Pencarian

Kite Runner 7

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 7


Khan tidak cukup untuk menunjukkannya.
Anak itu memiliki wajah sebundar bulan seperti ayahnya, dagu mungilnya yang
mencuat, telinga kecilnya yang mirip cangkang kerang, dan tubuhnya
yang kurus. Wajah itu adalah wajah boneka Cina yang kuingat dari masa kecilku,
wajah yang mengintip dari balik deretan kartu selama hari-hari musim dingin,
wajah yang ada di balik kasa penahan nyamuk saat kami tertidur di atap rumah
ayahku pada hari-hari musim panas. Rambutnya tercukur bersih, garis matanya
dihitamkan dengan celak, dan pipinya berkilau dengan warna merah berlebihan.
Saat dia berdiri di tengah ruangan, lonceng yang diikatkan di pergelangan
kakinya berhenti berdenting.
Dia memandangku. Terus memandangku. Lalu dia mengalihkan tatapannya. Menunduk
pada kakinya yang telanjang.
Salah satu penjaga menekan tombol pada tape dan musik Pashtu pun segera mengalun
dalam ruangan itu. Tabla, harmonium, dan bunyi dilroba yang menyayat. Mungkin
musik tidak mengakibatkan dosa selama didengarkan oleh Taliban. Ketiga Talib itu
mulai bertepuk tangan. "Wah wah! Masya Allah!" mereka bersorak.
Sohrab mengangkat lengannya dan berbalik perlahan. Dia berjinjit, berputar
dengan luwes, menekuk lututnya, meluruskannya, dan kembali berputar. Dia
menggetar-getarkan kedua tangannya yang mungil, menjentik-jentikkan jarinya, dan
mengayun-ayunkan kepalanya seperti pendulum. Dia menghentak-hentak-kan kakinya
ke lantai sehingga gemerincing loncengnya meningkahi irama tabla dengan harmoni
sempurna. Dia tetap menutup matanya.
"Masya Allah!" mereka terus bersorak. "Shah-bas! Bravo!" Kedua penjaga itu
bersiul dan tertawa. Talib berbaju putih itu menggoyang-goyangkan kepalanya
mengikuti alunan musik, mulutnya sedikit terbuka.
Sohrab terus menari berputar-putar, terus menutup matanya, terus menari hingga
musik berhenti. Lonceng itu berdenting untuk terakhir kalinya saat dia
menghentakkan kakinya bersamaan dengan nada terakhir lagu itu. Tubuhnya terpaku
dalam pose setengah berputar.
"Bia, bia, anakku," Talib itu memanggil Sohrab. Anak itu menghampirinya,
kepalanya tertunduk, dan berdiri di hadapannya. Talib itu melingkarkan lengannya
pada Sohrab. "Dia sangat berbakat, ya kan, anak Hazaraku!" ujarnya. Tangannya
membelai-belai punggung Sohrab, menyelip ke ketiaknya. Salah satu penjaga
menyikut temannya sambil menyeringai. Talib itu menyuruh mereka untuk
meninggalkan kami. "Ya, Agha sahib," mereka berkata serentak sebelum keluar dari ruangan itu.
Talib itu memutar tubuh Sohrab sehingga dia meng-hadapku. Dia mengempitkan
lengannya di sekeliling perut anak itu, menempelkan dagunya di bahunya. Sohrab
terus menunduk, tapi sesekali dia mencuri pandang dengan malu-malu padaku.
Tangan Talib itu mengelus-elus perutnya. Naik dan turun, perlahan, lem-but.
"Aku penasaran," kata Talib itu, matanya yang semerah darah menatapku dari balik
bahu Sohrab. "Apa yang terjadi pada Babaiu tua?"
Pertanyaan itu menghantamku, bagaikan sebuah palu menghantam keningku. Kurasakan
wajahku memucat. Kakiku membeku. Lumpuh.
Tawanya meledak. "Apa yang kaupikirkan" Kau memakai janggut palsu dan aku tak
akan mengenalimu" Biar kuberitahu sesuatu tentang diriku yang, aku yakin, kau
tak pernah tahu: Aku tidak pernah melupakan wajah seseorang. Tidak pernah." Dia
menyapukan bibirnya di telinga Sohrab, tatapannya terus tertuju padaku.
"Kudengar ayahmu telah mati. Ck ck ck, dari dulu aku ingin menaklukkannya. Tapi
sepertinya aku cuma bisa berhadapan dengan anaknya yang lemah." Lalu dia melepas
kacamatanya dan menatapku tajam dengan mata birunya.
Aku ingin bernapas, namun aku tak bisa melakukannya. Aku ingin berkedip, namun
aku pun tak bisa melakukannya. Semua ini terasa begitu tak nyata tidak, bukan
tak nyata, absurd sehingga aku tak mampu lagi bernapas, sehingga dunia di
sekelilingku terasa membeku. Wajahku seperti terbakar. Ini benar-benar tidak ada
dalam pikiranku. Seperti kehidupan masa kecilku, semua selalu datang pada saat
yang tak pernah kuduga. Namanya menyeruak dari kedalaman benakku dan aku tak
ingin mengatakannya, karena seolah-olah, mengatakannya akan memunculkannya.
Tetapi dia berada di hadapanku, benar-benar nyata, berjarak kurang dari tiga
meter dariku, setelah berpuluh-puluh tahun. Lalu, nama itu mengalir keluar dari
bibirku: "Assef." "Amir jan."
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku. Aku tahu betapa bodohnya pertanyaanku
itu, namun aku tidak bisa menemukan ucapan lain yang bisa kukatakan.
"Aku?" Segaris alisnya terangkat. "Di sinilah tempatku. Pertanyaannya, apa yang
kaulakukan di sini?"
"Aku sudah mengatakannya padamu," jawabku. Suaraku bergetar. Aku tidak ingin
menunjukkan kepengecutanku, aku tidak ingin tampak mengerut di hadapannya.
"Anak ini?" "Ya." "Mengapa?" "Aku akan menebusnya," jawabku. "Aku akan mengirim uangnya ke sini."
"Uang?" tukas Assef. Tawanya melengking. "Kau pernah dengar tentang Rockingham"
Australia Barat, secuil surga. Kau harus melihatnya; pantai membentang sepanjang
bermil-mil. Lautnya hijau, langitnya biru. Orangtuaku tinggal di sana, di rumah
pantai. Ada lapangan golf dan danau kecil di belakang rumah mereka. Ayahku main
golf tiap hari. Ibuku, dia lebih suka main tenis-kata Ayah, pukulannya dahsyat.
Mereka punya satu restoran Afghan dan dua toko perhiasan; semuanya sukses." Dia
mencomot sebutir anggur. Menaruhnya, dengan penuh perhatian, di mulut Sohrab.
"Jadi, kalau aku butuh uang, aku meminta mereka mengirimkannya
untukku." Dia mencium leher Sohrab. Anak itu berjengit, lalu kembali menutup
matanya. "Lagipula, aku bertempur melawan Shorawi bukan karena uang. Aku
bergabung dengan Taliban juga bukan karena uang. Kau mau tahu alasanku yang
sesungguhnya?" Bibirku terasa begitu kering. Aku menjilatnya, namun lidahku pun kering.
"Kau haus?" Assef tersenyum mengejek. "Tidak."
"Menurutku kau haus."
"Aku tidak haus," tukasku. Nyatanya, ruangan itu tiba-tiba terlalu panas bagiku-
butiran-butiran keringat bermunculan dari pori-poriku, menggelitiki kulitku.
Benarkah ini terjadi" Benarkah aku duduk berhadapan dengan Assef"
"Terserah," katanya. "Hmm, sampai di mana ceritaku" Oh ya, mengapa aku bergabung
dengan Taliban. Yah, seperti yang kautahu, aku bukan tipe orang yang religius.
Tapi pada suatu hari, Tuhan menemuiku. Itu terjadi pada saat aku dipenjara. Kau
mendengarkan?" Aku tidak menjawabnya. "Bagus. Akan kuceritakan," katanya. "Aku pernah dipenjara, di Poleh-Charkhi,
beberapa saat setelah Babrak Karmal diangkat menjadi deputi perdana menteri pada
1980. Aku berakhir di tempat itu pada suatu malam, saat sepasukan prajurit
Parchami menyerbu rumah kami dan menodongkan senjata padaku dan ayahku,
memerintah kami untuk mengikuti mereka. Bajingan-bajingan itu tidak
memberikan alasan, dan mereka tidak mau menjawab pertanyaan ibuku. Tapi itu
bukan misteri lagi: semua orang tahu bahwa dalam komunisme, semua setara. Para
prajurit itu berasal dari keluarga-keluarga miskin tanpa nama. Anjing-anjing
yang sama, yang saat Shorawi belum berkuasa tidak pantas menjilati sepatuku,
sekarang menodongkan senjata padaku. Bendera Parchami tersemat di kerah baju
mereka, memamerkan kejayaan kecil mereka dalam menundukkan kaum borjuis. Mereka
bertingkah seolah-olah mereka punya kelas. Itu sudah biasa terjadi: Mereka
mengumpulkan orang-orang kaya, memasukkan mereka ke penjara, memamerkan prestasi
mereka pada para kamerad.
"Jadi, mereka membagi kami dalam kelompok enam orang dan menempatkan setiap
kelompok dalam sebuah sel yang hanya sebesar kulkas. Setiap malam, komandan
mereka-pria berdarah setengah Hazara setengah Uzbek yang baunya seperti keledai
busuk menyeret seorang tawanan keluar dari sel dan memukulinya hingga keringat
membasahi wajahnya yang penuh lemak. Lalu dia menyalakan sebatang rokok,
meregangkan badannya, dan pergi begitu saja. Malam berikutnya, dia memilih
tawanan yang lain. Suatu malam, dia memilihku. Dia benar-benar menjatuhkan
pilihannya pada saat yang tepat. Sudah tiga hari aku kencing darah. Batu ginjal.
Kalau kau belum pernah merasakannya, percaya saja padaku, sakitnya tak
terbayangkan. Ibuku juga pernah menderita
penyakit ini. Katanya, melahirkan pun tidak sesakit itu. Tapi, apa yang bisa
kulakukan" Mereka menyeretku ke luar dan komandan mereka mulai menendangiku. Dia
punya sepatu bot setinggi lutut bermoncong baja yang khusus dipakainya setiap
malam untuk menendangi tawanan, dan malam itu dia menggunakannya padaku. Aku
menjerit dan menjerit dan dia terus saja menendangiku. Lalu, tiba-tiba, dia
menendang perut bagian kiriku dan keluarlah batu itu. Begitu saja! Ah, lega
sekali!" Assef terbahak. "Dan aku pun berteriak 'Ai/ahu Akbar' dan dia
menendangku lebih keras lagi. Aku mulai terpingkal-pingkal. Itu membuatnya marah
dan memukulku lebih keras, dan semakin keras dia menendangiku, semakin keras aku
tertawa. Saat mereka kembali melemparkanku ke dalam sel, aku masih tertawa. Aku
terus terbahak-bahak karena tiba-tiba aku menyadari bahwa yang baru terjadi
adalah sebuah pesan dari Tuhan: Dia ada di sisi/cu. Dia menjaga nyawaku karena
suatu alasan. "Kau tahu, aku berhadapan dengan komandan itu di medan pertempuran beberapa
tahun setelannya memang aneh cara kerja Tuhan. Aku menemukan pria itu di luar
daerah Meymanah, darah terbuang dari tubuhnya gara-gara pecahan roket yang
menancap di dadanya. Dia masih memakai sepatu bot yang sama. Aku bertanya
padanya, apakah dia masih mengingatku. Dia bilang tidak. Aku mengatakan padanya
hal yang sama dengan yang kukatakan padamu. Aku tak pernah melupakan wajah
seseorang. Lalu aku menembak kemaluannya.
Sejak itu, aku menetapkan sebuah misi yang akan kujalani."
"Misi apa?" Aku mendengar diriku mengatakannya. "Merajam pezina" Melecehkan
anak-anak" Mencambuki wanita gara-gara memakai sepatu hak tinggi" Membantai kaum
Hazara" Semuanya atas nama Islam?" Rentetan kalimat itu mengalir dari mulutku
begitu saja dan tanpa kusangka, keluar saat aku belum sempat menarik tali
kekangku. Aku berharap bisa menariknya kembali. Menelannya lagi. Tapi kata-kata
itu telah keluar. Aku telah melanggar batas, dan secuil harapanku untuk keluar
dari tempat ini hidup-hidup telah musnah bersamaan dengan meluncurnya kata-kata
itu. Keterkejutan melintas di wajah Assef, sekilas, lalu menghilang. "Aku tahu ini
akan berakhir menyenangkan," katanya mencemooh. "Tapi ada hal-hal yang tak akan
bisa dipahami pengkhianat sepertimu."
"Apa itu?" Assef menautkan alisnya. "Seperti kebanggaan pada penduduk negerimu, adat
istiadatmu, bahasamu. Afghanistan bagaikan rumah indah yang diceceri sampah, dan
seseorang harus membersihkannya."
"Itukah yang kaulakukan di Mazar, dari pintu ke pintu" Membersihkan sampah?"
"Tepat." "Di Barat, mereka punya istilah untuk hal itu," ujarku. "Mereka menyebutnya
ethnic cleansing pembersihan etnis."
"Betulkah?" wajah Assef berseri. "Ethnic cleansing. Aku menyukainya. Aku suka
mendengar bunyinya."
"Aku hanya menginginkan anak itu," aku mengatakannya lagi. Sohrab melirikku.
Tatapannya adalah tatapan domba kurban. Juga celak di seputar matanya aku masih
ingat, pada hari Idul Kurban, mullah yang melakukan pekerjaannya di halaman
belakang rumah kami memulaskan celak di seputar mata domba dan memasukkan
sebongkah gula kubus ke mulut domba itu sebelum dia menyembelihnya. Ku-rasa aku
melihat permohonan yang tulus dalam matanya.
"Katakan padaku alasannya," tukas Assef. Dia menggigit telinga Sohrab dengan
lembut. Melepaskannya. Butiran keringat mengalir dari keningnya.
"Itu urusanku."
"Apa yang ingin kaulakukan dengannya?" katanya. Lalu dia tersenyum mencemooh.
"Atau padanya."
"Kau menjijikkan," sahutku.
"Memangnya kau tahu" Apa kau pernah mencobanya?"
"Aku ingin membawanya ke tempat yang lebih
baik." "Katakan padaku alasannya."
"Itu urusanku," tukasku. Aku tidak tahu apa yang telah memberiku keberanian
untuk bicara begitu ketus, mungkin kenyataan bahwa apa pun yang kulakukan, sudah
pasti aku akan mati. "Aku bertanya-tanya," ujar Assef. "Aku
bertanya-tanya, mengapa kau jauh-jauh datang kemari, Amir, jauh-jauh ke sini
hanya untuk seorang Hazara" Mengapa kau ada di sini" Apa alasanmu yang
sebenarnya?" "Aku punya alasanku sendiri," jawabku.
"Terserah kalau begitu," Assef memelototiku. Dia mendorong punggung Sohrab,
menghempaskan anak itu ke meja. Pinggul Sohrab membentur meja itu, mem-
balikkannya, menumpahkan sepiring anggur yang ada di atasnya. Tubuh kecil
Sohrab, didahului oleh wajahnya, menimpa butir-butir anggur itu. Bajunya bernoda
ungu. Kaki meja itu sekarang menghadap ke langit-langit.
"Bawa saja dia," ujar Assef. Aku membantu Sohrab berdiri, membersihkan sisa-sisa
anggur yang lumat tertimpa tubuhnya, yang menempel di celananya seperti remis
menempeli dermaga. "Sana, bawa dia," Assef menunjuk ke pintu.
Aku meraih tangan Sohrab. Tangan itu begitu kecil, kulitnya kering dan berkapal.
Dia menggerakkan jarinya, menautkannya ke tanganku. Aku melihat Sohrab yang ada
di foto Polaroid itu, yang melingkarkan lengannya ke kaki ayahnya. Mereka berdua
tersenyum. Lonceng di kaki Sohrab bergemerincing saat kami melintasi ruangan
itu. Kami hanya berjalan hingga ke pintu.
"Tentu saja," kata Assef dari balik punggung kami, "Aku tidak bilang kau bisa
membawanya dengan cuma-cuma."
Aku berpaling. "Apa maumu?"
"Kau harus membelinya."
"Apa maumu?" "Kita punya urusan yang belum terselesaikan, kau dan aku," ujarnya. "Kau ingat,
kan?" Dia tidak perlu khawatir. Aku tidak akan pernah melupakan hari setelah Daoud
Khan menggulingkan Sang Raja. Di sepanjang kehidupanku sebagai orang dewasa,
setiap kali aku mendengar nama Daoud Khan, yang kulihat adalah Hassan sedang
membidikkan katapelnya ke wajah Assef, Hassan sedang mengatakan pada Assef bahwa
orang-orang akan menjulukinya Assef Bermata Satu alih-alih Assef Goshkor. Aku
ingat betapa aku merasa iri terhadap keberanian Hassan. Assef melarikan diri
dari kami, bersumpah bahwa pada akhirnya, dia akan menaklukkan kami berdua.
Hassan telah menjadi korban dari sumpahnya. Sekarang giliranku tiba.
"Baiklah," ujarku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku tidak akan memohon
padanya; itu hanya akan membuatnya makin berjaya.
Assef memanggil para penjaga kembali. "Dengarkan aku," katanya pada mereka.
"Sebentar lagi, aku akan menutup pintu itu. Lalu, aku dan dia akan menyelesaikan
sedikit urusan dari masa lalu. Apa pun yang kalian dengar, jangan masuk ke sini!
Kalian mengerti" Jangan masuk ke sini!"
Mereka mengangguk. Menatap Assef, lalu menatapku. "Ya, Agha sahib."
"Setelah kami selesai, hanya salah satu dari kami yang akan keluar dari ruangan
ini hidup-hidup," ujar Assef. "Kalau dia yang keluar, berarti dia
pantas mendapatkan kebebasannya dan kalian harus membiarkan dia pergi,
mengerti?" Penjaga yang lebih tua menggerak-gerakkan kakiknya. "Tapi Agha sahib-"
"Kalau dia yang keluar, kalian membiarkannya!" Assef membentak mereka. Kedua
pria itu berjengit dan langsung menundukkan kepala. Mereka melangkah menuju
pintu. Salah satunya meraih Sohrab.
"Biarkan dia di sini," kata Assef. Dia menyeringai. "Biarkan dia menonton.
Pelajaran adalah hal yang berharga untuk anak laki-laki."
Para penjaga berlalu. Assef meletakkan tasbihnya. Meraih ke dalam saku rompi
hitamnya. Aku tidak terkejut sedikit pun melihat benda yang dikeluarkannya dari
sana: pelindung buku-jari baja.
Rambutnya tertata dengan gel dan kumis Clark Gable melintang di atas bibirnya
yang tebal. Gelnya membasahi topi operasi berwarna hijau yang dikenakannya,
menghasilkan noda gelap berbentuk benua Afrika. Itulah yang kuingat tentangnya.
Itu, dan bandul berbentuk kaligrafi Allah yang tergantung pada kalung yang
melingkari leher gelapnya. Dia menunduk menatapku, berkata dengan cepat dalam
bahasa yang tidak kupahami, Urdu, sepertinya. Tatapanku terus tertuju pada
jakunnya yang naik dan turun, naik dan turun, dan aku ingin menanyakan padanya
berapa umurnya dia tampak sangat muda, wajahnya mirip dengan seorang aktor dalam
opera sabun dari luar negeri
tapi yang terus menerus mengalir dari mulutku adalah, aku telah melawannya, aku
telah melawannya. Aku tidak tahu apakah aku telah melawan Assef dengan baik. Sepertinya tidak.
Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya" Saat itulah pertama kalinya aku melawan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang. Seumur hidupku, aku belum pernah melayangkan tinjuku pada orang lain.
Anehnya, ingatanku akan perkelahian dengan Assef tampak begitu nyata. Aku bisa
mengingat saat Assef menyalakan musik sebelum memasang pelindung buku-jarinya.
Entah kapan, selembar sajadah yang bergambar kota Makkah jatuh dari dinding dan
menimpa kepalaku; debu yang tertimbun di sana membuatku bersin. Aku ingat saat
Assef melumatkan butiran-butiran anggur ke mukaku, seringainya yang mengerikan,
matanya yang semerah darah. Entah kapan, serbannya terlepas, membebaskan rambut
pirang ikalnya yang sepanjang bahu.
Dan akhirnya, tentu saja. Aku masih bisa mengingatnya dengan sempurna. Aku akan
selalu mengingatnya. Terutama, yang kuingat adalah: Pelindung buku jarinya memantulkan cahaya sore
hari; rasanya dingin saat dia memukulku pertama kali dan hangat oleh darahku
pada pukulan selanjutnya. Saat dia menghempaskanku ke dinding, sebatang paku
yang dulunya mungkin digunakan untuk menggantung sesuatu menusuk punggungku.
Sohrab menjerit. Tabla, harmonium, dilroba. Aku tersungkur menabrak dinding. Pukulannya
menghancurkan rahangku. Aku tersedak oleh gigiku sendiri, menelannya, memikirkan
tentang betapa sia-sianya waktu yang kuhabiskan untuk menggosok gigiku dan
membersihkannya dengan benang gigi. Kembali terhempas ke dinding. Aku terbaring
di karpet, darah mengalir dari bibir atasku yang pecah, menodai warna ungu muda
karpet itu. Rasa sakit menusuk perutku, dan aku bertanya-tanya, apakah aku akan
bisa terus bernapas. Bunyi tulang rusukku yang patah menyerupai bunyi ranting
pohon yang patah, yang kugunakan untuk bermain pedang-pedangan dengan Hassan,
seperti Sinbad dalam film-film kuno. Sohrab menjerit. Bagian samping wajahku
membentur sudut meja televisi. Derakan tulang patah terdengar lagi, kali ini
dari bawah mata kiriku. Sohrab menjerit. Jari-jari menjambak rambutku,
mengangkat kepalaku, baja berkilauan. Sekaranglah saatnya. Bunyi tulang patah
terdengar lagi, kali ini dari hidungku. Aku menggigit bibir untuk menahan rasa
sakit, menyadari bahwa tidak ada lagi gigi yang bisa kugunakan untuk menggigit.
Dia menendangku. Sohrab menjerit.
Entah kapan, aku mulai tertawa. Aku tertawa. Saat tertawa, aku merasa kesakitan,
rahangku, rusukku, tenggorokanku. Tapi aku terus terpingkal-pingkal. Dan semakin
keras aku tertawa, semakin keras dia menendangku, menghantamku, mencakarku.
"APA YANG LUCU?" Assef terus mencecarku
setiap kali dia melayangkan serangan. Air liurnya mendarat di mataku. Sohrab
menjerit. "APA YANG LUCU?" Assef menuntut. Satu lagi tulang rusukku berderak, kali ini di
sebelah kiri bawah. Yang membuatku tertawa adalah, untuk pertama kalinya sejak
musim dingin 1975, aku merasakan kedamaian menyelimutiku. Aku tertawa karena aku
tahu bahwa, tersembunyi dalam sebuah ceruk di kedalaman benakku, aku terus
menunggu datangnya saat ini. Aku teringat saat aku berada di puncak bukit
bersama Hassan, saat aku melemparinya dengan buah delima dan berusaha memancing
kemarahannya. Dia hanya berdiri di hadapanku, diam, cairan merah seperti darah
membasahi bajunya. Lalu dia mengambil buah delima yang kupegang dan
melumatkannya di keningnya. Kau puas sekarang" desisnya. Kau merasa lebih baik"
Aku tidak merasa bahagia dan tidak merasa lebih baik, tidak sama sekali. Tapi
sekarang aku merasakannya. Tubuhku hancur lebur-seberapa hancur, aku belum tahu
tapi aku merasa tersembuhkan. Akhirnya aku sembuh. Dan aku pun tertawa.
Lalu akhir dari segalanya tiba. Kesembuhanku akan kubawa ke liang lahat.
Aku terbaring di lantai sembari tertawa, Assef menduduki dadaku, wajahnya
seperti wajah orang gila, rambut panjangnya terburai di dekat mukaku. Tangannya
yang kosong mencengkeram leherku. Tangannya yang lain, yang dipasangi pelindung
buku jari baja, bersiap meluncur dari atas bahunya. Dia menaikkan kepalannya
lebih tinggi, memper - siapkannya untuk serangan selanjutnya.
Lalu: "Bas." Suara yang ringan.
Kami berdua menatapnya. "Saya mohon, jangan teruskan."
Aku teringat akan perkataan direktur panti asuhan saat dia membuka pintu untukku
dan Farid. Siapa namanya" Zaman" Dia tidak bisa dipisahkan dari benda itu,
begitu katanya. Dia menyelipkannya di pinggang dan membawanya ke mana pun dia
pergi. "Jangan teruskan."
Airmata membasahi celaknya, melunturkannya, mengalirkan cairan hitam ke pipinya,
menodai warna pemerah pipinya. Bibir bawahnya bergetar. Ingus mengintip dari
hidungnya. "Bas," ujarnya parau.
Tangannya terpentang di belakang bahunya, menahan bantalan katapel pada tali
elastisnya yang ditarik sepanjang mungkin. Ada sesuatu di bantalan itu, sesuatu
yang kuning dan berkilauan. Aku mengedipkan mataku untuk menyingkirkan darah
yang menutupi pandanganku dan aku melihatnya. Benda itu adalah bola logam yang
tadinya terpasang di meja. Sohrab membidikkan katapelnya ke wajah Assef.
"Jangan teruskan, Agha. Saya mohon," katanya. Suaranya parau dan bergetar.
"Berhentilah menyakitinya."
Assef menggerakkan mulutnya tanpa suara. Dia bersiap mengatakan sesuatu, namun
mengurungkannya. "Kaupikir apa yang kaulakukan?" akhirnya dia berkata.
"Saya mohon, berhentilah," jawab Sohrab. Air mata membasahi mata hijaunya,
melarutkan celaknya. "Turunkan, Hazara," desis Assef. "Turunkan a-tau aku akan menghajarmu sampai kau
merasa yang kulakukan padanya hanyalah menjewernya dengan lem-but."
Tangisnya pecah. Sohrab menggelengkan kepalanya. "Saya mohon, Agha," katanya.
"Berhentilah." "Turunkan." "Jangan sakiti dia lagi."
"Turunkan." "Saya mohon." "TURUNKAN!" "Bas." "TURUNKAN!" Assef melepaskan cengkeramannya di leherku. Menerjang ke arah
Sohrab. Bunyi syuuuuut terdengar dari katapel itu saat Sohrab melepaskan bantalannya.
Lalu Assef melolong. Dia menangkupkan tangannya ke rongga yang beberapa saat
sebelumnya didiami mata kirinya. Darah mengalir melalui sela-sela jarinya. Darah
dan sesuatu yang lain, sesuatu yang kental dan berwarna putih. Namanya cairan
vitreus, aku bisa berpikir dengan jernih. Aku pernah membacanya di suatu tempat.
Cairan vitreus. Assef menggelepar di karpet. Berguling-guling, melolong, tangannya masih
tertangkup menutupi rongga matanya yang penuh darah.
"Ayo pergi!" teriak Sohrab. Dia menarik tanganku. Membantuku berdiri. Setiap
bagian dari tubuhku yang luluh lantak meneriakkan rasa sakit. Di belakang kami,
Assef terus melolong. "KELUAR! KELUARKAN BENDA INI!" lengkingnya.
Aku terseok-seok menuju ke pintu dan membukanya. Mata dua orang penjaga itu
melebar saat melihatku dan aku bertanya-tanya, seperti apakah penampilanku.
Setiap kali bernapas, perutku serasa ditusuk. Salah satu penjaga itu mengatakan
sesuatu dalam bahasa Pashtu dan mereka berdua pun melesat meninggalkan kami,
berlari menuju ruangan tempat Assef masih menjerit-jerit."KELUAR!"
"Bia," Sohrab menarik tanganku. "Ayo pergi!"
Aku tersaruk-saruk di sepanjang koridor, tanganku menggenggam tangan Sohrab yang
mungil. Aku berpaling untuk yang terakhir kalinya. Para penjaga itu mengerumuni
Assef, melakukan sesuatu pada wajahnya. Lalu aku memahaminya: Bola logam itu
masih tertahan di rongga mata Assef.
Seluruh dunia sepertinya bergetar naik dan turun, mengayun ke kiri dan ke kanan,
saat aku tertatih-tatih menuruni tangga, bersandar pada Sohrab. Dari atas,
lolongan Assef terus terdengar, lolongan binatang yang terluka. Kami berhasil ke
luar, menyambut cahaya matahari, lenganku melingkari bahu Sohrab, dan aku
melihat Farid berlari menyongsong kami.
"Bismillah! Bismillah!" ucapnya, matanya melotot menatapku. Dia merangkulkan
lenganku ke pundaknya dan mengangkatku. Kami berlari menuju ke truk. Sepertinya
aku menjerit-jerit. Aku memandang sendalnya yang menepuk-nepuk trotoar, menampar tumitnya yang hitam dan
berkapal. Bernapas pun terasa menyakitkan. Lalu, aku memandang atap Land
Cruiser, terbaring di bangku belakang berwarna cokelat muda yang hancur lebur,
mendengarkan bunyi ting-ting-ting yang menandakan pintu yang terbuka. Langkah-
langkah kaki berlari menuju truk kami. Farid dan Sohrab berdiskusi dengan cepat.
Pintu truk terbanting menutup dan mesin pun menyala. Truk itu melesat maju dan
aku merasakan tangan kecil menyentuh keningku. Aku mendengarkan bunyi-bunyian
dari jalan, beberapa teriakan, dan aku melihat pepohonan bergerak samar di balik
jendela. Sohrab terisak-isak. Farid terus mengulang, "Bismillah! Bismillah!"
Saat itulah kesadaranku melayang.
Dua Puluh Tiga ijah-wajah bermunculan dari balik kabut,
tinggal sesaat, lalu kembali kabur. Mereka menunduk, menanyakan berbagai
pertanyaan padaku. Apakah aku tahu siapa diriku" Bagian mana dari tubuhku yang
terasa sakit" Aku tahu siapa diriku dan sekujur badanku terasa sakit. Aku ingin
mengatakan pada mereka bahwa berbicara membuatku kesakitan. Aku tahu itu;
beberapa saat yang lalu, mungkin setahun yang lalu, mungkin dua, mungkin
sepuluh, aku mencoba berbicara pada seorang anak dengan pipi merah karena perona
dan mata terpulas celak. Anak itu. Ya, sekarang aku ingat. Sepertinya kami
berada di dalam sebuah mobil, aku dan anak itu, dan kupikir bukan Soraya yang
menyetir karena Soraya tak pernah mengemudi secepat ini. Aku ingin mengatakan
sesuatu pada anak itu sepertinya sangat penting karena aku harus segera
mengatakannya. Tapi aku tidak bisa mengingat apa yang ingin kukatakan, atau
mengapa itu penting. Mungkin aku ingin mengatakan padanya untuk berhenti
menangis, bahwa segalanya akan berangsur membaik. Mungkin bukan itu. Untuk
beberapa alasan yang tidak bisa
kuingat, aku ingin mengucapkan terima kasih pada anak itu.
Raut-raut wajah. Semuanya memakai topi berwarna hijau. Mereka datang dan pergi.
Mereka berbicara dengan cepat, menggunakan bahasa yang tidak kupahami. Aku
mendengar suara-suara lain, bunyi-bunyian lain, denyutan dan deringan. Aku tidak
mengingat satu pun dari mereka, kecuali seseorang yang rambutnya bergel dan
kumisnya melintang seperti Clark Gable, yang mengenakan topi dengan noda
berbentuk benua Afrika. Tuan Bintang Opera Sabun. Sungguh menggelikan. Sekarang
aku ingin tertawa. Tapi tertawa juga terasa menyakitkan.
Aku kembali pingsan. * Katanya, namanya Aisha, "seperti istri Sang Nabi." Rambutnya yang kelabu dibelah
tengah dan diikat ke belakang, sebuah perhiasan berbentuk matahari terpasang di
hidungnya yang bertindik. Dia memakai kacamata berlensa ganda yang membuat
matanya seolah-olah menonjol keluar. Dia juga memakai pakaian hijau dan
tangannya terasa lembut. Dia melihatku menatapnya dan tersenyum. Mengatakan
sesuatu dalam bahasa Inggris. Sesuatu terasa menusuk bagian samping dadaku. Aku
kembali pingsan. * Seorang pria berdiri di sisi ranjangku. Aku mengenalnya. Kulitnya gelap,
tubuhnya jangkung, dan janggutnya panjang. Dia memakai topi apa sebutan untuk
topi yang dia pakai" Pakol" Dia memakainya dengan miring seperti seseorang yang
terkenal, yang namanya begitu sulit kuingat. Aku mengenal pria ini. Beberapa
tahun yang lalu dia menyewakan mobilnya padaku. Aku mengenalnya. Rasanya mulutku
terasa aneh. Aku mendengar suara menggelegak.
Aku kembali pingsan. * Lengan kananku seperti terbakar. Wanita dengan kacamata berlensa ganda dan
giwang hidung berbentuk matahari membungkuk di hadapan lenganku, menyambungkan
sebuah selang plastik bening ke sana. Katanya, ini adalah "Potassium." "Rasanya
seperti tersengat lebah, no?" katanya. Memang benar. Siapa namanya" Sepertinya
ada hubungannya dengan seorang nabi. Aku juga mengenalnya dari beberapa tahun
yang lalu. Dia biasa mengikat rambutnya ke belakang. Sekarang dia menyanggulnya.
Soraya menata rambutnya seperti itu saat pertama kali kami berbicara. Kapankah
itu" Minggu lalu" Aisha! Ya.
Sepertinya ada yang salah dengan mulutku. Dan dadaku rasanya seperti ditusuk-
tusuk. Aku kembali pingsan Kami berada di Pegunungan Sulaiman di Balukistan dan Baba sedang bergulat dengan
beruang hitam. Dialah Baba dalam masa kecilku, Toophan agha, pria Pashtun gagah
perkasa dengan tinggi menjulang, bukan pria layu yang meringkuk di balik
selimut, pria berpipi melesak dan bermata cekung. Mereka berguling-guling di
hamparan rumput hijau, seorang pria dan seekor binatang. Rambut cokelat ikal
Baba melambai-lambai dipermainkan angin. Beruang itu meraung, atau mungkin Baba
yang meraung. Air liur dan darah bercipratan; cakar dan tangan melayangkan
pukulan. Mereka jatuh ke tanah dengan keras dan Baba menduduki dada beruang itu
dan menghajarnya. Dia mendongak menatapku dan aku menatapnya. Akulah yang sedang
berkelahi dengan beruang.
Aku terbangun. Pria jangkung berkulit gelap itu kembali berada di sisi
ranjangku. Namanya Farid, sekarang aku mengingatnya. Dan anak yang ada dalam
mobil itu berdiri di sampingnya. Wajahnya mengingatkanku pada dentingan lonceng.
Aku kehausan. Aku kembali pingsan. Aku terus-menerus siuman dan kembali pingsan.
Pria berkumis Clark Gable itu ternyata bernama Dr. Faruqi. Dia sama sekali bukan
aktor opera sabun, melainkan seorang dokter bedah kepala dan leher, meskipun aku
terus mengira dirinya adalah Armand, seorang tokoh dalam opera sabun terkenal
yang berseting sebuah pulau tropis.
Di mana aku" Aku ingin bertanya. Tapi mulutku tidak mau terbuka. Aku
mengernyitkan wajah. Meng-geram. Armand tersenyum: giginya putih mengilat.
"Jangan sekarang, Amir," katanya, "sebentar lagi. Kalau kawatnya sudah dilepas."
Aksen Urdu yang kental mewarnai bahasa Inggrisnya.
Kawat" Armand menyilangkan lengannya; bagian bawah lengannya berbulu lebat dan di
jarinya tersemat sebuah cincin kawin emas. "Anda pasti bertanya-tanya di mana
diri Anda, apa yang terjadi pada Anda. Itu sangat normal, keadaan pasca-operasi
memang selalu mem-bingungkan. Jadi, saya akan menceritakan apa yang saya
ketahui." Aku ingin menanyakan padanya tentang kawat itu. Pascaoperasi" Di mana Aisha" Aku
menginginkan senyumannya, sentuhan tangannya yang lembut.
Armand mengernyitkan wajah, menaikkan salah satu alisnya dengan gaya sedikit
sombong. "Anda berada di sebuah rumah sakit di Peshawar. Sudah dua hari Anda
berada di sini. Anda menderita luka parah di sekujur tubuh Anda, Amir, saya
harus memberitahu Anda. Menurut saya, Anda sangat
beruntung karena mampu bertahan hidup, kawan." Dia mengayun-ayunkan telunjuknya
ke kiri dan ke kanan seperti sebuah pendulum saat mengatakannya. "Limpa Anda
pecah, mungkin dan untungnya bagimu pecah yang tertunda, karena Anda menunjukkan
gejala pendarahan dini dari luka-luka dalam perut Anda. Kolega-kolega saya dari
unit bedah umum harus melakukan operasi limpa darurat. Kalau limpa Anda pecah
lebih cepat, Anda akan meninggal karena pendarahan hebat." Dia menepuk-nepuk
lenganku, yang tersambung dengan infus, dan tersenyum. "Beberapa tulang rusuk
Anda juga patah. Salah satunya menyebabkan pneumothorax."
Aku mengernyitkan wajah. Mencoba membuka mulutku. Teringat akan kawat itu.
"Artinya, tulang itu menghunjam paru-paru Anda," jelas Armand. Dia mengangkat
selang plastik bening di sebelah kiriku. Aku merasakan kembali tusukan di
dadaku. "Kami mengatasi kebocoran di dada Anda dengan selang ini." Aku
memerhatikan bahwa selang itu muncul dari bebatan perban di dadaku, tersambung
pada penampung yang setengahnya telah terisi air. Bunyi menggelegak itu muncul
dari sana. "Anda juga menderita berbagai macam laserasi. Itu berarti 'luka.'"
Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku tahu arti kata itu; aku seorang penulis.
Aku ingin membuka mulutku. Lagi-lagi melupakan kawat itu.
"Laserasi terparah menimpa bibir atas Anda,"
ujar Armand. "Bibir Anda terpotong, terbagi menjadi dua, dan jaringan di bagian
tengahnya hilang. Tapi jangan khawatir, para ahli bedah plastik telah
menjahitnya dan menurut mereka hasilnya akan menakjubkan, meskipun bekas luka
akan tetap terlihat. Itu tidak bisa dihindari.
"Tulang pelipis sebelah kiri Anda juga hancur; tulang dalam rongga mata, dan
kami juga harus memperbaikinya. Kawat di rahang Anda akan dilepas setelah enam
minggu," ujar Armand. "Hingga saat itu, Anda hanya akan bisa mengonsumsi cairan
dan makanan lumat. Berat badan Anda akan banyak berkurang dan untuk sementara,
bicara Anda akan mirip Al Pacino dalam film Godfather yang pertama." Dia
tergelak. "Tapi Anda harus menyelesaikan suatu pekerjaan hari ini. Anda tahu apa
itu?" Aku menggelengkan kepala.
"Tugas Anda hari ini adalah mengeluarkan udara. Anda bisa melakukannya dan kami


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa mulai memberi Anda minuman. Kalau Anda tidak kentut, Anda tidak makan." Dia
kembali tergelak. Beberapa jam kemudian, setelah Aisha mengganti tabung infusku dan menaikkan
sandaran ranjangku berdasarkan permintaanku, aku memikirkan tentang semua hal
yang menimpaku. Limpa yang pecah. Gigi yang tanggal. Paru-paru yang berlubang.
Tulang pelipis yang hancur. Namun saat aku memerhatikan seekor burung merpati
yang sedang mematuki remah roti pada penampang jendela, aku terus teringat akan
sesuatu yang dikatakan Armand/Dr. Faruqi: Bibir Anda terpotong,
terbagi menjadi dua, katanya, jaringan di bagian tengahnya hilang. Jaringan di
bagian tengahnya hilang. Seperti bibir sumbing.
* Keesokan harinya, Farid dan Sohrab menjengukku. "Kau tahu siapa kami hari ini"
Kau ingat?" Farid bertanya, setengah bercanda. Aku mengangguk.
"Alhamdulillah!" ucapnya. Wajahnya berseri. "Tidak perlu lagi bercerita tak
keruan." "Terima kasih, Farid," ucapku melalui rahang yang terikat kuat dengan kawat.
Armand benar bicaraku mirip Al Pacino dalam film The Godfather. Dan lidahku
membuatku terkejut setiap kali melewati ruang kosong yang ditinggalkan gigi yang
telah kutelan. "Maksudku, terima kasih. Untuk segalanya."
Dia mengibaskan tangannya. Wajahnya sedikit merona. "Bas. Aku tidak pantas
mendapat ucapan terima kasih," katanya. Aku berpaling pada Sohrab. Dia memakai
baju baru, pirhan-tumban cokelat muda yang tampak sedikit terlalu besar
untuknya, dan sebuah kopiah hitam. Dia menunduk menatap kakinya, mempermainkan
selang infus yang direkatkan ke ranjang.
"Kita belum pernah berkenalan dengan pantas," ujarku. Kuulurkan tanganku. "Aku
Amir." Dia menatap tanganku, lalu menatap wajahku. "Kau Amir agha yang sering
diceritakan Ayah padaku?" tanyanya.
"Ya." Aku teringat akan surat Hassan. Aku telah begitu banyak bercerita
tentangmu pada Farzana jan dan Sohrab, tentang kita berdua yang tumbuh bersama
dan kesukaan kita bermain dan berlarian di jalanan. Mereka selalu tertawa saat
aku bercerita tentang kenakalan-kenakalan kita,' "Aku juga berutang budi padamu,
Sohrab jan," ujarku. "Kau menyelamatkan hidupku."
Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku menurunkan tanganku saat dia tak kunjung
menyambutnya. "Aku suka baju barumu," gumamku.
"Baju itu milik anakku," kata Farid. "Sudah kekecilan untuknya. Tapi baju itu
pas dipakai oleh Sohrab, menurutku." Sohrab bisa tinggal dengannya, katanya,
hingga kami menemukan tempat untuknya. "Kami tidak punya cukup kamar, tapi aku
bisa melakukan apa" Aku tidak bisa meninggalkannya di jalanan. Lagi pula, anak-
anakku menyukainya. Ha, Sohrab?" Tapi anak itu terus menunduk, membelitkan
selang ke jarinya. "Aku ingin bertanya," Farid tampak sedikit enggan. "Apa yang terjadi di dalam
rumah itu" Apa yang terjadi antara dirimu dengan Talib itu?"
"Anggap saja kami mendapatkan yang pantas kami dapatkan," jawabku.
Farid mengangguk, tidak memaksaku untuk menjelaskan lebih jauh. Baru terpikir
olehku, di suatu tem-pat, berawal saat kami meninggalkan Peshawar menuju
Afghanistan dan saat ini, kami telah berteman. "Aku juga ingin menanyakan
sesuatu padamu." "Apa itu?" Aku tidak ingin menanyakannya. Aku merasa takut mendengar jawabannya. "Rahim
Khan," ujarku. "Dia telah pergi."
Jantungku terguncang. "Apa dia"
"Tidak, dia hanya ... pergi." Dia mengulurkan sepucuk surat yang terlipat dan sebuah kunci kecil pada-ku. "Induk semangnya memberikan ini
padaku saat aku mencarinya. Katanya, Rahim Khan pergi sehari setelah kita
berangkat." "Ke mana dia pergi?"
Farid mengangkat bahu. "Induk semangnya tidak tahu. Katanya, Rahim Khan
meninggalkan surat dan kunci itu untukmu dan pergi begitu saja." Dia melirik
arlojinya. "Sebaiknya aku pergi. Bia, Sohrab."
"Bisakah kau meninggalkan dia di sini sebentar?" tanyaku. "Kau bisa menjemputnya
nanti." Aku menatap Sohrab. "Kau mau menemaniku di sini sebentar?"
Dia mengangkat bahu tanpa mengatakan apa-apa.
"Tentu saja," ujar Farid. "Aku akan menjemputnya sebelum Magrib."
Tiga pasien lain menghuni ruangan itu bersamaku. Dua pria berusia lebih tua
dariku; yang satu kakinya terbungkus gips, sementara yang lain napasnya
tersengal-sengal karena menderita asma. Satu pasien lagi yang lebih muda dariku,
mungkin berumur 15 atau 16 tahun, menderita penyakit usus buntu. Pria tua dengan
kaki bergips itu menatap kami tanpa berkedip, tatapannya berpindah dari aku ke
anak lelaki Hazara yang duduk di bangku dekat ranjangku. Para kerabat rekan-
rekan sekamarku wanita-wanita tua berpakaian gamis berwarna cerah, pria-pria
berkopiah berjejalan dengan ribut, masuk dan keluar kamar. Mereka membawa
pakora, naan, samosa, biryani. Kadang-kadang, para pengunjung berkeliaran begitu
saja memasuki kamar, misalnya seorang pria jangkung berjanggut yang masuk ke
kamarku beberapa saat sebelum Farid dan Sohrab tiba. Sehelai selimut cokelat
menyelimuti tubuhnya. Aisha menanyainya dalam bahasa Urdu. Dia mengabaikannya
dan memandang ke sekeliling ruangan. Kurasa dia memandangku sedikit lebih lama.
Saat Aisha kembali bertanya padanya, dia hanya membalikkan badan dan pergi.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku pada Sohrab. Dia mengangkat bahu, menatap
tangannya. "Kau lapar" Ibu itu memberiku sepiring biryani, tapi aku tak bisa memakannya,"
ujarku. Aku tak tahu apa lagi yang akan kukatakan padanya. "Kau mau"'
Dia menggelengkan kepala. "Kau mau mengobrol?" Dia kembali menggelengkan kepala.
Selama beberapa saat kami duduk dalam keheningan, aku terpaku di ranjang,
ditopang oleh dua buah bantal, Sohrab di bangku berkaki tiga di sebelah ranjangku. Entah kapan,
aku jatuh tertidur, dan, saat aku terbangun, senja telah menjelang, bayangan
telah memanjang, dan Sohrab masih duduk di sampingku. Dia masih menunduk
memandangi tangannya. Malam itu, setelah Farid menjemput Sohrab, aku membuka surat Rahim Khan. Aku
telah menunda selama mungkin untuk membaca surat itu. Inilah yang tertulis di
sana: Amir jan, Insya Allah, kau teiah menerima surat ini daiam keadaan selamat. Semoga aku
tidak menje-rumuskanmu alam bahaya dan Afghanistan tidak bersikap terlalu buruk
padamu. Aku terus mendoakanmu sejak hari kepergianmu.
Selama bertahun-tahun saat kau curiga bahwa aku tahu, kau benar. Aku memang
tahu. Hassan menceritakannya padaku beberapa saat setelah peristiwa itu terjadi.
Yang kau/akukan ada/ah suatu kesalahan, Amir jan, namun jangan lupakan bahwa
saat peristiwa itu terjadi, kau hanya-tah seorang bocah. Seorang bocah lelaki
kecil yang bermasalah. Kau bersikap terlalu keras terhadap dirimu saat itu, dan
sekarang pun masih begitu aku melihatnya
di matamu saat kita bertemu di Peshawar. Tapi kuharap kau akan selalu
mengingatnya: Seseorang yang tidak memiliki kesadaran, tidak memiliki kebaikan,
tidak akan pernah menderita. Kuharap penderitaanmu berakhir dengan perjalananmu
ke Afghanistan. Amir jan, segala kebohongan yang kukatakan padamu selama bertahun-tahun itu
membuatku malu. Aku bisa memahami kemarahanmu saat di Peshawar. Kau berhak untuk
tahu. Sama halnya dengan Hassan. Aku tahu bahwa alasan ini tidak akan
membenarkan tindakan ayahmu maupun aku, namun Kabul tempat kita tinggal di masa
lalu adalah dunia yang aneh, dunia tempat beberapa hal lebih berharga daripada
kebenaran. Amir jan, aku tahu betapa kerasnya sikap ayahmu terhadap dirimu saat kau
beranjak dewasa. Aku melihatmu merana dan mendamba kasih sayangnya, dan hatiku
hancur karenanya. Namun ayahmu adalah seorang pria yang terbagi atas dua belahan
jiwanya, Amir jan: kau dan Hassan. Dia mencintai kalian berdua, namun dia tidak
bisa mencintai Hassan dengan cara yang diinginkannya, secara terbuka, dan
sebagai seorang ayah. Jadi, dia melampiaskannya padamu Amir, belahan jiwa yang
sah di mata masyarakat, belahan jiwa yang mewakili kekayaan turun-temurunnya dan
hak kekebalan akan dosa yang menyertai kekayaannya. Saat dia melihatmu, dia
melihat dirinya sendiri. Dan rasa bersalahnya. Kau masih berkubang dalam amarah dan aku
menyadari bahwa saat ini masih terlalu dini untuk mengharapkan kau menerima
penjelasanku, tetapi mungkin suatu hari nanti kau akan mengerti bahwa saat
ayahmu bersikap keras terhadapmu, dia juga bersikap keras terhadap dirinya
sendiri. Ayahmu, seperti dirimu, juga memiliki jiwa yang tersiksa, Amir.
Aku tidak bisa menggambarkan padamu betapa dalam dan suramnya kesedihan yang
kurasakan kala mendengar bahwa ayahmu telah meninggal. Aku mencintainya, bukan
hanya karena dia sahabatku, namun juga karena dia ada/ah seorang pria yang baik,
mungkin juga sangat hebat. Dan inilah yang aku inginkan untuk kaupahami, bahwa
kebaikan, kebaikan yang nyata, muncul akibat rasa bersalah ayahmu. Terkadang,
aku berpikir bahwa semua yang dilakukannya, menyediakan makanan untuk fakir
miskin di jalanan, membangun panti asuhan, memberikan bantuan dana pada teman
yang membutuhkan, semua itu dilakukannya untuk menebus kesalahannya. Dan itulah
yang kuyakini sebagai penebusan dosa sejati, Amir jan, saat rasa bersalah
menggerakkan seseorang untuk melakukan kebaikan.
Aku tahu bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang akan memberikan pengampunan. Dia
akan mengampuni ayahmu, aku, dan juga dirimu.
Kuharap, kau juga bisa melakukan hal yang sama. Maafkanlah ayahmu kalau kau bisa
memaafkannya. Maafkanlah aku kalau kau ingin memaafkanku. Namun, yang paling
utama, maafkanlah dirimu.
Aku meninggalkan sejumlah uang untukmu, sebagian besar dari seluruh sisa
kekayaanku. Kupikir kau akan bisa memanfaatkannya untuk membayar berbagai macam
pengeluaran saat kau kembali ke sini, dan kuharap uang itu dapat mencukupi. Kau
bisa mengambilnya di sebuah bank di Peshawar; Farid tahu tempatnya. Uang itu
tersimpan dalam kotak penyimpanan. Aku menyerahkan kuncinya padamu.
Bagiku, ini adalah waktu yang tepat untuk pergi. Hanya ada sedikit lagi waktu
yang tersisa untukku dan aku berharap bisa menikmatinya seorang diri. Kumohon,
jangan/ah kaucari aku. Ini adalah permintaan terakhirku padamu. Tangan-tangan
Tuhan akan membimbingmu. Sahabatmu selamanya, Rahim
Aku mengusapkan lengan pakaian rumah sakitku ke mata, melipat surat itu, dan
menyimpannya di bawah matras. Amir, belahan jiwa yang sah di mata masyarakat,
belahan jiwa yang mewakili kekayaan turun-temurunnya dan hak kekebalan akan dosa
yang menyertai kekayaannya. Aku bertanya-tanya, mungkin karena itulah hubunganku
dengan Baba membaik saat kami tinggal di AS.
Menjual barang rongsokan untuk uang yang tak seberapa, pekerjaan kasar kami,
apartemen kami yang muram versi Amerika dari sebuah pondok; mungkin di Amerika,
saat Baba memandangku, dia melihat sedikit dari diri Hassan.
Ayahmu, seperti dirimu, juga memiliki jiwa yang tersiksa, Amir, itulah yang
ditulis Rahim Khan. Mungkin memang benar. Kami berdua pernah melakukan dosa dan
pernah berkhianat. Tetapi Baba telah menemukan cara memacu rasa bersalahnya
untuk mewujudkan kebaikan. Apa yang sudah kulakukan, selain melampiaskan rasa
bersalahku pada orang yang sama yang telah kukhianati, lalu berusaha melupakan
semuanya" Apa yang telah kulakukan, selain menjadi penderita insomnia" Apa yang
telah kulakukan untuk meluruskan keadaan"
Saat seorang perawat bukan Aisha, melainkan seorang wanita berambut merah yang
namanya luput dalam ingatanku masuk sambil membawa alat suntik di tangannya dan
menanyakan padaku apakah aku membutuhkan suntikan morfin, aku mengiyakan-nya.
Mereka melepas selang di dadaku keesokan paginya, dan Armand memperbolehkan para
perawat menyediakan jus apel untukku. Saat Aisha meletakkan secangkir jus di
meja kecil di sebelah ranjangku, aku memintanya untuk meminjamkan sebuah cermin. Dia menaikkan
kacamata berlensa gandanya ke kening saat membuka tirai dan membiarkan cahaya
matahari menyelimuti ruangan. "Ingat, ya," dia berpaling saat mengatakannya,
"bekas lukamu akan terlihat lebih baik dalam beberapa hari. Menantu laki-lakiku
mengalami kecelakaan motor tahun lalu. Wajahnya yang tampan menggesek aspal dan
menjadi seungu terung. Sekarang dia kembali tampan, seperti bintang film
Lollywood." Meskipun Aisha telah menenangkanku, menatap wajahku di cermin dan melihat wajah
yang tidak lagi mirip dengan wajahku membuat dadaku sesak. Dari yang kulihat,
seolah-olah seseorang telah menyelipkan pompa di bawah kulitku dan memompakan
udara ke sana. Mataku bengkak kebiruan. Yang paling mengenaskan adalah mulutku;
bentuknya tidak jelas dan mengerikan, warnanya ungu dan merah, luka-luka dan
jahitan memenuhi sekelilingnya. Aku mencoba tersenyum dan rasa sakit menyengat
bibirku. Aku tidak akan bisa tersenyum untuk sementara. Jahitan melintang di
pipi kiriku, di bawah daguku, dan di keningku, tepat di bawah garis rambutku.
Pria tua dengan kaki bergips mengatakan sesuatu dalam bahasa Urdu. Aku
mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Dia menunjuk wajahnya, menepuk-
nepuknya, dan menyunggingkan senyuman lebar, memamerkan giginya yang ompong.
"Very good," katanya. "Insya Allah."
"Terima kasih," bisikku.
Farid dan Sohrab memasuki ruangan sesaat setelah cermin itu kuturunkan. Sohrab
duduk di bangku yang sama, menyandarkan kepalanya pada pinggir ranjang.
"Kau tahu, lebih cepat kami bisa membawamu keluar dari sini lebih baik," kata
Farid. "Kata Dr. Faruqi-"
"Maksudku bukan dari rumah sakit ini. Maksudku dari Peshawar." "Mengapa?"
"Kurasa keselamatanmu tidak akan terjamin kalau kau berada di sini terlalu
lama," jawab Farid. Dia merendahkan suaranya. "Taliban punya teman di sini.
Mereka akan mulai mencarimu."
"Kurasa mereka sudah mulai melakukannya," a-ku menggumam. Tiba-tiba aku teringat
akan pria berjanggut yang berkeliaran ke kamar dan hanya berdiri menatapku.
Farid mendekatkan tubuhnya. "Segera setelah kau bisa jalan, aku akan membawamu
ke Islamabad. Di sana pun kau tidak akan sepenuhnya aman, tidak ada tempat yang
aman di Pakistan, tapi keadaan di sana akan lebih baik daripada di sini.
Setidaknya, kau bisa bernapas lega selama beberapa saat."
"Farid jan, kau juga tidak akan aman. Mungkin sebaiknya kau tidak lagi terlihat
bersamaku. Kau punya keluarga yang membutuhkanmu."
Farid melambaikan tangannya. "Putra-putraku masih muda, namun mereka sangat
tangguh. Mereka tahu cara menjaga ibu-ibu dan saudara-saudara
perempuan mereka." Dia tersenyum. "Lagipula, aku tidak bilang akan melakukannya
dengan cuma-cuma." "Aku tidak akan membiarkanmu menaikkan tarif," ujarku. Aku lupa bahwa aku tidak
bisa tersenyum. Saat aku mencoba melakukannya, setetes darah mengalir ke daguku.
"Bisakah aku memohon satu lagi pertolongan darimu?"
"Untukmu, keseribu kalinya," jawabnya.
Dan, saat mendengarnya, seketika aku menangis. Tubuhku terguncang-guncang saat
aku mengisak, air mata mengaliri pipiku, menyengat luka menganga di bibirku.
"Ada apa?" tanya Farid waspada.
Aku menutupkan satu tanganku ke wajah dan mengangkat tanganku yang lain. Aku
tahu bahwa seisi ruangan itu sedang memandangiku. Setelah puas menangis, aku
merasa letih, hampa. "Maaf," ucapku. Sohrab menatapku sambil mengerutkan
keningnya. Saat aku bisa bersuara kembali, aku mengatakan pada Farid pertolongan yang
kuminta dilakukannya. "Kata Rahim Khan mereka tinggal di Peshawar sini."
"Mungkin sebaiknya kau menuliskan nama mereka," Farid menatapku dengan cemas,
seolah-olah sedang bertanya-tanya apakah yang akan memicuku untuk menangis lagi.
Aku menuliskan nama mereka di atas selembar kertas tisu. "John dan Betty
Caldwell." Farid mengantongi kertas yang terlipat itu.
"Aku akan mencari mereka secepat yang kumampu," katanya. Dia berpaling pada
Sohrab. "Untukmu, aku akan menjemputmu nanti malam. Jangan membuat Amir agha
kelelahan." Namun Sohrab segera mendekati jendela, di mana beberapa ekor burung merpati
hinggap dan lalu lalang, mematuki remah-remah roti di kusen.
Dalam laci tengah meja kecil di sebelah ranjangku, aku menemukan sebuah majalah
National Geographic tua, sebatang pensil dengan ujung penuh bekas gigitan,
sebuah sisir dengan gigi-gigi tanggal, dan yang saat ini sedang kuraih dengan
susah payah, menyebabkan keringat membanjiri wajahku: setumpuk kartu. Aku telah
menghitungnya dan, yang mengejutkan, kartu itu masih lengkap. Aku menanyakan
pada Sohrab kalau-kalau dia ingin bermain kartu. Aku tidak mengharapkan
jawabannya, apalagi kesediaannya untuk bermain. Dia tidak banyak bicara sejak
kami meninggalkan Kabul. Namun dia berpaling dari jendela dan berkata, "Satu-
satunya permainan yang kutahu hanyalah panjpar."
"Belum-belum aku sudah mengasihanimu, karena aku adalah grand master dalam
permainan panjpar. Seluruh dunia mengetahuinya."
Dia duduk di atas bangku di sebelah ranjangku. Aku mengocok kartu dan membagikan
lima untuknya. "Saat ayahmu dan aku seumurmu, kami suka memainkan permainan ini.


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terutama saat musim dingin, ketika salju turun dan kami tak bisa bermain di
luar. Kami biasa memainkannya hingga malam tiba."
Dia mengalahkan kartuku dan mengambil sehelai dari tumpukan. Aku mencuri pandang
padanya saat dia mempelajari kartu-kartunya. Begitu banyak dari dirinya yang
mirip dengan ayahnya: caranya menyusun kartu-kartunya membentuk kipas dengan
kedua tangannya, caranya memicingkan mata saat mengamati kartu-kartu itu,
caranya menghindari kontak mata dengan orang lain.
Kami bermain dalam keheningan. Aku menenangkan permainan pertama, membiarkannya
menang pada permainan kedua, dan benar-benar kalah dengan adil pada lima
permainan selanjutnya. "Kau sehebat ayahmu, mungkin malah lebih baik," ujarku
setelah kekalahanku yang terakhir. "Kadang-kadang aku bisa mengalahkannya, tapi
kupikir itu karena dia membiarkanku menang." Aku terdiam sebelum melanjutkan,
"Ayahmu dan aku adalah saudara sesusuan."
"Aku tahu." "Apa ... apa yang diceritakannya padamu tentang kami?"
"Bahwa kau adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya," jawabnya.
Aku memainkan kartuku dengan jari, mengibas ngibaskannya. "Aku takut bahwa aku
bukanlah sahabat yang sebaik itu," ujarku. "Tapi aku ingin
menjadi sahabatmu. Kupikir, aku bisa menjadi sahabat yang baik untukmu. Bisakah"
Apa kau mau?" Dengan ragu-ragu, aku meletakkan tanganku di bahunya, namun dia
menghindariku. Dia menjatuhkan kartunya dan mendorong bangkunya, lalu kembali
mendekati jendela. Langit diwarnai oleh semburat merah dan ungu saat matahari
terbenam di Peshawar. Dari jalanan di bawah, terdengar lengkingan klakson dan
ringkikan keledai, juga peluit polisi lalu lintas. Sohrab berdiri di sana,
diterpa cahaya merah, menempelkan keningnya ke kaca, melipat kedua tangannya di
dada. Aisha menyuruh seorang perawat pria membantuku belajar berjalan malam itu. Aku
hanya berjalan mengitari kamar satu kali, dengan satu tangan berpegangan pada
tiang infus yang beroda dan tangan yang lain berpegangan pada lengan perawat
itu. Membutuhkan sepuluh menit untuk kembali ke ranjang dan, pada saat itu, luka
bekas operasi di perutku terasa bedenyut-denyut dan aku pun terkapar dengan
keringat membasahi seluruh tubuhku. Aku berbaring di ranjang, terengah-engah,
jantungku berdebar-debar, dan berpikir betapa aku merindukan istriku.
Keesokan harinya kuhabiskan dengan bermain panjpar bersama Sohrab. Dan hari
selanjutnya pun berlalu dengan cara yang sama. Kami jarang
bercakap-cakap, yang kami lakukan hanyalah bermain panjpar, aku terpaku di
ranjangku, dia di bangku berkaki tiganya. Kegiatan rutin kami hanya diselingi
oleh latihan berjalanku mengelilingi kamar atau pergi ke kamar kecil di ujung
koridor. Malamnya aku bermimpi. Dalam mimpiku, Assef berdiri di ambang pintu
kamar rumah sakitku, bola logam masih tersangkut di rongga matanya. "Kita berdua
sama, kau dan aku," katanya. "Kau satu susuan dengannya, tapi kau adalah saudara
kembarku. " * Paginya, aku mengatakan pada Armand bahwa aku harus segera pergi.
"Masih terlalu dini untuk mengeluarkan Anda dari sini," Armand memprotes. Hari
itu dia tidak mengenakan baju operasi, melainkan kemeja biru tua dan dasi
kuning. Rambutnya kembali ditata dengan gel. "Anda masih harus mendapatkan
suntikan antibiotik dan-"
"Saya harus pergi," aku bersikeras. "Saya menghargai segala yang telah Anda
lakukan untuk saya, yang telah kalian semua lakukan. Sungguh. Namun saya harus
pergi." "Anda akan pergi kemana?" Armand mencecarku.
"Saya tidak bisa mengatakannya." "Berjalan pun Anda masih kesulitan."
"Saya bisa berjalan sampai ujung koridor dan kembali lagi ke sini," sanggahku.
"Saya akan baik-baik saja." Inilah rencananya: Mengeluarkan diriku dari rumah
sakit. Mengambil uang dari kotak penyimpanan dan membayar biaya pengobatanku.
Bermobil ke panti asuhan dan meninggalkan Sohrab bersama John dan Betty
Caldwell. Lalu mencari tumpangan ke Islamabad dan mengubah rencana perjalanan.
Luangkan beberapa hari untuk memulihkan diri. Mencari pesawat untuk pulang.
Itulah rencananya. Hingga Farid dan Sohrab datang pagi itu. "Kawanmu, John dan
Betty Caldwell, mereka tidak ada di Peshawar," lapor Farid. Aku membutuhkan
waktu sepuluh menit hanya untuk mengenakan pirhan-tumban. Dadaku-di mana mereka
menorehkan lubang untuk memasukkan selang -terasa sakit saat aku mengangkat
lengan, dan perutku berdenyut setiap kali aku membungkuk. Napasku terputus-putus
hanya gara-gara mengemasi barang-barangku ke dalam kantong kertas berwarna
cokelat. Namun akhirnya aku selesai bersiap-siap dan sedang duduk di pinggir
ranjang saat Farid masuk membawa berita itu. Sohrab duduk di sampingku di
ranjang. "Ke mana mereka pergi?" tanyaku. Farid menggeleng. "Kau tidak mengerti-"
"Karena kata Rahim Khan-"
"Aku mendatangi konsulat AS," Farid menjelas kan seraya mengangkat tasku. "Tidak
pernah ada orang yang bernama John dan Betty Caldwell di Peshawar. Menurut
petugas di konsulat, mereka
tidak pernah ada. Setidaknya mereka tidak pernah ada di sini, di Peshawar ini."
Di sebelahku, Sohrab sedang membalik-balik halaman demi halaman National
Geographic tua. Kami mengambil uang dari bank. Manajer bank itu, pria berperut buncit yang
bagian ketiak kemejanya basah oleh keringat, terus-menerus tersenyum dan
mengatakan padaku bahwa tidak seorang pun di bank ini pernah menyentuh uang itu.
"Tidak seorang pun," dia berkata dengan takzim, mengayun ayunkan jari
telunjuknya seperti yang sering dilakukan Armand.
Berkendaraan di Peshawar sambil membawa begitu banyak uang dalam kantong kertas
adalah pengalaman yang menegangkan. Ditambah lagi, aku mencurigai setiap pria
berjanggut yang memelototiku sebagai pembunuh Talib, mereka yang dikirim oleh
Assef. Ada dua hal yang menambah keteganganku: Banyak pria berjanggut di
Peshawar dan mata semua orang melotot.
"Apa yang akan kita lakukan padanya?" Farid bertanya saat mengiringiku berjalan
perlahan kembali ke truk dari bagian pembayaran rumah sakit. Sohrab menunggu di
bangku belakang Land Cruiser, memerhatikan arus lalu lintas dari jendela yang
terbuka, me-no-pangkan dagunya ke telapak tangan.
"Dia tidak bisa tinggal di Peshawar," jawabku sambil terengah-engah.
"Tidak, Amir agha, tidak bisa," kata Farid. Dia menyadari nada bertanya dalam
kalimatku. "Maaf. Seandainya aku-"
"Tidak apa-apa, Farid," aku menenangkannya. Aku berusaha tersenyum dengan letih.
"Sudah cukup banyak yang menjadi tanggunganmu." Seekor anjing berdiri dengan
kedua kaki belakangnya di dekat truk itu, menggaruk-garuk pintu truk dan
menggoyang-goyangkan ekornya. Sohrab mengelus-elus binatang itu. "Kurasa dia
akan pergi ke Islamabad," ujarku.
Aku tertidur pada hampir sepanjang perjalanan empat jam menuju Islamabad. Aku
memimpikan banyak hal, dan yang kuingat kebanyakan hanyalah potongan-potongan
gambar yang acak, cuplikan berbagai kenangan berkilat di kepalaku seperti kartu
Rolodex: Baba membumbui daging domba untuk pesta ulang tahunku yang ke-13. aku
dan Soraya bercinta untuk pertama kalinya, matahari terbit di ufuk timur,
telingaku masih berdenging akibat musik di pesta pernikahanku, tangannya yang
dihiasi henna membelai tanganku. Baba mengajak aku dan Hassan mengunjungi kebun
stroberi di Jalalabad-pemiliknya memperbolehkan kami menyantap stroberi sebanyak
yang kami mau asalkan kami membeli setidaknya empat kilo dan kami berdua pun mengakhiri hari
itu dengan perut melilit. Betapa gelapnya, nyaris hitam, darah Hassan yang ada
di salju itu, yang menetes dari celananya. Darah sungguhlah penting, bachem.
Khala Jamila membelai lutut Soraya dan berkata, Tuhan tahu yang terbaik, mungkin
memang belum saatnya. Tertidur di atas atap rumah ayahku. Baba berkata bahwa
satu-satunya dosa yang paling berat adalah pencurian. Saat kau mengatakan
kebohongan, kau mencuri hak seseorang untuk mendapatkan kebenaran. Rahim Khan
meneleponku, memberitahuku bahwa ada jalan untuk kembali menuju kebaikan. Jalan
untuk kembali menuju kebaikan ....
Dua Puluh Empat f^3lau Peshawar mengingatkanku pada Kabul di
masa lalu, Islamabad adalah cerminan Kabul suatu hari nanti. Jalan-jalannya
lebih lebar daripada di Peshawar, lebih bersih, dan diapit oleh deretan bunga
hibiskus dan pohon api. Pasar-pasarnya lebih tertib dan lorong-lorongnya tidak
dijejali oleh becak dan pejalan kaki. Arsitektur kota itu juga lebih elegan,
lebih modern, dan aku melihat taman-taman di mana bunga mawar dan melati
bermekaran di bawah naungan pepohonan.
Farid menemukan sebuah hotel kecil di sisi jalan yang terbentang di sepanjang
kaki Bukit Margalla. Kami melewati Masjid Shah Faisal yang terkenal sebagai
masjid terbesar di dunia, yang tampak agung dengan pilar-pilar beton raksasa dan
menara-menaranya yang menjulang tinggi. Sohrab terkesima melihat masjid itu,
mencondongkan badannya keluar jendela dan menatap bangunan itu hingga Farid
membelokkan truknya. * Kamar hotel itu jauh lebih baik daripada kamar yang kutempati bersama Farid di
Kabul. Seprainya bersih, karpetnya tanpa debu, dan kamar mandinya tanpa noda. Di
dalam kamar mandi itu tersedia sampo, sabun, pisau cukur, bak rendam, dan handuk
yang beraroma lemon. Dan tidak ada noda darah di dinding. Satu lagi: sebuah
pesawat televisi diletakkan di atas meja di hadapan dua ranjang tunggal.
"Lihat!" aku menunjukkannya pada Sohrab. Aku menyalakannya secara manual tidak
ada remote control dan memilih salurannya. Aku menemukan acara anak-anak yang
dibintangi dua boneka domba berbulu tebal yang pandai menyanyi dalam bahasa
Urdu. Sohrab duduk di salah satu ranjang dan melipat kedua kakinya ke dada.
Gambar-gambar dari TV itu terpantul pada mata hijaunya saat dia menonton acara
itu tanpa ekspresi, sambil mengayun-ayunkan badannya ke depan dan ke belakang.
Aku ingat saat aku berjanji pada Hassan untuk membelikan keluarganya sebuah
pesawat televisi berwarna kalau kami telah dewasa.
"Aku pergi sekarang, Amir agha," kata Farid.
"Menginaplah malam ini," saranku. "Kau harus mengemudi cukup jauh. Pergi besok
saja." "Tashakor," katanya. "Tapi aku ingin pulang malam ini. Aku merindukan anak-
anakku." Sebelum keluar, dia berhenti di ambang pintu. "Selamat tinggal, Sohrab
jan," ucapnya. Dia menantikan jawaban, namun Sohrab tidak mengindahkannya. Dia
hanya mengayun-ayunkan tubuhnya, sementara cahaya perak yang memancar dari layar
televisi menerangi wajahnya. Di luar, aku menyerahkan sebuah amplop kepada Farid. Mulutnya terbuka saat dia
menyobek amplop itu. "Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu," jelasku. "Telah begitu
banyak yang kaulakukan untukku."
"Berapa yang ada di sini?" Farid masih belum bisa menyembunyikan kekagetannya.
"Lebih dari dua ribu dolar."
"Dua h" dia mencoba berbicara. Bibir bawahnya sedikit bergetar. Beberapa saat
kemudian, sambil menjalankan truknya, dia membunyikan klakson dua kali dan
melambaikan tangannya. Aku membalas lambaiannya. Itulah terakhir kalinya aku
melihat Farid. Aku kembali ke hotel dan menemukan Sohrab meringkuk di ranjang. Meskipun matanya
tertutup, aku tidak bisa memastikan apakah dia memang sedang tidur. Dia telah
mematikan televisi. Aku duduk di ranjang dan meringis menahan sakit, mengusap
keringat dingin yang membasahi keningku. Aku bertanya-tanya, sampai kapankah aku
akan merasa kesakitan saat bangkit, duduk, ataupun berguling di ranjang.
Kapankah aku bisa kembali menyantap makanan padat. Apakah yang akan kulakukan
dengan anak lelaki kecil terluka yang berbaring di ranjang itu, meskipun
sebagian dari diriku telah mengetahui jawabannya.
Air minum tersedia di meja. Aku menuangkannya ke gelas dan meminumnya bersama
dua butir pil penahan rasa sakit yang diberikan Armand. Air itu terasa hangat dan
pahit. Aku menutup tirai, menurunkan tubuhku ke ranjang, dan berbaring. Rasanya
dadaku akan terbelah membuka. Saat rasa sakitku menurun dan aku dapat kembali
bernapas, aku menarik selimut hingga ke dada dan menunggu pil Armand bekerja.
* Saat aku terbangun, kamar itu gelap. Sepotong langit yang mengintip dari celah
pada tirai menunjukkan lembayung senja saat menginjak malam. Seprai di bawahku
basah kuyup dan kepalaku berdenyut. Lagi-lagi aku bermimpi, namun aku tak mampu
mengingatnya. Jantungku berdebar kencang saat aku mendapati Sohrab tidak lagi berada di
ranjangnya. Aku memanggil namanya. Suaraku membuatku terkejut. Betapa mem-
bingungkan, duduk dalam sebuah kamar hotel yang gelap, ribuan mil jauhnya dari
rumah, tubuhku hancur lebur, memanggil-manggil nama seorang anak yang baru
kujumpai beberapa hari yang lalu. Aku memanggil namanya dan tidak mendapatkan
jawaban. Aku berjuang turun dari ranjang, memeriksa kamar mandi, melongok ke
koridor kecil di luar kamar. Dia pergi.
Aku mengunci pintu dan tertatih-tatih menuju kantor manajer di lobi, satu
tanganku memegang erat susuran di sepanjang koridor. Sebatang pohon
palem palsu yang berlapis debu berdiri di sudut lobi dan burung-burung flamingo
merah jambu menghiasi kertas dinding. Sang manajer hotel sedang membaca koran di
balik meja penerimaan berlapis Formika. Aku menggambarkan penampilan Sohrab
padanya, dan menanyakan kalau-kalau dia melihatnya. Dia menurunkan korannya dan
membuka kacamata-bacanya. Rambutnya berminyak dan kumis perseginya bersemburat
kelabu. Tubuhnya menguarkan aroma samar buah-buahan tropis yang tidak begitu
kukenali. "Anak-anak, mereka suka menjelajah," katanya seraya menghela napas. "Saya punya
tiga anak. Sepanjang hari mereka berkeliaran, menyusahkan ibunya." Dia
mengipaskan korannya ke wajah, memandangi rahangku.
"Saya pikir dia tidak akan menjelajah," sangah-ku. "Dan kami tidak berasal dari
sini. Saya takut dia tersesat."
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah seharusnya Anda mengawasi anak Anda,
mister." "Saya tahu," sahutku. "Tapi saya tertidur dan saat bangun, dia sudah pergi."
"Anak-anak harus diawasi, Anda tahu."
"Ya," tekanan darahku meningkat. Bagaimana dia bisa tenang-tenang saja sementara
aku dicekam kepanikan" Dia memindahkan korannya ke tangan yang lain dan kembali
mengipasi wajahnya. "Sekarang mereka menginginkan sepeda."
"Siapa?" "Anak-anak saya," katanya. "Mereka bilang,
"Ayah, Ayah, ayolah, belikan kami sepeda dan kami tidak akan mengganggumu lagi.
Ayolah, Ayah!" Dia mendenguskan tawanya. "Sepeda. Ibu mereka akan membunuhku,
saya berani sumpah."
Bayangan Sohrab tergolek di selokan melintas di benakku. Atau dalam bagasi mobil
seseorang, terikat dan mulutnya tersumpal. Aku tak mau tanganku ternodai oleh
darahnya. Jangan sampai darahnya juga. "Tolong ..." ujarku. Aku memicingkan mata,
membaca nama yang tertempel pada kemeja katun biru berlengan-pendek yang
dikenakannya. "Tuan Fayyaz, apakah Anda melihatnya?"
"Anak itu?" Aku menahan diri. "Ya, anak itu! Anak yang bersama saya. Apakah kau melihatnya
atau tidak, demi Tuhan?"
Dia berhenti mengipas. Matanya menyipit. "Jangan macam-macam denganku, Bung.
Bukan aku yang kehilangan anak."
Meskipun ucapannya ada benarnya, darahku sudah terlanjur mendidih. "Anda benar.
Saya salah. Ini kesalahan saya. Sekarang, apakah Anda melihatnya?"
"Maaf," tegasnya. Dia mengenakan kembali kacamatanya, mengibaskan korannya
hingga terbuka. "Saya tidak melihat anak yang Anda gambarkan."
Sejenak aku berdiri di hadapannya, berusaha untuk tidak berteriak. Saat aku
keluar menuju lobi, dia berkata, "Punya gagasan ke mana dia mungkin ingin
pergi?" "Tidak," jawabku. Aku merasa letih. Letih dan ketakutan.
"Minat pada sesuatu yang khusus, mungkin?" tanyanya. Kulihat dia melipat
korannya. "Anak-anak saya, contohnya, mereka akan melakukan apa pun untuk
menonton film laga keluaran Amerika, terutama yang dibintangi Arnold
Whatsanegger-" "Masjid itu!" sahutku. "Masjid besar itu." Aku ingat bagaimana masjid itu telah
membuat kebekuan Sohrab mencair saat kami melewatinya, bagaimana dia
mencondongkan badannya ke jendela dan menatapnya lekat-lekat.
"Shah Faisal?" "Ya. Bisakah Anda membawa saya ke sana?" "Apa Anda tahu bahwa masjid itu adalah
yang terbesar di dunia?" tanyanya. "Tidak, tapi-"
"Halamannya saja bisa menampung 40.000 orang."
"Anda bisa membawa saya ke sana?" "Jaraknya cuma satu kilometer dari sini,"
katanya. Tapi dia sudah beranjak dari mejanya.
"Saya akan membayar ongkosnya," ujarku.
Dia menghela napas dan menggelengkan kepala. "Tunggu di sini." Dia menghilang ke
ruang belakang, muncul lagi dengan mengenakan kaca mata lain, memegang seikat
kunci di tangannya, dan seorang wanita gemuk yang mengenakan sari oranye


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti di belakangnya. Dia menggantikan tugas Fayyaz di balik meja. "Saya
tidak menginginkan uang Anda," katanya, menolak tawaranku.
"Saya mau mengantar Anda karena saya juga seorang ayah seperti Anda."
Kupikir kami akan terus berkeliling kota hingga malam tiba. Aku membayangkan
diriku memberitahu polisi, menggambarkan ciri-ciri Sohrab kepada mereka di bawah
tatapan nista Fayyaz. Aku mendengarkan polisi itu, suaranya menunjukkan
kelelahan dan keengganan, melayangkan berbagai pertanyaan umum. Dan di balik
pertanyaan-pertanyaan resmi itu, terbersit pertanyaan yang sesungguhnya: Siapa
yang mau-maunya peduli pada satu lagi anak Afghan yang sudah mati"
Tapi kami menemukannya sekitar seratus meter dari masjid, duduk di hamparan
rumput di sela-sela lahan parkir yang setengah-penuh. Fayyaz menghentikan
mobilnya dan menungguku keluar. "Saya harus kembali," katanya.
"Tidak apa-apa. Kami pulang berjalan kaki saja," ujarku. "Terima kasih, Tuan
Fayyaz. Sungguh." Dia mencondongkan badannya padaku saat aku akan keluar. "Saya
boleh mengatakan sesuatu pada Anda?"
"Tentu." Dalam temaram cahaya senja menjelang malam, yang terlihat dari wajahnya hanyalah
sepasang kacamatanya yang memantulkan cahaya memudar. "Masalah kalian orang-
orang Afghan adalah ... yah,
kalian memang ceroboh."
Aku sangat lelah dan tubuhku kesakitan. Rahangku berdenyut-denyut. Dan luka-luka
keparat di dada dan perutku terasa seperti kawat berduri yang tersembunyi di
bawah kulitku. Tapi aku tetap saja tergelak.
"Apa ... apa yang saya ..." ujar Fayyaz, namun saat itu aku telah terbahak-bahak,
tertawa sepenuh hati melalui mulutku yang berkawat.
"Dasar gila," katanya. Ban mobilnya berdecit saat dia memutar mobilnya, lampu
belakangnya mengedipkan cahaya merah dalam keremangan senja.
"Kau benar-benar membuatku ketakutan," kataku. Aku duduk di sebelahnya, menahan
rasa sakit saat menekuk tubuhku.
Dia sedang memandangi masjid itu. Masjid Shah Faisal berbentuk seperti tenda
raksasa. Mobil-mobil datang dan pergi; para jamaah berpakaian putih mengalir
masuk dan keluar. Kami duduk dalam keheningan, aku bersandar ke pohon, Sohrab di
sebelahku, memeluk lututnya. Kami mendengarkan lantunan azan, menyaksikan saat
ratusan lampu dinyalakan ketika malam semakin pekat. Masjid itu berkilauan
bagaikan sebongkah permata dalam kegelapan. Pemandangan itu menggugah nyala
langit, wajah Sohrab. "Kau pernah pergi ke Mazar-i-Sharif?" Sohrab
bertanya, dagunya ditopangkan ke lutut.
"Dulu sekali. Aku tidak begitu ingat."
"Ayah mengajakku ke sana waktu aku masih kecil. Ibu dan Sasa juga ikut. Ayah
membelikan aku monyet dari pasar. Bukan monyet sungguhan, tapi mainan yang harus
ditiup. Warnanya cokelat dan ada dasi kupu-kupunya."
"Sepertinya aku punya mainan seperti itu waktu masih kecil."
"Ayah mengajakku ke Masjid Biru," Sohrab melanjutkan. "Aku masih ingat, ada
banyak sekali burung merpati di luar masjid itu, dan mereka tidak takut pada
orang. Mereka malah mendatangi kami. Sasa memberiku sepotong naan dan aku
membagikannya pada burung-burung itu. Tak lama kemudian, burung-burung merpati
itu pun mengerumuni aku. Asyik sekali."
"Kau pasti sangat merindukan orangtuamu," ujarku. Aku bertanya-tanya, apakah dia
menyaksikan saat Taliban menyeret kedua orangtuanya ke jalanan. Kuharap tidak.
"Apa kau merindukan orangtuamu?" dia menempelkan pipinya ke lutut dan menatapku.
"Apa aku merindukan orangtuaku" Hmm, aku tak pernah bertemu dengan ibuku. Ayahku
meninggal beberapa tahun yang lalu dan, ya, aku merindukannya. Kadang-kadang aku
sangat rindu padanya."
"Kau masih ingat seperti apa dia?"
Yang terpampang di benakku adalah leher Baba yang tebal, matanya yang hitam, dan
rambut cokelatnya yang acak-acakan. Duduk di pangkuannya bagaikan duduk di atas batang
pohon. "Aku masih mengingatnya," jawabku. "Aku juga masih ingat aroma tubuhnya."
"Aku mulai melupakan wajah mereka," kata Sohrab. "Burukkah itu?"
"Tidak," jawabku. "Waktulah yang menyebabkannya." Aku teringat akan sesuatu,
lalu meraih ke saku depan mantelku. Di sana terdapat foto Polaroid Hassan dan
Sohrab. "Ini," kataku.
Dia mendekatkan foto itu hingga hampir menempel ke wajahnya, membaliknya supaya
cahaya dari masjid meneranginya. Dia memandanginya selama beberapa saat. Kukira
dia akan menangis, namun ternyata tidak. Dia hanya memegang foto itu dengan
kedua tangannya, membelai permukaannya dengan ibu jarinya. Aku memikirkan sebuah
kalimat yang pernah kubaca di suatu tempat, atau mungkin kudengar dari
seseorang: Ada begitu banyak anak-anak di Afghanistan, tetapi hanya secuil masa
kanak-kanak yang ada di sana. Dia mengulurkan tangannya untuk mengembalikan foto
itu padaku. "Simpanlah," ujarku. "Itu milikmu."
"Terima kasih." Dia kembali menatap foto itu lalu memasukkannya ke saku
rompinya. Sebuah kereta kuda berderap melewati lahan parkir itu. Sebuah lonceng
kecil terpasang di leher kuda itu dan berdenting mengiringi setiap langkahnya.
"Akhir-akhir ini aku sering memikirkan masjid," ujar Sohrab.
"Oh, ya" Mengapa begitu?"
Dia mengangkat bahu. "Cuma berpikir saja." Dia mendongakkan wajahnya, menatap
langsung padaku. Sekarang dia menangis, lembut, lirih. "Bolehkan aku menanyakan
sesuatu padamu, Amir agha?"
"Tentu." "Akankah Tuhan ..." dia mulai, namun sedikit tercekat. "Akankah Tuhan
menempatkanku di neraka karena yang kulakukan pada pria itu?"
Aku meraihnya namun dia menghindariku. Aku mengurungkan niatku. "Tidak. Tentu
saja tidak," ujarku. Aku ingin meraihnya lebih dekat, memeluknya, mengatakan
padanya bahwa dunia telah begitu jahat padanya, bukan kebalikannya.
Dia mengernyitkan wajahnya dan berusaha untuk tetap terlihat tenang. "Ayah
sering bilang, menyakiti seseorang adalah salah, bahkan walau orang itu jahat.
Karena mereka tidak tahu jalan yang lebih baik, dan karena orang-orang yang
jahat pun bisa menjadi baik."
"Tidak selalu, Sohrab." Dia menatapku tak mengerti.
"Orang yang menyakitimu, aku mengenalnya sejak bertahun-tahun yang lalu," aku
menjelaskan. "Kukira kau bisa menebaknya dari percakapan kami. Dia ... dia pernah
mencoba menyakitiku sekali saat aku seumurmu, tapi ayahmu menyelamatkanku.
Ayahmu benar-benar pemberani dan dia selalu meloloskanku dari masalah,
membelaku. Jadi, suatu hari, pria jahat itu menyakiti ayahmu. Dia
menyakitinya dengan sangat parah dan aku ... aku tidak sanggup menolong ayahmu
seperti saat dia menolongku."
"Mengapa ada orang yang ingin menyakiti ayahku?" suara Sohrab terdengar kecil
dan melengking. "Dia tidak pernah berbuat jahat pada siapa pun."
"Kau benar. Ayahmu pria yang baik. Tapi itulah yang ingin kusampaikan padamu,
Sohrab jan. Di dunia ini, ada orang yang memang jahat, dan kadang-kadang mereka
akan tetap jahat. Kadang-kadang kau harus melawan mereka. Yang kaulakukan pada
pria itu adalah yang seharusnya kulakukan padanya bertahun-tahun yang lalu. Kau
memberikan padanya balasan yang pantas dia terima, dan dia bahkan pantas
menerima yang lebih berat dari itu."
"Apa menurutmu Ayah akan kecewa padaku?"
"Aku tahu dia tidak akan kecewa," jawabku. "Kau menyelamatkan nyawaku di Kabul.
Aku tahu dia sangat bangga padamu karenanya."
Dia mengusap wajahnya dengan lengan kemejanya. Tangis yang sudah terbentuk di
bibirnya pun akhirnya pecah. Dia membenamkan wajahnya ke tangan dan terisak lama
sebelum kembali bicara. " Aku merindukan Ayah, dan juga Ibu," ujarnya parau.
"Dan aku merindukan Sasa dan Rahim Khan sahib. Tapi kadang-kadang aku lega
karena mereka tidak ... mereka tidak lagi di sini."
"Mengapa?" Aku menyentuh lengannya. Dia menepisnya.
"Karena..11 ucapannya terputus oleh isakan dan sedu sedannya, "karena aku tak
mau mereka melihatku seperti ini ... aku sangat kotor." Napasnya tercekat dan dia
mengeluarkannya dalam lengkingan tangis yang panjang. "Aku sangat kotor dan
penuh dosa." "Kau tidak kotor, Sohrab," ujarku.
"Orang-orang itu-"
"Kau sama sekali tidak kotor."
"...mereka melakukan ... pria jahat itu dan dua temannya ... mereka melakukan sesuatu
... mereka melakukannya padaku."
"Kau tidak kotor, dan kau tidak penuh dosa." Aku mencoba lagi menyentuh
lengannya dan dia menjauhiku. Aku meraihnya lagi, dengan lembut, menarik
tubuhnya padaku. "Aku tidak akan menyakitimu," bisikku. "Aku berjanji." Dia
sedikit melawan. Hingga akhirnya, tubuhnya mengendur. Dia membiarkanku
memeluknya dan menyandarkan kepalanya ke dadaku. Tubuh kecilnya berguncang di
lenganku setiap kali dia terisak.
Persaudaraan timbul di antara mereka yang menyusu pada payudara yang sama.
Sekarang, saat kepedihan anak ini membasahi kemejaku, aku melihat bahwa
persaudaraan juga telah menancapkan akarnya di antara kami. Peristiwa menghadapi
Assef dalam ruangan itu tak diragukan lagi telah mengikat kami.
Aku telah menanti saat yang tepat, momen yang tepat, untuk mengucapkan
pertanyaan yang telah bermain-main di kepalaku dan membuatku
terjaga semalaman. Kuputuskan, momen yang tepat adalah sekarang, di sini, saat
ini juga, di bawah cahaya benderang rumah Tuhan yang menyinari kami.
"Maukah kau ikut ke Amerika dan tinggal bersamaku dan istriku?"
Dia tidak menjawab. Dia tersedu-sedu dalam pelukanku dan aku membiarkannya.
Selama seminggu, baik aku maupun Sohrab tidak membicarakan tawaranku padanya,
seolah-olah pertanyaan itu tak pernah terucap. Lalu suatu hari, aku dan Sohrab
menumpang taksi menuju Pos Peng-amatan Daman-e-Koh atau "kaki gunung." Terletak
di tengah jalur pendakian Bukit Margalla, dari tempat ini pemandangan kota
Islamabad terbentang di hadapan kami; jalan-jalan bersihnya yang diapit
pepohonan dan rumah-rumahnya yang bercat putih. Kata si sopir, kami bisa melihat
istana presiden dari sana. "Saat udara bersih setelah hujan turun, Anda bahkan
dapat melihat hingga ke Rawalpindi," katanya. Aku menatap matanya dari kaca
spion, mengamati Sohrab dan aku, berulang kali. Aku melihat wajahku sendiri.
Tidak lagi sebengkak sebelumnya, namun aku membutuhkan bedak kuning untuk
menutupi lebam-lebam yang mulai memudar di wajahku.
Kami duduk di bangku di salah satu area piknik, di bawah naungan pohon karet.
Hari itu hangat, matahari berada tinggi di langit biru. Di bangku dekat kami,
beberapa keluarga mengudap samosa dan pakora. Dari suatu tempat, lagu India yang
seingatku terdapat dalam sebuah film, mungkin Pakeeza mengalun dari radio. Anak-
anak, banyak di antara mereka yang berusia sebaya dengan Sohrab, mengejar-ngejar
bola sepak, tertawa-tawa, berteriak-teriak. Aku teringat akan panti asuhan di
Karteh Seh, teringat akan tikus di kantor Zaman yang berkeliaran di antara
kakiku. Dadaku disesaki oleh rasa marah yang seketika datang saat memikirkan
cara penduduk negeriku menghancurkan tanah air mereka sendiri.
"Ada apa?" tanya Sohrab. Aku memaksakan senyuman dan memberitahunya bahwa itu
tidak penting. Kami menggelar salah satu handuk hotel di a-tas meja piknik dan bermain panjpar
di sana. Rasanya menyenangkan berada di sana, bersama putra adik tiriku, bermain
kartu, sementara sinar matahari yang hangat menerpa leherku. Lagu itu berhenti
dan dilanjutkan oleh lagu lain yang tidak kukenal.
"Lihat," kata Sohrab. Dia menunjuk ke langit dengan kartunya. Aku mendongak,
melihat seekor burung elang terbang berputar-putar di langit yang tanpa batas.
"Aku tak tahu ada elang di Islamabad," ujarku.
"Aku juga," tatapannya mengikuti setiap putaran burung itu. "Apa ada elang di
tempatmu tinggal?" "San Francisco" Kurasa ada. Meskipun aku tak bisa bilang sering melihatnya."
"Oh," ujarnya. Kuharap dia bertanya lebih banyak, namun dia hanya membagikan
kartu dan bertanya apakah kami boleh makan. Aku membuka kantong kertas dan
memberikan sebuah sandwich baso padanya. Makan siangku lagi-lagi terdiri atas
secangkir jus pisang dan jeruk aku menyewa blender milik Nyonya Fayyaz selama
seminggu. Melalui sedotan, jus buah yang manis memenuhi mulutku. Beberapa tetes
membasahi sudut bibirku. Sohrab menyodorkan lap dan memandangku saat aku
membersihkan mulutku. Aku tersenyum dan dia membalasnya.
"Aku dan ayahmu bersaudara," ujarku. Kalimat itu keluar begitu saja. Aku ingin
mengatakan hal ini padanya malam itu, saat kami duduk di dekat masjid, namun aku
mengurungkannya. Tapi dia berhak untuk mengetahuinya; aku tak ingin
menyembunyikan apa pun lagi. "Saudara tiri, sebenarnya. Kami seayah."
Sohrab berhenti mengunyah. Dia menurunkan sandwichnya. "Ayah tak pernah bilang
kalau dia punya saudara."
"Itu karena dia tidak tahu."
"Mengapa dia tidak tahu?"
"Karena tidak ada yang memberitahunya," jelasku. "Tidak ada yang memberitahuku
juga. Aku baru saja tahu."
Sohrab mengedipkan matanya. Sepertinya dia
baru melihatku, benar-benar melihatku, untuk pertama kalinya. "Tapi mengapa
orang-orang tidak memberitahumu dan Ayah?"
"Kau tahu, aku juga pernah menanyakan hal yang sama. Dan ada satu jawaban, tapi
bukan jawaban yang bagus. Katakan saja, mereka tidak memberitahu kami karena aku
dan ayahmu ... kami tidak sepantasnya bersaudara."
"Karena dia Hazara?"
Aku menetapkan tatapanku padanya. "Ya."
"Apa ayahmu," dia memandangi makanannya, "apa ayahmu sama-sama menyayangi kalian
berdua?" Aku memikirkan peristiwa yang terjadi dahulu kala di tepi Danau Gargha, saat
Baba membiarkan dirinya menepuk-nepuk punggung Hassan ketika loncatan batunya
mengalahkanku. Aku membayangkan Baba dalam kamar rumah sakit, wajahnya berseri-
seri saat mereka membuka balutan di bibir Hassan. "Kurasa dia sama-sama
menyayangi kami berdua, namun dengan cara yang berbeda."
"Apa ayahku membuatnya malu?"
"Tidak," jawabku. "Dirinya sendirilah yang membuatnya malu."
Dia mengangkat sandwichnya dan menggerogotinya tanpa suara.
* Kami pulang saat menjelang sore, merasa letih
karena kepanasan, namun letih yang menyenangkan. Di sepanjang jalan pulang, aku
merasakan Sohrab memandangiku. Aku meminta sopir berhenti di depan sebuah toko
yang menjual kartu telepon. Aku memberikan uang dan tip padanya untuk berlari ke
dalam dan membelikanku sebuah kartu.
Malam itu, kami berbaring di atas ranjang kami masing-masing, menonton acara
bincang-bincang di TV. Dua orang ulama berjanggut kelabu panjang dan berserban
putih sedang menerima telepon dari orang-orang beriman di seluruh dunia. Salah
seorang penelepon, Ayub yang berasal dari Finlandia, menanyakan apakah anak
laki-laki remajanya akan masuk neraka karena suka memakai celana baggy
berpinggang sangat rendah sehingga sebagian celana dalamnya terlihat.
"Aku pernah melihat gambar kota San Francisco," kata Sohrab.
"Oh, ya?" "Di sana ada jembatan merah dan gedung beratap lancip."
"Kau harus melihat jalan-jalannya," sambutku.
"Memangnya kenapa?" Sekarang dia menatapku. Di layar TV, kedua mullah itu sedang
berdiskusi. "Jalan-jalan di sana sangat curam, sehingga kalau kau menyetir ke atas, yang
kaulihat hanyalah atap mobil dan langit," terangku.
"Sepertinya menyeramkan," dia berguling, menghadap padaku, memunggungi TV.
"Saat baru beberapa kali melewatinya memang menyeramkan," ujarku. "Tapi lama-
lama kau akan terbiasa." "Apa di sana ada salju?"
"Tidak, tapi di sana sering berkabut. Kau tahu jembatan merah yang kaulihat
gambarnya itu?" "Ya."
"Kadang-kadang, di pagi hari saat kabut sangat tebal, yang terlihat hanyalah
puncak dua menaranya yang menyembul ke atas."
Ketakjuban membayangi senyumnya. "Oh."
"Sohrab?" "Ya." "Apa kau sudah mempertimbangkan tawaranku?"
Senyumnya memudar. Dia kembali berguling memunggungiku. Meletakkan kedua
tangannya di bawah kepala. Para mullah telah memutuskan bahwa putra Ayub akan
dimasukkan ke neraka karena caranya bercelana. Mereka mengklaim bahwa hal itu
terdapat dalam hadis. "Aku sudah memikirkannya," ujar Sohrab.
"Dan?" "Aku merasa takut."
"Aku tahu ini memang sedikit menakutkan," aku berusaha menggapai benang harapan
yang terkulai itu. "Tapi kau akan dengan cepat mempelajari bahasa Inggris dan
kau akan terbiasa dengan-"


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan itu maksudku. Itu juga membuatku takut, tapi
"Tapi apa?" Dia berguling menghadapiku. Memeluk lututnya. "Bagaimana kalau kau merasa bosan
padaku" Bagaimana kalau istrimu tidak menyukaiku?"
Aku berjuang menuruni ranjang dan menyeberangi jarak yang terbentang di antara
kami. Aku duduk di sampingnya. "Aku tak akan pernah merasa bosan denganmu,
Sohrab," ujarku. "Tidak akan pernah. Peganglah janjiku. Kau adalah keponakanku,
ingat" Dan Soraya jan, dia wanita yang sangat baik hati. Percayalah padaku, dia
akan menyayangimu. Aku juga menjanjikan hal ini padamu." Aku merasa mendapatkan
kesempatan. Aku meraih tangannya. Tubuhnya sedikit tegang namun dia membiarkanku
menggengam tangannya. "Aku tak mau lagi dimasukkan ke panti asuhan," katanya.
"Aku tak akan membiarkan itu terjadi. Aku berjanji." Aku menggenggam tangannya
dengan kedua tanganku. "Pulanglah bersamaku."
Airmatanya membasahi bantal. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat.
Lalu tangannya membalas genggamanku. Dan dia mengangguk. Dia mengangguk.
Sambungan itu terhubung setelah aku mencoba empat kali. Telepon berdering
sebanyak tiga kali sebelum dia mengangkatnya. "Halo?" Saat itu pukul 19.30 di
Islamabad, kira-kira saat yang sama di pagi hari di California. Artinya, Soraya
telah terbangun sejam yang lalu dan sedang bersiap-siap berangkat mengajar ke sekolah.
"Ini aku," ujarku. Aku duduk di ranjang, memerhatikan Sohrab yang tertidur
lelap. "Amir!" dia hampir menjerit. "Kau baik-baik saja" Di mana kau sekarang?"
"Aku di Pakistan." "
"Mengapa kau tidak pernah menelepon" Aku sakit-sakitan karena tashweesh-
khawat\r\ Ibuku ber-doa dan melaksanakan nazar tiap hari."
"Maafkan aku karena tidak meneleponmu. Sekarang aku baik-baik saja." Aku
mengatakan padanya bahwa aku hanya akan pergi selama seminggu, paling lama dua
minggu. Aku sudah pergi selama hampir sebulan. Aku tersenyum. "Dan sampaikan
pada Khala Jamila untuk berhenti menyembelih domba."
"Apa maksudmu 'sekarang baik-baik saja'" Dan kenapa suaramu seperti itu?"
"Jangan mengkhawatirkan hal itu sekarang. Aku baik-baik saja. Sungguh. Soraya,
aku harus menceriakan sesuatu padamu, cerita yang seharusnya kusampaikan sejak
dulu, tapi sebelumnya aku harus memberitahukan satu hal padamu."
"Apa itu?" tanyanya, dia menurunkan nada bicaranya sekarang, sepertinya dia
merasa cemas. "Aku tidak akan pulang sendirian. Aku akan membawa seorang anak laki-laki." Aku
terdiam. "Aku ingin kita mengadopsinya."
"Apa?" Aku melirik arlojiku. "Masih tersisa 57 menit lagi dalam kartu telepon bodoh ini
dan ada begitu banyak hal yang harus kuceritakan padamu. Duduklah." Aku
mendengar dia buru-buru menyeret sebuah kursi di atas lantai kayu. "Ayo
ceritakan," katanya.
Lalu aku melakukan apa yang tak kunjung kulakukan sepanjang 15 tahun pernikahan
kami: aku menceritakan segalanya pada istriku. Segalanya. Telah begitu sering
aku membayangkan saat ini, membiarkan keengganan mengambil alih, namun, saat aku
akhirnya bicara, aku merasakan sebuah beban terangkat dari dadaku. Aku
membayangkan Soraya mengalami hal yang sama pada malam khastegah kami, saat dia
mencurahkan masa lalunya padaku.
Saat aku selesai bercerita, dia menangis tersedu-sedu.
"Bagaimana menurutmu?" aku bertanya.
"Aku tak tahu harus bagaimana, Amir. Kau mengatakan begitu banyak hal
sekaligus." "Aku tahu itu."
Aku mendengarnya membersihkan hidung. "Tapi yang kutahu adalah: Kau harus
membawanya pulang. Aku ingin kau melakukannya."
"Apa kau yakin?" aku menutup mataku dan tersenyum.
"Apa aku yakin?" jawabnya. "Amir, dia adalah qaom-mu, keluargamu, jadi dia
adalah qaom-ku juga. Tentu saja aku yakin. Kau tidak bisa meninggalkan dia di
jalanan." Dia terdiam sejenak. "Seperti apa dia?"Aku menatap Sohrab yang
tertidur di ranjang. "Dia manis, tapi juga sendu."
"Siapa yang bisa menyalahkannya?" katanya. "Aku ingin bertemu dengannya, Amir.
Sungguh." "Soraya?" "Ya." "Dostet darum." Aku mencintaimu.
"Aku juga mencintaimu," balasnya. Aku bisa mendengar senyuman dalam suaranya.
"Dan berhati-hatilah."
"Tentu. Dan satu lagi. Jangan dulu katakan pada orangtuamu siapa dia. Kalau
mereka ingin tahu, akulah yang harus menceritakannya."
"Oke." Kami menutup telepon. Halaman luar kedutaan besar Amerika di Islamabad terpangkas rapi, di sana-sini
dihiasi rumpun-rumpun tanaman bunga, dan dibatasi oleh tanaman perdu yang juga
terpangkas rapi. Gedungnya sendiri menyerupai kebanyakan bangunan di Islamabad:
beratap datar dan bercat putih. Kami berjalan melewati beberapa portal untuk
mencapainya dan tiga penjaga keamanan yang berbeda memerintahkan penggeledahan
padaku karena kawat yang terpasang di rahangku menyalakan detektor logam. Saat
akhirnya kami masuk ke dalam gedung dan meninggalkan udara yang panas menyengat,
udara berAC menerpa wajahku bagaikan percikan air es. Sekretaris yang bertugas di lobi
seorang wanita berwajah tirus, berambut pirang, dan berusia SD-an tersenyum saat
aku menyebutkan namaku. Dia mengenakan atasan cokelat muda dan celana panjang
hitam wanita pertama yang kulihat selama berminggu-minggu ini yang berpakaian
selain burqa atau gamis. Dia mencari namaku dalam daftar janji sambil mengetuk-
ngetukkan ujung pensilnya yang berpeng-hapus ke meja. Dia menemukan namaku dan
menyuruhku duduk. "Anda mau limun?" dia bertanya.
"Tidak perlu, terima kasih," jawabku.
"Bagaimana dengan putra Anda?"
"Maaf?" "Pria muda yang tampan itu," katanya sambil tersenyum kepada Sohrab.
"Oh. Boleh juga, terima kasih."
Aku dan Sohrab duduk di sofa kulit hitam di seberang meja penerimaan, di dekat
tiang tinggi berbendera Amerika. Sohrab memungut sebuah majalah dari permukaan
kaca meja kopi. Dia membalik-balik halamannya, tidak benar-benar mengamati
gambar-gambarnya. "Apa?" tanya Sohrab.
"Maaf?" "Kau tersenyum."
"Aku sedang memikirkanmu," ujarku.
Dia memberiku senyuman gugup. Memungut majalah lain dan menyelesaikan seluruh
halamannya kurang dari semenit.
"Jangan takut," aku menyentuh lengannya. "Orang-orang di sini ramah. Santai
saja." Nasihat itu berlaku juga untukku. Aku tidak bisa duduk tenang, membuka
dan mengikat kembali tali sepatuku. Sekretaris itu meletakkan sebuah gelas
tinggi berisi limun dingin di meja kopi. "Ini dia."
Sohrab tersenyum malu-malu. "Thank you very much," dia mengucapkannya dalam
bahasa Inggris. Kedengarannya seperti "Tank you wery match." Hanya itulah bahasa
Inggris yang dia tahu, dia pernah berkata padaku, itu dan "Have a nice day."
Wanita itu tertawa. "Terima kasih kembali." Dia berjalan kembali ke mejanya, hak
tinggi pada sepatunya mengetuk-ngetuk lantai.
"Have a nice day," seru Sohrab.
Raymond Andrews adalah seorang pria pendek bertangan kecil, dengan kuku-kuku
yang terawat sempurna, dan cincin kawin tersemat di jari. Dia mengangguk dengan
tegas padaku; rasanya seperti meremas burung gereja. Tangan-tangan itulah yang
menggenggam nasib kami, pikirku saat kami mengambil tempat duduk di hadapannya.
Sebuah poster Les Miserabies menempel di tembok di belakangnya, bersebelahan
dengan peta topografi AS. Sebuah pot berisi tanaman tomat diletakkan di ambang
jendela yang bermandikan cahaya matahari.
"Rokok?" tanyanya, suaranya bariton dalam dan terdengar aneh jika disandingkan
dengan sosoknya yang kurus.
"Tidak, terima kasih," jawabku, tanpa memedulikan arah tatapan Andrews yang
hampir tak pernah tertuju pada Sohrab, atau sikapnya yang tidak melihatku sama
sekali saat kami berbicara. Dia membuka laci mejanya dan menyalakan sebatang
rokok yang diambil dari kotak yang tinggal berisi setengah. Dia juga
mengeluarkan sebotol lotion dari laci yang sama. Dia menatap tanaman tomatnya
seraya mengoleskan lotion itu ke tangan, sementara rokok menggantung di sudut
mulutnya. Lalu dia menutup laci itu, meletakkan sikutnya di meja, dan menghela
napas. "Jadi," katanya, mengerutkan matanya melawan asap, "ceritakan kisah
Anda." Aku merasa bagaikan Jean Valjean yang duduk berhadapan dengan Javert. Kuingatkan
diriku bahwa saat ini aku sedang berada di wilayah Amerika, pria ini berada
dalam timku, dia dibayar untuk menolong orang-orang sepertiku. "Saya ingin
mengadopsi anak ini, membawanya pulang ke Amerika bersama saya," ujarku.
"Ceritakan kisah Anda," ulangnya sambil melumatkan secuil abu yang hinggap di
atas mejanya yang tertata rapi dengan jari telunjuknya, lalu menjentikannya ke
tempat sampah. Aku menceritaka n padanya versi kejadian yang telah kususun di kepalaku sejak
aku selesai berbicara dengan Soraya. Aku pergi ke Afghanistan
untuk menjemput putra adik tiriku. Aku menemukan anak itu dalam kondisi
mengenaskan, terlunta-lunta di panti asuhan. Aku membayarkan sejumlah uang pada
direktur panti asuhan dan mengeluarkan anak itu. Lalu aku membawanya ke
Pakistan. "Anda paman tiri anak ini?"
"Ya." Dia melirik arlojinya. Mencondongkan badannya dan memutar pot tomat di ambang
jendela. "Ada orang yang bisa menjadi saksi?"
"Ya, tapi saya tidak tahu di mana dia sekarang."
Dia berpaling menatapku dan mengangguk. Aku mencoba membaca ekspresi wajahnya
dan gagal. Aku bertanya-tanya, apakah dia pernah menggunakan tangan kecilnya itu
untuk bermain poker. "Saya kira memasang kawat di rahang bukan tren mode terbaru," katanya. Kami
mendapat masalah, aku dan Sohrab, dan aku menyadarinya saat itu juga. Aku
mengatakan padanya bahwa kami dirampok di Pesshawar.
"Tentu saja," katanya. Dia berdeham. "Anda Muslim?"
"Ya." "Menjalankannya?"
"Ya." Kenyataannya, aku tak ingat lagi kapan terakhir kalinya aku memanjatkan
doa sambil menempelkan keningku di lantai. Lalu aku teringat: hari itu, saat Dr.
Amani menyampaikan prognosis Baba. Aku bersujud di atas sajadah, berusaha
mengingat potongan-potongan ayat yang kupelajari
di sekolah. "Bisa membantu dalam kasus Anda, tapi tidak banyak," dia menggaruk kepalanya
yang berambut kelabu pasir tanpa cela.
"Apa maksud Anda?" tanyaku. Aku meraih tangan Sohrab, menjalinkan jariku dengan
jarinya. Sohrab menjatuhkan pandangannya dengan ragu-ragu padaku, lalu pada
Andrews. "Ada penjelasan panjang yang saya yakin akhirnya akan saya sampaikan juga pada
Anda. Anda mau mendengar yang pendek lebih dahulu?"
"Rasanya ya," jawabku.
Andrews melumatkan rokoknya, bibirnya berkerut. "Menyerahlah." "Maaf?"
"Petisi Anda untuk mengadopsi anak muda ini. Menyerahlah. Itu nasihat saya untuk
Anda." "Saya mendengarkan," ujarku. "Sekarang, mungkin Anda mau menjelaskan kepada
saya, mengapa saya harus melakukannya."
"Artinya, Anda menginginkan penjelasan yang panjang," katanya, suaranya tidak
menunjukkan sedikit pun emosi, tidak menunjukkan reaksi atas nada ketusku. Dia
menempelkan kedua telapak tangannya, seolah-olah dia sedang berlutut di hadapan
Bunda Maria. "Katakan saja kisah yang Anda sampaikan pada saya benar-benar
terjadi, meskipun saya berani mempertaruhkan dana pensiun saya, banyak bagian
dari cerita itu yang merupakan hasil karangan dan banyak juga bagian yang
dihilangkan. Bukannya saya peduli, maaf.
Anda di sini, dia di sini, itulah yang penting. Biarpun begitu, petisi Anda
menghadapi rintangan yang signifikan, yang paling berat adalah anak ini bukan
yatim piatu." "Dia yatim piatu."
"Secara hukum tidak."
"Orangtuanya dibantai di jalanan. Para tetangga menyaksikannya," sergahku. Aku
merasa lega karena kami berbicara dalam bahasa Inggris.
"Anda punya surat kematian?"
"Surat kematian" Kita sedang membicarakan Afghanistan. Sebagian besar penduduk
negara itu tidak punya surat keiahiran."
Matanya yang tanpa ekspresi sepertinya tak pernah berkedip. "Bukan saya yang
membuat hukum ini, Sir. Semarah apa pun Anda, Anda masih harus membukti-kan
bahwa orangtua anak ini meninggal karena penyakit. Anak ini harus dinyatakan
sebagai yatim piatu yang sah secara hukum."
"Tapi-" "Anda menginginkan penjelasan yang panjang dan saya sudah memberikannya. Masalah
Anda berikutnya adalah Anda membutuhkan kerja sama dari negara asal anak ini.
Nah, ini masalah yang berat mengingat keadaan saat ini dan, seperti yang Anda
bilang, kita sedang membicarakan tentang Afghanistan. Tidak ada kedutaan besar
Amerika di Kabul. Itulah yang membuat hal ini benar-benar rumit. Hampir-hampir
tak mungkin." "Jadi menurut Anda, saya sebaiknya menelantarkan dia kembali ke jalanan?"
tanyaku. "Saya tidak berkata begitu."
"Dia mengalami pelecehan seksual," aku teringat akan lonceng yang terikat pada
pergelangan kaki Sohrab, celak di seputar matanya.
"Saya ikut bersedih mendengar hal itu," Andrews bergumam. Tapi, dari caranya
menatapku, seolah-olah kami sedang mengobrolkan tentang cuaca. "Tapi hal itu
tidak akan membuat INS mengeluarkan visa untuk anak muda ini."
"Apa maksud Anda?"
"Maksud saya, kalau Anda ingin memberikan bantuan, kirimlah dana ke organisasi
sosial yang tepercaya. Jadilah sukarelawan di salah satu kamp pengungsian. Tapi
pada saat ini, kami memberikan larangan keras pada warga negara AS yang mencoba
mengadopsi anak-anak Afghan."
Aku berdiri. "Ayo, Sohrab," ajakku dalam bahasa Farsi. Sohrab berdiri di
sampingku, menyandarkan kepalanya ke pinggulku. Aku teringat akan foto Polaroid
itu, di mana dia dan Hassan berdiri dalam pose yang sama. "Bisakah saya
menanyakan sesuatu, Mr. Andrews?"
"Ya." "Anda punya anak?" Untuk pertama kalinya, dia berkedip. "Punyakah Anda" Ini
pertanyaan sederhana." Dia tidak berkata-kata.
"Sudah saya kira," aku meraih tangan Sohrab. "Seharusnya mereka menempatkan
seseorang yang tahu rasanya menginginkan seorang anak di posisi Anda." Aku
membalikkan badan dan Sohrab
mengikutiku. "Bisakah saya menanyakan sesuatu?" Andrews memanggilku.
"Silakan." "Apakah Anda sudah menjanjikan pada anak ini bahwa Anda akan mengajaknya?"
"Bagaimana kalau begitu?"
Dia menggelengkan kepala. "Urusan yang berbahaya, menjanjikan sesuatu pada anak-
anak." Dia menghela napas dan membuka lagi laci mejanya. "Anda mau
memperjuangkannya?" dia mengaduk-aduk dokumennya.
"Saya mau memperjuangkannya."
Dia mengeluarkan sehelai kartu nama. "Kalau begitu, saya sarankan Anda mencari
pengacara imigrasi yang bagus. Omar Faisal bekerja di sini, di Islamabad. Anda
bisa mengatakan padanya bahwa saya mengirim Anda menemuinya."
Aku mengambil kartu nama itu. "Terima kasih," gumamku.
"Semoga beruntung," katanya. Saat kami keluar ruangan, aku berpaling. Andrews
duduk di bawah terpaan cahaya, menatap jendela tanpa ekspresi, tangannya memutar
pot tomat menuju ke arah cahaya matahari, membelainya dengan penuh kasih sayang.
"Sampai jumpa," ucap sekretaris itu saat kami
melewati mejanya. "Bos Anda sebaiknya belajar sopan santun," ujarku. Kupikir dia akan memutar
matanya, mungkin mengangguk dengan cara yang mengesankan "aku tahu, semua orang
Neraka Hitam 9 Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram Pertarungan Di Bukit Jagal 1
^