Pencarian

One Money 2

One For The Money Karya Janet Evanovich Bagian 2


lewat tangga sembari menggeret barang-barang rongsokan, menuju mobil.
Saat pegadaian Emilio buka, aku dalam kondisi sakaw kafein. Aku nego harga
giwang, namun hanya setengah hati, dan alhasil aku merasa ditipu. Bukan masalah
besar. Aku sudah dapat yang kubutuhkan. Sejumlah uang untuk beli senjata ringan,
bayar telepon, dan sisanya cukup buat mufin bluberi dan secangkir besar kopi.
Aku menikmati sarapanku selama lima menit penuh, kemudian melesat menuju kantor
telkom. Singgah di lampu merah, aku disiut-siuti oleh dua cowok naik bakter.
Dari isyarat tangan mereka, aku berasumsi bahwa mereka suka karya lukis di
mobilku. Aku tak bisa mendengar ucapan mereka karena gemuruh mesin. Puji Tuhan
atas berkat-berkat kecil.
Kulihat kabut menggumpal sekelilingku dan menyadari mobilku berasap. Bukan jenis
uap putih samar pada hari-hari musim dingin. Asap ini tebal dan hitam, dan
lantaran tiadanya knalpot maka asapnya membubung keluar lewat kolong mobil. Aku
menggebuk keras-keras dasbor dengan tinjuku untuk memeriksa apakah indikator-
indikatornya berfungsi, dan tentu saja, pijar merah oli berkedip-kedip. Di
tikungan aku memasuki pom bensin, beli sekaleng 1D-W-3D, menuangkan isinya, dan
mengecek tingkat oli. Masih rendah, jadi kutambahkan kaleng kedua.
Persinggahan berikut, kantor telkom. Membayar tagihan dan berlangganan-ulang
hanya setingkat kurang rumit ketimbang mendapatkan green card. Alhasil,
kujelaskan nenekku yang buta dan pikun pula sedang sering mengalami serangan
jantung, sehingga keberadaan telepon diperlukan demi keselamatannya. Kurasa
wanita di belakang konter kurang percaya, toh aku dapat poin karena berhasil menghiburnya.
Ia berjanji bahwa seseorang akan mengurusnya petang nanti. Beres. Andai Ramirez
kembali, aku tinggal menelepon polisi. Dan, aku berniat beli seliter spray
antiagresi sebagai bantuan tambahan. Dengan pistol aku memang payah, tapi dengan
kaleng aerosol aku jagoannya.
Setiba di toko senjata, pijar oli berkedip-kedip lagi. Tak ada asap, jadi
kusimpulkan indikatornya barangkali rusak. Dan lagian siapa peduli, aku menolak
memboroskan duit lagi demi oli. Mobilku harus menerima keadaan. Nanti saat
menerima $ 10.000 hasil tangkapanku, aku bakal beli oli sebanyak yang
kuinginkan dan mendorong mobil ini dari atas jembatan.?Dalam bayanganku, pemilik toko senjata pastilah raksasa menyeramkan, bertopi
bisbol yang mengiklankan perusahaan motor. Dalam bayanganku, mereka bernama
Bubba atau Billy Bob. Toko senjata ini dikelola oleh wanita bernama Sunny.
Usianya empat puluhan, warna dan tekstur kulitnya mirip cerutu mahal, rambutnya
dikeriting dan dicat kuning, dengan suara perokok yang menghabiskan dua bungkus
sehari. Ia memakai anting-anting imitasi, jins ketat, dan kukunya dihiasi pohon
palem mungil. "Cantik," pujiku, memandang kukunya.
"Hasil karya Maura di Hair Palace. Dia genius soal kuku, dan ia bisa mengerjakan
bikini wax yang akan membuatmu segundul bola biliar."
"Harus kuingat."
"Minta saja ketemu Maura. Bilang atas rekomendasi Sunny. Dan, apa yang bisa
kulakukan untukmu hari ini" Sudah kehabisan peluru?"
"Aku perlu spray antiagresi."
"Yang jenis apa?"
"Ada lebih dari satu jenis?"
"Astaga, iyalah. Kami menyediakan rangkaian lengkap spray antiagresi." Ia
menjangkau rak di sebelahnya dan menarik sejumlah bungkusan plastik. "Ini Mace
yang ori-sinil. Selain itu kami punya Pepperguard, alternatif ramah lingkungan
yang sekarang dipakai rata-rata departemen kepolisian. Dan, terakhir namun
pastinya bukan terbelakang, ada Sure Guard, senjata kimia otentik. Yang ini
sanggup merobohkan pria seberat 140 kg dalam hitungan enam detik. Sistem
saraflah yang dikerjai. Asal kulitmu kena barang ini, dan kau beku seketika. Tak
masalah andai kau sedang mabuk minum atau teler obat. Cukup sesemprot dan semua
tuntas." "Kedengarannya bahaya."
"Tentu saja bahaya."
"Apakah barang ini fatal" Apakah meninggalkan kerusakan permanen?"
"Satu-satunya kerusakan permanen bagi korbanmu adalah terkenang-kenang
pengalaman yang luar biasa memalukan. Tentu saja menyebabkan kelumpuhan
sementara, dan ketika efek itu sirna biasanya ia bakal muntah-muntah dan sakit
kepala parah." "Entahlah. Bagaimana jika aku kena semprot tanpa sengaja?"
Ia meringis. "Say, kau harus mengindah kena semprot tanpa sengaja."
"Kedengarannya ribet."
"Sama sekali tidak ribet. Simpelnya, letakkan jarimu di pentol. Astaga, kau 'kan
profesional sekarang." Ia menepuk-nepuk tanganku. "Ambil Sure Guard. Kau tak
mungkin mengacau." Aku tidak merasa profesional. Aku merasa idiot. Aku pernah mengkritik
pemerintah-pemerintah asing yang menggunakan senjata kimia dan di sinilah aku
membeli gas saraf dari seorang perempuan yang menge-wax seluruh bulu pubisnya.
"Sure Guard tersedia dalam berbagai ukuran," bujuk Sunny. "Punyaku model
gantungan kunci 17 gram. Dilengkapi kait lekas-lepas dari baja tahan karat,
sarung kulit yang menarik dalam tiga pilihan warna."
"Wow, tiga warna."
"Cobalah dulu di luar," anjur Sunny. "Pastikan kau menguasai cara pakainya."
Aku melangkah keluar, merentangkan lengan lurus-lurus, dan menyemprot. Angin
berembus, aku lari ke dalam dan mencampakkan pintu.
"Angin itu memang suka jahat," keluh Sunny. "Barangkali kau harus keluar lewat
gang belakang. Silakan, lewat rak pistol."
Kuturuti sarannya, dan begitu sampai di jalan aku terbirit-birit ke mobil dan
menghambur masuk, khawatir butir-butir Sure Guard masih beterbangan, menunggu-
nunggu saat untuk menyerang sistem sarafku. Kuselipkan kunci starter dan
berusaha keras tidak kalut oleh fakta bahwa aku punya gas airmata bertekanan di
bawah 60 kg per sentimeter persegi, yang dalam otakku dieja bom saraf,
terbuncang-buncang di sela kedua lututku. Mesin menyala dan kerlip oli muncul
lagi, tampak sangat merah dan rada bergetar. Bangsat. Ambil nomor dulu, batinku.
Dalam daftar masalah-masalah yang harus kutangani, oli bahkan belum masuk
peringkat sepuluh besar. Akumembaur dengan lalu-lintas dan sengaja tidak melirik spion untuk mengecek
keberadaan gumpalan kabut. Carmen tinggal beberapa blok dari Stark Street. Bukan
kawasan yang hebat, toh bukan juga yang paling parah. Gedungnya dari bata kuning
dan kelihatannya perlu digosok bersih-bersih. Empat lantai. Tanpa lift. Ubin
retak-retak di selasar sempit lantai dasar. Apartemennya di lantai dua. Aku
sudah berkeringat tatkala mencapai pintu. Pita kuning TKP telah ditanggalkan,
namun sebuah gembok terpasang. Ada dua apartemen lain di lantai itu. Aku
mengetuk pintu masing-masing. Di apartemen pertama tak ada orang. Seorang wanita
Hispanik, Ny. Santiago, akhir 40-an awal SD-an, menyambutku di pintu kedua. Ia
menggendong bayi di pinggul. Rambutnya yang hitam dijalin ke belakang dengan
rapi, wajahnya tembem. Ia dibalut jubah kamar dari katun biru dan selop kamar
dari bahan handuk. Televisi berdengung di dalam apartemen yang temaram. Kulihat
dua sosok kepala kecil menghadap layar. Kuperkenalkan diri dan menyodorkan kartu
nama. "Entah apa lagi yang bisa kuceritakan," tuturnya. "Si Carmen tinggal belum lama
tinggal di sini. Tak seorang pun kenal padanya. Dia pendiam. Tertutup." "Kau
pernah melihatnya semenjak penembakan?" "Belum."
"Kautahu kira-kira dia ke mana" Teman" Saudara?"
"Aku tidak mengenalnya. Tak ada yang kenal. Mereka bilang dia kerja di bar ...
Step In di Stark Street. Barangkali di sana ada yang kenal dia."
"Kau di rumah pada malam penembakan itu?"
"Ya. Sudah larut, dan Carmen menyetel televisi kencang sekali. Belum pernah
kudengar ia menyetel selantang itu. Kemudian seseo rang menggedor pintu Carmen.
Laki-laki. Ternyata dia polisi. Kurasa dia terpaksa menggebrak, sebab tak ada
yang dapat mendengarnya di balik suara televisi. Lalu tembakan pistol. Saat
itulah aku menelepon polisi. Aku memanggil polisi, dan ketika kembali ke pintu
depan terjadi kegaduhan di selasar, jadi aku mengintip keluar." "Dan?"
"Dan John Kuzack ada di sana, berikut sejumlah tetangga. Di sini kami saling
menjaga. Kami bukan macam orang-orang yang belagak tak mendengar apa-apa. Itu
sebabnya di sini tak ada obat bius. Kami tak pernah kena masalah seperti itu.
John bertumpu di atas si polisi waktu aku memandang keluar. John tidaktahu laki-
laki itu polisi. John hanya melihat seseorang mati ditembak di selasar Carmen,
dan laki-laki satunya itu memegang senjata, jadi John turun tangan."
"Terus apa yang terjadi?"
"Betul-betul ricuh. Banyak sekali orang. Semua ingin tahu apa yang terjadi,
ngerti 'kan" Mereka berusaha menolong pria yang tewas, namun tak ada gunanya. Ia
sudah tewas." "Dengar-dengar ada dua pria di apartemen Carmen. Kaulihat pria kedua itu"'
"Kurasa iya. Ada seorang pria yang tidak kukenali. Belum pernah lihat. Kurus,
berambut gelap, berkulit gelap, 30-an, mukanya aneh. Seperti habis digebuk pakai
penggorengan. Hidungnya sama sekali rata. Itu sebabnya kuingat dia."
"Apa yang terjadi dengannya?"
Ia mengedikkan bahu. "Entah. Kurasa dia pergi begitu saja. Seperti Carmen."
"Barangkali aku perlu bicara pada John Kuzack." "Dia tinggal di 4B. Biasanya di
rumah. Dia belum dapat pekerjaan." Kuucapkan terima kasih dan mendaki dua rangkaian tangga lagi, bertanya-tanya
orang macam apa yang mau serta sanggup merebut senjata dari Morelli. Aku
mengetuk pintu 4B dan menunggu. Aku mengetuk ulang, dengan kekuatan yang bisa
meremukkan jemariku. Pintu dibuka dengan kasar dan pertanyaan "orang macam apa"
segera terjawab. John Kuzack bertinggi 190 cm, dengan bobot sekitar 110 kg,
rambut kelabunya diekor kuda, dan punya tato ular senduk di dahi. Di tangannya
ada TV Guide dan di tangan satunya kaleng bir. Aroma ganja yang menyenangkan
menyeruak dari apartemennya yang berkabut. Veteran perang Vietnam, batinku.
Penerbang. "John Kuzack?" Ia terjereng-jereng menatapku. "Ada yang bisa ku-bantu?"
"Aku sedang melacak Joe Morelli. Aku berharap kau dapat menceritakan sesuatu
tentang Carmen Sanchez." "Kau polisi?"
"Aku kerja untuk Vincent Plum. Ia yang menjamin Morelli."
"Aku tidak begitu kenal Carmen Sanchez," akunya. "Aku sering berpapasan
dengannya. Kadang-kadang bilang halo. Dia kelihatan cukup ramah. Aku sedang naik
tangga saat mendengar tembakan itu."
"Ny. Santiago, di lantai dua, berkata bahwa kau melumpuhkan pria yang bersenj
ata." "Yeah. Aku tak tahu dia polisi. Yang kutahu, dia nembak seseorang dan masih
memegang senjata. Banyak sekali orang mendatangi selasar, dan dia melarang
mereka semua mendekat. Kusangka situasinya buruk, jadi aku menghajarnya dengan
sekrat bir. Langsung beku di tempat."
Sekrat bir" Aku nyaris terbahak-bahak. Laporan kepolisian menyatakan Morelli
dihantam dengan benda tumpul. Tidak disebut-sebut soal bir.
"Tindakanmu berani sekali."
Ia meringis. "Gila, ini tak ada kaitannya dengan keberanian. Ia sedang
memunggungiku." "Kautahu bagaimana nasib Carmen?"
"Enggak. Kurasa dia kabur di tengah keributan itu."
"Dan sejak itu kau tak melihatnya?"
"Enggak." "Bagaimana dengan saksi pria yang hilang itu" Ny. Santiago bilang ada pria
dengan hidung gepeng ..." "Aku sempat lihat dia, tapi cuma itu." "Kau bakal
mengenalinya andai ketemu lagi?" "Kemungkinan besar."
"Menurutmu ada orang lain di gedung ini yang barangkali tahu soal pria hilang
itu?" "Edleman satu-satunya orang yang betul-betul memperhatikan pria itu."
"Apakah Edleman penghuni sini?"
"Edleman dulunya penghuni sini. Dia ditabrak mobil pekan lalu. Tepat di muka
gedung. Tabrak lari."
Perutku bergejolak seketika. "Kau tidak berasumsi kematian Edleman terkait
dengan pembunuhan Kulesza "kan?"
"Kita takkan pernah tahu."
Kuucapkan terima kasih pada Kuzack atas waktunya dan menuruni tangga perlahan-
lahan, menikmati perasaan melayang dari asap tadi yang mengandung efek samping.
Sudah dekat ke tengah hari, dan semakin gerah. Pagi tadi aku berangkat dengan
tumit tinggi dan setelan, mencoba tampak terhormat dan mengundang rasa percaya.
Aku telah menurunkan jendela-jendela dan meninggalkannya dalam keadaan begitu
sewaktu turun di parkiran depan gedung Carmen, setengah berharap mobilku akan
dicuri. Tak seorang pun melakukannya, jadi kuempaskan diri di balik kemudi dan
melahap habis Fig Newtons yang kucolong dari lemari Ibu. Infomasi yang kudapat
dari tetangga-tetangga Carmen kurang banyak, toh setidaknya aku tidak dianiaya
atau terjungkal dari puncak tangga. Berikutnya dalam daftarku, apartemen
Morelli. Aku menghubungi Ranger untuk minta bantuan, sebab aku terlalu ciut untuk
mengerjakan pembobolan dan masuk ke sana sendirian. Setiba parkiran, Ranger
sudah menungguku. Pakaiannya serba hitam. Kaus tanpa lengan hitam dan celana
kamuflase hitam. Ia bersandar pada sebuah Mercedes hitam kinclong yang antenanya
pasti dapat menjangkau Mars. Aku parkir cukup jauh agar limbah asapku tak
menggerogoti cat mobil itu.
"Mobilmu?" tanyaku, seolah-olah ada kemungkinan punya orang lain.
"Hidupku penuh berkah." Ia mengerling ke Novaku. "Bagus juga lukisannya," sindir
Ranger. "Kau baru dari Stark Street?"
"Ya, dan mereka nyuri radioku."
"Heh, heh, heh. Baik sekali dirimu, menyumbang bagi kaum yang kurang beruntung."
"Aku berniat menyumbang keseluruhan mobil, tapi tak ada yang menginginkannya."
"Walaupun berani gila bukan berarti bocah-bocah itu tolol." Dagunya menunjuk ke
arah apartemen Morelli. "Rupanya tuan rumah sedang pergi, jadi tur kita terpaksa
berjalan tanpa pemandu."
"Apakah ini ilegal?"
"Buset, enggaklah. Hukum memihak kita, Say. Pemburu buron boleh melakukan apa
saja. Malah, kita tidak perlu surat perintah geledah." Ia meliliti pinggangnya
dengan sabuk senjata dari jaring nilon hitam dan menyelipkan sebuah Glock 9 mm
di baliknya. Ia mencantoli sabuk itu dengan sepasang borgol dan mengenakan jaket
hitam gombrong yang dulu dipakainya saat pertemuan pertama kami di kafe.
"Bukannya berharap Morelli ada di rumah," ungkapnya, "tapi siapa tahu. Kita
harus siap untuk segala kemungkinan."
Barangkali semestinya aku juga mengambil langkah antisipasi seperti itu, tapi
sulit kubayangkan diriku dengan pantat pistol menyembul keluar dari pinggang
rok. Lagian, itu pencegahan yang percuma, sebab Morelli tahu aku takkan berani
menembak dia. Ranger dan aku melintasi pelataran dan berderap di jalur beratap menuju
apartemen Morelli. Ranger menggedor pintu dan sejenak menunggu. "Ada orang di
rumah?" bentaknya. Tak ada jawaban.
"Sekarang gimana?" tanyaku. "Mau masuk dengan nendang pintu?"
"Jangan. Sok macho tapi hasilnya malah patah kaki."
"Kau akan mencongkel lubang kunci" Pakai kartu kredit?"
Ranger geleng-geleng. "Kebanyakan nonton TV." Ia mengeluarkan sebuah kunci dari
saku dan menjejalinya ke lubang. "Aku minta kunci sama penjaga sambil menunggumu
datang." Apartemen Morelli terdiri atas ruang duduk, pojok makan, dapur sempit, kamar
mandi, kamar tidur. Lumayan bersih dan sedikit furnitur. Sebuah meja ek persegi,
empat kursi bersandaran terali, sofa empuk yang nyaman,
meja kopi, serta sebuah kursi kulit. Di ruang duduk terdapat perangkat stereo
mahal dan di kamar tidur sebuah TV kecil.
Ranger dan aku menggeledah dapur, mencari buku alamat, menilik tagihan-tagihan
yang ditumpuk acak di de-pan pemanggang.
Mudah membayangkan Morelli pulang ke apartemen ini, menggeletakkan kunci di atas
bufet dapur, menendang lepas sepatunya, membaca surat-surat. Gelombang
penyesalan melandaku saat kusadari ada kemungkinan bahwa Morelli takkan pernah
lagi bebas menikmati ritual-ritual sederhana macam ini. Ia telah membunuh
seorang pria dan dengan berbuat demikian sekaligus mengakhiri hidupnya sendiri.
Tindakan yang sungguh sia-sia. Bagaimana ia bisa begitu goblok" Bagaimana ia
bisa terjerumus kekacauan mengerikan ini" Bagaimana hal seperti ini bisa menimpa
orang" "Tak ada apa-apa di sini," gerutu Ranger. Ia menekan tombol mesin penjawab
Morelli. "Hi, Seksi," desah mesra suara perempuan. "Ini Carlene. Telepon balik
ya." Bip. "Joseph Anthony Morelli, ini ibumu. Kamu di sana" Hallo" Hallo?" Bip.
Ranger membolak mesin itu dan menyalin kode pengaman dan kode pesan khusus.
"Dengan catatan angka-angka ini, kaudapat mengakses pesan-pesannya dari telepon
luar. Moga-moga muncul petunjuk baru."


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami pindah ke kamar tidur, mengais laci-laci, membuka-buka semua buku serta
majalah, mencermati segelintir foto di atas meja rias. Foto-foto keluarga. Tak
berguna. Bukan foto Carmen. Sebagian besar laci-lacinya telah dikosongkan. Ia
membawa seluruh kaus kaki dan pakaian dalamnya. Sayang sekali. Tadinya aku tak
sabar ingin melihat celana dalam Morelli. Alhasil, kami balik ke dapur.
"Tempat ini bersih," Ranger menyimpulkan. "Nggak bakalan nemuin apa-apa yang
menolong di sini. Dan aku meragukan ia akan kembali. Sepengamatanku ia sudah
mengangkut semua keperluannya." Ia mencomot serenceng kunci dari gancu kecil di
dinding dapur dan menjatuhkannya ke tanganku. "Pegang aja. Tak ada gunanya
mengganggu si penjaga kalau kaumau datang lagi."
Kami mengunci apartemen Morelli dan menyusupkan kunci master milik si penj aga
lewat celah di pintunya. Ranger mengempaskan tubuhnya ke dalam Mercedes,
mengenakan kacamata hitam berbias, menguak sun roof, memasang lagu dengan bas
membahana, dan melesat keluar pelataran kayak Batman.
Kuembuskan napas pasrah dan memandang Novaku. Mobil itu mencecerkan oli ke
aspal. Dua ruas parkir darinya, Jeep Cherokee baru berwarna merah dan emas milik
Morelli berkilauan ditimpa matahari. Bisa kurasakan rencengan kuncinya
bergelayut di jemariku. Satu kunci rumah dan dua kunci mobil. Menurutku, tak ada
salahnya melihat dari dekat. Jadi, aku menguak pintu Cherokee dan melongok ke
dalam. Wanginya masih baru. Panel instrumen bebas-debu, karpet-karpet baru
disedot dan tak bernoda, bantalan merah mulus dan sempurna. Mobil ini berpintu
lima, four wheel drive, dan tenaga kuda yang cukup untuk membuat seorang laki-
laki bangga. Lengkap dengan AC, radio Alpine dan pemutar kaset, radio pemancar
polisi, telepon selular, dan CB scanner. Ini mobil dahsyat. Dan milik Morelli.
Sepertinya kurang adil, seorang peleceh hukum macam dia punya mobil sehebat ini
sedangkan punyaku cuma rongsokan.
Barangkali mumpung aku sudah membuka mobilnya, sekalian saja kunyalakan untuk
dia. Tak baik buat mobil, hanya didiamkan dan tidak dikendarai. Semua orang juga
tahu. Kutarik napas dalam-dalam dan dengan hati-hati duduk di balik kemudi. Aku
mengatur posisi kursi dan kaca spion. Tanganku meletak di atas kemudi dan
mengetes rasanya. Aku mampu menangkap Morelli andai punya mobil seperti ini,
kuyakinkan diri. Aku cerdik. Aku gigih. Yang kubutuhkan cuma mobil. Aku
bertanya-tanya apakah aku perlu menyetirnya. Mungkin sekadar menyalakannya belum
cukup. Mungkin mobil ini perlu jalan-jalan mengitari blok. Mungkin yang lebih
baik lagi, aku mesti mengendarainya selama satu-dua hari biar betul-betul nggak
ngadat. Oke, siapa yang ketipu" Aku sedang menimbang-nimbang untuk mencuri mobil
Morelli. Bukan mencuri, ralatku. Menyita. Lagian, aku ini pemburu buron, dan
kemungkinan besar boleh menyita sebuah mobil dalam keadaan darurat. Aku mendelik
ke arah Nova. Di mataku, keadaannya cukup darurat.
Ada keuntungan lain nyolong mobil Morelli. Aku hampir yakin dia takkan senang.
Dan bila kedongkolannya cukup hebat, barangkali ia bakal bertindak bodoh yaitu
datang untuk merebutnya. Aku menstarter mobil dan berusaha mengabaikan jantungku yang berdegup-ganda.
Rahasia sukses seorang pemburu buron adalah mampu memanfaatkan momen, batinku.
Fleksibilitas. Adaptasi. Gagasan kreatif. Semua atribut yang dibutuhkan. Dan,
tak ada salahnya sedikit nekat.
Berkali-kali aku menghirup dan mengembuskan napas lambat-lambat agar tidak
mengalami hiperventilasi sehingga mengalami tabrakan dengan mobil curianku yang
pertama. Masih tinggal satu tujuan dalam rencana perjalanan hari ini. Aku harus
mengunjungi Step In Bar and Grill, tempat kerja terakhir Carmen yang diketahui.
Step In berlokasi di bagian Stark Street yang lebih rawan, dua blok dari gym.
Aku berdebat sendiri mengenai perlunya pulang dulu ganti bajuyang lebih santai,
kemudian memutuskan untuk tetap memakai setelan ini. Apa pun busananya, aku
takkan bisa kelihatan membaur dengan pengunjung-pengunjung tetap bar tersebut.
Aku dapat parkir setengah blok dari sana. Aku mengunci pintu, menempuh jarak
pendek ke bar itu dan mendapatinya tutup. Pintunya digembok. Jendela-jendela
dipalang. Tanpa penjelasan. Aku tidak terlalu kecewa. Semenjak insiden di gym,
aku tak begitu kepengen menyerobot masuk ke benteng maskulin Stark Street
lainnya. Aku bergegas kembali ke Cherokee dan berkendara bolak-balik sepanjang
Stark Street dengan harapan melihat Morelli. Pada lintasan kelima, aku merasa
tua di jalan dan bensin tinggal sedikit, jadi aku menyerah. Aku menggeledah laci
dasbor, mencari kartu kredit tapi tidak ada. Hebat. Kehabisan bensin. Kehabisan
duit tunai. Kehabisan duit plastik.
Jika mau bertahan mengejar Morelli, aku perlu ongkos kebutuhan dasar. Tak
mungkin aku menyambung hidup dari hari ke hari. Vinnie-lah jawaban paling tepat
atas masalahku. Vinnie harus menalangi pengeluaran-pengelu-aranku dulu. Di lampu
merah aku berhenti sembari meneliti telepon Morelli. Aku menyalakannya dan nomor
Morelli berkelip di layar. Gampang banget. Kukira sebaiknya aku memonopoli
seluruh fasilitasnya. Kenapa juga berhenti pada pencurian mobil" Sekalian saja
bikin tagihan telepon Morelli melonjak. Kuhubungi kantor Vinnie, dan Connie yang menyahut. "Vinnie ada?" tanyaku.
"Yeah," balasnya. "Dia bakal di sini sepanjang siang." "Sepuluh menit lagi aku
nyampe sana. Aku perlu bicara padanya."
"Kau menggrebek Morelli?"
"Tidak, tapi aku menyita mobilnya."
"Ada sun roof-nya nggak?"
Aku mengerling ke atas. "Tanpa sun roof."
"Payah." Kusudahi telepon dan menikung ke Southard, berusaha memutuskan jumlah pembayaran
di muka yang masuk akal. Uang itu harus cukup untuk membiayaiku selama dua
pekan. Dan bila bermaksud mengejar Morelli pakai mobilnya, aku harus memasang
sistem alarm. Mustahil terus-terusan jagain mobil ini, dan jangan sampai Morelli
merampasnya dariku di saat aku tidur, pipis, atau ke pasar.
Aku sedang menghitung-hitung ketika telepon berdering, dengung 'brrrrp' pelan
itu nyaris membuatku nerjang trotoar. Sensasi yang aneh. Ibarat kepergok
nguping, atau bohong, atau duduk di atas kloset dan tiba-tiba keempat tembok
kamar mandi jatuh merebah. Aku dihantam desakan irasional untuk segera menepi
dan tunggang-langgang menjauhi mobil sambil menjerit-jerit.
Dengan waspada kutempelkan corong ke telinga. "Hallo?" Jeda sebentar, lalu suara
wanita terdengar. "Aku mau bicara dengan Joseph Morelli."
Olala. Ternyata Momma Morelli. Kayak masalahku belum cukup aja. "Joe sedang
tidak berada di tempat."
"Ini siapa?" "Aku teman Joe. Ia berpesan agar aku mengendarai mobilnya sekali-sekali."
"Bohong," dampratnya. "Aku tahu dengan siapa aku bicara. Aku bicara dengan
Stephanie Plum. Aku hafal suaramu. Apa yang kaulakukan di mobil Josephku?"
Tak seorang pun memancarkan sikap merendahkan seperti Momma Morelli. Andai yang
di ujung telepon sana ibu-ibu biasa, aku bakal menjelaskan atau minta maaf, tapi
ibunda Morelli membuatku ngeri setengah mampus.
"Apa?" pekikku. "Aku tak bisa mendengarmu. Apa"
Apa?" Kubanting corong itu dan memencet tombol untuk mematikan pesawat telepon. "Bagus
sekali," gumamku sendiri. "Sangat dewasa. Sangat profesional. Betul-betul
berpikir tangkas." Aku parkir di Hamilton dan berolahraga gerak jalan sejauh setengah blok menuju
Vinnie. Aku memompa semangat untuk konfrontasi sebentar lagi, memacu adrenalin,
meningkatkan level energiku. Aku menghambur masuk kantor bak Wonder Woman,
mengacungkan jempol pada Connie, dan melesat lempeng ke ruangan Vinnie. Pintu
terbuka. Vinnie duduk di balik meja, tunduk menekuri buletin balap kuda.
"Hei," sapaku. "Lancar?"
"Ah tai," umpat Vinnie. "Apa lagi sekarang?" Inilah yang kusuka dari keluarga
kami. Betapa dekat, betapa hangat, betapa santun hubungan kami.
"Aku minta pembayaran di muka. Banyak pengeluaran terkait dengan misiku."
"Pembayaran di muka" Kau becanda" Ini lelucon
"kan?" "Bukan lelucon. Aku bakal dapat $ 10.000 begitu meringkus Morelli. Aku minta
$2.000 uang muka." "Kalau neraka sudah beku. Dan jangan kira kau bisa memerasku lagi. Kau ngadu ke
istriku, dan aku pasti mampus. Coba aja ngemis kerjaan ke laki-laki yang udah
mati, dasar sok pinter."
Betul juga dia. "Oke, jadi pemerasan tak ada gunanya. Bagaimana dengan
kemarukan" Kau mengucurkan $2.000 sekarang, dan aku takkan minta bagian 10%-ku
seutuhnya." "Gimana kalau kau gagal menggrebek Morelli" Pernah mikir ke sana?"
Hanya setiap menit dalam hidupku. "Aku pasti berhasil."
"Uh huh. Maaf, aku tidak seoptimis itu. Dan ingat, aku menyetujui kegilaan ini
cuma untuk seminggu. Kau masih punya 4 hari. Jika kau belum geret si Morelli
Senin depan, akan kuserahkan pada orang lain."
Connie nimbrung masuk. "Ada masalah apa" Stephanie butuh duit" Kenapa tidak
kasih Clarence Sampson saja padanya?"
"Siapa Clarence Sampson?" lontarku.
"Salah seorang anggota keluarga pemabuk-pemabuk kami. Sebagian besar waktu dia
anteng-anteng saja. Tapi, dia sering kambuh melakukan hal tolol."
"Semisal?" "Semisal mengemudi dengan 150 kadar alkohol dalam darah. Pada kesempatan ini dia
ketiban sial, menghancurkan sebuah mobil patroli."
"Dia nabrak patroli?"
"Tidak juga," decak Connie. "Ia mencoba menyetir mobil polisi itu. Ia nyungsep
ke dalam toko minuman keras
di State Street." "Kalian punya foto oknum ini?"
"Aku punya berkas setebal dua inci dengan foto-fotonya semenjak dua dekade
terakhir. Saking seringnya kami menangai jaminan Sampson, aku sampai hafal nomor
jaminan sosialnya di luar kepala."
Aku mengekornya ke luar ruangan Vinnie dan menunggu sementara ia memilah-milah
segunung map manila. "Rata-rata agen penggrebek kami mengerjakan beberapa kasus sekaligus," tutur
Connie. "Cara ini lebih efisien." Ia menyodorkan selusin map padaku. "Mereka
para TYTM yang sedang ditangani Morty Beyers untuk kami. Ia bakal absen lama,
jadi ada baiknya kau mengambil-alih dulu. Ada beberapa yang lebih mudah
ketimbang lainnya. Hafalkan saja nama-nama dan alamat-alamat dan ringkus mereka
berdasarkan foto-foto ini. Kita tak pernah menduga kapan kita beruntung. Pekan
lalu Andy Zabotsky sedang mengantre beli ayam goreng dan mengenali pria di
depannya sebagai TYTM. Tangkapan yang bagus pula. Pengedar. Kami menghemat
$30.ODD." "Aku baru tahu kalian juga menjamin pengedar narkoba," ungkapku. "Kukira kalian
hanya menangani penjahat kelas teri."
"Bandar narkoba tidak menyusahkan," ejek Connie. "Mereka tak suka meninggalkan
daerah ini. Mereka punya klien. Mereka menghasilkan banyak uang. Jika ada yang
menghilang, biasanya kau bisa mengandalkan mereka untuk muncul lagi."
Lengan mengepit map-map itu, aku berjanji akan membuat fotokopi dan
mengembalikan aslinya pada Connie. Kisah tentang ayam tadi sungguh inspiratif.
Bila Andy Zabotsky bisa meringkus penjahat di resto ayam,
coba bayangkan potensiku pribadi. Aku selalu melahap makanan sampah macam itu.
Bahkan, aku menyukainya. Barangkali karier pemburu buron ini akan berhasil.
Seusai membereskan utang-utangku nanti, aku tinggal menyambung hidup dengan
mengumpulkan orang-orang seperti Sampson dan sekali-kali menggrebek resto cepat
aji. Aku mendorong pintu depan dan tercekat akibat perubahan dari ruang ber-AC ke
luar. Suhu telah meningkat dari cerah ke panas mencekik. Udara lembab dan
menyesakkan, langit mendung. Matahari menyengat bagian-bagian kulit yang
terbuka, dan aku mendongak seraya menghalau mataku, setengah berharap melihat
lubang ozon menganga di atasku bak mata raksasa bermata satu menembakkan sinar-
sinar maut radioaktif apalah. Aku tahu lubang itu sebenarnya menggantung di atas
Antartika, tapi menurutku logis jika cepat atau lambat akan bergeser ke Jersey.
Jersey memproduksi urea formaldehyde dan menampung sampah lepas pantai New York.
Kubuka pintu Cherokee dan beringsut ke belakang kemudi. Menangkap Sampson takkan
menerbangkanku ke Barbados, toh tetap bisa mengisi kulkasku dengan sesuatu yang
tidak basi. Dan yang lebih penting, sebagai pengalaman buatku menjalani langkah-
langkah misi sergapan. Ketika Ranger mengantarku ke kantor polisi untuk
mendapatkan izin kepemilikan senjata, ia sempat menjelaskan prosedur tersebut
padaku, namun aku belum pernah terjun langsung ke lapangan.
Aku menyalakan telepon mobil dan memijit nomor rumah Clarence Sampson. Tak
dijawab. Tak ada catatan nomor telepon tempat kerjanya. Data kepolisian
mencantumkan alamatnya di SS05S Limeing Street. Aku kurang familier dengan
Limeing Street, jadi kucari di peta dan
mendapati Sampson tinggal dua blok dari Stark, dekat gedung-gedung pemerintahan.
Foto Sampson sudah ku-rekatkan di dasbor, dan setiap detik membandingkannya
dengan laki-laki yang kulewati sembari berkendara.
Connie menganjurkan agar aku mendatangi bar-bar kumuh sepanjang Stark. Dalam
daftar hal-hal favoritku, menghabiskan happy hour di Rainbow Room yang letaknya
di pojok Stark dan Limeing berada tepat di bawah memotong kedua jempolku dengan
pisau tumpul. Menurutku, nongkrong dalam Cherokee terkunci saja dan mengawasi
jalan akan sama efektifnya dan memangkas bahaya. Andai Clarence berada dalam
salah satu bar itu, cepat atau lambat ia bakal keluar.
Perlu keliling beberapa kali sebelum aku menemukan petak parkir yang kusukai di
sudut Limeing dan Stark. Pemandangan yang bagus ke Stark, sekaligus bisa melihat
setengah blok Limeing. Aku sedikit menonjol dalam balutan setelan, ditambah
kulit putihku dan mobil merah gede ini, toh tak seberapa dibandingkan melenggang
sok cuek masuk ke Rainbow Room. Aku menguak jendela sedikit dan duduk merosot di
kursi, berusaha nyaman. Seorang bocah berambut lebat dan emas senilai $700 yang melingkari lehernya
berhenti dan memandangiku, dua konconya berdiri tak jauh. "Hei say," sapanya.
"Ngapain kamu di situ?"
"Nungguin orang," balasku.
"Oh yah" Cewek secakep kamu seharusnya nggak boleh disuruh nunggu."
Salah seorang konconya mendekat. Mulutnya meniru suara-suara isapan dan
melambai-lambaikan lidah padaku. Saat merasa telah berhasil menarik perhatianku,
ia menjilat jendelaku. Aku mengobok-obok tas sampai menemukan pistol dan spray-ku. Kugeletakkan
keduanya di dasbor. Setelah itu, orang-orang berhenti dan menatapku sesekali,
namun mereka tidak berlama-lama.
Pukul lima, aku sudah tidak betah, dan rok rayonku kusut-masai di bagian lipatan
paha. Aku sedang melacak Clarence Sampson, toh yang kupikirkan Joe Morelli. Dia
berada di suatu tempat dekat-dekat sini.
Bisa kurasakan di kawah perutku. Ibarat arus listrik rendah yang berdengung di
bagian dalam kudukku. Dalam benak kulihat diriku menunaikan sergapan itu.
Skenario termudah adalah dia sama sekali tidak melihatku, sebab aku datang dari
belakang dan langsung menyemprotnya. Andai tidak mungkin, aku akan harus bicara
padanya dan menunggu saat yang tepat untuk menyemprot. Begitu dia terkapar di
tanah dan tak berdaya, aku tinggal memborgolnya. Sehabis memborgol dia, aku akan
merasa lebih tenang. Pukul enam, aku sudah melakukan sergapan dalam benakku sekitar empat puluh dua
kali dan sudah siap mental. Pukul enam tiga puluh, semangatku di titik terendah,
dan aku sudah setengah pulas. Aku melemaskan otot sebisanya dan mencoba
isometri. Aku menghitung mobil-mobil lalu-lalang, mengumandangkan lirik himne
kebangsaan, dan lambat-lambat membaca daftar ingre-dien pada sebungkus permen
karet yang kutemukan dalam tasku. Pukul tujuh, aku menelepon layanan jam untuk
memastikan jam mobil Morelli tepat waktu.
Aku tengah mengutuk diri karena jenis kelamin maupun warna kulitku salah untuk
beroperasi secara efektif di hampir separuh kawasan Trenton, ketika seorang pria
sesuai deskripsi Sampson terhuyung-huyung keluar Rainbow Room. Kucermati foto di
dasbor. Melirik pria itu lagi. Cermati foto dasbor lagi. Aku 90% yakin dialah
Sampson. Badan besar dan gombyor, kepala kecil tengik, rambut dan janggut gelap,
Kaukasia putih. Mirip Bluto. Pasti dia Sampson. Mari hadapi kenyataan, berapa
banyak sih pria gempal berkulit putih tinggal di lingkungan ini"
Kujejalkan pistol dan spray kembali ke dalam tas, keluar dari parkiran dan
melaju sekitar dua blok sampai belok ke Limeing dan mengambil posisi antara
Simpson dan rumahnya. Aku parkir dalam deret ganda dan turun dari mobil.
Segerombol remaja berdiri ngobrol di sudut, dan dua gadis cilik duduk di undakan
dekat situ bersama boneka-boneka Barbie mereka. Di seberang jalan, sebuah dipan
compang-camping dengan bantalan merambah keluar telah ditelantarkan di trotoar.
Inilah variasi teras versi Limeing Street. Dua pria uzur nongkrong di dipan itu,
menatap hampa dan tanpa kata, raut wajah tak beranimasi.
Sampson meniti jalanan lambat-lambat, jelas sedang di awang-awang. Seringainya
menular. Kubalas senyuman itu. "Clarence Sampson?"


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yup," cetusnya. "Itu aku."
Kata-katanya belepotan, dan dia bau kecut, seperti baju yang terlupakan selama
dua pekan di keranjang cucian.
Kuulurkan tangan. "Aku Stephanie Plum. Aku mewakili perusahaan jaminanmu. Kau
tak memenuhi panggilan pengadilan, dan kami ingin kau menjadwal ulang."
Kebingungan membuat alisnya bekerut sejenak, informasi diproses, dan ia
sumringah lagi. "Kayaknya aku lupa."
Bukan tipe kepribadian A. Menurutku Sampson tak
perlu khawatir kena serangan jantung akibat stres. Naga-naganya Sampson akan
mati akibat inersia. Aku melebarkan senyum. "Bukan masalah, sering terjadi kok. Aku bawa mobil ..." Aku
memberi isyarat ke arah Cherokee. "Jika tak merepotkan, aku ingin mengantarmu ke
markas polisi, dan kita tinggal mengurus beberapa dokumen."
Ia menatap melewatiku, ke rumahnya. "Entahlah
ii Aku menggaet lengannya dan menuntunnya maju. Seperti koboi baik hati menggiring
sekawanan binatang bodoh. Percayalah padaku, anjing kecil. "Takkan makan waktu
lama." Cuma tiga minggu, barangkali.
Aku memancarkan pesona dan sentosa, menekan payudaraku ke lengannya yang
berlemak sebagai insentif tambahan. Aku menuntunnya mengitari mobil dan
membukakan pintu penumpang. "Aku sangat menghargainya," ucapku.
Ia mandek di pintu. "Urusannya cuma memperbaharui tanggal sidang 'kan?"
"Yak, betul." Dan sesudahnya mendekam di sel hingga tanggal itu muncul di
kalender. Aku tak bersimpati padanya. Dia bisa saja membunuh orang sewaktu
mengemudi dalam keadaan mabuk.
Aku membujuknya masuk dan memasangi sabuk pengaman. Aku lari mengitari mobil,
melompat naik dan segera ngebut, khawatir bohlam dalam otak kerdilnya tiba-tiba
nyala dan dia sadar, aku agen penyergap. Tak terbayang olehku apa yang bakal
terjadi begitu kami tiba di kantor polisi. Langkah demi langkah, kuingatkan
diriku. Andai dia mulai brutal, tinggal kusemprot pakai gas ... mungkin.
Ketakutanku tak beralasan. Belum ada seperempat mil kami berkendara, matanya sudah berkaca-kaca dan ia ketiduran, menempel di
pintu bak lintah raksasa. Kupanjatkan doa singkat agar dia tidak ngompol, atau
muntah, atau hal jorok lain yang biasa menimpa orang mabuk.
Sekian blok kemudian, aku singgah di lampu merah dan mencuri pandang ke arahnya.
Masih bobo. Sejauh ini semua aman terkendali.
Sebuah van Ecoline biru pudar menarik perhatianku, di jalur seberang perempatan.
Tiga antena. Untuk ukuran van tua butut aksesorinya banyak benar, pikirku.
Mataku memicing mengamati si pengemudi di balik kaca film yang gelap, dan
kecemasan hebat merayapi tengkukku. Lampu beralih hijau. Mobil-mobil melintasi
perempatan. Van itu melaju, dan jantungku melonjak ke tenggorokan begitu aku
disuguhi pemandangan seorang Joe Morelli di belakang kemudi, melongo menatapku,
gempar. Refleks pertamaku adalah mengisut sampai ukuranku jadi tak kasat mata.
Secara teori, seharusnya aku senang dengan kontak ini, namun dalam kenyataan aku
justru kalang-kabut. Aku pandai berfantasi mengenai penggrebekan Morelli. Tapi
untuk mewujudkannya, aku tidak segitu yakinnya. Rem berdecit di belakang, dan
dari kaca spion kulihat van itu melindas pembatas jalan buat putar-balik.
Sudah kuduga ia akan mengejarku. Tak kusangka ia akan mengejarku secepat ini.
Pintu Jeep terkunci, tapi aku menekan-ulang tombolnya. Sure Guard di pangkuanku.
Kantor polisi kurang dari satu mil jaraknya. Aku berdebat sendiri perihal
mendepak Clarence dan menguber Morelli. Toh, Morellilah target utamaku.
Selintas terbayang beberapa upaya penyergapan, dan tak satu pun memuaskan. Aku
tak mau Morelli menghampiriku sementara aku sedang repot dengan Clarence. Dan,
aku tak mau melumpuhkan Morelli di tengah jalan. Jangan di daerah ini. Aku tak
yakin mampu mengendalikan kehebohan yang mungkin timbul.
Morelli masih ketinggalan S mobil di belakang ketika aku berhenti di lampu
merah. Pintu pengemudi terbuka, Morelli turun dari van, berlari ke arahku.
Kucengkeram kaleng gasku dan berdoa agar lampu beralih. Morelli hampir tiba
dekat Cherokee ketika semua mobil beranjak maju, dan Morelli terpaksa kembali ke
van. Sohibku Clarence masih tidur, kepalanya loyo ke depan, mulutnya menganga dan
ngiler, ngorok halus. Aku menikung ke kiri, arah North Clinton, dan telepon
mencicit. Ternyata Morelli, dan ia terdengar kurang senang. "Kebrengsekan apa lagi yang lo
buat?" hardiknya. "Saya mengantar Tn. Sampson ke markas polisi. Anda boleh ikut kami. Ia akan
memudahkan semua urusan saya."
Sungguh jawaban yang nendang, mengingat aku tengah mengalami serangan panik.
"DAN YANG LO PAKE ITU MOBIL GUA!" "Mmmmm. Yak, aku menyitanya." "Kamu APA?"
Kumatikan telepon sebelum percakapan memburuk jadi ancaman pembunuhan. Van
menghilang dari penglihatan, dua blok sebelum kantor polisi, dan aku melanjutkan
perjalanan bersama TYTM-ku yang nyenyak seperti bayi.
Departemen kepolisian menempati gedung model kubus bertingkat tiga yang mewakili
Perwujudan Babi dalam arsitektur kotapraja. Jelas berada di urutan belakang
rantai-makanan, Markas Besar telah mengusahakan segelintir pernik, yang
merupakan tindakan yang tepat mengingat keberadaannya di tengah-tengah daerah
kumuh. Lokasinya hampir bisa dipastikan takkan dicolek seandainya kerusuhan
besar-besaran terjadi. Pelataran berpagar kawat mengitari gedung dan menyediakan parkiran bagi patroli
mobil dan van, karyawan, polisi, serta warga-warga yang terancam.
Rumah-rumah indentik nan kumuh serta usaha-usaha kecil, tipikal area ini,
berderet di seberang gerbang masuk markas besar Jumbos Seafood, sebuah bar ?tanpa nama jelas tertera dan jeruji besi menancapi jendela-jendela, sebuah
toserba di sudut mengiklankan RC Cola, Lydia's Hat Designs, sebuah toko perabot
bekas memajang koleksi mesin cuci aneka warna di emperan, serta Gereja
Tabernacle. Aku memasuki pelataran, mengaktifkan telepon, buru-buru memencet, meminta
bantuan untuk penyerahan tahanan. Aku diberi intstruksi agar berprosedur lewat
pintu belakang, tempat petugas bersenjata akan menungguku. Aku tiba di pintu
yang dimaksud dan mundur ke jalur masuk itu, menempatkan Clarencesedekat mungkin
dari gedung. Tak ada petugas berseragam sejauh penglihatanku, jadi aku menelepon
lagi. Aku diminta dengan ketus untuk menenangkan diri. Gampang banget mereka
berkata demikian-mere/o tahu apa yang sedang mereka lakukan.
Selang beberapa menit, kepala Crazy Carl Costanza nongol di pintu. Aku melakukan
Komuniku bareng Crazy Carl, antara banyak hal lain.
Ia menatapku melewati Clarence. "Stephanie Plum?"
"Hei, Carl." Mukanya mengendur dalam seringai. "Kata mereka ada
kunyuk nyebelin di luar sini."
"Pastinya aku," aku mengakui. "Ada apa dengan si Putri Tidur ini"1 "Dia seorang
TYTM." Cari naik mobil untuk melihat dari dekat. "Apakah dia mati?"
"Kayaknya belum. "Baunya sebusuk mayat."
Aku setuju. "Dia perlu dimandiin pakai selang pemadam kebakaran." Aku
mengguncang Clarence dan berteriak di telinganya. "Ayo. Waktunya bangun."
Clarence terselak ilernya dan membuka mata. "Di mana aku?"
"Kantor polisi," balasku. "Para penumpang dipersilakan turun."
Ia menatapku dengan tampang bloon dan kurang fokus khas pemabuk. Ia belum
beranjak, masih sekaku karung pasir.
"Tolong lakukan sesuatu," desakku pada Costanza. "Mari keluarkan dia dari sini."
Costanza merenggut lengan Clarence, dan aku menekan kakiku ke pantat Clarence.
Kami mendorong serta menarik, dan sejengkal demi sejengkal, kami berhasil
mendepak onggokan lemak bau berwujud Sampson dari kursi depan ke atas pavemen.
"Inilah alasanku masuk kepolisian," gumam Costanza. "Aku tergoda oleh segi
glamornya." Kami memanuver Clarence lewat pintu sekuriti, memborgolnya pada bangku kayu, dan
menyerahkannya pada seorang letnan piket. Aku terbirit-birit keluar dan
memindahkan Cherokee ke ruas parkir biasa, tempat yang kurang kelihatan bagi
polisi yang bisa menyangkanya sebagai mobil curian.
Saat aku kembali, ikat pinggang dan tali sepatu dan barang-barang pribadi
Clarence sudah dilucuti. Ia tampak melas dan mengenaskan. Dialah tangkapanku
yang pertama, dan kusangka bakal merasa puas atas kesuksesan ini. Ternyata,
sekarang aku justru merasa susah bersyukur atas kemalangan orang lain.
Aku mendapat tanda terima atas tangkapanku, menghabiskan beberapa menit
bernostalgia dengan Crazy Carl, dan kembali ke parkiran. Aku berharap pulang
sebelum gelap, namun malam tiba lebih cepat dalam selimut awannya. Langit tanpa
bintang dan tanpa bulan. Lalu-lintas sporadis. Jadi lebih mudah mendeteksi
penguntit, pikirku, tapi aku tidak yakin. Percaya diriku amat rendah jika
menyangkut kemampuanku mendeteksi Morelli.
Tak ada tanda-tanda van biru. Nggak berarti apa-apa sih. Sekarang ini Morelli
bisa saja mengendarai mobil lain. Aku melesat ke arah Nottingham, sebelah mata
di jalan dan sebelah lagi di kaca spion. Dalam hatiku masih ada kecurigaan,
Morelli mungkin di belakang sana, tapi setidaknya ia cukup sopan untuk tidak
membututiku terang-terangan. Artinya, ia menganggapku cukup serius. Pikiran ini
melejitkan semangatku, mari maanfaatkan kesempatan ini untuk melaksanakan
rencanaku. Rencana yang sederhana. Tinggal pulang, parkir Cherokee ini di
pelataran, tunggu di semak-semak dengan spray gas di tangan, dan semprot Morelli
begitu dia datang mengambil mobilnya.
Muka gedung apartemenku berimpitan dengan trotoar. Parkir di belakang.
Pemandangan di pelataran itu minim sekali, bentangan aspal persegi panjang yang
terbagi-bagi atas petak-petak parkir. Tidak tersedia fasilitas canggih ceruk
parkir atas nama penghuni; siapa cepat dia dapat, dan seluruh tempat strategis
khusus untuk orang-orang cacat. Tiga Dumpster nangkring di jalur masuk
pelataran. Satu bagi sampah biasa, dua bagi sampah daur-ulang. Bagus dari segi
lingkungan hidup, kurang bagus dari segi keindahan lokal. Jalur masuk belakang
ini dihiasi belukar azalea yang tumbuh liar, mengepung gedung dan menjalar
hampir sepanjang sisi pelataran. Luar biasa cantik pada musim semi, tatkala
bunga-bunga merah jambu bermekaran, dan memesona padamusim dingin, berkat si
penjaga yang menggantungi lampu-lampu mungil yang berkelap-kelip di situ. Pada
bulan-bulan lain, kehadiran semak tersebut lebih baik daripada kosong sama
sekali. Kupilih petak parkir di tengah pelataran yang ditimpa cukup penerangan, biar
Morelli terlihat andai dia kemari merebut hak miliknya kembali. Lagi pula, tak
banyak tempat yang tersisa. Rata-rata penghuni gedung ini orang-orang lanjut
usia yang kurang suka mengemudi saat hari sudah gelap. Pukul sembilan pelataran
ini sudah padat dan suara TV menggelegar dari apartemen-apartemen tetangga senior.
Kuedarkan pandangan sekeliling, memastikan tak ada tanda-tanda Morelli. Lantas,
aku menguak kap mesin dan mencabut katup distributor. Ini salah satu trik
bertahan hidup di New Jersey. Siapa pun yang pernah meninggalkan mobilnya parkir
untuk waktu yang lama di Newark Airport tahu cara mencabut katup distributor.
Bisa jadi, inilah satu-satunya cara memastikan mobil kita masih berada di tempat
saat kita kembali. Perkiraanku, setelah gagal menstarter Cherokee, Morelli bakal melongok ke bawah
kap mesin, dan saat itulah aku tinggal menyemprotnya pakai gas. Aku tergopoh-
gopoh mendekati gedung dan sembunyi di balik semak azalea, merasa bangga akan
kecerdikanku. Demi kepentingan rokku, aku menduduki koran di atas tanah. Pengen sih ganti
baju, tapi aku khawatir Morelli muncul tepat saat aku bergegas ke atas. Serpihan
aras bertabur di depan semak-semak. Tanah yang kutongkro-ngi ini keras dan
padat. Andai masih kecil mungkin aku menganggap tempat ini nyaman, namun aku
bukan bocah lagi dan menangkap banyak hal yang tidak disadari anak-anak.
Terutama, bahwa dari belakang, azalea ternyata tidak terlihat terlalu indah.
Sebuah Chrysler gede memasuki parkiran dan seorang pria berambut putih turun.
Aku mengenalinya, tapi entah siapa namanya. Ia melangkah lambat-lambat ke pintu
masuk gedung. Ia tidak tampak curiga atau memekik "Tolong, ada perempuan gila
ngumpet di semak-semak," sehingga aku yakin diriku aman tersembunyi.
Dalam keremangan aku melirik arloji. Pukul 21.45. Menunggu bukanlah kegiatan
favoritku. Aku kelaparan dan
bosan serta kurang nyaman. Barangkali ada orang yang biasa memanfaatkan saat-
saat penantian sembari merenung, menyusun daftar hal-hal yang perlu dikerjakan,
tenggelam dalam instrospeksi yang konstruktif. Bagiku, menunggu hanyalah buang-
buang energi. Lubang hitam. Jeda hampa.
Pukul 23.00 aku masih menunggu. Badanku pegal-pegal, dan aku harus ke kamar
mandi. Toh, aku berhasil bertahan di situ selama satu setengah jam berikutnya.
Aku tengah menilik-ulang opsi-opsi yang tersedia, mempertimbangkan rencana baru,
ketika mulai hujan. Rintik-rintiknya besar-besar dan berantara, jatuh dalam
gerak lambat, memerciki belukar azalea, membasuhi tanah liat yang kududuki,
menguarkan dari bumi bebauan yang mengingatkan akan sarang laba-laba dan saluran
pembuangan. Aku duduk dengan punggung bersandar pada gedung, kedua
lututdinaikkan ke dada. Kecuali segelintir tetes bandel, tubuhku belum
terjangkau oleh hujan. Selang beberapa menit, temponya meningkat, rintik-rintiknya mengecil dan makin
konsisten, serta angin mengencang. Air menggenangi aspal hitam, memantulkan
berkas-berkas cahaya, dan tetes-tetes hujan menerpa cat merah terang Cherokee.
Ini malam yang pas untuk naik ke tempat tidur bersama sebuah buku, mendengarkan
suara tik, tik, tik, rintik-rintik hujan mengguyur jendela dan tangga darurat.
Ini malam yang salah untuk jongkok di balik semak azalea. Hujan berpusar-pusar
bersama angin, menerjangku, merembesi rokku, membuat rambutku lepek ke mukaku.
Pukul 01.00, aku menggigil dan sengsara, basah-kuyup, sebentar lagi pipis di
celana. Bukan masalah juga sih. Pukul 01.05 aku menyerah. Andaikata Morelli
nongol, hal yang mulai kuragukan, aku tak yakin aku cukup kuat untuk meringkusnya. Dan,
jangan sampai ia melihatku dengan rambut seperti ini.
Aku hendak beranjak ketika sebuah mobil melesat masuk pelataran, berhenti di
perimeter terjauh, dan memadamkan lampu. Sesosok pria turun, buru-buru
menghampiri Cherokee dengan kepala merunduk. Ternyata Mooch lagi. Kusandarkan
keningku di lutut dan merem. Naif betul aku mengira Joe bakal masuk perangkap.
Seluruh aparat kepolisian tengah melacak jejaknya. Mustahil dia terjebak
muslihat macam ini. Aku mendongkol sebentar lantas membuang perasaan itu jauh-
jauh, bersumpah akan lebih cerdik lain kali. Seharusnya, aku menempatkan diri di
posisi Joe. Mungkinkah aku mengekspos diri, dengan langsung datang menjemput
mobil ini sendiri" Tidak. Oke, ini pelajaran buatku. Aturan nomor satu: jangan
meremehkan musuh. Aturan nomor dua: berpikirlah ala penjahat.
Mooch membuka pintu pengemudi dengan kunci dan duduk di balik setir. Mesin gagal
dihidupkan. Mooch menunggu sekian menit kemudian mencoba lagi. Ia keluar dan
melongok ke bawah kap mesin. Kutahu ini takkan makan waktu lama. Tak perlu otak
genius untuk menyadari hilangnya sebutir katup distributor. Mooch menarik
kepalanya dari bawah kap mesin, membantingnya, menendang salah satu ban, dan
menyemburkan ucapan yang kurang sopan. Ia berlari kembali ke mobilnya dan
menghambur meninggalkan parkiran.
Aku berjingkat-jingkat keluar dari bayang-bayang dan dengan gontai menempuh
jarak singkat ke pintu belakang gedung. Rokku melekat di paha dan air merembesi
sepatuku. Malam ini kacau sekali, tapi bisa saja lebih
parah. Masih bagus bukan ibunya Joe yang datang mengambil mobil itu.
Lobi sepi, tampak lebih suram ketimbang biasanya. Aku memijit tombol lift dan
menunggu. Air menetes dari ujung hidung dan keliman rokku, membentuk genangan
kecil di ubin kelabu. Gedung ini dilengkapi sepasang lift yang berdampingan.
Setahuku, belum pernah ada yang mati gara-gara lift di sini: terjun bebas atau
terlempar ke udara lewat plafon lift yang naik tanpa kendali, namun peluang
terjebak antara dua lantai cukup besar. Biasanya aku lewat tangga. Untuk malam
ini, kudorong masokisme bodoh tadi sampai batas maksimal, dan memilih naik lift.
Kerangka lift berayun-ayun di tempat, pintu menganga terbuka dan aku melangkah
masuk. Aku tiba di lantai dua tanpa insiden dan kakiku berkecipak-kecipuk
sepanjang lorong. Aku merogoh tas mencari kunci dan menyeret diri ke dalam
apartemen, baru teringat katup distributor. Aku meninggalkannya di bawah, di
belakang semak azalea. Aku terpikir untuk mengambilnya, namun hanya sekelebat
dan tak berpengaruh. Aku sama sekali tak berniat turun lagi. Aku mengamankan
gerendel pintu dan menanggalkan pakaian, masih berdiri di ruas linolum yang
berfungsi sebagai selasarku. Sepatuku remuk, dan di bagian bokong rokku tercetak
judul berita koran kemarin. Kutinggalkan seluruh benang yang menempel di tubuhku
teronggok di lantai dan berjalan lempeng ke kamar mandi.
Aku mengatur air, memasuki bak, menutup gorden dan membiarkan derasnya aliran
pancuran itu menghantamku. Hari ini tak sepenuhnya buruk, kutegaskan pada
diriku. Aku berhasil membekuk seorang buron. Sekarang statusku sudah absah.
Pagi-pagi sekali aku akan mengambil honorku di Vinnie. Aku sabunan dan membilas
badan. Keramas. Kuputar pancuran ke fungsi pijat dan berdiri sangat lama,
meredakan ketegangan di sekujur tubuhku. Sekarang sudah dua kali Joe memakai
Mooch sebagai suruhan. Barangkali aku harus mengawasi Mooch. Masalahnya, aku tak
bisa mengawasi semua orang sekaligus Perhatianku teralih oleh sekelebat warna di
belakang tirai tembus-pandang dan licin oleh sabun. Sosok itu bergerak dan


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jantungku mati sesaat dalam dadaku. Ada orang dalam kamar mandiku. Aku kaget,
sampai terbengong-bengong tolol. Selama beberapa detak aku mematung diam dengan
pikiran hampa. Lantas aku teringat Ramirez, dan perutku bergejolak. Ramirez bisa
saja kembali. Bisa jadi dia membujuk penjaga untuk memberikan kunci, atau dia
masuk lewat jendela. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sanggup dilakukan Ramirez.
Tasku memang kubawa ke kamar mandi, tapi berada di luar jangkauan sebab kutaruh
di konter rias. Si penyusup melintasi ruangan dalam dua langkah dan menyentak tirai dari besinya
dengan begitu kuatnya sampai gelang-gelang plastik di bagian atas lepas dan
patah. Aku menjerit, dengan membabi-buta melempar botol sampo, dan menempelkan
punggungku ke tembok keramik.
Ternyata bukan Ramirez. Tapi Joe Morelli. Sebelah tangannya memegang buntelan
tirai; tangan satunya mengepal. Di keningnya mulai terbentuk benjolan, di mana
botol itu kena. Kemarahannya sudah memuncak, dan aku tak yakin perbedaan gender
akan melindungiku andai ia berhasrat mematahkan hidungku. Tidak masalah. Aku
siap berkelahi. Dikira dia siapa, si kunyuk itu, pertama bikin aku kaget
setengah mati kemudian merobek tirai bak mandiku"
"Apa yang kamu lakukan?" lolongku. "Kamu tahu tidak
ada yang namanya bel di pintu" Gimana cara kamu masuk?"
"Kamu meninggalkan jendela kamar dalam keadaan terbuka."
"Kasanya dikunci."
"Kasa tidak masuk hitungan."
"Kalau kamu merusaknya, kuharap kamu menggantinya. Dan gimana tirai ini" Tirai
kamar mandi tidak tumbuh di pohon, tahu!" Aku merendahkan suaraku, namun
volumenya masih seoktaf di atas normal. Dan sejujurnya, aku tidak tahu apa yang
kuocehkan ini. Benakku berlari tanpa arah, dipacu kegeraman dan panik. Aku marah
dia memperkosa privasiku, dan aku panik sebab aku telanjang.
Dalam keadaan yang tepat, telanjang tidak apa-apa mandi, bercinta, baru lahir. ?Berdiri bugil dan basah di hadapan Joe Morelli, yang berpakaian lengkap, adalah
mimpi buruk. Aku mematikan air dan menangkap handuk, tapi Morelli menampar tanganku dan
melempar handuk itu ke lantai di belakangnya.
"Minta handuknya," tuntutku.
"Tidak sebelum kita meluruskan beberapa hal."
Sewaktu bocah, Morelli sering lepas kendali. Aku sampai pada kesimpulan,
sekarang Morelli yang dewasa punya kontrol diri. Karakter Italianya jelas
terpampang di matanya, namun tingkat kekerasan yang terpancar dikalkulasi dengan
ketat. Ia mengenakan kaus dan jins hitam yang basah-kuyup oleh hujan. Saat ia
mendekati rak handuk, sempat kulihat senjata terselip di jinsnya itu, tepat di
ceruk punggungnya. Tidak sulit membayangkan Morelli membunuh, tapi ternyata aku setuju dengan
Ranger dan Eddie Gazarra?aku tak bisa membayangkan Morelli yang sudah besar ini bertindak tolol dan
impulsif. Ia bertolak-pinggang. Rambutnya lembap, mengeriting di kening dan atas
telinganya. Mulutnya keras dan tanpa senyum. "Mana katup distributorku?"
Dalam ketidakpastian, selalu ambil posisi menyerang. "Kalau kamu tidak keluar
dari kamar mandiku sekarang juga, aku akan teriak."
"Sekarang pukul 02.00, Stephanie. Semua tetanggamu tidur pulas dengan alat bantu
dengar mereka di atas meja samping ranjang. Silakan teriak. Takkan ada yang
mendengarmu." Aku berdiri tegak dan cemberut padanya. Inilah usaha terbaikku untuk
menantangnya. Bodoh sekali jika kuberi dia kepuasan melihatku tak berdaya dan
kikuk. "Aku tanya sekali lagi," desisnya. "Mana katup distributorku?"
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan ini."
"Dengar, Cantikku, aku siap mengacak-acak seluruh tempat ini kalau perlu."
"Aku tidak menyimpan katupmu. Katupmu tidak di sini. Dan aku bukan Cantikmu."
"Kenapa aku?" keluhnya. "Apa yang kulakukan sampai tertimpa semua ini?"
Kunaikkan sebelah alis. Morelli menghela napas. "Yeah," desahnya. "Aku tahu." Ia meraih tasku dari
konter, membaliknya, danme-numpahkan isinya ke lantai. Ia menarik borgol dari
tengah barang yang berserakan dan maju selangkah. "Sini, pergelanganmu." "Dasar
cabul." "Ngarep." Ia menyentak borgol itu terbuka dan me -
nguncinya di pergelangan kananku.
Kuangkat lengan kananku jauh-jauh ke belakang dan menendang Morelli, namun sulit
bermanuver di dalam bak. Ia mengelak dari sepakanku dan memasang gelang besi
yang masih bebas ke tangkai tirai. Aku terkesiap dan mematung, tak percaya apa
yang baru saja terjadi. Morelli melangkah mundur dan mencermatiku, tatapannya menelusuri sekujur tubuhku
lekat-lekat. "Kamu mau kasih tahu di mana katup itu?"
Aku tak mampu bersuara, kehilangan segala keberanian. Kurasakan pipiku merona
karena malu sekaligus gentar, kerongkonganku tercekat.
"Bagus," dengus Morelli. "Sekarang aksi bungkam. Kamu boleh gelantungan di situ
selamanya, peduli setan."
Ia mengobok-obok laci-laci konter rias, mengosongkan keranjang sampah, sampai
mengangkat penutup tangki kloset. Ia menghambur keluar kamar mandi tanpa
melirikku sama sekali. Aku mendengarnya bergerak dalam apartemenku, secara
metodis dan pro fesional, menggeledah setiap jengkal. Barang-barang perak
berdenting, laci-laci dibanting, pintu-pintu lemari dibuka dengan kasar.
Sesekali senyap, disusul gerutu-gerutuan.
Aku berusaha menggantung seluruh bobotku di batang tirai, berharap
mematahkannya, tapi besinya kukuh, dibikin untuk bertahan.
Akhirnya Morelli muncul di ambang pintu kamar mandi.
"Weil?" salakku. "Sekarang apa lagi?"
Dengan malas ia sandaran di bingkai. "Cuma pengen lihat kamu sekali lagi."
Cengiran merambati sudut bibirnya selagi matanya terpaku setengah jalan ke
dadaku. "Dingin?"
Kalau berhasil lepas nanti aku akan mengubernya seperti anjing. Tak peduli dia
bersalah atau tidak. Dan, aku tak peduli jika itu makan waktu seumur hidupku.
Aku akan menjerat Morelli. "Pergilah ke neraka."
Cengirannya melebar. "Kamu beruntung, aku ini pria baik-baik. Banyak individu di
luar sana yang bisa saja ambil untung dari wanita dalam situasimu sekarang."
"Ampun deh." Ia melangkah turun dari undakan pintu. "Senang bertemu denganmu."
"Tunggu dulu! Kamu tidak pergi 'kan?" "Mau gimana lagi?"
"Bagaimana denganku" Bagaimana borgol ini?"
Ia menimbang-nimbang sejenak. Ia menghilang ke dapur dan kembali dengan telepon
portabel. "Aku mau ngunci pintu depan begitu keluar, jadi pastikan siapa pun
yang kamu telepon punya kunci."
"Tak ada yang punya kunci!"
"Aku yakin kamu bisa memikirkan sesuatu," ejek Morelli. "Telepon polisi. Telepon
pemadam kebakaran. Telepon angkatan laut ... Sialan."
"Aku bugil!" Ia tersenyum dan mengedip serta berjalan keluar.
Kudengar pintu depan apartemen ditutup dan dikunci. Aku tak mengharapkan
sahutan, toh aku tetap memanggil Morelli, sekadar mengetes. Aku menunggu
sejenak, menahan napas, mendengarkan keheningan. Rupanya Morelli sudah pergi.
Jemariku melingkari telepon erat-erat. Ya Tuhan, moga-moga perusahaan telepon
menepati janjinya untuk menyambungkan lagi langgananku. Aku memanjat tepi bak
untuk mengangkat tubuh setinggi tanganku yang terjerat. Perlahan aku menarik
antena, menghidupkan telepon, dan menempelkan telingaku. Nada sambung bergema
nyaring dan jelas. Saking leganya, tangisku nyaris meledak.
Sekarang aku dihadapkan pada masalah baru. Siapa yang harus kutelepon" Jangan
polisi atau pemadam kebakaran. Mereka menerjang parkiran gedung dengan sirene
meraung-raung dan kilat-kilat lampu. Dan begitu mereka tiba di pintuku, empat
puluh warga lanjut usia dalam balutan piama sudah berdiri di lorong, ingin tahu
sumber semua kericuhan ini, menunggu penjelasan.
Aku sudah lama menyadari beberapa sifat aneh dalam diri para penghuni gedung ini
yang senior-senior. Mereka ganas dalam urusan parkir, dan mereka terpesona pada
kejadian-kejadian gawat yang berbau kematian. Begitu melihat lampu-putar
berkilat-kilat, setiap senior dalam gedungku akan menempelkan hidungnya ke
jendela. Ada juga solusi lain, yang tidak melibatkan empat atau lima warga paling tua di
kota ini membelalak cabul pada diriku yang terikat bugil di batang tirai kamar
mandi. Jika kutelepon Ibu, aku akan terpaksa pindah ke negara bagian lain karena
dia takkan melupakannya. Dan di samping itu, ia akan menyuruh Ayah kemari, dan
Ayah akan melihatku telanjang. Telanjang dan terborgol di depan ayahku bukan hal
yang sanggup kuhadapi. Jika kutelepon kakakku, ia akan menelepon Ibu.
Mending aku gelantungan sampai busuk di sini, daripada menelepon mantan suamiku.
Yang semakin menyulitkan, siapa pun yang datang menyelamatkanku nanti harus
memanjat tangga darurat atau mendobrak pintu masuk. Dan harapanku cuma satu
nama. Kupejam mataku rapat-rapat. "Sialan." Aku terpaksa menghubungi Ranger.
Kutarik napas dalam-dalam dan memijit nomornya, berdoa supaya aku tidak salah
meng-hafalnya. Ia menyahut pada dering pertama. "Vo." "Ranger" "Siapa yang cari?"
"Stephanie Plum. Aku punya masalah."
Jeda dua detak, aku membayangkan dia terjaga sepenuhnya, bangkit duduk di
ranjangnya. "Apa masalahnya?"
Kuputar-putar bola mata, setengah tak percaya aku sedang menelepon gara-gara
situasi seperti ini."Tanganku diborgol di besi tirai kamar mandi, dan aku butuh
seseorang melepas borgolnya."
Jeda lagi, dan ia memutuskan sambungan.
Aku memijit nomornya lagi, saking kuatnya sampai nyaris meretakkan jariku.
"Vo!" sahut Ranger, terdengar siaga sekaligus sewot.
"Jangan ditutup! Ini serius, brengsek. Aku terjebak di kamar mandiku. Pintu
depan dikunci dan tak seorang pun punya kuncinya."
"Kenapa tidak panggil polisi" Mereka hobi menyelamatkan orang."
"Sebab, aku tak mau menjelaskan ini ke polisi. Dan tambahan lagi, aku
telanjang." "Heh, heh, heh."
"Gak lucu. Morelli mendobrak masuk ke apartemenku saat aku mandi, dan bedebah
itu memborgolku di batang pancuran."
"Kau pasti suka laki-laki itu."
"Kaumau tolong aku gak sih?"
"Kautinggal di mana?" "Gedung apartemen di sudut St. James dan Dunworth. Pintu
215, di bagian belakang. Morelli masuk dengan memanjat tangga darurat dan
jendela. Barangkali kau bisa
lewat jalan yang sama."
Sebenarnya, aku tak bisa menyalahkan Morelli karena memborgolku di tangkai
tirai. Toh, bisa dibilang aku mencuri mobilnya. Dan, aku bisa mengerti dia perlu
mengikatku sementara ia menggeledah apartemen. Bahkan, aku bisa memaafkannya
walaupun ia telah mengoyak tirai bak itu untuk pamer kekuatannya. Tapi dia
bertindak terlalu jauh, ketika meninggalkanku menggantung bugil di sini. Jika
dia pikir ini akan membuatku menyerah, dia kecele. Perkara ini sekarang makin
memanas, dan kendati terkesan kekanak-kanakan, aku takkan keluar dari tantangan
ini. Aku pasti menjerat Morelli, atau mati dalam usaha melakukannya.
Aku sudah berdiri di bak selama waktu yang serasa berjam-jam ketika terdengar
pintu depan dibuka dan ditutup. Uap bekas mandi tadi sudah lama sirna dan udara
kini berubah sejuk. Tanganku kebas karena terangkat di atas kepala. Tenagaku
terkuras dan aku lapar serta mulai pusing.
Ranger nongol di ambang pintu kamar mandi, aku terlalu lega untuk merasa malu.
"Aku sangat menghargai kerelaanmu keluar malam-malam begini."
Ranger menyeringai. "Tidak mau melewatkan kesempatan melihatmu dirantai dan
bugil." "Kuncinya ada di tengah kekacauan di lantai."
Ia menemukan kunci itu, menarik lepas telepon dari jemariku, dan membuka
borgolnya. "Sesuatu pernah terjadi antara kau dan Morelli?"
"Ingat saat kau memberikan rencengan kuncinya padaku tadi sore?"
"Hu-uh." "Boleh dibilang aku meminjam mobilnya."
"Meminjam?" "Menyita, tepatnya. Tahulah, soal hukum berpihak pada kita dan lain-lain?" "Hu-
uh." "Yak, aku menyita mobilnya, ketahuan olehnya."
Ranger tersenyum dan mengangsurkan handuk padaku. "Dia mengerti soal sita-
menyita itu?" "Rupanya dia tidak senang. Pokoknya, aku memarkir mobil itu di pelataran luar
sana dan mencabut katup distributor sebagai tindak pencegahan."
"Pantesan jadi kayak gini."
Aku turun dari bak dan menahan jeritan saat melihat pantulanku di cermin rias.
Rambutku seakan baru kesetrum 2DDD volt dan disemprot kanji. "Perlu pasang
sistem alarm di mobilnya, tapi aku belum ada duitnya."
Ranger tertawa pelan dan rendah. "Pasang alarm. Morelli pasti suka." Ia memungut
bolpen dari lantai dan mencatat sebuah alamat di secarik tisu toilet. "Aku tahu
bengkel yang akan kasih harga murah."
Aku berjingkat melewatinya menuju kamar tidur dan menukar handuk dengan jubah
handuk panjang. "Kudengar kau masuk lewat pintu."
"Tinggal utak-atik lubang kunci. Kukira kurang bijak membangungkan si penjaga."
Ia menatap jendela. Hujan memerciki kaca yang gelap, dan selembar kasa robek
menjuntai pada birai. "Aku cuma jadi Spiderman di kala cuaca cerah."
"Morelli mengoyak kasaku."
"Kuduga dia sedang buru-buru."
"Kuperhatikan kau cuma paruh-waktu bicara dalam bahasa ghetto."
"Aku multilingual," tandas Ranger.
Aku mengekor dia ke pintu, merasa iri, berharap aku juga menguasai bahasa lain.
Tidurku pulas dan tanpa mimpi, dan aku bisa saja terlelap hingga November tiba
andai pintu depanku tidak digedor-gedor. Aku mendelik jam di samping ranjang.
Layar menampilkan 08.35. Biasanya aku senang ada tamu. Sekarang aku malah
menciut jika seseorang mengetuk pintu. Ketakutan pertama, Ramirez. Kedua,
digerebek polisi karena curanmor.
Aku meraih Sure Guard dari meja kecil, menyusupkan kedua lengan ke jubah, dan
menyeret diri menuju pintu. Aku memejamkan sebelah mata dan mengintip lubang
intai dengan satunya. Eddie Gazarra menatap balik padaku. Ia dibalut seragam,
memegang dua kantong Dunkin1 Donuts. Kubuka pintu dan mengendus-endus udara ala
anjing membaui jejak. "Yum," desahku.
"Halo juga," sindir Gazarra, merampingkan badan melewatiku di selasar sempit,
mengarah ke meja makan. "Perabotanmu ke mana?"
"Aku sedang menata-ulang."
"Hu-uh." Kami duduk berseberangan, dan aku menunggu ia mengeluarkan dua cangkir kertas
berisi kopi dari bungkusnya. Kami membuka tutupnya, menghamparkan serbet-serbet,
dan mulai mencomot donat.
Pertemanan kami cukup akrab untuk bersantap tanpa mengobrol. Pertama-tama kami
melahap Boston krim. Kemudian kami membagi-rata empat donat jeli.
Sehabis dua donat itu, dia masih belum terpana oleh rambutku, sehingga aku jadi
bertanya-tanya separah apa rambutku dalam keadaan biasa. Ia juga tidak
mengomentari kekacauan yang ditinggalkan Morelli seusai menggeledah apartemen,
yang membuatku tercenung sesaat, membayangkan bagaimana selama ini aku mengurus
rumah. Ia menyantap donat ketiga dengan lebih perlahan, menyeruput kopi, mengunyah
donat, menyeruput kopi, mengunyah donat. "Dengar-dengar kemarin kau menangkap
buron," cetusnya di sela-sela kenikmatan itu.
Yang tersisa hanya kopi Gazarra. Ia melirik donatku, dan dengan protektif aku
menariknya mendekat ke tepi meja.
"Kurasa kau tak berniat bagi-bagi," tukas Gazarra. "Kurasa tidak," balasku.
"Tahu dari mana soal buronku?"
"Gunjingan di ruang ganti. Kau topik utama akhir-akhir ini. Anak-anak taruhan
kapan kau akan dipakai Morelli."
Kontraksi jantungku begitu keras sampai kukira bola mataku akan keluar dari
kepalaku. Kupandangi Gazarra selama semenit penuh, menunggu tekanan darahku
turun dari zona merah, membayangkan pembuluh-pembuluh kapiler di sekujur tubuhku
meledak-ledak. "Bagaimana mereka akan tahu andai aku nanti dipakai?" desisku dengan gigi
terkatup. "Kali aja dia sudah makai aku. Kali aja kita berbuat dua kali sehari."
"Mereka duga, kau akan meninggalkan kasus ini begitu sudah dipakai. Penentuan
pemenang taruhan sebenarnya adalah saat kau melepaskan kasus ini."
"Kau ikut bertaruh?"
"Enggak. Morelli pernah memakaimu waktu SMU itu. Kurasa kau takkan membiarkan
dia melakukannya untuk bolak-balik."


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahu dari mana soal waktu SMU itu?"
"Semua orang tahu soal waktu SMU itu."
"Yesus." Aku menelan potongan donat terakhir dan menyiramnya dengan kopi.
Eddie menghela napas begitu harapan mendapatkan secuil donat lagi lenyap dalam
mulutku. "Sepupumu, si ratu cerewet, menyuruhku diet," keluhnya. "Buat sarapan
dikasih kopi tanpa kafein, setengah mangkuk sereal dengan susu tanpa lemak, dan
setengah jeruk besar."
"Dan itu bukan menu seorang polisi."
"Bayangkan aku ditembak," ujar Eddie, "dan isi perutku cuma kopi tanpa kafein
dan separuh jeruk besar. Pastinya itu akan membawaku ke unit trauma 'kan?"
"Lain halnya andai perutmu diisi kopi asli dan donat."
"Lurus ke sana."
"Gelambir di sabuk senjatamu juga bagus untuk me-ngadang peluru."
Eddie mengosongkan cangkir kopi, memasang tutupnya kembali, dan membuangnya ke
dalam kantongyang kosong. "Kau takkan berkata demikian jika bukan karena masih
dongkol soal taruhan itu."
Aku setuju. "Kejam sekali."
Ia meraih serbet, dengan terampil menepuk-nepuk kemeja birunya untuk mengusir
bubuk gula. Salah satu keahlian yang ia pelajari di akademi kepolisian, batinku.
Bersandar ke belakang, ia melipat lengannya di dada. Perawakannya 178 cm,
gempal. Paras Slavik timur bermata biru pucat, rambut pirang keputihan, dan
hidung betet. Semasa kecil ia tinggal dua rumah dari kami. Orangtuanya masih
tinggal di sana. Dari dulu ia bercita-cita jadi polisi. Kini setelah menyandang
seragam, ia tak punya keinginan lain. Ia menikmati mengendarai mobil patroli,
merespons panggilan darurat, jadi orang pertama yang muncul di TKP. Dia pandai
menenangkan orang. Semua orang menyukai Eddie, kecuali istrinya, barangkali.
"Aku punya informasi buatmu," ungkap Eddie. "Semalam aku ke Pino's minum bir,
dan ada Gus Dembrowski. Gus ini PP yang menangani kasus Kulesza."
"PBP?" "Polisi Berpakaian Preman."
Aku menegakkan dudukku di kursi. "Apakah dia menceritakan sesuatu tentang
Morelli?" "Ia mengonfirmasikan, Sanchez memang informan. Dembrowski keceplosan, Morelli
punya arsipnya. Para informan dirahasiakan. Penyelia menyimpan semua arsip itu
dalam lemari terkunci. Kuduga, untuk perkara ini arsipnya dibuka demi kebutuhan
investigasi." "Rupanya ini lebih runyam dari yang pertama kita sangka. Barangkali pembunuhan
ini terkait dengan sebuah kasus yang sedang diselidiki Morelli."
"Bisa jadi. Bisa jadi juga, Morelli ada ketertarikan romantis terhadap Sanchez.
Setahuku dia cantik jelita. Sangat Latino."
"Dan sampai sekarang dia lenyap."
"Yak. Sampai sekarang dia lenyap. Polisi sampai melacak relasi-relasinya di
Staten Island dan tak seorang pun melihatnya."
"Kemarin aku bicara dengan tetangga-tetangganya, dan ternyata salah seorang
penghuni yang melihat saksi yang disebut-sebut Morelli itu mati mendadak."
"Mati mendadak bagaimana?"
"Tabrak-lari pas di depan gedungnya."
"Mungkin saja kecelakaan."
"Aku ingin berpikir begitu."
Ia melirik arloji dan bangkit. "Cabut dulu."
"Satu hal terakhir, kaukenal Mooch Morelli?"
"Aku sering melihatnya."
"Kautahu apa kerjanya atau di mana tinggalnya?"
"Kerja di layanan kesehatan masyarakat. Semacam pengawas. Kediamannya di suatu
tempat di Hamilton Township. Connie punya buku referensi jalanan di kantor. Jika
Mooch punya telepon, kau bisa dapat alamatnya."
"Makasih. Dan makasih buat kopinya."
Ia berhenti di selasar. "Kau perlu duit?"
Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Ia memelukku dan mengecup pipiku, lalu pergi.
Aku menutup pintu di belakangnya dan merasakan airmataku merebak. Ada kalanya
persahabatan membuatku terenyuh. Aku tertatih-tatih balik ke ruang makan,
mengumpulkan kantong-kantong dan serbet-serbet, membuangnya ke keranjang sampah.
Baru sekarang ada kesempatan mengamati keadaan apartemenku. Jelas Morelli
menggeledahnya dalam kemarahan, menyalurkan frustrasi dengan membuatnya
seberantakan mungkin. Lemari-lemari dapur menganga, sebagian isinya tersebar di
bufet dan lantai, buku-buku dijatuhkan dari rak, bantalan satu-satunya kursiku
yang tersisa dilepas, kamarku berceceran pakaian-pakaian yang dilempar dari
laci-laci. Aku memasang kembali bantalan kursi dan membereskan dapur, sisanya
bisa menunggu. Aku mandi dan mengenakan celana pendek elastis hitam dan kaus khaki gombrong.
Atribut sirkus pemburu buronku masih menggeletak di lantai kamar mandi. Aku
menjejalkan semuanya ke dalam tas kulit hitamku, yang kucantel di bahu.
Kuperiksa jendela, memastikan semuanya terkunci. Ini akan kujadikan ritual pagi
dan malam. Aku benci hidup bagai hewan dalam kandang, namun aku tak mau lagi ada
tamu tak diundang. Rupanya, mengunci
pintu depan cuma formalitas, tidak berfungsi demi keamanan. Ranger telah
membongkar lubang kunci nyaris tanpa kesulitan. Tentu saja, tak semua orang
memiliki keterampilan Ranger itu. Toh, tak ada ruginya menambahkan selot dalam
koleksi perlengkapan pengamanku. Begitu ada kesempatan, aku akan bicara pada si
penjaga. Aku mengucapkan selamat tinggal pada Rex, menghimpun keberanian, melongok ke
lorong sebelum melangkah lebih jauh, memastikdan Ramirez tidak muncul mendadak.
Katup distributor masih di tempatatup distributor masih di tempat semalam
kutinggalkan, di kolong semak yang berdempetan dengan gedung. Kukembalikan ke
tempat semestinya dan melesat keluar pelataran, ke arah Hamilton. Di depan
kantor Vinnie ada petak parkir kosong dan Cherokee berhasil kusisipkan di situ
setelah upaya ketiga. Connie duduk di mejanya, membelalak di hadapan cermin genggam, mengorek segumpal
maskara kering di ujung bulu matanya yang dirias menor.
Ia menengadah saat melihatku. "Kau pernah mencoba pelentik bulu mata ini?"
tanyanya. "Kayak dijalin bulu tikus got."
Aku mengibas-ngibaskan resi dari polisi di hadapannya. "Aku menangkap Clarence."
Ia mengepalkan tinju sambil menyentak sikunya ke belakang. "Yesr "Vinnie ada?"
"Harus ke dokter gigi. Minta taringnya diruncingkan, kurasa," Ia menarik berkas
asli dan mengambil resi itu dariku. "Kita nggak butuh Vinnie untuk ini. Aku bisa
menulis cekmu." Ia mencoret sesuatu di sampul map lalu memindahkannya ke wadah
di sudut terjauh meja. Ia menarik bundel cek model register dari laci tengah dan
menuliskan cek untukku. "Gimana Morelli" Kau berhasil dapat jejak?"
"Persisnya bukan jejak, tapi aku tahu dia masih di kota."
"Dia nafsuin banget," cerocos Connie. "Enam bulan lalu sempat ketemu, sebelum
semua ini terjadi. Dia lagi me-sen seperempat pon provohne di tukang daging, dan
aku betul-betul harus nahan diri supaya tidak menancapkan gigiku ke bokongnya."
"Karnivora sekali."
"Lebih ganas dari karnivora. Dia laki-laki sempurna."
"Dan juga digugat atas pembunuhan."
Connie mendesah. "Pasti banyak perempuan Trenton yang takkan senang melihat
Morelli disekap." Mungkin saja itu benar, tapi aku bukan salah satu dari mereka. Sejak semalam,
membayangkan Morelli di balik jeruji hanya menjalari perasaan hangat ke dalam
hatiku yang terlanjur dipermalukan dan kini dendam. "Kalian punya buku petunjuk
alamat di sini?" Connie berputar menghadap lemari arsip. "Ada, buku besar di atas laci G."
"Kautahu sesuatu perihal Mooch Morelli?" lontarku sembari mencari namanya.
"Cuma bahwa dia nikah dengan Shirley Gallo."
Satu-satunya Morelli di Hamilton Township terdaftar di 617 Bergen Court. Aku
mengecek peta dinding di belakang meja Connie. Kalau tak salah ingat, itu
lingkungan dengan rumah-rumah splitlevel yang nampaknya layak mendapat kamar
mandiku. "Pernah ketemu Shirley belakangan?" pancing Connie. "Dia segede sapi. Pasti naik
seratus pon sejak SMU. Aku lihat dia waktu permandian Margie Manusco. Dia perlu
tiga kursi lipat untuk duduk, dan tasnya penuh oleh Ding Dongs. Kurasa untuk situasi
darurat ... siapa tahu orang lain menghabiskan selada kentang sebelum dia."
"Shirley Gallo" Gemuk" Waktu SMU dia 'kan mirip tiang."
"Tuhan bekerja lewat cara yang misterius," tandas Connie.
"Amin." Katolik ala Burg merupakan agama yang praktis. Bila pikiran buntu, masih ada
Tuhan, mengintai dari belakang panggung, menunggu giliran main.
Connie menyodorkan cek padaku dan mencuil segumpal maskara di pinggir bulu mata
kirinya. "Kuberitahu ya, pengen gaya aja susahnya minta ampun."
Bengkel rekomendasi Ranger terletak di kompleks kecil industri-ringan yang
membelakangi Route 1. Bilangan ini terdiri atas enam bangunan-gudang dari beton
bercat kuning yang memudar seiring waktu dan lalu-lintas jalan raya. Saat
mengawali proyek ini, sang arsitek pasti telah merencanakan bentangan rerumputan
dan pepohonan pendek di mana-mana. Dalam realita, kompleks ini jadinya n-
hamparan tanah berbongkah gersang yang bertaburan cangkir Styrofoam dan gentong-
gentong, ditambah rumput pengganggu tanaman mencuat-cuat. Setiap bangunan itu
dilengkapi jalur masuk berpavemen dan pelataran parkir sendiri.
Aku melaju lambat-lambat melewati Capital Printing dan A. and J. Extrusions
kemudian berhenti di jalur masuk Al's Auto Body. Tiga tirai besi lebar berjajar
di muka bangunan, namun hanya satu yang menganga terbuka. Mobil-mobil penyok dan
karatan dalam tahap bongkar-pasang yang berbeda berdempetan di halaman belakang,
sementara mobil-mobil model terbaru yang habis tabrakan diparkir dekat pintu
ketiga, dikitari pagar kawat berduri.
Aku memasuki pelataran dan parkir di sebelah Toyota hitam four-by-four yang
bertengger tinggi di atas rodanya yang ukurannya pantas buat traktor. Dalam
perjalanan tadi aku sempat singgah di bank dan mendepositkan cek hasil
tangkapanku. Aku sudah menetapkan jumlah persis yang akan kuhabiskan untuk
memasang sistem alarm, dan aku tak berniat mengeluarkan sepeser lebih.
Kemungkinan besar mereka takkan mengerjakannya dengan harga segitu, toh tak ada
ruginya ditawar dulu. Kubuka pintu mobil dan melangkah di bawah terik mencekik, bernapas pendek-pendek
supaya tidak kebanyakan menghirup substansi maut. Matahari tampak terlalu dekat
dengan jalan raya, polusi memburamkan cahaya, pandangan jadi kabur. Suara palu
angin terdengar lewat tirai besi yang terbuka.
Kuseberangi pelataran dan memicingkan mata ke dalam neraka suram pompa-pompa dan
filter-filter oli serta pria-pria dalam balutan seragam montir oranye DayGlo
yang punya potensi berlaku kasar. Salah seorang di antara mereka melenggang
menghampiriku. Kepalanya di-bungkus ketat oleh sebelah kaki stoking berukuran
lebar. Tak diragukan, itu untuk menghemat waktu andaikata dia ingin merampok 7-
Eleven dalam perjalanan pulang. Kuka-kan padanya bahwa aku mencari Al, dan ia
membalas bahwa aku telah menemukan orangnya.
"Aku perlu memasang sistem alarm mobil. Kata Ranger kau pasti kasih harga
murah." "Kok bisa kenal Ranger?"
"Kami bekerja sama."
"Itu bisa melingkupi banyak hal."
Aku tak yakin apa maksudnya dengan kalimat itu, dan sepertinya aku tak ingin
tahu. "Aku agen penyergap."
"Jadi kaubutuh alarm karena sering beredar di daerah-daerah rawan?"
"Sebenarnya, boleh dibilang aku mencuri mobil, dan aku khawatir si pemilik
berusaha merebutnya kembali."
Matanya bersinar geli. "Lebih keren lagi."
Ia berderap menuju bangku di ujung ruangan dan kembali membawa sebuah piranti
plastik yang ukurannya kira-kira tiga inci persegi. "Ini pengaman ultramodern,"
ungkapnya. "Bereaksi terhadap tekanan udara. Kapan saja terjadi perubahan
tekanan udara, dari jendela yang dipecahkan atau pintu dikuak, benda ini akan
merobek gendang telingamu. Ia membalik alat itu di tangannya. "Untuk
mengaktifkannya, pencet tombol ini. Ada jeda 20 detik sebelum alarm siaga, jadi
kau diberi waktu turun dari mobil dan menutup pintu. Kemudian 20 detik lagi
begitu pintu dibuka, sehingga kau sempat memijit kodemu untuk menonaktifkan."
"Bagaimana cara menonaktifkan saat alarmnya berbunyi?"
"Pakai kunci ini." Ia menjatuhkan sebuah kunci perak mungil ke tanganku.
"Saranku, jangan meninggalkan kunci ini di dalam mobil. Tak ada gunanya punya
alarm kalau begitu."
"Alat ini lebih kecil dari yang kukira." "Kecil-kecil cabe rawit. Dan kabar
baiknya, ini murah karena gampang dipasang. Tinggal disekrup di dasbormu."
"Seberapa murah?" "Enam puluh dolar." "Jadi."
Ia menarik obeng dari saku belakangnya. "Mari tunjukkan di mana kauingin aku
memasangnya." "Jip Cherokee merah itu, pas di sebelah truk monster. Tolong pasang di tempat
yang tidak kelihatan. Jangan sampai dasbornya rusak."
Beberapa menit kemudian, aku sudah meluncur ke Stark Street, merasa cukup puas
dengan diriku. Aku punya alarm yang harganya masuk akal, ditambah pula mudah
dibongkar andai pengen kupindahkan ke mobil yang rencananya akan kubeli sesudah
meringkus Morelli. Aku mampir ke 7-Eleven dan memanjakan diri dengan yogurt
vanila dan sekotak jus jeruk buat makan siang. Aku minum serta mengemudi dan
menyeruput, serta merasa sangat nyaman di tengah kemewahan ber-AC ini. Aku punya
alarm, aku punya gas syaraf, dan aku punya yogurt. Apa lagi yang kuminta"
Aku langsung parkir di seberang gym, menenggak habis sisa jus jeruk, menyetel
alarm, meraih tas cantolku dan foto-foto Morelli, lalu mengunci mobil. Aku ingin
mengibarngibarkan kain merah di hadapan sang banteng. Satu-satunya cara
memperjelas maksudku ini adalah dengan merekatkan tanda di kaca depan yang
berbunyi, "Di sini! Coba ambil!"
Aktivitas di jalanan memandul di bawah terik siang hari. Dua pelacur berdiri di
pojok, belagak menunggu bis, hanya saja tak pernah ada bis lewat Stark Street.
Kedua perempuan itu mejeng dengan tampang jenuh serta muak, maka aku berasumsi
tak ada sewa pada jam begini. Mereka mengenakan sendai plastik murahan, tanktop
elastis dan celana pendek rajut ketat. Rambut mereka dipangkas pendek dan
diluruskan dengan cermat setara kualitas bulu babi hutan. Aku tak tahu persis
bagaimana pelacur menetapkan harga, tapi seandainya laki-laki harus bayar berdasarkan
berat badan si jablai, yang dua ini pasti akan cepat kaya.
Mereka memasang tampang perang saat aku mendekat. Tangan di pinggang, bibir
bawah maju, mata yang saking lebarnya melotot jadi mirip telur bebek.
"Eh, cewek," panggil salah satunya. "Apa yang kau kerjakan di sini" Ini pojok
kami, enyah kau!" Rupanya perbedaan antara gadis Burg dan tampak seperti jablai cuma garis tipis.
"Aku lagi nyari teman. Joe Morelli." Kutunjukkan fotonya. "Kalian pernah
melihatnya di sekitar sini?"
"Apa maumu dengan Morelli ini?"
"Urusan pribadi."
"Sudah pasti." "Kaukenal dia?"
Ia memindahkan tumpuan bobotnya. Bukan tugas yang enteng. "Mungkin."
"Sebenarnya, kami lebih dari sekadar teman."
"Seberapa lebih?"
"Bangsat itu menghamiliku."
"Kau nggak kelihatan hamil."
"Lihat sebulan lagi."
"Ada banyak jalan keluar, tahu."
"Yak," tandasku, "dan nomor satu adalah menemukan Morelli. Kautahu dia di mana?"
"Nggak tahu." "Kaukenal wanita bernama Carmen Sanchez" Ia pernah kerja di Step In."
"Dia menghamilimu juga?"
"Kukira mungkin Morelli bersamanya."
"Carmen lenyap," cetus salah satu pelacur itu. "Hal ini
biasa menimpa para wanita di Stark Street. Faktor lingkungan."
"Kau bisa menjelaskan?"
"Dia bisa tutup mulut, itu yang harus dia lakukan," potong wanita satunya. "Kami
tak tahu apa-apa soal ini. Dan kami tak punya waktu berdiri serta ngobrol
denganmu. Kami banyak kerjaan."
Kuamati jalanan dari ujung ke ujung. Belum tampak tanda-tanda pelanggan, jadi
kurasa mereka mengusirku. Aku menanyakan nama mereka, Lula dan Jackie. Masing-
masing mendapat kartu namaku, dan kubilang akan sangat menghargai jika mereka
meneleponku andai melihat Morelli atau Sanchez. Aku ingin mengorek tentang saksi
laki-laki yang hilang, tapi mau bilang apa" Permisi, apakah kalian melihat laki-
laki yang cetakan mukanya mirip penggorengan"


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah itu aku menghampiri rumah-rumah, bicara pada orang-orang yang duduk-
duduk di emperan. Pukul empat, hasil jerih payahku cuma hidung gosong tersengat
matahari dan selebihnya tak banyak. Penyisiran ini kua-wali dari sisi utara
Stark Street dan mengarah dua blok ke barat. Lalu, aku menyeberang dan
beroperasi ke arah sebaliknya. Melewati bengkel dan gym, aku melangkah cepat-
cepat. Bar-bar juga kulewati. Kendati sebenarnya bisa jadi sumber informasi
terbaik, namun sepertinya bagiku terlalu berbahaya dan di luar batas
kemampuanku. Barangkali aku mengada-ngada, barangkali bar-bar itu berisi orang-
orang santun yang sama sekali takkan mengusik eksistensiku. Toh, aku belum
terbiasa jadi minoritas, dan aku merasa bagai pria kulit hitam mengintipi rok
wanita kulit putih di daerah pinggiran Birmingham yang dipadati orang kulit
putih. Aku menyisir sisi selatan sepanjang dua setengah blok dan menyeberang kembali ke
sisi utara. Rata-rata bangunan di sisi ini berupa hunian. Dan seiring hari
berangsur petang, makin ramai orang-orang digiring keluar, sehingga tatkala aku
berjalan balik ke arah mobil, laju kerjaku melambat.
Untungnya, Cherokee masih parkir di tempat yang sama, tapi sayangnya Morelli
belum kelihatan. Dengan sengaja aku tidak menengadah ke arah jendela gym. Jika
Ramirez mengintaiku, aku lebih suka pura-pura tak peduli. Kujalin rambutku
menjadi ekor kuda menyamping, dan tengkukku terasa perih. Rupanya bagian situ
tersengat matahari juga. Aku kurang rajin memoles tabir surya. Biasanya, aku
mengandalkan polusi saja untuk menyaring sinar-sinar penyebab kanker.
Seorang wanita buru-buru menyeberang jalan untuk menghampiriku. Berperawakan
kukuh dengan busana konservatif, rambut hitamnya disanggul di tengkuk.
"Permisi," sapanya. "Apakah kau Stephanie Plum?"
"Ya." "Tn. Alpha ingin bicara padamu," ungkapnya. "Kantornya pas di seberang jalan."
Aku tak kenal siapa-siapa bernama Alpha, dan aku tak betah berlama-lama di
daerah kekuasaan Ramirez, tapi wanita ini memancarkan wibawa Katolik, jadi
kukira tak ada salahnya aku ikut dengannya. Kami masuk ke gedung yang
bersebelahan dengan gym. Ini adalah rumah identik lazim di Stark Street. Sempit,
bertingkat tiga, bagian luar menghitam, jendela-jendela gelap dan kotor. Kami
menaiki sederet tang-ga dan tiba di selasar kecil. Tiga pintu. Satu terkuak, dan
aku merasakan AC menyerbu lorong.
"Mari lewat sini," ajak si wanita, menuntunku memasuki area tamu yang disesaki
oleh sofa kulit hijau dan meja lebar dari kayu terang tergores-gores. Edisi-
edisi lusuh majalah tinju menumpuk di sebuah meja sudut berdebu, dan foto-foto
petinju menghiasi dinding yang menjerit minta cat segar. Keadaan kantor dalam
tak jauh beda dengan area tamu, kecuali dua jendela menghadap jalanan. Pria di
balik meja berdiri saat aku masuk. Ia memakai celana berkelim dan kemeja lengan
pendek yang terbuka di leher. Wajahnya banyak kerutan dan rahangnya bagus.
Perawakannya yang besar masih memperlihatkan otot, namun faktor usia telah
membuat pinggangnya melebar dan garis-garis perak menghiasi rambut hitamnya yang
disisir ke belakang. Kuperkirakan ia sudah mencapai SO-an akhir dan kehidupannya
tak selalu indah. Ia membungkuk seraya mengulurkan tangan. "Jimmy Alpha. Aku manajer Benito
Ramirez." Aku mengangguk, tidak yakin bagaimana merespons. Reaksi pertamaku ingin
menjerit, tapi agaknya itu kurang pro fesional.
Ia menunjuk kursi lipat yang bertengger di samping mejanya. "Kudengar kau sudah
kembali bekerja, jadi aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memohon maaf.
Aku tahu yang terjadi antara kau dan Benito di gym. Aku berusaha menghubungimu,
tapi teleponmu putus."
Permintaan maafnya menyulut amarahku. "Perilaku Ramirez bukan disebabkan oleh
provokasi dariku dan tak dapat dimaklumi."
Tampaknya, Alpha merasa sungguh tak enak. "Aku tak pernah membayangkan akan
tertimpa masalah seperti ini," ungkapnya. "Yang kuangankan hanyalah mendapatkan
seorang petinju top, dan kini orangnya sudah dapat, tapi
dia malah membuatku sakit maag." Ia meraih sebotol besar Mylanta dari laci
teratas. "Lihat ini" Aku beli barang ini gara-gara dia." Ia memutar tutupnya
lalu mengunyah sebutir obat. Ia menekan kepalannya ke tulang dada seraya
mendesah. "Aku minta maaf. Aku sungguh menyesali apa yang menimpamu di gym."
"Kau tak perlu minta maaf. Itu bukan masalahmu."
"Seandainya saja benar; sayangnya justru ini masalahku." Ia memuntir tutupnya
kembali, menjejalkan botolnya ke laci, lantas mencondongkan tubuh ke depan,
lengan bertumpu di meja. "Kau bekerja untuk Vinnie."
"Ya." "Aku sudah lama kenal Vinnie. Vinnie itu berkarakter."
Ia tersenyum, dan kusimpulkan, pada suatu ketika dalam pergaulannya ia pernah
tahu tentang si bebek. Ia kembali serius, menekuri kedua jempol tangannya, dan bersandar sedikit di
kursi. "Terkadang aku bingung bagaimana menangani Benito. Dia bukan orang jahat.
Cuma, banyak hal yang dia belum tahu. Yang dia tahu hanyalah bertinju.
Kesuksesan besar ini berat bagi laki-laki seperti Benito, yang asalnya bukan
dari mana-mana." Ia mendongak untuk melihat apakah aku melunak. Aku mendengus penuh cela dan ia
menyetujui kemuakanku. "Aku tidak memaafkan dia," ujarnya dengan tampang sangat getir. "Benito
melakukan hal-hal yang buruk. Akhir-akhir ini aku tak punya pengaruh terhadap
dia. Ia bertindak menurut kehendaknya sendiri. Dan, ia dikelilingi oleh pria-
pria yang otaknya berada di dalam sarung tinju mereka."
"Gym itu dipenuhi laki-laki kuat yang tidak bertindak sama sekali untuk
menyelamatkanku." "Aku sudah bicara pada mereka soal ini. Dulu ada
masanya wanita diperlakukan dengan hormat. Kejahatan sekarang dilakukan dari
dalam mobil yang melaju, narkoba..." Ia terdiam dan tenggelam dalam pikirannya.
Aku ingat cerita Morelli tentang Ramirez berikut tuduhan-tuduhan pemerkosaan
yang pernah ada. Alpha membenamkan kepalanya di dalam pasir atau ia terlibat
secara aktif dalam membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh sang angsa emas.
Kupertaruhkan uangku pada teori pasir.
Aku memandangnya dalam keheningan mutlak, merasa kelewat terisolasi dalam kantor
kumuh lantai dua ini untuk dapat dengan jujur mengungkap isi hatiku, dan merasa
kelewat marah untuk menggumamkan kata-kata penghibur yang sopan.
"Jika Benito mengganggumu lagi, beri tahukan langsung padaku," desak Alpha. "Aku
tak suka hal-hal macam ini terjadi."
"Dia mendatangi apartemenku dua malam yang lalu dan mencoba masuk. Ia
berperilaku abusif di koridor, dan membuat kekacauan pas di depan pintuku. Jika
ini terjadi lagi, aku akan mengajukan tuntutan."
Alpha jelas-jelas terguncang. "Tak ada yang memberitahuku. Ia tidak melukai
siapa-siapa, 'kan?" "Tak ada yang terluka."
Alpha mencomot kartu nama dari atas meja dan mencatat sederet angka di atasnya.
"Ini nomor telepon rumahku," katanya, menyodorkan kartu itu. "Kalau dapat
masalah lagi, langsung telepon aku. Kalau dia merusak pintumu aku akan ganti-
rugi." "Pintu itu baik-baik saja. Jauhkan saja dia dariku." Alpha mengepitkan bibir dan
mengangguk. "Kurasa kau tak tahu apa-apa soal Carmen Sanchez?"
"Sebatas yang kubaca di koran."
Aku belok kiri di State Street dan menembus lalu-lintas padat. Lampu berganti
hijau, kami semua beringsut maju jengkal demi jengkal. Sisa uangku cukup untuk
belanja beberapa keperluan, jadi aku melewati gedungku dan menyetir seperempat
mil lagi ke Super-Fresh. Selagi berdiri di kasir, terpikir olehku Morelli pasti memperoleh makanan dari
suatu tempat atau seseorang. Apakah ia berlari secepat kilat ke dalam Super-
Fresh dengan kumis dan kacamata Groucho Marx berikut hidung palsu" Dan di
manakah dia tinggal" Barangkali dia tinggal dalam van biru itu. Sempat aku
berasumsi: ia menukarnya setelah kepergok itu, tapi mungkin saja malah tidak.
Mungkin van itu memang praktis baginya. Mungkin van itu merupakan markas
pengendalinya, lengkap dengan persediaan makanan kaleng. Dan, bisa jadi van itu
dilengkapi piranti pengawas. Waktu itu Morelli berada di seberang jalan, memata-
matai Ramirez, jadi barangkali dia juga menguping.
Di Stark Street aku tidak melihat van itu. Memang belum kuniatkan untuk mencari,
tapi andaikan van itu ada di sana tak mungkin terlewat olehku. Aku tak banyak
tahu soal pengawasan elektronik, toh aku tahu sang pengawas harus berada cukup
dekat dengan sang target yang sedang diawasi. Patut dipertimbangkan. Barangkali
aku dapat menemukan Morelli dengan cara mencari van tersebut.
Aku terpaksa parkir di ujung pelataran, dan ini menyulut kekesalanku terhadap
orang tua cacat yang menyita seluruh petak parkir terbaik. Masing-masing
tanganku mencengkeram tiga kantong belanjaan, ditambah sekerat bir. Dengan
lutut, aku menahan pintu Cherokee
yang terempas menutup. Kedua lenganku merentang tegang akibat beban, kantong-
kantong itu berayun dan menghantam lututku selagi aku melangkah, mengingatkanku
pada lelucon yang pernah kudengar, berhubungan dengan buah zakar gajah.
Aku numpang lift, terhuyung-huyung melintasi jarak pendek di koridor, kemudian
kuletakkan kantong-kantong itu di karpet sementara aku meraba-raba mencari
kunci. Aku menguak pintu, menyalakan lampu, bolak-balik mengangkut belanjaan ke
dapur, dan kembali untuk mengunci pintu depan. Aku menata sedikit belanjaanku,
menyortir barang yang harus masuk lemari dan barang yang harus masuk kulkas.
Rasanya lega memiliki persediaan makanan. Naluri menyetok menurun padaku. Ibu-
ibu rumah tangga di Burg selalu bersiap-siap menghadapi bencana, menumpuk tisu
toilet dan kaleng-kaleng sup krim jagung kalau-kalau terjadi badai salju lagi.
Bahkan, Rex bersemangat melihat kesibukan ini, menonton dari kandang dengan kaki
hamsternya yang merah jambu dan mungil menempel di kaca.
"Hari-hari cerah sudah tiba, Rex," seruku, memberikan seiris apel padanya.
"Mulai sekarang menu kamu apel dan brokoli."
Di swalayan tadi aku beli peta, dan kini kuhamparkan di meja sembari mencuil-
cuil santap malamku. Besok aku akan mencari van biru itu secara metodis. Aku
akan memeriksa area di sekitar gym, dan aku juga akan memeriksa alamat rumah
Ramirez. Akumenarik buku telepon dan mencari Ramirez. Dua puluh tiga nama
terdaftar. Tiga nama dengan B sebagai inisial pertama. Ada dua Benito. Aku
menelepon yang pertama yang seorang wanita menyahut pada dering keempat.
Terdengar tangisan bayi di latar belakang. "Apakah Benito Ramirez si petinju tinggal di situ?" tembakku.
Jawaban terlontar dalam bahasa Spanyol dan bukan bernada ramah. Aku minta maaf
telah mengganggunya dan memutuskan sambungan. Benito kedua mengangkat sendiri
teleponnnya dan sudah pasti bukan Ramirez yang kucari. Ketiga inisial B juga
jalan buntu. Agaknya, percuma menelepon kedelapan belas nomor lain. Di satu sisi
aku lega belum berhasil menemukan dia. Entah apa yang harus kukatakan. Kurasa
tidak ada. Yang kucari adalah alamatnya, bukan ingin mengobrol. Dan nyatanya,
bayangan Ramirez membuatku bergidik. Aku bisa mengawasi gym dan membuntuti
Ramirez saat dia pulang, tapi Cherokee merah dan gede terlalu menonjol.
Barangkali Eddie dapat membantu. Polisi punya berbagai cara untuk mendapatkan
alamat seseorang. Siapa lagi kenalanku yang bisa mengakses alamat" Marilyn Truro
bekerja di Samsat. Seandainya kuberikan nomor pelat Ramirez, dia pasti bisa
mencarikan alamatnya. Atau, aku tinggal menelepon ke gym. Ck, tak mungkin
segampang itu. Ah, emang gue pikirin, batinku. Coba saja dulu. Aku merobek halaman buku telepon
yang mengiklankan gym dan menghubungi layanan informasi. Kuucapkan terima kasih
pada operator dan memijit nomor itu. Kukatakan pada pria yang mengangkat telepon
bahwa aku ada janji dengan Benito, tapi kehilangan alamatnya.
"Tentu," sahutnya. "Di 320 Polk. Gak tahu nomor apartemennya, tapi di lantai
dua. Ujung lorong. Ada namanya di pintu. Gak mungkin kelewatan."
"Makasih," ucapku. "Aku sangat menghargainya."
Kugeser telepon ke sudut meja dan beralih ke peta
untuk mencari Polk. Berdasarkan peta, jalan itu terletak tiga blok dari gym,
sejajar dengan Stark. Kulingkari alamatnya dengan spidol kuning. Kini aku punya
dua area pelacakan van biru. Jika perlu aku akan parkir dan jalan kaki,
berkeliaran sepanjang ganggang dan menyelidiki garasi-garasi. Aku akan mulai
besok pagi-pagi sekali, dan jika tak ada kemajuan, aku tinggal kembali ke
timbunan TYTM yang diserahkan Connie padaku serta berusaha menghasilkan uang
sewa apartemenku dengan menuntaskan kasus-kasus kurang penting.
Aku mengecek dua kali seluruh jendela untuk memastikannya terkunci, lalu
merapatkan semua gorden. Aku ingin mandi serta tidur secepatnya, dan aku tidak
mau kedatangan tamu tak diundang.
Aku beres-beres apartemen, mencoba tidak menghiraukan bidang-bidang kosong
tempat peralatan rumah tanggaku pernah ada, pura-pura tak melihat jejak-jejak
perabotan di karpet ruang duduk. Honor $ 10.000 atas pembekukan Morelli sebagian
besar bakal habis buat menata-ulang hidup normal, toh itusama saja gali tutup
lubang. Mungkin sebaiknya aku tetap melamar pekerjaan.
Siapa yang ketipu. Aku sudah melamar seluruh lowongan yang sesuai bidangku.
Aku bisa tetap jadi agen pelacak, tapi rupanya dalam keadaan terbaik pun sangat
berisiko. Dan dalam keadaan terburuk ... Aku justru tak ingin memikirkan yang
terburuk. Di samping jadi terbiasa diancam, dibenci, dan terekspos pada serangan
seksual, terluka, atau, Tuhan jangan sampai, terbunuh, aku perlu memantapkan
cara berpikir ala pekerja-lepas. Dan, aku perlu berinvestasi demi latihan seni
beladiri dan belajar sejumlah teknik polisi untuk melumpuhkan penjahat. Aku tak
berniat jadi Terminator, namun aku juga tidak mau terus beroperasi pada levelku yang selama
ini setara tokoh kartun Elmer Fudd. Andai punya TV aku dapat menonton siaran-
ulang Cagney and Lacey. Kuteringat rencanaku memasang selot tambahan dan kuputuskan mengunjungi Dillon
Ruddick, si penjaga. Dillon dan aku koncoan, sebab dalam gedung ini hanya kami
berdua yang tidak menganggap makanan suplemen Me-tamucil sebagai salah satu dari
empat kelompok makanan pokok. Untuk membaca komik saja Dillon masih mengeja
dengan bibir, tapi coba sodorkan perkakas ke tangannya dan ia berubah genius. Ia
tinggal di perut gedung, dalam studio berperabot dan karpet yang tak pernah
dilirik cahaya alam. Suara latarnya adalah serenade konstan pemanas sentral dan
ketel air menggeram serta kucuran air mengaliri pipa-pipa. Kata Dillon dia
menyukainya. Katanya dia pura-pura itu samudera.
"Hei Dillon," sapaku saat ia membuka pintu. "Apa kabar?"
"Baik. Tak ada yang patut dikeluhkan. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Aku makin cemas karena kriminalitas, Dillon. Kupikir ada bagusnya juga masang
selot tambahan di pintuku."
"Boleh," balasnya. "Tak pernah ada istilah terlalu hati-hati. Malah, aku baru
selesai masang selot di pintu Ny. Luger. Katanya beberapa hari yang lalu ada
laki-laki tinggi raksasa berteriak-teriak di koridor, tengah malam. Katanya hal
itu bikin setan dalam dirinya pun lari ketakutan. Mungkin kau juga dengar.
Apartemen Ny. Luger 'kan hanya dua pintu darimu."
Kutahan diri agar tidak menelan ludah dan ber-"glek"-ria. Aku tahu nama laki-
laki tinggi raksasa itu. "Besok aku usahakan memasang selotmu," lanjut Dillon. "Sementara ini, gimana
kalau bir dulu?" "Bir boleh juga."
Dillon mengangsurkan sebotol bir padaku dan sekotak kacang gado-gado. Ia
menghidupkan kembali suara TV, dan kami berdua tenggelam di sofa.
Kendati menyetel beker untuk pukul delapan, aku bangun pukul tujuh, tak sabar
ingin melacak van biru. Aku mandi dan menghabiskan waktu menata rambut, blowdry
tambah gel dan spray. Begitu selesai, aku mirip Cher di hari yang buruk. Tapi
tetap, Cher pada hari terburuk pun gak jelek-jelek amat. Aku mengenakan celana
pendek elastis terakhir yang masih bersih. Aku menyematkan bra olahraga yang
berfungsi ganda sebagai hattertop dan melingsirkan kaus longgar ungu dengan
leher lebar lewat kepalaku. Aku mengikat tali Reebokku yang setinggi mata-kaki,
melorotkan kaus-kakiku yang putih, dan merasa lumayan keren.
Sebagai sarapan aku melahap Frosted Flakes. Jika ini cukup baik bagi Tony si
Harimau, maka ini cukup baik bagiku. Kutenggak sebutir multivitamin, gosok gigi,
menancapkan sepasang anting emas bundar di daun telingaku, memoles lipstik
Cherry Red yang bisa nyala dalam gelap, dan aku siap berangkat.
Jangkrik mengerik ramalan mereka akan adanya hari gerah lagi, dan aspal hitam
memanas oleh sisa-sisa embun pagi. Aku keluar pelataran bergabung dengan lalu-
lintas lancar di St. James. Peta terhampar di kursi sebelahku, berikut notes
yang mulai kupakai untuk mencatat nomor telepon, alamat, dan aneka po-tong
informasi yang terkait dengan pekerjaan.
Gedung apartemen Ramirez berdiri di tengah blok,
tenggelam di tengah bangunan-bangunan bertingkat empat tanpa lift untuk kaum
pekerja miskin yang dibangun berimpitan. Tampaknya, gedung ini asalnya dihuni
buruh-buruh imigran orang-orang ambisius dari Irlandia, Italia, Polandia yang ?berbon-dong-bondong ke Delaware untuk bekerja di pabrik-pabrik Trenton. Sulit
mengatakan siapa yang kini ber-diam di sana. Tidak ada pria-pria tua duduk-duduk
di undakan, tidak ada anak-anak main di trotoar. Dua wanita Asia paruh-baya
berdiri menunggu di halte bis, tas dikempit erat ke dada, wajah tanpa ekspresi.


One For The Money Karya Janet Evanovich di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejauh penglihatan, van itu tak ada, dan tak ada pula tempat untuk
menyembunyikannya. Tak ada garasi atau gang. Andai Morelli tengah memantau
Ramirez, ia pasti melakukannya dari belakang atau dari apartemen yang lebih
tinggi. Aku menikung dan menemukan jalan berjalur tunggal yang memotong blok. Di sini
pula tak ada garasi. Terdapat sebidang aspal menempel dengan punggung gedung
Ramirez. Parkir diagonal itu memuat enam mobil. Hanya empat mobil mengisinya.
Tiga mobil butut dan sebuah Silver Porsche dengan pelat "Sang Juara" dicetak
warna emas. Semua mobil itu kosong.
Di seberang jalan tikus, lebih banyak lagi apartemen bobrok. Tempat seperti ini
cocok jika Morelli ingin memata-matai atau menguping, batinku, namun belum ada
tanda-tanda dia. Aku melaju sepanjang jalan tikus itu dan mengitari blok, secara metodis
melebarkan area lacak sampai aku selesai menelusuri seluruh j alanan yang bisa
dilalui dalam radius sembilan blok. Van itu belum muncul.
Aku menuju Stark Street dan mengulang prosedurnya, melacak van biru. Di sini
terdapat banyak garasi dan
gang, jadi kuparkir Cherokee dan jalan kaki. Pukul 12.30 aku sudah merazia cukup
banyak garasi telantar dan bau untuk sisa hidupku. Bila menjereng aku bisa lihat
hidungku mengelupas, rambut menempel di tengkuk yang berpeluh, dan bahu
membengkak gara-gara menenteng tas yang menggembung ini.
Sekembali ke Cherokee, kakiku serasa terbakar. Aku bersandar di mobil dan
memeriksa apakah solku meleleh. Satu blok jaraknya kulihat Lula dan Jackie
menongkrongi pojokan mereka. Kupikir tak ada ruginya berbincang lagi dengan
mereka. "Masih nyari Morelli?" tanya Lula.
Kusingkirkan kacamata hitamku ke puncak kepala. "Kaulihat dia?"
"Nggak. Belum dengar apa-apa tentang dia juga. Dia sengaja tidak menonjolkan
diri." "Kalau van dia?"
"Nggak tahu apa-apa soal van. Belakangan Morelli 'kan bawa Cherokee merah dan
emas ... seperti yang kau bawa." Matanya membelalak. "Buuuuuuuuuuuset, jangan
bilang itu mobil Morelli."
"Boleh dibilang aku meminjamnya."
Lula mulai meringis. "Say, jadi maksudmu kau mencuri mobil Morelli" Eh cewek,
dia bakal menendang bokongmu yang putih dan mungil itu."
"Beberapa hari lalu ketahuan dia menyetir Ecoline biru pudar," pancingku.
"Dengan antena menancap di mana-mana. Kalian lihat benda seperti itu beredar
dekat-dekat sini?" "Kami tak melihat apa-apa," dengus Jackie. Aku menoleh ke Lula. "Bagaimana
denganmu, Lula" Kaulihat van biru?"
"Katakan dulu sejujurnya, kau betul-betul hamil?" desak Lula.
"Tidak, tapi hampir saja." Empat belas tahun silam. "Jadi, ada apa ini"
Sebenarnya apa urusanmu dengan Morelli?"
"Aku kerja untuk pria yang membayar jaminannya. Morelli itu TYTM."
"Ah yang benar" Berapa duit di situ?"
"Sepuluh persen dari jumlah jaminan."
"Aku bisa melakukannya," seru Lula. "Mungkin ada baiknya aku beralih profesi."
"Mungkin ada baiknya kau berhenti ngoceh dan belagak jagoan sebelum digebok
bosmu," potong Jackie.
Aku melesat pulang ke apartemen, melahap Frosted Flakes lagi dan menelepon Ibu.
"Aku masak sup kol yang lezat," ujarnya. "Kamu datanglah buat makan malam."
"Kedengarannya enak, tapi aku punya rencana lain."
"Rencana apa" Apa yang begitu penting sampai kamu tak bisa menyisihkan waktu
buat makan kol?" "Kerja." "Kerjaan apa" Kamu masih berusaha melacak si Morelli?"
"Yak." "Seharusnya, kamu cari kerjaan lain. Aku lihat pengumuman di Clara's Beauty
Salon, mereka butuh gadis-gadis pencuci rambut."
Kudengar Oma Mazur berseru mengingatkan sesuatu di belakang.
"Oh yah," ujar Ibu. "Tadi pagi ada telepon buat-mu dari petinju yang punya janji
denganmu, Benito Ramirez. Ayahmu senang sekali. Pemuda yang baik. Sangat sopan."
"Apa kata Ramirez?"
"Katanya dia berusaha menghubungimu, tapi teleponmu diputuskan. Kubilang padanya
sekarang sudah tersambung."
Dalam hati aku membentur-benturkan kepalaku ke dinding. "Benito Ramirez itu
penjahat kelamin. Kalau dia menelepon lagi, jangan bicara padanya."
"Dia sopan padaku waktu di telepon."
Veah, batinku, pemerkosa dan pembunuh paling santun di Trenton. Dan, sekarang
dia tahu dia bisa menghubungi nomor teleponku.
Gedung apartemenku dibangun sebelum zaman bangsal laundry, dan pemilik aktual
tidak merasa berkepentingan menambahkan fasilitas tersebut. Super Suds, jasa
pencuci otomatis paling dekat, terletak setengah mil jauhnya di Hamilton. Bukan
siksaan yang sungguh tak tertahankan, toh tetap saja amat menyebalkan.
Aku menimbun berkas-berkas TYTM dari Connie ke dalam tasku dan memanggulnya di
bahu. Kugeret keranjang cucian ke lorong, mengunci pintu, dan terhuyung-huyung
menuju mobil. Di antara sekian Laundromat, Super Suds bukan tergolong yang jelek. Ada bidang
parkir kecil di samping gedung, bertetangga dengan kedai tempat kita bisa
bersantap roti isi ayam-selada yang lezat jika bawa uang tunai. Kebetulan uang
tunaiku tinggal sedikit, jadi setelah menjejali cucian ke dalam mesin, menuang
deterjen dan menyusupkan koin, aku mengambil tempat duduk untuk menilik para
TYMT. Lonnie Dodd berada di puncak tumpukan dan tampaknya dialah buron termudah. Usia
22, tinggal di Hamilton Township. Ia dituntut atas pencurian mobil. Ini tindak
kriminalnya yang pertama. Dengan telepon umum Laundromat kuhubungi Connie,
bertanya apakah kasus Dodd masih menggantung.
"Kemungkinan besar dia sedang di garasinya sendiri, mengganti oli," keluh
Connie. "Selalu begitu. Ini memang kebiasaan pria-pria macam dia. Bah, kata
mereka, siapa juga yang mau merongrongku. Yang kulakukan cuma nyoiong mobii,
kenapa harus dibesar-besarkan" Jadi pas hari sidang mereka urung muncul."
Kuucapkan terima kasih atas masukan Connie dan balik ke kursi. Begitu cucian
beres, aku akan jalan-jalan ke tempat Dodd, siapa tahu bisa menemukan dia di
sana. Setelah menumpuk berkas kembali ke dalam tas, aku menyetel mesin pengering.
Lantas aku duduk, menera-wangi jendela lebar di muka toko, dan van biru itu
meluncur lewat. Saking kagetnya, aku membeku, mulut menganga, mata tak berkedip,
benak kosong. Jauh banget dari reaksi-cepat yang seharusnya. Van tersebut mulai
menghilang di ujung jalan, dan kulihat lampu remnya menyala. Morelli terjebak di
tengah lalu-lintas. Sekarang aku beranjak. Sebenarnya, kayaknya aku terbang, sebab rasanya kakiku
tak memijak pavemen. Mobilku lepas landas dari parkiran sambil mengepulkan asap.
Aku tiba di tikungan dan alarm berbunyi. Saking tergesa-gesa aku lupa memasukkan
kodenya. Gara-gara raungan ini aku nyaris tak dapat berpikir. Kuncinya ada di gantungan
kunciku, gantungan kunci bergayut pada kunci di lubang starter. Kuinjak rem
mendadak sampai mobil ngepot di tengah-tengah jalan. Kupantau kaca spion
memeriksa keadaan, lega karena ternyata tak ada mobil lain di belakangku.
Kumatikan alarm dan langsung melesat kembali.
Sejumlah mobil memisahkan aku dari Morelli. Ia belok kanan, dan setir
kucengkeram semakin erat, beringsut maju, mengarang sumpah-serapah baru selagi
kumenero - bos lalu-lintas menuju perempatan. Saat aku menikung, Morelli sudah lenyap. Lambat-lambat aku menyisir jalan-jalan, hilir-mudik. Aku hendak
menyerah ketika mataku tertumbuk pada van itu yang parkir di pelataran belakang
Manni's Deli. Aku singgah di gerbang masuk pelataran dan mengawasi van, mempertimbangkan
langkah selanjutnya. Susah memastikan apakah Morelli berada di balik kemudi.
Bisa saja dia rebahan di belakang, tidur siang, atau bisa saj a dia di dalam
toko Manni memesan tuna kaleng buat dimakan sambil jalan. Barangkali aku harus
parkir dan menyelidiki. Jika ternyata dia tidak di dalam van, aku tinggal
sembunyi di balik salah satu mobil dan menyemprotnya pakai gas begitu dia tiba
dalam jangkauan. Aku parkir di petak ujung pelataran, empat mobil dari van, dan mematikan mesin.
Aku hendak meraih tas, tiba-tiba pintuku dihentak terbuka dan aku ditarik dari
belakang kemudi. Badanku tumbang ke depan, menghantam tembok berupa dada Morelli
sendiri. "Cari saya?" ejeknya.
"Lebih baik kamu yang nyerah," gertakku, "karena aku pribadi nggak bakalan
nyerah." Garis mulutnya menegang. "Mari kita bahas. Andai aku terkapar di trotoar dan
kamu menggilasku bolak-balik dengan mobilku sendiri ... buat mengenang masa lalu.
Kamu akan senang 'kan" Kamu dapat duit itu jika aku dalam keadaan hidup atau
mati?" "Jangan terlalu sensi gitu. Aku hanya menjalankan tugas. Sama sekali bukan
Gondoruwo Patah Hati 2 Raja Naga 13 Bunga Kemuning Biru Satria Penggali Kubur 1
^