Semoga Bunda Disayang Allah 1
Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye Bagian 1
Semoga Bunda Disayang Allah
Tere Liye Bisa dibaca secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan. Ditulis-kembali dari salah-satu film terbaik sepanjang masa.
"Baaa, maaa.... Baa.... Maa...."*)
*) "Moga Bunda Disayang Allah"
"Gelap! Melati hanya melihat gelap. Hitam. Kosong. Tak ada warna.... Senyap! Melati hanya mendengar senyap. Sepi. Sendiri. Tak ada nada...."
-tere-liye- DAFTAR ISI Jeruk Panas Special ... 7
Merah. Kuning. Hijau ... 25
Ribuan Kunang-Kunang ... 41
Tiga Tahun Lalu ... 61 Keterbatasan Melati ... 85
Pertemuan Pertama ... 107
Satu Minggu Berlalu ... 137
Gadis Lesung Pipit ... 167
Kursi. Kursi. Kursi ... 199
Gadis Berkerudung Lembut ... 227
Boneka Panda ... 245 Tarian Aurora ... 265 Keajaiban Telapak Tangan ... 291
Festival Kembang Api ... 311
Epilog ... 329 JERUK PANAS SPESIAL Apalagi hendak diucap, kota ini elok nian di pelupuk mata. Begitu indah ketika semburat matahari muncul di kejauhan horizon cakrawala. Membuat Jingga hamparan laut yang beriak tenang. Burung camar melengking mengisi senyapnya udara pagi. Ombak pelan menggulung bibir pantai. Buih membasuh butiran pasir yang halus bagai es krim saat diinjak.
Bayangan gedung-gedung, pepohonan, tiang listrik, kabel-kabel telepon terlihat menyenangkan di jalanan lengang. Satu-dua lampu taman berbentuk bola putih-susu masih menyala. Juga lampu neon panjang-panjang di depan ruko. Belum, atau lupa dimatikan. Membuat temaram tapi indah sudut sudut kota, berebut pesona dengan larikan cahaya matahari pagi. Syahdu. Bagai lukisan yang baik, tambahan satu larik saputan warna saja membuat lukisan itu jadi tidak enak lagi dilihat. Jadi jangan coba-coba malah iseng menambahkan objek baru. Di belakang kota, pebukitan seperti sabuk melingkar mengelilingi. Bak ksatria gagah, berdiri kokoh menjaga kota. Hutan hujan tropis lebat menutupi
pebukitan. Bagai sehelai beludru hijau sepanjang mata menatap. Hijau" Ah, tak juga, sepagi ini kabut putih sempurna mengungkung hijaunya dedaunan. Membuat pebukitan bagai selimut putih lembut, seperti kapas, seperti busa sabun, seperti entahlah.... Yang pasti memberikan nuansa melegakan.
Kota ini tidak kecil, juga tidak besar. Satu di antara belasan kota khas pelabuhan pesisir selatan yang nyaman.
Lembah luas yang subur menghampar dari batas kota hingga pebukitan, menyisakan tanah kosong, daerah pedesaan. Tanah yang hari ini dipenuhi oleh persawahan. Tunggulah setengah jam lagi, saat matahari beranjak dari garis lautan, ketika pagi mulai meninggi, pematang sawah juga mulai dipenuhi petani yang riang menjemput hari. Kepala dengan topi ilalang. Cangkul di pundak. Sepatu bot setinggi lutut. Dan bekal tiga potong pisang-rebus. Bakal nikmat nian, pukul 10.00 nanti istirahat sejenak di pondok rumbia setelah bekerja membersihkan gulma. Santai menyeduh segelas kopi hangat sambil menatap berisik burung pipit, kelepak bangau putih, dan lenguh kerbau berkubang. Sementara itu, di pelelangan ikan dekat pelabuhan, sejak shubuh sudah dipadati nelayan. Nelayan yang setelah semalaman akhirnya pulang dari melaut. Menumpahkan berember-ember udang sebesar lengan, cumi sebesar tinju, kepiting (rajungan) sebesar buku, dan tidak terhitung ukurannya ikan ikan. Mulai dari sebesar jari (ikan teri), sebesar
tampa (ikan pari) hingga ekstra-doubie-size segede paha (ikan kakap baronang-ronang"). Kalau lagi beruntung, rnalah ada yang pulang membawa 'hiu' sebesar lemari. Bukan main. Harga jualnya setara dengan persediaan solar untuk setahun. Di sini hiu memang mahal, sama bernilai dengan posisinya di lautan sebagai penguasa strata tertinggi rantai makanan.
Pemilik ruko-ruko juga mulai membuka partisi depan. Bunyi pintu aluminium di dorong terdengar ber-kereketan. Membuat gigi nyilu. Tapi mereka justru tersenyum, mendesah di sejuknya udara, berdoa lirih semoga hari ini pengunjung lebih banyak dari kemarin. Dan lebih penting lagi, semoga pengunjung pengunjung itu membawa uang lebih banyak juga (plus niat beli pula). Kan, nggak ada gunanya kalau toko cuma ramai doang, memangnya pasar festival. Anak-anak di rumah ramai beranjak mandi (sebenarnya bandel diteriaki agar mandi), gosok gigi gaya kilat (mana ingat mereka soal iklan menggosok gigi yang benar), menyemburkan busa sabun banyak banyak (bersih nggak bersih yang penting busanya banyak), kecipak-kecipak, tertawa, kecipak kecipak, terpeleset (mengaduh, meski sejenak kemudian tetap tertawa-tawa). Berganti pakaian sekolah dengan cepat. Memakai sepatu dengan cepat. Lantas teriak berpamitan. Wushh, macam mobil balap saja....
Pekerja kantoran juga sudah rapi dengan rambut klimis, kemeja lengan panjang wangi, celana katun tersetrika mulus (kelihatan banget dari lipatannya),
dan tak lupa sepatu hitam mengkilat. Sempat sarapan. Sempat mencium pipi istri dan anak-anak tercinta, sempat memberi 'petuah', lantas berpamitan. Menjemput hari.
Benarlah! Dalam setengah jam ke depan, kehidupan kota ini baru saja dimulai. Hari baru berikutnya sudah tiba. Sama indah dan menyenangkan dengan hari kemarin, juga hari kemarinnya lagi, juga hari kemarin-kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarin kemarin.... Aduh, kebanyakan kemarinnya ya" Cerita ini juga baru saja dimulai, meski di sana-sini sayangnya tidak selalu seindah kota ini. Menyedihkan malah, bahkan satu-dua membuat nafas terhela panjang. Tapi tak mengapa, semoga dengan begitu justru dapat memberi banyak pelajaran. Semoga....
"Bunda, bangun! Sudah pagi...." Melati berseru sambil melompat riang ke atas ranjang ukuran king-size. Tertawa.
Cahaya matahari pagi menyelisik celah krei. Membentuk garis di lantai keramik super-mewah kualitas ekspor. Cahaya yang seolah mengambang bersama kabut. Satu lariknya menimpa wajah Melati. Gadis kecil yang berumur 6 tahun. Mukanya lucu menggemaskan, layaknya kanak-kanak yang selalu senang mendengar kabar apa-saja. Rambut ikalnya mengombak (bandel tidak mau lurus-lurus juga meski disisir berjam-jam), pipinya tembam macam donut. Bola matanya hitam-legam seperti
biji buah leci. Dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. Jangan tanya gurat wajahnya. Kalian akan tertipu meski oleh seringai-bandel-nya. Kalian akan selalu bilang 'iya' demi menatap senyum manisnya. "Bunda, bangun! Bunda kesiangan, nih!" Jahil Melati menarik selimut ibunya. Berteriak lagi. Tertawa lagi. Merangkak lebih dekat. Mengeluarkan sehelai bulu ayam (yang diperolehnya kemarin dari Mang Jeje, tukang kebun). Jahil!
Bunda menggeliat, membuka mata. Pelan menyadari pagi. Kemudian tersenyum lebar demi menatap putrinya yang sedang merencanakan 'persekongkolan jahat', memainkan bulu ayam itu ke lubang hidung-nya. Bunda sebenarnya sudah bangun sejak shubuh. Malah sejak pukul dua tadi malam, di sepertiga akhir waktu terbaik yang dijanjikan. Menghabiskan sisa malam dengan bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah. Membuat basah ujung-ujung mukena. Berharap Tuhan akhirnya berbaik-hati memberikan jalan-keluar.... Satu larik cahaya matahari pagi lainnya menimpa wajah Bunda. Membentuk garis di pipi Bunda. Perempuan berumur empat puluh enam tahun. Hampir setengah baya. Wajah yang andaikata semua penat ini tak ada sungguh masih terlihat cantik. Lah, Melati saja begitu menggemaskan, jadi dari mana pula semua gen baik Melati itu berasal" Pasti dari ibunya, kan"
Sayang sejak tiga tahun terakhir, sisa-sisa kecantikan masa muda Bunda terhapus oleh getirnya kenyataan. Rambutnya memutih. Satu dua
malah lebih cepat tereliminasi oleh kurangnya kiriman sms eh perawatan, ding. Alias rontok. Sedikit beruntung kemarin Salamah, yang mengurus keperluan rumah membelikan semir rambut, jadi pagi ini Bunda 'terlihat' lebih muda sepuluh tahun. Hanya saja, tidak ada 'semir' untuk ekspresi muka, kerut wajah, atau pudarnya cahaya tatapan mata. Bunda memang selalu terlihat lembut, menyenangkan, wajah yang senantiasa menjanjikan perasaan damai dan tenteram, wajah keibuan yang memberikan perlindungan, tapi tetap tidak bisa disembunyikan gurat harapan yang dari hari ke hari semakin menipis. Harapan yang mulai dibujuk untuk menerima kenyataan, mengalah atas takdir.... "Bunda, mikir apa?" Melati menyeringai. Memutus lamunan.
Bunda mengusap matanya. Melipat dahinya. Seperti baru menyadari sesuatu. Hei! Apa ia tidak salah lihat" Apa semua pemandangan ini sungguh nyata" Melati yang sekarang merangkak di depannya. Yang nyengir lebar memamerkan gigi kelincinya. Bukankah pemandangan ini ganjil sekali" "Bunda kok melamun" Bunda masih sakit, ya?" Melati bertanya sekali lagi, dengan intonasi suara dan ekspresi wajah sok-serius.
Bunda gagap mengangguk, menelan ludah, masih amat terkejut melihat Melati yang tersenyum dengan wajah mendekat.
"Idih, dahi Bunda panas banget-" Tangan Melati menyentuh.
Ya, sudah dua hari ini tubuhnya tidak nyaman.
Sebenarnya Bunda tahu persis semua baik-baik saja, tapi perasaan yang semakin sesak, apalagi sejak kejadian dua hari lalu membuat fisiknya ikutan tidak nyaman. Sedikit demam. Sedikit flu. Sedikit pusing. Entahlah apa nama penyakit itu. Semuanya sedikit-sedikit. Kalau banyak demam, jelas itu pertanda demam. Atau banyak batuk, jelas itu penyakit batuk. Kalau sedikit-sedikit, Bunda tidak tahu.
Seharusnya selepas shubuh tadi ia sudah melakukan banyak hal. Membantu menyiapkan pakaian kerja suaminya, memastikan Melati di kamarnya, memastikan sarapan tersedia, memastikan ini itu. Memang semuanya bisa dibilang hanya 'memastikan', pernak-pernik pekerjaan rumah tangga sesungguhnya sudah diselesaikan oleh sembiian pembantu. Tapi Bunda tipikal ibu rumah tangga yang baik, selalu menyibukkan diri. Tidak hanya 'tidur-tiduran'.
Sayang, selepas shalat shubuh, tubuhnya terasa lemas sekali. Memutuskan beranjak lemah naik ke atas ranjang, berharap bisa kembali tertidur. Berharap setelah tidur sebentar fisiknya bisa membaik, tapi sekarang ia malah kesiangan. Mungkin suaminya enggan membangunkan, tidak tega melihat wajah lelahnya. Sepagi ini suaminya pasti sudah pergi ke pabrik, itu berarti hari ini tidak ada ritual kecupan mesra di kening, berpamitan.... Bunda menghela nafas, berusaha duduk ber-sandarkan bantal.
"Teeet! Bunda kok masih melamun?" Melati nyengir
lebar, tertawa. Tangannya memainkan bulu ayam yang urung buat jahiiin Bunda.
"Ah-ya! Barusan Melati buatkan Bunda air jeruk panas di dapur...." Gadis kecil itu seperti teringat sesuatu, bola mata hitam biju buah lecinya berkerjap-kerjap lucunya.
"Sebentar, Melati ambilkan, ya!" Tanpa ba-bi-bu lagi Melati sudah gesit lompat dari tempat tidur. Piyama birunya bergerak-gerak, rambut ikalnya bergoyang-goyang, ia buru-buru menyeret kakinya yang beralaskan sandal tidur berhias kepala kelinci. Bunda tetap gagap. Sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Ya Allah, apa ia tak salah lihat" Apa ini untuk kesekian kalinya mimpi-mimpi itu menipunya" Bunda beranjak ingin memperbaiki selimut, Belum sempat. Menelan ludah. Kaget. Melati sudah kembali sambil berjinjit pelan membawa gelas besar. Cepat sekali" Hanya sekejap" Bagaimana mungkin" Bukankah dapur ada di lantai satu, berjarak 30 meter, melewati dua puluh anak tangga pualam melingkar berplitur dan berukiran mahal"
Bunda tak sempat berpikir panjang. Menatap gelas yang dipegang putri semata wayangnya. Uap mengepul perlahan dari cangkir besar. Jeruk panas" Ya, Bunda selalu memberikan secangkir jeruk panas untuk Melati kalau gadis kecilnya sedang flu. Membantu meminumkannya dengan amat sabaaar.... Sekarang" Melati-nya yang menghantarkan segelas jeruk panas. Berhati-hati sekali, takut tumpah. Mengenggam erat-erat piring
tatakannya bahkan dengan kedua belah telapak tangan.
"Jeruk panas spesial buatan Melati! Silahkan diminum. Nyonya" Melati mengulurkan cangkir itu. Meniru pelayan yang sering dilihatnya di restoran-restoran. Mata hitam biji buah lecinya begitu memesona. Tersenyum amat manisnya. Amat menggemaskan.
Dan Bunda seketika menangis.... Tersedu! Ya Allah, ia tahu sekali. Ini lagi-lagi mimpi-mimpi itu.... Ini lagi-lagi harapan itu.... Semuanya terasa sesak. Amat sesak. Kenapa Engkau tega sekali membuatnya seolah nyata"
"Ken-nap-pa Bunda menangis?" Melati menyeringai, bingung.
Aduh, ia kan mau ngasih Bunda jeruk panas.... Kok Bunda malah nangis" Melati kan nggak nakal" Nggak bandel" Nggak teriak-teriak seperti biasanya. Rambut ikal Melati bergerak-gerak (karena ia sok-dewasa mengaruk-garuk kepalanya, sibuk berpikir).
Tubuh Bunda malah semakin bergetar, terisak semakin kencang, mencengkeram ujung-ujung seprai. Lihatlah, putri semata wayangnya begitu nyata tersenyum padanya. Kanak-kanak kecilnya begitu nyata mengulurkan cangkir itu. Semua ini kejam sekali, ya Allah.... Sudah setahun terakhir, bahkan semua asa yang tersisa itu tega masuk ke dalam belahan otak tak-sadarnya, melukiskan janji-janji kesembuhan. Merangsek ke dalam mimpi-mimpinya. Semua ini kejam sekali, ya Allah!
"Bunda kenapa nangis" Air jeruknya 'gak enak, ya" Tapi, kan. Bunda belum minum" Masa' Bunda tahu kalau ini enggak enak?" Melati melipat dahi, bertanya lagi. Kedua tangannya tetap terjulur. "Ergh, sebentar Melati 'icip' dulu, ya!" Gadis kecil itu setelah sekian lama bingung menatap ibu-nya tetap tidak bergerak berinisiatif mengambil cangkir itu, menarik lagi tangannya.
Wajahnya mengernyit saat menyeruput jeruk panas. Nyengir amat lebarnya, "Eh-iya, asam banget.... Iiih...." Mengernyit lagi, "Melati lupa ngasih gulanya...." Tertawa malu. "Sebentar Melati ambil gula di dapur!" Gadis kecil itu sekali lagi bergegas turun dari ranjang besar. Buru-buru seakan takut jeruk panas itu seketika dingin dan tidak segar lagi diminum. Sayang, kali ini Melati tidak hati-hati. Kaki kanannya tersangkut ujung selimut. Limbung. Kanak-kanak itu berseru pelan, kaget. Dan dalam hitungan seperseribu detik, air jeruk panas itu tumpah-ruah. Seketika sempurna membasahi wajah Bunda....
Dan Bunda seketika juga terbangun!
Sepuluh kilometer dari rumah besar, mewah dan indah di lereng bukit tadi. Di saat yang bersamaan. Di sudut kota yang padat, sumpek dan gerah. Nasib! Meski padat dan terlihat agakyyyuh, sepotong sudut kota ini tetap saja terlihat menarik. Rumah-rumah berhimpitan seperti ratusan jamur merekah di musim penghujan. Melihatnya bagai
menyaksikan film-film Amerika Latin yang full-power dengan budaya gipsi itu. Pemandangan klasik yang hebat!
Rumah dua-tiga lantai. Gang-gang sempit. Jendela bertemu jendela di lantai dua. Berseberangan. Pot-pot bunga bertebaran di teras-teras atas. Begitu dekat hingga ujung-ujung rantingnya saling bersentuhan. Malah satu-dua kalian dengan mudah bisa melangkah dari satu teras ke teras lainnya. Makanya di komplek ini ngetop banget istilah: 'Pacar Seberang Jendela'. Yang cewek malu-malu mengintip di balik tirai jendela, yang cowok gaya bermain gitar, kencang-kencang, sudah macam burung cendrawasih yang menggoda pasangan dengan memekarkan ekornya tinggi-tinggi. Matahari juga semakin tinggi. Gang-gang dipenuhi oleh celoteh anak-anak yang berangkat sekolah. Berlarian. Saling menarik tas. Topi. Menarik celana (ada yang merosot, nggak pake gesper sih). Tertawa. Celoteh ibu-ibu yang mengerumuni tukang sayur. Hmm, mereka sih beli sayurnya hanya butuh setengah menit, berseru "Biasa, Bang!" Lantas si Abang sayur yang hafal mati menu Senin-Minggu satu komplek perumahan itu segera mengeluarkan pesanan ibu-ibu tadi. Uang berpindah-tangan. Selesai. Tapi lima belas menit berikutnya dihabiskan ibu-ibu untuk membahas topik-topik hangat tetangga sekitar. Laporan saksi mata. Live! Keren banget, padahal sebenarnya kata simpelnya yaaa, gos-sip! Jadi kalau mau tahu urusan satu komplek, interogasi saja tukang sayur!
Di salah-satu rumah dekat ibu-ibu berkerumun tadi, persis di lantai dua yang sempurna berbentuk ruangan besar berukuran 6x9 meter tanpa partisi. Ruangan dengan perabotan hanya ranjang kayu kusam. Di atas ranjang kayu tua itu, kusut-masai seorang pemuda.
Tertidur telentang. Sendirian. Sembarangan. Wajahnya jauh dari rapi. Malah kalau sekilas seram melihatnya. Seperti ngelihat preman terminal bus antar-kota antar-provinsi. Kumis melintang, cambang tak terurus. Rambut panjang bak rocker yang sudah berbulan-bulang tidak keramas. Jangan tanya ada berapa kutu di rambutnya. Mungkin kutunya sudah beranak-pinak lima generasi. Kamar itu seharunya terasa lapang. Apalagi dengan langit-langit tinggi. Tapi nyatanya pengap. Bagaimana tidak" Jendelanya selalu tertutup rapat 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Padahal jendela besar kamar itu persis menghadap lautan luas. Jadi kalau pemiliknya mau sedikit saja menyisihkan tenaga membukanya, hamparan elok pemandangan matahari terbit langsung terbentang sepanjang mata.
Buku-buku berserakan di sekitar ranjang tua. Tidak terurus. Digigitin kecoa, dikencingi tikus. Pakaian kotor bergelantungan di dinding, jadi tempat favorit nyamuk bersembunyi. Jeans belel. Kemeja kumal. Kaos cokelat (kecokelatan karena kotor, bukan karena warnanya memang cokelat). Sebuah mesin ketik tua tergeletak di atas meja kecil. Di sebelahnya berdiri termos air panas berwarna
hitam. Juga gelas kecil bermotif snoopy. Sisanya berantakan. Pengap.
Penghuninya seperti tidak peduli. Juga tidak peduli dengan berisik siaran langsung di gang sempit bawah. Tidur dengan tarikan nafas berat. Bau alkohol tercium pekat dari mulut. Pemuda berumur 27 tahun. Tidur dengan sepatu masih di kaki. Baru pulang shubuh tadi. Terlalu lelah. Terlalu penat. Terlalu sesak. Terlalu....
Begitu saja hidupnya tiga tahun terakhir. Macam kalong. Tidur di siang hari. Berjaga penuh di malam hari. Menghabiskan dingin dan lengangnya malam sambil menggerutu di kedai minuman, bar tengah kota. Duduk di pojok ruangan. Sendirian. Menatap galak ke siapa saja yang mencoba basa-basi bertegur sapa (termasuk waitress genit yang mengantarkan botol bir). Gesture wajah dan gerakan tubuhnya jelas sekali: Pergi!! Biarkan aku sendiri!
Matahari semakin meninggi. Pemuda kita masih tertidur.
Terdengar suara sandal kayu yang diseret di anak tangga menuju kamar besar 6x9 meter itu. Berkeriutan. Rumah itu sudah tua, meski arsitekturnya yang gaya banget (peninggalan rezim kolonial VOC) membuatnya terlihat antik dan elegan. Pemilik rumah, ibu-ibu gendut berusia setengah baya sedang berusaha menaiki anak tangga. Sedikit tersengal membawa tubuhnya. Pelan membuka pintu kamar. Menghela nafas panjang. Sekilas menatap pemuda yang masih tidur
tertelentang. Lantas melangkah menuju meja kecil. Mengganti termos lama dengan yang baru. Ia tahu, air-air ini jarang disentuh, tapi tak mengapa, setidaknya ritual pagi ini memastikan kalau anak-muda ini masih bernafas.
Ibu-ibu gendut dengan wajah sabar-keibuan itu sekali lagi menatap sekilas pemuda di atas ranjang sebelum keluar dari kamar. Menatap prihatin. Menyeka ujung-ujung matanya yang selalu sembab. Berbisik pelan di pengapnya langit-langit, "Semoga Engkau akhirnya berbaik hati, Tuhan.... Lihatlah, dalam tidurnya, dalam mabuknya, dalam kondisi seperti ini, wajahnya tetap terlihat amat teduh.... Semoga Engkau akhirnya berbaik hati...."
Bunda mengusap wajahnya yang basah. Mengeluh tertahan. Semua ini terasa menyakitkan. Bagaimana tidak" Ketika kalian tahu dan sadar persis apa yang sedang kalian mimpikan ternyata hanyalah sebuah 'mimpi'. Bukankah mimpi dalam tidur tidak akan terasa indah lagi saat kalian justru dalam mimpi itu sendiri menyadari semuanya bohongi Ah, padahal mimpi dalam tidur bisa menjadi obat pengurang rasa sakit dari kenyataan pahit yang panjang, kenapa pula jadi sebaliknya. Air jeruk panas membuat kuyup selimut. Tangan Bunda gemetar menyingkapkannya, memandang nanar Melati yang bersungut-sungut di sebelah ranjang, sedang memainkan sehelai bulu ayam. "BA.... BAAA... MAAA...." Berteriak. Bunda mengusap keningnya. Mengambil gelas yang
tergeletak tumpah di dekat bantal. Air jeruk ini mungkin disiapkan Salamah tadi pagi. Atau juga oleh suaminya sebelum berangkat. Badannya masih terasa lemah. Mencoba duduk. Beranjak turun dari ranjang.
"BAA.... MA.... AAA...." Berteriak lagi. Melati memukul-mukul meja dekat ranjang. Menarik gagang telepon. Melemparnya sembarangan. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Baju tidurnya berantakan. Tangannya seperti moncong tapir yang mencari-cari semut di dalam lubang pohon, bergerak-gerak, menjalar tidak terkendali. Kepalanya bergerak-gerak miring. Matanya yang hitam bagai biji buah leci berputar-putar. "Kau sudah bangun, sayang?" Bunda bertanya lemah, berusaha tersenyum, meski seluruh dunia tahu senyuman itu percuma. Sama percumanya dengan pertanyaannya barusan. Melati terus meraba-raba. Tidak peduli. Tidak mendengarkan. Tiba di tepi ranjang, menyibak bantal. Mulutnya terbuka, mendesiskan suara yang tak berbentuk kata. Wajah kanak-kanak yang baru bangun tidur itu menjulur ke depan. Wajah yang terlihat tetap menggemaskan, tidak peduli sebesar apapun takdir menyakiti-nya.
"Terima-kasih sudah membangunkan Bunda, sayang!" Bunda lembut meraih tangan putri semata wayangnya. Tertatih mencoba berdiri. Menghela nafas pelan. Bunda tahu persis tak ada siapa yang membangunkan siapa. Ini hanyalah ritual pagi Melati. Mana mengerti Melati tentang tidur dan bangun-
"Aduh, pakaian Ibu basah! Basah kenapa?" Terdengar seruan dari bingkai pintu kamar tidur. Salamah bergegas masuk sambil berseru rada-rada-panik seperti biasanya. Salamah tadi mendengar teriakan Melati dari dapur, bergegas datang.
"Tidak apa-apa, Salamah! Basah sedikit. Melati tidak sengaja melemparkan gelas air jeruk!" Bunda menoleh, tersenyum.
"Aduh, maaf! Seharusnya Salamah letakkan gelasnya di tempat yang lebih tinggi! Aduh, Salamah lupa lagi...." Salamah mendekat rusuh. Berusaha membereskan sisa 'keributan'. "Pakaian Ibu harus diganti-"
"Nanti saja, setelah sarapan." Bunda menggeleng tegas, tetap tersenyum, membantu menyerahkan gelas (beruntung gelas itu menghantam bantal di sebelahnya). Hanya kejadian kecil. Tingkat sabarnya tiga tahun terakhir sungguh melesat berpuluh-puluh kali lebih tinggi dibandingkan siapapun.
"Ba.... Ma.... A...." Melati berseru, sudah berjalan sembarang arah.
"Kita sarapan, sayangi" Bunda mendekatinya, gemetar meraih tangan Melati. Membimbingnya berjalan.
Gemetar" Tangannya terasa lemas. Berpikir mungkin hari ini ia harus memanggil dokter keluarga. Minggu minggu ini ia tidak ingin sakit lagi. Apalagi sakit parah. Selelah apapun otak dan fisiknya, ia tidak ingin sakit.... Itu akan merepotkan banyak orang.
Teringat tiga tahun lalu saat rasa putus asa yang mengungkungnya siang-malam akhirnya membuat ia jatuh sakit selama sebulan. Thypus. Saat semua orang sibuk merawatnya, sibuk mengurusnya. Melati yang terlupakan, hampir loncat dari teras lantai dua.
Teras indah yang biasa ia gunakan bersama suaminya untuk menatap siluet lampu kota dan berjuta bintang di angkasa. Menatap hamparan persawahan, dan lautan di kejauhan. Teras, yang sekarang ditutup rapat. Tak ada lagi celah di antara tiang-tiang pahatan mahal itu.
"Ayo, sayang, kita sarapan!" Bunda menggenggam tangan Melati.
"Ma.... A.... Ba...." Melati menggerung pelan, tertatih menurut mengikuti langkah Bunda, meski ia tidak tahu, meski ia tidak pernah mengerti kalimat-kalimat itu.
Sambil melangkah, Melati terus sibuk memainkan bulu ayam di tangannya. Selarik cahaya matahari pagi lainnya menerabas jendela kaca membasuh kedua tubuh yang berjalan bersisian menuju pintu kamar itu. Ornamen jendela kaca membuatnya berpendar-pendar. Pertunjukan cahaya yang menawan.
"Siapa yang kasih bulu ayam, sayang?" Bunda
bertanya pelan. Melati hanya menceracau- Merah. Kuning. Hijau Langit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya angin yang menderu-deru membuat semakin kelam dan tegang suasana. Perahu itu macam sabut di galaknya lautan luas....
"PELANKAN! PELANKAN LAJU PERAHU!" Salah satu awak kapal yang berdiri di buritan berteriak kencang. Panik!
Nahkoda perahu dengan tangan liat-basah berke-ringatan mencengkeram kemudi, berusaha mengendalikan gerak kapal. Mengatupkan gigi geraham. Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap awas. Dahinya berkeringatan. Cemas! "AWAS OMBAK BESAR DI HALUAN KANAN!" Nahkoda memutar kemudi. Melintir. Perahu meliuk. Menghindar.
"TAHAN!! AWAS OMBAK!!"
Nahkoda sekali lagi membanting kemudi. Perahu berderit. Terangkat ke atas ujung-ujung gelombang lautan. Lantas seperti dibantingkan, berdebam jatuh seiring gerakan liar ombak besar. Lambung
kapal bergetar. Tiang-tiang kayu bergemeletukan. Membuat pias seluruh penumpangnya. "CTAR!" Kilat menyambar. Langit gelap tertutup awan mendadak terang-benderang. Semburat cahaya seperti akar serabut melukis langit. Pemandangan yang memesona (sekaligus mengerikan). Wajah-wajah semakin gentar. Berpegangan erat apa saja.
"AWAS!!! SEBELAH KIRI!" Teriakan awak kapal terdengar serak.
Nahkoda gesit memutar kemudi lagi.
Badan-badan menggigil ketakutan. Sejak setengah
jam lalu. Badan-badan kecil itu sudah menciut.
Pucat-pasi. Tidak ada suara meski hanya decit
tertahan. Saling berpegangan tangan erat-erat.
Takut! "SEBELAH KANAN!" Awak kapal berteriak lagi. Nahkoda semakin gugup, berusaha memutar cepat kemudi. Badai ini benar-benar menguras segalanya. Kapal terangkat lagi tinggi-tinggi. Lantas sekejap, berdebam lagi. Membuat semakin pias wajah kanak-kanak itu.
Boneka panda itu akhirnya terjatuh dari genggaman tangan (yang akhirnya melemah karena gentar). Menggelinding pelan di lantai perahu. Mental satu-dua mengikuti gerakan perahu yang semakin tak terkendali. Membal.... Atas.... Bawah.... Atas.... Bawah.... Bergulingan.... Kiri.... Kanan.... Kiri.... Kanan....
"GELEGAR!" Guruh menyalak, enam detik setelah kilat tadi, berdentum memekakkan telinga, beradu
dengan teriakan panik awak perahu nelayan dan penumpangnya.
Gerakan boneka panda itu tertahan di dinding kapal....
Gemetar Qintan, setengah-takut setengah-cemas atas nasib bonekanya merangkak berusaha mengambilnya....
"JANGAN LEPASKAN PEGANGAN, QINTAN!"
Gadis kecil itu menoleh takut-takut. Tapi
bonekanya" Bonekanya"
"TETAP DI TEMPAT, QINTAN!" Yang barusan berseru kencang menengahi hingar-bingar suara badai itu, berusaha memegangi tubuh gadis kecil yang sudah setengah merangkak. "DNTUM!"
Terlambat. Semua terbanting! Seketika!
Dan pemuda 27 tahun dengan cambang buruk,
rambut panjang awut-awutan, mulut bau alkohol itu
juga terbanting. Jatuh dari tempat tidur tua. JDUT!
Kepalanya menghantam sisi-sisi ranjang.
Dengan mata merah setengah terbuka, tangan
menggapai-gapai, pemuda itu berusaha duduk
sambil memaki-maki pelan....
Matahari sudah lama tinggi, saking tingginya malah sudah jatuh lagi. Pemuda itu mendesis. Mengusap dahinya yang rada-rada benjut. Merah. Mengusap pipinya yang penuh iler. Jorok! Tidak peduli. Menyeka matanya sekali lagi. Menatap sekitar berkunang-kunang. Senja. Sudah pukul 16.30. Setidaknya begitulah apa yang terbaca dari jam tua bertuliskan kata 'Seiko' di dinding.
"Jarum panjang di angka enam, jarum pendek di angka delapan.... Ergh.... Jadi, jadi, ergh, jangan! Jangan bantu Qintan! Biar Qintan yang jawab.... Ergh.... Setengah, setengah,.... Aduh, Kak. Karang jangan bantu Qintan... setengah, setengah delapan! Iya, kan?" Tertawa lebar, merekah senang bisa menjawab pertanyaan yang diberikan. Pemuda itu melenguh lemah.
Berusaha duduk di pinggir-pinggir ranjang. Mimpi buruk ini.... Mimpi buruk lagi! Tiga tahun lamanya.... Dia selalu terbangun oleh mimpi buruk. Haus. Kerongkongannya terasa haus. Mendengus tidak peduli. Maksudnya bukan tidak peduli atas rasa hausnya, tapi berusaha tidak peduli atas potongan kenangan barusan yang melesat memenuhi setiap mili otaknya. Berdiri tertatih. Terhuyung. Nyeri. Badannya terasa nyeri. Kepalanya juga terasa sakit sekali. Melangkah menuju pintu kamar. Kakinya tersangkut salah satu buku tebal di atas lantai kayu. "Simon Freud, Analisis Psikis Anak-Anak". Tidak peduli. Pemuda itu menendang buku tersebut. Anak tangga berkeriutan. Berisik. Selalu begini. Tapi, setidaknya ada gunanya juga, suara menjengkelkan ini membuatnya selalu terjaga. Membuatnya sadar, tidak kehilangan kendali keseimbangan tubuh meski dia pulang dini hari dan amat mabuknya. Terus melangkah menuju dapur. Melewati ruang tengah. Ibu-ibu gendut pemilik rumah menoleh. Meletakkan rajutan di tangan. "Kau sudah bangun. Karang?"
Pemuda itu mendengus. Tentu saja! Bagaimana dia
bisa berjalan tertatih-tatih kalau masih tidur" Selalu pertanyaan bodohi Apa orang bule bilang" Just making conversation!. Hanya mencoba membuat percakapan. Omong-kosong. Di kota ini kalimat menyebalkan itu disebut basa-basi. Dan itu benar-benar basi tidak ada gunanya. Pemuda kusut-masai itu tidak peduli, terus melangkah menuju dapur, yang terpisah oleh dinding bata tipis dengan ruang tengah. Meraih tempat air plastik. Langsung menegak dari leher angsanya. Tumpah. Membasahi kerah baju. Merembes hingga ke bawah.
Ibu-ibu gendut itu berdiri dari kursi rotannya,
menatap prihatin. Meski tidak berkata-kata lagi.
Hanya memperhatikan. "Ada obat sakit kepala?" Menggerutu.
Ibu-ibu itu menggeleng pelan.
"Ada obat sakit kepala" Kepalaku sakit sekali!" Berkata tajam.
"Kau setiap hari selalu meminumnya! Terlalu sering,
buruk untuk kesehatanmu!"
"Berikan saja!" Pemuda itu menatap galak.
"Kau seharusnya tahu itu, anakku!" Ibu-ibu itu
menghela nafas pendek, melangkah mendekat.
"Berikan saja!" Mendengus.
"Hingga kapan semua akan terus buruk seperti ini. Karang?"
Ibu-ibu gendut itu berusaha mengambil tempat air plastik yang mulai gemetaran dalam genggaman pemuda tersebut. Berkata dengan intonasi terluka, persis seperti seorang ibu yang sedih mendengar
anaknya membawa kabar tidak lulus UAN, padahal ia tahu persis anaknya sudah siang-malam berjuang belajar. Wajah keibuan yang menatap lemah dan tak mengerti hendak berbuat apa. Pemuda itu sekali lagi mendengus tidak peduli. Membiarkan tempat air plastik diambil. Melangkah gontai. Kembali menaiki anak tangga yang berkeriutan, berisik. Membuat nyilu di hati. Lima belas detik ke depan, dia akan melemparkan tubuhnya di atas ranjang tua itu lagi. Menyumpahi banyak hal. Lantas berusaha melanjutkan tidur. Tidur hingga malam datang menjelang. Hingga kanak-kanak tetangga rumah yang memakai sarung, berkopiah kembali dari pengajian. Memenuhi jalanan kota. Berlarian di bawah temaram lampu taman. Saling tarik sarung. Merosot. Tertawa bahak (ada yang nggak pakai apapun di balik sarungnya, sih!). Memenuhi gang-gang dengan celoteh. Sementara ibu-ibu yang tadi siang sibuk dengan siaran langsung -nya, juga sibuk mengeluh kepada suami soal kulkas yang kuno, teve yang kurang gede, atau lemari yang kurang lega. Juga ramai berceloteh! Mendaftar kepemilikan 'harta-karun' tetangga sebelah rumah sambil asyik menyimak sinetron.
"Nanti, tolong telepon dokter Ryan, Salamah!" Bunda berkata lemah. Tubuhnya juga semakin lelah. Salamah, gadis-tua berumur tiga puluh tahun yang tak laku-laku itu mengangguk, menurut. Ia satu diantara sembilan pembantu di rumah super-mewah itu. Pembantu yang amat baik. Terlalu setia malah.
Gara-gara terlalu setia itulah makanya Salamah tetap men-jomblo. Kakek-buyutnya dulu penjaga rumah keluarga ini. Buyutnya dulu carik rumah ini. Kakeknya dulu tukang kebun keluarga ini. Ayahnya dulu sopir pribadi keluarga ini. Nah, ia mewarisi posisi keren itu (meski dengan jabatan beda). Menjadi pembantu andalan. Ibarat playmaker dalam permainan sepak-bola, Salamah kapten kesebelasan. Mana sempat larak-lirik pemuda jomblo lainnya. Tiga tahun lalu pernah sih, ada pemuda kota naksir. Anak muda sederhana, tapi baik hati. Nggak ganteng-ganteng amat, tapi Salamah suka (kan ia juga nggak cantik-cantik banget) Ketemu pas festival kembang api. Sempat berlanjut memadu kasih, hampir menikah. Sayang, kejadian Melati hampir loncat dari teras lantai dua itu membuat Salamah benar-benar tak tega meninggalkan Bunda sendirian. Tidak akan pernah. Ia bersumpah akan menjaga keluarga ini seperti leluhurnya (itu petuah pamungkas kakeknya dulu)!
Salamah benar-benar pembantu teladan. Hanya satu yang buruk dari tingkah Salamah. Panikan! Amat panikan malah. Lihat pesawat terbang lewat saja disangkanya ada kompeni yang mau nyerbu (maklum, Salamah terlalu sering dengar cerita almarhum kakeknya tentang perang melawan VOC). "Bilang, kalau dokter Ryan ada waktu malam ini tolong datang kemari-" Bunda berkata sambil tersenyum lemah, memotong lamunan Salamah. Tolong datang kemari?" Ah, Bunda selalu bisa menghargai orang, meski sepenting dan seberkuasa
apapun keluarga mereka. Salamah mengangguk. Berjanji akan segera menelepon. Melirik jam dinding berbentuk tabung pasir, sudah pukul 17.30. Seharusnya Tuan HK sudah kembali dari pabrik sekarang. Kemana" "Tuan HK kok belum pulang ya, Bu" Ergh, ah-ya Bu, ada telepon dari Tuan HK barusan!" Salamah seperti teringat sesuatu. Ehm, ia juga pelupa, ding (ini kekurangan lainnya)!
Bunda menoleh. Bertanya dengan ekspresi muka. "Tuan HK bilang dia ada meeting dengan tamu dari ergh, Je.... Je.... Jepang ya, Bu?" Salamah bingung. Lupa dari-mana negaranya. Menyalahkan dirinya yang tidak buru-buru mencatat. "Kata Tuan HK, dia pulangnya malam. Ee, jam berapa ya tadi" Ah-ya, mungkin jam sembilanan...." Bunda mengangguk. Tidak penting tamu dari negara manalah. Paling salah-satu rekanan bisnis keluarga mereka. Yang penting suaminya malam ini akan pulang larut. Sudah setahun terakhir suaminya tidak pernah pulang terlambat. Selalu menyempatkan makan malam bersamanya dan Melati. Meski akhir-akhir ini suaminya tidak banyak bicara, hanya menatap prihatin Melati.
Pasti bohongi Tidak ada tamu-tamu itu. Suaminya pasti pergi ke manalah. Duduk sendirian. Menatap resah entahlah.... Kejadian dua hari lalu pasti ikut membuatnya terluka. Sama terlukanya seperti dirinya. Sayang, berbeda dengan suaminya yang sehat, sakitnya yang semakin parah sejak tadi pagi membuatnya tidak bisa pergi! Ya Allah, andaikata
pun ia bisa menghilang begitu saja, tak mungkin ia tega melakukannya, kan"
"Melati sekarang di mana?" Bunda bertanya pelan, setelah sejenak menatap lamat-lamat motif seprai ranjang. Seekor panda tambun yang disulam dengan benang putih, begitu lembut, selembut kulit putrinya-
"Bersama Suster Tya! Ah-ya, tadi lagi-lagi tidak sengaja menangkap ayam kate Mang Jeje. Kasihan, Bu! Ayamnya lagi-lagi dicabutin bulunya.... Kenapa bisa-bisanya Melati menangkap ayam itu ya, Bu?" Salamah melipat dahinya. Berpikir. Bunda menghela nafas. Ya! Kenapa bisa-bisanya Melati bisa menangkap ayam itu" Membedakan sendok dan garpu pun putrinya tak mampu.... Terbatuk pelan. Tidak apa-apa, hari ini setidaknya Tya dan Mang Jeje bisa mengurus Melati. Menemaninya. Memastikan tidak terjadi apa-apa. "Kau boleh pergi sekarang, Salamah!" Bunda tersenyum, penuh penghargaan. Salamah mengangguk senang. Kalau saja Bunda tidak menyuruhnya pergi, ia akan tetap berdiri di situ sampai malam. Kan, setia banget! Matahari senja bersiap menghujam di balik pebukitan. Jingga menghias angkasa, gumpalan awan terlihat ikut memerah. Burung layang-layang melenguh mengisi langit-langit kota. Terbang dengan formasi tarian mengundang hujan seperti yang dilakukan suku Indian. Percaya atau tidak, formasi terbang burung layang-layang bisa menjadi pertanda turun atau tidaknya hujan (sebenarnya
suku Indian itulah yang meniru gerakan burung layang-layang saat meminta hujan dari 'dewa-dewa').
Lengang. Rumah besar super-mewah di lereng pebukitan itu lengang. Hanya Mang Jeje yang sibuk dengan keran air. Menyiram hamparan rumput taman seluas lapangan bola. Taman yang indah. Penuh bebungaan. Merah. Kuning. Hijau. Amat menyenangkan duduk di taman itu. Bisa memandang persawahan menguning dan atap rumah-rumah penduduk. Bisa menatap perkotaan dan gedung-gedung tingginya. Bisa memandang lautan biru nan luas.
Tya lagi sibuk membujuk Melati melepaskan tembikar China dari genggamannya. Melati seperti biasa mendengus galak. Selalu marah kalau dilarang. Tangan kirinya yang bebas menggapai-gapai udara. Mengancam.
Bersungut-sungut. Bola matanya yang hitam bagai biji buah leci mendelik. Kemarahan itu kapan saja siap meledak....
"Kembalikan, sayang-" Tya membujuk cemas.
"BAAA.... MAAA...." Melati berseru-seru.
Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
"Aduh, kembalikan, sayang! Nanti Tya dimarahin
Bunda!" "BAAAA-" "Jangan dilempar, Melati!"
"BAAA!!!" "Ja-" "PYAR!" Dalam sekejap tembikar mahal itu
menghantam kaca jendela besar berukuran 1x2 meter. Hancur berkeping-keping. Tembikarnya, juga kaca jendelanya.
Tya menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat-pasi. Gentar melihat beling yang berserakan. Bunda terkesiap di atas ranjang kamar tidur lantai dua. Gemetar menyingkap selimut. Gemetar turun dari ranjang. Putrinya baru saja merajuk kembali tanpa alasan. Entah sekarang memecahkan apa. Selalu begitu sepanjang tahun ini.
Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit melemparkan apa saja....
Malam datang menjelang. Di sudut kota dengan gang-gang sempit. Dengan teras lantai dua saling bersentuhan satu sama lain.
Ibu-ibu gendut pemilik rumah itu sudah dua kali naik ke kamar atas sepanjang hari. Pertama tadi pagi mengantarkan termos air panas sekaligus memastikan apakah pemuda yang dipanggilnya 'Karang' itu baik-baik saja. Kedua baru sepuluh menit lalu, meletakkan ransum makan malam. Sepiring nasi hangat mengepul, semangkok sayur bayam dengan bongkahan jagung muda, sepotong ikan tongkol, plus kerupuk dan sebutir jeruk. Karang, pemuda itu masih tidur nyenyak.... Nyenyak" Ah, itu yang terlihat sekilas mata. Lihatlah ekspresi mukanya lebih detail, betapa wajah yang sebenarnya gagah dan tampan itu mengernyit dalam tidurnya. Seperti seseorang yang sedang menahan rasa sakit. Seperti anak kecil yang
gentar melihat jarum suntik imunisasi cacar. Ujung-ujung jari Karang bergetar pelan. Nafasnya terdengar. Sebutir keringat (segede jagung) merekah di dahi. Mimpi-mimpi buruk itu! Terlihat nyata! Menyakitkan. Bagaimana tidak sakit" Ketika kalian menyadari bahwa itu semua sungguh sempurna bagai re-run ulang siaran masa lalu yang sesak untuk dikenang. Kalian menyumpahinya. Berusaha lari secepat mungkin. Tapi kaki kalian celakanya meski sudah seperti roda kereta bergerak menjejak bantalan besi, tetap saja badan tidak bergerak-gerak. Lari di tempat. Karang kembali bermimpi buruk. "Per-gi-lah! Tidak ada lagi yang tersisa di sini-" Senyap. Gadis di depannya tidak menjawab, menyeka air mata di pipi dengan ujung kerudung. Kerudung indah berwarna biru muda. Wajah cantik itu terlihat mendung. "Aku mohon, pergilah!"
Lengang. Hanya detak jarum jam di dinding terdengar. Ctak! Ctak! Ctak! Ah-ya, tentu saja juga isak-tangis pelan gadis cantik berwajah keturunan itu. Malam baru datang. Taman Bacaan Anak-Anak itu terlihat bercahaya.... Setengah jam lalu baru saja pengunjung imut-imutnya bubar. Sudah sore, waktunya pulang. Besok disambung lagi baca bukunya, dengar dongengnya, atau sekadar main internet bersama kakak-kakak penjaga Taman Bacaan.
"Bukankah semua itu sudah selesai...." Terisak, "Tidak ada yang menyalahkanmu," Terisak lagi.
"Tidak ada, kan-"
Tertawa getir. "Tidak ada yang menyalahkanku" Memangnya itu penting! Memangnya kata orang-orang lebih penting dibandingkan apa yang kurasakan" Kau tahu, setiap detik aku seperti bisa menyaksikan kembali semuanya.... Teriakan mereka! Wajah-wajah ketakutan mereka! Ya Tuhan! Bahkan jemari tangan mereka yang membeku, bibir-bibir mereka yang biru... tubuh-tubuh dingin mengambang... delapan belas-" "Hentikan! Aku mohon!" Gadis berkerudung itu membuang ingusnya. Berusaha menghentikan kalimat pemuda itu. Mendengar kalimat sesal itu sungguh menohok hatinya. Apalagi menatap wajah pemuda di hadapannya. Wajah yang dulu begitu riang, begitu menyenangkan. Wajah yang membuatnya jatuh-cinta.
Sekarang" Sempurna terkungkung oleh perasaan bersalah. Ya Allah, jika Engkau mengizinkan, ingin sekali ia memeluknya. Memberikan berlaksa empati dan simpati. Memberikan berjuta asa dan gembira. Membesarkan hatinya. Memberitahunya lewat sentuhan lembut di pipi kalau dia tidak sendiri melewati masa-masa menyakitkan ini, tidak, pernah sendirian....
Dia akan selalu memiliki orang-orang yang mencintainya. Lihatlah, sore ini anak-anak tetap riang datang. Semua penduduk kota besar ini juga tetap menghargai, tidak ada yang mengungkit-ungkit lagi kejadian tersebut. Tidak ada.... Dan andaikata pun semua orang
menyalahkan, masih ada dirinya yang tidak. Gadis berkerudung itu benar-benar menangis sekarang, hatinya bengkak oleh rasa sedih, tidak mengerti, rasa haru, janji-janji.... Andaikata pun semua orang pergi, dia masih punya dirinya, yang akan selalu mencintai meski apapun situasinya.... "Kau.... Kau masih memiliki semuanya." Berkata tertahan.
Pemuda di depannya menggeleng, "Kau keliru.... Tidak. Tidak ada lagi yang tersisa. Pergilah, aku mohon.... Aku tidak memiliki lagi kehidupan ini! Tidak ada lagi yang pantas kau harapkan apalagi kau banggakan dariku."
Menatap lemah gadis berkerudung. Mendesah resah. Jika diijinkan, dia juga ingin sekali membelai pipi gadis berkerudung biru muda itu, mengusap air matanya. Melihatnya menangis sungguh membuatnya tersiksa. Tapi semua sudah selesai. Dia tidak akan bisa melanjutkan hidup sama seperti dulu.... Dia-lah yang sejak seminggu lalu memutuskan untuk, pergi! Menjauh dari kenangan buruk itu.... Tapi agar semua ini tidak terasa tambah menyakitkan, maka malam ini dia-lah yang meminta ia yang pergi! Si lesung pipi-nya! "Aku tidak akan pergi-" Gadis itu tertunduk. Satu bilur air mata jatuh menetes di tegel ruang depan Taman Bacaan.
"Kau harus pergi!" Berkata pelan.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!" Gadis itu
mendesis putus asa, suaranya serak.
Pemuda itu menggigit bibir, menggeleng, mengusap
wajahnya. Pembicaraan ini benar-benar sia-sia, Dia tidak akan pernah kuasa bilang secara langsung kalau besok pagi-pagi dia akan pergi dari kota ini, selamanya! Dia tak akan kunjung kuasa mengatakannya..., Pemuda itu menatap jalanan depan Taman Bacaan. Lampu mobil yang lewat menerabas dinding kaca, membasuh wajah. Terasa silau!
Berusaha memejamkan mata sesaat. Tapi juga seperti ada yang menyentuh wajahnya, berdenging, menerpa-nerpa! Berdenging.
Karang, pemuda di atas ranjang tua itu mengernyit dalam tidurnya, Terganggu. Tangannya mengibas ngibas jengkel, Benda itu masih terbang berputar di depan wajahnya. Semakin diusir semakin berani. Mendesis mengkal. Karang terbangun. Mata merahnya terbuka, Mimpi itu terputus, Menyumpah nyumpah, meski kali ini bangunnya tidak disertai terjatuh dari ranjang dan kepalanya juga tidak terantuk kayu jati. Berdenging.
Sudah malam, Sudah gelap, Kepalanya terasa nyeri sekali. Memaki dalam hati. Berusaha duduk. Sialan! Seharusnya berikan saja-lah obat sakit kepala itu padanya. Bodo amat soal bahaya konsumsi obat-obatan secara terus-menerus. Berdenging.
Matanya membesar, Kepalanya berputar. Apa pula yang terbang mengganggu tidurnya. Berputar-putar. Seekor kunang-kunang tersesat terbang berputar kebingungan! Kunang-kunang"
Terbang di dalam kamarnya" Karang mendengus tidak peduli, Melirik ransum makan malamnya. Beranjak terhuyung ke meja kecil, Mungkin dengan makan, semua nyeri akan pergi. Lagipula perutnya terasa lapar...
Ribuan Kunang-Kunang Di sini juga ada kunang-kunang. Tidak hanya seekor, ada ribuan malah. Tidak tersesat. Malah terbang mendenging bersama di sela dedaunan hutan hujan-tropis. Di tengah gelapnya malam, formasi cahaya mereka terlihat menawan. Kerlap. Kerlip. Kerlap. Kerlip.
Salamah yang berdiri di dekat jendela besar kamar Bunda melirik ke luar. Ke arah pertunjukan hebat tersebut. Menyeringai.
"Papa masih di China, Bun.... Ada pertemuan di Perfekture Hanjin. Seminar, simposium, entahlah, tentang pengobatan tradisional. Akupuntur. Aroma terapi. Bunda tahu sekali, kan, Papa oriental-minded banget! Jadi malam ini aku yang menggantikan Papa, nggak pa-pa, kan?" Gadis berkerudung hijau muda itu tersenyum, lembut memeriksa denyut nadi Bunda.
"Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.... Kinasih pasti sehebat Papa-nya. Atau malah lebih hebat." Bunda balas tersenyum. Lemah. Menatap tangan tangan yang terampil mengeluarkan peralatan. "Bunda bisa saja! Aku kan baru lulus ujian." Gadis
itu tersipu kecil. Yang seketika membuat lesung pipi-nya terlihat. "Kapan Kinasih tiba?"
"Sudah seminggu. Bun. Sebenarnya dua hari lalu aku sudah mau berkunjung, menjenguk... Tapi masih ada keperluan mengurus ijin praktek. Kinasih kangen Bunda. Kangen Melati. Kangen Tuan HK. Bahkan aku juga kangen masakan Salamah!" Gadis berkerudung yang dipanggil Kinasih itu tertawa, menoleh ke Salamah yang masih sibuk melirik tarian kunang-kunang di luar sana.
"Ergh-Ada apa" Masak air" Apa yang harus Salamah masak?" Salamah gagap mendengar namanya tiba-tiba disebut. "Air panas untuk Ibu lagi?" Kinasih tertawa kecil, melambaikan tangan ke arah Salamah. Bunda menyeringai. "Melati-nya mana. Bun?"
"Di kamar. Sudah tidur. Sepanjang siang terus merajuk. Terus melempar apa saja yang bisa dipegangnya. Berseru-seru marah.... Tadi melempar tembikar Dinasti Tang hadiah Papa-mu. Hancur berkeping-keping." Bunda menjawab pelan, terbatuk. "Anak yang baik-" Kinasih tetap tersenyum. "Y-a...." Bunda lamat-lamat menatap langit-langit kamar, berkata pelan dengan suara serak, "Anak yang baik!"
Terdiam. Salamah menarik lirikannya dari jendela demi mendengar intonasi kalimat Bunda barusan. Kamar itu hening sejenak. Hanya menyisakan suara gerakan tangan Kinasih yang sedikit canggung-merasa bersalah dengan kalimatnya
barusan. "Bagaimana 'kondisi' Melati sekarang. Bun?" Kinasih bertanya hati-hati. Tersenyum tulus. "Keadaannya masih sama buruknya seperti tiga tahun lalu," Bunda mendesah lemah, "Sama buruknya.... Ya Allah, sebenarnya kondisinya tambah buruk!" Suara Bunda tercekat. Kinasih perlahan duduk di pinggir ranjang. Meletakkan stetoskop. Menggenggam jemari Bunda. Menatap ikut bersimpati kepadanya. Wajah gadis muda yang merekah oleh kebaikan. Umurnya bulan depan baru genap 25 tahun. Baru saja menyelesaikan pendidikan dokter-nya di Ibukota. Wajah keturunan yang cantik. Tersenyum mencoba membesarkan hati.
"Melati sekarang setiap hari kerjanya hanya marah, berteriak-teriak. Melempar apa saja yang dipegangnya. Memukul. Menjambak. Apa saja, tidak peduli apapun itu...." Bunda menggigit bibir, memaksa matanya agar tidak menangis. Sudah lama sekali ia tidak bercerita. Banyak kerabat datang, tetangga perhatian, pembantu pembantu di rumah juga berbaik hati mendengarkan, tapi kehadiran Kinasih malam ini berbeda. Lihatlah, gadis kecil yang dulu sering bermain ke rumah dibawa Papa-nya, sekarang tumbuh menjadi gadis matang yang cantik. Tidak ada lagi kepang rambut. Yang ada hanya wajah tertutup kerudung berwarna lembut. Tidak ada lagi bekas ingus di pipi habis merajuk. Yang masih ada di sana hanya lesung pipi-nya. Apakah Melati bisa
tumbuh se-menawan Kinasih" Bunda mendesah tertahan....
"Kami tak lelah mencari jalan untuk membantu keterbatasan Melati, Kinasih.... Tapi ya Allah, semuanya sia-sia. Benar-benar kesia-siaan besar. Bahkan, dua hari lalu.... Dua hari iaiu...." Bunda terdiam lama.
Kinasih pelan mengambil tissue di meja dekat ranjang. Mengelap pipi Bunda, ah saraf tangis itu jelas sekali tidak bisa dipaksa, kalian memang bisa saja tetap terlihat tanpa eskpresi, terlihat kosong, tapi kantong air mata tidak bisa ditahan, akan keluar dengan sendirinya.
Seminggu terakhir kami mengundang psikiater dan dokter anak-anak dari salah satu rumah sakit ternama Ibukota. Tim mereka memiliki reputasi yang baik. Kami amat berharap.... Empat hari pertama Melati sepertinya mulai terkendali, mau menuruti terapi atau entahlah yang dilakukan tim dokter. Kami benar-benar berharap sedikit kabar baik itu akhirnya datang...." Bunda terdiam lagi, wajahnya sedih, tertunduk, pipinya berkedut menahan sedan. "Tetapi di hari kelima, persis dua hari lalu.... Melati tiba-tiba merajuk. Marah! Melati berteriak-teriak saat badannya ditempeli kertas-kertas medis, entahlah.... Melati menarik salah satu tangan dokter, dan, dan...." Bunda menelan ludahnya, " Melati menggigit jari salah satu dokter itu. Sampai, sampai nyaris putus...." Bunda sekarang benar-benar menangis mengingat kejadian itu. Kinasih menghela nafas. Sekali lagi lembut
menghapus air di pipi Bunda. Kanak-kanak dengan rambut ikal wajah menggemaskan itu melakukannya" Menggigit hampir putus jari seorang dokter" Itu benar-benar kabar buruk. Salamah sekarang juga benar-benar 100% berhenti dari larak-lirik ke luar jendela. Salamah tertunduk dalam-dalam. Ikut sedih. Lah, gimana tidak" Ia yang repot banget sesiang itu. Membersihkan darah berceceran.
Orang-orang berteriak. Orang-orang panik. Melati yang berteriak-teriak marah, melempar apa saja barang yang ditabraknya. Bunda yang berseru-seru. Tuan HK yang berusaha mencengkeram salah satu dokter karena dokter itu berusaha mencengkeram Melati untuk menenangkannya.
Tetapi bukan kejadian gigit-menggigit itu yang membuat Bunda sedih berkepanjangan dua hari ini. Bukan karena itu ia malam ini tersedu menangis di depan Kinasih. Bukan. Toh, setahun terakhir Melati memang punya kebiasaan menggigit apa saja (gantungan kunci dari besi saja ia gigit). Jadi Bunda sudah terbiasa melihatnya. Yang membuatnya sedih adalah teriakan salah satu anggota tim dokter ternama itu.
"ANAK INI TIDAK MEMBUTUHKAN DOKTER, NYONYA! ANAK INI MEMBUTUHKAN RUMAH SAKIT JIWA!" Juga teriakan-teriakan marah dan panik lainnya. Bersahut-sahutan.
Keributan itu berakhir satu jam kemudian. Setelah Melati yang lelah akhirnya mengalah sendiri, menggerung seperti lokomotif kereta kehabisan
solar di pojokan kamar birunya. Duduk melipat kaki. Merapat ke dinding. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar redup. Mulutnya mendesis-desis pelan. Jemarinya meraba-raba lantai keramik. Mengikuti gurat keramik.
Bunda dan Tuan HK berkali-kali minta maaf atas kejadian itu. Tapi hanya dijawab dengan kalimat-kalimat menusuk dari tim dokter. Kalimat-kalimat yang disusun dari kepala ber-intelektualitas hasil pendidikan tinggi (meski separuhnya disesaki oleh perasaan marah karena rekan mereka terpaksa segera dilarikan ke rumah sakit terdekat). Kalimat yang menyakitkan....
"Sebelum semuanya terlambat, anak ini harus dibawa ke unit konservasi kejiwaan, Tuan HK!" Dokter senior yang memimpin tim berusaha berkata lembut, sok-bersimpati.
"Melati tidak gila! Melati tidak gila!" Bunda memotong, berkata lemah berkali-kali, parau. Tuan HK yang duduk di sebelah berusaha menggenggam jemarinya. Menenangkan.
"Melati sekarang belum gila, Nyonya! Tapi semua keterbatasan ini suatu saat pasti akan membuatnya gila! Ia membutuhkan terapi yang komprehensif-" "Melati tidak gila!" Bunda bergumam tidak terima. "Maafkan kami, Nyonya...." Tersenyum tipis- "Melati tidak gila!" Bunda mendesis galak. "Hanya orang gila yang bisa menggigit hampir putus jari orang lain. Nyonya!" Salah satu dokter menyela lebih galak, jengkel.
Malam itu, bersamaan dengan kembalinya tim
dokter dari rumah sakit ternama ke ibukota, malam itu Bunda akhirnya harus mendengarkan realita baru tentang permata-hatinya. Sesak. Benar-benar sesak. Ia tahu kalau ia benar, putri meng-gemaskannya tidak gila. Tetapi ia juga tahu, kalimat-kalimat dokter itu juga benar. Tiga tahun lamanya ia berusaha membujuk hatinya. Tiga tahun lamanya berharap. Tapi kenyataan menyakitkan itu yang akhirnya tiba....
Ya Allah, tak lelah ia berharap suatu saat keajaiban itu pasti akan datang. Suatu saat janji-Mu pasti akan tiba.... Bukankah, bukankah Engkau sendiri yang menggurat kalimat indah itu dalam kitab-suci" Sungguh! Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.... Tapi harapan itu hari-hari ini bagai kabut yang digantang matahari meninggi. Menguap. Bagai sisa-sisa air dalam ember bocor. Menghilang. Bagai rambutnya yang perlahan memutih.... Lelah sekali ditunggu, meski hanya untuk menyisakan sedikit asa bahwa janji kemudahan itu akhirnya pasti tiba! "Melati akan baik-baik saja, Bun.... Jika Bunda tetap yakin, maka ia pasti akan baik-baik saja." Kinasih berbisik pelan. Tersenyum. Memotong cerita dua hari lalu. Mencoba membesarkan hati. Bunda menatap wajah cantik Kinasih lamat-lamat. Wajah yang tulus bersimpati. Bunda ikut tersenyum, (meski) getir.
"Suatu saat Kinasih percaya, bahkan Melati pasti bisa memanggil 'Bunda' dengan sempurna. Memeluk, dan menyatakan cintanya kepada Bunda dengan utuh-"
Bunda sudah mendekap erat Kinasih. Penuh perasaan haru-
"Terima-kasih, anakku! Kau sungguh gadis yang baik. Semoga Tuhan memberikan jodoh yang baik bagimu!"
Kinasih tersenyum. Mengangguk. Balas merengkuh erat tubuh wanita separuh baya itu. Bunda menangis di dekapannya.
Malam itu. Dua doa melingkar berpilin di angkasa. Malam itu dua doa melingkar bertemu di langit kekuasaan-Mu. Dan jawabnya: 'Ya'.
"Kau akan pergi kemana. Karang?" Ibu-ibut gendut yang sedang merajut di ruang tengah berseru pelan.
Just making conversation, again! Lagi-lagi basa basi menyebalkan itu! Karang mendengus tidak peduli, terus menuruni anak tangga yang berisik berkeriutan. Bukankah tiap malam dia selalu pergi! Buat apa ditanya lagi"
"Kondisi kesehatanmu semakin buruk, Karang! Sebaiknya malam ini kau beristirahat" Ibu-ibu itu berdiri. Melangkah mendekat. Berusaha mencegah. "Urus saja urusan-mu!" Karang melambaikan tangannya. Jengkel dihalangi. Kepalanya masih nyeri, tapi tidak terlalu lagi. Badannya masih sakit, tapi tidak terlalu juga. Perutnya sudah terisi, jadi mekanisme pencernaan membuat seluruh tubuhnya menjadi hangat.
"Aku mohon, untuk malam ini saja, bisakah kau tidak keluar?"
Pemuda itu tidak menjawab. Tetap melangkah menuju pintu. Tidak peduli, melewati badan besar yang mencoba menahannya. Ibu-ibu gendut kehabisan kata. Ia tidak pernah bisa mencegahnya. Tidak sejak tiga tahun lalu saat anak-muda yang dipanggilnya 'Karang' itu datang mengetuk pintu rumahnya.
Ibu-ibu gendut menghela nafas. Pintu berdebam ditutup. Lengang. Menyisakan celoteh anak-anak yang masih bermain di gang-gang sempit. Juga suara radio dan televisi yang di-stel rada kencang (dangdut-an pula lagunya). Pukul 20.30. Itu berarti hingga delapan jam ke depan, Karang akan berada di luar. Menghabiskan malam berteman minuman. Duduk sendirian di pojok bar. Menatap galak siapa saja dengan mata merah.
Ibu-ibu gendut kembali ke kursi rotan. Melanjutkan merajut. Mendesah ke langit-langit ruang tengah.... Ia tinggal sendirian di kota ini. Dulu sempat menikah, tapi tidak punya anak. Suaminya meninggal sepuluh tahun lalu. Usianya sudah menginjak lima puluh tahun saat itu terjadi, jadi ia tidak tertarik menikah lagi. Memutuskan untuk tinggal sendirian. Toh, selama ini ia tidak pernah merasa kesepian.
Ia hidup sendiri itu betul, tapi ia tidak pernah merasa kesepian. Berbeda sekali jika kalian berada di tempat ramai (pasar misalnya), tapi kalian merasa kesepian. Yups! Beda benar makna kesepian dan kesendirian. Ia sepanjang sisa umurnya, sibuk merawat rumah warisan suaminya. Rumah tua dua
lantai dengan arsitekur kolonial. Berjejer dengan rumah-rumah tua lainnya. Menghabiskan hari dengan merajut pakaian pesanan. Ia mengenal Karang yang tiga tahun terakhir tinggal bersamanya sejak Karang masih bertelanjang kaki berlarian menyusuri jalanan kota. Dulu tubuh Karang ringkih, bandel, dan nekad seperti anak jalanan lainnya. Suaminya menyukai anak-anak. Menyulap rumah mereka menjadi 'rumah singgah'. Karang! Salah-satu dari belasan anak jalanan yang diurus suaminya. Dan Karang-lah yang tumbuh menjadi anak paling membanggakan. Kanak-kanak itu berubah menjadi anak terpintar di sekolah barunya. Anak tercerdas!
Melanjutkan pendidikan di ibukota. Setiap bulan mengirimkan kabar gembira. Tak terbayangkan melihat foto-foto Karang berdiri gagah bersama ratusan lulusan universitas ternama itu. Juga foto-foto kehidupannya. Pekerjaan hebatnya. Kecintaan Karang kepada anak-anak yang diwarisi dari suaminya. Taman Bacaan itu. Sejak suaminya meninggal, membaca surat-surat dari anak-asuhnya menjadi keseharian yang menyenangkan. Dan surat Karang selalu bernilai berlipat-ganda dibandingkan yang lain.
Anak itu benar-benar tumbuh menjadi seseorang. Masa kecilnya yang tidak beruntung berubah menjadi dendam positif. Karang mendirikan belasan Taman Bacaan Anak-Anak di ibukota. Selintas sama seperti rumah singgah milik suaminya dulu, tapi berbeda banyak dari sisi penampilan fisik, konsep,
dan entahlah. Banyak yang ia tidak mengerti dari surat-surat Karang, rencana-rencana hebatnya. Yang ibu-ibu gendut itu mengerti pasti. Karang amat mencintai kanak-kanak. Bukan karena wajah menggemaskan mereka. Lebih dari itu, karena janji kehidupan yang lebih baik tergenggam dari mereka. Hingga kejadian itu! Tiga tahun lalu. Saat itu ia sedang menghabiskan sore seperti biasa dengan merajut ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Ia pikir tukang susu yang rajin mengantarkan pesanan. Atau penjual telur asin langganannya. Atau Ketua RT yang mengambil iuran sampah dan keamanan bulanan. Tapi ini terlalu sore untuk jadwal rutin itu semua. Atau ada ibu-ibu tetangga yang punya keperluan mendadak. Malas membuka pintu. Ternyata yang ada di hadapannya: Karang!
Pemuda yang menyandang ransel lusuh, berdiri dengan wajah juga lusuh di bawah bingkai pintu. Rajutan di tangannya terlepas. Wajahnya merekah oleh kegembiraan. Ia berseru senangnya, memeluk anak-muda itu.... Benar-benar kunjungan tak-terduga.
Selama ini anak asuh lainnya sering datang berkunjung. Membawa istri, membawa anak-anak mereka. Tapi Karang tidak pernah pulang sejak sepuluh tahun lalu. Karang yang termuda di antara mereka memang tak pernah lupa mengirimkan satu surat setiap bulannya, tapi ia tidak pernah pulang. Sekarang, jagoan suami-nya sudah berubah begitu membanggakan.... Lihatlah, berdiri gagah (meski
lusuh) di depan pintu rumahnya. Setidaknya itulah yang ia pikirkan. Setidaknya itulah yang ia baca dari surat-surat itu....
Hingga sebulan berlalu.... Potongan-potongan kejadian itu akhrinya tersampaikan. Berita-berita di koran. Berita-berita di teve. Cerita terputus-putus dari Karang. Dan kondisi yang semakin mengenaskan darinya. Wajah yang kosong. Eskpresi muka yang sesak. Malam-malam yang diisi mimpi buruk. Igauan Karang (terkadang berteriak). Siang-siang yang juga diisi mimpi buruk. Celotehan Karang. Kebiasaan mabuk-mabukan. Kehidupan 'batman'. Pulang jam satu malam. Pulang jam dua. Pulang jam tiga. Semua itu seperti karir dalam pekerjaan! Dan karir itu tiba di puncaknya saat Karang akhirnya baru pulang menjelang shubuh. Tiga tahun melesat tanpa terasa. Tiga tahun yang berat baginya. Karena bagaimana-lah ia harus menjadi saksi kehidupan menyedihkan anak asuhnya yang dulu amat dibanggakan. Ribet menjawab pertanyaan tetangga-tetangga sekitar (yang nomor satu soal urusan menggosip). Tak lelah membujuk Karang, bercerita tentang semangat hidup, mengenang kejadian indah saat kanak-kanak mereka dulu. Percuma! Karang semakin tak bisa dikendalikan. Bagaimana ia akan bisa" Kalau ia yang berusaha membantunya sudah sesak duluan melihatnya.
Malam ini, lagi-lagi ia tidak bisa mencegahnya pergi menghabiskan waktu dengan kesia-siaan. Esok mungkin juga tidak. Bahkan mungkin tidak akan
Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah.... Kesedihan kejadian tiga tahun lalu itu terlalu menyakitkan. Terlalu!
Ya Allah, berikanlah keajaiban itu.... Ibu-ibu gendut itu mendesis lirih ke langit-langit ruangan. Berdoa dengan tulus. Kemudian sambil menghela nafas panjang, pelan melanjutkan merajut sweater biru. Malam itu. Tiga doa melingkar berpilin di angkasa. Malam itu tiga doa melingkar bertemu di langit kekuasaan-Mu. Malam itu ada begitu banyak doa yang melesat ke angkasa. Jika kalian melihatnya maka ia akan terlihat seperti jutaan benang-benang terjulur. Tapi untuk yang tiga ini, jawabnya: "Ya'.
"Maaf, aku baru bisa pulang sekarang!" Tuan HK mengecup lembut dahi istrinya. "Tidak apa-apa," Bunda tersenyum, lemah. "Bagaimana kondisimu" Kata Salamah sakit-mu memburuk?"
"Sudah baikan, tadi Kinasih datang kemari...." "Kinasih" Si-a-pa?" Tuan HK mengernyit, berpikir sebentar, lantas tersenyum lebar, "Kinasih putri dokter Ryan?"
Bunda mengangguk. Wajahnya yang sepanjang siang terlihat pucat mulai memerah. Obat yang diberikan Kinasih sudah bekerja. "Ia sudah menjadi dokter. Sudah tumbuh cantik.... Gadis berkepang dua yang dulu suka sekali menyembunyikan stetoskop Papa-nya. Kau ingat itu?" Bunda tersenyum kecil, beranjak hendak turun dari ranjang, meletakkan kertas dan pulpen yang sejak lima belas menit lalu dipegangnya.
"Tidak usah, yang! Malam ini kau ber-istirahat saja,
biar aku yang menyiapkan keperluanku sendiri!"
Tuan HK tersenyum, memberi tanda agar istrinya
tetap berbaring di ranjang.
"Tidak apa-apa biar kubantu,"
"Jangan bandel. Nyonya-" Tuan HK tertawa.
"Aku sudah baikan, kata Kinasih tadi hanya terlalu
lelah-" "Apa kubilang" Terlalu lelah, bukan" Kau sudah seharusnya banyak beristirahat. Nyonya! Dasar anak nakal!" Tuan HK tertawa lebih lebar, bergurau sambil melepas jas hitam mahal-nya. Bunda ikut tertawa, menatap lamat-lamat wajah suaminya. Untuk ke-sejuta kalinya mengucap syukur dalam hati. Ia benar-benar beruntung memiliki suami, lelaki yang sedang berdiri di hadapannya. Tuan HK, lelaki separuh baya, dua tahun lebih tua darinya. Wajahnya gagah dan tampan, meski gurat lelah, sedih, penat, sesak itu tak bisa dihilangkan. Yang semakin terlihat kalau dia sedang di rumah.
Dulu Tuan HK boleh jadi terkenal galak dengan bisnisnya, tapi sejak Melati lahir. Tuan HK berubah banyak. Sejak kejadian tiga tahun lalu itu, Tuan HK berubah lebih banyak lagi. Masih tersisa ketegasan, prinsip, dan apalah seorang laki-laki darinya. Tapi separuhnya hanyalah perasaan seorang ayah yang tak lelah berharap anaknya suatu hari bisa tersenyum melihat dunia.... "Kau sedang menulis apa?" Tuan HK bertanya. Bunda mengambil kertasnya, "Surat!"
Tuan HK mengangguk. Tidak bertanya lagi. Sejak tiga tahun lalu istrinya rajin menulis. Surat. Cerita. Diary. Entahlah. Kertas-kertas yang ditumpuk rapi di lemari buku mereka. Sudah sepuluh inchi tebalnya. Setidaknya kebiasaan itu bermanfaat. Sejenak membuat istrinya bisa menumpahkan seluruh kesedihan.
"Tadi ada tamu dari Jerman!" Tuan HK melepas
kemeja putihnya, mengambil handuk dari lemari,
"Mereka membicarakan soal kerja-sama
pengembangan pabrik pupuk kita-"
Bunda menggangguk. Salamah tadi siang bilang dari
Je-pang. "Aku dua minggu lagi harus ke Frankurt, yang! Agak lama. Ada banyak yang harus dikerjakan di sana. Mungkin dua atau tiga minggu-" Tuan HK diam sejenak, menatap lembut istrinya, "Mempelajari banyak hal di sana, tidak apa-apa, kan?" Bunda menggeleng. Tidak apa-apa. Suaminya memang sering berpergian. Mengurus bisnis keluarga mereka.
Diam sejenak. Tuan HK beranjak duduk di pinggir ranjang. Meraih tangan istrinya. Mencium lembut jemari yang dilingkari cincin pernikahan mereka. Untuk ukuran mereka yang sudah beruban, pemandangan itu terlihat amat romantis. "Kau sudah makan?"
Bunda mengangguk. Balas menatap wajah suaminya. Itu pertanyaan transisi. Ia lebih dari siapapun mengenal tabiat suaminya. Sejak mereka masih pacaran dulu. Sejak masa remaja yang penuh
lirikan tersipu malu.... Ia tahu, jika ingin
membicarakan sesuatu yang penting suaminya akan
memulainya dengan pertanyaan transisi.
Lengang. Ribuan kunang-kunang semakin ramai
berdenging di sela dedaunan di luar sana. Salamah
sekarang bebas menatapnya dari jendela kecil
kamarnya di lantai satu. Selalu terpesona.
"Kau tahu, seharusnya aku sudah bisa pulang tadi
sore.... Maafkan aku, baru pulang sekarang-" Tuan
HK berkata pelan. "Aku tahu...." Bunda tersenyum, mengangguk. Tuan HK menelan ludah.
"Kau tadi ke-mana menghabiskan sore" Ke pantai"
Menggulung celana" Berjalan seperti anak-anak
muda yang bercengkerama di pinggir pantai itu"
Berlarian mengejar dan dikejar ombak?" Bunda
tersenyum lagi, bergurau.
Tuan HK tertawa kecil. Menggeleng.
"Di pabrik-" Bunda menatap lamat, "Hanya di pabrik" Di ruang kerja?"
"Tidak juga. Aku tadi naik ke atap pabrik!" Bunda melipat dahinya.
Tuan HK tertawa, "Ya, aku tadi naik ke atap pabrik. Susah payah manjat tangga di dinding. Salah satu mandor yang memergokiku berteriak memohon agar aku turun."
Bunda memperbaiki posisi duduk bersandar bantalnya. Naik ke atap pabrik" Ia tahu persis, kalau sedang resah, suaminya selalu pergi menyendiri. Entah kemanalah, ke tempat-tempat
tidak terduga. Kejadian dua hari lalu pasti
membuatnya resah. Tapi naik ke atap pabrik yang
bahkan lebih tinggi dibanding bangunan tertinggi di
kota, itu benar-benar tidak terduga"
"Kau tidak percaya?" Tuan HK nyengir.
Bunda tertawa. Mengangguk. Tentu saja ia selalu
percaya suaminya. "Kau tahu, mandornya sampai berteriak-teriak, 'Aku mohon, Tuan turunlah! Bagaimana nasib kami semua kalau Tuan kenapa-kenapa!' Dia juga berusaha memanggil buruh lainnya untuk memaksaku turun, jadi terpaksalah ku ancam mandor itu-" Tuan HK mengusap rambut berubannya, tertawa kecil.
"Kau ancam dengan apa?" Bunda bertanya pelan.
"Kupecat kalau dia teriak-teriak lagi-"
Tertawa lebih lebar. Bunda menggenggam jemari
suaminya penuh penghargaan. Bersitatap satu
sama lain. Mereka sedikit sekali punya waktu
menyenangkan seperti ini, tertawa lepas.
"Kau tahu, aku duduk di sana hingga matahari
tenggelam.... Ternyata pemandangannya hebat
sekali. Langit merah. Burung layang-layang,
hamparan lautan, semuanya terlihat indah...." Tuan
HK mendesah pelan. Ya, pemandangan yang hebat sekali. Membuatnya sejenak bisa tenang. Bisa lupa semua sesak. Apalagi tentang saran dokter senior dari tim rumah sakit ternama itu dua hari lalu.... Bunda ikut menghela nafas pelan. Kamar itu hening. Tuan HK menoleh, menatap keluar jendela. Menatap tarian
ribuan kunang-kunang. "Melati sudah tidur?" Menoleh lagi, bertanya.
Bunda mengangguk, meski ia tidak, tahu kalau ia
keliru. "Aku mandi dulu.... Kalau kau sehat, mungkin kita
bisa mandi bersama," Tuan HK beranjak berdiri,
melilitkan handuk di leher, tertawa, "Sudah lama
kita tidak melakukannya, bersama Melati, bermain
sabun banyak-banyak. Terpeleset...."
Bunda hanya tersenyum, lemah. Menatap punggung
suaminya. Pukul 24.00. Bunda sudah jatuh tertidur. Tuan HK juga sudah jatuh tertidur setelah membaca buku tebal sehabis mandi dan makan malam sendirian. Salamah" Sudah lama jatuh tertidur, memeluk bantal guling bermotifkan donald & daisy bebek (Heran malah, bikin motifnya jadi aneh). Hampir seluruh penghuni kota indah itu sudah jatuh tertidur. Memulihkan tenaga untuk menyambut hari esok.
Tapi tidak bagi penghuni salah satu kamar di lantai dua rumah besar itu. Kamar yang berwarna biru iaut. Dipenuhi mainan dari busa dan plastik lentur (karena itulah yang paling aman). Di kamar itu ada ranjang besar yang tidak berangka dan bertiang (karena itu juga yang paling aman). Ada sofa dari butiran plastik yang berubah bentuk sesuai dengan bentuk tubuh yang mendudukinya. Kamar itu milik Melati. Dan malam ini Bunda lagi-lagi keliru. Sejak tadi Melati belum tertidur. Ia memang
berbaring di atas ranjang. Tapi mulutnya terus menggerung. Mata hitam biji buah lecinya memang terpejam, tapi ia terus menggerak-gerakkan ujung jemarinya di bawah selimut....
Setengah jam lalu, Melati melangkah menuju jendela kaca besar kamarnya. Merangkak. Meraba-raba. Tangan mungilnya meraba-raba jendela kaca yang dingin. Mukanya menempel. Mencetak bibir dan hidungnya di kaca tebal. Hembusan nafasnya membuat kabut tipis di kaca. Melati menatap ke depan....
Senyap. Gelap. Hitam. Melati menatap ke arah jutaan kunang-kunang yang terbang. Sayang, gadis kecil itu tidak akan pernah bisa melihatnya....
Tiga Tahun Lalu Hari indah kembali datang. Semburat merah memenuhi kaki cakrawala. Sunrise yang hebat. Pantai kota lengang. Ada sih satu-dua pasangan yang berjalan-jalan di atas pasir lembut yang bak es krim saat diinjak. Terpesona menatap indahnya matahari terbit. Terpesona menatap ombak bergulung. Menjilat-jilat mata kaki. Asyik sekali membenamkan kaki mereka di hamparan pasir.... Mereka sih memang turis, jadi rada 'norak' melihat pemandangan hebat tersebut (habis ngelihat sunrise-nya pakai 'pose' berpelukan segala, sok-romantis, hihi).
Anak-anak kembali sibuk berangkat sekolah. Berpamitan. Wusshh. Pekerja kantoran bergegas mandi, sarapan dan seterusnya. Petani riang memanggul cangkul. Nelayan lagi-lagi menumpahkan berember tangkapan semalam suntuk mereka ("Wooiii, ada yang dapat hiu, tuh!" Semua menoleh. Lupa tangkapan masing-masing. Bergerombol. Seperti menyambut kedatangan artis ibukota). Hanya Karang yang masih tertidur. Semalam ia pulang persis saat adzan shubuh
berkumandang. Ibu-ibu gendut seperti biasa membukakan pintu, menatap prihatin dengan wajah basah oleh air wudhu. Karang sempoyongan menaiki anak tangga. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Berkeriutan. Mencengkeram pegangan. Lantas melemparkan diri! Rebah dengan posisi 'pesawat terbang' di atas ranjang. Tidur mendengkur. Kamar itu tidak pernah memerlukan racun nyamuk, karena nyamuknya sudah kadung takut dengan suara dengkur dan bau alkohol dari mulutnya.
Lengang. Sepagi ini, ketika selarik cahaya matahari menembus lubang-lubang dinding kayu membentuk bintik seperti bekas tembakan peluru di lantai, Karang masih tertidur 'lelap'. Tidak peduli dengan keriuhan gosip di bawah sana. Di sini.... Matahari pagi terasa menyenangkan! Pulau kecil yang indah! Kanopi terbentang di mana-mana. Payung-payung terkembang
warna-warni. Kursi-kursi plastik. Pantai dipenuhi turis. Ada yang sibuk bermain voli. Lempar bumerang. Menunggang kuda. Istana pasir. Mengubur diri. Atau sekadar berlarian menyiramkan pasir satu sama lain.
Hei! Karang bergumam. Ini bukan pantai yang dikenalnya" Sama sekali tidak dikenalnya. Ini pantai yang berbeda. Tidak pernah dilihatnya. Orang-orang yang berbeda.... Topi-topi pandan lebar. Seruan-seruan 'Mahuwa!'. Pakaian-pakaian aneh" Musim panas" Summer Camp" Mana ada coba di kotanya musim panas" Yang ada musim kemarau, musim penghujan, musim duren, musim
demo, ergh?" Karang mendesis pelan, apakah ini
mimpi-mimpi buruk itu lagi....
Tertawa. Rombongan itu tertawa.
Ada keluarga kecil di sana. Berdiri di bawah salah
satu payung besar warna-warni. Satu-dua-tiga,
ergh banyak ternyata. Memakai topi lebar-lebar.
Memakai kalung bunga. Seperti keluarga besar.
Meski kentara kalau keluarga intinya hanya tiga.
Pasangan setengah baya, yang rambut sedikit
berubannya tertutup topi pandan, dan....
Tertawa. Kaki-kaki kecil itu menjejak pasir. Rambut
ikalnya bergerak mengombak. Mulutnya yang
terbuka memamerkan gigi-gigi kecil. Di tangannya
tergenggam sebuah boneka panda....
Karang mendesis lagi. Boneka panda"
Tertawa. Kanak-kanak itu menyeringai riang,
berusaha mendekat Ibu-nya yang menjulurkan
tangan. Yang lain ramai menepuki. Memberikan
applaus. Memberikan semangat. Beberapa turis lain
yang dari mukanya terlihat entah dari negara
manalah, ikut menoleh. Ikut terpesona menatap
kanak-kanak itu. Satu-dua mengeluarkan kamera,
akan menjadi foto yang menarik sekali.
Tertawa. Seluruh keriangan pantai ini seolah-olah
pindah di wajah kanak-kanak menggemaskan itu.
Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kaki kecilnya berlarian
mendekat. Membuat jejak di hamparan pasir basah
nan lembut. Pipi tembamnya nyengir....
"JDUT!" Piringan terbang plastik berwarna merah itu
tanpa ampun tiba-tiba menghajar kepalanya,
membuat terjatuh kanak-kanak itu, memutus
seluruh kegembiraan. Seketika!
"JDUT" Karang juga terjatuh dari ranjangnya. Terputus juga mimpinya. Terbangun. Seketika! Seperti biasa, dia langsung menyumpah-nyumpah. Bersungut-sungut. Mengusap pipi. Mata Karang liar menatap sekitar. Merah. Rambutnya kusut-masai. Selagi otaknya masih 'booting', mengembalikan kesadaran, terdengar derit pelan pintu dibuka. Karang menoleh. Ibu-ibu gendut itu!
Seperti biasa membawa termos dengan air panas baru. "Kau sudah bangun?" Ibu-ibu gendut melipat dahi, bertanya.
Kali ini bukan just making conversation. Itu
benar-benar pertanyaan (dan butuh jawaban),
karena lazimnya paling cepat Karang bangun lima
jam dari sekarang. Bukan saat jadwal ia
mengantarkan termos. Tapi yang ditanya tetap
mendengus tidak peduli. Tidak menjawab.
Merangkak terhuyung duduk di atas ranjang.
"Kebetulan kalau kau sudang bangun." Ibu-ibu itu
tidak melangkah keluar kamar meski telah
meletakkan termos, malah mendekat.
Karang mengangkat muka kusutnya. Kebetulan apa"
"Ada surat untukmu!"
Surat" Karang melipat dahinya.
"Tadi diantarkan pagi-pagi sekali!" Ibu-ibu gendut
mengeluarkan amplop putih dari saku baju
dasternya. "Aku tidak tahu dari siapa. Tidak ada nama siapapun di sana kecuali namamu!" Ibu-ibu gendut menjawab sebelum ditanya. Menjulurkan amplop
putih itu. Karang malas menerimanya. Surat" Sudah tiga tahun dia terputus dari kehidupan.... Tidak menyapa maupun disapa. Siapa pula yang sekarang mengirimkan surat padanya"
Ibu-ibu gendut sudah balik kanan. Seolah tidak ingin-tahu surat apa dan dari siapa. Padahal ia ingin sekali tahu siapa yang mengirimkan surat itu sejak seseorang mengantarkannya lima belas menit lalu. Ingin sekali melihat Karang membacanya. Berharap surat itu pertanda baik bagi anak-asuh suaminya untuk kembali pulih mengenal kehidupannya dulu.... Tapi setelah berpikir dan berhitung sejenak, memutuskan untuk membiarkan Karang sendirian membuka surat itu. Kehadirannya bisa jadi malah merusak suasana hati Karang.
Ibu-ibu gendut tersenyum tipis, riang menuruni anak tangga yang (justru) berkeriut menyebalkan.
Ruang makan rumah besar di lereng pebukitan. "Baa.... Ma.... Baa...." Melati mengaduk-aduk piring di hadapannya. Ia tidak duduk di kursinya. Tidak pernah. Melati sarapan sambil berdiri. Kakinya sibuk menghentak-hentak lantai. Tangannya
meremas-remas (sebenarnya ngacak-ngacak) nasi goreng spesial buatan Salamah.
"Pelan-pelan, sayang!" Bunda yang duduk di sebelahnya membantu membenarkan posisi piring. Tuan HK menatap sejenak lamat-lamat. Meneruskan makan. Biasanya Melati meski merajuk, meski butiran nasi tumpah di mana-mana, meski meja
kotor berserakan, meski makan sambil menggerung, bisa menghabiskan setidaknya separuh makanan di atas piringnya. Tapi pagi ini Melati hanya sibuk mengais-ngais piring itu. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar cepat.
"Ayo dimakan, sayang!" Bunda sekali lagi membantu
membenarkan posisi piring yang hampir jatuh
tersenggol gerakan jemari Melati.
"Baaa..." Melati terus mengaduk-aduk nasi di atas
piring. "Makannya yang baik. Melati." Suster Tya yang
berdiri di sebelahnya berusaha menyentuh tangan
Melati. Membantunya. Melati menggerung marah. "Biarkan saja, Tya!" Tuan HK berkata pelan.
Tya, suster yang baru bekerja dua hari itu menarik
nafas, kalau begini bagaimana Melati akan makan?"
Bunda tersenyum, mengangguk. Jangan pernah
sentuh tangan Melati. Biarkan saja. Hanya perbaiki
posisi piringnya. "Ayo, Melati.... Pakai tangan bagus!" Suster Tya sekali lagi berusaha membantu Melati. Memegang tangan Melati, berusaha mengajari cara menyuap yang baik. Ia perawat baru, jadi tidak terlalu mengerti aturan mainnya, kan"
"BA.... MA.... AAA...." Melati mendadak berteriak kencang.
"Eh, copot, copot, copot!" Salamah yang mengantarkan air jeruk panas buat Bunda ikut berseru-seru panik (sebenarnya kalau ada keributan seperti ini, Salamah juga yang ikut nambahin panik).
"Jangan teriak-teriak, sayang!" Bunda tersenyum. Menenangkan.
Suster Tya yang tadi kaget medengar teriakan Melati, menarik tangannya. Mukanya sedikit pias, lagi-lagi Melati mengamuk.
"BAAA!" Melati memukul-mukul meja makan. Marah.
"Jangan pukul mejanya, Melati!" Tya takut-takut
berusaha menghentikan tangan Melati.
"Biarkan, Tya-" Bunda berkata menengahi keributan.
Jangan pernah menyentuh tangah Melati yang
sedang marah. Itu aturan mainnya. Ia akan semakin
marah. Tapi Tya yang tidak tahu, masih berusaha
memegang tangan Melati. Maka hanya dalam
hitungan detik, tangan Melati satunya yang liar
meraba-raba meja makan dan berhasil menyentuh
ujung piring makanannya bergerak cepat.
"PYAR!" Pecah berantakan. Melati melemparkan
piring itu tanpa ampun ke lantai.
"Aduh, Melati jangan dilempar-" Tya yang
setengah-terkejut, banyakan-gugupnya, berusaha
menarik tangan Melati yang masih mencari benda
lainnya. Bunda lembut memegangi tangan satunya, "Melati, sayang...."
"BAAA.... MA...." Melati meronta-ronta.
Suster Tya yang pucat sekarang malah
tanpa-sadar berusaha mencengkeram bahu Melati.
Berusaha menghentikannya. Bunda menghela nafas
tertahan. "Bersihkan belingnya, Salamah! Cepat! Sebelum
terkena Melati!" Salamah terbirit-birit mengambil sapu dan pengki. Melati sudah berhasil melepaskan cengkeraman tangan Tya. Yang sekali lagi tetap berusaha menenangkan.
Tuan HK menelan ludah, berkata tajam, "Biarkan Tya.... Biarkan!"
Tya menatap setengah-bingung, setengah-panik. Kalau dibiarkan" Nanti melempar piring lainnya" Aduh, bagaimana ini. Tuan HK menatap tajam.... Tya mengusap wajah kebasnya. Serba-salah. Beruntung, Melati yang bersungut-sungut marah sudah melangkah tak jelas arah, meninggalkan meja makan. Menuju anak tangga pualam. Bunda mengikuti. Membujuknya untuk kembali. Percuma Melati hanya menggerung. Sebal, marah, benci, entahlah, (kalau ia mengerti semua perasaan itu!)
Hari yang indah sekali lagi berlalu. Malam baru saja tiba, disertai hujan deras. Musim penghujan.... Karang menuruni anak tangga. Berkeriutan. Dia baru saja menghabiskan ransum makan malamnya. Jadwalnya untuk pergi.
"Kau hendak kemana, Karang?" Ibu-ibu gendut tak lelah bertanya.
"Pergi!" Karang mengambil jaket hujan di dinding ruang tengah.
"Hujan, Karang!" Ibu-ibu gendut berusaha mencegah.
"Lucu sekali.... Manusia yang hidupnya merasa selalu hebat tapi takut dengan hujan!" Karang
menyeringai. Ibu-ibu gendut menelan ludah. Sinisme. Ia tahu itu. Sejak tiga tahun lalu, kalau kondisi hati-nya sedang membaik, Karang bisa melakukan percakapan satu-dua kalimat (tidak sekadar mendengus tak peduli). Tapi kalimat-kalimatnya penuh sinisme kehidupan. Ibu-ibu gendut meletakkan rajutan. Beranjak berdiri.
"Tadi surat dari siapa?" Bertanya sambil tersenyum. "Sejak kapan Ibu ingin tahu urusan orang lain" Mau seperti tukang gosip setiap pagi di gang bawah?" Ibu-ibu gendut tertawa pelan, "Tidak. Kau bukan orang iain bagiku, Karang!" Karang mendengus. Merapatkan jaket hujan. "Kepalamu masih sakit!"
"Lumayan-" Karang membuka pintu, malas memperpanjang percakapan, suara hujan deras menderu memenuhi ruangan.
Dan sebelum pertanyaan berikutnya keluar. Karang kasar sudah membanting pintu dari luar. Seperti radio yang dipelankan, deru air menerpa genting, jalanan, dinding, bebatuan seketika berkurang volumenya. Ibu-ibu gendut itu menghela nafas. Padahal ia ingin sekali tahu surat apa yang diantarkan tadi pagi. Karang sudah pergi. Tidak peduli.
Apa sebenarnya isi surat itu" Berpikir setengah menit. Lantas memutuskan naik ke kamar atas. Baiklah, ia akan seperti tukang gosip itu, mencari tahu: Liputan langsung dari lokasi kejadian. Hitung-hitung sekalian membersihkan kamar, sudah
terlalu kotor dan pengap, sudah terlalu lama tidak diurus, lagipula hanya di malam hari penghuninya pergi-
Anak tangga berbunyi menyebalkan seiring kaki melangkah. Ibu-ibu gendut membuka jendela kamar. Suara air hujan terdengar menderu. Angin dingin (tapi segar) menerpa masuk. Hamparan lautan terlihat indah. Kerlip lampu perkotaan. Kerlip lampu perahu nelayan dan kapal ferry yang merapat di pelabuhan kota. Mercu-suar di kejauhan. Merapikan buku-buku yang berserakan. Menumpuk baju-baju kotor dari gantungan, melepas seprai. Memperbaiki posisi mesin tik tua di atas meja. Menyeringai. Ini mesin ketik warisan suaminya untuk Karang. Satu-satunya barang berharga di ruangan ini.... Surat itu tergeletak di sebelahnya, sama sekali belum dibuka. Tetap tersegel oleh sticker logo yang amat terkenal itu. Ibu-ibu gendut menelan ludah. Karang sama sekali tidak mempedulikan surat ini.... Baiklah, ia akan melakukannya. Memutuskan berhenti sejenak dari bersih-bersih.
Membuka surat itu. Mengeluarkan selembar kertas putih (yang juga berlogo). Surat itu ditulis tangan. Tulisan yang rapi. Surat itu tidak panjang, hanya satu paragraf. Membacanya dengan penerangan lampu lima belas watt di langit-langit kamar. "Anakku, seseorang menyebut dirimu bagai maiaikat di mata anak-anak.... Kehadiranmu seiaiu membuat mereka bersenandung riang, kehadiran yang bisa menciptakan 'keajaiban'.... Meski amat
malu mengakuinya, harus kami hilang, kami sudah amat berputus-asa.... Berputus asa atas keterbatasan putri tunggai kami. Maukah kau berkenan membantu" Membagi keajaiban itu. Kami mohon dengan segaia kerendahan hati. Jika jawabnya 'Ya', datanglah ke kediaman kami...." Nama dan alamat keluarga yang mengirimkan surat itu tertulis rapi di bawahnya. Ibu-ibu gendut menyeringai, menahan nafas. Ia amat mengenal keluarga itu. Bagaimana tidak" Logo di kertas ini tercetak di mana-mana. Barang-barang rumah tangga seperti gayung, ember, hingga pengki dan sapu ijuk. Sabun, deterjen, odol, dan entahlah. Juga peralatan elektronik, pupuk, dan lainnya. Sama mengenalnya ibu-ibu gendut itu dengan masalah keluarga tersebut. Keluarga baik yang malang....
Hujan turun semakin lebat. Ruang makan rumah besar di lereng perbukitan itu lengang, irama buncah suara hujan di luar diredam oleh tembok dan jendela kaca.
"Melati mana?" Tuan HK bertanya. Malam ini ia
pulang seperti biasanya, jadi bisa ikut makan malam
bersama istrinya. Sebenarnya kondisi hatinya belum
membaik, tapi karena hujan turun sejak sepanjang
sore, dia memutuskan untuk pulang sesuai jadwal.
"Sudah tidur sejak sore tadi, terlalu lelah...." Bunda
menjawab pelan, "Hari ini ia aktif sekali!"
Tuan HK menelan ludah. Aktif sekali! Mengangguk.
Itu konotasi dari Melati ngamuk-ngamuk.
"Tya tadi sore minta ijin pulang lebih cepat. Ia
mendadak bilang ada keperluan keluarga...." Bunda berkata perlahan sambil pelan memotong-motong makanan di piringnya, "Gadis itu sepertinya tidak akan tahan lama. Seperti perawat-perawat sebelumnya."
Tuan HK tidak berkomentar. Tahu persis apa yang
menjadi masalah Tya. Ruang makan senyap. Hanya
Salamah yang sibuk larak-lirik ke luar jendela sambil
menunggui, berdiri di dekat meja, siapa tahu Bunda
atau Tuan HK memerlukan sesuatu.
"Tadi Kinasih datang lagi, kontrol." Denting suara
garpu terdengar pelan, Bunda sebenarnya tidak
lapar meski sepanjang siang tidak makan, ia hanya
ingin menemani suaminya makan. Itu selalu ia
lakukan selama 24 tahun terakhir (dan ia berjanji
untuk itu), kecuali kalau sedang sakit.
"Kinasih sempat menemani Melati siang tadi.
Kangen. Tidak sadar bahkan memeluk Melati, lupa
aturan mainnya...." Bunda terdiam sebentar,
tertawa getir, "Dan Melati menjambak kerudung
sekaligus rambut Kinasih-"
Tuan HK menghela meletakkan sendoknya.
"Anak itu hari ini aktif sekali-" Bunda menghela
nafas. Buru-buru berdiri. Suaminya sudah selesai.
Membantu membereskan piring.
Hari ini ada banyak hal yang dipikirkannya.... Tya yang mungkin menyerah menjadi perawat Melati, itu berarti ia harus mencari perawat baru. Memikirkan kalimat dokter senior rumah sakit ibukota beberapa hari lalu. Juga surat itu.... Apakah surat itu sudah tiba"
Malam beranjak semakin matang. Hujan tak kunjung mereda. Satu jam ke depan, setelah memastikan Melati tertidur di kamarnya, Tuan HK dan Bunda masuk kamar. Bunda seperti biasa entahlah menulis apa. Tuan HK membiarkan, meneruskan membaca buku tebalnya. Lantas tertidur. Salamah juga sudah tertidur setengah jam lalu, lagi-lagi ngiler. Mang Jeje dan pembantu-pembantu lainnya. Dan hampir seluruh penduduk kota indah itu. Namun ada yang belum tertidur.
Bunda lagi-lagi keliru. Melati sama sekali belum tidur. Ia seperti malam-malam sebelumnya memang sudah terbaring di atas ranjang, sudah lelap seperti terlihat. Tapi otaknya masih terjaga. Melati menggerung pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk di bawah selimut. Ia aktif sekali sepanjang hari. Sebenarnya ia aktif sekali sepanjang tahun ini. Seperti ada energi raksasa yang tidak kunjung bisa dilepaskan. Bersemayam di otaknya. Rasa ingin tahu, rasa ingin mengenai, rasa ingin segalanya.... Yang sayangnya tidak pernah memiliki akses untuk keluar bertahun-tahun.
Lima belas menit kemudian, gadis kecil menggemaskan itu pelan setengah mengantuk menyingkap selimutnya. Rambut ikalnya yang berantakan bergoyang-goyang. Menyeret kakinya menuju jendela. Tangannya terjulur meraba-raba.... Menyentuh dinginnya kaca. Satu dua bulir air hujan yang tampias menerpa kaca. Melati menempelkan wajahnya. Mata hitam biji buah leci itu berputar-putar ingin tahu. Hidung, dahi, dan
mulutnya tercetak di jendela kaca. Nafasnya
Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat kabut. Ia sungguh ingin tahu....
Melati menatap lamat-lamat. Ke gelapnya malam
yang buncah oleh suara hujan.... Sayang, sama
seperti malam sebelumnya ketika ia tidak bisa
melihat formasi jutaan kunang-kunang. Malam ini,
Melati juga sedikit pun tidak bisa mendengar
buncah suara hujan di luar....
Lengang. Senyap. Kosong. Itulah kehidupannya.
Kaki kanak-kanak berusia sekitar tiga tahun itu lincah berlarian. Tadi takut-takut menyentuh buih ombak yang menjilat-jilat bibir pantai. Setelah berhasil, malah tertawa senang. Ternyata menyenangkan. Ternyata tidak menakutkan seperti yang ia duga. Rombongan yang berteduh santai di bawah payung besar berwarna-warni berseru menyemangati. Salah-seorang yang pastilah ibunya tertawa lebar. Menjulurkan tangannya. Kanak-kanak itu berlarian. Ingin lapor kalau ia bisa sendirian menjejak ombak itu. Tidak takut lagi. "Anak yang berani-Kemari sayang! Peluk Bunda!" Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Nyengir mendekat.
Turis-turis (dengan warna kulit macam-macam) ikut menoleh. Ikut bertepuk-tangan. Amat menggemaskan melihat kanak-kanak itu melangkah. Memeluk boneka pandanya- Keceriaan seluruh pantai pulau kecil terkenal itu pagi ini seperti berpusat pada kanak-kanak yang berlarian menuju pelukan ibu-nya.
Jejak kaki tercetak di pasir basah nan lembut.... Bayangan tubuh mungil bergerak menawan.... Pipi tembam, menyeringai lebar (senang sekali diperhatikan)....
Waktu seolah berhenti ketika melihatnya.... "JDUT!" Brisbee (piringan terbang) berwarna merah itu entah dari mananya, tiba-tiba sudah menghantam dahinya. Memutus semua kesenangan. Seketika. Menghentikan seluruh tawa. "JDUT!" Untuk ke sekian kalinya Karang terjatuh dari ranjang tua. Memutus mimpinya sekali lagi. Menyumpah-nyumpah. Dahinya lagi-lagi terantuk siku-siku kayu jati. Matanya merah silau menatap sekitar. S-i-l-a-u"
"Kau sudah bangun. Karang?" Ibu-ibu gendut itu tersenyum lebar.
Karang menoleh. Jendela kamarnya sudah terbuka lebar-lebar. Ibu-ibu gendut berdiri di sebelah jendela. Semburat cahaya matahari pagi tanpa ampun membasuh ranjang tua itu. Karang mengomel. Beranjak duduk. Sebenarnya cahaya matahari pagi masih lembut menerpa, tapi untuk mahkluk batman sepertinya, lampu lima watt saja terasa silau. Segera menutup mukanya dengan dua belah telapak tangan. Kepalanya pusing sekali. Dia mungkin baru tertidur satu jam. Terlalu pendek. Terlalu cepat terbangun. Tidak cukup setelah semalaman begadang duduk di pojokan bar. "Ada surat untukmu!" Ibu-ibu itu berkata datar. Karang tidak mengangkat kepalanya. Sama sekali tidak tertarik. Sialan. Hari-hari seminggu terakhir
benar-benar berjalan menyebalkan baginya.
Kacau-balau. Dia selalu terbangun lebih cepat dari
jadwal biasanya. Terlalu cepat malah.
"Kau tidak pernah membuka surat-surat itu,
anakku?" Karang menggerutu sebal. Memangnya penting" Melambaikan tangan. Maksudnya, tolong tutup kembali jendela itu.
"Aku akan menutup jendela, asal sekali saja kau mau membacanya, Karang-"
"Buat apa" Bukankah Ibu setiap hari sudah membacanya untukku!" Karang mendengus sebal, memotong.
Ibu-ibu gendut menelan ludah, berkata pelan, "Kau tahu, ada kanak-kanak yang memerlukan bantuanmu. Karang. Surat itu bilang. Mereka membutuhkan bantuanmu...."
Karang tertawa sinis, "Bantuan" Terakhir kali aku bersama anak-anak aku justru membunuhnya-Bukankah Ibu tahu itu?"
Hening sejenak. Ibu-ibu itu menghela nafas panjang. Sarkasme. Lagi-lagi kalimat itu. "Tidak bisakah kau sekali saja menemui mereka" Ini surat ke-tujuh yang mereka kirimkan seminggu terakhir, mereka berharap banyak kau mau datang...."
"Buat apa?" Karang menjawab masygul.
"Setidaknya kau mendengarkan apa permintaan
mereka-" Karang menyeringai tipis. Permintaan" Omong-kosong. Dia sudah tidak peduli banyak hal
sejak tiga tahun lalu. Bodo amat! Meskipun seminggu terakhir ada hal ganjil yang terpaksa dia pedulikan. Seminggu ini entah kenapa dia tidak pernah lagi terbangun oleh mimpi-mimpi buruk itu. Dia terbangun justru oleh mimpi-mimpi yang tidak dikenalinya.... Sialnya, itu bukan kabar baik baginya, justru mimpi-mimpi baru ini membuatnya sakit kepala. Membuatnya selalu bangun lebih cepat. Dan sialnya lagi, di sisa siang dia akan kesulitan untuk melanjutkan tidur. "Anakku, tiga tahun terakhir sejak aku tahu apa yang terjadi, aku tidak pernah ingin membicarakan masalah ini.... Tidak ingin, karena semua ini bahkan membuatku sedih sebelum membicarakannya.... Tapi biarlah pagi ini kita bicarakan lagi semuanya-" Ibu-ibu gendut itu melangkah mendekat. Itu benar. Pagi ini setelah sepanjang minggu berpikir, berhitung masak-masak, ia akhirnya memutuskan untuk membicarakannya. Ia tahu ini menyakitkan. Tidak mudah. Tapi hingga kapan ia hanya berdiam diri, surat-surat ini bisa jadi awal yang baik bagi Karang.... Maka ibu-ibu gendut itu memulainya dengan membuka jendela kayu itu lebar-lebar. Perubahan pertama! Prolog pembicaraan!
Karang mendengus, tetap menatap lantai, memijat kepalanya.
"Karang, kau tahu aku tidak pernah berusaha mencegahmu melakukan apa saja yang hendak kau lakukan selama tiga tahun. Aku hanya diam membiarkanmu tenggelam sendirian dalam semua
kesedihan. Tapi tahukah kau, dengan membiarkan kau seperti ini, melihat semua ini tanpa bisa melakukan apapun, aku lebih sedih dari yang kau rasakan....
"Selama tiga tahun aku bahkan tidak pernah membuka jendela ini. Berharap kau akan kembali seperti yang pernah kukenal lewat surat-surat yang dulu kau kirimkan setiap bulan.... Berharap kau-lah yang akan membuka jendela ini. Melewati masa-masa menyakitkan itu." Ibu-ibu gendut duduk di sebelah Karang. Menghela nafas. "Tapi hari-demi-hari berlalu hanya seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Kejadian itu sudah tertinggal tiga tahun di belakang, anakku.... Ibarat sebuah perjalanan, itu sudah jauuuh sekali tertinggal-"
"Ya! Jauh sekali! Benar-benar omong-kosong. Saking jauhnya, hingga hari ini, setiap detik aku masih bisa melihatnya, jelas-jelas seperti siaran televisi-" Karang berbisik kasar. Memotong dengan suara serak, kerongkongannya terasa haus. "Karena kau tak kunjung henti membiarkan dirimu merasa bersalah, Karang!" Ibu-ibu gendut ikut memotong, dengan suara bergetar. "Bersalah! Kenapa pula aku harus merasa bersalah" Bukankah pengadilan akhirnya membebaskanku?" Karang tertawa. Sinisme.
Lengang sejenak. Ibu-ibu gendut menatap lamat-lamat wajah kusut di sebelahnya. Kumis dan cambang yang tak terurus. Rambut panjang berantakan. Pakaian kusam yang baru diganti
dua-tiga hari sekali. Bau alkohol menyengat. Semua ini terlihat menyedihkan.
"Tidakkah kau sejenak saja bisa berdamai dengan masa lalu itu?" Ibu-ibu gendut bertanya pelan, menyentuh lembut lengan Karang. Karang tertunduk. Bergumam sebal. Mengusap wajahnya. Berdamai" Itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Andai dia bisa melakukannya. Andai dia bisa menemukan caranya. Tapi semua itu terlalu menyakitkan, terlalu menyesakkan.... Tiga tahun lalu. Kota besar itu. I-b-u-k-o-t-a! Dia merintis mimpi-mimpi besarnya. Menukar seluruh masa kecilnya yang menyedihkan (yatim-piatu miskin tak beruntung, kerinduan menyesakkan atas kehadiran Ibu dan Ayah) dengan janji masa depan yang lebih baik. Dia mendirikan belasan Taman Bacaan Anak-Anak. Tempat di mana anak-anak akan mendapatkan makna kehidupan sejati. Kesenangan berbagi. Merasa cukup atas keseharian yang sederhana. Mencintai bekerja keras tanpa mesti kehilangan masa kanak-kanak yang menggemaskan.
Taman Bacaan yang memberikan buku-buku, kelas bercerita, dan dongeng-dongeng tentang kehidupan. Mengajak anak-anak mencintai alam. Mengajarkan mereka chatting, browsing, bagaimana bicara di depan, apa saja....
Siapa yang tidak mengenal dia" Pemuda yang merintis sendirian semua mimpinya. Anak-anak mengenalnya sebagai kakak yang baik, kakak yang bahkan melihat wajahnya sudah menyenangkan.
Kakak yang pandai bercerita. Kakak yang pandai membuat games dan permainan seru. Kakak yang pandai memetik gitar dan bernyanyi. Kakak yang selalu membawa sepotong cokelat sebagai hadiah.... Ibu-ibu di kota mengenal Karang pemuda yang baik. Pemuda yang bisa mendiamkan bayi yang sedang menangis hanya dengan menyentuhnya. Hanya dengan berbisik. Bersenandung. Siapa yang tidak mengenal Karang" Bapak-bapak di kota mengenal Karang pemuda yang hebat. Bagaimana tidak" Dia sendirian menampung anak jalanan. Membuat sekolah informal. Menjanjikan masa depan bagi mereka. Percaya sekali janji kehidupan yang lebih baik akan datang dari anak-anak berikutnya. Hingga kejadian buruk itu. Tiga tahun lalu. Berita-berita di koran.... Liputan media massa. Perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu terbalik di perairan utara ibu kota. Hari itu, Karang bersama anak-anak salah satu Taman Bacaan-nya berwisata air. Bermain, menyelam melihat indahnya karang-karang dan ribuan ikan warna-warni. Siang yang hebat, penuh gelak-tawa. Siang yang hebat, penuh kesenangan dan kebersamaan. Sayang, sore itu saat perahu nelayan kembali, cuaca buruk mendadak mengungkung lautan. Tanpa ba-bi-bu, ombak besar membuat limbung perahu nelayan. Terbalik, sempurna menumpahkan seluruh isinya tanpa ampun.
Empat awak perahu beserta nahkodanya selamat, lima kakak-kakak relawan yang mengurus Taman
Bacaan selamat. Karang juga selamat. Dua belas anak-anak selamat. Tapi 18 tidak. Delapan belas kanak-kanak lainnya meninggal. Tenggelam. Kedinginan. Bibir membeku. Ujung-ujung jari membiru. Benar-benar menyedihkan. Tubuh-tubuh kecil yang dingin mengapung dengan jaket pelampung. Mencoba bertahan hidup selama satu jam sebelum rombongan helikopter penyelamat tiba. Pemandangan yang membuat seluruh kota larut dalam kesedihan.
Seperti menatap artefak sejarah menyakitkan.... Karang diinterogasi, diperiksa penyidik berhari-hari. Tidak cukup hanya itu, pengadilan menyeretnya bersama nahkoda dan awak perahu nelayan. Menuduh mereka tidak-cukup-bertanggung-jawab atas keselamatan anak-anak. Proses pengadilan yang sungguh mengharukan. Proses pengadilan yang mengundang tangis.
"Kak Karang Tidak Bersalah!" Anak-anak Taman Bacaan mendatangi pengadilan sambil membawa spanduk. Satu-dua malah menangis maju ke depan menyerahkan setangkai bunga. Pendapat masyarakat bagai api yang merambat menjalar. Dukungan-dukungan. Tuduhan-tuduhan.... Seruan benci dan simpati berpilin di media massa. Dan vonis itu akhirnya dibacakan. Tidak ada yang menyalahkan dirinya.... Itu benar sekali! Tapi tahukah kalian hal yang paling menyakitkan di dunia bukan ketika orang lain ramai menyalahkan diri kalian. Tapi saat kalian menyalahkan diri-sendiri.... Dan itulah yang terjadi padanya!
Dimulailah malam-malam sesak itu. Tiga tahun terakhir. Membakar semua yang dimiliki, kepercayaan, harapan, dan cita-cita.... Karang memutuskan pergi! Tidak tahan lagi meski hanya menatap Taman Bacaan miliknya dari kejauhan. Dia tidak sanggup meneruskan hidup di sana. Wajah delapan belas kanak-kanak itu memenuhi pelupuk matanya. Wajah Qintan.... Karang memutuskan pulang. Kalau bisa, dia bahkan ingin memutuskan pulang dari kehidupan ini. Tidak peduli itu akan mengorbankan banyak hal. Tidak peduli. Lengang. Kamar berukuran 6x9 meter itu senyap. Angin pagi menelisik lewat jendela. Lembut memainkan anak rambut. Karang mengusap matanya. Tidak! Dia sudah lama tidak menangis mengenang kejadian itu. Air-matanya sudah habis, bukan karena kejadian itu, tapi sejak kanak-kanaknya, terlanjur habis karena tangis-rindu pada orang-tuanya yang pergi. Yang menangis justru ibu-ibu gendut itu. Pelan. "Bacalah anakku.... Sekali saja!" Ibu-ibu gendut itu berkata serak, menyerahkan surat baru yang masih disegel oleh sticker berlogo.
Karang diam. Tangannya tidak bergerak. Dia tidak bodoh (untuk tidak, bilang amat cerdas)! Itu takdir hebat miliknya. Dia mengenali logo tersebut, sama seperti seluruh penduduk kota ini. Dia juga tahu apa masalah keluarga baik yang malang itu. Jadi tanpa perlu membacanya dia tahu apa maksud surat-surat ini.
"Anak malang ini membutuhkan bantuan, anakku!"
"Ia membutuhkan dokter. Bukan seseorang yang bahkan menurut pengadilan tidak memiliki pendidikan akademis memadai tentang mendidik anak-anak.... Aku tidak memiliki apapun untuk membantu anak ini-" Karang berkata pelan. Intonasinya melemah. Dia masih menggerutu, namun sejenak melihat ibu-ibu gendut di sebelahnya menangis, sarkasme itu sedikit mereda. "Kau memiliki segalanya bagi anak-anak, Karang-" Karang menyibak rambut panjangnya yang mengenai ujung-ujung mata. Mendengus. Segalanya" Omong-kosong!
"Kau mencintai mereka lebih dari siapapun, anakku-" Karang tertawa. Getir. Tertunduk, "Ya! Aku mencintai kanak-kanak lebih dari siapapun.... Kata bijak itu benar sekali, terlalu mencintai seseorang justru akan membunuhnya!"
Ibu-ibu gendut menghela nafas. Melepaskan pegangannya di lengan Karang. Ikut menatap lantai kayu.
"Kau punya kesempatan untuk memperbaiki masa lalu itu, anakku.... Anak ini membutuhkanmu. Jika Tuhan menghendaki pengampunan yang kau harapkan, kau pasti bisa membantunya...." Karang tidak menjawab. Mengusap wajah kebasnya untuk ke sekian kali. Pembicaraan itu berakhir tanpa kesimpulan.
Lima menit kemudian, ibu-ibu gendut itu menuruni anak tangga yang berkeriutan. Sementara Karang sudah membanting jendela kamar. Lantas melemparkan diri di atas ranjang tua.
Berharap bisa melanjutkan tidur....
Keterbatasan Melati JLangit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya angin yang menderu-deru membuat semakin kelam dan tegang suasana. Perahu itu macam sabut di galaknya lautan luas....
"PELANKAN! PELANKAN LAJU PERAHU!" Salah satu awak kapal yang berdiri di buritan berteriak kencang. Panik!
Nahkoda perahu dengan tangan liat-basah berkeri-ngatan mencengkeram kemudi, berusaha mengendalikan gerak kapal. Mengatupkan gigi geraham. Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap awas. Dahinya berkeringatan. Cemas! "AWAS OMBAK BESAR DI HALUAN KANAN!" Nahkoda memutar kemudi. Melintir. Perahu meliuk. Menghindar.
"TAHAN!! AWAS OMBAK!!"
Nahkoda sekali lagi membanting kemudi. Perahu berderit. Terangkat ke atas ujung-ujung gelombang lautan. Lantas seperti dibantingkan, berdebam jatuh seiring gerakan liar ombak besar. Lambung
kapal bergetar. Tiang-tiang kayu bergemeletukan. Membuat pias seluruh penumpangnya. "CTAR!" Kilat menyambar. Langit gelap tertutup awan mendadak terang-benderang. Semburat cahaya seperti akar serabut melukis langit. Pemandangan yang memesona (sekaligus mengerikan). Wajah-wajah semakin gentar. Berpegangan erat apa saja.
"AWAS!!! SEBELAH KIRI!" Teriakan awak kapal terdengar serak.
Nahkoda gesit memutar kemudi lagi.
Badan-badan menggigil ketakutan. Sejak setengah
jam lalu. Badan-badan kecil itu sudah menciut.
Pucat-pasi. Tidak ada suara meski hanya decit
tertahan. Saling berpegangan tangan erat-erat.
Takut! "SEBELAH KANAN!" Awak kapal berteriak lagi. Nahkoda semakin gugup, berusaha memutar cepat kemudi. Badai ini benar-benar menguras segalanya. Kapal terangkat lagi tinggi-tinggi. Lantas sekejap, berdebam lagi. Membuat semakin pias wajah kanak-kanak itu.
Boneka panda itu akhirnya terjatuh dari genggaman tangan (yang akhirnya melemah karena gentar). Menggelinding pelan di lantai perahu. Mental satu-dua mengikuti gerakan perahu yang semakin tak terkendali. Membal.... Atas.... Bawah.... Atas.... Bawah.... Bergulingan.... Kiri.... Kanan.... Kiri.... Kanan....
"GELEGAR!" Guruh menyalak, enam detik setelah kilat tadi, berdentum memekakkan telinga, beradu
dengan teriakan panik awak perahu nelayan dan penumpangnya.
Gerakan boneka panda itu tertahan di dinding kapal....
Gemetar Qintan, setengah-takut setengah-cemas atas nasib bonekanya merangkak berusaha mengambilnya....
"JANGAN LEPASKAN PEGANGAN, QINTAN!"
Gadis kecil itu menoleh takut-takut. Tapi
bonekanya" Bonekanya"
"TETAP DI TEMPATMU, QINTAN!" Yang barusan berseru kencang menengahi hingar-bingar suara badai itu, berusaha memegangi tubuh gadis kecil yang sudah setengah merangkak. "DNTUM!"
Terlambat. Semua terbanting! Ombak besar menggulung. Perahu nelayan itu tanpa ampun terbalik. Teriakan panik terdengar. Seruan-seruan tertahan. Jeritan kanak-kanak. Tubuh-tubuh itu seperti butiran cokelat sebesar kelereng berwarna oranye tumpah dari toples. Berhamburan di atas meja. Sayang meja-nya adalah lautan yang galak melibas apa saja. Percuma jaket pelampung berwarna oranye yang terikat erat di tubuh mereka....
"BERPEGANGAN!" Karang tersengal, tersedak air laut, berusaha menarik kanak-kanak yang limbung di tengah ombak.
"PEGANG SEBANYAK MUNGKIN ANAK-ANAK!" Karang panik meneriaki kakak-kakak relawan Taman Bacaan lainnya.
Suasana benar-benar kacau. Hujan deras bagai ditumpahkan dari langit gelap. Perahu kayu itu pelan mulai tenggelam, miring, terus melesak ke dalam dinginnya lautan. Awak-nya sudah melupakan nasib perahu mereka, sekarang berjibaku menarik anak-anak yang menjerit-jerit di sekitar mereka. Satu tersedak, terminum air. Yang lain menyusul. Terlambat sepersekian detik, tubuh-tubuh kecil itu akan terseret ombak, menjauh entah kemana! Tidak terselamatkan.
Teriakan kanak-kanak yang takut membuncah lautan.
Karang berhasil memegang jaket pelampung tiga kanak-kanak di dekatnya. Beberapa kakak-kakak lainnya juga berhasil memegangi yang lain. Berusaha bertahan di tengah buruknya cuaca. Boneka panda itu mengambang di dekat Karang.... "QINTAN! QINTAN DI MANA!" Karang terkesiap demi melihat boneka panda itu. Tersadarkan oleh sesuatu. Menoleh panik kesana kemari. Berteriak. Yang lain tidak sempat menjawab, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Berusaha terus merapat, berkumpul saling berpegangan tangan. Tubuh terbungkus jaket pelampung oranye itu mengambang di dekat Karang. Naik-turun. Naik-turun. Bergerak liar seiring ganasnya gelombang lautan. Karang beringas berenang mendekat, dengan terus memegang tiga anak lainnya. Benar-benar sulit. Ombak besar membuat badannya selalu terbanting. Tapi setelah berjibaku setengah menit. Karang bisa menarik jaket
pelampung itu. Qintan tersedak. Mukanya pucat-pasi. "PEGANG JAKET KAKAK! PEGANG!" Karang meneriaki tiga anak lainnya, sambil berusaha mendekap Qintan. Mengangkat kepala Qintan agar lebih tinggi dari permukaan air laut.
Qintan terbatuk. Matanya layu. Sudah terlalu banyak air laut yang masuk dalam perutnya. "Qintan! Bertahanlah, sayang-" Karang panik. Gadis kecil berkepang dua itu terbatuk lagi. Air laut tumpah dari mulutnya. Kepalanya sudah terkulai lemah-
"Aku mohon. Bertahanlah...." Karang berteriak parau. Satu ombak besar menerpa mereka. Terbanting. Kuyup.
"Qin-tan... Qin-tan takut Kak Karang-" Gadis kecil itu berbisik dalam dekapan. Rambut berkepangnya luruh ke dahi.
"Ya Allah, aku mohon. Bertahanlah...." Karang berusaha memperbaiki posisi Qintan. Melepas ikatan jaket pelampung di leher, agar gadis kecil itu bisa bernafas lebih lega. Tiga kanak-kanak lain yang mulai kedinginan menatap amat gentar semua kejadian sambil terus berpegangan erat pada jaket pelampung Karang.
Satu ombak lagi menerpa. Membuat anak-anak lain tersedak.
Jemari Qintan yang berusaha mencengkeram bahu Karang terlihat membiru. Bibirnya pucat. Matanya semakin redup.
"Bertahanlah. Aku mohon-" Karang mengguncang
tubuh Qintan. "Qin-tan.... Qin-tan takut sekali Kak Karang-" Hujan semakin deras. Langit pekat, petir menyambar sekali lagi, semburat cahaya mengukir angkasa.
"A-da ca-ha-ya.... A-da ca-ha-ya, Kak Karang!" Mata Qintan yang tinggal putihnya mendongak menatap langit.
Karang seketika gemetar menahan sesak.
"Aku mohon, sayang. Kak Karang di sini....
Bertahanlah!" "A-da.... A-da yang da-tang. Kak Karang" Qintan berbisik lirih, kepalanya masih mendongak, mata itu tinggal putihnya.
Lihatlah, kanak-kanak yang lain menatap sungguh tak mengerti. Amat takut. Menjadi saksi kepergian yang menyakitkan. Karang sudah gemetar berbisik tidak terkendali, berusaha menenangkan hatinya yang juga ikut gentar. Gemetar memohon. "Kak Karang, Ma-ma-Pa-pa da-tang.... Ma-ma Pa-pa da-tang" Gadis itu merekahkan senyumnya di antara bibir pucat membeku.
"Jangan, sayang. Jangan pergi. Kak Karang mohon-" Karang mengguncang tubuh Qintan. "Ma-ma- Pa-pa da-tang.... Me-re-ka da-tang Kak Ka-rang...."
Sungguh memilukan menjadi saksi kejadian itu. Petir menyambar sekali lagi. Membuat semburat akar serabut di angkasa. Pemandangan yang memesona sekaligus mengiris hati. Dan persis saat semburatnya hilang, kepala Qintan terkulai lemah
dalam pelukan Karang. Ia sudah p-e-r-g-i.... Karang mendesis. Matanya berputar menatap sekitar penuh sejuta sesal. Karang sesak oleh sejuta tanya. Dia ingin berteriak sekuat tenaga. Berteriak sekuat yang bisa dia lakukan. Tapi suaranya hilang sudah di kerongkongan, suara itu hanya menjadi untai keluh tertahan saat tiba di mulut. Suara itu hanya menjadi sedu. Tergugu. Karang mendekap tubuh Qintan erat-erat.... Menangis. Tersedan.
Petir menyambar lagi. Silau! Cahaya itu menyilaukan. Lengang.... Tapi tidak ada lagi buncah air hujan. Tidak ada juga deru angin. Kemana ombak galak tersebut" Kemana gelegar guruh dan kilau petir itu" Kemana semua keributan" Senyap.... Mata Karang mengerjap-ngerjap. Dia ada di kamar berukuran 6x9 meternya. Dia tidak berada di tengah lautan terkutuk yang terkungkung cuaca buruk. Dia terbaring tertelentang. Silau. Jendela kamarnya lagi-lagi sudah terbuka lebar. Cahaya matahari pagi menerabas masuk.
Pelan Karang beranjak duduk. Mengusap rambut panjangnya. Kepalanya tidak nyeri seperti seminggu terakhir. Melirik jam di dinding. Pukul 12.30. Ini jadwal bangun tidur seperti biasanya. Setelah seminggu selalu terbangun oleh mimpi-mimpi yang tidak dikenalnya, sekarang semuanya kembali normal .... Normal" Mimpi-mimpi buruk itu kembali datang bisa disebut normal" Karang mendengus. "Kau sudah bangun. Karang?"
Karang menoleh. Malas menggerakkan lehernya.
Ibu-ibu gendut berdiri di dekat jendela. Menatapnya datar. Karang melambaikan tangan tidak peduli. Basa-basi! Tidak menjawab. Pasti setelah ini akan bilang: "Ada surat untukmu!" Selalu begitu selama seminggu terakhir. Apa tidak ada bentuk kalimat pembuka percakapan lainnya " Tapi ibu-ibu gendut tidak berkata-kata lagi, melainkan melangkah mendekat. Karang beringsut beranjak duduk di tepi-tepi ranjang tua. Merapikan rambutnya yang mengenai ujung-ujung mata. "Ada yang ingin menemuimu!"
Karang mengangkat kepala. Mengernyitkan dahi. Menemuinya"
Bandit Di Hotel Istana 1 Bayangan Berdarah Karya Wo Lung Shen Keris Peminum Darah 1
Semoga Bunda Disayang Allah
Tere Liye Bisa dibaca secara online di http://cerita-silat.mywapblog.com
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Diangkat dari salah-satu kisah nyata yang mengharukan. Ditulis-kembali dari salah-satu film terbaik sepanjang masa.
"Baaa, maaa.... Baa.... Maa...."*)
*) "Moga Bunda Disayang Allah"
"Gelap! Melati hanya melihat gelap. Hitam. Kosong. Tak ada warna.... Senyap! Melati hanya mendengar senyap. Sepi. Sendiri. Tak ada nada...."
-tere-liye- DAFTAR ISI Jeruk Panas Special ... 7
Merah. Kuning. Hijau ... 25
Ribuan Kunang-Kunang ... 41
Tiga Tahun Lalu ... 61 Keterbatasan Melati ... 85
Pertemuan Pertama ... 107
Satu Minggu Berlalu ... 137
Gadis Lesung Pipit ... 167
Kursi. Kursi. Kursi ... 199
Gadis Berkerudung Lembut ... 227
Boneka Panda ... 245 Tarian Aurora ... 265 Keajaiban Telapak Tangan ... 291
Festival Kembang Api ... 311
Epilog ... 329 JERUK PANAS SPESIAL Apalagi hendak diucap, kota ini elok nian di pelupuk mata. Begitu indah ketika semburat matahari muncul di kejauhan horizon cakrawala. Membuat Jingga hamparan laut yang beriak tenang. Burung camar melengking mengisi senyapnya udara pagi. Ombak pelan menggulung bibir pantai. Buih membasuh butiran pasir yang halus bagai es krim saat diinjak.
Bayangan gedung-gedung, pepohonan, tiang listrik, kabel-kabel telepon terlihat menyenangkan di jalanan lengang. Satu-dua lampu taman berbentuk bola putih-susu masih menyala. Juga lampu neon panjang-panjang di depan ruko. Belum, atau lupa dimatikan. Membuat temaram tapi indah sudut sudut kota, berebut pesona dengan larikan cahaya matahari pagi. Syahdu. Bagai lukisan yang baik, tambahan satu larik saputan warna saja membuat lukisan itu jadi tidak enak lagi dilihat. Jadi jangan coba-coba malah iseng menambahkan objek baru. Di belakang kota, pebukitan seperti sabuk melingkar mengelilingi. Bak ksatria gagah, berdiri kokoh menjaga kota. Hutan hujan tropis lebat menutupi
pebukitan. Bagai sehelai beludru hijau sepanjang mata menatap. Hijau" Ah, tak juga, sepagi ini kabut putih sempurna mengungkung hijaunya dedaunan. Membuat pebukitan bagai selimut putih lembut, seperti kapas, seperti busa sabun, seperti entahlah.... Yang pasti memberikan nuansa melegakan.
Kota ini tidak kecil, juga tidak besar. Satu di antara belasan kota khas pelabuhan pesisir selatan yang nyaman.
Lembah luas yang subur menghampar dari batas kota hingga pebukitan, menyisakan tanah kosong, daerah pedesaan. Tanah yang hari ini dipenuhi oleh persawahan. Tunggulah setengah jam lagi, saat matahari beranjak dari garis lautan, ketika pagi mulai meninggi, pematang sawah juga mulai dipenuhi petani yang riang menjemput hari. Kepala dengan topi ilalang. Cangkul di pundak. Sepatu bot setinggi lutut. Dan bekal tiga potong pisang-rebus. Bakal nikmat nian, pukul 10.00 nanti istirahat sejenak di pondok rumbia setelah bekerja membersihkan gulma. Santai menyeduh segelas kopi hangat sambil menatap berisik burung pipit, kelepak bangau putih, dan lenguh kerbau berkubang. Sementara itu, di pelelangan ikan dekat pelabuhan, sejak shubuh sudah dipadati nelayan. Nelayan yang setelah semalaman akhirnya pulang dari melaut. Menumpahkan berember-ember udang sebesar lengan, cumi sebesar tinju, kepiting (rajungan) sebesar buku, dan tidak terhitung ukurannya ikan ikan. Mulai dari sebesar jari (ikan teri), sebesar
tampa (ikan pari) hingga ekstra-doubie-size segede paha (ikan kakap baronang-ronang"). Kalau lagi beruntung, rnalah ada yang pulang membawa 'hiu' sebesar lemari. Bukan main. Harga jualnya setara dengan persediaan solar untuk setahun. Di sini hiu memang mahal, sama bernilai dengan posisinya di lautan sebagai penguasa strata tertinggi rantai makanan.
Pemilik ruko-ruko juga mulai membuka partisi depan. Bunyi pintu aluminium di dorong terdengar ber-kereketan. Membuat gigi nyilu. Tapi mereka justru tersenyum, mendesah di sejuknya udara, berdoa lirih semoga hari ini pengunjung lebih banyak dari kemarin. Dan lebih penting lagi, semoga pengunjung pengunjung itu membawa uang lebih banyak juga (plus niat beli pula). Kan, nggak ada gunanya kalau toko cuma ramai doang, memangnya pasar festival. Anak-anak di rumah ramai beranjak mandi (sebenarnya bandel diteriaki agar mandi), gosok gigi gaya kilat (mana ingat mereka soal iklan menggosok gigi yang benar), menyemburkan busa sabun banyak banyak (bersih nggak bersih yang penting busanya banyak), kecipak-kecipak, tertawa, kecipak kecipak, terpeleset (mengaduh, meski sejenak kemudian tetap tertawa-tawa). Berganti pakaian sekolah dengan cepat. Memakai sepatu dengan cepat. Lantas teriak berpamitan. Wushh, macam mobil balap saja....
Pekerja kantoran juga sudah rapi dengan rambut klimis, kemeja lengan panjang wangi, celana katun tersetrika mulus (kelihatan banget dari lipatannya),
dan tak lupa sepatu hitam mengkilat. Sempat sarapan. Sempat mencium pipi istri dan anak-anak tercinta, sempat memberi 'petuah', lantas berpamitan. Menjemput hari.
Benarlah! Dalam setengah jam ke depan, kehidupan kota ini baru saja dimulai. Hari baru berikutnya sudah tiba. Sama indah dan menyenangkan dengan hari kemarin, juga hari kemarinnya lagi, juga hari kemarin-kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarinnya lagi, juga hari kemarin kemarin kemarin kemarin.... Aduh, kebanyakan kemarinnya ya" Cerita ini juga baru saja dimulai, meski di sana-sini sayangnya tidak selalu seindah kota ini. Menyedihkan malah, bahkan satu-dua membuat nafas terhela panjang. Tapi tak mengapa, semoga dengan begitu justru dapat memberi banyak pelajaran. Semoga....
"Bunda, bangun! Sudah pagi...." Melati berseru sambil melompat riang ke atas ranjang ukuran king-size. Tertawa.
Cahaya matahari pagi menyelisik celah krei. Membentuk garis di lantai keramik super-mewah kualitas ekspor. Cahaya yang seolah mengambang bersama kabut. Satu lariknya menimpa wajah Melati. Gadis kecil yang berumur 6 tahun. Mukanya lucu menggemaskan, layaknya kanak-kanak yang selalu senang mendengar kabar apa-saja. Rambut ikalnya mengombak (bandel tidak mau lurus-lurus juga meski disisir berjam-jam), pipinya tembam macam donut. Bola matanya hitam-legam seperti
biji buah leci. Dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. Jangan tanya gurat wajahnya. Kalian akan tertipu meski oleh seringai-bandel-nya. Kalian akan selalu bilang 'iya' demi menatap senyum manisnya. "Bunda, bangun! Bunda kesiangan, nih!" Jahil Melati menarik selimut ibunya. Berteriak lagi. Tertawa lagi. Merangkak lebih dekat. Mengeluarkan sehelai bulu ayam (yang diperolehnya kemarin dari Mang Jeje, tukang kebun). Jahil!
Bunda menggeliat, membuka mata. Pelan menyadari pagi. Kemudian tersenyum lebar demi menatap putrinya yang sedang merencanakan 'persekongkolan jahat', memainkan bulu ayam itu ke lubang hidung-nya. Bunda sebenarnya sudah bangun sejak shubuh. Malah sejak pukul dua tadi malam, di sepertiga akhir waktu terbaik yang dijanjikan. Menghabiskan sisa malam dengan bersimpuh menangis di atas sepotong sajadah. Membuat basah ujung-ujung mukena. Berharap Tuhan akhirnya berbaik-hati memberikan jalan-keluar.... Satu larik cahaya matahari pagi lainnya menimpa wajah Bunda. Membentuk garis di pipi Bunda. Perempuan berumur empat puluh enam tahun. Hampir setengah baya. Wajah yang andaikata semua penat ini tak ada sungguh masih terlihat cantik. Lah, Melati saja begitu menggemaskan, jadi dari mana pula semua gen baik Melati itu berasal" Pasti dari ibunya, kan"
Sayang sejak tiga tahun terakhir, sisa-sisa kecantikan masa muda Bunda terhapus oleh getirnya kenyataan. Rambutnya memutih. Satu dua
malah lebih cepat tereliminasi oleh kurangnya kiriman sms eh perawatan, ding. Alias rontok. Sedikit beruntung kemarin Salamah, yang mengurus keperluan rumah membelikan semir rambut, jadi pagi ini Bunda 'terlihat' lebih muda sepuluh tahun. Hanya saja, tidak ada 'semir' untuk ekspresi muka, kerut wajah, atau pudarnya cahaya tatapan mata. Bunda memang selalu terlihat lembut, menyenangkan, wajah yang senantiasa menjanjikan perasaan damai dan tenteram, wajah keibuan yang memberikan perlindungan, tapi tetap tidak bisa disembunyikan gurat harapan yang dari hari ke hari semakin menipis. Harapan yang mulai dibujuk untuk menerima kenyataan, mengalah atas takdir.... "Bunda, mikir apa?" Melati menyeringai. Memutus lamunan.
Bunda mengusap matanya. Melipat dahinya. Seperti baru menyadari sesuatu. Hei! Apa ia tidak salah lihat" Apa semua pemandangan ini sungguh nyata" Melati yang sekarang merangkak di depannya. Yang nyengir lebar memamerkan gigi kelincinya. Bukankah pemandangan ini ganjil sekali" "Bunda kok melamun" Bunda masih sakit, ya?" Melati bertanya sekali lagi, dengan intonasi suara dan ekspresi wajah sok-serius.
Bunda gagap mengangguk, menelan ludah, masih amat terkejut melihat Melati yang tersenyum dengan wajah mendekat.
"Idih, dahi Bunda panas banget-" Tangan Melati menyentuh.
Ya, sudah dua hari ini tubuhnya tidak nyaman.
Sebenarnya Bunda tahu persis semua baik-baik saja, tapi perasaan yang semakin sesak, apalagi sejak kejadian dua hari lalu membuat fisiknya ikutan tidak nyaman. Sedikit demam. Sedikit flu. Sedikit pusing. Entahlah apa nama penyakit itu. Semuanya sedikit-sedikit. Kalau banyak demam, jelas itu pertanda demam. Atau banyak batuk, jelas itu penyakit batuk. Kalau sedikit-sedikit, Bunda tidak tahu.
Seharusnya selepas shubuh tadi ia sudah melakukan banyak hal. Membantu menyiapkan pakaian kerja suaminya, memastikan Melati di kamarnya, memastikan sarapan tersedia, memastikan ini itu. Memang semuanya bisa dibilang hanya 'memastikan', pernak-pernik pekerjaan rumah tangga sesungguhnya sudah diselesaikan oleh sembiian pembantu. Tapi Bunda tipikal ibu rumah tangga yang baik, selalu menyibukkan diri. Tidak hanya 'tidur-tiduran'.
Sayang, selepas shalat shubuh, tubuhnya terasa lemas sekali. Memutuskan beranjak lemah naik ke atas ranjang, berharap bisa kembali tertidur. Berharap setelah tidur sebentar fisiknya bisa membaik, tapi sekarang ia malah kesiangan. Mungkin suaminya enggan membangunkan, tidak tega melihat wajah lelahnya. Sepagi ini suaminya pasti sudah pergi ke pabrik, itu berarti hari ini tidak ada ritual kecupan mesra di kening, berpamitan.... Bunda menghela nafas, berusaha duduk ber-sandarkan bantal.
"Teeet! Bunda kok masih melamun?" Melati nyengir
lebar, tertawa. Tangannya memainkan bulu ayam yang urung buat jahiiin Bunda.
"Ah-ya! Barusan Melati buatkan Bunda air jeruk panas di dapur...." Gadis kecil itu seperti teringat sesuatu, bola mata hitam biju buah lecinya berkerjap-kerjap lucunya.
"Sebentar, Melati ambilkan, ya!" Tanpa ba-bi-bu lagi Melati sudah gesit lompat dari tempat tidur. Piyama birunya bergerak-gerak, rambut ikalnya bergoyang-goyang, ia buru-buru menyeret kakinya yang beralaskan sandal tidur berhias kepala kelinci. Bunda tetap gagap. Sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Ya Allah, apa ia tak salah lihat" Apa ini untuk kesekian kalinya mimpi-mimpi itu menipunya" Bunda beranjak ingin memperbaiki selimut, Belum sempat. Menelan ludah. Kaget. Melati sudah kembali sambil berjinjit pelan membawa gelas besar. Cepat sekali" Hanya sekejap" Bagaimana mungkin" Bukankah dapur ada di lantai satu, berjarak 30 meter, melewati dua puluh anak tangga pualam melingkar berplitur dan berukiran mahal"
Bunda tak sempat berpikir panjang. Menatap gelas yang dipegang putri semata wayangnya. Uap mengepul perlahan dari cangkir besar. Jeruk panas" Ya, Bunda selalu memberikan secangkir jeruk panas untuk Melati kalau gadis kecilnya sedang flu. Membantu meminumkannya dengan amat sabaaar.... Sekarang" Melati-nya yang menghantarkan segelas jeruk panas. Berhati-hati sekali, takut tumpah. Mengenggam erat-erat piring
tatakannya bahkan dengan kedua belah telapak tangan.
"Jeruk panas spesial buatan Melati! Silahkan diminum. Nyonya" Melati mengulurkan cangkir itu. Meniru pelayan yang sering dilihatnya di restoran-restoran. Mata hitam biji buah lecinya begitu memesona. Tersenyum amat manisnya. Amat menggemaskan.
Dan Bunda seketika menangis.... Tersedu! Ya Allah, ia tahu sekali. Ini lagi-lagi mimpi-mimpi itu.... Ini lagi-lagi harapan itu.... Semuanya terasa sesak. Amat sesak. Kenapa Engkau tega sekali membuatnya seolah nyata"
"Ken-nap-pa Bunda menangis?" Melati menyeringai, bingung.
Aduh, ia kan mau ngasih Bunda jeruk panas.... Kok Bunda malah nangis" Melati kan nggak nakal" Nggak bandel" Nggak teriak-teriak seperti biasanya. Rambut ikal Melati bergerak-gerak (karena ia sok-dewasa mengaruk-garuk kepalanya, sibuk berpikir).
Tubuh Bunda malah semakin bergetar, terisak semakin kencang, mencengkeram ujung-ujung seprai. Lihatlah, putri semata wayangnya begitu nyata tersenyum padanya. Kanak-kanak kecilnya begitu nyata mengulurkan cangkir itu. Semua ini kejam sekali, ya Allah.... Sudah setahun terakhir, bahkan semua asa yang tersisa itu tega masuk ke dalam belahan otak tak-sadarnya, melukiskan janji-janji kesembuhan. Merangsek ke dalam mimpi-mimpinya. Semua ini kejam sekali, ya Allah!
"Bunda kenapa nangis" Air jeruknya 'gak enak, ya" Tapi, kan. Bunda belum minum" Masa' Bunda tahu kalau ini enggak enak?" Melati melipat dahi, bertanya lagi. Kedua tangannya tetap terjulur. "Ergh, sebentar Melati 'icip' dulu, ya!" Gadis kecil itu setelah sekian lama bingung menatap ibu-nya tetap tidak bergerak berinisiatif mengambil cangkir itu, menarik lagi tangannya.
Wajahnya mengernyit saat menyeruput jeruk panas. Nyengir amat lebarnya, "Eh-iya, asam banget.... Iiih...." Mengernyit lagi, "Melati lupa ngasih gulanya...." Tertawa malu. "Sebentar Melati ambil gula di dapur!" Gadis kecil itu sekali lagi bergegas turun dari ranjang besar. Buru-buru seakan takut jeruk panas itu seketika dingin dan tidak segar lagi diminum. Sayang, kali ini Melati tidak hati-hati. Kaki kanannya tersangkut ujung selimut. Limbung. Kanak-kanak itu berseru pelan, kaget. Dan dalam hitungan seperseribu detik, air jeruk panas itu tumpah-ruah. Seketika sempurna membasahi wajah Bunda....
Dan Bunda seketika juga terbangun!
Sepuluh kilometer dari rumah besar, mewah dan indah di lereng bukit tadi. Di saat yang bersamaan. Di sudut kota yang padat, sumpek dan gerah. Nasib! Meski padat dan terlihat agakyyyuh, sepotong sudut kota ini tetap saja terlihat menarik. Rumah-rumah berhimpitan seperti ratusan jamur merekah di musim penghujan. Melihatnya bagai
menyaksikan film-film Amerika Latin yang full-power dengan budaya gipsi itu. Pemandangan klasik yang hebat!
Rumah dua-tiga lantai. Gang-gang sempit. Jendela bertemu jendela di lantai dua. Berseberangan. Pot-pot bunga bertebaran di teras-teras atas. Begitu dekat hingga ujung-ujung rantingnya saling bersentuhan. Malah satu-dua kalian dengan mudah bisa melangkah dari satu teras ke teras lainnya. Makanya di komplek ini ngetop banget istilah: 'Pacar Seberang Jendela'. Yang cewek malu-malu mengintip di balik tirai jendela, yang cowok gaya bermain gitar, kencang-kencang, sudah macam burung cendrawasih yang menggoda pasangan dengan memekarkan ekornya tinggi-tinggi. Matahari juga semakin tinggi. Gang-gang dipenuhi oleh celoteh anak-anak yang berangkat sekolah. Berlarian. Saling menarik tas. Topi. Menarik celana (ada yang merosot, nggak pake gesper sih). Tertawa. Celoteh ibu-ibu yang mengerumuni tukang sayur. Hmm, mereka sih beli sayurnya hanya butuh setengah menit, berseru "Biasa, Bang!" Lantas si Abang sayur yang hafal mati menu Senin-Minggu satu komplek perumahan itu segera mengeluarkan pesanan ibu-ibu tadi. Uang berpindah-tangan. Selesai. Tapi lima belas menit berikutnya dihabiskan ibu-ibu untuk membahas topik-topik hangat tetangga sekitar. Laporan saksi mata. Live! Keren banget, padahal sebenarnya kata simpelnya yaaa, gos-sip! Jadi kalau mau tahu urusan satu komplek, interogasi saja tukang sayur!
Di salah-satu rumah dekat ibu-ibu berkerumun tadi, persis di lantai dua yang sempurna berbentuk ruangan besar berukuran 6x9 meter tanpa partisi. Ruangan dengan perabotan hanya ranjang kayu kusam. Di atas ranjang kayu tua itu, kusut-masai seorang pemuda.
Tertidur telentang. Sendirian. Sembarangan. Wajahnya jauh dari rapi. Malah kalau sekilas seram melihatnya. Seperti ngelihat preman terminal bus antar-kota antar-provinsi. Kumis melintang, cambang tak terurus. Rambut panjang bak rocker yang sudah berbulan-bulang tidak keramas. Jangan tanya ada berapa kutu di rambutnya. Mungkin kutunya sudah beranak-pinak lima generasi. Kamar itu seharunya terasa lapang. Apalagi dengan langit-langit tinggi. Tapi nyatanya pengap. Bagaimana tidak" Jendelanya selalu tertutup rapat 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu. Padahal jendela besar kamar itu persis menghadap lautan luas. Jadi kalau pemiliknya mau sedikit saja menyisihkan tenaga membukanya, hamparan elok pemandangan matahari terbit langsung terbentang sepanjang mata.
Buku-buku berserakan di sekitar ranjang tua. Tidak terurus. Digigitin kecoa, dikencingi tikus. Pakaian kotor bergelantungan di dinding, jadi tempat favorit nyamuk bersembunyi. Jeans belel. Kemeja kumal. Kaos cokelat (kecokelatan karena kotor, bukan karena warnanya memang cokelat). Sebuah mesin ketik tua tergeletak di atas meja kecil. Di sebelahnya berdiri termos air panas berwarna
hitam. Juga gelas kecil bermotif snoopy. Sisanya berantakan. Pengap.
Penghuninya seperti tidak peduli. Juga tidak peduli dengan berisik siaran langsung di gang sempit bawah. Tidur dengan tarikan nafas berat. Bau alkohol tercium pekat dari mulut. Pemuda berumur 27 tahun. Tidur dengan sepatu masih di kaki. Baru pulang shubuh tadi. Terlalu lelah. Terlalu penat. Terlalu sesak. Terlalu....
Begitu saja hidupnya tiga tahun terakhir. Macam kalong. Tidur di siang hari. Berjaga penuh di malam hari. Menghabiskan dingin dan lengangnya malam sambil menggerutu di kedai minuman, bar tengah kota. Duduk di pojok ruangan. Sendirian. Menatap galak ke siapa saja yang mencoba basa-basi bertegur sapa (termasuk waitress genit yang mengantarkan botol bir). Gesture wajah dan gerakan tubuhnya jelas sekali: Pergi!! Biarkan aku sendiri!
Matahari semakin meninggi. Pemuda kita masih tertidur.
Terdengar suara sandal kayu yang diseret di anak tangga menuju kamar besar 6x9 meter itu. Berkeriutan. Rumah itu sudah tua, meski arsitekturnya yang gaya banget (peninggalan rezim kolonial VOC) membuatnya terlihat antik dan elegan. Pemilik rumah, ibu-ibu gendut berusia setengah baya sedang berusaha menaiki anak tangga. Sedikit tersengal membawa tubuhnya. Pelan membuka pintu kamar. Menghela nafas panjang. Sekilas menatap pemuda yang masih tidur
tertelentang. Lantas melangkah menuju meja kecil. Mengganti termos lama dengan yang baru. Ia tahu, air-air ini jarang disentuh, tapi tak mengapa, setidaknya ritual pagi ini memastikan kalau anak-muda ini masih bernafas.
Ibu-ibu gendut dengan wajah sabar-keibuan itu sekali lagi menatap sekilas pemuda di atas ranjang sebelum keluar dari kamar. Menatap prihatin. Menyeka ujung-ujung matanya yang selalu sembab. Berbisik pelan di pengapnya langit-langit, "Semoga Engkau akhirnya berbaik hati, Tuhan.... Lihatlah, dalam tidurnya, dalam mabuknya, dalam kondisi seperti ini, wajahnya tetap terlihat amat teduh.... Semoga Engkau akhirnya berbaik hati...."
Bunda mengusap wajahnya yang basah. Mengeluh tertahan. Semua ini terasa menyakitkan. Bagaimana tidak" Ketika kalian tahu dan sadar persis apa yang sedang kalian mimpikan ternyata hanyalah sebuah 'mimpi'. Bukankah mimpi dalam tidur tidak akan terasa indah lagi saat kalian justru dalam mimpi itu sendiri menyadari semuanya bohongi Ah, padahal mimpi dalam tidur bisa menjadi obat pengurang rasa sakit dari kenyataan pahit yang panjang, kenapa pula jadi sebaliknya. Air jeruk panas membuat kuyup selimut. Tangan Bunda gemetar menyingkapkannya, memandang nanar Melati yang bersungut-sungut di sebelah ranjang, sedang memainkan sehelai bulu ayam. "BA.... BAAA... MAAA...." Berteriak. Bunda mengusap keningnya. Mengambil gelas yang
tergeletak tumpah di dekat bantal. Air jeruk ini mungkin disiapkan Salamah tadi pagi. Atau juga oleh suaminya sebelum berangkat. Badannya masih terasa lemah. Mencoba duduk. Beranjak turun dari ranjang.
"BAA.... MA.... AAA...." Berteriak lagi. Melati memukul-mukul meja dekat ranjang. Menarik gagang telepon. Melemparnya sembarangan. Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Baju tidurnya berantakan. Tangannya seperti moncong tapir yang mencari-cari semut di dalam lubang pohon, bergerak-gerak, menjalar tidak terkendali. Kepalanya bergerak-gerak miring. Matanya yang hitam bagai biji buah leci berputar-putar. "Kau sudah bangun, sayang?" Bunda bertanya lemah, berusaha tersenyum, meski seluruh dunia tahu senyuman itu percuma. Sama percumanya dengan pertanyaannya barusan. Melati terus meraba-raba. Tidak peduli. Tidak mendengarkan. Tiba di tepi ranjang, menyibak bantal. Mulutnya terbuka, mendesiskan suara yang tak berbentuk kata. Wajah kanak-kanak yang baru bangun tidur itu menjulur ke depan. Wajah yang terlihat tetap menggemaskan, tidak peduli sebesar apapun takdir menyakiti-nya.
"Terima-kasih sudah membangunkan Bunda, sayang!" Bunda lembut meraih tangan putri semata wayangnya. Tertatih mencoba berdiri. Menghela nafas pelan. Bunda tahu persis tak ada siapa yang membangunkan siapa. Ini hanyalah ritual pagi Melati. Mana mengerti Melati tentang tidur dan bangun-
"Aduh, pakaian Ibu basah! Basah kenapa?" Terdengar seruan dari bingkai pintu kamar tidur. Salamah bergegas masuk sambil berseru rada-rada-panik seperti biasanya. Salamah tadi mendengar teriakan Melati dari dapur, bergegas datang.
"Tidak apa-apa, Salamah! Basah sedikit. Melati tidak sengaja melemparkan gelas air jeruk!" Bunda menoleh, tersenyum.
"Aduh, maaf! Seharusnya Salamah letakkan gelasnya di tempat yang lebih tinggi! Aduh, Salamah lupa lagi...." Salamah mendekat rusuh. Berusaha membereskan sisa 'keributan'. "Pakaian Ibu harus diganti-"
"Nanti saja, setelah sarapan." Bunda menggeleng tegas, tetap tersenyum, membantu menyerahkan gelas (beruntung gelas itu menghantam bantal di sebelahnya). Hanya kejadian kecil. Tingkat sabarnya tiga tahun terakhir sungguh melesat berpuluh-puluh kali lebih tinggi dibandingkan siapapun.
"Ba.... Ma.... A...." Melati berseru, sudah berjalan sembarang arah.
"Kita sarapan, sayangi" Bunda mendekatinya, gemetar meraih tangan Melati. Membimbingnya berjalan.
Gemetar" Tangannya terasa lemas. Berpikir mungkin hari ini ia harus memanggil dokter keluarga. Minggu minggu ini ia tidak ingin sakit lagi. Apalagi sakit parah. Selelah apapun otak dan fisiknya, ia tidak ingin sakit.... Itu akan merepotkan banyak orang.
Teringat tiga tahun lalu saat rasa putus asa yang mengungkungnya siang-malam akhirnya membuat ia jatuh sakit selama sebulan. Thypus. Saat semua orang sibuk merawatnya, sibuk mengurusnya. Melati yang terlupakan, hampir loncat dari teras lantai dua.
Teras indah yang biasa ia gunakan bersama suaminya untuk menatap siluet lampu kota dan berjuta bintang di angkasa. Menatap hamparan persawahan, dan lautan di kejauhan. Teras, yang sekarang ditutup rapat. Tak ada lagi celah di antara tiang-tiang pahatan mahal itu.
"Ayo, sayang, kita sarapan!" Bunda menggenggam tangan Melati.
"Ma.... A.... Ba...." Melati menggerung pelan, tertatih menurut mengikuti langkah Bunda, meski ia tidak tahu, meski ia tidak pernah mengerti kalimat-kalimat itu.
Sambil melangkah, Melati terus sibuk memainkan bulu ayam di tangannya. Selarik cahaya matahari pagi lainnya menerabas jendela kaca membasuh kedua tubuh yang berjalan bersisian menuju pintu kamar itu. Ornamen jendela kaca membuatnya berpendar-pendar. Pertunjukan cahaya yang menawan.
"Siapa yang kasih bulu ayam, sayang?" Bunda
bertanya pelan. Melati hanya menceracau- Merah. Kuning. Hijau Langit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya angin yang menderu-deru membuat semakin kelam dan tegang suasana. Perahu itu macam sabut di galaknya lautan luas....
"PELANKAN! PELANKAN LAJU PERAHU!" Salah satu awak kapal yang berdiri di buritan berteriak kencang. Panik!
Nahkoda perahu dengan tangan liat-basah berke-ringatan mencengkeram kemudi, berusaha mengendalikan gerak kapal. Mengatupkan gigi geraham. Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap awas. Dahinya berkeringatan. Cemas! "AWAS OMBAK BESAR DI HALUAN KANAN!" Nahkoda memutar kemudi. Melintir. Perahu meliuk. Menghindar.
"TAHAN!! AWAS OMBAK!!"
Nahkoda sekali lagi membanting kemudi. Perahu berderit. Terangkat ke atas ujung-ujung gelombang lautan. Lantas seperti dibantingkan, berdebam jatuh seiring gerakan liar ombak besar. Lambung
kapal bergetar. Tiang-tiang kayu bergemeletukan. Membuat pias seluruh penumpangnya. "CTAR!" Kilat menyambar. Langit gelap tertutup awan mendadak terang-benderang. Semburat cahaya seperti akar serabut melukis langit. Pemandangan yang memesona (sekaligus mengerikan). Wajah-wajah semakin gentar. Berpegangan erat apa saja.
"AWAS!!! SEBELAH KIRI!" Teriakan awak kapal terdengar serak.
Nahkoda gesit memutar kemudi lagi.
Badan-badan menggigil ketakutan. Sejak setengah
jam lalu. Badan-badan kecil itu sudah menciut.
Pucat-pasi. Tidak ada suara meski hanya decit
tertahan. Saling berpegangan tangan erat-erat.
Takut! "SEBELAH KANAN!" Awak kapal berteriak lagi. Nahkoda semakin gugup, berusaha memutar cepat kemudi. Badai ini benar-benar menguras segalanya. Kapal terangkat lagi tinggi-tinggi. Lantas sekejap, berdebam lagi. Membuat semakin pias wajah kanak-kanak itu.
Boneka panda itu akhirnya terjatuh dari genggaman tangan (yang akhirnya melemah karena gentar). Menggelinding pelan di lantai perahu. Mental satu-dua mengikuti gerakan perahu yang semakin tak terkendali. Membal.... Atas.... Bawah.... Atas.... Bawah.... Bergulingan.... Kiri.... Kanan.... Kiri.... Kanan....
"GELEGAR!" Guruh menyalak, enam detik setelah kilat tadi, berdentum memekakkan telinga, beradu
dengan teriakan panik awak perahu nelayan dan penumpangnya.
Gerakan boneka panda itu tertahan di dinding kapal....
Gemetar Qintan, setengah-takut setengah-cemas atas nasib bonekanya merangkak berusaha mengambilnya....
"JANGAN LEPASKAN PEGANGAN, QINTAN!"
Gadis kecil itu menoleh takut-takut. Tapi
bonekanya" Bonekanya"
"TETAP DI TEMPAT, QINTAN!" Yang barusan berseru kencang menengahi hingar-bingar suara badai itu, berusaha memegangi tubuh gadis kecil yang sudah setengah merangkak. "DNTUM!"
Terlambat. Semua terbanting! Seketika!
Dan pemuda 27 tahun dengan cambang buruk,
rambut panjang awut-awutan, mulut bau alkohol itu
juga terbanting. Jatuh dari tempat tidur tua. JDUT!
Kepalanya menghantam sisi-sisi ranjang.
Dengan mata merah setengah terbuka, tangan
menggapai-gapai, pemuda itu berusaha duduk
sambil memaki-maki pelan....
Matahari sudah lama tinggi, saking tingginya malah sudah jatuh lagi. Pemuda itu mendesis. Mengusap dahinya yang rada-rada benjut. Merah. Mengusap pipinya yang penuh iler. Jorok! Tidak peduli. Menyeka matanya sekali lagi. Menatap sekitar berkunang-kunang. Senja. Sudah pukul 16.30. Setidaknya begitulah apa yang terbaca dari jam tua bertuliskan kata 'Seiko' di dinding.
"Jarum panjang di angka enam, jarum pendek di angka delapan.... Ergh.... Jadi, jadi, ergh, jangan! Jangan bantu Qintan! Biar Qintan yang jawab.... Ergh.... Setengah, setengah,.... Aduh, Kak. Karang jangan bantu Qintan... setengah, setengah delapan! Iya, kan?" Tertawa lebar, merekah senang bisa menjawab pertanyaan yang diberikan. Pemuda itu melenguh lemah.
Berusaha duduk di pinggir-pinggir ranjang. Mimpi buruk ini.... Mimpi buruk lagi! Tiga tahun lamanya.... Dia selalu terbangun oleh mimpi buruk. Haus. Kerongkongannya terasa haus. Mendengus tidak peduli. Maksudnya bukan tidak peduli atas rasa hausnya, tapi berusaha tidak peduli atas potongan kenangan barusan yang melesat memenuhi setiap mili otaknya. Berdiri tertatih. Terhuyung. Nyeri. Badannya terasa nyeri. Kepalanya juga terasa sakit sekali. Melangkah menuju pintu kamar. Kakinya tersangkut salah satu buku tebal di atas lantai kayu. "Simon Freud, Analisis Psikis Anak-Anak". Tidak peduli. Pemuda itu menendang buku tersebut. Anak tangga berkeriutan. Berisik. Selalu begini. Tapi, setidaknya ada gunanya juga, suara menjengkelkan ini membuatnya selalu terjaga. Membuatnya sadar, tidak kehilangan kendali keseimbangan tubuh meski dia pulang dini hari dan amat mabuknya. Terus melangkah menuju dapur. Melewati ruang tengah. Ibu-ibu gendut pemilik rumah menoleh. Meletakkan rajutan di tangan. "Kau sudah bangun. Karang?"
Pemuda itu mendengus. Tentu saja! Bagaimana dia
bisa berjalan tertatih-tatih kalau masih tidur" Selalu pertanyaan bodohi Apa orang bule bilang" Just making conversation!. Hanya mencoba membuat percakapan. Omong-kosong. Di kota ini kalimat menyebalkan itu disebut basa-basi. Dan itu benar-benar basi tidak ada gunanya. Pemuda kusut-masai itu tidak peduli, terus melangkah menuju dapur, yang terpisah oleh dinding bata tipis dengan ruang tengah. Meraih tempat air plastik. Langsung menegak dari leher angsanya. Tumpah. Membasahi kerah baju. Merembes hingga ke bawah.
Ibu-ibu gendut itu berdiri dari kursi rotannya,
menatap prihatin. Meski tidak berkata-kata lagi.
Hanya memperhatikan. "Ada obat sakit kepala?" Menggerutu.
Ibu-ibu itu menggeleng pelan.
"Ada obat sakit kepala" Kepalaku sakit sekali!" Berkata tajam.
"Kau setiap hari selalu meminumnya! Terlalu sering,
buruk untuk kesehatanmu!"
"Berikan saja!" Pemuda itu menatap galak.
"Kau seharusnya tahu itu, anakku!" Ibu-ibu itu
menghela nafas pendek, melangkah mendekat.
"Berikan saja!" Mendengus.
"Hingga kapan semua akan terus buruk seperti ini. Karang?"
Ibu-ibu gendut itu berusaha mengambil tempat air plastik yang mulai gemetaran dalam genggaman pemuda tersebut. Berkata dengan intonasi terluka, persis seperti seorang ibu yang sedih mendengar
anaknya membawa kabar tidak lulus UAN, padahal ia tahu persis anaknya sudah siang-malam berjuang belajar. Wajah keibuan yang menatap lemah dan tak mengerti hendak berbuat apa. Pemuda itu sekali lagi mendengus tidak peduli. Membiarkan tempat air plastik diambil. Melangkah gontai. Kembali menaiki anak tangga yang berkeriutan, berisik. Membuat nyilu di hati. Lima belas detik ke depan, dia akan melemparkan tubuhnya di atas ranjang tua itu lagi. Menyumpahi banyak hal. Lantas berusaha melanjutkan tidur. Tidur hingga malam datang menjelang. Hingga kanak-kanak tetangga rumah yang memakai sarung, berkopiah kembali dari pengajian. Memenuhi jalanan kota. Berlarian di bawah temaram lampu taman. Saling tarik sarung. Merosot. Tertawa bahak (ada yang nggak pakai apapun di balik sarungnya, sih!). Memenuhi gang-gang dengan celoteh. Sementara ibu-ibu yang tadi siang sibuk dengan siaran langsung -nya, juga sibuk mengeluh kepada suami soal kulkas yang kuno, teve yang kurang gede, atau lemari yang kurang lega. Juga ramai berceloteh! Mendaftar kepemilikan 'harta-karun' tetangga sebelah rumah sambil asyik menyimak sinetron.
"Nanti, tolong telepon dokter Ryan, Salamah!" Bunda berkata lemah. Tubuhnya juga semakin lelah. Salamah, gadis-tua berumur tiga puluh tahun yang tak laku-laku itu mengangguk, menurut. Ia satu diantara sembilan pembantu di rumah super-mewah itu. Pembantu yang amat baik. Terlalu setia malah.
Gara-gara terlalu setia itulah makanya Salamah tetap men-jomblo. Kakek-buyutnya dulu penjaga rumah keluarga ini. Buyutnya dulu carik rumah ini. Kakeknya dulu tukang kebun keluarga ini. Ayahnya dulu sopir pribadi keluarga ini. Nah, ia mewarisi posisi keren itu (meski dengan jabatan beda). Menjadi pembantu andalan. Ibarat playmaker dalam permainan sepak-bola, Salamah kapten kesebelasan. Mana sempat larak-lirik pemuda jomblo lainnya. Tiga tahun lalu pernah sih, ada pemuda kota naksir. Anak muda sederhana, tapi baik hati. Nggak ganteng-ganteng amat, tapi Salamah suka (kan ia juga nggak cantik-cantik banget) Ketemu pas festival kembang api. Sempat berlanjut memadu kasih, hampir menikah. Sayang, kejadian Melati hampir loncat dari teras lantai dua itu membuat Salamah benar-benar tak tega meninggalkan Bunda sendirian. Tidak akan pernah. Ia bersumpah akan menjaga keluarga ini seperti leluhurnya (itu petuah pamungkas kakeknya dulu)!
Salamah benar-benar pembantu teladan. Hanya satu yang buruk dari tingkah Salamah. Panikan! Amat panikan malah. Lihat pesawat terbang lewat saja disangkanya ada kompeni yang mau nyerbu (maklum, Salamah terlalu sering dengar cerita almarhum kakeknya tentang perang melawan VOC). "Bilang, kalau dokter Ryan ada waktu malam ini tolong datang kemari-" Bunda berkata sambil tersenyum lemah, memotong lamunan Salamah. Tolong datang kemari?" Ah, Bunda selalu bisa menghargai orang, meski sepenting dan seberkuasa
apapun keluarga mereka. Salamah mengangguk. Berjanji akan segera menelepon. Melirik jam dinding berbentuk tabung pasir, sudah pukul 17.30. Seharusnya Tuan HK sudah kembali dari pabrik sekarang. Kemana" "Tuan HK kok belum pulang ya, Bu" Ergh, ah-ya Bu, ada telepon dari Tuan HK barusan!" Salamah seperti teringat sesuatu. Ehm, ia juga pelupa, ding (ini kekurangan lainnya)!
Bunda menoleh. Bertanya dengan ekspresi muka. "Tuan HK bilang dia ada meeting dengan tamu dari ergh, Je.... Je.... Jepang ya, Bu?" Salamah bingung. Lupa dari-mana negaranya. Menyalahkan dirinya yang tidak buru-buru mencatat. "Kata Tuan HK, dia pulangnya malam. Ee, jam berapa ya tadi" Ah-ya, mungkin jam sembilanan...." Bunda mengangguk. Tidak penting tamu dari negara manalah. Paling salah-satu rekanan bisnis keluarga mereka. Yang penting suaminya malam ini akan pulang larut. Sudah setahun terakhir suaminya tidak pernah pulang terlambat. Selalu menyempatkan makan malam bersamanya dan Melati. Meski akhir-akhir ini suaminya tidak banyak bicara, hanya menatap prihatin Melati.
Pasti bohongi Tidak ada tamu-tamu itu. Suaminya pasti pergi ke manalah. Duduk sendirian. Menatap resah entahlah.... Kejadian dua hari lalu pasti ikut membuatnya terluka. Sama terlukanya seperti dirinya. Sayang, berbeda dengan suaminya yang sehat, sakitnya yang semakin parah sejak tadi pagi membuatnya tidak bisa pergi! Ya Allah, andaikata
pun ia bisa menghilang begitu saja, tak mungkin ia tega melakukannya, kan"
"Melati sekarang di mana?" Bunda bertanya pelan, setelah sejenak menatap lamat-lamat motif seprai ranjang. Seekor panda tambun yang disulam dengan benang putih, begitu lembut, selembut kulit putrinya-
"Bersama Suster Tya! Ah-ya, tadi lagi-lagi tidak sengaja menangkap ayam kate Mang Jeje. Kasihan, Bu! Ayamnya lagi-lagi dicabutin bulunya.... Kenapa bisa-bisanya Melati menangkap ayam itu ya, Bu?" Salamah melipat dahinya. Berpikir. Bunda menghela nafas. Ya! Kenapa bisa-bisanya Melati bisa menangkap ayam itu" Membedakan sendok dan garpu pun putrinya tak mampu.... Terbatuk pelan. Tidak apa-apa, hari ini setidaknya Tya dan Mang Jeje bisa mengurus Melati. Menemaninya. Memastikan tidak terjadi apa-apa. "Kau boleh pergi sekarang, Salamah!" Bunda tersenyum, penuh penghargaan. Salamah mengangguk senang. Kalau saja Bunda tidak menyuruhnya pergi, ia akan tetap berdiri di situ sampai malam. Kan, setia banget! Matahari senja bersiap menghujam di balik pebukitan. Jingga menghias angkasa, gumpalan awan terlihat ikut memerah. Burung layang-layang melenguh mengisi langit-langit kota. Terbang dengan formasi tarian mengundang hujan seperti yang dilakukan suku Indian. Percaya atau tidak, formasi terbang burung layang-layang bisa menjadi pertanda turun atau tidaknya hujan (sebenarnya
suku Indian itulah yang meniru gerakan burung layang-layang saat meminta hujan dari 'dewa-dewa').
Lengang. Rumah besar super-mewah di lereng pebukitan itu lengang. Hanya Mang Jeje yang sibuk dengan keran air. Menyiram hamparan rumput taman seluas lapangan bola. Taman yang indah. Penuh bebungaan. Merah. Kuning. Hijau. Amat menyenangkan duduk di taman itu. Bisa memandang persawahan menguning dan atap rumah-rumah penduduk. Bisa menatap perkotaan dan gedung-gedung tingginya. Bisa memandang lautan biru nan luas.
Tya lagi sibuk membujuk Melati melepaskan tembikar China dari genggamannya. Melati seperti biasa mendengus galak. Selalu marah kalau dilarang. Tangan kirinya yang bebas menggapai-gapai udara. Mengancam.
Bersungut-sungut. Bola matanya yang hitam bagai biji buah leci mendelik. Kemarahan itu kapan saja siap meledak....
"Kembalikan, sayang-" Tya membujuk cemas.
"BAAA.... MAAA...." Melati berseru-seru.
Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
"Aduh, kembalikan, sayang! Nanti Tya dimarahin
Bunda!" "BAAAA-" "Jangan dilempar, Melati!"
"BAAA!!!" "Ja-" "PYAR!" Dalam sekejap tembikar mahal itu
menghantam kaca jendela besar berukuran 1x2 meter. Hancur berkeping-keping. Tembikarnya, juga kaca jendelanya.
Tya menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat-pasi. Gentar melihat beling yang berserakan. Bunda terkesiap di atas ranjang kamar tidur lantai dua. Gemetar menyingkap selimut. Gemetar turun dari ranjang. Putrinya baru saja merajuk kembali tanpa alasan. Entah sekarang memecahkan apa. Selalu begitu sepanjang tahun ini.
Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit melemparkan apa saja....
Malam datang menjelang. Di sudut kota dengan gang-gang sempit. Dengan teras lantai dua saling bersentuhan satu sama lain.
Ibu-ibu gendut pemilik rumah itu sudah dua kali naik ke kamar atas sepanjang hari. Pertama tadi pagi mengantarkan termos air panas sekaligus memastikan apakah pemuda yang dipanggilnya 'Karang' itu baik-baik saja. Kedua baru sepuluh menit lalu, meletakkan ransum makan malam. Sepiring nasi hangat mengepul, semangkok sayur bayam dengan bongkahan jagung muda, sepotong ikan tongkol, plus kerupuk dan sebutir jeruk. Karang, pemuda itu masih tidur nyenyak.... Nyenyak" Ah, itu yang terlihat sekilas mata. Lihatlah ekspresi mukanya lebih detail, betapa wajah yang sebenarnya gagah dan tampan itu mengernyit dalam tidurnya. Seperti seseorang yang sedang menahan rasa sakit. Seperti anak kecil yang
gentar melihat jarum suntik imunisasi cacar. Ujung-ujung jari Karang bergetar pelan. Nafasnya terdengar. Sebutir keringat (segede jagung) merekah di dahi. Mimpi-mimpi buruk itu! Terlihat nyata! Menyakitkan. Bagaimana tidak sakit" Ketika kalian menyadari bahwa itu semua sungguh sempurna bagai re-run ulang siaran masa lalu yang sesak untuk dikenang. Kalian menyumpahinya. Berusaha lari secepat mungkin. Tapi kaki kalian celakanya meski sudah seperti roda kereta bergerak menjejak bantalan besi, tetap saja badan tidak bergerak-gerak. Lari di tempat. Karang kembali bermimpi buruk. "Per-gi-lah! Tidak ada lagi yang tersisa di sini-" Senyap. Gadis di depannya tidak menjawab, menyeka air mata di pipi dengan ujung kerudung. Kerudung indah berwarna biru muda. Wajah cantik itu terlihat mendung. "Aku mohon, pergilah!"
Lengang. Hanya detak jarum jam di dinding terdengar. Ctak! Ctak! Ctak! Ah-ya, tentu saja juga isak-tangis pelan gadis cantik berwajah keturunan itu. Malam baru datang. Taman Bacaan Anak-Anak itu terlihat bercahaya.... Setengah jam lalu baru saja pengunjung imut-imutnya bubar. Sudah sore, waktunya pulang. Besok disambung lagi baca bukunya, dengar dongengnya, atau sekadar main internet bersama kakak-kakak penjaga Taman Bacaan.
"Bukankah semua itu sudah selesai...." Terisak, "Tidak ada yang menyalahkanmu," Terisak lagi.
"Tidak ada, kan-"
Tertawa getir. "Tidak ada yang menyalahkanku" Memangnya itu penting! Memangnya kata orang-orang lebih penting dibandingkan apa yang kurasakan" Kau tahu, setiap detik aku seperti bisa menyaksikan kembali semuanya.... Teriakan mereka! Wajah-wajah ketakutan mereka! Ya Tuhan! Bahkan jemari tangan mereka yang membeku, bibir-bibir mereka yang biru... tubuh-tubuh dingin mengambang... delapan belas-" "Hentikan! Aku mohon!" Gadis berkerudung itu membuang ingusnya. Berusaha menghentikan kalimat pemuda itu. Mendengar kalimat sesal itu sungguh menohok hatinya. Apalagi menatap wajah pemuda di hadapannya. Wajah yang dulu begitu riang, begitu menyenangkan. Wajah yang membuatnya jatuh-cinta.
Sekarang" Sempurna terkungkung oleh perasaan bersalah. Ya Allah, jika Engkau mengizinkan, ingin sekali ia memeluknya. Memberikan berlaksa empati dan simpati. Memberikan berjuta asa dan gembira. Membesarkan hatinya. Memberitahunya lewat sentuhan lembut di pipi kalau dia tidak sendiri melewati masa-masa menyakitkan ini, tidak, pernah sendirian....
Dia akan selalu memiliki orang-orang yang mencintainya. Lihatlah, sore ini anak-anak tetap riang datang. Semua penduduk kota besar ini juga tetap menghargai, tidak ada yang mengungkit-ungkit lagi kejadian tersebut. Tidak ada.... Dan andaikata pun semua orang
menyalahkan, masih ada dirinya yang tidak. Gadis berkerudung itu benar-benar menangis sekarang, hatinya bengkak oleh rasa sedih, tidak mengerti, rasa haru, janji-janji.... Andaikata pun semua orang pergi, dia masih punya dirinya, yang akan selalu mencintai meski apapun situasinya.... "Kau.... Kau masih memiliki semuanya." Berkata tertahan.
Pemuda di depannya menggeleng, "Kau keliru.... Tidak. Tidak ada lagi yang tersisa. Pergilah, aku mohon.... Aku tidak memiliki lagi kehidupan ini! Tidak ada lagi yang pantas kau harapkan apalagi kau banggakan dariku."
Menatap lemah gadis berkerudung. Mendesah resah. Jika diijinkan, dia juga ingin sekali membelai pipi gadis berkerudung biru muda itu, mengusap air matanya. Melihatnya menangis sungguh membuatnya tersiksa. Tapi semua sudah selesai. Dia tidak akan bisa melanjutkan hidup sama seperti dulu.... Dia-lah yang sejak seminggu lalu memutuskan untuk, pergi! Menjauh dari kenangan buruk itu.... Tapi agar semua ini tidak terasa tambah menyakitkan, maka malam ini dia-lah yang meminta ia yang pergi! Si lesung pipi-nya! "Aku tidak akan pergi-" Gadis itu tertunduk. Satu bilur air mata jatuh menetes di tegel ruang depan Taman Bacaan.
"Kau harus pergi!" Berkata pelan.
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!" Gadis itu
mendesis putus asa, suaranya serak.
Pemuda itu menggigit bibir, menggeleng, mengusap
wajahnya. Pembicaraan ini benar-benar sia-sia, Dia tidak akan pernah kuasa bilang secara langsung kalau besok pagi-pagi dia akan pergi dari kota ini, selamanya! Dia tak akan kunjung kuasa mengatakannya..., Pemuda itu menatap jalanan depan Taman Bacaan. Lampu mobil yang lewat menerabas dinding kaca, membasuh wajah. Terasa silau!
Berusaha memejamkan mata sesaat. Tapi juga seperti ada yang menyentuh wajahnya, berdenging, menerpa-nerpa! Berdenging.
Karang, pemuda di atas ranjang tua itu mengernyit dalam tidurnya, Terganggu. Tangannya mengibas ngibas jengkel, Benda itu masih terbang berputar di depan wajahnya. Semakin diusir semakin berani. Mendesis mengkal. Karang terbangun. Mata merahnya terbuka, Mimpi itu terputus, Menyumpah nyumpah, meski kali ini bangunnya tidak disertai terjatuh dari ranjang dan kepalanya juga tidak terantuk kayu jati. Berdenging.
Sudah malam, Sudah gelap, Kepalanya terasa nyeri sekali. Memaki dalam hati. Berusaha duduk. Sialan! Seharusnya berikan saja-lah obat sakit kepala itu padanya. Bodo amat soal bahaya konsumsi obat-obatan secara terus-menerus. Berdenging.
Matanya membesar, Kepalanya berputar. Apa pula yang terbang mengganggu tidurnya. Berputar-putar. Seekor kunang-kunang tersesat terbang berputar kebingungan! Kunang-kunang"
Terbang di dalam kamarnya" Karang mendengus tidak peduli, Melirik ransum makan malamnya. Beranjak terhuyung ke meja kecil, Mungkin dengan makan, semua nyeri akan pergi. Lagipula perutnya terasa lapar...
Ribuan Kunang-Kunang Di sini juga ada kunang-kunang. Tidak hanya seekor, ada ribuan malah. Tidak tersesat. Malah terbang mendenging bersama di sela dedaunan hutan hujan-tropis. Di tengah gelapnya malam, formasi cahaya mereka terlihat menawan. Kerlap. Kerlip. Kerlap. Kerlip.
Salamah yang berdiri di dekat jendela besar kamar Bunda melirik ke luar. Ke arah pertunjukan hebat tersebut. Menyeringai.
"Papa masih di China, Bun.... Ada pertemuan di Perfekture Hanjin. Seminar, simposium, entahlah, tentang pengobatan tradisional. Akupuntur. Aroma terapi. Bunda tahu sekali, kan, Papa oriental-minded banget! Jadi malam ini aku yang menggantikan Papa, nggak pa-pa, kan?" Gadis berkerudung hijau muda itu tersenyum, lembut memeriksa denyut nadi Bunda.
"Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.... Kinasih pasti sehebat Papa-nya. Atau malah lebih hebat." Bunda balas tersenyum. Lemah. Menatap tangan tangan yang terampil mengeluarkan peralatan. "Bunda bisa saja! Aku kan baru lulus ujian." Gadis
itu tersipu kecil. Yang seketika membuat lesung pipi-nya terlihat. "Kapan Kinasih tiba?"
"Sudah seminggu. Bun. Sebenarnya dua hari lalu aku sudah mau berkunjung, menjenguk... Tapi masih ada keperluan mengurus ijin praktek. Kinasih kangen Bunda. Kangen Melati. Kangen Tuan HK. Bahkan aku juga kangen masakan Salamah!" Gadis berkerudung yang dipanggil Kinasih itu tertawa, menoleh ke Salamah yang masih sibuk melirik tarian kunang-kunang di luar sana.
"Ergh-Ada apa" Masak air" Apa yang harus Salamah masak?" Salamah gagap mendengar namanya tiba-tiba disebut. "Air panas untuk Ibu lagi?" Kinasih tertawa kecil, melambaikan tangan ke arah Salamah. Bunda menyeringai. "Melati-nya mana. Bun?"
"Di kamar. Sudah tidur. Sepanjang siang terus merajuk. Terus melempar apa saja yang bisa dipegangnya. Berseru-seru marah.... Tadi melempar tembikar Dinasti Tang hadiah Papa-mu. Hancur berkeping-keping." Bunda menjawab pelan, terbatuk. "Anak yang baik-" Kinasih tetap tersenyum. "Y-a...." Bunda lamat-lamat menatap langit-langit kamar, berkata pelan dengan suara serak, "Anak yang baik!"
Terdiam. Salamah menarik lirikannya dari jendela demi mendengar intonasi kalimat Bunda barusan. Kamar itu hening sejenak. Hanya menyisakan suara gerakan tangan Kinasih yang sedikit canggung-merasa bersalah dengan kalimatnya
barusan. "Bagaimana 'kondisi' Melati sekarang. Bun?" Kinasih bertanya hati-hati. Tersenyum tulus. "Keadaannya masih sama buruknya seperti tiga tahun lalu," Bunda mendesah lemah, "Sama buruknya.... Ya Allah, sebenarnya kondisinya tambah buruk!" Suara Bunda tercekat. Kinasih perlahan duduk di pinggir ranjang. Meletakkan stetoskop. Menggenggam jemari Bunda. Menatap ikut bersimpati kepadanya. Wajah gadis muda yang merekah oleh kebaikan. Umurnya bulan depan baru genap 25 tahun. Baru saja menyelesaikan pendidikan dokter-nya di Ibukota. Wajah keturunan yang cantik. Tersenyum mencoba membesarkan hati.
"Melati sekarang setiap hari kerjanya hanya marah, berteriak-teriak. Melempar apa saja yang dipegangnya. Memukul. Menjambak. Apa saja, tidak peduli apapun itu...." Bunda menggigit bibir, memaksa matanya agar tidak menangis. Sudah lama sekali ia tidak bercerita. Banyak kerabat datang, tetangga perhatian, pembantu pembantu di rumah juga berbaik hati mendengarkan, tapi kehadiran Kinasih malam ini berbeda. Lihatlah, gadis kecil yang dulu sering bermain ke rumah dibawa Papa-nya, sekarang tumbuh menjadi gadis matang yang cantik. Tidak ada lagi kepang rambut. Yang ada hanya wajah tertutup kerudung berwarna lembut. Tidak ada lagi bekas ingus di pipi habis merajuk. Yang masih ada di sana hanya lesung pipi-nya. Apakah Melati bisa
tumbuh se-menawan Kinasih" Bunda mendesah tertahan....
"Kami tak lelah mencari jalan untuk membantu keterbatasan Melati, Kinasih.... Tapi ya Allah, semuanya sia-sia. Benar-benar kesia-siaan besar. Bahkan, dua hari lalu.... Dua hari iaiu...." Bunda terdiam lama.
Kinasih pelan mengambil tissue di meja dekat ranjang. Mengelap pipi Bunda, ah saraf tangis itu jelas sekali tidak bisa dipaksa, kalian memang bisa saja tetap terlihat tanpa eskpresi, terlihat kosong, tapi kantong air mata tidak bisa ditahan, akan keluar dengan sendirinya.
Seminggu terakhir kami mengundang psikiater dan dokter anak-anak dari salah satu rumah sakit ternama Ibukota. Tim mereka memiliki reputasi yang baik. Kami amat berharap.... Empat hari pertama Melati sepertinya mulai terkendali, mau menuruti terapi atau entahlah yang dilakukan tim dokter. Kami benar-benar berharap sedikit kabar baik itu akhirnya datang...." Bunda terdiam lagi, wajahnya sedih, tertunduk, pipinya berkedut menahan sedan. "Tetapi di hari kelima, persis dua hari lalu.... Melati tiba-tiba merajuk. Marah! Melati berteriak-teriak saat badannya ditempeli kertas-kertas medis, entahlah.... Melati menarik salah satu tangan dokter, dan, dan...." Bunda menelan ludahnya, " Melati menggigit jari salah satu dokter itu. Sampai, sampai nyaris putus...." Bunda sekarang benar-benar menangis mengingat kejadian itu. Kinasih menghela nafas. Sekali lagi lembut
menghapus air di pipi Bunda. Kanak-kanak dengan rambut ikal wajah menggemaskan itu melakukannya" Menggigit hampir putus jari seorang dokter" Itu benar-benar kabar buruk. Salamah sekarang juga benar-benar 100% berhenti dari larak-lirik ke luar jendela. Salamah tertunduk dalam-dalam. Ikut sedih. Lah, gimana tidak" Ia yang repot banget sesiang itu. Membersihkan darah berceceran.
Orang-orang berteriak. Orang-orang panik. Melati yang berteriak-teriak marah, melempar apa saja barang yang ditabraknya. Bunda yang berseru-seru. Tuan HK yang berusaha mencengkeram salah satu dokter karena dokter itu berusaha mencengkeram Melati untuk menenangkannya.
Tetapi bukan kejadian gigit-menggigit itu yang membuat Bunda sedih berkepanjangan dua hari ini. Bukan karena itu ia malam ini tersedu menangis di depan Kinasih. Bukan. Toh, setahun terakhir Melati memang punya kebiasaan menggigit apa saja (gantungan kunci dari besi saja ia gigit). Jadi Bunda sudah terbiasa melihatnya. Yang membuatnya sedih adalah teriakan salah satu anggota tim dokter ternama itu.
"ANAK INI TIDAK MEMBUTUHKAN DOKTER, NYONYA! ANAK INI MEMBUTUHKAN RUMAH SAKIT JIWA!" Juga teriakan-teriakan marah dan panik lainnya. Bersahut-sahutan.
Keributan itu berakhir satu jam kemudian. Setelah Melati yang lelah akhirnya mengalah sendiri, menggerung seperti lokomotif kereta kehabisan
solar di pojokan kamar birunya. Duduk melipat kaki. Merapat ke dinding. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar redup. Mulutnya mendesis-desis pelan. Jemarinya meraba-raba lantai keramik. Mengikuti gurat keramik.
Bunda dan Tuan HK berkali-kali minta maaf atas kejadian itu. Tapi hanya dijawab dengan kalimat-kalimat menusuk dari tim dokter. Kalimat-kalimat yang disusun dari kepala ber-intelektualitas hasil pendidikan tinggi (meski separuhnya disesaki oleh perasaan marah karena rekan mereka terpaksa segera dilarikan ke rumah sakit terdekat). Kalimat yang menyakitkan....
"Sebelum semuanya terlambat, anak ini harus dibawa ke unit konservasi kejiwaan, Tuan HK!" Dokter senior yang memimpin tim berusaha berkata lembut, sok-bersimpati.
"Melati tidak gila! Melati tidak gila!" Bunda memotong, berkata lemah berkali-kali, parau. Tuan HK yang duduk di sebelah berusaha menggenggam jemarinya. Menenangkan.
"Melati sekarang belum gila, Nyonya! Tapi semua keterbatasan ini suatu saat pasti akan membuatnya gila! Ia membutuhkan terapi yang komprehensif-" "Melati tidak gila!" Bunda bergumam tidak terima. "Maafkan kami, Nyonya...." Tersenyum tipis- "Melati tidak gila!" Bunda mendesis galak. "Hanya orang gila yang bisa menggigit hampir putus jari orang lain. Nyonya!" Salah satu dokter menyela lebih galak, jengkel.
Malam itu, bersamaan dengan kembalinya tim
dokter dari rumah sakit ternama ke ibukota, malam itu Bunda akhirnya harus mendengarkan realita baru tentang permata-hatinya. Sesak. Benar-benar sesak. Ia tahu kalau ia benar, putri meng-gemaskannya tidak gila. Tetapi ia juga tahu, kalimat-kalimat dokter itu juga benar. Tiga tahun lamanya ia berusaha membujuk hatinya. Tiga tahun lamanya berharap. Tapi kenyataan menyakitkan itu yang akhirnya tiba....
Ya Allah, tak lelah ia berharap suatu saat keajaiban itu pasti akan datang. Suatu saat janji-Mu pasti akan tiba.... Bukankah, bukankah Engkau sendiri yang menggurat kalimat indah itu dalam kitab-suci" Sungguh! Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.... Tapi harapan itu hari-hari ini bagai kabut yang digantang matahari meninggi. Menguap. Bagai sisa-sisa air dalam ember bocor. Menghilang. Bagai rambutnya yang perlahan memutih.... Lelah sekali ditunggu, meski hanya untuk menyisakan sedikit asa bahwa janji kemudahan itu akhirnya pasti tiba! "Melati akan baik-baik saja, Bun.... Jika Bunda tetap yakin, maka ia pasti akan baik-baik saja." Kinasih berbisik pelan. Tersenyum. Memotong cerita dua hari lalu. Mencoba membesarkan hati. Bunda menatap wajah cantik Kinasih lamat-lamat. Wajah yang tulus bersimpati. Bunda ikut tersenyum, (meski) getir.
"Suatu saat Kinasih percaya, bahkan Melati pasti bisa memanggil 'Bunda' dengan sempurna. Memeluk, dan menyatakan cintanya kepada Bunda dengan utuh-"
Bunda sudah mendekap erat Kinasih. Penuh perasaan haru-
"Terima-kasih, anakku! Kau sungguh gadis yang baik. Semoga Tuhan memberikan jodoh yang baik bagimu!"
Kinasih tersenyum. Mengangguk. Balas merengkuh erat tubuh wanita separuh baya itu. Bunda menangis di dekapannya.
Malam itu. Dua doa melingkar berpilin di angkasa. Malam itu dua doa melingkar bertemu di langit kekuasaan-Mu. Dan jawabnya: 'Ya'.
"Kau akan pergi kemana. Karang?" Ibu-ibut gendut yang sedang merajut di ruang tengah berseru pelan.
Just making conversation, again! Lagi-lagi basa basi menyebalkan itu! Karang mendengus tidak peduli, terus menuruni anak tangga yang berisik berkeriutan. Bukankah tiap malam dia selalu pergi! Buat apa ditanya lagi"
"Kondisi kesehatanmu semakin buruk, Karang! Sebaiknya malam ini kau beristirahat" Ibu-ibu itu berdiri. Melangkah mendekat. Berusaha mencegah. "Urus saja urusan-mu!" Karang melambaikan tangannya. Jengkel dihalangi. Kepalanya masih nyeri, tapi tidak terlalu lagi. Badannya masih sakit, tapi tidak terlalu juga. Perutnya sudah terisi, jadi mekanisme pencernaan membuat seluruh tubuhnya menjadi hangat.
"Aku mohon, untuk malam ini saja, bisakah kau tidak keluar?"
Pemuda itu tidak menjawab. Tetap melangkah menuju pintu. Tidak peduli, melewati badan besar yang mencoba menahannya. Ibu-ibu gendut kehabisan kata. Ia tidak pernah bisa mencegahnya. Tidak sejak tiga tahun lalu saat anak-muda yang dipanggilnya 'Karang' itu datang mengetuk pintu rumahnya.
Ibu-ibu gendut menghela nafas. Pintu berdebam ditutup. Lengang. Menyisakan celoteh anak-anak yang masih bermain di gang-gang sempit. Juga suara radio dan televisi yang di-stel rada kencang (dangdut-an pula lagunya). Pukul 20.30. Itu berarti hingga delapan jam ke depan, Karang akan berada di luar. Menghabiskan malam berteman minuman. Duduk sendirian di pojok bar. Menatap galak siapa saja dengan mata merah.
Ibu-ibu gendut kembali ke kursi rotan. Melanjutkan merajut. Mendesah ke langit-langit ruang tengah.... Ia tinggal sendirian di kota ini. Dulu sempat menikah, tapi tidak punya anak. Suaminya meninggal sepuluh tahun lalu. Usianya sudah menginjak lima puluh tahun saat itu terjadi, jadi ia tidak tertarik menikah lagi. Memutuskan untuk tinggal sendirian. Toh, selama ini ia tidak pernah merasa kesepian.
Ia hidup sendiri itu betul, tapi ia tidak pernah merasa kesepian. Berbeda sekali jika kalian berada di tempat ramai (pasar misalnya), tapi kalian merasa kesepian. Yups! Beda benar makna kesepian dan kesendirian. Ia sepanjang sisa umurnya, sibuk merawat rumah warisan suaminya. Rumah tua dua
lantai dengan arsitekur kolonial. Berjejer dengan rumah-rumah tua lainnya. Menghabiskan hari dengan merajut pakaian pesanan. Ia mengenal Karang yang tiga tahun terakhir tinggal bersamanya sejak Karang masih bertelanjang kaki berlarian menyusuri jalanan kota. Dulu tubuh Karang ringkih, bandel, dan nekad seperti anak jalanan lainnya. Suaminya menyukai anak-anak. Menyulap rumah mereka menjadi 'rumah singgah'. Karang! Salah-satu dari belasan anak jalanan yang diurus suaminya. Dan Karang-lah yang tumbuh menjadi anak paling membanggakan. Kanak-kanak itu berubah menjadi anak terpintar di sekolah barunya. Anak tercerdas!
Melanjutkan pendidikan di ibukota. Setiap bulan mengirimkan kabar gembira. Tak terbayangkan melihat foto-foto Karang berdiri gagah bersama ratusan lulusan universitas ternama itu. Juga foto-foto kehidupannya. Pekerjaan hebatnya. Kecintaan Karang kepada anak-anak yang diwarisi dari suaminya. Taman Bacaan itu. Sejak suaminya meninggal, membaca surat-surat dari anak-asuhnya menjadi keseharian yang menyenangkan. Dan surat Karang selalu bernilai berlipat-ganda dibandingkan yang lain.
Anak itu benar-benar tumbuh menjadi seseorang. Masa kecilnya yang tidak beruntung berubah menjadi dendam positif. Karang mendirikan belasan Taman Bacaan Anak-Anak di ibukota. Selintas sama seperti rumah singgah milik suaminya dulu, tapi berbeda banyak dari sisi penampilan fisik, konsep,
dan entahlah. Banyak yang ia tidak mengerti dari surat-surat Karang, rencana-rencana hebatnya. Yang ibu-ibu gendut itu mengerti pasti. Karang amat mencintai kanak-kanak. Bukan karena wajah menggemaskan mereka. Lebih dari itu, karena janji kehidupan yang lebih baik tergenggam dari mereka. Hingga kejadian itu! Tiga tahun lalu. Saat itu ia sedang menghabiskan sore seperti biasa dengan merajut ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Ia pikir tukang susu yang rajin mengantarkan pesanan. Atau penjual telur asin langganannya. Atau Ketua RT yang mengambil iuran sampah dan keamanan bulanan. Tapi ini terlalu sore untuk jadwal rutin itu semua. Atau ada ibu-ibu tetangga yang punya keperluan mendadak. Malas membuka pintu. Ternyata yang ada di hadapannya: Karang!
Pemuda yang menyandang ransel lusuh, berdiri dengan wajah juga lusuh di bawah bingkai pintu. Rajutan di tangannya terlepas. Wajahnya merekah oleh kegembiraan. Ia berseru senangnya, memeluk anak-muda itu.... Benar-benar kunjungan tak-terduga.
Selama ini anak asuh lainnya sering datang berkunjung. Membawa istri, membawa anak-anak mereka. Tapi Karang tidak pernah pulang sejak sepuluh tahun lalu. Karang yang termuda di antara mereka memang tak pernah lupa mengirimkan satu surat setiap bulannya, tapi ia tidak pernah pulang. Sekarang, jagoan suami-nya sudah berubah begitu membanggakan.... Lihatlah, berdiri gagah (meski
lusuh) di depan pintu rumahnya. Setidaknya itulah yang ia pikirkan. Setidaknya itulah yang ia baca dari surat-surat itu....
Hingga sebulan berlalu.... Potongan-potongan kejadian itu akhrinya tersampaikan. Berita-berita di koran. Berita-berita di teve. Cerita terputus-putus dari Karang. Dan kondisi yang semakin mengenaskan darinya. Wajah yang kosong. Eskpresi muka yang sesak. Malam-malam yang diisi mimpi buruk. Igauan Karang (terkadang berteriak). Siang-siang yang juga diisi mimpi buruk. Celotehan Karang. Kebiasaan mabuk-mabukan. Kehidupan 'batman'. Pulang jam satu malam. Pulang jam dua. Pulang jam tiga. Semua itu seperti karir dalam pekerjaan! Dan karir itu tiba di puncaknya saat Karang akhirnya baru pulang menjelang shubuh. Tiga tahun melesat tanpa terasa. Tiga tahun yang berat baginya. Karena bagaimana-lah ia harus menjadi saksi kehidupan menyedihkan anak asuhnya yang dulu amat dibanggakan. Ribet menjawab pertanyaan tetangga-tetangga sekitar (yang nomor satu soal urusan menggosip). Tak lelah membujuk Karang, bercerita tentang semangat hidup, mengenang kejadian indah saat kanak-kanak mereka dulu. Percuma! Karang semakin tak bisa dikendalikan. Bagaimana ia akan bisa" Kalau ia yang berusaha membantunya sudah sesak duluan melihatnya.
Malam ini, lagi-lagi ia tidak bisa mencegahnya pergi menghabiskan waktu dengan kesia-siaan. Esok mungkin juga tidak. Bahkan mungkin tidak akan
Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah.... Kesedihan kejadian tiga tahun lalu itu terlalu menyakitkan. Terlalu!
Ya Allah, berikanlah keajaiban itu.... Ibu-ibu gendut itu mendesis lirih ke langit-langit ruangan. Berdoa dengan tulus. Kemudian sambil menghela nafas panjang, pelan melanjutkan merajut sweater biru. Malam itu. Tiga doa melingkar berpilin di angkasa. Malam itu tiga doa melingkar bertemu di langit kekuasaan-Mu. Malam itu ada begitu banyak doa yang melesat ke angkasa. Jika kalian melihatnya maka ia akan terlihat seperti jutaan benang-benang terjulur. Tapi untuk yang tiga ini, jawabnya: "Ya'.
"Maaf, aku baru bisa pulang sekarang!" Tuan HK mengecup lembut dahi istrinya. "Tidak apa-apa," Bunda tersenyum, lemah. "Bagaimana kondisimu" Kata Salamah sakit-mu memburuk?"
"Sudah baikan, tadi Kinasih datang kemari...." "Kinasih" Si-a-pa?" Tuan HK mengernyit, berpikir sebentar, lantas tersenyum lebar, "Kinasih putri dokter Ryan?"
Bunda mengangguk. Wajahnya yang sepanjang siang terlihat pucat mulai memerah. Obat yang diberikan Kinasih sudah bekerja. "Ia sudah menjadi dokter. Sudah tumbuh cantik.... Gadis berkepang dua yang dulu suka sekali menyembunyikan stetoskop Papa-nya. Kau ingat itu?" Bunda tersenyum kecil, beranjak hendak turun dari ranjang, meletakkan kertas dan pulpen yang sejak lima belas menit lalu dipegangnya.
"Tidak usah, yang! Malam ini kau ber-istirahat saja,
biar aku yang menyiapkan keperluanku sendiri!"
Tuan HK tersenyum, memberi tanda agar istrinya
tetap berbaring di ranjang.
"Tidak apa-apa biar kubantu,"
"Jangan bandel. Nyonya-" Tuan HK tertawa.
"Aku sudah baikan, kata Kinasih tadi hanya terlalu
lelah-" "Apa kubilang" Terlalu lelah, bukan" Kau sudah seharusnya banyak beristirahat. Nyonya! Dasar anak nakal!" Tuan HK tertawa lebih lebar, bergurau sambil melepas jas hitam mahal-nya. Bunda ikut tertawa, menatap lamat-lamat wajah suaminya. Untuk ke-sejuta kalinya mengucap syukur dalam hati. Ia benar-benar beruntung memiliki suami, lelaki yang sedang berdiri di hadapannya. Tuan HK, lelaki separuh baya, dua tahun lebih tua darinya. Wajahnya gagah dan tampan, meski gurat lelah, sedih, penat, sesak itu tak bisa dihilangkan. Yang semakin terlihat kalau dia sedang di rumah.
Dulu Tuan HK boleh jadi terkenal galak dengan bisnisnya, tapi sejak Melati lahir. Tuan HK berubah banyak. Sejak kejadian tiga tahun lalu itu, Tuan HK berubah lebih banyak lagi. Masih tersisa ketegasan, prinsip, dan apalah seorang laki-laki darinya. Tapi separuhnya hanyalah perasaan seorang ayah yang tak lelah berharap anaknya suatu hari bisa tersenyum melihat dunia.... "Kau sedang menulis apa?" Tuan HK bertanya. Bunda mengambil kertasnya, "Surat!"
Tuan HK mengangguk. Tidak bertanya lagi. Sejak tiga tahun lalu istrinya rajin menulis. Surat. Cerita. Diary. Entahlah. Kertas-kertas yang ditumpuk rapi di lemari buku mereka. Sudah sepuluh inchi tebalnya. Setidaknya kebiasaan itu bermanfaat. Sejenak membuat istrinya bisa menumpahkan seluruh kesedihan.
"Tadi ada tamu dari Jerman!" Tuan HK melepas
kemeja putihnya, mengambil handuk dari lemari,
"Mereka membicarakan soal kerja-sama
pengembangan pabrik pupuk kita-"
Bunda menggangguk. Salamah tadi siang bilang dari
Je-pang. "Aku dua minggu lagi harus ke Frankurt, yang! Agak lama. Ada banyak yang harus dikerjakan di sana. Mungkin dua atau tiga minggu-" Tuan HK diam sejenak, menatap lembut istrinya, "Mempelajari banyak hal di sana, tidak apa-apa, kan?" Bunda menggeleng. Tidak apa-apa. Suaminya memang sering berpergian. Mengurus bisnis keluarga mereka.
Diam sejenak. Tuan HK beranjak duduk di pinggir ranjang. Meraih tangan istrinya. Mencium lembut jemari yang dilingkari cincin pernikahan mereka. Untuk ukuran mereka yang sudah beruban, pemandangan itu terlihat amat romantis. "Kau sudah makan?"
Bunda mengangguk. Balas menatap wajah suaminya. Itu pertanyaan transisi. Ia lebih dari siapapun mengenal tabiat suaminya. Sejak mereka masih pacaran dulu. Sejak masa remaja yang penuh
lirikan tersipu malu.... Ia tahu, jika ingin
membicarakan sesuatu yang penting suaminya akan
memulainya dengan pertanyaan transisi.
Lengang. Ribuan kunang-kunang semakin ramai
berdenging di sela dedaunan di luar sana. Salamah
sekarang bebas menatapnya dari jendela kecil
kamarnya di lantai satu. Selalu terpesona.
"Kau tahu, seharusnya aku sudah bisa pulang tadi
sore.... Maafkan aku, baru pulang sekarang-" Tuan
HK berkata pelan. "Aku tahu...." Bunda tersenyum, mengangguk. Tuan HK menelan ludah.
"Kau tadi ke-mana menghabiskan sore" Ke pantai"
Menggulung celana" Berjalan seperti anak-anak
muda yang bercengkerama di pinggir pantai itu"
Berlarian mengejar dan dikejar ombak?" Bunda
tersenyum lagi, bergurau.
Tuan HK tertawa kecil. Menggeleng.
"Di pabrik-" Bunda menatap lamat, "Hanya di pabrik" Di ruang kerja?"
"Tidak juga. Aku tadi naik ke atap pabrik!" Bunda melipat dahinya.
Tuan HK tertawa, "Ya, aku tadi naik ke atap pabrik. Susah payah manjat tangga di dinding. Salah satu mandor yang memergokiku berteriak memohon agar aku turun."
Bunda memperbaiki posisi duduk bersandar bantalnya. Naik ke atap pabrik" Ia tahu persis, kalau sedang resah, suaminya selalu pergi menyendiri. Entah kemanalah, ke tempat-tempat
tidak terduga. Kejadian dua hari lalu pasti
membuatnya resah. Tapi naik ke atap pabrik yang
bahkan lebih tinggi dibanding bangunan tertinggi di
kota, itu benar-benar tidak terduga"
"Kau tidak percaya?" Tuan HK nyengir.
Bunda tertawa. Mengangguk. Tentu saja ia selalu
percaya suaminya. "Kau tahu, mandornya sampai berteriak-teriak, 'Aku mohon, Tuan turunlah! Bagaimana nasib kami semua kalau Tuan kenapa-kenapa!' Dia juga berusaha memanggil buruh lainnya untuk memaksaku turun, jadi terpaksalah ku ancam mandor itu-" Tuan HK mengusap rambut berubannya, tertawa kecil.
"Kau ancam dengan apa?" Bunda bertanya pelan.
"Kupecat kalau dia teriak-teriak lagi-"
Tertawa lebih lebar. Bunda menggenggam jemari
suaminya penuh penghargaan. Bersitatap satu
sama lain. Mereka sedikit sekali punya waktu
menyenangkan seperti ini, tertawa lepas.
"Kau tahu, aku duduk di sana hingga matahari
tenggelam.... Ternyata pemandangannya hebat
sekali. Langit merah. Burung layang-layang,
hamparan lautan, semuanya terlihat indah...." Tuan
HK mendesah pelan. Ya, pemandangan yang hebat sekali. Membuatnya sejenak bisa tenang. Bisa lupa semua sesak. Apalagi tentang saran dokter senior dari tim rumah sakit ternama itu dua hari lalu.... Bunda ikut menghela nafas pelan. Kamar itu hening. Tuan HK menoleh, menatap keluar jendela. Menatap tarian
ribuan kunang-kunang. "Melati sudah tidur?" Menoleh lagi, bertanya.
Bunda mengangguk, meski ia tidak, tahu kalau ia
keliru. "Aku mandi dulu.... Kalau kau sehat, mungkin kita
bisa mandi bersama," Tuan HK beranjak berdiri,
melilitkan handuk di leher, tertawa, "Sudah lama
kita tidak melakukannya, bersama Melati, bermain
sabun banyak-banyak. Terpeleset...."
Bunda hanya tersenyum, lemah. Menatap punggung
suaminya. Pukul 24.00. Bunda sudah jatuh tertidur. Tuan HK juga sudah jatuh tertidur setelah membaca buku tebal sehabis mandi dan makan malam sendirian. Salamah" Sudah lama jatuh tertidur, memeluk bantal guling bermotifkan donald & daisy bebek (Heran malah, bikin motifnya jadi aneh). Hampir seluruh penghuni kota indah itu sudah jatuh tertidur. Memulihkan tenaga untuk menyambut hari esok.
Tapi tidak bagi penghuni salah satu kamar di lantai dua rumah besar itu. Kamar yang berwarna biru iaut. Dipenuhi mainan dari busa dan plastik lentur (karena itulah yang paling aman). Di kamar itu ada ranjang besar yang tidak berangka dan bertiang (karena itu juga yang paling aman). Ada sofa dari butiran plastik yang berubah bentuk sesuai dengan bentuk tubuh yang mendudukinya. Kamar itu milik Melati. Dan malam ini Bunda lagi-lagi keliru. Sejak tadi Melati belum tertidur. Ia memang
berbaring di atas ranjang. Tapi mulutnya terus menggerung. Mata hitam biji buah lecinya memang terpejam, tapi ia terus menggerak-gerakkan ujung jemarinya di bawah selimut....
Setengah jam lalu, Melati melangkah menuju jendela kaca besar kamarnya. Merangkak. Meraba-raba. Tangan mungilnya meraba-raba jendela kaca yang dingin. Mukanya menempel. Mencetak bibir dan hidungnya di kaca tebal. Hembusan nafasnya membuat kabut tipis di kaca. Melati menatap ke depan....
Senyap. Gelap. Hitam. Melati menatap ke arah jutaan kunang-kunang yang terbang. Sayang, gadis kecil itu tidak akan pernah bisa melihatnya....
Tiga Tahun Lalu Hari indah kembali datang. Semburat merah memenuhi kaki cakrawala. Sunrise yang hebat. Pantai kota lengang. Ada sih satu-dua pasangan yang berjalan-jalan di atas pasir lembut yang bak es krim saat diinjak. Terpesona menatap indahnya matahari terbit. Terpesona menatap ombak bergulung. Menjilat-jilat mata kaki. Asyik sekali membenamkan kaki mereka di hamparan pasir.... Mereka sih memang turis, jadi rada 'norak' melihat pemandangan hebat tersebut (habis ngelihat sunrise-nya pakai 'pose' berpelukan segala, sok-romantis, hihi).
Anak-anak kembali sibuk berangkat sekolah. Berpamitan. Wusshh. Pekerja kantoran bergegas mandi, sarapan dan seterusnya. Petani riang memanggul cangkul. Nelayan lagi-lagi menumpahkan berember tangkapan semalam suntuk mereka ("Wooiii, ada yang dapat hiu, tuh!" Semua menoleh. Lupa tangkapan masing-masing. Bergerombol. Seperti menyambut kedatangan artis ibukota). Hanya Karang yang masih tertidur. Semalam ia pulang persis saat adzan shubuh
berkumandang. Ibu-ibu gendut seperti biasa membukakan pintu, menatap prihatin dengan wajah basah oleh air wudhu. Karang sempoyongan menaiki anak tangga. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Berkeriutan. Mencengkeram pegangan. Lantas melemparkan diri! Rebah dengan posisi 'pesawat terbang' di atas ranjang. Tidur mendengkur. Kamar itu tidak pernah memerlukan racun nyamuk, karena nyamuknya sudah kadung takut dengan suara dengkur dan bau alkohol dari mulutnya.
Lengang. Sepagi ini, ketika selarik cahaya matahari menembus lubang-lubang dinding kayu membentuk bintik seperti bekas tembakan peluru di lantai, Karang masih tertidur 'lelap'. Tidak peduli dengan keriuhan gosip di bawah sana. Di sini.... Matahari pagi terasa menyenangkan! Pulau kecil yang indah! Kanopi terbentang di mana-mana. Payung-payung terkembang
warna-warni. Kursi-kursi plastik. Pantai dipenuhi turis. Ada yang sibuk bermain voli. Lempar bumerang. Menunggang kuda. Istana pasir. Mengubur diri. Atau sekadar berlarian menyiramkan pasir satu sama lain.
Hei! Karang bergumam. Ini bukan pantai yang dikenalnya" Sama sekali tidak dikenalnya. Ini pantai yang berbeda. Tidak pernah dilihatnya. Orang-orang yang berbeda.... Topi-topi pandan lebar. Seruan-seruan 'Mahuwa!'. Pakaian-pakaian aneh" Musim panas" Summer Camp" Mana ada coba di kotanya musim panas" Yang ada musim kemarau, musim penghujan, musim duren, musim
demo, ergh?" Karang mendesis pelan, apakah ini
mimpi-mimpi buruk itu lagi....
Tertawa. Rombongan itu tertawa.
Ada keluarga kecil di sana. Berdiri di bawah salah
satu payung besar warna-warni. Satu-dua-tiga,
ergh banyak ternyata. Memakai topi lebar-lebar.
Memakai kalung bunga. Seperti keluarga besar.
Meski kentara kalau keluarga intinya hanya tiga.
Pasangan setengah baya, yang rambut sedikit
berubannya tertutup topi pandan, dan....
Tertawa. Kaki-kaki kecil itu menjejak pasir. Rambut
ikalnya bergerak mengombak. Mulutnya yang
terbuka memamerkan gigi-gigi kecil. Di tangannya
tergenggam sebuah boneka panda....
Karang mendesis lagi. Boneka panda"
Tertawa. Kanak-kanak itu menyeringai riang,
berusaha mendekat Ibu-nya yang menjulurkan
tangan. Yang lain ramai menepuki. Memberikan
applaus. Memberikan semangat. Beberapa turis lain
yang dari mukanya terlihat entah dari negara
manalah, ikut menoleh. Ikut terpesona menatap
kanak-kanak itu. Satu-dua mengeluarkan kamera,
akan menjadi foto yang menarik sekali.
Tertawa. Seluruh keriangan pantai ini seolah-olah
pindah di wajah kanak-kanak menggemaskan itu.
Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kaki kecilnya berlarian
mendekat. Membuat jejak di hamparan pasir basah
nan lembut. Pipi tembamnya nyengir....
"JDUT!" Piringan terbang plastik berwarna merah itu
tanpa ampun tiba-tiba menghajar kepalanya,
membuat terjatuh kanak-kanak itu, memutus
seluruh kegembiraan. Seketika!
"JDUT" Karang juga terjatuh dari ranjangnya. Terputus juga mimpinya. Terbangun. Seketika! Seperti biasa, dia langsung menyumpah-nyumpah. Bersungut-sungut. Mengusap pipi. Mata Karang liar menatap sekitar. Merah. Rambutnya kusut-masai. Selagi otaknya masih 'booting', mengembalikan kesadaran, terdengar derit pelan pintu dibuka. Karang menoleh. Ibu-ibu gendut itu!
Seperti biasa membawa termos dengan air panas baru. "Kau sudah bangun?" Ibu-ibu gendut melipat dahi, bertanya.
Kali ini bukan just making conversation. Itu
benar-benar pertanyaan (dan butuh jawaban),
karena lazimnya paling cepat Karang bangun lima
jam dari sekarang. Bukan saat jadwal ia
mengantarkan termos. Tapi yang ditanya tetap
mendengus tidak peduli. Tidak menjawab.
Merangkak terhuyung duduk di atas ranjang.
"Kebetulan kalau kau sudang bangun." Ibu-ibu itu
tidak melangkah keluar kamar meski telah
meletakkan termos, malah mendekat.
Karang mengangkat muka kusutnya. Kebetulan apa"
"Ada surat untukmu!"
Surat" Karang melipat dahinya.
"Tadi diantarkan pagi-pagi sekali!" Ibu-ibu gendut
mengeluarkan amplop putih dari saku baju
dasternya. "Aku tidak tahu dari siapa. Tidak ada nama siapapun di sana kecuali namamu!" Ibu-ibu gendut menjawab sebelum ditanya. Menjulurkan amplop
putih itu. Karang malas menerimanya. Surat" Sudah tiga tahun dia terputus dari kehidupan.... Tidak menyapa maupun disapa. Siapa pula yang sekarang mengirimkan surat padanya"
Ibu-ibu gendut sudah balik kanan. Seolah tidak ingin-tahu surat apa dan dari siapa. Padahal ia ingin sekali tahu siapa yang mengirimkan surat itu sejak seseorang mengantarkannya lima belas menit lalu. Ingin sekali melihat Karang membacanya. Berharap surat itu pertanda baik bagi anak-asuh suaminya untuk kembali pulih mengenal kehidupannya dulu.... Tapi setelah berpikir dan berhitung sejenak, memutuskan untuk membiarkan Karang sendirian membuka surat itu. Kehadirannya bisa jadi malah merusak suasana hati Karang.
Ibu-ibu gendut tersenyum tipis, riang menuruni anak tangga yang (justru) berkeriut menyebalkan.
Ruang makan rumah besar di lereng pebukitan. "Baa.... Ma.... Baa...." Melati mengaduk-aduk piring di hadapannya. Ia tidak duduk di kursinya. Tidak pernah. Melati sarapan sambil berdiri. Kakinya sibuk menghentak-hentak lantai. Tangannya
meremas-remas (sebenarnya ngacak-ngacak) nasi goreng spesial buatan Salamah.
"Pelan-pelan, sayang!" Bunda yang duduk di sebelahnya membantu membenarkan posisi piring. Tuan HK menatap sejenak lamat-lamat. Meneruskan makan. Biasanya Melati meski merajuk, meski butiran nasi tumpah di mana-mana, meski meja
kotor berserakan, meski makan sambil menggerung, bisa menghabiskan setidaknya separuh makanan di atas piringnya. Tapi pagi ini Melati hanya sibuk mengais-ngais piring itu. Mata hitam biji buah lecinya berputar-putar cepat.
"Ayo dimakan, sayang!" Bunda sekali lagi membantu
membenarkan posisi piring yang hampir jatuh
tersenggol gerakan jemari Melati.
"Baaa..." Melati terus mengaduk-aduk nasi di atas
piring. "Makannya yang baik. Melati." Suster Tya yang
berdiri di sebelahnya berusaha menyentuh tangan
Melati. Membantunya. Melati menggerung marah. "Biarkan saja, Tya!" Tuan HK berkata pelan.
Tya, suster yang baru bekerja dua hari itu menarik
nafas, kalau begini bagaimana Melati akan makan?"
Bunda tersenyum, mengangguk. Jangan pernah
sentuh tangan Melati. Biarkan saja. Hanya perbaiki
posisi piringnya. "Ayo, Melati.... Pakai tangan bagus!" Suster Tya sekali lagi berusaha membantu Melati. Memegang tangan Melati, berusaha mengajari cara menyuap yang baik. Ia perawat baru, jadi tidak terlalu mengerti aturan mainnya, kan"
"BA.... MA.... AAA...." Melati mendadak berteriak kencang.
"Eh, copot, copot, copot!" Salamah yang mengantarkan air jeruk panas buat Bunda ikut berseru-seru panik (sebenarnya kalau ada keributan seperti ini, Salamah juga yang ikut nambahin panik).
"Jangan teriak-teriak, sayang!" Bunda tersenyum. Menenangkan.
Suster Tya yang tadi kaget medengar teriakan Melati, menarik tangannya. Mukanya sedikit pias, lagi-lagi Melati mengamuk.
"BAAA!" Melati memukul-mukul meja makan. Marah.
"Jangan pukul mejanya, Melati!" Tya takut-takut
berusaha menghentikan tangan Melati.
"Biarkan, Tya-" Bunda berkata menengahi keributan.
Jangan pernah menyentuh tangah Melati yang
sedang marah. Itu aturan mainnya. Ia akan semakin
marah. Tapi Tya yang tidak tahu, masih berusaha
memegang tangan Melati. Maka hanya dalam
hitungan detik, tangan Melati satunya yang liar
meraba-raba meja makan dan berhasil menyentuh
ujung piring makanannya bergerak cepat.
"PYAR!" Pecah berantakan. Melati melemparkan
piring itu tanpa ampun ke lantai.
"Aduh, Melati jangan dilempar-" Tya yang
setengah-terkejut, banyakan-gugupnya, berusaha
menarik tangan Melati yang masih mencari benda
lainnya. Bunda lembut memegangi tangan satunya, "Melati, sayang...."
"BAAA.... MA...." Melati meronta-ronta.
Suster Tya yang pucat sekarang malah
tanpa-sadar berusaha mencengkeram bahu Melati.
Berusaha menghentikannya. Bunda menghela nafas
tertahan. "Bersihkan belingnya, Salamah! Cepat! Sebelum
terkena Melati!" Salamah terbirit-birit mengambil sapu dan pengki. Melati sudah berhasil melepaskan cengkeraman tangan Tya. Yang sekali lagi tetap berusaha menenangkan.
Tuan HK menelan ludah, berkata tajam, "Biarkan Tya.... Biarkan!"
Tya menatap setengah-bingung, setengah-panik. Kalau dibiarkan" Nanti melempar piring lainnya" Aduh, bagaimana ini. Tuan HK menatap tajam.... Tya mengusap wajah kebasnya. Serba-salah. Beruntung, Melati yang bersungut-sungut marah sudah melangkah tak jelas arah, meninggalkan meja makan. Menuju anak tangga pualam. Bunda mengikuti. Membujuknya untuk kembali. Percuma Melati hanya menggerung. Sebal, marah, benci, entahlah, (kalau ia mengerti semua perasaan itu!)
Hari yang indah sekali lagi berlalu. Malam baru saja tiba, disertai hujan deras. Musim penghujan.... Karang menuruni anak tangga. Berkeriutan. Dia baru saja menghabiskan ransum makan malamnya. Jadwalnya untuk pergi.
"Kau hendak kemana, Karang?" Ibu-ibu gendut tak lelah bertanya.
"Pergi!" Karang mengambil jaket hujan di dinding ruang tengah.
"Hujan, Karang!" Ibu-ibu gendut berusaha mencegah.
"Lucu sekali.... Manusia yang hidupnya merasa selalu hebat tapi takut dengan hujan!" Karang
menyeringai. Ibu-ibu gendut menelan ludah. Sinisme. Ia tahu itu. Sejak tiga tahun lalu, kalau kondisi hati-nya sedang membaik, Karang bisa melakukan percakapan satu-dua kalimat (tidak sekadar mendengus tak peduli). Tapi kalimat-kalimatnya penuh sinisme kehidupan. Ibu-ibu gendut meletakkan rajutan. Beranjak berdiri.
"Tadi surat dari siapa?" Bertanya sambil tersenyum. "Sejak kapan Ibu ingin tahu urusan orang lain" Mau seperti tukang gosip setiap pagi di gang bawah?" Ibu-ibu gendut tertawa pelan, "Tidak. Kau bukan orang iain bagiku, Karang!" Karang mendengus. Merapatkan jaket hujan. "Kepalamu masih sakit!"
"Lumayan-" Karang membuka pintu, malas memperpanjang percakapan, suara hujan deras menderu memenuhi ruangan.
Dan sebelum pertanyaan berikutnya keluar. Karang kasar sudah membanting pintu dari luar. Seperti radio yang dipelankan, deru air menerpa genting, jalanan, dinding, bebatuan seketika berkurang volumenya. Ibu-ibu gendut itu menghela nafas. Padahal ia ingin sekali tahu surat apa yang diantarkan tadi pagi. Karang sudah pergi. Tidak peduli.
Apa sebenarnya isi surat itu" Berpikir setengah menit. Lantas memutuskan naik ke kamar atas. Baiklah, ia akan seperti tukang gosip itu, mencari tahu: Liputan langsung dari lokasi kejadian. Hitung-hitung sekalian membersihkan kamar, sudah
terlalu kotor dan pengap, sudah terlalu lama tidak diurus, lagipula hanya di malam hari penghuninya pergi-
Anak tangga berbunyi menyebalkan seiring kaki melangkah. Ibu-ibu gendut membuka jendela kamar. Suara air hujan terdengar menderu. Angin dingin (tapi segar) menerpa masuk. Hamparan lautan terlihat indah. Kerlip lampu perkotaan. Kerlip lampu perahu nelayan dan kapal ferry yang merapat di pelabuhan kota. Mercu-suar di kejauhan. Merapikan buku-buku yang berserakan. Menumpuk baju-baju kotor dari gantungan, melepas seprai. Memperbaiki posisi mesin tik tua di atas meja. Menyeringai. Ini mesin ketik warisan suaminya untuk Karang. Satu-satunya barang berharga di ruangan ini.... Surat itu tergeletak di sebelahnya, sama sekali belum dibuka. Tetap tersegel oleh sticker logo yang amat terkenal itu. Ibu-ibu gendut menelan ludah. Karang sama sekali tidak mempedulikan surat ini.... Baiklah, ia akan melakukannya. Memutuskan berhenti sejenak dari bersih-bersih.
Membuka surat itu. Mengeluarkan selembar kertas putih (yang juga berlogo). Surat itu ditulis tangan. Tulisan yang rapi. Surat itu tidak panjang, hanya satu paragraf. Membacanya dengan penerangan lampu lima belas watt di langit-langit kamar. "Anakku, seseorang menyebut dirimu bagai maiaikat di mata anak-anak.... Kehadiranmu seiaiu membuat mereka bersenandung riang, kehadiran yang bisa menciptakan 'keajaiban'.... Meski amat
malu mengakuinya, harus kami hilang, kami sudah amat berputus-asa.... Berputus asa atas keterbatasan putri tunggai kami. Maukah kau berkenan membantu" Membagi keajaiban itu. Kami mohon dengan segaia kerendahan hati. Jika jawabnya 'Ya', datanglah ke kediaman kami...." Nama dan alamat keluarga yang mengirimkan surat itu tertulis rapi di bawahnya. Ibu-ibu gendut menyeringai, menahan nafas. Ia amat mengenal keluarga itu. Bagaimana tidak" Logo di kertas ini tercetak di mana-mana. Barang-barang rumah tangga seperti gayung, ember, hingga pengki dan sapu ijuk. Sabun, deterjen, odol, dan entahlah. Juga peralatan elektronik, pupuk, dan lainnya. Sama mengenalnya ibu-ibu gendut itu dengan masalah keluarga tersebut. Keluarga baik yang malang....
Hujan turun semakin lebat. Ruang makan rumah besar di lereng perbukitan itu lengang, irama buncah suara hujan di luar diredam oleh tembok dan jendela kaca.
"Melati mana?" Tuan HK bertanya. Malam ini ia
pulang seperti biasanya, jadi bisa ikut makan malam
bersama istrinya. Sebenarnya kondisi hatinya belum
membaik, tapi karena hujan turun sejak sepanjang
sore, dia memutuskan untuk pulang sesuai jadwal.
"Sudah tidur sejak sore tadi, terlalu lelah...." Bunda
menjawab pelan, "Hari ini ia aktif sekali!"
Tuan HK menelan ludah. Aktif sekali! Mengangguk.
Itu konotasi dari Melati ngamuk-ngamuk.
"Tya tadi sore minta ijin pulang lebih cepat. Ia
mendadak bilang ada keperluan keluarga...." Bunda berkata perlahan sambil pelan memotong-motong makanan di piringnya, "Gadis itu sepertinya tidak akan tahan lama. Seperti perawat-perawat sebelumnya."
Tuan HK tidak berkomentar. Tahu persis apa yang
menjadi masalah Tya. Ruang makan senyap. Hanya
Salamah yang sibuk larak-lirik ke luar jendela sambil
menunggui, berdiri di dekat meja, siapa tahu Bunda
atau Tuan HK memerlukan sesuatu.
"Tadi Kinasih datang lagi, kontrol." Denting suara
garpu terdengar pelan, Bunda sebenarnya tidak
lapar meski sepanjang siang tidak makan, ia hanya
ingin menemani suaminya makan. Itu selalu ia
lakukan selama 24 tahun terakhir (dan ia berjanji
untuk itu), kecuali kalau sedang sakit.
"Kinasih sempat menemani Melati siang tadi.
Kangen. Tidak sadar bahkan memeluk Melati, lupa
aturan mainnya...." Bunda terdiam sebentar,
tertawa getir, "Dan Melati menjambak kerudung
sekaligus rambut Kinasih-"
Tuan HK menghela meletakkan sendoknya.
"Anak itu hari ini aktif sekali-" Bunda menghela
nafas. Buru-buru berdiri. Suaminya sudah selesai.
Membantu membereskan piring.
Hari ini ada banyak hal yang dipikirkannya.... Tya yang mungkin menyerah menjadi perawat Melati, itu berarti ia harus mencari perawat baru. Memikirkan kalimat dokter senior rumah sakit ibukota beberapa hari lalu. Juga surat itu.... Apakah surat itu sudah tiba"
Malam beranjak semakin matang. Hujan tak kunjung mereda. Satu jam ke depan, setelah memastikan Melati tertidur di kamarnya, Tuan HK dan Bunda masuk kamar. Bunda seperti biasa entahlah menulis apa. Tuan HK membiarkan, meneruskan membaca buku tebalnya. Lantas tertidur. Salamah juga sudah tertidur setengah jam lalu, lagi-lagi ngiler. Mang Jeje dan pembantu-pembantu lainnya. Dan hampir seluruh penduduk kota indah itu. Namun ada yang belum tertidur.
Bunda lagi-lagi keliru. Melati sama sekali belum tidur. Ia seperti malam-malam sebelumnya memang sudah terbaring di atas ranjang, sudah lelap seperti terlihat. Tapi otaknya masih terjaga. Melati menggerung pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk di bawah selimut. Ia aktif sekali sepanjang hari. Sebenarnya ia aktif sekali sepanjang tahun ini. Seperti ada energi raksasa yang tidak kunjung bisa dilepaskan. Bersemayam di otaknya. Rasa ingin tahu, rasa ingin mengenai, rasa ingin segalanya.... Yang sayangnya tidak pernah memiliki akses untuk keluar bertahun-tahun.
Lima belas menit kemudian, gadis kecil menggemaskan itu pelan setengah mengantuk menyingkap selimutnya. Rambut ikalnya yang berantakan bergoyang-goyang. Menyeret kakinya menuju jendela. Tangannya terjulur meraba-raba.... Menyentuh dinginnya kaca. Satu dua bulir air hujan yang tampias menerpa kaca. Melati menempelkan wajahnya. Mata hitam biji buah leci itu berputar-putar ingin tahu. Hidung, dahi, dan
mulutnya tercetak di jendela kaca. Nafasnya
Semoga Bunda Disayang Allah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat kabut. Ia sungguh ingin tahu....
Melati menatap lamat-lamat. Ke gelapnya malam
yang buncah oleh suara hujan.... Sayang, sama
seperti malam sebelumnya ketika ia tidak bisa
melihat formasi jutaan kunang-kunang. Malam ini,
Melati juga sedikit pun tidak bisa mendengar
buncah suara hujan di luar....
Lengang. Senyap. Kosong. Itulah kehidupannya.
Kaki kanak-kanak berusia sekitar tiga tahun itu lincah berlarian. Tadi takut-takut menyentuh buih ombak yang menjilat-jilat bibir pantai. Setelah berhasil, malah tertawa senang. Ternyata menyenangkan. Ternyata tidak menakutkan seperti yang ia duga. Rombongan yang berteduh santai di bawah payung besar berwarna-warni berseru menyemangati. Salah-seorang yang pastilah ibunya tertawa lebar. Menjulurkan tangannya. Kanak-kanak itu berlarian. Ingin lapor kalau ia bisa sendirian menjejak ombak itu. Tidak takut lagi. "Anak yang berani-Kemari sayang! Peluk Bunda!" Rambut ikalnya bergoyang-goyang. Nyengir mendekat.
Turis-turis (dengan warna kulit macam-macam) ikut menoleh. Ikut bertepuk-tangan. Amat menggemaskan melihat kanak-kanak itu melangkah. Memeluk boneka pandanya- Keceriaan seluruh pantai pulau kecil terkenal itu pagi ini seperti berpusat pada kanak-kanak yang berlarian menuju pelukan ibu-nya.
Jejak kaki tercetak di pasir basah nan lembut.... Bayangan tubuh mungil bergerak menawan.... Pipi tembam, menyeringai lebar (senang sekali diperhatikan)....
Waktu seolah berhenti ketika melihatnya.... "JDUT!" Brisbee (piringan terbang) berwarna merah itu entah dari mananya, tiba-tiba sudah menghantam dahinya. Memutus semua kesenangan. Seketika. Menghentikan seluruh tawa. "JDUT!" Untuk ke sekian kalinya Karang terjatuh dari ranjang tua. Memutus mimpinya sekali lagi. Menyumpah-nyumpah. Dahinya lagi-lagi terantuk siku-siku kayu jati. Matanya merah silau menatap sekitar. S-i-l-a-u"
"Kau sudah bangun. Karang?" Ibu-ibu gendut itu tersenyum lebar.
Karang menoleh. Jendela kamarnya sudah terbuka lebar-lebar. Ibu-ibu gendut berdiri di sebelah jendela. Semburat cahaya matahari pagi tanpa ampun membasuh ranjang tua itu. Karang mengomel. Beranjak duduk. Sebenarnya cahaya matahari pagi masih lembut menerpa, tapi untuk mahkluk batman sepertinya, lampu lima watt saja terasa silau. Segera menutup mukanya dengan dua belah telapak tangan. Kepalanya pusing sekali. Dia mungkin baru tertidur satu jam. Terlalu pendek. Terlalu cepat terbangun. Tidak cukup setelah semalaman begadang duduk di pojokan bar. "Ada surat untukmu!" Ibu-ibu itu berkata datar. Karang tidak mengangkat kepalanya. Sama sekali tidak tertarik. Sialan. Hari-hari seminggu terakhir
benar-benar berjalan menyebalkan baginya.
Kacau-balau. Dia selalu terbangun lebih cepat dari
jadwal biasanya. Terlalu cepat malah.
"Kau tidak pernah membuka surat-surat itu,
anakku?" Karang menggerutu sebal. Memangnya penting" Melambaikan tangan. Maksudnya, tolong tutup kembali jendela itu.
"Aku akan menutup jendela, asal sekali saja kau mau membacanya, Karang-"
"Buat apa" Bukankah Ibu setiap hari sudah membacanya untukku!" Karang mendengus sebal, memotong.
Ibu-ibu gendut menelan ludah, berkata pelan, "Kau tahu, ada kanak-kanak yang memerlukan bantuanmu. Karang. Surat itu bilang. Mereka membutuhkan bantuanmu...."
Karang tertawa sinis, "Bantuan" Terakhir kali aku bersama anak-anak aku justru membunuhnya-Bukankah Ibu tahu itu?"
Hening sejenak. Ibu-ibu itu menghela nafas panjang. Sarkasme. Lagi-lagi kalimat itu. "Tidak bisakah kau sekali saja menemui mereka" Ini surat ke-tujuh yang mereka kirimkan seminggu terakhir, mereka berharap banyak kau mau datang...."
"Buat apa?" Karang menjawab masygul.
"Setidaknya kau mendengarkan apa permintaan
mereka-" Karang menyeringai tipis. Permintaan" Omong-kosong. Dia sudah tidak peduli banyak hal
sejak tiga tahun lalu. Bodo amat! Meskipun seminggu terakhir ada hal ganjil yang terpaksa dia pedulikan. Seminggu ini entah kenapa dia tidak pernah lagi terbangun oleh mimpi-mimpi buruk itu. Dia terbangun justru oleh mimpi-mimpi yang tidak dikenalinya.... Sialnya, itu bukan kabar baik baginya, justru mimpi-mimpi baru ini membuatnya sakit kepala. Membuatnya selalu bangun lebih cepat. Dan sialnya lagi, di sisa siang dia akan kesulitan untuk melanjutkan tidur. "Anakku, tiga tahun terakhir sejak aku tahu apa yang terjadi, aku tidak pernah ingin membicarakan masalah ini.... Tidak ingin, karena semua ini bahkan membuatku sedih sebelum membicarakannya.... Tapi biarlah pagi ini kita bicarakan lagi semuanya-" Ibu-ibu gendut itu melangkah mendekat. Itu benar. Pagi ini setelah sepanjang minggu berpikir, berhitung masak-masak, ia akhirnya memutuskan untuk membicarakannya. Ia tahu ini menyakitkan. Tidak mudah. Tapi hingga kapan ia hanya berdiam diri, surat-surat ini bisa jadi awal yang baik bagi Karang.... Maka ibu-ibu gendut itu memulainya dengan membuka jendela kayu itu lebar-lebar. Perubahan pertama! Prolog pembicaraan!
Karang mendengus, tetap menatap lantai, memijat kepalanya.
"Karang, kau tahu aku tidak pernah berusaha mencegahmu melakukan apa saja yang hendak kau lakukan selama tiga tahun. Aku hanya diam membiarkanmu tenggelam sendirian dalam semua
kesedihan. Tapi tahukah kau, dengan membiarkan kau seperti ini, melihat semua ini tanpa bisa melakukan apapun, aku lebih sedih dari yang kau rasakan....
"Selama tiga tahun aku bahkan tidak pernah membuka jendela ini. Berharap kau akan kembali seperti yang pernah kukenal lewat surat-surat yang dulu kau kirimkan setiap bulan.... Berharap kau-lah yang akan membuka jendela ini. Melewati masa-masa menyakitkan itu." Ibu-ibu gendut duduk di sebelah Karang. Menghela nafas. "Tapi hari-demi-hari berlalu hanya seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Kejadian itu sudah tertinggal tiga tahun di belakang, anakku.... Ibarat sebuah perjalanan, itu sudah jauuuh sekali tertinggal-"
"Ya! Jauh sekali! Benar-benar omong-kosong. Saking jauhnya, hingga hari ini, setiap detik aku masih bisa melihatnya, jelas-jelas seperti siaran televisi-" Karang berbisik kasar. Memotong dengan suara serak, kerongkongannya terasa haus. "Karena kau tak kunjung henti membiarkan dirimu merasa bersalah, Karang!" Ibu-ibu gendut ikut memotong, dengan suara bergetar. "Bersalah! Kenapa pula aku harus merasa bersalah" Bukankah pengadilan akhirnya membebaskanku?" Karang tertawa. Sinisme.
Lengang sejenak. Ibu-ibu gendut menatap lamat-lamat wajah kusut di sebelahnya. Kumis dan cambang yang tak terurus. Rambut panjang berantakan. Pakaian kusam yang baru diganti
dua-tiga hari sekali. Bau alkohol menyengat. Semua ini terlihat menyedihkan.
"Tidakkah kau sejenak saja bisa berdamai dengan masa lalu itu?" Ibu-ibu gendut bertanya pelan, menyentuh lembut lengan Karang. Karang tertunduk. Bergumam sebal. Mengusap wajahnya. Berdamai" Itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Andai dia bisa melakukannya. Andai dia bisa menemukan caranya. Tapi semua itu terlalu menyakitkan, terlalu menyesakkan.... Tiga tahun lalu. Kota besar itu. I-b-u-k-o-t-a! Dia merintis mimpi-mimpi besarnya. Menukar seluruh masa kecilnya yang menyedihkan (yatim-piatu miskin tak beruntung, kerinduan menyesakkan atas kehadiran Ibu dan Ayah) dengan janji masa depan yang lebih baik. Dia mendirikan belasan Taman Bacaan Anak-Anak. Tempat di mana anak-anak akan mendapatkan makna kehidupan sejati. Kesenangan berbagi. Merasa cukup atas keseharian yang sederhana. Mencintai bekerja keras tanpa mesti kehilangan masa kanak-kanak yang menggemaskan.
Taman Bacaan yang memberikan buku-buku, kelas bercerita, dan dongeng-dongeng tentang kehidupan. Mengajak anak-anak mencintai alam. Mengajarkan mereka chatting, browsing, bagaimana bicara di depan, apa saja....
Siapa yang tidak mengenal dia" Pemuda yang merintis sendirian semua mimpinya. Anak-anak mengenalnya sebagai kakak yang baik, kakak yang bahkan melihat wajahnya sudah menyenangkan.
Kakak yang pandai bercerita. Kakak yang pandai membuat games dan permainan seru. Kakak yang pandai memetik gitar dan bernyanyi. Kakak yang selalu membawa sepotong cokelat sebagai hadiah.... Ibu-ibu di kota mengenal Karang pemuda yang baik. Pemuda yang bisa mendiamkan bayi yang sedang menangis hanya dengan menyentuhnya. Hanya dengan berbisik. Bersenandung. Siapa yang tidak mengenal Karang" Bapak-bapak di kota mengenal Karang pemuda yang hebat. Bagaimana tidak" Dia sendirian menampung anak jalanan. Membuat sekolah informal. Menjanjikan masa depan bagi mereka. Percaya sekali janji kehidupan yang lebih baik akan datang dari anak-anak berikutnya. Hingga kejadian buruk itu. Tiga tahun lalu. Berita-berita di koran.... Liputan media massa. Perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu terbalik di perairan utara ibu kota. Hari itu, Karang bersama anak-anak salah satu Taman Bacaan-nya berwisata air. Bermain, menyelam melihat indahnya karang-karang dan ribuan ikan warna-warni. Siang yang hebat, penuh gelak-tawa. Siang yang hebat, penuh kesenangan dan kebersamaan. Sayang, sore itu saat perahu nelayan kembali, cuaca buruk mendadak mengungkung lautan. Tanpa ba-bi-bu, ombak besar membuat limbung perahu nelayan. Terbalik, sempurna menumpahkan seluruh isinya tanpa ampun.
Empat awak perahu beserta nahkodanya selamat, lima kakak-kakak relawan yang mengurus Taman
Bacaan selamat. Karang juga selamat. Dua belas anak-anak selamat. Tapi 18 tidak. Delapan belas kanak-kanak lainnya meninggal. Tenggelam. Kedinginan. Bibir membeku. Ujung-ujung jari membiru. Benar-benar menyedihkan. Tubuh-tubuh kecil yang dingin mengapung dengan jaket pelampung. Mencoba bertahan hidup selama satu jam sebelum rombongan helikopter penyelamat tiba. Pemandangan yang membuat seluruh kota larut dalam kesedihan.
Seperti menatap artefak sejarah menyakitkan.... Karang diinterogasi, diperiksa penyidik berhari-hari. Tidak cukup hanya itu, pengadilan menyeretnya bersama nahkoda dan awak perahu nelayan. Menuduh mereka tidak-cukup-bertanggung-jawab atas keselamatan anak-anak. Proses pengadilan yang sungguh mengharukan. Proses pengadilan yang mengundang tangis.
"Kak Karang Tidak Bersalah!" Anak-anak Taman Bacaan mendatangi pengadilan sambil membawa spanduk. Satu-dua malah menangis maju ke depan menyerahkan setangkai bunga. Pendapat masyarakat bagai api yang merambat menjalar. Dukungan-dukungan. Tuduhan-tuduhan.... Seruan benci dan simpati berpilin di media massa. Dan vonis itu akhirnya dibacakan. Tidak ada yang menyalahkan dirinya.... Itu benar sekali! Tapi tahukah kalian hal yang paling menyakitkan di dunia bukan ketika orang lain ramai menyalahkan diri kalian. Tapi saat kalian menyalahkan diri-sendiri.... Dan itulah yang terjadi padanya!
Dimulailah malam-malam sesak itu. Tiga tahun terakhir. Membakar semua yang dimiliki, kepercayaan, harapan, dan cita-cita.... Karang memutuskan pergi! Tidak tahan lagi meski hanya menatap Taman Bacaan miliknya dari kejauhan. Dia tidak sanggup meneruskan hidup di sana. Wajah delapan belas kanak-kanak itu memenuhi pelupuk matanya. Wajah Qintan.... Karang memutuskan pulang. Kalau bisa, dia bahkan ingin memutuskan pulang dari kehidupan ini. Tidak peduli itu akan mengorbankan banyak hal. Tidak peduli. Lengang. Kamar berukuran 6x9 meter itu senyap. Angin pagi menelisik lewat jendela. Lembut memainkan anak rambut. Karang mengusap matanya. Tidak! Dia sudah lama tidak menangis mengenang kejadian itu. Air-matanya sudah habis, bukan karena kejadian itu, tapi sejak kanak-kanaknya, terlanjur habis karena tangis-rindu pada orang-tuanya yang pergi. Yang menangis justru ibu-ibu gendut itu. Pelan. "Bacalah anakku.... Sekali saja!" Ibu-ibu gendut itu berkata serak, menyerahkan surat baru yang masih disegel oleh sticker berlogo.
Karang diam. Tangannya tidak bergerak. Dia tidak bodoh (untuk tidak, bilang amat cerdas)! Itu takdir hebat miliknya. Dia mengenali logo tersebut, sama seperti seluruh penduduk kota ini. Dia juga tahu apa masalah keluarga baik yang malang itu. Jadi tanpa perlu membacanya dia tahu apa maksud surat-surat ini.
"Anak malang ini membutuhkan bantuan, anakku!"
"Ia membutuhkan dokter. Bukan seseorang yang bahkan menurut pengadilan tidak memiliki pendidikan akademis memadai tentang mendidik anak-anak.... Aku tidak memiliki apapun untuk membantu anak ini-" Karang berkata pelan. Intonasinya melemah. Dia masih menggerutu, namun sejenak melihat ibu-ibu gendut di sebelahnya menangis, sarkasme itu sedikit mereda. "Kau memiliki segalanya bagi anak-anak, Karang-" Karang menyibak rambut panjangnya yang mengenai ujung-ujung mata. Mendengus. Segalanya" Omong-kosong!
"Kau mencintai mereka lebih dari siapapun, anakku-" Karang tertawa. Getir. Tertunduk, "Ya! Aku mencintai kanak-kanak lebih dari siapapun.... Kata bijak itu benar sekali, terlalu mencintai seseorang justru akan membunuhnya!"
Ibu-ibu gendut menghela nafas. Melepaskan pegangannya di lengan Karang. Ikut menatap lantai kayu.
"Kau punya kesempatan untuk memperbaiki masa lalu itu, anakku.... Anak ini membutuhkanmu. Jika Tuhan menghendaki pengampunan yang kau harapkan, kau pasti bisa membantunya...." Karang tidak menjawab. Mengusap wajah kebasnya untuk ke sekian kali. Pembicaraan itu berakhir tanpa kesimpulan.
Lima menit kemudian, ibu-ibu gendut itu menuruni anak tangga yang berkeriutan. Sementara Karang sudah membanting jendela kamar. Lantas melemparkan diri di atas ranjang tua.
Berharap bisa melanjutkan tidur....
Keterbatasan Melati JLangit kelam. Petir menyambar. Ombak bergelombang susul-menyusul menghantam perahu nelayan kapasitas empat puluh orang itu. Sialnya angin yang menderu-deru membuat semakin kelam dan tegang suasana. Perahu itu macam sabut di galaknya lautan luas....
"PELANKAN! PELANKAN LAJU PERAHU!" Salah satu awak kapal yang berdiri di buritan berteriak kencang. Panik!
Nahkoda perahu dengan tangan liat-basah berkeri-ngatan mencengkeram kemudi, berusaha mengendalikan gerak kapal. Mengatupkan gigi geraham. Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap awas. Dahinya berkeringatan. Cemas! "AWAS OMBAK BESAR DI HALUAN KANAN!" Nahkoda memutar kemudi. Melintir. Perahu meliuk. Menghindar.
"TAHAN!! AWAS OMBAK!!"
Nahkoda sekali lagi membanting kemudi. Perahu berderit. Terangkat ke atas ujung-ujung gelombang lautan. Lantas seperti dibantingkan, berdebam jatuh seiring gerakan liar ombak besar. Lambung
kapal bergetar. Tiang-tiang kayu bergemeletukan. Membuat pias seluruh penumpangnya. "CTAR!" Kilat menyambar. Langit gelap tertutup awan mendadak terang-benderang. Semburat cahaya seperti akar serabut melukis langit. Pemandangan yang memesona (sekaligus mengerikan). Wajah-wajah semakin gentar. Berpegangan erat apa saja.
"AWAS!!! SEBELAH KIRI!" Teriakan awak kapal terdengar serak.
Nahkoda gesit memutar kemudi lagi.
Badan-badan menggigil ketakutan. Sejak setengah
jam lalu. Badan-badan kecil itu sudah menciut.
Pucat-pasi. Tidak ada suara meski hanya decit
tertahan. Saling berpegangan tangan erat-erat.
Takut! "SEBELAH KANAN!" Awak kapal berteriak lagi. Nahkoda semakin gugup, berusaha memutar cepat kemudi. Badai ini benar-benar menguras segalanya. Kapal terangkat lagi tinggi-tinggi. Lantas sekejap, berdebam lagi. Membuat semakin pias wajah kanak-kanak itu.
Boneka panda itu akhirnya terjatuh dari genggaman tangan (yang akhirnya melemah karena gentar). Menggelinding pelan di lantai perahu. Mental satu-dua mengikuti gerakan perahu yang semakin tak terkendali. Membal.... Atas.... Bawah.... Atas.... Bawah.... Bergulingan.... Kiri.... Kanan.... Kiri.... Kanan....
"GELEGAR!" Guruh menyalak, enam detik setelah kilat tadi, berdentum memekakkan telinga, beradu
dengan teriakan panik awak perahu nelayan dan penumpangnya.
Gerakan boneka panda itu tertahan di dinding kapal....
Gemetar Qintan, setengah-takut setengah-cemas atas nasib bonekanya merangkak berusaha mengambilnya....
"JANGAN LEPASKAN PEGANGAN, QINTAN!"
Gadis kecil itu menoleh takut-takut. Tapi
bonekanya" Bonekanya"
"TETAP DI TEMPATMU, QINTAN!" Yang barusan berseru kencang menengahi hingar-bingar suara badai itu, berusaha memegangi tubuh gadis kecil yang sudah setengah merangkak. "DNTUM!"
Terlambat. Semua terbanting! Ombak besar menggulung. Perahu nelayan itu tanpa ampun terbalik. Teriakan panik terdengar. Seruan-seruan tertahan. Jeritan kanak-kanak. Tubuh-tubuh itu seperti butiran cokelat sebesar kelereng berwarna oranye tumpah dari toples. Berhamburan di atas meja. Sayang meja-nya adalah lautan yang galak melibas apa saja. Percuma jaket pelampung berwarna oranye yang terikat erat di tubuh mereka....
"BERPEGANGAN!" Karang tersengal, tersedak air laut, berusaha menarik kanak-kanak yang limbung di tengah ombak.
"PEGANG SEBANYAK MUNGKIN ANAK-ANAK!" Karang panik meneriaki kakak-kakak relawan Taman Bacaan lainnya.
Suasana benar-benar kacau. Hujan deras bagai ditumpahkan dari langit gelap. Perahu kayu itu pelan mulai tenggelam, miring, terus melesak ke dalam dinginnya lautan. Awak-nya sudah melupakan nasib perahu mereka, sekarang berjibaku menarik anak-anak yang menjerit-jerit di sekitar mereka. Satu tersedak, terminum air. Yang lain menyusul. Terlambat sepersekian detik, tubuh-tubuh kecil itu akan terseret ombak, menjauh entah kemana! Tidak terselamatkan.
Teriakan kanak-kanak yang takut membuncah lautan.
Karang berhasil memegang jaket pelampung tiga kanak-kanak di dekatnya. Beberapa kakak-kakak lainnya juga berhasil memegangi yang lain. Berusaha bertahan di tengah buruknya cuaca. Boneka panda itu mengambang di dekat Karang.... "QINTAN! QINTAN DI MANA!" Karang terkesiap demi melihat boneka panda itu. Tersadarkan oleh sesuatu. Menoleh panik kesana kemari. Berteriak. Yang lain tidak sempat menjawab, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Berusaha terus merapat, berkumpul saling berpegangan tangan. Tubuh terbungkus jaket pelampung oranye itu mengambang di dekat Karang. Naik-turun. Naik-turun. Bergerak liar seiring ganasnya gelombang lautan. Karang beringas berenang mendekat, dengan terus memegang tiga anak lainnya. Benar-benar sulit. Ombak besar membuat badannya selalu terbanting. Tapi setelah berjibaku setengah menit. Karang bisa menarik jaket
pelampung itu. Qintan tersedak. Mukanya pucat-pasi. "PEGANG JAKET KAKAK! PEGANG!" Karang meneriaki tiga anak lainnya, sambil berusaha mendekap Qintan. Mengangkat kepala Qintan agar lebih tinggi dari permukaan air laut.
Qintan terbatuk. Matanya layu. Sudah terlalu banyak air laut yang masuk dalam perutnya. "Qintan! Bertahanlah, sayang-" Karang panik. Gadis kecil berkepang dua itu terbatuk lagi. Air laut tumpah dari mulutnya. Kepalanya sudah terkulai lemah-
"Aku mohon. Bertahanlah...." Karang berteriak parau. Satu ombak besar menerpa mereka. Terbanting. Kuyup.
"Qin-tan... Qin-tan takut Kak Karang-" Gadis kecil itu berbisik dalam dekapan. Rambut berkepangnya luruh ke dahi.
"Ya Allah, aku mohon. Bertahanlah...." Karang berusaha memperbaiki posisi Qintan. Melepas ikatan jaket pelampung di leher, agar gadis kecil itu bisa bernafas lebih lega. Tiga kanak-kanak lain yang mulai kedinginan menatap amat gentar semua kejadian sambil terus berpegangan erat pada jaket pelampung Karang.
Satu ombak lagi menerpa. Membuat anak-anak lain tersedak.
Jemari Qintan yang berusaha mencengkeram bahu Karang terlihat membiru. Bibirnya pucat. Matanya semakin redup.
"Bertahanlah. Aku mohon-" Karang mengguncang
tubuh Qintan. "Qin-tan.... Qin-tan takut sekali Kak Karang-" Hujan semakin deras. Langit pekat, petir menyambar sekali lagi, semburat cahaya mengukir angkasa.
"A-da ca-ha-ya.... A-da ca-ha-ya, Kak Karang!" Mata Qintan yang tinggal putihnya mendongak menatap langit.
Karang seketika gemetar menahan sesak.
"Aku mohon, sayang. Kak Karang di sini....
Bertahanlah!" "A-da.... A-da yang da-tang. Kak Karang" Qintan berbisik lirih, kepalanya masih mendongak, mata itu tinggal putihnya.
Lihatlah, kanak-kanak yang lain menatap sungguh tak mengerti. Amat takut. Menjadi saksi kepergian yang menyakitkan. Karang sudah gemetar berbisik tidak terkendali, berusaha menenangkan hatinya yang juga ikut gentar. Gemetar memohon. "Kak Karang, Ma-ma-Pa-pa da-tang.... Ma-ma Pa-pa da-tang" Gadis itu merekahkan senyumnya di antara bibir pucat membeku.
"Jangan, sayang. Jangan pergi. Kak Karang mohon-" Karang mengguncang tubuh Qintan. "Ma-ma- Pa-pa da-tang.... Me-re-ka da-tang Kak Ka-rang...."
Sungguh memilukan menjadi saksi kejadian itu. Petir menyambar sekali lagi. Membuat semburat akar serabut di angkasa. Pemandangan yang memesona sekaligus mengiris hati. Dan persis saat semburatnya hilang, kepala Qintan terkulai lemah
dalam pelukan Karang. Ia sudah p-e-r-g-i.... Karang mendesis. Matanya berputar menatap sekitar penuh sejuta sesal. Karang sesak oleh sejuta tanya. Dia ingin berteriak sekuat tenaga. Berteriak sekuat yang bisa dia lakukan. Tapi suaranya hilang sudah di kerongkongan, suara itu hanya menjadi untai keluh tertahan saat tiba di mulut. Suara itu hanya menjadi sedu. Tergugu. Karang mendekap tubuh Qintan erat-erat.... Menangis. Tersedan.
Petir menyambar lagi. Silau! Cahaya itu menyilaukan. Lengang.... Tapi tidak ada lagi buncah air hujan. Tidak ada juga deru angin. Kemana ombak galak tersebut" Kemana gelegar guruh dan kilau petir itu" Kemana semua keributan" Senyap.... Mata Karang mengerjap-ngerjap. Dia ada di kamar berukuran 6x9 meternya. Dia tidak berada di tengah lautan terkutuk yang terkungkung cuaca buruk. Dia terbaring tertelentang. Silau. Jendela kamarnya lagi-lagi sudah terbuka lebar. Cahaya matahari pagi menerabas masuk.
Pelan Karang beranjak duduk. Mengusap rambut panjangnya. Kepalanya tidak nyeri seperti seminggu terakhir. Melirik jam di dinding. Pukul 12.30. Ini jadwal bangun tidur seperti biasanya. Setelah seminggu selalu terbangun oleh mimpi-mimpi yang tidak dikenalnya, sekarang semuanya kembali normal .... Normal" Mimpi-mimpi buruk itu kembali datang bisa disebut normal" Karang mendengus. "Kau sudah bangun. Karang?"
Karang menoleh. Malas menggerakkan lehernya.
Ibu-ibu gendut berdiri di dekat jendela. Menatapnya datar. Karang melambaikan tangan tidak peduli. Basa-basi! Tidak menjawab. Pasti setelah ini akan bilang: "Ada surat untukmu!" Selalu begitu selama seminggu terakhir. Apa tidak ada bentuk kalimat pembuka percakapan lainnya " Tapi ibu-ibu gendut tidak berkata-kata lagi, melainkan melangkah mendekat. Karang beringsut beranjak duduk di tepi-tepi ranjang tua. Merapikan rambutnya yang mengenai ujung-ujung mata. "Ada yang ingin menemuimu!"
Karang mengangkat kepala. Mengernyitkan dahi. Menemuinya"
Bandit Di Hotel Istana 1 Bayangan Berdarah Karya Wo Lung Shen Keris Peminum Darah 1