ole Opry dari
Nadine dan Chuckie, temannya yang sama-sama kecanduan Yesus. Chuckie dan
Nadine kawin lari dan sedang bulan madu di Tennessee. Aku khawatir berita dari
Nadine ini akan semakin memperburuk kondisi Thomas, tetapi dia menerimanya
dengan cuek dan tidak sakit hati.
* "Bacakan aku sesuatu dari Alkitab, Dominick," Thomas memerintahku di mobil
polisi, di pertengahan jalan antara Shanley Memorial dan rumah sakit. Dia
memintaku melakukan berbagai hal selama empat hari terakhir ini: ambilkan ini,
lihatkan itu. Memerintah bukannya meminta, seperti yang selalu dia lakukan
ketika penyakitnya kambuh. Aku berpaling ke belakang dan melihatnya. Lampu-lampu
mobil yang melintas menerangi wajahnya. Meskipun dicekoki Valium, matanya
terlihat jernih, mendambakan sesuatu. "Bacakan aku dari Kitab Mazmur," katanya.
Jilidan Alkitab Thomas terlepas, halaman-halamannya yang terlepas transparan dan
berminyak karena sering tersentuh jari. Kitab itu tetap utuh ka-rena diikat
karet. "Mazmur?" kataku. Aku membuka ikatan karet dan membuka-buka halamannya
yang tipis. "Ada di bagian mana?"
"Di tengah. Antara Ayub dan Sulaiman. Bacakan aku pasal ke 26."
Karena kekacauan di perpustakaan lima hari lalu, Alkitab kakakku tertinggal,
lalu diambil oleh detektif polisi yang bertugas. Di ruang pemulihan rumah sakit,
Thomas mengigau mencari-cari Alkitabnya.
Dia juga mencari-nya pada hari berikutnya. Berteriak-teriak memintanya. Dia tak
ingin Alkitab yang lain-harus Alkitabnya-Alkitab yang diberikan Ma padanya saat
permandian ketika kami kelas enam. (Ma memberi kami masing-masing satu Alkitab,
tetapi punyaku sudah lama hilang. Entah ke mana.) Setelah beberapa jam
mendengarkan rengekannya, aku akhirnya pergi ke markas polisi dan mengatakan
pada polisi di meja depan kalau kami membutuhkan Alkitab itu di rumah sakit
lebih daripada Alkitab itu dibutuhkan di kantor polisi. Aku lalu mengulangi
permintaanku ke supervisornya, lalu ke supervisornya supervisor itu. Jerry
Martineaulah, sang deputy chief, yang akhirnya memangkas sampah birokrasi
"penyelidikan resmi polisi" dan mengakhiri kebuntuanku. Martineau dan aku dulu
bermain basket bersama di SMU. Yah, tepatnya kami sering duduk bersama di bangku
cadangan sementara para pemain top. Jerry adalah jenis pelawak-anak yang bisa
membuatmu tertawa terpingkal-pingkal hingga sesak napas. Dia meniru akting Jerry
Lewis dalam The Nutty Professor yang hingga kini masih membuatku tersenyum kalau
mengingatnya. Martineau dapat meniru semua orang: Elmer Fudd, Presiden Kennedy,
Maxwell Smart. Suatu kali, pelatih kami, Pelatih Kaminski, masuk ruangan dan
menangkap basah Jerry yang sedang meniru dirinya. Selama tiga bulan setelahnya,
Martineau harus lari keliling lapangan setiap hari.
"Ini, Dominick," katanya ketika mengeluarkan
Alkitab kakakku yang bernoda darah dari kantong plastik berlabel "bukti resmi
polisi" dan memberikannya padaku. "Keep the faith, man."
Aku memandang ke mata Jerry mencari kilatan canda di sana-mimiknya-tapi tak ada
canda. Saat itulah aku teringat bahwa ayahnya bunuh diri ketika kami masih SMU-
suatu siang ayahnya pergi ke taman dan menembak kepalanya. Seluruh tim basket
pergi melayat bersama. Aku ingat-kami duduk berdempetan di kursi berbantal,
lutut kami menempel di deretan kursi di depan kami, pelan kaki-kaki kami yang
besar mengetukngetuk lantai berkarpet. Ayah Martineau juga seorang polisi. Tuhan
ada f ah terangku dan keseiamatanku; kepada siapakah aku harus takut" Aku kini
membaca untuk kakakku, memicingkan mata berusaha membaca dengan penerangan lampu
jalan yang suram. Tuhan adalah benteng hidupku; terhadap siapakah aku harus
gemetar" Polisi yang menyetir mengulurkan tangan dan mematikan radio. Bahkan
radio komunikasi dari markas juga terdiam. Ketika penjahat-penjahat menyerang
aku untuk memakan dagingku, yakni semua tawan dan musuhku, mereka sendirilah
yang tergelincir dan jatuh .... Sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal
itu pun aku tetap percaya.
Aku merasakan dadaku sesak. Merasakan asam di tenggorokanku saat aku membaca
ayat-ayat itu. Jika Thomas tidak kecanduan mantra-mantra Injil-sampah seperti
"kalau tangan kananmu melakukan dosa, maka potonglah" dan
sejenisnya-maka semua ini tak akan terjadi. Kami tak akan naik mobil polisi ini.
Telepon di rumahku tak akan terus berdering dengan telepon dari reporter dan
fanatik agama. "Kau tahu, Thomas," kataku padanya, sembari berdeham, "Aku susah
membaca apa yang tertulis di sini. Aku akan buta kalau terus berusaha
membacanya." "Tolonglah," katanya. "Sedikit lagi. Aku suka mendengar suaramu menyuarakan
ayat-ayat itu." Aku bisa mendengar Thomas berbisik mengikuti saat aku membaca. Dengarlah, TUHAN,
seruan yang kusampaikan; kasihanilah aku dan jawablah aku .... Sekalipun ayahku
dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.
"Bagaimana Ray?" tanya Thomas, tiba-tiba.
"Ray" Baik-baik saja, kukira. Dia baik."
"Apa dia marah padaku?"
"Marah" Tidak, dia tak marah." Aku malu mendengarnya menanyakan ayah tiri kami
di depan dua polisi ini. "Dia belum datang menemuiku."
"Oh, ya ... dia baru pulang. Dari memancing."
"Hari ini?" "Kemarin. Yah ... kemarin lusa kurasa. Minggu ini sangat kacau. Aku bahkan tak
bisa mengingat hari."
"Kacau karena aku?" tanya Thomas. Jariku mengetukngetuk Alkitab yang terbuka.
"Mereka mungkin membuat Ray harus bekerja lembur atau sejenisnya," kataku. "Dia
akan mengunjungiku. Dia mungkin berkunjung akhir minggu ini ke tempatmu."
"Dia marah padaku, kan?"
Aku bisa merasakan wajahku memerah ketika polisi yang duduk di sampingku
berpaling untuk mendengar jawabanku. "Nggak," kataku. "Dia ... dia cuma khawatir.
Nggak marah." Tiga hari lalu, ketika Ray kembali dari memancing, aku pergi ke Hollyhock Avenue
untuk mengabarinya. Dia sedang di garasi membersihkan peralatan memancingnya
ketika aku memarkir pikapku di halaman. Dia bercerita padaku tentang ikan-ikan
bass besar yang dia tangkap bersama temannya. "Jadi, kau belum dengar, ya?"
tanyaku. "Dengar apa?" Aku berpaling dari ketakutan di matanya. Dia tak menduganya sama
sekali, sama seperti aku dulu.
Ray tak banyak bicara ketika aku bercerita kepadanya. Dia hanya berdiri dan
mendengarkan, wajahnya memucat ketika aku menceritakan detailnya: Thomas
menggunakan pisau seremonial Ray dari Perang Dunia II untuk melakukannya-dia
pergi ke rumah, mengambilnya dari gantungan di dinding kamar Ray dan Ma, bahkan
sempat mengasah pisau sialan itu di batu asah yang tergeletak di garasi. Aku
mengatakan pada Ray apa yang dikatakan dokter padaku: bahwa pemotongan itu
hampir-hampir bisa dikategorikan melebihi perbuatan manusia, karena terhalang
oleh tulang pergelangan dan rasa sakitnya pasti sangat tak tertahankan-dengan
kata lain, ketetapan hati Thomas bisa dibilang luar biasa. Aku mengatakan pada
Ray kalau akulah yang memutuskan tidak
membolehkan dokter berusaha menyambung tangan Thomas.
Meskipun dia seorang mantan Angkatan Laut yang rapi dan bersih, ayah tiriku sore
itu sepertinya menghabiskan waktu lebih lama untuk mengatur semua peralatan
memancingnya yang sudah bersinar bersih di tempatnya. Kembali masuk rumah, dia
mencuci tangan dengan Boraxo di wastafel dapur, lalu pergi ke atas untuk mandi
dan mengganti pakaian sehingga kami bisa berangkat ke rumah sakit.
"Ya Tuhan. Yesus," kudengar dia mengerang sendiri di atas. Mendengarnya membuang
ingus sekali, dua kali. Lalu, terdengar lagi, "Ya Tuhan. Yesus."
Kami pergi ke Shanley Memorial dengan pikapku, Ray membaca berita halaman depan
Daily Record edisi dua hari lalu sementara aku menyetir. Sebagai veteran Perang
Dunia II dan Perang Korea, Ray marah dengan berita yang menyebutkan tindakan
Thomas sebagai pengorbanan untuk menghentikan pengepungan di Kuwait. "Anak itu
gila-dia bahkan tak tahu apa yang dia lakukan-dan mereka menggembar-gemborkannya
seakan-akan dia seorang demonstran antiperang." Di sisi berita, koran
menerbitkan foto tahunan kakakku di SMU yang sudah dua puluh tahun berlalu:
rambut panjang, bercambang, bros berlambang perdamaian disematkan di kerah
jaketnya. Selama Perang Vietnam, Ray berpendapat bahwa mereka yang menghindari
wajib militer seharusnya ditangkap dan
ditembak. "Tapi itu memang pernyataan antiperang, Ray," kataku. "Itu memang maksud Thomas:
dia berpikir kalau dia memotong tangannya, Hussein dan Bush akan berhenti dan
memerhatikannya. Kembali ke akal sehat mereka. Dia mengira bisa menghentikan
perang dengan cepat. Itu tindakan heroik, meskipun agak gila."
"Heroik?" tukas Ray. Dia menurunkan kaca jendela, meludah, dan menaikkannya
lagi. "Heroik" Hei, anak ingusan, aku sudah pernah melihat tindakan heroik. Aku
pernah mengalaminya sendiri. Jangan kau duduk di situ dan berani menguliahiku
bahwa kebodohan yang dilakukannya heroik1."
Waktu kecil, aku sering berfantasi bahwa ayah kandungku adalah Sky King, pilot
petualang di acara TV yang ditayangkan tiap Sabtu pagi. Setelah masa-masa
terburuk, teriakan-teriakan paling keras, aku kadang-kadang berkeliling halaman
belakang, tanganku melambai-lambai pada pesawat yang lewat. Sky pasti akan
melihatku, demikian fantasiku-melakukan pendaratan darurat, akhirnya berhasil
menemukan kami: istrinya yang telah lama hilang, dan dua putra kembarnya. Dia
akan membawa Ma, Thomas, dan aku ke pesawatnya, the Songbird, lalu membalas Ray-
memukulnya dengan telak, mengejarnya dengan pesawat di sepanjang jalan depan
rumah kami sehingga dia menyesali perlakuannya yang kasar pada kami selama ini.
Kami berempat kemudian akan terbang jauh. Kemudian, seiring ber-jalannya waktu
ketika rambut mulai tumbuh di ketiakku dan aku mulai latihan angkat berat di ruang
bawah tanah, aku menghentikan fantasiku tentang pahlawan dan melawan Ray
sendiri, melawannya secara tak kentara-melangkah di garis batas, tetapi tak
melewatinya. Aku masih takut akan kemarahannya, tetapi kini aku melihat
bagaimana dia tak bisa menerima kelemahan-dia menerkam. Karena ingin
menyelamatkan diri, aku menyembunyikan rasa takutku. Menyeringai angkuh di meja
makan saat makan malam, menjawab pertanyaan Ray dengan jawaban satu suku kata
ketus, dan belajar melihat langsung ke matanya. Karena Ray suka menyiksa yang
lemah, sesering mungkin aku menunjukkan padanya kalau Thomas adalah yang lemah
dari kami berdua. Mengumpankan Thomas padanya untuk menyelamatkan diriku.
Ketika aku sampai di halaman parkir Shanley Memorial, aku memasang rem tangan
dan membiarkan mesin menyala. Ray keluar truk. Aku duduk di dalam, tak bergerak,
kakiku terasa berat. Aku menengok ke luar ketika mendengar dentingan cincin
Angkatan Lautnya mengetuk kaca jendelaku.
"Apa kau tak masuk?" tanyanya.
Aku menurunkan kaca jendela. "Kau tahu?" kataku. "Kurasa truk ini agak goyang
ketika kita ke sini tadi. Kurasa salah satu ban depannya agak kempes. Aku akan
pergi ke pom bensin dan mengecek banku."
Dia merengut dan melirik cepat ke ban trukku. "Aku tak merasakannya," katanya.
"Nggak lama kok. Dia ada di kamar 210 Barat. Aku akan menemuimu di sana."
Aku memandang Ray melewati pintu putar. Memandang pengunjung dan pengantar
barang, penjual asongan mengenakan jaket Patriot menjual hot dog di kereta
dorong. Menyalakan radio, memilih lagu duet: suara rendah Willie Nelson
ditingkahi suara sengau Dylan.
There's a big aching hole in my chest now where my heart was
And a hole in the sky where God used to be
Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sana.
Aku baru saja akan memundurkan mobilku dan pergi dari sana-pergi ke suatu
tempat, ke mana saja-ketika mantan istriku melewatiku dengan mobil vannya dan
parkir berselang tiga mobil dari tempatku parkir. GOOD EARTH POTTERS, demikian
tulisan di sisi van itu. Itu adalah van-nya, kurasa, bukan van Dessa. Dessa dan
pacar serumahnya, berkendara di kota dalam mobil itu. Dessa punya tempat
penitipan anak. Pacarnya-\ah yang tukang tembikar.
Dessa keluar dari van membawa satu pot bunga chrysanthemum dan beberapa balon
warna perak. Angin bertiup, dan balon-balon itu tertiup ke sana kemari. Ketika
aku melihatnya, aku lega telah menuliskan namanya dalam daftar pengunjung yang
diperbolehkan mengunjungi Thomas. Aku menduga dia akan datang. Dessa selalu baik
pada kakakku. Dia mengenakan celana jin dan sweter turtieneck ungu, dan jaket pendek. Dia
terlihat baru berumur tiga puluhan, bukan empat puluh. Dan lebih cantik. Dia
berjalan melewati trukku tanpa melihatku. Baru setelah dia melewati pintu putar
rumah sakit itu aku sadar bahwa sejak tadi aku menahan napasku.
Danny Mixx, itulah nama pacar Dessa. Jangan tanya aku nama macam apa Mixx itu,
atau apa kebangsaannya. Dia jenis orang ekshippi: celana monyet, rambut merah
yang dikepang hingga punggung. Aku pernah melihatnya berkepang dua .... Kalau kau
tanya padaku, Dessa dan pacarnya tidak cocok. Pacarnya itu orang sukses, kurasa,
ini bukan berarti aku tahu tentang tembikar. Tapi, dia pernah memenangi
penghargaan dan sebagainya. Beberapa waktu lalu, profil laki-laki itu terpampang
di majalah Connecticut. Dessa juga ada dalam satu foto di majalah itu, di latar
belakang. Saudara Dessa, Angie, menceritakannya padaku ketika aku bertemu
dengannya di tempat parkir ShopRite, dan aku kembali masuk toko, membeli
majalahnya. Majalah itu ada di tempat kami selama lebih dari sebulan. Kau lihat
wanita ini" Aku selalu membayangkan mengatakan itu pada Joy. Itu dia. Dia adalah
sebab mengapa aku selalu menahan diri. Ini adalah orang yang ada di antara kita.
Aku memandang foto Dessa berkali-kali, hingga majalah itu selalu terbuka secara
otomatis di halaman itu. Lalu, suatu hari, majalah itu hilang. Dibuang bersama
sampah. Didaur ulang. Mereka tinggal di Rute 162, Dessa dan pacarnya-di pertanian Troger tua, sekitar
setengah mil setelah Kebun Apel Shea. Kau harusnya lihat rumah itu: semua catnya
mengelupas, masalah kelembapan di sisi bagian utara. Tempat itu bisa dibilang
sangat perlu dibersihkan dindingnya dan dicat setidaknya dua kali, tetapi kukira
mereka punya prioritas lain. Beberapa hari lalu, ketika aku sedang mengisi
bensin, aku tiba-tiba membayangkan sebuah fantasi ketika Dessa menyewaku untuk
mengecat rumah itu, dan ketika aku tengah bekerja, dia tiba-tiba menyuruhku
turun dari tangga dan kami masuk rumah dan bercinta. Dia mengatakan bahwa dia
masih mencintaiku, bahwa dia telah keliru meninggalkanku .... Saat fantasi itu
berakhir, aku ternyata telah mengisikan bensin seharga sembilan belas dolar ke
tangkiku, yang membuatku sedikit kesulitan karena saat itu aku hanya punya
sepuluh dolar di dompet dan tidak ada kartu kredit.
Dan The Man itu mengubah gudang rumah pertanian mereka menjadi studio dan
membangun tungku pembakaran di sebelahnya. Aku selalu mengikuti perkembangannya.
Ketika pertama kali mereka pindah ke sana, aku berusaha menemukan berbagai
alasan agar aku bisa berkendara ke Rute 162, yang merupakan jalur lambat ke
Hewett City. Aku melakukan itu kurasa lebih karena dorongan masokhis daripada
keingintahuan. Suatu kali ketika aku lewat, pria itu ada di luar hanya
mengenakan celana monyet, mengecat kotak surat mereka
dengan warna psikodelik pink, biru, dan ungu yang jazzy. "Constantine/Mixx",
tertulis di kotak surat ketika aku lewat lagi. Langit biru, awan putih, dan
matahari dengan wajah bahagia terlukis di kotak surat itu; bahagia selamanya.
Aku tak tahu kalau Dessa kembali menggunakan nama gadisnya. Membaca tulisan di
kotak surat itu membuatku merasa sakit seakan-akan tertendang di selangkangan.
Dessa memarkir vannya berjarak hanya tiga mobil dengan trukku. Aku mematikan
mesin, keluar dan mendekati van itu. Di atas dashboard terlihat sepasang
kacamata hitam wanita, kaset Indigo Girls, dan cangkir kopi bergaya grunge
dengan gambar Three Stooges. "Nyuk nyuk nyuk," tulisannya. Orang itu adalah
perajin tembikar yang memenangi penghargaan di majalah Connecticut, dan Dessa
harus minum kopi dari cangkir jelek itu" Sadie, anjing Labrador hitam Dessa,
tertidur di kursi penumpang yang hangat terkena matahari.
"Hey, Giri," kataku mengetuk jendela. "Hey, Sadie."
Aku memberi Dessa anjing itu sebagai hadiah Natal-kapan ya" Tahun 79 mungkin"
Atau '80" Saat masih kecil, anjing itu mengunyah semua yang dilihatnya, termasuk
kaki meja kopi kami, setengah kaus kaki dan celanaku, dan bahkan selang dari
kompresorku yang baru. Goofus, itulah panggilan-ku untuknya. Dia dulu sering
membuatku gila. Kini, terbangun dari tidur, Sadie melihatku dengan mata sayu. Wajahnya
yang hitam mulai dihiasi bulu abu-abu. "Apa kabar, Goofus?" kataku padanya lewat
kaca jendela. Dia sama sekali tak mengenaliku.
Saat Dessa keluar lagi dari rumah sakit, aku sudah duduk lagi di trukku. Awalnya
aku tidak akan mengatakan apa pun, tapi aku lalu menurunkan jendela. "Hei!" aku
mengklakson. Itu membuatnya terkejut.
"Dominick," terucap dari bibirnya. Dia tersenyum. Ketika aku keluar truk, dia


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengulurkan tangan, menggenggam tanganku dan meremasnya. Mendekat selangkah dan
memelukku. Aku meletakkan tanganku di punggungnya, ragu dan tak yakin. Kami
pernah menikah selama enam belas tahun-enam belas tahun, man!-dan lihatlah aku,
menyentuhnya dengan canggung seperti seorang remaja di pesta dansa sekolah.
"Apa kabar?" kataku. Rambut keriting hitamnya diikat ke belakang, satu atau dua
rambut yang mulai berwarna abu-abu terlepas dari ikatan dan tertiup angin.
Berada begitu dekat dengannya sungguh menyakitkan sekaligus nikmat.
"Aku baik," katanya. "Tetapi, ya Tuhan, Dominick-bagaimana kabarmu?"
Aku mengembuskan napas, menganggukkan kepala ke arah jendela di tingkat atas
rumah sakit. "Sebaik yang bisa kauharapkan, kurasa. Terutama sekarang setelah
dia menjadi Orang Aneh Minggu Ini."
Dessa mengatupkan bibirnya, menggelengkan kepala. "Kemarin semuanya diberitakan
lagi," katanya. "Mereka terus mengejar, ya?"
"Seseorang dari Enquirer menelepon semalam. Menawarkan pada kami tiga ratus
dolar untuk mendapatkan foto terbaru Thomas, seribu dolar untuk foto Thomas
tanpa tangannya." "Orang yang selalu ingin tahu," kata Dessa, tersenyum sedih.
"Orang yang selalu ingin tahu, sialan!" Dessa mengulurkan tangan dan menyentuh
lenganku. "Kondisi Thomas sudah baik kelihatannya, Dominick. Mengingat apa yang terjadi.
Lebih baik daripada yang kuduga. Terima kasih telah menulis namaku dalam daftar
pengunjung." Aku mengangkat bahu. Mengalihkan pandangan. "Tak masalah," kataku. "Kupikir kau
memang ingin menjenguknya
"Kami berbincang sebentar, dan lalu dia bilang kalau dia lelah. Dia terlihat
tenang." "Karena Haldol," kataku.
"Jadi, bagaimana reaksi Ray terhadap semua ini?"
Aku mengangkat bahu. "Kau mungkin lebih tahu daripada aku." Dessa memandang
bingung padaku. Sadie terbangun dan meneteskan liur di jendela sopir. "Ternyata anjing
menyedihkan ini masih hidup," kataku. Ketika Dessa membuka pintu, aku
mengulurkan tangan dan menggaruk perut Sadie seperti yang disukainya dulu.
"Jadi, bagaimana kabar Dan The Man?"
Kami kehilangan kontak mata saat itu, tetapi dia
menjawab seakan-akan aku dan pacarnya adalah teman baik. "Dia baik-baik saja.
Sibuk. Dia banyak kesibukan dari sekarang hingga setelah Natal nanti. Baru saja
pulang dari Santa Fe, menang piala dari kontes yang dinilai juri di sana."
"Santa Fe, ya" Kau pergi ke sana dengannya?" Dessa menggeleng. "Kau tahu Museum
of American Folk Art" Di New York" Mereka baru membeli dua karyanya." Dia
mengulurkan tangan dan mengusapkan punggung tangannya ke pipiku. "Ya, Tuhan. Kau
terlihat kelelahan, Dominick. Apa kau bisa tidur?"
Aku mengangkat bahu. "Cukuplah. Semua ini sulit bagiku, kau tahu?"
"Kau tahu siapa yang terus kupikirkan dalam peristiwa ini?" katanya. "Ibumu.
Bagaimana dia selalu khawatir tentang Thomas. Ini pasti membuatnya hancur."
Aku mengelus punggung Sadie, menggaruk bawah dagunya. "Yap. Dia pasti membacakan
sekitar dua miliar doa novena karena peristiwa ini," kataku.
Dessa mengulurkan tangan dan mengelus kerah jaketku. Dia selalu seperti itu-suka
menyentuh. Joy berbeda-dia tidak suka menyentuh kecuali kalau kami sedang
bersetubuh atau dia ingin kusetubuhi. Saat begitu, tangannya bisa ada di mana-
mana. Tetapi, sentuhan Dessa berbeda. Sesuatu yang pernah kumiliki dan sekarang
telah hilang. "Masalahnya, maksudnya baik," kata Dessa. "Dia ingin menghentikan perang. Bagaimana seseorang bisa menyebabkan rasa sakit yang luar
biasa seperti itu kalau yang ingin dia lakukan hanya membantu dunia?"
Aku tidak menjawab. Tak ada jawaban. Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah
kehilangan kendali diri di depannya seperti ini. "Yah," katanya.
"Hei, terima kasih sudah datang. Kau tidak harus, kau tahu. Kau tidak diwajibkan
datang." "Aku ingin datang, Dominick. Aku sayang kakakmu. Kau tahu itu."
Perkataannya itu meluluhkanku. Aku tak bisa menahannya. Aku mencondongkan tubuh
dan mencoba menciumnya. Dessa memalingkan wajahnya. Bibirku mengenai alisnya,
tulang di bawah kulitnya.
Dia naik ke van, menginjak gas dengan keras, dan mundur keluar dari tempat
parkir. Mengerem. Mengacungkan jempolnya padaku. Aku hanya berdiri terpaku,
memandangnya pergi. Masokhis atau bukan, aku tak bisa berhenti mencintainya. Aku
akan mencintai Dessa selamanya.
Lobi rumah sakit sudah dihias untuk menyambut Halloween: Penyihir kertas dari
kertas krep hitam dan Jingga, sebuah labu di meja resepsionis tempat kita
mendapatkan kartu pengunjung. "Birdsey," kataku pada perawat jaga. "Thomas
Birdsey. Lantai dua."
"Birdsey," ulang perawat itu, mengetikkan nama ke komputernya. "Apa Anda
keluarganya?" "Adik," kataku. Dia dan aku sudah mengulang-ulang drama kecil ini selama tiga
hari terakhir. Aku ingin berteriak, aku adalah saudara kembar identik dari orang yang memotong
tangannya sendiri. Psikopat yang beritanya kau baca dan kau dengar di TV dan kau
gosipkan dengan semua temanmu. Berikan saja kartu pengunjungnya.
"Ini silakan," katanya.
"Terima kasih."
"Terima kasih kembali."
Persetan kau, cewek. Thomas sedang tidur. Ray tidak ada di sana. Balon yang dibawakan Dessa untuknya
berayun-ayun tertiup angin yang datang dari ventilasi. "You've got a friend,
"tertulis di balon itu. Kartu yang tertempel bertanda tangan, "Love, Dessa &
Danny." Tulisan tangan Dessa dan pacarnya. Bolehlah.
Perawat maupun polisi yang menjaga kamar Thomas belum melihat Ray, kata mereka.
Jadi, ke mana perginya dia" Aku menunggu sepuluh menit lalu pergi.
Di lantai bawah, aku baru melangkah satu atau dua langkah dari lift ketika
seseorang memanggilku. Ray. Dia duduk lemah di kursi tunggu. Dia terlihat kecil,
terbungkus mantelnya. "Ada apa?" tanyaku.
"Tak ada apa-apa. Bagaimana banmu?"
"Nggak apa-apa," kataku. "Kau sudah melihatnya" Kau sudah ke kamarnya?"
Ray memandang sekeliling untuk melihat apakah ada orang yang mendengarkan.
Menggeleng. "Mengapa tidak"
Suaranya serak. "Aku tak tahu. Aku sudah setengah jalan ke sana dan lalu aku
berubah pikiran, itu saja. Ayo. Ayo keluar dari sini. Jangan membesar-besarkan
hal ini." Dia berdiri dan berjalan ke pintu. "Apa kau tadi melihat Dessa?" tanyaku. "Dia
baru saja dari sana, lho. Menjenguknya."
"Aku melihatnya," jawabnya. "Dia tak melihatku."
Kami hampir sampai pintu ketika aku melihat dia masih memegang kartu
pengunjungnya. "Kartumu," kataku. "Kau lupa mengembalikan kartu pengunjungmu."
"Persetan," katanya, menjejalkan kartu itu ke kantong jaketnya.
Setengah jalan menuju rumah, Ray kembali kuat menjadi Mr. Tough Guy lagi. "Kau
tahu apa masalah anak itu?" katanya. "Itu semua karena hal-hal cengeng .... Semua
sebutan 'Thomas kelinci kecilku' yang sering dikatakan ibumu dulu. Denganmu
selalu berbeda. Kau memilih jalanmu sendiri. Kau bisa membawa dirimu .... Yesus,
aku ingat kalian berdua di lapangan bisbol Little League. Kalian berdua seperti
siang dan malam. Yesus, anak itu sangat mengibakan di lapangan, bahkan sebagai
anak bawang pun." Aku menggeleng sedikit, tetapi menutup mulutku. Itu teorimu Ray" Bahwa Thomas
telah memotong tangannya karena dia tak bisa main bisbol" Dari mana kau mulai
mendapatkan teori itu, Ray"
"Kalau saja ibumu membiarkanku
membesarkannya seperti seharusnya, tidak selalu campur tangan setiap saat,
mungkin dia tak perlu jatuh sedalam ini. 'Dunia ini keras,' aku sering berkata
pada ibumu. 'Dia harus dibuat menjadi keras.'"
"Hei, Ray," kataku. "Dia menderita paranoid skizofrenia karena penyimpangan
senyawa biokimia dan bagian otaknya dan segala sampah sialan yang lain seperti
dijelaskan Dr. Reynolds waktu itu. Itu bukan salah Ma. Bukan salah siapa-siapa."
"Aku tidak mengatakan kalau itu salah ibumu," dia menukas. "Dia wanita yang
baik. Melakukan yang terbaik membesarkan kalian berdua, dan jangan kau lupa
itu!" Dan kau munafik, penyiksa, dan bangsat, aku ingin membalasnya. Ingin berhenti ke
pinggir jalan dan menyeretnya keluar truk lalu meninggalkannya. Karena kalau ada
orang yang membuat Thomas berantakan ketika masih kecil, maka orang itu adalah
Ray. Sekarang ini, orang menyebut "pendidikan anak" ala Ray sebagai penyiksaan
anak. Kami terdiam selama dua mil selanjutnya.
"Mau satu?" katanya. Kami berhenti karena lampu merah di Boswell Avenue.
Tangannya yang gemetar menawarkan sebungkus permen Life Savers yang terbuka,
butterscotch. Dia mungkin mengulum jutaan permen itu sejak berhenti merokok. Itu
benar-benar menjengkelkanku; melihat Ray yang merokok seperti cerobong asap
selama bertahun-tahun dan Ma yang harus mati terkena kanker.
"Tidak, makasih," kataku. "Kau yakin?"
"Yap." Kami tak berbicara lagi sepanjang per-b jalanan pulang. Saat aku berhenti
di depan rumah, dia bertanya apakah aku mau mampir dan makan sandwich dengannya.
"Tidak, makasih," kataku lagi. "Aku harus kerja."
"Di mana?" "Rumah Victoria besar di Gillette Street. Rumah profesor." "Masih?"
"Ya, masih. Jamur di tempat itu gila-gilaan. Aku seharusnya memeriksakan
kepalaku karena menerima pekerjaan itu pada akhir musim." Apalagi minggu kemarin
empat hari hujan. Ditambah lagi, kakakku membuat keadaan menjadi lebih rumit.
"Kau butuh bantuan" Aku bisa membantumu besok. Kamis juga, kalau kau mau. Aku
masih libur hingga Jumat."
Bantuan Ray adalah hal terakhir yang kubutuhkan. Ketika satu kalinya dia
membantuku, dia lebih banyak menghabiskan waktu memberikan nasihat yang tak
kuinginkan daripada membantu mengecat. Menasihatiku bagaimana menjalankan
bisnisku sendiri. "Aku bisa menyelesaikannya, kok," kataku.
Mungkin sore ini aku tidak akan ke Gillette Street. Mungkin aku akan pulang
saja, mengisap ganja, nonton CNN. Mencari tahu apakah si Gila Bush atau si Gila
Saddam telah menembakkan tembakan pertama. Tidak menjawab telepon .... Pagi itu
saat sarapan, Joy dan aku bertengkar
tentang apakah kami sebaiknya memutus telepon atau tidak. Aku menuduhnya gila
perhatian-dengan berbicara ke semua wartawan sialan itu.
"Sialan kau, Dominick!" dia berteriak balik. "Kau kira ini mudah baq-ku" Kau
kira aku suka semua orang memandangku aneh karena kebetulan aku serumah dengan
adiknya?" "Hei, kau kira seperti apa pandangan orang pada-ku?" tukasku. "Bagaimana kalau
kau yang jadi adik kembarnya" Kopiannya yang sama persis?" Kami berdua berdiri
berhadapan, saling berteriak. Melakukan pertandingan merebut iba dan simpati.
Apa kau kira Dessa akan melakukan hal yang sama" Kau kira Joy mau pergi ke rumah
sakit dan mengunjunginya seperti yang dilakukan Dessa"
Ray keluar truk dan berjalan menuju rumah. Aku mundur dari halaman. Mengerem.
"Hei," panggilku. "Kau baik-baik saja?" Dia berhenti. Mengangguk. "Jangan bicara
sama wartawan atau orang TV sialan kalau mereka menelepon. Atau datang kemari.
Bilang saja, 'No Comment'."
Ray meludah ke rumput. "Kalau badut-badut itu berani datang kemari. Aku akan
menemui mereka dengan tongkat bisbol." Mungkin Ray benar-benar akan
melakukannya. Ray sialan.
Aku mundur ke jalan dan memasukkan gigi satu. "Hei!" Ray memanggil. Dia berjalan
kembali ke arah trukku. Aku menurunkan kaca jendela dan menahan diriku.
"Jawab aku satu hal," katanya. "Mengapa kau tidak membiarkan mereka setidaknya
mencoba menyambungkan kembali tangannya" Kini, selain cacat mental dia juga cacat fisik.
Mengapa kau tidak membiarkan mereka setidaknya mencoba?"
Aku juga menanyakan pertanyaan yang sama pada diriku berulang-ulang selama dua
hari ini. Tetapi ketika Ray menanyakannya, aku jadi marah. Sebagai ayah, dia
terlambat menunjukkan kekhawatiranya.
"Alasan pertama, mereka hanya menyatakan ada kemungkinan fifty-fifty dalam
penyambungan," kataku. "Jika tidak berhasil, maka tangan itu akan menempel di
sana, mati, terjahit di pergelangannya. Dan hal lainnya ... hal lainnya .... Kau
tidak mendengarnya, Ray. Itu adalah pertama kalinya dalam dua puluh tahun dia
memegang kendali atas sesuatu. Dan aku tak bisa ... yang kumaksud, oke kamu benar-
Itu memang tidak membuatnya jadi pahlawan." Aku mengalihkan pandangan dari setir
dan memandangnya langsung ke mata. Trik yang aku pelajari sejak dulu
menghadapinya. "Itu tangannya, Ray ... pilihannya. *
Ray berdiri diam, tangan di saku. Setengah menit atau lebih berlalu.
"Kau tahu apa yang lucu?" katanya. "Aku bahkan tak pernah membeli pisau sialan
itu. Aku memenanginya dalam permainan kartu dengan seseorang di pasukanku. Si
raksasa Swedia, asal Minnesota. Aku bisa mengingatnya sejelas aku melihat
hidungmu sekarang, tetapi sesorean aku mencoba mengingat namanya. Tidakkah itu
hebat" Anakku memotong putus tangannya dengan pisau
itu dan aku bahkan tak ingat nama orang yang pisaunya kumenangi."
"Anakku". Aku kaget dia mengatakan itu. Mengklaim Thomas sebagai anaknya.
* Malam itu, Joy membawa makanan Cina sebagai permintaan maaf. Aku duduk di meja
makan, makan tanpa menikmatinya. "Bagaimana?" tanyanya padaku.
"Enak," kataku. "Enak."
Kemudian, di tempat tidur, dia berguling ke sisiku dan mulai bersikap ramah.
"Dominick?" katanya. "Aku minta maaf yang tadi pagi. Aku cuma ingin semua
kembali normal." Dia menggosokkan kakinya ke kakiku, jari-jarinya mulai menari.
Berusaha membuatku bergairah dengan tangannya. Aku berbaring diam, membiarkannya
tanpa membalasnya. Dia berguling ke atasku, menuntun tangan dan jari-jariku. Awalnya aku hanya
mengikuti gerakannya-sekadar melayani. Lalu aku mulai membayangkan Dessa, di
sana, di tempat parkir rumah sakit, dengan celana jin dan jaket kecil. Aku
bercinta dengan Dessa ....
Joy mencapai puncak dengan cepat-intens. Itu terasa melegakan bagiku, beban yang
terangkat dari pundakku. Aku sendiri juga hampir sampai, hampir siap, ketika aku
berhenti. Aku tak bermaksud demikian. Aku cuma tiba-tiba memikirkan berbagi hal:
bau koridor rumah sakit jiwa yang seperti bau
kematian dan rokok, dan bagaimana Dan The Man mengecat kotak surat yang bahagia
untuk Dessa dan dia, dan gambaran yang kuceritakan pada Ray untuk melepaskan
diriku dari kesulitan: tangan Thomas yang terpotong, terjahit ke pergelangannya
seperti daging abu-abu yang mati.
Aku menjadi tidak bergairah lagi. Mendorong Joy ke samping dan berguling
membelakanginya. "Hei, kamu?" katanya. Tangannya merangkul bahuku.
"Hei, aku apa?"
Dia memencet daun telingaku, menariknya sedikit. "Tidak apa-apa. Tidak masalah."
"Itu baru pujian," kataku.
Dia memukulku pelan. "Kau tahu maksudku." Menarik selimut, aku bergeser
menjauhinya-mematikan lampu. "Ya Tuhan, aku lelah sekali," kataku. Tetapi
beberapa menit kemudian, napas Jby-lah yang terdengar pelan dan teratur.
Aku tak bisa tidur sama sekali malam itu. Menghabiskan berjam-jam memandang
kegelapan, yang pada siang hari, tak ada apa pun kecuali langit-langit atap
kamar. "Selesaikan, Dominick," kata Thomas. "Selesaikan membaca doanya."
Aku lebih merasakan daripada melihat, polisi di sebelahku memandangku. Aku
membuka Alkitab kakakku. Janganlah menyerahkan aku pada nafsu
/awanku, aku membaca, sebab telah bangkit menyerangku saksi-saksi dusta, dan
orang-orang yang bernapaskan kezaliman. Sesungguhnya, aku percaya akan melihat
kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup. Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah
dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!
Mobil polisi yang kami tumpangi berbelok ke arah yang kami kenal di lapangan
parkir, melambai pada penjaga keamanan dan pelan-pelan melewati polisi tidur.
Kami melewati Dix Building. Memutar Tweed, Libby, Payne .... Seseorang pernah
mengatakan padaku bahwa pada zaman kejayaan rumah sakit jiwa, bangunan-bangunan
batu bata besar ini ditempati sekitar empat ribu pasien lebih. Kini, populasi
pasien rawat inap turun hingga sekitar dua ratus orang saja. Bangunan yang sudah
tua dan efisiensi telah memaksa pihak rumah sakit menutup semua bangunan kecuali
Settle dan Hatch. "Hei, kau melewatinya," kataku pada polisi yang menyetir ketika mobil melewati
Settle. "Kembali."
Polisi itu memandang ke belakang lewat spion, saling memandang dengan rekannya.
"Dia nggak akan ke Settle," kata polisi yang duduk di belakang.
"Apa maksudmu dia nggak ke Settle" Dia selalu ke sana. Dia menjalankan kios


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

koran di Settle. Juga kereta kopi."
"Kami tak tahu apa pun tentang kereta kopi," kata polisi. "Yang kami tahu
adalah, kami diperintahkan membawanya ke Hatch."
"Oh, tidak, jangan Hatch!" Thomas mengerang.
Dia menarik dan berjuang melawan borgol dan rantai yang mengikatnya;
perlawanannya membuat mobil bergoyang. "Oh, Tuhan, Dominick! Tolong aku! Oh,
tidak! Tidak!"^- Empat Hatch Forensic Institute dengan keamanan maksimum, ada di kawasan belakang rumah
sakit jiwa Three Rivers State Hospital. Sebuah bangunan beton dan baja yang
dilingkari pagar beraliran listrik dan kawat berduri. Hatch menjadi tempat
tinggal orang-orang terkenal: dokter hewan dari Mystic yang mengira keluarganya
adalah Viet Cong, anak sekolah dari Wesleyan yang membawa pistol semiotomatis
kaliber 22 ke kelas. Tetapi, Hatch juga menjadi tujuan akhir dari para psikopat
yang kurang terkenal: korban kecanduan narkoba, pengutil, pecandu alkohol yang
menderita manicdepresif orang gila yang sering mengganggu ketenangan Anda dan ?tak punya tempat lain untuk tinggal. Kadang-kadang, memang ada pasien yang bisa
sembuh dari Hatch. Dilepaskan. Namun, itu biasanya merupakan perkecualian. Bagi
sebagian besar pasien di sana, pintu hanya terbuka sekali jalan, dan ini oke-oke
saja bagi kota Three Rivers. Kebanyakan orang di sini lebih tidak tertarik pada
program rehabilitasi dibandingkan dengan menyimpan orang aneh dan orang gila di
tempat tertentu menghilangkan Pencekik dari Boston dan Son of Sam dari jalan,
?menjaga Norman Bates tetap
terkunci di Hotel Hatch. Tidak ada yang bisa lari dari Hatch. Berbentuk melingkar, tempat itu dibagi
menjadi empat unit dengan pos keamanan masing-masing. Dinding luar bangunan itu
polos tanpa jendela; sementara pemandangan jendela di dinding dalam berupa
halaman kecil yang melingkar bisa dibilang seperti velg ban. Di halaman itu
?terdapat beberapa meja piknik dan keranjang bola basket berkarat yang jarang
digunakan karena semua penghuni Hatch terlalu gemuk dan malas akibat dosis
Thorazine. Unit per unit, dua kali sehari, pasien yang kondisi penurutnya telah
membuat mereka mendapat keistimewaan dapat keluar ke halaman yang berlantai
beton itu untuk mendapatkan udara segar atau merokok selama dua puluh menit.
Aku pernah mendengar diskusi di radio dan obrolan orang di bar yang mengeluh
bahwa diizinkannya pengakuan gila oleh terdakwa di pengadilan adalah salah satu
hal yang salah di negara ini bahwa kita membiarkan para pemerkosa dan pembunuh ?berkelit dari hukuman de-ngan membiarkan mereka bersembunyi di "country ciub"
seperti Hatch. Tebakan yang salah, kawan. Aku pernah ke sana. Keluar dengan bau
busuk tempat itu masih menempel di bajuku dan suara jeritan kakakku masih
mengiang di telinga. Jika ada neraka yang lebih buruk daripada Hatch Forensic
Institute, maka Tuhan pasti sangat pendendam.
Lampu biru mobil polisi berkedap-kedip. Polisi yang menyetir menghentikan mobil
di gerbang depan Hatch dan mengulurkan berkas ke penjaga. "Itu adalah sebuah pengorbanan!"
Thomas terus berteriak. "Itu adalah sebuah pengorbanan!"
Aku berpaling ke belakang dan membujuknya agar tenang-bahwa aku akan meluruskan
kesalahan ini dan mengembalikannya ke Settle malam itu. Tetapi, aku juga tak
yakin pada perkataanku. Teralis baja yang memisahkan tempat duduk depan dan
belakang mobil polisi memisahkan aku dan kakakku mulai terasa seperti preview
? ?tentang apa yang akan terjadi pada kami seterusnya.
Terdengar bunyi berdesir. Gerbang bergeser membuka, dan mobil yang kami tumpangi
masuk ke dalam, melewati tonjolan pengurang kecepatan dan memutari bangunan.
Kami berhenti di depan pintu ganda yang bertuliskan, "Penerimaan Pasien Unit
?Dua". Lampu merah di atas pintu berkedip-kedip. Kami duduk dan menunggu dengan
mesin mobil tetap menyala.
"Hukum apa yang aku langgar?" kakakku me-nyerocos. "Siapa yang aku lukai?"
Jawaban atas pertanyaan terakhir Thomas itu sejelas pergelangan tangannya yang
putus dan diperban, tetapi bagaimana bisa hal itu membuatnya menjadi seorang
kriminal" Pasti ini kesalahan, kataku pada diri sendiri. Semua ini tak masuk
akal. Tetapi ketika aku memandang ke pintu ganda itu, lampu merah yang berkedip-
kedip, aku merasa dadaku tertarik salah satu saat di mana muncul naluri untuk
?berkelahi atau lari. "Hei," kataku pada polisi yang duduk di sebelahku. "Siapa
namamu?" Pertanyaan itu mengejutkannya. "Namaku" Mercado. Sersan Mercado."
"Baiklah, begini Mercado. Tolong aku, ya" Bawa saja dia ke Settle selama lima
menit. Aku kenal petugas malam di sana. Mereka bisa menelepon dokternya dan
meluruskan hal ini. Karena semua ini adalah kesalahan besar."
"Kau merusak perjanjian antara Tuhan dan aku!" Thomas memperingatkan. "Tuhan
Yang Mahakuasa telah memerintahkanku untuk mencegah perang yang tidak suci!"
Mercado menatap lurus ke depan. "Tidak bisa," kata polisi yang di belakang
menjawab. "Mereka akan menggantung kami jika kami mengabaikan perintah
tertulis." "Tidak, mereka tak akan melakukannya," kataku. Aku berpaling memandang polisi
yang duduk di belakang. Wajahnya dan wajah Thomas bergaris-garis terkena
bayangan teralis yang memisahkan kami. "Mereka justru senang karena kamu telah
meluruskan kesalahan sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Mereka akan berterima
kasih." "Aku menjalankan kios koran di Settle!" Thomas memohon. "Aku menjalankan kereta
kopi!" "Hei, aku bersimpati padamu," kata Mercado padaku. "Aku juga punya saudara.
Tetapi, kami tak bisa begitu saja
"Tidak, jangan!" kataku memotongnya. Aku sangat tegang karena putus asa.
"Berpikirlah selama sedetik saja sebelum kau mengeluarkan jawaban
standar polisi dari mulutmu. Yang aku minta hanyalah supaya kau menjadi manusia
dan bukan polisi lima menit saja, oke" Yang kuminta hanyalah kau memundurkan
mobil ini dan menyetir tak jauh paling seperenam belas mil, ke Settle. Kau ? ?bahkan tak harus meningga-kan area rumah sakit, Mercado. Seperenam belas mil,
Bung. Lima menit, paling lama. Itu saja yang aku minta."
Mercado memandang melalui kaca spion. "Bagaimana menurutmu, Al" Kita bisa saja
"Uhuh," jawab polisi yang di belakang. "No way, Jose. Nggak bisa."
"Kalau begitu, kau saja yang bangun pukul setengah enam besok pagi dan bikin
kopi!" teriak Thomas. "Kau saja yang menjamin ada cukup receh di kotak uang
receh dan tidak ada orang lain yang membeli kue Drake Mrs. Semel. Kau harus
menjamin tak ada dokter lain yang mendapatkan Wall Street Journal-nya Dr.
Ahamed." Mercado dan aku saling memandang. "Kau punya saudara laki-laki?" kataku.
"Berapa?" "Empat." "Ayo, Bung," bisikku. "Ikuti kata hatimu. Lima menit."
Wajah Mercado merah, bukan memerah, merah. Terkena cahaya lampu di pintu yang
bertuliskan "Penerimaan Pasien". Aku melihat keraguan di matanya, pertentangan.
Saat itulah aku merusaknya. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannya-
membuat kontak manusiawi dengannya, dan dia lepas kontrol. Menampar
tanganku dengan kerasnya hingga tanganku mengenai kaca depan.
"Jangan sentuh aku!" katanya. "Mengerti?" Tangannya menjangkau sarung pistolnya,
siap menarik pistol. "Hal terburuk yang ingin kau lakukan adalah menyentuh
polisi bersenjata. Mengerti" Kau akan berakhir dengan menyedihkan kalau lain
kali kau melakukan itu lagi."
Aku memandang ke luar jendela. Menarik napas panjang. Menyerah.
Seorang penjaga berseragam membuka pintu ganda itu dan menyuruh kami masuk.
Mercado turun dan membuka pintu belakang, membimbing kakakku keluar mobil. "Awas
kepalamu," katanya. "Awas kepalamu."
Sebagian dari diriku ingin tetap di mobil: mengamankan statusku sebagai si
kembar yang waras, yang tidak akan masuk ke tempat itu. Aku tidak bermaksud
meninggalkan kakakku begitu saja, ini hanya keraguan selama lima detik. Tetapi
kuakui, aku ragu untuk ikut masuk.
"Ini," kata polisi yang tua ketika aku turun dari mobil. Dia mengangsurkan tas
Thomas. Aku sudah memegang Alkitabnya.
Thomas berdiri, agak membungkuk karena bor-golannya. Dia mengatakan pada polisi
yang lebih tua kalau dia ingin ke kamar mandi. Apakah di sini ada kamar mandi di
dalam yang bisa dia gunakan" Dia harus sering kencing ke kamar mandi.
Rantai yang mengikat kaki Thomas bergeme-rincing seiring tiap langkah kakinya
menuju bangunan itu. Aku merasakan pahit di mulut dan mual di dasar perut. Seakan-akan
aku menelan rantai yang mengikat Thomas. Apa yang terjadi" Mengapa mereka
melakukan ini" Penjaga membiarkan kakakku dan dua pengawalnya masuk, tetapi menghentikanku di
pintu. "Siapa kamu?" katanya. Dia salah satu tipe orang yang pendek kekar.
Sekitar akhir dua puluhan, awal tiga puluhan. Robocop.
"Aku adiknya," kataku. Seakan-akan dia tak bisa melihat. Seakan-akan dia tak
tahu hanya dengan melihat wajah kami berdua.
Dia dan Mercado saling berpandangan. "Mr. Birdsey sedang menjenguk sang pasien
ketika kami datang untuk mengawalnya," kata Mercado. "Pasien ingin dia ikut
dengan kami." "Kami berpikir hal itu akan membuat pasien tidak melawan," tambah polisi yang
tua. "Dia memang tidak suka melawan," kataku. "Dia tak pernah melukai seorang pun
dalam hidupnya." Robocop memandang ke pergelangan tangan kakakku yang putus, lalu memandangku.
"Begini, ini cuma kesalahan yang dilakukan oleh sekretaris atau semacamnya,"
kataku. "Dia seharusnya dimasukkan ke Settle. Di sana, dia masuk dalam program
pasien luar. Dia selalu masuk ke Settle setiap kali kambuh. Satu telepon ke
dokternya dan kami bisa meluruskan semua ini. Tetapi, dia tak suka melawan. Ya
Tuhan, dia sama penurutnya seperti Bambi."
"Aku menjalankan kereta kopi di Settle," kata
Thomas. "Mereka memerlukanku pagi-pagi sekali."
Robocop mengatakan padaku, aku bisa masuk dan menemani kakakku di awal proses
penerimaan, tetapi aku tak bisa menemaninya masuk bangsal tak bisa lebih jauh ?dari pos keamanan. Telepon ke dokter harus dilaku kan esok pagi.
Apa pun katamu, sialan, kataku dalam hati. Satu langkah masuk pintu setidaknya
merupakan kemajuan. Begitu masuk, aku bisa berbicara dengan seseorang dari staf
medis. Robocop membawa kami melewati koridor pendek: lampu halogen, dinding warna
kuning. Hatch mempunyai bau khusus tidak seperti bau di Settle. Sesuatu yang
?lain. Bau yang manis dan tengik: makanan basi yang lama disimpan di lemari es.
Bangkai manusia, kurasa. Pembusukan manusia.
Seorang penjaga lain bergabung dengan kami ketika kami sampai ke detektor logam.
Lemak bergantung di bawah dagunya, wajahnya bengkak merah jambu kecanduan
alkohol. Bau cologne menguar dari tubuhnya.
Polisi membuka rantai dan borgol Thomas dan melepaskannya. Thomas kembali
mengatakan kalau dia ingin ke kamar mandi. Mercado menggeledahnya dan
membimbingnya melewati detektor logam.
"Kau dengar tidak?" kataku. "D'\apengin kencing."
"Apa ini?" si gemuk bertanya padaku. Dagunya menunjuk ke arah barang-barang yang
kubawa: tas baju Thomas dan Alkitabnya.
"Barang-barang pribadinya," jawabku.
"Apa saja?" "Barang-barang pribadi: dompet, pasta gigi, sisir."
Si gemuk mengambil tas dan Alkitab dariku. Membuka resleting tas dan mengaduk-
aduknya. Dia adalah jenis orang yang bernapas melalui hidungnya sehingga kau
bisa mendengar betapa hidungnya bekerja keras mengisap udara untuknya. Dia
menuangkan semua isi tas ke ban berjalan: bubuk kaki, pulpen Bic, pin aluminium
dengan tulisan "Jesus is The Reason for The Season", sepasang sepatu lancip, dan
dasi kupu-kupu terlipat dimasukkan ke dalam salah satu sepatu. Sangat
menyedihkan: simbol hidup Thomas yang menyedihkan berserakan di sana seperti
barang belanjaan di Stop & Shop. Si gemuk menekan sebuah tombol dan ban itu
berjalan. Setiap barang melewati mesin sejenis X-ray seperti di bandara. Kejutan
besar: tak ada belati tersembunyi, tak ada bom pipa yang dijahitkan dalam
lapisan tas. "Kau juga harus dilihat," kata Robocop padaku.
"Dilihat" Dilihat apanya?" Aku berpikir mungkin aku juga dikira gila.
"Digeledah," kata Mercado.
"Kalau begitu geledah saja," kataku pada Mercado, sembari berbalik menghadap
dinding dan bersandar seperti yang mereka perintahkan pada kakakku tadi. "Ayo.
Silakan saja." Tetapi, Robocop yang menggeledahku: sedikit kasar, lebih saksama di zona-zona
pribadi daripada yang diperlukan untuk memperlihatkan padaku siapa yang ?berkuasa di sini. Aku pasti mengatakan
sesuatu padanya menanyakan apa dia menikmati ketika menggeledahku tetapi aku
? ?tidak dalam posisi untuk melempar batu. Belum. Belum waktunya jika aku ingin
mengeluarkan Thomas dari sini malam ini juga.
Baru ketika kukira dia selesai menghinakanku, Robocop memerintahkanku berjalan
melewati metal detector. Metal detectohtu berkedip dan berbunyi, dan penjaga
memaksaku menyerahkan gantungan kunciku. Aku berhasil lewat kedua kalinya,
tetapi Robocop mengatakan padaku kalau aku harus meninggalkan kunciku di sini
dan mengambilnya nanti karena di gantungan kunciku ada pisau lipat kecil.
Seakan-akan aku akan masuk ke sana dan membabi buta menusuki semua pasien.
Benar-benar gombal. Robocop mengatakan pada polisi pengawal agar memasang borgol Thomas kembali.
"Apa itu diperlukan?" tanyaku. "Kukatakan padamu. Kau hanya membuang waktu. Dia
akan berbalik keluar dari sini begitu kami bisa menghubungi dokternya. Mengapa
dia harus dirantai lagi?"
Penjaga Robocop memandangku tanpa menjawab, wajahnya kosong seperti batako. Si
gemuk mengatakan pada Thomas kalau barang-barangnya akan didaftar di katalog dan
disimpan di pos keamanan. Dia akan mendapatkan jatah keperluan mandi dari rumah
sakit. Dan semua bahan bacaan harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu oleh
dokternya atau pemimpin unit.
"Di mana Alkitabku!" kata Thomas. "Aku ingin Alkitabku."
"Semua bahan bacaan harus mendapat persetujuan lebih dulu oleh dokter atau
pemimpin unit," ulang si gemuk.
"Dia nggak boleh bawa Alkitabnya?" kataku. "Apa kalian harus mendapatkan
persetujuan untuk wahyu Tuhan?"
Robocop maju mendekatiku, cukup dekat sehingga aku bisa melihat bekas cacar air
di wajahnya, mencium bekas permen Juicy Fruit dalam napasnya. "Ini adalah
fasilitas dengan keamanan tingkat tinggi, Sir," katanya. "Ada aturan dan
prosedurnya. Jika Anda bermasalah dengan hal itu, maka Anda bisa bilang pada
kami sehingga Anda bisa menunggu di luar, tidak usah menemani kakak Anda melalui
tahap penerimaan awal."
Kami saling membelalak selama beberapa detik. "Aku tidak mengatakan kalau aku
berkeberatan," kataku. "Yang kukatakan adalah kalian buang-buang waktu saja
memasukkan dia ke sini. Karena begitu kalian bicara dengan dokternya, maka dia
akan mengatakan pada kalian kalau ini adalah kesalahan."
"Lewat sini, Sir," katanya.
Pos keamanan ada di tikungan lorong berikutnya. Di belakang kaca gelap ada dua
lagi penjaga, sejumlah TV keamanan hitam putih, sebuah lemari terbuka berisi
kunci-kunci, borgol, dan rantai. Di dekat pos keamanan ada ruang rapat dan
beberapa kantor berseberangan dengan toilet, lemari
perlengkapan dan kantor-kantor lagi. Di kedua ujung lorong terdapat pintu baja
dengan kunci ganda. "Kalian punya telepon, di sana?" kataku, mengangguk ke arah pos keamanan.
"Katakan pada salah satu penjaga di sana untuk menelepon Dr. Willis Ehlers dan
tanyakan apakah Thomas Birdsey memang seharusnya masuk sini. Telepon rumahnya.
Kalian pasti punya catatan alamat dokter, kan" Ayo. Dia nggak akan
berkeberatan." "Dr. Ehlers tidak merawat pasien di Hatch," jawab si gemuk. "Dia tidak termasuk
staf di sini." "Baiklah! Itulah yang kumaksud!" kataku. "Pasiennya semua ada di Settle. Tepat
di mana seharusnya kakakku berada."
Robocop membuka dan membaca surat-surat administrasi yang dibawanya. "Menurut
yang di sini, Dr. Ehlers digantikan," katanya.
"Apa maksudmu 'digantikan1" Digantikan oleh siapa?"
"Aku tidak berhak memberikan informasi tersebut pada Anda, Sir," katanya.
"Dokter barunya akan memberi tahu Anda atau Anda bisa membuat perjanjian dan
berbicara pada pekerja sosial yang ditugaskan untuk kasus ini."
"Permisi," kata Thomas pada Robocop. "Apa kau kenal dengan Dr. Ahamed, wakil
inspektur kompleks rumah sakit ini?"
"Thomas," kataku. "Kau diam saja. Biarkan aku yang mengurus ini. Oke?"
"Dr. Ahamed?" tanya Robocop. "Yeah, aku kenal
dia. Kenapa?" Dagu Thomas terangkat. Seluruh tubuhnya bergetar. "Karena kau pasti dalam
masalah besar besok pagi kalau Dr. Ahamed masuk kantornya dan tidak menemukan
Waii Street Journal dan kue muffin jagungnya!" Dia berteriak, gemetar. "Aku tak
ingin menjadi kau ketika dia tahu siapa yang mengurungku di sini tanpa
memedulikan keinginanku!"
Si gemuk melambaikan jarinya "ke sini" ke salah satu penjaga di belakang kaca


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pos keamanan. "Tenang, tenang," kataku pada Thomas. Aku mengingatkannya kalau dia lupa waktu
bahwa dia sudah tidak mengurusi kereta kopi selama lima hari ketika dia dirawat
di Shanley. "Dan lagi pula, aku yakin dua pembantumu bisa mengurusi semuanya,"
kataku. "Siapa nama mereka" Aku lupa."
"Bruce dan Barbara!" dia berteriak. "Kau pikir mereka bisa mengatasi semuanya
tanpa aku! Lucu sekali!" Hanya saja Thomas tidak tertawa; ia tersedu.
"Semua baik-baik saja?" tanya penjaga ketiga mendekati kami.
"Yesus! Yesus!" teriak kakakku. Ketakutan muncul di wajahnya dan terdengar suara
memercik di lantai. Thomas ngompol.
Si gemuk pergi memanggil petugas kebersihan.
"Maafkan aku, Dominick," kata Thomas. "Aku tak bisa menahannya." Noda basah dan
gelap menghiasi bagian depan celananya.
Kukatakan padanya itu tidak apa-apa. Hal itu
bisa saja terjadi. Bukan masalah besar. Lalu, aku berpaling ke Robocop. "Begini
masalahnya," kataku. "Aku tak akan pergi hingga aku bisa mengeluarkannya dari
sini dan dia keluar malam ini, paham" Jadi, sebaiknya seseorang segera menelepon
dokter sialan itu." Di belakang jendela kaca, si gemuk berbicara melalui telepon. "Telepon dokter
kakakku!" teriakku padanya. "Dr. Willis Ehlers! Aku mohon!"
Robocop mengatakan supaya aku memelankan suaraku. "Dokter hanya bisa dipanggil
selepas jam kantor jika ada keadaan darurat," katanya padaku.
"Ini keadaan darurat," kataku, mengarahkan jempolku ke Thomas. "Keadaan darurat
sedang berlangsung. Pria malang ini bahkan tidak diizinkan kencing dan kau pikir
aku akan meninggalkannya di sini bersama kalian para Nazi sialan?"
Aku melihat otot rahang Robocop mengejang. Melihatnya memandang penuh arti ke
penjaga satunya. "Sir," kata penjaga yang baru datang, "keluarga pasien tidak
berhak menentukan keadaan yang bisa disebut darurat. Hanya staf medis yang
bisa." Aku mencoba menenangkan diri menghantam rahang Robocop merupakan kemewahan yang?tak bisa menolong kakakku. Lagi pula, aku mungkin telah memperburuk keadaan
dengan komentar tentang Nazi tadi. "Baiklah," kataku. "Kalau begitu, biarkan aku
bicara pada perawat. Pasti ada kepala perawat yang bertugas, bukan?"
"Perawat di Hatch tidak boleh mengadakan kontak dengan anggota keluarga pasien,
Sir," penjaga yang lain menjawab. "Ini kebijakan. Jika Anda punya pertanyaan
atau keprihatinan, Anda bisa menelepon besok dan mengadakan perjanjian dengan
petugas sosial yang ditugaskan untuk kasus kakak Anda."
"Mereka baru menelepon dari unit," kata si gemuk. "Kita siap?"
Robocop mengangguk. "Katakan pada mereka untuk datang dan mengambilnya. Kita
bisa menyelesaikan proses penerimaan di bangsal. Aku sudah pusing dengan Kembar
Doublemint ini." Si gemuk berbicara melalui handy talkie-nya. Thomas mulai menggumamkan ayat-ayat
Injil. "Mr. Birdsey, dia akan dimasukkan ke unit sekarang," kata Mercado. "Ayo. Kita
harus pergi." "Tapi tak ada seorang pun yang mendengarkan!" kataku. "Ini semua hanyalah
kesalahan administrasi atau semacamnya. Dia seharusnya di Settle."
"Begini, Sobat," kata polisi yang lebih tua. "Dia mungkin seharusnya di Settle,
tetapi jelas dia tak akan ke sana malam ini. Mungkin dia akan ke sana besok
pagi-pagi sekali, tetapi aku jamin dia ada di sini malam ini."
"Ayo, Mr. Birdsey," kata Mercado padaku. "Anda tak bisa melakukan apa-apa sampai
besok. Kami akan mengantar Anda kembali ke Shanley. Kau parkir di lapangan
parkir yang besar atau di belakang?"
"Aku tidak akan pergi ke mana pun hingga kita meluruskan masalah ini!" kataku.
Ketika Mercado memegang lenganku, aku memberontak dan
melepaskannya. "Mereka menyalibku!" teriak Thomas.
Aku lari mendekati Robocop. "Bagaimana dengan petugas sosial" Apa petugas sosial
itu di sini sekarang?" Jantungku berdentum-dentum seperti paku bumi.
"Tidak, Sir, dia tidak di sini. Hanya perawat unit dan FTS yang ada di sini
setelah jam kerja." "Siapa mereka" Apa itu FTS?"
"Forensic Treatment Specialists," jawab si gemuk. Dia berkedip ke polisi
pengawal yang lebih tua. "Ketika saya mulai bekerja di sini, kami memanggil
mereka 'petugas rumah gila'. Kini, semua orang punya sebutan bagus. Lihat saja
di sini, misalnya." Dia menunjuk ke seorang pria yang mendekat dengan ember dan pel. Aku kenal dia:
Ralph Drinkwater. "Ralphie ini dulu disebut pembersih ruangan. Kini kami
memanggilnya 'teknisi operasi'. Benar kan Ralphie?" Mengabaikan omongan si
gemuk, tetap pasif seperti biasanya, Ralph mulai mengepel kencing kakakku.
Tawa polisi pengawal membuat mood si gemuk semakin membaik. "Dia di sini kok,
malam ini, Stevie," katanya pada Robocop. "Dia datang untuk menyelesaikan
beberapa pekerjaan. Aku yang membukakan pintu ketika kamu istirahat makan
malam." "Siapa?" kataku. "Siapa yang di sini?" "Ms. Sheffer."
"Siapa itu" Siapa Ms. Sheffer?"
"Petugas sosial untuk Unit Dua."
"Petugas sosialnya di sini" Izinkan aku bicara dengannya kalau begitu!"
"Anda tak bisa," kata Robocop. "Ini bukan jam kerja. Anda harus membuat janji,
sama seperti yang lain."
Pintu baja membuka. Dua petugas mendekat. Semua semakin terasa tak nyata. "Hei,
bagaimana kabarmu, Ralph?" kataku. "Dengar, bilang pada Ralph memandang kosong
padaku. "Ayo, Mr. Birdsey," kata Mercado. "Kita harus pergi."
"Pergi saja sendiri!" kataku padanya. "Aku tak akan pergi sebelum aku bertemu
dengan petugas sosial!" Aku berpaling pada dua petugas itu. "Jangan sentuh dia!
Kalian cuma ... jangan berani-berani menyentuhnya"
Sebuah pintu kantor membuka; sebuah kepala muncul dari balik pintu. "Apa ada
yang mau bertemu denganku?"
"Tidak malam ini" teriak Robocop. "Dia bisa membuat janji. Bisa menunggu."
"Apa itu petugas sosialnya" Apa Anda petugas sosial yang"
"Besok!" Robocop berteriak pada wanita itu. "Tutup pintumu! Ada situasi darurat
di sini!" "Dominick!" jerit Thomas. Dua petugas itu sudah memegangnya, satu di setiap
sisi. "Jauhkan tangan kalian dari dia!" teriakku. Robocop dan Mercado dan partnernya
memegangiku. Si gemuk dan penjaga satunya berlari mendekat. "Jangan sentuh aku,
kalian Nazi bangsat!" Aku memberontak dan berusaha melepaskan diri.
"Tutup pintu itu!" teriak Robocop.
Di tengah-tengah pergulatan, aku melihat petugas sosial itu menutup pintunya.
Melihat petugas membuka kunci pintu baja dan menyeret kakakku ke bangsal pasien.
"Mereka menyalibku, Dominick!" jerit Thomas. "Mereka menyalibku!"
Pintu membanting tertutup di belakang mereka.
Robocop memelintir lenganku ke belakang, memepetku ke dinding. "Demi Tuhan, yang
ini bahkan lebih gila daripada yang satunya," katanya.
"Jauhkan tanganmu dariku, Bajingan!" aku berteriak, meludah, memberontak, dan
mencoba melepaskan diri. Mercado, si gemuk dan pengawal polisi satunya
menahanku. Penjaga ketiga lari keluar dari ruangan kaca. Robocop mendekatkan
lututnya ke selangkanganku tidak menyakitkan, hanya mengancam. Menekan.?"Kalian memang suka ini atau bagaimana?" kataku. "Meraba-raba orang lain saat
kalian menggeledah" Memberimu kepuasan rendah, bukan?"
Dia menghantam selangkanganku dengan lututnya.
Satu hantaman cepat dan keras yang membuatku terjatuh ke lantai. Kurasa aku
pingsan selama semenit, dan ketika aku sadar kembali, perlu beberapa saat hingga
aku sadar bahwa suara erangan dan desah kesakitan yang kudengar itu keluar dari
mulutku sendiri, bukan erang kesakitan
kakakku. Rasa sakitnya bahkan tak bisa kugambarkan.
Saat itulah aku tahu apa yang dihadapi Thomas.
Saat itulah aku merasakannya sendiri: tusukan paku ke telapak tangan, hantaman
palu yang menyakitkan. Lima 19S8 Thomas dan aku pergi ke bioskop dengan Madi acara Back-to-School-Festival of
Fun. Kami naik bus kota. Aku dapat giliran menarik bel ketika kami sampai di
swalayan five-and-ten nanti, karena Thomas sudah dapat giliran kemarin. Bus
tidak akan berhenti di festival, hanya di depan swalayan yang menjual barang-
barang seharga lima dan sepuluh sen itu.
Kami mendapatkan sopir bus kota yang ramah hari ini-sopir yang mengatakan "Hei,
apa yang kalian punya di sini?" dan menarik permen dari telingamu. Terakhir kali
kami pergi ke kota, kami mendapatkan sopir bus kota penggerutu dan tidak punya
jempol. Ma menduga, mungkin dia kehilangan jempolnya saat perang atau terlindas
mesin pabrik. Dia mengatakan padaku agar jangan melihatnya kalau aku takut,
tetapi aku melihatnya. Aku nggak bisa nahan. Aku tak ingin, tetapi mataku tak
bisa berpaling. Sudah sampai di five-and-ten. Ma mengangkatku dan aku menarik bel. "Sampai jumpa
lagi, Alligator!" kata sopir bus ketika kami turun. Ma
tersenyum dan menangkupkan tangan ke depan mulutnya, dan Thomas diam saja.
Setelah berdiri aman di trotoar, aku berteriak, "Sampai nanti, Crocodile!" Sopir
bus tertawa. Dia membuat isyarat "V" dengan jarinya dan menutup pintu bus.
Kami berjalan ke bioskop. Antrean sudah mengular di depan loket. Anak-anak di
depan kami anak-anak besar. Anak-anak sok besar. "Kalau begitu, lain kali bawa
akta kelahiran kalian!" teriak wanita penjaga loket. Dia wanita yang pincang.
Kadang, dia bekerja di dalam di kios permen, kadang menjual tiket. Dia dan satu
wanita lainnya suka bertukar tugas. Ma bilang, wanita yang pincang tersebut
terkena polio sebelum ada vaksin polio. Mungkin itu sebabnya dia selalu
mengeluh. Di dalam, pria dengan mata menonjol menyobek tiket kami dan memberi Thomas dan
aku kotak pensil hadiah back to school. Dengan pulpennya, dia menggambar X di
punggung tangan kami. "Satu hadiah untuk satu pelanggan," katanya pada Ma. "Aku
menandai mereka agar aku bisa tahu kalau ada anak yang mau berbuat curang dan
ingin mendapat lebih dari satu."
Aku ingin duduk di kursi paling depan, tetapi Ma bilang tidak, karena itu akan
membuat mata kami sakit. Dia menyuruh kami duduk di bagian tengah. Begini posisi
kami duduk: pertama Thomas, lalu Ma, dan aku di ujung. "Sekarang, jangan buka
kotak pensil kalian," kata Ma.
Pria yang berjaga di dalam disebut the husher. Dia mengenakan seragam dan
membawa senter, dan sangat sangat tinggi. Pekerjaannya adalah berteriak pada anak-anak jika
mereka menaruh kakinya di sandaran kursi di depan mereka. Jika anak-anak itu
membantah, dia menyorotkan senternya tepat ke wajah mereka.
Bioskop memutar kartun dulu: Daffy Duck, Sylvester and Tweety, Road Runner.
Beep-beep! Beep-beep! Di radio mereka mengiklankan akan mempertunjukkan sepuluh
kartun, tetapi mereka bohong. Hanya delapan kartun. Aku baru mengacungkan jariku
yang kedelapan ketika Three Stooges diputar.
Ma tidak suka Three Stooges. Ketika Moe mencolokkan jarinya ke mata Larry, Ma
mencondongkan tubuhnya padaku dan berbisik, "Jangan pernah mencoba melakukan
itu." Suaranya membuat telingaku geli-membuatku mengerutkan bahu. Di film kali
ini, Three Stooges berperan sebagai tukang roti. Mereka baru saja selesai
mendekorasi kue tar mewah untuk wanita kaya yang cerewet, dan wanita itu
berteriak-teriak pada mereka. Lalu Larry terpeleset dan menabrak Curly, dan
Curly menabrak wanita kaya itu, dan wanita itu jatuh tepat di kue! Kami bertiga
tertawa-Thomas, Ma, dan aku. Dari sisi tempatku duduk, kau bahkan tidak bisa
melihat kalau ibuku berbibir sumbing. Kau hanya bisa melihatnya dari tempat
Thomas. Di bioskop, banyak anak nakal yang tidak ditemani ibu atau ayah mereka. Mereka
berbicara ribut dan gaduh, bukannya menonton film. "I twat I taw a puddy cat!"
teriak salah seorang anak
menirukan Tweety, walaupun kartun sudah selesai. Setiap kali dia berteriak
seperti itu, anak-anak yang lain tertawa. Beberapa anak laki-laki yang duduk di
depan melipat kardus bekas wadah pop corn dan melemparkannya ke atas. Kotak-
kotak kardus itu membuat bayangan di layar.
"Bolehkah kami minta pop corn?" bisikku kepada
Ma. "Tidak," bisiknya kembali. "Kenapa tidak?" "Nonton saja."
Thomas menyentuh lengan Ma dan aku mencondongkan tubuh ikut mendengarkan. "Ma,
aku ingat dia lagi," katanya. "Apa yang harus kulakukan?"
"Pikirkan hal lain," kata Ma. "Nonton saja."
Yang dimaksud Thomas adalah Miss Higgins. Seminggu lagi kami masuk kelas tiga
dan guru kami adalah Miss Higgins. Dia adalah guru paling galak di seluruh
sekolah. Sepanjang musim panas, Thomas selalu sakit perut memikirkan dia.
Thomas membuka kotak pensilnya meskipun Ma sudah melarang. Dia mulai menggigiti
salah satu pensil barunya seperti mengunyah jagung di bonggolnya. Terakhir kali
Ray melihat Thomas memasukkan sesuatu ke mulutnya, dia berkata, "Suatu hari
nanti, aku akan mengambil satu isolasi dari EB dan mengisolasi tanganmu. Kau
lihat nanti apakah itu akan menyembuhkanmu! Kau lihat apa kau suka menggigiti
barang lagi!" Aku juga membuka kotak pensilku. Jika Thomas
boleh, aku juga boleh. Aku membengkokkan penghapusku sekuat mungkin untuk
melihat sejauh mana aku bisa membengkokkannya, dan penghapus itu mental dari
tanganku dan terlempar ke kegelapan.
"Lihat, kan!" kata Ma. "Apa kubilang tadi?"
Dia berkata aku tak boleh mencarinya di bawah kursi karena di bawah terlalu
kotor dan itu juga sama saja seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Suatu
kali saat Ma masih kecil, dia pergi ke bioskop dan melihat tikus berlari di
bawah kursinya. Bioskopnya bukan yang ini. Mereka sudah meruntuhkannya. Orang
dulu menyebutnya "bioskop gatal" karena kursinya penuh kutu busuk.
Di bagian depan, seseorang meneriakkan kata umpatan. Anak yang lain berteriak.
Ping! Sesuatu mengenai belakang kursiku.
"Hei! Hentikan yang di sana!" terdengar sebuah suara membentak. Aku memandang ke
belakang. Itu bukan the husher. Tetapi, si Mata Menonjol yang memberi kami kotak
pensil. Ma mengatakan, anak-anak nakal itu sebaiknya kapok karena orang itu
kedengarannya serius. Dia mengatakan, si Mata Menonjol adalah bos meskipun the
husher badannya lebih besar. Sekarang, Thomas memasukkan penghapusnya ke mulut.
Dia mengisap-isapnya. Slurp, slurp, slurp. "Mengapa kamu melakukan itu?"
tanyaku. Dia bilang ia membersihkan penghapusnya. Itu bodoh. Penghapus itu sudah
bersih. Masih baru. The Three Stooges selesai, dan sekarang diputar Francis, keledai yang bisa
bicara. Francis Goes To West Point. Ma bilang, West Point itu nama sekolah .... Kau tahu" Tahun lalu di
sekolah kami, seekor anjing menyelonong masuk ke kelas kami saat pelajaran
mengeja dan menabrak balok penyangga papan tulis. Semua anak tertawa dan
berkata, "Here, boy! Here, boy!" dan Miss Henault memerintahkan kami membalik
kertas eja kami dan meletakkan kepala kami di meja agar kami tenang. Anjing itu
berjalan ke deretan bangku. Bulunya cokelat dan putih, wajahnya tersenyum, dan
baunya seperti got. Tapi dia punya kalung leher, jadi seharusnya dia milik
seseorang. Ketika Mr. Grymkowski menyeretnya keluar kelas, kalung itu
mencekiknya dan anjing itu bersuara gak-gak-gak.
Ping! Ping! Ma berkata jangan menengok atau mata kalian bisa kena lemparan. Dia
mengatakan harus ada yang mengadu ke manajer sebelum seseorang terluka. Ping!
Kami adalah koboi dan para penjahat menembaki kami.
Film koboi favoritku yang baru adalah The Rifleman. Aku dulu paling suka
Cheyenne, tapi sekarang aku suka The Rifleman. Lucas McCain bisa menembakkan
senapannya dalam sepertiga puluh detik. Selain itu, dia juga menyayangi anak
lelakinya, Mark McCain. Lucas harus membesarkan Mark sendirian karena istrinya
meninggal. Ray bilang, Lucas McCain dulu bermain bisbol sebelum menjadi koboi.
Untuk tim Chicago Cubs. "Dia tak bisa memukul bola, dan dia juga tak bisa
akting, dan dia mungkin sudah jadi jutawan sialan sekarang," kata Ray. Kalau kau
bilang "sial", maka
itu dosa kecil, tapi kalau kau bilang "sialan", maka itu dosa besar. Itu yang
diajarkan suster di pelajaran katekisme. Dia bilang, setiap kali kau berbuat
dosa, maka itu meninggalkan noda hitam di jiwamu, dan orang-orang seperti
Khrushchev dan aktris Jayne Mansfield punya jiwa yang hitam legam.
Aku tak terlalu memerhatikan film ini. Malah, aku melihat anak-anak nakal itu-
mereka yang duduk di depan. Kardus pop corn beterbangan dalam gelap seperti
kelelawar. Seseorang meneriakkan umpatan lagi. Kata "B". Bangsat .... Kadang,
kelelawar terbang di jalan depan rumah kami ketika mulai gelap. Mereka terlihat
seperti burung, tetapi bukan. Mereka menipumu. Ping!
"Kau juga bangsat!" teriak beberapa anak.
Seorang anak perempuan tertawa mengikik.
7 tawt I taw a puddy cat!"
Lampu menyala meskipun film masih diputar. "Hei!" semua orang mulai berteriak.
"Hei!" Lalu film berhenti.


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Mata Menonjol dan the husher berjalan menuju bagian depan dan naik panggung,
dan si Mata Menonjol mulai membentak-bentak. Ma takut. Tangannya memukul-mukul
mulut seperti yang biasa dia lakukan ketika Ray membentak. Dengan lampu menyala,
aku bisa melihat anak-anak nakal itu dengan lebih baik. Aku melihat Lonnie Peck
dan Ralph Drinkwater dari sekolah kami. Musim panas tahun lalu, Lonnie meludahi
pengawas taman bermain dan diusir dari taman bermain selama seminggu. Tetapi,
dia tetap datang dan berdiri di
luar, meludahi kami lewat pagar kawat. Kami disuruh mengabaikannya. Penny Ann
Drinkwater juga duduk di depan, sendirian. Dia dan Ralph juga kembar, seperti
Thomas dan aku, tetapi Penny Ann tidak naik kelas. Ralph naik kelas empat tahun
ini, tapi Penny Ann tetap di kelas tiga bersama kami. Dia harus menghadapi Miss
Higgins dua kali. Penny Ann itu bayi besar. Dia selalu menangis tiap istirahat.
Drinkwater bersaudara dan kami adalah satu-satunya anak kembar di sekolah kami.
Mereka kulit hitam. Di panggung, si Mata Menonjol menunjukkan jempolnya ke arah the husher. "Kalian
lihat orang ini" Mulai sekarang, dia dan aku akan mengawasi para pengganggu. Dan
kalau kami menemukannya, kami akan mengusirnya dan tidak akan mengembalikan uang
mereka. Dan menelepon ayah mereka. Mengerti?"
"Bagus," Ma berbisik dari belakang tangannya yang menutupi mulut. "Biar mereka
kapok." Sekarang, semua orang sangat tenang. Hanya duduk diam. Lampu mati. Film mulai
lagi. Si Mata Menonjol dan the husher berjalan mondar-mandir di gang. Semua anak
nakal jadi baik. Thomas menarik lengan baju Ma lagi. Dia bilang, dia tak bisa menahannya-dia
terlalu memikirkan Miss Higgins hingga pengin pipis. Dia ingin Ma menemaninya ke
toilet, bukan aku. "Kau berani sendirian?" tanya Ma padaku. Aku bilang ya, dan
Ma berjalan di gang bersama Thomas. Aku memegang kotak pensilnya.
Membukanya. Pensilnya sudah kasar dan benjol karena digigiti. Penghapusnya basah kena ludah.
Jika Ray benar-benar mengikat tangan Thomas, dia seharusnya melakukan itu saat
kami masih liburan musim panas karena bagaimana nanti Thomas membuat PR" Dia
pasti akan menemui kesulitan dengan Miss Higgins. Aku membengkokkan penghapus
Thomas sekuat mungkin. Penghapus itu mental. Itu kecelakaan. Sumpah mati.
Kami seharusnya tak boleh mengatakan itu: sumpah mati. Suster bilang, itu sama
saja dengan mengumpat. Tapi, aku kan, tidak bilang. Cuma dalam hati.
Ray mengumpat ketika dia marah kepada Ma. Suatu kali, dia pernah menarik lengan
Ma dengan keras sehingga berbekas lebam, dan aku sangat marah sehingga
menggambar Ray dengan belati raksasa besar terhunjam di kepalanya. Lalu, aku
menyobek-nyobeknya. Awalnya, Ray tidak mengizinkan kami pergi ke bioskop hari
ini karena menurutnya menonton film itu hanya buang-buang uang saja. Tapi, dia
lalu berubah pikiran. Suatu kali, dulu sekali, dia pergi ke bioskop bersama
kami-Ma, aku, dan Thomas. Minggu sore. Malam sebelumnya, dia dan Ma bertengkar
hebat dan Ray membuat Ma menangis. Lalu, esok paginya dia menjadi baik. Dia
pergi ke Misa bersama kami dan kami makan di restoran, lalu kami menonton ke
bioskop. Kami menonton Wizard of Oz. Tapi Thomas mengacau. Dia dan tangisannya
yang cengeng. Thomas selalu
mengacaukan semuanya. Mereka berdua kembali dari toilet. "Geser, geser," kata Ma. Sekarang, Thomas
duduk di sebelahku. Dia memegang sekotak permen Good & Plentys. Itu untuk dibagi
berdua, kata Ma, tapi Thomas boleh memegangnya karena terakhir kali kami ke
bioskop dulu aku yang giliran memegang pop corn. Aku menyembunyikan permen itu
di mulutku dan tidak memakannya hingga aku mendapat bagian dobel. "Ambil dua-dua
saja," kata Thomas, mengulurkan kotak Good & Plentys. "Itu aturannya." Aku
bilang oke, tetapi aku ambil lebih. Satu kali, aku memasukkan dua jariku ke
dalam dan mengambil lima. Thomas bahkan tak menyadarinya. Kau selalu bisa menipu
Thomas. Mudah sekali. Dia bahkan tak tahu kalau penghapus bodohnya hilang.
Inilah penyebab Thomas menangis waktu kami menonton The Wizard of Oz: kera
terbang. Kera-kera yang menjadi anak buah Penyihir Jahat dan yang terbang turun
dan menculik Dorothy. Thomas menangis dengan keras sehingga aku ikutan menangis
juga. Awalnya, aku tidak takut pada kera-kera itu, tapi kemudian aku takut
melihatnya. Ray membawa kami berdua ke lobi, membentak kami, dan mengatakan
kalau kami mengacaukan hari yang indah untuk ibu kami. Wanita penjaga kios
permen terus memandangi kami. Wanita yang pincang. Ray berkata kalau kami tidak
berhenti bertingkah seperti dua anak perempuan penakut, dia akan membawa kami ke
toko dan membelikan kami rok. "Suzie dan Betty
Pinkus, anak perempuan penakut," katanya. Saat itu, kami masih kecil-kelas satu.
Jika aku melihat kera-kera terbang itu sekarang, aku akan tertawa karena aku
tahu itu bohongan. Tahun lalu saat istirahat, anak kelas tiga suka menyanyikan lagu ini:
Kelas satu, bayi! Kelas dua, bodoh! Kelas tiga, malaikat! Kelas empat,
gelandangan! Tahun ini giliran kami menyanyikannya. Thomas dan aku. Karena kami sudah besar.
Ngomong-ngomong, ototku lebih besar daripada Thomas.
Sekarang, aku yang ingin ke toilet. "Kenapa kau tadi nggak ikut waktu kakakmu
pipis?" Ma mencondongkan tubuh di depan Thomas dan berbisik. Mulutnya sangat
dekat dengan telingaku, sehingga ludahnya membasahi telingaku. Kukatakan bahwa
aku tadi belum kebelet, baru sekarang terasa. Nggak apa-apa, kataku. Aku sudah
besar. Aku bisa pergi sendiri. Jadi, Ma mengizinkanku. Thomas memegang kotak
pensilku karena tadi aku membawakan miliknya.
Aku mulai berjalan menyusuri gang bioskop yang sangat panjang. Awalnya, aku agak
takut, tapi kemudian aku berani. Ping! Meleset. Mereka sebaiknya waspada. Aku
Mark McCain. Ayahku The Rifleman.
Aku suka berada di luar, di lobi sendirian. Di kios mesin soda, seorang pria
sedang membelikan anak lelakinya soda anggur. Aku berhenti untuk melihat,
cangkirnya turun, soda dan sirup mengalir memenuhi cangkir. "Wow, aku haus,"
kataku keras-keras. Anak itu memandangku, tapi ayahnya tidak.
Di lantai bawah, di luar toilet, mereka meletakkan asbak berisi pasir di
dalamnya. Puntung rokok menancap di pasir itu. Aku mengorek-ngoreknya sebentar-
puntung rokok ini adalah buldoser. Mulutku menderumkan suara buldoser.
Tebak, siapa yang ada di toilet" The husher. Punggungnya bersandar ke tembok,
merokok dan mengembuskan asap berbentuk cincin. Asap rokok mengitari kepalanya.
Mulutnya adalah pabrik cincin asap rokok.
"Aku bisa saja bekerja di First National musim panas ini," katanya. Aku satu-
satunya orang selain dia yang ada di toilet, tapi dia sedang mengamati bayangan
dirinya sendiri di cermin. Aku tak yakin apakah dia berbicara padaku. Apakah dia
melihatku. Mungkin aku tak terlihat. "Tapi kemudian, aku tak jadi kerja di sana
karena dia bilang dia mungkin akan memperbolehkanku memutar proyektor. Sampai
sekarang, itu tak terjadi. Tak sekali pun." Dia membuat cincin asap lagi-cincin
asap yang tebal. Donat asap. Dia meleletkan lidahnya di tengah-tengah donat asap
itu. Mengikuti bulatan asap yang semakin meninggi.
"Tebak, apa yang pernah dilihat ibuku saat
menonton di bioskop?" kataku. "Tikus." Aku tak bermaksud bicara. Keluar begitu
saja dari mulutku. "Itu sih, kecil," katanya, masih melihat dirinya merokok di cermin. "Kami sering
melihatnya di sini. Mereka datang dari sungai." Dia punya jerawat merah besar di
dahinya. "Memangnya kau pikir apa yang kubersihkan pagi ini di meja kios permen"
Kotoran tikus. Kami memasang perangkap. Kau bisa mendengar jepretan perangkap
itu di ruang bawah tanah-kadang tepat di tengah-tengah film diputar. Jepret!
Kawatnya disetel sangat kencang, sehingga mematahkan punggung mereka." Dia
melemparkan puntung rokoknya di salah satu dudukan toilet, dan terdengar suara
tsst saat puntung rokok itu mengenai air.
"Jika kau menemukan penghapus di lantai, itu punyaku," kataku.
Dia memandang langsung padaku untuk pertama kalinya, tetapi tak bilang apa-apa.
Lalu, dia keluar. Toilet sebesar ini hanya milikku seorang.
Tempat kencing punya pil-pil putih besar di dasarnya yang berbau seperti pohon
natal kalau kamu mengencinginya. Kalau kamu mengencinginya. Aku berkata keras-
keras: "Kencing!" Mengatakannya-mende-ngarkan kata umpatan itu bergaung di
toilet yang bersih mengilat ini membuatku sedikit gemetar. Tanganku bergetar,
membuat kencingku menciprat. Sekarang, j\wa-ku bernoda hitam.
Pintu toilet membanting terbuka. Oh, tidak. Ralph Drinkwater dan Lonnie Peck
masuk. Aku cepat-cepat meresleting celanaku. "Hei, anak kecil?" kata Lonnie. "Kau mau
uang?" Aku menjawab tidak dan dia mencengkeram pergelangan tanganku. Aku bisa melihat
tanda X yang dicoret si Mata Menonjol di punggung tangannya dan tanganku.
"Ayolah. Uang beneran. Buka telapak tanganmu."
Aku tahu, ini pasti tipuan-Lonnie mungkin akan meludahi tanganku-tapi aku dengan
patuh membuka telapak tanganku. Lonnie memegang pergelangan tanganku dan
menariknya ke atas-membuatku menampar diri sendiri. "Kenapa kau menampar mukamu
sendiri, Anak Kecil" Huh?" dia tertawa. Dia melakukannya lagi. Lagi. "Kenapa kau
memukul dirimu sendiri?" Sebenarnya rasanya tak terlalu sakit. Hanya perih
sedikit. Aku mencoba menarik tanganku, tetapi Lonnie lebih besar dariku. Jauh
lebih besar. Bagaimana mungkin anak kelas tiga bisa melawan anak kelas lima yang
sudah tinggal kelas sekitar lima puluh kali"
"Hei, lihat ini!" kata Ralph. Dia berlari menyusuri tempat kencing, menekan
tombol penyiram. Membuka keran lebar-lebar. Di belakang dinding, pipa-pipa
bergetar dan bergoyang. Lonnie melepaskanku dan mulai menarik-narik tisu gulung
dari tempat tisu. "Selamat datang di rumah kesenangan!" teriaknya.
Aku lari. Keluar pintu, melewati asbak, naik tangga, melewati lobi. Si Mata
Menonjol bersandar di kios permen. "Hei! Nggak boleh lari!" teriaknya.
Ketika aku kembali ke tempat dudukku, Ma berdiri dan membiarkanku lewat. Aku tak
mengatakan apa pun tentang Lonnie dan Ralph. Tentang the husher dan tikus-tikus
itu. Aku duduk bersila ala Indian sehingga tidak ada tikus yang melewati kakiku.
Jantungku berdetak begitu keras sehingga aku bisa merasakannya dan wajahku
terasa panas di bagian aku menampar diriku sendiri tadi.
"Suka antingku?" kata Thomas. Dia mengeluarkan busurnya dan busurku dari kotak
pensil kami dan menggantungkannya di telinga. Aku menarik milikku kembali. "Ow!"
teriaknya. Dia menonjokku dan aku membalas.
"Tonton filmnya," Ma meminta. "Lucu lho!"
Tapi, film itu tak lucu. Bodoh. Francis, Keledai yang Bisa Bicara berbaris di
parade. Nggak lucu. "Kenapa kau pakai anting?" bisikku kepada Thomas. "Karena
kau anak perempuan yang bodoh, ya?"
Dia menyikutku; aku balas menyikutnya. "Cukup, Dominick," Ma mencondongkan tubuh
ke arahku dan berbisik. "Jangan nakal pada kakakmu."
"Bilang saja, jangan menyemprotku," kataku keras-keras. "Ludahmu nyemprot di
telingaku." Jika Ray di sini, dia pasti menamparku keras-keras.
Setelah film selesai, kami jalan kembali ke swalayan. Kami tiba terlalu awal
untuk menunggu bus. Ma bilang, kami boleh berjalan-jalan di dalam swalayan, tapi
tak membeli apa pun. Jika kita punya waktu dan kami berdua bersikap baik, dia
mungkin akan membelikan kami krim soda.
Kami memasuki toko, melewati bagian kacang-kacangan dan per-men di balik etalase
kaca. Melewati bagian buku, rak komik, dan mainan. Swalayan itu lantainya
berderit. Dan juga ada kipas angin di atap yang berbunyi thwocka-thwocka-
thwocka. Dan seorang gipsi di lemari kaca yang meramalkan masa depanmu dengan
ongkos satu penny. Ramalan itu keluar tertulis dalam kartu kecil. Gipsi itu cuma
patung, tapi kucing di bahunya kucing beneran. Kucing beneran yang mati dan
diawetkan. "Kau lihat kipas angin di atas sana?" kataku pada Thomas. "Jika seseorang yang
benar-benar tinggi lewat, kipas itu akan memotong kepalanya hingga putus."
"Tidak mungkin."
"Mungkin saja."
Ma memandang ke beberapa lukisan: badut, pegunungan, dua kuda berlari
menyeberangi sungai. Sebuah tanda dari kertas Jingga bertuliskan-OBRAL BESAR
KARYA SENI-bergoyang tertiup angin dari kipas angin. "Anak-anak, lihat lukisan
ini," kata Ma. Dia memegang sebuah lukisan suci-Yesus melayang di langit. Bapa dan Roh Kudus
ada di atas, memandang ke bawah, pada Yesus. Di bawah, gembala dan orang-orang
lain saling berpelukan dan memandang ke langit.
"Lihat!" kata Ma. Dia menepukkan jari ke dada Yesus. Ketika Ma menggerakkan
lukisan itu, kau bisa melihat dada Yesus bersinar. Kalau lukisan itu
diam, nyala api di dada Yesus menghilang. Seperti sulap. Kami meminta Ma
melakukannya lagi dan lagi.
"Apa menurut kalian sebaiknya aku membeli lukisan ini?" kata Ma.
"Ya!" jawab kami berdua. "Beli!"
"Mungkin kalau gajian nanti," kata Ma. "Ayo. Aku akan membelikan kalian es krim
soda." Saat kami melewati kipas angin di langit-langit, Thomas bertanya pada Ma
apa kipas angin itu bisa memotong kepala orang yang tinggi, dan Ma bilang, "Oh,
Thomas, jangan mengatakan hal-hal seperti itu."
Thomas tidak bisa menghabiskan es krim sodanya karena dia teringat kembali pada
Miss Higgins, jadi aku menghabiskan punyanya dan punyaku. "Kau tahu apa yang
akan terjadi?" kata Ma. "Aku bertaruh kalau aku kembali Kamis nanti, semua
lukisan itu pasti telah terjual."
Ketika kami hendak pergi, Ma bilang, "Kalian tahu nggak anak-anak, kalau
seseorang mentraktirku es krim dan menonton film ketika aku masih kecil dulu,
aku pasti bilang, 'Terima kasih.1"
"Terima kasih," kata kami berbarengan. Kadang, aku tahu apa yang akan dikatakan
Thomas bahkan sebelum dia mengucapkannya. Misalnya Ma bilang, "Kau mau sandwich
apa, Thomas?" dan aku bilang dalam hati, sosis dan keju. Dan lalu Thomas bilang,
"Sosis dan keju, piease." Aku bertanya-tanya apakah si kembar Drinkwater juga
bisa melakukannya. Aku berani bertaruh mereka nggak bisa. Mereka bodoh.
Setidaknya Penny Ann, karena
dia nggak naik kelas. Ketika kami hendak keluar ke halte bus, kami berhenti di bagian lukisan lagi. Ma
mengambil lukisan Yesus dan menunjuk ke label yang menempel di bawah pigura.
"Siapa yang bisa baca ini?" tanyanya.
"Dia ..." kata Thomas, lalu terhenti, tak bisa meneruskan.
"Dia telah dibangkitkan," kataku. "Kita terselamatkan."
"Benar sekali, Dominick," kata Ma. "Bagus sekali. Apa kau pikir aku sebaiknya
memboroskan uangku untuk membeli ini?"
Dia tidak bertanya pada Thomas. Hanya padaku. "Beli saja," kataku, seperti bos.
Ma mengeluarkan lembaran uang kusut dari dompet recehnya. Wanita di kasir
membungkus lukisan itu dengan kertas cokelat dan bertanya pada Thomas dan aku
apakah kami anak yang penurut di rumah. Kami bilang ya, dan dia memberi kami
masing-masing satu permen mint. Kami lalu keluar dan menunggu bus.
Ma menyandarkan lukisan itu ke dinding luar toko saat kami menunggu. Kami
menunggu dan menunggu, tapi bus sialan itu nggak datang-datang. Ma bilang, jika
bus itu tak segera datang, makan malam akan telat dan Ray akan marah. Dia juga
berharap Ray tak akan marah karena dia membeli lukisan itu.
Ray bukanlah ayah kandung kami. Karena itulah kami memanggilnya Ray. Kami tak
tahu siapa ayah kandung kami. Aku tak tahu apakah Ma tahu.
Kurasa ayah kandung kami sangat, sangat, sangat tinggi. Pasti dia bisa
mengalahkan Ray. Lukisan baru kami juga tinggi, tapi aku lebih tinggi.
Thomas berkata, "Lihat, Dominick. Komuni!" Dia membuka mulutnya untuk
menunjukkan permen yang menempel di lidahnya, tapi permen itu menggelincir dan
jatuh ke trotoar. Ma bilang, jangan dimakan lagi karena sudah terlalu kotor.
Thomas menangis. Bus datang.
Oh, tidak! Sopirnya yang suka menggerutu dengan jempol yang hilang. "Mundur!"
katanya. "Ayo. Aku nggak punya banyak waktu! Mundur!"
Busnya sangat sesak. Kami harus pergi ke belakang sekali. Ma menyuruh Thomas dan
aku duduk berdampingan di salah satu bangku panjang dan dia duduk di seberang,
menghadap ke kami. Dia meletakkan lukisan baru itu di depannya. Bersandar di
lututnya. Lalu seorang pria yang menakutkan naik bus (pria yang selalu akan kulihat dan
kuimpikan sepanjang hidupku setelahnya). Dia berjalan di gang bus menuju ke arah
kami. Rambutnya berantakan, berjanggut, dan ada benjolan besar di dahinya. Dia
bergumam pada dirinya sendiri. Mantelnya sangat kotor. Dia mendesakkan diri dan
duduk di sebelah ibuku. Aku tak suka memandang pria itu-tak ingin memandangnya-tapi aku tak bisa
menahannya. Ma menggelengkan kepalanya padaku, yang artinya, "jangan melihat".
Tapi, pria itu terus memandangi Thomas dan aku. Dia mengatakan sesuatu yang
buruk-sesuatu tentang melihat "dobel". Lalu dia tertawa. Aku tahu, pria ini
pasti punya jiwa yang sangat, sangat, sangat kotor. Aku tahu Thomas hampir
menangis. Aku bahkan tak melihat Thomas, tapi aku tahu.
Bus mulai berjalan. Kini, pria itu memandangi Ma. Mencondongkan tubuh ke
arahnya. Dia mulai mengendus-endus Ma seperti anjing. Ma menghindar sejauh yang
dia bisa. Tangannya menutupi mulut. Satu tangan lain memegangi lukisan. Thomas
mulai menangis. Seseorang akan menolong kami, harapku dalam hati. Tapi, tak ada penumpang lain


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memerhatikan pria itu. Tangannya keluar dari saku jaketnya. Bergerak ke
lukisan baru kami lalu ke belakang lukisan ke paha Ma. Tangan Ma yang menutupi
mulutnya bergetar. Tangannya yang satu lagi memegangi lukisan itu erat-erat.
Ma tak mengatakan apa pun-tak melakukan apa pun-dan aku takut, marah, dan
seluruh kepalaku rasanya mendidih ....
Di perhentian berikutnya, Ma melompat berdiri, menyeret Thomas dan aku berjalan
ke pintu bus, lukisan yang dibawanya terbanting ke sana kemari saat dia
berjalan. "Ya, terima kasih!" kata Ma ketika sopir bus bertanya apa semua baik-baik saja.
Kami turun tangga bus yang curam dengan terburu-buru. Pintu bus terbanting
menutup. Bus bergerak ke depan.
Lalu berhenti lagi. Pintunya membuka.
Pria menakutkan itu juga turun.
Apa dia akan melukai kami" Apa dia akan mencuri lukisan baru kami" Kami lari.
Kotak pensil Thomas terbuka dan isinya bertebaran. "Jangan berhenti!" teriak Ma.
"Jangan melihat ke belakang!"
Tapi aku melihat ke belakang, dan setiap kali aku menengok, pria menakutkan itu
semakin tertinggal jauh. Akhirnya, dia berhenti dan meneriakkan sesuatu pada
kami-sesuatu yang bisa kudengar, tapi tak kumengerti.
Ketika sampai di rumah, kakiku terasa terbakar karena berlari. Kami bertiga
menangis. Ma lari masuk rumah, mengunci semua pintu dan jendela dan menurunkan
gorden. Lalu, dia duduk di salah satu kursi makan dan menangis dengan seluruh
tubuhnya. Dia menangis begitu keras sehingga meja makan dan porselen di lemari
ikut bergetar. Thomas dan aku berhenti menangis dan terpana memandanginya.
"Jangan bilang ayah kalian tentang apa yang terjadi tadi," kata Ma, setelah dia
bisa berbicara lagi. "Jika dia bertanya, 'Bagaimana filmnya"' bilang saja,
'Bagus'. Jika dia tahu apa yang terjadi, dia tak akan mengizinkan kita pergi ke
bioskop lagi. Pria itu tak benar-benar jahat. Dia cuma tak tahu mana yang benar
dan mana yang salah. Dia cuma gila."
Di lantai atas, di kamarnya dan kamar Ray, Ma berlutut di ranjang dan memaku
dinding. Menggantung lukisan barunya. Dia berjanji pada Thomas akan membelikan
kotak pensil baru untuk menggantikan kotak pensilnya. "Yang bagus," kata Ma.
"Yang lebih baik daripada kotak pensil jelek
yang mereka dapatkan gratis di bioskop tadi."
Aku capek. Aku ingin menangis. Mengapa Thomas yang dapat kotak pensil bagus
sementara aku punya yang jelek tanpa penghapus" Kupikir hari ini akan menjadi
hari yang baik, tetapi nyatanya tidak. Hari ini hariku yang paling, paling
buruk. "Siapa tahu apa yang akan terjadi hari ini," kata Ma, "jika Yesus tidak ada
untuk melindungi kita dari pria gila itu?" Dia menarik napas panjang, melangkah
mundur untuk mengagumi lukisan baru itu. Aku juga melihat. Yesus memandang
balik, tangannya terulur ke arah kami. Saat aku menelengkan kepala ke kiri dan
ke kanan, nyala api di dadanya berkedap-kedip.
"Suatu hari," kata Ma. "Aku akan meminta Father LaFlamme untuk datang dan
memberkati lukisan ini. Memberkati keluarga kita semua. Rumah kita."
Malam itu saat makan malam, Ray memergoki Thomas mengunyah lengan bajunya. "Oke!
Cukup!" kata Ray. Ray berdiri dan melepaskan ikat pinggangnya. Memutarnya di tangan.
Mencambukkannya ke meja. Aku teringat tikus-tikus di bioskop, berlari di ruang
bawah tanah yang gelap, terjerembab di perangkap. Jepret,' Suara ikat pinggang
Ray menghantam meja. Jepret,' "Sudahlah, Ray," kata Ma. Ray mengacungkan
telunjuknya ke Ma. "Kau jangan ikut-ikutan, Suzie Q!" katanya. "Kalau saja
kau tidak memanjakannya setiap waktu, dia tak akan seperti ini!" Dia membuang
ikat pinggangnya ke lantai. Pergi ke ruang bawah tanah. Kembali ke atas dengan
segulung isolasi. "Pergi!" katanya padaku.
Dari halaman belakang, aku bisa mendengar Thomas menangis, tercekik, dan
berusaha bernapas seperti anjing yang diseret Mr. Grymkowski keluar kelas.
"Maafkan aku, Ray!" Thomas terus mengerang. "Jangan isolasi tanganku, aku mohon!
Makam Bunga Mawar 20 Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib Ratu Mesum Bukit Kemukus 1
^