Pencarian

The Proposal 5

The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley Bagian 5


melihat keluar sana?" dia mengisyaratkan ke lahan luas dari
pepohonan pinus. "Lima detik yang lalu kalimat minyak urut dan pakaian dalam yang
layak keluar dari mulut pintarmu itu. Aku tak ingin melihat segala
sesuatu selain tubuhmu hingga aku memilikimu setidaknya dua
kali." Ketika Emma mulai menggeliat dari pegangannya, nafasnya
membakar lubang telinganya. "Kau. Telanjang. Hot tub. Sekarang."
Emma menatapnya melalui bahunya dan memutar matanya. "Kau
terdengar seperti manusia gua!"
Aidan terbahak. "Aku merasa seperti salah satunya juga.
Meninggalkanku selama hampir dua minggu tanpa seks benar-benar
menyiksaku, Em." "Sebenarnya, itu adalah latihan yang bagus. Setelah Noah lahir,
paling tidak akan butuh lima atau enam minggu sebelum bagian
bawahku dapat beroperasi lagi."
Aidan menggeram. "Oh Tuhan, jangan ingatkan aku." Menarik
keliman dari gaunnya, dia menariknya melalui kepalanya. "Lepaskan
sepatumu," instruksinya. Dengan senang hati, Emma melangkah
keluar dari sepatu rendahnya yang sudah mengakibatkan kakinya
bengkak. Menggenggam tangannya, Aidan mulai membimbingnya keluar
menuju lorong. "Tapi aku tidak seharusnya masuk ke dalam bak air
panas ketika aku hamil," protes Emma.
"Aku telah menangani semuanya, babe. Aku memastikan mereka
melakukan tindakan pencegahan seperlunya untuk merendahkan
temperatur air. Ini akan sama dengan air hangat suam-suam kuku."
"Benarkah?" Aidan mengangguk dan menariknya mendekat padanya. "Selain itu,
aku mengira dengan kau menaikiku, kau takkan terendam dalam air
terlalu dalam nantinya."
Emma menggelengkan kepalanya. "Kau selalu punya rencana kecil
yang rumit, bukan?" "Yep." Dia tertawa kala Aidan membuka pintu ke kamar yang menuju
kamar tidur utama. Hanya dengan menjentikan saklar, cahaya lilin
kecil menerangi ruangan. "Lilin elektrik narsis" Siapakah temanmu"
The Ladies Man atau sesuatu?"
Aidan tertawa saat dia mulai membuka kancing bajunya.
"Sebenarnya, dia telah menikah dan mempunyai lima anak."
"Sepertinya dia senang menjaga keromantisan, huh?"
Hot-tub berbuih yang terletak di sudut ruangan berhadapan dengan
lantai hingga ke langit-langit jendela. Di kala siang, Emma
mengkhayal pemandangannya akan sama menakjubkannya dengan
yang ada di kamar tidur. Setelah merobek bajunya, Aidan mulai melucuti celananya. Emma
menangkap isyarat dan mulai membantunya. Sesaat setelah Aidan
melepaskan ikat pinggangnya, dia melapisinya dengan tangannya.
Ketika Aidan membungkuk untuk menurunkan celana dan boxernya,
Emma mengambil kesempatan untuk memukul bokongnya dengan
ikat pinggang. Pukulannya menggema ke ruangan.
Aidan terlonjak kaget sembari mengusap bokongnya. "Emma, apaapaan sih itu tadi?"
Dia cekikikan. "Kau tidak suka sedikit pukulan sekarang, heh?"
Sudut bibir Aidan melengkung menyeringai. "Kini bukan aku yang
mengatakannya." Tanpa melepaskan pandangannya dari Aidan, Emma memukul
bokongnya yang lain. Ia gemetar ketika menatap mata biru Aidan
menggelap karena gairah. "Kenapa kau menamparku?"
"Karena kau telah menjadi seorang lelaki nakal."
Alis pirangnya menaik. "Benarkah?"
"Mmm, hmm. Segala yang kau pedulikan sejak kita tiba disini
hanyalah memuaskan keinginanmu." Emma bersedekap.
"Bagaimana denganku?"
"Ah, jadi harusnya aku lebih dulu memuaskanmu?"
"Ya, ku mohon."
"Dan apa yang kau ingin aku lakukan?"
Kelancangan Emma perlahan meragu, dan tiba-tiba dia tidak
mengira dia bisa mengucapkan kata-kata nakal itu. "Um, well... aku
ingin kita berdua di hot-tub."
"Dan?" Aidan membisik saat dia mencapai sekelilingnya untuk
melepaskan kaitan branya, sangat teliti.
"Aku ingin mulutmu di diriku."
"Benarkah?" dia menyapu bersih celana dalam Emma, membuatnya
merasa sangat rapuh dibawah tatapan liar Aidan. Dia menjalankan
ibu jarinya ke mulutnya dan menelusuri bibir bawahnya. "Kau ingin
mulutku disini?" "Tidak," gumamnya.
Jarinya meluncur turun ke bawah dagunya dan melewati lehernya
hingga menangkup payudaranya. "Kau ingin mulutku disini?"
ulangnya. Emma menggelengkan kepalanya. Melepaskan payudaranya, Aidan
menjalankan kembali tangannya ke pinggang Emma untuk
menangkup lembah di antara ke dua kakinya. "Apakah kau ingin
mulutku disini?" "Ya. Kumohon," rengeknya saat tangan Aidan mulai bekerja
membuatnya gila. "Kalau begitu, kemarilah."
Emma berteriak frustasi ketika Aidan menarik tangannya. Dia
membelakanginya menghadap hot tub. Emma mengamatinya saat
tubuh telanjang nikmatnya masuk ke dalam hot tub. Aidan
melengkungkan jarinya ke arahnya. Masih memegang ikat pinggang,
Emma membiarkannya jatuh dari jarinya hingga bergemerincing di
lantai. Ketika dia masuk ke dalam hot tub, Aidan masih berdiri.
Dengan gagah, dia membantu Emma untuk duduk. Berlutut di
depannya, tangan Aidan membuka lutut Emma untuk melebarkan
kakinya. Melirik ke arahnya, Aidan memutar ujung jarinya bolak balik di
bagian paha luarnya, membuat Emma gemetar. Emma menggigit
bibir bawahnya untuk menahan melengkungkan pinggulnya ke arah
Aidan. Membungkuk, Aidan perlahan mulai mencium dan menggigit
dalam perjalanannya ke bagian dalam paha Emma. Begitu napas
hangatnya terasa di atas kewanitaannya, dia menarik diri dan mulai
memberikan perhatian yang sama ke paha yang lain. "Aidan..."
"Ada apa, babe?"
"Berhentilah menjadi penggoda," gumamnya.
Tawanya bergetar terhadap kulit sensitif dari paha dalamnya. Aidan
mendongakkan kepalanya. "Maafkan aku. Kau tadi mengatakan
padaku dimana kau mau mulutku berada, bukan?"
"Ya." Menenggelamkan kembali kepalanya di antara kedua kaki Emma,
Aidan menjilat lambat jejak basah ke celah lembabnya. Jarinya
menyebar di atas kewanitaannya sebelum melesakkan lidahnya
kedalam. Saat dia masuk dan keluar di dirinya, Emma menggigit
bibir bawahnya untuk menjaga teriakannya teredam, namun erangan
mendalam bergemuruh melalui dadanya. Dengan satu tangan, dia
menahan sisi pinggiran hot tub sementara yang lainnya meremas
rambut Aidan. Setelah Aidan mengeluarkan lidahnya dari dalam dirinya dan mulai
memutar dan menghisap klitnya, Aidan memasukkan satu jarinya
dan kemudian dua ke dalamnya. Mengulangi kembali apa yang telah
dilakukan sebelumnya, dia menekan G-spot Emma, and Emma
melempar kepalanya ke belakang dan menjerit. Saat dia melanjutkan
untuk menyiksa Emma dengan jari dan lidahnya, Emma
meneriakkan namanya. Tangannya melepaskan remasan rambut
Aidan dan keduanya menahan kuat di pegangan hot tub. Pinggulnya
bergerak berlawanan dengan mulut dan jarinya, menekannya lebih
dalam, saat dia mengangkat bokongnya naik turun dari hot tub.
Disaat Emma tak bisa lagi menahannya, dia menegang saat dia
orgasme dengan keras dan cepat.
"Aidan! Oh yes! YES!" serunya.
Walaupun dia masih mengetat dengan jari Aidan disekelilingnya,
Aidan menggunakan lengannya yang lain untuk menariknya dari hot
tub untuk menaikinya. Alih-alih membuatnya menghadapnya, dia
membuat Emma berbalik membelakanginya. Dia menggantikan
jemarinya dengan ereksi kerasnya. Dia menggeram di punggung
Emma saat dia meluncur masuk. Menahan pinggul Emma, dia
masuk dan keluar di dalamnya.
Emma bersandar padanya untuk menciumnya. Lengannya
melengkung untuk menggenggam rambut kusut Aidan di jarinya.
Kala lidah mereka saling terjalin, tangan Aidan meninggalkan
pinggulnya untuk menangkup payudaranya yang tersiksa. Dia
meremasnya dan menjepit putingnya hingga mengeras,
menyebabkan Emma terkesiap akan kenikmatan ke dalam mulutnya.
"Bisakah kau menerimanya lebih keras, babe?" Aidan terengahengah di pipinya.
"Ya." Tangannya meninggalkan payudaranya, dan dia sekali lagi
memegang pinggangnya. Dia mengangkat pinggulnya sedikit untuk
menghujam dengan keras saat dia menekannya masuk dan keluar.
Emma menatapnya melalui bahunya sebelum dinding-dindingnya
mengetat kembali disekelilingnya. "Oh sial, Em," rutuknya sebelum
melemparkan kepalanya ke berlawanan dengan hot tub.
Menguatkan tangannya di pahanya, Emma menaiki dengan cepat
dan makin cepat hingga mereka berdua mendengus dan mengerang
dalam kenikmatan saat suara dari kulit yang saling bertemu dan
kucuran air menggema hingga ke ruangan. Setelah beberapa saat,
Aidan bertanya dengan napas berat, "Apakah kau sudah dekat?"
"Mungkin," jawabnya.
Tanggapan Aidan adalah menarik salah satu tangannya dan
membawanya di antara ke dua kaki Emma. Disaat jarinya mengurut
klitnya, Emma orgasme dengan keras. Dia meneriakkan nama Aidan
dan runtuh diatasnya, mengistirahatkan kepalanya di bahu Aidan.
Aidan terus menghujamnya sebelum orgasme di dalam Emma.
Setelah Aidan selesai bergetar, dia membungkus Emma dalam
pelukan yang erat sebelum mencium jejak lembab ke lehernya. "Sial,
itu pantas ditunggu."
Karena dia nyaris tak bisa bergerak, Emma bergumam,
"Menurutmu?" "Oh ya." "Aku senang kau berpikiran begitu. Aku ingin percintaan pertama
kita sebagai suami dan istri menjadi special." Meliriknya, Emma
menyeringai. "Aku tak yakin apakah yang kita baru saja kita lakukan
termasuk dalam katagori bercinta, namun aku setuju."
Tubuh Emma bergoyang akan tawa Aidan. "Tidak, itu tidak
termasuk. Aku akan memperbaikinya. Lain kali akan lebih pelan dan
lembut - percintaan yang nyata untuk istriku." Ketika dia menghisap
cuping telinganya, Emma gemetaran.
"Mmm, kedengarannya menarik." Waktu mereka terganggu akan
perut Emma yang bergemuruh.
"Sepertinya kau kelaparan, huh?" tebak Aidan.
"Belakangan ini aku selalu lapar. Atau aku kira aku harus
mengatakan Noah selalu lapar belakangan ini."
"Pergilah dan carilah sesuatu."
"Kau yakin?" Dengan seringai sombongnya, Aidan bertanya, "Jenis bajingan
pecinta seks apa diriku yang menyangkal rezeki untukmu?"
"Hmm, dirimu yang biasanya?" goda Emma.
"Tidak lucu." Aidan mendengus sebelum melepaskan dirinya darinya
dan dengan lembut mendorong Emma berdiri di kakinya. Ketika
Emma goyah sedikit, tangan Aidan menahan pinggangnya. "Pelanpelan. Biar aku
bantu kau keluar." Setelah Aidan keluar dari hot tub,
dia menggenggam kedua tangannya di tangannya untuk menjaga dia
tidak terpeleset. Dia menghadiahinya sebuah ciuman. "Terima kasih, cintaku."
"Terima kasih kembali."
Dua jubah mandi tergantung di belakang pintu, dan setelah memakai
handuk, Emma senang memakai salah satunya. Dia berjalan
menyusuri lorong hingga tiba di dapur. Membuka pintu baja besar
dari kulkas, dia mengamati isinya. Aidan pasti telah menstoknya
dengan berbagai macam pesanan untuk mereka karena disana ada
nampan besar sayuran, masing-masing satu dari segala jenis daging
dan keju untuk sandwich, dan semangkuk buah segar.
Setelah mengambil sayuran dan buah, matanya tertuju pada sekaleng
whipped cream. Melirik ke kamar tidur, dia menggigit bibirnya dan
berkhayal jika dia berani menyarankan hal konyol itu. Berbalik,
Emma mengatur semuanya di atas counter sebelum menarik napas
dalam dan mengambilnya. Saat dia mulai mengunyah beberapa
wortel dan seledri, dia tahu dengan pasti apa yang diinginkannya.
"Babe?" panggilnya.
"Yeah?" "Apakah kau membawa kotak makanan yang Grammy kirimkan
bersama dengan sisa BBQ?"
"Tunggu sebentar. Aku rasa itu ada disini.'
Sementara Emma mendengar dia meraba di sekitar tumpukan koper,
Emma membuka mangkuk buah. Dia sudah setengah jalan
membukanya ketika Aidan akhirnya muncul. "Kotak piknik
Grammy benar-benar seperti koper," ujarnya.
"Dia serius akan Tupperware dan container." Menunjuk ke tas
bermotif bunga, Emma berkata," Aku membelikannya itu dari
Americus Mart di Atlanta." Kemudian sesuatu menarik
pandangannya, dan dia menelan dengan cepat. "Kau menemukan
borgolku?" Seringai nakal melengkung di bibirnya. "Ketika mencari kotak
makanan, aku menemukan treat case-mu."
Pipinya merona akan pikiran tentang beberapa benda lainnya.
"Kebanyakan barang yang ada disitu berasal dari hadiah lucu dari
acara permandian. Bukan barang yang nyata untuk bisa kita
gunakan." "Lalu kenapa kau membawanya?"
Dia mengangkat bahu. "Aku sedang terburu-buru, jadi aku hanya
melempar semuanya sembarangan ke dalam tas."
Aidan memutar-mutar borgol hijau berbulu di jarinya. "Kau tak ingin
mencobanya?" Mengigiti bibirnya, Emma berkata, "Aku mau jika kau mau."
"Apa maksudnya itu?"
Perlahan Emma berjalan di sekitar counter. Aidan bahkan tak
bersusah payah untuk memakai jubah mandinya atau pun pakaian.
Emma merampas borgol itu dari jari Aidan dengan satu tangan
sementara yang satunya berada di dadanya. Mendorongnya, dia
mengarahkan Aidan ke salah satu kursi dapur. "Duduk," perintahnya.
"Ya, ma'am," balasnya, binar penasaran di matanya.
Membuka salah satu dari borgolnya, Emma meraih tangan Aidan.
Tanpa membantah, Aidan membiarkan dia mengunci benda itu di
pergelangan tangannya. Berjalan di belakangnya, Emma memegang
tangannya yang lain ke belakang dan memborgolnya. Aidan
menyentakkan tangannya, namun tidak berhasil. "Hmm, apa aku
sekarang tawananmu?"
"Mungkin." Melirik melalui bahunya, kaleng dari whipped cream tertangkap
pandangannya. Ketika Emma mulai untuk mengambilnya, Aidan
bergoyang di kursi. "Kau mau kemana?"


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Emma menyeringai ke arahnya. "Kau akan tahu." Dia mengambil
kaleng itu dan kembali kepadanya.
Aidan menatapi kaleng itu dan kemudian mengernyit. ?"Dan apa
yang akan kau rencanakan dengan itu?"
"Tentu saja memakannya." Emma mengocoknya dan kemudian
membuka penutupnya. Condong ke depan, menyemprotkan garis
saling-silang dari tulang dada Aidan hingga ke pusarnya. Aidan
tersentak akan cairan dingin yang mengenai kulitnya.
Mengangkanginya, Emma perlahan duduk di pangkuannya. Ketika
dia membasahi bibirnya mengantisipasi, ereksi Aidan perlahan
membengkak diantara mereka. Emma menunduk dan menyeringai.
"Tenanglah, boy. Kau akan mendapatkan giliranmu."
Aidan mengerang akan sindiran itu dan menjatuhkan kepalanya.
Emma menempatkan mulutnya di dada Aidan dan mulai menjilat
dan menghisap whipped cream. Aidan tercekat saat dia beranjak
turun, menggigit dan merasakan kulitnya. Hanya ketika Emma tiba
di ereksinya, ia kembali ke dadanya. Aidan menghembuskan napas
frustrasi dan mendorong pinggulnya. Ketika dia telah selesai
membersihkannya, Emma turun dari pangkuannya.
"Berdiri." "Tunggu-apa?" Tanya Aidan panik.
Emma memutar matanya. "Apakah kau sungguh-sungguh berpikir
aku akan berlutut di lantai kayu yang keras ini?" Emma membuat
suara berdecak. ?"Kau harus berkejasama denganku Big Papa."
Kelegaan terpampang diwajahnya. "Terima kasih Tuhan."
Emma membawa bibirnya ke bibir Aidan, memberinya ciuman yang
panjang, ciuman yang panas. Aidan menyapu lidahnya di sekitar
mulutnya dan bibirnya, mencari rasa manis dari whipped cream.
Menelusupkan tangannya di antara mereka, jemari Emma
menyelimuti kejantanannya.
Aidan mengerang di atas bibirnya. Dia melepasnya dan kemudian
melepaskan ciuman mereka untuk bergerak perlahan di kursi.
Tangan Aidan melawan borgol. "Lepaskan jubahmu," perintahnya.
Emma menatapnya dan menggelengkan kepalanya. "Ku mohon?"
pintanya serak. "Kau benar-benar menginginkan aku telanjang?"
"Mmm, kau tahu aku selalu ingin melihatmu. Payudaramu, kakimu,
vaginamu." "Aidan!" Emma memekik menjatuhkan whipped cream.
"Apa?" "Aku tak percaya kau mengatakan kata itu!"
"Yang mana?" godanya.
Tahu bahwa Aidan takkan membiarkannya hingga dia
mengucapkannya, dia berbisik, "Vagina."
Aidan tergelak. "Apa yang menurutmu harus ku katakan" Lu - "
Tangan Emma melayang menutupi mulut Aidan untuk
membungkamnya, dan dia menggelengkan kepalanya keras. "Tidak,
tidak! Yang itu lebih buruk."
Ketika Emma menarik tangannya, seringai terlengkung di bibir
Aidan. "Emma, apakah kau tak menikmati gosokan dan jilatanku di
vaginamu malam ini?"
"Tolong berhentilah mengatakannya!" Emma membungkuk untuk
mengambil kaleng whipped cream.
"Ketika aku lolos dari borgol ini, aku akan memasukkan jariku ke -"
Emma menatapnya tajam. "Aku sungguh-sungguh, Aidan."
Kilatan seringai licik muncul di wajahnya. "Kau akan memintaku
untuk menyetubuhimu.. di bawah sana."
Memasang wajah datar, Emma bekata, "Jika kau tidak berhenti, aku
akan menggunakan tali jubah ini untuk menyumbatmu sehingga aku
tak perlu lagi mendengarkanmu."
Aidan tertawa. "Paling tidak itu berarti kau akan telanjang."
"Kau menjengkelkan."
"Ayolah, babe. Aku baru saja melihatmu lima belas menit yang lalu."
"Oke, oke. Jika itu bisa membuatmu diam," gusarnya. Emma
melepaskan ikatan jubahnya, kemudian jubah besar itu pun lepas
dari tubuhnya. Aidan mengedipkan matanya apresiatif. "Terima kasih, cantik."
Dia meliriknya malu-malu. "Terima kasih kembali."
Memiringkan kepalanya, Aidan kemudian bertanya, "Sekarang
maukah kau merasakanku?"
Emma tertawa lebar. "Ketika kau memintanya dengan manis seperti
itu, tentu saja aku mau," godanya. Emma mengayunkan kaleng
whipped cream ke arahnya. "Namun mari kita permanis juniormu,
oke?" "Mmm, oke." Setelah menyemprotkan whipped cream secukupnya ke telapak
tangannya, Emma mulai mengolesi kejantanan Aidan. Aidan gemetar
dan menutup matanya. Ketika Emma bersandar untuk mengecup
ujung kejantanannya, Aidan menggeram. Dia menjilatinya dari dasar
hingga ke ujung kejantanannya, menggigit dan menjilati
kenikmatannya. Kemudian Emma menggenggamnya dengan satu
tangan dan menyapunya dengan mulutnya. Mengerucutkan pipinya,
Emma menghisapnya dengan keras.
Aidan mendorong pinggulnya sementara lengannya terentang
melawan borgol. Emma tahu Aidan mencoba untuk melepaskan diri
untuk membungkus jemarinya di rambutnya. Ketika Emma
melepaskan mulutnya, tubuh Aidan bergetar. "Em, tolonglah."
Mengacuhkannya, Emma kembali melanjutkan menjilati sisa
whipped cream sementara menggosok kejantannya dengan
tangannya. Jemarinya hampir saling menempel, maka dia
mempercepat gosokannya. Dengan hanya merasakan ujungnya di
mulutnya, Emma memutar lidahnya di sekitar batangnya, bergantian
antara menghisap dan jentikan menggodanya. Dada Aidan naikturun, dan dia
terengah-engah. Ketika Emma membawanya lebih dalam ke dalam mulutnya,
erangan bergemuruh melalui dadanya. Emma bisa merasakan tubuh
Aidan menegang dan mengetat untuk pelepasannya. Emma
menggosoknya lebih keras dan lebih cepat di tangannya sementara
mulutnya terus bekerja. "Ya...uh...oh Tuhan, Em!" getaran terasa
dari tubuh Aidan, saat ia orgasme di mulut Emma. "F*ck ya!"
pinggulnya menyentak dan mendorong melalui pelepasannya.
Aidan menunduk ke arah Emma dengan tatapan menggairahkan di
matanya. "Tolong katakan padaku kau mempunyai kunci untuk ini?"
Bangkit dari kursi, Emma memutar jarinya ke arahnya agar Aidan
mengikutinya di lorong, dan dia dengan senang hati melakukannya.
*** 1lodge: sejenis rumah peristirahatan untuk sementara waktu.
sofa yang di desain untuk dua orang dan biasanya memiliki dua bantal duduk.
3treat case: suatu kotak yang berisikan peralatan untuk menyenangkan pasangan
4horndog: seseorang yang sedang bergairah, biasanya digunakan dalam situasi
bercanda 2loveseat: Bab 20 Satu bulan kemudian Aidan tertatih melewati pintu garasi, lelah pada kemungkinan
penerbangan ke Charlotte dalam beberapa jam lagi. Setidaknya ia
sudah meninggalkan pekerjaannya sedikit lebih awal. Setelah ia
menjatuhkan tasnya di meja dapur, dia memanggil, "Em?"
"Aku di kamar bayi," Emma menjawab, suaranya teredam dari atas.
Aidan tersenyum saat ia mulai menaiki tangga. Suara Emma
meninggi dalam lagu terdengar olehnya. Saat ia sampai di pintu
kamar bayi, ia melihat Emma sibuk kesana kemari, membuang
beberapa selimut biru dari laci. "Hey sayang."
Emma berbalik. "Hey. Aku baru saja selesai disini, dan nanti aku
akan mengepak tasmu"
Dengan merengut, ia berkata "Aku masih tidak yakin untuk
meninggalkanmu." Ia menyebrangi ruangan ke arahnya. "Semua akan baik-baik saja.
Kau tidak akan pergi sampai dua hari."
"Aku masih tidak menyukainya."
Emma melilitkan tangannya disekitar lehernya. "Tanggal
kelahirannya tidak sampai tiga setengah minggu lagi. Bayi pertama
jarang lahir lebih awal, jadi ini akan baik-baik saja"
"Kau masih memiliki Casey yang datang menghabiskan malam
denganmu, kan?" Ia menyeringai. "Ya, 1worry-wart. Faktanya, ia dan Connor
mengajakku untuk makan malam, dan kami akan mengadakan pesta
tidur." Aidan tertawa. "Itu akan menjadi malam yang menarik."
"Cemburu kau akan melewatkan perubahan penampilan dan
gossip?" "Tidak, aku rasa aku akan melewatkannya."
"Terserah." Ia memandangi dinding kamar bayi yang berwarna biru terang.
Awalnya, ia tak yakin dengan ide Emma tentang tema Kapal Noah
untuk menyesuaikan dengan nama Noah. Melalui kontrak kerjanya,
ia menemukan seorang seniman untuk menggambar sebuah pelangi
dan lukisan bertema hewan sepanjang dinding. Ia tidak bisa percaya
betapa menakjubkan hasilnya. Bagian terakhir furniture sudah
datang seminggu yang lalu, sehingga ruangannya sudah dilengkapi
dengan tempat tidur, meja ganti, laci dan kursi goyang dan dipan.
Sekarang semua yang dibutuhkan adalah Noah sendiri untuk
melengkapi pemandangan. "Sepertinya kau sudah punya segalanya
siap untuk kedatangan si Pria Kecil."
Emma mengangguk saat mengusap perutnya. "Hanya beberapa
boneka hewan...jerapah berukuran besar dan gajah masih di pesan."
"Beberapa boneka hewan lagi" Kau sudah punya cukup hewan untuk
membuat kebun binatang disini."
Emma menyeringai. "Tidak, ini Arc yang kita buat, sayang."
"Terserah." Emma menggenggam tangan Aidan. "Ayolah. Kau bisa mandi dan
bercukur saat aku mengemas barang-barangmu."
"Apakah kau bermaksud mengatakan aku bau?"
Emma terkikik saat mereka menuruni tangga. "Tidak, tapi mengingat
kau ketiduran pagi ini dan berlari keluar tanpa bercukur, apalagi
mandi, aku pikir kau harus melakukannya sebelum makan malam
bisnismu nanti malam."
"Aku pikir kau menyukainya saat aku punya janggut kecil?"
Emma tersenyum dan mengusap pipinya. "Aku memang
menyukainya, sayang."
Aidan menjangkau untuk membelai punggung Emma saat mereka
mulai masuk ke kamar tidur. "Biasanya kau sangat menyukainya
ketika itu menggesek pahamu saat aku menuju ke bawahmu."
"Aidan Fitzgerald!" Emma menjerit memukul tangannya.
Aidan tertawa. "Kau tahu itu kebenarannya."
Emma menggoyang-goyangkan jarinya padanya. "Pergilah mandi,
bocah nakal." Membungkus lengannya di pinggang Emma, Aidan menariknya ke
arahnya. "Aku bisa menjadi jauh lebih nakal kalau kita melakukan
quickie* - sebuah pengantar sebelum aku harus pergi."
Emma menggeliat keluar dari pelukannya. "Kau perlu
membersihkan diri, lalu kau ada penerbangan yang harus kau kejar,
tuan. Jadi, pergilah."
Aidan mengerang. "Kau seperti perusak pesta akhir-akhir ini. Tidak
ada cinta untuk priamu. Aku pikir larangan berhubungan seks tidak
seharusnya terjadi sampai setelah Noah Lahir."
Aidan tahu ia berada dalam masalah serius saat mata hijau Emma
menyipit padanya. "Yeah, well, aku menyesal bahwa aku lelah dari
bekerja sepanjang waktu, merawat rumah ini, dan terutama,
membawa anakmu yang memiliki kekeraskepalaan seorang
Fitzgerald yang tidak mengenal waktu ketika ia ingin menendang
dan bergerak sepanjang malam saat ia seharusnya tertidur." Ia
membalas. Menyapukan tangannya ke rambutnya, Aidan mendesah kalah.
"Maafkan aku. Aku hanya merindukanmu - aku rindu kita. Itu saja,"
ia berkata sebelum ia berjalan gontai menuju kamar mandi.
Ia mandi dan bercukur dalam waktu singkat. Melilitkan handuk di
pinggangnya Aidan membuka pintu kamar mandi. Ia mengambil satu
langkah ke kamar tidur dan membeku. Mulutnya menganga shock.
Emma bermalas-malasan di kasur, bersandar pada sikunya dalam
baju tidur hijau yang Aidan beli untuk malam pertunangan mereka
yang tidak pernah sempat Emma kenakan. Apa yang sebenarnya
membuat denyut di kejantanannya adalah fakta bahwa Emma
menggunakan sepatu koboinya dan sebuah topi koboy.
Mulut Aidan mengering. "Apa yang kau lakukan?"
"Yah, karena aku sudah sangat lelah akhir-akhir ini dan belum dalam
kondisi mood, aku merasa bersalah menolakmu untuk sebuah
2quickie. Kau benar-benar baik dan pengertian, dan seorang
3horndog sepertimu tentu memiliki titik stresnya."
Aidan terkikik. "Terima kasih...aku rasa."
"Jadi, aku rasa aku akan menebusnya dengan memberikan hadiah
perpisahan yang kau inginkan," ia membalas dengan senyum malumalu. Ia menepuk
tempat tidur di sampingnya. "Jadi majulah, koboy.
Aku akhirnya siap untuk berkuda."
Aidan memiringkan kepalanya dan tersenyum. " 4Well, yippee ki-yay,
mother f*cker!" Emma tertawa saat Aidan menutup jarak diantara mereka. "Aku
tidak percaya kau baru saja membuat Die Hard sebagai referensi."
"Yeah, well, aku tidak percaya kau memberitahuku untuk maju
seperti aku adalah kuda."
"Dulu kau kuda pejantanku, ingat?"
"Dulu. Sekarang aku suamimu, jadi semua semua hal itu sedikit
konyol." "Bermain peran-lah, sayang." Menyapu topinya dari kepalanya,
Emma meletakkannya di kepala Aidan. Saat Aidan mulai
melepasnya, Emma berkata, "Uh-huh. Aku menyukainya."
"Kau tidak mungkin serius?"
Emma menggigit bibirnya sebelum menjangkau untuk mengambil
handuk dari pinggang Aidan. Ia melahap penampilan Aidan dan
kemudian menyeringai ke arahnya. "Mmm, ya, aku suka melihatmu
telanjang menggunakan topi koboy sangat, sangat suka."
"Em, kau gadis nakal," gumam Aidan, sambil membungkuk untuk
mencium Emma. Ia melakukan pekerjaan cepat mengangkat baju
tidur melewati kepala Emma. Pemandangan dari tubuhnya yang
menggairahkan, keadaan telanjang mengirimkan ereksinya berayun
di perutnya. Aidan menangkup payudara penuh Emma saat lidahnya
masuk ke dalam mulutnya. Aidan memainkan putingnya hingga
menegak, membuat Emma mengerang dan menggigit bibir
bawahnya di antara giginya.
Lalu Emma membawa tangannya menuju leher Aidan dan membelai
dan menarik rambut di pangkal lehernya. Aidan mengerang ke dalam
mulut Emma saat jari-jarinya menyusuri dari payudara Emma turun
ke puncak pahanya. "Tidak ada pakaian dalam" Kau cukup percaya
diri keberanianmu akan memastikan aku bersedia, huh?"
Emma tertawa. "Dan kapan kau tidak bersedia?"
"Tidak pernah. Karena aku tidak pernah merasa cukup denganmu."
Ekspresi geli Emma memudar. "Aw, sayang, itu sangat manis,"
katanya, matanya bersinar dengan cinta untuk Aidan. Ia membawa
bibirnya ke milik Aidan dan menciumnya penuh gairah, membiarkan


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emosinya mengalir keluar melalui ciumannya. "Aku mencintaimu,
Aidan," gumamnya di bibir Aidan.
"Aku juga mencintaimu." Memposisikan Emma menungging, Aidan
mencengkeram pinggul Emma dan menarik pantatnya ke tepi tempat
tidur. Membuka lebar kaki Emma, Aidan memposisikan diri
diantaranya saat ia berdiri di atas kedua kakinya. "Kau baik-baik saja
dengan tidak menunggangiku?"
"Kau bisa membawaku bagaimanapun kau mau, Koboy."
Ia memberinya seringaian jahat saat jari-jarinya menemukan
pusatnya, yang sudah menetes dengan kebutuhan. "Kau sudah benarbenar siap
untukku, huh?" "Itu karena topinya," Emma terengah saat Aidan menjalankan jarijarinya masuk dan
keluar dari dirinya. Aidan memutar matanya. "Serius?"
Emma merengut ke arahnya. "Kau berfantasi tentang aku yang
menggunakan lingerie hijau - aku mau kau menggunakan topi
koboi." "Dan aku senang aku bisa membuat fantasimu menjadi kenyataan."
Aidan menemukan titik sensitifnya, dan Emma mencengkeram sisi
tempat tidur. "Oh ya, ya, tepat disitu, Aidan. Oh Tuhan! Please!" ia menjerit,
menyorongkan pinggangnya ke tangan Aidan. Saat Aidan
mengirimnya ke ujung klimaks, kepala Emma menggeliat ke kiri dan
kanan saat ia orgasme. Aidan mengeluarkan jari-jarinya dari Emma dan memposisikan diri
di depan jalan masuknya. Dengan satu dorongan, Aidan mengisinya,
membuat mereka mengerang. "Mmm, lilitkan kakimu disekitarku
erat-erat, sayang. Aku mau sepatu koboi lezat itu menekan
pantatku." Emma menurutinya, dan Aidan terkesiap dengan gairah.
Mencengkeram sisi kasur, Aidan mulai mendorong masuk dan keluar
dari dirinya. Kaki Emma tetap erat di sekelilingnya, dan saat Aidan
memperlambat kecepatannya, Emma menekankan tumit sepatunya
ke tubuhnya, mengindikasikan ia menginginkan Aidan bergerak
lebih cepat. Melihat ke arahnya, Aidan menaikkan alisnya. "Apakah kau yakin?"
Emma menjilat lidahnya. "Mmm, hmm," ia berbisik.
Menuruti perintah Emma, Aidan menumbuk ke dalam dirinya.
Semakin dahsyat gerakannya membuat semakin banyak keringat
menetes di tubuh Aidan. Aidan hampir perlu mandi lagi setelah ia
selesai dengan Emma. Aidan tahu mereka akan lama lagi saat
dinding rahimnya mengetat di sekelilingnya, menandakan bahwa
Emma sudah mendapatkan pelepasannya, Aidan mencengkeram
pinggul Emma dan dan mendorong lebih cepat dan lebih keras
sampai Aidan menjeritkan nama Emma saat ia datang di dalam
tubuhnya. Terengah-engah, ia membungkuk untuk mencium bibirnya. "Terima
kasih, sayang. Itu tadi sangat menakjubkan."
Emma terkikik. "Dan terima kasih untuk memanjakan fantasi koboiku."
"Terima kasih kembali, Ma'am." Balas Aidan, sambil menjentikkan
ujung topinya. "Sekarang setelah kau melepaskan kaki lezatmu
dariku, maukah kau membantuku dengan mengantarku ke bandara?"
"Dengan senang hati, juga."
"Beri aku satu detik untuk menenggelamkan diriku dalam beberapa
cologne untuk menutupi bau seks memabukkan ini. Tidak mau
membuat rekan bisnisku cemburu karena aku mendapatkannya."
"Aidan!" pekik Emma, mendorong Aidan menjauh darinya.
Aidan terkekeh. "Tidak ada yang lebih aku suka dari menggodamu,
Em. Apalagi saat kau bereaksi seperti itu."
Emma menyeringai. "Dan aku suka bahwa kau harus menggodaku
tanpa ampun." Ibu jari Aidan datang untuk membelai pipi Emma. "Dan aku
mencintaimu." *** 1worry-wart: orang yang terlalu mengkhawatirkan segala sesuatu
berhubungan intim dalam waktu singkat
3horndog: seorang pria dengan hasrat seksual yang kuat
4yippee ki-yay, mother fucker!: potongan kalimat dalam film Die Hard
2quickie: Bab 21 Setelah mengantar Aidan ke bandara, Emma bergegas kembali ke
rumah. Dia hanya memiliki cukup waktu untuk bersiap-siap sebelum
bel pintu berbunyi, yang memberitahukan kedatangan Casey.
Beau membuntuti di belakangnya saat ia berjalan menyusuri lorong
untuk membuka pintu. Pada deringan kedua, Emma berteriak,
"Maukah kau memberiku waktu sebentar" Langkahku sangat
lambat." Dia mendengar Casey tertawa di teras sebelum bel berbunyi lalu
mati dengan sangat cepat. "Jangan menjadi idiot, Case!" Kata
Emma, saat ia membuka pintu.
Casey mengusap matanya karena geli. "Aku hanya menggodamu."
Kemudian dia melihat penampilan Emma. "Aw, Em, Kau terlihat
cantik," ia menjerit, mencium pipinya.
"Terima kasih. Aku merasa diriku seperti habis dilempar bersama."
"Apa maksudmu" Kau memiliki semua waktu soremu untuk bersiapsiap sebelum kau
mengantar Aidan ke bandara, kan?"
Emma menunduk, rona merah merayap di pipinya. "Well, mungkin
karena aku telah memberikan hadiah perpisahan sebelum Aidan
pergi." Casey sekali lagi tertawa terbahak-bahak. "Em, kau gadis yang
nakal." "Aku tidak bisa menahan diri. Meskipun aku lelah, hormon
kehamilan bodoh ini membuatku horny sepanjang waktu!"
"Hmm, aku horny sepanjang waktu, meskipun aku tidak memiliki
keuntungan sebagai orang hamil," renung Casey.
"Kalau begitu kau akan membunuh Nate yang malang ketika kau
sedang hamil. Rasanya benar-benar gila. Percayalah."
Sambil mengernyitkan hidung, Casey mengatakan, "Well, sesuatu
yang masih terlalu jauh untuk di khawatirkan. Aku yakin sekali hal
itu tidak akan terjadi pada saat ini."
Emma menyambar tasnya. "Siap untuk pergi?"
"Yep. Mari kita pergi menjemput Connor."
Lima belas menit kemudian, Casey berbelok memasuki jalanan
masuk rumah Connor. Connor bersikeras mengantar mereka dengan
mobil merk terbaru Lexus 350 SUV. "Kendaraan yang bagus, sobat,"
kata Emma saat ia naik ke kursi belakang.
"Terima kasih. Jeff dan aku benar-benar menyukainya."
"Semuanya masih berjalan lancar dengan kalian berdua?" Tanyanya.
Connor melirik ke belakang ke arahnya dan menyeringai. "Yep.
Bahkan, kami sedang berbicara tentang pernikahan."
"Benarkah" Sangat hebat."
"Yeah, jelas kami tidak akan bisa melakukannya disini, tapi semua
ini tentang membuat komitmen.
"Sungguh mengagumkan," kata Casey, sambil memasang sabuk
pengaman. "Aku mengharapkan kalian berdua untuk menjadi pengiring
pengantinku ... atau pengiring pria ... oh sial, sesuatu layaknya pesta
pernikahan." Emma dan Casey tertawa. "Sungguh hal ini merupakan kehormatan
bagi kami," jawab Casey.
"Asalkan setelah aku punya cukup waktu untuk menurunkan berat
badanku setelah bayi ini lahir," goda Emma.
Connor mengurangi kecepatan untuk berhenti saat lampu merah
menyala. "Oh please. Sepertinya kau punya banyak berat badan saja
yang harus dihilangkan."
Emma mengerang. "Percayalah. Ini lebih dari yang kau pikirkan."
Sambil mencondongkan tubuh ke kursi depan, Emma melambaikan
jarinya yang membengkak ke Connor. "Lihat betapa indahnya
penumpukan cairan disini."
"Ew, itu menjijikkan."
"Kau harus melihat kakiku."
Casey menggelengkan kepalanya. "Oh please, Em. Pada dasarnya
kenaikan berat badanmu hanya di payudara dan perutmu."
Emma mengernyitkan hidungnya saat Connor mencibir. "Dan kau
sudah memiliki payudara yang besar sejak kelas 7."
Connor!" Seru Emma sebelum memukul lengannya.
"Please, kau tahu itu dari saat kau berusia dua belas tahun, setiap
pria selalu berbicara dengan matanya tertuju pada payudaramu dan
bukan ke arah wajahmu."
Emma memutar matanya. "Oke, oke. Sudah cukup berbicara tentang
payudaraku untuk malam ini. Aku pikir sudah waktunya untuk
merubah percakapan!"
"Baik," Casey dan Connor bergumam dengan serempak.
"Jadi kemana kita akan pergi untuk makan?" Tanya Casey.
"Ada dua restoran baru di buka di pusat kota malam ini. Mungkin
juga akan terlihat beberapa selebriti," kata Connor. Dia melirik ke
belakang ke Emma untuk melihat tanggapannya.
Emma mengerutkan hidungnya. "Tidak bisakah kita melakukan
sesuatu yang lebih akrab dengan menjauh dari kerumunan?"
"Ya Tuhan, Kau terdengar seperti seorang wanita tua bangka yang
sudah menikah," keluh Connor.
"Aku tidak bisa menahan diriku bahwa kehamilan membuatku
kelelahan." "Oh tidak. Jangan menyalahkan itu pada kehamilan. Itu salahmu
memberikan hadiah perpisahan seksi pada Aidan secara lengkap
dengan bot koboi," kata Casey sambil menyeringai jahat.
Emma memerah saat Connor mengerang. "Oh Tuhan, aku bisa
menjalani sepanjang hidupku tanpa yang satu itu." Dia
menggelengkan kepalanya seperti sedang mencoba menyingkirkan
hal itu dari pikirannya. "Oke, jadi tidak ada kelas-atas, tempat
mewah untuk Miss Banging Boots yang disana."
"Ugh, kadang-kadang aku tidak percaya dengan kalian berdua,"
gerutu Emma saat Casey mencibir.
"Well, ini malammu, kesukaanmu, jadi kau bisa memilih," kata
Casey. "Bagaimana dengan Cheesecake Factory?" Saran Emma.
"Baik, kita akan pergi ke tempat ideal yang tidak mungkin di lokasi
Perimeter," Connor bercanda.
"Baik. Aku sangat senang," kata Emma sambil menyeringai.
Ketika mereka sampai di restoran, mereka harus berjuang melewati
kerumunan yang penuh dengan orang-orang. "Menurutku ini terlihat
tidak begitu ideal!" teriak Emma diantara kebisingan.
"Sekarang ini Jumat malam. Semua tempat menggila dimana saja."
Tiga puluh menit kemudian ketika mereka akhirnya mendapatkan
meja, kaki Emma menjerit kesakitan. Saat ia menjatuhkan diri di
bilik, rasa nyeri melonjak naik ke punggungnya. "Aduh!" Dia
berteriak. "Apakah kau baik-baik saja?"
Emma terkikik. "Yeah, aku berharap ada bantal lebih - bukan berarti
aku tidak memiliki cukup bantalan di bawah sana." Ketika Connor
mulai membuka mulutnya, Emma menggoyang-goyangkan satu jari
kepadanya. "Aku tidak perlu komentar tentang bagaimana aku selalu
punya salah satu barang rongsokan di bagasi mobilku, terima kasih
banyak." "Sok pemalu," jawab Connor sambil mengedipkan mata.
Pada saat mereka telah menyelesaikan makanan mereka dan Emma
merasa kenyang dengan makanan favoritnya Peanut Butter Cup
Cheesecake ala Reese, dia kelelahan. Dia tidak menginginkan
sesuatu yang lebih daripada ingin pulang, ganti baju menjadi
piyama, dan meringkuk di sofa. Dia hanya berharap semoga Casey
dan Connor tidak memiliki rencana besar lagi untuk malam ini.
Ketika mereka bangkit, Emma meringis saat tangannya melayang
menggosok punggungnya. Rasa sakit yang tadinya muncul
berdenyut-denyut selama makan malam sekarang terasa menusuk.
Dia tertatih-tatih keluar dari restoran dan berusaha keras untuk
mengimbangi langkah Connor dan Casey.
"Guys, kita tidak lari di Peachtree Road Race. Bisakah kalian pelanpelan!"
Serunya. "Ya Tuhan, Em, tadinya kupikir kau tidak bisa berjalan lebih lambat
dari itu," kata Casey, berjalan balik ke Emma.
"Punggungku seakan membunuhku."
Casey mendengus." Apakah kau keseleo gara-gara seks?"
Emma menyipitkan mata. Ini bukan keseleo karena seks.
Punggungku mulai terasa sakit saat di bilik tadi."
Syukurlah, mereka berhasil mencapai mobil. Ketika ia masuk ke
SUV, perasaan aneh berdesir ke seluruh punggungnya dan perutnya
sebelum cairan dengan deras mengalir ke bawah pahanya. Pada
awalnya, dia merasa sangat malu karena mengalami
*inkontinensia kehamilan. Tapi kemudian kebenaran terlintas di
pikirannya. Dia sudah ke kamar mandi sebelum makanan mereka
tiba...dan sebelum makanan penutup. "Oh Tuhan," gumamnya.
"Ada apa?" Tanya Casey, saat dia memeriksa dirinya di cermin dan
mengoleskan lipstick. Emma menarik napas dengan kasar. "Um, kupikir air ketubanku baru
saja pecah." Casey dan Connor langsung memutar tubuhnya dari kursi mereka,
kaget dan ngeri terukir di wajah mereka. "Apa?" Tuntut Casey.
"Yeah, aku cukup yakin. Ini di seluruh tubuhku."
"Oh sial, Em, jangan bilang kau baru saja merusak jok kulit
baruku?" Connor mengerang.
Casey memukul lengan Connor dengan keras. "Seolah dia sengaja
saja." Rasa malu menghangatkan pipi Emma. "Aku sangat, sangat
menyesal, Connor. Aku berjanji akan membayar profesional yang
bisa membersihkannya." Begitu kata-kata keluar dari bibirnya, rasa
sakit mengamuk bergerak silang menjalar melewati perutnya,
menyebabkan dia berteriak. Emma memejamkan matanya dan
menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk meredakan rasa sakit
itu. "Em?" Tanya Casey.
Setelah sakitnya berlalu, dia membuka matanya. Mereka berdua,
Casey dan Connor menatap dengan penuh harap kepadanya. "Yeah,
um, aku pikir kita harus membatalkan acara menginap kita. Aku
harus pergi ke rumah sakit. Sekarang."
*** Bab 22 "Selamat malam!" ucap Aidan saat ia meninggalkan makan malam
bisnisnya. Memutar bahunya, ia melawan kelelahan yang merasuki
tubuhnya. Dia tidak menginginkan apapun lebih daripada kembali ke
hotel dan mengakhiri malam ini dengan tidur. Ketika mendengar
nada dering yang familiar dari Emma, ia merogoh ponsel dari
sakunya. "Sudah merindukan aku, sayang?" Candanya.
"Kau tidak tahu," jawabnya, suaranya tegang.
Aidan membeku di trotoar. "Em, apa ada sesuatu yang salah?"
"Um, well, jangan panik-"
"Sudah terlambat."
"Air ketubanku pecah, dan aku baru saja masuk rumah sakit."
Aidan menutup mata merasa kesakitan. "Kau mungkin tidak serius."
"Percayalah, aku berharap aku sedang bercanda."


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi semestinya kau melahirkan tiga minggu lagi. Aku tidak akan
pernah meninggalkanmu."
"Dengar, tidak apa-apa. Kau hanya perlu pergi ke bandara."
"Em, tidak ada satupun penerbangan dari Charlotte kembali ke
Atlanta malam ini." "Aku tahu. Karena itulah mengapa aku memiliki Rencana B."
"Dan tepatnya apa itu?"
"Pesh sedang dalam perjalanan untuk membawamu pulang dengan
pesawatnya." "Kau pasti bercanda." Ketika Emma tidak menanggapi selama satu
menit, Aidan berkata, "Em, kau masih disana?"
Aidan mendengar Emma menarik napas panjang. "Benar. benar.
sakit." Aidan meringis. "Oh sial. Maafkan aku. Aku sangat ingin sekali
berada disana untuk menggenggam tanganmu...untuk
membantumu." Beberapa detik kemudian Emma merespon. "Bagus. Kalau begitu
kau akan bertemu Pesh di bandara-"
"Em, kau tahu aku takut menaiki pesawat kecil."
"Aidan," geramnya sebelum terengah-engah.
Ketika Emma mengerang kesakitan, Aidan tahu ia berada dalam
kesulitan. "Biar kutebak, saat ini, kau tidak peduli tentang
ketakutanku atau apa yang ingin atau tidak ingin aku lakukan, kan?"
"Tepat!" Bentaknya.
"Oke, oke. Aku akan menuju bandara, dan aku akan berada disana
secepat mungkin." "Bagus." "Aku mencintaimu, Em."
"Aku mencintaimu juga."
Dengan rasa ketakutan dan was-was yang melonjak melalui dirinya,
Aidan mengangkat satu tangannya yang gemetar dan melambailambaikannya ke bawah
untuk memanggil taksi. Persetan dengan
tasnya yang ada di hotel. Noah akan lahir, dan dia sangat dibutuhkan
untuk segera sampai di sisi Emma. Dia baru saja duduk di jok kulit
taksi ketika ponselnya berdering lagi. Meskipun nomor tak dikenal,
ia tahu siapa yang menelepon.
"Halo, saya Pesh Nadeen," suara familiar bergema di jalur telepon.
"Um, hei." "Dengar. Ketika kau sampai bandara, kau langsung menuju hanggar
untuk pesawat kecil, bukan di gerbang utama. Aku akan
menunggumu disana." "Oke. Dan eh, sekali lagi terima kasih karena melakukan hal ini
untuk Emma...Maksudku, untukku. Untuk kami."
"Tidak ada masalah. Dengan senang hati aku melakukan hal ini."
Aidan memutar matanya saat ia menutup telepon. Tentu saja, Pesh
merasa senang melakukannya. Pesh adalah jenis pria yang setia dan
dapat diandalkan sebagai teman bahkan ketika ia tidak bisa memiliki
hubungan romantis dengan Emma, ia masih ingin melakukan hal
yang benar. Kebaikan Pesh seharusnya tidak membuat kesal Aidan
begitu banyak, tapi untuk beberapa alasan, ia tidak bisa membuang
pikirannya pada apa yang hampir terjadi antara Emma dan Pesh.
Aidan meremas tangannya di sepanjang perjalanan menuju bandara.
Ketika ia keluar dari taksi, ia melihat sekeliling hanggar. Matanya
melebar dan perasaan ngeri menjalar di tubuhnya begitu melihat apa
yang ada dalam bayangannya, pesawat Pesh nampak sudah ada di
landasan kecil. Aidan menjulurkan kepalanya ke pintu hanggar, mengamati semua
perangkap kematian lain yang ada di dalamnya. "Um, halo?"
Pesh muncul dari pintu samping dengan membawa papan tulis kecil.
"Hei, Aidan. Aku baru saja melaporkan rencana penerbangan kita
pada menara pemantau. Rupanya kita disetujui untuk pergi
sekarang." "Oh, oke." Saat mereka mulai keluar dari hanggar dan menuju landasan pacu,
Aidan tiba-tiba berhenti. Ketika Pesh menyadari bahwa Aidan tidak
lagi berjalan di sampingnya, dia berbalik. "Ada apa?"
"Emma tidak menyinggung apa yang ada dalam pikiranku mengenai
pesawat kecil?" "Tidak, tapi tampaknya ia terlalu sibuk menginginkanmu segera
sampai ke Atlanta ketika aku berbicara dengannya."
Aidan meringis. "Aku hanya agak enggan...atau takut tentang
sesuatu yang lebih kecil dari pesawat Boeing 747."
Alis gelap Pesh berkerut. "Tapi ini Cessna 270, salah satu jenis
pesawat kecil yang paling aman."
Sambil menunjuk ke pesawat, Aidan bertanya, "Itu bukan sejenis
pesawat milik JFK Jr yang jatuh, kan?"
Pesh menggelengkan kepalanya. "Itu pesawat Piper Saratoga." Dia
membuka pintu samping untuk Aidan. "Ayo, lompatlah masuk. Kita
akan segera melakukan perjalanan." Melihat Aidan tetap ragu-ragu,
sudut bibir Pesh itu terangkat naik seperti kebiasaannya. "Kau benarbenar takut,
bukan?" Aidan menyipitkan matanya. "Ya. Sebut aku pengecut atau apapun
yang kau mau, tapi benda-benda ini seperti perangkap kematian!"
Tanpa banyak bicara, Pesh merogoh ke dalam tas di sisinya. Dia
mengambil sebotol pil dan melemparkannya ke Aidan. "Apa-apaan
ini?" Tuntut Aidan. "Valium. Itu akan membantumu menjadi rileks selama
penerbangan." Aidan menyeringai ke Pesh. "Bukankah hal ini sedikit ilegal untuk
seorang dokter memberikan obat-obatan dengan sembarangan pada
orang lain?" "Aku bukan seorang dokter yang mudah sekali memberi obat pada
pasien tanpa pertimbangan sama sekali," bentak Pesh. Duka melintas
di wajahnya. "Pil-pil ini milik almarhum istriku. Dia selalu gugup
saat naik penerbangan komersial atau pesawatku. Obat itu sudah
kadaluarsa, jadi tidak begitu ampuh, tapi cukup untuk
menenangkanmu." Aidan membuka mulutnya, tapi Pesh mulai berjalan memutari
pesawat. "Sialan," gumamnya dengan lirih. Dia baru saja menjadi
seorang pria menyebalkan pada orang yang hanya ingin
membantunya agar dia bisa pulang kembali ke rumah untuk melihat
kelahiran anaknya. Terdengar suara pop saat botol terbuka, Aidan
memasukkan dua pil yang sudah kadaluarsa ke mulutnya dengan
cepat. Dia menelannya kemudian bergidik karena rasa yang tersisa di
mulutnya. Ia mulai berjalan dengan melangkahkan kakinya menuju pesawat
dan masuk ke dalamnya. Pesh sudah memakai headset dan
membalik berbagai switch kontrol panel pesawat. "Hei," kata Aidan.
Ketika Pesh tidak menjawab, Aidan mengulurkan tangannya dan
menyentuh lengannya. "Maafkan aku. Ini hal yang paling brengsek
bagiku karena mengatakan itu padamu. Maksudku, kau hanya
berusaha membantuku, dengan berbagai cara yang bisa dilakukan."
Pesh mengangkat bahunya. "Tidak apa-apa. Kau hanya stres."
"Itu bukan alasanku untuk bertindak seperti orang brengsek,
terutama tentang almarhum istrimu." Aidan menghela napas panjang.
"Emma tidak pernah bilang padaku bahwa kau seorang duda. Aku
ikut berduka cita atas meninggalnya istrimu."
"Terima kasih," jawab Pesh. Dia memberi senyum yang tulus pada
Aidan sebelum kembali fokus ke kokpit dan panel kontrol. Ketika
pesawat mulai melaju ke depan menuju ke landasan, Aidan
mencengkeram bagian samping kursinya.
Pesh menyerahkan satu set headphone pada Aidan. "Pakailah, itu
akan membantu mengurangi suara kebisingan di kabin."
Dengan enggan Aidan memakainya. Dia mendengar suara muncul di
telinganya. "Penerbangan 33, Anda sekarang siap untuk take-off."
"Roger," jawab Pesh.
Aidan menutup rapat-rapat matanya, berharap Valium yang sudah
kadaluarsa itu akan mulai berefek. Dia memfokuskan pikirannya
pada Emma, bertanya-tanya bagaimana dia akan melahirkan. Dia
berharap dan berdoa semoga Noah lahir menunggunya sampai tiba
disana. Aidan sangat ingin melihat anak pertamanya mengambil
napas pertamanya. Ketika ia membuka matanya pesawat sudah naik di ketinggian.
Kegelapan menyelimuti pesawat saat mereka berbelok melewati
kumpulan awan tipis. Begitu mereka mulai terbang mendatar, Pesh
meraih ponselnya. "Bung, apa yang kau lakukan?"
"Aku harus segera menelepon."
Aidan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan liar. "Uh-huh.
Perhatikana langit itu atau apapun. Kau tidak boleh mengalihkan
perhatianmu dan membuat kita jatuh!"
Pesh tertawa kecil. "Tenanglah. Aku bisa mengatasinya."
Aidan menggerutu pelan. Dia akan memberikan apa saja kalau dia
punya rosario sebagai pegangannya. Tentu saja, dia mungkin harus
mengorek beberapa lacinya untuk menemukan dimana rosario itu.
Ya Tuhan, aku bersungguh-sungguh akan pergi untuk ikut Misa
setiap hari...well, setidaknya setiap minggu, jika Engkau akan
membuat diriku selamat dari perangkap kematian ini serta aman
dan utuh sampai ke sisi Emma.
Suara Pesh membuyarkan lamunan Aidan. "Ini Dr. Alpesh Nadeen.
Saya mohon diberitahu status kondisi Emma Harrison secara terus
menerus, di ruang Bersalin lantai 4. Apapun itu dan semua kondisi
melahirkannya segera dilaporkan." Setelah beberapa saat, Pesh
mengangguk. "Terima kasih." Dia mematikan ponselnya dan
menyerahkannya pada Aidan. "Sekarang kau akan tahu semua yang
sedang terjadi." Aidan mengangkat alisnya pada Pesh. "Wow, terima kasih."
"Tidak masalah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya
ini untukmu." Sambil mendengus Aidan menjawab, "Apapun emosional yang
mungkin terjadi padaku, aku bahkan tidak ingin berpikir tentang apa
yang sedang dilalui Emma."
"Kami pastikan dia mendapatkan perawatan fisik terbaik."
Aidan meringis. "Sial, aku bahkan tidak ingin memikirkan tentang
bagian fisik itu... terutama rasa sakit yang mungkin dia rasakan. Aku
ingin berada disana untuk mendampingi dia melewati semua itu."
"Jika ada satu kepastian tentang Emma, secara fisik dan emosional
dia sangat tangguh. Dia pasti bisa melalui itu semua."
"Begitukah menurutmu?"
Pesh menoleh kearahnya dan menyeringai. "Setelah dia merasakan
efek dari bius epidural (bius yang disuntikkan di tulang belakang),
aku yakin sekali." Percakapan mereka disela oleh ponsel Aidan yang berdering.
Dengan cepat dia mengeluarkan dari saku jasnya. "Halo" Em?"
"Bukan, ini Casey. Emma ingin aku meneleponmu untuk
memastikan kau baik-baik saja dan sedang dalam penerbangan."
Hati Aidan meleleh karena memikirkan Emma masih sangat
perhatian seperti biasanya dan mengkhawatirkan dirinya bahkan
dalam kondisi seperti itu. "Katakan padanya aku baik-baik saja, dan
sekali lagi jangan berpikir tentang aku."
Casey mulai menyampaikan pesan pada Emma kemudian Aidan
mendengar jeritan. "Sialan, Emmie Lou, kendurkan cengkramanmu
itu! Aku seperti tidak merasakan tanganku lagi," pekik Connor.
"Um, jadi bagaimana kabarnya?" Tanya Aidan ragu-ragu.
"Kau tidak ingin tahu."
"Well, Pesh meminta rumah sakit terus memberitahu kami tentang
kondisi Emma juga." "Bagus karena sekarang dia menatapku seperti setan karena
berbicara di telepon."
"Hei, Em, kita bisa mengusahakan kau dan Aidan berbicara di Skype
jika kau mau?" Saran Connor.
"Aku tidak ingin memperlihatkan vaginaku di Skype! Aku hanya
ingin Aidan sini, oke?" Teriak Emma dengan kemarahan yang sudah
lama tidak Aidan terima. "Lihat apa yang kumaksud?" Tanya Casey.
"Sial, itu intens."
"Oh terima kasih Tuhan. Dokter spesialis bius baru saja masuk. Hatihati oke?"
"Ya. Sampaikan cintaku pada Emma. "
"Akan kusampaikan."
Aidan menutup telepon dan menggeliat di kursinya. "Segala
sesuatunya cukup sulit saat ini, ya?" Tanya Pesh.
"Ya," gumamnya.
"Semuanya akan baik-baik saja, Aidan."
Aidan berbalik untuk melihat senyum meyakinkan Pesh itu. "Dia
masih akan mencintaimu setelah ini, juga. Kau telah membuat semua
impiannya menjadi kenyataan. Saat pertama kali ia memegang Noah
dalam pelukannya, rasa sakit dan penderitaan yang dialaminya akan
menguap dalam sekejap. Dan kau satu-satunya orang yang
memberikan itu padanya."
"Sialan, kau benar-benar seorang pria yang baik, kan?"
Pesh terkekeh. "Mungkin."
Kokpit tampaknya mulai berputar, dan Aidan harus menutup
matanya dari rasa pusingnya. "Apa kau yang melakukan hal itu atau
pengaruh obat?" "Senang mengatakan bahwa itu karena obat."
Selanjutnya tahu-tahu Aidan terbangun karena ada yang
mengguncang-guncangkan dirinya. "Ayolah, tukang tidur. Kita harus
segera pindah ke mobil."
"Sudah sampai" Kita tidak jatuh?" Tanya Aidan sambil mengusap
matanya. "Tidak. Kita selamat dan tidak kekurangan suatu apapun di sini di
McCollum." Penyebutan nama bandara itu membuat Aidan tersentak langsung
mengambil tindakan. Dia meraba-raba untuk melepaskan sabuk
pengamannya kemudian keluar dari pintu yang telah dibukakan Pesh
untuknya. "Kita hanya butuh sepuluh menit dari rumah sakit, kan?"
"Yep. Telepon terakhir datang sesaat sebelum kita mendarat. Noah
masih belum lahir, dan Emma masih pembukaan tujuh."
Alis Aidan berkerut. Semua pengetahuan tentang kehamilan
tampaknya telah menguap keluar dari jendela. "Tunggu, jadi itu
artinya ...?" "Tidak akan lahir sampai pembukaan sepuluh. Kita masih punya
waktu. " "Terima kasih Tuhan."
Mereka meluncur dengan mobil Jaguar Pesh yang telah menunggu.
Melihat kaki Pesh saat menginjak gas, Aidan mengangkat alisnya.
"Tidak khawatir dengan polisi?"
"Menjadi seorang dokter seperti memiliki kartu bebas untuk keluar
dari penjara. Aku cuma perlu mengatakan bahwa ada situasi
darurat." Aidan menyeringai. "Aku menyukaimu lebih dan lebih lagi setiap
menitnya." Pesh tertawa. "Aku tahu kau akan menyukai aku setelah mengenalku
dengan baik." "Aku tak yakin tentang yang satu itu."
Mereka berhenti di depan pintu masuk Rumah Sakit Bersalin. Aidan
membuka pintu mobil. Ketika ia sudah diluar dan akan menutupnya,
ia bertemu dengan tatapan Pesh. "Aku tidak akan pernah bisa merasa
cukup untuk berterima kasih pada semua ini. Aku serius."
"Aku sangat senang melakukannya. Untuk Emma...dan untukmu."


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pesh tersenyum. "Sekarang cepat temui anakmu."
"Baik. Dan sekali lagi terima kasih!" Aidan berlari dari tempat parkir
dan melewati pintu geser mekanis. Dia langsung masuk ke lift
pertama yang terbuka. Setelah ia sampai ke lantai 4, ia berlari
menyusuri lorong menuju ruangan Emma.
Dia membuka pintu. Saat melihat seorang perawat di antara kaki
Emma, ia memiliki perasaan aneh seperti dejavu pada saat dia
membawa Emma ke ruang gawat darurat. Dia membungkuk,
menyandarkan sikunya di lututnya dan mencoba mengatur napasnya.
"Halo , Big Papa! Kau datang tepat waktu," kata Connor sambil
nyengir. "Benarkah?" Dia terengah-engah.
Perawat itu tersenyum. "Ya, baru saja pembukaannya sudah sepuluh,
dan kita akan mulai mendorong."
"Aidan, ayo kesini," kata Emma, suaranya sedikit serak.
Aidan tersandung ke depan untuk sampai di sisinya. Dia menangkup
wajah Emma dengan tangannya sebelum mencium bibirnya.
Kemudian ia mencium kedua pipi dan dahinya." Maafkan aku, Em.
Aku sangat, sangat menyesal karena tidak disini bersamamu."
"Tidak apa-apa. Kau tidak bisa membantu mengurangi rasa sakitku."
"Aku tahu, tapi -"
Emma memberinya sebuah senyum yang lemah. "Aku akan
membiarkan kau menebusnya di lain waktu, oke?"
Dia pura-pura mengerang. "Ah, jadi ini akan menjadi senjata yang
kau gunakan untuk melawanku selama bertahun-tahun yang akan
datang, ya?" "Mungkin." Ia mengusap keringat di setiap helaian rambut pirang merah Emma
yang halus dari wajahnya. "Apakah begitu buruk?"
"Rasa sakitnya?" Ketika Aidan mengangguk, dia membuat mimik
yang serius. "Rasanya cukup mengerikan sampai efek obat
penghilang rasa sakit epidural mulai bekerja."
"Memar-memar di lenganku bisa menjamin untuk yang satu itu,"
gurau Connor. "Jadi kau tidak merasa sakit sekarang?"
"Tidak. Padahal, mereka bilang aku sedang mengalami kontraksi."
Aidan melirik dari balik bahunya ke arah Casey. "Kurasa kalian
bersenang-senang tanpa aku, ya?"
Casey menyeringai. "Dari kilasan saat kau sedang berbicara di
telepon denganku, Aku tak yakin bagaimana kau dapat
mengkategorikan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan." Casey
menggelengkan kepalanya. "Ketika Em kesakitan, dia lebih
menakutkan daripada Reagan di The Exorcist (film horor)."
Aidan tertawa sementara Emma tersipu. "Apakah aku benar-benar
seburuk itu?" "Ya, tapi aku masih mencintaimu," jawab Casey. Dia membungkuk
dan mencium pipi Emma. Perawat paruh baya yang ramah mengulurkan tangannya pada
Aidan. "Saya Annie. Saya berasumsi Anda adalah calon ayah yang
berbangga?" Aidan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, benar."
"Saya sangat senang Anda tepat waktu melihat anak Anda lahir."
"Ya, saya juga." Tatapannya pindah ke Emma. "Aku tidak
menyangka akan mengatakan ini, tapi terima kasih Tuhan untuk
Pesh." Emma tersenyum. "Kita berutang banyak padanya."
Aidan mengangkat tangannya. "Sebaiknya jangan memikirkan yang
lain dulu sekarang."
Pintu terdorong terbuka, dan seorang dokter wanita usianya lebih tua
sedikit dari Emma memasuki ruangan. Dia tampak akrab, dan Aidan
ingat ia pernah bertemu dengannya sekali sebelumnya, ketika
mereka akan memilih salah satu dari semua dokter kandungan yang
sedang praktek. Nama yang tertulis di baju putihnya adalah Dr
Karen Middleton. Dia tersenyum pada mereka semua. "Jadi Bayi Noah sudah
memutuskan untuk membuka pintu masuk ke dunia?"
Annie mengangguk kepalanya. "Ya, benar dok."
Saat ia memasang sarung tangan karetnya, ia melirik diantara Aidan
dan Emma. "Kalau begitu mari kita menunjukan jalannya Noah.
Oke?" *** Bab 23 Emma menarik napas dalam-dalam. Inilah saatnya. Ketika
kontraksinya datang, itulah saat yang tepat untuk mendorong.
"Oke, Emma, apakah Anda sudah siap," kata Annie.
Emma mengangguk, bertumpu pada tangannya, dia mendorong
tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Jika Anda tidak keberatan, kami akan menempatkan cermin, jadi
Anda dapat melihat saat Noah lahir. Apakah Anda mau?" Tanya
Annie. "Tentu. Saya ingin melihatnya."
"Um, dimana saya bisa berdiri untuk memastikan saya tidak akan
melihat Vagina Em?" Tanya Connor. Emma menatap tajam padanya,
dan Connor mengangkat tangannya. "Aku mencintaimu, sayang, tapi
sudah delapan belas tahun aku tidak melihat vajayjaymu (vagina),
dan aku ingin tetap seperti itu."
Annie tertawa. "Berdiri disana di belakang tempat tidur, dan Anda
tidak akan melihat sekilas ataupun dari pantulan dari cermin,"
perintahnya. "Terima kasih banyak!"
Annie kemudian menunjuk pada Aidan. "Kalau mau, Anda boleh
memegangi salah satu kakinya dan," ia berhenti dan melihat antara
Casey dan Connor. Connor segera menggelengkan kepalanya.
"Seperti saya katakan, saya akan tetap berdiri dibelakang di sudut
sini." Casey tertawa. "Saya akan senang membantunya."
Aidan mengambil kaki kiri Emma sementara Casey mengambil kaki
kanannya. "Oke, Emma, bernapaslah dengan normal, tarik bagian
belakang kaki Anda, lalu mendorong ke bawah sementara kami
menghitungnya," perintah Dr. Middleton.
Emma menarik napas dalam-dalam dan kemudian mulai mendorong
sekeras yang dia bisa. Dia hampir tidak mendengar Dr. Middleton
dan Annie menghitung sampai sepuluh. "Bagus. Berhenti. "Emma
baru saja mengatur napasnya ketika Dr. Middleton mengatakan,"
Oke, lagi." Emma memejamkan matanya rapat agar bisa berkonsentrasi, dia
mengalami tiga kali ronde mendorong yang begitu melelahkan
ketika Annie berseru, "Buka mata Anda, sayang. Kepalanya sudah
muncul." Kelopak mata Emma terbuka, dengan penuh harap ia menatap k
earah cermin, melihat dengan heran pada kepala mungil Noah. "Ah,
Em, sepertinya dia memiliki rambut pirang stroberi!" Komentar
Casey. Aidan menyeringai. "Tidak, kurasa warnanya lebih merah, dan
rambutnya lebih kepada seorang Ginger (berambut sangat merah
seperti jahe)." Emma mengertakkan giginya ke arah Aidan." Jangan berani-berani
memanggil putra kita seorang Ginger!"
Connor dan Casey tertawa sementara Aidan membungkuk dan
mencium pipi Emma." Aku hanya menggodamu, sayang. Aku
berharap warna rambutnya akan bertambah gelap dan secantik
rambutmu." Saat Emma membuka mulut untuk berterima kasih pada Aidan, Dr.
Middleton menyelanya dengan mengatakan, "Oke, sekarang buat
dorongan yang lebih kuat lagi." Ketika Annie menghitung sampai
sepuluh dan Emma mulai rileks, Dr Middleton menggeleng
kepalanya. "Terus saja mendorongnya, ayo terus." Tepat pada saat
Emma berpikir dia tidak bisa mendorong lagi, Dr. Middleton
mengatakan, "Oke, berhenti."
Kepala Emma terjatuh lagi ke bantal karena pengerahan tenaganya.
Dia tidak tahu apakah dia masih punya kekuatan yang tersisa dalam
dirinya untuk mendorong lagi. Sambil memejamkan mata, dia
menghela nafas dalam-dalam mencoba untuk menghilangkan
kelelahannya. "Hanya sekali lagi dorongan yang kuat, Emma," kata Dr. Middleton.
Dengan mencengkeram tangannya dengan erat di belakang pahanya,
Emma mengerahkan semua energinya yang tersisa dan kemudian
mulai mendorong lagi. Suara Dr Middleton menggema diantara
erangan lebih keras yang keluar dari bibir Emma.
"Dan inilah dia!" Seru sang dokter, mengangkat Noah yang
menangis dan masih berdarah agar Emma dan Aidan bisa
melihatnya. Dunia disekitar Emma bergetar hingga terhenti, dan dia hanya bisa
fokus pada tangisan Noah yang kuat. Seolah-olah setiap molekul,
setiap sel, dan setiap serat dalam dirinya sedang bersenandung dan
mendengungkan kehidupan baru dihadapannya. Tubuh Noah- dari
daging dan tulangnya- adalah hal paling indah yang pernah ia lihat
atau dengar. Air mata menyengat mata Emma yang melebar.
"Wah, wah, tubuhnya besar walaupun dia lahir tiga minggu lebih
awal," puji Dr Middleton sambil tersenyum.
Emma tak bisa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya pada Noah,
sangat ingin memegangnya. Dia serasa tidak nyata sampai Emma
bisa meletakkan tangannya di atas tubuh mungilnya. "Tunggu
sebentar, Mama. Biarkan kami sedikit membersihkannya," kata
Annie. Sebuah handuk ditempatkan di atas perut Emma, kemudian Noah
dibaringkan disitu. Dia masih terus menangis saat Annie
membersihkan dia dengan handuk. Setelah dia bersih, Annie
membungkusnya dengan selimut. Rasanya seperti seabad berlalu
sebelum Annie menyerahkan Noah ke tangan Emma yang telah
menunggu. Setelah mencium puncak kepalanya, Emma memeluk Noah di
dadanya. Tangisannya seketika berhenti. Kedua mata yang
sebelumnya menutup rapat sekali karena marah, langsung terbuka,
dan ia menatap ke arah Emma. Saat mata mereka bertemu, jantung
Emma berhenti kemudian seperti berdenyut kembali. Emosi Emma
berputar diluar kendali, dan dia tidak yakin apakah dia bisa
membuatnya menjadi terkendali. "Hei malaikat kecilku. Aku sudah
menunggumu sangat, begitu lama," gumamnya.
Ketika Aidan membungkuk ke sisi tempat tidur, ia mengusapkan ibu
jarinya di atas pipi Noah, Noah terus menatap Emma. "Sepertinya
dia hanya ingin memAndangmu," renung Aidan.
Emma tidak ingin repot-repot menyeka air mata yang membasahi
pipinya. Sambil melirik ke arah Aidan, dia bertanya, "Dia tampan,
kan?" Aidan tersenyum. "Dia bayi yang paling menakjubkan dan tampan
yang pernah aku lihat sepanjang hidupku," jawabnya, suaranya
tersedak oleh emosi. "Daddy, apakah Anda siap untuk memotong tali pusar?" Tanya Dr.
Middleton sambil memberikan gunting bedah pada Aidan.
Emma menyaksikan dengan geli saat menyaksikan tangan Aidan
dengan gemetar mengambil gunting dari Dr. Middleton.
"Um...dimana aku harus...?"
Annie menunjuk tali pusar yang harus dipotong, dan Aidan raguragu saat memotong
tali pusar Noah yang terhubung dengan Emma.
"Bagus." "Oke, Mama, aku benci membawa Noah pergi, tapi kita perlu
menimbangnya dan melakukan *tes PKU. Setelah itu kau boleh
menggendongnya kembali tapi hanya sebentar."
Setelah mencium kedua pipinya dan hidungnya yang kecil itu,
dengan enggan Emma menyerahkan Noah ke Annie. Menjulurkan
lehernya, ia menyaksikan mereka menempatkan Noah di atas
timbangan. "Beratnya tujuh pound lebih tujuh setengah ons."
"Bayangkan jika dia masih tetap tinggal di dalam perut sampai tiga
minggu atau lebih," kata Aidan.
Emma bergidik. "Jangan bercanda tentang seberapa besar dia
seAndainya dia lahir tiga minggu lagi. Dia sudah cukup besar
sekali!" Dengan terkekeh, Aidan mencium Emma. "Berbicara tentang
menakjubkan dan keindahan, bisakah aku mengatakan betapa
bangganya aku kepadamu?"
Emma tersenyum ke arahnya. "Sungguh?"
Dia menganggukkan kepalanya. "Aku baru saja melihat kehidupan
keluar dari dirimu. Hal itu ... well, sialan intens!"
"Kau tahu, sebagian pria mengalami kesulitan melihat istri atau
pacar mereka dengan cara yang sama setelah mengalami kelahiran,"
kata Dr. Middleton, sambil menyelesaikan tugasnya pasca persalinan
Emma. "Aku bisa melihat mengapa," gumam Connor dari sudut tempatnya
berdiri. Aidan menggelengkan kepalanya. "Dia mungkin seorang ibu
sekarang, tapi dia akan selalu menjadi Em-ku," jawab Aidan.
"Sialan, Big Papa, itu sangat manis," kata Casey, menghapus air
mata di matanya. Dia membungkuk dan mengusap rambut dari
wajah Emma. "Kejadian ini menggembirakan sekaligus menakutkan.
Tapi aku tidak akan melewatkannya di dunia ini."
Emma mencium pipi Casey. "Aku senang kau ada disini
bersamaku." Sambil melirik dari balik bahunya, dia tersenyum pada
Connor. "Dan kau juga."
"Aku senang bisa melihat prosesnya tanpa harus benar-benar melihat
semuanya ... jika kau tahu apa yang aku maksud," jawab Connor,
dengan mengedipkan mata. Emma dan Aidan tertawa sementara Casey menggelengkan
kepalanya. "Aku tidak percaya kau begitu takut dengan vagina."
"Aku sudah cukup intim dengan Emma tanpa harus berhubungan
intim dengan vaginanya!" Balas Connor.
Emma mengalihkan perhatiannya menjauh dari pertengkaran Casey
dan Connor dan kembali tertuju pada Noah. Dia menonton saat Noah
diambil cap telapak kakinya, menjerit saat ia terjebak menjalani tes
PKU, pada akhirnya setelah selesai ia dibungkus dalam selimut dan
sebuah topi dipakaikan di kepalanya. "Siap menggendongnya,
Daddy?" Tanya Annie sambil tersenyum.
Jantung Emma sedikit meleleh ketika Aidan melirik ke arahnya
untuk minta persetujuannya. Dia tersenyum dan mengangguk ke
arahnya. "Kau tidak ingin memeluknya lagi lebih dulu?"
Meskipun ia tidak menginginkan apapun selain memiliki Noah
dalam pelukannya lagi, tapi dia ingin Aidan juga memiliki momen
pertamanya sebagai seorang seorang ayah. "Tidak kau duluan saja.
Sudah saatnya kau memeluk anakmu."
"Oke," katanya.
Saat Annie menyerahkan Noah ke pelukan Aidan yang telah
menunggunya, air mata menggenang di mata Emma saat melihat
pemAndangan yang benar-benar nyata dan penuh kagum datang dari
wajah Aidan. Aidan menatap Noah, tidak berkedip dan tidak
bergerak. Akhirnya, ia menggelengkan kepalanya. "Dia agak terlihat
seperti glowworm (kumbang betina yang masih muda, dari ekornya
keluar cahaya warna hijau), semua tubuhnya terbungkus seperti ini."
"Tetap membungkus dia agar membuatnya merasa seperti di dalam
rahim lagi," jawab Emma.


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aidan terus menatap Noah. Satu kepalan tangan kecil lolos dari
ikatan selimutnya yang ketat, dan ia mendorong ke atas ke arah
Aidan hampir seperti ingin menantangnya. Kelakuannya membuat
Aidan tersenyum lebar. "Ah, sudah ada semangat berkelahi ala
keluarga Fitzgerald. Tidak ada seorangpun yang bisa mengikatmu,
benarkan Noah?" Emma menggelengkan kepalanya. "Kau akan mengubah nada
bicaramu tentang semangat menantangnya ketika dia sudah menjadi
seorang remaja." "Tidak, aku suka dia menjadi tangguh dan penuh semangat." Respon
Noah dengan menjulurkan lidahnya keluar, yang membuat Aidan
tertawa. "Ya, lihat, masih kecil sudah sombong seperti daddy-nya."
Dengan ragu-ragu Casey melangkah maju menuju Aidan. "Jadi kita
tahu dia memiliki kepribadian douchenozzle (lebih dari umpatan
brengsek) dari ayahnya-"
Aidan mengerutkan alis. "Hei."
Casey menyeringai dan menepuk punggung Aidan. "Aku hanya
menggodamu, Big Papa. Pertanyaanku seperti siapa rupanya" "
"Hmm, coba kulihat," kata Casey, mengintip dari balik bahu Aidan.
Casey menjerit dan tangannya menepuk ke dadanya sendiri. "Oh
Tuhan, wajah itu! Dia begitu tampan dan sangat menggemaskan!"
Emma tersenyum lebar mendengar pujian Casey. Connor berjalan
menghampiri mereka. "Perpaduan antara Aidan dan Emma, dia
terlihat sangat tampan. Tapi apakah dia benar-benar mirip Emma
versi mini?" Tanya Connor.
Casey memiringkan kepalanya. "Tidak, dia juga mirip Big Papa di
dalam dirinya, juga."
Aidan menoleh sebentar melewati bahunya ke arah Casey.
"Sungguh?" Casey mengangguk. "Dia pastinya memiliki rambut dan mulut Em,
tapi hidung dan matanya darimu."
Aidan menyeringai pada Emma. "Sudah pasti dia mewarisi gen-gen
yang perkasa." Emma tertawa dan memutar matanya. "Uh-oh," gumam Aidan saat
wajah Noah menjadi muram, dan tampaknya ia siap untuk
mengeluarkan suara jeritan yang melengking.
"Sepertinya mungkin sekarang waktu yang tepat untuk melihat
apakah ia ingin menyusu," kata Annie.
"Dia sudah lapar?" Tanya Aidan tidak percaya.
"Setelah keluar dari rahim dia siap untuk makan, yang lain
membutuhkan beberapa jam," jawab Annie.
"Jika dia lapar, aku ingin mencoba menyusuinya," kata Emma,
membuka tangannya untuk menggendong Noah.
"Yeah, um, untuk yang satu itu, aku pikir aku akan keluar," kata
Connor, mulai berjalan ke arah pintu.
Casey tertawa. "Kenapa kita tidak pergi keluar dan menceritakan
pada kerumunan orang yang sedang menunggu kelahiran Noah
disini. "Ada orang banyak?" Tanya Emma dengan heran.
Casey mengangguk. "Nate mengirim pesan teks padaku bahwa ruang
tunggu sudah penuh dengan keluargamu dan keluarga Aidan. Patrick
ada diluar sana, Grammy dan kakekmu baru saja sampai. Dia
mengatakan anak laki-laki Becky membuatnya berjanji akan
mengantar mereka meskipun waktunya tengah malam." Aku yakin
mereka semua ingin melihat Tuan Tampan ini."
Emma merasa sedikit kewalahan pada kemungkinan semua orang
yang akan mengunjunginya, terutama pengaturan mereka yang ingin
masuk karena dia merasa kelelahan pasca - persalinan. Tapi dia
merasa ada sesuatu yang baru memenuhi dirinya saat memikirkan
mereka menunggu untuk melihat dan mencintai Noah. Hal itu
membuatnya merasa sangat berterima kasih dan sangat dicintai.
"Oke, kedengarannya menyenangkan sekali."
Setelah Casey dan Connor meninggalkannya, Emma menurunkan
baju rumah sakit ke satu sisi dan mengambil Noah dari Aidan. Saat
ia membawa Noah ke payudaranya, rasa cemas mendatanginya
karena mungkin dia tidak bisa melakukan hal ini. Bagaimana jika
susunya tidak mencukupi, atau mereka harus mencari seorang
konsultan menyusui" Dia sudah pernah mendengar dari temantemannya serta membaca
di buku-buku menyusui adalah usaha yang
agak sulit. Tapi ajaibnya setelah mencari-cari selama beberapa detik, Noah
menempel ke putingnya dan mulai menghisapnya dengan lahap.
"Oh, kau begitu sangat beruntung," kata Annie.
Dengan air mata yang memenuhi matanya, Emma melirik penuh
kasih dari anaknya kembali ke Aidan. Sebuah senyum memenuhi
pipinya. "Oh, kau tidak akan bisa merasakannya."
*** *tes Phenylketonuria, sebuah tes untuk mengetahui kelainan genetika
fenilketonuria, yaitu kurangnya
enzim fenilalanin hidrosilase (PAH) yang berguna mengubah fenilalanin menjadi
tirosin. jika tubuh kekurangan PAH maka fenilalanin mengumpul dan berubah menjadi fenilketon, yang
terdeteksi oleh di urin. Epilog Aidan mengucek matanya yang agak kabur sebelum merentangkan
tangannya ke atas kepalanya. Sebuah lirikan pada jam di layar
komputer menjelaskan padanya bahwa malam sudah lewat. Telepon
yang berbunyi di dalam saku jaketnya itu juga mengingatkan dia
agar segera berdiri. Jadi dia menyambar jaket serta tasnya yang ada
belakang kursi lalu berjalan keluar melewati pintu.
Ketika pintu lift berbunyi terbuka, suara keributan yang sangat keras
menarik perhatiannya. Bukannya terus melangkah maju untuk
menyelamatkan hari sekali lagi, Aidan hanya tersenyum. Dia tahu
bahwa penyebab keributan itu adalah seorang malaikat berusia
delapan bulan dengan mata biru mirip ayahnya dan versi lebih
ringan dari rambut merah menyala ibunya.
Berbelok, dia melihat Emma berdiri di samping kereta dorong,
dengan muka memerah karena semua perhatian yang diterima Noah
dari serombongan pengagum wanita. Meskipun mereka sudah
hampir setahun menikah, Emma masih membuat nafasnya tertahan
setiap kali Aidan melihatnya. Sebagian besar hari-harinya Aidan
tidak pernah melihat Emma berpakaian seperti sekarang. Dilengkapi
dengan stiletto hitam, rok hitam pendek, dan atasan hijau ketat yang
memamerkan belahan dadanya yang menakjubkan, Emma membuat
panas bagian bawah pinggang Aidan.
Belakangan ini sejak menjadi ibu rumah tangga, Emma
menghabiskan waktunya dengan mengenakan celana yoga atau
celana jeans. Tapi untuk Aidan, Emma bisa terlihat luar biasa cantik
dan seksi walaupun hanya memakai t-shirt lusuh dan celana boxernya. Sementara
Emma mengeluhkan kelebihan berat badan sepuluh
pound khayalan setelah melahirkan yang harus dia hilangkan, Aidan
menyukai fakta bahwa kelebihan berat itu terletak pada payudara
dan pantatnya seperti yang Aidan suka katakan pada Emma untuk
menggodanya. Pada akhirnya, berhenti bekerja merupakan keputusan yang sulit
untuk Emma. Pada awalnya, ia mencoba bekerja paruh waktu, tapi
hampir setiap hari dia masih menangis ketika akan meninggalkan
Noah. Karena ia ingin Emma bahagia, Aidan menyarankan agar ia
berhenti. Jadi, ketika Noah berumur tiga bulan, Emma meninggalkan
perusahaan itu. Itu sebabnya malam ini Emma khusus ingin bertemu dengannya di
kantor jadi teman-teman wanita sekantornya duluu bisa melihat
seberapa besar pertumbuhan Noah. Aidan menyadari bahwa
beberapa wanita itu bukan hanya teman kantor Emma, tetapi
beberapa diantara mereka berasal dari lantainya juga, termasuk
Marilyn sekretarisnya. Mereka semua berdiri mengelilinginya,
tersenyum dan menggoda ke arah Noah. Dia sedang duduk di kereta
dorongnya seperti seorang raja dengan punggawanya. Mengintip
mereka diantara bulu matanya yang panjang, memamerkan dua gigi
bawahnya yang baru muncul ketika ia menyeringai.
Aidan menggelengkan kepalanya ke arah putranya itu. Dia sudah
menjadi seorang penggoda yang mengerikan dan tahu persis
bagaimana hal itu bisa bekerja pada wanita atau siapapun. Dia benarbenar meniru
orang tuanya ketika berhubungan dengan menarik
perhatian para wanita. Tentu saja, setiap kali Aidan membuat
komentar seperti itu, Emma suka memukul lengannya dan memutar
matanya. Aidan melangkah menuju sekelompok wanita itu. "Well halo
disana." Tatapan Noah tersentak dari pengagumnya dan berpindah ke Aidan.
"Dada!" Teriaknya, tangannya meraih-raih keatas.
Hati Aidan meleleh saat melihatnya. Tidak peduli berapa kali ia
mendengar Noah memanggilnya, Aidan selalu memiliki reaksi yang
sama. Cinta yang murni meremang dari atas kepalanya turun ke jarijari kakinya.
"Hei Pria Kecil," katanya, mengangkat Noah keluar
dari kereta dorong. "Beri Daddy ciuman," pinta Emma.
Noah segera mencondongkan tubuhnya untuk memberikan ciuman
basah di pipi Aidan. Terdengar sekelompok paduan suara
menyuarakan "aw" di sekelilingnya.
"Aku tidak percaya betapa dia terlihat seperti kau, Aidan," kata
Marilyn. "Ya, benar kan?" Jawabnya dengan seringai diarahkan pada Emma.
Dia memutar matanya sementara wanita yang lain menggelengkan
kepala mereka. "Aku melihat ada beberapa Emma di dalam dirinya
juga- terutama senyum manisnya."
Emma tertawa. "Itu satu-satunya saat dia tidak memberikan seringai
sombong ala Fitzgerald seperti yang ia ia lakukan pada sebagian
besar waktunya." Noah mulai menggeliat di pelukan Aidan.
"Apa kau lapar, Pria Kecil?"
Merogoh di dalam tasnya, Emma mengeluarkan dot lalu
memasukkan ke mulut terbuka Noah yang sudah siap menjerit.
Marilyn tersenyum. "Well, lebih baik kita membiarkan kalian pergi."
Butuh beberapa menit bagi mereka untuk mengucapkan selamat
tinggal karena masing-masing ingin memberikan ciuman di pipi
pada Noah. Sementara ia mungkin sudah rewel sebelumnya, dia
menikmati perhatian mereka dan melambaikan tangan selamat
tinggal dengan gembira sebelum melepaskan dotnya untuk
meniupkan ciuman. Aidan menempatkan kembali Noah ke kereta dorong. "Aku yang
akan membawanya, sayang. Kau bisa istirahat sebentar."
Saat Emma menahan pintu terbuka untuk Aidan, dia menggelengkan
kepalanya dan tersenyum. "Apa?" Tanya Aidan.
"Aku yakin, sebagian orang di gedung ini akan melihat dua kali
untuk memastikan apakah itu benar saat melihat Tuan Playboy
Fitzgerald mendorong kereta bayi."
Aidan merengut padanya. "Itu mantan Tuan Playboy, terima kasih."
Dia terkikik. "Memang benar. Kau Tuan Playboy milikku sekarang."
Emma memberinya pukulan main-main di pantat Aidan ketika
mereka mulai menyusuri trotoar.
"Mrs. Fitzgerald, Dengan hormat aku memintamu untuk tidak
menganiaya pantatku di tempat umum."
"Oh, benarkah?"
Seringai seksi melengkung di bibir Aidan. "Simpan saja itu ketika
kita sampai di rumah."
Emma tertawa. "Oke, aku akan melakukannya nanti."
Ketika tanda penyeberangan menyala untuk saatnya mereka
menyeberang, Aidan mendorong kereta dorong ke jalan. "Apakah
kau yakin kita harus membawa Noah ke O'Malley?"
Emma menatapnya dengan tampilan jengkel. "Kita sudah pernah
membawanya kesini setidaknya lima kali. Jenny sudah berkali-kali
mengirim pesan teks padaku tentang kapan kita akan datang
kembali." "Yeah, tapi dia masih terlalu kecil. Dan disana semua merokok."
"Kita duduk di bagian bebas-merokok, Aidan." Begitu mereka
sampai ke sisi lain dari jalan, Emma menatapnya. "Selain itu, dia
separuh Irlandia. Tidakkah seharusnya ia tumbuh dengan minuman
keras di sekitarnya?"
Aidan memutar matanya sambil tertawa sinis. "Sialan."
Emma tersenyum kemudian mengkaitkan lengannya di sekeliling
tubuh Aidan. "Aku mencintaimu, Sayang."
"Aku juga mencintaimu," jawabnya, sebelum mencondongkan
tubuhnya untuk mencium Emma.
Ketika Emma sampai ke pintu masuk untuk membukanya, Jenny
menghambur keluar. "Oh Ya Tuhan! Kupikir kalian telah
memutuskan untuk tidak datang!" Dia hanya memandang Aidan dan
Emma sekilas sebelum ia mengulurkan tangan pada Noah. "Pria
tampanku sudah besar!" Setelah menyemburkan dotnya, Noah
tersenyum dan melambaikan tangannya agar Jenny
menggendongnya. "Aku melihat kita menjadi peringkat yang paling bawah akhir-kahir
ini, ya?" Kata Aidan sambil tersenyum.
"Tepat. Setidaknya itu konsisten. Maksudku, dimana-mana kita
pergi, mulai dari ayahmu, Grammy dan Granddaddy itu sama saja,"
jawab Emma. Saat Jenny mengayun-ayunkan Noah ke dalam pelukannya, mereka
mengikuti dirinya. "Bisakah kita mendapatkan tempat sejauh
mungkin dari area merokok?" Tanya Aidan.
Aidan menyaksikan Emma dan Jenny saling menatap sebelum Jenny
mengangguk. "Tentu. Nikki, bisakah kau mengantar mereka ke bilik
nomer lima belas, please?"
Nikki mengangguk dan mulai berjalan menyusuri bar. Ketika Emma
hendak meraih Noah, Jenny menggelengkan kepalanya. "Tidak,
tidak, tidak. Aku belum puas."
Emma tertawa. "Disaat ia rewel karena lapar, tolong bawa dia
kepadaku." "Ya. Kalian berdua bisa memiliki sedikit privasi. Seperti sebuah
kencan malam," kata Jenny sambil nyengir.
"Benar. Aku bahkan tidak ingat seperti apa itu," renung Aidan.
"Ya, kau ingat. Ingat bagaimana Megan mengasuh Noah untuk kita
berdua dua bulan yang lalu, jadi kita bisa pergi kembali ke pondok di
pegunungan itu?" Segera terlintas dalam pikiran Aidan saat ia menitipkan Noah pada
keponakannya, Megan, di apartemennya sebelum mereka kembali ke
pondok di mana mereka menghabiskan bulan madu mereka.
Sedangkan Noah sangat senang pergi ke rumah Megan dan
bersemangat karena bisa bermain dengan sepupunya, Mason, Emma
menangis di sepanjang perjalanan menuju pegunungan. Memikirkan
perilakunya, Aidan menggelengkan kepalanya. "Maksudmu malam
itu setiap lima menit kau mengirim pesan teks pada Megan untuk
memastikan apakah Noah baik-baik saja?" Balas Aidan.
Emma tersenyum. "Ya, yang itu."
"Terserahlah," jawab Aidan ketika mereka bergegas untuk mengejar
ketinggalan mengikuti Nikki. Dia berdiri di depan bilik di pojokan
yang terjauh. Ketika Emma duduk di sampingnya bukannya di seberangnya di
bilik ini, alis Aidan berkerut. Saat melihat ekspresi termenung di
wajah Emma, Aidan bertanya, "Apa yang kau pikirkan?"


The Proposal The Proposition 2 Karya Katie Ashley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidakkah kau ingat?"
"Ingat apa?" Emma mendesah. "Ini adalah bilik yang sama saat kita duduk pada
malam kau pulang dari India."
"Benarkah?" Emma menganggukkan kepalanya sebelum mencondongkan
tubuhnya untuk memberinya ciuman panjang. Lidah Emma baru saja
menyapu bibir Aidan ketika ada seseorang berdehem, mengakhiri
sesi ciuman singkat mereka. Nikki memberikan senyum minta maaf
saat Emma tersentak menarik diri dari Aidan seperti terpental. "Jadi
minuman apa yang bisa saya sediakan untuk kalian berdua malam
ini?" "Sekaleng Coke untukku," jawab Emma.
Aidan menyeringai. "Kau seharusnya pesan minuman keras.
Maksudku, kau sudah tidak menyusui lagi, dan kita sedang purapura kencan pada
malam ini." Warna merah merayap menutupi wajah Emma, dan Aidan tahu ia
membuat malu Emma dengan menyebutkan tentang menyusui.
Akhirnya, Emma mengangkat bahu. "Tidak, tidak usah."
"Ayolah. Pesan margarita, Em. Kau berhak merayakan sedikit
kebebasan. Aku bahkan akan menjadi 1DD malam ini," desak Aidan.
Emma menggelengkan kepalanya ke arah Aidan kemudian melirik
Nikki. "Hanya Coke."
Aidan mendengus. "Baik. Jadilah si perusak kesenangan. Aku ingin
2Heineken tap." "Aku akan kembali satu menit lagi untuk mencatat pesanan makanan
kalian." Aidan mengangguk pada Nikki sebelum dia meninggalkan mereka.
Lalu ia mengalihkan perhatiannya kembali ke Emma. "Kenapa kau
tidak ingin minum" Apakah kau takut aku menghujanimu dengan
alkohol agar membuatmu mabuk, jadi aku bisa mengambil
keuntungan dari dirimu?"
Emma menyeringai. "Sejak kapan aku butuh alkohol dalam diriku
untuk membuat libidomu naik?"
Aidan melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa. "Tidak
pernah." Sebuah jeritan menarik perhatian mereka ke tempat Jenny yang
sedang mengayun-ayunkan Noah di pinggulnya. Noah sedang
meraih salah satu balon yang sedang ditiupkan si bartender
untuknya. Aidan tidak bisa menahan senyum melihat ekspresi wajah
Noah saat kakinya menendang-nendang dengan penuh semangat.
Emma berdeham, dan Aidan melirik padanya. "Maafkan aku,
Sayang. Sekarang aku yang tidak melakukan tugas dengan baik pada
kencan kita malam ini."
"Well, omong-omong tentang libidomu..." Aidan memperhatikannya
saat Emma menggeser daftar menu dan menggigit bibir bawahnya.
"Em, apa yang terjadi" Kau tampak sedikit pucat. Apakah kau baikbaik saja?"
"Aku harus memberitahu sesuatu padamu."
Dari sudut matanya, Aidan melihat Jenny berjalan menggendong
Noah sambil membawa tiga balon terayun-ayun ke arah sekelompok
para pengagum. Aidan mengacungkan jarinya. "Sebentar, Em." Dia
bangkit dari bilik. "Jenny, jangan membuatnya begitu dekat dengan
area merokok," teriak Aidan.
Jenny melirik ke belakang dari balik bahunya ke arah Aidan dan
mengangguk. Setelah ia merasa Noah aman dari bahaya menghisap
asap rokok, ia kembali fokus pada Emma." Maafkan aku. Ada apa?"
"Well, itu ... Aku tahu kita tidak benar-benar merencanakan ini, tapi
-" "Ah, lihat, Em. Noah meniupkan ciuman kepada semua orang tua di
bar itu." Hal berikutnya yang dia tahu Emma sudah meraih kedua sisi
wajahnya dengan kedua tangannya, memaksa Aidan untuk
melihatnya. "Tolong dengarkan aku!"
"Ya Tuhan, apa yang terjadi denganmu?"
Mata hijaunya menyipit kearahnya. "Aku hamil! Itulah apa yang
terjadi!" Jantung Aidan tersentak berhenti. "K-Kau apa?"
Ekspresi Emma sesaat melunak. "Aku baru saja dari dokter. Flu
perut yang aku kira sebelumnya ... ya, ternyata bukan itu. Aku hamil
enam minggu." "Sialan ... tapi kita menggunakan kondom."
Merah muda mewarnai pipinya. "Tidak pada waktu akhir pekan di
pondok itu." Aidan membungkuk dan merendahkan suaranya. "Ya, tapi aku
menariknya keluar." Emma memiringkan alisnya. "Dan kau adalah Tuan Sperma Super
Ampuh, ingatkan?" Aidan menelan ludah susah payah. Benaknya berputar-putar berpikir
tak terkontrol. Dia akan menjadi ayah lagi. Dia bahkan tidak
memikirkan prospek memiliki anak lagi sampai Noah setidaknya
dua tahun, mungkin lebih tua lagi. Tentu saja, saudara perempuannya
Angie dan Julia bedanya empat belas bulan, tapi ia tidak pernah
membayangkan memiliki dua bayi begitu dekat bersama-sama. Noah
masih memakai popok ketika bayi kedua lahir. Ya Tuhan, ia nyaris
tidak bisa bertahan hidup karena mengganti popok Noah ... apalagi
jika dengan dua bayi"
"Aidan?" Desak Emma. Ketika Aidan bertemu dengan tatapannya,
dia langsung bisa membaca bagaimana perasaan Emma. Dia sangat
senang pada prospek memiliki anak lagi untuk dicintai, tapi dia juga
takut dengan reaksi Aidan.
Aidan membawa bibirnya ke bibir Emma lalu menciumnya dengan
begitu mendalam, ciuman meyakinkan. Ketika Aidan akhirnya
menarik diri, air mata bersinar di mata Emma. "Apakah itu berarti
kau tidak apa-apa dengan berita ini?"
Tangan Aidan dengan lembut menyentuh perut Emma. "Aku
mengaku bahwa aku takut setengah mati melihat prospek memiliki
anak lagi, tapi kita sudah melewati begitu banyak hal. Bayi lagi
hanya berarti akan ada lebih banyak cinta lagi."
Senyum Emma yang cerah menghangatkan hatinya. "Oh, Aidan, kau
telah membuatku menjadi wanita yang paling bahagia di seluruh
dunia dengan memberiku seorang bayi. Lalu kau membuat hidupku
menjadi lengkap dengan memberikan hatimu dan cintamu. Aku tidak
bisa membayangkan sesuatu yang lebih menakjubkan karena
memiliki anak lagi dari dirimu." Kemudian Emma memberinya
ciuman yang panjang. Ketika ia menarik diri, Aidan menyeringai. "Apakah ini berarti aku
bisa mengharapkan tendangan dari libidomu seperti saat kau sedang
hamil Noah?" Emma memberinya seringai licik lalu mengedipkan matanya. "Oh
ya." Aidan menutup matanya dalam kebahagiaan yang berlebih dan
membawa tangannya sendiri ke dadanya. "Tenanglah wahai
jantungku." Emma menyikutnya main-main ketika Nikki kembali untuk
mencatat pesanan mereka. Ketika Emma memesan steak Rib-eye
seperti biasanya, Aidan menatapnya dengan heran. "Kau memesan
steak?" "Tentu, kenapa tidak?" Jawabnya sambil menyerahkan menu
kembali ke Nikki. "Kupikir daging membuat kau mual pada trimester pertamamu
ketika kau sedang hamil Noah."
Emma bergidik. "Oh itu. Aku bahkan tidak bisa tahan dengan
baunya, kau masih ingat?" Perasaan terkejut muncul di wajahnya
seperti roda berputar di kepalanya. Tanpa ragu, sebuah senyum
menyebar di wajah Emma. "Kurasa itu berarti bayi ini adalah
seorang perempuan!" "Oh Tuhan," keluh Aidan.
Emma memiringkan kepalanya ke samping dan menatap ke arahnya.
"Ada apa, Big Papa" Kau berpikir kau tidak bisa menangani seorang
gadis?" "Kurasa aku akan baik-baik saja sampai dia menjadi seorang remaja,
kemudian aku mungkin berakhir di penjara karena memotong penis
pemuda mesum kecil!"
Emma tertawa. "Kasihan. Dengan memilikimu sebagai ayahnya, dia
tidak akan berkencan sampai dia berumur tiga puluh."
"Dan itu akan menjadi hal terbaik karena jika dia memiliki setengah
dari kecantikan ibunya, semua anak laki-laki akan mengejarnya."
Air mata berkilauan di mata Emma saat mendengar pujian itu. "Kau
begitu manis." "Memang itu benar."
"Tapi aku ingat kau pernah mengatakan bahwa kau juga akan
membawa beberapa gen bagus juga."
"Kita pasangan sempurna membuat bayi, bukan?"
Emma mendengus. "Dengan pengertian lebih dari satu."
Aidan tertawa. "Siapa yang tahu kau sangat subur dan aku begitu
poten?" "Itu sama artinya setelah bayi ini lahir, kita harus lebih berhati-hati
atau mempertimbangkan opsi lain."
Aidan menggelengkan kepalanya bolak-balik dengan geram. "Jangan
pernah berpikir tentang menyarankan aku melakukan vasektomi!"
Emma memutar matanya. "Aku sedang berpikir sebaiknya minum
pil KB atau sesuatu untukku. Jangan sampai bolamu melintir karena
berpikir aku akan mengambil kejantananmu atau apapun itu."
Aidan tidak bisa menahan dirinya untuk menghela napasnya dengan
lega. "Senang mendengarnya."
"Tapi jangan berpikir hanya karena aku KB, aku sudah selesai
membuat bayi." Aidan menarik alisnya keatas ke arah Emma. "Oh, benarkah?"
"Mmm, hmm. Aku ingin memiliki keluarga besar yang sama
sepertimu." "Em, aku tidak berpikir aku pernah menandatangani menjadi seorang
ayah dengan lima anak-anak."
"Oh tapi kau begitu baik dalam hal itu," godanya.
Aidan mengerang. "Mulutmu mulai lagi."
"Well, aku akan memikirkan untuk menguranginya sampai tiga anak
saja jika kau akan mendiamkan aku dengan menciumku."
"Dengan senang aku membantu ma'am."
Aidan membawa bibirnya ke bibir Emma. Saat mulut hangatnya
yang mengundang itu terbuka, suara tangisan bernada tinggi
menyebabkan mereka melepaskan ciumannya. Mereka melihat
Jenny bergegas membawa Noah yang bermuka merah padam karena
menangis menuju ke tempat mereka.
"Ada apa, Sayang?" Tanya Emma.
"Muh! Muh! "Teriaknya.
Emma menggelengkan kepalanya dan tersenyum saat ia mengambil
Noah dari Jenny. "Aku tidak percaya dia bisa mengatakan dada
sepanjang hari, tapi aku dipanggil 'muh'!"
Mengubur wajahnya di leher Emma, tangisan Noah menjadi tenang
saat Emma bersenandung untuknya. Kemudian makanan mereka
tiba. "Mau bersama Daddy, Pria Kecil, jadi Mama bisa makan?"
Noah memperketat lengannya di leher Emma saat mendengar katakata itu. "Ayolah.
Mama perlu makan untuk adik laki-laki atau
perempuanmu." Ketika Aidan mengulurkan tangannya untuk mengambil Noah, dia
menjerit dan menempel pada Emma. "Oh ya Tuhan. Dia semakin
menjadi seperti anak Mama," keluh Aidan.
"Tidak ada yang salah dengan hal itu. Sepertinya aku ingat seorang
anak Fitzgerald yang juga anak mama, dan ternyata dia baik-baik
saja," jawab Emma, sementara tangannya mengusap membentuk
lingkaran melebar di punggung Noah dan mencium helaian rambut
pirang stroberinya. Aidan mengangguk mendengar sindiran Emma yang ditujukan
kepadanya dan ibunya. Dia benar. Dia pernah menjadi anak mama
dan bangga dengan sebutan itu, "Well, itu memang benar, tetapi dia
melakukan beberapa kekacauan sampai dia menemukan cinta wanita
hebat yang lain," jawab Aidan.
"Kalau begitu kita bisa berharap dan berdoa semoga Noah
menemukan hal yang sama suatu hari nanti." Emma tersenyum
padanya di atas kepala Noah. "Dan sampai saatnya tiba, dia bisa
menjadi anak Mama." Aidan mendengus. "Ayolah, Pria Kecil. Kau benar-benar anak
Daddy, bukan?" bujuk Aidan.
Mengintip melalui rambut kemerahan Emma, Noah menyeringai
pada Aidan. Gerakan kecil itu menyebabkan dada Aidan mengepal,
dan dia berjuang untuk bernapas.
"Apakah kau baik-baik saja?" Tanya Emma.
"Aku lebih dari baik-baik saja." Dia membungkuk untuk mencium
pipi Noah sebelum mencium dengan lembut bibir Emma. "Aku
merasa sangat luar biasa."
*** 1DD (Designated Driver), orang yang tidak minum mengantarkan orang yang mabuk.
tap, bir Heineken di kaleng yang ada pompanya
2Heineken Aji Wisa Dahana 2 Raja Petir 14 Ajian Duribang Pedang Naga Kemala 14
^