Pencarian

That Summer Breeze 3

That Summer Breeze Karya Orizuka Bagian 3


percakapan Wanda dan Ares.
"Nih, jatah gue, buat lo aja," Wanda menyerahkan uang hasil pembagian kepada Ares yg
melongo. "Gue pinjemin deh," sambung Wanda lagi.
"Wah, thanks banget, Nda." kata Ares sambil menyelipkan uang itu ke saku bajunya.
"Um... punya gue juga deh," setelah beberapa saat, lalu menyurukkan uangnya ke tangan Ares.
Ares nyengir. "Wah, thanks. Gue bener2 butuh ini. Ntar kapan2 gue balikin."
Ares sudah merasa lebih baik sejak semalam, setelah menceritakan semua permasalahannya
kepada Dipo dan Wanda. Ares mendapatkan banyak masukan dari mereka. Dan Ares
memutuskan untuk tetap meneruskan cita-citanya, entah itu akan membuat bangga siapa pun
atau tidak. Baru ketika Ares merasa lebih baik, pintu gudang menjeblak terbuka, dan Ares mendapati Orion
berdiri di sana. Seketika darah di tubuh Ares menggelegak.
"Ngapain-" Belum sempat Ares menyelesaikan kata-katanya, Orion sudah menyerangnya. Ares dapat
merasakan pelipisnya berdenyup keras. Wanda dan Dipo hanya bengong melihat kejadian yg
berlangsung sangat cepat ini.
"Lo..." Orion menyerang Ares lagi sebelum dia sempat berdiri, kali ini pipi kanannya.
"...emang...," kata Orion lagi sambil menyerang pipi kirinya. "BEGO!" sahut Orion, dan Ares
terkapar di lantai. Orion terengah-engah, tak menyadari perbuatannya sampai dia melihat Ares tergeletak
bersimbah darah di lantai gudang. Ares bangkit dengan cepat, menyeka darah dari mulutnya
sembarangan, lalu dengan tatapan membunuh dia menyerang Orion yg tak sempat berkutik.
Giliran Orion yg diserang membabi buta oleh Ares. Dengan segera Orion terkapar, tanpa bisa
bangkit lagi. Ares menatap Orion benci, lalu membungkuk di atasnya yg terbatuk-batuk
mengeluarkan darah. "Lo pikir-" "Reina sakit!" jerit Orion memotong kata2 Ares.
Ares terdiam sesaat, lalu tersenyum licik. "Gue nggak peduli. Bukannya dia udah punya elo?"
"GOBLOK!" sahut Orion, darahnya memuncrat ke wajah Ares. "Dia cuma mau lo! Elo!"
Ares menatap Orion ragu, lalu teringat bahwa dia tak ingin percaya apa pun lagi. "Jangan bilang
kalo lo mau ngibulin gue lagi, karna-"
"Gue nggak bohong!" sahut Orion susah payah" dia hampir menelan giginya yg patah. "Dia
sekarang nggak mau makan, dia nggak mau apa pun semenjak lo pergi! Dia sakit, Res! Kalo lo
pikir gue bohong, lo pulang, trus lo liat gimana keadaannya di kamar lo! Dia kayak mayat hidup!"
"Lo bohong!" jerit Ares kalap. Dihentakkannya kepala Orion sehingga belakang kepala Orion
membentur lantai. "Kalian cuma mau ngibulin gue lagi!"
"Kenapa lo pikir gue capek2 ke sini ngasih tau lo" Kalo gue mau, gue nggak bakal nyuruh lo
pulang! Tapi ini demi Reina, satu-satunya alasan dia tetep hidup itu lo!" sahut Orion lagi. "Lo pikir
gue seneng apa, denger gue sendiri ngomong kayak gini?"
"Tapi kemaren... kemaren... lo sama dia-"
"Jangan bego!" teriak Orion. "Itu cuma kecelakaan! Reina jatuh nimpa gue waktu dia masang
poster -ah, udahlah! Sana cepet pergi! Nanti juga lo tau!"
Ares perlahan melepaskan Orion, mundur dan memandang Orion yg masih terbaring lemah.
Ares melirik kedua temannya yg sama2 menyuruhnya pergi. Akhirnya, setelah beberapa saat,
Ares berlari pergi walaupun dengan wajah bimbang.
Orion mengempaskan kepalanya ke lantai, membiarkan kepalanya berdenyut gila-gilaan, lalu
memejamkan matanya. Orion tidak akan menyangka dirinya akan berbuat seperti ini. Tapi entah
kenapa, Orion merasakan kelegaan yg amat sangat.
Orion membuka matanya lagi, lalu menoleh ke arah kedua teman Ares. "Halo," sapanya,
disambut cengiran Dipo dan Wanda.
Dipo dan Wanda buru2 menghampiri Orion saat Orion berusaha bangun.
"Lo oke?" tanya Wanda sambil membantu Orion duduk.
"Cariin obat buat muntah dong," kata Orion. "Kayaknya gigi gue ketelen, nih."
Ares tak tahu apa yg membuatnya kembali ke rumah ini. Perkataan Orion tentang Reina sangat
tidak masuk akal. Reina kemarin sudah melakukan hal yg sangat buruk di mata Ares, dan tidak
mungkin hal itu cuma kecelakaan. Dan Reina tidak mungkin jatuh sakit begitu saja hanya karna
ditinggal oleh sampah semacam Ares.
Ares seketika sangat membenci dirinya sendiri, mengapa dengan mudah terkena hasutan Orion.
Ares bersumpah akan membunuh Orion saat dia kembali ke gudang nanti.
Tapi Ares tidak langsung berbalik pergi. Dia berdiri tepat di balik jendela kamarnya sendiri,
menimbang-nimbang. Ares benar2 ingin pergi, tapi Ares juga ingin melihat Reina lagi. Ares
melangkah hati2, lalu mengintip ke dalam kamar.
Ares tecekat. Reina tampak terbaring lemas di kasurnya, tidur, dengan tiang infus di sebelahnya.
Di luar kesadarannya, Ares sudah melompat masuk ke kamarnya sendiri. Ares menahan napas
saat melihat wajah Reina yg cantik, tapi sepucat salju. Matanya bengkak dan meninggalkan
lingkaran hitam di sekeliling matanya. Ares juga bisa melihat bekas air mata yg sudah mengering
di pipi Reina. Ares terpancang di tempatnya sambil melihat Reina, ketika dia menyadari sesuatu. Di atas
tempat tidurnya, sebuah poster super besar Mick Jagger terpasang miring. Ares jadi teringat saat
Reina mengatakan sesuatu kemarin. Tadi itu, poster, Mick... dan ucapan Orion tadi... Itu cuma
kecelakaan! Reina jatuh nimpa gue waktu dia masang poster...
Ares mendengus dan menjambak rambutnya. Dia tertawa pedih, tak percaya pada apa yg sudah
dilakukannya. Dia membuat Reina seperti ini hanya karna salah memahami bahwa dia sedang
bermesraan dengan Orion... yg ternyata hanya sebuah kecelakaan saat memasang poster...
Ares membenci dirinya sendiri. Sangat benci, sehingga dia bisa melakukan apa pun untuk
membunuh dirinya sendiri.
"Ares?" tanya seseorang, membuat Ares tersentak.
Ibu. Dia sedang menatap Ares keheranan dari ambang pintu. Ares balas memandangnya
nyalang. "Dokter bilang dia nggak apa2. Cuma masuk angin dan pilek karna kehujanan, terus dipasang
infus karna dari kemaren nggak mau makan. Nggak apa2 kok," tambah Ibu lagi, setelah melihat
ekspresi Ares yg khawatir.
Ares hanya mengangguk pelan, lalu menatap Reina lagi. Ares membuka mulut, bermaksud
mengatakan sesuatu, lalu menutupnya lagi.
"Jangan menyalahkan diri," kata Ibu lagi, membuat Ares menatapnya heran. "Jaga dia ya, Ibu
mau bikin bubur dulu."
Ibu lalu meninggalkan Ares yg masih melongo. Ares tak tahu Ibu tahu tentang hubungannya
dengan Reina. Mendadak Reina bergerak, membuat Ares bersiap untuk kabur. Ares sudah melakukan hal
buruk kepadanya, dan Ares merasa tak cukup berharga lagi untuk Reina.
"Ares?" sahut Reina lemah, dan langkah Ares terhenti di bingkai jendela.
Ares membalikkan badannya dan menatap Reina yg sudah memandangnya. Air mata mengalir
dari kedua mata Reina. Ares ingin sekali menghapusnya, tapi dia tak yakin apa Reina sudah
memaafkan segala kelakuan Ares kemarin.
"Res, jangan hukum aku lagi," kata Reina lirih. "Aku mohon."
Mendengar kata2 itu, Ares benar2 merasa dirinya sebagai sampah yg tak berharga. Reina
bahkan masih mengharapkannya setelah apa yg dilakukannya kemarin.
"Kenapa kamu nggak benci aku, Rei?" tanya Ares lemah. "Aku udah salah kemarin. Kenapa
kamu nggak benci aku?"
"Aku nggak bisa benci sama kamu."
"Harusnya kamu benci sama aku! Harusnya kamu tinggalin aku! Aku berhak menerima itu!
Semua tuduhan nggak berdasar itu-"
"Res," Reina memotong kata2 Ares. "Kamu mungkin bisa ninggalin aku, tapi aku nggak bisa."
"Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu!" sahut Ares marah. "Aku cuma ngerasa nggak pantes
ada di deket kamu! Aku tuh hina, dan kamu nggak seharusnya bersama orang kayak aku! Kamu
berhak dapet orang yg lebih baik!"
Reina terisak dan Ares harus menahan mati-matian keinginannya untuk memeluk Reina.
"Res, aku mohon," kata Reina lagi. "Minta maaf juga cukup."
"Nggak cukup dengan minta maaf!" sahut Ares lagi. "Aku harusnya mati atau gimana! Aku
bahkan nggak cukup bagus untuk bernapas di udara yg sama dengan kamu!"
"Res, aku nggak pernah bilang kalo aku lah yg baik. Kemaren aku sempet putus asa, aku
sempet berpikir kalo aku akan ngelupain kamu. Aku juga lemah, Res. Aku nggak bisa
meyakinkan kamu. Aku berpikir bakal kehilangan kamu selamanya. Nggak apa2 kalo itu emang
kesalahanku. Tapi aku nggak tau apa aku bakal bertahan hidup dengan kenyataan itu cuma
salah paham!" sahut Reina, air matanya berurai.
Ares tidak pernah merasakan penyesalan yg seperti ini. Penyesalan yg membuatnya ingin
kembali ke masa lalu, untuk memercayai Reina sepenuhnya tanpa pernah menyangsikannya.
Ares menatap Reina yg sudah duluan menatapnya.
"Sini," kata Reina lembut sambil merentangkan tangannya. Ares memandang tangan itu
beberapa saat, berpikir bahwa dia tidak berhak menyentuhnya. "Ayo, minta maaf," kata Reina
lagi. Ares merasa semua persendiannya melemas. Dengan langkah pelan, dia bergerak menuju
Reina sambil bersumpah tidak akan pernah menyangsikan Reina lagi seumur hidupnya. Ares
terduduk di samping Reina yg mengacak rambut Ares penuh sayang.
"Maafin aku, Rei," kata Ares meremas punggung tangan Reina, tak bisa membendung air
matanya. "Aku bener2... aku bener2..."
"Sshh," kata Reina. "Dimaafin. Sekarang, tolong jangan ke mana2 sementara aku tidur."
Ares menyaksikan Reina yg tertidur dengan senyuman di wajahnya, damai seperti peri. Ares
mencium punggung tangan Reina, yg sedari tadi tak dilepasnya.
Ares tak akan ke mana2 lagi, bahkan saat Reina tertidur.
Bab 7 Finest Moment "KENAPA kamu?" tanya Ayah begitu melihat Orion yg babak belur.
Ares baru akan bicara ketika Orion bergumam ringan, "Abis kena pukul preman kampus."
Ares melongo sementara Ayah mengernyitkan dahinya. Saat ini, mereka semua sedang makan
malam. Hanya Reina yg tidak ikut karna masih sedikit demam.
"Apa mereka cari gara2?" tanya Ayah tak suka.
"Biasalah," Orion melirik Ares yg menggigit ayam gorengnya dengan buas. "Alasan nggak jelas."
"Apa kamu yakin preman2 itu nggak dikirim sama seseorang?" tanya Ayah lagi, ada nada curiga
pada suaranya, membuat Ares emosi.
"Maksud Ayah?" tanya Orion sebelum Ares sempat membuka mulut.
"Sebentar lagi kan turnamen," Ayah mengedikkan bahu. "Siapa tau ada yg mau ngerjain timmu."
Orion tertawa geli selama beberapa saat. "Mana ada yg begituan, Yah! Itu kan cuma
pertandingan." "Jangan ngeremehin yg begituan Ri," kata Ayah tegas. "Ayah pernah liat tawuran cuma karna
tim-nya kalah. Dan ada yg mati."
Hening sejenak di meja makan. Ares tahu, Ayah tadi meliriknya tepat setelah selesai berbicara.
"Tenang Yah," Orion memecah kesunyian. "Aku bakal hati2. Dan menang juga."
"Semoga aja," kata Ayah kemudian diam lagi.
Ares melirik Orion yg tampak sudah kembali makan. Ares tahu, Orion tidak pandai berkelahi, dan
kalah di setiap perkelahian dengan siapa pun. Tapi Ares tak akan menyangsikan
kemampuannya bermain basket.
Ares juga menyadari selama makan malam, atau tepatnya, setelah dia memberitahu soal
pekerjaannya kepada Ayah, Ayah tak pernah lagi mengajaknya berbicara. Ares tiba2 teringat
perkataan Reina, bahwa Ayah sudah tua, hanya mengetahui bahwa Ares adalah anak yg nakal
dan tak bisa apa2 selain mempermalukan nama keluarga, juga diramalkan menjadi penyebab
kematian Ayah. Ares meletakkan sendok dan garpunya, menarik napas panjang, lalu mengembuskannya lagi
dengan mantap. Dia merasakan tangannya dingin.
"Yah," kata Ares membuat aktivitas semua orang terhenti. Ayah, Ibu, dan Orion menatapnya
heran. "Kayaknya kita perlu bicara."
Ayah begitu terkejut sehingga sendoknya melayang jatuh ke piringnya. Orion melongo dengan
parah, sementara Ibu hanya bisa membelalakkan matanya.
Selama beberapa menit, tak ada yg berbicara. Ares menatap Ayah pasrah.
"Ya udah kalo nggak bisa," katanya, lalu kembali melanjutkan makan.
"Nggak, nggak," kata Ayah tiba2, membuat Ares kehilangan napsu makannya. "Setelah makan.
Di kamar Ayah." Setelah Ayah bicara demikian, tak seorang pun lagi berniat untuk meneruskan makan. Ayah
beranjak dari kursinya lalu masuk ke kamar dengan wajah tegang. Ares melirik kepada Orion
dan Ibu yg juga tegang, air muka mereka mengatakan agar Ares tak usah mencari gara2.
"Tenang, Bu," kata Ares, lalu mengikuti Ayah masuk ke kamar.
Ares mendapati Ayah sedang duduk di kursi rias Ibu, menghadapnya. Ares terpancang di tempat
sejenak. "Nah, apa yg mau kamu omongin" Semoga bukan kamu kehilangan kerja, terus kamu mau
minta duit sama Ayah," kata Ayah ketus.
Ares menatap ayahnya tak percaya, lalu berusaha mengendalikan diri. Ares tak akan menyianyiakan kesempatan ini hanya karna termakan omelan Ayah.
"Yah...," kata Ares, tapi selanjutnya, tak sepatah kata pun lagi keluar dari mulutnya.
Tenggorokan Ares serasa tersumbat.
"Ya ampun, Res, apa kamu habis bunuh anak orang" Iya, kan" Iya, kan" Res!" sahut Ayah
dengan wajah ngeri. Dia sekarang berdiri dan mendekati Ares.
Ares menggeleng cepat, menghindari Ayah yg akan segera memukulnya. "Bukan Yah, bukan
itu!" sahut Ares sementara Ayah terus mengejarnya.
"Lalu apa" APA, RES?" sahut Ayah lagi, berhenti mengejarnya untuk mengurut dadanya.
Ares berhenti, lalu memandang Ayah yg segera duduk di kasur untuk menenangkan diri. Ares
menyingkirkan rasa takutnya, lalu berjalan mendekati Ayah. Ayah tampak kesakitan karna
jantungnya. Ares menatapnya sedih. Ayah sudah terlalu tua. Ares tak bisa lagi
mempermainkannya. Reina benar. Selama ini, Ares terus-terusan menyalahkan Ayah yg tak
pernah menyayanginya. Padahal harusnya Ares bisa mengerti Ayah, dan menjadi apa yg
diinginkannya. Ares terlalu egois untuk itu. Ares 'senang' membuat Ayah marah.
Ares jatuh berlutut di depan Ayah, yg langsung melongo. Ares menarik napas, lalu
mengeluarkannya lagi. Tenggorokan Ares benar2 tersekat, seolah mengatakan satu kata saja
akan membuat air matanya mengucur keluar.
Ares memandang sosok tua itu, yg masih melongo melihatnya.
"Kenap-" "Tolong, Yah," kata Ares, akhirnya bisa mengumpulkan suara. "Tolong, maafin aku."
Ayah tambah melongo. Dia membuka-tutup mulutnya bingung. Selama beberapa menit, Ayah
hanya menatapnya tanpa bersuara.
"Aku janji nggak akan pernah ngecewain Ayah lagi," Ares besusah payah menahan air matanya.
Entah mengapa saat ini dia menjadi sangat sentimentil. "Aku janji."
Ayah berusaha mengatakan sesuatu lagi, tapi tak kunjung keluar. Dia hanya bisa memandang
Ares yg sudah menunduk lama, kemudian menghela napas berat.
"Sudah, Res," kata Ayah, seperti lelah dan tak percaya.
"Yah, aku serius!" sahut Ares. "Suatu saat nanti aku bakal bikin Ayah bangga! Suatu saat nanti
aku bakal jadi anak yg bisa Ayah banggain!"
Ares hampir berteriak dan mengguncang-guncang tubuh renta Ayah, tapi tak dilakukannya. Ares
hanya diam di t empat, menahan segala emosinya, dan menepis pikiran bahwa tidak seharusnya
dia meminta maaf karna sepertinya tidak berguna. Sampai kapan pun, Ares akan tetap dicap
sebagai anak yg memalukan, sekuat apa pun usahanya.
Ayah terdiam, tampak setengah-terharu setengah-bimbang bagi Ares. Beberapa detik kemudian,
tangan Ayah terangkat, membuat Ares mengelakkan kepalanya karna menyangka akan kena
pukul. Tapi ternyata, Ayah malah menepuk pundaknya.
"Ayah tau kamu bisa," Ayah terdengar lelah. "Sekarang sana, panggil Ibu. Minta dia bawain obat
Ayah." Ares melongo untuk beberapa detik, lalu segera tersadar. Ares bangkit berdiri, memandang
Ayah yg tampak enggan memandangnya balik, lalu melangkah ke pintu dengan seulas senyum
pada bibirnya. Setelah keluar dari kamar Ayah, Ares mendapati Orion dan Ibu menatapnya cemas. Orion
mungkin tidak begitu kentara, tapi Ares yakin Orion tadi berharap melihat sedikit luka di wajah
Ares. "Bu, Ayah, obat," kata Ares tak jelas, lalu bergerak menuju gazebo dengan langkah seperti
zombie. Tangannya mengelus pundak tempat Ayah menepuknya tadi.
Ares yakin, hidupnya akan terasa jauh lebih mudah setelah ini.
"Yg bener?" teriak Reina girang esoknya, setelah Ares menceritakan kejadian semalam. "Jadi,
kamu udah baikan sama Om?"
Ares menganggukkan kepalanya tak jelas, yg segera dipukul oleh Reina.
"Jawab dong yg bener! Nggak usah pake gengsi gitu," tegur Reina disambut cengiran Ares.
Reina sangat senang melihat Ares yg sekarang tampak jauh lebih bahagia. Ares meluruskan
duduknya di samping Reina, matanya menerawang ke luar jendela.
"Selama ini aku bener2 bego. Nggak dewasa. Seneng nyalahin orang lain. Seneng nyusahin
orang lain. Seneng buat orang lain khawatir," kata Ares seolah membuat pengakuan dosa.
Ares terdiam sebentar untuk mengambil napas. Reina membiarkannya. Reina ingin
mendengarkan Ares. "Udah terlalu banyak orang2 yg jadi sasaranku. Ayah. Ibu. Wanda. Dipo. Lala. Semua orang,"
lanjut Ares, lalu menoleh kepada Reina. "Kamu."
"Selalu. Selalu nyalahin semua orang, tanpa pernah berpikir kalau setengahnya atau lebih
adalah kesalahanku juga. Nggak pernah berpikir jernih, selalu bertindak berdasarkan apa yg aku
liat. Mungkin karna, yah, karna aku nggak pernah bisa percaya lagi sama kata hati aku. Kamu
tau, kan, aku udah berhenti berharap sejak lama," kata Ares lagi. "Tapi mulai sekarang, aku
bakal coba lagi untuk berharap, dan semoga aja, harapanku bisa terwujud, supaya aku bisa
percaya lagi sama kata hati aku. Omonganku aneh nggak Rei?" tanya Ares ke arah Reina, yg
tersenyum. "Nggak, kok," Reina meraih tangan Ares dan menggenggamnya. "Kalo begini caranya, kamu
bisa menang lomba pidato antar-RT."
Ares nyengir lebar, lalu mempererat genggamannya.
"Kamu tau, Rei," kata Ares kemudian. "Semua ini, semua perubahan ini, semuanya karna kamu.
Kamu yg membuka hati aku, kamu yg... yg begitu sabarnya nemenin aku, bahkan bertahan di
saat aku bener2 kacau. Aku nggak tau keajaiban apa lagi yg bisa bikin aku lebih bahagia dari
ini."

That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reina tergelak. "Oke, sekarang yg aku tau, kamu tukang gombal."
"Aku nggak gombal," kata Ares cepat2. "Yah, sedikit sih, di bagian akhir..."
Reina pasang tampang cemberut. Ares tertawa kecil.
"Bener kok, Rei," kata Ares lagi, matanya menatap Reina serius.
"Berkat kamu, semua bebanku terangkat. Kamu bener2 seorang malaikan penyelamat bagi aku."
Reina tersenyum sesaat, tapi lantas memandang Ares bimbang. "Tapi Res, masih ada yg belum
kamu selesaiin." Ares memandang Reina heran, wajahnya meminta penjelasan lebih lanjut.
"Orion," kata Reina lagi.
Ares kembali menatap ke luar jendela. Didengarnya Orion menutup pintu depan dan suara motor
dinyalakan. Jelas dia akan berangkat ke kampus untuk berlatih basket.
"Kamu tenang aja, Rei," kata Ares kemudian. "Kami bakal baik2 aja kok."
Tapi Reina tahu, Ares sendiri tak yakin dengan ucapannya.
"Nice shot!" seru Reno ketika Orion berhasil memasukkan bola ke dalam ring.
Raul memandang Orion tidak suka, sementara Orion tidak mengacuhkannya dan berjalan ke
bangku untuk mengambil handuk. Orion sedang mengelap wajahnya ketika Raul mendekatinya.
"Lo nggak ambil serius kata2 gue kemaren rupanya," kata Raul sambil berpura-pura minum
untuk menghindari tatapan curiga Reno.
"Buat apa?" tantang Orion.
Raul terdiam, dan Orion dapat melihat dia mengepalkan kedua tangannya dengan gemetar.
"Denger, gue butuh ini, oke?" katanya dengan nada mengancam. "Kalo lo pikir ini cuma sekadar
turnamen, ini bukan buat gue. Gue bener2 butuh main di turnamen ini."
"Kenapa?" balas Orion ketus. "Oh, tunggu. Jangan dijawab. Gue rasa gue tau kenapa. Ini karna
Lala, kan?" "Bukan," sahut Raul dingin sambil melirik Lala yg sedang duduk di bangku penonton. "Ini soal
hidup dan mati gue."
"Oh, jadi kalo lo nggak ikut final, lo bakal menggelepar, trus mati, gitu?" sindir Orion, lalu
terkekeh. "Lo tau kan, bokap gue mantan petinggi basket terkenal," sergah Raul. "Kalo gue nggak main,
gue nggak akan bisa dilirik manajer tim2 besar! Dan bokap gue bakal bunuh gue!"
Orion menatap Raul galak. "Sejak kapan lo jadi pengecut gini, heh?" sahut Orion. Wajahnya
hanya berjarak tiga senti dari wajah Raul. "Sekarang lo minta belas kasihan gue untuk main di
final cuma karna lo takut bokap lo?"
Raul tampak terhina sesaat, tapi itu tak bertahan lama. Dia kembali mengeluarkan wajah
liciknya, lalu mencondongkan tubuhnya ke Orion sehingga mereka sekarang hanya berjarak
beberapa mili saja. "Gue udah meminta lo baik2, bahkan ngasih tau alasan kenapa gue pengen banget final ini, tapi
lo kayaknya terlalu sombong. Jangan salahin gue kalo terjadi apa2 nantinya. Inget itu," ancam
Raul, lalu bergerak pergi.
"Kalo lo emang pengen banget, kenapa lo nggak berusaha?" sahut Orion kesak.
Raul tak menjawabnya. Dia berjalan kembali ke lapangan, sambil berusaha menahan rasa sakit
di lututnya yg sudah setahun ini menderanya.
Ares merebahkan dirinya di sofa. Hari ini, sesuatu yg besar telah terjadi padanya, pada hidup
dan cita-citanya. Ares sudah mendaftarkan diri sebagai siswa sekolah penerbangan di Deraya
Flying School di bandara Halim Perdana Kusuma. Tadi pagi setelah kuliah, Ares mengecek
persediaan uang di ATM-nya. Ternyata sudah cukup untuk membiayai sekolahnya.
Ares telah mengambil formulir, mengisinya dengan penuh gairah, lalu diam2 membubuhkan
tanda tangan Ayah yg sudah lama dipalsukannya. Besok, Ares akan melakukan serangkaian tes
kesehatan. Ares yakin dirinya cukup sehat, kecuali keadaan paru-parunya yg sudah memburuk
karna rokok. Tes kesehatan ini diperlukan untuk mendapatkan Student Pilot Permit dari pihak
Deraya. Ares mengempaskan kepalanya ke atas bantal dan membayangkan dirinya menerbangkan
sebuah pesawat jet. Ares melakukan beberapa manuver, membuat semua orang yg menonton di
bawahnya berdecak. Ares menemukan keluarganya di antara orang2 itu, dan dari langit, Ares
bisa dengan jelas melihat Ayah yg tersenyum bangga.
Ares membuka matanya lagi. Ares tak pernah sesemangat ini dalam hidupnya.
Keseluruhan tes berjalan dengan sangat melelahkan. Ares tak tahu apakan dia bisa lulus atau
tidak. Pada saat tes kesehatan tadi, Ares melihat dokter mengernyitkan dahinya saat mengecek
paru-paru Ares melalui stetoskop -dan mungkin akan lebih tercengang dengan hasil rontgen
nanti. Mengenai luka2 di wajah Ares yg seperti menjelaskan bahwa Ares adalah preman
terminal, jelas dokter itu tidak begitu terkesan. Ares sampai lelah karna tes yg berlangsung
sangat lama itu. Sekarang, Ares tinggal menunggu hasil tes kesehatan itu, sambil menyesali hobi merokoknya,
karna bisa saja hal itu menjadi penghambat cita-citanya. Nanti setelah Ares mendapatkan hasil
tes yg baik, baru Ares akan diperbolehkan untuk mendapatkan Student Pilot Permit. Sebelum itu,
harus melakukan tes bahasa Inggris dulu dan Ares yakin untuk hal yg satu ini.
Sepanjang perjalanan ke rumah, Ares tak bisa menurunkan otot bibirnya. Semua orang di bus
disenyuminya. Dia sangat bahagia sekarang, mengetahui cita-citanya tinggal selangkah lagi.
Ares membayangkan akan mengajak Reina terbang ke tempat2 romantis di seluruh dunia.
Ares terduduk tegang saat tiba2, dia teringat sesuatu. Sesuatu yg sangat penting. Reina sudah
terlalu lama berada di Indonesia. Dia pasti akan pulang beberapa hari lagi, dan Ares tidak
menyadarinya. Atau mungkin saja Reina pulang hari ini, Ares tidak tahu lagi. Ares memukul
kepalanya, menyesali kebodohannya karna selama ini tidak pernah bertanya pada Reina. Di sisa
perjalanan, Ares berharap-harap cemas Reina masih di rumah.
Ketika sampai, Ares melihat rumahnya sepi dan gelap. Tak sorang pun ada di sana. Kalap, Ares
menggedor-gedor pintu rumahnya, tapi tak ada yg menyahut.
Ares menjambak rambutnya. Tidak mungkin Reina pergi tanpa memberitahunya. Mungkinkah,
mungkinkah Reina sengaja tidak memberitahunya untuk membiarkannya pergi ke Deraya tanpa
beban" Ares kembali menggedor-gedor pintu rumahnya keras2, darahnya sudah mencapai kepalanya.
"Kalo begitu caranya ngetok pintu, yg ada pintunya jebol," kata Orion dari belakang Ares.
Ares berbalik, lalu mendapati Orion sedang berjalan ke arahnya. Orion melewatinya untuk
membuka pintu sementara di belakangnya, tampak Ibu yg sedang mengangkut turun belanjaan,
Ayah yg sedang mengunci mobil, dan Reina yg sedang tertawa-tawa sambil membawa sebuah
bungkusan. Entah harus lega atau kesal, Ares hanya bergeming di tempatnya semula. Ibu melewatinya
bingung, Ayah juga, tapi Reina berhenti di depan Ares melambai-lambaikan tangannya yg lentik
di depan wajah Ares. "Res" Kenap-"
"Sini," kata Ares dingin, lalu menarik tangan Reina ke luar rumah dan membawanya ke taman.
Reina sendiri menatap punggung Ares bingun.. "Ada apa sih?"
"Kamu mau bilang, atau kamu sengaja nunggu aku lupa, trus tiba2 mati shock waktu tau kamu
harus pulang ke Amerika mendadak?" sahut Ares keras.
Reina terdiam sesaat, tatapannya berubah sedih. Reina menggigit bibirnya keras2, tak langsung
menjawab pertanyaan Ares. Ares menyipitkan matanya curiga, lalu menghela napas.
"Ya ampun, kamu udah mau pulang. Iya, kan?" sahut Ares lagi. "Kamu habis belanja buat oleholeh, ya kan" Kamu udah mau pulang, kan?"
Reina membiarkan Ares berteriak-teriak. Reina sebenarnya tak ingin membuat Ares sedih, tapi
bagaimanapun, cepat atau lambat, rencananya untuk pulang pasti akan diketahui Ares.
"Dan aku orang terakhir yg tau," dengus Ares kesal. "Hebat banget."
"Res, aku... aku sebenernya... nggak mau pulang, kamu tau, kan?"
"Terus kenapa kamu pulang?" sambar Ares cepat.
"Orangtuaku... Mereka pengen nyariin aku universitas di sana... Aku harus ngurusin suratsuratku..."
Ares berhenti berteriak untuk berpikir. Reina memang sudah lulus SMA, dan harus mencari
universitas. Tiba-tiba, terlintas ide gila di otak Ares.
"Kenapa nggak di sini?" tanya Ares.
"Aku juga pengennya begitu, jangan pikir aku nggk pernah kepikiran itu," Reina mendesah. "Tapi
orangtuaku nggak ngebolehin. Mereka pengen aku sekolah di Amerika."
"Terus?" kata Ares sinis. "Kamu pikir gimana dengan kita" Kamu mau pergi lagi ke Amerika
sana, sekolah selama lima tahunan, terus aku" Jadi apa yg udah kita lakuin selama ini, sia-sia
aja" Kita ketemu buat berpisah lagi?"
"Res, kita udah pernah dipisahin sepuluh tahun sebelumnya," kata Reina, terdengar lelah. "Lima
tahun aja, apa susahnya" Lagi pula, jangan pernah berpikir kalo aku seneng pisah lagi sama
kamu." Ares tahu dia memercayai kata2 Reina, tapi berpisah lagi dengannya jauh lebih sulit daripada
menerimanya dulu. Ares sudah mulai terbiasa hidup dengan Reina di sisinya, dan sekarang Ares
harus menerima kenyataan bahwa Reina harus pergi lagi dari sisinya.
"Kita bisa telepon-teleponan. Kita bisa saling e-mail. Kita bisa saling mengunjungi kalo lagi
liburan," kata Reina lagi.
"Nggak akan sama," Ares menggeleng-gelengkan kepala, ekspresinya berubah murung.
"Denger," kata Reina sabar. "Itu satu-satunya cara supaya kita bisa terus bareng. Kecuali kalo
kamu mau ngelupain aku aja."
Ares menatap Reina marah, merasa kata-katanya barusan tidak masuk akal. Reina tersenyum,
lalu membelai lembut pipi Ares.
"Res, ini cuma cobaan kecil buat kita. Kecil aja. Dan nggak mungkin kita nggak bisa
melewatinya. Ya, kan?" tanya Reina lagi.
Ares menatap Reina, lalu seolah ada kekuatan yg menyihirnya, kepalanya mengangguk.
Sebenarnya Ares tak mau menerima kenyataan bahwa Reina akan pergi, tapi Ares mempelajari
sesuatu dari Reina. Dia telah dewasa di banyak hal, bahkan jauh lebih dewasa dari Ares yg lebih
tua beberapa tahun darinya. Ares harus menerima bahwa Reina juga mempunyai cita-cita, dan
mempunyai orangtua yg harus dibuat bangga.
Reina tersenyum, lalu merengkuh Ares dan memeluknya. Sebenarnya, Ares tak menginginkan
ini, karna ini seperti pelukan terakhir baginya. Entah mengapa, Ares merasakan firasat itu, tapi
dia tidak membicarakannya dengan Reina. Ares membiarkan Reina memeluknya untuk
beberapa saat. "Apa tuh?" tanya Ares kemudian, melirik ke arah bungkusan yg masih dibawa Reina.
"Oh," Reina melepaskan Ares dan mengacungkan bungkusan itu kepadanya. "Untuk juara yg
bakal jadi pilot." Ares nyengir kaku, lalu mengambil bungkusan itu dan membukanya. Sebuah pigura besar berisi
fotonya dan Reina yg dibuat di mal, yg ternyata sudah diperbesar sedemikian rupa.
"Um... aku harap sih, itu jadi pigura pertama yg pernah ada di kamar kamu," kata Reina hati2.
"Pastinya," kata Ares membuat senyum Reina merekah.
Ares memandangi foto itu sesaat, lalu detik berikutnya wajahnya murung lagi.
"Jadi," katanya setelah beberapa saat terdiam. "Kapan kamu pulang?"
"Lusa, setelah pertandingan Orion," jawab Reina pelan. "Kamu nonton ya" Abis itu, anterin aku
ke bandara." Ares hanya mengangguk-angguk kecil. Reina memandangnya sedih, karna tahu Ares
merasakan hal yg sama dengannya. Reina benci berpisah dengan Ares. Tapi dalam hatinya, dia
yakin tak akan terjadi apa-apa pada hubungan mereka.
"Res," kata Reina membuat Ares berhenti melamun. "Mau nggak kamu janji sama aku?"
Ares menatap Reina dengan alis bertaut. "Apa?"
"Janji ya, kamu udah baikan sama Orion sebelum aku pulang. Janji, Res."
Ares hanya menatap Reina, tanpa memberikan jawaban.
Ares terbangun di sofa ketika Ayah membangunkannya. Ares mengerjapkan matanya, kemudian
menganga seolah tak percaya tadi Ayah yg membangunkannya.
"Bangun, Res, udah siang. Ayah mau nonton berita," kata Ayah sambil sembarangan
menempatkan pantatnya di sebelah Ares.
Ares melongo menatap Ayah, tapi bergeser memberikan tempat baginya. Detik berikutnya, dia
ikut menonton dengan senyum konyol di wajahnya. Sudah terlalu lama Ares tidak sedekat ini
dengan Ayah. "Di berita ada yg lucu ya?" tanya Orion -tanpa bermaksud benar2 bertanya- sambil melangkah
ke luar rumah untuk latihan terakhir sebelum turnamen.
Ares meliriknya sebal, lalu pandangannya bertemu dengan Reina yg sedang membantu Ibu di
dapur. Reina malah tersenyum geli. Ares menjulurkan lidah kepadanya, lalu melirik Ayah yg
tampaknya tenang2 saja menonton berita.
"Res, besok kamu yg antar Reina, ya. Ayah nggak bisa," kata Ayah tiba2.
"Iya," jawab Ares pendek. Mau tau mau, perutnya kembali terasa mual mengingat besok Reina
harus pulang. Ares menoleh ke arah Reina, yg sedang tertawa-tawa karna terciprat minyak goreng. Tiba2,
Ares mendapatkan ide gila.
Ide yg sangat gila. "Ri, si Raul akhir2 ini kenapa ya" Kok sering banget keliatan ngobrol sama lo" Nggak biasanya."
Orion mengencangkan tali sepatunya, lalu mendongak menatap Raul yg sedang berusaha matimatian di lapangan menghadapi Reno. Orion menoreh ke arah Lala yg tampak bingung.
"Dia nggak pernah cerita sama lo?" tanya Orion, dan Lala menggeleng. Orion mendesah. "Dia
minta final besok." Lala hanya mengerjapkan matanya selama beberapa detik, tanda tak mengerti. Orion mendesah
lagi. "Dia mau gue nyerahin posisi gue buat dia di final besok, La," jelas Orion. "Katanya sih,
bokapnya bisa bunuh dia kalo dia nggak main."
Mulut Lala menganga dan matanya melebar saat Orion selesai berbicara. "Yg bener lo" Gue sih
tau bokapnya mantan pemain basket, tapi dia nggak akan bunuh si Raul, lah!"
"La, besok banyak manajer tim besar mau dateng, nyari bibit baru. Jelas aja Raul mau banget
kesempatan ini. Tapi gimana bisa kalo mainnya aja kayak begitu," Orion memerhatikan Raul yg
kena marah Reno karna tak bisa melakukan tembakan tiga angka.
Baru sedetik Orion selesai berbicara, Raul mendelik ke arah mereka, lalu memelototi Orion
dengan penuh rasa benci. "Oke, gue bisa liat dia benci banget sama lo. Dan gue yakin, bokapnya bener2 bakal bunuh dia
kalo dia nggak main," kata Lala, sedikit ngeri melihat ekspresi Raul.
"Terus gimana" Dia harus berusaha dong, kalo dia mau main. Kalo nggak, Reno bakal maksa
gue main penuh. Yg repot kan gue juga," kata Orion, lalu bangkit dan masuk ke lapangan.
Ares pulang ke rumah dengan dada berdegup kencang. Belum pernah dia merasa setegang
sekaligus sekonyol ini sebelumnya. Saat Reina melintas, keringat dinginnya mengucur deras dan
detak jantungnya bertambah cepat tiga kali lipat.
"Hei, abis dari mana?" tanya Reina saat melihat Ares di pintu depan.
"Hm... Rei, ikut aku ke taman sebentar," kata Ares sambil memainkan jari-jarinya. Konyol sekali.
Reina sampai bingung melihatnya.
"Hah" Oh, oke," katanya, lalu mengikuti Ares ke taman.
Setelah sampai di bawah pohon akasia mereka, Ares tidak segera berbicara atau melakukan
apa2. Baru kali ini Reina melihat Ares salah tingkah seperti ini.
"Jadi?" tanya Reina setelah beberapa saat yg menegangkan bagi Ares.
"Mm... Rei, apa kamu... maksud aku, apa kita... mm..."
Reina hanya bengong menanti kelanjutan kalimat Ares yg bahkan tidak bisa dibilang kalimat.
Ares malah mengepal-ngepalkan tangannya di balik celananya.
"Res?" "Kemaren kan kamu udah ngasih aku hadiah, makanya sekarang, aku mau kasih kamu hadiah,"
kata Ares lancar, setelah bisa mengumpulkan seluruh tenaganya.
"Oh, itu doang," Reina tertawa geli. "Aku kirain apaan. Mau kasih hadiah apa" Pasti sesuatu yg
nggak romantis deh," kata Reina lagi.
"Aku nggak tau ini romantis apa nggak," kata Ares, masih terlihat agak salah tingkah, terlihat
sangat cute bagi Reina. "Yg jelas, bukan barang mahal."
"Nggak peduli," kata Reina sambil nyengir. "Yg penting, kamu mau kasih aku sesuatu. Mana,
mana?" Ares memandang Reina ragu2 sesaat, lalu mengorek-ngorek sesuatu dari saku celananya dan
mengeluarkan sesuatu yg berkilau. Sebuah cincin bermata batu indah yg berkelip-kelip ditimpa
sinar matahari. Ares menyodorkan cincin itu pada Reina yg melongo.
"Ap... Res... ini...?" Reina menekap mulutnya. "Ya Tuhan, Ares!"
Ares mendesah pasrah, lalu menurunkan tangannya, memandang cincin berwarna hijau muda
itu. "Yah, udah aku sangka. Barang murah sih. Abis, duitku udah kepake buat sekolah penerbangan,
jadi-" "Stop-stop!" teriak Reina lalu merebut cincin itu dengan buas dari tangan Ares yg melongo.
"Malah nggak nyeni lagi kalo kamu ceritain sejarahnya gitu!" sahut Reina lagi sambil mengagumi
keindahan cahaya yg dibentuk batu itu.
"Ng... kamu suka emangnya?" tanya Ares tak yakin.
"Ya suka lah!" jerit Reina histeris. "Ya ampun, aku nggak nyangka kamu bisa juga seromantis
ini!" "Ng... sebenernya, aku mau beli yg lain sih, tapi karna duitnya nggak cukup..."
"Jangan ngerusak suasana dong!" Reina pura2 cemberut. Ares nyengir melihatnya. "Cute
banget, tau..." Ares mengamati Reina yg masih mengagumi cincin itu. Ares benar2 bersyukur Reina tidak shock
atau sebagainya. Reina tiba2 berhenti memandangi cincin lalu menatap Ares.
"Terus?" Reina menantang Ares.
"Terus apa?" tanya Ares pura2 tidak mengerti, padahal Ares tahu betul, cincin bukan benda
sepele yg bisa sembarangan diberikan cowok kepada cewek, bahkan yg sudah berpacaran
sekali pun. "Res, kamu nggak ngasih cincin ini begitu aja kan?" tanya Reina lagi.
Rasa dingin menjalari kaki dan tangan Ares saat Reina menatap matanya penuh harap. Tadi,
memang Ares berniat untuk melakukannya, tapi segera mengurungkan niat saat melihat Reina
yg terlihat sangat kecil dan manis.
"Tapi Rei, kamu bahkan baru lulus SMA... Aku sendiri bego kenapa bisa beli cincin itu..."
"Nyesel nih?" tukas Reina sebal. "Kamu mau minta cincinnya balik?"
Ares menatap Reina lekat2. Reina memang masih muda, tujuh belas tahun saja, tapi bukan Ares
tidak bisa memilikinya... Bisa saja lima tahun lagi...
"Res, say that four magic words," pinta Reina.
Ares menelan ludah, lalu mengumpulkan segenap keberaniannya. Reina sudah memberi lampu
hijau, seharusnya Ares bisa lebih baik dari ini.
"Will you marry me?" tanya Ares akhirnya. Dia sendiri tak tahu setan apa yg sudah mengambil
alih tubuhnya, tapi beberapa detik setelahnya Ares tak menyesal telah mengatakannya.
Reina tersenyum lebar, lalu menyodorkan cincinnya pada Ares. Ares sempat bingung. Tapi
ketika Reina menyodorkan tangan kanannya, Ares mengerti. Ares segera menyelipkan cincin itu
di jari manis Reina, lalu menggenggamnya.


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak keberatan kan, kalo masa tunangannya lima tahunan?" tanya Reina manis.
Ares tersenyum, lalu menggeleng. Ares tidak percaya ini. Dia bahkan tidak geli saat mendengar
dirinya sendiri sudah bertunangan dengan seseorang yg berumur tujuh belas tahun pada saat
dirinya sendiri baru berumur dua puluh tahun. Karna Ares tahu, Reina-lah satu-satunya orang yg
tepat untuknya, tidak peduli berapa tahun lagi. Tak akan ada yg bisa menggantikan tempatnya,
Ares tahu betul hal ini. "Cium dong," kata Reina, membuat Ares bengong sesaat, tapi kemudian tersadar saat tangan
Reina terangkat. "Ogah," tolak Ares sambil pura2 menepis tangan Reina.
Reina merengut. "Dasar cowok buta romantis."
Ares hanya terkekeh, lalu mengusap rambut Reina yg halus. Ares sangat menyayangi gadis ini
sampai dia tak mau melukainya sedikit pun. Rasa sayang Ares sudah mencapai tahap lain
dalam hubungannya dengan Reina.
"Res, nyanyiin lagu dong," pinta Reina manja. "Tapi jangan yg kamu nyanyiin waktu di The
Club," tambahnya cepat2.
Ares mengernyit. "Lagu apa?"
"Apa aja," jawab Reina. "Please..."
Ares menghela napas, berpikir lagu apa yg cocok untuk seorang Reina. Lalu dia mulai menyanyi
sambil menarik tangan Reina dan mengajaknya berdansa. Reina tertawa sebentar, lalu
merangkul Ares dan mulai berayun mengikuti irama yg dinyanyikan Ares. Reina sampai terpekik
saat Ares baru memulai lagunya.
"I could stay awake just to hear you breathing,
Watch you smile while you are sleeping,
While you're far away and dreaming,
I could spend my life in this sweet surrender,
I could stay lost ini this moment forever,
When every moment spent with you is a moment I treasure,
I don't wanna close my eyes,
I don't wanna fall asleep,
Cause I'd miss you babe, And I don't wanna miss a thing,
Cause even when I dream of you,
The sweetest dream would never do,
I'd still miss you babe, And I don' wanna miss a thing."
"Aku nggak nyangka seorang Ares bisa ngelakuin ini semua," bisik Reina sambil tersenyum
bahagia. "Maksudku, kamu hari ini manis banget. Ngelamar aku, ngajak dansa, dan nyanyi 'I
Don't Want to Miss a Thing' buat aku. Really, I can't expect more than this."
Ares tertawa kecil. "Kalo gitu, bales dong lagunya," kata Ares, membuat Reina berpikir. Tak
lama, Reina mulai menyanyi. Ares tak menyangka suaranya semerdu ini.
"From this moment life has begun
From this moment you are the one
Right beside you, is where I belong
From this moment on From this moment I have been blessed
I live only for your happiness
And for your love I'd give my last breath
From this moment on I give my hand to you with all my heart
Can't wait to live my life with you, can't wait to start
You and I will never be apart
My dreams came true because of you
From this moment as long as I live
I will love you, I promise you this
There is nothing I wouldn't give
From this moment on"
"Res, kamu udah bener2 ngewujudin impian aku," Reina menatap Ares dalam2, lalu
memeluknya. "Makasih ya." Ares membiarkan wajahnya terbenam di antara rambut halus dan wangi milik
Reina. Ares tak pernah menyangka akan sebahagia ini, dan merasa tak akan bisa lebih bahagia
lagi. "Aha!" sahut Reina tiba2, lalu melepaskan pelukannya.
"Aku tau! Aku juga bisa ngewujudin impian kamu!" Ares mengerutkan dahi, lalu ketika Reina
memainka kedua alisnya, Ares mendadak mengerti. Ares segera mencabut pikirannya bahwa
dia tak akan bisa lebih bahagia lagi.
"Ayo Res, aku mau naik roller coaster!" sahut Reina sambil berlari memasuki Dufan dengan
ceria. "Ayo buruan! Nanti keburu panjang antreannya!"
Ares membiarkan Reina berlari, lalu memandang berkeliling Dufan. Baru kali ini selama dua
puluh tahun hidupnya, Ares menginjakkan kakinya di Dufan. Ares baru tahu bahwa di Dufan
terdapat banyak Teletubbies berkeliaran. Ares baru tahu lantai Dufan terbuat dari terakota.
Ares tak bisa berhenti nyengir. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ares merasakan
kegairahan, seakan masa anak-anaknya yg hilang kembali begitu saja. Ares bahkan tertawa
kepada siapa pun yg dilihatnya, terutama anak2 kecil yg berlari gembira sambil memegang es
krim. Ares menatap sebuah keluarga kecil yg melintas. Anak laki-lakinya yg berumur tujuh atau
delapan tahun tersenyum kepadanya. Ares balas tersenyum, lalu berhenti berjalan, menikmati
udara di sekitarnya. Ares tidak percaya inilah yg menjadi impiannya selama ini. Inilah hal yg
pernah ditulisnya di surat permohonan. Hanya saja, tidak ada Ayah dan Ibu yg menemaninya.
Ares membiarkan rambutnya dimainkan angin. Reina, yg tadi sudah duluan, kembali melihat
Ares. Reina tersenyum memandang Ares. Reina tahu hanya ini yg bisa dilakukannya untuk Ares.
"ARES!" sahut Reina, membuat Ares tersadar. "Sini cepet! Kita main roller coaster!"
Ares mengangguk, lalu melangkah pasti ke arah Reina yg merentangkan tangannya lebar2.
Ares masih tidak bisa berhenti tersenyum mengingat kejadian tadi siang bersama Reina. Ares
akan menyimpan sebagai memori indahnya.
Tadi siang, Ares merasakan bagaimana serunya menaiki roller coaster. Juga bagaimana
asyiknya bermain arung jeram. Dan merasakan ketinggian dari bianglala. Ares sempat merasa
dirinya terlalu konyol untuk merasa kelewat senang telah bermain di Dufan, tapi Ares tak peduli.
Bahkan, Ares sudah berjanji di dalam hati akan mengajak Ayah dan Ibu ke sana suatu saat.
Ares benar2 tidak bisa tidur, bahkan setelah coba memejamkan matanya selama beberapa
menit. Ares melonjak kaget ketika terdengar suara pintu kamar terbuka.
Orion muncul dari kamarnya, lalu menatap Ares datar. Ia menghampiri Ares.
"Lo belom tidur kan" Geseran," Orion duduk di kaki Ares yg masih terjulur.
Ares membenarkan posisi duduknya, lalu memandang Orion heran. "Kenapa lo?" tanya Ares
akhirnya. "Nggak bisa tidur," jawab Orion singkat.
"Oh," gumam Ares sambil menonton TV yg sudah dinyalakan Orion. Ares bisa maklum. Besok
final, dan Orion pasti terlalu tegang sampai tidak bisa tidur.
Selama beberapa menit, tidak ada yg berbicara. Orion menyibukkan diri mencari-cari channel yg
sesuai -yg sepertinya tidak bisa ditemukannya. Ares menggaruk-garuk kepalanya, dan tanpa
sengaja Orion melihat cap di tangan Ares.
"Lo abis ke Dufan?" tanya Orion, membuat Ares sempat kaget. Dia melihat tanda di tangan
kanannya sendiri. "Iya," jawab Ares pendek, merasa terlalu konyol untuk membicarakannya dengan Orion.
"Oh," kata Orion terdengar maklum, membuat Ares berang.
"Kenapa emang" Kalo mau ketawa, ketawa aja," kata Ares panas.
"Nggak ada yg lucu," jawab Orion tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV.
Ares menatap Orion sebentar, lalu kembali menekuni layar TV. Di sana tampak para pemain
bola dari Intermilan dan AC Milan sedang berlarian mengejar bola. Untuk beberapa saat,
keduanya memerhatikan pertandingan itu.
"IP gue," kata Orion tiba2, membuat Ares terkejut, tidak menyangka Orion yg sedang berbicara.
"Kemaren nggak begitu bagus. Gue bohong sama Ayah."
Ares tahu dia mengangakan mulutnya sedikit, tidak percaya atas pernyataan Orion. Kenyataan
bahwa Orion membicarakan sesuatu yg tidak masuk akal kepadanya pun membuatnya bingung.
"Apa pentingnya lo kasih tau gue?" tanya Ares setelah bisa menguasai diri.
Orion mengedikkan bahu. "Mungkin, cuma pengen nunjukin kegagalan gue. Apa membantu?"
tanyanya sambil menoleh kepada Ares yg salah tingkah.
"Hah" Eh, yah, mungkin," kata Ares tak jelas.
Ares tak habis pikir mengapa Orion mengatakan sesuatu yg menurutnya mungkin akan
membantunya. Ares benar2 tak tahu mengapa Orion melakukannya. Walaupun demikian, Ares
tidak senang. Mungkin sangat berguna kalau Orion mengatakannya dulu, di saat Ares sedang
terpuruk, tapi sekarang Ares tidak senang mendengarnya. Ares sudah benar2 bahagia, sampai2
pengakuan kegagalan Orion tiak bisa membuat Ares lebih bahagia lagi.
"Yah, semua orang pernah gagal," kata Ares kemudian. "Tapi peduli amat sih. Lo kan pasti bisa
bangkit lagi." Orion menoleh untuk melihat wajah kakaknya yg salah tingkah, lalu mengalihkan pandangannya
ke TV. Sudut kanan bibir Orion mengangkat sedikit. Ares benar2 tidak berbakat memberi
nasihat. Akhir2 ini, semua berjalan mulus bagi Ares. Sangat2 mulus sampai terasa nyaris tidak wajar.
Ares amat berharap keadaan ini bisa berlangsung selamanya.
Bab 8 Losers Never Win ORION merasa sekujur tubuhnya dibasahi oleh keringat dingin. Dia pun sangat2 tegang
sehingga tak bisa merasakan kedua kakinya. Orion melirik cemas ke arah penonton yg semakin
memadati halaman kampus untuk menonton final.
"Tenang, woy," Odi tertawa geli melihat tampang Orion. "Santai aja."
Orion meringis tak jelas pada Odi, lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada Raul yg sedang
berbicara dengan seseorang di tribun atas. Pasti ayahnya, kalau dilihat dari sikap hormat Raul
yg hampir berlebihan. Orion juga dapat melihat beberapa utusan dari tim2 besar IBL
berdatangan dan duduk di tenda VIP. Orion sekarang serasa menelan sebongkah batu besar.
"Eh, ngomong2, si Lala sama Reina jadi akrab ya?" kata Odi lagi, membuat Orion menoleh untuk
melihat Reina dan Lala. Mereka sedang duduk bersama di tribun, tepat di seberang Orion berada, dan mereka tampak
akur. Kedua gadis itu tertawa-tawa sambil memegang bendera kampus, lalu mengibarngibarkannya sambil bernyanyi entah apa. Orion hanya nyengir melihatnya. Orion benar2 tidak
mengerti kaum hawa. Reina dan Lala menangkap tatapan Orion, lalu melambai ke arahnya. Orion balas melambai, lalu
mendadak tersadar. Ares tidak datang. Orion merasa setengah tenaganya lenyap tertiup angin.
Entah mengapa, Orion benar2 mengharapkan kedatangannya di pertandingan penting ini,
melebihi siapa pun. Orion ingin melihat Ares sesekali bangga padanya.
Raul melintas di depannya sambil menatap tajam. Orion balas menatapnya. Tanpa dia duga,
Raul malah mendatanginya.
"Gue sebenernya nggak mau ngelakuin ini," Raul menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi lo
udah maksa gue." "Apa sih maksud lo?" tanya Orion bingung.
"Setelah pertandingan ini, lo bakal tau," kata Raul geram. "Jadi, kalo sampe terjadi, jangan
salahin gue." "Anceman kosong," Orion meludah. "Lo nggak jantan. Lo kalah, makanya lo bakal balas
dendam. Gue nggak takut."
"Oke, kalo gitu," kata Raul enteng. "Kita liat aja nanti."
Raul berbalik lalu bergabung dengan tim. Orion menghela napas, lalu bergerak mengikutinya
untuk bergabung dengan tim. Orion memang merasa ada sesuatu yg salah, tapi dia tidak bisa
mundur lagi. Dia harus melakukannya seperti laki2, dan Ares pasti bangga karnanya.
"Oke," kata Reno dengan suara khawatir yg dikuat-kuatkan. "Kita punya tim yg bagus. Kita
punya strategi bagus. Kita datang ke sini untuk menang, kan?"
Suara Reno tenggelam oleh riuh rendah para penonton yg sudah memenuhi lapangan.
"Selamat datang di UII Cup, Turnamen Bola Basket antarkampus 2005, antara Universitas
Kencana dan tuan rumah, Universitas Internasional Indonesia!" suara announcer membahana,
membuat suasana semakin bising.
"POSISI STARTER KAYAK KEMAREN!" sahut Reno mengatasi suara announcer dan penonton
yg menggila. "Aryo, Odi, Heru, Faisal, Orion!"
Anak2 mengangguk mengerti, sementara Reno menjelaskan strategi. Orion malah hampir2 tak
mendengar suara Reno. Dia hanya memikirkan akan bermain sebaik mungkin sehingga
membuat semua orang bangga.
"Dari Universitas Kencana, dengan nomor punggung 5, Mario! 17, Hernan! 11, Arman! 22, Rio!
10, Simon!" Suara riuh rendah mengiringi saat para pemain basket dari Universitas Kencana memasuki
lapangan. "Dan dari Universitas Internasional Indonesia, yg pastinya sudah ditunggu-tunggu, dengan
nomor punggung 13, Aryo! 9, Odi! 17, Heru! 5, Faisal! Dan, pada nomor punggung 21, sang
kapten, Orion!" Orion merasakan telinganya mulai pekak karna kebisingan yg luar biasa saat suaranya
disebutkan. Dia menarik napas mantap, lalu mulai berlari-lari kecil memasuki lapangan.
Sebelumnya dia sempat melirik Raul yg menatapnya benci.
Orion melemaskan semua ototnya sebelum bersalaman dengan anak2 dari UK. Orion mengenali
salah satu dari mereka. Simon, si playmaker dari UK adalah teman SMA-nya dulu, dan juga satu
tim basket. Orion melemparkan cengiran kepadanya yg segera dibalas.
Wasit sudah memasuki lapangan. Orion segera mengambil tempat. Tangannya sudah basah
karna keringat, tapi Orion harus tetap fokus.
"Mulai!" Orion dengan gesit menyambar bola hasil lemparan sang wasit dan bola itu ditangkap oleh Odi.
Orion segera berlari, melepaskan diri dari kawalan Hernan, lalu Odi dengan tanggap menerima
sinyal Orion. Odi mengoper bola itu kepada Orion, yg segera dilesakkan ke ring.
"Fast break yg manis dari Orion, 2-0 untuk tim UII!"
Orion kembali sigap mengawal Hernan. Dan harus tetap fokus...
"Assist pada Simon... Tembakan tiga angka yg bagus!"
Terdengar seruan2 marah dari penonton. Simon nyengir kepada Orion -yg dibalas gugup. Orion
tiak tahu Simon sudah berkembang sepesat ini. Bola tadi masuk tanpa menyentuh ring sedikit
pun. "Sekarang bola ada pada Heru... dioper ke Odi... Orion sudah ada di depan, assist, jump shot!
AH! Orion gagal... di-rebound oleh Hernan..."
Sial. Orion merasa konsentrasinya pecah karna memikirkan Simon. Dia kembali fokus dan
berhasil merebut bola dari tangan Hernan.
"Steal yg bagus! Orion tidak terjaga... Three points! 5-3 untuk tim UII!"
Penonton bersorak heboh. Lala bahkan menumpahkan minumannya.
Pertandingan berjalan alot selama lima belas menit kuarter pertama. Hasil sekarang sudah 2019. Orion terduduk saat time out.
"Orion, lo udah bagus. Pertahanin permainan lo. Jaga kondisi lo," kata Reno, tampak senewen.
Orion tak menjawab. Dia hanya menatap Reno sebal. Hanya dirinya pemain yg bermain penuh
selama kuarter pertama tadi, dan kontribusinya sangat besar. Dari dua puluh poin milik timnya,
15 diantaranya dicetak Orion.
"Di, lo jaga Simon yg bener. Dia berbahaya," Reno memberikan arahan kepada Odi yg hanya
menggumam tak jelas sambil meneguk minumannya.
Kemudian, kuarter kedua dimulai. Lagi2, Orion sempat menangkap raut wajah kesal Raul. Tapi
Orion tak punya waktu untuk memedulikannya.
"Bola di Mario, dioper di Arman... Steal dari Aryo, assist ke Orion... masuk! 22-19 untuk tim UII!"
Lima belas menit berikutnya terasa sangat berat bagi Orion. Reno belum juga menggantinya.
Timnya memang masih unggul 40-37. Tapi dengan keadaannya sekarang, Orion yakin timnya
akan tersusul apabila dia tidak diganti.
"Bola ada pada Simon, dia lepas dari kawalan Odi, three points! Sekarang kedudukan 40 sama!"
Orion mengumpat kesal. Dia butuh istirahat. Dia merasa sebentar lagi paru-parunya akan pecah.
"Bola ada pada Heru, assist pada Odi, Orion, mencoba three points... gagal! Rebound oleh
Hernan... Ini bola keempat kalinnya yg miss dari Orion... tampaknya dia mulai kelelahan...
sebagai catatan, hanya Orion yg belum diganti oleh pelatih Reno... Sepanjang pertandingan dia
sudah mencetak 35 poin!"
"Dengar itu, sialan!" umpat Orion kesal sambil melirik Reno yg tampak tak acuh dan malah
meneriaki Odi yg sedang mengawal Simon.
Kuarter kedua selesai. Tim UII sekarang tertinggal 42-50. Reno mengamuk tak karuan.
"Pengawalan lo Di, ancur! Lo liat kan beberapa kali Simon bisa nyetak three points gara2 lo
ketinggalan! Terus lo Ri! Ngapain aja lo sepuluh menit terakhir" Lo cuma bisa nyetak dua
angka!" sahut Reno kalap.
"Lo nggak kasih gue istirahat! Gue capek!" Orion balas menyahut.
"Oh, jadi lo capek" Lo mau diganti" Boleh, tapi jangan harap lo main lagi!" seru Reno membuat
semua orang bengong. Orion hanya mengumpat pelan sambil menendang botol minumannya. Beberapa menit
kemudian kuarter tiga dimulai. Orion menarik napas dalam2.
"Oh, ternyata playmaker dari tim UII kembali masuk! Entah apa strategi coach Reno, tapi
sepertinya hanya Orion yg diandalkan... padahal mereka memiliki three points shooter, Raul!"
Orion sekali lagi melirik Raul, yg meremas botol minumannya sampai gepeng. Sebenarnya Orion
merasa bersalah karna Raul sama sekali tidak dimainkan oleh Reno. Tapi semua ini diluar
kuasanya. Entah kenapa, Reno malah memainkan Orion secara penuh, tapi tidak memberikan
kesempatan bagi Raul. Padahal, saat ini Orion akan dengan senang hati diganti untuk
beristirahat sebentar. "Bola ada di Orion, dia mencoba mengulur waktu... Tampaknnya pemain ini sudah lelah... Dioper
ke Faisal, ke Damar... Damar adalah pemain pengganti Aryo... Assist dari Odi ke Orion, Odi
sudah melakukan rebound sebanyak 5 kali sepanjang pertandingan... Three points Orion, gagal!
Rebound oleh Hernan! Simon... three points! Tim UII semakin jauh tertinggal... 42-53!"
Orion mengumpat lagi. Dia harus melakukan sesuatu. Harus. Tak peduli kalau paru-parunya
sampai pecah dan urat2 kakinya putus.
"Bola ada pada Odi... dioper ke Orion... dia melesat lepas dari kawalan Hernan, three points!
Tampaknya tim UII mulai bangkit! 45-53!"
Orion bisa mendengar kembali teriakan2 heboh dari pinggir lapangan yg rasanya tadi mulai
menghilang. Orion merasakan semangatnya kembali berkobar.
"Bola pada Mario... Steal! Orion tidak dikawal... Three points! Ini adalah three points ketujuh kali


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yg dibuat Orion sepanjang pertandingan! 48-53 untuk tim UII! Sekarang bola ada pada Arman...
mencoba mengulur waktu... STEAL LAGI! Three points ke delapan oleh Orion! Benar2 luar biasa
permainan Orion hari ini..."
Orion nyengir saat Odi menepuk kepalanya. Orion menikmati saat2 ini, saat semua orang
memanggil namanya keras2.
Kuarter keempat berakhir dengan poin 59-60 untuk tim UK. Orion sendiri sudah mencetak empat
puluh tujuh poin. Sekarang dia terduduk kelelahan di pinggir lapangan.
"Begitu dong Ri kalo maen! Yg semangat!" sahut Reno senang. "Kita sekarang cuma ketinggalan
satu angka! Kita bisa menang!"
"Yeah, dan playmaker kita bisa mati," gumam Odi disambut ringisan oleh Orion.
Orion menghela napas, lalu melirik le arah penonton. Orion masih belum melihat Ares.
Ares mengawasi Orion dari atas gedung. Si pelatih bodoh itu sepertinya sudah gila karna tidak
mengganti Orion. Orion sekarang tampak terkapar tak berdaya.
Bukannya Ares tak senang, dia justru senang Orion bermain sangat bagus dan sebagainya. Tapi
dia juga tak ingin melihat Orion mati konyol karna kelelahan bermain basket.
Ares sudah melihat perjuangan Orion. Ares hampir saja merasa bangga karnanya. Mungkin
memang bangga, tapi sedikit rasa gengsi menyergapnya. Ares tak pernah merasa apa yg
dilakukan Orion membanggakan. Ares dulu merasa basket adalah hal konyol yg dilakukan Orion
untuk memikat gadis2. Tapi melihat Orion berjuang keras seperti ini membuatnya sadar, kalau
setiap orang memiliki cita2 yg berbeda-beda. Basket adalah hal yg ingin dilakukan Orion,
sebagaimana Ares menginginkan menjadi pilot. Orion mencintai basket.
Ares tahu sekarang. Setiap orang bersinar dengan caranya sendiri2.
"Kuarter keempat sudah dimulai... Ini akan menentukan siapa juaranya... Orion ternyata kembali
dimainkan! Mungkin dia mengincar MVP" Entahlah, tapi seharusnya usahanya tidak usah
sekeras ini... Dia memimpin top scorer sementara dengan 47 poin, sementara Simon ada tepat
di bawahnya dengan 45 poin... Bola sekarang ada pada Arman dari tim UK, dioper ke Hernan...
jump shot, masuk! 59-62 untuk tim UK!"
Orion menyeka peluhnya lalu kembali berkonsentrasi. Dia harus memenangkan pertandingan ini
untuk beberapa hal. Untuk Reina. Untuk masa depannya. Untuk Ares.
Lima menit lagi pertandingan usai. Tim UII masih tertinggal 70-73, padahal Orion dan temantemannya sudah berusaha keras. Orion merasa kondisinya benar2 ambruk. Dia hampir2 tak
sanggup berlari dan menjaga Hernan.
"Time out dari tim UII! Tampaknya akan ada pergantian pemain... HARUS ada pergantian
pemain kalau coach Reno tidak ingin playmaker-nya ambruk..."
"Tinggal empat menit lagi," Reno jelas2 tak mengacuhkan saran si announcer. "Ri, empat menit
lagi. Lo mau menang kan" Lo mau MVP kan?"
"Tapi dia nggak mau mati," kata Aryo kesal.
"Diem lo! Cuma dia harapan gue! Emang lo bisa ngehasilin angka kayak dia, hah?"
"Tapi kondisinya udah nggak fit lagi! Mainin dia sama aja bohong!" Kali ini, Faisal yg menyahut.
"Look, dia butuh dianti. Masih ada Raul. Lo nggak mau minin dia?" tanya Odi dan secara
serempak semua orang menoleh kepada Raul.
"Nggak. Gue butuh menang. Dan untuk itu gue butuh Orion. Gue percaya sama dia, dia bisa
bawa kita ke kemenangan. Lo ngerti, Ri?" sahut Reno kepada Orion.
"Ya," kata Orion membuat semua temannya mengernyit. "Nggak apa2 guys, gue masih bisa kok.
Let's finish the game."
"Ya ampun... ternyata Orion kembali diturunkan! Ini menjadikan dia sebagai satu-satunya
pemain yg tidak diganti selama empat kuarter! Entah apa ini menguntungkan atau malah
merugikan bagi timnya... Maksudnya, Orion memang bagus, tapi sekarang sepertinya dia sudah
tidak fit! Sekarang bola ada pada Arman... Hernan... Simon... Jump shot, gagal! Rebound oleh
Odi... Orion sudah di depan, tak terjaga! Lay up... masuk! 72-73!"
Orion merasakan kakinya sudah lemas, seolah tak bertulang. Hernan sekarang sudah bebas
dari pengawalannya, membuat kerja Aryo dua kali lebih berat karna harus menjaga dua orang
sekaligus. Orion tak punya cukup tenaga untuk kembali ke posisinya, jadi dia hanya menunggu
di depan. "Steal yg bagus dari Aryo! Lemparan yg jauh ke depan... ternyata ada Orion! Astaga... ini berarti
Orion tidak kembali ke posisi menjaga... lay up lagi... masuk! Sekarang tim UII berhasil
mengejar! 74-73!" Orion kembali mendengar sorak-sorai penonton, tapi tidak membuatnya kembali bersemangat.
Tubuhnya terasa remuk seakan baru saja dilindas truk.
Ketika pertandingan tinggal satu menit lagi, kedudukan 83-79.
"Bola ada pada Simon... gawat, tidak terjaga! AAHH! Three points! Kedudukan menjadi 83-82!
Kalau begini tim UII akan susah untuk mengungguli tim UK! Bola ada pada Odi, mencoba
mengulur waktu... Ya ampun! Steal dari Simon! Three points lagi! 83-85! Waktu tinggal dua belas
detik!" Orion menegakkan kepalanya. Jantungnya berdegup tak karuan. Bisa-bisanya mereka
kecolongan saat waktu sudah tinggal dua belas detik lagi. Orion merasa semua semangatnya
lenyap. Mereka akan kalah.
Orion melirik ke arah temannya yg lain. Wajah mereka masih bersemangat. Odi menganggukkan
kepalanya. Orion jadi merasa malu telah putus asa duluan. Orion balas mengangguk mantap.
"Ya ampun... Ini saat2 menegangkan... Bola ada pada Odi, 10 detik lagi... Sial, Odi dikepung
oleh dua orang... tujuh detik lagi... Odi masih belum bisa juga melepaskan diri... LIMA DETIK
LAGI! Odi meleparkan bolanya asal saja! Di saat2 penting begini! Apa sih yg dia pikir -Oh,
ternyata ada Orion! Dua detik lagi! Orion menembak dari jarak yg sangat jauh!"
Orion menunggu detik2 ini, bersama kira2 ratusan orang lainnya. Bola itu sepertinya melenceng
dari ring... Orion bisa mendengarkan tanda pertandingan berakhir tepat saat dia menembak
tadi... Semuanya serasa menjadi slow motion bagi Orion saat melihat bolanya bergerak lamban
menuju ring. Tampaknya arahnya oke2 saja...
"MASUUK!!" seru announcer, membuat semua orang bersorak dengan gegap gempita.
Orion belum sepenuhnya lega. Semua orang yg ada di lapangan belum sepenuhnya lega.
Mereka tahu di papan nilai tim UII belum bertambah.
"Oh, tunggu sebentar... Tim UII belum tentu menang! Orion memembak tepat saat bel
pertandingan selesai! Kita dengarkan keputusan wasit!"
Suasana mendadak hening dan semua mata menatap sang wasit. Mendadak dia membuat
pergerakan dengan kedua tangannya.
"Basket count!!" serunya, membuat kaki Orion lemas seketika.
Seketika suasana menjadi heboh lagi saat melihat kedudukan berubah 86-85 untuk kemenangan
tim UII. Orion tidak sadar saat teman-temannya menyerbu dan menabrak tubuhnya yg lemas. Pikiran
Orion kosong dan dia hanya bisa melihat langit yg biru cerah. Orion terlalu senang untuk
merasakan pukulan dan pelukan kencang dari teman-temannya dan Reno.
"Hebat lo Ri!" seru Odi sambil mengacak-acak rambut Orion yg basah.
"Dengan demikian, tim UII menang 86-85 atas tim UK! Piala Turnamen UII Cup tetap di tangan
tuan rumah! Good game, guys!"
"ORIOOON!" seru Lala dan Reina bersama dari pinggir lapangan sambil melambai-lambaikan
tangan. Orion bergegas mendekati mereka setelah bisa membebaskan diri dari temantemannya.
"Gila, kamu keren banget!" seru Reina sambil memeluk Orion penuh rasa haru.
Orion nyengir lalu ber-high five dengan Lala yg juga nyengir lebar.
"Lo emang jago, Ri," kata Lala sambil mengacak rambut Orion.
"Thanks," kata Orion lagi. "Ini kado buat lo Rei, sebelum lo berangkat ke Amrik."
"Hua... kadonya bagus banget! Aku sampe deg-degan tadi!" sahut Reina dengan mata berkacakaca.
Orion hanya nyengir melihat ekspresi Reina. Dengan begini, dia sudah membuktikan kepada
Reina kalau dia bukanlah anak kecil yg cengeng lagi.
Tahu-tahu, Orion melihat sosok Ares yg sedang berdiri di sebelah pohon tak jauh darinya.
Tatapan Ares tak sinis seperti biasa. Orion merasa Ares sedang memberinya selamat melalui
tatapannya itu. Selama beberapa detik, Orion hanya bisa bengong menatap kakaknya. Ares lalu tersenyum.
Kepada Orion. Orion sampai tidak memercayai penglihatannya. Untuk pertama kali, Ares
tersenyum kepadanya. Senyum bangga. Orion dengan segera membalasnya dengan cengiran.
Ares kemudia beranjak pergi. Orion merasa lelahnya terbayar. Kakak satu-satunya sudah
melihat perjuangannya. Ares sudah melihat bagaimana Orion bisa membuatnya bangga.
"Ri, maaf ya, Ares nggak dateng. Tadi aku udah ajak dia, tapi dia nggak mau. Dia sekarang
nungguin aku di pintu belakang kampus, sekalian mau nganter aku ke bandara," kata Reina.
"Hah?" kata Orion bingung, lalu berikutnya dia paham. "Oh, nggak apa2 kok."
Orion tahu Ares tadi menontonnya.
"Yak, sekarang saatnya pengumuman MVP! Dan dapat ditebak, MVP untuk pertandingan ini
adalah Orion dari tim UII!"
Reina dan Lala bersorak bersamaan, sambil mendorong Orion ke arah panggung. Orion naik ke
panggung dengan senyum lebar. Titel juara dam MVP di tangannya. Selain itu, Ares menonton
pertandingannya. Semuanya terasa seperti mimpi.
Setelah pembagian hadiah dan medali, Orion kembali menghampiri Reina dan Lala untuk
memamerkan medalinya. "Iya deh, yg medalinya bagus," goda Lala, lalu tertawa.
"Eh, aku harus cepet2 ke Ares nih, ntar dia ngamuk nungguinnya kelamaan," kata Reina tiba2,
membuat sebuah batu kembali memenuhi lambung Orion. Reina harus pergi.
"Rei, jangan luapin aku, ya?" pinta Orion.
Reina bengong sesaat, lalu memukul Orion. "Ya nggak akan lah!" serunya, lalu memeluk Orion.
"Thanks ya Ri, untuk segalanya. Dan kamu harus janji, kamu bakal baikan sama Ares. Ya?"
Orion mengangguk, lalu melepaskan medalinya, dan mengalungkannya ke Reina. Reina
bengong menatap Orion. "Hadiah buat kamu. Supaya kamu inget terus sama aku."
Reina tersenyum manis, lalu mengangguk.
"Orion" Kita punya urusan yg belum selesai," kata Raul yg muncul tiba-tiba.
Orion menoleh, memandang sengit Raul, lalu kembali menatap Reina dan Lala.
"La, lo anterin Reina ke belakang ya, gue masih punya urusan," kata Orion, lalu mengikuti Raul
yg sudah jalan duluan. Reina dan Lala menatap kepergian mereka cemas.
Sementara itu, Ares berjalan tenang menuju pintu belakang kampus. Sayup2, baru saja
didengarnya bahwa Orion adalah MVP untuk pertandingan ini. Orion memang pantas
mendapatkannya. Dan tentang Reno, Ares tadi sudah sempat menghajarnya sebelum pergi.
Ares hanya memastikan Reno tidak akan melatih tim kampusnya lagi dan pergi untuk
selamanya. Ares berhenti sesaat, lalu merogoh sesuatu dari saku celananya. Copy formulir Deraya.
Sebentar lagi Ares akan kembali ke sana, untuk melakukan tes bahasa Inggris. Setelah itu, Ares
akan mendapatkan Student Pilot Permit yg sudah lama diinginkannya. Ares sudah tak sabar
ingin tahu bagaimana reaksi keluarganya. Ares tersenyum sendiri. Orion sudah membuatnya
bangga, dan sekarang giliran Ares yg melakukannya.
Saat Ares hendak kembali berjalan, dia berpapasan dengan sekelompok orang yg terlihat
garang dan membawa balok2 kayu yg ukurannya superbesar. Ares memerhatikan mereka,
merasa pernah melihat mereka di suatu tempat. Mereka terlihat sangat buru2 dan bersusah
payah tidak terlihat banyak orang. Ares memicingkan mata untuk mengamati mereka, sembari
mengingat-ingat. Karna tak kunjung ingat, Ares memutuskan untuk kembali berjalan. Tapi beberapa detik
setelahnya, langkahnya terhenti. Dia ingat. Itu kawanan geng suruhan Raul yg pernah
dilawannya. Ares mengumpat sebentar, teringat Orion yg menjadi MVP dan Raul yg sama sekali tidak
diturunkan, lalu segera berlari sekuat tenaga untuk mencari Orion.
Nyawa adiknya jelas dalam bahaya.
"Jadi?" tanya Orion setelah mereka sampai di taman yg sepi.
"Jadi, lo udah ngambil kesempatan gue buat main di final," kata Raul tenang. "Lihat lo, dengan
maruknya main di empat kuarter tanpa diganti, demi MVP. Menjijikkan."
Orion mengangkat bahu. "Bukan gue yg mau main penuh. Reno yg nyuruh gue."
"Oh, jadi lo nggak bisa nolak," kata Raul masih dengan nada tenang. "Atau lo malah kesenengan
karna gue nggak dimainin?"
"Heh, sumpah gue juga mau istirahat!" sahut Orion, mulai emosi. "Tapi Reno nggak kasih
kesempatan! Lo tadi liat sendiri!"
"Lo bisa aja istirahat," Raul menggeleng-geleng kepala. "Tapi lo memang nggak mau kasih gue
kesempatan untuk bisa lebih baik dari lo."
"Bukan gitu, man! Gue bakal nggak dimainin lagi kalo gue minta ganti! Dan terus terang aja, gue
nggak mau hal itu terjadi!" sahut Orion panas.
"Oh, jadi inilah sisi lain dari Orion yg terkenal. Egois, mau menang sendiri, nggak peduli sama
nasib orang lain... Gue bahkan harus nyembah2 sama lo... Lo emang hebat, Ri," kata Raul lagi.
"Tapi lo harus tau, suatu saat lo harus ada di bawah. Gue udah kasih peringatan buat lo dari
kapan tau, dan lo harus tau gimana rasanya kalah."
"Omongan pecundang," tukas Orion sengit. "Lo terlalu pengecut buat bersaing!"
"Ya ampun, si superstar. Tau apa lo soal pecundang" Lo nggak pernah kalah dalam hal apa
pun! Yg lo tau cuma menang, lo nggak pernah liat ke bawah! Dan sekarang gue bakal ngajarin lo
gimana menjadi pecundang!" sahut Raul, lalu memberi sinyal dengan tepukan yg tidak
dimengerti Orion. Sekitar tujuh atau lebih laki2 besar dan kuat tahu2 muncul dari belakang Orion. Orion menatap
mereka ngeri, lalu menggeleng marah kepada Raul.
"Terima kasih Tuhan, gue nggak pernah jadi pecundang macem lo," kata Orion.
"You'll be. About... now?"
Beberapa detik setelah Raul berbicara, seorang laki2 yg membawa balok menyerbu Orion. Orion
berhasil berkelit, tapi dari sisi lain, laki2 lain menghajar badannya dengan balok besar. Seketika
Orion terjatuh. Tubuhnya sudah terlalu lelah untuk melawan mereka sekaligus. Bahkan Orion
cukup yakin dia akan kalah seandainya hanya Raul yg menghajarnya.
"Yap, yap, gue tau di mana letak kelemahan lo. Lo nggak bisa berkelahi!" sahut Raul, lalu
tergelak kejam. "Ya ampun... gue terlalu berlebihan ya, pake ngirim sepasukan buat melumat lo.
Padahal gue sendiri juga bisa."
Orion mengutuk Raul, yg segera dibalas dengan tendangan tepat di pelipis kiri Orion.
"Ngomong apa lo" Nggak kedengeran! Apa gue denger kata 'tolong'?" sahut Raul disambut tawa
geng-nya. "Gue tadi bilang, PECUNDANG!" sahut Orion berani.
Raul berhenti tertawa. "Gede juga nyali lo," katanya, lalu melirik gerombolan tadi. "Hajar dia
sampe mampus." Orion bisa merasakan tulang rusuknya patah saat ditendang oleh salah satu preman itu.
Pukulan2 lain dilayangkan bertubi-tubi ke badannya yg lemah. Orion terbatuk, dan mengeluarkan
darah. Orion berguling di rumput, kesakitan. Dia mencoba untuk menahan rintihannya.
"Sakit, hah" Itu dia rasanya kalo kalah," kata Raul lagi. "Hajar lagi."
Baru ketika kawanan itu hendak menyerang Orion lagi, Ares muncul dan menghajar salah
satunya. Orion mendongak dan mendapatinya sedang menghajar beberapa orang lagi dengan
tangguhnya. Mendadak, Raul pucat. Ares bukanlah orang yg ingin dihadapinya. Ares sudah terkenal sebagai
jago berkelahi di kampus ini. Tujuh atau delapan orang kuat sama saja. Mereka tak akan
menang. Menyadari ini, Raul segera meninggalkan tempat itu sementara pasukannya sedang
bergulat dengan Ares. Ares menghajar pelipis seseorang dengan buas, lalu menarik kerah yg lain untuk ditendang.
Ares sudah benar2 marah. Adiknya sudah dikeroyok tujuh lawan satu sampai terjatuh. Ares tidak
menyadari bahwa Reina dan Lala ada di tempat itu sampai dia mendengar terikan histeris Reina.
"Ri, lo minggir sana!" sahut Ares sambil memiting tangan seseorang yg berambut gondrong. "La,
lo telepon polisi!" Orion segera merangkak menjauhi baku hantam yg terjadi, lalu mendekati Reina yg sudah
terisak. Reina segera mengeluarkan sapu tangannya lalu mengelap darah yg keluar dari mulut
Orion. Lala dengan gemetar menekan nomor telepon polisi.
"Kamu nggak apa-apa, Ri?" tanya Reina yg sudah terisak hebat.
Orion tidak menjawab. Dia memandangi sosok Ares yg dengan gagah berani menghadapi tujuh
orang sekaligus. Karna tak bisa berbuat apa2, mereka bertiga hanya bisa menonton Ares yg
mati-matian berkelahi. Ares mulai kewalahan. Tujuh orang itu bergerak secara sekaligus. Orion menyesali keadaannya
yg tak bisa membantu Ares.
"Halo" Polisi" Ada kerusuhan, Pak..."
"Aku panggil orang2 terdek-"
Belum sempat Reina menyelesaikan kalimatnya, dia menyaksikan sendiri Ares terpukul telak di
perut sehingga dia terhuyung-huyung. Reina menekap mulutnya. Lala juga sudah berhenti
berbicara. Kejadian selanjutnya terjadi sangat cepat di depan mereka bertiga. Ares sedang menghadap ke
arah mereka sehingga itu terlihat sangat jelas.
Ares lengah. Dia tidak menyadari bahwa ada seseorang di belakangnya yg membawa balok
besar. Dia sedang sibuk melawan dua orang di depannya. Orang itu mengayunkan baloknya ke
arah kepala Ares, dan mengenai belakang kepalanya secara telak. Bunyi 'duak' mengerikan
terdengar jelas di telinga Orion. Dan dalam hitungan detik, darah segar muncrat dari kepala
Ares. Seakan dalam gerakan lambat, Ares terdiam, berhenti bergerak, lalu roboh ke tanah.
"ARES!" sahut Orion, memecah keheningan.
Reina terduduk, wajahnya pucat pasi melihat Ares yg menelungkup. Wajahnya mencium tanah
yg sudah basah oleh darah. Ponsel terlepas begitu saja dari genggaman Lala. Semuanya
merasakan hal yg sama. Ketakutan yg luar biasa.
Orion yg pertama sadar. Dia merangkak mendekati Ares yg terkapar, tapi sepertinya kakaknya
itu masih sadar. Kawanan itu terkekeh puas, lalu menginjak-injak tubuh Ares dengan buas.
"JANGAN!" sahut Orion pilu. "JANGAN!"
Orion dapat melihat dengan jelas tubuh Ares yg mengejang. Orion sendiri tidak dapat bergerak
lagi. Tubuhnya sudah kaku, dan pandangannya sudah kabur. Tidak, dia harus menolong Ares,
harus... "JANGAN MATI DULU, RES!" Orion berusaha sekuat tenaga mendorong tubuhnya yg terasa
lumpuh. "LO HARUS TETAP SADAR!"
"ADA APA INI?" Sesorang menyahut, yg ternyata satpam kampus dan beberapa orang lain yg mendengar
keributan itu. Seketika, kawanan itu kocar-kacir ke segala arah karna tertangkap basah. Satpam itu tak bisa
berbuat apa pun untuk mengejar mereka. Dia hanya berteriak untuk meminta bantuan lalu
bergerak menuju Ares.

That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pak, tolong dia Pak...," kata Orion lemah sebelum kesadarannya menghilang. "Tolong dia... dia
kakak saya..." "Res, ayo kita ke Dufan," kata Ibu dengan senyum selembut peri.
"Bener, Bu" Kita ke sana?" sahut Ares tak percaya. Ibu mengangguk. "HORREE!"
"Tunggu dulu," sambar Ayah tiba2. "Nanti malem kamu habisin dulu bacan ini. Kalo besok
selesai, baru kita pergi ke Dufan."
Ares mengangguk bersemangat. Akan dibacanya habis buku ini. Seumur hidup Ares sudah
memimpikan Dufan, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Besoknya, Ares tampak murung.
"Gimana Res, bukunya?" tanya Ares.
"Yah, semalem Ares muntah," kata Ares jujur.
"Apa" Muntah" Kamu sakit, Nak" Ya sudah, kapan2 saja kita ke Dufan," kata Ibu khawatir
sambil memegang dahi Ares.
"Ya, kapan2 saja kita ke Dufan, kalau kamu udah berhasil selesai membaca buku yg kemarin
Ayah kasih." Ares menatap sedih ayahnya. Dia sadar. Sampai kapan pun, dia tak akan pernah melihat Dufan.
Ares membuka matanya perlahan. Sangat silau. Dan kabur. Kepalanya nyeri, rasanya seakan
mau pecah. Oh, mungkin saja sudah pecah, Ares tak tahu lagi. Yg jelas kepalanya berdenyut
hebat, menyakitkan, dan membuatnya ingin muntah.
Yg pertama dilihatnya adalah Ayah. Dia tertidur di samping Ares. Ares mengerjapkan matanya,
lalu dia bisa melihat Orion di seberang ruangan yg sedang membaca koran. Pipinya lebam dan
dia memakai baju pasien, sama seperti dirinya.
Orion tidak sengaja melirik Ares dan mendapatinya sudah siuman. Dia langsung melompat lalu
mendekati Ares, melupakan luka di tubuhnya sendiri.
"RES! Lo udah siuman" Syukurlah... Yah, Ares udah sadar, Yah!" sahut Orion bersemangat.
Ares mengernyit melihat wajah Orion yg babak belur dan tangannya yg digips.
Ayah bergerak bangun, lalu menatap Ares. Entah apa Ares bermimpi, tapi jelas2 bisa melihat
kalau Ayah baru menangis. Ayah. Menangis. Bukan hal yg bisa diimpikan Ares.
"Ri, panggil Ibu sama Reina," perintah Ayah, membuat Orion segera keluar. "Res, kamu udah
koma hampir sejam," kata Ayah sambil menahan tangis. "Ayah pikir kamu nggak akan sadar
lagi." Ares tak menjawab. Otaknya dipenuhi pikiran mengharukan bahwa ayahnya tidak marah karna
dia habis berkelahi, dan malah menangis.
Seakan belum cukup membuat shock, Ayah mengusap dahi Ares dengan penuh kasih sayang.
Tak lama kemudian, terdengar suara Ibu yg tergopoh-gopoh masuk.
"Ares!!" serunya sambil menghambur ke arah Ares. Air matanya sudah berlinang-linang. "Ya
ampun Ares, Ibu sayang banget sama Ares!"
Orion bergabung dengan keluarganya, lalu menatap Ares hangat. "Thanks, Res," kata Orion
tulus. Ares hanya tersenyum lemah menghadapi keluarganya. Diliriknya Reina yg sudah hampir
menangis di samping Orion.
"Hai," bisik Ares lemah.
Reina tersenyum, lalu mendengus sebal. "Bego," katanya, lalu terkekeh.
Saat ini, Ares merasakan kebahagiaan yg luar biasa. Dia sampai merasa mati pun tidak apa2
kalau bisa mendapatkan perhatian yg selayak ini.
"Anak Bapak mengalami gegar otak," kata dokter Ardi, dokter yg menangani Ares. "Dia sudah
mengalami gejala2 vegetatif, pusing dan muntah2. Hal ini wajar saja, berhubung dia sudah
mengalami koma selama hampir satu jam dan baru siuman dari operasi beberapa hari
setelahnya." "Apa cukup parah Dok?" tanya Ayah khawatir. "Apa dia bisa sembuh?"
"Begini, Pak. Kemungkinan sembuh itu selalu ada, tetapi mungkin tidak seratus persen. Kita
harus melihat perkembangan anak Bapak. Sejauh ini perkembangannya bagus, dia bahkan
masih bisa mengingat semuanya dengan baik, tapi kita tidak tahu apa yg akan terjadi
selanjutnya. Bapak harus waspada dengan gejala2 lain yg bisa timbul," jelas Dokter Ardi.
Ayah dan Ibu saling melirik cemas. Orion bisa melihatnya dari balik bahu mereka.
"Kapan dia bisa pulang, Dok?" tanya Ibu dengan suara gemetar.
"Setelah keadaannya membaik. Mungkin seminggu lagi dia boleh pulang. Tapi saat di rumah
nanti, Anda harus melakukan pengawasan. Dia mungkin akan mengalami gangguan bicara, dan
mungkin juga gerakan. Lebih utama lagi, dia mungkin akan menjadi lebih sensitif dan ingatannya
bisa melemah sejalan dengan waktu. Jadi, lebih baik menjaga perasaannya," kata dokter Ardi
lagi. "Bapak dan Ibu harus rajin membawanya check up, terutama kalau dia sudah menunjukkan
tanda2 tadi." Ayah dan Ibu menghela napas secara bersamaan. Mereka sangat mengharapkan keadaan Ares
cepat membaik, sehingga dia bisa dapat pulang secepatnya.
Orion juga. Bahkan, tidak ada yg lebih diinginkannya daripada kehadiran kakaknya yg judes di
rumah itu sekarang. Selama tiga minggu Ares berada di rumah sakit, Reina selalu menemaninya. Sesekali Reina
membacakan cerita dari buku yg dulu tidak bisa dihabiskan Ares, yg ternyata ditemukan Reina di
dalam lemari pakaian Ares.
Ares bukannya membaik. Keadaannya saat ini bahkan jauh lebih menyedihkan daripada saat
pertama dibawa ke rumah sakit. Tubuhnya semakin kurus dan wajahnya pucat. Belum lagi Ares
sering mengalami kejang secara tiba2, membuat Reina sempat histeris di awal2. Seluruh
keluarga sudah mulai pasrah dan menerima kondisi Ares, tapi Reina belum. Reina masih belum
bisa melihat Ares menderita seperti ini. Ares yg harusnya bisa dibawa pulang seminggu setelah
operasi, akhirnya tetap berada di rumah sakit karna kondisinya yg buruk.
Ares juga tidak bisa bicara normal. Dia sering berbicara gagap, dan tak jarang salah memanggil
nama orang2 yg datang menengoknya. Untunglah Reina selalu ada di sisinya, jadi Ares tak
pernah salah memanggil namanya.
Reina selalu menangis di tengah malam karna saat dia tertidur, mimpinya selalu sama. Selalu
tentang perkelahian siang itu. Reina malah menyaksikan Ares meninggal menggunakan baju
putih. Reina jadi takut tidur. Akhir2 ini, dia jadi jarang tidur. Dia sangat takut mimpinya menjadi
kenyataan. "Rei?" bisik Ares lemah di balik tabung oksigennya.
Reina segera menghapus air matanya. "Kenapa Res?" tanya Reina sambil tersenyum.
"Kenapa kamu nangis?" bisik Ares lagi.
"Nggak nangis," Reina memegang tangan Ares yg kurus dan terasa dingin.
"Aku lagi berdoa buat kesembuhan kamu." Ares tidak menjawab Reina. Dia hanya menatap
Reina lama. Ares ingin selalu menatap wajah Reina sebelum dia melupakannya. Ares tak mau
melupakan Reina. Bukannya Ares tak tahu. Dia sadar, selama beberapa hari ini dia sudah terlalu
banyak melupakan apa pun. Ingatannya sudah tak sebaik dulu.
"Janji, Res," Reina meletakkan tangan Ares di pipinya.
"Jangan pernah tinggalin aku." Ares menatap Reina lagi. Dia tidak bisa berjanji. Kepalanya
akhir2 ini terasa sangat sakit hingga membuatnya tidak tahan, belum lagi dia sudah sangat
sering kejang2. Bukannya Ares tidak mau berjanji -meninggalkan Reina adalah pilihan terakhir
yg ingin dibuat Ares- tapi Ares juga tak tahu apa yg akan terjadi kepadanya nanti.
"Rei," bisik Ares lemah. "Kalaupun cuma ada satu lagi doaku yg bisa dikabulin Tuhan, aku mau
hidup lebih lama lagi. Karna aku sayang kamu. Karna aku sayang keluargaku." Reina berusaha
sekuat tenaga menahan tangisnya.
"Aku juga sayang sama kamu, Res. Sayang banget," kata Reina. Setetes air mata mengalir dari
matanya. "Rei, jangan nangis. Please. Someday you'll live without me," bisik Ares lagi, lalu terkekeh pelan.
"And I'll be watching you from heaven. Only if God trusts me to get there." Reina terdiam dan
hanya memelototi Ares yg sudah berhenti terkekeh. Seenaknya Ares bicara bercanda seperti itu
di saat2 seperti sekarang ini.
"All you have to know is, I love you. And I will always do, till death do us part." Reina kembali
menangis sambil mengawasi senyum Ares yg perlahan memudar.
"I'll love you even though we're no longer alive. I'll love you more than you know," bisik Reina di
telinga Ares, lalu jatuh tertidur di sampingnya.
Bab 9 The Winner DUA bulan berlalu semenjak kejadian itu. Reina masih di Indonesia. Dia sudah memutuskan
tinggal di sini sementara. Reina masih mencintai Ares, apa pun konsekuensinya.
"Rei" Udah makan?" tanya Tante Risa ramah. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Reina
memakluminya. Tante Risa pasti sangat lelah.
"Belum, Tante. Belum laper," kata Reina, lalu memandangi fotonya bersama Ares dalam pigura
yg dulu pernah dibelinya.
Ares tampak sangat lucu di foto itu. Dia sedang tersenyum, hal yg jarang dilakukannya. Tak
terasa air mata Reina menitik. Tante Risa menghampiri Reina, lalu memegang pundaknya
lembut. Reina balas memegang tangan itu.
Segalanya memang sudah berubah. Padahal, Reina sempat berpikir bahwa tak akan ada yg
berubah. "Ngapain lo?" Orion mengambil tempat duduk di gazebo. "Mau gue temenin?"
Ares tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Walaupun demikian, matanya menatap kosong
ke arah kolam renang. Orion mencoba untuk tak menatap Ares lama2, lalu memutuskan untuk
melihat kolam renang juga.
"Eh Res, tadi gue menang pertandingan persahabatan lho." Orion coba mencairkan suasana.
Ares menelengkan kepalanya. Matanya berkedip-kedip lugu. "M.. VP?" tanyanya pelan.
"Gue dapet juga," kata Orion sambil terkekeh. "Hebat kan, adek lo nih?"
Ares mengangguk-angguk kecil. Tangannya terulur untuk mengambil minum. Orion bisa melihat
tangan itu bergetar hebat. Orion segera membantunya untuk minum.
Orion hampir2 tidak bisa menahan emosinya saat Ares minum dari gelas yg dipegangnya.
Kakaknya yg supertangguh bisa menjadi selemah ini hanya karna ulah si brengsek Raul. Ares
sekarang sama rapuhnya dengan balita. Dia nyaris tidak bisa melakukan apa pun sendiri.
Beberapa sarafnya sudah tidak bekerja. Ares memang masih bisa berjalan, tapi itu pun harus
pelan2, dan harus ada yg menemaninya karna siapa pun tidak ingin dia jatuh lagi.
Kira2 dua bulan yg lalu, Ares dinyatakan sembuh dengan cacat sementara. Tim dokter sudah
melakukan yg terbaik dan menurut Ayah dan Ibu Ares memang sudah waktunya pulang ke
rumah. "Res" Lala titip salam," kata Orion setelah Ares selesai minum.
Ares memandang Orion ingin tahu. "La-la?"
Orion terenyak. Ingatan Ares menurun drastis selama beberapa hari ini. Dia sudah lupa pada
kedua teman baiknya Dipo dan Wanda, dan sekarang dia justru sudah melupakan Lala.
Orion tak ingin Ares melupakan dirinya. Benar2 tak ingin.
Hari ini hari yg sangat cerah. Ares melemparkan pandangannya ke luar jendela dari tempat
tidurnya, lalu menghela napas. Ini waktu yg tepat. Ares mengumpulkan segenap tenaganya,
memejamkan matanya sesaat, lalu bangkit.
"Ares" Sayang" Mau ke mana?" tanya Ibu saat Ares keluar kamar.
"Pergi," jawab Ares nyaris berbisik.
Ibu hanya mengernyitkan dahinya.
"Oh iya, ada hadiah buat Ayah sama Ibu di kamar. Nanti dilihat ya," katanya lancar.
Ayah, Ibu, dan Orion saling pandang. Ini pertama kalinya Ares berbicara lancar setelah keluar
dari rumah sakit. Seketika, harapan mulai membuncah di dada mereka.
"Pergi ke mana" Sama siapa?" tanya Ayah sambil membantu Ares duduk di sebelahnya.
"Ke taman, sama Reina," jawab Ares.
Ayah menatap Ares bahagia. Hari ini Ares tampak sangat cerah, dan penuh semangat.
"Ya udah. Tapi kamu hati2, ya," kata Ayah lagi, dan Ares mengangguk pelan.
"Ares sayang kalian semua," kata Ares tiba2, membuat Ibu menangis seketika. "Maaf ya, kalo
selama ini Ares nyusahin."
"Ares, kamu adalah milik Ayah yg paling berharga. Seluruh keluarga ini adalah harta Ayah. Ayah
juga sayang sama kamu. Maafin Ayah kalo selama ini terlalu keras sama kamu," kata Ayah, air
matanya juga tak terbendung.
"Res, lo bener2 kakak yg keren di mata gue. Lo selalu ada kalo gue butuh. Gue juga... ng...
sayang sama lo," kata Orion salah tingkah.
Ares tersenyum kepada Orion. "Gue juga, Ri,"
Orion menatap Ares ragu sejenak, lalu menghambur memeluknya. Ares terlihat shock sesaat,
namun detik berikutnya dia membalas pelukan Orion.
"Gue bener2 seneng kondisi lo membaik, Res. Gue nggak nyangka lo bisa baikan secepat ini. Ini
bener2 keajaiban," kata Orion lagi yg disetujui oleh keluarganya.
Ares hanya tersenyum tanpa menjawab. Tak lama kemudian, Reina muncul dari kamarnya. Dia
terperanjat saat melihat Ares.
Bukan kondisinya yg membaik yg membuat Reina kaget. Saat ini, Ares mengenakan baju dan
celana putih. Ini mengingatkannya kepada mimpi buruknya.
"Ayo, Rei," kata Ares sambil bangkit.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu memegang tangannya dan melingkarkannya ke
bahunya. Reina benar2 mempunyai perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg
benar2 baik, dia mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju taman. Reina dapat merasakan hangatnya
tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares bisa sesehat ini.
The Winner DUA bulan berlalu semenjak kejadian itu. Reina masih di Indonesia. Dia sudah memutuskan
tinggal di sini sementara. Reina masih mencintai Ares, apa pun konsekuensinya.
"Rei" Udah makan?" tanya Tante Risa ramah. Wajahnya tampak lebih tua dari biasanya. Reina
memakluminya. Tante Risa pasti sangat lelah.
"Belum, Tante. Belum laper," kata Reina, lalu memandangi fotonya bersama Ares dalam pigura
yg dulu pernah dibelinya.
Ares tampak sangat lucu di foto itu. Dia sedang tersenyum, hal yg jarang dilakukannya. Tak
terasa air mata Reina menitik. Tante Risa menghampiri Reina, lalu memegang pundaknya
lembut. Reina balas memegang tangan itu.
Segalanya memang sudah berubah. Padahal, Reina sempat berpikir bahwa tak akan ada yg
berubah. "Ngapain lo?" Orion mengambil tempat duduk di gazebo. "Mau gue temenin?"
Ares tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. Walaupun demikian, matanya menatap kosong
ke arah kolam renang. Orion mencoba untuk tak menatap Ares lama2, lalu memutuskan untuk
melihat kolam renang juga.
"Eh Res, tadi gue menang pertandingan persahabatan lho." Orion coba mencairkan suasana.
Ares menelengkan kepalanya. Matanya berkedip-kedip lugu. "M.. VP?" tanyanya pelan.
"Gue dapet juga," kata Orion sambil terkekeh. "Hebat kan, adek lo nih?"
Ares mengangguk-angguk kecil. Tangannya terulur untuk mengambil minum. Orion bisa melihat
tangan itu bergetar hebat. Orion segera membantunya untuk minum.
Orion hampir2 tidak bisa menahan emosinya saat Ares minum dari gelas yg dipegangnya.
Kakaknya yg supertangguh bisa menjadi selemah ini hanya karna ulah si brengsek Raul. Ares
sekarang sama rapuhnya dengan balita. Dia nyaris tidak bisa melakukan apa pun sendiri.
Beberapa sarafnya sudah tidak bekerja. Ares memang masih bisa berjalan, tapi itu pun harus
pelan2, dan harus ada yg menemaninya karna siapa pun tidak ingin dia jatuh lagi.
Kira2 dua bulan yg lalu, Ares dinyatakan sembuh dengan cacat sementara. Tim dokter sudah
melakukan yg terbaik dan menurut Ayah dan Ibu Ares memang sudah waktunya pulang ke
rumah. "Res" Lala titip salam," kata Orion setelah Ares selesai minum.
Ares memandang Orion ingin tahu. "La-la?"
Orion terenyak. Ingatan Ares menurun drastis selama beberapa hari ini. Dia sudah lupa pada
kedua teman baiknya Dipo dan Wanda, dan sekarang dia justru sudah melupakan Lala.
Orion tak ingin Ares melupakan dirinya. Benar2 tak ingin.
Hari ini hari yg sangat cerah. Ares melemparkan pandangannya ke luar jendela dari tempat
tidurnya, lalu menghela napas. Ini waktu yg tepat. Ares mengumpulkan segenap tenaganya,
memejamkan matanya sesaat, lalu bangkit.
"Ares" Sayang" Mau ke mana?" tanya Ibu saat Ares keluar kamar.
"Pergi," jawab Ares nyaris berbisik.
Ibu hanya mengernyitkan dahinya.
"Oh iya, ada hadiah buat Ayah sama Ibu di kamar. Nanti dilihat ya," katanya lancar.
Ayah, Ibu, dan Orion saling pandang. Ini pertama kalinya Ares berbicara lancar setelah keluar
dari rumah sakit. Seketika, harapan mulai membuncah di dada mereka.
"Pergi ke mana" Sama siapa?" tanya Ayah sambil membantu Ares duduk di sebelahnya.
"Ke taman, sama Reina," jawab Ares.
Ayah menatap Ares bahagia. Hari ini Ares tampak sangat cerah, dan penuh semangat.
"Ya udah. Tapi kamu hati2, ya," kata Ayah lagi, dan Ares mengangguk pelan.
"Ares sayang kalian semua," kata Ares tiba2, membuat Ibu menangis seketika. "Maaf ya, kalo
selama ini Ares nyusahin."
"Ares, kamu adalah milik Ayah yg paling berharga. Seluruh keluarga ini adalah harta Ayah. Ayah
juga sayang sama kamu. Maafin Ayah kalo selama ini terlalu keras sama kamu," kata Ayah, air
matanya juga tak terbendung.
"Res, lo bener2 kakak yg keren di mata gue. Lo selalu ada kalo gue butuh. Gue juga... ng...
sayang sama lo," kata Orion salah tingkah.
Ares tersenyum kepada Orion. "Gue juga, Ri,"
Orion menatap Ares ragu sejenak, lalu menghambur memeluknya. Ares terlihat shock sesaat,
namun detik berikutnya dia membalas pelukan Orion.
"Gue bener2 seneng kondisi lo membaik, Res. Gue nggak nyangka lo bisa baikan secepat ini. Ini
bener2 keajaiban," kata Orion lagi yg d
isetujui oleh keluarganya.
Ares hanya tersenyum tanpa menjawab. Tak lama kemudian, Reina muncul dari kamarnya. Dia
terperanjat saat melihat Ares.
Bukan kondisinya yg membaik yg membuat Reina kaget. Saat ini, Ares mengenakan baju dan
celana putih. Ini mengingatkannya kepada mimpi buruknya.
"Ayo, Rei," kata Ares sambil bangkit.
Reina dengan takut2 bergerak ke arah Ares, lalu memegang tangannya dan melingkarkannya ke
bahunya. Reina benar2 mempunyai perasaan yg buruk soal baju ini, tapi melihat kondisi Ares yg
benar2 baik, dia mengusir perasaan itu. Mungkin ini hanya sugestinya.
Ares dan Reina keluar rumah lalu berjalan menuju taman. Reina dapat merasakan hangatnya
tubuh Ares. Reina benar2 senang Ares bisa sesehat ini.
Pemakaman Ares sudah berakhir. Ayah dan Ibu tampak masih shock. Kepergian Ares yg tak
terduga kemarin memang mengejutkan banyak orang. Orion tak menyangka kalau kemarin Ares


That Summer Breeze Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya berpura-pura sehat.
Tapi Orion tak menyesal. Dia sudah berbaikan dengan Ares. Orion merasa sangat lega
sekaligus kehilangan pada saat yg bersamaan. Lega karna akhirnya Ares terbebas dari
penderitaan, kehilangan karna Orion belum sempat menghabiskan banyak waktu bersama
dengannya. Tadi Ayah dan Ibu sangat terkejut dengan penemuannya di kamar Ares. Mereka menemukan
sebuah berkas berlabelkan Deraya Flying School, sekolah penerbang yg ada di bandara Halim
Perdana Kusuma. Berkas itu berisi segala sesuatu tentang sekolah itu mulai dari brosur, copy
formulir, dan juga surat pengantar. Tak ada yg percaya bahwa Ares memiliki keinginan yg kuat
untuk menjadi pilot, dan dia berhasil membuktikan kepada semua orang bahwa dia mampu.
Ayah sampai menangis karnanya.
Dan seakan belum cukup, dokter Affandi, dokter umum yg dulu sering menerima keluhan Ares,
datang ke pemakaman dan mengatakan bahwa Ares pengidap disleksia sejak kecil. Jelas, Ayah,
Ibu, dan Orion terperanjat saat mendengarnya. Selama ini, mereka menyangka Ares anak yg
bodoh atau ber-IQ rendah. Dokter Affandi malah bingung karna tak ada seorang pun dari
keluarga Ares yg mengetahui hal ini, padahal Ares mengatakan sebaliknya. Dia segera meminta
maaf karna merasa telah menambah kesedihan Ayah dan Ibu.
Ares sering mendapat perlakuan tak adil karna dia menderita disleksia. Ayah lah yg paling
menderita karna berita ini. Dia merasa buruk karna telah salah paham, juga absen
memerhatikan tanda2 disleksia pada Ares kecil. Ibu pun menderita karna merasa dirinya bukan
ibu yg baik karna tak mengenali gejala penyakit itu. Orion juga merasa bersalah karna dulu dia
malah selalu berusaha menjadi lebih dari Ares. Segala persaingan yg pernah dilakukannya
dengan Ares terasa sangat membebani pikiran Orion. Seumur hidup, Orion sudah bertarung
dengan Ares dalam hal apa pun, tapi pada akhirnya memang Ares-lah yg pantas menjadi
juaranya. Orion menatap Reina yg masih memandang pusaran Ares yg dipenuhi bunga. Orion tahu Reina
pasti sangat terpukul karna kehilangan Ares, karna dia lah orang terakhir yg berada di samping
Ares menjelang ajalnya. Lala, Dipo, dan Wanda berpamitan kepada Ayah dan Ibu, lalu menghampiri Orion. Lala
memeluknya kuat2, lalu tangisnya pecah lagi. Orion mengelus-elus punggungnya yg
berguncang. Setelah tenang, Orion melepasnya untuk memeluk Dipo dan Wanda.
Sekarang, semua orang sudah pulang, begitu pula Ayah dan Ibu. Ibu sempat pingsan beberapa
kali saat jasad Ares dimasukkan ke liang kubur, jadi Ayah segera membawanya pulang supaya
dia bisa beristirahat. Yg tertinggal hanyalah Reina dan Orion.
Reina tidak menangis. Dia sudah cukup menangis. Air matanya nyaris habis. Dia hanya
memandang pusaran Ares dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam setangkai mawar
putih. Tidak ada yg berbicara di antara mereka selama beberapa menit. Orion dan Reina sibuk dengan
pikirannya masing2. "Aku pernah bilang, kalo aku nggak akan bisa hidup tanpa dia," kata Reina akhirnya. "Itu karna
aku nggak pernah berpikir kalau suatu saat dia akan pergi dengan cara seperti ini. Dia pergi ke
tempat yg nggak bisa aku ikutin."
Orion memandang Reina yg tampak hampa.
"Mungkin sekarang aku masih hidup tanpa dia, tapi nggak akan sama," lanjut Reina. "Dia pergi
dengan membawa sebagian hatiku. Aku ragu apa aku nantinya bisa mencintai orang lain. Aku
pun nggak ingin mencintai orang lain."
Reina meletakkan bunga mawar itu di atas pusaran Ares.
"Sebenernya dari dulu aku tau aku nggak akan bisa menang dari dia. Dan seumur hidup aku
udah mengidolakan dia. Aku mengkhayalkan bagaimana hidup dengan bebas tanpa ekspektasi
dari siapa pun kayak dia," kata Orion.
Reina menatap Orion dengan mata berkaca-kaca. Orion tak membalasnya. Dia memandangi
kosong pusaran Ares. "Dari kecil aku terbiasa liat dia yg selalu ngelindungin aku. Dia udah kayak superhero-ku," Orion
mendengus geli sesaat, lalu detik berikutnya wajahnya kembali murung. "Dia selalu, selalu jadi
role model-ku. Entah kenapa akhirnya aku ngotot bersaing dengan dia, padahal itu pertarungan
yg nggak bisa aku menangin. Aku tau dia berusaha keras. Tapi aku sama sekali nggak nyangka
dia disleksia." Orion mengeraskan rahangnya, menahan emosi. "Aku, yg katanya pinter, cerdas, dan segala
macem, nggak sadar kalo kakakku sendiri menderita disleksia. Aku malah ikut-ikutan nyangka
dia bodoh. Tapi, dia bener2 udah membuktikan dirinya. Aku bangga banget punya kakak kayak
dia." "Dia hebat kan, Ri?" tanya Reina, seulas senyum terlukis di wajahnya yg lelah.
Orion menatapnya sebentar, lalu balas tersenyum.
"Ya, Rei. Dia hebat," katanya, lalu kembali memandang pusaran Ares. "Dia hebat. Dia kakakku
yg hebat. I wish I knew it earlier." Orion mengambil bunga dari keranjang, lalu meletakkannya
persis di sebelah bunga Reina. "May you rest in peace, brother," kata Orion pelan, lalu melirik
Reina. "and lover." Reina tersenyum, lalu bersama Orion pergi dari pemakaman, meninggalkan
cintanya. Hanya untuk sementara saja, janji Reina.
Epilog ORION membuka kamar Ares lebar-lebar, berusaha menemukan sosok yg sedang bermalasmalasan di tempat tidur sambil menggoyang-goyangkan kepala dan mengayun-ayunkan
tangannya dengan heboh. Tapi tak ditemukannya. Dia hanya menemukan puluhan poster-poster di dinding kamar Ares.
Bagi Orion ini seperti mimpi. Tak pernah sekalipun dia berpikir untuk kehilangan suara
dentuman-dentuman dari kamar Ares, teriakan-teriakan yang sering disebutnya sebagai
nyanyian, suara-suara bantingan barang... Dan tak pernah Orion melihat kamar Ares serapi ini.
Orion tiba-tiba membayangkan Ares duduk di jendela sambil menyanyi dan memainkan gitar.
Orion juga bisa melukiskan bagaimana keadaan Ares waktu itu. Rambut acak-acakan, kaus
usang, celana belel... "Sialan!" sahut Orion sambil melemparkan barang terdekat yang bisa diraihnya.
Orion tak bisa lagi menahan tangisnya. Tangis yg selama setahun ini berusaha untuk
disembunyikannya. Orion membaca lagi surat dari Ares yang dulu ditinggalkannya di kamar. Surat itu meminta Orion
untuk menjaga Reina, juga berisi pujian tentang permainan basket Orion, dan Ares bangga
karnanya. Seorang Ares bisa menulis itu semua, rasanya bagai mimpi bagi Orion.
Ares memang orang yang penuh kejutan. Selama ini, dia selalu bertahan tanpa pernah
mengeluh. Ternyata dalam hal inilah dulu Orion harusnya membantu Ares.
Orion tak pernah tahu. Siapapun tak pernah tahu. Yang diketahuinya hanyalah, kakaknya adalah
sebuah misteri baginya. Selalu menjadi misteri. Bahkan pada saat-saat terakhirnya.
Walaupun demikian, Ares akan selalu menjadi bagian dari diri Orion. Selamanya.
"I miss you, bro'," bisik Orion lemah.
Aku pertama kali melihatnya saat musim panas yang terik
Dia datang tanpa ada seulas senyum pun di wajahnya
Dia tampak seperti seorang laki-laki yang kesepian
Menanti seseorang untuk menemukan kunci ke hatinya yang gelap
Aku tak tahu ternyata akulah sang pemegang kunci itu
Aku menyinari hatinya, sampai akhirnya dia mau merekah
Aku menyukai caranya tersenyum untukku
Aku menyukai sikapnya yang membuatku merasa spesial dan betapa sosoknya sudah menjadi
menu utama dalam mimpiku Dia adalah cinta pertama, juga sejatiku
Ares, sang angin yang berhembus sepoi di musim panas kini telah kembali ke tempatnya berasal
Walaupun tak lagi bersama, tapi dia tetap akan menjadi hal terbaik yang pernah terjadi padaku
Aku akan selalu teringat padanya juga selalu tak sabar,
Menanti datangnya musim panas,
Saat di mana aku bisa kembali bertemu dengannya.
Reina tersenyum pedih saat membaca tulisannya. Dia kemudian menggulung surat itu,
memasukkannya ke kaleng, lalu menguburnya kembali di bawah pohon perjanjian. Setelah itu,
dia berdiri, menatap tulisan di pohon yang sudah mulai hilang. Pohon itu mulai meranggas, karna
cuaca yang kering. Suasana persis seperti saat Ares meninggal. Daun-daun yang berguguran
mengingatkan Reina kembali pada saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, juga saat
mereka berpisah untuk selamanya.
Sudah setahun semenjak kematian Ares. Reina baru saja kembali dari Amerika. Hari ini tepat
hari kematian Ares, dan Reina sudah berjanji kepada keluarga Ares untuk datang berziarah.
Sebelum itu, Reina menyempatkan diri untuk membaca tulisan yang ditulisnya setahun yang
lalu, yang kemudian dikuburnya di bawah pohon akasia yang dulu pernah dijadikan tempat
perjanjian. "Rei," panggil seseorang yang sudah sangat dikenal Reina, membuatnya berbalik.
Reina mendapati Orion dan Lala yang sedang menunggunya.
"Kita pergi sekarang?" tanya Orion sambil tersenyum lembut.
Reina mengangguk perlahan, lalu bergerak menuju mereka. Reina menoleh ke arah pohon itu
untuk yang kesekiankalinya, membayangkan masa kecilnya bersama Ares yang indah.
Reina tak akan pernah meninggalkan apa pun di belakang. Reina akan terus membawa
kenangannya bersama Ares. Selamanya.
"I'll always love you," bisik Reina.
Setelah menatap cincin hijau di jari manisnya, Reina tersenyum lalu masuk ke mobil.
Sarjana Misterius 2 Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Pedang Langit Dan Golok Naga 13
^