The Truth About Forever 5
The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 5
"Terus lo mau gue gimana, No?" sahut Yogas kalap. "Selama ini, gue cerita ini itu sama lo, lo
masih belum ngerti juga, hah" Kalo gue bakal mati dan dia bakal menderita?""
Eno bangun, dia blas meninju perut Yogas.
"Lo mau mati kan, Gas?" seru Eno sementara Yogas menunduk menahan sakit. Eno kemudian
mendorongnya hingga Yogas terjatuh. "Lo mau mati, kan?" Mati sekarang aja lo, Gas!!"
Yogas menatap Eno sengit, tak bisa bangun karena tadi Eno meninjunya tepat di ulu hati.
"Mati sekarang atau nanti, sama aja Gas, dia bakal sama menderitanya!" sahut Eno lagi. "Tapi,
seenggaknya kalo lo jujur sama dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun cuma
sebentar!" Yogas menatap Eno lagi. "No, coba lo ngerti perasaan gue," kata Yogas pelan, emosinya sudah reda. "Gue bukannya gak
pernah mikirin ini. Tiap malem kepla gue mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampe
pada satu kesimpulan, dia gak boleh menghabiskan waktu sama orang kayak gue walaupun
sebentar." Yogas membetulkan duduknya sementara Eno masih bergeming.
"Kalo gue hentiin sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Yogas. "Ntar juga dia lupa
sama gue." Eno menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti
Yogas. "Lo pikir gimana perasaan gue ngeliat dia nangis?" kata Yogas lagi, membuat Eno tertegun.
Sementara Eno masih terus menatapnya nanar, Yogas mengeluarkan korek, lalu membakar tisutiu penuh darahnya tadi di asbak. Setelah tisu itu habis terbakar, Yogas membaringkan tubuhnya.
Eno duduk di depannya, matanya lepas dari abu sisa tisu dan beralih kepada Yogas.
"Lo... baik-baik aja, Gas?" tanya Eno kemudian.
"Cuma sakit sedikit," kata Yogas sambil nyengir walaupun tahu betul kalo Eno tidak
menanyakan luka luarnya. "Lo gak bakal nyesel sama keputusan lo ini?" tanya Eno lagi, membuat cengiran di wajah Yogas
lenyap. "Mungkin," jawab Yogas, terdengar tidak yakin. "Tapi untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue
lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia gak berurusan lagi sama gue. Apa aja."
"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," kata Eno. "Kalo gue jadi lo, gue mungkin
gak akan sekuat lo. Gue mungkin gak bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa,
sekarang gue tahu kenapa gue gak bisa ngerti jalan pikiran lo."
Yogas tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.
"Ini karena lo orang baik," kata Eno lagi. "Gue kesel, kenapa semua ini harus terjadi sama lo.
Dari semua orang yang gue kenal, lo orang paling berhak buat bahagia."
Yogas terdiam, sementara Eno sudah menjambak-jambak rambutnya kesal. Yogas tahu Eno
sedang menyesali kejadian enam tahun lalu, saat Eno tak bisa melakukan apa pun untuk
menyelamatkannya. "No, lo gak usah nyalahin diri lo sendiri," jawab Yogas kemudian.
"Maaf, Gas," ujar Eno. Air matanya sudah menitik, tetapi Yogas pura-pura tak melihatnya. "Gue
bener-bener minta maaf."
Yogas tak menjawab karena dia sendiri sedang susah payah untuk tidak menangis. Sekarang,
Yogas juga menyesal sudah memberitahu Eno soal penyakitnya. Dia pikir, Eno satu-satunya
orang yang cukup kuat untuk menerimanya. Ternyata, bahkan Eno pun tidak sanggup.
Seharusnya, dari awal Yogas tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari
awal Yogas hidup sendiri.
Another Lie Kana menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, dia tidak bisa tidur lagi, belum bisa
menerima kenyataan bahwa Yogas adalah seorang gay. Kana masih sulit mempercayainya. Kana
setengah mati berharap Yogas hanya berbohong, tetapi yang Kana lihat kemarin terlalu
meyakinkan. Bahkan, Yogas memanggil namanya dan memeluknya.
Kana terduduk lemah. Kana merasa terlalu lemah dengan semua ini, tetapi Kana tidak pernah
menyesal telah menyukai Yogas. Sampai sekarang pun, Kana masih menyukai Yogas walaupun
Yogas tidak mungkin menyukainya.
Kana tidak tahu harus melakukan apa dan bersikapa bagaimana di depan Yogas. Kana tidak jijik
padanya karena dia seorang gay, tetapi Kana terlalu menyukainya sampai tidak mampu
menatapnya. Kana membentur-benturkan kepalanya ke lututnya, berharap bahwa semalam tidak pernah terjadi
apa-apa. Mendadak semua kenangannya bersama Yogas terputar di otaknya. Kana benar-benar
tidak mau percaya. Tiba-tiba ponsel Kana berdering. Lia meneleponnya. Kana cepat mengangkatnya.
"Kan" Kamu kok gak kuliah?" seru Lian dari seberang. "Kenapa, Kan" Kamu sakit?"Belum
sempat menjawab, Kana sudah keburu terisak.
"Kana" Kamu kenapa" Ada apa?" tanya Lian panik sementara isakan Kana semakin menjadijadi.
"Lian..." gumam Kana, dan selanjutnya cerita semalam mengalir seperti air bah. Di ujung sana,
Lian terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
"Dia... gay?" kata Lian lambat-lambat, tak percaya. Kana semakin terisak. "Kan! Kamu tunggu
ya! Aku langsung ke kost-mu sekarang!"
Lian memutuskan sambungan sementara Kana kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.
*** Lian sekarang sudah berada di kost Kana, memegang tangannya erat-erat. Lian benar-benar tidak
habis pikir dengan cobaan yang dialami Kana tanpa berkesudahan. Sudah cukup Yogas adalah
seorang HIV positif, sekarang ditanbah kenyataan bahwa Yogas menderita penyakit itu gara-gara
hubungan sesama jenis. Lian jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia malah
memberi semangat pada sahabatnya itu.
"Kan... Maafin aku, ya," sesal Lian membuat kana menatapnya.
"Kenapa, Li" Emang kamu salah apa?" tanya Kana dengan suara serak.
"Karena kemarin aku sudah bilang yang gak-gak. Soal takdir itu," jawab Lian hati-hati. Kana
tersenyum menatap sahabatnya itu.
"Gak apa-apa, Li. Bukan salah kamu," balas Kana pelan.
Lian menatap Kana lama. Lian tahu kesedihan Kana hanya dengan melihatnuya. Hati Kana
sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian untuk tegar.
"Terus... kamu mau gimana?" tanya Lian.
Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Aku gak bisa ngejauhin dia, Li. Perasaanku masih sama, bahkan setelah tahu dia gay. Aku gak
bisa lantas benci sama dia," ujar Kana lirih.
"Jangan maksain diri, Kan," kata Lian. "Dia pasti ngerti."
Kana menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampe dia pergi. Itu sudah keputusanku."
Lian menatap Kana sedih. "Tapi, Kan, dia bisa aja nyakitin kamu lagi," katanya membuat kana
menggeleng. "Li, apa lagi yang tersisa buat disakitin?" Kana tersenyun getir. "Dia gak mungkin suka sama
aku. Tapi, aku gak pernah nyesal pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak sudah ngasih aku
pelajaran. Dia sangat menghargai orang lain sampe dia mau hidup sendirian. Itu yang bikin aku
gak bisa ninggalin dia."
Lian menatap Kana, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Sebenarnya, Lian ingin
berteriak pada Kana agar tidak. Erhubungan lagi dengan Yogas. Kana menghela napas melihat
kekhawatiran Lian. "Li, di luar dia HIV positif dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang,"
kata Kana. "Tapi, kenapa harus kamu, Kan?" tanya Lian lagi membuat kana tersenyum lembut.
"Mungkin karena ini takdir. Seperti yang kamu bilang," jawab Kana membuat Lian terkesiap.
Kana sudah mengambil keputusan. Kana tidak akan menjauhi Yogas. Kana akan menerima
Yogas apa adanya walaupun itu berarti cinta Kana tidak akan terbalas. Kana akan berusaja
semampunya untuk mendukung Yogas.
Lian mempererat genggamannya pada tangan Kana, mengangumi kekuatan hati sahabatnya itu.
Kana juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa
menemani Yogas tanpa membebaninya.
*** Yogas menatap josong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Yogas melayang ke mana-mana,
dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada
Kana. Dan, sekarang, wajah sedih Kana memnuhi kepalanya.
Mendadak, terdengar suara seperti pintu yang ditendang paksa. Yogas menoleh dan mendapati
Kana sudah berdiri di sana dengan kedua tangan memegang mug yang mengepul. Di wajahnya,
terpasang cengiran nakal.
Yogas menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan setelah tahu dia gay.
Kali ini, Yogas benar-benar tak habis pikir. Yogas menyerah untuk mengerti cewek yang satu
ini. Kana menghampiri Yogas, lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan mug plastik berisi susu
coklat pada Yogas. Yogas menerimanya dan mengangguk kecil sambil mengucapkan terima
kasih. "Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Kana sambil mendongak. Yogas tak mejawabnya. Dia
urapurabuk menyeruput susu cokelatnya. Kana menatap Yogas.
"Giman, Gas, udah ketemu?" tanya Kana membuat Yogas menatapnya heran. "Joe. Udah ketemu
belum?" Yogas melotot mendengar pertanyaan Kana. Yogas sama sekali tidak menyangka Kana akan
membahas masalah ini dengannya. Dia pikir Kana akan jijik padanya dan menghindar, tapi
perkiraannya salah. Cewek ini ternyata benar-benar ingin mencampuri hidupnya.
"Belum," jawab Yogas setelah terdiam beberapa detik. Kana mengangguk-angguk.
"Eh Gas, aku punya ide bagus," kata Kana membuat Yogas kembali menatapnya. "Gimana kalo
aku bantuin nyari di kampusku" Aku bakal tanya-tanyain di semua jurusan. Gimana?"
Yogas hampir saja menganga. Dia bahkan sudah melakukannya, tetapi untungnya Kana sibuk
menghirup susu cokelatnya, jadi tidak sempat menyadarinya. Yogas mengatupkan mulutnya.
Gelas di tangannya sudah hampir remuk.
Yogas tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Kana barusan membuat
darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya cewek itu mengatakan akan membantu Yogas mencari
Joe, padahal kemarin-kemarin dia bilang sayang dan sebagainya.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Yogas kemudian, membuat Kana menatapnya. Yogas balas
menatap Kana tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"
"Gas, dulu aku pernah bilang kan, kalo aku mau nemenin kamu?" Kana berkata lembut.
"Sekarang, mungkin kita udah gak bisa bersama, tapi aku tetap mau bantu kamu. Sebagai teman.
Boleh, kan?" Yogas mengalihkan pandangannya dari Kana. Tentu saja. Perasaan Kana kemarin memang cuma
simpati, makanya sekarang dia sudah melupakannya dan memutuskan untuk membantunya.
Yogas menertawai kebodohannnya sendiri dalam hati. Sekarang, Yogas hanya harus berhati-hati
untuk tidak terbawa oleh perasaannya sendiri. Yogas harus meneruskan perannya.
"Gas," ujar Kana membuat Yogas menoleh. "Jangan khawatirin perasaanku. Aku pasti bisa baikbaik saja."
Mata Yogas melebar setelah mendengar perkataan Kana. Pikiran Yogas ternyata salah besar.
Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia berusaha untuk kelihatan tegar. Perasaan Kana
untuknya ternyata tulus. Hati Yogas terasa sakit mengetahui ini. Tidak seharusnya dia berbohong
pada cewek ini, tetapi Yogas tak mau mengambil resiko. Menyelamatkan Kana dari masa depan
suram bersamanya adalah tugas utamnaya sekarang.
"Boleh aja," kta Yogas akhirnya, kemudian tersenyum pada Kana. "Thanks ya. Lo udah baik
banget sama gue selama ini."
Kana bals tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Yogas tidak bisa menahan diri, dia pasti
sudah menangis di depan Kana. Yogas mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin tidak
melihat cewek itu. "Gas, karena sekarang kita temen, kamu bisa kan cerita sama aku?" tanya Kana ceria. Kana tak
mau terlihat sedih di ddepan Yogas.
"Hm, cerita apa ya?" kata Yogas. "Gimana kalo... Si kancil?"
Kana tertawa lepas mendengar gurauan Yogas, tetapi di dalam hatinya dia sedih baru kali ini
Yogas mau bercanda dengannya. Yogas sendiri menolak untuk melirik Kana.
Selama beberapa saat, Kana dan Yogas sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masingmasing. Kana tiba-tiba bergidik.
"Kamu gak kedinginan, Gas?" tanya Kana.
"Gak," jawab Yogas.
"Aku kedinginan nih. Aku turun duluan ya?" Kana bangkit dan membersihkan celananya, lalu
bergerak ke pintu. "Kana," panggil Yogas membuat Kana menoleh. Yogas mengangkat mug plastik yang
dipegangya. "Ini, makasih ya."
Kana mengangguk, lalu meneruskan berjalan. Beberapa langkah kemudian, dia kembali
menoleh. "Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku.
Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."
"Oke. Thanks ya," kata Yogas, dan Kana menghilang di balik pintu.
Yogas menatap pintu itu lama dan setelah yakin Kana sudah tidak ada di sana, air matanya mulai
mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian banyak penderitaan yang pernah dilaluinya,
inilah yang paling menyakitkan. Sebelumnya, Yogas sudah parah menerima penyakitnya dan
siap mati, tetapi semenjak bertemu Kana, Yogas menjadi sangat marah pada Tuhan.
"Kenapa..." gumam Yogas geram. Matanya menatap langit yang berbintang. "Kenapa harus
dipertemukan sama dia kalau harus dipisahin lagi?"
Gelas di tangan Yogas sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal keras dan gemetar
hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan segera membasahi lantai semen yang
dingin. *** Kana tersaruk menuju kamarnya. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia masuk dan menutup
pintu, lalu merosot ke lantai.
Ternyata, perasaan Kana terhadap Yogas masih sama besarnya seperti sebelum Yogas berkata
dia gay. Kana masih belum bisa sepenuhnya merelakan Yogas. Kana masih saja berharap Yogas
akan berkata bahwa dia bohong soal perkataannya itu.
Namun, kemudian Kana tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi terusterusa memikirkan
itu. Kana harus mengesampingkan perasaannya untuk membantu Yogas. Yogas membutuhkan
teman, dan hal itulah yang akan dilakukan Kana. Kana akan menjadi kuat untuk menolong
Yogas. Kana menghapus air matanya, dan tanpa sengaja dia melirik komputernya. Tiba-tiba, dia
mendapatkan ide. Kana menyalakan komputernya, lalu mulai mengetik.
*** Yogas menyalakan korek api dan membakar rokok yang sudah terselip di bibirnya. Dia mengisap
rokok itu, dan mengembusakan kepulan asap putih. Hari ini, Yogas sedang mencari Joe di
Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Olahraga. Namun, tampaknya orang itu tidak berkuliah
di sini. Yogas menghela napas, lalu membuka handycam-nya. Di dalam handycam-nya itu, terdapat
kaset yang selalu dihindarinya. Kaset dengan judul "Anyer 2000". Yogas menggigit bibirnya
ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.
Mata Yogas terasa panas karena tidak berkedip saat menonton film yang terputar di sana.
Rahangya mengeras. Mungkin seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin
seharusnya Yogas membuangnya.
Film ini mengingatkan pada semua hal yang telah hilang darinya. Keluarganya. Sahabatnya.
Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya.
Setetes air jatuh di layar handycam itu. Tetes air yang berasal dari mata Yogas.
*** Kana mengendarai Varionya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia hampir menabrak
seseorang karena melamun. Barusan di dekat kost-nya, dia juga hampir menabrak Ono yang baru
pulang dari warung. Kana mematikan mesiornya dan mendorongnya masuk ke garasi. Dia membuka helm dan
menyangkutkannya di spion tanpa semangat. Ono menatap wajah Kana yang kusut.
"Ngopo, Kan?" tanyanya bingung.
"Ra popo, Mas," jawab Kana lesu sambil naik ke tingkat dua.
Tadi di kampus, Kana mencari orang yang sedang dicari Yogas selama ini, Joe. Namun, tak
satupun dari orang-orang yang ditanyainya bernama Joe, ataupun mengenalnya. Kana merasa tak
akan pernah menemukan oramg itu kalau caranya seperti ini.
Kana menghela napas lagi, lalu menggeleng-geleng. Kana akan melakukan apa pun untuk
membantu Yogas, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenis atau siapapun. Kana
mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di depan Yogas. Ketika sampai di lantai dua, Kana
terpaku melihat seorang cewek yang sedang berdiri di depan kamar Yogas. Cewek itu menoleh
dengan wajah cemas, lalu tersenyum dan mengangguk pada Kana. Kana balas mengangguk, tapi
masih heran. "Halo," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu kost di sini?"
"Iya," jawab Kana. Ekspresi cewek itu segera berubah ceria. Kana mengamati cewek yang cantik
dan semampai itu. "Kamu... kenal sama Yogas?" tanya cewek itu lagi.
"Kenal. Itu kamar dia," jawab Kana lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak
bagus. Cewek itu sendiri masih tersenyum penuh semangat. " Dia lagi keluar ya?"
"Mungkin," jawab Kana. "Kamu... siapa ya?"
Ketika cewek itu akan baru mejawab, terdengar suara orang sedang menaiki tangga. Yogas
muncul dari tangga dengan wajah lelah. Dia sedang memijati lehernya dan segera terpaku saat
melihat sosok cewek di depan kamarnya.
Yogas serasa tidak bisa melakukan apa-apa, baik bernapas maupun bergerak, saat melihat cewek
itu. Cewek itu sendiri mekap mulut, lalu berlari ke arah Yogas dan memluknya erat. Yogas
terlalu kaget sampai tidak bisa menghindari.
"Yogas!" sahut cewek itu, air matanya mengalir. "Aku pikir aku gak bakal ketemu sama kamu
lagi!" "Wu... lan...?" gumam Yogas, masih terlalu terkejut. Wulan mempererat pelukannya.
"Gas, maafin aku, Gas. $aafin aku. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi..." Wulan sudah
terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin aku, Gas..."
Yogas merasa seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama sekali tidak menyangka
Wulan akan menyusulnya dan meminta maaf. Yogas berusaha mengambil napas, dan saat itulah,
dia menyadari keberadaan Kana yang sedang menatapnya marah.
Kedua tangan Kana gemetar di samping pahanya. Kana sangat marah sampai ingin meninju
Yogas di tempat, tetapi tidak dilakukannya. Entah mengapa, Kana hanya bisa terdiam menonton
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adegan romantis si pembohong Yogas dan mungkin pacarnya.
Yogas balas menatap Kana sambil berpikir keras sementara Wulan masih terisak di pelukannya.
Yogas akhirnya balas memluk Wulan, membuat Kana memalingkan pandangannya.
Yogas berusaha untuk tidak melihat bagaimana Kana menangis. Yogas juga menahan segala
keinginannya untuk menahan Kana saat cewek itu melewatinya dan berderap turun. Yang
sekarang Yogas pikirkan hanyalah, bagaimana Kana bisa menjauhinya, apa pun caranya.
*** "Apa kabar, Gas?" tanya Wulan.
Yogas mengisap rokonya, lalu mengembuskanya sekarang. Sekarang, mereka ada di lantai tiga.
wulan menatap punggung Yogas yang tampak jauh lebih kurus dari yang pernah diingatnya.
"Begitu aja," jawab Yogas pendek. "Jadi tahu dari mana alamat ini?"
"Aku nelepon Eno, terus aku ancem dia. Akhirnya, dia ngasih tahu alamat kamu," kata Wulan.
Yogas mendengus. Tentu saja, Eno. Hanya Eno satu-satunya orang yang tahu di mana Yogas
tinggal. "Terus ngapain ke sini?" tanya Yogas lagi.
"Aku... maafin aku, Gas," kata Wulan pelan. "Dulu, kita masih muda. Dulu, aku gak pernah
berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."Yogas tak berkomentar. Dia menatap langit
yang berwarna kemerahan. Angin Yogya yang sejuk membawa wangi bunga kenanga yang
ditanam ibu kost di taman bawah. Mendadak, Yogas merasa melankolis.
"Gas, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," kata Wulan lagi. "Sekarang, aku sadar kalo
aku..." "Lan, kamu udah bener," potong Yogas membuat Wulan menatapnya. "Kamu dulu udah
membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan mikir macem-macem lagi. Aku udah gak
apa-apa kok." "Tapi Gas, aku masih sa..."
"Lan, kalo memang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku. Kamu ngerti, kan?" desak
Yogas, kemudian duduk di samping Wulan.
"Gas..." "Lan, aku udah maafin kamu," kata Yogas. "Dulu mungkin aku gak bisa terima alasan kamu
ninggalin aku, tapi, sekarang aku udah ngerelain kamu."
Wulan menatap Yogas yang menolak menatapnya balik. Air mata Wulan sudah jatuh.
"Gas, beneran kamu mau maafin aku?" tanya Wulan. Yogas mengangguk, lalu menepuk kepala
Wulan, membuat cewek itu langsung terisak.
"Jangan nangis dong," Yogas mengacak rambut Wulan. "Thanks ya, udah dateng ke sini."
Wulan mengangguk di sela-sela tangisannya. Wulan benar-benar menyesal telah meninggalkan
Yogas dulu. Sampai sekarang Wulan masih tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Yogas untuk
menerima penyakit ini, penyakit yang merenggut semua kebahagiaannya.
"Gas..." kata Wulan sambil menatap Yogas. "Jangan cari dia lagi."
Yogas menatap Wulan sebentar, lalu mengalihakn pandangannya. "Gak bisa, Lan. Aku harus
cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku gak peduli."
"Gas, kamu harus peduli! Kamu masih punya mamamu, kamu masih punya aku! Jangan cari Joe
lagi, Gas, aku mohon!" seru Wulan sambil menarik tangan Yogas.
"Lan, sampe sekarang, dia yang membuat aku tetep hidup. Gak ada siapa pun yang bisa
menghentikan aku," ujar Yogas tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu ngerti,
kan?" Wulan menatap khawatir Yogas yang tampak emosi. "Gas, janji sam aku, jangan ngelakuin halhal bodoh. Janji, Gas."
"Lan, kalo soal yang satu ini, aku gak bisa ngejanjiin apa pun," balas Yogas keras kepala.
"Thanks karena udah mikirin aku."
Wulan terisak lagi, memikirkan Yogas yang sudah berada jauh di luar jangkauannya. Eno
memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tidak menyangka Yogas akan jadi seperti ini.
Benar-benar bukan Yogas yang dulu pernah dikenalnya.
"Lan," kata Yogas kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup
kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"
Wulan menyeka air matanya sambil melirik Yogas marah.
Yogas nyengir. "Yah, masa sih, kamu jomblo terus selama enam tahun."
"Hatiku sakit banget lho denger kamu ngomong begitu," tukas Wulan membuat cengiran Yogas
lenyap. "Denger kamu bisa naya-naya begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener mgelupain
aku, hati aku sakit banget."
Yogas terdiam. "Sori," katanya kemudian.
Wulan mengamati Yogas yang sudah kemblai menatap lurus. "Gas," kata Wulan. "Kamu... suka
cewek itu, ya?" Yogas menoleh pada Wulan yang tampak serius, lalu segera mengalihkan pandangannya. Tak
lama kemudian, Yogas mengangguk. Wulan menghela napas.
"Udah aku kira," kata Wulan. "Apa dia... udah tahu?"
Yogas mengangguk lagi. "Dari awal dia udah tahu dan dia bisa terima," kata Yogas membuat
Wulan mengangguk-angguk. "Aku kagum sama dia," ujar Wulan, matanya menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?"
"Lan," tegur Yogas membuat Wulan tersenyum pahit.
"Gas, aku bener-bener minta maaf," kata Wulan lagi. "Aku tahu ini mungkin udah sangat
terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku gak akan lari lagi."
Yogas menatap wulan lama, lalu tersenyum tulus. "Thanks."
Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.
*** Kana melangkahkan kakinya menuju tangga, berharap kalau Yogas tidak ada. Mata Kana sudah
bengkak karena terlalu banyak menangis di kost Lian tadi, dan Yogas adalah makhluk terakhir
yang mau dilihatnya. Ketika Kana muncul dari tangga, Yogas baru kembali dari kamar mandi dengan handuk
tersampir di bahunya. Kana menatap Yogas marah, lalu berderap menuju kamarnya. Yogas
menatap Kana yang tampak enggan menatapnya balik.
"Jadi, itu yang namanya Joe, ya?" sindir Kana sebelum masuk kamar, tak tahan untuk bertanya.
Yogas malah bersandar di dinding sambil memandang Kana malas. "Namanya Wulan."
Jawaban Yogas membuat Kana melotot. Kana mengambil sepatu dan melempar Yogas dengan
sepatu itu. Yogas bahkan tidak mengelak dan membiarkan dadanya terpukul. Air mata Kana
sekarang sudah jatuh lagi.
"Kamu kejam! Aku bahkan gak mau tahu namanya!" sahut Kana emosi. Yogas hanya
menatapnya datar. Sementara Kana berusaha untuk menenangkan diri, Yogas mengambil sepatu yang tadi dilempar
Kana dan meletakkannya kembali ke rak sepatu. Dia lalu menghela napas, berusaha menatap ke
arah lain selain Kana yang masih menatapnya marah.
"Kenapa sih, kamu bohong terus?" tanya Kana lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus
sekejam ini sama aku" Kenapa, Gas?"
"Sori," kata Yogas membuat alis mata Kana terangkat tinggi. "Gue gak bermaksud nyakitin..."
"Gak bermaksud?" teriak Kana tak percaya. "Gak bermaksud kamu bilang" Kamu make segala
cara buat ngejauhin aku dari kamu!"
Yogas terdiam, sementara Kana sudah memukul-mukul dadanya sambil terisak.
"Kenapa kamu harus bilang kamu gay?" Kenapa kamu seneng banget nyakitin aku?"" seru Kana
lagi. "Kalo kemau memang segitu gak sukanya sama aku, kenapa gak bilang terus terang?""
"Gue gak suka sama lo!" sahut Yogas membuat Kana terdiam danberhenti memukulinya. Yogas
menatap Kana serius. "Lo mau gue bilang itu, kan" Gue bilang sekarang, gue gak suka sama lo.
Gue udah kasih peringatan ke lo dari awal, kan" Tapi, lo tetep mau tahu urusan gue. Gue gak
tahu lagi gimana caranya supaya lo ngejauh dari gue, dan terus terang aja gue gak tega ngomong
langsung kalo gue gak suka sama cewek desa kayak lo!"
Yogas tersengal setelah mengatakan semua itu pada Kana. Kana hanya menatap Yogas tanpa
berkedip, membuat air matanya mengalir semakin deras.
"Gas," ujar Kana kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?"
Yogas terdiam menatap Kana yang sudah gemetar hebat.
"Sori, Kan. Tapi, Wulan adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari dulu sampe sekarang, cuma
dia yang ada di hati gue. Gak akan ada yang bisa ngegantiin dia," kata Yogas mmembuat kana
tersenyum miris. "Gas... Bisa kamu sekalian bunuh aku?" kata Kana getir. "Kenapa Gas... Kenapa kamu dateng ke
sini" Kenapa?" Kenapa aku bisa kenal sama kamu?""
Kana berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting pintunya. Yogas menatapnya
tanpa bisa berbuat banyak. Misi berhasil. Sekarang yang harus Yogas lakukan adalah pergi
secepatnya dari kost ini.
The Truth Revealed Kana memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang sudah mengering
tampak di pipinya. Lagi-lagi Kana tidak tidur semalaman, menyesali kebodohannya karena
sudah sekian lama dipermainkan oleh Yogas.
Tidak masalah kalau Yogas mengatakan tidak menyukai Kana sejak awal. Tetapi, Yogas
mengatakan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Kana. Bahkan, Kana tidak tahu apakah
bisa memaafkan Yogas setelah ini.
Terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Yogas. Kana mellirik jam yang ada di meja
komputer. Delapan lebih lima belas. Yogas pasti akan berangkat untuk mencari Joe, orang yang
katanya sedang dicarinya entah karena apa. Kana pikir Yogas pasti berbohong lagi. Yogas selalu
berbohong padanya, seorang gadis desa yang lugu dan mangsa empuk untuk dipermainkan.
Kana sudah tidak mau tahu lagi. Kana sudah tidak mau peduli lagi.
*** Yogas menatap Eno yang sudah tergeletak di depannya dengan mulutpenuh darah. Yogas baru
saja memberinya serangan fajar, setelah apa yang dilakukannya kemarin. Yogas sama sekali
tidak pernah menyangka Eno akan berbuat segoblok itu dengan memberitahu Wulan tempat
tinggalnya. Yogas berjongkok dan mencengkeram kaus Eno. Eno membalas tatapan marah Yogas tanpa
ekspresi. "Bangun lo," kata Yogas geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngaih tahu
dimana gue ke Wulan?"
"Dia mau minta maaf sama lo," kata Eno susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."
"Gue udah bilang kan, gue gak mau berurusan lagi sama dia! Lo bebal atau dungu sih, No" Udah
bagus dia ngejauhin gue!" sahut Yogas kalap. "Kenapa lo ngasih tahu dia?"
"Karena dia ngancem mau bunuh diri!" sahut Eno membuat Yogas terdiam. "Ya, dia semenyesal
itu, Gas. Dia bener-bener nyesal udah ninggalin lo!"
"Lo tempe bangets ih, No! Gak mungkin dia mau bunuh diri gitu aja!" sahut Yogas lagi. "Eno
mendorong Yogas sampai Yogas terbanting. Eno terduduk dan menatap Yogas sengit.
"Menurut gue Gas, lo yang tempe! Yang lo tahu cuma ngehindari dari semua masalah!" Eno
menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo gak mau Wulan balik, seenggaknya lo
bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya, kan?"
Yogas terdiam, lalu menyandarkan dirinya ke tembok.
"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia," kata Yogas pelan. "Gue udah gak ada masalah
sama dia, tapi yang jadi masalah sekarang adalah cewek itu."
Eno menatapa Yogas, selah tak pernah meikirkan kemungkinan itu.
"Cewek itu ngeliat Wulan, dan semua alibi gue ajadi hancur" Yogas melirik Eno tajam. "Semua
karena lo." "Terus... dia gimana?" tanya Eno hati-hati.
"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia gak mau liat gue lagi. Dan karena itu,
gue harus cepat-cepat pindah kost," kata Yogas.
"Sori, Gas," ujar Eno menyesal.
"Gak perlu minta maaf," tandas Yogas. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi, lo emang pantas dapat
pukulan itu, karena lo gak ngomong lagi sama gue."
Eno mengelus pipinya yang tadi ditonjok Yogas, lalu menatap Yogas yang tampak melamun.
"Lo... gak apa-apa, Gas?" tanya Eno cemas.
"Gue cuma udah ngerasa keterlaluan ama dia, No," Yogas mendesah sambil menjambak
rambutnya sendiri. "Semua omongan gue kemaren kayaknya keterlaluan. Kalo dia nampar gue
atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."
"Tapi...?" Eno ingin tahu.
"Tapi, dia cuma bilang, bisa kamu sekalian bunuh aku" Dan bagi gue itu lebih dari sekedar
tamparan," ujar Yogas, matanya menerawang. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama seseorang,
selain Joe." Eno tahu dengan pasti maksud kata-kata Yogas. Yogas pasti sedang berharap tidak pernah
mengenal cewek itu sehingga tidak akan berpisah dengannya.
*** Kana memutuskan untuk keluar dari kamar karena Yogas pasti sudah tidak ada di kamarnya.
Kana membuka pintu dan terperanjat saat mendapati Wulan di depan pintu kamar Yogas,
bermaksud mengetuk pintu. Wulan menoleh, lalu tersenyum pada Kana yang tidak sempat
membalasnya karena terlalu terkejut.
"Halo," sapa Wulan ramah. Kana membalasnya dengan anggukan. "Yogas ada?"
"Gak tahu ya,", dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."
Kana berjalan melewati Wulan untuk ke kamar mandi. Wulan memperhatikan Kana sampai dia
menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, Kana keluar dan terlonjak kaget karena Wulan sudah ada di depan pintu kamar
mandi. Wulan tersenyum lagi pada Kana.
"Kana, kan" Kita ngobrol sebentar, yuk?" ajak Wulan membuat Kana menganga. Namun,
akhirnya dia mengikuti Wulan naik ke lantai tiga.
Kana menatap punggung Wulan yang bahkan terlihat sempurna. Kana tidak heran kalau Yogas
meti-matian menolaknya karena Kana sama sekali berbeda dengan Wulan. Wulan tipe gadis kota
yang anggun dan menarik, bukannya gadis desa banya banyak omong dan bodoh sepertinya.
"Kenalkan, aku Wulan," Wulan membuka pembicaraan. Dia mengulurkan tangannya, yang
disambut bingung oleh Kana. "Aku rasa kamu udah tahu siapa aku dari Yogas."
"Yah, kurang lebih," balas Kana kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Wulan adalah satusatunya cewek di hati Yogas.
"Kamu. suka sama Yogas?" tanya Wulan membuat kana bengong lagi. Kana tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Yogas
yang sudah punya pacar secantik Wulan
"Aku..." Kana kehilangan kata-kata.
"Aku tahu kok," ujar Wulan sambil tersenyum. "Hh... Yogas sebenarnya beruntung ya punya
orang-orang yang suka ama dia."
Selama beberapa saat, Wulan dan Kana sama-sama terdiam. Kana sedang menerka-nerka apa
Wulan marah karena kana menyukai pacarnya, tetapi wajah Wulan tidak menunjukkan demikian.
"Kana, kamu tahu, kenapa Yogas bisa punya penyakit ini?" tanya Wulan kemudian.
"Aku gak tahu lagi mana alasan yang bener," jawab Kana getir. "Yogas sdudah terlalu banyak
berbohong sama aku. Aku gak tahu lagi."
Wulan menatap Kana yang tampak menahan tangis.
"Kayaknya Yogas masih ngerahasiain soal ini sama kamu ya," kata Wulan membuat kana
menatapnya. "Mungkin dia berbohong untuk melindungi kamu."
"Melindungi" Dia nyakitin aku terus!" sanggah Kana dengan suara serak. Sejenak dia menyesal
karena sudah berteriak. "Maaf!"
Wulan tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Yogas jatuh cinta.
"Kan, kamu tahu seseorang bernama Joe?" tnaya Wulan lagi membuat kana mendengus.
"Ya, tokoh rekaannya Yogas," ujar Kana skeptis.
"Buka rekaan, dia memang benar ada." Jawaban Wulan membuat Kana menatapnya tak percaya.
"Joe itu dulu sahabatnya Yogas."
Wulan mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sementara Kana tak
melepas pandangannya. "Enam tahun yang lalu, aku, Yogas, Joe, dan satu orang lagi bernama Eno, sahabatan. Kami
sekelas dari kelas satu sampe tiga. Kami udah gak terpisahkan, ke mana-mana selalu bareng."
Wulan memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita, kecuali Joe. Dia ini pengacau. Selalu
aja bikin keributan dan sama sekali gak punya visi buat masa depan."
"Joe paling akrab sama Yogas, karena mereka berdua udah kenal dari SD. Dengan Yogas, Joe
gak pernah macem-macem. Mereka udh kayak kakak-adik. Kamu tahu cita-cita Yogas?" tanya
Wulan membuat Kana menggeleng. "Sutradara. Yogas pengen banget jadi sutradara, sampai rela
menghabiskan tabungannya untuk bveli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kamikami ini."
"Suatu hari, entah kenapa, Joe jadi agak berubah. Dia jadi cenderung pemarah, bahkan ke Yogas
sekalipun. Kadang, dia marahin Yogas kalo Yogas terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul
film. Dan, akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Wulan. Dia berhenti sejenak, lalu menarik napas.
"Yogas diajak Joe ketemu sama temen-temennya yang preman sekolah kami. Mereka adalah
murid-murid drop out sekolah kami. Entah gimana Joe bida berteman dengan mereka. Saat itu
mereka sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan obata-obatan," kata Wulan, suaranya
sudah serak. "Mereka nyuruh Joe untuk nyuntik Yogas dengan suntikan bekas pakai."
Mata Kana melebar, tak percaya dengan cerita Wulan. Air mata Wulan sendiri sudah mengalir.
"Joe yang takut sama mereka ngelakuin yang mereka minta. Setelah itu, Yogas gak cerita lagi.
Dia takut sama Joe dan selalu ngehindar kalo ketemu di sekolah. Waktu itu, aku sama Eno gak
tahu apa-apa," lanjut Wulan. "Suatu saat, Joe dipuindah sekolah sam orangtuanya karena
ketahuan ngobat. Yogas jadi ceria lagi, dia bikin filn lagi. Tapi, beberapa bulab kemudian, dia
kena kecelakaan yang cukup parah, yang menbuat dia harus masuk rumah sakit. Dari sana, baru
ketahuan kalo ada HIV di darah Yogas."
"Saat itu yang tahu cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter
ngasih vonis itu. Waktu itu, aku masih anak-anak, aku maih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV.
Setelah tahu Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh," kata Wulan sambil terisak. "Bukan
cuma aku, tapi kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka seperti aku, malu dan takut karena
penyakit itu. Eno yang gak tahu apa-apa memang gak menjauh, tapi Yogas yang malah
ngejauhin dia." Wulan menatap Kana yang juga sudah terisak. Kana sama sekali tidak tahu kejadian sebenarnya
seperti ini. Kana sama sekali tidak tahu bahwa penderitaan Yogas jauh lebih besar dari yang
dibayangkannya. "Kana, kamu jangan membenci Yogas karena berusaha ngejauhin kamu," kata Wulan lagi. "Dia
cuma gak ingin kamu kena imbasnya juga. Dia balik sikap dia yang kasar itu, dia sebenarnya
takut, Kan." Kana menangis lebih keras. Dadanya sampai sakit. Wulan mengelus-elus punggungnya.
"Kana, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku pengecut ini gak pantas untuk ada di samping
Yogas. Dia saat semua orang ngejauhin Yogas, kamu ada untuk doa. Aku benar-benar malu
sama kamu, Kan." "Hah" Maksud kamu?" Kana bertanya di sela-sela isakannya, bingung karena kata-kata Wulan.
Bukankah Wulan adalah kekasih Yogas"
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Yogas. Cuma kamu yang bisa
menghentikan Yogas," kata Wulan.
"Menghentikannya dari apa?" tanya Kana lagi.
"Kan," kata Wulan dengan tatapan serou. "Jkamu tahu alasan Yogas datang ke sini" Kamu tahu
alasan Yogas mau ketemu sama hJoe lagi?"
Kana menggeleng, tetapi rasanya dia bisa menebak jawabannya.
"Dia mau ngebunuh Joe, Kan." Ucapan Wulan membuat Kana menekap mulutnya sendiri. "Dia
udah gak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Dia mau ngebunuh Joe karena
udah merusak hidupnya."
Kana tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya dingin mendengar kata-kata Wulan. Kana
langusng teringat pada sebilah belati yang pernah dia temukan di dalam ransel Yogas. Ternyata,
untuk itu dia membawa belati itu. Untuk membunuh Joe.
"Kenapa?" tanya Kana dengan suara tercekat.
"Dia ngerasa udah gak ada gunanya lagi dia hidup," jawab Wulan lemah. "Aku udah gak punya
hak apa pun lagi untuk menahan dia, Kan, karena dulu aku udah ninggalin dia. Sekarang, cuma
kamu yang bisa." Kana menatap Wulan tak percaya. Yogas kemarin bilang hanya Wulan cewek satu-satunya di
hatinya, tetapi kalau Wulan saja tidak bisa enahan Yogas, bagaimana Kana bisa melakukannya.
"Lan, dia gak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Kana
membuat Wulan tersennyum.
"Dia bilang begitu ya?" kata Wulan. "Ini tips buat kamu, Kan. Mulai sekarang, apa pun yang dia
bilang, maknai sebaliknya. Kamu tahu sendiri, Kan, Yogas tukang bohong?" Jadi, mulai
sekarang, jangan anggap serius kata-katanya."
"Dia... bohong lagi?"" tanya Kana dengan suara serak, dan akhirnya menangis lagi, tetapi lebih
karena bahagia. Ini artinya Yogas kemarin sudah berbohong sdaat mengatakan bahwa Wulan
adalah cewek satu-satunya, juga saat dia mengatakan kalau dia membenci Kana.
"Kana," kata Wulan lagi. "Aku percayain Yogas sama kmu, ya" Karena kalo sama kamu, aku
bisa ngerelain Yogas."
Kana menatap Wulan lagi. Wulan tersenyum sedih.
"Aku gak pernah cukup baik buat dia, Kan. Aku pergi ketakutan waktu dia ngebutuhin aku, dan
baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru cukup kuat untuk nenerima kenyataan setelah
bertahun-tahun kemudian. Aku bener-bener gak sebanding sama kamu," ujar Wulan lagi sambil
menatap Kana dalam-dalam. "Kana, aku mohon, tolong jangan jauhin Yogas apa pun yang
terjadi. Satu-satunya kesempatan Yogas buat bahagia adalah kamu."
Kana memandang langit yang berwsarna biru cerah. Wajah Yogas segera terbayang di benaknya
sementara Wulan terus berbicara.
"Kamu tahu kenapa Yohgas selama ini membohongi kamu" Itu karena Yogas gak ingin kamu
mencintainya, karena kalau sampai itu terjadi, dia harus siap kehilangan kamu lagi suatu saat
nanti. Kamu ngerti kan, Kan" Dia cuma takut kehilangan kamu."
Kana langusng terisak lagi. Pikiran Kana jadi benar-benar kacau setelah mendengar kebenaran
dari mulut Wulan. Selama ini, Yogas selalu membohongi Kana supaya Kana selalu menjauhinya.
Yogas bahkan melakukan apa pun supaya Kana membencinya. Ternyata, alasannya adalah
karena dia takut akan kehilangan Kana."
"Kana, kamu bisa kan menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Wulan, tetapi Kana tak bisa
menjawabnya. Kana tidak harus menjawab dan Wulan pun pasti sudah tahu jawabannya. Wulan menghela
napas lega. Kalau ada satu orang yang bisa mengembalikan Yogas seperti dulu, gadis inilah
orangnnya. *** Yogas memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Yogas sedang sendirian di kamar Eno
karena dia sedang bekerja. Yogas memperhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.
Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat Yogas di Anyer tahun
2000 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan
segenap hati dan dibintangi oleh orang-orang yang paling didayanginya.
Yogas menatap Eno, Joe, Wulan, ayah, dan ibunya d layar handycam-nya. Baru kali ini, Yogas
memberanikan diri untuk menoonton lagi film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Yogas
bermaksud untuk melupakannnya karena menonton film ini membuatnya teringat lagi pada
orang+orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.
Wajah joe, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di layar. Yogas menatap sosok kurus
berwajah kutu itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal. Dia adalah orang yang membuat
semua kehidupanyya hancur berantakan. Ingatan Yogas tiba-tiba terlempar ke masa silam, enam
tahun yang lalu. *** "Gas, pulang sekolah kita ke belakang kantin dulu ya," kata joe sambil mnghampiri Yogas yang
sedang berkutat dengan handycaminya.
"Ngapain?" tanya Yogas tanpa menoleh.
"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasihg gue sesuatu," kata Joe lagi sambil
mengamati video yang sedang ditonton Yogas. "Ya ampun. Another documentary?"
Yogas hanya mengendikkan bahu, matanya masih tertancap ke video dukemneter yang baru
diseledaikannya. "Apa yang mau dia kasih" Another blue film?" sindir Yogas membuat Joe terkekeh.
"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," Joe mencondongkan dirinya pada Yogas. "Lo harus
coba juga." Yogas menatap Joe tanpa ekspresi. Dia tahu kalau itu menyangkut Joe, pasti semuanya
berhubungan dengan cewek.
"Oke. Asala jangan lama-lama, karena gue harus transfer ini video. Gue ngejer deadline nih,"
Yogas akhirnnya menyanggupi.
"Siap, Bos. Dasar maniak film," cela Joe sambil terkekeh.
"Calon sutradar," ralat Yogas, dan Joe tergelak lebih hebat.
"Serius Joe, siapa sih yang lo tunggu?" tanya Yogas setelah menunggu selama satu jam di
belakang kantin sekolah yang sepi.
"Temen lama gue," jawab Joe, sekarang tampak gelisah. Yogas memperhatikannya bingung.
Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di sana-sini muncul. Sejenak
Yogas merasa mereka tidak mungkin teman lama yang dimaksud Joe, tapi saat kawanan itu
mendekati Joe, mendadak Yogas merasa takut. Yogas tidak tahu sejak kapaan Joe bergaul
dengan orang-orang seperti itu.
"Oi, Joe! Apa kabar lo?" sahut salah seorang dari nereka yang di wajahnya terhias codet. Yogas
bisa membaui alkohol dari jarak tiga meter.
"Baik. Mana barangnya?" kata Joe cepat.
"Sabar dong man," laki-laki codet melirik Yogas yang mundur teratur. "Wah, siapa nih" Temen
lo" Calon pelanggan baru?"
"Bukan," Joe menahan laki"aki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Yogas.
"Dia cuma temen gue."
"Temen ya?" laki-laki itu terkekh, lalu menarik Joe ke pinggiran, dan membisikinya sesuatu.
Yogas tak bisa mendengar mereka.
Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Yogas. Bau alkohol menguar hebat dari tubuh
mereka. Joe menatap Yogas takut-takut, dan itulah, Yogas tahu kalau sesuatu yang buruk akan
terjadi. Yogas baru akan kabur saat beberapa tangan menahannya. Yogas langusng meronta
sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.
"LEPASIN GUE!!" sahut Yogas sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman dua orang besar yang ada di samoingnya. Namun, cengkeraman mereka malah
bertambah kuat. "DIEM LO!!" Seseorang bernapas busuk di depan Yogas balas menyahut. Seseorang yang
berdagu kasar menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.
"MAU APA LO!!" sahut Yogas lagi. Dia melirik Joe, sahabatnya yang ada tepat di belakang
lelaki yang tadi memukulnya. Ekspresi aneh, sama sekali tak dapat Yogas tebak. "Joe, apa
maksud lo, hah?" "Gas, gak sakit kok,"Joe berkata sambil membawa sebuah subtikan ke arah Yogas. Mata Yogas
membesar. "Cuma sekali doang, gak bikin ketagihan kok."
"Joe! Lo apa-apaan! Buang!" seru Yogas, tapi Joe seperti tidak punya pilihan. Laki-laki di codet
di belakangnya tampak sedang mengancamnya.
Kawanan itu terkekh saat Joe menghampiri Yogas yang sudah tak bisa berkutik lagi. Joe
membuka tutup suntikan itu, lalu salah seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Yogas
yang sudah menegang karena kerasnya perlawanan Yogas.
"Sori, Gas," kata Joe, lalu dengan mata menatap lurus mata Yogas, Joe menusukkan suntikan itu
ke lengannya. Yogas sudah tak merasakan sakit. Dia hanya melihat mata sahabatnya dengan tatapan marah,
bertanya-tanya apa yang menbuatnya melakukan itu.
*** Yogas mencengkeram lengan kirinya kuat. Sudah sekian kama jenangan itu menjadi mimpi
buruk Yogas. Kejadian itu sudah berlalu sekitar enam tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di
lengan Yogas masih terasa sampai sekarang. Yogas juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Joe
saat dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Yogas.
Bukan, bukan obat terlaragnya yang membuat Yogas hancur. Obat tu emang berpengaruh sedikit
, tetapi Yogas berhasil melaluinya. Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur.
Suntikan yang berasal entah dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab
kematiannya. Yogas menghantamkan kepalnya ke lantai, rahangnya mengeras. Bagaimanapun, dia harus
menemukan Joe untuk balas dendam. Karena kejadian itu, Yogas sudah tidak punya tujuan hidup
lagi. Kejadian itu juga yang membawanya pada seorang Kana, dan memaksanya untuk berpisah
lagi dengannya. Yogas mengambik sebuh kaset di antara beberapa kaset yang tergeletak, lalu
memasangakannya dia handycam-nya.
Air mata Yogas langsung menetes begitu melihat Kana dengan latar belakang Pantai Parangtritis.
Yogas sama sekali tidak bermaksud menangis, tetapi air mata itu kelluar dengan sendirinya. Otak
Yogas memang telah memerintahkannya untuk melupakan Kana, tapi ternyata hatinya tidak bisa.
Yogas sekarang tahu kalau air mata dan kesedihan tak ada hubungannya dengan otak. Sekuat apa
pun Yogas berusaha menahannya, air matanya tetap jatuh.
*** Yogas menatap kost tua di depannya ragu. Hari ini, Yogas bermaksud untuk pulang da
mengambil bebrapa baju. Dia tidak akan tinnggal dia kost ini sampai dia menemukan kot baru.
Yogas tak ingin berurusan dengan Kana lagi.
Mengingat nama itu lagi membuat Yogas pening. Semalaman, kepala Yogas sudah dipenuhi
olehnya sampai dia merasa sudah mau gila. Yogas memijat lehernya dan berjalan masuk. Ono
tampak sedang mengelap motornya.
"Gas, baru pulang, tho?" tanya Ono. Yogas hanya memblas tersenyum, langkahnya terhenti.
"Mas, ng... Kana.. ada gak ya?" tanyanya membiat Ono mengernyit.
"Gak adan nemenin ibu kost ke rumah mertuanya di Klaten. Ngopo, Gas?"
"Ooh, gak apa-apa," kelit Yogas cepat dan segera bergerak menuju tangga. Yogas menghela
napa lega. Ternyata Kana tidak ada di kost. Dengan begini dia bisabebas tinggal di sini tanpa
harus bertemu dengannya untuk beberapa hari. Ketika mencapai anak tanggaterakhir, Yogas
terpaku melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"Tapi, kalo cewek cantik yang kemaren ada, Gas!" seru Ono dari bawah. Sedikit terlambat
memang, karena Yogas sudah terlebih dulu melihat Wulan. Wulan pun sudah melihat Yogas.
Wulan tersenyum pada Yogas, yang dibals derngan seidikit ogah-ogahan. Yogas tak tahu apa
yang masih Wulan lakukan di sini.
Yogas menghampiri Wulan. "Ada apa, Lan?"$
"Aku mau pulang, Gas," jawab Wulan pelan. Yogas mengangguk. "Tapi, aku mau mau ngobrol
sebentar lagi ama kamu."
Yogas menatap Wulan dan menimbvang-nimbang, lalu mengangguk lagi.
"Ayo ke atas," ajak Yogas sambil melangkah duluan ke lantai tiga sementara Wulan
mengikutinya. Setelah sampai, Yogas langusng bersandar di pembatas pagar. Wulan
menataponya lekat-lekat. Yogas meliriknya. "Apa kamu masih mau minta maaf lagi?"
Wulan segera tersenyum lemah. "Gas, kemarin aku udah ngobrol sama Kana," katanya membuat
Yogas melebar. "Apa?" kata Yogas dingin. Wulan tahu Yogas pasti sangat marah.
"Aku udah cerita tentang alasan kamu dapet penyakit itu. Aku udah cerita semuanya sama dia.
Maaf kalo aku ngelakuin ini tanpa permisi sama kamu, tapi aku rasa, dia berhk untuk tahu."
Ucapan Wulan membuat Yogas membuang pandangannya. "Gas, dia tulus sama perasaannya,
dan aku tahu persis gimana perasaan kamu."
Yogas mendengus skeptis. "Oya" Kamu tahu ya?"
"Iya. Kamu takut. Iya kan, Gas?"K ujar Wulan membuat Yogas terdiam. "Kamu cuma takut
kehilangan dian seperti dulu kamu kehilangan semua orang yang kamu syangin. Iya, kan?"
Yogas tidak menjawab. Dia menatap bangunan-bangunan dia depannya tanpa ekspresi.
"Gas, aku tahu aku gak berhak ngomong ini, tapi kamu berhak bahagia sama Kana, Gas. Aku
tahu, dulu aku begitu bodoh udah ninggalin kamu, dan sekarang kamu gak mau terima aku lagi.
Tapi, Gas, Kana adalah orang yang tepat buat kamu, dan aku mendukung kamu sama Kana!"
sahut Wulan sambil menarik lengan Yigas.
"Lan," tegur Yogas dingin membuat Wulan berhenti nenarik Yogas. Yogas menoleh dan
menatap Wulan tajam. "Cukup sampe di sini campur tangan kamu. Aku berterima kasih kamu
udah sejauh ini mikirin aku, tapi gak ada kebahagiaan lain buatku selain bals dendam sama Joe."
"Tapi, Gas..." "Lan," desak Yogas lagi. "Tolong jangan paksa aku. Aku gak mau ngebentak kamu."
Wulan terdiam sementara Yogas membuang pandangannya lagi. Air mata Wulan mulai jatuh.
Cewek itumerasa tak berdaya menghadapi Yogas yang sudah tak tergapai seperti ini. Wulan juga
kesal pada dirinya sendiri karena sekali lagi telah gagal menghadapi Yogas. Dia hanya bisa
menggigit bibirnya agar tidak terisak.
Yogas menoleh dan menatap Wulan lama. Gadis ini dulu pernah dicintainya sepenuh hati. Gadis
ini juga yang sudah meninggalkannya dan kembali lagi untuknya, bahkan mendukungnya untuk
bahagia bersama orang lain. Yogas tidak bisa berterima kasih lagi padanya.
"Lan," kata Yogas membuat Wulan sedikit mengangkat wajahnya. Yogas mengambil jeda
sejenak, berusaha mengendalikan emosinya. "Kamu... harus bahagia, ya?"
Wulan menatap Yogas, lalu menangis hebat sampai terduduk di lantai yang dingin. Tidak pernah
hati Wulan merasa sesakit ini seumur hidupnya. Perkataan Yogas tadi seakan menyiratkan
bahwa Wulan tak akan pernah melihat Yogas lagi. Dulu, Wulan tak pernah memikirkan dia akan
bahagian bersam orang lain selain Yogas, tetapi saat Yogas mengatakannya sekarang, Wulan
tahu, kalau dia sudah membuat kesalahan yang paling besar dalam hidupnya. Wulan tak akan
bisa lebih bahagia dari saat-saat bersama Yogas dulu.
Yogas membiarkan Wulan menangis untuk beberapa saat. Yogas harus bisa merelakannya.
Yogas harus bisa merelakan semua yang dia miliki, termasuk apa yang disayanginya sekarang.
There's Still Tomorrow Yogas baru saja berkeliaran di kampus tekhnik UGM. Setelah berbagai kejadian kemarin, Yogas
kembali bernapsu untuk menemukan Joe. Joa-lah yang bertanggung jawab atas semua
penderitaan yang dialami Yogas selama ini.
Namun, lagi-lagi Yogas pulang tanpa membawa hasil. Dia menaiki tangga sambil mematikan
iPod-nya, tanpa melihat Kana yang menatapnya terkejut dari depan kamarnya. Yogas baru sadar
saat melihat sepasang kaki di depannya. Yogas mendongak, lalu menatap Kana kaget.
"Lo bukannya..." Yogas mendadak terdiam. Dia tidak akan membuka percakapan apa pun lagi
dengan Kana. Dulu, semua adalah kesalahannya. Dia sudah membiarkan dirinya terlibat begitu
jauh dengan Kana. Sekarang, Yogas memastikan hal itu tidak terjadi lagi. Yogas menelan katakatanya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
"Gas, tunggu!" sahut Kana sambil menghalanginya. Yogas menatap cewek itun dan mendadak
Yogas sadar kalau dia sudah terlalu lama tidak melihat mata Kana yang bulat itu. Yogas segera
mengalihkan pandangannya.
"Apa?" tanya Yogas berusaha supaya kedengaran tidak peduli.
"Apa" Apa?" tanya Kana tak percaya. "Bukannya 'Ap"'! Kamu harusnya minta maaf sama aku!"
Yogas kembali menatap Kana. "Hah?"
"Kamu harusnya minta maaf setelah semua yang kamu lakuin selama ini! Dasar pembohong,"
ujar Kana, tetapi tidak tampak marah. Yogas yakin Wulan pasti sudah mengatakan yang tidaktidak padanya.
Kana sekarang melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatap Yogas seolah menunggu
permintaan maafnya. Yogas menghela napas. Pola ini terulang lagi, tetapi Yogas tidak akan
kalah. "Denger ya, apa pun yang Wulan bilang sama lo..."
"Aku lebih percaya sama Wulan," tandas Kana membuat Yogas terdiam. "Kamu selalu bohonh,
jadi aku sudah gak percaya lagi sama kamu."
"Lo... bisa gak sih, lo biarin gue sendiri?" sahut Yogas geram.
"Apa" Kamu ngomong sesuatu yang kejanm lagi?" tantang Kana, tidak tampak takut. Ygas
menatapnya tajam, lalu memukul pintu di depannya, tepat di samping wajah Kana. Kana balas
menatap Yogas berani. "Apa Wulan bilang kalo gue sebenarnya takut kehilangan lo?" tanya Yogas. "Karena kalo iya, lo
kegeeran banget. Sama sekali gak pernha terbesit di pikiran gue..."
"Aku sudah gak peduli lagi sama semua kebohongan kamu," potong Kana membuat Yogas
melotot. "Mau kamu bilang aku cewek desa, aku bukan tipe kamu, kamu gak suka aku, kamu
benci aku, aku gak peduli."
Yogas menatap Kana bingung.
"Gas, aku sudah denger semuanya dari Wulan, dan sekarang aku tahu kenapa kamu punya
penyakit ini," ujar Kana lembut. "Aku sekarang tahu kalo bukan salah kamu bisa dapet penyakit
itu. Sebenernya, alasan apa pun gak penting, karena aku gak akan ngejauhin kamu karena kamu
punya penyakit itu."
"Berhenti ngomong sesuatu yang mais-manis," sambar Yogas geram. "Lo dulu sempet ragu,
kan?" "Memang benar aku sempet ragu, tapi aku nyesel. Harusnya aku gak pernah ragu. Waktu itu aku
akui, aku takut. Tapi, setelah itu, aku benci aku yang penakut kayak gitu. Waktu itu, aku pikir,
kalo aku takut, aku gak akan pantes buat kamu," kata Kana lagi. Yogas masih menatapnya tanpa
berkedip. "Tapi, Gas, sekarang aku gak akan pernah takut lagi. Aku tahu kayak apa mungkin
kamu berubah beberapa tahun lagi, tapi Gas, aku gak pernah punya perasaan sekuat ini sama
siapa pun. Kamu berubah jadi apa juga gak mungkin bikin aku mundur."
"Lo gak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi di masa depan," ujar Yogas gemetar. Kana
tersenyum. "Kamu juga gak tahu, kan?" Ucapan Kana membuat mata Yogas melebar. "Jadi, kenapa kita gak
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ambil risiko itu?" Yogas ingin sekali merengkuh gadis di depannya ini. Setitik air matanya mulai menetes. Kana
menyeka air mata itu dengan jemarinya dan memegang lembut pipinya. Yogas bahkan tidak
menghindar. "Gue cuma punya waktu lima tahun," gumam Yogas membuat Kana tersenyum lagi.
"Jadi, ato kita gunakan waktu itu sebaik-baiknya," jawab Kana membuat setitik lagi air mata
jatuh dari mata Yogas. "Kalo kamu tahu kamu cuma punya waktu lima tahun, ayo kita buat
kenangan sebanyak-banyaknya dalam waktu itu."
"Lo... lo rela ngorbanin lima tahun hidup lo buat gue?" tanya Yogas lagi.
"Aku gak mau bilang aku rela ngorbanin lima tahun hidupku untuk kamu," ujar Kana. "Karena
aku gak mau cuma lima tahun bareng kamu. Aku mau selamanya bareng kamu."
Yogas menatap Kana dalam-dalam, mencari kebenaran dalam matanya.
"Kan... Boleh gue percaya omongan lo sekarang?" tanya Yogas membuat air mata Kana mulai
menetes. Kana mengangguk, lalu membelai pipi Yogas yang sudah basah karena air mata.
Sebelum Yogas sempat berkata-kata lagi, Kana memeluk Yogas. Awalnya, Yogas hanya
membatu, menyangka dirinya sedang berada di alam mimpi. Namun, harum rambut Kana
menyadarkannya, bahwa saat ini dia benar-benar hidup di dunia nyata. Yogas mengangkat
tangannya ragu, lalu menyentuh punggung Kana yang terasa hangat. Semuanya terasa begit
nyata. Yogas mempererat pelukannya pada Kana dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke bahu
gadis itui. Yogas tidak ingat kapan dia merasa sebahagia ini sebelumnya. Kali ini, dia tidak akan
melepas Kana lagi. Tidak akan pernah lagi.
*** Yogas membuka matanya dan seberkas cahaya menelusup melewati jendela. Yogas mengerjapngerjap, dan setelah semua nyawanya terkumpul, dia berusaha mengingat kejadian semalam.
Semalam, dia bermimpi telah memluk Kana. Dia bermimpi bahwa Kana berkata akan selalu
bersamanya. Yogas mengangkat tangannya dan mentap tangan itu. Tangan yang sudah menyerah
pada seorang gadis bernama Kana.
Mendadak Yogas sadar, kalau kejadian semalam bukanlah mimpi. Harum Kana ada di manamana di kamar ini. Semalam, setelah Yogas memeluk Kana, emosinya begitu meledak-ledak
sampai dia tidak ingin melepaskan Kana. Yogas memeluk Kana sampai Kana jatuh tertidur.
Yogas terbangun dengan tersentak, lalu melihat ke sekelilingnya. Kana sudah tidak ada. Yogas
segera bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dia berdiri di depan pintu kamar Kana dan
menatapnnya ragu. Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. Harusnya semalam dia bisa lebih menahan diri.
Harusnya dia bisa melepaskan Kana dan membiarkan Kana tidur di kamarnya sendiri. Yogas
benar-benar takut Kana sudah menganggapnya yang tidak-tidak. Kana pasti sangat terkejut saat
melihat Yogas di sampingnya saat bangun sehingga langsung kabur dan tidak mau melihat
Yogas lagi. Yogas masih saja menjambak rambutnya frustasi saat mendengar suara pintu terbuka di tingkap
atas. Yogas menatap pintu itu penasaran. Mungkin saja Kana ada di atas.
Yogas segera naik ke lantai tiga dan Kana ada di sana, sedang bersandar pada pagar pembatas,
menatap bangunan-bangunan di depannya. Yogas menghela napas lega karena setidaknya Kana
masih ada di kost ini. Tahu-tahu Kana menoleh, dan melempar senyum pada Yogas yang segera
salah tingkah. Yogas lalu menghampiri Kana ragu-ragu.
"Ng..." gumam Yogas tak jelas. "Sori, semalem gue... Sori."
"Gak apa-apa," Kana tersenyum semakin lebar. "Semalem aku kebangun, terus kamu sudah
ketiduran. Jadi, aku selimutin kamu terus pindah ke kamar."
Yogas mengangguk-angguk, benar-benar lega karena Kana tidak berpikiran aneh-aneh
tentangnya. Yogas ikut bersandar di sebelah Kana. Sebenarnya, Yogas masih ingin memluk
Kana, tapi keinginannya itu ditahannya.
"Kok diem?" tanya Kana membuat Yogas menoleh. Kana tertawa kecil. "Gas, aku belum pernah
denger dari kamu lho, kalo kmau suka sama aku..."
Yogas menatap Kana tak percaya, lalu membuang muka. Telinganya yang berubah merah
membuat Kana terbahak. "Gak usah bilang juga udah tahu, kan," ucap Yogas keki. Kana sendiri berhenti tertawa, lalu ikut
menatap pemandangan di depannya.
"Sampe saat ini, aku masih belum percaya kalo kamu akhirnnya mau percaya sama aku," kata
Kana membuat Yogas menatapnya. "Aku seneng banget sampe rasanya pengen nangis."
Kana tidak bisa mengatakan kalau semalam saat dia terbangun dan mendapati Yogas ada di
sampingnya, dia menangis lagi. Kana benar-benar senang Yogas sudah mempercayainya.
Kana menggigit bibirnya, menahan dirinya untuk tidak menangis lagi. Yogas menepuk
kepalanya dan mengacak rambutnya.
"Harusnya gue yang ngomong begitu," ujar Yogas membuat Kana benar-benarmenangis. "Hus.
Jangan nagis terus ah. Dasar cengeng."
"Biarin cengeng juga!" sahut Kjana sambil terisak. Yogas tersennyum simpul.
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas berbaring di lantai dengan kedua tangan terlipat di
belakang kepalanya. Kana menyeka air matanya, lalu ikut duduk di sampingnya. Sejenak mereka
menikmati angin yang berembus sepoi.
Kana melirik Yogas yang sudah terpejam. Kana memeluk lututnya dan mengamati profil Yogas
yang tampak menawan ditimpa sinar matahari.
"Ng... Gas?" tanya Kana pelan.
"Hm?" "Ng... Aku boleh tanya sesuatu gak?"
Yogas membuka matanya menatap sekumpukan awan yang berarak. Dia tahu, cepat atau lambat
Kana pasti akan bertanya sial masa lalunya.
"Boleh aja," kata Yogas akhirnya.
"Hm... Apa bener cita-cita kamu jadi sutradara?" tanya Kana hati-hati. "Kata Wulan, dulu pas
SMA kamu pengen jadi sutradara."
"Benar," jawab Yogas setelah beberapa saat. Dia duduk dan mengorek saku celananya dan
mengeluarkan rokok. Kana dengan segera merampas rokok itu dan membuangnya. Yogas
menatapnya sebentar, lalu menghela npas. "Tapi, sekarang udah gak ada gunanya lagi kan
ngomongin itu?" Kana menatap Yogas bingun. "Kenapa?"
Yogas balas menatapnya. "Kenapa" Ya udah jelas kan" Mana bisa gue jadi sutradara."
"Kenapa gak bisa?" tanya Kana lagi membuat Yogas sekarang bena-benar memusatkan perhatian
padanya. "Denger ya," ujar Yogas setengah geli. "Orang kayak gue ini udah gak punya masa depan. Gak
mungkin gue bisa jadi sutradara."
Mata Kana membulat saat Yogas mengatakan itu.
"Gas, aku pikir kamu gak akan menyerah begitu aja." Ucapan Kana membuat Yogas mendengus.
"Emangnya gue pernag ngomong begitu?" katanya, dan Kana sadar kalau Yogas memanbg tidak
pernah mengatakannya. "Gas, kamu jangan nyerah dong. Kamu pasti bisa jadi apa pun yang kamu mau kalo kamu gak
nyerah!" ujar Kana. Yogas nenatapnya kesal.
"Jangan kasih gue ceramah lagi deh," sergahnya membuat Kana terkejut. Yogas menghela napas.
"Gue memang berterima kasih lo udah nerima keadaan gue, tapi bukan berarti lo bisa
nyeramahin gue." Kana menatap Yogas tak percaya. Yogas menolak untuk menatapnya balik.
"Gas, aku tahu kamu memang sakit. Tapi, apa sekarang kamu lumpuh" Apa sekarang kmau
cacat" Gak, kan?" seru Kana membuat yTogas kaget. "Bahkan orang cacat pun gak berhenti
bermimpi! Kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau!"
"Kalo sekarang gue berusaha pun belum tentu ntar gue bia jadi sutradara!" sahut Yogas balik.
"Tapi, itu lebih baik daripada kamu gak ngelakuin apa pun!" sahut Kana lagi. "Seenggaknya
kamu udah berusdaha, itu yang penting!"
Yogas terdiam mendengar kata-kata Kana. Kana menghela napas.
"Gas, orang tyang udah tahu bakal mati dan diam menerima nasib itu orang yang paling
menyedihkan," lanjut Kana. "Semua orang tahu mereka mungkin saja bisa mati besok, tapi gak
ada yang cuma diam nunggu kematiannya."
"Tapi, gak semua orang tahu kapan tepatnya mereka mati, gak kayak gue," kata Yogas miris.
"Gue cuma diprediksi bisa hidup lima tahun lagi, dan setiap inget itu, gue hilang semangat."
"Kalo benar kamu cuma hidup lima tahun lagi, berarti kmau harus bisa menghargai setiap
harinya," ucap Kana. "Bahkan setiap detiknya. Karena cuma tinggal lima tahun, makanya jangan
biarkan sedetik pun berjalan begitu aja."
Yogas hanya terdiam menatap Kana.
"Gas," kata Kana lagi sambil tersenyum pada Yogas. "Kamu kamu yakin, aku yakin pasti bisa.
Aku yakin suatu saat kamu bisa jadi sutradara. Kamu cuma harus berusaha, jangan pernah
menyerah sama keadaan kamu. Itu aja."
Yogas berhenti menatap Kana dan kini menatap awan. Sudah begitu lama Yogas tidak
memikirkan cita-citanya. Yogas menganggap cita-cita itu bagian dari masa lalu yang tak akan
pernah diungkitnya lagi. Namun, sekarang, seorang gadis bernama Kana telah membuatnya
kembali mengiginkan cita-cita itu. Kana mngakan hal yang tadinya dia rastanya tidak mungkin
mnjadi mungkin. Dulu, Yogas menyerh untuk masuk sekolah perfilman karena terlalu takut. Takut kalau ada yang
mengetahui penyakitnya dan menjauhinya. Takut kalau sebelum sempat memulai dia sudah akan
mati. Sekarang, setelah mendengarkan Kana, Yogas mulai menyadari kalau hidupnya yang
tinggal sedikit ini tidak boleh disia-siakna.
Kana melirik Yogas yang tampak berpikir keras. Kana benar-benar menginginkan Yogas untuk
kembali bersemangat dan melupakan dendamnya pada Joe. Kana tidak ingin melihat Yogas lebih
menderita lagi. "Gas," ujar Kana pelan. "Tolong janji satu hal sama aku."
Yogas mentap Kana. Kana menggigit bibirnya ragu.
"Lupain soal... Joe," kata Kana pelan membuat Yogas mengangkat alis tinggi-tinggi. Detik
berikutnya, dia mendengus.
"Lo suruh gue ngelupain bajingan itu?" tanya Yogas, toba-tiba kembali menjadi Yogas yang
dingin. "Lo bercanda, kan?"
"Gas, kalo kamu masih nyari dia, kamu gak aka bisa nerusin cita-cita kamu! Kamu ngerti kana
apa akibatnya kalo kamu ngebunuh dia" Kamu bakalan ngehabisin hidup kamu di penjara!" seru
Kana. "Kamu mau seperti itu.
Tangan yogas terkepal keras, bahkan sampau bergetar. Yogas bukannya tidak pernah
memikirkan kemungkinan itu. Memang dulu Yogas tidak peduli kalau dia sampai dipenjara atau
mati sekalipun, karena tidak ada yang peduli padannya. Namun, sekarang berbeda. Sekarang, ada
yang peduli padanya. Seorang gadis dengan wajah khawatir yang sedang duduk di sebelahnya.
"Gas, aku sudah janji mau nemenin kamu, kan" Terus apa gunanya kalo kamu ada di penjara?"
kata Kana lagi. Dia memgang kedua pipi Yogas dan memandangnya dalam-dalam. "Gas, aku
mohon." Yogas balas memandang Kana. Yogas benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Memang benar
dia sekarang gak mau kehilangan Kana, tetapi dia juga tidak bisa melupakan dendam enam
tahunnya begitu saja. Karena Joe, seluruh kehidupannya hancur berantakan.
Yogas bangkit tiba-tiba, membuat Kana terkejut. Yogas turun tanpa mengucapkan sepatah kata
pun lagi padanya. Kana terduduk pasrah menatap punggung Yogas yang segera menghiang di
balik pintu. Kana merasa Yogas benar-benar sudah tak tersentuh lagi.
*** Selama setengah jam, Yogas duduk diam di atas kasur kapuk kamarnya. Yogas melirik seprai
itu. Seprai berwarna pink dengan gambar Barbie. Yogas menghela napas, lalu meraoh handycam
di sebelahnya. Dari semua hal, Yogas tidak pernah bisa melepaskan handycam ini. Handycam yang diberikan
ayahnya saat dia berumur sepuluh tahun. Handycam yang tidak akan pernah digantinya dengan
apa pun. Yogas menyetel sebuah kaset saat ulang tahunnya yang kesebelas. Tampak figur ayah dan
ibunya yang bahagia. Handycam itu kemudian dipegang oleh orang lain, dan figur Yogas kecil
tampak di sana. Dia meniup lilin, sementara ayah dan ibunya memeluknya erat. Wajah mereka
semua tampak bahagia. Tangan Yogas bergetar menatap pemandangan itu. Mellihatnya membuat semua kenangan
terputar balik di otaknya. Saat-saat mereka mengetahui penyakit Yogas. Saat ayahnya
memutuskan pergi dari rumah karena malu. Saat ibunya menangis tak henti-hentinya.
Kalau saja Tuhan mengizinkan Yogas untuk membuat satu permohonan, Yogas ingin kemblai ke
saat-saat di mana semuanya masih baik-baik saja, seperti ulang tahunnya yang kesebelas ini.
Yogas mengelus handycam itu pelan. Handycam yang sudah belasan tahun menemaninya.
Handycam yang merekam semua perjalanan hidupnya. Handycam yang menjadi awal dari citacitanya.
Yogas menjambak rambutnya. Dia tidak tahu harus nagaimnana. Tahu-tahu pinsel di sebelahnya
bergetar. Yogas meraih ponsel itu heran. Seinganya, dia tidak memberi nomor barunya kepada
siapa pun kecuali Eno. Mata Yogas nelebar saat mengenali angka yang muncul di layar ponselnya. Itu nomor rumahnya.
Tangan Yogas tiba-tiba terasa dingin. Yogas menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu
pada telinganya. "Hal" Yogas?" Terdengar suara perempuan dari seberang.
Yogas bergeming saat mendengar suara ibunya. Sudah begitu klama dia tidak mendengar suara
itu, samapai-sampai Yogas merindukannya.
"Yogas! Ini Yogas, kan?" tanya ibunya lagi. Tenggorokkan Yogas terasa kering.
"Kenapa?" kata Yogas dengan suara serak.
"Yogas!" seru ibunya. "Untung nomernya benar! Kamu ada di mana sekarang" Masih di
Yogya?" Mendadak, Yogas sadar kalau Wulan pasti sudah melaporkan segalanya pada ibunya. Dan,
Wulan mendapatkan nomor ini dari Eno. Yogas mengatur napasnya.
"Kenapa?" tanya Yogas lagi.
"Yogas, ayo pulang," bujuk ibunya, terdengar mau menangis. "Ayo pulang, Gas. Kami nunggu
di rumah." Yogas tertawa dalam hati. Kami" Kami siapa maksudnya"
Yogas masih terdiam. Sebenarnya, dia hanya ingin mendengar suara ibunya. Yogas juga takut
kakau dia bicara, dia akan menangis dan ingin cepat pulang.
"Yogas, kamu marah sama Mama, ya?" tanya ibunya kemudian. "Kamu marah sama Mama,
kan" Gas, maafin Mama. Maafin Mama, Gas."
Yogas hampir-hampiur tidak bisa menahan emosinya. Yogs tidk menyangka ibunya akan
meminta maaf. "Maafin Mama karena Mama bukan ibu yang baik," kata ibunya tersedu. "Maafin Mana karena
Mama gak merawat kamu dengan baik. Pulang, Gas. Izinkan Mama merawat kamu sekali lagi."
Yogas tetap mendengarkan tanpa bisa berkata apa pun. Rhang Yogas sudah mengeras, menahan
segala keinginannya untuk menangis.
"Mama gak akan nangis lagi, Gas. Mama akan tegar. Mama akan lebih percaya diri. Mama gak
akan peduli lagi apa kata tetangga. Yogas pulang, ya?" bujuk ibunya lagi. "Gas, kalo kamu
pulang, ada seseorang yang nunggu kamu."
Yogas mengernyit heran. Siapa yang menunggunya." Wulan-kah"
"Gas?" Tahu-tahu terdengar suara berat dari seberang, membuat jantung Yogas serasa berhenti
berdetak. Yogas tak bisa mempercayai pendengarannya. Mungkin Yogas sudah salah dengar. Mungkin
Yogas barusan berkhayal. "Yogas" Nak" Ini Papa," kata suara itu lagi membuat Yogas benar-benar hilang kendali dadanya
sesak karena mendengar suara itu untuk yang pertana kalinya dalam beberapa tahun terakhir.
Ayahnya terdiam sebentar di ujung sana.
"Yogas" Papa tahu kamu pasti sangat marah sama Papa. Tapi, beri Papa kesempatan sekali lagi,
Gas. Beri Papa kesempatan sekali lagi," kata ayahnya nembuat tangis Yogas tak tertahan lagi.
Ayahnya juga sudah terisak.
"Pa..." gumam Yogas di tengah isakannya.
"Yoas, maafkan Papa ya" Papa benar-benar bodoh sudah meninggalkan kamu dan mamamu.
Enam tahun Papa nenginteropeksi diri, dan ternyata memang Papa yang salah. Kamu tidak
bersalah. Papa yang sudah salah karena pergi. Seharusnya, Papa tetap nmendukung kamu.
Mamafkan Papa yang pengecut ini, Gas," kata ayanya lagi membuat tangisan Yogas semakin
keras. "Gas, kamu pulang ya, Nak" Ayo, kita coba sekali lagi," kata ayahnya lagi. "Kali ini, Papa gak
akan lari lagi. Kita ulangi dari awal. Kamu, Papa, dan Mama."
Yogas tak bisa menjawab. Dia sudah menangis sejadi-jadinya. Seumur hidupnya, dia tidak
pernah sebahagia ini. Dia sangat bahagia sampai dadanya seperti mau mneledak.
Terdengar ketukan di pintu, tetapi Yogaas tak bisa mendengarnya. Kana muncul di pintu dan
terkejut menatap Yogas yang sedang menangis. Kana segera menghambur ke arah Yogas.
"Gas" Kamu kenapa?" tanya Kana panik. "Kamu sakit" Apanya yang sakit?"
Yogas tidak menjawab. Kana bingung menatap Yogas yang terisak hebat, lalu menatap ponsel
yang sedang dipegangnya. Kana mengambil ponsel itu, yang ternyata masih tersambung. Ragu,
Kana mndekatkan telinganya pada ponsel.
"Yogas" Nak" Kamu masih di sana?" sahut sebuah suara wanita. Kana terbelalak, yakin itu suara
ibu Yogas. Kana tak berani menjawab. "Yogas, setelah kamu tenang, kami telepon lagi, ya.
Cepat pulang ya Gas, kami menunggu."
Setelah itu sambungan terputus. Kana tersenyum, sudah mengerti arti dari tangisan Yogas.
Ternyata, keluarga Yogas mengharapkan Yogas untuk pulang. Yogas sekarang sudah tidak
sendirian lagi. Kana mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Yogas, lalu memeluknya yang masih
menangis. Kana benar-benar bahagian karwna akhirnya Yogas sudah kembali mendapatkan
kehidupannya. Kana menitikkan air mata. Kana tahu seharusnya dia tidak sedih, tetapi dengan begini Yogas
akan lebih cepat menghilang dari pandangannya. Yogas akan kembali pada keluarganya, tetapi
Kana harus bisa mendukungnya.
Karena Kana sudah berjanji akan menjadi kuat untuk Yogas.
From now on what will happen to us"
Yogas mengamati segumpal awan putih yang berarak lambat di langit yang biru. Semalaman
Yogas berpikir akan melakukan apa. Dia sangat ingin pulang untuk menemui ayah dan ibunya,
tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Kana.
"Oii," kata Kana sambil menepuk bahu Yogas. Yogas menoleh dan mendapati Kana sedang
membawa dua gelas cokelat hangat sambil nyengir lebar. Kana menyodorkan salah satunya pada
Yogas. "Lagi mikirin apa sih" Serius amat."
Yogas menatap heran Kana yang menghirup cokelatnya. Kana sepertinya biasa-biasa aja,
padahal dia tahu tentang ayah Yogas yang sudah kembali.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merasa diperhatikan, Kana menoleh.
"Kenapa" Kok gak diminum?" tanya Kana lagi membuat Yogas tersadar dan meminum
cokelatnya yang kemanisan. Yogas memilih untuk tidak berkomentar.
Kana meregangkan kedua tangannya sampai isi gelasnya mau tumpah. Dia melakukan senamsenam kecil dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, membuat Yogas jadi teringat
pertemuan mereka yang pertama. Saat itu, Kana juga melakukan senam seperti ini.
"Aaah.... sudah lama gak senam," kata Kana ringan sambil menghirup udara pagi. Yogas
memperhatikannya, berharap bisa melihat pemandangan itu selamanya. Kana sendiri sudah
menatap awan dengan mata menerawang. "Dari sini... kira-kira apa yang bakal terjadi sama kita,
ya?" Yogas menatap mata Kana lama.
"Kana," kata Yogas membuat Kana menoleh. "Kalo lo minta gue tinggal, gue bakal tinggal."
"Hah" Kamu gila, ya" Gak mungkin!" seru Kana kaget. "Kamu harus pulang! Ayah dan Ibu
kamu nunggu kamu!" Yogas terdiam menatap cokelatnya yang tinggal setengah. Kana memandangnya, lalu tersenyum.
"Gas, kamu harus tahu. Kalo kamu bahagia, aku juga ikutan bahagia. Kamu harus pulang, dan
kamu harus ngelanjutin cita-cita kamu," kata Kana lagi.
"Terus lo gimana?" tanya Yogas.
"Aku" Aku juga akan berusaha di sini. Aku bakal berusaha mencapai cita-citaku. Aku bakal
lulus kuliah, berhasil jadi penulis best seller," kata kana mantap. "Kita pasti bisa, Gas. Ayo kita
sama-sama berusaha."
Yogas menghela napas. Sangat berat rasanya membicarakan ini dengan Kana. Yogas sebenarnya
ingin mengajak Kana bersamanya, tetapi Kana memiliki cita-cita sendiri, dan Yogas tidak bisa
menghentikannya. Yogas juga harus mendukungnya seperti Kana mendukungnya.
"Kan," kata Yogas membuat Kana menoleh. "Soal janji lo itu... lupain aja. Lo jangan khawatir
lagi soal gue. Kalo nanti lo nemu orang yang lebih baik..."
Yogas berhenti bicara begitu melihat ekspresi Kana. Kana seperti sudah siap untuk
menamparnya atau apa. "Sori," kata Yogas cepat-cepat. Dia menatap Kana dalam-dalam. "Gue pasti balik."
Kana balas menatap Yogas lekat, lalu mengangguk. "Aku tungu," ujar Kana sambil tersenyum.
Yogas ikut tersenyum, lalu mengacak rambut Kana yang lembut. Yogas meminum habis
cokelatnya, lalu menatap pemandangan atap-atap rumah di depannya. Dia pasti akan sangat
kehilangan tempat ini. *** Yogas sudah memutuskan untuk pulang besok. Sekarang, dia sedang membereskan barangbarangnya. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah benda di dalam ranselmya. Yogas
mengeluarkannya, lalu menatapnya nanar. Ssebuah belati yang dibelinya di sebuah pasar malam
saat dia sedang emosi. Yogas menarik napas lalu memasukkan kembali belati itu ke ranselnya. Seberapa pun dendam
yang disimpannya, dia harus bisa menahannya karena sekarang sudah banyak orang yang peduli
padanya. Yogas tidak ingin menghabiskan hidupnya di penjara.
Setelah selesai mengepak barang, Yogas bermaksud untu pergi ke kost Eno karena dia belum
sempat bercerita padanya. Yogas melangkah keluar dari kamar dan mendapati Kana sedang
lewat dengan membawa setumpuk baju yang baru diangkatnya dari jemuran.
"Eh" Mau ke mana?" tanya Kana dari balik tumpukan baju.
"Ke kost Eno," jawab Yogas. Tahu-tahu sebuah bra jatuh dari tumpukan itu, dan kana tampak tak
sadar. Yogas tersenyun simpul, lalu mengambilnya dan menyangkutkannya pada kepala Kana.
Kana melongo sementara Yogas buru-buru kabur.
"Heeeh! Dasar cabuuul!" seru Kana, tetapi Yogas sudah melesat keluar kost.
Kana menghela napas, lalu nyengir sendiri. Untuk kali ini tidak apa-apa.
*** Yogas berjalan ke kost Eno dengan langkah ringan sambil mendengarkan musik dari headphone
besarnya. Hari ini, tampaknya hujan mau turun, dilihat dari sekumpulan awan hitam yang
menggantung di langit. Yogas mempercepat langkahnya ke kost Eno. Di tengah jalan, mendadak
musik di telinganya terhenti.
Yogas berhenti berjalan, lalu mengecek iPod-nya. Ternyata, semalam d tidak mengisi baterainya.
Yogas menghela napas, lalu melepaskan headphone dari telinganya dan membiarkannya
terpasang di leher. Saat Yogas baru akan kembali berjalan, dua orang cowok lewat sambil mengobrol.
"Gue kemaren maen ke kost-nya," kata cowok yang memakai kaus merah. "Gila, dia tajir
mampus! Punya segala macam gadget!"
"Lah, bukannya memang bokapnya si Joe pejabat ya?" sahut temannya, membuat langkah Yogas
tiba-tiba terhenti. Yogas berbalik dan menatap kedua cowok itu. Tubuhnya gemetar dan terasa dingin. Yogas tahu
ini mungkin saja bukan Joe yan dimaksudnya, tetapi tetap saja Yogas memiliki firasat.
Yogas segera berlari menuju kedua cowok tadi dan menghadangnya. Kedua cowok itu menatap
Yogas heran. "Eh, tunggu. Tadi kalian ngomongin Joe?" tanya Yogas membuat kedua cowo tadi mengangguk.
"Joe ini... anak Jakarta?"
"Iya. Lo siapa ya?" tanya cowok yang berbaju merah, tetapi Yogas tak mendengar.
"Joe ini... anak SMA 218" Angkatan 2002?" tanya Yogas lagi, jantungnya berdetak tak keruan.
Kedua cowk tadi saling pandang, lalu sama-sama mengangguk. Yogas segera bergerak buas ke
arah cowok yang berbaju merah dan mencengkeram lehernya.
"Eh, lo kenapa, Man?" seru cowok itu, terkejut.
"Di mana kost-nya?" seru Yogas kalap. "DI MANA KOST-NYA?"
Teman cowok iru segera maju, berusaha melerai, tetapi kekuatan Yogas jauh melebihi mereka
berdua. "Apa urusan lo sih?" sahut cowok itu, membuat Yogas memperkuat cengkeramannya.
"Lo gak usah mau tahu! Kasih tahu gue di mana kost-nya!" sahut Yogas lagi.
"Di daerah Babarsari!" jerit cowok itu membuat Yogas mengumpat. Dia sama sekali tidak tahu
daerah itu. "Kampusnya?" seru Yogas lagi sambil mengguncang-guncang tubuh cowok itu. "Kampusnya di
mana?" "UPN!" seru cowok itu. "UPN jurusan tekhnik Kimia!"
Yogas segera melepas cowok itu yang segera terbanting ke tanah. Temannya segera
menghampirinya. "Lo kenapa sih" Gila ya?" sahut temannya pada Yogas, tetapi Yogas tak peduli.
Tangan Yogas sudah terkepal keras di samping pahanya. Ternyata Yogas memang tidak bisa
melepaskan Joe. Yogas segera berlari. Kepalanya sudah panas dan dia sudah tidak bisa berpikir lagi.
*** Kana sedang menyapu lantai gang depan kamarnya ketika Yogas tahu-tahu muncul dari tangga
dan berlari kalap menuju kamarnya.
"Gas" Kenapa?" tanya Kana, tetapi Yogas tidak menjawab dan melewatinya begitu saja. Yogas
buru-buru membuka pintu kamarnya, lalu masuk. Kana segera mengintip dari luar.
Yogas tampak mengobrak-abrik ransel yang telah dipaknya dengan tak sabar. Kana menatapnya
takut. "Gas?" tanya Kana lagi dan Yogas telah mendapatkan apa yang dicarinya, belati tajam yang
dibungkus dengan sarut kuluit hitam. Kana mengenali barang itu, lalu terpekik. "Yogas! Kamu
mau apa sama itu?" Yogas tak mendengarkan. Dia menyelipkan belati itu ke pinggangnya, lalu berdiri, bermaksud
pergi lagi. Kana menghadangnya di pintu dan menatapnya khawatir.
"Gas! Kamu sudah janji, kan" Kamu mau pulang, kan" Gas!" seru Kana, tapi Yogas hanya
menatapnya dingin tanpa menjawab. "Gas! Jangan lakuin ini Gas, aku mohon..."
Yogas tak peduli dan berderap pergi. Kana merasa seluruh tubuhnya lemas. Yogas pasti sudah
menemukan Joe, dan sekarang dia bermaksud untuk membunuhnya.
Kana merasa tak berdaya. Sekarang, Kana hanya bisa berdoa Yogas mengingat janjinya.
*** Yogas turun dari bus dan menatap bangunan besar di depannya. UPN. Tempat Joe berkuliah.
Yogas segera melangkahkan kakinya ke dalam. Dia harus bisa menemukan Joe.
Yogas tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan Joe nanti, tetapi ada satu yang harus
ditanyakannya. Yogas tidak akan melepaskan Joe sebelum mendapatkan jawabannya.
Yogas bertanya pada beberapa orang letak kampus tekhnik Kimia, dan sekarang dia sudah
berada tepat di depannya. Yogas menatap kampus itu. Ternyata selama ini Joe ada di sini.
Sebuah keberuntungan Yogas bertemu dengan orang-orang tadi. Atau Tuhan pasti
mengingkannya bertemu dengan Joe.
Yogas menunggu beberapa jam sampai dia menemukan sesosok cowok yang sedang berjalan
sambil sibuk dengan ponselnya. Yogas merasa semua darahnya naik ke kepala saat melihat sosok
itu. Sosok yang terlihat sehat dan baik-baik saja. Sosok yang sudah menghancurkan seluruh
kehidupannya. Yogas menghampiri Joe dan berhenti di depannya. Joe yang masih sibuk dengan ponselnya tidak
sadar dan menabraknya. "Ah, sori," kata joe sekenanya sambil terus berjalan.
"Lo kelihatannya sehat-sehat aja," ujar Yogas membuat langkah Joe terhenti. Joe berbalik pelanpelan, lalu melongo menatap Yogas.
"Yo...gas?" gumam Joe, tak percaya.
"Yah, Yogas," tandas Yogas dingin. "Kaget?"
Joe masih menatap Yogas tak percaya. "Lo...ngapain di sini?"
"Nyari lo," jawab Yogas membuat Joe mengangguk-angguk pelan walaupun masih bingung.
"Udah lama banget ya," kata Joe kemudian. "Apa kabar lo, Gas?"
Yogas terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Joe yang tampak tenangseperti ini semakin
membuatnya emosi. Joe emang tidak tahu apa-apa soal penyakitnya, karena sebelum dia sempat
tahu, dia sudah keburu pindah sekolah.
"Kabar gue?" kata Yogas. "Gak pernah seseneng ini ketemu lo."
joe mengangguk-angguk lagi sambil tersenyum kaku. Sudah begitu lama semenjak mereka
berpisah. Joe benar-benar kaget bisa melihat Yogas di sini, dan mencarinya.
"Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Yogas.
"Ooh, oke," kata Joe. "Di belakang kampus aja."
Joe kemudian berjalan duluan, sementara Yogas mengikutinya dari belakang. Yogas sebisa
mungkin menahan emosinya. Mereka kemudian sampai di belakang kampus yang sepi.
"Gas, dulu gue..."
Yogas keburu sudah meninju pelipis Joe sebelum joe sempat menrusdkan kata-katanya. Jie
sekarang sudah terkapar di tanah. Yogas menatap Joe bengis.
"Bangun lo," Yogas menarik kemeja Joe dan mengangkatnya. Yogas menatap Joe dari atas
sampai ke bawah. "Wah wah... kayaknya lo baik-baik aja ya?"
"Gas, gue..." Yogas meninju perut Joe sehingga Joe jatuh ke tanah. Joe terbatuk kesakitan.
"Gue pikir lo bakalan kurus kering, menyedihkan, gak ada bentuk karena segala narkoba yang lo
pake, tapi ternyata lo sehat-sehat aja ya," kata Yogas sinis.
"Gas... Udah berhenti, gas," ujar joe sambil terbatuk. "Enam tahun yang lalu, gue dipindahin
sekolah sama Bokap gue, dan semenjak itu gue gak pernah make lagi."
Yogas terdiam menatap orang yang pernah jadi orang yang penting dalam hidupnya itu.
"Joe... Lo gak pernah berusaha nyari gue" Lo gak mau tahu keadaan gue?" tanya Yogas lagi
membuat Joe menatapnya. "Gue terlalu malu buat nelepon lo, Gas. Gue takut lo marah," kata joe membuat Yogas tertawa
keras. "Marah ya.... Apa menurut lo gue gak punya hak buat marah" Lo udah ngehancurin hidup gue!"
sahut Yogas sengit. "Sori, gas," sesal Joe, tetapi Yogas tak mau mendengar. Dia mengeluarkan belatinya, membuat
mata Joe melebar. "Gas, lo mau apa?"
"Ngeliat lo sehat, seneng, punya kehidupan yang baik, bikin gue tambah muak," kata Yogas
sambil mendekati Joe. Joe mundur teratur, matanya menatap ngeri belati di tangan Yogas.
"Menurut lo gue mau apa?"
"Gas, gue minta maaf, Gas," kata Joe takut. "Apa lo sedendam itu sama gue?"
Yogas tertawa lagi, lalu menatap joe tajam. "Apa gue segitu dendam" Menurut lo?" katanya
sambil membuka sarung belatinya. "Kenapa Joe" Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?"
"Gas dulu gue iri sama lo, karena lo punya semua yang gak gue punya. Lo punya keluarga yang
hangat, lo punya cita-cita, dan lo punya Wulan," ujar Joe gugup. "Waktu itu gue cuma khilaf,
Gas! Lo gak kecanduan kan" Kalo cuma sekali pasti gak kecanduan!"
Yogas menatap joe bengis. Jadi, itu jawabannya. Joe iri padanya, karena itu dia menyuntiknya.
Dan, hanya karena masalah keirian bodoh itu, Yogas mendapatkan kesialan ini.
"Ooh, ya, gue gak kecanduan, tapi lebih buruk dari itu," kata Yogas membuat joe bingung.
"Hidup gue hancur lebur, Joe. Semua yang kata lo gue punya itu hilang gara-gara lo."
Joe bergerak mundur sampai terbentur ke dinding karna Yogas terus mendekatinya deengan
belati terhunus di tangannya.
"Gas, jangan lakuin inin, Gas. Gue tahu lo gak mau ngebunuh gue," cicit Joe.
"Ooh ya" Kenapa gue gak mau ngebunuh lo" Lo yang bikin gue ancur," Yogas terus mendekati
Joe. "Enam tahun gue nyari lo, dan sekarang lo udah ada di depan gue, kenapa gue gak mau
ngebunuh lo" Biar gue mati gak sendirian."
"Maksud lo apa Gas?" tanya Joe heran.
"Lo bener-bener mau tahu, Joe?" tanya Yogas. "Lo bener-bener mau tahu" Yah, karena ini udah
menjelang akhir hidup lo, gue bakal kasih tahu supaya lo gak mati oenasaran. Karena lo udah
nyuntik gue pke jarum sialan itu, gue kana HIV. Puas lo?"
Mata joe melebar setelah mendengar kata-kata Joe. Mulutnya menganglebar.
"Karena gue kena HIV, gue bakal kena AIDS, semua kebahagiaan yang tadi lo bilang lenyap.
Nyokap gue, bokap gue, Wulan, semuanya pergi. Cita-cita" Musnah. Enam tahun gue hidup
dalam pengasingan, sementara lo seneng-seneng. Jadi apa yang..."
Yogas berhenti bicara karena Joe tiba-tiba merosot hingga terduduk di tanah. Jahnya tampak
pucat. "Kenapa lo" Ngerasa bersalah"' tanya Yogas sinis. "Yah, udah semestinya. Jadi, lo gak marah
kan kalo gue...." "Gas... Lo serius?" tanya Joe, tampak kacau.
"Apa yang bikin lo berpikir kalo gue bercanda?" seru Yogas emosi.
Joe menjambak rambutnya, tampak tidak percaya. Yogas hanya menatapnya dnegan mata
menyipit. Joe pasti merasa bersalah karena selama ini tidak tahu. Nendadak hujan turun rintik,
tetapi Yogas tidak peduli. Sudah sangat terlambat bagi Joe untuk menyesal.
"Nah, gue gak mau berlama-lama lagi. Gue harusnyelesain ini," kata Yogas. "Gue jijik liat lo
bahagia, jadi lo harus..."
"Gas," kata joe gugup sambil menatap Yogas. Di antara rintik hujan yang membasahi wajah Joe,
Yogas bisa melihat dengan jelas air mata yang mengalir di wajahnya. "Suntikan itu... punya
gue." Petir meyambar setelah perkataan Joe. Yogas rasanya salah mendengar.
"Apa?" kata Yogas, sementara joe sudah kembali menjambak-jambak rambutnya lagi.
"Suntikan itu punya gue," ulang Joe miris. "Sebelum gue suntik lo, gue pake."
Mendadak tubuh Yogas terasa kaku. Yogas menatap nanar sosook di depannya. Yogas tak
mempercayai pendengarannya, tetapi seluruh tubuh Joe sudah bergetar. Bukannya karena
dinginnya hujan, tetapi karena baru menyadari sesuatu yang mengerikan.
Yogas mendengus geli. Dia terbahak untuk menyembunyikan air mata yang keluar tanpa bisa
dtahan. "AAAAHHHH!!" sahut Yogas emosi sambil menendang batu yang ada di sampingnya, lalu
bergerak buas ke arah joe yang sudah pasrah. "Kenapa Joe?" Kenapa?""
Joe tampak tidak bernyawa, masih syok mendengar pernyataan yang baru diterimanya. Yogas
meninju tembok di sebelahnya dengan sekuat tenaga.
Yogas benar-benar tidak menyangka persahabatannya akan berakhir dengan cara seperti ini.
*** Rasanya sudah berjam-jam Kana duduk di depan kamar Yogas sambil terus berdoa. Di luar,
hujan turun semakin deras. Kana memeluk lututnya karena merasa dingin. Kana benar-benar
khawatir pada Yogas tang belum juga pulang.
Mungkinkah Yogas benar-benar membunuh Joe"
Kana segera menggeleng, tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Namun, melihat Yogas yang
tadi seperti kehilangan kendali, Kana tidak tahu.
Mendadak Yogas muncul dari tangga, membuat Kana segera berdiri. Yogas terseok ke arahnya,
tampak badah kuyup. Kana segera menghampirinya.
"Gas" Gas, kamu gak..." Kana tidak meneruskan perkataannya, karena belati yang dipegang
Yogas terjatuh ke lantai. Yogas juga ikut terjatuh. Kana cepat-cepat menangkapnya.
Kana melirik belati yang ada di sebelahnya, takut melihat darah, tetapi belati itu bersih. Kana
menatap Yogas yang tampak pucat.
"Gas..." "Kan, gue ketemu Joe," kata Yogas dengan pandangan kosong.
"Terus... kamu gak..." Kana tidak bisa meneruskan pertanyaannya, terlalu takut hal itu benarbenar terjadi. Yogas tiba-tiba mendengus, dan air mata mengalir dari matanya. Kana menatapnya
khawatir. "Gas?"
"Suntikan itu... punya dia, Kan," ujar Yogas miris, membuat Kana berpikir. Detik berikutnya,
Kana menekap mulutnya sendiri, tak percaya.
"Itu berarti... dia?" kata Kana takut. Yogas mengangguk pelan.
"Dia yang nularin virus ini," kata Yogas membuat Kana menahan napasnya. "Dia mengidap
penyakit yang sama, dan dia baru sadat setelah tadi gue bilang."
"Ya ampun," gumam Kana. Air mata Yogas masih mengalir.
"Selama perjalanan ke sini gue berpikir. Apa salah kami" Kenapa kami harus mengalami ini"
Kenapa?" Yogas berkata pelan. "Memang bener gue pengin vanget ngebunuh dia, tapi gue sama
sekali gak pernah berharap dia punya penyakit yang sama kayak gue. Kenapa kami bisa jadi
kayak sekarang ini" Kenapa?"
Kana mengusap lembut pipi Yogas untuk menghapus air matanya.
"Dulu gue deket banget ama dia, Kan. Kami tertawa bareng, nangis bareng, semuanya gue bakal
lakuin untuk dia. Dia udah kayak kakak sendiri bagi gue. Tapi, kenapa?" isak yogas lagi. "Cuma
karena satu kesalahan kecil, hidup kami langsung hancur. Kenapa dia harus berurusan dengan
narkoba sialan itu?"
Kana ikut menagis menatap Yogas yang terlihat begitu menderita. Kana tidak tahu bagaimana
rasanya kehilangan sahabat, tetapi rasanya Kana bisa ikut merasakan kepedihan hati Yogas.
"Tapi gue pikir-pikir lagi, Kan, mungkin ini kesalahan gue. Mungkin gue gak pernah jadi sahabat
yang baik buat dia. Gue tahu dia selalu kesepuan karena di rumahnya semua orang sibuk, tapi
gue gak pernah peduliin dia. Semenjak gue kenal filn gue sering nolak ajakan maen dia. Gue jadi
jarang ada buat dia," Yogas mulai menjambaki rambvutnya. "Mungkin ini salah gue juga dia jadi
bergaul dengan orang-orang gak jelas."
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gas, jangan nyalahin diri sendiri," Kana menahan tangan Yogas yang mau menjambak rambut
lagi. "Kalo pun ada kesalahan kamu, semuanya udah terjadi Gas. Sekarang yang bisa kamu
lakuin adalah nerusin hidup kamu, dan berharap Joe juga melakukan hal yang sama."
Yogas menatap Kana nanar. "Kan, menurut lo gue jahat" Gue menimpakan semua kesalahan
pada Joe tanpa berpikir kesalahan gue, apa menurut lo gue jahat?" tanya Yogas membuat Kana
terdiam. Kana lantas menggeleng.
"Gas, semua orang pernah berbuat kesalahan. Kamu harusnya bersyukur kamu gak mengulangi
kesalahan itu," Kana menjawab sambil menatap belati yang tergeletak di samping mereka.
"Walaupun berat, kamu dan Joe sama-sama menerima akibat dari kesalahan itu. Gas, mungkin
kamu sedikit lebih beruntung daripada Joe. Kamu punya keluarga, teman kayak Eno dan Wulan,
dan kamu punya aku. Kita semua pasti bisa melalui ini, Gas."
Yogas menatap Kana lama, dan mulai menangis lagi. Kana merengkuhnya tanpa memperdulikan
bajunya yang sudah ikut basah. Kana membiarkan Yogas menangis dia pelukannya untuk
beberapa saat. Tangan Kana terkepal keras. Karena benda haram seperti narkoba, hidup dua orang anak cowok
sudah hancur. Mengapa benda-benda seperti itu harus ada di dunia" Mengapa orang-orang tidak
bisa lebih menyanyangi sehingga tidak ada orang yang putus asa dan terjerumus ke dalam dunia
hitam seperti ini" Begitu bayak pertanyaan berkelebat di dalam benak Kana, tetapi Kana tidak tahu siapa yang
menjawabnya. Will We Meet Again" Semalaman, Yogas dan kana tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir Yogas ada di
kost ini. Kana dan Yogas sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka,
merenung di kamar masing-masing.
Pagi ini, Yogas sudah siap untuk berangkat ke stasiun sementara Kana masih ada di kamarnya.
Dia bercemin dan mendapati wajah muramnya. Kana menghela napasd, mencoba untuk
tersenyum. Kana tidak boelh terlihat sedih. Kana harus terlihat kuat.
Setelah yakin dengan senyumnya, Kana keluar kamar dan mendapati Yogas sedang memakai
sepatu. Seketika Kana ingin menangis, tetapi ditahannya.
Yogas menoleh dan sekali melihat Kan, dia tahu Kana juga tidak tidur sepertinya. Kana nyengir
melihat Yogas. "Keretanya pukul 8 ya?" tanya Kana. Yogas mengangguk. Setelah selesai mengikat tali
sepatunya, dia berdiri. "Masih ada waktu," ujar Yogas setelah melirik jam tangannya. "Ke atas yuk?"
Kana mengangguk, lalu mengikuti Yogas naik ke atas. Melihat punggung Yogas, Kana merasa
hatinya seperti tertusuk-tusuk. Seolah Yogas akan pergi dan tidak akan kembali lagi.
"Kan," kata Yogas sambil berbalik. Dari ekspresi Yogas yang tampak serius, Kana tahu akan ada
pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tahu kan, gue bakal balik lagi."
Kana mengangguk pelan. Yogas menghela napas, lalu bersandar pada pagar.
"Semalem gue berpikir... ternyata gue menyedihkan," kata Yogas. "Gak ada saru pun dari gue
yang bisa dibanggain. Gue sama sekali gak berguna."
"Itu gak bener," sanggah Kana. Yogas menggeleng.
"Gue emang gak berguna, Kan. Dan, gue yang kayak sekarang ini gak bakal punya kepercayaan
diri untuk ada di samping lo," kata Yogas lagi. Yogas menatap Kana dalam-dalam. "Kan, gue
bakal ngeraih cita-cita gue."
Kana mengerjapkan matanya tak percaya.
"Kalo geu udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best seller, ayo kita ketemu lagi," kata
Yogas lagi, dan setitik air mata jatuh ke pipi Kana. Kana mengusap air mata itu, lalu tersenyum.
"Kalo gitu, kita janji, ya" Kalo kita udah sama-sama ngeraih cita-cita kita, kita ketemu lagi," ujar
Kana sambil mengancungkan jari kelingkingnya. Yogas mengaitkan jari kelingkingnya pada jari
Kana. Yogas tersenyum dan meregangkan tubuhnya.
"Uaah... Gue pasti kangen sama tempat ini," kata Yogas, lalu mengernyit saat melihat sebuah
taksi berhenti di depan kost-nya.
"Ah, taksi pesenan Bulik," kata Kana. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke
stasiun." "Hah" Kenapa pake pesen taksi segala sih?" tanya Yogas bingung.
"Tanya Bulik dong," kata Kana. "Ng... Aku anter ke stasiun ya?"
Yogas menatap Kana, dan mengacak rambutnya. "Gak usah. Gue gak mau liat tampang jelek lo
pas nangis," kata Yogas menbuat Kana cemberut.
"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Yogas tertawa lepas. Kana sendiri terdiam
sambil memainkan jarinya. "Gas... Ntar jangan lupain aku ya."
"Jangan bego lo," Yogas menjentik dahi Kana. Yogas melepas headphone dari lehernya,
memakaikannya pada Kana lalu menyerahkan iPod-nya. Kana menerimanya dengan tampang
bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi, jadi jangan dirusakin."
Kana menatap iPod di tangannya. "Beneran gak apa-apa, Gas" Bukannya ini penting?"
"Iya ini penting, ini suara hati geu," kata Yogas sambil tersenyum. "Makanya gue pinjemin. Ntar
harus didengerin." Kana mengangguk. Tak berapa lama, ibu kost memanggul dari bawah. Yogas dan Kana segera
turun. Ternayat di bawahn semua orang sudah menunggu. Yogas menatap ibu kost beserta suami
dan anaknya, Ono, dan Agus yang sudah nyengir padanya.
"Kita denger kalo hari ini kamu mau pindah," kata Ono. "Ko cepet banget tho, Gas" Aku bellum
sempet ajak kamu muter-muter Yogya lho."
"Lain kali aja kalo aku ke sini lagi, Mas," kata Yogas.
"Kamu bakal ke sini lagi, Gas?" tanya Agus. Yogas mengangguk mantap.
"Lain kali kalo ke sini lagi, kamu harus makan bareng kamu, atau gak kamu gak boleh mauk,"
ancam Bapak kost membuat Yogas tersenyum.
"Terima kasih, Pak," kata Yogas.
"Wah, baru kali ini lho kita liat Yogas senyum," goda ibu kost yang dibenarkan oleh semua
orang. Yogas melirik Kana yang sudah nyengir.
"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu kana ikut nagnter gak?" tanya ibu kost.
"Gak Bulik, gak dibolehin sama Yogas," adu Kana sementara Yogas nyengir kaku pada ibu kost
yang bingung. "Bu, terima kasih untuk taksinya, harusnya ibu gak usah repot-repot," kata Yogas.
"Gak apa-apa, Gas. Lagian uang kost kamu kan masih nyisa," canda ibu kost yang membuat
semua orang tertawa. Yogas lalu memasukkan tasnya ke bagasi taksi.
"Semuanya, terima kasih karena udah menerima saya dengan baik," kata Yogas, lalu mengerling
melirik Kana. "Saya pasti akan ke sini lagi."
Semua orang mengangguk sambil tersenyum. Yogas masuk ke taksi dan membuka jendelanya.
Yogas menatap Kana yang sudah tidak tersenyum. Berat rasanya bagi Yogas untuk
meninggalkan gadis itu. "Awas ya, jangan sampe bukunya gak terbit-terbit," ancam Yogas membuat Kana semakin
menyun. "Kamu juga, jangan sampe filmnya gak jadi-jadi," balas Kana membuat Yogas terkekeh. Yogas
terdiam sebentar. "Kan, jaga diri lo ya," kata Yogas kemudian.
"Kamu juga. Jaga kesehatan ya. Minum obat yang teratur," ujar Kana. Yogas mengangguk.
Yogas menatap Kana sebentar, lalu menghela napas. Sudah saatnya bagi Yogas untuk pergi.
Yogas menatap ke sopir, memberi sinyal untuk berangkat.
"Dadaah!" seru Mela, anak ibu kost, membuat semua orang serentak melambai pada yogas.
Yogas balas melambai singkat, lalu menatap Kana yang memaksakan senyum padanya.
Taksi sudah bergerak perlahab, tetapi Yogas belum menutup jendelanya. Kana menatap taksi
yang bergerak menjauh, lalu tanpa disadarinya, Kana sudah berlari mengejar taksi itu. Yogas
melihatnya melalui spion, dan dia langsung melongok dari jendela.
"Yogaaas!" seru Kana sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"
"Pasti!!" sahut Yogas, membuat Kana berhenti berlari. Kana melambai-lambai sambil tersenyum
dengan air mata berlinang sementara taksi yang ditumpangi Yogas berbelok.
Yogas mengempaskan punggungnya ke jok. Yogas tidak tahu apa yang diperbuatnya ini benar,
tetapi Yogas percaya Kana akan bertahan.
"Pacar ya, Mas?" tanya supir taksi menyadarkan Yogas. Yogas menatapnya bingung sebentar,
lalu mengangguk. Supir taksi itu ikut mengangguk-angguk.
"Pacaran jarak jauh ya, Mas?" tanyanya lagi, dan Yogas mengangguk lagi. "Tenang saja Mas.
Sekarang kan pulsa murah tuh. Telpon-telponan aka."
Yogas hanya tersenyum simpuk tanpa menjawab. Yogas tak akan menelepon Kana, karena kalau
dia melakukannya, Yogas akan melupakan semuanya dan bkembali pada Kana. Yogas akan
menahan diri sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih
bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu dengan Kana.
Yogas berharap Kana akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Yogas
inginkan adalah, Kana mendengarkan iPod-nya.
The Promise "Uaaah..." Kana mergangkan tubuhnya yang terasa pennat. Seharian ini, dia sudah mengerjakan naskah
baru. Sekarang, dia sedang beristirahat di lantai tiga.
Kana berbaring di lantai semen, lalu menatap langit yang biru. Melihat ini dia jadi teringat
Yogasn, cowok yang setahun lalu datang ke kost ini dan menjadi cinta pertamanya.
Kana menghela napas, lalu memakai headphone besar dan menyetel iPod yang dipinjamkan
Yogas sethun lau sebelum dia pulang ke Jakarta. Sudah setahun ini juga Kana mendengarkan
musik-musik yang ada di iPod itu. Kana jadi tahu musik kesukaan Yogas, dan Kana juga ikut
menyukainya. "Gas... kamu lagi apa?" gumam Kana sambil menatap awan yang berarak.
Selama setahun ini Yogas sama sekali tidk memberi kabar, tetapi Kana percaya padanya. Kana
yakin Yogas sedang berkonsentrasi pada cita-citanya. Dari Wulan, Kana tahu kalo Yogas sedang
berkuliah di sekolah perfilman dan Kana sangat senang mendengarnya.
Kana juga tidak mau kalah. Sekitar sebulan lalu, sebuah penerbit menghubinginya dan
mengatakan bukunya akan diterbitkan.
"Sebentar lagi ketemu ya..." gumam Kana lagi sambil tersenyum. "Gas, kamu juga terus
berusaha ya." Kana baru akan menutup matanya ketika terfengar tantenya memanggil dari bawah. Kana segera
turun, lalu menatap tantenya yang sedang memgang sebuah paket terbungkus kertas cokelat.
"Kan, ini ada paket buat kamu," kata tantenya sambil menyerahkan paket itu pada Kana.
Kana menerima paket itu lalu membukanya dengan bingung. dia menarik salah satu buku dari
dalamnya, lalu terbelalak saat membaca judulnya.
"Buliiik!" seru Kana membuat tantenya kaget. "Bulik, ini buku Kana! Buku Kana udah jadi!"
"Hah" Yang bener, Kan?" seru tantenya, ikut kaget.
"Beneran!" sahut Kana girang. Teriakannya membuat Ono dan Agus keluar dari kamarnya
masing-masing. "Ono opo tho, Kan?" tanya Ono bingung.
Hilangnya Seorang Pendekar 3 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Cincin Maut 16
"Terus lo mau gue gimana, No?" sahut Yogas kalap. "Selama ini, gue cerita ini itu sama lo, lo
masih belum ngerti juga, hah" Kalo gue bakal mati dan dia bakal menderita?""
Eno bangun, dia blas meninju perut Yogas.
"Lo mau mati kan, Gas?" seru Eno sementara Yogas menunduk menahan sakit. Eno kemudian
mendorongnya hingga Yogas terjatuh. "Lo mau mati, kan?" Mati sekarang aja lo, Gas!!"
Yogas menatap Eno sengit, tak bisa bangun karena tadi Eno meninjunya tepat di ulu hati.
"Mati sekarang atau nanti, sama aja Gas, dia bakal sama menderitanya!" sahut Eno lagi. "Tapi,
seenggaknya kalo lo jujur sama dia sekarang, dia bisa bahagia bareng lo walaupun cuma
sebentar!" Yogas menatap Eno lagi. "No, coba lo ngerti perasaan gue," kata Yogas pelan, emosinya sudah reda. "Gue bukannya gak
pernah mikirin ini. Tiap malem kepla gue mau pecah mikirin ini, tapi gue akhirnya tetep sampe
pada satu kesimpulan, dia gak boleh menghabiskan waktu sama orang kayak gue walaupun
sebentar." Yogas membetulkan duduknya sementara Eno masih bergeming.
"Kalo gue hentiin sekarang, dia pasti bisa nemu pengganti gue," kata Yogas. "Ntar juga dia lupa
sama gue." Eno menghela napas kesal, tak tahu harus mengatakan apa lagi pada orang keras kepala seperti
Yogas. "Lo pikir gimana perasaan gue ngeliat dia nangis?" kata Yogas lagi, membuat Eno tertegun.
Sementara Eno masih terus menatapnya nanar, Yogas mengeluarkan korek, lalu membakar tisutiu penuh darahnya tadi di asbak. Setelah tisu itu habis terbakar, Yogas membaringkan tubuhnya.
Eno duduk di depannya, matanya lepas dari abu sisa tisu dan beralih kepada Yogas.
"Lo... baik-baik aja, Gas?" tanya Eno kemudian.
"Cuma sakit sedikit," kata Yogas sambil nyengir walaupun tahu betul kalo Eno tidak
menanyakan luka luarnya. "Lo gak bakal nyesel sama keputusan lo ini?" tanya Eno lagi, membuat cengiran di wajah Yogas
lenyap. "Mungkin," jawab Yogas, terdengar tidak yakin. "Tapi untuk sekarang, cuma ini yang bisa gue
lakuin untuk dia. Gue bakal lakuin apa aja supaya dia gak berurusan lagi sama gue. Apa aja."
"Lo orang paling keras kepala yang pernah gue kenal," kata Eno. "Kalo gue jadi lo, gue mungkin
gak akan sekuat lo. Gue mungkin gak bakal ngelepas orang yang sayang sama gue. Gue rasa,
sekarang gue tahu kenapa gue gak bisa ngerti jalan pikiran lo."
Yogas tidak bertanya lebih lanjut, tangannya sudah mengepal keras.
"Ini karena lo orang baik," kata Eno lagi. "Gue kesel, kenapa semua ini harus terjadi sama lo.
Dari semua orang yang gue kenal, lo orang paling berhak buat bahagia."
Yogas terdiam, sementara Eno sudah menjambak-jambak rambutnya kesal. Yogas tahu Eno
sedang menyesali kejadian enam tahun lalu, saat Eno tak bisa melakukan apa pun untuk
menyelamatkannya. "No, lo gak usah nyalahin diri lo sendiri," jawab Yogas kemudian.
"Maaf, Gas," ujar Eno. Air matanya sudah menitik, tetapi Yogas pura-pura tak melihatnya. "Gue
bener-bener minta maaf."
Yogas tak menjawab karena dia sendiri sedang susah payah untuk tidak menangis. Sekarang,
Yogas juga menyesal sudah memberitahu Eno soal penyakitnya. Dia pikir, Eno satu-satunya
orang yang cukup kuat untuk menerimanya. Ternyata, bahkan Eno pun tidak sanggup.
Seharusnya, dari awal Yogas tidak meminta bantuan pada siapa pun. Seharusnya, memang dari
awal Yogas hidup sendiri.
Another Lie Kana menatap langit-langit kamarnya hampa. Semalaman, dia tidak bisa tidur lagi, belum bisa
menerima kenyataan bahwa Yogas adalah seorang gay. Kana masih sulit mempercayainya. Kana
setengah mati berharap Yogas hanya berbohong, tetapi yang Kana lihat kemarin terlalu
meyakinkan. Bahkan, Yogas memanggil namanya dan memeluknya.
Kana terduduk lemah. Kana merasa terlalu lemah dengan semua ini, tetapi Kana tidak pernah
menyesal telah menyukai Yogas. Sampai sekarang pun, Kana masih menyukai Yogas walaupun
Yogas tidak mungkin menyukainya.
Kana tidak tahu harus melakukan apa dan bersikapa bagaimana di depan Yogas. Kana tidak jijik
padanya karena dia seorang gay, tetapi Kana terlalu menyukainya sampai tidak mampu
menatapnya. Kana membentur-benturkan kepalanya ke lututnya, berharap bahwa semalam tidak pernah terjadi
apa-apa. Mendadak semua kenangannya bersama Yogas terputar di otaknya. Kana benar-benar
tidak mau percaya. Tiba-tiba ponsel Kana berdering. Lia meneleponnya. Kana cepat mengangkatnya.
"Kan" Kamu kok gak kuliah?" seru Lian dari seberang. "Kenapa, Kan" Kamu sakit?"Belum
sempat menjawab, Kana sudah keburu terisak.
"Kana" Kamu kenapa" Ada apa?" tanya Lian panik sementara isakan Kana semakin menjadijadi.
"Lian..." gumam Kana, dan selanjutnya cerita semalam mengalir seperti air bah. Di ujung sana,
Lian terdiam, tak bisa berkata apa-apa.
"Dia... gay?" kata Lian lambat-lambat, tak percaya. Kana semakin terisak. "Kan! Kamu tunggu
ya! Aku langsung ke kost-mu sekarang!"
Lian memutuskan sambungan sementara Kana kembali tersuruk di antara bantal-bantalnya.
*** Lian sekarang sudah berada di kost Kana, memegang tangannya erat-erat. Lian benar-benar tidak
habis pikir dengan cobaan yang dialami Kana tanpa berkesudahan. Sudah cukup Yogas adalah
seorang HIV positif, sekarang ditanbah kenyataan bahwa Yogas menderita penyakit itu gara-gara
hubungan sesama jenis. Lian jadi semakin menyesal kenapa kemarin-kemarin dia malah
memberi semangat pada sahabatnya itu.
"Kan... Maafin aku, ya," sesal Lian membuat kana menatapnya.
"Kenapa, Li" Emang kamu salah apa?" tanya Kana dengan suara serak.
"Karena kemarin aku sudah bilang yang gak-gak. Soal takdir itu," jawab Lian hati-hati. Kana
tersenyum menatap sahabatnya itu.
"Gak apa-apa, Li. Bukan salah kamu," balas Kana pelan.
Lian menatap Kana lama. Lian tahu kesedihan Kana hanya dengan melihatnuya. Hati Kana
sudah hancur, tetapi gadis itu berusaha mati-matian untuk tegar.
"Terus... kamu mau gimana?" tanya Lian.
Kana terdiam sejenak, lalu tersenyum dengan sisa-sisa kekuatannya.
"Aku gak bisa ngejauhin dia, Li. Perasaanku masih sama, bahkan setelah tahu dia gay. Aku gak
bisa lantas benci sama dia," ujar Kana lirih.
"Jangan maksain diri, Kan," kata Lian. "Dia pasti ngerti."
Kana menggeleng. "Aku mau nemenin dia sampe dia pergi. Itu sudah keputusanku."
Lian menatap Kana sedih. "Tapi, Kan, dia bisa aja nyakitin kamu lagi," katanya membuat kana
menggeleng. "Li, apa lagi yang tersisa buat disakitin?" Kana tersenyun getir. "Dia gak mungkin suka sama
aku. Tapi, aku gak pernah nyesal pernah suka sama dia. Dia... sedikit banyak sudah ngasih aku
pelajaran. Dia sangat menghargai orang lain sampe dia mau hidup sendirian. Itu yang bikin aku
gak bisa ninggalin dia."
Lian menatap Kana, matanya masih menyiratkan ketidakpercayaan. Sebenarnya, Lian ingin
berteriak pada Kana agar tidak. Erhubungan lagi dengan Yogas. Kana menghela napas melihat
kekhawatiran Lian. "Li, di luar dia HIV positif dan seorang gay, dia butuh seseorang. Kita semua butuh seseorang,"
kata Kana. "Tapi, kenapa harus kamu, Kan?" tanya Lian lagi membuat kana tersenyum lembut.
"Mungkin karena ini takdir. Seperti yang kamu bilang," jawab Kana membuat Lian terkesiap.
Kana sudah mengambil keputusan. Kana tidak akan menjauhi Yogas. Kana akan menerima
Yogas apa adanya walaupun itu berarti cinta Kana tidak akan terbalas. Kana akan berusaja
semampunya untuk mendukung Yogas.
Lian mempererat genggamannya pada tangan Kana, mengangumi kekuatan hati sahabatnya itu.
Kana juga sudah tidak menangis lagi. Dia berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat, agar bisa
menemani Yogas tanpa membebaninya.
*** Yogas menatap josong langit penuh bintang di atasnya. Pikiran Yogas melayang ke mana-mana,
dari kenangan masa SMA-nya sampai kejadian beberapa malam lalu saat dia mengaku gay pada
Kana. Dan, sekarang, wajah sedih Kana memnuhi kepalanya.
Mendadak, terdengar suara seperti pintu yang ditendang paksa. Yogas menoleh dan mendapati
Kana sudah berdiri di sana dengan kedua tangan memegang mug yang mengepul. Di wajahnya,
terpasang cengiran nakal.
Yogas menatapnya nanar. Cewek itu masih saja mau mencarinya, bahkan setelah tahu dia gay.
Kali ini, Yogas benar-benar tak habis pikir. Yogas menyerah untuk mengerti cewek yang satu
ini. Kana menghampiri Yogas, lalu duduk di sebelahnya. Dia menyodorkan mug plastik berisi susu
coklat pada Yogas. Yogas menerimanya dan mengangguk kecil sambil mengucapkan terima
kasih. "Wah, bintangnya lagi banyak, ya?" ujar Kana sambil mendongak. Yogas tak mejawabnya. Dia
urapurabuk menyeruput susu cokelatnya. Kana menatap Yogas.
"Giman, Gas, udah ketemu?" tanya Kana membuat Yogas menatapnya heran. "Joe. Udah ketemu
belum?" Yogas melotot mendengar pertanyaan Kana. Yogas sama sekali tidak menyangka Kana akan
membahas masalah ini dengannya. Dia pikir Kana akan jijik padanya dan menghindar, tapi
perkiraannya salah. Cewek ini ternyata benar-benar ingin mencampuri hidupnya.
"Belum," jawab Yogas setelah terdiam beberapa detik. Kana mengangguk-angguk.
"Eh Gas, aku punya ide bagus," kata Kana membuat Yogas kembali menatapnya. "Gimana kalo
aku bantuin nyari di kampusku" Aku bakal tanya-tanyain di semua jurusan. Gimana?"
Yogas hampir saja menganga. Dia bahkan sudah melakukannya, tetapi untungnya Kana sibuk
menghirup susu cokelatnya, jadi tidak sempat menyadarinya. Yogas mengatupkan mulutnya.
Gelas di tangannya sudah hampir remuk.
Yogas tidak tahu mengapa dia bisa sebegini kesal, tetapi perkataan Kana barusan membuat
darahnya naik ke kepala. Bisa-bisanya cewek itu mengatakan akan membantu Yogas mencari
Joe, padahal kemarin-kemarin dia bilang sayang dan sebagainya.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Yogas kemudian, membuat Kana menatapnya. Yogas balas
menatap Kana tajam. "Kenapa lo mau ngebantu gue?"
"Gas, dulu aku pernah bilang kan, kalo aku mau nemenin kamu?" Kana berkata lembut.
"Sekarang, mungkin kita udah gak bisa bersama, tapi aku tetap mau bantu kamu. Sebagai teman.
Boleh, kan?" Yogas mengalihkan pandangannya dari Kana. Tentu saja. Perasaan Kana kemarin memang cuma
simpati, makanya sekarang dia sudah melupakannya dan memutuskan untuk membantunya.
Yogas menertawai kebodohannnya sendiri dalam hati. Sekarang, Yogas hanya harus berhati-hati
untuk tidak terbawa oleh perasaannya sendiri. Yogas harus meneruskan perannya.
"Gas," ujar Kana membuat Yogas menoleh. "Jangan khawatirin perasaanku. Aku pasti bisa baikbaik saja."
Mata Yogas melebar setelah mendengar perkataan Kana. Pikiran Yogas ternyata salah besar.
Cewek itu masih menyukainya, hanya saja dia berusaha untuk kelihatan tegar. Perasaan Kana
untuknya ternyata tulus. Hati Yogas terasa sakit mengetahui ini. Tidak seharusnya dia berbohong
pada cewek ini, tetapi Yogas tak mau mengambil resiko. Menyelamatkan Kana dari masa depan
suram bersamanya adalah tugas utamnaya sekarang.
"Boleh aja," kta Yogas akhirnya, kemudian tersenyum pada Kana. "Thanks ya. Lo udah baik
banget sama gue selama ini."
Kana bals tersenyum, lalu mengangguk. Kalau saja Yogas tidak bisa menahan diri, dia pasti
sudah menangis di depan Kana. Yogas mengalihkan pandangannya, sebisa mungkin tidak
melihat cewek itu. "Gas, karena sekarang kita temen, kamu bisa kan cerita sama aku?" tanya Kana ceria. Kana tak
mau terlihat sedih di ddepan Yogas.
"Hm, cerita apa ya?" kata Yogas. "Gimana kalo... Si kancil?"
Kana tertawa lepas mendengar gurauan Yogas, tetapi di dalam hatinya dia sedih baru kali ini
Yogas mau bercanda dengannya. Yogas sendiri menolak untuk melirik Kana.
Selama beberapa saat, Kana dan Yogas sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masingmasing. Kana tiba-tiba bergidik.
"Kamu gak kedinginan, Gas?" tanya Kana.
"Gak," jawab Yogas.
"Aku kedinginan nih. Aku turun duluan ya?" Kana bangkit dan membersihkan celananya, lalu
bergerak ke pintu. "Kana," panggil Yogas membuat Kana menoleh. Yogas mengangkat mug plastik yang
dipegangya. "Ini, makasih ya."
Kana mengangguk, lalu meneruskan berjalan. Beberapa langkah kemudian, dia kembali
menoleh. "Gas," kata Kana membuat Yogas menatapnya. "Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama aku.
Kalo aku bisa, aku pasti bantu kamu."
"Oke. Thanks ya," kata Yogas, dan Kana menghilang di balik pintu.
Yogas menatap pintu itu lama dan setelah yakin Kana sudah tidak ada di sana, air matanya mulai
mengalir tanpa bisa dihentikannya. Dari sekian banyak penderitaan yang pernah dilaluinya,
inilah yang paling menyakitkan. Sebelumnya, Yogas sudah parah menerima penyakitnya dan
siap mati, tetapi semenjak bertemu Kana, Yogas menjadi sangat marah pada Tuhan.
"Kenapa..." gumam Yogas geram. Matanya menatap langit yang berbintang. "Kenapa harus
dipertemukan sama dia kalau harus dipisahin lagi?"
Gelas di tangan Yogas sudah remuk, isinya tumpah. Tangannya terkepal keras dan gemetar
hebat. Dia menunduk, dan tetesan air matanya dengan segera membasahi lantai semen yang
dingin. *** Kana tersaruk menuju kamarnya. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia masuk dan menutup
pintu, lalu merosot ke lantai.
Ternyata, perasaan Kana terhadap Yogas masih sama besarnya seperti sebelum Yogas berkata
dia gay. Kana masih belum bisa sepenuhnya merelakan Yogas. Kana masih saja berharap Yogas
akan berkata bahwa dia bohong soal perkataannya itu.
Namun, kemudian Kana tersadar. Sekarang sudah tidak ada gunanya lagi terusterusa memikirkan
itu. Kana harus mengesampingkan perasaannya untuk membantu Yogas. Yogas membutuhkan
teman, dan hal itulah yang akan dilakukan Kana. Kana akan menjadi kuat untuk menolong
Yogas. Kana menghapus air matanya, dan tanpa sengaja dia melirik komputernya. Tiba-tiba, dia
mendapatkan ide. Kana menyalakan komputernya, lalu mulai mengetik.
*** Yogas menyalakan korek api dan membakar rokok yang sudah terselip di bibirnya. Dia mengisap
rokok itu, dan mengembusakan kepulan asap putih. Hari ini, Yogas sedang mencari Joe di
Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Olahraga. Namun, tampaknya orang itu tidak berkuliah
di sini. Yogas menghela napas, lalu membuka handycam-nya. Di dalam handycam-nya itu, terdapat
kaset yang selalu dihindarinya. Kaset dengan judul "Anyer 2000". Yogas menggigit bibirnya
ragu, tetapi dinyalakannya juga handycam itu.
Mata Yogas terasa panas karena tidak berkedip saat menonton film yang terputar di sana.
Rahangya mengeras. Mungkin seharusnya dia tidak pernah menonton film ini lagi. Mungkin
seharusnya Yogas membuangnya.
Film ini mengingatkan pada semua hal yang telah hilang darinya. Keluarganya. Sahabatnya.
Kekasihnya. Mimpinya. Hidupnya.
Setetes air jatuh di layar handycam itu. Tetes air yang berasal dari mata Yogas.
*** Kana mengendarai Varionya tanpa semangat. Tadi di dekat kampus, dia hampir menabrak
seseorang karena melamun. Barusan di dekat kost-nya, dia juga hampir menabrak Ono yang baru
pulang dari warung. Kana mematikan mesiornya dan mendorongnya masuk ke garasi. Dia membuka helm dan
menyangkutkannya di spion tanpa semangat. Ono menatap wajah Kana yang kusut.
"Ngopo, Kan?" tanyanya bingung.
"Ra popo, Mas," jawab Kana lesu sambil naik ke tingkat dua.
Tadi di kampus, Kana mencari orang yang sedang dicari Yogas selama ini, Joe. Namun, tak
satupun dari orang-orang yang ditanyainya bernama Joe, ataupun mengenalnya. Kana merasa tak
akan pernah menemukan oramg itu kalau caranya seperti ini.
Kana menghela napas lagi, lalu menggeleng-geleng. Kana akan melakukan apa pun untuk
membantu Yogas, tak peduli yang sedang dicarinya itu pasangan sejenis atau siapapun. Kana
mengangguk semangat, tak mau terlihat sedih di depan Yogas. Ketika sampai di lantai dua, Kana
terpaku melihat seorang cewek yang sedang berdiri di depan kamar Yogas. Cewek itu menoleh
dengan wajah cemas, lalu tersenyum dan mengangguk pada Kana. Kana balas mengangguk, tapi
masih heran. "Halo," sapa cewek itu ramah. "Ng... Kamu kost di sini?"
"Iya," jawab Kana. Ekspresi cewek itu segera berubah ceria. Kana mengamati cewek yang cantik
dan semampai itu. "Kamu... kenal sama Yogas?" tanya cewek itu lagi.
"Kenal. Itu kamar dia," jawab Kana lagi, tapi entah mengapa firasatnya terhadap cewek ini tidak
bagus. Cewek itu sendiri masih tersenyum penuh semangat. " Dia lagi keluar ya?"
"Mungkin," jawab Kana. "Kamu... siapa ya?"
Ketika cewek itu akan baru mejawab, terdengar suara orang sedang menaiki tangga. Yogas
muncul dari tangga dengan wajah lelah. Dia sedang memijati lehernya dan segera terpaku saat
melihat sosok cewek di depan kamarnya.
Yogas serasa tidak bisa melakukan apa-apa, baik bernapas maupun bergerak, saat melihat cewek
itu. Cewek itu sendiri mekap mulut, lalu berlari ke arah Yogas dan memluknya erat. Yogas
terlalu kaget sampai tidak bisa menghindari.
"Yogas!" sahut cewek itu, air matanya mengalir. "Aku pikir aku gak bakal ketemu sama kamu
lagi!" "Wu... lan...?" gumam Yogas, masih terlalu terkejut. Wulan mempererat pelukannya.
"Gas, maafin aku, Gas. $aafin aku. Aku janji gak bakal ninggalin kamu lagi..." Wulan sudah
terisak. "Aku nyesel udah ninggalin kamu. Maafin aku, Gas..."
Yogas merasa seluruh tubuhnya membeku, termasuk lidahnya. Dia sama sekali tidak menyangka
Wulan akan menyusulnya dan meminta maaf. Yogas berusaha mengambil napas, dan saat itulah,
dia menyadari keberadaan Kana yang sedang menatapnya marah.
Kedua tangan Kana gemetar di samping pahanya. Kana sangat marah sampai ingin meninju
Yogas di tempat, tetapi tidak dilakukannya. Entah mengapa, Kana hanya bisa terdiam menonton
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adegan romantis si pembohong Yogas dan mungkin pacarnya.
Yogas balas menatap Kana sambil berpikir keras sementara Wulan masih terisak di pelukannya.
Yogas akhirnya balas memluk Wulan, membuat Kana memalingkan pandangannya.
Yogas berusaha untuk tidak melihat bagaimana Kana menangis. Yogas juga menahan segala
keinginannya untuk menahan Kana saat cewek itu melewatinya dan berderap turun. Yang
sekarang Yogas pikirkan hanyalah, bagaimana Kana bisa menjauhinya, apa pun caranya.
*** "Apa kabar, Gas?" tanya Wulan.
Yogas mengisap rokonya, lalu mengembuskanya sekarang. Sekarang, mereka ada di lantai tiga.
wulan menatap punggung Yogas yang tampak jauh lebih kurus dari yang pernah diingatnya.
"Begitu aja," jawab Yogas pendek. "Jadi tahu dari mana alamat ini?"
"Aku nelepon Eno, terus aku ancem dia. Akhirnya, dia ngasih tahu alamat kamu," kata Wulan.
Yogas mendengus. Tentu saja, Eno. Hanya Eno satu-satunya orang yang tahu di mana Yogas
tinggal. "Terus ngapain ke sini?" tanya Yogas lagi.
"Aku... maafin aku, Gas," kata Wulan pelan. "Dulu, kita masih muda. Dulu, aku gak pernah
berpikir kalo aku bakal sangat kehilangan kamu."Yogas tak berkomentar. Dia menatap langit
yang berwarna kemerahan. Angin Yogya yang sejuk membawa wangi bunga kenanga yang
ditanam ibu kost di taman bawah. Mendadak, Yogas merasa melankolis.
"Gas, aku bener-bener bodoh udah ninggalin kamu," kata Wulan lagi. "Sekarang, aku sadar kalo
aku..." "Lan, kamu udah bener," potong Yogas membuat Wulan menatapnya. "Kamu dulu udah
membuat keputusan yang benar, ninggalin aku. Jangan mikir macem-macem lagi. Aku udah gak
apa-apa kok." "Tapi Gas, aku masih sa..."
"Lan, kalo memang kamu masih sayang sama aku, tolong bantu aku. Kamu ngerti, kan?" desak
Yogas, kemudian duduk di samping Wulan.
"Gas..." "Lan, aku udah maafin kamu," kata Yogas. "Dulu mungkin aku gak bisa terima alasan kamu
ninggalin aku, tapi, sekarang aku udah ngerelain kamu."
Wulan menatap Yogas yang menolak menatapnya balik. Air mata Wulan sudah jatuh.
"Gas, beneran kamu mau maafin aku?" tanya Wulan. Yogas mengangguk, lalu menepuk kepala
Wulan, membuat cewek itu langsung terisak.
"Jangan nangis dong," Yogas mengacak rambut Wulan. "Thanks ya, udah dateng ke sini."
Wulan mengangguk di sela-sela tangisannya. Wulan benar-benar menyesal telah meninggalkan
Yogas dulu. Sampai sekarang Wulan masih tak mengerti, kenapa Tuhan memilih Yogas untuk
menerima penyakit ini, penyakit yang merenggut semua kebahagiaannya.
"Gas..." kata Wulan sambil menatap Yogas. "Jangan cari dia lagi."
Yogas menatap Wulan sebentar, lalu mengalihakn pandangannya. "Gak bisa, Lan. Aku harus
cari dia sampe ketemu. Setelah itu, aku gak peduli."
"Gas, kamu harus peduli! Kamu masih punya mamamu, kamu masih punya aku! Jangan cari Joe
lagi, Gas, aku mohon!" seru Wulan sambil menarik tangan Yogas.
"Lan, sampe sekarang, dia yang membuat aku tetep hidup. Gak ada siapa pun yang bisa
menghentikan aku," ujar Yogas tegas. "Karena dia, aku kena penyakit sialan ini. Kamu ngerti,
kan?" Wulan menatap khawatir Yogas yang tampak emosi. "Gas, janji sam aku, jangan ngelakuin halhal bodoh. Janji, Gas."
"Lan, kalo soal yang satu ini, aku gak bisa ngejanjiin apa pun," balas Yogas keras kepala.
"Thanks karena udah mikirin aku."
Wulan terisak lagi, memikirkan Yogas yang sudah berada jauh di luar jangkauannya. Eno
memang sudah memperingatkannya, tetapi dia tidak menyangka Yogas akan jadi seperti ini.
Benar-benar bukan Yogas yang dulu pernah dikenalnya.
"Lan," kata Yogas kemudian. "Jangan pernah mikirin aku lagi. Kamu juga harus nerusin hidup
kamu. Kamu udah punya cowok, kan?"
Wulan menyeka air matanya sambil melirik Yogas marah.
Yogas nyengir. "Yah, masa sih, kamu jomblo terus selama enam tahun."
"Hatiku sakit banget lho denger kamu ngomong begitu," tukas Wulan membuat cengiran Yogas
lenyap. "Denger kamu bisa naya-naya begitu sama aku seolah kamu udah bener-bener mgelupain
aku, hati aku sakit banget."
Yogas terdiam. "Sori," katanya kemudian.
Wulan mengamati Yogas yang sudah kemblai menatap lurus. "Gas," kata Wulan. "Kamu... suka
cewek itu, ya?" Yogas menoleh pada Wulan yang tampak serius, lalu segera mengalihkan pandangannya. Tak
lama kemudian, Yogas mengangguk. Wulan menghela napas.
"Udah aku kira," kata Wulan. "Apa dia... udah tahu?"
Yogas mengangguk lagi. "Dari awal dia udah tahu dan dia bisa terima," kata Yogas membuat
Wulan mengangguk-angguk. "Aku kagum sama dia," ujar Wulan, matanya menerawang. "Aku dulu... bodoh, ya?"
"Lan," tegur Yogas membuat Wulan tersenyum pahit.
"Gas, aku bener-bener minta maaf," kata Wulan lagi. "Aku tahu ini mungkin udah sangat
terlambat, tapi kapan pun kamu ngebutuhin aku, aku gak akan lari lagi."
Yogas menatap wulan lama, lalu tersenyum tulus. "Thanks."
Mereka kemudian menghabiskan petang itu dalam diam.
*** Kana melangkahkan kakinya menuju tangga, berharap kalau Yogas tidak ada. Mata Kana sudah
bengkak karena terlalu banyak menangis di kost Lian tadi, dan Yogas adalah makhluk terakhir
yang mau dilihatnya. Ketika Kana muncul dari tangga, Yogas baru kembali dari kamar mandi dengan handuk
tersampir di bahunya. Kana menatap Yogas marah, lalu berderap menuju kamarnya. Yogas
menatap Kana yang tampak enggan menatapnya balik.
"Jadi, itu yang namanya Joe, ya?" sindir Kana sebelum masuk kamar, tak tahan untuk bertanya.
Yogas malah bersandar di dinding sambil memandang Kana malas. "Namanya Wulan."
Jawaban Yogas membuat Kana melotot. Kana mengambil sepatu dan melempar Yogas dengan
sepatu itu. Yogas bahkan tidak mengelak dan membiarkan dadanya terpukul. Air mata Kana
sekarang sudah jatuh lagi.
"Kamu kejam! Aku bahkan gak mau tahu namanya!" sahut Kana emosi. Yogas hanya
menatapnya datar. Sementara Kana berusaha untuk menenangkan diri, Yogas mengambil sepatu yang tadi dilempar
Kana dan meletakkannya kembali ke rak sepatu. Dia lalu menghela napas, berusaha menatap ke
arah lain selain Kana yang masih menatapnya marah.
"Kenapa sih, kamu bohong terus?" tanya Kana lagi, hampir menjerit. "Kenapa kamu harus
sekejam ini sama aku" Kenapa, Gas?"
"Sori," kata Yogas membuat alis mata Kana terangkat tinggi. "Gue gak bermaksud nyakitin..."
"Gak bermaksud?" teriak Kana tak percaya. "Gak bermaksud kamu bilang" Kamu make segala
cara buat ngejauhin aku dari kamu!"
Yogas terdiam, sementara Kana sudah memukul-mukul dadanya sambil terisak.
"Kenapa kamu harus bilang kamu gay?" Kenapa kamu seneng banget nyakitin aku?"" seru Kana
lagi. "Kalo kemau memang segitu gak sukanya sama aku, kenapa gak bilang terus terang?""
"Gue gak suka sama lo!" sahut Yogas membuat Kana terdiam danberhenti memukulinya. Yogas
menatap Kana serius. "Lo mau gue bilang itu, kan" Gue bilang sekarang, gue gak suka sama lo.
Gue udah kasih peringatan ke lo dari awal, kan" Tapi, lo tetep mau tahu urusan gue. Gue gak
tahu lagi gimana caranya supaya lo ngejauh dari gue, dan terus terang aja gue gak tega ngomong
langsung kalo gue gak suka sama cewek desa kayak lo!"
Yogas tersengal setelah mengatakan semua itu pada Kana. Kana hanya menatap Yogas tanpa
berkedip, membuat air matanya mengalir semakin deras.
"Gas," ujar Kana kemudian. "Kamu bisa lebih kejam lagi dari ini?"
Yogas terdiam menatap Kana yang sudah gemetar hebat.
"Sori, Kan. Tapi, Wulan adalah satu-satunya cewek buat gue. Dari dulu sampe sekarang, cuma
dia yang ada di hati gue. Gak akan ada yang bisa ngegantiin dia," kata Yogas mmembuat kana
tersenyum miris. "Gas... Bisa kamu sekalian bunuh aku?" kata Kana getir. "Kenapa Gas... Kenapa kamu dateng ke
sini" Kenapa?" Kenapa aku bisa kenal sama kamu?""
Kana berderap menuju kamarnya, bergerak masuk dan membanting pintunya. Yogas menatapnya
tanpa bisa berbuat banyak. Misi berhasil. Sekarang yang harus Yogas lakukan adalah pergi
secepatnya dari kost ini.
The Truth Revealed Kana memandang kosong dinding di depannya. Bekas-bekas air mata yang sudah mengering
tampak di pipinya. Lagi-lagi Kana tidak tidur semalaman, menyesali kebodohannya karena
sudah sekian lama dipermainkan oleh Yogas.
Tidak masalah kalau Yogas mengatakan tidak menyukai Kana sejak awal. Tetapi, Yogas
mengatakan hal-hal kejam yang sudah menyakiti hati Kana. Bahkan, Kana tidak tahu apakah
bisa memaafkan Yogas setelah ini.
Terdengar suara pintu ditutup dari arah kamar Yogas. Kana mellirik jam yang ada di meja
komputer. Delapan lebih lima belas. Yogas pasti akan berangkat untuk mencari Joe, orang yang
katanya sedang dicarinya entah karena apa. Kana pikir Yogas pasti berbohong lagi. Yogas selalu
berbohong padanya, seorang gadis desa yang lugu dan mangsa empuk untuk dipermainkan.
Kana sudah tidak mau tahu lagi. Kana sudah tidak mau peduli lagi.
*** Yogas menatap Eno yang sudah tergeletak di depannya dengan mulutpenuh darah. Yogas baru
saja memberinya serangan fajar, setelah apa yang dilakukannya kemarin. Yogas sama sekali
tidak pernah menyangka Eno akan berbuat segoblok itu dengan memberitahu Wulan tempat
tinggalnya. Yogas berjongkok dan mencengkeram kaus Eno. Eno membalas tatapan marah Yogas tanpa
ekspresi. "Bangun lo," kata Yogas geram. "Apa yang membuat lo berpikir kalo lo berhak ngaih tahu
dimana gue ke Wulan?"
"Dia mau minta maaf sama lo," kata Eno susah payah. "Dia nyesel udah ninggalin lo."
"Gue udah bilang kan, gue gak mau berurusan lagi sama dia! Lo bebal atau dungu sih, No" Udah
bagus dia ngejauhin gue!" sahut Yogas kalap. "Kenapa lo ngasih tahu dia?"
"Karena dia ngancem mau bunuh diri!" sahut Eno membuat Yogas terdiam. "Ya, dia semenyesal
itu, Gas. Dia bener-bener nyesal udah ninggalin lo!"
"Lo tempe bangets ih, No! Gak mungkin dia mau bunuh diri gitu aja!" sahut Yogas lagi. "Eno
mendorong Yogas sampai Yogas terbanting. Eno terduduk dan menatap Yogas sengit.
"Menurut gue Gas, lo yang tempe! Yang lo tahu cuma ngehindari dari semua masalah!" Eno
menyeka darah yang sudah mengalir ke dagunya. "Kalo lo gak mau Wulan balik, seenggaknya lo
bisa maafin dia supaya dia bisa nerusin hidupnya, kan?"
Yogas terdiam, lalu menyandarkan dirinya ke tembok.
"Gue udah ngelakuin itu. Gue udah maafin dia," kata Yogas pelan. "Gue udah gak ada masalah
sama dia, tapi yang jadi masalah sekarang adalah cewek itu."
Eno menatapa Yogas, selah tak pernah meikirkan kemungkinan itu.
"Cewek itu ngeliat Wulan, dan semua alibi gue ajadi hancur" Yogas melirik Eno tajam. "Semua
karena lo." "Terus... dia gimana?" tanya Eno hati-hati.
"Yah, intinya, sekarang dia benci sama gue. Mungkin dia gak mau liat gue lagi. Dan karena itu,
gue harus cepat-cepat pindah kost," kata Yogas.
"Sori, Gas," ujar Eno menyesal.
"Gak perlu minta maaf," tandas Yogas. "Sori, gue udah mukul lo. Tapi, lo emang pantas dapat
pukulan itu, karena lo gak ngomong lagi sama gue."
Eno mengelus pipinya yang tadi ditonjok Yogas, lalu menatap Yogas yang tampak melamun.
"Lo... gak apa-apa, Gas?" tanya Eno cemas.
"Gue cuma udah ngerasa keterlaluan ama dia, No," Yogas mendesah sambil menjambak
rambutnya sendiri. "Semua omongan gue kemaren kayaknya keterlaluan. Kalo dia nampar gue
atau gimana, gue bisa terima. Tapi..."
"Tapi...?" Eno ingin tahu.
"Tapi, dia cuma bilang, bisa kamu sekalian bunuh aku" Dan bagi gue itu lebih dari sekedar
tamparan," ujar Yogas, matanya menerawang. "Baru kali ini gue nyesel kenal sama seseorang,
selain Joe." Eno tahu dengan pasti maksud kata-kata Yogas. Yogas pasti sedang berharap tidak pernah
mengenal cewek itu sehingga tidak akan berpisah dengannya.
*** Kana memutuskan untuk keluar dari kamar karena Yogas pasti sudah tidak ada di kamarnya.
Kana membuka pintu dan terperanjat saat mendapati Wulan di depan pintu kamar Yogas,
bermaksud mengetuk pintu. Wulan menoleh, lalu tersenyum pada Kana yang tidak sempat
membalasnya karena terlalu terkejut.
"Halo," sapa Wulan ramah. Kana membalasnya dengan anggukan. "Yogas ada?"
"Gak tahu ya,", dengan suara yang bukan miliknya. "Coba diketok aja."
Kana berjalan melewati Wulan untuk ke kamar mandi. Wulan memperhatikan Kana sampai dia
menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tak berapa lama, Kana keluar dan terlonjak kaget karena Wulan sudah ada di depan pintu kamar
mandi. Wulan tersenyum lagi pada Kana.
"Kana, kan" Kita ngobrol sebentar, yuk?" ajak Wulan membuat Kana menganga. Namun,
akhirnya dia mengikuti Wulan naik ke lantai tiga.
Kana menatap punggung Wulan yang bahkan terlihat sempurna. Kana tidak heran kalau Yogas
meti-matian menolaknya karena Kana sama sekali berbeda dengan Wulan. Wulan tipe gadis kota
yang anggun dan menarik, bukannya gadis desa banya banyak omong dan bodoh sepertinya.
"Kenalkan, aku Wulan," Wulan membuka pembicaraan. Dia mengulurkan tangannya, yang
disambut bingung oleh Kana. "Aku rasa kamu udah tahu siapa aku dari Yogas."
"Yah, kurang lebih," balas Kana kaku. Dia tidak mau mengatakan kalau Wulan adalah satusatunya cewek di hati Yogas.
"Kamu. suka sama Yogas?" tanya Wulan membuat kana bengong lagi. Kana tidak langsung
menjawab pertanyaan itu. Dia tertunduk, merasa malu sudah berpikiran untuk menyukai Yogas
yang sudah punya pacar secantik Wulan
"Aku..." Kana kehilangan kata-kata.
"Aku tahu kok," ujar Wulan sambil tersenyum. "Hh... Yogas sebenarnya beruntung ya punya
orang-orang yang suka ama dia."
Selama beberapa saat, Wulan dan Kana sama-sama terdiam. Kana sedang menerka-nerka apa
Wulan marah karena kana menyukai pacarnya, tetapi wajah Wulan tidak menunjukkan demikian.
"Kana, kamu tahu, kenapa Yogas bisa punya penyakit ini?" tanya Wulan kemudian.
"Aku gak tahu lagi mana alasan yang bener," jawab Kana getir. "Yogas sdudah terlalu banyak
berbohong sama aku. Aku gak tahu lagi."
Wulan menatap Kana yang tampak menahan tangis.
"Kayaknya Yogas masih ngerahasiain soal ini sama kamu ya," kata Wulan membuat kana
menatapnya. "Mungkin dia berbohong untuk melindungi kamu."
"Melindungi" Dia nyakitin aku terus!" sanggah Kana dengan suara serak. Sejenak dia menyesal
karena sudah berteriak. "Maaf!"
Wulan tersenyum menatap gadis ringkih di depannya yang sudah membuat Yogas jatuh cinta.
"Kan, kamu tahu seseorang bernama Joe?" tnaya Wulan lagi membuat kana mendengus.
"Ya, tokoh rekaannya Yogas," ujar Kana skeptis.
"Buka rekaan, dia memang benar ada." Jawaban Wulan membuat Kana menatapnya tak percaya.
"Joe itu dulu sahabatnya Yogas."
Wulan mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sementara Kana tak
melepas pandangannya. "Enam tahun yang lalu, aku, Yogas, Joe, dan satu orang lagi bernama Eno, sahabatan. Kami
sekelas dari kelas satu sampe tiga. Kami udah gak terpisahkan, ke mana-mana selalu bareng."
Wulan memulai ceritanya. "Kami semua punya cita-cita, kecuali Joe. Dia ini pengacau. Selalu
aja bikin keributan dan sama sekali gak punya visi buat masa depan."
"Joe paling akrab sama Yogas, karena mereka berdua udah kenal dari SD. Dengan Yogas, Joe
gak pernah macem-macem. Mereka udh kayak kakak-adik. Kamu tahu cita-cita Yogas?" tanya
Wulan membuat Kana menggeleng. "Sutradara. Yogas pengen banget jadi sutradara, sampai rela
menghabiskan tabungannya untuk bveli kaset dan bikin film kecil-kecilan yang pemainnya kamikami ini."
"Suatu hari, entah kenapa, Joe jadi agak berubah. Dia jadi cenderung pemarah, bahkan ke Yogas
sekalipun. Kadang, dia marahin Yogas kalo Yogas terlalu banyak bergaul sama anak-anak ekskul
film. Dan, akhirnya, peristiwa itu terjadi," kata Wulan. Dia berhenti sejenak, lalu menarik napas.
"Yogas diajak Joe ketemu sama temen-temennya yang preman sekolah kami. Mereka adalah
murid-murid drop out sekolah kami. Entah gimana Joe bida berteman dengan mereka. Saat itu
mereka sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan obata-obatan," kata Wulan, suaranya
sudah serak. "Mereka nyuruh Joe untuk nyuntik Yogas dengan suntikan bekas pakai."
Mata Kana melebar, tak percaya dengan cerita Wulan. Air mata Wulan sendiri sudah mengalir.
"Joe yang takut sama mereka ngelakuin yang mereka minta. Setelah itu, Yogas gak cerita lagi.
Dia takut sama Joe dan selalu ngehindar kalo ketemu di sekolah. Waktu itu, aku sama Eno gak
tahu apa-apa," lanjut Wulan. "Suatu saat, Joe dipuindah sekolah sam orangtuanya karena
ketahuan ngobat. Yogas jadi ceria lagi, dia bikin filn lagi. Tapi, beberapa bulab kemudian, dia
kena kecelakaan yang cukup parah, yang menbuat dia harus masuk rumah sakit. Dari sana, baru
ketahuan kalo ada HIV di darah Yogas."
"Saat itu yang tahu cuma orang tuanya dan aku. Aku kebetulan ada di rumah sakit saat dokter
ngasih vonis itu. Waktu itu, aku masih anak-anak, aku maih terlalu ngeri dengan kata-kata HIV.
Setelah tahu Yogas punya virus itu, aku langsung menjauh," kata Wulan sambil terisak. "Bukan
cuma aku, tapi kedua orangtuanya juga menjauh. Mereka seperti aku, malu dan takut karena
penyakit itu. Eno yang gak tahu apa-apa memang gak menjauh, tapi Yogas yang malah
ngejauhin dia." Wulan menatap Kana yang juga sudah terisak. Kana sama sekali tidak tahu kejadian sebenarnya
seperti ini. Kana sama sekali tidak tahu bahwa penderitaan Yogas jauh lebih besar dari yang
dibayangkannya. "Kana, kamu jangan membenci Yogas karena berusaha ngejauhin kamu," kata Wulan lagi. "Dia
cuma gak ingin kamu kena imbasnya juga. Dia balik sikap dia yang kasar itu, dia sebenarnya
takut, Kan." Kana menangis lebih keras. Dadanya sampai sakit. Wulan mengelus-elus punggungnya.
"Kana, aku kagum sama kamu," katanya. "Aku pengecut ini gak pantas untuk ada di samping
Yogas. Dia saat semua orang ngejauhin Yogas, kamu ada untuk doa. Aku benar-benar malu
sama kamu, Kan." "Hah" Maksud kamu?" Kana bertanya di sela-sela isakannya, bingung karena kata-kata Wulan.
Bukankah Wulan adalah kekasih Yogas"
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku yakin, sekarang cuma kamu yang bisa jadi kekuatan buat Yogas. Cuma kamu yang bisa
menghentikan Yogas," kata Wulan.
"Menghentikannya dari apa?" tanya Kana lagi.
"Kan," kata Wulan dengan tatapan serou. "Jkamu tahu alasan Yogas datang ke sini" Kamu tahu
alasan Yogas mau ketemu sama hJoe lagi?"
Kana menggeleng, tetapi rasanya dia bisa menebak jawabannya.
"Dia mau ngebunuh Joe, Kan." Ucapan Wulan membuat Kana menekap mulutnya sendiri. "Dia
udah gak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi setelah itu. Dia mau ngebunuh Joe karena
udah merusak hidupnya."
Kana tak bisa berkata-kata. Tangan dan kakinya dingin mendengar kata-kata Wulan. Kana
langusng teringat pada sebilah belati yang pernah dia temukan di dalam ransel Yogas. Ternyata,
untuk itu dia membawa belati itu. Untuk membunuh Joe.
"Kenapa?" tanya Kana dengan suara tercekat.
"Dia ngerasa udah gak ada gunanya lagi dia hidup," jawab Wulan lemah. "Aku udah gak punya
hak apa pun lagi untuk menahan dia, Kan, karena dulu aku udah ninggalin dia. Sekarang, cuma
kamu yang bisa." Kana menatap Wulan tak percaya. Yogas kemarin bilang hanya Wulan cewek satu-satunya di
hatinya, tetapi kalau Wulan saja tidak bisa enahan Yogas, bagaimana Kana bisa melakukannya.
"Lan, dia gak suka sama aku. Dia benci sama aku. Gimana aku bisa nahan dia?" tanya Kana
membuat Wulan tersennyum.
"Dia bilang begitu ya?" kata Wulan. "Ini tips buat kamu, Kan. Mulai sekarang, apa pun yang dia
bilang, maknai sebaliknya. Kamu tahu sendiri, Kan, Yogas tukang bohong?" Jadi, mulai
sekarang, jangan anggap serius kata-katanya."
"Dia... bohong lagi?"" tanya Kana dengan suara serak, dan akhirnya menangis lagi, tetapi lebih
karena bahagia. Ini artinya Yogas kemarin sudah berbohong sdaat mengatakan bahwa Wulan
adalah cewek satu-satunya, juga saat dia mengatakan kalau dia membenci Kana.
"Kana," kata Wulan lagi. "Aku percayain Yogas sama kmu, ya" Karena kalo sama kamu, aku
bisa ngerelain Yogas."
Kana menatap Wulan lagi. Wulan tersenyum sedih.
"Aku gak pernah cukup baik buat dia, Kan. Aku pergi ketakutan waktu dia ngebutuhin aku, dan
baru sadar bertahun-tahun kemudian. Aku baru cukup kuat untuk nenerima kenyataan setelah
bertahun-tahun kemudian. Aku bener-bener gak sebanding sama kamu," ujar Wulan lagi sambil
menatap Kana dalam-dalam. "Kana, aku mohon, tolong jangan jauhin Yogas apa pun yang
terjadi. Satu-satunya kesempatan Yogas buat bahagia adalah kamu."
Kana memandang langit yang berwsarna biru cerah. Wajah Yogas segera terbayang di benaknya
sementara Wulan terus berbicara.
"Kamu tahu kenapa Yohgas selama ini membohongi kamu" Itu karena Yogas gak ingin kamu
mencintainya, karena kalau sampai itu terjadi, dia harus siap kehilangan kamu lagi suatu saat
nanti. Kamu ngerti kan, Kan" Dia cuma takut kehilangan kamu."
Kana langusng terisak lagi. Pikiran Kana jadi benar-benar kacau setelah mendengar kebenaran
dari mulut Wulan. Selama ini, Yogas selalu membohongi Kana supaya Kana selalu menjauhinya.
Yogas bahkan melakukan apa pun supaya Kana membencinya. Ternyata, alasannya adalah
karena dia takut akan kehilangan Kana."
"Kana, kamu bisa kan menjawab kekhawatirannya itu?" tanya Wulan, tetapi Kana tak bisa
menjawabnya. Kana tidak harus menjawab dan Wulan pun pasti sudah tahu jawabannya. Wulan menghela
napas lega. Kalau ada satu orang yang bisa mengembalikan Yogas seperti dulu, gadis inilah
orangnnya. *** Yogas memasang sebuah kaset di handycam-nya. Saat itu, Yogas sedang sendirian di kamar Eno
karena dia sedang bekerja. Yogas memperhatikan orang-orang yang ada di layar handycam-nya.
Film yang sedang ditontonnya adalah sebuah film pendek yang dibuat Yogas di Anyer tahun
2000 lalu. Film yang tadinya akan dimasukkan ke lomba film indie. Film yang dibuat dengan
segenap hati dan dibintangi oleh orang-orang yang paling didayanginya.
Yogas menatap Eno, Joe, Wulan, ayah, dan ibunya d layar handycam-nya. Baru kali ini, Yogas
memberanikan diri untuk menoonton lagi film ini dari awal sampai akhir. Sebelumnya, Yogas
bermaksud untuk melupakannnya karena menonton film ini membuatnya teringat lagi pada
orang+orang yang sudah menjauhinya karena penyakit yang dideritanya.
Wajah joe, si pemeran utama, tiba-tiba muncul sendirian di layar. Yogas menatap sosok kurus
berwajah kutu itu, dan tanpa terasa tangannya sudah terkepal. Dia adalah orang yang membuat
semua kehidupanyya hancur berantakan. Ingatan Yogas tiba-tiba terlempar ke masa silam, enam
tahun yang lalu. *** "Gas, pulang sekolah kita ke belakang kantin dulu ya," kata joe sambil mnghampiri Yogas yang
sedang berkutat dengan handycaminya.
"Ngapain?" tanya Yogas tanpa menoleh.
"Gue mau ketemu sama temen lama gue, dia mau kasihg gue sesuatu," kata Joe lagi sambil
mengamati video yang sedang ditonton Yogas. "Ya ampun. Another documentary?"
Yogas hanya mengendikkan bahu, matanya masih tertancap ke video dukemneter yang baru
diseledaikannya. "Apa yang mau dia kasih" Another blue film?" sindir Yogas membuat Joe terkekeh.
"Bukan. Ini sesuatu yang lebih daripada itu," Joe mencondongkan dirinya pada Yogas. "Lo harus
coba juga." Yogas menatap Joe tanpa ekspresi. Dia tahu kalau itu menyangkut Joe, pasti semuanya
berhubungan dengan cewek.
"Oke. Asala jangan lama-lama, karena gue harus transfer ini video. Gue ngejer deadline nih,"
Yogas akhirnnya menyanggupi.
"Siap, Bos. Dasar maniak film," cela Joe sambil terkekeh.
"Calon sutradar," ralat Yogas, dan Joe tergelak lebih hebat.
"Serius Joe, siapa sih yang lo tunggu?" tanya Yogas setelah menunggu selama satu jam di
belakang kantin sekolah yang sepi.
"Temen lama gue," jawab Joe, sekarang tampak gelisah. Yogas memperhatikannya bingung.
Tak lama kemudian, beberapa orang bertubuh besar dan bertato di sana-sini muncul. Sejenak
Yogas merasa mereka tidak mungkin teman lama yang dimaksud Joe, tapi saat kawanan itu
mendekati Joe, mendadak Yogas merasa takut. Yogas tidak tahu sejak kapaan Joe bergaul
dengan orang-orang seperti itu.
"Oi, Joe! Apa kabar lo?" sahut salah seorang dari nereka yang di wajahnya terhias codet. Yogas
bisa membaui alkohol dari jarak tiga meter.
"Baik. Mana barangnya?" kata Joe cepat.
"Sabar dong man," laki-laki codet melirik Yogas yang mundur teratur. "Wah, siapa nih" Temen
lo" Calon pelanggan baru?"
"Bukan," Joe menahan laki"aki itu yang sekarang sedang berjalan sempoyongan ke arah Yogas.
"Dia cuma temen gue."
"Temen ya?" laki-laki itu terkekh, lalu menarik Joe ke pinggiran, dan membisikinya sesuatu.
Yogas tak bisa mendengar mereka.
Tak lama kemudian, kawanan itu mendekati Yogas. Bau alkohol menguar hebat dari tubuh
mereka. Joe menatap Yogas takut-takut, dan itulah, Yogas tahu kalau sesuatu yang buruk akan
terjadi. Yogas baru akan kabur saat beberapa tangan menahannya. Yogas langusng meronta
sekuat tenaga, tapi kawanan itu jauh lebih besar darinya.
"LEPASIN GUE!!" sahut Yogas sekuat tenaga sambil berusaha melepaskan diri dari
cengkeraman dua orang besar yang ada di samoingnya. Namun, cengkeraman mereka malah
bertambah kuat. "DIEM LO!!" Seseorang bernapas busuk di depan Yogas balas menyahut. Seseorang yang
berdagu kasar menonjoknya dengan sekuat tenaga dan membuat pelipisnya berdarah.
"MAU APA LO!!" sahut Yogas lagi. Dia melirik Joe, sahabatnya yang ada tepat di belakang
lelaki yang tadi memukulnya. Ekspresi aneh, sama sekali tak dapat Yogas tebak. "Joe, apa
maksud lo, hah?" "Gas, gak sakit kok,"Joe berkata sambil membawa sebuah subtikan ke arah Yogas. Mata Yogas
membesar. "Cuma sekali doang, gak bikin ketagihan kok."
"Joe! Lo apa-apaan! Buang!" seru Yogas, tapi Joe seperti tidak punya pilihan. Laki-laki di codet
di belakangnya tampak sedang mengancamnya.
Kawanan itu terkekh saat Joe menghampiri Yogas yang sudah tak bisa berkutik lagi. Joe
membuka tutup suntikan itu, lalu salah seorang dari kawanan itu memberikan lengan kiri Yogas
yang sudah menegang karena kerasnya perlawanan Yogas.
"Sori, Gas," kata Joe, lalu dengan mata menatap lurus mata Yogas, Joe menusukkan suntikan itu
ke lengannya. Yogas sudah tak merasakan sakit. Dia hanya melihat mata sahabatnya dengan tatapan marah,
bertanya-tanya apa yang menbuatnya melakukan itu.
*** Yogas mencengkeram lengan kirinya kuat. Sudah sekian kama jenangan itu menjadi mimpi
buruk Yogas. Kejadian itu sudah berlalu sekitar enam tahun, tetapi rasa panas yang menjalar di
lengan Yogas masih terasa sampai sekarang. Yogas juga tidak bisa melupakan tatapan aneh Joe
saat dia menyuntikkan obat terlarang itu ke lengan Yogas.
Bukan, bukan obat terlaragnya yang membuat Yogas hancur. Obat tu emang berpengaruh sedikit
, tetapi Yogas berhasil melaluinya. Suntikan itulah yang membuat seluruh kehidupannya hancur.
Suntikan yang berasal entah dari mana dan membawa virus yang akan menjadi penyebab
kematiannya. Yogas menghantamkan kepalnya ke lantai, rahangnya mengeras. Bagaimanapun, dia harus
menemukan Joe untuk balas dendam. Karena kejadian itu, Yogas sudah tidak punya tujuan hidup
lagi. Kejadian itu juga yang membawanya pada seorang Kana, dan memaksanya untuk berpisah
lagi dengannya. Yogas mengambik sebuh kaset di antara beberapa kaset yang tergeletak, lalu
memasangakannya dia handycam-nya.
Air mata Yogas langsung menetes begitu melihat Kana dengan latar belakang Pantai Parangtritis.
Yogas sama sekali tidak bermaksud menangis, tetapi air mata itu kelluar dengan sendirinya. Otak
Yogas memang telah memerintahkannya untuk melupakan Kana, tapi ternyata hatinya tidak bisa.
Yogas sekarang tahu kalau air mata dan kesedihan tak ada hubungannya dengan otak. Sekuat apa
pun Yogas berusaha menahannya, air matanya tetap jatuh.
*** Yogas menatap kost tua di depannya ragu. Hari ini, Yogas bermaksud untuk pulang da
mengambil bebrapa baju. Dia tidak akan tinnggal dia kost ini sampai dia menemukan kot baru.
Yogas tak ingin berurusan dengan Kana lagi.
Mengingat nama itu lagi membuat Yogas pening. Semalaman, kepala Yogas sudah dipenuhi
olehnya sampai dia merasa sudah mau gila. Yogas memijat lehernya dan berjalan masuk. Ono
tampak sedang mengelap motornya.
"Gas, baru pulang, tho?" tanya Ono. Yogas hanya memblas tersenyum, langkahnya terhenti.
"Mas, ng... Kana.. ada gak ya?" tanyanya membiat Ono mengernyit.
"Gak adan nemenin ibu kost ke rumah mertuanya di Klaten. Ngopo, Gas?"
"Ooh, gak apa-apa," kelit Yogas cepat dan segera bergerak menuju tangga. Yogas menghela
napa lega. Ternyata Kana tidak ada di kost. Dengan begini dia bisabebas tinggal di sini tanpa
harus bertemu dengannya untuk beberapa hari. Ketika mencapai anak tanggaterakhir, Yogas
terpaku melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"Tapi, kalo cewek cantik yang kemaren ada, Gas!" seru Ono dari bawah. Sedikit terlambat
memang, karena Yogas sudah terlebih dulu melihat Wulan. Wulan pun sudah melihat Yogas.
Wulan tersenyum pada Yogas, yang dibals derngan seidikit ogah-ogahan. Yogas tak tahu apa
yang masih Wulan lakukan di sini.
Yogas menghampiri Wulan. "Ada apa, Lan?"$
"Aku mau pulang, Gas," jawab Wulan pelan. Yogas mengangguk. "Tapi, aku mau mau ngobrol
sebentar lagi ama kamu."
Yogas menatap Wulan dan menimbvang-nimbang, lalu mengangguk lagi.
"Ayo ke atas," ajak Yogas sambil melangkah duluan ke lantai tiga sementara Wulan
mengikutinya. Setelah sampai, Yogas langusng bersandar di pembatas pagar. Wulan
menataponya lekat-lekat. Yogas meliriknya. "Apa kamu masih mau minta maaf lagi?"
Wulan segera tersenyum lemah. "Gas, kemarin aku udah ngobrol sama Kana," katanya membuat
Yogas melebar. "Apa?" kata Yogas dingin. Wulan tahu Yogas pasti sangat marah.
"Aku udah cerita tentang alasan kamu dapet penyakit itu. Aku udah cerita semuanya sama dia.
Maaf kalo aku ngelakuin ini tanpa permisi sama kamu, tapi aku rasa, dia berhk untuk tahu."
Ucapan Wulan membuat Yogas membuang pandangannya. "Gas, dia tulus sama perasaannya,
dan aku tahu persis gimana perasaan kamu."
Yogas mendengus skeptis. "Oya" Kamu tahu ya?"
"Iya. Kamu takut. Iya kan, Gas?"K ujar Wulan membuat Yogas terdiam. "Kamu cuma takut
kehilangan dian seperti dulu kamu kehilangan semua orang yang kamu syangin. Iya, kan?"
Yogas tidak menjawab. Dia menatap bangunan-bangunan dia depannya tanpa ekspresi.
"Gas, aku tahu aku gak berhak ngomong ini, tapi kamu berhak bahagia sama Kana, Gas. Aku
tahu, dulu aku begitu bodoh udah ninggalin kamu, dan sekarang kamu gak mau terima aku lagi.
Tapi, Gas, Kana adalah orang yang tepat buat kamu, dan aku mendukung kamu sama Kana!"
sahut Wulan sambil menarik lengan Yigas.
"Lan," tegur Yogas dingin membuat Wulan berhenti nenarik Yogas. Yogas menoleh dan
menatap Wulan tajam. "Cukup sampe di sini campur tangan kamu. Aku berterima kasih kamu
udah sejauh ini mikirin aku, tapi gak ada kebahagiaan lain buatku selain bals dendam sama Joe."
"Tapi, Gas..." "Lan," desak Yogas lagi. "Tolong jangan paksa aku. Aku gak mau ngebentak kamu."
Wulan terdiam sementara Yogas membuang pandangannya lagi. Air mata Wulan mulai jatuh.
Cewek itumerasa tak berdaya menghadapi Yogas yang sudah tak tergapai seperti ini. Wulan juga
kesal pada dirinya sendiri karena sekali lagi telah gagal menghadapi Yogas. Dia hanya bisa
menggigit bibirnya agar tidak terisak.
Yogas menoleh dan menatap Wulan lama. Gadis ini dulu pernah dicintainya sepenuh hati. Gadis
ini juga yang sudah meninggalkannya dan kembali lagi untuknya, bahkan mendukungnya untuk
bahagia bersama orang lain. Yogas tidak bisa berterima kasih lagi padanya.
"Lan," kata Yogas membuat Wulan sedikit mengangkat wajahnya. Yogas mengambil jeda
sejenak, berusaha mengendalikan emosinya. "Kamu... harus bahagia, ya?"
Wulan menatap Yogas, lalu menangis hebat sampai terduduk di lantai yang dingin. Tidak pernah
hati Wulan merasa sesakit ini seumur hidupnya. Perkataan Yogas tadi seakan menyiratkan
bahwa Wulan tak akan pernah melihat Yogas lagi. Dulu, Wulan tak pernah memikirkan dia akan
bahagian bersam orang lain selain Yogas, tetapi saat Yogas mengatakannya sekarang, Wulan
tahu, kalau dia sudah membuat kesalahan yang paling besar dalam hidupnya. Wulan tak akan
bisa lebih bahagia dari saat-saat bersama Yogas dulu.
Yogas membiarkan Wulan menangis untuk beberapa saat. Yogas harus bisa merelakannya.
Yogas harus bisa merelakan semua yang dia miliki, termasuk apa yang disayanginya sekarang.
There's Still Tomorrow Yogas baru saja berkeliaran di kampus tekhnik UGM. Setelah berbagai kejadian kemarin, Yogas
kembali bernapsu untuk menemukan Joe. Joa-lah yang bertanggung jawab atas semua
penderitaan yang dialami Yogas selama ini.
Namun, lagi-lagi Yogas pulang tanpa membawa hasil. Dia menaiki tangga sambil mematikan
iPod-nya, tanpa melihat Kana yang menatapnya terkejut dari depan kamarnya. Yogas baru sadar
saat melihat sepasang kaki di depannya. Yogas mendongak, lalu menatap Kana kaget.
"Lo bukannya..." Yogas mendadak terdiam. Dia tidak akan membuka percakapan apa pun lagi
dengan Kana. Dulu, semua adalah kesalahannya. Dia sudah membiarkan dirinya terlibat begitu
jauh dengan Kana. Sekarang, Yogas memastikan hal itu tidak terjadi lagi. Yogas menelan katakatanya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
"Gas, tunggu!" sahut Kana sambil menghalanginya. Yogas menatap cewek itun dan mendadak
Yogas sadar kalau dia sudah terlalu lama tidak melihat mata Kana yang bulat itu. Yogas segera
mengalihkan pandangannya.
"Apa?" tanya Yogas berusaha supaya kedengaran tidak peduli.
"Apa" Apa?" tanya Kana tak percaya. "Bukannya 'Ap"'! Kamu harusnya minta maaf sama aku!"
Yogas kembali menatap Kana. "Hah?"
"Kamu harusnya minta maaf setelah semua yang kamu lakuin selama ini! Dasar pembohong,"
ujar Kana, tetapi tidak tampak marah. Yogas yakin Wulan pasti sudah mengatakan yang tidaktidak padanya.
Kana sekarang melipat kedua tangannya di depan dada, dan menatap Yogas seolah menunggu
permintaan maafnya. Yogas menghela napas. Pola ini terulang lagi, tetapi Yogas tidak akan
kalah. "Denger ya, apa pun yang Wulan bilang sama lo..."
"Aku lebih percaya sama Wulan," tandas Kana membuat Yogas terdiam. "Kamu selalu bohonh,
jadi aku sudah gak percaya lagi sama kamu."
"Lo... bisa gak sih, lo biarin gue sendiri?" sahut Yogas geram.
"Apa" Kamu ngomong sesuatu yang kejanm lagi?" tantang Kana, tidak tampak takut. Ygas
menatapnya tajam, lalu memukul pintu di depannya, tepat di samping wajah Kana. Kana balas
menatap Yogas berani. "Apa Wulan bilang kalo gue sebenarnya takut kehilangan lo?" tanya Yogas. "Karena kalo iya, lo
kegeeran banget. Sama sekali gak pernha terbesit di pikiran gue..."
"Aku sudah gak peduli lagi sama semua kebohongan kamu," potong Kana membuat Yogas
melotot. "Mau kamu bilang aku cewek desa, aku bukan tipe kamu, kamu gak suka aku, kamu
benci aku, aku gak peduli."
Yogas menatap Kana bingung.
"Gas, aku sudah denger semuanya dari Wulan, dan sekarang aku tahu kenapa kamu punya
penyakit ini," ujar Kana lembut. "Aku sekarang tahu kalo bukan salah kamu bisa dapet penyakit
itu. Sebenernya, alasan apa pun gak penting, karena aku gak akan ngejauhin kamu karena kamu
punya penyakit itu."
"Berhenti ngomong sesuatu yang mais-manis," sambar Yogas geram. "Lo dulu sempet ragu,
kan?" "Memang benar aku sempet ragu, tapi aku nyesel. Harusnya aku gak pernah ragu. Waktu itu aku
akui, aku takut. Tapi, setelah itu, aku benci aku yang penakut kayak gitu. Waktu itu, aku pikir,
kalo aku takut, aku gak akan pantes buat kamu," kata Kana lagi. Yogas masih menatapnya tanpa
berkedip. "Tapi, Gas, sekarang aku gak akan pernah takut lagi. Aku tahu kayak apa mungkin
kamu berubah beberapa tahun lagi, tapi Gas, aku gak pernah punya perasaan sekuat ini sama
siapa pun. Kamu berubah jadi apa juga gak mungkin bikin aku mundur."
"Lo gak akan pernah tahu apa yang bakal terjadi di masa depan," ujar Yogas gemetar. Kana
tersenyum. "Kamu juga gak tahu, kan?" Ucapan Kana membuat mata Yogas melebar. "Jadi, kenapa kita gak
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ambil risiko itu?" Yogas ingin sekali merengkuh gadis di depannya ini. Setitik air matanya mulai menetes. Kana
menyeka air mata itu dengan jemarinya dan memegang lembut pipinya. Yogas bahkan tidak
menghindar. "Gue cuma punya waktu lima tahun," gumam Yogas membuat Kana tersenyum lagi.
"Jadi, ato kita gunakan waktu itu sebaik-baiknya," jawab Kana membuat setitik lagi air mata
jatuh dari mata Yogas. "Kalo kamu tahu kamu cuma punya waktu lima tahun, ayo kita buat
kenangan sebanyak-banyaknya dalam waktu itu."
"Lo... lo rela ngorbanin lima tahun hidup lo buat gue?" tanya Yogas lagi.
"Aku gak mau bilang aku rela ngorbanin lima tahun hidupku untuk kamu," ujar Kana. "Karena
aku gak mau cuma lima tahun bareng kamu. Aku mau selamanya bareng kamu."
Yogas menatap Kana dalam-dalam, mencari kebenaran dalam matanya.
"Kan... Boleh gue percaya omongan lo sekarang?" tanya Yogas membuat air mata Kana mulai
menetes. Kana mengangguk, lalu membelai pipi Yogas yang sudah basah karena air mata.
Sebelum Yogas sempat berkata-kata lagi, Kana memeluk Yogas. Awalnya, Yogas hanya
membatu, menyangka dirinya sedang berada di alam mimpi. Namun, harum rambut Kana
menyadarkannya, bahwa saat ini dia benar-benar hidup di dunia nyata. Yogas mengangkat
tangannya ragu, lalu menyentuh punggung Kana yang terasa hangat. Semuanya terasa begit
nyata. Yogas mempererat pelukannya pada Kana dan membenamkan wajahnya lebih dalam ke bahu
gadis itui. Yogas tidak ingat kapan dia merasa sebahagia ini sebelumnya. Kali ini, dia tidak akan
melepas Kana lagi. Tidak akan pernah lagi.
*** Yogas membuka matanya dan seberkas cahaya menelusup melewati jendela. Yogas mengerjapngerjap, dan setelah semua nyawanya terkumpul, dia berusaha mengingat kejadian semalam.
Semalam, dia bermimpi telah memluk Kana. Dia bermimpi bahwa Kana berkata akan selalu
bersamanya. Yogas mengangkat tangannya dan mentap tangan itu. Tangan yang sudah menyerah
pada seorang gadis bernama Kana.
Mendadak Yogas sadar, kalau kejadian semalam bukanlah mimpi. Harum Kana ada di manamana di kamar ini. Semalam, setelah Yogas memeluk Kana, emosinya begitu meledak-ledak
sampai dia tidak ingin melepaskan Kana. Yogas memeluk Kana sampai Kana jatuh tertidur.
Yogas terbangun dengan tersentak, lalu melihat ke sekelilingnya. Kana sudah tidak ada. Yogas
segera bangkit dan membuka pintu kamarnya. Dia berdiri di depan pintu kamar Kana dan
menatapnnya ragu. Yogas menjambak-jambak rambutnya sendiri. Harusnya semalam dia bisa lebih menahan diri.
Harusnya dia bisa melepaskan Kana dan membiarkan Kana tidur di kamarnya sendiri. Yogas
benar-benar takut Kana sudah menganggapnya yang tidak-tidak. Kana pasti sangat terkejut saat
melihat Yogas di sampingnya saat bangun sehingga langsung kabur dan tidak mau melihat
Yogas lagi. Yogas masih saja menjambak rambutnya frustasi saat mendengar suara pintu terbuka di tingkap
atas. Yogas menatap pintu itu penasaran. Mungkin saja Kana ada di atas.
Yogas segera naik ke lantai tiga dan Kana ada di sana, sedang bersandar pada pagar pembatas,
menatap bangunan-bangunan di depannya. Yogas menghela napas lega karena setidaknya Kana
masih ada di kost ini. Tahu-tahu Kana menoleh, dan melempar senyum pada Yogas yang segera
salah tingkah. Yogas lalu menghampiri Kana ragu-ragu.
"Ng..." gumam Yogas tak jelas. "Sori, semalem gue... Sori."
"Gak apa-apa," Kana tersenyum semakin lebar. "Semalem aku kebangun, terus kamu sudah
ketiduran. Jadi, aku selimutin kamu terus pindah ke kamar."
Yogas mengangguk-angguk, benar-benar lega karena Kana tidak berpikiran aneh-aneh
tentangnya. Yogas ikut bersandar di sebelah Kana. Sebenarnya, Yogas masih ingin memluk
Kana, tapi keinginannya itu ditahannya.
"Kok diem?" tanya Kana membuat Yogas menoleh. Kana tertawa kecil. "Gas, aku belum pernah
denger dari kamu lho, kalo kmau suka sama aku..."
Yogas menatap Kana tak percaya, lalu membuang muka. Telinganya yang berubah merah
membuat Kana terbahak. "Gak usah bilang juga udah tahu, kan," ucap Yogas keki. Kana sendiri berhenti tertawa, lalu ikut
menatap pemandangan di depannya.
"Sampe saat ini, aku masih belum percaya kalo kamu akhirnnya mau percaya sama aku," kata
Kana membuat Yogas menatapnya. "Aku seneng banget sampe rasanya pengen nangis."
Kana tidak bisa mengatakan kalau semalam saat dia terbangun dan mendapati Yogas ada di
sampingnya, dia menangis lagi. Kana benar-benar senang Yogas sudah mempercayainya.
Kana menggigit bibirnya, menahan dirinya untuk tidak menangis lagi. Yogas menepuk
kepalanya dan mengacak rambutnya.
"Harusnya gue yang ngomong begitu," ujar Yogas membuat Kana benar-benarmenangis. "Hus.
Jangan nagis terus ah. Dasar cengeng."
"Biarin cengeng juga!" sahut Kjana sambil terisak. Yogas tersennyum simpul.
Kana masih terisak sampai akhirnya Yogas berbaring di lantai dengan kedua tangan terlipat di
belakang kepalanya. Kana menyeka air matanya, lalu ikut duduk di sampingnya. Sejenak mereka
menikmati angin yang berembus sepoi.
Kana melirik Yogas yang sudah terpejam. Kana memeluk lututnya dan mengamati profil Yogas
yang tampak menawan ditimpa sinar matahari.
"Ng... Gas?" tanya Kana pelan.
"Hm?" "Ng... Aku boleh tanya sesuatu gak?"
Yogas membuka matanya menatap sekumpukan awan yang berarak. Dia tahu, cepat atau lambat
Kana pasti akan bertanya sial masa lalunya.
"Boleh aja," kata Yogas akhirnya.
"Hm... Apa bener cita-cita kamu jadi sutradara?" tanya Kana hati-hati. "Kata Wulan, dulu pas
SMA kamu pengen jadi sutradara."
"Benar," jawab Yogas setelah beberapa saat. Dia duduk dan mengorek saku celananya dan
mengeluarkan rokok. Kana dengan segera merampas rokok itu dan membuangnya. Yogas
menatapnya sebentar, lalu menghela npas. "Tapi, sekarang udah gak ada gunanya lagi kan
ngomongin itu?" Kana menatap Yogas bingun. "Kenapa?"
Yogas balas menatapnya. "Kenapa" Ya udah jelas kan" Mana bisa gue jadi sutradara."
"Kenapa gak bisa?" tanya Kana lagi membuat Yogas sekarang bena-benar memusatkan perhatian
padanya. "Denger ya," ujar Yogas setengah geli. "Orang kayak gue ini udah gak punya masa depan. Gak
mungkin gue bisa jadi sutradara."
Mata Kana membulat saat Yogas mengatakan itu.
"Gas, aku pikir kamu gak akan menyerah begitu aja." Ucapan Kana membuat Yogas mendengus.
"Emangnya gue pernag ngomong begitu?" katanya, dan Kana sadar kalau Yogas memanbg tidak
pernah mengatakannya. "Gas, kamu jangan nyerah dong. Kamu pasti bisa jadi apa pun yang kamu mau kalo kamu gak
nyerah!" ujar Kana. Yogas nenatapnya kesal.
"Jangan kasih gue ceramah lagi deh," sergahnya membuat Kana terkejut. Yogas menghela napas.
"Gue memang berterima kasih lo udah nerima keadaan gue, tapi bukan berarti lo bisa
nyeramahin gue." Kana menatap Yogas tak percaya. Yogas menolak untuk menatapnya balik.
"Gas, aku tahu kamu memang sakit. Tapi, apa sekarang kamu lumpuh" Apa sekarang kmau
cacat" Gak, kan?" seru Kana membuat yTogas kaget. "Bahkan orang cacat pun gak berhenti
bermimpi! Kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau!"
"Kalo sekarang gue berusaha pun belum tentu ntar gue bia jadi sutradara!" sahut Yogas balik.
"Tapi, itu lebih baik daripada kamu gak ngelakuin apa pun!" sahut Kana lagi. "Seenggaknya
kamu udah berusdaha, itu yang penting!"
Yogas terdiam mendengar kata-kata Kana. Kana menghela napas.
"Gas, orang tyang udah tahu bakal mati dan diam menerima nasib itu orang yang paling
menyedihkan," lanjut Kana. "Semua orang tahu mereka mungkin saja bisa mati besok, tapi gak
ada yang cuma diam nunggu kematiannya."
"Tapi, gak semua orang tahu kapan tepatnya mereka mati, gak kayak gue," kata Yogas miris.
"Gue cuma diprediksi bisa hidup lima tahun lagi, dan setiap inget itu, gue hilang semangat."
"Kalo benar kamu cuma hidup lima tahun lagi, berarti kmau harus bisa menghargai setiap
harinya," ucap Kana. "Bahkan setiap detiknya. Karena cuma tinggal lima tahun, makanya jangan
biarkan sedetik pun berjalan begitu aja."
Yogas hanya terdiam menatap Kana.
"Gas," kata Kana lagi sambil tersenyum pada Yogas. "Kamu kamu yakin, aku yakin pasti bisa.
Aku yakin suatu saat kamu bisa jadi sutradara. Kamu cuma harus berusaha, jangan pernah
menyerah sama keadaan kamu. Itu aja."
Yogas berhenti menatap Kana dan kini menatap awan. Sudah begitu lama Yogas tidak
memikirkan cita-citanya. Yogas menganggap cita-cita itu bagian dari masa lalu yang tak akan
pernah diungkitnya lagi. Namun, sekarang, seorang gadis bernama Kana telah membuatnya
kembali mengiginkan cita-cita itu. Kana mngakan hal yang tadinya dia rastanya tidak mungkin
mnjadi mungkin. Dulu, Yogas menyerh untuk masuk sekolah perfilman karena terlalu takut. Takut kalau ada yang
mengetahui penyakitnya dan menjauhinya. Takut kalau sebelum sempat memulai dia sudah akan
mati. Sekarang, setelah mendengarkan Kana, Yogas mulai menyadari kalau hidupnya yang
tinggal sedikit ini tidak boleh disia-siakna.
Kana melirik Yogas yang tampak berpikir keras. Kana benar-benar menginginkan Yogas untuk
kembali bersemangat dan melupakan dendamnya pada Joe. Kana tidak ingin melihat Yogas lebih
menderita lagi. "Gas," ujar Kana pelan. "Tolong janji satu hal sama aku."
Yogas mentap Kana. Kana menggigit bibirnya ragu.
"Lupain soal... Joe," kata Kana pelan membuat Yogas mengangkat alis tinggi-tinggi. Detik
berikutnya, dia mendengus.
"Lo suruh gue ngelupain bajingan itu?" tanya Yogas, toba-tiba kembali menjadi Yogas yang
dingin. "Lo bercanda, kan?"
"Gas, kalo kamu masih nyari dia, kamu gak aka bisa nerusin cita-cita kamu! Kamu ngerti kana
apa akibatnya kalo kamu ngebunuh dia" Kamu bakalan ngehabisin hidup kamu di penjara!" seru
Kana. "Kamu mau seperti itu.
Tangan yogas terkepal keras, bahkan sampau bergetar. Yogas bukannya tidak pernah
memikirkan kemungkinan itu. Memang dulu Yogas tidak peduli kalau dia sampai dipenjara atau
mati sekalipun, karena tidak ada yang peduli padannya. Namun, sekarang berbeda. Sekarang, ada
yang peduli padanya. Seorang gadis dengan wajah khawatir yang sedang duduk di sebelahnya.
"Gas, aku sudah janji mau nemenin kamu, kan" Terus apa gunanya kalo kamu ada di penjara?"
kata Kana lagi. Dia memgang kedua pipi Yogas dan memandangnya dalam-dalam. "Gas, aku
mohon." Yogas balas memandang Kana. Yogas benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Memang benar
dia sekarang gak mau kehilangan Kana, tetapi dia juga tidak bisa melupakan dendam enam
tahunnya begitu saja. Karena Joe, seluruh kehidupannya hancur berantakan.
Yogas bangkit tiba-tiba, membuat Kana terkejut. Yogas turun tanpa mengucapkan sepatah kata
pun lagi padanya. Kana terduduk pasrah menatap punggung Yogas yang segera menghiang di
balik pintu. Kana merasa Yogas benar-benar sudah tak tersentuh lagi.
*** Selama setengah jam, Yogas duduk diam di atas kasur kapuk kamarnya. Yogas melirik seprai
itu. Seprai berwarna pink dengan gambar Barbie. Yogas menghela napas, lalu meraoh handycam
di sebelahnya. Dari semua hal, Yogas tidak pernah bisa melepaskan handycam ini. Handycam yang diberikan
ayahnya saat dia berumur sepuluh tahun. Handycam yang tidak akan pernah digantinya dengan
apa pun. Yogas menyetel sebuah kaset saat ulang tahunnya yang kesebelas. Tampak figur ayah dan
ibunya yang bahagia. Handycam itu kemudian dipegang oleh orang lain, dan figur Yogas kecil
tampak di sana. Dia meniup lilin, sementara ayah dan ibunya memeluknya erat. Wajah mereka
semua tampak bahagia. Tangan Yogas bergetar menatap pemandangan itu. Mellihatnya membuat semua kenangan
terputar balik di otaknya. Saat-saat mereka mengetahui penyakit Yogas. Saat ayahnya
memutuskan pergi dari rumah karena malu. Saat ibunya menangis tak henti-hentinya.
Kalau saja Tuhan mengizinkan Yogas untuk membuat satu permohonan, Yogas ingin kemblai ke
saat-saat di mana semuanya masih baik-baik saja, seperti ulang tahunnya yang kesebelas ini.
Yogas mengelus handycam itu pelan. Handycam yang sudah belasan tahun menemaninya.
Handycam yang merekam semua perjalanan hidupnya. Handycam yang menjadi awal dari citacitanya.
Yogas menjambak rambutnya. Dia tidak tahu harus nagaimnana. Tahu-tahu pinsel di sebelahnya
bergetar. Yogas meraih ponsel itu heran. Seinganya, dia tidak memberi nomor barunya kepada
siapa pun kecuali Eno. Mata Yogas nelebar saat mengenali angka yang muncul di layar ponselnya. Itu nomor rumahnya.
Tangan Yogas tiba-tiba terasa dingin. Yogas menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu
pada telinganya. "Hal" Yogas?" Terdengar suara perempuan dari seberang.
Yogas bergeming saat mendengar suara ibunya. Sudah begitu klama dia tidak mendengar suara
itu, samapai-sampai Yogas merindukannya.
"Yogas! Ini Yogas, kan?" tanya ibunya lagi. Tenggorokkan Yogas terasa kering.
"Kenapa?" kata Yogas dengan suara serak.
"Yogas!" seru ibunya. "Untung nomernya benar! Kamu ada di mana sekarang" Masih di
Yogya?" Mendadak, Yogas sadar kalau Wulan pasti sudah melaporkan segalanya pada ibunya. Dan,
Wulan mendapatkan nomor ini dari Eno. Yogas mengatur napasnya.
"Kenapa?" tanya Yogas lagi.
"Yogas, ayo pulang," bujuk ibunya, terdengar mau menangis. "Ayo pulang, Gas. Kami nunggu
di rumah." Yogas tertawa dalam hati. Kami" Kami siapa maksudnya"
Yogas masih terdiam. Sebenarnya, dia hanya ingin mendengar suara ibunya. Yogas juga takut
kakau dia bicara, dia akan menangis dan ingin cepat pulang.
"Yogas, kamu marah sama Mama, ya?" tanya ibunya kemudian. "Kamu marah sama Mama,
kan" Gas, maafin Mama. Maafin Mama, Gas."
Yogas hampir-hampiur tidak bisa menahan emosinya. Yogs tidk menyangka ibunya akan
meminta maaf. "Maafin Mama karena Mama bukan ibu yang baik," kata ibunya tersedu. "Maafin Mana karena
Mama gak merawat kamu dengan baik. Pulang, Gas. Izinkan Mama merawat kamu sekali lagi."
Yogas tetap mendengarkan tanpa bisa berkata apa pun. Rhang Yogas sudah mengeras, menahan
segala keinginannya untuk menangis.
"Mama gak akan nangis lagi, Gas. Mama akan tegar. Mama akan lebih percaya diri. Mama gak
akan peduli lagi apa kata tetangga. Yogas pulang, ya?" bujuk ibunya lagi. "Gas, kalo kamu
pulang, ada seseorang yang nunggu kamu."
Yogas mengernyit heran. Siapa yang menunggunya." Wulan-kah"
"Gas?" Tahu-tahu terdengar suara berat dari seberang, membuat jantung Yogas serasa berhenti
berdetak. Yogas tak bisa mempercayai pendengarannya. Mungkin Yogas sudah salah dengar. Mungkin
Yogas barusan berkhayal. "Yogas" Nak" Ini Papa," kata suara itu lagi membuat Yogas benar-benar hilang kendali dadanya
sesak karena mendengar suara itu untuk yang pertana kalinya dalam beberapa tahun terakhir.
Ayahnya terdiam sebentar di ujung sana.
"Yogas" Papa tahu kamu pasti sangat marah sama Papa. Tapi, beri Papa kesempatan sekali lagi,
Gas. Beri Papa kesempatan sekali lagi," kata ayahnya nembuat tangis Yogas tak tertahan lagi.
Ayahnya juga sudah terisak.
"Pa..." gumam Yogas di tengah isakannya.
"Yoas, maafkan Papa ya" Papa benar-benar bodoh sudah meninggalkan kamu dan mamamu.
Enam tahun Papa nenginteropeksi diri, dan ternyata memang Papa yang salah. Kamu tidak
bersalah. Papa yang sudah salah karena pergi. Seharusnya, Papa tetap nmendukung kamu.
Mamafkan Papa yang pengecut ini, Gas," kata ayanya lagi membuat tangisan Yogas semakin
keras. "Gas, kamu pulang ya, Nak" Ayo, kita coba sekali lagi," kata ayahnya lagi. "Kali ini, Papa gak
akan lari lagi. Kita ulangi dari awal. Kamu, Papa, dan Mama."
Yogas tak bisa menjawab. Dia sudah menangis sejadi-jadinya. Seumur hidupnya, dia tidak
pernah sebahagia ini. Dia sangat bahagia sampai dadanya seperti mau mneledak.
Terdengar ketukan di pintu, tetapi Yogaas tak bisa mendengarnya. Kana muncul di pintu dan
terkejut menatap Yogas yang sedang menangis. Kana segera menghambur ke arah Yogas.
"Gas" Kamu kenapa?" tanya Kana panik. "Kamu sakit" Apanya yang sakit?"
Yogas tidak menjawab. Kana bingung menatap Yogas yang terisak hebat, lalu menatap ponsel
yang sedang dipegangnya. Kana mengambil ponsel itu, yang ternyata masih tersambung. Ragu,
Kana mndekatkan telinganya pada ponsel.
"Yogas" Nak" Kamu masih di sana?" sahut sebuah suara wanita. Kana terbelalak, yakin itu suara
ibu Yogas. Kana tak berani menjawab. "Yogas, setelah kamu tenang, kami telepon lagi, ya.
Cepat pulang ya Gas, kami menunggu."
Setelah itu sambungan terputus. Kana tersenyum, sudah mengerti arti dari tangisan Yogas.
Ternyata, keluarga Yogas mengharapkan Yogas untuk pulang. Yogas sekarang sudah tidak
sendirian lagi. Kana mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Yogas, lalu memeluknya yang masih
menangis. Kana benar-benar bahagian karwna akhirnya Yogas sudah kembali mendapatkan
kehidupannya. Kana menitikkan air mata. Kana tahu seharusnya dia tidak sedih, tetapi dengan begini Yogas
akan lebih cepat menghilang dari pandangannya. Yogas akan kembali pada keluarganya, tetapi
Kana harus bisa mendukungnya.
Karena Kana sudah berjanji akan menjadi kuat untuk Yogas.
From now on what will happen to us"
Yogas mengamati segumpal awan putih yang berarak lambat di langit yang biru. Semalaman
Yogas berpikir akan melakukan apa. Dia sangat ingin pulang untuk menemui ayah dan ibunya,
tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Kana.
"Oii," kata Kana sambil menepuk bahu Yogas. Yogas menoleh dan mendapati Kana sedang
membawa dua gelas cokelat hangat sambil nyengir lebar. Kana menyodorkan salah satunya pada
Yogas. "Lagi mikirin apa sih" Serius amat."
Yogas menatap heran Kana yang menghirup cokelatnya. Kana sepertinya biasa-biasa aja,
padahal dia tahu tentang ayah Yogas yang sudah kembali.
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Merasa diperhatikan, Kana menoleh.
"Kenapa" Kok gak diminum?" tanya Kana lagi membuat Yogas tersadar dan meminum
cokelatnya yang kemanisan. Yogas memilih untuk tidak berkomentar.
Kana meregangkan kedua tangannya sampai isi gelasnya mau tumpah. Dia melakukan senamsenam kecil dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, membuat Yogas jadi teringat
pertemuan mereka yang pertama. Saat itu, Kana juga melakukan senam seperti ini.
"Aaah.... sudah lama gak senam," kata Kana ringan sambil menghirup udara pagi. Yogas
memperhatikannya, berharap bisa melihat pemandangan itu selamanya. Kana sendiri sudah
menatap awan dengan mata menerawang. "Dari sini... kira-kira apa yang bakal terjadi sama kita,
ya?" Yogas menatap mata Kana lama.
"Kana," kata Yogas membuat Kana menoleh. "Kalo lo minta gue tinggal, gue bakal tinggal."
"Hah" Kamu gila, ya" Gak mungkin!" seru Kana kaget. "Kamu harus pulang! Ayah dan Ibu
kamu nunggu kamu!" Yogas terdiam menatap cokelatnya yang tinggal setengah. Kana memandangnya, lalu tersenyum.
"Gas, kamu harus tahu. Kalo kamu bahagia, aku juga ikutan bahagia. Kamu harus pulang, dan
kamu harus ngelanjutin cita-cita kamu," kata Kana lagi.
"Terus lo gimana?" tanya Yogas.
"Aku" Aku juga akan berusaha di sini. Aku bakal berusaha mencapai cita-citaku. Aku bakal
lulus kuliah, berhasil jadi penulis best seller," kata kana mantap. "Kita pasti bisa, Gas. Ayo kita
sama-sama berusaha."
Yogas menghela napas. Sangat berat rasanya membicarakan ini dengan Kana. Yogas sebenarnya
ingin mengajak Kana bersamanya, tetapi Kana memiliki cita-cita sendiri, dan Yogas tidak bisa
menghentikannya. Yogas juga harus mendukungnya seperti Kana mendukungnya.
"Kan," kata Yogas membuat Kana menoleh. "Soal janji lo itu... lupain aja. Lo jangan khawatir
lagi soal gue. Kalo nanti lo nemu orang yang lebih baik..."
Yogas berhenti bicara begitu melihat ekspresi Kana. Kana seperti sudah siap untuk
menamparnya atau apa. "Sori," kata Yogas cepat-cepat. Dia menatap Kana dalam-dalam. "Gue pasti balik."
Kana balas menatap Yogas lekat, lalu mengangguk. "Aku tungu," ujar Kana sambil tersenyum.
Yogas ikut tersenyum, lalu mengacak rambut Kana yang lembut. Yogas meminum habis
cokelatnya, lalu menatap pemandangan atap-atap rumah di depannya. Dia pasti akan sangat
kehilangan tempat ini. *** Yogas sudah memutuskan untuk pulang besok. Sekarang, dia sedang membereskan barangbarangnya. Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada sebuah benda di dalam ranselmya. Yogas
mengeluarkannya, lalu menatapnya nanar. Ssebuah belati yang dibelinya di sebuah pasar malam
saat dia sedang emosi. Yogas menarik napas lalu memasukkan kembali belati itu ke ranselnya. Seberapa pun dendam
yang disimpannya, dia harus bisa menahannya karena sekarang sudah banyak orang yang peduli
padanya. Yogas tidak ingin menghabiskan hidupnya di penjara.
Setelah selesai mengepak barang, Yogas bermaksud untu pergi ke kost Eno karena dia belum
sempat bercerita padanya. Yogas melangkah keluar dari kamar dan mendapati Kana sedang
lewat dengan membawa setumpuk baju yang baru diangkatnya dari jemuran.
"Eh" Mau ke mana?" tanya Kana dari balik tumpukan baju.
"Ke kost Eno," jawab Yogas. Tahu-tahu sebuah bra jatuh dari tumpukan itu, dan kana tampak tak
sadar. Yogas tersenyun simpul, lalu mengambilnya dan menyangkutkannya pada kepala Kana.
Kana melongo sementara Yogas buru-buru kabur.
"Heeeh! Dasar cabuuul!" seru Kana, tetapi Yogas sudah melesat keluar kost.
Kana menghela napas, lalu nyengir sendiri. Untuk kali ini tidak apa-apa.
*** Yogas berjalan ke kost Eno dengan langkah ringan sambil mendengarkan musik dari headphone
besarnya. Hari ini, tampaknya hujan mau turun, dilihat dari sekumpulan awan hitam yang
menggantung di langit. Yogas mempercepat langkahnya ke kost Eno. Di tengah jalan, mendadak
musik di telinganya terhenti.
Yogas berhenti berjalan, lalu mengecek iPod-nya. Ternyata, semalam d tidak mengisi baterainya.
Yogas menghela napas, lalu melepaskan headphone dari telinganya dan membiarkannya
terpasang di leher. Saat Yogas baru akan kembali berjalan, dua orang cowok lewat sambil mengobrol.
"Gue kemaren maen ke kost-nya," kata cowok yang memakai kaus merah. "Gila, dia tajir
mampus! Punya segala macam gadget!"
"Lah, bukannya memang bokapnya si Joe pejabat ya?" sahut temannya, membuat langkah Yogas
tiba-tiba terhenti. Yogas berbalik dan menatap kedua cowok itu. Tubuhnya gemetar dan terasa dingin. Yogas tahu
ini mungkin saja bukan Joe yan dimaksudnya, tetapi tetap saja Yogas memiliki firasat.
Yogas segera berlari menuju kedua cowok tadi dan menghadangnya. Kedua cowok itu menatap
Yogas heran. "Eh, tunggu. Tadi kalian ngomongin Joe?" tanya Yogas membuat kedua cowo tadi mengangguk.
"Joe ini... anak Jakarta?"
"Iya. Lo siapa ya?" tanya cowok yang berbaju merah, tetapi Yogas tak mendengar.
"Joe ini... anak SMA 218" Angkatan 2002?" tanya Yogas lagi, jantungnya berdetak tak keruan.
Kedua cowk tadi saling pandang, lalu sama-sama mengangguk. Yogas segera bergerak buas ke
arah cowok yang berbaju merah dan mencengkeram lehernya.
"Eh, lo kenapa, Man?" seru cowok itu, terkejut.
"Di mana kost-nya?" seru Yogas kalap. "DI MANA KOST-NYA?"
Teman cowok iru segera maju, berusaha melerai, tetapi kekuatan Yogas jauh melebihi mereka
berdua. "Apa urusan lo sih?" sahut cowok itu, membuat Yogas memperkuat cengkeramannya.
"Lo gak usah mau tahu! Kasih tahu gue di mana kost-nya!" sahut Yogas lagi.
"Di daerah Babarsari!" jerit cowok itu membuat Yogas mengumpat. Dia sama sekali tidak tahu
daerah itu. "Kampusnya?" seru Yogas lagi sambil mengguncang-guncang tubuh cowok itu. "Kampusnya di
mana?" "UPN!" seru cowok itu. "UPN jurusan tekhnik Kimia!"
Yogas segera melepas cowok itu yang segera terbanting ke tanah. Temannya segera
menghampirinya. "Lo kenapa sih" Gila ya?" sahut temannya pada Yogas, tetapi Yogas tak peduli.
Tangan Yogas sudah terkepal keras di samping pahanya. Ternyata Yogas memang tidak bisa
melepaskan Joe. Yogas segera berlari. Kepalanya sudah panas dan dia sudah tidak bisa berpikir lagi.
*** Kana sedang menyapu lantai gang depan kamarnya ketika Yogas tahu-tahu muncul dari tangga
dan berlari kalap menuju kamarnya.
"Gas" Kenapa?" tanya Kana, tetapi Yogas tidak menjawab dan melewatinya begitu saja. Yogas
buru-buru membuka pintu kamarnya, lalu masuk. Kana segera mengintip dari luar.
Yogas tampak mengobrak-abrik ransel yang telah dipaknya dengan tak sabar. Kana menatapnya
takut. "Gas?" tanya Kana lagi dan Yogas telah mendapatkan apa yang dicarinya, belati tajam yang
dibungkus dengan sarut kuluit hitam. Kana mengenali barang itu, lalu terpekik. "Yogas! Kamu
mau apa sama itu?" Yogas tak mendengarkan. Dia menyelipkan belati itu ke pinggangnya, lalu berdiri, bermaksud
pergi lagi. Kana menghadangnya di pintu dan menatapnya khawatir.
"Gas! Kamu sudah janji, kan" Kamu mau pulang, kan" Gas!" seru Kana, tapi Yogas hanya
menatapnya dingin tanpa menjawab. "Gas! Jangan lakuin ini Gas, aku mohon..."
Yogas tak peduli dan berderap pergi. Kana merasa seluruh tubuhnya lemas. Yogas pasti sudah
menemukan Joe, dan sekarang dia bermaksud untuk membunuhnya.
Kana merasa tak berdaya. Sekarang, Kana hanya bisa berdoa Yogas mengingat janjinya.
*** Yogas turun dari bus dan menatap bangunan besar di depannya. UPN. Tempat Joe berkuliah.
Yogas segera melangkahkan kakinya ke dalam. Dia harus bisa menemukan Joe.
Yogas tidak tahu apa yang akan dia perbuat dengan Joe nanti, tetapi ada satu yang harus
ditanyakannya. Yogas tidak akan melepaskan Joe sebelum mendapatkan jawabannya.
Yogas bertanya pada beberapa orang letak kampus tekhnik Kimia, dan sekarang dia sudah
berada tepat di depannya. Yogas menatap kampus itu. Ternyata selama ini Joe ada di sini.
Sebuah keberuntungan Yogas bertemu dengan orang-orang tadi. Atau Tuhan pasti
mengingkannya bertemu dengan Joe.
Yogas menunggu beberapa jam sampai dia menemukan sesosok cowok yang sedang berjalan
sambil sibuk dengan ponselnya. Yogas merasa semua darahnya naik ke kepala saat melihat sosok
itu. Sosok yang terlihat sehat dan baik-baik saja. Sosok yang sudah menghancurkan seluruh
kehidupannya. Yogas menghampiri Joe dan berhenti di depannya. Joe yang masih sibuk dengan ponselnya tidak
sadar dan menabraknya. "Ah, sori," kata joe sekenanya sambil terus berjalan.
"Lo kelihatannya sehat-sehat aja," ujar Yogas membuat langkah Joe terhenti. Joe berbalik pelanpelan, lalu melongo menatap Yogas.
"Yo...gas?" gumam Joe, tak percaya.
"Yah, Yogas," tandas Yogas dingin. "Kaget?"
Joe masih menatap Yogas tak percaya. "Lo...ngapain di sini?"
"Nyari lo," jawab Yogas membuat Joe mengangguk-angguk pelan walaupun masih bingung.
"Udah lama banget ya," kata Joe kemudian. "Apa kabar lo, Gas?"
Yogas terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Joe yang tampak tenangseperti ini semakin
membuatnya emosi. Joe emang tidak tahu apa-apa soal penyakitnya, karena sebelum dia sempat
tahu, dia sudah keburu pindah sekolah.
"Kabar gue?" kata Yogas. "Gak pernah seseneng ini ketemu lo."
joe mengangguk-angguk lagi sambil tersenyum kaku. Sudah begitu lama semenjak mereka
berpisah. Joe benar-benar kaget bisa melihat Yogas di sini, dan mencarinya.
"Bisa kita ngomong sebentar?" tanya Yogas.
"Ooh, oke," kata Joe. "Di belakang kampus aja."
Joe kemudian berjalan duluan, sementara Yogas mengikutinya dari belakang. Yogas sebisa
mungkin menahan emosinya. Mereka kemudian sampai di belakang kampus yang sepi.
"Gas, dulu gue..."
Yogas keburu sudah meninju pelipis Joe sebelum joe sempat menrusdkan kata-katanya. Jie
sekarang sudah terkapar di tanah. Yogas menatap Joe bengis.
"Bangun lo," Yogas menarik kemeja Joe dan mengangkatnya. Yogas menatap Joe dari atas
sampai ke bawah. "Wah wah... kayaknya lo baik-baik aja ya?"
"Gas, gue..." Yogas meninju perut Joe sehingga Joe jatuh ke tanah. Joe terbatuk kesakitan.
"Gue pikir lo bakalan kurus kering, menyedihkan, gak ada bentuk karena segala narkoba yang lo
pake, tapi ternyata lo sehat-sehat aja ya," kata Yogas sinis.
"Gas... Udah berhenti, gas," ujar joe sambil terbatuk. "Enam tahun yang lalu, gue dipindahin
sekolah sama Bokap gue, dan semenjak itu gue gak pernah make lagi."
Yogas terdiam menatap orang yang pernah jadi orang yang penting dalam hidupnya itu.
"Joe... Lo gak pernah berusaha nyari gue" Lo gak mau tahu keadaan gue?" tanya Yogas lagi
membuat Joe menatapnya. "Gue terlalu malu buat nelepon lo, Gas. Gue takut lo marah," kata joe membuat Yogas tertawa
keras. "Marah ya.... Apa menurut lo gue gak punya hak buat marah" Lo udah ngehancurin hidup gue!"
sahut Yogas sengit. "Sori, gas," sesal Joe, tetapi Yogas tak mau mendengar. Dia mengeluarkan belatinya, membuat
mata Joe melebar. "Gas, lo mau apa?"
"Ngeliat lo sehat, seneng, punya kehidupan yang baik, bikin gue tambah muak," kata Yogas
sambil mendekati Joe. Joe mundur teratur, matanya menatap ngeri belati di tangan Yogas.
"Menurut lo gue mau apa?"
"Gas, gue minta maaf, Gas," kata Joe takut. "Apa lo sedendam itu sama gue?"
Yogas tertawa lagi, lalu menatap joe tajam. "Apa gue segitu dendam" Menurut lo?" katanya
sambil membuka sarung belatinya. "Kenapa Joe" Kenapa lo ngelakuin ini sama gue?"
"Gas dulu gue iri sama lo, karena lo punya semua yang gak gue punya. Lo punya keluarga yang
hangat, lo punya cita-cita, dan lo punya Wulan," ujar Joe gugup. "Waktu itu gue cuma khilaf,
Gas! Lo gak kecanduan kan" Kalo cuma sekali pasti gak kecanduan!"
Yogas menatap joe bengis. Jadi, itu jawabannya. Joe iri padanya, karena itu dia menyuntiknya.
Dan, hanya karena masalah keirian bodoh itu, Yogas mendapatkan kesialan ini.
"Ooh, ya, gue gak kecanduan, tapi lebih buruk dari itu," kata Yogas membuat joe bingung.
"Hidup gue hancur lebur, Joe. Semua yang kata lo gue punya itu hilang gara-gara lo."
Joe bergerak mundur sampai terbentur ke dinding karna Yogas terus mendekatinya deengan
belati terhunus di tangannya.
"Gas, jangan lakuin inin, Gas. Gue tahu lo gak mau ngebunuh gue," cicit Joe.
"Ooh ya" Kenapa gue gak mau ngebunuh lo" Lo yang bikin gue ancur," Yogas terus mendekati
Joe. "Enam tahun gue nyari lo, dan sekarang lo udah ada di depan gue, kenapa gue gak mau
ngebunuh lo" Biar gue mati gak sendirian."
"Maksud lo apa Gas?" tanya Joe heran.
"Lo bener-bener mau tahu, Joe?" tanya Yogas. "Lo bener-bener mau tahu" Yah, karena ini udah
menjelang akhir hidup lo, gue bakal kasih tahu supaya lo gak mati oenasaran. Karena lo udah
nyuntik gue pke jarum sialan itu, gue kana HIV. Puas lo?"
Mata joe melebar setelah mendengar kata-kata Joe. Mulutnya menganglebar.
"Karena gue kena HIV, gue bakal kena AIDS, semua kebahagiaan yang tadi lo bilang lenyap.
Nyokap gue, bokap gue, Wulan, semuanya pergi. Cita-cita" Musnah. Enam tahun gue hidup
dalam pengasingan, sementara lo seneng-seneng. Jadi apa yang..."
Yogas berhenti bicara karena Joe tiba-tiba merosot hingga terduduk di tanah. Jahnya tampak
pucat. "Kenapa lo" Ngerasa bersalah"' tanya Yogas sinis. "Yah, udah semestinya. Jadi, lo gak marah
kan kalo gue...." "Gas... Lo serius?" tanya Joe, tampak kacau.
"Apa yang bikin lo berpikir kalo gue bercanda?" seru Yogas emosi.
Joe menjambak rambutnya, tampak tidak percaya. Yogas hanya menatapnya dnegan mata
menyipit. Joe pasti merasa bersalah karena selama ini tidak tahu. Nendadak hujan turun rintik,
tetapi Yogas tidak peduli. Sudah sangat terlambat bagi Joe untuk menyesal.
"Nah, gue gak mau berlama-lama lagi. Gue harusnyelesain ini," kata Yogas. "Gue jijik liat lo
bahagia, jadi lo harus..."
"Gas," kata joe gugup sambil menatap Yogas. Di antara rintik hujan yang membasahi wajah Joe,
Yogas bisa melihat dengan jelas air mata yang mengalir di wajahnya. "Suntikan itu... punya
gue." Petir meyambar setelah perkataan Joe. Yogas rasanya salah mendengar.
"Apa?" kata Yogas, sementara joe sudah kembali menjambak-jambak rambutnya lagi.
"Suntikan itu punya gue," ulang Joe miris. "Sebelum gue suntik lo, gue pake."
Mendadak tubuh Yogas terasa kaku. Yogas menatap nanar sosook di depannya. Yogas tak
mempercayai pendengarannya, tetapi seluruh tubuh Joe sudah bergetar. Bukannya karena
dinginnya hujan, tetapi karena baru menyadari sesuatu yang mengerikan.
Yogas mendengus geli. Dia terbahak untuk menyembunyikan air mata yang keluar tanpa bisa
dtahan. "AAAAHHHH!!" sahut Yogas emosi sambil menendang batu yang ada di sampingnya, lalu
bergerak buas ke arah joe yang sudah pasrah. "Kenapa Joe?" Kenapa?""
Joe tampak tidak bernyawa, masih syok mendengar pernyataan yang baru diterimanya. Yogas
meninju tembok di sebelahnya dengan sekuat tenaga.
Yogas benar-benar tidak menyangka persahabatannya akan berakhir dengan cara seperti ini.
*** Rasanya sudah berjam-jam Kana duduk di depan kamar Yogas sambil terus berdoa. Di luar,
hujan turun semakin deras. Kana memeluk lututnya karena merasa dingin. Kana benar-benar
khawatir pada Yogas tang belum juga pulang.
Mungkinkah Yogas benar-benar membunuh Joe"
Kana segera menggeleng, tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Namun, melihat Yogas yang
tadi seperti kehilangan kendali, Kana tidak tahu.
Mendadak Yogas muncul dari tangga, membuat Kana segera berdiri. Yogas terseok ke arahnya,
tampak badah kuyup. Kana segera menghampirinya.
"Gas" Gas, kamu gak..." Kana tidak meneruskan perkataannya, karena belati yang dipegang
Yogas terjatuh ke lantai. Yogas juga ikut terjatuh. Kana cepat-cepat menangkapnya.
Kana melirik belati yang ada di sebelahnya, takut melihat darah, tetapi belati itu bersih. Kana
menatap Yogas yang tampak pucat.
"Gas..." "Kan, gue ketemu Joe," kata Yogas dengan pandangan kosong.
"Terus... kamu gak..." Kana tidak bisa meneruskan pertanyaannya, terlalu takut hal itu benarbenar terjadi. Yogas tiba-tiba mendengus, dan air mata mengalir dari matanya. Kana menatapnya
khawatir. "Gas?"
"Suntikan itu... punya dia, Kan," ujar Yogas miris, membuat Kana berpikir. Detik berikutnya,
Kana menekap mulutnya sendiri, tak percaya.
"Itu berarti... dia?" kata Kana takut. Yogas mengangguk pelan.
"Dia yang nularin virus ini," kata Yogas membuat Kana menahan napasnya. "Dia mengidap
penyakit yang sama, dan dia baru sadat setelah tadi gue bilang."
"Ya ampun," gumam Kana. Air mata Yogas masih mengalir.
"Selama perjalanan ke sini gue berpikir. Apa salah kami" Kenapa kami harus mengalami ini"
Kenapa?" Yogas berkata pelan. "Memang bener gue pengin vanget ngebunuh dia, tapi gue sama
sekali gak pernah berharap dia punya penyakit yang sama kayak gue. Kenapa kami bisa jadi
kayak sekarang ini" Kenapa?"
Kana mengusap lembut pipi Yogas untuk menghapus air matanya.
"Dulu gue deket banget ama dia, Kan. Kami tertawa bareng, nangis bareng, semuanya gue bakal
lakuin untuk dia. Dia udah kayak kakak sendiri bagi gue. Tapi, kenapa?" isak yogas lagi. "Cuma
karena satu kesalahan kecil, hidup kami langsung hancur. Kenapa dia harus berurusan dengan
narkoba sialan itu?"
Kana ikut menagis menatap Yogas yang terlihat begitu menderita. Kana tidak tahu bagaimana
rasanya kehilangan sahabat, tetapi rasanya Kana bisa ikut merasakan kepedihan hati Yogas.
"Tapi gue pikir-pikir lagi, Kan, mungkin ini kesalahan gue. Mungkin gue gak pernah jadi sahabat
yang baik buat dia. Gue tahu dia selalu kesepuan karena di rumahnya semua orang sibuk, tapi
gue gak pernah peduliin dia. Semenjak gue kenal filn gue sering nolak ajakan maen dia. Gue jadi
jarang ada buat dia," Yogas mulai menjambaki rambvutnya. "Mungkin ini salah gue juga dia jadi
bergaul dengan orang-orang gak jelas."
The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gas, jangan nyalahin diri sendiri," Kana menahan tangan Yogas yang mau menjambak rambut
lagi. "Kalo pun ada kesalahan kamu, semuanya udah terjadi Gas. Sekarang yang bisa kamu
lakuin adalah nerusin hidup kamu, dan berharap Joe juga melakukan hal yang sama."
Yogas menatap Kana nanar. "Kan, menurut lo gue jahat" Gue menimpakan semua kesalahan
pada Joe tanpa berpikir kesalahan gue, apa menurut lo gue jahat?" tanya Yogas membuat Kana
terdiam. Kana lantas menggeleng.
"Gas, semua orang pernah berbuat kesalahan. Kamu harusnya bersyukur kamu gak mengulangi
kesalahan itu," Kana menjawab sambil menatap belati yang tergeletak di samping mereka.
"Walaupun berat, kamu dan Joe sama-sama menerima akibat dari kesalahan itu. Gas, mungkin
kamu sedikit lebih beruntung daripada Joe. Kamu punya keluarga, teman kayak Eno dan Wulan,
dan kamu punya aku. Kita semua pasti bisa melalui ini, Gas."
Yogas menatap Kana lama, dan mulai menangis lagi. Kana merengkuhnya tanpa memperdulikan
bajunya yang sudah ikut basah. Kana membiarkan Yogas menangis dia pelukannya untuk
beberapa saat. Tangan Kana terkepal keras. Karena benda haram seperti narkoba, hidup dua orang anak cowok
sudah hancur. Mengapa benda-benda seperti itu harus ada di dunia" Mengapa orang-orang tidak
bisa lebih menyanyangi sehingga tidak ada orang yang putus asa dan terjerumus ke dalam dunia
hitam seperti ini" Begitu bayak pertanyaan berkelebat di dalam benak Kana, tetapi Kana tidak tahu siapa yang
menjawabnya. Will We Meet Again" Semalaman, Yogas dan kana tidak bisa tidur. Malam itu adalah malam terakhir Yogas ada di
kost ini. Kana dan Yogas sama-sama duduk bersandar di dinding pembatas kamar mereka,
merenung di kamar masing-masing.
Pagi ini, Yogas sudah siap untuk berangkat ke stasiun sementara Kana masih ada di kamarnya.
Dia bercemin dan mendapati wajah muramnya. Kana menghela napasd, mencoba untuk
tersenyum. Kana tidak boelh terlihat sedih. Kana harus terlihat kuat.
Setelah yakin dengan senyumnya, Kana keluar kamar dan mendapati Yogas sedang memakai
sepatu. Seketika Kana ingin menangis, tetapi ditahannya.
Yogas menoleh dan sekali melihat Kan, dia tahu Kana juga tidak tidur sepertinya. Kana nyengir
melihat Yogas. "Keretanya pukul 8 ya?" tanya Kana. Yogas mengangguk. Setelah selesai mengikat tali
sepatunya, dia berdiri. "Masih ada waktu," ujar Yogas setelah melirik jam tangannya. "Ke atas yuk?"
Kana mengangguk, lalu mengikuti Yogas naik ke atas. Melihat punggung Yogas, Kana merasa
hatinya seperti tertusuk-tusuk. Seolah Yogas akan pergi dan tidak akan kembali lagi.
"Kan," kata Yogas sambil berbalik. Dari ekspresi Yogas yang tampak serius, Kana tahu akan ada
pembicaraan yang tidak menyenangkan. "Lo tahu kan, gue bakal balik lagi."
Kana mengangguk pelan. Yogas menghela napas, lalu bersandar pada pagar.
"Semalem gue berpikir... ternyata gue menyedihkan," kata Yogas. "Gak ada saru pun dari gue
yang bisa dibanggain. Gue sama sekali gak berguna."
"Itu gak bener," sanggah Kana. Yogas menggeleng.
"Gue emang gak berguna, Kan. Dan, gue yang kayak sekarang ini gak bakal punya kepercayaan
diri untuk ada di samping lo," kata Yogas lagi. Yogas menatap Kana dalam-dalam. "Kan, gue
bakal ngeraih cita-cita gue."
Kana mengerjapkan matanya tak percaya.
"Kalo geu udah jadi sutradara, dan lo udah jadi penulis best seller, ayo kita ketemu lagi," kata
Yogas lagi, dan setitik air mata jatuh ke pipi Kana. Kana mengusap air mata itu, lalu tersenyum.
"Kalo gitu, kita janji, ya" Kalo kita udah sama-sama ngeraih cita-cita kita, kita ketemu lagi," ujar
Kana sambil mengancungkan jari kelingkingnya. Yogas mengaitkan jari kelingkingnya pada jari
Kana. Yogas tersenyum dan meregangkan tubuhnya.
"Uaah... Gue pasti kangen sama tempat ini," kata Yogas, lalu mengernyit saat melihat sebuah
taksi berhenti di depan kost-nya.
"Ah, taksi pesenan Bulik," kata Kana. "Katanya dia yang bayarin buat nganterin kamu ke
stasiun." "Hah" Kenapa pake pesen taksi segala sih?" tanya Yogas bingung.
"Tanya Bulik dong," kata Kana. "Ng... Aku anter ke stasiun ya?"
Yogas menatap Kana, dan mengacak rambutnya. "Gak usah. Gue gak mau liat tampang jelek lo
pas nangis," kata Yogas menbuat Kana cemberut.
"Siapa juga yang bakal nangis?" balasnya membuat Yogas tertawa lepas. Kana sendiri terdiam
sambil memainkan jarinya. "Gas... Ntar jangan lupain aku ya."
"Jangan bego lo," Yogas menjentik dahi Kana. Yogas melepas headphone dari lehernya,
memakaikannya pada Kana lalu menyerahkan iPod-nya. Kana menerimanya dengan tampang
bingung. "Nih, pegang. Ntar gue ambil lagi, jadi jangan dirusakin."
Kana menatap iPod di tangannya. "Beneran gak apa-apa, Gas" Bukannya ini penting?"
"Iya ini penting, ini suara hati geu," kata Yogas sambil tersenyum. "Makanya gue pinjemin. Ntar
harus didengerin." Kana mengangguk. Tak berapa lama, ibu kost memanggul dari bawah. Yogas dan Kana segera
turun. Ternayat di bawahn semua orang sudah menunggu. Yogas menatap ibu kost beserta suami
dan anaknya, Ono, dan Agus yang sudah nyengir padanya.
"Kita denger kalo hari ini kamu mau pindah," kata Ono. "Ko cepet banget tho, Gas" Aku bellum
sempet ajak kamu muter-muter Yogya lho."
"Lain kali aja kalo aku ke sini lagi, Mas," kata Yogas.
"Kamu bakal ke sini lagi, Gas?" tanya Agus. Yogas mengangguk mantap.
"Lain kali kalo ke sini lagi, kamu harus makan bareng kamu, atau gak kamu gak boleh mauk,"
ancam Bapak kost membuat Yogas tersenyum.
"Terima kasih, Pak," kata Yogas.
"Wah, baru kali ini lho kita liat Yogas senyum," goda ibu kost yang dibenarkan oleh semua
orang. Yogas melirik Kana yang sudah nyengir.
"Ya sudah, itu taksinya udah nunggu kana ikut nagnter gak?" tanya ibu kost.
"Gak Bulik, gak dibolehin sama Yogas," adu Kana sementara Yogas nyengir kaku pada ibu kost
yang bingung. "Bu, terima kasih untuk taksinya, harusnya ibu gak usah repot-repot," kata Yogas.
"Gak apa-apa, Gas. Lagian uang kost kamu kan masih nyisa," canda ibu kost yang membuat
semua orang tertawa. Yogas lalu memasukkan tasnya ke bagasi taksi.
"Semuanya, terima kasih karena udah menerima saya dengan baik," kata Yogas, lalu mengerling
melirik Kana. "Saya pasti akan ke sini lagi."
Semua orang mengangguk sambil tersenyum. Yogas masuk ke taksi dan membuka jendelanya.
Yogas menatap Kana yang sudah tidak tersenyum. Berat rasanya bagi Yogas untuk
meninggalkan gadis itu. "Awas ya, jangan sampe bukunya gak terbit-terbit," ancam Yogas membuat Kana semakin
menyun. "Kamu juga, jangan sampe filmnya gak jadi-jadi," balas Kana membuat Yogas terkekeh. Yogas
terdiam sebentar. "Kan, jaga diri lo ya," kata Yogas kemudian.
"Kamu juga. Jaga kesehatan ya. Minum obat yang teratur," ujar Kana. Yogas mengangguk.
Yogas menatap Kana sebentar, lalu menghela napas. Sudah saatnya bagi Yogas untuk pergi.
Yogas menatap ke sopir, memberi sinyal untuk berangkat.
"Dadaah!" seru Mela, anak ibu kost, membuat semua orang serentak melambai pada yogas.
Yogas balas melambai singkat, lalu menatap Kana yang memaksakan senyum padanya.
Taksi sudah bergerak perlahab, tetapi Yogas belum menutup jendelanya. Kana menatap taksi
yang bergerak menjauh, lalu tanpa disadarinya, Kana sudah berlari mengejar taksi itu. Yogas
melihatnya melalui spion, dan dia langsung melongok dari jendela.
"Yogaaas!" seru Kana sambil terus berlari. "Kita pasti ketemu lagi, kan?"
"Pasti!!" sahut Yogas, membuat Kana berhenti berlari. Kana melambai-lambai sambil tersenyum
dengan air mata berlinang sementara taksi yang ditumpangi Yogas berbelok.
Yogas mengempaskan punggungnya ke jok. Yogas tidak tahu apa yang diperbuatnya ini benar,
tetapi Yogas percaya Kana akan bertahan.
"Pacar ya, Mas?" tanya supir taksi menyadarkan Yogas. Yogas menatapnya bingung sebentar,
lalu mengangguk. Supir taksi itu ikut mengangguk-angguk.
"Pacaran jarak jauh ya, Mas?" tanyanya lagi, dan Yogas mengangguk lagi. "Tenang saja Mas.
Sekarang kan pulsa murah tuh. Telpon-telponan aka."
Yogas hanya tersenyum simpuk tanpa menjawab. Yogas tak akan menelepon Kana, karena kalau
dia melakukannya, Yogas akan melupakan semuanya dan bkembali pada Kana. Yogas akan
menahan diri sampai dia benar-benar mencapai cita-citanya. Dengan begini, dia akan lebih
bersemangat dan lebih cepat untuk bertemu dengan Kana.
Yogas berharap Kana akan melakukan hal yang sama dengannya. Namun, yang lebih Yogas
inginkan adalah, Kana mendengarkan iPod-nya.
The Promise "Uaaah..." Kana mergangkan tubuhnya yang terasa pennat. Seharian ini, dia sudah mengerjakan naskah
baru. Sekarang, dia sedang beristirahat di lantai tiga.
Kana berbaring di lantai semen, lalu menatap langit yang biru. Melihat ini dia jadi teringat
Yogasn, cowok yang setahun lalu datang ke kost ini dan menjadi cinta pertamanya.
Kana menghela napas, lalu memakai headphone besar dan menyetel iPod yang dipinjamkan
Yogas sethun lau sebelum dia pulang ke Jakarta. Sudah setahun ini juga Kana mendengarkan
musik-musik yang ada di iPod itu. Kana jadi tahu musik kesukaan Yogas, dan Kana juga ikut
menyukainya. "Gas... kamu lagi apa?" gumam Kana sambil menatap awan yang berarak.
Selama setahun ini Yogas sama sekali tidk memberi kabar, tetapi Kana percaya padanya. Kana
yakin Yogas sedang berkonsentrasi pada cita-citanya. Dari Wulan, Kana tahu kalo Yogas sedang
berkuliah di sekolah perfilman dan Kana sangat senang mendengarnya.
Kana juga tidak mau kalah. Sekitar sebulan lalu, sebuah penerbit menghubinginya dan
mengatakan bukunya akan diterbitkan.
"Sebentar lagi ketemu ya..." gumam Kana lagi sambil tersenyum. "Gas, kamu juga terus
berusaha ya." Kana baru akan menutup matanya ketika terfengar tantenya memanggil dari bawah. Kana segera
turun, lalu menatap tantenya yang sedang memgang sebuah paket terbungkus kertas cokelat.
"Kan, ini ada paket buat kamu," kata tantenya sambil menyerahkan paket itu pada Kana.
Kana menerima paket itu lalu membukanya dengan bingung. dia menarik salah satu buku dari
dalamnya, lalu terbelalak saat membaca judulnya.
"Buliiik!" seru Kana membuat tantenya kaget. "Bulik, ini buku Kana! Buku Kana udah jadi!"
"Hah" Yang bener, Kan?" seru tantenya, ikut kaget.
"Beneran!" sahut Kana girang. Teriakannya membuat Ono dan Agus keluar dari kamarnya
masing-masing. "Ono opo tho, Kan?" tanya Ono bingung.
Hilangnya Seorang Pendekar 3 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Cincin Maut 16