Pencarian

Winnetou Kepala Suku Apache 6

Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May Bagian 6


"Sekarang, suruh mereka keluar!" perintah saya. "Tetapi satu persatu. Setiap
orang harus segera diikat begitu keluar. Old Death sama sekali tidak mentolerir
kalau kita bertele-tele menjalankan perintahnya. Sherif pasti segera datang.
Pelayan Cortesio yang berdarah Negro itu sudah pergi menjemputnya!"
"Sherif?" tanya Lange keheranan. "Dia sudah ada di sini! Jadi Anda belum tahu
siapa orang yang mendorong Anda tadi" Dialah sherif kita!"
Dia menunjuk kepada pria berbadan kekar tadi.
"Ya ampun, Sir!" kata saya. "Jadi Anda seorang sherif" Anda kepala eksekusi
tertinggi di county nan indah ini" Semestinya Anda bertindak sesuai dengan hukum
dan undang-undang yang berlaku. Tapi nyatanya Anda ingin mengangkat diri sebagai
hakim dan ingin menjatuhkan hukuman gantung pada orang lain tanpa proses hukum"
Ini kesalahan yang fatal! Tidak mengherankan, jika orang-orang Kuklux itu berani
menyusup ke daerah Anda!"
Tak terlukiskan betapa malunya dia. Dia tidak mampu berbuat apa-apa, selain
memperlihatkan kedua giginya sekali lagi lalu berkata dengan terbata-bata,
"Pardon, Sir! Saya khilaf, karena Anda memiliki tampang kriminal!"
"Terima kasih! Tapi akibat kesalahan Anda sendirilah, maka kini wajah Anda lebih
jelek daripada sebelumnya. Mulai sekarang jalankan kewajiban Anda dengan
benar supaya Anda tidak dicurigai karena ingin menggantung orang baik-baik, dan
dengan itu dikira bersekutu dengan orang Kuklux secara diam-diam!"
Kini dia kembali sadar akan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikulnya
sebagai seorang sherif. "Oho!" teriaknya sambil membusungkan dada. "Saya, sherif dari county Fayett yang
sangat indah ini dituduh memihak orang-orang Kuklux" Akan saya buktikan bahwa
tuduhan itu tidak benar. Hukuman yang akan dijatuhkan kepada semua bajingan itu
harus diputuskan malam ini juga, tidak bisa ditunda-tunda. Minggirlah,
Mesch'schurs, supaya kami bisa pergi menemui mereka. Keluarlah dan pergilah ke
lorong, tetapi arahkan senapan kalian ke pintu, supaya para bajingan ini
melihat, siapa yang kini memegang kendali di rumah ini. Ambillah tali dan
bukakan pintunya!" Perintah itu segera dilaksanakan. Enam ujung senjata berlaras ganda ditodongkan
ke pintu. Kini sherif masuk ke kamar, lalu disusul Master Lange dan anaknya,
Sennor Cortesio, kedua orang Jerman yang sejak awal bahu-membahu menolong kami,
dan yang terakhir saya. Di luar, orang-orang berteriak dan menuntut supaya
sidang dipercepat. Karena itu jendela dibuka agar mereka bisa melihat bahwa kami
tengah menjalankan kewajiban kami. Kini tiang-tiang pengganjal pintu
disingkirkan. Saya membuka pintu kamar. Tidak satu pun anggota Kuklux yang mau
keluar lebih dulu. Saya memerintahkan kapten dan letnan untuk maju. Keduanya
telah membalut tangannya yang terluka dengan sapu tangan. Selain mereka, masih
ada tiga atau empat orang lain lagi yang terluka. Old Death masih duduk di atas
loteng dan mengarahkan senjatanya ke bawah melalui lubang di loteng. Berkat
siasatnya yang begitu cemerlang, kini kami berhasil mengikat tangan para tawanan
itu ke balik punggung. Kemudian mereka digiring melewati keempat rekannya yang
juga terikat, setelah dibekuk di rumah Cortesio dan dibawa ke mari. Orang-orang
yang berdiri di luar menyaksikan semua yang terjadi dan segera menyambutnya
dengan teriakan Hallo dan Hore. Kami masih membiarkan para tawanan mengenakan
topengnya, kecuali kapten dan letnan, supaya semua bisa melihat wajah mereka.
Atas permintaan dan usaha saya, maka didatangkan seorang pria yang kemudian
diperkenalkan kepada saya sebagai ahli bedah. Orang ini berkata, dia mampu
membalut, mengoperasi, dan menyembuhkan luka dalam waktu yang singkat. Dia akan
memeriksa pasiennya. Tetapi sebelumnya dia menyuruh separuh penduduk La Grange
untuk mengobrak-abrik rumah masing-masing guna mencari kapas, serat rami, kain
pembalut, plester, lemak, sabun, dan barang-barang lain yang biasa diperlukan
untuk mengobati orang-orang sakit.
Setelah semua orang Kuklux itu diobati, maka timbul pertanyaan, ke mana mereka
harus dibawa. Di La Grange tidak ada penjara yang bisa menampung sembilan belas
orang sekaligus. "Bawa saja mereka ke bar di rumah makan!" sherif mengajukan usul. "Yang paling
penting sekarang, urusan ini harus diselesaikan secepat mungkin. Kita akan
membentuk dewan pengadilan dengan anggota yang diangkat sumpahnya lalu
menjatuhkan hukuman secepatnya. Kasus yang kita tangani kali ini sangat lain.
Karena itu prosedur hukumnya juga dibuat agak lain."
Berita tentang acara pengadilan itu segera tersiar ke mana-mana. Maka orang
datang berduyun-duyun dan berdesak-desakan masuk ke rumah makan untuk
mendapatkan tempat duduk. Yang tidak kebagian tempat, terpaksa harus berdiri di
tangga, di lorong dan di halaman di depan rumah makan. Mereka menyambut
kedatangan orang Kuklux dengan teriakan mengancam. Karena itu para pengawal
harus menjaga dengan sangat ketat supaya mereka tidak dikeroyok massa. Dengan
susah payah kami berhasil mencapai bar. Ruangan itu besar tapi sangat rendah,
karena dulu digunakan sebagai arena dansa. Tempat pertunjukan itu rupanya telah
dipenuhi orang. Agar para tawanan bisa dibawa ke tengah maka tempat itu harus
segera dikosongkan. Ketika topeng mereka dibuka, tampak jelas bahwa tidak
seorang pun dari mereka yang berasal dari daerah di sekitar La Grange.
Sidang pengadilan telah dibentuk. Sherif sendiri yang memimpinnya. Sidang
tersebut terdiri dari seorang jaksa penuntut, seorang pembela, seorang panitera
dan beberapa orang yang sudah disumpah. Susunan dewan itu membuat saya ngeri,
tapi karena tuntutan masyarakat sekitar dan kasus yang unik ini, maka semuanya
bisa diterima. Sebagai saksi ditampilkan Lange dan anaknya, Cortesio, kelima orang Jerman, Old
Death, dan saya. Senjata para terdakwa diletakkan di atas meja sebagai barang
bukti, begitu juga senapan mereka. Old Death sudah mengupayakan sehingga semua
senjata yang disembunyikan di belakang istal pun dibawa ke mari. Ternyata
semuanya masih berisi peluru. Maka sherif mulai membuka sidang dengan berkata,
"Pengambilan sumpah para terdakwa tidak perlu dilakukan karena moral mereka
sudah bobrok, sehingga gentlemen yang bermoral dan terhormat yang hadir di sini
tidak pantas menerima sumpah mereka."
Selain Kuklux, yang hadir di dalam rumah makan hanya orang-orang yang "memiliki
pengetahuan yang teruji tentang hukum dan undang-undang, dan proses pengadilan
seperti ini mereka terima dengan senang hati tanpa protes." Mereka bersorak riuh
mendengar pujian sherif lalu membungkukkan badan untuk menyatakan
terima kasih. Namun saya juga melihat wajah beberapa orang yang tidak senang
atas pujian itu. Mula-mula para saksi diminta memberikan keterangan. Old Death maju dan
menceritakan semua peristiwa secara terperinci. Kami hanya bisa menyetujuinya.
Setelah itu bangkitlah "Jaksa Penuntut Umum". Dia mengulangi pernyataan kami dan
menegaskan bahwa para terdakwa termasuk anggota perkumpulan terlarang yang
didirikan hanya untuk menebarkan aksi-aksi teror. Mereka ingin memperkosa hukum,
menggantikan dasar negara, dan melakukan kejahatan terkutuk lainnya. Semua
tindakan kriminal tersebut melanggar hukum dan terancam hukuman penjara selama
beberapa tahun, atau mungkin seumur hidup, atau bahkan hukuman mati. Dengan
masuk menjadi anggota perkumpulan saja, orang sudah diancam hukuman minimal
sepuluh atau dua puluh tahun penjara. Selain itu mereka pun terbukti menyusun
suatu pembunuhan berencana atas seorang bekas pejabat dari Partai Republik,
mencambuk keji dua orang yang terpandang dan ingin membakar sebuah rumah di kota
nan indah ini. Dan tuduhan terakhir, mereka pun bermaksud menggantung dua orang
asing yang cinta damai dan jujur. Ketika mengatakan kalimat terakhir ini, dia
membungkuk ke arah Old Death dan saya. Ya, semua penduduk La Grange berhutang
budi pada kami, karena berkat jasa kami, mereka terhindar dari malapetaka.
Karena itu mereka menuntut, barang siapa yang bermaksud membunuh kami, harus
diganjar dengan hukuman yang paling berat. Maka sherif mendesak hakim untuk
menjatuhkan hukuman tanpa memberi keringanan sedikit pun. Para hakim diminta
memilih beberapa orang Kuklux yang dianggap paling jahat untuk segera digantung.
Sedangkan anggota yang lainnya hanya mendapat hukuman cambuk karena alasan
"perikemanusiaan". Tapi mereka pun akan disekap dalam penjara seumur hidup
supaya tidak lagi melakukan gerakan-gerakan yang berbahaya bagi negara atau yang
meresahkan masyarakat. Tuntutan jaksa penuntut itu juga mendapat dukungan dari para bravos[Hadirin yang
gagah berani]. Kepada mereka pun dia membungkuk sebagai tanda terima kasih.
Setelah selesai giliran jaksa penuntut umum, kini pembela diberi kesempatan
berbicara. Dia menegaskan bahwa ketua pengadilan membuat kesalahan besar, karena
tidak menanyakan nama terdakwa. Padahal itu diperlukan untuk surat keterangan
kematian dan surat keterangan lainnya... dia juga masih memaparkan beberapa
aspek lain, dan harus saya akui, argumennya memang benar. Dia pun tidak
menyangkal bahwa orang-orang Kuklux telah menyusun rencana jahat dan memang
begitulah kenyataannya. Tetapi rencana tersebut belum sempat dilaksanakan,
karena keburu digagalkan. Jadi mereka bersalah hanya karena mencoba melakukan kejahatan.
Karena pertimbangan ini, hukuman gantung atau penjara seumur hidup tidak mungkin
diputuskan. Dia bertanya pada setiap orang, apakah seseorang sudah dirugikan
oleh suatu kejahatan yang masih sebatas ide atau rencana. Tak pernah ada
pengadilan yang menjatuhkan keputusan untuk kasus seperti itu. Hal yang sama pun
harus dipraktekkan di sini! Karena tidak ada kerugian yang diderita oleh
seseorang, maka pembela mendesak agar para terdakwa dibebaskan dari segala
tuduhan. Dengan begitu anggota mahkamah dan semua anggota saksi yang hadir
menunjukkan bahwa mereka adalah manusia bermoral dan orang Kristiani yang cinta
damai. Setelah selesai, dia juga mendapat tepuk tangan, walaupun cuma sedikit.
Dia membungkuk dalam-dalam, seolah-olah seluruh dunia menyambutnya dengan sorak
riuh rendah. Kemudian ketua pengadilan berdiri untuk kedua kalinya. Pertama-tama dia berkata,
dengan sengaja dia tidak menanyakan nama dan "kebiasaan lain" dari para
terdakwa, karena dia yakin, mereka akan berbohong. Dia mengajukan usul, setelah
hukuman gantung dilaksanakan, akan dibuat surat kematian yang singkat untuk
semua orang tersebut. Isinya kira-kira begini: "Sembilan belas orang Kuklux ini
harus digantung karena kesalahannya sendiri". Dia juga mengakui, bahwa para
terdakwa hanya melakukan usaha pembunuhan, lalu mempertanyakan kembali definisi
"bersalah" dalam kasus ini. Tak lupa dia juga menyinggung bahwa berkat usaha
kami berdua, usaha mereka untuk membunuh berhasil digagalkan. Usaha pembunuhan
itu memang berbahaya dan karena mengandung potensi membahayakan orang lain, maka
pelakunya harus dihukum. Dia tidak berminat dan tidak mempunyai waktu untuk
duduk berjam-jam mendengar debat antara jaksa penuntut umum dan pembela. Dia
juga tidak mau lama-lama berurusan dengan komplotan itu, suatu kelompok yang
memang aneh. Jumlah mereka sembilan belas orang dan bersenjata lengkap. Tetapi
dengan mudah mereka dapat dikalahkan oleh dua orang asing. Sikap kepahlawanan
seperti ini tentu tidak boleh dipandang sebelah mata. Dia juga dikira bersekutu
dengan Kuklux. Hal itu tidak diterimanya. Dia berusaha agar orang-orang itu
dipermalukan di muka umum dan menguburkan niatnya untuk menyerang kota ini
sekali lagi. Dia mengajukan pertanyaan kepada anggota mahkamah, apakah para
terdakwa akan dinyatakan bersalah atas usaha pembunuhan, perampokan, pencurian,
penganiayaan, dan pembakaran. Dia meminta supaya jawaban tidak ditunda sampai
akhir bulan Desember tahun depan, karena di depan para juri telah berkumpul
orang-orang yang sudah tidak sabar lagi mendengarkan keputusan hakim.
Sindirannya disambut dengan tepuk tangan meriah. Para juri pergi ke sudut
ruangan dan berunding tidak lebih dari dua menit. Kemudian ketua juri
memberitahukan keputusan akhir kepada sherif. Bunyinya: mereka dinyatakan
bersalah. Lalu sherif berbisik-bisik dengan anggota sidang pengadilan lain untuk
berunding. Menariknya, setelah perundingan itu, sherif memerintahkan orang untuk
mengambil semua barang yang ada di dalam tas terdakwa, terutama yang paling
dicari adalah uang. Setelah perintah itu dilaksanakan, semua uang yang terkumpul
dihitung. Sherif mengangguk puas lalu berdiri untuk mengumumkan keputusan akhir.
"Mesch'schurs," katanya. "Para terdakwa telah dinyatakan bersalah. Saya kira,
keputusan inilah yang kalian harapkan. Saya tidak akan berkata panjang lebar
karena kita telah berdebat sangat alot tentang bentuk hukuman, antara hukuman
gantung dan pelaksanaannya. Tapi semua kejahatan yang mereka rencanakan tidak
jadi dilaksanakan. Karena itu seperti alasan yang diajukan pembela yang
dilandaskan pada rasa kemanusiaan dan nilai agama Kristiani, maka hukuman
gantung terpaksa dibatalkan... " Para terdakwa menarik napas lega, hal itu terlihat sangat jelas. Dari barisan
penonton terdengar beberapa suara yang tidak puas. Sherif berkata lebih lanjut,
"Sudah saya katakan tadi, rencana untuk tindak kejahatan sendiri sudah
mengandung bahaya. Jika kita tidak menghukum orang-orang Kuklux ini, maka paling
tidak kita harus mengusir mereka pergi jauh-jauh sehingga tidak lagi menjadi
sumber keresahan bagi kita. Karena itu kami memutuskan untuk mengusir mereka
dari Texas dengan cara yang memalukan sehingga mereka tidak berani lagi
menampakkan batang hidungnya di sini. Pertama-tama rambut dan janggut mereka
harus dicukur habis. Beberapa gentlemen yang hadir di sini tentu dengan senang
hati menerima tugas ini. Siapa yang rumahnya paling dekat, boleh pulang untuk
mengambil gunting. Sedangkan mereka yang sama sekali tidak tahu cara menggunting
rambut akan diberikan kesempatan pertama oleh sidang pengadilan untuk tugas
mulia ini." Semua tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu membuka jendela dan berseru
menyampaikan kepada yang berdiri di luar,
"Bawa gunting ke sini! Rambut orang-orang Kuklux akan digunduli. Siapa yang
membawa gunting, dia akan diizinkan masuk!"
Saya menduga, semua orang yang berdiri paling belakang pasti segera berlari
mengambil gunting. Dan memang benar. Dalam sekejap mata terdengar derap kaki
yang disusul teriakan shears dan scissars[Inggris: Gunting besar dan Scissor:
Gunting rambut]. Bahkan sebuah suara berteriak keras shears for clipping trees
dan shears for clipping sheeps, yaitu gunting pohon dan gunting untuk mencukur
bulu domba. "Selain itu," kata sherif lebih lanjut, "juga sudah diputuskan, bahwa orang-
orang hukuman ini harus dibawa ke kapal, yang malam tadi datang dari Austin jam
sebelas lewat. Besok pagi-pagi benar kapal itu akan berangkat ke Matagorda.
Setibanya di sana, mereka akan dinaikkan ke kapal pertama yang berangkat
meninggalkan Texas tanpa kembali lagi. Mereka dinaikkan ke dek tanpa
mempedulikan siapa mereka, dari mana asal mereka dan ke mana kapal itu akan
berlayar. Mulai sekarang hingga saat naik kapal nanti, mereka tidak boleh
menanggalkan pakaiannya, supaya tiap-tiap penumpang bisa melihat, bagaimana kita
penduduk Texas memperlakukan orang-orang Kuklux. Tangan mereka pun harus tetap
terikat. Mereka baru mendapat roti dan air setelah tiba di Matagorda. Semua
biaya perjalanan dibayar dengan uang hasil rampokan mereka, yang semuanya
berjumlah lebih dari tiga ribu dollar. Selain itu semua barang mereka, terutama
senjata, akan disita dan dilelang. Sidang pengadilan telah memutuskan bahwa
hasil pelelangan itu akan digunakan untuk membeli bir dan brandy, supaya saksi-
saksi yang telah bersikap kooperatif ini bersama-sama istrinya boleh minum-minum
sedikit dan menari pada pesta yang akan diadakan di tempat ini setelah sidang
berakhir. Kita terus berpesta hingga besok pagi dan mengiringi kepergian orang-
orang Kuklux ini ke kapal dengan musik duka dan kidung-kidung ratapan. Semua
tawanan hanya bisa menyaksikan kita berdansa, tapi mereka tidak boleh ikut serta
atau beranjak dari tempatnya. Jika pembela ingin mengajukan keberatan terhadap
keputusan itu, kami bersedia mendengarnya, tapi kami minta dengan hormat supaya
dia berbicara dengan singkat. Kami masih harus mencukur kepala mereka, dan
barang-barang mereka pun harus dilelang. Jadi masih banyak tugas yang harus kami
kerjakan sebelum pesta dimulai."
Terdengar tepukan tangan lebih keras daripada sebelumnya dan diselingi dengan
teriakan-teriakan keras. Hakim ketua dan pembela harus berusaha keras
menenangkan massa supaya suara pembela bisa didengarkan.
"Apa yang saya katakan berikut ini bermanfaat bagi klien saya," kata pembela.
"Saya kira, keputusan sidang pengadilan ini memang keras, tetapi hal itu sudah
diimbangi dengan kebijaksanaan yang menetapkan bahwa uang mereka akan digunakan
untuk membeli bir, brandy, dan lain-lain untuk keperluan pesta. Maka atas nama
semua klien saya, saya menegaskan bahwa saya sangat setuju dengan keputusan
hakim. Saya pun berharap, semoga setelah keputusan ini mereka bisa memulai hidup
baru yang lebih baik dan lebih berguna di masa mendatang. Saya juga ingin
mengingatkan mereka supaya jangan coba-coba datang lagi ke sini, karena saya
sudah muak menjadi pembela dan terlibat dalam perkara aneh seperti ini. Untuk
urusan administrasi perlu saya jelaskan, setiap klien dituntut membayar dua
dollar untuk biaya pembelaan. Jadi untuk sembilan belas orang, saya harus
mendapat tiga puluh delapan dollar. Tapi saya tidak perlu menulis kwitansinya,
jika uang tersebut segera dibayar di hadapan semua orang yang hadir di sini.
Dalam perkara ini pun saya
hanya mengambil delapan belas dollar untuk diri sendiri. Sedangkan selebihnya,
dua puluh dollar, akan saya berikan untuk biaya penerangan dan sewa ruangan ini.
Dan supaya para pemusik pun tidak pulang dengan tangan hampa, saya mengusulkan
agar setiap gentleman yang ingin berpesta harus dipungut lima belas sen untuk
karcis masuk. Para ladies tentu saja tidak perlu membayar."
Kemudian dia duduk kembali. Sherif pun menyatakan sependapat dengannya.
Saya duduk di sana dan menyaksikan semua prosedur hukum seperti dalam mimpi
saja. Jadi semuanya disetujui seperti itu" Tak ada keraguan lagi. Saya melihat


Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pembela itu menerima uangnya dan banyak orang berlari ke rumah untuk menjemput
istri masing-masing ke tempat pesta. Pada saat yang sama datang juga orang-orang
yang membawa berbagai jenis gunting. Sebenarnya saya ingin marah, tetapi tidak
jadi. Saya harus ikut tertawa bersama Old Death yang sudah terkekeh-kekeh
menyaksikan semua kejadian itu. Orang-orang Kuklux benar-benar dicukur sampai
gundul. Kemudian dimulailah pelelangan barang-barang mereka. Senjata mereka
cepat sekali laku dan harganya pun tinggi. Barang-barang lainnya pun habis
terjual. Tidak bisa dibayangkan betapa hiruk pikuknya suasana ketika penduduk
kota itu datang-pergi dan saling berdesak-desakkan. Semua orang ingin masuk ke
dalam bar, padahal ruangan itu hanya mampu menampung sepersepuluh dari semua
yang hadir. Kemudian tampillah sekelompok pemusik, yang terdiri dari seorang
pemain klarinet[Sejenis alat tiup], pemain biola, peniup terompet, dan seseorang dengan seruling tua. Kelompok
orkes ini segera mengambil tempat di pojok dan mulai menyetel alat-alat musiknya
yang kedengaran sumbang. Suatu tanda bahwa kami tidak akan disuguhi musik yang
indah seperti yang diharapkan.
Saya hendak pergi karena kini para ladies mulai bermunculan dalam ruangan. Namun
tiba-tiba Old Death datang mendekat. Dia menjelaskan, bahwa kami berdua adalah
tamu-tamu istimewa dan kami pun boleh sedikit bersenang-senang setelah melewati
bahaya dan perjuangan yang keras. Rupanya sherif juga mendengar percakapan kami.
Dia mendukung, bahkan mendukung dengan sepenuh hati pendapat Old Death. Dia
berkata, jika kami berdua menolak untuk berdansa pada putaran pertama, maka hal
itu merupakan suatu penghinaan besar bagi seluruh penduduk La Grange. Dia lalu
mempersilahkan Old Death dan saya untuk berdansa dengan istri dan putrinya.
Kedua wanita itu sangat pandai menari. Karena saya sudah merontokkan dua giginya
dan dia beberapa kali memukul tulang rusuk saya, maka kini kami harus memulihkan
kembali hubungan. Karena itu jika saya tidak memenuhi ajakannya untuk tetap
tinggal, maka hal tersebut dapat menyakiti hatinya sekali lagi. Dia menyuruh
supaya disediakan sebuah meja khusus untuk kami berdua. Apa yang harus saya
perbuat" Sialnya, pada meja tersebut sudah duduk istri dan putrinya yang tadi
sudah berkenalan dengan saya. Mula-mula hanya ikut-ikutan, terperangkap, lalu
harus menanggung akibatnya! Terpaksa saya harus menerima tawarannya untuk
berdansa. Mungkin saya harus membuat beberapa gerakan meluncur dan melompat. Ya,
hari ini saya memang seorang pahlawan - dan detektif privat yang menyamar.
Sherif yang baik itu merasa sangat senang karena telah memberikan dua kembang
terindah yang dimilikinya. Dia memang menyiapkan meja khusus untuk kami, namun
sialnya meja itu hanya cukup ditempati empat orang. Maka tanpa ampun kami harus
duduk semeja dengan kedua ladies itu. Mereka tampak begitu anggun. Mereka
dituntut bersikap anggun mengingat kedudukan suami dan ayah mereka yang begitu
terpandang. Sang nyonya berusia kira-kira lebih dari lima puluh tahun. Ia
merenda sebuah kemeja dari wol dan satu kali menyinggung tentang Codex Napoleon.
Selanjutnya ia hanya diam membisu. Anak gadisnya yang berumur kira-kira tiga
puluh tahun, membawa sebuah buku berisi kumpulan puisi. Meskipun suasana sangat
gaduh, ia tetap maju dan membacakan puisinya dengan berapi-api. Ia juga
menyanjung-nyanjung Old Death dengan berbagai pujian dan membandingkannya dengan
Pierre Jean de Beranger. Namun ketika scout itu mengaku jujur bahwa dia tidak
mengenal Sir yang disebut, maka gadis itu segera diam seribu bahasa. Ketika bir
disuguhkan, kedua wanita itu tidak minum. Namun ketika sherif datang membawa dua
gelas brandy, maka wajah mereka yang tadinya judes dan cemberut kini tampak
kembali bersinar. Pada saat itu pejabat tinggi itu mencolek saya dan berbisik, "Sekarang saatnya
untuk berdansa. Silahkan maju!"
"Tapi bagaimana jika ajakan dansa yang kami ajukan ditolak?" tanya saya dengan
suara senormal mungkin sehingga tidak tampak bahwa sebenarnya dalam hati saya
pun menginginkannya. "Oh, tidak! Istri dan puteri saya sudah diberitahu sebelumnya."
Maka saya bangkit dan membungkuk memberi hormat kepada gadis itu. Dengan sopan
saya mengungkapkan perasaan bangga, bahagia, dan terhormat jika boleh berdansa
dengannya. Sebagai jawaban, saya diberi buku berisi puisi yang selalu dibawanya.
Old Death menggunakan cara yang lebih praktis. Dia berseru kepada istri sherif,
"Nah, kemarilah, Mis'siss! Berputar ke kanan atau ke kiri, bagi saya sama saja.
Terserah Anda! Yang jelas, saya akan melompat-lompat dengan kedua kaki."
Bagaimana kami berdansa, atau tentang kecelakaan yang dialami oleh teman karib
saya itu ketika dia jatuh ke lantai bersama istri sherif, dan bagaimana
pengunjung yang hadir meneguk minuman, tidak perlu saya ceritakan panjang lebar.
Cukup! Ketika hari sudah siang, semua persediaan makanan dan minuman di rumah
makan sudah habis. Sherif mengumumkan bahwa uang hasil pelelangan belum dipakai
semuanya. Karena itu besok atau mungkin malam ini pesta bisa diteruskan lagi.
Mereka duduk atau berbaring di lantai di dalam rumah makan, di taman, atau pun
di halaman depan. Kebanyakan dalam keadaan mabuk berat. Tetapi ketika sherif
kembali mengumumkan bahwa para tawanan akan digiring ke pelabuhan, mereka semua
segera bersiap-siap. Iring-iringan itu diatur sebagai berikut: paling depan
pemain musik, kemudian disusul anggota dewan pengadilan, lalu orang-orang Kuklux
yang masih tetap mengenakan pakaian kebesarannya, selanjutnya kami para saksi,
dan di belakang kami Masters, Sirs dan gentlemen lain yang juga ingin ikut.
Orang Amerika memang luar biasa. Apa yang mereka butuhkan selalu ada. Saya tidak
tahu, dari mana mereka memperoleh dan mengambilnya begitu cepat. Namun semakin
banyak orang yang ikut dalam rombongan. Kecuali para pengkhotbah dan ladies,
mereka semua membawa peralatan rumah tangga yang bisa dijadikan alat musik.
Setelah semua berdiri dalam barisan, sherif memberikan isyarat supaya iringan
mulai bergerak. Kelompok yang berjalan paling depan segera mengumandangkan
dendang yankee-doodle. Sedangkan pada bagian akhir barisan terdengar alunan
musik yang hiruk-pikuk. Bagaimana mereka berteriak-teriak, bersorak-sorai dan
bernyanyi, semuanya tak bisa dilukiskan. Saya seolah-olah sedang berada di
antara orang-orang gila. Begitulah iringan duka itu bergerak pelan menuju ke
sungai. Setibanya di sana, tawanan diserahkan kepada kapten kapal. Dia berjanji,
dan kami juga percaya, bahwa para tawanan langsung dikurung. Bahkan dia
menjamin, tak ada celah bagi mereka untuk bisa melarikan diri. Selain itu mereka
juga dijaga ketat oleh orang-orang Jerman yang ikut berlayar.
Pada saat kapal mulai bergerak, pemain musik mulai memperdengarkan lagu
perpisahan yang sangat memilukan. Dan yang lainnya pun mulai menabuh "instrumen"
yang tadi dibawanya dari rumah. Ketika semua mata mengiringi kepergian kapal,
saya menggamit lengan Old Death dan mengajaknya pulang bersama Lange dan anaknya
ke rumah. Setelah tiba di sana, kami memutuskan untuk beristirahat sebentar.
Tapi ternyata kami tidur lebih lama daripada yang direncanakan. Ketika saya
bangun, saya melihat Old Death sudah terjaga. Dia tidak dapat tidur karena sakit
di pangkal pahanya. Saya sungguh terkejut ketika dia mengatakan bahwa hari ini
kami tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dia merasa sakit akibat jatuh ketika
berdansa tadi malam. Kami menyuruh orang memanggil ahli bedah. Ahli bedah itu
datang lalu memeriksa pasiennya. Menurutnya, tulang kaki Old Death terlepas dari
posisinya dan harus dikembalikan. Rasanya saya ingin menjewer kuping dukun itu.
Berjam-jam dia menarik-narik kaki Old Death lalu mengatakan bahwa kami pun bisa mendengar bunyi
tulang-tulang yang berderak. Kami segera memasang telinga, namun tidak mendengar
apa-apa. Scout itu pun tidak merasa sakit ketika kakinya ditarik-tarik. Karena
itu saya mendorong dukun itu ke samping lalu memeriksa pangkal paha Old Death.
Di sana tampak memar biru yang mengitari luka. Saya yakin, Old Death hanya
terkilir dan lukanya tidak begitu parah.
"Kita harus mengolesinya dengan minyak gosok atau spiritus. Mungkin cara itu
bisa menolong Anda," kata saya. "Ya, setidaknya hari ini Anda harus
beristirahat. Tapi sayang, Gibson mendapat kesempatan untuk melarikan diri!"
"Melarikan diri?" tanya si Tua. "Jangan khawatir, Sir! Jika orang memiliki
hidung seekor anjing berburu, seperti saya, maka jejaknya pasti bisa diendus
sampai ke mana pun. Dan dia tidak akan berhenti sebelum buruannya tertangkap.
Percayalah!" "Saya percaya. Tapi Gibson dan Willian Ohlert tentu sudah terlalu jauh di depan
kita." "Kita masih bisa mengejarnya. Dalam perhitungan saya, kita mungkin menangkapnya
satu hari lebih awal atau lebih lama. Tapi yang jelas dia akan tertangkap.
Jangan putus asa! Sherif yang terhormat itu mengacaukan rencana kita dengan
pesta dan anak bininya. Tapi percayalah, saya akan memperbaiki kesalahan ini.
Orang menyebut saya Old Death. Dan Anda tahu, apa arti nama itu, bukan?"
Hati saya senang mendengarnya. Saya percaya kepada si Tua dan saya yakin, dia
tidak berbohong. Karena itu saya berusaha meredam kekhawatiran yang tidak perlu.
Saya tidak dapat meneruskan perjalanan sendirian. Itulah sebabnya saya sangat
senang ketika kami makan siang, Master Lange berkata bahwa dia pun hendak pergi
bersama kami karena arah tujuan kami sama.
"Saya dan anak saya tidak akan menyusahkan Anda," katanya. "Saya mahir berkuda
dan menembak. Seandainya di tengah jalan kita berpapasan dengan penjahat
kulitputih dan kulitmerah, jangan takut, kami tidak akan lari. Jadi apakah Anda
keberatan jika kami ikut" Katakan!"
Tentu saja kami tidak keberatan. Kemudian datanglah Cortesio yang ternyata tidur
lebih lama daripada kami. Dia ingin menunjukkan kedua kuda yang ingin kami beli.
Walaupun masih pincang, Old Death bergegas ke halaman. Dia ingin melihat sendiri
kuda-kuda itu. "Master muda ini pernah mengatakan, dia pandai menunggang kuda," ujarnya. "Namun
kita tahu, apa artinya. Saya sendiri tidak yakin bahwa dia tahu banyak tentang
kuda. Jika saya ingin membeli seekor kuda, maka kadang-kadang saya
memilih seekor yang kelihatan jelek. Tetapi tentu saja saya tahu, kuda pilihan
saya itulah yang terbaik. Hal seperti ini sudah sering saya lakukan."
Saya harus menunggangi semua kuda yang ada di dalam istal itu satu persatu di
hadapannya. Dia mengamati setiap gerak-gerik binatang itu dengan seksama. Tapi
sebelumnya, dengan berhati-hati dia telah menanyakan harga tiap-tiap kuda. Dan
apa yang tadi dikatakannya memang benar-benar terjadi: dia tidak memilih kedua
kuda yang sebenarnya disiapkan untuk kami.
"Kuda-kuda itu kelihatan bagus, tapi jelek," katanya. "Setelah ditunggangi
beberapa hari, binatang itu sudah loyo. Tidak, kita mengambil kedua kuda tua
itu. Aneh, harganya pun begitu murah."
"Tetapi kuda-kuda itu hanya cocok untuk menarik pedati!" kata Cortesio.
"Anda tidak mengerti, Sennor! Itulah sebabnya Anda berpendapat demikian. Kuda-
kuda itu adalah kuda prairie yang tidak terpelihara dengan baik, namun
kegesitannya tidak berkurang. Dalam perhitungan saya, kuda-kuda itu akan tetap
tegar menghadapi berbagai rintangan. Kami membelinya. Habis perkara!"
PERAMPOKAN KERETA API Sejak pagi-pagi buta saya sudah berkuda dan menempuh jarak yang cukup jauh. Kini
saya merasa agak letih. Sementara itu matahari berada tepat di atas kepala dan
memancarkan sinar yang sangat terik. Karena itu saya memutuskan untuk berhenti
dan melepas lelah sambil menikmati santap siang. Di hadapan saya terbentang
hamparan padang prairie yang luas tak bertepi, membentuk deretan-deretan bukit
kecil. Sudah lima hari, semenjak rombongan kami diceraiberaikan oleh kawanan
Ogellallah, saya belum pernah melihat binatang ataupun manusia. Lambat laun
muncul kerinduan dalam hati saya untuk bertemu dan berbicara dengan seseorang.
Saya hanya ingin mengecek apakah saya masih sanggup berbicara dengan baik
setelah sekian lama tidak membuka mulut.
Di tempat ini tidak terlihat adanya sungai ataupun mata air. Hutan dan semak
belukar pun sangat jarang. Saya tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
menemukan tempat yang menurut saya paling baik untuk beristirahat. Pada sebuah
dataran yang cekung, saya melompat dari kuda lalu menambatkannya, kemudian
melepaskan selimut dari punggungnya. Setelah itu saya mendaki ke atas sebuah
bukit kecil kemudian duduk di sana. Kuda saya harus tetap dibiarkan di bawah
agar tidak terlihat seandainya ada musuh mendekat. Saya sendiri harus berada di
ketinggian supaya bisa mengamati daerah di sekitarnya. Di tempat itu pun orang
akan sulit melihat saya, karena saya berbaring di tanah.
Saya memang harus berhati-hati. Dulu kami berangkat bersama dalam rombongan yang
terdiri dari dua belas orang. Kami meninggalkan tepi dataran ini lalu turun
melalui bagian timur Rocky Mountains menuju ke Texas. Pada waktu itu suku-suku
Sioux meninggalkan perkampungannya setelah beberapa prajuritnya terbunuh dan
sekarang mereka ingin membalas dendam. Dan kami tahu hal itu. Kami menggunakan
semua siasat, tapi pada akhirnya kami toh tetap saja jatuh ke tangan mereka.
Setelah pertempuran sengit dan berdarah yang menewaskan lima orang dari
rombongan kami, kami lari tercerai-berai ke seluruh penjuru padang prairie.
Karena kami tidak menghilangkan semua jejak, maka orang-orang Indian pasti tahu
bahwa kami pergi ke arah selatan. Dan dapat dipastikan, mereka akan mengejar
kami. Jadi, yang paling penting sekarang adalah orang harus membuka mata lebar-
lebar seandainya tidak ingin kembali bernasib sial. Karena bisa jadi, pada suatu
malam orang tidur di balik selimut hangatnya dan keesokan harinya dia harus
pergi ke padang perburuan abadi tanpa scalp di kepalanya.
Saya duduk lalu mengeluarkan sepotong dendeng bison. Sebagai ganti garam, saya
menaburkan bubuk mesiu di atasnya lalu mencoba mengunyahnya sampai bahan sekeras
kulit itu bisa masuk ke dalam perut. Setelah itu saya mengambil salah satu
'hasil racikan sendiri' lalu menyulutnya dengan api dengan menggunakan punks
(pemantik prairie, sejenis batu api). Dengan nikmat saya mengepulkan asap dari
mulut, seolah-olah saya seorang petani Virginia yang mengisap tembakau terbaik
dari Goosefoot[Sebuah merk rokok] sambil mengenakan sarung tangan halus.
Saya berbaring di atas selimut. Tidak lama kemudian tanpa sengaja saya menoleh
ke belakang dan melihat sebuah titik kecil di kaki langit. Titik itu bergerak
lurus ke arah saya melalui jalan yang tadi saya lewati. Dengan cepat saya
melompat dari bukit lalu merebahkan diri di tanah sehingga seluruh tubuh saya
terlindungi. Setelah saya perhatikan lebih teliti, ternyata bayangan yang
semakin mendekat itu adalah seorang penunggang kuda yang - menurut istilah orang
Indian - bertengger terlalu maju di atas kudanya.
Ketika saya mula-mula melihatnya, jarak kami kira-kira satu setengah mil
inggris[Satu mil inggris sekitar 1.609 meter]. Kudanya bergerak begitu lamban
sehingga dia membutuhkan hampir setengah jam untuk menempuh jarak itu. Sekali
lagi saya memandang ke sana. Saya benar-benar terkejut karena melihat ada empat
titik lain yang bergerak persis di belakangnya dan melalui jalan yang
dilewatinya. Saya tergerak untuk terus memperhatikannya dengan lebih seksama.
Penunggang kuda yang di depan adalah seorang kulitputih, seperti yang terlihat
jelas dari pakaiannya. Barangkali dia dikejar oleh orang-orang Indian. Saya
mengeluarkan teropong. Ternyata saya tidak keliru. Kini mereka semakin dekat dan
melalui teropong, saya bisa mengenali dengan jelas senjata dan tato pada sekujur
tubuh mereka. Mereka adalah orang-orang Ogellallah, kelompok paling brutal dan
paling kejam dari suku Sioux. Mereka menunggangi kudanya begitu gesit, sementara
itu kuda si kulitputih tampaknya bukanlah hewan yang luar biasa. Sekarang dia
semakin mendekat sehingga saya bisa mengamatinya lebih jelas.
Orang itu mempunyai potongan tubuh kecil, kurus kering, dan mengenakan sebuah
topi tua dari bulu binatang di atas kepalanya. Topi tersebut sama sekali tidak
memiliki caping. Hal itu memang tidak aneh di padang prairie. Tetapi justru
kekurangan ini menonjolkan cacatnya yang segera terlihat oleh saya; dia tidak
memiliki telinga. Di tempat yang semestinya ada telinga, terlihat bekas-bekas
penganiayaan yang kejam. Ya, telinganya sudah dikerat. Di atas pundaknya
tersampir sehelai selimut besar yang menyelubungi seluruh tubuhnya dan hanya
menyisakan kakinya yang kurus. Kaki itu terbungkus oleh sepasang sepatu yang
aneh. Di Eropa, orang pasti sudah tertawa melihat sepatu seperti ini. Sepatu itu
terbuat dari sejenis pembalut kaki yang biasa dibuat dan dipakai oleh orang-
orang Gaucho di Amerika Utara. Proses pembuatannya sangat sederhana: kulit dari
bagian pinggang kuda disayat lalu dipasang pada kaki seseorang selagi kulit itu
masih basah lalu dibiarkan hingga kering. Kulit tersebut akan menempel erat lalu
mengeras pada bagian kaki hingga pergelangan kaki, sehingga akan membentuk
semacam pembalut kaki. Sepatu ini memang sangat unik karena bagaimanapun juga
pemakainya tetap menginjak tanah dengan telapaknya. Pada pelana kudanya
tergantung sebuah benda. Bentuknya seperti senapan, tetapi tampaknya lebih
menyerupai kayu lapuk yang sering dijumpai orang di hutan. Dia menunggangi
seekor kuda betina yang sangat tua dan mempunyai kaki mirip kaki unta. Kuda itu
sama sekali tidak berekor. Kepalanya tampak lebih besar daripada ukuran rata-
rata, dan telinganya begitu panjang sehingga orang pasti akan terkejut begitu
melihatnya. Binatang itu tampak seolah-olah tersusun dari berbagai bagian tubuh
kuda, keledai, dan unta. Waktu berlari, kepalanya menjulur begitu rendah ke
tanah. Dan seolah-olah karena terlalu berat, telinganya jatuh terkulai di
kepalanya, seperti telinga anjing laut dari Newfoundland.
Dalam keadaan normal atau apabila orang belum pernah mengalami hal seperti itu,
maka dia pasti akan menertawakan kuda beserta penunggangnya. Tapi tidak demikian
halnya dengan saya. Walaupun penampilannya tergolong aneh, di mata saya dia
tampak seperti seorang westman yang baru bisa dinilai setelah orang mengenalnya
lebih dekat. Dia sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada empat orang
musuh besar para pemburu prairie. Jika tahu pasti dia tidak akan memacu kuda
begitu lamban tanpa rasa takut. Dan sesekali dia pun harus menoleh ke belakang.
Sekarang dia sudah berada pada jarak seratus langkah dan mencapai jejak saya.
Saya tidak bisa mengatakan apakah dia atau kudanya yang lebih dulu melihat jejak
tersebut. Yang jelas, tiba-tiba kuda itu berhenti dengan sendirinya lalu
menurunkan kepalanya lebih rendah ke tanah dan menelusuri jejak kuda saya.


Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu telinganya yang panjang dikibas-kibas, kadang ke atas kadang ke
bawah, lalu ke depan dan ke belakang. Kelihatannya seolah-olah ada tangan yang
menggerak-gerakkan kedua telinga tersebut. Penunggangnya ingin turun untuk
memeriksa jejak lebih teliti. Tetapi dengan itu dia hanya membuang-buang waktu
karena kini bahaya semakin dekat. Karena itu saya mengingatkan dia dengan
berteriak, "Hallo, hai Bung! Paculah terus kuda Anda dan datanglah kemari!"
Saya mengubah posisi berbaring saya sehingga dia bisa melihat saya. Kudanya
menegakkan kepala dan meninggikan telinga lurus ke depan, seolah-olah bisa
menangkap seruan saya dengan tepat. Sementara itu ia mengibas-ngibaskan ekornya
yang pendek dan tak berbulu.
"Hallo, Master," jawabnya. "Jagalah suara Anda dan bicaralah sedikit lebih
halus. Di padang sepi ini kita tidak tahu dengan pasti apakah di sini atau di
sana ada orang yang sebenarnya tidak perlu mendengar suara Anda! Ayo, Tony!"
Kuda betina itu kemudian bergerak sesuai perintah dan berhenti dengan sendirinya
di dekat kuda saya. Setelah melihat kuda saya, dengan angkuh dan aneh binatang
itu membalikkan bagian tubuhnya yang oleh orang-orang kapal biasa disebut
buritan. Kuda itu memang termasuk kuda tunggangan yang hanya hidup untuk
pemiliknya dan tidak akan patuh kepada perintah orang lain. Karena itu tak
mungkin ia bisa ditunggangi orang asing. Kuda seperti ini banyak ditemui di
padang prairie. "Saya tahu, seberapa keras saya boleh berbicara!" jawab saya. "Dari mana Anda
datang dan ke mana Anda mau pergi, Master?"
"Itu sama sekali bukan urusan Anda!" jawabnya.
"Oh ya" Tampaknya Anda tidak terlalu sopan, Master. Saya sudah bisa mengatakan
demikian walaupun baru beberapa saat saya bercakap-cakap dengan Anda. Tapi harus
saya akui terus terang, saya sudah terbiasa mendengar jawaban seperti itu jika
saya bertanya kepada seseorang!"
"Hmmm, ya! Kelihatannya Anda seorang gentleman yang tahu sopan santun," jawabnya
sambil memandang saya dengan tatapan sinis. "Kalau begitu saya akan memberikan
jawaban seperti yang Anda minta!"
Dia menunjuk ke belakang dan kemudian ke depan.
"Saya datang dari sana dan hendak pergi ke sana."
Orang itu mulai menarik perhatian saya. Barangkali dia mengira bahwa saya adalah
seorang pemburu amatir yang mau bergabung dengan kelompoknya. Seorang westman
sejati tidak akan mempedulikan penampilannya dan secara terang-terangan dia
menentang semua hal yang berhubungan dengan kebersihan. Setiap orang yang pernah
mengembara selama bertahun-tahun di daerah Barat tidak akan berpikir untuk
mengurus penampilannya, apalagi mau berhias diri. Malahan dia menganggap orang-
orang yang berpakaian rapi sebagai greenbill [Si Bill yang masih hijau. Anak
bawang. Julukan untuk orang yang belum berpengalaman] dan mereka sama sekali
tidak bisa diandalkan. Ketika masih berada di Benteng Wilfers, saya mengenakan
pakaian bersih dan seperti biasanya saya pun merawat kebersihan senjata saya.
Karena kedua alasan inilah maka di mata seorang pemburu sabana, saya tidak cocok
dianggap sebagai westman sejati. Namun demikian saya tidak merasa tersinggung
melihat sikap orang asing ini. Maka saya menanggapinya dengan menunjuk ke arah
depan seperti yang tadi dilakukannya sambil berkata,
"Kalau begitu pergilah segera 'ke sana'. Tetapi waspadalah terhadap empat orang
Indian yang terus membuntuti Anda dari belakang! Apakah Anda tidak melihat
mereka?" Dari balik matanya yang bening dan tajam, dia menatap saya dengan pandangan
heran bercampur geli. "Saya tidak melihat mereka" Hihihihi! Empat orang Indian di belakang saya dan
saya tidak tahu! Di mata saya, Anda misalnya kelihatan seperti orang aneh!
Orang-orang itu telah mengejar saya sejak pagi tadi. Tetapi saya tidak perlu
menoleh untuk melihat mereka karena saya tahu siasat yang dipakai kulitmerah
itu, Mesch'schurs. Selama hari masih siang, mereka tetap mengikuti saya dari
jauh. Tetapi begitu saya membaringkan diri untuk tidur pada malam hari, mereka akan
mendekati saya. Akan tetapi mereka misalnya pasti telah salah membuat
perhitungan, karena saya akan mengambil jalan melingkar dan akan kembali lagi
persis di belakang mereka. Hanya saja sampai sekarang saya belum menemukan
dataran yang cocok. Tetapi di sini, di bukit-bukit ini akhirnya saya bisa
menerapkan rencana itu. Jika Anda ingin belajar dan melihat bagaimana seorang
westman tua menghadapi redmen (orang-orang kulitmerah, Indian), maka Anda boleh
tinggal di sini dan menunggu sepuluh menit lagi. Namun Anda harus duduk tenang
di sini, karena orang seperti Anda misalnya tidak biasa menyentuh tubuh orang
Indian yang berbau busuk! Come on,Tony!"
Tanpa mempedulikan saya, dia memacu kudanya pergi. Setengah menit kemudian dia
dan kudanya yang aneh itu sudah menghilang di balik bebukitan.
Saya bisa memahami rencananya. Apabila dikejar seperti dia, saya pun akan
melakukan yang sama. Jadi dia ingin berjalan memutar lalu tiba-tiba menyergap
para pengejarnya dari belakang. Tetapi dia harus mendekati mereka secara diam-
diam, dan hal ini sebaiknya dilakukan sebelum mereka bisa membaca taktik yang
akan diterapkannya, yakni dengan mengubah haluan. Untuk maksud ini sebenarnya
dia hanya perlu bersembunyi di balik bebukitan. Selain itu rasanya lebih baik
kalau dia tidak mendekati orang-orang Indian itu dari belakang tetapi mengambil
jalan agak memutar dan membiarkan mereka lewat. Hingga kini mereka bisa
mengamati dia dengan seksama, sehingga mereka tahu, betapa besar jarak di antara
mereka. Tetapi mereka tidak menduga bahwa jarak itu makin mengecil.
Empat lawan satu. Situasi ini memaksa saya untuk menggunakan senjata. Karena itu
saya memeriksa senjata saya kemudian menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Dari waktu ke waktu kelompok Indian makin mendekat. Mereka berkuda secara
beriringan, satu di depan yang lainnya. Ketika mereka hampir tiba di tempat
berpadunya jejak kaki si kerdil itu dengan jejak saya, salah seorang dari mereka
yang berkuda paling depan segera menghentikan kudanya kemudian berbalik.
Tampaknya mereka merasa aneh karena jejak kulitputih yang mereka kejar kini
tiba-tiba menghilang. Maka mereka saling merapatkan kepala dan berembuk sejenak.
Sebenarnya saya bisa langsung menembak mereka dengan Senapan Pembunuh Beruang.
Tapi hal itu tidak perlu karena sekonyong-konyong terdengar bunyi tembakan, dan
pada detik berikutnya terdengar sekali lagi. Dua orang Indian jatuh terjungkal
dari kudanya dan langsung tak berkutik. Pada saat yang sama terdengar sebuah
pekikan keras yang membahana.
"O ... hi ... hi ... hiii!" terdengar pekikan dengan suara kerongkongan seperti
yang biasa dibunyikan orang-orang Indian sebelum membantai musuhnya.
Tetapi kali ini pekikan itu bukan berasal dari orang Indian, melainkan dari
pemburu kerdil tadi. Dia kemudian menampakkan diri dari balik bukit terdekat.
Sesuai dengan rencananya, dia menghilang di belakang saya dan kini muncul lagi
di depan saya. Dia berbuat seolah-olah hendak melarikan diri setelah melepaskan
dua kali tembakan. Sekarang kudanya berperangai sangat lain. Kakinya diangkat
tinggi-tinggi sehingga rumput di tempat itu tercabut. Kepala dan telinganya
kembali tegak. Kulit dan bulu-bulu di tubuhnya pun berdiri tegang. Penunggang
kuda dan kudanya kelihatan seperti saling memahami. Penunggangnya mengayun-
ayunkan senjatanya kemudian mengisinya dengan peluru, sementara itu dia terus
berlari bersama kudanya. Bisa dipastikan, ini bukan kali pertamanya dia
menghadapi persoalan seperti
itu. Di belakangnya terdengar dua tembakan susulan. Ternyata kedua orang Indian
menembaknya, tapi peluru mereka tidak mengenai sasaran. Mereka pun berteriak
penuh amarah, lalu mencabut tomahawk dan mengejar dia. Tetapi pada saat itu dia
sudah selesai mengisi peluru dan tiba-tiba membalikkan kudanya. Tampak seakan-
akan kuda itu turut memahami maksud penunggangnya. Binatang itu lalu berhenti,
berdiri tegak dan tidak bergerak sedikit pun seperti sebuah tiang kokoh. Dia
menaikkan senjatanya dan membidik sebentar. Pada detik berikutnya kembali
senjatanya meletus dua kali, tanpa membuat kudanya goyah. Kepala kedua orang
Indian tadi tertembus peluru.
Hingga saat itu jari telunjuk saya masih berada pada pelatuk senjata tetapi saya
tidak menariknya, karena si kerdil tidak membutuhkan pertolongan saya. Sekarang
dia melompat turun dari kudanya untuk memeriksa orang-orang Indian yang mati.
Saya berjalan mendekatinya.
"Jadi, Sir, sekarang Anda misalnya tahu, bagaimana saya mengelabui bedebah-
bedebah kulitmerah ini, bukan?" katanya kepada saya.
"Thank you, Master! Saya sudah melihatnya. Ternyata orang bisa belajar sesuatu
dari Anda," jawab saya sambil tersenyum.
Senyum saya kelihatannya salah dimengerti oleh orang itu. Dia menatap saya
dengan tajam kemudian berkata,
"Atau barangkali sayalah yang harus belajar dari Anda?"
"Saya kira, tadi Anda tidak perlu mengambil jalan melingkar. Di dataran seperti
ini rasanya cukup apabila orang bersembunyi di balik bukit-bukit kecil ini
sehingga musuh akan mendapat kesan bahwa dia telah berada jauh di depan. Setelah
itu dengan mudah dia bisa kembali melalui jalan yang tadi dilewatinya. Berjalan
melingkar lebih cocok seandainya orang berada di dataran yang rata atau di
padang prairie yang terbuka."
"Hei, dari mana Anda tahu semuanya" Siapakah Anda sebenarnya, he?" "Saya seorang
penulis buku." "Anda . penulis . buku?" karena terkejut bukan kepalang dia mundur selangkah
lalu memandang saya dengan heran bercampur kasihan,
"Apa Anda sakit, Sir?"
Dia berkata sambil menunjuk dahinya, sehingga saya bisa memahami, penyakit apa
yang dimaksudkannya. "Tidak!" jawab saya.
"Tidak" Mungkin seekor beruang bisa mengerti Anda, tetapi saya tidak! Saya
menembak seekor karena saya ingin makan dagingnya. Apa alasan Anda menulis
buku?" "Supaya dibaca orang."
"Sir, jangan marah, tetapi hal itu merupakan tindakan paling bodoh yang pernah
ada! Barangsiapa yang ingin membaca buku, dia bisa mengarangnya sendiri. Dan
semua anak kecil pun misalnya tahu. Saya juga tidak menembak binatang buruan
untuk orang lain! Jadi, hmmm, ya, Anda seorang book-maker" Tapi untuk apa Anda
datang ke padang sabana ini, he" Apakah Anda misalnya ingin menulis buku tentang
daerah ini?" "Saya baru akan menulisnya kalau sudah kembali ke rumah. Saya akan menceritakan
semua peristiwa yang saya alami dan saya lihat. Dan ribuan orang akan
membacanya. Mereka akan mengetahui apa yang terjadi di padang prairie ini dan
tidak perlu datang sendiri ke sini untuk menyaksikannya."
"Jadi Anda juga akan menceritakan tentang saya?"
"Tentu saja." Lagi-lagi dia mundur selangkah. Kemudian dia maju mendekati saya, meletakkan
tangan kanan pada gagang pisau Bowie-nya , dan sambil memegang lengan saya
dengan tangan kiri, dia berkata,
"Sir, di sana kuda Anda. Naiklah segera ke punggungnya dan tinggalkan tempat ini
secepatnya sebelum ujung pisau yang dingin dan tajam ini menancap di tubuh Anda!
Orang tidak boleh mengumpat atau menyentuh tubuh Anda karena seluruh dunia pasti
akan tahu. Sekarang enyahlah dari sini!"
Pemburu kecil itu hanya setinggi bahu saya, walaupun demikian dia mengancam
dengan sungguh-sungguh. Ini tentu saja membuat saya merasa lucu, tetapi saya
tidak memperlihatkannya. "Saya berjanji hanya menceritakan yang baik-baik tentang Anda!" kata saya.
"Pergilah sekarang! Sudah saya katakan dan itu tidak akan ditarik kembali!"
"Kalau Anda tidak mau, saya berjanji tidak akan menulis tentang Anda!"
"Sama saja! Orang yang duduk dan menulis buku untuk orang lain adalah orang
gila. Dan orang gila tidak akan menepati janji. Jadi berangkatlah, Bung! Jika
tidak saya akan segera naik darah dan akan mengambil tindakan yang pasti tidak
menyenangkan Anda." "Tindakan apa?"
"Anda akan segera lihat!"
Saya melihat dia tersenyum dengan mata yang memancarkan amarah. Lalu saya
berkata dengan tenang, "Kalau begitu, baiklah kita akan melihatnya!"
"Lihatlah ke sini! Apakah Anda tertarik dengan pisau tajam ini?"
Dengan gerakan cepat, saya membekuknya lalu mencengkeram kedua tangannya ke
belakang dan menekan punggungnya dengan tangan kiri. Lalu saya menarik tubuhnya
ke arah saya sambil mendorong pergelangan tangannya ke atas. Karena kesakitan
dia berteriak dan pisau di tangannya pun jatuh. Serangan yang tak terduga ini
membuat si kerdil tidak berdaya. Sebelum dia sempat memberikan perlawanan, saya
sudah mengikat kedua tangannya ke belakang dengan menggunakan tali dari kantong
peluru. "All devils!" teriaknya. "Apakah Anda sudah gila! Apa yang hendak Anda lakukan
misalnya terhadap saya?"
"Halllooo, Master, jagalah suara Anda dan bicaralah sedikit lebih halus," jawab
saya meniru perkataannya tadi. "Di padang ini kita tidak tahu pasti apakah di
sini atau di sana ada orang yang sebenarnya tidak perlu mendengar suara Anda!"
Saya melepaskan dia dan dengan gerakan cepat menyambar pisau serta senjatanya
yang sebelumnya dia letakkan di tanah ketika memeriksa mayat. Dia mencoba
melepaskan ikatan di tangannya dan berjuang keras sampai mukanya memerah. Tetapi
dia tidak berhasil melonggarkan ikatan.
"Jangan coba-coba membuka talinya, Master. Anda tidak akan bebas sebelum saya
menghendakinya," kata saya memberikan peringatan. "Sebenarnya saya hanya ingin
membuktikan kepada Anda bahwa seorang book-maker pun bisa memperlakukan orang
lain sebagaimana mereka ingin memperlakukan dia. Anda mencabut pisau hendak
menikam saya, padahal saya tidak menghina atau merugikan Anda sedikit pun.
Menurut hukum prairie, Anda telah bersikap curang terhadap saya, sehingga saya
bisa berbuat apa saja terhadap Anda sesuai keinginan saya. Tak ada seorang pun
yang bisa menyalahkan saya seandainya sekarang saya menusukkan besi yang dingin
dan tajam ini ke dada Anda dan bukannya ke dada saya seperti yang Anda
rencanakan tadi." "Tikamlah," jawabnya dengan nada muram. "Anda pantas membunuh saya. Anda telah
berhasil mengamat-amati saya di siang bolong lalu mengikat saya tanpa ada
perlawanan sedikit pun. Ini adalah sebuah aib dan seorang Sans-ear tidak tahan
menanggung aib seperti ini!"
"Sans-ear" Jadi Anda Sans-ear?" teriak saya tidak percaya.
Banyak sekali cerita yang sudah saya dengar tentang westman terkenal ini. Tak
seorang pun dari masyarakat kebanyakan yang pernah melihat dia, karena dia
merasa diri tidak pantas bergaul dengan mereka. Sudah lama dia kehilangan
telinganya, yakni ketika dia hidup bersama orang-orang Navajo. Karena itu dia
mendapat julukan yang terbentuk dari dua kata "Sans-ear" yang artinya 'tanpa-
telinga'. Dengan nama ini dia dikenal sampai ke ujung padang sabana, bahkan
melewati batas-batas padang sabana.
Dia tidak menjawab pertanyaan saya. Baru setelah saya mengulanginya, dia
menjawab, "Nama saya tidak berkaitan dengan Anda! Apabila nama itu buruk, maka tak ada
gunanya saya dipanggil demikian. Dan apabila nama itu baik, maka lebih baik saya
menyembunyikannya setelah mendapat aib ini."
Saya maju mendekat dan membuka tali yang mengikat tangannya. "Ini, ambillah
pisau dan senjata Anda. Kini Anda bebas. Pergilah ke mana pun Anda mau!"
"Jangan bergurau! Apakah saya harus membiarkan aib ini setelah saya dikalahkan
oleh seorang greenhorn" Kalau saya ditaklukkan oleh orang-orang termasyhur
seperti Winnetou, prajurit kulitmerah itu, atau oleh Haller yang bertubuh kekar
atau bahkan oleh seorang pencari jejak seperti Old Firehand dan Old Shatterhand,
maka, ya . maka .. "
Saya merasa iba melihat si tua ini. Coup[Perancis: Muslihat yang mengejutkan]
saya telah melukai perasaannya. Karena itu saya merasa tergerak untuk
menghiburnya. Dia baru saja menyebutkan namanya, sebuah nama yang sangat
terkenal di perkemahan kulitputih dan di wigwam prajurit Indian.
"Saya seorang greenhorn?" tanya saya. "Apakah Anda sungguh yakin, bahwa seorang
yang belum berpengalaman bisa bergurau dengan Sans-ear yang terkenal begitu
tangguh?" "Jadi Anda bukan seorang greenhorn" Ya, tapi Anda kelihatan begitu rapi seakan-
akan baru keluar dari toko pakaian. Senjata Anda pun terawat bersih, seakan-akan
hendak dipersiapkan untuk karnaval!"
"Tetapi senjata ini sangat ampuh. Saya bisa membuktikannya! Lihatlah!"
Saya memungut sebuah batu dari tanah yang ukurannya dua kali lebih besar dari
kepingan uang logam dollar, lalu melemparkannya ke atas. Kemudian saya segera
membidiknya. Ketika batu itu mencapai titik tertinggi dan tampak seperti tidak
bergerak lagi karena hendak jatuh, peluru saya mengenainya sehingga melambung
lebih tinggi. Sebagai latihan, dulu saya telah mencoba ratusan kali menembak seperti itu
sampai akhirnya berhasil. Kini hal seperti itu bukan lagi sesuatu yang luar
biasa. Tetapi pemburu kerdil itu memandang saya dengan mata terbelalak karena
begitu terpesona.

Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heavens, tembakan yang sangat menakjubkan! Apakah tembakan Anda selalu mengenai
sasaran?" "Dari dua puluh kali tembakan bisa dipastikan sembilan belas kali kena."
"Ya, kalau begitu Anda pasti seorang terkenal. Siapakah nama Anda misalnya?"
"Old Shatterhand."
"Mustahil! Mestinya Old Shatterhand lebih tua daripada Anda. Jika tidak, maka
pasti dia tidak disebut 'Old Shatterhand'!"
"Rupanya Anda lupa, kata 'old' tidak selamanya dipakai untuk menyatakan
usia." "Benar! Tetapi hmmm, jangan tersinggung, Sir. Old Shatterhand pernah disergap
oleh seekor beruang grizzly secara tiba-tiba ketika dia sedang tidur. Binatang
itu mengoyak dagingnya dari bahu sampai ke tulang rusuk. Syukurlah luka itu
tertutup kembali, tetapi bekas luka itu misalnya pasti masih kelihatan!"
Saya membuka baju dari kulit bison, juga pakaian berburu warna putih di baliknya
yang terbuat dari kulit rusa.
"Lihatlah!" "Astaga, Anda sungguh diserang oleh binatang itu! Pasti ke-68 tulang rusuk Anda
telah terkelupas pada saat itu."
"Hampir saja saya mengalami naas itu. Peristiwa tersebut terjadi di Red River.
Dengan luka yang mengerikan saya terbaring seorang diri di tepi sungai selama
dua minggu, di samping beruang itu, sampai Winnetou, sang Kepala Suku Apache,
datang dan menemukan saya. Dialah yang memberi julukan yang tadi Anda sebutkan."
"Jadi ternyata Anda benar-benar Old Shatterhand! Hmmm! Saya ingin menanyakan
sesuatu. Apakah Anda berpikir bahwa saya misalnya seorang yang sangat tolol?"
"Sama sekali tidak. Anda hanya khilaf karena menganggap saya seorang greenhorn.
Hanya itu saja. Seorang yang belum berpengalaman tentu tidak akan melakukan
penyergapan seperti itu. Sans-ear hanya dapat dikalahkan secara kebetulan."
"Oho! Tetapi bagi Anda tampaknya hal itu bukanlah kebetulan. Hanya ada sedikit
orang yang memiliki kekuatan seekor banteng seperti Anda. Jadi saya tidak merasa
malu karena dikalahkan oleh Anda. Nama saya yang sebenarnya ialah Sam
Hawerfield. Jika Anda mau menyenangkan hati saya, cukup panggillah saya dengan
Sam!" "Dan Anda boleh memanggil saya Charley. Semua sahabat saya pun memanggil
demikian. Mari kita berjabatan tangan!"
"Topp, kita sepakat, Sir! Sam yang sudah berumur ini tidak biasanya begitu cepat
menjabat tangan orang. Tapi bagi Anda saya bersedia mengulurkan tangan. Hanya
saya minta supaya Anda tidak bertindak kasar sehingga tangan saya tidak hancur
menjadi puding! Saya masih membutuhkannya."
"Jangan khawatir, Sam! Tangan Anda bisa saja berguna bagi saya kelak. Demikian
juga tangan saya selalu terbuka untuk menolong Anda. Namun sekarang saya
mengulangi lagi pertanyaan saya sebelumnya. Dari mana Anda datang" Dan ke mana
Anda mau pergi?" "Saya baru datang dari Canada. Di sana saya mengunjungi sekelompok
lumberstrikers (para penebang kayu). Sekarang saya misalnya hendak pergi ke
Texas dan Mexico. Katanya di sana terdapat banyak orang biadab yang hanya
tertawa senang ketika mereka menggunakan pisau atau peluru untuk membunuh orang
lain." "Saya pun sedang menuju ke sana! Saya ingin berangkat ke Texas dan California.
Tapi saya tidak keberatan, seandainya saya harus singgah sebentar di Mexico.
Apakah saya boleh pergi bersama Anda?"
"Apakah Anda boleh" Ya, tentu saja! Anda sudah pernah menjelajahi daerah
Selatan, jadi just Andalah orang yang sebenarnya saya butuhkan. Tapi katakan
sekali lagi dengan serius, apakah Anda sungguh menulis buku?"
"Ya." "Hmmm! Kalau Old Shatterhand menulis buku, pasti persoalannya sungguh lain
daripada yang saya bayangkan. Namun saya katakan, lebih baik saya jatuh
terperosok ke dalam sarang beruang dengan punggung lebih dulu daripada saya
harus mencelupkan pena ke dalam tinta. Sepanjang hidup belum satu kata pun yang
berhasil saya tulis. Tetapi sekarang ceritakanlah, bagaimana orang-orang Indian
itu bisa datang sampai ke daerah ini! Mereka adalah suku Ogellallah dan orang
harus berhati-hati terhadap mereka."
Saya lalu menceritakan kepadanya semua yang saya ketahui.
"Hmmm!" sahutnya. "Kalau begitu, tidak aman jika kita berlama-lama di sini.
Kemarin saya menemukan jejak yang membuat saya tercengang. Saya lalu
menghitungnya, paling sedikit ada enam puluh kuda yang melewati tempat itu.
Keempat orang Indian ini pasti anggota kelompok itu dan mereka dikirim untuk
membuat patroli keliling. Apa Anda sudah pernah berada di sini?"
"Belum." "Kira-kira dua puluh mil dari sini ke arah barat terbentang padang prairie yang
rata. Sepuluh mil sesudahnya terdapat sebuah sungai. Orang-orang Indian pasti
pergi ke sana untuk memberi minum kudanya. Tentu saja kita harus menghindari
mereka dan lebih baik kita pergi ke selatan. Kita akan tiba di sungai tersebut
besok sore. Kalau kita segera berangkat, maka sebelum hari malam kita sudah tiba
di rel kereta api yang dibangun dari Amerika menuju ke daerah Barat. Seandainya
kita sampai pada saat yang tepat, kita bisa beruntung melihat kereta yang
misalnya lewat di depan mata."
"Saya siap berangkat. Namun apa yang akan kita lakukan dengan mayat-mayat ini?"
"Apa yang akan kita lakukan" Tidak banyak. Kita membiarkan saja mereka
tergeletak di sini. Hanya sebelumnya saya ingin mengerat telinga mereka."
"Kita harus menguburkan mereka, karena apabila orang menemukannya, maka akan
ketahuan bahwa kita berada di tempat ini."
"Orang harus menemukan mayat-mayat ini, Charley. Saya justru menghendakinya
demikian." Maka keempat mayat itu dipikulnya ke atas sebuah bukit lalu dibaringkan
berdampingan. Kemudian dia memotong telinga mereka dan meletakkannya di tangan
masing-masing. "Selesai, Charley! Kawan-kawannya akan menemukan mereka dan segera tahu, bahwa
Sans-ear berada di sini. Dengarlah, rasanya sangat mengerikan jika telinga kita
menggigil kedinginan pada musim dingin. Sekarang mereka tidak akan mengalaminya
lagi. Pada suatu hari saya kurang gesit sehingga akhirnya saya ditangkap oleh
kulitmerah. Saya memang bisa membunuh beberapa dari mereka, tetapi ada seorang
yang berhasil lolos. Saya mengayunkan tomahawk, namun hanya telinganya yang
kena. Karena itu sebelum saya dibunuh, mereka mengerat telinga saya sebagai
balasan untuk menghina saya. Mereka berhasil mengambil telinga saya tapi bukan
hidup saya, karena tanpa diduga-duga Sam Hawerfield bisa melepaskan diri lalu
kabur. Tetapi untuk menebus kedua telinga saya ... nah, hitunglah!"
Dia mengambil senjatanya dan dengan tenang memperlihatkan sejumlah garis yang
terpahat di sana. "Setiap garis mewakili nyawa seorang musuh dari pihak Indian. Sekarang saya akan
membuat lagi empat garis baru."
Dia memahat empat garis kemudian berkata,
"Yang terpahat di sini adalah nyawa kulitmerah. Sedangkan di atasnya terpahat
delapan garis untuk kulitputih yang sudah merasakan peluru saya. Mengapa saya
sampai melakukannya, kelak akan saya ceritakan kepada Anda. Dan dari kulitputih
hanya dua orang yang masih terus saya buru. Keduanya adalah bapak dan anak.
Mereka merupakan manusia paling jahat yang pernah terlahir ke dunia ini. Jika
saya menemukan keduanya, maka selesailah tugas saya."
Matanya yang berkilat-kilat tiba-tiba tampak berlinang. Di wajahnya yang keras
terpancar ekspresi duka cita, kesedihan dan kasih sayang. Saya menduga, hati
pemburu tua itu berkabung karena terkenang suatu peristiwa di masa lampau.
Barangkali seperti kebanyakan orang lain, dia ingin mengubur rasa sakit atau
dendamnya dengan pergi bertualang di padang rumput yang keras ini. Karena di
sini seorang pemburu prairie sejati tidak mengindahkan perintah utama dari Yesus
"Kasihilah musuh-musuhmu!"
Dia kembali mengisi senjatanya. Senjata itu merupakan mesin tembak yang
menakutkan yang banyak ditemukan di padang prairie. Lekukan pada senjata itu
sudah kehilangan bentuk aslinya. Garis-garis dibuat tumpang tindih, begitu pula
dengan pahatan lain. Setiap garis meninggalkan pesan bahwa senjata itu telah
merenggut satu nyawa musuh. Larasnya sudah dipenuhi lapisan karat yang tebal dan
kelihatan seperti sudah bengkok. Tak seorang pun yang bisa melepaskan tembakan
dari besi tua itu. Tetapi di tangan pemiliknya, senjata itu tidak pernah salah
sasaran. Sepanjang hidupnya dia sudah terbiasa menggunakannya dan dia tahu
segala kelebihan serta kekurangan alat itu. Jika tembakan sudah dilepaskan, dia
tahu pasti bahwa pelurunya akan mencapai sasaran.
"Tony!" panggilnya.
Kuda itu sedang merumput di sekitar tempat kami. Mendengar seruan tuannya, ia
datang mendekat kemudian menekukkan lutut di sampingnya, sehingga pemburu itu
hanya perlu meletakkan tangan di atas punggungnya lalu melompat ke atasnya.
"Sam, Anda memiliki seekor kuda yang luar biasa! Siapa yang pertama kali
melihatnya tidak akan mengeluarkan selembar dollar pun untuk membelinya. Tetapi
siapa yang sudah mengenalnya akan segera tahu bahwa Anda tidak akan melepaskan
kuda ini walaupun dibayar dengan seribu sovereigns[Uang logam Inggris yang
terbuat dari emas dan bernilai 1, suatu nominal yang sangat tinggi].?""Seribu" Pshaw! Lebih baik katakan satu juta! Saya mengenal tambang-tambang emas
di Rocky Mountains dan saya bisa meraup emas dari tempat itu. Ya, tetapi
seandainya suatu saat saya menemukan seseorang yang pantas mendapatkannya, dan
Sam Hawerfield menyukai pribadi orang itu, maka saya akan menunjukkan placers
itu kepadanya. Karena itu saya tidak perlu melepaskan Tony karena uang.
Dengarlah cerita saya, Charley! Dia yang sekarang bernama Sans-ear, dulunya
adalah seorang manusia yang sangat lain, tidak seperti sekarang. Dia hidup
bahagia dan sejahtera, ibarat hari yang disinari cahaya matahari dan laut yang
penuh berisi air. Dia bekerja sebagai seorang farmer muda. Dia memiliki seorang
istri yang begitu dikasihinya sehingga dia rela mempertaruhkan hidupnya untuk
sang istri. Dia juga memiliki seorang putra. Baginya hidup sang putra seribu
kali lebih bernilai daripada hidupnya sendiri. Sang istri diboyongnya pulang ke
rumah dengan menunggang kuda kesayangannya. Tony nama kuda itu. Ketika kuda itu
melahirkan seekor anak yang sehat dan lincah, tidak seperti kuda lainnya,
mengapa ia tidak dinamai dengan Tony seperti nama induknya" Bukankah begitu,
Charley?" "Ya," jawab saya terpesona mendengar kisah cinta yang begitu sederhana. Tanpa
diminta dia menceritakan semuanya kepada saya dengan polos.
"Well! Pada suatu hari datanglah kesepuluh kulitputih yang sudah saya ceritakan
tadi. Mereka adalah komplotan bushheaders yang hanya membuat huru-hara di daerah
itu. Mereka membakar lahan pertanian saya dan membunuh istri serta putra saya.
Kuda saya tidak mereka bawa karena biantang itu tidak mau ditunggangi orang
asing. Maka mereka menembaknya hingga mati. Hanya anak kuda yang selamat, karena
kebetulan pada waktu itu ia sedang tersesat di luar. Ketika kembali dari
berburu, saya menemukan binatang itu yang menjadi satu-satunya saksi dari
kegetiran saya. Apa lagi yang harus saya ceritakan" Delapan orang dari penjahat
itu tewas, tewas di tangan saya setelah terkena peluru dari senjata ini. Tapi
kedua orang lain yang meloloskan diri itu pun kelak akan jatuh ke tangan saya.
Karena jika si tua Sans-ear menemukan jejak mereka, maka dia akan terus
mengejarnya sampai ke Mongolia. Mereka tidak akan luput darinya. Itulah sebabnya
mengapa saya ingin pergi ke Texas kemudian terus ke Mexico. Seorang farmer yang
dulu muda dan bahagia kini telah berubah menjadi seorang pemburu prairie tua
yang hanya menuntut darah dan balas dendam. Anak kuda itu pun telah berubah
menjadi mahluk yang kelihatan lebih mirip seekor kambing daripada seekor kuda
pilihan. Tetapi sampai hari ini keduanya masih tetap bersemangat dan saling
menolong sampai sebilah panah, sebutir peluru atau mungkin tomahawk mengakhiri
sejarah hidup salah satu dari keduanya. Yang bertahan hidup pasti akan segera
menyusul mati, entah si kuda atau saya pemiliknya, karena dia tidak bisa menahan
duka cita dan kerinduan kepada sahabatnya yang
hilang." Dia mengusap matanya dengan tangan. Kemudian dia naik ke atas punggung kudanya
lalu berkata, "Itulah sedikit tentang kisah masa lalu saya, Charley. Anda adalah orang pertama
yang saya ceritakan tentang kisah ini, walaupun saya baru pertama kali bertemu
Anda hari ini. Anda juga menjadi orang terakhir yang mendengar kisah ini. Anda
pasti sudah sering mendengar tentang saya. Saya pun sudah mendengar cerita
tentang Anda ketika saya duduk di seputar api unggun bersama teman-teman saya
atau orang lain. Karena itu saya hanya mau menunjukkan bahwa Anda bukanlah orang
yang baru bagi saya. Sekarang buatlah hati saya senang dan lupakan bahwa hari
ini saya dikalahkan oleh Anda! Kelak saya akan menunjukkan bahwa si tua Sam
Hawerfield ini selalu siap di tempat setiap saat."
Setelah melepaskan ikatan mustang, saya naik ke atas pelana kuda. Tadi dia
mengatakan, kami akan pergi ke arah selatan, tetapi sekarang dia justru memacu
kudanya ke arah barat. Saya tidak bertanya karena saya yakin, dia pasti
mempunyai maksud tertentu yang sudah diperhitungkannya dengan matang. Saya juga
tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika dia mengambil dan membawa tombak milik
keempat orang Indian tadi. Tiba-tiba saya teringat akan si tua sahabat saya, Sam
Hawkens, yang juga memiliki nama depan yang sama.
Kelihatannya kami sudah berjalan lumayan jauh. Selama perjalanan kami tidak
bercakap-cakap sedikit pun. Tiba-tiba dia menghentikan kudanya lalu turun dan
menancapkan sebilah tombak pada puncak bukit. Sekarang saya paham maksudnya.
Rupanya dia ingin memasang tombak itu sebagai penunjuk jalan bagi orang-orang
Indian agar mereka bisa sampai ke tempat mayat-mayat tadi. Mereka akan segera
tahu bahwa dendam Sans-ear telah menelan empat korban lagi.
Kemudian dia membuka tas pada pelana kudanya lalu mengeluarkan delapan potong
kain keras yang dibagikan untuk saya dan dirinya.
"Ambillah, Charley. Turun dan bungkuslah telapak kaki mustang Anda dengan kain
ini sehingga kita tidak meninggalkan jejak sedikit pun di tanah. Orang-orang
Indian pasti berpikir bahwa kita terbang dari sini melalui udara. Sekarang Anda
harus terus berkuda ke selatan, sampai Anda tiba pada rel kereta. Di sana Anda
harus menunggu saya. Terlebih dahulu saya harus menancapkan ketiga tombak ini,
kemudian saya misalnya segera menyusul Anda dari belakang. Kita pasti akan
bertemu di sana. Tapi seandainya kita tersesat, maka seorang dari kita harus
memberi tanda, yakni dengan bunyi burung gagak jika saat itu hari siang atau
bunyi lolongan coyote jika hari sudah malam."
Lima menit kemudian saya tidak melihatnya lagi. Sambil merenung dalam keheningan
saya memacu kuda menuju arah yang tadi ditunjuknya. Dengan telapak kaki yang
terbungkus, kuda saya tidak bisa berlari cepat. Karena itu setelah menempuh
jarak kira-kira lima mil inggris, saya turun dan melepaskan kain tersebut.
Maksud kain pembungkus itu hanya untuk menghilangkan jejak kami di sekitar
tempat tombak itu terpancang.
Kini kuda saya bisa berlari lagi seperti biasa. Padang prairie yang saya lewati
lambat laun tampak semakin rata. Di sana-sini terlihat beberapa tumbuhan berbiji
dan semak-semak liar. Matahari masih berada beberapa derajat di atas horison
barat. Karena itu dengan mudah saya bisa melihat sebuah garis di selatan yang
membentang dari arah barat menuju timur.
Itukah rel kereta yang dimaksudkan oleh Sam Hawerfield" Tentu saja. Saya segera
berlari ke sana dan memastikan bahwa dugaan saya benar. Di hadapan saya
terbentang rel kereta yang dibangun di atas gundukan tanah yang agak tinggi.
Tiba-tiba saya dihinggapi perasaan aneh, perasaan yang tidak menentu. Setelah
sekian lama akhirnya saya merasa berhubungan kembali dengan dunia maju di tempat
ini. Kalau sebuah kereta mendekat, saya hanya perlu memberi tanda. Pasti kereta
akan berhenti lalu saya naik; kemudian saya pun bisa pergi ke barat atau timur.
Setelah mengikat kuda dengan laso, saya mencari potongan-potongan kayu kering di
dalam semak belukar untuk membuat api unggun. Seonggok semak tumbuh sangat rapat
pada rel kereta. Saya membungkuk untuk memungut ranting-rantingnya. Tapi saya
terkejut ketika melihat sebuah palu tergeletak di tanah. Alat itu baru saja
ditinggalkan, karena kepala palu itu masih mengkilat. Pasti ia baru saja
digunakan. Selain itu saya pun sama sekali tidak menemukan karat pada bagian
mata palu, ujung pengungkitnya ataupun pada tempat masuknya pasak. Seandainya
alat itu sudah tergeletak beberapa hari dan basah terkena embun malam, maka ia
pasti sudah berkarat. Karena itu bisa saya simpulkan, hari ini atau paling lama
kemarin tempat ini telah didatangi orang.
Pertama-tama saya memeriksa sisi seberang rel kereta, tapi tak ada yang
mencurigakan. Kemudian saya naik ke atas gundukan tanah itu dan meneliti
beberapa saat, tapi juga sia-sia. Tiba-tiba saya melihat seonggok semak tebal
dari rumput yang berbau dan agak terpintal. Tanaman tersebut sangat menyolok mata karena jarang
ditemukan. Benar, ada orang yang menjejakkan kakinya di tempat itu! Jejak itu
masih baru, paling tidak ditinggalkan dua jam yang lalu. Bagian rumput yang
hanya terlipat oleh tepi sepatu sudah kembali berdiri tegak. Sedangkan bagian
yang terinjak oleh telapak kaki masih jelas menampakkan bentuk tumit dan jari-
jari kaki. Itu adalah jejak mokassin Indian. Apa benar ada orang Indian di
sekitar sini" Bagaimana saya bisa menghubungkannya dengan palu tadi" Bukankah
kulitputih pun memakai sepatu mokassin" Atau mungkin ada seorang pegawai kereta
yang terbiasa memakai sepatu empuk itu" Saya terus mencari dan belum merasa
tenang jika saya hanya bisa menduga-duga. Yang paling penting sekarang adalah
saya harus mendapatkan kejelasan.


Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi harus saya akui, menyelidik di sepanjang rel kereta merupakan tindakan
yang sangat berbahaya. Bisa saja ada musuh yang bersembunyi di dalam semak-semak
pada kedua sisi rel dan dari jauh mereka sudah mengamati saya di atas rel.
Benar, tetapi di lain pihak palu tadi membuat saya merasa tidak tenang. Maka
tanpa ragu-ragu saya mulai membuat penyelidikan. Karena saya tahu bahwa sekarang
suku Ogellallah berkeliaran di daerah ini, maka saya sangat berhati-hati dengan
semua hal yang kelihatan sepele. Saya menyandangkan senapan ke pundak dan
menggenggam revolver di tangan. Sambil berlindung dari satu semak ke semak lain,
saya terus merangkak maju. Tak ada hasil. Maka saya kembali dengan menempuh sisi
lain dari rel, juga sia-sia. Penyelidikan diteruskan ke arah selatan, menuju ke
tempat kuda saya merumput, lalu dilanjutkan ke arah timur. Mula-mula hasilnya
nihil. Sambil membungkuk saya ingin menyeberangi rel kereta. Dengan bertumpu
pada kedua tangan dan kaki, saya merangkak maju. Tiba-tiba saya melihat sesuatu
yang lembab, seperti sebuah jejak dari pasir. Anehnya pasir-pasir itu membentuk
figur melingkar yang kelihatan seolah-olah sengaja ditaburkan di sana. Saya
kemudian mengaisnya dengan jari dan - terus terang - alangkah terkejutnya saya.
Tangan saya dipenuhi lumuran darah. Pasir itu pun berwarna merah dan basah.
Sambil berbaring di atas tanah, saya memeriksa lebih teliti. Baru saya tahu
bahwa pasir itu ditaburkan di atas gumpalan darah.
Seseorang telah dibunuh di tempat ini. Jika ini darah seekor hewan, maka orang
tidak perlu repot-repot menutupinya. Tapi siapakah yang telah dibunuh dan siapa
pembunuhnya" Tak ada jejak yang terlihat di situ karena tanah yang keras tidak
bisa merekam jejak sedikit pun. Ketika saya mengamati semak di seberang rel yang
tumbuh di dekat rumput gajah, baru saya melihat beberapa jejak kaki dan dua
jejak lain. Tampaknya seseorang telah diseret dari gundukan tanah pada rel
sehingga kakinya menggores di tanah. Tubuhnya dipegangi, sedangkan kakinya
dibiarkan sehingga meninggalkan garis di tanah.
Sangat berbahaya jika saya menyeberang ke sisi rel yang lain. Darah itu belum
sepenuhnya meresap ke dalam tanah dan jejak kaki pun tampak masih baru serta
belum rusak. Dugaan saya, pembunuhan ini baru saja terjadi dan sang pembunuh
masih berada di dekat sini. Saya merangkak turun lalu mengambil arah yang
berlawanan. Setelah agak jauh dari tempat itu, saya menyeberangi rel lalu mulai
mengendap-endap menuju ke arah timur.
Semuanya berlangsung sangat lambat karena saya harus menggunakan semua siasat
dan keahlian. Saya juga harus mengatur semua gerakan dan posisi tubuh sedemikian
rupa agar tidak terlihat oleh musuh yang mungkin saja dekat. Untunglah di tempat
itu tumbuh alang-alang yang begitu rapat. Jadi, kalau saya bersembunyi di balik
semak dengan hati-hati dan bisa mengamati semak berikutnya sebelum saya menyusup
ke sana, maka tanpa terlihat saya akan tiba di tempat saya melihat darah tadi.
Di situ tumbuh semak lentisken yang lebat dan di depannya ada sederetan pohon
ceri. Sambil bertiarap saya bersembunyi di baliknya. Jarak saya ke pohon itu
sekitar delapan meter. Di antara saya dan pohon ceri terbentang lahan kosong.
Pohon ceri memang menghalangi saya untuk melihat dengan jelas, begitu pula
semak-semak lentisken yang tumbuh rapat. Walaupun demikian tampak seolah-olah
ada tubuh manusia terbaring di bawahnya. Sosok itu agak tersembunyi tapi
membentuk sebuah bayangan hitam yang sangat berbeda dengan lingkungan
sekitarnya. Ukurannya sebesar tubuh manusia. Barangkali korban pembunuhan
disembunyikan di sana" Tetapi mungkin saja dialah sang pembunuhnya. Saya harus
menyelidikinya supaya tahu.
Mengapa saya berani melibatkan diri dalam bahaya" Sebenarnya saya bisa menunggu
sampai Sam datang kemudian dengan tenang kami meneruskan perjalanan! Tapi
seorang pemburu prairie harus tahu, siapa musuh yang berada di depan, di
belakang maupun di sampingnya. Selain itu dia akan menyelidiki setiap hal, yang
tampak sepele sekalipun. Dengan demikian dia bisa menarik kesimpulan tentang apa
yang ingin diketahuinya. Dia akan merasa lebih tenang jika mengetahui rahasia
itu. Pengetahuan seperti ini biasanya diabaikan begitu saja oleh profesor maupun
kaum terpelajar. Seorang pemburu prairie membuat kesimpulan dari hal yang
kelihatan tidak berarti dan dianggap tidak berhubungan satu sama lain. Sementara
itu orang lain yang tidak berpengetahuan mungkin akan menertawakan dia. Tapi
kemudian selalu terbukti bahwa kesimpulannya tepat. Bisa jadi pada suatu hari
dia berkuda menempuh jarak empat puluh atau lima puluh mil inggris, sedangkan
keesokan harinya dia berjalan tidak sampai setengah mil. Hal ini karena sebelum
maju selangkah, dia harus menyelidiki apakah keadaan di sekitarnya aman.
Kalaupun sikap hati-hati ini tidak berguna bagi dirinya, pengalamannya bisa
berharga bagi orang lain. Dia bisa menasihati mereka, memperingatkan, dan
memberi petunjuk kepada mereka. Selain itu, ada dorongan dalam diri setiap
manusia untuk mencari rasa aman dari bahaya dan berjuang sekuat tenaga melawan
setiap kejahatan. Ini belum termasuk keberanian yang biasanya dimiliki oleh
orang-orang kuat yang membuat mereka berani bertindak nekat.
Saya memungut sepotong ranting, memasangkan topi saya di ujungnya lalu
menggoyangkan semak-semak ceri dengan maksud menimbulkan bunyi gemerisik
sehingga terlihat dari sana bahwa ada orang yang berusaha mendekat. Namun tak
ada tanggapan. Barangkali tidak ada musuh di sana atau saya sedang menghadapi
seseorang yang cerdik dan berpengalaman sehingga tidak mau diperdaya oleh cara
seperti itu. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil resiko. Saya merangkak balik dan
berhenti. Dengan dua lompatan saya sudah melewati lahan terbuka tadi dan
menyusup ke dalam semak lentisken sambil menggenggam pisau yang siap ditikamkan.
Di bawah timbunan ranting-ranting yang dipatahkan terbaring seseorang. Saya
langsung memeriksanya, tetapi ternyata dia sudah mati. Saya menyingkirkan
ranting-ranting dan tampak sebuah wajah yang mengerikan dengan kepala berlumuran
darah. Dia seorang pria kulitputih dan kepalanya sudah dikuliti. Setelah
memeriksa tubuhnya, saya menemukan sebuah anak panah tertancap di punggungnya.
Jadi sekarang saya berurusan dengan orang-orang Indian yang sedang dalam
perjalanan ke medan perang. Hal ini dapat terlihat dari anak panah itu.
Apakah mereka sudah pergi atau masih berada di sekitar sini" Saya harus tahu. Di
sini jejak mereka tampak jelas yakni dari rel kereta menuju padang prairie. Saya
mengikuti jejak itu dengan berpindah dari satu semak ke semak berikutnya. Setiap
saat bisa saja saya dipanah, karena itu saya selalu menggenggam pisau yang siap
digunakan. Dari ukuran jejak kaki, saya bisa menyimpulkan bahwa mereka berjumlah
empat orang, dua orang dewasa dan dua anak muda. Saya bergerak maju dengan hanya
bertumpu pada ujung jari tangan dan jari kaki. Cara ini menuntut latihan yang
tekun dan hanya membutuhkan sedikit tenaga. Mereka tidak berusaha menghapus
jejaknya; ini karena mereka merasa tempat ini benar-benar aman.
Angin bertiup dari arah tenggara, jadi berlawanan arah dengan tempat tujuan
saya. Karena itu saya tak terkejut ketika mendengar suara endusan kuda. Yang
dicium binatang itu pasti bukan bau tubuh saya. Saya terus merangkak maju. Akhirnya
saya sampai pada tujuan atau paling kurang saya bisa mengamati dan bisa langsung
pulang. Di hadapan saya berdiri kira-kira enam puluh ekor kuda di antara semak-
semak. Kecuali dua ekor kuda, kuda-kuda lainnya dihiasi perlengkapan berkuda a
la Indian. Kuda-kuda itu tidak berpelana. Kelihatannya pelananya sudah diambil
dan digunakan sebagai alas duduk atau bantal di dekat tempat mereka
beristirahat. Dua orang ditugaskan untuk menjaga kuda-kuda tersebut. Salah
seorang penjaga yang kelihatan masih muda mengenakan sepasang sepatu lars dari
kulit sapi yang rupanya dirampas dari orang yang tadi saya temukan tewas. Tentu
saja pakaian serta semua harta korban dibagikan di antara para pembunuh itu.
Jadi anak muda itu termasuk dalam kelompok empat orang tadi yang jejaknya terus
saya ikuti sampai kemari.
Orang-orang Indian juga sering bergaul dengan kulitputih, walaupun kulitputih
tidak mengerti bahasa mereka. Karena alasan ini maka kulitmerah dan mukapucat
saling berbicara dengan menggunakan bahasa isyarat. Gerakan, isyarat serta
artinya pasti dipahami oleh setiap orang yang pernah hidup di Wild West. Sering
terjadi bahwa orang memakai suara apabila pembicaraan itu sangat menarik atau
apabila hal yang ingin disampaikan bersifat mendesak. Ungkapan itu diiringi
dengan gerakan tangan, sehingga artinya bisa dimengerti, sama seperti jika orang
berbicara. Kedua penjaga tadi bercakap-cakap. Isi pembicaraan mereka tampaknya
sangat menarik, karena keduanya memberi isyarat bahwa mereka sedang tidak
diamati musuh. Tampak dari tatapan matanya, prajurit yang kalem dan lebih tua
kurang senang. Mereka menunjuk ke arah barat lalu memberi isyarat api dan kuda.
Aha . jadi artinya lokomotif atau yang biasa disebut 'kudaapi' oleh orang
Indian. Lalu busurnya dipukul-pukulkan ke tanah seakan-akan mereka ingin
memecahkan sesuatu atau memukul dengan palu. Ada juga gerakan membidik seperti
siap menembak, gerakan menusuk dan ayunan tomahawk.
Saya merasa sudah cukup memahaminya lalu saya merangkak pulang sambil berusaha
sedapat mungkin menghilangkan semua jejak saya.
Ini memakan waktu yang lama, bahkan sangat lama, sampai saya tiba lagi pada kuda
saya. Kuda itu tidak lagi merumput sendirian, karena di sampingnya ada juga kuda
Sam. Sam sendiri berbaring santai di belakang semak dan sedang mengunyah
sepotong dendeng keras. "Berapa jumlah mereka, Charley?"
"Siapa maksud Anda?"
"Orang-orang Indian."
"Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Anda menganggap si tua Sans-ear ini sebagai seorang greenhorn, seperti dia
menganggap Anda kemarin" Kalau begitu Anda sangat keliru, hihihihi!"
Suara tawanya terdengar tidak keras dan sangat terukur seperti yang pernah saya
dengar sebelumnya. Dia tertawa jika merasa diri lebih tahu daripada orang lain.
Kesamaan ini pun dijumpai pada diri Sam Hawkens yang juga biasa tertawa seperti
itu. "Apa maksud Anda, Sam?"
"Haruskah saya katakan kepada Anda, Charley" Apa yang akan Anda lakukan jika
Anda datang ke sini dan hanya menemukan palu ini di dekat kuda, sementara itu
orang yang bernama Old Shatterhand sama sekali tidak kelihatan batang
hidungnya?" "Saya akan menunggu sampai dia kembali."
"Sungguh" Saya misalnya tidak yakin bahwa Anda sudah pergi ketika saya datang.
Barangkali terjadi sesuatu pada diri Anda, karena itu saya pergi menyusul
Anda." "Tetapi rencana saya bisa saja gagal lantaran kehadiran Anda. Saya pikir, Old
Shatterhand tidak akan bertindak sebelum mempertimbangkan semuanya masak-masak.
Berapa jauh Anda mengikuti saya?"
"Mula-mula ke sana, lalu ke sana, sampai ke tempat manusia malang yang dihabisi
orang Indian itu. Saya bisa bergerak cepat karena saya tahu, Anda berada di
depan saya. Ketika melihat mayat tersebut, saya berpikir Anda hanya pergi untuk
mengamat-amati lalu segera kembali. Makanya saya misalnya berbaring tenang
menunggu Anda pulang. Jadi berapa jumlah mereka?" "Kira-kira enam puluh orang."
"Sekarang sudah jelas. Mereka adalah kawanan yang sudah saya lihat jejaknya
kemarin. Apakah mereka sedang dalam perjalanan ke medan perang?"
"Ya." "Mereka hanya berhenti untuk sementara?" "Pelana kudanya dilepas."
"Gila! Pasti mereka merencanakan sesuatu di tempat ini. Apa Anda tidak mendengar
rencana mereka?" "Kelihatannya mereka bermaksud merusakkan rel kereta sehingga kereta yang lewat
akan terbalik, kemudian merampoknya."
"Apa Anda sedang bergurau, Charley" Hal seperti itu terlalu berbahaya bagi
railroader dan para penumpangnya! Dari mana Anda tahu rencana itu?"
"Saya mendengar mereka membicarakannya."
"Jadi Anda mengerti bahasa Ogellallah?"
"Ya, tapi hal itu tidak penting. Saya berhasil mendekati penjaga kuda dan
melihat mereka bercakap-cakap dengan bahasa isyarat."
"Bisa jadi Anda salah mengerti. Ulangi sekali lagi gerakan-gerakan yang Anda
lihat!" Saya pun memperagakannya. Manusia kerdil itu meloncat bangkit, tapi segera
menguasai diri, kemudian duduk kembali.
"Kalau begitu Anda benar mengartikan isyarat itu. Kita harus menolong para
penumpang kereta. Namun kita misalnya tidak boleh tergesa-gesa, karena persoalan
berat ini seperti harus dipertimbangkan dengan tenang dan harus dirundingkan.
Jadi ada enam puluh orang" Hmmm, pada senjata saya hanya ada tempat untuk
sepuluh garis lagi. Di mana saya harus memahat garis-garis yang lain?"
Walaupun situasinya menegangkan, saya hampir tertawa. Manusia kerdil ini akan
menghadapi enam puluh Indian. Dia bukannya merasa cemas karena akan diserang,
sebaliknya dia malah memikirkan tempat untuk pahatan baru pada senjatanya.
"Berapa orang yang hendak Anda bunuh, Sam?" tanya saya.
"Saya misalnya belum tahu. Namun saya pikir, paling banyak dua atau tiga orang,
karena yang lainnya pasti akan melarikan diri seandainya melihat dua puluh atau
tiga puluh kulitputih."
Jadi seperti saya, dia pun berpikir bahwa kami akan mendapat bantuan dari
pegawai kereta dan para penumpang.
"Yang paling penting adalah," ujar saya memberi penegasan, "kita harus tahu
kereta mana yang akan diserang. Sangat disayangkan seandainya kita salah menebak
arah datangnya kereta."
"Melihat isyarat mereka tadi, mereka menargetkan kereta mountain yang datang
dari arah barat. Ini tentu membuat saya heran, sebab kereta yang memuat barang-
barang penting yang dibutuhkan orang Indian sebenarnya kereta api dari arah
timur, dan bukan dari barat. Karena itu tak ada cara lain, kita harus membagi
tugas. Salah seorang dari kita harus pergi ke arah matahari terbit dan yang lain
ke arah matahari terbenam."
"Kalau mau berhasil tentu saja kita harus melakukan demikian supaya lebih pasti.
Ya, andaikan kita tahu kapan dan dari arah mana kereta akan datang."
"Siapa yang bisa tahu! Seumur hidup saya, saya belum pernah masuk ke dalam kotak
yang disebut gerbong yang di dalamnya orang pun tidak leluasa menjulurkan
kakinya. Saya lebih menyukai padang prairie dan Tony! Apakah Anda melihat orang
Indian yang sudah mulai bekerja?"
"Belum, saya hanya melihat kuda-kudanya. Tapi bisa diduga, mereka tahu kapan
kereta akan lewat dan kelihatannya mereka akan merusak rel sebelum malam.
Paling lama kita membutuhkan satu setengah jam untuk tiba di rel kereta,
kemudian kita mengintai mereka untuk mengetahui maksud mereka."
"Well, harus seperti itu!"
"Tapi sebaiknya salah seorang dari kita berjaga-jaga di dekat rel kereta. Bisa
jadi ada kulitmerah yang datang melalui sisi lain dari rel untuk meninjau ke
sini. Setidak-tidaknya saya menduga, mereka akan merusakkan rel hingga ke sini,
karena mereka memerlukan tempat yang luas untuk lokasi penyerangan."
"Rasanya hal itu tidak perlu, Charley. Pandanglah Tony! Tidak pernah saya
mengikat atau menambatnya. Tony adalah seekor kuda yang sangat pintar dan ia
mempunyai daya penciuman yang sangat tajam serta bisa diandalkan. Pernahkah Anda
menemukan seekor kuda yang tidak mendengus jika mencium bau musuh di dekatnya?"
"Tidak." "Nah, hanya ada seekor kuda yang berbeda, dan kuda itu adalah Tony. Kalau seekor
kuda mendengus, ia akan memberi peringatan kepada pemiliknya. Namun di samping
itu musuh pun akan tahu, pertama-tama di mana kuda dan tuannya berada, dan
kedua, bahwa tuannya sudah diperingatkan akan bahaya. Tapi saya melatih Tony
secara lain dan kuda itu sangat memahami maksud saya. Saya selalu membiarkannya
bebas merumput. Begitu mencium bahaya, ia datang mendekat dan menggosok-gosokkan
moncongnya pada saya."
"Dan seandainya ia tidak mencium apa-apa seperti hari ini?"
"Pshaw! Angin berhembus dari tempat orang-orang Indian itu, dan Anda boleh
membunuh saya apabila Tony tidak bisa mencium bau mereka pada jarak seribu
langkah. Selain itu, orang-orang itu mempunyai mata yang tajam seperti elang,
mungkin mereka sudah melihatnya dari jauh ketika Anda mengendap-endap sepanjang
rel. Jadi tenang sajalah, Charley!"
"Anda benar. Saya pun bisa mempercayai Tony seperti Anda. Saya belum lama
mengenal binatang itu, tetapi saya sudah cukup yakin, kuda itu bisa diandalkan."
Lalu saya mengeluarkan sebatang 'hasil racikan sendiri' dan menyulutnya dengan
api. Sam membelalakkan matanya yang kecil. Mulutnya menganga lebar. Hidungnya
bertambah panjang dan dia mulai menghirup aroma tembakau dengan penuh hasrat.
Sementara itu di wajahnya terpancar rasa gembira. Westman ini jarang sekali
mengisap tembakau yang enak dan tidak bisa menahan diri untuk segera menikmati
tembakau saya. "Oh ... wonderful! Charley ...! Jadi Anda mempunyai cerutu?"
"Tentu saja! Bahkan masih ada dua belas batang. Anda mau?"
"Berikan kemari! Anda adalah pria yang harus disegani!"
Dia menyulut cerutunya pada cerutu saya. Kemudian seperti kebiasaan orang
Indian, dia menelan asapnya beberapa kali lalu menghembuskan kembali dari dalam
perut. Wajahnya tampak berbinar-binar karena bahagia, seakan-akan dia berada di
surga ketujuh bersama Nabi Muhammad.
"Hang sorrow! Alangkah nikmatnya! Boleh saya tahu, cerutu jenis apa ini,
Charley?" "Tebaklah! Bukankah Anda mengenal jenis-jenis cerutu?" "Pasti ini cerutu
kegemaran saya!"

Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa itu?" "Goosefoot dari Virginia atau Maryland!"
"Bukan!" "Apa" Kalau begitu untuk pertama kalinya saya keliru menebak. Pasti itu adalah
cerutu Goosefoot, karena saya mengenal aroma dan rasanya." "Yang ini bukan
Goosefoot!" "Kalau begitu cerutu Legittimo dari Brazil?"
"Juga bukan!" "Curassao dari Bahia?"
"Salah lagi!" "Kalau begitu apa?" "Perhatikan cerutu ini!"
Saya mengeluarkan sebatang lagi, membuka gulungannya kemudian memberikan
kepadanya lembaran pembungkus serta campuran tembakau itu.
"Apa Anda sudah gila, Charley, sehingga Anda merusak cerutu seperti itu! Seorang
pemasang jebakan yang sudah lama tidak merokok, bisa menukarkan lima sampai
delapan lembar kulit beaver[Binatang sejenis linsang air] untuk mendapatkan
cerutu itu!" "Dalam dua atau tiga hari saya akan memperoleh lagi cerutu baru."
"Dalam tiga hari" Cerutu yang baru" Dari mana?"
"Dari pabrik saya."
"Apa" Jadi Anda memiliki pabrik cerutu?"
"Ya." "Di mana?" "Di sana!"
Saya menunjuk ke tempat mustang saya.
"Charley, saya minta agar Anda hanya boleh bergurau dengan saya, jika gurauan
itu misalnya berbobot!"
"Ini bukan gurauan melainkan kenyataan."
"Hmmm! Seandainya Anda bukanlah Old Shatterhand, pasti saya sudah berpikir isi
kepala Anda terlalu banyak atau terlalu sedikit!" "Perhatikan dulu tembakau
ini!" Dia memeriksanya dengan teliti.
"Saya tidak mengenal jenis cerutunya. Tapi rasanya nikmat, sungguh-sungguh
nikmat!" "Sekarang akan saya tunjukkan pabriknya!"
Saya melangkah menghampiri mustang dan melonggarkan pelananya lalu mengeluarkan
sebuah bantal kecil yang kemudian saya buka. "Ini, rogohlah ke dalam!"
Dia menarik tangannya keluar sambil menggenggam dedaunan.
"Charley, jangan menjadikan saya badut. Ini hanyalah daun-daun pohon ceri dan
lentisken!" "Benar! Memang hanya ada beberapa daun ganja liar, dan lembaran pembungkusnya
berasal dari sejenis tanaman yang Anda sebut sebagai verhally. Dalam bantal
inilah sebenarnya pabrik tembakau. Setiap kali saya menemukan dedaunan ini, saya
segera mengumpulkannya sebanyak mungkin kemudian memasukkannya ke dalam bantal
lalu menyimpan bantal di bawah pelana kuda. Suhunya akan menjadi hangat sehingga
daun-daun itu mengalami fermentasi. Itulah teknik yang saya pakai!"
"Sungguh sulit dipercaya!"
"Tetapi terbukti! Cerutu jenis ini hanya merupakan pengganti tembakau. Seorang
perokok yang mempunyai langit-langit sekeras kulit bison pun hanya mampu
menghisap paling banyak sekali, kemudian segera mencampakkannya. Namun jika Anda
bertahun-tahun mengembara di padang sabana lalu mengisap tembakau jenis ini,
maka rasanya akan sangat nikmat seperti cerutu Goosefoot. Anda bisa
membuktikannya dengan pengalaman Anda tadi!"
"Charley, saya semakin menyegani Anda!"
"Tapi jangan ceritakan sedikit pun tentang cerutu ini, jika Anda nanti berada
bersama orang-orang yang belum pernah mengembara di daerah Barat, karena nanti
Anda akan dikira orang Tungus[Sebuah suku di Asia Tengah], atau orang
Kirgis[Sebuah suku di Siberia dan Cina bagian utara] atau mungkin orang Tibet,
karena indra pengecap dan penciuman dari suku-suku itu sudah dilapisi tar atau
dipenuhi oleh lapisan nikotin!"
"Dianggap sebagai orang Tungus ataupun Tibet, bagi saya tak ada bedanya, yang
penting cerutu ini terasa nikmat. Lagipula saya pun tidak tahu, di belahan Bumi
mana suku-suku itu hidup."
Walaupun saya sudah membuka rahasia pembuatan cerutu saya, dia tidak merasa
terusik dan terus menikmati cerutu itu. Malahan dia mengisapnya sampai menjadi
puntung yang begitu pendek sehingga tidak bisa lagi dijepit di antara kedua
bibirnya. Matahari sudah terbenam. Suasananya mulai remang dan hari mulai gelap, sehingga
kami harus memikirkan rencana selanjutnya. "Sekarang?" tanya Sam.
"Ya." "Bagaimana?" "Kita berangkat bersama-sama sampai di tempat kuda-kuda kulitmerah itu, lalu
berpencar. Kemudian kita memata-matai perkemahan mereka dan bertemu lagi
sesudahnya." "Baiklah. Apabila terjadi sesuatu sehingga kita terpaksa harus melarikan diri,
maka supaya tidak tersesat, kita berlari ke arah selatan menuju ke sungai. Di
tempat itu ada hutan lebat yang tumbuh mulai dari puncak gunung hingga ke padang
prairie. Dua mil dari puncak gunung itu, tepatnya pada sisi selatan hutan,
terdapat sebuah hutan yang menjorok masuk ke prairie dan di tempat itulah kita
bertemu lagi." "Kalau begitu baiklah! Mari kita berangkat!"
Saya pikir, rasanya tidak mungkin kami diceraiberaikan oleh musuh. Tetapi baik
juga membuat kesepakatan seperti itu untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan. Kami pun berangkat. Sekarang hari sudah gelap, sehingga dengan aman kami bisa berjalan tegak
menyeberangi rel kereta. Kami berbelok ke kiri lalu berkuda sepanjang tepi rel
sambil menggenggam pisau yang siap ditikamkan jika ada bahaya menghadang. Di
padang prairie mata kami sudah terbiasa melihat ke dalam kegelapan, sehingga
kami bisa mengenali orang Indian yang berada beberapa langkah di depan kami.
Setelah melewati mayat kulitputih tadi, kami tiba kembali di tempat, di mana
sebelumnya orang-orang Indian menambatkan kuda. Binatang-binatang itu masih ada.
"Anda ke kanan dan saya ke kiri!" kata Sam. Dia segera mengendap-endap menjauhi
saya. Saya berbalik lalu mengendap-endap menghindari kuda-kuda itu dan tiba pada
sebuah tanah lapang yang tidak ditumbuhi semak. Di sana tampak orang-orang
Indian yang sedang berbaring. Mereka tidak menyalakan api unggun dan sedang
bercakap-cakap. Tapi suara mereka begitu pelan, sehingga saya bahkan bisa
mendengar bunyi getaran sayap kumbang di rerumputan. Agak jauh dari tempat itu,
saya melihat tiga orang. Sebenarnya hanya suara merekalah yang tadi terdengar.
Dengan sangat hati-hati saya merangkak ke belakang mereka. Betapa terkejutnya
saya karena di antara mereka ada seorang kulitputih. Apa urusannya dengan orang-
orang Indian ini" Dia bukanlah tawanan, hal ini terlihat jelas. Atau barangkali
dia seorang pemburu prairie yang sebentar-sebentar bergaul dengan kulitmerah dan
sebentar lagi dengan kulitputih, tergantung maksud jahat yang ingin
dijalankannya. Atau bisa juga dia seorang pemburu yang setelah ditangkap orang
Indian, dipaksa untuk mengambil seorang gadis kulitmerah sebagai squaw-nya dan
kemudian menjadi anggota suku, supaya dengan itu dia tetap dibiarkan hidup.
Namun jika demikian, maka pakaiannya, perhiasannya serta jahitannya yang bisa
saya amati dalam gelap, tentu lebih menampakkan corak khas Indian.
Kedua orang yang lain adalah kepala suku. Ini bisa terlihat dari bulu burung
gagak yang terselip tegak di atas ikat rambut di kepalanya. Tampak pula sejumlah
prajurit dari dua suku yang berbeda atau dari dua perkampungan yang dikumpulkan
untuk menjalankan misi tertentu.
Ketiganya duduk di pinggir tanah lapang dan sangat dekat pada sebuah onggokan
semak. Hal ini memungkinkan saya mendekati mereka guna menguping isi pembicaraan
mereka. Saya merangkak maju, kemudian berbaring begitu dekat, sampai-sampai
tangan saya bisa menjamah mereka.
Percakapan mereka terhenti sejenak. Selama beberapa menit mereka hanya diam.
Kemudian bertanyalah seorang kepala suku kepada pemburu itu dengan menggunakan
bahasa Inggris bercampur bahasa Indian. Orang Indian biasanya memakai bahasa
campuran kalau berbicara dengan kulitputih.
"Dan saudara saya kulitputih tahu pasti, bahwa kita just akan mendapatkan banyak
emas yang dibawa oleh kudaapi yang akan datang?"
"Ya," jawab orang yang ditanya.
"Siapa yang memberitahukannya?"
"Seseorang yang tinggal di kandang kudaapi itu."
"Emas itu berasal dari negeri Waikur[California]?"
"Ya." "Dan akan dikirimkan untuk kepala mukapucat[Presiden Amerika Serikat] yang
kemudian akan memberinya keuntungan besar?"
"Benar." "Kepala mukapucat tidak akan mendapatkan emas itu, sehingga dia tidak akan
memperoleh keuntungan sedikit pun. Apakah ada banyak orang yang akan menunggangi
kudaapi itu?" "Saya tidak tahu. Tetapi berapa pun banyaknya jumlah mereka, mereka tetap akan
ditaklukkan oleh saudara saya kulitmerah bersama pasukannya yang gagah berani."
"Prajurit-prajuri Ogellallah akan membawa pulang scalp mereka. Istri dan gadis-
gadis akan menyambut kedatangan mereka dengan tarian suka cita. Apakah para
penunggang kudaapi juga membawa banyak barang yang dapat digunakan kulitmerah"
Seperti pakaian, senjata, dan callico[Sejenis kain tebal]?"
"Sudah tentu, malahan lebih dari itu. Namun apakah benar, kulitmerah juga akan
memberikan kepada saudaranya kulitputih sebanyak yang dia minta?"
Mentari Senja 5 Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah Gondoruwo Patah Hati 2
^