Pagi Siang Dan Malam 4
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon Bagian 4
dalam hati. Polisi pasti akan mencarinya. Cepat-cepat ia naik ke mobilnya dan berangkat lagi.
Sepanjang sisa perjalanan ke New York ia terus melirik ke kaca spion. Begitu sampai, ia segera masuk ke gedung parkir di Ninety-sixth Street tempat ia biasa menaruh mobilnya. Sam, pemilik gedung parkir itu, sedang mengobrol dengan Red, montirnya. Kendali turun dari mobil.
"Malam, Mrs. Renaud," Sam menyapanya.
"Se" selamat malam." Kendali berusaha keras agar giginya tidak gemeletuk.
"Mobil Anda mau diparkir?"
"Ya" ya, tolong."
Red memperhatikan bumper depan. "Bumper mobil Anda penyok, Mrs. Renaud. Dan sepertinya ada darahnya."
Kedua pria itu menatap Kendali.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ya. Saya" saya menabrak rusa di jalan raya."
"Anda beruntung kerusakannya tidak seberapa parah," ujar Sam. "Teman saya pernah menabrak rusa, dan mobilnya hancur." Ia meringis. "Rusanya juga tidak bisa dikatakan sehat."
"Parkirkan saja mobil saya," Kendali berkata dengan tegang.
"Tentu." Kendali berjalan ke pintu keluar gedung parkir, lalu menoleh ke belakang. Kedua pria itu sedang mengamati bumper mobilnya.
Ketika Kendall sampai di rumah dan menceritakan kecelakaan yang dialaminya kepada Marc, Marc segera merangkulnya dan berkata, "Oh, ya Tuhan. Bagaimana?"
Kendali tersedu-sedu. "Aku" aku tidak sempat menghindar. Dia menyeberang persis di depanku. Dia., dia baru selesai memetik bunga dan?"
"Ssst. Aku yakin ini bukan salahmu. Ini semata-mata kecelakaan. Kita hams melapor ke polisi."
"Aku tahu. Kau benar. Seharusnya" seharusnya aku menunggu di sana sampai mereka datang. Tapi" aku panik, Marc. Sekarang kecelakaan ini pasti dianggap tabrak lari. Tapi toh tak ada yang bisa kulakukan untuk dia. Dia sudah mati. Aduh, Marc, bagaimana ini?"
Marc teras memeluknya, sampai ia menjadi tenang.
Ketika Kendali angkat bicara lagi, ia bertanya dengan hati-hati, "Marc" apakah kita harus melapor ke polijiT
Marc mengeratkan kening. "Apa maksudmu?"
Kendali berjuang melawan perasaan kalut yang mulai menguasai dirinya. "Ebm, masalah ini sudah selesai, bukan" Dia sudah mati dan tidak mungkin hidup lagi. Apa untungnya polisi kalau mereka menghukumku" Aku tidak sengaja menabraknya.
Kenapa kita tidak bisa bersikap seakan-akan ini tak pernah terjadi?"
"Kendali, kalau mereka sampai berhasil melacak?"
"Tidak mungkin. Tak seorang pun melihat kejadiannya."
"Bagaimana dengan mobilmu" Mobilmu rusak?"
"Bumpernya penyok. Petugas gedung parkir sempat menanyakannya, tapi kubilang aku menabrak rusa." Ia berjuang keras untuk mengendalikan diri. "Marc, tak seorang pun melihat kecelakaan itu". Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku ditangkap dan dimasukkan ke penjara" Aku akan kehilangan usahaku, semua yang kubangun selama bertahun-tahun, dan untuk apa" Untuk sesuatu yang sudah terjadi! Urusan ini sudah selesai!" Ia kembali terisak-isak.
Marc mendekapnya erat-erat. "Sst! Kita lihat saja nanti. Kita lihat saja."
Koran-koran pagi menempatkan berita mengenai kecelakaan tersebut di halaman pertama. Kejadian nahas itu bertambah tragis karena wanita yang tewas ternyata sedang dalam perjalanan ke Manhattan untuk menikah. The New York Times melipurnya Sebagai berita biasa, tapi Daily News dan Newsday melaporkannya sebagai drama yang mengharukan.
Kendali membeli ketiga koran tersebut, dan ia semakin galau memikirkan perbuatannya. Pikirannya dipenuhi berbagai "kalau saja" yang menyiksa.
265 Kalau saja aku tidak pergi ke Connecticut untuk pesta temanku"
Kalau saja aku tetap di rumah"
Kalau saja aku tidak minum sampanye"
Kalau saja wanita itu sedikit lebih lama memetik bunga"
Aku bertanggung jawab atas kematian orang lain!
Kendali membayangkan dukacita yang melanda keluarga wanita itu, dan juga keluarga tunangannya, dan ia kembali dicekam penyesalan yang mendalam. Semua koran menyebutkan bahwa polisi minta keterangan dari siapa saja yang mungkin melihat peristiwa tabrak lari itu.
Mereka tidak mungkin menemukanku, pikir Kendali. Aku hanya perlu bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Pagi itu Kendali pergi ke gedung parkir untuk mengambil mobilnya, dan bertemu Red.
"Saya sudah membersihkan darah di mobil Anda," montir itu berkata. "Bumpernya mau diperbaiki sekalian?"
Tentu! Kenapa baru sekarang terpikir olehku" "Ya, tolong."
Red menatapnya dengan curiga. Ataukah itu hanya perasaan Kendali"
"Sam dan saya sempat membahasnya semalam," ujar Red. "Kami "empat heran. Kerusakan mobil
266 Anda seharusnya lebih parah kalau Anda menabrak rusa."
Jantung Kendali langsung berdegup-degup. Mulurnya mendadak begitu kering sehingga ia sukar berbicara. "Rusanya" masih kecil."
Red mengangguk singkat. "Pasti masih kecil sekali."
Kendali merasakan tatapan montir itu saat ia meninggalkan gedung parkir naik mobil.
Ketika Kendali masuk ke ruang kerjanya, sekretarisnya, Nadine, menatapnya dan bertanya, "Anda kurang sehat?"
Kendali terenyak. "A" apa maksudmu?"
"Anda gemetaran. Biar saya ambilkan kopi dulu."
"Thanks" Kendall menghampiri cermin. Wajahnya tampak pucat dan tegang. Dari tampangku pun sudah ketahuan!
Nadine kembali dengan membawa secangkir kopi panas. "Silakan. Anda pasti akan merasa lebih enak nanti." Ia mengamati Kendali dengan pandangan bertanya-tanya. "Ada masalah?"
"Aku" aku terlibat kecelakaan kecil kemarin," jawab Kendali.
"Oh" Ada yang cedera?" Wajah wanita yang tewas itu kembali terbayang-bayang. "Tidak. Aku" aku menabrak rusa." "Bagaimana dengan mobil Anda?"
267 "Sedang diperbaiki."
"Kalau begini saya akan menelepon perusahaan asuransi."
"Oh, jangan, Nadine. Biarkan saja."
Kendali melihat kesan heran yang terpancar dari mata Nadine.
Dua hari kemudian ia menerima surat yang pertama.
Dear Mrs. Renaud, Saya ketua Wild Animal Protection Association, yang sangat memerlukan uluran tangan para dermawan
. Saya percaya Anda dengan senang hati akan membantu kami. Organisasi kami memerlukan dana untuk melestarikan hewan-hewan Uar. Perhatian kami terutama terfokus pada rusa. Anda dapat mentransfer $50,000 ke rekening nomor 804072-A di Credit Suisse di Zurich. Saya sarankan uang tersebut sudah berada di sana dalam tempo lima hari dari sekarang.
Surat itu tidak ditandatangani. Semua huruf E berbentuk tidak sempurna. Selain surat tersebut masih ada kliping koran mengenai kecelakaan itu.
Dua kali Kendali membaca surat itu. Pengirimnya jelas-jelas bermaksud mengancam. Kendali betul-betul bingung hams berbuat apa. Marc benar, ia berkata dalam hati. Seharusnya aku segera melapor
ke polisi. Tapi kini situasinya telah bertambah gawat. Ia dianggap buron. Jika polisi berhasil menemukannya, ia akan masuk penjara dan harus menahan malu, dan kiprahnya di dunia mode pun akan berakhir.
Saat makan siang ia pergi ke banknya. "Saya ingin mentransfer 50.000 dolar ke Swiss"."
Ketika Kendali sampai di rumah malam itu, ia menunjukkan surat tersebut kepada Marc.
Marc tercengang. "Ya Tuhan!" ia bergumam. "Siapa yang mungkin mengirim surat ini?"
"Tak ada" tak ada yang tahu." Kendali gemetaran.
"Kendali, surat ini membuktikan bahwa ada yang tahu." "Wfk
"Tak seorang pun ada di sana waktu itu, Marc! Aku?"
"Tunggu dulu. Coba kita urut. semuanya dari
Iwal. Apa yang terjadi setelah kau tiba di kota?" "Tidak ada apa-apa. Aku" aku menitipkan mobil di gedung parkir, dan?" Ia berhenti. "Bumper mobil Anda penyok, Mrs. Renaud Dan sepertinya ada darahnya."
Marc melihat ekspresi pada wajah Kendali. "Ada apa?"
Kendali berkata pelan-pelan, "Pemilik gedung parkir dan montirnya ada di sana. Mereka melihat bercak darah di bumper. Aku cerita aku menabrak
rusa, dan mereka bilang kerusakannya seharusnya lebih parah." Ia teringat hal lain. "Marc?" "Ya?"
"Nadine, sekretarisku. Dia kuberitahu hal yang sama. Dan aku langsung tahu dia juga tidak percaya. Berarti pasti salah satu dari mereka."
"Belum tentu," sahut Marc.
Kendali menatapnya. "Apa maksudmu?"
"Induklah. Kendali, dan dengarkan aku. Kalau salah satu dari mereka curiga padamu, mereka bisa saja meneruskan ceritamu kepada selusin orang. Laporan kecelakaan itu diliput di semua koran. Ada orang yang menggabungkan kedua penggal informasi tersebut, lalu menarik kesimpulan sendiri. Menurutku, surat yang kauterima sebenarnya sekadar gertakan untuk mengujimu. Seharusnya uang itu jangan kautransfer." "Tapi kenapa?"
"Sebab sekarang mereka tahu kau memang bersalah. Kau telah memberikan bukti yang mereka perlukan."
"Oh, Tuhan! Apa yang harus kulakukan?" tanya Kendali.
Marc Renaud berpikir sejenak. "Aku punya ide untuk melacak identitas bajingan-bajingan itu."
Pukul sepuluh keesokan paginya, Kendali dan Marc duduk di ruang kerja Russell Gibbons, wakil direktur Manhattan First Security Bank.
"Dan bagaimana saya bisa membantu Anda hari ini?" Mr. Gibbons bertanya,
Marc menyahut, "Kami ingin minta keterangan mengenai sebuah rekening di Zurich."
"Ya?" "Kami ingin tahu siapa pemilik rekening itu."
Gibbons mengusap-usap dagu. "Apakah pertanyaan Anda berkaitan dengan tindak kejahatan?"
Marc cepat-cepat menjawab, "Tidak! Kenapa Anda bertanya begitu?"
"Hmm, kecuali jika ada tindak kejahatan, misalnya pemutihan uang atau pelanggaran hukum Swiss atau Amerika Serikat, pihak Swiss tidak akan melanggar rahasia bank. Reputasi mereka didasarkan atas kerahasiaan."
"Tapi tentunya ada jalan lain untuk?"
"Maaf, tidak ada."
Kendali dan Marc bertukar pandang. Kendali tampak putus asa.
? Marc bangkit. "Terima kasih atas penjelasan Anda."
"Saya menyesal tidak dapat membantu Anda." Dengan halus Gibbons menggiring mereka keluar.
Ketika Kendali menitipkan mobilnya di gedung parkir malam itu, baik Sam maupun Red tidak kelihatan. Kendali memarkir * mobil. Waktu melewati ruang! kantor yang kecil, ia melihat sebuah mesin tik di - meja. Ia berhenti dan menatap mesin
tik itu sambil bertanya-tanya apakah humf E-nya rusak. Aku harus cari tahu, ia berkata dalam hati.
Ia menghampiri pintu kantor, berhenti sejenak, lalu membuka pintu dan melangkah masuk. Tapi ketika ia mendekati mesin tik, Sam tiba-tiba muncul.
"Selamat malam, Mrs. Renaud," pria itu menyapanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
Kendali tersentak kaget. Ia langsung membalik. "Tidak. Saya" saya bara saja memarkir mobil. Selamat malam." Ia bergegas ke pintu.
"Selamat malam, Mrs. Renaud."
Keesokan paginya, ketika Kendali lewat di luar ruang kantor gedung parkir, mesin tik itu sudah lenyap. Sebagai gantinya ada komputer.
Sam melihat Kendali menatap alat elektronik tersebut "Canggih, hmm" Saya pikir sudah waktunya tempat ini dibawa ke abad kedua puluh."
Dari mana dia mendapat uang untuk membeli komputer"
Waktu Kendali menceritakannya kepada Marc sepulang kerja, Marc berkata dengan serius, "Memang ada kemungkinan, tapi kita perlu bukti."
S*? pagi, ketika Kendali masuk kantor, Nadine sudah menunggunya
"Sudah lebih enak, Mrs. Renaud?"
"Kermr"ma Mahyang diW^8 tahuB *aya. Coba li" a,ber*an suami saya!" Ia menghai
lihat i mari dan memamerkan mantel bulu cerpelai J gmewah. "Indah setali, bukan?"
Bab 19 juua stanford senang mendapat Sally sebagai teman seapartemennya. Sally selalu bersemangat, ramai, dan riang. Ia telah bercerai dan telah bersumpah takkan pernah lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Julia agak bingung tentang definisi Sally mengenai takkan pemak, sebab sepertinya setiap minggu Sally berkencan dengan laki-laki yang berbeda.
"Yang paling menyenangkan justru laki-laki yang sudah beristri," Sally berfilsafat. "Mereka merasa bersalah, jadi mereka selalu membawa hadiah. Kalau yang masih bujangan, kita malah harus bertanya, kenapa dia masih bujangan?"
Ia berkata kepada Julia, "Kau belum punya teman kencan, bukan?"
"Belum" Juha teringat semua laki-laki yang pernah mengajaknya pergi, "Aku tidak berminat berkencan asal berkencan saja. Aku harus menemukan seseorang yang betul-betul kusayangi." "Ah, aku tahu orang yang tepat untukmu!" ujar
Sally. "Kau pasti akan menyukainya! Namanya Tony Vinetti. Aku sering bercerita padanya tentang kau, dan dia ingin sekali berkenalan denganmu."
"Rasanya aku tidak?"
"Dia akan menjemputmu besok malam pukul delapan."
Tony Vinetti berperawakan jangkung, sangat jangkung, dengan rambut tebal berwarna gelap dan senyum yang mengembang lebar ketika ia melihat Julia.
"Sally ternyata tidak mengada-ada. Kau memang cantik sekali."
"Terima kasih," balas Julia dengan gembira.
"Sudah pernah ke Houston"s?"
Yang ditanyakan Tony adalah salah satu restoran termewah di Kansas City.
"Belum." Sebenarnya, keuangan Julia tidak mengizinkan ia makan di sana, padahal ia sudah memperoleh kenaikan gaji.
Saat makan malam, Tony hampir tanpa henti berbicara mengenai dirinya sendiri, tapi Julia tidak keberatan. Tony menyenangkan dan menawan. "Dia keren sekali," Sally sempat berkata. Dan nyatanya memang demikian.
Santapan mereka amat lezat. Sebagai hidangan penutup, Julia memesan souffle cokelat dan Tony minta es krim. Sambil menikmati kopi, Julia ber"
late dalam hati. Apakah dia akan mengajakku h apartemennya, dan kodam ya* apakah aku akar
ikut ke sana" Tidak. Aku tidak bisa berbuat begitu. Ini baru kencan pertama. Dia akan menganggapku sebagai perempuan murahan. Tapi lain
kali Seorang pelayan mengantarkan bon. Tony mengamatinya dan berkata, "Sepintas lalu kelihatannya benar." ia membacakan semua yang tercantum. "Kau makan pati dan lobster"."
"Dan kau pesan kentang goreng dan salad, lalu souffle, bukan?"
Julia menatapnya dengan bingung. "Betul"."
"Oke." Tony berhitung di luar kepala. "Bagianmu dari bon ini adalah lima puluh dolar empat puluh sen."
Julia terenyak. "Maaf?"
Tony tersenyum lebar. "Aku tahu betapa mandiri wanita zaman sekarang. Kalian mau dianggap setara oleh kaum pria, bukan" Nah," ia berkata dengan sikap murah hati, "paling tidak izinkan aku membayar bagianmu dari tip untuk pelayan."
"Sayang sekali tidak berhasil," ujar Sally dengan nada menyesal. "Sebenarnya dia baik sekali. Bagaimana, kalian masih akan berkencan lagi?" "Dia teriak mahal untukku," Julia menyahut
"Hmm, aku punya orang lain untukmu. Kau pasti suka"." "Tidak usah, Sally, aku betul-betul tidak ingin?" "Percayalah padaku."
Ted Riddle berusia akhir tiga puluhan, dan Julia terpaksa mengakui bahwa ia memang menarik. Ted mengajaknya ke Jennie"s Restaurant di Historic Strawberry Hill, yang terkenal karena masakan khas Kroasia-nya.
"Sally benar-benar berbaik hati padaku," ujar Riddle. "Kau sangat cantik." "Terima kasih."
"Apakah Sally sudah cerita bahwa aku punya perusahaan periklanan?" "Belum. Dia tidak bilang apa-apa tentang itu." "Oh ya. Aku pemilik salah satu perusahaan terbesar di Kansas City. Semua orang mengenalku." "Aku?"
"Kami menangani beberapa klien terbesar di negeri ini." "Masa" Aku tidak?"
"Oh ya. Kami menangani kaum selebriti, bank-bank, usaha-usaha besar, jaringan-jaringan pertokoan?" "Ehm, aku?"
?"dan sejumlah supermarket. Pokoknya, segala macam bidang usaha." "Itu?"
"Barangkali kau ingin tahu bagaimana aku mu"
Sepanjang acara makan malam ia tak pernah berhenti bicara, dan satu-satunya topik yang dibicarakannya adalah Ted Riddle.
"Itu pasti karena dia gugup," Sally kembali minta maaf.
"Huh, dia justru membuat aku jadi gugup. Kalau ada yang ingin kauketahui mengenai kehidupan Ted Riddle sejak dia lahir, tanya saja aku!"
"Jerry McKinley."
"Apa?" "Jerry McKinley. Aku baru teringat. Dia pernah berkencan dengan salah satu temanku, dan temanku itu tergila-gila padanya."
"Terima kasih, Sally, tapi tidak usah saja."
"Aku akan menelepon dia."
Esok malamnya, Jerry McKinley muncul di apartemen Julia dan Sally, la bertampang lumayan, dan mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Ketika masuk dan melihat Julia, ia berkata, "Aku tahu kencan seperti ini tidak mudah. Aku sendiri agak canggung, jadi aku mengerti bagaimana perasaanmu, Julia."
Julia langsung menyukainya.
Mereka pergi makan malam di Evergreen Chinese Restaurant di State Avenue.
"Kau bekerja di perusahaan arsitek. Pekerjaanmu pasti menarik sekali. Sepertinya orang-orang tidak sadar betapa besar peranan para arsitek."
Dia sensitif, pikir Julia gembira. Ia tersenyum. I "Aku sependapat denganmu."
Semakin lama mereka berbincang-bincang, Julia semakin menyukai pria itu..Ia memutuskan mengambil langkah berani.
"Bagaimana kalau acara ini kita lanjutkan di apartemenku?" ia bertanya.
"Jangan. Lebih baik kita ke tempatku saja"
"Ke tempatmu?" Jerry mencondongkan badan ke depan dan meremas tangan Julia. "Aku punya koleksi cambuk dan rantai di rumah."
Henry Wesson pemilik kantor akuntan di gedung yang sama seperti Peters, Eastman & Tofltin. Dua atau tiga kali seminggu, Julia bertemu dengannya di dalam lift. Tampaknya pria itu cukup menyenangkan. Ia berusia tiga puluhan dan bertampang cerdas. Rambutnya berwarna pasir, dan ia memakai kacamata berbingkai hitam.
Perkenalan mereka berawal dengan saling menganggukkan kepala, lalu, "Selamat pagi," lalu, "Anda kelihatan cerah sekali hari ini," dan setelah beberapa bulan, "Apakah kau bersedia makan malam bersamaku kapan-kapan?" Ia menatap Julia dan menunggu jawabannya. Julia tersenyum* "Dengan senang hati."
Henry telah Jatuh cinta pada pandangan pertama. Pada kencan mereka yang pertama, ia mengajak
Julia ke EBT, salah satu restoran top di Kansas City. Sepertinya dia gembira sekali karena Julia menerima ajakannya.
Ia bercerita sedikit mengenai dirinya. "Aku lahir di KC Ayahku juga lahir di sini. Jatuhnya buah takkan jauh dari batangnya Kau tahu maksudku, bukan?"
Julia tahu apa yang dimaksudnya.
"Sejak kecil aku sudah bercita-cita jadi akuntan. Setelah selesai kuliah, aku bekerja untuk Bigelow and Benson Financial Corporation. Sekarang aku buka kantor sendiri."
"Menyenangkan," ujar Julia. ? "Rasanya tak ada lagi yang bisa diceritakan tentangku. Sekarang giliranmu."
Julia terdiam sejenak. Aku anak haram salah satu orang terkaya di dunia. Kemungkinan besar kau pernah mendengar namanya. Dia baru saja mati tenggelam. Aku termasuk ahli warisnya. Ia memandang berkeliling. Kalau mau, aku bisa membeli restoran ini. Kalau mau, aku bisa membeli seluruh kota.
Henry menatapnya. "Julia?" "Oh! Ma" maaf. Aku lahir di Milwaukee. A" ayahku meninggal waktu aku masih kecil. Ibuku
dan aku sering berpindah-pindah. Ketika dia meninggal, aku memutuskan menetap di sini dan mencari pekerjaan." Moga-moga dia tidak tahu aku bohong.
Henry Wesson meraih tangan Julia. "Berarti selama hidupmu tak pernah ada laki-laki yang melindungimu." Ia mencondongkan badan ke depan dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku ingin melindungimu selama sisa hidupmu."
Julia menatapnya dengan heran. "Aku tidak ingin bersikap kuno, tapi kita belum saling mengenal."
"Aku ingin mengubah itu."
Sally sudah menunggu ketika Julia sampai di apartemen mereka. "Nah?" ia bertanya. "Bagaimana kencanmu tadi?"
Julia menyahut sambil termangu-mangu, "Dia manis sekali, dan?" "Dia tergila-gila padamu!" Julia tersenyum. "Rasanya dia melamarku." Sally membelalakkan mata. "Rasanya" Rasanya" Ya Tuhan! Kau tidak tahu apakah dia melamarmu atau tidak?"
"Hmm, dia bilang dia ingin melindungiku selama sisa hidupku."
"Berarti dia melamarmu!" Sally berseru. "Dia melamarmu! Menikahlah dengan dia! Cepat! Sebelum dia be m bah pikiran!"
Julia tertawa. "Kenapa harus terburu-buru?"
"Dengarkan aku. Undang dia makan malam di
"281 sari. Aku yang memasak, dan kau bilang kai sendui yang menyiapkan semuanya."
Julia, tertawa. Terima kasih. Tapi tidak usah. Kalau aku menemukan laki-laki yang ingin kujadikan suamiku, kami mungkin akan makan masakan Cina yang dipesan dari restoran, tapi percayalah, meja makannya akan kutata apik dengan bunga dan cahaya lilin."
Pada kencan mereka yang berikut, Henry berkata, "Kansas City tempat yang cocok untuk membesarkan anak-anak."
"Ya, memang." Masalahnya, Julia tidak tahu pasti apakah ia ingin membesarkan anak-anak Henry. Pria itu memang sopan, bertanggung jawab, tenang, tapi"
Julia membicarakannya dengan Sally.
"Dia teras mendesakku untuk menikah dengannya," Julia bercerita.
"Seperti apa orangnya?"
Julia berpikir sejenak. Ia hendak mencari kata-kata paling romantis mengenai Henry Wesson yang bisa ditemuinya. "Dia sopan, bertanggung jawab, tenang?"
Sally menatapnya. "Dengan kata lain, dia membosankan."
Julia segera membela Henry, "Sebenarnya bukan membosankan?"
Sa% mengangguk penuh pengertian. "Dia membosankan. Menikahlah dengannya."
"Apa?" "Menikahlah dengan dia. Suami "membosankan yang baik sulit dicari."
Menyambung hidup dari hari gajian ke hari gajian berikut merupakan ladang ranjau. Ada potongan gaji, sewa apartemen, pengeluaran untuk mobil, bahan makanan, serta pakaian yang perlu dibeli. Julia mempunyai Toyota Tercel, dan sepertinya ia lebih banyak mengeluarkan uang untuk mobil itu daripada untuk dirinya sendiri. Ia selalu meminjam uang dari Sally.
Suatu malam, ketika Julia sedang berpakaian, Sally berkata, "Ada acara lagi dengan Henry, hmm" Ke mana dia akan mengajakmu malam ini?"
"Kami mau ke Symphony Hall. Ada konser Cleo Laine."
"Henry sudah melamarmu lagi?"
Julia tidak segera menjawab. Sesungguhnya, Henry melamarnya setiap kali mereka berkencan. Julia merasa didesak-desak, tapi ia tidak sanggup berkata ya.
"Jangan sampai kau kehilangan dia," Sally mewanti-wanti.
Sally mungkin benar, Julia berkata dalam hati. Henry Wesson memang bakal jadi suami yang baik. Dia" Ia berhenti sejenak. Dia sopan, bertanggung jawab, tenang" Cukupkah itu"
283 | Ketika Julia menuju pintu, Sally berseru, "Ala pinjam sepatumu yang hitam, ya?"
"Ambil saja!?""Julia menyahut sambil menutup pintu dan pergi.
Sally masuk ke kamar Julia dan membuka lemari. Sepatu yang dicarinya disimpan di rak paling atas. Sally hendak meraihnya, tapi tanpa sengaja ia menyenggol kardus di pinggir rak. Kardus itu jatuh, dan isinya berhamburan di lantai.
"Brengsek!" Sally membungkuk untuk memungut kertas-kertas yang berserakan. Ada lusinan kliping koran, foto-foto, dan artikel-artikel, dan semuanya mengenai keluarga Harry Stanford. Sepertinya ada ratusan.
Sekonyong-konyong Julia bergegas memasuki kamarnya. "Ada yang ketinggalan?" Ia berhenti ketika melihat kertas-kertas di lantai. "Sedang apa kau?" "Sori," Sally minta maaf. "Kardusnya jatuh." Juiia tersipu-sipu. Ia membungkuk dan mulai mengembalikan semua kertas ke dalam kardus.
"Aku tidak menyangka kau tertarik pada orang-orang kaya dan terkenal," ujar Sally.
Julia diam saja dan terus membereskan isi kardus itu. Ketika meraih setumpuk foto, ia menemukan liontin emas berbentuk hati yang diberikan ibunya sebelum meninggal. Julia segera mengantonginya.
Sally menatapnya dengan hera "Ya" wmi&h
"Juli, "Kenapa kau begitu tertarik pada Harry Stamford?"
"Bukan aku. Aku" Barang-barang ini milik ibuku."
Sally angkat bahu. "Oke." Ia meraih selembar kertas yang ternyata halaman dari sebuah majalah gosip. Judul beritanya berbunyi: PENGUSAHA TERKEMUKA MENGHAMILI PENGASUH ANAK?IBU DAN BAYI MENGHILANG!
Sally tercengang-cengang. "Ya Tuhan! Kau anak Harry Stanford!"
Julia merapatkan bibir. Ia menggelengkan kepala dan terus membereskan kertas-kertas yang masih berserakan.
"Kau putri Harry Stanford, bukan?"
Julia menoleh. "Maaf, tapi kalau kau tidak keberatan, aku tidak mau bicara soal itu."
Sally bangkit. "Kau tidak mau bicara soal itu" Kau putri salah satu orang terkaya di dunia, dan kau tidak mau bicara soal itu" Kau sudah gila?"
"Sally?" "Kau tahu berapa banyak uang yang dia miliki" Miliaran."
"Itu tidak ada hubungannya denganku."
"Kalau kau memang anaknya, tentu saja ini ada hubungannya denganmu. Kau termasuk ahli warisnya! Kau tinggal memberitahu keluarganya siapa kau, dan?"
"Tidak." "Tidak" apa?"
"Km tidak mengerti." Julia berdiri lalu duduk d tempat tidur. "Harry Stanford manusia brengsek Dia mencampakkan ibuku. Ibuku membencinya, dan aku membencinya."
"Orang-orang sekaya dia tidak dibrnci. Mereka dipahami."
Julia kembali menggelengkan kepala. "Aku tidak mau terlibat dengan mereka."
"laba, seorang ahli waris tidak tinggal di apartemen kumuh dan membeli baju di pasar loak, dan dia tidak meminjam uang untuk membayar sewa. Keluargamu pasti tidak rela kalau mereka tahu kau hidup seperti ku. Mereka akan merasa direndahkan."
"Mereka tidak tahu-menahu tentang aku. Mereka bahkan tidak tahu bahwa aku ada." "Kalau begitu kau harus memberi tahu mereka" "SaBy?" Tar
"Aku tidak mau bicara soal hri."
Sally menatapnya cukup lama. "Oke. Tapi omong-omong, kau bisa meminjamkan satu atau dua juta sampai gajian berikut?"
Bab 20 TYLER kalang kabut. Selama 24 jam terakhir ia terus menelepon Lee di rumahnya, namun tak ada yang menyahut. Dengan siapa dia" Tyler bertanya-tanya. Dan sedang apa mereka"
Ia mengangkat, gagang telepon dan sekali lagi memutar nomor Lee. Tyler menunggu lama, dan tepat ketika ia hendak menaruh gagang telepon, ia mendengar suara Lee.
"Halo." "Lee! Apa kabar?" "Siapa ini?" "Ini aku, Tyler."
"Tyler?" Hening sejenak. "Oh ya." Tyler agak kecewa karena sambutan yang dingin itu, "Bagaimana kabarmu?" "Baik," sahut Lee.
"Tempo hari aku sempat bilang aku punya kejutan luar biasa untukmu, bukan?"
"Ya?" Lee sepertinya tidak terlalu berminat mendengarkan ocehan Tyler.
"Kau masih ingat ucapanmu tentang berlayar ke St-Tropez dengan yacht putih yang indah?" "Kenapa memangnya?" "Bagaimana kalau kita berangkat
minggu depan?" "Kau serius?"
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja." "Ehm, entahlah. Kau ada teman yang punya yachtT
"Aku akan beli yacht* "Kau lagi teler, Pak Hakim?"
"Te?" Tidak, tidak! Aku baru saja mendapat uang. Banyak sekali."
"St.-Tropez, hmm" Kedengarannya menarik juga. Yeah, aku ingin sekali pergi ke sana denganmu."
Tyler merasa amat lega. "Bagus! Sementara itu, jangan?" la tidak berani menyelesaikan kalimat itu. "Nanti kau kuhubungi lagi, Lee." Ia meletakkan gagang telepon dan duduk di tepi tempat tidur. "Aku ingin sekali pergi ke sana denganmu." Ia membayangkan mereka di yacht yang indah, berlayar mengelilingi dunia bersama-sama. Bersama-sama.
Tyler meraih buku telepon dan membuka halaman kuning.
Kantor John Alden Yachts, Inc., terletak di Commercial Wharf di Boston. Tyler segera dihampiri manajer penjualan ketika ia masuk. "Apa yang bisa saya bantu, Sir?"
Tyler menatap orang itu dan berkata dengan santai, "Saya mau belt yacht." la menikmati setiap kata.
Yacht ayahnya pasti termasuk warisan yang akan dibagi-bagi, tapi Tyler tidak mau berbagi kapal pesiar dengan kedua saudaranya.
"Motor atau layar?"
"Saya" ehm" saya belum tahu. Saya ingin keliling dunia dengan yacht saya."
"Kalau begitu berarti motor."
"Warnanya harus putih."
Manajer penjualan itu menatapnya sambil mengerutkan kening. "Ya, tentu saja. Seberapa besar kapal yang Anda bayangkan?"
Blue Skies berukuran 54 meter.
"Enam puluh meter."
Si manajer penjualan mengedipkan mata. "Ah, begitu. Anda tentu sadar bahwa kapal seperti itu sangat mahal, Mr". ehm?" "Hakim Stanford. Ayah saya Harry Stanford," Seketika wajah si manajer penjualan menjadi cerah.
"Uang tidak jadi soal," ujar Tyler.
"Tentu saja tidak! Nah, Hakim Stanford, kami akan mencarikan kapal untuk Anda yang akan membuat semua orang terkagum-kagum. Putih, tentu saja. Untuk sementara, ini ada daftar yacht yang hendak dijual. Silakan hubungi saya jika Anda sudah memutuskan mana saja yang menarik minat Anda."
Woody Stanford sibuk memikirkan kuda-kuda poni.
Seumur hidup ia terpaksa menunggangi kuda-kuda
milik teman-temannya, tapi kini ia sanggup membeli
kuda-kuda terbaik di dunia.
Ia sedang berbicara melalui telepon dengan Mimi Carson. "Aku mau beli semua kudamu," Woody berkata penuh semangat, lalu mendengarkan jawaban Mimi. "Ya, semuanya. Aku serius. Betul?"
Percakapan mereka berlangsung setengah jam, dan ketika Woody meletakkan gagang telepon, ia tersenyum lebar. Ia pergi mencari istrinya.
Peggy sedang duduk seorang diri di teras. Pipinya masih iebam akibat pukulan yang dilayangkan Woody.
"Peggy?" Wanita itu menoleh dengan waswas. "Ya?"
"Aku perlu bicara denganmu. Tapi aku" aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Peggy duduk sambil menunggu.
Woody menarik napas panjang. "Aku tahu aku tidak bersikap seperti suami yang baik selama ini. Beberapa perbuatanku bahkan tidak bisa dimaafkan. Tapi, darling, semuanya akan berubah. Kita kaya sekarang. Betul-betul kaya. Semua kesalahanku akan kutebus." Ia meraih tangan Peggy. J
"Aku tidak mau lagi pakai obat bius. Sungguh. Seluruh hidup kita akan berubah."
Peggy menatap mata suaminya dan berkata dengan datar, "Oh ya?"
"Ya. Aku berjanji. Aku tahu aku sudah sering berjanji begini, tapi kali ini lain. Aku sudah membulatkan tekad. Aku mau masuk klinik tempat aku bisa dirawat sampai sembuh. Aku tak mau lagi hidup seperti di neraka. Peggy?" Suara Woody bernada putus asa, "Aku tidak sanggup melakukannya tanpa bantuanmu. Kau tahu aku tidak sanggup"."
Lama Peggy menatapnya sambil membisu. Akhirnya ia memeluknya dengan erat. "Sayangku," ia berkata. "Aku tahu. Aku akan membantumu."
Margo Posner telah selesai memainkan perannya, dan kini sudah saatnya ia pergi.
Tyler menemuinya di mang baca. Ia menutup pintu. "Aku mau mengucapkan terima kasih sekali lagi, Margo."
Wanita itu tersenyum. "Tugas ini benar-benar menyenangkan. Aku menikmatinya." Ia menatap Tyler dengan nakal. "Mungkin aku mau jadi aktris saja."
Tyler ikut tersenyum. "Kau memang berbakat. Nyatanya kau berhasil mengelabui orang-orang di sini."
"Ya, penampilanku cukup meyakinkan, bukan?" "Ini sisa uangmu." Tyler mengeluarkan amplop
291 dan kantong. Dan tiket pesawat untuk pulang kc Chicago."
Terima kasih." Tyler menatap arlojinya. "Sehatnya kan segera berangkat."
"Oke, Aku juga mau berterima kasih atas semuanya. Maksudku, kau kan sudah mengeluar-kariku dari penjara."
Tyler tersenyum. "Sudahlah. Selamat jalan."
Terima kasih." Ia memperhatikan Margo naik ke lantai atas untuk berkemas. Permainan telah berakhir. Siak dan skak mat
Margo Posner sedang membereskan barang-barangnya ketika Kendali masuk.
"Hai, Julia. Aku cuma mau?" Ia terdiam. "Sedang apa kau?"
"Aku mau pulang."
Kendali menatapnya dengan bingung. "Kau sudah mau pulang" Kenapa" Padahal aku berharap -kita bisa mengobrol untuk lebih mengenal satu sama lain. Begitu banyak yang perlu diceritakan."
"Boleh saja. Tapi mungkin lain kali."
Kendali duduk di tepi tempat tidur. "Rasanya seperti keajaiban, bukan" Setelah terpisah selama bertahun-tahun, kita akhirnya berkumpul lagi."
Margo terus berkemas. "Yeah. Ini memang ke-
"Kaa pasti merasa seperti Cinderella. Seumur
hidup kau menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, lalu tiba-tiba ada orang yang memberimu satu miliar dolar." Margo langsung berhenti berkemas. "Apa?" "Aku bilang?" "Satu miliar dolar?"
"Ya. Berdasarkan surat wasiat Ayah, masing-masing dari kita akan mewarisi kurang-lebih sejumlah itu."
Margo menatap Kendali sambil terbengong-bengong. "Masing-masing dapat satu miliar dolar?"
"Kau belum diberitahu?"
"Belum," ujar Margo pelan-pelan. "Aku belum diberitahu." Ia tampak berpikir keras. "Kurasa kau benar, Kendali. Ada baiknya kalau kita mengobrol panjang-lebar."
Tyler sedang asyik mengamati foto-foto yacht di solarium ketika Clark menghampirinya
"Maaf, Hakim Stanford. Ada telepon untuk Anda."
"Biar kuterima di sini saja."
Peneleponnya ternyata Keith Percy di Chicago.
"Tyler?" "Ya."
"Aku punya kabar gembira untukmu)" "Oh?"
"Setelah aku pensiun, bagaimana kalau kau meng-gantikanku sebagai hakim kepala?"
? Tyfer harus memaksakan diri agar tidak tertawa. "Aku akan senang sekali, Keith."
"Nah, jabatan itu milikmu!
"Aku" aku tidak tahu harus berkata apa." Apa yang mesti kukatakan" "Seorang miliarder tidak perlu duduk di ruang sidang yang pengap di Chicago, dan menjatuhkan hukuman kepada sampah masyarakat?" Atau "Aku terlalu sibuk keliling dunia dengan kapal pesiarku?"
"Kapan kau bisa kembali ke Chicago?"
"Mungkin masih agak lama," balas Tyler. "Masih banyak yang hams kukerjakan di sini."
"Baiklah, kami semua menunggumu."
Jangan berharap terlalu banyak. "Sampai ketemu." Ia meletakkan gagang telepon dan menatap arlojinya. Sudah waktunya Margo berangkat ke bandara. Tyler naik ke lantai atas untuk melihat apakah Margo sudah siap.
Tapi ketika ia masuk ke kamar Margo, wanita ku ternyata sedang membongkar isi kopernya.
Tyler menatapnya dengan heran. "Kau belum siap."
Margo menoleh dan tersenyum. "Urusanku di sini belum selesai. Setelah kupikir-pikir, aku suka tinggal di sah. Mungkin ada baiknya kalau aku tinggal lebih lama."
Tyter mengerutkan kening. "Apa maksudmu" Kau akan terbang ke Chicago." "Masih banyak pesawat ke sana, Pak Hakim."
Margo tersenyum lebar. Barangkah aku malah akan beli pesawat pribadi." "Apa maksudmu?"
"Kau bilang kau hendak mempermainkan seseorang." "Ya?"
"Tampaknya aku yang dipermainkan. Aku bernilai semiliar dolar."
Roman muka Tyler mengencang. "Kau hams angkat kaki dari sini. Sekarang juga."
"Aku akan pergi kalau urusanku sudah selesai," balas Margo. "Dan urusanku belum selesai."
Tyler menatapnya tajam. "A" apa maumu?"
Margo mengangguk. "Nah, begitu lebih baik. Semiliar dolar yang seharusnya kuperoleh. Uang itu mau kaukantongi sendiri, bukan" Dari pertama aku sudah tahu kau punya rencana untuk meraup uang, tapi semiliar dolar"! Itu soal lain. Rasanya aku patut dapat bagian."
Pintu kamar diketuk dari luar.
"Maaf," ujar Clark. "Makan siang sudah siap."
Margo berpaling kepada Tyler. "Duluan saja. Aku tidak ikut makan siang. Ada beberapa urusan penting yang hams kukerjakan."
Sore itu, berbagai bungkusan mulai berdatangan di Rose Hill. Ada dus-dus berisi gaun dari Armani, baju olahraga dari Scaasi Boutique, pakaian dalam dari Jordan Marsh, mantel dari Neiman Marcus, dan sebuah gelang berlian dari Cartier. Semua
bungkusan itu dialamatkan kepada Miss Julia Stanford.
Ketika Margo kembali pukul setengah lima,
Tyler sudah menunggu untuk melabraknya. Ia marah sekali.
"Apa-apaan ini?" ia membentak Margo. Wanita itu tersenyum. "Aku beli beberapa barang yang kubutuhkan. Bagaimanapun juga, adik perempuanmu ini harus tampil pantas, bukan" Terns terang, aku heran betapa bagusnya pelayanan toko-toko untuk anggota keluarga Stanford. Tolong bayarkan tagihannya nanti, ya?" "Julia?"
"Margo," wanita itu mengingatkan. "Oh ya, aku lihat foto-foto kapal pesiar di meja. Kau mau beli yacht?"
"Itu bukan urusanmu."
"Jangan terlalu yakin. Barangkali saja kau dan aku akan berlayar bersama-sama. Kapalnya kita beri nama Margo. Atau Julia" Kita bisa keliling dunia berdua. Aku tidak suka kalau aku kesepian."
Tyler berpikir sejenak. "Kelihatannya aku terlalu merernehkanmu. Kau wanita muda yang sangat cerdik."
"Terima kasih atas pujian mu."
"Moga-moga kau juga wanita muda yang mau diajak berunding,"
"Tergantung apa yang dirundingkan."
"Satu juta dolar. Tunai."
Jantung Margo langsung berdegup-degup. "Dan semua barang yang kubeli hari ini boleh kubawa?" "Bawa semuanya."
Wanita itu menarik napas panjang. "Oke, aku setuju."
"Bagus. Uangnya akan kuusahakan secepat mungkin. Beberapa hari lagi aku akan pulang ke Chicago." Tyler mengambil anak kunci dari kantong dan menyerahkannya kepada Margo. "Ini kunci rumahku. Kau harus menginap di sana dan menunggu sampai aku datang. Dan jangan bicara dengan siapa pun."
"Baiklah." Margo berusaha menutup-nutupi kegembiraannya. Seharusnya aku minta lebih banyak lagi, ia berkata dalam hati.
"Aku akan memesan tiket untuk pesawat berikut."
"Bagaimana dengan barang-barang yang kubeli?""
"Nanti kukirim ke sana."
"Oke. Kelihatannya kita sama-sama untung, ya?"
Tyler mengangguk. "Ya. Kelihatannya begitu."
Tyler mengantarkan Margo ke Logan International Airport.
Di bandara, Margo berkata, "Apa yang akan kaukatakan kepada yang lain" Mereka pasti heran aku tiba-tiba pergi."
"Mereka akan kuberitahu bahwa kau hams mengunjungi sahabatmu yang jatuh sakit, di Amerika Selatan."
Margo menatapnya dengan pandangan menyesal. "Sebenarnya, Pak Hakim, acara jalan-jalan naik kapal pesiar pasti menyenangkan sekali."
Para penumpang untuk penerbangan ke Chicago dipanggil melalui pengeras suara.
"Oh, sudah waktunya berangkat."
"Selamat jalan."
"Thanks. Sampai ketemu di Chicago."
Tyler memperhatikan Margo masuk ke terminal keberangkatan, lalu menunggu sampai pesawat yang ditumpangi wanita itu lepas landas. Kemudian ia kembali ke limusin dan berkata kepada % sopirnya, "RoseHffi."
Ketika Tyler sampai di kediaman keluarga itu, ia langsung naik ke kamarnya dan menelepon Hakim Kepala Keith Percy.
"Kami semua sudah menunggumu, Tyler. Kapan kau pulang ke sini" Kami mau mengadakan pesta kecil untuk merayakan kenaikan pangkatmu."
"Tidak lama lagi, Keith," ujar Tyler. "Tapi sementara itu, aku perlu bantuanmu sehubungan dengan masalah yang kuhadapi di sini."
"Boleh saja. Apa yang bisa kulakukan?"
"Ini menyangkut narapidana yang ingin kuto-long. Margo Posner. Kalau tidak salah, aku pernah menyinggung tentang dia tempo hari."
"Ya, aku ingat. Ada am A***"~~
Vanita malang itu percaya dia adikku. Dia yusulku ke Boston dan berusaha membunuhku." "Ya Tuhan!"
"Sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang ke Chicago, Keith. Dia berhasil mencuri kunci rumahku, dan aku tidak tahu apa rencananya selanjutnya. Wanita itu tidak waras dan sangat berbahaya. Dia mengancam akan membunuh seluruh keluargaku. Aku ingin dia dimasukkan ke Reed Mental Health Facility. Tolong kirimkan surat-surat yang diperlukan melalui fax, biar bisa kutan-datangani. Pemeriksaan psikiater akan kuurus sendiri."
"Tentu. Aku akan segera mengatur semuanya, Tyler."
"Terima kasih. Dia naik United Airlines Flight 307. Sebaiknya ada petugas yang menjemputnya di bandara. Beritahu mereka agar berhati-hati. Wanita itu harus dimasukkan ke bagian pengamanan maksimal di Reed, dia jangan diperbolehkan menerima tamu."
"Oke. Aku turut prihatin atas kejadian ini, Tyler."
Tyler menyahut dengan pasrah, "Beginilah dunia sekarang. Orang yang mau menolong malah ditikam dari belakang."
Saat makan malam Kendali bertanya, "Julia tidak ikut makan bersama kita?"
Dengan nada menyesal Tyler berkata, "Sayangnya, tidak. Dia minta dipamitkan pada kalian. Dia hams ke Amerika Selatan untuk menolong sahabatnya yang terkena stroke. Kejadiannya sangat mendadak."
"Tapi surat wasiat Ayah belum?"
"Julia telah memberikan surat kuasa padaku, dan dia minta bagiannya dimasukkan ke lembaga perwalian."
Seorang pelayan meletakkan mangkuk berisi masakan kerang khas Boston di hadapan Tyler.
"Ah," ujar Tyler. "Kelihatannya lezat sekali! Aku benar-benar lapar."
United Airlines Flight 307 sedang bersiap-siap mendarat di O"Hare International Airport di Chicago. Seorang pramugari berkata melalui pengeras suara, Tara penumpang dipersilakan memasang sabuk pengaman."
Margo Posner sangat menikmati penerbangan itu. Sebagian besar waktu dihabiskannya dengan berkhayal tentang apa yang akan dilakukannya dengan uang sejuta dolar yang bakal ia terima. Dan semuanya karena aku masuk penjara! Ada-ada saja!
Setelah pesawatnya mendarat, Margo meraih barang-barang bawaannya, lalu mulai menuruni ramp. Seorang pramugari berjalan di belakangnya Di dekat pesawat ada ambulans, dua paramedis
berjaket putih, dan seorang dokter. Si pramugari melihat mereka dan menunjuk ke arah Margo.
Ketika Margo sampai di bawah, salah satu dari mereka menghampirinya. "Maaf," pria itu berkata
Margo menoleh. "Ya?"
"Anda Margo Posner?"
"Ya. Ada apa?""
"Saya Dr. Zimmerman." Pria itu meraih lengan Margo. "Silakan ikut kami." Ia mulai menggiringnya ke ambulans.
Margo berusaha melepaskan diri. "Tunggu dulu! Ada apa ini?" teriaknya.
Kedua paramedis segera mengapitnya.
"Silakan ikut kami dengan tenang, Miss Posner," Dr. Zimmerman menegaskan.
"Tolong!" pekik Margo. "Tolong!"
Penumpang-penumpang lain menatapnya sambil terbengong-bengong.
"Kenapa kalian diam saja?" seru Margo. "Kalian buta semua" Saya diculik! Saya Julia Stanford! Saya putri Harry Stanford!"
"Tentu, tentu," Dr. Zimmerman menanggapinya dengan nada menenangkan. "Tenang saja."
Sambil terheran-heran para penumpang lain menyaksikan Margo digotong ke ambulans. Wanita itu menendang-nendang dan menjerit-jerit.
Setelah berada di dalam ambulans, Dr. Zimmerman meraih alat suntik dan menusukkan jarumnya ke lengan Margo. "Santai saja," katanya. "Tak ada yang perlu dikuatirkan."
"Ini gila!" balas Margo. "Anda tidak bo?" Matanya mulai berat
Pintu belakang ditutup, dan ambulans itu segera melaju.
Tyler terbahak-bahak ketika menerima laporan mengenai penahanan Margo. Dalam hati ia membayangkan bagaimana wanita serakah itu meronta-ronta ketika dibawa pergi. Tyler akan mengatur agar Margo menghabiskan sisa hidupnya di ramah sakit jiwa.
Sekarang permainannya sudah betul-betul berakhir, pikirnya. Aku berhasil/ Si Tua pasti akan jungkir balik di kuburannya?seandainya dia masih punya kuburan?kalau dia tahu kendali atas Stanford Enterprises jatuh ke tanganku. Sekarang aku sanggup memberi Lee apa saja yang pernah diimpikannya.
Kejadian-kejadian hari itu menimbulkan hasrat seksual dalam diri Tyler. Aku butuh pelampiasan, h membuka koper dan mengeluarkan Damron Address Book, yang disembunyikannya di bawah tumpukan pakaian, lalu mencari daftar bar gay di Boston.
Julia dan Sally sedang bersiap-siap berangkat kerja.
Sally bertanya, "Bagaimana kencanmu dengan Henry semalam?"
"Seperti biasa."
"Sebegitu parahnya, hmm" Tanggal perkawinannya sudah ditetapkan?"
"Jangan sampai!" balas Julia. "Henry memang manis tapi?" Ia menghela napas. "Dia bukan orang yang cocok untukku."
"Kau mungkin bisa mengelak dari dia" kata Sally, "tapi ini tak bakal bisa kauhindari." Ia menyerahkan lima amplop kepada Julia,
Kelima-limanya berisi tagihan. Julia membuka amplop-amplop itu satu per satu. Tiga diberi tanda PEMBAYARAN TERLAMBAT dan satu lagi PERINGATAN KETIGA. Julia membaca semuanya.
"Sally, apakah aku bisa pinjam?" Sally menatapnya dengan heran. "Aku benar-benar tidak mengerti." "Apa maksudmu?"
"Kau bekerja membanting miang dan kau tidak bisa membayar tagihan mu, padahal kau tinggal angkat telepon untuk mendapatkan beberapa juta dolar."
"Itu bukan uangku."
"Tentu saja itu uangmu!" balas Sally. "Harry Stanford ayahmu, bukan" Artinya, kau berhak atas bagian dari warisannya."
"Lupakan saja. Kau sudah tahu bagaimana dia memperlakukan ibuku. Dia takkan meninggalkan sepeser pun untukku."
Sally mendesah. "Brengsek! Padahal aku sudah bersiap-siap untuk tinggal dengan jutawan!"
Mereka berjalan ke lapangan parkir tempat mereka menitipkan mobil masing-masing. Tempat parkir Julia kosong. Dia menatapnya sambil membelalakkan mata. "Mobilku hilang!"
"Kau yakin mobilmu diparkir di sini semalam?" tanya Sally.
"Ya." "Berarti mobilmu dicuri!" Julia menggelengkan kepala. "Tidak," katanya pelan-pelan. "Apa maksudmu?"
Julia menoleh ke arah Sally. "Mobilku pasti ditarik lagi oleh dealer-nya. Aku sudah tiga bulan tidak membayar angsuran."
"Bagus," Sally berkomentar dengan datar. "Bagus sekali"
Sally tidak sanggup menyingkirkan situasi Julia dari pikirannya. Ini seperti kisah dongeng, ia berkata dalam hati. Putri raja yang tidak sadar dia putri raja. Hanya saja dalam kasus ini, dia sadar, tapi terlalu angkuh untuk melakukan sesuatu. Ini tidak adil! Keluarganya kaya raya, dan dia tidak punya apa-apa. Hmm, kalau dia tidak mau bertindak, aku yang harus turun tangan. Suatu saat dia akan berterima kasih padaku.
Malam itu, setelah Julia pergi, Sally kembali memeriksa kardus berisi kliping. Ia mengambil artikel koran yang masih baru dan membaca bahwa para ahli waris Stanford berkumpul di Rose Hill untuk menghadiri upacara pemakaman.
Kalau si putri tidak mau menghampiri mereka, Sally berkata dalam hati, merekalah yang harus mendatangi dia.
Ia duduk dan mulai menulis surat. Suratnya ditujukan kepada Hakim Tyler Stanford.
Isbonk by otoy untuk koleksi IpribadLdilarang keras memperjual belikan ebbok ini karena dilindungi oleh undang undang DttDys@yahDD.CDm
Bab 21 tyler stanford menandatangani surat perintah agar Margo Posner dirawat di Reed Mental Health Facihty. Tiga psikiater harus ikut menandatangani surat perintah tersebut, tapi Tyler tahu bahwa hambatan itu dapat ia atasi dengan mudah.
Ia mengingat-ingat semua tindak-tanduknya sejak awal, dan menyimpulkan bahwa tak ada kesalahan dalam rencananya. Drnitri telah menghilang ke Australia, dan Margo Posner pun sudah disingkirkan. Berarti tinggal Hal Baker, dan Baker takkan merupakan masalah. Setiap orang memiliki titik lemah, dan titik lemah Baker adalah keluarganya. Baker takkan buka mulut, sebab dia tidak bisa membayangkan hidup di penjara, jauh dari orang-orang yang disayanginya.
Semuanya persis seperti yang diharapkan. Begitu surat wasiatnya disahkan, aku akan pulang ke Chicago dan menjemput Lee. Mungkin kami malah akan beli rumah di St.-Tropez. AnganI
angan itu membuatnya terangsang. Kami akan keliling dunia naik kapal pesiarku. Sudah lama aku mau melihat Venezia" dan Positano" dan Capri". Kami akan bersafari di Kenya, dan menatap Taj Mahal bersama-sama di bawah bulan purnama. Dan berkat siapa semuanya ini" Berkat Ayah. "Kau banci, Tyler, dan sampai kapan pun kau tetap banci. Aku tidak mengerti kenapa aku diberi keturunan seperti kau"."
Nah, Ayah, sekarang siapa yang tertawa paling akhir"
Tyler turun untuk makan siang bersama Ia lapar lagi.
"Sayang sekali Julia hams pergi begitu cepat," ujar Kendali. "Sebenarnya aku ingin berkenalan lebih jauh dengan dia."
"Dia pasti merencanakan untuk kembali secepat mungkin," Marc berkomentar.
Betul sekali, pikir Tyler. Dan aku akan memastikan dia takkan pernah muncul lagi.
Pembicaraan mereka beralih ke masa depan.
Peggy berkata malu-malu, "Woody mau beli kuda."
"Kuda polol" Woody membentaknya. "Aku akan beli sekelompok kuda polo. Kaupikir semua kuda sama?"
"Maaf, darling. Kupikir?" "Ah, sudahlah!"
-an7 Tyler berkata kepada Kendall, "Apa rencanamu?"
?"kami terus mengharapkan dukungan Anda". Kami akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia mentransfer $1,000,000" dalam sepuluh hari mendatang."
"Kendali?" "Oh. Aku akan" memperluas usahaku. Aku akan buka toko di London dan Paris." "Menarik sekali," ujar Peggy. "Dua minggu lagi aku akan mengadakan peragaan busana di New York. Aku harus ke sana untuk mempersiapkan semuanya."
Kendali menoleh ke arah Tyler. "Kau sendiri bagaimana" Apa yang akan kaulakukan dengan bagianmu dari warisan Ayah?"
Tyler berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku akan terjun ke bidang amal. Begitu banyak organisasi sosial yang layak dibantu."
Percakapan selanjurnya di meja makan tidak terlalu diperhatikannya. Ia menatap Woody, lalu Kendali. Kalau bukan karena aku, kalian tidak dapat apa-apa. Tak sepeser pun!
Ia menoleh ke arah Woody. Adiknya itu telah menjadi pecandu obat bius dan menyia-nyiakan hidupnya. Uang takkan bisa membantunya, pikir Tyler. Pating-pating dia akan menghabiskannya untuk membeli obat bius. Tyler bertanya-tanya dari mana Woody memperoleh obat itu.
la berpaling kepada adik perempuannya. Ken-
308 dall cerdas dan berhasil, dan ia telah memanfaatkan bakarnya semaksimal mungkin.
Marc duduk di sebelahnya. Ia sedang menceritakan kisah lucu kepada Peggy. Dia tampan dan menawan. Sayang dia sudah kawin.
Lalu masih ada Peggy. Tyler menjulukinya Peggy yang Malang. Ia tidak mengerti kenapa wanita itu tetap mau mendampingi Woody. Dia pasti cinta sekali padanya. Yang jelas, dia tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari perkawinannya.
Tyler membayangkan ekspresi mereka seandainya ia bangkit dan berkata, "Kendali Stanford Enterprises ada di tanganku. Aku mengatur pembunuhan Ayah, aku menyuruh jenazahnya digali lagi, dan aku menyewa seseorang untuk tampil sebagai adik tiri kita." Ia tersenyum sendiri. Memang sulit menyimpan rahasia senikmat rahasia yang dipegangnya.
Seusai makan siang, Tyler naik ke kamarnya untuk menelepon Lee. Tak ada yang menyahut. Dia pergi dengan orang lain, Tyler berkata dalam hati. Dia tidak percaya aku bakal beli kapal pesiar. Hak, aku akan membuktikannya! Kenapa surat wasiat brengsek itu belum disahkan juga" Aku harus menelepon Fitzgerald, atau pengacara muda itu, Steve Sloane.
Pintu kamarnya diketuk. Clark masuk. "Maaf, Hakim Stanford. Ada surat untuk Anda."
309 Pasti ucapan selamat dari Keitlu "Terima kasih Clark." Ia meraih amplop yang disodorkan pad^ nya. Alamat pengirimnya ternyata di Kansas City Sejenak Tyler menatapnya dengan bingung, kemudian ia membuka amplop dan membaca surat tersebut.
Hakim Stafford yang baik,
Saya kira Anda perlu tahu bahwa Anda mempunyai adik tiri bernama Julia. Dia putri Rosemary Nelson dan ayah Anda. Dia tinggal di Kansas City. Alamamya 1425 Metcalf Avenue, Apartemen 3B, Kansas City, Kansas.
Saya yakin Julia akan senang sekali mendapat kabar dari Anda.
Dengan hormat, Seorang teman
Tyler menatap surat itu dengan mata terbelalak. Ia merinding. "Brengsek!" serunya. "Tidak mungkin!" Mungkin dia penipu. Namun firasatnya mengatakan bahwa ia berurusan dengan Julia yang asli. Dia pasti mau menuntut bagiannya dari warisan Ayah! Bagianku, Tyler segera meralat. Dia tidak berhak. Dia tidak boleh ke sini. Semuanya akan "u: Aku terpaksa menjelaskan perihal Julia S?T h8i-Ia kembali merinding. "Tidak Dla t"? disingkirkan. Secepatnya.
Ia mengangkat gagang telepon dan memutar no-J"Hal Baker.
Bab 22 DOKTER ahli kulit itu menggelengkan kepala. "Saya sudah pernah menangani kasus serupa, tapi belum pernah ada yang separah kasus Anda."
Hal Baker menggaruk tangannya dan mengangguk.
"Ada tiga kemungkinan, Mr. Baker. Gatal-gatal di tangan bisa disebabkan oleh jamur atau alergi, tapi bisa juga berupa neurodermatitis. Contoh kulit tangan Anda yang saya periksa di bawah mikroskop menunjukkan bahwa penyebabnya bukan jamur. Dan Anda mengatakan Anda tidak menangani bahan kimia di tempat kerja Anda"." "Betul"
"Berarti kemungkinannya sudah dipersempit. Anda menderita lichen simplex chronicus, atau neurodermatitis lokal."
"Kedengarannya seram sekali. Ada yang bisa kita lakukan untuk mengobatinya?"
"Untung saja ada." Si dokter mengambil sebuah
tube dari lemari di sudut mang praktek dan membukanya. "Tangan Anda sedang gatal sekarang?"
Hal Baker kembali menggaruknya. "Ya, Rasanya seperti terbakar."
"Coba oleskan salep ini ke tangan Anda."
Hal Baker memencet tube itu dan mengoleskan salep ke tangannya. "Gatal-gatalnya langsung hilang!" ia berkata dengan gembira.
"Bagus. Gunakan salep ini, dan Anda takkan mengalami masalah lagi."
"Terima kasih banyak, Dokter."
"Saya akan menuliskan resep untuk Anda. Tube ini boleh Anda bawa."
"Terima kasih."
Hal Baker bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan pulang. Ini pertama kali tangannya tidak gatal sejak ia bertemu Hakim Tyler Stanford. Akhirnya ia terbebas dari siksaan yang menderanya. Sambil bersiul-siul, ia memarkir mobilnya di garasi dan masuk ke dapur. Helen telah menunggunya.
"Tadi ada telepon untukmu," ia berkata. "Dari Mr. Jones. Katanya penting."
Tangan Hal Baker langsung gatal lagi.
Ia pernah menggunakan kekerasan, tapi ia berbuat begitu demi anak-anaknya. Ia pernah melakukan kejahatan, tapi itu demi keluarganya. Hal Baker tidak percaya bahwa ia betul-betul bersalah. Namun ini berbeda. Ini pembunuhan, pembunuhan berencana.
Ketika ia membalas telepon itu, ia memprotes, "Saya tidak bisa berbuat begitu. Pak Hakim. Anda harus mencari orang lain."
Hening sejenak. Lalu, "Bagaimana kabar keluargamu?"
Penerbangan ke Kansas City berjalan lancar. Hakim Stanford telah memberikan instruksi mendetail. "Namanya Julia Stanford. Ini alamat dan nomor apartemennya. Dia takkan curiga. Kau tinggal pergi ke sana dan membereskannya."
Ia naik taksi dari Kansas City Downtown Airport ke pusat kota.
"Hari yang indah," sopir taksinya berkomentar.
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yap." "Anda dari mana?" "New York. Saya tinggal di sini." "Tempat yang enak untuk tinggal." "Memang. Ada beberapa perbaikan yang harus saya kerjakan di roman. Tolong antarkan saya ke
toko perkakas." "Oke."
Lima menit kemudian Hal Baker berkata kepada pelayan di toko itu, "Saya perlu pisau berburu."
"Kami punya bermacam-macam pisau, Sir. Silakan ikut saya." Pisau itu bagus sekali Panjangnya sekitar lima
belas senti, dengan ujung runcing dan sisi bergerigi.
"Apakah ini cocok untuk keperluan Anda?" "Ya, saya kira cocok," ujar Hal Baker. "Anda membayar tunai atau dengan kartu kredit?" "Tunai saja."
Setelah itu ia mampir di toko alat tulis.
Hal Baker mempelajari situasi gedung apartemen di 1425 Metcalf Avenue selama lima menit, serta mengamati semua pintu masuk dan keluar. Ia pergi dan kembali lagi pukul delapan malam, saat hari mulai gelap. Ia ingin memastikan bahwa Julia Stanford ada di rumah. Dari pengamatannya tadi ia tahu gedung itu tidak memiliki penjaga pintu. Di dalamnya ada lift, tapi ia memilih naik tangga. Ia tidak mau berada di tempat sempit dan tertutup. Tempat seperti itu merupakan perangkap. Ia naik sampai ke lantai tiga. Apartemen 3B berada di ujung lorong sebelah kiri. Pisaunya menempel di kantong dalam jasnya. Ia menekan bel. Sesaat kemudian pintu membuka, dan ia berhadapan dengan wanita berwajah menarik.
"Halo." Senyumnya menawan. "Bisa saya bantu?"
Wanita itu lebih muda dari yang diduganya, dan ia sempat heran kenapa Hakim Stanford menginginkan wanita itu dibunuh. Hmm, itu bukan urusanku. Ia mengeluarkan kartu nama dan menyerahkannya,
315 "Saya dari A.C. Nielsen Company,- ia berkata dengan tenang. "Kami belum mempunyai keluarga Nielsen di daerah ini, dan kami mencari orang yang mungkin berminat."
Wanita itu menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih." Ia hendak menutup pintu.
"Kami membayar seratus dolar per minggu."
Pintunya masih setengah terbuka.
"Seratus dolar per minggu?"
"Betul" Pintunya dibuka lebar-lebar.
"Anda hanya perlu mencatat nama semua program yang Anda tonton. Anda akan diberi kontrak untuk satu tahun."
Lima ribu dolar! "Masuklah," wanita itu berkata.
Hal Baker memasuki apartemennya. "Silakan duduk, Mr"."
"Allen. Jim Allen."
"Mr. Allen. Bagaimana Anda sampai bisa memilih saya?"
"Perusahaan kami melakukan pemilihan secara acak. Kami harus memastikan bahwa orang yang terpilih tidak menjalin hubungan dengan dunia pertelevisian dalam bentuk apa pun. Anda tidak mempunyai hubungan dengan program produksi TV atau jaringan tv, bukan?"
Wanita itu tertawa. "Oh, tidak. Apa sebenarnya yang harus saya lakukan"*
"Madah saja. Anda akan diberi daftar berisi
semua program TV, dan Anda tinggal memberi tanda setiap kali Anda menonton TV. Dengan demikian komputer kami dapat menghitung berapa banyak orang menyaksikan acara tertentu. Keluarga Nielsen tersebar di seluruh Amerika, jadi kami memperoleh gambaran yang jelas mengenai acara apa saja yang digemari di suatu tempat, dan oleh siapa. Apakah Anda tertarik?" "Oh, ya."
Hal Baker mengeluarkan bolpoin dan sejumlah formulir. "Berapa lama Anda menonton TV setiap harinya?"
"Tidak terlalu lama. Saya bekerja sepanjang hari." "Tapi Anda menonton TV?" "Oh, tentu saja. Siaran berita malam, dan kadang-kadang film tua. Saya suka Larry King."
Hal Baker membuat catatan. "Anda sering menonton siaran pendidikan?" "Saya nonton PBS setiap hari Minggu." "Oh ya, Anda tinggal sendiri di sini?" "Saya tinggal berdua dengan teman saya, tapi dia tidak di sini." Berarti tak ada orang lain. Tangan Hal Baker mulai gatal. Ia mulai meraih ke dalam kantong dalam untuk melepaskan pisaunya. Ia mendengar suara langkah di lorong. Ia berhenti.
"Tadi Anda bilang saya dibayar lima ribu dolar ini?""Betul. Oh. saya lupa. Anda juga akan memperoleh pesawat TV berwarna baru." "Wah, asyik juga!"
Suara langkah di luar berlalu. Hal Baker kembali meraih ke dalam kantong dan menggenggam gagang pisau. "Boleh saya minta segelas air?"
Tentu saja." Hal Baker memperhatikan wanita itu berdiri dan menghampiri bar kecil di pojok. Ia mencabut pisau dari sarungnya dan menghampirinya.
Wanita itu sedang berkata, "Teman saya lebih sering menonton PBS daripada saya."
Hal Baker mengangkat pisau, siap menikam.
"Tapi Julia memang lebih intelektual daripada saya."
Baker tersentak kaget. "Julia?"
Teman saya yang tinggal di sini. Atau pernah tinggal di sini. Dia pergi. Waktu saya pulang tadi, saya menemukan pesan bahwa dia pergi dan belum tahu kapan akan kem?" Wanita itu membalik sambil membawa gelas berisi air, dan melihat pisau di tangan Hal Baker. "Apa?""
Ia menjerit. Hal Baker langsung membalik dan kabur.
Hal Baker menelepon Tyler Stanford. "Saya ada di Kansas City, tapi gadis itu sudah pergi."
Apa maksudmu, pergi"
Teman seapartemennya bilang dia pindah."
Tyler membisu sejenak. "Firasatku mengatakan dia menuju Boston. Kau harus segera ke sini." "Ya, Sir."
Tyler Stanford membanting gagang telepon dan mulai berjalan mondar-mandir. Tadinya segala sesuatu begitu lancar! Gadis itu harus ditemukan dan disingkirkan. Ia merupakan gangguan yang tidak bisa didiamkan. Bahkan setelah kendali Stanford Enterprises jatuh ke tangannya, Tyler tahu ia takkan bisa tidur nyenyak selama gadis itu masih hidup. Aku harus menemukan dia, ia berkata dalam hati. Harus! Tapi di mana dia"
Clark masuk. Ia tampak bingung. "Maaf, Hakim Stanford. Ada seseorang bernama Julia Stanford yang ingin bertemu dengan Anda."
319 Bab 23 Karena Kendall-lah Julia memutuskan untuk pergi ke Boston. Suatu hari, sepulang makan siang, Julia melewati toko pakaian eksklusif dan melihat gaun rancangan Kendali dipajang di jendela. Lama ia berdiri sambil mengamati gaun itu. Dia kakakku, Julia berkata dalam hati. Aku tidak boleh menyalahkan dia atas nasib ibuku. Dan aku juga tidak boleh menyalahkan kakak-kakakku yang lain. Tiba-tiba saja ia merasakan hasrat yang menggebu-gebu untuk menemui mereka, untuk berbicara dengan mereka, untuk mendapatkan keluarga yang tak pernah di-milikinya.
Ketika Julia kembali ke tempat kerjanya, ia memberi tahu Max Tolkin bahwa ia akan pergi selama beberapa hari. Sambil menahan malu ia menambahkan, "Apakah sebagian gaji saya bisa dibayar di mukai?"
Toflan tersenyum. "Tentu saja. Memang sudah waktunya kau mengambil cuti. Ini. Selamat menikmati liburanmu."
320 Mungkinkah aku akan menikmati kunjungan ini" Julia bertanya-tanya. Ataukah ini justru kesalahan besar"
Ketika Julia sampai di rumah, Sally ternyata belum pulang. Aku tidak bisa menunggu dia, Julia memutuskan. Kalau tidak berangkat sekarang juga, aku takkan pernah pergi ke sana. Ia segera berkemas dan meninggalkan pesan.
Dalam perjalanan ke terminal bus, Julia dihantui kebimbangan. Ada apa denganku" Kenapa aku mendadak mengambil keputusan ini" Kemudian ia langsung meralat pikirannya sendiri. Mendadak" Aku telah menunggu selama empat belas tahun! Semangatnya menggebu-gebu. Kira-kira seperti apa keluargaku" Ia tahu salah satu kakak laki-lakinya hakim, yang satu lagi pemain polo tersohor, sedangkan kakak perempuannya perancang terkenal. Semuanya berhasil, pikir Julia. Tapi aku" Jantung Julia berdegup-degup ketika ia membayangkan apa yang menantinya. Cepat-cepat ia naik ke bus Greyhound, dan tidak lama kemudian ia sudah berangkat.
Setelah bus itu tiba di South Station di Boston, Julia memanggil taksi.
"Ke mana, Nona?" pengemudinya bertanya.
Dan seluruh keberanian Julia lenyap seketika. Sebenarnya ia berniat menyebutkan "Rose Hill". Namun nyatanya ia berkata, "Saya tidak tahu."
Si pengemudi taksi menoleh ke belakang. "Wah, saya juga tidak tahu."
"Bagaimana kalau kita putar-putar saja" Saya belum pernah ke Boston."
Si pengemudi mengangguk. "Boleh saja,"
Mereka menyusuri Summer Street ke arah barat sampai ke Boston Common. .
Si pengemudi berkata, "Ini taman tertua di Amerika. Dulunya dipakai untuk menggantung orang."
Dan Julia seakan-akan mendengar suara ibunya. Ibu sering mengajak anak-anak ke Common di musim dingin untuk bermain sepatu luncur. Woody atlet berbakat. Coba kalau kau sempat berkenalan dengan dia, Julia. Dia begitu tampan. Dari dulu Ibu percaya dialah yang paling menonjol di antara saudara-saudaranya." Julia merasa seakan-akan ibunya berada di sampingnya.
Mereka tiba di Charles Street, pintu masuk ke Public Garden. Si pengemudi berkata, "Anda lihat patung-patung anak bebek dari perunggu itu" Percaya atau tidak, semuanya punya nama."
"Kami sering berpiknik di Public Garden. Di pintu masuknya ada delapan patung anak bebek yang lucu. Nama mereka Jack, Kack, Lack, Mack, Nnck, Ouack, Pack, dan Quack," Julia menganggapnya begitu lucu, sehingga ia sering minta ibunya mengulangi rangkaian nama itu.
Julia menatap argometer. Perjalanannya mulai mahal. "Anda tahu hotel yang tidak mahal?"
"Tentu. Bagaimana dengan Copley Square Hotel?"
- "Tolong antarkan saya ke sana." "Oke."
Lima menit kemudian mereka berhenti di depan hotel itu.
"Selamat menikmati Boston, Nona."
"Terima kasih." Apakah aku akan menikmatinya atau malah menyesal karena telah datang ke sini" Ia menghampiri pegawai muda di balik meja penerima tamu.
"Halo," pemuda itu berkata. "Bisa saya bantu?"
"Saya ingin menyewa kamar."
"Single?" "Ya." "Berapa lama Anda akan tinggal di sini?"
Julia mengerutkan kening. Satu jam" Sepuluh tahun" "Saya belum tahu."
"Baiklah." Pegawai itu mengamati rak kunci. "Saya punya kamar single yang bagus untuk Anda. Di lantai empat."
"Terima kasih." Dengan tulisan tangan yang rapi Julia mencantumkan namanya di daftar tamu. JULIA STANFORD.
Si pegawai menyerahkan kunci. "Silakan. Nikmatilah kunjungan Anda."
Kamarnya ternyata kecil, namun rapi dan bersih. Begitu selesai membongkar koper, Julia menelepon Sally.
323 "Julia" Ya Tuhan! Di mana kau?" "Di Boston."
"Kau tidak apa-apa?" Sally bertanya dengan nada histeris.
"Ya. Kenapa?" "Ada laki-laki yang mencarimu ke sini, dan sepertinya dia mau membunuhmu!" "Apa maksudmu?"
"Dia bawa pisau dan" aduh, coba kalau kau sempat lihat tampangnya"." Sally terengah-engah. "Waktu dia tahu aku bukan kau, dia langsung kabur!"
"Masa sih?" "Katanya dia bekerja untuk A.C. Nielsen, tapi waktu aku menelepon ke kantor mereka, mereka ternyata belum pernah mendengar namanya! Kau punya musuh yang ingin mencelakakanmu ?"
"Tentu saja tidak, Sally! Yang benar saja! Kau sudah melapor ke polisi?"
"Sudah. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berpesan agar aku lebih waspada."
"Hmm, pokoknya aku tidak apa-apa. Jangan kuatir,"
Ia mendengar Sally menarik napas panjang. "Baiklah. Yang penting kau selamat. Julia?"
"Berhati-hatilah, oke?"
"Tents." Sally terlalu banyak nontan TV. Mana mungkin ada orang yang mau membunuhku" "Kau sudah tahu kapan kau akan pulang?"
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan petugas penerima tamu tadi. "Belum." "Kau akan menemui keluargamu, bukan?" "Ya."
"Semoga berhasil." "Thanks, Sally."
"Kabari aku kalau sudah ada perkembangan, ya." "Beres."
Julia meletakkan gagang telepon. Ia tetap berdiri sambil memikirkan harus berbuat apa. Kalau mau pakai akal sehat, aku akan naik bus dan pulang ke Kansas City. Aku cuma membuang-buang waktu di sini. Apakah aku datang ke Boston untuk melihat-lihat kota" Tidak. Aku datang untuk menemui keluargaku. Sanggupkah aku menghadapi mereka" Tidak" Ya".
Ia duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya kacau-balau. Bagaimana kalau mereka membenciku" Aku tidak boleh berpikir begitu. Mereka akan menyayangiku, dan aku akan menyayangi mereka. Pandangannya beralih ke pesawat telepon, dan. ia berkata dalam hati, Mungkin lebih baik kalau aku telepon dulu. Tapi jangan. Bisa-bisa mereka malah tidak mau menemuiku kalau begitu. Ia menghampiri lemari pakaian dan memilih gaunnya yang paling baik. Kalau tidak sekarang, kapan lagi"
Tiga puluh menit kemudian ia sudah dalam perjalanan ke Rose Hill untuk menemui keluarganya.
Bab 24 TYLER menatap Clark seakan-akan menduga ia salah dengar. "Julia Stanford" datang ke sini?"
"Ya, Sir." Suara kepala pelayan itu pun bernada bingung. "Tapi bukan Miss Stanford yang menginap di sini"
Tyler memaksakan senyum. "Tentu saja bukan. Aku kuatir yang ini penipu."
"Penipu, Sir?" "Ya. Mereka akan berbondong-bondong ke sini, Clark, dan berusaha memperoleh bagian dari harta keluarga."
"Oh. Apakah saya perlu memanggil polisi?"
Tidak," ujar Tyler cepat-cepat. Ia tidak ingin melibatkan polisi. "Biar aku saja yang menangani urusan ini. Suruh dia ke ruang baca."
"Baik, Sir." Tyler memeras otak. Akhirnya Julia Stanford yang asli muncul juga. Untung saja para anggota keluarga yang lain sedang tidak ada di rumah,
sehingga Tyler leluasa mengusir tamu yang tidak diharapkan itu.
Tyler memasuki ruang baca. Julia sedang berdiri di tengah ruangan dan menatap lukisan potret Harry Stanford. Tyler mengamati wanita itu sejenak. Ia cantik sekali. Sayang"
Julia membalik dan melihatnya. "Halo."
"Halo." "Kau pasti Tyler." "Betul. Siapa Anda?"
Senyum Julia langsung lenyap. "Kau belum?" Aku Julia Stanford."
"Oh ya" Maaf, tapi apakah Anda mempunyai bukti?"
"Bukti" Ehm, ya" aku" maksudku" bukan bukti. Aku hanya berasumsi?"
Tyler mendekat. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini?"
"Aku memutuskan sudah waktunya aku menemui keluargaku." "Setelah 26 tahun?" "Ya."
Penampilan dan cara bicara wanita itu tidak menyisakan sebersit pun keraguan dalam benak Tyler. Wanita di hadapannya memang Julia Stanford; ia berbahaya dan harus segera disingkirkan.
Tyler memaksakan senyum. "Hmrn, Anda tentu mengerti bahwa ini sangat mengejutkan bagi saya. Maksud saya, Anda tiba-tiba muncul dan?"
327 "Aku tahu. Dan aku minta maaf. Seharusnya aku menelepon dulu."
Tyler pura-pura berbasa-basi, "Anda datang seorang diri ke Boston?"
"Ya." "Apakah ada orang yang tahu Anda ada di sini?"
"Tidak. Kecuali teman seapartemenku, Sally, di Kansas City"." "Di mana Anda menginap?" "Di Copley Square Hotel." "Hotel bagus. Di kamar berapa?" "Empat sembilan belas."
"Baiklah. Bagaimana kalau Anda kembali dulu ke hotel, dan menunggu kami di sana" Saya perlu menyiapkan Woody dan Kendali untuk kejutan Anda. Mereka pasti sama kagetnya seperti saya."
"Sekali lagi maaf. Seharusnya aku?"
"Tidak apa-apa. Sekarang kita sudah bertemu, dan saya yakin semua persoalan bisa kita luruskan."
"Terima kasih."
"Sama-sama" Julia," Tyler nyaris tersedak ketika mengucapkan kata itu. "Saya akan memanggil taksi untuk Anda."
Lima menit kemudian, wanita itu sudah pergi.
Hal Baker bara saja kembali ke kamar hotelnya di pusat kota Boston ketika pesawat teleponnya berdering. Ia segera mengangkatnya.
"Hal?" "Maaf, Pak Hakim, tapi saya belum punya berita baru. Saya sudah menjelajahi seluruh kota. Saya pergi ke bandara dan?"
"Dia ada di sini, tolol!"
"Apa?" "Dia ada di Boston. Dia menginap di Copley Square Hotel, Kamar 419. Malam ini juga dia harus dibereskan. Dan jangan sampai ada kesalahan lagi, mengerti?"
"Kejadian di Kansas City bukan?"
"Mengerti?" "Ya, Sir." "Kalau begitu, kerjakan tugasmu!" Tyler membanting gagang telepon. Ia pergi mencari Clark.
"Clark, soa]^ wanita muda yang datang ke sini dan mengaku adikku?"
"Ya, Sir?" "Jangan katakan apa-apa kepada para anggota keluarga. Aku tidak ingin mereka kaget." "Saya mengerti, Sir."
Julia jalan kaki ke The Ritz-Carlton untuk makan malam. Hotel itu indah sekali, persis seperti yang digambarkan ibunya. Pada hari Minggu, Ibu biasa mengajak anak-anak sarapan di sana. Julia duduk di ruang makan dan membayangkan ibunya bersama Tyler, Woody, dan Kendall yang masih kecil. Coba kalau aku bisa menghabiskan masa kanak-kanak bersama mereka, ia berkata dalam hati. Tapi paling
329 tidak, aku akan bertemu mereka sekarang. Julia agak
terpukul karena sambutan Tyler. Kakaknya itu begitu" dingin. Tapi itu wajar saja, pikirnya. Tiba-tiba saja ada orang asing yang berkata, "Aku adikmu." Tentu saja dia curiga. Tapi aku percaya aku sanggup meyakinkan mereka.
Julia membelalakkan mata ketika menerima bon. Aku harus lebih hati-hati. Kalau aku terus menghambur-hamburkan uang, bisa-bisa uangku tidak cukup untuk beli karcis bus pulang ke Kansas City.
Ia meninggalkan The Ritz-Carlton tepat ketika sebuah bus wisata hendak berangkat. Tanpa pikir panjang ia menaiki bus itu. Ia ingin melihat sebanyak mungkin kota ibunya.
Hal Baker memasuki lobi Copley Square Hotel. Ia bersikap seperti tamu hotel dan langsung naik tangga ke lantai empat. Kali ini ia takkan melakukan kesalahan. Kamar 419 terletak di tengah-tengah koridor. Hal Baker memantau keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain, lalu mengetok pinta. Tak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi. "Miss Stanford?" Tetap tak ada yang menyahut.
Ia mengeluarkan kotak kecil dari saku dan memilih sebuah pencungkil. Dalam beberapa detik saja pintu Kamar 419 telah terbuka. Hal Baker melangkah masuk dan menutup pintu kembali. Kamar itu kosong.
"Miss Stanford?"
Ia masuk ke kamar mandi. Kosong. Ia kembali ke kamar tidur. Ia mengambil pisau dari kantong, menggeser kursi ke belakang pintu, lalu duduk dalam kegelapan, menunggu. Satu jam kemudian ia mendengar suara langkah mendekat.
Hal Baker segera bangkit dan berdiri di belakang pintu, dengan pisau di tangan. Ia mendengar kunci diputar, dan pinta mulai membuka. Hal Baker bersiap-siap. Pisaunya terangkat tinggi-tinggi, siap menikam. Julia Stanford melangkah masuk dan menyalakan lampu. Hal Baker mendengarnya berkata, "Baiklah. Silakan masuk."
Serombongan wartawan menyerbu ke dalam kamar.
sbook by otoy untuk koleksi pribadi.dilarang keras memperjual belikan ebbok ini karena dilindungi oleh undang undang ottoys@yahoo.com
Bab 25 ORANG yang tanpa sengaja telah menyelamatkan nyawa Julia adalah Gordon Wellman, night manager Copley Square Hotel. Ia mulai bertugas pukul enam sore, dan seperti biasa ia membaca daftar tamu. Ketika melihat nama Julia Stanford, ia langsung membelalakkan mata. Sejak kematian Harry Stanford, semua koran penuh dengan artikel-artikel mengenai keluarga Stanford. Skandal lama Harry Stanford dengan pengasuh anak-anaknya serta bunuh diri istrinya pun diungkit-ungkit kembali. Harry Stanford mempunyai anak tidak sah bernama Julia. Menurut kabar burung, wanita muda itu diam-diam berkunjung ke Boston. Tak lama setelah berbelanja di sejumlah toko, ia dikabarkan bertolak ke Amerika Selatan. Sekarang tampaknya ia telah kembali. Dan dia tinggal di hotelku! pikir Gordon Wellman dengan gembira.
la berpaling kepada petugas penerima tamu. "Kau sadar betapa besar nilai publisitasnya untuk hotel kita?"
Semenit kemudian ia sudah berbicara melalui telepon dengan pers.
Ketika Julia kembali ke hotel setelah berkeliling kota, lobi hotel dipadati wartawan yang telah menunggunya. Begitu melangkah masuk, ia segera diserbu.
"Miss Stanford! Saya dari The Boston Globe. Kami telah mencari Anda, tapi diberitahu Anda ke luar kota. Bisakah Anda menjelaskan?""
Sebuah kamera TV sedang membidiknya. "Miss Stanford, saya dari WCVB-TV. Kami ingin memperoleh pernyataan Anda"."
"Miss Stanford, saya wartawan The Boston Phoenix. Kami ingin tahu tanggapan Anda tentang?"
"Tolong menoleh ke sini, Miss Stanford! Senyum! Terima kasih."
Belasan lampu kilat berkelap-kelip.
Julia bingung. Oh, Tuhan, ia berkata dalam hati. Keluargaku akan mengira aku mencari publisitas. Ia berpaling kepada para wartawan. "Maaf, tapi tak ada yang bisa saya katakan kepada Anda."
Ia kabur ke lift. Para kuli tinta langsung mengejarnya.
"Majalah People akan menurunkan artikel tentang perjalanan hidup Anda. Para pembaca kami ingin tahu bagaimana rasanya terpisah selama 25 tahun dari keluarga Anda"."
"Kabarnya Anda sempat pergi ke Amerika Selatan"."
"Anda akan menetap di Boston?"" "Kenapa Anda tidak tinggal di Rose Hill?"" Julia meninggalkan lift di lantai empat dan bergegas menyusuri koridor. Para wartawan tetap menguntitnya. Ia tidak bisa lolos dari mereka.
Julia mengambil kunci dan membuka pintu kamarnya. Ia melangkah masuk dan menyalakan lampu. "Baiklah. Silakan masuk."
Hal Baker, yang bersembunyi di belakang pintu sambil menggenggam pisau, terbengong-bengong. Ketika para wartawan melewatinya sambil saling mendesak, ia segera menyimpan pisaunya dan bergabung dengan rombongan itu.
Julia berpaling kepada para wartawan. "Oke. Satu per satu."
Hal Baker mengenakkan gigi karena kecewa. Ia mundur ke pintu dan menyelinap keluar. Hakim Stanford takkan senang.
Selama tiga puluh menit berikut Julia menjawab semua pertanyaan sebaik mungkin, sampai semua wartawan merasa puas dan pergi. Julia mengunci pintu dan langsung pergi tidur.
Keesokan pagi, semua stasiun TV dan koran menampilkan berita mengenai Julia Stanfotd. Dengan geram Tyler membaca semua artikel
yang disajikan koran-koran. Woody dan Kendali
menemaninya di meja makan.
Siapa perempuan yang mengaku sebagai Julia Stanford itu?" tanya Woody.
"Dia penipu," Tyler menyahut cepat-cepat. "Dia datang ke sini kemarin dan menuntut diberi uang, tapi aku mengusirnya. Aku tidak menyangka dia akan mencari publisitas murahan seperti ini. Tapi jangan kuatir. Aku akan membereskan semuanya."
Ia menelepon Simon Fitzgerald. "Sudah baca koran pagi ini?" "Sudah."
J "Penipu ini mengaku kepada pers bahwa dia adik kami."
Fitzgerald berkata, "Anda ingin dia ditangkap polisi?"
"Tidak! Itu justru akan memperburuk keadaan. Saya minta Anda menyuruh dia meninggalkan kota Boston."
"Baik. Saya akan mengaturnya, Hakim Stanford."
"Terima kasih."
Simon Fitzgerald memanggil Steve Sloane.
"Ada masalah," ia memberitahunya.
Steve mengangguk. "Aku tahu. Beritanya ada di TV dan di koran-koran. Siapa dia?"
"Rupanya seseorang yang berharap bisa memperoleh bagian dari hatta keluarga. Hakim Stanford minta kita menyuruh dia pergi. Kau bisa menanganinya?"
335 "Dengan senang hati," sahut Steve.
Satu jam setelah itu, Steve mengetuk pintu kamar Julia.
Ketika Julia membuka pintu dan melihat pria yang tak dikenalnya, ia berkata, "Maaf, saya tidak mau lagi bicara dengan wartawan. Saya?"
"Saya bukan wartawan. Bolehkah saya masuk?"
"Siapa Anda?" "Nama saya Steve Sloane. Saya bekerja untuk kantor pengacara yang mengurus warisan Harry Stanford."
"Oh, begitu. Ya. Mari."
Steve melangkah masuk. "Anda memberitahu pers bahwa Anda Julia Stanford?"
"Saya kaget karena diserbu seperti itu. Saya tidak" menyangka saya akan dicegat wartawan, dan?"
"Tapi Anda mengaku putri Harry Stanford?"
"Ya. Saya memang anaknya."
Steve menatap Julia dan berkata dengan sinis, "Tentunya Anda mempunyai bukti untuk mendukung pernyataan Anda."
"Ehm, tidak," ujar Julia pelan-pelan. "Saya tidak punya bukti."
"Masa?" Steve mendesak. "Anda tidak mungkin datang ke sini tanpa membawa bukti apa pun." Ia ingin membongkar kedok wanita itu dengan kebohongannya sendiri.
"Saya tidak punya apa-apa," jawab Julia.
Steve menatapnya dengan heran. Wanita itu tidak seperti yang dibayangkannya. Ia memancarkan kepolosan yang membuat lawan bicaranya tak berdaya. Kelihatannya dia cerdas. Dia tidak mungkin begitu bodoh sehingga berani mengaku putri Harry Stanford tanpa membawa bukti sama sekali!
"Sayang sekali," ujar Steve. "Hakim Stanford minta Anda segera meninggalkan kota."
Julia membelalakkan mata. "Apa?"
"Anda diminta meninggalkan kota."
"Tapi" saya tidak mengerti. Saya bahkan belum sempat bertemu dengan kedua kakak saya yang lain."
Dia nekat mempertahankan sandiwaranya, pikir Steve. "Begini, saya tidak tahu siapa Anda, atau apa rencana Anda, tapi yang jelas, perbuatan Anda bisa menyebabkan Anda masuk penjara. Kami masih
memberikan kesempatan kepada Anda. Perbuatan Anda melanggar hukum. Anda boleh memilih: meninggalkan Boston dan berhenti mengganggu keluarga Stanford, atau kami akan minta Anda ditangkap."
Julia terbengong-bengong. "Ditangkap" Saya" saya?"
"Keputusannya ada di tangan Anda." "Mereka tidak ingin bertemu saya?" tanya Julia, seakan-akan tidak percaya.
"Sebenarnya, bukan sekadar itu."
Julia menarik napas panjang. "Baiklah. Kalau
337 itu yang mereka inginkan, saya akan pulang ke Kansas. Saya berjanji takkan menghubungi mereka lagi."
Kansas. Perjalanan yang cukup Jauh. "Sebaiknya memang begitu." Sejenak Steve Sloane menatapnya dengan bingung. "Hmm, selamat jalan."
Julia tidak menyahut. Steve berada di ruang kerja Simon Fitzgerald.
"Kau bertemu wanita itu, Steve?"
"Ya. Dia akan pulang." Steve tampak galau.
"Bagus. Aku akan memberitahu Hakim Stanford. Dia pasti akan senang."
"Terus terang, Simon, aku masih penasaran."
"Kenapa?" "Anjingnya tidak menyalak." "Maaf?"
"Cerita Sherlock Holmes itu. Kunci misterinya justru sesuatu yang tidak terjadi."
"Steve, apa hubungannya dengan?""
"Dia datang ke sini tanpa membawa bukti."
Fitzgerald menatapnya dengan heran. "Aku tidak mengerti. Itu semakin membuktikan bahwa dia penipu."
"Justru sebaliknya. Mana mungkin seseorang datang dari jauh, dari Kansas, dan mengaku putri Harry Stanford tanpa membawa bukti apa pun?" "Di dunia ini banyak orang aneh, Steve." "Seandainya kau sempat bertemu dia, kau akan
tahu dia tidak gila. Dan masih ada beberapa hal lain yang mengusikku, Simon." "Ya?"
"Jenazah Harry Stanford lenyap". Waktu aku mau minta keterangan dari Dmitri Kaminsky, satu-satunya orang yang menyaksikan kecelakaan yang dialami Harry Stanford, dia sudah menghilang". Dan sepertinya tak ada yang tahu ke mana Julia Stanford yang pertama."
Simon Fitzgerald mengerutkan kening. "Jadi?"
Steve berkata pelan-pelan, "Ada sesuatu yang perlu diselidiki. Aku akan bicara lagi dengan wanita itu."
Steve Sloane memasuki lobi Copley Square Hotel dan menghampiri meja penerima tamu. "Tolong panggilkan Miss Julia Stanford."
Pegawai di balik meja menoleh. "Oh, maaf. Miss Stanford sudah pergi."
"Apakah dia meninggalkan alamat tempat dia bisa dihubungi?"
"Tidak, Sir. Sayang sekali."
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Steve mengenakkan gigi. Tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Hmm, mungkin aku memang keliru, ia berusaha menghibur diri. Kelihatannya dia memang penipu. Sayangnya aku takkan pernah tahu pasti. Ia membalik dan melangkah ke jalan. Penjaga pintu sedang mengantar sepasang tamu ke taksi.
"Maaf," Steve menyapanya.
Si penjaga pintu menoleh. "Perlu taksi, Sir?"
"Tidak. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu. Apakah Anda melihat Miss Stanford meninggalkan hotel tadi?"
"Ya. Semua orang memperhatikannya. Dia cukup terkenal. Saya sempat memanggilkan taksi untuknya."
"Anda tentu tidak tahu ke mana dia pergi?" Steve menahan napas.
"Oh, saya tahu. Saya sempat memberitahukan tujuannya kepada pengemudi taksi itu."
"Dan ke mana itu?" Steve mendesak.
"Ke terminal bus Greyhound di South Station. Saya agak heran kenapa orang sekaya itu menggunakan?"
"Tolong panggilkan taksi."
Steve masuk ke terminal bus Greyhound yang penuh orang dan memandang berkeliling. Namun Julia tidak kelihatan. Dia sudah pergi, pikir Steve kecewa. Seorang petugas sedang mengumumkan bus-bus yang akan berangkat, ?"dan Kansas City," orang ku berkata melalui pengeras suara. Steve segera bergegas ke peron.
Julia baru hendak menaiki bus.
"Tunggu!" seru Steve.
Julia menoleh. Ia tampak terkejut.
Steve bergegas menghampirinya. "Saya ingin bicara dengan Anda."
Julia menatapnya dengan gusar. "Tak ada lagi
yang perlu dibicarakan." Ia kembali berpaling ke pintu bus.
Steve meraih lengannya. "Tunggu dulu! Ada hal penting yang harus kita bicarakan."
"Bus saya sudah mau berangkat."
"Masih ada bus lain."
"Koper saya sudah dimasukkan ke bagasi."
Steve berpaling kepada petugas angkat barang. "Wanita itu mau melahirkan. Keluarkan kopernya. Cepat!"
Petugas itu menatap Julia dengan heran. "Oke." Cepat-cepat ia membuka bagasi. "Yang mana koper Anda?"
Julia menoleh ke arah Steve. "Anda serius?"
"Ya," jawab Steve.
Julia mengamatinya sejenak, lalu mengambil keputusan. Ia menunjuk kopernya. "Yang itu."
Petugas tadi langsung mengeluarkannya. "Perlu saya panggilkan ambulans?"
"Tidak. Terima kasih."
Steve mengangkat koper Julia, dan mereka menuju pintu keluar. "Anda sudah sarapan?"
"Saya tidak lapar," Julia menyahut dengan dingin.
"Anda harus makan sesuatu. Jangan lupa, Anda kini makan untuk dua orang."
Mereka sarapan di Julien. Julia duduk berseberangan dengan Steve. Sekujur tubuhnya kaku karena amarah.
Setelah memesan makanan, Steve berkata, "Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Atas dasar apa Anda menyangka bisa memperoleh bagian dari warisan Stanford, tanpa bukti apa pun mengenai identitas Anda?"
Julia menatapnya dengan gusar. "Saya tidak bermaksud menuntut bagian dari warisan itu. Ayah saya pasti tidak meninggalkan apa-apa untuk saya. Saya ingin bertemu keluarga saya. Tapi rupanya mereka tidak berminat bertemu saya."
"Barangkali Anda punya dokumen" atau bukti apa pun mengenai identitas Anda?"
Julia teringat kliping-kliping yang menumpuk di apartemennya dan menggelengkan kepala. "Tidak. Saya tidak punya apa-apa."
"Ada seseorang yang ingin saya perkenalkan kepada Anda."
"M Simon Fitzgerald." Steve tampak ragu. "Ehm?" "Julia Stanford."
Fitzgerald berkata, "Silakan duduk, Miss." Julia duduk di ujung kursi, siap berdiri lagi dan pergi.
Fitzgerald mengamatinya. Wanita itu bermata kelabu tua, ciri khas keluarga Stanford, tapi banyak orang mempunyai mata berwarna sama. "Menurut pengakuan Anda, Anda putri Rosemary Nelson."
"Saya tidak mengaku apa-apa. Saya memang putri Rosemary Nelson/"
"Dan di mana ibu Anda?" "Dia meninggal beberapa tahun lalu." "Oh, maaf. Bisakah Anda bercerita sedikit tentang dia?"
"Tidak," balas Julia. "Saya tidak mau membicarakan ibu saya." Ia berdiri. "Saya mau pulang saja."
"Kami berusaha membantu Anda," ujar Steve.
Julia menoleh ke arahnya. "Oh ya" Keluarga saya tidak mau bertemu saya. Anda mau menyerahkan saya ke polisi. Saya tidak butuh bantuan seperti itu." Ia mulai menuju pintu.
Steve berusaha mencegahnya. "Tunggu! Kalau Anda memang putri Harry Stanford, pasti ada sesuatu yang bisa membuktikannya."
"Saya sudah bilang, saya tidak punya bukti sama sekali," Julia menyahut. "Ibu saya dan saya menyingkirkan Harry Stanford dari hidup kami."
"Seperti apa ibu Anda?" Simon Fitzgerald bertanya.
"Dia cantik sekali," kata Julia. Nada suaranya melunak. "Dia begitu lembut?" Ia teringat sesuatu. "Saya punya fotonya." Ia melepaskan liontin emas berbentuk hati dari leher, dan menyerahkannya kepada Fitzgerald.
Sejenak Fitzgerald mengamati Julia, kemudian ia membuka liontin itu. Di satu sisi ada foto Harry Stanford, di sisi yang satu lagi foto Rosemary Nelson. Tulisan graver di bawahnya berbunyi;
343 IUNTUK RJN. PENUH CINTA, H.S. Tahu tercantum adalah 1969. n Simon Fitzgerald terus menatap liontin d" ngannya. Ketika ia menoleh dan anplr"* u-1 ta~ _, ,&Kat bicara
suaranya terdengar parau. "
"Tampaknya kami harus minta maaf ke Anda." Ia berpaling kepada rekannya. "Steve Julia Stanford yang asli." " Ini
344 Bab 26 KENDALL tidak sanggup melupakan percakapannya dengan Peggy. Kakak iparnya itu rupanya tidak mampu mengatasi situasi yang dihadapinya. "Dia berusa/ia keras". Aku betul-betul cinta padanya?"
Woody butuh bantuan, pikir Kendali. Aku harus melakukan sesuatu. Dia kakakku. Aku harus bicara dengan dia.
Kendali mencari Clark. "Mr. Woodrow ada di rumah?"
"Ya, Miss Kendall. Kalau tidak salah, dia ada di kamarnya."
"Terima kasih."
Kendali teringat adegan di meja makan, ketika Peggy muncul dengan wajah lebam. "Kenapa kau?" "Aku menabrak pintu"." Bagaimana*dia bisa tahan selama ini" Kendali naik ke lantai atas dan mengetuk pintu kamar Woody. Tak ada jawaban. "Woody?"
Ia membuka pintu dan melangkah masuk, seketika tercium bau kenari. Kendali berhenti sejenak, lalu menuju ke arah kamar mandi. Melalui pintu yang terbuka, ia melihat Woody sedang memanaskan heroin di atas sepotong kertas alumj. mum. Ketika obat bius itu mulai mencair dan menguap, Woody menghirup uapnya melalui sedotan yang ditempelkan ke mulutnya.
Kendali masuk ke kamar mandi. "Woody?""
Woody menoleh dan menyeringai. "Hai!" Ia kembali membalik dan menghirup uap heroin.
"Demi Tuhan! Hentikan itu!"
"Hei, tenang saja. Kau tahu apa namanya ini" Mengejar naga. Kaulihat naga kecil yang melingkar-lingkar di tengah asap?" Ia tersenyum bahagia.
"Woody, aku mau bicara denganmu."
"Boleh saja. Apa yang bisa kulakukan untukmu" Pasti bukan soal uang. Kita semua jutawan! Kenapa kau begitu murung" Matahari bersinar cerah, dan hari ini indah sekali." Matanya berkilau-kilau.
Kendali menatapnya dengan iba. "Woody, aku sempat bicara dengan Peggy. Dia cerita bagaimana kau mulai kecanduan obat di rumah sakit."
Woody mengangguk. "Yeah. Dan aku mengucap syukur."
"Seharusnya kau justru menyesal. Kau tidak sadar apa yang kaulakukan terhadap dirimu?"
"Tentu saja aku sadar. Aku menikmati hidup!"
Kendali meraih tangan kakaknya dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Kau butuh bantuan."
"Aku" Aku tidak butuh bantuan. Aku tidak apa-apa."
"Itu tidak benar. Dengarkan aku, Woody. Yang kita bicarakan adalah hidupmu, dan bukan hidupmu saja. Coba pikirkan Peggy. Selama bertahun-tahun dia harus hidup seperti di neraka, dan dia tetap bertahan karena dia mencintaimu. Kau bukan saja menghancurkan hidupmu, kau juga menghancurkan hidup Peggy. Kau harus menghentikan kebiasaanmu, sekarang juga, sebelum terlambat. Kenapa kau sampai kecanduan, itu tidak penting. Yang penting kau harus berhenti."
Senyum Woody menghilang. Ia menatap mata Kendali dan mulai mengatakan sesuatu, namun kemudian berhenti. "Kendali?"
"Ya?" Woody menjilat bibir. "Aku" aku tahu kau benar. Aku sendiri juga mau berhenti. Aku sudah berusaha. Sungguh. Tapi aku tidak sanggup."
"Tentu saja kau sanggup," Kendali membantah dengan tegas. "Kau pasti bisa, Woody. Peggy dan aku mendukungmu. Siapa yang menyediakan heroin untukmu?"
Woody menatapnya dengan heran. "Ya Tuhan! Kau belum tahu?"
Kendali menggelengkan kepala. "Belum."
"Peggy." 347 Bab 27 SIMON FITZGERALD masih terus mengamati liontin emas di tangannya. "Aku sempat mengenal ibumu, Julia, dan aku suka padanya. Dia begitu baik terhadap anak-anak Stanford, dan mereka memujanya."
"Dia pun begitu terhadap mereka," balas Julia. "Dia sering bercerita mengenai mereka."
"Nasib ibumu memang tragis sekali. Kau tidak bisa membayangkan betapa menggemparkan skandal itu. Dalam hal-hal tertentu, Boston tak ubahnya kota kecil. Harry Stanford bersikap sangat buruk. Ibumu tidak punya pilihan selain pergi." Fitzgerald menggelengkan kepala. "Kehidupan kalian berdua pasti sangat sulit."
"Ibu saya memang menderita. Dan yang paling menyakitkan, saya rasa dia tetap mencintai Harry Stanford." Ia menatap Steve. "Saya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa keluarga saya tidak mau bertemu saya?"
Kedua pria itu bertukar pandang. "Begini," ujar
Steve. Ia berhenti sejenak untuk mencari kata-kata yang tepat. "Beberapa waktu lalu, seorang wanita muncul di sini dan mengaku sebagai Julia Stanford."
"Tapi itu tidak mungkin!" ujar Julia. "Saya?"
Steve mengangkat sebelah tangan. "Saya tahu. Keluarga Anda menyewa detektif swasta untuk menyelidiki identitas wanita tersebut."
"Dan kemudian terbukti dia bukan Julia Stanford."
"Justru sebaliknya. Detektif itu membuktikan dia memang Julia Stanford."
Julia membelalakkan mata. "Apa?"
"Detektif itu melaporkan bahwa ia mendapatkan sidik jari yang katanya diambil ketika Julia Stanford berumur tujuh belas dan membuat SIM di San Francisco. Sidik jari itu sama dengan sidik jari wanita yang mengaku sebagai Julia Stanford."
Julia semakin bingung. "Tapi saya" saya belum pernah ke California."
Fitzgerald berkata, "Julia, yang kita hadapi mungkin suatu persekongkolan canggih untuk memperoleh bagian dari harta keluarga Stanford. Dan kelihatannya kau terjebak di tengah-tengahnya."
"Ya ampun!" "Siapa pun dalangnya, dia tidak mungkin membiarkan dua Julia Stanford berkeliaran."
Steve menambahkan, "Satu-satunya jalan agar rencana ini berjalan mulus adalah dengan menyingkirkan Anda."
349 "Yang Anda maksud dengan "menyingkirkan?"" Julia berhenti karena teringat sesuatu. "Oh, Tuhan!"
"Ada apa?" tanya Fitzgerald.
"Dua malam lalu saya menelepon teman saya, Sally, dan dia histeris. Dia bilang ada laki-laki yang mendatangi apartemen kami dan berusaha membunuhnya dengan pisau. Orang itu pikir Sally adalah saya!" Julia nyaris tak sanggup berbicara. "Siapa" siapa yang mengatur semuanya ini?"
"Seandainya saya disuruh menebak, saya akan mengatakan salah satu anggota keluarga Anda," ujar Steve. "Tapi" kenapa"
"Harry Stanford mewariskan uang dalam jumlah teramat besar, dan dalam beberapa hari surat wasiatnya akan disahkan di pengadilan."
"Apa hubungannya dengan saya" Ayah saya tak pernah mengakui saya sebagai anaknya. Dia tidak mungkin meninggalkan sesuatu untuk saya."
Fitzgerald meralatnya, "Sebenarnya, kalau kita bisa membuktikan identitasmu, bagianmu dari warisannya bernilai lebih dari satu miliar dolar."
Julia terbengong-bengong. Akhirnya ia berkata, "Satu miliar dolar?"
"Betul. Tapi rupanya ada orang lain yang mengincar uang tersebut. Karena itulah kau terancam bahaya."
"Hmm, begitu." Julia menatap mereka, dan ia mulai panik. "Apa yang harus saya lakukan?"
350 "Saya tahu apa yang tidak boleh Anda lakukan," sahut Steve. "Anda tidak boleh kembali ke hotel Anda. Saya minta Anda bersembunyi sampai kita tahu apa yang sedang terjadi."
"Saya bisa pulang ke Kansas sampai?"
Fitzgerald berkata, "Kukira lebih baik kalau kau tetap tinggal di sini, Julia. Kami akan mencarikan tempat persembunyian bagimu."
"Dia bisa tinggal di rumahku," Steve mengusulkan. "Takkan ada yang mencarinya di sana."
Kedua pria itu menoleh ke arah Julia.
Wanita itu tampak ragu-ragu. "Ehm" baiklah. Terima kasih."
"Oke." Julia berkata pelan-pelan, "Semuanya ini takkan terjadi kalau saja ayah saya tidak mengalami kecelakaan di laut."
"Oh, saya kira itu bukan kecelakaan," ujar Steve. "Saya kira dia sengaja didorong."
Mereka menggunakan lift servis untuk turun ke lantai parkir gedung perkantoran itu, lalu masuk ke mobil Steve.
"Tak seorang pun boleh melihat Anda," Steve menegaskan. "Kita harus menyembunyikan Anda selama beberapa hari berikut ini."
Mereka mulai menyusuri State Street.
"Bagaimana kalau kita.makan siang dulu?"
Julia menatapnya sambil tersenyum. "Sepertinya Anda menyangka saya selalu kelaparan."
351 "Saya tahu restoran yang tidak ramai di rumah tua di Gloucester Street. Saya yakin takkan ada yang melihat kita di sana."
L"Espalier terletak di rumah anggun peninggalan abad ke-19, dan menampilkan pemandangan yang memukau. Steve dan Julia disambut oleh sang captain ketika mereka masuk.
"Selamat siang," orang itu menyapa mereka. "Silakan ikut saya. Saya punya meja bagus di dekat jendela untuk Anda."
"Kalau Anda tidak keberatan," sahut Steve, "kami lebih suka meja yang menempel ke dinding."
Kepala pelayan ku mengejapkan matanya. "Menempel ke dinding?"
"Ya. Kami menginginkan privasi."
"Tentu saja." Ia mengajak mereka ke sebuah meja sudut. "Saya akan menyuruh pelayan ke sini." Ia mengamati Julia, dan tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. "Ah! Miss Stanford. Kunjungan Anda merupakan kehormatan bagi kami. Saya melihat foto Anda di koran."
Julia menatap Steve dengan pandangan bertanya-tanya.
Steve berseru, "Ya ampun! Anak-anak masih di mobil! Kasihan mereka." Ia segera berdiri dan menarik Julia. Dan kepada sang captain ia berseru, "Kami minta dua martini, jangan pakai buah zaitun. Kami akan segera kembali."
"Baik, Sir." Sang captain memperhatikan mereka bergegas meninggalkan restoran. "Ada apa?" tanya Julia.
"Kita harus pergi dari sini. Orang itu tinggal menelepon pers, dan kita akan dikeroyok wartawan. Kita pergi ke tempat lain saja."
Mereka menemukan restoran kecil di Dalton Street dan memesan makan siang.
Steve duduk sambil mengamati Julia. "Bagaimana rasanya jadi orang terkenal?"
"Tolong jangan bergurau tentang itu. Saya merasa serba salah."
"Saya tahu," Steve berkomentar dengan nada menyesal. "Maaf." Ia merasa nyaman di dekat Julia. Ia teringat sikapnya yang kasar saat mereka pertama kali bertemu.
"Menurut" menurut Anda saya betul-betul dalam bahaya, Mr. Sloane?" tanya Julia.
Misteri Kereta Api Biru 3 Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat Tumpahan Darah Di Supit 1
dalam hati. Polisi pasti akan mencarinya. Cepat-cepat ia naik ke mobilnya dan berangkat lagi.
Sepanjang sisa perjalanan ke New York ia terus melirik ke kaca spion. Begitu sampai, ia segera masuk ke gedung parkir di Ninety-sixth Street tempat ia biasa menaruh mobilnya. Sam, pemilik gedung parkir itu, sedang mengobrol dengan Red, montirnya. Kendali turun dari mobil.
"Malam, Mrs. Renaud," Sam menyapanya.
"Se" selamat malam." Kendali berusaha keras agar giginya tidak gemeletuk.
"Mobil Anda mau diparkir?"
"Ya" ya, tolong."
Red memperhatikan bumper depan. "Bumper mobil Anda penyok, Mrs. Renaud. Dan sepertinya ada darahnya."
Kedua pria itu menatap Kendali.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ya. Saya" saya menabrak rusa di jalan raya."
"Anda beruntung kerusakannya tidak seberapa parah," ujar Sam. "Teman saya pernah menabrak rusa, dan mobilnya hancur." Ia meringis. "Rusanya juga tidak bisa dikatakan sehat."
"Parkirkan saja mobil saya," Kendali berkata dengan tegang.
"Tentu." Kendali berjalan ke pintu keluar gedung parkir, lalu menoleh ke belakang. Kedua pria itu sedang mengamati bumper mobilnya.
Ketika Kendall sampai di rumah dan menceritakan kecelakaan yang dialaminya kepada Marc, Marc segera merangkulnya dan berkata, "Oh, ya Tuhan. Bagaimana?"
Kendali tersedu-sedu. "Aku" aku tidak sempat menghindar. Dia menyeberang persis di depanku. Dia., dia baru selesai memetik bunga dan?"
"Ssst. Aku yakin ini bukan salahmu. Ini semata-mata kecelakaan. Kita hams melapor ke polisi."
"Aku tahu. Kau benar. Seharusnya" seharusnya aku menunggu di sana sampai mereka datang. Tapi" aku panik, Marc. Sekarang kecelakaan ini pasti dianggap tabrak lari. Tapi toh tak ada yang bisa kulakukan untuk dia. Dia sudah mati. Aduh, Marc, bagaimana ini?"
Marc teras memeluknya, sampai ia menjadi tenang.
Ketika Kendali angkat bicara lagi, ia bertanya dengan hati-hati, "Marc" apakah kita harus melapor ke polijiT
Marc mengeratkan kening. "Apa maksudmu?"
Kendali berjuang melawan perasaan kalut yang mulai menguasai dirinya. "Ebm, masalah ini sudah selesai, bukan" Dia sudah mati dan tidak mungkin hidup lagi. Apa untungnya polisi kalau mereka menghukumku" Aku tidak sengaja menabraknya.
Kenapa kita tidak bisa bersikap seakan-akan ini tak pernah terjadi?"
"Kendali, kalau mereka sampai berhasil melacak?"
"Tidak mungkin. Tak seorang pun melihat kejadiannya."
"Bagaimana dengan mobilmu" Mobilmu rusak?"
"Bumpernya penyok. Petugas gedung parkir sempat menanyakannya, tapi kubilang aku menabrak rusa." Ia berjuang keras untuk mengendalikan diri. "Marc, tak seorang pun melihat kecelakaan itu". Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku ditangkap dan dimasukkan ke penjara" Aku akan kehilangan usahaku, semua yang kubangun selama bertahun-tahun, dan untuk apa" Untuk sesuatu yang sudah terjadi! Urusan ini sudah selesai!" Ia kembali terisak-isak.
Marc mendekapnya erat-erat. "Sst! Kita lihat saja nanti. Kita lihat saja."
Koran-koran pagi menempatkan berita mengenai kecelakaan tersebut di halaman pertama. Kejadian nahas itu bertambah tragis karena wanita yang tewas ternyata sedang dalam perjalanan ke Manhattan untuk menikah. The New York Times melipurnya Sebagai berita biasa, tapi Daily News dan Newsday melaporkannya sebagai drama yang mengharukan.
Kendali membeli ketiga koran tersebut, dan ia semakin galau memikirkan perbuatannya. Pikirannya dipenuhi berbagai "kalau saja" yang menyiksa.
265 Kalau saja aku tidak pergi ke Connecticut untuk pesta temanku"
Kalau saja aku tetap di rumah"
Kalau saja aku tidak minum sampanye"
Kalau saja wanita itu sedikit lebih lama memetik bunga"
Aku bertanggung jawab atas kematian orang lain!
Kendali membayangkan dukacita yang melanda keluarga wanita itu, dan juga keluarga tunangannya, dan ia kembali dicekam penyesalan yang mendalam. Semua koran menyebutkan bahwa polisi minta keterangan dari siapa saja yang mungkin melihat peristiwa tabrak lari itu.
Mereka tidak mungkin menemukanku, pikir Kendali. Aku hanya perlu bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Pagi itu Kendali pergi ke gedung parkir untuk mengambil mobilnya, dan bertemu Red.
"Saya sudah membersihkan darah di mobil Anda," montir itu berkata. "Bumpernya mau diperbaiki sekalian?"
Tentu! Kenapa baru sekarang terpikir olehku" "Ya, tolong."
Red menatapnya dengan curiga. Ataukah itu hanya perasaan Kendali"
"Sam dan saya sempat membahasnya semalam," ujar Red. "Kami "empat heran. Kerusakan mobil
266 Anda seharusnya lebih parah kalau Anda menabrak rusa."
Jantung Kendali langsung berdegup-degup. Mulurnya mendadak begitu kering sehingga ia sukar berbicara. "Rusanya" masih kecil."
Red mengangguk singkat. "Pasti masih kecil sekali."
Kendali merasakan tatapan montir itu saat ia meninggalkan gedung parkir naik mobil.
Ketika Kendali masuk ke ruang kerjanya, sekretarisnya, Nadine, menatapnya dan bertanya, "Anda kurang sehat?"
Kendali terenyak. "A" apa maksudmu?"
"Anda gemetaran. Biar saya ambilkan kopi dulu."
"Thanks" Kendall menghampiri cermin. Wajahnya tampak pucat dan tegang. Dari tampangku pun sudah ketahuan!
Nadine kembali dengan membawa secangkir kopi panas. "Silakan. Anda pasti akan merasa lebih enak nanti." Ia mengamati Kendali dengan pandangan bertanya-tanya. "Ada masalah?"
"Aku" aku terlibat kecelakaan kecil kemarin," jawab Kendali.
"Oh" Ada yang cedera?" Wajah wanita yang tewas itu kembali terbayang-bayang. "Tidak. Aku" aku menabrak rusa." "Bagaimana dengan mobil Anda?"
267 "Sedang diperbaiki."
"Kalau begini saya akan menelepon perusahaan asuransi."
"Oh, jangan, Nadine. Biarkan saja."
Kendali melihat kesan heran yang terpancar dari mata Nadine.
Dua hari kemudian ia menerima surat yang pertama.
Dear Mrs. Renaud, Saya ketua Wild Animal Protection Association, yang sangat memerlukan uluran tangan para dermawan
. Saya percaya Anda dengan senang hati akan membantu kami. Organisasi kami memerlukan dana untuk melestarikan hewan-hewan Uar. Perhatian kami terutama terfokus pada rusa. Anda dapat mentransfer $50,000 ke rekening nomor 804072-A di Credit Suisse di Zurich. Saya sarankan uang tersebut sudah berada di sana dalam tempo lima hari dari sekarang.
Surat itu tidak ditandatangani. Semua huruf E berbentuk tidak sempurna. Selain surat tersebut masih ada kliping koran mengenai kecelakaan itu.
Dua kali Kendali membaca surat itu. Pengirimnya jelas-jelas bermaksud mengancam. Kendali betul-betul bingung hams berbuat apa. Marc benar, ia berkata dalam hati. Seharusnya aku segera melapor
ke polisi. Tapi kini situasinya telah bertambah gawat. Ia dianggap buron. Jika polisi berhasil menemukannya, ia akan masuk penjara dan harus menahan malu, dan kiprahnya di dunia mode pun akan berakhir.
Saat makan siang ia pergi ke banknya. "Saya ingin mentransfer 50.000 dolar ke Swiss"."
Ketika Kendali sampai di rumah malam itu, ia menunjukkan surat tersebut kepada Marc.
Marc tercengang. "Ya Tuhan!" ia bergumam. "Siapa yang mungkin mengirim surat ini?"
"Tak ada" tak ada yang tahu." Kendali gemetaran.
"Kendali, surat ini membuktikan bahwa ada yang tahu." "Wfk
"Tak seorang pun ada di sana waktu itu, Marc! Aku?"
"Tunggu dulu. Coba kita urut. semuanya dari
Iwal. Apa yang terjadi setelah kau tiba di kota?" "Tidak ada apa-apa. Aku" aku menitipkan mobil di gedung parkir, dan?" Ia berhenti. "Bumper mobil Anda penyok, Mrs. Renaud Dan sepertinya ada darahnya."
Marc melihat ekspresi pada wajah Kendali. "Ada apa?"
Kendali berkata pelan-pelan, "Pemilik gedung parkir dan montirnya ada di sana. Mereka melihat bercak darah di bumper. Aku cerita aku menabrak
rusa, dan mereka bilang kerusakannya seharusnya lebih parah." Ia teringat hal lain. "Marc?" "Ya?"
"Nadine, sekretarisku. Dia kuberitahu hal yang sama. Dan aku langsung tahu dia juga tidak percaya. Berarti pasti salah satu dari mereka."
"Belum tentu," sahut Marc.
Kendali menatapnya. "Apa maksudmu?"
"Induklah. Kendali, dan dengarkan aku. Kalau salah satu dari mereka curiga padamu, mereka bisa saja meneruskan ceritamu kepada selusin orang. Laporan kecelakaan itu diliput di semua koran. Ada orang yang menggabungkan kedua penggal informasi tersebut, lalu menarik kesimpulan sendiri. Menurutku, surat yang kauterima sebenarnya sekadar gertakan untuk mengujimu. Seharusnya uang itu jangan kautransfer." "Tapi kenapa?"
"Sebab sekarang mereka tahu kau memang bersalah. Kau telah memberikan bukti yang mereka perlukan."
"Oh, Tuhan! Apa yang harus kulakukan?" tanya Kendali.
Marc Renaud berpikir sejenak. "Aku punya ide untuk melacak identitas bajingan-bajingan itu."
Pukul sepuluh keesokan paginya, Kendali dan Marc duduk di ruang kerja Russell Gibbons, wakil direktur Manhattan First Security Bank.
"Dan bagaimana saya bisa membantu Anda hari ini?" Mr. Gibbons bertanya,
Marc menyahut, "Kami ingin minta keterangan mengenai sebuah rekening di Zurich."
"Ya?" "Kami ingin tahu siapa pemilik rekening itu."
Gibbons mengusap-usap dagu. "Apakah pertanyaan Anda berkaitan dengan tindak kejahatan?"
Marc cepat-cepat menjawab, "Tidak! Kenapa Anda bertanya begitu?"
"Hmm, kecuali jika ada tindak kejahatan, misalnya pemutihan uang atau pelanggaran hukum Swiss atau Amerika Serikat, pihak Swiss tidak akan melanggar rahasia bank. Reputasi mereka didasarkan atas kerahasiaan."
"Tapi tentunya ada jalan lain untuk?"
"Maaf, tidak ada."
Kendali dan Marc bertukar pandang. Kendali tampak putus asa.
? Marc bangkit. "Terima kasih atas penjelasan Anda."
"Saya menyesal tidak dapat membantu Anda." Dengan halus Gibbons menggiring mereka keluar.
Ketika Kendali menitipkan mobilnya di gedung parkir malam itu, baik Sam maupun Red tidak kelihatan. Kendali memarkir * mobil. Waktu melewati ruang! kantor yang kecil, ia melihat sebuah mesin tik di - meja. Ia berhenti dan menatap mesin
tik itu sambil bertanya-tanya apakah humf E-nya rusak. Aku harus cari tahu, ia berkata dalam hati.
Ia menghampiri pintu kantor, berhenti sejenak, lalu membuka pintu dan melangkah masuk. Tapi ketika ia mendekati mesin tik, Sam tiba-tiba muncul.
"Selamat malam, Mrs. Renaud," pria itu menyapanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
Kendali tersentak kaget. Ia langsung membalik. "Tidak. Saya" saya bara saja memarkir mobil. Selamat malam." Ia bergegas ke pintu.
"Selamat malam, Mrs. Renaud."
Keesokan paginya, ketika Kendali lewat di luar ruang kantor gedung parkir, mesin tik itu sudah lenyap. Sebagai gantinya ada komputer.
Sam melihat Kendali menatap alat elektronik tersebut "Canggih, hmm" Saya pikir sudah waktunya tempat ini dibawa ke abad kedua puluh."
Dari mana dia mendapat uang untuk membeli komputer"
Waktu Kendali menceritakannya kepada Marc sepulang kerja, Marc berkata dengan serius, "Memang ada kemungkinan, tapi kita perlu bukti."
S*? pagi, ketika Kendali masuk kantor, Nadine sudah menunggunya
"Sudah lebih enak, Mrs. Renaud?"
"Kermr"ma Mahyang diW^8 tahuB *aya. Coba li" a,ber*an suami saya!" Ia menghai
lihat i mari dan memamerkan mantel bulu cerpelai J gmewah. "Indah setali, bukan?"
Bab 19 juua stanford senang mendapat Sally sebagai teman seapartemennya. Sally selalu bersemangat, ramai, dan riang. Ia telah bercerai dan telah bersumpah takkan pernah lagi menjalin hubungan dengan laki-laki. Julia agak bingung tentang definisi Sally mengenai takkan pemak, sebab sepertinya setiap minggu Sally berkencan dengan laki-laki yang berbeda.
"Yang paling menyenangkan justru laki-laki yang sudah beristri," Sally berfilsafat. "Mereka merasa bersalah, jadi mereka selalu membawa hadiah. Kalau yang masih bujangan, kita malah harus bertanya, kenapa dia masih bujangan?"
Ia berkata kepada Julia, "Kau belum punya teman kencan, bukan?"
"Belum" Juha teringat semua laki-laki yang pernah mengajaknya pergi, "Aku tidak berminat berkencan asal berkencan saja. Aku harus menemukan seseorang yang betul-betul kusayangi." "Ah, aku tahu orang yang tepat untukmu!" ujar
Sally. "Kau pasti akan menyukainya! Namanya Tony Vinetti. Aku sering bercerita padanya tentang kau, dan dia ingin sekali berkenalan denganmu."
"Rasanya aku tidak?"
"Dia akan menjemputmu besok malam pukul delapan."
Tony Vinetti berperawakan jangkung, sangat jangkung, dengan rambut tebal berwarna gelap dan senyum yang mengembang lebar ketika ia melihat Julia.
"Sally ternyata tidak mengada-ada. Kau memang cantik sekali."
"Terima kasih," balas Julia dengan gembira.
"Sudah pernah ke Houston"s?"
Yang ditanyakan Tony adalah salah satu restoran termewah di Kansas City.
"Belum." Sebenarnya, keuangan Julia tidak mengizinkan ia makan di sana, padahal ia sudah memperoleh kenaikan gaji.
Saat makan malam, Tony hampir tanpa henti berbicara mengenai dirinya sendiri, tapi Julia tidak keberatan. Tony menyenangkan dan menawan. "Dia keren sekali," Sally sempat berkata. Dan nyatanya memang demikian.
Santapan mereka amat lezat. Sebagai hidangan penutup, Julia memesan souffle cokelat dan Tony minta es krim. Sambil menikmati kopi, Julia ber"
late dalam hati. Apakah dia akan mengajakku h apartemennya, dan kodam ya* apakah aku akar
ikut ke sana" Tidak. Aku tidak bisa berbuat begitu. Ini baru kencan pertama. Dia akan menganggapku sebagai perempuan murahan. Tapi lain
kali Seorang pelayan mengantarkan bon. Tony mengamatinya dan berkata, "Sepintas lalu kelihatannya benar." ia membacakan semua yang tercantum. "Kau makan pati dan lobster"."
"Dan kau pesan kentang goreng dan salad, lalu souffle, bukan?"
Julia menatapnya dengan bingung. "Betul"."
"Oke." Tony berhitung di luar kepala. "Bagianmu dari bon ini adalah lima puluh dolar empat puluh sen."
Julia terenyak. "Maaf?"
Tony tersenyum lebar. "Aku tahu betapa mandiri wanita zaman sekarang. Kalian mau dianggap setara oleh kaum pria, bukan" Nah," ia berkata dengan sikap murah hati, "paling tidak izinkan aku membayar bagianmu dari tip untuk pelayan."
"Sayang sekali tidak berhasil," ujar Sally dengan nada menyesal. "Sebenarnya dia baik sekali. Bagaimana, kalian masih akan berkencan lagi?" "Dia teriak mahal untukku," Julia menyahut
"Hmm, aku punya orang lain untukmu. Kau pasti suka"." "Tidak usah, Sally, aku betul-betul tidak ingin?" "Percayalah padaku."
Ted Riddle berusia akhir tiga puluhan, dan Julia terpaksa mengakui bahwa ia memang menarik. Ted mengajaknya ke Jennie"s Restaurant di Historic Strawberry Hill, yang terkenal karena masakan khas Kroasia-nya.
"Sally benar-benar berbaik hati padaku," ujar Riddle. "Kau sangat cantik." "Terima kasih."
"Apakah Sally sudah cerita bahwa aku punya perusahaan periklanan?" "Belum. Dia tidak bilang apa-apa tentang itu." "Oh ya. Aku pemilik salah satu perusahaan terbesar di Kansas City. Semua orang mengenalku." "Aku?"
"Kami menangani beberapa klien terbesar di negeri ini." "Masa" Aku tidak?"
"Oh ya. Kami menangani kaum selebriti, bank-bank, usaha-usaha besar, jaringan-jaringan pertokoan?" "Ehm, aku?"
?"dan sejumlah supermarket. Pokoknya, segala macam bidang usaha." "Itu?"
"Barangkali kau ingin tahu bagaimana aku mu"
Sepanjang acara makan malam ia tak pernah berhenti bicara, dan satu-satunya topik yang dibicarakannya adalah Ted Riddle.
"Itu pasti karena dia gugup," Sally kembali minta maaf.
"Huh, dia justru membuat aku jadi gugup. Kalau ada yang ingin kauketahui mengenai kehidupan Ted Riddle sejak dia lahir, tanya saja aku!"
"Jerry McKinley."
"Apa?" "Jerry McKinley. Aku baru teringat. Dia pernah berkencan dengan salah satu temanku, dan temanku itu tergila-gila padanya."
"Terima kasih, Sally, tapi tidak usah saja."
"Aku akan menelepon dia."
Esok malamnya, Jerry McKinley muncul di apartemen Julia dan Sally, la bertampang lumayan, dan mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Ketika masuk dan melihat Julia, ia berkata, "Aku tahu kencan seperti ini tidak mudah. Aku sendiri agak canggung, jadi aku mengerti bagaimana perasaanmu, Julia."
Julia langsung menyukainya.
Mereka pergi makan malam di Evergreen Chinese Restaurant di State Avenue.
"Kau bekerja di perusahaan arsitek. Pekerjaanmu pasti menarik sekali. Sepertinya orang-orang tidak sadar betapa besar peranan para arsitek."
Dia sensitif, pikir Julia gembira. Ia tersenyum. I "Aku sependapat denganmu."
Semakin lama mereka berbincang-bincang, Julia semakin menyukai pria itu..Ia memutuskan mengambil langkah berani.
"Bagaimana kalau acara ini kita lanjutkan di apartemenku?" ia bertanya.
"Jangan. Lebih baik kita ke tempatku saja"
"Ke tempatmu?" Jerry mencondongkan badan ke depan dan meremas tangan Julia. "Aku punya koleksi cambuk dan rantai di rumah."
Henry Wesson pemilik kantor akuntan di gedung yang sama seperti Peters, Eastman & Tofltin. Dua atau tiga kali seminggu, Julia bertemu dengannya di dalam lift. Tampaknya pria itu cukup menyenangkan. Ia berusia tiga puluhan dan bertampang cerdas. Rambutnya berwarna pasir, dan ia memakai kacamata berbingkai hitam.
Perkenalan mereka berawal dengan saling menganggukkan kepala, lalu, "Selamat pagi," lalu, "Anda kelihatan cerah sekali hari ini," dan setelah beberapa bulan, "Apakah kau bersedia makan malam bersamaku kapan-kapan?" Ia menatap Julia dan menunggu jawabannya. Julia tersenyum* "Dengan senang hati."
Henry telah Jatuh cinta pada pandangan pertama. Pada kencan mereka yang pertama, ia mengajak
Julia ke EBT, salah satu restoran top di Kansas City. Sepertinya dia gembira sekali karena Julia menerima ajakannya.
Ia bercerita sedikit mengenai dirinya. "Aku lahir di KC Ayahku juga lahir di sini. Jatuhnya buah takkan jauh dari batangnya Kau tahu maksudku, bukan?"
Julia tahu apa yang dimaksudnya.
"Sejak kecil aku sudah bercita-cita jadi akuntan. Setelah selesai kuliah, aku bekerja untuk Bigelow and Benson Financial Corporation. Sekarang aku buka kantor sendiri."
"Menyenangkan," ujar Julia. ? "Rasanya tak ada lagi yang bisa diceritakan tentangku. Sekarang giliranmu."
Julia terdiam sejenak. Aku anak haram salah satu orang terkaya di dunia. Kemungkinan besar kau pernah mendengar namanya. Dia baru saja mati tenggelam. Aku termasuk ahli warisnya. Ia memandang berkeliling. Kalau mau, aku bisa membeli restoran ini. Kalau mau, aku bisa membeli seluruh kota.
Henry menatapnya. "Julia?" "Oh! Ma" maaf. Aku lahir di Milwaukee. A" ayahku meninggal waktu aku masih kecil. Ibuku
dan aku sering berpindah-pindah. Ketika dia meninggal, aku memutuskan menetap di sini dan mencari pekerjaan." Moga-moga dia tidak tahu aku bohong.
Henry Wesson meraih tangan Julia. "Berarti selama hidupmu tak pernah ada laki-laki yang melindungimu." Ia mencondongkan badan ke depan dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku ingin melindungimu selama sisa hidupmu."
Julia menatapnya dengan heran. "Aku tidak ingin bersikap kuno, tapi kita belum saling mengenal."
"Aku ingin mengubah itu."
Sally sudah menunggu ketika Julia sampai di apartemen mereka. "Nah?" ia bertanya. "Bagaimana kencanmu tadi?"
Julia menyahut sambil termangu-mangu, "Dia manis sekali, dan?" "Dia tergila-gila padamu!" Julia tersenyum. "Rasanya dia melamarku." Sally membelalakkan mata. "Rasanya" Rasanya" Ya Tuhan! Kau tidak tahu apakah dia melamarmu atau tidak?"
"Hmm, dia bilang dia ingin melindungiku selama sisa hidupku."
"Berarti dia melamarmu!" Sally berseru. "Dia melamarmu! Menikahlah dengan dia! Cepat! Sebelum dia be m bah pikiran!"
Julia tertawa. "Kenapa harus terburu-buru?"
"Dengarkan aku. Undang dia makan malam di
"281 sari. Aku yang memasak, dan kau bilang kai sendui yang menyiapkan semuanya."
Julia, tertawa. Terima kasih. Tapi tidak usah. Kalau aku menemukan laki-laki yang ingin kujadikan suamiku, kami mungkin akan makan masakan Cina yang dipesan dari restoran, tapi percayalah, meja makannya akan kutata apik dengan bunga dan cahaya lilin."
Pada kencan mereka yang berikut, Henry berkata, "Kansas City tempat yang cocok untuk membesarkan anak-anak."
"Ya, memang." Masalahnya, Julia tidak tahu pasti apakah ia ingin membesarkan anak-anak Henry. Pria itu memang sopan, bertanggung jawab, tenang, tapi"
Julia membicarakannya dengan Sally.
"Dia teras mendesakku untuk menikah dengannya," Julia bercerita.
"Seperti apa orangnya?"
Julia berpikir sejenak. Ia hendak mencari kata-kata paling romantis mengenai Henry Wesson yang bisa ditemuinya. "Dia sopan, bertanggung jawab, tenang?"
Sally menatapnya. "Dengan kata lain, dia membosankan."
Julia segera membela Henry, "Sebenarnya bukan membosankan?"
Sa% mengangguk penuh pengertian. "Dia membosankan. Menikahlah dengannya."
"Apa?" "Menikahlah dengan dia. Suami "membosankan yang baik sulit dicari."
Menyambung hidup dari hari gajian ke hari gajian berikut merupakan ladang ranjau. Ada potongan gaji, sewa apartemen, pengeluaran untuk mobil, bahan makanan, serta pakaian yang perlu dibeli. Julia mempunyai Toyota Tercel, dan sepertinya ia lebih banyak mengeluarkan uang untuk mobil itu daripada untuk dirinya sendiri. Ia selalu meminjam uang dari Sally.
Suatu malam, ketika Julia sedang berpakaian, Sally berkata, "Ada acara lagi dengan Henry, hmm" Ke mana dia akan mengajakmu malam ini?"
"Kami mau ke Symphony Hall. Ada konser Cleo Laine."
"Henry sudah melamarmu lagi?"
Julia tidak segera menjawab. Sesungguhnya, Henry melamarnya setiap kali mereka berkencan. Julia merasa didesak-desak, tapi ia tidak sanggup berkata ya.
"Jangan sampai kau kehilangan dia," Sally mewanti-wanti.
Sally mungkin benar, Julia berkata dalam hati. Henry Wesson memang bakal jadi suami yang baik. Dia" Ia berhenti sejenak. Dia sopan, bertanggung jawab, tenang" Cukupkah itu"
283 | Ketika Julia menuju pintu, Sally berseru, "Ala pinjam sepatumu yang hitam, ya?"
"Ambil saja!?""Julia menyahut sambil menutup pintu dan pergi.
Sally masuk ke kamar Julia dan membuka lemari. Sepatu yang dicarinya disimpan di rak paling atas. Sally hendak meraihnya, tapi tanpa sengaja ia menyenggol kardus di pinggir rak. Kardus itu jatuh, dan isinya berhamburan di lantai.
"Brengsek!" Sally membungkuk untuk memungut kertas-kertas yang berserakan. Ada lusinan kliping koran, foto-foto, dan artikel-artikel, dan semuanya mengenai keluarga Harry Stanford. Sepertinya ada ratusan.
Sekonyong-konyong Julia bergegas memasuki kamarnya. "Ada yang ketinggalan?" Ia berhenti ketika melihat kertas-kertas di lantai. "Sedang apa kau?" "Sori," Sally minta maaf. "Kardusnya jatuh." Juiia tersipu-sipu. Ia membungkuk dan mulai mengembalikan semua kertas ke dalam kardus.
"Aku tidak menyangka kau tertarik pada orang-orang kaya dan terkenal," ujar Sally.
Julia diam saja dan terus membereskan isi kardus itu. Ketika meraih setumpuk foto, ia menemukan liontin emas berbentuk hati yang diberikan ibunya sebelum meninggal. Julia segera mengantonginya.
Sally menatapnya dengan hera "Ya" wmi&h
"Juli, "Kenapa kau begitu tertarik pada Harry Stamford?"
"Bukan aku. Aku" Barang-barang ini milik ibuku."
Sally angkat bahu. "Oke." Ia meraih selembar kertas yang ternyata halaman dari sebuah majalah gosip. Judul beritanya berbunyi: PENGUSAHA TERKEMUKA MENGHAMILI PENGASUH ANAK?IBU DAN BAYI MENGHILANG!
Sally tercengang-cengang. "Ya Tuhan! Kau anak Harry Stanford!"
Julia merapatkan bibir. Ia menggelengkan kepala dan terus membereskan kertas-kertas yang masih berserakan.
"Kau putri Harry Stanford, bukan?"
Julia menoleh. "Maaf, tapi kalau kau tidak keberatan, aku tidak mau bicara soal itu."
Sally bangkit. "Kau tidak mau bicara soal itu" Kau putri salah satu orang terkaya di dunia, dan kau tidak mau bicara soal itu" Kau sudah gila?"
"Sally?" "Kau tahu berapa banyak uang yang dia miliki" Miliaran."
"Itu tidak ada hubungannya denganku."
"Kalau kau memang anaknya, tentu saja ini ada hubungannya denganmu. Kau termasuk ahli warisnya! Kau tinggal memberitahu keluarganya siapa kau, dan?"
"Tidak." "Tidak" apa?"
"Km tidak mengerti." Julia berdiri lalu duduk d tempat tidur. "Harry Stanford manusia brengsek Dia mencampakkan ibuku. Ibuku membencinya, dan aku membencinya."
"Orang-orang sekaya dia tidak dibrnci. Mereka dipahami."
Julia kembali menggelengkan kepala. "Aku tidak mau terlibat dengan mereka."
"laba, seorang ahli waris tidak tinggal di apartemen kumuh dan membeli baju di pasar loak, dan dia tidak meminjam uang untuk membayar sewa. Keluargamu pasti tidak rela kalau mereka tahu kau hidup seperti ku. Mereka akan merasa direndahkan."
"Mereka tidak tahu-menahu tentang aku. Mereka bahkan tidak tahu bahwa aku ada." "Kalau begitu kau harus memberi tahu mereka" "SaBy?" Tar
"Aku tidak mau bicara soal hri."
Sally menatapnya cukup lama. "Oke. Tapi omong-omong, kau bisa meminjamkan satu atau dua juta sampai gajian berikut?"
Bab 20 TYLER kalang kabut. Selama 24 jam terakhir ia terus menelepon Lee di rumahnya, namun tak ada yang menyahut. Dengan siapa dia" Tyler bertanya-tanya. Dan sedang apa mereka"
Ia mengangkat, gagang telepon dan sekali lagi memutar nomor Lee. Tyler menunggu lama, dan tepat ketika ia hendak menaruh gagang telepon, ia mendengar suara Lee.
"Halo." "Lee! Apa kabar?" "Siapa ini?" "Ini aku, Tyler."
"Tyler?" Hening sejenak. "Oh ya." Tyler agak kecewa karena sambutan yang dingin itu, "Bagaimana kabarmu?" "Baik," sahut Lee.
"Tempo hari aku sempat bilang aku punya kejutan luar biasa untukmu, bukan?"
"Ya?" Lee sepertinya tidak terlalu berminat mendengarkan ocehan Tyler.
"Kau masih ingat ucapanmu tentang berlayar ke St-Tropez dengan yacht putih yang indah?" "Kenapa memangnya?" "Bagaimana kalau kita berangkat
minggu depan?" "Kau serius?"
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja." "Ehm, entahlah. Kau ada teman yang punya yachtT
"Aku akan beli yacht* "Kau lagi teler, Pak Hakim?"
"Te?" Tidak, tidak! Aku baru saja mendapat uang. Banyak sekali."
"St.-Tropez, hmm" Kedengarannya menarik juga. Yeah, aku ingin sekali pergi ke sana denganmu."
Tyler merasa amat lega. "Bagus! Sementara itu, jangan?" la tidak berani menyelesaikan kalimat itu. "Nanti kau kuhubungi lagi, Lee." Ia meletakkan gagang telepon dan duduk di tepi tempat tidur. "Aku ingin sekali pergi ke sana denganmu." Ia membayangkan mereka di yacht yang indah, berlayar mengelilingi dunia bersama-sama. Bersama-sama.
Tyler meraih buku telepon dan membuka halaman kuning.
Kantor John Alden Yachts, Inc., terletak di Commercial Wharf di Boston. Tyler segera dihampiri manajer penjualan ketika ia masuk. "Apa yang bisa saya bantu, Sir?"
Tyler menatap orang itu dan berkata dengan santai, "Saya mau belt yacht." la menikmati setiap kata.
Yacht ayahnya pasti termasuk warisan yang akan dibagi-bagi, tapi Tyler tidak mau berbagi kapal pesiar dengan kedua saudaranya.
"Motor atau layar?"
"Saya" ehm" saya belum tahu. Saya ingin keliling dunia dengan yacht saya."
"Kalau begitu berarti motor."
"Warnanya harus putih."
Manajer penjualan itu menatapnya sambil mengerutkan kening. "Ya, tentu saja. Seberapa besar kapal yang Anda bayangkan?"
Blue Skies berukuran 54 meter.
"Enam puluh meter."
Si manajer penjualan mengedipkan mata. "Ah, begitu. Anda tentu sadar bahwa kapal seperti itu sangat mahal, Mr". ehm?" "Hakim Stanford. Ayah saya Harry Stanford," Seketika wajah si manajer penjualan menjadi cerah.
"Uang tidak jadi soal," ujar Tyler.
"Tentu saja tidak! Nah, Hakim Stanford, kami akan mencarikan kapal untuk Anda yang akan membuat semua orang terkagum-kagum. Putih, tentu saja. Untuk sementara, ini ada daftar yacht yang hendak dijual. Silakan hubungi saya jika Anda sudah memutuskan mana saja yang menarik minat Anda."
Woody Stanford sibuk memikirkan kuda-kuda poni.
Seumur hidup ia terpaksa menunggangi kuda-kuda
milik teman-temannya, tapi kini ia sanggup membeli
kuda-kuda terbaik di dunia.
Ia sedang berbicara melalui telepon dengan Mimi Carson. "Aku mau beli semua kudamu," Woody berkata penuh semangat, lalu mendengarkan jawaban Mimi. "Ya, semuanya. Aku serius. Betul?"
Percakapan mereka berlangsung setengah jam, dan ketika Woody meletakkan gagang telepon, ia tersenyum lebar. Ia pergi mencari istrinya.
Peggy sedang duduk seorang diri di teras. Pipinya masih iebam akibat pukulan yang dilayangkan Woody.
"Peggy?" Wanita itu menoleh dengan waswas. "Ya?"
"Aku perlu bicara denganmu. Tapi aku" aku tidak tahu harus mulai dari mana."
Peggy duduk sambil menunggu.
Woody menarik napas panjang. "Aku tahu aku tidak bersikap seperti suami yang baik selama ini. Beberapa perbuatanku bahkan tidak bisa dimaafkan. Tapi, darling, semuanya akan berubah. Kita kaya sekarang. Betul-betul kaya. Semua kesalahanku akan kutebus." Ia meraih tangan Peggy. J
"Aku tidak mau lagi pakai obat bius. Sungguh. Seluruh hidup kita akan berubah."
Peggy menatap mata suaminya dan berkata dengan datar, "Oh ya?"
"Ya. Aku berjanji. Aku tahu aku sudah sering berjanji begini, tapi kali ini lain. Aku sudah membulatkan tekad. Aku mau masuk klinik tempat aku bisa dirawat sampai sembuh. Aku tak mau lagi hidup seperti di neraka. Peggy?" Suara Woody bernada putus asa, "Aku tidak sanggup melakukannya tanpa bantuanmu. Kau tahu aku tidak sanggup"."
Lama Peggy menatapnya sambil membisu. Akhirnya ia memeluknya dengan erat. "Sayangku," ia berkata. "Aku tahu. Aku akan membantumu."
Margo Posner telah selesai memainkan perannya, dan kini sudah saatnya ia pergi.
Tyler menemuinya di mang baca. Ia menutup pintu. "Aku mau mengucapkan terima kasih sekali lagi, Margo."
Wanita itu tersenyum. "Tugas ini benar-benar menyenangkan. Aku menikmatinya." Ia menatap Tyler dengan nakal. "Mungkin aku mau jadi aktris saja."
Tyler ikut tersenyum. "Kau memang berbakat. Nyatanya kau berhasil mengelabui orang-orang di sini."
"Ya, penampilanku cukup meyakinkan, bukan?" "Ini sisa uangmu." Tyler mengeluarkan amplop
291 dan kantong. Dan tiket pesawat untuk pulang kc Chicago."
Terima kasih." Tyler menatap arlojinya. "Sehatnya kan segera berangkat."
"Oke, Aku juga mau berterima kasih atas semuanya. Maksudku, kau kan sudah mengeluar-kariku dari penjara."
Tyler tersenyum. "Sudahlah. Selamat jalan."
Terima kasih." Ia memperhatikan Margo naik ke lantai atas untuk berkemas. Permainan telah berakhir. Siak dan skak mat
Margo Posner sedang membereskan barang-barangnya ketika Kendali masuk.
"Hai, Julia. Aku cuma mau?" Ia terdiam. "Sedang apa kau?"
"Aku mau pulang."
Kendali menatapnya dengan bingung. "Kau sudah mau pulang" Kenapa" Padahal aku berharap -kita bisa mengobrol untuk lebih mengenal satu sama lain. Begitu banyak yang perlu diceritakan."
"Boleh saja. Tapi mungkin lain kali."
Kendali duduk di tepi tempat tidur. "Rasanya seperti keajaiban, bukan" Setelah terpisah selama bertahun-tahun, kita akhirnya berkumpul lagi."
Margo terus berkemas. "Yeah. Ini memang ke-
"Kaa pasti merasa seperti Cinderella. Seumur
hidup kau menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, lalu tiba-tiba ada orang yang memberimu satu miliar dolar." Margo langsung berhenti berkemas. "Apa?" "Aku bilang?" "Satu miliar dolar?"
"Ya. Berdasarkan surat wasiat Ayah, masing-masing dari kita akan mewarisi kurang-lebih sejumlah itu."
Margo menatap Kendali sambil terbengong-bengong. "Masing-masing dapat satu miliar dolar?"
"Kau belum diberitahu?"
"Belum," ujar Margo pelan-pelan. "Aku belum diberitahu." Ia tampak berpikir keras. "Kurasa kau benar, Kendali. Ada baiknya kalau kita mengobrol panjang-lebar."
Tyler sedang asyik mengamati foto-foto yacht di solarium ketika Clark menghampirinya
"Maaf, Hakim Stanford. Ada telepon untuk Anda."
"Biar kuterima di sini saja."
Peneleponnya ternyata Keith Percy di Chicago.
"Tyler?" "Ya."
"Aku punya kabar gembira untukmu)" "Oh?"
"Setelah aku pensiun, bagaimana kalau kau meng-gantikanku sebagai hakim kepala?"
? Tyfer harus memaksakan diri agar tidak tertawa. "Aku akan senang sekali, Keith."
"Nah, jabatan itu milikmu!
"Aku" aku tidak tahu harus berkata apa." Apa yang mesti kukatakan" "Seorang miliarder tidak perlu duduk di ruang sidang yang pengap di Chicago, dan menjatuhkan hukuman kepada sampah masyarakat?" Atau "Aku terlalu sibuk keliling dunia dengan kapal pesiarku?"
"Kapan kau bisa kembali ke Chicago?"
"Mungkin masih agak lama," balas Tyler. "Masih banyak yang hams kukerjakan di sini."
"Baiklah, kami semua menunggumu."
Jangan berharap terlalu banyak. "Sampai ketemu." Ia meletakkan gagang telepon dan menatap arlojinya. Sudah waktunya Margo berangkat ke bandara. Tyler naik ke lantai atas untuk melihat apakah Margo sudah siap.
Tapi ketika ia masuk ke kamar Margo, wanita ku ternyata sedang membongkar isi kopernya.
Tyler menatapnya dengan heran. "Kau belum siap."
Margo menoleh dan tersenyum. "Urusanku di sini belum selesai. Setelah kupikir-pikir, aku suka tinggal di sah. Mungkin ada baiknya kalau aku tinggal lebih lama."
Tyter mengerutkan kening. "Apa maksudmu" Kau akan terbang ke Chicago." "Masih banyak pesawat ke sana, Pak Hakim."
Margo tersenyum lebar. Barangkah aku malah akan beli pesawat pribadi." "Apa maksudmu?"
"Kau bilang kau hendak mempermainkan seseorang." "Ya?"
"Tampaknya aku yang dipermainkan. Aku bernilai semiliar dolar."
Roman muka Tyler mengencang. "Kau hams angkat kaki dari sini. Sekarang juga."
"Aku akan pergi kalau urusanku sudah selesai," balas Margo. "Dan urusanku belum selesai."
Tyler menatapnya tajam. "A" apa maumu?"
Margo mengangguk. "Nah, begitu lebih baik. Semiliar dolar yang seharusnya kuperoleh. Uang itu mau kaukantongi sendiri, bukan" Dari pertama aku sudah tahu kau punya rencana untuk meraup uang, tapi semiliar dolar"! Itu soal lain. Rasanya aku patut dapat bagian."
Pintu kamar diketuk dari luar.
"Maaf," ujar Clark. "Makan siang sudah siap."
Margo berpaling kepada Tyler. "Duluan saja. Aku tidak ikut makan siang. Ada beberapa urusan penting yang hams kukerjakan."
Sore itu, berbagai bungkusan mulai berdatangan di Rose Hill. Ada dus-dus berisi gaun dari Armani, baju olahraga dari Scaasi Boutique, pakaian dalam dari Jordan Marsh, mantel dari Neiman Marcus, dan sebuah gelang berlian dari Cartier. Semua
bungkusan itu dialamatkan kepada Miss Julia Stanford.
Ketika Margo kembali pukul setengah lima,
Tyler sudah menunggu untuk melabraknya. Ia marah sekali.
"Apa-apaan ini?" ia membentak Margo. Wanita itu tersenyum. "Aku beli beberapa barang yang kubutuhkan. Bagaimanapun juga, adik perempuanmu ini harus tampil pantas, bukan" Terns terang, aku heran betapa bagusnya pelayanan toko-toko untuk anggota keluarga Stanford. Tolong bayarkan tagihannya nanti, ya?" "Julia?"
"Margo," wanita itu mengingatkan. "Oh ya, aku lihat foto-foto kapal pesiar di meja. Kau mau beli yacht?"
"Itu bukan urusanmu."
"Jangan terlalu yakin. Barangkali saja kau dan aku akan berlayar bersama-sama. Kapalnya kita beri nama Margo. Atau Julia" Kita bisa keliling dunia berdua. Aku tidak suka kalau aku kesepian."
Tyler berpikir sejenak. "Kelihatannya aku terlalu merernehkanmu. Kau wanita muda yang sangat cerdik."
"Terima kasih atas pujian mu."
"Moga-moga kau juga wanita muda yang mau diajak berunding,"
"Tergantung apa yang dirundingkan."
"Satu juta dolar. Tunai."
Jantung Margo langsung berdegup-degup. "Dan semua barang yang kubeli hari ini boleh kubawa?" "Bawa semuanya."
Wanita itu menarik napas panjang. "Oke, aku setuju."
"Bagus. Uangnya akan kuusahakan secepat mungkin. Beberapa hari lagi aku akan pulang ke Chicago." Tyler mengambil anak kunci dari kantong dan menyerahkannya kepada Margo. "Ini kunci rumahku. Kau harus menginap di sana dan menunggu sampai aku datang. Dan jangan bicara dengan siapa pun."
"Baiklah." Margo berusaha menutup-nutupi kegembiraannya. Seharusnya aku minta lebih banyak lagi, ia berkata dalam hati.
"Aku akan memesan tiket untuk pesawat berikut."
"Bagaimana dengan barang-barang yang kubeli?""
"Nanti kukirim ke sana."
"Oke. Kelihatannya kita sama-sama untung, ya?"
Tyler mengangguk. "Ya. Kelihatannya begitu."
Tyler mengantarkan Margo ke Logan International Airport.
Di bandara, Margo berkata, "Apa yang akan kaukatakan kepada yang lain" Mereka pasti heran aku tiba-tiba pergi."
"Mereka akan kuberitahu bahwa kau hams mengunjungi sahabatmu yang jatuh sakit, di Amerika Selatan."
Margo menatapnya dengan pandangan menyesal. "Sebenarnya, Pak Hakim, acara jalan-jalan naik kapal pesiar pasti menyenangkan sekali."
Para penumpang untuk penerbangan ke Chicago dipanggil melalui pengeras suara.
"Oh, sudah waktunya berangkat."
"Selamat jalan."
"Thanks. Sampai ketemu di Chicago."
Tyler memperhatikan Margo masuk ke terminal keberangkatan, lalu menunggu sampai pesawat yang ditumpangi wanita itu lepas landas. Kemudian ia kembali ke limusin dan berkata kepada % sopirnya, "RoseHffi."
Ketika Tyler sampai di kediaman keluarga itu, ia langsung naik ke kamarnya dan menelepon Hakim Kepala Keith Percy.
"Kami semua sudah menunggumu, Tyler. Kapan kau pulang ke sini" Kami mau mengadakan pesta kecil untuk merayakan kenaikan pangkatmu."
"Tidak lama lagi, Keith," ujar Tyler. "Tapi sementara itu, aku perlu bantuanmu sehubungan dengan masalah yang kuhadapi di sini."
"Boleh saja. Apa yang bisa kulakukan?"
"Ini menyangkut narapidana yang ingin kuto-long. Margo Posner. Kalau tidak salah, aku pernah menyinggung tentang dia tempo hari."
"Ya, aku ingat. Ada am A***"~~
Vanita malang itu percaya dia adikku. Dia yusulku ke Boston dan berusaha membunuhku." "Ya Tuhan!"
"Sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang ke Chicago, Keith. Dia berhasil mencuri kunci rumahku, dan aku tidak tahu apa rencananya selanjutnya. Wanita itu tidak waras dan sangat berbahaya. Dia mengancam akan membunuh seluruh keluargaku. Aku ingin dia dimasukkan ke Reed Mental Health Facility. Tolong kirimkan surat-surat yang diperlukan melalui fax, biar bisa kutan-datangani. Pemeriksaan psikiater akan kuurus sendiri."
"Tentu. Aku akan segera mengatur semuanya, Tyler."
"Terima kasih. Dia naik United Airlines Flight 307. Sebaiknya ada petugas yang menjemputnya di bandara. Beritahu mereka agar berhati-hati. Wanita itu harus dimasukkan ke bagian pengamanan maksimal di Reed, dia jangan diperbolehkan menerima tamu."
"Oke. Aku turut prihatin atas kejadian ini, Tyler."
Tyler menyahut dengan pasrah, "Beginilah dunia sekarang. Orang yang mau menolong malah ditikam dari belakang."
Saat makan malam Kendali bertanya, "Julia tidak ikut makan bersama kita?"
Dengan nada menyesal Tyler berkata, "Sayangnya, tidak. Dia minta dipamitkan pada kalian. Dia hams ke Amerika Selatan untuk menolong sahabatnya yang terkena stroke. Kejadiannya sangat mendadak."
"Tapi surat wasiat Ayah belum?"
"Julia telah memberikan surat kuasa padaku, dan dia minta bagiannya dimasukkan ke lembaga perwalian."
Seorang pelayan meletakkan mangkuk berisi masakan kerang khas Boston di hadapan Tyler.
"Ah," ujar Tyler. "Kelihatannya lezat sekali! Aku benar-benar lapar."
United Airlines Flight 307 sedang bersiap-siap mendarat di O"Hare International Airport di Chicago. Seorang pramugari berkata melalui pengeras suara, Tara penumpang dipersilakan memasang sabuk pengaman."
Margo Posner sangat menikmati penerbangan itu. Sebagian besar waktu dihabiskannya dengan berkhayal tentang apa yang akan dilakukannya dengan uang sejuta dolar yang bakal ia terima. Dan semuanya karena aku masuk penjara! Ada-ada saja!
Setelah pesawatnya mendarat, Margo meraih barang-barang bawaannya, lalu mulai menuruni ramp. Seorang pramugari berjalan di belakangnya Di dekat pesawat ada ambulans, dua paramedis
berjaket putih, dan seorang dokter. Si pramugari melihat mereka dan menunjuk ke arah Margo.
Ketika Margo sampai di bawah, salah satu dari mereka menghampirinya. "Maaf," pria itu berkata
Margo menoleh. "Ya?"
"Anda Margo Posner?"
"Ya. Ada apa?""
"Saya Dr. Zimmerman." Pria itu meraih lengan Margo. "Silakan ikut kami." Ia mulai menggiringnya ke ambulans.
Margo berusaha melepaskan diri. "Tunggu dulu! Ada apa ini?" teriaknya.
Kedua paramedis segera mengapitnya.
"Silakan ikut kami dengan tenang, Miss Posner," Dr. Zimmerman menegaskan.
"Tolong!" pekik Margo. "Tolong!"
Penumpang-penumpang lain menatapnya sambil terbengong-bengong.
"Kenapa kalian diam saja?" seru Margo. "Kalian buta semua" Saya diculik! Saya Julia Stanford! Saya putri Harry Stanford!"
"Tentu, tentu," Dr. Zimmerman menanggapinya dengan nada menenangkan. "Tenang saja."
Sambil terheran-heran para penumpang lain menyaksikan Margo digotong ke ambulans. Wanita itu menendang-nendang dan menjerit-jerit.
Setelah berada di dalam ambulans, Dr. Zimmerman meraih alat suntik dan menusukkan jarumnya ke lengan Margo. "Santai saja," katanya. "Tak ada yang perlu dikuatirkan."
"Ini gila!" balas Margo. "Anda tidak bo?" Matanya mulai berat
Pintu belakang ditutup, dan ambulans itu segera melaju.
Tyler terbahak-bahak ketika menerima laporan mengenai penahanan Margo. Dalam hati ia membayangkan bagaimana wanita serakah itu meronta-ronta ketika dibawa pergi. Tyler akan mengatur agar Margo menghabiskan sisa hidupnya di ramah sakit jiwa.
Sekarang permainannya sudah betul-betul berakhir, pikirnya. Aku berhasil/ Si Tua pasti akan jungkir balik di kuburannya?seandainya dia masih punya kuburan?kalau dia tahu kendali atas Stanford Enterprises jatuh ke tanganku. Sekarang aku sanggup memberi Lee apa saja yang pernah diimpikannya.
Kejadian-kejadian hari itu menimbulkan hasrat seksual dalam diri Tyler. Aku butuh pelampiasan, h membuka koper dan mengeluarkan Damron Address Book, yang disembunyikannya di bawah tumpukan pakaian, lalu mencari daftar bar gay di Boston.
Julia dan Sally sedang bersiap-siap berangkat kerja.
Sally bertanya, "Bagaimana kencanmu dengan Henry semalam?"
"Seperti biasa."
"Sebegitu parahnya, hmm" Tanggal perkawinannya sudah ditetapkan?"
"Jangan sampai!" balas Julia. "Henry memang manis tapi?" Ia menghela napas. "Dia bukan orang yang cocok untukku."
"Kau mungkin bisa mengelak dari dia" kata Sally, "tapi ini tak bakal bisa kauhindari." Ia menyerahkan lima amplop kepada Julia,
Kelima-limanya berisi tagihan. Julia membuka amplop-amplop itu satu per satu. Tiga diberi tanda PEMBAYARAN TERLAMBAT dan satu lagi PERINGATAN KETIGA. Julia membaca semuanya.
"Sally, apakah aku bisa pinjam?" Sally menatapnya dengan heran. "Aku benar-benar tidak mengerti." "Apa maksudmu?"
"Kau bekerja membanting miang dan kau tidak bisa membayar tagihan mu, padahal kau tinggal angkat telepon untuk mendapatkan beberapa juta dolar."
"Itu bukan uangku."
"Tentu saja itu uangmu!" balas Sally. "Harry Stanford ayahmu, bukan" Artinya, kau berhak atas bagian dari warisannya."
"Lupakan saja. Kau sudah tahu bagaimana dia memperlakukan ibuku. Dia takkan meninggalkan sepeser pun untukku."
Sally mendesah. "Brengsek! Padahal aku sudah bersiap-siap untuk tinggal dengan jutawan!"
Mereka berjalan ke lapangan parkir tempat mereka menitipkan mobil masing-masing. Tempat parkir Julia kosong. Dia menatapnya sambil membelalakkan mata. "Mobilku hilang!"
"Kau yakin mobilmu diparkir di sini semalam?" tanya Sally.
"Ya." "Berarti mobilmu dicuri!" Julia menggelengkan kepala. "Tidak," katanya pelan-pelan. "Apa maksudmu?"
Julia menoleh ke arah Sally. "Mobilku pasti ditarik lagi oleh dealer-nya. Aku sudah tiga bulan tidak membayar angsuran."
"Bagus," Sally berkomentar dengan datar. "Bagus sekali"
Sally tidak sanggup menyingkirkan situasi Julia dari pikirannya. Ini seperti kisah dongeng, ia berkata dalam hati. Putri raja yang tidak sadar dia putri raja. Hanya saja dalam kasus ini, dia sadar, tapi terlalu angkuh untuk melakukan sesuatu. Ini tidak adil! Keluarganya kaya raya, dan dia tidak punya apa-apa. Hmm, kalau dia tidak mau bertindak, aku yang harus turun tangan. Suatu saat dia akan berterima kasih padaku.
Malam itu, setelah Julia pergi, Sally kembali memeriksa kardus berisi kliping. Ia mengambil artikel koran yang masih baru dan membaca bahwa para ahli waris Stanford berkumpul di Rose Hill untuk menghadiri upacara pemakaman.
Kalau si putri tidak mau menghampiri mereka, Sally berkata dalam hati, merekalah yang harus mendatangi dia.
Ia duduk dan mulai menulis surat. Suratnya ditujukan kepada Hakim Tyler Stanford.
Isbonk by otoy untuk koleksi IpribadLdilarang keras memperjual belikan ebbok ini karena dilindungi oleh undang undang DttDys@yahDD.CDm
Bab 21 tyler stanford menandatangani surat perintah agar Margo Posner dirawat di Reed Mental Health Facihty. Tiga psikiater harus ikut menandatangani surat perintah tersebut, tapi Tyler tahu bahwa hambatan itu dapat ia atasi dengan mudah.
Ia mengingat-ingat semua tindak-tanduknya sejak awal, dan menyimpulkan bahwa tak ada kesalahan dalam rencananya. Drnitri telah menghilang ke Australia, dan Margo Posner pun sudah disingkirkan. Berarti tinggal Hal Baker, dan Baker takkan merupakan masalah. Setiap orang memiliki titik lemah, dan titik lemah Baker adalah keluarganya. Baker takkan buka mulut, sebab dia tidak bisa membayangkan hidup di penjara, jauh dari orang-orang yang disayanginya.
Semuanya persis seperti yang diharapkan. Begitu surat wasiatnya disahkan, aku akan pulang ke Chicago dan menjemput Lee. Mungkin kami malah akan beli rumah di St.-Tropez. AnganI
angan itu membuatnya terangsang. Kami akan keliling dunia naik kapal pesiarku. Sudah lama aku mau melihat Venezia" dan Positano" dan Capri". Kami akan bersafari di Kenya, dan menatap Taj Mahal bersama-sama di bawah bulan purnama. Dan berkat siapa semuanya ini" Berkat Ayah. "Kau banci, Tyler, dan sampai kapan pun kau tetap banci. Aku tidak mengerti kenapa aku diberi keturunan seperti kau"."
Nah, Ayah, sekarang siapa yang tertawa paling akhir"
Tyler turun untuk makan siang bersama Ia lapar lagi.
"Sayang sekali Julia hams pergi begitu cepat," ujar Kendali. "Sebenarnya aku ingin berkenalan lebih jauh dengan dia."
"Dia pasti merencanakan untuk kembali secepat mungkin," Marc berkomentar.
Betul sekali, pikir Tyler. Dan aku akan memastikan dia takkan pernah muncul lagi.
Pembicaraan mereka beralih ke masa depan.
Peggy berkata malu-malu, "Woody mau beli kuda."
"Kuda polol" Woody membentaknya. "Aku akan beli sekelompok kuda polo. Kaupikir semua kuda sama?"
"Maaf, darling. Kupikir?" "Ah, sudahlah!"
-an7 Tyler berkata kepada Kendall, "Apa rencanamu?"
?"kami terus mengharapkan dukungan Anda". Kami akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia mentransfer $1,000,000" dalam sepuluh hari mendatang."
"Kendali?" "Oh. Aku akan" memperluas usahaku. Aku akan buka toko di London dan Paris." "Menarik sekali," ujar Peggy. "Dua minggu lagi aku akan mengadakan peragaan busana di New York. Aku harus ke sana untuk mempersiapkan semuanya."
Kendali menoleh ke arah Tyler. "Kau sendiri bagaimana" Apa yang akan kaulakukan dengan bagianmu dari warisan Ayah?"
Tyler berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku akan terjun ke bidang amal. Begitu banyak organisasi sosial yang layak dibantu."
Percakapan selanjurnya di meja makan tidak terlalu diperhatikannya. Ia menatap Woody, lalu Kendali. Kalau bukan karena aku, kalian tidak dapat apa-apa. Tak sepeser pun!
Ia menoleh ke arah Woody. Adiknya itu telah menjadi pecandu obat bius dan menyia-nyiakan hidupnya. Uang takkan bisa membantunya, pikir Tyler. Pating-pating dia akan menghabiskannya untuk membeli obat bius. Tyler bertanya-tanya dari mana Woody memperoleh obat itu.
la berpaling kepada adik perempuannya. Ken-
308 dall cerdas dan berhasil, dan ia telah memanfaatkan bakarnya semaksimal mungkin.
Marc duduk di sebelahnya. Ia sedang menceritakan kisah lucu kepada Peggy. Dia tampan dan menawan. Sayang dia sudah kawin.
Lalu masih ada Peggy. Tyler menjulukinya Peggy yang Malang. Ia tidak mengerti kenapa wanita itu tetap mau mendampingi Woody. Dia pasti cinta sekali padanya. Yang jelas, dia tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari perkawinannya.
Tyler membayangkan ekspresi mereka seandainya ia bangkit dan berkata, "Kendali Stanford Enterprises ada di tanganku. Aku mengatur pembunuhan Ayah, aku menyuruh jenazahnya digali lagi, dan aku menyewa seseorang untuk tampil sebagai adik tiri kita." Ia tersenyum sendiri. Memang sulit menyimpan rahasia senikmat rahasia yang dipegangnya.
Seusai makan siang, Tyler naik ke kamarnya untuk menelepon Lee. Tak ada yang menyahut. Dia pergi dengan orang lain, Tyler berkata dalam hati. Dia tidak percaya aku bakal beli kapal pesiar. Hak, aku akan membuktikannya! Kenapa surat wasiat brengsek itu belum disahkan juga" Aku harus menelepon Fitzgerald, atau pengacara muda itu, Steve Sloane.
Pintu kamarnya diketuk. Clark masuk. "Maaf, Hakim Stanford. Ada surat untuk Anda."
309 Pasti ucapan selamat dari Keitlu "Terima kasih Clark." Ia meraih amplop yang disodorkan pad^ nya. Alamat pengirimnya ternyata di Kansas City Sejenak Tyler menatapnya dengan bingung, kemudian ia membuka amplop dan membaca surat tersebut.
Hakim Stafford yang baik,
Saya kira Anda perlu tahu bahwa Anda mempunyai adik tiri bernama Julia. Dia putri Rosemary Nelson dan ayah Anda. Dia tinggal di Kansas City. Alamamya 1425 Metcalf Avenue, Apartemen 3B, Kansas City, Kansas.
Saya yakin Julia akan senang sekali mendapat kabar dari Anda.
Dengan hormat, Seorang teman
Tyler menatap surat itu dengan mata terbelalak. Ia merinding. "Brengsek!" serunya. "Tidak mungkin!" Mungkin dia penipu. Namun firasatnya mengatakan bahwa ia berurusan dengan Julia yang asli. Dia pasti mau menuntut bagiannya dari warisan Ayah! Bagianku, Tyler segera meralat. Dia tidak berhak. Dia tidak boleh ke sini. Semuanya akan "u: Aku terpaksa menjelaskan perihal Julia S?T h8i-Ia kembali merinding. "Tidak Dla t"? disingkirkan. Secepatnya.
Ia mengangkat gagang telepon dan memutar no-J"Hal Baker.
Bab 22 DOKTER ahli kulit itu menggelengkan kepala. "Saya sudah pernah menangani kasus serupa, tapi belum pernah ada yang separah kasus Anda."
Hal Baker menggaruk tangannya dan mengangguk.
"Ada tiga kemungkinan, Mr. Baker. Gatal-gatal di tangan bisa disebabkan oleh jamur atau alergi, tapi bisa juga berupa neurodermatitis. Contoh kulit tangan Anda yang saya periksa di bawah mikroskop menunjukkan bahwa penyebabnya bukan jamur. Dan Anda mengatakan Anda tidak menangani bahan kimia di tempat kerja Anda"." "Betul"
"Berarti kemungkinannya sudah dipersempit. Anda menderita lichen simplex chronicus, atau neurodermatitis lokal."
"Kedengarannya seram sekali. Ada yang bisa kita lakukan untuk mengobatinya?"
"Untung saja ada." Si dokter mengambil sebuah
tube dari lemari di sudut mang praktek dan membukanya. "Tangan Anda sedang gatal sekarang?"
Hal Baker kembali menggaruknya. "Ya, Rasanya seperti terbakar."
"Coba oleskan salep ini ke tangan Anda."
Hal Baker memencet tube itu dan mengoleskan salep ke tangannya. "Gatal-gatalnya langsung hilang!" ia berkata dengan gembira.
"Bagus. Gunakan salep ini, dan Anda takkan mengalami masalah lagi."
"Terima kasih banyak, Dokter."
"Saya akan menuliskan resep untuk Anda. Tube ini boleh Anda bawa."
"Terima kasih."
Hal Baker bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan pulang. Ini pertama kali tangannya tidak gatal sejak ia bertemu Hakim Tyler Stanford. Akhirnya ia terbebas dari siksaan yang menderanya. Sambil bersiul-siul, ia memarkir mobilnya di garasi dan masuk ke dapur. Helen telah menunggunya.
"Tadi ada telepon untukmu," ia berkata. "Dari Mr. Jones. Katanya penting."
Tangan Hal Baker langsung gatal lagi.
Ia pernah menggunakan kekerasan, tapi ia berbuat begitu demi anak-anaknya. Ia pernah melakukan kejahatan, tapi itu demi keluarganya. Hal Baker tidak percaya bahwa ia betul-betul bersalah. Namun ini berbeda. Ini pembunuhan, pembunuhan berencana.
Ketika ia membalas telepon itu, ia memprotes, "Saya tidak bisa berbuat begitu. Pak Hakim. Anda harus mencari orang lain."
Hening sejenak. Lalu, "Bagaimana kabar keluargamu?"
Penerbangan ke Kansas City berjalan lancar. Hakim Stanford telah memberikan instruksi mendetail. "Namanya Julia Stanford. Ini alamat dan nomor apartemennya. Dia takkan curiga. Kau tinggal pergi ke sana dan membereskannya."
Ia naik taksi dari Kansas City Downtown Airport ke pusat kota.
"Hari yang indah," sopir taksinya berkomentar.
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yap." "Anda dari mana?" "New York. Saya tinggal di sini." "Tempat yang enak untuk tinggal." "Memang. Ada beberapa perbaikan yang harus saya kerjakan di roman. Tolong antarkan saya ke
toko perkakas." "Oke."
Lima menit kemudian Hal Baker berkata kepada pelayan di toko itu, "Saya perlu pisau berburu."
"Kami punya bermacam-macam pisau, Sir. Silakan ikut saya." Pisau itu bagus sekali Panjangnya sekitar lima
belas senti, dengan ujung runcing dan sisi bergerigi.
"Apakah ini cocok untuk keperluan Anda?" "Ya, saya kira cocok," ujar Hal Baker. "Anda membayar tunai atau dengan kartu kredit?" "Tunai saja."
Setelah itu ia mampir di toko alat tulis.
Hal Baker mempelajari situasi gedung apartemen di 1425 Metcalf Avenue selama lima menit, serta mengamati semua pintu masuk dan keluar. Ia pergi dan kembali lagi pukul delapan malam, saat hari mulai gelap. Ia ingin memastikan bahwa Julia Stanford ada di rumah. Dari pengamatannya tadi ia tahu gedung itu tidak memiliki penjaga pintu. Di dalamnya ada lift, tapi ia memilih naik tangga. Ia tidak mau berada di tempat sempit dan tertutup. Tempat seperti itu merupakan perangkap. Ia naik sampai ke lantai tiga. Apartemen 3B berada di ujung lorong sebelah kiri. Pisaunya menempel di kantong dalam jasnya. Ia menekan bel. Sesaat kemudian pintu membuka, dan ia berhadapan dengan wanita berwajah menarik.
"Halo." Senyumnya menawan. "Bisa saya bantu?"
Wanita itu lebih muda dari yang diduganya, dan ia sempat heran kenapa Hakim Stanford menginginkan wanita itu dibunuh. Hmm, itu bukan urusanku. Ia mengeluarkan kartu nama dan menyerahkannya,
315 "Saya dari A.C. Nielsen Company,- ia berkata dengan tenang. "Kami belum mempunyai keluarga Nielsen di daerah ini, dan kami mencari orang yang mungkin berminat."
Wanita itu menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih." Ia hendak menutup pintu.
"Kami membayar seratus dolar per minggu."
Pintunya masih setengah terbuka.
"Seratus dolar per minggu?"
"Betul" Pintunya dibuka lebar-lebar.
"Anda hanya perlu mencatat nama semua program yang Anda tonton. Anda akan diberi kontrak untuk satu tahun."
Lima ribu dolar! "Masuklah," wanita itu berkata.
Hal Baker memasuki apartemennya. "Silakan duduk, Mr"."
"Allen. Jim Allen."
"Mr. Allen. Bagaimana Anda sampai bisa memilih saya?"
"Perusahaan kami melakukan pemilihan secara acak. Kami harus memastikan bahwa orang yang terpilih tidak menjalin hubungan dengan dunia pertelevisian dalam bentuk apa pun. Anda tidak mempunyai hubungan dengan program produksi TV atau jaringan tv, bukan?"
Wanita itu tertawa. "Oh, tidak. Apa sebenarnya yang harus saya lakukan"*
"Madah saja. Anda akan diberi daftar berisi
semua program TV, dan Anda tinggal memberi tanda setiap kali Anda menonton TV. Dengan demikian komputer kami dapat menghitung berapa banyak orang menyaksikan acara tertentu. Keluarga Nielsen tersebar di seluruh Amerika, jadi kami memperoleh gambaran yang jelas mengenai acara apa saja yang digemari di suatu tempat, dan oleh siapa. Apakah Anda tertarik?" "Oh, ya."
Hal Baker mengeluarkan bolpoin dan sejumlah formulir. "Berapa lama Anda menonton TV setiap harinya?"
"Tidak terlalu lama. Saya bekerja sepanjang hari." "Tapi Anda menonton TV?" "Oh, tentu saja. Siaran berita malam, dan kadang-kadang film tua. Saya suka Larry King."
Hal Baker membuat catatan. "Anda sering menonton siaran pendidikan?" "Saya nonton PBS setiap hari Minggu." "Oh ya, Anda tinggal sendiri di sini?" "Saya tinggal berdua dengan teman saya, tapi dia tidak di sini." Berarti tak ada orang lain. Tangan Hal Baker mulai gatal. Ia mulai meraih ke dalam kantong dalam untuk melepaskan pisaunya. Ia mendengar suara langkah di lorong. Ia berhenti.
"Tadi Anda bilang saya dibayar lima ribu dolar ini?""Betul. Oh. saya lupa. Anda juga akan memperoleh pesawat TV berwarna baru." "Wah, asyik juga!"
Suara langkah di luar berlalu. Hal Baker kembali meraih ke dalam kantong dan menggenggam gagang pisau. "Boleh saya minta segelas air?"
Tentu saja." Hal Baker memperhatikan wanita itu berdiri dan menghampiri bar kecil di pojok. Ia mencabut pisau dari sarungnya dan menghampirinya.
Wanita itu sedang berkata, "Teman saya lebih sering menonton PBS daripada saya."
Hal Baker mengangkat pisau, siap menikam.
"Tapi Julia memang lebih intelektual daripada saya."
Baker tersentak kaget. "Julia?"
Teman saya yang tinggal di sini. Atau pernah tinggal di sini. Dia pergi. Waktu saya pulang tadi, saya menemukan pesan bahwa dia pergi dan belum tahu kapan akan kem?" Wanita itu membalik sambil membawa gelas berisi air, dan melihat pisau di tangan Hal Baker. "Apa?""
Ia menjerit. Hal Baker langsung membalik dan kabur.
Hal Baker menelepon Tyler Stanford. "Saya ada di Kansas City, tapi gadis itu sudah pergi."
Apa maksudmu, pergi"
Teman seapartemennya bilang dia pindah."
Tyler membisu sejenak. "Firasatku mengatakan dia menuju Boston. Kau harus segera ke sini." "Ya, Sir."
Tyler Stanford membanting gagang telepon dan mulai berjalan mondar-mandir. Tadinya segala sesuatu begitu lancar! Gadis itu harus ditemukan dan disingkirkan. Ia merupakan gangguan yang tidak bisa didiamkan. Bahkan setelah kendali Stanford Enterprises jatuh ke tangannya, Tyler tahu ia takkan bisa tidur nyenyak selama gadis itu masih hidup. Aku harus menemukan dia, ia berkata dalam hati. Harus! Tapi di mana dia"
Clark masuk. Ia tampak bingung. "Maaf, Hakim Stanford. Ada seseorang bernama Julia Stanford yang ingin bertemu dengan Anda."
319 Bab 23 Karena Kendall-lah Julia memutuskan untuk pergi ke Boston. Suatu hari, sepulang makan siang, Julia melewati toko pakaian eksklusif dan melihat gaun rancangan Kendali dipajang di jendela. Lama ia berdiri sambil mengamati gaun itu. Dia kakakku, Julia berkata dalam hati. Aku tidak boleh menyalahkan dia atas nasib ibuku. Dan aku juga tidak boleh menyalahkan kakak-kakakku yang lain. Tiba-tiba saja ia merasakan hasrat yang menggebu-gebu untuk menemui mereka, untuk berbicara dengan mereka, untuk mendapatkan keluarga yang tak pernah di-milikinya.
Ketika Julia kembali ke tempat kerjanya, ia memberi tahu Max Tolkin bahwa ia akan pergi selama beberapa hari. Sambil menahan malu ia menambahkan, "Apakah sebagian gaji saya bisa dibayar di mukai?"
Toflan tersenyum. "Tentu saja. Memang sudah waktunya kau mengambil cuti. Ini. Selamat menikmati liburanmu."
320 Mungkinkah aku akan menikmati kunjungan ini" Julia bertanya-tanya. Ataukah ini justru kesalahan besar"
Ketika Julia sampai di rumah, Sally ternyata belum pulang. Aku tidak bisa menunggu dia, Julia memutuskan. Kalau tidak berangkat sekarang juga, aku takkan pernah pergi ke sana. Ia segera berkemas dan meninggalkan pesan.
Dalam perjalanan ke terminal bus, Julia dihantui kebimbangan. Ada apa denganku" Kenapa aku mendadak mengambil keputusan ini" Kemudian ia langsung meralat pikirannya sendiri. Mendadak" Aku telah menunggu selama empat belas tahun! Semangatnya menggebu-gebu. Kira-kira seperti apa keluargaku" Ia tahu salah satu kakak laki-lakinya hakim, yang satu lagi pemain polo tersohor, sedangkan kakak perempuannya perancang terkenal. Semuanya berhasil, pikir Julia. Tapi aku" Jantung Julia berdegup-degup ketika ia membayangkan apa yang menantinya. Cepat-cepat ia naik ke bus Greyhound, dan tidak lama kemudian ia sudah berangkat.
Setelah bus itu tiba di South Station di Boston, Julia memanggil taksi.
"Ke mana, Nona?" pengemudinya bertanya.
Dan seluruh keberanian Julia lenyap seketika. Sebenarnya ia berniat menyebutkan "Rose Hill". Namun nyatanya ia berkata, "Saya tidak tahu."
Si pengemudi taksi menoleh ke belakang. "Wah, saya juga tidak tahu."
"Bagaimana kalau kita putar-putar saja" Saya belum pernah ke Boston."
Si pengemudi mengangguk. "Boleh saja,"
Mereka menyusuri Summer Street ke arah barat sampai ke Boston Common. .
Si pengemudi berkata, "Ini taman tertua di Amerika. Dulunya dipakai untuk menggantung orang."
Dan Julia seakan-akan mendengar suara ibunya. Ibu sering mengajak anak-anak ke Common di musim dingin untuk bermain sepatu luncur. Woody atlet berbakat. Coba kalau kau sempat berkenalan dengan dia, Julia. Dia begitu tampan. Dari dulu Ibu percaya dialah yang paling menonjol di antara saudara-saudaranya." Julia merasa seakan-akan ibunya berada di sampingnya.
Mereka tiba di Charles Street, pintu masuk ke Public Garden. Si pengemudi berkata, "Anda lihat patung-patung anak bebek dari perunggu itu" Percaya atau tidak, semuanya punya nama."
"Kami sering berpiknik di Public Garden. Di pintu masuknya ada delapan patung anak bebek yang lucu. Nama mereka Jack, Kack, Lack, Mack, Nnck, Ouack, Pack, dan Quack," Julia menganggapnya begitu lucu, sehingga ia sering minta ibunya mengulangi rangkaian nama itu.
Julia menatap argometer. Perjalanannya mulai mahal. "Anda tahu hotel yang tidak mahal?"
"Tentu. Bagaimana dengan Copley Square Hotel?"
- "Tolong antarkan saya ke sana." "Oke."
Lima menit kemudian mereka berhenti di depan hotel itu.
"Selamat menikmati Boston, Nona."
"Terima kasih." Apakah aku akan menikmatinya atau malah menyesal karena telah datang ke sini" Ia menghampiri pegawai muda di balik meja penerima tamu.
"Halo," pemuda itu berkata. "Bisa saya bantu?"
"Saya ingin menyewa kamar."
"Single?" "Ya." "Berapa lama Anda akan tinggal di sini?"
Julia mengerutkan kening. Satu jam" Sepuluh tahun" "Saya belum tahu."
"Baiklah." Pegawai itu mengamati rak kunci. "Saya punya kamar single yang bagus untuk Anda. Di lantai empat."
"Terima kasih." Dengan tulisan tangan yang rapi Julia mencantumkan namanya di daftar tamu. JULIA STANFORD.
Si pegawai menyerahkan kunci. "Silakan. Nikmatilah kunjungan Anda."
Kamarnya ternyata kecil, namun rapi dan bersih. Begitu selesai membongkar koper, Julia menelepon Sally.
323 "Julia" Ya Tuhan! Di mana kau?" "Di Boston."
"Kau tidak apa-apa?" Sally bertanya dengan nada histeris.
"Ya. Kenapa?" "Ada laki-laki yang mencarimu ke sini, dan sepertinya dia mau membunuhmu!" "Apa maksudmu?"
"Dia bawa pisau dan" aduh, coba kalau kau sempat lihat tampangnya"." Sally terengah-engah. "Waktu dia tahu aku bukan kau, dia langsung kabur!"
"Masa sih?" "Katanya dia bekerja untuk A.C. Nielsen, tapi waktu aku menelepon ke kantor mereka, mereka ternyata belum pernah mendengar namanya! Kau punya musuh yang ingin mencelakakanmu ?"
"Tentu saja tidak, Sally! Yang benar saja! Kau sudah melapor ke polisi?"
"Sudah. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berpesan agar aku lebih waspada."
"Hmm, pokoknya aku tidak apa-apa. Jangan kuatir,"
Ia mendengar Sally menarik napas panjang. "Baiklah. Yang penting kau selamat. Julia?"
"Berhati-hatilah, oke?"
"Tents." Sally terlalu banyak nontan TV. Mana mungkin ada orang yang mau membunuhku" "Kau sudah tahu kapan kau akan pulang?"
Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan petugas penerima tamu tadi. "Belum." "Kau akan menemui keluargamu, bukan?" "Ya."
"Semoga berhasil." "Thanks, Sally."
"Kabari aku kalau sudah ada perkembangan, ya." "Beres."
Julia meletakkan gagang telepon. Ia tetap berdiri sambil memikirkan harus berbuat apa. Kalau mau pakai akal sehat, aku akan naik bus dan pulang ke Kansas City. Aku cuma membuang-buang waktu di sini. Apakah aku datang ke Boston untuk melihat-lihat kota" Tidak. Aku datang untuk menemui keluargaku. Sanggupkah aku menghadapi mereka" Tidak" Ya".
Ia duduk di tepi tempat tidur. Pikirannya kacau-balau. Bagaimana kalau mereka membenciku" Aku tidak boleh berpikir begitu. Mereka akan menyayangiku, dan aku akan menyayangi mereka. Pandangannya beralih ke pesawat telepon, dan. ia berkata dalam hati, Mungkin lebih baik kalau aku telepon dulu. Tapi jangan. Bisa-bisa mereka malah tidak mau menemuiku kalau begitu. Ia menghampiri lemari pakaian dan memilih gaunnya yang paling baik. Kalau tidak sekarang, kapan lagi"
Tiga puluh menit kemudian ia sudah dalam perjalanan ke Rose Hill untuk menemui keluarganya.
Bab 24 TYLER menatap Clark seakan-akan menduga ia salah dengar. "Julia Stanford" datang ke sini?"
"Ya, Sir." Suara kepala pelayan itu pun bernada bingung. "Tapi bukan Miss Stanford yang menginap di sini"
Tyler memaksakan senyum. "Tentu saja bukan. Aku kuatir yang ini penipu."
"Penipu, Sir?" "Ya. Mereka akan berbondong-bondong ke sini, Clark, dan berusaha memperoleh bagian dari harta keluarga."
"Oh. Apakah saya perlu memanggil polisi?"
Tidak," ujar Tyler cepat-cepat. Ia tidak ingin melibatkan polisi. "Biar aku saja yang menangani urusan ini. Suruh dia ke ruang baca."
"Baik, Sir." Tyler memeras otak. Akhirnya Julia Stanford yang asli muncul juga. Untung saja para anggota keluarga yang lain sedang tidak ada di rumah,
sehingga Tyler leluasa mengusir tamu yang tidak diharapkan itu.
Tyler memasuki ruang baca. Julia sedang berdiri di tengah ruangan dan menatap lukisan potret Harry Stanford. Tyler mengamati wanita itu sejenak. Ia cantik sekali. Sayang"
Julia membalik dan melihatnya. "Halo."
"Halo." "Kau pasti Tyler." "Betul. Siapa Anda?"
Senyum Julia langsung lenyap. "Kau belum?" Aku Julia Stanford."
"Oh ya" Maaf, tapi apakah Anda mempunyai bukti?"
"Bukti" Ehm, ya" aku" maksudku" bukan bukti. Aku hanya berasumsi?"
Tyler mendekat. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini?"
"Aku memutuskan sudah waktunya aku menemui keluargaku." "Setelah 26 tahun?" "Ya."
Penampilan dan cara bicara wanita itu tidak menyisakan sebersit pun keraguan dalam benak Tyler. Wanita di hadapannya memang Julia Stanford; ia berbahaya dan harus segera disingkirkan.
Tyler memaksakan senyum. "Hmrn, Anda tentu mengerti bahwa ini sangat mengejutkan bagi saya. Maksud saya, Anda tiba-tiba muncul dan?"
327 "Aku tahu. Dan aku minta maaf. Seharusnya aku menelepon dulu."
Tyler pura-pura berbasa-basi, "Anda datang seorang diri ke Boston?"
"Ya." "Apakah ada orang yang tahu Anda ada di sini?"
"Tidak. Kecuali teman seapartemenku, Sally, di Kansas City"." "Di mana Anda menginap?" "Di Copley Square Hotel." "Hotel bagus. Di kamar berapa?" "Empat sembilan belas."
"Baiklah. Bagaimana kalau Anda kembali dulu ke hotel, dan menunggu kami di sana" Saya perlu menyiapkan Woody dan Kendali untuk kejutan Anda. Mereka pasti sama kagetnya seperti saya."
"Sekali lagi maaf. Seharusnya aku?"
"Tidak apa-apa. Sekarang kita sudah bertemu, dan saya yakin semua persoalan bisa kita luruskan."
"Terima kasih."
"Sama-sama" Julia," Tyler nyaris tersedak ketika mengucapkan kata itu. "Saya akan memanggil taksi untuk Anda."
Lima menit kemudian, wanita itu sudah pergi.
Hal Baker bara saja kembali ke kamar hotelnya di pusat kota Boston ketika pesawat teleponnya berdering. Ia segera mengangkatnya.
"Hal?" "Maaf, Pak Hakim, tapi saya belum punya berita baru. Saya sudah menjelajahi seluruh kota. Saya pergi ke bandara dan?"
"Dia ada di sini, tolol!"
"Apa?" "Dia ada di Boston. Dia menginap di Copley Square Hotel, Kamar 419. Malam ini juga dia harus dibereskan. Dan jangan sampai ada kesalahan lagi, mengerti?"
"Kejadian di Kansas City bukan?"
"Mengerti?" "Ya, Sir." "Kalau begitu, kerjakan tugasmu!" Tyler membanting gagang telepon. Ia pergi mencari Clark.
"Clark, soa]^ wanita muda yang datang ke sini dan mengaku adikku?"
"Ya, Sir?" "Jangan katakan apa-apa kepada para anggota keluarga. Aku tidak ingin mereka kaget." "Saya mengerti, Sir."
Julia jalan kaki ke The Ritz-Carlton untuk makan malam. Hotel itu indah sekali, persis seperti yang digambarkan ibunya. Pada hari Minggu, Ibu biasa mengajak anak-anak sarapan di sana. Julia duduk di ruang makan dan membayangkan ibunya bersama Tyler, Woody, dan Kendall yang masih kecil. Coba kalau aku bisa menghabiskan masa kanak-kanak bersama mereka, ia berkata dalam hati. Tapi paling
329 tidak, aku akan bertemu mereka sekarang. Julia agak
terpukul karena sambutan Tyler. Kakaknya itu begitu" dingin. Tapi itu wajar saja, pikirnya. Tiba-tiba saja ada orang asing yang berkata, "Aku adikmu." Tentu saja dia curiga. Tapi aku percaya aku sanggup meyakinkan mereka.
Julia membelalakkan mata ketika menerima bon. Aku harus lebih hati-hati. Kalau aku terus menghambur-hamburkan uang, bisa-bisa uangku tidak cukup untuk beli karcis bus pulang ke Kansas City.
Ia meninggalkan The Ritz-Carlton tepat ketika sebuah bus wisata hendak berangkat. Tanpa pikir panjang ia menaiki bus itu. Ia ingin melihat sebanyak mungkin kota ibunya.
Hal Baker memasuki lobi Copley Square Hotel. Ia bersikap seperti tamu hotel dan langsung naik tangga ke lantai empat. Kali ini ia takkan melakukan kesalahan. Kamar 419 terletak di tengah-tengah koridor. Hal Baker memantau keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain, lalu mengetok pinta. Tak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi. "Miss Stanford?" Tetap tak ada yang menyahut.
Ia mengeluarkan kotak kecil dari saku dan memilih sebuah pencungkil. Dalam beberapa detik saja pintu Kamar 419 telah terbuka. Hal Baker melangkah masuk dan menutup pintu kembali. Kamar itu kosong.
"Miss Stanford?"
Ia masuk ke kamar mandi. Kosong. Ia kembali ke kamar tidur. Ia mengambil pisau dari kantong, menggeser kursi ke belakang pintu, lalu duduk dalam kegelapan, menunggu. Satu jam kemudian ia mendengar suara langkah mendekat.
Hal Baker segera bangkit dan berdiri di belakang pintu, dengan pisau di tangan. Ia mendengar kunci diputar, dan pinta mulai membuka. Hal Baker bersiap-siap. Pisaunya terangkat tinggi-tinggi, siap menikam. Julia Stanford melangkah masuk dan menyalakan lampu. Hal Baker mendengarnya berkata, "Baiklah. Silakan masuk."
Serombongan wartawan menyerbu ke dalam kamar.
sbook by otoy untuk koleksi pribadi.dilarang keras memperjual belikan ebbok ini karena dilindungi oleh undang undang ottoys@yahoo.com
Bab 25 ORANG yang tanpa sengaja telah menyelamatkan nyawa Julia adalah Gordon Wellman, night manager Copley Square Hotel. Ia mulai bertugas pukul enam sore, dan seperti biasa ia membaca daftar tamu. Ketika melihat nama Julia Stanford, ia langsung membelalakkan mata. Sejak kematian Harry Stanford, semua koran penuh dengan artikel-artikel mengenai keluarga Stanford. Skandal lama Harry Stanford dengan pengasuh anak-anaknya serta bunuh diri istrinya pun diungkit-ungkit kembali. Harry Stanford mempunyai anak tidak sah bernama Julia. Menurut kabar burung, wanita muda itu diam-diam berkunjung ke Boston. Tak lama setelah berbelanja di sejumlah toko, ia dikabarkan bertolak ke Amerika Selatan. Sekarang tampaknya ia telah kembali. Dan dia tinggal di hotelku! pikir Gordon Wellman dengan gembira.
la berpaling kepada petugas penerima tamu. "Kau sadar betapa besar nilai publisitasnya untuk hotel kita?"
Semenit kemudian ia sudah berbicara melalui telepon dengan pers.
Ketika Julia kembali ke hotel setelah berkeliling kota, lobi hotel dipadati wartawan yang telah menunggunya. Begitu melangkah masuk, ia segera diserbu.
"Miss Stanford! Saya dari The Boston Globe. Kami telah mencari Anda, tapi diberitahu Anda ke luar kota. Bisakah Anda menjelaskan?""
Sebuah kamera TV sedang membidiknya. "Miss Stanford, saya dari WCVB-TV. Kami ingin memperoleh pernyataan Anda"."
"Miss Stanford, saya wartawan The Boston Phoenix. Kami ingin tahu tanggapan Anda tentang?"
"Tolong menoleh ke sini, Miss Stanford! Senyum! Terima kasih."
Belasan lampu kilat berkelap-kelip.
Julia bingung. Oh, Tuhan, ia berkata dalam hati. Keluargaku akan mengira aku mencari publisitas. Ia berpaling kepada para wartawan. "Maaf, tapi tak ada yang bisa saya katakan kepada Anda."
Ia kabur ke lift. Para kuli tinta langsung mengejarnya.
"Majalah People akan menurunkan artikel tentang perjalanan hidup Anda. Para pembaca kami ingin tahu bagaimana rasanya terpisah selama 25 tahun dari keluarga Anda"."
"Kabarnya Anda sempat pergi ke Amerika Selatan"."
"Anda akan menetap di Boston?"" "Kenapa Anda tidak tinggal di Rose Hill?"" Julia meninggalkan lift di lantai empat dan bergegas menyusuri koridor. Para wartawan tetap menguntitnya. Ia tidak bisa lolos dari mereka.
Julia mengambil kunci dan membuka pintu kamarnya. Ia melangkah masuk dan menyalakan lampu. "Baiklah. Silakan masuk."
Hal Baker, yang bersembunyi di belakang pintu sambil menggenggam pisau, terbengong-bengong. Ketika para wartawan melewatinya sambil saling mendesak, ia segera menyimpan pisaunya dan bergabung dengan rombongan itu.
Julia berpaling kepada para wartawan. "Oke. Satu per satu."
Hal Baker mengenakkan gigi karena kecewa. Ia mundur ke pintu dan menyelinap keluar. Hakim Stanford takkan senang.
Selama tiga puluh menit berikut Julia menjawab semua pertanyaan sebaik mungkin, sampai semua wartawan merasa puas dan pergi. Julia mengunci pintu dan langsung pergi tidur.
Keesokan pagi, semua stasiun TV dan koran menampilkan berita mengenai Julia Stanfotd. Dengan geram Tyler membaca semua artikel
yang disajikan koran-koran. Woody dan Kendali
menemaninya di meja makan.
Siapa perempuan yang mengaku sebagai Julia Stanford itu?" tanya Woody.
"Dia penipu," Tyler menyahut cepat-cepat. "Dia datang ke sini kemarin dan menuntut diberi uang, tapi aku mengusirnya. Aku tidak menyangka dia akan mencari publisitas murahan seperti ini. Tapi jangan kuatir. Aku akan membereskan semuanya."
Ia menelepon Simon Fitzgerald. "Sudah baca koran pagi ini?" "Sudah."
J "Penipu ini mengaku kepada pers bahwa dia adik kami."
Fitzgerald berkata, "Anda ingin dia ditangkap polisi?"
"Tidak! Itu justru akan memperburuk keadaan. Saya minta Anda menyuruh dia meninggalkan kota Boston."
"Baik. Saya akan mengaturnya, Hakim Stanford."
"Terima kasih."
Simon Fitzgerald memanggil Steve Sloane.
"Ada masalah," ia memberitahunya.
Steve mengangguk. "Aku tahu. Beritanya ada di TV dan di koran-koran. Siapa dia?"
"Rupanya seseorang yang berharap bisa memperoleh bagian dari hatta keluarga. Hakim Stanford minta kita menyuruh dia pergi. Kau bisa menanganinya?"
335 "Dengan senang hati," sahut Steve.
Satu jam setelah itu, Steve mengetuk pintu kamar Julia.
Ketika Julia membuka pintu dan melihat pria yang tak dikenalnya, ia berkata, "Maaf, saya tidak mau lagi bicara dengan wartawan. Saya?"
"Saya bukan wartawan. Bolehkah saya masuk?"
"Siapa Anda?" "Nama saya Steve Sloane. Saya bekerja untuk kantor pengacara yang mengurus warisan Harry Stanford."
"Oh, begitu. Ya. Mari."
Steve melangkah masuk. "Anda memberitahu pers bahwa Anda Julia Stanford?"
"Saya kaget karena diserbu seperti itu. Saya tidak" menyangka saya akan dicegat wartawan, dan?"
"Tapi Anda mengaku putri Harry Stanford?"
"Ya. Saya memang anaknya."
Steve menatap Julia dan berkata dengan sinis, "Tentunya Anda mempunyai bukti untuk mendukung pernyataan Anda."
"Ehm, tidak," ujar Julia pelan-pelan. "Saya tidak punya bukti."
"Masa?" Steve mendesak. "Anda tidak mungkin datang ke sini tanpa membawa bukti apa pun." Ia ingin membongkar kedok wanita itu dengan kebohongannya sendiri.
"Saya tidak punya apa-apa," jawab Julia.
Steve menatapnya dengan heran. Wanita itu tidak seperti yang dibayangkannya. Ia memancarkan kepolosan yang membuat lawan bicaranya tak berdaya. Kelihatannya dia cerdas. Dia tidak mungkin begitu bodoh sehingga berani mengaku putri Harry Stanford tanpa membawa bukti sama sekali!
"Sayang sekali," ujar Steve. "Hakim Stanford minta Anda segera meninggalkan kota."
Julia membelalakkan mata. "Apa?"
"Anda diminta meninggalkan kota."
"Tapi" saya tidak mengerti. Saya bahkan belum sempat bertemu dengan kedua kakak saya yang lain."
Dia nekat mempertahankan sandiwaranya, pikir Steve. "Begini, saya tidak tahu siapa Anda, atau apa rencana Anda, tapi yang jelas, perbuatan Anda bisa menyebabkan Anda masuk penjara. Kami masih
memberikan kesempatan kepada Anda. Perbuatan Anda melanggar hukum. Anda boleh memilih: meninggalkan Boston dan berhenti mengganggu keluarga Stanford, atau kami akan minta Anda ditangkap."
Julia terbengong-bengong. "Ditangkap" Saya" saya?"
"Keputusannya ada di tangan Anda." "Mereka tidak ingin bertemu saya?" tanya Julia, seakan-akan tidak percaya.
"Sebenarnya, bukan sekadar itu."
Julia menarik napas panjang. "Baiklah. Kalau
337 itu yang mereka inginkan, saya akan pulang ke Kansas. Saya berjanji takkan menghubungi mereka lagi."
Kansas. Perjalanan yang cukup Jauh. "Sebaiknya memang begitu." Sejenak Steve Sloane menatapnya dengan bingung. "Hmm, selamat jalan."
Julia tidak menyahut. Steve berada di ruang kerja Simon Fitzgerald.
"Kau bertemu wanita itu, Steve?"
"Ya. Dia akan pulang." Steve tampak galau.
"Bagus. Aku akan memberitahu Hakim Stanford. Dia pasti akan senang."
"Terus terang, Simon, aku masih penasaran."
"Kenapa?" "Anjingnya tidak menyalak." "Maaf?"
"Cerita Sherlock Holmes itu. Kunci misterinya justru sesuatu yang tidak terjadi."
"Steve, apa hubungannya dengan?""
"Dia datang ke sini tanpa membawa bukti."
Fitzgerald menatapnya dengan heran. "Aku tidak mengerti. Itu semakin membuktikan bahwa dia penipu."
"Justru sebaliknya. Mana mungkin seseorang datang dari jauh, dari Kansas, dan mengaku putri Harry Stanford tanpa membawa bukti apa pun?" "Di dunia ini banyak orang aneh, Steve." "Seandainya kau sempat bertemu dia, kau akan
tahu dia tidak gila. Dan masih ada beberapa hal lain yang mengusikku, Simon." "Ya?"
"Jenazah Harry Stanford lenyap". Waktu aku mau minta keterangan dari Dmitri Kaminsky, satu-satunya orang yang menyaksikan kecelakaan yang dialami Harry Stanford, dia sudah menghilang". Dan sepertinya tak ada yang tahu ke mana Julia Stanford yang pertama."
Simon Fitzgerald mengerutkan kening. "Jadi?"
Steve berkata pelan-pelan, "Ada sesuatu yang perlu diselidiki. Aku akan bicara lagi dengan wanita itu."
Steve Sloane memasuki lobi Copley Square Hotel dan menghampiri meja penerima tamu. "Tolong panggilkan Miss Julia Stanford."
Pegawai di balik meja menoleh. "Oh, maaf. Miss Stanford sudah pergi."
"Apakah dia meninggalkan alamat tempat dia bisa dihubungi?"
"Tidak, Sir. Sayang sekali."
Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Steve mengenakkan gigi. Tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Hmm, mungkin aku memang keliru, ia berusaha menghibur diri. Kelihatannya dia memang penipu. Sayangnya aku takkan pernah tahu pasti. Ia membalik dan melangkah ke jalan. Penjaga pintu sedang mengantar sepasang tamu ke taksi.
"Maaf," Steve menyapanya.
Si penjaga pintu menoleh. "Perlu taksi, Sir?"
"Tidak. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu. Apakah Anda melihat Miss Stanford meninggalkan hotel tadi?"
"Ya. Semua orang memperhatikannya. Dia cukup terkenal. Saya sempat memanggilkan taksi untuknya."
"Anda tentu tidak tahu ke mana dia pergi?" Steve menahan napas.
"Oh, saya tahu. Saya sempat memberitahukan tujuannya kepada pengemudi taksi itu."
"Dan ke mana itu?" Steve mendesak.
"Ke terminal bus Greyhound di South Station. Saya agak heran kenapa orang sekaya itu menggunakan?"
"Tolong panggilkan taksi."
Steve masuk ke terminal bus Greyhound yang penuh orang dan memandang berkeliling. Namun Julia tidak kelihatan. Dia sudah pergi, pikir Steve kecewa. Seorang petugas sedang mengumumkan bus-bus yang akan berangkat, ?"dan Kansas City," orang ku berkata melalui pengeras suara. Steve segera bergegas ke peron.
Julia baru hendak menaiki bus.
"Tunggu!" seru Steve.
Julia menoleh. Ia tampak terkejut.
Steve bergegas menghampirinya. "Saya ingin bicara dengan Anda."
Julia menatapnya dengan gusar. "Tak ada lagi
yang perlu dibicarakan." Ia kembali berpaling ke pintu bus.
Steve meraih lengannya. "Tunggu dulu! Ada hal penting yang harus kita bicarakan."
"Bus saya sudah mau berangkat."
"Masih ada bus lain."
"Koper saya sudah dimasukkan ke bagasi."
Steve berpaling kepada petugas angkat barang. "Wanita itu mau melahirkan. Keluarkan kopernya. Cepat!"
Petugas itu menatap Julia dengan heran. "Oke." Cepat-cepat ia membuka bagasi. "Yang mana koper Anda?"
Julia menoleh ke arah Steve. "Anda serius?"
"Ya," jawab Steve.
Julia mengamatinya sejenak, lalu mengambil keputusan. Ia menunjuk kopernya. "Yang itu."
Petugas tadi langsung mengeluarkannya. "Perlu saya panggilkan ambulans?"
"Tidak. Terima kasih."
Steve mengangkat koper Julia, dan mereka menuju pintu keluar. "Anda sudah sarapan?"
"Saya tidak lapar," Julia menyahut dengan dingin.
"Anda harus makan sesuatu. Jangan lupa, Anda kini makan untuk dua orang."
Mereka sarapan di Julien. Julia duduk berseberangan dengan Steve. Sekujur tubuhnya kaku karena amarah.
Setelah memesan makanan, Steve berkata, "Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Atas dasar apa Anda menyangka bisa memperoleh bagian dari warisan Stanford, tanpa bukti apa pun mengenai identitas Anda?"
Julia menatapnya dengan gusar. "Saya tidak bermaksud menuntut bagian dari warisan itu. Ayah saya pasti tidak meninggalkan apa-apa untuk saya. Saya ingin bertemu keluarga saya. Tapi rupanya mereka tidak berminat bertemu saya."
"Barangkali Anda punya dokumen" atau bukti apa pun mengenai identitas Anda?"
Julia teringat kliping-kliping yang menumpuk di apartemennya dan menggelengkan kepala. "Tidak. Saya tidak punya apa-apa."
"Ada seseorang yang ingin saya perkenalkan kepada Anda."
"M Simon Fitzgerald." Steve tampak ragu. "Ehm?" "Julia Stanford."
Fitzgerald berkata, "Silakan duduk, Miss." Julia duduk di ujung kursi, siap berdiri lagi dan pergi.
Fitzgerald mengamatinya. Wanita itu bermata kelabu tua, ciri khas keluarga Stanford, tapi banyak orang mempunyai mata berwarna sama. "Menurut pengakuan Anda, Anda putri Rosemary Nelson."
"Saya tidak mengaku apa-apa. Saya memang putri Rosemary Nelson/"
"Dan di mana ibu Anda?" "Dia meninggal beberapa tahun lalu." "Oh, maaf. Bisakah Anda bercerita sedikit tentang dia?"
"Tidak," balas Julia. "Saya tidak mau membicarakan ibu saya." Ia berdiri. "Saya mau pulang saja."
"Kami berusaha membantu Anda," ujar Steve.
Julia menoleh ke arahnya. "Oh ya" Keluarga saya tidak mau bertemu saya. Anda mau menyerahkan saya ke polisi. Saya tidak butuh bantuan seperti itu." Ia mulai menuju pintu.
Steve berusaha mencegahnya. "Tunggu! Kalau Anda memang putri Harry Stanford, pasti ada sesuatu yang bisa membuktikannya."
"Saya sudah bilang, saya tidak punya bukti sama sekali," Julia menyahut. "Ibu saya dan saya menyingkirkan Harry Stanford dari hidup kami."
"Seperti apa ibu Anda?" Simon Fitzgerald bertanya.
"Dia cantik sekali," kata Julia. Nada suaranya melunak. "Dia begitu lembut?" Ia teringat sesuatu. "Saya punya fotonya." Ia melepaskan liontin emas berbentuk hati dari leher, dan menyerahkannya kepada Fitzgerald.
Sejenak Fitzgerald mengamati Julia, kemudian ia membuka liontin itu. Di satu sisi ada foto Harry Stanford, di sisi yang satu lagi foto Rosemary Nelson. Tulisan graver di bawahnya berbunyi;
343 IUNTUK RJN. PENUH CINTA, H.S. Tahu tercantum adalah 1969. n Simon Fitzgerald terus menatap liontin d" ngannya. Ketika ia menoleh dan anplr"* u-1 ta~ _, ,&Kat bicara
suaranya terdengar parau. "
"Tampaknya kami harus minta maaf ke Anda." Ia berpaling kepada rekannya. "Steve Julia Stanford yang asli." " Ini
344 Bab 26 KENDALL tidak sanggup melupakan percakapannya dengan Peggy. Kakak iparnya itu rupanya tidak mampu mengatasi situasi yang dihadapinya. "Dia berusa/ia keras". Aku betul-betul cinta padanya?"
Woody butuh bantuan, pikir Kendali. Aku harus melakukan sesuatu. Dia kakakku. Aku harus bicara dengan dia.
Kendali mencari Clark. "Mr. Woodrow ada di rumah?"
"Ya, Miss Kendall. Kalau tidak salah, dia ada di kamarnya."
"Terima kasih."
Kendali teringat adegan di meja makan, ketika Peggy muncul dengan wajah lebam. "Kenapa kau?" "Aku menabrak pintu"." Bagaimana*dia bisa tahan selama ini" Kendali naik ke lantai atas dan mengetuk pintu kamar Woody. Tak ada jawaban. "Woody?"
Ia membuka pintu dan melangkah masuk, seketika tercium bau kenari. Kendali berhenti sejenak, lalu menuju ke arah kamar mandi. Melalui pintu yang terbuka, ia melihat Woody sedang memanaskan heroin di atas sepotong kertas alumj. mum. Ketika obat bius itu mulai mencair dan menguap, Woody menghirup uapnya melalui sedotan yang ditempelkan ke mulutnya.
Kendali masuk ke kamar mandi. "Woody?""
Woody menoleh dan menyeringai. "Hai!" Ia kembali membalik dan menghirup uap heroin.
"Demi Tuhan! Hentikan itu!"
"Hei, tenang saja. Kau tahu apa namanya ini" Mengejar naga. Kaulihat naga kecil yang melingkar-lingkar di tengah asap?" Ia tersenyum bahagia.
"Woody, aku mau bicara denganmu."
"Boleh saja. Apa yang bisa kulakukan untukmu" Pasti bukan soal uang. Kita semua jutawan! Kenapa kau begitu murung" Matahari bersinar cerah, dan hari ini indah sekali." Matanya berkilau-kilau.
Kendali menatapnya dengan iba. "Woody, aku sempat bicara dengan Peggy. Dia cerita bagaimana kau mulai kecanduan obat di rumah sakit."
Woody mengangguk. "Yeah. Dan aku mengucap syukur."
"Seharusnya kau justru menyesal. Kau tidak sadar apa yang kaulakukan terhadap dirimu?"
"Tentu saja aku sadar. Aku menikmati hidup!"
Kendali meraih tangan kakaknya dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Kau butuh bantuan."
"Aku" Aku tidak butuh bantuan. Aku tidak apa-apa."
"Itu tidak benar. Dengarkan aku, Woody. Yang kita bicarakan adalah hidupmu, dan bukan hidupmu saja. Coba pikirkan Peggy. Selama bertahun-tahun dia harus hidup seperti di neraka, dan dia tetap bertahan karena dia mencintaimu. Kau bukan saja menghancurkan hidupmu, kau juga menghancurkan hidup Peggy. Kau harus menghentikan kebiasaanmu, sekarang juga, sebelum terlambat. Kenapa kau sampai kecanduan, itu tidak penting. Yang penting kau harus berhenti."
Senyum Woody menghilang. Ia menatap mata Kendali dan mulai mengatakan sesuatu, namun kemudian berhenti. "Kendali?"
"Ya?" Woody menjilat bibir. "Aku" aku tahu kau benar. Aku sendiri juga mau berhenti. Aku sudah berusaha. Sungguh. Tapi aku tidak sanggup."
"Tentu saja kau sanggup," Kendali membantah dengan tegas. "Kau pasti bisa, Woody. Peggy dan aku mendukungmu. Siapa yang menyediakan heroin untukmu?"
Woody menatapnya dengan heran. "Ya Tuhan! Kau belum tahu?"
Kendali menggelengkan kepala. "Belum."
"Peggy." 347 Bab 27 SIMON FITZGERALD masih terus mengamati liontin emas di tangannya. "Aku sempat mengenal ibumu, Julia, dan aku suka padanya. Dia begitu baik terhadap anak-anak Stanford, dan mereka memujanya."
"Dia pun begitu terhadap mereka," balas Julia. "Dia sering bercerita mengenai mereka."
"Nasib ibumu memang tragis sekali. Kau tidak bisa membayangkan betapa menggemparkan skandal itu. Dalam hal-hal tertentu, Boston tak ubahnya kota kecil. Harry Stanford bersikap sangat buruk. Ibumu tidak punya pilihan selain pergi." Fitzgerald menggelengkan kepala. "Kehidupan kalian berdua pasti sangat sulit."
"Ibu saya memang menderita. Dan yang paling menyakitkan, saya rasa dia tetap mencintai Harry Stanford." Ia menatap Steve. "Saya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa keluarga saya tidak mau bertemu saya?"
Kedua pria itu bertukar pandang. "Begini," ujar
Steve. Ia berhenti sejenak untuk mencari kata-kata yang tepat. "Beberapa waktu lalu, seorang wanita muncul di sini dan mengaku sebagai Julia Stanford."
"Tapi itu tidak mungkin!" ujar Julia. "Saya?"
Steve mengangkat sebelah tangan. "Saya tahu. Keluarga Anda menyewa detektif swasta untuk menyelidiki identitas wanita tersebut."
"Dan kemudian terbukti dia bukan Julia Stanford."
"Justru sebaliknya. Detektif itu membuktikan dia memang Julia Stanford."
Julia membelalakkan mata. "Apa?"
"Detektif itu melaporkan bahwa ia mendapatkan sidik jari yang katanya diambil ketika Julia Stanford berumur tujuh belas dan membuat SIM di San Francisco. Sidik jari itu sama dengan sidik jari wanita yang mengaku sebagai Julia Stanford."
Julia semakin bingung. "Tapi saya" saya belum pernah ke California."
Fitzgerald berkata, "Julia, yang kita hadapi mungkin suatu persekongkolan canggih untuk memperoleh bagian dari harta keluarga Stanford. Dan kelihatannya kau terjebak di tengah-tengahnya."
"Ya ampun!" "Siapa pun dalangnya, dia tidak mungkin membiarkan dua Julia Stanford berkeliaran."
Steve menambahkan, "Satu-satunya jalan agar rencana ini berjalan mulus adalah dengan menyingkirkan Anda."
349 "Yang Anda maksud dengan "menyingkirkan?"" Julia berhenti karena teringat sesuatu. "Oh, Tuhan!"
"Ada apa?" tanya Fitzgerald.
"Dua malam lalu saya menelepon teman saya, Sally, dan dia histeris. Dia bilang ada laki-laki yang mendatangi apartemen kami dan berusaha membunuhnya dengan pisau. Orang itu pikir Sally adalah saya!" Julia nyaris tak sanggup berbicara. "Siapa" siapa yang mengatur semuanya ini?"
"Seandainya saya disuruh menebak, saya akan mengatakan salah satu anggota keluarga Anda," ujar Steve. "Tapi" kenapa"
"Harry Stanford mewariskan uang dalam jumlah teramat besar, dan dalam beberapa hari surat wasiatnya akan disahkan di pengadilan."
"Apa hubungannya dengan saya" Ayah saya tak pernah mengakui saya sebagai anaknya. Dia tidak mungkin meninggalkan sesuatu untuk saya."
Fitzgerald meralatnya, "Sebenarnya, kalau kita bisa membuktikan identitasmu, bagianmu dari warisannya bernilai lebih dari satu miliar dolar."
Julia terbengong-bengong. Akhirnya ia berkata, "Satu miliar dolar?"
"Betul. Tapi rupanya ada orang lain yang mengincar uang tersebut. Karena itulah kau terancam bahaya."
"Hmm, begitu." Julia menatap mereka, dan ia mulai panik. "Apa yang harus saya lakukan?"
350 "Saya tahu apa yang tidak boleh Anda lakukan," sahut Steve. "Anda tidak boleh kembali ke hotel Anda. Saya minta Anda bersembunyi sampai kita tahu apa yang sedang terjadi."
"Saya bisa pulang ke Kansas sampai?"
Fitzgerald berkata, "Kukira lebih baik kalau kau tetap tinggal di sini, Julia. Kami akan mencarikan tempat persembunyian bagimu."
"Dia bisa tinggal di rumahku," Steve mengusulkan. "Takkan ada yang mencarinya di sana."
Kedua pria itu menoleh ke arah Julia.
Wanita itu tampak ragu-ragu. "Ehm" baiklah. Terima kasih."
"Oke." Julia berkata pelan-pelan, "Semuanya ini takkan terjadi kalau saja ayah saya tidak mengalami kecelakaan di laut."
"Oh, saya kira itu bukan kecelakaan," ujar Steve. "Saya kira dia sengaja didorong."
Mereka menggunakan lift servis untuk turun ke lantai parkir gedung perkantoran itu, lalu masuk ke mobil Steve.
"Tak seorang pun boleh melihat Anda," Steve menegaskan. "Kita harus menyembunyikan Anda selama beberapa hari berikut ini."
Mereka mulai menyusuri State Street.
"Bagaimana kalau kita.makan siang dulu?"
Julia menatapnya sambil tersenyum. "Sepertinya Anda menyangka saya selalu kelaparan."
351 "Saya tahu restoran yang tidak ramai di rumah tua di Gloucester Street. Saya yakin takkan ada yang melihat kita di sana."
L"Espalier terletak di rumah anggun peninggalan abad ke-19, dan menampilkan pemandangan yang memukau. Steve dan Julia disambut oleh sang captain ketika mereka masuk.
"Selamat siang," orang itu menyapa mereka. "Silakan ikut saya. Saya punya meja bagus di dekat jendela untuk Anda."
"Kalau Anda tidak keberatan," sahut Steve, "kami lebih suka meja yang menempel ke dinding."
Kepala pelayan ku mengejapkan matanya. "Menempel ke dinding?"
"Ya. Kami menginginkan privasi."
"Tentu saja." Ia mengajak mereka ke sebuah meja sudut. "Saya akan menyuruh pelayan ke sini." Ia mengamati Julia, dan tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. "Ah! Miss Stanford. Kunjungan Anda merupakan kehormatan bagi kami. Saya melihat foto Anda di koran."
Julia menatap Steve dengan pandangan bertanya-tanya.
Steve berseru, "Ya ampun! Anak-anak masih di mobil! Kasihan mereka." Ia segera berdiri dan menarik Julia. Dan kepada sang captain ia berseru, "Kami minta dua martini, jangan pakai buah zaitun. Kami akan segera kembali."
"Baik, Sir." Sang captain memperhatikan mereka bergegas meninggalkan restoran. "Ada apa?" tanya Julia.
"Kita harus pergi dari sini. Orang itu tinggal menelepon pers, dan kita akan dikeroyok wartawan. Kita pergi ke tempat lain saja."
Mereka menemukan restoran kecil di Dalton Street dan memesan makan siang.
Steve duduk sambil mengamati Julia. "Bagaimana rasanya jadi orang terkenal?"
"Tolong jangan bergurau tentang itu. Saya merasa serba salah."
"Saya tahu," Steve berkomentar dengan nada menyesal. "Maaf." Ia merasa nyaman di dekat Julia. Ia teringat sikapnya yang kasar saat mereka pertama kali bertemu.
"Menurut" menurut Anda saya betul-betul dalam bahaya, Mr. Sloane?" tanya Julia.
Misteri Kereta Api Biru 3 Pendekar Hina Kelana 33 Teror Si Pedang Kilat Tumpahan Darah Di Supit 1