Da Vinci Code 7
The Da Vinci Code Karya Dan Brown Bagian 7
Lebih cepat. Kemudian orang-orang itu melangkah maju dan berlutut. Akhirnya,
seketika itu juga, Sophie dapat melihat apa yang mereka lihat. Di atas altar
rendah berhias di tengah-tengah lingkaran, berbaring seorang lelaki. Dia bugil,
berbaring pada punggungnya dan mengenakan topeng hitam. Sophie langsung
mengenali tubuh lelaki itu dari tanda lahir pada bahunya. Sophie hampir saja
berteriak. Grand-p?re! Apa yang dilihatnya itu sudah membuatnya begitu
terguncang karena tidak percaya, namun masih ada lagi.
Di atas kakeknya, seorang perempuan bugil mengenakan topeng putih mengangkangi
kakeknya. Rambut peraknya tergerai di belakang punggungnya. Tubuhnya gemuk, jauh
dari sempurna dan dia bergerak mengayun tubuhnya seirama dengan nyanyian itu -
bersetubuh dengan kakek Sophie.
Sophie ingin berputar dan lari, tetapi dia tidak bisa. Dinding-dinding ruang
bawah tanah itu memenjarakannya ketika nyanyian itu meninggi hingga terdengar
melengking. Lingkaran orang-orang itu terdengar seperti menyanyi sekarang, dan
suara itu memuncak dengan kresendo menjadi hiruk-pikuk. Dengan sebuah raungan
tiba-tiba, seluruh ruangan itu terasa meledak dalam klimaks. Sophie tidak dapat
bernapas. Dia tiba-tiba sadar telah menangis diamdiam. Dia berputar dan
perlahan-lahan menaiki tangga itu, keluar dari rumah, dan dengan gemetar
mengemudikan mobilnya kembali ke Paris.
75 PESAWAT SEWAAN itu baru saja melewati langit Monaco yang berkerlap kerlip ketika
Aringarosa mengakhiri pembicaraannya dengan Fache untuk kedua kalinya. Dia
meraih kantong mabuk udara lagi, tetapi merasa terlalu kering bahkan untuk
muntah sekalipun. Biarkansajasegalanyaberakhir! Kabar terakhir dari Fache
terdengar tidak dapat dibayangkan, walau semua yang terjadi malam ini memang
hampir tidak masuk akal lagi. Apa yang terjadi" Segalanya berputar liar tak
terkendali. Silas aku libatkan dalam peristiwaapa"Akuterlibatdalamperistiwaapa"
Dengan kaki gemetar, Aringarosa berjalan menuju kokpit. "Aku harus mengubah
tujuan." Pilot itu mengerling melewati bahunya dan tertawa. "Kau bercanda, bukan?"
"Tidak. Aku harus ke London segera." "Bapa, ini pesawat sewaan, bukan taksi."
"Aku akan membayarmu lebih, tentu saja. Berapa" London hanya satu jam
lebih jauh ke utara dan hampir tidak mengubah arah, jadi..." "Bukan masalah uang,
Bapa. Ada masalah lain." "Sepuluh ribu euro. Sekarang juga." Pilot itu menoleh,
matanya terbelalak karena terkejut. "Berapa" Pendeta
apa yang membawa uang tunai sebanyak itu?" Aringarosa berjalan kembali ke
belakang ke tas hitamnya, lalu membukanya, dan mengambil seikat surat
tanggungan. Dia menyerahkannya kepada pilot itu. "Apa ini?" tanya pilot itu.
"Obligasi senilai sepuluh ribu euro, diuangkan di Bank Vatikan." Pilot itu
tampak ragu. "Sama dengan uang tunai." "Hanya tunai yang benar-benar tunai,"
kata pilot itu, sambil menyerahkan
obligasi itu kembali. Aringarosa merasa lemah, sehingga dia harus bersandar pada
pintu kokpit. "Ini menyangkut hidup dan mati. Kau harus menolongku. Aku harus
pergi ke London." Pilot itu menatap cincin emas uskup itu. "Berlian asli?"
Aringarosa menatap cincinnya. "Aku tidak mugkin berpisah dengannya." Pilot itu
menggerakkan bahunya dan kembali memusatkan perhatiannya
pada kaca depan. Aringarosa merasa semakin sedih. Dia menatap cincinnya.
Bagaimanapun, segala yang diwakili cincin itu akan segera hilang dari uskup itu.
Setelah lama terdiam, dia melepaskan cincinnya dari jarinya dan meletakkannya
dengan lembut pada panel instrument pesawat.
Aringarosa pergi dari kokpit dan duduk lagi. Lima belas detik kemudian, dia
dapat merasakan pilot membelokkan pesawatnya beberapa derajat ke utara. Walau
begitu, saat-saat kejayaan Aringarosa sedang dalam badai. Semuanya bermula
sebagai alasan suci. Sebuah rencana yang diatur dengan sangat cerdas. Sekarang,
seperti rumah dari kartu remi, rencana itu mulai runtuh sendiri ... dan akhir dari
segalanya tidak tampak sama sekali.
76 LANGDON DAPAT melihat Sophie masih gemetar karena menceritakan pengalamannya
menyaksikan upacara tercengang mendengarnya. Tidak saja Heiros Gamos. Langdon
sendiri Sophie menyaksikan ritual itu seluruhnya, tetapi juga kakeknya telah
menjadi tokoh upacara ... dinobatkan menjadi Mahaguru Biarawan Sion. Perkumpulan
itu melibatkan orang-orang besar. Da Vinci, Botticelli, Isaac Newton, Victor
Hugo, Jean Cocteau ... JacquesSauni?re.
"Aku tidak tahu apa lagi yang dapat kuceritakan padamu," kata Langdon lembut.
Mata Sophie tampak berwarna hijau tua sekarang, penuh air mata. "Dia
membesarkanku seperti anaknya sendiri."
Langdon sekarang mengenali perasaan itu, yang semakin terlihat dalam mata Sophie
ketika dia berbicara. Sophie menyesali sikapnya. Sangat menyesal. Dia telah
menghindari kakeknya dan sekarang dia melihat kakeknya dari sisi terang yang
betul-betul berbeda. Di luar, fajar mulai menyingsing cepat, aura merah tuanya berkumpul di ufuk.
Bumi di bawah mereka masih tampak hitam.
"Mau makanan, teman-teman?" Teabing bergabung lagi bersama mereka dengan membawa
beberapa kaleng Coke dan sekotak kue kecil. Dia meminta maaf dengan sangat
karena keterbatasan makanan sambil meletakkan makanan dan minuman yang dibawanya
di atas meja. "Teman biarawan kita itu belum mau bicara," katanya, "tetapi beri
dia waktu." Dia menggigit kuenya dan melihat puisi itu lagi. "Jadi, bagaimana
sayangku, sudah ada kemajuan?" katanya sambil menatap Sophie. "Apa yang mau
dikatakan kakekmu kepada kita di sini" Di mana nisan itu" Nisan yang dipuja para
Templar." Sophie menggelengkan kepalanya dan tetap membisu. Ketika Teabing
kembali menekuni bait itu, Langdon membuka sekaleng Coke dan berjalan ke
jendela. Pikirannya terendam dalam bayangan ritual rahasia dan kode-kode yang
belum terpecahkan itu.Sebuahnisanyangdipuja olehparaTemplarmerupakankunci.
Langdon meneguk panjang dari kaleng itu. Sebuahnisanyangdipujaoleh paraTemplar.
Cola itu hangat. Selendang malam mulai menguap dengan cepat, dan ketika Langdon menyaksikan
perubahan itu, dia melihat lautan yang berkilauan terhampar di bawah
mereka.TerusanInggris. Tidak lama lagi mereka tiba di Inggris.
Langdon sebenarnya berharap, terangnya hari akan membawa penerangan pada teka-
teki sajak dan kode-kode itu, tetap semakin terang di luar, dia merasa semakin
jauh dari kebenaran yang mereka cari. Dia mendengar irama sajak yambe lima suku
kata dan nyanyian itu, Hieros Gamos serta ritual suci, yang bergema seiring
dengan derum suara mesin jet. SebuahnisanyangdipujaolehparaTemplar. Pesawat itu
telah berada di atas daratan lagi ketika secercah cahaya menerpanya. Langdon
meletakkan kaleng Coke kosongnya. "Kau tidak akan mempercayai ini," katanya,
sambil menoleh kepada teman-temannya. "Nisan Templar - aku sudah memecahkannya."
Mata Teabing beralih ke piring-piring kecil di atas meja. "Kautahu di mana nisan
itu?" Langdon tersenyum. "Bukandimana, tetapiapa nisan itu." Sophie
mencondongkan tubuhnya untuk m?ndengarkan. "Kupikir kata headstone (nisan) di
situ mengacu kepada kata stone head (kepalabatu)," jelas Langdon, dengan
menikmati semangat akademikus yang biasa dirasakannya ketika berhasil memecahkan
persoalan. "Bukan batu penanda makam." "Kepala batu?" tanya Teabing. Sophie juga
tampak bingung. "Leigh," kata Langdon, sambil menoleh, "selama Inkuisi, Gereja
menuduh Templar untuk segala jenis klenik, bukan?" "Betul. Gereja membuat berbagai
tuntutan. Sodomi, mengencingi salib,
memuja setan. Daftarnya panjang." "Dan dalam daftar itu ada pemujaan pada dewa-
dewa palsu, bukan" Terutama, Gereja menuduh Templar diam-diam melakukan ritual
pemujaan pada kepala batu berukir ... dewa pagan - "
"Baphomet!" Teabing berseru. "Ya ampun, Robert, kau benar! Sebu?h batu yang
dipuja oleh para Templar!"
Dengan cepat Langdon menjelaskan kepada Sophie bahwa Baphomet merupakan dewa
kesuburan kaum pagan yang memiliki kekuatan penciptaan reproduksi. Kepala
Baphomet berbentuk seperti kepala biri-biri jantan atau kambing, simbol yang
umum dari ayah dan kesuburan. Para Templar memuja Baphomet dengan cara mengitari
sebuah batu replika dari kepalanya dan menyanyi.
"Baphomet," ujar Teabing. "Upacara itu memuja keajaiban penciptaan dan penyatuan
seksual, tetapi Paus Clement meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya kepala
Baphomet adalah kepala iblis. Paus menggunakan kepala Baphomet sebagai tuduhan
tambahan dalam kasusnya melawan Templar. Langdon setuju. Kepercayaan modern akan
iblis bertanduk yang dikenal sebagaiSatan dapat dilacak kembali ke Baphomet dan
ke upaya Gereja untuk menuduh dewa kesuburan bertanduk itu sebagai simbol
kejahatan. Gereja jelas berhasil, meskipun tidak seratus persen. Pada meja-meja
orang Amerika saat memperingati han Thanksgiving masih sering terlihat simbol
pagan berupa patung bertanduk simbol kesuburan itu. Cornucopia atau "banyak
tanduk" merupakan sebuah atribut bagi kesuburan Baphomet dan sudah ada sejak
zaman Zeus, ketika ia disusui oleh seekor kambing yang tanduknya patah dan
kemudian keluarlah buah-buahan dari dalam tanduk tersebut. Baphomet juga muncul
dalam kelompok fotografi ketika beberapa badut mengacungkan dua jari dibelakang
kepala temannya, dalam bentuk simbol-tanduk V; tentu saja hanya sedikit dari
orang yang suka berolok-olok itu yang menyadari bahwa lelucon mereka
sesungguhnya menunjukkan kekuatan sperma musuh mereka.
"Ya, ya," kata Teabing dengan bersemangat. "Baphomet pastilah apa yang
dimaksudkan dalam puisi itu. Sebuah kepala dari batu yang dipuja para Templar.'
"Baik," kata Sophie, "tetapi jika Baphomet adalah kepala dari batu yang dipuja
para Templar, kita sekarang punya dilemma baru." Sophie lalu menunjuk pada
lempengan-lempengan di cryptex itu. "Baphomet terdiri atas delapan huruf. Kita
hanya punya tempat untuk lima huruf saja."
Teabing tersenyum lebar. "Sayangku, di sinilah sandi Atbash mulai bermain."
77 LANGDON TERPESONA. Teabing baru saja menulis ke-22 alfabet Yahudi - alefbeit - -
berdasarkan hafalannya. Walau Teabing tidak menulisnya dalam huruf Hebrew,
melainkan huruf Romawi yang ekuivalen, bangsawan Inggris itu sekarang dapat
membacanya dengan pengucapan yang sempurna.
A B G D H V Z Ch T Y K L M N S O P Tx Q R Sh Th
"Alef, Beit, Gimel, Dalet, Hei, Vav, Zayin, Chet, Tet, Yud, Kaf, Lamed, Mem,
Nun, Samech, Ayin, Pei, Tzadik, Kuf, Reish, Shin dan Tav." Teabing mengusap
alisnya dan melanjutkan. "Dalam ejaan Yahudi yang resmi, suara vokal tidak
ditulis. Karena itu, ketika kita menulis kata Baphomet dengan menggunakan
alfabet Yahudi, kata ini akan kehilangan tiga huruf vokal dalam terjemahannya,
sehingga kita hanya punya - " "Lima huruf" seru Sophie. Teabing mengangguk dan
mulai menulis lagi. "Baik, yang ini adalah ejaan Baphomet yang tepat dalam huruf
Hebrew. Aku akan tandai vokal yang hilang supaya jelas. B a P V o M e Th "Tentu
saja harus diingat," Teabing menambahkan, "bahasa Yahudi ditulis dari arah yang
berlawanan, tetapi kita dapat dengan mudah menggunakan Atbash dengan cara ini.
Kemudian, yang harus kita lakukan hanyalah membuat pola pengganti dengan menulis
kembali seluruh alfabet dengan susunan yang berlawanan dengan aslinya."
"Ada cara yang lebih mudah," kata Sophie, sambil mengambil p?na dari tangan
Teabing. "ini berlaku untuk semua sandi pengganti terbalik, termasuk Atbash.
Muslihat kecil yang kupelajari dari Royal Holiway." Lalu Sophie menulis paruh
pertama dari alfabet itu dari kiri ke kanan, kemudian dia menulis, di bawahnya,
paruh kedua dari kanan ke kiri.
A B G D H V Z Ch T Y K Th Sh R Q Tz P O S N M L Teabing menatap hasil tulisan Sophie dan tertawa. "Kau benar. Aku senang
melihat anak-anak di Hollway bekerja dengan baik." Langdon melihat matriks
buatan Sophie dan merasa makin gembira. Dia membayangkan bagaimana kegembiraan
para ilmuwan ketika mereka untuk pertama kalinya menggunakan sandi Atbash untuk
memecahkan Mystery of Sheshach yang sekarang terkenal itu. Selama bertahun-
tahun, ilmuwan yang religius dipusingkan dengan sebuah kota yang dirujuk dalam
kitab suci yang bernama Sheshach. Kota itu tidak ada dalam peta, juga tidak pada
dokumendokumen yang lain, namun namaya disebutkan berulang-ulang dalam Kitab
Yeremia - Raja Sheshach, kota Sheshach, rakyat Sheshach. Akhirnya, seorang ilmuwan
mengusulkan untuk menggunakan Sandi Atbash. Hasilnya betul-betul mempesonakan.
Sandi itu mengungkapkan bahwa Sheshach adalah sebenarnya sebuahkatakode untuk
kota lain yang sangat terkenal. Proses pemecahan kode itu mudah saja. Sheshach,
dalam bahasa Yahudi, dieja: Sh-Sh-K. Sh-Sh-K, ketika ditempatkan dalam matriks
pengganti, menjadi B-B-L. Dalam bahasa Yahudi, B-B-L dibacaBabel. Kota misterius
Sheshach telah terungkap sebagai kota Babel, dan terjadilah hiruk-pikuk
penelitian kitab suci. Dalam beberapa minggu, kode-kode Atbash yang lain lagi
ditemukan dalam kitab Perjanjian Lama, membuka banyak sekali arti tersembunyi
yang pada awalnya tidak diketahui oleh para ilmuwan.
"Kita semakin dekat," semangatnya.
"Sabar, Robert," kata tersenyum. "Kau siap?" Sophie mengangguk. bisik Langdon,
tak mampu mengendalikan Teabing. Dia mengerling pada Sophie dan
"Baik. Baphomet dalam tulisan Yahudi tanpa huruf vokal dibaca B-P-VM-Th.
Sekarang kita hanya menggunakan matriks pengganti Atbash-mu tadi untuk
menerjemahkan huruf-huruf pengganti itu menjadipassword lima huruf kita."
Jantung Langdon berdebar kuat. B-P-V-M-Th. Matahari menebarkan cahayanya
melewati jendela-jendela sekarang. Dia melihat matriks pengganti Sophie dan
perlahan mulai membuat pertukaran itu. B menjadi Sh ... P menjadi V...
Teabing tersenyum seperti seorang anak sekolah pada malam Natal. "Dan Sandi
Atbash itu membuka ...." Dia berhenti tiba-tiba. "Ya Tuhan!" Wajahnya menjadi
pucat. Kepala Landon tersentak. "Ada apa?" usut Sophie. "Kau tidak akan
mempercayai ini." Teabing mengerling pada Sophie
"Terutama kau." "Apa maksudmu?" tanya Sophie. "Ini adalah ... sangat cerdik,"
Teabing berbisik. "Luar biasa cerdik. Lalu Teabing menulis lagi di atas kertas.
"Sophie, ini kata kuncimu." Kemudian Teabing memperlihatkan apa yang baru saja
ditulisnya. Sh-V-P-Y-A Sophie memberengut. "Apa ini?" Langdon juga tidak dapat rnengenalinya. Suara
Teabing terdengar bergetar karena terpesona. "Teman-teman, ini
benar-benar sebuah kata bijaksana kuno." Langdon membaca huruf-huruf itu lagi.
Sebuah kata bijaksana kuno membebaskan gulungan ini. Tak berapa lama kemudian
dia mengerti. Dia tidak pernah menduga akan seperti ini. "Sebuah kata bijaksana
kuno!" Teabing tertawa. "Sangat harfiah!" Sophie melihat kata itu, kemudian
lempengan itu. Dia langsung menyadari bahwa Teabing dan Langdon telah lengah dan
tidak melihat kesalahan yang serius. "Tunggu dulu! Ini tidak mungkin merupakan
kata kunci," Sophie membantah. "Cryptex ini tidak punya huruf Sh pada
lempengannya. Cryptex ini menggunakan alfabet Romawi kuno biasa."
"Baca kata-kata itu," Langdon membantah. "Ingat dua hal. Dalam bahasa Yahudi,
simbol untuk suara Sh dapat juga diucapkan sebagai S, tergantung pada aksennya.
Sama dengan huruf P yang dapat diucapkan F." SVFYA" Pikir Sophie, bingung.
"Jenius!" tambah Teabing. "Huruf Vav sering merupakan pengganti vokal
0!" Sophie melihat lagi huruf-huruf itu untuk menyuarakannya. "S...o...f...y...
a." Dia mendengar suaranya sendiri, dan dia tidak dapat mempercayai apa
yang didengarnya. "Sophia" Tulisan itu dibaca Sophia?" Langdon mengangguk
antusias. "Ya. Sophia betul-betul berarti bijaksana dalam bahasa Yunani. Akar
kata dari namamu, Sophie, betul-betul sebuah 'kata bijaksana'."
Tiba-tiba Sophie merasa begitu merindukan kakeknya. Dia mengukir/menyandikan
batu kunci Biarawan dengan namaku. Tenggorokannya terasa tercekat. Semuanya
terdengar terlalu sernpurna. Tetapi ketika dia melihat lagi lempengan-lempengan
lima huruf nada cryptex itu, dia tahu masih ada masalah. "Tetapi tunggu dulu...
kata Sophie memiliki enam huruf."
Senyum Teabing tidak pernah pudar. "Lihat puisi itu lagi. Kakekmu menulis,
'sebuah kata bijaksana kuno'." "Lalu?" Teabing rnengedipkan matanya. "Dalam
bahasa Yunani kuno, bijaksana dieja S-0-F-I-A." SOPHIE MERASA sangat gembira
ketika menimang cryptex itu lalu mulai memutar huruf-huruf
itu.Sebuahkatabijaksanakunomembebaskangulungan kertasini.
Langdon dan Teabing tampak berhenti bernapas ketika melihat Sophie memutar
cryptex itu. S...O...F... "Hati-hati," kata Teabing. "Bahkan sangat hati-
hati." ...I...A. Sophie menyejajarkan putaran terakhirnya. "Baik," dia berbisik,
sambil menatap yang lainnya. "Aku akan menariknya sampai terpisah." "Ingat cairan cuka
itu," bisik Langdon dengan napas takut. "Hati-hati." Sophie tahu jika cryptex
ini seperti cryptex-ciyptex yang pernah dia buka ketika masih kecil, yang harus
dia lakukan adalah memegang silinder itu pada kedua ujungnya, persis di luar
lempengan-lempengan itu, lalu menarik dengan hati-hati ke arah yang berlawanan.
Jika lempengan-lempengan itu sudah lurus benar membentuk kata kunci, maka salah
satu ujung silinder akan terlepas, persis seperti tutup kamera, dan Sophie dapat
merogoh ke dalam lalu menarik dokumen begulungan kertas papirus yang dibungkus
lagi dalam botol kecil berisi cairan cuka. Namun, bila kata kunci yang mereka
masukkantidakbenar, usaha Sophie dari luar pada kedua ujung silinder itu akan
dialihkan ke sebuah tuas yang tergantung di dalam, yang akan berputar ke bawah
ke rongga silinder dan menekan botol kaca kecil itu, yang akhirnya akan
membuatnya pecah jika Sophie menarik terlalu kuat. Tarikdenganlembut, kata
Sophie pada dirinya sendiri. Teabing dan Langdon mencondongkan tubuh mereka
ketika Sophie mulai memegang kedua ujung silinder itu. Saat mereka tadi begitu
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersemangat memecahkan kata kunci, Sophie hampir lupa apa yang mereka duga akan
ditemukan di dalamcryptex itu.InibatukunciBiarawan. Menurut Teabing, ini berisi
sebuah peta ke Holy Grail, yang mengungkap makam Maria Magdalena dan harta benda
Sangreal ... harta puncak rahasia kebenaran.
Sambil memegang kuat tuba batu itu, Sophie memeriksa ulang apakah huruf-huruf
itu sudah sejajar tepat dengan petunjuknya. Lalu, perlahan, dia menariknya.
Tidak ada yang terjadi. Sophie menambah sedikit tenaga. Tibatiba batu itu
bergerak terpisah seperti teleskop yang dibuat dengan sangat baik. Ujung yang
berat tertahan dalam tangannya. Langdon dan Teabing hampir terloncat dari
duduknya. Detak jantung Sophie bertambah cepat ketika dia meletakkan bagian
ujung itu di atas meja dan mengangkat silinder itu ke atas untuk mengintip ke
dalam silinder. Sebuabgulungan! Ketika mengintip ke dalam untuk melihat kertas yang tergulung,
Sophie melihat kertas itu membungkus sebuah benda seperti silinder---botol kaca
berisi cuka, dia menduga. Anehnya, kertas yang mengitari cairan cuka itu
bukanlah kertas papyrus yang biasa, namun lebih seperti lembar kulit binatang.
Ini aneh, pikir Sophie, cuka tidak dapat menghancurkan gulungan teks dari kulit
domba. Dia melihat ke dalam lagi, ke gulungan itu, dan sadar bahwa benda di
dalamnya sama sekali bukan botol kaca berisi cuka. Itu benda yang sepenuhnya
lain. "Ada apa?" tanya Teabing. "Tarik keluar gulungan kertas itu." Sambil
mengerutkan dahinya, Sophie merogoh gulungan kulit binatang itu dan benda yang
dibungkusnya. Dia menarik keduanya keluar dari silinder pualam itu. "Itu bukan
papirus," kata Teabing. "Terlalu berat." "Aku tahu. Ini sebuah lapisan." "Untuk
apa" Melapisi botol kaca berisi cuka?" "Bukan," Sophie membuka gulungan itu dan
mengeluarkan apa yang terbungkus di dalamnya. "Untukini." Ketika Langdon melihat
benda di dalam gulungan kulit itu, hatinya
kecewa. "Tuhan tolong kami," kata Teabing, sambil melorot dalam kursinya.
"Kakekmu betul-betul seorang arsitek yang tak punya belas kasihan." Langdon
menatap dengan kagum.KulihatSauni?retidakpunyaniatuntuk
mempermudahini. Di atas meja kini terletak cryptex kedua. Lebih kecil. Terbuat
dari batu akik hitam. Ia tadi tersimpan di dalam cryptex pertama. Kecintaan
Sauni?re terhadap dualisme. Dua cryptex. Segalanya berpasangan. Makna ganda.
Lelakiperempuan.Hitamberadadidalamputih. Langdon merasa gelombang simbolisme
terentang di depannya.Putihmelahirkanhitam. Setiaplelakikeluardari perempuan.
Putih - perempuan. Hitam - lelaki. Langdon mengulurkan tangannya, meraih cryptex
yang lebih kecil. Tampak sama dengan yang pertama, kecuali ukurannya hanya
separuhnya dan berwarna hitam. Dia mendengar gemericik yang biasa dari dalamnya.
Tampaknya, botol berisi cairan cuka yang mereka dengar sebelumnya berasal dari
dalam cryptex yanglebih kecil ini.
"Nah, Robert," kata Teabing, sambil menggeser lembaran kulit hewan menjauh
darinya. "Kau akan senang mendengar, paling tidak kita terbang ke arah yang
benar." Langdon memeriksa lembaran kulit tebal itu. Di atas tertulis dengan tulisan
tangan indah, sajak empat baris yang lain lagi. Juga, yambe bersuku lima. Sajak
itu tidak jelas maknanya, namun Langdon hanya perlu membaca baris pertamanya
untuk tahu bahwa rencana Teabing untuk terbang ke London akan ada hasilnya. IN
LONDON LIES A KNIGHT A POPE INTERRED
(DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan) Sisa baris-baris
berikutnya dengan jelas menyatakan bahwa kata kunci untuk membuka cryptex kedua
dapat ditemukan setelah menemukan makam kesatria tersebut, di suatu daerah di
kota itu. Langdon menoleh dengan bersemangat pada Teabing. "Kau tahu kesatria apa yang
dimaksudkan puisi ini?"
Teabing tersenyum. "Sama sekali tidak. Tetapi aku tahu pasti, dalam sandi yang
mana kita harus mencarinya." Pada saat yang sama, lima belas mil di depan
mereka, enam mobil polisi Kent melintas di jalan yang basah karena hujan, menuju
ke lapangan udara eksekutif Biggin HiII.
79 LETNAN Collet mengambil sendiri minuman Perrier dari lemari pendingin Teabing,
dan berjalan kembali ke ruang duduk. Dia tidak menemani Fache ke London, tempat
akan terjadinya penangkapan itu. Dia sekarang menjaga tim PTS yang sedang
berpencar di Puri Villette.
Sejauh ini, bukti-bukti yang telah mereka temukan tidak terlalu berguna: sebutir
peluru terbenam di dalam lantai, secarik kertas dengan beberapa simbol tercorat-
coret diatasnya bersama dengan kata-kata blade (mata pisau) dan chalice (caw?n);
tali kulit berduri, yang menurut keterangan petugas PTS kepada Collet, ada
hubungannya dengan kelompok katolik konservatif, Opus Dei, yang baru-baru ini
telah menjadi berita karena praktik perekrutan anggotanya yang kejam.
Collet mendesah. Selamat merangkai semua bukti yang tampak tak ada
hubungannyaini.Collet. Menuruni gang yang lebar, Collet memasuki ruang kerja seluas ruang dansa.
Disana, ketua penyelidikan PTS sedang sibuk menyapu-nyapu sidik jari. Dia
bertubuh gemuk dan mengenakan tali bahu untuk menahan celaananya. "Ada yang
kautemukan?" tanya Collet sambil rnemasuki ruangan. "Penyelidik itu
menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang baru. Ada beberapa bukti yang dapat
dihubungkan dengan yang telah ditemukan di tempat lain di rumah ini." "Bagaimana
dengan sidik jari dicilice?" "Interpol masih berusaha mengenalinya. Aku sudah
mengirimkan semua yang kita temukan." Collet menunjuk pada dua kantong bukti yang tersegel di atas
meja. "Dan ini?"
Lelaki gemuk itu menggerakkan bahunya. "Aku mengemas segala bukti yang aneh."
Collet berjalan.Buktianeh" "Orang Inggris ini memang aneh," kata penyelidik itu.
"Coba lihat ini." Lalu dia mengayak kantong-kantong barang bukti itu dan memilih
satu, kemudian menyerahkannya kepada Collet.
Foto itu memperlihatkan pintu utama katedral Gothic - pintu masuk tradisional,
dengan bagian atas yang melengkung, menyempit melalui lapisanlapisan menyerupai
tulang iga menuju ke ambang pintu kecil. Collet mempelajari foto itu dan menoleh
lagi pada lelaki itu. "Ini aneh?" "Baliklah." Pada bagian belakang, Collet
melihat catatan yang dicorat-coret dalam bahasa Inggris, yang menggambarkan
sebuah bagian tengah katedral yang panjang dan dalam sebagai penghormatan
rahasia pagan kepada rahim perempuan. Ini memang aneh. Tetapi, catatan yang
menggambarkan ambang pintu katedral-lah yang membuat Collet terperangah. "Tunggu
dulu! Dia berpendapat bahwa pintu masuk sebuah katedral sama dengan ... itunya
perempuan?" Penyelidik itu mengangguk. "Lengkap dengan daerah labial dan klitoris lima
kelopak yang kecil dan manis di atas ambang pintu." Dia mendesah. "Itu akan
membuatmu rajin datang ke gereja."
Collet mengambil kantong bukti kedua. Dari plastiknya dia dapat melihat selembar
foto besar dan mengilap, sebuah dokumen tua. Judu! yang tertera di atasnya
bertuliskan dalam bahasa Prancis. LesDossiersSecrets - Nomor4?Im? 249 "Apa ini?"
tanya Collet. "Tidak tahu. Salinannya ada di mana-mana, jadi kukantongi saja."
Collet mempelajari dokumen itu.
BIARAWAN SION---PARA MAHAGURU
JEAN DE GISSORS 1188-1220
MARIE DE SAINT-CLAIR 1220-1226
GUILLAMO DE GISSORS 1226-1307
EDOURARD DE BAR 1307-1336
JEANNE DE BAR 1336-1351 JEAN DE SAINT-CLAIR 1351-1366
BLANCE D'EVREUX 1366-1398
NICOLAS FLAMEL 1398-1418 RENE D'ANJOU 1418-1480 IOLANDE DE BAR 1480-1483 SANDRO BOTTICELLI 1483-1510
LEONARDO DA VINCI 1510-1519
CONNETABLE DE BOURBON 1519-1527
FERDINAND DE GONSAQUE 1527-1575
LOUS DE NEVERS 1575-1595 ROBERT FLUDD 1595-1637 J. VALENTINE ANDREA 1637-1654
ROBERT BOYLE 1654-1691 ISAAC NEWTON 1691-1727 CHARLES RADCLYFFE 1727-1746
CHARLES DE LORRAINE 1746-1780
MAXIMILIAN DE LORRAINE 1780-1801
CHARLES NODIER 1801-1844 VICTOR HUGO 1844-1885 CLAUDE DEBUSSY 1885-1918 JEAN COCTEAU 1918-1963 Biarawan Sion" Collet bertanya-tanya. "Letnan?" seorang agen lain menjulurkan
kepalanya kedalam ruangan itu. "Operator menerima telepon penting untuk Kapten
fache, tetapi mereka tidak dapat menghubunginya. Anda mau menjawabnya?" Collet
pergi ke dapur dan menjawab telepon itu. Dari Andr? Vernet. Aksen halus bankir
itu menutupi ketegangan suaranya. "Saya pikir Kapten Fache akan menelepon saya,
tetapi sampai sekarang saya belum mendengar apa-apa dari dia." "Kapten sangat
sibuk," jawab Collet. "Mungkin bisa saya bantu?" "Aku yakin ini dapat membantu
Anda malam ini." Untuk sesaat, Collet berpikir dia mengenali warna suara lelaki
ini, tetapi dia tidak dapat mengingat di mana dia mendengarnya. "Monsieur
Vernet, aku sekarang mengepalai penyelidikan di Paris ini. Nama saya Letnan
Collet." Lelaki di seberang terdiam lama. "Letnan, aku ada telepon lain yang masuk.
Maafkan saya. Saya akan menelepon Anda sebentar lagi." Lalu dia menutup
teleponnya. Untuk beberapa detik, Collet masih memegangi telepon itu. Lalu ada yang muncul
dalam benaknya. Aku tahu, aku mengenali suara itu! Ingatan itu membuatnya
tergagap. Pengemudi mobillapisbaja. DenganjamtanganRolexpalsu. Sekarang Collet
mengerti mengapa bankir itu cepat menutup teleponnya. Vernet telah ingat juga
nama Letnan Collet - petugas yang ditipunya mentahmentah tadi.
Collet merenungkan kesimpulan dari perkembangan yang aneh itu. Vernet terlibat.
Secara naluriah, dia tahu harus menelepon Fache. Namun dia merasa bahwa
peristiwa menguntungkan ini akan menjadi kesempatannya untuk tampil.
Dia segera menelepon interpol dan menanyakan informasi sekecil apa pun yang
dapat mereka temukan tentang Bank Penyimpanan Zurich dan presidennya, Andr?
Vernet. 80 "HARAP MENGENAKAN sabuk pengaman Anda," kata pilot ketika pesawat Teabing,
Hawker 731 mulai turun memasuki udara pagi yang muram dan gerimis. "Kita akan
mendarat lima menit lagi."
Teabing merasa gembira pulang ke rumahnya ketika dia melihat perbukitan Kent
yang diselimuti kabut yang terentang lebar di bawah pesawat yang sedang menurun
itu. Lama penerbangan ke Inggris dari Paris kurang dari satu jam, namun rasanya
seperti perjalanan keliling dunia. Pagi ini, musim semi yang hijau dan lembab di
tanah airnya tampak sangat ramah menyambut.
WaktukudiPrancistelahselesai.AkukembalikeInggrisdengankemenangan. Batu kunci itu
telah ditemukan. Pertanyaan besar tentu saja masih tersisa, seperti ke mana batu
kunci itu akhirnya akan membawa mereka. Di suatu tempat di Inggris Raya ini. Di
mana tepatnya, Teabing tidak tahu, tetapi dia sudah mencecap kejayaan itu.
Ketika Langdon dan Sophie saling menatap, Teabing berdiri dan berjalan ke sisi
lain di kabin itu, lalu mendorong ke samping sebuah panel dinding yang membuka
sebuah tempat penyimpanan rahasia. Dia memutar nomor kombinasinya, membuka kotak
penyimpanan itu, dan mengeluarkan dua paspor. "Dokumen perjalanan untuk aku dan
R?my." Kemudian dia membuka sebuah tumpukan tebal berupa uang kertas lima puluh-
an poundsterling. "Dan dokumentasi untuk kalian berdua juga" "Suapan?"
"Diplomasi kreatif. Lapangan terbang eksekutif menagih biaya tertentu. Petugas
bea cukai Inggris akan menyapa kita di hangar dan meminta izin untuk naik ke
pesawat. Daripada mengizinkan dia naik, aku akan mengaku datang dengan seorang
wanita selebriti Prancis yang lebih suka tidak dikenali orang ketika dia di
Inggris - pertimbangan pers, kautahu - lalu aku akan menawarinya tip yang banyak ini
sebagai tanda terima kasih atas kebijaksanaannya." Langdon tampak kagum. "Dan
petugas itu akan menerimanya?" "Tidak dari semua orang, tetapi orang-orang di
sini sudah mengenalku. Aku bukan pedagang senjata, demi Tuhan. Aku seorang
kesatria." Teabing tersenyum. "Keanggotaan selalu punya keuntungan."
R?my muncul dan berjalan di gang antara kursi. Pistol Heckler Koch terayun-ayun
pada tangannya. "Pak, apa yang harus saya lakukan?"
Teabing menatap pelayannya. "Kau tinggal saja di pesawat bersama tamu kita itu
sampai kami kembali. Kita tidak dapat berjalan-jalan di London sambil menyeret
orang itu." Sophie tampak waspada. "Leigh, saat. kubilang bahwa polisi Prancis akan
menemukan pesawatmu sebelum kita mendarat, aku bersungguh-sungguh."
Teabing tertawa. "Ya, bayangkan betapa terkejutnya mereka ketika mereka naik ke
sini dan menemukan R?my."
Sophie tampak heran dengan sikap congkak Teabing. "Leigh, kau membawa sandera
terlarang menyeberangi batas internasional. Ini serius."
"Begitu juga para pengacaraku." Dia cemberut ke arah biarawan yang tergolek di
bagian belakang pesawat. "Binatang itu masuk ke rumahku dan hampir membunuhku.
Itu kenyataannya, dan R?my akan menguatkannya."
"Tetapi kau mengikatnya dan menerbangkannya ke London!" kata Langdon.
Teabing mengangkat tangan kanannya dan beraksi seolah-olah sedang bersumpah di
sebuah ruang persidangan dan bersumpah. "Yang Mulia, maafkan seorang kesatria
tua yang aneh ini karena prasangkanya yang bodoh tentang sistem pengadilan
Inggris. Saya sadar seharusnya saya menelepon polisi Prancis, tetapi saya
terlalu sombong dan tidak memercayai sikap polisi Prancis yang santai untuk
melaksanakan tugas dengan benar. Orang ini hampir membunuh saya. Ya, saya
membuat keputusan dengan terburu-buru dengan memaksa pelayan saya untuk membantu
saya membawa orang itu ke Inggris, tetapi saya sedang tertekan
sekali.Meaculpa.Meaculpa. Keteledoran saya."
"Pak?" pilot itu memanggil kembaii. "Menara pengawas baru saja mengabari. Mereka
ada masalah sedikit dengan perbaikan di dekat hangar Anda, dan mereka memintaku
untuk membawa pesawat langsung ke terminal."
Teabing telah terbang ke Biggin Hill selama sepuluh tahun lebih dan ini pertama
kalinya dia mendapatkan masalah perbaikan. "Mereka mengatakan masalah apa?"
"Pengawas itu tidak terlalu jelas. Semacam kebocoran bahan bakar dari stasiun
pompa" Mereka meminta saya untuk memarkir Pesawat di depan terminal dan tidak
mengizinkan penumpang untuk turun hingga pemberitahuan lebih lanjut. Untuk
keamanan. Kita tidak boleh turun dari pesawat hingga semua jelas dan pewenang
lapangan udara ini."
Teabing menjadi curiga. Kebocoran bahan bakar dari stasiun pompa. Stasiun pompa
terletak setengah mil dari hanggarnya.
Remy juga tampak memikirkannya. "Pak, ini terdengar tidak seperti biasanya."
Teabing menoleh kepada Sophie dan Langdon. "Teman-temanku, aku agak mencurigai
sesuatu yang tidak enak. Kita agaknya akan disongsong oleh sebuah panitia
penyambutan." Langdon mendesah perlahan. "Kukira Fache masih menganggap aku buronannya."
"Harus itu," kata Sophie, "atau dia terlanjur mendakwa dengan serius sehingga
tidak dapat mengakui kesalahannya."
Teabing tidak mendengarkan mereka. Tanpa menghiraukan apa yang dipikirkan oleh
Fache, dia harus bertindak cepat. Jangan sampai kehilangan arah ke tujuan utama.
Grail sudah sangat dekat. Roda pendaratan turun dengan mengeluarkan suara
berdentum. "Leigh," kata Langdon dengan suara sangat menyesal, "Aku harus menyerahkan diri
dan menyelesaikan ini secara hukum, kau tidak boleh terlibat."
"Ya, ampun, Robert!" Teabing menggelengkan tangannya. "Kaupikir mereka akan
membiarkan yang lainnya pergi begitu saja" Aku baru saja membawa kalian secara
tidak sah. Nona Neveu menolongmu lari dari Louvre, dan kita membawa seorang yang
terikat di bagian belakang pesawat. Sekarang, kita semua terlibat dalam kasus
ini." "Mungkin kita bisa mendarat di lapangan udara lainnya?" tanya Sophie.
Teabing menggelengkan kepalanya. "Jika kita terbang lagi, begitu mereka
tahu kita ke mana, mereka akan menyambut dengan tank tentara." Sophie melorot
dalam duduknya. Teabing merasa bahwa jika mereka harus menunda berkonflik dengan
polisi Inggris sampai cukup lama hingga mereka menemukan Grail, maka tindakan
berani harus diambil. "Beri aku waktu sebentar," katanya sambil terpincang-
pincang menuju kokpit. "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Langdon. "Rapat
penjualan," kata Teabing, sambil bertanya-tanya berapa dia harus membayar untuk
membujuk pilot itu supaya mau melakukan manufer yang sangat tidak biasa.
81 PESAWAT HAWKER siap mendarat.
Simon Edwards - Petugas Pelayanan Eksekutif di lapangan udara Biggin Hill -
melangkah bolak-balik di menara pengawas, menoleh gugup ke landasan pacu yang
basah oleh hujan. Simon tidak pernah senang dibangunkan di pagi buta di hari
Sabtu, namun ini lebih menjengkelkan karena dia dibangunkan untuk mengawasi
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penangkapan salah satu kliennya yang paling menguntungkan. Sir Leigh Teabing
membayar Biggin Hill tidak saja untuk sebuah hanggar pribadi, tetapi juga "biaya
setiap kali pendaratan" bagi keberangkatan dan kedarangannya yang sering terjadi
itu. Biasanya, lapangan udara itu mendapatkan pemberitahuan sebelumnya tentang
jadwal Leigh dan dapat menerapkan protokol yang benar bagi kedatangannya.
Teabing menyenangi hal apa adanya. Sebuah limusin Jaguar panjang yang dibuat
menurut pesanan menunggu di hanggar pribadi itu. Simon menjaganya supaya tangki
bensinnya selalu penuh, bodinya mengilap, dan majalah terbaru Time selalu
tersedia di bangku belakang. Seorang petugas bea cukai menunggu di hanggar, siap
memeriksa dokumen-dokumen wajib dan barang bawaan. Kadang-kadang petugas bea
cukai menerima persenan yang besar dari Teabing atas tutup matanya dari barang
bawaan terlarang tapi tak berbahaya - biasanya makanan mewah. Bagaimanapun, banyak
peraturan bea cukai yang aneh, dan jika Biggin Hill tidak menampung keinginan
pelanggannya, lapangan udara pesaing mereka tentu akan menampungnya. Teabing
mendapatkan apa yang dibutuhkannya di Biggin Hill, dan para pegawainya menuai
keuntungan. Syaraf Edward terasa seperti tercabik ketika dia melihat jet itu muncul. Dia
bertanya-tanya, apakah kegemaran Teabing menyeb?rkan kekayaannya telah
membuatnya mendapat kesulitan; polisi Prancis tampak sangat serius untuk menahan
pelanggannya ini. Edward belum diberi tahu apa kesalahan klien Inggrisnya itu,
namun mereka jelas sangat serius. Atas permintaan Prancis, kepolisian Kent telah
memerintahkan menara pengawas Biggin Hill untuk meminta pilot langsung
menghentikan pesawatnya di depan terminal, bukan di hanggar pribadi kliennya.
Pilot itu telah setuju, tampaknya karena dia percaya akan cerita tentang
tumpahan minyak di dekat hanggar pribadi itu.
Walau polisi Inggris umumnya tidak membawa senjata, keadaan ini ternyata telah
membuat sebuah tim bersenjata bersiaga di sana. Sekarang, delapan orang polisi
berpistol berdiri di depan gedung terminal, menunggu saat pesawat menghentikan
mesinnya. Begitu mesin mati, petugas landasan pacu akan meletakkan pengganjal di
bawah roda pesawat sehingga pesawat itu tidak dapat bergerak lagi. Lalu polisi
akan muncul dan menahan para penumpang untuk tidak turun dari pesawat sampai
polisi Prancis tiba dan menangani masalah ini.
Hawker itu sekarang sudah semakin rendah, tampak hampir menyentuh ujung-ujung
pepohonan di sebelah kanan mereka. Simon Edwards turun ke bawah untuk melihat
pendaratan itu dari landasan pacu. Polisi Kent tenang, tidak mencolok, dan
petugas landasan sudah siap dengan pengganjal ban. Jauh di ujung landasan
menyentuh landasan pacu, hidung Hawker sehingga menimbulkan mendongak, dan
gumpalan asap. ban-bannya Pesawat itu bersiap mengurangi kecepatan, bergeser
dari kanan ke kiri di depan terminal. Badannya yang putih tampak berkilau di
udara basah. Tetapi bukannya berhenti dan berbelok ke terminal, jet itu meluncur
dengan tenang melewati jalan masuk dan melanjutkan ke arah hanggar pribadi
Teabing di kejauhan. Semua polisi berputar dan menatap Edwards. "Kupikir kau tadi bilang bahwa pilot
itu setuju untuk berhenti di terminal!" Edward bingung. "Dia memang setuju!"
Beberapa detik kemudian, Edwards sudah berada di dalam mobil polisi dan meluncur
melintasi landasan pacu ke hanggar pribadi Teabing yang jauh dari situ. Ketika
konvoi polisi itu masih berjarak lima ratus yard dari hangar, Hawker Teabing
berjalan perlahan memasuki hanggar pribadinya dan tak terlihat lagi. Ketika
mobil-mobil polisi itu akhirnya tiba dan mengerem keras di luar pintu hanggar,
polisi menghambur keluar dengan senjata terhunus. Edwards juga meloncat keluar.
Suara ribut di dalam memekakkan telinga. Mesin Hawker masih menderum ketika jet
itu selesai berputar seperti biasa di dalam hanggar, menempatkan hidungnya
terarah ke depan sebagai persiapan penerbangan selanjutnya. Ketika pesawat itu
telah betul-betul berputar 180 derajat dan menghad.ap ke arah depan hanggar,
Edwards dapat melihat wajah sang pilot, yang tentu saja tampak bingung dan takut
melihat barikade mobil polisi.
Akhirnya pilot itu menghentikan pesawat dan mematikan mesinnya. Polisi bergerak
masuk, mengambil posisi mengurung jet itu. Edwards bergabung dengan inspektur
polisi Kent, yang bergerak waspada ke arah lubang palka pesawat. Setelah
beberapa detik, pintu pada perut pesawat terbuka. Leigh Teabing muncul di ambang
pintu ketika tangga listrik pesawat itu turun perlahan. Ketika Leigh melihat
begitu banyak senjata mengarah padanya, dia bersandar pada tongkatnya dan
menggaruk kepalanya. "Simon, apakah aku memenangkan lotere polisi ketika aku
pergi?" Suara Teabing lebih terdengar bingung daripada takut.
Simon Edwards melangkah ke depan, mendegut dengan sukar seperti menelan seekor
katak. "Selamat pagi, Pak. Saya mohon maaf karena kebingungan ini. Kami ada
kebocoran bahan bakar dan pilot Anda telah setuju untuk menghentikan pesawat di
terminal." "Ya, ya, tetapi aku memintanya untuk langsung kesini. Aku sudah terlambat untuk
sebuah janji. Aku menyewa hanggar ini, dan omong kosong tentang menghindari
kebocoran bahan bakar itu terlalu berlebihan." "Saya menyesal kedatangan Anda
begitu mendadak, Pak." "Aku tahu. Aku datang tidak sesuai dengan jadwa1ku,
memang. Pengobatan baruku membuatku tidak nyaman. Karena itu aku datang untuk
mengatasi hal itu." Para polisi saling berpandangan. Edwards mengedipkan matanya. "Baiklah, Pak."
"Pak," inspektur kepala kepolisian Kent berkata sambil melangkah maju. "Saya
harus meminta Anda untuk tetap berada didalam selama setengah jam atau lebih."
Teabing tampak tidak senang ketika dia menuruni tangga tertatih-tatih. "Aku rasa
itu tidak mungkin. Aku ada janji pengobatan." Teabing mencapai landasan. "Aku
tidak mungkin melewatkannya."
Inspektur kepala itu pesawat. "Saya di sini menghalangi jalan Teabing untuk
menjauh dari atas permintaan Polisi Judisial Prancis. Mereka mengatakan Anda
membawa kabur buronan dalam pesawat ini."
Teabing menatap inspektur kepala itu lama, dan tiba-tiba tertawa terbahak.
"Apakah ini semacam acara 'kamera tersembunyi'" Bagus sekali!"
Inspektur itu bergeming. "ini serius, Pak. Polisi Prancis juga mengatakan bahwa
mungkin Anda pun membawa seorang sandera di dalam pesawat."
Pelayan Teabing muncul di ambang pintu, di puncak tangga. "Aku merasa seperti
seorang sandera bekerja pada Sir Leigh, tetapi beliau meyakinkan aku bahwa aku
boleh pergi kapan saja." R?my melihat jam tangannya. "Pak, kita betul-betul
terlambat." Kemudian dia mengangguk ke arah sebuah limusin Jaguar panjang yang
terparkir jauh di sudut hanggar. Mobil besar itu berwarna hitam dengan kaca
jendela gelap dan beroda putih. "Aku akan mengambil mobil itu," kata R?my. Lalu
dia mulai menuruni tangga.
"Saya menyesal kami tidak dapat membiarkan Anda pergi;" kata inspektur kepala
itu. "Harap kembali ke dalam pesawat Anda. Anda berdua. Wakil dari polisi
Prancis akan segera mendarat."
Teabing menatap Simon Edwards. "Simon, demi Tuhan, ini keterlaluan! Kami tidak
punya siapa-siapa lagi di dalam pesawat. Hanya yang biasanya saja - R?my, pilot
kami, dan aku. Mungkin kau dapat bertindak sebagai perantara" Masuklah dan lihat
sendiri di dalam pesawat, dan buktikan bahwa pesawat itu kosong." Edwards tahu,
dia terjebak. "Baik, Pak. Saya dapat memeriksanya." Inspektur kepala polisi itu
tampaknya tahu betul tentang laparigan udara eksekutif sehingga dia curiga Simon
Edwards sangat mungkin akan berbohong tentang penumpang pesawat itu demi menjaga
hubungan kerjanya dengan Teabing di Biggin Hills. "Aku yang akan memeriksanya
sendiri." Teabing menggelengkan kepalanya. "Kau tidak bisa, Inspektur. Pesawat ini milik
pribadi, dan sampai kau memegang surat izin penggeledahan, kau tidak bisa
mendekati pesawatku. Aku memberimu pilihan masuk akal di sini. Tuan Edwards
dapat melakukan pemeriksaan."
"Tidak." Sikap Teabing menjadi dingin sekali. "Inspektur, menyesal sekali aku
tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu. Aku terlambat, dan aku pergi
sekarang. Jika kau ingin menghentikanku, kau harus menembakku." Teabing dan Remy
berjalan melewati inspektur kepala dan menuju ke sudut tempat limusin itu
diparkir. Inspektur kepala kepolisian Kent merasa sangat benci kepada Teabing ketika orang
ini begitu saja melewatinya dengan terpincang-pincang. Orang-orang dengan hak-
hak istimewa selalu merasa berada di atas hukum.
Mereka tidak berada di atas hukum. Inspektur kepala itu memutar tubuhnya dan
membidikkan pistolnya ke punggung Teabing. "Berhenti! Aku akan menembak!"
"Silakan," kata Teabing tanpa menghentikan langkahnya ataupun melihat ke
belakang. "Pengacara-pengacaraku akan merajang buah pelirmu untuk sarapannya.
Dan jika kau berani memasuki pesawatku tanpa surat izin pengge1edahan, limpamu
akan menyusul." Terbiasa dengan gertak seperti itu, inspektur itu tidak takut. Secara teknis,
Teabing benar dan polisi memang memerlukan surat izin untuk masuk k? pesawatnya.
Tetapi karena penerbangan itu berasal dari Prancis, dan karena Bezu Fache yang
itu berkuasa memberinya otoritas, inspektur kepala Kent merasa yakin kariernya
akan menjadi jauh lebih baik dengan menemukan sesuatu yang tampaknya sangat
disembunyikan oleh Teabing di dalam jetnya.
"Hentikan mereka," perintah inspektur itu. "Aku akan memeriksa pesawat itu."
Para anggotanya segera berlarian dengan senjata terhunus. Mereka menghalangi
Teabing dan pelayannya dengan menggunakan tubuh mereka.
Sekarang Teabing menoleh. "Inspektur, ini peringatan terakhir bagimu. Jangan
berpikir kaudapat memasuki pesawat itu. Kau akan menyesal."
Inspektur itu mengabaikan ancaman itu. Dengan menggenggam pistol, dia berjalan
menuju pesawat itu. Setibanya di palka pesawat, dia melongok ke dalam. Sesaat
kemudian dia melangkah masuk ke kabin.Apa-apaanini"
Kecuali pilot yang duduk ketakutan di kokpitnya, pesawat itu memang kosong.
Betul-betul tidak ada makhluk hidup satu pun. Dengan cepat dia memeriksa kamar
kecil, kursi-kursi, dan area barang muatan. Tidak ada seorang pun yang
bersembunyi...apalagi beberapa orang. Apa sih yang dipikirkan Bezu Fache"
Tampaknya Leigh Teabing telah mengatakan yang sebenarnya.
Inspektur kepala berdiri sendirian di dalam pesawat yang tak berpenumpang itu
dan mendegut susah payah.Brengsek. Wajahnya memerah. Dia mundur ke gang sempit,
menatap ke hanggar pada Leigh Teabing dan pelayannya, yang sekarang sedang
ditodong di dekat limusinnya. "Lepaskan mereka," perintah inspektur itu. "Kita
menerima petunjuk yang salah."
Mata Teabing mendelik penuh ancaman ke seberang hanggar. "Kau boleh menantikan
telepon dari pengacara-pengacaraku. Dan lain kali ingat, polisi Prancis tidak
dapat dipercaya." Bersamaan dengan itu, pelayan Teabing membukakan pintu di bagian belakang dari
limusin panjang itu dan menolong majikan pincangnya masuk ke dalam mobil di
bangku belakang. Kemudian pelayan itu berjalan di sepanjang mobil itu, masuk ke
belakang kemudi, dan menyalakan mesinnya. Polisi bercerai berai ketika Jaguar
itu meninggalkan hanggar.
"Kau memainkannya dengan baik, hebat," seru Teabing dari bangku belakang ketika
limusin itu melaju cepat keluar dari lapangan udara. Lalu matanya beralih ke
ruang luas remang-remang di bagian depan. "Semua nyaman?"
Langdon mengangguk lemah. Dia dan Sophie masih berjongkok di lantai mobil
bersama dengan biarawan albino yang tersumbat mulutnya. Beberapa saat
sebelumnya, ketika pesawat Hawker berjalan perlahan memasuki hanggar pribadi
yang sepi itu, Remy telah membuka pintu lambung pesawat saat pesawat itu
berhenti di separuh jalan selama ia berputar. Dengan polisi yang bergerak cepat
mendekati hanggar, Langdon dan Sophie turun menyeret si biarawan, kemudian
bersembunyi di belakang limusin. Mesin jet lalu menderu lagi, untuk memutar
pesawat dan menyempurnakan posisi parkirnya ketika mobil-mobil polisi
berdatangan, meluncur masuk ke hanggar.
Sekarang, ketika limusin itu melesat ke arah Kent, Langdon dan Sophie merangkak
dan duduk di dalam limo yang panjang, meninggalkan biarawan itu tetap tergolek
di lantai. Mereka duduk berhadapan dengan Teabing. Lelaki Inggris itu tersenyum
nakal kepada kedua temannya itu, lalu membuka tempat penyimpanan pada bar di
dalam limo itu. "Aku boleh menawari kalian minuman" Cemilan" Keripik" Kacang"
Seltzer?" Sophie dan Langdon sama-sama menggelengkan kepala. Teabing menyeringai
dan menutup lemari itu lagi. "Jadi, tentang makam kesatria itu ..."
82 "JALAN FLEET?" tanya Langdon sambil menatap Teabing di dalam limo itu.
AdasebuahmakamdibawahtanahdiJalanFleet" Sejauh ini, Leigh dengan cerdik bermain-
main tentang di mana ia pikir mereka bisa menemukan "makam kesatria" itu yang,
menurut puisi tadi, dapat memberikan password untuk membukacryptex yang lebih
kecil. Teabing menyeringai dan menoleh pada Sophie. "Nona Neveu, coba perdengarkan
sekali lagi pada anak Harvard ini bait yang tadi. Mau?"
Sophie merogoh sakunya dan menarik keluar cryptex hitam, yang terbungkus di
dalam lembaran kulit binatang. Semuanya telah memutuskan untuk meninggalkan
kotak kayu mawar dancryptex yang lebih besar di dalam kotak kuat di dalam
pesawat, dan membawa apa yang mereka butuhkan saja, yaitucryptex hitam yang
lebih mudah dibawa. Sophie membuka bungkusan itu dan menyerahkan lembaran kulit
itu kepada Langdon. Walau Langdon telah membaca puisi itu tadi beberapa kali di
dalam pesawat jet, dia tidak dapat menarik inti yang mengatakan tentang di mana
letak makam itu. Sekarang, saat membaca kata-kata itu lagi, dia merenungkannya
perlahan-lahan dan berhati-hati, dengan harapan sajak bersuku lima itu akan
mengungkap arti yang lebih jelas.
In London lies a knight a Pope interred. His labour's fruit a Holy wrath
incurred. You seek the orb that ought be on his tomb. It speaks of Rosy flesh
and seeded womb. DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan.
BuahperbuatannyakemarahanSucimuncul.
Kaumencaribolayangseharusnyaadadiatasmakamnya.
ItumenyatakanragaRosydanrahimyangterbuahi. Bahasanya tampak cukup sederhana. Ada
seorang kesatria dimakamkan di London. Seorang kesatria yang telah melakukan
sesuatu yang membuat marah Gereja. Seorang kesatria yang makamnya tidak memiliki
sebuah bola yang seharusnya ada. Baris terakhir - raga Rosy dan rahim yang
terbuahi - jelas sebuah kiasan bagi Maria Magdalena, Sang Mawar yang mengandung
benih Yesus. Walau bait itu tampak berterus terang, Langdon masih tidak tahu siapa kesatria
itu atau di mana dia dikuburkan. Lagi pula, begitu mereka menemukan makam itu,
tampaknya mereka masih harus, mencari sesuatu yang hilang dari makam itu.
Bolayangseharusnyaadadiatasmakamnya"
"Tidak ada gagasan?" tanya Teabing sambil tertawa kecewa. Namun Langdon merasa,
sejarawan bangsawan itu merasa senang karena hanya dia yang tahu. "Nona Neveu?"
Sophie menggelengkan kepalanya. "Apa yang kalian berdua dapat lakukan tanpa
aku?" kata Teabing. "Baiklah, aku akan mengantar kalian ke sana. Seharusnya
sangat sederhana. Baris pertama adalah kuncinya. Bisa tolong dibaca?"
Langdon membacanya dengan keras. "Di London terbaring seorang kesatria yang
seorang Paus kuburkan."
"Tepat. Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan." Lalu Teabing menatap
Langdon. "Apa artinnya itu bagimu?"
Langdon menggerakkan bahunya. "Seorang kesatria yang dikuburkan oleh seorang
Paus" Seorang kesatria yang penguburannya dipimpin oleh seorang Paus?"
Teabing tertawa keras. "Oh, ini bagus sekali. Selalu optimistis, Robert. Lalu
lihat baris kedua. Kesatria ini jelas melakukan sesuatu yang membuat marah
Gereja. Pikirkan lagi. Pertimbangkan dinamika antara Gereja dan Templar. Seorang
kesatria yang seorang Paus kuburkan?" "Seorang kesatria yang seorang Pausbunuh?"
tanya Sophie. Teabing tersenyum dan menepuk lutut Sophie. "Bagus sekali, Nona.
Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan. Atau bunuh." Langdon mengingat
pengumpulan para Templar yang terkenal pada tahun 1307 - Jumat tanggal 13 yang
sial - ketika Paus Clement membunuh dan menguburkan ratusan kesatria Templar.
"Tetapi, itu berarti ada banyak sekali makam 'para kesatria yang dibunuh oleh
para paus'." "Aha, tidak begitu!" kata Teabing. "Banyak dari mereka yang dibakar pada kayu
pancang dan dilempar tanpa upacara penghormatan ke Sungai Tiberias. Tetapi puisi
ini menunjuk ke sebuah makam. Sebuah makam di London. Dan hanya ada beberapa
kesatria yang dikuburkan di London." Teabing terhenti, menatap Langdon seolah
menunggu matahari terbit. Akhirnya dia gusar. "Robert, demi Tuhan! Gereja yang
dibangun di London oleh angkatan bersenjata Biarawan Sion - Knights Templar
sendiri!" "Gereja Kuil?" tanya Langdon sambil menarik napas penuh keheranan. "Dalam gereja
itu ada makam dalam tanah?"
"Sepuluh dari makam-makam paling mengerikan yang pernah kau lihat." Langdon
belum pernah mengunjungi Gereja Kuil, walau dia mendapat banyak petunjuk saat
melakukan penelitian tentang Biarawan Sion. Dulu pernah menjadi pusat kegiatan
semua Templar / Biarawan di Inggris Raya, Gereja Kuil disebut demikian untuk
menghormati Kuil Salomo, tempat para Templar mengambil gelar mereka sendiri,
seperti juga dokumen-dokumen Sangreal yang menganugerahi mereka semua pengaruh
mereka terhadap Roma. Banyak dongeng menceritakan ritual-ritual rahasia dan aneh
yang dilakukan para kesatria itu di dalam Gereja Kuil. "Gereja Kuil ada di Jalan
Fleet?" "Sebenarnya, di pinggir Jalan Fleet, di Jalan Inner Temple tepatnya." Teabing
tampak nakal. "Aku ingin melihat kalian berkeringat sedikit lagi sebelum aku
beri tahu." "Terima kasih." "Tidak satu pun di antara kalian yang pernah ke
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana?" Sophie dan Langdon menggelengkan kepala. "Aku tidak heran," kata Teabing.
"Sekarang gereja itu tersembunyi di belakang gedung-gedung yang lebih besar.
Hanya sedikit orang yang tahu bahwa ada gereja di sana. Tempat kuno yang
menakutkan. Arsitekturnya betulbetul pagan." Sophie tampak heran. "Pagan?"
"Pagan secara panteonis!" seru Teabing. "Gereja itu bulat. Para kesatria Templar
mengabaikan layout berbentuk salib dari gereja-gereja tradisional, dan membangun
gereja yang benar-benar bulat untuk penghormatan kepada matahari." Alis Teabing
bergerak-gerak seperti tarian setan. "Tentu saja itu tidak menyenangkan pihak
Roma. Mungkin saja mereka juga mendirikan Stonehenge di tengah London." Sophie
menatap Teabing. "Bagaimana dengan baris puisi yang lainnya?" Kegembiraan
sejarawan itu memudar. "Aku tidak yakin. Itu membingungkan. Kita harus memeriksa
setiap makam dari sepuluh makam di sana dengan saksama. Jika beruntung, kita
dapat menemukan satu yang tak punya bola."
Langdon tahu, mereka sudah sangat dekat. Jika bola yang hilang itu mengungkap
kata kunci, mereka akan dapat membukacryptex kedua. Langdon kesulitan untuk
membayangkan apa yang akan mereka temukan di dalamnya.
Langdon menatap puisi itu lagi. Ini seperti teka-teki silang kuno. Sebuah kata
terdiri atas lima huruf yang mengatakan tentang Grail" Ketika di pesawat tadi,
mereka telah mencoba segala kata kunci yang jelas - GRAIL, GRAAL, GREAL, VENUS,
MARIA, JESUS, SARAH - namun silinder itu tidak berputar. Tampaknya ada juga kata-
kata lima huruf lainnya yang mengacu ke rahim Rose yang terbuahi. Kenyataan
bahwa kata itu luput dari pengamatan ahli seperti Leigh Teabing menunjukkan
kepada Langdon bahwa itu bukanlah petunjuk Grail yang biasa.
"Sir Leigh?" R?my memanggil melalui bahunya. Sambil mengemudi, R?my melihat
mereka dari kaca spion melintasi kaca pembatas yang terbuka. "Anda tadi
mengatakan Jalan Fleet dekat Jembatan Blackftiars?" "Ya, lewat Tanggul
Victoria." "Maaf. Saya tidak yakin di mana itu. Biasanya kita ke London hanya
pergi ke rumah sakit." Teabing menaikkan matanya ke Langdon dan Sophie, kemudian
menggerutu. "Sumpah, aku kadang-kadang merasa sedang mengasuh anak kecil.
Sebentar, ya. Silakan mengambil sendiri minuman dan makanan kecil." Lalu Teabing
merangkak dengan kikuk ke arah pemisah yang terbuka untuk berbicara dengan R?my.
Sophie menoleh kepada Langdon, suaranya tenang. "Robert, tidak ada yang tahu kau
dan aku ada di Inggris."
Langdon tahu, Sophie benar. Polisi Kent akan mengatakan kepada Fache bahwa
pesawat itu kosong, dan Fache akan menyimpulkan bahwa mereka masih di
Prancis.Kitatidakterlihat. Keberanian Leigh memberi mereka banyak waktu. "Fache
tidak akan menyerah dengan mudah," kata Sophie. "Sekarang dia sudah berkorban
terlalu banyak untuk menangkap kita." Langdon berusaha untuk tidak memikirkan
Fache. Sophie telah berjanji bahwa dia akan melakukan segalanya, dengan kekuatan
yang ia miliki, untuk membebaskan Langdon dari tuduhan begitu semua ini
berakhir. Namun, Langdon mulai khaw?tir jangan-jangan usaha Sophie tidak
berguna. Fache mungkinsaja menjadibagiandarikomplotanini. Walau Langdon tidak
dapat membayangkan apa kaitannya Polisi Judisial dengan Holy Grail, dia merasa
pada malam itu terlalu banyak kejadian kebetulan, untuk tidak menganggap Fache
sebagai kaki tangan dari kelompok yang menginginkan Grail juga.
Facheseorangyangberagama.dandiasangatberusahauntukmendakwakan pembunuhan ini
padaku. Sophie lagi-lagi membantah Langdon. Menurutnya mungkin saja Fache
sekadar bersemangat untuk melakukan penangkapan. Lagi pula, bukti yang
memberatkan Langdon sangat jelas. Selain namanya tertulis di atas lantai Louvre
dan dalam buku agenda Sauni?re, Langdon juga ternyata telah berbohong tentang
naskahnya dan kemudian melarikan diri.Atasusulan Sophie.
"Robert, aku menyesal telah melibatkanmu begitu jauh," ujar Sophie, sambil
meletakkan tangannya di atas lutut Langdon, "tetapi aku senang kau ada di sini."
Kata-kata Sophie terdengar lebih pragmatis daripada romantis. Walau begitu,
tanpa diduganya, Langdon merasakan ada secercah ketertarikan satu sama lain
dalam diri mereka. Langdon tersenyum letih pada Sophie. "Aku akan merasa lebih
senang jika aku sudah tidur."
Sophie terdiam beberapa detik. "Kakekku memintaku untuk memercayaimu. Aku senang
akhirnya aku mematuhinya." "Kakekmu tidak mengenalku sama sekali." "Walau
begitu, aku hanya dapat berpikir bahwa kau telah melakukan segala yang
diinginkan Kakek padaku. Kau menolongku menemukan batu kunci, menjelaskan
tentang Sangreal, menceritakan tentang ritual bawah tanah itu." Sophie terdiam.
Lalu, "Entah bagaimana aku merasa lebih dekat dengan kakekku malam ini
dibandingkan dengan beberapa tahun yang tahu. Aku tahu dia akan bahagia
karenanya." Di kejauhan, garis langit London mulai tampak menembus gerimis pagi. Dulu,
langit London pernah didominasi oleh Big Ben dan Tower Bridge, sekarang horizon
itu membungkuk pada Millenium Eye - sebuah roda Ferris ultramodern yang sangat
besar yang menjulang setinggi lima ratus kaki dan menyajikan pemandangan kota
yang mengagumkan. Langdon pernah berniat menaikinya, tetapi "kapsul untuk
menonton"-nya mengingatkan dirinya pada peti mayat dari batu yang tersegel, lalu
dia memilih untuk tetap menjejakkan kakinya di tanah dan menikmati pemandangan
dari tepi Sungai Thames yang berudara segar.
Langdon merasakan ada usapan pada lututnya, sehingga dia terbangun dari
lamunannya. Dia melihat mata hijau Sophie sedang menatapnya. Langdon tahu, tadi
Sophie sedang berbicara dengannya. "Apa yang harus kita lakukan pada dokumen-
dokumen Sangreal itu jika sudah kita dapatkan, Robert?" bisik Sophie.
"Apa yang kupikirkan adalah sesuatu yang tidak nyata," kata Langdon. "Kakekmu
memberikan cryptex itu padamu, dan kau harus melakukan sesuai nalurimu apa yang
kiranya diharapkan oleh kakekmu."
"Aku meminta pendapatmu. Kau pasti telah menulis sesuatu di dalam naskahmu
sehingga kakekku mempercayai penilaianmu. Dia menjadwalkan pertemuan pribadi
denganmu. Itu aneh." "Mungkin saja dia hanya ingin mengatakan bahwa tulisanku
semua salah." "Mengapa dia menyuruhku mencarimu gagasanmu" Dalam naskahmu,
apakah kau jika dia tidak menyukai mendukung gagasan bahwa dokumen Sangreal
harus disebarluaskan atau lebih mendukung jika dokumen itu terkubur saja?"
"Tidak keduanya. Aku tidak membuat penilaian pada kedua gagasan itu. Naskah itu berisi ulasan simbologi perempuan suci -
menelusuri ikonografinya sepanjang sejarah. Aku betul-betul tidak rnerasa tahu
di mana Grail itu disembunyikan atau apakah itu harus diungkapkan."
"Namun kau menulis buku tentang Grail, jadi jelas kau menganggap bahwa informasi
itu harus disebarkan."
"Ada perbedaan besar antara mendiskusikan secara hipotetis sebuah sejarah
alternatif tentang Kristus, dan ...," Langdon terdiam. "Dan apa?" desak Sophie.
"Dan menyajikan kepada dunia ribuan dokumen kuno sebagai bukti ilmiah
bahwa Perjanjian Baru merupakan kesaksian palsu." "Tetapi kau pernah bilang
bahwa Perjanjian Baru merupakan hasil buatan
manusia." Langdon tersenyum. "Sophie, setiap keyakinan di dunia ini berdasarkan
pada apa yang dibuat. Itu adalah definisi darikeyakinan - menerima apa yang kita
bayangkan itu benar, yang sebenarnya tidak dapat kita buktikan. Setiap agama
menggambarkan Tuhan melalui metafora, perumpamaan, dan dibesarbesarkan, sejak
zaman Mesir kuno hingga sekolah Minggu sekarang. Metafora adalah cara untuk
membantu pikiran kita memproses segala yang tak dapat diproses. Masalah timbul
ketika kita mulai sangat percaya pada metafora kita sendiri."
"Jadi kau lebih suka jika dokumen-dokumen Sangreal terkubur selamanya?"
"Aku seorang sejarawan. Aku anti perusakan dokumen, dan aku akan senang melihat
para ilmuwan agama memiliki informasi lebih untuk merenungkan kehidupan Yesus
Kristus yang luar biasa itu." "Kau membantah kedua sisi dari pertanyaanku."
"Masa" Alkitab menyajikan sebuah tonggak yang fundamental bagi jutaan orang di
planet ini, dengan cara yang sangat sama dengan Quran, Taurat, dan Kitab Pali
dalam memberikan petunjuk kepada pemeluk agama lainnya. Jika kau dan aku dapat
menemukan dokumentasi yang berlawanan dengan cerita suci yang dipercayai dalam
Islam, Yahudi, Budha, dan pagan, apakah kita juga harus mengungkapkannya"
Haruskah kita mengatakan kepada penganut agama Budha bahwa kita punya bukti
kalau Budha tidak dilahirkan oleh bunga teratai" Atau Yesus tidak dilahirkan
oleh seorang perempuan yang betul-betul perawan" Orang-orang yang sungguh-
sungguh mengerti keyakinan mereka, juga mengerti bahwa cerita-cerita itu
merupakan metafora."
Sophie tampak ragu. "Teman-temanku yang beragama Kristen betul-betul percaya
bahwa Kristus memang bisa berjalan diatas air, memang mampu mengubah air menjadi
anggur, dan dilahirkan oleh perempuan yang memang masih perawan."
"Intinya adalah," kata Langdon. "Perumpaman agama telah menjadi bagian dari
realitas yang dibuat. Dan, hidup di dalam realitas itu menolong jutaan orang
untuk bertahan dan menjadi orang yang lebih baik." "Tetapi, tampaknya realitas
mereka itu palsu." Langdon rertawa. "Tidak lebih palsu dari ahli kriptografi
matematika yang percaya pada angka imajiner 'i', karena angka itu menolongnya
membuka kode itu." Sophie mengerutkan keningnya. "Itu tidak adil." Sesaat
berlalu. 'Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Langdon. "Aku tidak ingat."
83 JAM TANGAN Mickey Mouse Langdon menunjukkan pukul 7.30 ketika Langdon keluar
dari limusin Jaguar dan memasuki Jalan Inner Temple bersama Sophie dan Teabing.
Ketiganya berjalan berkelok-kelok melintasi berbagai gedung ke sebuah halaman
kecil di luar Gereja Kuil. Batu yang ditatah kasar berkilauan ditimpa hujan, dan
burung-burung dara berkukuk di atas gedung itu.
Gereja Kuil tua di London itu keseluruhannya dibangun dengan menggunakan batu
dari Caen. Berbentuk bulat dengan bagian muka yang menakutkan, menara ditengah
dan bagian tengah yang menonjol keluar ke satu sisi, gereja itu lebih mirip kubu
militer daripada tempat pemujaan. Diresmikan pada tanggal 10 Februari tahun 1185
oleh Heraclius, Kepala Keluarga Jerusalem, Gereja Kuil bertahan selama delapan
abad dari huru-hara politik, Kebakaran Besar London, dan Perang Dunia Pertama;
hanya mengalami kerusakan berat karena bom-bom pembakar rumah dari Luftwaffe
pada tahun 1940. Setelah perang itu, gereja ini dibangun kembali seperti bentuk
aslinya, megah dan dingin.
Kesederhanaan lingkaran, pikir Langdon, sambil mengagumi gedung itu untuk
pertama kalinya. Arsitekturnya mengingatkan kepada Puri Sant'Angelo sederhana
dan kasar, lebih yang kasar di Roma daripada Pantheon yang halus. Ruang tambahan
yang kotak menonjol keluar ke arah kanan terlihat tidak menyenangkan, walau itu
sedikit menyembunyikan bentuk pagan asli dari bangunan utamanya.
"Ini hari Sabtu pagi," kata Teabing, sambil terpincang-pincang ke arah pintu
masuk, "jadi kukira kita tidak akan berurusan dengan misa."
Jalan masuk gereja itu merupakan batu ceruk menjorok ke dalam tempat berdirinya
pintu kayu besar. Di sebelah kiri pintu itu, tampak tidak sesuai penempatannya,
tergantung papan buletin berisi pengumuman jadwal konser dan misa agama. Teabing
mengerutkan keningnya ketika membaca papan itu. "Mereka tidak membuka bagi umum
di luar jam-jam misa." Dia bergerak ke arah pintu dan mencobanya. Pintu itu
tidak bergerak. Lalu Teabing menempelkan telinganya pada daun pintu itu,
mendengarkan. Setelah sesaat, dia menarik diri. Wajahnya tampak penuh rencana
ketika dia menunjuk pada papan buletin. "Robert, bisa tolong periksa jadwal
misa" Siapa yang memimpin misa minggu ini?"
Di dalam gereja, seorang lelaki muda pembersih altar hampir selesai memvacum
tempat berlutut para penerima komuni ketika dia mendengar ketukan pada pintu
gereja. Dia mengabaikannya. Pendeta Harvey Knowles mempunyai kuncinya sendiri
dan baru akan datang dua jam lagi. Si pengetuk pintu mungkin hanya seorang turis
yang ingin tahu atau seorang pengemis. Petugas altar melanjutkan pekerjaannya,
tetapi ketukan di pintu berlanjut.Apa dia tidak bisa membaca jadwal" Tanda di
pintu dengan jelas menyatakan bahwa gereja tidak akan dibuka sebelum pukul 9.30
pada hari Sabtu. Petugas altar itu terus melakukan tugasnya.
Tiba-tiba, ketukan pada pintu itu berubah menjadi gedoran kuat, seolah orang itu
memukuli pintu dengan tongkat metal. Lelaki muda itu mematikan alat penyedot
debunya dan berjalan dengan marah ke arah pintu. Tanpa membuka pengait rantai
pengamannya dari dalam, dia membuka pintu itu sedikit. Tiga orang berdiri di
ambang pintu. Turis, dia menggerutu. "Kami buka pukul 9.30."
Lelaki gemuk, yang tampil sebagai pemimpin mereka, melangkah ke depan,
menggunakan tongkat metalnya. "Saya Sir Leigh Teabing," katanya, aksennya
menunjukkan banwa dia orang Inggris yang bermartabat tinggi. "Seperti yang pasti
anda lihat, saya sedang mengantar Bapak dan Ibu Christopher Wren Keempat." Lalu
lelaki gemuk itu bergeser sedikit, mengayunkan tangannya ke arah pasangan pria-
wanita di belakangnya. Yang perempuan berpenampilan lembut, dengan rambut merah
yang lebat; lelaki di sampingnya jangkung, berambut gelap dan tampak seperti
tidak asing. Petugas altar itu tidak tahu bagaimana merespon mereka. Christopher Wren adalah
penderma terbesar bagi Gereja Kuil. Dialah yang memungkinkan terlaksananya
restorasi gereja ini setelah peristiwa Kebakaran Besar. Dia juga telah meninggal
dunia sejak awal abad ke-18. "Mmm ... saya merasa terhormat bertemu dengan
Anda." Lelaki bertongkat itu mengerutkan dahinya. "Untung saja kau tidak bekerja di
bagian pemasaran, anak muda. Kau tidak begitu meyakinkan. Di mana Pendeta
Knowles?" "Ini hari Sabtu. Beliau baru akan datang nanti." Lelaki pincang itu
menggerutu perlahan. "Terima kasih banyak. Padahal beliau sudah meyakinkan kami,
beliau akan menunggu di sini, tetapi tampaknya kami harus me1akukannya tanpa
beliau. Tidak akan lama."
Petugas altar itu tetap menghalangi di ambang pintu. "Maaf, apa yang tidak akan
lama?" Mata tamu itu sekarang menajam. Ia mencondongkan tubuhnya sambil berbisik,
seolah tidak mau mempermalukan seseorang. "Anak muda, kau orang baru di sini.
Setiap tahun keturunan Sir Christopher Wren selalu membawa sejumput abu orang
itu ke dekat altar di gereja ini. Itu bagian dari pesan terakhir dari surat
wasiatnya. Tidak seorang pun senang melakukan perjalanan ke sini, tetapi apa
boleh buat." Petugas altar itu telah bekerja di sini selama dua tahun, namun dia tidak pernah
mendengar kebiasaan itu. "Lebih baik jika Anda menunggu hingga pukul 9.30.
Gereja ini belum buka, dan saya belum selesai bersih-bersih."
Lelaki bertongkat itu mendelik marah. "Anak muda, satu-satunya sebab masih
adanya benda-benda di sini untuk kaubersihkan adalah karena lelaki baik hati
yang sekarang ada di dalam kantong perempuan itu." "Maaf?" "Ibu Wren," lelaki
bertongkat itu berkata, "maukah Anda berbaik hati
memperlihatkan ke anak muda yang tidak sopan ini sisa abu itu?" Perempuan itu
tampak ragu sesaat lalu, seolah terbangun dari ketidaksadaran, dia merogoh saku
sweternya dan menarik keluar sebuah silinder kecil yang terbungkus oleh bahan
pelindung. "Nah, kau lihat?" bentak lelaki bertongkat itu. "Sekarang kau bisa menghormati
permintaan terakhir orang itu dan membiarkan kami menebarkan abunya di altar
doa, atau akan kukatakan kepada Pendeta Knowles bagaimana kami diperlakukan."
Petugas altar itu ragu-ragu, dia sangat mengerti akan ketaatan Pendeta Knowles
dalam menjalankan tradisi gereja .... MungkinPak Knowles sekadar lupa saja
tentang kedatangan anggota keluarga ini. Jika demikian, akan lebih sedikit
risikonya jika dia membiarkan mereka masuk daripada mengusir mereka
pulang.Lagipulamerekatadimengatakanhanyaakansebentar.Apa ruginya"
Ketika petugas altar itu menggeser tubuhnya untuk membiarkan ketiga orang itu
lewat, dia dapat bersumpah, Pak dan Bu Wren betul-betul tampak sama bingungnya
seperti dirinya juga. Dengan tidak yakin, petugas yang masih muda itu
melanjutkan tugasnya, sambil melihat mereka dengan sudut matanya.
Langdon tak dapat menahan senyumnya ketika mereka bertiga berjalan lebih jauh ke
dalam gereja itu. "Leigh," dia berbisik. "kau berbohong dengan sangat balk."
Mata Teabing bersinar. "Kelompok Teater Oxford. Mereka masih terus membicarakan
aktingku sebagai Julius Caesar. Aku yakin, belum ada yang memerankannya pada
babak pertama dari Act Three dengan penjiwaan yang lebih baik." Langdon
menatapnya. "Kupikir Caesarmati pada babak itu." Teabing menyeringai. "Ya,
tetapi togaku robek terbuka ketika aku jatuh, dan aku harus berbaring di atas
panggung selama setengah jam dengantodgerku tergantung keluar. Walau begitu, aku
tetap tidak bergerak sama sekali. Aku sangat pandai, asal tahu saja." Langdon
tampak ngeri.Sayangsekaliakutidakmelihatnya. Ketika mereka berjalan melalui
ruang tambahan segi empat ke arah pintu lengkung yang membawa mereka ke ruang
utama gereja, Langdon heran melihat kekosongan ruangan itu. Walau akarnya tampak
seperti yang biasa terdapat pada kapel Kristen lainnya, perabotan lainnya begitu
kaku dan dingin, bahkan tidak terlihat hiasan tradisional sekalipun. "Pucat,"
bisiknya. Teabing tertawa. "Gereja Inggris. Anglikan melaksanakan agamanya dengan kaku.
Tidak ada yang bisa mengalihkan mereka dari kesengsaraan."
Sophie menunjuk ke arah ruang terbuka yang luas yang mengarah ke bagian bundar
gereja itu. "Kelihatannya seperti sebuah benteng di sana," dia berbisik.
Langdon setuju. tampak kasar. "Para kesatria Bahkan dari tempatnya berdiri,
dinding ruangan itu Templar adalah pah1awan." Teabing mengingatkan, sementara suara penunjang kaki
dari aluminiumnya bergema di ruangan yang menggaung itu. "Sebuah perkumpulan
militer yang beragama. Gereja mereka merupakan benteng pertahanan mereka dan
juga bank mereka." "Bank?" tanya Sophie sambil menatap Leigh. "Oh ampun, ya.
Templar menemukan konsep bank modern. Bagi para bangsawan Eropa, melakukan
penjalanan dengan membawa emas sangat berbahaya. Maka, Templar membolehkan para
bangsawan itu menyimpan emasnya di Gereja Kuil yang terdekat dan dapat
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menariknya lagi dari Gereja Kuil mana pun di seluruh Eropa. Yang mereka perlukan
hanyalah dokumentasi yang lengkap. Dia mengedipkan matanya. "Dan sedikit komisi.
Mereka merupakan ATM asli." Teabing menunjuk ke jendela berkaca ornamen
warnawarni. Dari situ sinar matahari memantul pada kaca yang menggambarkan
seorang kesatria berpakaian putih sedang menunggang seekor kuda berwarna merah
muda. "Alanus Marcel," kata Teabing, "Pimpinan Kuil pada awal tahun 1200. Dia
dan penerusnya sesungguhnya memimpin kursi Parlemen Primus Baro Angiae." Langdon
terkejut. "Baron pertama dari Realm?" Teabing mengangguk. "Beberapa orang
mengakui, Pimpinan Kuil mempunyai pengaruh lebih besar daripada raja sendiri."
Ketika mereka tiba di luar ruangan bundar, Teabing mengerling pada petugas altar
yang masih memvacum ruang gereja di kejauhan. "Kau tahu," bisik Teabing pada
Sophie, "Holy Grail katanya pernah mampir di gereja ini semalam saat Templar
memindahkannya dari tempat kaubayangkan keempat peti persembunyiannya ke tempat
lain. Bisakah yang berisi dokumen-dokumen Sangreal ditempatkan di sini bersama
peti mati Maria Magdalena" Aku jadi merinding."
Langdon juga merasa merinding ketika mereka melangkah ke ruangan bundar itu.
Matanya mengikuti lengkungan batas pinggir ruangan yang terbuat dari batu
berwarna pucat, lalu melihat ukiran-ukiran pada dindingnya yang berupa patung
kepala hewan, iblis, monster, wajah manusia yang disakiti, semuanya menatap
dalam ruangan. Di bawah ukiran-ukiran itu terletak bangku batu tunggal
melingkari sekeliling ruangan. "Teater bundar," bisik Langdon. Teabing menaikkan
satu tongkatnya, menunjuk ke arah kiri jauh ruangan
itu, lalu ke arah kanan jauh. Langdon sudah melihatnya. Sepuluhkesatriabatu.
Limadikiri,limadikanan. Para kesatria itu terukir terlentang di atas lantai,
seukuran dengan manusia, dalam pose yang damai. Mereka digambarkan mengenakan
pakaian besi lengkap, tameng, dan pedang. Makam patung itu membuat Langdon
merasa tidak nyaman, seolah pada zaman itu seseorang telah menyelinap masuk dan
menuangkan adukan semen ke atas para kesatria yang sedang tidur. Kesepuluh figur
itu rusak berat, namun masing-masing sangat unik---perlengkapan pakaian, posisi
kaki dan tangan, ciri pada wajah, dan tanda pada tameng yang berbeda-beda.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan. Langdon merasa gemetar
ketika dia masuk lebih dalam ke ruang bulat itu. Pasti inilah tempat itu.
84 Di GANG yang kotor oleh sampah yang sangat dekat dengan Gereja Kuil, Remy
Legaludec menghentikan limusin Jaguar panjangnya di belakang sederetan tong
sampah industri. Dia mematikan mesinnya dan memeriksa daerah sekitarnya. Sepi.
Dia keluar dari mobil, berjalan ke bagian belakang, dan masuk ke kabin utama
limusin itu, tempat si biarawan meringkuk.
Merasakan kehadiran R?my, Silas tersadar dari kerasukannya dalam doa. Mata
merahnya lebih tampak ingin tahu daripada takut. Sepanjang malam itu, R?my telah
merasa kagum pada kemampuan tahanan ini untuk bersikap tenang. Setelah
pergulatan pertama di Range Rover, biarawan itu tampak menerima keadaannya yang
tidak menyenangkan dan menyerahkan nasibnya pada kekuasaan yang lebih tinggi.
R?my mengendurkan dasi kupu-kupunya, melepas kancing kerahnya yang tinggi, kaku,
dan bersayap, dan merasa seolah dia baru dapat bemapas untuk pertama kalinya
selama bertahun-tahun. Dia membuka lemari minuman di dalam limusin itu dan
menuangkan vodka Smirnoff bagi dirinya sendiri. Dia meminumnya dengan sekali
teguk, diikuti dengan gelas kedua. Taklamalagiakuakanmenjadilelakiyanghidupenak.
Setelah mencari-cari di dalam bar, R?my menemukan pembuka botol anggur yang
biasa, lalu membuka mata pisaunya yang tajam. Pisau itu biasanya digunakan untuk
memotong kertas timah dari tutup botol anggur, namun pagi ini alat itu akan
digunakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar. R?my menoleh pada Silas sambil
memegang silet berkilauan itu. Sekarang mata merah itu berkilat ketakutan. Remy
tersenyum dan bergerak ke belakang limusin. Biarawan itu tersentak
dan memberontak berusaha melepaskan diri. "Tenanglah," bisik Remy sambil
mengangkat pisau itu. Silas tidak dapat percaya bahwa Tuhan telah meninnggalkan
dirinya. Bahkan rasa sakit pada tubuhnya karena diikat telah dianggapnya sebagai
latihan spiritual, dengan memohon supaya denyut sakit pada otot-ototnya yang
kekurangan aliran darah itu menjadikan dia ingat pada penderitaan Kristus. Aku
sudah berdoa sepanjang malam memohon kebebasan. Sekarang, ketika pisau itu
turun, Silas mengatupkan matanya rapat-rapat.
Rasa sakit seperti memotong tulang belikatnya. Dia berteriak, tidak percaya
bahwa dia akan mati di sini, di bagian belakang sebuah limnusin, tanpa mampu
membela diri. Aku mengerjakan pekerjaan Tuhan. Guru mengatakan akan
melindungiku. Silas merasa kehangatan menusuk melebar melintasi punggung dan bahunya. Dia
dapat membayangkan darahnya sendiri, memancar keluar dari dagingnya. Sekarang
rasa sakit yang menusuk memotong melalui pahanya, dan dia merasakan serangan
arus bawah seperti yang sudah biasa dirasakannya - cara tubuh bertahan terhadap
rasa sakit. Ketika rasa sakit yang menusuk itu terasa merobek seluruh ototnya, Silas
mengatupkan matanya lebih rapat, dan memutuskan bahwa gambaran akhir hidupnya
bukanlah ditentukan oleh pembunuhnya. Lalu dia membayangkan seorang Uskup
Aringarosa ketika masih lebih muda, berdiri di depan gereja kecil di Spanyol...
gereja yang dibangun dengan tangannya dan Silas.Awalkehidupanku. Silas merasa
tubuhnya terbakar. "Minumlah," bisik lelaki bertuksedo itu. Aksennya Prancis.
"Akan membantu melancarkan aliran darahmu." Mata Silas terbuka heran. Sesosok bayangan
kabur membungkuk padanya, menawarkan segelas cairan. Seonggok pita berperekat
yang sudah sobek-sobek tergeletak di lantai di samping pisau sialan itu. "Minum
ini," lelaki itu mengulangi. "Rasa sakit yang kaurasakan itu hanya
aliran darah yang memasuki otot-ototmu." Silas merasakan denyut panas sekarang
berganti menjadi tusukan-tusukan kecil. Vodka itu terasa tidak enak tetapi dia
meminumnya juga, merasa bersyukur. Nasibnya malam ini tidak bagus, tapi Tuhan
menyelesaikan semuanya dengan sebuah pergantian yang ajaib.
Tuhantidakmeninggalkanaku. Silas tahu apa yang akan disebut Uskup Aringarosa
tentang ini semua. CampurtanganTuhan. "Aku sudah ingin membebaskanmu lebih
awal," kata pelayan itu meminta maaf "tetapi tidak mungkin. Dengan polisi yang
datang ke Puri Villette, kemudian polisi di lapangan udara Biggin Hill, ini
merupakan kesempatan pertama yang memungkinkan. Kau mengerti, bukan, Silas?"
Silas tersentak heran. "Kautahu namaku?" Pelayan itu tersenyum. Sekarang Silas
duduk, menggosok-gosok otot-ototnya yang kaku. Perasaannya menyemburkan
ketidakpercayaan, penghargaan, dan kebingungan. "Apakah kau ... Guru?"
Remy menggelengkan kepalanya, menertawakan kesalahan itu. "Kuharap aku punya
kekuasaan itu. Bukan, aku bukan Guru. Seperti kau juga, aku melayaninya. Tetapi
Guru selalu memujimu. Namaku Remy."
Silas kagum. "Aku tidak mengerti. Jika kau bekerja pada Guru, mengapa Langdon
membawa batu kunci itu ke rumahmu?"
"Bukan rumahku. Itu rumah seorang sejarawan Grail yang paling terkenal, Sir
Leigh Teabing." "Tetapi kautinggal di sana. Anehnya ..." R?my tersenyum,
tampaknya dia tidak heran dengan kebetulan yang terjadi - Langdon memilih rumah
itu sebagai tempat pelariannya. "Itu semua sangat dapat diduga. Robert Langdon
memegang batu kunci, dan dia membutuhkan bantuan. Tempat mana lagi yang mungkin
dipikirkannya selain rumah Leigh Teabing" Karena kebetulan aku tinggal di sana
juga, maka Guru menghubungiku lebih dulu." Dia terdiam sesaat. "Menurutmu,
bagaimana Guru bisa tahu begitu banyak tentang Grail?"
Fajar menyingsing sekarang, dan Silas terpaku. Guru telah menempatkan seorang
pelayan yang mempunyai akses ke semua yang diselidiki Teabing. Sangat cemerlang.
"Ada banyak yang harus kukatakan padamu," kata Remy sambil menyerahkan pistol
Heckler Koch yang berisi peluru. Kemudian, melalui partisi yang terbuka, R?my
meraih dan mengeluarkan sepucuk revolver kecil seukuran telapak tangan dari
kotak penyimpanan sarung tangan. "Tetapi pertama-tama, kau dan aku punya tugas
yang harus dikerjakan."
Kapten Fache turun dari pesawat yang membawanya ke Biggin Hill dan mendengarkan
dengan tidak percaya cerita Inspektur kepala Kent tentang apa yang terjadi di
hanggar pribadi pribadi Teabing. "Aku memeriksa pesawat itu sendiri," tegas
inspektut itu, "dan tidak ada seorang pun di dalam." Nadanya meninnggi "Dan aku
harus menambahkan bahwa jika Sir Leigh Teabing menuntutku, aku akan ...."
"Apakah kau menginterogasi pilotnya?" "Tentu saja tidak. Dia orang Prancis, dan
yurisdiksi kami memerlukan..." "Bawa aku ke pesawat itu." Tiba di hanggar itu,
Fache hanya memerlukan enam puluh menit untuk menemukan ceceran darah pada
lantai hanggar dekat tempat limusin diparkir tadi. Fache berjalan ke arah
pesawat dan berteriak keras sambil menghadap ke badan pesawat. "Ini kapten
Polisi Judisial Prancis. Buka pintu!" Pilot yang ketakutan itu membuka pintu dan
menurunkan tangganya. Fache naik. Tiga menit kemudian, dengan bantuan pistolnya, dia sudah mendapatkan
gambaran tentang biarawan albino yang diikat. Dan sebagai tambahan, pilot itu
melihat Sophie dan Langdon telah meninggalkan sesuatu di tempat penyimpanan
Teabing di belakang, sebuah kotak kayu atau sejenisnya. Walaupun meyangkal bahwa
dia tahu apa isi kotak itu, si pilot mengaku bahwa kotak itu telah menjadi pusat
perhatian Langdon selama penerbangan ke London. "Buka lemari itu." Fache
meminta. Pilot itu tampak ketakutan. "Aku tidak tahu kombinasinya!" "Sayang
sekali. Aku baru saja mau menawarkan agar kau tetap
mempunyai izin terbang." Pilot itu meremas-remas tangannya. "Aku kenal beberapa
orang di bagian pemeliharaan di sini. Mungkin mereka bisa mengebornya?" "Kau punya waktu
setengah jam." Pilot itu loncat menyambar radionya. Fache berjalan ke belakang
pesawat dan menuang minuman keras untuknya sendiri. Ini masih terlalu pagi,
tetapi dia belum tidur .... Sambil duduk di kursi yang sangat lunak, Fache
menutup matanya, mencoba membayangkan apa yang terjadi. Kegagalan Polisi Kent
dapat sangat merugikanku. Sekarang semua orang sedang mencari limusin Jaguar
hitam. Telepon Fache berdering, padahal dia mengharapkan kedamaian sesaat saja."Allo?"
"Aku dalam perjalanan ke London." Itu Uskup Aringarosa. "Aku akan tiba dalam
satu jam." Fache duduk tegak. "Kupikir kau akan terbang ke Paris." "Aku sangat
khawatir. Aku mengubah rencana." "Kau tidak boleh begitu." "Kau sudah bertemu
Silas?" "Tidak. Penangkapnya berhasil lolos dari polisi Kent sebelum aku
mendarat." Kemarahan Aringarosa berdering tajam. "Kau meyakinkan aku bahwa kau
akan menghentikan pesawat itu!" Fache merendahkan suaranya. "Uskup, mengingat
keadaanmu, aku sarankan kau jangan menguji kesabaranku hari ini. Aku akan
menemukan Silas dan yang lainnya secepat mungkin. Kau akan mendarat di mana?"
"Sebentar." Aringarosa menahan teleponnya, lalu menyambungnya lagi. "Pilot
mengatakan dia akan mencoba mendarat di Heathrow. Aku satu-satunya penumpangnya,
tetapi tujuan baru kami tidak terdaftarkan."
"Katakan kepada pilot itu untuk mendarat di lapangan terbang eksekutif Biggin
Hill di Kent. Aku akan mintakan izin untukmu." "Terima kasih." "Seperti yang
kunyatakan ketika kita pertama kali berbicara, Uskup, kau harus mengingatnya
baik-baik, bahwa kau bukanlah satu-satunya orang yang berisiko kehilangan
segalanya." 85 KAUMENCARIbolayangseharusnyaadadimakamitu.
Setiap pahatan kesatria di Gereja Kuil itu berbaring terlentang, dengan kepala
mereka terletak pada sebuah bantal batu segi empat. Sophie merasa ngeri. Kata
bola dalam puisi itu membangkitkan ingatan Sophie pada perstiwa di ruang bawah-
tanah puri kakeknya. HierosGamos.Bola. Sophie bertanya-tanya apakah ritual itu
pernah dilakukan di gereja ini. Ruang bundar itu tampak dibuat sesuai dengan
pesanan untuk melakukan ritual pagan semacam itu. Sebuah bangku dari batu
mengelilingi area kosong di tengah-tengah.Sebuahteaterbundar, seperti yang
disebut Robert tadi. Sophie membayangkan ruangan ini pada maalam hari penuh
dengan orang-orang bertopeng, menyanyi di bawah sinar obor, semua menyaksikan
"penyatuan suci" di tengah-tengah ruangan. Sophie berusaha menghilangkan pikiran
itu dari benaknya. Dia lalu mendahului Langdon dan Teabing menuju ke kelompok
makam kesatria yang pertama. Walau Teabing berkeras bahwa penyelidikan mereka
harus dilakukan dengan sangat cermat, Sophie merasa bersemangat dan bergegas
mendahului mereka, berjalan memintas ke arah lima makam patung kesatria di
sebelah kiri. Sophie meneliti kelompok makam pertama ini. Dia melihat kesamaan dan perbedaan
di antara kelimanya. Setiap kesatria berbaring terlentang, tetapi tiga dari lima
kesatria kakinya terjulur lurus, sedangkan yang dua lainnya bersilang. Keanehan
itu tampaknya tidak ada hubungannya dengan bola yang hilang. Sophie lalu
meneliti pakaian mereka. Dia menemukan bahwa dua dari kesatria itu mengenakan
tunik di atas baju besi mereka, sedangkan yang tiga lainnya mengenakan jubah
panjang semata kaki. Lagi, ini sama sekali tidak ada gunanya. Kemudian Sophie
mengalihkan perhatiannya pada perbedaan yang jelas - posisi tangan mereka. Dua
orang kesatria memegang pedang, dua lagi berdoa, dan yang satu meletakkan
lengannya di sisi tubuhnya. Setelah lama melihat tangan-tangan itu, Sophie
menggerakkan bahunya. Dia tidak melihat petunjuk yang jelas tentang bola yang
hilang itu. Karena merasa beban cryptex di dalam sakunya, Sophie lalu melirik pada Langdon
dan Teabing. Kedua lelaki itu bergerak lambat, masih berada pada kesatria
ketiga, tampaknya juga tidak beruntung. Sophie tidak ingin menunggu. Dia
berpaling dari mereka lalu bergerak ke kelompok makampatung kedua. Ketika dia
melintasi ruangan terbuka, perlahan dia mengucapkan puisi yang tadi dibacanya,
beberapa kali sehingga dia hafal sekarang.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangPauskuburkan.
BuahperbuatannyakemarahanSucimuncul.
Kaumencaribolayangseharusnyaadadiatasmakamnya. ItumenyatakanragaRosi
danrahimyangterbuahi Ketika Sophie tiba pada kelompok kedua, dia melihat kelompok ini sama dengan
kelompok pertama. Semuanya terbaring dengan posisi tubuh yang berbeda,
mengenakan pakaian besi dan pedang. Itu sudah semuanya, kecuali makam kesepuluh,
terakhir. Sophie bergegas ke sana, lalu menatap ke bawah. Tidakadabantal.
Tidakadabajubesi.Tidakadatunik.Tidakadapedang. "Robert" Leigh?" panggil Sophie,
suaranya menggema di sekitar ruangan
itu. "Ada yang hilang di sini." Kedua lelaki itu menoleh dan segera melintasi
ruangan menuju ke Sophie. "Sebuah bola?" seru Teabing gembira. Penopang kaki
metalnya berklikklik dengan cepat seperti staccato dalam musik ketika lelaki
gemuk itu melintasi ruangan. "Kita kehilangan sebuah bola?"
"Tidak seperti itu," kata Sophie, mengerutkan dahinya pada makam kesepuluh.
"Tampaknya kita kehilangan keseluruhan kesatria kesepuluh ini."
Ketika Teabing dan Langdon tiba di samping Sophie, mereka berdua menatap ke
bawah dengan bingung pada makam kesepuluh itu. Tidak ada kesatria yang
terbaring, tapi hanya sebuah peti mati dari batu yang tersegel. Peti mati itu
berbentuk trapesium, menyempit pada bagian kaki dan melebar pada bagian kepala,
dengan penutup yang runcing ke atas. "Mengapa kesatria yang ini tidak
diperlihatkan?" tanya Langdon. "Menarik," kata Teabing, sambil mengusap-usap
dagunya. "Aku sudah lupa tentang keanehan ini. Aku sudah bertahun-tahun tidak ke sini." "Peti mati
ini," kata Sophie, "tampaknya diukir pada waktu yang sama oleh pemahat yang sama
seperti halnya kesembilan makam itu. Jadi, mengapa kesatria ini terbungkus dalam
peti mati, tidak terbuka?"
Teabing menggelengkan kepalanya. "Salah satu misteri gereja ini. Sejauh yang
kutahu, tidak ada yang dapat menjelaskan hal ini." "Halo?" seru petugas altar
tadi, sambil mendekat dengan wajah gelisah. "Maafkan saya jika ini tampak tidak
sopan. Tadi Anda bilang ingin menebarkan abu, tetapi Anda kelihatannya hanya
melihat-lihat." Teabing cemberut pada anak muda itu dan menoleh pada Langdon. "Pak Wren,
tampaknya kedermawanan keluarga anda tidak lagi dapat memberi Anda waktu seperti
dulu lagi. Jadi mungkin kita harus mengeluarkan abu itu dan segera
melakukannya." Teabing menoleh pada Sophie. "Ibu Wren?"
Sophie ikut berpura-pura, sambil mengeluarkan cryptex yang terbungkus kulit
kambing dari sakunya. "Sekarang," Teabing membentak pemuda itu, "bisa beri kami
privasi?" Petugas altar itu tidak bergerak. Dia sedang menatap Langdon dengan
cermat sekarang. "Anda seperti pernah kulihat." Teabing marah. "Mungkin itu
karena Pak Wren datang ke sini setiap
tahun!" Atau mungkin, Sophie sekarang mer?sa takut, karena pemuda tiu melihat
LangdonditelevisiketikaLangdonberadadiVatikan tahunlalu. "Aku belum pernah
bertemu dengan Pak Wren," jelas petugas altar itu. "Anda salah," Langdon berkata
dengan sopan. "Saya percaya Anda dan saya bertemu tahun lalu. Pak Knowles memang
tidak memperkenalkan kita dengan resmi, tetapi saya mengenali wajah Anda ketika
kami masuk tadi. Sekarang saya merasa sudah mengganggu, tetapi bisakah Anda
dapat memberikan waktu beberapa menit lagi kepada saya" Saya datang dari jauh
hanya untuk menyebar abu di antara makam-makam ini." Langdon mengucapkan
bagiannya dengan gaya yang meyakinkan seperti Teabing.
Tarikan wajah petugas altar itu bahkan berubah lebih meragukan mereka. "Ini
semua bukanmakam." "Maaf?" kata Langdon. "Tentu saja ini semua makam," kata
Teabing. Petugas altar itu menggelengkan kepalanya. "Makam selalu berisi
jenazah. Ini semua hanya patung. Penghormatan orang-orang yang nyata. Tidak ada
satu jasad pun di bawah figur-figur ini." "Ini makam!" kata Teabing. "Hanya
dalam buku-buku sejarah yang sudah ketinggalan zaman. Ini memang dulu dipercaya
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merupakan makam di gereja, tetapi itu ternyata tidak berisi apa pun dan itu
diketahui pada waktu renovasi gereja ini pada tahun 1950." Dia menoleh lagi pada
Langdon. "Dan saya heran juga, seharusnya Pak Wren tahu itu, mengingat yang
mengetahui hal itu adalah keluarga Anda sendiri." Kesunyian yang tidak
menyenangkan terjadi. Namun segera terusik oleh suara pintu terbanting di ruang
tambahan gereja. "Itu mungkin Pak Knowles," kata Teabing. "Mungkin Anda harus
pergi dan melihatnya?" Petugas altar itu tampak ragu, tetapi dia pergi juga ke ruang
tambahan itu, meninggalkan Langdon, Sophie, dan Teabing yang saling bertukar
pandang dengan muram. "Leigh," bisik Langdon. "Tidak ada jenazahnya" Apa maksud pemuda itu?"
Teabing tampak putus asa. "Aku tidak tahu. Aku selalu berpikir ... tentu saja
ini pastilah tempat itu. Aku tidak dapat membayangkan pemuda itu tahu apa yang
dikatakannya tadi. Itu tidak mungkin!" "Aku boleh melihat puisi itu lagi?" kata
Langdon. Sophie mengeluarkan cryptex itu dari sakunya dan dengan hati-hati
memberikannya kepada Langdon. Langdon membuka bungkus kulit kambingnya, memegang
Cryptex pada tangannya sambil memeriksa puisi itu. "Ya, puisi ini menyatakan
tentang sebuah makam. Bukan sebuah patung."
"Mungkinkah puisi itu salah?" tanya Teabing. "Mungkinkah Jacques Sauniere
membuat kesalahan seperti yang baru kulakukan?" Langdon mempertimbangkannya dan
menggelengkan kepalanya. "Leigh, kau tadi mengatakannya sendiri. Gereja ini di
bangun oleh Templar, miiter bersenjata dari Biarawan Sion. Aku punya firasat
bahwa Mahaguru Biarawan memiliki gagasan yang bagus jika para kesatrianya
terkubur di sini." Teabing tampak sangat heran. "Tetapi tempat ini sempurna." Dia berjalan kembali
ke arah kesatria-kesatria itu. "Kita pasti t?lah rnelewatkan sesuatu!" Ketika
petugas altar memasuki ruang tambahan itu, dia heran karena ruangan itu ternyata
kosong. "Pak Knowles?" Aku yakin mendengar suara pintu, pikirnya, sambil
bergerak ke depan sampai dia melihat pintu masuk.
Seorang lelaki kurus mengenakan tuksedo berdiri di dekat pintu masuk, sambil
rnenggaruk-garuk kepalanya dan tampak bingung karena tersesat. Petugas altar itu
marah pada dirinya karena dia telah lupa mengunci kembali pintu itu ketika dia
membiarkan ketiga orang tadi masuk. Sekarang seorang kerempeng yang menyedihkan
telah memasuki gereja dari jalanan. Jika dilihat dari penampilannya, orang ini
pastilah sedang mencari upacara pernikahan. "Maaf," seru petugas altar itu,
sambil melewati sebuah pilar besar, "kami tutup."
Suara kebutan kain bergemerisik di belakangnya, dan sebelum ia dapat menoleh,
kepalanya ditarik ke belakang. Sebuah tangan kuat membekap keras mulutnya dari
belakang, membungkus teriakannya. Tangan yang membekap mulut pemuda itu seputih
saiju, dan dia berbau alkohol.
Lelaki yang bertuksedo dengan tenang mengeluarkan revolver kecil, yang langsung
diarahkannya ke kepala pemuda itu.
Petugas altar itu merasa selangkangannya menjadi panas dan sadar bahwa dia telah
mengompol. "Dengarkan baik-baik," bisik lelaki bertuksedo. "Kau harus keluar dari gereja
ini tanpa ribut. Kau harus berlari. Tanpa henti. Jelas?"
Pemuda itu mengangguk sedalam-dalamnya dengan tangan putih masih membekap
mulutnya. "Jika kau memanggil polisi ...," Lelaki bertuksedo itu menekankan pistolnya pada
kulit pemuda itu, "aku akan mencari dan menemukanmu."
Setelah itu, pemuda itu berlari sekencang-kencangnya melintasi halaman, tanpa
keinginan untuk berhenti sampai kakinya tidak kuat lagi berlari.
86 SEPERTI hantu, Silas melayang tanpa suara dibelakang mangsanya. Sophie Neveu
terlambat merasakan kehadirannya. Sebelum Sophie sempat menoleh, Silas sudah
menekankan pistolnya pada tulang belakangnya dan melingkan tangan kuatnya pada
dada Sophie, lalu menariknya hingga punggung Sophie menempel pada tubuh
kekarnya. Sophie berteriak kaget. Teabing dan Langdon menoleh, ekspresi mereka
tercengang dan takut. "Apa ...?" Teabing seperti tercekik. "Apa yang kaulakukan
pada R?my?" "Yang harus kaupikirkan hanyalah," kata Silas tenang, "aku akan
pergi dari sini dengan membawa batu kunci." Misi penyelamatan kembali ini,
seperti yang tadi digambarkan Remy, harus bersih dan sederhana: Masuk Gereja,
ambilbatukunci,danpergi;tidakadapembunuhan, tidakadaperkelahian.
Sambil memegang Sophie dengan kuat, Silas menurunkan tangannya dari dada Sophie
ke pinggang perempuan itu, dan menyelipkan tangannya ke dalam saku sweternya,
meraba-raba. Silas dapat mencium harum lembut rambut Sophie. "Di mana batu kunci
itu?" Silas berbisik.Batukunciituadadidalam
sakusweaternyatadi.Jadidimanasekarang" "Di sini," suara dalam Langdon bergema di
ruangan itu. Silas menoleh dan melihat Langdon memegangcryptex hitam di
depannya. mengayun-ayunkannya ke depan dan ke belakang seperti seorang matador
menggoda hewan bodoh. "Letakkan di bawah," perintah Silas. "Biarkan Sophie dan
Leigh meninggalkan gereja ini," jawab Langdon. "Kau dan aku dapat mengurus ini."
Silas mendorong Sophie menjauh darinya dan mengarahkan pistolnya pada Langdon,
sambil bergerak mendekatinya. "Jangan mendekat satu langkah pun," kata Langdon.
"Jangan, sebelum mereka meninggalkan gedung ini." "Kau tidak dapat
memerintahku." "Aku tidak sependapat." Lalu Langdon mengangkat cryptex itu
tinggi di atas kepalanya. "Aku tidak akan ragu membanting ini di atas lantai dan
sehingga botol kecil di dalamnya juga pecah."
Walau Silas menggeram keras dari tenggorokannya, dia merasa takut juga. Ini
tidak diduganya. Dia mengarahkan pistoinya pada kepala Langdon dan menjaga
suaranya agar tetap tenang seperti tangannya yang tak gemetar. "Kau tidak akan
memecahkan batu kunci itu. Kau sangat ingin menemukan Grail seperti juga aku."
"Kau salah. Kau menginginkan ini lebih dariku. Kau telah membuktikannya dengan
membunuh orang untuk mendapatkannya."
Empat puluh kaki jauhnya dari kejadian itu, Remy muncul dari bangku gereja di
ruang tambahan di dekat pintu lengkung. Remy Legaludec mulai merasa khawatir.
Usaha itu tidak berjalan seperti yang telah mereka rencanakan, dan bahkan dari
sini, dia dapat melihat Silas tampak tidak yakin mengatasi keadaan itu. Atas
perintah Guru, R?my telah melarang Silas untuk menembakkan senjatanya.
"Biarkan mereka pergi," kata Langdon lagi, sambil tetap memegangi cryptex itu
tinggi-tinggi melebihi kepalanya dan menatap pistol Silas.
Mata merah biarawan itu penuh ketakutan dan keputusasaan dan R?my tegang karena
mungkin saja Silas akan menembak Langdon ketika lelaki jangkung itu masih
memegangiCryptex.Cryptexitutidakbolehjatuh!
Cryptex itu akan menjadi tiket kebebasan dan kemakmuran R?my. Kirakira lebih
dari setahun yang lalu, R?my adalah seorang pelayan berusia 55 tahun yang
tinggal di dalam dinding Puri Villette, melayani keanehan yang tak tertahankan
dari Sir Leigh Teabing yang cacat. Lalu dia dibujuk dengan sebuah tawaran yang
luar biasa. Hubungan R?my dengan Sir Leigh Teabing--seorang sejarawan Grail yang
sangat terkemuka di bumi ini---akan memberikan kepada R?my segala yang pernah
diimpikannya dalam hidup ini. Sejak itu, setiap saat yang dijalaninya di dalam
Puri Villette telah membawanya ke arah itu lebih cepat lagi.
Aku sudah begitu dekat, kata R?my pada dirinya sendiri, sambil menatap ke ruang
di dekat altar Gereja Kuil dan pada batu kunci di tangan Robert Langdon. Jika
Langdon menjatuhkannya, segalanya akan hilang.
Apakah aku akan memperlihatkan wajahku" Guru telah melarangnya dengan keras
untuk itu. R?my adalah satu-satunya yang mengenali identitas Guru.
"Kauyakin Silas yang harus melakukan tugas ini?" tanya Remy kepada Guru kurang
dari setengah jam yang lalu, saat menerima perintah untuk mencuri batu kunci
itu. "Aku sendiri mampu."
Guru memastikan. "Silas telah melakukan tugasnya dengan baik dengan membunuh
empat anggota Biarawan. Dia akan menyelamatkan batu kunci itu. Kau harus tetap
tak dikenal. Jika ada yang melihatmu, mereka harus mati juga. Jangan ada
pembunuhan lagi. Jangan perlihatkan wajahmu."
Wajahku dapat diubah, pikir R?my. Dengan bayaran yang kaujanjikan kepadaku, aku
akan menjadi orang yang sama sekali baru. Operasi bahkan dapat mengubah sidik
jari, Guru pernah mengatakan itu kepadanya. Dia akan bebas segera - seraut wajah
tak dikenali, berkeringat di bawah matahari pantai. "Aku mengerti" kata R?my.
"Aku akan membantu Silas dan balik kegelapan."
"Ini untuk kauketahui sendiri, R?my," kata Guru, "makam yang dicari tidak berada
di Gereja Kuil. Jadi, jangan takut. Mereka mencari di tempat yang salah." R?my
terpaku. "Dan kautahu di mana makam itu?" "Tentu saja. Nanti aku akan
mengatakannya padamu. Untuk saat ini, kau harus bertindak cepat. Jika mereka
tahu tempat makam yang sesungguhnya, dan meninggalkan gereja sebelum kau membawa
cryptex itu, kita dapat kehilangan Grail selamanya."
R?my tidak peduli pada Grail, namun Guru tidak akan membayarnya sebelum dia
menemukan Grail itu. R?my merasa pening setiap kali mengingat sejumlah uang yang
akan diterimanya segera. Sepertiga dari 20 juta
euro.Cukupbanyakuntukmenghilangselamanya. R?my telah membayangkan kota pantai
C?te d'Azur, tempat dia merencanakan untuk menghabiskan hari-harinya dengan
berjemur di bawah matahari sambil dilayani oleh orang lain.
Sekarang R?my sudah berada di Gereja Kuil, tetapi dengan Langdon yang mengancam
akan memecahkan cryptex itu, masa depannya masih berada dalam bahaya. Karena
tidak tahan membayangkan akan kehilangan segalanya padahal sudah begitu dekat,
R?my memutuskan untuk bertindak keras. Pistol di tangannya merupakan senjata
yang dapat disembunyikan, kaliber kecil, Jframe Medusa, tetapi sangat mampu
membunuh dari jarak dekat.
Remy keluar dari persembunyiannya, lalu berjalan memasuki ruang bundar dan
mengarahkan pisol itu tepat pada kepala Teabing. "Orang tua, aku sudah menunggu
lama sekali untuk melakukan ini."
Jantung Sir Leigh Teabing betul-betul berhenti melihat R?my mengarahkan sepucuk
pistol padanya. Apa yang dilakukannya" Teabing mengenali Medusa kecil itu
sebagai miliknya, yang disimpannya di tempat penyimpanan sarung tangan yang
terkunci di limosinnya, untuk keamanannya. "R?my?" Teabing terbatuk karena
sangat terkejut. "Ada apa ini?"
Langdon dan Sophie tampak sama tercengangnya.
R?my memutar di belakang Teabing dan menyodokkan laras pistolnya ke
punggung majikannya, tepat di belakang jantung. Teabing merasa otot-ototnya
tercekam karena takut. "Remy, aku tidak - " "Akan kujelaskan dengan sederhana,"
sergah R?my, sambil menatap Langdon melalui bahu Teabing. "Letakkan batu kunci
itu, atau akan kutarik pelatuk pistol ini."
Langdon tampak lumpuh sesaat. "Batu kunci ini tidak ada artinya untukmu," bentak
Langdon. "Kau tidak mungkin membukanya."
"Orang sombong yang tolol," desis R?my. "Apakah kau tidak tahu, aku mendengarkan
semalam suntuk diskusi kalian tentang puisi itu" Aku mendengar segalanya, dan
aku telah membagi formasi itu dengan orang lain. Mereka tahu lebih banyak dari
kalian. Kalian bahkan tidak mencarinya di tempat yang benar. Makam yang kalian
cari berada di tempat lain!" Teabing merasa panikApamaksudnya" "Mengapa kau
menginginkan Grail?" tanya Langdon. "Untuk
menghancurkannya" Sebelum Hari Akhir?" R?my berseru pada si biarawan. "Silas,
ambil batu kunci dari Pak
Langdon." Bagitu biarawan albino itu bergerak maju, Langdon melangkah mundur,
menaikkan batu kunci itu, tampak siap membantingnya ke lantai. "Aku lebih senang
menghancurkannya," kata Langdon. "Daripada
melihatnya berada di tangan yang salah." Sekarang Teabing merasa sangat
ketakutan. Dia dapat melihat pekerjaan yang sudah dilakukan seumur hidupnya
menguap begitu saja di depan matanya. Semua mimpinya akan berantakan.
"Robert, jangan!" seru Teabing. "jangan! Yang kau pegang itu Grail! R?my tidak
akan menembakku. Kami telah saling mengenal selama sepuluh..."
R?my mengarahkan pistolnya ke langit-langit dan menembakkan Medusanya. Suara
ledakannya sangat keras bagi pistol sekecil itu. Suaranya bergema seperti guntur
di dalam ruangan batu itu. Semua orang membeku. "Aku tidak sedang main-main,"
kata R?my. "Tembakan berikutnya adalah
pada punggungnya. Berikan batu kunci itu pada Silas." Dengan enggan Langdon
mengulurkan cryptex itu. Silas melangkah maju dan mengambilnya; Mata merahnya
berkilauan karena merasa puas akan pembalasannya. Lalu dia menyimpan cryptex itu
di dalam saku jubahnya, kemudian mundur, masih tetap menodong Langdon dan Sophie
dengan pistolnya. Teabing merasa tangan R?my menjepit di sekitar lehernya ketika pelayannya itu
mulai melangkah mundur menuju keluar gedung dengan menyeret tuannya. Pistol R?my
masih menempel pada punggung Teabing. "Lepaskan dia," pinta Langdon. "Kami bawa
Pak Teabing berjalan-jalan," kata R?my, masih berjalan mundur. "Jika kau
menelepon polisi, dia akan mati. Jika ikut carnpur, dia akan mati. Jelas?"
"Bawa aku saja," pinta Langdon lagi. Suaranya serak karena emosi. "Lepaskan
Leigh." R?my tertawa. "Aku rasa tidak. Dia dan aku memiliki sejarah yang manis. Lagi
pula, mungkin saja dia masih berguna."
Silas juga mundur sekarang, dengan tetap menodongkan pistolnya pada Langdon dan
Sophie. Ketika R?my menyeret Teabing ke arah pintu, tongkatnya juga terseret
mengikutinya. Suara Sophie tidak bergetar. "Kau bekerja untuk siapa?" Pertanyaan
itu membuat R?my menyeringai. "Kau akan terkejut, Mademoiselle Neveu."
87 Perapian diruang tamu Puri Villete sudah padam, namun Collet masih saja
jalan hilir-mudik didepannya begitu dia membaca faks dari Interpol. Sama sekali
tidak seperti yang diharapkannya. Andre Vernet, menurut catatan resmi adalah
seorang warga terhormat. Tidak punya catatan kejahatan, bahkan tidak pernah
menerima tilang parker. Belajar di sekolah terkemuka dan di Sorbonne, dia lulus
dengan cum laude dari fakultas ilmu keuangan internasional. Interpol mengatakan,
nama Vernet sering muncul di media massa, tetapi selalu dalam pemberitaan yang
positif. Tampaknya lelaki itu telah menolong merancang parameter keamanan yang
membuat Bank Penyimpanan Zurich menjadi yang terdepan dalam pengamanan
elektronik ultramodern. Pemakaian kartu kredit Vernet menunjukkan minat
tingginya pada buku-buku seni, anggur mahal, dan CD musik klasik - paling banyak
Brahm---yang dinikmatinya dengan menggunakan sistem stereoHighend yang dibelinya
beberapa tahun lalu. Nol, Collet mendesah. Satu-satunya bendera merah malam ini
dari interpol adalah sekumpulan sidik jari yang tampaknya milik pelayan Teabing.
Kepala penyelidikan PTS membaca laporan itu sambil duduk di kursi nyaman di
ruangan itu juga. Collet menatapnya. "Ada?" Penyelidik itu menggerakkan bahunya.
"Sidik jari itu milik R?my Legaludec. Diburu karena kejahatan kecil. Tidak ada
yang serius. Tampaknya dia pernah dikeluarkan dari sebuah universitas karena
mengakali telepon umum untuk mendapatkan sambungan gratis ... setelah itu dia
mencuri kecilkecilan. Pernah melarikan diri dari tagihan rumah sakit untuk
perawatan tracheotomy di unit gawat darurat." Lalu dia menatap Collet sambil
tertawa. "Alergi kacang."
Collet mengangguk. Ia mengingat sebuah penyelidikan polisi di sebuah restoran
yang lupa mencatat pada menunya bahwa resep sambalnya mengandung minyak kacang.
Seorang pelanggan secara tak disangka-sangka telah meninggal dunia karena
anaphylactic shock begitu dia menyantap sesendok makanan itu.
"Legaludec mungkin saja tinggal di sini untuk menghindari penangkapan itu."
Penyelidik itu tampak senang. "Malam keberuntungannya"
Collet mendesah. "Baiklah, kau sebaiknya mengirimkan ini kepada Kapten Fache."
Penyelidik itu pergi tepat ketika agen PTS lainnya masuk dengan tergesa ke
ruangan itu. "Letnan, aku menemukan sesuatu di gudang." Dari wajah yang tampak
cemas itu, Collet hanya dapat menerka. "Mayat?" "Bukan, Pak. Sesuatu yang
lebih ..." Dia ragu. "Tidak terduga." Sambil menggosok matanya, Collet mengikuti
agen itu keluar menuju gudang. Ketika mereka memasuki ruangan yang pengap dan
tinggi itu, si agen menunjuk pada pusat ruangan. Disana sekarang tampak ada
tangga kayu yang menanjak tinggi ke kasok, menyandar pada birai loteng jerami
yang tergantung tinggi di atas mereka. "Tangga itu tidak ada di sana tadi," kata
Collet. "Memang tidak, Pak. Aku yang memasangnya. Saat kami sedang memeriksa
sidik jari di dekat Rolls, aku melihat tangga itu tergeletak di lantai. Aku
tidak akan tertarik kalau saja anak tangganya tidak tampak baru terpakai dan
berlumpur. Tangga ini kelihatannya sering dipakai. Ketinggian loteng jerami itu
sesuai dengan panjang tangga ini, jadi kutegakkan dan kupanjati untuk memeriksa
di atas sana." Mata Collet memanjati anak tangga itu sampai ke loteng jerami. Ada orang yang ke
atas sana secara teratur" Dari bawah sini loteng itu tampak seperti landasan
tidak terpakai, namun semua yang ada di sana memang tidak dapat terlihat dari
bawah sini. Seorang agen PTS senior muncul pada puncak anak tangga dan melihat ke bawah.
"Kau pasti ingin melihat ini, Letnan," katanya sambil melambai pada Collet
dengan tangannya yang bersarung tangan karet, mengajak Collet untuk ke atas dan
Manusia Seribu Wajah 1 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Keris Pusaka Sang Megatantra 8
Lebih cepat. Kemudian orang-orang itu melangkah maju dan berlutut. Akhirnya,
seketika itu juga, Sophie dapat melihat apa yang mereka lihat. Di atas altar
rendah berhias di tengah-tengah lingkaran, berbaring seorang lelaki. Dia bugil,
berbaring pada punggungnya dan mengenakan topeng hitam. Sophie langsung
mengenali tubuh lelaki itu dari tanda lahir pada bahunya. Sophie hampir saja
berteriak. Grand-p?re! Apa yang dilihatnya itu sudah membuatnya begitu
terguncang karena tidak percaya, namun masih ada lagi.
Di atas kakeknya, seorang perempuan bugil mengenakan topeng putih mengangkangi
kakeknya. Rambut peraknya tergerai di belakang punggungnya. Tubuhnya gemuk, jauh
dari sempurna dan dia bergerak mengayun tubuhnya seirama dengan nyanyian itu -
bersetubuh dengan kakek Sophie.
Sophie ingin berputar dan lari, tetapi dia tidak bisa. Dinding-dinding ruang
bawah tanah itu memenjarakannya ketika nyanyian itu meninggi hingga terdengar
melengking. Lingkaran orang-orang itu terdengar seperti menyanyi sekarang, dan
suara itu memuncak dengan kresendo menjadi hiruk-pikuk. Dengan sebuah raungan
tiba-tiba, seluruh ruangan itu terasa meledak dalam klimaks. Sophie tidak dapat
bernapas. Dia tiba-tiba sadar telah menangis diamdiam. Dia berputar dan
perlahan-lahan menaiki tangga itu, keluar dari rumah, dan dengan gemetar
mengemudikan mobilnya kembali ke Paris.
75 PESAWAT SEWAAN itu baru saja melewati langit Monaco yang berkerlap kerlip ketika
Aringarosa mengakhiri pembicaraannya dengan Fache untuk kedua kalinya. Dia
meraih kantong mabuk udara lagi, tetapi merasa terlalu kering bahkan untuk
muntah sekalipun. Biarkansajasegalanyaberakhir! Kabar terakhir dari Fache
terdengar tidak dapat dibayangkan, walau semua yang terjadi malam ini memang
hampir tidak masuk akal lagi. Apa yang terjadi" Segalanya berputar liar tak
terkendali. Silas aku libatkan dalam peristiwaapa"Akuterlibatdalamperistiwaapa"
Dengan kaki gemetar, Aringarosa berjalan menuju kokpit. "Aku harus mengubah
tujuan." Pilot itu mengerling melewati bahunya dan tertawa. "Kau bercanda, bukan?"
"Tidak. Aku harus ke London segera." "Bapa, ini pesawat sewaan, bukan taksi."
"Aku akan membayarmu lebih, tentu saja. Berapa" London hanya satu jam
lebih jauh ke utara dan hampir tidak mengubah arah, jadi..." "Bukan masalah uang,
Bapa. Ada masalah lain." "Sepuluh ribu euro. Sekarang juga." Pilot itu menoleh,
matanya terbelalak karena terkejut. "Berapa" Pendeta
apa yang membawa uang tunai sebanyak itu?" Aringarosa berjalan kembali ke
belakang ke tas hitamnya, lalu membukanya, dan mengambil seikat surat
tanggungan. Dia menyerahkannya kepada pilot itu. "Apa ini?" tanya pilot itu.
"Obligasi senilai sepuluh ribu euro, diuangkan di Bank Vatikan." Pilot itu
tampak ragu. "Sama dengan uang tunai." "Hanya tunai yang benar-benar tunai,"
kata pilot itu, sambil menyerahkan
obligasi itu kembali. Aringarosa merasa lemah, sehingga dia harus bersandar pada
pintu kokpit. "Ini menyangkut hidup dan mati. Kau harus menolongku. Aku harus
pergi ke London." Pilot itu menatap cincin emas uskup itu. "Berlian asli?"
Aringarosa menatap cincinnya. "Aku tidak mugkin berpisah dengannya." Pilot itu
menggerakkan bahunya dan kembali memusatkan perhatiannya
pada kaca depan. Aringarosa merasa semakin sedih. Dia menatap cincinnya.
Bagaimanapun, segala yang diwakili cincin itu akan segera hilang dari uskup itu.
Setelah lama terdiam, dia melepaskan cincinnya dari jarinya dan meletakkannya
dengan lembut pada panel instrument pesawat.
Aringarosa pergi dari kokpit dan duduk lagi. Lima belas detik kemudian, dia
dapat merasakan pilot membelokkan pesawatnya beberapa derajat ke utara. Walau
begitu, saat-saat kejayaan Aringarosa sedang dalam badai. Semuanya bermula
sebagai alasan suci. Sebuah rencana yang diatur dengan sangat cerdas. Sekarang,
seperti rumah dari kartu remi, rencana itu mulai runtuh sendiri ... dan akhir dari
segalanya tidak tampak sama sekali.
76 LANGDON DAPAT melihat Sophie masih gemetar karena menceritakan pengalamannya
menyaksikan upacara tercengang mendengarnya. Tidak saja Heiros Gamos. Langdon
sendiri Sophie menyaksikan ritual itu seluruhnya, tetapi juga kakeknya telah
menjadi tokoh upacara ... dinobatkan menjadi Mahaguru Biarawan Sion. Perkumpulan
itu melibatkan orang-orang besar. Da Vinci, Botticelli, Isaac Newton, Victor
Hugo, Jean Cocteau ... JacquesSauni?re.
"Aku tidak tahu apa lagi yang dapat kuceritakan padamu," kata Langdon lembut.
Mata Sophie tampak berwarna hijau tua sekarang, penuh air mata. "Dia
membesarkanku seperti anaknya sendiri."
Langdon sekarang mengenali perasaan itu, yang semakin terlihat dalam mata Sophie
ketika dia berbicara. Sophie menyesali sikapnya. Sangat menyesal. Dia telah
menghindari kakeknya dan sekarang dia melihat kakeknya dari sisi terang yang
betul-betul berbeda. Di luar, fajar mulai menyingsing cepat, aura merah tuanya berkumpul di ufuk.
Bumi di bawah mereka masih tampak hitam.
"Mau makanan, teman-teman?" Teabing bergabung lagi bersama mereka dengan membawa
beberapa kaleng Coke dan sekotak kue kecil. Dia meminta maaf dengan sangat
karena keterbatasan makanan sambil meletakkan makanan dan minuman yang dibawanya
di atas meja. "Teman biarawan kita itu belum mau bicara," katanya, "tetapi beri
dia waktu." Dia menggigit kuenya dan melihat puisi itu lagi. "Jadi, bagaimana
sayangku, sudah ada kemajuan?" katanya sambil menatap Sophie. "Apa yang mau
dikatakan kakekmu kepada kita di sini" Di mana nisan itu" Nisan yang dipuja para
Templar." Sophie menggelengkan kepalanya dan tetap membisu. Ketika Teabing
kembali menekuni bait itu, Langdon membuka sekaleng Coke dan berjalan ke
jendela. Pikirannya terendam dalam bayangan ritual rahasia dan kode-kode yang
belum terpecahkan itu.Sebuahnisanyangdipuja olehparaTemplarmerupakankunci.
Langdon meneguk panjang dari kaleng itu. Sebuahnisanyangdipujaoleh paraTemplar.
Cola itu hangat. Selendang malam mulai menguap dengan cepat, dan ketika Langdon menyaksikan
perubahan itu, dia melihat lautan yang berkilauan terhampar di bawah
mereka.TerusanInggris. Tidak lama lagi mereka tiba di Inggris.
Langdon sebenarnya berharap, terangnya hari akan membawa penerangan pada teka-
teki sajak dan kode-kode itu, tetap semakin terang di luar, dia merasa semakin
jauh dari kebenaran yang mereka cari. Dia mendengar irama sajak yambe lima suku
kata dan nyanyian itu, Hieros Gamos serta ritual suci, yang bergema seiring
dengan derum suara mesin jet. SebuahnisanyangdipujaolehparaTemplar. Pesawat itu
telah berada di atas daratan lagi ketika secercah cahaya menerpanya. Langdon
meletakkan kaleng Coke kosongnya. "Kau tidak akan mempercayai ini," katanya,
sambil menoleh kepada teman-temannya. "Nisan Templar - aku sudah memecahkannya."
Mata Teabing beralih ke piring-piring kecil di atas meja. "Kautahu di mana nisan
itu?" Langdon tersenyum. "Bukandimana, tetapiapa nisan itu." Sophie
mencondongkan tubuhnya untuk m?ndengarkan. "Kupikir kata headstone (nisan) di
situ mengacu kepada kata stone head (kepalabatu)," jelas Langdon, dengan
menikmati semangat akademikus yang biasa dirasakannya ketika berhasil memecahkan
persoalan. "Bukan batu penanda makam." "Kepala batu?" tanya Teabing. Sophie juga
tampak bingung. "Leigh," kata Langdon, sambil menoleh, "selama Inkuisi, Gereja
menuduh Templar untuk segala jenis klenik, bukan?" "Betul. Gereja membuat berbagai
tuntutan. Sodomi, mengencingi salib,
memuja setan. Daftarnya panjang." "Dan dalam daftar itu ada pemujaan pada dewa-
dewa palsu, bukan" Terutama, Gereja menuduh Templar diam-diam melakukan ritual
pemujaan pada kepala batu berukir ... dewa pagan - "
"Baphomet!" Teabing berseru. "Ya ampun, Robert, kau benar! Sebu?h batu yang
dipuja oleh para Templar!"
Dengan cepat Langdon menjelaskan kepada Sophie bahwa Baphomet merupakan dewa
kesuburan kaum pagan yang memiliki kekuatan penciptaan reproduksi. Kepala
Baphomet berbentuk seperti kepala biri-biri jantan atau kambing, simbol yang
umum dari ayah dan kesuburan. Para Templar memuja Baphomet dengan cara mengitari
sebuah batu replika dari kepalanya dan menyanyi.
"Baphomet," ujar Teabing. "Upacara itu memuja keajaiban penciptaan dan penyatuan
seksual, tetapi Paus Clement meyakinkan semua orang bahwa sebenarnya kepala
Baphomet adalah kepala iblis. Paus menggunakan kepala Baphomet sebagai tuduhan
tambahan dalam kasusnya melawan Templar. Langdon setuju. Kepercayaan modern akan
iblis bertanduk yang dikenal sebagaiSatan dapat dilacak kembali ke Baphomet dan
ke upaya Gereja untuk menuduh dewa kesuburan bertanduk itu sebagai simbol
kejahatan. Gereja jelas berhasil, meskipun tidak seratus persen. Pada meja-meja
orang Amerika saat memperingati han Thanksgiving masih sering terlihat simbol
pagan berupa patung bertanduk simbol kesuburan itu. Cornucopia atau "banyak
tanduk" merupakan sebuah atribut bagi kesuburan Baphomet dan sudah ada sejak
zaman Zeus, ketika ia disusui oleh seekor kambing yang tanduknya patah dan
kemudian keluarlah buah-buahan dari dalam tanduk tersebut. Baphomet juga muncul
dalam kelompok fotografi ketika beberapa badut mengacungkan dua jari dibelakang
kepala temannya, dalam bentuk simbol-tanduk V; tentu saja hanya sedikit dari
orang yang suka berolok-olok itu yang menyadari bahwa lelucon mereka
sesungguhnya menunjukkan kekuatan sperma musuh mereka.
"Ya, ya," kata Teabing dengan bersemangat. "Baphomet pastilah apa yang
dimaksudkan dalam puisi itu. Sebuah kepala dari batu yang dipuja para Templar.'
"Baik," kata Sophie, "tetapi jika Baphomet adalah kepala dari batu yang dipuja
para Templar, kita sekarang punya dilemma baru." Sophie lalu menunjuk pada
lempengan-lempengan di cryptex itu. "Baphomet terdiri atas delapan huruf. Kita
hanya punya tempat untuk lima huruf saja."
Teabing tersenyum lebar. "Sayangku, di sinilah sandi Atbash mulai bermain."
77 LANGDON TERPESONA. Teabing baru saja menulis ke-22 alfabet Yahudi - alefbeit - -
berdasarkan hafalannya. Walau Teabing tidak menulisnya dalam huruf Hebrew,
melainkan huruf Romawi yang ekuivalen, bangsawan Inggris itu sekarang dapat
membacanya dengan pengucapan yang sempurna.
A B G D H V Z Ch T Y K L M N S O P Tx Q R Sh Th
"Alef, Beit, Gimel, Dalet, Hei, Vav, Zayin, Chet, Tet, Yud, Kaf, Lamed, Mem,
Nun, Samech, Ayin, Pei, Tzadik, Kuf, Reish, Shin dan Tav." Teabing mengusap
alisnya dan melanjutkan. "Dalam ejaan Yahudi yang resmi, suara vokal tidak
ditulis. Karena itu, ketika kita menulis kata Baphomet dengan menggunakan
alfabet Yahudi, kata ini akan kehilangan tiga huruf vokal dalam terjemahannya,
sehingga kita hanya punya - " "Lima huruf" seru Sophie. Teabing mengangguk dan
mulai menulis lagi. "Baik, yang ini adalah ejaan Baphomet yang tepat dalam huruf
Hebrew. Aku akan tandai vokal yang hilang supaya jelas. B a P V o M e Th "Tentu
saja harus diingat," Teabing menambahkan, "bahasa Yahudi ditulis dari arah yang
berlawanan, tetapi kita dapat dengan mudah menggunakan Atbash dengan cara ini.
Kemudian, yang harus kita lakukan hanyalah membuat pola pengganti dengan menulis
kembali seluruh alfabet dengan susunan yang berlawanan dengan aslinya."
"Ada cara yang lebih mudah," kata Sophie, sambil mengambil p?na dari tangan
Teabing. "ini berlaku untuk semua sandi pengganti terbalik, termasuk Atbash.
Muslihat kecil yang kupelajari dari Royal Holiway." Lalu Sophie menulis paruh
pertama dari alfabet itu dari kiri ke kanan, kemudian dia menulis, di bawahnya,
paruh kedua dari kanan ke kiri.
A B G D H V Z Ch T Y K Th Sh R Q Tz P O S N M L Teabing menatap hasil tulisan Sophie dan tertawa. "Kau benar. Aku senang
melihat anak-anak di Hollway bekerja dengan baik." Langdon melihat matriks
buatan Sophie dan merasa makin gembira. Dia membayangkan bagaimana kegembiraan
para ilmuwan ketika mereka untuk pertama kalinya menggunakan sandi Atbash untuk
memecahkan Mystery of Sheshach yang sekarang terkenal itu. Selama bertahun-
tahun, ilmuwan yang religius dipusingkan dengan sebuah kota yang dirujuk dalam
kitab suci yang bernama Sheshach. Kota itu tidak ada dalam peta, juga tidak pada
dokumendokumen yang lain, namun namaya disebutkan berulang-ulang dalam Kitab
Yeremia - Raja Sheshach, kota Sheshach, rakyat Sheshach. Akhirnya, seorang ilmuwan
mengusulkan untuk menggunakan Sandi Atbash. Hasilnya betul-betul mempesonakan.
Sandi itu mengungkapkan bahwa Sheshach adalah sebenarnya sebuahkatakode untuk
kota lain yang sangat terkenal. Proses pemecahan kode itu mudah saja. Sheshach,
dalam bahasa Yahudi, dieja: Sh-Sh-K. Sh-Sh-K, ketika ditempatkan dalam matriks
pengganti, menjadi B-B-L. Dalam bahasa Yahudi, B-B-L dibacaBabel. Kota misterius
Sheshach telah terungkap sebagai kota Babel, dan terjadilah hiruk-pikuk
penelitian kitab suci. Dalam beberapa minggu, kode-kode Atbash yang lain lagi
ditemukan dalam kitab Perjanjian Lama, membuka banyak sekali arti tersembunyi
yang pada awalnya tidak diketahui oleh para ilmuwan.
"Kita semakin dekat," semangatnya.
"Sabar, Robert," kata tersenyum. "Kau siap?" Sophie mengangguk. bisik Langdon,
tak mampu mengendalikan Teabing. Dia mengerling pada Sophie dan
"Baik. Baphomet dalam tulisan Yahudi tanpa huruf vokal dibaca B-P-VM-Th.
Sekarang kita hanya menggunakan matriks pengganti Atbash-mu tadi untuk
menerjemahkan huruf-huruf pengganti itu menjadipassword lima huruf kita."
Jantung Langdon berdebar kuat. B-P-V-M-Th. Matahari menebarkan cahayanya
melewati jendela-jendela sekarang. Dia melihat matriks pengganti Sophie dan
perlahan mulai membuat pertukaran itu. B menjadi Sh ... P menjadi V...
Teabing tersenyum seperti seorang anak sekolah pada malam Natal. "Dan Sandi
Atbash itu membuka ...." Dia berhenti tiba-tiba. "Ya Tuhan!" Wajahnya menjadi
pucat. Kepala Landon tersentak. "Ada apa?" usut Sophie. "Kau tidak akan
mempercayai ini." Teabing mengerling pada Sophie
"Terutama kau." "Apa maksudmu?" tanya Sophie. "Ini adalah ... sangat cerdik,"
Teabing berbisik. "Luar biasa cerdik. Lalu Teabing menulis lagi di atas kertas.
"Sophie, ini kata kuncimu." Kemudian Teabing memperlihatkan apa yang baru saja
ditulisnya. Sh-V-P-Y-A Sophie memberengut. "Apa ini?" Langdon juga tidak dapat rnengenalinya. Suara
Teabing terdengar bergetar karena terpesona. "Teman-teman, ini
benar-benar sebuah kata bijaksana kuno." Langdon membaca huruf-huruf itu lagi.
Sebuah kata bijaksana kuno membebaskan gulungan ini. Tak berapa lama kemudian
dia mengerti. Dia tidak pernah menduga akan seperti ini. "Sebuah kata bijaksana
kuno!" Teabing tertawa. "Sangat harfiah!" Sophie melihat kata itu, kemudian
lempengan itu. Dia langsung menyadari bahwa Teabing dan Langdon telah lengah dan
tidak melihat kesalahan yang serius. "Tunggu dulu! Ini tidak mungkin merupakan
kata kunci," Sophie membantah. "Cryptex ini tidak punya huruf Sh pada
lempengannya. Cryptex ini menggunakan alfabet Romawi kuno biasa."
"Baca kata-kata itu," Langdon membantah. "Ingat dua hal. Dalam bahasa Yahudi,
simbol untuk suara Sh dapat juga diucapkan sebagai S, tergantung pada aksennya.
Sama dengan huruf P yang dapat diucapkan F." SVFYA" Pikir Sophie, bingung.
"Jenius!" tambah Teabing. "Huruf Vav sering merupakan pengganti vokal
0!" Sophie melihat lagi huruf-huruf itu untuk menyuarakannya. "S...o...f...y...
a." Dia mendengar suaranya sendiri, dan dia tidak dapat mempercayai apa
yang didengarnya. "Sophia" Tulisan itu dibaca Sophia?" Langdon mengangguk
antusias. "Ya. Sophia betul-betul berarti bijaksana dalam bahasa Yunani. Akar
kata dari namamu, Sophie, betul-betul sebuah 'kata bijaksana'."
Tiba-tiba Sophie merasa begitu merindukan kakeknya. Dia mengukir/menyandikan
batu kunci Biarawan dengan namaku. Tenggorokannya terasa tercekat. Semuanya
terdengar terlalu sernpurna. Tetapi ketika dia melihat lagi lempengan-lempengan
lima huruf nada cryptex itu, dia tahu masih ada masalah. "Tetapi tunggu dulu...
kata Sophie memiliki enam huruf."
Senyum Teabing tidak pernah pudar. "Lihat puisi itu lagi. Kakekmu menulis,
'sebuah kata bijaksana kuno'." "Lalu?" Teabing rnengedipkan matanya. "Dalam
bahasa Yunani kuno, bijaksana dieja S-0-F-I-A." SOPHIE MERASA sangat gembira
ketika menimang cryptex itu lalu mulai memutar huruf-huruf
itu.Sebuahkatabijaksanakunomembebaskangulungan kertasini.
Langdon dan Teabing tampak berhenti bernapas ketika melihat Sophie memutar
cryptex itu. S...O...F... "Hati-hati," kata Teabing. "Bahkan sangat hati-
hati." ...I...A. Sophie menyejajarkan putaran terakhirnya. "Baik," dia berbisik,
sambil menatap yang lainnya. "Aku akan menariknya sampai terpisah." "Ingat cairan cuka
itu," bisik Langdon dengan napas takut. "Hati-hati." Sophie tahu jika cryptex
ini seperti cryptex-ciyptex yang pernah dia buka ketika masih kecil, yang harus
dia lakukan adalah memegang silinder itu pada kedua ujungnya, persis di luar
lempengan-lempengan itu, lalu menarik dengan hati-hati ke arah yang berlawanan.
Jika lempengan-lempengan itu sudah lurus benar membentuk kata kunci, maka salah
satu ujung silinder akan terlepas, persis seperti tutup kamera, dan Sophie dapat
merogoh ke dalam lalu menarik dokumen begulungan kertas papirus yang dibungkus
lagi dalam botol kecil berisi cairan cuka. Namun, bila kata kunci yang mereka
masukkantidakbenar, usaha Sophie dari luar pada kedua ujung silinder itu akan
dialihkan ke sebuah tuas yang tergantung di dalam, yang akan berputar ke bawah
ke rongga silinder dan menekan botol kaca kecil itu, yang akhirnya akan
membuatnya pecah jika Sophie menarik terlalu kuat. Tarikdenganlembut, kata
Sophie pada dirinya sendiri. Teabing dan Langdon mencondongkan tubuh mereka
ketika Sophie mulai memegang kedua ujung silinder itu. Saat mereka tadi begitu
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersemangat memecahkan kata kunci, Sophie hampir lupa apa yang mereka duga akan
ditemukan di dalamcryptex itu.InibatukunciBiarawan. Menurut Teabing, ini berisi
sebuah peta ke Holy Grail, yang mengungkap makam Maria Magdalena dan harta benda
Sangreal ... harta puncak rahasia kebenaran.
Sambil memegang kuat tuba batu itu, Sophie memeriksa ulang apakah huruf-huruf
itu sudah sejajar tepat dengan petunjuknya. Lalu, perlahan, dia menariknya.
Tidak ada yang terjadi. Sophie menambah sedikit tenaga. Tibatiba batu itu
bergerak terpisah seperti teleskop yang dibuat dengan sangat baik. Ujung yang
berat tertahan dalam tangannya. Langdon dan Teabing hampir terloncat dari
duduknya. Detak jantung Sophie bertambah cepat ketika dia meletakkan bagian
ujung itu di atas meja dan mengangkat silinder itu ke atas untuk mengintip ke
dalam silinder. Sebuabgulungan! Ketika mengintip ke dalam untuk melihat kertas yang tergulung,
Sophie melihat kertas itu membungkus sebuah benda seperti silinder---botol kaca
berisi cuka, dia menduga. Anehnya, kertas yang mengitari cairan cuka itu
bukanlah kertas papyrus yang biasa, namun lebih seperti lembar kulit binatang.
Ini aneh, pikir Sophie, cuka tidak dapat menghancurkan gulungan teks dari kulit
domba. Dia melihat ke dalam lagi, ke gulungan itu, dan sadar bahwa benda di
dalamnya sama sekali bukan botol kaca berisi cuka. Itu benda yang sepenuhnya
lain. "Ada apa?" tanya Teabing. "Tarik keluar gulungan kertas itu." Sambil
mengerutkan dahinya, Sophie merogoh gulungan kulit binatang itu dan benda yang
dibungkusnya. Dia menarik keduanya keluar dari silinder pualam itu. "Itu bukan
papirus," kata Teabing. "Terlalu berat." "Aku tahu. Ini sebuah lapisan." "Untuk
apa" Melapisi botol kaca berisi cuka?" "Bukan," Sophie membuka gulungan itu dan
mengeluarkan apa yang terbungkus di dalamnya. "Untukini." Ketika Langdon melihat
benda di dalam gulungan kulit itu, hatinya
kecewa. "Tuhan tolong kami," kata Teabing, sambil melorot dalam kursinya.
"Kakekmu betul-betul seorang arsitek yang tak punya belas kasihan." Langdon
menatap dengan kagum.KulihatSauni?retidakpunyaniatuntuk
mempermudahini. Di atas meja kini terletak cryptex kedua. Lebih kecil. Terbuat
dari batu akik hitam. Ia tadi tersimpan di dalam cryptex pertama. Kecintaan
Sauni?re terhadap dualisme. Dua cryptex. Segalanya berpasangan. Makna ganda.
Lelakiperempuan.Hitamberadadidalamputih. Langdon merasa gelombang simbolisme
terentang di depannya.Putihmelahirkanhitam. Setiaplelakikeluardari perempuan.
Putih - perempuan. Hitam - lelaki. Langdon mengulurkan tangannya, meraih cryptex
yang lebih kecil. Tampak sama dengan yang pertama, kecuali ukurannya hanya
separuhnya dan berwarna hitam. Dia mendengar gemericik yang biasa dari dalamnya.
Tampaknya, botol berisi cairan cuka yang mereka dengar sebelumnya berasal dari
dalam cryptex yanglebih kecil ini.
"Nah, Robert," kata Teabing, sambil menggeser lembaran kulit hewan menjauh
darinya. "Kau akan senang mendengar, paling tidak kita terbang ke arah yang
benar." Langdon memeriksa lembaran kulit tebal itu. Di atas tertulis dengan tulisan
tangan indah, sajak empat baris yang lain lagi. Juga, yambe bersuku lima. Sajak
itu tidak jelas maknanya, namun Langdon hanya perlu membaca baris pertamanya
untuk tahu bahwa rencana Teabing untuk terbang ke London akan ada hasilnya. IN
LONDON LIES A KNIGHT A POPE INTERRED
(DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan) Sisa baris-baris
berikutnya dengan jelas menyatakan bahwa kata kunci untuk membuka cryptex kedua
dapat ditemukan setelah menemukan makam kesatria tersebut, di suatu daerah di
kota itu. Langdon menoleh dengan bersemangat pada Teabing. "Kau tahu kesatria apa yang
dimaksudkan puisi ini?"
Teabing tersenyum. "Sama sekali tidak. Tetapi aku tahu pasti, dalam sandi yang
mana kita harus mencarinya." Pada saat yang sama, lima belas mil di depan
mereka, enam mobil polisi Kent melintas di jalan yang basah karena hujan, menuju
ke lapangan udara eksekutif Biggin HiII.
79 LETNAN Collet mengambil sendiri minuman Perrier dari lemari pendingin Teabing,
dan berjalan kembali ke ruang duduk. Dia tidak menemani Fache ke London, tempat
akan terjadinya penangkapan itu. Dia sekarang menjaga tim PTS yang sedang
berpencar di Puri Villette.
Sejauh ini, bukti-bukti yang telah mereka temukan tidak terlalu berguna: sebutir
peluru terbenam di dalam lantai, secarik kertas dengan beberapa simbol tercorat-
coret diatasnya bersama dengan kata-kata blade (mata pisau) dan chalice (caw?n);
tali kulit berduri, yang menurut keterangan petugas PTS kepada Collet, ada
hubungannya dengan kelompok katolik konservatif, Opus Dei, yang baru-baru ini
telah menjadi berita karena praktik perekrutan anggotanya yang kejam.
Collet mendesah. Selamat merangkai semua bukti yang tampak tak ada
hubungannyaini.Collet. Menuruni gang yang lebar, Collet memasuki ruang kerja seluas ruang dansa.
Disana, ketua penyelidikan PTS sedang sibuk menyapu-nyapu sidik jari. Dia
bertubuh gemuk dan mengenakan tali bahu untuk menahan celaananya. "Ada yang
kautemukan?" tanya Collet sambil rnemasuki ruangan. "Penyelidik itu
menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang baru. Ada beberapa bukti yang dapat
dihubungkan dengan yang telah ditemukan di tempat lain di rumah ini." "Bagaimana
dengan sidik jari dicilice?" "Interpol masih berusaha mengenalinya. Aku sudah
mengirimkan semua yang kita temukan." Collet menunjuk pada dua kantong bukti yang tersegel di atas
meja. "Dan ini?"
Lelaki gemuk itu menggerakkan bahunya. "Aku mengemas segala bukti yang aneh."
Collet berjalan.Buktianeh" "Orang Inggris ini memang aneh," kata penyelidik itu.
"Coba lihat ini." Lalu dia mengayak kantong-kantong barang bukti itu dan memilih
satu, kemudian menyerahkannya kepada Collet.
Foto itu memperlihatkan pintu utama katedral Gothic - pintu masuk tradisional,
dengan bagian atas yang melengkung, menyempit melalui lapisanlapisan menyerupai
tulang iga menuju ke ambang pintu kecil. Collet mempelajari foto itu dan menoleh
lagi pada lelaki itu. "Ini aneh?" "Baliklah." Pada bagian belakang, Collet
melihat catatan yang dicorat-coret dalam bahasa Inggris, yang menggambarkan
sebuah bagian tengah katedral yang panjang dan dalam sebagai penghormatan
rahasia pagan kepada rahim perempuan. Ini memang aneh. Tetapi, catatan yang
menggambarkan ambang pintu katedral-lah yang membuat Collet terperangah. "Tunggu
dulu! Dia berpendapat bahwa pintu masuk sebuah katedral sama dengan ... itunya
perempuan?" Penyelidik itu mengangguk. "Lengkap dengan daerah labial dan klitoris lima
kelopak yang kecil dan manis di atas ambang pintu." Dia mendesah. "Itu akan
membuatmu rajin datang ke gereja."
Collet mengambil kantong bukti kedua. Dari plastiknya dia dapat melihat selembar
foto besar dan mengilap, sebuah dokumen tua. Judu! yang tertera di atasnya
bertuliskan dalam bahasa Prancis. LesDossiersSecrets - Nomor4?Im? 249 "Apa ini?"
tanya Collet. "Tidak tahu. Salinannya ada di mana-mana, jadi kukantongi saja."
Collet mempelajari dokumen itu.
BIARAWAN SION---PARA MAHAGURU
JEAN DE GISSORS 1188-1220
MARIE DE SAINT-CLAIR 1220-1226
GUILLAMO DE GISSORS 1226-1307
EDOURARD DE BAR 1307-1336
JEANNE DE BAR 1336-1351 JEAN DE SAINT-CLAIR 1351-1366
BLANCE D'EVREUX 1366-1398
NICOLAS FLAMEL 1398-1418 RENE D'ANJOU 1418-1480 IOLANDE DE BAR 1480-1483 SANDRO BOTTICELLI 1483-1510
LEONARDO DA VINCI 1510-1519
CONNETABLE DE BOURBON 1519-1527
FERDINAND DE GONSAQUE 1527-1575
LOUS DE NEVERS 1575-1595 ROBERT FLUDD 1595-1637 J. VALENTINE ANDREA 1637-1654
ROBERT BOYLE 1654-1691 ISAAC NEWTON 1691-1727 CHARLES RADCLYFFE 1727-1746
CHARLES DE LORRAINE 1746-1780
MAXIMILIAN DE LORRAINE 1780-1801
CHARLES NODIER 1801-1844 VICTOR HUGO 1844-1885 CLAUDE DEBUSSY 1885-1918 JEAN COCTEAU 1918-1963 Biarawan Sion" Collet bertanya-tanya. "Letnan?" seorang agen lain menjulurkan
kepalanya kedalam ruangan itu. "Operator menerima telepon penting untuk Kapten
fache, tetapi mereka tidak dapat menghubunginya. Anda mau menjawabnya?" Collet
pergi ke dapur dan menjawab telepon itu. Dari Andr? Vernet. Aksen halus bankir
itu menutupi ketegangan suaranya. "Saya pikir Kapten Fache akan menelepon saya,
tetapi sampai sekarang saya belum mendengar apa-apa dari dia." "Kapten sangat
sibuk," jawab Collet. "Mungkin bisa saya bantu?" "Aku yakin ini dapat membantu
Anda malam ini." Untuk sesaat, Collet berpikir dia mengenali warna suara lelaki
ini, tetapi dia tidak dapat mengingat di mana dia mendengarnya. "Monsieur
Vernet, aku sekarang mengepalai penyelidikan di Paris ini. Nama saya Letnan
Collet." Lelaki di seberang terdiam lama. "Letnan, aku ada telepon lain yang masuk.
Maafkan saya. Saya akan menelepon Anda sebentar lagi." Lalu dia menutup
teleponnya. Untuk beberapa detik, Collet masih memegangi telepon itu. Lalu ada yang muncul
dalam benaknya. Aku tahu, aku mengenali suara itu! Ingatan itu membuatnya
tergagap. Pengemudi mobillapisbaja. DenganjamtanganRolexpalsu. Sekarang Collet
mengerti mengapa bankir itu cepat menutup teleponnya. Vernet telah ingat juga
nama Letnan Collet - petugas yang ditipunya mentahmentah tadi.
Collet merenungkan kesimpulan dari perkembangan yang aneh itu. Vernet terlibat.
Secara naluriah, dia tahu harus menelepon Fache. Namun dia merasa bahwa
peristiwa menguntungkan ini akan menjadi kesempatannya untuk tampil.
Dia segera menelepon interpol dan menanyakan informasi sekecil apa pun yang
dapat mereka temukan tentang Bank Penyimpanan Zurich dan presidennya, Andr?
Vernet. 80 "HARAP MENGENAKAN sabuk pengaman Anda," kata pilot ketika pesawat Teabing,
Hawker 731 mulai turun memasuki udara pagi yang muram dan gerimis. "Kita akan
mendarat lima menit lagi."
Teabing merasa gembira pulang ke rumahnya ketika dia melihat perbukitan Kent
yang diselimuti kabut yang terentang lebar di bawah pesawat yang sedang menurun
itu. Lama penerbangan ke Inggris dari Paris kurang dari satu jam, namun rasanya
seperti perjalanan keliling dunia. Pagi ini, musim semi yang hijau dan lembab di
tanah airnya tampak sangat ramah menyambut.
WaktukudiPrancistelahselesai.AkukembalikeInggrisdengankemenangan. Batu kunci itu
telah ditemukan. Pertanyaan besar tentu saja masih tersisa, seperti ke mana batu
kunci itu akhirnya akan membawa mereka. Di suatu tempat di Inggris Raya ini. Di
mana tepatnya, Teabing tidak tahu, tetapi dia sudah mencecap kejayaan itu.
Ketika Langdon dan Sophie saling menatap, Teabing berdiri dan berjalan ke sisi
lain di kabin itu, lalu mendorong ke samping sebuah panel dinding yang membuka
sebuah tempat penyimpanan rahasia. Dia memutar nomor kombinasinya, membuka kotak
penyimpanan itu, dan mengeluarkan dua paspor. "Dokumen perjalanan untuk aku dan
R?my." Kemudian dia membuka sebuah tumpukan tebal berupa uang kertas lima puluh-
an poundsterling. "Dan dokumentasi untuk kalian berdua juga" "Suapan?"
"Diplomasi kreatif. Lapangan terbang eksekutif menagih biaya tertentu. Petugas
bea cukai Inggris akan menyapa kita di hangar dan meminta izin untuk naik ke
pesawat. Daripada mengizinkan dia naik, aku akan mengaku datang dengan seorang
wanita selebriti Prancis yang lebih suka tidak dikenali orang ketika dia di
Inggris - pertimbangan pers, kautahu - lalu aku akan menawarinya tip yang banyak ini
sebagai tanda terima kasih atas kebijaksanaannya." Langdon tampak kagum. "Dan
petugas itu akan menerimanya?" "Tidak dari semua orang, tetapi orang-orang di
sini sudah mengenalku. Aku bukan pedagang senjata, demi Tuhan. Aku seorang
kesatria." Teabing tersenyum. "Keanggotaan selalu punya keuntungan."
R?my muncul dan berjalan di gang antara kursi. Pistol Heckler Koch terayun-ayun
pada tangannya. "Pak, apa yang harus saya lakukan?"
Teabing menatap pelayannya. "Kau tinggal saja di pesawat bersama tamu kita itu
sampai kami kembali. Kita tidak dapat berjalan-jalan di London sambil menyeret
orang itu." Sophie tampak waspada. "Leigh, saat. kubilang bahwa polisi Prancis akan
menemukan pesawatmu sebelum kita mendarat, aku bersungguh-sungguh."
Teabing tertawa. "Ya, bayangkan betapa terkejutnya mereka ketika mereka naik ke
sini dan menemukan R?my."
Sophie tampak heran dengan sikap congkak Teabing. "Leigh, kau membawa sandera
terlarang menyeberangi batas internasional. Ini serius."
"Begitu juga para pengacaraku." Dia cemberut ke arah biarawan yang tergolek di
bagian belakang pesawat. "Binatang itu masuk ke rumahku dan hampir membunuhku.
Itu kenyataannya, dan R?my akan menguatkannya."
"Tetapi kau mengikatnya dan menerbangkannya ke London!" kata Langdon.
Teabing mengangkat tangan kanannya dan beraksi seolah-olah sedang bersumpah di
sebuah ruang persidangan dan bersumpah. "Yang Mulia, maafkan seorang kesatria
tua yang aneh ini karena prasangkanya yang bodoh tentang sistem pengadilan
Inggris. Saya sadar seharusnya saya menelepon polisi Prancis, tetapi saya
terlalu sombong dan tidak memercayai sikap polisi Prancis yang santai untuk
melaksanakan tugas dengan benar. Orang ini hampir membunuh saya. Ya, saya
membuat keputusan dengan terburu-buru dengan memaksa pelayan saya untuk membantu
saya membawa orang itu ke Inggris, tetapi saya sedang tertekan
sekali.Meaculpa.Meaculpa. Keteledoran saya."
"Pak?" pilot itu memanggil kembaii. "Menara pengawas baru saja mengabari. Mereka
ada masalah sedikit dengan perbaikan di dekat hangar Anda, dan mereka memintaku
untuk membawa pesawat langsung ke terminal."
Teabing telah terbang ke Biggin Hill selama sepuluh tahun lebih dan ini pertama
kalinya dia mendapatkan masalah perbaikan. "Mereka mengatakan masalah apa?"
"Pengawas itu tidak terlalu jelas. Semacam kebocoran bahan bakar dari stasiun
pompa" Mereka meminta saya untuk memarkir Pesawat di depan terminal dan tidak
mengizinkan penumpang untuk turun hingga pemberitahuan lebih lanjut. Untuk
keamanan. Kita tidak boleh turun dari pesawat hingga semua jelas dan pewenang
lapangan udara ini."
Teabing menjadi curiga. Kebocoran bahan bakar dari stasiun pompa. Stasiun pompa
terletak setengah mil dari hanggarnya.
Remy juga tampak memikirkannya. "Pak, ini terdengar tidak seperti biasanya."
Teabing menoleh kepada Sophie dan Langdon. "Teman-temanku, aku agak mencurigai
sesuatu yang tidak enak. Kita agaknya akan disongsong oleh sebuah panitia
penyambutan." Langdon mendesah perlahan. "Kukira Fache masih menganggap aku buronannya."
"Harus itu," kata Sophie, "atau dia terlanjur mendakwa dengan serius sehingga
tidak dapat mengakui kesalahannya."
Teabing tidak mendengarkan mereka. Tanpa menghiraukan apa yang dipikirkan oleh
Fache, dia harus bertindak cepat. Jangan sampai kehilangan arah ke tujuan utama.
Grail sudah sangat dekat. Roda pendaratan turun dengan mengeluarkan suara
berdentum. "Leigh," kata Langdon dengan suara sangat menyesal, "Aku harus menyerahkan diri
dan menyelesaikan ini secara hukum, kau tidak boleh terlibat."
"Ya, ampun, Robert!" Teabing menggelengkan tangannya. "Kaupikir mereka akan
membiarkan yang lainnya pergi begitu saja" Aku baru saja membawa kalian secara
tidak sah. Nona Neveu menolongmu lari dari Louvre, dan kita membawa seorang yang
terikat di bagian belakang pesawat. Sekarang, kita semua terlibat dalam kasus
ini." "Mungkin kita bisa mendarat di lapangan udara lainnya?" tanya Sophie.
Teabing menggelengkan kepalanya. "Jika kita terbang lagi, begitu mereka
tahu kita ke mana, mereka akan menyambut dengan tank tentara." Sophie melorot
dalam duduknya. Teabing merasa bahwa jika mereka harus menunda berkonflik dengan
polisi Inggris sampai cukup lama hingga mereka menemukan Grail, maka tindakan
berani harus diambil. "Beri aku waktu sebentar," katanya sambil terpincang-
pincang menuju kokpit. "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Langdon. "Rapat
penjualan," kata Teabing, sambil bertanya-tanya berapa dia harus membayar untuk
membujuk pilot itu supaya mau melakukan manufer yang sangat tidak biasa.
81 PESAWAT HAWKER siap mendarat.
Simon Edwards - Petugas Pelayanan Eksekutif di lapangan udara Biggin Hill -
melangkah bolak-balik di menara pengawas, menoleh gugup ke landasan pacu yang
basah oleh hujan. Simon tidak pernah senang dibangunkan di pagi buta di hari
Sabtu, namun ini lebih menjengkelkan karena dia dibangunkan untuk mengawasi
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penangkapan salah satu kliennya yang paling menguntungkan. Sir Leigh Teabing
membayar Biggin Hill tidak saja untuk sebuah hanggar pribadi, tetapi juga "biaya
setiap kali pendaratan" bagi keberangkatan dan kedarangannya yang sering terjadi
itu. Biasanya, lapangan udara itu mendapatkan pemberitahuan sebelumnya tentang
jadwal Leigh dan dapat menerapkan protokol yang benar bagi kedatangannya.
Teabing menyenangi hal apa adanya. Sebuah limusin Jaguar panjang yang dibuat
menurut pesanan menunggu di hanggar pribadi itu. Simon menjaganya supaya tangki
bensinnya selalu penuh, bodinya mengilap, dan majalah terbaru Time selalu
tersedia di bangku belakang. Seorang petugas bea cukai menunggu di hanggar, siap
memeriksa dokumen-dokumen wajib dan barang bawaan. Kadang-kadang petugas bea
cukai menerima persenan yang besar dari Teabing atas tutup matanya dari barang
bawaan terlarang tapi tak berbahaya - biasanya makanan mewah. Bagaimanapun, banyak
peraturan bea cukai yang aneh, dan jika Biggin Hill tidak menampung keinginan
pelanggannya, lapangan udara pesaing mereka tentu akan menampungnya. Teabing
mendapatkan apa yang dibutuhkannya di Biggin Hill, dan para pegawainya menuai
keuntungan. Syaraf Edward terasa seperti tercabik ketika dia melihat jet itu muncul. Dia
bertanya-tanya, apakah kegemaran Teabing menyeb?rkan kekayaannya telah
membuatnya mendapat kesulitan; polisi Prancis tampak sangat serius untuk menahan
pelanggannya ini. Edward belum diberi tahu apa kesalahan klien Inggrisnya itu,
namun mereka jelas sangat serius. Atas permintaan Prancis, kepolisian Kent telah
memerintahkan menara pengawas Biggin Hill untuk meminta pilot langsung
menghentikan pesawatnya di depan terminal, bukan di hanggar pribadi kliennya.
Pilot itu telah setuju, tampaknya karena dia percaya akan cerita tentang
tumpahan minyak di dekat hanggar pribadi itu.
Walau polisi Inggris umumnya tidak membawa senjata, keadaan ini ternyata telah
membuat sebuah tim bersenjata bersiaga di sana. Sekarang, delapan orang polisi
berpistol berdiri di depan gedung terminal, menunggu saat pesawat menghentikan
mesinnya. Begitu mesin mati, petugas landasan pacu akan meletakkan pengganjal di
bawah roda pesawat sehingga pesawat itu tidak dapat bergerak lagi. Lalu polisi
akan muncul dan menahan para penumpang untuk tidak turun dari pesawat sampai
polisi Prancis tiba dan menangani masalah ini.
Hawker itu sekarang sudah semakin rendah, tampak hampir menyentuh ujung-ujung
pepohonan di sebelah kanan mereka. Simon Edwards turun ke bawah untuk melihat
pendaratan itu dari landasan pacu. Polisi Kent tenang, tidak mencolok, dan
petugas landasan sudah siap dengan pengganjal ban. Jauh di ujung landasan
menyentuh landasan pacu, hidung Hawker sehingga menimbulkan mendongak, dan
gumpalan asap. ban-bannya Pesawat itu bersiap mengurangi kecepatan, bergeser
dari kanan ke kiri di depan terminal. Badannya yang putih tampak berkilau di
udara basah. Tetapi bukannya berhenti dan berbelok ke terminal, jet itu meluncur
dengan tenang melewati jalan masuk dan melanjutkan ke arah hanggar pribadi
Teabing di kejauhan. Semua polisi berputar dan menatap Edwards. "Kupikir kau tadi bilang bahwa pilot
itu setuju untuk berhenti di terminal!" Edward bingung. "Dia memang setuju!"
Beberapa detik kemudian, Edwards sudah berada di dalam mobil polisi dan meluncur
melintasi landasan pacu ke hanggar pribadi Teabing yang jauh dari situ. Ketika
konvoi polisi itu masih berjarak lima ratus yard dari hangar, Hawker Teabing
berjalan perlahan memasuki hanggar pribadinya dan tak terlihat lagi. Ketika
mobil-mobil polisi itu akhirnya tiba dan mengerem keras di luar pintu hanggar,
polisi menghambur keluar dengan senjata terhunus. Edwards juga meloncat keluar.
Suara ribut di dalam memekakkan telinga. Mesin Hawker masih menderum ketika jet
itu selesai berputar seperti biasa di dalam hanggar, menempatkan hidungnya
terarah ke depan sebagai persiapan penerbangan selanjutnya. Ketika pesawat itu
telah betul-betul berputar 180 derajat dan menghad.ap ke arah depan hanggar,
Edwards dapat melihat wajah sang pilot, yang tentu saja tampak bingung dan takut
melihat barikade mobil polisi.
Akhirnya pilot itu menghentikan pesawat dan mematikan mesinnya. Polisi bergerak
masuk, mengambil posisi mengurung jet itu. Edwards bergabung dengan inspektur
polisi Kent, yang bergerak waspada ke arah lubang palka pesawat. Setelah
beberapa detik, pintu pada perut pesawat terbuka. Leigh Teabing muncul di ambang
pintu ketika tangga listrik pesawat itu turun perlahan. Ketika Leigh melihat
begitu banyak senjata mengarah padanya, dia bersandar pada tongkatnya dan
menggaruk kepalanya. "Simon, apakah aku memenangkan lotere polisi ketika aku
pergi?" Suara Teabing lebih terdengar bingung daripada takut.
Simon Edwards melangkah ke depan, mendegut dengan sukar seperti menelan seekor
katak. "Selamat pagi, Pak. Saya mohon maaf karena kebingungan ini. Kami ada
kebocoran bahan bakar dan pilot Anda telah setuju untuk menghentikan pesawat di
terminal." "Ya, ya, tetapi aku memintanya untuk langsung kesini. Aku sudah terlambat untuk
sebuah janji. Aku menyewa hanggar ini, dan omong kosong tentang menghindari
kebocoran bahan bakar itu terlalu berlebihan." "Saya menyesal kedatangan Anda
begitu mendadak, Pak." "Aku tahu. Aku datang tidak sesuai dengan jadwa1ku,
memang. Pengobatan baruku membuatku tidak nyaman. Karena itu aku datang untuk
mengatasi hal itu." Para polisi saling berpandangan. Edwards mengedipkan matanya. "Baiklah, Pak."
"Pak," inspektur kepala kepolisian Kent berkata sambil melangkah maju. "Saya
harus meminta Anda untuk tetap berada didalam selama setengah jam atau lebih."
Teabing tampak tidak senang ketika dia menuruni tangga tertatih-tatih. "Aku rasa
itu tidak mungkin. Aku ada janji pengobatan." Teabing mencapai landasan. "Aku
tidak mungkin melewatkannya."
Inspektur kepala itu pesawat. "Saya di sini menghalangi jalan Teabing untuk
menjauh dari atas permintaan Polisi Judisial Prancis. Mereka mengatakan Anda
membawa kabur buronan dalam pesawat ini."
Teabing menatap inspektur kepala itu lama, dan tiba-tiba tertawa terbahak.
"Apakah ini semacam acara 'kamera tersembunyi'" Bagus sekali!"
Inspektur itu bergeming. "ini serius, Pak. Polisi Prancis juga mengatakan bahwa
mungkin Anda pun membawa seorang sandera di dalam pesawat."
Pelayan Teabing muncul di ambang pintu, di puncak tangga. "Aku merasa seperti
seorang sandera bekerja pada Sir Leigh, tetapi beliau meyakinkan aku bahwa aku
boleh pergi kapan saja." R?my melihat jam tangannya. "Pak, kita betul-betul
terlambat." Kemudian dia mengangguk ke arah sebuah limusin Jaguar panjang yang
terparkir jauh di sudut hanggar. Mobil besar itu berwarna hitam dengan kaca
jendela gelap dan beroda putih. "Aku akan mengambil mobil itu," kata R?my. Lalu
dia mulai menuruni tangga.
"Saya menyesal kami tidak dapat membiarkan Anda pergi;" kata inspektur kepala
itu. "Harap kembali ke dalam pesawat Anda. Anda berdua. Wakil dari polisi
Prancis akan segera mendarat."
Teabing menatap Simon Edwards. "Simon, demi Tuhan, ini keterlaluan! Kami tidak
punya siapa-siapa lagi di dalam pesawat. Hanya yang biasanya saja - R?my, pilot
kami, dan aku. Mungkin kau dapat bertindak sebagai perantara" Masuklah dan lihat
sendiri di dalam pesawat, dan buktikan bahwa pesawat itu kosong." Edwards tahu,
dia terjebak. "Baik, Pak. Saya dapat memeriksanya." Inspektur kepala polisi itu
tampaknya tahu betul tentang laparigan udara eksekutif sehingga dia curiga Simon
Edwards sangat mungkin akan berbohong tentang penumpang pesawat itu demi menjaga
hubungan kerjanya dengan Teabing di Biggin Hills. "Aku yang akan memeriksanya
sendiri." Teabing menggelengkan kepalanya. "Kau tidak bisa, Inspektur. Pesawat ini milik
pribadi, dan sampai kau memegang surat izin penggeledahan, kau tidak bisa
mendekati pesawatku. Aku memberimu pilihan masuk akal di sini. Tuan Edwards
dapat melakukan pemeriksaan."
"Tidak." Sikap Teabing menjadi dingin sekali. "Inspektur, menyesal sekali aku
tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu. Aku terlambat, dan aku pergi
sekarang. Jika kau ingin menghentikanku, kau harus menembakku." Teabing dan Remy
berjalan melewati inspektur kepala dan menuju ke sudut tempat limusin itu
diparkir. Inspektur kepala kepolisian Kent merasa sangat benci kepada Teabing ketika orang
ini begitu saja melewatinya dengan terpincang-pincang. Orang-orang dengan hak-
hak istimewa selalu merasa berada di atas hukum.
Mereka tidak berada di atas hukum. Inspektur kepala itu memutar tubuhnya dan
membidikkan pistolnya ke punggung Teabing. "Berhenti! Aku akan menembak!"
"Silakan," kata Teabing tanpa menghentikan langkahnya ataupun melihat ke
belakang. "Pengacara-pengacaraku akan merajang buah pelirmu untuk sarapannya.
Dan jika kau berani memasuki pesawatku tanpa surat izin pengge1edahan, limpamu
akan menyusul." Terbiasa dengan gertak seperti itu, inspektur itu tidak takut. Secara teknis,
Teabing benar dan polisi memang memerlukan surat izin untuk masuk k? pesawatnya.
Tetapi karena penerbangan itu berasal dari Prancis, dan karena Bezu Fache yang
itu berkuasa memberinya otoritas, inspektur kepala Kent merasa yakin kariernya
akan menjadi jauh lebih baik dengan menemukan sesuatu yang tampaknya sangat
disembunyikan oleh Teabing di dalam jetnya.
"Hentikan mereka," perintah inspektur itu. "Aku akan memeriksa pesawat itu."
Para anggotanya segera berlarian dengan senjata terhunus. Mereka menghalangi
Teabing dan pelayannya dengan menggunakan tubuh mereka.
Sekarang Teabing menoleh. "Inspektur, ini peringatan terakhir bagimu. Jangan
berpikir kaudapat memasuki pesawat itu. Kau akan menyesal."
Inspektur itu mengabaikan ancaman itu. Dengan menggenggam pistol, dia berjalan
menuju pesawat itu. Setibanya di palka pesawat, dia melongok ke dalam. Sesaat
kemudian dia melangkah masuk ke kabin.Apa-apaanini"
Kecuali pilot yang duduk ketakutan di kokpitnya, pesawat itu memang kosong.
Betul-betul tidak ada makhluk hidup satu pun. Dengan cepat dia memeriksa kamar
kecil, kursi-kursi, dan area barang muatan. Tidak ada seorang pun yang
bersembunyi...apalagi beberapa orang. Apa sih yang dipikirkan Bezu Fache"
Tampaknya Leigh Teabing telah mengatakan yang sebenarnya.
Inspektur kepala berdiri sendirian di dalam pesawat yang tak berpenumpang itu
dan mendegut susah payah.Brengsek. Wajahnya memerah. Dia mundur ke gang sempit,
menatap ke hanggar pada Leigh Teabing dan pelayannya, yang sekarang sedang
ditodong di dekat limusinnya. "Lepaskan mereka," perintah inspektur itu. "Kita
menerima petunjuk yang salah."
Mata Teabing mendelik penuh ancaman ke seberang hanggar. "Kau boleh menantikan
telepon dari pengacara-pengacaraku. Dan lain kali ingat, polisi Prancis tidak
dapat dipercaya." Bersamaan dengan itu, pelayan Teabing membukakan pintu di bagian belakang dari
limusin panjang itu dan menolong majikan pincangnya masuk ke dalam mobil di
bangku belakang. Kemudian pelayan itu berjalan di sepanjang mobil itu, masuk ke
belakang kemudi, dan menyalakan mesinnya. Polisi bercerai berai ketika Jaguar
itu meninggalkan hanggar.
"Kau memainkannya dengan baik, hebat," seru Teabing dari bangku belakang ketika
limusin itu melaju cepat keluar dari lapangan udara. Lalu matanya beralih ke
ruang luas remang-remang di bagian depan. "Semua nyaman?"
Langdon mengangguk lemah. Dia dan Sophie masih berjongkok di lantai mobil
bersama dengan biarawan albino yang tersumbat mulutnya. Beberapa saat
sebelumnya, ketika pesawat Hawker berjalan perlahan memasuki hanggar pribadi
yang sepi itu, Remy telah membuka pintu lambung pesawat saat pesawat itu
berhenti di separuh jalan selama ia berputar. Dengan polisi yang bergerak cepat
mendekati hanggar, Langdon dan Sophie turun menyeret si biarawan, kemudian
bersembunyi di belakang limusin. Mesin jet lalu menderu lagi, untuk memutar
pesawat dan menyempurnakan posisi parkirnya ketika mobil-mobil polisi
berdatangan, meluncur masuk ke hanggar.
Sekarang, ketika limusin itu melesat ke arah Kent, Langdon dan Sophie merangkak
dan duduk di dalam limo yang panjang, meninggalkan biarawan itu tetap tergolek
di lantai. Mereka duduk berhadapan dengan Teabing. Lelaki Inggris itu tersenyum
nakal kepada kedua temannya itu, lalu membuka tempat penyimpanan pada bar di
dalam limo itu. "Aku boleh menawari kalian minuman" Cemilan" Keripik" Kacang"
Seltzer?" Sophie dan Langdon sama-sama menggelengkan kepala. Teabing menyeringai
dan menutup lemari itu lagi. "Jadi, tentang makam kesatria itu ..."
82 "JALAN FLEET?" tanya Langdon sambil menatap Teabing di dalam limo itu.
AdasebuahmakamdibawahtanahdiJalanFleet" Sejauh ini, Leigh dengan cerdik bermain-
main tentang di mana ia pikir mereka bisa menemukan "makam kesatria" itu yang,
menurut puisi tadi, dapat memberikan password untuk membukacryptex yang lebih
kecil. Teabing menyeringai dan menoleh pada Sophie. "Nona Neveu, coba perdengarkan
sekali lagi pada anak Harvard ini bait yang tadi. Mau?"
Sophie merogoh sakunya dan menarik keluar cryptex hitam, yang terbungkus di
dalam lembaran kulit binatang. Semuanya telah memutuskan untuk meninggalkan
kotak kayu mawar dancryptex yang lebih besar di dalam kotak kuat di dalam
pesawat, dan membawa apa yang mereka butuhkan saja, yaitucryptex hitam yang
lebih mudah dibawa. Sophie membuka bungkusan itu dan menyerahkan lembaran kulit
itu kepada Langdon. Walau Langdon telah membaca puisi itu tadi beberapa kali di
dalam pesawat jet, dia tidak dapat menarik inti yang mengatakan tentang di mana
letak makam itu. Sekarang, saat membaca kata-kata itu lagi, dia merenungkannya
perlahan-lahan dan berhati-hati, dengan harapan sajak bersuku lima itu akan
mengungkap arti yang lebih jelas.
In London lies a knight a Pope interred. His labour's fruit a Holy wrath
incurred. You seek the orb that ought be on his tomb. It speaks of Rosy flesh
and seeded womb. DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan.
BuahperbuatannyakemarahanSucimuncul.
Kaumencaribolayangseharusnyaadadiatasmakamnya.
ItumenyatakanragaRosydanrahimyangterbuahi. Bahasanya tampak cukup sederhana. Ada
seorang kesatria dimakamkan di London. Seorang kesatria yang telah melakukan
sesuatu yang membuat marah Gereja. Seorang kesatria yang makamnya tidak memiliki
sebuah bola yang seharusnya ada. Baris terakhir - raga Rosy dan rahim yang
terbuahi - jelas sebuah kiasan bagi Maria Magdalena, Sang Mawar yang mengandung
benih Yesus. Walau bait itu tampak berterus terang, Langdon masih tidak tahu siapa kesatria
itu atau di mana dia dikuburkan. Lagi pula, begitu mereka menemukan makam itu,
tampaknya mereka masih harus, mencari sesuatu yang hilang dari makam itu.
Bolayangseharusnyaadadiatasmakamnya"
"Tidak ada gagasan?" tanya Teabing sambil tertawa kecewa. Namun Langdon merasa,
sejarawan bangsawan itu merasa senang karena hanya dia yang tahu. "Nona Neveu?"
Sophie menggelengkan kepalanya. "Apa yang kalian berdua dapat lakukan tanpa
aku?" kata Teabing. "Baiklah, aku akan mengantar kalian ke sana. Seharusnya
sangat sederhana. Baris pertama adalah kuncinya. Bisa tolong dibaca?"
Langdon membacanya dengan keras. "Di London terbaring seorang kesatria yang
seorang Paus kuburkan."
"Tepat. Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan." Lalu Teabing menatap
Langdon. "Apa artinnya itu bagimu?"
Langdon menggerakkan bahunya. "Seorang kesatria yang dikuburkan oleh seorang
Paus" Seorang kesatria yang penguburannya dipimpin oleh seorang Paus?"
Teabing tertawa keras. "Oh, ini bagus sekali. Selalu optimistis, Robert. Lalu
lihat baris kedua. Kesatria ini jelas melakukan sesuatu yang membuat marah
Gereja. Pikirkan lagi. Pertimbangkan dinamika antara Gereja dan Templar. Seorang
kesatria yang seorang Paus kuburkan?" "Seorang kesatria yang seorang Pausbunuh?"
tanya Sophie. Teabing tersenyum dan menepuk lutut Sophie. "Bagus sekali, Nona.
Seorang kesatria yang seorang Paus kuburkan. Atau bunuh." Langdon mengingat
pengumpulan para Templar yang terkenal pada tahun 1307 - Jumat tanggal 13 yang
sial - ketika Paus Clement membunuh dan menguburkan ratusan kesatria Templar.
"Tetapi, itu berarti ada banyak sekali makam 'para kesatria yang dibunuh oleh
para paus'." "Aha, tidak begitu!" kata Teabing. "Banyak dari mereka yang dibakar pada kayu
pancang dan dilempar tanpa upacara penghormatan ke Sungai Tiberias. Tetapi puisi
ini menunjuk ke sebuah makam. Sebuah makam di London. Dan hanya ada beberapa
kesatria yang dikuburkan di London." Teabing terhenti, menatap Langdon seolah
menunggu matahari terbit. Akhirnya dia gusar. "Robert, demi Tuhan! Gereja yang
dibangun di London oleh angkatan bersenjata Biarawan Sion - Knights Templar
sendiri!" "Gereja Kuil?" tanya Langdon sambil menarik napas penuh keheranan. "Dalam gereja
itu ada makam dalam tanah?"
"Sepuluh dari makam-makam paling mengerikan yang pernah kau lihat." Langdon
belum pernah mengunjungi Gereja Kuil, walau dia mendapat banyak petunjuk saat
melakukan penelitian tentang Biarawan Sion. Dulu pernah menjadi pusat kegiatan
semua Templar / Biarawan di Inggris Raya, Gereja Kuil disebut demikian untuk
menghormati Kuil Salomo, tempat para Templar mengambil gelar mereka sendiri,
seperti juga dokumen-dokumen Sangreal yang menganugerahi mereka semua pengaruh
mereka terhadap Roma. Banyak dongeng menceritakan ritual-ritual rahasia dan aneh
yang dilakukan para kesatria itu di dalam Gereja Kuil. "Gereja Kuil ada di Jalan
Fleet?" "Sebenarnya, di pinggir Jalan Fleet, di Jalan Inner Temple tepatnya." Teabing
tampak nakal. "Aku ingin melihat kalian berkeringat sedikit lagi sebelum aku
beri tahu." "Terima kasih." "Tidak satu pun di antara kalian yang pernah ke
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana?" Sophie dan Langdon menggelengkan kepala. "Aku tidak heran," kata Teabing.
"Sekarang gereja itu tersembunyi di belakang gedung-gedung yang lebih besar.
Hanya sedikit orang yang tahu bahwa ada gereja di sana. Tempat kuno yang
menakutkan. Arsitekturnya betulbetul pagan." Sophie tampak heran. "Pagan?"
"Pagan secara panteonis!" seru Teabing. "Gereja itu bulat. Para kesatria Templar
mengabaikan layout berbentuk salib dari gereja-gereja tradisional, dan membangun
gereja yang benar-benar bulat untuk penghormatan kepada matahari." Alis Teabing
bergerak-gerak seperti tarian setan. "Tentu saja itu tidak menyenangkan pihak
Roma. Mungkin saja mereka juga mendirikan Stonehenge di tengah London." Sophie
menatap Teabing. "Bagaimana dengan baris puisi yang lainnya?" Kegembiraan
sejarawan itu memudar. "Aku tidak yakin. Itu membingungkan. Kita harus memeriksa
setiap makam dari sepuluh makam di sana dengan saksama. Jika beruntung, kita
dapat menemukan satu yang tak punya bola."
Langdon tahu, mereka sudah sangat dekat. Jika bola yang hilang itu mengungkap
kata kunci, mereka akan dapat membukacryptex kedua. Langdon kesulitan untuk
membayangkan apa yang akan mereka temukan di dalamnya.
Langdon menatap puisi itu lagi. Ini seperti teka-teki silang kuno. Sebuah kata
terdiri atas lima huruf yang mengatakan tentang Grail" Ketika di pesawat tadi,
mereka telah mencoba segala kata kunci yang jelas - GRAIL, GRAAL, GREAL, VENUS,
MARIA, JESUS, SARAH - namun silinder itu tidak berputar. Tampaknya ada juga kata-
kata lima huruf lainnya yang mengacu ke rahim Rose yang terbuahi. Kenyataan
bahwa kata itu luput dari pengamatan ahli seperti Leigh Teabing menunjukkan
kepada Langdon bahwa itu bukanlah petunjuk Grail yang biasa.
"Sir Leigh?" R?my memanggil melalui bahunya. Sambil mengemudi, R?my melihat
mereka dari kaca spion melintasi kaca pembatas yang terbuka. "Anda tadi
mengatakan Jalan Fleet dekat Jembatan Blackftiars?" "Ya, lewat Tanggul
Victoria." "Maaf. Saya tidak yakin di mana itu. Biasanya kita ke London hanya
pergi ke rumah sakit." Teabing menaikkan matanya ke Langdon dan Sophie, kemudian
menggerutu. "Sumpah, aku kadang-kadang merasa sedang mengasuh anak kecil.
Sebentar, ya. Silakan mengambil sendiri minuman dan makanan kecil." Lalu Teabing
merangkak dengan kikuk ke arah pemisah yang terbuka untuk berbicara dengan R?my.
Sophie menoleh kepada Langdon, suaranya tenang. "Robert, tidak ada yang tahu kau
dan aku ada di Inggris."
Langdon tahu, Sophie benar. Polisi Kent akan mengatakan kepada Fache bahwa
pesawat itu kosong, dan Fache akan menyimpulkan bahwa mereka masih di
Prancis.Kitatidakterlihat. Keberanian Leigh memberi mereka banyak waktu. "Fache
tidak akan menyerah dengan mudah," kata Sophie. "Sekarang dia sudah berkorban
terlalu banyak untuk menangkap kita." Langdon berusaha untuk tidak memikirkan
Fache. Sophie telah berjanji bahwa dia akan melakukan segalanya, dengan kekuatan
yang ia miliki, untuk membebaskan Langdon dari tuduhan begitu semua ini
berakhir. Namun, Langdon mulai khaw?tir jangan-jangan usaha Sophie tidak
berguna. Fache mungkinsaja menjadibagiandarikomplotanini. Walau Langdon tidak
dapat membayangkan apa kaitannya Polisi Judisial dengan Holy Grail, dia merasa
pada malam itu terlalu banyak kejadian kebetulan, untuk tidak menganggap Fache
sebagai kaki tangan dari kelompok yang menginginkan Grail juga.
Facheseorangyangberagama.dandiasangatberusahauntukmendakwakan pembunuhan ini
padaku. Sophie lagi-lagi membantah Langdon. Menurutnya mungkin saja Fache
sekadar bersemangat untuk melakukan penangkapan. Lagi pula, bukti yang
memberatkan Langdon sangat jelas. Selain namanya tertulis di atas lantai Louvre
dan dalam buku agenda Sauni?re, Langdon juga ternyata telah berbohong tentang
naskahnya dan kemudian melarikan diri.Atasusulan Sophie.
"Robert, aku menyesal telah melibatkanmu begitu jauh," ujar Sophie, sambil
meletakkan tangannya di atas lutut Langdon, "tetapi aku senang kau ada di sini."
Kata-kata Sophie terdengar lebih pragmatis daripada romantis. Walau begitu,
tanpa diduganya, Langdon merasakan ada secercah ketertarikan satu sama lain
dalam diri mereka. Langdon tersenyum letih pada Sophie. "Aku akan merasa lebih
senang jika aku sudah tidur."
Sophie terdiam beberapa detik. "Kakekku memintaku untuk memercayaimu. Aku senang
akhirnya aku mematuhinya." "Kakekmu tidak mengenalku sama sekali." "Walau
begitu, aku hanya dapat berpikir bahwa kau telah melakukan segala yang
diinginkan Kakek padaku. Kau menolongku menemukan batu kunci, menjelaskan
tentang Sangreal, menceritakan tentang ritual bawah tanah itu." Sophie terdiam.
Lalu, "Entah bagaimana aku merasa lebih dekat dengan kakekku malam ini
dibandingkan dengan beberapa tahun yang tahu. Aku tahu dia akan bahagia
karenanya." Di kejauhan, garis langit London mulai tampak menembus gerimis pagi. Dulu,
langit London pernah didominasi oleh Big Ben dan Tower Bridge, sekarang horizon
itu membungkuk pada Millenium Eye - sebuah roda Ferris ultramodern yang sangat
besar yang menjulang setinggi lima ratus kaki dan menyajikan pemandangan kota
yang mengagumkan. Langdon pernah berniat menaikinya, tetapi "kapsul untuk
menonton"-nya mengingatkan dirinya pada peti mayat dari batu yang tersegel, lalu
dia memilih untuk tetap menjejakkan kakinya di tanah dan menikmati pemandangan
dari tepi Sungai Thames yang berudara segar.
Langdon merasakan ada usapan pada lututnya, sehingga dia terbangun dari
lamunannya. Dia melihat mata hijau Sophie sedang menatapnya. Langdon tahu, tadi
Sophie sedang berbicara dengannya. "Apa yang harus kita lakukan pada dokumen-
dokumen Sangreal itu jika sudah kita dapatkan, Robert?" bisik Sophie.
"Apa yang kupikirkan adalah sesuatu yang tidak nyata," kata Langdon. "Kakekmu
memberikan cryptex itu padamu, dan kau harus melakukan sesuai nalurimu apa yang
kiranya diharapkan oleh kakekmu."
"Aku meminta pendapatmu. Kau pasti telah menulis sesuatu di dalam naskahmu
sehingga kakekku mempercayai penilaianmu. Dia menjadwalkan pertemuan pribadi
denganmu. Itu aneh." "Mungkin saja dia hanya ingin mengatakan bahwa tulisanku
semua salah." "Mengapa dia menyuruhku mencarimu gagasanmu" Dalam naskahmu,
apakah kau jika dia tidak menyukai mendukung gagasan bahwa dokumen Sangreal
harus disebarluaskan atau lebih mendukung jika dokumen itu terkubur saja?"
"Tidak keduanya. Aku tidak membuat penilaian pada kedua gagasan itu. Naskah itu berisi ulasan simbologi perempuan suci -
menelusuri ikonografinya sepanjang sejarah. Aku betul-betul tidak rnerasa tahu
di mana Grail itu disembunyikan atau apakah itu harus diungkapkan."
"Namun kau menulis buku tentang Grail, jadi jelas kau menganggap bahwa informasi
itu harus disebarkan."
"Ada perbedaan besar antara mendiskusikan secara hipotetis sebuah sejarah
alternatif tentang Kristus, dan ...," Langdon terdiam. "Dan apa?" desak Sophie.
"Dan menyajikan kepada dunia ribuan dokumen kuno sebagai bukti ilmiah
bahwa Perjanjian Baru merupakan kesaksian palsu." "Tetapi kau pernah bilang
bahwa Perjanjian Baru merupakan hasil buatan
manusia." Langdon tersenyum. "Sophie, setiap keyakinan di dunia ini berdasarkan
pada apa yang dibuat. Itu adalah definisi darikeyakinan - menerima apa yang kita
bayangkan itu benar, yang sebenarnya tidak dapat kita buktikan. Setiap agama
menggambarkan Tuhan melalui metafora, perumpamaan, dan dibesarbesarkan, sejak
zaman Mesir kuno hingga sekolah Minggu sekarang. Metafora adalah cara untuk
membantu pikiran kita memproses segala yang tak dapat diproses. Masalah timbul
ketika kita mulai sangat percaya pada metafora kita sendiri."
"Jadi kau lebih suka jika dokumen-dokumen Sangreal terkubur selamanya?"
"Aku seorang sejarawan. Aku anti perusakan dokumen, dan aku akan senang melihat
para ilmuwan agama memiliki informasi lebih untuk merenungkan kehidupan Yesus
Kristus yang luar biasa itu." "Kau membantah kedua sisi dari pertanyaanku."
"Masa" Alkitab menyajikan sebuah tonggak yang fundamental bagi jutaan orang di
planet ini, dengan cara yang sangat sama dengan Quran, Taurat, dan Kitab Pali
dalam memberikan petunjuk kepada pemeluk agama lainnya. Jika kau dan aku dapat
menemukan dokumentasi yang berlawanan dengan cerita suci yang dipercayai dalam
Islam, Yahudi, Budha, dan pagan, apakah kita juga harus mengungkapkannya"
Haruskah kita mengatakan kepada penganut agama Budha bahwa kita punya bukti
kalau Budha tidak dilahirkan oleh bunga teratai" Atau Yesus tidak dilahirkan
oleh seorang perempuan yang betul-betul perawan" Orang-orang yang sungguh-
sungguh mengerti keyakinan mereka, juga mengerti bahwa cerita-cerita itu
merupakan metafora."
Sophie tampak ragu. "Teman-temanku yang beragama Kristen betul-betul percaya
bahwa Kristus memang bisa berjalan diatas air, memang mampu mengubah air menjadi
anggur, dan dilahirkan oleh perempuan yang memang masih perawan."
"Intinya adalah," kata Langdon. "Perumpaman agama telah menjadi bagian dari
realitas yang dibuat. Dan, hidup di dalam realitas itu menolong jutaan orang
untuk bertahan dan menjadi orang yang lebih baik." "Tetapi, tampaknya realitas
mereka itu palsu." Langdon rertawa. "Tidak lebih palsu dari ahli kriptografi
matematika yang percaya pada angka imajiner 'i', karena angka itu menolongnya
membuka kode itu." Sophie mengerutkan keningnya. "Itu tidak adil." Sesaat
berlalu. 'Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Langdon. "Aku tidak ingat."
83 JAM TANGAN Mickey Mouse Langdon menunjukkan pukul 7.30 ketika Langdon keluar
dari limusin Jaguar dan memasuki Jalan Inner Temple bersama Sophie dan Teabing.
Ketiganya berjalan berkelok-kelok melintasi berbagai gedung ke sebuah halaman
kecil di luar Gereja Kuil. Batu yang ditatah kasar berkilauan ditimpa hujan, dan
burung-burung dara berkukuk di atas gedung itu.
Gereja Kuil tua di London itu keseluruhannya dibangun dengan menggunakan batu
dari Caen. Berbentuk bulat dengan bagian muka yang menakutkan, menara ditengah
dan bagian tengah yang menonjol keluar ke satu sisi, gereja itu lebih mirip kubu
militer daripada tempat pemujaan. Diresmikan pada tanggal 10 Februari tahun 1185
oleh Heraclius, Kepala Keluarga Jerusalem, Gereja Kuil bertahan selama delapan
abad dari huru-hara politik, Kebakaran Besar London, dan Perang Dunia Pertama;
hanya mengalami kerusakan berat karena bom-bom pembakar rumah dari Luftwaffe
pada tahun 1940. Setelah perang itu, gereja ini dibangun kembali seperti bentuk
aslinya, megah dan dingin.
Kesederhanaan lingkaran, pikir Langdon, sambil mengagumi gedung itu untuk
pertama kalinya. Arsitekturnya mengingatkan kepada Puri Sant'Angelo sederhana
dan kasar, lebih yang kasar di Roma daripada Pantheon yang halus. Ruang tambahan
yang kotak menonjol keluar ke arah kanan terlihat tidak menyenangkan, walau itu
sedikit menyembunyikan bentuk pagan asli dari bangunan utamanya.
"Ini hari Sabtu pagi," kata Teabing, sambil terpincang-pincang ke arah pintu
masuk, "jadi kukira kita tidak akan berurusan dengan misa."
Jalan masuk gereja itu merupakan batu ceruk menjorok ke dalam tempat berdirinya
pintu kayu besar. Di sebelah kiri pintu itu, tampak tidak sesuai penempatannya,
tergantung papan buletin berisi pengumuman jadwal konser dan misa agama. Teabing
mengerutkan keningnya ketika membaca papan itu. "Mereka tidak membuka bagi umum
di luar jam-jam misa." Dia bergerak ke arah pintu dan mencobanya. Pintu itu
tidak bergerak. Lalu Teabing menempelkan telinganya pada daun pintu itu,
mendengarkan. Setelah sesaat, dia menarik diri. Wajahnya tampak penuh rencana
ketika dia menunjuk pada papan buletin. "Robert, bisa tolong periksa jadwal
misa" Siapa yang memimpin misa minggu ini?"
Di dalam gereja, seorang lelaki muda pembersih altar hampir selesai memvacum
tempat berlutut para penerima komuni ketika dia mendengar ketukan pada pintu
gereja. Dia mengabaikannya. Pendeta Harvey Knowles mempunyai kuncinya sendiri
dan baru akan datang dua jam lagi. Si pengetuk pintu mungkin hanya seorang turis
yang ingin tahu atau seorang pengemis. Petugas altar melanjutkan pekerjaannya,
tetapi ketukan di pintu berlanjut.Apa dia tidak bisa membaca jadwal" Tanda di
pintu dengan jelas menyatakan bahwa gereja tidak akan dibuka sebelum pukul 9.30
pada hari Sabtu. Petugas altar itu terus melakukan tugasnya.
Tiba-tiba, ketukan pada pintu itu berubah menjadi gedoran kuat, seolah orang itu
memukuli pintu dengan tongkat metal. Lelaki muda itu mematikan alat penyedot
debunya dan berjalan dengan marah ke arah pintu. Tanpa membuka pengait rantai
pengamannya dari dalam, dia membuka pintu itu sedikit. Tiga orang berdiri di
ambang pintu. Turis, dia menggerutu. "Kami buka pukul 9.30."
Lelaki gemuk, yang tampil sebagai pemimpin mereka, melangkah ke depan,
menggunakan tongkat metalnya. "Saya Sir Leigh Teabing," katanya, aksennya
menunjukkan banwa dia orang Inggris yang bermartabat tinggi. "Seperti yang pasti
anda lihat, saya sedang mengantar Bapak dan Ibu Christopher Wren Keempat." Lalu
lelaki gemuk itu bergeser sedikit, mengayunkan tangannya ke arah pasangan pria-
wanita di belakangnya. Yang perempuan berpenampilan lembut, dengan rambut merah
yang lebat; lelaki di sampingnya jangkung, berambut gelap dan tampak seperti
tidak asing. Petugas altar itu tidak tahu bagaimana merespon mereka. Christopher Wren adalah
penderma terbesar bagi Gereja Kuil. Dialah yang memungkinkan terlaksananya
restorasi gereja ini setelah peristiwa Kebakaran Besar. Dia juga telah meninggal
dunia sejak awal abad ke-18. "Mmm ... saya merasa terhormat bertemu dengan
Anda." Lelaki bertongkat itu mengerutkan dahinya. "Untung saja kau tidak bekerja di
bagian pemasaran, anak muda. Kau tidak begitu meyakinkan. Di mana Pendeta
Knowles?" "Ini hari Sabtu. Beliau baru akan datang nanti." Lelaki pincang itu
menggerutu perlahan. "Terima kasih banyak. Padahal beliau sudah meyakinkan kami,
beliau akan menunggu di sini, tetapi tampaknya kami harus me1akukannya tanpa
beliau. Tidak akan lama."
Petugas altar itu tetap menghalangi di ambang pintu. "Maaf, apa yang tidak akan
lama?" Mata tamu itu sekarang menajam. Ia mencondongkan tubuhnya sambil berbisik,
seolah tidak mau mempermalukan seseorang. "Anak muda, kau orang baru di sini.
Setiap tahun keturunan Sir Christopher Wren selalu membawa sejumput abu orang
itu ke dekat altar di gereja ini. Itu bagian dari pesan terakhir dari surat
wasiatnya. Tidak seorang pun senang melakukan perjalanan ke sini, tetapi apa
boleh buat." Petugas altar itu telah bekerja di sini selama dua tahun, namun dia tidak pernah
mendengar kebiasaan itu. "Lebih baik jika Anda menunggu hingga pukul 9.30.
Gereja ini belum buka, dan saya belum selesai bersih-bersih."
Lelaki bertongkat itu mendelik marah. "Anak muda, satu-satunya sebab masih
adanya benda-benda di sini untuk kaubersihkan adalah karena lelaki baik hati
yang sekarang ada di dalam kantong perempuan itu." "Maaf?" "Ibu Wren," lelaki
bertongkat itu berkata, "maukah Anda berbaik hati
memperlihatkan ke anak muda yang tidak sopan ini sisa abu itu?" Perempuan itu
tampak ragu sesaat lalu, seolah terbangun dari ketidaksadaran, dia merogoh saku
sweternya dan menarik keluar sebuah silinder kecil yang terbungkus oleh bahan
pelindung. "Nah, kau lihat?" bentak lelaki bertongkat itu. "Sekarang kau bisa menghormati
permintaan terakhir orang itu dan membiarkan kami menebarkan abunya di altar
doa, atau akan kukatakan kepada Pendeta Knowles bagaimana kami diperlakukan."
Petugas altar itu ragu-ragu, dia sangat mengerti akan ketaatan Pendeta Knowles
dalam menjalankan tradisi gereja .... MungkinPak Knowles sekadar lupa saja
tentang kedatangan anggota keluarga ini. Jika demikian, akan lebih sedikit
risikonya jika dia membiarkan mereka masuk daripada mengusir mereka
pulang.Lagipulamerekatadimengatakanhanyaakansebentar.Apa ruginya"
Ketika petugas altar itu menggeser tubuhnya untuk membiarkan ketiga orang itu
lewat, dia dapat bersumpah, Pak dan Bu Wren betul-betul tampak sama bingungnya
seperti dirinya juga. Dengan tidak yakin, petugas yang masih muda itu
melanjutkan tugasnya, sambil melihat mereka dengan sudut matanya.
Langdon tak dapat menahan senyumnya ketika mereka bertiga berjalan lebih jauh ke
dalam gereja itu. "Leigh," dia berbisik. "kau berbohong dengan sangat balk."
Mata Teabing bersinar. "Kelompok Teater Oxford. Mereka masih terus membicarakan
aktingku sebagai Julius Caesar. Aku yakin, belum ada yang memerankannya pada
babak pertama dari Act Three dengan penjiwaan yang lebih baik." Langdon
menatapnya. "Kupikir Caesarmati pada babak itu." Teabing menyeringai. "Ya,
tetapi togaku robek terbuka ketika aku jatuh, dan aku harus berbaring di atas
panggung selama setengah jam dengantodgerku tergantung keluar. Walau begitu, aku
tetap tidak bergerak sama sekali. Aku sangat pandai, asal tahu saja." Langdon
tampak ngeri.Sayangsekaliakutidakmelihatnya. Ketika mereka berjalan melalui
ruang tambahan segi empat ke arah pintu lengkung yang membawa mereka ke ruang
utama gereja, Langdon heran melihat kekosongan ruangan itu. Walau akarnya tampak
seperti yang biasa terdapat pada kapel Kristen lainnya, perabotan lainnya begitu
kaku dan dingin, bahkan tidak terlihat hiasan tradisional sekalipun. "Pucat,"
bisiknya. Teabing tertawa. "Gereja Inggris. Anglikan melaksanakan agamanya dengan kaku.
Tidak ada yang bisa mengalihkan mereka dari kesengsaraan."
Sophie menunjuk ke arah ruang terbuka yang luas yang mengarah ke bagian bundar
gereja itu. "Kelihatannya seperti sebuah benteng di sana," dia berbisik.
Langdon setuju. tampak kasar. "Para kesatria Bahkan dari tempatnya berdiri,
dinding ruangan itu Templar adalah pah1awan." Teabing mengingatkan, sementara suara penunjang kaki
dari aluminiumnya bergema di ruangan yang menggaung itu. "Sebuah perkumpulan
militer yang beragama. Gereja mereka merupakan benteng pertahanan mereka dan
juga bank mereka." "Bank?" tanya Sophie sambil menatap Leigh. "Oh ampun, ya.
Templar menemukan konsep bank modern. Bagi para bangsawan Eropa, melakukan
penjalanan dengan membawa emas sangat berbahaya. Maka, Templar membolehkan para
bangsawan itu menyimpan emasnya di Gereja Kuil yang terdekat dan dapat
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menariknya lagi dari Gereja Kuil mana pun di seluruh Eropa. Yang mereka perlukan
hanyalah dokumentasi yang lengkap. Dia mengedipkan matanya. "Dan sedikit komisi.
Mereka merupakan ATM asli." Teabing menunjuk ke jendela berkaca ornamen
warnawarni. Dari situ sinar matahari memantul pada kaca yang menggambarkan
seorang kesatria berpakaian putih sedang menunggang seekor kuda berwarna merah
muda. "Alanus Marcel," kata Teabing, "Pimpinan Kuil pada awal tahun 1200. Dia
dan penerusnya sesungguhnya memimpin kursi Parlemen Primus Baro Angiae." Langdon
terkejut. "Baron pertama dari Realm?" Teabing mengangguk. "Beberapa orang
mengakui, Pimpinan Kuil mempunyai pengaruh lebih besar daripada raja sendiri."
Ketika mereka tiba di luar ruangan bundar, Teabing mengerling pada petugas altar
yang masih memvacum ruang gereja di kejauhan. "Kau tahu," bisik Teabing pada
Sophie, "Holy Grail katanya pernah mampir di gereja ini semalam saat Templar
memindahkannya dari tempat kaubayangkan keempat peti persembunyiannya ke tempat
lain. Bisakah yang berisi dokumen-dokumen Sangreal ditempatkan di sini bersama
peti mati Maria Magdalena" Aku jadi merinding."
Langdon juga merasa merinding ketika mereka melangkah ke ruangan bundar itu.
Matanya mengikuti lengkungan batas pinggir ruangan yang terbuat dari batu
berwarna pucat, lalu melihat ukiran-ukiran pada dindingnya yang berupa patung
kepala hewan, iblis, monster, wajah manusia yang disakiti, semuanya menatap
dalam ruangan. Di bawah ukiran-ukiran itu terletak bangku batu tunggal
melingkari sekeliling ruangan. "Teater bundar," bisik Langdon. Teabing menaikkan
satu tongkatnya, menunjuk ke arah kiri jauh ruangan
itu, lalu ke arah kanan jauh. Langdon sudah melihatnya. Sepuluhkesatriabatu.
Limadikiri,limadikanan. Para kesatria itu terukir terlentang di atas lantai,
seukuran dengan manusia, dalam pose yang damai. Mereka digambarkan mengenakan
pakaian besi lengkap, tameng, dan pedang. Makam patung itu membuat Langdon
merasa tidak nyaman, seolah pada zaman itu seseorang telah menyelinap masuk dan
menuangkan adukan semen ke atas para kesatria yang sedang tidur. Kesepuluh figur
itu rusak berat, namun masing-masing sangat unik---perlengkapan pakaian, posisi
kaki dan tangan, ciri pada wajah, dan tanda pada tameng yang berbeda-beda.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangpauskuburkan. Langdon merasa gemetar
ketika dia masuk lebih dalam ke ruang bulat itu. Pasti inilah tempat itu.
84 Di GANG yang kotor oleh sampah yang sangat dekat dengan Gereja Kuil, Remy
Legaludec menghentikan limusin Jaguar panjangnya di belakang sederetan tong
sampah industri. Dia mematikan mesinnya dan memeriksa daerah sekitarnya. Sepi.
Dia keluar dari mobil, berjalan ke bagian belakang, dan masuk ke kabin utama
limusin itu, tempat si biarawan meringkuk.
Merasakan kehadiran R?my, Silas tersadar dari kerasukannya dalam doa. Mata
merahnya lebih tampak ingin tahu daripada takut. Sepanjang malam itu, R?my telah
merasa kagum pada kemampuan tahanan ini untuk bersikap tenang. Setelah
pergulatan pertama di Range Rover, biarawan itu tampak menerima keadaannya yang
tidak menyenangkan dan menyerahkan nasibnya pada kekuasaan yang lebih tinggi.
R?my mengendurkan dasi kupu-kupunya, melepas kancing kerahnya yang tinggi, kaku,
dan bersayap, dan merasa seolah dia baru dapat bemapas untuk pertama kalinya
selama bertahun-tahun. Dia membuka lemari minuman di dalam limusin itu dan
menuangkan vodka Smirnoff bagi dirinya sendiri. Dia meminumnya dengan sekali
teguk, diikuti dengan gelas kedua. Taklamalagiakuakanmenjadilelakiyanghidupenak.
Setelah mencari-cari di dalam bar, R?my menemukan pembuka botol anggur yang
biasa, lalu membuka mata pisaunya yang tajam. Pisau itu biasanya digunakan untuk
memotong kertas timah dari tutup botol anggur, namun pagi ini alat itu akan
digunakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar. R?my menoleh pada Silas sambil
memegang silet berkilauan itu. Sekarang mata merah itu berkilat ketakutan. Remy
tersenyum dan bergerak ke belakang limusin. Biarawan itu tersentak
dan memberontak berusaha melepaskan diri. "Tenanglah," bisik Remy sambil
mengangkat pisau itu. Silas tidak dapat percaya bahwa Tuhan telah meninnggalkan
dirinya. Bahkan rasa sakit pada tubuhnya karena diikat telah dianggapnya sebagai
latihan spiritual, dengan memohon supaya denyut sakit pada otot-ototnya yang
kekurangan aliran darah itu menjadikan dia ingat pada penderitaan Kristus. Aku
sudah berdoa sepanjang malam memohon kebebasan. Sekarang, ketika pisau itu
turun, Silas mengatupkan matanya rapat-rapat.
Rasa sakit seperti memotong tulang belikatnya. Dia berteriak, tidak percaya
bahwa dia akan mati di sini, di bagian belakang sebuah limnusin, tanpa mampu
membela diri. Aku mengerjakan pekerjaan Tuhan. Guru mengatakan akan
melindungiku. Silas merasa kehangatan menusuk melebar melintasi punggung dan bahunya. Dia
dapat membayangkan darahnya sendiri, memancar keluar dari dagingnya. Sekarang
rasa sakit yang menusuk memotong melalui pahanya, dan dia merasakan serangan
arus bawah seperti yang sudah biasa dirasakannya - cara tubuh bertahan terhadap
rasa sakit. Ketika rasa sakit yang menusuk itu terasa merobek seluruh ototnya, Silas
mengatupkan matanya lebih rapat, dan memutuskan bahwa gambaran akhir hidupnya
bukanlah ditentukan oleh pembunuhnya. Lalu dia membayangkan seorang Uskup
Aringarosa ketika masih lebih muda, berdiri di depan gereja kecil di Spanyol...
gereja yang dibangun dengan tangannya dan Silas.Awalkehidupanku. Silas merasa
tubuhnya terbakar. "Minumlah," bisik lelaki bertuksedo itu. Aksennya Prancis.
"Akan membantu melancarkan aliran darahmu." Mata Silas terbuka heran. Sesosok bayangan
kabur membungkuk padanya, menawarkan segelas cairan. Seonggok pita berperekat
yang sudah sobek-sobek tergeletak di lantai di samping pisau sialan itu. "Minum
ini," lelaki itu mengulangi. "Rasa sakit yang kaurasakan itu hanya
aliran darah yang memasuki otot-ototmu." Silas merasakan denyut panas sekarang
berganti menjadi tusukan-tusukan kecil. Vodka itu terasa tidak enak tetapi dia
meminumnya juga, merasa bersyukur. Nasibnya malam ini tidak bagus, tapi Tuhan
menyelesaikan semuanya dengan sebuah pergantian yang ajaib.
Tuhantidakmeninggalkanaku. Silas tahu apa yang akan disebut Uskup Aringarosa
tentang ini semua. CampurtanganTuhan. "Aku sudah ingin membebaskanmu lebih
awal," kata pelayan itu meminta maaf "tetapi tidak mungkin. Dengan polisi yang
datang ke Puri Villette, kemudian polisi di lapangan udara Biggin Hill, ini
merupakan kesempatan pertama yang memungkinkan. Kau mengerti, bukan, Silas?"
Silas tersentak heran. "Kautahu namaku?" Pelayan itu tersenyum. Sekarang Silas
duduk, menggosok-gosok otot-ototnya yang kaku. Perasaannya menyemburkan
ketidakpercayaan, penghargaan, dan kebingungan. "Apakah kau ... Guru?"
Remy menggelengkan kepalanya, menertawakan kesalahan itu. "Kuharap aku punya
kekuasaan itu. Bukan, aku bukan Guru. Seperti kau juga, aku melayaninya. Tetapi
Guru selalu memujimu. Namaku Remy."
Silas kagum. "Aku tidak mengerti. Jika kau bekerja pada Guru, mengapa Langdon
membawa batu kunci itu ke rumahmu?"
"Bukan rumahku. Itu rumah seorang sejarawan Grail yang paling terkenal, Sir
Leigh Teabing." "Tetapi kautinggal di sana. Anehnya ..." R?my tersenyum,
tampaknya dia tidak heran dengan kebetulan yang terjadi - Langdon memilih rumah
itu sebagai tempat pelariannya. "Itu semua sangat dapat diduga. Robert Langdon
memegang batu kunci, dan dia membutuhkan bantuan. Tempat mana lagi yang mungkin
dipikirkannya selain rumah Leigh Teabing" Karena kebetulan aku tinggal di sana
juga, maka Guru menghubungiku lebih dulu." Dia terdiam sesaat. "Menurutmu,
bagaimana Guru bisa tahu begitu banyak tentang Grail?"
Fajar menyingsing sekarang, dan Silas terpaku. Guru telah menempatkan seorang
pelayan yang mempunyai akses ke semua yang diselidiki Teabing. Sangat cemerlang.
"Ada banyak yang harus kukatakan padamu," kata Remy sambil menyerahkan pistol
Heckler Koch yang berisi peluru. Kemudian, melalui partisi yang terbuka, R?my
meraih dan mengeluarkan sepucuk revolver kecil seukuran telapak tangan dari
kotak penyimpanan sarung tangan. "Tetapi pertama-tama, kau dan aku punya tugas
yang harus dikerjakan."
Kapten Fache turun dari pesawat yang membawanya ke Biggin Hill dan mendengarkan
dengan tidak percaya cerita Inspektur kepala Kent tentang apa yang terjadi di
hanggar pribadi pribadi Teabing. "Aku memeriksa pesawat itu sendiri," tegas
inspektut itu, "dan tidak ada seorang pun di dalam." Nadanya meninnggi "Dan aku
harus menambahkan bahwa jika Sir Leigh Teabing menuntutku, aku akan ...."
"Apakah kau menginterogasi pilotnya?" "Tentu saja tidak. Dia orang Prancis, dan
yurisdiksi kami memerlukan..." "Bawa aku ke pesawat itu." Tiba di hanggar itu,
Fache hanya memerlukan enam puluh menit untuk menemukan ceceran darah pada
lantai hanggar dekat tempat limusin diparkir tadi. Fache berjalan ke arah
pesawat dan berteriak keras sambil menghadap ke badan pesawat. "Ini kapten
Polisi Judisial Prancis. Buka pintu!" Pilot yang ketakutan itu membuka pintu dan
menurunkan tangganya. Fache naik. Tiga menit kemudian, dengan bantuan pistolnya, dia sudah mendapatkan
gambaran tentang biarawan albino yang diikat. Dan sebagai tambahan, pilot itu
melihat Sophie dan Langdon telah meninggalkan sesuatu di tempat penyimpanan
Teabing di belakang, sebuah kotak kayu atau sejenisnya. Walaupun meyangkal bahwa
dia tahu apa isi kotak itu, si pilot mengaku bahwa kotak itu telah menjadi pusat
perhatian Langdon selama penerbangan ke London. "Buka lemari itu." Fache
meminta. Pilot itu tampak ketakutan. "Aku tidak tahu kombinasinya!" "Sayang
sekali. Aku baru saja mau menawarkan agar kau tetap
mempunyai izin terbang." Pilot itu meremas-remas tangannya. "Aku kenal beberapa
orang di bagian pemeliharaan di sini. Mungkin mereka bisa mengebornya?" "Kau punya waktu
setengah jam." Pilot itu loncat menyambar radionya. Fache berjalan ke belakang
pesawat dan menuang minuman keras untuknya sendiri. Ini masih terlalu pagi,
tetapi dia belum tidur .... Sambil duduk di kursi yang sangat lunak, Fache
menutup matanya, mencoba membayangkan apa yang terjadi. Kegagalan Polisi Kent
dapat sangat merugikanku. Sekarang semua orang sedang mencari limusin Jaguar
hitam. Telepon Fache berdering, padahal dia mengharapkan kedamaian sesaat saja."Allo?"
"Aku dalam perjalanan ke London." Itu Uskup Aringarosa. "Aku akan tiba dalam
satu jam." Fache duduk tegak. "Kupikir kau akan terbang ke Paris." "Aku sangat
khawatir. Aku mengubah rencana." "Kau tidak boleh begitu." "Kau sudah bertemu
Silas?" "Tidak. Penangkapnya berhasil lolos dari polisi Kent sebelum aku
mendarat." Kemarahan Aringarosa berdering tajam. "Kau meyakinkan aku bahwa kau
akan menghentikan pesawat itu!" Fache merendahkan suaranya. "Uskup, mengingat
keadaanmu, aku sarankan kau jangan menguji kesabaranku hari ini. Aku akan
menemukan Silas dan yang lainnya secepat mungkin. Kau akan mendarat di mana?"
"Sebentar." Aringarosa menahan teleponnya, lalu menyambungnya lagi. "Pilot
mengatakan dia akan mencoba mendarat di Heathrow. Aku satu-satunya penumpangnya,
tetapi tujuan baru kami tidak terdaftarkan."
"Katakan kepada pilot itu untuk mendarat di lapangan terbang eksekutif Biggin
Hill di Kent. Aku akan mintakan izin untukmu." "Terima kasih." "Seperti yang
kunyatakan ketika kita pertama kali berbicara, Uskup, kau harus mengingatnya
baik-baik, bahwa kau bukanlah satu-satunya orang yang berisiko kehilangan
segalanya." 85 KAUMENCARIbolayangseharusnyaadadimakamitu.
Setiap pahatan kesatria di Gereja Kuil itu berbaring terlentang, dengan kepala
mereka terletak pada sebuah bantal batu segi empat. Sophie merasa ngeri. Kata
bola dalam puisi itu membangkitkan ingatan Sophie pada perstiwa di ruang bawah-
tanah puri kakeknya. HierosGamos.Bola. Sophie bertanya-tanya apakah ritual itu
pernah dilakukan di gereja ini. Ruang bundar itu tampak dibuat sesuai dengan
pesanan untuk melakukan ritual pagan semacam itu. Sebuah bangku dari batu
mengelilingi area kosong di tengah-tengah.Sebuahteaterbundar, seperti yang
disebut Robert tadi. Sophie membayangkan ruangan ini pada maalam hari penuh
dengan orang-orang bertopeng, menyanyi di bawah sinar obor, semua menyaksikan
"penyatuan suci" di tengah-tengah ruangan. Sophie berusaha menghilangkan pikiran
itu dari benaknya. Dia lalu mendahului Langdon dan Teabing menuju ke kelompok
makam kesatria yang pertama. Walau Teabing berkeras bahwa penyelidikan mereka
harus dilakukan dengan sangat cermat, Sophie merasa bersemangat dan bergegas
mendahului mereka, berjalan memintas ke arah lima makam patung kesatria di
sebelah kiri. Sophie meneliti kelompok makam pertama ini. Dia melihat kesamaan dan perbedaan
di antara kelimanya. Setiap kesatria berbaring terlentang, tetapi tiga dari lima
kesatria kakinya terjulur lurus, sedangkan yang dua lainnya bersilang. Keanehan
itu tampaknya tidak ada hubungannya dengan bola yang hilang. Sophie lalu
meneliti pakaian mereka. Dia menemukan bahwa dua dari kesatria itu mengenakan
tunik di atas baju besi mereka, sedangkan yang tiga lainnya mengenakan jubah
panjang semata kaki. Lagi, ini sama sekali tidak ada gunanya. Kemudian Sophie
mengalihkan perhatiannya pada perbedaan yang jelas - posisi tangan mereka. Dua
orang kesatria memegang pedang, dua lagi berdoa, dan yang satu meletakkan
lengannya di sisi tubuhnya. Setelah lama melihat tangan-tangan itu, Sophie
menggerakkan bahunya. Dia tidak melihat petunjuk yang jelas tentang bola yang
hilang itu. Karena merasa beban cryptex di dalam sakunya, Sophie lalu melirik pada Langdon
dan Teabing. Kedua lelaki itu bergerak lambat, masih berada pada kesatria
ketiga, tampaknya juga tidak beruntung. Sophie tidak ingin menunggu. Dia
berpaling dari mereka lalu bergerak ke kelompok makampatung kedua. Ketika dia
melintasi ruangan terbuka, perlahan dia mengucapkan puisi yang tadi dibacanya,
beberapa kali sehingga dia hafal sekarang.
DiLondonterbaringseorangkesatriayangseorangPauskuburkan.
BuahperbuatannyakemarahanSucimuncul.
Kaumencaribolayangseharusnyaadadiatasmakamnya. ItumenyatakanragaRosi
danrahimyangterbuahi Ketika Sophie tiba pada kelompok kedua, dia melihat kelompok ini sama dengan
kelompok pertama. Semuanya terbaring dengan posisi tubuh yang berbeda,
mengenakan pakaian besi dan pedang. Itu sudah semuanya, kecuali makam kesepuluh,
terakhir. Sophie bergegas ke sana, lalu menatap ke bawah. Tidakadabantal.
Tidakadabajubesi.Tidakadatunik.Tidakadapedang. "Robert" Leigh?" panggil Sophie,
suaranya menggema di sekitar ruangan
itu. "Ada yang hilang di sini." Kedua lelaki itu menoleh dan segera melintasi
ruangan menuju ke Sophie. "Sebuah bola?" seru Teabing gembira. Penopang kaki
metalnya berklikklik dengan cepat seperti staccato dalam musik ketika lelaki
gemuk itu melintasi ruangan. "Kita kehilangan sebuah bola?"
"Tidak seperti itu," kata Sophie, mengerutkan dahinya pada makam kesepuluh.
"Tampaknya kita kehilangan keseluruhan kesatria kesepuluh ini."
Ketika Teabing dan Langdon tiba di samping Sophie, mereka berdua menatap ke
bawah dengan bingung pada makam kesepuluh itu. Tidak ada kesatria yang
terbaring, tapi hanya sebuah peti mati dari batu yang tersegel. Peti mati itu
berbentuk trapesium, menyempit pada bagian kaki dan melebar pada bagian kepala,
dengan penutup yang runcing ke atas. "Mengapa kesatria yang ini tidak
diperlihatkan?" tanya Langdon. "Menarik," kata Teabing, sambil mengusap-usap
dagunya. "Aku sudah lupa tentang keanehan ini. Aku sudah bertahun-tahun tidak ke sini." "Peti mati
ini," kata Sophie, "tampaknya diukir pada waktu yang sama oleh pemahat yang sama
seperti halnya kesembilan makam itu. Jadi, mengapa kesatria ini terbungkus dalam
peti mati, tidak terbuka?"
Teabing menggelengkan kepalanya. "Salah satu misteri gereja ini. Sejauh yang
kutahu, tidak ada yang dapat menjelaskan hal ini." "Halo?" seru petugas altar
tadi, sambil mendekat dengan wajah gelisah. "Maafkan saya jika ini tampak tidak
sopan. Tadi Anda bilang ingin menebarkan abu, tetapi Anda kelihatannya hanya
melihat-lihat." Teabing cemberut pada anak muda itu dan menoleh pada Langdon. "Pak Wren,
tampaknya kedermawanan keluarga anda tidak lagi dapat memberi Anda waktu seperti
dulu lagi. Jadi mungkin kita harus mengeluarkan abu itu dan segera
melakukannya." Teabing menoleh pada Sophie. "Ibu Wren?"
Sophie ikut berpura-pura, sambil mengeluarkan cryptex yang terbungkus kulit
kambing dari sakunya. "Sekarang," Teabing membentak pemuda itu, "bisa beri kami
privasi?" Petugas altar itu tidak bergerak. Dia sedang menatap Langdon dengan
cermat sekarang. "Anda seperti pernah kulihat." Teabing marah. "Mungkin itu
karena Pak Wren datang ke sini setiap
tahun!" Atau mungkin, Sophie sekarang mer?sa takut, karena pemuda tiu melihat
LangdonditelevisiketikaLangdonberadadiVatikan tahunlalu. "Aku belum pernah
bertemu dengan Pak Wren," jelas petugas altar itu. "Anda salah," Langdon berkata
dengan sopan. "Saya percaya Anda dan saya bertemu tahun lalu. Pak Knowles memang
tidak memperkenalkan kita dengan resmi, tetapi saya mengenali wajah Anda ketika
kami masuk tadi. Sekarang saya merasa sudah mengganggu, tetapi bisakah Anda
dapat memberikan waktu beberapa menit lagi kepada saya" Saya datang dari jauh
hanya untuk menyebar abu di antara makam-makam ini." Langdon mengucapkan
bagiannya dengan gaya yang meyakinkan seperti Teabing.
Tarikan wajah petugas altar itu bahkan berubah lebih meragukan mereka. "Ini
semua bukanmakam." "Maaf?" kata Langdon. "Tentu saja ini semua makam," kata
Teabing. Petugas altar itu menggelengkan kepalanya. "Makam selalu berisi
jenazah. Ini semua hanya patung. Penghormatan orang-orang yang nyata. Tidak ada
satu jasad pun di bawah figur-figur ini." "Ini makam!" kata Teabing. "Hanya
dalam buku-buku sejarah yang sudah ketinggalan zaman. Ini memang dulu dipercaya
The Da Vinci Code Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merupakan makam di gereja, tetapi itu ternyata tidak berisi apa pun dan itu
diketahui pada waktu renovasi gereja ini pada tahun 1950." Dia menoleh lagi pada
Langdon. "Dan saya heran juga, seharusnya Pak Wren tahu itu, mengingat yang
mengetahui hal itu adalah keluarga Anda sendiri." Kesunyian yang tidak
menyenangkan terjadi. Namun segera terusik oleh suara pintu terbanting di ruang
tambahan gereja. "Itu mungkin Pak Knowles," kata Teabing. "Mungkin Anda harus
pergi dan melihatnya?" Petugas altar itu tampak ragu, tetapi dia pergi juga ke ruang
tambahan itu, meninggalkan Langdon, Sophie, dan Teabing yang saling bertukar
pandang dengan muram. "Leigh," bisik Langdon. "Tidak ada jenazahnya" Apa maksud pemuda itu?"
Teabing tampak putus asa. "Aku tidak tahu. Aku selalu berpikir ... tentu saja
ini pastilah tempat itu. Aku tidak dapat membayangkan pemuda itu tahu apa yang
dikatakannya tadi. Itu tidak mungkin!" "Aku boleh melihat puisi itu lagi?" kata
Langdon. Sophie mengeluarkan cryptex itu dari sakunya dan dengan hati-hati
memberikannya kepada Langdon. Langdon membuka bungkus kulit kambingnya, memegang
Cryptex pada tangannya sambil memeriksa puisi itu. "Ya, puisi ini menyatakan
tentang sebuah makam. Bukan sebuah patung."
"Mungkinkah puisi itu salah?" tanya Teabing. "Mungkinkah Jacques Sauniere
membuat kesalahan seperti yang baru kulakukan?" Langdon mempertimbangkannya dan
menggelengkan kepalanya. "Leigh, kau tadi mengatakannya sendiri. Gereja ini di
bangun oleh Templar, miiter bersenjata dari Biarawan Sion. Aku punya firasat
bahwa Mahaguru Biarawan memiliki gagasan yang bagus jika para kesatrianya
terkubur di sini." Teabing tampak sangat heran. "Tetapi tempat ini sempurna." Dia berjalan kembali
ke arah kesatria-kesatria itu. "Kita pasti t?lah rnelewatkan sesuatu!" Ketika
petugas altar memasuki ruang tambahan itu, dia heran karena ruangan itu ternyata
kosong. "Pak Knowles?" Aku yakin mendengar suara pintu, pikirnya, sambil
bergerak ke depan sampai dia melihat pintu masuk.
Seorang lelaki kurus mengenakan tuksedo berdiri di dekat pintu masuk, sambil
rnenggaruk-garuk kepalanya dan tampak bingung karena tersesat. Petugas altar itu
marah pada dirinya karena dia telah lupa mengunci kembali pintu itu ketika dia
membiarkan ketiga orang tadi masuk. Sekarang seorang kerempeng yang menyedihkan
telah memasuki gereja dari jalanan. Jika dilihat dari penampilannya, orang ini
pastilah sedang mencari upacara pernikahan. "Maaf," seru petugas altar itu,
sambil melewati sebuah pilar besar, "kami tutup."
Suara kebutan kain bergemerisik di belakangnya, dan sebelum ia dapat menoleh,
kepalanya ditarik ke belakang. Sebuah tangan kuat membekap keras mulutnya dari
belakang, membungkus teriakannya. Tangan yang membekap mulut pemuda itu seputih
saiju, dan dia berbau alkohol.
Lelaki yang bertuksedo dengan tenang mengeluarkan revolver kecil, yang langsung
diarahkannya ke kepala pemuda itu.
Petugas altar itu merasa selangkangannya menjadi panas dan sadar bahwa dia telah
mengompol. "Dengarkan baik-baik," bisik lelaki bertuksedo. "Kau harus keluar dari gereja
ini tanpa ribut. Kau harus berlari. Tanpa henti. Jelas?"
Pemuda itu mengangguk sedalam-dalamnya dengan tangan putih masih membekap
mulutnya. "Jika kau memanggil polisi ...," Lelaki bertuksedo itu menekankan pistolnya pada
kulit pemuda itu, "aku akan mencari dan menemukanmu."
Setelah itu, pemuda itu berlari sekencang-kencangnya melintasi halaman, tanpa
keinginan untuk berhenti sampai kakinya tidak kuat lagi berlari.
86 SEPERTI hantu, Silas melayang tanpa suara dibelakang mangsanya. Sophie Neveu
terlambat merasakan kehadirannya. Sebelum Sophie sempat menoleh, Silas sudah
menekankan pistolnya pada tulang belakangnya dan melingkan tangan kuatnya pada
dada Sophie, lalu menariknya hingga punggung Sophie menempel pada tubuh
kekarnya. Sophie berteriak kaget. Teabing dan Langdon menoleh, ekspresi mereka
tercengang dan takut. "Apa ...?" Teabing seperti tercekik. "Apa yang kaulakukan
pada R?my?" "Yang harus kaupikirkan hanyalah," kata Silas tenang, "aku akan
pergi dari sini dengan membawa batu kunci." Misi penyelamatan kembali ini,
seperti yang tadi digambarkan Remy, harus bersih dan sederhana: Masuk Gereja,
ambilbatukunci,danpergi;tidakadapembunuhan, tidakadaperkelahian.
Sambil memegang Sophie dengan kuat, Silas menurunkan tangannya dari dada Sophie
ke pinggang perempuan itu, dan menyelipkan tangannya ke dalam saku sweternya,
meraba-raba. Silas dapat mencium harum lembut rambut Sophie. "Di mana batu kunci
itu?" Silas berbisik.Batukunciituadadidalam
sakusweaternyatadi.Jadidimanasekarang" "Di sini," suara dalam Langdon bergema di
ruangan itu. Silas menoleh dan melihat Langdon memegangcryptex hitam di
depannya. mengayun-ayunkannya ke depan dan ke belakang seperti seorang matador
menggoda hewan bodoh. "Letakkan di bawah," perintah Silas. "Biarkan Sophie dan
Leigh meninggalkan gereja ini," jawab Langdon. "Kau dan aku dapat mengurus ini."
Silas mendorong Sophie menjauh darinya dan mengarahkan pistolnya pada Langdon,
sambil bergerak mendekatinya. "Jangan mendekat satu langkah pun," kata Langdon.
"Jangan, sebelum mereka meninggalkan gedung ini." "Kau tidak dapat
memerintahku." "Aku tidak sependapat." Lalu Langdon mengangkat cryptex itu
tinggi di atas kepalanya. "Aku tidak akan ragu membanting ini di atas lantai dan
sehingga botol kecil di dalamnya juga pecah."
Walau Silas menggeram keras dari tenggorokannya, dia merasa takut juga. Ini
tidak diduganya. Dia mengarahkan pistoinya pada kepala Langdon dan menjaga
suaranya agar tetap tenang seperti tangannya yang tak gemetar. "Kau tidak akan
memecahkan batu kunci itu. Kau sangat ingin menemukan Grail seperti juga aku."
"Kau salah. Kau menginginkan ini lebih dariku. Kau telah membuktikannya dengan
membunuh orang untuk mendapatkannya."
Empat puluh kaki jauhnya dari kejadian itu, Remy muncul dari bangku gereja di
ruang tambahan di dekat pintu lengkung. Remy Legaludec mulai merasa khawatir.
Usaha itu tidak berjalan seperti yang telah mereka rencanakan, dan bahkan dari
sini, dia dapat melihat Silas tampak tidak yakin mengatasi keadaan itu. Atas
perintah Guru, R?my telah melarang Silas untuk menembakkan senjatanya.
"Biarkan mereka pergi," kata Langdon lagi, sambil tetap memegangi cryptex itu
tinggi-tinggi melebihi kepalanya dan menatap pistol Silas.
Mata merah biarawan itu penuh ketakutan dan keputusasaan dan R?my tegang karena
mungkin saja Silas akan menembak Langdon ketika lelaki jangkung itu masih
memegangiCryptex.Cryptexitutidakbolehjatuh!
Cryptex itu akan menjadi tiket kebebasan dan kemakmuran R?my. Kirakira lebih
dari setahun yang lalu, R?my adalah seorang pelayan berusia 55 tahun yang
tinggal di dalam dinding Puri Villette, melayani keanehan yang tak tertahankan
dari Sir Leigh Teabing yang cacat. Lalu dia dibujuk dengan sebuah tawaran yang
luar biasa. Hubungan R?my dengan Sir Leigh Teabing--seorang sejarawan Grail yang
sangat terkemuka di bumi ini---akan memberikan kepada R?my segala yang pernah
diimpikannya dalam hidup ini. Sejak itu, setiap saat yang dijalaninya di dalam
Puri Villette telah membawanya ke arah itu lebih cepat lagi.
Aku sudah begitu dekat, kata R?my pada dirinya sendiri, sambil menatap ke ruang
di dekat altar Gereja Kuil dan pada batu kunci di tangan Robert Langdon. Jika
Langdon menjatuhkannya, segalanya akan hilang.
Apakah aku akan memperlihatkan wajahku" Guru telah melarangnya dengan keras
untuk itu. R?my adalah satu-satunya yang mengenali identitas Guru.
"Kauyakin Silas yang harus melakukan tugas ini?" tanya Remy kepada Guru kurang
dari setengah jam yang lalu, saat menerima perintah untuk mencuri batu kunci
itu. "Aku sendiri mampu."
Guru memastikan. "Silas telah melakukan tugasnya dengan baik dengan membunuh
empat anggota Biarawan. Dia akan menyelamatkan batu kunci itu. Kau harus tetap
tak dikenal. Jika ada yang melihatmu, mereka harus mati juga. Jangan ada
pembunuhan lagi. Jangan perlihatkan wajahmu."
Wajahku dapat diubah, pikir R?my. Dengan bayaran yang kaujanjikan kepadaku, aku
akan menjadi orang yang sama sekali baru. Operasi bahkan dapat mengubah sidik
jari, Guru pernah mengatakan itu kepadanya. Dia akan bebas segera - seraut wajah
tak dikenali, berkeringat di bawah matahari pantai. "Aku mengerti" kata R?my.
"Aku akan membantu Silas dan balik kegelapan."
"Ini untuk kauketahui sendiri, R?my," kata Guru, "makam yang dicari tidak berada
di Gereja Kuil. Jadi, jangan takut. Mereka mencari di tempat yang salah." R?my
terpaku. "Dan kautahu di mana makam itu?" "Tentu saja. Nanti aku akan
mengatakannya padamu. Untuk saat ini, kau harus bertindak cepat. Jika mereka
tahu tempat makam yang sesungguhnya, dan meninggalkan gereja sebelum kau membawa
cryptex itu, kita dapat kehilangan Grail selamanya."
R?my tidak peduli pada Grail, namun Guru tidak akan membayarnya sebelum dia
menemukan Grail itu. R?my merasa pening setiap kali mengingat sejumlah uang yang
akan diterimanya segera. Sepertiga dari 20 juta
euro.Cukupbanyakuntukmenghilangselamanya. R?my telah membayangkan kota pantai
C?te d'Azur, tempat dia merencanakan untuk menghabiskan hari-harinya dengan
berjemur di bawah matahari sambil dilayani oleh orang lain.
Sekarang R?my sudah berada di Gereja Kuil, tetapi dengan Langdon yang mengancam
akan memecahkan cryptex itu, masa depannya masih berada dalam bahaya. Karena
tidak tahan membayangkan akan kehilangan segalanya padahal sudah begitu dekat,
R?my memutuskan untuk bertindak keras. Pistol di tangannya merupakan senjata
yang dapat disembunyikan, kaliber kecil, Jframe Medusa, tetapi sangat mampu
membunuh dari jarak dekat.
Remy keluar dari persembunyiannya, lalu berjalan memasuki ruang bundar dan
mengarahkan pisol itu tepat pada kepala Teabing. "Orang tua, aku sudah menunggu
lama sekali untuk melakukan ini."
Jantung Sir Leigh Teabing betul-betul berhenti melihat R?my mengarahkan sepucuk
pistol padanya. Apa yang dilakukannya" Teabing mengenali Medusa kecil itu
sebagai miliknya, yang disimpannya di tempat penyimpanan sarung tangan yang
terkunci di limosinnya, untuk keamanannya. "R?my?" Teabing terbatuk karena
sangat terkejut. "Ada apa ini?"
Langdon dan Sophie tampak sama tercengangnya.
R?my memutar di belakang Teabing dan menyodokkan laras pistolnya ke
punggung majikannya, tepat di belakang jantung. Teabing merasa otot-ototnya
tercekam karena takut. "Remy, aku tidak - " "Akan kujelaskan dengan sederhana,"
sergah R?my, sambil menatap Langdon melalui bahu Teabing. "Letakkan batu kunci
itu, atau akan kutarik pelatuk pistol ini."
Langdon tampak lumpuh sesaat. "Batu kunci ini tidak ada artinya untukmu," bentak
Langdon. "Kau tidak mungkin membukanya."
"Orang sombong yang tolol," desis R?my. "Apakah kau tidak tahu, aku mendengarkan
semalam suntuk diskusi kalian tentang puisi itu" Aku mendengar segalanya, dan
aku telah membagi formasi itu dengan orang lain. Mereka tahu lebih banyak dari
kalian. Kalian bahkan tidak mencarinya di tempat yang benar. Makam yang kalian
cari berada di tempat lain!" Teabing merasa panikApamaksudnya" "Mengapa kau
menginginkan Grail?" tanya Langdon. "Untuk
menghancurkannya" Sebelum Hari Akhir?" R?my berseru pada si biarawan. "Silas,
ambil batu kunci dari Pak
Langdon." Bagitu biarawan albino itu bergerak maju, Langdon melangkah mundur,
menaikkan batu kunci itu, tampak siap membantingnya ke lantai. "Aku lebih senang
menghancurkannya," kata Langdon. "Daripada
melihatnya berada di tangan yang salah." Sekarang Teabing merasa sangat
ketakutan. Dia dapat melihat pekerjaan yang sudah dilakukan seumur hidupnya
menguap begitu saja di depan matanya. Semua mimpinya akan berantakan.
"Robert, jangan!" seru Teabing. "jangan! Yang kau pegang itu Grail! R?my tidak
akan menembakku. Kami telah saling mengenal selama sepuluh..."
R?my mengarahkan pistolnya ke langit-langit dan menembakkan Medusanya. Suara
ledakannya sangat keras bagi pistol sekecil itu. Suaranya bergema seperti guntur
di dalam ruangan batu itu. Semua orang membeku. "Aku tidak sedang main-main,"
kata R?my. "Tembakan berikutnya adalah
pada punggungnya. Berikan batu kunci itu pada Silas." Dengan enggan Langdon
mengulurkan cryptex itu. Silas melangkah maju dan mengambilnya; Mata merahnya
berkilauan karena merasa puas akan pembalasannya. Lalu dia menyimpan cryptex itu
di dalam saku jubahnya, kemudian mundur, masih tetap menodong Langdon dan Sophie
dengan pistolnya. Teabing merasa tangan R?my menjepit di sekitar lehernya ketika pelayannya itu
mulai melangkah mundur menuju keluar gedung dengan menyeret tuannya. Pistol R?my
masih menempel pada punggung Teabing. "Lepaskan dia," pinta Langdon. "Kami bawa
Pak Teabing berjalan-jalan," kata R?my, masih berjalan mundur. "Jika kau
menelepon polisi, dia akan mati. Jika ikut carnpur, dia akan mati. Jelas?"
"Bawa aku saja," pinta Langdon lagi. Suaranya serak karena emosi. "Lepaskan
Leigh." R?my tertawa. "Aku rasa tidak. Dia dan aku memiliki sejarah yang manis. Lagi
pula, mungkin saja dia masih berguna."
Silas juga mundur sekarang, dengan tetap menodongkan pistolnya pada Langdon dan
Sophie. Ketika R?my menyeret Teabing ke arah pintu, tongkatnya juga terseret
mengikutinya. Suara Sophie tidak bergetar. "Kau bekerja untuk siapa?" Pertanyaan
itu membuat R?my menyeringai. "Kau akan terkejut, Mademoiselle Neveu."
87 Perapian diruang tamu Puri Villete sudah padam, namun Collet masih saja
jalan hilir-mudik didepannya begitu dia membaca faks dari Interpol. Sama sekali
tidak seperti yang diharapkannya. Andre Vernet, menurut catatan resmi adalah
seorang warga terhormat. Tidak punya catatan kejahatan, bahkan tidak pernah
menerima tilang parker. Belajar di sekolah terkemuka dan di Sorbonne, dia lulus
dengan cum laude dari fakultas ilmu keuangan internasional. Interpol mengatakan,
nama Vernet sering muncul di media massa, tetapi selalu dalam pemberitaan yang
positif. Tampaknya lelaki itu telah menolong merancang parameter keamanan yang
membuat Bank Penyimpanan Zurich menjadi yang terdepan dalam pengamanan
elektronik ultramodern. Pemakaian kartu kredit Vernet menunjukkan minat
tingginya pada buku-buku seni, anggur mahal, dan CD musik klasik - paling banyak
Brahm---yang dinikmatinya dengan menggunakan sistem stereoHighend yang dibelinya
beberapa tahun lalu. Nol, Collet mendesah. Satu-satunya bendera merah malam ini
dari interpol adalah sekumpulan sidik jari yang tampaknya milik pelayan Teabing.
Kepala penyelidikan PTS membaca laporan itu sambil duduk di kursi nyaman di
ruangan itu juga. Collet menatapnya. "Ada?" Penyelidik itu menggerakkan bahunya.
"Sidik jari itu milik R?my Legaludec. Diburu karena kejahatan kecil. Tidak ada
yang serius. Tampaknya dia pernah dikeluarkan dari sebuah universitas karena
mengakali telepon umum untuk mendapatkan sambungan gratis ... setelah itu dia
mencuri kecilkecilan. Pernah melarikan diri dari tagihan rumah sakit untuk
perawatan tracheotomy di unit gawat darurat." Lalu dia menatap Collet sambil
tertawa. "Alergi kacang."
Collet mengangguk. Ia mengingat sebuah penyelidikan polisi di sebuah restoran
yang lupa mencatat pada menunya bahwa resep sambalnya mengandung minyak kacang.
Seorang pelanggan secara tak disangka-sangka telah meninggal dunia karena
anaphylactic shock begitu dia menyantap sesendok makanan itu.
"Legaludec mungkin saja tinggal di sini untuk menghindari penangkapan itu."
Penyelidik itu tampak senang. "Malam keberuntungannya"
Collet mendesah. "Baiklah, kau sebaiknya mengirimkan ini kepada Kapten Fache."
Penyelidik itu pergi tepat ketika agen PTS lainnya masuk dengan tergesa ke
ruangan itu. "Letnan, aku menemukan sesuatu di gudang." Dari wajah yang tampak
cemas itu, Collet hanya dapat menerka. "Mayat?" "Bukan, Pak. Sesuatu yang
lebih ..." Dia ragu. "Tidak terduga." Sambil menggosok matanya, Collet mengikuti
agen itu keluar menuju gudang. Ketika mereka memasuki ruangan yang pengap dan
tinggi itu, si agen menunjuk pada pusat ruangan. Disana sekarang tampak ada
tangga kayu yang menanjak tinggi ke kasok, menyandar pada birai loteng jerami
yang tergantung tinggi di atas mereka. "Tangga itu tidak ada di sana tadi," kata
Collet. "Memang tidak, Pak. Aku yang memasangnya. Saat kami sedang memeriksa
sidik jari di dekat Rolls, aku melihat tangga itu tergeletak di lantai. Aku
tidak akan tertarik kalau saja anak tangganya tidak tampak baru terpakai dan
berlumpur. Tangga ini kelihatannya sering dipakai. Ketinggian loteng jerami itu
sesuai dengan panjang tangga ini, jadi kutegakkan dan kupanjati untuk memeriksa
di atas sana." Mata Collet memanjati anak tangga itu sampai ke loteng jerami. Ada orang yang ke
atas sana secara teratur" Dari bawah sini loteng itu tampak seperti landasan
tidak terpakai, namun semua yang ada di sana memang tidak dapat terlihat dari
bawah sini. Seorang agen PTS senior muncul pada puncak anak tangga dan melihat ke bawah.
"Kau pasti ingin melihat ini, Letnan," katanya sambil melambai pada Collet
dengan tangannya yang bersarung tangan karet, mengajak Collet untuk ke atas dan
Manusia Seribu Wajah 1 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Keris Pusaka Sang Megatantra 8