Pencarian

Thousand Splendid Suns 1

A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein Bagian 1


otoy ebook colection Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah
ataupun melar karena harus menampungmu. Hanya akulah yang kaumiliki di dunia
ini. dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa
pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!
Kalimat itu sering kali diucapkan ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin
berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak.
Dan kenekatan Mariam harus dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui
Jalil secara diam-diam, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri.
Sontak kehidupan Mariam pun berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-
ngais cinta di tengah kepahitan sebagai anak haram.Pasrah akan pernikahan yang
dipaksakan, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun dalam
kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.
The Kite Runner, novel pertama Khaled Hosseini. telah mencatat pelbagai prestasi
gemilang: - Terjual lebih dari 8 juta kopi di seluruh dunia
- Diterjemahkan ke dalam 42 bahasa
Lebih dari 2 tahun bertengger di daftar New York Times bestseller?Paramount Pictures membeli hak cipta novel tersebut dan membuat filmnya.
'Inspirasional. menyentuh hati ... menuturkan secara dalam tentang pencarian dan
pengorbanan cinta," Family Circle
?... bertenaga dan sangat mengagumkan." The Washington Post Book World
?mizan NEW YORK TIMES BESTSELLER
Spektakuler... membuat hati pedih, peiut serasa teraduk, dart emosi terkoyak. USA
Today pengolahan emosi yang memukau. New York Post
begitu menghunjam. The Guardian
SEBUAH NOVEL DARI PENULIS BESTSELLER
THE KITE RUNNER a thousand splendid suns "A Thousand Splendid Suns tidak hanya menyuguhkan kepada pembaca tentang
realitas Afghanistan, tetapi juga menunjukkan kemampuan dan bakat
hoseini:melodrama dari setiap plot pelukisan yang tajam penggambaran karakter
hitam-putih dan pengolahan emosi yang memukau." New York Post
"... kisah yang-sangat memilukan tentang perjuangan perempuan Afghan dalam
mengarungi kerasnya hidup." Entertainment Weekly?"Cerita yang mengembangkan imajinasi bagaimana menemukan kembali sebuah
keteguhan hati." Houston Chronicle
?"Siapa pun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atap,
ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi di balik dinding." Puisi dari
?Saib-e-Tabrizi Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala baru,
O cl n 11 cl menemukan makna dari pengalaman hidup i dan kisah-kisah yang kaya
inspirasi. qanita aTHOUSAND SPLENDID SUNS Khaled Hossein Pujian untuk A Thousand Splendid Suns
"Inspirasional, menyentuh hati ... menuturkan secara dalam tentang pencarian dan
pengorbanan cinta." -Family Circle "Emosi terpendam, kekuatan cinta, keindahan, keterlarang-an, dan kesabaran tanpa
batas, semua ditampilkan Khaled Hosseini di A Thousand Splendid Suns."
-Of the Oprah Magazine Spektakuler ... gaya menulis Hosseini membuat hati pedih, perut serasa teraduk,
dan emosi terkoyak .... Hosseini bercerita tentang kesedihan dengan pilihan kata
yang mengagumkan, karakter tokoh yang menawarkan semangat hidup di tengah
pudarnya sebuah harapan."
-USA Today "Sangat layak untuk dibaca!"
-More "Sebuah cerita tentang harapan akan kemenangan, juga kekuatan menepis ketakutan.
Sungguh megah!" -New York Daily News "Hosseini sangat jernih memandang tekstur kehidupan sehari-hari dan
melukiskannya dalam bingkai kemanusiaan."
-Los Angeles Times "Sisi patriotisme dalam A Thousand Splendid Suns ditampilkan sepanjang buku dan
lekat dalam imajinasi kita."
-Miami Herald "Karakter-karakter dalam buku ini sangat menonjol, seolah memasukkan pembaca ke
dalam sebuah imajinasi dan menunjukkan pemecahan masalah hidup."
-Minneapolis Star-Tribune
"Narasi Hosseini sangat jeli menangkap detail kehidupan dan memolesnya menjadi
sebuah cerita kemanusiaan yang tak lekang oleh waktu."
-San Francisco Chronichle
"Telah banyak yang kita petik dari The Kite Runner, namun masih banyak lagi yang
akan kita dapatkan di A Thousand Splendid Suns .... Bertenaga dan sangat
mengagumkan." -The Washington Post Book World
"Novel yang menawarkan cerita penusuk tulang, menyajikan potret kehidupan Afghan
secara utuh." -Bookmarks Magazine "Cerita yang memilukan tentang dua perempuan Afghan dalam mempertahankan hidup
dengan segenap kekuatan mereka."
Booklist?Buku ini kupersembahkan untuk Haris dan Farah, keduanya adalah noor di mataku,
dan kepada seluruh wanita di Afghanistan.
Tentang Penulis Khaled Hosseini adalah putra seorang guru 5MA dan diplomat yang dilahirkan di
Kabul pada 1965. Ayah Hosseini ditugaskan ke Paris, Prancis, pada 1976. Saat
mereka seharusnya kembali ke Afghanistan pada 1980, negeri ini berada dalam
pendudukan Soviet. Keluarga Hosseini mendapatkan suaka politik dari pemerintah
AS, dan di negara inilah, tepatnya di San Jose, California, mereka tinggal
hingga saat ini. Hosseini menuntut ilmu di Santa Clara University dan lulus dari San Diego School
of Medicine. Sejak 1996 hingga kini, dia berpraktik sebagai dokter.
Novelnya yang pertama, The Kite Runner, telah memenangi berbagai penghargaan di
seluruh dunia dan menjadi buku terlaris sepanjang 2005. Berkat novel tersebut,
yang berlatar belakang persahabatan, kemanusiaan, dan universalisme, Khaled
Hosseini menerima Humanitarian Award 2006 dari UNHCR. []
Ucapan Terima Kasih Beberapa klarifikasi sebelum saya berterima kasih. Desa Gul Daman adalah sebuah
tempat fiktif sejauh pengetahuan saya. Mereka yang mengenal Kota Herat akan
?menyadari bahwa saya tidak terlalu banyak menggambarkan detail-detail geografis
daerah di sekelilingnya. Terakhir, judul novel ini berasal dari sebuah puisi
yang ditulis oleh Saeb-e-Tabrizi, seorang pujangga Persia yang berasal dari abad
ketujuh belas. Mereka yang mengetahui versi asli berbahasa Farsi puisi ini tidak
diragukan lagi akan menyadari bahwa terjemahan baris yang berisi judul novel ini
tidak dilakukan secara harfiah. Tetapi, terjemahan dari Dr. Josephine Davis ini
telah diterima secara umum, dan saya sangat menyukainya. Saya bersyukur karena
beliau menerjemahkannya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Qayoum Sarwar, Hekmat Sadat, Elyse
Hathaway, Rosemary Stasek, Lawrence Quill, dan Haleema Jazmin Quill untuk
bantuan dan dukungan mereka.
Ucapan terima kasih yang teramat sangat saya tujukan kepada ayah saya, Baba,
yang telah membaca manuskrip novel ini, memberikan masukan, dan, yang lebih penting,
memberikan kasih sayang dan dukungan. Dan juga untuk ibu saya, yang jiwa lemah
lembut dan kerendahhatiannya menjadi napas bagi kisah ini. Dirimulah alasanku,
Mother jo. Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua mertua saya
karena kebaikan hati mereka. Untuk keluarga besar saya yang hangat, saya selalu
merasa berutang budi dan bersyukur atas keberadaan kalian.
Saya juga ingin berterima kasih kepada agen saya, Elaine Koster, karena selalu
dan tak pernah berhenti menancapkan keyakinan, Jody Hotchkiss (Maju!), David
Grossman, Helen Heller, dan Chandler Crawford yang tak kenal lelah. Saya
berutang budi kepada semua orang di Riverhead Books. Terutama, saya ingin
berterima kasih kepada Susan Petersen Kennedy dan Geoffrey Kloske karena
keyakinan mereka atas kisah ini. Ucapan terima kasih dari lubuk hati yang
terdalam saya tujukan kepada Marilyn Ducksworth, Mih-Ho Cha, Catharine Lynch,
Craig D. Burke, Leslie Schwartz, Honi Werner, dan Wendy Pearl. Secara khusus,
saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada editor cetak saya yang cermat,
Tony Davis, yang tidak akan melewatkan secuil pun kesalahan, dan, terakhir,
untuk editor saya yang berbakat, Sarah McGrath, untuk kesabarannya, ramalannya,
dan panduannya. Sebagai penutup, terima kasih, Roya, karena telah membaca kisah ini berulang-
ulang, karena telah meredakan sejumlah kasus kecil krisis
kepercayaan diriku (dan juga beberapa yang besar), juga karena tidak pernah
meragukanku. Buku ini tidak akan menjadi seperti ini tanpamu. Aku mencintaimu.
BAB 1 Mariam baru berusia lima tahun ketika pertama kali mendengar kata harami.
Peristiwa itu terjadi pada suatu Kamis. Tentunya begitu, karena Mariam ingat
bahwa dia sibuk bekerja pada hari itu, seperti yang biasa dilakukannya setiap
Kamis, hari kunjungan Jalil ke koiba. Untuk melewatkan waktu hingga Jalil tiba
menjumpainya, berjalan menembus ilalang dan melambaikan tangan, Mariam naik ke
kursi dan menurunkan satu set cangkir porselen Cina milik ibunya. Benda tersebut
adalah peninggalan satu-satunya yang dimiliki ibu Mariam, Nana, dari ibunya yang
meninggal ketika Nana berusia dua tahun. Nana sangat melindungi setiap cangkir
porselen berwarna biru dan putih itu, lekukan anggun mulut tekonya, burung-
burung pipit dan bunga-bunga krisan yang digambar tangan di permukaannya, gambar
naga penolak bala di mangkuk gulanya.
Mangkuk mungil itulah yang merosot dari jemari Mariam, lalu jatuh dan pecah
berhamburan di lantai kayu khoiba. Ketika Nana melihatnya, wajahnya
merah padam, bibir atasnya gemetar, dan matanya, baik yang juling maupun yang
normal, memelototi Mariam tanpa berkedip. Nana tampak sangat marah sehingga
Mariam takut jin akan merasuki tubuh ibunya lagi. Tetapi, kali ini jin tidak
datang. Alih-alin, Nana mencengkeram pergelangan tangan Mariam, menariknya, dan,
melalui sela-sela giginya yang terkatup, mengatakan, "Dasar harumi kecil
ceroboh. Inilah ganjaran yang kudapatkan setelah hidup sengsara. Harumi ceroboh
kecil yang menghancurkan warisanku."
Ketika itu, Mariam tidak mengerti. Dia tidak tahu makna harami anak haram. Dan,?dia juga belum cukup besar untuk memahami ketidakadilannya, untuk melihat bahwa
para pencipta haramHah yang seharusnya disalahkan, bukan harami, yang berdosa
hanya karena dilahirkan di dunia. Mariam memang bisa menebak bahwa, dari cara
Nana mengatakannya, harami bermakna buruk dan menjijikkan, seperti serangga,
seperti kecoak yang selalu menjadi korban sumpah serapah Nana sebelum disapu
keluar dari koiba. Nantinya, ketika dia telah lebih besar, Mariam baru mengerti. Cara Nana
mengucapkan kata itulah yang lebih seperti meludah padanya yang membuat Mariam? ?tersengat. Dia baru mengerti apa maksud Nana, bahwa harami adalah anak yang
tidak diinginkan; bahwa dia, Mariam, adalah anak haram yang tidak akan pernah
mendapatkan hak seperti yang didapatkan orang lain. Tidak akan mendapatkan
cinta, keluarga, rumah tangga, dan
penerimaan. Jalil tidak pernah menyebut Mariam dengan istilah itu. Menurut Jalil, Mariam
adalah bunga mungilnya. Dia suka mendudukkan Mariam di pangkuannya dan
menceritakan banyak kisah untuknya, seperti ketika dia mengatakan pada 1959
bahwa Herat, kota kelahiran Mariam, pernah menjadi jantung kebudayaan Persia,
kampung halaman para penulis, pelukis, dan Sufi.
"Kau tidak akan bisa merentangkan kakimu tanpa menjejak bokong seorang
pujangga," gelaknya.
Jalil mengisahkan Rati Gauhar Shad, yang pada abad kelima belas mendirikan
kubah-kubah termasyhurnya sebagai pembuktian cinta pada Herat. Jalil
menceritakan kepada Mariam tentang bentangan hijau ladang gandum di Herat,
kebun-kebun buahnya, sulur-sulur anggur dengan buah yang ranum, pasar-pasar
beratap melengkung yang selalu penuh sesak.
"Ada sebatang pohon pistachio," kata Jalil pada suatu hari, "dan di bawahnya,
Mariam jo, tidak lain adalah kuburan seorang pujangga besar, Jami." Dia
mencondongkan tubuh ke arah Mariam dan berbisik, "Jami hidup hingga berumur
lebih dari lima ratus tahun. Ini benar. Aku pernah membawamu ke sana dulu, ke
pohon itu. Waktu itu kau masih kecil. Kau pasti sudah lupa."
Memang benar. Mariam tidak bisa mengingatnya. Dan, meskipun sepanjang lima belas
tahun pertama kehidupannya Mariam bisa dengan mudah berjalan kaki ke Herat, dia
tidak akan pernah melihat pohon
yang ada dalam cerita itu. Dia tidak akan pernah melihat menara terkenal itu
dari dekat, dan dia juga tidak akan pernah memetik buah dari kebun-kebun buah
Herat atau berjalan-jalan di ladang gandumnya. Tetapi, kapan pun Jalil
membicarakan kota ini, Mariam akan mendengarkan dengan takjub. Dia akan
mengagumi Jalil yang berpengetahuan luas. Dia akan merasakan gejolak kebanggaan
karena memiliki ayah sepintar itu.
"Dasar penipu!" kata Nana setelah Jalil pergi. "Semakin kaya seseorang, semakin
besar mulutnya. Dia tak pernah membawamu ke pohon mana pun. Jangan sampai
omongannya memakanmu. Dia telah mengkhianati kita, ayahmu tersayang itu. Dia
mendepak kita. Dia mendepak kita dari rumah mewahnya, seolah-olah kita tidak
berarti apa-apa baginya. Dia melakukannya dengan senang hati."
Mariam akan mendengarkan kata-kata ibunya dengan patuh. Dia tidak pernah berani
mengatakan kepada ibunya betapa dia membenci cara Nana membicarakan Jalil.
Kenyataannya, jika berada di dekat Jalil, Mariam sama sekali tidak merasa
seperti seorang harami. Setiap Kamis, selama satu atau dua jam, ketika Jalil
mengunjunginya, tersenyum lebar dan membawa banyak oleh-oleh, Mariam merasa
layak mendapatkan segala macam keindahan dan penghargaan dalam kehidupan. Dan,
karena itulah, Mariam mencintai Jalil.
Meskipun dia harus membaginya.
Jalil memiliki tiga orang istri dan sembilan orang anak, kesembilan-sembilannya
anak yang sah, dan semuanya orang asing bagi Mariam. Jalil adalah salah seorang
pria terkaya di Herat. Dia memiliki sebuah gedung bioskop, yang tidak pernah
dilihat oleh Mariam. Jalil menggambarkan tempat itu ketika Mariam mendesaknya,
dan karena itulah Mariam mengetahui tentang genting tembikar cokelatnya, balkon-
balkon pribadinya, dan langit-langitnya yang terbuat dari jalinan kayu. Di balik
dua daun pintunya terdapat sebuah lobi, tempat poster-poster film India dipajang
di balik kaca. Setiap Selasa, kata Jalil pada suatu hari, anak-anak mendapatkan
es krim gratis. Nana hanya tersenyum ketika mendengar Jalil bercerita. Dia menunggu hingga Jalil
meninggalkan koiba sebelum mencibir dan berkata, "Anak-anak orang asing saja
diberi es krim olehnya. Apa yang dia berikan padamu, Mariam" Cerita tentang es
krim." Selain memiliki gedung bioskop, Jalil juga memiliki tanah di Karokh,
tanah di Farah, tiga buah toko permadani, sebuah toko pakaian, dan sebuah Buick
Roadmaster keluaran 1956. Dia adalah salah seorang tokoh masyarakat di Herat,
berkawan dengan wali kota dan gubernur. Dia punya seorang koki, seorang sopir,
dan tiga orang pembantu rumah tangga.
Dahulu, Nana adalah salah seorang pembantunya. Hingga perutnya mulai membuncit.
Yang selanjutnya terjadi adalah, kata Nana,
keluarga besar Jalil mengendusnya. Ipar-iparnya bersumpah bahwa akan terjadi
pertumpahan darah. Istri-istrinya menuntut supaya Jalil mengusir Nana. Ayah Nana
sendiri, seorang pemahat batu miskin yang tinggal di desa Gul Daman di dekat
Herat, tidak mengakui Nana lagi sebagai putrinya. Dengan harga diri terluka,
pria itu mengemasi barang-barangnya dan menumpang bus ke Iran, tidak pernah
terdengar lagi kabarnya hingga kini.
"Kadang-kadang," kata Nana pada suatu pagi sembari memberi makan ayam di luar
kolba, "kuharap ayahku punya keberanian untuk mengasah pisaunya dan membela
kehormatanku. Keadaanku mungkin akan menjadi lebih baik." Dia melemparkan
segenggam dedak ke kawanan ayam, terdiam, dan menatap Mariam. "Lebih baik juga
untukmu, mungkin. Kau tidak akan sedih jika tahu siapa sebenarnya dirimu. Tapi,
dia memang pengecut, ayahku itu. Dia tidak punya dil, nyali, untuk
melakukannya." Jalil juga tidak punya dil, kata Nana, untuk melakukan hal terhormat. Untuk
berdiri di hadapan keluarganya, istri-istrinya dan ipar-iparnya, dan bertanggung
jawab atas apa yang dia lakukan. Alih-alih, di balik pintu tertutup, kesepakatan
untuk menyelamatkan muka segera dia siapkan. Keesokan harinya, Jalil menyuruh
Nana mengemasi barang-barangnya dari kamar pembantu, tempat tinggalnya, dan
mengusirnya. "Kau tahu apa yang dia katakan kepada istri-istrinya untuk membela diri" Bahwa


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mendesakkan diri padanya. Bahwa semua itu salahku. Didi" Kau lihat" Begitulah
arti perempuan di dunia ini."
Nana meletakkan mangkuk dedaknya. Dia mengangkat dagu Mariam dengan jari
telunjuknya. "Lihatlah aku, Mariam."
Meskipun enggan, Mariam menurutinya.
Nana berkata, "Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus, anakku: Seperti jarum
kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung
untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam."[]
BAB 2 ff agi Jalil dan ketiga istrinya, aku adalah akar
JLJberacun. Gulma. Kau juga. Dan, kau bahkan belum dilahirkan."
"Apa artinya gulma?" tanya Mariam.
"Rumput liar," kata Nana. "Sesuatu untuk dicabut dan dibuang." Di dalam hati,
Mariam mengerutkan kening. Jalil tidak memperlakukannya seperti rumput liar. Dia
tidak pernah berbuat seperti itu. Tetapi, menurut Mariam lebih bijaksana jika
dia menahan protesnya. "Tidak seperti rumput liar biasa, aku harus ditanam
kembali, kau tahu, diberi makanan dan air. Demi kamu. Itulah kesepakatan yang
dibuat Jalil dengan keluarganya."
Kata Nana, dia menolak tinggal di Herat.
"Untuk apa" Supaya bisa melihat istri kinchini -nya di kota setiap hari?"
Katanya, dia juga tidak mau meninggali rumah kosong ayahnya di desa Gul Daman,
yang berada di atas sebuah bukit terjal, dua kilometer di sebelah utara Herat.
Katanya, dia ingin tinggal di suatu tempat yang jauh dan terpencil, supaya para
tetangga tidak akan memandangi perutnya,
menudingnya, mencibirinya, atau, yang lebih buruk lagi, menyiksanya dengan
kebaikan berpamrih. "Dan, percayalah padaku," kata Nana, "ayahmu lega karena aku menyingkir. Dia
sama sekali tidak keberatan."
Muhsin, anak tertua Jalil dari istri pertamanya, Khadija, menyarankan sebuah
lahan terbuka yang terletak di pinggiran Gul Daman. Untuk mencapainya dibutuhkan
perjalanan melewati jalan tanah menanjak, cabang dari jalan utama yang
menghubungkan antara Herat dan Gul Daman. Jalan itu dipagari oleh rerumputan
setinggi lutut dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning cerah, berkelok
mendaki bukit hingga tiba di sebuah tanah datar tempat pohon-pohon poplar dan
kapuk menjulang tinggi, dan semak-semak bergerombol di sana-sini. Dari atas
sana, tampaklah bilah-bilah berkarat kincir angin Gul Daman, di sebelah kiri, di
sebelah kanan, seluruh penjuru Herat terbentang di bawah. Jalan itu menikung
tajam menuju sebuah sungai luas dengan banyak ikan trout yang mengalir dari
pengunungan Safid-koh di sekeliling Gul Daman. Dua ratus meter melawan arus
sungai, ke arah pegunungan, terdapat sekelompok pohon weeping willow yang
berdiri melingkar. Di tengahnya, di bawah naungan pohon-pohon willow,
terletaklah lahan terbuka itu.
Jalil pergi ke sana untuk melihat-lihat. Ketika dia pulang, kata Nana, dia
terdengar seperti seorang kepala penjara yang membangga-banggakan kebersihan
tembok dan kilauan lantai penjaranya.
"Begitulah, ayahmu membangun lubang tikus ini untuk kita."
O Nana pernah hampir menikah sekali, ketika berusia lima belas tahun. Jodohnya
adalah seorang pemuda dari Shindand, seorang pedagang burung parkit. Mariam
mendengar cerita ini dari Nana sendiri, dan, meskipun Nana bersikap tak peduli,
Mariam tahu dari secercah kilauan di matanya bahwa ibunya bahagia ketika itu.
Mungkin Nana hanya pernah sekali merasakan kebahagiaan sejati dalam
kehidupannya, yaitu pada hari-hari menjelang pernikahannya.
Ketika Nana bercerita, Mariam duduk di pangkuannya dan membayangkan ibunya
mencoba gaun pengantin. Dia membayangkan ibunya duduk di punggung kuda,
tersenyum malu di balik gaun bercadar hijau, telapak tangannya digambari dengan
henna merah, rambutnya dibelah dengan serbuk perak, dikepang di bagian bawahnya.
Dia melihat para musisi meniup seruling shahnai dan menggebuk drum dohol, bocah-
bocah cilik bersorak-sorai dan mengejarnya.
Lalu, seminggu sebelum hari pernikahannya, jin merasuki tubuh Nana. Mariam tidak
perlu mendengarkan penjelasan tentang hal ini. Dia pernah beberapa kali
menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri: Nana tiba-tiba roboh, tubuhnya
kaku dan kejang, matanya berputar ke belakang,
lengan dan kakinya gemetar seolah-olah ada yang mencekiknya dari dalam, di sudut
mulutnya terdapat busa putih, kadang-kadang merah jambu karena bercampur darah.
Lalu, pikirannya melayang, kebingungannya menakutkan, igauannya tak tentu arah.
Ketika kabar itu tiba di telinga Shindand, keluarga pedagang burung parkit ini
membatalkan pernikahan. "Mereka ketakutan," pikir Nana.
Gaun pernikahan pun disimpan kembali. Setelah itu, tidak ada lagi jodoh yang
mendatangi Nana. 0 Di tanah lapang itu, Jalil dan kedua anak laki-lakinya, Farhad dan Muhsin,
mendirikan kolba kecil tempat Mariam menjalani lima belas tahun pertama
kehidupannya. Mereka membangun tempat itu dengan batu bata yang dikeringkan di
bawah sinar matahari dan melapisi dengan lumpur dan sedikit jerami. Di dalam
pondok itu terdapat dua buah ranjang kecil, sebuah meja kayu, dua buah kursi
berpunggung lurus, sebuah jendela, dan sebuah rak yang dipaku ke dinding, tempat
Nana menempatkan panci-panci tembikar dan set cangkir Cina kesayangannya. Jalil
meletakkan tungku pemanas besi tempa untuk digunakan pada musim dining dan
menimbun bilah kayu bakar di belakang kolba. Di luar, Jalil juga meletakkan
sebuah tandoor, oven lempung, untuk membuat roti, dan kandang
ayam dengan pagar di sekelilingnya. Dia membawa beberapa ekor domba dan
membangun sebuah bak makanan untuk binatang-binatang itu. Dia menyuruh Farhad
dan Muhsin menggali lubang sedalam sembilan puluh meter di luar lingkaran willow
dan membangun sebuah bilik jamban di dalamnya.
Jalil bisa saja membayar orang lain untuk membangun kolba, kata Nana, namun dia
justru melakukannya sendiri.
"Menurutnya, ini sama saja dengan melebur dosa."
Menurut nana, tidak seorang pun datang menolong ketika dia melahirkan Mariam.
Peristiwa itu terjadi pada suatu hari yang lembap dan berawan dalam musim semi
1959, kata Nana, tahun kedua puluh enam dari empat puluh tahun masa pemerintahan
Raja Zahir Shah. Nana mengatakan bahwa Jalil tidak mau repot-repot memanggilkan
seorang dokter, atau bahkan seorang bidan, meskipun dia tahu bahwa jin bisa saja
merasuki Nana dan mengganggu persalinannya. Nana berbaring sendirian di lantai
kolba, sebuah pisau tergeletak di sampingnya, keringat membanjiri tubuhnya.
"Ketika rasa sakitku semakin parah, aku menggigit sebuah bantal dan meredam
jeritanku dengan benda itu, hingga suaraku pun lenyap. Dan tetap saja, tidak
seorang pun datang untuk menyeka
keringatku ataupun memberiku minuman. Dan kamu, Mariam jo, kau tidak terburu-
buru. Selama hampir dua hari, kau membuatku tergolek di lantai yang keras dan
dingin itu. Aku tidak makan ataupun minum. Yang bisa kulakukan hanyalah mengejan
dan berdoa supaya kau cepat keluar." "Maafkan aku, Nana."
"Aku sendiri yang memotong tali pusar penghubung kita. Karena itulah aku
menyediakan pisau." "Maafkan aku."
Nana selalu menyunggingkan senyuman letih penuh beban di sini. Apakah senyuman
ini menunjukkan bahwa Nana masih menyalahkannya atau memaafkannya meskipun
berat, Mariam tidak pernah tahu. Tidak pernah terpikir bagi Mariam kecil betapa
tidak adilnya bahwa dia harus meminta maaf karena proses kelahirannya.
Mariam baru menyadarinya ketika dia berumur sepuluh tahun. Dia tidak lagi
memercayai cerita kelahirannya. Dia memercayai cerita Jalil, bahwa meskipun
tinggal jauh dari mereka, ayahnya itu telah mengatur supaya Nana dibawa ke rumah
sakit di Herat supaya dapat ditangani oleh seorang dokter. Nana berbaring di
ranjang yang bagus dan berseprai bersih, di ruangan yang terang. Jalil
menggeleng dengan sedih ketika Mariam menceritakan kepadanya tentang pisau itu.
Mariam juga meragukan pengakuan ibunya bahwa dia membuat sang ibu menderita
selama dua hari penuh. "Kata orang-orang di rumah sakit, proses kelahiranmu hanya memakan waktu kurang
dari satu jam," itulah yang dikatakan Jalil. "Kau anak perempuan yang baik, Mariam jo.
Bahkan ketika sedang dilahirkan, kau sudah menjadi anak baik."
"Dia bahkan tidak di sana!" ledak Nana. "Dia ada di Takht-e-Safar, menunggang
kuda bersama teman-teman kayanya."
Ketika mendapatkan kabar bahwa dia mendapatkan anak perempuan, kata Nana, Jalil
hanya mengangkat bahu, mengelus-elus surai kudanya, dan tetap tinggal di Takht-
e-Safar hingga dua minggu kemudian.
"Kenyataannya, dia bahkan baru menggendongmu ketika umurmu sudah satu bulan. Dan
ketika itu pun dia hanya menunduk sekali, mengomentari wajahmu yang panjang, dan
mengembalikanmu kepadaku."
Mariam pun tidak meyakini bagian cerita ini. Ya, Jalil mengakui, dia memang
menunggang kuda di Takht-e-Safar, tetapi, ketika mendengar kabar ini, dia tidak
mengangkat bahu. Dia melompat turun dari kudanya dan bergegas kembali ke Herat.
Dia mengayun-ayunkan Mariam di dalam pelukannya, mengelus alis Mariam dengan ibu
jarinya, dan menyenandungkan sebuah lagu untuk menidurkannya. Mariam tidak bisa
membayangkan Jalil mengomentari wajah panjangnya, meskipun wajahnya memang
panjang. Kata Nana, nama Mariam diambil dari nama ibunya. Kata Jalil, nama Mariam, bunga
teratai, dia pilih karena teratai adalah bungan yang cantik.
"Bunga kesukaan Ayah?" tanya Mariam.
"Ya, salah satu kesukaanku," katanya sambil tersenyum. []
BAB 3 Salah satu kenangan yang paling melekat di benak Mariam adalah decitan roda besi
gerobak yang menggilas bebatuan. Gerobak itu datang setiap bulan, berisi beras,
terigu, teh, gula, minyak goreng, sabun, dan pasta gigi, dan didorong oleh dua
orang saudara tiri laki-laki Mariam, biasanya Muhsin dan Ramin, kadang-kadang
Ramin dan Farhad. Mendaki jalan tanah, menggilas bebatuan dan kerikil, melewati
lubang-lubang dan semak-semak, kedua anak laki-laki itu bergiliran mendorong
hingga mereka tiba di sungai. Di sana, gerobak itu harus dikosongkan dan isinya
diangkut menyeberangi sungai. Lalu, kedua anak laki-laki itu akan mendorong
gerobak menembus air dan memasukkan lagi muatannya. Mereka harus mendorong
hingga sekitar dua ratus meter lagi, kali ini menembus ilalang yang lebat dan
tinggi dan menghindari semak-semak. Kodok-kodok menyingkir dari jalan mereka.
Kedua anak itu mengusir nyamuk dari wajah berkeringat mereka.
"Bukankah Ayah punya pelayan," kata Mariam. "Dia bisa menyuruh pelayan."
"Peleburan dosa menurutnya," kata Nana.
Suara putaran roda gerobak mengundang Mariam dan Nana keluar. Mariam akan selalu
mengingat sikap Nana pada Hari Pengiriman Jatah: seorang wanita jangkung dan
kerempeng, berdiri bertelanjang kaki di ambang pintu, mata julingnya memicing,
lengannya terlipat dengan gaya menantang dan melecehkan. Rambut pendeknya yang
merah terbakar matahari kusut tanpa balutan kerudung. Dia akan mengenakan baju
kelabu kedodoran yang dikancingkan hingga ke leher. Sakunya penuh berisi kerikil
sebesar biji kenari. Kedua anak laki-laki itu duduk di pinggir sungai dan menanti Mariam dan Nana
memindahkan jatah mereka ke kolba. Mereka tahu bahwa sebaiknya mereka tidak
mendekat, meskipun bidikan Nana payah dan sebagian besar kerikilnya meleset dari
targetnya. Nana menyumpahi kedua anak laki-laki itu sembari menggotong karung
beras ke dalam, dan mengejek mereka dengan nama-nama yang tidak dimengerti
Mariam. Nana mengutuk ibu-ibu mereka, memasang wajah galak di depan mereka.
Anak-anak itu tidak pernah membalas hinaan yang mereka terima.
Mariam merasa kasihan terhadap mereka. Betapa lelahnya lengan dan kaki mereka,
pikirnya dengan iba, mendorong beban seberat itu. Dia berharap dapat menawari
mereka air minum. Tetapi, dia tidak berkata-kata, dan jika mereka melambai, dia
tidak membalasnya. Suatu ketika, untuk menyenangkan hati Nana, Mariam bahkan
meneriaki Muhsin, mengatakan padanya bahwa mulutnya seperti pantat kadal dan setelah itu, dia pun?merasa bersalah, malu, dan takut jika mereka memberi tahu Jalil. Meskipun
begitu, Nana tertawa begitu kencang, memamerkan gigi-gigi depannya yang busuk,
sehingga Mariam berpikir bahwa dia kerasukan. Setelah tawanya mereda, Nana
menatap Mariam dan mengatakan, "Kau memang anak yang baik."
Ketika gerobak telah kosong, anak-anak itu memutarnya dan mendorongnya pergi.
Mariam akan diam menyaksikan mereka menghilang ditelan ilalang tinggi dan semak-
semak berbunga liar. "Kau akan masuk?"
"Ya, Nana." "Mereka sedang menertawakanmu. Aku mendengar mereka."
"Aku akan masuk."
"Kau tidak percaya kepadaku?"
"Aku sudah masuk."
"Kau tahu bahwa aku menyayangimu, Mariam jo."
<" Pada pagi hari, Mariam dan ibunya terbangun karena embikan domba di kejauhan dan
alunan seruling bernada tinggi dari para penggembala Dul Gaman yang menggiring
ternak mereka ke hamparan rumput di sisi gunung. Mariam dan Nana memerah
kambing, memberi makan ayam, dan mengumpulkan telur. Mereka membuat roti berdua.
Nana mengajarkan kepada Mariam cara menguleni adonan, memanaskan tandoor, dan
memasukkan adonan yang sudah diratakan ke dalam tandoor. Nana juga mengajari
Mariam menjahit, menanak nasi, dan memasak berbagai macam sayur: semur shalqam
dengan lobak, sabzi bayam, kembang kol berbumbu jahe.
Nana tidak menutup-nutupi kebenciannya terhadap tamu bahkan terhadap semua
?orang namun dia membuat perkecualian untuk beberapa orang terpilih. Di
?antaranya adalah seorang tokoh masyarakat Gul Daman, arbab desa bernama Habib
Khan, seorang pria berkepala mungil, berjanggut, dan berperut buncit, yang
datang sekitar sebulan sekali, diikuti oleh seorang pelayan yang menenteng
seekor ayam, kadang-kadang sepanci nasi kichiri, atau sekeranjang telur bercat
untuk Mariam. Lalu, ada seorang wanita tua bertubuh gemuk yang dipanggil Bibi jo oleh Nana,
janda seorang pemahat kayu kawan ayahnya. Bibi jo selalu ditemani oleh salah
satu dari enam orang menantu perempuannya dan satu atau dua cucunya. Dia
berjalan terpincang-pincang melintasi tanah lapang dan dengan dramatis memijat
pinggulnya dan mendudukkan diri, dengan desahan kesakitan, ke kursi yang ditarik
Nana untuknya. Bibi jo selalu membawa oleh-oleh untuk Mariam, sekotak permen
dishlemeh, sekeranjang buah kesemek. Dengan Nana, pertama-tama Bibi jo akan
mengeluhkan kondisi kesehatannya, lalu melanjutkannya dengan menyampaikan gosip-
gosip dari Herat dan Gul Daman, menyampaikan dengan panjang dan meriah, sementara menantunya duduk
mendengarkan dengan tenang dan patuh di belakangnya.
Tetapi, tamu kesukaan Mariam, selain Jalil, tentu saja, adalah Mullah Faizullah,
seorang tetua yang menjadi akhund, guru mengaji, di desa. Dia datang satu atau
dua kali dalam seminggu dari Gul Daman untuk mengajarkan kepada Mariam cara
melakukan shalat lima waktu dan mengaji Al Quran, seperti yang dahulu dia
ajarkan kepada Nana kecil. Mullah Faizullah juga mengajari Mariam membaca,
dengan sabar menanti ketika bibir gadis kecil itu mengeluarkan kata-kata yang
dibacanya tanpa suara dan jari telunjuknya meraba setiap kata, tertekan di buku
hingga kukunya memutih, seolah-olah dengan menekannya makna kata itu dapat hadir
begitu saja. Mullah Faizullah menggenggam tangannya, mengarahkan pensil untuk
mengguratkan garis lurus alif, lengkungan ba, dan ketiga titik cea.
Mullah Faizullah bertubuh kerempeng dan bungkuk, dengan senyuman tanpa gigi dan
janggut putih yang memanjang hingga ke perut. Biasanya dia datang sendirian ke
kolba, meskipun kadang-kadang ditemani oleh Hamza, anak laki-lakinya yang
berambut cokelat kemerahan dan berusia lima tahun lebih tua daripada Mariam.
Ketika guru mengajinya itu muncul di kolba, Mariam mencium tangannya yang ?terasa seperti mencium ranting pohon berlapis kulit dan Mullah Faizullah balas
?mencium kening Mariam sebelum mereka berdua duduk untuk
pelajaran hari itu. Setelah itu, mereka berdua duduk di luar kolba, menyantap
biji pinus dan menyesap teh hijau seraya menyaksikan burung bulbul berlompatan
dari pohon ke pohon. Kadang-kadang, mereka berjalan-jalan di antara daun-daun
keemasan yang gugur ke tanah dan semak-semak aider, menyusuri sungai ke arah
pegunungan. Mullah Faizullah mengurut tasbihnya sambil berjalan, dan, dengan
suara bergetarnya, menceritakan kepada Mariam berbagai hal yang dia lihat pada
masa mudanya, seperti ular berkepala dua yang dia temukan di Iran, di Jembatan
Tiga Puluh Tiga Lengkung di Isfahan, atau semangka yang dia belah di depan
Masjid Biru di Mazar, dengan biji bijinya yang membentuk kata Allah di satu
?belahan dan Akbar di belahan yang lain.
Mullah Faizullah mengakui kepada Mariam bahwa dahulu dia tidak memahami makna
kata-kata dalam Al Quran. Tetapi, katanya, dia menyukai bunyi memikat kata-kata
Arab itu ketika mengalun keluar dari mulutnya. Katanya, kata-kata itu
menenangkannya, melipur hatinya.
"Ayat-ayat Al Quran juga akan membuatmu tenang, Mariam jo," katanya. "Kau bisa
melafalkannya kapan pun kau mau, dan ayat-ayat itu akan menjagamu. Kata-kata


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuhan tidak akan mengkhianatimu, Anakku."
Selain bercerita, Mullah Faizullah juga mendengarkan cerita. Ketika Mariam
berbicara, perhatian sang Mullah tidak pernah terbagi. Dia mengangguk pelan-
pelan dan tersenyum penuh
syukur, seolah-olah lantaran dia dianugerahi sebuah kepercayaan besar. Mudah
bagi Mariam untuk menceritakan kepada Mullah Faizullah berbagai hal yang tidak
bisa dia ceritakan kepada Nana.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang berjalan-jalan, Mariam mengatakan kepada
gurunya bahwa dia berharap dapat bersekolah.
"Maksud saya sekolah yang sebenarnya, akhund sahib. Yang ada kelasnya. Seperti
anak-anak ayah saya yang lain."
Mullah Faizullah berhenti.
Seminggu sebelumnya, Bibi jo menyampaikan kabar bahwa kedua putri Jalil, Saideh
dan Naheed, akan belajar di Sekolah Mehri, sekolah khusus anak perempuan di
Herat. Sejak saat itu, pikiran tentang ruang kelas dan guru bermain-main di
dalam kepala Mariam, bayangan buku tulis dengan halaman bergaris, barisan angka,
dan pena yang menorehkan huruf tebal dan hitam. Mariam membayangkan dirinya
berada di dalam kelas bersama gadis-gadis sebayanya. Mariam mendambakan dapat
meletakkan penggaris di buku dan menggambar garis-garis yang tampak penting.
"Itukah yang kauinginkan?" tanya Mullah Faizullah seraya menatapnya dengan
matanya yang basah, tangannya berada di punggung bungkuknya, bayangan serbannya
menimpa kuntum-kuntum bunga liar.
"Ya." "Dan kau ingin aku memintakanmu izin pada ibumu."
Mariam tersenyum. Dia merasa tidak ada seorang pun yang dapat memahaminya
kecuali Jalil dan guru tuanya.
"Kalau memang begitu, bisa apa aku" Allah yang Mahabijaksana memberikan
kelemahan kepada setiap manusia, dan di antara begitu banyak kelemahanku adalah
aku tidak berdaya menolakmu, Mariam jo," katanya, menepuk pipi Mariam dengan
jari telunjuk kurusnya. Tetapi kemudian, ketika mendengar keinginan Mariam, Nana menjatuhkan pisau yang
sedang digunakan untuk mengiris bawang. "Untuk apa?"
"Jika seorang anak perempuan ingin belajar, biarkanlah dia belajar, Anakku.
Biarkanlah anak perempuanmu mendapatkan pendidikan."
"Belajar" Belajar apa, Mullah sahib?" tukas Nana dengan tajam. "Apa yang bisa
dia pelajari?" Dia mengalihkan tatapannya ke Mariam.
Mariam menunduk, memandangi jemarinya.
"Apa gunanya menyekolahkan seorang anak perempuan sepertimu" Sama saja dengan
memoles peludahan. Tidak ada ilmu yang bisa kau pelajari di sekolah. Yang ada
hanya satu, hanya ada satu keahlian yang harus dikuasai perempuan seperti kita
dalam kehidupan ini, dan itu tidak diajarkan di sekolah. Lihatlah aku."
"Kau seharusnya tidak berbicara seperti itu kepadanya, Anakku," Mullah Faizullah
menasihati. "Lihatlah aku."
Mariam mematuhi ibunya. "Hanya ada satu keahlian. Tahamut. Bertahan."
"Bertahan terhadap apa, Nana?"
"Oh, tak usahlah kau ributkan tentang itu," tukas Nana. "Kita tidak akan
kekurangan di sini."
Nana lantas mengatakan bahwa istri-istri Jalil menyebut dirinya anak tukang batu
miskin yang buruk rupa. Bagaimana mereka menyuruhnya mencuci baju di luar dalam
udara yang dingin, hingga wajahnya mati rasa dan ujung-ujung jarinya terbakar.
"Inilah nasib kita, Mariam. Perempuan seperti kita. Yang bisa kita lakukan
hanyalah bertahan. Hanya itulah kemampuan yang kita miliki. Paham" Lagi pula,
kau akan ditertawakan di sekolah. Percayalah padaku. Anak-anak lain akan
menyebutmu harami. Mereka akan mencercamu. Aku tidak akan terima."
Mariam mengangguk. "Dan, jangan sekali-kali lagi bicara soal sekolah. Hanya kaulah yang kumiliki.
Aku tidak akan mau kehilangan dirimu hanya karena kau harus sekolah. Lihatlah
aku. Jangan sekali-kali lagi bicara soal sekolah."
"Berpikirlah baik-baik. Ayolah. Jika anakmu ingin-" Mullah Faizullah memulai.
"Dan Anda, akhund sahib, dengan hormat, Anda sebaiknya tidak perlu mendorong
pikiran-pikiran konyol Mariam. Jika Anda memang benar-benar peduli padanya,
camkanlah padanya bahwa tempatnya adalah di sini, di rumah bersama ibunya. Tidak
akan ada yang dia dapatkan kecuali penolakan dan sakit hati. Saya tahu, akhund
sahib. BAB 4 Mariam senang jika ada tamu mengunjungi kolba. Dari arbab kampung dengan oleh-
olehnya, hingga Bibi jo dan pinggul nyeri dan gosip tanpa akhirnya, dan, tentu
saja, Mullah Faizullah. Tetapi, tidak seorang pun, seorang pun, yang membuat
Mariam rindu kecuali Jalil.
Keresahannya sudah dimulai pada Selasa malam. Mariam tidak akan dapat tidur
nyenyak karena takut urusan bisnis akan menghalangi Jalil untuk datang pada hari
Kamis, dan dia pun harus menunggu seminggu lagi untuk menjumpainya. Pada hari
Rabu, Mariam menyibukkan diri di luar, di sekitar kolba, memberi makan ayam
dengan pikiran melayang. Dia berjalan-jalan tanpa tujuan, memetik kelopak-
kelopak bunga dari kuntumnya dan memburu nyamuk-nyamuk yang menggigiti
lengannya. Akhirnya, ketika Kamis tiba, yang dapat dia lakukan hanyalah duduk
bersandar pada dinding, menatap lekat-lekat ke sungai, dan menunggu. Jika Jalil
terlambat, kecemasan akan menggerogotinya. Lututnya akan melemas, dan dia pun
harus pergi ke tempat lain untuk berbaring.
Lalu, Nana akan berseru, "Lihatlah itu, ayahmu dan segala kebesarannya."
Mariam akan segera bangkit ketika melihat Jalil melompat dari batu ke batu untuk
menyeberangi sungai, tersenyum lebar dan melambai dengan penuh semangat. Mariam
tahu bahwa Nana sedang mengawasinya, mengamati reaksinya. Dan, alih-alih berlari
menyongsong Jalil, Mariam pun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat
tetap berdiri di ambang pintu, menunggu, menyaksikan ayahnya perlahan-lahan
mendekatinya. Mariam menahan diri, dengan sabar melihat Jalil berjalan menembus
ilalang, jasnya tersampir di bahu, angin sepoi-sepoi meniup dasi merahnya.
Setelah memasuki tanah lapang, Jalil akan melemparkan jasnya ke atas tandoor dan
membentangkan kedua lengannya. Mariam akan berjalan, dan akhirnya berlari,
menyongsongnya, dan Jalil akan memeluknya erat-erat dan melontarkannya tinggi-
tinggi. Mariam pun menjerit-jerit.
Saat terlontar di udara, Mariam akan melihat wajah Jalil yang menengadah di
bawahnya, senyumnya yang lebar, batas rambutnya yang dalam, dagunya yang
belah tempat yang pas untuk ujung jari kelingking Mariam giginya, yang ? ?terputih di kota dengan semua penduduk bergigi busuk. Mariam menyukai kumisnya
yang selalu rapi, dan kenyataan bahwa tanpa memedulikan cuaca, Jalil selalu
mengenakan setelan ketika datang berkunjung cokelat tua, warna kesukaan Mariam,
?dengan segitiga putih yang terbentuk dari saputangan di saku dadanya juga
?kancing manset dan sehelai dasi, biasanya merah, yang terikat longgar. Mariam
juga bisa melihat dirinya sendiri, terpantul di mata cokelat Jalil: rambutnya
mengembang, wajahnya cerah ceria, langit terbentang di atasnya.
Kata Nana, suatu hari nanti Jalil akan gagal menangkapnya, dan Mariam pun akan
merosot dari jemarinya dan jatuh menghantam tanah, tulangnya patah. Tetapi,
Mariam yakin Jalil tidak akan pernah membiarkannya terjatuh. Dia yakin bahwa
dirinya akan selalu aman di tangan bersih dan berkuku rapi milik ayahnya.
Mereka duduk di luar kolba, di tempat yang teduh, dan Nana menyajikan teh. Jalil
dan Nana saling menyapa dengan senyuman canggung dan anggukan kepala. Jalil
tidak pernah mengungkit-ungkit tentang lemparan batu ataupun sumpah serapah
Nana. Meskipun selalu menjelek-jelekkan Jalil ketika dia tidak ada, Nana
bersikap tenang dan sopan ketika pria itu berkunjung. Rambutnya selalu
terkeramas bersih. Dia menggosok gigi dan mengenakan jilbab terbaiknya. Dia
duduk diam di kursi di seberang Jalil, meletakkan tangan di pangkuan. Dia tidak
menatap Jalil secara langsung dan tidak pernah menggunakan bahasa kasar di
dekatnya. Ketika tertawa, Nana menutupi mulutnya dengan kepalan tangan untuk
menyembunyikan giginya yang buruk. Nana menanyakan kesibukan Jalil. Juga istri-
istrinya. Ketika Nana mengatakan
kepada Jalil tentang kabar yang telah didengar olehnya dari Bibi jo, bahwa istri
termudanya, Nargis, sedang memantikan kelahiran anak ketiga, Jalil tersenyum
sopan dan mengangguk. "Wah, tentunya Anda bahagia," kata Nana. "Sudah berapa anak Anda sekarang"
Sepuluh, ya, masya AHah\ Sepuluh?"
Jalil mengatakan, ya, sepuluh.
"Sebelas, jika Anda juga menghitung Mariam, tentu saja."
Kemudian, setelah Jalil pulang, Mariam dan Nana akan sedikit berselisih tentang
hal ini. Menurut Mariam, Nana telah menjebak Jalil.
Setelah minum teh bersama Nana, Mariam dan Jalil selalu memancing di sungai.
Jalil menunjukkan kepada Mariam cara melemparkan umpan dan menarik ikan trout
Dia menunjukkan cara yang tepat untuk memotong trout, membersihkannya, dan
melepaskan dagingnya dari tulang hanya dengan satu gerakan. Jalil menggambar
untuknya sementara mereka menantikan ikan memakan umpan, menunjukkan padanya
cara menggambar gajah tanpa sekali pun mengangkat pena dari kertas. Jalil juga
mengajari Mariam menyanyi. Bersama-sama, mereka melantunkan:
Burung trala/a trilili Berdiri di pinggir kaii Anak bawang minum di pinggir
Syut, dan jatuhlah dia ke air
Jalil membawa kliping dari koran Herat, Ittifaq-I Isiam, dan membaca untuk
Mariam. Dia menjadi penghubung bagi Mariam, bukti adanya dunia yang lebih luas, di luar kolba, di
luar Gul Daman, dan bahkan di luar Herat. Dunia dengan presiden-presiden yang
namanya sulit disebutkan, dunia dengan kereta api, museum, dan sepak bola, juga
roket yang melesat dari bumi dan mendarat di bulan, dan, setiap Kamis, Jalil
membawa potongan dunia itu bersamanya ke kolba.
Jalil pula yang memberi tahu Mariam, pada musim panas 1973 ketika dia berusia
empat belas tahun, bahwa Raja Zahir Shah, yang telah memerintah Kabul selama
empat puluh tahun, telah digulingkan dalam sebuah kudeta tanpa pertumpahan
darah. "Sepupunya, Daoud Khan, melakukan kudeta ini ketika Raja sedang mendapatkan
perawatan medis di Italia. Kau masih ingat Daoud Khan, bukan" Aku pernah
menceritakan kepadamu tentang dia. Ketika kau lahir, dia menduduki jabatan
perdana menteri di Kabul. Omong-omong, Afghanistan sudah bukan kerajaan lagi,
Mariam. Kau tahu, sekarang negara ini menjadi republik, dan Daoud Khan menjadi
presidennya. Ada desas-desus bahwa para sosialis di Kabul membantunya menyusun
kekuatan. Dia sendiri bukan sosialis, kabarnya, tapi dia mendapatkan pertolongan
dari mereka. Begitulah desas-desus yang beredar."
Mariam menanyakan arti sosialis, dan Jalil pun mulai menjelaskan, namun Mariam
tidak mendengarkannya. "Kau mendengarkan?"
"Ya." Jalil melihat bahwa Mariam menatap tonjolan di saku jasnya. "Ah, tentu saja.
Nah, ini, kalau begitu. Tanpa perlu berlama-lama
Jalil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku dan mengulurkannya kepada
Mariam. Jalil sering melakukannya, membawakan hadiah-hadiah kecil untuknya.
Sebuah gelang batu carnelian pada suatu waktu, sebuah kalung pendek dengan
manik-manik lapis lazuli pada waktu yang lain. Hari itu, Mariam membuka kotak
dan menemukan sebuah kalung dengan liontin berbentuk daun dan hiasan berupa
kepingan koin kecil berukiran bulan dan bintang.
"Cobalah, Mariam jo."
Mariam mencobanya. "Bagaimana?"
Wajah Jalil tampak berseri-seri. "Kamu tampak seperti ratu."
Setelah Jalil pergi, Nana melihat kalung yang melingkari leher Mariam.
"Perhiasan gipsi," katanya. "Aku pernah melihat mereka membuat perhiasan semacam
itu. Mereka melebur koin yang dilemparkan orang-orang pada mereka dan membuat
perhiasan. Lihat saja, apakah dia akan membawakan emas sungguhan kepadamu lain
kali, ayahmu yang kaya itu. Kita lihat saja."
Ketika tiba saatnya bagi Jalil untuk pulang, Mariam selalu berdiri di ambang
pintu dan menatapnya berlalu, merasa lesu karena memikirkan seminggu yang harus
dilaluinya, seperti gundukan besar yang tak bisa dipindahkan, mengadang di
antara dirinya dan kunjungan Jalil berikutnya. Mariam selalu menahan napas
ketika melihat Jalil pergi. Dia menahan napas dan, di kepalanya, menghitung
detik-detik yang berlalu. Dia berpura-pura setiap detik napasnya tertahan adalah
tambahan hari bersama Jalil yang akan dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.
Pada malam hari, Mariam berbaring di ranjangnya dan memikirkan seperti apa rumah
Jalil di Herat. Dia memikirkan bagaimana rasanya tinggal bersama Jalil, berjumpa
dengannya setiap hari. Dia membayangkan dirinya mengulurkan handuk setelah
ayahnya bercukur, memberi tahu sang ayah apabila pisau cukurnya melukai
kulitnya. Mariam akan menyeduh teh untuknya, menjahitkan kancing bajunya yang
lepas. Mereka berdua akan berjalan-jalan bersama di Herat, di pasar beratap
melengkung yang kata Jalil memuat segala macam benda yang diinginkan semua
orang. Mereka akan bermobil, dan orang-orang akan menunjuk-nunjuk dan berkata,
"Lihatlah itu, Jalil Khan dan putrinya." Jalil akan menunjukkan kepada Mariam
pohon terkenal yang menandai kuburan seorang pujangga. Pada suatu hari nanti,
Mariam memutuskan, dia akan memberitahukan pikirannya kepada Jalil. Dan, ketika
Jalil mendengarnya, ketika dia melihat betapa Mariam merindukannya saat dia
pergi, dia tentu akan membawa Mariam bersamanya. Dia akan membawa Mariam ke
Herat untuk tinggal di rumahnya, seperti anak-anaknya yang lain.[]
BAB 5 ff \ ku tahu yang kuinginkan," Mariam memberi x. tahu Jalil.
Ketika itu musim semi 1974, mendekati ulang tahun Mariam yang kelima belas.
Mereka bertiga duduk di luar kolba, di keteduhan naungan pohon willow, di atas
kursi-kursi lipat yang ditata dalam formasi segitiga.
"Untuk ulang tahunku ... aku tahu yang kuinginkan."
"Oh, ya?" sambut Jalil, tersenyum senang.
Dua minggu sebelumnya, setelah Mariam mendesak, Jalil menceritakan film Amerika
yang diputar di gedung bioskopnya. Film itu berjenis istimewa, Jalil menyebutnya
film kartun. Keseluruhan film terbuat dari rangkaian gambar, katanya, ribuan
gambar, sehingga ketika semuanya dijadikan film dan diproyeksikan ke layar,
penonton mendapatkan ilusi bahwa gambar-gambar itu bergerak. Kata Jalil, film
itu bercerita tentang seorang pembuat mainan tua yang kesepian dan sangat
menginginkan anak laki-laki. Maka, dia pun membuat sebuah boneka berbentuk anak
laki-laki, yang secara ajaib menjadi hidup. Mariam meminta Jalil untuk bercerita lebih
banyak, dan Jalil pun mengatakan bahwa pria tua dan bonekanya menjalani berbagai
macam petualangan, bahwa ada suatu tempat bernama Pulau Kesenangan, tempat anak-
anak nakal berubah menjadi keledai. Pada akhir cerita, mereka bahkan ditelan
oleh ikan paus, boneka dan ayahnya itu. Mariam menceritakan semua tentang film
ini kepada Mullah Faizullah.
"Aku ingin diajak ke gedung bioskop Ayah," kata Mariam. "Aku ingin menonton film
kartun. Melihat boneka laki-laki kecil itu."
Setelah mengucapkan permintaannya, Mariam merasakan perubahan udara di
sekelilingnya. Kedua orangtuanya bergerak-gerak di kursi mereka. Mariam bisa
melihat mereka saling bertukar tatapan. "Itu bukan gagasan yang bagus," kata
Nana. Dia menggunakan suara tenang, teratur, dan sopan, seperti yang biasanya
dia gunakan di dekat Jalil, namun Mariam dapat merasakan pelototan yang tajam
dan menuduh di matanya. Jalil mengubah posisi duduknya. Dia terbatuk, berdeham. "Kau tahu," katanya,
"kualitas gambar film itu belum bagus. Begitu pula suaranya. Dan baru-baru ini
proyektor yang dipakai rusak. Mungkin ibumu benar. Mungkin kau harus memikirkan
hadiah lain, Mariam jo."
"Aneh," kata Nana. "Kau lihat" Ayahmu pun setuju."
O Tetapi kemudian, di tepi sungai, Mariam berkata, "Ajak aku ke sana."
"Begini saja," kata Jalil. "Aku akan menyuruh seseorang untuk menjemputmu dan
membawamu ke sana. Aku akan memastikan mereka memberimu kursi terbaik dan semua
permen yang kauinginkan."
"Nay. Aku ingin bersama Ayah."
"Mariam jo-" "Dan aku juga ingin mengundang kakak-kakak dan adik-adikku. Aku ingin bertemu
dengan mereka. Kami semua akan pergi ke gedung bioskop, bersama-sama. Itulah
yang kuinginkan." Jalil menghela napas. Dia membuang muka, menatap pegunungan.
Mariam ingat, Jalil pernah memberi tahu bahwa di layar bioskop, wajah manusia
terlihat sebesar rumah, bahwa jika ada adegan tabrakan, para penonton akan bisa
merasakan benturan logam di tulang mereka. Mariam membayangkan dirinya duduk di
kursi balkon berkarcis mahal, menjilati es krim, dikelilingi oleh Jalil dan
seluruh saudara seayahnya. "Itulah yang kuinginkan," katanya.
Jalil menatapnya dengan ekspresi putus asa.
"Besok. Siang hari. Aku akan menemui Ayah di sini. Bagaimana" Besok?"
"Kemarilah," kata Jalil. Dia membungkuk, merengkuh Mariam, dan memeluknya untuk


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu yang sangat lama. O Pada awalnya, Nana berjalan mondar-mandir di dalam kolba, mengepalkan dan
membuka tangannya. "Jika aku memang harus punya anak perempuan, kenapa Tuhan memberiku yang tak
tahu diuntung seperti kamu" Segala penderitaan yang harus kupikul untukmu!
Berani-beraninya kamu! Berani-beraninya kamu membangkang dariku seperti ini,
dasar harami kecil pengkhianat!"
Lalu, dia mencerca Mariam.
"Betapa bodohnya kau ini! Kaupikir kau berarti baginya, bahwa kau diharapkan di
rumahnya" Kaupikir dia menganggapmu sebagai anaknya" Bahwa dia akan menerimamu
di rumahnya" Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Hati pria sangatlah
terkutuk, Mariam. Berbeda dengan rahim ibu. Rahim tak akan berdarah ataupun
melar karena harus menampungmu. Akulah satu-satunya orang yang mencintaimu.
Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, Mariam, dan kalau aku mati, kau tak
akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena
kau tidak berarti!" Lalu, Nana mencoba menanamkan rasa bersalah.
"Aku akan mati kalau kau pergi. Jin akan datang merasukiku. Lidahku akan
tertelan dan nyawaku melayang. Jangan tinggalkan ibumu ini, Mariam jo. Ayolah,
jangan pergi. Aku akan mati kalau kau pergi."
Mariam tidak menjawabnya. "Kau tahu bahwa aku mencintaimu, Mariam jo." Mariam
mengatakan bahwa dia akan pergi berjalan-jalan.
Dia takut akan mengucapkan kata-kata menyakitkan jika tetap tinggal: bahwa dia
tahu perkataan ibunya tentang jin hanyalah omong kosong; Jalil pernah memberi
tahu bahwa Nana mengidap penyakit yang dapat ditekan dengan obat. Dia mungkin
akan menanyakan mengapa Nana menolak menemui dokter Jalil meskipun ayahnya itu
selalu menyarankannya, mengapa Nana tidak mau meminum obat yang dibelikan oleh
Jalil untuknya. Jika dia dapat mengutarakannya, Mariam mungkin akan mengatakan
kepada Nana bahwa dia telah muak dijadikan senjata, dibohongi, dipersalahkan,
dimanfaatkan. Bahwa dia muak melihat Nana memutarbalikkan kebenaran tentang
kehidupan mereka dan menjadikan dia, Mariam, sebagai salah satu keluhannya
terhadap dunia. Nana ketakutan, mungkin itulah yang akan dia katakan. Nana ketakutan karena aku
bisa jadi akan menemukan kebahagiaan yang tak pernah Nana miliki. Dan Nana tidak
menginginkanku bahagia. Nana tidak ingin kehidupanku membaik. Nana/ah yang
jahat. O Terdapat sebuah tempat di tepi tanah lapang yang Mariam ingin tuju. Sekarang dia
duduk di sana, di atas hamparan rumput kering. Pemandangan Herat tampak dari
situ, terbentang di bawahnya seperti papan permainan anak-anak: Taman Perempuan
di sebelah utara kota, Pasar Char-suq dan reruntuhan
benteng tua Aleksander Agung di sebelah selatan. Mariam dapat melihat secara
samar-samar kubah-kubah di kejauhan, bagaikan jemari berdebu raksasa, dan juga
jalanan yang dalam bayangannya selalu dibanjiri manusia, gerobak, bagal. Dia
melihat berekor-ekor burung layang-layang beterbangan dan menukik di langit
kota. Burung-burung itu membuatnya resah. Mereka pernah mengunjungi Herat.
Mereka pernah terbang di atas masjid-masjid dan pasar-pasarnya. Mungkin, mereka
bahkan pernah hinggap di atap rumah Jalil atau di tangga depan gedung
bioskopnya. Mariam memungut sepuluh butir kerikil dan menyusunnya berjajar dalam tiga deret.
Permainan ini dia lakukan secara diam-diam dari waktu ke waktu, ketika Nana
tidak melihat. Dia meletakkan empat butir kerikil di deret pertama, melambangkan
anak-anak Khadija, tiga butir kerikil untuk anak-anak Afsoon, dan tiga butir
kerikil lain untuk anak-anak Nargis. Lalu, dia menambahkannya dengan deret
keempat. Kerikil kesebelas yang tergeletak sendirian.
Keesokan paginya, Mariam mengenakan tunik selutut berwarna krem, celana panjang
katun, dan jilbab hijau untuk menutupi rambutnya. Dia sedikit terganggu dengan
jilbabnya yang berwarna hijau dan tidak serasi dengan atasannya, namun mau tidak
mau dia harus memakainya jilbab putihnya telah berlubang dimakan rayap. Dia ?melihat jam. Jarum jam dinding tua hadiah dari Mullah Faizullah itu harus
diputar setiap waktu, angka-angkanya
berwarna hitam dengan latar belakang hijau daun. Masih pukul sembilan. Mariam
bertanya-tanya di manakah Nana. Dia berpikir untuk keluar dan mencarinya, namun
dia enggan mendapatkan dampratan dan tatapan sengit dari ibunya. Nana akan
menuduhnya berkhianat. Dia akan mencerca Mariam karena menganggapnya memiliki
ambisi yang salah. Mariam duduk. Dia mencoba menghabiskan waktu dengan berulang-ulang menggambar
gajah dalam satu tarikan, seperti yang diajarkan oleh Jalil. Tubuhnya pegal
karena terlalu lama duduk, namun dia takut berbaring akan membuat bajunya kusut.
Ketika jarum jam akhirnya menunjukkan pukul setengah dua belas, Mariam
mengantungi kesebelas kerikilnya dan kembali ke luar. Ketika berjalan ke sungai,
dia melihat Nana duduk di kursi, di bawah naungan atap melengkung yang terbentuk
dari kerimbunan pohon weeping wiiiow. Mariam tidak tahu apakan Nana melihatnya
atau tidak. Di sungai, Mariam menanti di tempat yang telah mereka setujui sehari
sebelumnya. Gumpalan awan kelabu bagaikan kembang kol berarak di langit. Jalil
pernah memberi tahu Mariam bahwa awan kelabu mendapatkan warnanya karena begitu
tebal sehingga bagian atasnya menyerap cahaya matahari dan meneruskan
bayangannya ke bagian dasarnya. Itu f ah yang kaulihat, Mariam jo, katanya,
kegelapan di dasar perut awan.
Beberapa waktu telah berlalu.
Mariam kembali memasuki kolba. Kali ini, dia
berjalan mengitari bagian timur tanah lapang supaya tidak berpapasan dengan
Nana. Dia melihat jam. Hampir pukul satu.
Ayahku seorang pengusaha, pikir Mariam. Tentunya ada yang menghambatnya.
Dia kembali ke sungai dan menanti hingga beberapa saat kemudian. Burung-burung
hitam beterbangan di atasnya, menukik ke darat, entah di mana. Dia menatap
seekor ulat beringsut di dahan semak-semak muda.
Mariam menunggu hingga kakinya terasa kaku. Kali ini, dia tidak kembali ke
kolba. Dia menggulung celana panjangnya hingga ke lutut, menyeberangi sungai,
dan, untuk pertama kalinya dalam kehidupannya, menuruni bukit menuju Herat.
Nana juga salah tentang Herat. Tak seorang pun mengacungkan tangan pada Mariam.
Tidak seorang pun menertawakannya. Mariam berjalan menyusuri bulevar ribut dan
sesak yang diapit oleh deretan pohon cypress, di tengah-tengah para pejalan
kaki, pengendara sepeda, gari yang ditarik oleh bagal, dan tidak seorang pun
melemparinya dengan batu. Tak seorang pun memanggilnya harami. Bahkan, nyaris
tak seorang pun menatapnya. Tanpa dinyana, sungguh menyenangkan, Mariam menjadi
manusia biasa di tempat ini.
Selama beberapa waktu, Mariam berdiri di dekat kolam berbentuk oval yang berada
di persimpangan jalan kerikil di tengah sebuah taman besar. Dengan takjub, dia mengeluskan
jemarinya ke kuda-kuda pualam indah yang berdiri di tepi kolam dan menatap air
dengan mata berbinar-binar. Dia mencuri pandang pada sekelompok anak laki-laki
yang sedang menghanyutkan kapal-kapalan kertas. Mariam melihat bunga di mana-
mana, tulip, lili, petunia, dengan kuntum-kuntum bermandikan cahaya matahari.
Orang-orang lalu lalang, duduk di bangku taman, dan menghirup teh.
Mariam tidak percaya dia ada di tempat ini. Jantungnya berdegup kencang seiring
rasa senang yang menggelegak di dalam dirinya. Dia berharap Mullah Faizullah
dapat melihat dirinya sekarang. Dia tentu akan menganggapnya penantang bahaya.
Sungguh pemberani! Mariam memikirkan kehidupan baru yang menantinya di kota ini,
kehidupan bersama seorang ayah, bersama kakak-kakak dan adik-adik, sebuah
kehidupan tempat dia dapat mencintai dan dicintai, tanpa adanya keterpaksaan
atau maksud terselubung, tanpa rasa malu.
Sejenak kemudian, dia memutuskan untuk menyapa seorang pria yang mengendarai
sebuah gari yang ditarik kuda untuk menunjukkan tempat tinggal Jalil, si pemilik
gedung bioskop. Pria tua itu berpipi tembam dan mengenakan chapan bermotif
garis-garis warna-warni. "Kau tidak dari Herat, ya?" katanya dengan ramah. "Semua orang tahu di mana
Jalil Khan tinggal."
"Bisakah Anda menunjukkannya kepada saya?"
Pria itu membuka sebungkus permen dan berkata, "Kau sendirian saja?" "Ya."
"Naiklah. Aku akan mengantarmu ke sana."
"Saya tidak bisa membayar Anda. Saya tidak punya uang."
Pria itu memberikan permennya kepada Mariam. Katanya, sudah dua jam dia menunggu
tanpa adanya penumpang sehingga dia memutuskan untuk pulang. Rumah Jalil ada
dijalan yang dia lewati. Mariam memanjat ke atas gari. Mereka melaju dalam keheningan, duduk
bersebelahan. Dalam perjalanan menuju rumah Jalil, Mariam meluhat toko-toko
obat, los-los terbuka tempat orang-orang membeli jeruk dan pir, buku, kerudung,
bahkan burung elang. Anak-anak bermain kelereng dalam lingkaran yang digambar di
tanah. Di luar kedai-kedai teg, di atas lantai kayu berlapis permadani, para
pria menghirup teh dan merokok menggunakan pipi hookah.
Pria tua itu membelokkan keretanya ke seruas jalan lebar yang diapit deretan
pohon pinus. Dia menghentikan kudanya setelah melewati separuh jalan itu.
"Di sini. Sepertinya kau sedang beruntung, dokhtar jo. Mobilnya ada."
Mariam melompat turun. Pria itu tersenyum dan menjalankan gari-nya.
<" Mariam tidak pernah menyentuh sebuah mobil sebelumnya. Dengan jari-jarinya, dia
mengelus atap mobil Jalil yang bercat hitam mengilap, dengan ban-ban berkilauan
yang menampilkan bayangan datar dirinya. Kursi mobil itu berlapis kulit putih.
Di belakang setir, Mariam melihat panel-panel kaca dengan jarum-jarum penunjuk
di dalamnya. Sejenak, Mariam mendengar suara Nana di dalam kepalanya, mengolok-oloknya,
meracuni pendar harapannya. Dengan kaki gemetar, Mariam mendekati pintu pagar
tembok rumah itu. Dia menyentuh temboknya yang begitu tinggi, begitu besar,
tembok rumah Jalil. Dia harus menengadahkan kepala untuk melihat pucuk-pucuk
pohon cypress yang menjulang di balik pagar. Pucuk-pucuk pohon itu berayun
tertiup angin, dan dalam bayangan Mariam, mereka
mengangguk-angguk untuk menyambutnya. Mariam berusaha mengusir ketakutan yang
mulai melintasi benaknya.
Seorang wanita muda berkaki telanjang membuka pintu. Sebuah tato menempel di
bawah bibirnya. "Saya ingin menemui Jalil Khan. Saya Mariam. Putrinya."
Sirat kebingungan tampak dalam ekspresi wajah gadis itu. Lalu, dia sepertinya
mengenalinya. Senyum samar tersungging di bibirnya, dan dia tampak bersemangat.
"Tunggu di sini," ujarnya cepat-cepat.
Dia menutup pintu. Beberapa menit pun berlalu. Akhirnya, seorang pria membuka pintu. Dia jangkung
dan berdada bidang, dengan mata teduh dan wajah tenang.
"Aku sopir Jalil Khan," katanya, tidak dengan kasar.
"Apanya?" "Sopirnya. Jalil Khan tidak ada di rumah."
"Aku melihat mobilnya," kata Mariam.
"Beliau pergi untuk urusan bisnis mendadak."
"Kapan beliau akan pulang?"
"Beliau tidak mengatakannya."
Mariam bersikeras untuk menunggunya.
Pria itu menutup pintu. Mariam duduk dan menarik kakinya ke dada. Malam sebentar
lagi turun, dan dia mulai lapar. Dia memakan permen pemberian kusir gari.
Beberapa saat kemudian, sopir itu kembali keluar.
"Kau harus pulang sekarang," katanya. "Tidak sampai satu jam lagi, di sini akan
gelap gulita." "Aku sudah terbiasa dengan kegelapan."
"Kau juga akan kedinginan. Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang" Aku akan
mengatakan kepada Jalil Khan bahwa kau ke sini."
Mariam hanya menatap pria itu.
"Kalau begitu, aku akan mengantarmu ke hotel. Kau bisa tidur dengan nyaman di
sana. Kita lihat apa yang bisa kita lakukan besok pagi."
"Izinkanlah aku masuk."
"Aku tidak boleh melakukannya. Dengar, tidak seorang pun tahu kapan beliau akan
pulang. Bisa saja berhari-hari lagi."
Mariam bersedekap. Sopir itu menghela nafas dan menatapnya dengan lembut.
Selama bertahun-tahun kemudian, Mariam berulang kali memikirkan apa jadinya jika
dia membiarkan sopir itu mengantarnya pulang ke kolba. Tetapi, dia tidak pulang.
Dia menghabiskan malam harinya di luar rumah Jalil. Dia menyaksikan langit
menggelap, bayangan menyelimuti bagian depan rumah-rumah tetangga Jalil. Gadis
bertato membawakan sekerat roti dan sepiring nasi, yang dia tolak. Gadis itu
meninggalkan bakinya di dekat Mariam. Dari waktu ke waktu, Mariam mendengar
langkah kaki di jalan, pintu yang terbuka, sapaan-sapaan teredam. Lampu-lampu
listrik dinyalakan dan cahaya samar-samar pun menerobos jendela-jendela. Anjing-
anjing menyalak. Ketika tidak mampu lagi menahan lapar, Mariam memakan nasi dan
roti yang diberikan untuknya. Lalu, dia mendengarkan nyanyian jangkrik di taman-
taman rumah. Di atasnya, gumpalan awan berarak melewati bulan yang pucat.
Pagi harinya, Mariam terbangun karena seseorang mengguncangnya. Entah siapa
telah menyelimuti tubuhnya ketika dia tertidur.
Sopir kemarinlah yang mengguncang bahunya.
"Cukup sudah. Kau menarik perhatian tetangga. Bas. Waktunya pulang."
Mariam duduk dan menggosok matanya. Punggung dan lehernya terasa nyeri.
"Aku akan menunggunya."
"Lihat aku," kata sopir itu. "Kata Jalil Khan, aku harus mengantarmu pulang
sekarang. Saat ini juga. Kau mengerti" Kata Jalil Khan begitu."
Dia membuka pintu penumpang di mobil. "Bia. Ayo," ujarnya dengan lembut.
"Aku ingin berjumpa dengannya," Mariam bersikukuh. Air matanya mulai mengalir.
Sopir itu menghela nafas. "Biarkanlah aku mengantarmu pulang. Ayolah,
dokhtarjo." Mariam berdiri dan menghampiri sopir itu. Tetapi, pada saat terakhir, dia
menoleh dan berlari ke pintu pagar. Dia merasakan jemari si sopir berusaha
meraih bahunya. Dia menghindarinya dan menghambur memasuki gerbang yang terbuka.
Selama beberapa detik berada di taman Jalil, mata Mariam melihat pot-pot beling
dengan berbagai tanaman di dalamnya, sulur-sulur anggur yang merambati turus-
turus kayu, sebuah kolam ikan yang terbuat dari bongkah-bongkah batu kelabu,
pohon-pohon buah, dan semak-semak berbunga cerah di sana-sini. Tatapannya
menyapu semua pemandangan ini sebelum menemukan seraut wajah, di seberang taman,
di jendela lantai atas. Wajah itu hanya berada di sana sesaat, sekilas, namun
cukup lama. Cukup memberikan waktu bagi Mariam untuk melihat mata yang melebar
dan mulut yang terbuka. Lalu, raut wajah itu menghilang dari jendela. Sebentuk
tangan muncul dan dengan panik menarik tirai.
Jendela pun tertutup. Lalu, sepasang tangan mencengkeram di bawah
ketiaknya, dan Mariam terangkat dari tanah. Dia menjejak-jejakkan kaki. Kerikil-
kerikil berhamburan dari dalam sakunya. Mariam menendang-nendang dan menjerit-
jerit ketika diangkat menuju mobil dan didudukkan di kulit dingin yang melapisi
bangku belakang. O Sambil mengemudi, sopir itu berbicara dengan nada lembut yang menenangkan.
Mariam tidak mendengarnya. Sepanjang perjalanan, ketika terguncang-guncang di
bangku belakang, dia menangis. Air mata yang mengalir dari matanya menandakan
penyesalan, amarah, dan kekecewaan. Tetapi, yang paling utama, air mata itu
melambangkan rasa malu yang teramat sangat akibat harapan besar yang dia simpan
terhadap Jalil, betapa dia memusingkan baju apa yang harus dikenakan, jilbabnya
yang tidak serasi, berjalan kaki kemari, menolak pulang, tidur di jalanan
bagaikan seekor anjing telantar. Dan, dia malu karena telah mengabaikan tatapan
merana ibunya, mata sembapnya. Nana, yang telah memperingatkan, yang selama ini
ternyata benar. Mariam terus memikirkan wajah ayahnya yang dilihatnya di jendela lantai atas.
Jalil telah membiarkan Mariam tidur di jalanan. Di jalanan. Mariam merebahkan
tubuh di kursi dan tak henti-hentinya menangis. Dia tidak mau duduk, tidak mau
terlihat. Dia membayangkan, pagi ini
seluruh Herat akan mengetahui bagaimana dia telah mempermalukan diri sendiri.
Dia berharap Mullah Faizullah ada di sini supaya dia dapat meletakkan kepala di
pangkuannya dan membiarkan sang guru menenangkannya.
Setelah beberapa saat, mobil berguncang dan moncongnya mengarah ke atas. Mereka
berada di jalan perbukitan di antara Herat dan Gul Daman.
Apa yang akan dikatakan kepada Nana, pikir Mariam. Bagaimana caranya meminta
maaf" Bahkan, bagaimana mungkin dia dapat menghadapi Nana sekarang"
Mobil itu berhenti dan sopirnya menolong Mariam keluar. "Aku akan menemanimu,"
katanya. Mariam membiarkan pria itu menuntunnya menyusuri jalan yang menanjak. Bunga-
bunga liar bermekaran di sepanjang jalan, honeysuckle dan juga milkweed. Lebah-
lebah beterbangan dari bunga ke bunga. Sopir itu menggenggam tangannya dan


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantunya menyeberangi sungai. Lalu, dia melepaskan tangan Mariam dan
membicarakan angin seratus-dua-puluh-hari khas Herat yang akan segera bertiup,
sejak pagi hingga petang, dan bagaimana lalat-lalat akan membabi buta. Lalu,
tiba-tiba dia berdiri menghalangi langkah Mariam, berusaha menutupi
pandangannya, mendorong Mariam mundur dan berkata, "Pergilah ke sana! Jangan.
Jangan melihat. Berbaliklah! Kembalilah ke sana!"
Tetapi dia tidak cukup cepat. Mariam telah melihat. Angin bertiup dan
menyibakkan kerimbunan daun-daun weeping willow bagaikan membuka tirai, dan sekilas Mariam melihat apa
yang ada di bawah pohon itu: kursi berpunggung datar telah jatuh terbalik.
Seutas tali menggelantung dari sebuah dahan yang tinggi. Tubuh Nana berayun-ayun
di ujungnya. [] BAB 6 Mereka memakamkan Nana di sudut kuburan Gul Daman. Mariam berdiri di sebelah
Bibi jo, bersama para wanita lainnya, sementara Mullah Faizullah melafalkan doa-
doa di tepi liang lahat dan para wanita menurunkan mayat Nana yang terbungkus
kain kafan ke dalam tanah.
Setelah itu, Jalil mengantarkan Mariam kembali ke kolba, dan di depan para
penduduk desa yang menemani mereka, dia mempertontonkan kepeduliannya kepada
Mariam. Dia mengumpulkan barang-barang Mariam dan memasukkannya ke sebuah koper.
Dia duduk di tepi ranjang, sementara Mariam berbaring sambil mengipasi wajah.
Dia mengusap kening Mariam dan, dengan ekspresi sendu di wajahnya, menanyakan
apakah Mariam membutuhkan sesuatu" Apa pun" d\a mengatakannya seperti itu, ?menegaskan pertanyaannya.
"Aku mau Mullah Faizullah," kata Mariam. "Tentu saja boleh. Dia ada di luar. Aku
akan memanggilkannya untukmu."
Ketika itulah sosok kurus dan bungkuk Mullah
Faizullah muncul di ambang pintu kolba, dan tangis Mariam pun pecah untuk
pertama kalinya hari itu. "Oh, Mariam jo." Mariam membenamkan wajahnya di tangan
Mullah Faizullah. "Menangislah, Mariam jo. Menangislah. Kau tidak perlu malu.
Tapi, ingatlah, Anakku, ingatlah yang dikatakan dalam AlQuran, 'Mahasuci Allah
yang di tanganNya-lah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu.1 AlQuran hanya
mengatakan kebenaran, Anakku. Di balik setiap cobaan dan kesedihan yang
dibebankan olehNya di bahu kita, Tuhan memiliki alasan."
Tetapi, Mariam tidak dapat menemukan ketenangan di dalam kata-kata Tuhan. Tidak
pada hari itu. Tidak ketika itu. Yang terngiang di telinganya hanyalah perkataan
Nana, Aku akan mati kalau kau pergi. Aku akan mati. Yang bisa Mariam lakukan
hanyalah menangis dan membiarkan air matanya menetes di kulit setipis kertas
yang melapisi kedua tangan Mullah Faizullah.
V Dalam perjalanan menuju rumahnya, Jalil duduk di bangku belakang mobilnya
bersama Mariam, merangkulnya.
"Kau boleh tinggal bersamaku, Mariam jo," katanya. "Aku sudah menyuruh orang
membersihkan kamar untukmu. Letaknya di lantai atas. Kau akan
menyukainya, kupikir. Jendelanya memberikan pemandangan taman."
Untuk pertama kalinya, Mariam dapat mendengar perkataan Jalil dengan telinga
Nana. Dia bisa mendengar kepalsuan yang tersembunyi di balik kata-kata itu
dengan sangat jelas, keyakinan palsu yang hampa. Mariam tidak mampu menatap
Jalil. Setelah mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah Jalil, sopir
membukakan pintu dan membawakan koper Mariam. Jalil membimbing Mariam,
menempelkan telapak tangan ke bahu gadis kecil itu dan mendorongnya melewati
pintu pagar yang, dua hari sebelumnya, menemani tidur Mariam di pinggir jalan
ketika menanti sang ayah. Dua hari sebelumnya ketika keinginan duniawi yang
?paling mendesak bagi Mariam adalah berjalan di taman ini bersama Jalil terasa
?seperti di kehidupan lain. Bagaimana bisa kehidupannya berjungkir balik secepat
ini, Mariam bertanya kepada dirinya sendiri. Dia terus menunduk, menatap tanah,
menatap kakinya sendiri, melangkah di jalan berlapis batu kelabu. Dia menyadari
kehadiran orang-orang di taman; mereka berbisik-bisik, menyingkir, sementara dia
lewat bersama Jalil. Dia merasakan tatapan melekat padanya, tatapan yang berasal
dari jendela-jendela di lantai atas.
Setibanya di dalam rumah pun Mariam tetap menunduk. Dia berjalan di atas
permadani merah marun berpola segi-delapan biru dan kuning, dari sudut matanya
melihat dudukan-dudukan patung pualam, bagian bawah vas-vas bunga,
rumbai-rumbai dari hiasan kain warna-warni yang tergantung di dinding. Tangga
yang dia lewati bersama Jalil lebar dan berlapis karpet senada yang dipakukan ke
setiap anak tangga. Di puncak tangga, Jalil mengarahkannya ke kiri, melewati
sebuah koridor panjang berkarpet. Dia berhenti di depan salah satu pintu,
membuka, dan mempersilakan Mariam masuk.
"Adik-adikmu, Niloufar dan Atieh, kadang-kadang bermain di sini," kata Jalil,
"tapi, kami lebih sering menggunakan ruangan ini sebagai kamar tamu. Kau akan
dapat tidur dengan nyaman di sini, kurasa. Tempat ini bagus, bukan?"
Di kamar itu terdapat sebuah ranjang dengan selimut hijau berbunga yang tebal
dan lembut. Tirainya terbuka, memperlihatkan taman di bawah, berwarna senada
dengan selimut tersebut. Di dekat ranjang terdapat sebuah bufet berlaci tiga
dengan sebuah vas bunga di atasnya. Rak-rak berjajar di dinding, dengan foto-
foto orang-orang yang tidak dikenali Mariam. Di salah satu rak, Mariam melihat
sejumlah boneka kayu serupa yang ditata berderet menurut ukurannya.
Jalil melihat Mariam menatap boneka-boneka itu. "Boneka matryoshka. Aku
mendapatkannya di Moskow. Kau boleh memainkannya, kalau kau mau. Tidak akan ada
yang keberatan." Mariam duduk di ranjang. "Adakah yang kauinginkan?" tanya Jalil.
Mariam berbaring. Memejamkan matanya. Setelah beberapa waktu, dia mendengar
pintu tertutup dengan lembut * Kecuali ketika harus menggunakan kamar mandi di ujung koridor, Mariam tetap
tinggal di dalam kamarnya. Gadis bertato, yang tempo hari membuka pintu
untuknya, membawakan makanannya dengan baki: kebab daging domba, sabzi, sup aush. Mariam mengabaikan sebagian besar
makanan itu. Jalil menjumpainya beberapa kali sehari, duduk di tepi ranjangnya,
menanyakan keadaannya. "Kau boleh makan di bawah bersama kami semua," katanya, tetapi dengan nada yang
tidak begitu meyakinkan. Dia sedikit terlalu cepat mengiyakan ketika Mariam
mengatakan keinginannya untuk makan sendirian.
Dari jendela, Mariam memandang dengan kelu apa yang selalu dia dambakan setiap
waktu sepanjang hidupnya: jalannya hari-hari Jalil. Para pelayan terburu-buru
masuk dan keluar melalui pintu gerbang. Seorang tukang kebun senantiasa
merapikan rumpun-rumpun tanaman, menyirami bunga-bunga di rumah kaca. Mobil-
mobil panjang dan mengilap berhenti di pinggir jalan. Dari dalamnya, muncullah
pria-pria bersetelan, ber-chapan dan bertopi caracul, juga wanita-wanita
berjilbab dan anak-anak dengan rambut tersisir rapi. Dan, ketika Mariam melihat
Jalil bersalaman dengan orang-orang asing itu, ketika melihatnya menyilangkan
tangan ke dada dan mengangguk
kepada istri-istri mereka, dia tahu bahwa Nana mengatakan kebenaran. Ini bukan
tempatnya. Tetapi, di manakah tempatku" Apa yang akan kufakukan sekarang"
Hanya akufah yang kaumiiiki di dunia ini, Mariam, dan kaiau aku mati, kau tak
akan punya siapa-siapa iagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena
kau tidak berarti/ Seperti angin yang menerobos kerimbunan pohon willow di sekeliling kolba,
embusan kegelapan yang tak terkatakan senantiasa menerpa Mariam.
Pada hari kedua Mariam berada di rumah Jalil, seorang gadis kecil memasuki
kamarnya. "Aku mau mengambil sesuatu," katanya.
Mariam duduk di ranjang dan menyilakan kaki, menarik selimut ke atas
pangkuannya. Gadis itu bergegas melintasi kamar dan membuka pintu lemari. Dia mengambil
sebuah kotak persegi kelabu.
"Kau tahu benda ini?" ujarnya. Dia membuka kotak itu. "Namanya gramofon. Gramo.
Fon. Gunanya untuk memainkan piringan hitam. Kau tahu, bukan, musik. Gramofon."
"Kamu Niloufar. Umurmu delapan tahun."
Gadis kecil itu tersenyum. Dia mewarisi senyuman dan lesung pipi Jalil.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Mariam mengangkat bahu. Dia tidak mengatakan kepada gadis ini bahwa dia pernah
menamai sebutir batu kerikil dengan namanya.
"Kau mau mendengarkan lagu?"
Lagi-lagi Mariam mengangkat bahu.
Niloufar menyalakan gramofon itu. Dia menarik sekeping piringan hitam dari dalam
sebuah kantong di bawah tutup kotak. Dia memasangnya di gramofon, menurunkan
jarumnya, dan musik pun mulai mengalun.
Kan kujadikan kelopak bunga sebagai kertas,
Tuk menulis surat terindah bagi dirimu,
Kaulah sultan di hatiku, Sultan di hatiku. "Kau tahu lagu ini?"
"Tidak." "Lagu ini dari film Iran. Aku menontonnya di gedung bioskop ayahku. Hei, kau mau
menonton film?" "
Sebelum Mariam menjawab, Niloufar telah menempelkan telapak tangan dan keningnya
di lantai. Dia menolakkan sol sepatunya, lalu berdiri terbalik, dengan kepala di
bawah. "Kau bisa begini?" ujarnya samar-samar.
"Tidak." Niloufar menurunkan kedua kakinya dan menarik blusnya ke bawah. "Aku bisa
mengajarkannya untukmu," ujarnya sembari menyibakkan rambut yang jatuh ke
alisnya. "Jadi, sampai kapan kau akan tinggal di sini?"
"Entahlah." "Kata ibuku, kau tidak benar-benar kakakku, seperti yang kaukatakan."
"Aku tak pernah berkata begitu," Mariam berbohong.
"Kata ibuku begitu. Biar saja. Maksudku, kalaupun yang kaukatakan memang benar
atau kalau kau memang kakakku. Aku tidak keberatan."
Mariam berbaring. "Sekarang aku lelah."
"Kata ibuku, jinlah yang menyuruh ibumu gantung diri."
"Kau boleh menghentikannya sekarang," kata Mariam, berpaling menatap anak itu.
"Musiknya, maksudku."
Bibi jo juga datang mengunjunginya pada hari itu. Hujan turun ketika dia tiba.
Dia mendudukkan tubuh besarnya di kursi di dekat ranjang, mengernyitkan
keningnya. "Hujan seperti ini, Mariam jo, sama saja dengan pembunuhan terhadap pinggulku.
Pembunuhan. Kuharap .... Oh, kemarilah, Anakku. Sini, Bibi jo di sini. Jangan
menangis. Nah, nah. Kau memang anak yang malang. Sst. Anak malang." Malam itu,
Mariam tidak bisa memejamkan mata untuk waktu yang lama. Dia berbaring di
ranjang dan menatap langit dari jendela yang terbuka tirainya, mendengarkan
langkah-langkah kaki di bawah, suara-suara yang diredam oleh dinding, dan hujan
yang menerpa jendela. Ketika akhirnya terlelap, dia tiba-tiba terbangun ketika
mendengar teriakan. Suara-suara di bawah, tajam dan penuh amarah. Mariam tidak
bisa mendengarkan kata-kata yang terucap dengan jelas. Seseorang membanting
pintu. Keesokan paginya, Mullah Faizullah datang berkunjung. Ketika melihat seseorang
yang disayangi di pintu, dengan janggut putih dan senyum lembut
tanpa giginya, Mariam merasakan air mata kembali mengumpul di sudut matanya. Dia
mengayunkan kakinya dari sisi ranjang dan bergegas menyongsong Mullah Faizullah.
Seperti biasanya, Mariam mencium tangan pria itu dan dia balas mencium
keningnya. Mariam menarik sebuah kursi untuk gurunya. Mullah Faizullah membuka
AlQuran yang dia bawa. "Sepertinya sebaiknya kita tidak merusak rutinitas kita,
benar?" "Aku tidak butuh pelajaran lagi, Mullah sahib. Sejak bertahun-tahun yang lalu
Mullah sahib telah mengajarkan kepadaku semua surrah dan ayat dalam AlQuran."
Mullah Faizullah tersenyum dan mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. "Aku
harus mengakuinya, kalau begitu. Kau menangkap basahku. Tapi, aku tak bisa
menemukan alasan lain untuk mengunjungimu."
"Mullah sahib tidak perlu alasan. Tidak perlu."
"Baik sekali perkataanmu ini, Mariam jo.11
Mullah Faizullah mengulurkan AlQuran kepada Mariam. Seperti yang selalu
diajarkan oleh sang mullah, Mariam mencium kitab suci itu tiga
kali menyentuhkan keningnya di antara setiap ciuman dan mengembalikannya ? ?kepada gurunya.
"Bagaimana keadaanmu, Anakku?"
"Aku selalu-" Mariam memulai. Dia harus berhenti bicara, merasakan batu yang
seolah-olah menggumpal di dalam tenggorokannya. "Aku selalu memikirkan perkataan
Nana sebelum aku pergi. Nana-"
"Nay, nay, nay." Mullah Faizullah menepukkan tangannya ke lutut Mariam. "Ibumu,
semoga Allah mengampuninya, adalah seorang wanita yang bermasalah dan tidak
bahagia, Mariam jo. Dia melakukan keburukan kepada dirinya sendiri. Kepada
dirinya sendiri, kepadamu, dan juga kepada Allah. Tetapi, Allah akan
mengampuninya karena Dia adalah sang Maha Pengampun, hanya saja, Allah tidak
menyukai perilaku ibumu itu. Dia tidak menyetujui pencabutan nyawa, baik yang
dilakukan oleh orang lain ataupun oleh diri sendiri karena menurut sabda-Nya,
kehidupan itu suci. Kau tahu-" Mullah Faizullah menarik kursinya ke dekat
ranjang, menggenggam kedua tangan Mariam di tangannya. "Kau tahu, aku telah
mengenal ibumu sejak kau belum ada, ketika dia masih menjadi seorang gadis
kecil, dan aku bisa mengatakan kepadamu bahwa ketika itu pun dia sudah tidak
bahagia. Bibit dari apa yang dia lakukan sekarang telah tertanam sejak lama.
Maksudku adalah ini bukan salahmu. Ini bukan salahmu, Anakku."
"Aku seharusnya tidak meninggalkan Nana. Aku seharusnya-"
"Hentikanlah. Pikiran seperti itu buruk bagimu, Mariam jo. Kau dengar aku, Nak"
Buruk. Pikiran seperti itu akan menghancurkanmu. Ini bukan salahmu. Ini bukan
salahmu. Bukan salahmu."
Mariam mengangguk, namun sebesar apa pun usahanya, dia tidak bisa meyakini
ucapan Mullah Faizullah. <" Pada suatu siang, seminggu kemudian, terdengarlah ketukan di pintu kamar, dan
seorang wanita jangkung masuk. Dia berkulit putih, beramput kemerahan, dan
berkuku panjang. "Aku Afsoon," katanya. "Ibu Niloufar. Bagaimana kalau kau mandi, Mariam, dan
turun ke bawah?" Mariam mengatakan bahwa lebih baik dia di kamar saja.
"Tidak, na fahmidi, kau tidak mengerti. Kau harus turun. Kami harus bicara
padamu. Ini penting."[]
BAB 7 Mereka duduk di hadapannya, Jalil dan istri-istrinya, di sebuah meja cokelat
panjang. Di antara mereka, di tengah meja, terdapat seteko air dan sebuah vas
kristal berisi bunga marigold. Wanita berambut merah yang memperkenalkan diri
sebagai ibu Niloufar, Afsoon, duduk di sebelah kanan Jalil. Kedua istri yang
lain, Khadija dan Nargis, duduk di sebelah kiri Jalil. Wanita itu masing-masing
mengenakan kerudung hitam berbahan licin, yang tidak dikenakan di kepala tetapi
diikatkan dengan longgar di leher, seolah-olah mereka hanya memakainya sebagai
persyaratan. Mariam, yang tidak bisa membayangkan mereka akan memakai pakaian
perkabungan hitam untuk Nana, membayangkan salah seorang dari mereka, mungkin
Jalil, menyarankan pemakaian kerudung itu sesaat sebelum dia dipanggil.
Afsoon menuangkan air dari teko dan meletakkan gelas di depan Mariam, di atas
taplak kotak-kotak. "Masih musim semi, tapi cuaca sudah mulai panas," katanya.
Dia berkipas dengan tangannya. "Kau merasa nyaman di kamarmu?" tanya Nargis, yang berdagu mungil dan berambut
hitam keriting. "Kami harap kau merasa nyaman di sini. Ini ... masalah ini ...
tentunya sangat berat bagimu. Sangat sulit."
Kedua istri yang lain mengangguk. Mariam menatap alis mereka yang tercabut rapi,
senyuman tipis penuh pengertian yang tersungging di bibir mereka. Dengungan
meresahkan terdengar di dalam kepala Mariam. Tenggorokannya seolah-olah
terbakar. Dia minum beberapa teguk air.
Melalui jendela besar di belakang Jalil, Mariam dapat melihat sederet pohon apel
berbunga. Bersandar pada dinding di dekat jendela adalah sebuah lemari kayu
berpintu kaca. Di dalamnya terdapat sebuah jam duduk dan foto berbingkai Jalil
bersama tiga orang anak laki-laki memegang seekor ikan. Sinar matahari
dipantulkan oleh sisik ikan. Jalil dan ketiga anak itu menyeringai lebar.
"Nah," Afsoon memulai. "Aku maksudku, kami memintamu kemari karena kami punya ? ?beberapa kabar yang sangat bagus untukmu."
Mariam mengangkat wajah. Dia melihat pertukaran tatapan cepat di antara para wanita yang mengapit Jalil.
Ayahnya sendiri duduk lemas di kursinya, menatap dengan mata menerawang pada


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teko di meja. Khadija, yang dari penampilannya sepertinya berusia paling tua di
antara ketiga istri itu, menatap Mariam, dan Mariam mendapatkan kesan bahwa
pembagian tugas ini telah didiskusikan di antara mereka, disepakati, sebelum mereka memanggilnya.
"Kau mendapatkan jodoh," kata Khadija.
Mariam merasakan perutnya bergejolak. "Apa?" katanya dengan bibir yang tiba-tiba
mati rasa. "Seorang khastegar. Jodoh untukmu. Namanya Rasheed," lanjut Khadija. "Dia adalah
teman rekan bisnis ayahmu. Dia seorang Pashtun yang berasal dari Kandahar, tapi
dia tinggal di Kabul, di wilayah Deh-Mazang, di sebuah rumah bertingkat dua
seperti rumah ini." Afsoon mengangguk. "Dan dia berbicara dengan bahasa Farsi, seperti kami, seperti
kamu. Jadi, kau tak perlu belajar bahasa Pashto."
Dada Mariam terasa sesak. Ruangan itu seolah-olah terguncang, lantai di bawah
kakinya mulai goyah. "Dia tukang sepatu," kata Khadija sekarang. "Tetapi dia bukan jenis mochi
jalanan biasa, bukan seperti itu. Dia punya toko sendiri, dan dia adalah salah
seorang tukang sepatu yang paling terkenal di Kabul. Dia membuat sepatu untuk
para diplomat, keluarga kerajaan orang-orang dari kalangan itu. Jadi, kau bisa
?melihat sendiri, dia tidak akan kesulitan menghidupimu."
Mariam menetapkan pandangannya pada Jalil, jantungnya berdegup kencang di dalam
dadanya. "Benarkah ini" Apa yang dikatakan itu, benarkah?"
Tetapi, Jalil tidak mau menatap Mariam. Dia justru menggigiti sudut bibir
bawahnya dan terus menatap teko.
"Nah, dia memang sedikit lebih tua darimu," sela Afsoon. "Tapi, umurnya tidak
mungkin lebih dari ... empat puluh. Paling tua empat puluh lima. Benar begitu
bukan, Nargis?" "Ya. Tapi, aku pernah melihat gadis sembilan tahun menikah dengan pria yang
berumur dua puluh tahun lebih tua daripada jodohmu, Mariam. Kami semua pernah
melihat yang seperti itu. Berapa umurmu, lima belas" Itu usia yang tepat bagi
seorang gadis untuk menikah." Anggukan penuh semangat dari kedua wanita lainnya
mengikuti perkataan Nargis. Mariam tidak luput memerhatikan bahwa ketiga wanita
itu tidak menyebutkan kedua saudara tiri perempuannya, Saideh dan Naheed, yang
berusia sebaya dengannya, keduanya sedang menuntut ilmu di Sekolah Mehri di
Herat, dan keduanya berencana melanjutkan kuliah ke Universitas Kabul. Lima
belas tahun, ternyata, bukan usia menikah yang tepat bagi mereka.
"Terlebih lagi," lanjut Nargis, "pria itu juga telah mengalami kehilangan besar
dalam kehidupannya. Istrinya, kami dengar, meninggal ketika melahirkan sepuluh
tahun yang lalu. Kemudian, tiga tahun kemudian, putranya tenggelam di danau."
"Ya, memang sangat menyedihkan. Dia telah mencari calon istri sejak beberapa
tahun yang lalu, namun tidak menemukan seorang pun yang cocok dengannya."
"Aku tidak mau," tukas Mariam. Dia menatap Jalil. "Aku tidak mau melakukan ini.
Jangan paksa aku." Mariam membenci nada permohonan dalam
suaranya namun tidak bisa menahannya.
"Kau harus berpikiran jernih sekarang, Mariam," salah seorang istri menimpali.
Mariam tidak memerhatikan lagi siapa yang mengucapkan apa. Dia terus menatap
Jalil, menantinya bicara, menunggunya mengatakan bahwa semua ucapan istri-
istrinya tersebut salah. "Kau tak bisa tinggal selamanya di sini."
"Apa kau tak ingin punya keluarga sendiri?"
"Ya. Sebuah rumah, dengan anak-anakmu sendiri?"
"Kau harus melanjutkan kehidupanmu."
"Memang benar bahwa akan lebih baik jika kau menikah dengan seorang penduduk
sini, seorang Tajik, tetapi Rasheed orang yang sehat, dan dia tertarik padamu.
Dia punya rumah dan pekerjaan. Bukankah itu yang penting" Selain itu, Kabul
adalah kota yang indah dan menyenangkan. Kau mungkin tidak akan pernah lagi
mendapatkan kesempatan sebaik ini."
Mariam mengalihkan perhatian kepada para istri.
"Aku akan tinggal dengan Mullah Faizullah," katanya. "Dia akan bersedia
menampungku. Aku tahu itu."
"Itu tidak baik," kata Khadija. "Dia sudah tua dan sangat Khadija mencari-cari
kata yang tepat, dan Mariam tahu yang sebenarnya dia ingin ungkapkan adalah Dia
sangat dekat. Mariam memahami maksud mereka. Kau mungkin tidak akan pernah iagi
mendapatkan kesempatan sebaik ini. Dan begitu pula mereka. Harga diri mereka
telah terinjak-injak karena kelahirannya, dan inilah kesempatan terakhir bagi mereka
untuk menghapuskan, sekali dan untuk selamanya, jejak terakhir dari skandal
memalukan suami mereka. Mariam harus disingkirkan karena dia merupakan
perwujudan yang hidup dan bernapas dari aib mereka.
"Dia sudah tua dan sakit-sakitan," akhirnya Khadija berkata. "Dan, apa yang akan
kaulakukan kalau dia meninggal" Kau akan menjadi beban bagi keluarganya."
Seperti juga bagi kami sekarang ini. Mariam nyaris bisa melihat kata-kata yang
tak terucapkan itu keluar dari mulut Khadija, bagaikan uap napas pada hari yang
dingin. Mariam membayangkan dirinya di Kabul, sebuah kota besar asing yang penuh sesak.
Dahulu, Jalil pernah mengatakan kepadanya bahwa Kabul berada sekitar enam ratus
lima puluh kilometer di sebelah timur Herat. Enam ratus iima puiuh kilometer.
Jarak terjauh yang pernah dia tempuh dari kolba adalah jalan kaki dua kilometer
yang dilakukannya untuk mencapai rumah Jalil. Dia membayangkan dirinya harus
tinggal di sana, di Kabul, setelah menempuh jarak yang tidak terbayangkan,
tinggal di dalam sebuah rumah asing tempat dia harus memenuhi kebutuhan dan
tuntutan seorang pria asing. Dia harus merawat pria ini, Rasheed, memasak
untuknya, mencuci pakaiannya. Dan, akan ada tugas-tugas lainnya Nana pernah ?memberitahunya apa yang dilakukan oleh suami kepada istrinya.
Terutama pikiran tentang keintiman inilah, yang dia bayangkan sebagai
penyimpangan yang menyakitkan, yang membuatnya ketakutan dan mencucurkan
keringat. Dia kembali menatap Jalil. "Katakanlah kepada mereka. Katakanlah kepada mereka
bahwa Ayah tidak akan membiarkan mereka berbuat seperti ini."
"Sebenarnya, ayahmu sudah memberikan jawaban kepada Rasheed," kata Afsoon.
"Rasheed ada di sini, di Herat; dia jauh-jauh datang dari Kabul. Upacara nikka
akan diadakan besok pagi, dan akan ada bus yang berangkat ke Kabul siang
harinya." "Katakan pada mereka!" jerit Mariam.
Para wanita itu sekarang terdiam. Mariam dapat merasakan bahwa mereka juga
memerhatikan Jalil. Menanti. Kesunyian menyelimuti ruangan. Jalil memutar-mutar
cincin kawinnya, dengan tatapan terluka dan tanpa daya di wajahnya. Dari dalam
lemari, terdengarlah detikan jam duduk.
"Jalil jo?" akhirnya salah seorang istri berujar. Mata Jalil bergerak perlahan,
menemui mata Mariam, menetapkan tatapannya selama sesaat, lalu berpindah ke arah
lain. Dia membuka mulut, namun yang keluar dari sana hanyalah erangan
menyakitkan. "Katakan sesuatu, Ayah," Mariam memohon.
Lalu, dalam suara tipis dan bergetar, Jalil berkata, "Berengsek, Mariam, jangan
lakukan ini padaku," meskipun dialah yang berbuat.
Dan, bersama kalimat itu, Mariam merasakan
tekanan terangkat dari dalam ruangan itu.
Istri-istri Jalil dengan semangat baru mulai melancarkan kalimat-kalimat
? ?bujukan, sementara Mariam menundukkan pandangan ke meja. Matanya menyusuri kaki
meja yang ramping dan kilapan permukaan mulus cokelat tuanya. Dia melihat bahwa
setiap kali dia mengembuskan napas, permukaan meja menjadi berkabut, dan
bayangannya pun menghilang dari meja ayahnya.
Afsoon mengantarnya kembali ke kamar di lantai atas. Ketika wanita itu menutup
pintu, Mariam mendengar bunyi kunci diputar di dalam lubangnya.[]
BAB 8 Keesokan paginya, Mariam diberi sebuah tunik hijau tua berlengan panjang untuk
dikenakan bersama celana panjang katun putih. Afsoon memberi sehelai jilbab
hijau dan sepasang sandal berwarna serasi.
Dia diantarkan ke sebuah ruangan bermeja cokelat panjang, hanya saja kali ini
terdapat semangkuk kenari berlapis gula, sebuah AlQuran, sehelai kerudung hijau,
dan sebuah cermin di tengah meja. Dua orang pria yang tidak pernah dilihat oleh
Mariam sebelumnya para saksi, dia memperkirakan dan seorang mullah yang tidak ? ?dia kenali telah menunggu di sekeliling meja.
Jalil menunjuk sebuah kursi untuk diduduki oleh Mariam. Dia mengenakan setelan
cokelat muda dan dasi merah. Rambutnya rapi dan wangi. Sembari menarik kursi
untuk Mariam, dia berusaha tersenyum menyemangati. Kali ini, Khadija dan Afsoon
duduk di sisi meja Mariam.
Mullah menunjuk kerudung, dan Nargis memakaikannya di kepala Mariam sebelum
duduk. Mariam menunduk menatap kedua tangannya.
"Kau boleh memanggilnya sekarang," Jalil berkata kepada seseorang.
Mariam mencium baunya sebelum melihatnya. Aroma asap rokok dan kolonye yang
tajam dan manis, tidak samar-samar seperti pada Jalil. Aroma ini membanjiri
lubang hidung Mariam. Dari balik kerudung yang menutupi wajahnya, dari sudut
matanya, Mariam melihat seorang pria jangkung berperut buncit dan berbahu
bidang, membungkukkan badan ketika melewati ambang pintu. Ukuran tubuh pria itu
membuatnya terkesiap, dan dia pun segera mengalihkan tatapannya, sementara
jantungnya berdegup kencang. Mariam dapat merasakan pria itu berlama-lama
berdiri di ambang pintu. Lalu, langkah kakinya yang berat melintasi ruangan.
Mangkuk gula-gula di atas meja berdenting seiring derap kakinya. Dengan geraman
singkat, pria itu duduk di kursi samping Mariam. Dia bernapas dengan ribut.
Mullah menyambut mereka. Katanya, ini bukanlah upacara nikka tradisional biasa.
"Saya tahu bahwa Rasheed agha telah memegang tiket bus ke Kabul yang akan segera
berangkat. Maka, untuk mempersingkat waktu, kita akan melewatkan beberapa
tahapan tradisional dan segera masuk pada inti upacara."
Mullah memberikan beberapa petuah dan menyampaikan khutbah pendek tentang
pentingnya pernikahan. Dia menanyakan kepada Jalil tentang adanya keberatan bagi
persatuan ini, dan Jalil menggeleng. Lalu, Mullah menanyakan kepada
Rasheed apakah dia memang berniat mempersunting Mariam. Rasheed menjawab, "Ya."
Suaranya keras dan serak, mengingatkan Mariam pada daun musim semi yang
terinjak. "Dan, apakah kamu, Mariam jan, mau menerima pria ini sebagai suamimu?"
Mariam tidak segera menjawab. Beberapa orang berdeham.
"Tentu saja dia mau," terdengarlah suara seorang wanita yang duduk di dekat
meja. "Sebenarnya," kata Mullah, "mempelai wanita sendiri yang harus menjawab
pertanyaan ini. Dan, dia harus menunggu hingga saya bertanya tiga kali. Intinya,
mempelai pria yang menyuntingnya, bukan sebaliknya."
Mullah melontarkan pertanyaan itu dua kali lagi. Ketika Mariam tidak kunjung
menjawab, dia bertanya sekali lagi, kali ini dengan nada lebih tegas. Mariam
dapat merasakan Jalil bergerak-gerak di kursinya, kakinya dilipat dan diluruskan
kembali di bawah meja. Dehaman semakin sering terdengar. Sebentuk tangan mungil
berkulit putih terulur untuk menjentik debu yang menempel di meja.
"Mariam," bisik Jalil.
"Ya," kata Mariam dengan suara gemetar.
Sebuah cermin diulurkan ke bawah kerudung. Di situ, Mariam melihat wajahnya
sendiri, alis melengkung yang lebat, rambut lurus yang berminyak, mata hijaunya
yang menatap kosong dan terletak begitu berdekatan sehingga orang-orang sering
menyangkanya juling. Kulitnya
kasar, kusam, dan berbintik-bintik. Dia menganggap keningnya terlalu lebar,
dagunya terlalu kecil, bibirnya terlalu tipis. Kesan pertama yang dilihat oleh
orang lain adalah wajah yang bulat dan lancip, sedikit mirip dengan bentuk wajah
anjing Afghan. Dan tetap saja, Mariam melihat bahwa, meskipun cukup aneh,
keseluruhan bagian yang biasa-biasa saja tersebut menjadikan wajahnya, entah
bagaimana, tidak cantik tetapi enak dilihat.
Di permukaan cermin itu jugalah Mariam melihat Rasheed untuk pertama kalinya:
wajahnya yang besar, persegi, dan berkulit kemerahan; pipi merona yang
memberikan kesan keceriaan palsu; mata yang merah dan basah; gigi-gigi yang
berjejalan di mulutnya, dengan dua gigi seri mencuat bagaikan kanopi; garis
rambutnya yang luar biasa rendah, mungkin hanya berjarak dua jari dari semak-
semak alisnya; rambutnya yang tebal, kasar, berwarna gelap dengan semburat cerah
di sana-sini. Tatapan mereka bertemu sekilas di kaca.
Ini wajah suamiku, pikir Mariam.
Mereka saling menukar cincin emas tipis yang dikeluarkan Rasheed dari saku
jasnya. Kuku-kuku pria itu berwarna kuning kecokelatan, seperti bagian dalam
buah apel yang mulai membusuk, dan beberapa ujungnya melengkung, mencuat. Tangan
Mariam bergetar ketika dia berusaha menyematkan cincin ke tangan Rasheed, dan
pria itu harus membantunya. Cincin Mariam sendiri sedikit kekecilan, namun
Rasheed tidak kesulitan menjejalkannya hingga ke dasar jari Mariam.
"Nah," katanya.
"Cincin yang cantik," kata salah seorang istri. "Indah sekali, Mariam."
"Yang harus dilakukan sekarang tinggal penandatanganan surat nikah," ujar
Mullah. Mariam menuliskan namanya-m/m, ra, dan ya, dilanjutkan dengan satu kali mim
lagi menyadari bahwa semua mata tertuju pada tangannya. Ketika Mariam sekali ?lagi menuliskan namanya di sebuah dokumen, dua puluh tahun kemudian, seorang
mullah juga akan hadir. "Kalian berdua sekarang menjadi suami dan istri," kata Mullah. "Tabreek.
Selamat." O Rasheed menanti di dalam bus yang bercat warna-warni. Dari tempat Mariam berdiri
bersama Jalil, di dekat bumper belakang, yang terlihat hanyalah asap rokok
Rasheed yang menggulung ke luar dari jendela yang terbuka. Di sekeliling mereka,
tangan-tangan berjabatan dan ucapan selamat jalan dilontarkan. AlQuran diciumi,
dilewatkan di atas kepala. Anak-anak lelaki bertelanjang kaki lalu lalang di
antara para calon penumpang, wajah mereka tertutup baki berisi permen karet dan
rokok dagangan mereka. Jalil sedang sibuk mengatakan kepada Mariam tentang betapa cantiknya Kabul
sehingga Kaisar Babur, Moghul, ingin dikuburkan di sana. Selanjutnya, Mariam
mendengar lelaki itu bertutur
tentang taman-taman Kabul, toko-tokonya, pohon-pohonnya, dan udaranya, dan,
sejenak kemudian, Mariam akan berada di dalam bus dan Jalil akan berjalan di
sisinya, melambai ceria, tanpa merasakan kepedihan, lega.
Mariam tidak mampu membiarkan semua ini terjadi.
"Aku pernah memuja Ayah," sahut Mariam.
Jalil berhenti di tengah kalimatnya. Dia melipat dan meluruskan tangannya dengan
canggung. Sepasang suami-istri India muda, si istri menggendong seorang bayi dan si suami
menyeret sebuah koper, lewat di antara mereka. Jalil tampak bersyukur dengan
adanya gangguan ini. Mereka mengucapkan permisi, dan Jalil membalasnya dengan
senyuman sopan. "Setiap Kamis, aku duduk selama berjam-jam untuk menanti Ayah. Aku cemas karena
menyangka Ayah jatuh sakit dan tidak akan muncul di kolba."
"Kau akan menempuh perjalanan panjang. Sebaiknya kau makan sesuatu." Jalil
menawarkan untuk membelikan roti dan keju kambing kepada Mariam.
"Aku memikirkan Ayah sepanjang waktu. Aku selalu berdoa supaya Ayah tetap hidup
hingga berumur seratus tahun. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu bahwa aku adalah
sumber aib bagi Ayah."
Jalil menunduk, dan, seperti bocah cilik, menggali tanah dengan ujung sepatunya.
"Aku membuat Ayah malu."
"Aku akan mengunjungimu," gumam Jalil. "Aku
akan datang ke Kabul dan menemuimu. Kita akan-"
"Tidak. Tidak perlu," tukas Mariam. "Jangan datang. Aku tak ingin menemui Ayah.
Jangan pernah mendatangiku. Aku tidak ingin mendengar apa pun dari Ayah.
Selamanya. Selamanya."
Jalil memberikan tatapan terluka pada Mariam.
"Hubungan kita berakhir di sini. Ucapkanlah selamat berpisah kepadaku."
"Jangan meninggalkanku seperti ini," kata Jalil dengan suara lirih.
"Ayah bahkan tidak memberiku waktu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada
Mullah Faizullah." Mariam berpaling dan berjalan ke sisi bus. Dia dapat mendengar langkah kaki
Jalil mengikutinya. Ketika mencapai pintu hidrolik, Mariam mendengar suara Jalil
di belakangnya. "Mariam jo."
Mariam menaiki tangga, dan meskipun Jalil, yang berjalan di sisi bus, terlihat
dari sudut matanya, dia tidak sedikit pun menatap ke luar jendela. Dia melangkah
di bagian tengah bus hingga tiba di bangku belakang, tempat Rasheed duduk dengan
menjepit koper Mariam di antara kedua kakinya. Mariam tidak berpaling ketika
Jalil menempelkan telapak tangannya ke kaca, ketika buku-buku jari Jalil
mengetuk-ngetuk jendela. Waktu bus mulai bergerak, Mariam tidak berpaling untuk
melihat Jalil berlari di sisinya. Dan, waktu bus melaju, Mariam tidak menengok
ke belakang untuk melihat Jalil mengecil, hingga akhirnya menghilang di balik
kepulan asap dan debu. Rasheed, yang tubuhnya mengisi kursi dekat jendela dan kursi tengah, meletakkan


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan besarnya ke bahu Mariam.
"Tenanglah, Manis. Tenang. Tenang," katanya. Dia memicingkan mata ke luar
jendela, seolah-olah sesuatu yang lebih menarik menyita perhatiannya.[]
BAB 9 Malam telah menjelang pada hari berikutnya ketika mereka tiba di rumah Rasheed.
"Kita sudah sampai di Deh-Mazang," kata Rasheed. Mereka berada di luar, di
trotoar. Satu tangan Rasheed mengangkat koper dan tangan yang lainnya membuka
pintu gerbang kayu. "Di bagian barat daya Kota Kabul. Kebun binatang ada di
dekat sini, juga universitas."
Mariam mengangguk. Dia sudah mengerti bahwa meskipun ucapan Rasheed bisa
dipahami, dia harus sangat memerhatikan ketika suaminya itu berbicara. Mariam
belum terbiasa dengan logat Kabuli dalam bahasa Farsi yang diucapkan Rasheed,
juga lapisan aksen Pashto, bahasa-ibu suku Kandahar tempat Rasheed berasal.
Rasheed, di sisi lain, sepertinya tidak mengalami kesulitan dalam memahami
bahasa Farsi berlogat Herat yang diucapkan Mariam.
Mariam dengan cepat mengamati jalan tanah sempit di depan rumah Rasheed. Rumah-
rumah di jalan ini berimpitan dan saling berbagi tembok, dengan halaman sempit
berpagar di bagian depan, yang memisahkannya dari jalan. Kebanyakan dari
rumah-rumah itu beratap datar dan terbuat dari batu bata; sebagian lagi dari
lempung sewarna tanah pegunungan yang mengelilingi kota. Selokan yang dialiri
air berlumpur memisahkan trotoar dari kedua sisi jalan. Mariam melihat gundukan-
gundukan sampah yang dikerubuti lalat berserakan di sana-sini. Rumah Rasheed
bertingkat dua. Mariam dapat melihat bahwa rumah itu semula bercat biru.
Ketika Rasheed membuka pintu gerbang, Mariam mendapati dirinya berada di sebuah
halaman sempit yang tak terawat, dengan hamparan rumput menguning di berbagai
tempat. Mariam melihat sebuah bangunan tambahan di sebelah kanan, di halaman
samping, dan, di sebelah kiri, terdapat sebuah sumur dengan pompa air tangan
serta sederet tanaman yang telah mengering. Di dekat sumur terdapat sebuah
gudang perkakas, dan sebuah sepeda tersandar di dinding.
"Kata ayahmu, kau suka ikan," kata Rasheed ketika mereka melintasi halaman
menuju rumah. Mariam tidak melihat adanya halaman belakang. "Ada lembah di
sebelah utara. Di sana ada sungai dengan banyak ikan. Mungkin kapan-kapan aku
akan mengajakmu ke sana."
Rasheed membuka pintu rumah dan mempersilakan Mariam masuk.
Rumah Rasheed jauh lebih kecil daripada rumah Jalil, namun, dibandingkan dengan
kolba yang ditinggali oleh Mariam dan Nana, rumah ini bagaikan gedung besar.
Terdapat sebuah koridor, sebuah ruang tamu di lantai bawah, dan sebuah dapur
dengan berbagai macam panci dan wajan, juga sebuah panci tekan dan ishtop minyak
tanah. Sebuah sofa hijau pistachio terletak di ruang tamu. Robekan di bagian
bawahnya dijahit secara asal-asalan. Dinding-dinding ruang tamu itu telanjang
tanpa hiasan. Selain sebuah sofa, di sana juga terdapat sebuah meja, dua kursi
kayu, dua kursi lipat, dan, di sudut ruangan, sebuah tungku pemanas ruangan dari
besi tempa hitam. Mariam berdiri di tengah ruang tamu, melihat-lihat ke sekelilingnya. Di kolba,
dia dapat menyentuh langit-langit dengan ujung jarinya. Dia dapat berbaring di
ranjangnya dan mengetahui waktu dari arah cahaya matahari yang masuk dari
jendela. Dia tahu seberapa lebar pintunya akan terbuka sebelum engsel-engselnya
berderit. Dia mengetahui setiap lubang dan retakan pada ketiga puluh bilah papan
penyusun lantainya. Sekarang, semua hal yang telah dia akrabi sudah tiada. Nana
telah meninggal, dan dia sendiri berada di sini, di sebuah kota asing,
dipisahkan dari kehidupan yang dia kenali dengan lembah-lembah, deretan gunung
dengan puncak berselimut salju, dan juga gurun-gurun pasir. Dia berada di dalam
rumah seorang asing, dengan ruangan-ruangan berbeda yang digantungi aroma rokok,
dengan lemari-lemari asing yang dipenuhi oleh berbagai peralatan asing, dengan
tirai hijau tua yang berat, dan langit-langit yang tak bisa dia jangkau. Luas
Kucing Ditengah Burung Dara 4 Wiro Sableng 004 Keris Tumbal Wilayuda Eng Djiauw Ong 5
^