Dibalik Keheningan Salju 11
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 11
kematian Lazuardi. Kadife membenamkan wajah ke kedua tangannya dan mulai
terisakisak. Ypek memeluk adiknya, dan mereka menangis bersama, meskipun dia
tahu bahwa mereka menangis untuk alasan yang berbeda. Mereka pernah menangis
seperti ini sebelumnya, satu atau dua kali selama hari-hari memalukan ketika
tidak seorang pun dari mereka dapat melepaskan Lazuardi dan mereka berdua
bersaing tanpa malu-malu untuk merebut perhatian pria itu. Sekarang, Ypek
menyadari bahwa pertikaian yang sangat tercela ini telah berakhir untuk
selamanya: dia tidak akan meninggalkan Kars. Dia merasakan dirinya seketika
menua, namun dia juga tahu apa yang diinginkannya: untuk menetap dan menikmati
hari tua dalam kedamaian, dan mendapatkan kemampuan untuk tidak menginginkan
sesuatu pun dari dunia. Ypek dapat melihat bahwa kepedihan yang dirasakan adiknya lebih mendalam dan
lebih menghancurkan daripada yang dirasakannya. Sejenak, dia bersyukur karena
tidak berada di tempat Kadife apakah ini yang dinamakan manisnya pembalasan
dendam" dan rasa bersalah seketika menerpanya. Mereka dapat mendengar irama
familier musik medley yang selalu diputar oleh pihak manajemen Teater Nasional
selama jeda waktu untuk meningkatkan penjualan soda dan kacang: lagu yang
terdengar saat itu mengingatkan Ypek pada tahuntahun awal remajanya di Istanbul:
"Baby Come Closer, Closer to Me". Pada masa itu, kedua bersaudara itu ingin
mempelajari bahasa Inggris dengan baik; tidak seorang pun berhasil. Menurut
Ypek, adiknya menangis semakin keras saat mendengar lagu ini. Saat mengintip ke
balik tirai, Ypek dapat melihat ayahnya dan Sunay sedang bercakap-cakap penuh
semangat di ujung lain ruangan, sementara Funda mengisi ulang gelas mereka
dengan konyak. "Kadife Hanym, saya Kolonel Osman Nuh Colak." Seorang tentara setengah baya
membuka tirai, dan, dengan bahasa tubuh yang sepertinya dicomot dari film, dia
membungkuk begitu rendah hingga puncak kepalanya nyaris menyentuh lantai.
"Dengan segala hormat, Nona bagaimanakah saya dapat meredakan kepedihan Anda"
Jika Anda tidak mau tampil di panggung, saya punya kabar baik untuk Anda: jalan-
jalan telah dibuka kembali, pasukan-pasukan militer akan masuk ke kota ini dalam
waktu singkat." Kemudian, dalam pengadilan militernya, Osman Nuh Colak akan
menggunakan katakatatersebut sebagai bukti bahwa dirinya telah melakukan semua
yang mungkin dilakukannya untuk menyelamatkan kota dari para prajurit tolol yang
menggelar kudeta. "Saya baik-baik saja, tapi terima kasih, Pak, atas perhatian Anda," kata Kadife.
Ypek melihat bahwa adiknya telah meniru sebagian sikap berpura-pura Funda. Pada
saat yang sama, dia juga mengagumi tekad adiknya untuk memulihkan diri. Kadife
memaksakan diri untuk berdiri, meminum segelas air, dan perlahan-lahan mulai
berjalan mondar-mandir bagaikan hantu di ruang belakang panggung yang panjang
itu. Ypek berharap dapat menyingkir sebelum ayahnya mendapatkan kesempatan untuk
berbicara dengan Kadife, namun Turgut Bey menghampiri mereka tepat ketiga babak
ketiga dimulai. "Jangan takut," kata Sunay, berpaling ke arah para tamunya. "Orang-orang ini
sudah modern." Adegan ketiga dimula i dengan Funda Eser yang menyanyikan sebuah lagu rakyat
tentang seorang wanita yang baru saja diperkosa, sebuah adegan menawan untuk
menebus bagian-bagian drama yang oleh para penonton dianggap terlalu
"intelektual" atau bahkan abstrak. Ini adalah hal biasa bagi Funda: sesaat dia
menangis dan mengumpat-umpat para pria yang menontonnya, dan selanjutnya dia
menghujani mereka dengan pujian apa pun yang terpikir olehnya. Setelah dua lagu
dan sebuah parodi iklan yang hanya dianggap lucu oleh anak-anak (Funda
menyarankan supaya alih-alih mengisi tabung tabung mereka dengan propana, lebih
baik Aygaz menggunakan kentut), panggung diliputi kegelapan, dan sama seperti
dua hari sebelumnya dua orang prajurit bersenjata berbaris ke atas panggung.
Para penonton menyaksikan dalam keheningan mencekam saat kedua prajurit itu
mendirikan tiang gantungan di tengah panggung. Sunay terpincang-pin-cang dengan
penuh wibawa melintasi panggung bersama
Kadife dan berdiri tepat di bawah tali gantungan.
"Aku tidak pernah menyangka semuanya berjalan begitu cepat," katanya.
"Inikah caramu mengakui bahwa kau gagal menjalankan rencanamu, ataukah ini hanya
karena kau sudah tua dan letih sekarang, mencari cara untuk meninggalkan dunia
ini dengan penuh gaya?" tanya Kadife.
Ypek melihat Kadife mengerahkan kekuatan yang tersimpan dalam dirinya.
"Kau sangat pintar, Kadife," kata Sunay. "Apakah itu membuatmu takut?" tanya
Kadife, suaranya tegang dan menyimpan amarah.
"Ya!" jawab Sunay dengan nada puas.
"Bukan kepintaranku yang membuatmu takut. Kau takut terhadap diriku karena aku
adalah diriku sendiri," kata Kadife. "Karena, di kota kami ini, pria tidak takut
terhadap kepintaran wanita mereka; pria takut terhadap kemerdekaan wanita."
"Sebaliknya," sanggah Sunay. "Aku merancang kudeta ini sebegitu rupa supaya
kalian para wanita dapat menjadi semerdeka para wanita di Eropa. Karena itulah
sekarang aku memintamu mencopot jilbabmu."
"Aku memang akan mencopot jilbabku sekarang," kata Kadife. "Dan kemudian, untuk
membuktikan bahwa yang mendorongku untuk melakukan tindakan ini bukanlah
perintahmu ataupun keinginan untuk menjadi seorang Eropa, aku akan menggantung
diriku sendiri." "Tapi, bukankah kau menyadari, Kadife, bahwa jika kau bertindak seperti seorang
individu dan melakukan bunuh diri, orang-orang Eropa akan bertepuk tangan
untukmu" Jangan lupakan bahwa dirimu telah membuat beberapa orang terperangah
dengan penampilan mengesan -
kanmu dalam pertemuan rahasia di Hotel Asia. Bahkan ada desas-desus yang
menyatakan bahwa kau mengorganisasi para gadis pelaku bunuh diri, sama seperti
yang kaulakukan pada para gadis berjilbab."
"Hanya ada satu tindakan bunuh diri yang melibatkan protes tentang jilbab, dan
nama gadis itu adalah Teslime."
"Dan sekarang kau bermaksud menjadi yang kedua." "Tidak. Karena, sebelum aku
melakukan bunuh diri, aku akan mencopot jilbabku."
"Apakah kau sudah memikirkannya baik-baik?" "Ya," jawab Kadife. "Sudah."
"Kalau begitu, kau tentu juga telah memikirkan tentang hal ini: pelaku bunuh
diri akan masuk Neraka. Dan, karena aku sudah pasti akan masuk Neraka, kau
sebaiknya membunuhku terlebih dahulu dengan kesadaran penuh."
"Tidak," kata Kadife, "karena aku yakin diriku tidak akan masuk Neraka setelah
aku melakukan bunuh diri. Aku akan membunuhmu untuk membersihkan negara kita
dari seorang bibit penyakit, seorang musuh bagi bangsa kita, agama kita, dan
wanita kita!" "Kau seorang wanita pemberani, Kadife, dan kau berbicara dengan kejujuran yang
mencengangkan, namun agama kita melarang tindakan bunuh diri."
"Ya, memang benar bahwa surah An-Nisa dalam Alquran yang suci menyebutkan bahwa
kita tidak boleh melakukan bunuh diri. Tapi, ini tidak akan mencegah Tuhan yang
Mahabesar untuk mengampuni para gadis pelaku bunuh diri dan menyelamatkan mereka
dari api Neraka." "Dengan kata lain, kau telah mendapatkan cara untuk memutar balikkan ayat Quran
supaya sesuai dengan tujuanmu." "Sesungguhnya, justru sebaliknya," kata Kadife. "Beberapa wanita muda di Kars
ternyata melakukan bunuh diri karena mereka dilarang memakai jilbab, seperti
yang mereka inginkan. Tuhan Sang Maha Pencipta dunia tentunya dapat melihat
penderitaan mereka. Selama aku dapat merasakan cinta Tuhan di dalam hatiku,
tidak ada tempat bagiku di Kars, sehingga aku akan melakukan hal yang sama
dengan mereka, dan mengakhiri hidupku."
"Kau akan menyulut kemarahan semua pemimpin agama yang telah datang ke Kars
menembus salju dan es untuk berceramah dengan harapan dapat menghapuskan
keinginan bunuh diri para wanita Kars yang tidak berdaya. Kautahu itu, bukan,
Kadife" Dan, selagi kita sedang membicarakannya, Alquran-"
"Aku tidak mau mendiskusikan agamaku dengan seorang ateis atau, dalam hal ini,
orang-orang yang menyatakan keimanan kepada Tuhan karena takut."
"Tentu saja, kau benar. Lupakan saja, aku tidak mengungkit-ungkit hal ini untuk
turut campur dalam kehidupan spiritualmu. Hanya saja, kupikir ketakutan terhadap
Neraka akan mencegahmu menembakku dengan kesadaran penuh."
"Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Aku akan membunuhmu dengan kesadaran
penuh." "Bagus sekali," kata Sunay, tampak agak tersinggung melihat Kadife menjawab
dengan tegas. "Sekarang, aku akan memberitahumu hal terpenting yang kupelajari
dalam dua puluh lima tahun kehidupan profesionalku di dunia teater: jika ada dialog yang berlangsung lebih lama dari yang kita lakukan ini,
para penonton kita tidak akan mengikutinya karena mereka bosan. Jadi, dengan
izinmu, kita bisa menghentikan pembicaraan kita di sini dan mulai bertindak."
"Baiklah." Sunay mengeluarkan sebuah pistol Kyrykkale yang telah digunakannya pada babak
sebelumnya dan memamerkannya kepada Kadife dan para penonton. "Sekarang,
copotlah jilbabmu. Setelah itu, aku akan meletakkan pistolku di tanganmu, dan
kau akan menembakku .... Dan, karena inilah pertama kalinya hal semacam ini
disiarkan langsung di televisi, izinkanlah aku menggunakan kesempatan terakhirku
ini untuk menjelaskan kepada para penonton kita bagaimana mereka sebaiknya
mengerti" "Mari kita lakukan sekarang," potong Kadife. "Aku muak mendengarkan para pria
berbicara tentang alasan para gadis melakukan bunuh diri."
"Baiklah," kata Sunay, memainkan pistol di tangannya. "Tapi, masih ada satu atau
dua hal yang ingin kukatakan, hanya supaya para penonton kita di Kars tidak
salah paham. Lagi pula, beberapa orang mungkin akan memercayai rumor yang
tertulis di koran. Kadife, tolong lihatlah klip magasin pistol ini." Sunay
melepas klip tersebut, menunjukkannya kepada Kadife (dan, untuk memberikan efek
dramatis, juga kepada para penonton), lalu memasangnya kembali. "Sekarang, kau
sudah melihat bahwa pistol ini kosong?" tanyanya dengan penuh wibawa, bagaikan
seorang pesulap andal. "Ya." "Tapi, mari kita memastikan kembali hal ini," kata Sunay. Sekali lagi, dia
melepas klip itu, dan, bagaikan seorang pesulap yang hendak menggergaji seorang
wanita menjadi dua bagian, memamerkannya kepada para penonton sebelum
memasangnya lagi. "Akhirnya, izinkanlah aku
mengucapkan beberapa patah kata atas namaku sendiri. Sesaat yang lalu, kau
berjanji akan menembakku dengan kesadaran penuh. Kau mungkin sangat membenciku
karena aku telah merancang kudeta ini dan menembak orang-orang, hanya karena
mereka tidak hidup seperti orang Barat. Tapi, aku ingin kautahu bahwa aku
melakukannya untuk tanah air kita."
"Baiklah," kata Kadife. "Dan sekarang, aku akan mencopot jilbabku. Kumohon, aku
ingin semua orang memerhatikanku."
Kepedihan terbayang di wajah Kadife; kemudian, dengan satu gerakan mulus, dia
mengangkat tangan dan mencopot jilbabnya.
Tidak terdengar sedikit pun suara di ruangan itu. Sejenak, Sunay memandang
terpana pada Kadife, seolaholah apa yang dilakukan gadis itu tidak pernah
terpikir olehnya. Kemudian, mereka berdua berpaling ke arah penonton dan
terkesiap bagaikan siswa sekolah drama yang melupakan dialog mereka.
Seluruh Kars memandang dengan penuh kekaguman pada rambut cokelat Kadife yang
panjang dan indah, dan juru kamera akhirnya mendapatkan keberanian untuk
menyorotnya dari jarak dekat. Saat si juru kamera mendapatkan nyali untuk
menyorot wajah Kadife, jelas terlihat bahwa gadis itu sangat malu, seperti
seorang wanita yang bajunya terbuka di tempat umum. Setiap gerakannya
mencerminkan kepedihan yang mendalam.
"Berikanlah pistolmu kepadaku," kata Kadife dengan nada mendesak.
"Ini dia," kata Sunay, menggenggam moncong pistolnya.
"Sekaranglah saat bagimu untuk menarik pelatuknya."
Saat Kadife menerima pistol itu, Sunay tersenyum. Semua orang di Kars mengira
dialog mereka akan berlanjut.
Mungkin Sunay juga berpikiran sama, karena sekarang dia mengatakan, "Rambutmu
sangat indah, Kadife. Bahkan aku pun tentu akan mengawalmu dengan penuh rasa
cemburu, mencegah pria lain melihatnya."
Kadife menarik pelatuk. Sebuah ledakan senjata terdengar di ruangan itu. Seluruh Kars menyaksikan dengan
terpana saat tubuh Sunay mengejang hebat seolaholah dirinya betul-betul
tertembak dan roboh ke lantai.
"Betapa tololnya semua ini," kata Sunay. "Mereka tidak tahu apa-apa tentang seni
modern. Mereka tidak akan pernah menjadi modern!"
Para penonton mengira Sunay akan menyampaikan monolog panjang tentang kematian.
Alih-alih, Kadife menghambur maju dengan pistol di tangannya dan menembak lagi,
dan lagi. Bersama setiap tembakan, tubuh Sunay mengejang dan terangkat ke udara.
Dan, setiap jatuh kembali ke lantai, tubuhnya tampak semakin berat. Kadife
menembak dengan mulus hingga empat kali.
Sebagian penonton masih mengira Sunay hanya berakting. Mereka bersiap-siap
menantikan pria itu duduk kembali dan menyampaikan pidato panjang penuh
kemarahan tentang kematian; tetapi, saat melihat wajah bersimbah darahnya yang
tampak nyata, mereka kehilangan harapan. Nuriye Hanym, yang jauh lebih mengagumi
efek teatrikal daripada skenario drama itu, langsung berdiri. Dia hendak
bertepuk tangan untuk Sunay saat melihat wajah pria itu bersimbah darah; dia
duduk kembali di kursinya.
"Kurasa aku telah membunuhnya!" ujar Kadife, berpaling ke arah penonton.
"Bagus sekali!" seru seorang siswa madrasah aliah yang duduk di baris belakang.
Para petugas keamanan disibukkan oleh pembunuhan yang baru saja mereka saksikan
di panggung, sehingga mereka gagal mengidentifikasi pelajar pembangkang yang
memecahkan keheningan. Saat Nuriye Hanym yang telah menghabiskan dua hari untuk
menonton Sunay yang hebat di televisi, dan yang telah memutuskan, sebelum adanya
pengumuman tentang tiket cuma-cuma, untuk duduk di baris depan supaya dapat
melihat Sunay dari jarak dekat mulai menangis, semua orang di ruangan itu, dan
semua orang di Kars, terpaksa menerima kenyataan yang baru saja mereka saksikan.
Di atas panggung, dua orang prajurit berlari dengan kikuk dari arah berlawanan
dan menutup tirai.[] Tidak Seorang Pun di Sini Menyukai Ka
Empat Tahun Kemudian, di Kars
SEGERA SETELAH tirai ditutup, Z Demirkol dan kawan-kawannya menahan Kadife untuk
"mengamankannya". Setelah mengeluarkannya dari pintu belakang menuju Jalan
Kiiguk Kazimbey, mereka mendorong Kadife ke dalam sebuah jeep militer dan
membawanya langsung ke markas pusat untuk ditempatkan di bunker tua tempat
mereka menahan Lazuardi selama hari-hari terakhirnya di muka bumi. Beberapa jam
kemudian, semua jalan menuju Kars kembali dibuka. Beberapa unit militer masuk
untuk mengakhiri "kudeta kecil-kecilan" di kota itu, dan tidak menemui
kesulitan. Pemerintah daerah, kepala staf militer, dan sejumlah pejabat lainnya
diturunkan dari jabatan karena pengabaian tugas; mereka yang bersekongkol untuk
merancang kudeta ini ditangkap, begitu juga sejumlah tentara dan agen MYT, yang
mengajukan protes dengan menyatakan bahwa mereka melakukan semua ini "bagi
masyarakat dan negara".
Tiga hari berlalu sebelum Turgut Bey dan Ypek diizinkan menjenguk Kadife. Pada
hari Kadife ditangkap, di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Turgut Bey tahu
bahwa Sunay telah tewas di atas panggung, namun dia masih berharap tidak ada
yang akan terjadi pada Kadife. Yang diinginkannya hanyalah menemukan cara
membawa putrinya pulang. Tetapi, ketika tengah malam datang dan berlalu, dia
menyerah dan berjalan pulang menyusuri jalanan yang sunyi, berangkulan dengan
putri sulungnya. Ypek langsung naik ke kamarnya, dan, sementara dia membongkar
kopernya, meletakkan kembali isinya ke dalam lemari, ayahnya duduk di pinggir
ranjang dan menangis. Sebagian besar penduduk Kars yang menyaksikan peristiwa di atas panggung itu
baru mendapatkan keyakinan bahwa Sunay meninggal setelah kematian teatrikal-nya
ketika mereka membaca Border City Gazette keesokan paginya. Setelah tirai
panggung ditutup, para penonton di Teater Nasional dengan tertib berbaris ke
luar, dan stasiun televisi tidak pernah menyebut-nyebut lagi tentang peristiwa
itu hingga tiga hari kemudian. Tetapi, karena penduduk Kars sudah terbiasa
dengan peraturan militer dan melihat polisi dan tim operasi khusus mengejar-
ngejar "teroris" di jalanan, mereka segera berhenti menganggap masa tiga hari
itu sebagai hal yang "luar biasa". Dan, ketika staf jenderal menggelar
interogasi menyeluruh keesokan paginya, memerintah tim dari kantor perdana
menteri untuk segera turut bertindak, semua orang di Kars dapat melihat
kebijaksanaan dalam menganggap "kudeta panggung" tersebut lebih sebagai
peristiwa teatrikal yang janggal, dan bukan peristiwa politik. Ketertarikan
mereka terpusat pada pertanyaan-pertanyaan semacam: jika Sunay memamerkan klip
yang kosong kepada penonton, bagaimana mungkin Kadife bisa menembak dan
membunuhnya menggunakan senjata yang sama"
Aku telah beberapa kali menyebutkan tentang seorang kolonel yang dikirim dari
Ankara setelah keadaan kembali normal, sehingga para pembacaku akan bisa
menyimpulkan tentang utang budiku kepada pria ini dan laporannya yang mendetail
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenai "kudeta teatrikal" itu. Analisisnya mengenai adegan pistol menegaskan
bahwa peristiwa itu hanya berhubungan dengan ketangkasan tangan, dan bukan
sihir. Karena Kadife menolak untuk berbicara dengan ayahnya, kakaknya, atau
bahkan pengacaranya, terlebih lagi dengan jaksa, tentang apa yang sesungguhnya
terjadi pada malam itu, sang kolonel berkewajiban melakukan pekerjaan detektif
yang akan kulakukan juga empat tahun kemudian: mewawancarai sebanyak mungkin
orang yang bisa diwawancarainya (meskipun akan lebih akurat untuk mengatakan
bahwa dia mengambil kesaksian mereka), hingga akhirnya dia merasa puas karena
tidak ada rumor ataupun teori yang lolos dari perhatiannya.
Tentu saja, ada banyak teori yang menyebutkan bahwa Kadife membunuh Sunay Zaim
dengan kehendak dan kesadaran pribadi, tanpa adanya permintaan dari Sunay. Untuk
membuktikan bahwa desas-desus ini salah, sang kolonel menunjukkan bahwa mustahil
bagi gadis itu untuk menukar pistol ataupun mengganti klip yang kosong dengan
klip berisi peluru dalam waktu secepat itu. Terlebih lagi, di samping kekagetan
yang tampak di wajah Sunay setiap kali peluru menembus tubuhnya, terdapat pula
fakta hasil penggeledahan oleh angkatan bersenjata, barang-barang pribadi Kadife
pada waktu penangkapan, dan bahkan rekaman video dari pementasan malam itu, yang
semuanya menegaskan bahwa Kadife hanya memegang sebuah pistol dan sebuah klip.
Sebuah teori populer lainnya menyebutkan bahwa Sunay Zaim ditembak menggunakan
pistol lain dari tempat lain, namun hal itu terbantah saat tim balistik dan
otopsi yang didatangkan dari Ankara melaporkan bahwa semua peluru yang ditemukan
di tubuh sang aktor berasal dari pistol Kyrykkale di tangan Kadife.
Katakata terakhir Kadife ("Kurasa aku telah membunuhnya!") menjadikan dirinya
semacam legenda masyarakat. Sang kolonel memandangnya sebagai bukti bahwa ini
bukanlah kasus pembunuhan terencana; tetapi, mungkin karena mengingat jaksa
harus segera membawa kasus ini ke pengadilan, laporan sang kolonel banyak
membahas perencanaan, kejahatan yang disengaja, dan berbagai konsep hukum dan
filsafat yang berkaitan lainnya. Tetap saja, sang kolonel menyatakan bahwa
dalang sesungguhnya orang yang menolong Kadife menghafalkan dialognya dan
mengajarkannya tentang berbagai manuver yang dilakukannya dengan tangkas tidak
lain adalah almarhum sendiri. Dalam dua kali kesempatan memamerkan klip kosong
kepada para penonton, Sunay Zaim telah mengelabui Kadife dan seluruh penduduk
Kars. Di sini, mungkin, aku sebaiknya mengutip pernyataan sang kolonel yang, tak
lama setelah memublikasikan laporan ini, mengambil pensiun dini. Saat aku
menemuinya di rumahnya di Ankara dan memerhatikan koleksi novel Agatha Christie
yang berjajar di rak bukunya, dia mengatakan kepadaku bahwa yang paling
disukainya dari novel-novel itu adalah judul-judulnya. Ketika kami membicarakan
kasus pistol sang aktor, dia hanya berkata, "Klipnya berisi peluru." Seorang
pemain teater tidak perlu menjadi seorang pesulap mahir untuk menipu para
penonton dengan menyebut klip berisi peluru sebagai klip kosong; dan memang
betul, setelah tiga hari menerima kekerasan tanpa ampun dari Sunay dan antek anteknya atas nama
republikenisme dan Westernisasi (total angka kematian, termasuk Sunay sendiri,
adalah dua puluh sembilan), penduduk Kars begitu akrab dengan teori, sehingga
gelas kosong pun dapat mereka anggap berisi penuh.
Jika kita mengikuti cara berpikir ini, jelas terlihat bahwa Kadife bukanlah
satu-satunya kaki tangan Sunay. Lagi pula, Sunay telah bertindak sangat jauh
dengan mengiklankan kematiannya sendiri sebelum peristiwa itu terjadi; dan, jika
penduduk Kars begitu bersemangat untuk melihatnya membunuh dirinya sendiri di
panggung; jika mereka siap menikmati drama yang dipentaskannya, mengatakan
kepada diri mereka sendiri bahwa semua itu hanyalah sandiwara, maka mereka pun
dapat dianggap terlibat dalam pembunuhan ini.
Sebuah teori lain, yang menyebutkan bahwa Kadife membunuh Sunay untuk membalas
dendam atas kematian Lazuardi, langsung dibantah dengan pendapat bahwa siapa pun
yang disodori pistol berisi peluru dengan pernyataan bahwa pistol tersebut
kosong tidak dapat dituduh telah menggunakannya dengan niat membunuh. Ada
beberapa orang di antara para Islamis pengagum Kadife dan para penuduh
sekulernya yang bersikeras bahwa Kadife sangat licik karena telah membunuh Sunay
dan kemudian menolak melakukan bunuh diri, namun sang kolonel mengatakan bahwa
mereka telah mencampuradukkan seni dengan realitas.
Jaksa militer yang ditugaskan di Kars sangat menghargai laporan sang kolonel
yang ditulis secara saksama, begitu pula para hakim, yang memutuskan bahwa
Kadife tidak melakukan pembunuhan atas alasan politik. Mereka
memutuskan Kadife bersalah atas pembunuhan yang tidak disengaja dan kecerobohan,
dan memvonisnya dengan hukuman tiga tahun satu bulan di penjara. Dia akan
dilepaskan dengan pengawasan setelah menjalani hukuman selama dua puluh sembilan
bulan. Berdasarkan Pasal 313 dan 463 dalam Undang-Undang Hukum Pidana Turki,
Kolonel Osman Nuh Colak dihukum karena mengorganisasi sebuah kelompok yang
terlibat dalam pembunuhan; untuk hal ini, dia mendapatkan hukuman yang sangat
lama, namun enam bulan kemudian, pemerintah mengeluarkan amnesti umum dan
membebaskannya. Sebagian syarat pembebasannya adalah larangan untuk membicarakan
tentang kudeta dengan orang lain. Bagaimanapun, adalah hal yang wajar baginya
untuk pergi ke klub perwira pada suatu malam, bertemu dengan teman-teman
lamanya, minum beberapa gelas, kemudian menyatakan bahwa, "apa pun yang
terjadi", setidaknya dia telah mengetahui impian setiap prajurit pecinta
Atatiirk. Tanpa merasa dirinya terlalu lancang, dia akan menuduh teman-temannya
mendukung fanatik agama untuk mendapatkan kekuasaan.
Sejumlah prajurit dan pejabat lain yang terlibat dalam kudeta berusaha
menampilkan diri mereka sebagai patriot beritikad baik atau oknum tidak berdaya
yang terimpit oleh rantai komando, namun pengadilan militer bergeming: orang-
orang tersebut juga dikenai hukuman akibat persekongkolan, pembunuhan, atau
penggunaan fasilitas negara tanpa izin, dan ditahan selama beberapa waktu
sebelum dibebaskan kembali dengan amnesti umum yang sama. Salah seorang di
antara mereka, seorang prajurit rendahan yang muda namun menjunjung tinggi moral
dan memeluk Islam setelah dibebaskan, menulis
kisahnya ("Aku Juga Seorang Revolusioner") dalam sebuah surat kabar Islamis,
Sabda, namun memoarnya ini disensor karena mengandung hujatan terhadap militer.
Ketika itu, semua orang telah mengetahui bahwa Vural si penjaga gawang telah
dipekerjakan oleh cabang M Y T setempat segera setelah revolusi "digelar".
Pengadilan juga mengungkapkan bahwa para aktor lain dalam kelompok teater Sunay
hanya "sekadar aktor". Funda Eser mengamuk pada malam kematian suaminya,
melontarkan tuduhan semba-rangan kepada semua orang yang dilihatnya, mengancam
untuk menuntut mereka semua. Ketika diketahui bahwa dia menderita gangguan
mental, dia dikirim ke bagian psikiatrik Rumah Sakit Militer di Ankara,
tempatnya menjalani pemeriksaan selama empat bulan. Bertahuntahun setelah
dibebaskan, dia menjadi terkenal di seluruh negeri sebagai pengisi suara
penyihir dalam sebuah film kartun anak-anak populer. Funda mengatakan kepadaku
bahwa dia masih berduka akibat pernyataan-pernyataan yang menghalangi suaminya
(yang kematiannya disebutnya sebagai "insiden yang berkenaan dengan pekerjaan")
mendapatkan peran Atatiirk, dan bahwa satu-satunya hiburan baginya adalah
melihat bahwa para aktor yang memerankan tokoh-tokoh besar pada masa ini meniru
cara berakting suaminya. Karena laporan sang kolonel juga menyebut keterlibatan Ka dalam kudeta,
pengadilan militer memanggilnya sebagai saksi. Setelah gagal memenuhi dua kali
panggilan pemeriksaan, mereka menuntut Ka atas tuduhan menyulitkan proses hukum
dan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya.
Setiap Sabtu, Turgut Bey dan Ypek mengunjungi Kadife, yang menjalani hukumannya
di Kars. Selama musim semi dan musim panas, saat cuaca cerah, kepala penjara yang baik hati
mengizinkan mereka menggelar sehelai taplak meja putih di bawah sebatang pohon
murbei di halaman penjara yang luas, dan mereka akan menghabiskan siang itu
dengan menyantap daging berbumbu merica dan minyak zaitun buatan Zahide,
menawarkan nasi campur daging cincang kepada para narapidana lain, memecah dan
mengupas telur rebus, dan mendengarkan alunan musik Chopin dari pemutar kaset
Philips yang berhasil diperbaiki oleh Turgut Bey. Untuk mencegah putrinya
memandang hukumannya sebagai aib, Turgut Bey bersikeras menganggap penjara
sebagai sebuah sekolah asrama, sebuah tempat yang harus dimasuki oleh semua
orang baik pada tahap tertentu. Kadangkadang, Turgut Bey mengundang pula teman-
temannya, misalnya Serdar Bey, sang jurnalis. Pada suatu hari, Fazyl turut
berkunjung bersama mereka, dan Kadife mengatakan bahwa dia ingin menjumpai
pemuda itu lagi. Dua bulan setelah pembebasannya, pria yang berusia empat tahun
lebih muda darinya ini menjadi suaminya.
Selama enam bulan pertama, mereka tinggal di sebuah kamar di Hotel Istana Salju,
tempat Fazyl sekarang bekerja sebagai seorang resepsionis. Tetapi, saat aku
berkunjung ke Kars, pasangan itu telah pindah bersama bayi mereka ke sebuah
rumah lain. Setiap pukul enam pagi, Kadife akan membawa bayinya yang berumur
enam bulan, Omercan, ke hotel; Zahide dan Ypek akan menyuapinya, dan Turgut Bey
akan mengajak cucunya itu bermain, sementara Kadife menyibukkan diri dengan
urusan hotel. Sekarang, Fazyl telah memutuskan bahwa akan lebih baik jika dia
tidak menggantungkan diri kepada mertuanya, sehingga dia mengambil dua pekerjaan
lain. Salah satunya di Studio Foto Istana Cahaya, dan yang lain di Kars Border Television;
sambil tersenyum, dia mengatakan kepadaku bahwa jabatannya adalah "asisten
produksi", meskipun sesungguhnya dia hanyalah seorang "pesuruh yang pintar".
Seperti yang telah kuceritakan, pada hari kedatanganku, wali kota Kars
mengadakan pesta makan malam untuk menyambutku. Aku bertemu Fazyl pada keesokan
siangnya di apartemen barunya dan Kadife di Jalan Hulusi Aytekin. Saat aku
sedang memandang kepingankepingan salju besar yang memantul lembut di tembok-
tembok kas-tel sebelum tenggelam dalam kegelapan air sungai, Fazyl dengan lugu
menanyakan alasan kedatanganku ke Kars. Mengira dia akan mengatakan sesuatu
tentang Ypek yang memesonaku saat makan malam di kediaman wali kota, aku mulai
panik dan berbicara secara panjang lebar dan berlebihan tentang ketertarikanku
pada puisipuisi yang ditulis Ka selama dia di Kars, juga tentang rencana
tentatifku untuk menulis sebuah buku tentang puisipuisi itu.
"Jika puisipuisi itu telah hilang, bagaimana Bapak akan menulis sebuah buku
untuk membahasnya?" tanyanya dengan nada ramah tanpa prasangka.
"Seperti dirimu, aku juga menganggap hal ini sebagai misteri," ujarku. "Tapi,
aku yakin bahwa salah satu puisinya terdapat di dalam arsip televisi."
"Kita bisa mencarinya malam ini. Tapi, Bapak menghabiskan pagi ini dengan
berjalan-jalan di seluruh Kars. Jadi, mungkinkah Bapak berpikir akan menulis
sebuah novel tentang kami juga?"
"Aku hanya mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan Ka dalam puisi-puisinya,"
jawabku dengan gelisah. "Tapi, saya bisa melihat dari wajah Bapak bahwa
Bapak ingin memberi tahu para pembaca novel Bapak tentang betapa miskinnya kami,
dan betapa berbedanya kami dari mereka. Saya tidak ingin Bapak memasukkan saya
dalam novel seperti itu." "Mengapa tidak?"
"Karena Bapak tidak mengenal saya, itulah alasannya!
Bahkan jika Bapak mengenal saya dan menggambarkan saya secara apa adanya, para
pembaca Barat akan terlalu sibuk mengasihani kemiskinan saya, sehingga mereka
tidak akan sempat melihat kehidupan saya. Contohnya, jika Bapak mengatakan bahwa
saya sedang menulis sebuah novel fiksi-ilmiah islami, mereka hanya akan tertawa.
Saya tidak ingin digambarkan sebagai seseorang yang bisa disenyumi karena belas
kasihan dan rasa simpati."
"Baiklah, kalau begitu."
"Saya tahu bahwa saya telah membuat Bapak kesal," kata Fazyl. "Saya mohon,
jangan tersinggung. Saya tahu bahwa Bapak orang baik. Tapi, teman Bapak juga
orang baik, dan mungkin dia bahkan ingin mencintai kami, namun pada akhirnya dia
melakukan kejahatan terbesar dari segala kejahatan."
Aku merasa tidak percaya saat mendengar Fazyl menganggap kritik pedas Ka
terhadap Lazuardi sebagai sebuah "kejahatan", dan mau tidak mau aku berpikir
bahwa Fazyl tidak akan bisa menikahi Kadife jika Lazuardi masih hidup. Tetapi,
aku menahan lidahku. "Bagaimana kau bisa seyakin itu bahwa kritikan Ka itu
benar?" akhirnya aku bertanya.
"Seluruh Kars mengetahuinya," katanya. Cara bicaranya memancarkan kehangatan,
bahkan kasih sayang, dan dia berhati-hati supaya tidak menimbulkan kesan menyalahkan Ka maupun aku.
Di matanya, aku melihat Necip. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku senang karena
diizinkan melihat novel fiksi ilmiah yang sedang ditulisnya, namun dia
menjelaskan bahwa dia ingin mendampingiku saat aku membacanya. Maka, kami berdua
pun duduk di meja tempat dia dan Kadife menyantap makan malam mereka di depan
televisi dan membaca lima puluh halaman pertama dari novel yang pertama kali
dibayangkan oleh Necip empat tahun sebelumnya, dan yang sekarang ditulis oleh
Fazyl atas namanya. "Jadi, bagaimanakah pendapat Bapak" Apakah novel ini bagus?" Fazyl bertanya
namun hanya sekali, dan dengan nada menyesal. "Jika Bapak bosan, berhenti saja
membacanya." "Tidak, ini bagus," ujarku, dan melanjutkan membaca dengan penasaran.
Nantinya, saat kami sedang berjalan menyusuri Jalan Kazim Karabekir, aku
mengatakan dengan tulus kepadanya tentang betapa aku menyukai novelnya.
"Mungkin Bapak mengatakannya hanya untuk menghibur saya," ujar Fazyl dengan nada
ceria. "Tapi, pujian Bapak sangat berarti bagi saya. Saya ingin membalas
kebaikan Bapak. Jadi, jika Bapak memutuskan untuk menulis novel ini, Bapak boleh
menyebutkan tentang saya. Tapi, hanya jika Bapak memperbolehkan saya berbicara
langsung kepada para pembaca Bapak."
"Dan, apakah yang akan kaukatakan kepada mereka?"
"Entahlah. Jika saya bisa memikirkan apa yang akan saya katakan selama Bapak
masih di Kars, saya akan memberi tahu Bapak."
Kami berpisah setelah berjanji akan bertemu kembali di Kars Border Television
sore itu. Aku menyaksikan Fazyl bergegas menuju Studio Foto Istana Cahaya.
Seberapa banyak bagian diri Necip yang kulihat di dalam dirinya" Apakah dia
masih merasakan keberadaan Necip di dalam dirinya seperti yang pernah
diungkapkannya kepada Ka" Seberapa banyakkah suara lain yang bisa didengar oleh
seseorang di dalam dirinya"
Pagi itu, saat aku menyusuri jalanan Kars, berbicara dengan orang-orang yang
juga pernah diajak bicara oleh Ka, duduk di kedaikedai teh yang sama, sering
kali aku nyaris merasa bahwa aku adalah Ka. Sebelum berkeliaran ke seluruh kota,
saat duduk di Kedai Teh Mujur Bersaudara, tempat Ka menulis "Seluruh Umat
Manusia dan Bintang-Bintang", aku juga mengimpikan kedudukanku di alam semesta,
seperti yang pernah diimpikan oleh sahabatku tersayang. Setibanya kembali di
Hotel Istana Salju, saat aku mengambil kunciku, Cavit si resepsionis mengatakan
kepadaku bahwa aku tampak terburu-buru, "sama seperti Ka". Saat aku sedang
berjalan-jalan, seorang pedagang menghampiriku untuk bertanya, "Apakah Anda
penulis dari Istanbul itu?" Dia mengundangku masuk untuk menanyakan apakah aku
bisa menulis bahwa semua laporan di surat kabar tentang kematian putrinya,
Teslime, hanyalah isapan jempol belaka. Dia berbicara kepadaku dengan cara yang
tentunya sama dengan saat dia berbicara kepada Ka, dan dia menawarkan soda
kepadaku, sama seperti yang ditawarkannya kepada Ka. Seberapa banyakkah dari hal
ini yang merupakan kebetulan, dan seberapa banyakkah yang hanya ada dalam
bayanganku" Pada satu titik, menyadari bahwa aku berada di Jalan
Baytarhane, aku berhenti untuk memandang jendelajendela pondok Syekh Saadettin,
dan kemudian, untuk memahami perasaan Ka saat mengunjungi pondok itu, aku
menaiki anak tangga curam yang pernah digambarkan oleh Muhtar dalam puisinya.
Aku menemukan puisipuisi Muhtar di antara tumpukan kertas Ka di Frankfurt, dan
karena itu aku menyimpulkan bahwa Ka tidak pernah mengirimkannya kepada Fahir.
Tetapi, baru lima menit setelah kami diperkenalkan, Muhtar, yang menyebut Ka
sebagai seorang "pria sejati", menceritakan bagaimana, selama kunjungannya ke
Kars, Ka begitu terpesona dengan puisipuisi Muhtar sehingga dia menawarkan diri
untuk mengirimkannya ke sebuah penerbit besar di Istanbul dengan tak lupa
menyertakan sebuah surat berisi pujian setinggi langit darinya. Muhtar merasa
bahagia dengan kehidupannya: meskipun Partai Kemakmuran telah ditutup, dia yakin
akan menjadi kandidat dari sebuah partai Islamis baru dalam pemilihan yang akan
datang, dan dia percaya bahwa suatu hari nanti, dia akan menjadi wali kota Kars.
Berkat sikap Muhtar yang hangat dan siap menolong, kami dapat mengunjungi kantor
polisi Kars (meskipun mereka tidak mengizinkan kami melihat ruang bawah
tanahnya) dan Rumah Sakit Jaminan Sosial, tempat Ka mencium kepala Necip yang
tak lagi bernyawa. Saat Muhtar membawaku melihat sisa-sisa Teater Nasional, dan
ruangan-ruangan yang telah dialih fungsikan menjadi gudang, dia mengakui bahwa
dirinya "dapat dipersalahkan sebagian untuk perusakan bangunan berumur seratus
tahun ini", kemudian, untuk menghibur dirinya sendiri, dia menambahkan,
"Setidaknya ini bangunan Armenia, bukan bangunan Turki". Dia menunjukkan
kepadaku semua tempat yang diingat Ka kapan pun dia
mendambakan untuk kembali ke Kars. Ka selalu menyertai benakku selama kami
berjalan menembus hujan salju, dan melintasi pasar buah. Saat kami menyusuri
Jalan Kazim Karabekir, Muhtar menunjuk satu per satu toko perkakas. Setelah itu,
dia mengajakku ke Pasar Halil Pa?a, lalu dia pergi meninggalkanku setelah
memperkenalkanku dengan saingan politiknya, Muzaffer Bey sang pengacara. Mantan
wali kota itu berbicara panjang lebar tentang masa kejayaan kota itu pada
tahuntahun awal berdirinya republik, sama seperti yang dilakukannya kepada Ka,
dan, saat kami berjalan menyusuri loronglorong pasar yang suram, seorang
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedagang susu kaya yang berdiri di depan Asosiasi Penggemar Binatang berseru,
"Orhan Bey!" Pria itu mengundangku ke tokonya dan memamerkan ingatannya yang
tajam dengan menceritakan tentang Ka yang mengunjungi asosiasi pada sekitar
waktu pembunuhan direktur Institut Pendidikan, dan bagaimana Ka duduk di sudut
dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sulit bagiku untuk mendengarkan penggambaran pria itu atas momen ketika Ka
menyadari bahwa dirinya sedang jatuh cinta kepada Ypek, tepat ketika aku hendak
menemui wanita itu di Toko Kue Hidup Baru. Kupikir, aku membutuhkan sesuatu
untuk menenangkan kegelisahanku, untuk meredakan ketakutanku akan diterpa cinta,
aku mampir ke Kedai Bir Pastura Hijau untuk minum raki. Tetapi, ketika duduk di
hadapan Ypek di Toko Kue Hidup Baru, aku menyadari bahwa persiapanku justru
membuatku semakin rapuh. Perutku masih kosong saat aku meminum raki, sehingga,
alih-alih menenangkanku, minuman itu justru membuat kepalaku pening. Ypek
memiliki mata yang lebar. Tulang-tulangnya mungil, seperti yang kusukai. Sambil
berjuang menerima kecantikannya meskipun aku
tak henti-hentinya memikirkannya sejak pertama kali melihatnya semalam
sebelumnya, aku belum mampu mengukur kedalamannya aku memicu kebingungan dan
keputus-asaanku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa aku mengetahui semua detail
tentang waktu yang dihabiskannya bersama Ka dan tentang cinta yang mereka
rasakan. Aku seakan-akan menemukan satu lagi kelemahanku. Ini menjadi teguran
yang menyakitkan bahwa, sementara Ka menjalani kehidupan dengan cara yang alami
baginya, sebagai penyair sejati, aku menjadi manusia yang lebih hina, seorang
penulis novel berhati sederhana yang, seperti seorang pegawai, duduk bekerja
pada jam yang sama setiap hari. Mungkin karena inilah aku merasa perlu untuk
menyampaikan dengan penuh simpati kepada Ypek tentang rutinitas sehari-hari yang
dijalani Ka di Frankfurt: bagaimana dia bangun setiap pagi pada jam yang sama
dan menyusuri jalanan yang sama untuk pergi ke perpustakaan yang sama, lalu
duduk dan bekerja di meja yang sama.
"Aku betul-betul telah memutuskan untuk pergi ke Frankfurt bersama dia," kata
Ypek, menyebutkan beberapa fakta untuk membuktikannya, termasuk koper yang telah
ditatanya. "Tapi, sekarang sulit bagiku untuk mengingat mengapa aku menganggap
Ka sangat menawan. Meskipun begitu, untuk menghormati persahabatan kalian, aku
akan menolongmu dalam penyusunan bukumu."
"Kau sudah sangat menolongku. Ka menulis sebuah buku brilian tentang
pengalamannya di sini, dan semua itu karenamu," ujarku, berharap bisa
memancingnya untuk berbicara lebih banyak. "Dia menghabiskan beberapa buku
catatan untuk menceritakan setiap menit yang dilaluinya selama tiga hari dirinya
berada di sini satu-satunya celah
yang ada adalah rangkaian peristiwa selama beberapa jam terakhir sebelum dia
meninggalkan kota ini."
Ypek bersedia menutup celah itu dengan keterusterangan yang mencengangkanku,
tidak menutupnutupi apa pun, sepertinya. Mau tidak mau, aku mengagumi
kejujurannya saat dia mengungkapkan pengalaman Ka selama jam-jam terakhirnya di
Kars, kejadian-kejadian yang dilihatnya dengan matanya sendiri, dan
dugaandugaannya tentang kejadian-kejadian lain yang tidak disaksikannya.
"Kau tidak punya bukti nyata, tapi kau tetap memutuskan untuk tidak jadi pergi
ke Frankfurt?" tanyaku, sekali lagi untuk memancingnya.
"Kadangkadang, kita bisa merasakan sesuatu di hati kita dan kita tahu bahwa
perasaan itu benar."
"Kaulah yang lebih dahulu menyebut-nyebut tentang hati," ujarku. Seolaholah
karena merasa tidak enak telah mengatakannya, aku menceritakan kepada Ypek apa
yang kuketahui dari surat-surat yang ditulis Ka namun tidak pernah dikirimkannya
dari Frankfurt: bahwa Ka tidak pernah bisa melupakannya; bahwa Ka sangat
tertekan hingga membutuhkan dua butir obat tidur setiap malam selama setahun
sekembalinya dia di Jerman; bahwa Ka sering dengan sengaja menenggak minuman
keras hingga pikirannya lumpuh; bahwa, saat menyusuri jalanan Frankfurt, Ka
tidak dapat melewatkan lima menit saja tanpa melihat seorang wanita di kejauhan
yang disangkanya sebagai Ypek; bahwa, hingga akhir hayatnya, Ka menghabiskan
setiap jam dalam setiap harinya untuk mengenang saat-saat bahagia yang mereka
lalui bersama film yang sama diputar berulang-ulang dengan gerakan lambat di
dalam kepalanya; bahwa Ka sangat senang setiap kali bisa melewatkan lima belas
menit saja tanpa memikirkan
dirinya; bahwa Ka tidak pernah berhubungan dengan wanita lain hingga hari
kematiannya tiba; bahwa, setelah kehilangan Ypek, Ka memandang dirinya sebagai
"sama sekali bukan manusia melainkan hantu". Saat melihat wajah Ypek melembut,
bahkan memohon dengan kata "Cukup!" meskipun tanpa suara, saat alisnya terangkat
seolaholah dirinya sedang mendugaduga jawaban dari sebuah teka-teki yang
memusingkan, aku menyadari dengan penuh kengerian bahwa alih-alih memaparkan
tentang sahabatku, aku justru sedang memaparkan perasaanku sendiri.
"Sahabatmu mungkin memang sangat mencintaiku," kata Ypek. "Tapi, cintanya tidak
cukup besar hingga mampu mendorongnya kembali ke Kars untuk menemuiku."
"Ada perintah penangkapan untuknya."
"Seharusnya itu tidak menjadi halangan baginya. Dia bisa muncul di pengadilan
seperti yang telah diperintahkan, dan itu akan mengakhiri masalahnya. Tolong
jangan salah paham, memang tidak apa-apa jika dia menolak datang kemari, namun
jangan lupakan fakta bahwa Lazuardi pernah berkali-kali mengunjungi Kars secara
diamdiam untuk menemuiku meskipun selama bertahuntahun ada perintah untuk
membunuhnya di tempat."
Aku merasa tertohok saat melihat bahwa, ketika Ypek menyebut nama Lazuardi, mata
cokelatnya tampak berbinar-binar dan wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan
yang tulus. "Tapi, yang paling ditakuti oleh temanmu bukanlah pengadilan," kata Ypek,
seolaholah untuk menghiburku. "Dia tahu betul tentang kejahatannya yang
sesungguhnya, alasan mengapa aku tidak datang ke stasiun."
"Kau tidak pernah memberikan sedikit pun bukti
bahwa dia sungguh-sungguh bersalah untuk 'kejahatan' ini," sanggahku.
"Yang harus kulakukan hanyalah melihat wajahmu.
Kau menanggung rasa bersalahnya." Merasa puas dengan jawabannya yang cerdas,
Ypek menyimpan kembali rokok dan geretannya ke tas untuk memberitahuku bahwa
pembicaraan kami telah berakhir.
Sungguh cerdas. Aku membayangkan sebuah cermin untuk memaksaku melihat apa yang
dapat dilihatnya: bahwa aku tidak cemburu kepada Ka tetapi kepada Lazuardi.
Setelah dapat mengakui hal ini kepada diriku sendiri, aku tahu bahwa aku telah
kalah. Nantinya, aku akan memutuskan bahwa aku telah salah memahami Ypek yang
dikehendakinya hanyalah memberikan peringatan kepadaku supaya tidak membiarkan
rasa bersalahku menguasaiku. Dia berdiri dan memakai mantelnya (betapa
semampainya dia, itulah yang ada dalam pikiranku).
Aku kebingungan. "Kita akan bertemu lagi nanti malam, bukan?" ujarku. Aku tidak
tahu mengapa aku mengatakannya.
"Tentu saja, ayahku menantimu," katanya sembari berjalan meninggalkanku dengan
gayanya yang manis. Aku berusaha bersedih karena di dalam hatinya, Ypek meyakini bahwa Ka bersalah.
Tetapi, aku tahu bahwa aku sedang membodohi diriku sendiri. Saat aku duduk di
sana, membicarakan "almarhum sahabatku tersayang", yang sesungguhnya kukehendaki
hanyalah ini: berbicara tentang dirinya dengan setulus mungkin dan kemudian,
sedikit demi sedikit, mengungkapkan kelemahannya, obsesinya atas 'kejahatannya',
lalu akhirnya menyingkirkan seluruh kenangan indah tentangnya sembari mulai
berlayar di kapal yang sama bersama Ypek, mengarungi perjalanan pertama kami
bersama. Mimpimimpi yang mendatangiku selama malam pertamaku di Kars membawa
Ypek kembali ke Istanbul bersamaku sekarang tampak sangat jauh; dihadapkan pada
kenyataan memalukan itu, yang kuinginkan sekarang hanyalah membuktikan bahwa
sahabatku tidak bersalah. Apakah aku yakin bahwa, dari kedua orang pria yang
telah tewas itu, bukan Ka melainkan Lazuardi yang telah memancing kecemburuanku"
Menyusuri jalanan Kars yang berselimut salju setelah malam turun semakin
membuatku muram. Kantor Kars Border Television telah pindah ke sebuah bangunan
baru di Jalan KaradaS, tepat di seberang pom bensin. Saat diresmikan, bangunan
beton berlantai tiga itu dianggap sebagai simbol Kars yang semakin mengangkasa
di dunia. Dua tahun kemudian, koridor-koridornya telah penuh lumpur, gelap, dan
suram, sama seperti semua tempat lain di kota itu.
Fazyl menantiku di studio yang terletak di lantai kedua. Setelah
memperkenalkanku kepada delapan orang lain yang bekerja di sana, dia tersenyum
ramah dan mengatakan, "Teman-teman kerja saya ingin tahu apakah Bapak bersedia
menyampaikan satu atau dua patah kata untuk berita malam." Pikiran pertamaku
adalah bahwa hal ini mungkin akan membantuku dalam melakukan riset. Selama
wawancara yang berlangsung lima menit itu, pembawa acara anak muda mereka, Hakan
Ozge, tanpa kuduga mengatakan (mungkin karena diberi tahu oleh Fazyl), "Saya
dengar Anda sedang menulis novel yang berseting di Kars." Pertanyaan itu
menohokku, namun aku berhasil menggumamkan sebuah jawaban yang tidak
mencerminkan kepastian. Nama Ka tidak disebut-sebut dalam wawancara itu.
Setelah itu, kami memasuki kantor direktur untuk memeriksa rak-rak yang penuh
berisi kaset video. Karena tata tertib mengharuskan penulisan tanggal di semua
kaset video, dalam waktu singkat kami berhasil menemukan dua buah kaset rekaman
siarang langsung pertama dari Teater Nasional. Kami membawa keduanya ke sebuah
ruangan sempit yang pengap, tempat kami duduk di depan sebuah pesawat televisi
tua sambil menikmati segelas teh. Rekaman pertama yang kulihat adalah penampilan
Kadife dalam Sebuah Tragedi di Kars. Aku harus mengakui bahwa aku terkesan pada
kritik-kritik pedas yang disampaikan Sunay Zaim dan Funda Eser, dan tentu saja
parodi-parodi mereka atas berbagai iklan yang populer pada masa itu. Pada adegan
saat Kadife mencopot jilbabnya dan memamerkan rambut indahnya sebelum membunuh
Sunay, aku menghentikannya, memutar kasetnya, dan mengulangnya, berusaha secara
saksama melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Kematian Sunay memang tampak
sangat teatrikal. Aku menyadari bahwa hanya penonton di baris depanlah yang
mungkin dapat melihat apakah klip yang diacungkan Sunay berisi peluru atau
kosong. Saat menonton rekaman Tanah Airku atau Jilbabku, aku langsung menyadari bahwa
banyak unsur dalam drama itu parodi-parodi yang ditampilkan, pengakuan Vural
sang penjaga gawang, tahan perut Funda Eser sekadar menjadi aksi sampingan
kecil-kecilan yang tentunya sudah sering dimainkan kelompok itu dalam setiap
drama yang mereka pentaskan. Sorak sorai, cela-celaan, dan yel-yel yang
membahana di seluruh ruangan, dan jangan lupakan pula usia rekaman itu, membuat
nyaris mustahil bagiku untuk mendengar apa pun yang dikatakan oleh
siapa pun. Tetapi, aku memutar ulang rekaman itu beberapa kali dalam usahaku
mendengar Ka membacakan puisi yang mendatanginya pada saat itu juga dan kemudian
dia juduli "Tempat di Mana Tuhan Tiada". Ajaibnya, aku berhasil mencatat
sebagian besar isi puisi tersebut. Saat Fazyl menanyakan kepadaku apa yang
mungkin membuat Necip terlompat kaget saat mendengar Ka membacakan puisinya, dan
apa yang mungkin telah dikatakan oleh Necip, aku menyerahkan kepadanya kertas
tempatku mencatat sebanyak mungkin puisi itu berdasarkan apa yang bisa kudengar.
Ketika tiba di bagian para prajurit menembakkan senjata ke arah penonton, kami
menyaksikannya dua kali. "Bapak sudah mengunjungi banyak tempat di Kars," kata Fazyl, "tapi ada satu
tempat lagi yang saya ingin tunjukkan kepada Bapak." Dengan malu-malu, namun
juga dengan aura misterius, dia mengatakan kepadaku bahwa tempat yang ada dalam
pikirannya adalah madrasah aliah. Sekolah itu sendiri telah ditutup, namun
karena aku mungkin akan menyebutkan tentang Necip di bukuku, penting bagiku
untuk melihat asrama tempatnya tahuntahun terakhir kehidupannya.
Ketika kami berjalan menembus hujan salju melewati Jalan Ahmet Muhtar sang
Penakluk, aku secara tidak sengaja melihat seekor anjing berbulu hitam, dan saat
menyadari bahwa itulah anjing yang ditulis Ka dalam puisinya, aku memasuki toko
bahan makanan untuk membeli sebutir telur rebus dan roti. Anjing itu mengibas-
ngibaskan ekornya dengan senang saat aku mengupas telur rebus itu untuknya.
Saat melihat anjing itu mengikuti kami, Fazyl berkata, "Itu anjing stasiun. Saya
tadi tidak mengatakan semuanya kepada Bapak, mungkin karena saya berpikir Bapak
akan menolak ajakan saya. Asrama tua itu tidak ber-penghuni lagi. Setelah
kudeta, mereka menutupnya mereka menyebutnya sebagai sarang teroris dan pusat
pelatihan militan reaksioner. Sejak saat itu, tidak seorang pun tinggal di sana,
dan karena itulah saya meminjam senter ini dari kantor," dia menambahkan,
menyorotkan cahaya ke mata gelisah si anjing, yang masih mengibas-ngibaskan
ekornya. Sebelum digunakan sebagai asrama, bangunan Armenia tua itu pernah digunakan
sebagai konsulat Rusia, tempat sang konsul tinggal sendirian bersama anjingnya.
Pintu menuju kebun terkunci, namun Fazyl memegangi tanganku dan menolongku
melompati pagar pendek yang mengelilingi bangunan itu. "Dengan cara inilah kami
biasanya keluar pada malam hari," katanya. Dia menyorotkan senternya ke sebuah
jendela besar dan tinggi. Setelah menyelinap memasuki jendela tanpa kaca itu
dengan mulus, dia berbalik untuk menerangi jalanku dengan senter. "Jangan
takut," katanya, "tidak ada apa-apa selain burung di sini." Di dalam, keadaan
gelap gulita: sebagian besar jendela di sana ditutup menggunakan papan, dan
kaca-kaca yang masih tersisa di beberapa jendela berlapis es dan kotoran tebal,
sehingga tidak ada cahaya yang bisa menembusnya, namun Fazyl berhasil menemukan
anak tangga dengan mudah. Dia menaiki tangga tanpa sedikit pun keraguan, namun
berulang kali menoleh, bagaikan seorang pemeriksa tiket di bioskop, untuk
menunjukkan jalan kepadaku. Seluruh tempat itu menguarkan aroma debu dan lumut.
Kami memasuki pintu-pintu yang pernah ditendangi pada malam razia dan melewati
tembok-tembok yang dipenuhi lubang peluru; di atas
kepala kami, burung-burung merpati beterbangan dengan panik dari sarang yang
mereka buat di siku-siku pipa air panas di setiap sudut langit-langit tinggi di
lantai atas, tempat kami berjalan di antara ranjang-ranjang bertingkat yang
kosong dan berkarat. "Ini tempat tidur saya, dan itu tempat tidur Necip," kata
Fazyl. "Beberapa kali, untuk memastikan tidak seorang pun terbangun akibat
bisikan kami, kami tidur di ranjang yang sama, berbicara sambil memandang
bintang-bintang." Melalui sebuah celah di salah satu jendela lantai atas, kami dapat melihat
kepingankepingan salju berayun pelan menembus cahaya lampu-lampu jalanan. Aku
berdiri di sana, memberikan perhatian penuh, penghormatan yang terdalam.
"Necip suka memandang bintang-bintang dari ranjangnya," kata Fazyl kemudian. Dia
menunjuk sebuah celah sempit di antara dua bangunan: di sebelah kiri tepat di
dekat kebun adalah tembol samping Bank Pertanian; di sebelah kanan adalah sebuah
bangunan apartemen tinggi. Jarak dua meter di antara kedua bangunan itu terlalu
sempit untuk digunakan sebagai jalan, sehingga lebih tepat jika disebut gang.
Lampu neon di lantai pertama menyorotkan cahaya ungu ke tanah becek di bawahnya.
Untuk mencegah orang-orang mengira gang itu sebagai seruas jalan, sebuah tanda
"Dilarang Masuk" dipasang di dinding. Di ujung gang tersebut, yang kata Fazyl
telah menjadi inspirasi bagi bayangan Necip akan "ujung dunia", terdapat
sebatang pohon yang tampak gelap dan tak berdaun. Saat kami memandangnya, pohon
itu tiba-tiba berubah warna menjadi merah, seolaholah terbakar. "Cahaya merah
itu berasal dari lampu di Studio Foto Istana Cahaya yang sudah rusak selama
tujuh tahun terakhir,"
bisik Fazyl. "Lampu itu selalu berkedip-kedip, dan setiap kali kami melihatnya
dari ranjang Necip, pohon oleander di sana tampak seperti sedang terbakar. Necip
sering memimpikan pemandangan ini sepanjang malam. Dia menyebut bayangannya ini
sebagai 'dunia itu', dan pada pagi hari setelah begadang semalaman, kadangkadang
dia mengatakan, 'Aku melihat dunia itu sepanjang malam.' Dia pernah menceritakan
hal ini kepada Ka, dan sahabat Bapak itu memasukkannya ke dalam puisinya. Saya
baru menyadarinya ketika kita menonton rekaman itu, dan karena itulah saya
mengajak Bapak kemari. Tapi, sahabat Bapak menghina Necip dengan menjuduli
puisinya 'Tempat di Mana Tuhan Tiada.'"
"Temanmu sendirilah yang menggambarkan pemandangan ini kepada Ka dan menyebutnya
'tempat di mana Tuhan tiada'," ujarku. "Aku yakin tentang hal ini."
"Saya tidak percaya Necip meninggal sebagai seorang ateis," ujar Fazyl dengan
hati-hati. "Kecuali bahwa, memang benar, dia memiliki keraguan tentang dirinya."
"Apakah kau sudah tidak mendengar suara Necip di dalam dirimu?" tanyaku. "Apakah
ini tidak membuatmu takut dirimu akan berangsur-angsur menjadi ateis hingga kau
sendiri tidak menyadarinya, seperti pria di dalam cerita itu?"
Fazyl tampak kesal karena mengetahui bahwa aku tahu tentang keraguan yang
diungkapkannya kepada Ka empat tahun sebelumnya. "Sekarang saya sudah menikah,
dan saya punya seorang anak," katanya. "Saya tidak tertarik lagi dengan hal-hal
semacam itu." Tentu Fazyl menyadari bahwa dia telah memperlakukanku seperti
seseorang yang baru saja terbang dari Barat untuk memikatnya dengan paham
ateisme, karena dia langsung
tampak malu. "Lebih baik kita membicarakannya nanti saja," katanya dengan
lembut. "Kita ditunggu di rumah ayah mertua saya untuk makan malam, dan lebih
baik kita tidak membuat mereka menunggu."
Tetapi, sebelum kami turun, dia membawaku ke sebuah ruangan mewah yang pernah
dijadikan kantor utama konsulat Rusia. Menunjuk ke meja, kursi-kursi, dan
pecahan botol-botol raki di pojok ruangan, dia mengatakan, "Setelah jalan-jalan
dibuka, Z Demirkol dan tim operasi khususnya tinggal di sini selama beberapa
hari supaya mereka masih sempat membunuh beberapa orang Islamis dan nasionalis
Kurdi." Hingga saat itu, aku berhasil menjauhkan bagian cerita yang ini dari benakku,
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun sekarang hal itu menerpaku dengan penuh kekuatan. Aku sama sekali tidak
ingin memikirkan apa yang dilakukan oleh Ka pada jamjam terakhirnya di Kars.
Anjing hitam itu menunggu kami di gerbang kebun dan mengikuti kami ke hotel.
"Bapak kelihatannya sangat sedih," kata Fazyl. "Apakah ada yang salah?"
"Sebelum kita makan, maukah kau naik ke kamarku sebentar" Ada sesuatu yang ingin
kuberikan kepadamu."
Ketika menerima kunciku dari Cavit, aku melihat melalui pintu kantor Turgut Bey
yang terbuka dan melihat ruangan terang di sebelahnya, melihat makanan yang
terhidang di meja. mendengar para tamu mengobrol, dan merasakan kehadiran Ypek.
Di koperku, aku menyimpan hasil fotokopi surat-surat cinta yang ditulis Necip
untuk Kadife bertahuntahun sebelumnya, dan, saat kami tiba di kamarku, aku
memberikannya kepada Fazyl. Lama kemudian, baru terpikir olehku bahwa aku ingin
Fazyl juga dihantui oleh sahabatnya, sama seperti aku yang dihantui oleh Ka.
Fazyl duduk di tepi ranjang untuk membaca surat-surat itu, sementara aku kembali
membongkar koperku untuk mengambil salah satu buku catatan Ka. Membukanya di
bagian gambar kepingan salju yang pertama kali kudapatkan di Frankfurt, aku
melihat sesuatu yang tentunya telah disadari oleh sebagian dari diriku lama
sebelumnya. Ka menempatkan "Tempat di Mana Tuhan Tiada" di puncak bagian kiri
pucuk "Kenangan". Ini menunjukkan kepadaku bahwa dia pernah berada di asrama
terbengkalai yang digunakan oleh Z Demirkol dan kawan-kawannya sebagai markas di
pengujung kudeta, bahwa dia pernah memandang melalui jendela Necip dan
mendapati, tepat sebelum dia meninggalkan Kars, tentang asal muasal pemandangan
Necip yang sesungguhnya. Semua puisi lain di pucuk "Kenangan" mengacu pada masa
kecilnya, atau pada kenangan-kenangannya tentang Kars. Jadi, sekarang aku juga
telah meyakini kebenaran cerita yang diyakini kebenarannya oleh seluruh penduduk
Kars: setelah Ka gagal membujuk Kadife untuk meninggalkan drama, dan sementara
Ypek terkunci di dalam kamar hotelnya, Ka mengunjungi Z Demirkol di markas
barunya, tempat pria itu menunggu Ka membocorkan tempat persembunyian Lazuardi.
Dan aku yakin bahwa diriku tampak sebingung Fazyl ketika itu. Suara-suara para
tamu di ruang makan terdengar samar-samar menaiki tangga; desahan sedih Kota
Kars terbawa angin dari jalanan. Aku dan Fazil tenggelam dalam kenangan kami
masing-masing, dan kami tunduk pada intisari diri kami yang keberadaannya tidak
terbantahkan lagi, yang lebih rumit dan penuh hasrat.
Menatap hujan salju di luar jendela, aku mengatakan kepada Fazyl bahwa hari
telah malam: kami harus turun untuk makan malam. Fazyl keluar terlebih dahulu,
berwajah murung dan berjalan dengan langkah-langkah panjang, seolaholah dirinya
baru saja berbuat jahat. Aku berbaring di ranjang dan membayangkan apa yang
dipikirkan Ka saat dia berjalan keluar dari Teater Nasional menuju asrama;
bagaimana dia tentu berusaha keras menatap mata Z Demirkol; bagaimana, karena
mereka tidak mengetahui alamat pasti tempat persembunyian Lazuardi, dia tentu
menumpang mobil yang sama dengan mereka untuk menunjukkan jalan. Dan, kesedihan
sebesar apakah yang kurasakan saat membayangkan sahabatku menunjuk bangunan di
kejauhan itu" Atau, apakah perasaanku jauh lebih buruk daripada kesedihan"
Mungkinkah si "penulis pegawai" secara diamdiam menertawakan kejatuhan sang
penyair sejati" Pikiran ini membuatku membenci diriku sendiri, sehingga aku
memaksakan diri untuk memikirkan hal lain.
Ketika turun untuk bergabung dengan Turgut Bey dan tamu-tamu lainnya, aku masih
terpesona pada kecantikan Ypek. Recai Bey, direktur perusahaan telepon yang
berpendidikan dan berwawasan luas, berusaha sebisa mungkin untuk mengangkat
semangatku, begitu pula Serdar Bey dan Turgut Bey. Tapi, izinkanlah aku untuk
melewatkan saja cerita tentang malam yang panjang ini, saat semua orang
memperlakukanku dengan penghormatan paling tulus dan aku terlalu banyak minum.
Setiap kali memandang Ypek yang duduk di hadapanku, aku merasakan sesuatu
terlepas di dalam diriku. Aku menyaksikan diriku diwawancarai di televisi;
melihat tanganku bergerak-gerak gugup sangat menyiksaku. Aku mengeluarkan
alat perekam kecil yang kubawa-bawa ke seluruh Kars untuk merekam pandangan para
tuan rumahku dan tamu mereka mengenai sejarah kota ini, nasib jurnalisme di
sini, dan peristiwa malam revolusi. Aku melakukan semua tugasku, namun tanpa
semangat, seperti seseorang yang tidak lagi memiliki keyakinan akan
pekerjaannya. Sambil menghirup sup lentil buatan Zahide, aku mulai membayangkan
diriku sebagai seorang tokoh dalam novel kampungan dari tahun 1940-an. Aku
menyimpulkan bahwa penjara memberikan dampak yang baik bagi Kadife; dia lebih
dewasa sekarang, lebih percaya diri. Tidak seorang pun menyebut-nyebut Ka bahkan
tentang kematiannya dan ini menghancurkan hatiku. Kemudian, Ypek dan Kadife
memasuki ruangan kecil di sebelah, tempat Omercan tidur. Aku ingin mengikuti
mereka, namun ketika itu penulismu ini telah "sangat mabuk, seperti yang selalu
dilakukan para seniman"; aku terlalu mabuk untuk sekadar berdiri.
Tetapi, aku masih memiliki ingatan yang jelas tentang malam itu. Setelah malam
sangat larut, aku mengatakan kepada Ypek bahwa aku ingin melihat kamar Ka, nomor
203. Semua orang di meja terdiam dan berpaling memandang kami.
"Baiklah," kata Ypek. "Mari kita ke sana."
Dia mengambil kunci dari meja resepsionis. Aku mengikutinya ke atas. Kamar itu.
Jendela itu, tirai itu, salju itu. Aura kamar tidur, aroma sabun, bau debu
samar-samar. Udara yang dingin. Disaksikan oleh Ypek, yang tampaknya masih mau
mendengarku meskipun tidak sepenuhnya memercayaiku, aku duduk di tepi ranjang
tempat sahabatku melewatkan saat-saat terbahagianya untuk bercinta dengan wanita
yang sama. Bagaimanakah jika aku meninggal di sini" Bagaimanakah jika aku
menyatakan cintaku kepada Ypek" Bagaimanakah jika aku diam saja di sini dan memandang ke
luar jendela" Mereka semua menanti kami: ya, mereka semua menanti kami di meja
makan di bawah. Aku menggumamkan sedikit omong kosong yang berhasil membuat Ypek
tersenyum. Aku ingat dia memberiku senyuman manis saat aku merentetkan katakata
memalukan yang menurutku telah kupikirkan sebelumnya:
"TakadayangTakadayangmembuatmubaha-giadalamcintakecualicinta ...
bukanbukuyangkautulisatau-kotayangkaulihat ... akusangatkesepian ... kalauaku-
mengatakanbahwaakuingintinggaldikotainidideka muhing-
gaakhirhayatkuapakahkaumemercayaiku?"
"Orhan Bey," kata Ypek. "Aku berusaha keras untuk bisa mencintai Muhtar, tapi
hubungan kami gagal. Aku mencintai Lazuardi dengan sepenuh hatiku, tapi hubungan
kami gagal. Aku yakin bahwa aku akan bisa mencintai Ka, tapi hubungan kami juga
gagal. Aku mendambakan seorang anak, tapi aku tidak pernah mendapatkannya.
Kurasa, aku tidak akan pernah mencintai siapa pun lagi; aku tidak punya
keberanian untuk itu. Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah merawat keponakan
kecilku, Omercan. Tapi, aku tetap ingin berterima kasih kepadamu meskipun aku
tidak bisa menganggapmu serius."
Untuk pertama kalinya di hadapanku, dia tidak mengatakan "sahabatmu". Dia
menyebutkan nama Ka, dan untuk ini, aku sangat berterima kasih kepadanya.
Bisakah kita bertemu lagi, besok siang, di Toko Kue Hidup Baru, hanya untuk
sedikit lagi membicarakan tentang Ka"
Dia meminta maaf karena dia akan sangat sibuk besok. Tetapi, masih bertekad akan
menjadi nona rumah yang baik, dia berjanji bahwa dirinya dan seluruh keluarganya
akan mengantarku ke stasiun besok malam.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan kemudian mengakui bahwa aku sudah
tidak memiliki kekuatan untuk kembali ke meja makan (aku juga takut akan
menangis), sehingga aku pun menjatuhkan diri ke ranjang dan tertidur pulas.
Keesokan paginya, aku berhasil keluar dari hotel tanpa terlihat oleh orang lain
dan menghabiskan hari itu untuk berjalan-jalan di sekeliling kota, pertama
bersama Muhtar dan kemudian bersama Serdar Bey dan Fazyl. Seperti yang
kuharapkan, penampilanku di berita malam akan membuat orang-orang lebih santai
saat berbicara denganku, sehingga aku akan bisa mengumpulkan banyak detail-
detail penting untuk menjelaskan akhir dari kisahku. Muhtar memperkenalkanku
kepada pemilik Tombak, surat kabar Islamis politis pertama di Kars (oplah: tujuh
puluh lima). Aku juga berjumpa dengan pensiunan apoteker yang menjadi editor
surat kabar itu, meskipun dia agak terlambat menghadiri pertemuan kami. Kedua
pria itu mengatakan kepadaku bahwa tindakan antidemokrasi yang diterapkan pada
surat kabar mereka menjadikan gerakan Islamis di Kars terhenti, dan bahkan
permohonan akan dibukanya kembali madrasah aliah yang sempat marak pun lama-
kelamaan menghilang. Baru setelah mereka berhenti berbicara, aku teringat
bagaimana Fazyl dan Necip pernah berencana untuk membunuh apoteker uzur ini
setelah dia mencium Necip dua kali dengan cara aneh. Pemilik hotel yang
melaporkan tamu-tamunya kepada Sunay Zaim sekarang menulis untuk Tombak, dan
saat kami membelokkan diskusi pada peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi,
dia mengungkapkan betapa bersyukurnya dia karena pria yang membunuh direktur
Institut Pendidikan empat tahun sebelumnya tidak berasal
dari Kars, sebuah detail yang entah bagaimana kulupakan. Pembunuh itu, katanya,
adalah seorang pemilik kedai teh dari Tokat. Telah terbukti bahwa dia melakukan
pembunuhan lain pada sekitar waktu itu menggunakan senjata yang sama. Ketika
laporan balistik datang dari Ankara, pria dari Tokat itu dituntut dengan tuduhan
pembunuhan, dan dia mengakui bahwa dia datang ke Kars karena Lazuardi
mengundangnya. Catatan mengenai pengadilannya menyebutkan bahwa pria itu
menderita gangguan mental, sehingga hakim mengirimnya ke Rumah Sakit Jiwa Bakir-
kby, dan ketika mereka melepaskannya tiga tahun kemudian, dia memutuskan untuk
menetap di Istanbul, tempatnya mengelola Kedai Teh Tokat Ceria dan menulis kolom
tentang hak-hak sipil gadis berjilbab di Sabda.
Gerakan gadis berjilbab telah jauh mereda sejak empat tahun silam, setelah
Kadife mencopot jilbabnya. Meskipun sekarang telah menunjukkan tanda-tanda
kebangkitan, sejumlah besar gadis yang terlibat dalam kasus-kasus hukum
dikeluarkan dari sekolah, dan sejumlah besar gadis lainnya pindah ke universitas
lain, tempat gerakan Kars tidak terlalu digembar-gemborkan seperti di Istanbul.
Keluarga Hande tidak bersedia menemuiku.
Petugas pemadam kebakaran bersuara bariton yang diseret ke stasiun televisi pada
pagi hari setelag revolusi untuk menyanyikan lagu-lagu daerah Turki ternyata
disukai masyarakat, sehingga sekarang dia menjadi bintang dari acara mingguannya
di Kars Border Television, Lagu-Lagu Perbatasan Turki. Mereka merekamnya setiap
Selasa malam dan menayangkannya setiap Jumat malam; penjaga malam Rumah Sakit
Kars yang mencintai musik (seorang teman dekat dan pengikut paling setia Yang
Mulia Syekh Saadettin) menemaninya dalam segmen irama saz.
Serdar Bey, sang jurnalis, juga memperkenalkanku kepada "si Kaca Mata", bocah
laki-laki yang muncul di panggung pada malam revolusi. Anak itu, yang dilarang
oleh ayahnya untuk naik panggung lagi, bahkan dalam sandiwara sekolah sekalipun,
sekarang telah menjadi pria dewasa, namun dia masih bekerja sebagai pengedar
surat kabar. Dia menceritakan kepadaku tentang para sosialis Kars yang
menggantungkan diri pada koran-koran Istanbul untuk mendapatkan berita terbaru.
Mereka masih mengagumi Islamis dan nasionalis Kurdi yang siap sedia mengorbankan
kehidupan mereka untuk menentang negara, dan mereka kadangkadang melontarkan
pernyataan berbelit-belit yang tidak diabaikan oleh para pembaca. Akhir-akhir
ini, aktivitas mereka hanyalah duduk-duduk dan menggembar-gemborkan tentang
betapa heroiknya mereka dan pengorbanan yang mereka lakukan semasa muda.
Sepertinya, hampir semua orang yang kutemui saat aku berjalan-jalan di seputar
Kars sedang menanti datangnya seorang pahlawan, seseorang yang siap melakukan
pengorbanan besar dan akan mengentaskan mereka dari kemiskinan, kekurangan
lapangan kerja, kebingungan, dan pembunuhan. Mungkin karena aku adalah seorang
penulis novel yang memiliki reputasi tertentu, seluruh kota, sepertinya,
berharap aku akan menjadi tokoh besar yang mereka nanti-nantikan. Sayang sekali,
aku mengecewakan mereka dengan kebiasaan-kebiasaan buruk khas Istanbul yang
melekat pada diriku, pikiranku yang senantiasa melayang ke mana-mana dan
kekikukanku, kecong-kakanku, obsesiku terhadap proyek yang sedang kukerjakan,
dan keterburu-buruanku. Yang lebih menyentuh adalah, mereka membiarkan aku tahu.
Ada Maruf si penjahit, yang, setelah menceritakan kepadaku kisah hidupnya di
Kedai Teh Persatuan, mengatakan bahwa aku harus mau mengunjungi rumahnya untuk
menemui para keponakannya dan minum bersama mereka. Aku juga diminta untuk
tinggal dua hari lebih lama supaya dapat menghadiri konferensi Pemuda Atatiirk
pada Kamis malam. Aku diminta mengisap setiap batang rokok dan meminum setiap
gelas teh yang ditawarkan kepadaku dengan semangat persahabatan (aku nyaris
selalu melakukannya!) Ayah Fazyl memiliki teman tentara dari Varto yang
memberitahuku bahwa selama empat tahun terakhir, sebagian besar militan Kurdi
telah terbunuh atau dijebloskan ke penjara; tidak ada lagi seorang pun yang
bersedia menjadi gerilyawan. Sementara itu, semua pemuda Kurdi yang menghadiri
pertemuan di Hotel Asia telah meninggalkan kota, meskipun dalam acara sabung
ayam pada Minggu malam aku melihat cucu Zahide yang gemar berjudi, yang
menyapaku dengan ramah dan memberiku raki, yang kami tenggak menggunakan gelas
teh. Malam telah larut, dan aku kembali ke hotel, berjalan perlahan-lahan menembus
salju bagaikan seorang petualang yang tidak memiliki seorang teman pun di dunia,
seseorang yang dibebani kesedihan. Aku masih punya banyak waktu sebelum keretaku
berangkat, namun aku berharap dapat pergi tanpa dilihat oleh siapa pun, sehingga
aku langsung naik ke kamarku untuk berkemas-kemas. Saat hendak keluar dari pintu
dapur, aku melihat Saffet sang detektif. Dia telah pensiun dari pekerjaannya
namun masih datang setiap malam untuk menikmati sup lentil Zahide. Dia langsung
mengenaliku dari wawancara televisiku, dan dia meminta izin untuk menyampaikan
sesuatu kepadaku. Ketika berada di Kedai Teh Persatuan, dia mengatakan kepadaku
bahwa meskipun secara resmi dia telah
pensiun, sebenarnya dia masih bekerja secara tidak resmi untuk negara lagi pula,
tidak ada yang namanya pensiun bagi seorang detektif di Kars. Dia ditugaskan
karena agen intelijen kota ingin mengetahui apa yang sedang kugali di sini.
(Apakah ini ada hubungannya dengan "masalah Armenia", pemberontakan Kurdi,
asosiasi agama, ataukah partai politik") Sambil tersenyum tulus, dia menambahkan
bahwa jika aku mau memberitahukan urusanku yang sesungguhnya kepadanya, maka aku
akan menolongnya mendapatkan sedikit tambahan penghasilan.
Memilih kata-kataku dengan berhati-hati, aku mengatakan kepadanya tentang Ka;
aku mengingatkan bahwa dia pernah mengikuti setiap langkah sahabatku selama
kunjungannya di kota ini empat tahun silam. Dan, aku menanyakan apa yang diingat
oleh Saffet tentangnya. "Dia seorang pria yang peduli pada orang lain, dan dia juga menyukai anjing
seorang pria baik," katanya. "Tapi, pikirannya masih berada di Jerman, dan dia
sangat tertutup. Tidak seorang pun di sini menyukai Ka ketika itu."
Untuk waktu yang lama, kami terdiam. Berharap dia mengetahui sesuatu, meskipun
masih berusaha menutup-nutupinya, aku menanyakan kepadanya tentang Lazuardi, dan
mendapati bahwa setahun yang lalu sama seperti aku yang berada di sini untuk
bertanya tentang Ka beberapa orang pemuda Islamis datang dari Istanbul untuk
bertanya tentang Lazuardi, sang musuh negara. Mereka pergi tanpa berhasil
menemukan kuburan pria itu, mungkin karena mayatnya dibuang ke laut dari sebuah
pesawat terbang, untuk mencegah kuburannya menjadi objek wisata ziarah.
Ketika Fazyl datang dan bergabung dengan kami, dia
mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar cerita yang sama. Dia mendengar bahwa
para pemuda Islamis itu melakukan napak tilas jejak Lazuardi dalam rangka
perjalanan "ziarah". Mereka melarikan diri ke Jerman, menemukan sebuah kelompok
Islamis yang sedang berkembang pesat di Berlin, dan, menurut mantan teman
sekelas Fazyl di madrasah aliah, menulis sebuah pernyataan yang dimuat di
halaman pertama sebuah jurnal berbasis Jerman yang bertajuk Ziarah yang berisi
sumpah untuk membalas dendam kepada siapa pun yang bertanggung jawab terhadap
kematian Lazuardi. Kelompok inilah, kami menduga, yang membunuh Ka. Jadi,
mungkin satu-satunya manuskrip buku Ka sekarang ada di Berlin, di tangan para
Peziarah Lazuardi. Setidaknya, itulah yang kubayangkan sambil memandang hamparan
salju di luar. Ketika itu, seorang polisi lain bergabung dengan kami untuk mengatakan kepadaku
bahwa semua gosip tentangnya tidak benar. "Mata saya bahkan tidak abu-abu," dia
bersikeras, meskipun dia tidak pernah memahami mengapa itu dijadikan alasan oleh
Teslime untuk tidak mau dinikahinya. Dia mencintai Teslime dengan segenap
perasaannya, dan jika gadis itu tidak bunuh diri, mereka tentu akan menikah.
Ketika itulah aku teringat akan sesuatu yang tertulis di buku catatan Ka,
tentang kejadian empat tahun silam, saat Saffet menyita kartu pelajar Fazyl di
perpustakaan umum. Baru terpikir olehku bahwa baik Saffet maupun Fazyl telah
melupakan urusan itu. Saat aku dan Fazyl kembali ke jalan yang berselimut salju, kedua polisi itu
menyertai kami entah karena semangat persahabatan atau karena rasa penasaran
profesional, aku tidak bisa memastikannya dan, sambil berjalan, mereka berbicara
secara blak-blakan tentang kehidupan
mereka, kehampaan hidup secara umum, kepedihan cinta, dan jalannya usia.
Keduanya tidak mengenakan topi, dan kepingankepingan salju yang mendarat di
rambut putih mereka yang telah menipis tak kunjung mencair. Saat aku menanyakan
apakah kota itu sekarang lebih miskin atau lebih sepi daripada empat tahun
sebelumnya, Fazyl mengatakan bahwa semua orang lebih sering menonton televisi
selama beberapa tahun terakhir, dan bahwa, daripada menghabiskan hari-hari
mereka untuk duduk-duduk di kedai teh, para pengangguran saat ini lebih suka
duduk-duduk di rumah, menyaksikan film-film gratis yang disiarkan dari seluruh
dunia dengan bantuan satelit. Semua orang di kota ini berhemat dan menabung
untuk membeli antena parabola putih yang sekarang terpasang di pinggiran jendela
setiap rumah. Ini, katanya, adalah satu-satunya kemajuan di kota mereka.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami singgah di Toko Kue Hidup Baru, tempat masing-masing dari kami membeli roti
isi kacang lezat, sama seperti yang disantap oleh direktur Institut Pendidikan
sebelum nyawanya melayang: roti itu menjadi makan malam kami. Setelah memastikan
bahwa kami akan langsung menuju stasiun, kedua polisi itu mengucapkan selamat
jalan, dan, saat aku dan Fazyl berjalan melewati toko-toko yang telah tutup,
kedaikedai teh yang kosong, rumah-rumah Armenia yang terbengkalai, dan lampu-
lampu neon yang bersinar terang di jendelajendela toko, aku berulang kali
menatap cabang-cabang pohon kenari dan poplar yang tertimbun salju dan mendapat
sorotan lampu neon. Kami melewati jalan kecil setelah yakin bahwa kedua polisi
itu tidak mengikuti kami. Hujan salju, yang telah menunjukkan tanda-tanda akan
mereda, sekarang justru turun semakin lebat. Mungkin karena
kesunyian jalanan, atau karena kepedihan yang kurasakan akibat meninggalkan
Kars, namun aku mulai merasa bersalah, seolaholah entah bagaimana, aku
meninggalkan Fazyl dalam kehidupan sepi di kota sunyi ini. Es menggantung dari
cabang-cabang dua batang pohon oleander yang saling bertaut menyerupai tirai
renda. Di tengah-tengah timbunan es, aku melihat seekor burung gereja
mengepakkan sayap; ia terbang menembus kepingankepingan salju besar dan melewati
kami. Hamparan salju putih yang segar telah mengubur jalan-jalan kosong di Kars
dalam kesunyian yang begitu mendalam sehingga kami hanya dapat mendengar langkah
kaki dan tarikan napas kami sendiri. Semakin jauh kami berjalan, semakin berat
dan menggebu napas kami; toko-toko dan rumah-rumah bergeming sehening mimpi.
Aku berhenti sejenak di tengah jalan untuk menyaksikan sekeping salju jatuh
menembus malam menuju tempat pendaratan terakhirnya. Pada saat yang sama, Fazyl
menunjuk ke atas pintu masuk Kedai Teh Cahaya Suci, tempat sebuah poster
bertulisan samar-samar telah menempel di dinding selama empat tahun.
MANUSIA ADALAH MAHAKARYA CIPTAAN TUHAN DAN BUNUH DIRI ADALAH PENGHINAAN TERHADAP
TUHAN "Kedai teh ini terkenal di kalangan polisi, jadi tidak seorang pun berani
menyentuh poster itu," kata Fazyl.
"Apakah kau merasa dirimu adalah mahakarya ciptaan Tuhan?" tanyaku.
"Tidak. Necip seoranglah yang mahakarya ciptaan Tuhan. Sejak Tuhan mengambil
nyawanya, saya melepaskan kegelisahan saya tentang ateisme dan hasrat saya
untuk lebih mencintai Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni saya."
Kepingankepingan salju sekarang jatuh begitu perlahan sehingga tampak seolaholah
membeku di langit, dan kami tidak berkata-kata lagi hingga tiba di stasiun.
Bangunan stasiun yang indah dan terbuat dari batu bangunan dari masa awal
republik, yang mungkin akan diingat oleh beberapa pembaca pernah disebutkan
dalam The Black Book tinggal kenangan sekarang. Keindahan itu digantikan oleh
bangunan semen besar yang serupa dengan bangunan-bangunan lainnya. Kami
mendapati Muhtar dan si anjing hitam menanti kami. Sepuluh menit sebelum kereta
dijadwalkan berangkat, Serdar Bey tiba membawa beberapa edisi lama Border City
Gazette yang menyebutkan tentang Ka. Sambil memberikan koran-koran itu kepadaku,
dia memintaku untuk tidak mengatakan keburukan tentang Kars dan masalah-
masalahnya, keadaan kotanya, ataupun orang-orangnya, saat aku menulis bukuku.
Saat Muhtar melihat Serdar Bey memberikan hadiahnya, dia dengan malu-malu,
nyaris dengan rasa bersalah, menyerahkan sebuah tas plastik kepadaku. Di
dalamnya terdapat sebotol kolonye, sebongkah kecil keju Kars yang termasyhur,
dan sebuah edisi bertanda tangan buku kumpulan puisi pertamanya, yang dicetak di
Erzurum. Aku membeli tiketku dan sebuah sandwich untuk anjing kecil yang disebutkan oleh
sahabatku di dalam puisinya. Binatang itu mengibas-ngibaskan ekor keritingnya
dengan senang saat ia menghampiriku, dan aku masih menyuapkan sandwich itu
padanya saat melihat Turgut Bey dan Kadife menghambur memasuki stasiun. Mereka
baru saja mendengar dari Zahide bahwa aku telah pergi.
Kami berbasa-basi sejenak tentang agen tiket, perjalanan, dan salju. Dengan
malu-malu, Turgut Bey merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah edisi baru Cinta
Pertama, novel karya Turgenev yang diterjemahkannya dari bahasa Prancis semasa
dia berada di penjara. Omercan duduk di pangkuan Kadife, dan aku membelai
rambutnya. Ibunya mengenakan jilbab anggun bergaya Istanbul, dan
kepingankepingan salju kecil berjatuhan dari pinggirannya. Tidak berani menatap
terlalu lama mata indah istri Fazyl, aku kembali memandang sang suami dan
menanyakan kepadanya apakah dia sudah tahu apa yang akan dikatakannya kepada
para pembacaku jika aku jadi menulis buku yang berseting di Kars.
"Tidak ada." Suaranya penuh ketegasan.
Saat melihat kekecewaanku, dia mengalah. "Saya memang telah memikirkan sesuatu,
tapi jika Bapak tidak suka ..." katanya. "Jika Bapak menulis sebuah buku yang
berseting di Kars dan memasukkan saya ke dalamnya, saya ingin meminta para
pembaca Bapak untuk tidak memercayai apa pun yang Bapak katakan tentang kami.
Tidak seorang pun akan dapat memahami kami dari jarak sejauh itu."
"Tapi, tidak seorang pun akan memercayai semua yang mereka baca dalam sebuah
novel," ujarku. "Oh, ya, mereka memercayainya," serunya. "Kalaupun hanya untuk menganggap diri
mereka bijaksana, unggul, dan manusiawi, mereka harus menganggap kami sebagai
orang-orang yang manis dan lucu, dan meyakinkan diri mereka bahwa mereka
bersimpati dengan keadaan kami dan bahkan mencintai kami. Tapi, jika Bapak
memasukkan ucapan saya tadi, setidaknya para pembaca Bapak akan menyimpan
sedikit keraguan di dalam benak
mereka." Aku berjanji akan memasukkan ucapannya ke dalam novelku.
Saat melihatku memandang gerbang stasiun, Kadife menghampiriku. "Kudengar kau
punya putri kecil cantik bernama RCiya," katanya. "Kakakku tidak akan datang,
tapi dia memintaku untuk menitipkan kepadamu salamnya untuk putrimu. Dan, aku
membawakan untukmu kenang-kenangan dari karier teaterku yang singkat." Dia
memberiku sebuah foto dirinya bersama Sunay Zaim di panggung Teater Nasional.
Kepala stasiun membunyikan peluitnya. Sepertinya hanya aku seoranglah penumpang
kereta api itu. Satu demi satu, aku memeluk mereka. Pada saat terakhir, Fazyl
menyerahkan sebuah tas plastik kepadaku; di dalamnya terdapat kopi dua buah
kaset video dan sebuah bolpoin yang pernah digunakan Necip.
Kereta mulai bergerak. Cukup sulit bagiku untuk melompat ke dalam kendaraan itu
dengan tangan membawa begitu banyak hadiah. Mereka semua berdiri dan melambaikan
tangan di peron, dan aku mencondongkan tubuh ke jendela untuk membalas lambaian
mereka. Pada saat terakhir itulah aku melihat si anjing hitam, menjulurkan lidah
merah jambunya. Ia berlari gembira mengiringi kereta di sisi peron. Mereka semua
menghilang dalam hujan salju yang lebat.
Aku duduk di dekat jendela dan memandang menembus hujan salju pada pendar cahaya
oranye dari rumah-rumah terakhir di lingkungan terakhir yang kulewati, pada
ruangan-ruangan kumuh yang dijejali penonton televisi. Saat menyaksikan atap-
atap berselimut salju terakhir dan asap tipis yang mengepul dari cerobong-
cerobong asap rusak, aku mulai menangis.
April 1999-December 2001 Tentang Penerjemah Berliani M. IMugrahani, lahir di Semarang, 16 Mei 1981, seorang sarjana Sastra
Inggris Universitas Padjadjaran. Pencinta buku sejak berusia kanakkanak yang
bercitacita punya toko sepatu ini pernah dua tahun menjadi editor tetap di salah
satu penerbit besar di Indonesia, dan saat ini lebih memilih berprofesi sebagai
pekerja buku independen. Karya terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain:
The Kite Runner (Khaled Hosseini, 2DD6), Neraka Guantanamo (Moazzam Begg, Mizan,
2DD7), The Hidden Face of Iran (Terence Ward, 2DD7). Karya penyuntingan antara
lain: To Kill A Mockingbird (Harper Lee, 2DD6), Pertarungan Jiwa Billy (Harper
Lee, 2DD6), Gelang Giok Naga (Leny Helena, 2006), Middlesex (Jeffrey EuO
genides, Serambi, 2007). Sengatan Satu Titik 4 Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Cakar Maut 1
kematian Lazuardi. Kadife membenamkan wajah ke kedua tangannya dan mulai
terisakisak. Ypek memeluk adiknya, dan mereka menangis bersama, meskipun dia
tahu bahwa mereka menangis untuk alasan yang berbeda. Mereka pernah menangis
seperti ini sebelumnya, satu atau dua kali selama hari-hari memalukan ketika
tidak seorang pun dari mereka dapat melepaskan Lazuardi dan mereka berdua
bersaing tanpa malu-malu untuk merebut perhatian pria itu. Sekarang, Ypek
menyadari bahwa pertikaian yang sangat tercela ini telah berakhir untuk
selamanya: dia tidak akan meninggalkan Kars. Dia merasakan dirinya seketika
menua, namun dia juga tahu apa yang diinginkannya: untuk menetap dan menikmati
hari tua dalam kedamaian, dan mendapatkan kemampuan untuk tidak menginginkan
sesuatu pun dari dunia. Ypek dapat melihat bahwa kepedihan yang dirasakan adiknya lebih mendalam dan
lebih menghancurkan daripada yang dirasakannya. Sejenak, dia bersyukur karena
tidak berada di tempat Kadife apakah ini yang dinamakan manisnya pembalasan
dendam" dan rasa bersalah seketika menerpanya. Mereka dapat mendengar irama
familier musik medley yang selalu diputar oleh pihak manajemen Teater Nasional
selama jeda waktu untuk meningkatkan penjualan soda dan kacang: lagu yang
terdengar saat itu mengingatkan Ypek pada tahuntahun awal remajanya di Istanbul:
"Baby Come Closer, Closer to Me". Pada masa itu, kedua bersaudara itu ingin
mempelajari bahasa Inggris dengan baik; tidak seorang pun berhasil. Menurut
Ypek, adiknya menangis semakin keras saat mendengar lagu ini. Saat mengintip ke
balik tirai, Ypek dapat melihat ayahnya dan Sunay sedang bercakap-cakap penuh
semangat di ujung lain ruangan, sementara Funda mengisi ulang gelas mereka
dengan konyak. "Kadife Hanym, saya Kolonel Osman Nuh Colak." Seorang tentara setengah baya
membuka tirai, dan, dengan bahasa tubuh yang sepertinya dicomot dari film, dia
membungkuk begitu rendah hingga puncak kepalanya nyaris menyentuh lantai.
"Dengan segala hormat, Nona bagaimanakah saya dapat meredakan kepedihan Anda"
Jika Anda tidak mau tampil di panggung, saya punya kabar baik untuk Anda: jalan-
jalan telah dibuka kembali, pasukan-pasukan militer akan masuk ke kota ini dalam
waktu singkat." Kemudian, dalam pengadilan militernya, Osman Nuh Colak akan
menggunakan katakatatersebut sebagai bukti bahwa dirinya telah melakukan semua
yang mungkin dilakukannya untuk menyelamatkan kota dari para prajurit tolol yang
menggelar kudeta. "Saya baik-baik saja, tapi terima kasih, Pak, atas perhatian Anda," kata Kadife.
Ypek melihat bahwa adiknya telah meniru sebagian sikap berpura-pura Funda. Pada
saat yang sama, dia juga mengagumi tekad adiknya untuk memulihkan diri. Kadife
memaksakan diri untuk berdiri, meminum segelas air, dan perlahan-lahan mulai
berjalan mondar-mandir bagaikan hantu di ruang belakang panggung yang panjang
itu. Ypek berharap dapat menyingkir sebelum ayahnya mendapatkan kesempatan untuk
berbicara dengan Kadife, namun Turgut Bey menghampiri mereka tepat ketiga babak
ketiga dimulai. "Jangan takut," kata Sunay, berpaling ke arah para tamunya. "Orang-orang ini
sudah modern." Adegan ketiga dimula i dengan Funda Eser yang menyanyikan sebuah lagu rakyat
tentang seorang wanita yang baru saja diperkosa, sebuah adegan menawan untuk
menebus bagian-bagian drama yang oleh para penonton dianggap terlalu
"intelektual" atau bahkan abstrak. Ini adalah hal biasa bagi Funda: sesaat dia
menangis dan mengumpat-umpat para pria yang menontonnya, dan selanjutnya dia
menghujani mereka dengan pujian apa pun yang terpikir olehnya. Setelah dua lagu
dan sebuah parodi iklan yang hanya dianggap lucu oleh anak-anak (Funda
menyarankan supaya alih-alih mengisi tabung tabung mereka dengan propana, lebih
baik Aygaz menggunakan kentut), panggung diliputi kegelapan, dan sama seperti
dua hari sebelumnya dua orang prajurit bersenjata berbaris ke atas panggung.
Para penonton menyaksikan dalam keheningan mencekam saat kedua prajurit itu
mendirikan tiang gantungan di tengah panggung. Sunay terpincang-pin-cang dengan
penuh wibawa melintasi panggung bersama
Kadife dan berdiri tepat di bawah tali gantungan.
"Aku tidak pernah menyangka semuanya berjalan begitu cepat," katanya.
"Inikah caramu mengakui bahwa kau gagal menjalankan rencanamu, ataukah ini hanya
karena kau sudah tua dan letih sekarang, mencari cara untuk meninggalkan dunia
ini dengan penuh gaya?" tanya Kadife.
Ypek melihat Kadife mengerahkan kekuatan yang tersimpan dalam dirinya.
"Kau sangat pintar, Kadife," kata Sunay. "Apakah itu membuatmu takut?" tanya
Kadife, suaranya tegang dan menyimpan amarah.
"Ya!" jawab Sunay dengan nada puas.
"Bukan kepintaranku yang membuatmu takut. Kau takut terhadap diriku karena aku
adalah diriku sendiri," kata Kadife. "Karena, di kota kami ini, pria tidak takut
terhadap kepintaran wanita mereka; pria takut terhadap kemerdekaan wanita."
"Sebaliknya," sanggah Sunay. "Aku merancang kudeta ini sebegitu rupa supaya
kalian para wanita dapat menjadi semerdeka para wanita di Eropa. Karena itulah
sekarang aku memintamu mencopot jilbabmu."
"Aku memang akan mencopot jilbabku sekarang," kata Kadife. "Dan kemudian, untuk
membuktikan bahwa yang mendorongku untuk melakukan tindakan ini bukanlah
perintahmu ataupun keinginan untuk menjadi seorang Eropa, aku akan menggantung
diriku sendiri." "Tapi, bukankah kau menyadari, Kadife, bahwa jika kau bertindak seperti seorang
individu dan melakukan bunuh diri, orang-orang Eropa akan bertepuk tangan
untukmu" Jangan lupakan bahwa dirimu telah membuat beberapa orang terperangah
dengan penampilan mengesan -
kanmu dalam pertemuan rahasia di Hotel Asia. Bahkan ada desas-desus yang
menyatakan bahwa kau mengorganisasi para gadis pelaku bunuh diri, sama seperti
yang kaulakukan pada para gadis berjilbab."
"Hanya ada satu tindakan bunuh diri yang melibatkan protes tentang jilbab, dan
nama gadis itu adalah Teslime."
"Dan sekarang kau bermaksud menjadi yang kedua." "Tidak. Karena, sebelum aku
melakukan bunuh diri, aku akan mencopot jilbabku."
"Apakah kau sudah memikirkannya baik-baik?" "Ya," jawab Kadife. "Sudah."
"Kalau begitu, kau tentu juga telah memikirkan tentang hal ini: pelaku bunuh
diri akan masuk Neraka. Dan, karena aku sudah pasti akan masuk Neraka, kau
sebaiknya membunuhku terlebih dahulu dengan kesadaran penuh."
"Tidak," kata Kadife, "karena aku yakin diriku tidak akan masuk Neraka setelah
aku melakukan bunuh diri. Aku akan membunuhmu untuk membersihkan negara kita
dari seorang bibit penyakit, seorang musuh bagi bangsa kita, agama kita, dan
wanita kita!" "Kau seorang wanita pemberani, Kadife, dan kau berbicara dengan kejujuran yang
mencengangkan, namun agama kita melarang tindakan bunuh diri."
"Ya, memang benar bahwa surah An-Nisa dalam Alquran yang suci menyebutkan bahwa
kita tidak boleh melakukan bunuh diri. Tapi, ini tidak akan mencegah Tuhan yang
Mahabesar untuk mengampuni para gadis pelaku bunuh diri dan menyelamatkan mereka
dari api Neraka." "Dengan kata lain, kau telah mendapatkan cara untuk memutar balikkan ayat Quran
supaya sesuai dengan tujuanmu." "Sesungguhnya, justru sebaliknya," kata Kadife. "Beberapa wanita muda di Kars
ternyata melakukan bunuh diri karena mereka dilarang memakai jilbab, seperti
yang mereka inginkan. Tuhan Sang Maha Pencipta dunia tentunya dapat melihat
penderitaan mereka. Selama aku dapat merasakan cinta Tuhan di dalam hatiku,
tidak ada tempat bagiku di Kars, sehingga aku akan melakukan hal yang sama
dengan mereka, dan mengakhiri hidupku."
"Kau akan menyulut kemarahan semua pemimpin agama yang telah datang ke Kars
menembus salju dan es untuk berceramah dengan harapan dapat menghapuskan
keinginan bunuh diri para wanita Kars yang tidak berdaya. Kautahu itu, bukan,
Kadife" Dan, selagi kita sedang membicarakannya, Alquran-"
"Aku tidak mau mendiskusikan agamaku dengan seorang ateis atau, dalam hal ini,
orang-orang yang menyatakan keimanan kepada Tuhan karena takut."
"Tentu saja, kau benar. Lupakan saja, aku tidak mengungkit-ungkit hal ini untuk
turut campur dalam kehidupan spiritualmu. Hanya saja, kupikir ketakutan terhadap
Neraka akan mencegahmu menembakku dengan kesadaran penuh."
"Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Aku akan membunuhmu dengan kesadaran
penuh." "Bagus sekali," kata Sunay, tampak agak tersinggung melihat Kadife menjawab
dengan tegas. "Sekarang, aku akan memberitahumu hal terpenting yang kupelajari
dalam dua puluh lima tahun kehidupan profesionalku di dunia teater: jika ada dialog yang berlangsung lebih lama dari yang kita lakukan ini,
para penonton kita tidak akan mengikutinya karena mereka bosan. Jadi, dengan
izinmu, kita bisa menghentikan pembicaraan kita di sini dan mulai bertindak."
"Baiklah." Sunay mengeluarkan sebuah pistol Kyrykkale yang telah digunakannya pada babak
sebelumnya dan memamerkannya kepada Kadife dan para penonton. "Sekarang,
copotlah jilbabmu. Setelah itu, aku akan meletakkan pistolku di tanganmu, dan
kau akan menembakku .... Dan, karena inilah pertama kalinya hal semacam ini
disiarkan langsung di televisi, izinkanlah aku menggunakan kesempatan terakhirku
ini untuk menjelaskan kepada para penonton kita bagaimana mereka sebaiknya
mengerti" "Mari kita lakukan sekarang," potong Kadife. "Aku muak mendengarkan para pria
berbicara tentang alasan para gadis melakukan bunuh diri."
"Baiklah," kata Sunay, memainkan pistol di tangannya. "Tapi, masih ada satu atau
dua hal yang ingin kukatakan, hanya supaya para penonton kita di Kars tidak
salah paham. Lagi pula, beberapa orang mungkin akan memercayai rumor yang
tertulis di koran. Kadife, tolong lihatlah klip magasin pistol ini." Sunay
melepas klip tersebut, menunjukkannya kepada Kadife (dan, untuk memberikan efek
dramatis, juga kepada para penonton), lalu memasangnya kembali. "Sekarang, kau
sudah melihat bahwa pistol ini kosong?" tanyanya dengan penuh wibawa, bagaikan
seorang pesulap andal. "Ya." "Tapi, mari kita memastikan kembali hal ini," kata Sunay. Sekali lagi, dia
melepas klip itu, dan, bagaikan seorang pesulap yang hendak menggergaji seorang
wanita menjadi dua bagian, memamerkannya kepada para penonton sebelum
memasangnya lagi. "Akhirnya, izinkanlah aku
mengucapkan beberapa patah kata atas namaku sendiri. Sesaat yang lalu, kau
berjanji akan menembakku dengan kesadaran penuh. Kau mungkin sangat membenciku
karena aku telah merancang kudeta ini dan menembak orang-orang, hanya karena
mereka tidak hidup seperti orang Barat. Tapi, aku ingin kautahu bahwa aku
melakukannya untuk tanah air kita."
"Baiklah," kata Kadife. "Dan sekarang, aku akan mencopot jilbabku. Kumohon, aku
ingin semua orang memerhatikanku."
Kepedihan terbayang di wajah Kadife; kemudian, dengan satu gerakan mulus, dia
mengangkat tangan dan mencopot jilbabnya.
Tidak terdengar sedikit pun suara di ruangan itu. Sejenak, Sunay memandang
terpana pada Kadife, seolaholah apa yang dilakukan gadis itu tidak pernah
terpikir olehnya. Kemudian, mereka berdua berpaling ke arah penonton dan
terkesiap bagaikan siswa sekolah drama yang melupakan dialog mereka.
Seluruh Kars memandang dengan penuh kekaguman pada rambut cokelat Kadife yang
panjang dan indah, dan juru kamera akhirnya mendapatkan keberanian untuk
menyorotnya dari jarak dekat. Saat si juru kamera mendapatkan nyali untuk
menyorot wajah Kadife, jelas terlihat bahwa gadis itu sangat malu, seperti
seorang wanita yang bajunya terbuka di tempat umum. Setiap gerakannya
mencerminkan kepedihan yang mendalam.
"Berikanlah pistolmu kepadaku," kata Kadife dengan nada mendesak.
"Ini dia," kata Sunay, menggenggam moncong pistolnya.
"Sekaranglah saat bagimu untuk menarik pelatuknya."
Saat Kadife menerima pistol itu, Sunay tersenyum. Semua orang di Kars mengira
dialog mereka akan berlanjut.
Mungkin Sunay juga berpikiran sama, karena sekarang dia mengatakan, "Rambutmu
sangat indah, Kadife. Bahkan aku pun tentu akan mengawalmu dengan penuh rasa
cemburu, mencegah pria lain melihatnya."
Kadife menarik pelatuk. Sebuah ledakan senjata terdengar di ruangan itu. Seluruh Kars menyaksikan dengan
terpana saat tubuh Sunay mengejang hebat seolaholah dirinya betul-betul
tertembak dan roboh ke lantai.
"Betapa tololnya semua ini," kata Sunay. "Mereka tidak tahu apa-apa tentang seni
modern. Mereka tidak akan pernah menjadi modern!"
Para penonton mengira Sunay akan menyampaikan monolog panjang tentang kematian.
Alih-alih, Kadife menghambur maju dengan pistol di tangannya dan menembak lagi,
dan lagi. Bersama setiap tembakan, tubuh Sunay mengejang dan terangkat ke udara.
Dan, setiap jatuh kembali ke lantai, tubuhnya tampak semakin berat. Kadife
menembak dengan mulus hingga empat kali.
Sebagian penonton masih mengira Sunay hanya berakting. Mereka bersiap-siap
menantikan pria itu duduk kembali dan menyampaikan pidato panjang penuh
kemarahan tentang kematian; tetapi, saat melihat wajah bersimbah darahnya yang
tampak nyata, mereka kehilangan harapan. Nuriye Hanym, yang jauh lebih mengagumi
efek teatrikal daripada skenario drama itu, langsung berdiri. Dia hendak
bertepuk tangan untuk Sunay saat melihat wajah pria itu bersimbah darah; dia
duduk kembali di kursinya.
"Kurasa aku telah membunuhnya!" ujar Kadife, berpaling ke arah penonton.
"Bagus sekali!" seru seorang siswa madrasah aliah yang duduk di baris belakang.
Para petugas keamanan disibukkan oleh pembunuhan yang baru saja mereka saksikan
di panggung, sehingga mereka gagal mengidentifikasi pelajar pembangkang yang
memecahkan keheningan. Saat Nuriye Hanym yang telah menghabiskan dua hari untuk
menonton Sunay yang hebat di televisi, dan yang telah memutuskan, sebelum adanya
pengumuman tentang tiket cuma-cuma, untuk duduk di baris depan supaya dapat
melihat Sunay dari jarak dekat mulai menangis, semua orang di ruangan itu, dan
semua orang di Kars, terpaksa menerima kenyataan yang baru saja mereka saksikan.
Di atas panggung, dua orang prajurit berlari dengan kikuk dari arah berlawanan
dan menutup tirai.[] Tidak Seorang Pun di Sini Menyukai Ka
Empat Tahun Kemudian, di Kars
SEGERA SETELAH tirai ditutup, Z Demirkol dan kawan-kawannya menahan Kadife untuk
"mengamankannya". Setelah mengeluarkannya dari pintu belakang menuju Jalan
Kiiguk Kazimbey, mereka mendorong Kadife ke dalam sebuah jeep militer dan
membawanya langsung ke markas pusat untuk ditempatkan di bunker tua tempat
mereka menahan Lazuardi selama hari-hari terakhirnya di muka bumi. Beberapa jam
kemudian, semua jalan menuju Kars kembali dibuka. Beberapa unit militer masuk
untuk mengakhiri "kudeta kecil-kecilan" di kota itu, dan tidak menemui
kesulitan. Pemerintah daerah, kepala staf militer, dan sejumlah pejabat lainnya
diturunkan dari jabatan karena pengabaian tugas; mereka yang bersekongkol untuk
merancang kudeta ini ditangkap, begitu juga sejumlah tentara dan agen MYT, yang
mengajukan protes dengan menyatakan bahwa mereka melakukan semua ini "bagi
masyarakat dan negara".
Tiga hari berlalu sebelum Turgut Bey dan Ypek diizinkan menjenguk Kadife. Pada
hari Kadife ditangkap, di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Turgut Bey tahu
bahwa Sunay telah tewas di atas panggung, namun dia masih berharap tidak ada
yang akan terjadi pada Kadife. Yang diinginkannya hanyalah menemukan cara
membawa putrinya pulang. Tetapi, ketika tengah malam datang dan berlalu, dia
menyerah dan berjalan pulang menyusuri jalanan yang sunyi, berangkulan dengan
putri sulungnya. Ypek langsung naik ke kamarnya, dan, sementara dia membongkar
kopernya, meletakkan kembali isinya ke dalam lemari, ayahnya duduk di pinggir
ranjang dan menangis. Sebagian besar penduduk Kars yang menyaksikan peristiwa di atas panggung itu
baru mendapatkan keyakinan bahwa Sunay meninggal setelah kematian teatrikal-nya
ketika mereka membaca Border City Gazette keesokan paginya. Setelah tirai
panggung ditutup, para penonton di Teater Nasional dengan tertib berbaris ke
luar, dan stasiun televisi tidak pernah menyebut-nyebut lagi tentang peristiwa
itu hingga tiga hari kemudian. Tetapi, karena penduduk Kars sudah terbiasa
dengan peraturan militer dan melihat polisi dan tim operasi khusus mengejar-
ngejar "teroris" di jalanan, mereka segera berhenti menganggap masa tiga hari
itu sebagai hal yang "luar biasa". Dan, ketika staf jenderal menggelar
interogasi menyeluruh keesokan paginya, memerintah tim dari kantor perdana
menteri untuk segera turut bertindak, semua orang di Kars dapat melihat
kebijaksanaan dalam menganggap "kudeta panggung" tersebut lebih sebagai
peristiwa teatrikal yang janggal, dan bukan peristiwa politik. Ketertarikan
mereka terpusat pada pertanyaan-pertanyaan semacam: jika Sunay memamerkan klip
yang kosong kepada penonton, bagaimana mungkin Kadife bisa menembak dan
membunuhnya menggunakan senjata yang sama"
Aku telah beberapa kali menyebutkan tentang seorang kolonel yang dikirim dari
Ankara setelah keadaan kembali normal, sehingga para pembacaku akan bisa
menyimpulkan tentang utang budiku kepada pria ini dan laporannya yang mendetail
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenai "kudeta teatrikal" itu. Analisisnya mengenai adegan pistol menegaskan
bahwa peristiwa itu hanya berhubungan dengan ketangkasan tangan, dan bukan
sihir. Karena Kadife menolak untuk berbicara dengan ayahnya, kakaknya, atau
bahkan pengacaranya, terlebih lagi dengan jaksa, tentang apa yang sesungguhnya
terjadi pada malam itu, sang kolonel berkewajiban melakukan pekerjaan detektif
yang akan kulakukan juga empat tahun kemudian: mewawancarai sebanyak mungkin
orang yang bisa diwawancarainya (meskipun akan lebih akurat untuk mengatakan
bahwa dia mengambil kesaksian mereka), hingga akhirnya dia merasa puas karena
tidak ada rumor ataupun teori yang lolos dari perhatiannya.
Tentu saja, ada banyak teori yang menyebutkan bahwa Kadife membunuh Sunay Zaim
dengan kehendak dan kesadaran pribadi, tanpa adanya permintaan dari Sunay. Untuk
membuktikan bahwa desas-desus ini salah, sang kolonel menunjukkan bahwa mustahil
bagi gadis itu untuk menukar pistol ataupun mengganti klip yang kosong dengan
klip berisi peluru dalam waktu secepat itu. Terlebih lagi, di samping kekagetan
yang tampak di wajah Sunay setiap kali peluru menembus tubuhnya, terdapat pula
fakta hasil penggeledahan oleh angkatan bersenjata, barang-barang pribadi Kadife
pada waktu penangkapan, dan bahkan rekaman video dari pementasan malam itu, yang
semuanya menegaskan bahwa Kadife hanya memegang sebuah pistol dan sebuah klip.
Sebuah teori populer lainnya menyebutkan bahwa Sunay Zaim ditembak menggunakan
pistol lain dari tempat lain, namun hal itu terbantah saat tim balistik dan
otopsi yang didatangkan dari Ankara melaporkan bahwa semua peluru yang ditemukan
di tubuh sang aktor berasal dari pistol Kyrykkale di tangan Kadife.
Katakata terakhir Kadife ("Kurasa aku telah membunuhnya!") menjadikan dirinya
semacam legenda masyarakat. Sang kolonel memandangnya sebagai bukti bahwa ini
bukanlah kasus pembunuhan terencana; tetapi, mungkin karena mengingat jaksa
harus segera membawa kasus ini ke pengadilan, laporan sang kolonel banyak
membahas perencanaan, kejahatan yang disengaja, dan berbagai konsep hukum dan
filsafat yang berkaitan lainnya. Tetap saja, sang kolonel menyatakan bahwa
dalang sesungguhnya orang yang menolong Kadife menghafalkan dialognya dan
mengajarkannya tentang berbagai manuver yang dilakukannya dengan tangkas tidak
lain adalah almarhum sendiri. Dalam dua kali kesempatan memamerkan klip kosong
kepada para penonton, Sunay Zaim telah mengelabui Kadife dan seluruh penduduk
Kars. Di sini, mungkin, aku sebaiknya mengutip pernyataan sang kolonel yang, tak
lama setelah memublikasikan laporan ini, mengambil pensiun dini. Saat aku
menemuinya di rumahnya di Ankara dan memerhatikan koleksi novel Agatha Christie
yang berjajar di rak bukunya, dia mengatakan kepadaku bahwa yang paling
disukainya dari novel-novel itu adalah judul-judulnya. Ketika kami membicarakan
kasus pistol sang aktor, dia hanya berkata, "Klipnya berisi peluru." Seorang
pemain teater tidak perlu menjadi seorang pesulap mahir untuk menipu para
penonton dengan menyebut klip berisi peluru sebagai klip kosong; dan memang
betul, setelah tiga hari menerima kekerasan tanpa ampun dari Sunay dan antek anteknya atas nama
republikenisme dan Westernisasi (total angka kematian, termasuk Sunay sendiri,
adalah dua puluh sembilan), penduduk Kars begitu akrab dengan teori, sehingga
gelas kosong pun dapat mereka anggap berisi penuh.
Jika kita mengikuti cara berpikir ini, jelas terlihat bahwa Kadife bukanlah
satu-satunya kaki tangan Sunay. Lagi pula, Sunay telah bertindak sangat jauh
dengan mengiklankan kematiannya sendiri sebelum peristiwa itu terjadi; dan, jika
penduduk Kars begitu bersemangat untuk melihatnya membunuh dirinya sendiri di
panggung; jika mereka siap menikmati drama yang dipentaskannya, mengatakan
kepada diri mereka sendiri bahwa semua itu hanyalah sandiwara, maka mereka pun
dapat dianggap terlibat dalam pembunuhan ini.
Sebuah teori lain, yang menyebutkan bahwa Kadife membunuh Sunay untuk membalas
dendam atas kematian Lazuardi, langsung dibantah dengan pendapat bahwa siapa pun
yang disodori pistol berisi peluru dengan pernyataan bahwa pistol tersebut
kosong tidak dapat dituduh telah menggunakannya dengan niat membunuh. Ada
beberapa orang di antara para Islamis pengagum Kadife dan para penuduh
sekulernya yang bersikeras bahwa Kadife sangat licik karena telah membunuh Sunay
dan kemudian menolak melakukan bunuh diri, namun sang kolonel mengatakan bahwa
mereka telah mencampuradukkan seni dengan realitas.
Jaksa militer yang ditugaskan di Kars sangat menghargai laporan sang kolonel
yang ditulis secara saksama, begitu pula para hakim, yang memutuskan bahwa
Kadife tidak melakukan pembunuhan atas alasan politik. Mereka
memutuskan Kadife bersalah atas pembunuhan yang tidak disengaja dan kecerobohan,
dan memvonisnya dengan hukuman tiga tahun satu bulan di penjara. Dia akan
dilepaskan dengan pengawasan setelah menjalani hukuman selama dua puluh sembilan
bulan. Berdasarkan Pasal 313 dan 463 dalam Undang-Undang Hukum Pidana Turki,
Kolonel Osman Nuh Colak dihukum karena mengorganisasi sebuah kelompok yang
terlibat dalam pembunuhan; untuk hal ini, dia mendapatkan hukuman yang sangat
lama, namun enam bulan kemudian, pemerintah mengeluarkan amnesti umum dan
membebaskannya. Sebagian syarat pembebasannya adalah larangan untuk membicarakan
tentang kudeta dengan orang lain. Bagaimanapun, adalah hal yang wajar baginya
untuk pergi ke klub perwira pada suatu malam, bertemu dengan teman-teman
lamanya, minum beberapa gelas, kemudian menyatakan bahwa, "apa pun yang
terjadi", setidaknya dia telah mengetahui impian setiap prajurit pecinta
Atatiirk. Tanpa merasa dirinya terlalu lancang, dia akan menuduh teman-temannya
mendukung fanatik agama untuk mendapatkan kekuasaan.
Sejumlah prajurit dan pejabat lain yang terlibat dalam kudeta berusaha
menampilkan diri mereka sebagai patriot beritikad baik atau oknum tidak berdaya
yang terimpit oleh rantai komando, namun pengadilan militer bergeming: orang-
orang tersebut juga dikenai hukuman akibat persekongkolan, pembunuhan, atau
penggunaan fasilitas negara tanpa izin, dan ditahan selama beberapa waktu
sebelum dibebaskan kembali dengan amnesti umum yang sama. Salah seorang di
antara mereka, seorang prajurit rendahan yang muda namun menjunjung tinggi moral
dan memeluk Islam setelah dibebaskan, menulis
kisahnya ("Aku Juga Seorang Revolusioner") dalam sebuah surat kabar Islamis,
Sabda, namun memoarnya ini disensor karena mengandung hujatan terhadap militer.
Ketika itu, semua orang telah mengetahui bahwa Vural si penjaga gawang telah
dipekerjakan oleh cabang M Y T setempat segera setelah revolusi "digelar".
Pengadilan juga mengungkapkan bahwa para aktor lain dalam kelompok teater Sunay
hanya "sekadar aktor". Funda Eser mengamuk pada malam kematian suaminya,
melontarkan tuduhan semba-rangan kepada semua orang yang dilihatnya, mengancam
untuk menuntut mereka semua. Ketika diketahui bahwa dia menderita gangguan
mental, dia dikirim ke bagian psikiatrik Rumah Sakit Militer di Ankara,
tempatnya menjalani pemeriksaan selama empat bulan. Bertahuntahun setelah
dibebaskan, dia menjadi terkenal di seluruh negeri sebagai pengisi suara
penyihir dalam sebuah film kartun anak-anak populer. Funda mengatakan kepadaku
bahwa dia masih berduka akibat pernyataan-pernyataan yang menghalangi suaminya
(yang kematiannya disebutnya sebagai "insiden yang berkenaan dengan pekerjaan")
mendapatkan peran Atatiirk, dan bahwa satu-satunya hiburan baginya adalah
melihat bahwa para aktor yang memerankan tokoh-tokoh besar pada masa ini meniru
cara berakting suaminya. Karena laporan sang kolonel juga menyebut keterlibatan Ka dalam kudeta,
pengadilan militer memanggilnya sebagai saksi. Setelah gagal memenuhi dua kali
panggilan pemeriksaan, mereka menuntut Ka atas tuduhan menyulitkan proses hukum
dan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya.
Setiap Sabtu, Turgut Bey dan Ypek mengunjungi Kadife, yang menjalani hukumannya
di Kars. Selama musim semi dan musim panas, saat cuaca cerah, kepala penjara yang baik hati
mengizinkan mereka menggelar sehelai taplak meja putih di bawah sebatang pohon
murbei di halaman penjara yang luas, dan mereka akan menghabiskan siang itu
dengan menyantap daging berbumbu merica dan minyak zaitun buatan Zahide,
menawarkan nasi campur daging cincang kepada para narapidana lain, memecah dan
mengupas telur rebus, dan mendengarkan alunan musik Chopin dari pemutar kaset
Philips yang berhasil diperbaiki oleh Turgut Bey. Untuk mencegah putrinya
memandang hukumannya sebagai aib, Turgut Bey bersikeras menganggap penjara
sebagai sebuah sekolah asrama, sebuah tempat yang harus dimasuki oleh semua
orang baik pada tahap tertentu. Kadangkadang, Turgut Bey mengundang pula teman-
temannya, misalnya Serdar Bey, sang jurnalis. Pada suatu hari, Fazyl turut
berkunjung bersama mereka, dan Kadife mengatakan bahwa dia ingin menjumpai
pemuda itu lagi. Dua bulan setelah pembebasannya, pria yang berusia empat tahun
lebih muda darinya ini menjadi suaminya.
Selama enam bulan pertama, mereka tinggal di sebuah kamar di Hotel Istana Salju,
tempat Fazyl sekarang bekerja sebagai seorang resepsionis. Tetapi, saat aku
berkunjung ke Kars, pasangan itu telah pindah bersama bayi mereka ke sebuah
rumah lain. Setiap pukul enam pagi, Kadife akan membawa bayinya yang berumur
enam bulan, Omercan, ke hotel; Zahide dan Ypek akan menyuapinya, dan Turgut Bey
akan mengajak cucunya itu bermain, sementara Kadife menyibukkan diri dengan
urusan hotel. Sekarang, Fazyl telah memutuskan bahwa akan lebih baik jika dia
tidak menggantungkan diri kepada mertuanya, sehingga dia mengambil dua pekerjaan
lain. Salah satunya di Studio Foto Istana Cahaya, dan yang lain di Kars Border Television;
sambil tersenyum, dia mengatakan kepadaku bahwa jabatannya adalah "asisten
produksi", meskipun sesungguhnya dia hanyalah seorang "pesuruh yang pintar".
Seperti yang telah kuceritakan, pada hari kedatanganku, wali kota Kars
mengadakan pesta makan malam untuk menyambutku. Aku bertemu Fazyl pada keesokan
siangnya di apartemen barunya dan Kadife di Jalan Hulusi Aytekin. Saat aku
sedang memandang kepingankepingan salju besar yang memantul lembut di tembok-
tembok kas-tel sebelum tenggelam dalam kegelapan air sungai, Fazyl dengan lugu
menanyakan alasan kedatanganku ke Kars. Mengira dia akan mengatakan sesuatu
tentang Ypek yang memesonaku saat makan malam di kediaman wali kota, aku mulai
panik dan berbicara secara panjang lebar dan berlebihan tentang ketertarikanku
pada puisipuisi yang ditulis Ka selama dia di Kars, juga tentang rencana
tentatifku untuk menulis sebuah buku tentang puisipuisi itu.
"Jika puisipuisi itu telah hilang, bagaimana Bapak akan menulis sebuah buku
untuk membahasnya?" tanyanya dengan nada ramah tanpa prasangka.
"Seperti dirimu, aku juga menganggap hal ini sebagai misteri," ujarku. "Tapi,
aku yakin bahwa salah satu puisinya terdapat di dalam arsip televisi."
"Kita bisa mencarinya malam ini. Tapi, Bapak menghabiskan pagi ini dengan
berjalan-jalan di seluruh Kars. Jadi, mungkinkah Bapak berpikir akan menulis
sebuah novel tentang kami juga?"
"Aku hanya mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan Ka dalam puisi-puisinya,"
jawabku dengan gelisah. "Tapi, saya bisa melihat dari wajah Bapak bahwa
Bapak ingin memberi tahu para pembaca novel Bapak tentang betapa miskinnya kami,
dan betapa berbedanya kami dari mereka. Saya tidak ingin Bapak memasukkan saya
dalam novel seperti itu." "Mengapa tidak?"
"Karena Bapak tidak mengenal saya, itulah alasannya!
Bahkan jika Bapak mengenal saya dan menggambarkan saya secara apa adanya, para
pembaca Barat akan terlalu sibuk mengasihani kemiskinan saya, sehingga mereka
tidak akan sempat melihat kehidupan saya. Contohnya, jika Bapak mengatakan bahwa
saya sedang menulis sebuah novel fiksi-ilmiah islami, mereka hanya akan tertawa.
Saya tidak ingin digambarkan sebagai seseorang yang bisa disenyumi karena belas
kasihan dan rasa simpati."
"Baiklah, kalau begitu."
"Saya tahu bahwa saya telah membuat Bapak kesal," kata Fazyl. "Saya mohon,
jangan tersinggung. Saya tahu bahwa Bapak orang baik. Tapi, teman Bapak juga
orang baik, dan mungkin dia bahkan ingin mencintai kami, namun pada akhirnya dia
melakukan kejahatan terbesar dari segala kejahatan."
Aku merasa tidak percaya saat mendengar Fazyl menganggap kritik pedas Ka
terhadap Lazuardi sebagai sebuah "kejahatan", dan mau tidak mau aku berpikir
bahwa Fazyl tidak akan bisa menikahi Kadife jika Lazuardi masih hidup. Tetapi,
aku menahan lidahku. "Bagaimana kau bisa seyakin itu bahwa kritikan Ka itu
benar?" akhirnya aku bertanya.
"Seluruh Kars mengetahuinya," katanya. Cara bicaranya memancarkan kehangatan,
bahkan kasih sayang, dan dia berhati-hati supaya tidak menimbulkan kesan menyalahkan Ka maupun aku.
Di matanya, aku melihat Necip. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku senang karena
diizinkan melihat novel fiksi ilmiah yang sedang ditulisnya, namun dia
menjelaskan bahwa dia ingin mendampingiku saat aku membacanya. Maka, kami berdua
pun duduk di meja tempat dia dan Kadife menyantap makan malam mereka di depan
televisi dan membaca lima puluh halaman pertama dari novel yang pertama kali
dibayangkan oleh Necip empat tahun sebelumnya, dan yang sekarang ditulis oleh
Fazyl atas namanya. "Jadi, bagaimanakah pendapat Bapak" Apakah novel ini bagus?" Fazyl bertanya
namun hanya sekali, dan dengan nada menyesal. "Jika Bapak bosan, berhenti saja
membacanya." "Tidak, ini bagus," ujarku, dan melanjutkan membaca dengan penasaran.
Nantinya, saat kami sedang berjalan menyusuri Jalan Kazim Karabekir, aku
mengatakan dengan tulus kepadanya tentang betapa aku menyukai novelnya.
"Mungkin Bapak mengatakannya hanya untuk menghibur saya," ujar Fazyl dengan nada
ceria. "Tapi, pujian Bapak sangat berarti bagi saya. Saya ingin membalas
kebaikan Bapak. Jadi, jika Bapak memutuskan untuk menulis novel ini, Bapak boleh
menyebutkan tentang saya. Tapi, hanya jika Bapak memperbolehkan saya berbicara
langsung kepada para pembaca Bapak."
"Dan, apakah yang akan kaukatakan kepada mereka?"
"Entahlah. Jika saya bisa memikirkan apa yang akan saya katakan selama Bapak
masih di Kars, saya akan memberi tahu Bapak."
Kami berpisah setelah berjanji akan bertemu kembali di Kars Border Television
sore itu. Aku menyaksikan Fazyl bergegas menuju Studio Foto Istana Cahaya.
Seberapa banyak bagian diri Necip yang kulihat di dalam dirinya" Apakah dia
masih merasakan keberadaan Necip di dalam dirinya seperti yang pernah
diungkapkannya kepada Ka" Seberapa banyakkah suara lain yang bisa didengar oleh
seseorang di dalam dirinya"
Pagi itu, saat aku menyusuri jalanan Kars, berbicara dengan orang-orang yang
juga pernah diajak bicara oleh Ka, duduk di kedaikedai teh yang sama, sering
kali aku nyaris merasa bahwa aku adalah Ka. Sebelum berkeliaran ke seluruh kota,
saat duduk di Kedai Teh Mujur Bersaudara, tempat Ka menulis "Seluruh Umat
Manusia dan Bintang-Bintang", aku juga mengimpikan kedudukanku di alam semesta,
seperti yang pernah diimpikan oleh sahabatku tersayang. Setibanya kembali di
Hotel Istana Salju, saat aku mengambil kunciku, Cavit si resepsionis mengatakan
kepadaku bahwa aku tampak terburu-buru, "sama seperti Ka". Saat aku sedang
berjalan-jalan, seorang pedagang menghampiriku untuk bertanya, "Apakah Anda
penulis dari Istanbul itu?" Dia mengundangku masuk untuk menanyakan apakah aku
bisa menulis bahwa semua laporan di surat kabar tentang kematian putrinya,
Teslime, hanyalah isapan jempol belaka. Dia berbicara kepadaku dengan cara yang
tentunya sama dengan saat dia berbicara kepada Ka, dan dia menawarkan soda
kepadaku, sama seperti yang ditawarkannya kepada Ka. Seberapa banyakkah dari hal
ini yang merupakan kebetulan, dan seberapa banyakkah yang hanya ada dalam
bayanganku" Pada satu titik, menyadari bahwa aku berada di Jalan
Baytarhane, aku berhenti untuk memandang jendelajendela pondok Syekh Saadettin,
dan kemudian, untuk memahami perasaan Ka saat mengunjungi pondok itu, aku
menaiki anak tangga curam yang pernah digambarkan oleh Muhtar dalam puisinya.
Aku menemukan puisipuisi Muhtar di antara tumpukan kertas Ka di Frankfurt, dan
karena itu aku menyimpulkan bahwa Ka tidak pernah mengirimkannya kepada Fahir.
Tetapi, baru lima menit setelah kami diperkenalkan, Muhtar, yang menyebut Ka
sebagai seorang "pria sejati", menceritakan bagaimana, selama kunjungannya ke
Kars, Ka begitu terpesona dengan puisipuisi Muhtar sehingga dia menawarkan diri
untuk mengirimkannya ke sebuah penerbit besar di Istanbul dengan tak lupa
menyertakan sebuah surat berisi pujian setinggi langit darinya. Muhtar merasa
bahagia dengan kehidupannya: meskipun Partai Kemakmuran telah ditutup, dia yakin
akan menjadi kandidat dari sebuah partai Islamis baru dalam pemilihan yang akan
datang, dan dia percaya bahwa suatu hari nanti, dia akan menjadi wali kota Kars.
Berkat sikap Muhtar yang hangat dan siap menolong, kami dapat mengunjungi kantor
polisi Kars (meskipun mereka tidak mengizinkan kami melihat ruang bawah
tanahnya) dan Rumah Sakit Jaminan Sosial, tempat Ka mencium kepala Necip yang
tak lagi bernyawa. Saat Muhtar membawaku melihat sisa-sisa Teater Nasional, dan
ruangan-ruangan yang telah dialih fungsikan menjadi gudang, dia mengakui bahwa
dirinya "dapat dipersalahkan sebagian untuk perusakan bangunan berumur seratus
tahun ini", kemudian, untuk menghibur dirinya sendiri, dia menambahkan,
"Setidaknya ini bangunan Armenia, bukan bangunan Turki". Dia menunjukkan
kepadaku semua tempat yang diingat Ka kapan pun dia
mendambakan untuk kembali ke Kars. Ka selalu menyertai benakku selama kami
berjalan menembus hujan salju, dan melintasi pasar buah. Saat kami menyusuri
Jalan Kazim Karabekir, Muhtar menunjuk satu per satu toko perkakas. Setelah itu,
dia mengajakku ke Pasar Halil Pa?a, lalu dia pergi meninggalkanku setelah
memperkenalkanku dengan saingan politiknya, Muzaffer Bey sang pengacara. Mantan
wali kota itu berbicara panjang lebar tentang masa kejayaan kota itu pada
tahuntahun awal berdirinya republik, sama seperti yang dilakukannya kepada Ka,
dan, saat kami berjalan menyusuri loronglorong pasar yang suram, seorang
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedagang susu kaya yang berdiri di depan Asosiasi Penggemar Binatang berseru,
"Orhan Bey!" Pria itu mengundangku ke tokonya dan memamerkan ingatannya yang
tajam dengan menceritakan tentang Ka yang mengunjungi asosiasi pada sekitar
waktu pembunuhan direktur Institut Pendidikan, dan bagaimana Ka duduk di sudut
dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sulit bagiku untuk mendengarkan penggambaran pria itu atas momen ketika Ka
menyadari bahwa dirinya sedang jatuh cinta kepada Ypek, tepat ketika aku hendak
menemui wanita itu di Toko Kue Hidup Baru. Kupikir, aku membutuhkan sesuatu
untuk menenangkan kegelisahanku, untuk meredakan ketakutanku akan diterpa cinta,
aku mampir ke Kedai Bir Pastura Hijau untuk minum raki. Tetapi, ketika duduk di
hadapan Ypek di Toko Kue Hidup Baru, aku menyadari bahwa persiapanku justru
membuatku semakin rapuh. Perutku masih kosong saat aku meminum raki, sehingga,
alih-alih menenangkanku, minuman itu justru membuat kepalaku pening. Ypek
memiliki mata yang lebar. Tulang-tulangnya mungil, seperti yang kusukai. Sambil
berjuang menerima kecantikannya meskipun aku
tak henti-hentinya memikirkannya sejak pertama kali melihatnya semalam
sebelumnya, aku belum mampu mengukur kedalamannya aku memicu kebingungan dan
keputus-asaanku sendiri dengan mengingat-ingat bahwa aku mengetahui semua detail
tentang waktu yang dihabiskannya bersama Ka dan tentang cinta yang mereka
rasakan. Aku seakan-akan menemukan satu lagi kelemahanku. Ini menjadi teguran
yang menyakitkan bahwa, sementara Ka menjalani kehidupan dengan cara yang alami
baginya, sebagai penyair sejati, aku menjadi manusia yang lebih hina, seorang
penulis novel berhati sederhana yang, seperti seorang pegawai, duduk bekerja
pada jam yang sama setiap hari. Mungkin karena inilah aku merasa perlu untuk
menyampaikan dengan penuh simpati kepada Ypek tentang rutinitas sehari-hari yang
dijalani Ka di Frankfurt: bagaimana dia bangun setiap pagi pada jam yang sama
dan menyusuri jalanan yang sama untuk pergi ke perpustakaan yang sama, lalu
duduk dan bekerja di meja yang sama.
"Aku betul-betul telah memutuskan untuk pergi ke Frankfurt bersama dia," kata
Ypek, menyebutkan beberapa fakta untuk membuktikannya, termasuk koper yang telah
ditatanya. "Tapi, sekarang sulit bagiku untuk mengingat mengapa aku menganggap
Ka sangat menawan. Meskipun begitu, untuk menghormati persahabatan kalian, aku
akan menolongmu dalam penyusunan bukumu."
"Kau sudah sangat menolongku. Ka menulis sebuah buku brilian tentang
pengalamannya di sini, dan semua itu karenamu," ujarku, berharap bisa
memancingnya untuk berbicara lebih banyak. "Dia menghabiskan beberapa buku
catatan untuk menceritakan setiap menit yang dilaluinya selama tiga hari dirinya
berada di sini satu-satunya celah
yang ada adalah rangkaian peristiwa selama beberapa jam terakhir sebelum dia
meninggalkan kota ini."
Ypek bersedia menutup celah itu dengan keterusterangan yang mencengangkanku,
tidak menutupnutupi apa pun, sepertinya. Mau tidak mau, aku mengagumi
kejujurannya saat dia mengungkapkan pengalaman Ka selama jam-jam terakhirnya di
Kars, kejadian-kejadian yang dilihatnya dengan matanya sendiri, dan
dugaandugaannya tentang kejadian-kejadian lain yang tidak disaksikannya.
"Kau tidak punya bukti nyata, tapi kau tetap memutuskan untuk tidak jadi pergi
ke Frankfurt?" tanyaku, sekali lagi untuk memancingnya.
"Kadangkadang, kita bisa merasakan sesuatu di hati kita dan kita tahu bahwa
perasaan itu benar."
"Kaulah yang lebih dahulu menyebut-nyebut tentang hati," ujarku. Seolaholah
karena merasa tidak enak telah mengatakannya, aku menceritakan kepada Ypek apa
yang kuketahui dari surat-surat yang ditulis Ka namun tidak pernah dikirimkannya
dari Frankfurt: bahwa Ka tidak pernah bisa melupakannya; bahwa Ka sangat
tertekan hingga membutuhkan dua butir obat tidur setiap malam selama setahun
sekembalinya dia di Jerman; bahwa Ka sering dengan sengaja menenggak minuman
keras hingga pikirannya lumpuh; bahwa, saat menyusuri jalanan Frankfurt, Ka
tidak dapat melewatkan lima menit saja tanpa melihat seorang wanita di kejauhan
yang disangkanya sebagai Ypek; bahwa, hingga akhir hayatnya, Ka menghabiskan
setiap jam dalam setiap harinya untuk mengenang saat-saat bahagia yang mereka
lalui bersama film yang sama diputar berulang-ulang dengan gerakan lambat di
dalam kepalanya; bahwa Ka sangat senang setiap kali bisa melewatkan lima belas
menit saja tanpa memikirkan
dirinya; bahwa Ka tidak pernah berhubungan dengan wanita lain hingga hari
kematiannya tiba; bahwa, setelah kehilangan Ypek, Ka memandang dirinya sebagai
"sama sekali bukan manusia melainkan hantu". Saat melihat wajah Ypek melembut,
bahkan memohon dengan kata "Cukup!" meskipun tanpa suara, saat alisnya terangkat
seolaholah dirinya sedang mendugaduga jawaban dari sebuah teka-teki yang
memusingkan, aku menyadari dengan penuh kengerian bahwa alih-alih memaparkan
tentang sahabatku, aku justru sedang memaparkan perasaanku sendiri.
"Sahabatmu mungkin memang sangat mencintaiku," kata Ypek. "Tapi, cintanya tidak
cukup besar hingga mampu mendorongnya kembali ke Kars untuk menemuiku."
"Ada perintah penangkapan untuknya."
"Seharusnya itu tidak menjadi halangan baginya. Dia bisa muncul di pengadilan
seperti yang telah diperintahkan, dan itu akan mengakhiri masalahnya. Tolong
jangan salah paham, memang tidak apa-apa jika dia menolak datang kemari, namun
jangan lupakan fakta bahwa Lazuardi pernah berkali-kali mengunjungi Kars secara
diamdiam untuk menemuiku meskipun selama bertahuntahun ada perintah untuk
membunuhnya di tempat."
Aku merasa tertohok saat melihat bahwa, ketika Ypek menyebut nama Lazuardi, mata
cokelatnya tampak berbinar-binar dan wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan
yang tulus. "Tapi, yang paling ditakuti oleh temanmu bukanlah pengadilan," kata Ypek,
seolaholah untuk menghiburku. "Dia tahu betul tentang kejahatannya yang
sesungguhnya, alasan mengapa aku tidak datang ke stasiun."
"Kau tidak pernah memberikan sedikit pun bukti
bahwa dia sungguh-sungguh bersalah untuk 'kejahatan' ini," sanggahku.
"Yang harus kulakukan hanyalah melihat wajahmu.
Kau menanggung rasa bersalahnya." Merasa puas dengan jawabannya yang cerdas,
Ypek menyimpan kembali rokok dan geretannya ke tas untuk memberitahuku bahwa
pembicaraan kami telah berakhir.
Sungguh cerdas. Aku membayangkan sebuah cermin untuk memaksaku melihat apa yang
dapat dilihatnya: bahwa aku tidak cemburu kepada Ka tetapi kepada Lazuardi.
Setelah dapat mengakui hal ini kepada diriku sendiri, aku tahu bahwa aku telah
kalah. Nantinya, aku akan memutuskan bahwa aku telah salah memahami Ypek yang
dikehendakinya hanyalah memberikan peringatan kepadaku supaya tidak membiarkan
rasa bersalahku menguasaiku. Dia berdiri dan memakai mantelnya (betapa
semampainya dia, itulah yang ada dalam pikiranku).
Aku kebingungan. "Kita akan bertemu lagi nanti malam, bukan?" ujarku. Aku tidak
tahu mengapa aku mengatakannya.
"Tentu saja, ayahku menantimu," katanya sembari berjalan meninggalkanku dengan
gayanya yang manis. Aku berusaha bersedih karena di dalam hatinya, Ypek meyakini bahwa Ka bersalah.
Tetapi, aku tahu bahwa aku sedang membodohi diriku sendiri. Saat aku duduk di
sana, membicarakan "almarhum sahabatku tersayang", yang sesungguhnya kukehendaki
hanyalah ini: berbicara tentang dirinya dengan setulus mungkin dan kemudian,
sedikit demi sedikit, mengungkapkan kelemahannya, obsesinya atas 'kejahatannya',
lalu akhirnya menyingkirkan seluruh kenangan indah tentangnya sembari mulai
berlayar di kapal yang sama bersama Ypek, mengarungi perjalanan pertama kami
bersama. Mimpimimpi yang mendatangiku selama malam pertamaku di Kars membawa
Ypek kembali ke Istanbul bersamaku sekarang tampak sangat jauh; dihadapkan pada
kenyataan memalukan itu, yang kuinginkan sekarang hanyalah membuktikan bahwa
sahabatku tidak bersalah. Apakah aku yakin bahwa, dari kedua orang pria yang
telah tewas itu, bukan Ka melainkan Lazuardi yang telah memancing kecemburuanku"
Menyusuri jalanan Kars yang berselimut salju setelah malam turun semakin
membuatku muram. Kantor Kars Border Television telah pindah ke sebuah bangunan
baru di Jalan KaradaS, tepat di seberang pom bensin. Saat diresmikan, bangunan
beton berlantai tiga itu dianggap sebagai simbol Kars yang semakin mengangkasa
di dunia. Dua tahun kemudian, koridor-koridornya telah penuh lumpur, gelap, dan
suram, sama seperti semua tempat lain di kota itu.
Fazyl menantiku di studio yang terletak di lantai kedua. Setelah
memperkenalkanku kepada delapan orang lain yang bekerja di sana, dia tersenyum
ramah dan mengatakan, "Teman-teman kerja saya ingin tahu apakah Bapak bersedia
menyampaikan satu atau dua patah kata untuk berita malam." Pikiran pertamaku
adalah bahwa hal ini mungkin akan membantuku dalam melakukan riset. Selama
wawancara yang berlangsung lima menit itu, pembawa acara anak muda mereka, Hakan
Ozge, tanpa kuduga mengatakan (mungkin karena diberi tahu oleh Fazyl), "Saya
dengar Anda sedang menulis novel yang berseting di Kars." Pertanyaan itu
menohokku, namun aku berhasil menggumamkan sebuah jawaban yang tidak
mencerminkan kepastian. Nama Ka tidak disebut-sebut dalam wawancara itu.
Setelah itu, kami memasuki kantor direktur untuk memeriksa rak-rak yang penuh
berisi kaset video. Karena tata tertib mengharuskan penulisan tanggal di semua
kaset video, dalam waktu singkat kami berhasil menemukan dua buah kaset rekaman
siarang langsung pertama dari Teater Nasional. Kami membawa keduanya ke sebuah
ruangan sempit yang pengap, tempat kami duduk di depan sebuah pesawat televisi
tua sambil menikmati segelas teh. Rekaman pertama yang kulihat adalah penampilan
Kadife dalam Sebuah Tragedi di Kars. Aku harus mengakui bahwa aku terkesan pada
kritik-kritik pedas yang disampaikan Sunay Zaim dan Funda Eser, dan tentu saja
parodi-parodi mereka atas berbagai iklan yang populer pada masa itu. Pada adegan
saat Kadife mencopot jilbabnya dan memamerkan rambut indahnya sebelum membunuh
Sunay, aku menghentikannya, memutar kasetnya, dan mengulangnya, berusaha secara
saksama melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Kematian Sunay memang tampak
sangat teatrikal. Aku menyadari bahwa hanya penonton di baris depanlah yang
mungkin dapat melihat apakah klip yang diacungkan Sunay berisi peluru atau
kosong. Saat menonton rekaman Tanah Airku atau Jilbabku, aku langsung menyadari bahwa
banyak unsur dalam drama itu parodi-parodi yang ditampilkan, pengakuan Vural
sang penjaga gawang, tahan perut Funda Eser sekadar menjadi aksi sampingan
kecil-kecilan yang tentunya sudah sering dimainkan kelompok itu dalam setiap
drama yang mereka pentaskan. Sorak sorai, cela-celaan, dan yel-yel yang
membahana di seluruh ruangan, dan jangan lupakan pula usia rekaman itu, membuat
nyaris mustahil bagiku untuk mendengar apa pun yang dikatakan oleh
siapa pun. Tetapi, aku memutar ulang rekaman itu beberapa kali dalam usahaku
mendengar Ka membacakan puisi yang mendatanginya pada saat itu juga dan kemudian
dia juduli "Tempat di Mana Tuhan Tiada". Ajaibnya, aku berhasil mencatat
sebagian besar isi puisi tersebut. Saat Fazyl menanyakan kepadaku apa yang
mungkin membuat Necip terlompat kaget saat mendengar Ka membacakan puisinya, dan
apa yang mungkin telah dikatakan oleh Necip, aku menyerahkan kepadanya kertas
tempatku mencatat sebanyak mungkin puisi itu berdasarkan apa yang bisa kudengar.
Ketika tiba di bagian para prajurit menembakkan senjata ke arah penonton, kami
menyaksikannya dua kali. "Bapak sudah mengunjungi banyak tempat di Kars," kata Fazyl, "tapi ada satu
tempat lagi yang saya ingin tunjukkan kepada Bapak." Dengan malu-malu, namun
juga dengan aura misterius, dia mengatakan kepadaku bahwa tempat yang ada dalam
pikirannya adalah madrasah aliah. Sekolah itu sendiri telah ditutup, namun
karena aku mungkin akan menyebutkan tentang Necip di bukuku, penting bagiku
untuk melihat asrama tempatnya tahuntahun terakhir kehidupannya.
Ketika kami berjalan menembus hujan salju melewati Jalan Ahmet Muhtar sang
Penakluk, aku secara tidak sengaja melihat seekor anjing berbulu hitam, dan saat
menyadari bahwa itulah anjing yang ditulis Ka dalam puisinya, aku memasuki toko
bahan makanan untuk membeli sebutir telur rebus dan roti. Anjing itu mengibas-
ngibaskan ekornya dengan senang saat aku mengupas telur rebus itu untuknya.
Saat melihat anjing itu mengikuti kami, Fazyl berkata, "Itu anjing stasiun. Saya
tadi tidak mengatakan semuanya kepada Bapak, mungkin karena saya berpikir Bapak
akan menolak ajakan saya. Asrama tua itu tidak ber-penghuni lagi. Setelah
kudeta, mereka menutupnya mereka menyebutnya sebagai sarang teroris dan pusat
pelatihan militan reaksioner. Sejak saat itu, tidak seorang pun tinggal di sana,
dan karena itulah saya meminjam senter ini dari kantor," dia menambahkan,
menyorotkan cahaya ke mata gelisah si anjing, yang masih mengibas-ngibaskan
ekornya. Sebelum digunakan sebagai asrama, bangunan Armenia tua itu pernah digunakan
sebagai konsulat Rusia, tempat sang konsul tinggal sendirian bersama anjingnya.
Pintu menuju kebun terkunci, namun Fazyl memegangi tanganku dan menolongku
melompati pagar pendek yang mengelilingi bangunan itu. "Dengan cara inilah kami
biasanya keluar pada malam hari," katanya. Dia menyorotkan senternya ke sebuah
jendela besar dan tinggi. Setelah menyelinap memasuki jendela tanpa kaca itu
dengan mulus, dia berbalik untuk menerangi jalanku dengan senter. "Jangan
takut," katanya, "tidak ada apa-apa selain burung di sini." Di dalam, keadaan
gelap gulita: sebagian besar jendela di sana ditutup menggunakan papan, dan
kaca-kaca yang masih tersisa di beberapa jendela berlapis es dan kotoran tebal,
sehingga tidak ada cahaya yang bisa menembusnya, namun Fazyl berhasil menemukan
anak tangga dengan mudah. Dia menaiki tangga tanpa sedikit pun keraguan, namun
berulang kali menoleh, bagaikan seorang pemeriksa tiket di bioskop, untuk
menunjukkan jalan kepadaku. Seluruh tempat itu menguarkan aroma debu dan lumut.
Kami memasuki pintu-pintu yang pernah ditendangi pada malam razia dan melewati
tembok-tembok yang dipenuhi lubang peluru; di atas
kepala kami, burung-burung merpati beterbangan dengan panik dari sarang yang
mereka buat di siku-siku pipa air panas di setiap sudut langit-langit tinggi di
lantai atas, tempat kami berjalan di antara ranjang-ranjang bertingkat yang
kosong dan berkarat. "Ini tempat tidur saya, dan itu tempat tidur Necip," kata
Fazyl. "Beberapa kali, untuk memastikan tidak seorang pun terbangun akibat
bisikan kami, kami tidur di ranjang yang sama, berbicara sambil memandang
bintang-bintang." Melalui sebuah celah di salah satu jendela lantai atas, kami dapat melihat
kepingankepingan salju berayun pelan menembus cahaya lampu-lampu jalanan. Aku
berdiri di sana, memberikan perhatian penuh, penghormatan yang terdalam.
"Necip suka memandang bintang-bintang dari ranjangnya," kata Fazyl kemudian. Dia
menunjuk sebuah celah sempit di antara dua bangunan: di sebelah kiri tepat di
dekat kebun adalah tembol samping Bank Pertanian; di sebelah kanan adalah sebuah
bangunan apartemen tinggi. Jarak dua meter di antara kedua bangunan itu terlalu
sempit untuk digunakan sebagai jalan, sehingga lebih tepat jika disebut gang.
Lampu neon di lantai pertama menyorotkan cahaya ungu ke tanah becek di bawahnya.
Untuk mencegah orang-orang mengira gang itu sebagai seruas jalan, sebuah tanda
"Dilarang Masuk" dipasang di dinding. Di ujung gang tersebut, yang kata Fazyl
telah menjadi inspirasi bagi bayangan Necip akan "ujung dunia", terdapat
sebatang pohon yang tampak gelap dan tak berdaun. Saat kami memandangnya, pohon
itu tiba-tiba berubah warna menjadi merah, seolaholah terbakar. "Cahaya merah
itu berasal dari lampu di Studio Foto Istana Cahaya yang sudah rusak selama
tujuh tahun terakhir,"
bisik Fazyl. "Lampu itu selalu berkedip-kedip, dan setiap kali kami melihatnya
dari ranjang Necip, pohon oleander di sana tampak seperti sedang terbakar. Necip
sering memimpikan pemandangan ini sepanjang malam. Dia menyebut bayangannya ini
sebagai 'dunia itu', dan pada pagi hari setelah begadang semalaman, kadangkadang
dia mengatakan, 'Aku melihat dunia itu sepanjang malam.' Dia pernah menceritakan
hal ini kepada Ka, dan sahabat Bapak itu memasukkannya ke dalam puisinya. Saya
baru menyadarinya ketika kita menonton rekaman itu, dan karena itulah saya
mengajak Bapak kemari. Tapi, sahabat Bapak menghina Necip dengan menjuduli
puisinya 'Tempat di Mana Tuhan Tiada.'"
"Temanmu sendirilah yang menggambarkan pemandangan ini kepada Ka dan menyebutnya
'tempat di mana Tuhan tiada'," ujarku. "Aku yakin tentang hal ini."
"Saya tidak percaya Necip meninggal sebagai seorang ateis," ujar Fazyl dengan
hati-hati. "Kecuali bahwa, memang benar, dia memiliki keraguan tentang dirinya."
"Apakah kau sudah tidak mendengar suara Necip di dalam dirimu?" tanyaku. "Apakah
ini tidak membuatmu takut dirimu akan berangsur-angsur menjadi ateis hingga kau
sendiri tidak menyadarinya, seperti pria di dalam cerita itu?"
Fazyl tampak kesal karena mengetahui bahwa aku tahu tentang keraguan yang
diungkapkannya kepada Ka empat tahun sebelumnya. "Sekarang saya sudah menikah,
dan saya punya seorang anak," katanya. "Saya tidak tertarik lagi dengan hal-hal
semacam itu." Tentu Fazyl menyadari bahwa dia telah memperlakukanku seperti
seseorang yang baru saja terbang dari Barat untuk memikatnya dengan paham
ateisme, karena dia langsung
tampak malu. "Lebih baik kita membicarakannya nanti saja," katanya dengan
lembut. "Kita ditunggu di rumah ayah mertua saya untuk makan malam, dan lebih
baik kita tidak membuat mereka menunggu."
Tetapi, sebelum kami turun, dia membawaku ke sebuah ruangan mewah yang pernah
dijadikan kantor utama konsulat Rusia. Menunjuk ke meja, kursi-kursi, dan
pecahan botol-botol raki di pojok ruangan, dia mengatakan, "Setelah jalan-jalan
dibuka, Z Demirkol dan tim operasi khususnya tinggal di sini selama beberapa
hari supaya mereka masih sempat membunuh beberapa orang Islamis dan nasionalis
Kurdi." Hingga saat itu, aku berhasil menjauhkan bagian cerita yang ini dari benakku,
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
namun sekarang hal itu menerpaku dengan penuh kekuatan. Aku sama sekali tidak
ingin memikirkan apa yang dilakukan oleh Ka pada jamjam terakhirnya di Kars.
Anjing hitam itu menunggu kami di gerbang kebun dan mengikuti kami ke hotel.
"Bapak kelihatannya sangat sedih," kata Fazyl. "Apakah ada yang salah?"
"Sebelum kita makan, maukah kau naik ke kamarku sebentar" Ada sesuatu yang ingin
kuberikan kepadamu."
Ketika menerima kunciku dari Cavit, aku melihat melalui pintu kantor Turgut Bey
yang terbuka dan melihat ruangan terang di sebelahnya, melihat makanan yang
terhidang di meja. mendengar para tamu mengobrol, dan merasakan kehadiran Ypek.
Di koperku, aku menyimpan hasil fotokopi surat-surat cinta yang ditulis Necip
untuk Kadife bertahuntahun sebelumnya, dan, saat kami tiba di kamarku, aku
memberikannya kepada Fazyl. Lama kemudian, baru terpikir olehku bahwa aku ingin
Fazyl juga dihantui oleh sahabatnya, sama seperti aku yang dihantui oleh Ka.
Fazyl duduk di tepi ranjang untuk membaca surat-surat itu, sementara aku kembali
membongkar koperku untuk mengambil salah satu buku catatan Ka. Membukanya di
bagian gambar kepingan salju yang pertama kali kudapatkan di Frankfurt, aku
melihat sesuatu yang tentunya telah disadari oleh sebagian dari diriku lama
sebelumnya. Ka menempatkan "Tempat di Mana Tuhan Tiada" di puncak bagian kiri
pucuk "Kenangan". Ini menunjukkan kepadaku bahwa dia pernah berada di asrama
terbengkalai yang digunakan oleh Z Demirkol dan kawan-kawannya sebagai markas di
pengujung kudeta, bahwa dia pernah memandang melalui jendela Necip dan
mendapati, tepat sebelum dia meninggalkan Kars, tentang asal muasal pemandangan
Necip yang sesungguhnya. Semua puisi lain di pucuk "Kenangan" mengacu pada masa
kecilnya, atau pada kenangan-kenangannya tentang Kars. Jadi, sekarang aku juga
telah meyakini kebenaran cerita yang diyakini kebenarannya oleh seluruh penduduk
Kars: setelah Ka gagal membujuk Kadife untuk meninggalkan drama, dan sementara
Ypek terkunci di dalam kamar hotelnya, Ka mengunjungi Z Demirkol di markas
barunya, tempat pria itu menunggu Ka membocorkan tempat persembunyian Lazuardi.
Dan aku yakin bahwa diriku tampak sebingung Fazyl ketika itu. Suara-suara para
tamu di ruang makan terdengar samar-samar menaiki tangga; desahan sedih Kota
Kars terbawa angin dari jalanan. Aku dan Fazil tenggelam dalam kenangan kami
masing-masing, dan kami tunduk pada intisari diri kami yang keberadaannya tidak
terbantahkan lagi, yang lebih rumit dan penuh hasrat.
Menatap hujan salju di luar jendela, aku mengatakan kepada Fazyl bahwa hari
telah malam: kami harus turun untuk makan malam. Fazyl keluar terlebih dahulu,
berwajah murung dan berjalan dengan langkah-langkah panjang, seolaholah dirinya
baru saja berbuat jahat. Aku berbaring di ranjang dan membayangkan apa yang
dipikirkan Ka saat dia berjalan keluar dari Teater Nasional menuju asrama;
bagaimana dia tentu berusaha keras menatap mata Z Demirkol; bagaimana, karena
mereka tidak mengetahui alamat pasti tempat persembunyian Lazuardi, dia tentu
menumpang mobil yang sama dengan mereka untuk menunjukkan jalan. Dan, kesedihan
sebesar apakah yang kurasakan saat membayangkan sahabatku menunjuk bangunan di
kejauhan itu" Atau, apakah perasaanku jauh lebih buruk daripada kesedihan"
Mungkinkah si "penulis pegawai" secara diamdiam menertawakan kejatuhan sang
penyair sejati" Pikiran ini membuatku membenci diriku sendiri, sehingga aku
memaksakan diri untuk memikirkan hal lain.
Ketika turun untuk bergabung dengan Turgut Bey dan tamu-tamu lainnya, aku masih
terpesona pada kecantikan Ypek. Recai Bey, direktur perusahaan telepon yang
berpendidikan dan berwawasan luas, berusaha sebisa mungkin untuk mengangkat
semangatku, begitu pula Serdar Bey dan Turgut Bey. Tapi, izinkanlah aku untuk
melewatkan saja cerita tentang malam yang panjang ini, saat semua orang
memperlakukanku dengan penghormatan paling tulus dan aku terlalu banyak minum.
Setiap kali memandang Ypek yang duduk di hadapanku, aku merasakan sesuatu
terlepas di dalam diriku. Aku menyaksikan diriku diwawancarai di televisi;
melihat tanganku bergerak-gerak gugup sangat menyiksaku. Aku mengeluarkan
alat perekam kecil yang kubawa-bawa ke seluruh Kars untuk merekam pandangan para
tuan rumahku dan tamu mereka mengenai sejarah kota ini, nasib jurnalisme di
sini, dan peristiwa malam revolusi. Aku melakukan semua tugasku, namun tanpa
semangat, seperti seseorang yang tidak lagi memiliki keyakinan akan
pekerjaannya. Sambil menghirup sup lentil buatan Zahide, aku mulai membayangkan
diriku sebagai seorang tokoh dalam novel kampungan dari tahun 1940-an. Aku
menyimpulkan bahwa penjara memberikan dampak yang baik bagi Kadife; dia lebih
dewasa sekarang, lebih percaya diri. Tidak seorang pun menyebut-nyebut Ka bahkan
tentang kematiannya dan ini menghancurkan hatiku. Kemudian, Ypek dan Kadife
memasuki ruangan kecil di sebelah, tempat Omercan tidur. Aku ingin mengikuti
mereka, namun ketika itu penulismu ini telah "sangat mabuk, seperti yang selalu
dilakukan para seniman"; aku terlalu mabuk untuk sekadar berdiri.
Tetapi, aku masih memiliki ingatan yang jelas tentang malam itu. Setelah malam
sangat larut, aku mengatakan kepada Ypek bahwa aku ingin melihat kamar Ka, nomor
203. Semua orang di meja terdiam dan berpaling memandang kami.
"Baiklah," kata Ypek. "Mari kita ke sana."
Dia mengambil kunci dari meja resepsionis. Aku mengikutinya ke atas. Kamar itu.
Jendela itu, tirai itu, salju itu. Aura kamar tidur, aroma sabun, bau debu
samar-samar. Udara yang dingin. Disaksikan oleh Ypek, yang tampaknya masih mau
mendengarku meskipun tidak sepenuhnya memercayaiku, aku duduk di tepi ranjang
tempat sahabatku melewatkan saat-saat terbahagianya untuk bercinta dengan wanita
yang sama. Bagaimanakah jika aku meninggal di sini" Bagaimanakah jika aku
menyatakan cintaku kepada Ypek" Bagaimanakah jika aku diam saja di sini dan memandang ke
luar jendela" Mereka semua menanti kami: ya, mereka semua menanti kami di meja
makan di bawah. Aku menggumamkan sedikit omong kosong yang berhasil membuat Ypek
tersenyum. Aku ingat dia memberiku senyuman manis saat aku merentetkan katakata
memalukan yang menurutku telah kupikirkan sebelumnya:
"TakadayangTakadayangmembuatmubaha-giadalamcintakecualicinta ...
bukanbukuyangkautulisatau-kotayangkaulihat ... akusangatkesepian ... kalauaku-
mengatakanbahwaakuingintinggaldikotainidideka muhing-
gaakhirhayatkuapakahkaumemercayaiku?"
"Orhan Bey," kata Ypek. "Aku berusaha keras untuk bisa mencintai Muhtar, tapi
hubungan kami gagal. Aku mencintai Lazuardi dengan sepenuh hatiku, tapi hubungan
kami gagal. Aku yakin bahwa aku akan bisa mencintai Ka, tapi hubungan kami juga
gagal. Aku mendambakan seorang anak, tapi aku tidak pernah mendapatkannya.
Kurasa, aku tidak akan pernah mencintai siapa pun lagi; aku tidak punya
keberanian untuk itu. Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah merawat keponakan
kecilku, Omercan. Tapi, aku tetap ingin berterima kasih kepadamu meskipun aku
tidak bisa menganggapmu serius."
Untuk pertama kalinya di hadapanku, dia tidak mengatakan "sahabatmu". Dia
menyebutkan nama Ka, dan untuk ini, aku sangat berterima kasih kepadanya.
Bisakah kita bertemu lagi, besok siang, di Toko Kue Hidup Baru, hanya untuk
sedikit lagi membicarakan tentang Ka"
Dia meminta maaf karena dia akan sangat sibuk besok. Tetapi, masih bertekad akan
menjadi nona rumah yang baik, dia berjanji bahwa dirinya dan seluruh keluarganya
akan mengantarku ke stasiun besok malam.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan kemudian mengakui bahwa aku sudah
tidak memiliki kekuatan untuk kembali ke meja makan (aku juga takut akan
menangis), sehingga aku pun menjatuhkan diri ke ranjang dan tertidur pulas.
Keesokan paginya, aku berhasil keluar dari hotel tanpa terlihat oleh orang lain
dan menghabiskan hari itu untuk berjalan-jalan di sekeliling kota, pertama
bersama Muhtar dan kemudian bersama Serdar Bey dan Fazyl. Seperti yang
kuharapkan, penampilanku di berita malam akan membuat orang-orang lebih santai
saat berbicara denganku, sehingga aku akan bisa mengumpulkan banyak detail-
detail penting untuk menjelaskan akhir dari kisahku. Muhtar memperkenalkanku
kepada pemilik Tombak, surat kabar Islamis politis pertama di Kars (oplah: tujuh
puluh lima). Aku juga berjumpa dengan pensiunan apoteker yang menjadi editor
surat kabar itu, meskipun dia agak terlambat menghadiri pertemuan kami. Kedua
pria itu mengatakan kepadaku bahwa tindakan antidemokrasi yang diterapkan pada
surat kabar mereka menjadikan gerakan Islamis di Kars terhenti, dan bahkan
permohonan akan dibukanya kembali madrasah aliah yang sempat marak pun lama-
kelamaan menghilang. Baru setelah mereka berhenti berbicara, aku teringat
bagaimana Fazyl dan Necip pernah berencana untuk membunuh apoteker uzur ini
setelah dia mencium Necip dua kali dengan cara aneh. Pemilik hotel yang
melaporkan tamu-tamunya kepada Sunay Zaim sekarang menulis untuk Tombak, dan
saat kami membelokkan diskusi pada peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi,
dia mengungkapkan betapa bersyukurnya dia karena pria yang membunuh direktur
Institut Pendidikan empat tahun sebelumnya tidak berasal
dari Kars, sebuah detail yang entah bagaimana kulupakan. Pembunuh itu, katanya,
adalah seorang pemilik kedai teh dari Tokat. Telah terbukti bahwa dia melakukan
pembunuhan lain pada sekitar waktu itu menggunakan senjata yang sama. Ketika
laporan balistik datang dari Ankara, pria dari Tokat itu dituntut dengan tuduhan
pembunuhan, dan dia mengakui bahwa dia datang ke Kars karena Lazuardi
mengundangnya. Catatan mengenai pengadilannya menyebutkan bahwa pria itu
menderita gangguan mental, sehingga hakim mengirimnya ke Rumah Sakit Jiwa Bakir-
kby, dan ketika mereka melepaskannya tiga tahun kemudian, dia memutuskan untuk
menetap di Istanbul, tempatnya mengelola Kedai Teh Tokat Ceria dan menulis kolom
tentang hak-hak sipil gadis berjilbab di Sabda.
Gerakan gadis berjilbab telah jauh mereda sejak empat tahun silam, setelah
Kadife mencopot jilbabnya. Meskipun sekarang telah menunjukkan tanda-tanda
kebangkitan, sejumlah besar gadis yang terlibat dalam kasus-kasus hukum
dikeluarkan dari sekolah, dan sejumlah besar gadis lainnya pindah ke universitas
lain, tempat gerakan Kars tidak terlalu digembar-gemborkan seperti di Istanbul.
Keluarga Hande tidak bersedia menemuiku.
Petugas pemadam kebakaran bersuara bariton yang diseret ke stasiun televisi pada
pagi hari setelag revolusi untuk menyanyikan lagu-lagu daerah Turki ternyata
disukai masyarakat, sehingga sekarang dia menjadi bintang dari acara mingguannya
di Kars Border Television, Lagu-Lagu Perbatasan Turki. Mereka merekamnya setiap
Selasa malam dan menayangkannya setiap Jumat malam; penjaga malam Rumah Sakit
Kars yang mencintai musik (seorang teman dekat dan pengikut paling setia Yang
Mulia Syekh Saadettin) menemaninya dalam segmen irama saz.
Serdar Bey, sang jurnalis, juga memperkenalkanku kepada "si Kaca Mata", bocah
laki-laki yang muncul di panggung pada malam revolusi. Anak itu, yang dilarang
oleh ayahnya untuk naik panggung lagi, bahkan dalam sandiwara sekolah sekalipun,
sekarang telah menjadi pria dewasa, namun dia masih bekerja sebagai pengedar
surat kabar. Dia menceritakan kepadaku tentang para sosialis Kars yang
menggantungkan diri pada koran-koran Istanbul untuk mendapatkan berita terbaru.
Mereka masih mengagumi Islamis dan nasionalis Kurdi yang siap sedia mengorbankan
kehidupan mereka untuk menentang negara, dan mereka kadangkadang melontarkan
pernyataan berbelit-belit yang tidak diabaikan oleh para pembaca. Akhir-akhir
ini, aktivitas mereka hanyalah duduk-duduk dan menggembar-gemborkan tentang
betapa heroiknya mereka dan pengorbanan yang mereka lakukan semasa muda.
Sepertinya, hampir semua orang yang kutemui saat aku berjalan-jalan di seputar
Kars sedang menanti datangnya seorang pahlawan, seseorang yang siap melakukan
pengorbanan besar dan akan mengentaskan mereka dari kemiskinan, kekurangan
lapangan kerja, kebingungan, dan pembunuhan. Mungkin karena aku adalah seorang
penulis novel yang memiliki reputasi tertentu, seluruh kota, sepertinya,
berharap aku akan menjadi tokoh besar yang mereka nanti-nantikan. Sayang sekali,
aku mengecewakan mereka dengan kebiasaan-kebiasaan buruk khas Istanbul yang
melekat pada diriku, pikiranku yang senantiasa melayang ke mana-mana dan
kekikukanku, kecong-kakanku, obsesiku terhadap proyek yang sedang kukerjakan,
dan keterburu-buruanku. Yang lebih menyentuh adalah, mereka membiarkan aku tahu.
Ada Maruf si penjahit, yang, setelah menceritakan kepadaku kisah hidupnya di
Kedai Teh Persatuan, mengatakan bahwa aku harus mau mengunjungi rumahnya untuk
menemui para keponakannya dan minum bersama mereka. Aku juga diminta untuk
tinggal dua hari lebih lama supaya dapat menghadiri konferensi Pemuda Atatiirk
pada Kamis malam. Aku diminta mengisap setiap batang rokok dan meminum setiap
gelas teh yang ditawarkan kepadaku dengan semangat persahabatan (aku nyaris
selalu melakukannya!) Ayah Fazyl memiliki teman tentara dari Varto yang
memberitahuku bahwa selama empat tahun terakhir, sebagian besar militan Kurdi
telah terbunuh atau dijebloskan ke penjara; tidak ada lagi seorang pun yang
bersedia menjadi gerilyawan. Sementara itu, semua pemuda Kurdi yang menghadiri
pertemuan di Hotel Asia telah meninggalkan kota, meskipun dalam acara sabung
ayam pada Minggu malam aku melihat cucu Zahide yang gemar berjudi, yang
menyapaku dengan ramah dan memberiku raki, yang kami tenggak menggunakan gelas
teh. Malam telah larut, dan aku kembali ke hotel, berjalan perlahan-lahan menembus
salju bagaikan seorang petualang yang tidak memiliki seorang teman pun di dunia,
seseorang yang dibebani kesedihan. Aku masih punya banyak waktu sebelum keretaku
berangkat, namun aku berharap dapat pergi tanpa dilihat oleh siapa pun, sehingga
aku langsung naik ke kamarku untuk berkemas-kemas. Saat hendak keluar dari pintu
dapur, aku melihat Saffet sang detektif. Dia telah pensiun dari pekerjaannya
namun masih datang setiap malam untuk menikmati sup lentil Zahide. Dia langsung
mengenaliku dari wawancara televisiku, dan dia meminta izin untuk menyampaikan
sesuatu kepadaku. Ketika berada di Kedai Teh Persatuan, dia mengatakan kepadaku
bahwa meskipun secara resmi dia telah
pensiun, sebenarnya dia masih bekerja secara tidak resmi untuk negara lagi pula,
tidak ada yang namanya pensiun bagi seorang detektif di Kars. Dia ditugaskan
karena agen intelijen kota ingin mengetahui apa yang sedang kugali di sini.
(Apakah ini ada hubungannya dengan "masalah Armenia", pemberontakan Kurdi,
asosiasi agama, ataukah partai politik") Sambil tersenyum tulus, dia menambahkan
bahwa jika aku mau memberitahukan urusanku yang sesungguhnya kepadanya, maka aku
akan menolongnya mendapatkan sedikit tambahan penghasilan.
Memilih kata-kataku dengan berhati-hati, aku mengatakan kepadanya tentang Ka;
aku mengingatkan bahwa dia pernah mengikuti setiap langkah sahabatku selama
kunjungannya di kota ini empat tahun silam. Dan, aku menanyakan apa yang diingat
oleh Saffet tentangnya. "Dia seorang pria yang peduli pada orang lain, dan dia juga menyukai anjing
seorang pria baik," katanya. "Tapi, pikirannya masih berada di Jerman, dan dia
sangat tertutup. Tidak seorang pun di sini menyukai Ka ketika itu."
Untuk waktu yang lama, kami terdiam. Berharap dia mengetahui sesuatu, meskipun
masih berusaha menutup-nutupinya, aku menanyakan kepadanya tentang Lazuardi, dan
mendapati bahwa setahun yang lalu sama seperti aku yang berada di sini untuk
bertanya tentang Ka beberapa orang pemuda Islamis datang dari Istanbul untuk
bertanya tentang Lazuardi, sang musuh negara. Mereka pergi tanpa berhasil
menemukan kuburan pria itu, mungkin karena mayatnya dibuang ke laut dari sebuah
pesawat terbang, untuk mencegah kuburannya menjadi objek wisata ziarah.
Ketika Fazyl datang dan bergabung dengan kami, dia
mengatakan bahwa dirinya pernah mendengar cerita yang sama. Dia mendengar bahwa
para pemuda Islamis itu melakukan napak tilas jejak Lazuardi dalam rangka
perjalanan "ziarah". Mereka melarikan diri ke Jerman, menemukan sebuah kelompok
Islamis yang sedang berkembang pesat di Berlin, dan, menurut mantan teman
sekelas Fazyl di madrasah aliah, menulis sebuah pernyataan yang dimuat di
halaman pertama sebuah jurnal berbasis Jerman yang bertajuk Ziarah yang berisi
sumpah untuk membalas dendam kepada siapa pun yang bertanggung jawab terhadap
kematian Lazuardi. Kelompok inilah, kami menduga, yang membunuh Ka. Jadi,
mungkin satu-satunya manuskrip buku Ka sekarang ada di Berlin, di tangan para
Peziarah Lazuardi. Setidaknya, itulah yang kubayangkan sambil memandang hamparan
salju di luar. Ketika itu, seorang polisi lain bergabung dengan kami untuk mengatakan kepadaku
bahwa semua gosip tentangnya tidak benar. "Mata saya bahkan tidak abu-abu," dia
bersikeras, meskipun dia tidak pernah memahami mengapa itu dijadikan alasan oleh
Teslime untuk tidak mau dinikahinya. Dia mencintai Teslime dengan segenap
perasaannya, dan jika gadis itu tidak bunuh diri, mereka tentu akan menikah.
Ketika itulah aku teringat akan sesuatu yang tertulis di buku catatan Ka,
tentang kejadian empat tahun silam, saat Saffet menyita kartu pelajar Fazyl di
perpustakaan umum. Baru terpikir olehku bahwa baik Saffet maupun Fazyl telah
melupakan urusan itu. Saat aku dan Fazyl kembali ke jalan yang berselimut salju, kedua polisi itu
menyertai kami entah karena semangat persahabatan atau karena rasa penasaran
profesional, aku tidak bisa memastikannya dan, sambil berjalan, mereka berbicara
secara blak-blakan tentang kehidupan
mereka, kehampaan hidup secara umum, kepedihan cinta, dan jalannya usia.
Keduanya tidak mengenakan topi, dan kepingankepingan salju yang mendarat di
rambut putih mereka yang telah menipis tak kunjung mencair. Saat aku menanyakan
apakah kota itu sekarang lebih miskin atau lebih sepi daripada empat tahun
sebelumnya, Fazyl mengatakan bahwa semua orang lebih sering menonton televisi
selama beberapa tahun terakhir, dan bahwa, daripada menghabiskan hari-hari
mereka untuk duduk-duduk di kedai teh, para pengangguran saat ini lebih suka
duduk-duduk di rumah, menyaksikan film-film gratis yang disiarkan dari seluruh
dunia dengan bantuan satelit. Semua orang di kota ini berhemat dan menabung
untuk membeli antena parabola putih yang sekarang terpasang di pinggiran jendela
setiap rumah. Ini, katanya, adalah satu-satunya kemajuan di kota mereka.
Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami singgah di Toko Kue Hidup Baru, tempat masing-masing dari kami membeli roti
isi kacang lezat, sama seperti yang disantap oleh direktur Institut Pendidikan
sebelum nyawanya melayang: roti itu menjadi makan malam kami. Setelah memastikan
bahwa kami akan langsung menuju stasiun, kedua polisi itu mengucapkan selamat
jalan, dan, saat aku dan Fazyl berjalan melewati toko-toko yang telah tutup,
kedaikedai teh yang kosong, rumah-rumah Armenia yang terbengkalai, dan lampu-
lampu neon yang bersinar terang di jendelajendela toko, aku berulang kali
menatap cabang-cabang pohon kenari dan poplar yang tertimbun salju dan mendapat
sorotan lampu neon. Kami melewati jalan kecil setelah yakin bahwa kedua polisi
itu tidak mengikuti kami. Hujan salju, yang telah menunjukkan tanda-tanda akan
mereda, sekarang justru turun semakin lebat. Mungkin karena
kesunyian jalanan, atau karena kepedihan yang kurasakan akibat meninggalkan
Kars, namun aku mulai merasa bersalah, seolaholah entah bagaimana, aku
meninggalkan Fazyl dalam kehidupan sepi di kota sunyi ini. Es menggantung dari
cabang-cabang dua batang pohon oleander yang saling bertaut menyerupai tirai
renda. Di tengah-tengah timbunan es, aku melihat seekor burung gereja
mengepakkan sayap; ia terbang menembus kepingankepingan salju besar dan melewati
kami. Hamparan salju putih yang segar telah mengubur jalan-jalan kosong di Kars
dalam kesunyian yang begitu mendalam sehingga kami hanya dapat mendengar langkah
kaki dan tarikan napas kami sendiri. Semakin jauh kami berjalan, semakin berat
dan menggebu napas kami; toko-toko dan rumah-rumah bergeming sehening mimpi.
Aku berhenti sejenak di tengah jalan untuk menyaksikan sekeping salju jatuh
menembus malam menuju tempat pendaratan terakhirnya. Pada saat yang sama, Fazyl
menunjuk ke atas pintu masuk Kedai Teh Cahaya Suci, tempat sebuah poster
bertulisan samar-samar telah menempel di dinding selama empat tahun.
MANUSIA ADALAH MAHAKARYA CIPTAAN TUHAN DAN BUNUH DIRI ADALAH PENGHINAAN TERHADAP
TUHAN "Kedai teh ini terkenal di kalangan polisi, jadi tidak seorang pun berani
menyentuh poster itu," kata Fazyl.
"Apakah kau merasa dirimu adalah mahakarya ciptaan Tuhan?" tanyaku.
"Tidak. Necip seoranglah yang mahakarya ciptaan Tuhan. Sejak Tuhan mengambil
nyawanya, saya melepaskan kegelisahan saya tentang ateisme dan hasrat saya
untuk lebih mencintai Tuhan. Semoga Tuhan mengampuni saya."
Kepingankepingan salju sekarang jatuh begitu perlahan sehingga tampak seolaholah
membeku di langit, dan kami tidak berkata-kata lagi hingga tiba di stasiun.
Bangunan stasiun yang indah dan terbuat dari batu bangunan dari masa awal
republik, yang mungkin akan diingat oleh beberapa pembaca pernah disebutkan
dalam The Black Book tinggal kenangan sekarang. Keindahan itu digantikan oleh
bangunan semen besar yang serupa dengan bangunan-bangunan lainnya. Kami
mendapati Muhtar dan si anjing hitam menanti kami. Sepuluh menit sebelum kereta
dijadwalkan berangkat, Serdar Bey tiba membawa beberapa edisi lama Border City
Gazette yang menyebutkan tentang Ka. Sambil memberikan koran-koran itu kepadaku,
dia memintaku untuk tidak mengatakan keburukan tentang Kars dan masalah-
masalahnya, keadaan kotanya, ataupun orang-orangnya, saat aku menulis bukuku.
Saat Muhtar melihat Serdar Bey memberikan hadiahnya, dia dengan malu-malu,
nyaris dengan rasa bersalah, menyerahkan sebuah tas plastik kepadaku. Di
dalamnya terdapat sebotol kolonye, sebongkah kecil keju Kars yang termasyhur,
dan sebuah edisi bertanda tangan buku kumpulan puisi pertamanya, yang dicetak di
Erzurum. Aku membeli tiketku dan sebuah sandwich untuk anjing kecil yang disebutkan oleh
sahabatku di dalam puisinya. Binatang itu mengibas-ngibaskan ekor keritingnya
dengan senang saat ia menghampiriku, dan aku masih menyuapkan sandwich itu
padanya saat melihat Turgut Bey dan Kadife menghambur memasuki stasiun. Mereka
baru saja mendengar dari Zahide bahwa aku telah pergi.
Kami berbasa-basi sejenak tentang agen tiket, perjalanan, dan salju. Dengan
malu-malu, Turgut Bey merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah edisi baru Cinta
Pertama, novel karya Turgenev yang diterjemahkannya dari bahasa Prancis semasa
dia berada di penjara. Omercan duduk di pangkuan Kadife, dan aku membelai
rambutnya. Ibunya mengenakan jilbab anggun bergaya Istanbul, dan
kepingankepingan salju kecil berjatuhan dari pinggirannya. Tidak berani menatap
terlalu lama mata indah istri Fazyl, aku kembali memandang sang suami dan
menanyakan kepadanya apakah dia sudah tahu apa yang akan dikatakannya kepada
para pembacaku jika aku jadi menulis buku yang berseting di Kars.
"Tidak ada." Suaranya penuh ketegasan.
Saat melihat kekecewaanku, dia mengalah. "Saya memang telah memikirkan sesuatu,
tapi jika Bapak tidak suka ..." katanya. "Jika Bapak menulis sebuah buku yang
berseting di Kars dan memasukkan saya ke dalamnya, saya ingin meminta para
pembaca Bapak untuk tidak memercayai apa pun yang Bapak katakan tentang kami.
Tidak seorang pun akan dapat memahami kami dari jarak sejauh itu."
"Tapi, tidak seorang pun akan memercayai semua yang mereka baca dalam sebuah
novel," ujarku. "Oh, ya, mereka memercayainya," serunya. "Kalaupun hanya untuk menganggap diri
mereka bijaksana, unggul, dan manusiawi, mereka harus menganggap kami sebagai
orang-orang yang manis dan lucu, dan meyakinkan diri mereka bahwa mereka
bersimpati dengan keadaan kami dan bahkan mencintai kami. Tapi, jika Bapak
memasukkan ucapan saya tadi, setidaknya para pembaca Bapak akan menyimpan
sedikit keraguan di dalam benak
mereka." Aku berjanji akan memasukkan ucapannya ke dalam novelku.
Saat melihatku memandang gerbang stasiun, Kadife menghampiriku. "Kudengar kau
punya putri kecil cantik bernama RCiya," katanya. "Kakakku tidak akan datang,
tapi dia memintaku untuk menitipkan kepadamu salamnya untuk putrimu. Dan, aku
membawakan untukmu kenang-kenangan dari karier teaterku yang singkat." Dia
memberiku sebuah foto dirinya bersama Sunay Zaim di panggung Teater Nasional.
Kepala stasiun membunyikan peluitnya. Sepertinya hanya aku seoranglah penumpang
kereta api itu. Satu demi satu, aku memeluk mereka. Pada saat terakhir, Fazyl
menyerahkan sebuah tas plastik kepadaku; di dalamnya terdapat kopi dua buah
kaset video dan sebuah bolpoin yang pernah digunakan Necip.
Kereta mulai bergerak. Cukup sulit bagiku untuk melompat ke dalam kendaraan itu
dengan tangan membawa begitu banyak hadiah. Mereka semua berdiri dan melambaikan
tangan di peron, dan aku mencondongkan tubuh ke jendela untuk membalas lambaian
mereka. Pada saat terakhir itulah aku melihat si anjing hitam, menjulurkan lidah
merah jambunya. Ia berlari gembira mengiringi kereta di sisi peron. Mereka semua
menghilang dalam hujan salju yang lebat.
Aku duduk di dekat jendela dan memandang menembus hujan salju pada pendar cahaya
oranye dari rumah-rumah terakhir di lingkungan terakhir yang kulewati, pada
ruangan-ruangan kumuh yang dijejali penonton televisi. Saat menyaksikan atap-
atap berselimut salju terakhir dan asap tipis yang mengepul dari cerobong-
cerobong asap rusak, aku mulai menangis.
April 1999-December 2001 Tentang Penerjemah Berliani M. IMugrahani, lahir di Semarang, 16 Mei 1981, seorang sarjana Sastra
Inggris Universitas Padjadjaran. Pencinta buku sejak berusia kanakkanak yang
bercitacita punya toko sepatu ini pernah dua tahun menjadi editor tetap di salah
satu penerbit besar di Indonesia, dan saat ini lebih memilih berprofesi sebagai
pekerja buku independen. Karya terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain:
The Kite Runner (Khaled Hosseini, 2DD6), Neraka Guantanamo (Moazzam Begg, Mizan,
2DD7), The Hidden Face of Iran (Terence Ward, 2DD7). Karya penyuntingan antara
lain: To Kill A Mockingbird (Harper Lee, 2DD6), Pertarungan Jiwa Billy (Harper
Lee, 2DD6), Gelang Giok Naga (Leny Helena, 2006), Middlesex (Jeffrey EuO
genides, Serambi, 2007). Sengatan Satu Titik 4 Pendekar Mata Keranjang 8 Geger Para Iblis Cakar Maut 1