The Demigod Files 2
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan Bagian 2
menyembunyikan kuku belahnya di dalam kaki palsu. Carilah satir di sekolahmu
dan minta bantuannya. Kau harus segera ke Perkemahan Blasteran secepat
mungkin. Tapi, sekali lagi, jangan punya keinginan menjadi seorang demigod.
Jangan coba hal ini di rumah.
Bab 4 Percy Jackson dan Pedang Hades
NATAL di Dunia Bawah BUKANLAH keinginanku.
Jika aku tahu apa yang akan terjadi, aku akan beralasan sedang sakit. Aku bisa
menghindari sepasukan iblis, pertarungan dengan sesosok Titan, dan tipuan yang
hampir menjebloskan aku dan teman-temanku ke dalam kegelapan abadi.
Namun tidak, aku harus mengikuti ujian bahasa Inggris konyol itu. Jadi, pada
hari terakhir semester musim dingin, aku berada di Goode High School, duduk di aula
dengan siswa baru lainnya sambil berusaha menyelesaikan esai tentang A Tale of
Two Cities, yang novelnya pura-pura saja sudah kubaca, lalu sekonyong-konyong
Mrs. O'leary melompat di atas panggung, menyalak tak keruan.
Mrs. O'leary adalah anjing neraka peliharaanku. Ia adalah monster hitam berbulu
seukuran Hummer, dengan taring setajam silet, cakar setajam pisau baja, dan mata
yang menyala merah. Ia anjing yang manis, dan biasanya tinggal di Perkemahan
Blasteran, pekemahan untuk melatih demigod. Aku sedikit terkejut melihatnya di
atas panggung, menginjak-injak pohon Natal, peri Santa, dan segala hiasan musim
dingin. Semua siswa menengadah. Aku yakin anak-anak yang lain akan panik dan berlari
ke pintu keluar, tapi mereka Cuma tertawa terkekeh-kekeh. Beberapa cewek
menyahut, "Awww, lucu sekali!"
Guru bahasa Inggris kami, Dr. Boring (aku tidak bercanda; itu memang nama
aslinya), membetulkan letak kacamatanya dan mengerutkan alis.
(Boring bisa diartikan bosan secara harfiah)
"Baiklah," ucapnya. "Anjing pudel siapa itu?"
Aku menarik napas lega. Terima kasih Tuhan atas adanya Kabut-tirai sihir yang
menghalagi manusia untuk melihat hal yang sebenarnya. Sebelumnya aku sudah
sering menyaksikan Kabut membelokkan kenyataan, tapi hingga Mrs. O'Leary
dianggap anjing pudel" Sungguh mengesankan.
"Um, anjing pudelku, Pak," sahutku. "Maaf! Ia pasti mengikutiku."
Seseorang di belakangku mulai menyanyikan lagu Mary had a Little Lamb. Lebih
banyak anak yang tertawa.
"Cukup!" hardik Dr. Boring. "Percy Jackson, ini adalah ujian terakhir. Tidak
boleh ada anjing pudel yang-"
"GUUK!" gonggongan Mrs. O'Leary menggetarkan aula. Ia menggoyangkan ekor,
merobohkan beberapa peri lain. Kemudian, ia menunduk dengan menekuk
Kaki depannya dan menatapku seolah ia ingin agar aku mengikutinya.
"Aku akan mengeluarkannya dari sini, Dr. Boring." Aku berjanji. "Lagi pula aku
sudah selesai." Aku menutup lembar ujianku dan berlari ke arah panggung. Mrs. O'Leary berlari
ke arah pintu keluar dan aku mengikutinya, anak-anak yang lain masih tertawatawa
dan meneriakiku, "Sampai ketemu lagi, Bocah Pudel!"
Mrs. O'Leary berlari ke East Eight-first Street menuju sungai.
"Jangan cepat-cepat!" teriakku. "Mau ke mana kau?"
Para pejala kaki memadangku dengan aneh, tapi ini New York. Jadi, seorang bocah
yang mengejar seekor pudel mungkin bukan hal teraneh yang pernah mereka
saksikan. Mrs. O'Leary berada jauh di depanku. Ia beberapa kali menoleh seolah untuk
berkata Ayo cepat, Siput! Ia berlari tiga blok ke utara, langsung menuju Carl
Schurz Park. Saat aku baru berhasil mengejarnya, ia melompati pagar besi dan
menghilang di balik semak yang dipangkas membentuk dinding dan dipenuhi salju.
"Aduh, jangan begitu," protesku. Aku tak sempat mengambil jaketku di sekolah.
Aku sudah kedinginan, tapi aku tetap memanjat pagar dan melompat ke dalam
semak beku itu. Di sisi lain ada taman terbuka-taman berumput seluas sekitar dua ribu meter
persegi dan dikelilingi pepohonan gundul. Mrs. O'Leary mengendus-endus daerah
sekelilingnya, dan dengan semangat menggoyang-goyangkan ekornya. Aku tak
melihat hal yang luar biasa. Di depanku, East River yang berwarna gelap mengalir
pelan. Uap putih menguar dari puncak atap rumah di Queens. Di belakangku,
Upper East Side tampak dingin dan hening di kejauhan.
Aku tak yakin kenapa, tapi bulu-bulu di tengkukku mulai berdiri. Aku
mengeluarkan penaku dan melepas penutupnya. Pena itu langsung memanjang
menjadi pedang perunggu, Reptide, bilah tajamnya bersinar lemah terpapar cahaya
musim dingin. Mrs. O'Leary mengangkat kepalanya. Hidungnya bergetar.
"Ada apa, Sayang?" bisikku.
Semak-semak bergemerisik dan seekor rusa emas menampakkan dirinya. Saat aku
bilang emas, maksudku bukan warna kekuningan. Hewan itu punya bulu metalik
dan tanduk yang tampak seperti emas 24 karat. Rusa itu memancarkan cahaya
keemasan, membuatnya hampir terlalu terang jika kita memandanginya terlalu
lama. Mungkin ia adalah makhluk tercantik yang pernah aku lihat.
Mrs. O'Leary menjilat bibirnya seolah ia sedang membayangkan burger rusa!
Kemudian, semak bergemerisik lagi dan sosok berjaket parka dan bertudung
melompat ke tempat terbuka, anak panah terpasang di busurnya.
Aku mengangkat pedangku. Gadis itu membidik ke arahku-lalu mematung.
"Percy?" Dia membuka tudung perak jaketnya. Rambut hitamnya jauh lebih
panjang dari yang kuingat, tapi aku kenal mata biru cerah itu dan juga tiara
perak yang menandakan bahwa dia adalah letnan pertama Artemis.
"Thalia!" ucapku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Mengikuti rusa emas itu," jawabnya, seolah masih perlu saja. "Ia adalah
binatang suci Artemis. Aku menduga ia adalah semacam pertanda untukku. Dan um ...." Dia
mengangguk gugup pada Mrs. O'Leary. "Kau mau memberitahuku apa yang
dilakukan makhluk itu di sini?"
"Ia peliharaanku-Mrs. O'Leary, jangan!"
Mrs. O'Leary mengendus rusa itu dan itu jelas tidak menghormati wilayah pribadi
sang rusa. Rusa itu menanduk hidung anjingku. Tak lama kemudian, mereka
berdua saling berusaha menjauhkan satu sama lain dari taman terbuka.
"Percy ...." Thalia mengerutkan dahi. "Ini pasti bukan suatu kebetulan. Kau dan
aku berakhir di tempat dan waktu yang sama?"
Dia benar. Demigod tak pernah mengalami suatu kebetulan. Thalia adalah teman
baikku, tapi aku tak bertemu dengannya lebih dari satu tahun, dan mendadak kami
bertemu di sini. "Dewa-dewa mempermainkan kita," tebakku.
"Mungkin saja."
"Tapi, aku senang bertemu denganmu."
Dia mengulas senyum pahit untukku. "Ya. Jika kita bisa keluar dari masalah ini
hidup-hidup, aku akan mentraktirmu burger keju. Bagaimana kabar Annabeth?"
Sebelum aku menjawab, segumpal awan lewat menutupi matahari. Rusa emas itu
berpendar lemah dan lenyap. Kini Mrs. O'Leary menyalak-nyalak pada setumpuk
daun kering. Aku meremas gagang pedangku lebih erat. Thalia menarik busurnya. Secara
naluriah kami saling memunggungi. Seperak kegelapan membayang di atas
rerumputan dan seorang anak laki-laki muncul dan teruling dari bayangan itu,
seolah dia baru saja dilemparkan ke atas rerumputan.
"Aduh," gumamnya. Dia mengibas-ngibaskan jaket penerbangannya. Dia berumur
sekitar dua belas tahun, dengan rambut hitam, jin, kaus hitam, dan cincin
tengkorak perak di tangan kanannya. Sebilah pedang tersampir di pinggangnya.
"Nico?" ucapku.
Mata Thalia melebar. "Adik laki-laki Bianca?"
Nico merengut. Aku ragu dia suka disebut adik Bianca. Kakak perempuannya,
Pemburu Artemis, meninggal beberapa tahun lalu, dan itu masih membuatnya
sedih. "Kenapa kalian membawaku ke sini?" gerutunya. "Sesaat lalu, aku masih di
pemakaman New Orleans. Detik berikutnya-apakah ini New York" Demi Hades,
apa yang kulakukan di New York?"
"Kami tidak membawamu ke sini." Aku meyakinkannya. "Kami juga-" Rasa
dingin merambati tulang punggungku. "Kita dikumpulkan bersama. Kita bertiga."
"Apa maksudmu?" kejar Nico
"Anak dari Tiga Dewa Besar," ucapku. "Zeus, Poseidon, Hades."
Thalia menarik napas cepat. "Ramalan itu. Kau tidak berpikir Kronos-"
Thalia tidak meneruskan ucapannya. Kami semua tahu tentang ramalan besar itu:
Sebuah perang akan terjadi, di antara kaum Titan dan dewa, keturunan dari Tiga
Dewa Besar yang berumur enam belas tahun akan mengambil sebuah keputusan
yang akan menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Itu artinya salah satu dari
kami. Beberapa tahun belakangan, Raja Titan Kronos mencoba untuk
memanipulasi kami secara terpisah. Sekarang ... mungkinkah dia merencanakan
sesuatu dengan menyatukan kami sekaligus"
Permukaan tanah bergemuruh. Nico menghunus pedangnya-pedang hitam yang
terbuat dari logam Stygian. Mrs. O'Leary melompat kebelakang dan menyalak
waspada. Terlambat, aku menyadari ia tadi berusaha memperingatkan aku.
Tanah di bawah Thalia, Nico, dan aku terbelah. Kemudian, kami pun terperosok ke
dalam kegelapan. Aku menduga kami akan terjatuh selamanya, atau mungkin gepeng menjadi
panekuk demigod saat kami menghantam dasar. Namun, hal selanjutnya yang aku
tahu, Thalia, Nico dan aku telah berdiri di sebuah taman, kami bertiga masih
berteriak ketakutan, yang membuatku merasa tolol.
"Apa-di mana kita?" tanya Thalia.
Taman itu gelap. Barisan bunga perak berpendar lemah, menerangi batu mulia
raksasa yang berjajar di permukaan taman-berlian, safir dan mirah delima
seukuran bola sepak. Pepohonan melengkung di atas kami, dahannya penuh
dengan bunga oranye dan buah beraroma manis. Udara terasa dingin di New York.
Lebih mirip suasana di dalam gua.
"Aku pernah ke sini sebelumnya," ucapku.
Nico memetik sebuah delima dari sebatang pohon. "Taman Persephone, ibu
tiriku." Raut mukanya masam, lalu dia menjatuhkan buahnya. "Jangan makan apa
pun." Dia tak perlu memberitahuku dua kali. Satu gigit makanan dari Dunia Bawah, dan
kami tak akan pernah bisa meninggalkannya.
"Lihat ke atas." Thalia memperingatkan.
Aku berbalik dan mendapati gadis itu sedang membidik busurnya ke arah seorang
wanita tinggi bergaun putih.
Awalnya aku menduga wanita itu sesosok hantu. Gaunnya mengombak di
sekeliling tubuhnya mirip asap. Rambut hitam panjangnya mengambang dan
melingkar seolah tanpa bobot. Wajahnya cantik, tapi pucat tanpa warna.
Kemudian, aku menyadari gaunnya tidaklah putih. Gaun itu terdiri dari beragam
warna yang berubah-bunga merah, biru, dan kuning yang mekar di permukaan
gaun-tapi warnanya pudar. Matanya juga sama, berwarna-warni, tapi pudar, seolah
Dunia Bawah telah menyedot habis kekuatan hidupnya. Aku membayangkan di
dunia atas, dia pasti sangatlah elok dan memesona.
"Namaku Persephone," katanya, suara lirih seperti gesekan kertas. "Selamat
datang, Demigod." Nico melumat buah delima dengan botnya. "Selamat datang" Setelah peristiwa
kemarin, kau masih punya nyali untuk menyapaku?"
Aku bergerak-gerak gelisah sebab berbicara lancang terhadap dewa seperti itu
bisa membuat mereka mengubahmu menjadi debu. "Um, Nico-"
"Tak apa," sahut Persephone dingin. "Kami mengalami pertengkaran keluarga
sepele." "Pertengkaran keluarga?" sembur Nico. "Kau mengubahku menjadi dandelion!"
Persephone mengabaikan anak tirinya. "Seperti yang sudah kukatakan, Demigod,
aku menyambut kalian di tamanku."
Thalia menutunkan busurnya. "Kau mengirim rusa emas itu?"
"Dan, juga anjing itu." Sang dewi mengakui. "Dan juga bayangan yang
mendatangkan Nico. Penting untuk menyatukan kalian bersama."
"Kenapa?" Aku bertanya.
Persephone memandangku, dan aku merasa seolah sekuntum bunga es mekar di
dalam perutku. "Raja Hades punya satu masalah," terangnya. "Dan, jika kalian tahu apa yang
terbaik untuk kalian, kalian pasti mau membantunya."
Kami duduk di beranda gelap yang menghadap taman. Pelayan Persephone
membawakan makanan dan minuman, tapi kami tidak menyentuhnya. Para pelayan
itu pasti cantik sebelum mereka mati. Mereka mengenakan gaun kuning,
dipercantik dengan mahkota jalinan bunga aster dan bunga beracun lainnya. Mata
mereka kosong, dan berbicara dengan suara bercicit mirip kelelawar.
Persephone duduk di atas takhta perak dan mencermati kami. "Jika sekarang
musim semi, aku bisa menyambut kalian dengan layak di dunia atas. Apa boleh
buat, di musim dingin, inilah sambutan terbaik yang bisa kulakukan."
Suaranya terdengar getir. Setelah ribuan tahun berlalu, aku menduga dia masih
menyesal tinggal bersama Hades separuh hidupnya. Dia tampak sangat pucat dan
janggal, mirip foto cerah musim semi yang pudar.
Dia memandangku seolah baru membaca isi benakku. "Hades adalah suami dan
tuanku, Anak Muda. Aku akan melakukan apa pun untuknya. Tapi, dalam masalah
ini aku butuh bantuanmu secepatnya. Masalah ini tentang pedang Raja Hades."
Nico mengerutkan kening. "Ayahku tidak punya pedang. Dia menggunakan
tongkat dan helm kegelapan saat berperang."
"Dia memang tak punya pedang," Persephone membenarkannya.
Thalia menegakkan punggungnya. "Dia menempa sebuah simbol kekuatan baru"
Tanpa izin dari Zeus?"
Sang dewi musim semi menunjuk. Di atas meja, sebentuk gambar muncul:
Beberapa pandai besi bertubuh kerangka tampak bekerja dengan api hitam, dengan
palu yang berbentuk tengkorak mereka menempa sebatang besi hingga pipih dan
menyerupai bilah pedang. "Perang dengan bangsa Titan hampir terjadi." Persephone berkata. "Raja Hades
harus bersiap." "Tapi, Zeus dan Poseidon tidak akan mengizinkan Hades menempa senjata baru!"
sanggah Thalia. "Itu akan membuat perjanjian pembagian kekuatan mereka
timpang." Persephone menggelengkan kepala. "Maksudmu senjata itu menjadikan Hades
lawan mereka yang seimbang" Percayalah padaku, Putri Zeus, Dewa Kematian tak
punya rencana buruk terhadap saudaranya. Dia tahu mereka tak akan pernah
memahaminya, dan itulah alasan Hades menempa senjata itu secara rahasia."
Gambar di atas meja berkilauan. Pandai besi zombie itu mengangkat bilah
pedangnya, masih panas membara. Sebuah benda aneh terpasang di pangkalnya-
bukan sebutir batu mulia. Lebih mirip ....
"Apakah itu sebuah kunci?" tanyaku.
Nico tersedak. "Kunci Hades?"
"Tunggu," potong Thalia. "Apa itu kunci Hades?"
Nico tampak lebih pucat daripada ibu tirinya. "Hades punya satu set kunci yang
bisa membuka dan mengunci kematian. Paling tidak ... itulah legendanya."
"Itu benar," ucap Persephone.
"Bagaimana kau bisa membuka dan mengunci kematian?" tanyaku.
"Kunci itu punya kekuatan untuk mengurung sebentuk jiwa di Dunia Bawah,"
ucap Persephone. "Atau melepaskannya."
Nico menelan ludah. "Jika salah satu kunci itu ditanamkan di pedang-"
"Pengguna pedang dapat menghidupkan yang mati," lanjut Persephone, "atau
membunuh segala macam makhluk hidup dan mengirim jiwanya ke Dunia Bawah
hanya dengan sentuhan pedangnya."
Kami semua membisu. Air mancur gelap menggelak di sebuah sudut. Para pelayan
melayang di sekeliling kami, menawarkan nampan buah-buahan dan gula-gula
yang dapat memenjarakan kami di Dunia Bawah selamanya.
"Itu pedang yang keji." Akhirnya aku buka suara.
"Itu akan membuat Hades tak terkalahkan," tambah Thalia.
"Jadi, kau mengerti," ucap Persephone, "kenapa kalian harus mengambilnya lagi."
Aku memandanginya. "Kau bilang mengambilnya lagi?"
Mata Persephone elok dan sangat serius, mirip kuncup bunga beracun. "Pedang itu
dicuri saat hampir selesai. Aku tak tahu bagaimana, tapi aku menduga dicuri oleh
seorang demigod, pembantu Kronos. Jika pedang itu jatuh ke tangan Raja Titan-"
Thalian berdiri dengan sigap. "Kau membiarkan pedang itu dicuri! Itu bodoh
sekali! Mungkin Kronos sudah mendapatkannya saat ini!"
Anak panah Thalia berubah menjadi mawar bertangkai panjang. Busurnya berubah
menjadi tanaman rambat yang dipenuhi bunga putih dan emas.
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jaga mulutmu, Pemburu." Persephone memperingatkannya. "Mungkin ayahmu
Zeus, dan mungkin kau letnan Artemis, tapi kau tak berhak berbicara lancang
seperti itu di istanaku sendiri."
Thalia mengertakkan giginya. "Kembalikan ... busurku ... seperti ... semula."
Persephone melambaikan tangan. Busur dan anak panah Thalia kembali seperti
semula. "Sekarang duduk dan dengarkan. Pedang itu pasti belum dibawa keluar
dari Dunia Bawah. Raja Hades menggunakan sisa kunci untuk menutup istana. Tak
ada yang bisa masuk atau keluar hingga dia menemukan pedangnya, dan sekarang
dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk menemukan si pencuri."
Thalia kembali duduk dengan enggan. "Lalu, kenapa kau membutuhkan kami?"
"Pencarian pedang itu tak boleh diketahui pihak lain," ucap sang dewi. "Kami
telah menutup istana, tapi kami tak memberitahukan alasannya. Para pembantu
Hades juga tak bisa ditugaskan untuk mencari. Mereka tak boleh tahu bahwa
pedang itu ada hingga selesai dibuat. Tentu saja mereka tak boleh tahu jika
pedang itu hilang." "Jika mereka berpikir Hades dalam bahaya, mereka mungkin akan
meninggalkannya," tambah Nico. "Dan, mereka akan bergabung dengan bangsa
Titan." Persephone tidak menjawab, tapi jika seorang dewi bisa gugup, itulah yang tampak
saat ini. "Pencurinya pasti seorang demigod. Tak ada dewa yang bisa mencuri
senjata dewa lain secara langsung. Bahkan Kronos pun wajib mematuhi Hukum
Kuno itu. Dia mengirim seorang pahlawan ke bawah sini. Dan, untuk menangkap
seorang demigod ... kami harus mengutus tiga demigod lain."
"Kenapa kami?" sahutku.
"Kalian anak dari tiga dewa utama," jawab Persephone. "Siapa yang bisa bertahan
dari kombinasi kekuatan kalian" Selain itu, setelah kalian mengembalikan
pedangnya ke Hades, kalian akan mengirim pesan ke Olympus. Zeus dan Poseidon
tak akan memperotes adanya senjata baru itu jika senjatanya dipersembahkan oleh
anak mereka sendiri. Itu menunjukkan bahwa kalian mempercayai Hades."
"Tapi, aku tak memercayainya," cetus Thalia.
"Setuju," tambahku. "Kenapa kami harus melakukan sesuatu untuk Hades, apalagi
memberinya senjata super" Benar kan, Nico?"
Nico memandang ke bawah meja. Jarinya mengetuk-ngetuk pedang Stygian
hitamnya. "Benar, tidak, Nico?" ulangku.
Butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali fokus padaku. "Aku harus
melakukan hal ini, Percy. Dia ayahku."
"Oh, tidak," protes Thalia. "Jangan sampai kau bilang ini ide bagus!"
"Kau lebih suka pedang itu dikuasai Kronos?"
Pendapatnya masuk akal. "Buang-buang waktu saja," sergah Persephone. "Si pencuri mungkin punya kaki
tangan di Dunia Bawah, dan dia akan mencari jalan keluar."
Aku mengerutkan kening. "Tadi kau bilang istanamu dikunci."
"Tak ada penjara yang benar-benar sempurna, begitu juga dengan Dunia Bawah.
Jiwa-jiwa di dalamnya selalu menemukan cara keluar lebih cepat daripada
kemampuan Hades untuk menutupnya. Kalian harus memperoleh pedang itu
sebelun dibawa keluar dari istana. Jika itu sampai terjadi, tak ada yang bisa
dilakukan." "Andai aku bersedia," ucap Thalia, "bagaimana aku bisa menemukan pencuri itu?"
Sebatang bunga dalam pot muncul di atas meja: Sebatang anyelir yang warna
kuningnya memyakkan dan berdaun jarang. Bunga itu condong ke satu sisi, seolah
mencoba menemukan matahari.
"Ini akan memandu kalian," ucap sang dewi.
"Anyelir ajaib?" tanyaku.
"Bunga ini selalu menghadap ke arah si pencuri. Semakin dekat buruan kalian
dengan pintu kebebasannya, semakin banyak helai mahkota bunga yang akan
berjatuhan." Tepat seperti dikatakannya, sehelai mahkota bunga kuning berubah kelabu dan
jatuh ke permukaan tanah.
"Jika seluruh mahkota bunga telah rontok," lanjut Persephone, "bunganya mati.
Itu artinya si pencuri telah mencapai pintu kebebasan dan kalian gagal."
Aku memandang Thalia. Dia tampak tidak terlalu antusias dengan pemburuan
penciri memakai makhota bunga itu. Kemudian, aku menatap Nico. Sayangnya,
aku mengenali ekspresi di wajah itu. Aku tahu rasanya ketika seorang anak ingin
membuat ayahnya bangga, walaupun jika sang ayah adalah sosok yang sulit
dicintai. Dalam situasi ini, sangat sulit untuk dicintai.
Nico akan melaksanakan perburuan ini, dengan atau tanpa kami. Dan, aku tidak
sampai hati membiarkannya pergi sendiri.
"Dengan satu syarat." Aku memberi tahu Persephone. "Hades akan bersumpah
demi Sungai Styx bahwa dia tidak akan pernah menggunakan pedang itu untuk
melawan dewa lainnya."
Sang dewi mengangkat bahunya. "Aku bukan Hades, tapi aku yakin dia mau
melakukannya-sebahai balasan atas bantuanmu."
Sekali lagi satu helai mahkota jatuh dari bunga itu.
Aku berpaling ke arah Thalia. "Aku akan memegang bunga itu sementara kau
memukuli si pencuri?"
Dia mendesah. "Baiklah. Ayo, kita pergi dan menangkap bedebah itu."
Tidak ada kehangatan dan kemeriahan Natal di Dunia Bawah. Saat kami menuruni
jalan istana ke Padang Asphodel, semuanya terlihat sama persis seperti
kunjunganku sebelumnya-sangat memuramkan perasaan. Rerumputan tampak
menguning. Pepohonan poplar hitam dan kerdil melambai-lambai. Berbagai
bayangan melayang tanpa tujuan di perbukitan, datang entah dari mana dan pergi
entah ke mana, saling berbincang-bincang satu sama lain dan mencoba mengingat
jati diri mereka saat masih hidup. Jauh di atas kami, langit-langit gua berkelip
muram. Aku membawa pot bunga anyelir, dan itu membuatku merasa cukup bodoh. Nico
berjalan paling depan sebab pedangnya bisa membuka jalan di antara kerumunan
roh. Thalia terus menggerutu karena dia menyesal dikirim ke sebuah misi dengan
dua bocah laki-laki. "Menurutmu Persephone tadi tampak gelisah?" tanyaku.
Nico terus merintis jalan di antara sekerumunan hantu, menjauhka mereka dengan
pedang Stygian miliknya. "Dia selalu bersikap seperti itu jika aku ada. Dia
membenciku." "Kalau begitu, mengapa dia mengikutkanmu ke dalam pencarian ini?"
"Mungkin gagasan ayahku." Dia terdengar seolah mengharapkan hal itu nyata, tapi
aku tidak yakin. Terasa aneh bagiku sebab bukan Hades sendiri yang menugaskan misi ini. Jika
pedang itu sangat penting baginya, kenapa dia membiarkan Persephone yang
menjelaskan" Biasanya Hades suka mengancam demigod secara langsung.
Nico terus mendesak ke depan. Tidak peduli seberapa padat roh yang berdesakan-
jika kalian pernah melihat Times Square saat malam Tahun Baru, kalian bisa
membayangkan padatnya-para roh selalu menyingkir di hadapannya.
"Dia terampil dalam mengatasi kerumunan zombie." Thalia mengakui. "Mungkin
lain kali aku akan mengajaknya saat aku pergi ke mal."
Dia memegang erat busurnya, seolah khawatir senjata itu akan kembali berubah
menjadi tanaman rambat. Dia kelihatan tidak lebih tua dari yang kuingan tahun
lalu, dan mendadak aku sadar bahwa dia tidak akan pernah bertambah tua, sebab
kini dia adalah seorang pemburu. Itu artinya aku sudah lebih tua daripada dia.
Aneh. "Jadi," ucapku. "Bagaimana kekekalan memperlakukanmu?"
Dia memutar bola matanya. "Bukan kekal sepenuhnya, Percy. Kau tahu itu. Kami
masih bisa mati dalam pertarungan. Hanya saja ... kami tak pernah bertambah usia
atau sakit. Jadi, kami bisa hidup selamanya asalkan tidak dimutilasi oleh
monster." "Selalu ada bahaya."
"Selalu." Dia memandang sekitar, dan aku menyadari dia sedang memindai
wajahwajah orang mati itu.
"Jika kau mencoba menemukan Bianca," bisikku pelan supaya Nico tidak
mendengarku, "dia berada di Elysium. Dia mati sebagai seorang pahlawan."
"Aku tahu itu," sergah Thalia. Kemudian, dia menenangkan dirinya. "Bukan itu,
Percy. Hanya saja aku ... lupakan saja."
Hawa dingin menerpa tubuhku. Aku ingat bahwa ibu Thalia meninggal dalam
kecelakaan mobil beberapa tahun lalu. Mereka tidak pernah berhubungan dekat,
tapi Thalia belum sempat berpamitan. Mungkin saja roh ibunya melayang-layang
di sekitar kami-tak heran Thalia tampak gelisah.
"Maaf," ucapku. "Aku tadi lupa."
Mata kami bertemu, dan aku merasa dia memahamiku. Ekspresi wajahnya
melunak. "Tidak masalah. Kita selesaikan saja misi ini."
Satu lagi mahkota jatuh dari kelopak bunga anyelir saat kami berjalan.
Perasaanku bergolak saat bunga itu menuntun kami ke arah Padang Penghukuman.
Aku berharap kami akan menikung ke Elysium supaya kami bisa berkumpul
dengan orang-orang yang berpenampilan baik dan berpesta, tapi tidak. Bunga itu
tampaknya menyukai bagian terjahat dan terkeras dari Dunia Bawah. Kami
melompati sungai lava dan berjalan melewati tempat siksa kubur yang sangat
mengerikan. Aku tidak akan menggambarkannya sebab kau pasti akan kehilangan
selera makanmu, tapi aku berharap aku punya kapas untuk menyumpal telingaku
dari jeritan dan lagu tahun 1980-an di sana.
Anyelir itu berpaling ke arah bukit di sebelah kiri kami.
"Di atas sana," ucapku.
Thalia dan Nico berhenti. Tubuh mereka dipenuhi abu dari perjalanan kami
menembus Padang Hukuman. Tampangku mungkin tak lebih baik daripada
mereka. Suara berkelontang nyaring terdengar dari sisi lain bukit, seolah seseorang
sedang menyeret sebuah mesin cuci. Kemudian, bukit bergetar dengan suara ledakan
BUM! BUM! BUM! Dan, seorang pria menyumpah-nyumpah.
Thalia memandangi Nico. "Apakah dia orang yang kuduga?"
"Sepertinya begitu," ucap Nico. "Ahli nomor satu dalam mengakali kematian."
Sebelum aku sempat menanyakan maksudnya, Nico memimpin kami ke puncak
bukit. Pria di sisi lain bukit sungguh buruk rupa, dan dia tampak uring-uringan. Dia
mirip dengan boneka troll berkulit oranye, perut buncit, kaki dan lengannya kurus, dan
semacam cawat/popok besar di pinggangnya. Rambut bulu tikusnya berdiri mirip
obor. Dia melompat-lompat, menyumpah, dan menendang sebongkah batu yang
dua kali lebih besar dari tubuhnya.
"Aku tidak mau!" pekiknya. "Tidak, tidak, tidak!" Kemudian, dia menyemburkan
serentetan kata kotor dalam beberapa bahasa yang berbeda. Jika aku punya stoples
yang harus diisi koin 25 sen untuk setiap kata kotor, pasti aku berhasil
mengumpulkan sekitar lima ratus dolar.
Sesaat kemudian, dia berjalan menjauhi bongkah batu itu, tapi setelah sekitar
tiga meter dia terseret ke belakang, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang
menariknya. Dia terhuyung-huyung ke arah bongkah batu dan mulai
membenturkan kepalanya di batu itu.
"Baiklah!" pekiknya. "Baiklah, terkutuk kau!"
Dia menggosok kepala dan menggumamkan sebaris kata kotor lainnya. "Tapi, ini
yang terakhir kali. Kau dengar aku?"
Nico menatap kami. "Ayo. Sementara dia sedang sibuk."
Kami menuruni bukit. "Sisyphus!" panggil Nico
Pria troll itu mendongak terkejut. Kemudian, dia tersaruk-saruk di balik
batunya. "Oh, tidak! Kalian tidak bisa menipuku di balik samaran itu! Aku tahu kalian
para Fury!" "Kami bukan Fury," ucapku. "Kami hanya ingin berbicara."
"Pergi kalian!" jeritnya. "Bunga tidak akan membuat hal ini jadi lebih baik.
Sudah terlambat untuk meminta maaf!"
"Dengar," ucap Thalia, "kami hanya ingin-"
"La-la-la!" pekiknya. "Aku tidak dengar!"
Kami mencoba menyergapnya di sekitar bongkah batu hingga akhirnya Thalia,
yang paling gesit, berhasil menjambak rambut pria itu.
"Hentikan!" ratapnya. "Aku harus memindahkan batu. Harus memindahkan batu!"
"Aku akan memindahkan batumu!" tawar Thalia. "Sementara itu tutup mulutmu
dan bicaralah dengan temanku."
Sisyphus berhenti memberontak. "Kau akan-kau akan memindahkan batuku?"
"Itu lebih menyenangkan dari memandang wajahmu." Thalia menatapku.
"Lakukuan dengan cepat." Kemudian, dia menyorongkan Sisyphus ke arah kami.
Thalia menempelkan bahunya di batu dan mulai mendorongnya ke atas bukit.
Sisyphus memberengut dan melempar pandangan sangsi padaku. Dia mencubit
hidungku. "Aduh!" sahutku.
"Jadi, kau benar-benar bukan Fury," ucapnya takjub. "Untuk apa bunga itu"
"Kami mencari seseorang," ucapku. "Bunga ini membantu kami menemukannya."
"Persephone!" Dia meludah ke tanah. "Itu salah satu alat pelacak miliknya, kan?"
Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan terciumlah bau menyengat dari pria-
tuayang-telah-menggelindingkan-batu-selamanya itu. "Asal kalian tahu, aku pernah
menipunya. Aku pernah menipu mereka semua."
Aku menatap Nico. "Artinya?"
"Sisyphus mengakali kematian," terang Nico. "Pertama dia merantai Thanatos,
sang pencabut nyawa. Jadi, tak seorang pun bisa mati. Lalu, saat Thanatos bebas
dan akan membunuhnya, Sisyphus menyuruh istrinya untuk melaksanakan ritual
pemakaman yang salah supaya dia tidak meninggal dengan tenang. Sisy ini-Boleh
aku memanggilmu Sisy?"
"Tidak!" "Sisy membujuk Persephone agar membiarkannya kembali ke dunia untuk
menghantui istrinya. Namun, Sisy tidak kembali lagi."
Pria tua itu terkekeh. "Aku bertahan hidup selama tiga puluh tahun sebelum
akhirnya mereka menangkapku!"
Thalia sudah setengah perjalanan mendaki bukit itu. Dia mengertakkan giginya,
dan terus mendorong bongkah batu itu dengan punggungnya. Raut mukanya seolah
berkata, Cepatlah! "Jadi, itulah hukumanmu," ucapku pada Sisyphus. "Menggelindingkan sebongkah
batu ke atas bukit selamanya. Apa itu sepadan?"
"Ini rintangan sementara!" pekik Sisyphus. "Aku akan segera keluar dari sini,
dan saat itu terjadi, mereka semua akan menyesal!"
"Bagaimana kau bisa keluar dari Dunia Bawah?" tanya Nico. "Asal kau tahu,
tempat ini dikunci."
Sisyphus menyeringai bengis. "Sama seperti yang ditanyakan pemuda
sebelumnya." Perutku menegang. "Seseorang meminta petunjuk darimu?"
"Pria muda yang tak sabaran," urai Sisyphus. "Tidak begitu sopan. Mengacungkan
pedang di leherku. Tidak menawarkan diri untuk mengelindingkan batu sama
sekali." "Apa yang kau katakan padanya?" ucap Nico. "Siapa dia?"
Sisyphus memijat bahunya. Dia melirik Thalia, yang hampir mencapai puncak
bukit. Wajahnya merah padam dan peluhnya sebesar biji jagung.
"Oh ... sulit untuk mengatakannya," ucap Sisyphus. "Tidak bertemu dengannya
sebelumnya. Dia membawa benda panjang yang terbungkus kain hitam. Papan ski,
mungkin" Sebuah sekop" Mungkin jika kalian bersedia menunggu di sini, aku bisa
pergi dan mencarinya ... "
"Apa yang kau katakan padanya?" desakku.
"Aku tidak ingat."
Nico menghunus pedang. Logam Stygian itu begitu dingin hingga mengeluarkan
uap karena terkena udara panas di Padang Hukuman. "Ingat lagi."
Pria tua itu berjengit. "Pemuda macam apa yang membawa pedang semacam itu?"
"Putra Hades," ucap Nico. "Sekarang jawab aku!"
Wajah Sisyphus memucat. "Aku menyuruhnya berbicara dengan Melinoe!wanita
itu selalu tahu jalan untuk keluar dari sini!"
Nico menurunkan pedangnya. Aku bisa merasakan bahwa nama Melinoe
membuatnya gusar. "Kau sudah gila?" runtuknya. "Itu sama saja dengan bunuh diri!"
Pria tua itu mengangkat bahu. "Aku pernah mengakali kematian sebelumnya. Aku
bisa melakukannya lagi."
"Seperti apa penampilan demigod itu?"
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Um ... dia punya satu hidung," ucap Sisyphus. "Sebuah mulut. Dan, satu mata
dan-" "Satu mata?" tukasku. "Dia memakai penutup mata?"
"Oh ... mungkin," ucap Sisyphus. "Ada rambut di kepalanya. Dan-" Dia tersengal
dan melihat ke balik bahuku. "Itu dia!"
Bodohnya kami memercayai akal bulus pria itu.
Saat kami menoleh, Sisyphus berlari menuruni bukit. "Aku bebas! Aku bebas!
Aku-ADUH!" Sekitar tiga meter dari bukit, dia tertahan tali tak kasatmata yang
mengikatnya, dan dia pun terjengkang. Nico dan aku menggamit lengannya dan
menariknya ke atas bukit.
"Terkutuk kalian!" Dia kembali menyumpah-nyumpah dalam bahasa Yunani
Kuno, Latin, Inggris, Prancis, dan bahasa lain yang tidak kukenali. "Aku tidak
akan pernah membantumu! Minta tolong ke Hades sana!"
"Kami sudah ke sana," gumam Nico.
"Awas batu!" jerit Thalia.
Aku menengadah dan merasa perlu untuk menyemburkan kata-kata kotor.
Bongkah batu itu menggelinding ke arah kami dengan cepat. Nico melompat ke
kiri. Aku melompat ke kanan. Sisyphus berteriak, "TIDAAAK!" saat benda padat
itu menyeruduknya. Entah bagaimana caranya, dia berhasil mengukuhkan tubuh
dan menghentikan laju batu itu melindasnya habis. Mungkin dia telah sering
melakukannya. "Ambil batu ini sekali lagi!" lolongnya. "Kumohon. Aku tidak sanggup
melakukannya." "Tidak lagi." Thalia tersengal. "Kau harus melakukannya sendiri sekarang."
Dia kembali menyumpahi kami dengan begitu banyak bahasa. Sudah jelas dia tak
akan membantu kami lebih jauh. Jadi, kami meninggalkan dia bersama batu
hukumannya. "Gua Melinoe ke arah sini," ucap Nico.
"Jika pemuda buruan kita sungguh bermata satu," ucapku, "dia mungkin adalah
Ethan Nakamura, putra Nemesis. Dia orang yang membebaskan Kronos."
"Aku ingat," balas Nico muram. "Tapi, jika kira berurusan dengan Melinoe, kita
punya masalah yang lebih besar. Ayo, jalan."
Saat kami berjalan menjauh, Sisyphus berteriak, "Baiklah, tapi ini yang terakhir
kali. Kau dengar aku" Terakhir kali."
Thalia bergidik. "Kau baik-baik saja?" Aku bertanya padanya.
"Kurasa begitu ...." Dia tampak ragu. "Percy, hal yang mengerikan adalah, saat
aku mencapai puncak, kupikir aku berhasil. Aku pikir, hal ini tidaklah berat. Aku
bisa membuat batunya diam. Namun, ketika batu itu menggelinding ke bawah, aku
hampir tergoda untuk mencobanya lagi. Kupikir aku bisa menggelindingkan batu
itu untuk kedua kalinya."
Thalia memandang ke belakang dengan muram.
"Ayo, jalan." Aku memberitahunya. "Semakin cepat kita keluar dari sini, semakin
baik." Kami merasa kami telah berjalan sangat lama. Tiga mahkota bunga meranggas dari
anyelir, yang artinya secara resmi ia sudah separuh mati. Bunga itu menghadap ke
arah gugusan perbukitan kelabu bergigi. Jadi, kami meneruskan perjalanan ke arah
bebatuan gunung berapi tersebut.
"Hari yang indah untuk berjalan-jalan," gumam Thalia. "Sekarang para Pemburu
pasti sedang bersenang-senang di padang terbuka di hutan."
Aku bertanya-taya apa yang sedang dilakukan keluargaku saat ini. Ibu dan ayah
tiriku, Paul, pasti cemas jika aku tak segera pulang dari sekolah, tapi ini
bukan pertama kali terjadi. Mereka pasti segera paham bahwa aku sedang mejalankan
sebuah misi. Ibuku pasti akan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga, sambil
bertanya-tanya apakah aku sempat pulang untuk membuka hadiahku.
"Jadi siapa sebenarnya Melinoe ini?" tanyaku, mencoba mengenyahkan bayangan
rumah dari benakku. "Ceritanya panjang," ucap Nico. "Ceritanya sangat panjang dan mengerikan."
Aku hendak menanyakan apa yang dimaksud Nico saat Thalia membungkukkan
tubuh. "Senjata!"
Aku menghunus Reptide. Aku yakin penampilanku bakal sangat konyol kalau aku
terus membawa anyelir itu de tangan kiriku. Jadi, aku menaruhnya. Nico
menghunus pedangnya. Kami berdiri saling membelakangi. Thalia memasang sebatang anak panah.
"Ada apa?" bisikku.
Dia tampak memasang telinga. Kemudian, matanya melebar. Selusin daemon
mewujud di sekeliling kami.
Mereka adalah wanita setengah kelelawar. Wajah mereka berbulu dan berhidung
pesek, dengan taring dan mata gembung. Tubuh mereka dilindungi oleh kepingan
logam yang disatukan dan bulu kelabu kusut. Lengan mereka mengerut dengan
cakar sebagai ganti tangan, sayap mereka berkulit kasar dan mencuat dari
punggung, ditambah kaki yang pendek gemuk dan melengkung. Seandainya mata
mereka tidak bersinar bengis, mereka pasti tampak lucu.
"Keres," ucap Nico.
"Apa?" tanyaku.
"Iblis medan perang. Makanan mereka adalah kematian yang tragis."
"Oh, menyenangkan sekali," ucap Thalia.
"Mundur kalian!" Nico menghardik para daemon itu. "Putra Hades memerintah
kalian untuk mundur!"
Para Keres mendesis. Mulut mereka berbusa. Mereka melirik ngeri pada senjata
kami, tapi aku merasa para Keres tidak memedulikan perintah Nico.
"Tak lama lagi Hades akan dikalahkan." Salah satu dari mereka menggeram.
"Tuan kami yang baru akan memberikan kebebasan!"
Nico berkedip. "Tuan baru?"
Sang daemon pemimpin menyerang. Nico sangat terkejut hingga makhluk tersebut
mungkin saja mencabik-cabik tubuhnya, tapi dengan sigap Thalia menembakkan
anak panahnya tepat di wajah kelelawar buruk rupa itu, tubuh si daemon pun
hancur. Yang lain menyerang sekaligus. Thalia menjatuhkan busur dan mencabut
belatinya. Aku menunduk saat pedang Nico berdesing di atas kepalaku, membelah
tubuh sesosok daemon. Aku menyabet dan menusuk, tiga atau empat Keres
meledak di sekeliingku, tapi yang lain terus berdatangan.
"Iapetus akan membinasakanmu!" Salah satu makhluk berteriak.
"Siapa?" tanyaku. Kemudian, aku menusuknya dengan pedangku. Catatan untuk
diriku: Jika kau meleburkan monster, maka tak akan sempat menjawab
pertanyaanmu. Nico juga membabat begitu banyak Keres. Pedang hitamnya menyerap inti tubuh
mereka seperti penyedot debu, dan kian banyak yang dihancurkannya, udara di
sekelilingnya juga kian dingin. Thalia membanting sesosok daemon hingga
punggungnya menghantam tanah, menikamnya, dan menusuk satu daemon lain
dengan belati kedua tanpa menoleh sedikit pun.
"Matilah dalam siksa, Manusia!" Sebelum aku sempat mengangkat pedang untuk
melindungi diri, cakar daemon lain menggaruk bahuku. Jika aku mengenakan baju
perang, tidak masalah, tapi aku masih mengenakan seragam sekolah. Kuku
makhluk itu merobek kemeja dan mengiris kulitku. Sekujur tubuh bagian kiriku
lumpuh tersiksa rasa nyeri.
Nico menendang monster itu dan membacoknya. Yang bisa kulakukan hanyalah
roboh ke tanah dan menggulung tubuhku, mencoba menahan rasa terbakar yang
tak tertahankan. Suara pertempuran berakhir. Thalia dan Nico bergegas menghampiriku.
"Jangan bergerak, Percy," ucap Thalia. "Kau bakal baik-baik saja." Tapi, getar
dalam suaranya memberitahuku bahwa luka yang kuderita sangat parah. Nico
menyentuh bahuku dan aku memekik kesakitan.
"Nektar," ucap Nico. "Aku menuangkan nektar di atas lukamu."
Dia membuka tutup botol minuman dewa itu dan meneteskannya di sepanjang
bahuku. Ini hal berbahaya-demigod hanya mampu meminumnya seteguk-tapi rasa
sakitnya lenyap seketika. Bersamaan, Nico dan Thalia merawat lukaku, dan aku
pingsan beberapa kali. Aku tak bisa memperkirakan berapa lama waktu yang telah berlalu, tapi hal
berikutnya yang kuingat adalah mereka menyandarkanku di sebuah batu. Bahuku
sudah diperban. Thalia menyuapiku dengan potongan kecil ambrosia rasa cokelat.
"Para Keres itu?" gumamku
"Sudah pergi," jawab Thalia. "Kau membuatku cemas sesaat tadi, Percy, tapi aku
yakin kau akan segera sembuh."
Nico berjongkok di sebelah kami. Dia membawa pot anyelir itu. Kini tinggal lima
helai mahkota yang tersisa.
"Para Keres akan kembali." Dia memperingatkan. Dia memandang cemas pada
bahuku. "Luka itu ... Keres adalah iblis penyakit dan sampar serta kekerasan.
Kita bisa memperlambat infeksinya, tapi nanti kau butuh pengobatan yang lebih baik.
Maksudku dengan dibantu kekuatan sesosok dewa. Jika tidak ...."
Nico tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Aku akan baik-baik saja." Aku berusaha duduk, tapi langsung pusing.
"Pelan-pelan," ucap Thalia. "Kau harus beristirahat sebelum kau bisa bergerak."
"Tak ada waktu." Aku melihat anyelir itu. "Salah satu daemon menyebutkan nama
Iapestus. Ingatanku benar" Dia kan Titan?"
Thalia mengangguk gelisah. "Kakak Kronos, ayah Atlas. Dia dikenal sebagai Titan
dari barat. Namanya berarti 'Sang Penikam' sebab itu yang suka dilakukannya
terhadap semua musuhnya. Dia dibuang ke Tartarus bersama dengan saudaranya.
Dia pasti masih ada di sana."
"Tapi, jika pedang Hades bisa membuka kematian?" tanyaku.
"Maka," ucap Nico, "pedang itu juga bisa memanggil yang terkutuk untuk keluar
dari Tartarus. Kita tidak boleh membiarkan mereka mencobanya."
"Kita masih belum tahu siapa mereka," ucap Thalia.
"Blasteran yang bekerja untuk Kronos," ucapku. "Mungkin Ethan Nakamura. Dan,
dia mulai merekrut sebagian bawahan Hades untuk bergabung di pihaknya-
contohnya Keres. Para daemon menduga jika Kronos memenangkan peperangan,
mereka mendapat lebih banyak kekacauan dari pengkhianatan yang mereka
lakukan." "Mereka mungkin benar," ucap Nico. "Ayahku mencoba mempertahankan
keseimbangan. Dia mengekang banyak sekali roh-roh yang keji. Jika Kronos
menunjuk salah satu saudaranya untuk menjadi raja Dunia Bawah-"
"Misalnya si Iapestus ini," ucapku.
"Dunia Bawah pun akan menjadi lebih mengerikan," ucap Nico. "Keres akan
menyukai hal itu. Begitu juga dengan Melinoe."
"Kau masih belum memberi tahu kami jati diri Melinoe."
Nico menggigit bibir. "Dia adalah dewi para hantu-salah satu anak buah ayahku.
Dia mengawasi arwah gelisah yang bergentayangan di dunia. Setiap malam dia
bangkit dari Dunia Bawah untuk menakuti manusia."
"Dia punya jalan sendiri ke dunia atas?"
Nico mengangguk. "Aku ragu jalan itu juga ditutup. Biasanya, bahkan tidak
seorang pun berpikir untuk memasuki guanya. Tapi, jika pencuri demigod ini
cukup berani untuk membuat kesepakatan dengannya-"
"Si pencuri bisa kembali ke dunia atas," tambah Thalia, "dan mengantarkan
pedang itu kepada Kronos."
"Yang akan menggunakannya untuk membangkitkan saudaranya dari Tartarus,"
tebakku. "Dan, kita akan mendapat masalah besar."
Aku berusaha berdiri. Gelombang rasa mual hampir membuatku pingsan, tapi
Thalia menahan tubuhku. "Percy," ucap Thalia, "kondisimu tidak memungkinkan-"
"Aku harus kuat." Aku mengawasi saat sehelai mahkota bunga meranggas dan
jatuh dari kelopaknya. Empat helai sebelum akhir dunia. "Berikan bunga itu
padaku. Kita harus menemukan gua Melinoe."
Saat kami berjalan, aku mencoba memikirkan hal yang positif: Pemain basket
kesukaanku, percakapan terakhir dengan Annabeth, masakan yang akan dibuat
ibuku untuk makan malam Natal-segala sesuatu, kecuali rasa sakitku. Namun,
rasanya seperti masih ada harimau bertaring pedang mengunyag bahuku. Aku tidak
akan mampu bertarung dengan baik, dan aku mengutuk diriku karena sempat
lengah sebelumnya. Aku seharusnya tak boleh terluka. Kini Thalia dan Nico harus
bersusah payah menyeret tubuhku yang tak berguna hingga misi ini usai.
Benakku terlalu penuh dengan penyesalan atas kebodohanku sendiri, hingga aku
tak menyadari terdengarnya gemuruh suara air hingga Nico berkata, "Uh-oh."
Sekitar lima belas meter di depan kami, sungai gelap bergejolak melintasi sebuah
jurang berbatu. Aku pernah melihat Sungai Styx, dan ini jelas bukan sungai yang
sama. Sungai ini sempit dan deras. Airnya sehitam tinta. Bahkan busa yang
bergejolak juga hitam. Bantaran sungai diseberang hanyalah sepuluh meter, tapi
terlalu jauh untuk kami lompati, dan tidak ada jembatan.
"Sungai Lethe." Nico memaki dalam bahasa Yunani Kuno. "Kita tak mungkin bisa
menyeberang." Bunga itu menunjuk ke arah lain-ke arah gunung yang suram dan jalan setapak
yang mengarah ke sebuah gua. Jauh di balik gunung, dinding Dunia Bawah tampak
terpikir olehku bahwa Dunia Bawah mempunyai dinding pembatas, tapi itu jelas
dinding pembatasnya. "Pasti ada suatu cara untuk menyeberanginya," ucapku.
Thalia berlutut di bibir sungai.
"Hati-hati!" ucap Nico. "Ini adalah Sungai Hilang Ingatan. Satu tetes saja air
menyentuhmu, kau akan lupa siapa dirimu."
Thalia mundur. "Aku tahu tempat ini. Luke pernah menceritakannya padaku. Roh
datang ke tempat ini jika mereka memilih untuk dilahirkan kembali. Jadi, mereka
sepenuhnya bisa melupakan kehidupan yang sebelumnya."
Nico mengangguk. "Berenang dalam air itu dan benakmu akan terhapus sama
sekali. Kau menjadi seperti bayi yang baru lahir."
Thalia mencermati sisi lain bantaran. "Aku bisa menembakkan anak panah ke sana,
mungkin kira bisa memasang tali pada salah satu batu itu."
"Kau berani memasrahkan bobot tubuhmu pada sebuah tali yang tidak teikat
kuat?" tanya Nico Thalia mengerutkan kening. "Kau benar. Hanya berhasil dalam film, tapi ...
tidak. Bisakah kau memanggil orang mati untuk memanggil orang mati untuk membantu
kita?" "Bisa, tapi mereka hanya bisa muncul di sisi bantara ini. Arus sungai berfungsi
sebagai pembatas bagi orang mati. Mereka tidak bisa menyeberanginya."
Aku berjengit. "Peraturan bodoh macam apa itu?"
"Hei, bukan aku yang membuatnya." Dia mencermati wajahku. "Kau tampak
sangat lemah, Percy. Kau harus duduk."
"Aku tidak mau. Kalian butuh aku untuk mengatasi masalah ini."
"Untuk apa?" tanya Thalia. "Berdiri saja kau kesulitan."
"Itu air, kan" Aku akan mengendalikannya. Mungkin aku bisa mengalihkan arus
untuk sementara hingga kita menyeberang."
"Dengan kondisimu yang sekarang?" sahut Nico. "Tidak mungkin. Aku merasa
lebih aman dengan gagasan anak panah Thalia."
Aku terhuyung ke bibir sungai.
Aku tak tahu apakah aku sanggup melakukan hal ini. Aku adalah putra Poseidon.
Jadi, mengendalikan air laut bukanlah masalah bagiku. Sungai biasa ... mungkin,
jika roh sungai mau bekerja sama. Namun, sungai ajaib Dunia Bawah" Aku tak
yakin. "Mundur," ucapku.
Aku berkonsentrasi pada arus sungai-air hitam yang mengalir deras. Aku
membayangkan sungai itu adalah bagian dari tubuhku. Aku bisa mengendalikan
arus, membuatnya merespon kehendakku.
Aku tak tahu, tapi aku merasa air bergolak dan berbuih lebih ganas, seolah ia
bisa merasakan kehadiranku. Aku sadar aku tak bisa menghentikan arus sungai
sepenuhnya. Air akan terbendung dan membanjiri seluruh bagian lembah, lalu
menyembur ke segala arah saat aku melepaskannya. Namun, ada solusi lain.
"Tak berhasil," gumamku.
Aku mengangkat kedua lengan seolah aku sedang mengangkat sesuatu di atas
kepalaku. Bahuku yang terluka terasa sakit bak terbakar lava, tapi aku berusaha
mengacuhkannya. Arus sungai meninggi. Air melenting dari jalurnya, mengalir terus ke atas dan
membentuk lekungan besar-lekungan pelangi hitam berarus deras setinggi tujuh
meter. Dasar sungai di depan kami berubah menjadi lumpur kering, terowongan di
dasar sungai cukup lebar untuk dua orang yang berjalan bersisian.
Thalia dan Nico memandangku takjub.
"Pergilah," ucapku. "Aku tak bisa menahannya lama-lama."
Titik-titik kuning berputar di depan mataku. Bahuku yang teluka menjerit
kesakitan. Thalia dan Nico menuruni dasar sungai dan melintasi jalan yang
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlumpur pekat. Tak setetes pun. Aku tak boleh membiarkan satu tetes air menyentuh tubuh
mereka. Sungai Lethe melawanku. Ia tidak suka dipaksa keluar dari dasar sungainya. Ia
bernafsu untuk menjatuhkan diri ke atas temanku, menghapus isi benak mereka,
dan menenggelamkan mereka. Namun, aku terus menahan lekungan itu.
Thalia memanjat ke atas bantaran sungai dan berbalik untuk menarik Nico.
"Ayo, Percy!" teriaknya. "Berjalanlah!"
Lututku gemetar. Lenganku goyah. Aku melangkah dan hampir terjatuh.
Lengkungan arus sungai bergoyang.
"Aku tak mungkin berhasil," teriakku.
"Kau pasti bisa!" ucap Thalia. "Kami membutuhkanmu!"
Entah bagaimana, aku berhasil turun ke dasar sungai. Satu langkah, lalu aku
melangkah lagi. Air mengalir deras di atas kepalaku. Sepatu botku menjejak
lumpur pekat. Setengah perjalanan, aku tersandung. Aku mendengar Thalia menjerit, "Tidak!"
dan konsentrasiku pecah. Saat Sungai Lethe menimpa kepalaku, untungnya aku sempat memikirkan satu
gagasan putus asa: Kering.
Aku mendengar debur dan merasakan kuatnya entakan selaksa liter air saat sungai
itu kembali ke jalurnya yang semula. Namun ....
Aku membuka mataku. Aku dikelilingi kegelapan, tapi tubuhku kering
sepenuhnya. Selapis udara melapisiku laksana kulit kedua, melindungiku dari
pengaruh air. Aku berusaha berdiri. Bahkan usaha kecil untuk tetap kering
seperti ini-suatu hal yang sudah kulakukan ratusan kali dalam air biasa-terasa sangat
berat bagiku sekarang. Aku berjuang melintasi arus hitam, mataku dibutakan rasa sakit
tak terkira. Aku memajat keluar dari Sungai Lethe, mengejutkan Thalia dan Nico, yang
langsung melompat dua meter ke belakang. Aku terhuyung-huyung ke depan,
ambruk di depan teman-temanku, dan langsung pingsan.
Rasa nektar membuatku siuman. Bahuku terasa lebih baik, tapi telingaku
berdenging nyaring. Mataku terasa panas, seolah aku sedang demam.
"Kita tak boleh memberinya nektar lagi," ucap Thalia. "Tubuhnya akan terbakar
menjadi abu." "Percy," ucap Nico. "Kau bisa mendengarku?"
"Terbakar," gumamku. "Aku mendengarmu."
Aku duduk perlahan. Perban di bahuku baru diganti. Masih terasa sakit, tapi aku
sudah bisa berdiri. "Kita sudah dekat," ucap Nico. "Kau bisa berjalan?"
Gunung itu menjulang di depan kami. Jalan setapak berdebu berkelok-kelok
beberapa ratus meter ke mulut gua. Tulang-belulang manusia ditata di sepajang
jalan hingga suasana tambah mengerikan.
"Aku siap," ucapku.
"Perasaanku tidak enak," gumam Thalia. Dia memeluk anyelir itu, yang kini
menghadap ke gua. Kini bunga itu hanya memiliki dua helai mahkota, mirip
telinga kelinci yang merana.
"Gua yang mengerikan," ucapku. "Dewi dari segala hantu. Apa bagusnya?"
Seolah menanggapiku, suara desisan menggema di seluruh penjuru gunung. Kabut
putih mengepul dari dalam gua, seolah seseorang baru menghidupkan mesin es
kering. Dari balik kabut, sebentuk tubuh mewujud-seorang wanita tinggi dengan rambut
pirang yang terurai. Dia mengenakan jubah mandi pink dan memegang sebuah
gelas anggur. Air mukanya galak dan terusik. Aku bisa melihat menembus
tubuhnya. Jadi, aku tahu dia pasti semacam roh, tapi suaranya terdengar cukup
nyata. "Jadi, sekarang kau kembali," geram wanita itu. "Sayangnya, sudah terlambat!"
Aku menatap Nico dan berbisik, "Melinoe?"
Nico tidak menjawab. Dia berdiri mematung, menatap roh itu.
Thalia menurunkan busurnya. "Ibu?" Matanya membelalak. Mendadak dia terlihat
mirip gadis berumur tujuh tahun.
Roh itu melemparkan gelas anggurnya. Gelas itu pecah dan larut ke dalam kabut.
"Itu benar, Nak. Dikutuk untuk bergentayangan di bumi, dan itu salahmu! Di mana
kau saat aku mati" Kenapa kau melarikan diri saat aku membutuhkanmu"
"Aku-aku-" "Thalia," ucapku. "Dia hanya bayangan. Dia tidak bisa menyakitimu."
"Aku lebih dari sekedar bayangan," geram roh itu. "Dan, Thalia tahu itu."
"Tapi - kau menelantarkan aku," balas Thalia.
"Dasar gadis celaka! Pelarian tak tahu diri!"
"Hentikan!" Nico melangkah maju dengan pedang terhunus, tapi roh itu mengubah
wujud dan menghadapinya. Hantu itu sungguh sulit untuk dilihat. Kini dia adalah sesosok wanita yang
mengenakan gaun beledu hitam bergaya kuno serta topi yang serupa. Dia
mengenakan kalung mutiara dan sarung tangan putih, dan rambut gelapnya diikat
ke belakang. Nico menghentikan langkahnya. "Tidak ... "
"Putraku," ucap hantu itu. "Aku mati saat kau masih sangat kecil. Aku menghantui
dunia dalam kenestapaan, terus bertanya-tanya di mana keberadaanmu dan
saudarimu." "Mama?" "Bukan, dia ibuku," gumam Thalia, seolah dia masih melihat wujud sebelumnya.
Kedua temanku tak berdaya. Kabut kian menebal di sekitar kaki mereka,
merambati kaki mereka seperti sulur tanaman. Warna semakin pudar dari pakaian
dan wajah mereka, seolah mereka juga berubah menjadi bayangan.
"Cukup," ucapku, tapi suaraku nyaris tak keluar. Tanpa memedulikan rasa sakit,
aku mengangkat pedang dan melangkah ke arah hantu itu. "Kau bukan mama
siapa-siapa!" Hantu itu berpaling ke arahku. Wujudnya menerjap, dan aku melihat sang dewi
dalam wujud aslinya. Kau pasti menduga setelah sesaat aku pasti berhenti merasa ngeri pada rupa
menjijikkan dewi Yunani itu, tapi wujud Melinoe sungguh mengejutkan. Tubuh
sebelah kanannya pucat seperti kapur, seolah darahnya telah dikuras habis. Tubuh
sebelah kirinya berwarna hitam legam dan keras seperti kulit mumi. Dia
mengenakan gaun dan syal emas. Matanya berupa lubang hitam kosong, dan saat
aku menatap matanya, aku merasa seolah aku sedang menatap kematianku sendiri.
"Mana hantumu?" desaknya dengan gusar.
"Hantuku ... aku tidak tahu. Aku tidak punya hantu."
Dia menghardik. "Semua orang punya hantu-kematian yang kau sesali. Rasa
bersalah. Rasa takut. Kenapa aku tidak melihat milikmu?"
Thalia dan Nico masih terpikat, menatap sang dewi seolah dia adalah ibu mereka
yang telah lama hilang. Aku mengingat teman-teman yang kusaksikan
kematiannya-Bianca di Angelo, Zo? Nightshade, Lee Fletcher, itu hanya sebagian.
"Aku telah berdamai dengan mereka," ucapku. "Mereka telah gugur. Mereka
bukan hantu. Sekarang lepaskan kedua temanku ini!"
Aku menyabetkan pedangku ke arah Melinoe. Dia segera mundur dan meraung
marah. Kabut buyar dari tubuh Nico dan Thalia. Kedua temanku berdiri sambil
mengerjap-ngerjapkan mata ke arah sang dewi, seolah mereka baru menyadari
betapa mengerikan wujud aslinya.
"Itu apa?" tanya Thalia. "Di mana-"
"Itu hanya tipuan," ucap Nico. "Dia menipu kita."
"Kalian terlambat, Demigod," ucap Melinoe. Sehelai mahkota lepas dari kelopak
anyelir, menyisakan sehelai mahkota terakhir. "Perjanjian telah diucapkan."
"Perjanjian apa?" desakku
Melinoe mendesis, dan aku menyadari itulah caranya tertawa. "Banyak sekali
hantu, demigod mudaku. Mereka tak sabar untuk dilepaskan. Saat Kronos
menguasai dunia, aku akan mendapat kebebasan untuk berjalan di antara manusia,
baik siang maupun malam hari, menebarkan teror yang layak mereka dapatkan."
"Mana pedang Hades?" tuntutku. "Mana Ethan?"
"Dekat." Melinoe meyakinkanku. "Aku tak akan menghentikanmu. Aku tak perlu
melakukannya. Tak lama lagi, Percy Jackson, kau akan punya begitu banyak hantu.
Dan, kau akan mengingatku."
Thalia menarik anak panah dan membidikkannya ke arah sang dewi. "Jika kau
membuka jalan ke dunia, kau yakin Kronos akan memberimu hadiah" Dia akan
mencampakkanmu ke dalam Tartarus bersama dengan pembantu Hades yang lain."
Melinoe memamerkan giginya. "Ibumu benar, Thalia. Kau gadis pemarah. Kau
cuma bisa melarikan diri. Tak ada yang bisa diharapkan darimu."
Anak panah itu melesat, tapi saat menyentuh Melinoe, sang dewi melesap ke
dalam kabut, hanya menyisakan desis tawanya. Anak panah Thalia menghantam
batu dan patah tanpa memakan korban.
"Hantu tolol," gumam Thalia.
Aku bisa melihat gadis itu begitu terguncang. Ada lingkaran merah di sekeliling
matanya. Telapak tangannya gemetar. Nico sama tercengangnya, seolah seseorang
baru saja menampar wajahnya.
"Si pencuri ..." Nico membuka mulut. "Mungkin ada di dalam gua. Kita harus
menghentikannya sebelum-"
Bersama dengan itu, helai terakhir mahkota terlepas dari kelopaknya. Bunga itu
berubah hitam dan layu. "Terlambat," ucapku.
Tawa seorang pria menggema di seluruh penjuru gunung.
"Perkataanmu benar." Suara itu menggelegar. Tampak dua pria berdiri di mulut
gua-seorang pemuda dengan penutup mata dan pria setinggi tiga meter setengah
dengan seragam penjara compang-camping. Aku mengenali pemuda itu: Ethan
Nakamura, putra Nemesis. Dia memegang pedang yang belum jadi itu-pedang
bermata ganda dari logam Stygian dengan desain kerangka terukir di bagian
peraknya. Pedang itu belum bergagang, tapi di dasar bilah terdapat sebuah kunci
emas, persis seperti yang kulihat dalam ciptaan Persephone.
Pria raksasa di sebelahnya memiliki mata yang sepenuhnya perak. Wajahnya
dipenuhi cabang tak beraturan dan rambut kelabunya mencuat ke segala arah. Dia
terlihat kurus dan lesu di balik seragam penjaranya yang koyak, seolah dia baru
saja menghabiskan beberapa ribu tahun terakhir terjebak di dasar sebuah lubang.
Meskipun terlihat sangat lemah, dia juga tampak sangat mengerikan. Dia
mengulurkan tangannya dan sebuah lembing raksasa mewujud. Aku teringat
perkataan Thalia tentang Iapetus: Namanya berarti 'Sang Penikam' sebab itulah
yang suka dilakukannya terhadap semua musuhnya.
Titan itu tersenyum sadis. "Dan, sekarang aku akan menghancurkan kalian."
"Tuan!" potong Ethan. Dia mengenakan pakaian hijau miiter ditambah ransel di
punggungnya. Penutup mata cekung, wajahnya belepotan abu dan keringat. "Kita
sudah memegang pedangnya. Kita harus-"
"Ya, ya," hardik si Titan. "Kerjamu sangat bagus, Nawaka."
"Namaku Nakamura, Tuan."
"Terserahlah. Aku yakin saudaraku Kronos akan memberimu hadiah. Tapi, kita
harus membunuh mereka terlebih dahulu"
"Tuanku." Ethan bersikukuh. "Anda belum memiliki kekuatan penuh. Kita harus
segera naik dan memanggil saudara Anda dari dunia atas. Perintah kita sekarang
adalah kabur." Sang Titan berpaling padanya. "KABUR" Kau bilang KABUR?"
Permukaan tanah berguncang. Ethan jatuh terduduk dan merangkak mundur.
Pedang Hades terjatuh ke bebatuan. "T-tuan, kumohon-"
"IAPETUS TIDAK PERNAH KABUR! Aku telah menunggu tiga miliar tahun
untuk dikeluarkan dari lubang itu. Aku ingin membalas dendam, dan aku akan
memulainya dengan membunuh kroco-kroco ini!"
Dia menodongkan lembingnya ke arahku dan menyerang.
Jika dia berkekuatan penuh, aku yakin dia akan berhasl menikam tembus tubuhku.
Meski lemah dan baru keluar dari dalam lubang, pria itu sungguh gesit. Dia
bergerak seperti tornado, mengayunkan senjatanya dengan sangat lincah hingga
aku nyaris tak sempat menunduk sebelum lembingnya menembus batu di tempatku
berdiri. Aku nyaris tak sanggup mengangkat pedangku karena pening. Iapetus mencabut
lembingnya dari tanah berbatu, tapi saat dia berbalik menghadapiku, Thalia
memanah sisi tubuh raksasa itu, mulai dari bahu hingga lututnya. Iapetus meraung
dan berbalik menghadapi gadis itu, kini jauh lebih marah karena terluka. Ethan
Nakamura mencoba menghunus pedangnya sendiri, tapi Nico memekik,
"Sepertinya tidak!"
Permukaan tanah di depan Ethan meledak. Tiga kerangka berbaju perang
memanjat keluar dan melawannya, mendesaknya kembali. Pedang Hades masih
tergeletak di atas bebatuan. Seandainya aku bisa mencapainya ....
Iapetus menyabetkan lebingnya dan Thalia melompat mundur. Dia menjatuhkan
busur untuk mencabut belatinya, tapi dia tak akan bertahan lama dalam
pertarungan jarak pendek.
Nico membiarkan Ethan ditangani oleh para kerangka. Kemudian, dia menyerang
Iapetus. Aku mendahuluinya. Aku merasakan bahuku akan meledak, tapi aku
melontarkan diriku ke arah sang Titan sambil membacokkan Reptide, berusaha
melukai kaki bawahnya. "AHHH!" Darah emas menyembur dari lukanya. Iapetus berputar dan batang lembingnya
membentur tubuhku, membuatku terlempar.
Tubuhku menghantam bebatuan, tepat di sebelah Sungai Lethe.
"KAU MATI LEBIH DULU!" raung Iapetus sambil terpincang-pincang
menghampiriku. Thalia mencoba mendapat perhatiannya dengan melecutkan
cemeti listrik dari belati, tapi gadis itu tak ubahnya seekor nyamuk bagi si
Titan. Nico menusukkan pedangnya, tapi Iapetus melemparkan Nico ke samping tanpa
perlu melihatnya. "Aku akan membunuh kalian semua! Lalu, aku akan membuang
jiwamu ke dalam kegelapan abadi Tartarus!"
Ada begitu banyak kunang-kunang di mataku. Aku nyaris lumpuh. Beberapa
sentimeter lagi maka aku akan terjerembab ke dalam sungai.
Sungai itu. Aku menelan ludah, berharap pita suaraku masih berfungsi. "Kau-kau bahkan
lebih jelek dari putramu." Aku memanas-manasi sang Titan. "Aku bisa melihat
dari mana Atlas mewarisi kebodohannya."
Iapetus menggeram. Dia terhuyung ke depan, mengangkat lembingnya.
Aku tak tahu apakah aku masih cukup kuat, tapi aku harus mencobanya. Iapetus
menghujamkan lembing menembus tanah di sisiku. Aku meraih ke atas dan
merenggut kerah bajunya, dengan keyakinan bahwa dia terluka dan
keseimbangannya terganggu. Dia mencoba memperbaiki kuda-kudanya, tapi aku
menariknya ke depan dengan seluruh bobot tubuhku. Dia tersandung dan jatuh,
menggamit lenganku dengan panik dan kami berdua tercebur ke dalam Sungai
Lethe. BYURRR! Aku terbenam dalam air hitam.
Aku memohon kepada Poseidon supaya perlindunganku berfungsi, dan saat aku
tenggelam ke dasar, aku menyadari bahwa tubuhku masih kering. Aku masih ingat
namaku sendiri. Dan aku masih meremas kerah baju sang Titan.
Arus seharusnya membuat Iapetus terlepas dari tanganku, tapi entah mengapa
sungai membelah di sekitarku, seolah enggan mengusik kami.
Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku memanjat keluar dari air, menyeret
Iapetus dengan tanganku yang tidak terluka. Kami berdua terkapar di bantaran sungai-
tubuhku kering sepenuhnya, tapi sang Titan basah kuyup. Mata peraknya sebesar
bulan. Thalia dan Nico berdiri di atasku sambil memandang takjub. Di dekat gua, Ethan
Nakamura baru saja membelah kerangka yang terakhir. Dia berbalik dan terpana
saat menyadari sekutu Titannya terkapar di tanah.
"Tu-Tuanku?" panggilnya.
Iapetus duduk dan memandangnya. Kemudian, dia memandangku sambil
tersenyum. "Halo," sapanya. "Siapa aku?"
"Kau temanku," semburku. "Namamu ... Bob."
Hal itu tampak membuatnya sangat senang. "Aku temanmu, Bob!"
Jelas sudah, Ethan menyadari rencananya berantakan. Dia melirik pedang Hades
yang tergeletak di tanah, tapi sebelum dia sempat mengulurkan tangannya, panah
perak berdesing dan menancap tak jauh dari kakinya.
"Tidak bisa, Nak." Thalia mengancamnya. "Satu langkah lagi dan aku akan
memaku kakimu ke batu."
Ethan berlari-langsung ke dalam gua Melinoe. Thalia membidikkan panah ke
punggungnya, tapi aku berkata, "Jangan. Biarkan dia pergi."
Dia memberengut, tapi bersedia menurunkan busurnya.
Aku tak yakin kenapa aku ingin membiarkan Ethan hidup. Mungkin karena aku
merasa sudah terlalu banyak pertarungan yang kami alami hari ini, dan sebenarnya
aku juga merasa kasihan pada anak itu. Dia pasti mendapatkan kesulitan besar
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat dia melapor ke Kronos. Nico memungut pedang Hades dengan takzim. "Kita berhasil. Kita sungguh
berhasil mendapatkannya."
"Sungguh?" tanya Iapetus. "Aku juga membantu?"
Aku berhasil menyunggingkan senyum lemah. "Ya, Bob. Aksimu hebat."
Kami mendapat tumpangan kilat untuk kembali ke istana Hades. Nico
mengirimkan berita terlebih dahulu, dengan bantuan hantu yang dipanggilnya dari
bawah tanah. Beberapa menit kemudian, Tiga Fury sendiri yang datang untuk
mengangkut kami. Mereka enggan menyeret Bob sang Titan, tapi aku tak tega
meninggalkannya, terutama setelah dia menyadari ada luka di bahuku, lalu dia
berkata, "Owie," dan dia menyembuhkan lukaku dengan sentuhan.
Selanjutnya, setelah kami tiba di ruang singgasana Hades, aku merasa kuat. Raja
kematian duduk di singgasana tulangnya, memandang kami dengan muka keruh
dan mengelus janggutnya seolah sedang mempertimbangkan cara terkeji untuk
menyiksa kami. Persephone duduk di sebelahnya, tak mengucapkan sepatah kata
pun, saat Nico menjelaskan petualangan kami.
Sebelum mengembalikan pedang itu aku bersikeras agar Hades mengambil sumpah
untuk tidak menggunakan pedang itu melawan dewa-dewi lain. Matanya membara
seolah bernafsu untuk membakarku habis, tapi akhirnya dia mengucapkan
sumpahnya dengan menggertakkan gigi.
Nico meletakkan pedang itu di kaki ayahnya dan membungkuk, menunggu
reaksinya. Hades menatap istrinya. "Kau melanggar perintahku."
Aku tak yakin apa yang dibicarakannya, tapi Persephone tidak bereaksi, walaupun
Hades terus menatapnya dengan bengis.
Hades berpaling ke arah Nico. Tatapan matanya sedikit melunak, selunak batu,
alih-alih baja. "Kalian tak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun."
"Ya, Tuanku," jawab Nico.
Sang dewa menatapku tajam. "Dan, jika temanmu tidak mampu mengendalikan
lidahnya, aku akan memotongnya."
"Terima kasih kembali," ucapku.
Hades menatap pedang itu. Matanya penuh kemarahan dan sesuatu yang lain-mirip
rasa lapar. Dia menjentikkan jarinya. Para Fury mengepakkan sayap dan turun dari
bagian atas singgahsana. "Kembalikan pedang itu ke bengkel tempa." Hades memberi tahu mereka.
"Tunggu di saa hingga pedang itu selesai, lalu kembalikan padaku."
Para Fury terbang berputar di udara sambil membawa senjata itu, dan aku
bertanya-tanya seberapa cepat aku akan menyesali peristiwa ini. Ada banyak cara
untuk mengakali sumpah, dan aku membayangkan Hades pasti akan
melakukannya. "Anda sangat bijak, Tuanku," ucap Persephone.
"Jika aku memang bijak," raungnya, "aku akan menguncimu di kamar. Sekali lagi
kau melanggar perintahku-"
Dia tak menyelesaikan kalimat ancamannya. Kemudian, Hades menjentikkan jari
dan menghilang ke dalam kelam.
Persephone tampak jauh lebih pucat daripada biasanya. Sesaat dia tampak
merapikan gaunnya, lalu berpaling memandang kami. "Aksi kalian luar biasa,
Demigod." Dia melambaikan tanganya dan tiga tangkai mawar muncul di kaki
kami. "Injaklah, dan bunga itu akan membawa kalian ke dunia makhluk hidup.
Kalian mendapatkan ucapan terima kasih dari Tuanku."
"Aku bisa melihatnya," gumam Thalia.
"Pembuatan pedang itu adalah gagasanmu." Aku menyadari. "Itulah alasan kenapa
Hades tidak ada di sana saat kau menyampaikan misi tersebut. Hades tidak tahu
pedang itu hilang! Dia bahkan tidak tahu benda itu ada."
"Omong kosong," bantah sang dewi.
Nico mengepalkan tinjunya. "Percy benar. Kau ingin Hades membuat sebilah
pedang. Dia menolak permintaanmu. Dia tahu pedang itu terlalu berbahaya. Dewa
yang lain tak akan memercayainya lagi. Pedang itu akan merusak keseimbangan
kekuasaan." "Lalu, pedang itu dicuri," ucap Thalia. "Kau menutup Dunia Bawah, bukan Hades.
Kau tak bisa memberi tahu Hades kejadian yang sebenarnya. Dan, kau
membutuhkan kami untuk menemukan pedang itu sebelum Hades tahu sendiri.
Kau memanfaatkan kami."
Persephone membasahi bibirnya. "Yang paling penting sekarang Hades telah
menerima pedang itu. Dia akan menyelesaikannya, dan suamiku akan menjadi
sama kuatnya dengan Zeus atau Poseidon. Istana kami akan terlindungi dari
Kronos ... atau siapa pun yang mengancam kami."
"Dan, kami turut bertanggung jawab atas hal ini," ucapku penuh penyesalan.
"Kalian sangat membatu." Persephone mengakui. "Mungkin sebuah hadiah untuk
membungkam-" "Enyah kau," ucapku, "sebelum aku membawamu ke Sungai Lethe dan
menenggelamkanmu. Bob akan membantu. Bukan begitu, Bob?"
"Bob akan membantumu!" sahut Iapetus riang.
Mata Persephone melebar, lalu dia pun lenyap meninggalkan hujan bunga daisy.
Nico, Thalia, dan aku saling berpamitan di sebuah balkon yang menghadap padang
Ashpodel. Bob sang Titan duduk di dalam, membangun rumah-rumahan dari
tulang dan terbahak-bahak setiap kali semuanya runtuh.
"Aku akan mengawasinya," ucap Nico. "Kini dia tidak berbahaya. Mungkin ... aku
tidak tahu. Mungkin kita bisa melatihnya untuk melakukan hal baik."
"Kau yakin kau ingin tinggal di sini?" Aku bertanya. "Persephone akan membuat
hidupmu merana." "Aku terpaksa." Dia bersikeras. "Aku harus tetap dekat dengan ayahku. Dia butuh
penasihat yang lebih baik."
Aku tidak bisa membantah hal itu. "Well, jika kau butuh bantuan apa pun-"
"Aku akan memanggil kalian." Dia berjanji. Dia berjabat tangan dengan Thalia dan
aku. Dia berbalik untuk pergi, tapi dia melihatku sekali lagi. "Percy, kau belum
lupa tawaranku?" Entakan rasa ngeri merambati merambati tulang punggungku. "Aku masih
mempertimbangkannya."
Nico mengangguk. "Yah, kapan pun kau siap."
Setelah dia pergi, Thalia bertanya, "Tawaran apa?"
"Sesuatu yang dikatakannya akhir musim panas lalu," ucapku. "Sebuah cara yang
mungkin bisa mengalahkan Kronos. Itu berbahaya. Dan, aku sudah cukup banyak
mengalami peristiwa berbahaya dalam satu hari ini."
Thalia mengangguk. "Kalau begitu, kalian masih mau makan malam?"
Aku tak dapat menahan senyum. "Setelah semua yang kita alami, kau masih
lapar?" "Hey," sahutnya, "makhluk abadi pun perlu makan. Aku mempertimbangkan
burger keju di McHale's."
Kemudian, bersama-sama kami pun menginjak mawar yang akan memulangkan
kami ke dunia atas. Bab 5 DUA BELAS DEWA OLYMPIA +2
Daftar Nama Dewa-Dewi Olympia
Dewa/Dewi - Wilayah Kekuasaan - Binatang/Simbol
Zeus - langit - elang, petir
Hera - Keibuan, pernikahan - sapi (hewan keibuan), singa, merak
Poseidon - laut, gempa bumi - kuda, trisula
Demeter - pertanian - bunga poppy merah, gandum
Hephaestus - pandai besi - landasan tempa, burung puyuh-melompat canggung
seperti dirinya Athena - kebijaksaan, peperangan, kriya - burung hantu
Aphrodite - cinta - burung dara, ikat pinggang ajaib-yang membuat pria terpikat
padanya Ares - perang - babi hutan, lembing berdarah
Apollo - musik, obat-obatan, panah, bujangan - tikus, lira
Artemis - gadis perawan, perburuan - beruang betina
Hermes - pengelana, pedagang, pencuri, pembawa pesan - tongkat caduceus, helm
dan sandal bersayap Dionysus - minuman anggur - harimau, buah anggur
Hestia - rumah dan perapian - bangau-menyerahkan kursi dewan untuk Dionysus
Hades - Dunia Bawah - helm kegelapan
Bab 6 BONUS Tongkat Serapis. Petualangan Annabeth Chase & Sadie Kane
HINGGA dia melihat si monster berkepala dua, Annabeth tak menduga harinya
bisa menjadi lebih buruk.
Sedari pagi dia telah mengerjakan tugas tambahan dari sekolah. (Membolos secara
rutin demi menyelamatkan dunia dari ancaman monster dan dewa-dewi Yunani
yang culas memorak-porandakan nilai sekolahnya.) Lalu dia menolak ajakan
nonton pacarnya, Percy dan teman-temannya supaya dia bisa mengikuti tes masuk
program magang musim panas di firma arsitektur lokal. Celakanya, otak Annabeth
tidak bisa berpikir jernih. Dia yakin wawancaranya tidak berjalan mulus.
Akhirnya, sekitar pukul empat sore, dia melangkah gontai menembus Washington
Square Park menuju stasiun subway dan menginjak seonggok kotoran sapi yang
masih hangat. Dia menatap nyalang ke angkasa. "Hera!"
Para pejalan kaki yang lain menatapnya heran, tapi Annabeth tidak peduli. Dia
sudah muak dengan lelucon konyol para dewi. Annabeth sudah menyelesaikan
begitu banyak misi untuk Hera, tapi sang Ratu Surga masih tega memberinya
hadiah dari binatang keramatnya tepat di jalan yang hendak dipijak Annabeth.
Sang dewi pasti telah melepaskan sekawanan sapi tak kasat mata untuk berpatroli
di segala penjuru Manhattan.
Saat Annabeth tiba di stasiun West Fourth Street, dia merasa sangat letih dan
jengkel. Dia ingin secepatnya menumpang kereta F yang mengarah ke tempat
tinggal Percy. Sudah terlambat untuk nonton film, tapi mungkin bisa makan malam
bareng atau semacamnya. Lalu dia melihat monster itu.
Annabeth sudah sering melihat makhluk super aneh sebelumnya, tapi monster itu
jelas masuk dalam daftar "Apa yang Ada Dalam Benak Dewa-Dewi?" Monster itu
tampak seperti seekor singa dan seekor serigala yang digencet jadi satu, dengan
bagian pantat dijejalkan lebih dulu ke sebuah cangkang kelomang.
Cangkangnya sendiri berbentuk spiral, kasar, dan berwarna cokelat, mirip contong
es krim-panjangnya sekitar dua meter dan ada garis patahan bergigi di bagian
tengahnya, seolah cangkang itu pernah terbelah lalu disatukan lagi dalam lem.
Dari lubang cangkang atas bagian kiri mencuat kaki depan dan kepala serigala kelabu,
dan di bagian kanannya, singa berambut keemasan.
Kedua binatang itu tampak kesal karena harus berbagi sebuah cangkang. Mereka
menyeretnya menyusuri peron. Bagian belakang cangkang bergoyang ke kanan
dan kiri saat mereka menyeretnya ke arah yang berbeda. Mereka menggeram satu
sama lain dengan kesal. Lalu keduanya mematung dan mendengus nyaring.
Para penumpang berlalu-lalang dengan cepat. Sebagian besar berbelok
menghindari si monster dan mengacuhkannya. Yang lain Cuma memberengut dan
tampak jengkel. Annabeth sering melihat pengaruh Kabut sebelumnya, tapi dia selalu tercengang
pada kemampuan tirai ajaib itu memutar balik penglihatan manusia biasa. Kabut
mampu membuat monster yang paling ganas pun terlihat seperti sesuatu yang bisa
dijelaskan-anjing liar, atau mungkin gelandangan yang meringkuk di dalam
kantong tidur. Lubang hidung monster itu mengembang. Sebelum Annabeth sempat memutuskan
tindakan apa yang harus dilakukannya, dua kepala itu menoleh dan menatap liar ke
arahnya. Annabeth mencari-cari pisaunya. Lalu dia teringat bahwa dia tidak sedang
membawa pisau. Saat itu, satu-satunya senjata yang paling mematikan adalah tas
ranselnya, yang penuh dengan buku-buku arsitektur berat dari perpustakaan umum.
Annabeth mengatur napas. Kini monster itu berdiri sekitar sepuluh meter darinya
Berduel dengan seekor singa-serigala-kelomang di tengah keramaian subway
bukanlah pilihan pertamanya, tapi jika harus, dia akan melakukannya. Sebab dia
adalah putri Athena. Annabeth memelototi monster itu, seolah ingin memberitahunya bahwa dia tidak
main-main. "Majulah, kau, Kelomang," ancamnya. "Kuharap kau mampu menahan rasa sakit."
Kepala singa dan serigala memamerkan taring-taringnya. Lalu permukaan lantai
bergemuruh. Udara menyembur dari dalam terowongan saat sebuah kereta tiba.
Monster itu menggeram ke arah Annabeth. Dia bersumpah mata makhluk itu
memancarkan penyesalan, seolah membatin, aku bernafsu sekali untuk
mengganyangmu, tapi aku masih punya urusan di tempat lain.
Lalu si Kelomang berbalik dan pergi, menyeret cangkang raksasaya di
belakangnya. Ia lenyap setelah menaiki tangga, mengarah ke kereta A.
Sesaat, Annabeth terlalu terkejut hingga tak mampu bergerak. Jarang sekali dia
bertemu sosok monster yang mengacuhkan demigod seperti itu.
Setiap ada kesempatan, segala macam monster selalu menyerang.
Jika kelomang berkepala dua itu memiliki urusan yang lebih penting daripada
membunuhnya, Annabth merasa perlu untuk mengetahui hal itu. Dia tak rela
membiarkan si monster pergi begitu saja. Dia tak aka membiarkan si monster
melanjutkan rencana kejinya dan menaiki alat transportasi umum dengan gratis.
Dengan sendu Annabeth menatap kereta F yang akan membawanya ke tempat
tinggal Percy. Lalu dia berlari menaiki tangga untuk mengejar si monster.
Annabeth melompat dan mendarat di dalam kereta tepat sebelum pintu tertutup.
Kereta bergerak meninggalkan peron dan masuk ke dalam terowongan yang gelap.
Neon di langit-langit berkedip-kedip. Para penumpang bergoyang mengikuti irama
kereta. Setiap kursi terlah terisi. Selusin penumpang lain berdiri sambil
mengayunayun dan berpegangan pada selusur tiang besi.
Annabeth tak melihat si Kelomang hingga seseorang di depan memaki, "Hati-hati
kalau jalan, dasar sinting!"
Si serigala-singa-kelomang merangsek ke depan sambil menggeram buas ke arah
semua orang, tapi mereka bertingkah layaknya penumpang-subway-New-Yorkkesal
biasa. Mungkin yang mereka lihat hanyalah seorang pria gelandangan yang
mabuk. Annabeth membuntutinya. Saat si Kelomang mengungkit pintu yang menuju ke gerbong lain dan
memasukinya, Annabeth memperhatikan bahwa cangkangnya bersinar redup.
Apakah si monster bersinar seperti itu sebelumnya" Di sekitar tubuh monster itu
tampak simbol Yunani, simbol astrologi, dan aksara gambar. Hieroglif Mesir.
Rasa dingin merambat di antara tulang belikat Annabeth. Dia ingat sesuatu yang
diceritakan Percy beberapa minggu lalu-tentang sebuah pertemuan mustahil yang
dialami Percy. Saat itu Annabetj menduga kekasihnya cuma bercanda.
Tapi kini .... Dia menyeruak maju di tengah kerumunan, terus mengikuti langkah di Kelomang
ke gerbong depan. Kini cangkang makhluk itu jelas kian terang. Saat Annabeth semakin mendekat,
dia mulai merasa mual. Dia merasakan sensasi sentakan hangat di bagia perutnya,
seolah ada kail yang tersangkut di pusarnya, menariknya ke arah si monster.
Annabeth berusaha menenangkan diri. Dia mencurahkan hidupnya untuk
mempelajari berbagai roh Yunani Kuno, hewan buas, dan daimon. Pengetahuan
adalah senjatanya paling utama. Tapi si Kelomang berkepala dua ini-Annabeth
sama sekali tidak tahu asal-usulnya. Naluri alaminya seolah buta sama sekali
Dia berharap dia punya teman untuk bertempur. Dia membawa ponsel, tapi
seandainya ada sinyal di dalam terowongan, siapa yang akan dihubunginya"
Sebagian besar demigod tidak membawa ponsel. Percy berada di bagian lain kota.
Sebagian besar temannya berada di Perkemahan Blasteran di pesisir utara Long
Island. Si Kelomang terus merangsek ke gerbong depan.
Saat Annabeth telah berhadapan dengan si Kelomang di gerbong depan, aura
monster itu terasa begitu kuat hingga para penumpang lain mulai memperhatikan.
Sebagian penumpang tampak tercekik dan membungkuk di atas tempat duduknya,
seolah seseorang baru saja membuka selemari besar roti lapis busuk. Yang lain
langsung pingsan dan ambruk di lantai.
Annabeth merasa sangat mual. Dia ingin mundur tapi sensasi kail di pusarnya
terus menarik-narik, menyeretnya paksa ke arah si monster.
Kereta berderak saat mulai melambat di stasiun Fulton Street. Segera setelah
pintu terbuka, semua penumpang yang masih siuman berebut keluar. Kepala serigala si
Kelomang mencaplok ke arah seorang wanita, merenggut dompetnya saat wanita
malang itu berusaha kabur.
"Hei!" hardik Annabeth.
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Kelomang membiarkan wanita malang itu pergi.
Kedua pasang mata monster itu terpaku pada Annabeth, seolah membatin: Kau
punya permohonan sebelum mati"
Lalu si Kelomang mendongakkan kepala dan mengaum-melolong secara
bersamaan. Empasan suara monster itu bagaikan tusukan paku tajam di kening
Annabeth. Jendela-jendela kereta hancur berkeping-keping. Para penumpang yang
tadinya pingsan terkejut dan kembali sadar. Beberapa berusaha merangkak ke arah
pintu. Sebagian lain merangkak keluar melewati jendela yang pecah.
Melalui pandangan matanya yang kabur, Annabeth melihat monster itu menekuk
kaki depannya yang berlarian, mendekam dan siam menerkam.
Waktu melambat. Annabeth tak menyadari bahwa pintu yang pecah telah kembali
menutup. Kereta yang kini kosong itu meninggalkan stasiun.
Apakah si masinis tidak menyadari bencana yang baru terjadi" Apakah kereta itu
menggunakan pengendali otomatis"
Kini jarak Annabeth hanya tiga meter dari si monster. Dia mengamati detail lain
dari tubuh makhluk itu. Aura merah monster itu tampak kian terang di sepanjang
bekas pecah pada cangkangnya. Aksara Yunani yang berpendar dan hieroglif
Mesir menyembur keluar mirip gas vulkanik dari retakan dasar laut yang dalam.
Kaki depan singa itu dicukur di bagian pergelangannya, ditato setrip-setrip
hitam kecil. Selembar label oranye bertuliskan $99.99 masih menancap di telinga kiri
si serigala. Annabeth meremas tali bahu ranselnya. Dia bersiap untuk melibaskannya ke arah
si monster, yapi dia sadar hal itu tidak mematikan. Alih-alih Annabeth
mengandalkan taktik yang biasa dilakukannya saat menghadapi musuh yang lebih
kuat. Dia mengajaknya ngobrol.
"Kalian terbuat dari dua bagian yang berbeda," sahut Annabeth. "Kalian
seperti ... bagian-bagian patung hidup. Kalian digabungkan menjadi satu?"
Kalimat itu sekadar dugaan belaka, tapi geram si singa meyakinkan Annabeth
bahwa dugaannya jitu. Si serigala menggigit kecil pipi si singa, seolah
menyuruhnya tutup mulut. "Kalian tidak biasa bekerja sama," tebak Annabeth. "Pak Singa, ada kode petunjuk
identitas di kakimu. Kau tadinya sebuah artefak di museum. Mungkinkah kau
berasal dari Musium Seni Metropolitan?"
Singa itu mengaum lantang, lutut Annabeth terasa goyah.
"Sepertinya dugaanku benar. Dan kau, Pak Serigala ... Label arga di telingamu
itu ... tadinya kau barang jualan di toko barang antik?"
Sementara itu, kereta terus menembus terowongan di bawah East River. Angin
dingin menderu menembus jendela yang bolong dan membuat gig-gigi Annabeth
bergemelutuk. Seluruh instingnya mendesak Annabeth untuk segera kabur, tapi persediaannya
seolah lenyap. Aura monster itu kian terang, memenuhi udara dengan simbol kabut
dan cahaya semerah darah.
"Kau ... semakin kuat." Annabeth menyadari sesuatu. "Kau sedang menuju ke
suatu tempat, kan" Dan semakin dekat, kau semakin-"
Dua kepala monster itu kembali meraung bersamaan. Gelombang energi merah
menyapu bagian dalam gerbong. Annabeth berjuang keras mempertahankan
kesadarannya. Si Kelomang melangkah mendekat. Cangkangnya membesar retakan di bagian
tengahnya menyala terang mirip logam cair yang membara
"Tunggu sebentar," erang Annabeth parau. "Aku-aku mengerti sekarang. Kalian
belum selesai dibuat. Kalian masih mencari bagian yang lain. Kepala ketiga?"
Monster itu menghentikan langkahnya. Matanya berkilau waspada, seolah berujar:
Apa kau baru saja baca buku harianku"
Keberanian Annabeth meningkat. Akhirnya dia bisa mengukur kekuatan lawannya.
Dia telah berkali-kali berhadapan dengan makhluk berkepala tiga. Tiga adalah
angka yang umumnya dianut oleh semua makhluk gaib. Jadi, masuk akal juga jika
monster yang ini seharusnya punya satu kepala lain.
Si Kelomang tadinya berbentuk semacam patung, terbagi dalam beberapa
potongan. Lalu sesuatu membangunkannya. Dan monster itu pun berusaha
menyatukan dirinya lagi. Annabeth memutuskan untuk tidak membiarkan hal itu terjadi. Aksara hieroglif
dan Yunani yang melayang di sekitar tubuh monster itu, mirip kabel sekring yang
terbakar. Semua itu memancarkan aura sihir yang secara perlahan meleburkan
struktur sel di dalam tubuh Annabeth, dan hal tersebut jelas terasa salah.
"Kau jelas bukan monster Yunani, 'kan?" terka Annabeth. "Kau berasal dari
Mesir?" Si Kelomang tidak menyukai terkaan itu. Ia memamerkan taringnya dan bersiap
untuk menerkam. "Waduh, jangan dulu," sahut Annabeth. "Kalian belum sepenuhnya kuat, bukan"
Jika kalian menyeragku sekarang, kalian pasti kalah. Lagi pula, kalian tak
memercayai satu sama lain."
Si kepala singa menelengkan kepalanya dan menggeram.
Annabeth berpura-pura tampak terkejut. "Pak Singa! Kok kau berani bicara begitu
soal Pak Serigala?" Si kepala singa berkedip.
Si kepala serigala melirik si kepala singa dan menggeram curiga.
"Dan Pak Serigala!" Annabeth tersedak, "Seharusnya kau tidak berkata kasar
seperti itu kepada temanmu!"
Dua kepala binatang itu saling berhadapan, saling tarik ke arah yang berbeda.
Annabeth sadar dia cuma berhasil menipu mereka beberapa detik. Dia memeras
otaknya, berusaha menentukan jenis makhluk itu dan bagaimana cara
mengalahkannya; tapi makhluk itu sama sekali tidak mirip dengan segala hewan
gaib yang pernah dipelajarinya di Perkemahan Blasteran.
Dia mempertimbangkan untuk berdiri di belakang monster itu, mungkin dia bisa
memecahkan cangkangnya; tapi sebelum mendapat kesempatan, kereta melambat.
Mereka berhenti di stasiun High Street, perhentian pertama di Brooklyn.
Anehnya peron itu tampak kosong, tapi kilatan cahaya di tangga keluar menarik
perhatian Annabeth. Seorang gadis pirang berbaju putih tampak mengayunkan
sebatang tongkat kayu. Dia berusaha menghatam binatang aneh yang melilit
kakunya sambil mengonggong marah. Di bahu ke atas, makhluk itu mirip anjing
Labrador Retriever hitam, bagian tubuh yang seharusnya adalah perut dan kaki
belakang tampak meruncing kasar, mirip ekor berudu yang mengapur dan kaku.
Sesuatu mendadak terlintas di benak Annabeth: Itu bagian yang ketiga.
Gadis pirang itu memukul moncong si anjing. Tongkatnya menyala keemasan, dan
anjing itu terempas ke belakang-langsung masuk ke dalam sebuah jendela yang
bolong hingga menghantam ujung gerbong yang ditumpangi Annabeth.
Gadis pirang itu mengejar buruannya. Dia melompat masuk tepat saat pintu
gerbong tertutup dan kereta meninggalkan stasiun.
Selama beberapa saat mereka semua berdiri mematung di sana-dua gadis melawan
dua monster. Annabeth mencermati gadis pirang yang berdiri di ujung gerbong itu, berusaha
menaksir seberapa berbahaya gadis itu.
Si pendatang baru mengenakan celana linen putih dan blus yang sama, mirip
seragam karate. Sepatu bornya yang berujung baja jelas menyakitkan ketika
digunakan dalam pertarungan. Tas ransel nilon biru tersampir di bahu kirinya,
benda mirip gading melengkung-sebuah bumerang" -tergantung di tali bahu
tasnya. Tapi senjata gadis itu yang paling menggentarkan adalah tongkat kayu
putihnya-panjangnya sekitar satu setengah meter, memiliki ukiran kepala elang,
dan seluruh bagiannya menyala mirip perunggu Langit.
Annabeth menatap mata gadis itu, dan seketika dirinya dilanda deja vu yang
begitu hebat. Si gadis Karate berusia tak lebih dari tiga belas tahun. Matanya biru cerah,
mirip anak Zeus. Rambutnya yang pirang dan panjang dicat ungu bergaris-garis. Dia
sangat mirip dengan putri Athena-siap untuk berduel, gesit, waspada dan tanpa
rasa takut. Annabeth seperti melihat dirinya sendiri empat tahun silam, ketika
dia pertama kali bertemu dengan Percy Jackson.
Lalu si Gadis Karate berbicara dan buyarlah lamunan Annabeth.
"Baiklah." Dia meniup sejumput rambut ungu yang menutupi wajahnya. "Sebab
yang kualami belum cukup edan hari ini."
Logat Inggris, batin Annabeth. Tapi dia tak sempat merenungkan hal itu lebih
lama. Si anjing-berudu dan si Kelomang berdiri tepat di tengah gerbong, berjauhan
sekitar lima meter, saling menatap dengan takjub. Kini mereka berdua telah
mengatasi keterkejutan mereka. Si anjing melolong - lolongan kemenangan, bak
meneriakkan akhirnya aku menemukanmu! Dan si singa-serigala-kelomang
menerjang untuk menyambutnya.
"Hentikan mereka!" pekik Annabeth.
Dia melompat ke atas punggung si Kelomang dan kaki depan makhluk itu pun
ambruk karena kelebihan beban.
Si gadis pirang memekikkan kata asing "Mar!"
Serangkaian hieroglif emas muncul di udara:
Si anjing terhuyung ke belakang, mengeluarkan bunyi seperti mau muntah seolah
ia baru saja menelan sebuah bola biliar.
Annabeth berjuang keras untuk menundukkan si Kelomang, tapi monster itu dua
kali berat tubuhnya. Ia menegakkan kaki-kaki depannya, dan berusaha
menjatuhkan Annabeth. Dua kepalanya menoleh kebelakang sambil berusaha
mencabik wajah Annabeth. Untungnya Annabeth sering menangkap pegasus liar dan memasanginya kekang di
Perkemahan Blasteran. Dia bisa menjaga keseimbangan sambil melorotkan
ranselnya. Dia menghantamkan buku arsitektur seberat sepuluh kilogram itu ke
kepala singa, lalu melingkarkan tali ransel mengelilingi mulut serigala dan
menariknya ke belakang. Sementara itu, kereta keluar dari terowongan dan gerbong pun kembali diterangi
sinar matahari. Kereta berderak-derak saat mendaki wilayah Queens yang kian
menanjak. Udara segar menyeruak melalui jendela yang pecah. Pecahan kaca yang
gemerlapan laksana menari-nari di permukaan kursi.
Dari sudut matanya, Annabeth melihat si anjing hitam telah pulih dari serangan
muntahnya. Ia menerjang ke arah si Gadis Karate yang mengayunkan bumerang
gadingnya dan menghantam di monster dengan sabetan sinar keemasan.
Annabeth berharap dia bisa melontarkan sinar keemasan. Tapi kenyataannya, yang
dimilikinya sekarang cuma sebuah ransel tolol. Dia berusaha sebisanya untuk
menundukkan si Kelomang, tapi monster itu tampak kian lama kian kuat,
sementara aura yang dipancarkannya kian melemahkan Annabeth. Kepala
Annabeth seperti dijejali kapas gulung. Perutnya bak kaus basah yang dipelintir.
Annabeth tak lagi sadar waktu karena terlalu sibuk bergulat dengan makhluk itu.
Tapi dia sadar dia tak boleh membiarkan makhluk itu bergabung dengan si kepala
anjing. Jika monster tersebut sampai berkepala tiga, mungkin ia takkan bisa
dihentikan lagi. Sekali lagi anjing itu menerjang s Gadis Karate. Kali ini si gadis terjengkang.
Annabeth yang konsentrasinya pecah sesaat, kehilangan pegangannya pada si
Kelomag, dan monster itu pun berhasil menjatuhkannya-hasilnya kepala Annabeth
terbentur pinggiran kursi.
Telinga Annabeth berdenging ngilu saat makhluk itu meraungkan kemenangan.
Gelombang energi marah dan panas menyapu segala penjuru gerbong. Kereta
miring ke satu sisi, dan Annabeth merasa tubuhnya melayang.
Setan Mabok 1 Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Gelang Kemala 4
menyembunyikan kuku belahnya di dalam kaki palsu. Carilah satir di sekolahmu
dan minta bantuannya. Kau harus segera ke Perkemahan Blasteran secepat
mungkin. Tapi, sekali lagi, jangan punya keinginan menjadi seorang demigod.
Jangan coba hal ini di rumah.
Bab 4 Percy Jackson dan Pedang Hades
NATAL di Dunia Bawah BUKANLAH keinginanku.
Jika aku tahu apa yang akan terjadi, aku akan beralasan sedang sakit. Aku bisa
menghindari sepasukan iblis, pertarungan dengan sesosok Titan, dan tipuan yang
hampir menjebloskan aku dan teman-temanku ke dalam kegelapan abadi.
Namun tidak, aku harus mengikuti ujian bahasa Inggris konyol itu. Jadi, pada
hari terakhir semester musim dingin, aku berada di Goode High School, duduk di aula
dengan siswa baru lainnya sambil berusaha menyelesaikan esai tentang A Tale of
Two Cities, yang novelnya pura-pura saja sudah kubaca, lalu sekonyong-konyong
Mrs. O'leary melompat di atas panggung, menyalak tak keruan.
Mrs. O'leary adalah anjing neraka peliharaanku. Ia adalah monster hitam berbulu
seukuran Hummer, dengan taring setajam silet, cakar setajam pisau baja, dan mata
yang menyala merah. Ia anjing yang manis, dan biasanya tinggal di Perkemahan
Blasteran, pekemahan untuk melatih demigod. Aku sedikit terkejut melihatnya di
atas panggung, menginjak-injak pohon Natal, peri Santa, dan segala hiasan musim
dingin. Semua siswa menengadah. Aku yakin anak-anak yang lain akan panik dan berlari
ke pintu keluar, tapi mereka Cuma tertawa terkekeh-kekeh. Beberapa cewek
menyahut, "Awww, lucu sekali!"
Guru bahasa Inggris kami, Dr. Boring (aku tidak bercanda; itu memang nama
aslinya), membetulkan letak kacamatanya dan mengerutkan alis.
(Boring bisa diartikan bosan secara harfiah)
"Baiklah," ucapnya. "Anjing pudel siapa itu?"
Aku menarik napas lega. Terima kasih Tuhan atas adanya Kabut-tirai sihir yang
menghalagi manusia untuk melihat hal yang sebenarnya. Sebelumnya aku sudah
sering menyaksikan Kabut membelokkan kenyataan, tapi hingga Mrs. O'Leary
dianggap anjing pudel" Sungguh mengesankan.
"Um, anjing pudelku, Pak," sahutku. "Maaf! Ia pasti mengikutiku."
Seseorang di belakangku mulai menyanyikan lagu Mary had a Little Lamb. Lebih
banyak anak yang tertawa.
"Cukup!" hardik Dr. Boring. "Percy Jackson, ini adalah ujian terakhir. Tidak
boleh ada anjing pudel yang-"
"GUUK!" gonggongan Mrs. O'Leary menggetarkan aula. Ia menggoyangkan ekor,
merobohkan beberapa peri lain. Kemudian, ia menunduk dengan menekuk
Kaki depannya dan menatapku seolah ia ingin agar aku mengikutinya.
"Aku akan mengeluarkannya dari sini, Dr. Boring." Aku berjanji. "Lagi pula aku
sudah selesai." Aku menutup lembar ujianku dan berlari ke arah panggung. Mrs. O'Leary berlari
ke arah pintu keluar dan aku mengikutinya, anak-anak yang lain masih tertawatawa
dan meneriakiku, "Sampai ketemu lagi, Bocah Pudel!"
Mrs. O'Leary berlari ke East Eight-first Street menuju sungai.
"Jangan cepat-cepat!" teriakku. "Mau ke mana kau?"
Para pejala kaki memadangku dengan aneh, tapi ini New York. Jadi, seorang bocah
yang mengejar seekor pudel mungkin bukan hal teraneh yang pernah mereka
saksikan. Mrs. O'Leary berada jauh di depanku. Ia beberapa kali menoleh seolah untuk
berkata Ayo cepat, Siput! Ia berlari tiga blok ke utara, langsung menuju Carl
Schurz Park. Saat aku baru berhasil mengejarnya, ia melompati pagar besi dan
menghilang di balik semak yang dipangkas membentuk dinding dan dipenuhi salju.
"Aduh, jangan begitu," protesku. Aku tak sempat mengambil jaketku di sekolah.
Aku sudah kedinginan, tapi aku tetap memanjat pagar dan melompat ke dalam
semak beku itu. Di sisi lain ada taman terbuka-taman berumput seluas sekitar dua ribu meter
persegi dan dikelilingi pepohonan gundul. Mrs. O'Leary mengendus-endus daerah
sekelilingnya, dan dengan semangat menggoyang-goyangkan ekornya. Aku tak
melihat hal yang luar biasa. Di depanku, East River yang berwarna gelap mengalir
pelan. Uap putih menguar dari puncak atap rumah di Queens. Di belakangku,
Upper East Side tampak dingin dan hening di kejauhan.
Aku tak yakin kenapa, tapi bulu-bulu di tengkukku mulai berdiri. Aku
mengeluarkan penaku dan melepas penutupnya. Pena itu langsung memanjang
menjadi pedang perunggu, Reptide, bilah tajamnya bersinar lemah terpapar cahaya
musim dingin. Mrs. O'Leary mengangkat kepalanya. Hidungnya bergetar.
"Ada apa, Sayang?" bisikku.
Semak-semak bergemerisik dan seekor rusa emas menampakkan dirinya. Saat aku
bilang emas, maksudku bukan warna kekuningan. Hewan itu punya bulu metalik
dan tanduk yang tampak seperti emas 24 karat. Rusa itu memancarkan cahaya
keemasan, membuatnya hampir terlalu terang jika kita memandanginya terlalu
lama. Mungkin ia adalah makhluk tercantik yang pernah aku lihat.
Mrs. O'Leary menjilat bibirnya seolah ia sedang membayangkan burger rusa!
Kemudian, semak bergemerisik lagi dan sosok berjaket parka dan bertudung
melompat ke tempat terbuka, anak panah terpasang di busurnya.
Aku mengangkat pedangku. Gadis itu membidik ke arahku-lalu mematung.
"Percy?" Dia membuka tudung perak jaketnya. Rambut hitamnya jauh lebih
panjang dari yang kuingat, tapi aku kenal mata biru cerah itu dan juga tiara
perak yang menandakan bahwa dia adalah letnan pertama Artemis.
"Thalia!" ucapku. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Mengikuti rusa emas itu," jawabnya, seolah masih perlu saja. "Ia adalah
binatang suci Artemis. Aku menduga ia adalah semacam pertanda untukku. Dan um ...." Dia
mengangguk gugup pada Mrs. O'Leary. "Kau mau memberitahuku apa yang
dilakukan makhluk itu di sini?"
"Ia peliharaanku-Mrs. O'Leary, jangan!"
Mrs. O'Leary mengendus rusa itu dan itu jelas tidak menghormati wilayah pribadi
sang rusa. Rusa itu menanduk hidung anjingku. Tak lama kemudian, mereka
berdua saling berusaha menjauhkan satu sama lain dari taman terbuka.
"Percy ...." Thalia mengerutkan dahi. "Ini pasti bukan suatu kebetulan. Kau dan
aku berakhir di tempat dan waktu yang sama?"
Dia benar. Demigod tak pernah mengalami suatu kebetulan. Thalia adalah teman
baikku, tapi aku tak bertemu dengannya lebih dari satu tahun, dan mendadak kami
bertemu di sini. "Dewa-dewa mempermainkan kita," tebakku.
"Mungkin saja."
"Tapi, aku senang bertemu denganmu."
Dia mengulas senyum pahit untukku. "Ya. Jika kita bisa keluar dari masalah ini
hidup-hidup, aku akan mentraktirmu burger keju. Bagaimana kabar Annabeth?"
Sebelum aku menjawab, segumpal awan lewat menutupi matahari. Rusa emas itu
berpendar lemah dan lenyap. Kini Mrs. O'Leary menyalak-nyalak pada setumpuk
daun kering. Aku meremas gagang pedangku lebih erat. Thalia menarik busurnya. Secara
naluriah kami saling memunggungi. Seperak kegelapan membayang di atas
rerumputan dan seorang anak laki-laki muncul dan teruling dari bayangan itu,
seolah dia baru saja dilemparkan ke atas rerumputan.
"Aduh," gumamnya. Dia mengibas-ngibaskan jaket penerbangannya. Dia berumur
sekitar dua belas tahun, dengan rambut hitam, jin, kaus hitam, dan cincin
tengkorak perak di tangan kanannya. Sebilah pedang tersampir di pinggangnya.
"Nico?" ucapku.
Mata Thalia melebar. "Adik laki-laki Bianca?"
Nico merengut. Aku ragu dia suka disebut adik Bianca. Kakak perempuannya,
Pemburu Artemis, meninggal beberapa tahun lalu, dan itu masih membuatnya
sedih. "Kenapa kalian membawaku ke sini?" gerutunya. "Sesaat lalu, aku masih di
pemakaman New Orleans. Detik berikutnya-apakah ini New York" Demi Hades,
apa yang kulakukan di New York?"
"Kami tidak membawamu ke sini." Aku meyakinkannya. "Kami juga-" Rasa
dingin merambati tulang punggungku. "Kita dikumpulkan bersama. Kita bertiga."
"Apa maksudmu?" kejar Nico
"Anak dari Tiga Dewa Besar," ucapku. "Zeus, Poseidon, Hades."
Thalia menarik napas cepat. "Ramalan itu. Kau tidak berpikir Kronos-"
Thalia tidak meneruskan ucapannya. Kami semua tahu tentang ramalan besar itu:
Sebuah perang akan terjadi, di antara kaum Titan dan dewa, keturunan dari Tiga
Dewa Besar yang berumur enam belas tahun akan mengambil sebuah keputusan
yang akan menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Itu artinya salah satu dari
kami. Beberapa tahun belakangan, Raja Titan Kronos mencoba untuk
memanipulasi kami secara terpisah. Sekarang ... mungkinkah dia merencanakan
sesuatu dengan menyatukan kami sekaligus"
Permukaan tanah bergemuruh. Nico menghunus pedangnya-pedang hitam yang
terbuat dari logam Stygian. Mrs. O'Leary melompat kebelakang dan menyalak
waspada. Terlambat, aku menyadari ia tadi berusaha memperingatkan aku.
Tanah di bawah Thalia, Nico, dan aku terbelah. Kemudian, kami pun terperosok ke
dalam kegelapan. Aku menduga kami akan terjatuh selamanya, atau mungkin gepeng menjadi
panekuk demigod saat kami menghantam dasar. Namun, hal selanjutnya yang aku
tahu, Thalia, Nico dan aku telah berdiri di sebuah taman, kami bertiga masih
berteriak ketakutan, yang membuatku merasa tolol.
"Apa-di mana kita?" tanya Thalia.
Taman itu gelap. Barisan bunga perak berpendar lemah, menerangi batu mulia
raksasa yang berjajar di permukaan taman-berlian, safir dan mirah delima
seukuran bola sepak. Pepohonan melengkung di atas kami, dahannya penuh
dengan bunga oranye dan buah beraroma manis. Udara terasa dingin di New York.
Lebih mirip suasana di dalam gua.
"Aku pernah ke sini sebelumnya," ucapku.
Nico memetik sebuah delima dari sebatang pohon. "Taman Persephone, ibu
tiriku." Raut mukanya masam, lalu dia menjatuhkan buahnya. "Jangan makan apa
pun." Dia tak perlu memberitahuku dua kali. Satu gigit makanan dari Dunia Bawah, dan
kami tak akan pernah bisa meninggalkannya.
"Lihat ke atas." Thalia memperingatkan.
Aku berbalik dan mendapati gadis itu sedang membidik busurnya ke arah seorang
wanita tinggi bergaun putih.
Awalnya aku menduga wanita itu sesosok hantu. Gaunnya mengombak di
sekeliling tubuhnya mirip asap. Rambut hitam panjangnya mengambang dan
melingkar seolah tanpa bobot. Wajahnya cantik, tapi pucat tanpa warna.
Kemudian, aku menyadari gaunnya tidaklah putih. Gaun itu terdiri dari beragam
warna yang berubah-bunga merah, biru, dan kuning yang mekar di permukaan
gaun-tapi warnanya pudar. Matanya juga sama, berwarna-warni, tapi pudar, seolah
Dunia Bawah telah menyedot habis kekuatan hidupnya. Aku membayangkan di
dunia atas, dia pasti sangatlah elok dan memesona.
"Namaku Persephone," katanya, suara lirih seperti gesekan kertas. "Selamat
datang, Demigod." Nico melumat buah delima dengan botnya. "Selamat datang" Setelah peristiwa
kemarin, kau masih punya nyali untuk menyapaku?"
Aku bergerak-gerak gelisah sebab berbicara lancang terhadap dewa seperti itu
bisa membuat mereka mengubahmu menjadi debu. "Um, Nico-"
"Tak apa," sahut Persephone dingin. "Kami mengalami pertengkaran keluarga
sepele." "Pertengkaran keluarga?" sembur Nico. "Kau mengubahku menjadi dandelion!"
Persephone mengabaikan anak tirinya. "Seperti yang sudah kukatakan, Demigod,
aku menyambut kalian di tamanku."
Thalia menutunkan busurnya. "Kau mengirim rusa emas itu?"
"Dan, juga anjing itu." Sang dewi mengakui. "Dan juga bayangan yang
mendatangkan Nico. Penting untuk menyatukan kalian bersama."
"Kenapa?" Aku bertanya.
Persephone memandangku, dan aku merasa seolah sekuntum bunga es mekar di
dalam perutku. "Raja Hades punya satu masalah," terangnya. "Dan, jika kalian tahu apa yang
terbaik untuk kalian, kalian pasti mau membantunya."
Kami duduk di beranda gelap yang menghadap taman. Pelayan Persephone
membawakan makanan dan minuman, tapi kami tidak menyentuhnya. Para pelayan
itu pasti cantik sebelum mereka mati. Mereka mengenakan gaun kuning,
dipercantik dengan mahkota jalinan bunga aster dan bunga beracun lainnya. Mata
mereka kosong, dan berbicara dengan suara bercicit mirip kelelawar.
Persephone duduk di atas takhta perak dan mencermati kami. "Jika sekarang
musim semi, aku bisa menyambut kalian dengan layak di dunia atas. Apa boleh
buat, di musim dingin, inilah sambutan terbaik yang bisa kulakukan."
Suaranya terdengar getir. Setelah ribuan tahun berlalu, aku menduga dia masih
menyesal tinggal bersama Hades separuh hidupnya. Dia tampak sangat pucat dan
janggal, mirip foto cerah musim semi yang pudar.
Dia memandangku seolah baru membaca isi benakku. "Hades adalah suami dan
tuanku, Anak Muda. Aku akan melakukan apa pun untuknya. Tapi, dalam masalah
ini aku butuh bantuanmu secepatnya. Masalah ini tentang pedang Raja Hades."
Nico mengerutkan kening. "Ayahku tidak punya pedang. Dia menggunakan
tongkat dan helm kegelapan saat berperang."
"Dia memang tak punya pedang," Persephone membenarkannya.
Thalia menegakkan punggungnya. "Dia menempa sebuah simbol kekuatan baru"
Tanpa izin dari Zeus?"
Sang dewi musim semi menunjuk. Di atas meja, sebentuk gambar muncul:
Beberapa pandai besi bertubuh kerangka tampak bekerja dengan api hitam, dengan
palu yang berbentuk tengkorak mereka menempa sebatang besi hingga pipih dan
menyerupai bilah pedang. "Perang dengan bangsa Titan hampir terjadi." Persephone berkata. "Raja Hades
harus bersiap." "Tapi, Zeus dan Poseidon tidak akan mengizinkan Hades menempa senjata baru!"
sanggah Thalia. "Itu akan membuat perjanjian pembagian kekuatan mereka
timpang." Persephone menggelengkan kepala. "Maksudmu senjata itu menjadikan Hades
lawan mereka yang seimbang" Percayalah padaku, Putri Zeus, Dewa Kematian tak
punya rencana buruk terhadap saudaranya. Dia tahu mereka tak akan pernah
memahaminya, dan itulah alasan Hades menempa senjata itu secara rahasia."
Gambar di atas meja berkilauan. Pandai besi zombie itu mengangkat bilah
pedangnya, masih panas membara. Sebuah benda aneh terpasang di pangkalnya-
bukan sebutir batu mulia. Lebih mirip ....
"Apakah itu sebuah kunci?" tanyaku.
Nico tersedak. "Kunci Hades?"
"Tunggu," potong Thalia. "Apa itu kunci Hades?"
Nico tampak lebih pucat daripada ibu tirinya. "Hades punya satu set kunci yang
bisa membuka dan mengunci kematian. Paling tidak ... itulah legendanya."
"Itu benar," ucap Persephone.
"Bagaimana kau bisa membuka dan mengunci kematian?" tanyaku.
"Kunci itu punya kekuatan untuk mengurung sebentuk jiwa di Dunia Bawah,"
ucap Persephone. "Atau melepaskannya."
Nico menelan ludah. "Jika salah satu kunci itu ditanamkan di pedang-"
"Pengguna pedang dapat menghidupkan yang mati," lanjut Persephone, "atau
membunuh segala macam makhluk hidup dan mengirim jiwanya ke Dunia Bawah
hanya dengan sentuhan pedangnya."
Kami semua membisu. Air mancur gelap menggelak di sebuah sudut. Para pelayan
melayang di sekeliling kami, menawarkan nampan buah-buahan dan gula-gula
yang dapat memenjarakan kami di Dunia Bawah selamanya.
"Itu pedang yang keji." Akhirnya aku buka suara.
"Itu akan membuat Hades tak terkalahkan," tambah Thalia.
"Jadi, kau mengerti," ucap Persephone, "kenapa kalian harus mengambilnya lagi."
Aku memandanginya. "Kau bilang mengambilnya lagi?"
Mata Persephone elok dan sangat serius, mirip kuncup bunga beracun. "Pedang itu
dicuri saat hampir selesai. Aku tak tahu bagaimana, tapi aku menduga dicuri oleh
seorang demigod, pembantu Kronos. Jika pedang itu jatuh ke tangan Raja Titan-"
Thalian berdiri dengan sigap. "Kau membiarkan pedang itu dicuri! Itu bodoh
sekali! Mungkin Kronos sudah mendapatkannya saat ini!"
Anak panah Thalia berubah menjadi mawar bertangkai panjang. Busurnya berubah
menjadi tanaman rambat yang dipenuhi bunga putih dan emas.
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jaga mulutmu, Pemburu." Persephone memperingatkannya. "Mungkin ayahmu
Zeus, dan mungkin kau letnan Artemis, tapi kau tak berhak berbicara lancang
seperti itu di istanaku sendiri."
Thalia mengertakkan giginya. "Kembalikan ... busurku ... seperti ... semula."
Persephone melambaikan tangan. Busur dan anak panah Thalia kembali seperti
semula. "Sekarang duduk dan dengarkan. Pedang itu pasti belum dibawa keluar
dari Dunia Bawah. Raja Hades menggunakan sisa kunci untuk menutup istana. Tak
ada yang bisa masuk atau keluar hingga dia menemukan pedangnya, dan sekarang
dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk menemukan si pencuri."
Thalia kembali duduk dengan enggan. "Lalu, kenapa kau membutuhkan kami?"
"Pencarian pedang itu tak boleh diketahui pihak lain," ucap sang dewi. "Kami
telah menutup istana, tapi kami tak memberitahukan alasannya. Para pembantu
Hades juga tak bisa ditugaskan untuk mencari. Mereka tak boleh tahu bahwa
pedang itu ada hingga selesai dibuat. Tentu saja mereka tak boleh tahu jika
pedang itu hilang." "Jika mereka berpikir Hades dalam bahaya, mereka mungkin akan
meninggalkannya," tambah Nico. "Dan, mereka akan bergabung dengan bangsa
Titan." Persephone tidak menjawab, tapi jika seorang dewi bisa gugup, itulah yang tampak
saat ini. "Pencurinya pasti seorang demigod. Tak ada dewa yang bisa mencuri
senjata dewa lain secara langsung. Bahkan Kronos pun wajib mematuhi Hukum
Kuno itu. Dia mengirim seorang pahlawan ke bawah sini. Dan, untuk menangkap
seorang demigod ... kami harus mengutus tiga demigod lain."
"Kenapa kami?" sahutku.
"Kalian anak dari tiga dewa utama," jawab Persephone. "Siapa yang bisa bertahan
dari kombinasi kekuatan kalian" Selain itu, setelah kalian mengembalikan
pedangnya ke Hades, kalian akan mengirim pesan ke Olympus. Zeus dan Poseidon
tak akan memperotes adanya senjata baru itu jika senjatanya dipersembahkan oleh
anak mereka sendiri. Itu menunjukkan bahwa kalian mempercayai Hades."
"Tapi, aku tak memercayainya," cetus Thalia.
"Setuju," tambahku. "Kenapa kami harus melakukan sesuatu untuk Hades, apalagi
memberinya senjata super" Benar kan, Nico?"
Nico memandang ke bawah meja. Jarinya mengetuk-ngetuk pedang Stygian
hitamnya. "Benar, tidak, Nico?" ulangku.
Butuh waktu beberapa detik baginya untuk kembali fokus padaku. "Aku harus
melakukan hal ini, Percy. Dia ayahku."
"Oh, tidak," protes Thalia. "Jangan sampai kau bilang ini ide bagus!"
"Kau lebih suka pedang itu dikuasai Kronos?"
Pendapatnya masuk akal. "Buang-buang waktu saja," sergah Persephone. "Si pencuri mungkin punya kaki
tangan di Dunia Bawah, dan dia akan mencari jalan keluar."
Aku mengerutkan kening. "Tadi kau bilang istanamu dikunci."
"Tak ada penjara yang benar-benar sempurna, begitu juga dengan Dunia Bawah.
Jiwa-jiwa di dalamnya selalu menemukan cara keluar lebih cepat daripada
kemampuan Hades untuk menutupnya. Kalian harus memperoleh pedang itu
sebelun dibawa keluar dari istana. Jika itu sampai terjadi, tak ada yang bisa
dilakukan." "Andai aku bersedia," ucap Thalia, "bagaimana aku bisa menemukan pencuri itu?"
Sebatang bunga dalam pot muncul di atas meja: Sebatang anyelir yang warna
kuningnya memyakkan dan berdaun jarang. Bunga itu condong ke satu sisi, seolah
mencoba menemukan matahari.
"Ini akan memandu kalian," ucap sang dewi.
"Anyelir ajaib?" tanyaku.
"Bunga ini selalu menghadap ke arah si pencuri. Semakin dekat buruan kalian
dengan pintu kebebasannya, semakin banyak helai mahkota bunga yang akan
berjatuhan." Tepat seperti dikatakannya, sehelai mahkota bunga kuning berubah kelabu dan
jatuh ke permukaan tanah.
"Jika seluruh mahkota bunga telah rontok," lanjut Persephone, "bunganya mati.
Itu artinya si pencuri telah mencapai pintu kebebasan dan kalian gagal."
Aku memandang Thalia. Dia tampak tidak terlalu antusias dengan pemburuan
penciri memakai makhota bunga itu. Kemudian, aku menatap Nico. Sayangnya,
aku mengenali ekspresi di wajah itu. Aku tahu rasanya ketika seorang anak ingin
membuat ayahnya bangga, walaupun jika sang ayah adalah sosok yang sulit
dicintai. Dalam situasi ini, sangat sulit untuk dicintai.
Nico akan melaksanakan perburuan ini, dengan atau tanpa kami. Dan, aku tidak
sampai hati membiarkannya pergi sendiri.
"Dengan satu syarat." Aku memberi tahu Persephone. "Hades akan bersumpah
demi Sungai Styx bahwa dia tidak akan pernah menggunakan pedang itu untuk
melawan dewa lainnya."
Sang dewi mengangkat bahunya. "Aku bukan Hades, tapi aku yakin dia mau
melakukannya-sebahai balasan atas bantuanmu."
Sekali lagi satu helai mahkota jatuh dari bunga itu.
Aku berpaling ke arah Thalia. "Aku akan memegang bunga itu sementara kau
memukuli si pencuri?"
Dia mendesah. "Baiklah. Ayo, kita pergi dan menangkap bedebah itu."
Tidak ada kehangatan dan kemeriahan Natal di Dunia Bawah. Saat kami menuruni
jalan istana ke Padang Asphodel, semuanya terlihat sama persis seperti
kunjunganku sebelumnya-sangat memuramkan perasaan. Rerumputan tampak
menguning. Pepohonan poplar hitam dan kerdil melambai-lambai. Berbagai
bayangan melayang tanpa tujuan di perbukitan, datang entah dari mana dan pergi
entah ke mana, saling berbincang-bincang satu sama lain dan mencoba mengingat
jati diri mereka saat masih hidup. Jauh di atas kami, langit-langit gua berkelip
muram. Aku membawa pot bunga anyelir, dan itu membuatku merasa cukup bodoh. Nico
berjalan paling depan sebab pedangnya bisa membuka jalan di antara kerumunan
roh. Thalia terus menggerutu karena dia menyesal dikirim ke sebuah misi dengan
dua bocah laki-laki. "Menurutmu Persephone tadi tampak gelisah?" tanyaku.
Nico terus merintis jalan di antara sekerumunan hantu, menjauhka mereka dengan
pedang Stygian miliknya. "Dia selalu bersikap seperti itu jika aku ada. Dia
membenciku." "Kalau begitu, mengapa dia mengikutkanmu ke dalam pencarian ini?"
"Mungkin gagasan ayahku." Dia terdengar seolah mengharapkan hal itu nyata, tapi
aku tidak yakin. Terasa aneh bagiku sebab bukan Hades sendiri yang menugaskan misi ini. Jika
pedang itu sangat penting baginya, kenapa dia membiarkan Persephone yang
menjelaskan" Biasanya Hades suka mengancam demigod secara langsung.
Nico terus mendesak ke depan. Tidak peduli seberapa padat roh yang berdesakan-
jika kalian pernah melihat Times Square saat malam Tahun Baru, kalian bisa
membayangkan padatnya-para roh selalu menyingkir di hadapannya.
"Dia terampil dalam mengatasi kerumunan zombie." Thalia mengakui. "Mungkin
lain kali aku akan mengajaknya saat aku pergi ke mal."
Dia memegang erat busurnya, seolah khawatir senjata itu akan kembali berubah
menjadi tanaman rambat. Dia kelihatan tidak lebih tua dari yang kuingan tahun
lalu, dan mendadak aku sadar bahwa dia tidak akan pernah bertambah tua, sebab
kini dia adalah seorang pemburu. Itu artinya aku sudah lebih tua daripada dia.
Aneh. "Jadi," ucapku. "Bagaimana kekekalan memperlakukanmu?"
Dia memutar bola matanya. "Bukan kekal sepenuhnya, Percy. Kau tahu itu. Kami
masih bisa mati dalam pertarungan. Hanya saja ... kami tak pernah bertambah usia
atau sakit. Jadi, kami bisa hidup selamanya asalkan tidak dimutilasi oleh
monster." "Selalu ada bahaya."
"Selalu." Dia memandang sekitar, dan aku menyadari dia sedang memindai
wajahwajah orang mati itu.
"Jika kau mencoba menemukan Bianca," bisikku pelan supaya Nico tidak
mendengarku, "dia berada di Elysium. Dia mati sebagai seorang pahlawan."
"Aku tahu itu," sergah Thalia. Kemudian, dia menenangkan dirinya. "Bukan itu,
Percy. Hanya saja aku ... lupakan saja."
Hawa dingin menerpa tubuhku. Aku ingat bahwa ibu Thalia meninggal dalam
kecelakaan mobil beberapa tahun lalu. Mereka tidak pernah berhubungan dekat,
tapi Thalia belum sempat berpamitan. Mungkin saja roh ibunya melayang-layang
di sekitar kami-tak heran Thalia tampak gelisah.
"Maaf," ucapku. "Aku tadi lupa."
Mata kami bertemu, dan aku merasa dia memahamiku. Ekspresi wajahnya
melunak. "Tidak masalah. Kita selesaikan saja misi ini."
Satu lagi mahkota jatuh dari kelopak bunga anyelir saat kami berjalan.
Perasaanku bergolak saat bunga itu menuntun kami ke arah Padang Penghukuman.
Aku berharap kami akan menikung ke Elysium supaya kami bisa berkumpul
dengan orang-orang yang berpenampilan baik dan berpesta, tapi tidak. Bunga itu
tampaknya menyukai bagian terjahat dan terkeras dari Dunia Bawah. Kami
melompati sungai lava dan berjalan melewati tempat siksa kubur yang sangat
mengerikan. Aku tidak akan menggambarkannya sebab kau pasti akan kehilangan
selera makanmu, tapi aku berharap aku punya kapas untuk menyumpal telingaku
dari jeritan dan lagu tahun 1980-an di sana.
Anyelir itu berpaling ke arah bukit di sebelah kiri kami.
"Di atas sana," ucapku.
Thalia dan Nico berhenti. Tubuh mereka dipenuhi abu dari perjalanan kami
menembus Padang Hukuman. Tampangku mungkin tak lebih baik daripada
mereka. Suara berkelontang nyaring terdengar dari sisi lain bukit, seolah seseorang
sedang menyeret sebuah mesin cuci. Kemudian, bukit bergetar dengan suara ledakan
BUM! BUM! BUM! Dan, seorang pria menyumpah-nyumpah.
Thalia memandangi Nico. "Apakah dia orang yang kuduga?"
"Sepertinya begitu," ucap Nico. "Ahli nomor satu dalam mengakali kematian."
Sebelum aku sempat menanyakan maksudnya, Nico memimpin kami ke puncak
bukit. Pria di sisi lain bukit sungguh buruk rupa, dan dia tampak uring-uringan. Dia
mirip dengan boneka troll berkulit oranye, perut buncit, kaki dan lengannya kurus, dan
semacam cawat/popok besar di pinggangnya. Rambut bulu tikusnya berdiri mirip
obor. Dia melompat-lompat, menyumpah, dan menendang sebongkah batu yang
dua kali lebih besar dari tubuhnya.
"Aku tidak mau!" pekiknya. "Tidak, tidak, tidak!" Kemudian, dia menyemburkan
serentetan kata kotor dalam beberapa bahasa yang berbeda. Jika aku punya stoples
yang harus diisi koin 25 sen untuk setiap kata kotor, pasti aku berhasil
mengumpulkan sekitar lima ratus dolar.
Sesaat kemudian, dia berjalan menjauhi bongkah batu itu, tapi setelah sekitar
tiga meter dia terseret ke belakang, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang
menariknya. Dia terhuyung-huyung ke arah bongkah batu dan mulai
membenturkan kepalanya di batu itu.
"Baiklah!" pekiknya. "Baiklah, terkutuk kau!"
Dia menggosok kepala dan menggumamkan sebaris kata kotor lainnya. "Tapi, ini
yang terakhir kali. Kau dengar aku?"
Nico menatap kami. "Ayo. Sementara dia sedang sibuk."
Kami menuruni bukit. "Sisyphus!" panggil Nico
Pria troll itu mendongak terkejut. Kemudian, dia tersaruk-saruk di balik
batunya. "Oh, tidak! Kalian tidak bisa menipuku di balik samaran itu! Aku tahu kalian
para Fury!" "Kami bukan Fury," ucapku. "Kami hanya ingin berbicara."
"Pergi kalian!" jeritnya. "Bunga tidak akan membuat hal ini jadi lebih baik.
Sudah terlambat untuk meminta maaf!"
"Dengar," ucap Thalia, "kami hanya ingin-"
"La-la-la!" pekiknya. "Aku tidak dengar!"
Kami mencoba menyergapnya di sekitar bongkah batu hingga akhirnya Thalia,
yang paling gesit, berhasil menjambak rambut pria itu.
"Hentikan!" ratapnya. "Aku harus memindahkan batu. Harus memindahkan batu!"
"Aku akan memindahkan batumu!" tawar Thalia. "Sementara itu tutup mulutmu
dan bicaralah dengan temanku."
Sisyphus berhenti memberontak. "Kau akan-kau akan memindahkan batuku?"
"Itu lebih menyenangkan dari memandang wajahmu." Thalia menatapku.
"Lakukuan dengan cepat." Kemudian, dia menyorongkan Sisyphus ke arah kami.
Thalia menempelkan bahunya di batu dan mulai mendorongnya ke atas bukit.
Sisyphus memberengut dan melempar pandangan sangsi padaku. Dia mencubit
hidungku. "Aduh!" sahutku.
"Jadi, kau benar-benar bukan Fury," ucapnya takjub. "Untuk apa bunga itu"
"Kami mencari seseorang," ucapku. "Bunga ini membantu kami menemukannya."
"Persephone!" Dia meludah ke tanah. "Itu salah satu alat pelacak miliknya, kan?"
Dia mencondongkan tubuh ke depan, dan terciumlah bau menyengat dari pria-
tuayang-telah-menggelindingkan-batu-selamanya itu. "Asal kalian tahu, aku pernah
menipunya. Aku pernah menipu mereka semua."
Aku menatap Nico. "Artinya?"
"Sisyphus mengakali kematian," terang Nico. "Pertama dia merantai Thanatos,
sang pencabut nyawa. Jadi, tak seorang pun bisa mati. Lalu, saat Thanatos bebas
dan akan membunuhnya, Sisyphus menyuruh istrinya untuk melaksanakan ritual
pemakaman yang salah supaya dia tidak meninggal dengan tenang. Sisy ini-Boleh
aku memanggilmu Sisy?"
"Tidak!" "Sisy membujuk Persephone agar membiarkannya kembali ke dunia untuk
menghantui istrinya. Namun, Sisy tidak kembali lagi."
Pria tua itu terkekeh. "Aku bertahan hidup selama tiga puluh tahun sebelum
akhirnya mereka menangkapku!"
Thalia sudah setengah perjalanan mendaki bukit itu. Dia mengertakkan giginya,
dan terus mendorong bongkah batu itu dengan punggungnya. Raut mukanya seolah
berkata, Cepatlah! "Jadi, itulah hukumanmu," ucapku pada Sisyphus. "Menggelindingkan sebongkah
batu ke atas bukit selamanya. Apa itu sepadan?"
"Ini rintangan sementara!" pekik Sisyphus. "Aku akan segera keluar dari sini,
dan saat itu terjadi, mereka semua akan menyesal!"
"Bagaimana kau bisa keluar dari Dunia Bawah?" tanya Nico. "Asal kau tahu,
tempat ini dikunci."
Sisyphus menyeringai bengis. "Sama seperti yang ditanyakan pemuda
sebelumnya." Perutku menegang. "Seseorang meminta petunjuk darimu?"
"Pria muda yang tak sabaran," urai Sisyphus. "Tidak begitu sopan. Mengacungkan
pedang di leherku. Tidak menawarkan diri untuk mengelindingkan batu sama
sekali." "Apa yang kau katakan padanya?" ucap Nico. "Siapa dia?"
Sisyphus memijat bahunya. Dia melirik Thalia, yang hampir mencapai puncak
bukit. Wajahnya merah padam dan peluhnya sebesar biji jagung.
"Oh ... sulit untuk mengatakannya," ucap Sisyphus. "Tidak bertemu dengannya
sebelumnya. Dia membawa benda panjang yang terbungkus kain hitam. Papan ski,
mungkin" Sebuah sekop" Mungkin jika kalian bersedia menunggu di sini, aku bisa
pergi dan mencarinya ... "
"Apa yang kau katakan padanya?" desakku.
"Aku tidak ingat."
Nico menghunus pedang. Logam Stygian itu begitu dingin hingga mengeluarkan
uap karena terkena udara panas di Padang Hukuman. "Ingat lagi."
Pria tua itu berjengit. "Pemuda macam apa yang membawa pedang semacam itu?"
"Putra Hades," ucap Nico. "Sekarang jawab aku!"
Wajah Sisyphus memucat. "Aku menyuruhnya berbicara dengan Melinoe!wanita
itu selalu tahu jalan untuk keluar dari sini!"
Nico menurunkan pedangnya. Aku bisa merasakan bahwa nama Melinoe
membuatnya gusar. "Kau sudah gila?" runtuknya. "Itu sama saja dengan bunuh diri!"
Pria tua itu mengangkat bahu. "Aku pernah mengakali kematian sebelumnya. Aku
bisa melakukannya lagi."
"Seperti apa penampilan demigod itu?"
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Um ... dia punya satu hidung," ucap Sisyphus. "Sebuah mulut. Dan, satu mata
dan-" "Satu mata?" tukasku. "Dia memakai penutup mata?"
"Oh ... mungkin," ucap Sisyphus. "Ada rambut di kepalanya. Dan-" Dia tersengal
dan melihat ke balik bahuku. "Itu dia!"
Bodohnya kami memercayai akal bulus pria itu.
Saat kami menoleh, Sisyphus berlari menuruni bukit. "Aku bebas! Aku bebas!
Aku-ADUH!" Sekitar tiga meter dari bukit, dia tertahan tali tak kasatmata yang
mengikatnya, dan dia pun terjengkang. Nico dan aku menggamit lengannya dan
menariknya ke atas bukit.
"Terkutuk kalian!" Dia kembali menyumpah-nyumpah dalam bahasa Yunani
Kuno, Latin, Inggris, Prancis, dan bahasa lain yang tidak kukenali. "Aku tidak
akan pernah membantumu! Minta tolong ke Hades sana!"
"Kami sudah ke sana," gumam Nico.
"Awas batu!" jerit Thalia.
Aku menengadah dan merasa perlu untuk menyemburkan kata-kata kotor.
Bongkah batu itu menggelinding ke arah kami dengan cepat. Nico melompat ke
kiri. Aku melompat ke kanan. Sisyphus berteriak, "TIDAAAK!" saat benda padat
itu menyeruduknya. Entah bagaimana caranya, dia berhasil mengukuhkan tubuh
dan menghentikan laju batu itu melindasnya habis. Mungkin dia telah sering
melakukannya. "Ambil batu ini sekali lagi!" lolongnya. "Kumohon. Aku tidak sanggup
melakukannya." "Tidak lagi." Thalia tersengal. "Kau harus melakukannya sendiri sekarang."
Dia kembali menyumpahi kami dengan begitu banyak bahasa. Sudah jelas dia tak
akan membantu kami lebih jauh. Jadi, kami meninggalkan dia bersama batu
hukumannya. "Gua Melinoe ke arah sini," ucap Nico.
"Jika pemuda buruan kita sungguh bermata satu," ucapku, "dia mungkin adalah
Ethan Nakamura, putra Nemesis. Dia orang yang membebaskan Kronos."
"Aku ingat," balas Nico muram. "Tapi, jika kira berurusan dengan Melinoe, kita
punya masalah yang lebih besar. Ayo, jalan."
Saat kami berjalan menjauh, Sisyphus berteriak, "Baiklah, tapi ini yang terakhir
kali. Kau dengar aku" Terakhir kali."
Thalia bergidik. "Kau baik-baik saja?" Aku bertanya padanya.
"Kurasa begitu ...." Dia tampak ragu. "Percy, hal yang mengerikan adalah, saat
aku mencapai puncak, kupikir aku berhasil. Aku pikir, hal ini tidaklah berat. Aku
bisa membuat batunya diam. Namun, ketika batu itu menggelinding ke bawah, aku
hampir tergoda untuk mencobanya lagi. Kupikir aku bisa menggelindingkan batu
itu untuk kedua kalinya."
Thalia memandang ke belakang dengan muram.
"Ayo, jalan." Aku memberitahunya. "Semakin cepat kita keluar dari sini, semakin
baik." Kami merasa kami telah berjalan sangat lama. Tiga mahkota bunga meranggas dari
anyelir, yang artinya secara resmi ia sudah separuh mati. Bunga itu menghadap ke
arah gugusan perbukitan kelabu bergigi. Jadi, kami meneruskan perjalanan ke arah
bebatuan gunung berapi tersebut.
"Hari yang indah untuk berjalan-jalan," gumam Thalia. "Sekarang para Pemburu
pasti sedang bersenang-senang di padang terbuka di hutan."
Aku bertanya-taya apa yang sedang dilakukan keluargaku saat ini. Ibu dan ayah
tiriku, Paul, pasti cemas jika aku tak segera pulang dari sekolah, tapi ini
bukan pertama kali terjadi. Mereka pasti segera paham bahwa aku sedang mejalankan
sebuah misi. Ibuku pasti akan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga, sambil
bertanya-tanya apakah aku sempat pulang untuk membuka hadiahku.
"Jadi siapa sebenarnya Melinoe ini?" tanyaku, mencoba mengenyahkan bayangan
rumah dari benakku. "Ceritanya panjang," ucap Nico. "Ceritanya sangat panjang dan mengerikan."
Aku hendak menanyakan apa yang dimaksud Nico saat Thalia membungkukkan
tubuh. "Senjata!"
Aku menghunus Reptide. Aku yakin penampilanku bakal sangat konyol kalau aku
terus membawa anyelir itu de tangan kiriku. Jadi, aku menaruhnya. Nico
menghunus pedangnya. Kami berdiri saling membelakangi. Thalia memasang sebatang anak panah.
"Ada apa?" bisikku.
Dia tampak memasang telinga. Kemudian, matanya melebar. Selusin daemon
mewujud di sekeliling kami.
Mereka adalah wanita setengah kelelawar. Wajah mereka berbulu dan berhidung
pesek, dengan taring dan mata gembung. Tubuh mereka dilindungi oleh kepingan
logam yang disatukan dan bulu kelabu kusut. Lengan mereka mengerut dengan
cakar sebagai ganti tangan, sayap mereka berkulit kasar dan mencuat dari
punggung, ditambah kaki yang pendek gemuk dan melengkung. Seandainya mata
mereka tidak bersinar bengis, mereka pasti tampak lucu.
"Keres," ucap Nico.
"Apa?" tanyaku.
"Iblis medan perang. Makanan mereka adalah kematian yang tragis."
"Oh, menyenangkan sekali," ucap Thalia.
"Mundur kalian!" Nico menghardik para daemon itu. "Putra Hades memerintah
kalian untuk mundur!"
Para Keres mendesis. Mulut mereka berbusa. Mereka melirik ngeri pada senjata
kami, tapi aku merasa para Keres tidak memedulikan perintah Nico.
"Tak lama lagi Hades akan dikalahkan." Salah satu dari mereka menggeram.
"Tuan kami yang baru akan memberikan kebebasan!"
Nico berkedip. "Tuan baru?"
Sang daemon pemimpin menyerang. Nico sangat terkejut hingga makhluk tersebut
mungkin saja mencabik-cabik tubuhnya, tapi dengan sigap Thalia menembakkan
anak panahnya tepat di wajah kelelawar buruk rupa itu, tubuh si daemon pun
hancur. Yang lain menyerang sekaligus. Thalia menjatuhkan busur dan mencabut
belatinya. Aku menunduk saat pedang Nico berdesing di atas kepalaku, membelah
tubuh sesosok daemon. Aku menyabet dan menusuk, tiga atau empat Keres
meledak di sekeliingku, tapi yang lain terus berdatangan.
"Iapetus akan membinasakanmu!" Salah satu makhluk berteriak.
"Siapa?" tanyaku. Kemudian, aku menusuknya dengan pedangku. Catatan untuk
diriku: Jika kau meleburkan monster, maka tak akan sempat menjawab
pertanyaanmu. Nico juga membabat begitu banyak Keres. Pedang hitamnya menyerap inti tubuh
mereka seperti penyedot debu, dan kian banyak yang dihancurkannya, udara di
sekelilingnya juga kian dingin. Thalia membanting sesosok daemon hingga
punggungnya menghantam tanah, menikamnya, dan menusuk satu daemon lain
dengan belati kedua tanpa menoleh sedikit pun.
"Matilah dalam siksa, Manusia!" Sebelum aku sempat mengangkat pedang untuk
melindungi diri, cakar daemon lain menggaruk bahuku. Jika aku mengenakan baju
perang, tidak masalah, tapi aku masih mengenakan seragam sekolah. Kuku
makhluk itu merobek kemeja dan mengiris kulitku. Sekujur tubuh bagian kiriku
lumpuh tersiksa rasa nyeri.
Nico menendang monster itu dan membacoknya. Yang bisa kulakukan hanyalah
roboh ke tanah dan menggulung tubuhku, mencoba menahan rasa terbakar yang
tak tertahankan. Suara pertempuran berakhir. Thalia dan Nico bergegas menghampiriku.
"Jangan bergerak, Percy," ucap Thalia. "Kau bakal baik-baik saja." Tapi, getar
dalam suaranya memberitahuku bahwa luka yang kuderita sangat parah. Nico
menyentuh bahuku dan aku memekik kesakitan.
"Nektar," ucap Nico. "Aku menuangkan nektar di atas lukamu."
Dia membuka tutup botol minuman dewa itu dan meneteskannya di sepanjang
bahuku. Ini hal berbahaya-demigod hanya mampu meminumnya seteguk-tapi rasa
sakitnya lenyap seketika. Bersamaan, Nico dan Thalia merawat lukaku, dan aku
pingsan beberapa kali. Aku tak bisa memperkirakan berapa lama waktu yang telah berlalu, tapi hal
berikutnya yang kuingat adalah mereka menyandarkanku di sebuah batu. Bahuku
sudah diperban. Thalia menyuapiku dengan potongan kecil ambrosia rasa cokelat.
"Para Keres itu?" gumamku
"Sudah pergi," jawab Thalia. "Kau membuatku cemas sesaat tadi, Percy, tapi aku
yakin kau akan segera sembuh."
Nico berjongkok di sebelah kami. Dia membawa pot anyelir itu. Kini tinggal lima
helai mahkota yang tersisa.
"Para Keres akan kembali." Dia memperingatkan. Dia memandang cemas pada
bahuku. "Luka itu ... Keres adalah iblis penyakit dan sampar serta kekerasan.
Kita bisa memperlambat infeksinya, tapi nanti kau butuh pengobatan yang lebih baik.
Maksudku dengan dibantu kekuatan sesosok dewa. Jika tidak ...."
Nico tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Aku akan baik-baik saja." Aku berusaha duduk, tapi langsung pusing.
"Pelan-pelan," ucap Thalia. "Kau harus beristirahat sebelum kau bisa bergerak."
"Tak ada waktu." Aku melihat anyelir itu. "Salah satu daemon menyebutkan nama
Iapestus. Ingatanku benar" Dia kan Titan?"
Thalia mengangguk gelisah. "Kakak Kronos, ayah Atlas. Dia dikenal sebagai Titan
dari barat. Namanya berarti 'Sang Penikam' sebab itu yang suka dilakukannya
terhadap semua musuhnya. Dia dibuang ke Tartarus bersama dengan saudaranya.
Dia pasti masih ada di sana."
"Tapi, jika pedang Hades bisa membuka kematian?" tanyaku.
"Maka," ucap Nico, "pedang itu juga bisa memanggil yang terkutuk untuk keluar
dari Tartarus. Kita tidak boleh membiarkan mereka mencobanya."
"Kita masih belum tahu siapa mereka," ucap Thalia.
"Blasteran yang bekerja untuk Kronos," ucapku. "Mungkin Ethan Nakamura. Dan,
dia mulai merekrut sebagian bawahan Hades untuk bergabung di pihaknya-
contohnya Keres. Para daemon menduga jika Kronos memenangkan peperangan,
mereka mendapat lebih banyak kekacauan dari pengkhianatan yang mereka
lakukan." "Mereka mungkin benar," ucap Nico. "Ayahku mencoba mempertahankan
keseimbangan. Dia mengekang banyak sekali roh-roh yang keji. Jika Kronos
menunjuk salah satu saudaranya untuk menjadi raja Dunia Bawah-"
"Misalnya si Iapestus ini," ucapku.
"Dunia Bawah pun akan menjadi lebih mengerikan," ucap Nico. "Keres akan
menyukai hal itu. Begitu juga dengan Melinoe."
"Kau masih belum memberi tahu kami jati diri Melinoe."
Nico menggigit bibir. "Dia adalah dewi para hantu-salah satu anak buah ayahku.
Dia mengawasi arwah gelisah yang bergentayangan di dunia. Setiap malam dia
bangkit dari Dunia Bawah untuk menakuti manusia."
"Dia punya jalan sendiri ke dunia atas?"
Nico mengangguk. "Aku ragu jalan itu juga ditutup. Biasanya, bahkan tidak
seorang pun berpikir untuk memasuki guanya. Tapi, jika pencuri demigod ini
cukup berani untuk membuat kesepakatan dengannya-"
"Si pencuri bisa kembali ke dunia atas," tambah Thalia, "dan mengantarkan
pedang itu kepada Kronos."
"Yang akan menggunakannya untuk membangkitkan saudaranya dari Tartarus,"
tebakku. "Dan, kita akan mendapat masalah besar."
Aku berusaha berdiri. Gelombang rasa mual hampir membuatku pingsan, tapi
Thalia menahan tubuhku. "Percy," ucap Thalia, "kondisimu tidak memungkinkan-"
"Aku harus kuat." Aku mengawasi saat sehelai mahkota bunga meranggas dan
jatuh dari kelopaknya. Empat helai sebelum akhir dunia. "Berikan bunga itu
padaku. Kita harus menemukan gua Melinoe."
Saat kami berjalan, aku mencoba memikirkan hal yang positif: Pemain basket
kesukaanku, percakapan terakhir dengan Annabeth, masakan yang akan dibuat
ibuku untuk makan malam Natal-segala sesuatu, kecuali rasa sakitku. Namun,
rasanya seperti masih ada harimau bertaring pedang mengunyag bahuku. Aku tidak
akan mampu bertarung dengan baik, dan aku mengutuk diriku karena sempat
lengah sebelumnya. Aku seharusnya tak boleh terluka. Kini Thalia dan Nico harus
bersusah payah menyeret tubuhku yang tak berguna hingga misi ini usai.
Benakku terlalu penuh dengan penyesalan atas kebodohanku sendiri, hingga aku
tak menyadari terdengarnya gemuruh suara air hingga Nico berkata, "Uh-oh."
Sekitar lima belas meter di depan kami, sungai gelap bergejolak melintasi sebuah
jurang berbatu. Aku pernah melihat Sungai Styx, dan ini jelas bukan sungai yang
sama. Sungai ini sempit dan deras. Airnya sehitam tinta. Bahkan busa yang
bergejolak juga hitam. Bantaran sungai diseberang hanyalah sepuluh meter, tapi
terlalu jauh untuk kami lompati, dan tidak ada jembatan.
"Sungai Lethe." Nico memaki dalam bahasa Yunani Kuno. "Kita tak mungkin bisa
menyeberang." Bunga itu menunjuk ke arah lain-ke arah gunung yang suram dan jalan setapak
yang mengarah ke sebuah gua. Jauh di balik gunung, dinding Dunia Bawah tampak
terpikir olehku bahwa Dunia Bawah mempunyai dinding pembatas, tapi itu jelas
dinding pembatasnya. "Pasti ada suatu cara untuk menyeberanginya," ucapku.
Thalia berlutut di bibir sungai.
"Hati-hati!" ucap Nico. "Ini adalah Sungai Hilang Ingatan. Satu tetes saja air
menyentuhmu, kau akan lupa siapa dirimu."
Thalia mundur. "Aku tahu tempat ini. Luke pernah menceritakannya padaku. Roh
datang ke tempat ini jika mereka memilih untuk dilahirkan kembali. Jadi, mereka
sepenuhnya bisa melupakan kehidupan yang sebelumnya."
Nico mengangguk. "Berenang dalam air itu dan benakmu akan terhapus sama
sekali. Kau menjadi seperti bayi yang baru lahir."
Thalia mencermati sisi lain bantaran. "Aku bisa menembakkan anak panah ke sana,
mungkin kira bisa memasang tali pada salah satu batu itu."
"Kau berani memasrahkan bobot tubuhmu pada sebuah tali yang tidak teikat
kuat?" tanya Nico Thalia mengerutkan kening. "Kau benar. Hanya berhasil dalam film, tapi ...
tidak. Bisakah kau memanggil orang mati untuk memanggil orang mati untuk membantu
kita?" "Bisa, tapi mereka hanya bisa muncul di sisi bantara ini. Arus sungai berfungsi
sebagai pembatas bagi orang mati. Mereka tidak bisa menyeberanginya."
Aku berjengit. "Peraturan bodoh macam apa itu?"
"Hei, bukan aku yang membuatnya." Dia mencermati wajahku. "Kau tampak
sangat lemah, Percy. Kau harus duduk."
"Aku tidak mau. Kalian butuh aku untuk mengatasi masalah ini."
"Untuk apa?" tanya Thalia. "Berdiri saja kau kesulitan."
"Itu air, kan" Aku akan mengendalikannya. Mungkin aku bisa mengalihkan arus
untuk sementara hingga kita menyeberang."
"Dengan kondisimu yang sekarang?" sahut Nico. "Tidak mungkin. Aku merasa
lebih aman dengan gagasan anak panah Thalia."
Aku terhuyung ke bibir sungai.
Aku tak tahu apakah aku sanggup melakukan hal ini. Aku adalah putra Poseidon.
Jadi, mengendalikan air laut bukanlah masalah bagiku. Sungai biasa ... mungkin,
jika roh sungai mau bekerja sama. Namun, sungai ajaib Dunia Bawah" Aku tak
yakin. "Mundur," ucapku.
Aku berkonsentrasi pada arus sungai-air hitam yang mengalir deras. Aku
membayangkan sungai itu adalah bagian dari tubuhku. Aku bisa mengendalikan
arus, membuatnya merespon kehendakku.
Aku tak tahu, tapi aku merasa air bergolak dan berbuih lebih ganas, seolah ia
bisa merasakan kehadiranku. Aku sadar aku tak bisa menghentikan arus sungai
sepenuhnya. Air akan terbendung dan membanjiri seluruh bagian lembah, lalu
menyembur ke segala arah saat aku melepaskannya. Namun, ada solusi lain.
"Tak berhasil," gumamku.
Aku mengangkat kedua lengan seolah aku sedang mengangkat sesuatu di atas
kepalaku. Bahuku yang terluka terasa sakit bak terbakar lava, tapi aku berusaha
mengacuhkannya. Arus sungai meninggi. Air melenting dari jalurnya, mengalir terus ke atas dan
membentuk lekungan besar-lekungan pelangi hitam berarus deras setinggi tujuh
meter. Dasar sungai di depan kami berubah menjadi lumpur kering, terowongan di
dasar sungai cukup lebar untuk dua orang yang berjalan bersisian.
Thalia dan Nico memandangku takjub.
"Pergilah," ucapku. "Aku tak bisa menahannya lama-lama."
Titik-titik kuning berputar di depan mataku. Bahuku yang teluka menjerit
kesakitan. Thalia dan Nico menuruni dasar sungai dan melintasi jalan yang
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlumpur pekat. Tak setetes pun. Aku tak boleh membiarkan satu tetes air menyentuh tubuh
mereka. Sungai Lethe melawanku. Ia tidak suka dipaksa keluar dari dasar sungainya. Ia
bernafsu untuk menjatuhkan diri ke atas temanku, menghapus isi benak mereka,
dan menenggelamkan mereka. Namun, aku terus menahan lekungan itu.
Thalia memanjat ke atas bantaran sungai dan berbalik untuk menarik Nico.
"Ayo, Percy!" teriaknya. "Berjalanlah!"
Lututku gemetar. Lenganku goyah. Aku melangkah dan hampir terjatuh.
Lengkungan arus sungai bergoyang.
"Aku tak mungkin berhasil," teriakku.
"Kau pasti bisa!" ucap Thalia. "Kami membutuhkanmu!"
Entah bagaimana, aku berhasil turun ke dasar sungai. Satu langkah, lalu aku
melangkah lagi. Air mengalir deras di atas kepalaku. Sepatu botku menjejak
lumpur pekat. Setengah perjalanan, aku tersandung. Aku mendengar Thalia menjerit, "Tidak!"
dan konsentrasiku pecah. Saat Sungai Lethe menimpa kepalaku, untungnya aku sempat memikirkan satu
gagasan putus asa: Kering.
Aku mendengar debur dan merasakan kuatnya entakan selaksa liter air saat sungai
itu kembali ke jalurnya yang semula. Namun ....
Aku membuka mataku. Aku dikelilingi kegelapan, tapi tubuhku kering
sepenuhnya. Selapis udara melapisiku laksana kulit kedua, melindungiku dari
pengaruh air. Aku berusaha berdiri. Bahkan usaha kecil untuk tetap kering
seperti ini-suatu hal yang sudah kulakukan ratusan kali dalam air biasa-terasa sangat
berat bagiku sekarang. Aku berjuang melintasi arus hitam, mataku dibutakan rasa sakit
tak terkira. Aku memajat keluar dari Sungai Lethe, mengejutkan Thalia dan Nico, yang
langsung melompat dua meter ke belakang. Aku terhuyung-huyung ke depan,
ambruk di depan teman-temanku, dan langsung pingsan.
Rasa nektar membuatku siuman. Bahuku terasa lebih baik, tapi telingaku
berdenging nyaring. Mataku terasa panas, seolah aku sedang demam.
"Kita tak boleh memberinya nektar lagi," ucap Thalia. "Tubuhnya akan terbakar
menjadi abu." "Percy," ucap Nico. "Kau bisa mendengarku?"
"Terbakar," gumamku. "Aku mendengarmu."
Aku duduk perlahan. Perban di bahuku baru diganti. Masih terasa sakit, tapi aku
sudah bisa berdiri. "Kita sudah dekat," ucap Nico. "Kau bisa berjalan?"
Gunung itu menjulang di depan kami. Jalan setapak berdebu berkelok-kelok
beberapa ratus meter ke mulut gua. Tulang-belulang manusia ditata di sepajang
jalan hingga suasana tambah mengerikan.
"Aku siap," ucapku.
"Perasaanku tidak enak," gumam Thalia. Dia memeluk anyelir itu, yang kini
menghadap ke gua. Kini bunga itu hanya memiliki dua helai mahkota, mirip
telinga kelinci yang merana.
"Gua yang mengerikan," ucapku. "Dewi dari segala hantu. Apa bagusnya?"
Seolah menanggapiku, suara desisan menggema di seluruh penjuru gunung. Kabut
putih mengepul dari dalam gua, seolah seseorang baru menghidupkan mesin es
kering. Dari balik kabut, sebentuk tubuh mewujud-seorang wanita tinggi dengan rambut
pirang yang terurai. Dia mengenakan jubah mandi pink dan memegang sebuah
gelas anggur. Air mukanya galak dan terusik. Aku bisa melihat menembus
tubuhnya. Jadi, aku tahu dia pasti semacam roh, tapi suaranya terdengar cukup
nyata. "Jadi, sekarang kau kembali," geram wanita itu. "Sayangnya, sudah terlambat!"
Aku menatap Nico dan berbisik, "Melinoe?"
Nico tidak menjawab. Dia berdiri mematung, menatap roh itu.
Thalia menurunkan busurnya. "Ibu?" Matanya membelalak. Mendadak dia terlihat
mirip gadis berumur tujuh tahun.
Roh itu melemparkan gelas anggurnya. Gelas itu pecah dan larut ke dalam kabut.
"Itu benar, Nak. Dikutuk untuk bergentayangan di bumi, dan itu salahmu! Di mana
kau saat aku mati" Kenapa kau melarikan diri saat aku membutuhkanmu"
"Aku-aku-" "Thalia," ucapku. "Dia hanya bayangan. Dia tidak bisa menyakitimu."
"Aku lebih dari sekedar bayangan," geram roh itu. "Dan, Thalia tahu itu."
"Tapi - kau menelantarkan aku," balas Thalia.
"Dasar gadis celaka! Pelarian tak tahu diri!"
"Hentikan!" Nico melangkah maju dengan pedang terhunus, tapi roh itu mengubah
wujud dan menghadapinya. Hantu itu sungguh sulit untuk dilihat. Kini dia adalah sesosok wanita yang
mengenakan gaun beledu hitam bergaya kuno serta topi yang serupa. Dia
mengenakan kalung mutiara dan sarung tangan putih, dan rambut gelapnya diikat
ke belakang. Nico menghentikan langkahnya. "Tidak ... "
"Putraku," ucap hantu itu. "Aku mati saat kau masih sangat kecil. Aku menghantui
dunia dalam kenestapaan, terus bertanya-tanya di mana keberadaanmu dan
saudarimu." "Mama?" "Bukan, dia ibuku," gumam Thalia, seolah dia masih melihat wujud sebelumnya.
Kedua temanku tak berdaya. Kabut kian menebal di sekitar kaki mereka,
merambati kaki mereka seperti sulur tanaman. Warna semakin pudar dari pakaian
dan wajah mereka, seolah mereka juga berubah menjadi bayangan.
"Cukup," ucapku, tapi suaraku nyaris tak keluar. Tanpa memedulikan rasa sakit,
aku mengangkat pedang dan melangkah ke arah hantu itu. "Kau bukan mama
siapa-siapa!" Hantu itu berpaling ke arahku. Wujudnya menerjap, dan aku melihat sang dewi
dalam wujud aslinya. Kau pasti menduga setelah sesaat aku pasti berhenti merasa ngeri pada rupa
menjijikkan dewi Yunani itu, tapi wujud Melinoe sungguh mengejutkan. Tubuh
sebelah kanannya pucat seperti kapur, seolah darahnya telah dikuras habis. Tubuh
sebelah kirinya berwarna hitam legam dan keras seperti kulit mumi. Dia
mengenakan gaun dan syal emas. Matanya berupa lubang hitam kosong, dan saat
aku menatap matanya, aku merasa seolah aku sedang menatap kematianku sendiri.
"Mana hantumu?" desaknya dengan gusar.
"Hantuku ... aku tidak tahu. Aku tidak punya hantu."
Dia menghardik. "Semua orang punya hantu-kematian yang kau sesali. Rasa
bersalah. Rasa takut. Kenapa aku tidak melihat milikmu?"
Thalia dan Nico masih terpikat, menatap sang dewi seolah dia adalah ibu mereka
yang telah lama hilang. Aku mengingat teman-teman yang kusaksikan
kematiannya-Bianca di Angelo, Zo? Nightshade, Lee Fletcher, itu hanya sebagian.
"Aku telah berdamai dengan mereka," ucapku. "Mereka telah gugur. Mereka
bukan hantu. Sekarang lepaskan kedua temanku ini!"
Aku menyabetkan pedangku ke arah Melinoe. Dia segera mundur dan meraung
marah. Kabut buyar dari tubuh Nico dan Thalia. Kedua temanku berdiri sambil
mengerjap-ngerjapkan mata ke arah sang dewi, seolah mereka baru menyadari
betapa mengerikan wujud aslinya.
"Itu apa?" tanya Thalia. "Di mana-"
"Itu hanya tipuan," ucap Nico. "Dia menipu kita."
"Kalian terlambat, Demigod," ucap Melinoe. Sehelai mahkota lepas dari kelopak
anyelir, menyisakan sehelai mahkota terakhir. "Perjanjian telah diucapkan."
"Perjanjian apa?" desakku
Melinoe mendesis, dan aku menyadari itulah caranya tertawa. "Banyak sekali
hantu, demigod mudaku. Mereka tak sabar untuk dilepaskan. Saat Kronos
menguasai dunia, aku akan mendapat kebebasan untuk berjalan di antara manusia,
baik siang maupun malam hari, menebarkan teror yang layak mereka dapatkan."
"Mana pedang Hades?" tuntutku. "Mana Ethan?"
"Dekat." Melinoe meyakinkanku. "Aku tak akan menghentikanmu. Aku tak perlu
melakukannya. Tak lama lagi, Percy Jackson, kau akan punya begitu banyak hantu.
Dan, kau akan mengingatku."
Thalia menarik anak panah dan membidikkannya ke arah sang dewi. "Jika kau
membuka jalan ke dunia, kau yakin Kronos akan memberimu hadiah" Dia akan
mencampakkanmu ke dalam Tartarus bersama dengan pembantu Hades yang lain."
Melinoe memamerkan giginya. "Ibumu benar, Thalia. Kau gadis pemarah. Kau
cuma bisa melarikan diri. Tak ada yang bisa diharapkan darimu."
Anak panah itu melesat, tapi saat menyentuh Melinoe, sang dewi melesap ke
dalam kabut, hanya menyisakan desis tawanya. Anak panah Thalia menghantam
batu dan patah tanpa memakan korban.
"Hantu tolol," gumam Thalia.
Aku bisa melihat gadis itu begitu terguncang. Ada lingkaran merah di sekeliling
matanya. Telapak tangannya gemetar. Nico sama tercengangnya, seolah seseorang
baru saja menampar wajahnya.
"Si pencuri ..." Nico membuka mulut. "Mungkin ada di dalam gua. Kita harus
menghentikannya sebelum-"
Bersama dengan itu, helai terakhir mahkota terlepas dari kelopaknya. Bunga itu
berubah hitam dan layu. "Terlambat," ucapku.
Tawa seorang pria menggema di seluruh penjuru gunung.
"Perkataanmu benar." Suara itu menggelegar. Tampak dua pria berdiri di mulut
gua-seorang pemuda dengan penutup mata dan pria setinggi tiga meter setengah
dengan seragam penjara compang-camping. Aku mengenali pemuda itu: Ethan
Nakamura, putra Nemesis. Dia memegang pedang yang belum jadi itu-pedang
bermata ganda dari logam Stygian dengan desain kerangka terukir di bagian
peraknya. Pedang itu belum bergagang, tapi di dasar bilah terdapat sebuah kunci
emas, persis seperti yang kulihat dalam ciptaan Persephone.
Pria raksasa di sebelahnya memiliki mata yang sepenuhnya perak. Wajahnya
dipenuhi cabang tak beraturan dan rambut kelabunya mencuat ke segala arah. Dia
terlihat kurus dan lesu di balik seragam penjaranya yang koyak, seolah dia baru
saja menghabiskan beberapa ribu tahun terakhir terjebak di dasar sebuah lubang.
Meskipun terlihat sangat lemah, dia juga tampak sangat mengerikan. Dia
mengulurkan tangannya dan sebuah lembing raksasa mewujud. Aku teringat
perkataan Thalia tentang Iapetus: Namanya berarti 'Sang Penikam' sebab itulah
yang suka dilakukannya terhadap semua musuhnya.
Titan itu tersenyum sadis. "Dan, sekarang aku akan menghancurkan kalian."
"Tuan!" potong Ethan. Dia mengenakan pakaian hijau miiter ditambah ransel di
punggungnya. Penutup mata cekung, wajahnya belepotan abu dan keringat. "Kita
sudah memegang pedangnya. Kita harus-"
"Ya, ya," hardik si Titan. "Kerjamu sangat bagus, Nawaka."
"Namaku Nakamura, Tuan."
"Terserahlah. Aku yakin saudaraku Kronos akan memberimu hadiah. Tapi, kita
harus membunuh mereka terlebih dahulu"
"Tuanku." Ethan bersikukuh. "Anda belum memiliki kekuatan penuh. Kita harus
segera naik dan memanggil saudara Anda dari dunia atas. Perintah kita sekarang
adalah kabur." Sang Titan berpaling padanya. "KABUR" Kau bilang KABUR?"
Permukaan tanah berguncang. Ethan jatuh terduduk dan merangkak mundur.
Pedang Hades terjatuh ke bebatuan. "T-tuan, kumohon-"
"IAPETUS TIDAK PERNAH KABUR! Aku telah menunggu tiga miliar tahun
untuk dikeluarkan dari lubang itu. Aku ingin membalas dendam, dan aku akan
memulainya dengan membunuh kroco-kroco ini!"
Dia menodongkan lembingnya ke arahku dan menyerang.
Jika dia berkekuatan penuh, aku yakin dia akan berhasl menikam tembus tubuhku.
Meski lemah dan baru keluar dari dalam lubang, pria itu sungguh gesit. Dia
bergerak seperti tornado, mengayunkan senjatanya dengan sangat lincah hingga
aku nyaris tak sempat menunduk sebelum lembingnya menembus batu di tempatku
berdiri. Aku nyaris tak sanggup mengangkat pedangku karena pening. Iapetus mencabut
lembingnya dari tanah berbatu, tapi saat dia berbalik menghadapiku, Thalia
memanah sisi tubuh raksasa itu, mulai dari bahu hingga lututnya. Iapetus meraung
dan berbalik menghadapi gadis itu, kini jauh lebih marah karena terluka. Ethan
Nakamura mencoba menghunus pedangnya sendiri, tapi Nico memekik,
"Sepertinya tidak!"
Permukaan tanah di depan Ethan meledak. Tiga kerangka berbaju perang
memanjat keluar dan melawannya, mendesaknya kembali. Pedang Hades masih
tergeletak di atas bebatuan. Seandainya aku bisa mencapainya ....
Iapetus menyabetkan lebingnya dan Thalia melompat mundur. Dia menjatuhkan
busur untuk mencabut belatinya, tapi dia tak akan bertahan lama dalam
pertarungan jarak pendek.
Nico membiarkan Ethan ditangani oleh para kerangka. Kemudian, dia menyerang
Iapetus. Aku mendahuluinya. Aku merasakan bahuku akan meledak, tapi aku
melontarkan diriku ke arah sang Titan sambil membacokkan Reptide, berusaha
melukai kaki bawahnya. "AHHH!" Darah emas menyembur dari lukanya. Iapetus berputar dan batang lembingnya
membentur tubuhku, membuatku terlempar.
Tubuhku menghantam bebatuan, tepat di sebelah Sungai Lethe.
"KAU MATI LEBIH DULU!" raung Iapetus sambil terpincang-pincang
menghampiriku. Thalia mencoba mendapat perhatiannya dengan melecutkan
cemeti listrik dari belati, tapi gadis itu tak ubahnya seekor nyamuk bagi si
Titan. Nico menusukkan pedangnya, tapi Iapetus melemparkan Nico ke samping tanpa
perlu melihatnya. "Aku akan membunuh kalian semua! Lalu, aku akan membuang
jiwamu ke dalam kegelapan abadi Tartarus!"
Ada begitu banyak kunang-kunang di mataku. Aku nyaris lumpuh. Beberapa
sentimeter lagi maka aku akan terjerembab ke dalam sungai.
Sungai itu. Aku menelan ludah, berharap pita suaraku masih berfungsi. "Kau-kau bahkan
lebih jelek dari putramu." Aku memanas-manasi sang Titan. "Aku bisa melihat
dari mana Atlas mewarisi kebodohannya."
Iapetus menggeram. Dia terhuyung ke depan, mengangkat lembingnya.
Aku tak tahu apakah aku masih cukup kuat, tapi aku harus mencobanya. Iapetus
menghujamkan lembing menembus tanah di sisiku. Aku meraih ke atas dan
merenggut kerah bajunya, dengan keyakinan bahwa dia terluka dan
keseimbangannya terganggu. Dia mencoba memperbaiki kuda-kudanya, tapi aku
menariknya ke depan dengan seluruh bobot tubuhku. Dia tersandung dan jatuh,
menggamit lenganku dengan panik dan kami berdua tercebur ke dalam Sungai
Lethe. BYURRR! Aku terbenam dalam air hitam.
Aku memohon kepada Poseidon supaya perlindunganku berfungsi, dan saat aku
tenggelam ke dasar, aku menyadari bahwa tubuhku masih kering. Aku masih ingat
namaku sendiri. Dan aku masih meremas kerah baju sang Titan.
Arus seharusnya membuat Iapetus terlepas dari tanganku, tapi entah mengapa
sungai membelah di sekitarku, seolah enggan mengusik kami.
Dengan sedikit tenaga yang tersisa, aku memanjat keluar dari air, menyeret
Iapetus dengan tanganku yang tidak terluka. Kami berdua terkapar di bantaran sungai-
tubuhku kering sepenuhnya, tapi sang Titan basah kuyup. Mata peraknya sebesar
bulan. Thalia dan Nico berdiri di atasku sambil memandang takjub. Di dekat gua, Ethan
Nakamura baru saja membelah kerangka yang terakhir. Dia berbalik dan terpana
saat menyadari sekutu Titannya terkapar di tanah.
"Tu-Tuanku?" panggilnya.
Iapetus duduk dan memandangnya. Kemudian, dia memandangku sambil
tersenyum. "Halo," sapanya. "Siapa aku?"
"Kau temanku," semburku. "Namamu ... Bob."
Hal itu tampak membuatnya sangat senang. "Aku temanmu, Bob!"
Jelas sudah, Ethan menyadari rencananya berantakan. Dia melirik pedang Hades
yang tergeletak di tanah, tapi sebelum dia sempat mengulurkan tangannya, panah
perak berdesing dan menancap tak jauh dari kakinya.
"Tidak bisa, Nak." Thalia mengancamnya. "Satu langkah lagi dan aku akan
memaku kakimu ke batu."
Ethan berlari-langsung ke dalam gua Melinoe. Thalia membidikkan panah ke
punggungnya, tapi aku berkata, "Jangan. Biarkan dia pergi."
Dia memberengut, tapi bersedia menurunkan busurnya.
Aku tak yakin kenapa aku ingin membiarkan Ethan hidup. Mungkin karena aku
merasa sudah terlalu banyak pertarungan yang kami alami hari ini, dan sebenarnya
aku juga merasa kasihan pada anak itu. Dia pasti mendapatkan kesulitan besar
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat dia melapor ke Kronos. Nico memungut pedang Hades dengan takzim. "Kita berhasil. Kita sungguh
berhasil mendapatkannya."
"Sungguh?" tanya Iapetus. "Aku juga membantu?"
Aku berhasil menyunggingkan senyum lemah. "Ya, Bob. Aksimu hebat."
Kami mendapat tumpangan kilat untuk kembali ke istana Hades. Nico
mengirimkan berita terlebih dahulu, dengan bantuan hantu yang dipanggilnya dari
bawah tanah. Beberapa menit kemudian, Tiga Fury sendiri yang datang untuk
mengangkut kami. Mereka enggan menyeret Bob sang Titan, tapi aku tak tega
meninggalkannya, terutama setelah dia menyadari ada luka di bahuku, lalu dia
berkata, "Owie," dan dia menyembuhkan lukaku dengan sentuhan.
Selanjutnya, setelah kami tiba di ruang singgasana Hades, aku merasa kuat. Raja
kematian duduk di singgasana tulangnya, memandang kami dengan muka keruh
dan mengelus janggutnya seolah sedang mempertimbangkan cara terkeji untuk
menyiksa kami. Persephone duduk di sebelahnya, tak mengucapkan sepatah kata
pun, saat Nico menjelaskan petualangan kami.
Sebelum mengembalikan pedang itu aku bersikeras agar Hades mengambil sumpah
untuk tidak menggunakan pedang itu melawan dewa-dewi lain. Matanya membara
seolah bernafsu untuk membakarku habis, tapi akhirnya dia mengucapkan
sumpahnya dengan menggertakkan gigi.
Nico meletakkan pedang itu di kaki ayahnya dan membungkuk, menunggu
reaksinya. Hades menatap istrinya. "Kau melanggar perintahku."
Aku tak yakin apa yang dibicarakannya, tapi Persephone tidak bereaksi, walaupun
Hades terus menatapnya dengan bengis.
Hades berpaling ke arah Nico. Tatapan matanya sedikit melunak, selunak batu,
alih-alih baja. "Kalian tak akan menceritakan hal ini kepada siapa pun."
"Ya, Tuanku," jawab Nico.
Sang dewa menatapku tajam. "Dan, jika temanmu tidak mampu mengendalikan
lidahnya, aku akan memotongnya."
"Terima kasih kembali," ucapku.
Hades menatap pedang itu. Matanya penuh kemarahan dan sesuatu yang lain-mirip
rasa lapar. Dia menjentikkan jarinya. Para Fury mengepakkan sayap dan turun dari
bagian atas singgahsana. "Kembalikan pedang itu ke bengkel tempa." Hades memberi tahu mereka.
"Tunggu di saa hingga pedang itu selesai, lalu kembalikan padaku."
Para Fury terbang berputar di udara sambil membawa senjata itu, dan aku
bertanya-tanya seberapa cepat aku akan menyesali peristiwa ini. Ada banyak cara
untuk mengakali sumpah, dan aku membayangkan Hades pasti akan
melakukannya. "Anda sangat bijak, Tuanku," ucap Persephone.
"Jika aku memang bijak," raungnya, "aku akan menguncimu di kamar. Sekali lagi
kau melanggar perintahku-"
Dia tak menyelesaikan kalimat ancamannya. Kemudian, Hades menjentikkan jari
dan menghilang ke dalam kelam.
Persephone tampak jauh lebih pucat daripada biasanya. Sesaat dia tampak
merapikan gaunnya, lalu berpaling memandang kami. "Aksi kalian luar biasa,
Demigod." Dia melambaikan tanganya dan tiga tangkai mawar muncul di kaki
kami. "Injaklah, dan bunga itu akan membawa kalian ke dunia makhluk hidup.
Kalian mendapatkan ucapan terima kasih dari Tuanku."
"Aku bisa melihatnya," gumam Thalia.
"Pembuatan pedang itu adalah gagasanmu." Aku menyadari. "Itulah alasan kenapa
Hades tidak ada di sana saat kau menyampaikan misi tersebut. Hades tidak tahu
pedang itu hilang! Dia bahkan tidak tahu benda itu ada."
"Omong kosong," bantah sang dewi.
Nico mengepalkan tinjunya. "Percy benar. Kau ingin Hades membuat sebilah
pedang. Dia menolak permintaanmu. Dia tahu pedang itu terlalu berbahaya. Dewa
yang lain tak akan memercayainya lagi. Pedang itu akan merusak keseimbangan
kekuasaan." "Lalu, pedang itu dicuri," ucap Thalia. "Kau menutup Dunia Bawah, bukan Hades.
Kau tak bisa memberi tahu Hades kejadian yang sebenarnya. Dan, kau
membutuhkan kami untuk menemukan pedang itu sebelum Hades tahu sendiri.
Kau memanfaatkan kami."
Persephone membasahi bibirnya. "Yang paling penting sekarang Hades telah
menerima pedang itu. Dia akan menyelesaikannya, dan suamiku akan menjadi
sama kuatnya dengan Zeus atau Poseidon. Istana kami akan terlindungi dari
Kronos ... atau siapa pun yang mengancam kami."
"Dan, kami turut bertanggung jawab atas hal ini," ucapku penuh penyesalan.
"Kalian sangat membatu." Persephone mengakui. "Mungkin sebuah hadiah untuk
membungkam-" "Enyah kau," ucapku, "sebelum aku membawamu ke Sungai Lethe dan
menenggelamkanmu. Bob akan membantu. Bukan begitu, Bob?"
"Bob akan membantumu!" sahut Iapetus riang.
Mata Persephone melebar, lalu dia pun lenyap meninggalkan hujan bunga daisy.
Nico, Thalia, dan aku saling berpamitan di sebuah balkon yang menghadap padang
Ashpodel. Bob sang Titan duduk di dalam, membangun rumah-rumahan dari
tulang dan terbahak-bahak setiap kali semuanya runtuh.
"Aku akan mengawasinya," ucap Nico. "Kini dia tidak berbahaya. Mungkin ... aku
tidak tahu. Mungkin kita bisa melatihnya untuk melakukan hal baik."
"Kau yakin kau ingin tinggal di sini?" Aku bertanya. "Persephone akan membuat
hidupmu merana." "Aku terpaksa." Dia bersikeras. "Aku harus tetap dekat dengan ayahku. Dia butuh
penasihat yang lebih baik."
Aku tidak bisa membantah hal itu. "Well, jika kau butuh bantuan apa pun-"
"Aku akan memanggil kalian." Dia berjanji. Dia berjabat tangan dengan Thalia dan
aku. Dia berbalik untuk pergi, tapi dia melihatku sekali lagi. "Percy, kau belum
lupa tawaranku?" Entakan rasa ngeri merambati merambati tulang punggungku. "Aku masih
mempertimbangkannya."
Nico mengangguk. "Yah, kapan pun kau siap."
Setelah dia pergi, Thalia bertanya, "Tawaran apa?"
"Sesuatu yang dikatakannya akhir musim panas lalu," ucapku. "Sebuah cara yang
mungkin bisa mengalahkan Kronos. Itu berbahaya. Dan, aku sudah cukup banyak
mengalami peristiwa berbahaya dalam satu hari ini."
Thalia mengangguk. "Kalau begitu, kalian masih mau makan malam?"
Aku tak dapat menahan senyum. "Setelah semua yang kita alami, kau masih
lapar?" "Hey," sahutnya, "makhluk abadi pun perlu makan. Aku mempertimbangkan
burger keju di McHale's."
Kemudian, bersama-sama kami pun menginjak mawar yang akan memulangkan
kami ke dunia atas. Bab 5 DUA BELAS DEWA OLYMPIA +2
Daftar Nama Dewa-Dewi Olympia
Dewa/Dewi - Wilayah Kekuasaan - Binatang/Simbol
Zeus - langit - elang, petir
Hera - Keibuan, pernikahan - sapi (hewan keibuan), singa, merak
Poseidon - laut, gempa bumi - kuda, trisula
Demeter - pertanian - bunga poppy merah, gandum
Hephaestus - pandai besi - landasan tempa, burung puyuh-melompat canggung
seperti dirinya Athena - kebijaksaan, peperangan, kriya - burung hantu
Aphrodite - cinta - burung dara, ikat pinggang ajaib-yang membuat pria terpikat
padanya Ares - perang - babi hutan, lembing berdarah
Apollo - musik, obat-obatan, panah, bujangan - tikus, lira
Artemis - gadis perawan, perburuan - beruang betina
Hermes - pengelana, pedagang, pencuri, pembawa pesan - tongkat caduceus, helm
dan sandal bersayap Dionysus - minuman anggur - harimau, buah anggur
Hestia - rumah dan perapian - bangau-menyerahkan kursi dewan untuk Dionysus
Hades - Dunia Bawah - helm kegelapan
Bab 6 BONUS Tongkat Serapis. Petualangan Annabeth Chase & Sadie Kane
HINGGA dia melihat si monster berkepala dua, Annabeth tak menduga harinya
bisa menjadi lebih buruk.
Sedari pagi dia telah mengerjakan tugas tambahan dari sekolah. (Membolos secara
rutin demi menyelamatkan dunia dari ancaman monster dan dewa-dewi Yunani
yang culas memorak-porandakan nilai sekolahnya.) Lalu dia menolak ajakan
nonton pacarnya, Percy dan teman-temannya supaya dia bisa mengikuti tes masuk
program magang musim panas di firma arsitektur lokal. Celakanya, otak Annabeth
tidak bisa berpikir jernih. Dia yakin wawancaranya tidak berjalan mulus.
Akhirnya, sekitar pukul empat sore, dia melangkah gontai menembus Washington
Square Park menuju stasiun subway dan menginjak seonggok kotoran sapi yang
masih hangat. Dia menatap nyalang ke angkasa. "Hera!"
Para pejalan kaki yang lain menatapnya heran, tapi Annabeth tidak peduli. Dia
sudah muak dengan lelucon konyol para dewi. Annabeth sudah menyelesaikan
begitu banyak misi untuk Hera, tapi sang Ratu Surga masih tega memberinya
hadiah dari binatang keramatnya tepat di jalan yang hendak dipijak Annabeth.
Sang dewi pasti telah melepaskan sekawanan sapi tak kasat mata untuk berpatroli
di segala penjuru Manhattan.
Saat Annabeth tiba di stasiun West Fourth Street, dia merasa sangat letih dan
jengkel. Dia ingin secepatnya menumpang kereta F yang mengarah ke tempat
tinggal Percy. Sudah terlambat untuk nonton film, tapi mungkin bisa makan malam
bareng atau semacamnya. Lalu dia melihat monster itu.
Annabeth sudah sering melihat makhluk super aneh sebelumnya, tapi monster itu
jelas masuk dalam daftar "Apa yang Ada Dalam Benak Dewa-Dewi?" Monster itu
tampak seperti seekor singa dan seekor serigala yang digencet jadi satu, dengan
bagian pantat dijejalkan lebih dulu ke sebuah cangkang kelomang.
Cangkangnya sendiri berbentuk spiral, kasar, dan berwarna cokelat, mirip contong
es krim-panjangnya sekitar dua meter dan ada garis patahan bergigi di bagian
tengahnya, seolah cangkang itu pernah terbelah lalu disatukan lagi dalam lem.
Dari lubang cangkang atas bagian kiri mencuat kaki depan dan kepala serigala kelabu,
dan di bagian kanannya, singa berambut keemasan.
Kedua binatang itu tampak kesal karena harus berbagi sebuah cangkang. Mereka
menyeretnya menyusuri peron. Bagian belakang cangkang bergoyang ke kanan
dan kiri saat mereka menyeretnya ke arah yang berbeda. Mereka menggeram satu
sama lain dengan kesal. Lalu keduanya mematung dan mendengus nyaring.
Para penumpang berlalu-lalang dengan cepat. Sebagian besar berbelok
menghindari si monster dan mengacuhkannya. Yang lain Cuma memberengut dan
tampak jengkel. Annabeth sering melihat pengaruh Kabut sebelumnya, tapi dia selalu tercengang
pada kemampuan tirai ajaib itu memutar balik penglihatan manusia biasa. Kabut
mampu membuat monster yang paling ganas pun terlihat seperti sesuatu yang bisa
dijelaskan-anjing liar, atau mungkin gelandangan yang meringkuk di dalam
kantong tidur. Lubang hidung monster itu mengembang. Sebelum Annabeth sempat memutuskan
tindakan apa yang harus dilakukannya, dua kepala itu menoleh dan menatap liar ke
arahnya. Annabeth mencari-cari pisaunya. Lalu dia teringat bahwa dia tidak sedang
membawa pisau. Saat itu, satu-satunya senjata yang paling mematikan adalah tas
ranselnya, yang penuh dengan buku-buku arsitektur berat dari perpustakaan umum.
Annabeth mengatur napas. Kini monster itu berdiri sekitar sepuluh meter darinya
Berduel dengan seekor singa-serigala-kelomang di tengah keramaian subway
bukanlah pilihan pertamanya, tapi jika harus, dia akan melakukannya. Sebab dia
adalah putri Athena. Annabeth memelototi monster itu, seolah ingin memberitahunya bahwa dia tidak
main-main. "Majulah, kau, Kelomang," ancamnya. "Kuharap kau mampu menahan rasa sakit."
Kepala singa dan serigala memamerkan taring-taringnya. Lalu permukaan lantai
bergemuruh. Udara menyembur dari dalam terowongan saat sebuah kereta tiba.
Monster itu menggeram ke arah Annabeth. Dia bersumpah mata makhluk itu
memancarkan penyesalan, seolah membatin, aku bernafsu sekali untuk
mengganyangmu, tapi aku masih punya urusan di tempat lain.
Lalu si Kelomang berbalik dan pergi, menyeret cangkang raksasaya di
belakangnya. Ia lenyap setelah menaiki tangga, mengarah ke kereta A.
Sesaat, Annabeth terlalu terkejut hingga tak mampu bergerak. Jarang sekali dia
bertemu sosok monster yang mengacuhkan demigod seperti itu.
Setiap ada kesempatan, segala macam monster selalu menyerang.
Jika kelomang berkepala dua itu memiliki urusan yang lebih penting daripada
membunuhnya, Annabth merasa perlu untuk mengetahui hal itu. Dia tak rela
membiarkan si monster pergi begitu saja. Dia tak aka membiarkan si monster
melanjutkan rencana kejinya dan menaiki alat transportasi umum dengan gratis.
Dengan sendu Annabeth menatap kereta F yang akan membawanya ke tempat
tinggal Percy. Lalu dia berlari menaiki tangga untuk mengejar si monster.
Annabeth melompat dan mendarat di dalam kereta tepat sebelum pintu tertutup.
Kereta bergerak meninggalkan peron dan masuk ke dalam terowongan yang gelap.
Neon di langit-langit berkedip-kedip. Para penumpang bergoyang mengikuti irama
kereta. Setiap kursi terlah terisi. Selusin penumpang lain berdiri sambil
mengayunayun dan berpegangan pada selusur tiang besi.
Annabeth tak melihat si Kelomang hingga seseorang di depan memaki, "Hati-hati
kalau jalan, dasar sinting!"
Si serigala-singa-kelomang merangsek ke depan sambil menggeram buas ke arah
semua orang, tapi mereka bertingkah layaknya penumpang-subway-New-Yorkkesal
biasa. Mungkin yang mereka lihat hanyalah seorang pria gelandangan yang
mabuk. Annabeth membuntutinya. Saat si Kelomang mengungkit pintu yang menuju ke gerbong lain dan
memasukinya, Annabeth memperhatikan bahwa cangkangnya bersinar redup.
Apakah si monster bersinar seperti itu sebelumnya" Di sekitar tubuh monster itu
tampak simbol Yunani, simbol astrologi, dan aksara gambar. Hieroglif Mesir.
Rasa dingin merambat di antara tulang belikat Annabeth. Dia ingat sesuatu yang
diceritakan Percy beberapa minggu lalu-tentang sebuah pertemuan mustahil yang
dialami Percy. Saat itu Annabetj menduga kekasihnya cuma bercanda.
Tapi kini .... Dia menyeruak maju di tengah kerumunan, terus mengikuti langkah di Kelomang
ke gerbong depan. Kini cangkang makhluk itu jelas kian terang. Saat Annabeth semakin mendekat,
dia mulai merasa mual. Dia merasakan sensasi sentakan hangat di bagia perutnya,
seolah ada kail yang tersangkut di pusarnya, menariknya ke arah si monster.
Annabeth berusaha menenangkan diri. Dia mencurahkan hidupnya untuk
mempelajari berbagai roh Yunani Kuno, hewan buas, dan daimon. Pengetahuan
adalah senjatanya paling utama. Tapi si Kelomang berkepala dua ini-Annabeth
sama sekali tidak tahu asal-usulnya. Naluri alaminya seolah buta sama sekali
Dia berharap dia punya teman untuk bertempur. Dia membawa ponsel, tapi
seandainya ada sinyal di dalam terowongan, siapa yang akan dihubunginya"
Sebagian besar demigod tidak membawa ponsel. Percy berada di bagian lain kota.
Sebagian besar temannya berada di Perkemahan Blasteran di pesisir utara Long
Island. Si Kelomang terus merangsek ke gerbong depan.
Saat Annabeth telah berhadapan dengan si Kelomang di gerbong depan, aura
monster itu terasa begitu kuat hingga para penumpang lain mulai memperhatikan.
Sebagian penumpang tampak tercekik dan membungkuk di atas tempat duduknya,
seolah seseorang baru saja membuka selemari besar roti lapis busuk. Yang lain
langsung pingsan dan ambruk di lantai.
Annabeth merasa sangat mual. Dia ingin mundur tapi sensasi kail di pusarnya
terus menarik-narik, menyeretnya paksa ke arah si monster.
Kereta berderak saat mulai melambat di stasiun Fulton Street. Segera setelah
pintu terbuka, semua penumpang yang masih siuman berebut keluar. Kepala serigala si
Kelomang mencaplok ke arah seorang wanita, merenggut dompetnya saat wanita
malang itu berusaha kabur.
"Hei!" hardik Annabeth.
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Kelomang membiarkan wanita malang itu pergi.
Kedua pasang mata monster itu terpaku pada Annabeth, seolah membatin: Kau
punya permohonan sebelum mati"
Lalu si Kelomang mendongakkan kepala dan mengaum-melolong secara
bersamaan. Empasan suara monster itu bagaikan tusukan paku tajam di kening
Annabeth. Jendela-jendela kereta hancur berkeping-keping. Para penumpang yang
tadinya pingsan terkejut dan kembali sadar. Beberapa berusaha merangkak ke arah
pintu. Sebagian lain merangkak keluar melewati jendela yang pecah.
Melalui pandangan matanya yang kabur, Annabeth melihat monster itu menekuk
kaki depannya yang berlarian, mendekam dan siam menerkam.
Waktu melambat. Annabeth tak menyadari bahwa pintu yang pecah telah kembali
menutup. Kereta yang kini kosong itu meninggalkan stasiun.
Apakah si masinis tidak menyadari bencana yang baru terjadi" Apakah kereta itu
menggunakan pengendali otomatis"
Kini jarak Annabeth hanya tiga meter dari si monster. Dia mengamati detail lain
dari tubuh makhluk itu. Aura merah monster itu tampak kian terang di sepanjang
bekas pecah pada cangkangnya. Aksara Yunani yang berpendar dan hieroglif
Mesir menyembur keluar mirip gas vulkanik dari retakan dasar laut yang dalam.
Kaki depan singa itu dicukur di bagian pergelangannya, ditato setrip-setrip
hitam kecil. Selembar label oranye bertuliskan $99.99 masih menancap di telinga kiri
si serigala. Annabeth meremas tali bahu ranselnya. Dia bersiap untuk melibaskannya ke arah
si monster, yapi dia sadar hal itu tidak mematikan. Alih-alih Annabeth
mengandalkan taktik yang biasa dilakukannya saat menghadapi musuh yang lebih
kuat. Dia mengajaknya ngobrol.
"Kalian terbuat dari dua bagian yang berbeda," sahut Annabeth. "Kalian
seperti ... bagian-bagian patung hidup. Kalian digabungkan menjadi satu?"
Kalimat itu sekadar dugaan belaka, tapi geram si singa meyakinkan Annabeth
bahwa dugaannya jitu. Si serigala menggigit kecil pipi si singa, seolah
menyuruhnya tutup mulut. "Kalian tidak biasa bekerja sama," tebak Annabeth. "Pak Singa, ada kode petunjuk
identitas di kakimu. Kau tadinya sebuah artefak di museum. Mungkinkah kau
berasal dari Musium Seni Metropolitan?"
Singa itu mengaum lantang, lutut Annabeth terasa goyah.
"Sepertinya dugaanku benar. Dan kau, Pak Serigala ... Label arga di telingamu
itu ... tadinya kau barang jualan di toko barang antik?"
Sementara itu, kereta terus menembus terowongan di bawah East River. Angin
dingin menderu menembus jendela yang bolong dan membuat gig-gigi Annabeth
bergemelutuk. Seluruh instingnya mendesak Annabeth untuk segera kabur, tapi persediaannya
seolah lenyap. Aura monster itu kian terang, memenuhi udara dengan simbol kabut
dan cahaya semerah darah.
"Kau ... semakin kuat." Annabeth menyadari sesuatu. "Kau sedang menuju ke
suatu tempat, kan" Dan semakin dekat, kau semakin-"
Dua kepala monster itu kembali meraung bersamaan. Gelombang energi merah
menyapu bagian dalam gerbong. Annabeth berjuang keras mempertahankan
kesadarannya. Si Kelomang melangkah mendekat. Cangkangnya membesar retakan di bagian
tengahnya menyala terang mirip logam cair yang membara
"Tunggu sebentar," erang Annabeth parau. "Aku-aku mengerti sekarang. Kalian
belum selesai dibuat. Kalian masih mencari bagian yang lain. Kepala ketiga?"
Monster itu menghentikan langkahnya. Matanya berkilau waspada, seolah berujar:
Apa kau baru saja baca buku harianku"
Keberanian Annabeth meningkat. Akhirnya dia bisa mengukur kekuatan lawannya.
Dia telah berkali-kali berhadapan dengan makhluk berkepala tiga. Tiga adalah
angka yang umumnya dianut oleh semua makhluk gaib. Jadi, masuk akal juga jika
monster yang ini seharusnya punya satu kepala lain.
Si Kelomang tadinya berbentuk semacam patung, terbagi dalam beberapa
potongan. Lalu sesuatu membangunkannya. Dan monster itu pun berusaha
menyatukan dirinya lagi. Annabeth memutuskan untuk tidak membiarkan hal itu terjadi. Aksara hieroglif
dan Yunani yang melayang di sekitar tubuh monster itu, mirip kabel sekring yang
terbakar. Semua itu memancarkan aura sihir yang secara perlahan meleburkan
struktur sel di dalam tubuh Annabeth, dan hal tersebut jelas terasa salah.
"Kau jelas bukan monster Yunani, 'kan?" terka Annabeth. "Kau berasal dari
Mesir?" Si Kelomang tidak menyukai terkaan itu. Ia memamerkan taringnya dan bersiap
untuk menerkam. "Waduh, jangan dulu," sahut Annabeth. "Kalian belum sepenuhnya kuat, bukan"
Jika kalian menyeragku sekarang, kalian pasti kalah. Lagi pula, kalian tak
memercayai satu sama lain."
Si kepala singa menelengkan kepalanya dan menggeram.
Annabeth berpura-pura tampak terkejut. "Pak Singa! Kok kau berani bicara begitu
soal Pak Serigala?" Si kepala singa berkedip.
Si kepala serigala melirik si kepala singa dan menggeram curiga.
"Dan Pak Serigala!" Annabeth tersedak, "Seharusnya kau tidak berkata kasar
seperti itu kepada temanmu!"
Dua kepala binatang itu saling berhadapan, saling tarik ke arah yang berbeda.
Annabeth sadar dia cuma berhasil menipu mereka beberapa detik. Dia memeras
otaknya, berusaha menentukan jenis makhluk itu dan bagaimana cara
mengalahkannya; tapi makhluk itu sama sekali tidak mirip dengan segala hewan
gaib yang pernah dipelajarinya di Perkemahan Blasteran.
Dia mempertimbangkan untuk berdiri di belakang monster itu, mungkin dia bisa
memecahkan cangkangnya; tapi sebelum mendapat kesempatan, kereta melambat.
Mereka berhenti di stasiun High Street, perhentian pertama di Brooklyn.
Anehnya peron itu tampak kosong, tapi kilatan cahaya di tangga keluar menarik
perhatian Annabeth. Seorang gadis pirang berbaju putih tampak mengayunkan
sebatang tongkat kayu. Dia berusaha menghatam binatang aneh yang melilit
kakunya sambil mengonggong marah. Di bahu ke atas, makhluk itu mirip anjing
Labrador Retriever hitam, bagian tubuh yang seharusnya adalah perut dan kaki
belakang tampak meruncing kasar, mirip ekor berudu yang mengapur dan kaku.
Sesuatu mendadak terlintas di benak Annabeth: Itu bagian yang ketiga.
Gadis pirang itu memukul moncong si anjing. Tongkatnya menyala keemasan, dan
anjing itu terempas ke belakang-langsung masuk ke dalam sebuah jendela yang
bolong hingga menghantam ujung gerbong yang ditumpangi Annabeth.
Gadis pirang itu mengejar buruannya. Dia melompat masuk tepat saat pintu
gerbong tertutup dan kereta meninggalkan stasiun.
Selama beberapa saat mereka semua berdiri mematung di sana-dua gadis melawan
dua monster. Annabeth mencermati gadis pirang yang berdiri di ujung gerbong itu, berusaha
menaksir seberapa berbahaya gadis itu.
Si pendatang baru mengenakan celana linen putih dan blus yang sama, mirip
seragam karate. Sepatu bornya yang berujung baja jelas menyakitkan ketika
digunakan dalam pertarungan. Tas ransel nilon biru tersampir di bahu kirinya,
benda mirip gading melengkung-sebuah bumerang" -tergantung di tali bahu
tasnya. Tapi senjata gadis itu yang paling menggentarkan adalah tongkat kayu
putihnya-panjangnya sekitar satu setengah meter, memiliki ukiran kepala elang,
dan seluruh bagiannya menyala mirip perunggu Langit.
Annabeth menatap mata gadis itu, dan seketika dirinya dilanda deja vu yang
begitu hebat. Si gadis Karate berusia tak lebih dari tiga belas tahun. Matanya biru cerah,
mirip anak Zeus. Rambutnya yang pirang dan panjang dicat ungu bergaris-garis. Dia
sangat mirip dengan putri Athena-siap untuk berduel, gesit, waspada dan tanpa
rasa takut. Annabeth seperti melihat dirinya sendiri empat tahun silam, ketika
dia pertama kali bertemu dengan Percy Jackson.
Lalu si Gadis Karate berbicara dan buyarlah lamunan Annabeth.
"Baiklah." Dia meniup sejumput rambut ungu yang menutupi wajahnya. "Sebab
yang kualami belum cukup edan hari ini."
Logat Inggris, batin Annabeth. Tapi dia tak sempat merenungkan hal itu lebih
lama. Si anjing-berudu dan si Kelomang berdiri tepat di tengah gerbong, berjauhan
sekitar lima meter, saling menatap dengan takjub. Kini mereka berdua telah
mengatasi keterkejutan mereka. Si anjing melolong - lolongan kemenangan, bak
meneriakkan akhirnya aku menemukanmu! Dan si singa-serigala-kelomang
menerjang untuk menyambutnya.
"Hentikan mereka!" pekik Annabeth.
Dia melompat ke atas punggung si Kelomang dan kaki depan makhluk itu pun
ambruk karena kelebihan beban.
Si gadis pirang memekikkan kata asing "Mar!"
Serangkaian hieroglif emas muncul di udara:
Si anjing terhuyung ke belakang, mengeluarkan bunyi seperti mau muntah seolah
ia baru saja menelan sebuah bola biliar.
Annabeth berjuang keras untuk menundukkan si Kelomang, tapi monster itu dua
kali berat tubuhnya. Ia menegakkan kaki-kaki depannya, dan berusaha
menjatuhkan Annabeth. Dua kepalanya menoleh kebelakang sambil berusaha
mencabik wajah Annabeth. Untungnya Annabeth sering menangkap pegasus liar dan memasanginya kekang di
Perkemahan Blasteran. Dia bisa menjaga keseimbangan sambil melorotkan
ranselnya. Dia menghantamkan buku arsitektur seberat sepuluh kilogram itu ke
kepala singa, lalu melingkarkan tali ransel mengelilingi mulut serigala dan
menariknya ke belakang. Sementara itu, kereta keluar dari terowongan dan gerbong pun kembali diterangi
sinar matahari. Kereta berderak-derak saat mendaki wilayah Queens yang kian
menanjak. Udara segar menyeruak melalui jendela yang pecah. Pecahan kaca yang
gemerlapan laksana menari-nari di permukaan kursi.
Dari sudut matanya, Annabeth melihat si anjing hitam telah pulih dari serangan
muntahnya. Ia menerjang ke arah si Gadis Karate yang mengayunkan bumerang
gadingnya dan menghantam di monster dengan sabetan sinar keemasan.
Annabeth berharap dia bisa melontarkan sinar keemasan. Tapi kenyataannya, yang
dimilikinya sekarang cuma sebuah ransel tolol. Dia berusaha sebisanya untuk
menundukkan si Kelomang, tapi monster itu tampak kian lama kian kuat,
sementara aura yang dipancarkannya kian melemahkan Annabeth. Kepala
Annabeth seperti dijejali kapas gulung. Perutnya bak kaus basah yang dipelintir.
Annabeth tak lagi sadar waktu karena terlalu sibuk bergulat dengan makhluk itu.
Tapi dia sadar dia tak boleh membiarkan makhluk itu bergabung dengan si kepala
anjing. Jika monster tersebut sampai berkepala tiga, mungkin ia takkan bisa
dihentikan lagi. Sekali lagi anjing itu menerjang s Gadis Karate. Kali ini si gadis terjengkang.
Annabeth yang konsentrasinya pecah sesaat, kehilangan pegangannya pada si
Kelomag, dan monster itu pun berhasil menjatuhkannya-hasilnya kepala Annabeth
terbentur pinggiran kursi.
Telinga Annabeth berdenging ngilu saat makhluk itu meraungkan kemenangan.
Gelombang energi marah dan panas menyapu segala penjuru gerbong. Kereta
miring ke satu sisi, dan Annabeth merasa tubuhnya melayang.
Setan Mabok 1 Pendekar Slebor 37 Putri Samudera Gelang Kemala 4