Pencarian

Dibalik Keheningan Salju 10

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 10


daripada ketika dia menunggu pada masa kanakkanaknya, berbaring di ranjang,
mendengarkan kebisingan lalu lintas kota. Terdengar ketukan di pintu. Ypek
berdiri di sana. Pemuda yang berjaga di meja resepsionis memberitahunya bahwa
sesuatu yang aneh sepertinya telah menimpa Ka, dan dia langsung naik
menyusulnya. Ketika melihat wajah Ka, Ypek terkesiap dan terdiam. Selama
beberapa waktu, tidak seorang pun berbicara.
"Aku tahu soal hubunganmu dengan Lazuardi," Ka berbisik.
"Apakah dia sendiri yang memberitahumu?"
Ka mematikan lampu. "Z Demirkol dan teman-temannya mengangkutku," katanya, masih
dengan sangat lirih. "Mereka telah menyadap teleponmu selama empat tahun." Ka
kembali berbaring, terisakisak lirih. "Rasanya aku ingin mati," katanya.
Saat Ypek mengulurkan tangan untuk menyapukan jemari ke rambutnya, Ka menangis
semakin keras. Meskipun menderita akibat perasaan kehilangan, mereka berdua
merasa lega seperti yang terjadi pada setiap orang yang baru saja menyadari
bahwa mereka telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan. Ypek
berbaring di ranjang dan memeluk Ka. Selama beberapa waktu, mereka menangis
berdua, dan ini semakin mendekatkan mereka.
Sambil berbaring dalam kegelapan, Ypek menjawab pertanyaan-pertanyaan Ka dan
menceritakan kisahnya. Ypek mengatakan bahwa semua itu adalah kesalahan Muhtar:
bukan hanya karena Muhtar telah mengundang Lazuardi ke rumah mereka; dia juga
menginginkan pahlawan Islamisnya ini mengakui betapa istrinya adalah seorang
wanita memesona. Pada waktu itu, Muhtar memperlakukan Ypek dengan sangat buruk
dan menyalahkannya karena mereka tidak memiliki anak. Dan, seperti yang telah
diketahui oleh Ka, Lazuardi pintar berkata-kata, sehingga dia tahu betul cara
memikat seorang wanita yang sedang menderita. Tidak lama setelah gagal menahan
godaan ini, Ypek dengan panik mulai bertindak untuk menghindari bencana.
Prioritas utama Ypek adalah menjaga supaya Muhtar tidak tahu-Ypek masih sangat
menyayangi Muhtar dan tidak ingin menyakitinya. Tetapi, ketika perselingkuhan
itu mulai terkuak, kekhawatiran
utamanya adalah bagaimana dia bisa meloloskan diri.
Pada awalnya, Lazuardi tampak sangat menarik bagi Ypek karena superioritasnya
terhadap Muhtar yang tampak sangat mencolok: suaminya akan membuat dirinya
sendiri tampak bodoh dengan meracau tanpa arah tentang politik, dan Ypek akan
merasa malu untuknya. Hal ini semakin parah saat dia dan Lazuardi mulai
berhubungan, dan Muhtar yang malang terus melanjutkan puja-pujinya kepada
Lazuardi, senantiasa memohon-mohon supaya Lazuardi lebih sering berkunjung ke
Kars, dan menyalahkan Ypek karena tidak memperlakukan tamunya dengan kebaikan
dan kemurahan hati yang layak. Bahkan setelah Ypek pindah ke rumah baru bersama
Kadife, Muhtar masih tidak tahu apa-apa; dan, kecuali jika Z Demirkol dan teman-
temannya juga memberi tahudirinya, dia tidak akan pernah tahu.
Kadife yang bermata tajam, sebaliknya, mengetahui semuanya pada akhir hari
pertamanya di Kars,dan motivasinya bergabung dengan para gadis berjilbab
sesungguhnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Lazuardi. Ypek, yang telah
terbiasa dengan kecemburuan Kadife sejak mereka masih kanakkanak, dapat melihat
dengan jelas ketertarikan adiknya kepada Lazuardi; ketika melihat Lazuardi
membalas perhatian Kadife kepadanya, cinta Ypek kepada pria itu pun memudar.
Dan, Ypek menyadari bahwa jika Kadife menjalin hubungan dengan Lazuardi, dia
akan mendapatkan kesempatan untuk membebaskan dirinya sendiri. Ketika ayahnya
pindah ke Kars, Ypek berhasil menjauhkan diri dari kekasihnya yang tidak setia.
Cara Ypek bercerita berhasil meyakinkan Ka bahwa perselingkuhannya dengan
Lazuardi adalah sebuah kesalahan masa silam yang telah terkubur dalam-dalam, dan
Ka mungkin akan memercayainya, hingga tiba-tiba sebuah dorongan kekanak-kanakan
mendorong Ypek untuk berseru, "Tapi sebenarnya, Lazuardi tidak sungguh-sungguh
mencintai Kadife. Dia mencintaiku!" Ini bukanlah kalimat yang ingin didengar
oleh Ka, sehingga dia menanyakan apa pendapat Ypek sekarang tentang 'pria mesum'
ini. Untuk menghindari topik ini, Ypek berulang kali mengatakan bahwa semua itu
sudah berlalu, dan satu-satunya harapannya saat ini adalah pergi bersama Ka ke
Frankfurt. Pada titik ini, Ka teringat pada pernyataan terakhir Z Demirkol:
bahwa Ypek pernah beberapa kali menelepon Lazuardi selama hari-hari terakhir
mereka berhubungan. Ypek bersikeras bahwa percakapan seperti itu tidak pernah
terjadi, dan bahwa, tentu saja, Lazuardi selalu waspada sehingga tidak akan
menerima telepon yang memungkinkan para pemburunya melacak keberadaannya.
"Kita tidak akan pernah bahagia," ujar Ka.
"Tidak, kita akan pergi ke Frankfurt, dan kita akan bahagia," kata Ypek, memeluk
Ka erat-erat. Menurut Ypek, Ka memercayainya untuk sesaat, sebelum air matanya kembali
mengalir. Ypek mempererat pelukannya dan mereka pun menangis bersama. Seperti yang
kemudian ditulis oleh Ka, pada saat itulah, ketika mereka saling berpelukan dan
menangis, Ypek menemukan sesuatu untuk pertama kalinya: bahwa hidup dalam
ketidakpastian, terombang-ambing di antara kekalahan dan hidup baru, dapat
memberikan kenikmatan sekaligus kepedihan yang sama besarnya. Perasaan ringan
yang memungkinkan mereka saling memeluk dan menangis bersama seperti ini membuat
Ka semakin mencintai Ypek; tetapi, meskipun dia memeluk Ypek sekuat-kuatnya,
sebagian dari dirinya telah mulai memperhitungkan langkah selanjutnya yang akan
diambilnya dan tetap waspada terhadap setiap bunyi-bunyian di jalan. Waktu
hampir menunjukkan pukul enam sore: edisi esok hari Border City Gazette telah
mulai diedarkan; alat pengeruk salju telah dikerahkan untuk membersihkan jalan
menuju Sarikami0; Funda Eser, yang telah menebarkan pesonanya dan membujuk
Kadife untuk memasuki truk tentara, berada bersamanya di Teater Nasional, tempat
keduanya berlatih bersama Sunay.
Ka membutuhkan waktu setengah jam sebelum berhasil memberi tahu Ypek tentang
pesan yang dibawanya dari Lazuardi untuk Kadife. Setelah beberapa saat saling
berpelukan dan menangis, mereka hampir bercinta,namun ketakutan, ketidakpastian,
dan kecemburuan mendorong Ka untuk menahan diri. Alih-alih, Ka mulai menanyakan
kapan Ypek terakhir kali bertemu dengan Lazuardi; berkali-kali, Ka menuduh Ypek
berbicara setiap hari dengan Lazuardi. Kemudian, Ka juga menuduh Ypek menemui
Lazuardi setiap hari; bahwa Ypek masih menjadi kekasih Lazuardi. Nantinya, Ka
akan mengingat bahwa, meskipun pada awalnya Ypek tidak mau menanggapi pertanyaan
dan tuduhannya, marah karena Ka menolak memercayainya, pada akhirnya, saat dia
melihat bahwa emosi yang tersembunyi jauh lebih kuat daripada katakata yang
terucap, Ypek mulai menjawab pertanyaan Ka secara lebih lembut. Ypek sepertinya
mendapati bahwa kelembutan suaranya dapat menenangkan dirinya sendiri. Bahkan,
ada bagian dari dirinya yang merengkuh kepedihan yang dimunculkan oleh berbagai
pertanyaan dan tuduhan Ka terhadap dirinya. Selama empat tahun terakhir
kehidupannya, yang didedikasikannya pada rasa bersalah dan penyesalan, Ka akan
mengakui kepada dirinya sendiri bahwa
orang-orang yang gemar melakukan kekerasan verbal sering kali terobsesi oleh
kebutuhan untuk mengetahui seberapa besar kekasih mereka mencintai mereka dan
hal ini telah menguasai Ka seumur hidupnya. Bahkan, meskipun Ka terus-menerus
mengusik Ypek dengan suara parau, mengatakan bahwa Ypek menginginkan Lazuardi,
bahwa Ypek lebih mencintai Lazuardi, dia tidak begitu tertarik pada jawaban
Ypek; dia lebih ingin mengetahui sampai sejauh mana kesabaran Ypek dalam
menghadapinya. "Kau hanya berusaha menghukumku karena pernah berhubungan dengannya," kata Ypek.
"Kau menginginkanku hanya karena kau sedang berusaha melupakannya," tukas Ka.
Saat memandang wajah Ypek, Ka melihat dengan penuh kengerian bahwa dia
mengucapkan kebenaran, namun kali ini dia tidak kehilangan kesabaran. Ledakan
emosinya telah memperbarui kekuatannya. "Lazuardi mengirimkan sebuah pesan untuk
Kadife dari tempat persembunyiannya," katanya. "Sekarang dia menginginkan Kadife
tetap berpegang pada prinsipnya: Kadife harus menolak untuk naik ke panggung dan
mencopot jilbabnya. Lazuardi cukup keras kepala."
"Jangan mengatakan apa pun tentang hal ini kepada Kadife," kata Ypek.
"Mengapa tidak?"
"Karena jika kita diam saja, kita akan tetap mendapatkan perlindungan dari
Sunay. Dan, ini juga yang terbaik bagi Kadife. Aku ingin membuat jarak antara
Lazuardi dengan adikku."
Ka berkata, "Maksudmu, kauingin menghancurkan hubungan mereka." Dia dapat
melihat dari mata Ypek bahwa wanita itu telah muak dengan kecemburuannya dan
bahwa derajatnya telah turun di mata Ypek, namun
dia tak mampu menahan diri.
"Hubunganku dengan Lazuardi sudah sangat lama berakhir."
Masih tidak teryakinkan oleh pembelaan diri Ypek, amarah dan kecemburuan
berhasil merasuki Ka, dan kesadarannya akan hal ini justru semakin menambah
penderitaannya. "Sebenarnya, seberapa besarkah cintamu kepadanya?" Dengan mata
basah, Ka menantikan perkataan Ypek selanjutnya.
"Aku sangat mencintainya," Ypek menjawab, penuh keyakinan.
"Aku ingin kau mengatakan kepadaku seberapa besar kau mencintainya." Meskipun
telah kehilangan kesabaran, Ka merasa bahwa Ypek sedang bimbang dia ingin
mengatakan kejujuran, namun dia juga ingin meringankan kepedihannya dengan
mengungkapkan hal ini. Dia ingin menghukum Ka, namun pada saat yang sama, dia
juga sedih melihat Ka menderita.
"Rasa cintaku kepadanya jauh melebihi rasa cintaku kepada siapa pun sebelumnya,"
akhirnya Ypek berkata, menghindari tatapan Ka.
"Mungkin karena dialah satu-satunya pria yang pernah berhubungan denganmu selain
Muhtar." Ka telah menyesali katakata ini bahkan saat dia sedang mengucapkannya, bukan
hanya karena rasa sakit yang ditimbulkannya melainkan juga karena dia tahu bahwa
Ypek akan membalasnya dengan mengatakan sesuatu yang lebih kejam.
"Memang betul," kata Ypek. "Seperti kebanyakan gadis Turki, aku tidak punya
kesempatan untuk mengenal banyak pria. Tapi, kau mungkin pernah bertemu dengan
banyak wanita independen di Eropa. Aku tidak akan bertanya tentang mereka
kepadamu, tapi tentu mereka mengajarimu bahwa kekasih baru selalu lebih hebat
daripada kekasih lama."
"Aku orang Turki," tukas Ka.
"Sering kali, 'Aku orang Turki' dijadikan alasan atau pembenaran untuk melakukan
tindakan buruk." "Karena itulah aku akan kembali ke Frankfurt," ujar Ka dengan lesu.
"Aku akan ikut denganmu, dan kita akan berbahagia di sana."
"Kauingin ikut denganku ke Frankfurt karena kau berharap dapat melupakannya di
sana." "Jika kita pergi ke Frankfurt bersama, tidak akan lama, aku yakin, sebelum aku
bisa mencintaimu. Aku tidak seperti dirimu: aku butuh waktu lebih dari dua hari
untuk jatuh cinta dengan seseorang. Jika kau bersabar, jika kau tidak
menghancurkan hatiku dengan kecemburuan Turkimu itu, aku akan teramat sangat
mencintaimu." "Tapi, sekarang ini kau tidak mencintaiku," ujar Ka. "Kau masih mencintai
Lazuardi. Apakah yang membuat pria ini begitu istimewa?"
"Aku senang kau menanyakannya, dan aku yakin kau sungguh-sungguh ingin tahu,
tapi aku khawatir memikirkan bagaimana kau akan menerima jawabanku."
"Jangan takut," ujar Ka, lagi-lagi tanpa keyakinan. "Aku mencintaimu dengan
sepenuh hatiku." "Pertama-tama, aku ingin mengatakan bahwa aku hanya dapat hidup dengan pria yang
mau mendengarkan apa yang hendak kukatakan dan tetap mampu mencintaiku
sesudahnya." Ypek terdiam sejenak; dia mengalihkan tatapannya dari mata Ka untuk
memandang jalan yang berselimut salju. "Lazuardi sangat penyayang, penuh
pengertian, dan murah hati." Suara Ypek hangat oleh cinta. "Dia tidak
menginginkan siapa pun menderita. Dia pernah menangis semalaman hanya karena
melihat dua ekor anak anjing terpisah dari induk mereka. Percayalah kepadaku,
dia berbeda dengan orang lain."
"Bukankah dia pembunuh?" Ka bertanya dengan nada putus asa.
"Bahkan seseorang yang hanya mengetahui sepersepuluh dari apa yang kuketahui
tentang dirinya akan mengatakan kepadamu bahwa itu omong kosong belaka. Dia
tidak mampu membunuh siapa pun. Dia seorang bocah. Seperti seorang bocah, dia
suka bermain, terhanyut dalam lamunan, dan menirukan orang lain. Dia gemar
menceritakan kisah-kisah dari hikayat Shehname dan Mesnevi. Di balik topeng yang
dikenakannya, dia adalah orang yang sangat menarik. Dia berkemauan sangat keras,
tegas, sangat berkuasa, namun juga sangat menyenangkan .... Oh, maafkan aku,
Sayang, jangan menangis, tolonglah, kau sudah cukup lama menangis."
Ka berhenti menangis selama beberapa saat, cukup lama untuk mengatakan kepada
Ypek bahwa dia tidak percaya lagi mereka akan bisa pergi ke Frankfurt bersama.
Ucapan itu disusul oleh keheningan panjang yang menyesakkan, yang kemudian
dipecahkan oleh isak tangis Ka. Dia berbaring di ranjang, memunggungi jendela,
dan meringkuk seperti seorang bocah. Setelah beberapa waktu, Ypek berbaring di
sampingnya, merangkul punggungnya.
Ka ingin mengatakan, "Tinggalkan saja aku," namun dia justru membisikkan, "Peluk
aku lebih erat." Air matanya membasahi bantal, dan dia menyukai
sensasi yang dirasakan oleh pipinya. Dia juga menyukai pelukan Ypek. Dia
tertidur, begitu pula Ypek.
Ketika mereka terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan ketika
itu, keduanya merasa kebahagiaan masih berada dalam jangkauan mereka. Tetapi,
karena tidak mampu saling memandang, mereka berdua mencari-cari alasan untuk
saling meninggalkan. Ka hendak berbicara, namun Ypek memotongnya dengan mengatakan, "Lupakan saja,
Sayang, lupakan saja." Sejenak, Ka tidak dapat menduga apa yang hendak dikatakan
Ypek kepadanya: bahwa mereka tidak memiliki harapan lagi atau bahwa dia yakin
mereka akan mampu melupakan masa lalu mereka"
Ka mengira Ypek akan meninggalkannya. Ka tahu betul bahwa jika dia kembali ke
Frankfurt sendirian, tidak akan ada lagi kedamaian yang dapat ditemukannya,
bahkan dalam rutinitas sehari-harinya yang menyedihkan.
"Jangan pergi dahulu, mari kita duduk di sini sedikit lebih lama lagi."
Setelah melewati keheningan yang membuat keduanya gelisah, mereka saling
berpelukan sekali lagi. "Oh, Tuhanku!" seru Ka. "Tuhanku, akan jadi apakah diri kami?"
"Semuanya akan baik-baik saja," kata Ypek. "Kumohon, percayalah kepadaku.
Percayalah. Ayo, lihatlah barang-barang yang akan kubawa ke Frankfurt."
Ka merasa lega hanya karena dapat keluar dari kamarnya. Setibanya mereka di
kamar Ypek, wanita itu membuka laci dan mengeluarkan sebuah sweter biru muda
yang tidak pernah bisa dikenakannya di Kars; setelah membuka lipatan sweter dan
mengibas-ngibaskannya untuk menyingkirkan bau kapur barus, Ypek berdiri di depan
cermin, mengangkat pakaian itu ke dadanya. "Pakailah," ujar Ka.
Ypek melepas sweter wol tebalnya dan mengenakan sweter biru muda itu. Sweter itu
sangat ketat, dan saat Ypek memantaskan diri di depan cermin, kecantikannya
sekali lagi berhasil membuat Ka terpesona.
"Akankah kau mencintaiku seumur hidupmu?" Ka bertanya.
"Ya." "Sekarang, pakailah gaun yang oleh Muhtar hanya boleh kaukenakan di rumah."
Ypek membuka lemari pakaiannya dan melepas sehelai gaun beledu hitam dari
gantungan; membuka kancingnya dengan sangat berhati-hati, dia bersiap-siap
memakainya. "Aku suka melihatmu memandangku seperti itu," katanya saat tatapan mereka
bertemu di cermin. Ka memerhatikan punggung Ypek yang ramping dan indah, bagian lembut di bawah
garis rambutnya, juga bayangan tulang belakang dan lekukan yang terbentuk di
bahu Ypek saat dia merapikan rambut dan berpose untuk Ka. Ka tidak hanya
merasakan kegembiraan yang mendalam, namun juga kecemburuan. Dia merasa bahagia,
dan sangat jahat. "Oh, ada apa dengan gaun ini?" kata Turgut Bey saat memasuki kamar Ypek. "Jadi,
di manakah pesta dansanya?" Tetapi, ekspresi wajahnya serius.
Ka menganggap hal ini sebagai kecemburuan seorang ayah, yang semakin menambah
kegembiraannya. "Sejak Kadife pergi ke gedung teater, iklan di televisi semakin gencar saja,"
kata Turgut Bey. "Dia akan membuat kesalahan besar dengan tampil dalam drama
ini." "Ayah tersayang, bisakah Ayah menjelaskan kepadaku mengapa kita harus melarang
Kadife mencopot jilbabnya?"
Mereka memasuki ruang duduk untuk berdiri di depan pesawat TV. Seorang penyiar
muncul, mengumumkan bahwa malam itu juga, sebuah pementasan yang disiarkan
secara langsung akan mengakhiri tragedi yang telah menimbulkan kelumpuhan sosial
dan spiritual di seluruh bangsa, dan bahwa penduduk Kars pada akhirnya akan
terselamatkan dari prasangka agama yang telah begitu lama menjauhkan mereka dari
kehidupan modern dan mencegah para wanita menikmati kedudukan yangsama dengan
pria. Sekali lagi, kehidupan dan kesenian akan berpadu dalam kisah bersejarah
yang menawan tentang kecantikan yang tersembunyi, itulah yang dijanjikan oleh
drama ini. Tetapi, kali ini, penduduk Kars tidak memiliki alasan untuk
mengkhawatirkan keselamatan mereka, karena Kantor Polisi Pusat dan Komando Bela
Diri telah memperhitungkan setiap bahaya yang mungkin timbul. Terlebih lagi,
tiket masuk pertunjukan ini gratis.


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah itu, Kasim Bey, sang asisten kepala polisi, muncul di layar. Dengan
cepat terlihat bahwa penampilan itu telah direkam sebelumnya. Rambutnya, yang
tampak sangat acak-acakan pada malam revolusi, sekarang tersisir rapi, kemejanya
tersetrika, dan dasinya terikat rapi di kerah kemejanya. Setelah meyakinkan
warga Kars supaya tidak ragu-ragu menghadiri peristiwa artistik besar-besaran
malam itu, dia mengumumkan bahwa sejumlah besar siswa madrasah aliah telah
melaporkan diri ke Kantor Polisi Pusat untuk berjanji akan menjadi penonton yang
tertib dan memberikan sambutan hangat pada semua momen yang tepat, seperti yang
dilakukan orang-orang di Eropa
dan di belahan dunia beradab lainnya. Terlebih lagi, dia menegaskan, "kali ini",
keributan tidak akan ditolerir tidak seorang pun akan bisa bersorak sorai atau
berdesis atau menceletukkan komentar yang tidak senonoh atau semacamnya. Tetapi,
ini tentu tidak menjadi masalah bagi penduduk Kars, lanjutnya, karena,
bagaimanapun, mereka adalah bagian dari sebuah peradaban yang telah bertahan
selama seribu tahun, dan mereka memahami betul cara bersikap yang baik di dalam
gedung teater. Bersama kalimat ini, Kasim Bey menghilang.
Si penyiar muncul kembali di layar untuk membicarakan acara malam itu,
menjelaskan bagaimana sang aktor utama, Sunay Zaim, telah menanti selama
bertahun tahun untuk mementaskan drama ini. Bersama penjelasan ini, muncullah
montase poster-poster lusuh yang mengiklankan drama-drama revolusioner dari
bertahuntahun silam, saat Sunay memerankan Napoleon, Robespierre, dan Lenin;
beberapa pasfoto hitam putih dari para pemain yang lain (betapa rampingnya Funda
Eser pada masa itu!); dan berbagai macam suvenir teatrikal yang dibayangkan Ka
sebagai semacam sampah yang mungkin dibawa ke mana-mana oleh sepasang pemain
teater di dalam koper mereka (tiket dan buku acara, kliping artikel tentang
Sunay yang akan berperan sebagai Ataturk, foto-foto adegan tragis yang terjadi
diatas panggung kedaikedai kopi di Anatolia yang terik).Meskipun tayangan iklan
ini terasa mengganggu, melihat Sunay di layar televisi menimbulkan ketenangan.
Dalam sebuah foto yang tampaknya baru saja diambil, Sunay menampilkan aura
ketegasan mendalam yang biasa tampak dalam sosok setiap diktator, baik yang
berasal dari Afrika, Timur Tengah, maupun Blok Soviet.
Setelah terus-menerus menyaksikan iklan tersebut
selama sehari penuh, penduduk Kars mulai meyakini bahwa Sunay memang telah
membawa kedamaian kekota mereka. Dia menjadi salah seorang dari mereka sekarang,
seorang penduduk berbakti, dan mereka secara diamdiam mulai menanam harapan bagi
masa depan mereka. Delapan puluh tahun sebelumnya, ketika pasukan Utsmani dan
Rusia menelantarkan kota mereka, meninggalkan orang-orang Turki dan Armenia
untuk saling membantai, bangsa Turki mengibarkan bendera baru untuk
memproklamasikan kelahiran sebuah bangsa. Ketika sekarang melihat bendera yang
sama ini, bernoda dan digerogoti rayap namun terpampang dengan jelas di layar
televisi, Turgut Bey memutuskan bahwa sesuatu yang sangat buruk akan segera
terjadi. "Orang ini gila. Dia sedang menyongsong bencana, dan dia ingin menyeret kita
bersamanya. Apa pun yang terjadi, Kadife tidak boleh tampil di atas panggung."
"Ayah, benar, Kadife tidak boleh tampil," kata Ypek. "Tapi, jika kita mengatakan
kepadanya bahwa Ayahlah yang melarangnya, yah, Ayah tahu bagaimana sifat Kadife.
Dia akan langsung lari ke panggung dan mencopot jilbabnya, hanya untuk melawan
Ayah." "Kalau begitu, apakah yang bisa kita lakukan?"
"Bagaimana jika kita meminta Ka pergi ke gedung teater sekarang juga dan
membujuk Kadife untuk mengurungkan niatnya?" Ypek menyarankan, menoleh ke arah
Ka dengan alis terangkat penuh harap.
Ka, yang lebih memusatkan perhatian kepada Ypek daripada ke pesawat TV, tidak
mampu memperkirakan apa yang telah menyebabkan perubahan mendadak dalam rencana
mereka, dan kebingungannya membuatnya sangat gugup.
"Jika dia mau mencopot jilbabnya, lebih baik dia melakukannya di rumah saja,
setelah semua ini berakhir," kata Turgut Bey kepada Ka. "Jelas bahwa Sunay telah
merencanakan entah kehebohan apa lagi untuk pertunjukan malam ini. Aku merasa
tolol, tertipu dengan gampang oleh bujukan Funda dan membiarkan anak perempuanku
pergi bersama orang-orang gila itu."
"Ka bisa pergi ke sana dan membujuk Kadife untuk mengurungkan niat, Ayah."
Turgut berkata kepada Ka, "Sekarang ini, kaulah satu-satunya orang yang bisa
berbicara dengannya dan Sunay memercayaimu. Kenapa hidungmu, Nak?"
"Saya jatuh di atas es," jawab Ka, merasa bersalah.
"Keningmu terbentur juga, ya?"
"Ka berjalan-jalan di kota sepanjang hari ini," kata
Ypek. "Ajaklah Kadife berbicara tanpa sepengetahuan Sunay," kata Turgut Bey. "Jangan
bilang bahwa ini gagasan kami, dan jangan lupa juga untuk memastikan supaya
Kadife tidak memberi tahu Sunay bahwa semua ini adalah gagasanmu. Dia tidak
boleh membicarakan hal ini dengan Sunay lebih baik jika dia memberikan alasan
yang tidak bisa ditentang, semacam 'Aku merasa tidak enak badan,' dan mungkin
menambahkan 'aku akan mencopot jilbabku besok saja, di rumah.' Ya, dia harus
berjanji akan melakukannya. Dan tolonglah, katakanlah kepada Kadife betapa kami
sangat mencintainya. Anakku!" Air mata membasahi pipi Turgut Bey.
"Ayah, bolehkah aku berbicara dengan Ka sebentar?" tanya Ypek. Dia menarik Ka ke
meja makan dan menyuruhnya duduk. Zahide telah menata meja itu, namun belum
menghidangkan makan malam.
"Katakanlah kepada Kadife bahwa Lazuardi sedang bingung. Katakanlah bahwa dia
sedang bermasalah dan dia tidak ingin Kadife melakukan tindakan semacam ini."
"Pertama-tama, katakanlah kepadaku mengapa kau berubah pikiran," ujar Ka.
"Oh, Sayangku, tidak ada yang perlu kaucemburui, kumohon, percayalah kepadaku,
aku hanya menyadari bahwa ayahku benar, itu saja. Sekarang ini, yang terpenting
adalah menjauhkan Kadife dari kekacauan ini."
"Tidak," ujar Ka, memilih kata-katanya dengan berhati-hati. "Ada sesuatu yang
telah membuatmu berubah pikiran."
"Tidak benar: jika Kadife boleh mencopot jilbabnya di lain waktu, dia akan
melakukannya, di rumah."
"Jika Kadife tidak mencopot jilbabnya malam ini," ujar Ka dengan cemas, "dia
tidak akan pernah melakukannya di depan ayah kalian. Kau juga sudah tahu tentang
hal ini. Apakah yang kausembunyikan dariku?"
"Sayang, tidak ada apa-apa. Aku sangat mencintaimu. Kalau kaumau, aku akan pergi
ke Frankfurt bersamamu."
"Aku tidak memercayaimu," ujar Ka, merana.
"Setelah kita hidup berdua di sana selama beberapa waktu," Ypek melanjutkan,
mengabaikan keraguan Ka, "kau akan melihat betapa aku sangat terikat denganmu,
betapa aku mencintaimu. Kau akan melupakan kejadian selama beberapa hari ini.
Kau juga akan mencintai dan memercayai aku."
Ypek menggenggam tangan Ka, yang hangat dan lembap. Di cermin yang terpasang di
bufet, tampaklah bayangan cantik Ypek. Ka tidak mampu berkata-kata menyaksikan
keindahan punggung Ypek dalam balutan gaun
beledu hitam yang dikenakannya; dia nyaris tidak bisa memercayai betapa dekat
dirinya dengan Ypek. "Aku hampir yakin bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi."
"Mengapa?" "Karena aku sangat bahagia. Aku tidak bisa mengatakan bagaimana caranya atau
dari mana asalnya, tapi sejak kedatanganku ke Kars, aku telah menulis delapan
belas buah puisi. Satu lagi, dan aku akan mendapatkan satu buku, atau mungkin
aku harus mengatakan puisi-puisiku menulis diri mereka sendiri. Aku memercayai
perkataanmu tentang pergi ke Frankfurt bersamaku dan aku dapat melihat
kebahagiaan yang lebih besar terbentang di hadapanku. Hanya saja, menjadi
bahagia seperti ini tampak berbahaya, dan karena itulah aku tahu bahwa sesuatu
yang sangat buruk akan segera terjadi." "Sesuatu seperti apa?"
"Seperti ini: aku pergi untuk berbicara dengan Kadife, dan kau pergi menemui
Lazuardi." "Oh, itu konyol," tukas Ypek. "Aku bahkan tidak tahu di mana dia berada."
"Mereka memukuliku karena aku tidak mau mengatakan di mana dia berada."
"Dan lebih baik jika kau tidak mengatakan di mana dia berada kepada orang lain.
Aku serius!" seru Ypek sambil menautkan kedua alisnya. "Tak lama lagi, kau akan
melihat bahwa tidak ada yang perlu kau takuti."
"Jadi, apakah yang sedang terjadi" Kukira kau akan pergi untuk berbicara dengan
Kadife," kata Turgut Bey. "Drama itu akan dimulai satu seperempat jam lagi. Di
televisi baru saja diumumkan bahwa jalan-jalan akan segera dibuka kembali."
"Aku tidak ingin pergi; aku tidak ingin meninggalkan hotel," Ka berbisik malu.
"Kita tidak bisa meninggalkan kota ini dalam kekalutan tolong pahami itu," kata
Ypek. "Karena, jika kita melakukannya, kita tidak akan bahagia. Setidaknya kau
bisa pergi ke sana. Itu akan membuat kita semua merasa lebih baik."
"Satu setengah jam yang lalu, saat Fazyl menyampaikan pesan dari Lazuardi," ujar
Ka, "kau melarangku meninggalkan hotel."
"Baiklah. Katakan saja kepadaku bukti apa yang akan kauterima untuk menunjukkan
bahwa aku tidak pergi dari hotel selama kau berada di gedung teater tapi,
cepatlah pergi, karena kita kehabisan waktu," kata Ypek.
Ka tersenyum. "Naiklah ke kamarku. Aku akan mengunci pintunya. Dan, selama
setengah jam kepergianku, aku akan membawa kuncinya."
"Baiklah," Ypek menyambut dengan ceria. Dia berdiri. "Ayah, aku akan naik ke
kamarku selama setengah jam. Ayah tidak perlu cemas karena Ka akan langsung
pergi ke gedung teater untuk berbicara dengan Kadife. Ayah di sini saja. Ada
sesuatu yang harus kami urus terlebih dahulu di atas, dan kami buru-buru."
"Aku lega," kata Turgut Bey, namun dia masih tampak sangat cemas.
Ypek menggandeng tangan Ka dan menuntunnya melintasi lobi sebelum menaiki
tangga. "Cavit melihat kita," ujar Ka. "Apakah yang ada dalam pikirannya?"
"Siapa yang peduli?" jawab Ypek sambil lalu.
Di dalam kamar Ka, aroma percintaan mereka semalam sebelumnya masih samar-samar
tercium. "Aku akan menunggumu di sini," kata Ypek. "Berhati-hatilah. Jangan memancing-
mancing pertengkaran dengan Sunay."
"Jadi, saat aku melarang Kadife tampil di panggung, apakah aku sebaiknya
mengatakan karena kau dan ayah kalian melarangnya, atau karena Lazuardi
melarangnya?" "Karena Lazuardi melarangnya."
"Mengapa begitu?" Ka bertanya.
"Karena Kadife mencintai Lazuardi itulah alasannya.
Alasanmu pergi ke sana adalah untuk menghindarkan adikku dari bahaya. Kau harus
melupakan kecemburuanmu kepada Lazuardi."
"Seakan-akan itu hal yang mudah."
"Saat kita sampai di Jerman, kita akan sangat bahagia," kata Ypek, memeluk leher
Ka. "Ceritakanlah kepadaku tentang gedung bioskop yang akan kita datangi."
"Ada sebuah gedung bioskop di Museum Film yang menayangkan film-film seni
Amerika dengan bahasa asli setiap Sabtu tengah malam," ujar Ka. "Ke sanalah kita
akan pergi. Sebelum sampai di sana, kita akan mampir ke salah satu restoran di
dekat stasiun dan menikmati doner dengan acar manis. Sesampainya di rumah, kita
bisa bersantai-santai di depan televisi. Setelah itu, kita akan bercinta. Kita
bisa hidup dengan tunjangan buangan politikku, dan uang yang akan kudapatkan
dari pembacaan buku puisi baruku. Kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi,
kecuali bercinta." Ypek menanyakan judul buku itu, dan Ka memberitahunya.
"Sungguh cantik," kata Ypek. "Tapi, sekarang kau harus pergi, Sayang. Jika kau
tidak pergi, ayahku akan sangat cemas dan pergi sendiri ke sana."
"Aku tidak takut lagi," ujar Ka kepada Ypek. Dia berbohong.
"Tapi, apa pun yang terjadi, jika ada kekacauan yang pecah, aku akan menunggumu
di kereta pertama yang meninggalkan kota ini."
"Aku akan menyusulmu. Jika aku bisa keluar dari kamar ini, tentu saja," kata
Ypek sambil menyunggingkan senyum.
"Bisakah kau menunggu di jendela hingga aku berbelok di sudut jalan?" "Tentu
saja." "Aku sangat takut aku tidak akan bisa melihatmu lagi," ujar Ka saat menutup
pintu. Dia mengunci pintu dan menyimpan anak kunci di dalam saku mantelnya.
Dia ingin meyakinkan dirinya untuk dapat berpaling dan menatap dengan ceria
kepada Ypek yang mengamatinya dari balik jendela, sehingga saat tiba di jalan,
dia menjauhkan diri hingga beberapa langkah dari kedua pengawalnya. Saat
membalikkan badan, Ka melihat Ypek, bagaikan sesosok patung, di jendela Kamar
203 di Hotel Istana Salju, masih mengenakan gaun beledu hitamnya, bahunya yang
berkulit keemasan bagaikan madu tampak gemetar kedinginan. Berdiri di sana,
bermandikan cahaya oranye dari lampu di samping ranjang, Ypek menjadi citra Ka
akan kebahagiaan. Citra itulah yang akan selalu tersimpan dalam benak Ka selama
empat tahun terakhir kehidupannya.
Ka tidak pernah melihat Ypek lagi.[]
Tentunya Berat Menjadi Seorang Agen Ganda
Setengah Bagian Pertama dari Sebuah Bab
JALAN-JALAN YANG dilewati Ka menuju Teater Nasional kebanyakan kosong di sana-
sini, dia dapat melihat restoran yang tetap buka, namun semua pemilik toko di
kota itu telah menutup etalase mereka. Para pelanggan terakhir keluar dari
kedaikedai teh, kelelahan setelah menghabiskan hari yang panjang dengan minum
teh dan merokok, namun bahkan sambil berjalan ke luar, tatapan mereka masih
terpaku pada layar televisi. Ketika mendekati Teater Nasional, Ka melihat tiga
buah kendaraan militer. Lampu-lampu ketiga kendaraan itu menyala, dan ketika Ka
memandang ke jalan, dia melihat bayangan sebuah tank di balik pohon-pohon
oleander. Salju belum sepenuhnya mencair, dan lapisan-lapisan es di atap-atap
rumah meneteskan air ke trotoar di bawahnya. Ka berjalan di bawah kabel
transmisi siaran langsung yang terbentang melintasi Jalan Ataturk, memasuki
gedung teater, lalu mengeluarkan anak kunci dari sakunya dan menggenggamnya
erat-erat di tangannya. Gedung teater masih kosong kecuali para tentara dan
polisi yang berbaris di loronglorong, mendengarkan gema suara para aktor yang
sedang melakukan geladi bersih. Ka duduk di salah satu bangku kosong untuk
menikmati cara bertutur Sunay yang sempurna dan suaranya yang dalam dan merdu,
jawaban Kadife yang lemah dan suaranya yang gemetar, dan pengarahan tegas dari
Funda Eser ("Katakanlah dengan penuh perasaan, Kadife sayang!") yang menghambur
ke atas panggung dan memindah-mindahkan dekorasi panggung (yang terdiri dari
sebatang pohon dan sebuah meja rias).
Sementara Funda Eser melanjutkan latihan bersama Kadife, Sunay, yang melihat
nyala rokok Ka, menghampirinya dan duduk di sampingnya. "Ini adalah momen paling
membahagiakan dalam kehidupanku," katanya. Mulutnya menguarkan aroma raki, namun
dia sama sekali tidak terlihat mabuk. "Tak peduli seberapa sering kami berlatih,
semuanya tergantung pada perasaan kami saat berjalan ke panggung. Tapi, jelas
terlihat bahwa Kadife berbakat dalam membuat improvisasi."
"Saya membawa pesan untuknya dari ayahnya, juga sebuah azimat," kata Ka. "Apakah
saya boleh berbicara secara pribadi dengannya?"
"Kami tahu bahwa kau sempat meninggalkan penga-walmu tadi. Aku mendengar bahwa
salju telah mulai mencair dan jalur kereta akan dibuka kembali. Tapi, sebelum
hal itu terjadi, kami bertekad untuk tetap mementaskan drama kami," kata Sunay.
"Apakah Lazuardi sudah berhasil bersembunyi dengan baik?" tambahnya sambil
tersenyum. "Saya tidak tahu."
Sunay berdiri dan kembali mengikuti latihan. Lampu panggung menyala, dan, saat
memandang tiga sosok yang berdiri di panggung, Ka dapat merasakan dalamnya
perasaan di antara mereka. Saat memandang Kadife, pada jilbab yang masih
melapisi kepalanya, Ka merasa terusik oleh betapa gampangnya gadis itu memasuki
gemerlap dunia panggung ini. Dan, jika dia hendak mencopot jilbabnya, Ka
berpikir, sayang sekali jika dia masih mengenakan jubah jelek yang biasa
dikenakan oleh semua wanita berjilbab. Ka akan merasa jauh lebih dekat dengan
Kadife seandainya dia, seperti kakaknya, mengenakan gaun yang memamerkan kedua
tungkai panjangnya. Tetapi, ketika Kadife turun dari panggung dan duduk di
sampingnya, sejenak Ka memahami mengapa Lazuardi meninggalkan Ypek dan jatuh
cinta kepadanya. "Kadife, aku sudah bertemu dengan Lazuardi. Mereka sudah membebaskannya dan dia
sudah mendapatkan tempat persembunyian. Dia melarangmu naik ke panggung dan
mencopot jilbabmu malam ini. Dia juga menitipkan surat untukmu."
Untuk berjagajaga jika Sunay melihatnya, Ka menyerahkan surat dari Lazuardi di
bawah lengannya, seolaholah sedang menyerahkan jawaban ujian pada seorang teman.
Tetapi, Kadife tidak mau repot-repot menutupinya, dan, sambil membaca surat itu
secara terang-terangan, dia tersenyum.
Sejenak kemudian, Ka baru melihat bahwa mata Kadife yang memancarkan kemarahan
telah basah. "Ayahmu juga berpendapat sama, Kadife. Kau mungkin telah mengambil keputusan
yang benar dengan mencopot jilbabmu, tapi sungguh gila jika kau melakukannya
malam ini, di depan semua siswa madrasah aliah yang penuh kemarahan. Kau tidak
perlu melakukannya. Bilang saja bahwa kau sakit."
"Aku tidak butuh alasan apa pun. Sunay sudah mengatakan kepadaku bahwa aku boleh


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang jika aku mau."
Jelas bagi Ka bahwa dia tidak sedang berhadapan dengan seorang gadis kecil yang
marah karena dilarang tampil dalam drama sekolah pada saat-saat terakhir:
kemarahan dan kekecewaan yang dilihatnya di wajah Kadife jauh lebih dalam.
"Jadi, apa kau akan tetap tinggal di sini, Kadife?"
"Ya, aku akan tetap tinggal di sini dan tampil dalam drama itu."
"Apakah kautahu bahwa ayahmu akan marah besar karenanya?"
"Berikan padaku azimat yang dititipkannya untukku."
"Aku mengatakan soal azimat itu supaya mereka mengizinkanku bicara berdua saja
denganmu." "Tentunya berat menjadi seorang agen ganda."
Ka dapat melihat bahwa Kadife patah hati dan, dengan sekelumit kepedihan, Ka
menyadari bahwa pikiran Kadife berada jauh dari tempat ini. Dia ingin merangkul
dan memeluk Kadife, namun itu tidak dilakukannya.
"Ypek sudah menceritakan kepadaku tentang hubungan masa lalunya dengan
Lazuardi," ujar Ka. Tanpa berkata-kata, Kadife mengeluarkan sekotak rokok; perlahan-lahan, dia
mengangkat sebatang rokok ke bibirnya dan menyalakannya.
"Aku sudah memberikan rokok dan geretan yang kau titipkan untuknya," ujar Ka,
kikuk. Kadife tidak menanggapi. "Apakah kau melakukan ini karena kau sangat
mencintai Lazuardi" Apakah yang membuatmu begitu mencintainya, Kadife" Kumohon,
katakanlah kepadaku." Saat menyadari bahwa dirinya sedang menggali lubang kubur
untuk dirinya sendiri, Ka langsung terdiam.
Funda Eser memanggil dari panggung dan mengumumkan bahwa adegan Kadife
selanjutnya akan segera mereka mainkan. Kadife memandang Ka dengan matanya yang basah dan berdiri. Akhirnya, mereka
berpelukan. Masih merasakan keberadaannya, masih mencium aroma tubuhnya, Ka
tinggal sejenak di gedung teater untuk menyaksikan gela-di bersih, namun
pikirannya berada di tempat lain,dan dia tak bisa mengikutinya. Dia tidak bisa
lagi memercayai instingnya sendiri; ada sesuatu yang hilang darinya; penyesalan
dan kecemburuan menggagalkan setiap usahanya untuk berpikir logis. Sulit baginya
untuk mengenali apa yang menyebabkan dirinya merasakan kepedihan sedalam itu.
Dan, dia tidak dapat memahami mengapa kepedihan ini begitu menghancurkannya,
begitu menguasainya. Membayangkan tahuntahun yang, dalam harapannya, akan dihabiskannya bersama Ypek
di Frankfurt mengasumsikan bahwa Ypek benar-benar akan ikut dengannya Ka dapat
melihat bahwa kepedihan yang melanda dan menghancurkan jiwanya ini akan
menggerogoti kebahagiaan mereka. Dengan pikiran yang mengganggu benaknya ini, Ka
menyalakan sebatang rokok, masih tidak mampu memahami apa pun. Dia memasuki
toilet tempat Necip memberikan surat-suratnya untuk Kadife dan memilih bilik
yang sama. Membuka jendela yang terpasang tinggi di dinding, Ka memandang langit
malam yang hitam dan berdiri di sana, mengepulkan asap rokoknya dan tercenung
tanpa daya. Ketika menyadari bahwa sebuah puisi sedang mendatanginya, Ka nyaris tidak bisa
memercayainya. Menahan napasnya, dia mengeluarkan buku catatannya untuk menulis
puisi itu. Dia berharap puisi itu dikirim untuk menenangkan dirinya, untuk
memberinya harapan. Tetapi, sesudah selesai menulisnya, Ka masih merasakan
kepedi - nan yang teramat sangat melanda seluruh tubuhnya, sehingga dia meninggalkan
Teater Nasional dengan penuh kerisauan.
Ketika tiba di trotoar yang basah oleh salju yang mulai mencair, Ka memutuskan
bahwa udara yang dingin akan bermanfaat untuknya. Kedua pengawalnya masih
bersama dirinya, dan pikirannya sepenuhnya berantakan.
Pada titik ini, untuk meningkatkan kenikmatan dalam membaca ceritaku, dan agar
lebih mudah dipahami, aku harus memotong bab ini dan memulai sebuah bab baru.
Bukan berarti Ka tidak layak untuk diceritakan, namun aku harus terlebih dahulu
mencari tempat yangtepat untuk "Tempat yang Menjadi Ujung Dunia", puisi yang
ditulisnya dengan gampang dan menjadi kesimpulan bagi buku yang nantinya akan
dijudulinya Salju. [] Setiap Kehidupan Menyerupai Sebuah Kepingan Salju
Buku. Catatan Hijau yang Hilang
"TEMPAT YANG Menjadi Ujung Dunia", puisi kedelapan belas yang ditulis Ka di
Kars, juga menjadi puisi terakhirnya. Seperti yang sudah kita ketahui, dia
mencatat kedelapan belas puisinya di dalam buku catatan hijau yang dibawanya ke
mana pun dia pergi. Dia menulis langsung puisi-puisinya begitu "mendengarnya",
bahkan meskipun harus melewatkan beberapa kata di sana-sini. Satu-satunya puisi
yang tidak langsung ditulisnya adalah puisi yang dia baca di atas panggung pada
malam revolusi. Ka menceritakan hal ini dalam surat-surat yang ditulisnya di
Frankfurt namun tak pernah dikirimkannya kepada Ypek. Dalam dua kesempatan, dia
menyebutnya dengan judul "Tempat di Mana Tuhan Tiada" dan mengakui bahwa dia takmampu menyingkirkan puisi itu dari benaknya, hingga dia tidak mungkin
menyelesaikan buku kumpulan puisi terbarunya hingga dia menemukannya, dan bahwa
dia akan sangat berterima kasih jika Ypek dapat mencari rekaman pembacaannya
atas puisi itu di arsip Border City Television atas namanya. Ketika pertama kali
membaca salah satu surat ini di kamar hotelku di Frankfurt, aku dapat merasakan
kecemasan dalam kata-katanya seolaholah Ka khawatir Ypek akan menuduhnya
memanfaatkan masalah puisi ini sebagai alasan untuk menulis surat cinta baginya.
Di dalam bab kedua puluh sembilan, aku menjelaskan bagaimana, saat kembali ke
kamarku pada suatu malam, sedikit mabuk dan masih memegang kaset-kaset video
Miranda, secara kebetulan aku menemukan diagram kepingan salju milik Ka di dalam
sebuah buku catatan yang kupungut secara acak. Meskipun tidak mungkin mengetahui
maksud Ka yang sesungguhnya, aku dapat mengatakan bahwa aku menghabiskan
beberapa hari untuk membaca semua buku catatannya, dan aku yakin bahwa aku mulai
memahami tujuan Ka meletakkan kesembilan belas puisi Kars-nya dalam kepingan
salju ini. Setelah meninggalkan Kars, rupanya Ka membaca sejumlah buku tentang salju. Salah
satu penemuannya adalah bahwa setelah sebuah kepingan salju berpucuk enam
terkristalisasi, butuh waktu delapan hingga sepuluh menit baginya untuk turun
dari langit, kehilangan bentuk awalnya, dan akhirnya menghilang. Ketika, dengan
pembelajaran lebih lanjut, dia menemukan bahwa bentuk setiap kepingan salju juga
ditentukan oleh temperatur, arah dan kekuatan angin, ketinggian awan, dan
berbagai macam faktor misterius lainnya, Ka memutuskan bahwa kepingan salju
memiliki banyak kesamaan dengan manusia. Sebuah kepingan saljulah yang menjadi
inspirasi bagi "Aku, Ka", puisi yang ditulisnya saat duduk di perpustakaan umum
Kars; dan kemudian, saat memasukkan kesembilan belas puisinya dalam buku
kumpulan puisi barunya, Salju, dia akan meletakkan "Aku, Ka" tepat di bagian
tengah kepingan salju yang sama.
Menggunakan dasar pemikiran yang sama untuk
"Surga", "Catur", dan "Kotak Cokelat", dia dapat melihat bahwa puisipuisi
tersebut juga memiliki posisi yang unik dan alami dalam kepingan salju
khayalannya. Kemudian, dia merasa yakin bahwa semua puisi dalam buku kumpulan
puisi barunya, dan segala sesuatu yang membuatnya menjadi dirinya, dapat
diindikasikan dengan kepingan kristal salju yang sama. Kepingan salju itu,
singkatnya, adalah sesuatu yang memetakan tujuan spiritual setiap manusia yang
pernah hidup di dunia ini. Tiga pucuk yang digunakannya untuk memetakan puisi-
puisinya "Kenangan", "Imajinasi", dan "Logika" menurutnya terinspirasi dari
klasifikasi pohon pengetahuan Bacon, namun dia menulis panjang lebar tentang
usaha-usahanya sendiri untuk menjelaskan makna dari kesembilan belas titik dalam
kepingan salju berpucuk enam itu.
Tiga buah buku catatan Ka yang memuat pikiran-pikirannya mengenai puisipuisi
yang ditulisnya di Kars, sebagian besar, merupakan usahanya untuk menemukan
makna bentuk geometris tersebut, namun sekarang tentu telah jelas bahwa dia juga
berusaha menentukan makna kehidupannya sendiri. Kita sebaiknya melihat topik-
topik ini menggunakan kacamata yang sama. Sebagai contoh, saat membaca
pembahasannya tentang tempatnya meletakkan puisi "Ditembak dan Dibunuh", kita
akan terpukul oleh prioritas yang diberikannya pada rasa takut yang menjadi
inspirasi puisi itu. Dia menjelaskan mengapa sebuah puisi yang terinspirasi oleh
rasa takut diletakkan di dekat pucuk "Imajinasi", di bagian atas sebelah kanan
pucuk "Kenangan", dan berada cukup dekat dengan puisi berjudul "Tempat yang
Menjadi Ujung Dunia" sehingga mendapatkan pengaruhnya. Tersembunyi di balik
penjelasan ini adalah keyakinan bahwa puisi-puisinya terbentuk
oleh kekuatan misterius dari luar dirinya. Dan, saat menuangkan pikiran-pikiran
ini di dalam buku-buku catatannya, Ka telah yakin bahwa setiap kehidupan
menyerupai sebuah kepingan salju: setiap individu mungkin terlihat sama saja
dari jauh, namun untuk memahami keunikan misterius seseorang, kita harus
memecahkan misteri dari kepingan salju pribadi orang itu.
Penjelasan mendetail Ka tentang buku kumpulan puisi barunya, dan tentang
kepingan salju pribadinya, begitu luas (Mengapa "Kotak Cokelat" diletakkan di
pucuk berjudul "Imajinasi?" Bagaimana mungkin puisi berjudul "Seluruh Umat
Manusia dan Bintang-Bintang" membentuk kepingan salju pribadi Ka" dan lain
sebagainya), namun kita sebaiknya tidak menghabiskan novel ini untuk membahas
semuanya. Sebagai seorang penyair muda, Ka memiliki banyak hal buruk untuk
diucapkan kepada para penyair senior yang terlalu serius memandang diri mereka,
terutama para penyair yang menghabiskan hari tua mereka dengan meyakini bahwa
setiap omong kosong yang mereka tulis pada suatu hari nanti akan layak dijadikan
topik debat sastra serius, dan yang memahat patung mereka sendiri tanpa
memedulikan bahwa tidak seorang pun ingin memandang mereka.
Mengingat Ka menghabiskan bertahuntahun untuk mengkritik para penyair beraliran
abstrak, dalam semangat memajukan aliran modernisme, dia memiliki satu atau dua
alasan untuk secara panjang lebar menjelaskan tentang dirinya sendiri. Setelah
aku membaca secara saksama, terungkap bahwa Ka tidak meyakini dirinya sebagai
penulis asli dari puisipuisi yang mendatanginya di Kars. Alih-alih, dia meyakini
dirinya sebagai sekadar medium, sang penulis, yang juga pernah dicontohkan oleh
para penda-hulunya di betes noires modernis. Tetapi, seperti yang ditulisnya di
beberapa tempat, setelah menulis puisipuisi itu, dia bertekad menyingkirkan
kepasifannya, dan dengan memahami puisipuisi itulah dengan menjelaskan simetri
tersembunyinya dia berharap dapat mencapai tujuannya. Tetapi ada pula hal
praktis yang lebih mendesak: tanpa memahami makna puisipuisi Kars itu, Ka tidak
lagi memiliki harapan untuk mengisi kekosongan, atau untuk menyelesaikan baris-
baris yang baru setengah terisi, atau untuk menulis kembali puisinya yang
hilang, "Tempat di Mana Tuhan Tiada" dan itu memupuskan harapannya untuk
menyelesaikan bukunya. Karena setelah Ka kembali ke Frankfurt, tidak ada sebait
puisi pun yang "mendatangi" dia lagi.
Jelas terlihat dari catatan-catatan dan surat-suratnya bahwa pada akhir tahun
keempatnya, Ka berhasil mengungkapkan logika tersembunyi puisi-puisinya dan
membawa bukunya ke dalam bentuk akhirnya. Karena itulah, sekembalinya aku ke
kamar hotelku di Frankfurt dengan kertas-kertas, buku-buku catatan, dan benda-
benda lain yang berhasil kuselamatkan dariapartemennya, aku duduk di sana hingga
pagi menjelang, menenggak raki, dan memilah-milah semuanya. Aku terus-menerus
mengatakan kepada diriku sendiri bahwa Ka tentunya menganggap puisi-puisinya
sebagai barang pribadi. Aku membuka buku-buku catatannya, memeriksa piama
tuanya, kaset-kaset video Melinda-nya, dasi-dasinya, buku-bukunya, geretannya
(aku tahu bahwa salah satunya adalah geretan Kadife yang seharusnya diberikan
kepada Lazuardi) hingga akhirnya aku jatuh tertidur dan terombang-ambing dalam
lautan mimpi buruk dan gelegak emosi, mimpidan penampakan. (Ka mendatangiku
dalam sebuah mimpi mengerikan
untuk mengatakan, "Kau sudah tua.")
Matahari sudah tinggi saat aku terbangun, kemudian aku menghabiskan sisa hari
itu untuk berkeliaran di jalanan Frankfurt yang basah dan berselimut salju, dan,
meskipun tidak ada lagi Tarkut Olgiin di sisiku, aku berusaha sebisa mungkin
untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentang Ka. Dua orang wanita
yang pernah menjalin hubungan dengannya selama delapan tahun sebelum
kunjungannya ke Kars dengan senang hati bersedia berbicara denganku aku memberi
tahu mereka bahwa aku sedang menulis biografi sahabatku. Kekasih pertamanya,
Nalan, bahkan tidak tahu bahwa Ka adalah seorang penyair, sehingga tidak
mengejutkan jika dia tidak mengetahui apa pun tentang buku kumpulan puisi baru
Ka. Sekarang Nalan telah menikah dengan seorang pengusaha pemilik dua kios doner
dan sebuah agen perjalanan. Setelah menceritakan kepadaku dengan blak-blakan
bahwa Ka adalah seorang pria yang gemarmemancing pertengkaran, pemarah, selalu
mudah tersinggung,dia menitikkan air mata. (Yang paling membuatnyaberduka adalah
fakta bahwa dia telah mengorbankan masa mudanya untuk mendukung gagasannya
tentang idealisme pada masa itu.)
Kekasih kedua Ka, Hildegard, masih lajang. Aku langsung bisa menduga bahwa dia
tidak akan tahu sedikit pun tentang isi puisipuisi terbaru Ka, atau apakah Ka
telah menyelesaikan buku kumpulan puisinya yang berjudul Salju. Aku mungkin
terlalu membesar-besarkan kepopuleran Ka sebagai penyair di Turki, dan
tentunyadia mengolok-olokku karena aku tertangkap basah sedang tersipu-sipu
malu. Dengan sikap agak menggoda, dia menceritakan kepadaku bahwa setelah
berhubungan dengan Ka, dia tidak pernah lagi menghabiskan liburan musim panasnya di Turki. Ka, katanya,
adalah seorang anak yang rajin, pintar, dan kesepian, yang kehidupannya
didominasi oleh dahaga yang teramat sangat akan kasih sayang seorang ibu; Ka
tahu bahwa dia tidak akan menemukan apa yang dicarinya, tapi kalaupun
menemukannya, dia justru akan mengabaikannya. Jadi, meskipun Ka adalah pria yang
mudah dicintai, mustahil bagi orang lain untuk bisa hidup bersamanya.
Ka tidak pernah membicarakan ihwal diriku dengannya. (Aku tidak tahu mengapa aku
menanyakan hal ini kepada Hildegard, begitu pula mengapa aku menyebutkannya
sekarang.) Setelah wawancara satu seperempat jam, Hildegard menunjukkan sesuatu
yang tidak kuperhatikan sebelumnya: ruas teratas jari telunjuk tangan kanannya
yang indah dan ramping telah hilang. Dia menambahkan dengan tersenyum bahwa
suatu ketika, saat sedang marah besar, Ka mengejeknya karena kekurangannya ini.
Ka menyelesaikan bukunya dengan tulisan tangan, dan seperti biasanya tidak mau
mengetik ataupun mengopinya. Alih-alih, seperti yang dilakukannya dengan buku-
bukunya sebelumnya, membawa manuskripnya, dia mengikuti tur pembacaan puisi,
berkunjung ke Kassel, Braunsh-weig, Hannover, Osnabruck, Bremen, dan Hamburg.
Memenuhi undangan dari berbagai kota, dan dengan bantuan Tarkut Olgun, aku juga
melakukan tur "malam sastra"-ku sendiri ke kota-kota tersebut. Seperti Ka,
selamanya menjadi pengagum setia efisiensi dan ketepatan waktu kereta api di
Jerman, aku berkelana dari kota ke kota, menikmati kenyamanan yang sangat
Protestan, yang pernah digambarkan Ka dalam salah satu puisinya. Seperti
yang tentunya selalu dilakukan Ka, aku duduk di dekat jendela, dengan penuh
kedamaian memandang bayangan padang rumput, desa-desa dengan gereja-gereja
mungil di kaki bukit, dan stasiun-stasiun indah yang dipenuhi oleh anak-anak
dengan jas hujan dan ransel warna-warni mereka. Dua orang Turki yang ditugaskan
untuk menyambutku akan mendengarkanku dengan wajah datar, dengan rokok
menggantung di mulut mereka, saat aku menjelaskan harapanku untuk melakukan apa
pun yang telah dilakukan Ka dalam turnya sendiri tujuh minggu sebelumnya. Maka,
di setiap kota, aku menginap di sebuah hotel kecil bertarif murah seperti Ka dan
pergi bersama para tuan rumahku ke sebuah restoran Turki kecil, tempat kami
mendiskusikan politik sambil menyantap boreks bayam dan doner, dan aku setuju
bahwa patut disayangkan orang Turki tidak terlalu tertarik dengan kebudayaan.
Setelah makan, aku akan berkeliaran di kota yang sunyi dan dingin, dan berpura-
pura menjadi Ka yang sedang menyusuri jalanan yang sama untuk melarikan diri
dari kenangan menyakitkan tentang Ypek. Pada malam hari, di hadapan lima belas
atau dua puluh orang yang memiliki ketertarikan pada politik, sastra, dan segala
hal yang berbau Turki, aku akan secara setengah hati membacakan satu atau dua
halaman dari novel terbaruku, kemudian, mengalihkan pembicaraan ke topik puisi,
aku akan mengumumkan bahwa diriku adalah sahabat Ka sang penyair, yang baru-baru
ini tewas tertembak di sebuah jalan di Frankfurt. Apakah ada yang mengingat "apa
pun tentang puisipuisi terakhirnya yang dibacakannya ditempat itu beberapa waktu
berselang?" Sebagian besar hadirin dalam malam-malam sastra ini juga hadir dalam pembacaan
puisi Ka, namun jelas terlihat bahwa kebanyakan dari mereka menontonnya untuk
alasan politik atau karena kebetulan semata. Mereka hanya dapat sedikit
bercerita kepadaku tentang puisi-puisinya, namun sebaliknya mereka mengingat
secara mendetail mantel berwarna kelabu tua yang tidak pernah ditanggalkannya,
kulit pucatnya, rambut acak acakannya, dan pembawaan gugupnya. Bagaimanapun,
meskipun tidak tertarik pada kehidupan dan karya Ka, mereka sangat tertarik pada
kematiannya. Aku mendengar cukup banyak teori konspirasi: Ka dibunuh oleh
Islamis, MYT, orang Armenia, berandalan Jerman, orang Kurdi, nasionalis Turki.
Untungnya, dalam setiap acara, selalu ada beberapa penonton peka yang pernah
memberikan perhatian penuh kepada Ka. Orang-orang yang memiliki ketertarikan
besar terhadap sastra ini menegaskan kepadaku bahwa Ka memang telah
menyelesaikan buku kumpulan puisi terbarunya, dan bahwa dia membacakan beberapa
buah puisi yang termuat dalam buku itu-"Jalan-Jalan dalam Mimpi", "Anjing",
"Kotak Cokelat", dan "Cinta" namun mereka tidak dapat mengingat apa pun yang
berguna tentang tiap-tiap puisi tersebut, kecuali bahwa semuanya sulit dipahami.
Dalam beberapa acara yang berbeda, Ka menyebutkan bahwa dia menulis puisipuisi
itu di Kars, kadangkadang menyiratkan bahwa dia menganggap puisipuisi itu
sebagai elegi, terutama bagi mereka yang merindukan kota-kota dan desa-desa yang


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah mereka tinggalkan. Pada akhir salah satu acara, seorang wanita berambut gelap yang berusia tiga
puluhan maju dan, setelah menjelaskan bahwa dirinya adalah janda beranak satu,
dia bercerita bahwa dia mendekati Ka dengan cara yang sama setelah pembacaan
puisinya, dan mereka mendiskusikan sebuah puisi berjudul "Tempat di Mana Tuhan
Tiada". Wanita itu yakin bahwa Ka hanya membacakan empat baris terakhir dari puisi
panjang ini karena dia tidak mau ada yang tersinggung olehnya. Tidak peduli
betapa kerasnya aku berusaha mengoreknya, pecinta puisi yang bersikap waspada
ini tidak bisa mengingat sepatah pun kata dalam puisi itu dia hanya ingat bahwa
puisi itu menggambarkan tentang "sebuah pemandangan mengerikan". Tetapi, karena
dia duduk di baris depan selama penampilan Ka di Hamburg, setidaknya dia dapat
memastikan bahwa yang dibaca Ka memang sebuah buku catatan berwarna hijau.
Malam itu, aku menaiki kereta yang sama, yang membawa Ka dari Hamburg menuju
Frankfurt. Setelah keluar dari stasiun, aku mengambil rute yang juga diambilnya
berjalan menyusuri Kaiserstrasse dan berhenti di sana-sini untuk melihat-lihat
toko peralatan seks. (Meskipun baru seminggu sejak kedatanganku di Jerman,
sebuah kaset video Melinda baru sudah tersedia lagi.) Saat tiba di lokasi
penembakan sahabatku, aku berhenti, dan di sinilah aku memahami sesuatu yang
telah kuterima secara bawah sadar: Setelah Ka roboh, pembunuhnya tentu mengambil
buku catatan hijau itu. Sekarang, aku hanya tinggal memiliki satu saja harapan
menenangkan setelah selama seminggu penuh mengikuti perburuan tanpa hasil
melintasi Jerman, dan setelah menghabiskan malam-malamku untuk memeriksa
catatan-catatan Ka: aku akan bisa menyelamatkan setidaknya satu saja puisi
panjangnya dari arsip video sebuah stasiun televisi di Kars.
Setibanya kembali di Istanbul, selama beberapa hari aku mencermati ramalan cuaca
di televisi nasional untuk mendengarkan tentang laporan cuaca Kars, dan untuk
memastikan iklim macam apa yang mungkin akan menyambutku di sana.
Seperti Ka, aku tiba di Kars pada senja hari, setelah mengikuti perjalanan bus
sepanjang satu setengah hari. Menenteng sebuah tas, dengan malu-malu, aku
memesan sebuah kamar di Hotel Istana Salju (dan aku tidak menemukan tanda-tanda
keberadaan si ayah beserta dua orang putri misteriusnya). Setelah itu, aku
keluar untuk menjelajahi kota, melewati trotoar-trotoar berselimut salju yang
juga disusuri oleh Ka empat tahun sebelumnya. Meskipun aku tidak akan mengatakan
bahwa aku secara tepat menapaktilasi perjalanannya, aku pergi cukup jauh hingga
menemukan bangunan yang dikenalnya sebagai Restoran Pastura Hijau sekarang telah
berubah menjadi kedai bir muram. Dalam kesempatan apa pun, aku tidak ingin para
pembacaku membayangkanku menjadi bayang-bayang Ka. Seperti yang sering dikatakan
Ka kepadaku, aku tidak cukup memahami puisi, begitu pula kesedihan besar yang
muncul dari dalamnya. Maka, terbentuklah dinding yang memisahkan kami; dinding
yang sekarang memisahkanku bukan saja dari kota melankolis yang digambarkannya
di dalam catatan-catatannya, melainkan juga dari tempat mengenaskan yang kulihat
dengan mata kepalaku sendiri. Ada pula, tentu saja, satu orang yang bagaimanapun
melihat kemiripan di antara kami; orang inilah yang menyatukan kami. Tetapi,
kita belum akan membicarakannya sekarang.
Kapan pun aku mengingat keterpesonaanku saat melihat Ypek malam itu, dalam acara
makan malam yang diselenggarakan wali kota untuk menyambutku, aku hanya berharap
dapat menyalahkan raki sebagai penyebabnya; dengan begitu, aku bisa mengatakan
bahwa minuman keraslah yang membuatku kehilangan kendali dan memper -
tajam keyakinanku bahwa dan bahwa tidak ada dasar lain bagi kecemburuan yang
mulai kurasakan kepada sahabat tersayangku yang telah meninggal. Selanjutnya, di
Hotel Istana Salju, saat aku berdiri di sisi jendela, menyaksikan hujan salju
yang sama sekali tidak sepuitis penggambaran Ka salju basah yang langsung
mencair saat bersentuhan dengan trotoar yang berlumpur aku tak henti-hentinya
memikirkan bagaimana, setelah begitu lama dan secara saksama membaca buku buku
catatan sahabatku, aku gagal memahami betapa pentingnya kecantikan Ypek. Tanpa
betul-betul mengetahui alasannya, aku mengeluarkan sebuah buku catatan kau
mungkin akan mengatakan, "Sama seperti Ka" (sebuah ekspresi yang sering
kugunakan juga) dan menulis buah-buah pikiranku yang bisa disebut sebagai cikal
bakal buku yang sedang kaubaca sekarang ini. Aku teringat saat diriku berusaha
menggambarkan kisah Ka dan rasa cintanya kepada Ypek seolaholah dia sendiri yang
menggambarkannya. Di dalam sudut pikiranku yang kabur, aku diingatkan pada
sebuah kebenaran yang muncul dari pengalaman pahit: menjerat seseorang supaya
memikirkan masalah-masalah dalam sebuah buku adalah cara yang tepat untuk
mengalihkan pikiran dari cinta. Bertentangan dengan pendapat umum, seorang pria
dapat membebaskan diri dari cinta jika dia mau. Meskipun begitu, untuk
melakukannya, dia harus membebaskan dirinya tidak hanya dari wanita yang telah
berhasil memikatnya tetapi juga dari orang ketiga di dalam kisah mereka: hantu
yang telah memberinya godaan. Aku, bagaimanapun, telah membuat janji untuk
bertemu dengan Ypek pada keesokan siangnya di Toko Kue Hidup Baru, dan alasan
utama pertemuan itu adalah untuk membicarakan Ka.
Atau mungkin, keinginanku membicarakan Ka yang mendorongku bersikap terbuka
kepada Ypek. Hanya kami berdualah pembeli yang ada di toko itu. Di televisi
hitam putih yang sama di sudut ruangan, sepasang kekasih sedang saling
berpelukan di depan Jembatan Bosphorus. Dari awal, Ypek sudah mengakui bahwa
sungguh sulit baginya untuk membicarakan tentang Ka. Dia dapat menggambarkan
kepedihan dan kekecewaannya hanya kepada seseorang yang mau mendengarkannya
dengan sabar, sehingga dia merasa nyaman saat mengetahui bahwa aku adalah
sahabat Ka yang cukup memedulikan puisi Ka hingga bersedia melakukan perjalanan
jauh ke Kars. Dan, jika dia dapat meyakinkanku bahwa dia tidak memperlakukan Ka
dengan buruk, maka dia akan terbebas dari kesedihannya, setidaknya untuk
sementara waktu. Tetapi, dia juga memperingatkanku bahwa seandainya aku gagal
menerima atau memahami ceritanya, kepedihan yang dirasakannya akan bertambah.
Dia mengenakan rok panjang cokelat yang sama, yang dikenakannya saat
menghidangkan sarapan bagi Ka-pada "pagi revolusi", dan sabuk lebar model kuno
yang sama (keduanya akan langsung dikenali oleh siapa pun yang telah membaca
catatan-catatan Ka). Kilatan amarah terpancar di matanya, namun ekspresinya
tampak penuh kesedihan; itu mengingatkanku kepada Melinda.
Dia berbicara sangat lama; aku mendengarkan baik-baik setiap patah kata yang
diucapkannya.[] Aku Akan Mengemasi Koperku
.Dan" Sudut Pandang Ypek
KETIKA, DALAM perjalanannya menuju Teater Nasional bersama dua pengawal yang
mengiringinya, Ka berhenti dan menoleh untuk terakhir kalinya kepadanya, Ypek
masih sarat harapan, masih yakin bahwa dirinya akan bisa mencintai Ka sepenuh
hatinya. Kesadaran bahwa dirinya dapat belajar mencintai seorang pria selalu
lebih bermakna baginya daripada jika dia mencintai pria itu tanpa sedikit pun
usaha, lebih daripada jatuh cinta, dan karena itulah sekarang dia merasa bahwa
dia berada di ambang sebuah kehidupan baru, sebuah kebahagiaan yang kelak akan
bertahan sangat lama. Maka, selama dua puluh menit pertama sejak keberangkatan Ka, dia tidak terlalu
terganggu saat mendapati dirinya dikunci di dalam sebuah kamar oleh seorang
kekasih pencemburu. Untuk melewatkan waktu, Ypek mengarahkan pikirannya ke
kopernya: jika dia dapat berkonsentrasi pada benda-benda yang akan selalu
dibawanya sepanjang hidupnya, dia akan, pikirnya, lebih mudah menjalani
perpisahan dengan ayah dan adiknya; dan seandainya dia dapat selesai mengemasi
bawaannya selama ma-sa penahanan yang tak bisa dihindarinya ini, mereka akan
bisa meninggalkan Kars secepat mungkin, dan secara utuh.
Setelah setengah jam berlalu tanpa tanda-tanda kembalinya Ka, Ypek menyalakan
sebatang rokok. Ketika itu, dia memikirkan apakah dirinya bodoh karena mengira
semua hal akan berjalan sesuai dengan rencana. Terlebih lagi, keadaannya yang
terkunci di dalam kamar semakin menambah kecemasannya; dia marah kepada dirinya
sendiri dan juga kepada Ka. Saat melihat Cavit si resepsionis berlari melintasi
halaman, dia tergoda untuk membuka jendela dan memanggilnya, namun sebelum dia
memutuskan bertindak, remaja itu sudah berlalu dari pandangannya. Ypek masih
tidak yakin, namun dia tetap berharap Ka akan kembali sebentar lagi.
Empat puluh lima menit setelah keberangkatan Ka, Ypek berhasil membuka secara
paksa jendela kamar yang berlapis es. Dia memanggil seorang pemuda yang sedang
melintas di trotoar di bawahnya seorang murid madrasah aliah kebingungan yang
entah bagaimana berhasil lolos dari kewajiban pergi ke Teater Nasional dan
meminta anak itu masuk ke hotel dan memberi tahu resepsionis bahwa Ypek terkunci
di Kamar 203. Pemuda itu sepertinya sangat curiga, namun dia mengerjakan
permintaan Ypek. Sesaat kemudian, telepon di kamar berdering.
"Apa-apaan yang sedang kaulakukan di kamar itu?" tanya Turgut Bey. "Kalau kau
memang terkunci di sana, mengapa kau tidak menelepon saja?"
Semenit kemudian, ayahnya membuka pintu menggunakan kunci cadangan. Ypek lantas
memberi tahu Turgut Bey bahwa dia ingin menemani Ka ke Teater Nasional, namun Ka
menguncinya di kamar untuk menjauhkannya dari
bahaya, dan, karena jaringan telepon di seluruh kota putus, dia mengira telepon
di hotel juga tidak berfungsi.
"Tapi telepon sudah menyala lagi; tidak hanya di sini, tapi di seluruh kota
ini," kata Turgut Bey.
"Ka sudah pergi lama. Aku mulai khawatir," kata Ypek. "Mari kita pergi ke teater
dan mencari tahu apa yang terjadi dengannya dan Kadife."
Meskipun dilanda kepanikan, Turgut Bey menghabiskan waktu lama untuk bersiap-
siap. Pertama, dia tidak bisa menemukan sarung tangannya; kemudian, dia
mengatakan bahwa dia yakin Sunay akan tersinggung jika dia tidak memakai dasi.
Dia bersikeras untuk berjalan sangat pelan sebagian karena dia tidak mampu
berjalan lebih cepat, namun juga karena dia memiliki sangat banyak nasihat untuk
Ypek dan dia ingin Ypek mendengarkannya dengan baik.
"Apa pun yang Ayah lakukan, jangan sampai Ayah bertengkar dengan Sunay," kata
Ypek kepada ayahnya. "Jangan lupakan bahwa dia adalah seorang pahlawan
revolusioner yang baru saja mendapatkan kekuatan istimewa."
Melihat orang-orang penasaran yang berjejalan di pintu masuk Teater Nasional,
para pemuda siswa madrasah aliah yang diangkut menggunakan bus, para pedagang
asongan, para prajurit, dan para polisi yang senang berada di tengah-tengah
keramaian seperti ini, Turgut Bey teringat pada kesenangannya sendiri saat
menghadiri pertemuan-pertemuan politik pada masa mudanya. Dia mengencangkan
gandengannya ke lengan Ypek sambil memandang ke sekelilingnya, sebagian penuh
harap, sebagian ketakutan, sebagian mendengarkan percakapan yang mungkin akan
membuatnya merasa seperti seseorang yang berpartisipasi aktif dalam peristiwa
ini, atau mungkin untuk mencari kemungkinan pertolongannya akan dibutuhkan. Saat
melihat bahwa sebagian besar orang dalam kerumunan itu tidak dikenalnya, Turgut
Bey mendorong salah seorang pemuda yang berdiri di depan pintu, namun dia
langsung merasa malu atas tindakannya itu.
Auditorium belum penuh, namun atmosfer kekeluargaan sudah tampak di dalam
ruangan teater yang besar itu: ini mengingatkan Ypek pada mimpi memperlihatkan
semua orang yang dikenalnya bergerombol di depannya. Tetapi, tidak ada tanda-
tanda keberadaan Ka maupun Kadife, dan ini membuatnya cemas. Kemudian, seorang
sersan menyuruh mereka pindah ke bagian lain auditorium. "Saya adalah ayah dari
pemeran utama wanita dalam drama ini, Kadife Yyldyz," keluh Turgut Bey. "Saya
harus menemuinya sekarang juga."
Turgut Bey terdengar seperti seorang ayah yang datang pada menit terakhir untuk
mencegah putrinya berperan dalam drama sekolah yang tidak disukainya. Sersan
yang dilanda panik itu menanggapinya seperti seorang guru sopan yang menyadari
bahwa kekhawatiran seorang ayah jauh lebih penting daripada pekerjaannya
sendiri, dan dia pun langsung menawarkan pertolongan. Dia mengantarkan mereka ke
sebuah ruangan yang dindingnya dipenuhi oleh foto Ataturk dan Sunay. Mereka
menunggu sejenak di sana sebelum Kadife muncul sendirian di pintu.
"Pada waktu selarut ini, setelah mereka mengiklankan pertunjukan ini dengan
gencar, akan lebih berbahaya jika aku tidak muncul di panggung, Ayah," kata
Kadife. "Jika kau mencopot jilbabmu, Kadife, apa kautahu betapa kau akan memancing
kemarahan para murid madrasah aliah itu, dan juga semua orang lainnya?"
"Sejujurnya, Ayah, setelah bertahuntahun ini, tidakkah ironis bahwa Ayah
sekarang menyuruhku tetap memakai jilbab?"
"Tidak ada yang patut ditertawakan tentang hal ini, Kadife kecilku," kata Turgut
Bey. "Katakan saja kepada mereka bahwa kau sakit."
"Aku tidak sakit Turgut Bey menangis. Ypek tahu bahwa ayahnya hanya berpura-pura menangis,
seperti yang selalu dilakukannya saat dia melihat kesempatan untuk berfokus pada
aspek sentimental dalam menghadapi sebuah masalah. Dan, ada kesan berlebihan dan
palsu dalam kegelisahan pria uzur itu yang selalu membuat Ypek curiga bahwa di
dalam lubuk hatinya yang terdalam, ayahnya sesungguhnya menyesali hal yang
berkebalikan dengan apa yang diakuinya dengan berurai air mata. Pada masa lalu,
Ypek dan adiknya mengira sikap ayahnya ini menunjukkan kasih sayang dan
keistimewaan, namun sekarang, saat dihadapkan pada masalah yang mendesak, mereka
merasa sikap ayah mereka justru memalukan dan menyusahkan.
"Kapankah Ka pergi dari sini?" Ypek berbisik.
"Dia seharusnya sudah sampai di hotel beberapa waktu yang lalu," kata Kadife,
sama waspadanya dengan Ypek.
Mereka dapat melihat ketakutan yang terpancar di mata mereka masing-masing.
Saat aku menemuinya di Toko Kue Hidup Baru empat tahun kemudian, Ypek
menceritakan kepadaku bahwa pada saat itu, bukan Ka yang mereka khawatirkan,
tetapi Lazuardi. Ketika saling memandang dan berkomunikasi dalam diam, mereka
nyaris tidak memedulikan ayah mereka. Empat tahun kemudian, mau tidak mau aku
melihat kejujuran Ypek sebagai sebuah tanda bahwa dia memercayaiku, sehingga aku
membayangkan bahwa akhir dari kisah ini tidak akan bisa kulihat dari sudut
pandang selain miliknya. Sejenak, kedua kakak beradik itu terdiam.
"Dia mengatakan kepadamu bahwa Lazuardi tidak ingin kautampil di panggung,
bukan?" Ypek bertanya.
Kadife melayangkan tatapan peringatan kepada kakaknya: ayah mereka telah
mendengar ucapannya. Keduanya memandang ayah mereka dan melihat bahwa, meskipun
air matanya masih mengalir, pria itu memerhatikan mereka sepenuhnya.
"Ayah tidak keberatan, bukan, kalau kami meninggalkan ayah sebentar untuk
berbicara empat mata antara kakak dan adik?"
"Jika kalian berdua menyatukan kepala, kalian selalu tahu lebih banyak daripada
aku," jawab Turgut Bey. Dia meninggalkan ruangan itu tanpa menutup pintu.
"Apakah kau sudah memikirkan hal ini dengan baik, Kadife?" Ypek bertanya.
"Sudah." "Tapi, apakah kau mengerti bahwa kau tidak akan pernah melihatnya lagi?"
"Mungkin tidak," Kadife menjawab dengan berhati-hati.
"Tapi aku juga sangat marah kepadanya."
Hubungan Kadife dan Lazuardi selalu naik dan turun berbagai pertengkaran
senantiasa disusul oleh tawaran perdamaian yang kemudian berujung pada sengatan
api cemburu dan sekarang dengan putus asa Ypek memikirkan kembali sejarah
panjang hubungan rahasia mereka. Sudah berapa tahunkah yang telah mereka jalani"
Ypek tidak yakin, terutama karena dia tidak mau memikirkan berapa lama Lazuardi
berhubungan dengan mereka berdua sekaligus. Dia memikirkan Ka dengan penuh rasa
sayang berkat Ka, dirinya akan mampu melupakan Lazuardi.
"Ka sangat cemburu kepada Lazuardi," kata Kadife. "Dan dia jatuh cinta setengah
mati kepadamu." "Awalnya aku tidak percaya melihatnya bisa jatuh cinta setengah mati begitu
dalam waktu yang sangat singkat," kata Ypek. "Tapi, sekarang aku percaya
kepadanya." "Pergilah ke Jerman bersamanya."
"Segera setelah kita sampai di rumah, aku akan mengemasi koperku," kata Ypek.
"Apa kau betul-betul berpikir bahwa aku dan Ka akan bisa berbahagia di Jerman?"
"Ya, menurutku begitu," kata Kadife. "Tapi, berhentilah memberi tahu Ka tentang
masa lalumu. Dia sudah tahu terlalu banyak, dan dia bisa menebak-nebak jauh
lebih banyak lagi." Ypek benci jika adiknya berbicara dengan nada menggurui seperti itu, bagaikan
seorang wanita paling berpengalaman di seluruh dunia. Maka, dia mengatakan, "Kau
bicara seolaholah kau tidak berniat pulang setelah sandiwara ini selesai."
"Tentu saja aku akan pulang," kata Kadife. "Tapi, kupikir kau akan langsung
berangkat." "Apakah kautahu ke mana Ka mungkin pergi?"
Ketika mereka saling berpandangan, Ypek merasakan bahwa mereka berdua
mencemaskan hal yang sama.
"Ayo," kata Kadife. "Sudah tiba saat bagiku untuk merias wajah."
"Satu-satunya hal yang membuatku lebih bahagia
daripada melihatmu melepas jilbab adalah melihat jas hujan ungu itu untuk
terakhir kalinya," kata Ypek.
Jas hujan itu panjang hingga menyentuh lantai, dan Kadife menari-nari kecil
sehingga ujung pakaian itu bergerak-gerak liar. Saat melihat Turgut Bey, yang
menyaksikan mereka dari pintu, dan akhirnya bisa tersenyum, kedua kakak beradik
ini berpelukan dan saling mencium pipi.
Ketika itu, Turgut Bey tentunya telah menyerah pada kenyataan bahwa Kadife akan
tampil di panggung, namun kali ini dia tidak menangis ataupun menasihati.


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perannya sudah berakhir, dan dia memeluk kedua putrinya erat-erat sebelum
mencium kedua pipi mereka dan pergi menembus auditorium yang penuh sesak.
Di pintu masuk teater yang dijejali manusia, dalam perjalanan pulang ke hotel,
Ypek mencari-cari Ka. Ketika tidak melihat Ka, Ypek mulai mencari orang lain
yang mungkin mengetahui tentang keberadaan Ka, namun tidak seorang pun dapat
menolongnya. Setibanya mereka di hotel, Turgut Bey langsung menghampiri pesawat televisi,
dan, saat dia duduk terhipnotis oleh iklaniklan menjelang siaran langsung dari
Teater Nasional, Ypek mengemasi kopernya. Kapan pun dia mulai memikirkan di mana
Ka berada, dia langsung berusaha berkonsentrasi pada kebahagiaan yang menanti
mereka di Jerman dan juga pada baju-baju dan benda-benda lain yang akan
dibawanya. Seperti yang kemudian dikatakannya kepadaku, "Sama seperti Ka yang
bisa mencari alasan bagi setiap pesimismenya, aku menghabiskan empat puluh lima
menit berikutnya untuk mencari-cari alasan bodoh bagi optimismeku." Kemudian,
dia mulai menyiapkan koper lain dan mengisinya dengan benda-benda
yang sebelumnya disingkirkannya atas dasar "mungkin ada barang seperti ini yang
berkualitas jauh lebih bagus di Jerman". Saat dia mengaduk-aduk stoking dan
pakaian dalamnya, memikirkan apakah dia akan bisa menemukan model yang
disukainya di Jerman, sesuatu mendorongnya untuk melihat keadaan di luar. Sebuah
truk tentara, yang selama ini membawa Ka bepergian ke seluruh kota, sedang
memasuki halaman. Ypek turun dan melihat ayahnya berdiri di pintu. Seorang petugas berwajah
tercukur bersih dan berhidung bengkok yang belum pernah dilihatnya sebelumnya
berkata, "Turgut Yyldyz," dan menyerahkan sepucuk surat kepada ayahnya.
Dengan wajah pucat pasi dan tangan gemetar, Turgut Bey membuka amplop itu dan
menemukan sebuah anak kunci. Melihat bahwa surat yang menyertainya ditujukan
kepada putrinya, dia menyerahkan amplop beserta isinya kepada Ypek.
Untuk pembelaan diri, namun juga untuk memastikan bahwa apa pun yang kutulis
tentang Ka akan mencerminkan setiap fakta yang ada, Ypek menunjukkan surat itu
kepadaku saat kami bertemu empat tahun kemudian.
Kamis, pukul 20:00 Turgut Bey jika Anda berkenan, saya ingin meminta Anda menggunakan kunci ini
untuk mengeluarkan Ypek dari kamar saya, dan untuk menyampaikan surat ini
kepadanya, karena inilah yang terbaik bagi kita semua. Saya ingin memohon maaf.
Hormat saya kepada Anda. Sayangku. Aku gagal mengubah pikiran Kadife. Para prajurit membawaku ke markas
untuk menga - mankanku. Jalan menuju Erzurum sudah dibuka kembali, dan mereka memaksaku untuk
meninggalkan kota ini dengan kereta pertama, yang berangkat pada pukul setengah
sepuluh malam. Kau harus mengemasi tasku sekaligus tasmu dan langsung
menyusulku. Truk tentara akan menjemputmu pada pukul sembilan lewat seperempat.
Dalam keadaan apa pun, jangan sampai kau berkeliaran di jalanan. Datanglah
kepadaku! Aku sangat mencintaimu. Kita akan bahagia.
Sebelum meninggalkan mereka, si pria berhidung bengkok mengatakan bahwa mereka
akan kembali setelah pukul sembilan.
"Apakah kau akan pergi?" Turgut Bey bertanya.
"Aku masih mengkhawatirkan apa yang terjadi pada Ka," kata Ypek.
"Para prajurit melindunginya; tidak ada yang akan terjadi padanya. Jadi, apakah
kau akan meninggalkan kami dan pergi bersamanya?"
"Kurasa aku akan bahagia bersamanya," kata Ypek. "Bahkan Kadife pun berpikir
begitu." Di tangannya terdapat sebuah dokumen yang menegaskan kebahagiaan masa depannya,
dan sekarang, saat membacanya kembali, Ypek mulai menangis, namun dia tidak
memahami alasannya. "Mungkin karena aku tidak berani meninggalkan ayah dan
adikku," dia akan memberitahuku empat tahun kemudian. Ketika itu, aku yakin
ketertarikan besarku untuk mengetahui tentang setiap detail perasaan Ypek
berakar dari kebutuhanku untuk mendengarkan ceritanya. Kemudian, dia berkata,
"Dan mungkin aku mengkhawatirkan hal lain di dalam pikiranku."
Sesudah Ypek berhenti menangis, dia dan ayahnya naik ke kamarnya untuk terakhir
kalinya memeriksa apa saja yang dibawanya, kemudian mereka pergi ke kamar Ka
untuk memasukkan semua bawaannya ke dalam koper merah tuanya. Harapan
menyelimuti ayah dan anak itu. Mereka saling mengingatkan bahwa, jika semuanya
lancar, Kadife akan segera menyelesaikan tugasnya, dan kemudian dia dan Turgut
Bey akan bisa mengunjungi Ypek di Frankfurt.
Ketika tas-tas sudah selesai dikemas, mereka turun dan berangkulan di depan
televisi untuk menyaksikan penampilan Kadife.
"Aku berharap drama ini pendek saja supaya kau bisa mengetahui akhir dari
masalah ini sebelum naik ke kereta," kata Turgut Bey.
Mereka saling menyandarkan tubuh dan berhenti berbicara, seperti yang mereka
lakukan saat menonton Marianna, namun Ypek tak mampu berkonsentrasi pada apa
yang sedang dilihatnya. Bertahuntahun kemudian, yang dapat diingatnya dari dua
puluh lima menit pertama acara itu adalah Kadife yang naik ke panggung
mengenakan jilbab dan gaun panjang berwarna merah menyala, mengatakan, "Terserah
Ayah tersayang saja." Merasakan kepenasarananku yang tulus tentang apa yang
dipikirkannya ketika itu, dia menambahkan, "Tentu saja, pikiranku ada di tempat
lain." Berulang kali, aku menanyakan di mana, tepatnya, pikirannya berada, namun
dia hanya mengatakan bahwa pikirannya berada pada perjalanan yang akan
dilakukannya bersama Ka. Kemudian, pikirannya akan dicekam ketakutan, namun dia
tidak pernah bisa mengakui kepada dirinya sendiri apa yang membuatnya takut
apalagi mengatakannya kepadaku. Karena jendelajendela pikirannya terbentang
lebar, semua yang dilihatnya di televisi tampak sangat jauh. Dia merasa bagaikan
seorang petualang yang baru saja kembali dari sebuah perjalanan panjang dan
mendapati rumahnya telah berubah secara misterius setiap ruangan tampak jauh
lebih kecil daripada yang diingatnya, dan setiap perabot tampak jauh lebih
usang. Saat dia melihat ke sekelilingnya, semuanya bantal-bantal, meja, bahkan
lipatan-lipatan tirai mengejutkannya. Dihadapkan pada kesempatan untuk pergi ke
sebuah tempat yang sepenuhnya asing, dia dapat melihat rumahnya sendiri dari
kacamata seorang asing. Itulah penggambarannya atas apa yang dirasakannya. Dan
perasaannya ini, yang diungkapkannya kepadaku di Toko Kue Hidup Baru, merupakan,
dalam pandangannya, bukti nyata bahwa dia masih memegang rencananya untuk
berangkat ke Frankfurt bersama Ka malam itu.
Saat bel berbunyi, Ypek berlari ke pintu hotel. Truk tentara yang akan
membawanya ke stasiun datang lebih cepat. Menelan ketakutannya, Ypek mengatakan
kepada petugas di pintu bahwa dia akan segera kembali. Dia langsung menghampiri
ayahnya, duduk di sampingnya, dan memeluknya sekuat tenaga.
"Apakah truknya sudah datang?" tanya Turgut Bey. "Jika kau sudah selesai
mengemasi bawaanmu, kita masih punya sedikit waktu."
Ypek menghabiskan beberapa menit berikutnya dengan memandang kosong pada layar
televisi yang menampilkan Sunay. Tetapi kemudian, tidak mampu duduk tenang, dia
berlari ke kamarnya dan, setelah mengemasi sandal dan peralatan menjahit bersama
cermin yang akibat kecerobohannya tertinggal di dekat jendela, dia duduk di
pinggir ranjangnya selama beberapa menit, menangis.
Menurut apa yang diingatnya, saat menuruni tangga, dia yakin akan keputusannya
untuk meninggalkan Kars bersama Ka. Akhirnya, setelah berhasil menyingkirkan
keraguan yang tak henti-hentinya meracuni benaknya, dia merasakan kedamaian,
bertekad akan menghabiskan menit-menit terakhirnya di rumah untuk menonton
televisi bersama ayahnya.
Saat Cavit si resepsionis memberitahunya bahwa seseorang sedang menunggu dirinya
di pintu, Ypek sama sekali tidak khawatir. Turgut Bey memintanya untuk
mengambilkan soda dari kulkas, dan dia membawa dua buah gelas supaya mereka
dapat meminumnya bersama. Ypek mengatakan bahwa dia tidak akan pernah melupakan
wajah Fazyl saat pemuda itu berdiri menantinya di pintu dapur. Jelas terlihat
dari ekspresi wajahnya bahwa sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, dan Ypek
merasakan sesuatu untuk pertama kalinya: bahwa Fazyl adalah anggota keluarga
mereka, seseorang yang sangat dekat dengannya.
"Mereka telah membunuh Lazuardi dan Hande!" seru Fazyl dengan napas tertahan.
"Dan hanya Lazuardi yang dapat menyelamatkan Kadife."
Ypek menyaksikan Fazyl menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Kemudian, dengan
suara melengking yang sepertinya muncul jauh dari dalam dirinya, Fazyl
menjelaskan bahwa Lazuardi berada di tempat persembunyiannya bersama Hande, dan
bahwa sepasukan tentara telah merazia tempat itu dan membunuh mereka. Fazyl
yakin seseorang telah membocorkan tempat itu kepada pihak militer: jika bukan
begitu, tentunya pasukan yang dikirim tidak akan sebanyak itu. Dan, tidak, tidak
mungkin ada yang membuntuti Fazyl: setibanya dia di sana, semuanya sudah berakhir, dan Fazyl
menyaksikan bersama sejumlah bocah dari rumah-rumah di lingkungan itu saat
senter tentara tersorot ke arah mayat Lazuardi.
"Bolehkah saya tinggal di sini?" tanya Fazyl. "Saya tidak ingin pergi ke tempat
lain lagi." Ypek mengeluarkan sebuah gelas lagi supaya Fazyl juga dapat ikut berbagi soda
bersama mereka. Dalam kebingungannya, Ypek tidak dapat menemukan pembuka botol;
dia terus-menerus mencari di sejumlah laci dan lemari yang salah, sebelum
akhirnya berhasil menemukannya. Tiba-tiba, dia memikirkan blus bermotif bunga
yang dikenakannya pada hari saat dia pertama kali berjumpa dengan Lazuardi, dan
dia ingat telah memasukkan blus itu ke kopernya. Dia menabahkan diri demi Fazyl
dan menyuruhnya duduk di kursi di dekat dapur, tempat Ka, dalam keadaan mabuk
berat pada Selasa malam, menulis puisinya. Kemudian, bagaikan seorang cacat yang
tiba-tiba terbebas dari penyakit yang mendera sekujur tubuhnya, Ypek merasa
santai. Meninggalkan pemuda itu secara diamdiam untuk menonton Kadife sambil
menikmati soda, Ypek melangkah ke ujung lain ruangan dan memberikan gelas kedua
kepada ayahnya. Dia naik ke kamarnya dan berdiri sejenak di dalam kegelapan.
Dia memasuki kamar Ka untuk mengambil koper merah tuanya, kemudian dia keluar ke
jalan. Menembus dinginnya udara, dia menghampiri petugas yang berdiri di dekat
truk tentara dan mengatakan kepada pria itu bahwa dia telah memutuskan untuk
tidak meninggalkan Kars. "Kita masih bisa mengejar kereta itu," kata si petugas, berusaha membantu.
"Saya sudah berubah pikiran. Saya tidak akan pergi. Tapi, terima kasih. Dan
tolong berikan tas ini kepada Ka Bey."
Ypek kembali masuk, dan saat dia duduk di samping ayahnya, mereka berdua
mendengar deru mesin truk tentara itu.
"Aku menyuruh mereka pergi," Ypek memberi tahu ayahnya. "Aku tidak akan pergi."
Turgut Bey memeluknya. Selama beberapa saat, mereka menyaksikan pertunjukan
drama di televisi, namun tidak seorang pun dari mereka memerhatikannya. Babak
pertama telah hampir berakhir ketika Ypek berkata, "Mari kita pergi menonton
Kadife. Ada sesuatu yang harus kukatakan kepadanya."[]
Para Wanita Bunuh Diri untuk Menyelamatkan Kehormatan Mereka Babak Terakhir
HARI SUDAH menjelang malam ketika Sunay memutuskan untuk mengganti judul drama
yang aslinya terinspirasi dari The Spanish Tragedy karya Thomas Kyd, tetapi
bagian terakhirnya menunjukkan banyak pengaruh lainnya. Baru selama setengah jam
terakhir dari rentetan iklan tanpa henti di televisi, si penyiar mulai menyebut
drama itu dengan judul Sebuah Tragedi di Kars. Ralat ini terlambat diterima oleh
para penonton yang sudah berada di gedung teater. Banyak di antara mereka yang
datang diangkut oleh bus militer; sebagian yang lain melihat drama itu
diiklankan dan datang untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada pihak militer
yang kuat; cukup banyak orang tidak peduli pada kekacauan apa pun yang akan
terjadi, selama mereka bisa melihat dengan mata kepala mereka sendiri (telah
tersebar rumor bahwa "siaran langsung" yang digembar-gemborkan itu sesungguhnya
adalah rekaman yang dikirim dari Amerika). Yang juga hadir di sana adalah para
pejabat kota, yang diperintahkan untuk hadir (kali ini mereka memutuskan untuk
tidak membawa serta keluarga mereka). Hanya sedikit di antara mereka yang
mengetahui judul drama malam itu, namun bahkan mereka yang mengetahuinya, seperti seluruh
penduduk kota, kesulitan mengikuti jalan ceritanya.
Empat tahun setelah pementasan pertama sekaligus terakhirnya, sebuah kaset video
berjudul Sebuah Tragedi di Kars dikeluarkan dari arsip Kars Border Television.
Setengah bagian pertamanya nyaris mustahil untuk dipahami. Aku dapat melihat
adanya pertikaian berdarah di sebuah kota "terbelakang, miskin, dan muram",
namun ketika penduduk kota itu mulai saling membunuh, aku tidak memahami
alasannya; baik para pembunuh maupun para korbannya tidak memberikan penjelasan
mengapa pertumpahan darah itu harus ada. Amarah Sunay meledak saat melihat
kebrutalan pertikaian berdarah dan orang orang yang terlibat di dalamnya; dia
memperdebatkan masalah ini dengan istrinya dan seorang wanita muda yang
sepertinya lebih memahami maksudnya (tokoh ini diperankan oleh Kadife). Meskipun
menjadi anggota keluarga kaya yang telah tecerahkan, karakter Sunay gemar
berpesta dan bergaul dengan para penduduk desa yang termiskin, dan bahkan mampu
melibatkan mereka dalam diskusi cerdas tentang makna kehidupan, dan menghibur
mereka dengan adegan-adegan dari Shakespeare, Victor Hugo, dan Brecht, hanya
untuk mewujudkan janji adanya "drama di dalam drama". Dia juga menampilkan
berbagai solilokui untuk mengetengahkan masalah-masalah seperti lalu lintas
kota, etiket di meja makan, sifat-sifat khas yang selalu menyertai orang Turki
dan muslim, kejayaan Revolusi Prancis, manfaat memasak, kondom dan raki, dan
cara para pelacur kelas atas menari perut. Tetapi, deklarasi-deklarasi yang
menjadi selingan ini, seperti parodi mesumnya terhadap iklaniklan sampo dan
kosmetik, hanya sejenak mengalihkan penonton dari adegan-adegan berdarah yang
berlangsung di depan mereka; dan, ketika satu demi satu pertikaian saling susul-
menyusul, semakin sulit dipercaya bahwa semua itu sama sekali tidak bisa
dipandang secara logis. Meskipun begitu, improvisasi liar itu, entah bagaimana, masih layak ditonton
hanya karena kecemerlangan penampilan Sunay. Kapan pun adegan di panggung mulai
membosankan, kapan pun dia merasakan para penonton Kars kehilangan ketertarikan,
Sunay selalu dapat menemukan sesuatu untuk kembali memesona mereka. Dia akan
menghambur dengan penuh kemarahan, dan, menampilkan pose yang dicatutnya dari
salah satu peran paling populernya sepanjang kariernya, mencaci orang-orang yang
telah membuat para penonton jenuh. Kemudian, dia akan berjalan mondar-mandir di
atas panggung dengan lagak tragis, mengenang masa muda dan mengutip perkataan
Montaigne tentang persahabatan sambil merenungi intisari kesendirian Atatiirk.
Wajahnya basah oleh keringat.
Selama kunjunganku di Kars, aku berkesempatan menemui Nuriye Hanym, guru yang
mencintai sastra dan sejarah, dan sangat terpikat oleh penampilan Sunay pada
malamrevolusi; wanita itu mengatakan kepadaku bahwa semua orang di baris depan
dalam pertunjukan kedua Sunay dapat mencium aroma raki yang menguar dari
mulutnya. Meskipun begitu, dia tetap bersikeras bahwa Sunay tidak mabuk; dia
lebih suka menggunakan istilah "antusias". Tetapi, para penonton lain di
deretannya turut memperkuat pendapatnya tentang antusiasme ini. Mereka berasal
dari berbagai macam latar belakang: kebanyakan adalah para pegawai setengah baya
yang mempertaruh-kan nyawa mereka untuk duduk sedekat mungkin dengan pria hebat
ini. Beberapa di antara mereka adalah janda; yang lain mungkin paling tepat
disebut pengagum muda Ataturk yang telah berpuluh-puluh kali melihat Sunay di
televisi. Ada pula beberapa orang yang memang bisa dikatakan haus petualangan,
atau setidaknya tertarik pada kekuasaan. Tetapi, mereka semua berbicara tentang
cahaya yang tampak di mata Sunay, yang memancar ke segala penjuru; sangat
berbahaya, kata mereka, jika memandang sepasang mata itu selama lebih dari
beberapa detik. Nantinya, pernyataan ini dibuktikan oleh salah seorang siswa madrasah aliah yang
diangkut dengan kendaraan militer dan digelandang memasuki Teater Nasional.
Pemuda itu bernama Mesut, teman Necip dan Fazyl yang menentang penguburan orang
ateis dan orang beriman di lahan yang sama. Dia menegaskan bagaimana Sunay
memikat mereka semua. Kita hanya dapat mengasumsikan bahwa Mesut telah
kehilangan pegangan karena, setelah empat tahun bergabung dengan sebuah kelompok
Islamis kecil yang berpusat di Erzurum, dia tidak lagi mendukung perlawanan
bersenjata dan kembali ke Kars untuk bekerja di sebuah kedai teh. Dia mengatakan
kepadaku bahwa sangat sulit bagi para siswa madrasah aliah untuk berbicara
secara terbuka tentang ketertarikan mereka kepada Sunay. Mungkin ini berhubungan
dengan kekuasaan absolut yang dipegang Sunay, sesuatu yang juga mereka dambakan.
Mungkin juga mereka lega akibat batasan-batasan yang ditetapkannya pada gerakan
mereka, sehingga mustahil bagi mereka untuk melakukan tindakan tolol yang
berisiko tinggi seperti memancing-mancing kekacauan. "Setiap kali militer turun
tangan, kebanyakan orang secara diamdiam bersyukur," katanya kepadaku, sebelum mengakui bahwa
teman-teman sekelasnya paling terkesan pada keberanian Sunay: lihatlah dia, pria
paling berkuasa di kota mereka, namun dia dengan gagah berani berderap ke atas
panggung dan memamerkan jiwanya kepada sejumlah besar penonton.
Menonton rekaman video pementasan malam itu dari arsip Kars Border Television,
aku terkesan pada kesunyian yang menyelimuti seluruh ruangan. Sepertinya, para
penonton telah melupakan penderitaan hidup mereka pertengkaran antara ayah dan
anak, pertikaian antara pihak yang dipersalahkan melawan penguasa dan tenggelam
dalam sebuah teror yang ditanggung bersama. Aku sendiri tidak kebal terhadap
kekuatan yang terpancar dari kisah fiksi yang akan sangat dipahami oleh setiap
penduduk negara yang mengutamakan nasionalisme opresif dan agresif aura


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persatuan misterius yang dimunculkan oleh kata "kita". Dalam versi Sunay,
seolaholah tidak ada seorang pun "pendatang" di ruangan itu: semua orang terikat
erat oleh kisah ketidakberdayaan yang sama.
Tetapi, Kadife mengancam untuk menghancurkan pesona ini, yang akan menjelaskan
mengapa penduduk Kars tidak bisa menerima penampilannya di panggung. Juru kamera
yang mengambil gambar untuk siaran langsung sepertinya waspada terhadap hal ini:
dalam semua adegan ceria, dia menyorotkan kamera ke arah Sunay, sama sekali
tidak menunjukkan Kadife, sehingga para penonton TV hanya melihat Kadife saat
dia sedang bersikap baik dan ceria, seperti seorang pembantu rumah tangga dalam
cerita lawak. Meskipun begitu, semua orang telah melihat iklan yang terus-
menerus diputar di televisi sejak waktu makan siang, dan mereka semua sangat
penasaran menantikan apakah Kadife akan betul-betul mencopot jilbabnya. Seperti
biasanya, terdapat desas-desus yang simpang siur sebagian orang yakin bahwa
Kadife hanya mematuhi perintah tentara untuk mencopot jilbabnya, sementara
sebagian yang lain yakin bahwa Kadife tidak akan muncul di panggung sama sekali
tetapi, publisitas berlebihan sepanjang siang hingga sore itu memastikan bahwa
semua orang, bahkan yang hanya samar-samar mengetahui masalah jilbab, mengenal
nama Kadife. Sebagai hasilnya, semua orang kecewa karena Kadife sangat jarang
terlihat dalam adegan-adegan awal gaun merah panjangnya tidak menutupi fakta
bahwa jilbabnya masih terpasang di kepalanya.
Dua puluh menit setelah drama berlangsung, sebuah percakapan antara Kadife dan
Sunay memberikan petunjuk pertama kepada para penonton tentang apa yang akan
terjadi. Mereka hanya berdua di atas panggung, dan Sunay bertanya apakah Kadife
telah mengambil keputusan, menambahkan bahwa dia "tidak bisa menerima orang yang
membunuh orang lain hanya karena dipicu oleh kemarahan."
Kadife menjawab sebagai berikut: "Di sebuah kota tempat orang-orang saling
membunuh seperti binatang hanya untuk menjadikan kehidupan mereka lebih bahagia,
siapakah yang berhak mencegahku melakukan bunuh diri?" Kemudian, melihat Funda
Eser bergegas menghampirinya, Kadife cepat-cepat menghilang ke balik panggung
membiarkan para penonton bertanya-tanya apakah ini memang bagian dari drama atau
sebuah improvisasi mendadak untuk meloloskan diri.
Ketika berbicara dengan semua orang yang bersedia berbicara denganku, aku
berusaha membuat reka ulang
berdasarkan kesaksian mereka tentang kejadian menit per menit yang menghubungkan
antara pementasan di panggung dan kejadian di luar panggung. Dengan cara inilah
aku dapat membayangkan tatapan terakhir Lazuardi pada Kadife saat gadis itu
mengucapkan kalimatnya. Karena, menurut pernyataan para tetangga yang
menyaksikan razia di tempat persembunyian Lazuardi, juga kesaksian para polisi
yang masih bertugas di Kars saat aku berkunjung, Lazuardi dan Hande sedang
menonton TV saat bel berbunyi. Menurut laporan resmi, Lazuardi menatap sekali ke
arah para prajurit dan polisi yang berkumpul di luar dan bergegas mengambil
senjatanya; kemudian, dia menembak tanpa memberikan peringatan. Beberapa orang
tetangga dan para pemuda Islamis yang akan menjadikannya legenda hanya dalam
kurun waktu semalam masih ingat bahwa, setelah menembak beberapa kali, Lazuardi
berseru, "Jangan tembak!" Mungkin dia berharap dapat menyelamatkan Hande.
Tetapi, tim operasi khusus Z Demirkol telah mengambil posisi di sekeliling
tempat itu, sehingga dalam waktu kurang dari semenit, tidak hanya Lazuardi dan
Hande tetapi juga seluruh tembok tempat persembunyian mereka diberondong peluru.
Keributan itu sungguh memekakkan telinga, namun hanya segelintir tetangga
penasaran yang memberikan perhatian. Lagi pula, penduduk Kars sudah terbiasa
dengan razia pada malam hari seperti itu, dan malam itu, mereka tidak ingin
mengalihkan perhatian dari siaran langsung dari Teater Nasional. Semua trotoar
di kota tampak sunyi, semua etalase toko ditutup, dan, kecuali kedai teh yang
memiliki televisi, semua pusat keramaian tutup. Sunay tahu betul bahwa semua
mata di kota itu memandangnya, dan itu memberinya perasaan aman sekaligus
kekuasaan luar biasa. Aku tidak akan pernah mendengar cerita versi Kadife tentang peristiwa ini,
sehingga aku tidak bisa memastikan apa yang sedang dipikirkannya, tetapi,
menyadari bahwa aksinya di panggung berada di bawah bayang-bayang kecemerlangan
Sunay, jelas terlihat bahwa, tidak seperti sifatnya, Kadife tampak sangat
menggantungkan diri pada persetujuan Sunay atas aktingnya. Dia harus sebaik
mungkin menyambar setiap kesempatan yang dilontarkan oleh Sunay kepadanya jika
ingin berhasil menarik perhatian penonton.
Selama empat puluh menit selanjutnya, saat para penonton mulai mengerti bahwa
Kadife dihadapkan pada dua keputusan penting tentang mencopot jilbabnya dan
melakukan bunuh diri kekaguman mereka kepadanya pun bertambah. Seiring dengan
semakin seringnya Kadife muncul, drama itu berkembang menjadi lebih serius
daripada yang telah direncanakan Sunay dan Funda dengan semangat setengah-
menggurui dan setengah-melawak. Meskipun para penonton tidak dapat sepenuhnya
melupakan "Kadife si gadis berjilbab", banyak di antara mereka masih merasakan
kesedihan untuknya bertahuntahun kemudian, dan mengatakan kepadaku bahwa
kepribadian barunya telah berhasil mencuri hati para penduduk Kars. Memasuki
bagian tengah drama, para penonton diliputi keheningan sehingga setiap kali
Kadife muncul di panggung; setiap kali dia berbicara, mereka yang menonton di
rumah-rumah yang dipenuhi anak-anak berisik akan dengan panik saling bertanya,
"Apa yang dia katakan tadi" Apa yang dia katakan tadi?"
DI TENGAH-TENGAH keheningan yang meliputi Teater Nasional, terdengarlah peluit
kereta api pertama yang meninggalkan Kars setelah empat hari berlalu. Ka berada di dalam sebuah
kompartemen tempat para prajurit menempatkannya dengan paksa. Ketika sahabatku
melihat truk tentara kembali bersama kopernya namun tanpa Ypek, dia dengan putus
asa memohon kepada para pengawalnya untuk membawanya menemui Ypek atau
setidaknya berbicara untuk terakhir kalinya kepadanya. Saat mereka menolak
permintaannya, Ka memohon supaya mereka mengirim kembali truk tentara itu ke
hotel. Saat truk tersebut kembali lagi tanpa membawa Ypek, dia memohon kepada
para petugas untuk menahan keberangkatan kereta hingga lima menit lagi. Saat
peluit berbunyi, masih belum ada tanda-tanda kedatangan Ypek, dan bahkan saat
kereta mulai bergerak, mata Ka yang basah masih mencari-cari di antara kerumunan
orang di peron. Memusatkan pandangannya ke gerbang stasiun, ke pintu yang
memperlihatkan patung Kazim Karabekir,Ka berusaha membayangkan sosok seorang
wanita bertubuh semampai, menenteng sebuah tas, berjalan menyongsong dirinya.
Saat kereta melaju semakin kencang, peluit berbunyi sekali lagi. Ypek dan Turgut
Bey sedang berjalan dari Hotel Istana Salju menuju Teater Nasional saat mereka
mendengarnya. "Kereta api sudah berangkat," kata Turgut Bey.
"Ya," kata Ypek. "Dan tak berapa lama lagi, jalan-jalan akan kembali dibuka.
Pemerintah dan para pejabat militer akan segera kembali ke kota ini."
Sejenak, mereka membicarakan bagaimana kudeta konyol ini akan segera berakhir,
tentang bagaimana semua hal akan segera kembali normal, namun nantinya Ypek akan
mengakui bahwa dia sama sekali tidak tertarik pada topik-topik itu; dia
berbicara supaya ayahnya tidak
beranggapan dia murung akibat memikirkan Ka.
Tetapi, apakah pikirannya benar-benar tertuju kepada Ka" Seberapa banyakkah dia
memikirkan kematian Lazuardi" Bahkan empat tahun kemudian, dia sendiri masih
merasa tidak yakin, dan, menganggap pertanyaan dan kecurigaanku menjengkelkan,
dia berusaha menangkisnya. Tetapi, dia mengatakan bahwa yang jauh lebih kuat
daripada penyesalannya karena melewatkan kesempatan untuk berbahagia adalah
kemarahannya terhadap Ka. Saat mendengar kereta api yang ditumpangi Ka berangkat
dari stasiun, hanya kehancuran hatinya yang dapat dirasakannya, dan mungkin
sedikit keterkejutan. Di atas semua itu, yang ingin dilakukannya hanyalah
membagi dukanya dengan Kadife.
"Sepi sekali, seolaholah semua orang kabur dari kota ini," kata Turgut Bey.
"Mirip kota hantu," Ypek menanggapi, hanya supaya dirinya tidak diam.
Sebuah konvoi yang terdiri atas tiga buah kendaraan militer melewati mereka dan
berbelok di ujung jalan. Turgut Bey menganggap hal ini sebagai bukti bahwa
jalan-jalan telah dibuka kembali. Mereka menyaksikan jeep-jeep tersebut berjalan
dalam kegelapan malam, hingga akhirnya hanya nyala lampu belakang ketiga
kendaraan itu yang terlihat oleh mereka. Berdasarkan sejumlah wawancara yang
kemudian kulakukan (namun ketika itu belum diketahui oleh mereka), jeep yang
berada di tengah membawa mayat Lazuardi dan Hande.
Sesaat sebelumnya, lampu-lampu jeep terakhir cukup lama menyinari kantor Border
City Gazette sehingga Turgut Bey dapat melihat bahwa edisi esok hari dari surat
kabar itu telah ditempel di jendela. Dia berhenti dan membaca tajuk utamanya:
"Kematian di Atas Panggung", "Aktor Termasyhur Sunay Zaim Tewas Tertembak dalam
Pementasan Kemarin".
Mereka membaca artikel itu dua kali sebelum memacu langkah secepat mungkin ke
Teater Nasional. Sejumlah mobil polisi masih diparkir di luar pintu masuk gedung
teater. Di bagian lain jalan, sebuah tank diparkir di tengah kegelapan bayangan.
Setibanya mereka di pintu masuk gedung teater, Turgut Bey mengumumkan bahwa
dirinya adalah "ayah pemeran utama wanita". Setelah memasuki auditorium, mereka
mengetahui bahwa babak kedua telah dimulai, dan, melihat dua bangku kosong di
baris belakang, mereka pun duduk.
Babak ini juga mencakup sejumlah adegan yang telah menjadi andalan Sunay selama
bertahuntahun, termasuk parodi tari perut terbaru dari Funda Eser. Tetapi,
atmosfer di tempat itu semakin berat dan keheningan di sana semakin mencekam
sebagai dampak kumulatif dari adegan-adegan yang ditampilkan oleh Kadife dan
Sunay di atas panggung. "Sekali lagi, aku harus memaksamu untuk menjelaskan kepadaku mengapa kauingin
bunuh diri," kata Sunay.
"Itu bukan pertanyaan yang benar-benar bisa dijawab oleh siapa pun," kata
Kadife. "Apa maksudmu?"
"Jika seseorang tahu pasti alasannya melakukan bunuh diri, dan jika dia dapat
membeberkan alasannya secara terbuka, maka dia tidak perlu bunuh diri."
"Tidak! Sama sekali tidak seperti itu," kata Sunay. "Sebagian orang melakukan
bunuh diri karena cinta, sebagian yang lain melakukannya karena mereka tidak
tahan lagi menerima kekerasan dari suami mereka, atau karena kemiskinan yang, bagaikan
pisau, menusuk mereka sampai ke tulang."
"Cara pandangmu terhadap kehidupan sangat sederhana," kata Kadife. "Seseorang
yang ingin melakukan bunuh diri karena cinta masih menyadari bahwa jika dia
menunggu lebih lama, cintanya akan memudar. Kemiskinan juga bukan alasan kuat
untuk bunuh diri. Dan, seorang wanita tidak perlu bunuh diri untuk melarikan
diri dari suaminya; yang harus dilakukannya hanyalah mencuri sebagian uang
suaminya dan meninggalkannya."
"Baiklah, kalau begitu. Apa alasan yang sesungguhnya"1
"Alasan utama bunuh diri, jelas sekali, adalah kehormatan. Setidaknya, itulah
alasan para wanita melakukan bunuh diri."
"Maksudmu, mereka dipermalukan oleh cinta?"
"Kau sama sekali tidak mengerti!" seru Kadife. "Seorang wanita tidak melakukan
bunuh diri karena dia kehilangan kehormatan; dia melakukannya untuk menunjukkan
kehormatannya." "Karena itukah teman-temanmu melakukan bunuh
diri?" "Aku tidak bisa berbicara atas nama mereka. Semua orang memiliki alasan mereka
masing-masing. Tapi, setiap kali aku berpikir untuk melakukan bunuh diri, mau
tidak mau aku beranggapan mereka memikirkan hal yang sama denganku. Momen yang
paling tepat untuk melakukan bunuh diri adalah ketika mereka paling memahami
betapa sepinya kehidupan seorang wanita dan ketika mereka menyadari makna
sesungguhnya dari menjadi seorang wanita."
"Apakah kau menggunakan pendapatmu ini untuk mendorong teman-temanmu melakukan
bunuh diri?" "Mereka mengambil keputusan sendiri; pilihan untuk melakukan bunuh diri ada di
tangan mereka." "Tapi, semua orang tahu bahwa, di Kars ini, tidak ada yang namanya kebebasan
memilih; semua orang ingin melarikan diri dari penderitaan yang menanti, mencari
perlindungan dalam kelompok yang paling dekat dengan mereka. Akuilah, Kadife,
kau bertemu secara diamdiam dengan para wanita ini dan mendorong mereka
melakukan bunuh diri."
"Tapi, bagaimana mungkinkah aku melakukannya?" tanya Kadife. "Yang mereka
dapatkan dari bunuh diri lebih berat daripada kesendirian. Beberapa orang tidak
diakui lagi oleh keluarga mereka, yang dalam beberapa kasus menolak untuk
memberikan upacara pemakaman yang layak bagi mereka."
"Jadi, apa kau berusaha mengatakan kepadaku bahwa kau berencana melakukan bunuh
diri hanya untuk membuktikan bahwa mereka tidak sendirian; hanya untuk
menunjukkan bahwa kalian semua berada di jalan yang sama" Kau mendadak menjadi
sangat pendiam, Kadife .... Tapi, jika kau melakukan bunuh diri sebelum
menjelaskan alasan-alasanmu, tidakkah kau mengambil risiko pesanmu akan dipahami
secara salah?" "Aku tidak melakukan bunuh diri untuk menyampaikan pesan," kata Kadife.
"Tapi, tetap saja, ada begitu banyak orang sedang memerhatikanmu, dan mereka
semua penasaran. Setidaknya, kau dapat mengatakan sekarang juga tentang apa yang
ada dalam pikiranmu." "Para wanita itu melakukan bunuh diri karena mereka
berharap akan mendapatkan
sesuatu," kata Kadife.
"Para pria melakukan bunuh diri karena mereka telah kehilangan harapan akan
mendapatkan sesuatu."
"Itu betul," ujar Sunay sembari mengeluarkan pistol Kyrykkale miliknya dari
dalam saku. Semua orang dapat melihat kilau senjata itu. "Jika kau yakin bahwa
aku telah sepenuhnya kalah, maukah kau menggunakan pistol ini untuk menembakku?"
"Aku tak mau berakhir di penjara."
"Mengapa kau harus mengkhawatirkan tentang hal itu jika kau juga berencana untuk
membunuh dirimu sendiri?" tanya Sunay. "Lagi pula, jika kau melakukan bunuh
diri, kau akan masuk Neraka, jadi tidak masuk akal jika kau mencemaskan hukuman
yang akan kauterima untuk dosamu yang lain di dunia ini ataupun di dunia
selanjutnya." "Tapi inilah tepatnya alasan para wanita melakukan bunuh diri," kata Kadife:
"untuk melarikan diri dari segala bentuk hukuman."
"Jika aku tiba di momen kekalahanku, aku ingin mati di tangan seorang wanita
sepertimu!" seru Sunay, membentangkan kedua lengannya dengan gaya teatrikal dan
menghadap para penonton. Dia terdiam untuk memberikan efek dramatis. Kemudian,
dia melontarkan salah satu kisah asmara Atatiirk, dan langsung memotongnya saat
menyadari bahwa para penonton mulai bosan.
Ketika babak kedua berakhir, Turgut Bey dan Ypek bergegas ke belakang panggung
untuk mencari Kadife. Ruang ganti Kadife yang pernah digunakan oleh kelompok
akrobat dari St. Petersburg dan Moskow, kelompok sandiwara Armenia yang
mementaskan Moliere, dan para penari dan musisi yang telah melakukan tur
keliling Rusia sekarang sedingin es. "Kukira kau sudah pergi," kata Kadife kepada Ypek. "Aku sangat bangga padamu,
Sayang. Penampilanmu sungguh menawan!" kata Turgut Bey, memeluk Kadife erat-
erat. "Tapi, jika dia menyerahkan pistol itu kepadamu dan mengatakan, 'Tembaklah
aku,' aku takut diriku akan melompat ke panggung dan menyela sandiwaramu,
berseru, 'Kadife, apa pun yang terjadi, jangan tembak dia!'"
"Mengapa begitu, Ayah?"
"Karena pistol itu bisa jadi berisi peluru," kata Turgut Bey. Dia menceritakan
kepada putrinya tentang artikel yang dibacanya di Border City Gazette edisi esok
hari. "Aku tahu bahwa Serdar Bey selalu berharap dirinya bisa mewujudkan
berbagai peristiwa dengan menuliskannya terlebih dahulu, tapi sebagian besar
dari ceritanya sudah terbukti salah, dan aku juga tidak percaya yang satu ini
akan terwujud," katanya. "Tapi, aku tahu bahwa Serdar tidak akan pernah
memimpikan pembunuhan semacam itu kecuali jika Sunay menyuruhnya dan menurutku
ini sangat mengkhawatirkan. Mungkin saja ini hanya upaya promosi, tapi siapa
tahu, dia bisa saja merencanakan supaya kau membunuhnya di atas panggung.
Putriku tersayang, kumohon jangan tarik pelatuknya kecuali jika kau yakin pistol
itu tidak berisi peluru. Dan, jangan copot jilbabmu hanya karena pria ini
menyuruhmu melakukannya. Ypek tidak akan pergi, kita akan tinggal di kota ini
hingga waktu yang lama, jadi kumohon, jangan pancing kemarahan para Islamis
untuk hal yang sia-sia."
"Mengapa Ypek memutuskan untuk tidak pergi?"
"Karena dia lebih mencintai ayahnya, dan dirimu, dan keluarganya," kata Turgut
Bey, menggenggam tangan Kadife.
"Ayah, bolehkah kami berbicara berdua lagi?" tanya Ypek, langsung melihat wajah
adiknya berubah pucat pasi karena cemas.
Turgut Bey melintasi ruangan berlangit-langit tinggi yang penuh debu itu,
menghampiri Sunay dan Funda Eser di sudut yang lain.
Ypek memeluk Kadife erat-erat dan mendudukkannya di pangkuannya. Menyadari bahwa
tindakan ini justru membuat adiknya makin gelisah, Ypek menggandeng Kadife dan
mengajaknya berbicara di sebuah sudut yang dipisahkan sehelai tirai dari bagian
lain ruangan. Tepat ketika itu, Funda Eser muncul membawa sebuah baki berisi


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga buah gelas dan sebotol Kanyak.
"Penampilanmu luar biasa, Kadife," katanya. "Kalian berdua, anggap saja rumah
sendiri." Ketika kegelisahan Kadife semakin menggunung bersama setiap detik yang berlalu,
Ypek menatap matanya dengan sikap yang tanpa diragukan lagi mencerminkan ucapan
"Aku punya kabar yang sangat buruk." Kemudian, dia menyuarakannya: "Hande dan
Lazuardi terbunuh dalam sebuah razia."
Kadife terenyak. "Apakah mereka berada di tempat yang sama" Siapakah yang
mengabarkannya kepadamu?" tanyanya. Kemudian, melihat ekspresi tegas Ypek, dia
terdiam. "Fazyl, murid madrasah aliah itu. Dialah yang mengabarkan tentang kejadian ini
kepada kami, karena dia menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri." Ypek
terdiam sejenak, memberikan kesempatan bagi Kadife untuk menyerap berita ini.
Adiknya semakin pucat pasi, namun Ypek melanjutkan. "Ka mengetahui tempat
persembunyian Lazuardi, dan setelah menemuimu untuk terakhir kalinya di sini,
dia tak pernah kembali ke hotel. Menurutku, Ka yang mengkhianati mereka dan
memberi tahu tim operasi khusus. Karena itulah aku tidak pergi ke Jerman
bersamanya." "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" tanya Kadife. "Mungkin bukan dia. Mungkin
orang lain yang memberi tahu mereka."
"Mungkin saja. Aku sendiri juga sudah memikirkannya. Tapi, di dalam hatiku, aku
yakin bahwa Ka-lah pelakunya, sehingga kemungkinan lain menjadi tidak masuk akal
bagiku: aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa meyakinkan diriku bahwa dia
bukanlah pelakunya. Jadi, aku tidak pergi ke Jerman karena aku tahu bahwa aku
tidak akan pernah mampu mencintainya."
Kadife kelelahan, berusaha menyerap berita itu, dan, ketika melihat bahwa
kekuatan adiknya berangsur-angsur sirna, Ypek tahu bahwa Kadife mulai menerima
Pendekar Asmara Tangan Iblis 3 Gento Guyon 11 Bidadari Biru Kereta Berdarah 2
^