Pencarian

My Name Red 1

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 1


Kaeya parmuk memang penuh pesona. Masalah pergulatan batin baik dalam upaya
mencari jati diri maupun menghadapi berbagai benturan budaya,hampir tak pernah
lepas dari pengamatannya."
KOMPAS ... sebuah misteri pembunuhan yang menegangkan ... sebuah perenungan mendalam
tentang cinta dan kegigihan artistik ....
Namaku Mtiah Kirmizi bermula di Istanbul simbol tonggak kejayaan-Islam yang ?terakhir di ujung abad keenam belas, saat Sultan secara diamdiam menugaskan
?pembuatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, yang dihiasi
ilustrasi para seniman terkemuka saat itu.
Ketika seorang seniman dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan
masa silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang
pada akhirnya menguak |e)ak benturan peradaban Timur dan Barat dua cara pandang
?dunia yang berbeda, berkaitan dengan kebudayaan, sejarah, dan identitas yang
memicu konflik tak berkesudahan.
Melalui karya cemerlang ini, yang diramu dengan intrik seni dan politik.dongeng-
dongeng klasik, serta kisah cinta bercabang yang getir, Orhan Pamuk pemenang
?Hadiah Nobel Sastra mengukuhkan dirinya sebagai salah satu novelis terbaik
?dunia saat ini. m Novel ini paling tidak telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan
sejumlah hadlah sastra internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur
Livre Etranger 2002 (Prancis). Premio Grinzane Cavour 2002 (Italia), dan
International IMPAC Dublin Literary Award 2003 (Irlandia).
Pamuk kelahiran Turki, 7 Juni 1952 juga merupakan peraih Peace Prize ol the
? ?German Book Trade (Jerman, 2005) dan Prix Medicis Etranger (Prancis, 2005) untuk
novel terakhirnya. Snow (Kor, 2002 Salju). Kini ia menetap di Istanbul.
?Penulis novel Turki yang paling terkemuka dan salah seorang tokoh sastra yang
paling menarik ... 'Seorang pendongeng kelas satu.'
TIMES LITERARY SUPPLEMENT
JBN: 979-11 "Anda akan menemukan keasyikan bermain puzzle, tentunya yang tak terlalu rumit,
apalagi puzzle berisi pembunuhan, intrik sosial, dan latar belakang sejarah dan
peradaban Islam, yang diramu secara romantis dengan cinta, seks, dan drama. My
Name is Red menjadi novel tebal yang asyik dibaca lebih dari sekali, hanya untuk
menguji, seobjektif apa kita meningkahi argumentasi." PIKIRAN RAKYAT
"Reputasi internasional Pamuk makin mencorong ketika ia memublikasikan BenimAdim
Kirmizi(My Name is Reef) pada 2000. Novel ini campuran misteri, roman, dan teka-
teki filosofis dengan setting Istanbul abad ke-16." KORAN TEMPO
"My Name is Red mendapat pujian dari para pengamat sastra dunia. Novel-novel
Pamuk banyak mengemukakan pertikaian antara kelompok muslim dan sekuler yang
hidup di Turki, yang ditulis dengan cukup teliti, termasuk lokasi kejadian."
MEDIA INDONESIA "Fenomena Estetik Orhan Pamuk memang pantas mendapat Hadiah Nobel. My Name is
Red memang hebat. Beda dengan Eco yang hanya punya satu kisah, yaitu kisah
detektif, Pamuk menampilkan kisah cinta, ditambah lagi kisah penggalan sejatah
Turki di abad silamnya serta diskusi tentang estetika seni hias buku."
IKRAHEGARA "Yang puitik, yang 'aneh', yang tak harus seratus persen dipahami,
memang hadir dalam prosa Pamuk yang bisa halus, bisa kocak, bisa cemerlang, dan
bisa mengejutkan itu. Dalam My Name is Red, pelbagai karakter bicara dalam
sebuah cerita pembunuhan pada abad ke-16 termasuk si korban ('Aku sebuah ?mayat1), si pembunuh yang tak bernama, dan seekor anjing. Dan dari gaya yang
mulamula realistis kita langsung masuk ke kisah si Hitam yang melakukan apa saja
dalam waktu sepekan: menyeberangi Bosphorus, cerai lewat pengadilan, kawin
secara meriah, memandikan mayat, dan potong rambut...." goen awan muh am ad
menghdangkan tsaxklsah piilian. fiksi roaipui fwnfiksi, yang cerdas sekaligus
mel*fwr ORHAN PAMUK My Name is sebuah novel " Orhan Pamuk, 2001 Diterjemahkan dari My Name is Red (terjemahan ErdaS M. Goknar dari Benim Adim
Kirmizi, 1998), karangan Orhan Pamuk, terbitan Faber and Faber, London, 2002
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Atta Verin Penyunting: Anton Kurnia Perwajah Isi: Fadly & Nana
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Cetakan I: Desember 2006 ISBN: 979-1112-40-1 Orang yang buta dan orang yang melihat tidaklah sama. (Fatir: 19)
Dan kepunyaan Aliahlah Timur dan Barat. (Al-Baqarah: 115)
TENTANG PENGARANG ORHAN PAMUK lahir pada 7 Juni 1952 di Istanbul, Turki. Ia adalah pengarang tujuh
novel. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa, lima di
antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. The White Castle (Beyaz
Kale, 1985) memenangkan Independent Award for Foreign Fiction pada 199D, dan
penerbitan The New Life (Yerti Hayat, 1995-) menyebabkan sebuah sensasi di tanah
airnya, sekaligus menjadi buku yang paling cepat terjual habis dalam sejarah
Turki. My Name is Red (Bertim Adim Kirmizi, 1998-Namaku Merah Kirmizi) telah
terjual ratusan ribu eksemplar. Novel ini meraih berbagai penghargaan, antara
lain Prix du Meilleur Livre Etranger (Prancis, 2DD2), Premio Grinzane Cavour
(Italia, 2DD2), dan International IMPAC Dublin Literary Award (Irlandia, 2003).
Pamuk juga merupakan peraih Peace Prize of the German Book Trade (Jerman, 2005)
dan Prix Medicis Etranger (Prancis, 2005) untuk novel terakhirnya, Snow (Kar,
2002-Salju). Kini ia menetap di Istanbul.
KISAH MEMUKAU TENTANG BENTURAN DUA PERADABAN
Catatan Penyunting Benim Adim Kirmizi (1998) judul asli buku ini tak pelak merupakan sebuah novel? ?yang mengukuhkan nama pengarangnya, Orhan Pamuk, sebagai salah satu novelis
terbaik dunia saat ini. Novel ini secara cemerlang menggabungkan teka-teki
misteri, kisah cinta, dan renungan filsafati yang berlatar masa kekuasaan Sultan
Murat III di Kesultanan Utsmaniyah dalam sembilan hari musim salju 1591,
sekaligus mengajak para pembacanya untuk mengalami ketegangan antara Timur dan
Barat dari perspektif yang sangat memukau.
Kisah indah dan memikat ini bermula di Istanbul simbol tonggak kejayaan Islam
?yang terakhir di ujung abad keenam belas, saat sang Sultan secara diamdiam
?menugaskan pembuatan sebuah buku tak biasa untuk merayakan kejayaannya, dihiasi
ilustrasi para seniman terkemuka saat itu. Ketika seorang seniman yang
mengerjakan buku itu dibunuh secara misterius, seorang lelaki muram dengan masa
silam sekelam namanya ditugasi untuk mengungkap misteri pembunuhan yang pada
akhirnya menguak jejak benturan peradaban Timur (Turki-Islam) dan Barat (Eropa-
Kristen) dua cara pandang dunia berbeda yang pada akhirnya memicu konflik tak
?berkesudahan, bahkan hingga saat ini.
Dalam sebuah wawancara tentang novel yang ditulisnya selama enam tahun ini,
Pamuk menegaskan pandangannya tentang betapa perbedaan hendaknya
tidak dijadikan alasan untuk bertikai dan saling membunuh, "Dua cara yang
berbeda dalam melihat dunia dan bercerita ini tentu saja berkaitan dengan
kebudayaan kita, sejarah kita, dan apa yang kini secara luas disebut identitas.
Seberapa dalam mereka terlibat dalam konflik" Dalam novel saya, mereka bahkan
saling membunuh karena pertentangan antara Timur dan Barat ini. Namun, tentu
saja, saya berharap para pembaca menyadari bahwa saya tidak percaya pada konflik
ini. Karya seni yang baik muncul dari perpaduan beragam hal yang berasal dari
aneka akar dan budaya, dan semoga novel ini mampu menggambarkannya."
Benim Adim Kirmizi (diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai My Name Is Red pada
2DD1, dan kini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Atta Verin, seorang
wartawati dan penulis, dengan judul Namaku Merah Kirmizi) paling tidak telah
diterjemahkan ke dalam 25 bahasa dan memenangkan sejumlah hadiah sastra
internasional terkemuka, antara lain Prix du Meilleur Livre Etranger 2DD2
(Prancis), Premio Grinzane Cavour 2DD2 (Italia), dan International IMPAC Dublin
Literary Award 2DD3 (Irlandia).
Ketika ditanya, apakah pengaruh kemenangan hadiah IMPAC (nilainya sekitar 1,2
miliar rupiah) itu atas kehidupan dan karyanya, dengan santai Pamuk yang telah
berkali-kali dicalonkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra menjawab, "Tiada
yang berubah dalam hidup saya karena saya bekerja sepanjang waktu. Saya telah
menghabiskan 30 tahun untuk menulis karya sastra. Selama 10 tahun pertama, saya
khawatir soal uang dan tak seorang pun bertanya berapa banyak uang yang saya
hasilkan. Dalam 10 tahun kedua, saya menghabiskan
banyak uang dan tak seorang pun bertanya tentang hal itu. Kini, saya telah
menghabiskan 10 tahun terakhir dan setiap orang ingin tahu bagaimana saya
menggunakan uang itu ...."
Siapakah sesungguhnya Orhan Pamuk" Ia dilahirkan sebagai Ferit Orhan Pamuk di
Istanbul pada 7 Juni 1952 dari sebuah keluarga berada ayahnya adalah CEO ?pertama IBM Turki. Pamuk menghabiskan sebagian besar hidupnya di Istanbul,
diselingi masa tiga tahun di New York saat ia menjadi dosen tamu di Universitas
Columbia dari 1985 hingga 1988. Setelah sempat kuliah arsitektur selama tiga
tahun di Universitas Teknik Istanbul karena tekanan keluarganya yang ingin agar
ia menjadi insinyur, ia memutuskan keluar untuk menjadi penulis penuh waktu dan
berkonsentrasi menulis novel pertamanya walaupun kemudian ia menyelesaikan
?kuliahnya di jurusan jurnalistik Universitas Istanbul pada 1977. Pamuk pernah
menikah dengan Aylin Turegen pada 1982, tetapi mereka bercerai sembilan belas
tahun kemudian. Keduanya memiliki seorang anak perempuan, RCiya (untuknya novel
Benim Adim Kirmizi dipersembahkan).
Pamuk yang awalnya lebih tertarik pada seni rupa mulai menulis secara serius
pada 1974. Novel pertamanya, Karaniik ve Isik (Gelap dan Terang) memenangi
sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979. Novel ini kemudian diterbitkan
dengan judul Cevdet Bey ve Oguiiari (Tuan Cevdet dan Anakanaknya) pada
1982, dan memenangkan Hadiah Sastra Orhan Kemal pada
1983. Novel ini berkisah tentang tiga generasi sebuah keluarga Istanbul kaya
yang hidup di Nisantasi, sebuah kawasan makmur di Istanbul tempat Pamuk
dibesarkan. Pilihan tepat atas jalan hidupnya ditandai dengan
sejumlah penghargaan yang diraih Pamuk untuk karya karya awalnya, termasuk
Hadiah Madarali 1984 untuk novel keduanya Sessiz Ev (Rumah yang Sunyi) dan Prix
de la Decouverte Europeenne 1991 untuk terjemahan bahasa Prancis novel ini.
Novel historisnya, Beyaz Kale (Kastil Putih, 1985 diterjemahkan ke bahasa
?Inggris sebagai White Castle pada 199D), memenangkan Independent Foreign Fiction
Prize di Inggris pada 199D dan memperluas reputasinya di luar negeri. The New
York Times Book Review yang berwibawa itu bahkan menulis tentang Pamuk dengan
pujian setinggi langit, "Bintang baru telah terbit di Timur: Orhan Pamuk,
seorang penulis Turki."
Novel Pamuk berikutnya, Kara Kitap (Buku Hitam, 1990), menjadi salah satu bacaan
paling kontroversial dalam sastra Turki karena kompleksitas dan kekayaannya.
Pada 1992, ia menulis naskah untuk film Gizli Yiiz (Wajah Rahasia) berdasarkan
novel Kara Kitap yang disutradarai oleh sineas Turki terkemuka, Omer Kavur.
Novel keempatnya, Yeni Hayat (Hidup Baru), menimbulkan sensasi di Turki saat
terbit pada 1995 dan sempat menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu.
Reputasi Pamuk kian melambung seiring terbitnya novel Benim Adim Kirmizi ini
pada 1998. Novel paling mutakhir Pamuk adalah Kar (Salju, 2002 diterjemahkan ke bahasa
?Inggris sebagai Snow, 2004), yang membahas konflik antara Islam dan Barat di
Turki modern. The New York Times mencatat Snow sebagai salah satu dari Sepuluh
Buku Terbaik 2004. Sementara itu, terjemahan bahasa Prancis novel ini, Neige,
meraih Prix Medicis 2005. Pamuk juga menerbitkan karya nonfiksi, antara lain
sebuah catatan perjalanan, Istanbul Hatiralar ve Sehir (Istanbul Kenangan dan
? ?Kota,2003). Karya-karya Pamuk umumnya bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang
sebagian ditimbulkan oleh benturan antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya
karyanya kerap mengganggu dan menggelisahkan, dengan alur yang rumit dan
memikat, serta penokohan yang kuat.
Di negerinya sendiri yang penduduknya mayoritas muslim, ia dianggap pemberontak
karena menentang fatwa hukuman mati terhadap Salman Rushdie dan membela hak-hak
etnis minoritas Kurdi. Ia juga bicara lantang tentang hak-hak asasi manusia,
hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isuisu lingkungan hidup.
Akibat keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran walaupun getir, pada 2005
pemerintah Turki menjeratnya dengan tuduhan kriminal setelah ia membuat
pernyataan keras dalam wawancara dengan Das Magazin, sebuah majalah terbitan
Swiss pada Februari 2005. Dalam wawancara itu Pamuk menyatakan, "Tiga puluh ribu
orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini dan tak seorang pun
yang berani berbicara tentang hal ini, kecuali saya." Bila dinyatakan bersalah
dalam sidang pengadilan, Pamuk bisa dipenjarakan hingga tiga tahun.
Pada Oktober 2005, Orhan Pamuk memenangkan Hadiah Perdamaian dalam Pameran Buku
Jerman untuk karya karya sastranya yang dianggap berhasil mengemukakan konflik
nilai antara peradaban Eropa dan Turki-Islam. Ini adalah hadiah buku paling
bergengsi di Jerman. Walaupun tengah menghadapi ancaman serius di negerinya
sendiri, dalam pidato yang disampaikannya pada upacara pemberian hadiah itu,
Pamuk menegaskan kembali kesaksiannya, "Saya ulangi, saya katakan dengan jelas
bahwa sejuta orang Armenia dan tiga puluh ribu orang
Kurdi telah dibunuh di Turki."
Tuduhan dan ancaman terhadap Pamuk mengundang reaksi internasional. Pada 1
Desember 2005, Amnesti Internasional menyerukan agar Pamuk dibebaskan. Dalam
bulan itu juga, delapan pengarang terkemuka dunia Jose Saramago (Portugal), ?Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Giinter Grass (Jerman), Umberto Eco (Italia),
Carlos Fuentes (Meksiko), Juan Goytisolo (Spanyol), John Updike (Amerika
Serikat), dan Mario Vargas Llosa (Peru mengumumkan pernyataan bersama yang
?mengecam tuduhan-tuduhan terhadap Pamuk sebagai pelanggaran atas hak-hak asasi
manusia. Namun, ironisnya, di saat yang sama sebagian rekan sebangsanya justru menyerang
Pamuk karena ia dianggap terlalu memusatkan kritiknya terhadap "Turki dan orang
Turki", tetapi tidak bersuara keras terhadap pemerintah pemerintah lain yang
juga berbuat kejahatan serupa baik di masa lalu maupun di masa kini. Selain
?itu, sebagian pengamat mencurigai pernyataan kerasnya itu hanyalah siasat agar
ia memenangkan Hadiah Nobel Sastra 2005 yang kemudian dianugerahkan kepada
sastrawan Inggris, Harold Pinter.
Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupi penulisnya, bagi khalayak
pembaca di Indonesia, novel ini tentu merupakan sebuah bacaan bermutu yang layak
disimak. Melalui karya cemerlang yang diramu dengan intrik politik, dongeng
klasik, dan kisah cinta bercabang yang getir ini, Orhan Pamuk membuktikan diri
sebagai salah satu sastrawan terkemuka dunia masa kini.
Salam dan selamat membaca.
Anton Kurnia Un tukRiiy a Bab 1 AKU ADALAH SESOSOK MAYAT KINI AKU hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur. Walaupun
sudah lama sekali aku mengembuskan napas terakhirku dan jantungku telah berhenti
berdetak, tak seorang pun tahu apa yang terjadi padaku, selain pembunuh keji
itu. Sementara bajingan itu, ia merasakan detak nadiku dan mendengarkan desah
napasku untuk memastikan apakah aku sudah mati. Setelah itu, ia menendang bagian
depan tubuhku, menyeretku ke mulut sumur, mengangkat tubuhku, dan menjatuhkannya
ke dalam sumur. Begitu jatuh, kepalaku, yang telah ia hantam dengan sebongkah
batu, pecah terbelah. Wajahku, keningku, dan kedua pipiku hancur, tulangtulangku
berantakan, dan mulutku penuh darah.
Selama hampir empat hari aku menghilang: Istri dan anakanakku pasti mencari-
cariku; putriku menangis habis habisan, dan dia pasti akan memandangi gerbang
halaman rumah dengan cemas. Ya, aku tahu mereka semua akan berada di jendela,
mengharapkan kepulanganku.
Tetapi, apakah mereka sungguhsungguh menantiku" Aku bahkan tidak terlalu yakin
tentang hal itu. Mungkin saja mereka sudah mulai terbiasa dengan
ketiadaanku betapa menyedihkan! Karena di sini, di sisi lain, seseorang ?merasakan kehidupan terdahulunya terus
bertahan. Sebelum aku lahir, ada suatu masa yang tak terbatas, dan setelah aku
mati, terbentang masa yang tiada terhingga. Tak pernah kupikirkan sebelumnya:
Aku telah menjalani kehidupan yang gemilang di antara dua kegelapan yang abadi.
Aku sangat bahagia. Aku sadar sekarang bahwa aku pernah bahagia. Aku membuat
hiasan hiasan terbaik di dalam bengkel kerja Sultan kami. Tak seorang pun mampu
menandingi keahlianku. Melalui pekerjaan yang kulakukan secara pribadi, aku
menghasilkan sembilan ratus keping rak sebulan yang hanya membuat semua ini
semakin berat untuk kutanggung.
Aku bertanggung jawab melukisi dan menghiasi bukubuku.* Aku menghiasi pinggiran
halamannya, mewarnai ujung-ujungnya dengan corak-corak dedaunan, kuntum-kuntum
mawar, bebungaan, dan burungburung yang paling tampak hidup. Aku melukis awan
bergaya Cina, sekelompok pepohonan cemara yang lebat, dan hutan berwarnawarni


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyembunyikan kijang, perahu, para sultan, pepohonan, istana-istana, kuda,
dan para pemburu. Waktu aku masih muda, aku menghiasi piring, atau bagian
belakang cermin, atau sebuah meja, atau kerap kali langit-langit atau seluruh
bagian rumah megah bangsawan Bosphorus", atau bahkan hanya menggambari sebuah
sendok kayu. Di tahuntahun
*Pada sekitar abad keenam belas itu para penguasa kerap menugaskan para seniman
terkemuka untuk menghiasi bukubuku pesanan istana dengan dekorasi berukuran
kecil pada pinggiran buku dan memberi ilustrasi pada manuskrip manuskrip cerita.
Para seniman yang masingmasing memiliki keahlian khusus ini disebut miniaturis,
iluminator, dan ilustrator.
#*Para bangsawan Turki yang tinggal di sekitar Selat Bosphorus, sebuah selat
yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara dan memisahkan daratan Eropa
dengan benua Asia. Dekat ujung sebelah selatan selat sepanjang 31 km itu
terdapat Golden Horn, pelabuhan Istanbul.
berikutnya, aku hanya berkarya di atas lembaran-lembaran manuskrip, karena
Sultan kami membayarnya dengan sangat dermawan. Tak bisa kukatakan bahwa hal itu
tidak penting lagi sekarang. Kau bisa menakar nilai uang bahkan setelah kau
mati. Setelah mendengar keajaiban suaraku, kau mungkin akan berpikir, "Siapa yang
peduli pada yang kauperoleh saat kau masih hidup" Katakan padaku apa yang
kaulihat. Benarkah ada kehidupan setelah mati" Di manakah sukmamu" Bagaimana
dengan surga dan neraka" Bagaimana rasanya mati" Apakah kau merasa sakit?" Kau
benar, mereka yang masih hidup sangat penasaran mengenai kehidupan sesudah mati.
Mungkin kau pernah mendengar kisah tentang seorang lelaki yang dikuasai oleh
keingintahuannya sehingga ia menjelajah di antara para serdadu di medan perang.
Ia mencari orang yang sudah mati yang hidup kembali di antara orangorang terluka
yang sedang mencoba bertahan hidup di kubangan darah, seorang serdadu yang bisa
menceritakan padanya tentang rahasia-rahasia dunia lain. Namun, salah seorang
tentara Timurleng", yang menganggap si pencari itu sebagai musuh, membelah
tubuhnya menjadi dua dengan satu ayunan lembut pedang scimitar" miliknya,
membuat lakilaki itu menyimpulkan bahwa di kehidupan setelah mati manusia
terbelah menjadi dua. Omong kosong! Justru sebaliknya, aku bahkan bisa mengatakan bahwa jiwa-jiwa yang
terbagi dalam *Timurleng (1336-1405), atau Tamerlane bagi lidah orang Barat, seorang penguasa
dan penakluk bangsa Turki kelahiran Samarkand kota tertua di Asia Tengah yang ?terletak di sebuah lembah di jantung Uzbekistan yang juga masih keturunan
?bangsa Nongol. Ia merupakan salah seorang penglima militer terbesar sepanjang
sejarah yang pernah menguasai India hingga Laut Tengah.
" Pedang khas Turki, dengan bentuk yang agak melengkung dan melebar di bagian
?ujungnya. kehidupan berpadu dalam alam kubur. Kebalikan dari pernyataan orangorang kafir
pendosa yang telah terbuai rayuan Iblis, syukurlah, ternyata kehidupan setelah
mati itu memang ada, dan buktinya aku kini sedang berbicara padamu dari sini.
Aku sudah mati, tetapi seperti yang bisa kaukatakan, aku belum sirna. Harus
kuakui, bahwa aku memang belum menyusuri sungaisungai yang mengalir di tepi
istana-istana surga yang terbuat dari perak dan emas, pepohonan berdaun lebar
yang menjuntaikan buah-buah prem, serta perawan-perawan jelita, sebagaimana yang
disebutkan di dalam Alquran meskipun aku ingat dengan baik, betapa sering dan
?bersemangatnya aku membuat lukisan bidadari-bidadari bermata lebar yang
dikisahkan dalam surat "Al-Waqi'ah."* Di sana juga tidak ada jejak tentang
sungaisungai susu, anggur, air segar, dan madu, yang diceritakan dengan sangat
indah, bukan di dalam Alquran, melainkan oleh para pengkhayal cerdas seperti
Ibnu Arabi. Namun, aku sama sekali tidak berniat menggoda iman mereka yang hidup
lurus dalam melewati harapanharapan dan pandangan hidupnya tentang kehidupan
setelah mati. Maka, izinkan aku menyatakan bahwa semua yang kulihat hanya
berkaitan dengan keadaan pribadiku sendiri. Orang yang beriman meskipun hanya
memiliki sedikit pengetahuan tentang kehidupan setelah mati, akan tahu bahwa
ketidakpuasanku terletak pada tidak kulihatnya sungaisungai di surga.
Secara singkat, aku yang dikenal sebagai Elok Effendi, telah mati. Tetapi, aku
belum dikuburkan, oleh karenanya sukmaku belum sepenuhnya meninggalkan ragaku.
Situasi *"Dan (di dalam surga mereka memperoleh) bidadari-bidadari yang bermata jeli
(menyejukkan pandangan mata)" (Q.S. 56:22)
yang luar biasa ini, meskipun bukan yang pertama, telah menimbulkan penderitaan
yang amat mengerikan pada bagian diriku yang baka. Meskipun aku tidak mampu lagi
merasakan hancurnya tulang belulangku, atau tubuhku yang membusuk terbungkus
lukaluka, dengan tulangtulang yang remuk dan setengah terbenam di dalam air
sedingin es, aku tetap merasakan siksaan di dalam jiwaku yang dengan putus asa
berjuang untuk keluar dari inti raganya yang fana. Rasanya seperti jika seluruh
dunia ini, bersama tubuhku, sedang mengerut menjadi sebongkah kepiluan.
Aku hanya bisa membandingkan pengerutan ini dengan perasaan lega yang
mengejutkan yang kurasakan pada saat kematianku. Ya, aku langsung paham bahwa
bajingan itu ingin membunuhku, ketika tibatiba saja ia menghantamku dengan
sebongkah batu yang meremukkan tengkorak kepalaku, tetapi aku tidak percaya ia
melakukannya. Seketika aku tersadar bahwa aku adalah seseorang yang penuh
harapan, sesuatu yang tidak kusadari saat aku masih menjalani kehidupanku dalam
bayangbayang bengkel kerja dan rumahku. Aku berjuang mempertahankan hidupku,
lewat kuku-kukuku, lewat jari jemariku dan gigi geligiku, yang kubenamkan ke
dalam kulitnya. Aku tidak akan membuatmu bosan dengan rincian menyakitkan dari
hantaman-hantaman yang kuterima sesudahnya.
Ketika aku merasakan kepedihan ini, ketika aku tahu bahwa aku akan mati,
sebentuk perasaan lega menyeruak dalam diriku. Aku merasakan kelegaan ini di
saat-saat kematianku; kedatanganku ke sisi lain dunia ini begitu menyejukkan,
bagaikan bermimpi melihat seseorang yang jatuh tertidur. Sepatu pembunuhku yang
tertutup salju dan lumpur adalah hal terakhir yang kulihat. Aku mengatupkan kedua mataku
seakanakan aku sedang memejamkan mata menjelang tidur, dan perlahanlahan aku pun
mati. Keluhanku saat ini bukan karena gigigigiku yang rom-pal seperti butiran kacang
ke dalam rongga mulutku yang penuh darah, juga bukan wajahku yang hancur tak
bisa dikenali lagi, ataupun mengenai diriku yang ditinggalkan di dasar sebuah
sumur melainkan karena semua orang mengira aku masih hidup. Sukmaku yang gundah?kini merana memikirkan keluargaku dan orangorang terdekatku yang, tentu saja,
kerap memikirkanku, membayangkan diriku terlibat urusan-urusan sepele di suatu
tempat di Istanbul, atau bahkan dianggap sedang mengejar perempuan lain. Cukup!
Temukan jenazahku, jangan ditunda lagi, doakan aku, dan kuburkanlah ragaku. Dan
yang lebih penting lagi, temukanlah pembunuhku! Karena meski kau menguburku di
makam yang paling agung sekalipun, selama bajingan itu tetap bebas berkeliaran,
aku akan menggeliatgeliat resah di dalam kuburku, menanti dan merasuki kalian
semua dengan ketidakpercayaan. Temukan pembunuh laknat itu, dan aku akan
menceritakan padamu secara terperinci tentang apa yang kulihat di alam kubur.
Tetapi ketahuilah, setelah ia berhasil ditangkap, ia harus disiksa perlahanlahan
dengan membengkokkan delapan atau sepuluh ruas tulangnya aku lebih suka tulang
?rusuknya dengan sebuah penjepit, sebelum melubangi kulit kepalanya dengan ganco
?yang dibuat khusus untuk menyiksanya, dan mencabuti rambut berminyaknya yang
menjijikkan, helai demi helai, agar ia memekik kesakitan setiap kali dicabut.
Siapakah si pembunuh ini" Mengapa ia membunuhku dengan cara yang begitu
mengejutkan" Bertanya-tanyalah, dan pikirkan baikbaik masalah ini. Kau bilang
bahwa dunia ini dipenuhi penjahat-penjahat tengik yang tak berguna" Mungkinkah
yang satu ini berguna, mungkinkah orang ini lain dari mereka" Jika demikian,
izinkan aku memperingatkanmu: Kematianku menyembunyikan sebuah persekongkolan
dahsyat terhadap agama kita, tradisi kita, dan cara kita memandang dunia ini.
Bukalah matamu, temukan alasannya, mengapa musuhmusuh kehidupan yang kauyakini,
musuhmusuh kehidupan yang sedang kaujalani, dan musuhmusuh Islam, telah
menghancurkanku. Pelajarilah bahwa suatu hari mereka mungkin akan melakukan hal
yang sama kepadamu. Satu persatu, semua yang diperkirakan oleh ulama besar
Nusret Hoja dari Erzurum, yang ajarannya kusimak sambil berlinangan air mata,
akan terjadi. Biar kukatakan juga bahwa jika situasi yang sedang kita hadapi ini
digambarkan di dalam sebuah buku, ilustrator yang paling ahli sekalipun tidak
akan mampu menggambarkannya. Sementara di dalam Alquran ampuni aku ya Allah
?jika aku salah memahaminya kekuatan dahsyat sebuah buku muncul dari
?ketidakmungkinannya diungkapkan dalam bentuk gambar. Aku meragukan dirimu bias
sepenuhnya memahami fakta ini.
Dengarkan aku baikbaik. Ketika aku masih menjadi seorang anak didik, aku juga
merasa ketakutan, dan karenanya aku mengabaikan kebenaran-kebenaran yang
sesungguhnya, serta suarasuara dari alam sana. Aku akan menertawakan hal-hal
semacam itu. Namun, kini aku malah berakhir di dasar sumur jahanam ini! Ini juga
bisa terjadi pada dirimu, berhati-hatilah. Sekarang, tak ada lagi yang bisa
kulakukan, selain berharap diriku akan membusuk sepenuhnya, agar mereka bisa
menemukanku dengan menelusuri bau busukku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan
selain berharap dan membayangkan siksaan yang akan dilakukan oleh seseorang
?yang baik hati terhadap pembunuh biadab itu setelah ia tertangkap.[]
Bab 2 AKU DINAMAI HITAM Tf^r SETELAH MENGHILANG selama dua belas tahun, [R/kI aku memasuki Istanbul
seperti seseorang yang JlH berjalan dalam tidur. "Bumi memanggilnya," itu fc"
yang mereka katakana tentang orang yang sekarat, dan dalam kasusku, kematianlah
yang menyeretku kembali ke kota tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Saat
pertama kali aku kembali, kukira yang ada hanya kematian, tetapi kemudian aku
juga menemukan cinta. Cinta, entah bagaimana, berada amat jauh dan menjadi
sesuatu yang terlupakan, seperti kenanganku tentang hidup di kota besar. Kota
itu adalah Istanbul, dua belas tahun yang lalu, tempat aku jatuh cinta setengah
mati pada adik sepupuku. Empat tahun setelah aku meninggalkan Istanbul untuk pertama kali, ketika aku
mengelanai stepa-stepa tak berujung, gununggunung berselimut salju, dan kotakota
melankolis di Persia, sambil mengantar surat dan mengumpulkan pajak, aku
berjanji pada diriku sendiri bahwa aku perlahanlahan akan melupakan cinta masa
kecilku yang kutinggalkan itu. Dengan panik, aku berusaha mengenangnya dengan
putus asa, hanya agar aku sadar bahwa selain cinta, seraut wajah yang lama tak
kujumpai pada akhirnya akan memudar. Selama enam tahun yang kuhabiskan di Timur,
saat berkelana atau bekerja sebagai seorang sekretaris untuk seorang pejabat daerah, aku tahu bahwa
wajah yang kubayangkan bukan lagi wajah orang yang kucintai. Kemudian, dalam
waktu delapan tahun, aku melupakan apa yang telah kucamkan secara salah di
benakku pada saat aku berumur enam tahun, dan sekali lagi aku membayangkan
seraut wajah yang sepenuhnya berbeda. Dengan cara ini, di tahun kedua belas,
ketika aku kembali ke kotaku pada usia tiga puluh enam tahun, aku menjadi
terpukul saat menyadari bahwa wajah orang yang kucintai sudah lama
meninggalkanku. Banyak teman dan kerabat yang meninggal dalam waktu dua belas tahun pelarianku.
Aku mengunjungi kompleks pemakaman yang menghadap ke Golden Horn, dan berdoa
untuk ibuku, juga untuk paman-pamanku yang sudah meninggal dunia selama aku
pergi. Aroma tanah berlumpur berbaur dengan kenanganku. Seseorang telah
memecahkan bejana tanah liat di samping makam ibuku. Entah karena apa, begitu
aku menatap bejana yang terbelah itu, aku mulai menangis. Apakah aku menangis
karena kematian ibuku, atau aku menangisi kenyataan bahwa diriku ternyata masih
saja berada di awal kehidupanku setelah bertahun tahun berlalu" Atau apakah
karena aku tiba di ujung perjalanan hidupku" Sebongkah salju jatuh. Aku terpukau
melihat kepingan salju beterbangan di sana-sini. Aku menjadi sedemikian tersesat
ke dalam perubahan tak terduga dari kehidupanku, sehingga aku tidak memerhatikan
seekor anjing hitam menatapku dari sebuah sudut gelap pemakaman itu.
Hujan air mataku mereda. Aku menyeka hidungku. Aku melihat anjing hitam itu
menggoyang-goyangkan ekornya
bersahabat saat aku melangkah pergi dari pemakaman itu. Berapa waktu kemudian
aku sudah menetap di lingkungan kami, menyewa salah satu rumah yang pernah
ditinggali salah satu kerabatku dari pihak ayah. Sepertinya aku telah
mengingatkan nyonya pemilik rumah pada putranya yang dibunuh oleh serdadu-
serdadu Persia dari dinasti Safawiyah* sehingga dia bersedia membersihkan rumah
itu dan memasak untukku. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sepuas hati melewati jalanan, seakanakan aku
bukan sedang berdiam di Istanbul, melainkan tinggal sementara di salah satu kota
di Arab, di ujung lain dunia ini. Jalanan menjadi lebih sempit, atau begitulah
yang kurasakan. Di beberapa wilayah tertentu, di mana jalanan terjepit di antara
rumahrumah yang saling menyandar, aku terpaksa bergesekan dengan tembok dan
pintu, untuk menghindari terjangan kudakuda pengangkut beban yang sarat muatan.
Tidak ada lagi orangorang kaya, setidaknya begitulah yang kulihat. Aku
menyaksikan sebuah kereta yang dipenuhi hiasan, sebuah kereta kencana yang
ditarik oleh kudakuda yang sombong, seperti yang bisa ditemui di Arab atau
Persia. Di dekat "Pilar Terbakar", aku menyaksikan pengemis-pengemis
menjengkelkan yang berpakaian compang-camping, berkerumun saat aroma jeroan
melayang keluar dari pasar penjual ayam. Salah satu dari mereka yang tampaknya
buta, tersenyum saat ia mengamati salju yang berjatuhan.
Aku pernah mendengar cerita tentang betapa Istanbul pernah menjadi kota yang
lebih miskin, lebih kecil, dan lebih bahagia. Aku mungkin tidak memercayainya,
tetapi itulah kata hati nuraniku. Meskipun rumah kekasihku selalu
Sebuah dinasti yang berkuasa di Persia pada 1500-1733 dan berasal dari sebuah ?suku nomaden di Turki. Dinasti ini menyatakan mazhab Syiah sebagai agama negara.
berada di antara pepohonan limau dan kastanye, tetapi kini ada orang lain yang
mendiaminya. Aku mengetahuinya saat aku mengingat pintunya. Aku jadi tahu bahwa
ibunda kekasihku, bibiku dari pihak ibu, telah meninggal dunia, sementara
suaminya, Enishteku dan putrinya telah pindah dari tempat itu. Dari sinilah aku
tahu bahwa ayah dan anak perempuannya itu menjadi korban sebuah kesialan. Ada
orang asing yang membukakan pintu, yang dalam situasi seperti itu bias
dipastikan terjadi, tanpa sedikit pun menyadari betapa mereka sudah dengan kejam
membuatmu patah hati, atau betapa hal itu telah menghancurkan mimpi-mimpimu. Aku
tidak akan menceritakan semua ini padamu sekarang, tetapi izinkanlah aku berkata
bahwa saat aku mengingat harihari di musim panas yang cerah, hijau, dan hangat
di kebun tua itu, aku juga memerhatikan untaian es yang menggantung sebesar jari
kelingkingku di cabang-cabang pohon limau. Di sebuah tempat yang menyimpan
penderitaan, salju dan pengabaian hanya bisa membangkitkan kematian.
Aku sudah mengetahui apa yang terjadi pada kerabat-kerabatku dari surat yang
dikirimkan Enishteku padaku di Tabriz. Dalam suratnya itu, ia mengundangku
kembali ke Istanbul. Ia juga menjelaskan bahwa ia sedang menyiapkan sebuah kitab
rahasia untuk Sultan kami, dan bahwa ia membutuhkan bantuanku. Ia mendengar,
pada suatu masa saat aku berada di Tabriz, aku pernah membuat bukubuku untuk
para bangsawan Utsmaniyah",
Kesultanan utsmaniyah (orangorang Barat menyebutnya Ottoman) yang sebagian
?besar wilayahnya kini menjadi bagian Republik Turki didirikan oleh seorang
pejuang Turki Muslim bernama Utsman. Pada 1399 ia memimpin serangan terhadap
pemukiman orangorang Kristen Byzantium di bagian barat Anatolia. Ia lalu
mendirikan sebuah kerajaan kecil berbatasan dengan Kekaisaran Byzantium. Setelah
kematiannya pada 1334, para keturunannya memperluas kerajaannya
gubernur, dan orang orang terkemuka di Istanbul. Yang kulakukan kemudian adalah
menggunakan uang panjar dari para klien yang telah menata susunan manuskrip di
Istanbul untuk mencari para ilustrator dan penulis kaligrafi yang frustasi
karena perang dan kehadiran para serdadu Utsmaniyah. Namun, aku tidak juga
meninggalkan Kazin, ataupun kota Persia lainnya, dan para empu inilah yang
?mengeluhkan kemiskinan dan pengabaian yang kutugaskan untuk menuliskan,
?memberi ilustrasi, dan menjilid halamanhalaman manuskrip yang akan kukirimkan
kembali ke Istanbul itu. Kalau bukan karena kecintaan terhadap ilustrasi dan
bukubuku bermutu yang ditanamkan Enishteku padaku di masa mudaku, aku tidak akan
pernah melibatkan diri dalam pencarian semacam ini.
Di pasar di ujung jalan, tempat Enishteku pernah tinggal, aku menemukan seorang
tukang cukur, seorang ahli, di kedai cukurnya, di antara jejeran cermin, pisau-
pisau silet yang lurus, bejana-bejana air, sabun, dan sikat. Aku bersirobok
pandang dengannya, tetapi aku tidak yakin ia mengenaliku. Menyenangkan rasanya
melihat baskom tempat keramas yang digantungkan dari langit-langit dengan sebuah
rantai masih saja menunjukkan kemiringan yang sama, berayun ke depan dan ke
belakang saat ia mengisinya dengan air panas.
Lingkungan sekitar dan jalanan yang sama yang sering kulewati di masa kecilku
telah menghilang ditelan debu dan asap, berganti dengan puingpuing reruntuhan,
di mana anjing anjing liar berkeliaran dan para pendatang gila menakut-nakuti
anakanak setempat. Di wilayah lainnya yang juga dihancurkan api, rumahrumah
orang kaya yang megah dan luas telah didirikan, dan aku
hingga menjelma menjadi salah satu imperium terkuat sepanjang sejarah sampai
kejatuhannya pada 1933. terpana melihat kemegahannya, terpukau oleh jendelajendela yang dihiasi kaca
patri Venesia yang paling mahal, dan rumahrumah dua lantai dengan jendela
jendela yang menonjol tergantung pada dindingdinding tinggi menjulang.
Seperti juga di kotakota lainnya, uang tidak lagi bernilai di Istanbul. Di saat
aku kembali dari Timur, para tukang roti yang dulu menjual sekeping roti yang


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat besar senilai seratus drachma dengan harga satu keping koin perak, kini
memanggang roti dengan ukuran setengahnya untuk dijual dengan harga yang sama,
dan roti-roti itu tidak lagi selezat di masa kecilku. Pernah almarhumah ibuku
ketika dia terpaksa membelanjakan tiga keping perak untuk selusin telur, lalu
berkata, "Kita harus segera pergi sebelum ayam-ayam jadi sedemikian manja,
sehingga mereka berak di atas tubuh kita, bukan di tanah." Namun, aku tahu
masalah berkurangnya nilai uang itu terjadi juga di mana-mana. Kabar burung
beredar bahwa kapal-kapal dagang Flanders* dan Venesia sudah dipenuhi berpeti-
peti koin palsu. Di pabrik uang logam istana, di mana lima ratus keping uang
dibuat sekaligus dari seratus drachma perak, kini, setelah dikeruk habis untuk
perang tak berkesudahan dengan orang orang Persia, delapan ratus keping uang
dibuat dari jumlah yang sama. Ketika para tentara Turki menemukan koinkoin yang
mereka bayarkan sesungguhnya mengambang di Golden Horn bagaikan biji-bijian
kering yang berjatuhan di dok kapal para pedagang sayuran, mereka rusuh,
mengepung istana Sultan Kami seolaholah tempat itu
Sebuah wilayah di bagian barat laut Eropa yang sepenuhnya merdeka sekitar abad?kesebelas hingga abad keempat belas. Saat ini wilayah tersebut sama dengan
gabungan propinsi-propinsi Flanders di Belgia, wilayah Nord di Prancis, dan
sebagian provinsi Zeelanddi Belanda.
adalah benteng musuh mereka.
Seorang ulama bernama Nusret yang berdakwah di Masjid Bayazid dan mengaku
memiliki hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad, telah membuat namanya masyhur
dalam masa kehancuran moral, inflasi, kejahatan, dan pencurian ini. Hoja ini,
yang berasal dari sebuah kota kecil Erzurum, menganggap semua bencana yang
menimpa Istanbul di sepuluh tahun terakhir ini termasuk kebakaran di distrik
?Bahcekapi dan Kazanjilar, wabah penyakit yang memakan korban puluhan ribu jiwa,
perang tak berkesudahan dengan Persia yang harus dibayar oleh nyawa yang tak
terhitung jumlahnya, dan kehilangan atas sebuah benteng Utsmaniyah kecil di
bagian barat karena dirampas orangorang Kristen dalam revolusi disebabkan kami
sudah melangkah terlalu jauh dari jalan yang dicontohkan oleh Nabi kami, karena
kami mengabaikan ajaran Alquran, karena kami bertoleransi pada orang Kristen,
karena kami membiarkan perdagangan anggur, dan karena kami memainkan alat-alat
musik di rumahrumah para pengikut ajaran sufi.
Penjual acar yang dengan penuh semangat memberitahuku tentang ulama dari Erzurum
itu berkata bahwa koinkoin palsu ducat baru, koinkoin Inggris yang bergambar
?singa, dan koinkoin Utsmaniyah yang terbuat dari perak yang bisa luntur yang
?mengalir di pasar dan bazar-bazar, seperti koinkoin Sirkasia, Abkhazia,
Mingaria, Bosnia, Georgia, dan Armenia, yang beredar di jalanan, telah menyeret
kami pada kemunduran, karena akan sulit sekali melepaskan diri dari keadaan
tersebut. Aku diberi tahu bahwa berandal-berandal dan para pemberontak itu
berkumpul di kedaikedai kopi, dan melakukan pemurtadan sampai fajar menyingsing;
orangorang melarat berwatak peragu, orangorang yang kecanduan opium, dan para
pengikut tarekat sufi Kalenderi yang mengaku berada di jalan Allah dan
menghabiskan malam mereka di rumah sufi, menari-nari diiringi musik, melubangi
tubuh mereka dengan besi dan melakukan segala perbuatan bejat, sebelum akhirnya
bersanggama dengan ganas dengan sesama mereka sendiri dan sembarang bocah
lakilaki yang mereka temui.
Aku tak tahu apakah suara merdu sitar yang meng-gerakkanku mengikuti melodinya,
atau apakah dalam kekacauan kenangan-kenangan dan gairah-gairahku, aku jadi
merasa tak tahan pada si penjual acar yang licik ini dan mengikuti suara musik
sebagai jalan untuk terlepas dari percakapan tersebut. Meskipun demikian, aku
mengetahui satu hal: Saat kau mencintai sebuah kota, dan sering menjelajahinya
dengan berjalan kaki, tubuhmu, apa lagi jiwamu, akan mengenal segala sudut
jalannya dengan baik setelah beberapa tahun merasakan semacam kesedihan yang
akan terbangkitkan hanya oleh segumpal kecil salju yang jatuh. Kau akan
menemukan tungkai-tungkai kakimu menyeret tubuhmu dengan sendirinya ke salah
satu sudut dunia kesukaanmu.
Begitulah yang terjadi saat aku meninggalkan Pasar Farrier dan berakhir dengan
mengamati salju yang jatuh ke Golden Horn dari satu sudut di samping Masjid
Sulaiman: salju telah mulai menggunung di atas atap yang menghadap ke utara, dan
di bagian kubah yang terkena embusan angin timur laut. Sebuah kapal mendekat,
tiang-tiang layarnya sudah diturunkan, menyapaku dengan kibaran kanvasnya.
Layarnya berwarna kelabu seperti kabut di permukaan Golden Horn. Pepohonan
cemara, atap-atap rumah, kepiluan di senja hari,
suarasuara yang terdengar dari lingkungan perumahan di bawah sana, pekikan
burungburung elang dan jeritan anakanak yang bermain di halaman masjid,
bercampur baur dalam kepalaku, seakanakan mengumumkan dengan penuh empati bahwa
pada akhirnya, aku tidak bisa hidup di mana pun kecuali di kota mereka. Aku
merasakan sensasi di mana wajah orang yang kucintai, yang telah menghilang
dariku selama bertahuntahun, tibatiba saja bisa muncul di hadapanku.
Aku mulai berjalan perlahan menuruni bukit dan berbaur dengan kerumunan orang.
Selepas Azan isya, aku mengisi perut di kedai jeroan. Di kedai yang kosong itu,
aku menyimak suara si pemilik yang dengan bersemangat mengamatiku makan sesuap
demi sesuap, seakanakan ia baru saja memberi makan seekor kucing. Dengan
mengikuti tanda yang diberikan olehnya ke suatu arah, aku lalu menemukan diriku
berbelok menuruni gang-gang sempit di belakang pasar budak tentu saja setelah ?jalanan menjadi gelap dan menemukan sebuah kedai kopi.
?Di dalam kedai itu begitu ramai dan hangat. Si pendongeng, seperti yang
kusaksikan di Tabriz dan kotakota di Persia, dan yang dikenal sebagai "penyeru
tirai", sedang bercerita di sebuah panggung kecil di samping tungku dengan kayu-
kayu yang terbakar. Ia telah membentangkan dan menggantungkan sebuah lukisan di
depan hadirin, lukisan seekor anjing yang dibuat dengan tergesa di atas selembar
kertas, tetapi dengan keanggunan tertentu. Ia memberi suara pada anjing itu, dan
menunjuk-nunjuk lukisan itu berkali-kali.[]
Bab 3 AKU ADALAH SEEKOR ANJING SEBAGAIMANA YANG bisa kalian katakan tanpa ragu, kawan-kawanku tersayang, gigi
gigiku panjang dan ujungnya runcing, dan nyaris tidak muat di mulutku. Aku tahu
hal ini memberiku penampilan yang menyeramkan, tetapi menyenangkanku. Mengetahui
ukuran gigiku, seorang tukang jagal pernah berkata dengan berani, "Ya, Tuhan,
itu sama sekali bukan anjing. Itu adalah seekor celeng!"
Aku menggigit kakinya dengan amat keras, hingga gigigigiku terhunjam sangat
dalam menembus dagingnya yang gempal hingga ke tulangnya yang terasa keras. Bagi
seekor anjing, kalian tahu, tidak ada yang bisa lebih memuaskan selain
membenamkan gigi ke tubuh musuh yang malang untuk memuaskan sebuah kemarahan
naluriah. Saat kesempatan seperti itu hadir, yakni ketika korbanku yang memang
patut kugigit dengan bodoh dan tanpa sadar melewatiku, gigigigiku terasa sakit
dan ngilu menantikannya, kepalaku berputar dengan kerinduan yang bahkan tanpa
arti, lalu aku menggeram dan bulu-buluku meremang.
Aku adalah seekor anjing, dan karena kalian para manusia adalah binatang-
binatang yang kurang rasional daripada aku, kalian katakan saja pada diri
kalian, "Anjinganjing tidak berbicara!" Namun, kalian sepertinya
memercayai sebuah kisah di mana mayatmayat bias bicara dan tokoh-tokoh
menggunakan rangkaian katakata yang tidak mungkin bisa mereka mengerti.
Anjinganjing bisa berbicara, tetapi hanya pada mereka yang tahu bagaimana
mendengarkannya. Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang jauh, seorang ulama dari sebuah
kota pedalaman tiba di salah satu masjid terbesar di ibukota. Baiklah, sebut
saja itu Masjid Bayazid. Selayaknya kita menyembunyikan namanya, jadi mari kita
anggap saja ulama ini sebagai "Husret Hoja." Tetapi mengapa aku harus menutup-
nutupi hal lain lagi: Lakilaki ini adalah seorang ulama bodoh. Ia mengarang-
ngarang kemajuan intelektualnya dengan kekuatan lidahnya. Setiap Jumat, ia
begitu asyik dengan jamaahnya. Ia membuat mereka menangis, sehingga beberapa di
antaranya akan meratapratap hingga pingsan atau kelelahan dan lemas. Jangan
salah sangka, tidak seperti ulama-ulama lainnya yang dianugerahi kemampuan
berdakwah, ia sendiri tidak menangis. Sebaliknya, saat para jamaahnya menangis,
ia semakin bersemangat menyampaikan ceramahnya tanpa berkedip sedetik pun,
seolaholah sedang menghukum mereka. Dalam semua kemungkinan, para tukang kebun,
pelayan-pelayan kerajaan, para pembuat halva*, para gelandangan, dan ulama-ulama
lainnya seperti dirinya, menjadi pengikutnya yang setia, karena mereka menikmati
aksi silat lidahnya. Baiklah, lakilaki ini memang sama sekali bukan anjing,
tidak, ia adalah seorang manusia yang harus bersikap buruk untuk menjadi
manusia dan di hadapan khalayak yang terpesona, ia kehilangan dirinya sendiri. ?Ketika ia menyaksikan kerumunan orang yang
Makanan khas Timur Tengah terbuat dari biji-biji wijen yang sudah ditumbuk,
?lalu dicampur dengan madu, dan dibubuhi kacang, cokelat, atau bahan lainnya.
membeo padanya, itu sama menyenangkannya dengan membuat mereka menangis. Saat ia
paham bahwa ada lebih banyak roti yang bisa dibuat dalam garapan baru ini, ia
terus maju dan berani berkata sebagai berikut:
"Satusatunya alasan kenaikan harga-harga, mewabahnya penyakit dan kekalahan
militer, ada pada kealpaan kita terhadap Islam di masa Nabi Besar kita dan kita
jadi terhanyut dalam kepalsuan. Apakah kisah kelahiran Nabi kita dibacakan untuk
mengenang hari wafatnya pada zaman dahulu" Apakah perayaan hari keempat puluh
dilaksanakan, di manakah makanan manis seperti halva dan adonan tepung goreng
dipersembahkan bagi mereka yang sudah mati" Ketika Nabi Muhammad masih hidup,
apakah Alquran yang mulia dibacakan dengan sedemikian merdunya seperti sebuah
lagu" Apakah para jamaah dipanggil dengan suara kencang dan dengan riang gembira
untuk menunjukkan betapa dekatnya seorang Arab dengan orang Arab lainnya" Apakah
pernah ada azan dikumandangkan dengan malumalu, dengan kelembutan seorang
lakilaki yang menyerupai perempuan" Hari ini, orang merata ratap di depan nisan
kubur, memohon penebusan dosa. Mereka berdoa dengan keterlibatan mereka yang
sudah mati atas nama diri mereka. Mereka menziarahi kuburan orangorang suci dan
memuja makam bagaikan orang tak beragama di depan bongkahan batu. Mereka
mengikatkan simbol kain di mana-mana, dan bersumpah akan balas berkorban sebagai
penebusan dosa. Adakah anggota tarekat sufi yang menyebarkan keyakinan mereka di
zaman Muhammad" Ibnu Arabi, guru dari tarekat-tarekat ini, telah berdosa dengan
bersumpah bahwa Firaun yang kafir itu mati sebagai seorang mukmin. Orangorang
sufi ini, kaum Maulawi, Halawi, dan Kalenderis, dan mereka yang menyanyikan Alquran dengan
iringan musik, atau membolehkan tahan dengan anakanak dan remaja, dengan berkata
bahwa 'Kita toh sembahyang juga, bukan"1 semuanya adalah orangorang kafir.
Pondok-pondok para sufi harus dihancurkan, fondasinya harus dibongkar, dan tanah
yang terkumpul harus dibuang ke laut. Hanya setelah itulah salat wajib bisa
dilakukan lagi di sana."
Aku mendengar selentingan bahwa Husret Hoja memperluas persoalan ini jauh lebih
parah lagi, dengan membuat pernyataan berikut, disertai ludah yang beterbangan
keluar dari mulutnya, "Oh, jamaahku yang taat! Minum kopi adalah sebuah dosa
besar! Nabi Besar kita tidak minum kopi karena beliau tahu kopi akan menumpulkan
kecerdasan, mengakibatkan bisul, hernia, dan kemandulan. Beliau paham bahwa kopi
tak lain hanyalah perangkap Iblis. Kedaikedai kopi adalah tempat para pencari
kenikmatan yang kaya raya, duduk beradu lutut, melibatkan diri dalam perilaku-
perilaku yang kasar. Pada kenyataannya, bahkan sebelum pondok-pondok sufi
ditutup, kedai kopi seharusnya juga dilarang buka. Apakah para fakir miskin
punya cukup uang untuk minum kopi" Para lelaki membiasakan diri mengunjungi
tempattempat ini, terpikat oleh kopi dan kehilangan kendali mental mereka,
hingga ke titik di mana mereka mendengarkan dan memercayai apa yang dikatakan
oleh anjing dan anjing buduk. Mereka yang mengutukku dan agama kita adalah
anjinganjing buduk yang sesungguhnya."
Dengan izin kalian, aku ingin menanggapi komentar terakhir yang dikeluarkan
ulama agung ini. Tentu saja, sudah menjadi rahasia umum bahwa para haji, hoja,
ulama, dan pendakwah memandang rendah terhadap anjing. Menurut pendapatku,
seluruh persoalan ini berkaitan dengan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dan
rahmat Tuhan menyertai beliau, yang memilih merobek secarik kain jubahnya yang
sedang ditiduri seekor kucing daripada membangunkan binatang itu. Dengan
menunjukkan kasih sayang pada seekor kucing yang tanpa sengaja tidak dilakukan
pada kami para anjing, dan berdasarkan pertikaian abadi kami dengan hewan ini,
yang oleh manusia paling tolol sekalipun dilihat sebagai perbuatan tak tahu
terima kasih, orangorang menyimpulkan bahwa Nabi sendiri tidak menyukai anjing.
Mereka percaya kami akan mengotori mereka yang telah berwudu, dan akibat
kekeliruan dan keyakinan yang semu ini kami dilarang masuk masjid selama
berabadabad, dan kami didera pukulan-pukulan di halaman masjid oleh gagang sapu
penjaga masjid. Izinkan aku mengingatkan kalian tentang "Al-Kahfi", surah paling indah dalam
Alquran. Aku mengingatkan kalian bukan karena aku curiga ada banyak orang yang
tidak pernah membaca Alquran di antara kita di kedai minum yang bagus ini,
melainkan karena aku sekadar ingin mengembalikan ingatan kalian: Surah ini
menceritakan kisah tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup di antara
orangorang yang tak beragama, dan akhirnya mereka mengungsi ke dalam sebuah gua,
di mana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama. Allah lalu mengunci telinga
mereka, dan membuat mereka tertidur selama tiga ratus sembilan tahun. Ketika
mereka terbangun, mereka baru menyadari betapa lama tahun telah berganti saat
salah seorang dari mereka mendatangi kumpulan orang dan hendak membelanjakan
uang logam yang sudah tidak
berlaku. Mereka semua terpana menyaksikan apa yang sudah terjadi. Surah ini
dengan gamblang menceritakan keterikatan manusia dengan Allah. Mujizat Allah
yang membuat perubahan masa secara alami dan kenikmatan tidur yang sangat
nyenyak. Dan meskipun itu bukan wewenangku, izinkan aku mengingatkan kalian ayat
kedelapan belas surah ini yang menyebutkan tentang seekor anjing yang
beristirahat di mulut gua tempat ketujuh pemuda itu tertidur.* Jelas sekali,
siapa saja akan merasa sangat bangga disebutkan di dalam Alquran. Sebagai seekor
anjing, aku bangga pada surah ini, dan karenanya aku berniat membuat para
pengikut Erzurumi yang menganggap musuhmusuhnya sebagai anjing buduk, tersadar.
Maka, apakah alasan sesungguhnya atas rasa jijik terhadap anjing" Mengapa kalian
begitu kukuh berpendapat bahwa anjing itu najis, dan kalian akan membersihkan
serta menyucikan rumah kalian dari atas hingga bawah jika seekor anjing tak
sengaja memasukinya" Mengapa kalian meyakini bahwa mereka yang tersentuh oleh
kami akan batal wudunya" Jika jubah kalian bergesekan dengan bulu kami, mengapa
kalian tetap harus mencuci kain itu tujuh kali seperti seorang perempuan kalap"
Para perajin timah seharusnya bertanggung jawab terhadap fitnah bahwa bejana
miring yang telah dijilat oleh seekor anjing harus dilemparkan, dibuang, atau
dilebur kembali. Atau mungkin itu adalah ulah para kucing ....
Ketika orangorang meninggalkan desa mereka untuk menetap di kota, anjinganjing
gembala tetap di *"Dankamu mengira mereka bangun, padahal mereka tidur, dan Kami menggerak
gerakkan mereka ke kanan dan ke kiri, dan anjing mereka membentangkan kakinya di
mulut gua...." (Q.S. 18:18)
pedesaan, itulah saat ketika gunjingan tentang kenistaan anjinganjing sepertiku
mulai tersebar ke mana-mana. Sebelum Islam berkembang, dua dari dua belas bulan
dalam setahun dinamai "bulan anjing." Sekarang, seekor anjing dianggap pertanda
buruk. Aku tidak ingin membebanimu dengan masalahku sendiri, teman-temanku
tercinta yang datang untuk mendengar cerita dan merenungkan
maknanya sejujurnya, kemarahanku bangkit karena serangan ulama agung itu ?terhadap kedaikedai kopi kita.
Bagaimana menurutmu jika aku berkata bahwa Husret dari Erzurum ini terlahir tak
bermoral" Tetapi mereka juga mengatakan hal yang sama terhadapku, "Anjing macam
apa dirimu ini menurutmu" Kau menyerang seorang ulama yang lemah karena tuanmu
adalah seorang pendongeng yang menggantungkan gambar, yang menceritakan kisah-
kisahnya di kedaikedai kopi, dan kauingin melindunginya. Enyah kau, najis!"
Astaghfirullah, aku tidak sedang menjelek-jelekkan siapa pun, tetapi seorang
penggemar setia kedaikedai kopi kita. Kalian tahu, aku tidak bermasalah dengan
kenyataan bahwa gambarku dilukiskan di atas sehelai kertas murahan, atau bahwa
aku adalah binatang berkaki empat, tetapi aku sungguh menyesal bahwa aku tidak
bisa duduk seperti manusia, dan mereguk secangkir kopi bersama kalian. Kami akan
mati untuk kopi dan kedaikedai kopi apakah ini sebenarnya" Lihatlah, tuanku
?sedang menuangkan kopi untukku dari sebuah poci kopi kecil. Sebuah gambar tidak
bisa meminum kopi, katamu" Ayolah! Lihatlah sendiri, anjing ini melompat keluar
dengan riangnya. Ah, ya, hal itu mengena dengan tepat, menyemangati-ku, menajamkan penglihatanku,
dan mempercepat daya pikirku. Sekarang dengarkan apa yang akan kuceritakan padamu: Selain gulungan
sutra Cina dan gerabah Cina yang dihiasi bebungaan biru, apa lagi yang
dikirimkan Hakim Agung Venesia kepada Nurhayat Sultan, putri Sultan yang kita
hormati" Seekor anjing betina yang berbulu lembut dan menggemaskan dengan jubah
sutra dan bulu musang. Aku mendengar bahwa binatang betina ini begitu
dimanjakan, dia juga memiliki pakaian sutra berwarna merah, Salah seorang teman
kami telah bersanggama dengan anjing betina itu, itu sebabnya aku mengetahuinya,
dan anjing betina itu bahkan tidak bisa beraksi tanpa pakaiannya. Di negeri
asalnya di tanah orangorang Franku, semua anjing berpakaian seperti itu. Aku
mendengar cerita bahwa di sana ada seorang perempuan yang dianggap anggun dan
berasal dari keturunan ningrat Venesia melihat seekor anjing telanjang atau
?mungkin perempuan ini melihat kelamin si anjing. Aku tidak yakin kemudian dia
?menjerit, "Ya Tuhanku, anjing itu telanjang!" Dia jatuh pingsan dan kemudian
mati. Di negerinegeri orangorang kafir Frank, yang mereka sebut bangsa Eropa, setiap


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anjing memiliki seorang majikan. Binatang-binatang malang ini diarak di jalanan
dengan rantai membelit leher mereka, mereka dikekang bagaikan para budak yang
paling merana, dan diseret ke mana-mana dalam kekangan itu. Orangorang Frank ini
memaksa binatang binatang malang ini memasuki rumah mereka, bahkan ranjang
mereka. Anjing tidak diizinkan berjalan dengan sesamanya, apalagi dibiarkan
mendengus-dengus dan bermain bersama-sama. Dalam kondisi yang "pantas" tersebut,
terkekang rantai, mereka 11 Sebutan terhadap orangorang Kristen dari Eropa.
tidak bias melakukan apa pun selain saling memandang dengan frustasi satu sama
lain dari kejauhan saat mereka berpapasan di jalan. Anjing yang menggelandang di
jalanan Istanbul dengan bebas di petipeti dagangan dan berbaur dengan keramaian
masyarakat, seperti kami, anjing anjing yang kalau perlu bisa mengancam manusia,
yang bisa bergelung di sudut hangat atau menggeliatgeliat di tempat teduh, dan
tidur dengan damai, serta anjinganjing yang bias berak di mana pun mereka mau
dan menggigiti apa pun yang mereka inginkan, anjinganjing semacam itu berada di
luar jangkauan pikiran orangorang kafir itu. Bukan berarti aku tidak pernah
memikirkan bahwa mungkin inilah alasan para pengikut Erzurumi menentang doa
untuk anjing dan memberi makan daging pada mereka di jalanan Istanbul, dan
bahkan mengapa mereka menentang kemurahan hati yang melakukan jasa-jasa semacam
itu. Jika mereka berniat memperlakukan anjing sebagai musuh dan menjadikan kami
kaum kafir, maka biarlah aku ingatkan mereka bahwa menjadi musuh bagi anjing dan
menjadi kafir adalah sesuatu yang sama. Kuharap, orangorang memalukan ini akan
segera mendapatkan hukuman. Aku berdoa agar teman-teman kami para algojo itu
mengundang kami untuk ikut menggigit, sebagaimana yang terkadang mereka lakukan
untuk memberi contoh. Sebelum kutuntaskan, izinkan aku mengatakan ini: Majikanku yang sebelumnya
adalah seorang lakilaki yang adil. Ketika kami keluar rumah di malam hari untuk
mencuri, kami bekerja sama. Aku akan menggonggong, dan pada saat yang sama ia
akan menggorok leher korban kami yang jeritan kencangnya pasti akan teredam
suara gonggonganku. Sebagai balasan atas bantuanku, ia akan
memotong sedikit bagian tubuh lakilaki yang dihukumnya itu, merebusnya, dan
memberikannya padaku untuk kumakan. Aku tidak suka daging mentah. Atas izin
Tuhan, algojo yang akan menghukum mati ulama dari Erzurum itu akan mengingat hal
ini, jadi aku tidak akan membuat mual perutku dengan menyantap daging mentah
bajingan itu.[] Bab 4 AKU AKAN DISEBUT SEORANG PEMBUNUH -- TIDAK, AKU tak mau percaya aku bisa mencabut nyawa orang, bahkan andai aku
diberi tahu tentang itu sesaat sebelum aku membunuh si bodoh itu sekalipun. Dan
karenanya, kejahatanku itu menjauh dari diriku bagaikan sebuah kapal asing yang
lenyap di cakrawala. Kini sekali lagi, aku bahkan merasa seolaholah tidak pernah
melakukan kejahatan apa pun. Empat hari berlalu sejak aku harus melakukan itu
pada Elok yang bukan saudaraku, dan baru saat inilah aku bisa menerima
keadaanku. Aku lebih senang menuntaskan dilema yang tak terduga dan mengerikan ini tanpa
harus menghilangkan nyawa siapa pun. Namun, aku sadar tidak ada pilihan lain.
Aku menangani persoalan ini, menanggung beban tanggung jawab ini. Aku tidak bisa
membiarkan tuduhan palsu seorang lakilaki bodoh membahayakan seluruh masyarakat
ilustrator. Meski demikian, menjadi seorang pembunuh ternyata harus membiasakan diri. Aku
tidak tahan berada di rumah, jadi aku mengeluyur keluar ke jalanan. Aku tidak
tahan berada di satu ruas jalan, maka aku mengambil jalan lain, lalu jalan
lainnya lagi. Ketika aku menatap wajah orangorang, aku sadar bahwa sebagian
besar dari mereka merasa yakin bahwa mereka tidak bersalah,
karena mereka belum pernah memiliki kesempatan menghilangkan nyawa orang. Sulit
dipercaya bahwa sebagian besar orang memiliki moral lebih tinggi, atau lebih
baik dariku, hanya karena satu tikungan nasib. Terlebih lagi, mereka menampakkan
ekspresi wajah yang lebih bodoh, karena mereka belum pernah membunuh. Dan
seperti orangorang tolol, mereka tampak memiliki niat baik. Setelah aku
menangani lelaki menyedihkan itu, aku menelusuri jalanan Istanbul selama empat
hari, dan itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa siapa pun dengan sorot mata
yang membiaskan kepandaian dan bayangbayang jiwa yang melintas di wajahnya
adalah seorang pembunuh tersembunyi. Hanya orangorang idiot yang tak berdosa.
Malam ini, contohnya, saat aku menghangatkan diri dengan secangkir kopi panas di
sebuah kedai kopi di jalanan belakang pasar budak, aku menatap selintas gambar
seekor anjing yang tergantung di dinding belakang, perlahanlahan aku bisa
melupakan kemalanganku dan ikut tertawa-tawa dengan mereka, menertawakan apa pun
yang diceritakan si anjing. Kemudian, aku merasakan sensasi seakanakan salah
seorang lakilaki yang berada di sampingku adalah seorang pembunuh biasa seperti
diriku sendiri. Meskipun ia hanya menertawakan si pendongeng sepertiku, naluriku
menyala, entah dari gaya tangannya yang diletakkan di dekat lenganku, atau dari
cara jemarinya menggenggam cangkirnya dengan gelisah. Aku tidak yakin bagaimana
aku bias mengetahuinya, tetapi tibatiba saja aku menoleh dan menatap langsung ke
arah matanya. Ia tampak terpaku sejenak dan wajahnya berkerut. Begitu orang
orang bercerai berai, salah seorang temannya
meraih tangannya dan berkata, "Orangorang Nusret Hoja pasti akan menyerbu tempat
ini." Sambil mengangkat salah satu alis matanya, ia memberi tanda pada lakilaki itu
untuk tenang. Ketakutan mereka memengaruhiku. Tak seorang pun memercayai siapa
pun. Siapa pun bias dibunuh saat itu juga oleh lakilaki yang ada di sampingnya.
Tempat itu jadi semakin dingin. Salju menggunung di sudutsudut jalan dan kaki-
kaki dinding. Di malam buta aku bias menemukan jalan sepanjang gang-gang kecil
hanya dengan merabaraba menggunakan kedua tanganku. Beberapa kali, pendar cahaya
lampu minyak yang masih menyala di suatu tempat di dalam rumah kayu menyelinap
keluar dari balik jendela jendela yang sudah gelap dan dari daun-daun jendela
yang tertutup. Pendar cahaya itu membias di atas salju. Namun, seringnya aku
tidak melihat apa-apa, maka aku menemukan jalanku dengan mendengarkan suarasuara
para penjaga malam yang memukulmukulkan tongkat mereka di atas batu, aku juga
mendengarkan lolongan anjinganjing gila, atau sekadar suarasuara samar dari
dalam rumahrumah itu. Terkadang loronglorong yang begitu sempit dan mematikan di
kota itu seakanakan diterangi cercahan cahaya ajaib yang dating dari salju. Dan
di tengah kegelapan, di antara puingpuing dan pepohonan, aku mengira telah
melihat salah satu hantu yang telah menjadikan Istanbul sebuah kota yang
menyeramkan selama ribuan tahun. Dari dalam rumahrumah itu, sesekali aku
mendengar suara orangorang malang yang terbatuk-batuk kencang, mendengkur, atau
meratapratap seperti jika mereka mengigau. Atau sesekali aku mendengar teriakan
para suami dan istri mereka ketika
mereka mencoba saling mencekik, dan anakanak mereka menangis terisakisak di kaki
mereka. Selama dua malam berturut-turut, aku mendatangi kedai kopi ini untuk merasakan
kembali kebahagiaan yang pernah kurasakan sebelum menjadi seorang pembunuh. Aku
ingin membangkitkan gairah dan semangatku, dan mendengarkan si pendongeng.
Sebagian besar di antara teman-teman ilustratorku, kelompok persaudaraan
tempatku membagi seluruh hidupku, datang ke tempat ini setiap malam. Semenjak
aku membungkam si dungu, seseorang yang telah menjadi temanku menggambar sejak
kecil, aku tidak ingin lagi bertemu dengan siapa pun dari mereka. Banyak hal
yang memalukan bagiku tentang kehidupan kelompok persaudaraanku itu, yang tak
bisa bekerja tanpa bergunjing, dan tentang suasana riang yang memalukan di
tempat ini. Aku bahkan membuat sketsa beberapa gambar untuk si pendongeng agar
mereka tidak menuduhku berkhianat, tetapi itu pun gagal mengakhiri kecemburuan
mereka. Mereka punya alasan kuat untuk cemburu. Tak satu pun di antara mereka yang bias
melebihi kemampuanku dalam mencampur warna, dalam mencipta dan menghiasi tepian
gambar, dalam menyusun halamanhalaman buku, memilih bahan cerita, menggambar
wajah, menyusun adegan peperangan dan perburuan yang seru, dan melukiskan
binatang-binatang buas, para sultan, perahu-perahu, kuda, prajurit, dan kekasih-
kekasih. Tak seorang pun yang bisa mendekati tingkat keahlianku dalam
mengejawantahkan puisi jiwa ke dalam lukisan, juga dalam hal menyepuh dengan
emas sekalipun. Aku tidak sedang membual, tetapi menjabarkan semua ini padamu,
agar kau sepenuhnya memahamiku. Dengan berlalunya
waktu, kecemburuan itu menjadi unsur yang sedemikian penting, seperti lukisan
dalam hidup seorang empu seni rupa.
Dalam masa jalan-jalanku, yang menjadi semakin lama saja karena terusmenerus
kulakukan tanpa henti, aku terkadang berpapasan muka dengan salah seorang
penduduk desa yang lugu dan taat beragama, dan sebuah gagasan aneh mendarat di
benakku: jika aku memikirkan kenyataan bahwa diriku ini seorang pembunuh, orang
di depanku ini mungkin akan mampu membacanya di wajahku. Oleh karena itu, aku
mendorong diriku sendiri untuk memikirkan hal lain, seperti saat aku memaksakan
diri, dengan mengesampingkan rasa malu, memupus pikiranpikiranku tentang
perempuan saat aku melakukan salat sebagai seorang lelaki dewasa. Namun, tidak
seperti di masa mudaku, ketika aku tidak mampu membuang bayangan tentang adegan
persanggamaan dari benakku, kali ini aku benarbenar bias melupakan pembunuhan
yang sudah kulakukan. Sadarkah kau, pada kenyataannya, bahwa aku menjelaskan semua ini karena setiap
rincian kisah ini berhubungan dengan kesulitanku. Namun, jika aku harus
mengungkapkan satu detail saja yang berhubungan dengan pembunuhan itu, kau akan
mampu membayangkan semuanya dan ini akan melegakanku. Aku akan lega karena
terbebas dari predikat seseorang yang tak bernama, menjadi pembunuh tak berwajah
yang gentayangan di antara kalian seperti hantu, dan menjatuhkanku ke status
seorang biasa, seorang penjahat yang mengakui kejahatannya dan kemudian
menyerahkan diri untuk membayar kejahatannya dengan kepalanya. Izinkan aku untuk
tidak berpanjang panjang pada setiap detail, biarkan aku menyimpan beberapa petunjuknya untukku sendiri:
Cobalah temukan siapa diriku dari pilihan katakata dan warna-warnaku, layaknya
orang orang cermat sepertimu meneliti jejak kaki untuk menangkap seorang
pencuri. Sebaliknya, ini akan membawa kita ke masalah "gaya", yang kini menjadi
ketertarikan yang meluas: Apakah seorang ilustrator memiliki gaya sendiri"
Penggunaan warna sendiri, suaranya sendiri"
Mari kita pertimbangkan sebuah karya Bihzad, empu segala empu, orang suci yang
diteladani oleh segenap ilustrator. Aku sempat melihat karya besar ini, yang
juga amat sepadan dengan situasi yang kuhadapi sekarang, karena lukisan ini
menggambarkan sebuah pembunuhan, di antara berhalaman-halaman buku berusia
sembilan puluh tahun aliran Herat yang benarbenar sempurna. Buku ini berasal
dari perpustakaan seorang pangeran Persia yang terbunuh dalam peperangan dahsyat
untuk memperebutkan kekuasaan, dan isinya menceritakan kembali kisah Hiisrev dan
Shirin. Kau, tentu saja, mengetahui nasib Hiisrev dan Shirin, aku mengacu pada
versi Nizami, bukan Firdausi:
Sepasang kekasih itu akhirnya menikah setelah diterpa sejumlah cobaan dan
guncangan. Namun, Shiruye yang muda dan lalim, anak lakilaki Hiisrev dari
istrinya yang terdahulu, tidak akan membiarkan mereka merasakan kedamaian.
Pangeran ini tidak hanya mengincar tahta sang ayah, melainkan juga istri
mudanya, Shirin. Shiruye, yang seperti ditulis oleh Nizami, "Napasnya menebarkan
bau rongga mulut seekor singa," lewat caracara licik, berhasil mengambil alih
takhta, Suatu malam, ia memasuki kamar tidur ayahnya dan Shirin, ia merabaraba
dalam gelap, dan begitu menemukan pasangan itu di atas ranjang mereka, ia menikam dada
ayahnya dengan belatinya. Maka, darah sang ayah mengalir deras hingga fajar
tiba, ia pun tewas di atas ranjang yang ditidurinya bersama si jelita Shirin
yang tetap tertidur lelap di sampingnya.
Adegan yang dilukis oleh Bihzad ini, seperti kisahnya sendiri, menampakkan
ketakutan akan kematian yang kubawa-bawa dalam diriku selama bertahuntahun:
Kengerian ketika terjaga dalam kelam malam, menyadari ada seorang asing yang
menimbulkan suarasuara samar saat ia mengendap-endap di kegelapan kamar! Aku
membayangkan si penyusup itu bersenjatakan sebilah belati di salah satu
tangannya, sementara tangannya yang lain digunakan untuk mencekikku. Setiap
detailnya, dinding yang dipoles rapi dan indah, jendela dan ornamen-ornamen
bingkainya, desain melengkung dan lingkaran-lingkaran di karpet merahnya,
jeritan sunyi yang datang dari tenggorokanmu yang tercekik, warna bungabunga
kuning dan ungu yang dibordir dengan sangat terampil dan bersemangat di atas
penutup ranjang yang indah, di mana kaki telanjang pembunuhmu yang menjijikkan
itu tanpa ampun menjejak di atasnya saat ia mengakhiri hidupmu. Semua detail ini
memberi pengaruh yang sama: Sementara sebagian orang berdebat tentang keindahan
lukisan itu, mereka akan mengingatkanmu tentang betapa indahnya kamar tempat kau
akan segera mati di dalamnya, dan dunia yang akan segera kautinggalkan. Betapa
tidak pentingnya keindahan lukisan itu dan dunia ini, dibandingkan kematianmu.
Kenyataan yang diungkap lukisan itu adalah bahwa kau sepenuhnya sendirian saat
mati, meskipun ada istrimu di tempat itu.
Inilah makna tak terhindarkan, yang akan membuatmu terguncang.
"Ini karya Bihzad," ujar empu yang semakin uzur itu, dua puluh tahun lalu, saat
kami meneliti buku yang kupegang dengan gemetar. Wajahnya bercahaya, bukan oleh
nyala lilin di dekatnya, melainkan oleh rasa senang terhadap pengamatan itu.
"Ini khas Bihzad, tidak diperlukan lagi tanda tangannya."
Bihzad sangat sadar pada kenyataan bahwa dirinya tidak menyembunyikan tanda
tangannya di bagian mana pun lukisan itu. Dan menurut para empu zaman dulu, ada
kesan malumalu dan sebentuk rasa jengah dalam keputusannya itu. Di mana terdapat
karya seni sejati dan keahlian yang murni, sang seniman bisa melukiskan sebuah
karya agung yang tak tertandingi tanpa harus meninggalkan jejak identitasnya.
Merasa takut akan keselamatanku, aku membunuh korban malang itu dengan sikap
yang biasa-biasa saja dan kejam. Saat aku kembali ke daerah yang dihancurkan
kobaran api itu, malam demi malam, untuk memastikan bahwa aku tidak meninggalkan
jejak apa pun yang bisa mengkhianatiku, pertanyaan tentang gaya membunuh itu
terus muncul di benakku. Apa yang dianggap gaya, tak lebih dari sebuah
kekurangan, atau cacat yang menyingkap tangan orang yang bersalah.
Aku bisa saja menemukan tempat ini, bahkan tanpa kilaukilau butiran salju yang
erjatuhan, karena tempat yang telah dihancurkan api ini adalah tempat aku
mengakhiri hidup seseorang yang sudah menjadi kawanku selama dua puluh tahun,
ini, salju menutupi dan menghapus semua jejak yang mungkin saja diartikan
sebagai tanda tangan, untuk membuktikan bahwa Allah
sepakat dengan Bihzad dan aku tentang soal gaya dan tanda tangan. Jika kami
benar benar melakukan sebuah dosa tak berampun dengan menghiasi buku
itu seperti yang tetap dilakukan oleh si ceroboh itu empat hari lalu bahkan ? ?andaikan kami melakukannya tanpa kami sadari, Allah tidak akan menganugerahkan
karunia semacam ini kepada kami para ilustrator.
Malam itu, ketika Elok Effendi dan aku datang kemari, salju belum turun. Kami
bias mendengar suara lolongan anjing liar bergema di kejauhan.
"Untuk apa kita datang kemari?" si malang itu bertanya. "Apa yang ingin
kautunjukkan padaku di sini pada malam selarut ini?"
"Di depan ada sebuah sumur sedalam kurang lebih 18 meter, tempat aku menguburkan
uang yang kukumpulkan selama bertahuntahun," jawabku. "Jika kaumau merahasiakan
semua yang akan kujelaskan padamu, Enishte Effendi dan aku akan memberimu hadiah
yang akan membuatmu bahagia."
"Apakah aku harus mengerti bahwa kau mengaku sudah mengetahui apa yang
kaulakukan sejak awal?" ujarnya bergetar.
"Aku mengakuinya," aku terpaksa berbohong.
"Kau sadar, bukan, bahwa lukisan yang kaubuat kenyataannya adalah sebuah
penistaan?" ujarnya dengan lugu. "Itu adalah pemurtadan, sebuah penistaan yang
tak akan berani dilakukan oleh orang baikbaik. Kau akan dibakar dalam api
neraka. Kau akan menderita dan rasa sakitnya tak akan pernah berakhir dan kau
?sudah menjadikanku seorang antek untuk itu."
Ketika mendengarkannya bicara, aku merasakan dengan ngeri betapa kata-katanya
mengandung kekuatan dan daya tarik yang, mau tak mau, akan diperhatikan orang, berharap mereka
terbukti benar di antara makhlukmakhluk menyedihkan ini. Banyak desas-desus
seperti ini tentang Enishte Effendi sudah mulai gentayangan, karena kerahasiaan
buku yang diciptakannya, dan uang yang bersedia ia keluarkan dan karena Tuan ?Osman, Iluminator Kepala, meremehkannya. Terpikir olehku bahwa mungkin saudaraku
si tukang sepuh, Elok, telah memanfaatkan dengan cerdik fakta-fakta ini untuk
mendukung tuduhan palsunya. Sampai tahap mana ia berlaku jujur"
Aku memintanya mengulangi pernyataan yang membuat kami jadi saling bertentangan,
dan ketika ia bicara, ia tidak memperhalus kata-katanya. Ia seolaholah sedang
menghasutku untuk menutupi sebuah kesalahan, seperti pada masa magang kami
dahulu, yang tujuannya adalah menghindar dari pukulan Tuan Osman. Waktu itu, aku
menganggap ketulusannya begitu meyakinkan. Sebagai seorang anak didik, matanya
akan melebar seperti sekarang ini, tetapi saat itu sepasang bola matanya belum
menjadi muram didera kerja keras menghiasi buku. Akhirnya aku menguatkan hati;
ia sudah siap untuk mengakui semuanya pada semua orang.
"Dengarkanlah aku," ujarku dengan kegundahan yang dipaksakan. "Kita telah
membuat ilustrasiilustrasi buku, menciptakan desain pinggiran buku, membingkai setiap halamannya dengan indah, kita
menghiasi setiap halaman dengan sangat cemerlang menggunakan warna indah
keemasan, kita membuat lukisanlukisan hebat, kita juga menghiasi lemari dan


My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

petipeti. Kita tidak melakukan apa pun lagi selama bertahuntahun. Ini adalah
panggilan jiwa kita. Mereka menugasi kita membuat lukisanlukisan,
memerintahkan kita untuk melukis sebuah kapal, seekor antelop, atau seorang
sultan, dengan dibatasi oleh bingkai khusus. Mereka juga menuntut gambar seekor
burung dengan gaya tertentu, sosok dengan jenis tertentu, mengambil adegan
tertentu dari sebuah kisah, lupakan tentang gambar yang seperti ini atau seperti
itu. Apa pun yang mereka inginkan, kita lakukan. 'Dengar,' seru Enishte Effendi
padaku, 'gambarlah sebuah kuda sesuai imajinasimu sendiri, di sini.' Selama tiga
hari, seperti senimanseniman hebat zaman dulu, aku membuat sketsa ratusan ekor
kuda, sampai aku tahu pasti kuda seperti apa 'yang sesuai dengan imajinasiku'
itu. Untuk melemaskan tanganku, aku menggambar serangkaian gambar kuda di atas
lembaran kasar kertas Samarkand."
Aku mengeluarkan sketsa-sketsa itu dan menunjukkannya pada Elok. Ia memeriksanya
dengan penuh perhatian, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke kertas itu, dan
mulai mengamati kudakuda berwarna hitam dan putih yang dilatarbelakangi temaram
cahaya bulan. "Para empu tua dari Shiraz dan Herat," ujarku, "mengatakan bahwa
seorang illustrator harus membuat sketsa kuda tanpa henti selama lima puluh
tahun untuk bias melukiskan dengan tepat seekor kuda yang sesuai dengan
keinginan dan gambaran Allah. Mereka berkata bahwa gambar kuda yang terbaik
harus dibuat di dalam gelap, mengingat seorang illustrator sejati akan mampu
bekerja dengan mata tertutup setelah menjalani periode lima puluh tahun itu,
tetapi dalam prosesnya, tangan si ilustrator itu akan mengingat gambar kuda
dengan sendirinya." Mimik polos wajahnya adalah sesuatu yang selalu kulihat sejak lama, saat kami
masih kanakkanak. Ia mengatakan padaku bahwa ia sepenuhnya terserap ke dalam gambargambar kudaku.
"Mereka membayar kita, dan kita berupaya untuk menciptakan kuda yang paling
misterius dan paling liar, sebagaimana yang dilukiskan senimanseniman tua
kawakan. Tidak ada lagi selain itu. Tidak adil jika mereka meminta kita
bertanggung jawab atas selain ilustrasi."
"Aku tidak yakin itu benar," ujarnya. "Kita juga memiliki tanggung jawab dan
keinginan keinginan sendiri. Aku tidak takut pada siapa pun selain Allah. Hanya
Allah sajalah yang menjadi alasan kita mampu membedakan Kebaikan dari
Kejahatan." Itu adalah tanggapan yang pantas.
"Allah melihat dan mengetahui semuanya ..." kataku dalam bahasa Arab. "Allah akan
mengetahui bahwa kau dan aku, kita melakukan pekerjaan ini tanpa menyadari apa
yang sedang kita lakukan. Siapa yang akan kau beri tahu tentang Enishte Effendi"
Apakah kau sadar bahwa di balik masalah-masalah ini ada keinginan Sultan kita
yang mulia?" Hening. Aku bertanyatanya, apakah ia sungguhsungguh seorang badut, atau apakah ia sudah
kehilangan kendali emosinya dan mengoceh, dan itu menguak rasa takut yang amat
tulus terhadap Allah. Kami berhenti di mulut sumur. Di tengah kegelapan, samarsamar kutangkap sorot
matanya, dan aku bisa melihat bahwa ia sedang ketakutan. Aku merasa iba padanya.
Namun, sudah terlambat untuk iba. Aku berdoa pada Tuhan agar memberiku satu
petunjuk lagi bahwa laki laki yang berdiri di hadapanku tidak hanya seorang
pengecut, melainkan juga seseorang yang hina tak terkira.
"Hitung sampai dua belas langkah, lalu galilah," ujarku.
"Lalu, apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan menjelaskan semuanya pada Enishte Effendi, dan ia akan membakar gambar
gambar itu. Apa lagi yang bisa ada di sana" Jika salah satu dari pengikut Nusret
Hoja mendengar penjelasan seperti itu, tidak akan ada yang tersisa dari diri
kita ataupun bengkel kerja buku seni. Apakah kau mengenal salah satu dari para
pengikut Erzurumi" Terimalah uang ini agar kita bisa pastikan bahwa kau tidak
akan mengadukan kami."
"Uang itu diwadahi apa?"
"Ada tujuh puluh lima kepingan emas Venesia di dalam sebuah tempat acar tua yang
terbuat dari keramik."
Koinkoin emas Venesia memberi satu alasan kuat, tetapi bagaimana aku mengarang-
ngarang tentang ttempat acar keramik itu" Itu adalah sesuatu yang sangat bodoh
sehingga mudah dipercayai. Dari situlah aku merasa diyakinkan bahwa Tuhan
bersamaku, dan sudah memberiku satu tanda. Kawan lamaku sesama anak didik yang
seiring bergantinya tahun menjadi semakin tamak sudah mulai menghitung tepat dua
belas langkah ke arah yang kutunjuk.
Ada dua hal yang menyibukkan benakku saat itu. Pertama, sebenarnya tidak ada
koinkoin Venesia itu atau apa pun yang dikubur di sana! Jika aku tidak
memperlihatkan uang itu, maka badut ini akan menghancurkan kami. Seketika aku
merasa ingin memeluk si tolol itu dan mencium pipinya, seperti yang kadangkadang
kulakukan saat kami masih sama-sama magang, tetapi kami telah dipisahkan waktu
bertahuntahun lamanya! Kedua, aku sedang sibuk memikirkan bagaimana kami akan
menggali. Dengan kuku-kuku jari kami" Namun, pemikiran ini, jika kau bisa menyebutnya sebagai
pemikiran, hanya bertahan sekejap saja.
Dengan panik, aku menyambar sebongkah batu yang tergeletak di dekat dinding.
Sementara ia masih berada di langkah ketujuh atau kedelapannya, aku menyergapnya
dan menghantam bagian belakang kepalanya dengan batu itu sekuat tenaga. Aku
menghantamnya dengan amat cepat dan brutal, hingga sejenak aku sempat merasa
gentar, rasanya seakanakan hantaman itu mengenai kepalaku sendiri. Ya, aku
merasakan kesakitannya. Bukannya merenungkan apa yang sudah kuperbuat, aku malah ingin menuntaskan
pekerjaan itu dengan cepat. Ia menggelepar-gelepar di atas tanah, dan
kepanikanku pun bertambah.
Lama setelah aku melemparnya ke dalam sumur, aku baru menyadari betapa kejinya
perbuatanku, dan tak sedikit pun sesuai dengan keanggunan seorang miniaturis
pembuat ilustrasi buku yang indah.[]
Bab E AKU ADALAH PAMANMU TERCINTA
AKULAH PAMAN kandung Hitam dari pihak ibu, enishtenya, tetapi yang lainnya pun
memanggilku "Enishte". Suatu ketika ibunda Hitam meminta anaknya itu untuk
memanggilku "Enishte Effendi," dan kemudian, tidak hanya Hitam, tetapi juga
semua orang mulai memanggilku dengan sebutan itu. Tiga puluh tahun yang lalu,
setelah kami pindah ke jalan yang gelap dan lembab, dinaungi pohonpohon kastanye
dan limau di luar kawasan Aksaray, Hitam mulai sering mengunjungi rumah kami.
Rumah itu adalah tempat tinggal kami sebelum rumah yang sekarang ini.
Saat itu aku sedang pergi ke perkemahan musim panas dengan Mahmut Pasha, lalu
aku kembali di musim gugur dan menemukan Hitam dan ibunya telah mengungsi ke
rumah kami. Ibunda Hitam, semoga dia damai di kuburnya, adalah kakak almarhumah
istriku. Di malam malam musim dingin, aku pulang mendapati istriku dan ibunda
Hitam sedang berpelukan dan berurai air mata saling menenangkan. Ayahanda Hitam,
yang tidak pernah bias mempertahankan kedudukannya sebagai guru di sekolah-
sekolah agama kecil di daerah terpencil, berperangai sangat buruk, pemarah, dan
mempunyai kelemahan soal minum-minuman keras, Hitam saat itu berusia enam tahun,
ia menangis saat melihat ibunya
menangis, merasa terpuruk ketika ibunya terdiam dan menyapaku, Enishtenya,
dengan muram. Amat menyenangkan melihatnya di hadapanku sekarang,seorang keponakan yang
tangguh,dewasa, dan terhormat. Penghormatan yang ditunjukkannya padaku, mencium
tanganku dengan takzim dan menempelkannya ke dahinya, caranya berkata,
"Merahmurni," saat ia mempersembahkan padaku sebuah pot tinta Mongol sebagai
hadiah, dan kesantunan dan sikap bersahajanya dengan duduk di depanku dengan
kedua lutut bersentuhan, semua ini tidak hanya menunjukkan bahwa ia adalah
seorang lakilaki dewasa yang peka sebagaimana yang diharapkan orang darinya,
tetapi juga mengingatkanku bahwa aku adalah seorang tua yang sudah sepantasnya
dihormati. Ia tampak sangat mirip dengan ayahnya yang pernah bertemu denganku satu dua kali
saja. Ia kurus tinggi, dan bahasa tubuh gerak tangannya menunjukkan sikap
malumalu. Kebiasaannya adalah menempatkan kedua telapak tangannya di atas lutut
saat duduk, atau menatap dalam dan serius ke mataku seakanakan berbicara, "Aku
paham, aku mendengarkanmu dengan khidmat," ketika aku memberitahukan sesuatu
yang penting padanya, atau dari caranya mengangguk-anggukkan kepalanya yang
samar seperti berirama mengikuti katakataku, semua itu sangat pantas
dilakukannya. Kini setelah aku mencapai usia setua ini, aku tahu bahwa
penghormatan yang sesungguhnya muncul bukan dari hatinya, melainkan dari aturan-
aturan tersendiri dan rasa hormat.
Selama tahuntahun ketika ibunda Hitam sering membawanya ke rumah kami, dengan
sikap yang dibuat-buat, karena dia mengharapkan masa depan untuk anaknya di tempat ini, aku paham bahwa
bukubuku bisa membuat anak itu senang, dan hal inilah yang membuat kami dekat.
Sebagaimana yang diartikan oleh semua penghuni rumah, ia telah mengabdikan diri
untuk menjadi "anak didikku". Aku menjelaskan padanya betapa para ilustrator di
Shiraz telah menciptakan suatu gaya baru dengan menaikkan garis cakrawala
menjadi amat jelas di atas bingkai gambarnya. Dan sementara semua orang
melukiskan Majnun dalam keadaan kacau di padang pasir, tergila-gila pada Laila,
sang empu agung Bihzad lebih pandai lagi karena mampu menerjemahkan kesepian
yang dirasakan Majnun dengan melukiskannya berjalan di antara sekelompok
perempuan yangsedang memasak, berusaha untuk menyalakan kayu-kayu baker dengan
meniupnya, atau berjalan di antara tenda-tenda. Menurutku betapa tak masuk akal
ketika sebagian besar illustrator yang menggambarkan peristiwa Hiisrev mengintip
Shirin yang sedang mandi di telaga, telanjang di tengah malam, telah
mewarnaipasangan itu, kudakuda mereka, dan pakaiannya tanpa membaca puisi
Nizami. Intinya adalah seorang ilustrator yang menggunakan kuasnya tanpa
menyempatkan diri membaca teks yang akan diilustrasikannya, hanya didorong oleh
keserakahan. Kini aku sangat senang melihat Hitam telah memiliki kebajikan mendasar lainnya:
Untuk menghindari kekecewaan dalam berkesenian, seseorang janganlah menjadikan
kesenian sebagai karir. Terlepas dari naluri artistik dan bakat besar yang
dimiliki seseorang, iaseharusnya mencari uang dan kekuasaan di tempat lain agar
tidak mengorbankan karya seninya apabila ia tidak mendapat imbalan yang setimpal
untuk bakat dan kerja kerasnya. Hitam menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan semua empu ilustrator dan
penulis kaligrafi itu satu persatu diTabriz dengan membuatkan buku untuk para
pasha, orangorang kaya dari Istanbul, dan tokoh-tokoh di daerah pedalaman. Semua
seniman ini, kuketahui kemudian, menjadi jatuh melarat dan dihanyutkan oleh
kegagalan nasib mereka. Tidak hanya di Tabriz, di Mashhad dan Aleppo pun banyak
ilustrator yangmeninggalkan pekerjaan mereka dalam membuat buku, danmulai
beralih membuat gambargambar satu halaman yang ganjil rasa ingin tahu yang akan?menyenangkan para pelancong dari Eropa bahkan gambargambar cabul. Isu yang
?beredar mengatakan bahwa manuskrip yang dihiasi Shah Abbas dan dipersembahkan
kepada Sultan kita dalam perjanjian damai Tabriz, telah direncah-rencah,
sehingga setiap halamannya bisa digunakan untuk bukubuku lain. Mungkin saja
Kaisar Hindustan, Akbar, menghamburkan begitu banyak uang untuk sebuah buku baru
yang besar, sehingga para ilustrator yang paling berbakat di Tabriz dan Kazvin
menghentikan pekerjaannya dan bergerombol menuju istananya.
Ketika menceritakan semua ini, ia dengan senang hati menyertakan kisahkisah
lainnya juga. Contohnya, ia menggambarkan sambil tersenyum sebuah kisah
menghibur tentang seorang peniru Mehdi atau tentang kekacauan yang terjadi di
antara orangorang Uzbek ketika seorang pangeran idiot yang dikirimkan pada
mereka oleh orangorang Safawiyah sebagai sandera untuk perdamaian, jatuh sakit
karena demam dan meninggal dunia dalam waktu tiga hari. Meskipun
demikian, aku tahu dari kemuraman yang terbias di wajahnya, dilema yang tak
berkaitan dengan kami, tetapi amat menganggu kami berdua, belum juga
tertuntaskan. Hitam, seperti juga para pemuda lainnya yang sering mengunjungi rumah kami, atau
mendengar apa yang dikatakan orang tentang kami, atau mereka yang mengetahui
keberadaan putriku yang rupawan, Shekure, dari pembicaran orang, telah jatuh
cinta pada putriku itu. Mungkin dulu aku tidak menganggap hal itu cukup
berbahaya agar aku menjadi waspada, tetapi semua orang termasuk mereka yang
?belum pernah melihatnya jatuh cinta pada putriku, yang tercantik dari yang
?cantik. Vang membuat Hitam gundah gulana adalah hasrat yang menggebu seorang
pemuda bernasib sial yang memiliki kebebasan untuk memasuki rumah kami, yang
sudah kami terima dengan baik dan amat disukai di rumah kami, dan yang memiliki
kesempatan untuk melihat Shekure. Ia tidak memendam rasa cintanya, sebagaimana
yang kuharap dilakukannya, tetapi membuat kesalahan fatal dengan mengungkapkan
hasratnya yang menggelora kepada putriku.
Hasilnya, ia sepenuhnya terusir dari rumah kami.
Kurasa kini Hitam pun telah mengetahui bahwa tiga tahun setelah ia meninggalkan
Istanbul, putriku menikah dengan seorang tentara kavaleri di puncak
kejelitaannya, dan bahwa tentara yang memberinya dua anak lakilaki ini tidak
memiliki nalar yang sehat, karena pergi mengikuti sebuah operasi militer dan tak
pernah kembali lagi. Tak seorang pun mendengar kabar dari pasukan kavaleri itu
selama empat tahun. Kurasa Hitam mengetahui hal ini, bukan hanya karena
gunjingan semacam itu beredar luas dengan cepat di Istanbul, melainkan karena
selama kami berdiam diri, aku merasa ia mengetahui keseluruhan cerita itu sejak lama, dari
caranya memandangi mataku. Bahkan pada saat ini, saat ia melihat-lihat Kitab
Sukma yang dibiarkan terbuka di atas rehal, aku tahu ia sedang mendengarkan
suara anakanak Shekure yang berlarian di sekeliling rumah. Aku tahu ia menyadari
bahwa putriku sudah pulang kembali ke rumah ayahnya beserta kedua anak laki-
lakinya. Aku lupa menyebutkan rumah baru yang kubangun saat Hitam tak ada. Hitam, seperti
juga para pemuda lainnya yang berniat menjadi lelaki kaya raya dan terhormat,
menganggap cukup kasar jika ia menyinggung soal seperti itu. Tapi saat kami
berjalan masuk, aku memberitahunya di tangga bahwa lantai dua tidak terlalu
lembab, dan pindah ke lantai atas akan meredakan nyeri-nyeri di persendianku.
Ketika aku berkata, "lantai dua," aku merasakan rasa malu yang ganjil, tetapi
akan kujelaskan: Orangorang yang memiliki uang lebih sedikit dariku, bahkan
seorang serdadu kavaleri sederhana dengan tanah kecil pemberian dinas militer
sekalipun, bisa membangun rumah dua lantai dengan cepat.
Kami berada di ruangan berpintu biru yang kugunakan sebagai bengkel kerja seni
rupa di musim dingin. Aku bias merasakan bahwa Hitam menyadari keberadaan
Shekure di kamar penghubung. Aku langsung membeberkan masalah yang menjadi
alasanku mengirim surat untuknya ke Tabriz, mengundangnya ke Istanbul.
"Tepat seperti kerja sama yang kaulakukan dengan para penulis kaligrafi dan
illustrator Tabriz. Aku juga sudah menyiapkan sebuah manuskrip yang sudah diberi
ilustrasi," ujarku. "Klienku adalah Yang Mulia Sultan kita, penyangga dunia ini.
Karena buku ini sesuatu yang
dirahasiakan, Sultan kita telah membayarku melalui Kepala Bendahara. Dan aku
telah membuat kesepakatan dengan masingmasing seniman paling berbakat di bengkel
kerja milik Sultan. Aku sedang menugaskan salah satu dari mereka untuk melukis
seekor anjing, yang lainnya sebatang pohon, yang ketiga kuminta untuk membuat
desain pembatas dan gumpalangumpalan awan di cakrawala, dan yang lainnya
kuserahi tanggung jawab menggambar kudakuda. Aku ingin hal-hal yang kugambarkan
itu mewakili keseluruhan dunia Sultan kita, seperti lukisanlukisan karya para
seniman besar Venesia. Tetapi tidak seperti lukisan Venesia, karyaku tidak
semata-mata melukiskan objek material, tetapi juga kekayaan yang terkandung di
dalam batinnya, kebahagiaan dan ketakutan di segenap wilayah yang diperintah
oleh Sultan kita. Andai aku akhirnya menyertakan lukisan sekeping uang emas, itu
untuk meremehkan uang. Aku menyertakan Kematian dan Setan, karena kita takut
pada kedua hal itu. Aku tidak tahu apa yang sedang dipergunjingkan. Aku
menginginkan keabadian sebatang pohon, keletihan seekor kuda, dan kekasaran
seekor anjing untuk merepresentasikan Yang Mulia Sultan kita dan alam
duniawinya. Aku juga menginginkan para ilustrator kaderku, dengan nama julukan
"Bangau", "Zaitun", "Elok" dan "Kupukupu" untuk memilih bahan ilustrasi yang
mereka inginkan. Bahkan di malammalam musim dingin yang paling dingin dan paling
parah sekalipun, salah satu ilustrator Sultan akan mengunjungiku secara diamdiam
untuk memperlihatkan apa yang sudah disiapkannya untuk buku itu.
"Gambargambar seperti apa yang sedang kita buat ini" Mengapa kita membuat
ilustrasi dengan cara seperti
itu" Aku tak bisa memberimu jawaban sekarang ini. Bukan karena aku
menyembunyikan rahasia darimu, dan bukan karena aku tak akan mengatakannya
padamu. Masalahnya, aku sendiri tidak cukup paham gambargambar seperti apa yang
dimaksud. Namun, aku tentu saja tahu lukisan seperti apa yang diharapkan
nantinya." Empat bulan setelah aku mengirimkan suratku, aku mendengar lewat tukang cukur di
jalan tempat kami pernah tinggal, bahwa Hitam sudah kembali ke Istanbul, dan
kemudian aku mengundangnya ke rumah kami. Aku sangat sadar bahwa ceritaku akan
mendatangkan harapan kedukaan dan sekaligus berkah yang akan menyatukan kembali
kami berdua.

My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setiap gambar harus bisa menceritakan sebuah kisah," ujarku. "Seorang
miniaturis yang membuat ilustrasi berukuran kecil, untuk memperindah manuskrip
yang kita baca, harus menggambarkan adegan-adegan yang paling penting: saat-saat
pertama sepasang kekasih saling berpandangan, sang pahlawan Rustem yang
memenggal kepala sesosok monster jahat; kedukaan Rustem ketika ia menyadari
bahwa makhluk asing yang dibunuhnya ternyata adalah putranya sendiri; cinta yang
membuat Majnun menjadi gila saat ia berkelana di tengah alam liar yang tak
berpenghuni di antara singa, harimau, pelanduk betina dan anjing hutan; Iskandar
Agung yang merana, yang datang ke hutan sebelum peperangan dimulai untuk
mengetahui hasil akhirnya dari burungburung, menyaksikan seekor rajawali
mengoyak daging burung kecil mangsanya. Mata kita yang sudah lelah membaca
kisahkisah ini, akan melihat gambargambar tersebut. Jika ada sesuatu di dalam
teksnya yang tidak mampu dicerna oleh pikiran dan imajinasi kita, ilustrasinya langsung membantu. Gambar
adalah pengembangan cerita yang beraneka warna. Namun, lukisan tanpa kisah yang
melatarbelakanginya adalah sebuah kemustahilan."
"Aku dulu berpikir seperti itu," tambahku, seakanakan mengandung penyesalan.
"Tetapi ternyata itu amat mungkin. Dua tahun yang lalu aku kembali pergi ke
Venesia sebagai duta besar Sultan. Aku mengamati potret-potret yang dibuat
seniman besar Venesia. Aku mengamatinya tanpa mengetahui adegan ataupun kisah
dari gambargambar itu, dan aku berusaha keras menyimpulkan kisah itu dari
gambarnya. Suatu hari, aku menemukan sebuah lukisan yang digantung di atas
sebuah dinding palazzo, dan terpukau.
"Lebih dari apa pun, gambar itu adalah tentang seorang individu, seperti diriku
sendiri. Itu adalah gambar seorang kafir, tentu saja, bukan salah satu dari
kita. Saat aku memandanginya, aku merasa diriku menyerupai gambar itu, meskipun
ia tidak menyerupai aku sama sekali. Ia memiliki wajah bundar yang sepertinya
kekurangan tulang pipi, dan terlebih lagi, ia tidak memiliki daguku yang amat
indah ini. Walaupun ia tidak seperti aku, saat aku menatap lukisan itu, untuk
beberapa alasan tertentu, jantungku berdetak kencang, seolaholah lukisan itu
adalah potret diriku sendiri.
"Aku tahu dari lelaki Venesia yang mengajakku berkeliling palazzo miliknya itu
bahwa potret itu adalah potret seorang temannya, seorang bangsawan seperti
dirinya. Ia melibatkan apa pun yang penting dalam kehidupannya dalam potretnya.
Di latar belakang terdapat sebuah pemandangan yang dari jendela terbuka tampak
seperti sebuah peternakan, sebuah desa, dan sebuah perpaduan
warna yang melukiskan hutan dengan amat nyata. Di atas meja di depan si
bangsawan terdapat sebuah arloji, bukubuku, Waktu, Kejahatan, Kehidupan,
sebatang pena kaligrafi, sebuah peta, kompas, kotak-kotak berisi koin emas,
pernakpernik, bendabenda unik dan sisa-sisa, bendabenda misterius yang tampak
aneh, yang mungkin dimasukkan ke dalam banyak gambar, bayangan jin dan setan,
juga gambar anak perempuannya yang kecantikannya memukau saat dia berdiri di
samping ayahnya. "Apa artinya narasi jika gambar ini telah indah dan sempurna" Saat aku menilai
karya itu, perlahanlahan aku merasakan kisah yang melatarbelakanginya adalah
lukisan itu sendiri. Lukisan itu sama sekali bukan perpanjangan dari sebuah
kisah, lukisan itu adalah sesuatu yang berdiri sendiri.
"Aku tidak pernah bisa melupakan lukisan yang mengharubiruku itu. Aku
meninggalkan palazzo itu, kembali ke rumah tempat aku tinggal sebagai tamu, dan
memikirkan lukisan itu sepanjang malam. Aku juga ingin dilukis dalam sikap
seperti itu. Tetapi tidak, itu tidak pantas, Sultan kitalah yang pantas untuk
dilukis seperti itu! Sultan kita harus digambarkan beserta semua yang
dimilikinya, dengan bendabenda yang mewakili dan menunjukkan dunianya. Aku
merasa yakin dengan pendapat bahwa sebuah manuskrip bisa diberi ilustrasi sesuai
dengan gagasan ini. "Seorang Venesia yang sangat berbakat telah melukiskan seorang bangsawan
sedemikian rupa, sehingga kau akan segera tahu bangsawan yang mana yang
dimaksudkannya. Jika kau belum pernah melihat orang tersebut, lalu mereka
memintamu menjemput orang itu di
antara kerumunan ribuan orang lainnya, kau tetap akan bisa memilih lakilaki yang
benar dengan bantuan lukisan potret itu. Para seniman besar Venesia telah
menemukan teknik melukis di mana mereka bisa membedakan seorang lakilaki dari
lakilaki lainnya tanpa mengandalkan pakaian yang dikenakannya atau medali yang ?disematkan di dadanya, hanya dengan bentuk unik wajahnya. Ini adalah intisari
'lukisan potret.' "Andai wajahmu dilukiskan dengan gaya seperti ini, meski hanya sekali, tak akan
ada yang mampu melupakan rupamu, dan jika kau kemudian jauh, seseorang akan
memandangi potretmu dan bisa merasakan kehadiranmu seolaholah kau ada di
dekatnya. Mereka yang tidak pernah melihatmu secara langsung, bahkan
bertahuntahun setelah kematianmu, akan bisa berhadapan denganmu, seakanakan kau
sedang berdiri di hadapan mereka."
Kami tetap terdiam selama beberapa waktu. Secercah cahaya sewarna es dari luar
menyelusup masuk lewat bagian atas jendela kecil yang menghadap ke jalan.
Jendela ini daun penutupnya tak pernah dibuka, dan barubaru ini kututup dengan
selembar kain yang dicelupkan ke dalam lilin lebah.
"Ada seorang miniaturis," ujarku. "Ia datang kemari seperti senimanseniman
lainnya, demi kitab rahasia Sultan kita. Dan kami kerap bekerja bersama sampai
pagi. Ia yang terbaik dalam bidang menyepuh. Elok Effendi yang malang, ia pergi
dari sini suatu malam dan tak pernah tiba di rumahnya. Aku khawatir mereka telah
membunuhnya, empu penyepuhku yang malang."[]
Bab 6 AKU ADALAH ORHAN i} HITAM BERTANYA, "Apakah mereka memang membunuhnya?"
Si Hitam ini tinggi, kurus, dan penampilannya agak mengerikan. Aku sedang
berjalan ke arah mereka yang tengah duduk bercakap-cakap di lantai dua bengkel
kerja berpintu biru, ketika kakekku berkata, "Mereka mungkin sudah membunuhnya."
Kemudian ia menangkap bayanganku. "Apa yang kaulakukan di sini?"
Ia memandangiku sedemikian rupa, sehingga aku memanjat naik ke pangkuannya tanpa
menjawab pertanyaannya. Kemudian, ia menurunkan kembali tubuhku.
"Cium tangan Hitam," pintanya.
Aku mencium punggung tangannya dan menempelkannya ke keningku. Tangannya tidak
berbau. "Ia tampan juga," kata Hitam dan mencium pipiku. "Suatu hari ia akan menjadi
seorang pemuda pemberani."
"Ini Orhan. Ia masih enam tahun. Ada satu lagi yang lebih tua, Shevket, yang
usianya tujuh tahun. Yang satu itu bocah kecil yang amat nakal."
"Aku kembali ke jalan tua di Aksaray," sahut Hitam. "Tempatnya dingin, semuanya
tertutup salju dan es. Tetapi pemandangannya menunjukkan seolaholah tidak ada
yang berubah di sana."
"Aduh! Semuanya sudah berubah, segalanya menjadi lebih buruk," ujar kakekku.
"Buruk sekali." Ia menoleh ke arahku, "Di mana kakakmu?"
"Ia sedang bersama guru kami, empu penjilid."
"Jadi, apa yang sedang kaulakukan di sini?"
"Empu itu berkata padaku, 'Karya yang bagus, sekarang kau boleh pergi.'"
"Kau berjalan sendirian kemari?" tanya kakekku. "Kakakmu seharusnya menemanimu,"
Kemudian ia berbicara pada Hitam, "Ada seorang tukang jilid temanku di mana
mereka bekerja dua kali seminggu selepas sekolah Alquran. Mereka datang sebagai
muridnya, mempelajari seni menjilid."
"Apakah kau senang membuat ilustrasi seperti kakekmu?" tanya Hitam.
Aku tidak menjawabnya. "Baiklah kalau begitu," ujar kakekku. "Tinggalkan kami sekarang."
Hawa panas dari wadah batu bara yang terbuka menghangatkan ruangan yang begitu
nyaman sehingga aku malas meninggalkannya. Aku mencium bau cat dan lem, aku
berdiri sejenak. Aku juga bisa mencium aroma kopi.
"Apakah membuat ilustrasi dengan teknik baru menunjukkan cara berpikir yang
baru?" kakekku mulai berbincang lagi. "Inilah alasan mereka membunuh penyepuh
malang itu dengan mengabaikan fakta bahwa ia bekerja dengan gaya lama. Aku
bahkan tidak yakin ia telah dibunuh, hanya karena ia menghilang. Mereka sedang
membuat ilustrasi tentang sebuah kisah kenang-kenangan dalam bentuk sajak, Kitab
Segala Pesta, untuk Sultan kita, atas pesanan dari Kepala
Iluminator, Tuan Osman. Setiap ilustrator bekerja di rumahnya masing masing.
Tuan Osman, bagaimanapun, sibuk di bengkel kerja seni buku di istana. Untuk
memulainya, aku ingin kau pergi ke sana dan mengamati segalanya. Aku khawatir
yang lainnya, yaitu para ilustrator, berakhir dengan berselisih dan saling
bunuh. Mereka dijuluki dengan namanama yang diberikan oleh Tuan Osman
bertahuntahun lampau: 'Kupukupu,' 'Zaitun,' 'Bangau' ... Kau pergilah dan amati
mereka saat mereka bekerja di rumah mereka masingmasing."
Bukannya turun ke lantai bawah, aku malah memutar. Terdengar suara dari kamar
sebelah yang dilengkapi kamar kecil tempat Hayriye tidur. Aku masuk. Di dalamnya
tidak ada Hayriye, yang ada hanya ibuku. Dia tampak malu melihatku. Dia berdiri
dengan setengah badannya di dalam kamar kecil.
"Dari mana saja kau?" tanyanya.
Namun, dia sebenarnya tahu dari mana aku. Di bagian belakang kamar kecil ada
sebuah lubang untuk mengintip, di mana kau bisa melihat bengkel kakekku. Dan
jika pintunya terbuka, terlihat lorong yang lebar dan kamar tidur kakekku
diseberang lorong di samping tangga tentu saja jika pintu kamar tidurnya dalam ?keadaan terbuka.
"Aku sedang bersama kakek," sahutku. "Ibu sedang apa di sini?"
"Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kakekmu sedang kedatangan tamu dan kau
tidak boleh mengganggu mereka?" Dia mengomeliku, tetapi dengan suara yang tidak
keras, karena dia tidak ingin tamu itu mendengarnya. "Apa yang sedang mereka
lakukan?" tanyanya setelah mengomel, dengan nada suara amat manis.
"Mereka sedang duduk-duduk, tetapi tentu saja tidak melukis.Kakek berbicara,
Pedang Bintang 2 Pendekar Rajawali Sakti 66 Rahasia Gordapala Eng Djiauw Ong 14
^