Can You See Me 1
Can You See Me Karya Sonya Michibata Bagian 1
Can You See Me" Karya: Sonya Michibata CLARISA Waktu istirahat masih tersisa 20 menit sebelum mereka mengikuti pelajaran berikutnya. Ruang
kelas hampir tidak berpenghuni ketika Risa masuk ke dalam kelas. Kebanyakan dari teman
sekelasnya sedang makan siang di kantin atau berganti pakaian.
"fiuh... Hari yang melelahkan," pikir Risa sambil memasukkan baju olahraga ke dalam tasnya. Ia
menarik kursinya dan duduk sambil menghela napas muram. Tetes-tetes keringat membasahi
kening dan lehernya. "setelah ini masih ada 2 jam matematika," gumamnya ketika tiga orang
sahabatnya mendatanginya satu persatu.
"udaranya panas sekali, aku gak yakin bisa konsen waktu pelajaran matematika nanti," kata
Jennifer. Ia didampingi Jessica yang sedang meneguk sisa air dari botol minumannya.
"Maunya sih gitu tapi liat deh tampang males2an," keluh jessica,
"gak bakalan bisa deh. Bu Ida punya tatapan mata ke segala jurusan, paling2 disuruh maju
ngerjain soal di papan."
Jessica dan Jennifer adalah satu2nya anak kembar di kelas dan di sekolah mereka. Sejak kecil
mereka selalu bersekolah di tempat yang sama, kepandaian mereka hanya beda tipis. Teman2
sekolah memanggil mereka dengan sebutan Jessy dan jenny. Benar2 kembar identik, tidak ada
yang bisa membedakan mereka bila dilihat dari bentuk wajah atau fisik.
Hanya saja jessica menderita lemah jantung sejak kecil, Jennifer sebagai orang paling dekat
dengannya selalu siap menjaga adik kesayangannya itu. Mungkin karena alasan inilah, Jessica
mempunyai sikap kekanak-kanakan dibandingkan dengan jennifer. Pda dasarnya si kembar
sangat periang dan teman yang menyenangkan bagi Risa.
"Ngobrol yang lain aja knapa," celetuk Bobby yang ikutan nimrung diantara si kembar. Cowok
satu ini kelihatan lelah sehabis berolahraga, rambutnya setengah basa oleh keringat, tapi ekspresi
wajahnya sangat puas. "Gimana kalo ntar pulang sekolah kita jalan2 sambil makan es trus foto
barengdi photobox?" tanyanya antusias.
"Hm..," pikir Risa serius, "oke2 aja. Tapi muka udah luntur gini masa mau foto segala."
"Lagian tasnya berat nih, males bawanya," tambah Jessy, melongok sepintas ke mejanya di
sebrang dimana tasnya menggembang diluar kendali.
"Adik2 yang manis...," kata Bobby dengan sabar ketika menempati bangkunya sendiri yang
terletak di sebelah kiri Risa," "mau foto gak foto itu urusan nanti. Masalah tas nanti bisa dititipin
di mobilku, hari ini gak bawa motor, jadi bawa dompet aja. Ntar pulangnya kuantar deh, toh
kalian bertetangga Cuma beda satu blok."
Ketiga cewek itu tampak menimbang sebentar kemudian saling pandang setuju.
"Ok sepakat!!!" seru Jenny. "wahh harus beritahu nyokap dulu nih biar ntar gak perlu jemput,"
tambahnya seraya buru2 mengambil HP dari dalam tasnya.
Siang itu berjalan begitu lambat. Suasana kelas hening, yang terdengar hanyalah bunyi goresan
kapur di papan tulis. Teman2 sekelasnya mengerjakan latihan soal dalam diam. Risa berkali2
memaksa diri untuk mengerjakan soal2 latihan dibukunya namun hanya berputar2 disatu soal. Ia
menengadahkan kepalanya, menatap langit di luar jendela. Di kejauhan terdengar suara serangga
yang mengeluarkan dengung berisik setiap menjelang akhir musim kemarau. Begitu tertatap
olehnya pandangan Bu Ida yang tanpa ekspresi ke arahnya, ia menunduk dan pura2 melanjutkan
hitungannya. Betapa herannya Risa akan kenyataan bahwa sudah 3 kali dalam semester ini Bobby duduk
semeja dengannya, mengingat pergantian tempat duduk diundi oleh pengurus kelas setiap satu
bulan. Di sampingnya, Bobby rupanya berusaha entah menghibur atau usil atau mengatasi rasa
jenuhnya sendiri dengan menanyakan perkalian setingkat anak SD kepada Risa sambil
mengerjakan soal hitungan rumit diburam. Risa menjawab jemu dan asal saja sampai suatu
ketika ia salah menjawab 8X7=63.
"56 tau, HADUHH!!" desisnya.
"Nah kalo udah tau ngapain nanya"!" balas Risa dalam desis agak jengkel, mau tak mau
menahan tawa. Untung saja meja mereka terletak paling belakang. Andi yang berjarak satu bangku dari tempat
duduk Risa menoleh sepintas kearah mereka berdua dan terkekeh. Lalu dalam sekejap tampak
mnguasai diri dan kembali ke posisi duduknya yang biasa, menyandarkan tubuhnya pada kursi
dan meluruskan kakinya, tangannya tampak sibuk menghitung. Sejenak Bobby dan Risa saling
pandang tak mengerti tapi keduanya tersadar oleh bunyi kapur patah didepan dan buru2
menyelesaikan tugasnya. Bobby dulunya juara kelas walaupun prestasinya sekarang tidak sebagus dulu. Tidak heran ia
tampak santai di kelas karena otaknya luar biasa sigap. Diam2 Risa iri sekaligus kagum akan
kepandaian Bobby tapi entah kenapadan bagaimana mereka selalu tertawa riang gembira saat
bersama. Baginya Bobby sangat menyenangkan, setia kawan dan menyebalkan. Sebagian sampul
belakangnya dipenuhi tanda tangan Bobby. Salah satunya robek sebagian gara2 aksi tarik
menarik dalam usahanya menolak kebiasaan aneh Bobby. Bobby berkelit bahwa jika dia sudah
terkenal tanda tangannya jadi langka.
Belum lagi setiap menjelang pulang sekolah, tanpa terasa alat tulisnya berpindah tangan ke kotak
pensil Bobby. Hal ini membuatnya tetap di kelas saat usai sekolah dan meminta bantuan si
kembar mengambilkan sisa pena yang tak berhasil direbut. Risa dengan bijaksana tidak
membawa pensil hari berikutnya dan hanya meletakkan sebuah pena , pensil dan penghapus di
meja sesuai keperluan. Jessy dan Jenny memang menyenangkan tapi dalam hal bercanda Bobby bisa membuatnya
tertawa seharian. Hari2nya di sekolah yang membuat stress berat dapat dilupakan berkat
kehadiran ketiga sahabatnya.
Pelajaran yang berlangsung dalam diam dan menguras pikiran ini membuat waktu berlalu terasa
lebih lambat dari sebenarnya. Risa berkali2 melirik jam tangan Bobby, berharap bel bisa
berdering sebentar lagi dan kecewa karena ia baru melewatkan lima menit dari saat terakhir kali
melihatnya. Setelah beberapa menit berlalu yang sudah serasa seharian, Risa melirik jam tangan
Bobby dan lega mengetahui 15 menit lagi mereka akan pulang.
"kenapa" Naksir jamku ya?" ledek Bobby, rupanya dari tadi memperhatikan Risa yang terus
menerus memandang jamnya.
"Bilang aja kalo kpengen."
"ye.. jam kayak punya bapak2 gitu. Gak minat!"
Kata Risa mencibir. Bobby tidak membalasnya, agak malu, padahal Risa setengah bercanda. Ia
sadar kalo jamnya memang biasa dipakai orang dewasa.
Bobby memang mempunyai penampilan seperti orang dewasa, mungkin dia ingin kelihatan lebh
berwibawa, pikir Risa. Bobby sudah selesai mengerjakan latihannya, menutup bukunya, duduk santai sambil
memainkan pulpennya seraya melihat teman2nya. Rupanya Bobby merupakan anak pertama
dalam kelas itu yang sudah selesai. Kesal karena tadi kalah bicara dengan Risa, Bobby berpura2
menawarkan pekerjaannya yang sudah selesai supaya Risa bisa menyalinnya.
"masih kurang 4 nomer ya" Ck ck ck," katanya menyebalkan sambil mengintip buku tugas Risa.
"Seperti biasa lemot."
"sebenarany maumu apa sih?" tanya Risa tidak sabar tanpa memalingkan muka.
"nggaakk. Ngakpapa," jawabnya enteng. Sekarang ia mengetuk2an pulpennya ke buku
latihannya yang tertutup, supaya Risa bisa melihat ia telah selesai mengerjakan.
"sudah selesai ya. Lihat dong," pinta Risa bermanis2.
"boleh, nih," kata Bobby cepat lalu membuka bukunya dan menggesernya kearah Risa. Ketika
Risa baru sebentar melihatnya, Bobby buru2 menariknya kembali ke mejanya. "eiiiitss."
"eeeeh...," kata Risa protes. "Dasar penipu!"
"apa?" Kamu bilang apa?" kata Bobby berpura2 tidak mendengar sambil mendekatkan
telinganya kearah Risa. "Bobby!" kata suara tegas Bu Ida memecah keheningan, Bobby langsung menegakkan
duduknya. "kerjakan nomor 68 di papan!."
Risa memandang Bobby dengan senyum kemenangan. Bobby menatapnya sekilas seakan
berkata "pertempuran belum berakhir", berdiri sambi membawa bukunya.
"oya, kalo bisa tanpa buku ya," tambah Bu Ida,membuat Bobby berbali dan meletakkan
bukunya. "rasai!" gumam Risa sambil menatap Bobby maju ke papan tulis.
Bel berbunyi tepat setelah Bobby selesai mengerjakan soal di papan tulis. Ia kembali ke
bangkunya seraya menyipitkan mata memandang Risa. Risa tidak menunjukkan tanda2
menghiraukannya. Semua murid berbenah, memasukkan buku2 mereka ke dalam tas masing2.
"Lho"! Pulpenku kurang satu," tanya Bobby sambil memeriksa kotak pensilnya.
"Nih, trims," kata Risa seraya menyodorkan pulpen warna hita kepada Bobby. Bobby
mengambilnya dengan kasar, memandangnya sengit.
"Enak aja ngambil2 barang orang," sahut Bobby pedas.
"Eh! Maling teriak maling," balas Risa panas. "Aku tadi kan udah bilang pinjem, isi pulpenku
udah habis. Pikun ya. Gara2 siapa hayo aku Cuma bawa satu pulpen tiap hari."
"sapa suruh," balas Bobby menjengkelkan namunagak merasa bersalah. Risa capek meladeninya
sehingga ia diam saja. Setelah berdoa dan memberi hormat, murid2 bergegas keluar dari ruangan, Jenny dan Jessy tetap
tinggal di kelas. Mereka mendatangi meja Risa dan Bobby yang duduk dibangku masing2.
"untung sekali kita mau pergi, pelajaran ini bikin stress orang," keluh Jessy seraya meletakkan
tasnya yang berat di atas meja disertai bunyi "duk".
"payah, uangku hampir habis. Tadi buat makan di kantin. Kalau tau bakal jalan2, aku pasti bawa
uang lebih." Ucap Jenny lesu, ikut meletakkan tasnya disebelah tas kembarannya lalu duduk
dikursi terdekat. "pinje uangku aja kalo kurag," sahut Risa memberi solusi sambil duduk berayun2 kedepan dan
kebelakang pada kursinya, sedikit menambah semangat temannya. Diam2 ia teringat kursi
goyang nenek dimana ia suka sekali duduk disana ketika mengunjungi neneknya.
"bener?" Wah trims ya. Kau paling baiiik sedunia," seru Jenny berapi2 memberi pujian selangit.
Risa hanya tersenyum. "baru tau ya," sindir Risa bergurau.
"jangan bilang gitu. Ntar kepalanya jadi besar kayak semangka," kata Bobby memulai. Ia
mengayun kursi Risa mendadak kebelakang kuat2, bermaksud mengagetkan Risa.
"BOBBY! Yang bener dong!" kata Risa marah karena kaget setengah mati. Kedua tangannya
memegang pinggiran meja erat2, kakinya menjejak lantai. Jangtungnya dag dig dug tak karuan.
"sorry. Kalo Jenny yang minta dikasih pinjam kenapa aku enggak" tanya Bobby protes.
"heh"! Memangnya kamu butuh uang" Perasaan kok nggak pernag denger ya" sahut Risa ketus,
masih marah.. "Lagipula Jenny gak minta kok."
Si kembar berpandangan, mengangkat bahu. Rupanya sudah terbiasa dengan perdebatan
semacam ini. "Dasar pilih kasih," kata Bobby mencibir.
"Iya iya. Ampun. Gitu aja kok marah," kata bobby seraya menyikut lengan Risa. Risa
memandangnya sewot. "Jangan lupa ya, bayar bunganya juga," tambah Risa jengkel.
"bunga?" tanya Bobby heran, pura2 tidak paham .
"kenapa nggak bilang dari dulu. Bilang aja, mau bunga apa" Flamboyan, bakung, sepatu, mawar,
kamboja atau anggrek atau..."
Risa memukul dahinya sendiri dengan telapak tangan tanda menyerah seraya menghela nafas
lelah. "Kalian ini mau ngobrol sampai kapan?" tanya Jenny yang sedari tadi bersabar melihat mereka
bertengkar mulut. Sekarang risa memandangnya galak seolah berkata "bukan mauku" sambil
melirik kearah Bobby. Bobby menghentikan ocehannya, merasa bersalah, lalu cepat2 mengambil tindakan.
"ayo deh, pergi sekarang," katanya singkat sambil berdiri dari kursinya, membawa tasnya, diikuti
oleh ketiga temannya. "tapi aku mau2 aja lho dikasih bunga krisan," kata Jessy riang gembira ketika mereka baru saja
meninggalkan kelas, tidak menyadari percakapa sudah berakhir. Bobby, Jenny dan Risa
menghentikan langkah lalu berpaling memandangnya, membuat perasaannya tidak enak. "eh,
anggap saja aku gak pernah bilang."
* "Pesan nasi goreng 2 porsi, gado2 1 porsi, nasi soto 1 porsi dan em.. minumnya 2 es teh dan 2 air
putih," sahut Bobby ke ibu pmilik toko dengan lantang.
"akhirya selesai juga belanjanya," kata Risa yang kelihatan lelah tapi puas sambil mengamati si
kembar yang sedang membandingkan jepit dan ikat rambut yang baru mereka beli.
Mereka memilih tempat duduk ditepi sambil memandang lalu lintas ke luar kaca jendela. Depot
ini salah satu favorit mereka, letaknya disebelah Mall yang baru saja mereka kunjungi,
masakannya tiada duanya dan harganya gak selangit. Bungkusan hasil belanja tergeletak
menggerombol dimeja kosong sebelah mereka. Bobby tidak membeli apa2, hanya melihat2 dan
mengoceh sepanjang waktu.
"hei, lihat! Tuh cewek cakep banget," pekik Jenny bersemangat seraya menghempas2kan salah
satu tangannya secara serabutan dan tangan satunya menunjuk ke seberang.
"mana"mana?"
Ketiga sahabatnya buru2 mengarahkan pandang kearah yang ditunjuk Jenny dan benar saja
cewek, lebih tepatnya murid SMA, dengan seragam yang berbeda dari merekasedang
menyebrang dari arah plasa ke apotik di depannya sambil menenteng tas sekolah dan barang
belanjaan. Rambutnya yang lurus panjang sepinggang dan berwarna kecoklatan melambai2
tertiup angin sepoi, badannya tinggi semampai dengan kulit putih bersinar. Semua itu masih
belum apa2 dibanding dengan wajahnya yang elok, hidung mancung dan bibirnya yang mungil
kemerahan. Benar2 tipe cewek idaman.
Mereka memicingkan mata melihat cewek yang berjalan menjauh itu dan mengamati gerakgeriknya. Setelah seperempat jam cewek itu keluar apotik dan menunggu jemputan.
"oh dia.. kalau tidak salah namanya Anita dari SMA X, orangnya cantik walau sayang bukan
tipeku, tidak pernah terlibat kegiatan organisasi disekolah karena sakit2an, peringkat 1 berturut2
dikelas walaupun bukan juara umum," jawabnya cepat ketika terpandang olehnya kernyit di dahi
teman2nya dan pandangan mereka telah teralih sepenuhnya.
Bibi pemilik toko menyodorkan makanan yang mereka pesan yang disambut dalam diam.
Sebelum Risa dan si kembar tersadar dari kekaguman akan informasi tersebut, sebuah sepeda
motor berhenti didepan cewek itu. Rupanya yang mengendarai adalah seorang remaja pria yang
lebih tua beberapa tahun dari mereka.
"itukah pacarnya" tanya Jessy tertarik yang ditujukan entah kepada siapa sambil memandang
ingin tahu wajah si pengendara namun yang terlihat hanya punggung jaketnya saja.
"itu kakanya yang biasa menjemput," lagi2 Bobby unjuk bicara sambil menyuapkan sesendok
penuh nasi soto kedalam mulutnya. "aku sempat berkenalan dengan kakaknya sewaktu kami
bertemu tidak sengaja di bengkel sepeda motor. Saat itu aku sedang memodifikasi motorku,
rupanya ia juga melakukan hal yang sama. Daripada nunggu lama ya sekalian kuajak ngobrol
tentang motor sekalian tanya tentang adiknya. Tapi hanya nanya kondisinya aja kok, gak lebih."
"kenapa njelasin panjang lebar gitu?" kata Jessy heran.
Pria itu menyodorkan helm kearah si cewek dan meletakkan barang bawaan dengan aman
dikaitan sepeda motornya. Tak lama kemudian kedua bersaudara itu pun pergi dan membuyarkan
lamunan mereka. Dengan lesu si kembar kembali memusatkan perhatiannya pada nasi goreng
yang belum tersentuh. Sementara itu diluar dugaan Bobby bersendawa keras, risa dan si kembar
langsung berhenti dan memandangnya.
"ups, sorry!" kata Bobby sungguh2.
"iuuuhh, jorok banget sih Bob!" tegur Jessy.
"kamu sendiri kadang2 gitu dirumah," sindir Jenny kepada Jessy yang mukanya merah memerah
malu, menggerutu tidak jelas.
"sayang sekali gak ada cewek secantik dan sepandai itu disekolah kita. Begitu berkarakter. Udah
kayak artis aja," kata Risa mengalihkan pembicaraan sambil meneguk minumannya sementara
Jenny mengingatkan Jessy untuk meminum obatnya.
"tapi kita punya cewek yang manis disekolah kita," sahut Bobby mantap sambil memandang
malu2 sahabat didepannya.
Risa tidak menyadari maksud perkataan tersebut karena sibuk mengamati arloji Bobby.
"tentunya itu kita berdua kan," Jessy dan Jenny menjawab spontan dan kompak sambil
mengedip2 genit. Keduanya telah memakai salah satu jepit yang baru dibeli. Mereka tampak geli
sendiri. "habis makan nanti, buruan pulang yuk. Satu jam lagi sudah jam 6 sore," kata Risa menasehati.
Sesampainya dirumah , Risa segera menaiki tangga menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya
diatas kasur berselimut yang empuk dan nyaman. Sayup2 terdengar suara mamanya dari bawah,
"tadi ada telpon dari Evi, katanya kerja kelompok besok diundur lusa."
"trims ma," balas Risa lelah. Dia pasti sudah pulang sedikit lebih cepat kalau saja Bobby tidak
menyarankan untuk berjalan kaki dari depan perumahannyayang langsung, disambut anggukan
setuju penuh semangat dari si kembar. Udara sore segar dan mereka bisa berbincang2 lebih lama.
Tapi bagi Risa yang sudah kelelahan, ini berarti menunda istirahatnya.
"ada kendaraan malah milih yang repot," gerutunya tak habis pikir setelah selesai mengingat.
Ia menatap langit2 kamarnya lalumengalihkan pandang ke sekeliling kamar. Seperti biasa
kamarnya tampak rapi, sinar biasa masuk melalui jendela di sebelah tempat tidurnya menerangi
seluruh kamarnya. Hanya saja jendela itu kini tertutup kelambu biru. Sepanjang dinding
kamarnya tertempel sekumpulan poster grup band penyanyi idolanya.
Ia menatap rindu komputer kesayangannya. Fotonya bersama sahabat2nya tersenyum
memandangnyadari atas meja belajar ditemani seekor boneka kelinci besar yang imut. Di atas
lemari pakaiannya terdapat seekor boneka beruang mungil dalam keranjang yang dibungkus
plastik dan ujungnya diikat pita, hadiah dari Bobby 2 tahun yang lalu.
Mendadak terlintas dalam benaknya bahwa Bobby mungkin menyukainya. Namun, ia heran
sendiri bahwa hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Bobby adalah sahabatnya dan akan
menjadi sahabatnya untuk seterusnya. Apapun yang terjadi kelak, tidak akan banyak merubah
hubungan mereka, pikirnya meyakinkan dirinya akan kemungkinan yang bisa saja terjadi
tersebut. Tiba2 ada sesuatu yang lembut bergerak diantara kakinya, tanpa berpikir dua kali ia langsung
bangun dan memberi salam ke anjingnya. "halo Toska," sapanya sambil membelai2 rambut
anjing yang kecoklatan tersebut. Toska balas memandang majikannya dengan penuh sayang lalu
secepatnya keluar dari kamar. Risa sudah melatihnya untuk tidak masuk ke kamar tapi kali ini
Toska hanya ingin menyambut kedatangannya.
Sudah lama sekali, pikirnya, ketika si kembar membersihkan seekor anak anjing kepadanya
sewaktu ia berulang tahun yang ke-12. Sebagai terimakasihnya, ia merawat Toska dengan baik.
Sewaktu Toska berumur 3 bulan, Toska diam2 mulai belajar naik tangga walaupun dengan
perasaan takut. Setelah berhasil berada di puncak, ia tidak berani turun seharian. Untunglah
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibunya menemukannya saat tiba waktunya makan malam. Risa masih tertawa bila teringat
dengan kejadian itu. "yak, mandi dulu baru kerja PR trus makan malam," katanya menyemangati pada diri sendiri.
Risa menuruni tangga dengan tidak sabar. Perutnya lapar sekali. Toska menyambutnya di
undakan tangga paling bawah, bergerak lincah, ekornya berputar seperti baling2. Ayah sedang
bermain tebak2an seru dengan Letty, adiknya, sewaktu ia tiba di meja makan yang bundar
sementara ibunya membagi2kan piring.
"..kalo bahasa inggrisnya "bunga" apa?"
"em..mm.. flora. Eh bukan ya?" kata suara mungil adiknya seraya berpikir keras. Ketika melihat
wajah papanya yang menyiratkan bukan itu jawabannya, letty lalu kembali berkonsentrasi. "apa
ya"em.. flower!"
"betul," sahut ayah mengangguk2 senang. "kalo babi?"
"piglet!" jawab Letty segera, yakin benar 100%.
"whahahaha," tertawa geli. Mama ikut tersenyum geli.
"salah," vonis Risa seraya menarik kursinya, menatap adiknya yang lucu. Rambut Letty
terkuncir menjadi dua, diikat pita merah, diatas kepalanya.
"uuh, kalo gitu apa?" tanyanya penasaran sampai2 mulutnya monyong seperti hidung babi.
"pig. Bukan piglet tapi pig," kata ayah sabar
"oh iya ya. Pig pig," kata Letty pengertian, mengulang2nya setengah berteriak supaya tidak lupa.
"pig,pig,pig." "aduh," pekik Risa lalu mengelus lututnya. Ia melongok ke bawah meja dan melihat sandal
boneka berbulu letty menendang 2 ditengah udara, tadi sempat mengenainya.
"Letty kakinya diem dong," kata Risa menasehati seraya berkacak pinggang. Suaranya
menggema keseluruh ruang makan.
"udah, udah. Ayo makan, ntar keburu dingin," kata mmama mengakhiri permainan.
Mereka mengambil lauk dan nasi sesuai selera dan kebutuhan masing2 sambil mengobrol
sepanjang makan. Seperti biasa Lettylah yang paling menonjol sepanjang percakapan. Setelah 15
menit berlalu, mama menanyakan perihal sekolah kepada Risa.
"Gimana tadi disekolah, ada cerita apa?" tanya mama kepadanya.
"Gak ada ma, biasa aja. Capek, stress mau ujian," jawab Risa dengan mulut penuh. Adiknya
memandang ingin tahu. "nanti habis ujian juga lega," kata ayah. "dulu papa juga gitu."
"kalo Letty, hari ini ngapain aja?" tanya mama, menatap Letty sambil tersenyum manis.
"Letty tadi nyoba ngisi teka-teki silang punya papa," kata Letty dengan senang hati bercerita.
"oh ya?" tanya mamanya kagum, dalam hati senang karena anaknya bbegitu pintar mengingat
Letty baru kelas nol besar. Disebelahnya, Risa menggeleng2 pelan kepalanya, tampak tidak puas.
"Letty bisa?" "He"eh," jawabnya bangga.
"Letty diam2 ngambil dari lemai papa ya?" tanya papa penuh selidik. Rupanya dugaan papa
benar karena anaknya diam saja.
"gakpapa kan pa. Yang penting Letty bisa belajar," kata mama murah hati. "teka-teki silang kan
susah." "memang,"kata Risa unjuk bicara, "tapi Letty ngisinya mendatar trus keatas. Bukannya mendatar
aja atau vertikal aja. Tadi Risa lihat waktu ke kamarnya nyari pulpen warnaku yang ungu."
Mama tercengang, rupanya kemajuan anaknya tidak seperti yng dibayangkan, lalu berkata
paham, "o..". "he he he. Kakak kok tau kalo Letty yang ambil?" tanya Letty yang tidak menyadari
kekeliruannya mengisi teka-teki silang, beberapa butir nasi menempel diujung nulut dan pipinya.
"ya taulah. Dirumah ini sapa lagi sih yang suka ngambil barang tanpa ijiiin," jawab Risa gemas
sambil memencet hidung adiknya.
"uh.."gumam Letty sebal seraya menepis tangan Risa.
"Letty kalo makan, mukanya ikut makan juga," kata papa geli sambil mengambil butir nasi
diwajah Letty. "udah ah. Letty kenyang," kata Letty, melompat turun dari kursi yang cukup tinggi baginya.
"Risa juga udah selesai," kata Risa lalu meneguk habis air minum digelasnya.
Papa masih makan sambil membaca koran sedangkan mama membereskan piring2 yang telah
dipakai. "bujuk adikmu tidur ya Ris," kata ayah minta tolong.
"oke" sahut Risa memandang mereka lalu berucap pada adiknya. "debger kan" Ayo pergi tidur!"
"gak mau ah, Letty masih mau maen," kata Letty jahil.
"kalo masih ggak mau...kakak gelitikin..," ancam Risa, matanya membelalak tajam. Letty hanya
menatapnya tanpa menunjukkan tanda2 mau mengikuti perintahnya. Supaya meyakinkan, ia
menggelitik adiknya tanpa ampun. "wau.."
"kyaa kya kya," jerit Letty menggeliat2 geli lalu berlari terbirit2 ke kamar. "beres" gumam Risa
menghela nafas, kedua tangannya bersilang didepan dada, tampak sangat ahli dengan urusan
seperti ini. Risa menaiki tangga menuju kamarnya didampingi Toska yang melompati tangga dengan lincah,
mengantarnya sampai didepan kamar.
"selamat tidur Toska," katanya sebelum menutup pintu kamar.
Perutnya kenyang sekali. Dengan puas ia menggosok gigi sebelum tidur lalu menghenyakkan
diri ditempat tidurnya. Karena letih seharian beraktivitas, tak lama kemudian ia sudah tertidur.
TIGA SEKAWAN Satu bulan yang menegangkan dan menguras tenaga telah berlalu. Sekolah berakhir di pagi hari
karena hari ini merupakan hari terakir ujian. Murid2 tidak pernah terlihat secerah dan selega ini.
Di sela2 hiruk pikuknya murid yang sibuk mendiskusikan soal ujian, mengira2 hasil rapor,
merencanakan akhir pekan atau liburan mendatang, Risa menunggu ketiga sahabatnya di dekat
lapangan parkir. Mereka berencana untuk menghabiskan sisa waktu hari itu bersama-sama. Lalu muncullah si
kembar, keduanya menggunakan sumpit khusus rambut untuk menggelung rambutnya, tampak
bersemangat. Jenny melambaikan tangan dari kejauhan. Jessy rupanya belum sarapan karena dia
membawa bekal di tangan. "Bobby belum datang", kata Jessy seraya memandang berkeliling. Tangannya membuka bekal,
mengambil sepotong roti lapis susun tiga dari dalamnya dan mulai melahapnya.
"hari ini mau ngapain?" tanya Risa mencari ide.
"hm... aku pengen beli ice cream, beli coklat sama kue, jalan2 di Mall, makan siang, maen
internet, pergi ke toko buku, berenang, minjem VCD atau nonton bioskop juga bisa," jawab
Jessy menggebu-gebu. "seminggu baru nyampe rumah kalo gitu critanya," sahut Risa.
"aku sih pengen pinjam komik buuaaaanyak di perpustakaan dekat rumah," kata Jenny mantap
seraya merentangkan tangannya, rupanya berusaha menjelaskan seberapa banyak yang dimaksud
itu. "kalian bisa membaca dirumahku kalo gitu. Aku mau menunjukkan hamster mini,kukasih nama
Taro,baru beli kemarin. Eh kebetulan! Nyokap mau bikin kue,nih ada daftar belanjaanbut
bahan2nya,"seru Risa ceria disertai tatapan mata berbinar-binar dari si kembar.
"setuju! Makan kue sambil baca komik, pas banget. He he he," kata Jenny dengan sorot mata
jahil. "wow hamster! Pasti lucu banget,coba kalo kita punya peliharaan ya,"ujar Jessy prihatin
memandang saudaranya. "orang rumah gak bakal mbolehin, belum lagi ngerawatnya bikin repot. Mending gak punya,
percaya deh,"kata Jenny pengertian.
"lagipula binatang bisa nyebarin virus ganas,"sahut Risa menakut-nakuti. "coba liat deh,
contohnya ada virus SARS, ada juga virus flu burung. Hayo, berani?"
"beneran?" tanya Jessy kaget.
"o beneerrr," Risa dan Jenny menyahut bersamaan,tampak meyakinkan.
Jessy menyipitkan mata memandang mereka tidak yakin, alisnya terangkat, namun akhirnya
menghela napas. Ia menunduk, tampak kecewa. Jenny dan Risa saling lirik. Jenny berbicara
dalam bahasa mulut yang berkata "oke" kepada Risa. Jessy tiba2 mendongak, membuat mereka
berdua buru2 melihat kearah lain.
"Lho! Toska apa nggak cemburu?" tanya Jessy yang sudah kehilangan minat mempunyai
binatang peliharaan kepadanya.
"nggak tuh. Toska malah tertarik, duduk manis didepan kandang Taro. Mungkin baru kali ini
melihat hamster," kata Risa menjawab pertanyaan Jessy yang aneh menurutnya.
Saat itu, Bobby menyeruak diantara kerumunan dan berlari menghampiri mereka.
"oh ini dia yang kita tunggu2!" kata Jenny dengan pandangan agak simpati.
"um.. sorry.. gak bisa.. ikut.. kalian. Ada.. pertandingan... sepakbola.. mendadak," sengal Bobby
putus2. Tampaknya ia berlari secepat yang dia bisa untuk menemui mereka, keringat mengalir
dari dahi membasahi pelipis. Setelah mengatur napas ia baru bisa berbicara dengan lancar.
"anak2 rupanya beranggapan hari ini harus dirayakan, karena itu diadakan pertandingan
sepakbola dan aku ikut dalam tim. Kalian bisa ikut menonton."
Sementara Risa, Jenny dan Jessy saling pandang. Mereka bertiga suka menonton pertandingan
basket dan voli tetapi tidak dengan sepakbola. Bagaimanapun juga mereka kurang memahami
permainan itu. "ng.. ada yang harus kami kerjakan," jawab Jessy berbohong. "kalau begitu sampai besok."
"besok kita kumpul lagi," kata Risa.
"baiklah kalo begitu, sampa juma!" balas Bobby nyengir.
Ia secepat kilat mengambil sepotong roti dari kotak bekal yang terbuka ditangan Jessy, yang
tampak kaget dan hendak mengatakan sesuatu namun terhalang mulutnya yang penuh, lalu
berlari kembali menyusul gerombolan teman2nya.
"pergi sekarang?" tanya Jenny sambil menggandeng lengan sahabatnya dan perlahan menuju
pintu gerbang. Sementara mereka berjalan ke pintu gerbang, murid2 sudah berkerumun ditepi lapangan
sepakbola. Semuanya tampak tak sabar dan ingin memberi semangat pada grup yang diidolakan.
Para pemainnya yang sudah tiba di lapangan melakukan pemanasan selagi menunggu teman
yang lainnya. Di perbatasan pintu gerbang, Risa memberi salam pada pak satpam.
Hari ini tidak sepanas biasanya,langit berawan dan cuacanya cerah. Mereka memutuskan untuk
membeli bahan2 di toko khusus makanan untuk membuat kue sekaligus membeli camilan untuk
dirumah. Toko ini merupakan satu2nya toko makanan terlengkap di daerah tempat tinggal
mereka. Terdapat berbagai bahan untuk membuat kue dan memasak, buah2an, hiasan untuk tart
hingga menyediakan peralatan memasak. Jessy dan Jenny membeli keju untuk bahan isi roti,
mentega, susu, sereal serta buah pir. Setelah selesai belanja, Risa menunggu diluar toko sedang si
kembar sedang memakan ice cream untuk dinikmati dalam perjalanan pulang.
Risa mengamati lalu lalang kendaraan di depannya sambil mengingat-ingat apakah ia sudah
membeli semua bahan yang diperlukannya. Ibunya menerima pesanan kue, Risa sering
membantu. Saat itu trotoar sepi, ia melihat murid2 sedikit lebih muda dari usianya melintas. Pasti
mereka juga sudah selesai ujian, pikirnya. Lalu pandangannya teralih di tikungan jalan tak jauh
dari tempatnya menunggu, sekitar 2 meter, 2 orang ibu2 sedang melihat-lihat etalase toko sambil
mendiskusikan sesuatu. Seseorang diantaranya menggendong bayi mungil beranting.
Lalu perhatiannya teralih pada seorang anak laki2 yang muncul dari balik rok ibunya sambil
menggenggam botolkecil air sabun. Ia mulai meniup dan membuat gelembung sabun beterbngan
di udara. Anak itu memekik kegirangan, meloncat-loncat senang, kadang menyentuh bola
sabunnya dengan tangan atau sepatu sehingga pecah di udara. Dilihat dari seragam dan topinya
kelihatan masih TK, Risa menyimpulkan, dalam hati merasa iri bisa main gelembung sabun
dengan gembiranya. Lalu mendadak topi yang dipakainya menggelinding diantara lalu lalang kendaraan ke sisi jalan.
Anak itu menarik-narik rok ibunyauntuk mendapatkan perhatiannya namun ibunya terlalu sibuk
berbicara. Anak itu mulai menggapai-gapai topinya ke tepi jalan. Ini mulai gawat, pikir Risa
sambil memandang sekitarnya. Saat itu lampu lalu lintas merah tapi ini tikungan tajam.
Kendaraan bisa lewat setiap saat dan pasti tidak sempat mengerem karena pandangan terhalang.
Tanpa pikir panjang, Risa berlari kearah anak yang sekarang sudah berada ditengah jalan,
menjulurkan tangannya dan menangkap anak tersebut. Detik berikutnya terdengar bunyi klakson
mobil, suara rem yang nyaring. Risa otomatis mendorong anak itu kesebrang tanpa ragu. Mobil
pertama yang melaju dari arah tikungan sempat berhenti tapi mobil dibelakangnya yang berusaha
menyelip dengan kecepatan normal sama sekali tidak menuga apa yang ada di depannya.
Melihat mobil yang meluncur ke arahnya, dalam detik terakhir Risa memejamkan mata ngeri.
Tabrakan tidak bisa dihindari, ia merasa dirinya terlempar. Saat Risa terhempas di tanah, ia
sempat mendengar tangis anak itu dan teriakan orang disekelilingnya termasuk jeritan ngeri
memekakkan telinga Jessy dan Jenny. Lambat laun suara itu terdengar menjauh, pandangannya
kabur lalu sunyi. "bagaimana kejadiannya?" tanya Bobby mendesak, ekspresinya kaget bercampur khawatir
sampai2 wajahnya pucat seputih dinding.
Bobby datang kerumah sakit tiga setengah jam kemudian setelah sebelumnya mendapat telpon
dari Jenny. Ia masih mengenakan pakaian sepakbolanya yang kotor dan basah oleh keringat. Ia
bersama Jenny berdiri didepan kamar tempat dimana Risa sedang diperiksa. Orang tua Risa ada
didalam bersama dokter. Jenny menjelaskansemampunya karena ia terus terisak mengingat kecelakaan tadi. Walaupun
begitu, Bobby mendengarkan dengan penuh perhatian. Bobby memperhatikan bibir Jenny yang
berdarah. Rupanya Jenny sangat ketakutan sehingga tidak menyadari telah menggigit bibir
bawahnya sendiri. "apakah lukanya parah?" tanyanya.
"oh Bob. Kamu nggak melihat sih. Parah banget. Darahnya menggenang dimana-mana. Risa
sama sekali nggak sadar waktu dibawa kesini. Aku takut banget," kata Jenny dengan suara parau.
Bobby terdiam lama. Dia tidak sanggup memikirkan yang terburuk. Ia mondar-mandir,
memandang sekeliling dengan tidak fokus. Tangannya mengepal kencang.
"dokter belum mengatakan apa2?" tanyanya kemudian.
"belum. Dari tadi masih sibuk memeriksa Risa," kata Jenny mengusap air matanya.
"kalau begitu keadaannya belum pasti," gumam Bobby aalalu menyadari Jessy tidak ada.
"dimana Jessy?"
"pulang. Aku menelpon ibu untuk menjemputnya. Kelihatannya ia butuh istirahat. Jantungnya
pasti shock tadi. Aku langsung cepat2 menyuruhnya minum obat dan berkali-kali
meyakinkannya bahwa Risa tidak akan apa2," jelas Jenny. Matanya merah bengkak.
"bagaimana dengan orang yang menabraknya?" tanya Bobby geram.
"sudah dibawa ke kantor polisi. Walaupun sepenuhnya bukan kesalahan orang itu namunkurasa
ia akan ditahan atau didenda," jawab Jenny. Wajahnya sekarang sangat marah.
Dua puluh menit kemudian, pintu kamar terbuka. Dokter keluar diiringi suster. Bobby dan Jenny
masuk kedalam. Ibu Risa rupanya menangis tidak terkendali, rambutnya acak2an, tindakannya
gelisah, tangannya meremas-remas bajunya. Penampilannya kacau seakan habis dirampok. Ayah
Risa berdiri sambil merangkul bahu istrinya, memandang anaknya dengan sangat cemas.
Matanya merah, berkali-kali menekan wajahnya dengan telapak tangannya yang lebar, tak
sanggup berkata-kata. Jenny memekik. Bobby melihat Risa terbaring dengan gips di sekeliling lehernya. Kepala Risa
dibalut perban tebal. Darah rupanya terus merembes keluar mewarnai perban putih. Tubuhnya
lecet dan luka2 di banyak tempat. Bobby memejamkan mata sejenak, tidak sanggup melihat
pemandangan ngeri dihadapannya. Matanya terasa berair pedih. Baru saja ia bersama Risa, tahu2
Risa sudah dalam keadaan begini.
Orangtua Risa melihat kedatangan mereka dan mengangguk. Jenny mendekati ibu Risa.
"bagaimana keadaannya tante?" tanyanya takut.
"tante juga tidak tahu," katanya terisak tidak tahan lalu memeluk Jenny.
"dokter akan mengoprasinya beberapa jam lagi.luka di kepalanya harus dijahit, sebelumnya
mereka harus mendapatnya foto rontgen tengkorak Risa," kata ayah Risa memberi penjelasan.
Rupanya ia sudah menguasai diri dan pasrah kepada tuhan dan pengobatan RS.
"dia tidak patah tulang kan?" tanya Bobby ngeri. Bobby pernah melihat beberapa temannya yang
tulangnya patah akibat kecelakaan sepeda motor.
"entahlah," kata ayah Risa menggelengkan kepala. "kelihatannya ada beberapa tulang yang
terkilir tapi tidak sampai patah. Yang paling mengkhawatirkan adalah gegar otak di belakang
kepalanya." "gegar otak?" ulang Bobby luar biasa kaget.
"ya. Ia pasti tidak dapat menahan jatuhnya. Gegar otak berat, membuatnya koma. Bila sembuh
pun banyak kemungkinan yang bisa terjadi," jawabnya sambil susah payah menelan ludah.
"lalu setelah dioperasi, ia akan sembuh?" tanya Jenny memandang pasangan suami istri itu
bergantian. "kemungkinan yang terburuk ia bisa lumpuh, hilang ingatan atau kurang dapat memaksimalkan
fungsi otaknya, begitu kata dokter, mengingat sarafnya terluka. Operasi ini akan sangat
menentukan kesembuhannya," kata ayah Risa getir.
Mereka terdiam seolah menunggu keajaiban. Bobby ingin melakukn sesuatu. Ia tidak tahan tidak
bisa berbuat apa2 . namun ia hanya bisa pasrah seperti yang lainnya. Andai saja tadi ia ikut
bersama ketiga sahabatnya, mungkin hal ini bisa dihindari. Namun takdir sudah ditentukan
tuhan. Ia hanya bisa berdoa dan berharap. Kelak ia berjanji akan menebus ketidakmampuannya
saat ini kepada Risa. Bobby, Jessy dan jenny datang mengunjungi Risa sehari setelah dia dioperasi. Kedua orang
tuanya memberitahukan bahwa Risa belum boleh dijenguk. Ia masih belum sadar. Mereka
bertiga saling memandang cemas. Mereka pulang dengan patah semangat karena keadaan Risa
tidak menunjukkan tanda2 kemajuan.
Hampir setiap hari dalam seminggu pertama Risa dirawat di RS, mereka datang menjenguknya
sepulang sekoah. Orangtua Risa memberitahukan kepada mereka bahwa dokter tidak bisa
memperkirakan kapan Risa akan sadar. Entah ini pertanda baik atau buruk. Namun mereka tetap
datang menjenguk, lagipula tahun ajaran akan segera berakhir. Disekolah hanya ada
pertandingan olahraga antar kelas. Dua minggu lagi mereka akan menerima rapor lalu mulai
libur. Beberapa minggu kemudian, mereka benar2 putus asa karena Risa tampaknya tidak akan
bangun. Hal yang sama dirasakan oleh orang tua Risa. Sulit rasanya hanya bisa menunggu dalam
semua ketidakpastian. Dokter mengatakan bahwa kondisi ini bisa berlanjut sampai lama.
Mungkin sebulan, setengah tahun atau satu tahun. Tidak ada yang tahu. Harapan kesembuhan
Risa sangat tipis. Si kembar sudah lama mengenal keluarga Risa. Terkadang Jessy dan Jenny datang menjenguk
disertai orangtua mereka. Sementara itu, Risa tidur dengan tenang, wajahnya terlihat segar walau
agak pucat. Mereka berharap suatu saat nanti Risa hadir kembali di tengah2 mereka.
KENYATAAN YANG MENANTI Risa merasa dirinya telah lama tertidur, ia mendengar suara desau angin yang kenang di kedua
telinganya. Dirinya bagaikan melayang di tengah pusaran angin di sekitarnya. Rasanya begitu
tenang dan nyaman. Dia tidak bisa berpikir atau mengingat apa2 kecuali bertanya pada dirinya
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri apakah ia sudah mati. Herannya ia sama sekali tidak takut karena perasaan yang
dialaminya sekarang begitu tenang.
Ia melihat segalanya berwarna putih dan ada bayangan seseorang di hadapannya. Risa membatin,
agak ngeri, "siapa" Kamu siapa" Aku mengenalmu?" Namun sosok itu diam saja.
Risa tidak bisa melihatnya dengan jelas, hanya berupa bayangan gelap seseorang yang diam tak
bergerak. Tiba2 saja sosok itu lenyap. Segalanya serba putih sekarang. Ia tidak tau harus
melakukan apa. Sampai kapan dia harus diam dalam kesunyian seperti ini. Maka Risa berusaha
bangun tapi gagal. Ia mencoba lagi dan lagi.
Risa membiasakan dirinya dengan apa yang dilihatnya, memastikan bahwa yang dilihatnya ini
nyata. Sekujur tubuhnya terasa berat dan lemah, ia merintih dan mendengar suara berat
seseorang tak jauh darinya.
"kau sudah sadar" Baik2 saja" Apa yang kau rasakan?"
Risa menolehkan kepalanya perlahan kearah suara itu, ia tidak menyadari kehadirannya
sebelumnya. Pria itu menghampirinya tergesa-gesa lalu menyeka keringat dingin di wajahnya,
ekspresi wajahnya cemas. Risa membiasakan diri sebentar, setengah bermimpi. Ia belum mati,
pikirnya. "Minumlah sedikit," kata suara tadi membujuk.
Tubuh Risa serasa agak terangkat dan bibirnya menyentuh permukaan gelas yang dingin. Risa
meneguk air yang diberikan padanya, merasa lega, perlahan ia sadar sepenuhnya. Seorang pria
muda bertubuh jangkung meletakkan segelas air ke meja disebelahnya, rambutnya agak acak2an
lalu seorang pria setengah baya berkacamata persegi muncul mendatangi kearahnya.
"dia sudah sadar Yah," kata pria yang pertama dilihat Risa.
"oh syukurlah," sahut pria setengah baya kepada pria muda itu lalu memeluk Risa. "kau baik2
saja anakku" Ayah khawatir sekali, sudah dua hari kau tidak sadarkan diri. Katakan saja apa
yang kau butuhkan, akan kuambikan."
"aku dimana" Apa yang terjadi?" tanya Risa pelan dan sadar bahwa suaranya terdengar lain dari
biasanya. "rumah sakit. Kau tiba2 pingsan saat tiba dirumah dengan basah kuyup. Ayah menyuruh kakak
untuk menjemputmu tapi kau sudah pulang dari sekolah lebih dulu. Pastinya kau tak menyangka
akan hujan deras. Dasar bandel! Kemarin baru saja cuci darah. Nah istirahatlah dulu, kau pasti
lelah," katanya ramah sambil tersenyum.
Risa mengangguk paham tapi ia tidak ingat apa2 dan bagaimana dia bisa pingsan. Semuanya
terasa asing, kedua pria di dekatnya sama sekali tidak dikenalnya. Dia memandang mereka
bergantian dengan pandangan menilai. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali ayahnya sendiri"
Ia mendengarkan percakapan dalam bisikan kedua pria itu selagi ia berpura-pura tidur namun
sedang berfikir keras mengingat sesuatu yang dapat membantunya. Belum pernah perasaannya
sekalut itu. "viko, ayah tadi bertemu dokter Hasan. Ia mungkin bisa sadar kali ini namun tidak ada lain kali.
Kalau saja ada yang bisa kulakukan, ia putriku satu2nya, mirip sekali dengan ibunya. Ayah
bingung..." suaranya menghilang dalam isak tertahan.
"sudahlah Yah. Kita tahu hari ini bisa terjadi kapan saja. Yang penting kita sudah melakukan
yang terbaik dan membahagiakannya. Tuhan masih memberi kita satu kesempatan. Aku paham,
Anita anak dan adik yang baik. Kita tidak ingin kehilangan dia."
Hah"! Tunggu! Tunggu dulu! Anita" Aku Anita" Aku bukan Anita. Aku.. aku.. namaku.. ia
berkonsentrasi susah payah, dahinya mengernyit tegang, menahan nafas. Aku R...R..Rr..Rr...
"Risa!" Risa terkejut tanpa sadar menyebut namanya sendiri, matanya terbelalak, nafasnya
tersengal-sengal. Kedua pria tersebut menoleh, mengerumuni tempat tidur tempatnya terbaring.
"ada apa nak" Kau kenapa" Aku akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu. Viko,
kau temani dia ya?"kata sang ayah. Viko mengangguk, perlahan duduk di kursi disamping Risa.
Risa berusaha mengingat lebih banyak tapi ia hanya bisa mengingat namanya saja. Dia yakin
bahwa ia bukan Anita. Tapi kenyataan akan dirinya yang tidak mengingat segala hal tentang Risa semakin
membingungkannya. Dia merasa terperangkap alam tubuh orang lain dan tidak bisa mengetahui
dirinya yang sebenarnya. Mereka akan menyangka aku gila kalau aku menyangkal bukan Anita,
pikirnya. Bagaimana ini. Apa yang terjadi. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Dimana
Anita yang asli. Apa aku sudah gila atau hilang ingatan.
"kenapa Tata?" panggilnya, "mau cepat pulang?"
"kak, ada cermin gak?" tanya Risa sangat panik.
"bentar, kalo gak salah ada dilaci," kata Viko sambil menggeledah laci susun tiga disbelahnya.
"ini" Risa mengambilnya, mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya dan terpekik kaget. Wajah
yang balas memandangnya dari cermin sangat asing. Tangannya mulai gemetar. Ia meraba
wajahnya dengan tangan kirinya.
Bagaimana ini. Kenapa dia sama sekali tidak mengenali wajahnya. Bukan . ini bukan diriku,
pirkirnya. Memang, dia tidak ingat apa2. Tapi ia punya perasaan akan bayangan dirinya yang
samar2 yang jelas berbeda dengan perempuan dalam cermin ini.
"nggak jelek2 amat kok," hibur kakaknya begitu melihat ekspresi wajahnya.
Tanpa bisa berpikir lebih jauh, kepalanya pening. Risa mendongak memandang kakaknya atau
yang mengaku sebagai kakaknya. Ia merengkuh tangan kakaknya, menggenggamna erat2 seakan
mengharap dukungan. Kata2 yang ia tanyakan berikutnya sama sekali lain dari apa yang
dipikirkannya. "Viko, ibu.. dimana?" tanya Risa seraya mengedarkan pandang keseluruh ruangan tanpa
menyadari ekspresi terkejut kakaknya. Setidaknya dia bisa berkonsultasi dengan sesama
perempuan, dia akan lebih dimengerti, harapnya.
"apa?" tanya Viko bingung. "kau pasti bermimpi bertemu dengannya tadi. Kau selalu berharap
bisa bertemu dengannya. Aku tidak mengerti kenapa kau bisa mewarisi penyakit leukimia ibu."
Risa melongo memandang Viko. Dirinya semakin bertambah bingung.
"oya, ini pertama kalinya memanggil namaku, Ta. Wah wah.. gak sopan nih anak," lanjutnya
kemudian buru2 menambahkan , "bercanda lho! Pengen lebih akrab nih ceritanya.."
Apa" Leukimia" Jadi ibunya sudah meninggal" Terlebih lagi dia sendiri akan meninggal"
Jawaban ini lebih mengejutkan dari semua yang ia alami sampa tidak bisa berkata-kata atau
melakukan hal lain. Siapa dirinya tidak lagi penting sekarang, mengingat ia akan meninggal. Apa
maksud semua ini. Risa sibuk berpikir sehingga tidak benar2 memperhatikan ucapan Viko.
Untung saja perhatian kakaknya teralih dengan kedatangan dokter keluarganya menunggu diluar
sementara Risa diperiksa dan diberi suntikan pengurang rasa sakit. Risa memanfaatkan waktu ini
untuk bertanya sejelas-jelasnya kepada dokter.
"bagaimana keadaan saya dok?"
"kau beruntung bisa selamat kali ini. Ini keajaiban. Aku sama sekali tidak menyangka. Tuhan
rupanya memberimu kesempatan," katanya terus terang, tampak takjub.
"maksud dokter?"
"kadang prediksi dokter bisa saja salah. Semua tergantung "yang diatas". Kamu tidak ingn
dirawat untuk jangka panjang?"
"dirawat" Tapi saya merasa baik2 saja."
"memang, kelihatannya kondisi tubuhmu membaik dengan cepat. Tapi cepat atau lambat kau
harus dirawat disini,"katanya memberi pendapat selagi memeriksa detak jantung Risa.
"ayahmutelah berusaha keras mengobatimu sejak hampir sepuluh tahun yang lalu begitu
mengetahui penyakitmu. Dan kamu berhasil bertahan hingga sekarang. Dia benar2
menyayangimu." Risa tidak tahu ia harus gembira atau bagaimana mendengarnya, jadi ia memaksakan diri
tersenyum. Sepuluh tahun.. sepuluh tahun.. Risa tidak menyangka ada orang yang mengidap
leukimia sampa sepuluh tahun. Bukankah kebanyakan penderitanya berumur pendek"
"lalu.. sampai kapan saya bisa bertahan dok?" kata Risa berbesar hati, "katakan sejujurnya, aku
tidak keberatan, toh aku mengidap penyakit ini sudah lama."
"yah.. asal minum obat tepat waktu, rajin check up, cuci darah, istirahat cukup, kamu pasti bisa
bertahan," jelas dokter.
"sampai berapa lama?" desak Risa, gelisah membayangkan dirinya harus menjalani serangkaian
petunjuk dokter. "baiklah, aku tidak bisa berbohong. Kita sudah lama mengenal. Anita, jujur saja, bisa satu bulan,
dua bulan, tiga bulan. Tidak ada yang tau pasti, tergantung daya tahan tubuhmu," jawab dokter
dengan enggan. "APA?" kata Risa otomatis, nada suaranya jelas2 terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka
hidupnya bakal sesingkat itu. Wajah Risa murung. Hanya beberapa bulan" Cepat sekali...
"dengar Anita, kamu tidak boleh bepergian tanpa ditemani seorang keluarga atau teman," saran
dokter bertampang gemuk itu selagi suster sedang memeriksa tensi darahnya. "kamu tidak tau
betapa paniknya ayah dan kakakmu sewaktu mereka membawamu kesini."
"kapan saya boleh pulang?" tanyanya sopan.
"sebenarnya kamu tidak boleh pulang. Tapi ayahmu berkeras ingin membawamu pulang," nada
suara dokter itu sangat tidak setuju. "kamu yakin tidak ingin dirawat disini?"
"tidak," jawab Risa tegas. Ia ngeri bisa membayangkan dirinya terkurung selama sisa hidupnya
di RS seperti narapidana. "jadi kapan saya boleh pulang dok?"
"setidaknya tunggulah sampai besok lusa," katanya singkat sambil bersiap meninggalkan
ruangan diiringi suster di belakangnya. "Jaga dirimu baik2."
Risa bertanya-tanya dalam hati apa yang harus ia lakukan. Tuhan pasti mempunyai maksud
tersendiri dibalik semua ini. Risa tidak marah atau menolak menerima kenyataan. Tidak ada
waktu untuk memikirkannya, sia-sia.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya memanfaatkan hidupnya yang terbatas ini bersama
orang2 yang sama sekali baru baginya. Lagipula kelihatannya mereka orang baik. Aku harus
tegar, sebisanya tidak merepotkan dan membuat keluarga ini khawatir, putusnya mantap. Tak
lama kemudian, ayah dan Viko muncul.
"syukurlah kau sudah sadar. Ayah pamit pulang dulu, kakakmu berkeras menjagamu sendiri
malam ini. Lusa ayah akan mengantarmu pulang," ujar ayahnya sambil mengecup lembut
keningnya dan membelai rambutnya.
"tenang saja Yah, besok ayah masih harus kerja kan," sahut Viko pengertian.
"pulanglah Yah, aku baik2 saja," balas Risa, berusaha tersenyum menenangkan.
Ayahnya dengan berat hati meninggalkan ruangan diantar Viko. Risa akan merasa terharu
melihat dirinya begitu diperhatikan kalau saja tidak sedang pusing memikirkan kejadian ini.
Tentu ia tahu bahwa Anitalah yang sebenarnya mereka pedulikan. Tetapi kenyataan bahwa
mereka hidup tanpa seorang ibu ditambah putri yang sakit-sakitan seolah memberi kesedihan
berlarut-larut dalam keluarga ini, membuatnya tidak tega.
Risa merasa kaku dalam keheningan di ruangan itu, bagaimanapun juga ia tidak mengenal
mereka. Malam ini terasa amat panjang. Risa bermalam ditemani kakaknya. Ia tidak tahu
bagaimana hubungan Anita dengan kelurarganya sehingga ia bingung hendak berkat a apa.
Risa lebih tidak mengerti akan kondisi tubuhnya yang terasa nyeri seakan ada memar-memar
yang tidak terlihat. Ada apa sih dengan badan ini, pikirnya sebal. Viko muncul kembali ke
kamarnya, kelihatan lega, sambil memijat-mijat pundaknya yang pegal.
"akhirnya aku berhasil membujuk ayah untuk pulang," kata Viko yang sekarang duduk di tempat
tidurnya, berusaha membetulkan sandaran Risa.
Keadaan hening kembali. Setelah melihat adiknya tidak berkomentar atau hendak berbicara,
maka Viko melanjutkan obrolannya.
"maafkan kakak, Ta," kata Viko seraya memeluk adiknya, Risa membiarkan dirinya dipeluk
walaupun hal ini diluar kemauannya. "kalau aku bisa menjagamu dengan bak, tentunya kamu
tidak akan berada disini. Kakak merasa saangaat menyesal. Kakak takut sekali melihatmu,
mengira tidak ada kesempatan untuk meminta maaf padamu."
Risa yang masih dalam pelukan erat kakaknya, bingung harus berkata apasehingga ia
menanggapi tanpa berpikir terlebih dahulu.
"ng.. itu..sebenernya..eh.." kata Risa salah tingkah lalu cepat-cepat menutupi kecanggungannya.
"sudahlah, tidak apa-apa."
"hm..baiklah, yang penting kamu sudah sehat. Kakak sangat bersyukur," kata Viko sambil
melepas pelukannya, kembali menegakkan diri. Viko memegang kedua lengan Risa, sedikit
mengguncangnya sambil berkata serius, "berjanjilah padaku! Kau tidak akan bertindak ceroboh
lagi. Paham?" "baik," jawabnya patuh, mengira-ngira tindakan ceroboh apa yang bisa dilakukannya di
kemudian hari. "nah, lebih baik kamu tidur sekarang," kata Viko mengakhiri percakapan, mencium dahinya
sekilas. Viko merapikan selimutnya, menyuruhnya tidur lalu berjalan ke jendela dan menyibak tirainya.
Diluar langit sudah gelap, kakaknya berdiri termenung menatap ke bawah dibalik jendela. Risa
belum pernah mengamati kakaknya sejelas ini. Ia memandang bayangan Viko yang terpantul di
jendela. Tubuhnya jangkung dan tegap, tangannya kekar dan kuat, rambutnya hitam lurusnya agak
panjang, matanya kadang menyorot sedih. Apakah ia percaya kalau aku mengatakan bahwa aku
bukan adiknya. Bukankah hal itu justru membuat Viko bertambah khawatir.
Aku harus melupakan diriku sementara ini, pikirnya serius. Tapi Risa merasa bersalah begitu
teringat bahwa ia berada dalam tubuh Anita dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Dimanakah
Anita" Apakah Anita sudah meninggal" Apakah keluarganya akan menyadari bahwa ia bukan
Anita" Apakah yang sebenarnya terjadi padanya" Mengapa ia tidak ingat tentang dirinya" Lalu
bagaimana dengan keluarganya yang sebenarnya" Risa berusaha tidak mengiraukan pertanyaanpertanyaan yang tidak akan pernah terjawab ini. Dia sadar bahwa ia merasa kesepian, taakut dan
terasing saat itu. Tanpa terasa ia menguap lalu memejamkan mata, berharap ketika terbangun nanti, ia sudah
kembali ke tempat aslinya.
*** Risa terbangun tepat saat makan pagi, Viko membantu menyuapinya didampingi suster yang
mengawasinya. Risa sama sekali tidak senang dengan makanan RS yang mencakup bubur,
sebutir bola daging berukuran kecil, telur rebus dan sayur. Semuanya sudah ditakar terlebih
dahulu, porsinya sedikit dan rasanya tawar.
Risa ingn sekali tidak menghabiskan makanan itu walaupun ia lapar sekali. Andai saja susternya
tidak memandanginya penuh senyum seakan dia anak yang manis dan penurut, pikirnya kecewa.
Setelah selesai menyantap telurnya, suster membawa piring makanannya. Risa malah merasa
lebih lapar dari sebelumnya.
"Viko, eh Kak," panggil Risa ragu-ragu.
"gakpapa kok, panggil Viko aja kalo kamu lebih suka gitu," jawab Viko.
"ng..sekolahku gimana?" tanya Risa khawatir.
"tahun ajaran baru sebulan lagi dimulai. Tapi ayah sudah memberi tahu kepala sekolahmu kalau
kamu udah berhenti," kata Viko. "kamu bisa istirahat dirumah, kalau bosan ya jalan-jalan yang
deket-deket aja. Tapi kalo mau pergi kemana ntar kakak temenin deh."
"oh.." gumam Risa. Syukurlah, pikirnya, ia terhindar bertemu teman-teman dan guru yang tidak
ia kenal. "berarti nganggur dong!" sahutnya kemudian, tak percaya. Ia bisa tidur dan bangun
sesukanya, melakukan apa saja yang diinginkan.
Begitu bebas tanpa takut ada yang melarang. Ini sesuatu yang hebat atau malah mengerikan
baginya. Viko geli mendengar komentarnya ini.
"nggak juga, kamu bisa bantu kakak ngerjain tugas atau bantu ngetik atau bantu bik Ti di dapur.
O iya aku lupa, kamu kan sama sekali gak bisa masak. Hua ha ha."
"huh, maunya," sahut Risa ketus setengah bercanda.
"ngambek niihh. Anak mnja bisa ngambek juga. Berarti sudah sehat dong sekarang," gurau
Viko. "Lho"! Mau kemana?"
Risa menegakkan tubuhnya, kakinya turun dari tempat tidur.
"kamar mandi," jawab Risa singkat.
Ia berjalan, awalnya agak terhuyung namu Viko segera membantu menuntunnya hingga kedepan
pintu kamar mandi. "udah, kakak tunggu diluar aja!" kata Risa tegas.
"ntar kalo ada apa-apa, pencet bel di dalam ya."kata Viko.
Sebagian kata-katanya teredam bunyi pintu yang setengah di banting.
"aku bukan anak kecil tau! Udah sembuh kok!" gerutu Risa dari dalam kamar mandi.
Tertatap olehnya cermin besar di kamar mandi. Cantik! Cantik sekali perempuan ini, yang tentu
saja ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Matanya balas memandangnya teliti dari cermin.
Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya terurai panjang, agak kusut.
Dia terus mengamati dirinya sendiri di cermin selama beberapa saat sampai akhirnya dia
mengulurkan sebelah tangannya sampai menyentuh cermin. Sejenak telapak tangan kananya
terlihat bersentuhan dengan telapak tangan dicermin. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu tanpa
terasa ia bergumam pada sosok di cermin itu,
"halo!" Mau tak mau Risa teringat sepotong kalimat ayahnya yang didengarnya kemarin lusa. "..ia mirip
ibunya.."Risa melnjutkan,
"kau mirip sekali dengan ibumu," tangannya sekarang berada seakan sedang membelai rambut
sosok dalam cermin, tanpa sadar ia tersenyum sedih, yang dibalas senyum sosok itu. Inilah
Anita, katanya dalam hati. Hatinya terasa pedih dan merana.
"kau harus memberiku kekuatan. Terus terang, apakah kau tau saat ini aku sedang sangat
gelisah" Semuanya baru bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang berlangsung saat ini," katanya
putus asa, mengangkat bahu tanda putus asa, tenggorokannya tercekat, susah payah menelan
ludah. Seandainya saja Anita dalam cermin itu hidup, Risa pasti sudah meminta petunjuk apa yang
harus dilakukannya. Akhirnya ia menguatkan diri. Risa berputar-putar di depan cermin, melihat
dirinya sejelas mungkin dari berbagai sudut.
"tenang saja. Aku akan menjaga kondisi badanmu dengan baik," katanya berjanji.
Risa tidak bisa berlama-lama karena terdengar bunyi ketukan di pintu. Risa menahan rasa sedih
ini lalu keluar. "lama banget. Nih ganti baju dulu, ayah lagi dalam perjalanan ke sini," kata Viko.
Perjalanan pulang dari RS sedkit mencerahkan suasana hatinya. Risa senang bisa melihat
suasana diluar. Padatnya kendaraan di jalan raya, para pejalan kaki berjalan berpasangan
sepanjang trotoar, seorang tukang becak yang tertidur pulas dalam becaknya sendiri, orang-orang
keluar dari toko sambil menenteng belanjaan, papan iklan dimana-mana, langit diatasnya begitu
terang, pepohonan tampa sekelebat bayangan dari dalam mobil mereka. Mereka berada dalam
antrian panjang lampu merah saat ini. Keheningan saat menunggu membuatnya agak merasa
canggung. "kamu gakpapa Ta" Mukamu pucat," kata ayahnya tiba-tiba ketika menoleh ke belakang, melihat
keadaanya, membuat Risa terlonjak. Viko membalikkan badan, memandangnya juga.
"apa" Oh nggakpapa, perasaan ayah aja," kata Risa sembari menarik napas. Ayahnya rupanya
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak sependapat. Bunyi klakson kendaraan dibelakang mereka yang bertubi-tubi menandakan lampu lalu lintas
sudah hijau. "ayah, kita sekarang di kota mana?" tanya Risa, ingin tau perihal keberadaannya.
Ayahnya menatap Risa dengan pandangan keheranan melalui kaca spion, rupanya mengira Risa
sedang bercanda . viko menanggapi lebih dulu setengah bergurau sambilmemandangnya dengan
ekspresi tidak percaya, "wah wah wah.. terlalu lama tidur membuatmu terbelakang rupanya. Dari juara satu mendadak
jadi berubah satu dari belakang. Benar-benar ironis."
"Malang. Memangnya kamu mengira kita akanpergi kemana?" tanya ayahnya.
"oh kupikir kita akan liburan ke suatu tempat," kata Risa cepat-cepat mencari alasan, dalam hati
merasa menyesal karena telah menanyakan pertanyaan aneh dan berharap keluarganya tidak
curiga. Ayah rupanya salah menanggapi pertanyaan Risa dengan mengatakan hal diluar bayangannya.
"jangan khawatir...," kata ayah menenangkan. Di belakang, Risa tampak tidak tahu apa pastinya
yang perlu dikhawatirkan. "ayah sudah bicara kepada kepala sekolahmu, mengatakan kalau kau
berobat diluar negeri. Tentunya berita itu pasti tersebar ke teman-teman sekolahmu. Jadi mereka
tidak akan repot mengganggumu dengan telepon-telepon atau kunjungan yang membuatmu tidak
senang." "benarkar?"?" tanya Risa girang padahal dia sudah tahu jawabnya. Horeee! Dia bebas! Tidak ada
telepon! Tidak ada kunjungan! Sudah cukup merepotkan berusaha mengenal ayah dan Viko
tanpa ditambah serombongan anak yang tidak dikenalnya.
"seumpama aku bertemu salah satu teman Anita...," gumamnya seraya berandai ia tenga disapa
orang yang kira-kira mengenalnya dijalan. "aha! Aku bisa pura-pura kena Amnesia. Kalau diajak
bicara ya tinggal ngangguk atau geleng kepala lalu buru-buru bilang harus pulang. Yang paling
penting jangan berlama-lama. Hmm .. ke juga."
Risa sibuk melihat pemandangan diluar kaca mobil sambil mengira-ngira kemungkinan tidak
disangka-sangka apa saja yang bakalan dihadapinya. Dia juga tidak mengenal perilaku Anita
sehari hari. Hal itu tidak akan banyak berpengaruh, pikirnya.
Setelah 20 menit berlalu, mereka tiba dirumah. Viko membawa masuk barang-barang, Risa
mengikuti di belakangnya sementara ayah memasukkan mobil ke garasi. Mula-mula Risa merasa
canggung sekaligus gembira ketika hendak masuk rumah. Maka ia masuk dengan perlahan
sambil melihat-lihat. Saking sibuknya mengamati, ia berjalan tidak melihat kedepan sehingga
tanpa sadar hampir menabrak seseorang di tikungan kamar mandi. Orang itu berteriak kencang
sampai Risa terkejut setengah mati.
"NON TATA! Ya ampun Non.. Bibik senang sekali Non pulang," kata perempuan setengah
baya, agak gendut tapi energik sambil menyalaminya tanpa henti. "segar waras. Gusti Allah
matur nuwun. Bibik doain Non terus, biar cepet sembuh."
Risa terpukau mendengar kata-kata Bibik pengurus rumah yang meledak-ledak, kepalanya
mengangguk naik turun, "terima kasih, Bik. Bibik baiiikk banget," kata Risa akrab, memeluk Bibiknya, seakan sudah
lama mengenal Bibik ini. "Bibik buatin teh bentar ya Non," kata Bibik yang sedang senang bukan main, menghambur
cepat kedapur. Kesan pertama Risa adalah rumah itu nyaman sekali. Di bagian tengah rumah terdapat taman
berbentuk lingkaran yang merupakan pusat sama halnya seperti alun-alun kota. Dari ruang
keluarga, ruang makan, dapur, kamar pembantu dan kamar tidur yang terletak di seberang dapat
melihat kearah taman. Sebagian besar dinding yang menghadap taman dipenuhi jendela dan
pintu. Sinar matahari menerangi bagian dalam rumah disertai hembusan angin sepoi. Disebelah kiri
taman terdapat ruangan kecil yang terpisah dari ruang lainnya. Ruang ini adalah ruang kerja
berisi komputer, sebuah lemari penuh buku, rak buku gantung, peta daerah, telepon yang
bentuknya sama dengan telepon diruang keluarga. Kamar yang ada diseberangtaman tidak
ditempati, hanya kamar tamu jika ada saudara yang menginap.
Ruang tengah terdiri dari ruang keluarga dan meja makan yang terletak bersebelahan tanpa sekat.
Rumah itu mempunyai dua kamar mandi. Kamar mandi yang satu bisa digunakan oleh siapa saja,
letaknya didekat meja makan dan ruang tamu, disebelah dapur. Sedangkan kamar mandi satunya
berada ddalam kamar ayah. Ruang tamu dibatasi oleh folding door yang ditutup hanya pada
malam hari. "wow, jadi ini kamarku," kata Risa gembira melihat dinding kamarnya yang bercat ungu.
Sebenarnya kamar itu kecil tapi Risa sangat menyukainya. Dia sedang asyik menjungkat-jungkit
tempat tidurnya yang empuk sambil melihat barang-barang di dalam kamar dengan kagum. Ada
lampu tidak lucu, jam meja bentuk bunga dan coca cola, fotonya, poster spice Girls dan seorang
perempuan Indian, kotak tempat kosmetik, lemari berisi album fotonya dan buku bacaan seperti
komik dan novel, piano mini, radio, rak kaset serta lemari baju. Risa sebenarnya agak sungkan
harus tinggal disini sekaligus merasa berdebar-debar.
"senang ya Non bisa pulang kerumah?" tanya bibik begitu melihat tingkahnya sambil melihat
teh. "he"eh" kata Risa mengiyakan sambil menyeruput tehnya.
"kalau perlu apa-apa, bibik ada didapur,"pesan bibik saat meninggalkan ruangan.
Risa memandang kembali kamar itukemudian ayahnya muncul dipintu. Risa tersenyum.
Ayahnya duduk disebelahnya.
"bagaimana"senang?"
"iya" "Mm.. Ta?" ucap ayahnya berhati-hati.
"apa" "ayah sudah mengatur kepergianmu ke Singapura bulan depan. Kamu setuju kan?"
"ke Singapura" Ngapain?"saking terkejutnya, Risa sampai lupa berkata formal kepada ayahnya.
"ya berobat, seperti biasa," kata ayah kaget, setengah kecewa melihat Risa kurang tertarik pada
ajakannya. "ayah harap kamu tidak menolaknya. Ayah akan melakukan apapun asal ayah bisa melihatmu
lebih lama. Kita harus tetap berjuang bersama. Kamu tidak boleh menyerah. Mau kan?"
"Ng.. iya," jawab Risa bingung, matanya bergerak-gerak gelisah. "tapi nanti Tata pikir-pikir dulu
aja Yah. Tata ngerasa baek-baek aja kok."
"baik, baik..ayah tidak akan memaksamu. Tapi pertimbangkanlah masak-masak,"kata ayah
pasrah, membelai kepala Risa. "sana, pergi tidur. Kamu kan belum sembuh benar."
"tapi yah, ini kan asih siang?"kata Risa yang jelas-jelas bingung,melihat kearah jendela yang
terang benderang. "ya udah kalo kamu tidak mengantuk."
"Hei Ta, kakak punya buku bacaan nih. Baru beli kemarin,"kata Viko dari ambang pintu seraya
melempar 2 majalah ke pangkuannya lalu beralih pergi.
"yok, trims,"Risa menyahut lalu membuka-buka halamannya.
"ayah tinggal dulu ya, kamu santai-santai aja baca buku,"kata ayah sambil menepuk bahunya.
Risa tersenyum mengangguk.
Malamnya, Risa menghenyakkan diri dikasurnya yang empuk. Hari ini dia telah melakukan
sederet kegiatanyang umum seperti makan siang, mandi, menonton TV bersama ayah, makan
malam. Walaupun begitu ia masih merasa tegang. Ia harus bisa menyesuaikan diri secepatnya karena
disinilah, di dekat orang-orang inilah ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya.
"Anita..," katanya tiba-tiba, matanya memandang langit-langit kamarnya, "kamu dimana,?"
Memang susah kalau mau tak mau kau harus bertindak seperti orang lain. Ia harus memulai
segalanya dari nol, membuatnya merasa cepat lelah. Ditambah lagi persoalan lan yang untuk
sementara ia lupakan. Ia agak sedih dengan segala keterasingan ini namun ia tidak takut mati.
Jika ia meninggal nanti, paling tidak ia merasa lega, tidak perlu memikirkan apa-apa. Risa pun
tertidur tanpa sempat mematikan lampu kamarnya.
HARI-HARI BERIKUTNYA Risa seperti orang linglung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dikerjakannya. Ia belum terbiasa
disini, selain itu orang-orang rumah mencegahnya melakukan sesuatu yang bagi mereka
dianggap cukup berat ntuk Risa, seperti menyapu, menyetrika dan pekerjaan rumah lainnya.
Karena masih merasa sungkan, Risa tidak menolak. Tapi ia jadi mudah merasa bosan, hanya
duduk termenung saja. Oleh karena itu siang ini ia membuat puding coklat dan fla untuk mengisi
waktu luangnya. "au panas," kata Risa seraya menuang pudingnya yang masih encer kedalam cetakan lalu
menyimpannya di freezer. "sekarang tinggal menyiapkan fla."
Maka Risa dengan riang mengambil panci kecil, menyalakan api, lalu meletakkan panci
diatasnya. Di meja sebelahnya sudah tersedia susu cair, gula, tepung maizena dan rum. Risa
mengaduk-aduk susu cair dan gula supaya menyatu lalu menuang tepung maizena yang sudah
dicampur sedikit air. "masukkan maizenanya. Nah hampir jadi. Sekarang yang trakhir dan paling penting, tambahkan
rumnya," katanya riang sambil terus mengaduk. "pakai telur nggak ya..gak usah deh. Nanti
malah amis." "bik"! Sekarang bagaimana?" tanya ayah, suaranya terdengar dari kejauhan yang nyatanya
berasal dari atas atap dapur tempat tempat Risa berada saat ini.
"iya bentar," jawab bibik.
"Hm..kurang gula dikit," kata Risa lalu menambahkan gula kedalam panci.
Risa mendongak keluar jendela dan melihat bibiknya berlari dari taman tengah rumah menuju ke
ruang keluarga. Risa memasukkan fla yang sudah jadi kedalam kulkas ketika bibiknya tengan memindahmindahkan saluran TV lalu secepatnya berlari lagi ke taman.
"belum. Yang tadi masih lebih jelas," seru bibik lantang ke atas atap.
Ayah sudah pulang dari tadi. Ia sedang membetulkan antena di atap. Ayah berteriak-teriak dari
atas apakah Tvnya sudah jelas ketika ia menyetel antenanya dan menggerak-gerakkannya.
Sedangkan bibik mondar mandir dengan sibuk mendengarkan aba-aba ayahnya, berlari ke ruang
keluarga melihat tampilan TV dan menyahut memberitahukan perihal kejelasan tampilannya.
Kemarin ada hujan badai yang membuat tayangan Tvmereka berbintik-bintik.
Risa berjalan kearah taman, hendak melihat keadaan ayah diatas. Siang itu begitu terik, sinar
matahari yang menyilaukan membuat matanya tidak bisa melihat dengan jelas.
"repot juga ya bik," gumam Risa.
"iya non. Bibik juga dibikin susah," kata bibik yang kepanasan sehabis berlari-lari.
Sepuluh menit berlalu tanpa Risa mengetahui keberadaan ayahnya, yang terlihat hanyalah atap
genting yang menyala dalam pantulan sinar matahari. Menyerah karena tidak tahu apa yang
dilakukan ayahnya di atas, Risa melihat-lihat taman di sekelilingnya. Untunglah walaupun hari
panas begini, tanaman di taman itu tampak segar. Di depan kamar tamu terletak jemuran kecil,
khusus untuk menggantung handuk. Sedangkan tempat yang biasa dipakai untuk menjemur
pakaian dan seprai ada di lantai dua. Rumah mereka memang tidak bertingkat. Lantai dua hanya
berupa ruang kecil berangin untuk menjemur. Dibawahnya ada tangga melingkar dari besi dan
mesin cuci. "bik, tolong dilihat laggi," kata ayah.
Bibik yang rupanya sudah terlatih,langsung menghambur ke dalam rumah dan memindahmindah saluran TV, memastikan seluruh channel sudah tampil jelas. Risa menghampiri tempat
jemuran handuk, memeriksa handuk-handuk disana apakah sudah kering. Bibik sudah kembali
lagi dan berkata nyaring saking senangnya.
"sudah pak. Sudah jelas."
"masa sih bik?" tanya ayahnya tidak yakin sambil melongokkan wajahnya kebawah. Ayahnya
malas jika sudah terlanjur turun tangga nanti masih harus naik ke atap lagi untuk memperbaiki
antenanya. "bener pak. Bapak bisa turun sekarang."
"ya sudah, bentar lagi saya turun."
"oi..Ta," kata suara lain ditengah keramaian itu. Viko baru pulang, sekarang berdiri di pintu
ruang keluarga, berkeringat hebat seperti habis keramas. "ambilin handukku dong."
Risa mengangguk paham tapi tidak tahu benar yang mana handuk Viko, hanya menerka saja.
Maka dari itu ia memilih handuk warna biru lalu melemparnya kuat-kuat keseberang, kearah
Viko. Viko menangkapnya dengan kecewa.
"Bukan yang ini, yang warna merah," kata Viko seraya melempar kembali handuk biru kearah
Risa. Saking kencangnya ia melempar, handuk itu mendarat tepat menutupi wajah dan kepala
Risa. "Viko yang bener dong kalo ngelempar!" tegur Risa dari balik handuk. Sementara Viko tertawa
tak terkendali sampai terbatuk-batuk.
"ups, sori Ta. Sengaja. Eh bukan. Maksudku gak sengaja," kata Viko terbahak-bahak.
"dasar," gerutu Risa yang sekarang melepas handuk dari kepalanya dengan kasar. "aduh"
Benang pada handuk itu mengait antingnya, membuatnya kesakitan saat menariknya. Risa
berjalan timpang ke arah bibik yang masih melihat ke atas atap sambil memegangi handuk disatu
sisi, kepalanya miring ke kanan.
"Bik tolong," kata Risa, tangan kirinya mengetuk pundak bibik. Bibik menoleh dan paham ketika
Risa menunjuk-nunjuk handuk yang melekat di telinga kanannya lalu segera membantunya
melepas kaitan handuk dari antingnya.
Viko mengikuti arah pandang bibik yang semenjak tadi menengadah ke atap lalu melihat
punggung ayahnya muncul tiba-tiba dari arah lain sehingga mengagetkannya. "ngapain ayah di
atas" Kukira ada spiderman di atas rumah kita."
Sekarang Risa ikut mendongak dan melihat ayahnya menuruni tangga perlahan. Bibik akhirnya
berhasil melepas kaitan antingnya, membuat Risa mengelus-elus telinganya dengan lega.
"makasih bik," kata Risa.
"sama-sama Non," kata bibik lalu berpaling melihat ayahnya, bergerak tangkas. "biar saya yang
mengembalikan tangganya pak."
Risa mengembalikan handuk birunya ke tempat jemuran. Dan mengambil handuk berwarna
merah. Ayah mengibas-ngibaskan pakaiannya dari debu.
"habis betulin antena. Fiuhh capek juga. Panas sekali di atas sana," kata ayah memberi
penjelasan kepada Viko sambil melihat keatas atap. "kamu sendiri baru pulang Vik?"
"iya habis ada pertandingan basket. Tim kami menang Yah," jawab Viko gembira seraya
mengusap keringat dirambutnya dengan lengan bajunya. Ia bersandar pada pintu yang terbuka.
"bagus kalo gitu ayah mau mandi nih, kotor semua" kata ayah sambil mencium bau pakaiannya
yang bercampur keringat. "aku juga," kata Viko singkat yang jelas sekali merasa gerah sehabis olahraga dalam cuaca
sepanas ini. "ini," kata Risa sembari menyerahkan handuk merah ke tangan Viko.
"trims," kata Viko mengelus rambut Risa lalu menyampirkan handuknya di pundak. Viko
mengambil baju ganti dari kamarnya dan menuju kamar mandi.
"ambilkan handuk ayah juga yang ungu. Kalau belum kering yang hijau saja," kata ayahya selagi
ia keruang keluarga. Risa berjalan menyebrangi taman dan mengambilkan handuk berwarna hijau untuk ayah. Di
dalam, ayah mengganti-ganti saluran TV dan tampak puas karena tampilannya sudah tidak
dipenuhi bintik-bintik hitam.
"ini yah." Kata Risa, tersenyum memandang ayahnya.
"kelihatannya usaha ayah gak sia-sia."
"siapa dulu dong," kata ayahnya bangga. "ayah mandi dulu ya."
Bibik kembali melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat terhenti dari tadi. Risa
mengamatinya sambil menunggu lalu memeriksa pudingnya di dalam freezer.
"sudah padat," katanya riang, mengeluarkan cetakan pudingnya dan meletakkannya di meja. Risa
mengambil beberapa piring kecil lalu mengisinya dengan potongan besar puding coklat yang
dingin. Risa mengembalikan sisa puding dalam cetakan yang tinggal setengah ke dalam freezer lalu
meraih panci berisi fla dibawahnya.
"bik, punya bibik saya taruh di lemari ya," kata Risa sambil menuang fla ke atas puding di tiap
piring. "sisanya bisa buat ntar malam."
"o iya iya Non, taruh aja disana," kata bibik senang. "non tumben ya masak di dapur. Bibik baru
kali ini liat Non buat sesuatu."
"masa iya sih?" tanya Risa heran. "Nggak juga kokbik. Ini kan gampang buatnya."
Bibik tidak menjawab, kelihatan agak heran memandangnya. Risa meletakkan panci berisi fla ke
dalam kulkas, bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia bisa tahu cara membuatnya. Padahal ini
juga pertama kalinya Risa membuat sesuatu. Ia sepertinya sudah terbiasa membuatnya sehingga
mau tidak mau ia merasa bingung juga.
Risa memindahkan piring-piring puding untuk ayah, Viko dan dirinya ke meja makan tepat saat
Viko keluar dari kamar mandi sembari menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.
"wow bikin apa tuh?" kata Viko tertarik melihat puding yang dibawa Risa.
"puding," jawab Risa ceria yang sekarang menuang air putih ke dalam gelas-gelas di meja,
"panas-panas gini enaknya makan yang dingin-dingin."
"betul," kata Viko setuju lalu menambahkan setengah bergurau. "aku dapat bagian juga ya.
Kamu baik banget." "remote dong to long," kata Risa ketika duduk di kursinya mengabaikan perkataan Viko yang
entah memuji atau menyindir.
Viko mengambilkan remote di sebelah TV lalu memberikannya pada Risa. Viko duduk di
sebelahnya sambil mengalungkan handuk ke sekeliling lehernya. Ayah keluar dari kamar,
berjalan ke arah mereka, tampak segar bugar.
"wah wah wah. Makan apa nih" Kayaknya enak banget," tanya ayah melihat Viko dan Risa
asyik melahap puding. Ayah ikut duduk di kursinya begitu melihat ada piring berisi puding
tersedia di mejanya. "ya ampun demo mulut, kapan habisnya," kata Risa serius sambil menonton berita di TV. Ayah
menonton berita juga dan mengangguk prihatin.
"tambah bik," kata Viko meneguk minumnya sembari menyodorkan piring kosongnya ketika
bibik meletakkan makanan yang baru dimasaknya ke meja makan.
"minta non Tata. Non yang bikin. Bibik gak berani, jarang-jarang non masak," jelas bibik.
Viko sampai tersedak minumnya . Risa mengerlignya sejenak lalu berkata pada bibik.
"gakpapa kok bik. Ta kan bikin buat semua. Ambil aja, ntar aku bisa bikin lagi," kata Risa
ramah, penuh senyum. "yaudah non," kata bibik sambil membawa piring Viko ke dapur.
"kamu yang buat?" tanya Viko tercengang.
"kenapa" Kurang manis ya?" tanya Risa heran lalu berpaling menatap ayah yang menyantap
puding tanpa protes. Ia kan tidak melakukan kesalahan. Rasa puding coklat dan flanya sangat
sedap. "kok gak bilang apa-apa?"
"maksud kakak apa" Kakak kan gak tanya," tanya Risa mengernyit.
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"tapi... kamu kan baru kali ini bikin, kok rasanya bisa enak ya," kata Viko lalu memandang
ayahnya seolah meminta pendapat.
Ayah yang asyik menonton berita akhirnya menyadari tatapan kedua anaknya. Sementara itu
bibik kembali dari dapur membawakan sepotong besar puding baru untuk Viko.
"kenapa Vik tata kan bisa belajar masak juga," kata ayah berpendapat.
"iya sih...," kalimat Viko menggantung.
"ayah senang lho kalo bisa sering-sering makan masakanmu," kata ayah jujur kepada Risa.
"bener yah" Ayah bersedia dong jdi kelinci percobaanku. Ho ho ho," kata Risa jahil, matanya
berkilat senang senang. "ati-ati yah nanti keracunan," gurau Viko seraya melahap satu sendok penuh.
"ya udah kamu aja yang jadi kelinci percobaannya kalo gitu," kata ayah ikut-ikutan bergurau.
"gak jadi deh, aku makan sendiri aja," kata Risa merajuk.
"marah niihh," kata Viko sambil menjawil pipi adiknya dengan telunjuknya.
Risa memanfaatkan kesempatan itu dengan menggigit telunjuk Viko.
"ouch. Galak bener," kata Viko mengibas-ibaskan tangannya. Sementara itu ayahnya tertawa
gembira. *** Ayah dan Risa melewatkan pagi yang tenang dengan menonton TV. Risa sedang asyik
mengunyah keripik kentangnya ketika Viko mengajaknya bicara.
"Ta, mau ikut kakak pergi beli kaset" Daripada dirumah terus kan bosan..," tanya Viko sambil
melihat bayangannya sendiri di depan cermin. Viko memakai baju santai yakni kaos, celana
selutut, dan sepatu sandal, rambutnya memakai gel.
Risa tidak perlu menunggu kakaknya menyelesaikan kalimat, ia langsung berlari ke kamar,
berganti pakaian secepat kilat dan menguncir rambutnya. Tak sampai lima menit ia sudah siap
dengan dandanan oke untuk bepergian.
Viko tidak mendengar adiknya menjawab, ketika menoleh ia melihat adiknya terburu-buru
masuk kamar, mungkin teringat telah melupakan sesuatu yang penting. Kecewa karena Anita
tidak menghiraukan ajakannya, viko kembali memandang dandanannya dalam cermin.
"berangkat sekarang?" kata Risa begitu keluar dari kamarnya sembari tersenyum jahil, matanya
berbinar-binar karena tidak sabar.
Risa baru pertama kali keluar rumah semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Ia tidak tahan
ingin segera melihat dunia luar. Viko melongo melihat adiknya begitu siap siaga.
"yuk. Yah kami pergi dulu ya," pamit Viko.
"ati-ati ya Vik," sahut ayah.
"ayah mau titip apa?" tanya Risa sambil mencium pipi ayahnya, tanda pamit.
"udaaahh gak perlu," kata ayah yang turut senang karena putrinya terlihat begitu gembira.
Viko memarkir mobil jauh dari pertokoan dimana toko kaset terletak di salah satu deretnya.
Maklum ini hari libur. Susah mendapat tempat parkir yang kosong. Mereka jadi bisa melihatlihat lebih lama walaupun harus berjalan agak jauh. Pertokoan sepanjang jalan itu ramainya tak
kalah dari taman hiburan. Trotoar penuh sesak orang yang berseliweran. Risa dengan sabar
berjalan mendampingi kakaknya. Melihat-lihat dengan antusias.
Mereka sempat membeli makanan untuk camilan di rumah. Kakaknya memanggul belanjaan di
punggungnya. Cara yang tidak umum untuk membawa belanjaan, mungin kebanyakan cowok
memang kayak gini, kritik Risa. Sebenarnya ia mengagumi kakaknya. Postur tubuhnya ideal,
bisa membuat banyak cewek jatuh hati. Tapi ia tertarik saat lebih mengenalnya. Viko sangat
dewasa, mandiri, perhatian dengan keluarga, kadang juga ocak. Orang diusia segitu belum tentu
sedewasa kakaknya, pikir Risa.
Akhirnya mereka tiba di toko kaset, Viko mendorong pintu dan suara musik yang keras
mengejutkan telinganya. Wow..! Toko itu bernuansa silver, di dindingnya tertempel posterposter penyanyi terkenal, kepingan-kepingan CD yang disusun vertikal menggantung di langitlangit. Di depan meja kasir, berdiri kipas angin ekstra besar yang membuat rambutnya berkibar
tak karuan saat melewatinya.
Mereka tiba di rak jenis lagu kesukaan Viko. Viko langsung asyik membaca judul-judul lagu di
sampul belakang kaset. Sedangkan Risa justru lebih tertarik memandangi orang-orang yang
datang. "kak, kak," Risa menarik-narik lengan kaos Viko untuk mengalihkan perhatiannya, "lihat ke arah
jam tiga! Menurutmu gimana" Kalo dibandingin dengan arah jam tujuh?"
Viko sejenak tampak bingung, tidak mengerti ucapan adiknya.
"kamu ngomong apa sih, yang jelas dong, jangan bertele-tele gitu."
"duuhh, itu tuh cewek di situ sama yang disana. Gimana menurutmu?" tanya Risa mendesak
sambil menunjuk ke arah dua cewek yang dimaksud.
Viko memperhatikan dengan teliti. Sempat-sempatnya adiknya mengamati pengunjung toko,
pikir Viko. Tinggi kedua cewek itu tak jauh beda darinya tetapi penampilannya berbeda seratus
delapan puluh derajat! Mereka berdua mempunyai rambut melebihi bahu, bentuk tubuh langsing.
Viko menoleh ke kiri belakang.
Cewek arah jam tujuh tampak keren, rambut pendeknya terikat rapi. Ia bergaya sporty dengan
wristband di tangan kiri, kaos tanpa lengan, celana training biru dengan garis putih pada kedua
sisinya dan sepatu olahraga aksi. Ia tidak memakai pernak-pernik seperti anting, gelang atau
perhiasan, wajahnya terlihat natural. Cewek itu meneleng-nelengkan kepalanya mengikuti alunan
musik. Cewek satunya lagi luar biasa eye catching sampai Viko sendiri heran kenapa ia tidak melihatnya
saat masuk. Ia memakai setelan sewarna yaitu blus putih dengan jaket pink, lengannya mengapit
tas pink ukuran sdang dan rok pink semi gelombang serta tak lupa sepatu pink berhak tinggi. Ia
memakai lipgloss sehingga bibirnya tampak mengkilap. Anting-antingnya yang panjang
berayun-ayun saat ia bergerak. Wajahnya terlihat menarik dalam riasan mata dan perona pipi
kemerahan. Viko memperhatikan jari jemarinya lentik, kukunya panjang bercat pink.
Viko berpendapat sebetulnya bila cewek sporty itu berdandan feminim pasti gak kalah menarik
dengan cewek serba pink itu. Dalam hati Viko bertanya-tanya apakah adiknya berusaha
mengetes tipe cewek yang disukainya atau ingin tahu apa reaksinya. Ini semacam tes kepribadian
saja, mungkin adiknya bercita-cita jadi psikologi.
"Hmm..," kata Viko akhirnya, berlagak seperti pengamat ekonomi, satu tangannya memegang
dagu. Disebelahya, Risa memandangnya penuh selidik.
"penampilannya sama-sama asyik, pembawaannya menarik tapi yang arah jam tujuh lebih
menjanjikan," jawab Viko kurang antusias, kembali mencari-cari kaset yang diingininya.
"B"tul," kata Risa sepakat kemudian mengambil salah satu kaset secara acak, melihat judul-judul
lagu yang tertera lalu menambahkan sambil lalu. "ternyata selera kita sama."
Viko menunduk memandang adiknya, kaset di tangannya terlupakan. Ucapan barusan terasa
janggal. Risa mengembalikan kaset yang baru diambilnya lalu menoleh ke arah kakaknya.
"apa?" tanya Risa begitu melihat tatapan kakaknya.
Bingung harus berkata apa, Viko kembali menekuni kasetnya dan menjawab tanpa memandang
Risa, "enggak. Nggak apa-apa."
Risa memperhatikan kakaknya tidak yakin. Ia berjalan menyusuri deret rak kaset di ujung sambil
berpikir. "memangnya aku tadi salah ngomong apa?" gumamnya.
"mau mampir ke toko HP gak?" ajak Viko saat membayar dua kaset yang dibelinya. "pulsaku
abis." "aaayo," jawab Risa dengan nada menantang. Jalan-jalan memang membuat rileks jadi tidak ada
alasan untuk menolak. Viko mengisi ulang pulsanya. Risa melihat-lihat stiker dan bandul HP. Ia sangat menginginkan
bandul warna merah yang berbentuk anyaman. Mengingat ia tidak lagi membutuhkan Hpnya,
maka Risa membujuk Viko untuk membelinya yang spontan menolak mentah-mentah.
"ayolah, warnanya cocok buat Hpmu. Lucu banget nih."
"nggak ah, kayak anak cewek. Ogah. Kalau mau beli ya beli aja."
"tapi aku kan udah gak pake HP. Percuma dong beli kalo gak dipake."
"yaudah, gak usah beli kalo gitu. Beres kan. Ayo pulang."
Risa mengikuti kakaknya di belakang. Bibirnya cemberut , ia teringat bandul merah itu tapi ia
tidak punya pilihan. Ia memang tidak membutuhkannya. Ia juga tidak ingin membelanjakan uang
ayahnya dengan percuma. Dengan kesal Risa berjalan dengan menghentakkan kakinya seperti
orang yang ikut lomba gerak jalan.
Risa mengalihkan pandangannya ke seberang jalan, sekedar mengalihkan perhatiannya. Disana
ada tempat makan, perutnya tiba-tiba bertepuk riuh. Ingin rasanya cepat-cepat tiba dirumah dan
melahap masakan bik Ti. "aduh!!" pekik Risa. Di depannya, Viko rupanya berhenti mendadak. Karena sibuk melihat ke
arah lain, Risa tidak sengaja menabrak kakaknya. "kenapa?"
"makan dulu yuk, laper," kata Viko sambil menunjuk rumah makan di sebelahnya. Risa
mengangguk setuju. Bau harum tercium dari dapur, membuat Risa merasa lebih lapar dan tak sabar menunggu. Risa
sebenarnya ingin tahu apakah Viko memang sedang lapar atau tahu kalau dirinya hanya makan
sedikit tadi pagi. Tapi Risa tidak peduli. Baginya, Viko sangat perhatian, tipe kakak yang baik.
Tak lama kemudian, pesanan yang ditunggu-tunggu datang. Risa memakannya dengan lahap.
"pelan-pelan aja makannya. Mukamu cemot tuh," kata Viko memberitahu. Kemudian ia
menambahkan dengan tertawa, "ya ampuuunn kayak anak kecil aja."
Risa mengelap mulutnya, menatap sewot kakaknya. Kenapa tertawa" Ada yang lucu" Emangnya
kenapa kalo kayak anak kecil" Penting ya" Namun ia hanya diam saja, melahap makanannya
seakan tidak ada interupsi. Hari ini ia senang sekali sehingga malas membalas ejekan kakaknya.
Mereka kembali berjalan jauh menuju tempat parkir. Risa merasa kakinya sudah capek dan
pegal. Ia agak tertinggal jauh di belakang karena sibuk menghindari orang menabraknya atau
memberi jalan lebih dahulu kepada rombongan pejalan kaki di trotoar yang sempit itu. Risa
mengira Viko telah meninggalkannya semakin jauh di depan ketika mendadak ia merasa ada
yang menggenggam tangannya diantara kerumunan.
"ayo," kata Viko sambil menarik tangannya. Rupanya Viko menyadari ketertinggalannya dan
kembali menjemputnya. Risa sebenarynya ingin melepas pegangan tangannya setelah bebas dari kerumunan itu tapi Viko
mencengkeram tangannya kuat sekali sehingga Risa membiarkannya saja. Perasaan aneh muncul
sepanjang ia berjalan dengan Viko berada agak di depannya seakan membimbingnya dari depan.
Waktu seakan bergerk diperlambat. Risa menengadah memandang kakaknya. Ini... seperti
perasaan dilindungi orang yang disayangi. Ia memandang punggung Viko, melihat sosoknya dari
belakang yang tinggi dan tegap dengan jelas. Sebagian kata hatinya membebaskan tangannya
sewaktu mereka tiba di mobil.
*** "bibik kalo pulang kampung disuruh istirahat aja dirumah. Kakak bibik pergi ke sawah, istrinya
menjual kopi ke kota. Bibik tinggal berlima sama keponakan juga. Maklum rumah warisan.
Biasanya orang perempuan mandi di telaga. Teman bibik kebanyakan bisa renang, mengambang
gitu non. Berenang-renang kayak gini non," kata bibik, meletakkan setrikanya lalu
memperagakan renang gaya katak dengan kedua tangannya yang gemuk, "disana airnya bersih,
dingin kayak kulkas. Nggak jauh dari sana ada banyak orang laki duduk-duduk liat orang
mandi.." "diintip dong namanya. Bibik nggak marah?" potong Risa serius bercampur kaget.
"yah bibik sih mandi di sumur. Gila apa diliatin laki-laki waktu mandi, tapi mereka biasa-biasa
aja non. Udah biasa di desa saya."
"oh ya?" kata Risa terkejut.
"kalo orang punya lahan sih enak non. Kebanyakan sawah di desa saya dibeli pemerintah. Orang
sana kan gak tau apa-apa jadi mau aja tanahnya dibeli. Punya kakak saya itu sudah dibeli separo.
Saya bilang gini "bodoh kamu jual tanah dikasih murah! Buat beli sepeda motor udah habis!"
buat apa sepeda motor, gak bisa dimakan, iya to?"
"iya iya, bener bik," kata Risa setuju-setuju saja.
"kalo ujan non, bocor dimana-mana. Masih untung desa saya gak pernah kena banjir. Yang ada
di TV itu non, banyak desa kena banjir. Kasihan non, sapi-sapi pada hilang. Ya bangkrut orangorang."
"he"eh,he"eh," gumam Risa paham.
"saya nitipin cincin emas saya ke istri kakak saya. Saya kan punya tujuh, saya titipin lima. Eh,
waktu bibik mau balik kesini, bibik minta lagi. Tapi istrinya kakak saya malah bilang kalo ini
cincin hadiah dari saya ke dia. Trus katanya cincin itu gak laku disini jadi mending dijual di desa
sana. Itu kan akal-akalannya saja, batin saya. Trus saya bilang "kalo gak laku, mana sini. Balikin
ke saya." Tapi dia malah diam saja. Memang nyebelin kok ipar saya itu."
Bibik asyik bercerita sambil menyetrika baju-baju. Risa yang sendirian tanpa ayah dan Viko
memutuskan untuk menemani bibik dengan senang hati, bertanya-tanya tentang kampung
halamannya. "tiap malam takbiran non, anak-anak kecil mukul "mukul kentongan keliling desa. Belum lagi
kalo malem suara dengkung kodok bikin berisik. Bibik paling suka melihat kunang-kunang. Ada
banyak sekali waktu malem."
"kunang-kunang itu kan kukunya orang mati ya bik?" tanya Risa bergidik sendiri..
"nggak tahu non. Itukan Cuma takhayul," kata bibik rasional.
Bibik sudah selesai menyetrika dan hendak mengantarkan tumpukan baju yang sudah dilipat
rapi. Risa mengikuti bibik masuk ke kamarnya, kamar ayah dan kamar Viko.
"ya ampun, den Viko ini lemari bajunya selalu awut-awutan," kata bibik tidak senang, melihat
baju-baju dalam lemari tumpang tindih tidak terlipat.
Risa duduk di kursi meja belajar Viko sementara bibik bibik mengeluarkan baju yang kusut
karena berdesakan dalam lemari dan melipatnya. Dalam hati Risa malu sendiri karena ia juga
seperti Viko. Ia sering bingung hendak memakai baju apa. Oleh karenanya baju-baju yang telah
dicobnya dan dirasa tidak cocok langsung dikembalikan ke lemari asal-asalan, tanpa dilipat lebih
dulu. Bedanya, pada waktu senggang ia sempat merapikan baju dalam lemarinya sehingga tidak
ketahuan bik Ti. "lho, Viko punya kamera ya, sama seperti ayah," kata Risa terkejut melihat kamera terbungkus
tas plastik di dalam lemarimeja belajar, masih ada 2 rol film belum terpakai di kotaknya. Risa
mengeluarkan kamera itu, menimangnya sebelum melihat isinya. "kosong. Bik, kira-kira aku
boleh pakai nggak ya?"
"tanya aja ke den Viko kalau nanti sudah pulang," kata bibik seraya menutup lemari.
"iya deh. Aku pengen foto-foto. Nanti bibik ikutan juga ya," ajak Risa gembira.
"jangan non. Bibik kan jelek," kata bibik rendah diri.
"ah bibik ini," tegur Risa tidak setuju. "pokoknya bibik nanti harus ikut!"
Viko pulang siangnya, disambut Risa yang sedari tadi menunggunya. Saking bersemangatnya,
ujung jari kaki Risa membentur kaki dengan keras.
"Eh, Vik. Kameramu ini boleh kupakai gak?" tanya Risa penuh harap seraya mengangkat
kamera ditangan kirinya. "paka aja. Masih ada rol yang belum terpakai," jawab Viko sambil lalu ke kamarnya, meletakkan
tas. "kakimu kenapa?"
Risa berdiri dengan satu kaki. Tangan kanannya memegangi jari kaki kanannya seperti pose
Alibaba. Sementara itu wajahnya berusaha menahan seringai kesakitan.
"eh lagi senam," jawabnya berbohong karena takut diledek. Viko menatapnya tidak percaya.
"tadi terbentur karena terburu-buru. Udahlah gak penting."
"bilang aja terus terang. Dasar ceroboh. Tetep aja gak ada kemajuan," kata Viko menjitak pelan
kepala Risa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Risa cemberut mendengarnya.
"gimana cara masangnya" Tolong dong," pinta Risa memohon.
"mana-mana sini," kata Viko tak sabar.
"thank you," kata Risa berterima kasih, suaranya berubah menjadi imut-imut.
"begini nih masangnya," terang Viko pelan-pelan. "lain kali kamu bisa pasng sendiri."
Risa mengangguk-angguk bersemangat di sebelahnya sambil memperhatikan dengan jeli. Setelah
selesai, Viko memberikan kamera itu padanya.
Sepanjang hari itu dihabiskan Risa dengan memotret ruang-ruang dalam rumah, taman, lalu
memotret ayah, Viko, bibik dan dirinya bergantian. Risa telah berusaha keras membujuk untuk
foto-foto. Akhirnya mereka merasa asyik bergaya di hadapan kamera, tampak kompak. Viko dan
Risa bertindak selaku pengarah gaya sedangkan ayah mengatur posisi mereka dan memilih latar
belakang pemotretan. Kadang mereka foto berdua-dua, kadang bertiga-tiga untuk menghabiskan
isi film. "yak, sekarang giliranku," kata Risa berinisiatif, menyambar kamera dari ayah. "disini, didepan
tanaman. Bibik ditengah, ayah dan Viko disamping."
Maka mereka berbaris dengan kaku, tampak malu-malu. Risa melihat mereka lewat lensa
kamera. Perlahan dirinya menjadi sentimentil. Kamera itu seakan menunjukkan dunia lain yang
baru ditemuinya. Ketika ia menurunkan kmeranya ia menyadari bahwa dunia itu ada di
hadapannya sekarang, saat ini!
"kenapa Ta?" tanya ayah menyadari perubahan pada air mukanya.
"oh nggakpapa. Bibik senyum dong," katanya menganjurkan, menunju ke arah bibik, sementara
itu Viko merangkul bibik dengan kedua tangannya.
"o iya iya non," kata bibik cepat, memasang senyum lebarnya.
Risa kembali mengangkat kameranya. Tahu-tahu saja ia merasa terharu, ia bisa merasakan
matanya pedih berair. Senang rasanya melihat keluarga ini. Walau sedih, ia tetap
menyunggingkan senyumnya.
"siap ya," kata Risa memberi aba-aba. "1..2..3.."
"klik" begitu bunyinya ketika Risa menekan tombol diiringi bunyi rol menggulung.
"lho" Sudah habis," katanya tidak menyangka.
Orang-orang mendadak jadi salah tingkah, merapikan pakaiannya masing-masing lalu buru-buru
mengerjakan tugasnya kembali.
"aduh bibik belum nurunin jemuran," seru bibik panik, berlari ke seberang menaiki tangga
bundar. "buku bacaan ayah tadi pagi dimana ya?" kata ayah yang sudah berjalan ke samping selagi
membuka pintu ruang kerja.
"ada janji nih bentar lagi," kata Viko begitu melirik waktu di jam tangannya lalu tergesa-gesa
masuk rumah. Puas setelah seharian mengambil gambar, mereka melanjutkan kegiatan seperti biasa. Risa sudah
tidak sabar melihat hasilnya.
Belum seminggu Risa berada dirumah itu, perasaannya mulai gelisah. Selama ini perhatiannya
teralih karena berusaha mengenal keluarganya. Sekarang ia dihadapkan pada fakta bahwa dirinya
akan meninggal. Sebelumnya, mungkin Risa bisa menerimanya. Setiap orang pasti kan mati lalu
berusaha tidak memikirkannya. Tapi sekarang ia jadi ngeri sendiri. Ia tidak yakin sudah siap
mental atau belum. Bagaimana ya rasanya mau meninggal" Pasti menderita. Semoga saja begitu tertidur langsung
meninggal. Gak mungkin! Itu kan terlalu mudah. Dia tidak mau meninggal dengan keadaan
serba tidak tahu begini. Ini kan kesannya terlalu sadis. Aduuuhh bisa gila memikirkannya.
Bagaimana ya rasanya mau meninggal" Pasti menderita. Semoga saja begitu tertidur langsung
meninggal. Gak mungkin! Itu kan terlalu mudah. Dia tidak mau meninggal dengan keadaan
serba tidak tahu begini. Ini kan kesannya terlalu sadis. Aduuuhh bisa gila memikirkannya.
Mungkinkah ia sebenarnya udah meninggal" Namun kenapa ia bisa mengingat jelas namanya"
Mungkinkah dia memang Anita" Tidak. Tidak mungkin. Perasaannya jelas mengatakan bahwa di
bukanlah Anita. Ia seperti sedang mengalami krisis jati diri. Lalu apa tujuan hidupnya saat ini.
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"apakah aku hanya menunggu untuk mati?" bisiknya memandang langit-langit.
Tidak, batinnya. Orang hidup untuk menemukan kebahagiaan. Karena itulah hidup jadi berarti.
Ia tidak sendiri. Disini, banyak orang yang mencintainya.
"udah ah," kata Risa, melepas bantal yang mendekapnya. "daripada bingung mending ke tempat
ayah aja." Risa sudah hendak mengetuk pintu kamar ayahnya ketika dia tiba-tiba berubah pikiran.
"ketenpat Viko aja deh," kata Risa tidak jelas.
Pintu kamar kakaknya agak terbuka. Risa mendorongnya lebih lebar dan masuk. Kakaknya
rupanya sibuk membuat tugas, kertas-kertas berserakan di mejanya sementara kakaknya
mengecek setiap isinya. Viko mendongak ketika ia datang.
"eh" Kenapa Ta?"
"nggakpapa. Lagi bengong aja," jawabnya. "tugas buat kapan?"
"minggu depan. Tapi harus cepet diselesaiin, kalo nggak nanti numpuk tugasnya," kata Viko
resah, menghela napas panjang.
"yaudah kerjain aja, aku gak mau ganggu," kata Risa bijaksana lalu pandangannya tertuju pada
rak buku disebelahnya. "kakak punya banyak bacaan ya, boleh pinjem gak?"
"ambil aja," kata Viko sungguh-sungguh tanpa melihatnya, sibuk membaca kertas-kertas di
mejanya. "trims," kata Risa riang, mengambil beberapa buku lalu membacanya di atas tempat tidur Viko.
Risa membaca buku bacaan di kamar Viko sampai larut malam. Ia bahkan hendak membaca
seluruh buku di sana sekuatnya. Kakaknya menggeliat dan menguap. Kertas-kertas di mejanya
sudah dirumpuk rapi. Viko berjalan terhuyung ke tempat tidurnya.
"hoahmm.. belum selesai Ta?" tanya Viko. "nggak ngantuk?"
"biar kulanjutin besok deh," kata Risa, buru-buru meraih buku bacaan yang berserakan di tempat
tidur kakaknya. "capek nih. Badan pegel-pegel. Bisa mijitin gak?" tanya Viko penuh harap seraya meregangkan
tubuhya. "pijat?" Kenapa gak suruh bik Ti aja?" tanya Risa heran lalu teringat. "oh iya ya, bik Ti kan udah
tidur. Boleh, boleh."
"gitu dong," sahut Viko senang. Ia merebahkan diri di kasurnya.
"mau dipijat kayak apa" Dipukul-pukul" Atau di diurut" Atau dibalsem?" tanya Risa mengharap
petunjuk. "diinjak," jawab Viko singkat saking lelahnya. Risa kaget, jawaban Viko diluar dugaannya. Risa
mengira kakaknya setengan bercanda.
"diinjak" Pakai kaki?" tanya Risa hati-hati.
"yaiyalah, masa nginjak pake tangan," kata Viko tak sabar.
Mendengar perkataan mantap kakaknya , Risa tidak berani bertanya lagi. Ia dengan ragu-ragu
berdiri diatas tempat tidur lalu melangkahkan salah satu kakinya keatas punggung Viko.
"nggak berat?" tanya Risa khawatir.
"berat apaan" Badan kurus kering gitu. Yang bener mijatnya pake dua kaki dong, gak terasa
sama sekali nih," kata Viko galak.
"bener ya?" Ya udah, pikir Risa, gak usah sungkan-sungkan lagi kalo gitu. Risa berdiri diatas punggung Viko
sambil memindah-mindah letak kakinya. Tangannya kadang menumpu pada dinding kalau tidak
ia berusaha menyeimbangkan tubuhnya seperti pemain sirkus yang berjalan diatas tali. Heran,
kok bisa ya tahan diinjak kayak gini, batin Risa. Viko malah tampak nyaman. Sementara itu
Viko memberi aba-aba layaknya juru parkir kepada Risa, suaranya agak teredam.
"keatas, keatas. Agak kekiri. Ya disitu, yang lama," perintahnya,
"geser lagi ebawah, terlalu bawah, agak ke atas, kanan-kanan."
Ocehan Viko berlangsung selama dua puluh menit yang sangat melelahkan bagi Risa.
"sudah, sudah," kata Viko akhirnya. Inilah yang ditunggu-tunggu Risa dari tadi. "makasih ya Ta.
Enak banget." "udah selesai?" kata Risa senang, beranjak turun dari tempat tidur, cepat-cepat memakai
sandalnya. "yaudah, aku mau tidur. Met malem."
Risa berlari menghambur ke kamarnya, takut kalau-kalau dimintai tolong lagi. Sudah jam 1.00
pagi. Risa menghenyakkan dirinya dengan selimut tebal yang hangat.
"wah capeknya kakak nular ke aku nih," gumamnya seraya menguap lebar.
Yak, inilah yang dibutuhkannya. Pikirannya sudah tidak segelisah sebelumnya sekarang.
Solusinya adalah menyibukkan diri sampai menguras tenaga kalau perlu.
"hoaahhm.." Matanya berair karena ngantuk. Ia memadamkan lampu dan masuk ke dalam selimutnya, tak
lama kemudian tertidur lelap.
*** Tata rupanya senang bisa kembali ke rumah, membantu bik Ti membersihkan perabotan,
menyiram taman, sering memasak sarapan, membuatkan ayah kopi saat ayah sibuk di ruang
kerja, membuatkan mereka roti isi saat sedang bersantai menonton TV. Tata menolak
menghabiskan waktu dengan beristirahat dikamarnya, merasa gerah bila diperhatikan orangorang rumah yang baginya terlalu berlebihan.
Selain itu, Tata bersikap seolah ia baru pertama kali meliht semua perabotan yang ada dirumah
itu. Adiknya kadang terlihat sedang mengagumi mulai dari vas bunga, lukisan di dinding,
peralatan dapur hingga pot bunga. Sering Tata tampak sibuk membaca kilat buku, majalah, koran
atau bacaan apapun yang ditemuinya, bahkan buku pelajarannya yang dulu. Kalau tidak ada hal
yang sedang dikerjakan, Tata akan menggeledah seluruh lemari yang ada, berharap menemuka
sesuatu yang baru, mulai dari lemari buku, lemari pakaan, lemari tempat menyimpan VCD
sampai lemari dapur yang menyimpan peralatan makan dan memasak yang tidak dipakai.
Herannya, Tata kelihatan sangat bersemangat.
Tata sangat ingin tahu tentang apa saja yang sedang ayah dan Viko. Kadang ia masuk ke ruang
kerja menemani ayah dan melihat apa yang sedang ditulis, dibaca, atau diketik oleh ayahnya.
Kadang ia melihat-lihat tugas-tugas yang dikerjakan Viko, memberi saran dan kritik disana sini
tapi menolak untuk membantunya mengerjakan tugas. Kalau keduanya tidak dirumah, Tata
berada disisi bik Ti yang bercerita tentang kampung halamannya dan masa mudanya,
mendengarkan dengan tertarik.
Menurut Viko, adiknya agak terlalu aktif. Ini merupakan pertanda baik tentang kesehatannya.
Namun, bukan berarti kemajuan adiknya ini tidak mempunyai sisi buruk. Semua kegiatan yang
dilakukan adiknya rupanya mewarisi kecerobohannya. Yang sering menjadi korban
ketidakberuntungan adalah Viko sendiri. Hal ini nampak dari serentetan kejadian.
Salah satunya adalah Viko yang tersandung selang penyiram air yang lupa digulung kembali
oleh Tata, ia jatuh terjerembab dengan sebagian baju basah dan kotor. Ia buru-buru mengganti
pakaian dan hampir saja membuatnya telat masuk kuliah.
Viko merasa kecewa karena tidak biasanya seharian itu ia tidak menerima telepon dari cewekcewek kenalannya. Penyebabnya baru diketahui menjelang malam hari, Tata rupanya tidak
meletakkan gagang telepon dengan benar saat terakhir kali enerima telepon.
Lalu pada hari minggu yang cerah, Viko baru bangun agak siang, begitu membuka pintu kamar
ia langsung disambut oleh Tata yang bersin hebat dengan mata terpejam tepat ke arahnya sambil
memegang bulu-bulu pembersih dan lap di tangan yang lain. Tata buru-buru meminta maaf,
berkata bahwa ia menahan-nahan bersinnya dari tadi. Viko hanya bisa memberinya pandangan
tanpa ekspresi karena sudah terbiasa dengan kejadian semacam ini.
Saat ayah mengeluarkan mobil dari garasi, ayah berpesan pada Tata untuk mengambilkan
kacamatanya. Tata mengambil secepat mungkin tapi kacamata yang dimaksud tertukar dengan
kacamata yang kadang dipakainya bepergian, membuat adiknya kembali masuk rumah dan
membawakan kacamata yang benar.
Sepulang dari mengajar, ayah membawa dua bungkus plastik besar makanan. Adiknya membuka
lemari tempat kumpulan piring yang tidak terpakai, berniat mencari piring yang cukup besar
selagi ayah membuka bungkusnya. Sedangkan ia mengambil botol air minum dari dalam kulkas.
Tiba-tiba Anita menjerit dan lari terbirit-birit, begitu melihat dirinya langsung melompat
kearahnya. Tangan Anita serasa mencekik lehernya. Kaki Anita nak ke sekeliling lututnya. Ia
kesulitan menjaga keseimbangan, badan Anita berat sekali ternyata. Pemandangan itu lucu sekali
sebetulnya, ia seperti sedang menggendong simpanse. Dalam dekapannya, Anitamemekik ngeri,
memejamkan mat, menarik lehernya lebih kencang supaya tidak jatuh. Tebak! Serangkaian
kejadian heboh itu disebabkan oleh seekor kecoak" Ayahnya tertawa-tawa geli sedangkan Bik Ti
memukul-mukul kecoak itu dengan sapu. Kalau saja ia tidak mengenal adiknya, ia akan berpikir
adiknya berusaha membunuhnya.
Belum lagi saat mereka sedang bersantai diruang keluarga, ayah menonton acara kesukaanya, ia
sedang belajar untuk ujian besok sedangkan Tata asyik membuat bintang kecil-kecil dari kertas
kado yang merupakan kegiatan rutinnya tiap malam. Terdengar bel berdering, Tata berkeras
membukakan pintu namun rupanya kakinya kesemutan sehingga baru bergerak dua langkah
langsung jatuh tersungkur, membuat ayah dan ia terlonjak kaget. Setelah memastikan Tata tidak
apa-apa, Viko menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah.
Setiap Viko mengajak adiknya makan diluar, ada-ada saja ulah Tata. Mulut Tata selalu
belepotan, rupanya adiknya berusaha mengimbangi cara makannya yang cepat. Jika Viko tidak
menhabiskan makannya atau menyisakan makanan yang tidak disukainya, Tata dengan senang
hati menghabiskannya. Pernah suatu kali Tata memotong daging steak-nya kelewat semangat
sehigga membuat potongannya meluncur di meja.
Suatu ketika Tata lupa menutup panci tempatnya biasa membuat popcorn dan baru tersadar
ketika terdengar letupan disertai butiran-butiran popcorn panas berloncatan ke segala jurusan di
udara dari dalam panci. Viko sampai ikutan panik sambil menunduk, tiarap dan berlindung
dibalik wajan kosong sembari menghindari letupan popcorn disana sini dalam usaha mereka
mematikan kompor yang ternyata tidak semudah perkiraan. Viko lega akhirnya bisa
terselamatkan dari bencana lokal hujan popcorn sedangkan adiknya rupanya tak kuasa menahan
tawa teringat kekonyolan tadi, tertawa terbahak-bahak dan meledek tampang paniknya. Viko
mendesak Tata untuk membersihkan kekacauan yang ia sebabkan karena butiran popcorn
bertebaran di lantai dapur.
Selama seminggu penuh Bik Ti pulang kampung karena kakaknya sakit keras. Tata semenjak itu
jadi lebih sibuk dari biasanya, hal yang dikerjakannya terhenti ditengah jalan karena melakukan
hal lain yang mendesak. Suatu hari tata salah mengambil gelas yang masih ada busa sabunnya
dan menuang susu kedelai ke dalamnya. Viko kehausan sepulang kuliah, melihat minuman
tergeletak begitu saja di meja. Saat itu Tata mengembalikan botol susu kedelai ke kulkas. Viko
spontan meminumnya dan merasakan susu kedelai rasa deterjen untuk pertama kalinya.
PENEMUAN TIDAK TERDUGA Malam itu begitu cerah, bintang-bintang berpendar bagai permata, Risa memandang dari jendela
kamarnya. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Ia beruntung bisa melihat bintang dilangit malam tanpa
awan, membuat hatinya tenang dan nyaman. Bintang-bintang itu ada yang berkelompok. Risa
berusaha menebak bentuk-bentuk yang mungkin dirangkai gugus bintang itu. Tapi sejauh ini ia
hanya bisa melihat satu kelompok bintang yang berbentuk seperti layang-layang. Setelah puas
mengamati, Risa menutup tirai kelambu.
Ia sudah di ranjangnya kemudian mengalihkan pandang pada kotak musik besar di meja riasnya,
di sebelah vas bunga yang penuh berisi mawar putih segar yang ia petik dari taman. Risa
mengamatinya sebentar sebelum akhirnya membuka kotaknya, sekedar membuatnya melakukan
sesuatu untuk mengisi waktu luangnya. Dua orang penari dansa berputar-putar. Risa menikmati
melodinya yang indah sambil memandang pasangan dansa itu, agak melamun, terbuai alunan
musiknya yang lembut. Setelah agak lama, suaranya menjadi tidak teratur dan sumbang.
"lho"! Nggak kuapa-apakan kok," gumam Risa bingung lalu mengguncang-guncang kotak musik
di tangannya, berharap suaranya menjadi jelas kembali. Namun tampaknya tidak berhasil.
Risa bermaksud mengecek batrainya. Ia mengamati sisi kotak itu dengan seksama, mencari-cari
di mana letak bateranya. Ia mengangkat kedua penari itu, otomatis bagian dasarnya ikut
terangkat. Yang mengejutkan adalah bahwa di dalamnya tidak hanya terdapat baterai tetapi
tersimpan buku harian kecil.
Risa ragu-ragu mengambilnya, menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri seolah takut ada yang
memarahinya. Ia tidak tahu apakah bijaksana membiarkan dirinya membaca buku harian orang
lain. Bukankah dia sekarang Anita. Setidaknya buku harian ini bisa membantunya mengetahui
segala sesuatu tentang Anita, pikirnya. Risa membuka-buka sekilas. Ternyata Anita tidak
menulis setiap hari, hanya mencatat hal-hal penting yang terjadi atau menulis curahan perasaan
dan pemikirannya. Beberapa tulisan yang menarik perhatiannya adalah sebagai berikut.
Ini sudah yang kesekian kalinya aku pergi ke Singapura untuk cuci darah. Aku sering bertanyatanya sampai kapan harus seperti ini. Pengobatan ini memang berhasil memperpanjang umurku
selama bertahun-tahun, tapi bagiku hidup tidak lagi indah. Alasanku bertahan hidup adalah ayah
dan kakak, terutama ayah..
Ayah bekerja keras mencari uang demi pengobatanku. Aku sampai kasihan melihat ayah seperti
ini. Aku tidak ingin mengecewakannya. Aku ingin bersama mereka lebih lama. Aku ingin
membalas kebaikan mereka. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali belajar untuk
sekolahku. Teman-teman begitu antusias merencanakan masa depan dan cita-cita mereka. Mereka kadang
menelpon ingin tahu keadaanku, datang berkunjung ke rumah, menghibur, menasehati dan
macam-macam. Tampaknya Cuma formalitas. Aku berterimakasih tapi sikap mereka yang
berlebihan membuatku tidak nyaman.
Ibu... aku sangat merindukanmu, aku ingin bersamamu Bu. Tenang dan aman dalam pelukanmu,
tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, tidak perlu berpikir apa-apa. Biu tahu betul bagaimana
harus menghiburku dan menenangkanku. Tahukah kau Bu, hidupku begini hampa... Ayah dan
kakak menjagaku dengan sangat baik, aku sangat berterimakasih pada mereka. Tapi tetap saja
hatiku merasa sedih. Ibu...
*** Esok harinya Risa bangun satu jam lebih pagi dari biasanya, membuka tirai dan jendela kamar.
Di luar langit masih gelap. Ia menghirup udara pagi yang menyegarkan dalam-dalam lalu
beranjak menyisir rambut di depan cermin.
Beruntung kamar mandi masih kosong, maka Risa langsung mandi dan menyikat gigi. Ia sering
rebutan kamar mandi denganViko di pagi hari. Biasanya Risa mengalah karena mengingat Viko
mempunyai kepentingan lebih mendesak hendak ke kampus.
Memasak merupakan salah satu hobinya saat ini. Dia senang sekali bisa membuat berbagai
makanan yang diinginkannya tanpa kesulitan. Padahal dia baru pertama kali membuat makananmakanan tersebut. Walaupun begitu, tampaknya Risa tahu betul bahan-bahan apa saja yang
dibutuhkan dan cara pembuatannya. Rasa masakannya juga enak. Mau tidak mau ia mengakui
dirinya berbakat. Bik Ti kadang ingin membantunya tapi Risa menolak dengan alasan Bibik
masih punya banyak pekerjaan dan harus memasak untuk keluarga.
Risa menikmati hari-harinya dengan riang gembira. Ia sangat menyukai ayah yang serius tapi
baik hati, Viko tukang usil, Bik Ti yang cerewet kalo sudah mulai bercerita. Dari ketiga orang
itu, Risa merasa lebih akrab dengan Viko. Mungkin karena usia yang sebaya jadi Risa merasa
lebih rileks berbicara dengan Viko.
Walaupun sudah tinggal bersama cukup lama, Risa tetap saja tidak bisa menghilangkan sedikit
ganjalan bahwa sebetulnya ia bukan bagian keluarga itu. Wajar kalau ia merasa sungkan atau
bagaimana, ia kan masih tergolong baru mengenal mereka.
Tadi malam Risa membaca buku harian Anita dengan teliti. Menarik sekali membaca tulisan
tangan seseorang, seakan kau bisa melihat bagaimana orang itu sebenarnya. Menurutnya, Anita
agak jenuh dengan hidupnya yang seakan diatur.
Ayah ada tugas diluar kota, Bik Ti sedang belanja ke pasar, sedangkan Viko sepertinya masih
tidur di kamar, kelihatannya Viko masuk ke kampus agak siang hari ini. Risa sedang menyiapkan
makanan untuk disantap sambil menonton acara kesukaannya nanti.
"hmm.. kenyalnya udah ok," kata Risa sambil mematikan api kompor yang baru dipakainya
untuk merebus. Di sebelahnya, bau harum saus yang dibuatnya memenuhi dapur."ups, hampir
lupa, sausnya juga udah matang."
Sewaktu Risa mengambil piring, dilihatnya Viko masuk ke dapur, membuka kulkas dan
mengambil jus jeruk. Risa tidak menghiraukan kedatangannya lalu meniriskan masakannya.
Viko melihat Risa yang sibuk dengan terheran-heran karena ia tahu pasti adiknya tidak pernah
dan tidak suka memasak. Risa menuang saus tomat campur daging giling yang masih hangat ke
atasnya lalu mengambil keju dari atas lemari.
"bikin apa nih?" tanya Viko ingin tahu sambil mencium aroma masakan Risa.
"PASTA," jawab Risa singkat seraya menyerut keju diatasnya.
"coba dong.." kata Viko memelas dengan perut lapar.
"boleh," sahutnya. Risa menyuapkan satu sendok penuh ke dalam mulut kakaknya. "nih."
"mm.. enak," komentar Viko sambil mengunyah yang sekarang malah ingin memakan habis
sepiring pasta hangat d hadapannya. "buatin satu dong."
"gak ada waktu, buru-buru," tolak Risa sembari mengisi gelasnya dengan air hingga penuh.
"buru-buru apa?" tanya Viko penasaran, mengusap sisa jus jeruk di mulutnya.
"mau nonton film kartun di TV. Makan aja sisa sarapan tadi pagi, masih ada tuh di lemari."
"FILM KARTUN?"?" tanya Viko tak percaya. "ya ampuunn, kamu ini umur berapa sih?"
Namun Risa tidak mempedulikan ucapannya.
"aduh udah jam segini! Bisa telat nih," kata Risa yang sekarang menghambur secepat kilat ke
ruang keluarga sambil membawa makanan dan minumannya, duduk manis, dan mulai menonton
acara kesukaannya. Sebentar saja ia sudah tertawa-tawa kegelian.
Viko tersenyum melihat adiknya begitu senang. Setengah kecewa karena ia tidak bisa makan
pasta, ia membuka lemari dan mengambil makanan sisa sarapan tadi pagi.
Sorenya, Risa membuatkan ayahnya secangkir kopi hangat. Bibik sedang berbenah di kamar
sedangkan Viko ada kerja kelompok di rumah temannya. Ayahnya sedang membawa kumpulan
tugas mahasiswanya yang menggunung tinggi di ruang keluarga. Risa merasa kagum dengan
ayahnya. Ayahnya sekarang memberi nilai pada makalah yang baru dibacanya dengan
menggunakan spidol hitam, lalu menghisap rokok di tangannya.
"ayah!" tegur Risa sambil mengambil batang rokok yang tinggal setengah dari tangan ayahnya,
meletakkannya di asbak lalu menyodorkan kopi yang baru dibuatnya. "jangan merokok terus!
Mau kopi?" "terimakasih," kata ayahnya yang matanya tampak jenuh lalu menyeruput kopi hangatnya. Ia
tidak tampak marah karena Risa mengambil paksa rokoknya.
"Tata tahu hampir tidak mungkin lepas dari kebiasaan merokok. Tapi Tata mohon, ayah bisa
mengurangi jatah merokok setiap harinya. Dikuranginya pelan-pelan aja," kata Risa cemas.
"janji ya." "kenapa memangnya" tanya ayahnya heran. "kamu nggak suka bau asapnya ya?"
"ya iya sih," jawab Risa jujur, merasa tidak enak sendiri. "sebenarnya nggakpapa sih tapi kalo
kayak gini caranya, lama-lama ayah bisa ngabisin satu pak sehari. Nggak baik lho. Apalagi
merokok di ruang ber-AC, bahaya banget yah."
"iya juga ya. Ayah sendiri sampai nggak merasa,"kata ayahnya sembari melihat puntungpuntung rokok di asbak.
"Tata pernah dengar kalo kebiasaan merokok bisa dilupakan dengan mengunyah permen karet.
Tapi akhirnya jadi kecanduan permen karet juga. Repot juga sih. Aku gak tahu manjur atau
enggak. Mungkin nggak cocok buat ayah, ntar malah giginya lubang semua. Sebaiknya gimana
ya," kata Ris serius, bingung mencari solusi. Ayahnya terdiam menatapinya. Risa buru-buru
berkata, "Tata gak bermaksud melarang lho. Hanya saja perlu dikura.."
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"sudah sudah. Ayah tahu. Kamu mencemaskan ayah ya" Jangan khawatir. Ayah akan membatasi
diri mulai sekarang," kata ayah pengertian, membuat Risa lega karena maksudnya tersampaikan
sehingga tidak perlu menjelaskan panjang lebar.
"bener yah" Ayah mau mendengarku saja aku sudah senang," kata Risa lalu memeluk sayang
ayahnya. "kamu ini. Ada-ada saja," kata ayah tak habis pikir lalu menepuk pundak anaknya.
Risa sekarang tertarik dengan kumpulan tugas yang sudah dinilai. Ia mengambil satu untuk
dilihat-lihat sekilas. "kalau aku yang jadi mahasiswi ayah, kira-kira ayah ngasih nilai berapa ya?" tanya Risa ingin
tahu menatap ayahnya, setengah bercanda. Ayahnya balas memandangnya curiga dari balik
kacamatanya. "wah wah wah. Gak boleh KKN lho." Jawab ayahnya yang ingin tertawa mendengarnya.
"sudah kuduga," kata Risa paham sambil membalik-balik halamannya. "oh iya, masalah berobat
itu.." Risa tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia sengaja menunggu ayahnya mengucapkan sesuatu. Risa
takut ia akan salah bicara.
"kamu sudah memikirkannya"
Risa mengangguk. Ia sudah memikirkannya semalaman menimbang semua kemungkinan. Risa
sebenarnya mau-mau saja berobat tapi umurnya toh sudah tidak akan lama lagi. Walaupun sudah
berobat, Risa sangsi bahwa usianya bisa lebih lama setengah tahun. Selain itu sampai kapan ia
harus memperpanjang umurnya. Belum lagi biaya pengobatan yang mahal dan menyita waktu.
Pembalasan Selir Sesat 2 Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie Harimau Kemala Putih 8
Can You See Me" Karya: Sonya Michibata CLARISA Waktu istirahat masih tersisa 20 menit sebelum mereka mengikuti pelajaran berikutnya. Ruang
kelas hampir tidak berpenghuni ketika Risa masuk ke dalam kelas. Kebanyakan dari teman
sekelasnya sedang makan siang di kantin atau berganti pakaian.
"fiuh... Hari yang melelahkan," pikir Risa sambil memasukkan baju olahraga ke dalam tasnya. Ia
menarik kursinya dan duduk sambil menghela napas muram. Tetes-tetes keringat membasahi
kening dan lehernya. "setelah ini masih ada 2 jam matematika," gumamnya ketika tiga orang
sahabatnya mendatanginya satu persatu.
"udaranya panas sekali, aku gak yakin bisa konsen waktu pelajaran matematika nanti," kata
Jennifer. Ia didampingi Jessica yang sedang meneguk sisa air dari botol minumannya.
"Maunya sih gitu tapi liat deh tampang males2an," keluh jessica,
"gak bakalan bisa deh. Bu Ida punya tatapan mata ke segala jurusan, paling2 disuruh maju
ngerjain soal di papan."
Jessica dan Jennifer adalah satu2nya anak kembar di kelas dan di sekolah mereka. Sejak kecil
mereka selalu bersekolah di tempat yang sama, kepandaian mereka hanya beda tipis. Teman2
sekolah memanggil mereka dengan sebutan Jessy dan jenny. Benar2 kembar identik, tidak ada
yang bisa membedakan mereka bila dilihat dari bentuk wajah atau fisik.
Hanya saja jessica menderita lemah jantung sejak kecil, Jennifer sebagai orang paling dekat
dengannya selalu siap menjaga adik kesayangannya itu. Mungkin karena alasan inilah, Jessica
mempunyai sikap kekanak-kanakan dibandingkan dengan jennifer. Pda dasarnya si kembar
sangat periang dan teman yang menyenangkan bagi Risa.
"Ngobrol yang lain aja knapa," celetuk Bobby yang ikutan nimrung diantara si kembar. Cowok
satu ini kelihatan lelah sehabis berolahraga, rambutnya setengah basa oleh keringat, tapi ekspresi
wajahnya sangat puas. "Gimana kalo ntar pulang sekolah kita jalan2 sambil makan es trus foto
barengdi photobox?" tanyanya antusias.
"Hm..," pikir Risa serius, "oke2 aja. Tapi muka udah luntur gini masa mau foto segala."
"Lagian tasnya berat nih, males bawanya," tambah Jessy, melongok sepintas ke mejanya di
sebrang dimana tasnya menggembang diluar kendali.
"Adik2 yang manis...," kata Bobby dengan sabar ketika menempati bangkunya sendiri yang
terletak di sebelah kiri Risa," "mau foto gak foto itu urusan nanti. Masalah tas nanti bisa dititipin
di mobilku, hari ini gak bawa motor, jadi bawa dompet aja. Ntar pulangnya kuantar deh, toh
kalian bertetangga Cuma beda satu blok."
Ketiga cewek itu tampak menimbang sebentar kemudian saling pandang setuju.
"Ok sepakat!!!" seru Jenny. "wahh harus beritahu nyokap dulu nih biar ntar gak perlu jemput,"
tambahnya seraya buru2 mengambil HP dari dalam tasnya.
Siang itu berjalan begitu lambat. Suasana kelas hening, yang terdengar hanyalah bunyi goresan
kapur di papan tulis. Teman2 sekelasnya mengerjakan latihan soal dalam diam. Risa berkali2
memaksa diri untuk mengerjakan soal2 latihan dibukunya namun hanya berputar2 disatu soal. Ia
menengadahkan kepalanya, menatap langit di luar jendela. Di kejauhan terdengar suara serangga
yang mengeluarkan dengung berisik setiap menjelang akhir musim kemarau. Begitu tertatap
olehnya pandangan Bu Ida yang tanpa ekspresi ke arahnya, ia menunduk dan pura2 melanjutkan
hitungannya. Betapa herannya Risa akan kenyataan bahwa sudah 3 kali dalam semester ini Bobby duduk
semeja dengannya, mengingat pergantian tempat duduk diundi oleh pengurus kelas setiap satu
bulan. Di sampingnya, Bobby rupanya berusaha entah menghibur atau usil atau mengatasi rasa
jenuhnya sendiri dengan menanyakan perkalian setingkat anak SD kepada Risa sambil
mengerjakan soal hitungan rumit diburam. Risa menjawab jemu dan asal saja sampai suatu
ketika ia salah menjawab 8X7=63.
"56 tau, HADUHH!!" desisnya.
"Nah kalo udah tau ngapain nanya"!" balas Risa dalam desis agak jengkel, mau tak mau
menahan tawa. Untung saja meja mereka terletak paling belakang. Andi yang berjarak satu bangku dari tempat
duduk Risa menoleh sepintas kearah mereka berdua dan terkekeh. Lalu dalam sekejap tampak
mnguasai diri dan kembali ke posisi duduknya yang biasa, menyandarkan tubuhnya pada kursi
dan meluruskan kakinya, tangannya tampak sibuk menghitung. Sejenak Bobby dan Risa saling
pandang tak mengerti tapi keduanya tersadar oleh bunyi kapur patah didepan dan buru2
menyelesaikan tugasnya. Bobby dulunya juara kelas walaupun prestasinya sekarang tidak sebagus dulu. Tidak heran ia
tampak santai di kelas karena otaknya luar biasa sigap. Diam2 Risa iri sekaligus kagum akan
kepandaian Bobby tapi entah kenapadan bagaimana mereka selalu tertawa riang gembira saat
bersama. Baginya Bobby sangat menyenangkan, setia kawan dan menyebalkan. Sebagian sampul
belakangnya dipenuhi tanda tangan Bobby. Salah satunya robek sebagian gara2 aksi tarik
menarik dalam usahanya menolak kebiasaan aneh Bobby. Bobby berkelit bahwa jika dia sudah
terkenal tanda tangannya jadi langka.
Belum lagi setiap menjelang pulang sekolah, tanpa terasa alat tulisnya berpindah tangan ke kotak
pensil Bobby. Hal ini membuatnya tetap di kelas saat usai sekolah dan meminta bantuan si
kembar mengambilkan sisa pena yang tak berhasil direbut. Risa dengan bijaksana tidak
membawa pensil hari berikutnya dan hanya meletakkan sebuah pena , pensil dan penghapus di
meja sesuai keperluan. Jessy dan Jenny memang menyenangkan tapi dalam hal bercanda Bobby bisa membuatnya
tertawa seharian. Hari2nya di sekolah yang membuat stress berat dapat dilupakan berkat
kehadiran ketiga sahabatnya.
Pelajaran yang berlangsung dalam diam dan menguras pikiran ini membuat waktu berlalu terasa
lebih lambat dari sebenarnya. Risa berkali2 melirik jam tangan Bobby, berharap bel bisa
berdering sebentar lagi dan kecewa karena ia baru melewatkan lima menit dari saat terakhir kali
melihatnya. Setelah beberapa menit berlalu yang sudah serasa seharian, Risa melirik jam tangan
Bobby dan lega mengetahui 15 menit lagi mereka akan pulang.
"kenapa" Naksir jamku ya?" ledek Bobby, rupanya dari tadi memperhatikan Risa yang terus
menerus memandang jamnya.
"Bilang aja kalo kpengen."
"ye.. jam kayak punya bapak2 gitu. Gak minat!"
Kata Risa mencibir. Bobby tidak membalasnya, agak malu, padahal Risa setengah bercanda. Ia
sadar kalo jamnya memang biasa dipakai orang dewasa.
Bobby memang mempunyai penampilan seperti orang dewasa, mungkin dia ingin kelihatan lebh
berwibawa, pikir Risa. Bobby sudah selesai mengerjakan latihannya, menutup bukunya, duduk santai sambil
memainkan pulpennya seraya melihat teman2nya. Rupanya Bobby merupakan anak pertama
dalam kelas itu yang sudah selesai. Kesal karena tadi kalah bicara dengan Risa, Bobby berpura2
menawarkan pekerjaannya yang sudah selesai supaya Risa bisa menyalinnya.
"masih kurang 4 nomer ya" Ck ck ck," katanya menyebalkan sambil mengintip buku tugas Risa.
"Seperti biasa lemot."
"sebenarany maumu apa sih?" tanya Risa tidak sabar tanpa memalingkan muka.
"nggaakk. Ngakpapa," jawabnya enteng. Sekarang ia mengetuk2an pulpennya ke buku
latihannya yang tertutup, supaya Risa bisa melihat ia telah selesai mengerjakan.
"sudah selesai ya. Lihat dong," pinta Risa bermanis2.
"boleh, nih," kata Bobby cepat lalu membuka bukunya dan menggesernya kearah Risa. Ketika
Risa baru sebentar melihatnya, Bobby buru2 menariknya kembali ke mejanya. "eiiiitss."
"eeeeh...," kata Risa protes. "Dasar penipu!"
"apa?" Kamu bilang apa?" kata Bobby berpura2 tidak mendengar sambil mendekatkan
telinganya kearah Risa. "Bobby!" kata suara tegas Bu Ida memecah keheningan, Bobby langsung menegakkan
duduknya. "kerjakan nomor 68 di papan!."
Risa memandang Bobby dengan senyum kemenangan. Bobby menatapnya sekilas seakan
berkata "pertempuran belum berakhir", berdiri sambi membawa bukunya.
"oya, kalo bisa tanpa buku ya," tambah Bu Ida,membuat Bobby berbali dan meletakkan
bukunya. "rasai!" gumam Risa sambil menatap Bobby maju ke papan tulis.
Bel berbunyi tepat setelah Bobby selesai mengerjakan soal di papan tulis. Ia kembali ke
bangkunya seraya menyipitkan mata memandang Risa. Risa tidak menunjukkan tanda2
menghiraukannya. Semua murid berbenah, memasukkan buku2 mereka ke dalam tas masing2.
"Lho"! Pulpenku kurang satu," tanya Bobby sambil memeriksa kotak pensilnya.
"Nih, trims," kata Risa seraya menyodorkan pulpen warna hita kepada Bobby. Bobby
mengambilnya dengan kasar, memandangnya sengit.
"Enak aja ngambil2 barang orang," sahut Bobby pedas.
"Eh! Maling teriak maling," balas Risa panas. "Aku tadi kan udah bilang pinjem, isi pulpenku
udah habis. Pikun ya. Gara2 siapa hayo aku Cuma bawa satu pulpen tiap hari."
"sapa suruh," balas Bobby menjengkelkan namunagak merasa bersalah. Risa capek meladeninya
sehingga ia diam saja. Setelah berdoa dan memberi hormat, murid2 bergegas keluar dari ruangan, Jenny dan Jessy tetap
tinggal di kelas. Mereka mendatangi meja Risa dan Bobby yang duduk dibangku masing2.
"untung sekali kita mau pergi, pelajaran ini bikin stress orang," keluh Jessy seraya meletakkan
tasnya yang berat di atas meja disertai bunyi "duk".
"payah, uangku hampir habis. Tadi buat makan di kantin. Kalau tau bakal jalan2, aku pasti bawa
uang lebih." Ucap Jenny lesu, ikut meletakkan tasnya disebelah tas kembarannya lalu duduk
dikursi terdekat. "pinje uangku aja kalo kurag," sahut Risa memberi solusi sambil duduk berayun2 kedepan dan
kebelakang pada kursinya, sedikit menambah semangat temannya. Diam2 ia teringat kursi
goyang nenek dimana ia suka sekali duduk disana ketika mengunjungi neneknya.
"bener?" Wah trims ya. Kau paling baiiik sedunia," seru Jenny berapi2 memberi pujian selangit.
Risa hanya tersenyum. "baru tau ya," sindir Risa bergurau.
"jangan bilang gitu. Ntar kepalanya jadi besar kayak semangka," kata Bobby memulai. Ia
mengayun kursi Risa mendadak kebelakang kuat2, bermaksud mengagetkan Risa.
"BOBBY! Yang bener dong!" kata Risa marah karena kaget setengah mati. Kedua tangannya
memegang pinggiran meja erat2, kakinya menjejak lantai. Jangtungnya dag dig dug tak karuan.
"sorry. Kalo Jenny yang minta dikasih pinjam kenapa aku enggak" tanya Bobby protes.
"heh"! Memangnya kamu butuh uang" Perasaan kok nggak pernag denger ya" sahut Risa ketus,
masih marah.. "Lagipula Jenny gak minta kok."
Si kembar berpandangan, mengangkat bahu. Rupanya sudah terbiasa dengan perdebatan
semacam ini. "Dasar pilih kasih," kata Bobby mencibir.
"Iya iya. Ampun. Gitu aja kok marah," kata bobby seraya menyikut lengan Risa. Risa
memandangnya sewot. "Jangan lupa ya, bayar bunganya juga," tambah Risa jengkel.
"bunga?" tanya Bobby heran, pura2 tidak paham .
"kenapa nggak bilang dari dulu. Bilang aja, mau bunga apa" Flamboyan, bakung, sepatu, mawar,
kamboja atau anggrek atau..."
Risa memukul dahinya sendiri dengan telapak tangan tanda menyerah seraya menghela nafas
lelah. "Kalian ini mau ngobrol sampai kapan?" tanya Jenny yang sedari tadi bersabar melihat mereka
bertengkar mulut. Sekarang risa memandangnya galak seolah berkata "bukan mauku" sambil
melirik kearah Bobby. Bobby menghentikan ocehannya, merasa bersalah, lalu cepat2 mengambil tindakan.
"ayo deh, pergi sekarang," katanya singkat sambil berdiri dari kursinya, membawa tasnya, diikuti
oleh ketiga temannya. "tapi aku mau2 aja lho dikasih bunga krisan," kata Jessy riang gembira ketika mereka baru saja
meninggalkan kelas, tidak menyadari percakapa sudah berakhir. Bobby, Jenny dan Risa
menghentikan langkah lalu berpaling memandangnya, membuat perasaannya tidak enak. "eh,
anggap saja aku gak pernah bilang."
* "Pesan nasi goreng 2 porsi, gado2 1 porsi, nasi soto 1 porsi dan em.. minumnya 2 es teh dan 2 air
putih," sahut Bobby ke ibu pmilik toko dengan lantang.
"akhirya selesai juga belanjanya," kata Risa yang kelihatan lelah tapi puas sambil mengamati si
kembar yang sedang membandingkan jepit dan ikat rambut yang baru mereka beli.
Mereka memilih tempat duduk ditepi sambil memandang lalu lintas ke luar kaca jendela. Depot
ini salah satu favorit mereka, letaknya disebelah Mall yang baru saja mereka kunjungi,
masakannya tiada duanya dan harganya gak selangit. Bungkusan hasil belanja tergeletak
menggerombol dimeja kosong sebelah mereka. Bobby tidak membeli apa2, hanya melihat2 dan
mengoceh sepanjang waktu.
"hei, lihat! Tuh cewek cakep banget," pekik Jenny bersemangat seraya menghempas2kan salah
satu tangannya secara serabutan dan tangan satunya menunjuk ke seberang.
"mana"mana?"
Ketiga sahabatnya buru2 mengarahkan pandang kearah yang ditunjuk Jenny dan benar saja
cewek, lebih tepatnya murid SMA, dengan seragam yang berbeda dari merekasedang
menyebrang dari arah plasa ke apotik di depannya sambil menenteng tas sekolah dan barang
belanjaan. Rambutnya yang lurus panjang sepinggang dan berwarna kecoklatan melambai2
tertiup angin sepoi, badannya tinggi semampai dengan kulit putih bersinar. Semua itu masih
belum apa2 dibanding dengan wajahnya yang elok, hidung mancung dan bibirnya yang mungil
kemerahan. Benar2 tipe cewek idaman.
Mereka memicingkan mata melihat cewek yang berjalan menjauh itu dan mengamati gerakgeriknya. Setelah seperempat jam cewek itu keluar apotik dan menunggu jemputan.
"oh dia.. kalau tidak salah namanya Anita dari SMA X, orangnya cantik walau sayang bukan
tipeku, tidak pernah terlibat kegiatan organisasi disekolah karena sakit2an, peringkat 1 berturut2
dikelas walaupun bukan juara umum," jawabnya cepat ketika terpandang olehnya kernyit di dahi
teman2nya dan pandangan mereka telah teralih sepenuhnya.
Bibi pemilik toko menyodorkan makanan yang mereka pesan yang disambut dalam diam.
Sebelum Risa dan si kembar tersadar dari kekaguman akan informasi tersebut, sebuah sepeda
motor berhenti didepan cewek itu. Rupanya yang mengendarai adalah seorang remaja pria yang
lebih tua beberapa tahun dari mereka.
"itukah pacarnya" tanya Jessy tertarik yang ditujukan entah kepada siapa sambil memandang
ingin tahu wajah si pengendara namun yang terlihat hanya punggung jaketnya saja.
"itu kakanya yang biasa menjemput," lagi2 Bobby unjuk bicara sambil menyuapkan sesendok
penuh nasi soto kedalam mulutnya. "aku sempat berkenalan dengan kakaknya sewaktu kami
bertemu tidak sengaja di bengkel sepeda motor. Saat itu aku sedang memodifikasi motorku,
rupanya ia juga melakukan hal yang sama. Daripada nunggu lama ya sekalian kuajak ngobrol
tentang motor sekalian tanya tentang adiknya. Tapi hanya nanya kondisinya aja kok, gak lebih."
"kenapa njelasin panjang lebar gitu?" kata Jessy heran.
Pria itu menyodorkan helm kearah si cewek dan meletakkan barang bawaan dengan aman
dikaitan sepeda motornya. Tak lama kemudian kedua bersaudara itu pun pergi dan membuyarkan
lamunan mereka. Dengan lesu si kembar kembali memusatkan perhatiannya pada nasi goreng
yang belum tersentuh. Sementara itu diluar dugaan Bobby bersendawa keras, risa dan si kembar
langsung berhenti dan memandangnya.
"ups, sorry!" kata Bobby sungguh2.
"iuuuhh, jorok banget sih Bob!" tegur Jessy.
"kamu sendiri kadang2 gitu dirumah," sindir Jenny kepada Jessy yang mukanya merah memerah
malu, menggerutu tidak jelas.
"sayang sekali gak ada cewek secantik dan sepandai itu disekolah kita. Begitu berkarakter. Udah
kayak artis aja," kata Risa mengalihkan pembicaraan sambil meneguk minumannya sementara
Jenny mengingatkan Jessy untuk meminum obatnya.
"tapi kita punya cewek yang manis disekolah kita," sahut Bobby mantap sambil memandang
malu2 sahabat didepannya.
Risa tidak menyadari maksud perkataan tersebut karena sibuk mengamati arloji Bobby.
"tentunya itu kita berdua kan," Jessy dan Jenny menjawab spontan dan kompak sambil
mengedip2 genit. Keduanya telah memakai salah satu jepit yang baru dibeli. Mereka tampak geli
sendiri. "habis makan nanti, buruan pulang yuk. Satu jam lagi sudah jam 6 sore," kata Risa menasehati.
Sesampainya dirumah , Risa segera menaiki tangga menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya
diatas kasur berselimut yang empuk dan nyaman. Sayup2 terdengar suara mamanya dari bawah,
"tadi ada telpon dari Evi, katanya kerja kelompok besok diundur lusa."
"trims ma," balas Risa lelah. Dia pasti sudah pulang sedikit lebih cepat kalau saja Bobby tidak
menyarankan untuk berjalan kaki dari depan perumahannyayang langsung, disambut anggukan
setuju penuh semangat dari si kembar. Udara sore segar dan mereka bisa berbincang2 lebih lama.
Tapi bagi Risa yang sudah kelelahan, ini berarti menunda istirahatnya.
"ada kendaraan malah milih yang repot," gerutunya tak habis pikir setelah selesai mengingat.
Ia menatap langit2 kamarnya lalumengalihkan pandang ke sekeliling kamar. Seperti biasa
kamarnya tampak rapi, sinar biasa masuk melalui jendela di sebelah tempat tidurnya menerangi
seluruh kamarnya. Hanya saja jendela itu kini tertutup kelambu biru. Sepanjang dinding
kamarnya tertempel sekumpulan poster grup band penyanyi idolanya.
Ia menatap rindu komputer kesayangannya. Fotonya bersama sahabat2nya tersenyum
memandangnyadari atas meja belajar ditemani seekor boneka kelinci besar yang imut. Di atas
lemari pakaiannya terdapat seekor boneka beruang mungil dalam keranjang yang dibungkus
plastik dan ujungnya diikat pita, hadiah dari Bobby 2 tahun yang lalu.
Mendadak terlintas dalam benaknya bahwa Bobby mungkin menyukainya. Namun, ia heran
sendiri bahwa hal itu sama sekali tidak mengganggunya. Bobby adalah sahabatnya dan akan
menjadi sahabatnya untuk seterusnya. Apapun yang terjadi kelak, tidak akan banyak merubah
hubungan mereka, pikirnya meyakinkan dirinya akan kemungkinan yang bisa saja terjadi
tersebut. Tiba2 ada sesuatu yang lembut bergerak diantara kakinya, tanpa berpikir dua kali ia langsung
bangun dan memberi salam ke anjingnya. "halo Toska," sapanya sambil membelai2 rambut
anjing yang kecoklatan tersebut. Toska balas memandang majikannya dengan penuh sayang lalu
secepatnya keluar dari kamar. Risa sudah melatihnya untuk tidak masuk ke kamar tapi kali ini
Toska hanya ingin menyambut kedatangannya.
Sudah lama sekali, pikirnya, ketika si kembar membersihkan seekor anak anjing kepadanya
sewaktu ia berulang tahun yang ke-12. Sebagai terimakasihnya, ia merawat Toska dengan baik.
Sewaktu Toska berumur 3 bulan, Toska diam2 mulai belajar naik tangga walaupun dengan
perasaan takut. Setelah berhasil berada di puncak, ia tidak berani turun seharian. Untunglah
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibunya menemukannya saat tiba waktunya makan malam. Risa masih tertawa bila teringat
dengan kejadian itu. "yak, mandi dulu baru kerja PR trus makan malam," katanya menyemangati pada diri sendiri.
Risa menuruni tangga dengan tidak sabar. Perutnya lapar sekali. Toska menyambutnya di
undakan tangga paling bawah, bergerak lincah, ekornya berputar seperti baling2. Ayah sedang
bermain tebak2an seru dengan Letty, adiknya, sewaktu ia tiba di meja makan yang bundar
sementara ibunya membagi2kan piring.
"..kalo bahasa inggrisnya "bunga" apa?"
"em..mm.. flora. Eh bukan ya?" kata suara mungil adiknya seraya berpikir keras. Ketika melihat
wajah papanya yang menyiratkan bukan itu jawabannya, letty lalu kembali berkonsentrasi. "apa
ya"em.. flower!"
"betul," sahut ayah mengangguk2 senang. "kalo babi?"
"piglet!" jawab Letty segera, yakin benar 100%.
"whahahaha," tertawa geli. Mama ikut tersenyum geli.
"salah," vonis Risa seraya menarik kursinya, menatap adiknya yang lucu. Rambut Letty
terkuncir menjadi dua, diikat pita merah, diatas kepalanya.
"uuh, kalo gitu apa?" tanyanya penasaran sampai2 mulutnya monyong seperti hidung babi.
"pig. Bukan piglet tapi pig," kata ayah sabar
"oh iya ya. Pig pig," kata Letty pengertian, mengulang2nya setengah berteriak supaya tidak lupa.
"pig,pig,pig." "aduh," pekik Risa lalu mengelus lututnya. Ia melongok ke bawah meja dan melihat sandal
boneka berbulu letty menendang 2 ditengah udara, tadi sempat mengenainya.
"Letty kakinya diem dong," kata Risa menasehati seraya berkacak pinggang. Suaranya
menggema keseluruh ruang makan.
"udah, udah. Ayo makan, ntar keburu dingin," kata mmama mengakhiri permainan.
Mereka mengambil lauk dan nasi sesuai selera dan kebutuhan masing2 sambil mengobrol
sepanjang makan. Seperti biasa Lettylah yang paling menonjol sepanjang percakapan. Setelah 15
menit berlalu, mama menanyakan perihal sekolah kepada Risa.
"Gimana tadi disekolah, ada cerita apa?" tanya mama kepadanya.
"Gak ada ma, biasa aja. Capek, stress mau ujian," jawab Risa dengan mulut penuh. Adiknya
memandang ingin tahu. "nanti habis ujian juga lega," kata ayah. "dulu papa juga gitu."
"kalo Letty, hari ini ngapain aja?" tanya mama, menatap Letty sambil tersenyum manis.
"Letty tadi nyoba ngisi teka-teki silang punya papa," kata Letty dengan senang hati bercerita.
"oh ya?" tanya mamanya kagum, dalam hati senang karena anaknya bbegitu pintar mengingat
Letty baru kelas nol besar. Disebelahnya, Risa menggeleng2 pelan kepalanya, tampak tidak puas.
"Letty bisa?" "He"eh," jawabnya bangga.
"Letty diam2 ngambil dari lemai papa ya?" tanya papa penuh selidik. Rupanya dugaan papa
benar karena anaknya diam saja.
"gakpapa kan pa. Yang penting Letty bisa belajar," kata mama murah hati. "teka-teki silang kan
susah." "memang,"kata Risa unjuk bicara, "tapi Letty ngisinya mendatar trus keatas. Bukannya mendatar
aja atau vertikal aja. Tadi Risa lihat waktu ke kamarnya nyari pulpen warnaku yang ungu."
Mama tercengang, rupanya kemajuan anaknya tidak seperti yng dibayangkan, lalu berkata
paham, "o..". "he he he. Kakak kok tau kalo Letty yang ambil?" tanya Letty yang tidak menyadari
kekeliruannya mengisi teka-teki silang, beberapa butir nasi menempel diujung nulut dan pipinya.
"ya taulah. Dirumah ini sapa lagi sih yang suka ngambil barang tanpa ijiiin," jawab Risa gemas
sambil memencet hidung adiknya.
"uh.."gumam Letty sebal seraya menepis tangan Risa.
"Letty kalo makan, mukanya ikut makan juga," kata papa geli sambil mengambil butir nasi
diwajah Letty. "udah ah. Letty kenyang," kata Letty, melompat turun dari kursi yang cukup tinggi baginya.
"Risa juga udah selesai," kata Risa lalu meneguk habis air minum digelasnya.
Papa masih makan sambil membaca koran sedangkan mama membereskan piring2 yang telah
dipakai. "bujuk adikmu tidur ya Ris," kata ayah minta tolong.
"oke" sahut Risa memandang mereka lalu berucap pada adiknya. "debger kan" Ayo pergi tidur!"
"gak mau ah, Letty masih mau maen," kata Letty jahil.
"kalo masih ggak mau...kakak gelitikin..," ancam Risa, matanya membelalak tajam. Letty hanya
menatapnya tanpa menunjukkan tanda2 mau mengikuti perintahnya. Supaya meyakinkan, ia
menggelitik adiknya tanpa ampun. "wau.."
"kyaa kya kya," jerit Letty menggeliat2 geli lalu berlari terbirit2 ke kamar. "beres" gumam Risa
menghela nafas, kedua tangannya bersilang didepan dada, tampak sangat ahli dengan urusan
seperti ini. Risa menaiki tangga menuju kamarnya didampingi Toska yang melompati tangga dengan lincah,
mengantarnya sampai didepan kamar.
"selamat tidur Toska," katanya sebelum menutup pintu kamar.
Perutnya kenyang sekali. Dengan puas ia menggosok gigi sebelum tidur lalu menghenyakkan
diri ditempat tidurnya. Karena letih seharian beraktivitas, tak lama kemudian ia sudah tertidur.
TIGA SEKAWAN Satu bulan yang menegangkan dan menguras tenaga telah berlalu. Sekolah berakhir di pagi hari
karena hari ini merupakan hari terakir ujian. Murid2 tidak pernah terlihat secerah dan selega ini.
Di sela2 hiruk pikuknya murid yang sibuk mendiskusikan soal ujian, mengira2 hasil rapor,
merencanakan akhir pekan atau liburan mendatang, Risa menunggu ketiga sahabatnya di dekat
lapangan parkir. Mereka berencana untuk menghabiskan sisa waktu hari itu bersama-sama. Lalu muncullah si
kembar, keduanya menggunakan sumpit khusus rambut untuk menggelung rambutnya, tampak
bersemangat. Jenny melambaikan tangan dari kejauhan. Jessy rupanya belum sarapan karena dia
membawa bekal di tangan. "Bobby belum datang", kata Jessy seraya memandang berkeliling. Tangannya membuka bekal,
mengambil sepotong roti lapis susun tiga dari dalamnya dan mulai melahapnya.
"hari ini mau ngapain?" tanya Risa mencari ide.
"hm... aku pengen beli ice cream, beli coklat sama kue, jalan2 di Mall, makan siang, maen
internet, pergi ke toko buku, berenang, minjem VCD atau nonton bioskop juga bisa," jawab
Jessy menggebu-gebu. "seminggu baru nyampe rumah kalo gitu critanya," sahut Risa.
"aku sih pengen pinjam komik buuaaaanyak di perpustakaan dekat rumah," kata Jenny mantap
seraya merentangkan tangannya, rupanya berusaha menjelaskan seberapa banyak yang dimaksud
itu. "kalian bisa membaca dirumahku kalo gitu. Aku mau menunjukkan hamster mini,kukasih nama
Taro,baru beli kemarin. Eh kebetulan! Nyokap mau bikin kue,nih ada daftar belanjaanbut
bahan2nya,"seru Risa ceria disertai tatapan mata berbinar-binar dari si kembar.
"setuju! Makan kue sambil baca komik, pas banget. He he he," kata Jenny dengan sorot mata
jahil. "wow hamster! Pasti lucu banget,coba kalo kita punya peliharaan ya,"ujar Jessy prihatin
memandang saudaranya. "orang rumah gak bakal mbolehin, belum lagi ngerawatnya bikin repot. Mending gak punya,
percaya deh,"kata Jenny pengertian.
"lagipula binatang bisa nyebarin virus ganas,"sahut Risa menakut-nakuti. "coba liat deh,
contohnya ada virus SARS, ada juga virus flu burung. Hayo, berani?"
"beneran?" tanya Jessy kaget.
"o beneerrr," Risa dan Jenny menyahut bersamaan,tampak meyakinkan.
Jessy menyipitkan mata memandang mereka tidak yakin, alisnya terangkat, namun akhirnya
menghela napas. Ia menunduk, tampak kecewa. Jenny dan Risa saling lirik. Jenny berbicara
dalam bahasa mulut yang berkata "oke" kepada Risa. Jessy tiba2 mendongak, membuat mereka
berdua buru2 melihat kearah lain.
"Lho! Toska apa nggak cemburu?" tanya Jessy yang sudah kehilangan minat mempunyai
binatang peliharaan kepadanya.
"nggak tuh. Toska malah tertarik, duduk manis didepan kandang Taro. Mungkin baru kali ini
melihat hamster," kata Risa menjawab pertanyaan Jessy yang aneh menurutnya.
Saat itu, Bobby menyeruak diantara kerumunan dan berlari menghampiri mereka.
"oh ini dia yang kita tunggu2!" kata Jenny dengan pandangan agak simpati.
"um.. sorry.. gak bisa.. ikut.. kalian. Ada.. pertandingan... sepakbola.. mendadak," sengal Bobby
putus2. Tampaknya ia berlari secepat yang dia bisa untuk menemui mereka, keringat mengalir
dari dahi membasahi pelipis. Setelah mengatur napas ia baru bisa berbicara dengan lancar.
"anak2 rupanya beranggapan hari ini harus dirayakan, karena itu diadakan pertandingan
sepakbola dan aku ikut dalam tim. Kalian bisa ikut menonton."
Sementara Risa, Jenny dan Jessy saling pandang. Mereka bertiga suka menonton pertandingan
basket dan voli tetapi tidak dengan sepakbola. Bagaimanapun juga mereka kurang memahami
permainan itu. "ng.. ada yang harus kami kerjakan," jawab Jessy berbohong. "kalau begitu sampai besok."
"besok kita kumpul lagi," kata Risa.
"baiklah kalo begitu, sampa juma!" balas Bobby nyengir.
Ia secepat kilat mengambil sepotong roti dari kotak bekal yang terbuka ditangan Jessy, yang
tampak kaget dan hendak mengatakan sesuatu namun terhalang mulutnya yang penuh, lalu
berlari kembali menyusul gerombolan teman2nya.
"pergi sekarang?" tanya Jenny sambil menggandeng lengan sahabatnya dan perlahan menuju
pintu gerbang. Sementara mereka berjalan ke pintu gerbang, murid2 sudah berkerumun ditepi lapangan
sepakbola. Semuanya tampak tak sabar dan ingin memberi semangat pada grup yang diidolakan.
Para pemainnya yang sudah tiba di lapangan melakukan pemanasan selagi menunggu teman
yang lainnya. Di perbatasan pintu gerbang, Risa memberi salam pada pak satpam.
Hari ini tidak sepanas biasanya,langit berawan dan cuacanya cerah. Mereka memutuskan untuk
membeli bahan2 di toko khusus makanan untuk membuat kue sekaligus membeli camilan untuk
dirumah. Toko ini merupakan satu2nya toko makanan terlengkap di daerah tempat tinggal
mereka. Terdapat berbagai bahan untuk membuat kue dan memasak, buah2an, hiasan untuk tart
hingga menyediakan peralatan memasak. Jessy dan Jenny membeli keju untuk bahan isi roti,
mentega, susu, sereal serta buah pir. Setelah selesai belanja, Risa menunggu diluar toko sedang si
kembar sedang memakan ice cream untuk dinikmati dalam perjalanan pulang.
Risa mengamati lalu lalang kendaraan di depannya sambil mengingat-ingat apakah ia sudah
membeli semua bahan yang diperlukannya. Ibunya menerima pesanan kue, Risa sering
membantu. Saat itu trotoar sepi, ia melihat murid2 sedikit lebih muda dari usianya melintas. Pasti
mereka juga sudah selesai ujian, pikirnya. Lalu pandangannya teralih di tikungan jalan tak jauh
dari tempatnya menunggu, sekitar 2 meter, 2 orang ibu2 sedang melihat-lihat etalase toko sambil
mendiskusikan sesuatu. Seseorang diantaranya menggendong bayi mungil beranting.
Lalu perhatiannya teralih pada seorang anak laki2 yang muncul dari balik rok ibunya sambil
menggenggam botolkecil air sabun. Ia mulai meniup dan membuat gelembung sabun beterbngan
di udara. Anak itu memekik kegirangan, meloncat-loncat senang, kadang menyentuh bola
sabunnya dengan tangan atau sepatu sehingga pecah di udara. Dilihat dari seragam dan topinya
kelihatan masih TK, Risa menyimpulkan, dalam hati merasa iri bisa main gelembung sabun
dengan gembiranya. Lalu mendadak topi yang dipakainya menggelinding diantara lalu lalang kendaraan ke sisi jalan.
Anak itu menarik-narik rok ibunyauntuk mendapatkan perhatiannya namun ibunya terlalu sibuk
berbicara. Anak itu mulai menggapai-gapai topinya ke tepi jalan. Ini mulai gawat, pikir Risa
sambil memandang sekitarnya. Saat itu lampu lalu lintas merah tapi ini tikungan tajam.
Kendaraan bisa lewat setiap saat dan pasti tidak sempat mengerem karena pandangan terhalang.
Tanpa pikir panjang, Risa berlari kearah anak yang sekarang sudah berada ditengah jalan,
menjulurkan tangannya dan menangkap anak tersebut. Detik berikutnya terdengar bunyi klakson
mobil, suara rem yang nyaring. Risa otomatis mendorong anak itu kesebrang tanpa ragu. Mobil
pertama yang melaju dari arah tikungan sempat berhenti tapi mobil dibelakangnya yang berusaha
menyelip dengan kecepatan normal sama sekali tidak menuga apa yang ada di depannya.
Melihat mobil yang meluncur ke arahnya, dalam detik terakhir Risa memejamkan mata ngeri.
Tabrakan tidak bisa dihindari, ia merasa dirinya terlempar. Saat Risa terhempas di tanah, ia
sempat mendengar tangis anak itu dan teriakan orang disekelilingnya termasuk jeritan ngeri
memekakkan telinga Jessy dan Jenny. Lambat laun suara itu terdengar menjauh, pandangannya
kabur lalu sunyi. "bagaimana kejadiannya?" tanya Bobby mendesak, ekspresinya kaget bercampur khawatir
sampai2 wajahnya pucat seputih dinding.
Bobby datang kerumah sakit tiga setengah jam kemudian setelah sebelumnya mendapat telpon
dari Jenny. Ia masih mengenakan pakaian sepakbolanya yang kotor dan basah oleh keringat. Ia
bersama Jenny berdiri didepan kamar tempat dimana Risa sedang diperiksa. Orang tua Risa ada
didalam bersama dokter. Jenny menjelaskansemampunya karena ia terus terisak mengingat kecelakaan tadi. Walaupun
begitu, Bobby mendengarkan dengan penuh perhatian. Bobby memperhatikan bibir Jenny yang
berdarah. Rupanya Jenny sangat ketakutan sehingga tidak menyadari telah menggigit bibir
bawahnya sendiri. "apakah lukanya parah?" tanyanya.
"oh Bob. Kamu nggak melihat sih. Parah banget. Darahnya menggenang dimana-mana. Risa
sama sekali nggak sadar waktu dibawa kesini. Aku takut banget," kata Jenny dengan suara parau.
Bobby terdiam lama. Dia tidak sanggup memikirkan yang terburuk. Ia mondar-mandir,
memandang sekeliling dengan tidak fokus. Tangannya mengepal kencang.
"dokter belum mengatakan apa2?" tanyanya kemudian.
"belum. Dari tadi masih sibuk memeriksa Risa," kata Jenny mengusap air matanya.
"kalau begitu keadaannya belum pasti," gumam Bobby aalalu menyadari Jessy tidak ada.
"dimana Jessy?"
"pulang. Aku menelpon ibu untuk menjemputnya. Kelihatannya ia butuh istirahat. Jantungnya
pasti shock tadi. Aku langsung cepat2 menyuruhnya minum obat dan berkali-kali
meyakinkannya bahwa Risa tidak akan apa2," jelas Jenny. Matanya merah bengkak.
"bagaimana dengan orang yang menabraknya?" tanya Bobby geram.
"sudah dibawa ke kantor polisi. Walaupun sepenuhnya bukan kesalahan orang itu namunkurasa
ia akan ditahan atau didenda," jawab Jenny. Wajahnya sekarang sangat marah.
Dua puluh menit kemudian, pintu kamar terbuka. Dokter keluar diiringi suster. Bobby dan Jenny
masuk kedalam. Ibu Risa rupanya menangis tidak terkendali, rambutnya acak2an, tindakannya
gelisah, tangannya meremas-remas bajunya. Penampilannya kacau seakan habis dirampok. Ayah
Risa berdiri sambil merangkul bahu istrinya, memandang anaknya dengan sangat cemas.
Matanya merah, berkali-kali menekan wajahnya dengan telapak tangannya yang lebar, tak
sanggup berkata-kata. Jenny memekik. Bobby melihat Risa terbaring dengan gips di sekeliling lehernya. Kepala Risa
dibalut perban tebal. Darah rupanya terus merembes keluar mewarnai perban putih. Tubuhnya
lecet dan luka2 di banyak tempat. Bobby memejamkan mata sejenak, tidak sanggup melihat
pemandangan ngeri dihadapannya. Matanya terasa berair pedih. Baru saja ia bersama Risa, tahu2
Risa sudah dalam keadaan begini.
Orangtua Risa melihat kedatangan mereka dan mengangguk. Jenny mendekati ibu Risa.
"bagaimana keadaannya tante?" tanyanya takut.
"tante juga tidak tahu," katanya terisak tidak tahan lalu memeluk Jenny.
"dokter akan mengoprasinya beberapa jam lagi.luka di kepalanya harus dijahit, sebelumnya
mereka harus mendapatnya foto rontgen tengkorak Risa," kata ayah Risa memberi penjelasan.
Rupanya ia sudah menguasai diri dan pasrah kepada tuhan dan pengobatan RS.
"dia tidak patah tulang kan?" tanya Bobby ngeri. Bobby pernah melihat beberapa temannya yang
tulangnya patah akibat kecelakaan sepeda motor.
"entahlah," kata ayah Risa menggelengkan kepala. "kelihatannya ada beberapa tulang yang
terkilir tapi tidak sampai patah. Yang paling mengkhawatirkan adalah gegar otak di belakang
kepalanya." "gegar otak?" ulang Bobby luar biasa kaget.
"ya. Ia pasti tidak dapat menahan jatuhnya. Gegar otak berat, membuatnya koma. Bila sembuh
pun banyak kemungkinan yang bisa terjadi," jawabnya sambil susah payah menelan ludah.
"lalu setelah dioperasi, ia akan sembuh?" tanya Jenny memandang pasangan suami istri itu
bergantian. "kemungkinan yang terburuk ia bisa lumpuh, hilang ingatan atau kurang dapat memaksimalkan
fungsi otaknya, begitu kata dokter, mengingat sarafnya terluka. Operasi ini akan sangat
menentukan kesembuhannya," kata ayah Risa getir.
Mereka terdiam seolah menunggu keajaiban. Bobby ingin melakukn sesuatu. Ia tidak tahan tidak
bisa berbuat apa2 . namun ia hanya bisa pasrah seperti yang lainnya. Andai saja tadi ia ikut
bersama ketiga sahabatnya, mungkin hal ini bisa dihindari. Namun takdir sudah ditentukan
tuhan. Ia hanya bisa berdoa dan berharap. Kelak ia berjanji akan menebus ketidakmampuannya
saat ini kepada Risa. Bobby, Jessy dan jenny datang mengunjungi Risa sehari setelah dia dioperasi. Kedua orang
tuanya memberitahukan bahwa Risa belum boleh dijenguk. Ia masih belum sadar. Mereka
bertiga saling memandang cemas. Mereka pulang dengan patah semangat karena keadaan Risa
tidak menunjukkan tanda2 kemajuan.
Hampir setiap hari dalam seminggu pertama Risa dirawat di RS, mereka datang menjenguknya
sepulang sekoah. Orangtua Risa memberitahukan kepada mereka bahwa dokter tidak bisa
memperkirakan kapan Risa akan sadar. Entah ini pertanda baik atau buruk. Namun mereka tetap
datang menjenguk, lagipula tahun ajaran akan segera berakhir. Disekolah hanya ada
pertandingan olahraga antar kelas. Dua minggu lagi mereka akan menerima rapor lalu mulai
libur. Beberapa minggu kemudian, mereka benar2 putus asa karena Risa tampaknya tidak akan
bangun. Hal yang sama dirasakan oleh orang tua Risa. Sulit rasanya hanya bisa menunggu dalam
semua ketidakpastian. Dokter mengatakan bahwa kondisi ini bisa berlanjut sampai lama.
Mungkin sebulan, setengah tahun atau satu tahun. Tidak ada yang tahu. Harapan kesembuhan
Risa sangat tipis. Si kembar sudah lama mengenal keluarga Risa. Terkadang Jessy dan Jenny datang menjenguk
disertai orangtua mereka. Sementara itu, Risa tidur dengan tenang, wajahnya terlihat segar walau
agak pucat. Mereka berharap suatu saat nanti Risa hadir kembali di tengah2 mereka.
KENYATAAN YANG MENANTI Risa merasa dirinya telah lama tertidur, ia mendengar suara desau angin yang kenang di kedua
telinganya. Dirinya bagaikan melayang di tengah pusaran angin di sekitarnya. Rasanya begitu
tenang dan nyaman. Dia tidak bisa berpikir atau mengingat apa2 kecuali bertanya pada dirinya
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri apakah ia sudah mati. Herannya ia sama sekali tidak takut karena perasaan yang
dialaminya sekarang begitu tenang.
Ia melihat segalanya berwarna putih dan ada bayangan seseorang di hadapannya. Risa membatin,
agak ngeri, "siapa" Kamu siapa" Aku mengenalmu?" Namun sosok itu diam saja.
Risa tidak bisa melihatnya dengan jelas, hanya berupa bayangan gelap seseorang yang diam tak
bergerak. Tiba2 saja sosok itu lenyap. Segalanya serba putih sekarang. Ia tidak tau harus
melakukan apa. Sampai kapan dia harus diam dalam kesunyian seperti ini. Maka Risa berusaha
bangun tapi gagal. Ia mencoba lagi dan lagi.
Risa membiasakan dirinya dengan apa yang dilihatnya, memastikan bahwa yang dilihatnya ini
nyata. Sekujur tubuhnya terasa berat dan lemah, ia merintih dan mendengar suara berat
seseorang tak jauh darinya.
"kau sudah sadar" Baik2 saja" Apa yang kau rasakan?"
Risa menolehkan kepalanya perlahan kearah suara itu, ia tidak menyadari kehadirannya
sebelumnya. Pria itu menghampirinya tergesa-gesa lalu menyeka keringat dingin di wajahnya,
ekspresi wajahnya cemas. Risa membiasakan diri sebentar, setengah bermimpi. Ia belum mati,
pikirnya. "Minumlah sedikit," kata suara tadi membujuk.
Tubuh Risa serasa agak terangkat dan bibirnya menyentuh permukaan gelas yang dingin. Risa
meneguk air yang diberikan padanya, merasa lega, perlahan ia sadar sepenuhnya. Seorang pria
muda bertubuh jangkung meletakkan segelas air ke meja disebelahnya, rambutnya agak acak2an
lalu seorang pria setengah baya berkacamata persegi muncul mendatangi kearahnya.
"dia sudah sadar Yah," kata pria yang pertama dilihat Risa.
"oh syukurlah," sahut pria setengah baya kepada pria muda itu lalu memeluk Risa. "kau baik2
saja anakku" Ayah khawatir sekali, sudah dua hari kau tidak sadarkan diri. Katakan saja apa
yang kau butuhkan, akan kuambikan."
"aku dimana" Apa yang terjadi?" tanya Risa pelan dan sadar bahwa suaranya terdengar lain dari
biasanya. "rumah sakit. Kau tiba2 pingsan saat tiba dirumah dengan basah kuyup. Ayah menyuruh kakak
untuk menjemputmu tapi kau sudah pulang dari sekolah lebih dulu. Pastinya kau tak menyangka
akan hujan deras. Dasar bandel! Kemarin baru saja cuci darah. Nah istirahatlah dulu, kau pasti
lelah," katanya ramah sambil tersenyum.
Risa mengangguk paham tapi ia tidak ingat apa2 dan bagaimana dia bisa pingsan. Semuanya
terasa asing, kedua pria di dekatnya sama sekali tidak dikenalnya. Dia memandang mereka
bergantian dengan pandangan menilai. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali ayahnya sendiri"
Ia mendengarkan percakapan dalam bisikan kedua pria itu selagi ia berpura-pura tidur namun
sedang berfikir keras mengingat sesuatu yang dapat membantunya. Belum pernah perasaannya
sekalut itu. "viko, ayah tadi bertemu dokter Hasan. Ia mungkin bisa sadar kali ini namun tidak ada lain kali.
Kalau saja ada yang bisa kulakukan, ia putriku satu2nya, mirip sekali dengan ibunya. Ayah
bingung..." suaranya menghilang dalam isak tertahan.
"sudahlah Yah. Kita tahu hari ini bisa terjadi kapan saja. Yang penting kita sudah melakukan
yang terbaik dan membahagiakannya. Tuhan masih memberi kita satu kesempatan. Aku paham,
Anita anak dan adik yang baik. Kita tidak ingin kehilangan dia."
Hah"! Tunggu! Tunggu dulu! Anita" Aku Anita" Aku bukan Anita. Aku.. aku.. namaku.. ia
berkonsentrasi susah payah, dahinya mengernyit tegang, menahan nafas. Aku R...R..Rr..Rr...
"Risa!" Risa terkejut tanpa sadar menyebut namanya sendiri, matanya terbelalak, nafasnya
tersengal-sengal. Kedua pria tersebut menoleh, mengerumuni tempat tidur tempatnya terbaring.
"ada apa nak" Kau kenapa" Aku akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu. Viko,
kau temani dia ya?"kata sang ayah. Viko mengangguk, perlahan duduk di kursi disamping Risa.
Risa berusaha mengingat lebih banyak tapi ia hanya bisa mengingat namanya saja. Dia yakin
bahwa ia bukan Anita. Tapi kenyataan akan dirinya yang tidak mengingat segala hal tentang Risa semakin
membingungkannya. Dia merasa terperangkap alam tubuh orang lain dan tidak bisa mengetahui
dirinya yang sebenarnya. Mereka akan menyangka aku gila kalau aku menyangkal bukan Anita,
pikirnya. Bagaimana ini. Apa yang terjadi. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi. Dimana
Anita yang asli. Apa aku sudah gila atau hilang ingatan.
"kenapa Tata?" panggilnya, "mau cepat pulang?"
"kak, ada cermin gak?" tanya Risa sangat panik.
"bentar, kalo gak salah ada dilaci," kata Viko sambil menggeledah laci susun tiga disbelahnya.
"ini" Risa mengambilnya, mengangkatnya sampai sejajar dengan wajahnya dan terpekik kaget. Wajah
yang balas memandangnya dari cermin sangat asing. Tangannya mulai gemetar. Ia meraba
wajahnya dengan tangan kirinya.
Bagaimana ini. Kenapa dia sama sekali tidak mengenali wajahnya. Bukan . ini bukan diriku,
pirkirnya. Memang, dia tidak ingat apa2. Tapi ia punya perasaan akan bayangan dirinya yang
samar2 yang jelas berbeda dengan perempuan dalam cermin ini.
"nggak jelek2 amat kok," hibur kakaknya begitu melihat ekspresi wajahnya.
Tanpa bisa berpikir lebih jauh, kepalanya pening. Risa mendongak memandang kakaknya atau
yang mengaku sebagai kakaknya. Ia merengkuh tangan kakaknya, menggenggamna erat2 seakan
mengharap dukungan. Kata2 yang ia tanyakan berikutnya sama sekali lain dari apa yang
dipikirkannya. "Viko, ibu.. dimana?" tanya Risa seraya mengedarkan pandang keseluruh ruangan tanpa
menyadari ekspresi terkejut kakaknya. Setidaknya dia bisa berkonsultasi dengan sesama
perempuan, dia akan lebih dimengerti, harapnya.
"apa?" tanya Viko bingung. "kau pasti bermimpi bertemu dengannya tadi. Kau selalu berharap
bisa bertemu dengannya. Aku tidak mengerti kenapa kau bisa mewarisi penyakit leukimia ibu."
Risa melongo memandang Viko. Dirinya semakin bertambah bingung.
"oya, ini pertama kalinya memanggil namaku, Ta. Wah wah.. gak sopan nih anak," lanjutnya
kemudian buru2 menambahkan , "bercanda lho! Pengen lebih akrab nih ceritanya.."
Apa" Leukimia" Jadi ibunya sudah meninggal" Terlebih lagi dia sendiri akan meninggal"
Jawaban ini lebih mengejutkan dari semua yang ia alami sampa tidak bisa berkata-kata atau
melakukan hal lain. Siapa dirinya tidak lagi penting sekarang, mengingat ia akan meninggal. Apa
maksud semua ini. Risa sibuk berpikir sehingga tidak benar2 memperhatikan ucapan Viko.
Untung saja perhatian kakaknya teralih dengan kedatangan dokter keluarganya menunggu diluar
sementara Risa diperiksa dan diberi suntikan pengurang rasa sakit. Risa memanfaatkan waktu ini
untuk bertanya sejelas-jelasnya kepada dokter.
"bagaimana keadaan saya dok?"
"kau beruntung bisa selamat kali ini. Ini keajaiban. Aku sama sekali tidak menyangka. Tuhan
rupanya memberimu kesempatan," katanya terus terang, tampak takjub.
"maksud dokter?"
"kadang prediksi dokter bisa saja salah. Semua tergantung "yang diatas". Kamu tidak ingn
dirawat untuk jangka panjang?"
"dirawat" Tapi saya merasa baik2 saja."
"memang, kelihatannya kondisi tubuhmu membaik dengan cepat. Tapi cepat atau lambat kau
harus dirawat disini,"katanya memberi pendapat selagi memeriksa detak jantung Risa.
"ayahmutelah berusaha keras mengobatimu sejak hampir sepuluh tahun yang lalu begitu
mengetahui penyakitmu. Dan kamu berhasil bertahan hingga sekarang. Dia benar2
menyayangimu." Risa tidak tahu ia harus gembira atau bagaimana mendengarnya, jadi ia memaksakan diri
tersenyum. Sepuluh tahun.. sepuluh tahun.. Risa tidak menyangka ada orang yang mengidap
leukimia sampa sepuluh tahun. Bukankah kebanyakan penderitanya berumur pendek"
"lalu.. sampai kapan saya bisa bertahan dok?" kata Risa berbesar hati, "katakan sejujurnya, aku
tidak keberatan, toh aku mengidap penyakit ini sudah lama."
"yah.. asal minum obat tepat waktu, rajin check up, cuci darah, istirahat cukup, kamu pasti bisa
bertahan," jelas dokter.
"sampai berapa lama?" desak Risa, gelisah membayangkan dirinya harus menjalani serangkaian
petunjuk dokter. "baiklah, aku tidak bisa berbohong. Kita sudah lama mengenal. Anita, jujur saja, bisa satu bulan,
dua bulan, tiga bulan. Tidak ada yang tau pasti, tergantung daya tahan tubuhmu," jawab dokter
dengan enggan. "APA?" kata Risa otomatis, nada suaranya jelas2 terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka
hidupnya bakal sesingkat itu. Wajah Risa murung. Hanya beberapa bulan" Cepat sekali...
"dengar Anita, kamu tidak boleh bepergian tanpa ditemani seorang keluarga atau teman," saran
dokter bertampang gemuk itu selagi suster sedang memeriksa tensi darahnya. "kamu tidak tau
betapa paniknya ayah dan kakakmu sewaktu mereka membawamu kesini."
"kapan saya boleh pulang?" tanyanya sopan.
"sebenarnya kamu tidak boleh pulang. Tapi ayahmu berkeras ingin membawamu pulang," nada
suara dokter itu sangat tidak setuju. "kamu yakin tidak ingin dirawat disini?"
"tidak," jawab Risa tegas. Ia ngeri bisa membayangkan dirinya terkurung selama sisa hidupnya
di RS seperti narapidana. "jadi kapan saya boleh pulang dok?"
"setidaknya tunggulah sampai besok lusa," katanya singkat sambil bersiap meninggalkan
ruangan diiringi suster di belakangnya. "Jaga dirimu baik2."
Risa bertanya-tanya dalam hati apa yang harus ia lakukan. Tuhan pasti mempunyai maksud
tersendiri dibalik semua ini. Risa tidak marah atau menolak menerima kenyataan. Tidak ada
waktu untuk memikirkannya, sia-sia.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya memanfaatkan hidupnya yang terbatas ini bersama
orang2 yang sama sekali baru baginya. Lagipula kelihatannya mereka orang baik. Aku harus
tegar, sebisanya tidak merepotkan dan membuat keluarga ini khawatir, putusnya mantap. Tak
lama kemudian, ayah dan Viko muncul.
"syukurlah kau sudah sadar. Ayah pamit pulang dulu, kakakmu berkeras menjagamu sendiri
malam ini. Lusa ayah akan mengantarmu pulang," ujar ayahnya sambil mengecup lembut
keningnya dan membelai rambutnya.
"tenang saja Yah, besok ayah masih harus kerja kan," sahut Viko pengertian.
"pulanglah Yah, aku baik2 saja," balas Risa, berusaha tersenyum menenangkan.
Ayahnya dengan berat hati meninggalkan ruangan diantar Viko. Risa akan merasa terharu
melihat dirinya begitu diperhatikan kalau saja tidak sedang pusing memikirkan kejadian ini.
Tentu ia tahu bahwa Anitalah yang sebenarnya mereka pedulikan. Tetapi kenyataan bahwa
mereka hidup tanpa seorang ibu ditambah putri yang sakit-sakitan seolah memberi kesedihan
berlarut-larut dalam keluarga ini, membuatnya tidak tega.
Risa merasa kaku dalam keheningan di ruangan itu, bagaimanapun juga ia tidak mengenal
mereka. Malam ini terasa amat panjang. Risa bermalam ditemani kakaknya. Ia tidak tahu
bagaimana hubungan Anita dengan kelurarganya sehingga ia bingung hendak berkat a apa.
Risa lebih tidak mengerti akan kondisi tubuhnya yang terasa nyeri seakan ada memar-memar
yang tidak terlihat. Ada apa sih dengan badan ini, pikirnya sebal. Viko muncul kembali ke
kamarnya, kelihatan lega, sambil memijat-mijat pundaknya yang pegal.
"akhirnya aku berhasil membujuk ayah untuk pulang," kata Viko yang sekarang duduk di tempat
tidurnya, berusaha membetulkan sandaran Risa.
Keadaan hening kembali. Setelah melihat adiknya tidak berkomentar atau hendak berbicara,
maka Viko melanjutkan obrolannya.
"maafkan kakak, Ta," kata Viko seraya memeluk adiknya, Risa membiarkan dirinya dipeluk
walaupun hal ini diluar kemauannya. "kalau aku bisa menjagamu dengan bak, tentunya kamu
tidak akan berada disini. Kakak merasa saangaat menyesal. Kakak takut sekali melihatmu,
mengira tidak ada kesempatan untuk meminta maaf padamu."
Risa yang masih dalam pelukan erat kakaknya, bingung harus berkata apasehingga ia
menanggapi tanpa berpikir terlebih dahulu.
"ng.. itu..sebenernya..eh.." kata Risa salah tingkah lalu cepat-cepat menutupi kecanggungannya.
"sudahlah, tidak apa-apa."
"hm..baiklah, yang penting kamu sudah sehat. Kakak sangat bersyukur," kata Viko sambil
melepas pelukannya, kembali menegakkan diri. Viko memegang kedua lengan Risa, sedikit
mengguncangnya sambil berkata serius, "berjanjilah padaku! Kau tidak akan bertindak ceroboh
lagi. Paham?" "baik," jawabnya patuh, mengira-ngira tindakan ceroboh apa yang bisa dilakukannya di
kemudian hari. "nah, lebih baik kamu tidur sekarang," kata Viko mengakhiri percakapan, mencium dahinya
sekilas. Viko merapikan selimutnya, menyuruhnya tidur lalu berjalan ke jendela dan menyibak tirainya.
Diluar langit sudah gelap, kakaknya berdiri termenung menatap ke bawah dibalik jendela. Risa
belum pernah mengamati kakaknya sejelas ini. Ia memandang bayangan Viko yang terpantul di
jendela. Tubuhnya jangkung dan tegap, tangannya kekar dan kuat, rambutnya hitam lurusnya agak
panjang, matanya kadang menyorot sedih. Apakah ia percaya kalau aku mengatakan bahwa aku
bukan adiknya. Bukankah hal itu justru membuat Viko bertambah khawatir.
Aku harus melupakan diriku sementara ini, pikirnya serius. Tapi Risa merasa bersalah begitu
teringat bahwa ia berada dalam tubuh Anita dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Dimanakah
Anita" Apakah Anita sudah meninggal" Apakah keluarganya akan menyadari bahwa ia bukan
Anita" Apakah yang sebenarnya terjadi padanya" Mengapa ia tidak ingat tentang dirinya" Lalu
bagaimana dengan keluarganya yang sebenarnya" Risa berusaha tidak mengiraukan pertanyaanpertanyaan yang tidak akan pernah terjawab ini. Dia sadar bahwa ia merasa kesepian, taakut dan
terasing saat itu. Tanpa terasa ia menguap lalu memejamkan mata, berharap ketika terbangun nanti, ia sudah
kembali ke tempat aslinya.
*** Risa terbangun tepat saat makan pagi, Viko membantu menyuapinya didampingi suster yang
mengawasinya. Risa sama sekali tidak senang dengan makanan RS yang mencakup bubur,
sebutir bola daging berukuran kecil, telur rebus dan sayur. Semuanya sudah ditakar terlebih
dahulu, porsinya sedikit dan rasanya tawar.
Risa ingn sekali tidak menghabiskan makanan itu walaupun ia lapar sekali. Andai saja susternya
tidak memandanginya penuh senyum seakan dia anak yang manis dan penurut, pikirnya kecewa.
Setelah selesai menyantap telurnya, suster membawa piring makanannya. Risa malah merasa
lebih lapar dari sebelumnya.
"Viko, eh Kak," panggil Risa ragu-ragu.
"gakpapa kok, panggil Viko aja kalo kamu lebih suka gitu," jawab Viko.
"ng..sekolahku gimana?" tanya Risa khawatir.
"tahun ajaran baru sebulan lagi dimulai. Tapi ayah sudah memberi tahu kepala sekolahmu kalau
kamu udah berhenti," kata Viko. "kamu bisa istirahat dirumah, kalau bosan ya jalan-jalan yang
deket-deket aja. Tapi kalo mau pergi kemana ntar kakak temenin deh."
"oh.." gumam Risa. Syukurlah, pikirnya, ia terhindar bertemu teman-teman dan guru yang tidak
ia kenal. "berarti nganggur dong!" sahutnya kemudian, tak percaya. Ia bisa tidur dan bangun
sesukanya, melakukan apa saja yang diinginkan.
Begitu bebas tanpa takut ada yang melarang. Ini sesuatu yang hebat atau malah mengerikan
baginya. Viko geli mendengar komentarnya ini.
"nggak juga, kamu bisa bantu kakak ngerjain tugas atau bantu ngetik atau bantu bik Ti di dapur.
O iya aku lupa, kamu kan sama sekali gak bisa masak. Hua ha ha."
"huh, maunya," sahut Risa ketus setengah bercanda.
"ngambek niihh. Anak mnja bisa ngambek juga. Berarti sudah sehat dong sekarang," gurau
Viko. "Lho"! Mau kemana?"
Risa menegakkan tubuhnya, kakinya turun dari tempat tidur.
"kamar mandi," jawab Risa singkat.
Ia berjalan, awalnya agak terhuyung namu Viko segera membantu menuntunnya hingga kedepan
pintu kamar mandi. "udah, kakak tunggu diluar aja!" kata Risa tegas.
"ntar kalo ada apa-apa, pencet bel di dalam ya."kata Viko.
Sebagian kata-katanya teredam bunyi pintu yang setengah di banting.
"aku bukan anak kecil tau! Udah sembuh kok!" gerutu Risa dari dalam kamar mandi.
Tertatap olehnya cermin besar di kamar mandi. Cantik! Cantik sekali perempuan ini, yang tentu
saja ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Matanya balas memandangnya teliti dari cermin.
Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya terurai panjang, agak kusut.
Dia terus mengamati dirinya sendiri di cermin selama beberapa saat sampai akhirnya dia
mengulurkan sebelah tangannya sampai menyentuh cermin. Sejenak telapak tangan kananya
terlihat bersentuhan dengan telapak tangan dicermin. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu tanpa
terasa ia bergumam pada sosok di cermin itu,
"halo!" Mau tak mau Risa teringat sepotong kalimat ayahnya yang didengarnya kemarin lusa. "..ia mirip
ibunya.."Risa melnjutkan,
"kau mirip sekali dengan ibumu," tangannya sekarang berada seakan sedang membelai rambut
sosok dalam cermin, tanpa sadar ia tersenyum sedih, yang dibalas senyum sosok itu. Inilah
Anita, katanya dalam hati. Hatinya terasa pedih dan merana.
"kau harus memberiku kekuatan. Terus terang, apakah kau tau saat ini aku sedang sangat
gelisah" Semuanya baru bagiku. Aku tidak tahu apa yang sedang berlangsung saat ini," katanya
putus asa, mengangkat bahu tanda putus asa, tenggorokannya tercekat, susah payah menelan
ludah. Seandainya saja Anita dalam cermin itu hidup, Risa pasti sudah meminta petunjuk apa yang
harus dilakukannya. Akhirnya ia menguatkan diri. Risa berputar-putar di depan cermin, melihat
dirinya sejelas mungkin dari berbagai sudut.
"tenang saja. Aku akan menjaga kondisi badanmu dengan baik," katanya berjanji.
Risa tidak bisa berlama-lama karena terdengar bunyi ketukan di pintu. Risa menahan rasa sedih
ini lalu keluar. "lama banget. Nih ganti baju dulu, ayah lagi dalam perjalanan ke sini," kata Viko.
Perjalanan pulang dari RS sedkit mencerahkan suasana hatinya. Risa senang bisa melihat
suasana diluar. Padatnya kendaraan di jalan raya, para pejalan kaki berjalan berpasangan
sepanjang trotoar, seorang tukang becak yang tertidur pulas dalam becaknya sendiri, orang-orang
keluar dari toko sambil menenteng belanjaan, papan iklan dimana-mana, langit diatasnya begitu
terang, pepohonan tampa sekelebat bayangan dari dalam mobil mereka. Mereka berada dalam
antrian panjang lampu merah saat ini. Keheningan saat menunggu membuatnya agak merasa
canggung. "kamu gakpapa Ta" Mukamu pucat," kata ayahnya tiba-tiba ketika menoleh ke belakang, melihat
keadaanya, membuat Risa terlonjak. Viko membalikkan badan, memandangnya juga.
"apa" Oh nggakpapa, perasaan ayah aja," kata Risa sembari menarik napas. Ayahnya rupanya
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak sependapat. Bunyi klakson kendaraan dibelakang mereka yang bertubi-tubi menandakan lampu lalu lintas
sudah hijau. "ayah, kita sekarang di kota mana?" tanya Risa, ingin tau perihal keberadaannya.
Ayahnya menatap Risa dengan pandangan keheranan melalui kaca spion, rupanya mengira Risa
sedang bercanda . viko menanggapi lebih dulu setengah bergurau sambilmemandangnya dengan
ekspresi tidak percaya, "wah wah wah.. terlalu lama tidur membuatmu terbelakang rupanya. Dari juara satu mendadak
jadi berubah satu dari belakang. Benar-benar ironis."
"Malang. Memangnya kamu mengira kita akanpergi kemana?" tanya ayahnya.
"oh kupikir kita akan liburan ke suatu tempat," kata Risa cepat-cepat mencari alasan, dalam hati
merasa menyesal karena telah menanyakan pertanyaan aneh dan berharap keluarganya tidak
curiga. Ayah rupanya salah menanggapi pertanyaan Risa dengan mengatakan hal diluar bayangannya.
"jangan khawatir...," kata ayah menenangkan. Di belakang, Risa tampak tidak tahu apa pastinya
yang perlu dikhawatirkan. "ayah sudah bicara kepada kepala sekolahmu, mengatakan kalau kau
berobat diluar negeri. Tentunya berita itu pasti tersebar ke teman-teman sekolahmu. Jadi mereka
tidak akan repot mengganggumu dengan telepon-telepon atau kunjungan yang membuatmu tidak
senang." "benarkar?"?" tanya Risa girang padahal dia sudah tahu jawabnya. Horeee! Dia bebas! Tidak ada
telepon! Tidak ada kunjungan! Sudah cukup merepotkan berusaha mengenal ayah dan Viko
tanpa ditambah serombongan anak yang tidak dikenalnya.
"seumpama aku bertemu salah satu teman Anita...," gumamnya seraya berandai ia tenga disapa
orang yang kira-kira mengenalnya dijalan. "aha! Aku bisa pura-pura kena Amnesia. Kalau diajak
bicara ya tinggal ngangguk atau geleng kepala lalu buru-buru bilang harus pulang. Yang paling
penting jangan berlama-lama. Hmm .. ke juga."
Risa sibuk melihat pemandangan diluar kaca mobil sambil mengira-ngira kemungkinan tidak
disangka-sangka apa saja yang bakalan dihadapinya. Dia juga tidak mengenal perilaku Anita
sehari hari. Hal itu tidak akan banyak berpengaruh, pikirnya.
Setelah 20 menit berlalu, mereka tiba dirumah. Viko membawa masuk barang-barang, Risa
mengikuti di belakangnya sementara ayah memasukkan mobil ke garasi. Mula-mula Risa merasa
canggung sekaligus gembira ketika hendak masuk rumah. Maka ia masuk dengan perlahan
sambil melihat-lihat. Saking sibuknya mengamati, ia berjalan tidak melihat kedepan sehingga
tanpa sadar hampir menabrak seseorang di tikungan kamar mandi. Orang itu berteriak kencang
sampai Risa terkejut setengah mati.
"NON TATA! Ya ampun Non.. Bibik senang sekali Non pulang," kata perempuan setengah
baya, agak gendut tapi energik sambil menyalaminya tanpa henti. "segar waras. Gusti Allah
matur nuwun. Bibik doain Non terus, biar cepet sembuh."
Risa terpukau mendengar kata-kata Bibik pengurus rumah yang meledak-ledak, kepalanya
mengangguk naik turun, "terima kasih, Bik. Bibik baiiikk banget," kata Risa akrab, memeluk Bibiknya, seakan sudah
lama mengenal Bibik ini. "Bibik buatin teh bentar ya Non," kata Bibik yang sedang senang bukan main, menghambur
cepat kedapur. Kesan pertama Risa adalah rumah itu nyaman sekali. Di bagian tengah rumah terdapat taman
berbentuk lingkaran yang merupakan pusat sama halnya seperti alun-alun kota. Dari ruang
keluarga, ruang makan, dapur, kamar pembantu dan kamar tidur yang terletak di seberang dapat
melihat kearah taman. Sebagian besar dinding yang menghadap taman dipenuhi jendela dan
pintu. Sinar matahari menerangi bagian dalam rumah disertai hembusan angin sepoi. Disebelah kiri
taman terdapat ruangan kecil yang terpisah dari ruang lainnya. Ruang ini adalah ruang kerja
berisi komputer, sebuah lemari penuh buku, rak buku gantung, peta daerah, telepon yang
bentuknya sama dengan telepon diruang keluarga. Kamar yang ada diseberangtaman tidak
ditempati, hanya kamar tamu jika ada saudara yang menginap.
Ruang tengah terdiri dari ruang keluarga dan meja makan yang terletak bersebelahan tanpa sekat.
Rumah itu mempunyai dua kamar mandi. Kamar mandi yang satu bisa digunakan oleh siapa saja,
letaknya didekat meja makan dan ruang tamu, disebelah dapur. Sedangkan kamar mandi satunya
berada ddalam kamar ayah. Ruang tamu dibatasi oleh folding door yang ditutup hanya pada
malam hari. "wow, jadi ini kamarku," kata Risa gembira melihat dinding kamarnya yang bercat ungu.
Sebenarnya kamar itu kecil tapi Risa sangat menyukainya. Dia sedang asyik menjungkat-jungkit
tempat tidurnya yang empuk sambil melihat barang-barang di dalam kamar dengan kagum. Ada
lampu tidak lucu, jam meja bentuk bunga dan coca cola, fotonya, poster spice Girls dan seorang
perempuan Indian, kotak tempat kosmetik, lemari berisi album fotonya dan buku bacaan seperti
komik dan novel, piano mini, radio, rak kaset serta lemari baju. Risa sebenarnya agak sungkan
harus tinggal disini sekaligus merasa berdebar-debar.
"senang ya Non bisa pulang kerumah?" tanya bibik begitu melihat tingkahnya sambil melihat
teh. "he"eh" kata Risa mengiyakan sambil menyeruput tehnya.
"kalau perlu apa-apa, bibik ada didapur,"pesan bibik saat meninggalkan ruangan.
Risa memandang kembali kamar itukemudian ayahnya muncul dipintu. Risa tersenyum.
Ayahnya duduk disebelahnya.
"bagaimana"senang?"
"iya" "Mm.. Ta?" ucap ayahnya berhati-hati.
"apa" "ayah sudah mengatur kepergianmu ke Singapura bulan depan. Kamu setuju kan?"
"ke Singapura" Ngapain?"saking terkejutnya, Risa sampai lupa berkata formal kepada ayahnya.
"ya berobat, seperti biasa," kata ayah kaget, setengah kecewa melihat Risa kurang tertarik pada
ajakannya. "ayah harap kamu tidak menolaknya. Ayah akan melakukan apapun asal ayah bisa melihatmu
lebih lama. Kita harus tetap berjuang bersama. Kamu tidak boleh menyerah. Mau kan?"
"Ng.. iya," jawab Risa bingung, matanya bergerak-gerak gelisah. "tapi nanti Tata pikir-pikir dulu
aja Yah. Tata ngerasa baek-baek aja kok."
"baik, baik..ayah tidak akan memaksamu. Tapi pertimbangkanlah masak-masak,"kata ayah
pasrah, membelai kepala Risa. "sana, pergi tidur. Kamu kan belum sembuh benar."
"tapi yah, ini kan asih siang?"kata Risa yang jelas-jelas bingung,melihat kearah jendela yang
terang benderang. "ya udah kalo kamu tidak mengantuk."
"Hei Ta, kakak punya buku bacaan nih. Baru beli kemarin,"kata Viko dari ambang pintu seraya
melempar 2 majalah ke pangkuannya lalu beralih pergi.
"yok, trims,"Risa menyahut lalu membuka-buka halamannya.
"ayah tinggal dulu ya, kamu santai-santai aja baca buku,"kata ayah sambil menepuk bahunya.
Risa tersenyum mengangguk.
Malamnya, Risa menghenyakkan diri dikasurnya yang empuk. Hari ini dia telah melakukan
sederet kegiatanyang umum seperti makan siang, mandi, menonton TV bersama ayah, makan
malam. Walaupun begitu ia masih merasa tegang. Ia harus bisa menyesuaikan diri secepatnya karena
disinilah, di dekat orang-orang inilah ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya.
"Anita..," katanya tiba-tiba, matanya memandang langit-langit kamarnya, "kamu dimana,?"
Memang susah kalau mau tak mau kau harus bertindak seperti orang lain. Ia harus memulai
segalanya dari nol, membuatnya merasa cepat lelah. Ditambah lagi persoalan lan yang untuk
sementara ia lupakan. Ia agak sedih dengan segala keterasingan ini namun ia tidak takut mati.
Jika ia meninggal nanti, paling tidak ia merasa lega, tidak perlu memikirkan apa-apa. Risa pun
tertidur tanpa sempat mematikan lampu kamarnya.
HARI-HARI BERIKUTNYA Risa seperti orang linglung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dikerjakannya. Ia belum terbiasa
disini, selain itu orang-orang rumah mencegahnya melakukan sesuatu yang bagi mereka
dianggap cukup berat ntuk Risa, seperti menyapu, menyetrika dan pekerjaan rumah lainnya.
Karena masih merasa sungkan, Risa tidak menolak. Tapi ia jadi mudah merasa bosan, hanya
duduk termenung saja. Oleh karena itu siang ini ia membuat puding coklat dan fla untuk mengisi
waktu luangnya. "au panas," kata Risa seraya menuang pudingnya yang masih encer kedalam cetakan lalu
menyimpannya di freezer. "sekarang tinggal menyiapkan fla."
Maka Risa dengan riang mengambil panci kecil, menyalakan api, lalu meletakkan panci
diatasnya. Di meja sebelahnya sudah tersedia susu cair, gula, tepung maizena dan rum. Risa
mengaduk-aduk susu cair dan gula supaya menyatu lalu menuang tepung maizena yang sudah
dicampur sedikit air. "masukkan maizenanya. Nah hampir jadi. Sekarang yang trakhir dan paling penting, tambahkan
rumnya," katanya riang sambil terus mengaduk. "pakai telur nggak ya..gak usah deh. Nanti
malah amis." "bik"! Sekarang bagaimana?" tanya ayah, suaranya terdengar dari kejauhan yang nyatanya
berasal dari atas atap dapur tempat tempat Risa berada saat ini.
"iya bentar," jawab bibik.
"Hm..kurang gula dikit," kata Risa lalu menambahkan gula kedalam panci.
Risa mendongak keluar jendela dan melihat bibiknya berlari dari taman tengah rumah menuju ke
ruang keluarga. Risa memasukkan fla yang sudah jadi kedalam kulkas ketika bibiknya tengan memindahmindahkan saluran TV lalu secepatnya berlari lagi ke taman.
"belum. Yang tadi masih lebih jelas," seru bibik lantang ke atas atap.
Ayah sudah pulang dari tadi. Ia sedang membetulkan antena di atap. Ayah berteriak-teriak dari
atas apakah Tvnya sudah jelas ketika ia menyetel antenanya dan menggerak-gerakkannya.
Sedangkan bibik mondar mandir dengan sibuk mendengarkan aba-aba ayahnya, berlari ke ruang
keluarga melihat tampilan TV dan menyahut memberitahukan perihal kejelasan tampilannya.
Kemarin ada hujan badai yang membuat tayangan Tvmereka berbintik-bintik.
Risa berjalan kearah taman, hendak melihat keadaan ayah diatas. Siang itu begitu terik, sinar
matahari yang menyilaukan membuat matanya tidak bisa melihat dengan jelas.
"repot juga ya bik," gumam Risa.
"iya non. Bibik juga dibikin susah," kata bibik yang kepanasan sehabis berlari-lari.
Sepuluh menit berlalu tanpa Risa mengetahui keberadaan ayahnya, yang terlihat hanyalah atap
genting yang menyala dalam pantulan sinar matahari. Menyerah karena tidak tahu apa yang
dilakukan ayahnya di atas, Risa melihat-lihat taman di sekelilingnya. Untunglah walaupun hari
panas begini, tanaman di taman itu tampak segar. Di depan kamar tamu terletak jemuran kecil,
khusus untuk menggantung handuk. Sedangkan tempat yang biasa dipakai untuk menjemur
pakaian dan seprai ada di lantai dua. Rumah mereka memang tidak bertingkat. Lantai dua hanya
berupa ruang kecil berangin untuk menjemur. Dibawahnya ada tangga melingkar dari besi dan
mesin cuci. "bik, tolong dilihat laggi," kata ayah.
Bibik yang rupanya sudah terlatih,langsung menghambur ke dalam rumah dan memindahmindah saluran TV, memastikan seluruh channel sudah tampil jelas. Risa menghampiri tempat
jemuran handuk, memeriksa handuk-handuk disana apakah sudah kering. Bibik sudah kembali
lagi dan berkata nyaring saking senangnya.
"sudah pak. Sudah jelas."
"masa sih bik?" tanya ayahnya tidak yakin sambil melongokkan wajahnya kebawah. Ayahnya
malas jika sudah terlanjur turun tangga nanti masih harus naik ke atap lagi untuk memperbaiki
antenanya. "bener pak. Bapak bisa turun sekarang."
"ya sudah, bentar lagi saya turun."
"oi..Ta," kata suara lain ditengah keramaian itu. Viko baru pulang, sekarang berdiri di pintu
ruang keluarga, berkeringat hebat seperti habis keramas. "ambilin handukku dong."
Risa mengangguk paham tapi tidak tahu benar yang mana handuk Viko, hanya menerka saja.
Maka dari itu ia memilih handuk warna biru lalu melemparnya kuat-kuat keseberang, kearah
Viko. Viko menangkapnya dengan kecewa.
"Bukan yang ini, yang warna merah," kata Viko seraya melempar kembali handuk biru kearah
Risa. Saking kencangnya ia melempar, handuk itu mendarat tepat menutupi wajah dan kepala
Risa. "Viko yang bener dong kalo ngelempar!" tegur Risa dari balik handuk. Sementara Viko tertawa
tak terkendali sampai terbatuk-batuk.
"ups, sori Ta. Sengaja. Eh bukan. Maksudku gak sengaja," kata Viko terbahak-bahak.
"dasar," gerutu Risa yang sekarang melepas handuk dari kepalanya dengan kasar. "aduh"
Benang pada handuk itu mengait antingnya, membuatnya kesakitan saat menariknya. Risa
berjalan timpang ke arah bibik yang masih melihat ke atas atap sambil memegangi handuk disatu
sisi, kepalanya miring ke kanan.
"Bik tolong," kata Risa, tangan kirinya mengetuk pundak bibik. Bibik menoleh dan paham ketika
Risa menunjuk-nunjuk handuk yang melekat di telinga kanannya lalu segera membantunya
melepas kaitan handuk dari antingnya.
Viko mengikuti arah pandang bibik yang semenjak tadi menengadah ke atap lalu melihat
punggung ayahnya muncul tiba-tiba dari arah lain sehingga mengagetkannya. "ngapain ayah di
atas" Kukira ada spiderman di atas rumah kita."
Sekarang Risa ikut mendongak dan melihat ayahnya menuruni tangga perlahan. Bibik akhirnya
berhasil melepas kaitan antingnya, membuat Risa mengelus-elus telinganya dengan lega.
"makasih bik," kata Risa.
"sama-sama Non," kata bibik lalu berpaling melihat ayahnya, bergerak tangkas. "biar saya yang
mengembalikan tangganya pak."
Risa mengembalikan handuk birunya ke tempat jemuran. Dan mengambil handuk berwarna
merah. Ayah mengibas-ngibaskan pakaiannya dari debu.
"habis betulin antena. Fiuhh capek juga. Panas sekali di atas sana," kata ayah memberi
penjelasan kepada Viko sambil melihat keatas atap. "kamu sendiri baru pulang Vik?"
"iya habis ada pertandingan basket. Tim kami menang Yah," jawab Viko gembira seraya
mengusap keringat dirambutnya dengan lengan bajunya. Ia bersandar pada pintu yang terbuka.
"bagus kalo gitu ayah mau mandi nih, kotor semua" kata ayah sambil mencium bau pakaiannya
yang bercampur keringat. "aku juga," kata Viko singkat yang jelas sekali merasa gerah sehabis olahraga dalam cuaca
sepanas ini. "ini," kata Risa sembari menyerahkan handuk merah ke tangan Viko.
"trims," kata Viko mengelus rambut Risa lalu menyampirkan handuknya di pundak. Viko
mengambil baju ganti dari kamarnya dan menuju kamar mandi.
"ambilkan handuk ayah juga yang ungu. Kalau belum kering yang hijau saja," kata ayahya selagi
ia keruang keluarga. Risa berjalan menyebrangi taman dan mengambilkan handuk berwarna hijau untuk ayah. Di
dalam, ayah mengganti-ganti saluran TV dan tampak puas karena tampilannya sudah tidak
dipenuhi bintik-bintik hitam.
"ini yah." Kata Risa, tersenyum memandang ayahnya.
"kelihatannya usaha ayah gak sia-sia."
"siapa dulu dong," kata ayahnya bangga. "ayah mandi dulu ya."
Bibik kembali melanjutkan kegiatan memasaknya yang sempat terhenti dari tadi. Risa
mengamatinya sambil menunggu lalu memeriksa pudingnya di dalam freezer.
"sudah padat," katanya riang, mengeluarkan cetakan pudingnya dan meletakkannya di meja. Risa
mengambil beberapa piring kecil lalu mengisinya dengan potongan besar puding coklat yang
dingin. Risa mengembalikan sisa puding dalam cetakan yang tinggal setengah ke dalam freezer lalu
meraih panci berisi fla dibawahnya.
"bik, punya bibik saya taruh di lemari ya," kata Risa sambil menuang fla ke atas puding di tiap
piring. "sisanya bisa buat ntar malam."
"o iya iya Non, taruh aja disana," kata bibik senang. "non tumben ya masak di dapur. Bibik baru
kali ini liat Non buat sesuatu."
"masa iya sih?" tanya Risa heran. "Nggak juga kokbik. Ini kan gampang buatnya."
Bibik tidak menjawab, kelihatan agak heran memandangnya. Risa meletakkan panci berisi fla ke
dalam kulkas, bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia bisa tahu cara membuatnya. Padahal ini
juga pertama kalinya Risa membuat sesuatu. Ia sepertinya sudah terbiasa membuatnya sehingga
mau tidak mau ia merasa bingung juga.
Risa memindahkan piring-piring puding untuk ayah, Viko dan dirinya ke meja makan tepat saat
Viko keluar dari kamar mandi sembari menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.
"wow bikin apa tuh?" kata Viko tertarik melihat puding yang dibawa Risa.
"puding," jawab Risa ceria yang sekarang menuang air putih ke dalam gelas-gelas di meja,
"panas-panas gini enaknya makan yang dingin-dingin."
"betul," kata Viko setuju lalu menambahkan setengah bergurau. "aku dapat bagian juga ya.
Kamu baik banget." "remote dong to long," kata Risa ketika duduk di kursinya mengabaikan perkataan Viko yang
entah memuji atau menyindir.
Viko mengambilkan remote di sebelah TV lalu memberikannya pada Risa. Viko duduk di
sebelahnya sambil mengalungkan handuk ke sekeliling lehernya. Ayah keluar dari kamar,
berjalan ke arah mereka, tampak segar bugar.
"wah wah wah. Makan apa nih" Kayaknya enak banget," tanya ayah melihat Viko dan Risa
asyik melahap puding. Ayah ikut duduk di kursinya begitu melihat ada piring berisi puding
tersedia di mejanya. "ya ampun demo mulut, kapan habisnya," kata Risa serius sambil menonton berita di TV. Ayah
menonton berita juga dan mengangguk prihatin.
"tambah bik," kata Viko meneguk minumnya sembari menyodorkan piring kosongnya ketika
bibik meletakkan makanan yang baru dimasaknya ke meja makan.
"minta non Tata. Non yang bikin. Bibik gak berani, jarang-jarang non masak," jelas bibik.
Viko sampai tersedak minumnya . Risa mengerlignya sejenak lalu berkata pada bibik.
"gakpapa kok bik. Ta kan bikin buat semua. Ambil aja, ntar aku bisa bikin lagi," kata Risa
ramah, penuh senyum. "yaudah non," kata bibik sambil membawa piring Viko ke dapur.
"kamu yang buat?" tanya Viko tercengang.
"kenapa" Kurang manis ya?" tanya Risa heran lalu berpaling menatap ayah yang menyantap
puding tanpa protes. Ia kan tidak melakukan kesalahan. Rasa puding coklat dan flanya sangat
sedap. "kok gak bilang apa-apa?"
"maksud kakak apa" Kakak kan gak tanya," tanya Risa mengernyit.
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"tapi... kamu kan baru kali ini bikin, kok rasanya bisa enak ya," kata Viko lalu memandang
ayahnya seolah meminta pendapat.
Ayah yang asyik menonton berita akhirnya menyadari tatapan kedua anaknya. Sementara itu
bibik kembali dari dapur membawakan sepotong besar puding baru untuk Viko.
"kenapa Vik tata kan bisa belajar masak juga," kata ayah berpendapat.
"iya sih...," kalimat Viko menggantung.
"ayah senang lho kalo bisa sering-sering makan masakanmu," kata ayah jujur kepada Risa.
"bener yah" Ayah bersedia dong jdi kelinci percobaanku. Ho ho ho," kata Risa jahil, matanya
berkilat senang senang. "ati-ati yah nanti keracunan," gurau Viko seraya melahap satu sendok penuh.
"ya udah kamu aja yang jadi kelinci percobaannya kalo gitu," kata ayah ikut-ikutan bergurau.
"gak jadi deh, aku makan sendiri aja," kata Risa merajuk.
"marah niihh," kata Viko sambil menjawil pipi adiknya dengan telunjuknya.
Risa memanfaatkan kesempatan itu dengan menggigit telunjuk Viko.
"ouch. Galak bener," kata Viko mengibas-ibaskan tangannya. Sementara itu ayahnya tertawa
gembira. *** Ayah dan Risa melewatkan pagi yang tenang dengan menonton TV. Risa sedang asyik
mengunyah keripik kentangnya ketika Viko mengajaknya bicara.
"Ta, mau ikut kakak pergi beli kaset" Daripada dirumah terus kan bosan..," tanya Viko sambil
melihat bayangannya sendiri di depan cermin. Viko memakai baju santai yakni kaos, celana
selutut, dan sepatu sandal, rambutnya memakai gel.
Risa tidak perlu menunggu kakaknya menyelesaikan kalimat, ia langsung berlari ke kamar,
berganti pakaian secepat kilat dan menguncir rambutnya. Tak sampai lima menit ia sudah siap
dengan dandanan oke untuk bepergian.
Viko tidak mendengar adiknya menjawab, ketika menoleh ia melihat adiknya terburu-buru
masuk kamar, mungkin teringat telah melupakan sesuatu yang penting. Kecewa karena Anita
tidak menghiraukan ajakannya, viko kembali memandang dandanannya dalam cermin.
"berangkat sekarang?" kata Risa begitu keluar dari kamarnya sembari tersenyum jahil, matanya
berbinar-binar karena tidak sabar.
Risa baru pertama kali keluar rumah semenjak kepulangannya dari rumah sakit. Ia tidak tahan
ingin segera melihat dunia luar. Viko melongo melihat adiknya begitu siap siaga.
"yuk. Yah kami pergi dulu ya," pamit Viko.
"ati-ati ya Vik," sahut ayah.
"ayah mau titip apa?" tanya Risa sambil mencium pipi ayahnya, tanda pamit.
"udaaahh gak perlu," kata ayah yang turut senang karena putrinya terlihat begitu gembira.
Viko memarkir mobil jauh dari pertokoan dimana toko kaset terletak di salah satu deretnya.
Maklum ini hari libur. Susah mendapat tempat parkir yang kosong. Mereka jadi bisa melihatlihat lebih lama walaupun harus berjalan agak jauh. Pertokoan sepanjang jalan itu ramainya tak
kalah dari taman hiburan. Trotoar penuh sesak orang yang berseliweran. Risa dengan sabar
berjalan mendampingi kakaknya. Melihat-lihat dengan antusias.
Mereka sempat membeli makanan untuk camilan di rumah. Kakaknya memanggul belanjaan di
punggungnya. Cara yang tidak umum untuk membawa belanjaan, mungin kebanyakan cowok
memang kayak gini, kritik Risa. Sebenarnya ia mengagumi kakaknya. Postur tubuhnya ideal,
bisa membuat banyak cewek jatuh hati. Tapi ia tertarik saat lebih mengenalnya. Viko sangat
dewasa, mandiri, perhatian dengan keluarga, kadang juga ocak. Orang diusia segitu belum tentu
sedewasa kakaknya, pikir Risa.
Akhirnya mereka tiba di toko kaset, Viko mendorong pintu dan suara musik yang keras
mengejutkan telinganya. Wow..! Toko itu bernuansa silver, di dindingnya tertempel posterposter penyanyi terkenal, kepingan-kepingan CD yang disusun vertikal menggantung di langitlangit. Di depan meja kasir, berdiri kipas angin ekstra besar yang membuat rambutnya berkibar
tak karuan saat melewatinya.
Mereka tiba di rak jenis lagu kesukaan Viko. Viko langsung asyik membaca judul-judul lagu di
sampul belakang kaset. Sedangkan Risa justru lebih tertarik memandangi orang-orang yang
datang. "kak, kak," Risa menarik-narik lengan kaos Viko untuk mengalihkan perhatiannya, "lihat ke arah
jam tiga! Menurutmu gimana" Kalo dibandingin dengan arah jam tujuh?"
Viko sejenak tampak bingung, tidak mengerti ucapan adiknya.
"kamu ngomong apa sih, yang jelas dong, jangan bertele-tele gitu."
"duuhh, itu tuh cewek di situ sama yang disana. Gimana menurutmu?" tanya Risa mendesak
sambil menunjuk ke arah dua cewek yang dimaksud.
Viko memperhatikan dengan teliti. Sempat-sempatnya adiknya mengamati pengunjung toko,
pikir Viko. Tinggi kedua cewek itu tak jauh beda darinya tetapi penampilannya berbeda seratus
delapan puluh derajat! Mereka berdua mempunyai rambut melebihi bahu, bentuk tubuh langsing.
Viko menoleh ke kiri belakang.
Cewek arah jam tujuh tampak keren, rambut pendeknya terikat rapi. Ia bergaya sporty dengan
wristband di tangan kiri, kaos tanpa lengan, celana training biru dengan garis putih pada kedua
sisinya dan sepatu olahraga aksi. Ia tidak memakai pernak-pernik seperti anting, gelang atau
perhiasan, wajahnya terlihat natural. Cewek itu meneleng-nelengkan kepalanya mengikuti alunan
musik. Cewek satunya lagi luar biasa eye catching sampai Viko sendiri heran kenapa ia tidak melihatnya
saat masuk. Ia memakai setelan sewarna yaitu blus putih dengan jaket pink, lengannya mengapit
tas pink ukuran sdang dan rok pink semi gelombang serta tak lupa sepatu pink berhak tinggi. Ia
memakai lipgloss sehingga bibirnya tampak mengkilap. Anting-antingnya yang panjang
berayun-ayun saat ia bergerak. Wajahnya terlihat menarik dalam riasan mata dan perona pipi
kemerahan. Viko memperhatikan jari jemarinya lentik, kukunya panjang bercat pink.
Viko berpendapat sebetulnya bila cewek sporty itu berdandan feminim pasti gak kalah menarik
dengan cewek serba pink itu. Dalam hati Viko bertanya-tanya apakah adiknya berusaha
mengetes tipe cewek yang disukainya atau ingin tahu apa reaksinya. Ini semacam tes kepribadian
saja, mungkin adiknya bercita-cita jadi psikologi.
"Hmm..," kata Viko akhirnya, berlagak seperti pengamat ekonomi, satu tangannya memegang
dagu. Disebelahya, Risa memandangnya penuh selidik.
"penampilannya sama-sama asyik, pembawaannya menarik tapi yang arah jam tujuh lebih
menjanjikan," jawab Viko kurang antusias, kembali mencari-cari kaset yang diingininya.
"B"tul," kata Risa sepakat kemudian mengambil salah satu kaset secara acak, melihat judul-judul
lagu yang tertera lalu menambahkan sambil lalu. "ternyata selera kita sama."
Viko menunduk memandang adiknya, kaset di tangannya terlupakan. Ucapan barusan terasa
janggal. Risa mengembalikan kaset yang baru diambilnya lalu menoleh ke arah kakaknya.
"apa?" tanya Risa begitu melihat tatapan kakaknya.
Bingung harus berkata apa, Viko kembali menekuni kasetnya dan menjawab tanpa memandang
Risa, "enggak. Nggak apa-apa."
Risa memperhatikan kakaknya tidak yakin. Ia berjalan menyusuri deret rak kaset di ujung sambil
berpikir. "memangnya aku tadi salah ngomong apa?" gumamnya.
"mau mampir ke toko HP gak?" ajak Viko saat membayar dua kaset yang dibelinya. "pulsaku
abis." "aaayo," jawab Risa dengan nada menantang. Jalan-jalan memang membuat rileks jadi tidak ada
alasan untuk menolak. Viko mengisi ulang pulsanya. Risa melihat-lihat stiker dan bandul HP. Ia sangat menginginkan
bandul warna merah yang berbentuk anyaman. Mengingat ia tidak lagi membutuhkan Hpnya,
maka Risa membujuk Viko untuk membelinya yang spontan menolak mentah-mentah.
"ayolah, warnanya cocok buat Hpmu. Lucu banget nih."
"nggak ah, kayak anak cewek. Ogah. Kalau mau beli ya beli aja."
"tapi aku kan udah gak pake HP. Percuma dong beli kalo gak dipake."
"yaudah, gak usah beli kalo gitu. Beres kan. Ayo pulang."
Risa mengikuti kakaknya di belakang. Bibirnya cemberut , ia teringat bandul merah itu tapi ia
tidak punya pilihan. Ia memang tidak membutuhkannya. Ia juga tidak ingin membelanjakan uang
ayahnya dengan percuma. Dengan kesal Risa berjalan dengan menghentakkan kakinya seperti
orang yang ikut lomba gerak jalan.
Risa mengalihkan pandangannya ke seberang jalan, sekedar mengalihkan perhatiannya. Disana
ada tempat makan, perutnya tiba-tiba bertepuk riuh. Ingin rasanya cepat-cepat tiba dirumah dan
melahap masakan bik Ti. "aduh!!" pekik Risa. Di depannya, Viko rupanya berhenti mendadak. Karena sibuk melihat ke
arah lain, Risa tidak sengaja menabrak kakaknya. "kenapa?"
"makan dulu yuk, laper," kata Viko sambil menunjuk rumah makan di sebelahnya. Risa
mengangguk setuju. Bau harum tercium dari dapur, membuat Risa merasa lebih lapar dan tak sabar menunggu. Risa
sebenarnya ingin tahu apakah Viko memang sedang lapar atau tahu kalau dirinya hanya makan
sedikit tadi pagi. Tapi Risa tidak peduli. Baginya, Viko sangat perhatian, tipe kakak yang baik.
Tak lama kemudian, pesanan yang ditunggu-tunggu datang. Risa memakannya dengan lahap.
"pelan-pelan aja makannya. Mukamu cemot tuh," kata Viko memberitahu. Kemudian ia
menambahkan dengan tertawa, "ya ampuuunn kayak anak kecil aja."
Risa mengelap mulutnya, menatap sewot kakaknya. Kenapa tertawa" Ada yang lucu" Emangnya
kenapa kalo kayak anak kecil" Penting ya" Namun ia hanya diam saja, melahap makanannya
seakan tidak ada interupsi. Hari ini ia senang sekali sehingga malas membalas ejekan kakaknya.
Mereka kembali berjalan jauh menuju tempat parkir. Risa merasa kakinya sudah capek dan
pegal. Ia agak tertinggal jauh di belakang karena sibuk menghindari orang menabraknya atau
memberi jalan lebih dahulu kepada rombongan pejalan kaki di trotoar yang sempit itu. Risa
mengira Viko telah meninggalkannya semakin jauh di depan ketika mendadak ia merasa ada
yang menggenggam tangannya diantara kerumunan.
"ayo," kata Viko sambil menarik tangannya. Rupanya Viko menyadari ketertinggalannya dan
kembali menjemputnya. Risa sebenarynya ingin melepas pegangan tangannya setelah bebas dari kerumunan itu tapi Viko
mencengkeram tangannya kuat sekali sehingga Risa membiarkannya saja. Perasaan aneh muncul
sepanjang ia berjalan dengan Viko berada agak di depannya seakan membimbingnya dari depan.
Waktu seakan bergerk diperlambat. Risa menengadah memandang kakaknya. Ini... seperti
perasaan dilindungi orang yang disayangi. Ia memandang punggung Viko, melihat sosoknya dari
belakang yang tinggi dan tegap dengan jelas. Sebagian kata hatinya membebaskan tangannya
sewaktu mereka tiba di mobil.
*** "bibik kalo pulang kampung disuruh istirahat aja dirumah. Kakak bibik pergi ke sawah, istrinya
menjual kopi ke kota. Bibik tinggal berlima sama keponakan juga. Maklum rumah warisan.
Biasanya orang perempuan mandi di telaga. Teman bibik kebanyakan bisa renang, mengambang
gitu non. Berenang-renang kayak gini non," kata bibik, meletakkan setrikanya lalu
memperagakan renang gaya katak dengan kedua tangannya yang gemuk, "disana airnya bersih,
dingin kayak kulkas. Nggak jauh dari sana ada banyak orang laki duduk-duduk liat orang
mandi.." "diintip dong namanya. Bibik nggak marah?" potong Risa serius bercampur kaget.
"yah bibik sih mandi di sumur. Gila apa diliatin laki-laki waktu mandi, tapi mereka biasa-biasa
aja non. Udah biasa di desa saya."
"oh ya?" kata Risa terkejut.
"kalo orang punya lahan sih enak non. Kebanyakan sawah di desa saya dibeli pemerintah. Orang
sana kan gak tau apa-apa jadi mau aja tanahnya dibeli. Punya kakak saya itu sudah dibeli separo.
Saya bilang gini "bodoh kamu jual tanah dikasih murah! Buat beli sepeda motor udah habis!"
buat apa sepeda motor, gak bisa dimakan, iya to?"
"iya iya, bener bik," kata Risa setuju-setuju saja.
"kalo ujan non, bocor dimana-mana. Masih untung desa saya gak pernah kena banjir. Yang ada
di TV itu non, banyak desa kena banjir. Kasihan non, sapi-sapi pada hilang. Ya bangkrut orangorang."
"he"eh,he"eh," gumam Risa paham.
"saya nitipin cincin emas saya ke istri kakak saya. Saya kan punya tujuh, saya titipin lima. Eh,
waktu bibik mau balik kesini, bibik minta lagi. Tapi istrinya kakak saya malah bilang kalo ini
cincin hadiah dari saya ke dia. Trus katanya cincin itu gak laku disini jadi mending dijual di desa
sana. Itu kan akal-akalannya saja, batin saya. Trus saya bilang "kalo gak laku, mana sini. Balikin
ke saya." Tapi dia malah diam saja. Memang nyebelin kok ipar saya itu."
Bibik asyik bercerita sambil menyetrika baju-baju. Risa yang sendirian tanpa ayah dan Viko
memutuskan untuk menemani bibik dengan senang hati, bertanya-tanya tentang kampung
halamannya. "tiap malam takbiran non, anak-anak kecil mukul "mukul kentongan keliling desa. Belum lagi
kalo malem suara dengkung kodok bikin berisik. Bibik paling suka melihat kunang-kunang. Ada
banyak sekali waktu malem."
"kunang-kunang itu kan kukunya orang mati ya bik?" tanya Risa bergidik sendiri..
"nggak tahu non. Itukan Cuma takhayul," kata bibik rasional.
Bibik sudah selesai menyetrika dan hendak mengantarkan tumpukan baju yang sudah dilipat
rapi. Risa mengikuti bibik masuk ke kamarnya, kamar ayah dan kamar Viko.
"ya ampun, den Viko ini lemari bajunya selalu awut-awutan," kata bibik tidak senang, melihat
baju-baju dalam lemari tumpang tindih tidak terlipat.
Risa duduk di kursi meja belajar Viko sementara bibik bibik mengeluarkan baju yang kusut
karena berdesakan dalam lemari dan melipatnya. Dalam hati Risa malu sendiri karena ia juga
seperti Viko. Ia sering bingung hendak memakai baju apa. Oleh karenanya baju-baju yang telah
dicobnya dan dirasa tidak cocok langsung dikembalikan ke lemari asal-asalan, tanpa dilipat lebih
dulu. Bedanya, pada waktu senggang ia sempat merapikan baju dalam lemarinya sehingga tidak
ketahuan bik Ti. "lho, Viko punya kamera ya, sama seperti ayah," kata Risa terkejut melihat kamera terbungkus
tas plastik di dalam lemarimeja belajar, masih ada 2 rol film belum terpakai di kotaknya. Risa
mengeluarkan kamera itu, menimangnya sebelum melihat isinya. "kosong. Bik, kira-kira aku
boleh pakai nggak ya?"
"tanya aja ke den Viko kalau nanti sudah pulang," kata bibik seraya menutup lemari.
"iya deh. Aku pengen foto-foto. Nanti bibik ikutan juga ya," ajak Risa gembira.
"jangan non. Bibik kan jelek," kata bibik rendah diri.
"ah bibik ini," tegur Risa tidak setuju. "pokoknya bibik nanti harus ikut!"
Viko pulang siangnya, disambut Risa yang sedari tadi menunggunya. Saking bersemangatnya,
ujung jari kaki Risa membentur kaki dengan keras.
"Eh, Vik. Kameramu ini boleh kupakai gak?" tanya Risa penuh harap seraya mengangkat
kamera ditangan kirinya. "paka aja. Masih ada rol yang belum terpakai," jawab Viko sambil lalu ke kamarnya, meletakkan
tas. "kakimu kenapa?"
Risa berdiri dengan satu kaki. Tangan kanannya memegangi jari kaki kanannya seperti pose
Alibaba. Sementara itu wajahnya berusaha menahan seringai kesakitan.
"eh lagi senam," jawabnya berbohong karena takut diledek. Viko menatapnya tidak percaya.
"tadi terbentur karena terburu-buru. Udahlah gak penting."
"bilang aja terus terang. Dasar ceroboh. Tetep aja gak ada kemajuan," kata Viko menjitak pelan
kepala Risa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Risa cemberut mendengarnya.
"gimana cara masangnya" Tolong dong," pinta Risa memohon.
"mana-mana sini," kata Viko tak sabar.
"thank you," kata Risa berterima kasih, suaranya berubah menjadi imut-imut.
"begini nih masangnya," terang Viko pelan-pelan. "lain kali kamu bisa pasng sendiri."
Risa mengangguk-angguk bersemangat di sebelahnya sambil memperhatikan dengan jeli. Setelah
selesai, Viko memberikan kamera itu padanya.
Sepanjang hari itu dihabiskan Risa dengan memotret ruang-ruang dalam rumah, taman, lalu
memotret ayah, Viko, bibik dan dirinya bergantian. Risa telah berusaha keras membujuk untuk
foto-foto. Akhirnya mereka merasa asyik bergaya di hadapan kamera, tampak kompak. Viko dan
Risa bertindak selaku pengarah gaya sedangkan ayah mengatur posisi mereka dan memilih latar
belakang pemotretan. Kadang mereka foto berdua-dua, kadang bertiga-tiga untuk menghabiskan
isi film. "yak, sekarang giliranku," kata Risa berinisiatif, menyambar kamera dari ayah. "disini, didepan
tanaman. Bibik ditengah, ayah dan Viko disamping."
Maka mereka berbaris dengan kaku, tampak malu-malu. Risa melihat mereka lewat lensa
kamera. Perlahan dirinya menjadi sentimentil. Kamera itu seakan menunjukkan dunia lain yang
baru ditemuinya. Ketika ia menurunkan kmeranya ia menyadari bahwa dunia itu ada di
hadapannya sekarang, saat ini!
"kenapa Ta?" tanya ayah menyadari perubahan pada air mukanya.
"oh nggakpapa. Bibik senyum dong," katanya menganjurkan, menunju ke arah bibik, sementara
itu Viko merangkul bibik dengan kedua tangannya.
"o iya iya non," kata bibik cepat, memasang senyum lebarnya.
Risa kembali mengangkat kameranya. Tahu-tahu saja ia merasa terharu, ia bisa merasakan
matanya pedih berair. Senang rasanya melihat keluarga ini. Walau sedih, ia tetap
menyunggingkan senyumnya.
"siap ya," kata Risa memberi aba-aba. "1..2..3.."
"klik" begitu bunyinya ketika Risa menekan tombol diiringi bunyi rol menggulung.
"lho" Sudah habis," katanya tidak menyangka.
Orang-orang mendadak jadi salah tingkah, merapikan pakaiannya masing-masing lalu buru-buru
mengerjakan tugasnya kembali.
"aduh bibik belum nurunin jemuran," seru bibik panik, berlari ke seberang menaiki tangga
bundar. "buku bacaan ayah tadi pagi dimana ya?" kata ayah yang sudah berjalan ke samping selagi
membuka pintu ruang kerja.
"ada janji nih bentar lagi," kata Viko begitu melirik waktu di jam tangannya lalu tergesa-gesa
masuk rumah. Puas setelah seharian mengambil gambar, mereka melanjutkan kegiatan seperti biasa. Risa sudah
tidak sabar melihat hasilnya.
Belum seminggu Risa berada dirumah itu, perasaannya mulai gelisah. Selama ini perhatiannya
teralih karena berusaha mengenal keluarganya. Sekarang ia dihadapkan pada fakta bahwa dirinya
akan meninggal. Sebelumnya, mungkin Risa bisa menerimanya. Setiap orang pasti kan mati lalu
berusaha tidak memikirkannya. Tapi sekarang ia jadi ngeri sendiri. Ia tidak yakin sudah siap
mental atau belum. Bagaimana ya rasanya mau meninggal" Pasti menderita. Semoga saja begitu tertidur langsung
meninggal. Gak mungkin! Itu kan terlalu mudah. Dia tidak mau meninggal dengan keadaan
serba tidak tahu begini. Ini kan kesannya terlalu sadis. Aduuuhh bisa gila memikirkannya.
Bagaimana ya rasanya mau meninggal" Pasti menderita. Semoga saja begitu tertidur langsung
meninggal. Gak mungkin! Itu kan terlalu mudah. Dia tidak mau meninggal dengan keadaan
serba tidak tahu begini. Ini kan kesannya terlalu sadis. Aduuuhh bisa gila memikirkannya.
Mungkinkah ia sebenarnya udah meninggal" Namun kenapa ia bisa mengingat jelas namanya"
Mungkinkah dia memang Anita" Tidak. Tidak mungkin. Perasaannya jelas mengatakan bahwa di
bukanlah Anita. Ia seperti sedang mengalami krisis jati diri. Lalu apa tujuan hidupnya saat ini.
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"apakah aku hanya menunggu untuk mati?" bisiknya memandang langit-langit.
Tidak, batinnya. Orang hidup untuk menemukan kebahagiaan. Karena itulah hidup jadi berarti.
Ia tidak sendiri. Disini, banyak orang yang mencintainya.
"udah ah," kata Risa, melepas bantal yang mendekapnya. "daripada bingung mending ke tempat
ayah aja." Risa sudah hendak mengetuk pintu kamar ayahnya ketika dia tiba-tiba berubah pikiran.
"ketenpat Viko aja deh," kata Risa tidak jelas.
Pintu kamar kakaknya agak terbuka. Risa mendorongnya lebih lebar dan masuk. Kakaknya
rupanya sibuk membuat tugas, kertas-kertas berserakan di mejanya sementara kakaknya
mengecek setiap isinya. Viko mendongak ketika ia datang.
"eh" Kenapa Ta?"
"nggakpapa. Lagi bengong aja," jawabnya. "tugas buat kapan?"
"minggu depan. Tapi harus cepet diselesaiin, kalo nggak nanti numpuk tugasnya," kata Viko
resah, menghela napas panjang.
"yaudah kerjain aja, aku gak mau ganggu," kata Risa bijaksana lalu pandangannya tertuju pada
rak buku disebelahnya. "kakak punya banyak bacaan ya, boleh pinjem gak?"
"ambil aja," kata Viko sungguh-sungguh tanpa melihatnya, sibuk membaca kertas-kertas di
mejanya. "trims," kata Risa riang, mengambil beberapa buku lalu membacanya di atas tempat tidur Viko.
Risa membaca buku bacaan di kamar Viko sampai larut malam. Ia bahkan hendak membaca
seluruh buku di sana sekuatnya. Kakaknya menggeliat dan menguap. Kertas-kertas di mejanya
sudah dirumpuk rapi. Viko berjalan terhuyung ke tempat tidurnya.
"hoahmm.. belum selesai Ta?" tanya Viko. "nggak ngantuk?"
"biar kulanjutin besok deh," kata Risa, buru-buru meraih buku bacaan yang berserakan di tempat
tidur kakaknya. "capek nih. Badan pegel-pegel. Bisa mijitin gak?" tanya Viko penuh harap seraya meregangkan
tubuhya. "pijat?" Kenapa gak suruh bik Ti aja?" tanya Risa heran lalu teringat. "oh iya ya, bik Ti kan udah
tidur. Boleh, boleh."
"gitu dong," sahut Viko senang. Ia merebahkan diri di kasurnya.
"mau dipijat kayak apa" Dipukul-pukul" Atau di diurut" Atau dibalsem?" tanya Risa mengharap
petunjuk. "diinjak," jawab Viko singkat saking lelahnya. Risa kaget, jawaban Viko diluar dugaannya. Risa
mengira kakaknya setengan bercanda.
"diinjak" Pakai kaki?" tanya Risa hati-hati.
"yaiyalah, masa nginjak pake tangan," kata Viko tak sabar.
Mendengar perkataan mantap kakaknya , Risa tidak berani bertanya lagi. Ia dengan ragu-ragu
berdiri diatas tempat tidur lalu melangkahkan salah satu kakinya keatas punggung Viko.
"nggak berat?" tanya Risa khawatir.
"berat apaan" Badan kurus kering gitu. Yang bener mijatnya pake dua kaki dong, gak terasa
sama sekali nih," kata Viko galak.
"bener ya?" Ya udah, pikir Risa, gak usah sungkan-sungkan lagi kalo gitu. Risa berdiri diatas punggung Viko
sambil memindah-mindah letak kakinya. Tangannya kadang menumpu pada dinding kalau tidak
ia berusaha menyeimbangkan tubuhnya seperti pemain sirkus yang berjalan diatas tali. Heran,
kok bisa ya tahan diinjak kayak gini, batin Risa. Viko malah tampak nyaman. Sementara itu
Viko memberi aba-aba layaknya juru parkir kepada Risa, suaranya agak teredam.
"keatas, keatas. Agak kekiri. Ya disitu, yang lama," perintahnya,
"geser lagi ebawah, terlalu bawah, agak ke atas, kanan-kanan."
Ocehan Viko berlangsung selama dua puluh menit yang sangat melelahkan bagi Risa.
"sudah, sudah," kata Viko akhirnya. Inilah yang ditunggu-tunggu Risa dari tadi. "makasih ya Ta.
Enak banget." "udah selesai?" kata Risa senang, beranjak turun dari tempat tidur, cepat-cepat memakai
sandalnya. "yaudah, aku mau tidur. Met malem."
Risa berlari menghambur ke kamarnya, takut kalau-kalau dimintai tolong lagi. Sudah jam 1.00
pagi. Risa menghenyakkan dirinya dengan selimut tebal yang hangat.
"wah capeknya kakak nular ke aku nih," gumamnya seraya menguap lebar.
Yak, inilah yang dibutuhkannya. Pikirannya sudah tidak segelisah sebelumnya sekarang.
Solusinya adalah menyibukkan diri sampai menguras tenaga kalau perlu.
"hoaahhm.." Matanya berair karena ngantuk. Ia memadamkan lampu dan masuk ke dalam selimutnya, tak
lama kemudian tertidur lelap.
*** Tata rupanya senang bisa kembali ke rumah, membantu bik Ti membersihkan perabotan,
menyiram taman, sering memasak sarapan, membuatkan ayah kopi saat ayah sibuk di ruang
kerja, membuatkan mereka roti isi saat sedang bersantai menonton TV. Tata menolak
menghabiskan waktu dengan beristirahat dikamarnya, merasa gerah bila diperhatikan orangorang rumah yang baginya terlalu berlebihan.
Selain itu, Tata bersikap seolah ia baru pertama kali meliht semua perabotan yang ada dirumah
itu. Adiknya kadang terlihat sedang mengagumi mulai dari vas bunga, lukisan di dinding,
peralatan dapur hingga pot bunga. Sering Tata tampak sibuk membaca kilat buku, majalah, koran
atau bacaan apapun yang ditemuinya, bahkan buku pelajarannya yang dulu. Kalau tidak ada hal
yang sedang dikerjakan, Tata akan menggeledah seluruh lemari yang ada, berharap menemuka
sesuatu yang baru, mulai dari lemari buku, lemari pakaan, lemari tempat menyimpan VCD
sampai lemari dapur yang menyimpan peralatan makan dan memasak yang tidak dipakai.
Herannya, Tata kelihatan sangat bersemangat.
Tata sangat ingin tahu tentang apa saja yang sedang ayah dan Viko. Kadang ia masuk ke ruang
kerja menemani ayah dan melihat apa yang sedang ditulis, dibaca, atau diketik oleh ayahnya.
Kadang ia melihat-lihat tugas-tugas yang dikerjakan Viko, memberi saran dan kritik disana sini
tapi menolak untuk membantunya mengerjakan tugas. Kalau keduanya tidak dirumah, Tata
berada disisi bik Ti yang bercerita tentang kampung halamannya dan masa mudanya,
mendengarkan dengan tertarik.
Menurut Viko, adiknya agak terlalu aktif. Ini merupakan pertanda baik tentang kesehatannya.
Namun, bukan berarti kemajuan adiknya ini tidak mempunyai sisi buruk. Semua kegiatan yang
dilakukan adiknya rupanya mewarisi kecerobohannya. Yang sering menjadi korban
ketidakberuntungan adalah Viko sendiri. Hal ini nampak dari serentetan kejadian.
Salah satunya adalah Viko yang tersandung selang penyiram air yang lupa digulung kembali
oleh Tata, ia jatuh terjerembab dengan sebagian baju basah dan kotor. Ia buru-buru mengganti
pakaian dan hampir saja membuatnya telat masuk kuliah.
Viko merasa kecewa karena tidak biasanya seharian itu ia tidak menerima telepon dari cewekcewek kenalannya. Penyebabnya baru diketahui menjelang malam hari, Tata rupanya tidak
meletakkan gagang telepon dengan benar saat terakhir kali enerima telepon.
Lalu pada hari minggu yang cerah, Viko baru bangun agak siang, begitu membuka pintu kamar
ia langsung disambut oleh Tata yang bersin hebat dengan mata terpejam tepat ke arahnya sambil
memegang bulu-bulu pembersih dan lap di tangan yang lain. Tata buru-buru meminta maaf,
berkata bahwa ia menahan-nahan bersinnya dari tadi. Viko hanya bisa memberinya pandangan
tanpa ekspresi karena sudah terbiasa dengan kejadian semacam ini.
Saat ayah mengeluarkan mobil dari garasi, ayah berpesan pada Tata untuk mengambilkan
kacamatanya. Tata mengambil secepat mungkin tapi kacamata yang dimaksud tertukar dengan
kacamata yang kadang dipakainya bepergian, membuat adiknya kembali masuk rumah dan
membawakan kacamata yang benar.
Sepulang dari mengajar, ayah membawa dua bungkus plastik besar makanan. Adiknya membuka
lemari tempat kumpulan piring yang tidak terpakai, berniat mencari piring yang cukup besar
selagi ayah membuka bungkusnya. Sedangkan ia mengambil botol air minum dari dalam kulkas.
Tiba-tiba Anita menjerit dan lari terbirit-birit, begitu melihat dirinya langsung melompat
kearahnya. Tangan Anita serasa mencekik lehernya. Kaki Anita nak ke sekeliling lututnya. Ia
kesulitan menjaga keseimbangan, badan Anita berat sekali ternyata. Pemandangan itu lucu sekali
sebetulnya, ia seperti sedang menggendong simpanse. Dalam dekapannya, Anitamemekik ngeri,
memejamkan mat, menarik lehernya lebih kencang supaya tidak jatuh. Tebak! Serangkaian
kejadian heboh itu disebabkan oleh seekor kecoak" Ayahnya tertawa-tawa geli sedangkan Bik Ti
memukul-mukul kecoak itu dengan sapu. Kalau saja ia tidak mengenal adiknya, ia akan berpikir
adiknya berusaha membunuhnya.
Belum lagi saat mereka sedang bersantai diruang keluarga, ayah menonton acara kesukaanya, ia
sedang belajar untuk ujian besok sedangkan Tata asyik membuat bintang kecil-kecil dari kertas
kado yang merupakan kegiatan rutinnya tiap malam. Terdengar bel berdering, Tata berkeras
membukakan pintu namun rupanya kakinya kesemutan sehingga baru bergerak dua langkah
langsung jatuh tersungkur, membuat ayah dan ia terlonjak kaget. Setelah memastikan Tata tidak
apa-apa, Viko menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah.
Setiap Viko mengajak adiknya makan diluar, ada-ada saja ulah Tata. Mulut Tata selalu
belepotan, rupanya adiknya berusaha mengimbangi cara makannya yang cepat. Jika Viko tidak
menhabiskan makannya atau menyisakan makanan yang tidak disukainya, Tata dengan senang
hati menghabiskannya. Pernah suatu kali Tata memotong daging steak-nya kelewat semangat
sehigga membuat potongannya meluncur di meja.
Suatu ketika Tata lupa menutup panci tempatnya biasa membuat popcorn dan baru tersadar
ketika terdengar letupan disertai butiran-butiran popcorn panas berloncatan ke segala jurusan di
udara dari dalam panci. Viko sampai ikutan panik sambil menunduk, tiarap dan berlindung
dibalik wajan kosong sembari menghindari letupan popcorn disana sini dalam usaha mereka
mematikan kompor yang ternyata tidak semudah perkiraan. Viko lega akhirnya bisa
terselamatkan dari bencana lokal hujan popcorn sedangkan adiknya rupanya tak kuasa menahan
tawa teringat kekonyolan tadi, tertawa terbahak-bahak dan meledek tampang paniknya. Viko
mendesak Tata untuk membersihkan kekacauan yang ia sebabkan karena butiran popcorn
bertebaran di lantai dapur.
Selama seminggu penuh Bik Ti pulang kampung karena kakaknya sakit keras. Tata semenjak itu
jadi lebih sibuk dari biasanya, hal yang dikerjakannya terhenti ditengah jalan karena melakukan
hal lain yang mendesak. Suatu hari tata salah mengambil gelas yang masih ada busa sabunnya
dan menuang susu kedelai ke dalamnya. Viko kehausan sepulang kuliah, melihat minuman
tergeletak begitu saja di meja. Saat itu Tata mengembalikan botol susu kedelai ke kulkas. Viko
spontan meminumnya dan merasakan susu kedelai rasa deterjen untuk pertama kalinya.
PENEMUAN TIDAK TERDUGA Malam itu begitu cerah, bintang-bintang berpendar bagai permata, Risa memandang dari jendela
kamarnya. Ia sama sekali tidak bisa tidur. Ia beruntung bisa melihat bintang dilangit malam tanpa
awan, membuat hatinya tenang dan nyaman. Bintang-bintang itu ada yang berkelompok. Risa
berusaha menebak bentuk-bentuk yang mungkin dirangkai gugus bintang itu. Tapi sejauh ini ia
hanya bisa melihat satu kelompok bintang yang berbentuk seperti layang-layang. Setelah puas
mengamati, Risa menutup tirai kelambu.
Ia sudah di ranjangnya kemudian mengalihkan pandang pada kotak musik besar di meja riasnya,
di sebelah vas bunga yang penuh berisi mawar putih segar yang ia petik dari taman. Risa
mengamatinya sebentar sebelum akhirnya membuka kotaknya, sekedar membuatnya melakukan
sesuatu untuk mengisi waktu luangnya. Dua orang penari dansa berputar-putar. Risa menikmati
melodinya yang indah sambil memandang pasangan dansa itu, agak melamun, terbuai alunan
musiknya yang lembut. Setelah agak lama, suaranya menjadi tidak teratur dan sumbang.
"lho"! Nggak kuapa-apakan kok," gumam Risa bingung lalu mengguncang-guncang kotak musik
di tangannya, berharap suaranya menjadi jelas kembali. Namun tampaknya tidak berhasil.
Risa bermaksud mengecek batrainya. Ia mengamati sisi kotak itu dengan seksama, mencari-cari
di mana letak bateranya. Ia mengangkat kedua penari itu, otomatis bagian dasarnya ikut
terangkat. Yang mengejutkan adalah bahwa di dalamnya tidak hanya terdapat baterai tetapi
tersimpan buku harian kecil.
Risa ragu-ragu mengambilnya, menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri seolah takut ada yang
memarahinya. Ia tidak tahu apakah bijaksana membiarkan dirinya membaca buku harian orang
lain. Bukankah dia sekarang Anita. Setidaknya buku harian ini bisa membantunya mengetahui
segala sesuatu tentang Anita, pikirnya. Risa membuka-buka sekilas. Ternyata Anita tidak
menulis setiap hari, hanya mencatat hal-hal penting yang terjadi atau menulis curahan perasaan
dan pemikirannya. Beberapa tulisan yang menarik perhatiannya adalah sebagai berikut.
Ini sudah yang kesekian kalinya aku pergi ke Singapura untuk cuci darah. Aku sering bertanyatanya sampai kapan harus seperti ini. Pengobatan ini memang berhasil memperpanjang umurku
selama bertahun-tahun, tapi bagiku hidup tidak lagi indah. Alasanku bertahan hidup adalah ayah
dan kakak, terutama ayah..
Ayah bekerja keras mencari uang demi pengobatanku. Aku sampai kasihan melihat ayah seperti
ini. Aku tidak ingin mengecewakannya. Aku ingin bersama mereka lebih lama. Aku ingin
membalas kebaikan mereka. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali belajar untuk
sekolahku. Teman-teman begitu antusias merencanakan masa depan dan cita-cita mereka. Mereka kadang
menelpon ingin tahu keadaanku, datang berkunjung ke rumah, menghibur, menasehati dan
macam-macam. Tampaknya Cuma formalitas. Aku berterimakasih tapi sikap mereka yang
berlebihan membuatku tidak nyaman.
Ibu... aku sangat merindukanmu, aku ingin bersamamu Bu. Tenang dan aman dalam pelukanmu,
tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, tidak perlu berpikir apa-apa. Biu tahu betul bagaimana
harus menghiburku dan menenangkanku. Tahukah kau Bu, hidupku begini hampa... Ayah dan
kakak menjagaku dengan sangat baik, aku sangat berterimakasih pada mereka. Tapi tetap saja
hatiku merasa sedih. Ibu...
*** Esok harinya Risa bangun satu jam lebih pagi dari biasanya, membuka tirai dan jendela kamar.
Di luar langit masih gelap. Ia menghirup udara pagi yang menyegarkan dalam-dalam lalu
beranjak menyisir rambut di depan cermin.
Beruntung kamar mandi masih kosong, maka Risa langsung mandi dan menyikat gigi. Ia sering
rebutan kamar mandi denganViko di pagi hari. Biasanya Risa mengalah karena mengingat Viko
mempunyai kepentingan lebih mendesak hendak ke kampus.
Memasak merupakan salah satu hobinya saat ini. Dia senang sekali bisa membuat berbagai
makanan yang diinginkannya tanpa kesulitan. Padahal dia baru pertama kali membuat makananmakanan tersebut. Walaupun begitu, tampaknya Risa tahu betul bahan-bahan apa saja yang
dibutuhkan dan cara pembuatannya. Rasa masakannya juga enak. Mau tidak mau ia mengakui
dirinya berbakat. Bik Ti kadang ingin membantunya tapi Risa menolak dengan alasan Bibik
masih punya banyak pekerjaan dan harus memasak untuk keluarga.
Risa menikmati hari-harinya dengan riang gembira. Ia sangat menyukai ayah yang serius tapi
baik hati, Viko tukang usil, Bik Ti yang cerewet kalo sudah mulai bercerita. Dari ketiga orang
itu, Risa merasa lebih akrab dengan Viko. Mungkin karena usia yang sebaya jadi Risa merasa
lebih rileks berbicara dengan Viko.
Walaupun sudah tinggal bersama cukup lama, Risa tetap saja tidak bisa menghilangkan sedikit
ganjalan bahwa sebetulnya ia bukan bagian keluarga itu. Wajar kalau ia merasa sungkan atau
bagaimana, ia kan masih tergolong baru mengenal mereka.
Tadi malam Risa membaca buku harian Anita dengan teliti. Menarik sekali membaca tulisan
tangan seseorang, seakan kau bisa melihat bagaimana orang itu sebenarnya. Menurutnya, Anita
agak jenuh dengan hidupnya yang seakan diatur.
Ayah ada tugas diluar kota, Bik Ti sedang belanja ke pasar, sedangkan Viko sepertinya masih
tidur di kamar, kelihatannya Viko masuk ke kampus agak siang hari ini. Risa sedang menyiapkan
makanan untuk disantap sambil menonton acara kesukaannya nanti.
"hmm.. kenyalnya udah ok," kata Risa sambil mematikan api kompor yang baru dipakainya
untuk merebus. Di sebelahnya, bau harum saus yang dibuatnya memenuhi dapur."ups, hampir
lupa, sausnya juga udah matang."
Sewaktu Risa mengambil piring, dilihatnya Viko masuk ke dapur, membuka kulkas dan
mengambil jus jeruk. Risa tidak menghiraukan kedatangannya lalu meniriskan masakannya.
Viko melihat Risa yang sibuk dengan terheran-heran karena ia tahu pasti adiknya tidak pernah
dan tidak suka memasak. Risa menuang saus tomat campur daging giling yang masih hangat ke
atasnya lalu mengambil keju dari atas lemari.
"bikin apa nih?" tanya Viko ingin tahu sambil mencium aroma masakan Risa.
"PASTA," jawab Risa singkat seraya menyerut keju diatasnya.
"coba dong.." kata Viko memelas dengan perut lapar.
"boleh," sahutnya. Risa menyuapkan satu sendok penuh ke dalam mulut kakaknya. "nih."
"mm.. enak," komentar Viko sambil mengunyah yang sekarang malah ingin memakan habis
sepiring pasta hangat d hadapannya. "buatin satu dong."
"gak ada waktu, buru-buru," tolak Risa sembari mengisi gelasnya dengan air hingga penuh.
"buru-buru apa?" tanya Viko penasaran, mengusap sisa jus jeruk di mulutnya.
"mau nonton film kartun di TV. Makan aja sisa sarapan tadi pagi, masih ada tuh di lemari."
"FILM KARTUN?"?" tanya Viko tak percaya. "ya ampuunn, kamu ini umur berapa sih?"
Namun Risa tidak mempedulikan ucapannya.
"aduh udah jam segini! Bisa telat nih," kata Risa yang sekarang menghambur secepat kilat ke
ruang keluarga sambil membawa makanan dan minumannya, duduk manis, dan mulai menonton
acara kesukaannya. Sebentar saja ia sudah tertawa-tawa kegelian.
Viko tersenyum melihat adiknya begitu senang. Setengah kecewa karena ia tidak bisa makan
pasta, ia membuka lemari dan mengambil makanan sisa sarapan tadi pagi.
Sorenya, Risa membuatkan ayahnya secangkir kopi hangat. Bibik sedang berbenah di kamar
sedangkan Viko ada kerja kelompok di rumah temannya. Ayahnya sedang membawa kumpulan
tugas mahasiswanya yang menggunung tinggi di ruang keluarga. Risa merasa kagum dengan
ayahnya. Ayahnya sekarang memberi nilai pada makalah yang baru dibacanya dengan
menggunakan spidol hitam, lalu menghisap rokok di tangannya.
"ayah!" tegur Risa sambil mengambil batang rokok yang tinggal setengah dari tangan ayahnya,
meletakkannya di asbak lalu menyodorkan kopi yang baru dibuatnya. "jangan merokok terus!
Mau kopi?" "terimakasih," kata ayahnya yang matanya tampak jenuh lalu menyeruput kopi hangatnya. Ia
tidak tampak marah karena Risa mengambil paksa rokoknya.
"Tata tahu hampir tidak mungkin lepas dari kebiasaan merokok. Tapi Tata mohon, ayah bisa
mengurangi jatah merokok setiap harinya. Dikuranginya pelan-pelan aja," kata Risa cemas.
"janji ya." "kenapa memangnya" tanya ayahnya heran. "kamu nggak suka bau asapnya ya?"
"ya iya sih," jawab Risa jujur, merasa tidak enak sendiri. "sebenarnya nggakpapa sih tapi kalo
kayak gini caranya, lama-lama ayah bisa ngabisin satu pak sehari. Nggak baik lho. Apalagi
merokok di ruang ber-AC, bahaya banget yah."
"iya juga ya. Ayah sendiri sampai nggak merasa,"kata ayahnya sembari melihat puntungpuntung rokok di asbak.
"Tata pernah dengar kalo kebiasaan merokok bisa dilupakan dengan mengunyah permen karet.
Tapi akhirnya jadi kecanduan permen karet juga. Repot juga sih. Aku gak tahu manjur atau
enggak. Mungkin nggak cocok buat ayah, ntar malah giginya lubang semua. Sebaiknya gimana
ya," kata Ris serius, bingung mencari solusi. Ayahnya terdiam menatapinya. Risa buru-buru
berkata, "Tata gak bermaksud melarang lho. Hanya saja perlu dikura.."
Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"sudah sudah. Ayah tahu. Kamu mencemaskan ayah ya" Jangan khawatir. Ayah akan membatasi
diri mulai sekarang," kata ayah pengertian, membuat Risa lega karena maksudnya tersampaikan
sehingga tidak perlu menjelaskan panjang lebar.
"bener yah" Ayah mau mendengarku saja aku sudah senang," kata Risa lalu memeluk sayang
ayahnya. "kamu ini. Ada-ada saja," kata ayah tak habis pikir lalu menepuk pundak anaknya.
Risa sekarang tertarik dengan kumpulan tugas yang sudah dinilai. Ia mengambil satu untuk
dilihat-lihat sekilas. "kalau aku yang jadi mahasiswi ayah, kira-kira ayah ngasih nilai berapa ya?" tanya Risa ingin
tahu menatap ayahnya, setengah bercanda. Ayahnya balas memandangnya curiga dari balik
kacamatanya. "wah wah wah. Gak boleh KKN lho." Jawab ayahnya yang ingin tertawa mendengarnya.
"sudah kuduga," kata Risa paham sambil membalik-balik halamannya. "oh iya, masalah berobat
itu.." Risa tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia sengaja menunggu ayahnya mengucapkan sesuatu. Risa
takut ia akan salah bicara.
"kamu sudah memikirkannya"
Risa mengangguk. Ia sudah memikirkannya semalaman menimbang semua kemungkinan. Risa
sebenarnya mau-mau saja berobat tapi umurnya toh sudah tidak akan lama lagi. Walaupun sudah
berobat, Risa sangsi bahwa usianya bisa lebih lama setengah tahun. Selain itu sampai kapan ia
harus memperpanjang umurnya. Belum lagi biaya pengobatan yang mahal dan menyita waktu.
Pembalasan Selir Sesat 2 Kasus Terakhir Miss Marple Miss Marples Final Cases Karya Agatha Christie Harimau Kemala Putih 8