Pencarian

Thousand Splendid Suns 6

A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein Bagian 6


saja, Laila jo. Aku tahu apa yang harus kulakukan."
v Pada suatu siang yang panas menyengat, Mariam mengenakan burqa dan berjalan
bersama Rasheed ke Hotel Intercontinental. Mereka tidak mampu lagi membayar
ongkos bus, dan Mariam terengah-engah kelelahan ketika mereka tiba di puncak
bukit yang curam. Ketika mendaki bukit, Mariam terserang sakit kepala, dan dia
harus berhenti dua kali, menunggu serangan itu mereda.
Di pintu masuk hotel, Rasheed menyapa dan memeluk salah seorang penjaga pintu,
yang mengenakan setelan merah anggur dan topi. Mereka saling berbasa-basi.
Rasheed berbicara sambil menyentuh sikut penjaga pintu itu. Beberapa saat
kemudian, dia menunjuk Mariam, dan mereka berdua menatap sejenak ke arahnya.
Mariam berpikir ada sesuatu yang dikenalnya dari penjaga pintu itu.
Penjaga pintu itu masuk ke dalam hotel, sementara Mariam dan Rasheed menunggu di
luar. Dari tempat tinggi ini, Mariam dapat melihat bangunan Institut Politeknik,
dan, lebih jauh lagi, distrik tua Khair khana dan jalan menuju Mazar. Di sebelah
selatan, dia dapat melihat pabrik roti, Silo, yang telah lama terbengkalai,
dengan pilar-pilar kuning pucatnya yang penuh lubang peluru. Jauh di sebelah
selatan, tampaklah puing-puing Istana Darulaman, tempat Rasheed pernah membawa
Mariam berpiknik bertahun-tahun sebelumnya. Ingatan akan hari itu bagaikan relik
dari masa lalu, seolah-olah tidak berasal dari kenangan Mariam sendiri.
Mariam berkonsentrasi pada bangunan-bangunan itu, ciri-ciri khas kota Kabul. Dia
takut jika pikirannya melayang, maka nyalinya pun ikut terbang. Setiap beberapa
menit, mobil-mobil jeeip dan taksi memasuki halaman hotel. Para penjaga pintu
berhamburan menyambut para penumpang mobil-mobil itu, semuanya pria, bersenjata,
berjanggut, berserban, semuanya berjalan dengan penuh percaya diri dan
menampilkan kesan berbahaya. Mariam dapat mendengar potongan-potongan
pembicaraan sebelum mereka menghilang di balik pintu hotel. Dia tidak hanya
mendengar bahasa Pashto dan Farsi, tetapi juga Urdu dan Arab.
"Lihatlah tuan-tuan kita yang sebenarnya," bisik Rasheed. "Orang-orang Islam
garis keras dari Pakistan dan Arab. Taliban cuma boneka mereka. Yang ini baru
pemain besar. Mereka menganggap Afghanistan sebagai taman bermain."
Rasheed menceritakan tentang desas-desus yang dia dengarnya bahwa Taliban
mengizinkan orang-orang ini mendirikan kamp-kamp rahasia di seluruh negeri,
tempat para pemuda dilatih menjadi pelaku bom bunuh diri dan pejuang jihad.
"Kenapa dia lama sekali?" tanya Mariam.
Rasheed meludah dan menimbun air liurnya dengan tanah.
Satu jam kemudian, Mariam dan Rasheed berada di dalam hotel, mengikuti si
penjaga pintu. Tumit mereka mengetuk-ngetuk ubin saat mereka melewati lobi yang
sejuk. Mariam melihat dua orang pria duduk di kursi kulit, dipisahkan oleh
senapan dan meja kopi, menghirup teh hitam dan menyantap cincin jelabi berlapis sirup
bertabur gula halus. Mariam memikirkan Aziza, yang sangat menggemari jelabi, dan
segera mengalihkan tatapan.
Penjaga pintu membawa mereka ke sebuah balkon. Dari dalam sakunya, dia
mengeluarkan sebuah telepon tanpa kabel kecil dan secarik kertas yang
bertuliskan sederet angka. Dia mengatakan kepada Rasheed bahwa telepon satelit
itu adalah milik atasannya.
"Kau cuma punya waktu lima menit," katanya. "Tidak bisa lebih."
"Tashakor," kata Rasheed. "Aku tak akan melupakannya."
Penjaga pintu itu mengangguk dan berlalu. Rasheed menekan nomor dan memberikan
pesawat telepon kepada Mariam.
Sembari mendengarkan gemerisik di sela-sela nada dering, pikiran Mariam
berkelana. Dia teringat ketika dirinya terakhir kali bertemu dengan Jalil, tiga
belas tahun sebelumnya, pada musim semi 1987. Jalil berdiri di jalan, di luar
rumah, bertopang pada tongkat di samping Benz biru berplat nomor Herat dengan
garis putih melintasi kap, atap, dan bagasinya. Dia berdiri selama berjam-jam,
menanti Mariam, berulang-ulang kali memanggil namanya, sama seperti ketika
Mariam memanggil namanya1 di depan rumahnya1. Mariam mengintip sekali dari balik
tirai, hanya sesaat, dan sekilas melihat sosoknya. Hanya sekilas, namun cukup
lama bagi Mariam untuk melihat rambut Jalil yang telah memutih dan
punggungnya yang mulai membungkuk. Dia mengenakan kacamata, dasi merah, seperti
biasanya, dan saputangan masih menyembul dari saku jasnya. Vang paling membuat
Mariam terperangah, ketika itu Jalil tampak lebih kurus, jauh lebih kurus
daripada yang diingatnya. Mantel cokelat tuanya terkulai lemas di bahunya,
celananya tampak sangat longgar.
Jalil juga melihat Mariam, meskipun hanya sekilas. Tatapan mereka bertemu dalam
waktu yang singkat melalui celah kecil di tirai itu, sama seperti bertahun-tahun
sebelumnya melalui tirai yang lain. Namun, Mariam segera menutup tirainya. Dia
duduk di ranjang, menanti Jalil pergi.
Sekarang, Mariam memikirkan tentang surat yang diselipkan Jalil ke pintu. Mariam
menyimpan surat itu selama berhari-hari, di bawah bantalnya, berkali-ulang kali
memegangnya, menimbang-nimbangnya di tangan. Akhirnya, dia merobek-robek surat itu tanpa
membukanya. Dan sekarang, di sinilah dia, setelah bertahun-tahun, berusaha
menghubungi ayahnya. Sekarang, Mariam menyesali kebodohan dan kesombongan masa mudanya. Sekarang, dia
berharap telah mempersilakan Jalil masuk ketika itu. Apa bahayanya mempersilakan
dia masuk, duduk dengannya, membiarkannya mengatakan apa yang ingin dia
katakannya" Jalil adalah ayahnya. Memang benar, dia bukan ayah yang baik. Namun,
betapa kesalahan Jalil tampak sangat sepele sekarang ini, dibandingkan dengan
kejahatan Rasheed, atau kebrutalan dan kekejaman yang dilihat Mariam saling dilakukan oleh para pria
lain. Mariam berharap dirinya tidak merobek-robek surat itu.
Suara dalam seorang pria menyapa telinga Mariam, menginformasikan bahwa dia
telah menghubungi kantor wWali kKota Herat.
Mariam berdeham. "Salaam, Saudara, saya mencari seseorang yang tinggal di Herat.
Atau setidaknya dia pernah tinggal di Herat, bertahun-tahun yang lalu. Namanya
Jalil Khan. Dia tinggal di Shar-e-Nau dan memiliki gedung bioskop. Apakah Anda
memiliki informasi tentang keberadaannya?"
Kejengkelan terdengar jelas dalam suara pria itu. "Karena urusan inikah Anda
menelepon kantor wali kota?"
Mariam menjelaskan bahwa dia tidak tahu lagi harus menelepon ke mana. "Maafkan
saya, Saudara. Saya tahu Anda punya banyak urusan yang lebih penting, namun ini
masalah hidup dan mati. Saya menelepon karena masalah hidup dan mati."
"Saya tidak mengenal orang yang Anda maksud. Gedung bioskop sudah tutup sejak
bertahun-tahun yang lalu."
"Mungkin ada orang lain yang tahu tentang dia, seseorang-" "Tidak ada."
Mariam memejamkan mata. "Tolonglah, Saudara. Ada anak-anak yang terlibat dalam
masalah ini. Anak-anak kecil." Terdengar sebuah desahan panjang.
"Mungkin ada orang di sana-"
"Ada seorang juru kunci di sini. Sepertinya dia sudah tinggal di sini seumur
hidup." "Ya, tanyakanlah pada dia, tolonglah."
"Silakan Anda menelepon kembali besok."
Mariam menolak. "Saya hanya diizinkan menggunakan telepon ini selama lima menit.
Saya tidak-" Terdengar bunyi klik di ujung sambungan, dan Mariam mengira pria itu telah
menutup telepon. Tetapi, sejenak kemudian, dia dapat mendengar langkah kaki,
suara-suara, bunyi klakson di kejauhan, dan dengungan yang disela oleh bunyi
ketukan, mungkin berasal dari kipas angin listrik. Mariam memindahkan telepon ke
telinganya yang lain dan memejamkan mata.
Dia membayangkan Jalil tersenyum, meraih ke dalam sakunya.
Ah, tentu saja. Nah, ini, kalau begitu. Tanpa perlu berlama-lama ....
Sebuah kalung dengan liontin berbentuk daun dan hiasan berupa kepingan koin
kecil berukiran bulan dan bintang.
Cobalah, Mariam jo. Bagaimana " Kamu tampak seperti ratu.
Beberapa menit berlalu. Lalu, terdengarlah langkah kaki, bunyi berderak, dan
bunyi klik. "Dia memang mengenal orang yang Anda maksud."
"Benarkah?" "Begitulah katanya."
"Di manakah dia?" tanya Mariam. "Apa orang itu mengetahui di mana Jalil Khan
tinggal sekarang?" Pria itu terdiam sejenak. "Katanya, Jalil Khan telah lama meninggal, pada tahun
1987." Mariam merasakan perutnya mual. Dia telah memikirkan kemungkinan ini, tentu
saja. Seandainya masih hidup, Jalil tentunya telah berusia pertengahan atau
akhir tujuh puluhan sekarang, tetapi ... 1987.
Artinya, ketika itu Jaiii sedang sekarat. Dia bermobil sejauh itu dari Herat
untuk mengucapkan selamat tinggal.
Mariam bergerak ke pinggir balkon. Dari situ, dia dapat melihat kolam renang
hotel yang dahulu begitu populer, sekarang kosong dan kotor, ternoda oleh
lubang-lubang peluru dan ubin-ubin yang terlepas. Dia juga dapat melihat
lapangan tenis yang terbengkalai, dengan jaring kumal yang teronggok di tengah-
tengahnya seperti selongsong kulit ular yang tidak terpakai lagi.
"Saya harus menutup pembicaraan kita sekarang," kata pria di ujung sambungan.
"Maafkan saya karena telah merepotkan Anda," kata sahut Mariam, terisak tanpa
suara di telepon. Dia melihat Jalil melambai kepadanya, melompati satu per satu
batu untuk menyeberangi sungai, sakunya menggembung berisi berbagai hadiah.
Sepanjang waktu, Mariam menahan napas untuk Jalil, supaya Tuhan menganugerahkan
lebih banyak waktu bersamanya. "Terima kasih," ucap Mariam, namun pria itu telah menutup
sambungan. Rasheed menatapnya. Mariam menggeleng.
"Percuma," kata Rasheed, merebut pesawat telepon dari tangan Mariam. "Ayah dan
anak sama saja." Ketika berada di lobi saat hendak keluar, Rasheed berjalan menghampiri meja
kopi, yang telah ditinggalkan, dan mengantungi cincin jelabi terakhir. Dia
membawa pulang penganan itu dan memberikannya kepada Zalmai.[]
BAB 42 Laila Aziza memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah kantung kertas: baju bunga-
bunga dan sepasang kaus kaki satu-satunya, sarung tangan yang tidak serasi,
selimut oranye tua yang bermotif bintang dan komet, sebuah cangkir plastik yang
telah bocor, sebuah pisang, dan satu set dadu.
Pagi itu terasa sejuk, April 2001, tak lama sebelum ulang tahun Laila yang kedua
puluh tiga. Langit berwarna kelabu, dan angin yang lembap terus menderu,
menggetarkan pintu kasa. Beberapa hari sebelumnya, Laila mendengar bahwa Ahmad Shah Massoud telah
berangkat ke Prancis dan berbicara di hadapan Parlemen Eropa. Saat ini, Massoud
berada di tanah kelahirannya di Utara, memimpin Aliansi Utara, satu-satunya
kelompok yang masih bertahan memerangi Taliban. Di Eropa, Massoud telah
memperingatkan dunia Barat tentang adanya kamp-kamp teroris di Afghanistan dan
memohon supaya AS membantunya melawan Taliban.
"Kalau Presiden Bush tidak turun tangan," katanya, "mereka akan menghancurkan AS
dan Eropa dalam sekejap mata."
Sebulan sebelumnya, Laila mendengar bahwa Taliban telah menanamkan bom TNT di
dalam gua-gua pada patung-patung Buddha raksasa di Bamiyan dan mengancam akan
meledakkannya, menyebut situs itu sebagai berhala dan sumber dosa. Kecaman keras
muncul dari seluruh dunia, dari AS hingga Cina. Pemerintah, ahli sejarah, dan
ahli arkeologi dari seluruh dunia menulis surat, memohon supaya Taliban tidak
menghancurkan dua situs sejarah terbesar di Afghanistan. Tetapi, Taliban tetap
meledakkan dua bom yang mereka tanamkan di dalam tubuh kedua patung Buddha yang
telah berusia dua ribu tahun itu. Teriakan Allahu akbar mengiringi setiap
ledakan, sorak-sorai membahana setiap kali tangan atau kaki patung itu
berhamburan menjadi gumpalan debu. Laila masih ingat ketika dia berdiri di atas
kepala patung Buddha besar itu dengan Babi dan Tariq, pada 1987, menyaksikan
seekor burung elang terbang mengitari desa di bawah mereka, sementara angin
berembus menerpa wajah mereka yang tertimpa sinar matahari. Tetapi, ketika
mendengar berita tentang penghancuran kedua patung tersebut, Laila tidak
merasakan apa-apa. Ini bukan masalah baginya. Bagaimana mungkin dia akan
memedulikan patung jika kehidupannya sendiri mulai porak poranda menjadi debu"
Hingga Rasheed memberi tahunya bahwa telah tiba waktunya untuk pergi, Laila
duduk di lantai di sudut ruang tamu, tanpa berkata-kata,
menampilkan wajah sedingin mungkin, rambutnya membingkai wajahnya dalam keriting
kaku. Tak peduli seberapa seringnya dia menarik dan mengembuskan napas, udara
tampaknya tak pernah cukup mengisi paru-parunya.
?" Dalam perjalanan menuju Karteh-Seh, Zalmai terguncang-guncang dalam gendongan
Rasheed, dan Aziza berjalan di sisi Mariam, menggenggam tangannya. Angin meniup
kerudung dekil yang terikat di bawah dagu Aziza dan mempermainkan pinggiran
roknya. Wajah Aziza semakin muram, seolah-olah dia mulai memahami, bersama
setiap langkahnya, bahwa dia sedang dikelabui. Laila tidak mampu mengatakan
kebenaran kepadanya. Dia mengatakan kepada Aziza bahwa mereka akan memasukkannya
ke sekolah, sebuah sekolah khusus tempat anak-anak makan, tidur, dan tidak perlu
pulang ke rumah setelah pelajaran usai. Sekarang, Aziza terus mencecar Laila
dengan pertanyaan yang telah dilontarkannya selama berhari-hari. Apakah anak-
anak sekolah itu tidur di kamar yang berbeda-beda, ataukah mereka semua tidur
dalam satu bangsal besar" Apakah dia akan mendapatkan teman" Apakah Laila yakin
bahwa guru-guru sekolah itu akan memperlakukan Aziza dengan baik"
Dan, berulang kali-kali, Sampai kapan aku harus tinggal di sana "
Mereka berhenti dua blok dari bangunan bergaya barak yang mereka tuju. "Aku dan
Zalmai akan menunggu di sini," kata Rasheed. "Oh, mumpung aku belum lupa
Dia mengeluarkan sebuah permen karet dari saku celananya, sebuah hadiah
perpisahan, dan mengulurkannya kepada Aziza dengan sikap sombong. Aziza
mengambil permen itu dan menggumamkan terima kasih. Laila tertegun melihat
keanggunan Aziza, betapa besar hatinya, dan matanya pun basah oleh air mata.
Hatinya nyeri, dan kesedihan melandanya ketika dia memikirkan bahwa siang ini
Aziza tidak akan tidur siang di sampingnya, bahwa dia tidak akan merasakan
ringannya lengan Aziza di dadanya, lekukan kepala Aziza yang menekan
pinggangnya, hangatnya napas Aziza di lehernya, dan tumit Aziza yang menyodok-
nyodok perutnya. Ketika Aziza berlalu, Zalmai mulai menjerit-jerit, menangis, Ziza! Ziza! Dia
memberontak dan menjejak-jejak dalam gendongan ayahnya, memanggil-manggil
kakaknya, hingga perhatiannya terenggut oleh pertunjukan topeng monyet di
seberang jalan. Mereka bertiga berjalan sejauh tiga blok lagi, Mariam, Laila, dan Aziza. Semakin
mendekati bangunan yang mereka tuju, Laila dapat melihat pilar-pilarnya yang tak
lagi kokoh, atapnya yang nyaris ambruk, bilah-bilah papan yang dipaku di luar
jendela yang telah kehilangan kaca, sisa-sisa ayunan yang tersandar di dinding.
Mereka berhenti di depan pintu, dan Laila mengulangi kembali
pertanyaan yang telah diajarkannya sebelumnya.
"Kalau mereka menanyakan tentang ayahmu, apa yang akan kaukatakan?"
"Mujahidin membunuhnya," kata Aziza, bibirnya tampak bergetar.
"Bagus, Aziza, kau sudah paham, kan?"
"Karena ini sekolah khusus," kata Aziza. Sekarang, setelah mereka berada di
sini, dan bangunan itu mewujud nyata, Aziza tampak terguncang. Bibir bawahnya
gemetar dan matanya mulai basah, dan Laila melihat betapa dia berjuang untuk
tetap tabah. "Kalau kita mengatakan yang sebenarnya," kata Aziza lirih, "mereka
tidak akan menerimaku. Ini adalah sekolah khusus. Aku mau pulang."
"Aku akan sesering mungkin mengunjungimu," Laila berhasil mengatakan. "Aku
berjanji." "Aku juga," kata Mariam. "Kami akan mengunjungimu, Aziza jo, dan kita akan
bermain bersama, seperti biasanya. Ini hanya untuk sementara, sampai ayahmu
mendapatkan pekerjaan."
"Di sini ada makanan," Laila mengatakannya dengan suara gemetar. Dia lega karena
mengenakan burqa, lega karena Aziza tak akan dapat melihat betapa hancur
hatinya. "Di sini, kau tak akan kelaparan. Mereka punya nasi, roti, dan air, dan
mungkin bahkan buah-buahan."
"Tapi, Mammy tidak ada di sini. Khala Mariam juga tak akan menemaniku."
"Aku akan mengunjungimu," Laila meyakinkan.
"Setiap hari. Lihatlah aku, Aziza. Aku akan mengunjungimu. Aku ibumu. Meskipun
aku harus mati, aku akan mengunjungimu."
Direktur panti asuhan itu adalah seorang pria bungkuk berdada kerempeng, dengan
wajah ramah penuh kerutan. Rambutnya mulai menipis, janggutnya tebal, matanya


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mirip kacang polong. Namanya Zaman. Dia mengenakan kopiah. Lensa kiri
kacamatanya retak. Sambil mengantarkan mereka ke kantornya, dia menanyakan nama Laila dan Mariam,
juga nama dan umur Aziza. Mereka melewati koridor suram tempat anak-anak berkaki
telanjang menyingkir dan menonton. Rambut mereka acak-acakan atau tercukur
habis. Mereka mengenakan sweter dengan pinggiran lengan tercerabut, celana jins
dengan bagian lutut belel, mantel dengan lubang ditambal selotip. Lauila mencium
aroma sabun dan bedak talek, amonia dan urine, dan ketegangan Aziza yang semakin
memuncak, yang tampak dari gemetar tubuhnya.
Sekilas, Laila melihat halaman: lahan berumput, ayunan bobrok, ban-ban bekas,
sebuah bola basket kempis. Kamar-kamar yang mereka lewati tampak polos, jendela-
jendelanya tertutup lembaran plastik. Seorang anak laki-laki berlari keluar dari
salah satu kamar dan menyambar siku Laila, berusaha meminta digendong. Seorang
pengasuh, yang sedang mengepel cairan yang mirip urine di lantai, meletakkan kain pelnya dan menarik
anak itu. Zaman menunjukkan kasih sayang kepada anak-anak yatim piatu itu. Dia menepuk-
nepuk kepala beberapa anak saat berpapasan dengan mereka, mengucapkan satu atau
dua kata, mengacak-acak rambut mereka, tanpa tampak canggung. Anak-anak
menyambut gembira sentuhannya. Di mata Laila, semua anak itu memandang Zaman
dengan tatapan penuh harap.
Dia mempersilakan mereka memasuki kantornya, sebuah ruangan yang hanya berisi
tiga buah kursi lipat dan sebuah meja berantakan yang penuh dengan kertas.
"Anda dari Herat," katanya kepada Mariam. "Saya tahu dari aksen Anda."
Zaman bersandar di kursinya dan meletakkan kedua tangannya di perut. Dia
mengatakan bahwa seorang kakak iparnya pernah tinggal di Herat. Bahkan dalam
keramahan sederhana ini, Laila dapat melihat betapa berat pekerjaan pria itu.
Dan, meskipun wajahnya tersenyum, Laila dapat merasakan masalah yang bergumul di
dalam diri pria itu, kekecewaan dan kekalahan yang terpulas oleh keramahan dan
senda gurau. "Dia perajin kaca," kata Zaman. "Dia membuat angsa-angsa sehijau giok yang
sangat indah. Jika diletakkan di bawah sinar matahari, bagian dalamnya akan
berkilauan, seolah-olah ada batu-batu permata kecil yang disimpan di dalam
kacanya. Anda pernah pulang ke Herat baru-baru ini?"
Mariam menjawab tidak. "Saya sendiri dari Kandahar. Anda pernah ke Kandahar, Hamshira" Belum" Tempat
itu indah sekali. Taman-tamannya! Dan juga kebun-kebun anggurnya! Oh, anggurnya.
Nikmat sekali." Beberapa orang anak berkumpul di dekat pintu dan mengintip ke dalam. Zaman
mengusir mereka dengan lembut menggunakan bahasa Pashto.
"Tentu saja, saya juga suka Herat. Kota seniman dan pujangga, Sufi dan mistik.
Anda tahu lelucon tua itu, bahwa kita tidak bisa meluruskan kaki di Herat tanpa
menyodok bokong penyair."
Di dekat Laila, Aziza tertawa.
Zaman berpura-pura terkesiap. "Ah, lihat. Aku berhasil membuatmu tertawa,
Hamshira kecil. Biasanya itu susah sekali. Aku tadi sempat khawatir. Kupikir aku
harus berkeok seperti ayam atau meringkik seperti keledai. Tapi, ternyata kau
sudah tertawa. Dan kau tampak sangat cantik."
Zaman memanggil seorang pengasuh untuk menemani Aziza sebentar. Aziza melompat
ke pangkuan Mariam dan berpegangan erat padanya.
"Kami harus mengobrol sebentar, Sayangku," kata Laila. "Aku akan ada di sini.
Ya" Di sini." "Bagaimana kalau kita menunggu di luar sebentar, Aziza jo?" Mariam mengambil
alih. "Ibumu harus berbicara sebentar dengan Kaka Zaman di sini. Sebentar saja.
Nah, ayo kita keluar."
Ketika mereka tinggal berdua, Zaman menanyakan tanggal lahir Aziza, riwayat
kesehatannya, alergi yang dideritanya. Dia juga menanyakan
tentang ayah Aziza, dan Laila merasa aneh karena harus menceritakan kebohongan
yang sejatinya sebuah kejujuran. Zaman mendengarkan, ekspresinya tidak
menunjukkan keyakinan maupun kesangsian. Dia mengelola panti asuhan dengan
sistem kehormatan, katanya. Jika seorang Hamshira mengatakan bahwa suaminya
meninggal dan dia tidak mampu lagi menghidupi anak-anaknya, dia tidak akan
mempertanyakannya. Laila mulai menangis. Zaman meletakkan penanya.
"Saya malu," ujar Laila parau, telapak tangannya menekan mulut.
"Lihatlah saya, Hamshira."
"Ibu macam apa yang menelantarkan anaknya sendiri?"
"Lihatlah saya." Laila mengangkat wajah.
"Ini bukan kesalahan Anda. Anda dengar" Bukan Anda. Ini adalah akibat dari ulah
orang-orang Uar itu, wahshis itu. Merekalah yang layak disalahkan. Mereka
membuat saya, sebagai seorang Pashtun, malu. Mereka menghancurkan harkat kaum
saya. Dan, Anda tidak sendiri, Hamshira. Kami menerima ibu-ibu seperti Anda
sepanjang waktu sepanjang waktu para ibu datang kemari karena tidak tahu lagi ? ?bagaimana harus memberi makan anak-anaknya, semua itu karena Taliban melarang
mereka keluar untuk mencari penghasilan. Jadi, jangan salahkan diri Anda. Tidak
ada yang harus dipersalahkan di sini. Anda paham?" Dia
mencondongkan tubuhnya. "Hamshira, saya paham." Laila mengusap matanya dengan
lengan burqa. "Sedangkan untuk tempat ini," Zaman menghela napas, menunjuk dengan tangannya,
"Anda bisa melihat sendiri kondisi kami yang mengenaskan. Kami selalu kekurangan
dana, selalu mengais-ngais di mana-mana, memutar otak. Kami hanya mendapatkan
sedikit, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan dukungan dari Taliban.
Tetapi, kami berusaha. Seperti Anda, kami melakukan sebisa mungkin apa yang bisa
kami lakukan. Allah begitu pemurah dan penyayang, dan Allah memberikan rezeki
untuk kami. Dan, selama rezeki dariNya masih mencukupi, saya akan memastikan
bahwa Aziza mendapatkan cukup makanan dan pakaian. Hanya itulah yang bisa saya
janjikan kepada Anda." Laila mengangguk.
Zaman tersenyum lembut. "Berhentilah menangis, Hamshira. Jangan sampai Aziza
melihat air mata Anda."
Laila kembali menyeka matanya. "Allah memberkati Anda," isaknya. "Allah
memberkati Anda, Saudara."
Tetapi, ketika tiba waktu untuk mengucapkan selamat tinggal, adegan yang terjadi
sama seperti yang selalu ditakuti Laila. Aziza panik.
Di sepanjang jalan menuju ke rumah, bersandar pada tubuh Mariam, Laila tak
henti-hentinya mendengar tangisan menyayat Aziza. Di dalam kepalanya, dia
melihat tangan kapalan Zaman
meraih kedua lengan Aziza; dia melihat Aziza berusaha melepaskan lengannya,
awalnya pelan, lalu semakin kencang, lalu Zaman mengerahkan tenaganya untuk
menarik Aziza dari pelukan Laila. Dia melihat Aziza menjejak-jejakkan kaki dalam
pelukan Zaman, yang segera membawanya memasuki sebuah ruangan. Dia mendengar
jeritan Aziza, seolah-olah putri kecilnya itu hendak hilang ditelan bumi. Lalu,
Laila melihat dirinya sendiri, berlari melintasi koridor, menunduk, lolongan
keluar dari tenggorokannya.
"Aku bisa mencium baunya," kata Laila kepada Mariam setibanya mereka di rumah.
Matanya mencari-cari ke balik bahu Mariam, melampaui halaman, melampaui pagar
tembok, melampaui pegunungan yang secokelat ludah perokok. "Aku mencium bau
tidurnya. Benar, bukan" Kau juga menciumnya?"
"Oh, Laila jo," kata Mariam. "Jangan begitu. Apa baiknya" Apa baiknya?"
Pada awalknya, Rasheed menghibur Laila dan menemani mereka Laila, Mariam, dan ?Zalmai ke panti asuhan, meskipun dia memastikan, sepanjang perjalanan menuju
?rumah sakit, bahwa Laila melihatnya merana, mendengarnya mengeluhkan beban yang
dipaksakan oleh Laila untuk ditanggungnya, betapa kaki dan punggungnya terasa
nyeri. Dia memastikan supaya Laila melihat
betapa dirinya menderita.
"Aku sudah tidak muda lagi," katanya. "Tapi kau pasti tak peduli. Kau akan
merobohkanku di jalanan, kalau kau bisa. Tapi kau tak akan bisa, Laila. Kau tak
akan bisa." Mereka berpisah dua blok dari panti asuhan, dan Rasheed tak pernah memberi
mereka waktu lebih dari lima belas menit. "Terlambat semenit saja," katanya,
"aku akan meninggalkan kalian. Aku serius."
Laila harus mencecar Rasheed, memohon padanya supaya dia memperpanjang walktu
kunjungan mereka sedikit lebih lama. Untuk dirinya, dan untuk Mariam, yang
tampak sangat merana sepeninggal Aziza, meskipun, seperti biasanya, Mariam
memilih untuk tenggelam sendirian dalam penderitaannya, tanpa berkata-kata. Dan
juga untuk Zalmai, yang selalu menanyakan kakaknya setiap hari, mengamuk,
kadang-kadang menangis tanpa bisa ditenangkan.
Kadang-kadang, dalam perjalanan ke panti asuhan, Rasheed berhenti dan
mengeluhkan kakinya yang nyeri. Lalu, dia berbalik dan cepat-cepat berjalan
pulang dengan langkah-langkah panjang, tidak sedikit pun terpincang-pincang.
Atau, dia berdecak dan berkata, "Paru-paruku, Laila. Aku kehabisan napas.
Mungkin besok aku akan merasa lebih baik, atau lusa. Kita lihat saja." Dia
bahkan tidak berusaha memalsu sesak napas. Sering kali, sembari berbalik dan
berjalan pulang, dia menyalakan sebatang rokok. Mau tidak mau, Laila harus
mengikutinya pulang, putus asa, gemetar
akibat kebencian dan kemarahan yang tak terlampiaskan.
Lalu, pada suatu hari, Rasheed memberi tahu Laila bahwa dia tidak mau lagi
mengantarnya. "Aku sudah kelelahan karena harus berjalan setiap hari," katanya,
"mencari pekerjaan."
"Kalau begitu, aku akan pergi sendiri," putus Laila. "Kau tak akan bisa
menghentikanku, Rasheed. Kau dengar" Silakan saja kalau kau mau memukuliku, tapi
aku akan tetap pergi ke sana."
"Sesukamu saja. Tapi, kau tak akan bisa melewati Taliban. Jangan bilang aku tak
pernah memperingatkanmu."
"Aku akan menemanimu," kata Mariam.
Tetapi, Laila tidak memperbolehkannya. "Kau harus tinggal di rumah bersama
Zalmai. Kalau kita ditahan ... aku tak ingin dia melihat."
Maka, kehidupan Laila pun tiba-tiba diisi dengan menemukan berbagai cara untuk
menjumpai Aziza. Sering kali, dia tidak berhasil menginjakkan kaki di panti
asuhan. Ketika dia menyeberangi jalan, seorang Taliban akan melihatnya dan
menghujaninya dengan pertanyaan-S/apa namamu" Mau ke mana" Apa kau sendirian" Di
mana muhrimmu" sebelum akhirnya dia dipulangkan. Jika sedang beruntung, dia ?hanya mendapatkan semprotan cacian, sebuah tendangan, atau dorongan di punggung.
Tetapi, beberapa kali, dia harus menerima pukulan dari berbagai tongkat kayu,
dahan pohon, cambuk, tamparan, dan, sering kali, tonjokan.
Pada suatu hari, seorang Talib muda memukuli Laila dengan sebuah antena radio.
Dia memberikan pukulan terakhir di tengkuk Laila dan mengatakan, "Kalau aku
melihatmu sekali lagi, aku akan memukulimu sampai susu ibumu mengering dari
tulangmu." Ketika itu, Laila segera pulang. Dia berbaring tengkurap, merasa seperti hewan
yang bebal, dan mendesis kesakitan ketika Mariam mengusapkan lap basah ke
punggung dan pahanya yang berdarah. Tetapi, biasanya Laila pantang menyerah. Dia
bertingkah seolah-olah akan pulang ke rumah, lalu mengambil rute jalan yang
berbeda. Kadang-kadang dia tertangkap, ditanyai, dicaci maki dua, tiga, bahkan
?empat kali dalam sehari. Lalu, cambukan pun melayang, dan antena membelah udara,
dan dia pun tertatih-tatih pulang, bersimbah darah, tanpa berkesempatan melihat
Aziza sedikit pun. Di kemudian hari. Laila mengenakan berlapis-lapis sweter di
bawah burqa-nya, bahkan saat udara panas menyengat, untuk membantah tubuhnya
dari cambukan. Tetapi, bagi Laila, imbalan yang didapatkannya, jika dia berhasil melewati
Taliban, sangat membahagiakan. Dia dapat menghabiskan waktu selama \r\ur\gk\n-
berjam-jam, bahkan bersama Aziza. Mereka akan duduk di halaman, di dekat
?ayunan, bersama anak-anak dan para ibu lainnya, mengobrol tentang pelajaran yang
didapatkan oleh Aziza minggu itu.
Kata Aziza, Kaka Zaman memastikan untuk
mengajar mereka setiap hari, kebanyakan membaca dan menulis, kadang-kadang
geografi, sedikit sejarah atau ilmu pengetahuan, dan kadang-kadang dia
mengajarkan tentang hewan dan tumbuhan.
"Tapi, kami harus menutup tirainya," kata Aziza, "supaya Taliban tidak melihat
kami." Kaka Zaman telah mempersiapkan benang dan jarum rajut, katanya, jika
sewaktu-waktu Taliban mengadakan razia. "Kami akan menyembunyikan buku-buku kami
dan berpura-pura merajut."
Pada suatu hari, ketika sedang mengunjungi Aziza, Laila melihat seorang wanita
setengah baya dengan penutup kepala burqa yang ditarik ke belakang, mengunjungi
tiga orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Laila segera mengenali
wajah tajamnya, alis tebalnya, meskipun sekarang bibirnya tak lagi ranum dan
rambutnya telah memutih. Dia teringat akan syal, rok hitam, suara yang tegas,
rambut hitam kelam yang selalu tersanggul kencang sehingga semua orang dapat
melihat anak-anak rambut di tengkuknya. Laila ingat bahwa wanita ini pernah
melarang murid-murid perempuan menutup tubuh mereka, mengatakan bahwa pria dan
wanita memiliki kedudukan yang sama, bahwa tidak ada alasan bagi wanita untuk
menutupi tubuhnya jika pria tidak harus melakukannya.
Khala Rangmaal tiba-tiba mengangkat wajahnya dan melihat tatapan Laila, namun
Laila tidak melihat tanda-tanda bahwa gurunya itu masih mengenalinya.
"Ada retakan di seluruh bumi," kata Aziza. "Namanya patahan."
Udara sore pada suatu hari Jumat di bulan Juni 2001 itu terasa hangat. Mereka
duduk di halaman belakang panti asuhan, mereka berempat, Laila, Zalmai, Mariam,
dan Aziza. Kali ini Rasheed mengalah tidak seperti biasanya dan mau menemani ? ?mereka berempat. Dia menanti di jalan, di dekat halte bus.
Anak-anak berlarian di sekeliling mereka, bertelanjang kaki. Sebuah bola sepak
kempis ditendang ke sana kemari, dikejar-kejar tak henti-henti.
"Dan, di sebelah kanan di kiri patahan itu, ada lembaran batu yang disebut
lempeng bumi," lanjut Aziza.
Seseorang telah menyisir rambut Aziza, mengepangnya, dan menjepitnya dengan rapi
di bagian belakang kepalanya. Laila mencemburui siapa pun yang dapat duduk di
belakang putrinya, mengepang rambutnya, dan memintanya untuk duduk dengan
tenang. Aziza mendemonstrasikan pengetahuan barunya dengan membuka tangannya, menadahkan
kedua telapak tangannya, dan saling
menggosok-gosokkannya. Zalmai memerhatikannya dengan konsentrasi tinggi.
"Patahan itu disebut lempeng kektonik."
"Tektonik," Laila mengoreksi. Dia merasa kesakitan ketika berbicara. Rahangnya
masih kelu, punggung dan lehernya masih nyeri. Bibirnya bengkak, dan lidahnya
terus-menerus menyodok bagian kosong di deretan gigi bawahnya. Dua buah giginya
tanggal ketika Rasheed memukulinya dua hari sebelumnya. Sebelum Mammy dan Babi
meninggal dan kehidupannya berjungkir balik, Laila tak pernah percaya bahwa
tubuh manusia dapat menahan begitu banyak pukulan dan kebrutalan secara teratur,
dan masih dapat berfungsi seperti biasa.
"Benar. Dan, kalau lempeng-lempeng itu berpapasan, akan terjadi tubrukan lihat
?kan, Mammy" dan ada energi yang lepas, yang merambat ke permukaan bumi dan
?menjadikan tanah bergetar."
"Kau semakin pintar saja," kata Mariam. "Jauh lebih pintar daripada khafa-mu
yang bodoh ini." Wajah Aziza berseri-seri, tersenyum lebar, "Khala Mariam tidak bodoh. Dan, kata
Kaka Zaman, kadang-kadang tubrukan itu terjadi sangat dalam, sangaaaaat dalam di
bawah tanah, dan di sana keadaannya mengerikan, tapi yang kita rasakan di atas
ini cuma getaran kecil. Cuma sedikit."
Pada kunjungan sebelumnya, Aziza berceloteh tentang atom dalam atmosfer yang
menyebarkan cahaya biru matahari. Kaiau bumi tidak punya atmosfer, kata Aziza
sambil sedikit terengah-engah, iangit tidak akan berwarna biru tapi hitam pekat,
dan matahari menjadi bintang besar yang bersinar daiam kegelapan.
"Apa sekarang Aziza akan ikut pulang dengan kita?" tanya Zalmai.
"Sebentar lagi, Sayangku," jawab Laila. "Sebentar lagi."
Laila mengawasi Zalmai yang berkeliaran di jalanan, berjalan seperti ayahnya,
tubuhnya membungkuk, kakinya agak bengkok. Dia menghampiri ayunan, mendorong
dudukan yang kosong, dan akhirnya duduk di bersimpuh, mencabuti rumput yang
tumbuh di sela-sela retakan beton.
Air menguap dari daun apa Mammy tahu" dan juga dari cucian yang dijemur. Air ? ?juga merambati pohon. Dari tanah, air masuk ke akar, faiu naik ke atas melewati
batang pohon, melewati cabang-cabang, hingga sampai ke daun. Namanya
transpirasi. Tak jarang, Laila memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Taliban jika mereka
mengetahui tentang ilmu yang secara diam-diam diajarkan oleh Kaka Zaman.
Ketika mendapatkan kunjungan, Aziza tak pernah berdiam diri. Dia selalu
menghabiskan waktu dengan berbicara panjang lebar menggunakan suara nyaring
melengkingnya. Dia tidak terlalu menguasai topik yang dibicarakannya, dan
tangannya bergerak-gerak dengan giat untuk mendukung ceritanya, kegugupan yang
sama sekali tidak seperti ciri khasnya tampak menguasainya. Dia juga tertawa
dengan cara baru. Tidak terlalu mirip dengan tawa, sebenarnya, seperti sebuah
kepalsuan yang, Laila curiga, digunakannya untuk mencegah Laila cemas.
Dan, ada pula perubahan-perubahan lainnya. Laila akan melihat kotoran yang
tertimbun di bawah kuku Aziza, dan Aziza, yang melihat bahwa ibunya melihat
kukunya, akan menduduki tangannya. Kapan pun seorang anak menangis di dekat
mereka, atau mengisap ingus yang mengalir dari hidungnya, atau berkeliaran tanpa
celana dengan tanah mengering di rambutnya, kelopak mata Aziza bergetar dan dia


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun cepat-cepat menjelaskan. Dia bagaikan seorang nyonya rumah yang merasa malu
dengan tamunya akibat keadaan rumahnya yang kacau balau dan penampilan anak-
anaknya yang menyedihkan. Jika ditanya apakah keadaannya sendiri baik-baik saja,
dia menjawab dengan ceria.
Aku baik-baik saja, Khala. Aku baik-baik saja.
Apa aAdakah anak yang menakalimu"
Tidak ada, Mammy. Semua anak di sini baik.
Kau cukup makan" Bisa tidur nyenyak"
Makan. Tidur juga. Ya. Kami makan daging kambing tadi malam. Eh, mungkin bukan
tadi malam, tapi minggu lalu.
Ketika Aziza berbicara seperti ini, Laila melihat sebagian diri Mariam di dalam
dirinya. Sekarang Aziza gagap. Mariamlah yang pertama kali menyadarinya. Kegagapannya
tersamar namun cukup terdengar, terlebih pada kata-kata berawalan t. Laila
menanyakan hal ini kepada Zaman. Pria itu mengerutkan kening dan berkata, "Saya
pikir, dia sudah dari dulu begitu."
Jumat sore itu, mereka meninggalkan panti asuhan bersama Aziza untuk berjalan-
jalan sebentar dan menjumpai Rasheed, yang menanti mereka di halte bus. Ketika
melihat ayahnya, Zalmai langsung memekik senang dan tanpa sabar melepaskan diri
dari gendongan Laila. Aziza menyapa Rasheed dengan kaku, namun tanpa kemarahan.
Rasheed mengatakan bahwa mereka harus buru-buru karena dia hanya memiliki waktu
dua jam sebelum kembali bekerja. Ini adalah minggu pertamanya bekerja sebagai
penjaga pintu di Intercontinental. Dari pukul sembilan pagi hingga delapan
malam, enam hari dalam seminggu, Rasheed bekerja membukakan pintu-pintu mobil,
mengangkati koper, dan kadang-kadang mengepel lantai. Tak jarang, pada malam
hari, koki restoran prasmanan di hotel itu mengizinkan Rasheed membawa pulang
sedikit makanan sisa selama dia tidak mengatakan tentang hal ini kepada orang ?lain berupa bola-bola daging dingin berbalur minyak; sayap ayam goreng, dengan
?lapisan tepung yang telah keras dan kering; kue pastel yang hampir basi; nasi
yang telah mengeras. Rasheed berjanji kepada Laila bahwa jika uangnya telah
terkumpul, dia akan mengeluarkan Aziza dari panti asuhan.
Rasheed mengenakan seragamnya sekarang, setelan poliester berwarna merah anggur,
kemeja putih, dasi tempelan, dan topi yang terpasang di atas rambut putihnya.
Dalam balutan seragam ini,
Rasheed seolah-olah bertransformasi. Dia tampak rapuh, mengibakan, dan nyaris
tidak berbahaya. Dia seperti seseorang yang akan menerima pendapat orang lain
tanpa banyak tanya dan menanggung begitu saja beban kehidupan yang ditimpakan
kepadanya. Seseorang yang mengenaskan dan sepertinya tidak mudah terbawa emosi.
Mereka menumpang bus ke Kota Titanic, lalu berjalan-jalan di dasar sungai yang
dipenuhi kios darurat pedagang kaki lima. Di dekat jembatan, ketika sedang
menuruni tangga, mereka melihat seorang pria bertelanjang kaki menggantung tanpa
nyawa dari sebuah palang, kedua telinganya terpotong, lehernya tertekuk di ujung
tali gantungan. Di sungai, mereka berbaur dengan orang-orang lain, para penukar
uang dan pekerja NGO LSM bertampang bosan, para pedagang rokok ketengan, para
wanita bev-burqa yang menyodor-nyodorkan resep antibiotik palsu kepada setiap
orang dan meminta uang untuk menebusnya. Para petugas Talib lalu lalang
memamerkan cambuk mereka, mengunyah naswar, berpatroli di Kota Titanic, mencari-
cari tawa yang terlalu nyaring atau wajah yang terbuka.
Dari sebuah kios mainan, di antara pedagang mantel poosteen dan kios bunga
palsu, Zalmai mengambil sebuah bola basket karet berhiasan kuning dan biru.
"Pilihlah sesuatu," kata Rasheed kepada Aziza.
Aziza tampak enggan, tubuhnya kaku karena malu.
"Cepatlah. Aku harus masuk kerja satu jam lagi."
Aziza memilih sebuah mainan mesin permen karet sebutir koin dapat dimasukkan
?untuk mengeluarkan permen, lalu muncul lagi dari lubang di bagian bawahnya.
Kedua alis Rasheed mencuat naik ketika penjual mainan itu menyebutkan harganya.
Dia menawar dengan sengit, dan akhirnya berkata kepada Aziza, tanpa penyesalan,
seolah-olah Aziza yang menetapkan harga, "Letakkan lagi. Aku tak mampu membayar
keduanya." Dalam perjalanan pulang, semakin mereka mendekati panti asuhan, keceriaan Aziza
semakin menguap. Tangannya berhaenti bergerak-gerak. Wajahnya berubah muram. Ini
terjadi setiap waktu. Sekaranglah, giliran Laila, dibantu oleh Mariam, untuk
memimpin percakapan, untuk tertawa gugup, untuk mengisi kesunyian yang
menyedihkan dengan gurauan tanpa tujuan.
Selanjutnya, setelah Rasheed mengantar mereka dan menumpang bus ke tempat
kerjanya, Laila menatap Aziza melambaikan selamat jalan dan menghilang di balik
dinding panti asuhan. Dia memikirkan tentang Aziza yang berbicara dengan gagap,
dan perkataannya sebelumnya tentang patahan dan tubrukan kuat di bawah tanah,
dan bahwa kadang-kadang yang terasa di atas tanah hanyalah getaran kecil.
"Pergi kamu!" jerit Zalmai.
"Hush," tukas Mariam. "Siapa yang kauteriaki?"
Zalmai menunjuk. "Itu. Orang itu."
Laila mengikuti arah jari Zalmai. Seorang pria berdiri di depan pintu gerbang
mereka, bersandar di sana. Orang itu menoleh ketika melihat mereka mendekat. Dia
menurunkan tangannya yang tadinya bersedekap, lalu berjalan terpincang-pincang
menghampiri mereka. Laila tak kuasa bergerak.
Tenggorokannya tercekat. Lututnya melemah. Tiba-tiba, Laila ingin, harus,
mencengkeram lengan Mariam, bahunya, pergelangan tangannya, sesuatu, apa pun,
untuk menyokong tubuhnya sendiri. Tetapi, dia tak mampu melakukannya. Dia tak
kuasa. Dia tak kuasa menggerakkan satu pun ototnya. Dia tak kuasa bernapas, atau
bahkan mengedipkan mata. Dia takut bahwa yang dia lihatnya hanyalah fatamorgana
yang berpendar di kejauhan, bayangan hidup yang akan menghilang begitu saja jika
dia bergerak. Laila berdiri tegak dan menatap Tariq hingga dadanya terasa hampa
tanpa udara dan matanya terbakar tanpa cairan. Dan, entah bagaimana, bagaikan
mukjizat, setelah Laila menarik napas, menutup dan membuka kembali matanya,
Tariq masih berdiri di hadapannya. Tariq masih berdiri di hadapannya.
Laila membiarkan dirinya mengambil satu langkah maju menghampiri Tariq. Lalu
satu lagi. Dan satu lagi. Dan, dia pun berlari menyongsongnya.[]
BAB 43 Mariam Di atas, di kamar Mariam, Zalmai rewel. Dia memantul-mantulkan bola basketnya
selama beberapa waktu, ke lantai, lalu ke dinding. Mariam melarangnya, namun
Zalmai tahu bahwa Mariam tidak bisa menghentikannya, sehingga dia pun terus
memantul-mantulkan bolanya, melotot keras kepala pada Mariam. Selama beberapa
waktu, Mariam menemani Zalmai bermain mobil-mobilan, sebuah ambulans dengan
tulisan merah di kedua sisinya, mendorongnya maju dan mundur melintasi kamar.
Sebelumnya, ketika mereka menemui Tariq di depan pintu, Zalmai memeluk bola
basketnya erat-erat di dadanya dan menjejalkan ibu jarinya ke mulut sesuatu ?yang telah lama tidak dilakukannya, kecuali ketika dia sangat marah. Dia menatap
Tariq dengan penuh kecurigaan.
"Siapa orang itu?" tanyanya sekarang. "Aku tak suka dengannya."
Mariam hendak menjelaskan, mengatakan kepada Zalmai bahwa Laila dan pria itu
tumbuh besar bersama, namun Zalmai menyelanya dan memintanya membalik ambulans
sehingga bagian depannya menghadap ke Zalmai, dan ketika Mariam menurutinya, Zalmai mengatakan
bahwa dia ingin bermain bola basket lagi.
"Mana bolanya?" tanyanya. "Mana bola yang dibeli Baba untukku" Di mana" Aku mau
bola itu! Aku mau bola itu!" suaranya semakin nyaring bersama setiap kata yang
dia ucapkannya. "Bolanya di sini," kata Mariam, dan Zalmai menyambutnya dengan tangisan, "Tidak,
bolanya hilang. Aku tahu. Aku tahu, bolaku hilang. Mana" Mana?"
"Ini," ujar Mariam, mengambil bola yang menggelinding ke bawah lemari. Namun,
Zalmai telah menangis meraung-raung dan memukul-mukulkan kepalannya, mengatakan
bahwa dia mencari bola yang lain, bahwa bola yang dipegang Mariam bukan
miliknya, bahwa bolanya hilang dan yang ada di tangan Mariam adalah bola palsu.
Ke mana bolanya yang asli" Ke mana" Mana, mana, mana"
Dia menjerit-jerit hingga Laila harus berlari ke atas untuk memeluknya,
menenangkannya, membelai rambut hitam keritingnya, mengeringkan pipinya yang
basah, dan mendecak-decakkan lidah di telinganya.
Mariam menunggu di luar kamar. Dari puncak tangga, yang dapat dia lihatnya
hanyalah tungkai Tariq yang panjang, kaki asli dan kaki palsunya yang terbalut
celana khaki, terjulur di lantai ruang tamu yang tak berkarpet. Ketika itulah
Mariam menyadari mengapa dia merasa mengenal penjaga
pintu di Continental yang dilihatnya ketika dia dan Rasheed pergi ke sana untuk
menelepon Jalil. Dia mengenakan topi dan kacamata hitam, karena itulah Mariam
tidak langsung mengenalinya. Tetapi, sekarang Mariam ingat, sembilan tahun
sebelumnya, pria itu duduk di bawah, mengelap keningnya dengan saputangan dan
meminta air minum. Sekarang, berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam benak
Mariam: Apakah pil-pil sulfa itu juga menjadi bagian dari tipuannya" Siapakah
yang merencanakan kebohongan ini, mempersiapkan detail-detailnya yang begitu
meyakinkan" Dan, berapakah Rasheed membayar Abdul Sharif jika memang itu ?namanya untuk datang dan menghancurkan Laila dengan kisah kematian Tariq"[]
?BAB 44 Laila Kata Tariq, salah seorang teman satu selnya memiliki sepupu yang pernah dihukum
cambuk di depan umum karena menggambar burung flamingo.
Si Ssepupu sepertinya memang sangat menyukai burung itu.
"Di seluruh buku sketsanya," kata Tariq. "Belasan lukisan cat minyak bergambar
flamingo, berjalan-jalan di perairan, berjemur di rawa. Mungkin ada juga yang
terbang ke arah matahari tenggelam."
"Flamingo," kata Laila. Dia menatap Tariq yang sedang duduk bersandar ke
dinding, melipat kakinya yang sehat. Laila mendapatkan dorongan untuk kembali
menyentuh Tariq, seperti yang dia lakukannya sebelumnya, ketika dia berlari
menubruk Tariq di depan gerbang. Sekarang, Laila merasa malu karena mengingat
bagaimana dirinya melingkarkan lengan di leher Tariq dan terisak-isak di
dadanya, bagaimana dia menyebutkan nama Tariq berulang-ulang dalam suara parau.
Apakah dirinya bersikap terlalu berlebihan, pikirnya, terlalu putus asa"
Mungkin. Tetapi, Laila tak mampu
menahannya. Dan sekarang dia ingin menyentuh Tariq kembali, membuktikan kepada
dirinya sendiri bahwa Tariq memang ada, bukan mimpi melainkan sebuah kenyataan.
"Betul," kata Tariq. "Flamingo." Ketika Taliban menemukan lukisan-lukisan itu,
kata Tariq, mereka tersinggung melihat kaki flamingo yang panjang dan langsing.
Setelah mengikat kaki si Ssepupu dan mencambuki sekujur tubuhnya, mereka memberi
pria itu sebuah pilihan: Menghancurkan semua lukisannya atau menjadikan
flamingo-flamingo yang digambarnya lebih sopan. Maka, si sSepupu pun mengambil
kuas dan menggambar celana untuk setiap burungnya.
"Dan, kau tahu hasilnya. Flamingo Islam," kata Tariq.
Laila ingin tertawa, namun berhasil menahan diri. Dia merasa malu karena gigi
kuningnya, juga kedua gigi serinya yang telah tanggal. Dia merasa malu karena
tampangnya yang layu dan bibirnya yang bengkak. Dia berharap memiliki kesempatan
untuk mencuci mukanya, atau setidaknya menyisir rambutnya.
"Tapi, si Ssepupulah yang tertawa paling akhir," kata Tariq. "Dia menggambar
celana-celana flamingo itu dengan cat air. Ketika Taliban pergi, dia tinggal
menghapusnya kembali." Tariq tersenyum Laila melihat bahwa sebuah gigi Tariq
?juga telah tanggal dan menatap tangannya. "Pastinya."
?Tariq mengenakan pakol di kepalanya, sepatu
bot, dan sweter wol hitam yang diselipkan ke pinggang celana panjang khakinya.
Dia setengah tersenyum, mengangguk perlahan. Laila tidak ingat apakah dahulu
Tariq juga berbicara dengan gaya seperti ini, pilihan kata-katanya, dan juga
bahasa tubuhnya, jari-jarinya yang bergerak-gerak di pangkuannya, anggukan
kepalanya, semua itu adalah hal-hal baru. Kata-kata dewasa, tingkah laku dewasa,
dan pantaskah semua ini membuat Laila terkejut" Tariq memang telah dewasa
sekarang. Dia adalah pria berumur dua puluh lima tahun dengan gerakan lamban dan
senyuman letih. Jangkung, berjanggut, lebih kurus daripada pria yang ada dalam
impian Laila, namun tangannya tampak kokoh, tangan pekerja, dengan otot-otot
yang bertonjolan. Wajahnya masih tirus dan tampan, namun tidak lagi berkulit
terang; keningnya tampak tertempa cuaca, bagaikan kening seorang pengembara pada
akhir sebuah perjalanan panjang dan melelahkan, terbakar matahari, sama seperti
lehernya. Pakol-nya terpasang rendah di kepalanya, dan Laila dapat melihat bahwa
rambutnya mulai menipis. Warna hijau kecokelatan di matanya tampak lebih pudar
daripada yang diingat oleh Laila, lebih pucat, atau mungkin kelihatannya saja
begitu akibat pengaruh pencahayaan di ruang tamu.
Laila memikirkan ibu Tariq, sikapnya yang santai, senyumnya yang cerdas, rambut
palsu ungu pucatnya. Dan ayahnya, dengan tatapan Jenaka dan humor segarnya.
Sebelumnya, di pintu, dengan isakan memenuhi mulut dan kata-kata yang
meluncur tak beraturan, Laila memberitahukan kepada Tariq apa yang dikiranya
telah menimpa dirinya dan orangtuanya, dan Tariq menggeleng. Maka, sekarang
Laila menanyakan kabar orangtua Tariq. Tetapi, dia segera menyesali pertanyaan
ini karena Tariq menunduk dan mengatakan, sedikit sedih, "Meninggal." "Maafkan
aku." "Yah, aku juga. Ini." Dia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kantung kertas
kecil, dan menyodorkannya kepada Laila. "Hadiah dari Alyona." Kantung itu berisi
sebongkah keju yang terbungkus plastik.
"Alyona. Nama yang cantik." Laila berusaha mengatakannya secara sambil lalu.
"Istrimu?" "Kambingku." Tariq tersenyum memandang Laila, seolah-olah menantinya menguraikan
ingatan masa lalu mereka.
Lalu, Laila pun teringat. Film Soviet itu. Alyona adalah anak perempuan seorang
kapten kapal, gadis yang jatuh cinta dengan seorang kelasi. Hari ketika dia,
Tariq, dan Hasina menonton tank-tank dan jeeip-jeeip Soviet meninggalkan Kabul,
hari ketika Tariq mengenakan topi bulu Rusia berbentuk konyol.
"Aku harus mengikatnya ke tiang supaya dia mau diam," kata Tariq. "Dan aku juga
harus membuat pagar. Karena serigala. Ada hutan di dekat kaki bukit tempatku
tinggal, mungkin jaraknya cuma setengah kilometer, kebanyakan ditumbuhi pohon
pinus, tapi ada pula fir dan deodar.
Serigala-serigala itu biasanya tidak keluar hutan, tidak seperti serigala biasa,
tapi kambing yang mengembik, apalagi yang berkeliaran bebas, bisa menarik
perhatian mereka. Karena itulah aku harus mendirikan pagar. Mengikatnya ke
tiang." Laila menanyakan di kaki bukit manakah Tariq tinggal.
"Pir Panjal. Pakistan," jawabnya. "Tempat tinggalku bernama Murree, sebuah
tempat peristirahatan musim panas, satu jam dari Islamabad. Tanah di situ
berbukit-bukit dan menghijau, banyak pepohonan, tingginya jauh melampaui
permukaan laut. Jadi, pada musim panas pun tempat itu tetap sejuk. Sempurna
untuk wisatawan." Orang Inggris menjadikan tempat itu sebagai pangkalan bukit di dekat markas
militer mereka di Rawalpindi, katanya, supaya pasukan Victoria bisa menyingkir
dari panasnya udara. Beberapa relik masa kolonial masih bisa dilihat di sana,
tempat-tempat untuk minum teh, bungalo-bungalo beratap seng yang disebut
cottage, hal-hal semacam itu. Kota itu sendiri kecil dan menyenangkan. Jalan
utamanya disebut Mali, tempat berdirinya kantor pos, pasar, beberapa restoran,
dan toko-toko yang menjual gelas-gelas bergambar dan permadani buatan tangan
berharga mencekik leher kepada para wisatawan. Sebagai hasilnya, jalan searah di
Mali selalu dipadati kendaraan yang berjalan ke satu arah pada suatu minggu, dan
ke arah yang lain pada minggu
berikutnya. "Kata penduduk asli di sana, lalu lintas di beberapa tempat di Irlandia juga
seperti itu," kata Tariq. "Mana aku tahu. Tapi, tempat itu memang bagus.
Kehidupan di sana sederhana, tapi aku menyukainya. Aku suka hidup di sana."
"Dengan kambingmu. Alyona."
Laila bermaksud mengucapkan hal itu sebagai gurauan alih-alih selaan, tidak
bermaksud menunjukkan kepenasarannya akan siapa lagi yang ada di sana bersama
Tariq untuk mengkhawatirkan soal serigala yang ingin memangsa kambing. Tetapi,
Tariq hanya mengangguk. "Aku juga ikut berduka cita untuk orangtuamu," katanya.
"Kau sudah tahu."
"Aku tadi sempat berbicara dengan beberapa tetanggamu," katanya. Dia terdiam
sejenak, dan Laila memikirkan apa yang mungkin telah dikatakan oleh para
tetangga. "Aku tidak mengenali siapa pun. Dari masa lalu, maksudku."
"Mereka semua sudah pergi. Tidak ada lagi yang kaukenal di sini."
"Aku sudah tidak mengenali Kabul."
"Aku pun begitu," kata Laila. "Padahal, aku tak pernah ke mana-mana."
<" "Mammy punya teman baru," kata Zalmai seusai makan malam, setelah Tariq pergi.
"Laki-laki." Rasheed menatapnya. "Begitu, ya?"
Tariq meminta izin untuk merokok.
Mereka tinggal untuk sementara di kamp pengungsian Nasir Bagh di dekat Peshawar,
kata Tariq sembari menjentikkan abu rokok ke asbak. Enam puluh ribu pengungsi
Afghan telah menjejali tempat itu ketika dia dan kedua orangtuanya tiba di sana.
"Tempat itu tidak seburuk beberapa kamp lainnya, misalnya Jalozai," katanya.
"Kalau tidak salah, tempat itu pernah dijadikan kamp percontohan, pada masa


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perang Dingin, tempat orang Barat bisa mengacungkan jari dan membuktikan kepada
dunia bahwa mereka tidak sekadar menyelundupkan senjata ke Afghanistan."
Tapi, itu keadaan pada masa perang Soviet, kata Tariq, masa jihad dan perhatian
dunia dan pendanaan besar-besaran dan kunjungan dari Margaret Thatcher.
"Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, Laila. Setelah perang, Soviet terpecah
belah, dan dunia Barat melanjutkan kehidupan. Tidak ada lagi yang bisa
dipertaruhkan di Afghanistan dan sumber uang telah mengering. Sekarang, Nasir
Bagh hanya berupa tenda-tenda, debu, dan selokan-selokan terbuka. Ketika kami
tiba di sana, mereka memberi kami sebilah tongkat dan sehelai kanvas, lalu
menyuruh kami untuk mendirikan tenda sendiri."
Kata Tariq, yang paling dia ingatnya tentang
Nasir Bagh, tempat tinggal mereka selama setahun, adalah warna cokelat.
"Tendanya cokelat. Orang-orangnya berkulit cokelat. Anjing-anjingnya berbulu
cokelat. Buburnya cokelat."
Ada sebuah pohon tak berdaun yang dia panjatnya setiap hari, tempat dia duduk di
sebuah cabangnya dan menyaksikan para pengungsi bergolekan di bawah terpaan
sinar matahari, memamerkan bekas-bekas luka dan sisa-sisa kaki maupun tangan
yang telah teramputasi. Dia menyaksikan bocah-bocah laki-laki mengangkut air
menggunakan kaleng, mengumpulkan kotoran anjing untuk dijadikan bahan bakar,
memahat mainan AK-47 dari kayu menggunakan pisau tumpul, mengangkut karung-
karung terigu basi yang tak bisa lagi dijadikan roti dari dapur umum. Di seluruh
kota pengungsian itu, angin bertiup mengepakkan tenda-tenda. Gumpalan rumput
bergulung ke sana kemari, meniup lepas sejumlah layang-layang yang tersangkut di
atap gubuk-gubuk lumpur. "Banyak anak kehilangan nyawa di sana. Disentri, TBC, kelaparan sebut saja. ?Kebanyakan, mereka tewas karena penyakit disentri terkutuk itu. Ya Tuhan, Laila,
aku melihat anak-anak itu dikubur. Tidak ada lagi pemandangan lebih buruk
daripada hal ini." Tariq menyilangkan kakinya. Mereka kembali saling berdiam diri selama beberapa
waktu. "Ayahku tidak bisa bertahan lagi pada musim dingin pertama itu," katanya. "Dia
meninggal dalam tidurnya. Kurasa, dia tidak merasa kesakitan."
Pada musim dingin yang sama, lanjut Tariq, ibunya terserang radang paru-paru dan
nyaris meninggal, pasti meninggal, jika tidak ada dokter kamp yang berpraktik di
dalam sebuah klinik bergerak. Ibu Tariq terbangun sepanjang malam, menderita
demam, terbatuk-batuk mengeluarkan dahak kental sewarna karat. Antriean untuk
menemui dokter itu sangat panjang, kata Tariq. Semua orang di dalam antriean itu
gemetar, mengerang, terbatuk-batuk, beberapa berak di celana, beberapa yang lain
terlalu lelah ataupun kelaparan untuk bisa berkata-kata.
"Tapi, pria itu sangat baik, dokter itu. Dia merawat ibuku, memberinya obat,
menyelamatkan nyawanya pada musim dingin itu."
Pada musim dingin yang sama, Tariq mengancam seorang anak laki-laki.
"Umurnya baru dua belas, mungkin tiga belas tahun," ujarnya tanpa emosi. "Aku
menekankan pecahan kaca ke lehernya dan merampas selimutnya. Aku melakukannya
untuk ibuku." Tariq berjanji kepada dirinya sendiri, setelah ibunya jatuh sakit, bahwa mereka
tidak akan menghabiskan musim dingin berikutnya di dalam kamp. Dia akan bekerja,
menabung, dan berusaha pindah ke sebuah apartemen yang memiliki pemanas dan air
bersih di Peshawar. Ketika musim semi tiba, Tariq mencari pekerjaan. Dari waktu
ke waktu, sebuah truk datang ke kamp pada pagi buta dan mengangkut puluhan
pemuda, membawa mereka ke sebuah lapangan untuk memunguti batu atau ke
sebuah kebun untuk memetik apel dengan imbalan tak seberapa, kadang-kadang hanya
berupa sehelai selimut atau sepasang sepatu. Tapi, mereka tidak pernah
menginginkan dirinya, kata Tariq.
"Sekali saja mereka melihat kakiku dan tamatlah sudah."
Ada beberapa pekerjaan lain. Selokan yang harus digali, gubuk yang harus
didirikan, air yang harus diangkut, tinja yang harus digali dari kamar kecil
umum. Tetapi, banyak pemuda lain yang memperebutkan pekerjaan-pekerjaan itu, dan
Tariq tak pernah mendapatkan kesempatan.
Lalu, pada suatu hari di musim gugur 1993, dia bertemu dengan seorang pemilik
toko. "Dia menawariku uang jika aku mau membawa sebuah mantel kulit ke Lahore. Tidak
banyak, tapi setidaknya cukup untuk menyewa apartemen selama satu atau dua
bulan." Pemilik toko itu memberinyakan tiket bus dan alamat sebuah tempat yang berada di
sudut jalan di dekat Stasiun Kereta Api Lahore. Tariq harus pergi ke sana untuk
mengantarkan mantel itu kepada teman si pemilik toko.
"Aku sudah tahu. Tentu saja aku tahu," kata Tariq. "Kata orang itu, kalau aku
tertangkap, maka aku harus membela diriku sendiri, dan aku harus ingat bahwa dia
tahu di mana ibuku tinggal. Tapi, uang sejumlah itu terlalu menggiurkan untuk
dilewatkan. Dan musim dingin akan segera datang."
"Sampai seberapa jauh kau bisa membawanya?"
"Tidak jauh," Khaled tergelak, terdengar menyesal, malu.
"Aku bahkan tidak naik ke bus itu. Tapi kupikir aku kebal, kau tahu, aman.
Seolah-olah ada seorang akuntan yang mengawasiku, entah di mana, seseorang
dengan pensil terselip di telinganya, mencatat setiap kejadian,
memperhitungkan segalanya, dan dia melongok ke arahku sambil mengatakan, "'Ya,
ya, dia boleh mendapatkan yang ini, sebaiknya kita melepaskannya. Dia sudah
cukup menderita, yang satu ini.1"
Ganja itu disembunyikan di balik jahitan, dan semuanya tumpah ke jalan ketika
polisi menorehkan pisau ke mantel.
Tariq kembali tertawa ketika mengatakan hal ini, tawa gemetar bernada tinggi,
dan Laila teringat bagaimana dia biasa tertawa seperti ini, dulu, ketika mereka
masih kanak-kanak, untuk menutupi rasa malu, menyepelekan kelakuannya yang nekat
atau bodoh. <" "Orang itu pincang," kata Zalmai.
"Apa Bbenarkah dia orang kupikirkan?"
"Dia hanya berkunjung," kata Mariam.
"Diam, kamu!" bentak Rasheed, mengacungkan jarinya. Dia berpaling pada Laila.
"Nah, apa yang kau tahu" Laila dan Majnoon bersatu kembali. Seperti masa lalu."
Wajah Rasheed sedingin batu.
"Jadi, kau menyuruhnya masuk. Di sini. Di dalam rumahku. Dia ada di sini bersama
anakku." "Dasar penipu. Kau membohongiku," ujar Laila, menggertakkan giginya.
"Kau menyuruh orang itu menemuiku dan .... Kau tahu bahwa aku akan pergi kalau aku
tahu dia masih hidup."
"APA KAU TIDAK MEMBOHONGIKU JUGA?" raung Rasheed. "Kaupikir aku tidak tahu"
Tentang harami-mu itu" Dasar pelacur. Apa kaukira aku tolol?"
Semakin banyak tariq berbicara, Laila semakin merasa takut bahwa dia akan
berhenti. Kesunyian yang mengikuti, tanda bahwa giliran bagi Laila untuk
bercerita telah tiba, untuk mengungkapkan tentang mengapa dan bagaimana dan
kapan, untuk memastikan hal yang tentunya telah diketahui oleh Tariq. Laila
merasa mual setiap kali Tariq terdiam. Dia menghindari tatapan Tariq. Dia
menatap ke bawah, pada tangan Tariq, pada rambut-rambut gelap dan kasar yang
tumbuh di sana selama tahun-tahun berat itu.
Tariq tidak mau banyak bercerita tentang tahun-tahun yang dia jalaninya di
penjara, kecuali bahwa dia mempelajari bahasa Urdu di sana. Ketika Laila
bertanya, dia menggeleng tanpa sabdar. Dalam bahasa tubuhnya ini, Laila melihat
jeruji berkarat dan tubuh-tubuh dekil, pria-pria kasar dan bangsal
yang penuh sesak, dan langit-langit yang membusuk karena lumut. Dari wajah
Tariq, Laila dapat membaca bahwa tempat itu merupakan cerminan kemunduran,
penghinaan, dan keputusasaan.
Tariq mengatakan bahwa ibunya mencoba mengunjunginya di penjara.
"Dia datang tiga kali, tapi aku tak pernah bertemu dengannya," katanya.
Tariq menulis surat untuk ibunya, beberapa kali, meskipun dia ragu ibunya akan
menerima surat itu. "Dan aku juga menulis surat untukmu." "Benarkah?"
"Oh, berjilid-jilid," katanya. "Temanmu Rumi akan iri pada hasil karyaku." Lalu,
dia kembali tertawa, kali ini terbahak-bahak, seolah-olah dia terkejut melihat
kelancangannya sendiri sekaligus merasa malu setelah menyadarinya.
Zalmai mulai mengamuk di atas.
O "Seperti masa lalu saja," kata Rasheed. "Kalian berdua. Kupikir kau pasti
menunjukkan wajahmu padanya."
"Memang benar," kata Zalmai. Lalu, kepada Laila, "Memang benar, Mammy. Aku
melihatnya." "Anakmu sepertinya tidak terlalu menyukaiku," kata
Tariq ketika Laila kembali turun.
"Maaf," kata Laila. "Hanya saja, dia cuma .... Sudah, lupakan saja dia." Lalu, dia
pun buru-buru mengubah topik pembicaraan karena memikirkan Zalmai membuat
perasaannya tidak enak. Semua ini sangat masuk akal dan wajar. Zalmai hanyalah
seorang bocah, anak laki-laki kecil yang sangat menyayangi ayahnya, yang merasa
terusik dengan kehadiran pria asing ini.
Dan aku juga menulis surat untukmu.
Berjilid-jilid. Berjilid-jilid. "Berapa lama kau tinggal di Muree?"
"Kurang dari setahun," kata Tariq.
Dia berteman dengan seorang pria setengah baya di penjara, katanya, seorang pria
bernama Salim, orang Pakistan, mantan pemain hoki lapangan yang telah keluar
masuk penjara selama bertahun-tahun, dan ketika itu mendapatkan hukuman sepuluh
tahun karena menikam seorang polisi yang sedang menyamar. Ada orang seperti
Salim di setiap penjara, kata Tariq. Selalu ada orang yang licik dan mengenal
semua orang, yang menggerakkan sistem dan menolong narapidana lain, menyebarkan
desas-desus mengenai kesempatan maupun bahaya. Salimlah yang mengabarkan perihal
ibu Tariq. Salim duduk di samping Tariq dan mengatakan kepadanya, dalam suara
lembut, suara kebapakan, bahwa ibunya telahg meninggal karena tekanan kehidupan.
Tariq menghuni penjara Pakistan selama
bertahun-tahun. "Aku bisa keluar dengan gampang," katanya. "Aku beruntung. Hakim
yang menangani kasusku ternyata punya adik yang menikah dengan perempuan Afghan.
Mungkin dia menunjukkan belas kasihan. Entahlah."
Ketika Tariq dibebaskan, pada awal musim dingin 2000, Salim memberikannya
alamaty dan nomor telepon abangnya. Nama si abang adalah Sayeed.
"Kata Salim, Sayeed memiliki sebuah hotel kecil di Muree," ujar Tariq. "Dua
puluh kamar dan sebuah aula, sebuah ruang makan kecil untuk para turis. Dia
menyuruhku mengatakan kepada Sayeed bahwa adiknyalah yang mengirimku."
Tariq menyukai Muree segera setelah dia turun dari bus: pohon-pohon pinus yang
berselimut salju; udara yang dingin dan segar; pondok-pondok kayu dengan asap
membubung dari cerobong asapnya.
Inilah tempatnya, pikir Tariq, mengetuk pintu Sayeed, sebuah tempat yang tidak
hanya terlepas dari kebobrokan dunia yang dia kenalnya, tetapi juga tempat yang
menjadikan kesedihan dan kerasnya kehidupan tampak maya, tak terbayangkan.
"Aku mengatakan kepada diriku sendiri, inilah tempat yang pantas untuk hidup."
Tariq dipekerjakan untuk membersihkan hotel dan memperbaiki barang-barang yang
rusak. Dia bekerja dengan baik, katanya, selama masa percobaan satu bulan dengan
setengah gaji yang diberikan oleh Sayeed. Mendengarkan Tariq bercerita, Laila
melihat Sayeed, yang dia bayangkannya sebagai
pria bermata sipit dan berwajah merah, berdiri di belakang meja resepsionis,
memerhatikan Tariq membelah kayu bakar dan menggali salju dari jalan masuk.
Laila melihat Sayeed membungkuk di atas kaki Tariq, mengamati, sementara Tariq
berbaring di bawah wastafel untuk memperbaiki pipa yang bocor. Dia juga
membayangkan Sayeed memeriksa mesin kas untuk memastikan uangnya tidak hilang.
Pondok Tariq terletak di dekat bungalo kecil yang dihuni koki hotel. Koki itu
adalah seorang janda tua keibuan bernama Adiba. Kedua pondok itu berdiri di luar
lingkungan hotel, dipisahkan dari bangunan utama oleh deretan pohon almond,
sebuah bangku taman, dan sebuah air mancur batu berbentuk piramida yang, pada musim panas, mencipratkan air sepanjang hari. Laila membayangkan
Tariq di dalam pondoknya, duduk di ranjang, menyaksikan dunia hijau di luar
jendelanya. Pada akhir masa percobaan, Sayeed memberikan gaji penuh kepada Tariq, mengatakan
kepada Tariq bahwa dia akan mendapatkan makan siang gratis, memberikannya mantel
wol, dan mengukur kakinya untuk mendapatkan kaki palsu baru. Tariq tidak mampu
menahan air matanya melihat kebaikan pria itu.
Menggunakan gaji pertamanya, Tariq pergi ke kota dan membeli Alyona.
"Bulunya seputih salju," kata Tariq, tersenyum. "Pada pagi hari, jika salju
turun semalaman, aku akan melongokkan kepala di jendela dan yang terlihat
darinya hanyalah dua mata dan satu
moncong." Laila mengangguk. Keheningan kembali menyusul. Di atas, Zalmai lagi-lagi
melempar-lemparkan bolanya ke dinding.
"Kupikir kau sudah mati," kata Laila.
"Aku tahu. Kau sudah bilang."
Suara Laila pecah. Dia harus berdeham, menenangkan diri. "Pria yang datang
membawa kabar itu, dia tampak jujur .... Aku memercayainya, Tariq. Aku berharap
tidak sebodoh itu, tapi itulah yang terjadi. Lalu, aku merasa kesepian dan
ketakutan. Kalau tidak begitu, aku tidak akan mau menikah dengan Rasheed. Aku
akan "Kau tidak perlu mengatakannya," kata Tariq lembut, menghindari tatapan Laila.
Tidak ada tuduhan ataupun kemarahan yang tersembunyi dalam kalimat Tariq. Tidak
ada tanda-tanda bahwa dia menyalahkan Laila.
"Tapi, aku harus memberitahumu. Karena ada alasan yang lebih besar, yang
membuatku mau menikah dengannya. Ada sesuatu yang tidak kauketahui, Tariq.
Seseorang. Aku harus memberitahumu."
"Apa kau juga duduk dan mengobrol dengan dia?" Rasheed menanyai Zalmai.
Zalmai tidak menjawab. Sekarang Laila melihat keengganan dan kebingungan dalam
mata Zalmai, seolah-olah dia baru menyadari bahwa apa yang dia
ceritakannya ternyata menghasilkan masalah lebih besar daripada yang telah
diperkirakannya. "Aku menanyaimu, Nak."
Zalmai menelan ludah. Dia mengalihkan tatapan. "Aku ada di atas, bermain dengan
Mariam." "Dan ibumu?"
Zalmai menatap Laila seolah meminta maaf, matanya berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa, Zalmai," kata Laila. "Katakan saja yang sebenarnya."
"Mammy .... Mammy di bawah, mengobrol dengan orang itu," katanya dengan suara
lirih yang nyaris menyerupai bisikan.
"Begitu, ya," kata Rasheed. "Persekongkolan."
* Ketika hendak pergi, Tariq berkata, "Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin
melihatnya." "Aku akan mengaturnya," kata Laila.
"Aziza. Aziza." Tariq tersenyum, mengulang-ulang nama itu. Kapan pun Rasheed
menyebutkan nama putrinya, Laila menganggapnya sebagai hinaan, nyaris vulgar.
"Aziza. Nama yang cantik."
"Sesuai dengan orangnya. Kau akan melihatnya sendiri."
"Aku tak sabar lagi."
Hampir sepuluh tahun telah berlalu sejak terakhir kali mereka berjumpa. Ingatan
Laila melayang pada masa ketika mereka bertemu di gang, berciuman secara diam-
diam. Dia memikirkan bagaimana
pendapat Tariq tentang dirinya sekarang. Apakah Tariq masih menganggapnya
cantik" Ataukah dia tampak layu di mata Tariq, buruk rupa, mengenaskan, seperti
seorang wanita tua yang berjalan tertatih-tatih dan selalu ketakutan" Hampir
sepuluh tahun. Tetapi, untuk sesaat, berdiri bersama Tariq di bawah sinar
matahari, rasanya tahun-tahun itu tak pernah ada. Kematian orangtuanya,
pernikahannya dengan Rasheed, semua pembunuhan itu, semua roket itu, Taliban,
pemukulan, kelaparan, bahkan anak-anaknya, semua itu bagaikan mimpi, seruas
cabang jalan yang aneh, selingan sesaat antara sore hari bersama Tariq dan saat
ini. Lalu, wajah Tariq berubah suram. Laila mengenal ekspresi ini. Ekspresi ini ada
di wajah Tariq pada hari itu, bertahun-tahun yang lalu, ketika mereka berdua
masih kanak-kanak, ketika Tariq melepas kaki palsunya dan menghampiri Khadim.
Tariq mengulurkan tangan dan menyentuh sudut bibir bawah Laila.
"Dia memukulimu," katanya dingin.
Merasakan sentuhan Tariq, Laila terlempar kembali pada sore itu, ketika mereka
membuat Aziza. Napas Tariq di lehernya, otot pinggulnya yang mengencang, dadanya
yang menekan payudaranya, tangan mereka yang saling bertaut.
"Aku menyesal tidak membawamu bersamaku," Tariq nyaris berbisik.
Laila harus menundukkan pandangannya, berusaha menahan tangisnya.
"Aku tahu bahwa sekarang kau sudah menikah dan menjadi ibu. Tapi, lihatlah aku,
setelah bertahun-tahun ini, setelah semua yang terjadi, muncul begitu saja di
depan pintumu. Mungkin ini tidak pantas, atau adil, tapi aku telah menempuh
perjalanan yang sangat jauh hanya untuk menemuimu, dan .... Oh, Laila, aku
berharap tak pernah meninggalkanmu."
"Jangan," cegah Laila dengan suara parau. "Seharusnya aku berusaha lebih keras.


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seharusnya aku menikahimu ketika memiliki kesempatan. Semuanya akan berbeda jika
itu yang terjadi." "Jangan bicara seperti ini. Tolonglah. Ini menyakitkan."
Tariq mengangguk, mengambil satu langkah menghampiri Laila, lalu berhenti.
"Aku tidak ingin berasumsi apa pun. Aku tidak bermaksud mengacaukan kehidupanmu
dengan muncul seperti petir di siang bolong. Jika kau menginginkanku pergi, jika
kau ingin aku kembali ke Pakistan, katakan saja, Laila. Aku bersungguh-sungguh.
Katakan, dan aku akan pergi. Aku tak akan pernah mengganggumu lagi. Aku akan-"
"Jangan!" ucapan Laila terdengar lebih tajam daripada yang diinginkannya. Dia
melihat dirinya sendiri meraih lengan Tariq, mencengkeramnya. Dia menurunkan
tangannya. "Tidak. Jangan pergi, Tariq. Jangan. Tinggallah di sini."
Tariq mengangguk. "Dia bekerja dari pukul sembilan pagi sampai delapan malam. Datanglah besok
siang. Aku akan mengajakmu menemui Aziza."
"Aku tidak takut padanya, kau tahu." "Aku tahu. Datanglah besok siang." "Setelah
itu?" "Setelah itu .... Entahlah. Aku harus memikirkannya. Ini
"Aku tahu," ujar Tariq. "Aku mengerti. Maafkan aku. Maafkan aku karena
semuanya." "Jangan. Kau berjanji akan kembali. Dan sekarang kau kembali."
Mata Tariq berkaca-kaca. "Aku senang bisa bertemu denganmu lagi, Laila."
Laila menyaksikan Tariq berlalu, berdiri gemetar. Dia berpikir, berjilid-jilid,
dan getaran lain melanda tubuhnya, sebuah gelombang kesedihan dan kesepian,
sekaligus semangat baru dan harapan yang liar. []
BAB 45 Mariam ff \ ku di atas, bermain dengan Mariam," kata i*. Zalmai. "Dan ibumu?"
"Mammy .... Mammy di bawah, mengobrol dengan orang itu."
"Begitu, ya," kata Rasheed. "Persekongkolan." Mariam melihat wajah Rasheed
melemas, santai. Dia menyaksikan kerutan-kerutan menghilang dari kening Rasheed.
Kecurigaan dan kejengkelan menghilang dari matanya. Sekarang Rasheed duduk
tegak, dan sejenak tampak tenggelam dalam pikirannya, bagaikan seorang kapten
kapal yang barus saja mendapatkan kabar buruk dan harus memikirkan langkah
selanjutnya. Dia mengangkat wajah.
Mariam mulai mengatakan sesuatu, namun Rasheed mengangkat tangan, dan, tanpa
menatapnya, berkata, "Sudah terlambat, Mariam."
Kepada Zalmai, dia berkata dingin, "Naiklah, Nak."
Di wajah Zalmai, sekarang Mariam melihat rona ketakutan. Dengan gugup, Zalmai
menatap berkeliling kepada mereka bertiga. Dia baru menyadari bahwa pengaduannya telah
menghadirkan sesuatu yang serius urusan orang dewasa ke ruangan ini. Dia ? ?melontarkan tatapan sedih dan menyesal kepada Mariam, lalu kepada ibunya.
Dengan suara menggelegar, Rasheed membentaknya, "Sekarang!"
Dia menyambar siku Zalmai. Dengan patuh, Zalmai membiarkan ayahnya menyeretnya
ke kamarnya di atas. Mereka berdiri terpaku, Mariam dan Laila, menatap lantai, seolah-olah saling
menatap akan semakin memperburuk cara pandang Rasheed terhadap hal ini, bahwa
ketika dia membukakan pintu dan mengangkuti koper milik koper orang-orang yang
tak mau memandangnya, sebuah persekongkolan terjadi di belakang punggungnya, di
dalam rumahnya, di depan putra kesayangannya. Tidak seorang pun dari mereka
berkata-kata. Mereka mendengarkan langkah kaki di koridor lantai atas, satu
langkah berat dan penuh keyakinan, satu langkah terseret binatang kecil yang
ketakutan. Mereka mendengarkan kata-kata dilontarkan, permohonan lirih, bentakan
tegas, pintu dibanting, kunci diputar. Lalu, terdengarlah langkah kaki mendekati
mereka, tanpa ada lagi kesabaran yang tersisa.
Mariam melihat kedua kaki Rasheed menuruni tangga. Dia melihat Rasheed
mengantungi kunci, melepas sabuknya, melingkarkan ujungnya yang tak
bergesper ke tangannya. Gesper kuningan palsu itu terseret di belakangnya,
terguncang-guncang bersama setiap langkahnya.
Mariam berusaha menghentikan Rasheed, namun Rasheed mendorong punggungnya dan
membentaknya. Tanpa berkata-kata, dia mengayunkan sabuknya ke arah Laila. Dia
melakukannya dengan sangat cepat sehingga Laila tidak memiliki kesempatan untuk
mundur maupun menghindar, atau bahkan menaikkan lengannya untuk melindungi
tubuh. Laila menyentuh keningnya, menatap darah yang menempel ke jarinya, lalu
menatap Rasheed dengan ekspresi terkejut. Tatapan ini hanya terlontar sesaat,
sebelum digantikan oleh kebencian.
Rasheed kembali melecutkan ikat pinggangnya.
Kali ini, Laila mengangkat lengan dan berusaha menyambar sabuk Rasheed. Usahanya
gagal, dan Rasheed menurunkan sabuknya lagi. Laila menangkap sabuk itu tepat
sebelum Rasheed menariknya dan melecutkannya lagi. Lalu, Laila berlari melintasi
ruangan, dan Mariam menjerit-jerit memohon kepada Rasheed, yang sedang mengejar
Laila, yang berhasil menghalangi langkah Laila dan menarik lepas sabuknya. Entah
kapan, Laila berhasil menghindar dan mendaratkan pukulan di atas telinga
Rasheed, yang membuatnya mengumpat dan mengejarnya dengan kemarahan semakin
memuncak. Rasheed berhasil menangkap Laila, menghempaskannya ke dinding, dan
berulang kali mencambukinya dengan sabuk, berulang kali
menghantamkan gespernya ke tubuh Laila, bahunya, tangannya yang terangkat,
jemarinya, dan darah pun mengucur di mana pun gesper itu mendarat.
Mariam tidak tahu lagi berapa kali sabuk itu terlecut, berapa kali dia
meneriakkan permohonan kepada Rasheed untuk berhenti, berapa kali dia mencoba
memisahkan mereka, melibatkan dirinya di antara gigitan, tonjokan, dan lecutan,
sebelum dia melihat jari-jari mencakar wajah Rasheed, kuku-kuku belah menggali
dalam-dalam pipi Rasheed, menjambak rambutnya dan melukai keningnya. Berapa lama
sebelum Mariam menyadari, dengan kekagetan dan kenikmatan, bahwa jari-jari itu
adalah miliknya. Rasheed melepaskan Laila dan berpaling pada Mariam. Awalnya, Rasheed menatap
Mariam tanpa benar-benar melihatnya, lalu matanya memicing, memandang Mariam
dengan ketertarikan baru. Tatapannya berubah dari kebingungan menjadi
keterkejutan, lalu kemarahan, bahkan kekecewaan.
Mariam teringat ketika dirinya pertama kali melihat mata Rasheed, di bawah
kerudung pernikahan, di dalam cermin, di bawah tatapan Jalil. Bagaimana tatapan
mereka bertemu, tatapan Rasheed yang tanpa emosi, tatapan Mariam yang lemah,
pasrah, nyaris penuh penyesalan.
Penuh penyesatan. Sekarang, di mata yang sama, Mariam melihat betapa tolol dirinya. Apakah dia
seorang istri yang buruk" Mariam bertanya pada dirinya sendiri.
Seorang istri yang banyak menuntut" Seorang wanita yang hina" Berkelakuan buruk"
Vulgar" Hal membahayakan apakah yang dilakukannya kepada pria ini sehingga dia
selalu mendapatkan imbalan kekejian, caci maki tanpa henti, siksaan yang
menyakitkan" Apakah Mariam tidak merawat Rasheed saat dia sedang sakit" Memasak
untuk pria itunya dan teman-temannya, membersihkan rumah dengan sepenuh hati"
Bukankah dia telah memberikan masa mudanya kepada pria ini"
Bukankan dia tak pernah layak mendapatkan perlakuan kasarnya"
Sabuk itu terjatuh dengan bunyi buk, dan Rasheed pun menghampiri Mariam. Ada
pekerjaan lain, bunyi buk itu menandakan, yang hanya bisa dilakukan dengan
tangan kosong. Tetapi, tepat ketika Rasheed hendak menerkam, Mariam melihat Laila mengangkat
sesuatu dari lantai. Dia menyaksikan tangan Laila teracung tinggi-tinggi,
tertahan di udara, lalu meluncur ke bawah, menghantam pelipis Rasheed. Kaca
pecah berhamburan. Serpihan tajam dari gelas pecah itu berserakan di lantai.
Darah membasahi tangan Laila. Darah juga mengalir dari luka terbuka di pipi
Rasheed, turun ke lehernya, membasahi bajunya. Rasheed berpaling, menyeringai
dengan mata berkilat penuh kemarahan.
Mereka bergumul di lantai, Rasheed dan Laila, saling menyerang. Akhirnya,
Rasheed menduduki Laila, mencengkeramkan tangannya ke leher Laila.
Mariam mencakar Rasheed. Memukuli dadanya. Dia menubrukkan diri ke punggung
Rasheed, berusaha melepaskan cengkereaman jari-jari Rasheed pada leher Laila.
Maruiam menggigit Rasheed. Tetapi, Rasheed tetap mencekik erat jalur napas
Laila, dan Mariam melihat sebuah kesungguhan.
Rasheed bermaksud membunuh Laila, dan tak ada yang bisa mereka lakukan lagi.
Mariam mundur dan meninggalkan ruangan. Dia mendengar bunyi ketukan di lantai
atas, tahu bahwa tangan-tangan mungil sedang memukuli pintu yang terkunci. Dia
berlari melintasi koridor dan menghambur melewati pintu depan. Melintasi
halaman. Di gudang perkakas, Mariam menyambar sekop.
Rasheed tidak melihat ketika Mariam kembali masuk. Dia masih menduduki Laila,
matanya nyalang menyala, tangannya mencengkeram erat leher Laila. Wajah Laila
membiru dan matanya berputar ke belakang. Mariam melihat bahwa Laila tidak lagi
memberontak. Rasheed akan membunuhnya, pikir Mariam. Dia bermaksud membunuhnya.
Dan Mariam tidak bisa, tidak akan, membiarkan hal itu terjadi. Rasheed telah
merampas begitu banyak hal dari kehidupan Mariam dalam dua puluh tujuh tahun
pernikahan mereka. Mariam tidak sudi menyaksikan Rasheed juga merenggut nyawa
Laila. Mariam memantapkan langkah dan mengencangkan pegangannya di sekop. Dia
mengangkat benda itu tinggi-tinggi. Dia memanggil nama Rasheed. Dia
ingin Rasheed melihatnya. "Rasheed." Rasheed berpaling.
Mariam mengayunkan sekop di tangannya.
Dia menghamtam kening Rasheed, membuatnya terjatuh dan melepaskan Laila. Rasheed
menyentuh kepalanya dengan telapak tangan. Dia menatap darah yang membasahi
ujung jarinya, lalu menatap Mariam. Wajahnya tampak melunak. Mariam membayangkan
adanya sesuatu yang bertukar di antara mereka, bahwa mungkin dirinya telah
berhasil secara harfiah memasukkan pemahaman ke dalam kepala Rasheed. Mungkin
Rasheed juga melihat sesuatu di wajah Mariam, sesuatu yang membuatnya waspada.
Mungkin dia melihat sedikit jejak ketidakpercayaan diri, segala pengorbanan,
segala daya dan upaya yang telah merenggut kehidupan Mariam selama bertahun-
tahun ini, kehidupan dengan penindasan dan kekejaman tanpa akhir dari seorang
suami, cecaran dan kekejaman. Ataukah penghormatan yang dilihat Mariam di mata
Rasheed" Penyesalan"
Tetapi sudut bibir Rasheed segera terangkat menjadi cibiran sinis, dan Mariam
tahu bahwa tindakannya tidak berguna, mungkin bahkan tidak bisa
dipertanggungjawabkan, jika dia tidak menyelesaikannya. Jika dia diam saja,
berapa lama lagi sebelum Rasheed mengeluarkan kunci di sakunya dan mengambil
pistol yang disimpannya di atas, di kamar yang sama tempat dia mengurung Zalmai"
Yakinkah Mariam bahwa Rasheed akan
terpuaskan hanya dengan menembak dirinya" Jika ada sedikit saja keyakinan di
benak Mariam bahwa Laila akan selamat, dia mungkin akan meletakkan sekopnya.
Tetapi, di mata Rasheed, dia melihat bahwa dirinya dan Laila akan mati.
Maka, Mariam pun mengangkat sekopnya tinggi-tinggi, setinggi mungkin, sehingga
ujung sekop itu menyentuh punggungnya. Dia membaliknya sehingga bagian sekop
yang tajam tegak lurus dengan lantai, dan, saat melakukannya, terpikir oleh
Mariam bahwa inilah pertama kalinya dirinya memutuskan jalan hidupnya sendiri.
Bersama pikiran itu, Mariam mengayunkan sekopnya. Kali ini, dia mengerahkan
segala daya yang dimilikinya.[]
BAB 46 La i ia Laila melihat wajah di atasnya, deretan gigi, tembakau, dan tatapan beringas.
Dia juga samar-samar teringat pada Mariam, yang tiba-tiba muncul di belakang
wajah itu, kepalan tangannya yang membabi buta. Di atas mereka terdapat langit-
langit, dan ke sanalah Laila tersedot, ke bekas air menghitam yang menyebar
bagaikan tinta yang menumpahi baju, ke retakan yang membentuk senyuman atau
cibiran, tergantung dari mana sudut pandangnya. Laila memikirkan seluruh waktu
yang dia habiskannya untuk mengikat lap ke gagang sapu dan membersihkan sawang
yang menggantung di langit-langit itu. Tiga kali, dia dan Mariam mengecat
retakan itu dengan warna putih. Retakan itu tidak lagi memamerkan senyuman,
tetapi cemoohan mesum. Lalu, retakan itu tampak semakin menyusut, terangkat,
jauh meninggalkan Laila, entah ke mana. Langit-langit itu melayang semakin jauh
hingga tampak sekecil perangko, putih dan cerah, segala sesuatu di sekelilingnya
terselubung oleh kegelapan pekat yang tiba-tiba muncul. Dalam kegelapan, wajah
Rasheed tampak bagaikan noda
hitam di matahari. Sekarang, ledakan-ledakan putih menyilaukan berkilat di depan matanya, bagaikan
bintang-bintang perak yang pecah berhamburan. Berbagai bentuk mewujud di dalam
cahaya itu, cacing, sesuatu yang seperti telur, bergerak naik dan turun, ke
samping, saling melebur, berubah menjadi bentuk lain, lalu memudar, digantikan
oleh kegelapan. Suara-suara teredam terdengar di kejauhan.
Di balik kelopak matanya, Laila melihat wajah kedua anaknya berpendar. Aziza,
awas dan penuh beban, bijaksana, menyimpan rahasia. Zalmai, menatap ayahnya
memohon perhatian. Inilah akhirnya, pikir Laila. Akhir yang sangat mengenaskan. Tetapi, kegelapan
itu perlahan-lahan terangkat. Laila merasa seperti melayang, ditarik oleh
seseorang. Langit-langit kembali muncul, melebar, dan sekarang Laila dapat
kembali melihat retakan di sana, senyum yang sama.
Seseorang mengguncang-guncang tubuhnya. Kau tidak apa-apa" Jawablah aku, apakah
kau baik-baik saja" Wajah Mariam, dengan luka-luka di sana-sini, dibebani
kecemasan, melayang di atas Laila.
Laila menarik napas. Tenggorokannya terasa terbakar. Dia mencoba sekali lagi.
Kali ini rasa sakit itu lebih parah, bukan hanya di tenggorokannya melainkan
juga di dadanya. Lalu, dia terbatuk, tersengal-sengal. Sesak. Namun bernapas.
Dengungan memenuhi telinganya yang sehat.
O Yang pertama dilihat oleh Laila ketika berhasil duduk kembali adalah Rasheed.
Dia berbaring telentang, menatap kekosongan tanpa berkedip. Sedikit busa, merah
muda pucat, mengalir dari mulut ke pipinya. Bagian depan celananya basah. Laila
melihat keningnya. Lalu, dia melihat sekop itu.
Erangan muncul dari bibirnya. "Oh," ujarnya, gemetar, bersusah payah bersuara,
"Oh, Mariam." <" Laila berjalan mondar-mandir dan
membentur-benturkan tangannya, sementara Mariam duduk di samping Rasheed,
meletakkan tangannya di pangkuan, tenang dan bergeming. Mariam tidak berkata-
kata dalam waktu yang lama.
Mulut Laila terasa kering, dan dia tergagap-gagap, tubuhnya gemetar. Dia sebisa
mungkin mengalihkan tatapannya dari Rasheed, dari seringaian di bibirnya, dari
matanya yang terbelalak, dari darah yang mulai mengering di lekukan bahunya.
Di luar, senja semakin gelap, malam semakin pekat. Wajah Mariam tampak tirus dan
letih dalam pencahayaan seperti ini, namun dia tidak tampak resah ataupun
ketakutan. Dia hanya merenung, berpikir, tenggelam dalam dunianya sendiri
sehingga tidak merasakan ketika seekor lalat hinggap di dagunya.
Dia hanya duduk di sana dengan bibir bawah menjorok ke luar, seperti yang biasa
dia lakukannya ketika sedang berpikir.
Akhirnya, dia berkata, "Duduklah, Laila jo."
Laila mematuhinya. "Kita harus memindahkannya. Jangan sampai Zalmai tahu."
O Mariam merogoh saku Rasheed dan mengambil kunci kamar sebelum membungkus
mayatnya dengan seprai. Laila mengangkat kaki Rasheed, di belakang lututnya, dan
Mariam memegangi lengannya. Mereka mencoba mengangkatnya, namun tubuh Rasheed
terlalu berat, sehingga akhirnya mereka menyeretnya. Ketika mereka melewati
pintu depan dan keluar menuju halaman, kaki Rasheed tersangkut di pintu dan
kedua pahanya terkangkang. Mereka harus mundur dan meluruskan kaki Rasheed,
ketika terdengar bunyi benturan di atas, dan Laila serta-merta melepaskan
pegangannya. Laila menjatuhkan Rasheed. Dia bersimpuh di lantai, terisak-isak
dengan tubuh gemetar, dan Mariam harus berdiri di hadapannya, berkacak pinggang,
mengatakan padanya untuk tenang. Apa yang sudah terjadi tak dapat diulang lagi.
Sejenak kemudian, Laila bangkit dan menyeka wajahnya, dan mereka mengangkat
mayat Rasheed ke halaman tanpa kesulitan lain. Mereka
membawanya ke gudang perkakas. Mereka menggeletakkannya di bawah meja kerja yang
berisi sebuah gergaji, beberapa buah paku, sebuah pengasah kayu, sebuah palu,
dan sebilah kayu bulat. Rasheed bermaksud memahat kayu itu untuk dijadikan
mainan bagi Zalmai, namun tak pernah mulai melakukannya.
Setelah itu, mereka kembali masuk ke rumah. Mariam mencuci tangannya, membasahi
rambutnya, menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan-lahan. "Sini, aku
akan merawat luka-lukamu. Parah sekali, Laila jo."
Mariam meminta waktu semalam untuk merenungkan tindakannya. Untuk berpikir dan
menyusun rencana. "Akan ada jalan," katanya, "dan aku harus menemukannya."
"Kita harus pergi! Kita tak bisa tetap di sini," ujar Laila dalam suara
mendekati isakan. Tiba-tiba dia memikirkan suara sekop yang membentur kepala
Rasheed, dan tubuhnya pun terlontar ke depan. Rasa pahit memancar dari dadanya.


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariam menanti dengan sabar hingga Laila merasa lebih baik. Setelah itu, dia
menyuruh Laila berbaring dan membelai kepala Laila yang tergeletak di
pangkuannya. Jangan cemas, kata Mariam, semuanya akan baik-baik saja. Kata
Mariam, mereka semua akan pergi dia, Laila, anak-anak,?dan juga Tariq. Mereka akan meninggalkan rumah ini, juga kota tanpa ampun ini.
Mereka juga akan meninggalkan negeri tanpa harapan ini, kata Mariam sembari
menyapukan jemarinya di rambut Laila, pergi ke suatu tempat yang jauh dan aman,
tempat tidak seorang pun akan dapat menemukan mereka, tempat mereka dapat
menanggalkan masa lalu dan mencari tempat bernaung.
"Ke suatu tempat yang ada pohonnya," katanya. "Ya. Banyak pohon."
Mereka akan tinggal di sebuah rumah mungil di pinggir kota yang namanya belum
pernah mereka dengar, kata Mariam, atau di sebuah desa terpencil dengan jalan
sempit yang tak beraspal namun dipagari oleh berbagai jenis bunga liar dan
semak-semak. Mungkin akan ada jalan menuju padang rumput tempat anak-anak bisa
bermain, atau mungkin jalan batu yang akan membawa mereka ke danau berair biru,
tempat ikan-ikan berlompatan ke permukaan. Mereka akan memelihara domba dan
ayam, dan bersama-sama membuat roti atau mengajari anak-anak membaca. Mereka
akan menjalani hidup baru kehidupan yang damai dan merdeka dan di sana, segala
? ?beban yang harus mereka tanggung selama ini akan terangkat, dan mereka akan
mendapatkan kebahagiaan dan kemapanan yang memang layak mereka dapatkan.
Laila menggumamkan persetujuan. Mereka akan menjalani kehidupan yang berat, dia
dapat melihatnya, namun mereka akan menikmatinya.
Mereka akan melewati kesulitan dengan kebanggaan, kehormatan, dan keberhargaan,
seperti cara seseorang menjaga sebuah warisan keluarga. Suara lembut Mariam
mendatangkan kenyamanan bagi Laila. Akan ada jalan, katanya, dan, besok pagi,
Mariam akan memberi tahunya apa yang harus mereka lakukan, dan mereka akan
melakukannya. Dan, mungkin besok, pada waktu yang sama, mereka telah berada
dalam perjalanan menuju kehidupan baru itu. Kehidupan yang akan diwarnai oleh
kesempatan dan kebahagiaan, dan juga kesulitan yang akan menghadang. Laila lega
karena Mariam akan mengurus semuanya, penuh kesadaran, mampu berpikir untuk
mereka berdua. Pikirannya sendiri amburadul tak keruan.
Mariam bangkit. "Sebaiknya sekarang kau mengurus anakmu." Wajahnya menunjukkan
ekspresi tertegas yang pernah dilihat oleh Laila di wajah seorang manusia.
<" Laila menemukan zalmai dalam kegelapan, meringkuk di sisi ranjang Rasheed. Dia
berbaring di sisi Zalmai dan menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Kau
tidur?" Tanpa berbalik untuk menghadapi Laila, Zalmai berkata, "Aku tak bisa tidur. Baba
jan belum membaca doa Babaloo denganku."
"Mungkin aku bisa membacakannya untukmu
malam ini." "Mammy tak bisa membacanya seperti Baba jan." Laila meremas bahu mungil Zalmai.
Mencium tengkuknya. "Aku akan berusaha." "Baba jan di mana?"
"Baba jan sedang pergi," kata Laila, tenggorokannya seolah kembali terkatup.
Itulah, terucap untuk pertama kalinya, sebuah kebohongan bejat terbesar. Berapa
kali lagikah kebohongan ini harus diucapkan" Laila berpikir dengan merana.
Berapa kalikah sebelum Zalmai memercayainya" Laila membayangkan Zalmai, berlari
riang gembira menyambut ayahnya, dan Rasheed akan memegangi kedua sikunya,
mengangkatnya, memutar-mutar tubuhnya, hingga kaki Zalmai terjulur, keduanya
tertawa terbahak-bahak sesudahnya, ketika Zalmai berjalan terhuyung-huyung
bagaikan pemabuk. Laila memikirkan tentang permainan acak-acakan mereka dan tawa
nyaring mereka, juga lirikan licik mereka.
Rasa malu dan duka untuk putranya menerpa Laila.
"Baba jan pergi ke mana?"
"Mammy tidak tahu, Sayangku."
Kapan Baba jan pulang" Apakah Baba jan akan membawa oleh-oleh kalau dia pulang
nanti" Laila berdoa bersama Zalmai. Dua puluh satu kali Bismfflahirahmanirahim-satu
untuk setiap buku jari dari tujuh ruas jari. Laila melihat Zalmai menadahkan
tangan di depan wajahnya dan meniupnya, lalu menempelkan punggung kedua
tangannya di kening dan melakukan gerakan mengusir, berbisik, Babaloo, pergilah,
jangan datangi Zalmai, dia tidak punya urusan denganmu. Babaloo, pergilah. Lalu,
untuk menutup doanya, mereka mengucapkan Allahu akbar tiga kali. Dan,
selanjutnya, setelah malam mulai larut, Laila terkejut mendengarkan bisikan
Zalmai: Apakah Baba jan pergi karena aku"Karena yang kukatakan, tentang Mammy
dan orang di bawah itu"
Laila merapatkan diri ke tubuh putranya, bermaksud menenangkannya, bermaksud
mengatakan Ini tidak ada hubungannya denganmu, Zalmai. Tidak. Kau tidak
bersalah. Tapi, Zalmai telah tertidur, dada mungilnya naik dan turun.
Ketika laila tertidur, pikirannya kacau, galau, tak mampu membedakan apa yang
benar dan apa yang salah. Tetapi, ketika dia terbangun saat mendengar panggilan
muazin untuk shalat Ssubuh, sebagian besar ketumpulan pikirannya telah sirna.
Selama beberapa waktu, dia duduk dan memandang Zalmai yang masih terlelap,
tangannya mengepal di bawah dagu. Laila membayangkan Mariam menyelinap ke dalam
kamar mereka saat tengah malam, menatap dirinya dan Zalmai yang tertidur
kelelahan, menyusun rencana di dalam kepalanya.
Laila turun dari ranjang. Dia membutuhkan usaha keras hanya untuk berdiri.
Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Lehernya, bahunya, punggungnya,
lengannya, pahanya, semuanya terluka karena sabetan ikat pinggang Rasheed.
Mengernyitkan wajah, dia perlahan-lahan keluar dari kamar.
Di kamar Mariam, cahaya tampak lebih gelap daripada sekadar kelabu, macam cahaya
yang selalu diasosiasikan oleh Laila dengan kokokan ayam jantan dan embun yang
berguling di daun. Mariam duduk di sudut kamarnya, di atas sajadah, menghadap ke
jendela. Perlahan-lahan, Laila menurunkan tubuhnya, duduk di hadapan Mariam.
"Sebaiknya kau pergi menemui Aziza pagi ini," kata Mariam.
"Aku tahu apa yang akan kaulakukan."
"Jangan berjalan kaki. Sebaiknya kau naik bus, berbaur dengan orang lain. Taksi
terlalu mencurigakan. Mereka pasti akan menghentikanmu karena menumpang taksi
sendirian." "Kau sudah berjanji tadi malam
Laila tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pepohonan, danau, desa tanpa nama.
Sekarang, dia melihatnya sebagai khayalan. Kebohongan indah untuk
menenangkannya. Seperti membisikkan kata-kata indah kepada anak yang sedang
mengamuk. "Aku serius," kata Mariam. "Kau bisa mendapatkannya, Laila jo."
"Aku tidak menginginkan semua itu tanpa dirimu," isak Laila.
Mariam tersenyum letih. "Yang kuinginkan adalah tepat seperti yang kaukatakan, Mariam, kita semua pergi
bersama, kau, aku, anak-anak. Tariq bisa membawa kita ke Pakistan. Kita bisa bersembunyi
di sana untuk sementara, menanti segalanya mereda-"
"Itu tidak mungkin," Mariam berkata dengan jengkel, seperti orangtua yang
menghadapi anak yang rewel.
"Kita akan saling merawat," kata Laila, tenggorokannya tercekat, matanya basah
oleh air mata. "Seperti yang kaukatakan. Tidak. Aku akan merawatmu, setelah
semua yang kaulakukan untukku."
"Oh, Laila jo.11 Laila terus menceracau. Dia menawar. Dia berjanji. Dialah yang akan membersihkan
rumah. Dialah yang akan memasak. "Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Sama
sekali. Kau tinggal beristirahat, tidur, membuat taman. Apa pun yang ingin
kaulakukan, kau tinggal minta, dan aku akan mencarikannya untukmu. Jangan
lakukan ini, Mariam. Jangan tinggalkan aku. Jangan hancurkan hati Aziza."
"Mereka memotong tangan orang yang mencuri roti," kata Mariam. "Apa menurutmu
yang akan mereka lakukan saat menemukan mayat seorang suami yang kedua istrinya
sudah menghilang?" "Tidak akan ada yang tahu," Laila terisak-isak. "Tidak akan ada yang menemukan
kita." "Mereka akan tahu. Cepat atau lambat. Mereka adalah pemburu haus darah," bisik
MariamLaila, penuh kewaspadaan; ucapannya membuat janji-janji Laila terdengar
tidak masuk akal, berlebih-lebihan, konyol. "Mariam, kumohon-"
"Ketika mereka menemukan kita, mereka akan menganggap dirimu sama bersalahnya
dengan aku. Juga Tariq. Aku tidak akan membiarkan kalian berdua hidup dalam
pelarian, seperti buronan. Apa yang akan terjadi pada anak-anakmu kalau kau
sampai tertangkap?" Laila merasakan sesuatu menyengat matanya.
"Siapa yang akan mengurus mereka" Taliban" Berpikirlah seperti seorang ibu,
Laila jo. Berpikirlah seperti seorang ibu. Itulah yang sedang kulakukan."
"Aku tak bisa."
"Kau harus bisa."
"Ini tidak adil," rengek Laila, parau.
"Tapi, inilah yang paling adil. Kemarilah. Berbaringlah di sini."
Laila merangkak menghampiri Mariam dan sekali lagi meletakkan kepala di
pangkuannya. Dia teringat pada sore hari yang mereka habiskan bersama, saling
mengepang rambut, Mariam dengan sabar mendengarkan seluruh pemikiran dan cerita-
ceritanya, dengan penuh perhatian, dengan ekspresi seseorang yang sedang
mendapatkan kesempatan istimewa.
"Ini adil," kata Mariam. "Aku telah membunuh suami kita. Aku memisahkan anakmu
dari ayahnya. Salah jika aku melarikan diri. Aku tidak bisa. Bahkan kalaupun
mereka tidak menangkap kita, aku tak akan pernah Bibirnya bergetar. "Aku tak
pernah bisa melarikan diri dari kesedihan anakmu.
Bagaimana mungkin aku bisa memandang Zalmai" Bagaimana mungkin aku bisa
mendapatkan kekuatan untuk memandangnya, Laila jo?"
Mariam menguraikan sejumput rambut keriting Laila.
"Bagiku, perjalananku berakhir di sini. Tidak ada lagi yang kuinginkan. Semua
yang kudambakan saat aku kanak-kanak telah kauberikan kepadaku. Kau dan anak-
anakmu telah membuatku sangat bahagia. Tidak apa-apa, Laila jo. Tidak apa-apa.
Jangan bersedih." Laila selalu gagal menemukan jawaban sederhana dari semua yang dikatakan Mariam.
Tapi, dia tetap menceracau, tanpa arah, kekanak-kanakan, tentang pohon-pohon
buah yang harus ditanam dan ayam-ayam yang harus dipelihara. Dia menceracau
tentang rumah-rumah mungil di kota-kota tanpa nama, juga tentang jalan-jalan
siang hari ke danau penuh ikan. Dan, akhirnya, ketika kata-kata telah mengering
dari mulutnya, air matanya masih mengalir, dan yang dapat dilakukan oleh Laila
hanyalah menyerah dan terisak-isak seperti seorang bocah yang tidak memahami
cara berpikir orang dewasa. Yang dapat dia lakukannya hanyalah berguling dan
membenamkan wajahnya untuk terakhir kalinya di pangkuan Mariam.
Ketika matahari mulai meninggi, Mariam
mengemasi bekal makan siang Zalmai berupa roti dan buah fig kering. Dia juga
membungkus buah fig fig dan beberapa kue berbentuk binatang untuk Aziza. Dia
memasukkan semuanya ke dalam sebuah kantung kertas dan memberikannya kepada
Laila. "Berikan ciumanku untuk Aziza," katanya. "Katakan padanya bahwa dia adalah noor
di mataku dan sultan di hatiku. Maukah kau melakukannya untukku?"
Laila mengangguk, bibirnya terkatup rapat.
"Kau harus naik bus, seperti yang kukatakan, dan terus tundukkan kepalamu."
"Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi, Mariam" Aku ingin bertemu denganmu
sebelum harus bersaksi. Aku akan mengatakan kepada mereka apa yang sebenarnya
terjadi. Aku akan menjelaskan bahwa ini bukan kesalahanmu. Bahwa kau
melakukannya untuk membelaku. Mereka akan mengerti, ya, Mariam" Mereka akan
mengerti." Mariam menatap Laila lembut.
Dia membungkuk hingga berhadapan langsung dengan Zalmai. Anak itu mengenakan
kaus merah, celana khaki belel, dan sepasang sepatu bot koboi yang dibeli
Rasheed di Mandaii. Dia memegang bola basket barunya dengan kedua tangannya.
Mariam mencium pipinya. "Jadilah anak laki-laki yang baik dan kuat," katanya. "Perlakukanlah ibumu
dengan baik." Mariam menangkupkan kedua tangannya ke wajah Zalmai. Dia tetap
menahan wajah Zalmai meskipun anak itu menariknya. "Maafkan aku, Zalmai jo.
Percayalah, aku memohon ampunanmu atas segala kesedihan dan kepedihanmu."
Laila menggenggam tangan Zalmai saat mereka berjalan di trotoar. Tepat sebelum
berbelok di sudut jalan, Laila menoleh dan melihat Mariam berdiri di ambang
pintu. Mariam mengenakan kerudung putih, sweter biru tua berkancing depan, dan
celana panjang katun putih. Sejumput rambut kelabu jatuh di keningnya. Seberkas
sinar matahari menimpa wajah dan bahunya. Mariam melambai.
Mereka berbelok di sudut jalan, dan itulah terakhir kalinya Laila melihat
Mariam.[] BAB 47 asanya seperti kembali ke kolba, setelah bertahun-tahun berlalu.
Penjara wanita Walayat adalah sebuah bangunan suram berbentuk persegi yang
terletak di Shar-e-Nau, di dekat Jalan Ayam. Bangunan ini berdiri di tengah-
tengah sebuah kompleks lebih besar yang digunakan untuk menampung tahanan pria.
Sebuah pintu bergembok memisahkan Mariam dan para wanita lain dengan para pria
di sekeliling mereka. Berdasarkan pengamatan Mariam, ada lima sel di tempat itu
yang digunakan. Semuanya berupa bilik tanpa perabot, dengan dinding jorok bercat
mengelupas dan jendela kecil yang mengarah ke halaman. Jendela-jendela itu
berjeruji, meskipun pintu-pintu sel tidak terkunci dan para wanita penghuninya
bebas keluar ke halaman semau mereka. Tidak ada kaca di jendela itu. Juga tidak
ada tirai, yang berarti para penjaga Talib, yang berkumpul di halaman, bebas
melihat isi sel. Beberapa wanita mengeluh tentang para penjaga yang merokok di
luar jendela dan melongok ke dalam dengan mata nyalang dan senyum liar, saling
Mariam melontarkan lelucon mesum tentang para tahanan wanita. Karena inilah sebagian
besar wanita penghuni penjara mengenakan burqa sepanjang hari dan hanya
membukanya setelah malam tiba, setelah gerbang utama dikunci dan para penjaga
berdiam di pos mereka. Pada malam hari, kegelapan pekat menyelimuti sel yang dihuni Mariam bersama lima
wanita dan empat anak-anak lain. Pada malam-malam ketika listrik menyala, mereka
bersama-sama mengangkat Naghma, seorang gadis pendek berdada rata dan berambut
keriting hitam, ke langit-langit. Terdapat seutas kabel dengan kulit yang telah
mengelupas di sana. Naghma akan menyambungkan kabel itu ke dasar bohlam untuk
menghadirkan aliran listrik.
Kamar mandi hanya seukuran lemari, dan lantai semennya telah retak di sana-sini.
Terdapat sebuah lubang di lantainya, tempat kotoran manusia menumpuk. Lalat
beterbangan di sekitar lubang itu.
Di tengah penjara terdapat sebuah ruangan terbuka berbentuk persegi, dan, di
tengahnya, terdapat sebuah sumur. Tidak ada saluran pembuangan di dekat sumur
itu, yang berarti tempat itu selalu basah dan air di sumur berbau apak. Tali-
tali jemuran, penuh digelantungi kaus kaki dan popok basah, saling bersilangan
di sana. Di tempat inilah para tahanan bertemu dengan tamu yang mengunjungi
mereka dan menanak beras yang dibawakan oleh keluarga mereka penjara tidak ?menyediakan makanan. Di tempat itu pulalah anak-anak bermain Mariam baru tahu
?bahwa sebagian besar anak-anak itu lahir di Walayat dan tidak pernah melihat dunia
luar. Mariam menyaksikan mereka bermain kejar-kejaran, kaki telanjang mereka
menginjak-injak lumpur. Sepanjang hari, mereka berlarian, bermain dengan penuh
keceriaan, tidak memedulikan bau busuk tinja dan air kencing yang menempeli
Walayat dan tubuh mereka sendiri, tidak memedulikan para penjaga Talib hingga
salah seorang di antara mereka terkena pukulan.
Tidak seorang pun pernah mengunjungi Mariam. Itulah hal pertama dan satu-satunya
yang dia mintanya kepada para petugas Talib di sini. Tidak ada pengunjung.
Tidak satu pun wanita di sel Mariam dipenjarakan karena kasus
kriminalitas semuanya berada di sana akibat kesalahan umum seperti "kabur dari
? rumah". Sebagai hasilnya, Mariam menjadi terkenal di kalangan mereka, menjadi
semacam pesohor. Para wanita itu memandangnya dengan ekspresi penuh kekaguman,
nyaris terpana. Mereka menawarkan selimut mereka kepadanya. Mereka berebutan
untuk membagi makanan mereka dengannya.
Yang paling mencolok adalah Naghma, yang selalu menggamit siku Mariam dan
mengikuti ke mana pun Mariam melangkah. Nahgma adalah jenis orang yang senang
menyebarkan kabar buruk, entah yang menimpa orang lain ataupun dirinya sendiri.
Dia mengatakan bahwa ayahnya telah menjanjikan dirinya kepada seorang penjahit yang
berusia tiga puluh tahun lebih tua daripada dirinya.
"Baunya seperti goh, dan giginya lebih sedikit daripada jarinya," ujar Naghma
tentang penjahit itu. Dia berusaha melakukan kawin lari ke Gardez dengan seorang pemuda yang
dicintainya, putra seorang mullah setempat. Mereka bahkan tidak berhasil keluar
dari Kabul. Ketika mereka tertangkap dan dipulangkan, putra mullah itu
mendapatkan hukuman cambuk dan akhirnya mengatakan bahwa Naghma telah
menggodanya dengan pesona kewanitaannya. Naghma mengguna-gunanya, katanya.
Pemuda itu berjanji akan mengabdikan diri untuk mempelajari Al -Quran. Putra


A Thousand Splendid Suns Karya Khaled Hossein di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mullah dibebaskan. Naghma mendapatkan vonis lima tahun penjara. Dia lebih suka
berada di penjara, katanya, karena ayahnya telah bersumpah akan menorehkan pisau
ke lehernya saat dia dibebaskan.
Mendengarkan cerita Naghma, Mariam teringat pada pendar suram bintang di langit
dan awan yang berarak di atas pegunungan Safid-koh, pada pagi hari yang telah
lama berlalu, ketika Nana mengatakan kepadanya, Seperti jarum kompas yang selalu
menunjuk ke utara, jari telunjuk seorang pria selalu teracung untuk menuduh
wanita. Selalu. Ingatlah itu, Mariam.
Pengadilan mariam diselenggarakan seminggu
sebelumnya. Tidak ada dewan juri, tidak ada hearing di depan umum, tidak ada
pemeriksaan silang bukti-bukti, tidak ada pernyataan saksi. Mariam menolak untuk
menggunakan haknya mendatangkan saksi mata. Semuanya hanya berlangsung kurang
dari lima belas menit. Hakim yang duduk di tengah, seorang Talib yang tampak ceria, memimpin
persidangan. Dia bertubuh kurus kering, dengan kulit kuning membalut tulang, dan
berjanggut merah keriting. Kacamata yang dikenakannya memperbesar matanya dan
menunjukkan betapa kuning bagian putihnya. Lehernya tampak terlalu kurus untuk
menyangga kepalanya yang terbungkus serban.
"Anda mengakui kesalahan Anda, Hamshira?" tanyanya sekali lagi dengan suara
letih. "Ya," jawab Mariam.
Pria itu mengangguk. Atau, mungkin dia tidak mengangguk. Sulit dikatakan; tangan
dan kepalanya senantiasa gemetar, mengingatkan Mariam pada penyakit yang
diderita Mullah Faizullah. Ketika ingin meminum tehnya, dia tidak mengambil
sendiri cangkirnya. Dia memberikan isyarat kepada seorang pria berdada bidang di
sebelah kirinya, yang dengan patuh mendekatkan cangkir teh itu ke bibirnya.
Setelah itu, hakim Talib itu memejamkan matanya perlahan, seolah mengucap syukur
tanpa suara. Mariam menganggap pria itu menenangkan. Ada sirat kejujuran dan kelembutan dalam
Rajawali Hitam 2 Dewi Sri Tanjung 10 Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 17
^