Pencarian

Natasha 5

Natasha Karya Viktor Malarek Bagian 5


Pembela, Ellen Barry, yang mewakili Valeriy Komisaruk, menyatakan kepada dewan
juri bahwa orang-orang asing yang diselundupkan - saksi-saksi yang dihadirkan
penuntut - tidak tak bersalah. "Mereka bersedia menipu siapa pun yang perlu
ditipu supaya bisa menyeberangi perbatasan,"
katanya. "Dan ketika mereka tertangkap dan mengetahui apa yang hendak ditawarkan
pemerintah kepada mereka, mereka bersedia berbuat dan mengatakan apa saja yang
diperlukan." Barry menambahkan bahwa kliennya membantu mewujudkan impian orang-
orang Ukraina yang ingin mendapat kehidupan lebih baik di Amerika Serikat.
"Impian mereka begitu kuat, sampai-sampai mereka melakukan apa pun yang mereka
bisa untuk datang kemari."
Tujuh minggu kemudian, setelah tiga hari berpikir, sang dalang beserta antek-
anteknya dinyatakan bersalah. Tetyana lantas dijatuhi hukuman empat belas tahun
penjara, Valeriy dua belas tahun penjara, dan Mezheritsky tujuh belas setengah
tahun penjara. Semuanya termasuk hukuman berat yang diharapkan menjadi
peringatan kepada para penjahat yang mau mencoba-coba berusaha menyelundupkan
orang dan trafiking perempuan.
Tapi yang tak pernah disentuh oleh persidangan adalah bahwa pembunuhan Lyuda
Petushenko bisa saja dicegah, begitu pula penderitaan yang dialami enam
perempuan muda Ukraina selama enam minggu yang berat. Andai FBI langsung
menggulung sindikat penyelundup itu segera setelah mengetahui apa yang terjadi,
Barangkali Petushenko masih hidup sekarang dan keenam perempuan Ukraina yang
dipaksa melacur kiranya tak perlu membawa mimpi buruk seumur hidup.
Buktinya tidaklah belum cukup atau terlalu lemah untuk bisa ditanggapi. Berbagai
lembaga penegak hukum AS yang terlibat penyelidikan kasus penyelundupan tersebut
mengaku sudah mengetahui fakta dan peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan
mereka. Tanda peringatan sudah ada di mana-mana. Dalam satu dari banyak berita
acara pemeriksaan yang diajukan FBI, agen khusus Hiram Prado dari Patroli
Perbatasan AS berkata bahwa setelah mendengarkan rekaman sadapan, dan berdasarkan pengetahuan
serta pengalamannya, dia percaya Tetyana dan suaminya sedang berbicara mengenai
"penyelundupan perempuan ke Amerika Serikat untuk dijadikan pelacur." Juga
dikatakannya bahwa dia percaya gadis-gadis itu diselundupkan untuk dijadikan
pelacur "oleh Vinitsky dan yang lain" dan bahwa Vinitsky menghubungi rekan-
rekannya di Ukraina "untuk membujuk gadis-gadis" supaya mau pergi ke Amerika
Serikat. Terjemahannya: gadis-gadis Ukraina itu tak berkehendak terlibat prostitusi.
Tentu saja, berita acara tersebut hanyalah satu di antara banyak dokumen yang
menunjukkan bahwa FBI tahu benar apa yang sedang terjadi, tapi tak melakukan
apa-apa untuk menghentikannya sampai akhirnya sudah terlambat. Dan awalnya saja
sudah kelihatan bahwa kasus itu adalah kasus klasik trafiking perempuan untuk
eksploitasi seksual. Sadapan telepon menunjukkannya. Dokumen-dokumen yang dibuat para penyelidik juga
jelas-jelas menyatakannya. Juga penting diperhatikan bahwa pada saat para
perempuan Ukraina itu sedang "diawasi", aparat AS
menciduk beberapa orang Ukraina lain dalam lima "peristiwa penyelundupan" lain.
Perbedaannya adalah pada kelima peristiwa itu, tak satu pun yang akan
dipekerjakan sebagai pelacur, karena mereka semua punya teman dan kerabat di AS
yang sudah membayar seluruh biaya penyelundupan.
Satu-satunya kesimpulan yang bisa dibuat - karena FBI tak mau berkomentar - adalah
bahwa aparat AS meihat ada kasus trafiking perempuan yang potensial, dan karena
isu trafiking itu sensitif secara politis, mereka ingin menungganginya. Buat apa
lagi mereka menunggu, kalau bukan karena alasan itu" Para perempuan itu harus
benar-benar jadi korban trafiking dulu, lalu kasusnya dikembangkan dengan
selengkap-lengkapnya. Dengan kata lain, seperti hewan kurban, perempuan-perempuan Ukraina itu mesti
dipaksa melacur dan diperkosa.
KASUS L.A., walau amburadul, belum cukup untuk menurunkan peringkat AS ke
tingkat lebih rendah. Akan tetapi, AS juga harus dinilai berdasarkan apa yang
dilakukan para dutanya di negara-negara asing, dan berdasarkan itu saja AS layak
digantung di Tingkat Tiga. Pertama, sebagian besar turis seks yang berkeliling
dunia mencari kenikmatan sesaat adalah laki-laki warga negara AS. Selain itu,
sejumlah insiden internasional terang-terangan menunjukkan bahwa orang Amerika
tak selalu mempraktikkan segala yang mereka khotbahkan, dan kalau tertangkap
basah, mereka seenaknya bersembunyi di balik isu geopolitik.
Ketika menempatkan Korea Selatan di Tingkat Tiga pada lapoan TIP
pertama, Departemen Luar Negeri AS (memang pantas) menuduh pemerintah Korea
Selatan "tak berbuat banyak untuk memerangi masalah trafiking manusia yang makin
parah." Tak perlu diulang lagi bahwa tamparan itu memicu balasan sengit dari
orang-orang Korea Selatan, sekutu penting AS di Timur Jauh. Kata-kata kunci
dalam penilaian oleh AS adalah bahwa trafiking di Korea Selatan "relatif masih
baru dan makin parah."
Tetapi ketika para pejabat Korea Selatan menjelaskan akar permasalahannya dengan kata-kata yang jitu dan tanpa basabasi kepada Amerika
Serikat secara tertutup, para pejabat Departemen Luar Negeri AS
jadi pontang-panting membetulkan "kekeliruannya".
Setahun kemudian, Korea Selatan melonjak ke kelompok negara tingkat atas pada
laporan TIP 2002, yang menyatakan negara tersebut
"sudah memenuhi syarat standar minimal pemberantasan trafiking." Tapi, hanya
tiga bulan sebelumnya, Country Report on Human Rights Practices yang juga
dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa
"perempuan-perempuan dan Rusia diboyong ke [Korea Selatan] untuk eksploitasi
seksual." Jadi, apa sebenarnya yang menyebabkan Departemen Luar Negeri AS
menjilat ludahnya sendiri" Jawabannya bisa ditemukan tak jauh dari gerbang
sekitar 100 pangkalan militer AS di Korea Selatan, tempat 37.000
serdadu Amerika bercokol demi membela demokrasi dan kemerdekaan. Di sekitar tiap
pangkalan terdapatlah "kota kamp", atau penjabarannya yang lebuh gamblang,
"taman bermain" seks untuk para GI Amerika. Para prajurit bergerombol di ratusan
bar dengan nama-nama seperti America, Dallas, Hollywood, USA, Las Vegas, Double
Deuce, Cowboy, dan New York.
"Kota kamp" yang paling terkenal adalah Tongduchon, di sebelah Camp Casey,
pangkalan militer Amerika Serikat terbesar yang menampung 13.000 GI dan Divisi
Infantri Ke2. Di dalam klub-klub malam Tongduchon, yang penuh dengan tanda-tanda
berbahasa Korea yang menyatakan "hanya untuk orang asing," hostes-hostes
berpakaian minim dari Rusia dan Filipina berebut perhatian para prajurit yang
kesepian. Resminya, gadis-gadis itu adalah "petugas penerima tamu". Para
prajurit dengan bercanda menyebut mereka "juicy girls". Dalam ruang-ruang gelap,
pemuda-pemuda menggerayangi perempuan-perempuan itu, atau membayar lebih untuk
memakai kamar belakang. Menurut peraturan militer AS, prajurit dilarang
mengunjungi bar-bar mesum semacam itu dan yang tertangkap basah akan dikenai
hukuman. Serdadu AS juga harus menuruti hukum negara tempat mereka bertugas, dan
prostitusi adalah ilegal di Korea Selatan.
Pemerintah Korea Selatan sama bersalahnya dengan militer Amerika Serikat dalam
urusan tersebut. Ketika perempuan-perempuan asing memasuki Korea Selatan dengan
visa pekerja hiburan, pejabat-pejabat pemerintah tahu benar mereka akan ke mana
dan akan berbuat apa. Kasarnya, mereka cuma sasaran bagi sesuatu yang diistilahkan dengan R
and R (Rest and Rehabilitation), aktivitas yang sudah ada semenjak pasukan AS
pertama kali datang di negara itu pada 1950an.
Dulu, bar-bar kota kamp penuh perempuan Korea yang melarat dan putus asa.
Tetapi, seiring berjalannya waktu dan membaiknya ekonomi, warga setempat jadi
lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik. Bar-bar mulai kosong, dan kekosongan itu
mesti diisi, dengan cara apa pun. Jadi, para pemilik klub bersatu di bawah
Asosiasi Turisme Istimewa Korea dan pada akhir 1990 an mulai melobi pemerintah
agar memperkenankan perempuan asing bekerja sebagai hostes di Korea Selatan.
Hasilnya, dibuatlah visa hiburan E6, dan Asosiasi Turisme Istimewa pun mulai
berburu bakat asing. Urusannya gampang: tinggal angkat telepon dan hubungi orang yang kenal orang
yang punya koneksi dengan kejahatan terorganisasi. Langsung saja sasarannya
ditentukan: perempuan Rusia dan Filipina.
Laporan yang disusun Departemen Kehakiman Korea Selatan menunjukkan bahwa antara
1999 dan 2002 jumlah visa E6 yang dikeluarkan untuk perempuan asing meningkat 50
persen lebih tiap tahun. Pada 1999
ada 2.522 visa E6 dikeluarkan. Setahun kemudian, 4.317. Pada 2001
jumlahnya melonjak lagi jadi 6.930, dan pada paro pertama 2002 saja sudah
dikeluarkan 6.930 visa. Lebih daripada 4.200 perempuan di antara ke semua
penerima visa tercatat akan bekerja di bar, klub malam, dan hotel dalam kota-
kota kamp dekat pangkalan-pangkalan militer AS. Pada 2002
sebagian besar "penghibur" adalah perempuan Rusia, sejumlah 1.313 orang, diikuti
1.471 dan Filipina, 643 dan Uzbekistan, 126 dan Cina, 113 dan Ukraina, 44 dan
Bulgaria, dan 34 dan Kazakhstan.
Visa E6 adalah rahasia umum. Kepolisian Korea sudah mengakui di depan umum bahwa
visa tersebut hanyalah kedok untuk prostitusi.
Kelompok aktivis perempuan Korea telah mendokumentasikan banyak kasus di mana
para pemegang visa E6 merupakan korban trafiking yang dilakukan sindikat
prostitusi. Dengan kata lain, perempuan-perempuan itu tidaklah bebas. Mereka
dibeli dan dimiliki mucikari mereka, biasanya pemilik bar, dan diwajibkan
bekerja untuk menebus harga pembelian mereka dengan melayani serdadu-serdadu
Amerika. Laporan berjudul "A Review of Data on Trafficktng in the Republic of Korea" oleh
International Organization for Migration yang dirilis di markas besarnya di
Jenewa pada September 2002 menyimpulkan bahwa
"penderitaan kaum perempuan korban trafiking di Korea Selatan cukup serius."
Laporan itu menuduh bahwa perempuan-perempuan muda asing terbujuk pergi ke Korea
karena mereka dianggap "diperlukan demi keberlangsungan bisnis kota kamp
militer, yang meredup karena menurunnya pasokan perempuan Korea Selatan."
Penelitiannya juga menyinggung keterlibatan kejahatan terorganisasi dalam
masuknya perempuan-perempuan asing ke negara itu dan memperkirakan bahwa ratusan
perempuan asing didatangkan tiap bulan hanya untuk digunakan oleh industri seks.
Komando militer AS sudah lama mengetahui situasinya. Semua orang di Pentagon
tahu. Kiranya para petinggi militer buta kalau mereka sampai tak melihat jejeran
bar selagi keluar masuk kamp. Tapi praktik tersebut dibiarkan terus berlangsung.
Bagaimanapun juga, laki-laki memang seperti itu, dan di mata para komandan
mereka, para serdadu layak mendapat sedikit R and R.
Korea Selatan bukanlah satu-satunya tempat pasukan AS berasyik masyuk di benua
lain di balik bola dunia, tentara Amerika - bersama-sama tentara sejumlah negara
lain - menghabiskan waktu luangnya ditemani budak-budak seks yang disekap di
banyak bordil dan bar di BosniaHerzegovina dan provinsi Serbia yang memberontak,
Kosovo. Banyak korbannya - terutama berasal dari Moldova, Romania, Ukraina, dan
Bulgaria - baru berumur belasan. Dan, para prajurit tahu sebagian besar gadis itu
adalah korban trafiking. Selama tiga tahun kemarin, sejumlah penggerebekan untuk membebaskan perempuan-
perempuan korban trafiking telah dilaksanakan di seantero kawasan tersebut oleh
anggota-anggota kepolisian internasional PBB. Tapi ada satu daerah yang
cenderung dihindari polisi internasional - sektor yang dikuasai AS di Kosovo.
Polisi yang hendak merazia bordil di sektor itu harus minta izin langsung
komando militer AS dulu. Pada Oktober 2001, untuk meneliti isu trafiking, saya pergi ke Pristina, ibu
kota Kosovo. Di sana saya menemui satu tim beranggotakan opsir-opsir polisi
berdedikasi, Trafficking in Prostitution Investigation Unit (TPIU), dan mendapat
lampu hijau untuk ikut serta dalam sejumlah penggerebekan bordil. Semua
penggerebekan itu akan dilakukan di sektor Amerika. Yang terjadi sungguh
mengguncangkan sekujur diri saya dan membukakan mata saya kepada kenyataan yang
terjadi. JOHN RANDOLPH berjalan santai melalui koridor gedung pengadilan yang ramai di
Pristina dengan kepercayaan diri dan sikap khas seorang kepala polisi AS. Dia
terlihat keren berpakaian seragam biru gelap yang dihiasi bendera Amerika dan
berbagai lencana. Randolph bertubuh tegap, bertinggi 180 cm lebih, berambut
cokelat gelap, dan bermata tajam. John Randolph, yang aslinya adalah petugas
penegak hukum dari Houston, Texas, bergabung dengan DynCorp, perusahaan Amerika
yang merekrut opsir-opsir polisi AS guna bekerja sebagai polisi internasional
untuk PBB di berbagai daerah konflik di dunia. Misi Randolph adalah menghadirkan
hukum dan keteraturan di Kosovo yang kacau balau. Sayangnya, dia mendapat
penempatan yang kurang enak, sebagai anggota TPIU di daerah tertinggal bernama
Gnjilane, kota yang disebutnya "tempat mesum" akibat banyaknya bordil di sana.
Pada suatu hari, awal Oktober 2001, John Randolph sedang berada di gedung
pengadilan, mengantar tiga gadis remaja melalui apa yang katanya adalah sistem
pengadilan. Gadis-gadis itu pada minggu sebelumnya diselamatkan dalam suatu
penggerebekan bordil di Feffazaj yang tak jauh dari sana. "Kami amankan tujuh
gadis dan Mega Bar," Randolph memulai pelan-pelan. "Mereka semua dipaksa melacur
oleh pemilik tempat itu. Kami segel Mega Bar dan sekarang kami mencoba membuat
hakim mendengarkan cerita para gadis itu mengenai apa yang mereka alami.
Masalahnya, hakim-hakim di sini lebih suka percaya orang sebangsa mereka
daripada gadis-gadis itu. Mereka lebih suka menganggap gadis-gadis itu pelacur
dan bukan apa-apa." Randolph adalah polisi yang terfokus dan dia tak akan membiarkan hakim yang
plin-plan mengacaukan kasusnya. Dia sudah banyak berusaha dalam penggerebekan
Mega Bar dan dia jelas bangga dengan hasilnya.
Nyaris bangga, sebenarnya. Belakangan, sambil duduk menikmati cappuccino di kafe
seberang gedung pengadilan, Randolph mengomel mengenai parahnya situasi di
provinsi Balkan yang morat-marit itu.
Di sini enggak ada hukum. Tempat ini korup enggak ketulungan.
Pemilik bar enggak peduli polisi internasional ataupun lokal. Hakim di sini
pemalas, cuek, korup, penakut, atau punya hubungan dengan terdakwa, atau
campuran semua itu. Mereka semua enggak bisa dipercaya.
Yang paling bikin aku marah adalah payahnya PBB di sini. Kalau ada sepuluh
polisi internasional, delapan orang cuma ongkang-ongkang kaki makan gaji buta.
Di kantorku ada enam orang dan aku kerja banting tulang sendirian. Kubilang,
"Kalau enggak mau kerja, sana pulang saja." Mereka cuma memelototiku dan
bersantai lagi. Tapi ada satu hal lagi yang mengganggu Randolph - sesuatu yang lebih mendalam,
lebih jahat, dan saya terkejut ketika akhirnya dia membeberkannya ketika
bercerita mengenai penggerebekan Mega Bar.
Waktu aku bawa Cewek-cewek itu keluar, mereka malah melambaikan tangan dan
senyum-senyum ke empat prajurit KFOR
[pasukan PBB di Kosovo] dan dua polisi internasional. Semuanya orang Amerika. Di
kantor kutanya Cewek-cewek itu apa mereka kenal dengan orang-orang yang mereka
sapa tadi, dan mereka semua cekikikan. Cewek-cewek itu bilang, polisi-polisi dan
prajurit-prajurit itu kemarin-kemarin datang ke bar sambil berkoar-koar "Kami
ini hukum. Kami bisa tutup tempat ini," dan sesudah minum beberapa gelas, mereka dikasih
gratisan. Semuanya dapat "Texas breathalyzer".
"Apa itu Texas breathalyzer?"
"Sebutan buat seks oral di Texas. Aku kesal dan marah sekali pada orang-orang
itu. Inilah kami, pasukan penjaga perdamaian PBB yang mencoba menegakkan hukum
dan keteraturan, dan anggota-anggota kami ada di luar sana mendapat seks gratis
dari gadis-gadis yang dipaksa menjadi budak seks."
"Terus apa yang kamu lakukan?"
"Belum ada. Kupikir mereka mesti diadukan ke bagian Urusan Internal."
Hari berikutnya saya kembali ke gedung pengadilan. Tiga gadis Romania yang
diselamatkan dalam penggerebekan Mega Bar dijadwalkan memberi pernyataan kepada
hakim. Oleksander Mazur, polisi Ukraina tanpa kompromi yang bertugas dalam TPIU
Pristina, membawa saya ke satu ruangan di ujung gedung tempat gadis-gadis itu
menunggu. Seorang perempuan penerjemah duduk diam di bangku, di seberang para
gadis. Si penerjemah sedang membaca majalah mode.
Mazur tersenyum hangat kepada gadis-gadis itu dan menanyakan kabar mereka dengan
bahasa Ukraina. Mereka terkekeh gugup dan mengangkat bahu. "Lihatlah mereka.
Mereka cuma gadis-gadis biasa," kata Mazur, sambil menoleh ke saya. "Waktu kami
amankan mereka, mereka benar-benar kelihatan seperti pelacur murahan dengan
makeup tebal dan rok pendek sekali."
Tak seorang pun di antara gadis-gadis itu yang kelihatan berumur lebih daripada
enam belas atau tujuh belas. Mereka semua tegang dan menunjukkan kekhawatiran.


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seminggu sebelumnya, mereka adalah budak-budak seks, yang dipaksa melayani
selusin laki-laki tiap malam. Tapi pada hari itu, selain pucatnya kulit mereka,
penampilan mereka mengesankan seolah mereka anak sekolah menengah biasa,
mengenakan celana jeans, sweater, dan sepatu olahraga. Dua gadis berambut
cokelat pendek dan yang satu lagi rambutnya sebahu, berwarna gelap dengan
highlight. Wajah mereka segar dan polos, tapi mata mereka berkata lain. Mata mereka menunjukkan kesedihan, ketidakpercayaan,
ketakutan, dan kemarahan. Tak ada kesan kebahagiaan atau semangat anak muda.
Gadis-gadis itu tampak tak tahu arah dan saling berpegangan karena takut.
"Saya mau lihat dulu sedang apa si hakim," kata Mazur, yang lantas menghilang di
lorong bangunan yang ramai.
Kepada si penerjemah, saya bertanya, "Bagaimana gadis-gadis itu bisa sampai ke
Ferrazaj?" Si penerjemah menaruh majalahnya dan menerjemahkan pertanyaan itu kepada para
gadis. Semuanya menjawab dengan berbisik.
"Mereka dibawa dari Romania ke Serbia, lalu dibawa lewat pegunungan ke sini oleh
orang yang membeli mereka. Mereka pikir mereka akan bekerja sebagai pelayan,"
kata si penerjemah dengan nada tak acuh.
"Sudah berapa lama mereka di sini?"
Sambil menunjuk dua gadis berambut cokelat pendek, si penerjemah menjawab, "Yang
dua ini sudah empat bulan di sini. Kalau yang satunya lagi, tiga bulan."
"Apa mereka dipukuli di bar tempat mereka bekerja?"
Kembali beberapa kata diterjemahkan dan disampaikan.
"Mereka harus menuruti perintah. Kalau melawan, mereka dipukuli."
"Apakah pelanggan bar itu warga setempat?"
"Biasanya." "Selain warga setempat?"
"Mereka bilang banyak juga prajurit ... anggota pasukan penjaga perdamaian."
"Mereka tahu tidak prajurit-prajurit itu dari mana asalnya?"
"Amerika, Yunani, Turki, Rusia," kata gadis-gadis itu. Tanpa perlu
diterjemahkan. "Apakah mereka membayar?"
Pertanyaan itu diterjemahkan. Gadis-gadis tersebut menggelengkan kepala.
"Apakah mereka pernah meminta tolong kepada opsir polisi internasional yang
datang?" "Tidak," gadis-gadis itu sendiri yang menjawab, serempak.
"Kenapa tidak?"
"Mereka tak percaya polisi internasional."
Pada saat itu, Mazur datang dengan tergesa-gesa. "Ke sini sebentar.
John perlu bicara denganmu."
John Randolph kelihatan marah ketika dia bergegas menuju saya.
"Aku bicara dengan bosku di DynCorp tadi malam dan dia menyuruhku jangan
berurusan dengan kamu. Aku enggak boleh bicara ke wartawan."
"Mengapa?" saya tanyakan.
"DynCorp benci media!" serunya. "Bosku menyuruhku tidak bicara lagi denganmu dan
katanya kamu enggak boleh ikut penggerebekan lagi."
"Saya sudah memegang izin UNMIK [United Nations Mission in Kosovo] untuk ikut
penggerebekan," kata saya dengan kalem.
"Kalau yang terkait DynCorp, tidak bisa," balas Randolph.
Mazur menggamit saya. "Jangan khawatir," katanya. "DynCorp bukan bos saya. Kamu
bisa tetap ikut penggerebekan dan kalau John mau tetap di kantor, dia bisa tetap
di kantor." Pada 4 Oktober 2001, Derek Chappell, polisi dari Ottawa, Kanada, dan Romea
Ponza, polisi Italia, mendapat persetujuan dari markas besar UNMIK
untuk membawa saya dalam penggerebekan dengan sasaran lima bordil di Ferrazaj.
Chappell menjelaskan bahwa penggerebekan itu sangat dirahasiakan. Tak seorang
pun yang ikut dalam penggerebekan telah diberi tahu lokasi-lokasi yang akan
digerebek hingga beberapa saat sebelum berangkat. Semua telepon seluler harus
dimatikan selama taklimat, dan terus dimatikan. Dengan demikian, tak ada yang
bisa membocorkan apa yang akan terjadi kepada pemilik bar. Kami berencana
bertemu Mazur dan timnya di tempat taklimat - pangkalan pasukan PBB Ukraina di
luar Gnjilane - pada pukul 22:00. Pasukan penggerebek Ukraina dan satuan anjing
Ukraina akan menjadi ujung tombak penggerebekan. Setelah bar-bar diamankan, kami
akan masuk. Malam itu, Chappell, Ponza, dan saya naik jip menuju Feffazaj menuju perbatasan
dengan Makedonia. Perjalanan melalui jalan berliku-liku dan berlubang-lubang itu
menghabiskan waktu dua jam, melewati tiga pos jaga militer - satu milik Inggris,
satu Yunani, dan satu Amerika. Ketika kami akhirnya sampai di pangkalan militer
Ukraina, suasananya gelap dan sepi.
Seorang penjaga gerbang depan mempersilakan kami masuk ke dalam, menemui
komandan yang bertugas. Dia menyampaikan berita buruk.
"Saya barusan mendapat kabar dari Oleksander Mazur bahwa operasi penggerebekan
dibatalkan," kata si komandan.
Chappell meminta si komandan menelepon Mazur. Setelah tersambung, si komandan
memberikan teleponnya kepada kami.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi," kata Mazur, "Tadinya semua sudah siap dan
tahu-tahu saja orang-orang Amerika membatalkan penggerebekan.
Ada yang tidak beres di sini. Saya kesal sekali. Rasanya saya tak punya muka
untuk menghadapimu."
"Sudah bicara dengan John Randolph?" saya tanyakan.
"Ya. Dia sudah tahu mengenai pembatalan penggerebekan sebelum saya telepon.
Seperti yang sudah saya bilang, ini tidak beres."
Lalu Mazur berkata, pada hari itu juga, seorang perempuan Romania kabur dan satu
bar di Feffazaj dan berhasil mencapai Pristina. "Dia loncat dari jendela di
lantai tiga. Namanya Tina. Dia memberi tahu penyelidik TPIU
di sini bahwa ada dua gadis Romania lain yang disekap di bar. Bar itu termasuk
salah satu yang mau digerebek malam ini. Saya sendiri merasa tidak enak
karenanya." Saya meminta nomor telepon seluler Randolph dan Mazur. Mazur memberitahukannya.
Randolph sedang ada di suatu bar di Gnjilane waktu saya berhasil menghubunginya.
"Ada apa?" saya bertanya, sambil berusaha tetap bersikap tenang.
"Enggak bisa kuceritakan lewat telepon,"
"Kalau begitu biar aku ke tempatmu."
Bar tempat Randolph berada terletak di pinggir jalan becek berlubang-lubang di
pinggir kota. Ketika kami sampai, Randolph sedang berdiri di luar suatu bangunan
tak mencolok bersama seorang laki-laki parobaya dan seorang perempuan. Randolph
tak berseragam dan mengenakan celana jeans hitam, jaket kulit hitam dan kaos
hitam. Pasangan yang bersamanya itu orang-orang Amerika juga, dan menimbang dari
tubuh mereka yang montok, saya kira mereka bekerja di bagian administrasi.
Selagi mereka menuju pintu, saya melihat papan nama di atas jendela: DynCorp.
"Apa yang terjadi?" saya menanyai Randolph.
"Penggerebekan batal," dia katakan dengan tegas. Melihat pembawaannya, saya tahu
dia sudah mabuk. "Siapa yang membatalkan?"
"Komandan pasukan penjaga perdamaian Amerika di sini," jawabnya dengan kasar.
Di pintu menuju kantor DynCorp, si laki-laki gendut menoleh ke si perempuan dan
berkomat-kamit keras-keras, "Mestinya dia jangan banyak omong."
Chappell menyela. Dia hendak kembali ke pangkalan militer Ukraina untuk mencari
tahu lebih banyak mengenai keputusan membatalkan penggerebekan.
Setelah Chappell pergi, saya menanyai Randolph lagi, "Mengapa penggerebekan
dibatalkan?" "Sudah kubilang, komandan regional membatalkannya karena enggak diberi tahu
lebih dulu oleh TPIU. Protokol enggak diikuti, makanya dia kesal."
"Protokol!" seloroh saya," Sepengetahuan saya, ini mestinya operasi rahasia. Ini
juga operasi polisi untuk menggerebek bordil yang menyekap gadis-gadis, jadi
saya pikir tidak ada hubungannya dengan tentara Amerika."
Randolph tak menjawab. "Bagaimana komandan pasukan Amerika bisa tahu tentang penggerebekan?" saya
tanyakan. "Enggak tahu. Tanya saja sendiri."
Saya terus mencecar. "Apa kamu memberi tahu siapa-siapa tentang penggerebekan
ini?" "Kuberi tahu bos."
"Bos yang mana?"
"Bosku di sini, di Dyncorp."
"Kamu bercanda, ya" Kamu memberi tahu perusahaan yang memasok polisi AS ke
Kosovo tentang operasi rahasia polisi PBB! Kenapa perusahaan polisi sewaan
Amerika mesti ikut campur operasi PBB?"
Randolph mulai kelihatan tersinggung.
"Kamu bekerja untuk PBB dan operasi yang kamu jalankan adalah atas nama PBB,"
saya lanjutkan. "Menurutku, semua itu bukan urusan DynCorp."
"Aku kerja buat DynCorp dan Departemen Luar Negeri AS. Mereka itu bosku, dan
kalau mereka bilang aku enggak boleh ikut satu operasi, ya aku enggak ikut.
Mereka yang bayar gajiku. Mereka yang memberiku pekerjaan dan mereka bisa
memecat dan memulangkanku besok."
"Aku enggak percaya kamu sampai membocorkan operasi rahasia ke DynCorp." Amarah
saya meluap dan saya berusaha keras agar tidak kehilangan kendali. "Tahu enggak
soal gadis Romania yang tadi pagi kabur dari bar di Ferrazaj?"
"Ya, aku tahu."
"Mazur bilang dia memberi tahu polisi di Pristina kalau ada dua lagi gadis
Romania yang dikurung di bar itu. Mereka juga harus diselamatkan, kan?"
Randolph tak menjawab, tapi ekspresinya yang kacau-balau mengungkap segalanya.
Dia menatap jalanan. Chappell dan Ponza datang kembali, naik jip.
"Apa nama barnya" Mazur tadi sudah bilang," saya tanya, walaupun saya belum
diberi tahu Mazur. "The Playboy," gumam Randolph.
"Itu salah satu yang mau digerebek malam ini, kan"'"
"Ya." "Jadi, mau apa kamu sekarang?"
"Mau apa" Urus saja urusanmu sendiri!" si orang Texas berseru jengkel.
Saya terus menekan. "Tahu enggak betapa parahnya ini" Kamu polisi PBB, kamu tahu
ada dua gadis disekap di bordil. Kamu sudah tahu dari tadi pagi, dan sekarang
kamu duduk-duduk, enak-enakan minum padahal mereka sedang diperkosa di sana!"
"Nanti kubereskan."
"Kapan?" "Bukan urusanmu."
"Ya, aku tahu. Bukan urusanku. Kamu cuma menurut pada DynCorp!
Payah!" Randolph mendadak maju, wajahnya yang meringis tepat di depan wajah saya. "Enyah
sana." Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan masuk ke kantor DynCorp.
Ketika saya memasuki jip, Chappell memandangi saya seolah tak percaya.
"Kupikir kalian berdua sudah mau berantem," katanya, "Dia bilang enggak kenapa
penggerebekannya batal?"
"Tidak. Tapi rasanya ada hubungannya dengan keberadaan saya di sini. Barangkali
orang-orang DynCorp dan komandan regional AS tidak mau melihat saya menyaksikan
anak buah mereka diciduk di bar. Pasti itu memalukan."
"Barangkali kamu benar," Chappell mengakui.
Tanpa banyak bicara, kami kembali ke Pristina. Kami baru saja melewati pos jaga
militer pertama ketika Chappell bertanya apa yang saya pertengkarkan dengan
Randolph. Saya jelaskan tentang kaburnya si gadis Romania pada pagi sebelumnya. "Saya
tunjukkan kepadanya bagaimana nasibnya dua gadis Romania yang masih disekap di
bordil itu selagi dia minum-minum di bar."
"Bilang apa dia?"
"Dia bilang dia akan bereskan itu nanti."
"Dia beri tahu kamu enggak nama barnya?"
"Ya, The Playboy."
Chappell memelototi jalan sebentar, lalu menoleh kepada saya. Kami memikirkan
hal yang sama. Dia memutar mobil dan beralih menuju Ferrazaj. Selagi kami
mendekati kota itu, tampaklah pendar cahaya kuning besar menerangi langit malam.
Pendar cahaya itu berasal dari Camp Bondsteel - pangkalan tentara AS. Kami
berkendara ke dekatnya dan melihat tanda-tanda kehidupan dan bar terang-
benderang di sisi kanan jalan. Bar itu sedang ramai-ramainya. Tempat parkirnya
penuh dan musik rock membahana melalui jendela. Bar itu bernama Apache. Apache
sudah beberapa kali digerebek, tapi tiap kali polisi datang, tak pernah
ditemukan gadis-gadis di sana. Saya bertanya-tanya, apakah Apache termasuk
sasaran kami. Kalau memang benar, pemiliknya jelas tidak perlu khawatir malam
ini. Selagi kami masuk lebih jauh ke Ferrazaj, kami menyaksikan jalan-jalan yang
sepi. Feffazaj adalah kota industri yang suram dan tak terpelihara.
Sebagian besar pabrik di sana tak lagi beroperasi, mulai dipenuhi karat,
tertutup debu, dan jendela-jendelanya pecah. Chappell langsung menuju kantor
polisi setempat. Selagi kami keluar dari jip, Chappell mengeluarkan lencana
Ottawa City Policenya dan mengalungkannya di lehernya bersama-sama kartu
identitas UNMIK. Chappell memberi tahu komandan polisi PBB di sana yang berasal
dari Turki mengenai insiden gadis Romania dan meminta bantuan untuk menjemput
dua gadis Romania lain yang boleh jadi masih ada di The Playboy Club. Dua opsir
polisi internasional - seorang Bulgaria yang gemuk dan bermuka lebar serta seorang
Amerika berambut putih dan bersuara serak - dan setengah lusin polisi Kosovo
ditugaskan mendampingi kami.
Tapi, beberapa menit sebelum kami berangkat, terjadilah sesuatu yang
mencurigakan. Ketika kami menuju tempat parkir, si opsir Amerika menghilang
sejenak di balik tiang. Saya memerhatikan dia menggunakan telepon selulernya.
Ketika dia bergabung kembali dengan kami, saya tanyakan siapa yang dia telepon.
"Aku mencoba mencari tahu kalau-kalau kita bisa dapat bantuan lagi," jawabnya,
tanpa melakukan kontak mata dengan saya.
Perasaan saya tidak enak.
Perjalanan ke Playboy tak sampai dua menit. Tempat itu tak jauh dari jalan
utama, di gang gelap dan sempit. Ketika kami datang, suasana yang kami dapati
boleh dibilang ganjil. Lima perempuan muda yang berpakaian celana pendek, kaos
kutang, dan sepatu berhak tinggi duduk berdesak-desakan di sofa sebelah bar.
Sekitar selusin laki-laki duduk di meja-meja yang tersebar dalam bar. Seolah-
olah mereka sudah memperkirakan kami akan datang.
Si opsir Bulgaria mengambilalih, dan meminta semua gadis menunjukkan paspor.
Satu persatu mereka bangkit dan mengambil paspor masing-masing dari balik bar.
Dua perempuan berasal dari Romania, dan tiga lainnya dan Moldova.
"Tanyai gadis-gadis itu, apakah mereka ditahan di sini tanpa mereka kehendaki,"
kata Chappell. Si opsir Bulgaria, yang bisa bahasa Romania, bertanya. Saya perhatikan dua gadis
melirik ke si bartender - yang kurus, bertampang jahat, dan berpakaian jaket
kulit. Semua gadis menggelengkan kepala serempak. Tidak!
"Yang dua itu jelas kelihatan ketakutan," bisik saya kepada Chappell.
"Dan duaduanya memegang paspor Romania."
Salah seorang gadis menggenggam erat boneka beruang kecil dalam tangan kanannya
dan tak berani memandangi para polisi.
Si opsir Bulgaria beralih ke si bartender. "Kami diberi tahu bahwa ada dua gadis
Romania disekap di sini."
Sambil nyengir menantang, si bartender menjawab bahwa dia tidak tahumenahu
tentang perkara yang dinyatakan si opsir.
"Ada apa di lantai atas?" tanya Chappell. "Kami mau lihat."
Chappell dan Ponza mencabut pistol dan naik tangga ke lantai atas.
Saya mengikuti mereka. Di lantai dua ada dua kamar besar yang masing-masing
berisi empat ranjang. Chappell memeriksa meja-meja di sana.
Puntung rokok dalam asbak di sana masih hangat, begitu pula kopi dalam cangkir.
"Sepertinya mereka sudah tahu kita akan datang."
"Enggak heran," kata saya.
Selagi kami turun kembali, tiba-tiba kamu menemui seorang tamu tak terduga - John
Randolph. "Kok aku enggak heran kalau kamu ada di balik semua ini?" umpatnya ketika saya
tiba di ujung tangga. "Well, John, saya pikir harus ada yang berinisiatif untuk menemukan dua gadis
Romania yang perlu diselamatkan itu."
Randolph menoleh kepada Chappell. "Enggak sangka bakal ketemu kamu di sini."
"Lucu. Barusan aku memikirkan hal yang sama."
"Sudah kamu temukan belum dua gadis Romania yang kamu cari-cari?"
"Si bartender bilang dia tidak tahu apaapa," kata saya.
Randolph mengernyit. Dia menyuruh si opsir berambut putih membawa si bartender
ke lantai dua. Sesaat kemudian, si bartender digelandang naik tangga.
"Di mana dua gadis Romania itu?" Randolph bertanya dengan tegas kepada si
bartender. Si polisi Bulgaria menerjemahkan. Si bartender mengangkat bahu.


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tibatiba, Randolph mencengkeram leher si bartender dan mengempaskan tubuh si
bartender ke dinding beton. "Di mana gadis-gadis itu?" Si bartender terus
nyengir. Randolph merogoh ke balik jaketnya, mengeluarkan pistol, dan menodongkan
larasnya ke depan mata kiri si bartender.
"Bilang ada di mana Cewek-cewek itu atau kepalamu kubikin berantakan!"
Saya menoleh kepada Chappell, yang gelenggeleng kepala karena tak percaya.
"Waduh. Dia sudah lepas kendali. Dia pikir ini film Clint Eastwood,
'kali," kata saya. "Mereka sudah pergi dua minggu lalu! Saya bawa mereka ke perbatasan Makedonia,
lalu mereka naik bus, pulang!" si bartender yang ketakutan menjerit.
"Bohong! Ada di mana mereka?" gertak Randolph, sambil menempelkan ujung pistol
ke dahi si bartender. "Mereka sudah pergi. Dua minggu lalu. Sumpah!"
"Tempat ini kami tutup, bangsat. Ngerti" Tempat ini sudah habis dan kamu bakal
dipenjara sampai bulukan kalau enggak mau memberi tahu di mana cewek-cewek itu."
"Enggak tahu! Mereka sudah pergi!" rengek si bartender.
Si bartender diborgol dan diseret turun tangga.
Di bar, Randolph berteriak, "Tanyai gadis-gadis itu, siapa tahu mereka tahu dua
cewek Romania itu ada di mana!"
Salah seorang di antara mereka, gadis Moldova kurus bermata tajam, berbicara
mewakil teman-temannya. "Mereka ada di sini seminggu lalu, tapi mereka sudah
pergi. Mereka pulang."
"Si bartender bilang dua minggu. Dia bilang seminggu. Berani taruhan, dua-duanya
bohong," saya bisiki Chappell.
"Tempat ini kami tutup. Bawa gadis-gadis itu untuk ditanyai," seru Randolph.
Salah seorang gadis bertanya kepada si opsir Bulgaria. "Mereka ingin tahu apakah
mereka boleh ganti baju biasa," katanya, "Mereka malu kalau dibawa ke kantor
polisi berpakaian seperti itu."
"Tidak boleh," kata Randolph dengan dingin. "Mereka harus ikut sekarang ke
kantor, berpakaian seperti itu." Tapi rupanya tidak mudah pergi dan sana. Di
luar telah berkumpul banyak orang Kosovo, warga setempat. Si bartender yang
diborgol dipaksa masuk jip oleh rekan Randolph, si opsir Amerika. Para warga
setempat mendekat dan para polisi Kosovo yang gelisah mundur menuju mobil-mobil.
Suasananya mulai terasa seperti adegan konfrontasi dalam film koboi. Warga
setempat ingin tahu mengapa si bartender dicokok.
"Ini urusan polisi," seru si opsir berambut putih. "Tempat ini ditutup.
The Playboy sudah tidak ada lagi!"
Si opsir Bulgaria menerjemahkan, dan selagi dia berbicara, warga setempat makin
berani. Mereka tak bergeming, sambil melancarkan makian-makian dalam bahasa
Albania kepada para polisi Kosovo, yang kelihatan khawatir dan takut.
DI jalan utama, dua panser melintas. Keduanya berhenti mendadak dan dari dalam
keduanya keluarlah selusin prajurit yang mengenakan topi hitam dan seragam
kamuflase, menyandang senapan serbu Kalashnikov.
Sersan pemimpinnya adalah laki-laki bertubuh bongsor dengan mata tajam, wajah
lebar, dan rahang persegi. Dengan tenang dia mengawasi keadaan.
Tak sedikit pun tampak rasa takut di wajahnya. Semua orang terhenti saat menatap
si raksasa yang menggentarkan itu. Lalu saya perhatikan lambang di atas kantong
bajunya- Trysub (Trisula) - lambang kemerdekaan Ukraina - dan bendera biru kuning
Ukraina di bahunya. "Saya orang Kanada keturunan Ukraina," saya sapa dia dengan bahasa Ukraina
seadanya. "Apa kabar?"
" Dobre," jawabnya dengan suaranya yang kasar. "Ada apa ini?"
"Kami mau membawa gadis-gadis ini ke kantor polisi, tapi ada masalah sedikit,"
saya bilang, sambil menunjuk ke kerumunan orang AlbaniaKosovo. "Bukan masalah."
Dia meneriakkan suatu perintah dan anak buahnya mengambil posisi.
Dia menurunkan senapannya dan menyuruh warga setempat berdiri menghadap tembok.
Mereka digeledah dan disuruh tak bergerak sampai kami pergi.
Di kantor polisi, gadis-gadis itu digelandang ke ruangan dengan sedikit
perabotan di lantai dua. Mereka jelas kelihatan kesal, kedinginan, dan
ketakutan. Sikap Randolph tak membuat keadaan jadi lebih baik. Dia terlihat
gusar dan masih mabuk. "Mau kamu apakan mereka?" saya bertanya.
"Ini sudah kemalaman," katanya. "Besok kuurus mereka."
"Setidaknya kamu tanyailah mereka, cari tahu apakah mereka ingin pergi sekarang,
mumpung si bartender tidak ada. Gadis yang memegang boneka beruang itu
kelihatannya ketakutan."
Randolph yang jengkel lantas menyuruh si opsir Bulgaria membawa gadis itu ke
satu ruang kantor untuk ditanyai. Opsir lain muncul dan bertanya kepada gadis-
gadis lain, apakah ada di antara mereka yang bisa berbahasa asing. Gadis Moldova
montok bernama Maria bilang dia bisa berbahasa Prancis. Telinga saya tersentak.
Saya bisa berbahasa Prancis.
Saya memperkenalkan diri dan meminta Maria ikut saya ke ruang wawancara di
lantai bawah. Maria telah bekerja di Playboy selama empat bulan. Gajinya sekitar $100 sebulan,
dan uang itu dia kirim ke orangtuanya, dua adik perempuannya, dan satu saudara
laki-lakinya di kampung halaman.
"Orangtuamu tahu tidak kamu bekerja jadi apa?" saya tanyakan.
"Mereka pikir aku kerja jadi pelayan," dia bilang, sambil memandangi sepatu hak
tingginya. "Kupikir mereka tahu."
"Kamu ingin pulang?"
"Buat apa" Keluargaku bisa mati kelaparan kalau tak kukirimi uang.
Tidak ada pekerjaan di Moldova. Yang ada cuma kemiskinan."
Maria berasal dari kota Rocovat dekat perbatasan Moldova - Ukraina.
Dia meninggalkan Moldova setelah seorang perekrut tenaga kerja menawannya
pekerjaan sebagai pembersih kamar hotel di Yunani. Dia sudah pernah dengar
mengenai trafiking perempuan, tapi dia tak pernah terpikir bahwa dia akan
dipekerjakan dalam industri seks.
"Aku sudah pernah dengar cerita gadis-gadis yang terjerumus ke dalam pelacuran.
Tapi lihat saja aku. Aku enggak cantik. Aku gendut,"
ujarnya, sambil mengangkat blusnya untuk memperlihatkan perutnya yang
bergelambir. Dia sedikit pun tak terlihat malu. "Kupikir aku akan jadi pembersih
kamar. Eh, aku malah dibawa ke apartemen di Beograd dan diberi tahu aku harus
kerja jadi pelacur."
Maria bilang, orang-orang yang menyekapnya di Beograd menyuruhnya berdiri
telanjang selama berjam-jam di depan calon-calon pembeli. Tak seorang pun
berminat membelinya. Selama beberapa minggu dia hanya diberi makan sedikit,
supaya bobot tubuhnya turun. Para penyekapnya mengancam bahwa kalau dia sampai
tak laku, organ-organ tubuhnya akan dijual kiloan. Akhirnya, Maria dijual murah
dan diselundupkan melewati pegunungan ke Ferrazaj.
Saya mengganti pokok pembicaraan. "Apa yang terjadi dengan dua gadis Romania
itu?" Maria menjadi tegang. "Mereka pergi."
"Kapan?" "Dua hari yang lalu."
"Seorang gadis Romania kabur dari bar Playboy tadi pagi. Kamu kenal dia?"
"Tina." "Tina memberi tahu polisi di Pristina bahwa ada dua gadis Romania disekap di bar
Playboy." Maria tak menjawab. "Dua gadis itu, apakah mereka itu gadis-gadis Romania yang ada di kamar
sebelah?" "Bukan. Sudah kubilang, mereka sudah pergi. Barangkali sehari yang lalu."
"Aneh juga ya, waktu perginya mereka berubah terus tergantung siapa yang kami
tanyai. Dua minggu lalu, seminggu, dua hari, sehari."
Maria mengangkat bahu dan tersenyum malu. Dia tahu bahwa saya tahu dia
berbohong, tapi dia tak mau berkata jujur.
"Orang-orang yang datang ke bar - apa semuanya warga setempat?"
saya tanyakan. "Tidak. Sekali-sekali tentara. Terkadang polisi asing."
"Mereka bayar tidak?"
"Polisi tidak pernah bayar."
"Kamu yakin tidak butuh bantuan" Saya bisa bantu kamu keluar dari sini."
Dengan mata berkaca-kaca, Maria menatap lantai dan menggelenggelengkan kepala. "Aku enggak bisa pergi. Sudah terlambat buatku.
Keluargaku butuh uang. Kalau tidak ada uang, mereka sengsara."
Saya tinggalkan Maria yang duduk sendirian, terlarut dalam renungan, dan menuju
ruang kantor di atas. Selagi saya mendekatinya, saya bisa mendengar si opsir
Bulgaria menerjemahkan untuk Randolph. Saya menyadari bahwa gadis-gadis yang
berada di ruang sebelah bisa mendengar semua yang dikatakan.
Randolph duduk di kursi kayu, kakinya naik ke meja logam, sambil memeriksa
paspor si gadis Romania dengan kaca pembesar dan pinset. Dia mencoba mengetahui
apakah paspor itu palsu atau direkayasa. Saya meminta melihatnya. Dia mengoper
paspor itu. Di paspor itu tercantum foto gadis berumur sembilan belas tahun yang
terlihat malu-malu tapi bahagia, bernama Svetlana. Senyum hangat menghias
wajahnya yang bulat dan polos, dan matanya berbinar-binar penuh keceriaan anak
muda. Blus berjumbai-jumbai terkancing menutupi lehernya. Tapi perempuan muda di
kantor polisi itu bukanlah orang yang ada di paspor. Tatapannya keras dan sinis,
dan senyumnya terkesan dibuat-buat. Dia berdandan seperti pelacur murahan. Bibir
dan kukukukunya berwarna merah terang. Roknya nyaris tak menutupi pakaian
dalamnya yang tembus pandang, sedangkan kaos kutang satin cokelat mudanya sama
sekali tak menyamarkan bentuk tubuhnya.
Duduk di kursi logam di tengah ruangan, dia seolah-olah pajangan dan jelas dia
merasa tak nyaman karenanya. Kedua lengannya mendekap erat dadanya dan dia
sering menarik roknya, berupaya menutupi pahanya yang terbuka.
Randolph sedang berperan sebagai pengkhotbah, yang mencoba mengembalikan gadis
itu ke jalan yang benar dan memberi tahu si gadis bahwa kalau dia adalah anak
perempuannya sendiri, akan hancurlah hatinya jika melihat si gadis jadi seperti
ini. Svetlana cuma memandangi boneka beruang cokelat kecil yang digenggamnya.
Saya menoleh dengan tampang tak percaya ke Chappell, yang kelihatan amat risau.
"Bukan seperti ini cara mewawancarai yang benar," bisik Chappell.
"Gadis-gadis itu harus dipisah-pisahkan dan wawancara dilakukan dengan tenang.
Gadis ini takut dan jelas dia tidak percaya polisi."
"Alasannya jelas," saya tambahkan.
"Kamu mau pulang?" si opsir Bulgaria bertanya. "Kami bisa memulangkanmu."
Svetlana mengangkat bahu. Dia memandangi si opsir Bulgaria, dan sekilas dia
terlihat mengangguk mengiyakan.
Saya menatap Svetlana lama sekali. Matanya yang kelam tampak seolah menjerit
kesakitan. Saya yakin dia termasuk yang ingin pergi.
Pandangan saya beralih ke boneka beruang dalam genggamannya. Saat itulah saya
melihat balutan kain kasa menutupi pergelangan tangan kirinya.
Di sekujur kedua lengannya tampak bekas-bekas sundutan rokok. Jelas, dia telah
disiksa. "Tanyai dia mengenai luka di pergelangannya," saya bilang kepada si polisi
Bulgaria. "Dia bilang itu luka bakar yang didapat secara tak sengaja."
"Tanyakan mengenai bekas-bekas luka di lengannya. Tanyakan apakah itu disebabkan
sundutan rokok." Svetlana memeluk dirinya sendiri erat-erat dan menatap ke depan sambil terdiam.
Randolph mulai berbicara lagi. "Apa kamu mau pulang" Ya atau tidak!?"
Sekali lagi, Svetlana tak menjawab. Dia tegang dan terlihat mau menangis.
"Sudah terlalu larut. Sudah hampir pukul 3 pagi dan aku capek. Aku mau pulang,"
ujar Randolph. "Terus gadis-gadis ini mau diapakan?" saya tanya.
"Besok pagi sajalah kuurus. Aku perlu tidur."
Ketika Svetlana kembali bergabung dengan yang lain, dia disambut tatapan dingin.
Lalu Ponza, si opsir polisi Italia, muncul membawa tas berisi pakaian dari bar:
celana olahraga, sweater, dan jaket. Gadis-gadis itu bangkit dan berterima kasih
kepada Ponza. Mereka berganti baju, dan penampilan mereka amat berubah
karenanya. Mereka jadi tampak seperti perempuan-perempuan muda biasa.
Saya meninggalkan Kosovo hari berikutnya. Chappell mengantar saya ke perbatasan
Makedonia dengan mobil, dan saya bertolak ke bandara di luar Skopje, ibu kota
Makedonia. Chappell bilang dia akan mengusut lagi pembatalan penggerebekan dan
memberi tahu saya apa yang dia temukan.
DI MARKAS polisi UNMIK di Pristina, Chappell mencari-cari "berita acara"
dari kantor polisi Feffazaj tentang penggerebekan bar Playboy. Herannya, berita
acara itu tidak ada. Tak ada laporan, tak disebutkan di mana pun bahwa
penggerebekan itu pernah terjadi. Ketika Chappell mencoba mencari keterangan,
dia menemui jalan buntu. Seminggu kemudian saya menelepon Chappell dari Toronto untuk menanyakan
perkembangan. Chappell kesal dan mengatakan dia sedang mengajukan keluhan kepada
bagian Urusan Internal mengenai insiden tersebut. Dia menanyakan apakah saya
akan melakukan hal yang sama, dan saya menyetujuinya.
Beberapa hari kemudian Chappell mengirimkan salinan surat keluhannya lewat
email. Yang terpenting di dalam surat keluhan itu, Chappell ingin tahu apa yang terjadi
pada para perempuan yang diamankan dari bar Playboy.
Setelah bertanya-tanya ke sana kemari, ditemukannya bahwa tidak pernah ada
permintaan ke markas untuk membantu perempuan-perempuan itu.
"Penggerebekan kita tampaknya secara resmi 'hilang'".
Saya mengirimkan kesaksian tertulis kepada Chappell hari berikutnya, yang
diteruskannya ke bagian Urusan Internal. Dia menanyakan apakah saya bersedia
diwawancarai Urusan Internal. Saya bilang saya bersedia. Tapi tak ada yang
pernah menghubungi saya. Pada 21 Oktober, Chappell mengirimi saya kabar lewat email.
"Aku menyiapkan laporan lengkap tentang peristiwa-peristiwa pada 4
Oktober dan meringkas kesimpulan-kesimpulan serta dugaan-dugaan.
Kuserahkan laporan itu kepada Komisioner yang lantas membentuk tim penyelidik
khusus untuk mengusut semua perkara yang kuangkat," tulisnya, sambil menambahkan
bahwa polisi PBB menggerebek Playboy dan Mega Bar pada akhir minggu yang sama.
"Kami temukan sepuluh perempuan - termasuk empat yang dulu kita amankan, di
Playboy Club. Di Mega Bar ada kamar yang dijadikan barak dengan banyak tempat
tidur susun di mana perempuan-perempuan itu tidur sampai dipanggil untuk
berhubungan seks. Belum ada tanda-tanda Svetlana.
Baru itu yang bisa kuceritakan."
Dua minggu kemudian, Chappell mengirim kabar lagi. "Aku sama sekali tak bisa
menemukan jejak Svetlana," dimulainya. Lalu dia melaporkan sesuatu yang
menghebohkan. Rasanya ada yang aneh dalam penyelidikan internal di sini. Aku diwawancarai
beberapa kali. Yang terakhir itu agresif sekali, seolah-olah aku ini tersangka
pelaku kejahatan. Sebagai polisi, kurasa mereka sedang mencoba mengalihkan
perhatian dari urusan pembatalan penggerebekan dan keterlibatan dalam prostitusi
ke perkara John menodong orang.
Pada 17 Desember 2001, saya menelepon Chappell. Dia terdengar seperti habis
teraduk-aduk dalam mesin cuci. "Keributan yang kita buat memang perlu dibuat,"
dia bilang. "Kita bikin goncangan, tapi sesudahnya, ada tekanan untuk membuat
suasana sepi lagi. John tak lagi ditugaskan dalam unit prostitusi. Cuma itu hasil segala keramaian
ini. Tak ada yang dihukum. Tak ada yang dipulangkan. Dan Svetlana lenyap."
Chappell juga menyatakan bahwa dia bertemu secara pribadi dengan seorang petugas
bagian Urusan Internal berkebangsaan Amerika Serikat.
Percakapan dengan si petugas membuatnya kaget. "Dia orang yang lumayan lurus.
Dia bocorkan "kami menemukan sesuatu yang jauh lebih parah" lalu tutup mulut.
Saya diberi tahu bahwa orang-orang Amerika menyuruh penggerebekan dibatalkan
karena ada permintaan mendadak untuk menyediakan perlindungan bagi warga Serbia
setempat. Itu saya tahu pasti bohong. Waktu kita di sana, dan kamu sendiri tahu,
si komandan Ukraina sudah siap bergerak dengan anak buahnya."
Saya dapat menghubungi Chappell lagi pada 25 Januari 2002. Dia punya makin
banyak bocoran untuk diceritakan.
Awal minggu ini aku terlibat percakapan amat menarik dengan seorang anggota tim
penyelidikan khusus. Dia habis minum-minum lalu meneleponku untuk mengajak
bicara langsung. Aku ngobrol dengan dia beberapa lama. Dia marah dan tegang
sekali. Katanya, penyelidikan oleh Urusan Internal terhadap perusahaan-
perusahaan Amerika yang memasok staf, KForce dan DynCorp, dihalang-halangi.
Dia bilang ada banyak rintangan bagi tim penyelidik.


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si penyelidik Urusan Internal bilang, berdasarkan apa yang bisa dia temukan,
jelas ada intervensi pasukan AS di Feffazaj untuk mencegah berita penggerebekan
kita tersiar. Dia pikir ada banyak orang Amerika di bar-bar itu dan rasanya
urusannya tidak cuma sekadar segelintir prajurit Amerika yang mengunjungi
bordil. Aku sendiri sudah banyak bertanya sana-sini dan sama sekali tak mendapat
bantuan. Aku sudah bicara dengan kepala bagian Urusan Internal dan wakil
komisoner, tapi mereka bungkam. Berkali-kali kutanyakan tentang Svetlana, tapi
sepertinya kasus ini sudah ditutup dengan Tirai Besi. Rasanya kita enggak bakal
menemukan Svetlana lagi. Chappell berjanji mengirim email yang lebih teperinci, dan dia kirimkan email
tersebut pada 23 Februari. Dia habis mengorek-ngorek dan mengumpulkan informasi
intelijen dari berbagai sumber, dan mendapatkan urusan geopolitik yang
mengecewakan. Tentara AS sangat dekat dengan orang-orang Albania, terutama para mantan pejuang
UCK [singkatan Tentara Pembebasan Kosovo dalam bahasa Albania] serta para
penerus mereka. Tentara AS
mengendalikan daerah perbatasan tempat gerilyawan UCK mencoba-coba memancing
perang dengan Makedonia. Sebagian besar pejuang UCK punya hubungan dengan
kejahatan terorganisasi. Bahkan kejahatan terorganisasi adalah salah satu cara
mereka membiayai pembelian senjata.
Chappell meneruskan dengan memberi kesan bahwa sebagian aktivitas kriminal di
Kosovo selatan yang dilakukan para pejuang UCK
dilindungi orang-orang Amerika dengan imbalan informasi intelijen dan
kesepakatan dengan para pejuang Kosovo untuk tidak memulai perang dengan
Makedonia. "Aku enggak bakal heran kalau prostitusi juga termasuk yang dibekingi,"
tulisnya. Saya tak mendapat kabar dari Chappell lagi selama beberapa bulan.
Lalu, pada 14 Juni 2002, saya telepon dia. Percakapannya singkat.
"Semuanya sudah buntu sekarang," dia bilang. "Karena rotasi, hampir semua
pasukan KFOR yang ada di sana Oktober kemarin sekarang sudah dipindah-tugaskan.
Tapi menariknya, situasinya kelihatan sama saja. Jadi, tampaknya ini bukan
berhubungan dengan brigade atau satuan tertentu.
Seolah-olah kebijakannya memang begitu, tak peduli siapa pun yang ada di sana."
Chappell mengeluh bahwa walaupun dia sudah berusaha sekeras mungkin, "aku sudah
tak bisa ke manamana lagi. Itu juga bagian masalahnya kalau berusaha menyelidik -
orang dirotasi tiap enam, tujuh, delapan bulan."
Penyelidikannya telah menemui jalan buntu.
Sedihnya lagi, Chappell bilang dia dapat kabar bahwa Svetlana sudah dijual lagi
ke suatu bordil di suatu tempat di Bosnia.
GORDON MOON. opsir polisi Kanada yang membentuk Trafficking in Prostitition
Investigation Unit pertama di Kosovo, geram ketika saya menceritakan pengalaman
di Ferrazaj. Dia bilang bahwa waktu satuannya menggerebek bordil-bordil dan bar-
bar di seantero Kosovo, ada satu kawasan yang bar-barnya tak boleh disentuh -
Ferrazaj dan Grijilane dalam sektor yang dikendalikan Amerika.
Kami rasa di sana terjadi hal-hal yang tak baik. Nah, yang kelihatan jelas bagi
saya adalah bahwa mereka [petinggi militer AS] tidak mau kejahatan tersebut
[trafiking perempuan ke bordil] diselidiki karena ada orang-orang yang terlibat,
yang barangkali menerima sogokan agar membiarkannya terus berlangsung. Itulah
mengapa kami menemui halangan ketika hendak membentuk satuan anti trafiking di
sana. Moon bilang dia sudah beberapa kali mendatangi kawasan itu dan dia gusar dengan
apa yang diihatnya di sana. "Ada bar di mana-mana, dan boleh dibilang ada
sepasukan orang Amerika dalam bar-bar itu, yang lumayan mengagetkan saya karena
masyarakat internasional semestinya ada di sana untuk membantu rakyat setempat,
tapi mereka malah membantu prostitusi dan trafiking."
KARENA BISA dianggap mendukung adanya permintaan terhadap perempuan korban
trafiking di luar negeri, miiter AS benar-benar merusak upaya antitrafiking
pemerintah AS. Para prajurit Amerika, yang katanya membela kebebasan dan
kemerdekaan di seantero dunia, malah terlibat tindakan tercela yang menindas
perempuan dan membantu para penjahat meraup untung. Sepanjang situasi seperti
itu dibiarkan berlanjut, dan selama rakyatnya masih gemar menjadi turis pemburu
seks, peringkat Amerika Serikat harus diturunkan ke Tingkat Tiga - lengkap dengan
segala hinaan dan cemoohan internasional yang terkait dengannya.
kesimpulan: stop tratikin!
SELAMA DASAWARSA kemarin, skala dan kebrutalan industri trafiking seks telah
meningkat begitu pesat di seluruh dunia. Jangkauannya begitu luas sampai-sampai
terkesan mustahil rasanya menghentikannya. Sudah ada banyak konferensi -
pertemuan-pertemuan internasional di mana para aktivis hak asasi manusia yang
bermaksud baik menyoroti pusat-pusat percabulan di berbagai bagian dunia. Para
pekerja sosial berkumpul untuk mendiskusikan, mendefinisikan, dan
mendokumentasikan permasalahannya.
Para kepala pemerintahan berpidato berapi-api dan bersumpah akan memberantasnya
hingga tuntas. Banyak sekali penelitian yang menelaah
"sebab" dan "akibat'nya, dan kiranya satu hutan pun bisa habis ditebangi untuk
membuat kertas yang digunakan untuk menulis begitu banyak laporan mengenainya.
Tapi masalah trafiking tetap ada - dan makin parah.
Gerald Stoudmann dari Organization for Security and Cooperation in Europa (OSCE)
dengan jengkel memberi tahu delegasi-delegasi dalam suatu konferensi di Wina
pada April 2001 bahwa pemerintah-pemerintah Eropa sering kali "cuma bisa
ngomong" mengenai persoalan trafiking dan tak banyak bertindak untuk
menghentikannya. "Yang sekarang diperlukan,"
katanya, "adalah perbuatan, bukan kata-kata."
Mary Robinson, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, setuju.
Dalam pidato tanpa basabasi di Palais des Nations, Jenewa, setahun kemudian, dia
memberi tahu hadirin yang terdiam bahwa "hanya sedikit perubahan yang dirasakan
mereka yang terjebak perdagangan menjijikkan itu. Upaya memberantas trafiking
sejauh ini kurang efektif .... Makin banyak orang menjadi korban trafiking
sekarang." Dalam konferensi pada Mei 2003 di Noordwijk, Belanda, Hamish McCulIock, kepala
satuan trafiking manusia Interpol, menunjukkan bahwa trafiking perempuan Eropa
Timur "sangat meningkat." Satu faktor kuncinya, katanya, adalah peningkatan
"kadar toleransi seksual" di seantero Eropa Barat. Dia juga menunjukkan bahwa
kesempatan kerja lebih baik bagi kaum perempuan berkebangsaan Eropa Barat telah
mengusik bisnis prostitusi.
Makin sedikit perempuan Eropa Barat yang menganggap prostitusi sebagai pekerjaan
yang layak, sehingga para mucikari dan pemilik bordil mesti mencari sumber
tenaga kerja di tempat lain. Dan bagi mereka yang menguasai industri seks, yang
kebanyakan berhubungan dengan kejahatan terorganisasi, tak ada sasaran yang
lebih gampang ketimbang kaum perempuan miskin di Eropa Timur.
Trafiking perempuan bukanlah hal baru, dan dunia juga bukannya baru tahu bahwa
kaum perempuan diculik, dijual, dan diperkosa. Pada 1939
saja Parlemen Eropa sudah mengajukan resolusi yang menyerukan agar dilaksanakan
tindakan tegas "untuk memberantas praktik tersebut". Pada 1995, dalam Konferensi
Perempuan Sedunia Keempat di Beijing, wakil-wakil 139 negara dengan suara bulat
mendukung suatu "Dasar untuk Bertindak"
yang memohon kepada pemerintah-pemerintah di seantero dunia untuk
"memberantas jejaring kriminal yang terlibat trafiking perempuan." Dan, pada
konferensi tingkat tinggi dunia mengenai kejahatan terorganisasi yang
diselenggarakan di Palermo, Italia, para pemimpin lebih daripada delapan puluh
negara dengan serius mengantre untuk menandatangani United Nations Protocol to
Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children. Dalam pidato penutup pertemuan tersebut, Pino Arlacchi, yang saat itu
adalah wakil sekretaris jenderal PBB, dengan bangga menyatakan, "Kita semua
telah membuat sejarah di Palermo."
Kenyataan bahwa begitu banyak negara menandatangani protokol tersebut
menunjukkan "komitmen internasional yang kuat dan jelas untuk segera
meratifikasinya." Arlacchi meminta negara-negara "memastikan bahwa konvensi
tersebut berikut protokol-protokolnya diberlakukan dalam dua belas bulan ke
depan." Hampir tiga tahun kemudian, protokol PBB itu - yang dielu-elukan sebagai "alat
yang belum pernah ada sebelumnya" yang kiranya akan menyediakan senjata bagi
masyarakat internasional untuk memberantas kejahatan trafiking - terbengkalai.
Protokol itu perlu diratifikasi empat puluh negara agar bisa diberlakukan, dan
baru dua puluh tujuh negara yang meratifikasinya; di antara kedua puluh tujuh
negara itu, yang termasuk negara Barat hanya Kanada, Spanyol, Prancis, dan
Monako. AS dan sebagian besar negara Uni Eropa belum meratifikasinya. Ironisnya,
ratifikasi justru sudah dilakukan oleh empat negara pelanggar terparah dalam
trafiking - Albania, Yugoslavia, Bulgaria, dan BosniaHerzegovina - tapi tak banyak yang
berubah di negara-negara tersebut, maupun negara-negara lainnya.
Semua itu tak mengherankan bagi segelintir laki-laki dan perempuan berdedikasi
yang bekerja menyelamatkan para korban trafiking, Mereka tahu benar bahwa jika
tak ada kehendak politik pada para pemegang kekuasaan tertinggi, maka segala
konferensi, program pelatihan, hukum baru, dan protokol internasional yang ruwet
tidak akan ada pengaruhnya.
Banyak kepala pemerintahan yang malah memilih menyalahkan negara-negara sumber,
seolah-olah negara-negara itulah yang berdosa karena "perempuan gampangan" dari
sana menodai reputasi negara mereka. Tapi perdagangan perempuan didorong oleh
nafsu kaum laki-laki di negara-negara yang menyalahkan; dihidupkan oleh bar-bar,
bordil-bordil, dan tempat-tempat pelacuran yang bertebaran di jalan-jalan
negara-negara yang menyalahkan; dan disuburkan oleh ketidakacuhan dan keengganan
bertindak negara-negara yang menyalahkan.
Sementara itu, di negara-negara sumber, sikap yang berkembang adalah "tidak
kelihatan, tidak kepikiran." Aparat setempat berdalih bahwa karena perempuan-
perempuan itu dibawa keluar perbatasan maka mereka tak berwenang untuk menindak.
Itu lepas tangan namanya. Gadis-gadis tersebut merupakan masyarakat yang paling
rentan. Mereka merupakan putri-putri bangsanya. Mereka perlu dan layak dnndungi
sepenuhnya oleh negara, dan kalau negara tak memberi perlindungan, jelas itu
suatu pertanda korupsi. Perempuan-perempuan yang menjadi korban trafiking adalah
warga setempat. Perekrut juga warga setempat. Perempuan-perempuan itu
diselundupkan lewat perbatasan negaranya sendiri dengan dokumen perjalanan dan
paspor palsu. Polisi setempat melihat desa-desa dan kota-kota kehilangan kaum
perempuannya, dan mereka tahu apa yang menyebabkan kehilangan itu. Tidak perlu
orang genius untuk membaca suatu iklan koran dan mengetahui bahwa iklan itu
adalah jebakan trafiking.
Pemberantasan tindak kejahatan trafiking memerlukan serangan gencar
habishabisan. Kita perlu tindakan, bukan kata-kata, dan para pemimpin politik,
dan tindakan tersebut harus dipraktikkan oleh jaksa dan polisi. Kita perlu
memburu mereka yang bertanggung jawab dan mengadu mereka atas kejahatan-
kejahatan mereka, menjatuhi hukuman berat yang setimpal dengan besarnya
kejahatan yang mereka lakukan. Dengan begitu banyaknya informasi yang tersedia,
gemas rasanya melihat para hakim hanya menjatuhkan hukuman kerja sosial kepada
pelaku trafiking. Sungguh mengherankan apabila para jaksa yang kelihatan teliti
mau bernegosiasi perihal tawaran mengaku bersalah dengan manusia-manusia rendah.
Dan, sungguh merisaukan apabila polisi terus menutup mata terhadap apa yang
terjadi di depan mereka sendiri.
Jika suatu negara dinilai menurut caranya menangani masalah trafiking, penilaian
itu harus didasarkan kepada tindakan yang dilakukan untuk melenyapkannya. Satu-
satunya hal yang bisa membuat begundal-begundal itu tak berkutik adalah
penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu - penuntutan yang tanpa
kompromi, hukuman penjara yang berat, serta penyitaan segala keuntungan yang
didapat dari penderitaan para perempuan korban trafiking. Para penjahat harus
tahu bahwa jual beli perempuan bukan pelanggaran hukum ringan dan tidak akan
dibiarkan. Tidak sekarang, tidak untuk selamanya. Dan, laki-laki hidung belang yang
tertangkap menggunakan jasa perempuan korban trafiking juga harus tahu bahwa
mereka akan dibekuk, didakwa, dipidana, dan dipenjara.
Penegakan hukum secara tegas tanpa pandang bulu juga merupakan satusatunya cara
memberantas polisi dan pejabat korup yang membantu tumbuh suburnya trafking.
Semua ini tak mungkin terjadi apabila mereka tak menutup mata dengan sengaja.
Ketidakacuhan polisi pun kiranya tidak akan begitu bermasalah jika petugas-
petugas berseragam tak lagi mendatangi bordil-bordil dan panti-panti pijat untuk
mendapat gratisan. Walau seluruh dunia sepakat bahwa trafiking perlu dihentikan segera, prosesnya
terbenam dalam perselisihan tanpa akhir mengenai definisi, istilah, dan
penafsiran. Hanya sedikit negara yang telah menunjuk pejabat atau badan yang
bertanggung jawab atas koordinasi aktivitas antitrafiking.
Kerja sama penegakan hukum internasional tetap jarang, dan dalam satu negara pun
koordinasi sering kali tak ada. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, sudah
membuat lembaga antannstansi untuk koordinasi tindakan badan imigrasi,
ketenagakerjaan, dinas sosial, dan urusan luar negeri. Tapi di negara-negara itu
pun kasus trafiking sering terbelit ruwetnya birokrasi, dan satu departemen
kadangkala tak tahu menahu apa yang dilakukan departemen lain. Para pejabat yang
bertanggung jawab sering kali belum diajari bagaimana cara mengenali korban
trafiking; petugas imigrasi, pamong praja, dan polisi pun acap kali belum tahu
bagaimana menangani kasus-kasus trafiking. Jadi, mereka biasanya mencari jalan
yang paling gampang, menganggap korban trafiking sebagai imigran ilegal yang
harus dideportasi. Dan masalahnya belum selesai di situ. Walau trafiking jelas-jelas merupakan
masalah global, dan walau para korban dan pelakunya mudah saja melintas
perbatasan, penegakan hukum biasanya berupa inisiatif domestik yang tunduk pada
kebijakan lokal dan hukum negara. Tidak semua negara punya hukum yang khusus
mengurus trafiking; dan hukum-hukum trafiking yang ada pun berbeda antarnegara.
Para birokrat pemerintah mengeluh bahwa negara mereka tak punya dasar hukum
memadai untuk mengatasi masalah trafiking, menyiratkan bahwa niat baik mereka
terhalang hukum yang tak memadai. Nah, coba pahami ini dulu. Penyiksaan adalah
penyiksaan. Penyekapan adalah penyekapan. Pemerkosaan adalah pemerkosaan. Dan,
karena sanksi terhadap segala tindak kejahatan tersebut sudah ada dalam hukum
pidana tiap negara di planet ini, maka tidak ada yang menghalangi mereka
mendakwa para pelaku trafiking berdasarkan hukum pidana masing-masing.
Dengan sedikit pengecualian, sebagian besar pemerintah dan kepolisian negara-
negara menganggap trafiking manusia sebagai kejahatan yang kalah serius
dibandingkan trafiking senjata atau obat-obatan. Kebanyakan menganggap trafiking
sebagai masalah imigrasi ilegal, dan boleh jadi itu ada hubungannya dengan
halhal yang tak mau dibicarakan. Lebih baik anak perempuan orang lain, begitu
cara berpikirnya; setidaknya siapa pun yang memakai jasa mereka tidak sedang
memerkosa gadis-gadis kami.
Pandangan-pandangan seperti itu tidak hanya terdengar dalam bisik-bisik rahasia,
tapi juga di depan umum dalam perdebatan antara orang-orang yang semestinya
paham lebih baik. Bagaimana kita bisa mengharapkan memberantas perdagangan keji
ini kalau kita menganggap jual beli dan pemerkosaan siapa pun bisa diterima"
Bias-bias sosial lain juga turut mengeruhkan persoalan. Dalam pikiran banyak
orang, perempuan-perempuan tersebut adalah pelacur yang memang memiih sendiri
untuk menjadi pelacur. Buat apa kita peduli" Walau terkesan keji, pemikiran
seperti itu tertanam dalam benak sebagian besar polisi di lapangan. Mereka
sangat percaya bahwa hampir semua perempuan yang menerima uang demi seks sudah
memiih melakukan "profesi tertua di dunia" dengan sadar dan sengaja. Mereka tak
bisa paham mengapa bisa ada orang sebegitu naifnya sampai terjerat janji-janji
muluk akan "pekerjaan sungguhan" di negeri-negeri asing yang jauh. Akibatnya,
polisi di garis depan jarang melihat apa yang ada di balik maskara dan sepatu
hak tinggi, dan aparat jarang menyelidiki apakah perempuan-perempuan itu
disiksa, ditipu, atau dipaksa. Yang terpenting, trafiking bukan hanya perkara
imigrasi ilegal; trafiking adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Ketika kasus trafiking benar-benar dianggap sebagai kasus trafiking, polisi
sering mengeluh karena perempuan korbannya tak mau bekerja sama - mereka tak mau
bicara. Sebenarnya perempuan-perempuan itu kemungkinan besar ketakutan dan tak
percaya, dan dalam banyak kasus mereka memang layak bersikap demikian. Sulit
memercayai petugas berseragam yang juga adalah pelanggan bar tempat mereka
disekap. Selain itu, para perempuan tersebut tahu pasti apa yang mereka hadapi
setelah diciduk - deportasi.
Dan, perempuan-perempuan itu telah diperingatkan oleh mucikarinya mengenai apa
yang akan terjadi kalau mereka pulang setelah bersaksi.
Sebagian besar pelaku trafiking punya rekan di negara-negara asal korban-
korbannya. Mereka tahu bagaimana cara menemukan perempuan-perempuan itu dan di
mana keluarga mereka tinggal. Ada perempuan-perempuan yang dipukuli habishabisan
setelah pulang. Ada juga yang sampai dibunuh. Tapi, bagi sebagian besar korban
trafiking, kepulangan hanyalah permulaan tahap baru. Menurut OSCE, "hingga 50
persen perempuan korban trafiking yang langsung dipulangkan kembali menjadi


Natasha Karya Viktor Malarek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

korban trafiking." Kiranya tak masuk akal bagi perempuan-perempuan itu untuk bersaksi tanpa
perlindungan macam apa pun. Tapi itulah yang harus mereka lakukan, menurut
aparat. Sebagian besar negara tak punya undang-undang atau mekanisme yang
menjamin keamanan atau perlakuan adil bagi mereka, sebelum atau sesudah sidang.
Para perempuan yang memutuskan untuk bersaksi memberatkan para penyiksanya
menanggung risiko sendirian, dan setelah mereka selesai bersaksi, mereka tak
lagi diurusi. Mereka dibiarkan tanpa perlindungan. Rasanya salah kalau tidak ada
perlindungan saksi atau program lanjutan bagi perempuan korban trafiking.
Bagaimana kita bisa mengatakan kita serius memerangi trafiking kalau setelah
sidang korban-korbannya ditelantarkan sehingga bisa kembali jatuh ke tangan para
pelaku" Sejak direkrut sampai "diselamatkan" dan dideportasi, perempuan korban trafiking
terusmenerus diteror. Tiap hari mereka menghadapi dunia yang tak bersahabat.
Teman mereka hanyalah para perempuan dan Laki-laki berdedikasi yang menjadi
garis depan perlawanan terhadap trafiking - pekerjaan yang sering kali kurang
dihargai. Mereka yang bekerja untuk lembaga derma dan organisasi nonpemerintah
adalah pahlawan sejati dalam dunia yang suram ini. Tapi pekerjaan mereka hanya
sekadar "menempel plester". Pada sebagian besar kasus, para aktivis NGO
melaporkan bahwa dana yang mereka punyai terbatas dan untuk memenuhi kebutuhan
dasar pun kurang memadai.
Jika kita benar-benar ingin berusaha menyelamatkan perempuan-perempuan tersebut,
kita tak hanya perlu membuka pikiran, tapi juga membuka dompet. Kita harus
memusatkan perhatian pada program-program yang peduli kepada para korban dan
kita harus melaksanakannya di seluruh dunia, sekarang juga. Prioritas paling
utamanya adalah tempat perlindungan yang aman serta klinik yang dilengkapi
sarana dan staf perawatan medis dan psikologis. Kita perlu memahami bahwa
sebagian besar perempuan tersebut telah dirobek-robek secara psikologis dan
fisik. Dan, kita harus siap menghadapi kenyataan bahwa kebanyakan telah terinfeksi
berbagai penyakit menular kelamin.
Riset menunjukkan bahwa trafiking seks adalah faktor pendorong penyebaran AIDS
global. Perempuan korban trafiking berisiko amat tinggi terinfeksi HIV. Tempat-
tempat mereka disekap adalah tempat penyebaran AIDS. Tetapi meski PBB dan
pemerintah negara-negara dunia mengeluarkan miliaran dolar untuk program
pencegahan dan pengobatan AIDS, program-program tersebut tak berbuat apa pun
untuk melindungi jutaan perempuan korban trafiking yang terinfeksi virus maut
HIV. Supaya pencegahan AIDS
benar-benar ampuh, kita perlu melancarkan perang habis-habisan melawan
trafiking. Sampai kita melakukannya, epidemi AIDS akan terus menyebar tanpa
terhalangi. Satu lagi alasan tak bertindaknya pemerintah negara-negara adalah biaya. Negara-
negara sumber mengeluhkan kemiskinan mereka, bahwa mereka tak mampu
menyelenggarakan upaya antitrafiking yang manjur, sementara negara-negara tujuan
memilih menggunakan metode termurah - deportasi. Di tengah semua itu, manusia-
manusia malang terus teraniaya.
Tiap negara tempat perempuan korban trafiking ditemukan seharusnya menanggung
segala biaya perlindungan dan pemulihan mereka. Itu bukan usul yang berlebihan.
Tindakan itu saja sudah lumayan untuk mencuci dosa negara yang bersangkutan atas
perbuatan rakyatnya sendiri - pengguna korban trafiking dan mucikari - yang
menggunakan dan menyalahgunakan perempuan-perempuan itu. Dan, ada satu cara
sederhana dan hemat biaya untuk mendanai tempat perlindungan serta program
penyelamatan: sita keuntungan dan aset para terpidana mucikari dan pemilik
bordil yang telah menyekap perempuan korban trafiking.
Pemerintah negara-negara sumber harus berusaha memburu dan memenjarakan para
pelaku trafiking di negara masing-masing serta para pejabat korup. Mereka juga
harus melaksanakan penyuluhan publik yang gencar dan berkesan. Kaum perempuan
muda harus dibuat sadar akan tingginya risiko dan besarnya bahaya yang mereka
hadapi. Tetap saja, orang-orang yang putus asa bisa bertindak nekad, dan seorang
perempuan miskin tidak sulit diyakinkan bahwa ada harapan menunggunya dalam
bentuk "pekerjaan." Kita juga perlu membereskan faktor pendorongnya - kondisi
ekonomi dan sosial yang mendorong kaum perempuan pergi dan tanah airnya untuk
mencari pekerjaan. Sampai kita bisa membereskannya, para pelaku trafiking akan
terus punya tempat perekrutan yang subur di antara kaum perempuan Eropa Timur
yang miskin. Bagi para Natasha, satusatunya jalan keluar adalah pekerjaan sungguhan -
kesempatan serius memperoleh kehidupan yang layak. Hanya itu yang mereka
inginkan, dan negara-negara Barat yang kaya - terutama negara-negara penerima -
harus memberi sumbangan besar berupa solusinya. Negara-negara tersebut harus
mencari cara membantu para perempuan itu, tidak hanya dengan pelatihan kecakapan
kerja, tetapi juga tawaran pekerjaan yang tak menuntut mereka menanggalkan
pakaian. Sebagian besar perempuan tersebut tak menjalani prostitusi sebagai suatu
"kesempatan kerja" atau "profesi", tapi sebagai hukuman penjara yang berat. Bar
tempat mereka bekerja adalah ruang penyiksaan. Kamar tidur mereka adalah sel.
Jelas, tak satu pun negara atau lembaga yang bisa memerangi trafiking secara
efektif sendirian. Yang kita perlukan adalah tekad bulat dan komitmen tegas
seluruh dunia untuk mengatasi masalah ini. Pemberantasan bentuk eksploitasi
sosial yang menyedihkan ini harus menjadi kewajiban moral, legal, dan politis.
Satu cara untuk memastikannya adalah ratifikasi protokol antitrafiking PBB di
seluruh dunia dan pelaksanaannya dengan serius. Trafiking perempuan untuk
eksploitasi seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Suatu tindak
kejahatan yang mempermalukan kita semua. Keengganan global memberantasnya sudah
berlangsung terlalu lama. Waktunya sudah tiba untuk menghentikan trafiking,
epilog YANG AWALNYA merupakan langkah menjanjikan dalam pertarungan global melawan
trafiking kini tinggal kepura-puraan - hinaan terhadap martabat ribuan perempuan
yang menjadi korban trafiking dan perbudakan seks di seantero dunia. Pada 11
Juni 2003, Departemen Luar Negeri AS
mengeluarkan laporan tahunan Trafficking in Persons yang ketiga. 2003
semestinya adalah tahun yang menentukan. Akibat ketidak mampuan atau keengganan
menangani masalah trafiking, negara-negara yang masih juga berada di Tingkat
Tiga yang tercela dapat menghadapi penghentian bantuan nonkemanusiaan AS. Bagi
sejumlah negara, masa depan tampak suram.
Rusia, Turki, dan Yunani sudah tertahan di Tingkat Tiga selama dua tahun
sebelumnya. Tiga kali dimasukkan ke Tingkat Tiga pastilah amat memalukan, dan
tidak hanya itu, sudah ada ancaman konsekuensi yang nyata. Laporan tersebut akan
menunjukkan kepada mereka yang lalai bahwa AS sungguh-sungguh.
Para pengamat memerhatikan Rusia, yang masalah trafikingnya termasuk paling
parah di dunia. Tiap tahun puluhan ribu perempuan Rusia diselundupkan ke lebih
daripada lima puluh negara untuk eksploitasi seksual, dan diperkirakan 150.000
perempuan dari negara-negara bekas Soviet bekerja sebagai pelacur di jalan-jalan
Moskow, St. Petersburg, dan sekitarnya. Pelanggaran hak asasi manusia yang sudah
kelewatan itu terus berlanjut tahun demi tahun karena satu alasan - Rusia,
dipandang dengan ukuran objektif apa pun, adalah salah satu negeri terkorup di
planet ini, sekaligus kampung halaman salah satu kekuatan terbesar dalam
trafiking perempuan global: Kejahatan Terorganisasi Rusia. Dua tahun berturut-
turut Rusia terus mendapat kecaman dari Departemen Luar Negeri AS, dan laporan
2003 pun tak terdengar berbeda:
Rusia saat ini tak punya undang-undang antitrafiking ... Struktur hukum Rusia
masih tak memungkinkan penuntutan pelaku trafiking yang efektif ataupun dukungan
kepada korban, dan upaya-upaya mendakwa para pelaku trafiking atas kejahatan-
kejahatan yang berkaitan sejauh ini kurang berhasil .... Satu rintangan utama
penyelidikan dan penuntutan aktif adalah lemahnya struktur hukum yang terkait
tindak pidana trafiking, dan segelintir penyelidikan yang dilakukan pada tahun
kemarin pun sebagian besar gagal karena kekurangan bukti .... Polisi tak aktif
menanggapi pengaduan korban karena percaya bahwa segala perbuatan yang bisa
dianggap tindak kejahatan, seperti perbudakan dan pemerkosaan, sebagian besar
terjadi setelah korban meninggalkan wilayah hukum mereka .... Banyak LSM
melaporkan korupsi sebagai halangan utama.
Herannya, Rusia dinaikkan ke Tingkat Dua. Laporan TIP 2003
memujimuji kemajuan yang seolah-olah telah terjadi di negara itu.
Ditunjukkan bahwa Duma, atau parlemen Rusia, sedang mempertimbangkan meluluskan
satu undang-undang antitrafiking dan sudah melakukan berbagai penyuluhan publik.
Berdasarkan upaya yang cuma secuil itu, Departemen Luar Negeri AS merasa Rusia
sudah pantas masuk "zona aman", sekaligus membuatnya terhindar dari serangan
diplomatis yang merepotkan.
John Miller, direktur Badan Pengawasan dan Pemberantasan Trafiking, membela
keputusan kenaikan peringkat Rusia. "Rusia sudah menyelenggarakan sejumlah acara penyuluhan publik yang belum dilakukan pada
tahun sebelumnya," katanya. "Rusia telah berusaha amat keras menyusun apa yang
bisa dianggap undang-undang antitrafiking yang layak
.... Kami akan mengawasi Rusia dan melihat bagaimana prestasinya pada tahun
mendatang. Akan kami tinjau apakah undang-undang tersebut benar-benar
diloloskan, dan dilaksanakan."
Yang perlu diperhatikan juga, Yunani membuat undang undang serupa pada Oktober
2002, tapi tidak mendapat kenaikan dari Tingkat Tiga. Itu karena, menurut
laporan TIP 2003, pemerintah Yunani "belum menerapkan undang-undang tersebut
secara efektif. Mekanisme bantuan kepada korban belum berjalan dan kerja sama
dengan LSM masih lemah." Kedengarannya mirip sekali dengan Rusia, tapi Rusia
malah baru berencana membuat undang-undang. Jelas ada faktorfaktor lain yang
bermain. Pasti itu alasannya, mengingat Albania, Bulgaria, Belarus, Jepang,
Israel, Ukraina, Moldova, dan Serbia yang kita tahu adalah tempat penggojlokan,
juga mendapat tempat di Tingkat Dua walaupun kita sudah lihat parahnya situasi
trafiking di negara-negara itu.
Jepang tetap bertahan di Tingkat Dua untuk tiga tahun berturut-turut meski "tak
punya rencana tindakan nasional" untuk menangani trafiking dan tak punya undang-
undang yang khusus melarangnya. Jumlah sidang kasus trafiking "terlalu sedikit
dan hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan untuk dijadikan peringatan bagi
sindikat-sindikat profesional yang terlibat trafiking." Negara tersebut juga
memperlakukan korban trafiking sebagai imigran ilegal dan cepat-cepat
mendeportasi mereka. Jepang seharusnya diturunkan ke Tingkat Tiga.
Israel, setelah dimasukkan Tingkat Tiga pada laporan TIP 2001, bisa bertahan di
Tingkat Dua untuk tahun kedua. Laporan 2003 tentang Israel menunjukkan bahwa
hukuman terberat di negara itu untuk trafiking adalah dua puluh tahun penjara,
setara dengan hukuman terberat untuk pemerkosaan dan penyerangan. Akan tetapi,
sebagian besar kasus diputuskan melalui tawaran mengaku bersalah "yang
menghasilkan, rata-rata, hukuman penjara selama dua tahun," dan hukuman penjara
yang telah dijatuhkan berkisar antara enam bulan hingga sembilan tahun ditambah
denda. Pemerintah Israel menyelidiki oknum polisi yang diduga menerima suap atau
membocorkan rencana penggerebekan kepada bordil, "tapi contoh-contoh korupsi
tersebut tak tersebar luas."
Pada 27 Maret 2003, LSM-LSM Israel, dipimpin Hotline of Migrant Workers dan
Awareness Center, menyerahkan laporan kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB.
Laporan tersebut mengatakan bahwa kolaborasi antara pelaku trafiking dan polisi
terjadi dengan dua cara: pasif, ketika polisi mendatangi bordil sebagai klien,
dan aktif, yang mencakup kerja sama dengan pelaku trafiking dan pembocoran
rencana penggerebekan. Dan seratus perempuan korban trafiking yang diwawancarai
Hotline dan Isha le'Isha [Pusat Feminis Haifa], empat puluh tiga mengaku bahwa
polisi mendatangi bordil sebagai konsumen. Tujuh belas perempuan menyatakan
bahwa polisi yang mendatangi bordil untuk melakukan pemeriksaan paspor,
belakangan datang lagi sebagai klien .... Pada beberapa kasus, bordil ditutup
tepat sebelum akan digerebek, sehingga polisi yang menggerebek hanya mendapati
bordil kosong. Beberapa perempuan mengeluhkan bahwa polisi membocorkan rencana penggerebekan
kepada mucikari. Sebelas perempuan menyatakan bahwa pemilik bordil punya
hubungan baik dengan polisi, dan dua perempuan mengaku pernah melihat
perpindahan uang di antara mereka.
"Kalau seorang perempuan ditahan oleh bekas kliennya," kata laporan itu, "kecil
kemungkinan si perempuan mengadu bahwa dia telah disekap di bordil tanpa
dikehendaki." Apakah Departemen Luar Negeri AS membaca dokumen yang menggelisahkan itu"
Satu isu penting lain yang tak diungkit-ungkit dalam laporan TIP 2003
adalah ditempatkannya hampir semua negara Uni Eropa di Tingkat Satu.
Tiap tahun ribuan perempuan diselundupkan ke Austria, Jerman, Prancis, Belgia,
Swiss, Inggris, Italia, Spanyol, dan Belanda untuk industri prostitusi yang
makin ramai di negara-negara tersebut. Meski negara-negara itu sudah tiga kali
dinyatakan memenuhi syarat "standar minimal" pemberantasan trafiking oleh
Departemen Luar Negeri AS, situasi di sana tak menjadi lebih baik. Malah
situasinya bertambah parah.
Jadi, sebenarnya buat apa laporan Trafficking in Persons" Laporan tentang
penjualan dan perbudakan perempuan yang terjadi tiap hari, atau gambaran
kepemimpinan global" Tentu saja, para pengkritik selalu menduga bahwa yang benar
adalah yang disebut belakangan, dan laporan 2003
membenarkan dugaan mereka. Negara yang mengangkat dirinya sendiri menjadi sang
sherif, yang petantang-petenteng di dunia sambil sesumbar mau membasmi
kejahatan, akhirnya kelihatan belangnya. Laporan Trafficking in Persons
dirancang untuk menyelamatkan kaum perempuan dan perdagangan manusia. Laporan
itu semestinya menjadi lambang keberanian dan visi untuk bertindak tegas;
lambang kepemimpinan dan pertanggungjawaban. Tragisnya, Amerika Serikat telah
mengubahnya menjadi permainan diplomatis belaka.
ucapan terima kasih BANYAK ORANG yang turut terlibat pembuatan buku ini dan mereka semua layak
mendapat ucapan terima kasih. Pertama-tama, saya ingin berterima kasih kepada
keluarga saya, Anna dan Larissa, yang telah mendukung saya sepanjang perjalanan
yang amat berat ini. Bruce Westwood, agen saya, melihat penting dan kuatnya
kisah ini dan dengan cepat mengubahnya dari gagasan menjadi kenyataan. Cynthia
Good adalah pendukung yang kuat dan bersemangat selama masa riset dan penulisan.
Susan Folkins, editor saya, telah menjadi suara yang tenang serta kemudi yang
tangguh di lautan berombak, dan Karen Alliston melakukan penyuntingan sensitif
pada naskahnya. Saya juga ingin berterima kasih kepada Lesia Stangret, yang telah membantu saya
sepanjang proyek ini dengan riset tekun, penerjemahan, dan bantuan editorial
yang kritis. Terima kasih pula kepada Andrea Mozarowski untuk gagasan dan
pedoman awal; Stefko Bandera untuk bantuan di Kyiv; serta Lorena Zuzolo untuk
bantuan di Italia. Di sepanjang jalur trafiking yang suram, saya telah bertemu dan berbicara dengan
banyak orang berdedikasi. Saya khususnya ingin berterima kasih kepada Madeleine
Rees, Nomi Levenkron, Sigal Rozen, Leah GruenpeterGoId, Nissan Ben Aini, Martina
Vandenberg, Don Cesare Lo Deserto, Oleksander Mazur, dan Derek Chappell.
Saya juga telah bertemu banyak polisi dan tentara penjaga perdamaian yang
bekerja tak kenal lelah memberantas trafiking. Mereka layak dipuji. Sayang,
upaya mereka berkali-kali dirusak oleh perbuatan banyak rekan mereka yang korup
dan tak bermoral. Terakhir, dan terpenting, saya sampaikan penghormatan saya kepada begitu banyak
perempuan muda pemberani yang telah menemukan keberanian untuk berbagi cerita
dengan saya. Misteri Pusaka Pedang Gaib 2 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Tiga Dara Pendekar 22
^