Pencarian

The Demigod Files 1

The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan Bagian 1


The Demigod Files buku pendamping Percy Jackson and The Olympians
Rick Riordan Situs baca scr online ini dibuat khusus pembaca di blog http://cerita-
silat.mywapblog.com tidak untuk blog lain...thank
Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Prolog Demigod Muda yang budiman,
Jika kau membaca buku ini, aku hanya bisa meminta maaf. Hidupmu akan jadi
jauh lebih berbahaya. Saat ini, kau mungkin sudah menyadari bahwa kau bukan manusia biasa. Buku ini
berisi gambaran lebih dalam tentang dunia demigod yang biasanya tidak
diperlihatkan kepada anak manusia biasa. Sebagai penulis senior di Perkemahan
Blasteran, kuharap informasi paling rahasia ini akan memberimu tips dan
pengetahuan yang mungkin bisa membuatmu bertahan hidup selama pelatihanmu.
The Demigod Files berisi tiga petualangan Percy Jackson yang paling berbahaya
dan belum pernah dituliskan sebelumnya. Kau akan menyaksikan pertemuannya
dengan putra Ares yang jahat dan abadi. Kau akan mengetahui kebenaran tentang
naga perunggu, yang telah lama dianggap sebagai legenda Perkemahan Blasteran
belaka. Dan, kau akan mengungkap bagaimana Hades mendapatkan sebuah senjata
rahasia baru, dan bagaimana Percy terpaksa terlibat dalam pembuatan senjata
rahasia baru, dan bagaimana Percy terpaksa terlibat dalam pembuatan senjata itu
tanpa terencana. Cerita-cerita ini tidak dimaksudkan untuk menakutimu, tapi
cerita-cerita ini sangat penting, supaya kau menyadari betapa berbahayanya
kehidupan seorang pahlawan.
Chiron juga telah memberiku izin untuk mempublikasikan wawancara rahasia
dengan sebagian pekemah yang paling berpengaruh, termasuk Percy Jackson,
Annabeth Chase dan Grover Underwood. Harap kau ingat bahwa wawancara ini
bersifat rahasia. Coba bocorkan informasi ini kepada non-demigod, maka Clarisse
akan memburumu dengan lembing elekriknya. Percayalah, kau tak ingin hal itu
sampai terjadi. Yang terakhir, aku melampirkan beberapa gambar untuk membatumu berorientasi.
Kau akan mendapatkan potret dari beberapa karakter di Perkemahan Blasteran
supaya kau bisa mengenali mereka saat kau bertemu muka. Annabeth Chase
mengizinkan kami untuk membuat replika koper perkemahannya. Jadi, kau bisa
tahu benda apa saja yang harus kau bawa untuk musim panas pertamamu, ada juga
peta perkemahan. Aku harap dengan peta itu kau tidak akan tersesat dan dimangsa
oleh monster. Pelajari buku ini dengan saksama sebab petualanganmu sendiri mungkin baru
dimulai. Semoga para dewa-dewi selalu bersamamu, Demigod Muda!
Salam, Rick Riordan Penulis Senior Perkemahan Blasteran Bab 1 Percy Jackson dan Kereta Perang Curian
AKU sedang mengikuti kelas sains jam pelajaran kelima ketika mendengar
keributan di luar. KOAAK! ADUH! KIIIIK! "HIYA!"
Tampaknya seseorang sedang diserang oleh unggas kesurupan, dan percayalah
padaku, aku pernah mengalami situasi semacam itu sebelumnya. Tak seorang pun
menyadari adanya keributan di luar kelas. Kami sedang melakukan percobaan.
Jadi, semua murid berbicara bersamaan, dan tidak sulit bagiku untuk melihat ke
luar jendela sambil berpura-pura mencuci gelas beker.
Dugaanku benar, ada seorang gadis dengan pedang terhunus di gang sekolah.
Gadis itu jangkung dan berotot mirip pemain bola basket. Rambut cokelatnya
begitu kusut. Dia mengenakan celana jin, sepatu bot tentara, dan jaket denim.
Dia tak henti-hentinya membacok sekawanan burung berwarna hitam seukuran burung
gagak. Bulu-bulu mencuat di beberapa tempat di pakaian yang dia kenakan. Di atas
mata kirinya terdapat robekan berdarah. Saat aku mengamatinya, salah satu burung
menembakkan sehelai bulu bak anak panah, dan bulu itu bersarang di bahunya.
Gadis itu menyumpah dan menebas burung itu, tapi ia terbang menjauh.
Sayangnya, aku mengenali gadis itu. Namanya Clarisse, musuh bebuyutanku dari
perkemahan demigod. Clarisse biasanya tinggal di Perkemahan Blasteran
sepanjang tahun. Aku tak tahu apa yang dilakukannya di Upper East Side di tengah
jam sekolah, tapi yang jelas dia sedang berada dalam kesulitan. Dia tak akan
bertahan lebih lama. Aku melakukan satu-satunya hal yang aku bisa.
"Bu White," ucapku, "boleh saya ke kamar kecil" Saya mau muntah."
Kau tahu biasanya guru bilang bahwa kata kunci untuk keluar kelas adalah izin"
Itu tidak benar. Kata kunci yang benar adalah muntah. Kata itu bisa
mengeluarkanmu dari kelas lebih cepat daripada apa pun.
"Sana!" sahut Bu White.
Aku bergegas ke pintu, melepas kacamata pengaman, sarung tangan, dan celemek
lab. Aku mengeluarkan senjataku-sebuah pena yang bernama Reptide.
Tak seorang pun menghentikanku di aula. Aku keluar melalui ruang olahraga. Aku
tiba di gang tepat pada saat Clarisse memukul seekor burung iblis dengan bagian
datar dari pedagnya, mirip pemain bisbol yang mencetak home run. Burung itu
berkuak dan terbang meliuk-liuk, menghantam dinding bata, lalu meluncur ke
dalam tong sampah. Namun, masih ada selusin burung lain yang mengitari gadis
itu. "Clarisse!" pekikku
Dia melototiku seolah tak percaya. "Percy" Apa yang kau-"
Kalimatnya terpotong oleh puluhan panah bulu yang melesat di atas kepalanya dan
berakhir menancap di dinding.
"Ini sekolahku." Aku memberitahunya.
"Sial sekali aku," gerutu Clarisse, tapi dia terlalu sibuk melindungi diri
hingga tak sempat mengeluh lagi. Aku melepas penutup penaku. Ia langsung berubah menjadi sebilah pedang
perunggu dengan panjang semeter, dan langsung bergabung ke dalam pertempuran,
membacok burung-burung, dan menangkis serangan bulu dengan bilah pedangku.
Bersama, aku dan Clarisse menebas dan memukul hingga semua burung berjatuhan
menjadi seonggok bulu di atas tanah.
Kamu berdua tersengal-sengal. Aku mendapat beberapa luka lecet, tidak ada yang
parah. Aku mencabut sehelai bulu yang menancap di lengan bawahku. Bulu itu
tidak menancap terlalu dalam. Asalkan bulu itu tidak beracun, aku pasti baik-
baik saja. Aku mengeluarkan sekantong ambrosia dari saku jaket, yang selalu kusiapkan
untuk kondisi darurat. Aku mematahkannya menjadi dua dan menawarkannya
kepada Clarisse. "Aku tidak butuh bantuanmu," gumamnya, tapi dia mengambil ambrosia dari
tanganku. Kami mengunyah beberapa gigitan-tidak terlalu banyak, sebab kami bisa terbakar
menjadi abu jika menyantap makanan dewa terlalu banyak. Mungkin itulah
mengapa jarang sekali ada dewa yang gendut. Beberapa detik kemudian, luka
robek dan memar di tubuh kami lenyap.
Clarisse menyarungkan pedang dan mengibaskan jaket denimnya. "Baiklah ...
sampai jumpa lagi." "Tunggu!" kataku. "Kau tak bisa pergi begitu saja."
"Tentu saja bisa."
"Apa yang terjadi" Kenapa kau berada jauh dari pekemahan" Kenapa burungburung
itu mengejarmu?" Clarisse mendorongku, atau mencoba melakukannya. Aku sudah hafal
muslihatnya. Aku melangkah ke samping dan membiarkannya terhuyung
melewatiku. "Ayolah," protesku. "Barusan kau hampir terbunuh di sekolahku. Maka ini
menjadi urusanku juga."
"Ini bukan urusanmu!"
"Biarkan aku membantu."
Tarikan napasnya terdengar bergetar. Aku punya firasat dia benar-benar ingin
memukulku, tapi aku juga melihat keputusasaan di matanya, seolah dia mengalami
masalah serius. "Kakak-kakakku," ucapnya. "Mereka sedang mempermainkanku."
"Oh," tanggapku, tak terlalu terkejut. Clarisse punya banyak saudara di
Perkemahan Blasteran. Mereka saling mengusik satu sama lain. Dugaanku, hal itu
pasti akan terjadi sebab mereka putra dan putri dewa perang, Ares. "Kakak
lakilakimu yang mana" Sherman" Mark?"
"Bukan," jawab Clarisse, terdengar jauh lebih ketakutan dari yang pernah
kudengar. "Kakakku yang dewa. Phobos dan Deimos."
Kami duduk di bangku di taman sementara Clarisse bercerita. Aku tidak perlu
kembali ke dalam kelas. Bu White pasti menduga perawat menyuruhku pulang,
dan jam keenam adalah kelas keterampilan. Pak Bell tidak pernah mengabsen
siswanya. "Biar kuluruskan," kataku. "Kau mengambil mobil ayahmu untuk bersenangsenang,
dan sekarang mobilnya lenyap."
"Itu bukan mobil," gerung Clarisse. "Itu kereta perang! Dan, Ayah menyuruhku
untuk membawanya keluar. Ini semacam ... ujian. Aku harus membawanya
kembali sebelum matahari terbenam. Tapi-"
"Kakak-kakakmu membajak mobil itu darimu."
"Membajak kereta itu dariku." Dia mengoreksiku. "Merekalah yang biasanya
mengemudikan kereta perang itu. Dan, mereka tak suka kereta itu dikendarai orang
lain. Jadi, mereka mencuri kereta perang itu dariku dan mengusirku dengan burung
pemanah tolol itu." "Burung itu peliharaan ayahmu?"
Dia mengangguk sedih. "Burung-burung itu menjaga kuilnya. Pada akhirnya, jika
aku tidak menemukan kereta perang itu ...."
Raut wajahnya tampak seolah dia akan benar-benar kehilangan kereta perang itu.
Aku tidak menyalahkannya. Aku pernah melihat ayahnya, Ares, marah
sebelumnya, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Jika Clarisse gagal
mengemban tugas darinya, Ares pasti akan memberinya hukuman berat. Sangat
berat. "Aku aka membantumu," kataku.
Dia memberengut. "Kenapa kau mau melakukannya" Aku bukan temanmu."
Aku tak bisa membantah hal itu. Clarisse memperlakukanku dengan jahat jutaan
kali, tapi aku tidak suka membayangkan dia atau orang lain disiksa oleh Ares.
Aku masih berusaha mencari kata untuk menerangkan hal itu kepadanya saat seorang
pria berkata, "Ooh, lihatlah. Sepertinya dia habis menangis!"
Seorang remaja laki-laki tampak bersandar di tiang telepon. Dia mengenakan
celana jin bolong-bolobg, kaus hitam, dan jaket kulit. Rambutnya ditutupi
bandana. Sebilah pisau tersampir di ikat pinggangnya. Matanya sewarna api.
"Phobos." Clarisse mengepalkan tinjunya. "Mana kereta perang itu, Bajingan?"
"Kau yang menghilangkannya," goda Phobos. "Jangan tanya aku."
"Dasar kau-" Clarisse menghunus pedangnya dan menerjang, tapi Phobos menghilang saat dia
menyabetkan pedangnya. Kini pedang itu menancap di tiang telepon.
Phobos muncul di bangku sebelahku. Dia tertawa, tapi tawanya berhenti saat aku
menempelkan ujung Reptide di lehernya.
"Sebaiknya kau kembalikan kereta perang itu," ancamku padanya, "sebelum aku
hilang kesabaran." Dia menyeringai dan mencoba tampak tegar, setegar yang bisa dilakukannya
dengan pedang menempel di bawah dagu. "Siapa pacar kecilmu ini, Clarisse"
Sekarang kau harus mencari bantuan untuk mengatasi masalahmu"
"Dia bukan pacarku!" Clarisse membentak dan melepaskan pedangnya dari tiang
telepon. "Dia bahkan bukan temanku. Dia adalah Percy Jackson."
Air muka Phobos berubah. Dia tampak terkejut, mungkin juga cemas. "Putra
Poseidon" Bocah yang membuat Ayah marah" Oh, kau keterlaluan sekali, Clarisse.
Kau bergaul dengan musuh bebuyutan?"
"Aku tidak bergaul dengan dia!"
Mata Phobos membara. Clarisse menjerit. Dia menampar-nampar udara seolah sedang diserang nyamuk
tak kasatmata. "Kumohon, jangan!"
"Apa yang kau lakukan padanya?" sergahku.
Clarisse mundur ke jalanan, sambil terus mengayun-ayunkan pedangnya dengan
liar. "Hentikan!" Aku mengancam Phobos. Aku menekan ujung pedangku lebih dalam
di lehernya, tapi dia menghilang, lalu muncul lagi di tiang telepon.
"Jangan khawatir, Jackson," sahut Phobos. "Aku hanya cuma menunjukkan hal
yang ditakutinya." Bara di matanya meredup. Clarisse tersungkur, napasnya memburu, "Dasar penipu," gagapnya. "Aku akan ...
membalasmu." Phobos berbalik menghadapiku. "Bagaimana denganmu, Percy Jackson" Apa yang
kau takuti" Aku pasti akan mengetahuinya. Aku selalu mengetahuinya."
"Kembalikan kereta perang itu." Aku berusaha tetap tenang. "Aku pernah
berhadapan dengan ayahmu. Aku tidak takut denganmu."
Phobos terbahak. "Tak ada yang harus ditakuti, kecuali rasa takut itu sendiri.
Bukankah itu yang mereka katakan" Nah, kuberi tahu kau rahasia kecil, Blasteran.
Akulah rasa takut. Jika kau ingin menemukan kereta perang itu, sana ambil saja.
Kereta itu ada di seberang perairan. Kau akan mendapatinya di tempat hidupnya
binatang-binatang kecil-tempat yang sama seperti asalmu."
Dia menjentikkan jari dan menghilang meninggalkan kabut kuning.
Nah, aku harus memberi tahu kalian, aku sering bertemu dengan dewa-dewa minor
dan monster yang tidak kusukai, tapi Phobos-lah yang paling menyebalkan. Aku
benci penindas kaum lemah. Aku belum pernah berteman dengan geng "populer"
di sekolah. Jadi, aku menghabiskan seumur hidup bertahan melawan penindas
yang mencoba menakutiku dan teman-temanku. Cara Phobos menertawaiku dan
membuat Clarisse tersungkur hanya dengan memandangnya .... Aku akan
memberinya pelajaran. Aku membantu Clarisse berdiri. Wajahnya masih dipenuhi butiran keringat sebesar
jagung. "Sekarang kau siap untuk dibantu?" tanyaku.
Kami naik subway, sambil terus mewaspadai serangan lain, tapi tidak ada yang
mengganggu kami. Saat kereta melaju, Clarisse bercerita tentang Phobos dan
Deimos. "Mereka adalah dewa minor," ungkap Clarisse. "Phobos adalah ketakutan. Deimos
adalah teror." "Apa bedanya?" Dia memberengut. "Mungkin Deimos lebih besar dan jelek. Dia ahli dalam
menakuti banyak orang. Phobos, cenderung menakuti orang secara personal. Dia
bisa merasuki benakmu."
"Itukah asal kata phobia?"
"Ya," gerutu gadis itu. "Dia sangat membanggakan hal itu. Segala macam fobia
mengambil nama darinya. Dasar bajingan."
"Lalu, kenapa mereka tidak rela kau menaiki kereta perang itu?"
"Biasanya ini ritual khusus untuk putra Ares saat mereka berumur lima belas
tahun. Aku adalah putri pertama yang mendapatkan kesempatan itu sejak lama."
"Bagus untukmu."
"Katakan hal itu pada Phobos dan Deimos. Mereka membenciku. Aku harus
mengembalikan kereta perang itu ke kuil."
"Di mana kuilnya?"
"Dermaga 86. Museum Kelautan Intrepid."
"Oh." Sekatang hal ini tampak masuk akal setelah merenungkannya. Aku belum
pernah mendatangi perusahaan tua pembuat pesawat itu, tapi aku tahu mereka
memanfaatkannya menjadi semacam museum militer. Mungkin tempan itu
menyimpan banyak senjata, bom, dan berbagai mainan berbahaya lainnya. Tempat
semacam itu biasanya memang dijadikan tempat bermain dewa perang.
"Kita punya waktu sekitar empat jam sebelum matahari terbenam," ucapku.
"Waktunya cukup jika kita bisa menemukan kereta perang itu."
"Tapi, apa maksud Phobos dengan, 'sebrang perairan'" Kita berdiri di atas sebuah
pulau, demi Zeus. Itu bisa berarti dimana saja!"
"Dia mengatakan sesuatu tentang binatang liar." Aku teringat. "Binatang liar
kecil." "Sebuah kebun binatang?"
Aku mengangguk. Sebuah kebun binatang di seberang perairan mungkin adalah


The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebun binatang di Brooklyn, atau mungkin ... tempat lain yang sulit dicapai,
yang ditinggali binatang liar kecil. Tempat yang tak mungkin didatangi seseorang yang
sedang mencari kereta perang.
"Pulau Staten," ucapku. "Di sana ada kebun binatang kecil"
"Mungkin," sahut Clarisse. "Tampaknya tempat semacam itu berpotensi dijadikan
tempat menyimpan barang oleh Phobos dan Deimos. Tapi, jika kita salah-"
"Kita tidak boleh salah."
Kami melompat turun dari kereta di Times Square dan menumpang bus Nomor 1
ke arah pelabuhan feri. Kami menaiki Feri Pulau Staten pukul 15.30, bersama
segerombol wisatawan, yang memadati selusur dek bagian atas, sambil terus
berfoto saat feri melewati Patung Liberty.
"Dia membuat patung itu mirip seperti ibunya," ucapku, sambil menengadah ke
arah patung. Clarisse mengernyitkan kening ke arahku. "Siapa?"
"Bartholdi," jawabku. "Dia pria yang membuat Patung Liberty. Dia adalah putra
Athenam dan dia mendisain patung itu seperti ibunya. Itulah yang diceritakan
Annabeth padaku." Clarisse memutar bola matanya. Annabeth adalah sahabat terbaikku yang juga
penggila arsitektur dan monumen. Keenceran otaknya kadang sedikit menular
padaku. "Percuma," bantah Clarisse. "Jika hal itu tidak membantumu saat bertarung,
informasinya tidak berguna."
Aku bisa saja terus mendebatnya, tapi pada saat itu feri terguncang seolah baru
menghantam sebongkah batu. Para wisatawan terjengkang ke depan, saling
menindih satu sama lain. Clarisse dan aku berlari ke bagian depan kapal. Air di
bawah kami mulai mendidih. Kemudian, kepala ular laut muncul dari air.
Monster itu paling tidak sebesar kapal. Kulitnya berwarna kelabu-hijau dengan
kepala mirip buaya dan bergigi setajam silet. Baunya ... mirip seperti sesuatu
yang baru diangkat dari dasar Pelabuhan New York. Seorang pria dengan zirah Yunani
hitam menunggangi leher ulat itu. Wajahnya dipenuhi luka mengerikan, dan dia
menyandang sebatang lembing.
"Deimos!" pekik Clarisse.
"Halo, Adik!" Senyumnya hampir sama mengerikan dengan ularnya. "Mau
bermain-main?" Monster itu meraung. Para wisatawan menjerit-jerit dan berlari kalag kabut. Aku
tak tahu apa persisnya yang mereka lihat. Kabut biasanya menghalangi manusia
melihat monster dalam wujud aslinya, tapi apa pun yang mereka lihat, itu membuat
mereka sangat ketakutan. "Jangan ganggu mereka!" teriakku.
"Atau apa, Putra Dewa Laut?" ejek Deimos.
"Kakakku bilang kau seorang pengecut! Lagi pula aku suka teror. Aku hidup di
dalam teror!" Dia mengarahkan ular laut itu hingga kepalanya menghantam feri. Kapal terhantam
mundur. Sirine meraung-raung. Para penumpang berjatuhan tumpang-tindih saat
mereka mencoba melarikan diri. Deimos tertawa senang.
"Sudah cukup," gerutuku. "Clarisse, berpegangan."
"Apa?" "Berpegangan pada leherku. Kita akan berenang."
Dia tidak membantah. Dia berpegangan pada leherku, dan aku berkata, "Satu, dua,
tiga-LOMPAT!" Kami melompat dari dek atas dan langsung tercebur ke dalam laut, tapi kami
berada di bawah air hanya sesaat. Aku merasakan kekuatan laut menggelora dalam
diriku. Aku memerintahkan air berpusar mengitariku, membangun kekuatan
hingga kami mengambang di atas puting-beliung air setinggi sepuluh meter. Aku
mengarahkan pusaran air ke arah monster itu.
"Menurutmu kau bisa mengalahkan Deimos?" Aku berteriak pada Clarisse.
"Akan kuusahakan!" balasnya. "Bawa aku mendekat sehingga jarakku sekitar tiga
meter dari dia." Kami melontarkan diri ke arah ular laut itu. Persis saat ia menyingkap
taringnya, aku membelokkan pusaran air ke kanan, dan Clarisse melompat. Dia menabrak
Deimos, dan mereka berdua terjungkal ke laut.
Ular laut itu mengejarku. Dengan cepat, aku mengarahkan pusaran air ke
hadapannya, lalu aku menghimpun seluruh kekuatanku dan memerintahkan air
untuk kian meninggi. BYURR! Lima puluh ribu liter air laut menghantam monster itu. Aku melompat ke atas
kepalanya, melepas penutup Reptide, dan menebas lehernya dengan sekuat tenaga.
Monster itu meraung. Darah hijau menyembur dari lukanya, dan ular itu pun
tenggelam di balik ombak.
Aku menyelam ke dalam air dan menyaksikan saat ia melarikan diri ke laut lepas.
Itulah satu hal baik yang ada pada ular laut: Mereka berubah menjadi pengecut
saat kesakitan. Clarisse menyembul di dekatku, menyemburkan air dan terbatuk-batuk. Aku
berenang ke arahnya dan menahan tubuhnya.
"Kau mengalahkan Deimos?" tanyaku.
Clarisse menggeleng. "Pengecut itu menghilang saat kami bergulat. Tapi, aku
yakin kita akan segera bertemu lagi dengannya. Juga Phobos."
Para wisatawan masih berlari kalang kabut di atas feri, tapi tampaknya tak ada
yang terluka. Kapal tampaknya juga tidak mengalami kerusakan. Aku memutuskan
kami harus menyingkir. Aku menggenggam tangan Clarisse dan memerintahkan
ombak untuk membawa kami ke arah Pulau Staten.
Di ufuk barat, matahari mulai terbenam di pesisir Jersey. Kami kehabisan waktu.
Aku belum pernah menghabiskan banyak waktu di Pulau Staten, dan aku
menyadari bahwa pulau itu jauh lebih besar dari yang kuduga sebelumnya. Pulau
itu juga bukan tempat yang seru untuk berjalan-jalan. Jalanannya berkelok-kelok
membingungkan, dan semuanya terasa menanjak. Tubuhku kering, (aku tak pernah
basah, walau habis berenang di laut, kecuali jika aku menginginkannya) tapi
pakaian Clarisse basah kuyup. Jadi, dia meninggalkan jejak becek di sepanjang
trotoar. Dan parahnya, sopir bus tidak mengizinkan kami naik.
"Kita pasti kehabisan waktu," keluh Clarisse.
"Singkirkan pikiran itu dari benakmu." Aku berusaha terdengar yakin, tapi
sebenarnya aku juga mulai ragu. Aku berharap kami mendapatkan bala bantuan.
Dua demigod melawan dua dewa minor bukanlah pertempuran yang imbang, dan
saat kami bertemu Phobos dan Deimos sekaligus, aku tak yakin apa yang harus
kami lakukan. Aku terus mengingat kalimat yang dilontarkan Phobos: Bagaimana
denganmu, Percy Jackson" Apa yang kau takuti" Aku pasti akan mengetahuinya.
Setelah menyeret diri kami hingga setengah dari panjang pulau, melewati
perumahan pinggiran kota beberapa gereja dan sebuah McDonald's, akhirnya kami
melihat plang yang bertuliskan KEBUN BINATANG. Kami berbelok di sebuah
tikungan dan mengikuti jalanan melengkung yang di kedua sisinya ditumbuhi
pepohonan. Akhirnya kami tiba di pintu masuk.
Wanita penjaga loket karcis memandang kami dengan curiga, tapi terima kasih
dewa-dewi aku masih punya uang kontan untuk membayarnya.
Kami berjalan mengitari rumah reptil, lalu tiba-tiba Clarisse berhenti.
"Itu dia." Kereta itu berdiri di persimpangan antara kandang hewan yang masih kecil dan
kolam berang-berang laut: kereta perang emas besar dan berwarna merah tertambat
pada empat kuda hitam. Kereta perang itu diukir dengan detail yang mengagumkan
dan pasti terlihat sagat artistik seandainya ukirannya tidak menggambarkan siksa
kematian. Keempat kuda penariknya mengembuskan api dari lubang hidung.
Banyak keluarga dengan kereta bayi lewat seolah kereta perang itu tak kasatmata.
Pasti Kabut menyelimutinya dengan sempurna, sebab satu-satunya kamuflase
kereta perang itu hanyalah secarik catatan tangan bertuliskan KENDARAAN
RESMI KEBUN BINATANG. "Mana Phobos dan Deimos?" gumam Clarisse sambil menghunus pedangnya.
Aku tidak melihat mereka di mana-mana, tapi ini pastilah sebuah jebakan licik.
Aku memusatkan pikiranku pada kuda-kuda itu. Biasanya aku bisa berbicara
dengan kuda, sebab ayahku-lah yang menciptakannya. Aku bilang, Hei. Kuda Baik
Bernapas Api. Kemarilah! Salah satu kuda meringkikkan hinaan padaku. Aku bisa memahami jalan
pikirannya, tidak masalah. Dia menyebutkan kata makian yang tidak bisa kuulangi
di sini. "Coba aku tarik kekangnya," ujar Clarisse. "Mereka mengenalku. Lindungilah
aku." "Baiklah." Aku tidak yakin bagaimana aku harus melindunginya dengan sebilah
pedang, tapi aku membuka mataku lebar-lebar saat Clarisse mendekati kereta
perang itu. Dia mengitari kuda-kuda itu sambil berjingkat-jingkat.
Mendadak tubuhnya mematung saat seorag wanita dengan gadis berumur tiga
tahunan lewat. Gadis cilik itu berkata, "Kuda poni api!"
"Jangan bodoh, Jessie," sergah ibunya kaget. "Itu kendaraan resmi kebun
binatang." Gadis cilik itu hendak membantah, tapi si ibu menyeretnya menjauh. Clarisse
semakin dekat dengan kereta perang. Tangannya hampir menyetuh kereta kala
kuda-kuda itu mundur, meringkik dan menyemburkan api. Phobos dan Deimos
muncul di atas kereta, keduanya sekarang mengenakan zirah hitam legam. Phobos
menyeringai, mata merahnya membara. Wajah penuh luka Deimos kian jelek saat
dilihat dari dekat. "Perburuan dimulai!" pekik Phobos. Clarisse terjengkang ke belakang saat Phobos
melecut kudanya dan mengentakkan kereta perang ke arahku.
Seandainya aku bisa memberi tahu kalian bahwa aku telah melakukan suatu aksi
yang heroik, seperti berdiri tegap melawan kereta perang yang ditarik empat kuda
bernapas api hanya dengan sebilah pedang. Namun kenyataannya, aku lari. Aku
berlari melompati tong sampah dan pagar kandang, tapi aku tidak mungkin bisa
mengalahkan kecepatan kereta kuda. Kereta itu menabrak pagar di belakangku,
dan melumat semua yang dilaluinya.
"Percy, awas!" pekik Clarisse, seolah aku perlu diingatkan lagi.
Aku melompat dan mendarat di atas sebuah pulau batu di tengah kandang
berangberang. Aku memerintahkan air untuk membentuk tiang dan mengguyur kudakuda
itu, untuk memadamkan apinya sementara dan membuatnya bingung. Mereka
mengomel dan membentak-bentak, dan aku pikir sebaiknya aku segera menyingkir
dari pulau itu, sebelum si mamalia laut menggila mengejarku juga.
Aku berlari saat Phobos menyumpah dan mencoba mengendalikan kudanya.
Clarisse mengambil kesempatan itu untuk melompat ke punggung Deimos saat dia
baru akan mengangkat lembingnya. Mereka berdua terlempar saat kereta itu
meluncur ke depan. Aku bisa mendengar saat Deimos dan Clarisse mulai bertarung, pedang melawan
pedang, tapi aku tidak sempat mencemaskannya sebab Phobos telah mengejarku
lagi. Aku berlari cepat ke arah akuarium dengan kereta perang di belakangku.
"Hei, Percy!" ejek Phobos. "Aku punya hadiah untukmu!"
Aku menoleh dan melihat kereta perang itu meleleh, kuda-kudanya berubah
menjadi baja dan terlipat-lipat menjadi sosok gumpalan tanah liat tanpa bentuk.
Kemudian, kereta perag itu berubah menjadi kotak baja hitam dengan roda tapak,
lubang pengintai, dan laras raksasa. Sebuah tank. Aku mengenalinya dari
rangkuman yang kubuat untuk kelas sejarah. Phobos cengar-cengir dari atas sebuah
panser Perang Dunia II. "Ucapkan cheese!" ejeknya.
Aku bergulung ke samping saat tank itu menembakku.
DUAR! Kios oleh-oleh meledak. Boneka binatang, gelas plastik dan kamera sekali
pakai terlontar ke segala arah. Saat Phobos membidikku lagi, aku berdiri dan
masuk ke ruang akuarium. Aku ingin menyelubungi diriku dengan air. Hal itu selalu meningkatkan
kekuatanku. Selain itu, mungkin Phobos tidak bisa mengendarai kereta perangnya
melewati ambang pintu. Namun, jika dia menembak melaluinya, aku tetap berada
dalam bahaya .... Aku berlari melintasi ruangan yang berpendar oleh cahaya biru dari tangki ikan.
Sotong, ikan badut, dan belut semuanya menatap saat aku melintas. Aku bisa
mendengar benak mereka saling berbisik, Putra Dewa Laut! Putra Dewa Laut!
Terasa membanggakan saat kau menyadari bahwa kau terkenal di antara para ikan.
Aku berhenti di belakang akuarium dan mendengarkan. Tak terdengar apa pun.
Dan kemudian ... Bruum, Bruum. Deru mesin yang berbeda.
Aku ternganga saat Phobos melintas melewati akuarium dengan mengendarai
Harley-Davidson. Aku sudah pernah melihat sepeda motor itu sebelumnya: Mesin
bercorak api warna hitam, baik sarung senapan dan sadel yang tampak seperti
terbuat dari kulit manusia. Ini adalah motor yang sama yang dikendarai Ares saat
pertama kali kamu bertemu, tapi tak pernah terpikir olehku bahwa motor itu
adalah bentuk lain dari kereta perangnya.
"Halo, Pecundang," sapa Phobos, menghunus pedang besar dari sarungnya.
"Waktunya untuk ketakutan."
Aku mengacungkan pedangku, bertekad untuk menghadapinya, tapi mata Phobos
bersinar kian terang, dan salahku adalah memandang ke mata itu.
Seketika aku berada di tempat yang berbeda. Aku berada di Perkemahan Blasteran,
tempat favoritku di bumi, dan tempat itu terbakar. Hutan terbakar. Kabin
mengepulkan asap. Tiang Yunani di paviliun makan runtuh, dan Rumah Besar
hanya berupa reruntuhan yang membara. Teman-temanku berlutut dan memohon
ampun bersamaku. Annabeth, Grover, dan pekemah yang lainnya.
Selamatkan kami, Percy! Mereka melolong. Ambil keputusan itu!
Tubuhku membeku. Ini adalah saat yang paling kutakutkan: Ramalan yang akan
terjadi saat aku berumur enam belas tahun. Aku harus mengambil sebuah
keputusan yang akan menyelamatkan atau menghancurkan Gunung Olympus.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan saat peristiwa itu terjadi.
Perkemahan terbakar. Teman-temanku memandangiku, memohon bantuan.
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak sanggup bergerak. Bagaimana jika
keputusanku salah" Kemudian, aku mendengar suara ikan dari akuarium: Putra Dewa Laut!
Bangunlah! Tiba-tiba aku merasakan kekuatan laut mengitariku sekali lagi, ratusan liter air
laut, ribuan ikan mencoba menarik perhatianku. Aku tidak berada di perkemahan.
Itu hanya ilusi. Phobos menunjukkan ketakutan terdalamku.
Aku berkedip dan melihat bilah pedang Phobos menebas ke arah kepalaku. Aku
mengangkat Reptide dan menahan serangan itu tepat sebelum kepalaku terbelah
dua. Aku menyerang balik dan membacok lengan Phobos. Darah emas, darah para
dewa, merembes di kausnya.
Phobos meraung dan mengayunkan lagi pedangnya ke arahku. Aku menangkisnya
dengan mudah. Tanpa kekuatan rasa kekuatan rasa takutnya, Phobos bukanlah
musuh yang berat. Dia bahkan bukan peratung yang terampil. Aku menekannya,
membabat wajahnya, dan menghadiahinya sayatan di pipi. Semakin dia marah,
semakin dia canggung. Aku tidak bisa membunuhnya. Dia abadi. Namun, kalian
tidak bisa mengatakan hal itu setelah melihat ekspresi wajahnya. Dewa rasa takut
tampak ketakutan. Akhirnya aku menendangnya hingga terjungkal dan menghantam air mancur.
Pedangnya terlempar ke kamar mandi wanita. Aku merenggut tali baju perangnya
dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Kau harus menyingkir sekarang," ancamku. "Kau harus menjauhi Clarisse. Dan,
jika aku melihatmu lagi, aku akan memberimu luka yang lebih lebar dan
menyakitkan di wajahmu!"
Dia menelan ludah. "Aku aka kembali lain kali, Jackson!"
Kemudian, tubuhnya buyar menjadi uap kuning.
Aku berbalik menghadap ke akuarium. "Terima kasih, Kawan."
Kemudian, aku memandangi motor Ares. Aku belum pernah mengendarai kereta
perang Harley-Davinson bermesin canggih sebelumnya, tapi apa susahnya" Aku
menaikinya, menghidupkan mesin, dan melaju keluar dari ruangan akuarium untuk
membantu Clarisse. Aku tidak mengalami kesulitan untu menemukannya. Aku hanya harus mengikuti
jejak kehancuran yang dibuatnya. Pagar-pagar roboh. Binatang-binatang bebas
berkeliaran. Luak dan lemur berusaha membongkar mesin berondong jagung.
Macan tutul gemuk tampak bersantai di bangku taman dengan bulu burung dara
berserakan disekitarnya. Aku memarkir motor di sebelah kandang hewan yang masih kecil, dan aku melihat
Deimos dan Clarisse di area kambing. Clarisse berlutut. Aku berlari menerjang,
tapi segera behenti saat aku menyadari bahwa Deimos berubah wujud. Sekarang
dia adalah Ares-dewa perang bertubuh jangkung, mengenakan jaket kulit da
kacamata hitam, sekujur tubuhnya berasap karena amarah saat dia mengacungkan
tinjunya ke wajah Clarisse.


The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau gagal lagi!" hardik di Dewa Perang. "Aku sudah memberitahumu apa yang
akan terjadi padamu jika kau gagal lagi!"
Dia mencoba menempeleng Clarisse, tapi gadis malang itu merangkak menjauh
dan memekik, "Jangan! Kumohon!"
"Gadis dungu!" "Clarisse!" jeritku. "Itu hanya ilusi. Lawan dia!"
Sosok Deimos berkedip. "Aku Ares!" Dia bersikeras. "Dan, kau adalah gadis tak
berguna! Aku tahu kau pasti gagal. Sekarang rasakan amarahku."
Aku ingin menerjang dan menyerang Deimos, tapi aku sadar itu tak akan
membantu. Clarisse harus melakukannya sendiri. Itulah ketakutan terbesarnya. Dia
harus mengalahkan ketakutannya sendiri.
"Clarisse!" pekikku. Dia menoleh, dan aku mencoba menahan pandangannya.
"Lawanlah dia!" sahutku. "Dia hanya ilusi. Bangkitlah!"
"Aku tak bisa."
"Ya, kau bisa. Kau adalah seorang pahlawan. Bangkitlah!"
Dia masih bimbang. Kemudian, dia berdiri.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Ares. "Menyembahlah untuk meminta ampun,
Gadis Kecil! Clarisse menarik napas dengan gemetar. Dengan pelan, dia berkata, "Tidak."
"APA?" Clarisse mengacungkan pedangnya. "Aku muak selalu takut padamu."
Deimos menyerang, tapi Clarisse membelokkan serangannya. Gadis itu
terhuyunghuyung, tapi tidak jatuh.
"Kau bukan Ares," ucap Clarisse. "Kau bahkan bukan petarung yang tangguh."
Deimos melolong frustasi. Saat dia menyerang sekali lagi, Clarisse sudah siap.
Gadis itu melucuti senjata Deimos dan menusuk bahunya-tidak dalam, tapi cukup
untuk menyakiti seorang dewa minor.
Dia memekik kesakitan dan tubuhnya mulai bersinar.
"Jangan lihat!" Aku memperingatkan Clarisse.
Kami memalingkan muka saat Deimos meledak menjadi cahaya keemasan-wujud
dewanya yang sesungguhnya-lalu dia lenyap.
Kami sendirian, kecuali si kambing dari kandang bayi binatang yang menarik-narik
kaus kami untuk meminta makanan.
Motor itu telah berubah menjadi kereta perang yang ditarik kuda.
Clarisse memandangku denga hati-hati. Dia mengusap keringat dan jerami dari
wajahnya. "Kau tidak melihat hal itu. Kau tidak melihat apa pun."
Aku tersenyum. "Aksimu hebat."
Dia menatap langit yang telah memerah di balik pepohonan.
"Naik ke kereta," ucap Clarisse. "Perjalanan kita masih panjang."
Beberapa menit kemudian, kami telah tiba di Feri Pulau Staten dan teringat satu
hal penting: kami masih berada di sebuah pulau. Feri itu tidak menampung mobil.
Atau kereta perang. Atau sepeda motor.
"Hebat," gumam Clarisse. "Apa yang harus kita lakukan sekarang" Menyebrangi
Jembatan Verrazano dengan benda ini?"
Kami berdua sadar waktunya tidak cukup. Ada jembatan ke Brooklyn dan New
Jersey, tapi memacu kereta perang melalui kedua jalan itu pasti butuh waktu
berjam-jam sebelum tiba di Manhattan, walaupun jika kami bisa mengelabui
semua orang hingga menganggap kereta itu sebuah mobil biasa.
Kemudian, sebuah gagasan muncul dalam benakku. "Kita ambil rute langsung."
Clarisse mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Aku menutup mata dan mulai berkonsentrasi. "Pacu kereta ini lurus. Ayo!"
Clarisse begitu putus asa hingga tidak ragu lagi. Dia memekik, "Hiya!" lalu
melecut kudanya. Kuda-kuda itu melompat ke air. Aku membayangkan laut
berubah padat, ombak menjadi permukaan padat hingga di Manhattan. Kereta
perang menerjang ombak, asap dari hidung kuda mengepul di sekeliling kami,
kami berderap di puncak ombak dan meluncur lurus ke arah Pelabuhan New York.
Kami tiba di Dermaga 86 tepat saat matahari senja memudar ungu. Kami memacu
kereta ke arah sebentuk dinding baja besar berwarna kelabu, yang adalah museum
Kelautan USS Intrepid atau kuil Ares. Dek pacu penuh dengan pesawat tempur dan
helikopter. Kami memarkir kereta perang di pelataran pesawat, dan aku melompat
turun. Kali ini aku merasa lega karena berada di daratan. Berkonsentrasi untuk
menjaga kereta tetap berada di atas ombak adalah hal terberat yang pernah
kulakukan. Tenagaku terkuras habis.
"Sebaiknya aku menyingkir dari sini sebelum Ares tiba," ucapku.
Clarisse menganggul. "Dia mungkin akan membunuhmu saat melihatmu."
"Selamat," ucapku. "Sepertinya kau lulus ujian mengemudi ini."
Dia menggenggam erat tali kekang. "Tentang yang tadi kau lihat, Percy. Hal yang
aku takuti, maksudku-"
"Aku akan merahasiakannya."
Dia memandangku canggung. "Apakah Phobos juga menakutimu?"
"Ya. Aku melihat perkemahan terbakar. Aku melihat semua temanku memohon
bantuanku, dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Untuk sesaat, aku tak
sanggup bergerak. Aku lumpuh. Aku tahu apa yang kau rasakan."
Dia menurunkan matanya. "Aku, uh ... sepertinya aku harus mengucapkan ...."
Kalimatnya kembali tertelan. Aku ragu Clarisse pernah mengucapkan terima kasih
seumur hidupnya. "Tak perlu kau katakan," sahutku
Aku mulai berjalan menjauh, tapi dia memanggilku, "Percy?"
"Ya?" "Saat kau, uh, mendapatka visi tentang teman-temanmu ...."
"Kau salah satu dari mereka." Aku berjanji. "Tapi jangan bilang siapa-siapa,
oke" Kalau tidak, aku terpaksa harus membunuhmu."
Senyum tipis tersungging di wajah Clarisse. "Sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa."
Aku berjalan ke arah subway. Ini adalah hari yang melelahkan, dan aku siap untuk
pulang. Bab 2 Percy Jackson dan Naga Perunggu
SEEKOR naga bisa merusak harimu.
Percayalah padaku, sebagai seorang demigod aku harus membagikan pengalaman
burukku. Tubuhku pernah dicaplok, dicakar, disembur, dan diracuni. Aku pernah
melawan naga berkepala satu, dua, delapan, sembilan, dan sejenis naga yang jika
kalian berani menyempatkan diri untuk menghitung kepalanya kalian akan tewas
secara mengenaskan. Namun, saat aku bertempur melawan naga perunggu" Aku yakin aku dan temantemanku
akan berakhir dalam potongan-potongan kecil.
Malam berjalan seperti biasa.
Hati itu adalah akhir Juni. Aku sudah kembali dari misiku yang terakhir sekitar
dua bulan sebelumnya, dan kehidupan di Perkemahan Blasteran kembali normal. Para
satir berburu peri pohon. Para monster melolong di hutan. Para pekemah saling
bersenda gurau, dan pemimpin perkemahan kami, Dionysus, mengubah setiap anak
nakal menjadi semak. Hal yang biasa terjadi di perkemahan musim panas.
Setelah makan malam, semua pekemah bersantai di paviliun makan. Kami semua
antusias sebab Permainan Tangkap Bendera malam ini pasti berakhir sengit.
Malam sebelumnya, kabin Hephaestus mendapat kemenangan besar. Mereka
memperoleh bendera dari Ares-dengan bantuanku, terima kasih banyak-yang
artinya kabin Ares bakal haus darah malam ini. Yah ... mereka selalu haus darah,
tapi terutama malam ini. Tim biru berasal dari kabin Hephaestus, Apollo, Hermes, dan aku-satu-satunya
demigod dari kabin Poseidon. Kabar buruknya adalah, Athena dan Ares-keduanya
berasal dari kabin dewa perang-melawan kami di tim merah, bersama dengan
Aphrodite, Dionysus, dan Demeter. Kabin Athena memegang bendera lain, dan
temanku Annabeth adalah kapten mereka.
Annabeth bukanlah seseorang yang ingin kalian jadikan musuh.
Tepat sebelum permainan, dia menghampiriku. "Hei, Otak Ganggang."
"Kapan kau berhenti memanggilku seperti itu?"
Dia tahu aku benci nama itu sebab aku tidak pernah berhasil membalasnya. Dia
adalah putri Athena, dan fakta itu menyulitkanku untuk menghinanya. Dengar saja,
"Otak Encer" dan "Gadis Bijak" adalah hinaan yang payah.
"Kau menyukai nama itu, kan?" Dia menabrakkan bahunya, mungkin dia mau
tampak akrab, tapi karena dia mengenakan zirah Yunani lengkap, bahuku terasa
sakit. Mata kelabunya berseri-seri balik helm. Rambut pirangnya yang dikuncir
ekor kuda, melingkar disalah satu bahunya. Sulit bagi siapapun untuk tampak imut
dalam baju perang, tapi Annabeth jelas tampak imut.
"Aku beri bocoran." Dia memelankan suaranya. "Kami akan melumatkanmu
malam ini, tapi jika kau mengambil posisi aman ... contohnya di sayap kanan ...
aku akan memastikan kau mendapat luka sesedikit mungkin."
"Wah, terima kasih," ucapku, "tapi aku bermain untuk menang."
Dia tersenyum. "Sampai jumpa di medan perang."
Dia berlari-lari kecil ke arah timnya, yang semuanya tertawa dan tos dengannya.
Aku belum pernah melihatnya begitu gembira, sepertinya kesempatan untuk
meremukkan badanku adalajh hal terbaik dalam hidupnya.
Beckendorf berjalan mendekat sambil mengapit helm di ketiaknya. "Dia suka
padamu, Bung." "Tentu saja." Aku menggumam. "Dia suka padaku, target latihan perangnya."
"Bukan, cewek memang begitu. Saat cewek berusaha membunuhmu, sadarlah
bahwa sebenarnya dia suka padamu."
"Cukup masuk akal."
Beckendorf mengangkat bahu. "Aku paham hal semacam ini. Kau seharusnya
mengajak dia menonton pesta kembang api."
Aku tidak bisa memastikan jika ucapannya serius. Beckendorf adalah konselor
utama kabin Hephaestus. Dia adalah pria besar berwajah muram, ototnya sebesar
pemain bola profesional, dan tangannya penuh kapal karena pekerjaannya di
bengkel tempa. Usianya baru mencapai delapan belas tahun dan akan masuk NYU
pada musim gugur. Karena dia lebih senior, aku biasa mendengar berbagai
sarannya, tapi gagasan mengajak Annabeth untuk menonton pesta kembang api
pada perayaan Empat Juli di pantai-yang merupakan acara kencan terbesar di
musim panas ini-membuat perutku mulas.
Kemudian, Silena Beauregard, konselor kepala kabin Aphrodite, lewat. Sudah
lama menjadi rahasia umum bahwa Beckendorf naksir padanya sejak tiga tahun
lalu. Gadis itu berambut hitam panjang dan bermata coklat lebar, dan saat dia
berjalan, para cowok pasti memadanginya. Dia berkata, "Semoga beruntung,
Charlie." (Tak seorang pun pernah memanggil Beckendorf dengan nama
depannya.) Dia melempar senyum manis ke arah Beckendorf dan kembali
bergabung dengan Annabeth di tim merah.
"Eh ..." Beckendorf menelan ludah seolah dia lupa cara untuk bernapas.
Aku menepuk bahunya. "Terima kasih atas nasihatnya, Bung. Senang mengetahui
luasnya pengetahuanmu soal cewek. Ayo. Kita ke hutan."
Biasanya, Beckendorf dan aku mendapat tugas yang paling berbahaya.
Kabin Apollo mengandalkan permainan bertahan, kabin Hermes akan menerobos
ke tengah hutan untuk membuyarkan musuh. Sementara itu, Beckendorf dan aku
akan mengintai lawan di sekitar sayap kiri, berusaha menemukan bendera musuh,
melumpuhkan mereka, dan mengembalikan bendera ke tim kami. Sederhana.
Kenapa sayap kiri" "Karena Annabeth ingin aku ke kanan." Aku memberi tahu Beckendorf. "Itu
artinya dia tidak ingin kita pergi ke kiri."
Beckendorf mengangguk. "Mari kita kenakan perlengkapan kita."
Dia telah menciptakan senjata rahasia untuk kami berdua-zirah perunggu bunglon,
disihir supaya bisa berpadu dengan latar belakang kami. Jika kami berdiri di
depan bebatuan, plat dada, helm, dan tameng kami berubah kelabu. Jika kami berdiri di
depan semak, logam itu berubah menjadi hijau daun. Kami tidak sepenuhnya
menghilang, tapi kamuflase kami cukup baik, paling tidak dari kejauhan.
"Aku butuh waktu lama untuk menempa baju perang ini," ancam Beckendorf.
"Jangan sampai rusak!"
"Pasti, Kapten."
Beckendorf menggerutu. Aku tahu dia suka dipanggil Kapten. Para pekemah
Hephaestus lain mengucapkan semoga beruntung pada kami. Kemudian, kami pun
menyelinap ke dalam hutan. Zirah kami langsung berubah menjadi cokelat dan
hijau sesuai warna pohon.
Kami menyeberangi sungai yang berfungsi sebagai batas wilayah antar tim. Kami
mendengar pertarungan di kejauhan-bilah pedang menghantam tameng. Sekilas
aku melihat kilat cahaya, tapi kami tidak melihat siapa pun.
"Tak ada penjaga perbatasan?" bisik Beckendorf. "Aneh."
"Terlalu percaya diri," tebakku. Tapi aku merasa bimbang. Annabeth adalah
perancang strategi andal. Dia tidak akan bertindak ceroboh dalam pertahanan,
walaupun jika anggota timnya lebih banyak daripada kami.
Kami bergerak ke wilayah musuh. Aku tahu kami harus bergegas sebab tim kami
memainkan taktik bertahan dan kami tidak akan bertahan selamanya. Cepat atau
lambat wilayah anak-anak Apollo akan diduduki. Kabin Ares tidak akan
diperlambat dengan senjata kecil macam anak panah.
Kami bergerak perlahan di kaki sebatang pohon ek. Jantungku hampir melompat
melewati tenggorokan saat sebentuk wajah perempuan mewujud di kulit pohon.
"Huss!" usirnya, lalu dia lenyap kembali ke dalam pohon.
"Peri pohon," gerutu Beckendorf. "Gampang marah."
"Tidak juga!" Terdengar suara teredam dari dalam pohon.
Kami terus bergerak. Sulit memastikan di mana lokasi kami. Banyak pertanda alam
yang menonjol seperti sungai, berbagai bentuk tebing, dan pepohonan tua, tapi
hutan cenderung terus berubah. Pasti roh hutan sedang gelisah. Jalan setapak
berubah-ubah. Pepohonan berpindah tempat.
Kemudian, mendadak kami tiba di pinggir sebuah lahan terbuka. Aku sadar kami
mendapat masalah saat aku melihat sebuah gundukan tanah.
"Demi Hephaestus yang Suci," bisik Beckendorf. "Bukit Semut."
Aku berniat mundur dan melarikan diri. Aku belum pernah melihat Bukit Semut
sebelumnya, tapi aku sering mendengar kisahnya dari pekemah senior. Gundukan
itu tumbuh hingga setinggi puncak pohon-paling tidak ada empat cerita semacam
itu. Bagian isinya terdapat banyak lorong dan tampak ribuan ....
"Myrmekes," gumamku
Itu artinya semut dalam bahasa Yunani Kuno, tapi yang ini bukan semut biasa.
Makhluk ini pasti membuat bulu kuduk setiap pembasmi serangga berdiri tegak.
Myrmekes seukuran anjing herder. Cangkang keras mereka berkilau semerah
darah. Mata mereka bulat hitam, rahang bawah mereka setajam silet dan terus
menjepit dan mengatup. Beberapa ekor Myrmekes menggotong cabang pohon.
Beberapa ekor lainnya menggotong potongan daging yang aku enggan
membayangkan dari mana asalnya. Sebagian besar membawa potongan logam-
baju perang tua, pedang, piring makan yang entah bagaimana bisa sampai ke
tangan mereka dari paviliun makan. Seekor semut menyeret kap hitam berkilau
sebuah mobil sport. "Mereka suka logam yang berkilau," bisik Beckendorf. "Terutama emas. Aku
mendengar bahwa sarang mereka menyimpan lebih banyak emas daripada yang
ada di Fort Knox." Suaranya terdengar iri.
"Jangan berpikir untuk mengambilnya," ancamku.
"Tidak, Bung," janjinya. "Ayo, kita pergi dari sini selagi kita ...."
Matanya melebar. Lima belas meter dari kami, dua semut tampak bersusah-payah menyeret
sebongkah logam raksasa ke sarang. Bongkahan logam itu seukuran lemari es,
warnanya keemasan dan perunggu kemilau, bentuk sisinya ganjil dan banyak kabel
mencuat dari bagian bawahnya. Kemudian, semut itu menggelindingkan
bawaannya. Aku pun melihat sebentuk wajah.
Jantungku melompat. "Itu adalah-"
"Shhh!" Beckendorf menarikku kembali ke semak-semak.
"Tapi, itu sepotong-"
"Kepala naga," ucapnya takjub. "Ya. Aku melihatnya."
Moncongnya sepanjang tubuhku. Rahangnya terbuka, memamerkan gigi logam,
mirip gigi hiu. Kulitnya adalah kombinasi sisi emas dan perunggu, dan matanya
mirah delima seukuran kepalan tanganku. Kepala itu tampak baru dicabut paksa
dari tubuhnya-dikunyah oleh capit semut. Kabel-kabelnya kusut dan berjumbai.
Kepala itu pasti sangatlah berat sebab para semut tampak kewalahan. Mereka
hanya mampu menggerakkan beberapa sentimeter pada setiap sentakan.
"Jika mereka berhasil memindahkanya ke bukit," ucap Beckendorf, "semut yang
lain akan membantu mereka. Kita harus menghentikannya sekarang."
"Apa?" tanyaku. "Tapi, kenapa?"
"Itu adalah pertanda dari Hephaestus. Ayo!"
Aku tidak tahu maksud perkataannya, tapi aku belum pernah melihat Beckendorf
begitu keras hati. Dia berlari cepat di pinggiran lahan terbuka, warna baju
perangnya menyatu dengan pepohonan.
Aku baru akan mengikutinya saat sebuah benda dingin dan tajam menekan
leherku.

The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kejutan," ucap Annabeth, dari sebelah kananku. Dia pasti mengenakan topi bisbol
Yankee ajaibnya sebab dia sama sekali tak kasatmata.
Aku mencoba bergerak, tapi dia semakin menekan pisaunya di bawah daguku.
Silena muncul dari hutan, pedangnya terhunus. Baju perang Aphrodite yang
dikenakannya berwarna pink dan merah, disesuaikan dengan pakaian dan riasan
wajahnya. Dia mirip Barbie Perag Gerilya.
"Aksi yang bagus." Dia memberi tahu Annabeth.
Tangan tak kasatmata itu menyita pedangku. Annabeth melepas topinya dan
mewujud di hadapanku, tersenyum puas. "Cowok gampang diikuti. Mereka lebih
berisik daripada sesosok Minotaurus yang kasmaran."
Wajahku memanas. Aku berusaha mengingat-ingat, berharap tadi aku tidak
mengatakan sesuatu yang memalukan. Tidak ada yang tahu sudah berapa lama
Annabeth dan Silena menguping.
"Kau adalah tawanan kami." Annabeth memproklamirkan. "Mari tangkap
Beckendorf dan-" "Beckendorf!" Selama sepersekian detik aku telah melupakannya, tapi dia masih
merangsek ke depa -ke arah kepala naga itu. Dia sudah berlari sejauh sepuluh
meter. Dia tidak menyadari kehadiran dua gadis itu atau apakah aku masih
mengikutinya. "Ayo jalan!" sahutku kepada Annabeth.
Dia melirikku. "Kau mau ke mana, Tahanan?"
"Lihat!" Annabeth memandang ke sekeliling lahan terbuka dan untuk pertama kalinya
tampak menyadari lokasi tempat kami berada. "Oh, Zeus ...."
Beckendorf melompat ke tempat terbuka dan membacok salah satu semut.
Pedangnya berkelontang melawan kerapas semut. Semut itu berbalik,
mengatupkan capitnya. Bahkan sebelum aku sempat membuka mulut, semut itu
menggigit kaki Beckendorf, dan dia pun roboh ke tanah. Semut yang kedua
menyemprotkan lendir ke wajah Beckendorf, dan membuatnya menjerit. Dia
menjatuhkan pedang dan menampar-nampar matanya dengan liar.
Aku hendak menerjang, tapi Annabeth menahanku. "Jangan."
"Charlie!" pekik Silena.
"Jangan!" desis Annabeth. "Sudah terlambat!"
"Apa maksudmu?" hardikku. "Kita harus-"
Kemudian aku melihat lebih banyak semut menghampiri Beckendorf-sepuluh ,
dua puluh. Mereka menarik zirahnya dan menyeretnya ke arah bukit dengan cepat,
dalam sekejap mata, dia lenyap ke dalam sebuah lorong.
"Tidak!" Silena mendorong Annabeth. "Kau membiarkan mereka membawa
Charlie." "Tak ada waktu untuk berdebat," sahut Annabeth. "Ayo, cepat!"
Aku pikir dia akan memimpin kita untuk menerjang dan menyelamatkan
Beckendorf, tapi dia malah berlari menuju kepala naga, yang untuk sesaat
dilupakan oleh para semut. Dia merenggut kabel-kabelnya dan mulai menyeretnya
ke dalam hutan. "Apa yang kau lakukan?" sergahku. "Beckendorf-"
"Bantu aku," gerutu Annabeth. "Cepat, sebelum mereka kembali."
"Oh, ya Tuhan!" ucap Silena. "Kau lebih mencemaskan potongan besi ini daripada
Charlie?" Annabeth berbalik dan mengguncang bahu Silena.
"Dengar, Silena! Itu adalah Myrmekes. Mereka lebih mirip semut api , tapi
seratus kali lebih berbahaya. Mereka menyuntikkan racun. Mereka menyemprotkan asam.
Mereka berkomunikasi dengan semut lainnya dan menyerbu segala yang
mengancam kawanannya. Jika kita gegabah dalam menyelamatkan Beckendorf,
kita juga pasti diseret masuk ke sarangnya. Kita butuh bantuan-banyak bantuan-
untuk membawanya kembali. Sekarang, pegang kabel itu dan tarik!"
Aku tidak tahu apa yang direncanakan Annabeth, tapi aku sudah cukup sering
bertualang dengannya hingga aku yakin dia pasti punya alasan yang kuat atas
tindakannya. Kami bertiga menyentak kepala naga logam itu ke dalam hutan.
Annabeth tidak membiarkan kami berhenti hingga kami berjarak lima puluh meter
dari lahan terbuka. Kemudian, kami roboh, bersimbah keringat, dan kehabisan
napas. Silana mulai terisak. "Dia mungkin sudah mati."
"Belum," bantah Annabeth. "Mereka tidak akan langsung membunuhnya. Kita
punya waktu sekitar setengah jam."
"Kau tahu dari mana?" tanyaku.
"Aku pernah membaca tentang Myrmekes. Mereka melumpuhkan mangsanya
sehingga bisa melunakkannya sebelum di-"
Tangis Silena semakin keras. "Kita harus menyelamatkan dia!"
"Silena," tegas Annabeth. "Kita akan menyelamatkan dia, tapi kau harus
menguasai diri. Ada sebuah cara."
"Panggil pekemah yang lain," usulku, "atau Chiron. Chiron pasti tahu apa yang
akan harus dilakukan."
Annabeth menggelengkan kepala. "Mereka semua tersebar di seluruh penjuru
hutan. Saat semua tersebar di seluruh penjuru hutan. Saat semua tiba di sini,
semuuanya sudah terlambat. Lagi pula, seluruh penghuni perkemahan tidak akan
cukup kuat untuk menyerang Bukit Semut."
"Lalu, bagaimana?"
Annabeth menunjuk ke kepala naga itu.
"Oke," ucapku. "Kau akan menakuti semut-semut itu dengan boneka logam
raksasa?" "Ini adalah sebuah automaton," jawab Annabeth.
Hal itu tidak membuatku tenang. Automaton adalah robot perunggu ajaib yang
dibuat oleh Hephaestus. Hampir semua automaton adalah mesin pembunuh massal,
padahal itu baru automaton biasa.
"Lalu, bagaimana?" tanyaku. "Ini hanya sepotong kepala. Dan, rusak."
"Percy, ini bukan automaton biasa," jelas Annabeth. "Ini adalah naga perunggu.
Kau belum pernah mendengar ceritanya?"
Aku memberinya tatapan kosong. Annabeth tinggal di perkemahan jauh lebih lama
daripada aku. Dia mungkin tahu lebih banyak cerita daripada aku.
Mata Silena melebar. "Maksudmu sang penjaga tua" Tapi, itu hanya legenda!"
"Wah," ucapku. "Apa itu sang penjaga tua?"
Annabeth menarik napas dalam-dalam. "Percy pada masa sebelum kemunculan
pohon Thalia-sebelum perkemahan memiliki batas sihir untuk menjauhkan para
monster-para konselor mecoba berbagai cara untuk melindung diri mereka. Yang
paling terkenal adalah naga perunggu. Kabin Hephaestus membuatnya dengan
restu dari ayah mereka. Pastinya naga itu sangat buas dan kuat hingga dapat
melindungi perkemahan hingga lebih dari satu dekade. Dan kemudian ... sekitar
lima belas tahun lalu, naga itu menghilang ke dalam hutan."
"Dan, kau pikir ini adalah kepala naga itu?"
"Pastinya! Myrmekes pasti menggalinya saat mereka berusaha mencari logam
mulia. Mereka tidak bisa memindahkannya secara utuh. Jadi, mereka memotong
kepalanya. Tubuhnya pasti tidak jauh dari sini."
"Tapi, mereka telah memotongnya. Jadi, kepala ini tak berguna."
"Tidak juga." Mata Annabeth menyipit, dan aku tahu dia sedang berpikir keras.
"Kita bisa menyatukannya lagi. Jika kita bisa mengaktifkannya-"
"Naga ini bisa membantu kita menyelamatkan Charlie!" lanjut Silena.
"Tunggu," ucapku. "Terlalu banyak ketidakpastian. Jika kita menemukannya, jika
kita bisa mengaktifkannya tepat waktu, jika naga ini bisa membatu kita. Kau
bilang naga ini menghilang lima belas tahun yang lalu?"
Annabeth mengangguk. "Ada yang bilang mesinnya aus sehingga dia pergi ke
hutan untuk menonaktifkan dirinya sendiri. Atau mungkin programnya rusak. Tak
seorang pun tahu pasti."
"Kau berencana untuk menghidupkan robot naga yang rusak?"
"Kita harus mencobanya!" tegas Annabeth. "Hanya ini satu-satunya harapan
Beckendorf! Lagi pula, ini mungkin pertanda dari Hephaestus. Naga itu pasti mau
membantu salah satu anak Hephaestus. Beckendorf ingin agar kita mencobanya."
Aku tidak suka gagasan itu. Namun, di sisi lain, aku tidak punya saran yang
lebih bagus. Kami kehabisan waktu, dan Silena tampaknya akan segera kehilangan akal
sehatnya jika kami tidak segera bertindak. Beckendorf tadi mengucapkan sesuatu
tentang sebuah pertanda dari Hephaestus. Mungkin sekarang waktu yang tepat
untuk membuktikannya. "Baiklah," sahutku. "Mari kita cari naga kepala buntung itu."
Pencarian kami begitu abadi, atau mungkin hanya perasaan kami saja, sebab
sepanjang waktu pencarian, aku terus membayangkan Beckendorf di dalam Bukit
Semut, lumpuh dan ketakutan, sementara sekawanan serangga bercapit tajam
mengelilinginya, menunggu hingga daging tubuhnya melunak.
Tidak sulit untuk mengikuti jejak semut. Mereka menyeret kepala naga menembus
hutan, menciptakan parit yang cukup dalam di lumpur, dan kami menyeret kepala
itu ke arah semula. Kami pasti telah menyeretnya sejauh empat ratus meter-dan aku mencemaskan
waktu kami habiskan-saat Annabeth berkata, "Di immortales."
Kami telah tiba di bibir sebuah kawah-seolah sesuatu telah meledakkan lubang
seukuran rumah di permukaan tanah. Bagian sisinya licin dan dipenuhi akar pohon.
Jejak semut mengarah ke dasar kawah, ke sebuah gundukan logam berkilau di
balik lumpur. Banyak kabel mencuat dari potongan perunggu di salah satu
ujungnya. "Leher naga itu," ucapku. "Menurutmu semut itu membuat kawah ini?"
Annabeth menggelengkan kepala. "Ini lebih mirip ledakan meteor ...."
"Hephaestus," ucap Silena. "Dewa pasti telah menggali tempat ini. Hephaestus
ingin agar kita menemukan naga itu. Dia ingin Charlie untuk ...." Dia tersedak.
"Ayo," ucapku. "Mari kita sambung naga ini."
Menurunkan kepala naga ke dasar lubang adalah perkara mudah. Kepala itu
menggelinding di lereng dan menghantam lehernya dengan suara berdentang
logam yang nyaring, BANG! Menyambungnya jauh lebih sulit.
Kami tidak punya peralatan dan pengalaman.
Annabeth memilah-milah kabel sambil menyumpah-nyumpah dalam bahasa
Yunani Kuno. "Kita butuh Beckendorf. Dia bisa menyambung ini dalam sekejap."
"Bukankah ibumu adalah dewi penemu?" Aku bertanya.
Annabeth memelototiku. "Ya, tapi ini masalah yang berbeda. Aku ahli mencari
gagasan. Bukan mekanik."
"Jika aku harus memilih seseorang di dunia ini untuk menyambung kembali
kepalaku," ucapku, "aku akan memilihmu."
Aku melontarkannya begitu saja-untuk membuatnya lebih percaya diri, itu
maksudku-tapi tak lama kemudian, aku menyadari itu kalimat yang bodoh.
"Awww...." Silena tersedu dan mengusap matanya. "Percy, kau romantis sekali!"
Annabeth tersipu. "Diam, Silena. Berikan pisaumu padaku."
Aku takut Annabeth akan menikamku dengan pisau itu. Namun, ternyata dia
menggunakannya sebagai obeng, untuk membuka sebuah panel di leher naga itu.
"Dan tidak ada apa-apa," ucapnya.
Kemudian, dia mulai menyambung berbagai kabel perunggu langit itu.
Usaha kami ini terlalu banyak menghabiskan waktu. Terlalu lama.
Aku menduga Permainan Tangkap Bendera telah usai saat ini. Aku bertanya-tanya
berapa lama yang dibutuhkan para pekemah untuk menyadari bahwa kami hilang
dan mulai mencari kami. Jika perhitungan Annabeth benar (dan dia selalu benar),
Beckendorf mungkin hanya punya waktu lima atau sepuluh menit sebelum para
semut menyantapnya. Akhirnya Annabeth berdiri dan menghembuskan napas panjang. Tangannya lecetlecet
dan berlumuran lumpur. Kuku-kukunya hancur. Tampak garis cokelat di
keningnya, yang muncul setelah si naga memutuskan untuk menyemburkan oli ke
wajahnya. "Baiklah," sahutnya. "Menurutku, sudah selesai ...."
"Menurutmu?" tandas Silena.
"Pasti sudah selesai," tambahku. "Kita kehabisan waktu. Bagaimana kita, uh,
menyalakannya" Apakah ada semacam tombol untuk menghidupkannya?"
Annabeth menunjuk ke mata mirah itu. "Matanya berputar searah-jarum jam.
Mungkin kita harus memutarnya."
"Kalau seseorang memutar bola mataku, aku pasti terbangun." Aku mendukung.
"Bagaimana kalau ia malah memburu kita?"
"Kalau begitu ... kita mati," cetus Annabeth.
"Bagus," ucapku. "Aku sudah tidak sabar."
Kami memutar mata mirah naga itu secara bersamaan. Kedua mata itu sontak
menyala. Annabeth dan aku mundur dengan cepat hingga kami terjungkal dan
tumpang tindih. Mulit naga itu terbuka, seolah sedang menguji rahangnya.
Kepalannya berputar dan memandang kami. Asap keluar dari telinganya, lalu naga
itu berusaha bangkit. Saat menyadari dirinya tidak bisa bergerak, naga itu tampak bingung. Ia
menelengkan kepala dan memandang tanah. Akhirnya, ia menyadari tubuhnya
terkubur. Lehernya menegang satu kali, dua kali ... lalu bagian tengah kawat
meledak. Naga itu menarik tubuhnya dengan canggung dari tanah, mengguncangkan
bongkahan tanah dari tubuhnya seperti anjing, lalu menghujani sekujur tubuh kami
dengan lumpur. Automaton itu sungguh mencengangkan hingga kami bertiga
kehilangan suara. Naga itu jelas harus segera mendatangi tempat cuci mobil, dan
terdapat banyak kabel longgar yang mencuat di sana-sini, tapi tubuh naga itu
sungguh mengagumkan-mirip tank berteknologi tinggi dan berkaki. Sisi-sisi naga
itu dilapisi sisik perungu dan emas, bertahtakan batu mulia. Kakinya seukuran
batang pohon, dan jarinya bercakar baja. Ia tak bersayap-sebagian besar naga
Yunani tak bersayap-tapi ekornya hampir sepanjang tubuh utamanya, yang
seukuran bus sekolah. Lehernya berderak dan menededas saat dia menengadah ke
angkasa. Kemudian, ia menyemburkan api kejayaan.
"Yah ... " ucapku pelan. "Ternyata masih berfungsi."
Sialnya, ia mendengarku. Mata mirah itu menatapku, ia mendekatkan moncongnya
beberapa sentimeter dari wajahku. Secara otomatis, aku meraih pedangku.
"Naga, hentikan!" pekik Silena. Aku kagum gadis itu masih bisa bersuara.
Nadanya begitu tegas sehingga si automaton mengalihkan perhatian padanya.
Silena menulan ludah dengan gugup. "Kami membangunkanmu untuk melindungi
perkemahan. Kau ingat" Itulah tugasmu!"
Naga itu menelengkan kepalanya seolah sedang berpikir. Aku setengah yakin naga
itu akan menyembur Silena. Aku sedang menimbang-nimbang untuk melompat ke
atas leher naga itu dan mengalihkan perhatiannya, saat Silena berkata, "Charles
Beckendorf, seorang putra Hephaestus, sedang dalam bahaya. Para Myrmekes
mengambilnya. Dia butuh bantuanmu."
Saat mendengar kata Hephaestus, leher naga itu menegang. Sebuah gelombang
meregang di sepanjang tubuh logamnya, hingga melontarkan lumpur baru ke badan
kami. Naga itu melihat sekeliling, seolah mencoba menemukan musuhnya.
"Kita harus menunjukkannya," kata Annabeth. "Ayo jalan, Naga! Lewat jalan ini
untuk menemukan putra Hephaestus! Ikuti kami!"
Annabeth pun menghunus pedangnya, dan kami bertiga memanjat keluar dari
lubang. "Demi Hephaestus!" pekik Annabeth, yang merupakan sentuhan bagus. Kami
menerjang ke dalam hutan. Saat aku menoleh ke belakang, naga perunggu itu tepat
di belakang kami, mata mirahnya berpendar dan asap keluar dari lubang
hidungnya. Kami semakin bersemangat saat berlari cepat ke arah Bukit Semut.
Saat kami tiba di lahan terbuka, naga itu tampaknya menangkap bau Beckendorf.
Ia bergerak di depan kami, dan kami harus menyingkir agar tidak terlindas
tubuhnya. Tubuhnya menembus rimbunannya pepohonan, tiap sambungannya
berderak, kakinya meninggalkan kawah kecil di permukaan tanah.
Ia menerobos langsung ke Bukit Semut. Awalnya, Myrmekes tak menyadari apa
yang terjadi. Naga itu menginjak beberapa semut, membuat tubuh mereka gepeng
dan organ dalamnya muncrat kemana-mana. Kemudian, mereka tampak saling
mengirim sinyal telepati, mungkin mereka memperingatkan kawannya: Naga
besar. Bahaya! Seluruh semut di lahan terbuka beralih dan menyerbu naga itu secara bersamaan.
Bukit tidak berhenti menyemburkan semutnya-yang berjumlah ratusan. Naga itu
menyemburkan api dan membuat kawanan semut muncul panik. Siapa yang tahu
semut mudah terbakar" Namun, semut lain terus berdatangan.
"Ke dalam, sekarang!" perintah Annabeth kepada kami. "Sementara mereka fokus
pada si naga!" Silena memimpin serangan; itulah pertama kalinya aku mengikuti putri Aphrodite
dalam peperangan. Kami berlari melewati gerombolan semut, tapi mereka
mengacuhkan kami. Untuk alasan tertentu, mereka menganggap naga itu ancaman
yang lebih besar. Bayangkan saja ukurannya.
Kami melontarkan diri ke dalam terowongan terdekat, dan aku hampir tercekik
karena baunya. Tidak ada sarang yang baunya lebih bususk daripada sarang semut
raksasa. Aku bisa menduga mereka membiarkan makanan mereka busuk sebelum


The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memakannya. Seseorang perlu mengajari mereka tentang fungsi lemari es.
Kami melewati terowongan yang gelap dan buram. Berbagai ruangan dipenuhi
cangkang semut yang sudah usang dan genangan lendir. Para semut menerobos
melewati kami dalam perjalanan mereka ke medan pertempuran, kami cuma
melangkah ke samping dan membiarkan mereka lewat. Pendar lemah perunggu di
pedangku menerangi perjalanan kami lebih dalam.
"Lihat!" sahut Annabeth.
Aku melihat ke salah satu sisi ruangan, seketika jantungku berhenti berdetak.
Kantong berlendir bergantungan di atas langit-langit-mungkin larva semut-tapi
bukan itu yang menarik perhatianku. Lantai gua dipenuhi oleh tumpukan koin
emas, dan batu mulia, dan benda berharga lainnya-helm, pedang, alat musik,
perhiasan. Semuanya berpendar seperti layaknya benda sihir.
"Itu hanya satu ruangan," ucap Annabeth. "Mungkin ada ratusan tempat
pemeliharaan larva di sarang ini, penuh dengan benda berharga."
"Itu tidak penting," tegas Silena. "Kita harus menemukan Charlie!"
Itu hal yang pertama kali kualami: seorang putri Aphrodite tidak tertarik pada
perhiasan. Kami terus merangsek maju. Setelah kurang lebih tujuh meter, kami memasuki gua
yang sangat bau hingga hidungku mati rasa. Sisa makanan busuk ditumpuk
setinggi bukit pasir-tulang, potonga daging busuk, bahkan sisa makanan
perkemahan. Aku yakin para semut itu telah menyerbu timbunan kompos
perkemahan dan mencuri sisa makanan kami. Pada dasar tumpukan, tampak
Beckendorf yang berusaha menegakkan tubuhnya. Dia tampak mengerikan,
mungkin karena zirah kamuflasenya sekarang sewarna dengan sampah.
"Charlie!" Silena berlari ke arahnya dan mencoba membantunya berdiri.
"Terima kasih dewa-dewi," ucapnya. "Kaki-kakiku lumpuh!"
"Efeknya akan hilang," jelas Annabeth, "Tapi, kami harus segera mengeluarkanmu
dari sini. Percy, bopong dari sisi sebelah sana."
Silena dan aku membopong Beckendorf, kami berempat mulai berjalan kembali
melalui terowongan. Aku bisa mendengar suara pertempuran di kejauhan-
dentingan logam, semburan api, ratusan semut mengatup-ngatupkan capitnya dan
meludah. "Apa yang terjadi di luar sana?" tanya Beckendorf. Tubuhnya menegang.
"Naganya! Kalian tidak-mengaktifkannya, 'kan?"
"Sepertinya iya," ucapku. "Tampaknya itulah satu-satunya cara."
"Tapi, kalian tidak bisa menghidupkan automaton begitu saja! Kalian harus
mengalibrasi mesinnya menjalankan diagnostik ... Tidak ada jaminan apa yang
akan dilakukan naga itu! Kita harus segera keluar!"
Pada kenyataannya, kami tidak perlu pergi kemana-mana sebab naga itu
menghampiri kami. Kami masih mencoba mengingat terowongan mana yang
menuju keluar saat seluruh bagia bukit meledak, menghujani kami dengan tanah.
Sontak kami berada di tempat terbuka. Naga itu tepat di atas kami, menggelepar
ke depan-belakag, meluluh-lantahkan Bukit Semut saat ia mencoba melontarkan
Myrmekes yang merayapi sekujur tubuhnya.
"Ayo, cepat!" pekikku. Kami membereskan diri dar timbunan tanah dan melompat
turun dari pinggiran bukit, sambil terus menyeret Beckendorf.
Teman naga kami sedang dalam bahaya. Myrmekes menggigiti sambungan kulit
pelindungnya, meludahkan cairan asam ke seluruh bagian yang terbuka. Naga itu
menjejak-jejakkan kaki, menggigit-gigit dan menyemburkan api, tapi ia tidak
mungkin bertahan lebih lama lagi. Asap mengepul dari kulit perunggunya.
Parahnya lagi, beberapa ekor semut berbalik ke arah kami. Mungkin mereka tidak
suka kami mecuri makanannya. Aku membabat salah satunya hingga kepalanya
putus. Annabeth membacok seekor semut tepat di antara sungutnya. Saat bilah
perunggu langit menembus kulit semut, seluruh bagian tubuhnya lebur.
"Aku ... aku bisa berjalan sekarang," ucap Beckendorf, tapi dia langsung
tersungkur saat kami melepaskannya.
"Charlie!" Silena membantunya berdiri dan terus menyeretnya, sementara aku dan
Annabeth membuka jalan di antara para semut. Entah bagaimana kami berhasil
mencapai pinggiran lahan terbuka tanpa tergigit atau tersemprot, walau salah
satu sepatuku berasap terkena cairan asam.
Kembali di lahan terbuka, naga itu terempas. Kabut cairan asam mengepul dari
kulitnya. "Kita tak bisa membiarkannya mati!" sahut Silena.
"Ini terlalu berbahaya," sahut Beckendorf sedih. "Kabel-kabelnya-"
"Charlie." Silena memohon. "Dia menyelamatkan nyawamu! Kumohon, untukku."
Beckendorf bimbang. Wajahnnya masih memerah karena terkena ludah semut, dan
dia tampak akan segera pingsan, tapi dia berusaha berdiri tegak. "Bersiaplah
untuk berlari," katanya pada kami. Kemudian, dia menatap ke arah lahan terbuka dan
berteriak, "NAGA! Perlindungan darurat, aktivasi-BETA!"
Naga itu memperoleh ke arah suara tersebut. Ia berhenti melawan para semut dan
matanya bersinar. Udara berbau ozon, seperti saat sebelum terjadi hujan badai.
ZZZAAAPPP! Gelombang listrik biru muncul dari kulit naga itu,berundak-undak di tubuhnya,
lalu mengenai para semut. Sebagian semut langsung meledak. Yang lain berasap
dan menghitam, kaki mereka berkedut-kedut. Dalam hitungan detik tak ada lagi
semut di tubuh naga itu. Semut yang masih hidup mengundurkan diri sepenuhnya,
terbirit-birit kembali ke bukit mereka yang hancur. Cemeti listrik terus melecut
pantat mereka. Naga itu melenguhkan kemenangan, lalu memalingkan mata merahnya ke arah
kami. "Sekarang," Beckendorf berkata, "kita lari."
Kali ini kami tidak meneriakkan, "Demi Hephaestus!" tapi berteriak, "Tolooong!"
Naga itu mengejar kami, menyembur api dan melecutkan cemeti listrik di atas
kepala kami seolah ia sedang bermain-main.
"Bagaimana caramu menghentikannya?" pekik Annabeth.
Beckendorf, yang kakinya sudah berfungsi normal (tak ada yang lebih efektif
mengembalikan fungsi tubuhmu daripada dikejar monster raksasa) menggelengkan
kepala sambil tersengal-sengal. "Seharusnya kalian tidak menghidupkannya! Naga
itu tidak stabil! Setelah beberapa tahun, automaton jadi liar!"
"Senang mengetahuinya," pekikku. "Tapi, bagaimana cara mematikannya?"
Beckendorf memandang sekitar, kebingungan. "Ke sana!"
Di depan kami tampak batu yang menyembul dari tanah dan hampir setinggi
pepohonan. Hutan dipenuhi dengan formasi batu yang aneh, tapi aku belum pernah
melihat batu itu. Bentuknya seperti lereng skateboard raksasa, satu sisinya
miring, dan sisi lainnya sangat terjal.
"Kalian berlarilah ke sekitar kaki tebing itu," perintah Beckendorf. "Alihkan
perhatian naga itu. Buat dia sibuk!"
"Apa yang akan kau lakukan." tanya Silena.
"Lihat saja nanti. Sana!"
Beckendorf menunduk di balik sebatang pohon sementara aku berbalik dan
meneriaki naga itu, "Hei, Bibir-Kadal! Napasmu bau bensin!"
Naga itu menyemburkan asap hitam dari hidungnya. Ia meluncur cepat ke arahku,
mengguncang permukaan tanah.
"Ayo!" Annabeth meraih tanganku. Kami berlarian ke bagian belakag tebing. Naga
itu mengikuti kami. "Kita harus menahannya di sini," kata Annabeth. Kami bertiga menghunus pedang.
Naga itu mencapai kami dan berhenti mendadak. Dia menelengkan kepala seolah
heran dengan kebodohan kami yang berani melawannya. Karena ia sudah
memojokkan kami, mungkin ia bingung memilih yang mana.
Kami tercerai-berai saat semburan api pertamanya mengubah tanah tempat kami
berdiri menjadi lubang abu yang berasap.
Kemudian, aku melihat Beckendorf di atas kami-di puncak tebing-seketika aku
menyadari apa yang dilakukannya. Dia butuh pandangan yang jelas. Aku harus
terus menarik perhatian naga itu.
"Yaaah!" Aku menyerang. Aku menyabetkan Reptide ke kaki naga itu dan
selembar sisik pun terkelupas.
Kepalanya berderak saat ia menunduk memandangku. Ia lebih tampak bingung
daripada marah, mungkin dia berkata, "Kenapa kau potong jariku"
Kemudian, dia membuka mulutnya, memamerkan ratusan gigi setajam silet.
"Percy!" Annabeth memperingatiku.
Aku bertahan di tempatku. "Sebentar lagi ...."
"Percy!" Tepat sebelum si naga menyerang, Beckendorf menjatuhkan dirinya dari tebing
dan mendarat di leher naga itu.
Naga itu mundur dan menyemburkan api, berusaha melontarkan Beckendorf, tapi
dia bertahan mirip seorang koboi saat monster itu menggelinjang. Aku
memandangnya terpesona saat dia membuka sebuah panel di dasar kepala naga dan
mencabut sebuah kabel. Sontak naga itu mematung. Sinar matanya meredup. Mendadak ia menjadi tak
lebih dari sebentuk naga yang sedang memamerkan giginya ke langit.
Beckendorf meluncur dari leher naga itu. Dia ambruk di bagian ekornya, kelelahan
dan napasnya memburu. "Charlie!" Silena berlari ke arahnya dan memberinya ciuman di pipi. "Kau
berhasil!" Annabeth mendatangiku dan meremas bahuku. "Hei, Otak Ganggang, kau tidak
apa-apa?" "Tidak apa-apa ... sepertinya." Aku mengingat betapa aku hampir menjadi
demigod cincang di mulut seekor naga.
"Aksimu hebat." Senyum Annabeth jauh lebih manis daripada naga bodoh itu.
"Aksimu juga hebat," ucapku dengan gemetar. "Jadi ... apa yang akan kita perbuat
dengan automaton ini?"
Beckendorf mengelap keningnya. Silena masih mengoceh tentang luka di tubuh
Beckendorf dan perhatian itu membuyarkan konsentrasinya.
"Kita-eh-aku tidak tahu," jawab Beckendorf. "Mungkin kita bisa mereparasinya,
hingga ia bisa menjaga perkemahan tapi itu butuh waktu berbulan-bulan."
"Layak diusahakan," ucapku. Aku membayangkan naga itu ada di pihak kami
untuk membantu kami melawan Raja Titan Kronos. Monster kirimannya akan
berpikir dua kali sebelum menyerang perkemahan jika mereka harus menghadapi
naga itu. Namun, di sisi lain, jika si automaton memutuskan untuk mengamuk dan
menyerang para pekemah-hal itu pasti bakal sangat merepotkan.
"Kalian melihat seluruh benda berharga di Bukit Semut?" tanya Beckendorf.
"Senjata sihir" Baju perang" Semua itu bisa bermanfaat bagi kita."
"Dan, gelang-gelangnya," tambah Silena. "Juga kalung-kalungnya."
Tubuhku menggigil, mengingat bau terowongan-terowonga itu. "Aku pikir itu
petualangan lain waktu saja. Butuh sepasukan demigod sekedar untuk mendekati
benda berharga itu."
"Mungkin," ucap Beckendorf. "Tapi, banyak sekali benda berharga di sana ...."
Silena mengamati patung naga itu. "Charlie, aksimu melompat ke atas naga itu
adalah tindakan paling berani yang pernah kulihat."
Beckendorf menelan ludah. "Um ... ya. Jadi ... maukah kau menonton pesta
kembang api denganku?"
Raut wajah Silena berpendar. "Tentu saja, dasar bodoh! Aku pikir kau takkan
pernah mengajakku!" Seketika Beckendorf terlihat jauh lebih kuat. "Kalau begitu ayo kita pulang! Aku
yakin Permainan Tangkap Bendera telah usai."
Aku harus berjalan tanpa alas kaki sebab cairan asam telah melumatkan sepatuku
sampai habis. Saat aku melemparnya, aku menyadari cairan kental itu telah
merembes ke dalam kaus kakiku dan membuat kakiku melepuh. Aku bersandar di
bahu Annabeth, dia membantuku berjalan melintasi hutan.
Beckendorf dan Silena berjalan di depan kami, bergandengan tangan, dan kami
memberi mereka keleluasaan.
Memandangi mereka, dengan tangan terkalung di bahu Annabeth untuk
membantuku berdiri, aku merasa risih. Dalam hati aku menyumpahi keberanian
Beckendorf, maksudku bukan keberaniannya melawan naga itu. Setelah tiga tahun,
dia akhirnya punya nyali untuk mengajak kencan Silena Beauregard. Ini tidak
adil. "Asal kau tahu," ucap Annabeth saat kami berjalan susah payah. "Itu bukan hal
paling berani yang pernah kulihat."
Aku berkedip. Apakah Annabeth sedang membaca jalan pikiranku"
"Emmm ... apa maksudmu?"
Annabeth menggamit pergelangan tanganku saat kami menyeberangi sungai kecil.
"Kau berdiri tegak menantang naga hingga Beckendorf mendapat kesempatan
untuk melompat-itu baru aksi paling berani."
"Atau paling bodoh."
"Percy, kau cowok pemberani," ucapnya. "Terima saja pujiannya. Apa susahnya
sih?" Mata kami bertaut. Wajah kami sedekat lima sentimeter. Dadaku bergemuruh,
seolah jantungku sedang melompat-lompat.
"Jadi ...," ucapku. "Sepertinya Silena dan Charile akan menonton pesta kembang
api bersama." "Aku pikir begitu," tanggap Annabeth.
"Ya," ucapku. "Emm, tentang itu-"
Aku tak tahu apa yang bakal kuucapkan, tapi sesaat kemudian, tiga saudara
Annabeth dari kabin Athena keluar dari semak dengan pedang terhunus. Saat
mereka melihat kami, mereka tersenyum.
"Annabeth!" salah satu dari mereka berkata. "Kerjamu bagus! Mari kita penjarakan
mereka berdua." Aku memandangnya. "Permainan belum usai?"
Pekemah Athena terbahak. "Belum ... tapi tak lama lagi, sebab kami telah
menangkap kalian." "Bung, ayolah," sanggah Beckendorf. "Permainan kami terganggu. Tadi ada
seekor naga, dan seluruh kawanan semut di Bukit Semut menyerang kami."
"Uh-huh," kata yang lainnya, jelas tidak terkesan. "Annabeth, kerjamu bagus.
Mengalihkan perhatian mereka. Berhasil dengan sempurna. Kau ingin kami
mengambil alih mereka dari sini?"
Annabeth menarik diri dariku. Aku yakin Annabeth akan membiarkan kami
berjalan bebas ke perbatasan, tapi dia menghunus belatinya dan menodongkannya
padaku dengan senyuman. "Tidak," ucapnya. "Silena dan aku bisa mengatasi mereka. Jalan, Tahanan. Jalan
cepat." Aku memandanginya, tercengang. "Kau merencanakan hal ini" Kau merencanakan
semua kejadian itu hanya untuk menjauhkan kami dari permainan ini?"
"Percy, jangan bercanda, bagaimana mungkin aku merencanakan semuanya" Naga
itu, semut itu-kau pikir aku bisa menyatukan setiap peristiwa itu sebelumnya?"
Tampaknya tidak mungkin, tapi dia Annabeth. Tidak ada jaminan dia tidak
melakukannya. Lalu dia bertukar pandang dengan Silena dan aku bisa melihat
mereka berusaha menahan tawa.
"Kau-dasar kau-" Aku mulai menyumpah, tapi tidak bisa menemukan kata yang
cukup kuat untuk menyumpahinya.
Aku dan Beckendorf terus membantah di sepanjang perjalanan ke penjara.
Sungguh tidak adil diperlakukan sebagai tawanan setelah semua yang kami alami.
Namun, Annabeth hanya tersenyum dan memasukkan kami kedalam penjara. Saat
dia kembali ke barisan depan, dia menoleh dan berkedip. "Sampai ketemu di pesta
kembang api?" Dia bahkan tidak menunggu jawabanku sebelum menghilang ke dalam hutan.
Aku menatap Beckendorf. "Apakah dia baru saja ... mengajakku kencan?"
Dia mengangkat bahu, tampak benar-benar muak. "Siapa yang bisa memahami
cewek" Memberikan naga rusak padaku seenaknya."
Kami duduk bersama dan menunggu, sementara para cewek memenangkan
permainan Bab 3 WAWANCARA DENGAN CONNOR DAN TRAVIS STOLL,
PUTRA HERMES Lelucon terbaik mana yang pernah kalian mainkan pada pekemah lain"
Connor: Mangga emas! Travis: Oh, Kawan, itu lucu sekali.
Connor: Ceritanya begini, kami mengambil sebuah mangga dan mengecatnya
dengan warna emas, 'kan" Kami menulisinya: "Untuk yang paling seksi" dan kami
meninggalkannya di kabin Aphrodite saat mereka masih berlatih di kelas
memanah. Saat mereka kembali, mereka memperebutkan mangga itu. Mereka
mencoba memutuskan siapa di antara mereka yang paling seksi. Itu lucu sekali.
Travis: Sepatu Gucci berterbangan dari jendela. Anak-anak Aphrodite saling
merobek baju mereka dan melemparkan lipstik dan perhiasan. Mirip kawanan
kelinxi Wild Bratz. Connor: Lalu mereka mengetahui apa yang telah kami lakukan dan mereka
memburu kami.

The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Travis: Itu tidak lucu. Aku tidak tahu mereka bisa membuat riasan wajah
permanen. Wajahku jadi mirip badut selama sebulan.
Connor: Ya. Mereka mengguna-gunai aku hingga tak peduli pakaian apa pun yang
kukenakan, pakaianku mengecil dua nomor dan aku merasa mirip cowok culun.
Travis: Kamu memang culun.
Siapa yang paling kau inginkan ada dalam timmu dalam permainan Tangkap
Bendera" Travis: Saudaraku, sebab aku harus mengawasinya.
Connor: Saudaraku, sebab aku tidak memercayainya. Tapi, selain dia" Mungkin
kabin Ares. Travis: Ya. Mereka kuat dan gampang dimanupulasi. Kombinasi sempurna.
Apa hal terbaik dalam menjadi bagian dari kabin Hermes"
Connor: Kau tidak akan pernah kesepian. Sungguh, selalu ada anggota baru. Jadi,
selalu ada yang bisa kau ajak bicara.
Travis: Atau dikerjai. Connor: Atau dicopet. Keluarga besar yang bahagia.
WAWANCARA DENGAN CLARISSE LA RUE,
PUTRI ARES Siapa yang paling ingin kau ajak berkelahi di Perkemahan Blasteran"
Clarisse: Siapa pun yang muncul di hadapanku, pecundang. Oh, maksudmu secara
spesifik" Ada banyak pilihan. Ada cowok baru di kabin Apollo, Michael Yew. Aku
ingin menggetokkan busurnya di atas kepalanya hingga patah. Dia pikir Apollo
jauh lebih baik dari Ares hanya karena mereka bisa menggunakan senjata jarak
jauh dan berada jauh dari medan pertempuran seperti pengecut. Beri aku lembing
dan perisai kapan pun kau mau. Suatu hari, camkan kata-kataku, aku akan
menghancurkan Michael Yew dan seluruh pengecut di kabinnya.
Selain ayahmu, menurutmu siapa dewa atau dewi paling berani di Olympus"
Clarisse: Tak satupun yang menyamai Ares, tapi aku pikir dewa Zeus cukup
berani. Lihat saja, dia mengalahkan Typhon dan bertarung dengan Kronos. Tentu
saja, dia berani sebab dia punya koleksi senjata petir bertenaga super. Aku
tidak bermaksud meremehkannya. Kau pernah membalas dendam kepada Percy karena dia mengguyurmu dengan air
toilet" Clarisse: Oh, bocah ingusan itu menyombong lagi, ya" Jangan memercayainya.
Dia melebih-lebihkan seluruh kejadiannya. Percayalah, pembalasan akan segera
datang. Saat itu terjadi, dia akan menyesal. Kenapa aku menunggu" Ini cuma
strategi. Menunda dan menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Aku tidak
takut, oke" Kalau ada yang berkata lain, aku akan merontokkan gigi mereka.
WAWANCARA DENGAN ANNABETH CHASE,
PUTRI ATHENA Jika kau bisa mendesain bangunan baru untuk Perkemahan Blasteran, bangunan
apa yang akan kau buat"
Annabeth: Aku senang sekali kau bertanya. Kami sangat membutuhkan kuil. Kami
di sini, putra-putri dewa Yunani, dan kami bahkan tidak punya satu momen pun
untuk menghormati orangtua kami. Aku akan menempatkan di bukit di sebelah
selatan Bukit Blasteran, dan aku akan mendesainnya sedemikian rupa hingga setiap
pagi mentari akan bersinar menembus jendela-jendelanya dan membiaskan
berbagai lambang dewa di latai: misalnya satu hari seekor elang, hari berikutnya
burung hantu. Bangunan itu memiliki patung-patung semua dewa, tentu saja, dan
angelo kecil untuk membakar sesaji. Aku akan mendesainnya sehingga akustiknya
sempurna, seperti Carnegie Hall. Jadi, kami bisa menggelar konser harpa dan
organ pipa di sana. Aku bisa menjelaskan secara rinci, tapi mungkin kau sudah
bisa membayangkannya. Chiron bilang mungkin kami harus membayar empat juta truk
stroberi untuk membayar proyek semacam itu, tapi menurutku biaya itu layak.
Selain ibumu, menurutmu siapa dewa atau dewi yang paling bijak di Olympus"
Annabeth: Wow, aku pikir dulu, mmm. Masalahnya, dewa-dewi Olympus tidak
termahsyur atas kebijakannya, dan aku mengatakannya dengan segala hormat.
Zeus bijak dengan caranya sendiri. Maksudku, dia mempertahankan keluarganya
selama empat ratus tahun, dan itu bukan perkara mudah. Hermes sangat cerdik. Dia
bahkan pernah membodohi Apollo dengan mencuri ternaknya, dan Apollo bukan
pemalas. Aku selalu menghormati Artemis juga. Dia memegang teguh hal yang
dipercayainya. Dia melakukan hal yang diyakininya da tidak menghabiskan
banyak waktu berdebat dengan dewa lain di Olympus. Dia menghabiskan waktu di
dunia fana lebih lama daripada dewa lain. Jadi, dia sungguh mengerti apa yang
sedang terjadi. Namun, dia tidak memahami pria. Yah, tidak ada yang sempurna.
Dari semua temanmu di Perkemahan Blasteran, siapa yang paling kau inginkan ada
di sisimu dalam pertempuran"
Annabeth: Oh, Percy. Tidak diragukan. Dia kadang menyebalkan, tapi dia bisa
diandalkan. Dia berani dan pahlawan yang baik. Biasanya, asal aku memberinya
instruksi, dia akan selalu memenangkan pertarungan.
Kau dikenal selalu memanggil Percy "Otak Ganggang". Sifat apa yang paling
menyebalkan darinya"
Annabeth: Yah, aku tidak memanggilnya seperti itu karena dia cerdik, kan"
Maksudku, dia tidak bodoh. Dia sebenarnya cukup cerdik, tapi kadang dia
bertindak sangat bodoh. Aku curiga dia melakukannya hanya untuk membuatku
kesal. Dia punya banyak sekali kelebihan. Dia punya keberanian. Dia punya selera
humor. Dia tampan, tapi jangan berani-berani kau mengatakan bahwa aku
memujinya seperti itu. Sampai di mana aku tadi" Oh ya, dia punya banyak kelebihan, tapi dia sangat ...
bebal. Itulah kata yang tepat. Maksudku, dia tidak bisa melihat sesuatu yang
sudah jelas, seperti perasaan seseorang, walaupun setelah ada yang memberinya isyarat,
dan bertindak blak-blakan. Apa" Tidak, aku tidak membicarakan tentang seseorag
ataupun siapa pun secara khusus! Aku hanya membuat contoh secara umum.
WAWANCARA DENGAN GROVER UNDERWOOD,
SATIR Apa lagu kesukaan yang sering kau mainkan dengan organ pipa"
Grover: Oh, mmm ... baiklah, ini agak memalukan. Suatu kali aku mendapat
permintaan dari seekor tikus air yang ingin mendengar Muskrat Love. Jadi ... aku
mempelajarinya, dan aku harus mengakui bahwa aku suka memainkannya. Jujur
saja, ini bukan sekadar lagu untuk tikus air saja! Lagunya menceritakan kisah
cinta yang manis. Mataku berkaca-kaca setiap kali memainkannya. Begitu juha dengan
Percy, tapi itu mungkin karena dia menertawakanku.
Siapa yang paling tidak ingin kau temui di gang yang gelap-sesosok Cyclops atau
Pak D yang marah" Grover: Bwa-ha-ha-ha! Pertanyaan macam apa itu" Mmm ... baiklah ... jelas
sekali, lebih baik aku bertemu Pak D, sebab dia sangat ... er, baik. Ya, ramah dan
dermawan kepada para satir. Kami semua mencintainya. Dan, aku tidak
mengatakan karena dia selalu mendengar dan dia akan meledakkan aku hingga
berkeping-keping jika aku mengatakan sebaliknya.
Menurut pendapatmu, di mana tempat alami yang paling cantik di seantero
Amerika" Grover: Ini mengejutkan sebab tidak ada tempat bagus yang tersisa, tapi aku suka
Danau Placid di sisi utara New York. Sangat cantik, terutama saat musim dingin!
Dan peri pohon di sana-wow! Oh, tunggu, bisakah kau membuang kalimatku
barusan" Juniper akan membunuhku.
Apakah kaleng timah sungguh seenak itu"
Grover: Nenekku dulu sering berkata, "Dua kaleng timah sehari menjauhkan
monster darimu." Mengandung banyak mineral, sangat mengenyangkan, dan
teksturnya nikmat. Sungguh, kenapa tidak suka" Sayang sekali gigi manusa tidak
dibuat untuk menyantap hidangan berat.
WAWANCARA DENGAN PERCY JACKSON,
PUTRA POSEIDON Apa yang paling menyenangkan saat musim panas di Perkemahan Blasteran"
Pecy: Tentu saja bertemu teman-temanku. Sungguh menyenangkan bisa kembali
ke perkemahan setelah satu tahun di sekolah. Ini sama saja dengan pulang ke
rumah sendiri. Hari pertama di musim panas, aku akan berjalan berkeliling kabin
dan mendapati Connor dan Travis mencuri berbagai barang dari toko perkemahan,
dan Silena berdebat dengan Annabeth, dia mencoba merias Annabeth, Clarisse
masih membenamkan kepala anak-anak baru ke dalam toilet. Sungguh
menyenangkan saat menyadari bahwa banyak hal tak pernah berubah.
Kau belajar di beberapa sekolah yang berbeda. Kesulitan apa yang kau alami
sebagai siswa baru" Percy: Membangun reputasimu dari nol lagi. Semua orang ingin menindasmu,
bukan" Entah kau adalah siswa culun atau atlet atau yang lain. Kau harus membuat
mereka mengerti bahwa kau bukan seorang yang bisa mereka tindas, tapi kau juga
tak bisa melawan begitu saja. Mungkin aku bukan orang yang tepat untuk
memberikan saran. Aku tidak sanggup melewatkan satu tahun ajaran tanpa
dikeluarkan atau meledakkan sesuatu.
Jika kau harus menukar Reptide dengan senjata sihir lainnya, senjata apa yang
akan kau pilih" Percy: Pertanyaan yang sulit, sebab aku sudah sangat terbiasa menggunakan
Reptide. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa pedang itu. Mungkin akan
sangat menyenangkan jika aku punya satu set baju perang yang menyatu dengan
pakaian sehari-hari. Mengenakan baju perang sangat menyebalkan. Berat. Gerah.
Dan, jelas baju perang tak membuatku tampak keren. Jadi, punya baju perang yang
bisa berubah menjadi pakaian sehari-hari pasti menyenangkan. Namun, aku tidak
yakin aku mau menukarnya dengan pedangku.
Kau sering mengalami situasi berbahaya, tapi mana yang menurutmu paling
menakutkan" Percy: Yang paling mengerikan adalah pertarungan pertamaku dengan minotaurus,
di atas Bukit Blasteran, sebab aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Saat itu,
aku bahkan belum tahu bahwa aku adalah seorang demigod. Aku pikir aku akan
kehilangan ibuku selamanya, dan terjebak di bukit dalam sebuah pertarungan hebat
dengan banteng besar, sementara Grover pingsan sambil terus meratap,
"Makanan!" Peristiwa itu sungguh mengerikan, Teman.
Ada saran untuk anak-anak yang menduga dirinya mungkin seorang demigod"
Percy: Berharaplah dugaanmu salah. Sungguh, mungkin semua ini menyenangkan
untuk dibaca, tapi mungkin seorang demigod adalah hal buruk. Jika kau merasa
dirimu seorang demigod, segeralah cari seorang satir. Biasanya kau bisa
menemukan satir di sekolah mana pun. Cara mereka tertawa ganjil, dan mereka
memakan segalanya. Mereka mungkin berjalan pincang sebab mereka berusaha
N Atau M 3 Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Makhluk Pemeluk Manusia 2
^