Pencarian

Ramalan Malapetaka 3

Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer Bagian 3


mereka, ia melihat bahwa tidaklah mudah meyakinkan orang-orang
Indian itu. Hawks kembali dan mengajak Rob.
"Kita datangi yang sakit dulu. Mereka tidak akan melawan."
"Mereka itu takut?"
"Kami hanya mengenal satu dokter selama ini, dan dokter itu
tidaklah terlalu lemah-lembut, seperti menghadapi binatang saja."
Rob dan Maggie mengikuti Romona dan Hawks masuk
perkampungan. Sungguh suatu hunian yang tak pantas disebut desa,
jauh berbeda dengan perkemahan M'rai kemarin. Bagi Rob semua ini
tidaklah asing; ia setiap harinya biasa mengunjungi jembel-jembel di
ghetto, yang keadaannya tidaklah jauh berbeda. Orang-orang
membuntuti dia dan berkerumun selagi ia masuk tempat tinggal orang
yang terserang apa yang mereka sebut katahnas itu.
Rob berusaha melakukan pekerjaannya dengan sehalus dan
secepat mungkin. Ia melihat dalam wajah orang yang diperiksanya
gambaran persis foto-foto dalam buku itu. Rob memberi orang itu
suntikan untuk mengurangi penderitaan, kemudian mengambil sampel
darahnya yang pertama. Mereka kemudian mengunjungi dua orang
lagi yang menderita sakit yang sama. Rob mengulangi prosedur yang
sama. Sesudah itu, Rob memberi petunjuk kepada Romona dan
Hawks untuk menempatkan sebuah meja di tengah halaman terbuka
dan memilih sepuluh orang lelaki, wanita dan anak-anak yang akan
diambil sampel darahnya. Ia terutama menunjuk dua orang wanita
yang dilihatnya sedang mengandung.
Mula-mula orang-orang itu nampak sangat enggan. Tetapi
setelah Romona dan Hawks memberikan contoh dengan menyediakan
diri sebagai orang pertama yang diambil darahnya, mereka semua
maju dengan penuh kesediaan. Semua berjalan dengan urutan rutin
yang teratur. Rob mengambil darah, Maggie membantu dengan
peralatan, sedang Romona mencatat nama mereka. Seorang gadis
berusia dua belas memperhatikan Maggie selagi menyiapkan alat-alat.
Maggie memandang gadis itu, dan mereka tersenyum. Dengan ramah
Maggie mengulurkan tangannya dan sentuhan fisik antara kedua
wanita itu rupanya sangat besar pengaruhnya.
Romona melihat semua itu dan tersenyum. "Anda akan menjadi
ibu yang baik," kata Romona, yang membuat Maggie tiba-tiba seperti
mau menangis. Dalam waktu duapuluh menit, selesailah Rob mengambil darah
mereka. Belum lagi mereka bersiap-siap untuk berangkat lagi, tibatiba dari jauh
terdengar bunyi kendaraan yang datang. Bukan satu,
tetapi beberapa mobil sekaligus yang datang dari berbagai arah.
Ternyata mobil sherif yang datang dengan kawalan wakil-wakilnya.
Romona bertukar pandangan dengan Hawks. Instink Rob mengambil
tempat di depan rombongannya.
"Ada apa?" tanya Rob tergagap.
"Mereka akan membunuh kita," jawab Hawks.
Sherif melangkah maju sambil memegangi secarik kertas yang
berkibaran dihembus angin. "Semua ke luar rumah!" perintahnya
mengguntur. "Ada apa ini?" tanya Rob.
Sherif itu terperanjat melihat ada orang kulit putih di tempat itu.
"Anda siapa?" tanya sherif.
"Saya bertanya, ada apa ini?"
"Mundur " "Saya minta penjelasan...."
"Mundur!" Sebuah mobil lain berhenti. Bethel Isely muncul. Segera ia
melihat Rob dan wajahnya nampak kecewa dan jengkel.
"Saya ingin tahu, apa yang sedang terjadi di sini!" kata Rob.
"Anda tidak semestinya berada di sini, Mr. Vern," kata Isely.
"Paling baik Anda segera berkemas dan meninggalkan tempat ini."
"Saya mau tahu, apa yang terjadi...."
"Mr. Vern. Tadi malam ada lagi korban yang jatuh. Hal ini
harus dihentikan." Hawks mendengar kata-kata Isely dan tahulah dia bahwa saat
yang ditakut-takutinya akhirnya tiba. Perang berebut hutan itu akan
berakhir dengan dihabisinya riwayat setiap orang Indian, baik lelaki,
perempuan maupun anak-anaknya.
"Saya mempunyai daftar orang-orang yang kami curigai. Harap
orang yang kusebut namanya segera maju," teriak sherif memerintah.
"Siapa yang telah terbunuh?" tanya Rob.
"Sekeluarga pekemah di Tikungan Mary," jawab Isely.
"Ada buktinya?"
"Mereka jelas bersalah, Mr. Vern."
"Ada buktinya?" ulang Rob.
"Buktinya di rumah sakit, dalam keranjang."
"Russel Windraven, maju!" seru sherif.
Semua Indian tetap diam tak beranjak.
"Sekali lagi, Russel Windraven!"
Seorang lelaki maju. Rob ingat orang itu adalah salah seorang
yang dulu mendampingi Hawks. Rob berpaling kepada Hawks dan
melihat bahwa orang itu telah menghindar dengan perlahan-lahan
menuju pepohonan. "Chester Pinot!" teriak sherif. Satu lagi maju. "John Hawks!"
teriak sherif lebih nyaring daripada sebelumnya.
"Hentikan orang itu!" tiba-tiba sherif berseru. Tetapi terlambat.
Hawks sudah berada di tengah pepohonan. "Kejar dengan mobil!"
perintahnya setelah melihat bahwa lari Hawks lebih gesit dari mereka.
Tiga wakil sherif berpacu melewati Maggie menuju ke mobil.
Maggie melihat bahwa Hawks bukannya lari ke hutan, melainkan
menyelinap ke belakang sebuah rumah.
"Setiap orang tidak boleh meninggalkan tempat ini!" teriak
sherif. Rob berpaling ke Romona dan bertanya, "Tikungan Mary, tahu
di mana tempatnya?" Romona mengangguk. "Ikut ke mobil," perintah Rob kepada Romona dan Maggie.
"Saya mencari lima orang," kata sherif. "Ini baru dua yang
ada!" Rob melangkah mendekati sherif. "Dengarkan sebentar,"
katanya tegas. "Anda bukan sendiri di sini. Saya menyaksikan semua
yang terjadi. Saya melihat keadaan mereka sewaktu Anda tangkap.
Kalau nanti setelah keluar dari penjara, keadaan mereka tidaklah
seperti sekarang, Anda akan menyesal. Dengarlah, Anda akan
menyesal!" Berkata begitu Rob membalikkan badan dan berjalan
menuju ke mobil. Maggie dan Romona sudah duduk di dalamnya.
Dengan suara menderu mereka meninggalkan tempat itu.
************************************
Tempat yang disebut Tikungan Mary itu ternyata tak mungkin
dicapai dengan mobil. Orang dapat sampai di sana hanya dengan
berjalan kaki sejauh lima enam kilo melalui medan yang tak
tertembus. Pikiran Rob melayang ke lapangan terbang tempat ia
pertama sampai di daerah itu.
"Rumah sakit itu di mana?" tanya Rob kepada Romona.
"Di ujung jalan utama," jawab yang ditanya.
Cepat Rob menuju ke tempat yang menurut Isely menyimpan
bukti pembunuhan itu. Ia mau menyaksikan bahwa mayat-mayat itu
jangan dikuburkan dulu sebelum ia mendapat kepastian.
Rumah sakit itu bukanlah rumah sakit. Hanya suatu poliklinik
darurat yang terjepit di antara bangunan di pinggir kota. Apa yang
dikiranya mayat-mayat korban itu ternyata tidak lebih dari sisa-sisa
tulang dan daging yang tak keruan lagi bentuknya.
"Apa yang membuat Anda mengira, mayat-mayat ini kurban
tangan manusia?" "Apa lagi?" jawab Dr. Pope, dokter yang disebut-sebut Hawks
tadi. "Kenapa bukan binatang?"
"Beruang misalnya?" jawab Dr. Pope. "Beruang tak mungkin.
Beruang tak pernah menyerang orang sekelompok. Paling-paling satu
yang dihabiskannya."
"Tetapi orang juga tidak mungkin!"
"Memang, kecuali kalau mereka sengaja membuatnya mirip
perbuatan beruang. Binatang tak mendendam. Tetapi ini adalah tindak
pembalasan." "Dr. Pope. Ingatlah, pernyataan Anda akan jadi dasar hukum
bagi orang yang tertuduh. Lebih baik Anda berhati-hati dengan
pernyataan Anda." Dr. Pope tidak menjawab, hanya mengantar Rob sampai ke
mobil. Rob, Maggie dan Romona kemudian melaju ke lapangan
terbang. Dua helikopter milik Jawatan Kehutanan berada di landasan.
Surat mandat penugasan Rob dari pemerintah cukuplah untuk
memanggil pilot salah satu helikopter itu dari rumahnya yang tidak
kurang dari lima kilometer jauhnya.
Pada saat mereka tiba di atas danau, hujan turun, sehingga agak
menyulitkan pandangan. "Andaikata di bawah sana ada binatang besar, dapatkah kita
melihatnya dari sini?" tanya Rob kepada pilot.
"Besar?" "Sebesar rusa-besar?"
"Lebih besar." "Di sini tidak ada binatang yang lebih besar daripada rusabesar."
"Tetapi dapat dilihat dari atas?"
"Cukup mudah. Rusa, beruang dan lain-lain selalu berlari bila
ada sebuah pesawat terbang lewat. Mudahlah dilihat."
Helikopter itu berputar-putar di atas hutan, tetapi aneh, tiada
seekor pun binatang yang berlarian seperti kata pilot itu.
"Aneh," kata Romona. "Biasanya tempat ini penuh binatang
besar." "Di manakah Tikungan Mary itu?" tanya Rob.
"Persis di bawah kita. Di bawah tebing-tebing tinggi itu."
Rob dapat melihat, di bawah mereka, sisa-sisa sebuah tenda
yang telah cabik-cabik dan berkibaran tertiup angin. "Kita dapat
turun?" "Gila. Apa?" tanya si pilot.
"Anginnya terlalu kencang?" tanya Rob.
"Tidak. Tetapi di sini perubahan dapat sangat cepat."
"Kalau memang mungkin, saya mau turun."
Pilot itu mencek peralatannya, kemudian menghubungi
pangkalan, menanyakan keadaan udara. "Mereka bilang, keadaannya
tak akan memburuk." "Kita dapat turun?"
"Oke." Mereka turun lurus ke bawah sehingga ketika tiba-tiba ada
tiupan angin yang mendadak, helikopter itu hampir terbanting. Tetapi
mereka selamat sampai di tanah.
Rob menyuruh Maggie tinggal dalam helikopter saja dengan
pilot itu sementara ia sendiri turun dengan Romona dan bergegas
menuju ke tempat bekas perkemahan.
Bekas medan pembunuhan itu sungguh-sungguh mengerikan.
Semak-semak tercabut dari akarnya. Dahan-dahan pohon patah dan
berserakan. Tanah di depan kemah penuh oleh bekas darah. Sepatu
tennis kecil nampak tersangkut di atas dahan. Romona melihat
gundukan kecil dan ia mengoreknya dengan patahan dahan.
"Apa itu?" tanya Rob.
"Barang busuk," jawab Romona heran. "Aneh. Seperti cara
kucing hutan memendam hasil buruannya."
Rob melangkah makin ke hulu. Romona masih tertegun
beberapa lama sebelum mengikutinya dari belakang.
Kira-kira lima puluh meter dari bekas perkemahan itu, Rob dan
Romona sampai di tempat bekas penganiayaan yang lain. Sisa-sisa
sebuah kantung tidur berserakan di tanah. Sebuah weker tertanam
seperti bekas terinjak. Guntur mulai terdengar pertanda hujan akan
turun. Rob mengangkat mata mengawasi udara dan tiba-tiba
pandangannya terpancang pada luka di batang pohon sekitar dua
meteran di atas tanah, seperti bekas kuku binatang buas.
"Bekas apa itu, Romona?"
"Beruang mungkin."
"Setinggi itu?"
"Mungkin memanjat."
"Lihatlah lebih ke atas lagi."
Romona melihat ke atas dan nampaklah olehnya sejambak bulu
hitam terjepit di ranting pohon. Dengan sebatang dahan sepanjang tiga
meteran Romona mengait jambak bulu itu.
"Bukan beruang," kata Romona setelah memeriksanya dengan
cermat. "Lalu apa?" Mata gadis itu nanar memandang ke tengah hutan. "Inilah
Katahdin itu, Mr. Vern," jawabnya muram. "Ia bukan dongengan
lagi." Dedaunan di belakang mereka tiba-tiba terkuak. Romona
terpekik gembira. Seseorang berlari ke arah mereka.
Yang datang itu tiada lain kecuali John Hawks. Wajahnya
tertutup darah yang sudah mengering, yang rupanya ke luar dari
sebuah luka di dahinya. Matanya hampa karena kekejutan. Ia berhenti
dan mengacungkan sejambak bulu binatang berwarna hitam. "Telah
melihat ini?" tanyanya.
"Ya," jawab Rob. "Kunci rahasia itu ada di sini. Dan saya mau
agar rahasia ini terungkap secepat mungkin. Demi kebaikan semua!"
Bunyi guntur terdengar. Agaknya hujan memaksa mereka harus
pergi. Tiba-tiba dari kejauhan mereka mendengar jeritan nyaring. Rob
tertegun. Suara Maggie. Bagaikan tersengat lebah, Rob melompat dan
lari kembali disusul Romona dan Hawks. Sampai di tikungan,
nampaklah oleh mereka Maggie berdiri di pinggir sungai dengan
kedua tangan tertangkup pada kepalanya mengawasi sesuatu di sungai
itu. Tidak jauh dari Maggie berdiri pilot itu, juga dalam keadaan
tertegun. Rob berlari mendapatkan Maggie, dan gadis itu menuding
dengan telunjuk yang gemetaran.
Semua jadi bergidik kengerian.
Di air, pada tepi, sungai, nampaklah pada jaring perangkap
buruan, dua makhluk yang bentuknya sangat tidak lumrah. Tubuhnya
berbintik-bintik merah muda dan hitam; panjangnya kira-kira empat
puluh senti. Seekor di antaranya nampaknya sudah mati, tergantung
terkulai dengan kepala di bawah. Badannya panjang dan kurus,
dengan bentuk binatang berkaki empat, tetapi mempunyai selaput di
antara kaki-kakinya, bagaikan kelelawar. Sungguh-sungguh suatu
kekacauan evolusi. Kepalanya panjang tak berbulu dengan benjolan
yang rupanya berisi otak binatang itu. Moncongnya runcing, dengan
gigi-gigi tajam mencuat terlampau panjang. Matanya besar, melotot
hampa bagaikan mata ikan, tak sebanding dengan kepalanya.
Hujan turun dengan mendadak bagaikan dicurahkan dari langit.
Kelima orang berdiri tertegun diam.
"Binatang apa itu?" tanya pilot yang membuka mulut pertama
kali. Tak seorang pun menjawab.
"Bangsa kami telah hidup dengan cerita tentang makhluk ini
selama hidup. Kini makhluk ini pun akan lenyap." Hawks nampak
murung. "Satu masih hidup," jawab Romona.
Yang satu, yang dikatakan Romona masih hidup itu, nampak


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang megap-megap di dalam jaring, mungkin karena kedinginan
dan kehabisan tenaga. '"Kita harus menghangatkannya," kata Rob. "Kalau tidak, ia
akan mati." "Biarkan di sini," desis Hawks. "Biarkan dia mati."
Rob memandanginya dengan muka memerah.
"Apa, biarkan di sini" Tidak tahukah kalian" Inilah sebuah
bukti! Inilah yang akan menyelamatkan nyawa kalian! Hutan kalian!"
Hawks memandangi Rob lama, kemudian berpaling kepada
pilot. "Pinjam pisaunya."
"Jangan!" teriak Rob.
"Saya akan melepaskannya dari perangkap itu."
Hawks menerima pisau yang dipinjamnya dan masuk air, Rob
menyusul di belakangnya. Tak lama, binatang itu telah terbebas. Rob
mengangkatnya dengan hati-hati. "Ambil yang satu itu pula."
Mengikuti perintah Rob, Hawks melepaskan yang mati juga,
tetapi ia enggan untuk mengambilnya. "Angkat dia." ulang Rob.
"Untuk apa?" "Saya mau membawa keduanya."
"Apa gunanya?" "Akan saya bedah untuk mengetahui unsur-unsurnya! Untuk
mengetahui makanannya! Untuk mengetahui mengapa tercipta
makhluk semacam ini!"
"Bukankah yang satu itu cukup?"
"Yang satu ini akan saya piara hidup-hidup. Asal ia masih ada,
orang tidak mungkin menganggapnya tidak pernah ada."
Hawks memegangi tungkai belakang binatang itu. Cairan lendir
ke luar dari mulut dan hidung, ketika binatang itu terangkat dari air.
Maggie memandang dengan mata berkaca-kaca.
"Makhluk ini perlu selimut," kata Rob. "Maggie?"
Maggie memandang kepadanya dengan mata hampa.
"Syal itu." "Apa?" tanya Maggie lemah.
"Berikan kemari."
Maggie melepas syal wol dan memberikan kepada suaminya.
Rob membungkus makhluk itu hangat-hangat. Nampaknya seperti
anak jin terbungkus kain bedung.
"Ayo, kita berangkat," ajak Rob.
"Lihatlah pohon-pohon itu," jawab pilot. "Angin begitu
kencang. Kita tak mungkin tinggal landas dalam cuaca begini."
Rob nyengir karena kecewa. "Tetapi kita harus pergi dari
tempat ini." "Kita akan hancur. Tadi waktu turun sudah sulit. Apa lagi
sekarang." "Tetapi ini perlu dihangatkan, dan segera. Kalau tidak, mati
dia." "Berteduh saja dulu. Angin ini akan berhenti."
"Berapa lama?" "Paling-paling berapa jam."
"Terlalu lama."
"Naik tidak mungkin!"
Rob berpaling kepada Hawks dengan wajah putus asa. "Di
mana desa itu?" "Sepuluh kilo," jawab Hawks.
"Tidak ada yang lebih dekat?"
"Perkemahan kakekku," jawab Romona. "Dua jam kira-kira dari
sini." "Dua jam lagi, badai ini sudah berlalu," jawab Rob hilang akal.
"Belum tentu," jawab pilot itu.
"Dan saya tak mau menunggu saja di sini!" sambung Hawks.
Suara Indian itu membuat Rob agak tertegun. Benar juga, mereka tak
mungkin tinggal di tempat itu, di dalam atau di luar helikopter.
Mungkin mereka saat ini sedang berdiri di relung tempat binatang tak
dikenal itu bersarang. Rob jadi teringat bekas cakar dan bulu-bulu
yang tersangkut pada dahan itu. Lima meteran. Dan Rob tidak tahu
apakah makhluk itu membungkuk ataukah mendongak sewaktu
mencakar batang pohon itu.
"Baiklah. Kita berangkat ke perkemahan M'rai."
Dengan keputusan Rob itu, berangkatlah mereka. Romona
berjalan paling depan, disusul Hawks, yang masih memegangi
binatang mati itu pada tungkai belakangnya. Tubuh yang tak berdaya
itu berayun dan berputar-putar di depan mata Maggie yang berjalan
persis di belakangnya. Moncong yang selalu meneteskan lendir itu
terseret-seret di tanah dan mengumpulkan kotoran, sehingga mulutnya
nampak seperti tersenyum.
Maggie berjalan seperti otomat. Kedua tangannya menutup
perut, seakan-akan untuk mencegah agar kandungan yang tidur di
dalam jangan melihat apa yang nampak di depan itu. Maggie dapat
merasakan beratnya bakal bayi yang berada di dalam, dan mencoba
membuang gambaran-gambaran khayal yang tidak wajar tentangnya.
Maggie menutup wajahnya dengan jaketnya untuk menghalau
keinginan menangis. Pikirannya kebingungan karena ia tak mungkin
membenci apa yang dikandungnya. Ia telah memberinya hidup dan ia
telah mecederainya tanpa disengaja.
Hari mulai gelap. Pilot itu menyalakan sebuah senter dan
memegangi lengan Maggie yang berjalan tanpa bicara. Rob telah
membuka jaketnya dan memasukkan bungkusan bawaannya. Rob
merasakan gerakan binatang itu ketika bersentuhan dengan
kehangatan tubuhnya. Suatu tanda yang baik; binatang itu masih hidup
dan Rob bertekad untuk memeliharanya hidup-hidup. Di atas, langitlangit hutan
berdesis dan berdesau ketika angin menghembus dengan
kerasnya. Hujan telah reda, tetapi anginnya bertambah ganas.
Beberapa kali Rob mengawasi isterinya. Ia mengharap saja agar
gadis itu jangan sadar akan apa yang dikuatirkan oleh Hawks. Namun
nampaknya Maggie tidak acuh lagi dengan keadaan di kanan kirinya.
Rupanya kekejutan selagi menemukan makhluk yang menakutkan itu
mempunyai pengaruh yang lebih dalam bagi Maggie daripada bagi
yang lain-lain. Wajah Maggie nampak bagaikan topeng tak bernyawa,
tanpa ekspresi. Mereka telah berjalan tiga jam. Kini jalannya menurun.
Langkah mereka makin cepat, apa lagi setelah tujuan mereka
bertambah dekat. "Sssst," bisik Romona sambil mengacung ke depan. Di
kejauhan nampak nyala api di perkemahan M 'rai.
Hawks dan Romona merangkak maju untuk mengetahui
siapakah orang-orang di perkemahan itu. Romona bangkit dan muncul
dari dedaunan. Setelah beberapa saat ia kembali.
"John, tidak apa-apa. Mereka orang-orang kita saja."
Rob menggandeng tangan Maggie dan mereka berlari menuju
perkemahan. Dengan api yang menyala hangat dan atap di atas kepala,
mereka merasa aman dan lega.
"Kakek telah pergi, entah ke mana, tak ada yang tahu," kata
Romona. "Apakah orang-orang ini dapat menolong kita?" tanya Rob.
"Mereka dapat pergi ke desa dan mengirim seseorang ke kota."
"Suruh mereka."
"Untuk menemui siapa?"
"Siapa saja, yang mau menjemput kita dari sini."
Romona berpaling kepada orang-orang Indian itu dan berbicara
dalam bahasa mereka. "Tunggu," kata Rob. "Suruh semua orang datang. Semua. Saya
mau agar orang melihat ini. Saya mau agar semua orang mengetahui
tentang ini. Orang Indian. Orang kota. Saya mau mereka semua
datang kesini." Romona berpaling lagi kepada orang-orang Indian itu dan
berbicara agak lama. "Apakah di kota ini ada surat kabar atau semacam itu?"
"Ada." "Suruh mereka datang. Dengan kamera. Suruh juga orang
pabrik kertas itu datang. Sherif juga....."
"Jangan sherif," sela Hawks.
"Saya mau orang-orang datang," seru Rob geram. "Selagi kita
masih mempunyai bukti ini. Selagi ini masih hidup. Ini menentukan
nasib anda, bukan nasib saya!"
Beberapa saat Hawks memandangi Rob, kemudian
mengangguk pasrah dan berpaling ke dua orang Indian. Ia meminta
mereka melakukan apa saja yang diperintahkan orang pemerintah ini.
Orang Indian itu menjawab bahwa di desa mereka hanya ada
satu mobil yang masih jalan. Kalau itu tidak ada, mereka akan
terpaksa jalan saja ke kota dan paling cepat tengah malam mereka
baru akan kembali. Hawks mengangguk setuju. Ia kemudian berjalan ke tempat ia
meninggalkan makhluk yang mati tadi, di bawah pepohonan. Hawks
memungutnya dan membawanya ke depat api. Dengan melemparkan
bangkai itu ke tanah Hawks memandang ke hutan, dalam hati cemas
tentang apa yang mungkin akan terjadi.
Chapter 11 BADAI TELAH BERLALU sebagian besar, hanya sekali-kali
masih terdengar guruh yang berkali-kali mengguntur di pegunungan
yang jauh. Hutan di sekitar perkemahan M'rai telah menjadi tenang
kembali. Belalang dan jengkerik telah mulai memperdengarkan
suaranya, tetapi tiap-tiap kali terdiam karena dikejutkan suatu guntur.
Selama dua jam sejak kepergian orang-orang Indian itu, Hawks
telah mengumpulkan ranting kulit kayu dan apa pun yang dapat
dijadikan bahan bakar untuk menyalakan api unggun tinggi-tinggi di
tengah perkemahan. Ia yakin bahwa sebesar-besarnya api itu, apa
yang ditakutkannya tidak akan mundur untuk menyerang mereka. Apa
yang disebut Katahdin itu kini sudah bukan dongengan lagi baginya.
Hawks telah menemukan busur M'rai dan gendewa berisi empat
anak panah. Ia mencoba kemahirannya, dan ternyata dari empat
bidikan hanya satu yang meleset sedikit. Sayang dalam percobaan itu
satu anak panah telah patah ujungnya ketika ditariknya. Tinggal tiga.
Dan ia tahu bahwa panah adalah senjata yang tak berarti besar, tetapi
dalam keadaan terjepit, setiap anak panah ada artinya.
Di belakang Hawks, salah satu kemah M'rai nampak terang dari
dalam sehingga ia dapat melihat semua yang ada di dalam, bagaikan
wayang kulit di balik layar. Ia melihat Rob dan Maggie yang berdiri
tak bergerak menghadapi meja. Romona berjongkok di tanah,
mengipasi api bara pemanas ruangan. Pilot itu tak kelihatan, pasti
sedang memeriksa gua-gua bawah tanah di bawah perkemahan itu.
Di dalam kemah suasananya diam. Asap memenuhi ruangan.
Mata Rob menjadi pedas karenanya selagi ia memandangi makhluk
kecil yang terletak di meja, lemas, seperti mati, mata terpejam dan
dada berkembang-kempis dengan berat. Betapa pun jelek dan
menakutkannya, binatang itu kini mampu membuat hati tersentuh.
Mungkin karena ia sakit, karena lemah. Atau mungkin karena masih
kecilnya. Rob tahu bahwa susunan dalam tubuh binatang ini jelas berbeda
dengan manusia, namun ia memperlakukannya dengan cara satusatunya yang ia kenal,
bagaikan menghadapi seorang bayi manusia. Ia
telah memberinya lima cc Adrenalin, dan jantung makhluk kecil itu
bereaksi. Degupannya cepat kini. Mungkin terlalu cepat.
"Akan matikah ia?" tanya Maggie berbisik.
"Saya kira tidak."
Maggie merasa lega. Aneh mungkin. Tetapi setelah dua jam
lamanya menungguinya, pandangan Maggie terhadap makhluk itu jadi
berubah. Tubuh yang cacat dan jelek itu tidak menjadi soal lagi. Yang
nampak adalah kecilnya, lembutnya, lemahnya. Dan mereka harus
melindunginya. Tetapi jauh di dalam kalbunya, Maggie sedang menjalani suatu
lorong yang buntu. Ia menghadapi dua pilihan, satu ialah kenyataan
yang tak tertanggungkan, dua ialah jurang kegilaan. Menerima
kenyataan bahwa makhluk yang dihadapinya ini mungkin merupakan
replika dari apa yang sedang berada dalam kandungannya membuat
Maggie kuncup kengerian. Sebaliknya melupakannya berarti ia
melepaskan pegangannya atas kenyataan dan mungkin juga kewarasan
otaknya. Maggie terjepit antara dua masalah, tanpa dapat menerima
atau menolak apa yang sedang dialaminya.
Rob bukannya tidak melihat bahwa Maggie sedang mengalami
goncangan pikiran, tetapi ia tak membayangkan masalah yang
sebenarnya. Rob tahu kelembutan perasaan Maggie terhadap makhluk
hidup yang lemah. Tetapi, makin lama Rob makin kuatir. Maggie
nampaknya semakin memusatkan perhatian pada bayi binatang itu,
sehingga seakan-akan lupa dengan keadaan di kanan-kirinya.
"Perlu selimut lagi?" tanya Romona sambil berdiri.
"Tidak. Malah sudah terlalu panas mungkin. Asap ini bisa
dikurangi?" "Sebentar, saya buka sekat kain pintunya."
Pilot itu menyembulkan kepala dari lubang gua bawah tanah.
"Kosong melompong," katanya.
"Tiada persediaan sama sekali?" tanya Rob.
"Tidak ada." "Lihat!" kata Maggie tiba-tiba. Ucapan ini hampir-hampir
dibarengi dengkingan nyaring yang keluar dari mulut makhluk kecil
itu, yang sekonyong-konyong membuka matanya lebar-lebar dan
tubuhnya bergetar seperti anak kedinginan.
Maggie mengulurkan tangan untuk menyentuhnya tetapi Rob
menahannya. "Jangan. Jangan sentuh dia!"
"Tak dapatkah kauperbuat sesuatu?"
"Saya tak berani memberinya obat penenang."
Maggie menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan untuk
menahan luapan perasaannya selagi ia memandangi mata makhluk
kecil yang melotot kesakitan itu. Badannya menegang ke belakang,
busa ke luar dari mulut serta hidung.
Di luar, Hawks mendengar juga dengkingan nyaring itu. Sesaat
lamanya ia menjadi takut. Suara makhluk kecil itu cukup kuat dan
mudah terdengar dari tengah-tengah pepohonan. Suara yang lain dari
yang lain itu membuat jengkerik hutan menjadi bungkam dan tetap
diam sampai cukup lama. Seluruh hutan menjadi sunyi, seakan-akan
menahan nafas. Hawks memaksa matanya melihat dalam gelap. Ia melihat
bentuk-bentuk yang mengancam pada setiap benda yang remangremang, melihat
gerakan yang menakutkan pada setiap goyangan daun
dan sesemakan. Ia sadar bahwa ia telah terganggu oleh khayalannya
sendiri. Sesuatu di belakangnya membuat ia terlompat. Ternyata
hanya seekor kodok yang melompat kembali ke air setelah tadi naik
ke darat tertarik cahaya api.
Sesuatu berderik, dan Hawks menoleh. Kain pintu kemah
terbuka dan pilot itu ke luar dengan kaki dan tangan yang kotor karena
merangkak-rangkak di gua tadi. Kedua orang itu berpandangan,
seakan-akan saling menilai.
"Rupanya hujan sudah berhenti, he?" gumam pilot itu.
Hawks mengangguk mengiyakan.
"Kira-kira teman-teman anda itu akan kembali?"
"Mereka berkata akan kembali."
"Tetapi akan kembalikah?" ulangnya.
Hawks tidak menyukai pertanyaan itu dan enggan mengulang
jawabannya. "Kalau mereka tidak segera muncul, saya akan pergi ke
helikopter dan terbang pulang."


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hawks tidak menyahut. "Anda dari sini juga?"
"Ya." "Logat bahasa anda lain."
"O, ya?" "Anda seperti bukan Indian."
Hawks melemparkan pandangan sekilas ke mata orang itu.
"Anda juga seperti bukan Indian."
"Saya memang bukan."
"Apakah itu berarti bahwa anda tidak berasal dari daerah ini?"
Pilot itu agak tercengang. Hawks melangkah agak menjauh.
"Perempuan di dalam itu squaw anda?" tanya pilot itu lagi.
Hawks memandangnya penuh kebencian. "Yang mana?"
jawabnya. Pilot itu semakin tercengang. Ia geleng-geleng kepala, lalu
menjauh. Hawks dapat mendengar orang itu membuka kancing-tarik
celananya dan melepas ikat pinggangnya yang berkepala logam
sehingga berbunyi gemerincing sambil berjalan masuk hutan.
Di dalam kemah, makhluk kecil itu mulai menjadi tenang
kembali, panas badannya menurun. Digerakkannya tangan mungilnya
seakan-akan mencari pegangan.
Maggie yang berdiri di samping Rob dengan mulut terbuka
sedikit, dan mata tertunduk, tanggap akan gerakan itu. Ia mengulurkan
tangannya, tetapi terhenti di tengah jalan persis di atas tangan yang
mungil itu. Rob mengawasinya dengan pandangan yang cemas. Ia sadar
bahwa bila dibiarkan terlalu lama, gadis itu akan tak tahan lagi.
"Maggie ... " Mata Maggie bergerak ke arah suaminya, seakan-akan melintasi
jarak yang sangat jauh. "Angkatlah," bisik Maggie. "Biar ia merasa bahwa ada orang
lain di sini." Rob memegangi tangan isterinya, dingin seperti es.
"Duduklah," katanya lembut.
"Berapa umurnya?" bisik Maggie.
"Saya tidak tahu."
"Mungkin baru saja dilahirkan?"
"Saya tidak tahu."
"Masih bayi ," kata Maggie lirih. "Pasti baru lahir."
Cemas karena suara isterinya, Rob berpaling ke tas dokternya
untuk mengambil obat penenang. Tetapi ia terganggu oleh kedatangan
pilot yang masuk untuk mengambil, jaket pilotnya dan berkata kepada
Rob penuh ketegasan. "Hujan sudah berhenti. Angin sudah reda. Kita berangkat
sekarang juga." "Tidak mungkin."
"Orang-orang Indian itu tidak akan kembali."
"Mereka akan datang," sahut Romona tegas.
"Bisa tiga hari...."
"Mereka akan kembali," jawab Rob.
"Kita membuang waktu."
"Kita menunggu."
"Saya tidak akan menunggu." Dan pilot itu melangkah ke luar.
"Tunggu sebentar," kata Rob.
"Kalian mau ikut, baiklah."
Rob melemparkan pandangan ke Maggie, tetapi gadis itu seperti
tak sadar akan keadaan kanan-kiri-nya.
"Anda melihat yang di meja itu?" tanya Rob lirih.
"Kalau saya menjumpai barang seperti itu, langsung saya
bunuh." "Makhluk berbentuk buruk itu dilahirkan oleh makhluk yang
serupa, hanya jauh lebih besar tentu. Dan mungkin sarangnya tidaklah
jauh dari helikopter itu."
Pilot itu terdiam. Ia melangkah mendekati meja.
"Saya sedang berusaha agar makhluk ini jangan mati, supaya
tidak ada lagi makhluk seperti itu yang dilahirkan selanjutnya."
Meskipun nampaknya tidak mendengar, tetapi Maggie
menggenggamkan tinjunya. "Kami membutuhkan Anda di sini," kata Rob. "Kalau kita tak
dapat berangkat malam ini, kita akan mencoba besok."
"Anda berpendapat bahwa saya sebaiknya tidak mendekati
helikopter itu?" "Saya kira binatang ini binatang malam, menilik matanya."
Pilot itu nampak belum begitu yakin.
"Anda mendengar tentang orang-orang yang hilang di dalam
hutan itu?" "Ya." "Seregu penebang, tiga anggota regu penyelamat, sekeluarga
pekemah. Mereka itu semua hilang pada malam hari. Kalau terpaksa,
kita akan mencoba terbang besok pagi."
Pilot itu diam beberapa saat. "Isteri dan anak saya menunggununggu di rumah,"
katanya kemudian. "Saya takut, mereka mengira
saya telah jatuh entah di mana. Isteri saya selalu cemas akan
terjadinya bencana setiap saya terbang."
"Kalau Anda pergi ke tempat helikopter itu pada waktu malam,
siapa tahu, mungkin Anda sungguh-sungguh tidak akan kembali."
Lelaki itu menelan ludah dan mengangguk, kemudian ke luar
kemah. Rob menggandeng tangan Maggie dan mengajaknya ke luar.
Cuaca di luar terang dan dingin. Api menyala tinggi dan menerangi
pepohonan di sekitar perkemahan. Rob dapat melihat Hawks maupun
pilot itu berdiri di sudut yang berlainan, berjaga-jaga penuh
kewaspadaan. Busur M'rai berada di belakang Hawks, tersandar pada
pohon dengan anak-anak panahnya di tanah.
"Maggie?" Tiada jawaban. "Aku tahu semua ini mengerikan. Tetapi segera akan berlalu."
Maggie tetap diam, seakan-akan tidak mendengar.
"Kita berangkat paling lambat besok pagi," kata Rob lagi,
lemah-lembut. "Kita pulang. Kau tidak perlu mengingatnya lagi."
Maggie menegang, tetapi tidak memberi jawaban. "Maggie?"
Gadis itu memalingkan mukanya. Rob menjadi cemas dan
bergerak kehadapan isterinya, tetapi Maggie seperti tak melihat apaapa.
"Kau ingat akan kata-kata orang tua itu?" kata Rob lembut.
"Tentang binatang yang bangkit untuk menolong bangsanya" Caranya
mungkin aneh, tetapi agaknya kata-kata itu benar. Apa yang telah kita
temukan itu akan menghentikan bencana yang mengancam
masyarakat hutan ini. Dengan penemuan ini, orang tidak dapat
menuduhkan yang tidak-tidak."
Rob menunggu jawaban. Tetapi Maggie tak bereaksi.
"Maggie, kaudengar kataku" Ada sebabnya semua ini terjadi.
Ada sebabnya kita sekarang berada di sini."
Rob menjadi putus asa. Ia mengulurkan tangannya, tetapi
Maggie nampak menegang seakan-akan tak mau disentuh.
"Aku tahu makhluk itu jelek. Jelek karena tidak dikehendaki "
Mata Maggie akhirnya menyorot langsung kepadanya. Keras,
berkilau-kilau karena kemarahan. "Dari mana kautahu, Rob?"
Rob menggelengkan kepalanya, dalam hati bingung.
"Bahwa tidak dikehendaki," tambah Maggie.
"Makhluk itu sakit dan cacat "
"Makhluk itu hidup. Dari mana kautahu bahwa ia tidak
dikehendaki?" Wajah Maggie nampak tegang. Otot pada leher dan mukanya
kelihatan menonjol jelas seakan-akan bergetar.
"Apa kata orang...," kata Maggie dengan nafas terputus-putus,
"bahwa ciptaan Tuhan itu indah ?"
Tubuh Maggie tiba-tiba gemetaran, nafasnya makin cepat dan
berdesis lewat gigi-gigi yang terkatup, sementara wajahnya berkerut
bagaikan topeng berhala. "Maggie?" Rob mengulurkan tangannya lagi, tetapi Maggie mengangkat
kedua tangan untuk menolaknya. Rob tertegun.
"Ada apa?" "Aku juga hamil!" kata Maggie. "Aku juga sedang hamil!"
Rob menjadi pucat, matanya melotot terperanjat.
"Aku hamil!" ulang Maggie. "Dan aku telah makan apa yang
mereka makan. Aku makan apa yang dimakan makhluk-makhluk di
hutan itu, yang telah melahirkan barang jelek ini."
"Ampun Tuhan ," keluh Rob.
"Ikan-ikan itu!" teriak Maggie. "Enam hari lamanya! Cukupkah
itu" Cukupkah itu untuk melahirkan bayi yang jelek dan cacat" Cukup
untuk membuat bayiku nanti lahir seperti itu?"
Mendengar teriakan Maggie, Romona lari ke luar dari kemah.
Juga Hawks dan pilot itu bergegas mendekat.
"Aku hamil!" teriak Maggie kepada mereka. "Kalian dengar"
Aku juga mempunyai yang seperti itu."
Rob menyambar lengannya dan Maggie berusaha keras untuk
melepaskan diri bagaikan orang kesurupan. "Jangan pegang! Pergi
kau!" "Maggie?" "Jangan menggurui aku," teriak gadis itu. "Lepaskan!"
Dengan sentakan keras, Maggie berhasil melepaskan pegangan
Rob dan langsung mundur dengan mata liar penuh ketakutan.
"Kau takut padaku, bukan?" teriak Maggie. "Aku calon ibu
makhluk yang mengerikan juga."
"Maggie ... " "Jangan mendekat! Mundurlah jauh-jauh!"
"Ayolah, Maggie ... ," kata Rob sambil berusaha mendekat.
"Kau tidak akan membunuhnya" Jangan, aku akan
mencegahnya!" "Maggie ... " "Kau yang menyebabkan ini! Karena ulahmu, hal ini terjadi!"
"Tidak " "Kau membencinya, kau membencinya!"
Rob berhenti, hatinya cemas melihat gadis itu bagaikan hilang
akal di dekat api yang menyala besar. "Anak ini mau dilahirkan!"
teriak Maggie. "Ia minta dilahirkan!"
Sekonyong-konyong Maggie mengerang dan mengatupkan
telapak tangannya pada mulutnya. Muntahan ke luar dari antara jarijarinya. Rob
lari mendekat dan menahannya sehingga bersama-sama
mereka rebah ke tanah. Maggie megap-megap mencari nafas dan
giginya mulai bergeletukan.
"Peluklah aku."
"Maggie." "Jangan lepaskan aku. Jangan biarkan aku membunuhnya. Aku
tidak kuasa membunuhnya."
"Tidak, tidak," kata Rob lembut untuk menenangkan isterinya.
Tiba-tiba Maggie menarik nafas tertahan dan panjang dan tangannya
memegangi perutnya menahan rasa sakit.
"Aduh, sakit, sakit sekali "
"Tiduranlah," perintah Rob halus. "Romona, tolong tas saya di
dalam tadi." Romona bergegas masuk kemah dan sesaat kemudian kembali
dengan tas Rob. "Jangan apa-apakan dia," rintih Maggie. "Jangan apa-apakan
bayiku." Rob mencari apa yang dibutuhkannya. Ia tak punya obat
penenang lain kecuali morfin. Rob mengisi tabung suntikannya
dengan bahan pembius itu de ngan dosis yang sesedikit mungkin dan
menyuntikkannya pada lekuk siku.
"Tuhan," seru Maggie. Kemudian, hampir seketika ia menjadi
tenang. "Maggie?" "Ya?" "Semua akan beres."
"Tidak. Aku tidak dapat membunuhnya."
"Tidak. Tenanglah "
Mata Maggie terpejam dan kepalanya terkulai menyandar pada
bahu Rob. "Cintai aku," bisiknya, dan ia kehilangan kesadarannya.
Pilot, Hawks dan Romona perlahan-lahan melangkah pergi dan
meninggalkan kedua suami isteri itu sendirian. Wajah Rob nampak
berkerut muram. Sedu-sedan putus asa muncul dari dalam hati pada
bibirnya. Dan begitu sedu itu ke luar, Rob tidak mampu menahan
dirinya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya dengan Maggie masih terkulai
di pelukannya dan seluruh hutan menggema oleh suara air matanya.
Akhirnya ia menjadi tenang kembali dan menyadari akan
ketenangan di kanan-kirinya. Hutan tidak memperlihatkan gerak apa
pun seakan-akan terpaku dalam vakuum.
Pada waktu itulah ia mendengar adanya sesuatu yang bergerak
di antara pepohonan. Seakan-akan kersak-kersik orang yang berjalan
di atas timbunan dedaunan. Mula-mula hampir tak terdengar,
kemudian makin jelas dan makin dekat.
Rob mencoba membangunkan Maggie dan mengajaknya
berdiri. Pilot itu datang membantu, sementara semua mata
memandang ke hutan. Hawks justru mendekati garis pepohonan untuk
melihat lebih cepat dan lebih jelas.
Romona ke luar dari kemah dan memusatkan pendengarannya
sebentar. "Suara orang yang datang," katanya.
"Itu, lihat," seru Hawks sambil menunjuk dengan acungan
tangannya. Di kejauhan nampaklah titik-titik sinar yang bergerak lambatlambat menembus
pepohonan. Rupanya lentera atau senter yang
dibawa banyak orang dalam deretan rapat dan panjang. Nampaknya
bagaikan untaian mutiara pendar cahaya.
"Dari desa," kata Romona.
"Untuk apa?" gerutu pilot itu. "Yang kita perlukan kendaraan."
Rob membimbing Maggie ke dalam kemah dan
mendudukkannya di atas potongan kayu yang ada di sana. Pengaruh
morfin itu sudah mulai hilang.
"Jangan diapa-apakan dia, Rob," bisik Maggie.
Rob geleng kepala meyakinkan. "Tunggu di sini."
Ketika Rob melangkah ke luar dari kemah, barisan orang Indian
yang datang itu sudah sampai di tempat terbuka. Mereka berkumpul
tanpa bersuara dan wajah mereka tidak ada yang cerah.
Kemudian, suara mesin mobil memecah kesunyian. Sepasang
lampu bergerak semakin dekat dan akhirnya muncullah sebuah mobil
kecil dari kegelapan bawah pepohonan.
"Nah, itu dia!" seru pilot.
"Ah, sherif," desis Hawks. Ia berbalik dan melangkah ke
kemah. "Saya akan tinggal dalam terowongan sampai kalian
berangkat." Mobil itu berhenti di ujung perkemahan. Empat orang turun -
sherif, wakilnya, Bethel Isely dan Kelso, penebang yang dulu
berkelahi dengan Hawks. "Tinggalkan senjata-senjata itu," kata Rob ketika mereka
mendekat. "Ada apa ini, Mr. Vern?" tanya
"Tinggal senjata-senjata kalian di luar."


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Isely memandang ke arah sherif dan mengangguk. Sherif
menyerahkan senjatanya ke wakilnya.
"Anda berdua saja," perintah Rob kepada sherif dan Isely.
"Yang lain nanti."
Di dalam kemah, Maggie bangkit dan berdiri di dekat meja
seakan-akan siap menghadapi siapa saja yang mau mengganggu
makhluk di atas meja itu. Romona berada juga di sana, di samping
Maggie. Isely dan sherif maju dan tertegun jijik melihat pemandangan
yang mengerikan itu. Mata binatang kecil itu menyorot ke arah mereka dan tubuhnya
bergetar seolah-olah menyadari adanya bahaya yaag mengancam.
Rob berdiri di dekat Isely dan berkata tegas, "Inilah akibat
methyl-mercury.....yang tersebar dari pabrik anda. Bahan kimia itu
telah meracuni segala sesuatu yang terdapat di hutan ini. Dan lahirlah
makhluk-makhluk serupa ini."
Isely tidak menjawab. "Anda tahu itu?" tanya Rob.
Mata Bethel Isely menyorot ke arah Rob. Kecemasan terbayang
di dalamnya. "Anda tahu itu?" ulang Rob, lebih keras.
Pandangan Isely kembali mengawasi makhluk di atas meja itu.
"Aku....bukan maksudnya.....," bisik Isely tergagap.
Di sekeliling meja itu semua berdiri diam tak bergerak, tak
bersuara, sedang semua mata memandang ke binatang cacat yang
nampak jelas berkat sorot lampu minyak yang tergantung di atasnya.
Ada suasana takut, ngeri dan bahkan semacam rasa hormat.
Di luar, orang-orang Indian berdiri berkerumun tanpa bersuara,
dengan wajah yang semakin suram karena cahaya api unggun yang
kemerah-merahan berbaur sinar bulan yang memucatkan segala
sesuatu. Seorang di antara mereka melangkah maju dan masuk kemah.
Yang lain mengikuti contohnya.
Mereka mendekati meja berganti-ganti dan berdiri sejenak
untuk memandangi makhluk di atas meja itu bagaikan orang melayat
orang meninggal pada persemayaman terakhirnya. Yang terdengar
hanyalah kaki-kaki mereka yang berdesik ketika satu-satu orang-orang
itu maju, berhenti sebentar, kemudian pergi lagi. Dalam wajah mereka
tak nampak ekspresi perasaan, entah jijik entah tercengang atau
perasaan apa pun. Wajah mereka itu tetap tenang, penuh penerimaan,
dan bahkan lembut. Makhluk kecil itu mulai lagi dengkingannya yang makin lama
makin keras, seakan-akan minta tolong. Suara itu cukup nyaring untuk
menembus kain dinding kemah yang tipis dan memancar ke dalam
hutan. Di luar, dari tengah-tengah kegelapan, sebuah suara menyahut.
Suatu dengkingan yang tersendat. Dari tempat berdirinya di dekat
kemah, Kelso dan wakil sherif mendengar suara tersebut; demikian
juga orang-orang Indian. Semua orang Indian itu telah ke luar kembali
satu per satu dari kemah dan kini berkumpul di sekitar api unggun.
Mata mereka semua terarah ke hutan ketika suara itu menjadi semakin
keras, dan jelas semakin dekat.
Di dalam kemah Romona mendengar juga sahutan dari hutan
itu. Ia mengangkat kepala penuh perhatian. Melihat gerakan gadis itu,
Rob pun menjadi waspada. Ia ke luar dari kemah, disusul oleh
Romona dan kemudian juga oleh Isely dan sherif. Makhluk kecil di
atas meja itu terus menerus memperdengarkan dengkingan kecilnya,
tetapi sahutan dari hutan tadi tiba-tiba berhenti. Semua orang diam tak
berkutik dengan telinga yang terpasang tajam.
Mata Rob menyapu hutan yang berada dalam kegelapan itu,
tetapi ia tak dapat melihat apa pun kecuali kerdip-kerdip pantulan
cahaya api pada dedaunan yang basah. Kemudian ia mendengar bunyi
sesuatu yang bergerak. Geretak-geretik dedaunan yang terinjak di
lantai hutan. Suara itu makin mendekat ke arah mereka.
"Apa itu?" bisik Isely. Romona mengangkat jari, menyuruhnya
diam. Dengkingan dari dalam kemah yang ke luar dari mulut kecil itu
semakin menggila dan nadanya meninggi, dan suara langkah kaki itu
pun semakin jelas. Agaknya sudah sampai di tepi garis pepohonan.
Rob mengepalkan tinjunya. Tiba-tiba dedaunan pada arah suara itu
tersibak. Yang muncul tiada lain adalah kakek tua Romona, M'rai. Orang
itu melangkah ke tempat terbuka dan memandang berkeliling dengan
wajah terheran-heran. Ia tak menyangka akan melihat begitu banyak
orang di perkemahannya. "Selamat datang." Orang tua itu tersenyum.
Rob dan Romona bernafas lega.
Pada waktu itulah lingkungan seolah-olah meledak. Pepohonan
di belakang M'rai bergetar bagai tercabut; suatu dengkingan nyaring
memekakkan telinga menggema penuh kemarahan. Sebuah benda
hitam besar seakan-akan terlempar ke tengah-tengah tempat terbuka.
Dahan-dahan beterbangan, dedaunan berserakan ketika makhluk yang
baru datang itu mengamuk siapa pun yang berada di tempat terbuka
itu dan terjangkau oleh tangannya yang besar. Makhluk besar itu
benar-benar merupakan bentuk raksasa dari makhluk kecil yang ada di
dalam kemah. Matanya yang bagaikan piring itu seakan-akan
memancarkan api. Rahangnya yang panjang mengeluarkan cairan
ludah sementara binatang itu menggeram dan menghancurkan segala
yang dapat dicapainya bagaikan anak membanting boneka mainan.
Wakil sherif mengangkat bedilnya, tetapi belum sempat picu terpijat,
orang itu telah terkena sambaran tangan makhluk mengerikan itu dan
dibantingnya dengan keras sebelum dilemparnya jauh-jauh. Udara
penuh dengan jerit dan tangis kepanikan. Orang lari bersimpang siur
sambil saling bertabrakan dalam keputusasaan. Rob terpaku tanpa
dapat bergerak menyaksikan pembantaian yang terjadi di kanankirinya. Ia melihat
bagaimana tubuh Kelso bagaikan terbabat menjadi
dua oleh sambaran cakar binatang yang menggila itu, sebelum bagian
atasnya terlempar masuk api. Sekelompok Indian mencoba lari ke
dalam mobil, tetapi mobil itu dengan seluruh isinya kemudian
digulingkan tanpa ampun. Di dalam kemah, Maggie menyambar makhluk kecil yang
masih terbaring di meja. Ia tak tahu akan lari ke mana, sampai Hawks
yang baru masuk berteriak, "Masuk terowongan!" Ia mendorong
Maggie masuk terowongan, kemudian ia sendiri lari ke luar. "Mona!"
teriaknya, tetapi gadis itu tak nampak di mana-mana. Unggun api itu
telah berantakan dan menjadi bara dan kayu menyala yang berserakan
tak keruan. Orang menjerit, mengerang dan lari kian ke mari,
beberapa merangkak-rangkak bergelimang darah. "Terowongan!"
teriak Hawks. "Semua ke terowongan! Dalam kemah!"
Pilot helikopter itu berusaha lari mendekat kemah, tetapi di
tengah jalan tersambar oleh cakar musuh dan dilemparkan ke arah
pepohonan. Binatang itu menggeram dan meluncur ke arah sherif
yang sedang mengarahkan pistolnya kepadanya. Dengan satu
hentakan kaki, kepala sherif hancur sehingga ke luar isinya. Kemudian
binatang besar itu berpaling ke arah Rob; selagi badannya berputar,
nampaklah oleh Rob susunya yang bergelantung bagaikan pendulum.
"Awas!" teriak Hawks.
Rob melompat menghindar dan mendengar tiang-tiang kemah
di belakangnya terpatah-patah. "Maggie!" teriak Rob.
"Ia selamat," seru Hawks. "Dalam terowongan!"
"John!" terdengar suara Romona.
"Ke terowongan, Mona, cepat!"
"M'rai!" teriak Romona ketika dilihatnya kakek itu berdiri di
luar bagaikan terpaku. Tetapi Hawks mendorong gadis itu masuk
terowongan. Isely telah juga sampai ke depan pintu terowongan.
Lelaki itu menangis ketika Hawks mendorongnya masuk di belakang
Romona. Hawks kemudian lari lagi ke luar.
Praktis tiada lagi orang yang masih dapat diselamatkan, kecuali
M'rai yang belum beranjak dari dekat perapian. Matanya memandang
berkeliling bagaikan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Rob ada
juga di sana. Ia sedang berusaha menyelamatkan pilot yang
mengalami patah tulang akibat bantingan makhluk gila itu. Binatang
itu melihat Rob dan dengan cepat menyerang.
"Awas!" teriak Hawks sekuat tenaga, melihat bahaya
mengancam Rob. Ia berlari-lari dan berteriak untuk menarik perhatian
binatang itu dari temannya. Dan benar juga, binatang gila itu
mengalihkan serangannya kepada Hawks. Hawks terjatuh, persis di
atas bangkai binatang kecil yang tadi dilemparkannya di dekat api.
Hawks memungut bangkai itu dan mengangkatnya tinggi, kemudian
melemparkannya tepat mengenai tubuh binatang yang datang
menyerang. Dengan suara berdebuk bangkai itu mengenai sasaran dan
jatuh ke tanah. Mendadak segala gerak terhenti. Makhluk raksasa itu
terpaku, matanya terarah pada tubuh anaknya yang sudah menjadi
bangkai. Sementara Hawks masih berdiri mengawasinya, kepala besar
yang tak berbulu itu terangkat, darah dan ludah meleleh dari mulutnya
yang terbuka. Suatu suara lirih ke luar, seakan-akan penuh tanda
tanya. Kemudian binatang itu menurunkan kaki depannya dan
mengungkit-ungkit bangkai kecil itu dengan hidungnya.
Hawks dan Rob melangkah surut dengan perlahan-lahan
menuju arah terowongan, dan berhenti sebentar untuk melihat apa
yang terjadi seterusnya. "M'rai!" desis Hawks.
M'rai tidak menyahut dan rupanya juga tidak mendengar. Orang
tua itu berdiri saja dengan tenangnya dekat binatang buas yang baru
saja mengamuk segala yang dapat dijangkaunya.
"M'rai!" Binatang itu mendengar suara Hawks dan matanya yang lebar
bagaikan piring itu berputar ke arah Hawks. Tetapi binatang itu
sendiri tidak bergerak, seakan-akan menjadi acuh-tak-acuh.
Setelah agak beberapa saat, makhluk raksasa itu mengarahkan
pandangannya kepada tubuh anaknya kembali. M'rai masih tetap
berdiri tak jauh dari situ. Binatang itu membalikkan tubuh anaknya,
dan mendorong-dorongnya dengan hidung seakan-akan untuk
membangunkannya. Setelah itu tidak berhasil, bangkai kecil itu
digigitnya dan perlahan-lahan dibawanya kembali masuk hutan.
M'rai mengawasi dari tempat berdirinya di depan perapian,
ketika binatang besar itu menghilang di tengah-tengah pepohonan
sambil membawa bangkai anaknya. Pada wajah orang tua itu nampak
tersungging senyuman aneh. Kewarasannya telah hilang.
Chapter 12 KETIKA FAJAR MENYINGSING di atas perkemahan M'rai,
nampaklah bekas-bekas yang mengerikan dari pembantaian semalam.
Apa yang kemarin masih merupakan sebuah oasis yang penuh
kedamaian, kini telah berubah menjadi seperti bekas medan
pertempuran. Kemah-kemahnya rata dengan tanah dalam keadaan
berantakan. Mayat bergelimpangan di mana-mana dengan tangan dan
kaki yang menyembul dari timbunan dedaunan. Tanah di seluruh
tempat terbuka itu penuh noda merah-hitam oleh darah para korban.
Dari tempat perapian tiada yang nampak kecuali asap mengepul
sedikit-sedikit dari antara serakan abu. M'rai duduk di dekat perapian
sambil memperdengarkan nyanyian Indian yang bernada datar.
Burung titihan memperdengarkan suara paginya di danau. Pada
waktu itu, setumpuk kulit binatang mulai bergerak. Di tempat itu
kemarin berdiri salah satu dari kemah M'rai. Beberapa kepala
menyembul satu per satu, ke luar dari terowongan yang berada di
bawahnya. Yang mula-mula kelihatan adalah kepala Hawks, disusul
Romona. Sesudah itu nampak Rob. Wajahnya terbarut-barut dan
penuh kotoran. Tangannya memondong makhluk kecil yang masih
hidup dan belum sempat ditemukan oleh induknya. Kemudian tampak
pula Maggie yang ke luar dengan wajah yang sayu dan lesu. Rob
merangkulkan sebelah tangannya ke pinggang Maggie dan mengajak
gadis itu beranjak membelakangi pemandangan yang ngeri di
perkemahan. Yang paling akhir menyembulkan kepalanya ialah Isely.
Lelaki itu tidak nampak seperti Isely yang kemarin. Matanya cekung
sedang pipinya kempot, seolah-olah ia telah tiba-tiba menjadi jompo.
Hawks dan Romona melihat M'rai dan perlahan-lahan
mendekati orang tua itu. M'rai mengangkat pandangannya dan
tersenyum. Romona berlutut di hadapan kakeknya dan memandangi
wajah orang yang sangat disayanginya itu. Romona mengulurkan
tangannya dan membetulkan letak jaket M'rai.
Orang tua itu membisikkan sesuatu.
"Apa katanya?" tanya Rob yang datang mendekat.
"Bahwa Katahdin mencintai dia," jawab Hawks.
Romona memalingkan kepala untuk menyembunyikan air
matanya. Rob mengamati pemandangan ngeri di kanan-kirinya. Mobil
yang terbalik semalam masih tetap seperti tadi dengan beberapa orang
tertindih di bawahnya, semua tak bernyawa lagi. Mayat sherif
terbaring meringkal di pangkal sebatang pohon. Wakilnya berada tak
jauh dari situ, menelentang dengan kepala gepeng akibat injakan
semalam. Maggie berdiri dengan kaki gemetaran. Rob membimbingnya
ke dekat api, dan mengajaknya duduk di sepotong kayu.
"Saya akan menemaninya," kata Romona.
Maggie sedang memegangi selendang wolnya. Rob
mengambilnya untuk membungkus makhluk kecil yang sejak tadi
dibawanya. Ia dan Hawks berjalan ke batas pepohonan, diikuti dari
belakang oleh Isely. Tak seorang pun membuka mulut sementara mata mereka
terarah ke hutan yang remang-remang oleh kabut.
"Mungkinkah ia masih ada di dekat sini?" kata Isely lirih.
"Ia binatang malam," jawab Rob.
"Sekarang bukan lagi," jawab Hawks. "Ia tak akan tidur
sebelum menemukan kembali anaknya."
"Kita harus memusnahkannya," kata Hawks sambil mengawasi
bungkusan di samping Maggie. "Kita bakar saja."
"Tidak." "Induknya akan datang lagi."
"Tidak, sebelum malam. Binatang itu binatang malam."
Wajah Hawks memerah. Rupanya pertikaian itu tidak akan ada
habisnya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Indian itu setelah
beberapa lama tak ada yang berbicara.
"Kita harus sampai di kota sebelum malam tiba," jawab Rob.
'"Kita berada dua puluh kilo dari kota, dan harus berjalan kaki."
Mereka berdiri diam, tak tahu akal.
"Kita pergi saja ke desa," usul Hawks. "Hanya tiga kilo. Kita
terlindung di sana, dan orang-orang saya dapat pergi ke kota minta
bantuan." "Berapa lama mereka dapat kembali?"
"Semalam mereka membutuhkan waktu enam jam."
"Kalau begitu mereka akan dapat kembali sebelum malam?"
"Asal kita sampai di desa sebelum tengah hari."
"Tunggu," kata Isely. "Helikopter itu, pasti ada, radionya,
bukan?" "Hanya dapat digunakan kalau dibawa terbang," jawab Rob.
Isely diam sebentar, kemudian berkata lagi, "Menara pengawas
itu! Di sana ada radionya juga."
"Sepuluh kilo dari sini," jawab Hawks, "terlalu jauh."
"Daripada ke kota, hanya separuhnya," jawab Isely.
"Ke desa, hanya seperlimanya," tukas Hawks.
"Tetapi di sana ada radionya, kita kirim berita ke kota, beres."


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan apakah yang terletak dalam jarak sepuluh kilo itu?"
Isely terbungkam. "Biarkan saya pergi," kata Isely penuh ketetapan hati. "Saat ini
satu-satunya cara saya menebus kesalahan adalah dengan pergi ke
menara pengawas itu. Kalian pergilah ke desa. Kalau saya dapat
sambung, dalam waktu beberapa jam saja kalian akan selamat."
Rob memandangi Isely, dalam hati bertanya apakah ia
menyadari akan besarnya bahaya yang dapat tiba-tiba menimpa.
"Ayolah, biarkan saya pergi," ulang Isely memelas.
Rob akhirnya mengangguk. "Ayo, jangan kita membuang
waktu." Ia memandang berkeliling pada mayat-mayat yang
bergelimangan, takut jangan-jangan ada yang masih hidup. Semua
sudah tak bernyawa. Dengan tenang mereka dapat meninggalkan
tempat itu. Dalam mobil terdapat sebuah senjata yang utuh dengan
tiga butir peluru di dalamnya. Rob mengambilnya dan ngeluarkan
semua peluru untuk dimasukkan ke dalam kantung celana. Ia masih
mencari-cari apa-apa yang kira-kira dapat berguna, seperti tas
dokternya, pisau, kapak dan lain-lain.
Sementara Rob mengumpulkan benda-benda itu, Isely
merogohi kantung sherif, wakilnya dan Kelso untuk mengambil kartukartu pengenal
guna diserahkannya kepada keluarga mereka. Di
celana sherif ia menemukan sepucuk revolver. Itupun dibawanya
setelah mengisinya dengan peluru dari kantung sherif itu pula.
M'rai masih duduk di tempatnya yang tadi sambil berdendang
lirih hampir tak terdengar. Maggie dan Romona duduk de dekatnya.
Mata mereka tertuju pada bungkusan di samping Maggie.
"Masih hidupkah?"
"Ya." "Kita tak boleh membawanya."
Romona membuka bungkusan selendang wol itu, dan
nampaklah makhluk kecil yang ternyata sangat tahan dan tetap hidup.
"Mr. Vern?" seru Romona. Rob mendekat dan gadis itu bangkit.
"Kita tinggalkan makhluk ini."
"Kita harus membawanya," jawab Rob.
"Berbahaya bagi kita semua."
"Tetapi ini bukti yang tak boleh hilang."
"Kalau begitu, kuburlah. Ambil lagi kelak."
"Ia masih hidup," sela Maggie.
"Bunuh dulu," tukas Romona.
Hawks mendekat dan berdiri di samping Romona. "Mona
benar," katanya. "Tak mungkin kita membunuhnya begitu saja," jawab Maggie.
"Kalau ia bersuara...," kata Romona berdalih.
"Ia tak akan bersuara," jawab Maggie. "Lihat, ia tak dapat
bersuara." Hawks mengulurkan tangan pada makhluk kecil itu, tetapi Rob
mencegahnya. Mata kedua orang itu bertemu penuh perasaan masingmasing.
"Dahulu anda bersedia mati untuk sesuatu yang menjadi
keyakinan anda ," kata Rob.
"Tetapi di sini ada orang-orang lain."
"Saya tahu itu."
"Anda mau mengorbankan nyawa kita semua!"
"Tidak." Rob mengambil makhluk yang menjadi bahan
sengketa itu. "Kalau ia membuat suara saya akan membunuhnya. Saya
sendiri yang akan menghabisi nyawanya. Sebelum itu, ia akan tetap
hidup." Isely mendekat setelah menyadari tegangnya suasana.
"Setujukah anda?" tanya Rob kepada Hawks.
"Kalau ia membuat suara, anda akan membunuhnya."
Rob mengangguk. "Saya sudah siap," kata Isely.
"Dapatkah kita melihat menara pengawas itu dari desa?" tanya
Rob. "Ya," jawab Romona.
Rob berpaling ke Isely. "Kalau sudah mengirim berita radio itu,
naikkan sesuatu sebagai tanda. Baju. Atau apa saja. Kami akan
melihatnya." Isely mengangguk. "Akan saya lakukan itu." Kemudian ia
berpaling untuk berangkat dari tempat itu.
"Mr. Isely?" seru Rob dari belakang.
"Ya?" Rob berdiri sesaat tanpa berkata-kata. "Terima kasih!"
Isely berangkat. Mereka memandanginya dari belakang sampai
hilang di antara pepohonan.
Hawks telah menemukan kembali busur dengan tiga anak
panahnya. Ia mencangklongkannya di bahu. "Saya akan berjalan di
depan." "Maggie, kaubawa ini," kata Rob sambil menyerahkan
bungkusan berisi binatang kecil itu.
"Biar saya yang membawanya," kata Romona meski dengan
enggan. "Senjata itu saja, bawalah," perintah Rob.
Maggie menerima bungkusan dari Rob dan membuka sedikit
selendang yang merupakan selimut pembungkusnya. Maggie tergetar
melihat muka binatang itu. Mulutnya mengerak oleh ludah yang
mengering dan kulitnya mengeriput karena dehidrasi.
"Seperti sudah mati," kata Maggie, berbisik.
"Tidak. Ia masih hidup," jawab Rob. "Ayo kita berangkat."
Romona memungut senjata yang terletak di depat perapian dan
membantu M'rai untuk berdiri. Ia menggandeng tangan orang tua itu
mengikuti yang lain. Perjalanan ke perkampungan Indian yang jauhnya hanya kirakira tiga kilometer itu
ternyata memakan waktu yang lebih banyak
daripada perkiraan. Jalannya hampir seluruhnya menanjak.
Tumbangan batang dan dahan-dahan kayu malang-melintang
menyulitkan langkah. Tidak jarang mereka harus memanjat untuk
melangkahi batang yang besar atau harus merangkak menyelusup
lewat di bawahnya. Hawks berjalan di depan, diam tak berkata-kata, sementara
matanya terus menerus menyapu hutan di kanan-kiri jalan penuh
kewaspadaan. Tetapi semua kelihatannya tenang sebagaimana
biasanya. Burung-burung berkicauan dan terbang sesukanya. Bajing
berkerekot di puncak pepohonan.
Dalam usahanya agar jangan tersandung, Maggie telah
mendekatkan bungkusannya menempel di dada sehingga ia dapat
melihat jalan. Maggie berusaha untuk tidak menghiraukan gerakan
binatang itu yang mulai terasa di tangannya. Karena kehangatan tubuh
Maggie dan guncangan akibat jalan yang tidak tetap, binatang kecil itu
telah terbangun. Otot-ototnya mulai mengencang. Pelupuk dari
sebelah matanya terangkat sehingga nampaklah matanya yang
memandang ke luar dari kegelapan dalam pembungkusnya.
"Masih berapa jauh?" tanya Rob kepada Hawks.
"Pada puncak bukit itu kita sudah setengah jalan," jawab
Hawks. Dalam waktu empat puluh menit, mereka sudah sampai di
puncak. Hawks berhenti, diikuti yang lain-lain, dan memandang ke
bawah, ke danau dan desa Indian. Danau itu nampak tenang dan
damai. Juga desa itu kelihatan sangat tenang, tanpa tanda-tanda
adanya kehidupan. "Kosong ," bisik Romona terperanjat. "Mereka telah pergi."
Juga Hawks terpaku, dalam matanya terbayang keputusasaan.
"Tidak ada satu orang pun?" tanya Rob lirih.
"Semua pergi." "Hutan telah memusuhi mereka," kata M'rai. "Kita telah
menyebabkan kemarahan Katahdin."
Rob memandang ke bawah dengan perasaan lesu.
"Itu dia menara pengawas itu," kata Romona.
Rob mengikuti arah telunjuk Romona dan ia melihat menara
kecil tinggi yang menjulang di atas puncak pepohonan di tepi danau
yang jauh. "Telah berapa lama kita berjalan tadi?"
"Dua jam, mungkin kurang," jawab Hawks. "Sebentar lagi Isely
sudah harus sampai di sana."
"Kalau saja ia tidak membelok ke kota," kata Hawks
menggerutu. "Mengapa ia berbuat begitu?" tanya Maggie kecemasan.
"Ia tahu bahwa kalau sendirian ia dapat mencapai kota sebelum
malam," jawab Hawks. "Ia dapat berlari."
"Ia akan pergi ke menara itu," kata Rob penuh kepercayaan.
Wajah Hawks nampak geram ketika ia memalingkan matanya
ke Rob. "Kalau tidak, kita akan terpaksa bermalam di sini."
Rob tidak menjawab. Ia berjalan menuruni bukit dan yang lainlain mengikuti di
belakangnya. ***************************************
Isely telah mulai perjalanannya dengan berlari, tetapi sebentar
saja ia terpaksa memperlambat langkahnya. Kini ia telah menentukan
cara yang tepat, yakni dengan lari cepat tiga ratus langkah dan
berjalan biasa tiga ratus langkah. Mulutnya menghitung lirih untuk
membelokkan perhatiannya dari bahaya yang mungkin muncul
dengan tiba-tiba dari antara pepohonan.
Selagi berjalan sendirian itu, Isely telah sampai pada keputusan
untuk memberikan bantuan kepada Robert Vern sejauh
kemampuannya. Kalau perlu ia akan menyerahkan semua file
perusahaannya ke Washington. Ia akan memberikan kesaksian dan
menceritakan apa pun yang perlu. Dengan keputusan batin tersebut,
Isely merasa lebih aman melintasi hutan yang penuh bahaya itu.
Menara pengawas yang ditujunya sudah nampak, kira-kira
tinggal satu kilometer. Energinya seakan-akan jadi berlipat ganda, dan
Isely berlari lebih kencang. Ia meliuk-liuk di antara pepohonan
bagaikan seorang tentara yang sedang melintasi ladang penuh ranjau,
sampai dadanya terasa sesak dan kakinya menjadi berat. Lambat laun
ia memperlambat larinya dan akhirnya berhenti sama sekali karena
kecapaian. Ia bersandar pada sebatang pohon sambil megap-megap
mencari oksigen melalui pipa pernafasan yang terasa kering dan mulut
yang menganga. Setelah nafasnya agak tenang kembali, telinganya mulai
menangkap suatu suara. Suatu dengungan seakan-akan ribuan lalat
sedang mengerumuni sesuatu. Ia meninggalkan pohon sandarannya
dan melangkah kembali untuk melanjutkan perjalanan menuju menara
pengawas. Dengungan lalat tadi bertambah keras, dan ia melihat tak
jauh di depan gundukan kecil yang rupanya menjadi pusat
beterbangannya lalat dan berkerumunnya banyak semut.
Hidung Isely mencium bau tidak enak. Bau daging yang
membusuk. Setelah lebih dekat, Isely dapat melihat di bawah
kerumunan lalat dan belatung warna hitam-kemerah-merahan, bangkai
yang berbau itu. Ia maju selangkah lagi dan hentakan kakinya
menghalau ribuan lalat dari bangkai yang dikerumuninya, bangkai
binatang kecil yang membuat Isely tertegun.
Di depan kakinya adalah bangkai seekor anak binatang persis
seperti yang diperlihatkan Robert Vern kepadanya di perkemahan
M'rai semalam. Isely tidak mengetahui bahwa selain yang dilihatnya semalam
itu, masih ada satu lagi yang lain, tetapi sudah mati. Tidak pula,
bahwa induknya telah membawa yang mati itu sampai sejauh ini. Isely
berdiri diam sesaat dalam keadaan bingung, kemudian gemetar ketika
hidungnya mencium bau apak yang tidak asing lagi, Ia tertegun dan
menyadari bahwa ajalnya sudah dekat.
Gerakan dalam semak di belakangnya sangat cepat, disusul
dengkingan kemarahan yang memekakkan telinga.
Isely tidak berpaling, sebab ia tidak mau melihat. Tetapi dalam
seperseribu detik setelah kepalanya menghantam tanah, mata Isely
merekam pemandangan dari tubuhnya yang tersobek menjadi
berkeping-keping. *******************************************
Matahari telah condong jauh ke barat, ketika awan tipis
bergerak memenuhi udara di atas danau, berarti kegelapan akan
datang lebih dini bagi rombongan yang berkumpul di perkampungan
kosong itu. Rob dengan setia mengarahkan pandangannya ke menara
penjaga hutan di kejauhan. Hari sudah hampir jam empat, namun tidak
juga nampak suatu tanda apa pun dari Isely.
Romona dan Maggie berada di dalam apa yang dapat disebut
pondok. Api kecil menyala di perapian. Maggie duduk di dekatnya
sambil mengawasi nyala api dengan mata lesu. Makhluk kecil itu
masih tetap terbungkus selendang wol yang diikatkan Maggie erat-erat
agar binatang itu jangan lepas.
Di sudut pondok, M'rai mengayun-ayunkan tubuhnya mengikuti
irama lagu yang didendangkannya, lagu sedih yang sangat monoton.
Romona melangkah ke luar. Ia mulai cemas memikirkan Hawks
yang sudah lebih dari satu jam lamanya meninggalkan perkampungan
itu untuk mencari-cari bantuan atau jalan ke luar.
Rob berdiri di tengah-tengah perkampungan dengan mata yang
mengarah ke menara penjaga jauh di tepi danau.
"Belum ada tanda juga?" tanya Romona.
Rob menggeleng lesu. "Kita akan terpaksa bermalam di sini."
Mereka berpandangan dan diam-diam saling melihat kecemasan
yang membayang dalam mata masing-masing. Suasana diam itu tibatiba terpecah oleh
kedatangan John Hawks yang berlari-lari menuju ke
tempat itu. "Mr. Vern!" teriak Hawks masih dalam jarak yang cukup jauh.
"Ada sebuah skidder tak jauh dari sini."
"Skidder?" "Itu kendaraan yang digunakan untuk menyeret batang-batang
besar dari tengah hutan. Kendaraan itu dapat melewati apa saja,
bagaikan tank tentara."
"Masih dapat berjalan?" tanya Rob, tiba-tiba melihat harapan.
"Saya kira masih."
"Berapa jauhnya dari sini?"
"Jalannya datar. Mungkin dalam waktu setengah jam kita
sampai." "Untuk sampai ke kota?"
"Tiga jam, atau empat mungkin."
"Tiga jam lagi, sudah malam," kata Romona.
"Di sini pun tiga jam lagi malam sudah akan tiba," jawab Rob.
"Di sini ada tempat berlindung."
"Dalam pondok seperti ini" Kalau harus bermalam, makin dekat
kota makin baik." "Saya pun sependapat," jawab Hawks.
"Baiklah," sambung Romona.
"Ayo, kita berangkat sant ini juga."
Buru-buru mereka masuk pondok untuk mengajak Maggie dan
M'rai. Tak lama kemudian rombongan kecil meninggalkan
perkampungan. Romona seperti tadi juga, menggandeng tangan M'rai,
sedangkan Maggie memegangi bungkusan berisi makhluk bahan
sengketa tadi. Di bahu Hawks masih tersandang busur beserta anak
panah milik M'rai. Juga senjata bawaan Rob tidak terlupakan. Hari
sudah mulai berkurang cerahnya, tetapi kini mereka bergerak dengan
daya yang baru. Kemungkinan akan adanya harapan selamat telah


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyalakan kembali semangat mereka.
Maggie berusaha agar jangan ketinggalan dari Rob dan yang
lain-lain. Rob melemparkan pandangan kepadanya, dan mereka saling
memberi semangat. "Semua akan beres, Maggie."
"Aku tahu." Pepohonan di depan mereka nampak seperti tak ada habisnya.
Rasa-rasanya seperti mereka itu berjalan berputar-putar saja. Tidak
ada sedikit pun tanda kemajuan perjalanan mereka.
"Itu dia!" seru Hawks tiba-tiba.
Semua mempercepat langkah dan berlari ke puncak sebuah
tanjakan. Dari sana nampaklah apa yang diceritakan Hawks, di
tengah-tengah bukaan hutan baru. Sebuah kendaraan sangat besar
yang mirip mesin gilas, tetapi beroda ban.
"Dapatkah kita menjalankannya?" tanya Rob.
"Saya akan mempelajarinya. Tunggu saja di sini," jawab
Hawks. Hawks lari mendahului dan naik ke ruang pengen dara.
Selagi Maggie mencurahkan perhatian pada apa yang dilakukan
Hawks, suara lirih terdengar ke luar dari bungkusan di tangannya.
Maggie menekankan kuat-kuat selendang pembungkusnya pada muka
binatang itu, tetapi hal itu justru berakibat berlawanan dengan harapan
Maggie. Suaranya jadi lebih keras. Rob mendengarnya, demikian juga
Romona. Cepat gadis itu mendekati Rob, dan memandang geram.
"Bunuh dia!" kata Romona tegas.
Tetapi pada saat itu, segala suara tenggelam oleh kebisingan
deru mesin skidder yang berhasil dihidupkan oleh Hawks. Asap hitam
mengepul dari knalpot, dan Hawks melompat turun.
"Cepat, kita berangkat!" teriaknya.
"John!" seru Romona.
"Ayo, cepat!" ulang Hawks.
Romona melemparkan pandangan marah kepada Maggie.
"Ia sudah tidak bersuara lagi," kata Maggie.
"Ayo, kita berangkat," perintah Rob.
Mereka berpacu menuju ke skidder. Romona memanjat ke
bagian belakang yang berpinggiran semacam pagar. Ia menarik M'rai
naik. Rob berbuat yang sama, terhadap Maggie, dan Hawks meloncat
ke atas ruang pengendara. Setelah semua siap, Hawks menarik
beberapa handel dan kendaraan yang besar itu tiba-tiba tersentak
maju, kemudian mundur kembali.
"Pegang pinggiran erat-erat," perintah Rob mengatasi bunyi
mesin. "Semua siap?" tanya Hawks.
"Ayo!" jawab Rob.
Skidder itu bergoyang, para penumpangnya berpegangan eraterat pada pinggiran.
Bunyi mesin bertambah keras setelah masuk gir.
Kendaraan itu bergetar ketika melaju melampaui gundukan tanah. Rob
mendekati Hawks dengan menyusur pinggiran dari logam itu.
"Bagaimana kita sampai ke jalan?" seru Rob ke telinga Hawks.
"Ada sebuah palung yang menuju ke danau," jawab Hawks.
"Kita akan menyusur pantai sampai ke jalan itu."
Malam semakin dekat, angin dingin menyapu kencang. Di atas
kendaraan serba baja itu, rombongan Rob merasa penuh semangat
bagaikan pasukan yang pulang dari medan pertempuran dengan
membawa kemenangan. "Itu danaunya," seru Rob. "Di bawah kita."
"Ya, saya melihatnya, tetapi saya tak tahu lagi jalannya ke
sana." "Nyalakan lampunya," seru Rob.
Karena bingungnya, Hawks telah lupa bahwa ada lampu. Ia
memijat sebuah tombol dan tanah di depan mereka menjadi terang
benderang. Hawks merasa lega ketika dilihatnya beberapa tanda yang
dikenalnya, karena semasa kecil tempat itu adalah tempat bermain
anak-anak Indian. Palung itu berada hanya beberapa puluh meter lagi.
Penumpang di atas kendaraan baja itu saling berpandangan
penuh harapan. Hanya M'rai yang matanya terus terarah ke
pepohonan. Tiba-tiba Hawks menginjak rem, sehingga teman-temannya
hampir saja berjatuhan. "Seharusnya tembusan ke danau itu ada di
dekat sini." "Yang banyak pakisnya!" seru Romona mengiyakan.
Dari sebelah Romona suatu lengkingan nyaring ke luar dari
bungkusan yang dibawa-bawa Maggie. Maggie mencoba
membungkamnya dengan menutupkan selendangnya erat-erat pada
muka binatang itu. Tetapi lengkingan itu justru bertambah kegilaan.
"Lempar saja!" teriak Romona.."Kita bisa celaka semua."
"Katahdin datang!" seru M'rai. "Biarkan saya bicara
dengannya." "Jalankan lagi," teriak Rob panik.
"Aku melihat tembusan itu," jawab Hawks.
"Asal jalan!" perintah Rob.
Hawks mengundurkan skidder dengan begitu mendadak
sehingga semua terpaksa berpegangan erat-erat pada besi pinggiran.
"Itu dia tembusannya!" teriak Hawks, dan ia mengarahkan
lampu sorotnya ke tengah pakis-pakis, dan Romona tergagap karena
terkejut. Dua pantulan cahaya menyorot ke arah mereka.
"Tuhan!" jerit Maggie.
"Cepat, John, cepat!" teriak Rob.
Dengan tangan gemetar Hawks membelokkan kendaraannya
dan menjalankannya cepat menembus kegelapan. Betapa pun
cepatnya, bayangan hitam itu bergerak semakin dekat juga. Satu saat
skidder itu menabrak sebatang tunggul kayu, sehingga semua
penumpangnya sempoyongan di tempatnya masing-masing. Hawks
membelokkan skidder itu sedikit dan kendaraan tersebut berjalan agak
miring karena cepat dan melaju ke arah pepohonan.
Maggie tersedu selagi tangannya berpegang erat-erat pada besi
sambil tetap memegangi bungkusannya. Rob mengisikan peluru ke
senjatanya dengan susah payah dan membidik ke bayangan hitam itu
sambil berpegangan. Tetapi pada saat itu skidder mereka terguncang
sehingga sia-sialah tembakan Rob.
Entah berapa jauh lagi jarak antara kendaraan itu dengan
pengejarnya. Tetapi pada saat terakhir binatang itu membelok dan
berlari sejajar dengan mereka.
"Lemparkan padanya!" teriak Romona kepada Maggie.
"Lemparkan!" "Maggie, lemparkan!" perintah Rob.
Tetapi Maggie tak dapat berbuat apa-apa, karena kedua
tangannya harus digunakan untuk berpegangan agar jangan terjatuh.
Romona menarik selendang pembungkus itu dengan gesit untuk
dilempar ke luar. Tanpa disangka-sangka makhluk kecil itu meloncat
ke luar dan langsung bertengger di leher Maggie dan menanamkan
gigi serta cakarnya dalam-dalam di tengkuk gadis itu. Maggie menjerit
kesakitan dan ngeri. Rob mencoba memberikan bantuan tetapi gigitan
binatang kecil itu tak terlepaskan.
"Awas!" teriak Hawks sekuat tenaga. Makhluk yang
menakutkan itu akhirnya melancarkan serangan dengan menabrakkan
tubuhnya pada kendaraan mereka yang sedang melaju. Skidder itu
berjalan miring dengan dua roda di udara.
"Loncat!" jerit Rob.
Tanpa perintah Rob itu pun, mereka tidak mungkin tetap
berpegangan di tempat masing-masing, karena skidder itu tiba-tiba
menghantam tanah sehingga mereka semua terlempar, sementara
Hawks terperangkap dalam ruang kemudi dan ikut terguling-guling
sampai jauh. Binatang yang mengamuk itu langsung mengejar dan
menyerang skidder tanpa menghiraukan mereka yang terlempar.
Begitu jatuh, Rob mencari Maggie. Gadis itu berlari menuju
danau dengan makhluk kecil tadi masih melekat pada tengkuknya.
Rob masih sempat memungut senjatanya sebelum mengejar Maggie.
Ia melihat Romona berlari tunggang-langgang dalam gelap sambil
meneriakkan nama M'rai. "Masuk air!" teriak Hawks, yang ternyata telah berhasil ke luar
dan melarikan diri, sementara binatang itu masih memusatkan
serangannya pada skidder mereka.
Rob berhasil mengejar Maggie dan mencoba melepaskan
gigitan binatang itu, tetapi Maggie telah menjadi histeris sehingga
menyulitkan usaha Rob. "Masuk air!" teriak Rob. "Biar tak dapat bernafas."
Hawks adalah yang pertama mencapai tepi air. Ia berhenti
sejenak dan memandang ke belakang. "Romona!
"M'rai," jawab Romona. "Di mana M'rai?"
Hawks berlari kembali untuk memaksa Romona turun ke danau,
sebab ia tahu bahwa M'rai sudah bertekad menemui Katahdinnya.
"Berenanglah ke pulau!"
Rob dan Maggie telah mencebur ke danau dan mereka berada
dalam kesulitan. Dengan satu tangan menahan Maggie agar jangan
tenggelam karena panik,Rob tak dapat melepaskan cengkeraman
binatang kecil itu dari tengkuk Maggie.
"Tolong!" Rob berteriak ketika ia melihat Hawks di tepi danau.
Segera Hawks pun turun tangan. Ia memegangi kepala binatang
yang mulutnya bagaikan terkunci di tengkuk Maggie, sementara Rob
menjaga Maggie. "Tenggelamkan kepalanya," teriak Rob sambil memegangi
rambut kepala Maggie. Hawks menekan moncong binatang itu kuat-kuat sehingga
hidung dan mulutnya persis berada di bawah permukaan. Mata
Maggie melotot dan mulutnya menganga lebar akibat tarikan dua arah
dari kedua orang itu. Tiba-tiba gigi binatang yang tertancap kuat itu membuka ketika
pemiliknya membuka mulut untuk menarik nafas. Maggie terpekik
karena lega. Rob menarik isterinya menjauh untuk terus berenang ke
pulau. Yang celaka adalah Hawks. Gigi binatang kecil yang galak itu
berpindah menghunjam pada lengannya. Tanpa kehilangan akal,
meskipun dengan meringis kesakitan, Hawks merendamkan lengan
beserta binatang itu di dalam air.
Sementara itu Romona mengarungi danau yang dangkal itu
menuju ke pulau dengan sebelah tangan memegangi senjata yang tadi
diambilnya dari tangan Rob. Sesekali ia memalingkan kepalanya ke
pantai. Betapa terkejutnya ketika pada suatu saat ia melihat kakeknya
di bawah sinar bulan yang cukup terang. Nampaklah olehnya
bagaimana orang tua itu berdiri dengan sikap tenang, sementara
binatang raksasa itu berjalan di antara pepohonan dan kemudian
berdiri dengan kaki depan terangkat dan matanya memandang ke
bawah pada kakek itu. Romona sempat melihat bagaimana M'rai
melangkah maju dan menengadah ke atas, seolah-olah sedang
berbicara. Pada saat berikutnya, binatang itu mengangkat sebelah kaki
depannya tinggi-tinggi dan menghantamkannya atas orang tua di dekat
kakinya, seperti menepuk seekor lalat saja. Romona memejamkan
mata. Kemudian, tanpa menoleh lagi, ia meneruskan perjalanannya
melintasi danau menuju ke pulau. Namun semangatnya telah hampir
lenyap. Dengan kematian kakeknya, ia kehilangan satu-satunya orang
yang seratus persen dipercayainya.
"Romona!" terdengar suara Hawks memanggilnya. Ia tidak
menjawab. "Vern!" teriak Hawks lagi, putus asa.
"Hai!" jawab Rob.
"Di mana Romona?"
"Saya tidak melihatnya."
"Mona!" ulang Hawks. Suaranya pecah karena emosi. "Mona!"
"John! Aku di sini!" jawab Romona akhirnya.
Tak lama sesudah itu, Rob dan Maggie menginjakkan kakinya
di pulau tempat pondoknya berdiri. Rob memeluk isterinya. Hawks
dan Romona muncul kemudian. Hawks mengambil senjata yang
masih saja dipegangi Romona erat-erat, dan melepaskannya di atas
tanah bersama busur dan bangkai binatang kecil yang berada di ujung
salah satu anak panah. Hawks kemudian membantu Romona naik ke
darat dan keduanya merebahkan diri di samping Rob dan Maggie.
Binatang yang masih marah itu tetap meraung-raung di tepai
pantai. Tetapi mereka aman kini. Dengan perasaan bersyukur keempat
orang itu berbaring saja di tanah tanpa membuat suara dan tanpa
bergerak sampai nafas mereka menjadi tenang kembali.
Juga binatang itu menjadi tenang. Suasana sangat hening.
Kecuali kecipak-kecipuk air yang mengenai tanah di pulau itu,
tiadalah suara lain yang memecahkan keadaan diam di sekitar mereka.
Tetapi kemudian telinga Hawks yang tajam mendengar
gangguan dalam air. Ia bangkit dan memandang ke dalam gelap.
Melihat sikap Hawks, Romona pun bangkit. Suara itu terdengar lagi.
"Ada apa?" tanya Rob.
"Dengarkan," bisik Hawks.
Kecipak air yang mengenai tanah dekat mereka terdengar lebih
keras. "Apa?" tanya Rob lagi sambil memandangi wajah Hawks.
"Gelombangnya bertambah besar."
"Makhluk itu berenang ke mari," bisik Romona.
"Ia tak bisa berenang," bisik Rob hampir tersedu. "Ia tidak bisa
berenang!" Ucapan Rob itu bukan pernyataan melainkan suatu doa.
Tetapi mereka dapat mendengarnya cukup jelas kini. Ceburan
lirih yang semakin keras. Engahan nafas yang makin dekat.
"Ya, ampun ," bisik Maggie.
"Cepat ke pondok!" perintah Rob. "Mana senjata tadi?"
"Di sini," jawab Hawks.
"Lihat!" seru Romona.
Mereka semua berpaling dan melihat dua bara bergerak
menembus kabut ke arah mereka.
"Ampun Tuhan!" keluh Maggie tersedu.
Binatang itu menjawab keluhan Maggie dengan raungan
nyaring ketika ia menyembul dari permukaan dengan tiba-tiba.
"Tembak dia!" teriak Hawks kepada Rob. Tetapi pada saat itu
kedua mata yang tadi nampak seperti bara berjalan lenyap dari
pandangan. "Saya tidak melihatnya," teriak Rob sambil mengisi bedilnya.
Suara-suara berhenti. Permukaan air menjadi tenang kembali.
Keempat orang di pulau itu menahan nafas dalam kebisuan.
"Mana dia?" tanya Maggie. Hawks mengangkat tangannya
memberi tanda agar semua diam.
"Tenggelam mungkin?" bisik Rob tak percaya kata-katanya
sendiri. Maggie perlahan-lahan bangkit, demikian juga Romona, dan
semua mata memandang permukaan air yang tenang dan mulus.
"Benar, ia tenggelam," kata Rob dan berpaling kepada Maggie
dengan pandangan tak mengerti. "Ia..."
Sebuah gelembungan udara tiba-tiba memecahkan kemulusan
permukaan air tepat di depan mereka. Kemudian air bergolak hebat,
dan muncullah binatang yang ditakuti itu dengan dibarengi raungan
keras. Mendadak segala sesuatu berubah. Dalam keadaan panik dan
ngeri, keempat orang itu berlarian menghindari hantaman cakar-cakar
yang besar itu. "Ke pondok!" teriak Rob sambil menyeret tangan Maggie.
Hawks masih sempat memungut busur dan anak panahnya dan
berlari sambil membuang bangkai kecil yang tertancap di salah satu


Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak panah tadi. Romona tersandung sehingga jatuh dan berguling ke
air, tetapi untung ia dapat cepat bangun lagi dan berlari mengikuti
teman-temannya. Di belakang mereka, binatang itu berhenti sebentar untuk
mencium bangkai anaknya yang sudah dingin. Tubuh yang kecil itu
kemudian digigit dan disobek-sobeknya dengan sangat marah lalu
dilemparkannya ke dalam air. Ia kemudian bangkit berdiri dan
kembali mencurahkan perhatiannya pada orang-orang di pondok.
Dengan raungan dahsyat dan cipratan lumpur bagai akibat ledakan,
serangan dimulai. Dalam kemarahannya, binatang itu tidak melihat dok tempat
pangkalan sampan, sehingga ia terhenti sebentar. Waktu yang sesaat
itu cukuplah untuk keempat orang itu berpacu masuk pondok.
"Beri penghalang!" teriak Hawks sambil membanting pintu.
"Ia datang!" jerit Maggie selagi ia melihat dari jendela.
Binatang itu menerjang dan seluruh bangunan bergetar.
"Tutup jendela dengan papan!" teriak Hawks.
"Maggie, papan ranjang!" sambung Rob. "Ambil papan
ranjang!" Maggie bergegas ke atas. Disimparnya sprei dan kasur, dan
papan ranjang itu diraupnya untuk dibawa ke bawah. Tetapi langit-
langit di atas kepalanya mulai berkerengkot dan melengkung karena
tekanan berat dari luar. "Rob!" jerit Maggie minta tolong.
Rob lari buru-buru ke atas ketika sebuah cakar tampak
mencengkeram kasau dan menariknya sampai lepas dan sebagian atas
jadi terbuka. "Bedilku!" seru Rob.
Tetapi terlambat. Satu kasau lagi terbongkar dan kaki depan
binatang itu menjangkau masuk. Maggie menjerit keras dan jatuh ke
lantai. Hawks naik dengan sebuah kapak di tangan. Sekali lagi kaki
depan binatang itu mencakar ke dalam dan Hawks menghantamkan
kapaknya sekuat tenaga. Darah memancar dari luka dalam bekas
kapak itu. Kaki tadi mendadak ditarik, dan pondok itu bergetar oleh
raungan yang amat keras. Sesudah itu suasana jadi sunyi senyap.
Rob menarik Maggie turun ke lantai bawah. Hawks tetap di
atas, siap menghadapi serangan dengan kapak terangkat. Tetapi satusatunya yang
dapat dilihat dari lubang di atap itu ialah sinar bulan.
Romona mengintip dari ventilasi yang dapat dijangkaunya.
"Lihat, dia pergi!"
Memang binatang yang baru saja meraung kesakitan itu nampak
berpincang-pincang meninggalkan mereka menuju batas pepohonan.
Begitu sampai pada pohon yang terdekat, ia membalikkan tubuh.
Kemudian Romona melihat bagaimana binatang itu merunduk dan
berlari maju untuk melakukan serangan dengan terjangan tubuhnya
yang besar. "Tuhan, ampun!" jerit Romona ketakutan.
Seakan-akan ada gempa bumi, pondok itu bergetar ketika
binatang itu datang menerjang. Romona terlempar sampai ke ujung
lain. Seluruh tungku yang besar itu rontok. Fundasi di bawah pondok
berderik dan pondok itu jadi miring. Tahu-tahu sebelah atap sudah
mencium tanah. Rob, Maggie dan Romona berdiri dengan punggung tersandar
di dinding. Hawks melompat dari ruang atas dan memungut busur dan
anak panahnya. Di luar terdengar lagi raungan keras.
"Tembak dia!" teriak Hawks kepada Rob. "Ia datang lagi!"
Tiba-tiba tersadar, Rob lari mengambil senjatanya. Romona
memeluk Maggie erat-erat. Rob dan Hawks mengangkat senjata
masing-masing. Serangan itu pun datang. Dengan satu pukulan,
separuh atap runtuh, dan nampaklah jelas bentuk binatang itu di atas
mereka. "Tembak!" teriak Hawks memberi komando. Dan Rob menarik
picu. Rahang binatang itu lepas dari engselnya bersama
menyemprotnya cairan merah. Rob mengokang senjatanya lagi, dan
bersiap-siap. Juga Hawks membidikkan panahnya. Binatang itu
menyerang lagi. "Tembak!" teriak Hawks lagi. Ia dan Rob menembak
bersamaan. Sebuah lubang timbul di dada binatang itu sedang
sebatang panah menancap di lehernya. Makhluk itu berdiri tegak dan
bulu kuduknya berdiri. "Tembak!" perintah Hawks sekali lagi, dan ia merentang
busurnya. Tetapi bedil Rob tak herbunyi. "Peluruku habis!" teriak Rob.
Dengan suara gelegak yang mirip datangnya banjir, mulut
binatang yang sudah tidak utuh itu terbuka dan keluarlah isi perutnya
menyemprot segala sesuatu yang ada di bawahnya.
Hawks melepas anak panahnya yang kedua tepat mengenai
moncong binatang itu. Amukan lawan makin ngawur sehingga kayukayu kerangka
pondok itu berjatuhan ke seluruh tempat.
"Lari!" teriak Hawks.
Tetapi ke mana mau berlari" Pondok mereka mulai runtuh.
Hawks berdiri terpisah dari yang lain-lain, siap dengan anak panahnya
yang terakhir. Ia menunggu saat yang tepat untuk menembakkannya.
Tetapi sebelum kesempatan itu datang, cakar binatang itu menyambar
tubuh Hawks dan menghantamkannya ke tanah.
"John!" jerit Romona nyaring.
Rob melompat untuk membantu Hawks, tetapi kalah cepat
dengan cakar binatang itu yang sekali lagi menyambar Hawks dan
menghempaskannya di dekat Rob. Anak panah tadi masih berada di
tangan Hawks yang sudah remuk redam. Rob menyambar anak panah
itu sebagai pembela diri seadanya. Tetapi tahu-tahu cakar yang besar
dan kuat itu telah mengayun kembali.
"Rob!" jerit Maggie. "Awas!"
Rob berbalik dan mencoba lari, tetapi jari-jari tangan yang
terayun deras tadi sudah mencengkeramnya. Sesaat kemudian Rob
terayun ke udara. "Rob!" Sangat nyaring teriakan itu ke luar dari mulut Maggie.
Tetapi ia tak kuasa berbuat apa-apa kecuali hanya menonton. Binatang
itu telah mendekatkan Rob ke moncongnya untuk diganyang hiduphidup.
"Tuhan! Oh, Tuhan!" ratap Maggie dengan mata nanar.
Kemudian pandangannya yang samar-samar melihat bagaimana tibatiba Rob menarik
tangannya ke belakang kepala. Di tangan itu masih
tergenggam anak panah yang tadi diambilnya dari tangan Hawks.
Maggie melihat tangan Rob mendadak mengayun maju dan
menghunjamkan benda tajam itu ke sebelah mata binatang itu dengan
sekuat tenaga. Begitu kuatnya Rob menancapkan anak panahnya
sehingga masuk dalam-dalam dan baru berhenti ketika mengenai
benda keras, tulang dalam bagian kepala binatang itu.
Kira-kira sedetik lamanya segala sesuatu terhenti. Tiada suara,
tiada gerak. Binatang itu berdiri diam seolah-olah tiba-tiba tak berdaya
lagi, dan darah mengucur dari sebelah matanya yang telah hancur.
Sambil mendengking panjang, cakarnya meregang karena sakitnya,
dan Rob pun terlepas dari cengkeramannya, sehingga terjatuh di
tanah. Binatang itu menggeliang sempoyongan sementara cakarnya
mencari-cari tempat yang sakit di sekitar matanya.
Rob terbaring dalam keadaan setengah-setengah sadar di bawah
binatang yang meliuk-meliuk sambil mendengking dan berusaha tetap
tegak. Sesekali tubuhnya terayun ke arah pondok dan merebahkan
dinding depan. Rob mendengar kedua wanita menjerit. Kemudian tak
ada suara lagi. Kaki depan binatang yang menggapai-gapai itu akhirnya
terkulai, dan berdirinya merendah. Sebelah matanya yang masih utuh
memandang samar-samar kepada Rob. Ia terduduk lemas, kemudian
berjalan dengan keempat kaki yang tak kokoh lagi menuju ke danau,
dan akhirnya tercebur di air dengan suara berdebur.
Tubuhnya yang lunglai mengambang beberapa saat di tempat
terceburnya sampai gelembung-gelembung udara memecah di
permukaan sekitar kepalanya yang terendam dengan muka ke bawah.
Beberapa detik kemudian seluruh tubuh tenggelam, hilang dari
pandangan. Danau kembali menjadi tenang dan suasana malam pun kembali
menjadi sunyi. Di ufuk timur sudah mulai nampak sinar fajar yang
menyingsing. Titihan mengumandangkan seruan paginya,
membangunkan segala makhluk siang.
Pondok di belakang tempat terbaringnya Rob sudah tak
berwujud lagi; seluruh bangunan hancur. Ia mulai mendengar sesuatu
bergerak di dalam runtuhan itu. Dengan mengerahkan seluruh tenaga,
Rob berhasil merangkak dan melihat Romona menyembulkan kepala.
Wajahnya penuh darah dan pandangannya hampa.
"Ia ada di dalam," bisiknya lemah. "Di bawah runtuhan."
*****************************************
Pada waktu menyingsingnya fajar, sekawanan angsa Kanada
yang sedang melayang-layang di atas danau tiba-tiba bercerai-berai,
terkejut oleh suara helikopter-helikopter yang menderu semakin dekat.
Pencarian yang dimulai dua puluh empat jam yang lalu, ketika sherif
dilaporkan hilang bersama teman-temannya, terpaksa dihentikan
ketika malam tiba. Jejak-jejak mereka yang masih selamat berakhir di
tepi telaga. Tetapi dalam keadaan gelap orang tak mungkin
meneruskan pencarian. Pagi ini, bagi orang-orang yang duduk dalam helikopter,
pemandangan di pulau itu semakin mengecutkan hati setelah jejakjejak kehancuran
yang kemarin. Setumpuk balok dan papan bertimbun
di tempat yang dahulu ada pondoknya - dan dua orang berdiri di
dekatnya dalam keadaan menyedihkan.
Chapter 13 VICTOR SHUSETTE menerima telepon dari Robert Vern dan
hatinya jadi cemas. Apa yang diceritakan temannya itu kepadanya
tidak seluruhnya masuk akal. Tetapi mendengar nada suara Rob, ia
yakin bahwa semua itu benar-benar telah terjadi.
Serta-merta Shusette telah meninggalkan Washington dan
terbang ke Portland, Maine, kemudian memanggil taxi untuk menuju
rumah sakit tempat Robert Vern telah menunggu. Dalam telepon ia
tidak menceritakan kepada Rob perkembangan terakhir dari pertikaian
antara orang Indian dan para pengusaha penebangan hutan. Ia mau
menunda pemberitahuan itu sampai Rob sudah lebih siap untuk
menerimanya. Suatu keputusan telah diambil di Midwest tentang tidak
diakuinya lagi hak waris orang Indian atas tanah tempat tumpah
darahnya. Banyak kemungkinan bahwa hal yang serupa akan terjadi
pula di Maine. Memang benar bahwa Pitney Paper Mill akan didenda
dan diharuskan menutup usahanya sampai mereka dapat membuktikan
bahwa mereka dapat memenuhi segala persyaratan kesehatan dan
keamanan. Namun, akhirnya kelak, mereka tentu akan membuka
kembali usahanya dan menuntut Hutan Manatee sebagai hak milik
mereka. Sementara ia duduk di dalam taxi yang melaju menuju rumah
sakit, Shusette memandang murung ke luar menembus curahan hujan
yang jatuh pada waktu itu. Ia bertanya-tanya kepada diri sendiri,
berapa banyakkah orang yang berpikir atau mengambil pusing bahwa
tetes-tetes hujan itu adalah tetes-tetes hujan yang sama yang telah
jatuh ke tanah sejak diciptakannya planet ini. Dari jendela taxi Victor
mengamati air hujan itu mengumpul menjadi genangan di tengah jalan
yang beraspal dan kemudian mengalir ke lubang saluran menuju got di
pinggir jalan. Langit sudah menjadi gelap. Victor Shusette melihat jam.
Hampir jam delapan. Maggie menurut rencana sudah dioperasi jam
enam tadi. ****************************************
Maggie Vern mulai memasuki dunia kesadaran kembali kirakira pada waktu tengah
malam. Sementara Maggie secara berangsurangsur mulai menyadari tentang siapa dia
dan di manakah ia sedang berada, pikirannya memutar kembali rekaman-rekaman peristiwa yang
dialaminya sejak serangan binatang itu sampai sekarang. Gambarangambaran itu
lewat bercampur-aduk dan berulang-ulang, seakan-akan
adanya hanya dalam impian. Ia melihat pondok mereka runtuh,
kemudian helikopter-helikopter yang melandas di danau. Ia teringat
wajah Rob yang sangat dekat dan berteriak kepadanya agar tetap
hidup. Kemudian nampaklah wajah-wajah lain, beberapa di antaranya
mengenakan masker, dan pancaran cahaya yang menyilaukan
bagaikan sinar matahari menyorotinya dari atas.
Tanpa membuka mata, Maggie memegangi leher dan merabaraba seluruh bagian
tubuhnya untuk meyakinkan diri bahwa ia masih
utuh. Tubuh bertempel plester di banyak tempat dan sukar sekali
digerakkan. Dengan susah payah ia berusaha membuka matanya, dan
nampaklah di kanan kirinya selang-selang yang mengalirkan berbagai
cairan ke tubuhnya. Pada kaki ranjang matanya tertumbuk pada
bandulan logam yang digantungkan pada tali seperti tali kerekan.
Setelah jalan pikirannya bertambah terang, mulailah Maggie
sadar akan hal lain. Bukan dari apa yang dirasakan atau dilihatnya,
tetapi dari intuisinya belaka. Rahimnya kosong. Kandungannya tiada
lagi. Maggie menutup matanya dan mengambang dalam kegelapan.
Lambat laun ia menyadari kehadiran orang lain dalam ruang itu.
Langkah-langkah kaki masuk dan perlahan-lahan mendekati tempat
tidurnya. Langkah-langkah itu ringan dan berhati-hati. Seorang wanita
tentu. "Akan pulihkah ia?" bisik sebuah suara.
"Kukira begitu."
Rob duduk di sudut yang agak gelap dalam ruang itu. Romona
berdiri di samping ranjang. Suara mereka lirih dan sangat lesu
kecapaian. "Anda sendiri bagaimana?" tanya Rob.
"Saya akan cepat pulang. Ada kesulitan sedikit di sana."
Romona ragu sebentar. Bolehkah ia menambah beban pikiran Robert
Vern dengan masalah lain lagi" "Polisi mendesak untuk memeriksa
jenasah John. Ini berarti kami tak dapat mengebumikan John secara
yang dikehendakinya." Suara Romona bergetar sebentar, dan ia
berhenti sejenak untuk menenangkan diri. "Ia tidak dapat hidup
menurut cara yang diinginkannya. Kini, sudah mati, dan orang tidak
memberinya ketenangan pula."
"Percayalah, autopsi tidak akan dilakukan."
Romona mengangguk. Ia tak mampu mencari kata-kata lagi.
Rob bangkit dan melangkah mendekatinya. Keduanya tahu bahwa
tiadalah yang perlu mereka perbincangkan lagi. Rob mengulurkan
tangan dan Romona menyambutnya dengan kedua tangan. Kemudian
Rob mencium gadis itu. Mata mereka tidak bertemu lagi sampai
Romona berpaling dan meninggalkan ruangan itu dengan perlahanlahan.
Rob melemparkan pandangannya ke arah Maggie dan
melangkah ke dekat ranjang. Ia mengambil tempat di pinggir ranjang
dan memandangi wajah isterinya yang nampak mulai sadar. Wajah itu
pucat dan terbarut-barut; seorang perawat yang baik hati telah
mengikat rambut Maggie dengan seleret pita biru. Rob mengulurkan
tangannya dan melepaskan pita tersebut, sehingga rambut Maggie
tergerai bebas di atas bantal. Kemudian Rob membungkuk dan
mendekatkan kepalanya. Ia merasakan sentuhan sebuah tangan yang dingin pada pipinya.
Rob menengadah dan melihat bahwa isterinya sudah bangun. Kedua
suami isteri saling berpandangan tanpa membuka mulut, kemudian
Rob mengambil tangan Maggie dan menekankannya pada bibirnya.
"Aku akan segera pulih kembali," bisik Maggie.
"Aku tahu."

Ramalan Malapetaka The Prophecy Karya David Seltzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata mereka berpadu dan mereka mendengarkan hujan yang
berkeritik mengenai jendela.
"Aku sudah aku tidak hamil lagi?" bisik Maggie lirih.
"Hhmm." Rob mengangguk.
"Rasanya begitu kosong."
"Tidak dapat diselamatkan."
"Apakah.....?" Maggie tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi
Rob mengerti. "Aku sendiri tidak melihatnya," jawab Rob.
"Ada yang melihatnya?"
Rob mengangguk. "Apakah....?" "Rusak." Maggie menutup matanya dan air mata meleleh keluar
membasahi pipinya. Rob mengusapnya. Dalam tenggorokannya terasa
ada sesuatu yang membuat ia tak dapat berbicara.
"Maggie?" katanya sesudah beberapa saat.
"Hhmm." "Kau akan mengandung lagi."
"Ya." "Kita akan mempunyai bayi."
"Ya," jawab Maggie dengan mengerdip.
"Semuanya akan berbeda, Maggie."
"Aku tahu." Maggie meraih tangan suaminya dan mereka berpegangan erat.
"Aku begitu merindukanmu, Robert," bisik Maggie.
"Aku sudah kembali."
Pegangan Maggie makin mengendur dan gadis itu terlelap
kembali ke alam mimpi. ******************************************
Di atas menaranya yang tinggi menjulang melebihi pepohonan,
si penjaga hutan duduk di kursinya penuh kesantaian. Matanya yang
merah oleh kantuk memandang menyingsingnya fajar di Hutan
Manatee. Danau di bawah sana nampak tenang bagaikan permukaan
kaca dan memantulkan warna kemerah-merahan cahaya pertama
matahari pagi. Segala sesuatu kelihatan tenang diam tanpa gangguan
hembusan angin senafas pun.
Tetapi pandangannya yang kabur melihat ada sesuatu yang
bergerak-gerak di suatu tempat yang agak jauh. Ia meraih keker yang
selalu berada di dekatnya. Setelah menyapu panorama yang hijau
segar itu, ia memusatkan titik pandangannya pada suatu gundukan
berwarna abu-abu bercampur coklat. Dari jauh benda itu nampak
berguling seperti orang yang bangun tidur.
Sementara penjaga hutan itu terus mengamatinya nampaklah
olehnya benda itu jadi berbentuk setelah menggeliat bangun dan
berdiri di atas kaki belakangnya. Makhluk serupa itu pernah
dilihatnya, tetapi yang satu ini jauh lebih besar, dan nampaknya lebih
kuat dan kekar. Dan di belakangnya ada pengikutnya yang kecil-kecil.
Ada lima semua. Makhluk kecil-kecil itu berlari-lari ke sana ke mari
sambil mengikuti yang besar menuju tepi danau.
Si penjaga hutan meletakkan kekernya dan memejamkan mata
dalam usahanya menghapus rekaman dari apa yang dilihatnya. Ia tahu
bahwa kalau ia melaporkan semua itu, ia akan dikatakan mabuk.
Tetapi sekali ini penjaga hutan itu yakin bahwa ia tidak mabuk.
END Pembakaran Kuil Thian Lok 4 Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 10
^