Pencarian

Bourne Supremacy 8

The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum Bagian 8


pemerintahan!" Haviland mengangkat gagang telepon dari tempatnya,sambungkan
dengan Lin Kai Tak!perintahnya pada operator"cepat!...Mayor Lin please sekarang
juga!apa maksudmu,ia tidak ada disana"dimana orang itu"siapa ini"..ya aku tahu
siapa kau, Dengarkan aku baik-baik. Sasarannya bukan hanya Gubemur, tapi lebih
buruk lagi. Sasarannya termasuk dua anggota delegasi cina pisahkan seluruh rombongan,Kau
tidak tahu"orang dari mossad"apa apaan.."tidak ada kesepakatan seperti itu,tidak
mungkin Ya, tentu saja,akan kututup teleponya,dengan terengah-engah, wajahnya
.yang keriput memucat diplomat itu memandang dinding dan berbicara dengan suara
nyaris tak terdengar Mereka mengetahuinya, entah dan mana, dan melakukan langkah
langkah balasan secepatnya.... Siapa" Demi Tuhan, siapa orang itu?" Jason Bourne
kita," sahut McAllister pelan. "Ia ada di sana" Di layar televisi sebuah limusin
di kejauhan tersentak berhenti jementara limusin-limusm lainnya bergerak menjauh
ke kegelapan. Sosok-berhamburan melarikan diri dengan panik dari mobil yang
berhenti itu, dan beberaPa detik kemudian layar dipenuhi ledakan yang
menyilaukan. la ada di sana," kata McAllister sekali lagi, berbisik. "Ia ada disana
21 PeRAHU motor itu tersentak-sentak hebat dalam kegelapan dan hujan deras. Dua
awak kapalnya sibuk membuang air yang terus-menerus membanjir ke geladak
sementara kapten Cina-Portugis yang tinggi besar bagai beruang, menyipitkan mata
di balik jendela besar kabin, memajukan kapal perlahan-lahan menuju pulau yang
gelap ita. Bourne dan d'Anjou mengapit pemilik kapal; orang Prancis itu yang
berbicara, meninggikan suara mengatasi hujan. '"Menunltmu berapa jauh lagi ke
pantai?" "Dua ratus meter, kurang-lebih sepuluh atau dua puluh meter," kata si kapten.
"Sudah waktunya menyalakan lampu. Di mana?" "Di loker di bawahfiiu. Di sebelah
kanan. Kita maju lagi tujuh puluh lima meter dan akan kuhentikan kapalnya. Lebih
jauh lagi, karang di perairan ini bisa berbahaya."
"Kami harus ke pantai!" seru orang Prancis itu. "Penting sekali, aku sudah
mengatakarmya padamu!"
"Ya, tapi kau Iupa memberitahuku hujannya akan seperti ini, ge-lombangnya
setinggi ini. Sembilan puluh meter, lalu kau bisa menggunakan perahu kecil.
Mesznnya kuat, kau akan tiba di sana."
"Mefde!" sembur d'Anjou sambil membuka loker dan mengeluarkan senter terbungkus.
"Itu masih seratus meter lebih!" "Pokoknya tidak kurang dari lima puluh, aku
sudah bilang begitu." "Dan di antaranya ada perairan yang dalam!" "Apa sebaiknya
aku berputar balik dan kembali ke Macao?" "Supaya lata ditenggeiamkan patroli"
Kau akan bayar kalau sudah waktunya atau kau tidak tiba di tujuanmuf Kau tahu
itu!" "Seratus meter, tidak lebih."
D'Anjou mengangguk marah sambil mengangkat senter ke dadanya. ia menekan
tombolnya, lalu melepaskannya iagi, dan sejenak cahaya biru tua yang menakutkan
menerangi jendela nakhoda. Beberapa detik kemudian sinyal biru yang sama
terlihat dari balik kaca kotor di garis pantai pulau. "Lihat, mon capitaine,
seandainya kami tidak menghadiri pertemuan ini, kapalmu ini pasti sudah
diluiuhlantakkan." "Kau sepertinya sangat menyukai kapalku tadi siang!" kata jum mudi, yang mati-
matian berusaha mengendalikan kapal.
"Itu kemarin siang. Sekarang pukul setengah dua pagi keesokan harinya dan aku
mulai memahami metode pencurimu." D'Anjou mengembalikan senter ke loker dan
melirik Bourne, yang tengah me-mandanginya. Masing-masing melakukan apa yang
telah sering kali mereka lakukan di hari-hari Medusa memeriksa pakaian dan per-?iengkapan rekannya. Keduanya telah menggulung pakaian dalam tas-tas
kanvas celana panjang,. sweter, dan tutup kepala dari karet tipis, semuanya
?hitam. Satu-satunya perlengkapan selain pistol otomatis Jason dan pistol kecil
kaliber .22 orang Prancis itu adalah pisau bersarung semuanya tak terlihat.
?"Dekati sebisa mungkin," kata d'Anjou kepada si kapten. "Dan ingat, kau tidak
akan menerima pembayaran akhir kalau kau tidak berada di sini sewaktu kami
kembali." "Seandainya mereka mengambil uangmu dan membunuhmu?" seru nakhoda itu sambil
memutar kemudi. "Kalau begitu aku pergiP'
"Aku terharu," kata Bourne.
"Jangan takut," jawab si orang Prancis sambil memelototi orang Cina-Portugis
itu. "Aku sudah berurusan dengan orang ini berulang kali selama berbulan-bulan.
Seperti kau, ia nakhoda kapal cepat dan pencuri. Kupenuhi saku Marxis-nya agar
gundiknya bisa hidup seperti selir-selir Komite Sentral. Selain itu, ia curiga
aku menyimpan catatan tentang sogokan itu. Kita ada di tangan Tuhan, mungkin
lebih baik lagi." "Kalau begitu bawa senternya," gumam si kapten sambil merengut "Kau mungkin
membutuhkannya, dan kau tidak berguna bagiku kalau kandas atau tercabik karang."
"Keprihatinanmu benar-benar menyentuh," kata d'Anjou sambil mengambil senter dan
mengangguk pada Jason. "Kami mau mempelajari. perahu dan motornya."
"Motornya ada di bawah kanvas tebal. Jangan dihidupkan sebelum kalian berada di
air!" "Bagaimana kami tahu motornya mau hidup?" tanya Bourne. "Karena aku
menginginkan uangku, Pendiam." Perjalanan ke pantai menyebabkan mereka basah
kuyup, keduanya berpegangan pada panel-panel perahu kecil itu. Jason
mencengkeram samping perahu dan d'Anjou mencengkeram kemudi dan buritan agar
tidak jatuh ke laut. Mereka menyerempet karang di bawah air. Logam berderit
menggeser karang sewaktu orang Prancis itu membelokkan kemudi ke kanan,
mendorong tuas gas hingga maksimum.
Cahaya biru tua aneh itu kembali menyambar dari pantai. Mereka telah menyimpang
dalam ^kegelapan yang basah; d'Anjou mengarahkan perahu ke sinyal itu dan dalam
beberapa menit haluan perahu pun menyentuh pasir. Si orang Prancis menurunkan
tuas gas, mengangkat motornya, sementara Bourne terjun ke air, menyambar tali dan menarik perahu
kecil itu ke pantai. Ia tersentak, terkejut oleh seseorang yang trba-tiba muncul di sampingnya,
mencengkeram tali di depannya. "Empat tangan lebih baik daripada dua," teriak
orang asing itu, Oriental, dalam bahasa Inggris yang fasih dengan aksen ?Amerika.
"Kau kontaknya?" teriak Jason, kebingungan, bertanya-tanya apakah hujan dan
gelombang sudah mengacaukan pendengarannya. "Itu istilah konyol!" pria itu balas
berteriak. "Aku hanya teman!" Lima menit kemudian, setelah mendaratkan perahu
kecil itu, ketiganya berjalan menerobos sesemakan lebat di pantai, yang tiba-
tiba digantikan pepohonan pendek. 'Teman" itu telah mendirikan tenda darurat
dari terpal kapal; api unggun kecil berkobar-kobar menghadap hutan lebat di
depan, tidak terlihat dari samping dan belakang, tersembunyi di balik terpal.
Kehangatan itu disambut; angin dan hujan menyebabkan Bourne dan d'Anjou
kedinginan. Mereka duduk bersila di sekeliling api dan si orang Prancis
berbicara kepada orang Cina berseragam itu. "Sebenarnya tidak perlu, Gamma "
?"Gamma" " sembur Jason.
"Kuterapkan beberapa tradisi masa lalu kita, Delta. Sebenarnya, aku bisa saja
menggunakan Tango atau Fox Trot tidak semuanya huruf Yunani, kau tahu. Huruf
?Yunani hanya untuk para pemimpin."
"Percakapan omong kosong. Aku ingin tahu kenapa kita kemari, Kenapa kau belum
membayarnya dan kita pergi dari sini?"
"Man...!" kata si orang Cina, mengulur ucapannya, dengan sengaja menekankan idiom
Amerika itu. "Kucing satu ini tegang banget! Apa masalahnya?"
"Masalahku, man, adalah aku ingin kembali ke perahu itu. Aku tidak punya waktu
untuk minum ten!" "Bagaimana kalau Scotch?" kata perwira Republik Rakyat Cina itu, mengulurkan
tangan ke belakang, menarik tangannya, dan memamerkan sebotol wiski yang
lumayan. "Kita terpaksa berbagi botol, tapi kurasa kita tidak punya penyakit
menular. Kita mandi, kita menggosok gigi, kita tidur dengan pelacur yang
bersih setidaknya pemerintahAw memastikan mereka bersih."
?"Siapa kau sebenarnya?" tanya Jason Bourne.
"'Gamma' sudah cukup, Echo meyakinkanku mengenai hal itu. Kalau mengenai apa
diriku ini, kuserahkan pada imajinasimu. Kau boleh coba USC itu University of
?Southern California dengan pascasarjana di Berkeley protes di tahun enam
? ?puluhan itu, pasti kau masih ingat."
"Kau ikut dalam demonstrasi itu?"
'Tentu saja tidak! Aku konservatif yang kaku, anggota John Birch
Society yang ingin mereka semua ditembak! Orang-orang gila yang menjerit-jerit
tanpa memedulikan komitmen moral negara mereka." "Ini benar-benar omong kosong."
"Sobatku Gamma," sela d'Anjou, "adalah perantara yang sempurna. Ia agen ganda
atau lipat tiga atau bisa dianggap lipat empat, berpendidikan, bekerja bagi
semua pihak demi keuntungannya sendiri. Ia benar-benar pria amoral, dan karena
itu aku menghormatinya."
"Kau kembali ke Cina" Ke Republik Rakyat Cina?"
"Di sanalah uang berada," perwira itu mengakui. "Masyaiakat represif di mana pun
menawarkan kesempatan seluas-luasnya bagi mereka yang bersedia mengambil risiko
kecil atas nama mereka yang ditekan. Tanya -saja para komisaris di Moskow dan
Blok Timur. Tentu saja, orang harus memiliki kontak di Barat dan memiliki bakat
tertentu yang juga bisa melayani pemimpin resimen. Untungnya, aku pelaut
istimewa, berkat teman-teman di Bay Area yang memiliki yacht dan perahu motor
kecil. Aku akan kembali suatu hari nanti. Aku benar-benar menyukai San
Francisco." "Jangan coba membayangkan rekening Swiss-nya," kata d'Anjou. "Sebaliknya, fokus
saja pada alasan Gamma memaksa kita melakukan perjalanan yang tidak menyenangkan
dalam hujan badai." Orang Prancis itu mengambil botol wiski dan minum.
"Kau harus bayar, Echo," kata orang Cina itu.
"Denganmu, apa yang gratis" Bagaimana?" D'Anjou memberikan botolnya kepada
Jason. "Boleh aku bicara di depan rekanmu?"
"Silakan." "Kau pasti ingin tahu. Kujamin. Harganya seribu dolar Amerika." "Hanya itu?"
"Seharusnya sudah cukup," kata perwira Cina itu sambil mengambil botol Scotch
dari Bourne. "Ada kalian berdua, dan perahu patroliku membuang sauh setengah mil
dari sini di teluk selatan. Awakku mengira aku mengadakan pertemuan rahasia
dengan orang-orang kami yang menyamar di koloni."
Aku pasti ingin tahu', dan kau 'menjaminnya'. Untuk kata-kata itu aku harus
mengeluarkan seribu dolar tanpa ribut, padahal mungkin kau sudah menyiapkan
selusin Zhongguo fen di balik sesemakan."
"Ada hal-hal yang harus diterima dengan niat baik."
"Bukan uangku," balas orang Prancis itu. "Kau tidak akan mendapatkan satu sou
pun sebelum aku mendapat bayangan apa yang kaujual."
"Kau benar-benar Galia sampai ke tulang sumsum," kata Gamma sambil menggeleng.
"Baiklah. Ada kaitannya dengan muridmu, yang tidak lagi menuruti tuannya, tapi
sebaliknya mengambil tiga puluh keping peraknya sendiri dan lebih banyak lagi."
"Pembunuh bayaran itu?"
"Bayar!" perintah Bourne, kaku, menatap perwira Cina itu. D'Anjou menatap Jason
dan orang yang dipanggil Gamma, lalu mengangkat svveternya dan membuka sabuk
celana panjangnya yang basah kuyup. Ia mengulurkan tangan ke bawah pinggang dan
menarik palcsa sabuk uang dari kain minyak; ia membuka ritsleting tengah, ?mengeluarkan uang selembar demi selembar, dan mengulurkannya pada perwira Cina
itu. "Tiga ribu untuk malam ini dan seribu untuk informasi baru ini. Sisanya
palsu. Aku selalu membawa ekstra seribu untuk keadaan darurat. tapi hanya
seribu " "Informasinyai' seta Jason Bourne.
?la yang bayar," jawab Gamma. "Aku akan bicara padanya." Terse rah kau mau bicara
pada siapa, pokoknya bicara sajalah." "Teman kita ada di Guangzhou," perwira itu
memulai, berbicara pada d'Anjou. ."Petiigas radio di Markas Besar Satu." "Kami
pernah berbism's," kata si orang Prancis dengan waspada. 'Tahu bahwa aku akan
bertemu dengan mu sekarang, aku mengisi kembali bahan bakar di stasiun pompa di
Zhuhai Shi tidak lama selewat pukul setengah sebelas. Ada pesan agar aku
menghufeunginya kami punya penghubung yang aman. Ia memberitahu ada panggilan
?radio yang dibelokkan melalui Beijing dengan sandi prioritas Jade Tower yang tak
teridentifikasi. Panggilan itu untuk Soo Jiang " D'Anjou tersentak, kedua
?tangan menekan tanah. "Babi itu!" "Siapa dia" tanya Bourne cepat.
"Seharusnya kepala intelijen operasi Macao,'" jawab si prang Prancis, "tapi ia
bersedia menjual ibunya ke bordil kalau harganya cocok. Pada saat ini dialah
penghubung mantan muridku. Yudas-kxtf
"Yang tiba-tiba dipanggil ke Beijing," sela orang yang dipanggil Gamma itu.
"Kau yakin?" tanya Jason;
Teman kita itu yakin," jawab si orang Cina, sambil tetap menatap d'Anjou.
"Ajadan Soo datang ke Markas Besar Satu dan memeriksa semua penerbangan dari
Kai-tak menuju Beijing besok. Berdasarkan wewenang dari departemennya ia memesan
tempat satu orang di setiap penerbangan. Dalam beberapa kasus itu berarti ? ?penumpang yang semula mundur ke status stand-by. Sewaktu petugas di Markas Besar
Satu meminta konfirmasi pribadi Soo, ajudan itu mengatakan bahwa Soo pergi ke
Macao untuk urusan mendesak. Siapa yang punya urusan di Macao di tengah malam"
Semua sudah temp." "Kecuali kasino," kata Bourne. "Meja lima. Kam Pek. Situasi. terkendali
sepenuhnya" "Dalam kaitannya dengan pesanan tempat di pesawat," kata prang
320 Prancis, "berarti Soo tidak yakin apakah ia bisa menghubungi pembunuh bayaran
itu." 'Tapi ia yakin akan bisa menghubunginya. Apa pun pesan yang dibawanya lebih
mirip perintah yang harus dipatuhi." Jason memandang perwira Cina itu. "Masukkan
kami ke Beijing," katanya. "Bandara, penerbangan paling awal. Kau akan kaya
raya, kujamin." "Delta, kau siritingr seru d'Anjou. "Peking terlarang sama sekali!"
"Kenapa" Tidak ada yang mencari kita dan di sana ada orang Prancis, Inggris,
Italia, Amerika Tuhan tahu siapa lagi di seluruh kota. Kita berdua punya
? ?paspor yang bisa memasukkan kita."
"Pakai akal sehat!" pinta Echo. "Kita akan berada dalam jaring mereka. Dengan
apa yang kita ketahui, kalau kita terlihat dalam situasi yang paling samar
sekalipun kita akan langsung dihabisi! Ia akan muncul lagi di sini, kemungkinan
besar dalam beberapa hari."
"Aku tidak punya waktu beberapa hari," kata Bourne dingin. "Sudah dua kali aku
kehilangan ciptaanmu. Tidak akan terjadi ketiga kalinya."
"Menurutmu kau .bisa menangkapnya di Cina"Di mana lagi ia tidak menduga adanya
jebakan?" "Sinting! Kau memang sinting!"
"Aturlah," kata Jason pada perwira Cina itu. "Penerbangan pertama dari Kai-tak.
Begitu aku dapat tiketnya, akan kuberikan lima puluh ribu dolar Amerika kepada
siapa pun yang memberikan tiket itu padaku. Kirim orang yang bisa kaupercaya."
"Lima puluh ribu...?" Orang yang dipanggil Gamma itu menatap Bourne.
Langit di atas Peking suram, debu berlalu bersama angin dari dataran Cina Utara
menciptakan kantong-kantong kabut kekuningan dan cokelat suram dalam cahaya
matahari. Bandaranya, seperti semua bandara intemasional lain, luar biasa luas,
landasannya berupa garis-garis hitam yang saling silang, beberapa hingga lebih
dari .dua mil panjangnya. Kalau ada perbedaan antara bandara Peking dan bandara-
bandara Barat, perbedaan itu adalah terminal raksasa berbentuk kubah dengan
hotel di sampingnya dan berbagai jalan bebas hambatan menuju kompleks itu.
Sekalipun rancangannya kontemporer, ada kesan fungsional dan tidak ada sentuhan
yang menyegarkan mata. Bandara itu untuk digunakan dan dikagumi keefisienannya,
bukan kecantikannya. Bourne dan d'Anjou melewati cukai tanpa susah pay ah, dipermudah dengan bahasa
Cina mereka yang fa'sih. Para petugas sebenarnya ramah, hampir tidak
memperhatikan barang bawaan mereka yang sedikit, lebih penasaran dengan
kemampuan linguistik daripada barang milik mereka. Kepala petugas menerima saja
cerita mengenai dua sarjana Stadi Oriental
321 yang tengah berlibur, dengan perjalanan menyenangkan yang tidak ragu lagi akan
diceritakan di ruang-ruang kelas. Masing-masing menukar seribu dolar dengan
renminbi terjemahan harfiahnya Uang Rakyat dan masing-masing mendapat hampir ? ?dua ribu yuan sebagai gantinya. Dan Bourne menanggalkan kacamata yang dibetinya
di Washington dari temannya Cactus.
"Satu hal yang membingungkanku," kata si orang Prancis sementara mereka berdiri
di depan papan pengumuman elektronik yang memberitahukan kedatangan dan
keberangkatan pesawat hingga tiga jam mendatang. "Kenapa ia menggunakan
penerbangan komersial" Jelas, siapa pun yang membayarnya bisa menggunakan
pesawat pemerintah atau militer kapan saja."
"Seperti kita, pesawat itu harus ditandatangani dan dipertanggungjawabkan,"
jawab Jason. "Dan siapa pun orang itu harus menjaga jarak dengan pembunuh
bayaranmu. Ia harus datang sebagai wisatawan atau pengusaha, lalu proses
mengadakan kontak yang rumit dimulai. Sedikitnya itulah yang kuharapkan."
"Gila! Katakan, Delta, kalau kau berhasil menangkapnya dan ku-tekankan bahwa
?itu 'kalau' yang penting karena ia memiliki kemampuan luar biasa apa kau tahu
?cara mengeluarkannya?"
"Aku punya uang, uang Amerika, lembaran besar, lebih daripada yang bisa
kaubayangkan. Ada di keliman jasku."
'Itu sebabnya kita tadi mampir di Peninsula, bukan" Itu sebabnya kau menyuruhku
tidak check out kemarin. Uangmu ada di sana." "Benar. Di lemari besi hotel. Aku


The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mengeluarkannya." "Dengan sayap Pegasus?"
"Tidak, mungkin dengan penerbangan Pan Am sementara kita berdua membantu seorang
teman yang sakit parah. Bahkan, kurasa kau sudah memberiku ide."
"Kalau begitu aku juga gila!"
"Berjaga-jagalah di jendela," kata Bourne. "Masih ada dua belas menit sebelum
pesawat berikutnya dari Kai-tak dijadwalkan mendarat, tapi itu bisa berarti dua
menit atau dua belas jam. Aku mau beli hadiah untuk kita berdua."
"Gila," gumam si orang Prancis, terlalu lelah sehingga hanya menggeleng.
Jason kembali, mengajak d'Anjou ke sudut yang masih terlihat dari pintu
imigrasi, yang tetap ditutup kecuali bagi penumpang yang keluar dari bea cukai.
Bourne memasukkan tangan ke saku dalam jasnya dan mengeluarkan kotak panjang dan
tipis, dengan bungkus murahan khas toko-toko cendera mata di seluruh dunia. Ia
membuka tutupnya; di dalamnya, di atas beludru palsu, terdapat pisau pembuka
surat dari kuningan yang kecil dan panjang, dengan karakter Cina di sepanjang
322 gagangnya. Ujungnya sudah diasah tajam. "Ambillah," kata Jason. "Masukkan di
sabukmu." "Bagaimana keseimbangannya?" tanya Echo dari Medusa sambil menyelipkan pisau itu
ke balik celana panjangnya.
"Tidak buruk. Kurang-lebih di pertengahan ke arah pangkal gagang, dan
kuningannya memberi berat. Tusukannya pasti bagus."
"Ya, aku ingat," kata d'Anjou. "Salah satu peraturan pertama adalah tidak pemah
melemparkan pisau, tapi suatu senja kau melihat seorang Gurkha menghabisi
pembuka jalan dari jarak tiga meter tanpa menembak sekali pun atau mengambil
risiko bertarung dengan tangan kosong. Bayonet senapan mesinnya melayang di
udara seperti rudal, tepat mengenai dada si pembuka jalan itu. Keesokan paginya
kau memerintahkan orang Gurkha itu mengajari kita beberapa berhasil lebih baik ?daripada yang lain."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" "Cukup baik. Aku lebih ma daripada kalian semua,
dan bela diri apa pun yang bisa kupelajari tanpa hams menguras tenaga membuatku
tertarik. Selain itu aku juga terus berlatih. Kau melihatku; kau sering
mengomentarinya." Jason memandang si orang Prancis. "Lucu, tapi aku tidak ingat sedikit pun."
"Aku hanya berpikir... maafkan aku, Delta."
"Lupakan. Aku belajar untuk mempercayai hal-hal yang tidak kupahami."
Penantian berlanjut, mengingatkan Bourne akan penantiannya di Lo Wu saat kereta
demi kereta melintas melewati perbatasan, tidak ada yang muncul hingga seorang
pria tua pendek dan timpang berubah menjadi orang lain di kejauhan. Pesawat
pukul 11.30 terlambat lebih dari dua jam. Bea cukai akan makan waktu lima puluh
menit. "Itu dial" seru d'Anjou, menunjuk seseorang yang berjalan keluar dari pintu
imigrasi. 'Yang bertongkat itu?" tanya Jason. 'Tang timpang?"
"Pakaiannya yang lusuh tidak bisa menyembunyikan bahunya!" seru Echo. "Rambut
ubannya terlalu bam; ia kurang menyikatnya, dan kacamata hitamnya terlalu lebar.
Seperti kita, ia kelelahan. Kau benar. Panggilan ke Beijing harus dipatuhi, dan
ia ceroboh." "Karena 'istirahat merupakan senjata' dan ia mengabaikannya?"
'Ya. Kejadian di Kai-tak semalam pasti membuatnya lelah, tapi, yang lebih
penting lagi, ia harus mematuhi panggilan. Merde! Bayarannya pasti ratusan
ribu!" "Ia menuju hotel," kata Bourne. "Tetaplah di sini, akan kuikuti dia dari
?kejauhan. Kalau melihatmu, dia akan lari dan kita bisa kehilangan dia."
"Bisa saja ia melihatmw/"
"Kemungkinan tidak. Aku yang menciptakan permainan ini. Selain itu, aku akan ada
di belakangnya. Tetap di sini, aku akan kembali menjemputmu."
Sambil membawa tas, langkahnya menunjukkan kelelahan akibat jet lag, Jason
bergabung dalam antrean penumpang yang menuju hotel, pandangannya terpaku pada
pria berambut kelabu di depan. Dua kali mantan Commando Inggris itu berhenti dan
berbalik, dan dua kali, dengan gerakan singkat bahunya, Bourne juga berpaling
dan membungkuk, seakan-akan menyingkirkan serangga dari kakinya atau memperbaiki
tali tasnya, tubuh dan wajahnya tak terlihat. Antrean di meja registrasi semakin
panjang dan Jason berjarak delapan orang dari pembunuh itu di antrean kedua,
berusaha tidak tampak mencolok, terus membungkuk dan menendang tasnya ke depan.
Commando itu tiba di depan petugas wanita; ia menunjukkan surat-suratnya,
menandatangani formulir pen-daftaran, dan melangkah tertatih-tatih dengan
tongkat ke deretan lift-cokeiat di sebelah kanan. Enam menit kemudian Bourne
menghadapi petugas yang sama Ia menggunakan bahasa Mandarin.
"Ni neng bang-zhu wo ma" " katanya, meminta bantuan. "Ini perjalanan tiba-tiba
dan aku tidak punya tempat menginap. Hanya untuk semalam."
"Anda menguasai bahasa kami dengan sangat baik," kata petugas itu, matanya yang
berbentuk almond melebar senang. "Anda menghormati kami," tambahnya sopan.
"Kuharap akan jauh lebih baik lagi selama aku tinggal di sini. Ini perjalanan
studi." "Lebih baik lagi. Ada banyak peninggalan di Beijing, dan di tempat-tempat. lain,
tentu saja, tapi ini kota yang menawan. Anda belum memesan tempat?" .?"Sayangnya belum. Segalanya diatur pada menit terakhir, kalau kau mengerti
maksudku." "Karena aku menguasai dua bahasa, aku bisa mengatakan bahwa Anda
mengekspresikannya dengan benar dalam bahasa kami. Segalanya cepat-cepat. Coba
kulihat apa yang bisa kulakukan. Tentu saja, tidak akan mewah sekali."
"Aku tidak mampu mem bayar yang mewah," kata Jason malu-malu. 'Tapi aku punya
teman sekamar kami bisa berbagi ranjang, kalau perlu."
?"Dalam waktu sesingkat ini mungkin memang harus begitu." Jemari petugas itu
membalik-balik kartu arsip. "Ini," katanya. "Kamar single di belakang, lantai
dua. Kupikir eocok untuk anggaran "
?"Kami ambil," Bourne menyetujui. "Omong-omong, beberapa menit lalu aku melihat
seseorang di antrean ini yang aku yakin pemah kukenal. Ia sudah pergi sekarang,
tapi kupikir ia dosenku sewaktu aku belajar di Inggris. Ubanan, bertongkat... aku
yakin itu dia. Aku ingin meneleponnya."
"Oh ya, aku ingat." Petugas itu sekarang memisah-misahkan kartu registrasi
terbaru di depannya. "Namanya Wadsworth, Joseph Wadsworth. Ia tiba dengan
pesawat tiga-dua-lima. Tapi Anda mungkin keliru, Di daftar, pekerjaannya adalah
konsultan minyak lepas pantai dari Inggris."
"Kau benar, salah orang," kata Jason sambil menggeleng malu. Ia mengambil kunci
kamar. "Kita bisa menangkapnya! Sekarang!" Bourne mencengkeram lengan d'Anjou, menarik
si orang Prancis dari sudut terminal yang sudah kosong.
"Sekarang" Semudah itu" Secepat itu" Luar biasa!"
"Sebaliknya," kata Jason, sambil mengajak d'Anjou ke deretan pintu kaca ramai
yang merupakan pintu masuk hotel. "Ini masuk akal. Orangmu itu pikirannya sedang
terpaku pada banyak masalah sekarang. Ia tidak boleh terlihat. Ia tidak bisa
menelepon melalui operator, jadi ia akan tetap berada di kamarnya, menunggu
telepon untuknya yang memberikan instruksi padanya." Mereka melewati pintu-pintu
kaca itu, memandang sekitarnya, dan menuju sisi kiri meja panjang. Bourne
melanjutkan, berbicara dengan cepat. "Kai-tak tidak berhasil semalam, jadi ia
hams mempertimbangkan kemungkinan lain. Menurutnya, siapa pun yang menemukan
bahan peledak di bawah mobil itu berarti sudah melihat dan mengidentifikasi
dirinya yang memang benar. Ia harus mendesak kliennya datang seorang diri ke
?tempat pertemuan yang sudah ditentukan hingga ia bisa menghadapinya satu lawan
satu. Itu perlindungannya yang tertinggi." Mereka menemukan tangga dan naik.
"Dan pakaiannya," lanjut Delta dari Medusa, "ia akan menggantinya. la tidak bisa
tampil sebagaimana dirinya dulu dan ia tidak bisa tampil sebagaimana aaanya. Ia
harus menjadi orang lain." Mereka tiba di lantai tiga, dan Jason, tangan
memegang kenop pintu, berpaling pada d'Anjou. "Percayalah, Echo, bocahmu itu
terlibat. Otaknya bekerja cukup keras untuk menantang pemain catur Rusia."
"Si akademisi yang bicara atau orang yang pemah dipanggil Jason Bourne?"
"Bourne," sahut David Webb, pandangannya dingin, suaranya sedingin es. "Kalau
pernah begitu, sekaranglah saatnya."
Dengan tas tersandang melintang di bahunya, Jason perlahan-lahan membuka pintu
tangga, menggeser tabuhnya ke ambang pintu. Dua pria bersetelan garis-garis
berjalan di lorong ke arahnya sambil mengeluhkan tidak adanya layanan kamar;
aksennya Inggris. Mereka membuka pintu kamar dan masuk. Bourne menarik pintu
tangga dan mendorong d'Anjou; mereka berjalan inenyusuri lorong. Nomor kamarnya
ditulis dalam huruf Cina dan Inggris.
341, 339, 337 mereka ada di lorong sebelah kanan, kamarnya terletak di dinding ?kiri. Tiga pasangan India tiba-tiba muncul dari lift cokelat, yang wanita
mengenakan sari, yang pria mengenakan celana panjang ketat; mereka berpapasan
dengan Jason dan d'Anjou sambil terus bercakap-cakap, mencari-cari kamar mereka,
para suami jelas merasa jengkel karena harus membawa sendiri kopemya. 335, 333,
331 ?"Sudah cukup.1" teriak seorang wanita gendut mengenakan rol rambut sambil keluar
dari pintu di sebelah kanan, mengenakan jubah mandi. Gaun tidurnya terjulur ke
bawah, dua kali membelit kakinya sendiri. Ia menyentakkannya, menampilkan
sepasang kaki seperti badak. "Toilet tidak jalan dan kau bisa melupakan
teleponnya!" "Isabel, sudah kukatakan!" teriak seorang pria berpiama merah yang mengintip
dari pintu. "Itu karena jet lag. Tidurlah dan ingat bahwa ini bukan Short Hills!
Jangan pemilih. Perluas wawasanmu!"
"Karena aku tidak bisa menggunakan kamar mandi, aku tidak punya pilihan! Akan
kucari keparat bermata sipit dan akan kuomeli dia! Mana tangganya" Aku tidak mau
menggunakan lift sialan itu. Kalau lift itu bekerj% mungkin jalannya ke samping
menerobos dinding dan mendarat di atas tujuh empat tujuh!"
Wanita yang jengkel itu berpapasan dengan mereka menuju pintu darurat. Dua di
antara tiga pasangan India tadi menemui kesulitan dengan kuncinya, akhirnya
berhasil mengatasi pintu dengan tendangan yang diarahkan dengan baik, dan pria
berpiama merah membanting pintu kamar setelah berteriak pada istrinya, "Ini sama
seperti reuni di klub waktu itu! Kau benar-benar memalukan, Isabel!" 329, 327...
325. Ini kamarnya. Lorong sudah kosong. Mereka bisa mendengar musik Oriental
dari balik pintu. Radio dihidupkan, volumenya keras, dan harus diperkeras jika
telepon berdering pertama kali. Jason menarik d'Anjou mundur dan berbicara
pelan. "Aku tidak ingat Gurkha atau pembuka jalan mana pun " "Sebagian dirimu
?mehgingatnya, Delta," sela Echo. "Mungkin, tapi bukan itu intinya. Ini awal dari
ujung jalan. Kita tinggalkan tas di luar sini. Kutangani pintunya dan kau
menyerbu masuk. Siapkan pisaumu. Tapi kuminta kau mengerti satu hal, dan tidak
boleh ada kesalahan -jangan lemparkan pisaumu kecuali benar-benar terpaksa.
?Kalau kau terpaksa melemparnya, bidik kakinya. Tidak boleh di atas pinggang."
"Kau mempercayai akurasi seorang pria tua lebih daripada aku sendiri."
"Kuharap aku tidak perlu mengandalkannya. Pintu-pintu ini dibuat dari kayu lapis
yang kosong bagian tengahnya dan pembunuh bayaranmu sedang banyak pikiran. Ia
sedang memikirkan strategi, bukan tentang kita. Bagaimana kita bisa tahu ia ada
di sini, dan kalaupun kita tahu,
326 bagaimana kita bisa menyeberangi perbatasan dalam waktu sesingkat itu" Dan aku
menginginkarmyal Aku akan meringkusnya! Siap?"
"Siap sesiap-siapnya," kata si orang Prancis sambil menurunkan koper kecilnya
dan mencabut pembuka surat kuningan dari sabuknya. la tnemegang mata pisau pada
telapaknya, jemarinya terpentang, mencari-cari keseimbangan.
Bourne menurunkan tas dari bahunya ke lantai dan dengan diam-diam menempatkan
diri di depan Kamar 325. Ia memandang d'Anjou. Echo mengangguk, dan Jason
melompat ke pintu, kaki kirinya sebagai penyodok, menghantam ke bawah kunci.
Pintunya melesak masuk seperti diledakkan kayu hancur berkeping-keping, engsel
tercabik dari tempamya. Bourne menerjang masuk, berguling-guling di lantai,
pandangannya berputar ke segala arah.
"Arretez!" raung d'Anjou.
Seseorang masuk melalui pintu dalam pria ubanan itu, si pembunuh bayaran! Jason?melompat bangkit, mengempaskan diri ke buruannya, menyambar rambutnya,
menyentakkannya ke kiri, lalu ke kanan, menghantamkannya kembali ke ambang
pintu. Tiba-tiba si orang Prancis menjerit saat mata pisau kuningan pembuka
surat melesat di udara, menancap di dinding, tangkainya bergetar. Lemparannya
meleset, peringatan. "Delta! Jangan Bourne menghentikah semua gerakan, buruannya terjepit, tak berdaya di bawah
berat tubuh dan cengkeramannya. "Lihat!" jerit d'Anjou.
Jason perlahan-lahan mundur, lengannya kaku, menahan sosok di depannya. Ia
menatap wajah kurus dan keriput seorang pria yang sangat tua dengan rambut
ubanan yang menipis. 22 Marie berbaring di ranjang sempit menatap langit-langit. Berkas cahaya matahari
tengah hari menerobos melalui jendela yang tak bertirai, memenuhi kamar kecil
itu dengan cahaya terang benderang dan panas yang berlebihan. Keringat membasahi
wajahnya, dan blusnya yang robek menempel pada kulitnya yang lembap. Kakinya
nyeri akibat kegilaan pagi hari yang dimulai dengan berjalan kaki menyusuri
jalan pantai yang belum selesai dibangun ke pantai berbatu-batu di
bawahnya tindakan yang bodoh, tapi tadi hanya itulah tindakan yang bisa
?dilakukannya; ia sudah hampir gila.
Suara jalanan naik ke kamarnya, keributan aneh dari suara-suara melengking,
jeritan tiba-tiba, bel sepeda, serta raungan klakson truk dan bus umum. Rasanya
seperti bagian Hong Kong yang ramai, sibuk, tergesa-gesa telah dicabik dari
pulau dan diletakkan jauh-jauh, tempat sungai yang lebar, padang tanpa tepi,
serta pegunungan di kejauhan menggantikan Pelabuhan Victoria, dan deretan gedung
tinggi terbuat dari kaca dan batu. Boieh dikata transplantasi memang sudah
terjadi, pikirnya. Kota miniatur Tuen Mun merupakan salah satu fenomena
berorientasi ruang yang tumbuh di utara Kowloon, di Wilayah Baru. Setahun
sebelumnya tempat itu hanya dataran sungai yang busuk, tahun berikutnya dengan
cepat berkembang menjadi metropolis dengan jalan-jalan beraspal dan pabrik-
pabrik, distrik belanja, dan gedung-gedung apartemen yang merebak, memanggil
orang-orang dari Selatan dengan janji perumahan dan ribuan lowongan pekerjaan,
dan mereka yang memenuhi panggilan membawa histeria perdagangan Hong Kong yang
tak diragukan lagi. Tanpa itu mereka akan dipenuhi kegelisahan hebat; inilah
keturunan penduduk Guangzhou provinsi Kan ton bukan Shanghai yang telah lelah
? ?menghadapi dunia. Marie terjaga saat cahaya pertama memancar, tidurnya dipenuhi mimpi buruk dan
?tahu bahwa lagi-lagi ia harus menjalani penantian yang panjang hingga Catherine
meneleponnya. Staples menelepon larut malam semalam, menyeretaya dari tidur yang
ditimbulkan kelelahan total, hanya
untuk memberitahunya secara membingungkan bahwa ada beberapa kejadian tidak
biasa dan mungkin membawa berita baik. Ia menemui. seseorang yang tertarik pada
masalahnya, orang hebat yang bisa membantu. Marie harus tetap di apartemen, di
dekat telepon, seandainya ada perkembangan bam. Karena Catherine memerintahnya
untuk tidak menggunakan nama atau memberitahukan hal-hal spesifik melalui
telepon, Marie tidak mempertanyakan singkatnya telepon itu. "Akan kutelepon kau
besok pagi-pagi sekali, Sayang." Staples menutup telepon dengan tiba-tiba.
Hingga pukul 08.30 ia belum menelepon, juga sampai pukul 09.00, dan pada pukul
09.36 Marie tidak tahan lagi. Ia beralasan bahwa nama tidak diperlukan, masing-
masing mengenai suara yang lain, dan Catherine hams memahami bahwa istri David
Webb layak mendapatkan sesuatu "pagi-pagi sekali". Marie sudah menghubungi
apartemen Staples di Hong Kong; tidak ada jawaban, jadi ia memutar lagi nomomya
untuk memastikan ia memutar angka-angka yang benar. Tidak ada jawaban. Karena
frustrasi, tanpa peduli ia menghubungi Konsulat
"Foreign Service Officer Staples, please. Aku temannya dari Dewan Keuangan di
Ottawa. Aku ingin mengejutkan dirinya."
"Sambungannya bagus sekali, honey"
"Aku tidak di Ottawa, aku di sini," kata Marie sambil membayangkan wajah
resepsionis yang banyak bicara itu.
"Maaf, Say, Mrs. Staples sedang tidak ada di tempat, tanpa instruksi. Sejujumya
saja, Komisaris Tinggi juga sedang mencarinya. Tinggalkan saja nomor
teleponmu "?Marie mengembalikan gagang telepon, kepanikan meningkat. Sekarang sudah hampir
pukul 10.00, padahal Catherine orang yang bangun pagi-pagi sekali. "Pagi-pagi
sekali" bisa jadi kapan pun antara pukul 07.30 hingga 09.30, kemungkinan di
antaranya, tapi bukan pukul sepuluh, terutama mengingat situasinya. Dan dua
belas menit kemudian telepon berdering. Itulah awal kepanikan yang jauh lebih
mencolok. "Marie?" "Catherine, kau baik-baik saja?" "Ya, tentu saja"
"Katamu 'pagi-pagi sekali'! Kenapa kau tidak menelepon sebelumnya" Aku sudah
hampir gila! Kau bisa bicara?" "Ya, aku di telepon umum "
?"Ada apa" Apa yang terjadil Siapa pria yang kautemui?"
Sejenak kesunyian timbul di sambungan dari Hong Kong. Rasanya aneh dan Marie
tidak tahu alasannya. "Kuminta kau tetap tenang, Sayang," kata Staples. "Aku
tidak menelepon sebelumnya karena kau sangat membutuhkan istirahat. Aku mungkin
sudah mendapatkan jawaban yang kauinginkan, jawaban yang kaubutuhkan. Situasinya
tidak seburuk dugaanmu, dan kau harus tetap tenang."
"Terkutuk, aku memang tenang, sedikitnya aku cukup logis! Apa maksudmu?"


The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa memberitahumu bahwa suamimu masih hidup."
"Dan aku bisa memberitahumu bahwa ia sangat pandai dalam bidangnya yang dulu
?dilakukannya. Kau tidak memberitahuku apa-apa!"
"Aku akan pergi menemuimu beberapa menit lagi. Lalu lintasnya payah, seperti
biasa, dan lebih parah lagi karena ada pengamanan delegasi Cina-Inggris, bikin
macet jalanan dan terowongan, tapi seharusnya tidak lebih dari satu setengah
jam, mungkin dua." "Catherine, aku ingin jawaban!"
"Kubawakan jawabannya, sedikitnya beberapa di antaranya. Istirahatlah, Marie,
cobalah untuk santai. Segalanya akan baik-baik saja. Aku akan segera tiba di
sana." "Pria ini," tanya istri David Webb, memohon. "Ia akan datang b'ersamamu?"
"Tidak, aku sendirian, tidak ada yang bersamaku. Aku ingin bicara. Kau akan
menemuinya nanti." "Baiklah."
Ada apa dengan nada suara Staples" pikir Marie, penasaran, sesudah menutup
telepon. Atau karena Catherine tidak mengatakan apa-apa padanya padahal mengakui
dirinya bisa berbicara dengan bebas menggunakan telepon umum" Staples yang
dikenalnya akan berusaha menyingkirkan ketakutan temannya yang punya masalah,
bahwa ia memiliki fakta mutlak yang bisa memberikan penghiburan, mungkin
sepotong informasi vital, kalau gambaran selengkapnya masih terlalu rumit.
Sesuatu. Istri David Webb layak mendapatkan sesuatu! Sebaliknya yang didengarnya
hanyalah kata-kata diplomat, ilusi yang tak membicarakan inti kenyataannya. Ada
yang tidak beres, tapi ia tidak mampu memahaminya. Catherine sudah
melindunginya, mengambil risiko luar biasa baginya baik secara profesional,
dengan tidak meminta petunjuk dari konsulatnya, dan secara pribadi, menghadapi
bahaya fisik yang hebat. Marie tahu ia seharusnya berterima kasih, amat sangat,
tapi ia malah merasakan keragu-raguan yang semakin besar. Katakan lagi,
Catherine, jeritnya dalam diam, katakan semuanya akan baik-baik saja! Aku tidak
bisa berpikir lagi. Aku tidak bisa berpikir di sini! Aku harus keluar... aku harus
menghirup udara segar! Ia terhuyung-huyung ke sana kemari mengambil pakaian yang mereka beli sewaktu
tiba di Tuen Muh semalam, pakaian-pakaian yang dibeli sesudah Staples membawanya
menemui dokter yang merawat kakinya, menempelkan perban berbantalan, memberinya
selop rumah sakit, dan menyuruhnya membeli sepatu sneaker bersol tebal kalau ia
harus melakukan perjalanan jauh selama beberapa hari mendatang. Sebenarnya,
Catherine yang memilih pakaian-pakaian itu sementara Marie menunggu
330 di mobil, dan mengingat ketegangan yang dialami Staples, pilihannya mi
fungsional sekaligus menarik. Sehelai rok hijau muda dari katun dilengkapi bius
katun putih dan tas tangan putih kecil. Juga celana panjang hijau ma celana ?pendek tidak pantas di sini dan bius santai lainnya. Semuanya barang tiruan
?yang bagus, labelnya dieja dengan benar.
'Takaian-pakaian ini bagus, Catherine. Terima kasih."
"Sesuai dengan rambutmu," kata Staples. "Bukannya orang di Tuen Mun akan
memperhatikan kuminta kau tetap diam di apartemen tapi kita harus pergi dari
? ?sini suatu saat nanti. Selain itu, kalau seandainya aku terjebak di kantor dan
ada yang kaubutuhkan, aku sudah memasukkan sejumlah uang ke dalam tas
tangannya." "Kukira aku tidak boleh meninggalkan apartemen, dan kita akan membeli beberapa
barang di pasar." "Seperti kau, aku tidak tahu apa yang terjadi di Hong Kong. Lin bisa murka
hingga menggali beberapa undang-undang kolonial tua dan menerapkan tahanan rumah
padaku.... Ada toko sepatu di Blossom Soon Street. Kau terpaksa masuk ke sana dan
mencoba sendiri sepatunya. Tentu saja, aku ikut bersamamu."
Beberapa saat berlalu dan Marie berbicara. "Catherine, bagaimana kau bisa tahu
begitu banyak mengenai tempat ini" Aku belum melihat orang Barat Iain di
jalanan. Apartemen siapa ini?"
'Teman," kata Staples tanpa merinci lebih jauh. "Jarang sekali digunakan, jadi
aku sering kemari untuk melarikan diri dari kesibukan." Catherine tidak
mengatakan apa-apa lagi; masalah itu tidak akan dibahas lagi. Bahkan sewaktu
mereka berbicara hampir sepanjang malam, semua usaha Marie gagal untuk memancing
lebih banyak informasi dari Staples. Ia tidak mau mendiskusikan topik ini
Marie mengenakan celana panjang dan blusnya, lalu bersusah payah mengenakan
sneaker yang terlalu besar itu. Dengan hati-hati ia menuruni tangga ke jalanan
yang sibuk, seketika menyadari pandangan tertarik ke arahnya, bertanya-tanya
dalam hati apakah sebaiknya ia berbalik dan masuk kembali. Ia tidak bisa
melakukannya; ia telah menemukan kebebasan dari sesaknya apartemen kecil itu dan
rasanya menyegarkan. Ia melangkah perlahan-lahan, kesakitan, menyusuri trotoar,
terpesona oleh wama-warna, keributan, dan celoteh tanpa henti di sekitarnya:
Sebagaimana di Hong Kong, papan-papan iklan mencolok terdapat di mana-mana di
atas gedung-gedung, dari orang-orang melakukan tawar-menawar di kios-kios dan di
ambang pintu toko. Seolah-olah sepotong koloni telah dicabut dan ditanamkan di
daerah perbatasan yang luas ini.
Ia menemukan jalan yang belum selesai dibangun di ujung jalan keciL pekerjaannya
tampak ditinggalkan untuk sementara, mesin perata tidak digunakan dan sudah ?karatan berdiri di perbatasannya. Dua papan tanda dalam bahasa Cina ada di
?kedua sisi jalan, di puncak tanjakan.
331 Dengan hati-hati, ia melangkah menyusuri turunan tajam ke pantai yang kosong dan
duduk di sekelompok batu karang; menit-menit kebebasan membawanya pada menit-
menit kedamaian yang berharga. Ia memandang laut dan mengawasi perahu-perahu
beriayar dari dermaga-dermaga Tuen Mun, juga perahu-perahu yang menuju dermaga
dari Republik Rakyat Cina. Dari yang bisa dilihatnya, yang pertama merupakan
perahu nelayan, jaringnya terjuntai di buritan dan sisi kapal, sementara yang
dari Cina Daratan sebagian besar kapal kargo kecil, geladaknya penuh peti berisi
barang. Juga ada kapal patroli angkatan laut yang kelabu ramping, orang-orang
berseragam berdiri tak bergerak di sampingnya, mengamati melalui teropong.
Sesekali kapal angkatan laut itu merapat pada sebuah kapal nelayan, memicu
gerakan-gerakan liar para nelayannya. Mereka mendapat jawaban kaku sementara
kapal patroli yang kuat itu perlahan-lahan berputar dan berlalu. Semua ini hanya
permainan, pikir Marie, Utara dengan diam-diam tengah menanamkan kekuasaan
totalnya sementara Selatan dibiarkan memprotes adanya gangguan pada lahan
memancingnya. Utara memiliki kekuatan baja yang keras dan rantai komando yang
disiplin, Selatan memiliki jaring yang lunak dan ketekunan. Tidak ada yang
menjadi pemenang, hanya dua bersaudara yang berlawanan, Kebosanan dan
Kegelisahan. "Jing-cha!" teriak seorang pria jauh di belakang. "Shell" teriak pria kedua. "Ni
zai zher gan shemma" " Marie berbalik Dua pria di jalan itu berlari; melesat ke
arahnya, jeritan-jeritan mereka diarahkan kepadanya, memberi perintah. Dengan
kikuk ia , bangkit berdiri, memantapkan diri pada karang sementara mereka
berlari mendekatinya. Keduanya mengenakan semacam pakaian paramiliter, dan saat
memandang mereka, Marie menyadari mereka masih muda akhir usia remaja, paling
?tua dua puluh tahun. "Bu xingl" salak bocah yang lebih tinggi, sambil berpaling memandang ke bukit,
dan memberi isyarat pada rekannya untuk menangkap Marie. Apa pun itu, mereka
harus melakukannya dengan cepat. Bocah kedua memuntir lengan Marie dari
belakang. "Hentikan!" seru Marie sambil meronta. "Siapa kalian?"' "Lady bicara
Inggris," kata pemuda pertama. "Aku bicara Inggris," tambahnya dengan sok. "Aku
bekerja di toko perhiasan di Kowloon." Sekali lagi ia melirik jalan yang belum
selesai. "Kalau begitu suruh temanmu rrielepaskan aku!" "Lady tidak menyuruhku
melakukan apa-apa. Aku yang menyuruh lady." Remaja itu mendekat, pandangannya
terpaku pada tonjolan payudara Marie di balik blusnya. "Ini jalan terlarang,
daerah pantai terlarang. Lady tidak melihat papan pengumumanya?"
"Aku tidak bisa bahasa Cina. Maaf, aku akan pergi. Suruh temanmu melepaskan aku." IHba-tiba Marie merasakan
tubuh pemuda di belakangnya mendesaknya. "Hentikan!" teriaknya, mendengar tawa
pelan di telinganya, merasakan kehangatan napas di lehemya.
"Apa lady mau menemui perahu berisi penjahat dari Republik Rakyat Cina" Apa ia
memberi isyarat pada orang-orang di perairan?" Pemuda Cina yang lebih jangkung
mengangkat kedua tangannya ke bius Marie, jemarinya pada kancing teratas. "Apa
ia menyembunyikan radio, mungkin, alat pemberi isyarat" Sudah menjadi tugas kami
untuk mempelajari bat-hal itu. Polisi mengharapkan hal itu dari kami."
"Terkutuk, lepaskan aku!" Marie meronta hebat, menendang-nendang. Pria di
belakangnya menarik kakinya sementara bocah yang lebih jangkung menyambar
kakinya, menjepitaya dengan kakinya sendiri. Marie tidak bisa bergerak; tubuhnya
terentang kencang diagonal di pantai berbatu-batu.itu, dicengkeram erat-erat.
Orang Cina pertama mencabik blusnya, lalu branya, menangkup payudaranya dengan
kedua tangan. Marie menjerit dan menendang dan menjerit lagi, hingga ia ditampar
dan dua jari menjepit lehemya, memutus suara kecuali batuk-batuk tertahan. Mimpi
buruk di Zurich kembali menyerangnya perkosaan dan kematian di Guisan Quai.?Mereka membawanya ke sepetak rerumputan tinggi, bocah di belakangnya membekap
mulutnyd, lalu bergegas menggantinya dengan lengan kanan, memutus aliran udara
dan jeritan apa pun yang mungkin bisa diteriakkannya, sambil menyentaknya ke
depan. Ia dilempar ke tanah, salah seorang penyerangnya menutupi wajahnya dengan
perat yang telanjang sementara yang lain mulai menanggalkan celananya dan
menyodokkan tangan ke sela kakinya. Seperti di Zurich, dan bukannya menggeliat-
geliat dalam kegelapan Swiss yang dingin, sekarang ia merasakan panas yang basah
di daerah Timur; bukannya Limmat, tapi sungai yang lain, jauh lebih lebar, jauh
lebih sepi; bukannya seekor hewan, sekarang ada dua. Ia bisa merasakan tubuh
Cina jangkung di atasnya, menyodok-nyodok dengan panik, murka karena tidak mampu
memasukinya, perlawanan Marie menghalanginya. Sejenak bocah di atas wajahnya
mengulurkan tangan ke selangkangannya sesaat ada udara dan dunia menjadi gila!
?Marie membenamkan giginya ke daging di atasnya, memicu semburan darah, merasakan
daging yang memuakkan di mulutnya.
Terdengar jeritan; lengannya bebas. Ia menendang pemuda Oriental itu berguling
menjauh sambil memegangi perutnya; Marie menghantamkan lututnya ke organ terbuka
di atas pinggangnya, lalu mencakar wajah bermata liar dan bercucuran keringat si
pria yang lebih jangkung, sambil menjerit-jerit melolong, memohon, berteriak
?seperti yang belum pemah dilakukannya seumur hidup. Sambil memegangi buah zakar
di balik celana pendeknya, bocah yang murka itu menerkamnya, tapi perkosaan
bukan lagi menjadi tujuan, ia hanya ingin menyuruh Marie diam lalu Marie
?mendengar suara-suara lain di kejauhan, suara-suara penuh semangat
yang mendekat, dan ia tahu ia harus berteriak minta toiong untuk terakhir
kalinya. Dalam keputusasaan, ia membenamkan kuku-kukunya ke wajah yang mengemyit
di atasnya, sejenak membebaskan mulutnya dari cengkeraman. "Di sini! Di bawah
sini! Sebelah sini!"
Tiba-tiba orang-orang mengelilinginya; ia bisa mendengar tamparan, tendangan,
dan teriakan kemarahan, tapi tak satu pun diarahkan padanya. Lalu kegelapan
datang, pikiran terakhimya hanya sebagian mengenai dirinya sendiri. David!
David, demi Tuhan, di mana kau" Tetap hidup, Sayang! Jangan biarkan mereka
membuatmu gila lagi. Di atas semua itu, jangan biarkan itu terjadi! Mereka
menginginkan aku gila dan aku menolak! Kenapa mereka berbuat begini kepada kita"
Oh, Tuhan, kenapa" Ia terjaga di ranjang lipat, di kamar kecil yang tak berjendela, seorang wanita
Cina yang masih muda mengusap keningnya dengan kain yang dingin dan harum. "Di
mana...?" bisik Marie. "Di mana ini" Di mana aku?"
Gadis itu tersenyum manis dan mengangkat bahu, mengangguk ke arah seorang pria
di sisi lain ranjang, orang Cina. Marie memperkirakan usianya tiga puluhan,
mengenakan pakaian tropis, guayabera putih bukannya kemeja. "Izinkan aku
memperkenalkan diri," kata pria itu dalam bahasa Inggris beraksen tapi jelas.
"Namaku Jitai, dan aku bekerja di Hang Chow Bank cabang Tuen Mun. Kau berada di
kamar belakang pabrik milik teman dan klienku, Mr. Chang. Mereka membawamu
kemari dan memanggilku. Kau diserang dua bajingan dari Di-di Jing Cha, yang bisa
diterjemahkan sebagai Angkatan Muda Pembantu Polisi. Itu salah satu program
sosial bertujuan baik yang memiliki banyak keuntungan, tapi sesekali juga ada
apel-apel yang sangat busuk, seperti kata kalian orang Amerika." "Kenapa kau
mengira aku orang Amerika?"
"Cara bicaramu. Sewaktu pingsan kau bicara tentang seseorang bemama David. Teman
yang kausayangi, tidak ragu lagi. Kau ingin menemukannya."
"Apa lagi yang kukatakan?"
'Tidak ada, sungguh. Kau tidak begitu jelas."
"Aku tidak kenal orang bemama David," kata Marie tegas. 'Tidak dengan cara itu.
Pasti salah satu igauanku dari kelas satu."
'Tidak penting. Kesejahteraanmu yang penting. Kami merasa sangat malu dan sedih
atas apa yang telah terjadi."
"Di mana kedua bajingan itu, keparat-keparat itu?"
"Mereka ditangkap dan akan dihukum."
"Kuharap mereka menghabiskan sepuluh tahun di penjara."
Pria Cina itu mengerutkan kening. "Untuk itu berarti melibatkan polisi keluhan ?resmi, dengar pendapat di depan hakim, begitu banyak urusan." Marie menatap
bankir itu. "Sekarang, kalau kau mau, aku akan
334 menemanimu ke kantor polisi dan bertindak sebagai penerjemah, tapi kami
berpendapat sebaiknya kami mendengar apa yang kauinginkan dalam hal ini. Kau
sudah mengalami banyak hal dan kau sendirian di Tuen Mun ini untuk alasan yang
?hanya diketahui" dirimu sendiri."
Tidak, Mr. Jitai," kata Marie pelan. "Aku lebih memilih tidak mengajukan
tuntutan hukum. Aku baik-baik saja, dan pembalasan bukan prioritas yang tinggi
bagiku." "Bagi kami begitu, Madame."
"Apa maksudmu?"
'Tara penyerangmu akan membawa aib mereka ke ranjang pengantin, di mana mereka
akan kesulitan melakukan tugas yang diharapkan." "Aku mengerti. Mereka masih
muda " ?"Pagi ini, seperti yang kami ketahui, itu bukan pelanggaran pertama mereka.
Mereka sampah, dan hams diberi pelajaran."
"Pagi ini" Oh Tuhan, pukul berapa sekarang" Sudah berapa lama aku berada di
sini?" Bankir itu memandang arlojinya. "Hampir satu jam."
"Aku harus kembali ke apartemen segera. Penting."
"Para wanita ingin memperbaiki pakaianmu. Mereka penjahit yang luar biasa dan
pekerjaan itu tidak akan makan waktu lama. Tapi mereka percaya kau sebaiknya
tidak berdiri tanpa mengenakan pakaian.
"Aku tidak punya waktu. Aku hams kembali sekarang. Oh Tuhan! Aku tidak tahu di
mana tempatnya dan aku tidak tahu alamatnya!"
"Kami tahu gedungnya, Madame. Wanita kulit putih yang jangkung dan menarik,
seorang diri di Tuen Mun; tentu menarik perhatian. Beritanya menyebar. Kami akan
mengantarmu ke sana sekarang juga." Bankir itu berpaling dan berbicara dalam
bahasa Cina yang cepat, pada pintu yang setengah terbuka di belakangnya,
sementara Marie duduk tegak. Ia tiba-tiba menyadari kerumunan orang yang
mengintip ke dalam. Ia berdiri di atas kakinya yang sakit dan sejenak diam, ? ?bergoyang-goyang, tapi perlahan-lahan menemukan keseimbangannya, sambil
memegangi blusnya yang tercabik. -
Pintu ditarik ke belakang dan dua wanita tua masuk, masing-masing membawa
pakaian sutra berwarna cerah. Yang pertama mirip kimono, yang dengan lembut
diturunkan melalui kepalanya hingga menutupi blusnya yang robek dan sebagian
besar celana panjang hijaunya yang kotor. Yang kedua ikat pinggang lebar dan
panjang, yang dililitkan di pinggangnya dan diikat, juga dengan lembut.
Sekalipun tegang, Marie melihat bahwa setiap potong bahan itu sangat bagus.
"Mari, Madame," kata bankir itu sambil menyentuh sikunya. "Aku akan
mengantarmu." Mereka berjalan ke dalam pabrik, Marie mengangguk dan mencoba
tersenyum sementara sejumlah besar pria dan wanita Cina membungkuk kepadanya,
mata mereka yang hitam dipenuhi kesedihan.
335 Ia telah kembali ke apartemen kecilnya, menanggalkan ikat pinggang lebar dan
bajunya, lalu membaringkan diri di ranjang sambil berusaha berpikir jernih
sementara tidak ada hal masuk akal yang bisa ditemukannya. Ia membenamkan wajah
ke bantal, berusaha menyingkirkan bayangan mengerikan kejadian pagi tadi dari
kepalanya, tapi keburukan itu tidak mudah diusir. Sebaliknya, bayangan tersebut
membuatnya berkeringat, dan semakin rapat ia memejamkan mata, semakin brutal
bayangan yang melinfas, saling silang dengan kenangan mengerikan di Guisan Quai
Zurich, sewaktu seseorang bemama Jason Bourne menyelamatkan nyawanya.
Ia menahan jeritan dan melompat turun dari ranjang, berdiri gemetaran, Ia
berjalan ke dapur mungil dan membuka keran sambil meraih gelas. Aliran airnya
lemah dan ia menatapnya dengan kosong sementara gelas terisi, pikirannya tertuju
ke tempat Iain. Ada kalanya orang harus memaksa diri berhenti berpikir Tuhan tahu aku
?melakukannya lebih sering daripada yang seharusnya dilakukan seorang psikiater
yang cukup terhormat.... Situasi menenggelamkdn kita... kita harus menyusun
tindakan. Morris Panov, teman Jason Bourne.
Ia menutup keran, menenggak air yang suam-suam kuku, dan kembali ke ruang sempit
yang berfungsi sebagai kamar tidur, ruang duduk, dan ruang mondar-mandir. Ia
berdiri di ambang pintu dan memandang sekitarnya, tahu mengapa tempat
perltndungannya ini begitu menakutkan. Ruangan ini mirip sel, seperti penjara
yang terpencil. Lebih buruk lagi, tempat ini merupakan bentuk nyata ruang
tahanan tunggal. Ia sekali lagi terisolir bersama pikirannya, kengeriannya. Ia


The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan ke jendela seperti yang mungkin dilakukan narapidana, dan mengintip ke
dunia luar. Ia melihat perpanjangan selnya; ia pun tidak merasa bebas di jalanan
yang padat di bawah. Tempat itu bukan dunia yang dikenamya, dan tempat itu tidak
menyambutnya. Terlepas dari kegilaan mesum di pantai tadi pagi, ia penyusup yang
tidak bisa memahami maupun dipahami. la sendirian, dan kesendirian itu
membuatnya gila. Dengan kosong Marie menatap jalan. Man" Itu dia! Catherine! Ia berdiri bersama
seorang pria di dekat mobil kelabu, kepala mereka berpaling mengawasi tiga pria
lainnya sepuluh meter di belakang mereka, di dekat mobil kedua. Kelima orang itu
tampak mencolok, karena mereka sama sekali tidak minp orang-orang lain di jalan.
Mereka orang Barat di lautan orang Cina, orang asing di tempat yang tak dikenal.
Mereka tampak tegang, ada yang mereka prihatinkan, sambil terus mengangguk-
angguk dan memandang ke segala arah, terutama ke seberang jalan. Ke gedung
apartemen. Tiga 'pria itu berambut pendek gaya militer... Marinir. Manmr Amerika!?Teman Catherine, orang sipil kalau dilihat dart rambutnya, berbicara dengan
cepat, jari telunjuknya menusuk-nusuk udara... Marie mengenalnya! Ia orang dari
Kementerian Luar Negeri, yang datang
336 menemui mereka di Maine! Menteri muda dengan mata seperti ikan mati, yang terus-
menerus menggosok pelipisnya dan hampir tidak memprotes sewaktu David mengatakan
ia tidak mempercayai dirinya. McAllister! Ia orang yang katanya ditemui
Catherine. Tiba-tiba potongan teka-teki abstrak dan menakutkan itu jatuh ke tempataya saat
Marie mengawasi adegan di bawah. Kedua marinir di mobil kedua menyeberangi jalan
dan berpisah. Yang satu lagi berdiri bersama Catherine dan bercakap-cakap
sejenak dengan McAllister, lalu berlari ke kanan, sambil mencabut radio genggam
kecil dari sakunya. Staples berbicara dengan menteri muda tersebut dan memandang
sekilas ke gedung apartemen. Marie menjauhi jendela.
Aku akan sendirian, tidak ada yang bersamaku.
Baiklah. Ini jebakan! Catherine Staples sudah dibujuk. Ia bukan teman; ia musuh! Marie
tahu ia harus melarikan diri. Demi Tuhan, pergi! Ia menyambar tas tangan putih
berisi uang, dan selama sepersekian detik menatap pakaian surra dari pabrik. Ia
meraihnya dan berlari keluar dari apartemen.
Ada dua lorong, yang satu membentang selebar gedung di bagian depan dengan
tangga ke kanan menuju jalan, lorong yang lain menyilang lorong pertama
membentuk huruf T terbalik, dan menuju pintu di bagian belakang. Pintu ke tangga
kedua yang digunakan untuk membawa sampah ke tong di lorong belakang. Catherine
sambil lalu memberitahukan hal itu sewaktu mereka tiba, menjelaskan bahwa ada
undang-undang yang melarang sampah di jalan, yang merupakan jalan raya utama
Tuen Mun. Marie berlari menyusuri lorong silangan itu ke pintu belakang dan
membukanya. Ia tersentak, tiba-tiba berhadapan dengan pria tua bungkuk yang
membawa sapu jerami. Pria itu menyipit sejenak, lalu menggeleng, ekspresinya
memancarkan rasa penasaran yang besar. Marie keluar ke tikungan tangga yang
gelap sementara orang Cina itu melangkah masuk; Marie menahan pintu agar terbuka
sedikit, menunggu Staples muncul dari tangga depan. Saat menemukan apartemen
kosong, Catherine akan bergegas kembali ke tangga untuk secepatnya turun ke
jalan menemui McAllister dan kontingen Marinir, dan Marie bisa menyelinap
kembali ke apartemen dan mengambil pakaian-pakaian yang dibelikan Staples
untuknya. Dalam kepanikan ia hanya sekilas memikirkan pakaian-pakaian itu,
justru menyambar pakaian sutra, tidak berani kehilangan detik-detik yang
berharga dengan mengaduk-adok lemari pakaian tempat Catherine menggantungnya,
menyelipkannya di'antara pakaian-pakaian lain. Marie memikirkan pakaian-pakaian
itu sekarang. Ia tidak bisa berjalan, apalagi berlari di jalanan dengan bius
robek dan celana panjang kotor. Ada yang tidak betes. Pak tua itu! Ia hanya
berdiri di sana menatap eelah di ambang pintu
"Pergi!" bisik Marie.
Suara langkah kaki. Detak sepatu berhak tinggi yang berjalan cepat menaiki
tangga logam di bagian depan gedung. Kalau yang datang Staples, ia akan melewati
lorong yang menyilang itu dalam perjalanan ke apartemennya.
"Deng yi deng!" kata pria Cina tua itu, masih berdiri tak bergerak memegangi
sapu, masih menatapnya. Marie merapatkan pintu, mengawasi dari celah selebar
beberapa milimeter. Staples muncul, melirik sekilas, penasaran dengan orang tua itu, rupanya
mendengar kata-katanya barusan yang tajam melengking dan marah. Tanpa mengurangi
kecepatan langkahnya ia menyusuri lorong, tujuannya hanya mencapai apartemen.
Marie menunggu; debar di dadanya seperti menggema di seluruh lorong tangga yang
gelap. Lalu ia mendengamya, permohonan yang diteriakkan dengan histeris. "Tidak!
Marie! Marie, di mana kau?" Suara langkah kaki itu sekarang berdebum-debum,
melesat di atas semen. Catherine berbelok di tikungan dan berlari ke orang Cina
tua itu dan pintu-rke arahnya. "Marie, ini tidak seperti yang k&upikirkan! Demi
Tuhan, berhenti7" Marie Webb berputar dan berlari menuruni tangga yang gelap. Tiba-tiba, seberkas
cahaya matahari yang terang menyerobot masuk, dan sama seperti kemunculannya
yang tiba-tiba, cahaya itu menghilang. Pintu lantai dasar tiga tingkat di
bawahnya dibuka; sosok bersetelan gelap masuk dengan sigap, marinir yang
menempati posnya. Pria itu berlari menaiki tangga Marie berjongkok di tikungan
tangga kedua. Marinir itu tiba di puncak tangga, hendak berbelok, memantapkan
diri pada pagar. Marie menerjang keluar, tangannya tangan yang menggenggam ?pakaian surra menghantam wajah prajurit yang tertegun itu, membuatnya
?kehilangan keseimbangan; Marie menghantamkan bahunya ke dada marinir itu,
menjatuhkannya berguling-guling di tangga. Marie melewati tubuh marinir yang
tergeletak di tangga saat mendengar jeritan dari atas. "Marie! Marie! Aku tahu
kau di sana! Demi Tuhan, dengarkan aku!"
Marie menerjang keluar, dan mimpi buruk lain memulai alurnya yang mengerikan,
dimainkan dalam cahaya matahari yang terang benderang di Tuen Mun. Berlari-lari
melewati jalan yang saling berhubungan di belakang deretan gedung apartemen,
kakinya sekarang mengucurkan darah di balik sneaker-nyn, dan Marie mengenakan
pakaian seperti kimono itu melalui kepalanya lalu berhenti di sederetan tong
sampah; tempat ia menanggalkan celana panjang hijau dan membuangnya ke tong
sampah terdekat. Ia melilitkan ikat pinggang lebar di kepalanya, menutupi
rambutnya, dan berlari ke lorong berikut yang menuju jalan utama. Ia tiba di
sana dan beberapa detik kemudian berjalan di kerumunan orang yang mirip sepotong
Hong Kong di perbatasan baru koloni itu. Ia menyeberangi jalan.
"Di sana!" teriak seorang pria. "Wanita jangkung itu!"
Pengejaran dimulai lagi, tapi tiba-tiba, tanpa peringatan, pengejaran hu
berbeda. Seorang pria berlari di trotoar memburunya, tiba-tiba dihentikan kios
beroda yang menghalangi jalannya; ia mencoba menyingkirkan kios itu, tapi
tangannya malah tercelup ke dalam panci berisi lemak mendidih. Ia menjerit,
membalikkan kereta itu, dan sekarang dihadang jeritan-jeritan pemiliki kereta
yang jelas menuntut pembayaran, sementara ia dan yang lainnya mengepung marinir
itu, memaksanya kembali ke tepi jalan.
"Sundal itu di sana!"
Saat Marie mendengamya, ia terhadang serombongan wanita yang tengah berbelanja.
Ia berputar ke kanan dan berlari memasuki lorong yang meninggalkan jalan raya,
lorong yang tiba-tiba buntu, berakhir dengan dinding kuil Cina. Kejadiannya
terulang lagi! Lima pemuda remaja berpakaian paramiliter -tiba-tiba muncul
? ?dari pintu dan memberi isyarat agar ia masuk ke sana.
"Penjahat Yankee! Pencuri Yankee!" Kata-kata itu diteriakkan secara berirama
dalam bahasa asing yang telah dilatih. Para pemuda itu saling mengaitkan tangan
dan tanpa kekerasan menghadang pria berambut cepak itu, mengerumuninya hingga
merapat ke dinding. "Jangan menghalangiku, sialan!" teriak marinir itu. "Menyingkir atau kuhajar
kalian berandalan satu per satu!"
"Kalau kau mengangkat tanganmu... atau senjata " seru seseorang di latar belakang
?"Aku tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai senjata!" sela prajurit dari
Victoria Peak itu. 'Tapi kalau kau melakukan salah satunya," lanjut orang itu, "mereka akan
melepaskan pegangan mereka, dan lima Di-di Jing Cha begitu banyak yang dilatih ?teman-teman Amerika kita jelas bisa mengatasi satu orang."
?'Terkutuk, Sir! Aku hanya berusaha melakukan pekerjaanku! Ini bukan urusanmu!"
"Aku khawatir ini urusan kami, Sir. Untuk alasan yang tidak kauketahui."
"Sialan!" Marinir itu bersandar ke dinding, terengah-engah kehabisan napas, dan
memandang wajah-wajah muda yang tersenyum di hadapannya.
"Lari!" kata seorang wanita kepada Marie, menunjuk pintu lebar berbentuk aneh
tanpa gagang di bagian luamya yang tampak tebal dan tidak bisa ditembus. "Xiao
xin. Kaati-kati." "Hati-kdti" Aku mengerti." Seseorang yang bercelemek membuka pintu itu dan Marie
bergegas masuk, seketika merasakan semburan udara dingin. Ia berdiri di dalam
lemari pendingin raksasa dengan potongan-potongan daging tergantung mengerikan
pada kaitan di bawah siraman
cahaya bohlam terbungkus kawat. Pria berceiemek menunggu selama semenit, dengan
telinga menempe! pada pintu. Marie melilitkan ikat pinggang lebar dari sutra di
lehemya dan bersedekap untuk mengusir hawa dingin menusuk yang tiba-tiba dan
diperburuk oleh panas hebat yang berlawanan di luar tadi. Akhirnya, pria itu
memberi isyarat agar Marie mengikutinya; Marie menurut, mencari jalan di sela-
sela daging hingga mereka tiba di pintu masuk lemari pendingin besar itu. Orang
Cina itu menarik tuas logam dan mendorong pintu yang berat hingga terbuka,
mengangguk pada Marie yang menggigil, menyuruhnya keluar. Marie sekarang
mendapati dirinya di toko jagal yang panjang, sempit, dan kosong, kerai bambu di
jendela depan menyaring cahaya matahari tengah hari yang terik. Seorang pria
berambut ubanan berdiri di belakang meja dekat jendela paling kanan, mengintip
dari sela-sela kerai ke jalanan di luar. Ia memanggil Marie agar bergabung
dengannya secepatnya. Sekali lagi Marie mematuhi instruksi itu, dan
memperhatikan rangkaian bunga berbentuk aneh di balik kaca pintu depan, yang
tampaknya terkunci. Pria yang lebih tua itu memberi isyarat agar Marie mengintip ke balik jendela.
Marie merenggangkan dua bilah bambu dan tersentak, tertegun melihat adegan di
luar. Pencarian mencapai puncaknya. Marinir yang tangannya terluka terus
meiambai-lambaikan tangan di udara sambil mencari dari toko ke toko di seberang
jalan. la melihat Catherine Staples dan' McAllister beradu argumentasi dengan
segerombolan orang Cina yang jelas memprotes kehadiran orang-orang asing yang
mengganggu ketenangan Tuen Mun yang sibuk. McAllister dalam kepanikannya jelas
telah meneriakkan kata-kata penghinaan dan ditantang seorang pria yang usianya
dua kali lebih tua, pria uzur mengenakan gaiin Oriental, yang harus ditahan
orang-orang yang lebih muda dan lebih berkepala dingin. Menteri muda itu mundur,
lengannya terangkat, menyatakan dirinya tidak bersalah, sementara Staples
berteriak-teriak sia-sia untuk membebaskan mereka berdua dari gerombolan yang
marah itu. Tiba-tiba, marinir yang tangannya terluka terlempar keluar pintu di seberang
jalan; pecahan kaca berhamburan ke mana-mana sementara ia bergulingan di jalan,
berteriak kesakitan saat tangannya menyentuh semen. Ia dikejar seorang pemuda
Cina memakai tunik putih, ikat pinggang lebar, dan celana sepanjang tutut khas
instruktur bela dirt. Marinir itu melompat bangkit, dan saat lawan Oriental-nya
berlari mendekatinya, ia mengayunkan hook kiri rendah ke lambung pemuda itu, dan
mengikutinya dengan tinju kanan yang dilontarkan dengan baik ke wajahnya,
menjatuhkan penyerangnya ke etalase sambil menjerit kesakitan akibat kedua
pukulan di tangannya yang terkelupas.
Akhirnya seorang marinir dari Victoria. Peak muncul berlarian di jalan, sebelah
kaki tertatih-tatih, bahunya merosot seakan-akan terluka akibat
jatuh jatuh dari tangga, pikir Marie, yang mengawasi dengan tertegun. Marinir
?itu membantu rekannya yang jengkel dan sangat efektif. Usaha amatiran para murid
guru bela diri yang pingsan itu dihadapi dengan hujan ayunan kaki, pukulan, dan
manuver pakar judo. Tiba-tiba, tanpa peringatan apa pun, keributan musik Oriental terdengar memenuhi
jalan, simbal dan instrumen primitif dari kayu melengking seiring irama yang
berderap menyusuri jalan, para pengikutoya membawa plakat yang dihiasi bunga-
bunga. Perkelahian berhenti sementara lengan-lengan ditahan di mana-mana.
Kesunyian menyebar di sepanjang jalan utama perdagangan Tuen Mun. Orang-orang
Amerika itu kebingungan; Catherine Staples menahan rasa frustrasinya dan Edward
McAllister mengangkat tangan karena jengkel.
Marie mengawasi, terhipnotis oleh' perubahan di luar. Segala sesuatunya
berhenti, seakan-akan diperintah oleh suasana sedih yang tidak boleh diabaikan.
Ia mengalihkan pandangan di sela-sela kerai bambu dan memandang sekelompok orang
yang mendekat. Pemimpinnya si bankir Jitai! Kelompok itu menuju toko tukang
jagal! Pandangannya menyambar ke arah lain, Marie melihat Catherine Staples dan
McAllister berlari melewati kerumunan aneh di depan toko. Lalu di seberang jalan
kedua Marinir itu kembali melanjutkan pengejaran. Mereka semua menghilang dalam
cahaya matahari yang terang benderang.
Terdengar ketukan di pintu depan toko tukang jagal. Pria tua ubanan itu
menyingkirkan rangkaian bunganya dan membuka pintu. Si bankir, Jitai, melangkah
masuk dan membungkuk pada Marie.
"Kau menikmati paradenya, Madame?" tanyanya.
"Aku tidak yakin apa im."
"Iring-iringan mengantar yang sudah mati. Dalam hal ini, tidak ragu lagi, untuk
para hewan yang dibantai dalam lemari pendingin Mr. Woo." "Kau..." Semua ini sudah
direncanakan?" "Kau bisa mengatakan dalam keadaan selalu siap," Jitai menjelaskan. "Sering kali
sepupu kami dari Utara berhasil menyeberangi perbatasan bukan para pencuri ?tapi anggota keluarga yang ingin bergabung dengan kaum mereka sendiri dan para
?prajurit hanya ingin menangkap dan mengirim mereka kembali. Kami harus siap
melindungi orang kami sendiri."
'Tapi aku... Kau tahu?"
"Kami mengawasi; kami menunggu. Kau sedang bersembunyi, melarikan diri dari
seseorang, hanya im yang kami ketahui. Kau menyatakan hal im pada kami sewaktu
mengatakan tidak ingin menemui hakim, untuk 'menuntut', seperti istilahmu. Kau
diarahkan ke lorong di luar."
"Para wanita yang membawa tas belanja itu "
?"Ya. Mereka menyeberangi jalan bersama-sama denganmu. Rami harus membantumu."
Marie melirik wajah-wajah gelisah orang-orang di balik kerai bambu, lalu
memandang bankir itu. "Dari mana kau tahu aku bukan penjahat?"
"Im tidak penting. Yang penting adalah yang telah kaualami akibat perbuatan dua
orang dari kami. Selain itu, Madame, penampilan dan cara bicaramu tidak seperti
pelarian hukum." "Memang tidak. Dan aku memang membutuhkan bantuan. Aku harus kembali ke Hong
Kong, ke hotel, tempat mereka tidak bisa menemukanku, dengan telepon yang bisa
kugunakan. Aku tidak benar-benar tahu, tapi aku harus menghubungi orang-orang
yang bisa membantuku... membantu kami." Marie diam sejenak, pandangannya terpaku
pada Jitai. "Orang bemama David itu suamiku."
"Aku bisa mengerti," kata bankir itu. "Tapi sebelum itu kau harus menemui
dokter." "Apa?"
"Kakimu berdarah."
Marie menunduk. Darah merembes keluar dari perbannya, menembus kanvas sneaker-
nya. Kakinya tampak memuakkan. "Kurasa kau benar," katanya menyetujui.
"Sesudah itu pakaian, transportasi aku sendiri yang akan mencarikan hotel apa ?pun yang kauinginkan. Dan ada masalah uang. Kau punya?"
"Aku tidak tahu," kata Marie, sambil meletakkan kain sutranya di meja dan
membuka tas tangan putihnya. "Maksudku, aku belum memeriksanya Temanku yang
?kukira teman meninggalkan uang untukku." Ia mengeluarkan uang yang diletakkan
?Staples dalam tasnya. "Kami di Tuen Mun ini tidak kaya, tapi mungkin bisa membantu. Sudah ada
pembicaraan untuk mengumpulk'an uang."
"Aku bukan wanita miskin, Mr. Jitai," sela Marie. "Kalau diperlukan dan,
sejujumya saja, kalau aku masih hidup, setiap sen akan dikembalikan dengan bunga
jauh melebihi tingkat suku bunga utama."
"Terserah padamu. Aku bankir. Tapi apa yang diketahui wanita secantik dirimu
mengenai suku bunga dan tingkat utama?" Jitai tersenyum.
"Kau bankir dan aku ahli ekonomi. Apa yang diketahui para bankir mengenai
pengaruh mata uang mengambang yang diakibatkan inflasi suku bunga, terutama di
tingkat utama?" Marie tersenyum untuk pertama kalinya.
Ia punya waktu lebih dari satu jam untuk berpikir dalam ketenangan jalanan
pedalaman saat duduk dalam taksi yang mengantarnya ke Kowloon. Perjalanan masih
45 menit lagi begitu mereka tiba di tepi kota yang lebih ramai, terutama distrik
padat bemama Mongkok-Orang-orang Tuen Mun yang menyesal tidak saja dermawan dan
melindungi, tapi juga penuh ide. Si bankir, Jitai, tampaknya telah mengkonfirmasi bahwa korban
para berandalan im memang wanita kulit putih yang tengah bersembunyi, melarikan
diri demi keselamatannya, dan sebab itu, karena wanita itu dalam proses
menghubungi-orang-orang yang bisa membantunya, barangkali penampilannya harus
diubah. Pakaian-pakaian Barat dibawa dari beberapa toko, pakaian yang menurut
Marie aneh. Pakaian-pakaian im tampak biasa saja, rapi tapi membosankan. Tidak
murah, tapi jenis pakaian yang akan dipilih wanita yang entah tidak memiliki
selera berbusana atau merasa dirinya lebih tinggi daripada im. Lalu sesudah
menghabiskan satu jam di ruang belakang salon kecantikan, ia memahami kenapa


The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kostum im dipilih. Para wanita sibuk menanganinya; rambutnya dicuci dan diblow
hingga kering, dan sesudahnya ia menatap dirinya di cermin; ia hampir tidak bisa
bemapas. Wajahnya kuyu, pucat, dan kelelahan dibingkai rambut yang tidak lagi
? ?berwarna merah menarik, tapi kelabu seperti bulu tikus dengan lapisan tipis
uban. la tampak lebih ma sepuluh tahun; penampilannya seperti yang berusaha
dilakukannya ketika melarikan diri dari rumah sakit, tapi lebih tegas, lebih
lengkap. Seperti inilah orang Cina membayangkan wisatawan kelas menengah-atas,
serius, tidak omong kosong mungkin janda yang melontarkan instruksi-instruksi,
? ?menghitung uangnya, dan tidak pemah pergi ke mana pun tanpa buku panduan yang
terus ditandai pada setiap lokasi yang dikunjunginya dalam jadwalnya yang
tertata rapi. Orang-orang di Tuen Mun mengenai wisatawan seperti im dengan baik
dan gambaran mereka akurat. Jason Bourne pasti setuju.
Tapi ada pikiran lain yang memenuhi kepalanya dalam perjalanan ke Kowloon,
pikiran-pikiran putus asa yang berusaha dikendalikannya dan dijaga tetap dalam
perspektif, mengusir kepanikan yang bisa dengan mudah menelannya, membuatnya
melakukan kesalahan, mengambil langkah keliru dan bisa membawa bencana bagi
David membunuh David. Oh Tuhan, di mana kau" Bagaimana cara menemukanmu"
?Bagaimana" Dalam ingatannya ia mencari-cari seseorang yang bisa membantunya, terns mencoret
setiap nama dan setiap wajah yang melintas, karena dengan satu atau lain cara
telah terlibat dalam strategi menakutkan yang secara mengkhawatirkan diberi nama
sudah-tidak-bisa-diselamatkan-lagi kematian individu sebagai satu-satunya ?solusi yang bisa diterima. Kecuali, tentu saja, Morris Panov, tapi Mo dianggap
orang luar oleh pemerintah ia menyebut para pembunuh resmi dengan nama yang
sesuai: orang-orang tidak kompeten dan pembunuh. la tidak akan bisa ke mana-
mana, dan bisa jadi justru memicu terbitnya perintah kedua bagi yang sudah-
tidak-bisa-diselamatkan-lagi.
Sudah-tidak-bisa-diselamatkan-lagi... Seraut wajah melintas dalam benaknya, wajah
yang beruraian air mata, dengan ierit teredam memohon
343 pengampunan dengan suaranya yang gemetar, man tan teman dekat pejabat dinas
asing muda dan istri serta anak-anaknya di pos asing bernama Phnom Penh.
Conklin! Namanya Alexander Conklin! Selama masa pemulihan David yang panjang ia
berulang kali mencoba menemui suaminya, tapi David tidak mengizinkannya,
mengatakan ia akan membunuh orang CIA itu seandainya Conklin berjalan memasuki
pintunya. Conklin yang timpang telah melontarkan tuduhan yang salah dan bodoh
terhadap David, tidak mendengarkan permohonan seorang penderita amnesia,
sebaliknya menganggapnya berkhianat dan "membelot" hingga ia mencoba membunuh
?David di luar kota Paris. Dan, akhirnya, ia melakukan usaha terakhir di Seventy-
first Street, New York, di rumah persembunyian bemama Treadstone 71, yang hampir
saja berhasil. Sewaktu kebenaran tentang David diketahui, Conklin dirundung
perasaan bersalah, hancur berantakan karena apa yang telah dilakukannya. Marie
sebenarnya kasihan padanya; penderitaannya tulus, perasaan bersalahnya benar-
benar menghancurkan dirinya. Marie pemah bercakap-cakap dengan Alex sambil minum
kopi di serambi'tapi David tidak pemah bersedia menemuinya. Ia satu-satunya
orang yang menurut Marie masuk akal.
Hotel itu bemama Empress, di Chatham Road di Kowloon. Hotel tersebut kecil, di
wilayah Tsim Sha .Tsui yang padat dan banyak dihuni orang-orang dari berbagai
budaya, tidak kaya maupun miskin, sebagian besar wiraniaga dari Timur dan Barat
yang punya bisnis tanpa didukung keuangan eksekutif. Bankir itu, Jitai, sudah
melakukan pekerjaannya dengan baik; kamar single telah disewa atas nama Mrs.
Austin, Penelope Austin. Nama "Penelope" merupakan gagasan Jitai, karena ia
telah membaca begitu banyak novel Inggris, dan Penelope terasa "tepat". Jadilah,
kalau kata Jason Bourne, pi kir Marie.
Ia duduk di tepi ranjang dan meraih telepon, tidak yakin apa yang akan
dikatakannya tapi tahu bahwa ia harus mengatakannya. "Aku membutuhkan nomor
telepon seseorang di Washington, D.C., Amerika Serikat," katanya pada operator.
"Ini keadaan darurat." "Ada biaya untuk informasi luar negeri "
?'Tagihkan saja," sela Marie. "Ini mendesak. Teleponnya tidak akan kututup."
"Ya?" Terdengar suara yang dipenuhi kantuk. "Halo?" "Alex, ini Marie Webb."
"Terkutuk, di mana kau" Di mana kalian berdua" Ia sudah menemukanmu"
"Aku tidak tahu apa maksudmu. Aku belum menemukannya dan ia belum menemukanku.
Kau tahu tentang semuanya ini?"
"Kaupikir siapa yang hampir mematahkan leherku minggu lalu waktu datang ke
Washington" David! Aku sudah dengar cerita dari semua telepon yang bisa
menghubungiku! Mo Panov juga! Kau di mana?"
"Hong Kong Kowloon, kurasa. Hotel Empress, menggunakan nama Austin. David
?menghubungimuT' "Dan Mo! Kami sudah mengobrak-abrik tempat ini untuk mencari tahu apa yang
terjadi dan kami menemui jalan buntu! Tidak, kutarik lagi kata-kataku bukan ?jalan buntu tidak ada orang lain yang tahu apa pun! Kalau mereka tahu, aku
?pasti juga tahu! Astaga, Marie, aku belum minum sejak hari Kamis yang lalu!"
"Aku tidak tahu kau begitu merindukan kegiatan itu."
"Aku merindukannya! Apa yang terjadi?"
Marie bercerita padanya, termasuk tentang tanda-tanda yang tidak mungkin keliru
bahwa para penangkapnya merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Ia juga
bercerita tentang pelariannya, bantuan Catherine Staples yang kemudian berubah
menjadi jebakan, disusun seseorang bemama McAllister, yang dilihatnya berada di
jalan bersama Catherine. "McAllister" Kau melihatnya?"
"Ia ada di sini, Alex. Ia ingin menangkapku lagi. Ia bisa mengendalikan David
lewat aku, dan ia akan membunuhnya! Mereka sudah pernah mencobanya!"
Sejenak kesunyian timbul, kesunyian yang diisi kejengkelan. "Kami pemah
mencobanya," kata Conklin pelan. 'Tapi im dulu, bukan sekarang." "Apa yang bisa
kulakukan?" 'Tetap di tempatmu," perintah Alex. "Aku akan menumpang pesawat paling awal ke
Hong Kong. Jangan keluar dari kamarmu. Jangan menelepon lagi. Mereka mencarimu,
pasti." "David ada di luar sana, Alex! Apa pun yang mereka paksakan agar dilakukannya
demi diriku, aku ketakutan setengah mati!"
"Delta orang terbaik yang pemah dimiliki Medusa. Tidak ada yang lebih baik lagi.
Aku tahu. Aku melihatnya."
"Im satu aspek, dan aku sudah mengajar diriku sendiri untuk hidup dengan
kenyataan itu>. Tapi bukan aspek-aspek yang lain lagi, Alex! Benaknya! Apa yang
akan terjadi dengan benaknya?"
Conklin kembali diam sejenak, dan sewaktu berbicara, -suaranya terdengar serius.
"Aku akan mengajak seorang teman, teman kita semua. Mo tidak akan menolak.
Tetap-di tempatmu, Marie. Sudah waktunya untuk pertarungan terakhir. Dan, demi
Tuhan, akan ada pertarungan terakhir!"
345 23 SlAPA kau?" teriak Bourne dalam kegalauan, dicengkeramnya leher pria tua itu dan
ditekannya ke dinding. "Delta, hentikanF' perintah d'Anjou. "Suaramu! Orang-orang akan mendengarmu.
Mereka akan mengira kau mau membunuhnya. Mereka akan menghubungi resepsionis."
"Aku mungkin akan membunuhnya, dan teleponnya tidak berfungsi!" Jason
membebaskan peniru si peniru itu, melepaskan lehernya tapi mencengkeram bagian
depan kemejanya, mencabiknya saat memutar orang itu ke kursi.
"Pintu," lanjut d'Anjou dengan tegas dan marah. "Kembalikan pintunya sebaik
mungkin, derm Tuhan. Aku ingin keluar dari Beijing hidup-hidup, dan setiap detik
bersamamu memudarkan prospekku. Pintunya!"
Setengah panik, Bourne berbalik, meraih pintu yang berantakan dan mendorongnya
ke ambang pintu, menyesuaikan tepi-tepinya dan menendang panelnya hingga
menancap di bingkainya. Pria tua itu memijat-mijat lehernya dan tiba-tiba
mencoba melompat bangkit dari kursi.
"Non, man ami!" kata orang Prancis itu, menghalanginya. "Tetap di tempatmu.
Jangan pedulikan diriku, hanya orang itu. Ia mungkin benar-benar akan
membunuhmu. Dalam kemurkaannya ia tidak memiliki rasa hormat terhadap tahun-
tahun emas, tapi, karena usiaku hampir tiba di sana, aku menghormatihya."
"'Kemurkaan'" Ini gila-gilaanr orang tua itu tergagap. "Aku bertempur di El
Alamein dan, dem) Tuhan, aku akan bertempur sekarangF Sekali lagi pria tua itu
berusaha keras bangkit dari kursi, dan sekali lagi d'Anjou mendudukkannya
kembali sementara Jason kembali.
"Oh, si orang Inggris yang heroik," kata si orang Prancis. "Sedikitnya kau masih
memiliki kehormatan untuk tidak mengatakan Agincourt."
"Jangan omong kosong!" teriak Bourne, sambil mendorong d'Anjou dan mencondongkan
tubuh ke kursi, tangan pada kedua lengan kursi, mengurung pria tua. itu di
kursinya. "Katakan di mana dia dan katakan secepatnya, atau kau akan berharap
tidak pernah lolos dari El Alamein!"
346 "Siapa di mana, maniak?"
"Kau bukan orang di lantai bawah! Kau bukan Joseph Wadsworth yang naik ke Kamar
tiga-dua-lima!" "Ini memang Kamar. tiga-dua-lima dan aku memang Joseph Wadsworth! Brigadir,
pensiunan, Teknisi Kerajaan!"
"Kapan kau masuk?"
"Sebenarnya, aku dibantu melewati kerepotan itu," jawab Wadsworth. "Sebagai tamu
profesional pemerintah, aku banyak dibantu. Aku dikawal melewati cukai dan
langsung dibawa kemari. Aku hams mengatakan bahwa layanan kamarnya tidak bisa
dikatakan hebat Tuhan tahu, ini bukan Connaught dan telepon sialan itu lebih ? ?sering rusak daripada tidak."
"Kutanya kapanF' "Semalam, tapi karena pesawataya terlambat enam jam, kurasa seharusnya kukatakan
pagi ini." "Apa instruksimu?" "Aku tidak yakin itu urusanmu."
Bourne mencabut pembuka surat kuningan dari sabuknya dan mengacungkan ujungnya
yang tajam ke leher pria tua itu. "Itu urusanku, kalau kau mau bangkit dari
kursi ini dalam keadaan hidup."
"Astaga, kau benar-benar maniak."
"Kau benar, aku tidak punya banyak waktu untuk kewarasan. Malahan, aku tidak
punya waktu sama sekali. Instruksinya!"
'Tidak berbahaya. Aku akan dijemput sekitar tengah hari, dan karena sekarang
sudah lewat pukul tiga, orang bisa menganggap pemerintah rrc tidak dijalankan
tepat waktu, sama seperti penerbangannya."
D'Anjou menyentuh lengan Bourne. "Penerbangan setengah dua belas," kata orang
Prancis itu dengan suara pelan. "Ia hanya umpan dan tidak tahu apa-apa."
"Kalau begitu Yudas-mu ada di sini di kamar lain," jawab Jason ke balik bahunya.
"Pasti!" "Jangan katakan apa-apa lagi, ia akan ditanyai." Dengan sikap berkuasa yang
tiba-tiba dan tak terduga, d'Anjou mendesak Bourne menjauhi kursi dan berbicara
dengan nada tidak sabar khas atasan. "Begini, Brigadir, kami minta maaf atas
ketidaknyamanan ini, memang menyebal-kan, aku tahu. Ini kamar ketiga yang kami
dobrak kami tahu nama setiap penghuninya untuk interogasi kejutan."?"Kejutan apal Aku tidak mengerti."
"Satu dari empat orang di lantai ini menyelundupkan narkotika senilai lebih dari
lima juta dolar. Karena bukan kalian bertiga, kami mendapatkan orang yang kami
cari. Kusarankan kau melakukan apa yang dilakukan kedua orang lainnya; Katakan
kamarmu didobrak pemabuk berat, yang marah karena akomodasi di sini itu yang
?mereka katakan. Ada banyak kejadian seperti itu di sini, dan lebih baik tidak
ada orang yang curiga. Pemerintah di sini sering bereaksi berlebihan."
"Aku tidak ingin begitu," kata Wadsworth, man tan Teknisi Kerajaan, dengan
gugup. "Pensiun sialan itu sudah pas-pasan untuk-hidup. Ini hanya masalah
sepele." "Pintunya, Major," perintah d'Anjou pada Bourne. 'Tenang. Usahakan agar pintunya
tidak jatuh." Orang Prancis itu kembali memandang orang Inggris tersebut. "Jaga
pintunya, Brigadir. Bersandarlah ke Sana dan ben kami waktu dua puiuh menit
untuk menangkap orang yang kami cari, lalu lakukan apa pun yang ingin
kaulakukan. Ingat, pemabuk berat. Demi kepentinganmu sendtri." "Ya, ya, tentu
saja. Pemabuk. Mengamuk." "Ayo, Major!"
Di lorong luar mereka mengambil tas dan bergegas menuruni tahgga. "Cepat!" kata
Bourne. "Masih ada waktu. Ia harus mengubah penampilan-hya aku harus mengubah
?penampilan kalau jadi dirinya! Kita periksa pintu masuk, antrean taksi, mencoba
memilih dua pilihan logis, atau, terkutuk, yang tidak logis. Kita baik taksi
yang berbeda dan menetapkan isyarat."
"Pertama-tama ada dua pintu," sela d'Anjou terengah-engah. "Di lorong ini. Pilih
dua yang mana saja, tapi lakukan secepatnya. Tendang pintunya dan mengumpat-
umpatlah, pura-pura mabuk, tentu saja."
"Kau serius?" "Tidak pemah lebih serius, Delta. Seperti yang kita lihat, penjelasan itu masuk
akal, dan rasa malu akan menghalangi penyelidikan resmi apa pun. Manajemen pasti
akan membujuk brigadir kita agar tutup mulut. Mereka bisa kehilangan pekerjaan
yang nyaman. Cepat! Pilih dan lakukan tugasrou!"
Jason berhenti di pintu berikut di sebelah kanan. Ia bersiap-siap, lalu bergegas
ke sana, menghantamkan bahunya ke tengah-tengah panel atas yang rapuh. Pintunya
terbuka. "Madad demaal" jerit seorang wanita dalam bahasa Hindi, setengah. telanjang,
sarinya teronggok di sekitar kaki'nya.
"Kyaa boat hai?" jerit seorang pria telanjang yang berlari keluar dari kamar
mandi, sambil tergesa-gesa menutupi kemaluannya.
Keduanya berdiri ternganga memandang penyusup sinting itu, yang menerjang-
nerjang dengan pandangan tak terfokus, menyapu barang-barang di atas lemari
pendek terdekat berteriak-teriak dengan suara gerak, mabuk. "Hotel sialan!
Toilet tidak-bekerja,- telepon tidak bekerja! Tidak ada yang Ya atnpun, ini
?bukan kamarkul Mhahaf..." Bourne menyelinap keluar, membanting pintu di
belakangnya. "Bagus!" kata d'Anjou. "Mereka tadj menemui masalah dengan
kuncinya. Cepat. Satu lagi. Yang itu" Orang Prancis itu menunjuk pintu di kiri.
"Aku mendengar tawa dari dalam. Dua suara."
Sekali lagi Jason menghantam pintu hingga terbuka, sambil berteriak-teriak
mabuk. Tapi bukannya disambut dua tamu yang terkejut, ia menghadapi pasangan
muda, keduanya telanjang hingga pinggang, masing-masing mengisap rokok lintingan
sendiri, menyedotnya dalam-dalam, pandangan mereka tidak fokus.
"Selamat datang, tetangga," kata pemuda Amerika itu, suaranya mengambang,
pengucapannya tepat walaupun lambat. "Jangan biarkan situasi itu mengganggumu.
Telepon rusak, tapi toilet kami berfungsi. Gunakanlah. Jangan tegang begitu."
"Apa yang kalian lakukan di kamarku?" teriak Jason, bahkan lebih mabuk lagi.
"Kalau ini kamarmu, macho boy" sela si wanita sambil bergoyang-goyang di
kursinya, "berarti kau boleh menyaksikan saat-saat pribadi kami, padahal kami
bukan orang semacam itu." la tertawa.
"Ya Tuhan kau teler!"
"Dan tanpa menyebut nama Tuhan dengan sia-sia," balas pemuda itu, "kau mabuk
berat." "Kami tidak percaya pada alkohol," tambah gadis yang tengah melayang itu.
"Alkohol menimbulkan permusuhan. Muncul ke permukaan seperti Lucifer."
"Bersihkan racun dalam dirimu, tetangga," lanjut pemuda Amerika itu santai.
"Lalu jalanilah hidup sehat dengan ganja. Akan kubimbing kau ke padang tempat
kau akan menemukan jiwamu lagi"
Bourne menghambur ke luar kamar, membanting pintu, dan meraih lengan d'Anjou.
"Ayo pergi," katanya, lalu menambahkan saat mereka mendekati tangga, "Kalau
cerita yang kauberikan pada brigadir itu tersebar, dua orang itu akan
menghabiskan dua puluh tahun menggunduli domba di Mongolia Luar."
Pemerintah Cina yang sangat teliti dalam hal pengamatan dan ketat dalam hal
pengamanan memaksa hotel bandara memiliki satu pintu masuk besar untuk tamu, dan
pintu masuk kedua untuk karyawan di samping gedung. Pintu karyawan itu dijaga
petugas berseragam yang memeriksa dengan teliti setiap dokumen kerja serta
menggeledah tas tangan dan kantong-kantong yang menggembung pada saat para
karyawan pulang kerja. Kurangnya keakraban antara penjaga dan pekerja
menunjukkan penjaganya sering diganti, menjauhkan potensi penyuapan dan penyuap
potensial. "Ia tidak akan mengambil risiko dengan penjaga," kata Jason saat mereka melewati
pintu keluar karyawan setelah tergesa-gesa menyimpan koper mereka, dengan alasan
terlambat menghadiri pertemuan karena penerbangan yang tertunda. "Mereka
tampaknya seperti dapat nilai kalau
349 bisa menangkap siapa pun yang mencuri sayap ayam atau sepotong sabun."
"Mereka juga sangat tidak menyukai para karyawan di sini," d'Anjou menyetujui.
'Tapi kenapa kau begitu yakin ia masih ada di hotel" Ia mengenal Beijing. Ia
bisa saja menggunakan taksi ke hotel lain, ke kamar lain."
'Tidak kalau penampilannya seperti saat di pesawat. Aku sudah bilang begitu
padamu. Ia tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melakukannya. Ia menginginkan
kebebasan untuk berkeliaran tanpa terlihat atau diikuti. Harus begitu demi
perlindungannya sendiri."
"Kalau begitu masalahnya, mereka bisa saja mengawasi kamamya sekarang ini.
Hasilnya sama. Mereka akan tahu bagaimana tampangnya."
"Kalau aku menempati posisinya sekarang dan hanya itu yang kumiliki ia tidak ? ?ada di sana. Ia sudah mengatur untuk mendapatkan kamar lain."
"Kau menentang pendapatmu sendiri!" si orang Prancis memprotes saat mereka


The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekati pintu masuk hotel bandara yang ramai. "Katamu ia akan menerima
instruksi melalui telepon. Siapa pun yang menelepon pasti akan meminta kamar
yang sudah dipesan untuknya, bukan kamar umpannya, bukan kamar Wadsworth."
"Kalau teleponnya berfungsi kebetulan, itu kondisi yang merupakan nilai tambah ?bagi Yudas kita hanya masalah sederhana untuk mengalihkan telepon masuk dari
?satu kamar ke kamar yang lain. Memindahkan sambungan di operator kalau
switchboard-nya. primitif, atau memprogramnya kalau sudah terkomputerisasi.
Bukan masalah besar. Konferensi bisnis, teman lama di pesawat apa pun atau
? ?tanpa penjelasan sama sekalL yang mungkin malah paling baik."
"Salah!" sera d'Anjou. "Kliennya di Beijing akan menyiagakan operator hotel. Ia
akan dihubungkan ke operator."
"Itu satu hal yang tidak akan dilakukannya," kata Bourne sambil mendorong si
orang Prancis melewati pintu putar menuju jalan aspal, yang dipenuhi wisatawan
dan pengusaha kebingungan yang berusaha mendapatkan transportasi. "Itu perjudian
yang tidak bisa diambilnya," lanjut Jason saat mereka melewati sederet bus kecil
yang reyot dan taksi-taksi tua di tepi jalan. "Klien Commando-mu harus
menciptakan jarak sejauh-jauhnya di antara mereka berdua. Tidak boleh ada
kemungkinan pelacakan sekecil apa pun, berarti segala sesuatunya dibatasi dalam
lingkungan yang sangat ketat, sangat elite, tanpa melibatkan operator telepon,
tanpa menarik perhatian terhadap siapa pun, terutama terhadap Commando-mu itu.
Mereka juga tidak berani mengambil risiko berkeliaran di dalam hotel. Mereka
akan menjauhinya, membiarkan ia bergerak. lerlalu banyak poh'si rahasia di sini
seseorang dalam lingkungan vane ketat mudah dikenali."
'Teleponnya, Delta. Dari yang kita dengar, teleponnya tidak berfungsi. Apa yang
dilakukannya kalau begitu?"
Jason mengerutkan kening sambil berjalan, seakan-akan berusaha mengingat apa
yang tidak bisa diingatnya. "Waktu ada di pihaknya, itu nilai tambah. Ia pasti
memiliki instruksi cadangan untuk dipatuhi kalau ia tidak dihubungi selama
beberapa waktu sejak kedatangannya untuk alasan apa pun dan alternatifhya bisa
? ?apa saja mengingat langkah-langkah penjagaan yang harus mereka ambil."
"Kalau begitu mereka pasti masih mengawasi dirinya, kan" Mereka akan menunggu di
suatu tempat dan mencoba menemukannya, bukan?"
"Tentu saja, dan ia mengetahuinya. Ia harus bersusah payah dan tiba di posisinya
tanpa terlihat. Hanya itu satu-satunya cara agar ia tetap memegang kendali. Itu
tugas pertamanya." D'Anjou mencengkeram siku Bourne. "Kalau begitu kurasa aku baru saja menemukan
salah seorang pengawasnya."
"Apa?" Jason berpaling, memandang si orang Prancis dan memperlambat langkah.
"Terus berjalan," kata d'Anjou. "Kita ke truk itu, yang setengah berada di jalan
dengan orang di tangga tambahan."
"Itu sesuai," kata Bourne. "Layanan perbaikan telepon." Tanpa menarik perhatian
di keramaian, mereka tiba di truk itu.
"Menengadahlah. Pura-pura tertarik. Lalu lihat ke sebelah kirimu. Van yang cukup
jauh di depan bus pertama. Kau melihatnya?"
Jason melihatnya, dan seketika ia tahu orang Prancis itu benar. Van tersebut
berwarna putih dan cukup baru dengan kaca-kaca jendela gelap. Kecuali warnanya,
van itu bisa jadi van yang menjemput si pembunuh bayaran di Shenzen, di
perbatasan Lo Wu. Bourne membaca tulisan Cina di pintunya. "Niao Jing Shan.... Ya
Tuhan, itu van yang sama! Nama tidak penting van itu milik tempat perlindungan
?burung, Suaka Burung Jing Shan! Di Shenzen namanya Chutang, di sini lain. Dari
mana kau tahu?" "Orang di jendela yang terbuka, jendela terakhir di sisi ini. Kau tidak bisa
melihatnya dengan jelas dari sini, tapi ia sedang memandangi pintu masuk. Ia
juga kontradiktif untuk ukuran karyawan tempat perlindungan burung, maksudku."?"Kenapa?"
"Ia perwira angkatan darat, dan kalau melihat potongan tunik serta kainnya yang
cukup bagus, pangkatoya cukup tinggi. Apakah Angkatan Darat Rakyat yang megah
sekarang merekrut burung bangau sebagai pasukan penyerang" Atau ia hanya gelisah
menunggu seseorang yang harus ditemukan dan diikutinya, menggunakan samaran yang
lumayan bisa diterima tapi jadi lemah akibat sudut pandang yang membuatnya
terpaksa membuka jendela?"
"Tidak bisa pergi ke mana pun tanpa Echo," ujar Jason Bourne, dulu Delta,
kutukan Medusa. 'Tempat perlindungan burung astaga, cantik sekali. Benar-benar
?samaran yang hebat. Sangat terpencil, sangat tenang. Samaran yang luar biasa."
"Sangat Cina, Delta. Topeng tokoh baik menutupi tokoh jahat. Dongeng Konfusius
memperingatkan akan hal itu."
"Bukan itu yang kumaksud. Di Shenzen, di Lo Wu, ketika aku kehilangan bocahmu
untuk pertama kalinya, ia dijemput sebuah van-van dengan jendela gelap yang
?juga milik suaka burung pemerintah." "Seperti katamu tadi, samaran yang
sempuma." "Lebih dari itu, Echo. Itu semacam tanda atau identifikasi." "Sudah
berabad-abad burung dipuja di Cina," kata d'Anjou sambil memandang Jason,
ekspresinya kebingungan. "Burung selalu digambarkan dalam kesenian yang hebat,
sutra yang indah. Burung dianggap sebagai hidangan, baik untuk mata maupun untuk
selera makan." "Dalam hal ini burung bisa berarti sesuatu yang jauh lebih sederhana, jauh lebih
praktis." "Misalnya?"
"Suaka burung merupakan tempat yang luas. Tempat seperti itu terbuka bagi umum
tapi terikat peraturan pemerintah, seperti juga di mana-mana."
"Maksudmu, Delta?"
"Di suatu negara dengan sepuluh orang yang menentang pemerintah takut terlihat
bersama-sama, tempat apa yang lebih baik daripada suaka alam yang biasanya
membentang sejauh bermil-mil" Tidak ada kantor, rumah, atau apartemen yang
diawasi, tidak ada penyadapan telepon atau pengintaian elektronifc. Hanya para
pengamat burung yang tak berdosa di negeri pencinta burung, masing-masing
membawa kartu izin resmi yang memperbolehkannya masuk ketika suaka itu secara
resmi tutup siang atau malam."
?"Dari Shenzen ke Peking" Kau mengisyaratkan situasi yang lebih besar daripada
yang kita pertimbangkan."
"Apa pun itu," kata Jason sambil memandang sekitarnya, "hal itu tidak ada
hubungannya dengan kita. Hanya dia.... Kita harus berpisah tapi tetap bisa saling
melihat. Aku akan ke "
?'Tidak perlu!" sela si orang Prancis, "Itu orangnya!"
"Manar "Mundur! Lebih dekat ke truk. Di balik bayang-bayang." "Vang manaT
"Pendeta yang sedang menepuk anak itu, gadis kecil itu," jawab d'Anjou,
punggungnya mertempel pada truk, menatap keramaian di depan pintu masuk hotel.
"Ulama," lanjut si orang Prancis dengan pahit. "Salah satu samaran yang
kuajarkan padanya. Ia memiliki setelan-hitam
pendeta yang dibuat di Hong Kong lengkap dengan lambang Anglikan di kerahnya, di
bawah nama penjahit Savile Row. Setelan itu yang kukenali terlebih dulu. Aku
yang membayarnya." "Kau berasal dari jemaat yang kaya," kata Bourne sambil mempelajari orang yang
teramat ingin didekati dan diringkusnya, dilumpuhkan dan dipaksa menuju kamar
hotel untuk perjalanan kembali pada Marie. Samaran pembunuh bayaran itu
bagus sangat bagus malah dan Jason mencoba menganalisis penilaian itu. Cambang? ?kelabu menonjol dari balik topi gelap pembunuh itu; kacamata berbingkai baja
bertengger rendah di wajah yang pucat tanpa warna. Matanya lebar dan alisnya
melengkung, ia memancarkan sukacita dan rasa takjub melihat pemandangan di
tempat asing ini. Semua adalah pekerjaan Tuhan dan anak-anak Tuhan diperkuat
sikap tertarik pada gadis Cina kecil dan menepuk-nepuk kepalanya dengan kasih
sayang, tersenyum dan mengangguk-angguk ramah pada ibunya. Itu dia, pikir Jason
dengan rasa hormat sekaligus jengkel. Haram jadah itu memancarkan kasih. Sikap
yang ada dalam setiap gerakannya, setiap langkahnya yang ragu-ragu, setiap
lirikan matanya yang lembut. Ia memang ulama yang penuh kasih, gembala
jemaatnya. Dan dengan begitu, dalam keramaian ia akan dilirik tapi langsung
disepelekan oleh mata yang mencari seorang pembunuh.
Bourne ingat. Carlos! Jackal pemah mengenakan pakaian pendeta, kulit Latin-nya
yang gelap di atas kerah putih kaku, berjalan keluar dari gereja di Neuilly-sur-
Seine di Paris. Jason pemah melihatnya! Mereka bertemu, pandangan mereka beradu,
saling mengenali tanpa kata-kata. Tangkap Carlos. Jebak Carlos. Cain untuk
Charlie dan Carlos untuk Cain! Sandi itu meledak dalam kepalanya saat ia
mengejar Jackal di jalan-jalan Paris... lalu kehilangan dirinya dalam lalu lintas,
saat seorang gelandangan tua, berjongkok di trotoar, tersenyum menjijikkan.
Ini bukan Paris, pikir Bourne. Tidak ada sepasukan pria tua yang melindungi
pembunuh itu. Ia akan menangkap Jackal di Peking tsi
"Bersiap-siaplah untuk bergerak!" kata d'Anjou, menyela kenangan Jason. "Ia
mendekati bus." "Bus itu penuh."
"Memang itu maksudnya. Ia akan jadi orang terakhir yang naik. Siapa yang akan
menolak pendeta yang sedang tergesa-gesa!" Salah satu pelajaranku, tentu saja."
Sekali lagi si orang Prancis benar. Pintu bus kecil yang reyot dan penuh sesak
itu mulai menutup, dihentikan lengan pendeta yang diselipkan di sana dengan
menjepitkan bahu dan memohon untuk dilepaskan, karena ia terjepit. Pintunya
terbuka pembunuh itu meaerobos masuk dan pintunya tertutup.
"Itu bus ekspres ke Lapangan Tian An Men," kata d'Anjou. "Aku sudah mencatat
nomornya." "Kita harus mencari taksi. Ayo!" 'Tidak akan mudah, Delta."
"Aku sudah menyempurnakan suatu teknik," jawab Bourne sambil berjalan keluar
dari bayang-bayang truk sementara bus itu melintas, si orang Prancis mengikuti
rapat di belakangnya. Mereka menyelinap di sela-sela keramaian di depan hotel
bandara dan terns menyusuri antrean taksi hingga tiba di ujungnya. Taksi
terakhir berbelok di tikungan, hendak bergabung dalam antrean, sewaktu Jason
bergegas ke jalan, mengacungkan telapak tangannya tanpa kentara. Taksi berhenti
sementara sopirnya menjulurkan kepala ke luar jendela. "Shemma" "
"Weil" seru Bourne, sambil berlari mendekati sopir itu dan mengacungkan mata
uang yuan yang setara dengan lima puluh dolar Amerika. "Bi yao bang zhu,"
katanya, memberitahu orang itu bahwa ia sangat membutuhkan bantuan dan bersedia
membayar. "Hao!" seru si sopir sambil menyambar uangnya. "Bingle ba!" tambahnya,
membenarkan tindakannya demi wisatawan yang tiba-tiba sakit.
Jason dan d'Anjou masuk, sopimya memprotes karena ada penumpang kedua yang masuk
dari pintu sisi tepi jalan. Bourne menjatuhkan dua puluh yuan di kursi, dan
orang itu tenang. Ia memutar taksi, menjauhi antrean, dan keluar dari kompleks
bandara. 'Di depan ada bus," kata d'Anjou sambil mencondongkan tubuh ke depan, berbicara
pada sopir dalam bahasa Mandarin yang kaku. "Kau bisa mengerti aku?"
"Lidahmu Guangzhou, tapi aku bisa mengerti."
"Bus itu menuju Lapangan Tian An Men."
"Gerbang yang mana?" tanya sopirnya. "Jembatan yang mana?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu nomor depan bus. Tujuh-empat-dua-satu."
"Akhiran satu," kata sopimya. "Gerbang Tian, jembatan kedua. Pintu masuk kota
kekaisaran." "Apa ada tempat parkir untuk bus itu?"
"Ada antrean kendaraan-bus. Semuanya penuh terisi. Kendaraan-bus sangat padat
Tian An Men sangat ramai pada saat matahari dalam posisi ini."
"Kita harus menyalip bus itu, lebih baik bagi kami untuk tiba di Tian An Men
sebelum bus itu tiba. Kau bisa melakukaiflrya?"
'Tanpa kesulitan," jawab sopirnya sambil menyeringai. "Kendaraan-bus tua dan
sering mogok. Kita mungkin tiba di sana beberapa hari sebelum busnya tiba di
gerbang utara." "Kuharap kau tidak serius," sela Bourne.
"Oh, tidak, wisatawan yang dermawan. Semua sopir-juga montir
unggul kalau mereka bemasib baik menemukan mesinnya." Sopir itu tertawa ?menjijikkan dan menginjak pedal gas sedalam-dalamnya.
Tiga menit kemudian mereka melewati "kendaraan-bus" yang membawa si pembunuh
bayaran. Empat puluh enam menit sesudahnya mereka tiba di jembatan maimer putih
berukir di atas selokan buatan manusia yang membentang di depan Gerbang
Kedamaian Surgawi raksasa, tempat para pemimpin Cina memamerkan diri di panggung
lebar di atasnya, menyetujui instrumen perang dan kematian yang diparadekan. Di
dalam gerbang itu terdapat salah satu pencapaian manusia yang luar biasa di
bumi. Lapangan Tian An Men. Pusaran Beijing yang menarik.
Keanggunan yang timbul dari luasnya semata-mata menarik perhatian pengunjung
pertama kali, lalu kehebatan arsitektur Aula Agung Rakyat di sebelah kanan,
dengan ruang penerimaan yang mampu mengakomodasi tiga ribu orang. Ruang
serbaguna mampu menampung lebih dari lima ribu orang, "ruang konferensi" untuk
sepuluh ribu orang dengan masih menyisakan ruang. Di sisi seberang Gerbang,
menjangkau ke awan, ada tiang batu empat sisi, obelisk yang didirikan di teras
marmer berpagar dua tingkat, semuanya berkilauan tertimpa cahaya matahari,
sementara dalam keremangan di dasar bangunan raksasa itu diukir perjuangan dan
kemenangan revolusi Mao. Itulah Monumen Kepahlawanan Rakyat, keberadaan pertama
Mao di dalam kuil. Ada gedung-gedung lain, bangunan-bangunan lain memorial,
?museum, gerbang, dan perpustakaan sejauh mata memandang. Tapi, di atas semua
?itu, mata manusia akan terpikat oleh luasnya ruartg terbuka. Ruang dan manusia...
dan sesuatu yang lain sama sekali bagi telinga, sama sekali tak terduga. Belasan
stadion besar dunia, semuanya mengerdilkan Colosseum di Roma, bisa ditempatkan
dalam Lapangan Tian An Men tanpa menyesakkan lapangan itu; ratusan ribu orang
bisa berkeliaran di kawasan terbuka dan masih menyisakan ruang untuk ratusan
ribu orang lainnya. Tapi ada elemen yang hilang, yang ketiadaannya tak pemah
ditemukan di arena-arena berdarah Roma, apalagi di stadion-stadion besar
kontemporer dunia. Suara hampir tidak ada suara di sana, hanya beberapa desibel
di atas kesunyian, disela getar lembut bel sepeda. Kesunyian itu mula-mula
terasa damai, lalu jadi menakutkan. Rasanya seperti ada kubah raksasa transparan
yang menutupi lahan seluas ratusan hektar itu, bagai perintah tak terucapkan,
namun dipahami, dari kerajaan maya yang berulang-ulang. memberitahu mereka yang
ada di bawahnya bahwa mereka tengah berada di dalam katedral. Suasananya tidak
alami, tidak nyata, namun tak ada sikap bermusuhan melawan suara yang tak
terdengar itu, hanya penerimaan dan itu lebih menakutkan. Terutama saat anak-?anak berdiam diri.
Jason mengamati hal-hal ini dengan cepat dan tanpa emosi. Ia membayar sopir
berdasarkan argometer dan mengalihkan konsentrasi pada
tujuan dan masalah yang dihadapinya bersama d'Anjou. Apa pun alasannya, entah
panggilan telepon telah mencapainya atau ia memilih instruksi cadangan, Commando
itu sedang dalam perjalanan ke Lapangan Tian An Men. Tarian pembuka akan dimulai
saat ia tiba, langkah-langkah lamban berhati-hati untuk membawa pembunuh itu
semakin dekat pada perwakilan kliennya, dengan asumsi klienmya akan tetap
tersembunyi. Tapi tidak akan ada kontak sebelum peniru itu yakin pertemuan
tersebut bersih. Oleh karenanya, "pendeta" itu akan melakukan pengintaian
sendiri, mengitari lokasi pertemuan yang telah ditentukan sebelumnya, mencari-
cari antek bersenjata yang sudah ditempatkan di posisinya. Ia akan menangkap
salah satunya, mungkin dua, mendesak mereka dengan todongan pisau atau pistol
berperedam pada rusuk mereka untuk mendapatkan informasi yang diperlukan;
pandangan palsu akan memberitahukan bahwa konferensi itu merupakan awal
eksekusi. Akhimya, kalau situasi tampak aman, ia akan menggiring seorang antek
dengan todongan pistol untuk mendekatJ perwakilan kliennya dan menyampaikan
ultimatum: kliennya sendiri harus muncul dan berjalan ke tengah-tengah jaring
yang disusun si pembunuh bayaran. Kondisi lain tidak bisa diterima tokoh
utamanya, si klien, harus menjadi penyeimbang yang mematikan. Tempat pertemuan
kedua akan ditetapkan. Klien itu akan tiba terlebih dulu, dan begitu terlihat
tanda-tanda pertama penipuan, ia akan dihabisi. Begitulah cara Jason Bourne.
Begitulah cara yang dilakukan Commando itu kalau ia memiliki separo otak saja
dalam kepalanya. Bus nomor 7421 bergulir anggun memasuki tempatnya di ujung deretan kendaraan
yang memuntahkan wisatawan. Pembunuh berbaju pendeta itu muncul, membantu wanita
tua turun ke jalan, menepuk-nepuk tangan wanita itu sambil mengangguk menyatakan
selamat berpisah dengan lembut. Ia berbalik, berjalan cepat ke belakang bus, dan
menghilang. "Awasi aku sepuluh meter di belakang," kata Jason. "Haiti tindakanku. Kalau aku
berhenti, kau berhenti; kalau aku berbalik, kau berbalik. Tetap berada dalam
keramaian; berpindah-pindahiah dari satu kelompok ke kelompok lain, tapi
pastikan selalu ada orang di sekitarmu."
"Hati-iiati, Delta. Ia bukan amatir."
"Aku juga bukan." Bourne berlari ke belakang bus, berhenti, dan merayap
mengitari mesin belakang yang panas dan berbau busuk. Pendeta itu sekitar lima
puluh meter di depan, setelan hitamnya bagaikan suar gelap dalam cahaya matahari
yang redup. Ada keramaian atau tidak, ia mudah diikuti. Samaran sang Commando
bisa diterima, permainannya juga, tapi seperti sebagian besar samaran, selalu
ada kelemahan yang mencolok tapi tak dikenali. Cara membatasi kelemahan itulah
yang membedakan orang-orang terbaik dari yang sekadar lebih baik. Secara
profesional, Jason menyetujui status kependetaaa itu, bukan wamanya.
Pendeta Roma mungkin terikat pada wama hitam, tapi pendeta Anglikan tidak;
kelabu tua bisa diterima dalam ordo itu. Wama kelabu memudar dalam cahaya
matahari, hitam tidak. Tiba-tiba, pembunuh bayaran itu memisahkan diri dari keramaian dan berjalan di
belakang seorang prajurit Cina yang tengah memotret, kamera-nya terangkat di
depan mata, kepala prajurit itu terus-menerus bergoyang. Bourne mengertL. Orang
itu. bukan prajurit rendahan yang sedang cuti di Beijing terlalu dewasa,


The Bourne Supremacy Karya Robert Ludlum di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seragamnya terlalu baik potongannya seperti komentar d'Anjou tentang perwira
? angkatan darat di dalam truk tadi. Kamera merupakan alat transparan untuk
mengamati keramaian; tempat pertemuan semula tidak jauh. Commando itu sekarang
memainkan peran sepenuhnya, menepuk bahu kiri anggota militer itii dengan sikap
kebapakan. Tangan kirinya tak terlihat, tapi mantel hitamnya memenuhi ruang di
antara mereka sepucuk pistol ditodongkan ke rusuk perwira itu. Prajurit itu ?membeku, ekspresinya kaku bahkan dalam kepanikan. Ia berjalan bersama pembunuh
bayaran yang sekarang mencengkeram lengannya dan memberi perintah. Tiba-tiba,
sama sekali tidak sesuai karakternya, prajurit itu membungkuk, memegangi sisi
Pendekar Laknat 8 Pendekar Slebor 55 Alengka Bersimbah Darah Rahasia Kalung Permata Hijau 1
^