Pencarian

Can You See Me 3

Can You See Me Karya Sonya Michibata Bagian 3


memegang pipinya, agak sakit ketika disentuh. Alat bantu pernapasan yang menyelubungi mulut
dan hidungnya dilepasnya.
"aku kembali?" katanya seolah terhipnotis. "aduuuhh," Risa meraba kepalanya, mendapatinya
sedang terbalut perban tebal kemudian melihatnya ke seluruh ruangan.
Kamar itu kosong, di sebelahnya bergantungan selang, tabung infus. Lalu ia sadar sedang berada
di RS. Badannya kaku sekali seperti robot. Tulang rusuknya terasa ngilu ketika digerakkan. Risa
menatap jendela di seberang, memandang langit biru di atasnya.
"mimpi" Tapi terasa nyata," Risa terdiam, berusaha mengingat-ingat mimpi atau kenyataan yang
telah di jalaninya. Semuanya bagaikan kilasan film yang diputar mundur, Risa membayangkan bagaimana rumah
tempatnya tinggal, orang-orang di dalamnya (ayah yang serius, Viko yang usil, Bik Ti yang
selalu menemainya di rumah), apa saja hal yang dilakukannya selama berada di sana. Betapa
berbeda tempat ia berada sekarang dengan yang dulu. Lalu ia membandingkan dengan dirinya
yang sekarang. Ia teringat bayangan mobil yang melaju kencang ke arahnya, keluarganya
(ibu,ayah,adiknya), rumahnya, teman-temannya.
Aduuh kepalanya sakit sekali. Apa semua itu hanya mimpi" Aku tidak ingin terbangun, aku lebih
betah tinggal di sana. Aku ingin bersama orang yang kucintai. Kalau saja semua itu benar, berarti
dia sudah pernah meninggal. Ia masih tidak bisa percaya. Aku harus memastikannya, tapi mulai
dari mana" Risa merasa agak kesulitan bernapas dan memakai kembali maskernya. Pada saat
yang sama pintu berderit membuka, melihat Risa sadar, orang itu menjerit.
"RISA!! LIHAT, RISA SUDAH SADAR!! Cepat panggilkan dokter."
Ibunya berlari menghampiri, memegang tangannya dan menangis tersedu-sedu.
"oh Risa, biu pikir.., ibu pikir kamu gak akan pernah sadar. Terimakasih tuhan. Ibu hampir putus
asa Ris, berdoa tiap hari supaya kau bisa sembuh," wajah ibunya sangat sedih, matanya merah
bengkak. "ibu sangat-sangat senang. Ini keajaiban."
"bu, jangan begini. Risa gakpapa kok, gak sakit Cuma agak pusing," hibur Risa.
"gara-gara pengemudi bego itu kamu jadi begini. Tenang aja ya Ris, kamu pasti sembuh. Kita
bisa kumpul lagi di rumah."
"Risa sudah berapa lama di sini?"
"hampir dua bulan. Lukamu parah sekali, gegar otak berat. Dokter takut kalau seandainya kamu
sadar nantinya kamu lumpuh atau kena gangguan saraf lainnya. Tapi kamu gakpapa kan Ris"
Ada yang aneh?" "ndak, badan Risa bisa gerak."
Dokter datang tergesa-gesa didampingi ayah, adiknya sekarang setengah bersembunyi di
belakang ibunya. "Ris, kamu gakpapa kan" Masih ingat papa?" taya ayah Risa, tampak sangat khawatir.
"masih." "apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya dokter cepat-cepat seraya memeriksa denyut
jantungnya, memeriksa rongga mulutnya sewaktu Risa menjulurkan lidah.
"mual, pengen muntah dari tadi, pusing, agak meriang," tutur Risa rinci.
"di sini sakit" Di sini" Yang ini?" tanya dokter yang menekan perutnya di tempat yang berbedabeda. "jangan banyak gerak dulu ya, luka di kepalamu masih belum sembuh. Banyak banyak
istirahat, nanti suster memberi obat penenang."
"istirahat saja ya Ris, ayah dan ibu tunggu di luar," kata ayahnya. Kedua orang tuanya mengikuti
dokter keluar kamar. Suster sedang meminumkan obat lalu menyusul ke luar. Risa
memperhatikan adiknya masih tinggal, memandangnya takut-takut. Risa tersenyum,
mengajaknya bicara, masih menahan mual.
"Letty gak kangen kakak?"
"kak Risa jangan tidur teruss," jawab Letty sambil mendekat ke arahnya. "Letty sepi di rumah."
"kalo kakak udah bisa bangun, kita pergi maen ya. Letty mau kan jalan-jalan sama kakak?"
"mauuu. Janji ya, kalo bo"ong harus beliin Letty coklat yang banyak."
"janji!! Letty bisa ambilin cermin di meja gak" Bawa ke sini."
Adiknya menurut patuh, membawa cermin yang tergeletak di meja ke tangannya. Risa
memandang dirinya beberapa detik. Ini memang wajahnya, tapi ada bekas lebam-lebam membiru
di sisi kiri wajahnya seprti salah satu tokoh memakai topeng dalam film "phantom of the opera".
Oh.. bagus, pikirnya, kenapa pas di muka sih. Untung saja hanya lebam bukannya luka, kalau
sembuh tidak meninggalkan bekas. Perban di kepalanya membuatnya ngeri, ia tidak berani
sering-sering menggerakkan kepalanya.
"aduh!" pekik Risa kesakitan saat meraba perban di belakang kepalanya.
"kakak hati-hati dong, kepala kakak kan habis di operasi, lama sembuhnya, jadi wajar kalau
sakit. Kata mama sih dijahit pakai benang sama jarum gitu."
"oh pantas. Serem juga."
"kak, Letty punya temen baru," kata adiknya tiba-tiba.
"namanya Rivan, waktu kapan datang ke sini sama orang tuanya. Itu lho.. yang di dorong kakak
sewaktu di jalan." "oh... anak itu," kata Risa mendadak paham. "dia ke sini" Ngapain?"
"njenguk kakak, bawa buah. Mama papanya bilang terima kasih sama cepet sembuh."
"hmm..." tanggap Risa, kepalanya mulai terasa pening dan berat. "Letty tunggu mama di sini ya,
kakak ngantuk, mau tidur."
Risa terbangun satu jam berikutnya, merasa lebih baik. Ketika ia membuka mata, kedua orang
tuanya sudah berada di samping tempat tidurnya. Mereka tersenyum memandangnya. Tak jauh
dari situ ia melihat Letty tertidur di kursi.
"sudah bangun Ris," kata papanya ramah.
"mau minum?" tanya mama khawatir. Risa mengangguk.
Risa yakin pengalamannya bukan sekedar mimpi. Bila hal itu adalah kenyataan berarti ada
kemungkinan Anita juga kembali ke tubuh asalnya. Tapi bukankah selama ini dia terus tidak
sadarkan diri di rumah sakit. Jadi bagaimana dengan Anita. Apakah yang ia alami selama ini
memang mimpi" "o iya , Risa harus pergi," atanya tiba-tiba, beranjak turun dari ranjang, melupakan gelas air
minum yang di sodorkan mamanya. Ia baru saja teringat akan Viko, namun kedua tangannya
ditahan oleh ayahnya. "Ris, jangan. Kamu mau kemana?" tanya ayahnya. Berusaha mencegahnya keluar.
"Risa harus bertemu dia. Dia pasti khawatir," kata Risa, bertekad untuk tetap pergi.
"dia siapa?" tanya papa bingung, tidak mengerti. Mengira Risa sedang terguncang.
Mama berlari panik ke arahnya.
"mama mohon Ris, jangan ke mana-mana. Kamu baru sadar," kata mama histeris.
"tapi ini penting ma," kata Risa menegaskan. "mama nggak ngerti."
Ia sangat merindukan Viko. Ia tidak bisa berlama-lama di sini. Ia harus memastikan sesuatu.
Namun sebelum ia sampai di pintu, kepalanya sakit luar biasa. Dirinya roboh ke lantai.
Mama berteriak-teriak panik memanggil suster. Risa merasa tubuhnya menjadi ringan karena di
gendong papanya kembali ke ranjang. Sejenak kemudian ia disuntik penenang, membuatnya
melupakan semuanya sejenak, semuanya termasuk tentang Viko.
*** Risa masih melewatkan 3 minggu berikutnya di RS. Ia rutin menelan obat pengurang rasa mual
dan pusing, tak lupa disuntik setiap hari serta menjalani berbagai tes dan terapi . Risa sudah biasa
dengan makanan RS walau diam-diam Risa meminta ibunya membawakan makanan dari rumah
sebagai tambahan. Perban tebal di kepalanya sudah dilepas, diganti dengan kapas dan tensoplas
walaupun lukanya masih terasa sakit. Bobby, Jenny dan Jessy datang menjenguk begitu tahu
Risa sudah sadar. Mereka tampak bahagia dan tak sabar bisa berkumpul bersama lagi. Jessy
rupanya shock berat melihat dirinya ditabrak obil.
"aku gak akan mau nyebrang jalan kalo gak ada orang di kanan kiriku," kataya.
"dijadiin tameng maksudnya?" sindir Bobby.
"jangan khawatir ketinggalan pelajaran, masih awal-awal kok!" hibur Jenny tidak menghiraukan
Bobby dan Jessy, rupanya tau kegelisahan Risa.
Risa ingin sekali meninggalkan RS secepatnya, ia bosan terkurung terus di dalam. Selain itu ia
harus menjalani kehidupannya seperti biasa. Namun hal yang paling membuatnya termotiasi
adalah Viko. Risa terobsesi dengan kejadian yang dialaminya sewaktu ia tidak sadarkan diri. Ia
yakin sekali bahwa itu adalah kenyataan, bukan sekedar mimpi. Kadang khawatir bila Viko tidak
akan mengenalinya atau berubah pikiran tidak mau menerimanya dll. Risa masih mengingat
daerah di sekitar rumah itu, berharap mempunyai bekal informasi cukup sehingga suatu saat ia
bisa menemukannya. *** Tahun ini Risa dan Bobby sekelas sedangkan si kembar berbeda kelas dengannya. Walaupu
begitu, Jessy dan Jenny berada dalam kelas yang sama. Orang tua si kembar meminta kepala
sekolah supaya meletakkan mereka dalam kelas yang sma, supaya Jenny bisa mengawasi Jessy
setiap saat. Risa sering bengong di kelas, menatap hampa buku di hadapannya, atau sering tidak
berkonsntrasi menyimak pembicaraan teman-temannya. Bobby rupanya berniat menjaga Risa
dimanapun mereka berada, menawarkan diri mengantarnya pulang. Dari kejauhan Bobby dering
mengamatinya seolah takut ia mendadak jatuh pingsan atau apa. Jessy dan Jenny juga
berkelakuan sama. Mereka senang ia sembuh, mentraktirnya macam-macam, menghiburnya
dengan obrolan lucu. Tetapi Risa selalu teringat bayangan Viko dimanapun dan kapanpun dia berada. Orangtuanya
belum membolehkan dirinya keluar sendirian. Sebenarnya Risa bisa mengajak si kembar tapi
akan merepotkan kalo harus menjelaskan ke mana ia akan pergi , bagaimana dan kenapa ia ingin
ke sana. Dalam hati Risa sudah tidak berniat membagi kenangan bersama Viko dengan orang
lain. Lagipula Risa tidak sepenuhnya tahu letak rumah itu sehingga butuh waktu mencarinya.
Jakarta kan luas, pikirnya. Ia harus meyakinkan orangtuanya bahwa ia benar-benar sudah
sembuh walau ia sendiri tidak yakin.
"Ris" Ris" HALLO...?" kata Bobby seraya mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah Risa.
"Hah?" Risa menoleh ke arah suara itu berasal. Ia lupa sedang makan bersama sahabatnya di
warung dekat sekolah. Ia tidak sadar asih menyedot gelas minumannya yang sudah kosong.
"kamu ngelamunin apa sih?" tanya Bobby.
"iya ada apa sih" Cerita dong," bujuk Jenny.
"AKU TAU! AKU TAU!" pekik Jessy gembira. Mengacungkan telunjuknya.
"apanya?" kontan Jenny dan Bobby bertanya, memandang Jessy dengan serius. Sedangkan Risa
menatapnya tertarik. "eh,eh, lho apa ya?" Jessy balas bertanya sambil berusaha mengingat, dahinya mengernyit.
"sorry lupa," katanya buru-buru meminta maaf.
"huh payah!" kata Jenny tampak kecewa. Bobby hannya bisa geleng-geleng kepala melihat
tingkah Jessy. "tapi kayaknya ada hubungannya sama penyebab kemurungan Risa," kata Jessy. Mereka bertiga
langsung memandang ke arahnya.
"aku kenapa emangnya?" tanya Risa tampak heran.
"biar kuberitahu," jawab Bobby sambil menghitung dengan jarinya. "sering ngelamun, lebih
banyak diemnya, pelupa, sering salah jalan, gak fokus setiap ada pembicaraan dll."
"AKU INGAT! AKU INGAT!" pekik Jessy.
"apanya?" tanya Jenny dan Bobby lebih keras dari yang tadi karena bosan.
"ini disebut sindrom apa gitu. Yang pasti sesudah mengalami kerusakan otak, otaknya perlu
memperbaiki diri," jawab Jessy tidak yakin.
"kamu ini ngelawak atau apa sih?" tanggap Bobby.
"trus apa hubungannya?" tanya Jenny serius.
"ya karena itu mempengaruhi kejiwaan dan..." omonganya terputus begitu melihat tampang
Jessy dan Bobby. "udah deh tanya aja sama sumbernya langsung."
"aku gakpapa, Cuma belum biasa aja," jawab Risa singkat.
Melihat Risa tidak ingin berbicara lebih lanjut tentang hal ini, merekapun terpaksa puas dengan
jawaban Risa. *** Di dekat sini, belok kiri, lurus sampai ada tiang listrik, belok kiri lagi, trus diantara pagar coklat
dan pagar hijau. Risa berjalan sepanjang perumahan menuju rumah yang dimaksud. Semuanya
cocok, batinnya senang, melompat-lompat riang seraya menatap sekeliling. Ini dia, rumah ini.
Risa menatap mengenang saat-saat ia berada di dalamnya. Tidak ada yang berubah, pikirnya.
Lalu ia memberanikan diri membunyikan bel di pagar. Ia mendengar bunyi bel yang menggema
lalu hening. Risa menunggu-nunggu, mengintip di sela-sela pagar, mengira bik Ti atau ayah atau
Viko keluar dari dalam rumah tapi tak satupun orang yang dimaksud kelihatan.
"cuma mimpi ya," gumamnya kecewa namun tak membuatnya putus asa.
Rumah itu tampak tidak berpenghuni. Sudah berkali-kali ia membunyikan bel tapi tidak ada
jawaban. Risa bersandar pada pagar, menundukkan kepala memandang kakinya. Matahari
bersinar terik. Lalu Risa dikejutkan oleh suara langkah kaki mendekat dan bayangan orang di
tanah yang makin lama makin panjang, Risa mendongak penuh harap. Oh..., nenek tetangga
sebelah sekedar lewat. Risa menatapnya. Orang itu bertanya pada Risa, menatapnya curiga.
"mau cari siapa?"
"eh, saya teman kuliahnya anak yang tinggal di sini," kata Risa mencari alasan.
"oh, mereka baru saja pindah."
"apa" Pindah" Tapi pindah kemana?" tanya Risa mendesak.
"tidak tahu. Mereka langsung pindah tak lama setelah putrinya meninggal. Pastinya rumah ini
mempunyai banyak kenangan tentang istri dan putrinya yang sudah meningga."
"mereka tidak meninggalkan nomor telepon atau apa begitu?" tanya Risa yang sekarang yakin
bahwa hal yang dialaminya itu kenyataan.
"kau kan teman kuliahnya, kenapa tidak tanya saja ke anaknya?" jawab nenek itu seraya
meninggalkan dirinya yang mematung tak berdaya.
Setelah 15 menit berlalu, Risa menatap rumah itu untuk yang terakhir kalinya sebelum beranjak
pergi. Harapannya sirna, ia tidak bisa lagi bertemu Viko, ia tidak mempunyai petunjuk apapun
kecuali... mendadak ia sadar, masih ada satu tempat yang belum dikunjunginya, tempat kuliah
Viko! Ia kembali bersemangat lalu dengan bergegas menuju universitas tempat Viko kuliah. Ia
sudah hampir sampai ketika sadar bahwa anak kuliah sekarang sedang libur panjang pergantian
tahun ajaran, 2-3 bulan. Masih lama sekali kalau begitu, batinnya kecewa, menghentikan
langkahnya dan berbalik pergi, kembali murung. Ditambah lagi ia tidak bisa membayangkan
dirinya menanyakan kelas baru Viko kepada siapa saja yang ditemuinya seperti yang dulu pernah
dilakukannya. Sekarang ini dia kan bukan siapa-siapa.
Belum pernah selama hidupnya, ia merasa begini merana. Ia tidak sadar kemana ia pergi.
Pikirannya seakan mendengung-dengung di dalam kepalanya, setiap saat akan meledak.
Mengapa ingin bertemu saja sulit sekali. Apakah tindakannya mencari Viko ini benar.
Bagaimana kalau mereka sama sekali tidak mengharapkan kedatangannya. Seandainya bisa
bertemu, apakah Viko mengenalinya"
Risa menghela napas, menengadah dan melihat papan bertuliskan FLORIMA- toko bunga
langganannya. Bunga, katanya dalam hati, adalah satu-satunya hal yang dapat menghiburnya. Ia
membuka pintu dan merasakan wangi aneka macam bunga turut menyegarkan dirinya. Untuk
pertama kali ia dibuat melupakan semua masalahnya. Risa memandang berkeliling, kadang
berhenti sekedar mencium aroma bunga yang diminatinya. Semuanya masih segar dan indah.
Setelah puas melihat-lihat, ia membeli 7 tangkai bunga mawar putih kesukaannya. Risa berpesan
agar bunga mawarnya tidak perlu diikat, ia ingin membawanya dengan tangannya. Seperti biasa,
tante pemilik toko menawarkan jasa pengirimannya, menyodorkan kartu namanya, tetapi Risa
menjawab. "terima kasih, saya tidak memerlukannya, sudah hafal nomornya."
Risa sempat mendengar tante itu berkomentar di belakangnya sewaktu ia berbalik.
"bagaimana mungkin" Dia kan baru datang kali ini," katanya bingung kepada diri sendiri.
Risa melihat jam tangannya dan terkejut sendiri sudah pukul 5 sore. Ia harus cepat pulang karena
tadi tidak memberitahukan kemana ia pergi kepada keluarganya. Mereka akan sangat khawatir.
Risa langsung bergegas sampai-sampai tidak memperhatikan pandangannya. Ia menabrak
seseorang di pintu saat hendak meninggalkan toko itu. Tanpa sadar setangkai bunga mawar
putihnya lepas dari genggamannya dan terjatuh ke lantai. Risa buru-buru meminta maaf tanpa
melihat siapa yang ditabraknya, yang pasti seorang pria jangkung.
*** "duuuh, jangan dorong-dorong," kata Jessy sebal.
"geser dikit knapa sih?" kata Bobby kepada Jenny
"shhh, kalo kalian ribut nanti kita ketinggalan jejak," jawab Jenny mengatasi suara ribut
kawannya. Sebenarya mereka bertiga sedang dalam misi rahasia menjadi mata-mata. Tentunya yang dimatamatai adalah sahabat mereka, Risa. Kemarin lusa, mereka mengajak Risa untuk bepergian
bersama hari ini. Namun Risa dengan tegas menolak dikarenakan ada hal mendesak yang harus
dilakukannya. Apa tepatnya hal tersebut, Risa tidak mau memberitahu mereka. Risa tampak
tidak ingin mendiskusikannya sehingga membuat penasaran. Oleh karena itu, diam-diam mereka
sepakat untuk menguntit Risa.
"sebenarnya dia mau ke mana sih?" tanya Jenny, memicingkan mata, memandang Risa di
kejauhan. "panasnyaaa," keluh Jessy tidak perduli seraya mengipasi wajah dengan tangannya walaupun
sama sekali tidak membantu.
"ayo mulai bergerak," kata Bobby memberi komando kepada si kembar.
Mereka mengendap-endap sepanjang jalan dan terhenti, berpura-pura tertarik dengan etalase
toko. Sedapat mungkin Risa tidak boleh menyadari kehadiran mereka. Setelah cukup jauh dan
aman, Bobby meraih lengan Jenny, menyuruhnya mengikuti langkahnya.
"eh. Stop, stop!" kata Jenny tiba-tiba begitu menyadari Jessy tidak ada.
Bobby dan Jenny menoleh ke belakang dan melihat Jessy berjarak tiga meter dari mereka sedang
berbicara dengan pasangan setengah baya.
"ngapain sih tuh anak," gerutu Jenny sebl sambil berjalan tidak sabar ke arah adiknya.
"...iya, pokoknya lurus aja. Setelah perempatan pertama belok kanan, abis itu ada pertigaan belok
kiri. Sehabis dari sana tanya aja sama orang sekitar," ulang Jessy berbaik hati pada suami istri
yang menanyakan jalan. "hm..." gumam pria itu seraya berusaha mngingat petunjuk Jessy kemudian tampak puas.
"terimakasih yah dik."
"sama-sama," kata Jessy. Di sebelahnya, Jenny ikut mengangguk lalu cepat-cepat menarik
tangan Jessy. "kamu ini! Bilang dong kalo mau ngapain," kata Jenny menasehati. Jessy rupanya diam saja.
"ntar jangan sampai terpisah lagi, ok. Yuk," sahut Bobby begitu mereka datang.
Stelah 20 menit berjalan, mereka berhenti di tikungan perumahan, melongokkan kepala
sembunyi-sembunyi mengawasi Risa. Dari situ mereka melihat Risa sedang menunggu di depan
pagar suatu rumah. "rumah siapa tuh?" tanya Jenny penasaran. "kamu tau Jess?"
"nggak tuh. Seumur-umur aku kenal Risa, gak pernah kesini. Buka rumah saudaranya kok,"
jawab Jessy dalam bisikan.


Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"aku juga gak tahu. Ada kepentingan apa ya?" kata Bobby ingin tahu.
"udah ah capek, panas banget lagi. Kita tanya langsung aja yuk!" usul Jessy tanpa pikir panjang
ia menampakkan diri di tikungan.
Jenny dan Bobby kontan terkejut dan langsung menyambar kerah baju dan pundak Jessy,
menariknya dan menyuruhnya tetap bersembunyi. Untung saja saat itu Risa sedang menunduk
menatap jalan. "sabar dong," kata Bobby kepada Jessy.
"nanti usaha kita tadi jadi sia-sia," timpal Jenny. "Risa kan kelihatannya gak ingin memberitahu
kita." Mereka melewatkan sisa waktu itu dengan berjalan hilir mudik, berusaha mengatasi kebosanan
sampai akhirnya Risa beranjak dari rumah itu dan berjalan ke arah mereka.
"kelihatannya dia gak bertemu siapapun ya?"
"orangnya pada pergi semua kali,"
"dia mau ngapain sih?"
"ssst dia ke sini, buruan kabur!" kata Jessy. Mereka langsung buru-buru pulang untuk menyusun
rencana kembali. PERMEN BINTANG DAN MAWAR Risa terbangun pagi-pagi sekali hari Sabtu, hari ini sekolahnya libur karena ada rapat guru. Ia
menyibak tirai dan membuka jendela kamarnya, membiarkan udara pagi yang segar masuk.
Setelah merapikan tempat tidur dan meregangkan badannya, ia turun untuk membantu ibu
menyiapkan sarapan. Ternyata adiknya juga sudah bangun, ia duduk di meja makan menikmati
susu hangat. "pagi kak," sapanya.
"pagi semuanya."
"kamu ada rencana pergi hari ini Ris?" tanya mama. Tangannya sibuk mengaduk nasi goreng di
wajan. "iya, pengen jalan-jalan. Mumpung ada waktu," Risa duduk, mengambil segelas air putih.
Sementara itu, Toska menggonggong gembira di halaman depan.
"Letty ikut!" teriak adiknya bersemangat.
"Letty kan harus sekolah," kata papa yang sedang menghabiskan kopinya. Letty geleng-geleng
tidak setuju. "ntar habis pulang sekolah, Letty jalan-jalan sama kakak ya," ajak Risa memberi solusi.
"he eh," jawab Letty girang. "ma, tambah susunya."
"kalo gitu kamu bantu mama dulu ya beres-beres rumah," usul mama, sekarang sibuk mengisi
piring-piring mereka yang kosong. Baunya harum menyengat.
"yah mama," keluh Risa, "kan harus simpan tenaga buat ntar pergi-pergi."
"kayak baterai aja," komentar papa. "memangnya kamu mau pergi sejauh mana Ris" Kalo papa
boleh tau?" "Cuma jalan-jalan di pertokoan aja kok, memang jauh sih dari sini," jawabnya.
"ati-ati lho Ris," ujar papa menasehati.
"jangan sampai adikmu kena culik, ntar tambah masalah aja," tambah mama seraya menuang
susu cair ke gelas adiknya.
"beress." "aku mau makan kue tart," seru adiknya tak mau ketinggalan.
"iya, ntar kakak beliin."
"HORE!!!" teriaknya sambil menendang-nendangkan kakinya ke bawah meja.
*** Mereka puas bermain seharian ini. Letty bukan main lincahnya, ingin ditemai ke sana kemari.
Tas kecilnya mengembang penuh barang yang mereka beli. Kadang Risa terpaksa
menggendongnya kalau mereka berjalan jauh.
"hup... ya ampuuuun, beratmu nambah," kata Risa kepada Letty yang baru saja digendongnya
selagi Letty mengalungkan lengan di lehernya.
"aku kan pengen cepet gedhe."
"Letty udah mau pulang ya?" tanyanya, adiknya mengangguk. "temani kakak bentar ya ke toko
bunga. Letty suka bunga kan?"
"suka baangeeeet! Di sekolah ada bunga sepatu, anggrek bulan, bunga liar, morning glory,
macem-macem pokonya."
"nanti kamu bakal liat bunga yang buanyak, warna-warni, warnanya macem-macem tapi jangan
dipetik lho. Gak boleh," kata Risa memberitahu. "sekalian beli bunga sedap malam kesukaan
mama, oke?" Begitu sampai di sana, Letty langsung minta diturunkan. Rsa sibuk memilih bunga-bunga yang
cocok untuk dirangkai dengan bunga sedap malam dalam sebuah vas. Mama pasti suka, katanya
dalam hati, tersenyum puas. Adiknya tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan berusaha
mencium segala wangi bunga di sana tanpa melewatkan satu pun dan menahan diri untuk tidak
memetiknya. Terkadang Letty mengajak bicara beberapa pembeli yang sebagian besar adalah
wanita. Adiknya memang lucu sehingga semua orang pasti tertarik berbicara dengan adiknya.
Rangkaian bunga untuk mamanya sudah hampir selesai. Risa berjalan menyusuri sederet bunga
warna cerah dan berhenti di depan deret bunga kesukaannya. Ia memilih, mengambil beberapa
tangkai, membelai kelopaknya dengan perasaan rindu. Dulu hampir setiap hari ia berlangganan
mawar ini, membuatnya tenang dan terhibur. Ia dikejutkan oleh teguran tante pemilik toko,
"mbak sudah selesai?"
"oh, sama ini jua. Berapa?" kata Risa sambil memberikan mawar pilihannya. Ia menunduk ketika
mengeluarkan dompet untuk membayar sambil memanggil adiknya, "Let, Letty."
"Risa?" panggil seseorang di belakangnya.
Kelihatannya suara itu sangan dikenalinya. Risa menoleh untuk memastikan dan terkejut
setengah mati. Di hadapannya berdiri pria jangkung yang menatapnya dengan serius. Adiknya
ada dalam gendongannya, dengan gembira melambai-lambaikan bunga lili dalam
genggamannya. Risa tidak mempercayai matanya, ia tidak bisa berkata-kata.
"Risa kan?" ulang pria itu.
*** Suasana pemakaman hening, yang terdengar hanyalah isak tangis di dekatnya. Di dini waktu
seakan berhenti. Waktu memang berhenti, batin Viko, bagi orang-orang yang sudah terkubur di
sini. Ia memandang kuburan yang baru saja ditimbun kembali. Anita terbaring dalam damai di
samping makan ibunya. Anita pasti senang dapat berkumpul kembali dengan ibunya, satusatunya hal yang dinantikannya selama ini. Viko akan sangat merindukan mereka. Dalam hati ia
bertanya-tanya apakah Risa juga telah bergabung bersama adik dan ibunya.
Viko mengurung diri dalam kamarnya sepulang dari pemakaman adiknya. Rumah ini terasa sepi
sekali tanpa kehadiran adiknya. Ayah sedang menenangkan diri di ruang keluarga ditemani bik
Ti yang masih menangis tersedu-sedu. Bik Ti berusaha mengajak ayahnya bicara sekedar
menghibur walaupun ayah terlihat lebih bisa mengendalikan diri daripada Bik Ti. Viko merasa
telah kehilangan dua orang yang berharga sekaligus yakni Anita dan Risa. Sulit baginya
membandingkan siapa yang membuatnya paling merasa kehilangan. Viko duduk terhenyak di
lantai, badannya sama sekali tidak bertenaga, semangatnya hilang.
Malam telah tiba, tapi Viko masih belum beranjak sedikitpun dari tempatnya. Dalam keheningan
itu ia teringat akan pengakuan Risa, seakan baru terjadi kemarin. Malam itu ia sedang duduk di
tempatnya duduk saat ini, memainkan gitar sambil termenung menatap toples kaca penuh
bintang buatan Risa. Saat itu ia menerka-nerka perubahan drastis pada adiknya, tatapan Anita
yang tidak bisa ia lupakan saat menatapnya seolah memandang orang yang sangat dicintai. Risa
pasti menderita dengan keadaan yang dialaminya, walaupun begitu Risa berusaha tetap ceria dan
tersenyum kepada setiap orang.
Viko tersenyum sedih. Dulu ia berusaha memahami adiknya yang telah berubah. Ia tidak habis
pikir kenapa Anita sampai menjadi kekanak-kanakan dengan membuat permen isi bintang yang
berwarna-warni, suka menonton film kartun dsb. Alasannya sederhana, adiknya bukanlah Anita
tetapi Risa. Setiap tiga hari sekali, Risa tidak lupa menambahkan bintang ke toplesnya, sampai
isinya penuh. Apakah Risa membuatnya untuk mengisi waktu" Atau ada hal lain yang
dipikirkannya" Ia tidak pernah menanyakannya langsung.
Ia tidak tahu siapa dan bagaimanakah Risa yang sesungguhnya. yang pasti, ia menyukai Risa.
Risa telah menari perhatiannya. Ia tidak bisa berada dalam tubuh adiknya. Saangnya, saat ia
menyadari perasaannya selama ini, tidak banyak waktu yang tersisa untuk mereka. Viko belum
siap untuk kehilangan Risa. Risa seolah datang dan pergi begitu saja, meninggalkan dirinya
dengan lubang kosong dalam hatinya. Walaupun sesaat, perasaan dalam hatinya begitu nyata dan
menyakitkan. Ia sedih sekali tidak bisa mempertahankan orang yang dicintainya, yang membuat hidupnya
bahagia. Berkali-kali terbesit keinginan untuk menyusul Risa namun tersadar bahwa itu pikiran
bodoh. Ia tidak boleh manjadi egois sebab bukan hanya dirinya saja yang menderita melainkan
ayahnya juga. Kalau ia sudah meninggal bagaimana dengan nasib ayahnya sendiri, justru akan
menambah kesedihannya. Hatinya terasa kosong secara tidak ada hal apapun yang bisa
mengembalikan dirinya seperti semula.
Viko menguatkan diri untuk bangkit. Ia tidak bisa terus menerus seperti ini, pikirnya.
Tindakannya yang diam membisu justru membuatnya merasa lebih parah. Ia harus melakukan
sesuatu. Ia keluar dari kamar, hendak bergabung dengan ayahnya. Bik Ti keluar dari dapur dan
membujuk ia dan ayahnya untuk makan. Ayahnya bangkit dengan layu berjalan menuju meja
makan, mengajak bik Ti untuk makan bersamanya. Viko masih tidak ada selera makan, ia
membiarkan dirinya duduk nyaman di sofa. Tanpa sengaja ia menatap toples kaca di depannya.
Isinya berwarna-warni ceria, sama seperti...Risa.
Viko meraih toples itu, membukanya dan meraih salah satu permen yang gemuk-gemuk itu. Ia
sendiri tidak tahu apa pastinya yang sedang dilakukannya. Ia memandangi permen itu beberapa
lama, dan memutar-mutarnya, pikirannya kosong. Sekejap ia melihat sesuatu yang aneh berada
terselip dalam permen. Sama sekali tidak menyerupai bintang. Dengan tegang dan ingin tahu ia
membuka pita yang menghias kedua sisinya, bintang-bintangnya berhamburan keluar.
Diantaranya terdapat guntingan kertas foto ukuran 1x1 cm bertuliskan 1 huruf. Huruf K besar
tercetak tebal di lapisan mengkilapnya. Sesaat Viko tidak mengerti apa artinya huruf K itu. Lalu
saat terpikir bahwa tidak mungkin potongan kertas itu hanya kebetulan saja berada di sana, ia
cepat-cepat memeriksa permen yang lain. Sebuah permen lain yang diambilnya, setelah
diperhatikan memang ada sesuatu terselip di dalamnya. Viko membalik toples dengan kedua
tangannya, menuang seluruh permen ke atas meja.
Ia benar-benar tidak sabar sekarang. Dengan asal, ia membuka seluruh pita yang mengkait
permen, mencari-cari potongan huruf yang lain dan mengumpulkannya. Setelah memastikan
tidak ada satupun permen atau huruf yang terlupakan, ia segera merangkainya,
mengelompokkannya, menyisipkan, memindahkan sampa akhirnya membentuk sebuah kalimat.
Lima menit penuh ketegangan telah berlalu, bungkus plastik, pita dan bintang-bintang bertebaran
memenuhi meja. Viko tertegun menatap kalimat itu, bunyinya:
AKU SAYANG AYAH DAN VIKO Sebuah kalimat singkat namun sangat berarti bagi Viko. Tanpa terasa air matanya menitik, jauh
di antara rangkaian kalimat itu. Ia tidak kuasa menahan haru. Rupanya Risa membuat bintangbintang ini sebagai lambang kasihnya kepada mereka. Setiap butir bintangnya seakan
menekankan perasaan sayang Risa pada keluarganya. Risa sudah menganggap mereka sebagai
keluarga sejak awal. Tak heran Risa setiap malam kelihatan asyik membuatnya. Hal yang dulu
dirasa kekanak-kanakan bagi Viko sekarang berubah total. Memang kekanak-kanakan tapi
perasaan dan impian di baliknya membuatnya mengakui bahwa Risa begitu dewasa.
Ayahnya sudah kembali dari meja makan hendak mengajaknya berbicara.
"Vik, nggak makan du..." kata-kata ayahnya terputus begitu melihat Viko, otomatis melihat meja
yang berantakan. "ap" Apa yang" Kenapa...?" kata-katanya terputus lagi begitu melihat kalimat dalam kertas
mengkilap itu. Ayah duduk di sebelahnya, menatap kalimat itu dan berusaha tidak menangis. Ayahnya
kemudian mengambil bintang-bintangan yang berserakan di meja dan memasukkannya ke dalam
toples tanpa mengemasnya terlebih dahulu dengan plastik dan pita.
"dia memang anak baik," kata ayahnya. "ayah bangga sekali punya putri seperti dia."
"yah, sebenarnya..." kata Viko, tangannya mengusap matanya, hendak memberitahu ayahnya
tetapi mendadak mengurungkan niatnya.
"apa?" tanya ayahnya seraya menutup toples, meletakkannya di tengah-tengah meja.
"tidak, bukan apa-apa," lanjutnya. Melihat ketidakpercayaan di wajah ayahnya maka ia
melanjutkan, "sebenarnya Anita memang anak yang baik."
Viko tidak yakin ayahnya mempercayai ucapannya tapi akhirnya ayahnya mengangguk setuju
dan memeluknya sebentar. "mulai saat ini tinggal kita berdua ya," kata ayahnya sedih, menepuk-nepuk punggungnya.
"tidak apa-apa yah, semuanya akan baik-baik saja, seperti kalimat ini. Anita menyayangi kita
selamanya jadi kita juga harus hidup dengan baik," katanya, tersenyum sedih.
Viko berpamitan hendak tidur. Kamarnya gelap, ia menyalakan lampu dan melihat sebuah
kalung berkilau d mejanya. Itu batu warna yang diberikannya kepada Risa sewaktu sakitnya
bertambah buruk. Sebelum meninggal, Risa menitipkan kalung ini pada suster agar diberikan
pada Viko. Viko memandangnya sekilas sebelum menghenyakkan diri di tempat tidurnya.
Tidurnya tidak nyenyak malam itu. Ia terbangun setiap beberapa jam, memandangnya dalam
kegelapan dan mendengar kesunyian disekitarnya. Jantungnya berdetak kencang. Setiap kali ia
membuka mata, bayangan Risa selalu muncul dalam benaknya. Ia bersedia melakukan apapun
asal bisa mengembalikan Risa ke sisinya. Harapan terakhirnya pudar, Risa tidak mungkin
kembali. Risa sudah pergi sama seperti Anita. Baru pertama kali dalam hidupnya ia merasa
begini terpukul. *** Viko bangun kesiangan tapi ia sedang libur panjang. Ia memandang wajahnya di cermin yang
tampak tidak bersemangat kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar. Suasana rumah itu
memang seakan berubah total. Viko jadi tidak berminat di rumah ini. Di dapur, bik Ti sedang
mencuci piring. Bunyi air yang mengucur dari keran yang terbuka dan denting piring yang tak
beraturan merupakan satu-satunya keramaian yang mengisi keheningan dalam rumah. Kemudian
ia teringat akan Risa yang suka sekali memasak di sana.
Viko tidak melihat ayahnya lalu memutuskan untuk makan sendirian. Kemarin Viko belum
makan seharian, perutnya terasa melilit namun tetap saja terasa tidak seberapa dbanding hatinya
yang melilit kesakitan. Sepi sekali pikirnya, biasanya Viko selalu merebut makanan Risa atau
menggodanya, membuatnya sebal dan diikuti keributan.
Viko menyuap makanannya banyak-banyak membuat perutnya penuh. Lalu bertanya pada bik Ti
kemana ayahnya pergi. "ayah di mana bik?"
"kalo nggak salah bibik tadi melihat bapak masuk ke kamarnya non Ta...," namun kata-katanya
terputus. Bibik tidak sanggup menyebut nama Tata saking sedihnya.
"hm yaudah bik."
Memang benar, saat Viko membuka pintu kamar Tata, ayahnya sedang duduk memandang foto
putrinya, masih ada bekas air mata dipipinya. Ayahnya tampak terkejut dengan kedatangan Viko
lalu meletakkan pigura foto Tata ke meja semula.
"oh kamu sudah bangun Vik. Ayah baru saja ingin memberitahumu sesuatu."
"memberitahu apa yah?"
"sebenarnya ayah ingin pindah dari sini. Ayah sudah menemukan tempat tinggal yang cocok
untuk kita. Teman ayah pindah kerja keluar kota dan menjual rumahnya. Dulu sewaktu ayah
berkunjung kerumahnya, suasananya menyenangkan. Bagaimana menurutmu?"
Viko bingung. Ia tidak yakin apakah benar-benar ingin meninggalkan rumah ini atau tidak.
Rumah ini sudah menemaninya dari kecil hingga ia dewasa seperti sekarang. Di dalamnya juga
banyak menyimpak kenangan ibunya, Anita dan juga,..Risa. setelah lama berpikir, Viko
mengangguk setuju. "baiklah Yah. Kapan kita rencana pindah?"
"mumpung kita lagi libur jadi sebaiknya kita mulai minggu depan. Ya sudah, ayah lega kamu
setuju. Seekarang tinggal menelpon teman ayahnya," kata ayah sambil meninggalkan kamar itu.
Viko terdiam lama, memandang sekeliling lalu menatap foto adiknya yang tadi dipegang
ayahnya. "Anita semoga kamu baik-baik saja bersama ibu," katanya pelan kepada foto itu. "begitu juga
dengan Risa," tambahnya.
Di samping pigura foto itu ada vas bunga dengan awar putih yang sudah layu di dalamnya.
Sebagian daunnya rontok, sebagian lagi menguning dan menyusut pada ujung tangkainya. Tibatiba Viko menjadi sangat tertarik. Ia tahu betul setiap kali masuk ke kamar ini sudah tersedia
mawar putih yang segar. Risalah yang menyiapkannya bukannya Anita. Anita tidak pernah
menghias kamarnya dengan bunga.
"dimana Risa membeli mawar ini ?" pikirnya serius.
"kelihatannya dia jarang bepergian. Tapi kenapa setiap hari bisa ada bunga yang masih segar."
Ia berjalan agak tergesa-gesa saat menemui bik Ti yang rupanya sedang mencuci baju.
"bik. Darimana Tata mendapat bunga mawar putih di kamarnya?"
"oh... non Tata suka sekali bunga itu jadi dia menyuruh pegawai toko mengantarnya ke sini
setiap hari. Sudah langganan. Bibik yang nerima setiap kali ada orang yang mengantar dan
langsung meletakkannya di kamar on Tata."
"bibik tahu dari toko mana?" desak Viko.
"waduh, bibik nggak tahu den," jawab bibik, Viko langsung lesu mendengarnya. "tapi kalo gak
salah ada kartu namanya di buku telepon. Non Tata selalu telpon dulu untuk minta dianter."
"bener bik" Yaudah makasih, biar kucari," sahut Viko penuh semangat, membuat bibik terheranheran.
Viko membuka buku telpon yang terbagi-bagi dalam abjad A sampai Z. Di dalamnya banyak
terselip kartu nama yang sebagian besar adalah kartu nama kenalan ayah. Ia melihat dengan rinci
setiap kartu nama sampai akhirnya menemukan kartu nama bertuliskan FLORIMA(toko bunga),
lengkap dengan alamat dan nomor telponnya.
"lho"! Ternyata tempatnya gak jauh dari kampusku," katanya terperanjat.
*** Setiap hari minggu Viko mengunjungi toko bunga tempat Risa berlangganan. Ia tidak tahu apa
alasannya pergi ke sana. Hanya saja, apapun yang bersangkutan dengan Risa, membuatnya
tertarik. Ia tidak hanya pergi ke toko bunga Florima saja tetapi juga ke toko kaset, supermarket
yang pernah didatanginya bersama Risa dan ayah dan beberapa tempat lainnya.
Kondisinya sekarang pasti lebih parah dari orang yang patah hati. Walaupun ia merasa sedih
dengan kenangan masa lalunya, ia ingin mengabadikan kenangan tersebut. Hari menjelang sore
ketika ia hendak tiba di toko Florima. Jalan raya penuh dengan kendaraan bising, bunyi kalkson
terdengar dimana-mana. Viko mendorong pintu masuk too dan sebelum ia melangkahkan kaki ke dalam, ia merasa
dadanya ditabrak seseorang.
"oh, maaf," kata perempuan yang menabraknya tanpa memandangnya. Viko hanya sekilas
melihatnya, perempuan itu sedang membawa sesuatu ditangannya. Kelihatannya sedang tergesagesa karena saat Viko ingin meminta maaf juga, perempuan yang beberapa tahun lebih muda
darinya itu sudah berjalan pergi.
Viko melangkah masuk dan merasa menginjak sesuatu yang keras, ia menunduk dan melihat
sepatunya menginjak tangkai bunga. Ia memungut bunga itu, bunga mawar putih dan tersadar
pasti bunga ini milik anak perempuan yang barusan menabraknya. Viko buru-buru bangkit dan


Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari pintu. "hei..." panggil Viko, tangan kanannya terjulur berusaha mencegah perempuan tadi. Namun
perempuan itu tidak mendengar dan sudah dua meter di depannya.
Viko bisa mengejarnya tapi ia mendadak diselimuti perasaan aneh yang membuatnya bimbang.
Seiring dengan langkah perempuan itu yang semakin menjauh, ia merasa perlahan ditinggalkan
orang yang dikenalnya. Viko memandang bunga mawar putih di tangan kirinya dan sosok
perempuan itu bergantian. Ia memandang belakang punggung perempuan itu dengan siluet langit
semburat merah keemasan secara seksama sampai akhirnya lenyap diantara kerumunan banyak
orang. "ada yang bisa saya bantu?" kata tante pemilik toko dari kejauhan, memecah lamunanya.
Agak bingung dengan setangkai mawar putih masih dalam genggamannya, ia pun menjawab,
"seperti biasa, Cuma lihat-lihat. Tidak apa-apa kan?"
"tentu saja tidak apa-apa. Aku senang para pengunjung isa menikmati koleksi bunga di tokoku.
Toh suatu saat mereka pasti membeli bunga-bunga ini," kata tante itu ramah.
Saat itu toko sudah hampir tutup sehingga Viko merupakan satu-satunya pengunjung di tempat
itu. Tante itu dengan senang hati menemaninya melihat-lihat sambil menerangkan bagaimana
cara mengawetkan bunga, dari negara mana asalnya, jenis bunga yang sulit didapat saat ini dan
lain sebagainya. "....nah supaya bunga bisa awet ketika dipajang, pakai alkohol. Coba deh."
Viko mengangguk paham tapi tampak tidak antusias.
"apakah anda tidak menyukai bunga?"
"suka tapi tidak punya kebiasaan memajangnya dirumah."
"bunga biasanya dipakai sebagai hadiah, acara ulang tahun, pernikahan dll. Tidak ada seseorang
yang hendak diberi misalnya?"
"tidak ada," kata Viko menggelengkan kepala. "baiklah, kali ini aku beli bunga antorium ini."
Pemilik toko merasa gembira sekali karena telah berhasil membujuk Viko. Ia bergerak ke meja
kasir sementara Viko mengeluarkan dompetnya.
"kami bisa mengantar pesanan bunga, ini akan memudahkan kalau pelanggan kami sedang
berhalangan datang kemari. Jika anda memerlukan bantuan kami telepon saja, ini kartu nama
toko ini," kata tante itu sambil mengulurkan kartu nama berwarna kuning cerah.
"tidak usah. Terima kasih," tolak Viko sopan.
"sudah hafal nomor telponnya" Sama seperti perempuan yang membeli mawar putih tadi?"
"apa?" tanya Viko tidak mengerti, dahinya mengernyit.
"kalian berdua baru pertama kali membeli bunga di sini tapi kelihatannya sudah mempunyai
kartu nama toko ini. Apalagi perempuan tadi, dia BAHKAN baru pertama kali datang ke sini,
aku belum pernah melihatnya sebelumnya."
"benarkah?" "saya tidak tersinggung sih kalau ada pembeli yang menolak berlangganan, namun bukan berarti
mereka harus menolak kartu nama pemberian saya kan," kata tante itu agak kecewa.
"adik saya dulu langganan toko ini jadi saya punya kartu namanya," kata Viko menjelaskan
kesalahpahaman. "oh, begitu rupanya," kata tante itu tersipu-sipu malu, "rupanya saya terlalu berprasangka."
"tidak apa-apa."
"kapan-kapan datang lagi ya."
"pasti." Viko berjalan menuju tempat parkir dimana ia memarkir motornya tak jauh dari toko bunga itu.
Sesampanya di rumah, ia menyapa ayahnya dan bersantai di kamarnya. Bunga antoriumnya
tergeletak di meja, ia membelinya hanya supaya pemilik tokotidak mengajaknya bicara terus.
Sekarang ia sedang asyik mengamati mawar putih yang tanpa sengaja diperolahnya dari
perempuan mungil tadi. Mau tak mau teringat perasaan aneh yang tadi melandanya. Pertemuan
dengan perempuan tadi entah kenapa meninggalkan kesan yang mendalam seakan melihat Risa.
"tidak mungkin," gumamnya. "ini hanya pengaruh mawar ini."
Tanpa sadar Viko sering mengabaikan suara hatinya yang berusaha menuntunnya kepada orang
yang tepat. Padahal hati dan pikirannya satu tubuh tapi apa yang dirasakan hatinya tidak bisa
dijelaskan oleh pikirannya. Semua ini diluar akal sehat seakan hatinya berpikir tanpa bantuannya.
Walaupun begitu, hatinya tidak pernah salah. Sayang Viko tidak menyadarinya.
Viko meletakkan mawar putih itu bersama bunga antorium yang dbelinya lalu beranjak hendak
makan malam. Peristiwa tadi langsung terlupakan dari benaknya.
*** Viko baru saja mengisi Kartu Rencana Studi untuk semester depan di kampusnya, berbincangbincang dengan teman yang ditemuinya lalu mengendarai motornya dalam perjalanan pulang. Di
tengah jalan ia melewati toko bunga Florima dan mendadak ingin menepi, memarkir motornya di
tempat biasa. Ia sebenarnya kurang berminat tapi entah mengapa sepertinya kata hatinya
menyuruhnya untuk mampir.
Viko mendorong pintu dan segera saja melihat banyak pengunjung di dalamnya. Pemilik toko
pasti senang, pikirnya. Di dekatnya ada 2 orang berseragam SMP sedang bergosip seru. Dia
menoleh anak kecil sedang berbicara penuh semangat dengan ibunya. anak kecil melihat dirinya
dan menghampiri ke arahnya.
"kakak mau beli apa?" tanyanya ramah.
"Cuma lihat-lihat. Adik kecil nggak boleh ngobrol sama sembarangan orang asing," kata Viko
memberi nasehat sambil berjongkok supaya bisa sejajar dengan tinggi anak ini. "sapa tau kakak
ini orang jahat." "Letty bukan anak kecil! Lagipula kakak gak kelihatan seperti orang jahat," jawab anak yang
bernama Letty itu polos. "lho kamu ditinggal ibumu tuh," kata Viko sambil memandang wanita dengan baju terusan yang
sedang menarik pintu membuka.
"dia bukan mama Letty. Letty dateng sama kakak. Tuh lagi sibuk di sana," kata Letty seraya
menunjuk kakak perempuannya yang rupanya sedang sibuk membantu merangkai bunga di vas.
Kelihatannya perempuan itu tidak asing.
"sini kak," ajak Letty, jari-jarinya yang mungil menarik-narik jaketnya. Viko berdiri dan
mengikutinya. "Letty mau bunga yang di atas itu. Bisa gendong Letty gak" Dari sini nggak
kelihatan." "boleh. Hup," kata Viko sambil menggendong Letty. Letty langsung berpegangan pada lehernya.
"Letty suka bunga yang ini tapi kak Risa mbolehin gak ya?" tanya Letty bingung.
"kak Risa?"" Kakakmu namanya Risa?"
"iya. Nama lengkapnya Clarisa. K,L eh bukan bukan. C, L, A, R, I, S, A," katanya lambatlambat seperti sedang mengeja.
Wah! Kebetulan sekali, pikir Viko. Nama Risa memang umum. Walaupun begitu, Viko jadi
tampak tertarik. "kamu sering jalan-jalan sama kakakmu?"
"dulu sih sering tapi kak Risa baru dirawat di Rumah Sakit lamaaa banget. Jadinya Letty bau
bisa keluar bareng kakak sekarang. Letty baru pertama kali diajak ke sin lho, tapi Letty sneng
banget," jawab Letty panjang lebar.
Letty tidak menyadari bahwa Viko berdiri tegang seakan tersambar petir. Viko menoleh ke arah
perempuan yang sekarang membungkus vas berisi rangkaian bunganya dengan plastik. Ia sadar
perempuan itulah yang dulu pernah menabraknya. Mungkinkah" Mungkinkah" Mungkinkah dia
Risa yang selama ini dkenalnya" Risa masih hidup" Mungkinkah itu"
Viko tidak berani terlalu banyak berharap. Risa sudah meninggal, mungkin saja ini Risa yang
lain, mawar itu hanya kebetulan saja. Viko mengamati perempuan itu. Wajahnya manis,
badannya mungil, rambutnya agak menggelombang, gerakannya lemah lembut.
"kak! Ambilin satu dong. Boleh kan?" pinta Letty, rupanya sudah sangat menginginkan bunga
lili itu. Viko mengambilkannya.
"kakakmu habis sakit apa?"
"kakak gak sakit Cuma habis kecelakaan. Gegar otak. Letty serem ngeliat kepala kakak waktu
itu. Dibalut-balut kayak mumi. Hiii..." jawab Letty bergidik sambil mengelus kelopak bunga
ditangannya. "berapa lama di rumah sakit?"
"dua bulan lebih gak sadarkan diri padahal Letty pengen nnjukin nilai rapor ke kakak. Letty pikir
kakak sudah mati," jawab Letty yang kelihatan ngeri mengingatnya, menatap Viko dengan mata
bulatnya. "gak sadarkan diri?"" Maksudnya tidur terus?" kata Viko terperanjat, ia tidak bisa
menyembunyikan ketegangannya.
"iya, kayak orang tidur tapi nggak bangun-bangun," jelas Letty, rupanya senang bisa menjawab
semua pertanyaan Viko. "untung kak Risa bisa sembuh. Letty seneng banget."
"untung ya," kata Viko menanggapi. "kakakmu suka bunga mawar ya?"
"he eh.a khir-akhir ini kak Risa selalu punya bunga itu di kamarnya. Letty kan setiap hari ke
kamarnya, ngambil pensil warna atau spidol punya kakak. He he he rahasia ya," kata Letty jahil,
tersenyum nakal kepadanya.
Viko tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua perkataan Letty sangat cocok. Segalanya menjadi
lebih jelas. Risa yang dikenalnya dulu sama dengan Risa yang ada di seberang ruangan. Hanya
satu masalahnya. Apakah Risa mengingat peristiwa yang dialaminya dengan keluarganya" Atau
sama sekali lupa seperti sewaktu ia hanya mengingat namanya saja" Apakah Risa sudah tidak
mengenalnya lagi" Bagaimana caranya agar dia bisa mendekati Risa sekarang ia harus tahu.
Stau-satunya hal yang bisa dilakukan sekarang adalah mencoba menyapanya.
Maka Viko bergerak ke tempat Risa dengan masih menggendong Letty. Saat sudah dekat, ia bisa
mendengar Risa memanggil adiknya.
"Let, Letty!" "Risa?" tanya Viko takut-takut. Perempuan itu menoleh kaget tapi begitu melihatnya
tampaklebih kaget lagi sampai-sampai dompetnya terjatuh.
"Risa kan?" ulangnya. Perempuan itu memandangnya dengan nada terbelalak, tangan kanannya
menekap mulutnya sedangkan satu tangannya bersandar pada meja kasir.
Viko mengira wanita itu kaget karena mengira ia tengah menyandera adiknya atau apa, lalu
cepat-cepat berpikir mencari alasan. Sebelum ia tahu alasan apa yang sebaiknya dikatakannya,
perempuan itu terlebih dahulu berkata.
"vik...Viko?" Viko kontan merasa lega sekaligus tak percaya apa yang baru di dengarnya. Diakah Risa" Dia di
sini" Perempuan ini"
"kamu benar Risa" Kamu bisa mengingatku?" tanya Viko gembira.
"iya aku ingat. Tap tapi... bagaimana kamu bisa tahu ini aku?" tanya Risa gugup, masih tampak
kaget. "berkat mawar putih dan....Letty," katanya segera.
Sementara itu Letty saking asyiknya berman dengan bunga Lilinya sampai tidak menyadari
kejadian menegangkan yang baru saja berlangsung.
*** "Viko" Ini bukan mimpi kan," sahut Risa tak percaya seraya mengulurkan tangan untuk
menyentuh wajah Viko. Viko menurunkan Letty lalu memeluknya erat-erat.
"kamu benar Risa" Aku tak percaya. Ini benar kau?" kata Viko ingin diyakinkan. Sekarang ia
begitu gembira. Ia mengira telah kehilangan segalanya, namun nyatanya tuhan masih
menyisakan kebahagiaan untuknya.
"aku senang sekali bisa bertemu kembali denganmu," kata Risa penuh kelegaan. Viko masih
terlihat sama seperti terakhir kali Risa melihatnya.
"aku juga," balas Viko.
Mereka terdiam beberapa saat.
"aku mengira kau sudah meninggal. Oh maaf aku lupa, kau sekarang sangat... eh berbeda," kata
Viko buru-buru melepas pelukannya, berusaha menahan diri.
"tidak apa-apa. Aku tahu kau pasti akan kaget melihatku," kata Risa paham. Mendadak Risa jadi
canggng. "kau sudah sembuh sekarang?" tanya Viko khawatir.
"sudah. Aku pergi ke rumahmu tapi ada yang mengatakan bahwa kalian pindah. Bagaimana
kabar ayah" Lalu apakah Anita meninggal" Berita itu benar?" tanya Risa penasaran. Ia agak
bingung. "ya, dia tidak pernah kembali," kata Viko muram. "ayah memintaku untuk pindah rumah setelah
itu. Dia baik-baik saja walau agak sedih."
"aku turut berduka," ucap Risa. Dia belum sempat mengenal Anita namun ia berterima kasih
karena bisa mengenal Viko melalui Anita.
"sudahlah, semua sudah berlalu. Tapi apa yang terjadi padamu?" tanya Viko yang kelihatan tidak
sabar. "oh aku tak sadarkan diri berbulan-bulan di RS. Ketika aku bangun, aku bisa mengingat
semuanya dengan jelas walau tidak masuk akal menurutku," kata Risa menjelaskan.
"ehm,.. permisi. Maaf, antriannya menunggu," kata tante pemilik toko pelan. Mereka tidak sadar
telah menjadi pusat perhatian di sana.
HATI YANG BIMBANG "kamu lagi mikir apa" Kelihatannya serius sekali," tanya Viko. Ini yang ketiga kalinya ia dan
Risa bertemu di kafe favorit mereka.
"hm,.." kata Risa masih sibuk termenung lalu mnjelaskannya lambat-lambat, "aku kan belum
memaafkanmu. Ingat kan kejadian RS waktu dulu" Aku bingung bagaimana kau harus
membayarnya." "ya ampun... kau masih mengingatnya ya," kata Viko tak habis pikir, tak menyangka sempatsempatnya Risa membuat perhitungan dengannya. "kupikir kamu lagi mikirin apa. Ndak tahunya
Cuma masalah itu. Maaf deh..."
"Cuma masalah itu"!" sahut Risa galak, matanya membelalak sebesar mata burung hantu. Viko
sempat seram memandangnya. "aku kan kesal banget. Untung aja kita bisa ketemu lagi. Nah, ayo
bayar," runtut Risa, memiringkan kepala menantang.
"bayar gimana" Pake uang atau apa?" tanya Viko bingung, putus asa tidak tahu harus berbuat
apa. "yak gak tau. Pokonya bukan uanglah, emangnya aku mata duitan kayak kamu," kata Risa
sengit. "makanya dari tadi aku bingung..."
"hm...oke oke, aku tahu," kata Viko sambil berpikir keras.
Viko tidak tahu kenapa ia harus menanggapi serius permintaan Risa. Mungkin ia memang harus
menebus kesalahannya, batinnya. Lalu mendadak ia mendapat ide. "baiklah."
Ia meraih kedua telapak tngan Risa di atas meja. Viko menatap Risa mantap. Risa
memandangnya bertanya-tanya. Risa diam, menunggu. Apa yang hendak dilakukan Viko, batin
Risa. "ehem ehem," Viko berlagak resmi, "saudari Risa. Apakah anda bersedia mndampingi saudara
Viko baik dalam senang maupun duka, muda maupun tua, ganteng maupun jelek?" kata Viko
setengah bergurau. Walaupun begitu ia nampak serius.
Risa mengangkat alis, menilai apakah Viko sedang mengajaknya bercanda. Ketika Viko tampak
serius menunggu jawaban darinya. Ia pun menjawab.
"bersedia," jawab Risa seraya menahan tawa karena tidak menyangka Viko bisa mengatakan hal
sekonyol ini, "kecuali saat kau sedang buang gas."
Viko tertawa terbhak-bahak, matanya sampai berair. Risa tersenyum ke arahnya. Senyumnya
manis sekali. Viko mengenali senyum ini sama seperti saat Risa sedang menjadi Anita. Senyum
yng dirindukannya selma ini.
"kamu ini bisa saja," ledek Risa yang tampak lebih riang dan santai.
"jadi selama ini kamu bertemu dengannya Ris?" kata suara lain menyela. Mereka tidak
menyadari kedatangan pria itu.
"apa yang kamu lakukan di sini Bobby?" tanya Risa kaget.
"seharusnya aku yang menanyakan itu padamu," balasnya sengit.
"kamu mengenalnya Ris?" tanya Viko dengan pandangan bertanya.
"dia sahabatku di sekolah," jawab risa cepat. "biar kujelaskan Bobby..."
"kenapa kau tidak mengatakan terus terang kepada kami?" potong Bobby terluka. "selama ini
kami mencemaskanmu. Apakah dia lebih penting dari kami" Lebih penting dariku?"ada
Ada penekanan pada ucapan terakhir Bobby. Bobby menatap Risa dan Viko bergantian. Apakah
Risa menganggap hubungan mereka ini hanya lelucon.
"tunggu dulu. Ini tidak seperti yang kau bayangkan," kata Risa buru-buru.
"tidak seperti yang kubyangkan" Jadi kamu mau bilang kalau kamu tidak sedang berpacaran
dengannya?" tanya Bobby tidak percaya. Ekspresinya berubah. "katakan padaku ris sejak kapan
kau mengenalnya" Kamu menganggap au ini apa?"
Bobby merasa dikhianati oleh Risa, sahabat yang diam-diam ia sukai selama ini. Ia tidak ingin
mendengar penjelasan apa pun. Ia tidak menyangka Risa berusaha menyembunyikan kenyataan
ini darinya. Hatinya marah dan kecewa. Semua perhatiannya selama ini apakah hanya dianggap
sebagai agin lalu. Semua pengorbanannya dan harapannya tampak tidak berarti. Bagaimana bisa
penantiannya selama dua tahun ini bisa digantikan dengan orang yang baru dikenal Risa. Risa
telah memberikan harapan kosong padanya.
"kamu Bobby kan?" tanya Viko, teringat perjumpaan mereka d bengkel sepeda motor waktu
dulu. "ya. Aku tidak menyangka kita akan berteu lagi. Dunia ini sempit ya," kata Bobby geram,
berusaha menahan agar tidak menonjok pria yang lebih tinggi darinya itu.
"Bobby, aku baru saja mengenalnya," ucap Viko yang bingung dengan sikap Bobby. Benarkah
ini Bobby yang sempat dikenalnya dulu"
"baru kenal" Tapi hubungan kalian sudah sejauh ini. Hebat juga," sindir Bobby yang tidak bisa
mengendalikan amarahnya. "Bobby kumohon dengarkan aku," kata Risa memelas. Bobby memandangnya galak.
"kau berbohong Ris. Kenapa harus sembunyi-sembunyi. Takut kami akan mengganggu kalian"
Kata Bobby menusuk. "Bobby ini sungguh tidak seperti yang kau kira. Aku tidak bermaksud membohongimu," kata
risa yang sekarang benar-benar panik.
"tidak bermaksud membohongiku" Manis sekali. Cukup Ris. Aku paham. Tidak perlu kau
jelaskan lagi," kata Bobby tegas.
Bobby melangkah keluar secepatnya. Selagi ia menarik pintu, ia mendengar Risa berkata kepada
Viko. "aku harus mengejarnya. Aku harus menjelaskan salah paham ini. Kau tidak perlu mengantarku
pulang," ucap risa buru-buru.
"baiklah." Bobby bisa mendengar Risa memanggil-manggil namanya dari belakang. Namun ia sangat
terpukul, ia tidak ingin bertemu dengan Risa saat ini. Maka Bobby melangkah dengan cepat,
berbelok tajam di tikungan lalu melihat toko elektronik superbesar di ujung jalan. Lagu yang
diputar dari dalam toko membahana sampai ke jalanan. Tanpa berlama-lama lagi Bobby
melangkah masuk. Ia menyelipkan diri di antara barang-barang elektronik berukuran besar
sehingga terhalang pandangan.
Saat berikutnya ia melihat Risa sedang kebingungan mencarinya, mondar-mandir sepanjang
jalan itu. Ia bisa melihat risa dari kaca toko yang transparan. Risa sekarang putus asa, kehilangan


Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jejak. Risa melangkah dengan lesu, kepalanya menunduk lalu bersandar pada kaca etalase toko
di dekatnya, menatap langit kelam di atasnya. Mereka hanya terpisah beberapa meter. Baik Risa
maupun Bobby terdiam lama. Belum mereka berdebat seperti ini.
Lagu berikutnya mengalun sedih mencerminkan perasaannya saat itu. Bobby mendengarkan
dengan seksama. ia tahu bahwa Risa juga sedang mendengarkan lagu ini diluar.
...cause all that"s left has gone away
And there"s nothing there for you to prove
Oh , look what you"ve done
You"ve made a fool of everyone
Oh well, it seems likes such fun
Until you lose what you had won
Give me back my point of view
Cause I just can"t think for you
I can hardly hear you say
"what should I do?", well you choose...
Bobby tahu ia tidak benar-benar marah terhadap Risa. Ia juga tidak ingin membuat Risa sedih.
Hanya saja ia ingin sekali Risa memberi kesempatan padanya sekali saja untuk menjadi orang
yang paling dibutuhkan. Bobby tidak keberatan bila Risa membohonginya beberapa kali atau
bahkan beratus-ratus kali, asalkan Risa bersedia berada di sisinya. Ia sangat mengenal Risa. Risa
bukanlah orang macam itu, Risa pasti punya alasan kuat menyembunyikan hal ini dari temanteman dekatnya. Toh ini semua hanyalah masalah waktu. Bobby tidak tahu pada saat itu bukan
hanya dirinya yang merasa merana. Saat itu, Risa dan Viko juga merasa kesepian.
Viko masih belum meninggalkan kafe itu. Ia terdiam memandang minumannya. Ia lupa bahwa
Risa telah kembali ke asalnya. Ia baru sadar bahwa ia tidak mengenal kehidupan Risa saat ini.
Bagaimana dengan keluarganya, teman-temanya, pemikirannya, seklahnya atau apakah Risa
telah mempunyai seseorang yang dicintai sebelum bertemu dengannya, apakah perasaan Risa
terhadapnya telah berubah. Viko merasa bersalah ia tidak pernah menanyakan hal itu kepada
Risa. Ia terlalu gembira mengetahui bahwa Risa masih hidup.
"apakah hubunganku saat ini bisa berthan lama?" gumamya lesu, eneguk habis minumannya.
Risa bersandar lemas pada kaca toko. Ia takut kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya terlebih ia
merasa bersalah terhadap Bobby. Risa bingung bagaimana harus menceritakannya namun ia tahu
belum saatnya untuk memberitahu mereka. Yang pasti, ia harus menjelaskan secepatnya. Bobby
pasti akan menghindarinya. Ia tidak ingin Bobby menjauhinya. Ia tahu bahwa ia telah melukai
perasaannya. "apa yang sebaiknya kulakukan," desah Risa mengharap petunjuk. Alunan lagu yang di
dengarnya dari dalam toko membuat perasaannya semakin merasa bersalah.
Oh , look what you"ve done
You"ve made a fool of everyone
Oh well, it seems likes such fun
Until you lose what you had won
Saat lagu berjudul Look What You"ve Done oleh grup JET itu berakhir, Risa beranjak pergi. Tak
lama kemudian Bobby mengintipnya sembunyi-sembunyi dari pintu toko. Risa berjalan dengan
lambat seolah tidak punya tujuan. Viko mengawasinya dari baik kaca kafe, namun ia hanya bisa
membiarkan Risa yang tengah berwajah murung lewat begitu saja. Belum pernah ia begini sedih.
Mungkin saat ini ia harus berlapang dada dan berharap risa telah menemukan orang yang tepat
baginya. Seharusnya ia sudah menyerah dan berharap suatu hari nanti mereka dapat berteman
dan berbicara seperti biasa.
"jika aku benar-benar berarti bagimu, menolehlah ke belakang. Menolehlah. Menolehlah,"
gumam Bobby penuh harap kepada sosok Risa dari belakang.
Lalu Risa mendadak berhenti melangkah lalu berputar ke belakang. Bobby bersembunyi tepat
pada waktunya, menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Risa menoleh ke belakang,
berharap bisa melihat Bobby dan menjelaskan apa yang terjadi namun jalanan itu penuh berisi
orang banyak yang tidak dikenalnya.
Bobby terhenyak, bersandar pada pintu toko, tidak menghiraukan pengunjung yang melihatnya
curiga saat masuk ke dalam toko. Bobby mengintip Risa kembali, Risa berjalan menuju tikungan
lalu lenyap dari pandangan. Sekarang ia tahu, ia tidak bisa berhenti mencintai Risa saat ini.
Mungkin akan menyakitkan dan melelahkan jika ia terus bersikap seperti ini. Tetap saja, ia tidak
mau menyerah sampai dirinya sendiri memutuskan untuk berhenti.
*** Bobby kembali ke kafe. Sebenarnya dia bermaksud menemui temannya di lantai atas.
Langkahnya terhenti begitu melihat Viko masih duduk di salah satu meja.
Viko menyadari kehadirannya. Bobby hendak langsung menghambur menaiki tangga namun
Viko lebih dulu menghampirinya.
"Kumohon, jangan salah paham pada Risa. Aku bisa menjelaskannya."
"jangan bermain-main dengan Risa," ancam Bobby.
"apa?" tanya Viko tidak paham.
"aku mengenal Risa jauh lebih dulu darimu. Sedangkan kau, seberapa dalam kau mengenalnya"
Apa saja yang telah kau lakukan untuknya" Kau membuatnya berubah. Risa lebih memilih kau
dibanding teman-temannya sejak kecil."
"aku tidak mengerti."
Bobby memandang Viko sengit. "aku akan merebutnya drimu. Kamu gak pantas jadi pacarnya.
Kamu gak menyadarinya?"
"apa maksudmu?" kata Viko terperanjat.
"dengar," potong Bobby. "aku ingn kau mundur. Kau hanya akan menyakitinya pada akhirnya."
Sambil berkata begitu, Bobby membuang muka lalu menaiki anak tangga, meninggalkan Viko
yang kebingungan mendengar kata-katanya.
Viko terdiam. Ia baru menyadari bahwa banyak yang tidak diketahuinya mengenai Risa. Tentang
orang-orang terdekatnya, tentang kehidupan mereka sebelum bertemu dll. Ucapan Bobby ada
benarnya. Dan bila Risa berubah, ini karena salahnya.
Sebenarnya apa yang disukai Risa dari dirinya" Kenangan" Yang menyatukan ereka hanyalah
sepenggal kisah masa lalu. Sedangkah masa lalu adalah masa lalu...
Viko belum pernah jatuh cinta pada seseorang seperti ini. Namun ketika mengalaminya, ia
menjadi tidak yakin dan tidak percaya diri. Entah mengapa, ia merasa tidak tenang. Bukankah
semuanya berlangsung seperti yang diharapkan" Tetapi terasa ada yang mengganjal.
Jessy dan Jenny Jessy dan Jenny sedang mengikuti pelajaran terakhir sebelum pulang sekolah yaitu sejarah.
Karena gurunya sibuk mencatat dan menjelaskan tanpa memperhatikan ke arah murid-murid,
maka Jessy dan Jenny yang duduk berjauhan saling berkirim surat. Mereka menulis di secarik
kertas yang dilipat-lipat kemudian meminta bantuan teman-teman untuk mengedarkannya.
Eh, Jessy. Kamu lihat sikap Risa sama Bobby beberapa hari ini gak" Mereka kok agak aneh ya.
Kayak gak kenal aja. Kamu tahu gak ada apa"
Iya sama. Aku juga ngerasa gitu. Tapi aku gak tahu kenapa. Trus kita harus gimana"
Aku juga bingung harus gimana. Kamu bantuin cari ide dong. Waktu istirahat tadi Bobby gak
nongol, Risa juga kayak gak ada apa-apa. Bikin orang bingung aja. Ntar pulang sekolah pasti gak
ada acara kumpul-kumpul lagi. Aku takut mau tanya langsung ke Risa atau Bobby. Emangnya
mereka mau kayak gini sampe kapan....
Duh jangan jelasin panjang lebar gitu dong. Aku juga jadi bngung. Sekarang kita jadi bert
iga lagi deh. Ntar aku pinjem catatanmu ya. Aku males nyatet nih. Lagipula pak Dito ini ngomong apa
sih, gak ngerti. Serius dikit dong! Kita kan lagi mbicarain tentang Risa sama Bobby. Kita harus menyelidiki
sendiri. Tapi gimana ya caranya"
Jangan bilang kita harus jadi mata-mata trus ngikutin mereka tiap hari mulai dari pergi ke WC,
pulang sekolah, ikut nonton sepakbola, ikut belanja macm-macem. Aku gak mau ikutan! Nyerah,
capek, ngeselin, buang-buang waktu dan tenaga.
Kok malah kamu yang protes sih" Sapa bilang kita mau jadi mata-mata. Aku juga gak suka.
Pokoknya kita mesti tanya mereka satu persatu kalo ada kesempatan. Kalo bsa kita selesaikan
hari ini juga. Kayak maen detektif aja. Ya udahlah. Tapi sepertinya masalahnya gawat deh. Kamu yakin bisa
nyelesaiin dalam waktu satu hari"
Itu kan Cuma perumpamaan adikku tersayaang... menurutku juga gitu. Kayaknya mereka habis
bertengkar hebat. Serem juga. Kita harus hati-hati Jes. Jangan sampai menyinggung perasaan
mereka. Tau-tau kita bisa kena getahnya.
Kena getah" Lengket dong. He he he becanda. Serius banget sih. Iya aku tahu, aku kan bukan
anak kecil lagi. Sayangnya kamu tuh sering salah bicara di saat yang nggak tepat. Sadar nggak sih" Ntar...kalo
ketemu salah satu dari mereka, jangan sampai nyebut-nyebut nama Risa dan Bobby. Oke" Udah
ah aku gak selesai-selesai nyatet nih.
*** "eh, eh, Bobby. Hus hus, eh salah. Hei Bobby. BOBBY!" teriak Jessy tanpa sadar karena
jengkel. Bobby tidak mengacuhkannya. Untungnya Bobby menoleh.
"kenapa sih" Berisik tau."
Bel pulang sekolah baru saja berdering. Sesuai rencana, Jessy berusaha mencegat Bobby ketika
melintas melewati kelasnya sementara Jenny sedang mencari Risa.
"kamu sih pura-pura gak denger," gerutu Jessy sebal berusaha menyamakan langkahnya dengan
langkah Bobby yang terburu-buru. "habis gini ada acara gak" Temenin aku makan di kantin ya"
Laper nih." "gak bisa. Minta temenin kembaranmu aja. Mana dia?" tanya Bobby lalu memandang
berkeliling. "sakit perut. Sekarang lagi di kamar mandi, gak tau kapan selesainya. Ayolah, temenin aku
makan dng. Makan sendirian kan sepi," bujuk Jessy dengan sorot mata memelas, dalam hati
memuji aktingnya. Bobby tampak bimbang tapi tak tega juga.
"okelah." "thank you," kata Jessy manis.
Jessy dan Bobby makan dalam diam. Tak lama kemudian Jenny muncul.
"hallo Bobby," sapanya, tampak puas dengan Jessy.
"udah selesai setornya(buang air)?" tanya Bobby sambil menelan nasi gorengnya.
"apa?" kata Jenny tidak paham, memberi pandangan bertanya kepada Jessy. Jessy mengedipngedip memberi tanda sambil menyantap baksonya. Jenny cepat-cepat menjawab, "eh oh iya."
"eh Bob. Nanti malam dateng ke rumahku ya. Aku bingung mau nulis proposal gimana ke kepala
sekolah. Kamu kan lebih pengalaman," kata Jenny serius, meminta tolong.
Jenny baru tahun ini mengikuti OSIS sedangkan Bobby sudah 3 tahun ikut OSIS.
"ntar malem" Emang kapan harus diserahin?" tanya Bobby sementara Jenny memesan teh botol.
"lusa. Aduh aku beneran bngung nih. Belum lagi tugasku numpuk. Tolong dong...." kata Jenny
memelas. Di sebelahnya Jessy tersedak baksonya.
"bolehlah," jawab Bobby berbaik hati, "tapi aku bsanya jam 7. Gimna?"
"terserah deh, yang penting bisa. Tertolong akhirnya, makasih ya," kata Jenny bersyukur.
Bobby sedang mnghabiskan es jeruknya ketika ia melihat si kembar menyedot teh botol masingmasing dengan gugup. Jenny tidak sadar ia masih menyedot tehnya yang sudah habis sedangkan
Jessy justru meniup sedotannya sehingga menimbulkan gelembung-gelembung dalam teh
botolnya. "kalian berdua ini kenapa sih?" tanyanya heran bercampur curiga. Si kembar tampak salah
tingkah. "apanya?" tanya Jenny biasa-biasa saja sementara Jessy tergopoh-gopoh hendsk meminum
obatnya. "ya ampun Jes! Gak boleh minum obat sekarang, kan habis minum teh. Jadinya netral
kan di lambung. Kamu ngedengerin pelajaran kimia gak sih?"
"oh iya ya," kata Jessy meminta maaf lalu memasukkan kembali obatnya. Untungnya Bobby
sudah tidak bersikap curiga lagi kepada mereka.
"aku balik dulu ya," sahut Bobby, memanggul tasnya. "sampai ntar malem."
"eh, nanti perlu kutelpon apa gak" Sapa tau kamu lupa," kata Jenny masuk akal.
"nggak perlu. Aku ingat kok. yuk," jawab Bobby cepat lalu meninggalkan mereka berdua yang
tersenyum gembira. "yes," pekik Jessy girang begitu Bobby menghilang dari pandangan.
"Tos," kata Jenny sambil mengangkat tangan kanannya. Jessy melakukan hal yang sama lalu
menepukkan tangan mereka.
"Risa ada telpon tuh dari Jenny," kata mamanya kepada Risa yang sedang menonton TV siaran
malam bersama ayah dan Letty.
"oh iya bentar," sahut Risa yang langsung berdiri dan berlari tergesa-gesa, menerima gagang
telpon yang diulurkan mama. "halo."
"eh Ris. Kamu bisa ke tempat kami sekarang gak?" tanya Jenny misterius.
"sekarang?"?" tanya Risa sambil mendongak memandang jam dinding di seberang ruangan,
dahinya mengernyit. Hampir ja tujuh. "ada apa emangnya?"
"kami punya kejutan. Kamu harus datang ya," kata Jenny bersemangat.
Risa memilin-milin rambutnya, tampak bingung. Ia hendak menolak tapi merasa tidak enak.
"tapi ini kan sudah malam. Apa nggak bisa nunggu sampai besok?" tanyanya khawatir.
"halo, halo Ris. Aku punya sesuatu nih. Datang ya," sahut suara Jessy.
"deh Jessy mnggir dong. Justru kejutannya hari in kalau besok gak seru, ho ho ho," kata Jenny
jenaka, membuat Risa tambah penasaran.
"hm,...bukan binatang peliharaan kan?" tanya Risa menebak, teringat tentang Jessy yang sudah
tidak berminat mempunyai binatang-binatang peliharaan.
"binatang" Binatang apa?" tanya Jessy tidak mengerti, menandakan tebakannya salah.
"boleh aku bawa Letty juga" Takut nih malam-malam sendirian ke tempat kalian," tanya Risa
bergidik, membayangkan jalanan yang sepi.
"eh. Jangan. Jangan," cegah Jessy tiba-tiba, membuat Risa kaget. "maksudku kan bahaya buat
Letty. Orangkan lebih tertarik nyulik dia daripada kamu. Iya kalau penculiknya mau nyulik dia
aja, kalau mau nyulik kalian berdua gimana" Kan mending nyulik satu daripada dua sekalig..."
"kamu ini ngomong apa sih" Sana gantian," potong Jenny, rupanya si kembar sedang rebutan
telpon. Risa menunggu sambil menahan tawa. "ya ampun Ris, rumah kita kan dekeeet banget.
Bentar aja juga nyampe. Takut banget sih!"
"tumben kalian nyiapin kejutan. Bikin orang penasaran aja. Ya udah deh. Aku berangkat
sekarang," jawab Risa akhirnya. Di seberang terdengar sorakan gembira si kembar.
"ya udah. Kami tunggu. Buruan!" seru Jenny sebelum menutup telpon.
Risa naik ke kamarnya mengambil jaket lalu berpamitan kepada Letty dan orang tuanya.
"ati-ati Ris," kata ayah.
"ada apa ya," kata mama ingin tahu.
"Letty juga mau dapat kejutan," ucap Letty kecewa.
Risa menutup pintu pagar, berjalan secepat mungkin tanpa menoleh ke kanan kiri.
"awas kalo Cuma main-main," gumamnya kedinginan seraya memikirkan hukuman yang pantas
bagi si kembar bila mengerjainya.
*** "Jenny ada tante?" tanya Bobby dari balik pagar. Sepeda motornya diparkir di samping pagar
kuning rumah si kembar. "lho"!" komentar ibu si kembar bingung, "Jenny sama Jessy hari ini
menginap dirumah neneknya. Bobby nggak tahu ya?"
"apa" Jenny kok gak bilang ya, lupa barangkali," kata Bobby ikut-ikutan bingung. "boleh saya
tahu alamat mereka?"
"Jalan diponegoro nomor 5. Tante minta maaf ya, merepotkanmu saja. Awas kalau Jenny pulang
nanti, biar ibu nasehati."
"gak usah tante. Biar saya susul ke sana," kata Bobby, maklum mengingat ketololan yang biasa
dilakukan si kembar. "ya sudah. Hati-hati ya," sahut ibu Jenny lalu melangkah masuk rumah.
Agak kecewa, Bobby naik ke atas motornya. Ketika ia hendak memasang helm keatas kepalanya,
ia melihat sosok seseorang yang berjalan agak menunduk di ujung jalan bergerak ke arahnya.
Sosok itu sperti dikenalnya. Semakin mendekat lalu Bobby mengenalinya.
"Risa," gumamnya. "apa artinya ini..."
Risa mendongak dan telah melihatnya juga. Sejenak mereka bertatapan tidak mengerti dalam
diam. "Bob..Bobby?" tanya Risa tak percaya.
Kemudian Risa berbalik dan melangkah pergi. Sebenarnya Risa masih marah karena Bobby
meninggalkannya begitu saja tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Ditambah lagi
sikap Bobby yang berlagak seolah tidak melihatnya sewaktu di sekolah membuatnya kesal. Pasti
ini rencana Jessy dan Jenny, pikirnya. Bodohnya aku, percaya begitu saja.
"he Ris, tunggu," teriak Bobby yang melangkah turun dari motornya lalu mengejar Risa.
Risa tidak berhenti. Bobby terpaksa mengejar dan meraih tangannya.
"tunggu Ris. Dengarkan aku. Sebentar saja," kata Bobby kepada Risa yang menatapnya galak,
menghadang langkahnya. "kenapa aku harus mendengarkanmu" Kamu kan tidak mau mendengarku, jadi kita impas," seru
Risa ketus lalu mendorong Bobby agar menyingkir.
"Ris. Ris, dengarkan aku dulu. Aku tahu aku terlalu emosi waktu itu. Aku mintamaaf," kata
Bobby serius, membuat Risa menghentikan langkahnya dan berbalik memandangnya.
"aku minta maaf Ris. Kamu mau kan memaafkanku?"
"hm... baiklah," kata Risa riang mendadak air mukanya tampak bersahabat. Risa sendiri tidak
betah berlama-lama bertengkar dengan Bobby. "apa yang kamu lakukan disini?"
"oh Jenny memintaku membantunya membuat proposal . tidak tahunya mereka malah menginap
ke tempat neneknya," kta Bobby lega bisa berbaikan dengan Risa. "kamu sendiri ngapain jalanjalan sendirian malam-malam begini?"
"oh, itu.. si kembar memintaku datang. Ada kejutan katanya. Karena penasaran aku datang saja,"
kata Risa agak kaku. Mereka terdiam lagi, mencerna informasi ini lalu keduanya tertawa. Mereka pasti bodoh. Si
kembar telah mengerjai mereka dengan lihai. Namun usaha Jessy dan Jenny tidak sia-sia.
"kelihatannya Jenny tidak perlu bantuan," kata Bobby berubah haluan, Risa mengangguk setuju.
Bobby mengambil motornya lalu berhenti di sebelah Risa. "mau ku antar sampai rumah?"
"oh nggak, jalan kaki saja. Dekat kok. trims," kata Risa menolak ajakan Bobby.
"benerrrr?" "bener. Aha kamu pikir aku takut ya," kata Risa becanda, "maaf ya, anda sa...ngat benar."
Mereka tertawa. Memang beginilah seharusnya keadaan disaat mereka bersama.
"aku pulang dulu deh. Kamu ke arah sana kan?" tanya Risa sembari menunjuk ke ujung jalan
yang berlawanan. Sementara itu Bobby memutar motornya.
"eh Ris. Sebenarnya alasanku marah waktu itu karena.... aku suka kamu," kata Bobby tiba-tiba,
membuat Risa sendiri mematung karena kaget.
"o...oh...begitu," kata Risa bereaksi, agak tercengang. Ia sendiri tidak tahu apa yang
dikatakannya. Lalu menyesal sendiri karena ucapannya terdengar tolol.
"hati-hati ya pulangnya. Dah," kata Bobby singkat lalu pergi, meninggalkan Risa yang seakan
tampak seperti selongsong kosong.


Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Risa tidak sadar ia masih berdiri di dekat rumah si kembar. Lamunanya buyar ketika ada mobil
yang melintas. Ia beranjak pergi, merasakan wajahnya memerah. Ia tidak percaya pada apa yang
bau didengarnya. Ia pernah menduganya tapi tidak menyangka bahwa hal ini benar-benar terjadi.
Tiba-tiba ia sudah tiba di rumah, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan dari keluarganya dan
langsung menaiki tangga menuju kamarnya. Di atas, Risa bisa mendengar suara orang tuanya
sayup-sayup. "lihat dia." "segitu kagetnya sampai tidak bisa bicara."
"kira-kira apa ya kejutannya."
"apa dia kena serangan jantung seperti Jessy?"
"entahlah." BILA HARUS MEMILIH Risa mengerti betul apa yang dirasakan bobby. Ia juga tidak menyangkal bahwa ia menyukai
Bobby. Hanya saja rsa suka itu berbeda dengan rasa sukanya terhadap Viko. Beda antara cinta
dan persahabatan memang tipis sekali. Ia memandang jendela kamarnya dengan muram. Di luar,
hujan turun dengan rintik-rintik padahal hari masih siang.
Bobby pria yang baik tapi entah mengapa Risa merasa bahwa Bobby bukanlah untuknya. Akan
lebih baik bila Bobby menemukan orang lain yang berarti baginya. Sedangkan Viko.... Viko
mempercayai dan mendukungnya disaat ia sedang sendiri, tanpa teman, tanpa ingatan dan segala
ketidak pastian. Namun Viko ada disisinya, menerima dirinya apa adanya. Terlebih lagi, Viko
membuatnya tegar saat berhadapan dengan kematian. Risa tahu bahwa ia mencintai pria yang
tepat. Mungkin wajar dalam hidup kau memiliki dan kehilangan. Namun ia tidak ingin kehilangan
siapapun dalam hidupnya. Ia akan mengusahakan bagaimana caranya supaya dapat
mempertahankan orang-orang yang dicintainya. Kalau perlu ia tidak usah memilih diantara
kedua orang itu. Risa menghela napas panjang. Entah apakah hal ini yang terbaik untuk setiap
orang. Tapi kenapa perasaannya tidak berkata demikian. Bukankah ia justru akan kehilangan
mereka berdua. Ia tersadar dari lamunanya karena ketukan pintu. "tok tok tok"
"masuk." Risa melihat Letty memegang pegangan pintu di atas kepalanya lalu duduk di sampingnya
sambil memeluk boneka kelinci milik Risa.
"kakak, main yu," ajaknya.
"nggak. Kakak capek," jawab Risa menggeleng.
"kakak kenapa" Sakit ya" Kok nggak pnggil dokter?" tanya Letty beruntun sembari naik ke
tempat tidurnya. "kakak sehat-sehat aja Cuma agak sedih," kata Risa sambil memain-mainkan telinga boneka
kelinci yang dipeluk Risa.
"sedih" Sedih kenapa" Tanya Letty ingin tahu, Risa diam saja. Ia tidak mungkin mengatakannya
kepada adiknya yang masih kecil. "karena Letty ya" Letty janji gak akan nakal lagi. Letty Cuma
pinjem boneka kelinci kakak bentar."
Risa tersenyum lalu mengangkat Letty di pangkuannya.
"kakak sedih karena di luar hujan," kata Risa berbohong. "sini cium pipi kakak biar kakak
senang." "nggak mau ah. Napas kakak senang," kata Letty bergurau. Risa memandangnya galak, setengah
bergurau. "apa?" tanya Risa mengancam seolah berkata "berani-beraninya". Letty terkikik geli. "awas
kamu ya..." "kya kya kya, ampun , kya kakak ampun, wa..." pekik Letty kegelian sampai berguling-guling di
ranjang. Risa menggelitiknya tak habis-habis, merasa perasaannya lebih riang.
Risa menghentikan gelitikannya ketika Letty hampir tergelincir jatuh ke lantai. Dengan terengahengah Letty langsung menghambur keluar kamar. Letty melongoknya dari balik pintu dan
mengejeknya "wek". Risa menyiapkan kedua tangannya, bersikap seperti hendak menggelitiknya,
Letty langsung kabur. *** "berilah aku kesempatan. Sekali saja. Ini satu-satunya permintaanku. Permintaanku yang
pertama dan yang terakhir. Pertimbangkanlah Ris, aku sungguh-sungguh."
"tapi Bobby..., aku juga menyukaimu. Aku tertarik padamu. Tapi hanya sebatas sahabat. Banyak
perempuan yang tertarik kepadamu, kau tidak pernah menyadarinya. Kau juga harus memberi
kesempatan pada salah satu dari mereka."
Risa berdiri dalam penerangan cahaya lampu. Tiba-tiba saja Bobby memintanya bertemu di
taman kota. Berhubung hubungan mereka mulai membaik, Risa menyanggupi kemauan
sahabatnya itu. Namun ia tidak menyangka akan terlibat dalam pembicaraan seperti ini.
"tapi aku menyukaimu. Perasaanku tulus. Berkali-kali aku ingin menyerah tapi tidak bisa.
Berilah kesempatan padaku Ris. Aku mohon."
"kenapa kau memohon padaku padahal kau tahu apa jawabnya. Mungkin saja kau bisa cocok
dengan cewek lain. Kau tidak akan pernah tahu sampai kau mengenal mereka, Bobby."
"kau tidak mengerti. Aku belum pernah jatuh cinta kepada seseorang seperti ini. Aku hampir gila
karenamu. Waktu kau mengalami kecelakaan, semua orang mengira kau tidak ada harapan.
Tahukah kau apa yang kurasakan" Aku sangat menyesal! Terlebih aku tidak bisa melakukan apaapa untukmu. Aku tidak berdaya, hanya bisa berdoa bagi kesembuhanmu. Aku berjanji bila kau
sembuh, aku akan menebus penyesalanku ini."
"oh, Bobby. Kau sungguh tidak per..."
"dengarkan Ris. Sekarang kau hidup. Aku teramat sangat senang. Tuhan telah mengabulkan
doaku. Aku berusaha menepati janjiku supaya kelak tidak menyesal."
"aku tahu perasaanmu. Tapi tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Semua orang sudah
melakukan yang terbaik. Kau tidak perlu menyesal atau merasa bersalah. Kau sangat baik
kepadaku selama ini. Justru aku yang tidak pernah berbuat sesuatu untukmu. Aku tahu kau
sangat memperhatikanku. Aku tidak bisa membalas semua yang telah kau lakukan untukku. Aku
sangat berterima kasih bisa mengenal dan mempunyai sahabat sepertimu."
"hmmph, baiklah. Aku mengaku, aku kalah. Tidak ada tempat bagiku diantara kalian berdua.
Tapi aku punya beberapa pertanyaan. Pikirkanlah sebelum kau menjawabnya."
"pertanyaan" Apa?"
"ingat ya, pikirkan baik-baik. Seandainya kamu belum mengenal Viko, apa jawaban yang akan
kau berikan padaku. Apakah kau akan menolakku?"
Risa merenung, memikirkan baik-baik pertanyaan Bobby.
"hm.... mungkin tidak. Mungkin saja aku akan menerimamu. Lagipula aku tidak punya alasan
untuk menlak. Kau satu-satunya pria yang dekat denganku. Walaupun aku belum yakin benar
akan perasaanku, aku akan mencobanya."
"jadi kau menerimaku?"" Lalu jika saat kita sedang berpacaran, kau bertemu dengan Viko.
Apakah kau akan menyukainya?"
"ng...aku tak tahu. Sungguh membingungkan. Perlukah aku menjawab semua pertanyaan ini?"
"menurutmu" Aku ingin semuanya jelas. Aku tidak ingin bertanya-tanya tentang semua hal ini.
Itu sangat mengganggu pikiranku. Bagiku ini sangat penting, lalu apa jawabanmu."
"mungkin awalnya akan biasa-biasa saja tapi ketika mengenalnya lebih jauh, aku bisa saja jatuh
cinta padanya. Entahlah..."
"kau yakin bisa bahagia bersamanya?"
"tentu saja." "tapi apa yang terjadi kalau dia sendiri tidak yakin bisa membahagiakanmu. Aku tidak bisa
membiarkanu bersama pria yang bahkan tidak yakin akan dirinya sendiri."
"apa maksudmu"! Kenapa kau begitu ingin tahu urusan orang lain. Aku seperti orang bodoh saja
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan konyol ini."
"kau tidak mengerti Ris. Kau bukan orang lain bagiku."
"oh sudahlah. Aku mau pulang. Ada apa denganmu hari ini. Kau membuatku pusing."
"Risa." Risa langsung membeku mendengar suara yang sangat dikenalnya. Ia pun langsung menoleh
kaget. "Viko" Apa yang kau lakukan di sini" Sejak kapan kau datang" Bagaimana bisa kemari" Ini
bukan kebetulan kan?" tanya Risa bertubi-tubi.
Tanpa sepengetahuan Risa,Bobby dan Viko sudah merencanakan pertemuan ini. Viko yang
rupanya merasa tidak yakin akan dirinya, ingin tahu bagaimana perasaan Risa pada Bobby.
"ng... aku mendengar pembicaraan kalian. Aku datang karena sudah janjian dengan Bobby."
"apa" Kenapa harus sembunyi-sembunyi" Apa yang sebetulnya kalian rencanakan" Ini tidak
lucu. Kenapa kalian mempermainkanku..."
"Ris, sebaiknya hubungan kita jangan diteruskan. Sampai di sini saja. Aku sudah memikirkannya
baik-baik." "apa" Tapi kenapa?" tanya Risa bingung sekaligus terperanjat. "kau tidak sedang bercanda kan?"
"tidak. Sebenarnya aku tidak menginginkannya tapi setelah mendengar pembicaraan kalian, aku
jadi sadar. Seharusnya aku tidak pernah datang dalam kehidupanmu," nada suara Viko terdengar
getir. Risa tidak tahan menatap mata Viko. Ingin menangis rasanya. "aku ingin kau kembali
menjadi Risa yang dulu."
"aku masih tetap seperti dulu," balas Risa ngotot. "memangnya apa yang membuatmu
memutuskanku?" "kurasa aku tidak berhak menjadi kekasihmu. Kalau kau lebih berbahagia bersamanya, aku akan
meninggalkanmu," kata Viko tercekat seraya memantapkan diri.
"kau tahu apa yang kau katakan" Mengapa kau begitu yakin" Kenapa kau begitu mudah
menyerah," Risa tidak menyangka bisa mendengar hal ini terucap dari mulut Viko. "dengar Vik,
aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Apa itu belum cukup?"
"aku juga mencintaimu. Aku sangat senang bisa melihatmu kembali. Kau membuat semangatku
kembali. Bagiku hal itu sudah cukup. Aku lega kalau menyerahkanmu padanya. Dia akan..."
"hentikan! Kumohon jangan katakan lagi. Aku tidak ingin mendengarnya. Ini tidak benar. Kau
tidak bisa berbuat begini padaku. Aku benci sikapmu yang seperti ini. Kenapa kau mau
meninggalkanku" Tak tahukah kau, aku sangat mencintaimu Viko..."
"aku serius Ris," ucap Viko meyakinkannya.
"tapi. Ta..." Risa hendak protes tapi Viko sudah mencium lembut bibirnya. Matanya membelalak
kaget, tubuhnya langsung lemas.
Tidak. Bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak menginginkan ciuman perpisahan. Terlalu
menyakitkan. Apa yang harus kulakukan, batin risa meminta tolong. Air matanya merebak.
"tenang saja. Aku tidk akan meninggalkanmu. Kita tetaplah teman baik. Sudahlah, jangan
menangis lagi. Kau ini masih sama cengengnya seperti dulu," kata Viko, memaksakan diri
tersenyum. "Vik, kumohon ... jangan menyerahkanku seperti hari itu. Aku tidak suka," ratap Risa putus asa.
"nantinya kau akan merasa lebih baik. Percayalah padaku."
"kau ini sangat bodoh Vik. Benar-bena bodoh."
"jaga dia baik-baik," pesan Viko pada Bobby.
"pasti," sahut Bobby tegas.
"nah, sampa jumpa," ucap Viko sambil melamba ke arahnya.
"aku tidak akan memaafkanmu Vik, aku ingin kau membayarnya kelak. Aku tidak akan lupa..."
seru Risa asal saja untuk memperoleh secuil perhatian Viko.
"aku akan membayarnya suatu saat. Aku janji. Kau tidak perlu khawatir," kata Viko tenang,
membuat Risa lebih terpuruk.
"Viko!" panggil Risa menyayat.
Jangan memanggil Ris.. dan jangan menatapku seperti itu, batin Viko. Kau membuatku lemah.
Aku ingin berada di sisimu, menghiburu dan menghentikan tangismu. Susah payah aku
memutuskan untuk meninggalkanmu. Aku tidak ingin berubah pikiran. Aku tidak akan
melupakanmu. Semua kenangan kita bersama akan kusimpan dalam hatiku. Kau membuat
hidupku berubah. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu.
Aku sangat berterima kasih padamu. Belum pernah aku merasa begitu dicintai seperti ini. Kurasa
aku juga tidak boleh egois. Kau sudah mempunyai seseorang yang begitu menyayangi dan
mempertikanmu. Dia tidak akan mengecewakanmu. Tapi kenapa hati ini ingin menjerit.
Mengapa ia tak kuasa mengendalikan perasaannya. Risa... Risa... Risa... sampai kapanpun aku
ingin memanggil namamu. Sepanjang hidupku aku ingin memanggilmu. Aku akan sangat
merindukanmu. Tanpa disadarinya, Viko meneteskan air mata.
Tidak. Tidak. Ini tidak benar. Viko... benarkah hubungan kita sampai di sini. Apakah semuanya
sudah berakhir" Aku tidak ingin mempercayainya. Aku begitu menyukaimu. Hatiku sakit sekali.
Apakah semua kenangan kita sudah kau lupakan" Sudah tidak tersisa lagi" Viko... tahukah kau...
kau telah mengambil masa depanku. Apa yang akan kulakukan tanpa dirimu. Aku tidak ingin
kehilanganmu... Bagaimana caranya supaya kau tetap berada di sisiku. Bagaimana aku bisa meyakinkanmu. Aku
sudah melakukan segalanya tapi kau tetap pergi. Percuma saja. Tak ada yang bisa kulakukan saat
ini. Tahukah kau betapa sedihnya hanya bisa memandang sosokmu semakin jauh dariku. Aku
ingat pertama kali kau menggandeng tanganku sewaktu kita baru saling mengenal. Saat itu kau
menuntunku di depan. Aku merasa ingin berjalan sepanjang jalan bersamamu, menatap sosokmu
di dekatku. "Viko....ini bohong kan..." katanya lirih di tengah isak tangisnya.
"Ris, sudahlah. Jangan bersedih lagi," kata Bobby menghibur, sorot matanya sedih. "sudahlah
Ris. Kalian tetap berteman. Kau masih bisa bertemu dan mengobrol kapan saja."
"tidak. Aku harus mengejarnya. Aku harus," kata Risa mantap.
"percuma Ris. Kau sudah dengar apa yang dikatakannya. Kau harus menerimanya," kata Bobby
mengingatkan. "tidak. Dengarkan aku, Bobby. Walaupun dia meninggalkanku, aku akan mengejarnya. Tidak
perduli apa yang dikatakannya atau dilakukannya, aku akan mengikutinya sampai kapanpun,"
tekad Risa. Tanpa Viko, hidupnya tidak berarti.
"hmph.. baiklah," kata Bobby sambil menghela napas. "kupikir aku masih punya harapan,
ternyata tidak. Sampai detik ini aku tetap kalah darinya. Dia pria baik. Kejarlah dia. Aku berdoa
untukmu." "terimakasih Bobby... kau tahu" Kau sangat berarti bagiku," kata risa sambil memeluk sayang
sahabatnya itu. "aku tahu, aku tahu. Kau memang Risa yang kusayangi. Selamanya akan tetap kusayangi," kata
Bobby pengertian sambil menepuk punggung Risa untuk menenangkanya. Andai saja risa bisa
memeluknya setiap saat, bersandar pada dirinya, batin Bobby penuh harap. Saat seperti ini tidak
akan terulang kembali untuk yang kedua kalinya.
"kau juga, Bobby..." balas Risa tulus.
Risa menatap Bobby penuh terimakasih dengan mata sembapnya. Senyumnya begitu ramah dan
damai membuat siapa pun yang melihatnya menjadi ikut tersenyum kepadanya. Risa melangkah
mundur perlahan, masih tersenyum memandang sahabat terbaiknya sampai akhirnya uluran
tangannya dan Bobby terlepas. Risa mengawasi Bobby sejenak sebelum ia memantapkan diri
lalu berbalik hendak mengejar Viko. Risa tidak tahu begitu ia berpaling, senyum Bobby
langsung lenyap. Bobby ingin sekali menggapai tangan Risa yang baru saja terlepas darinya. Dengan begini ia
telah menyerahkan sepenuhnya harapannya. Sedih rasanya menatap kepergian Risa yang seakan
ikut membawa pergi hatinya. Entah dunia ini kejam atau tidak adil. Bobby merasa terjepit.
Padahal ia tak ingin Risa pergi darinya tapi entah mengapa justru ia lepaskan. Mencintaimu
memang melelahkan, tapi aku tidak pernah menyesal, batin Bobby sembari melihat satu-satunya
orang yang disukainya menjauh darinya.
Kalau menyangkut cinta, orang memang tidak boleh menyerah. Tapi ada kalanya kita harus
berhenti. Walaupun menyakitkan, tapi ada perasaan bahagia saat kau melihat orang yang kau
sayangi berbahagia. Bobby bersedia melakukan apa saja asal Risa bahagia. Sayangnya,
kebahagiaan Risa bukan bersama dirinya.
"semoga kau bahagia Ris," gumam Bobby dan untuk pertama kalinya dia tersenyum.
Bobby mengambil napas dalam, merasa lega. Ia yakin ia telah melakukan hal yang benar. Risa
seperti peri kecil dalam dongeng yang menyebarkan kebahagiaan di mana-mana. Ia begitu manis,
polos dan jujur, membuat semua orang yang mengenalnya tidak akan melupakannya. Risa sudah
beberapa meter di depannya, Bobby mengawasi. Bobby mengalihkan pandang ke ujung jalan,
tiba-tiba dari ujung jalan muncul sebuah mobil yang melaju dengan kencangnya. Salah satu
lampu depannya mati. Bobby memicingkan mata melihat pengemudinya. Mereka mabuk. Mobil
itu oleng. Jantung Bobby seakan berhenti berdetak. Detik berikutnya ia memandang kearah Risa dengan
ngeri. Risa tepat hendak menyebrang jalan. Risa tidak menyadari kedatangan mobil itu. Bobby
berlari sekuatnya, berharap bisa mencegah apa yang akan terjadi. Ia memanggil-manggil Risa
namun Risa setengah melamun sehingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Ia bisa merasakan
napasnya memburu, rambutnya berkibar terhempas angin. Mengapa mereka belum
menyembunyikan klaksonnya. Apa pengemudi itu tidak melihat Risa.
Hari makin larut. Risa berjalan dengan terhuyung, ia merapatkan jaketnya. Kakinya masih terasa
lemas, ia belum sadar dari shocknya. Udara malam itu dingin menusuk. Ia bingung, tak tahu apa
yang akan dilakukannya. Viko baru saja memutuskannya. Risa masih bisa melihat sosoknya di
kejauhan. Ia ingin berlari mengejarnya tapi apa yang harus ia katakan nanti" Kelihatannya Viko
sudah yakin dengan keputusannya. Risa menunduk, sibuk berpikir.
Risa tidak mengerti kenapa viko memutuskan hubungan mereka. Risa membuntuti viko tapi
tidak berani mengejarnya. Napasnya sesenggukan. Air matanya tidak berhenti mengalir. Tentu
saja hal itu membuatnya marah. Namun alih-alih marah, ia tidak bisa mengabaikan perasaan
sedih yang dideranya. Ia tidak pernah menyangka segala harapannya kandas dalam sekejap.
Risa menatap punggung Viko dalam gelapnya malam. Orang yang selalu ia rindukan akan
meninggalkannya. Risa tidak rela. Ia tidak mau. Kenapa Viko tidak mau berterus terang padanya.
Risa tidak mengerti apa yang Viko pikirkan tentangnya.
Risa memperhatikan bahw Viko sudah dua kali berhenti sejenak di tepi jalan sebelum
melanjutkan langkahnya. Namun Viko tidak menoleh ke belakang. Risa begitu putus asa. Tak
ada yang bisa menolongnya. Tega-teganya Viko berbuat begini padanya. Ia menyebrang jalan
tanpa menoleh. Tiba-tiba di belakangnya terdengar teriakan parau memecah keheningan,
lamunanya langsung buyar.
"RISA!RISA!AWAS!"
Risa hendak menoleh namun mendadak tubuhnya serasa didorong paksa. Ada yang
mendorongnya begitu kuat sampai ia jatuh tersungkur satu meter di depan. Risa menghantam
aspal kasar, tangan yang menahan wajahnya terasa tergores panas.
Berikutnya Risa dikagetkan dengan bunyi memekakkan telinga membelah malam disusul derak
mengerikan seperti bunyi hantaman benda keras. Bunyinya memantul dan menjadi super keras
sehingga orang yang berada di ujung duniapun bisa mendengarnya. Risa hendak bangkit dan
melihat apa yang terjadi namun seluruh tubuhnya mengejang kesakitan akibat terbentur keras.
"auch...ssh," Risa merintih sambil memegang kakinya yang sakit serasa habis dipukuli dengan
tongkat sementara tangannya sendiri terkilir.
Risa memejamkan mata, rasa sakit di tubuhnya masih menjalar. Detik berikutnya ia mendengar
suara pintu mobil yang dibuka dan langkah-langkah kaki. Risa menoleh, napasnya tertahan. Ia
baru saja terhindar dari kecelakaan. Risa tidak percaya. Ada yang menyelamatkannya! Namun


Can You See Me Karya Sonya Michibata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunyi memekakkan itu... apakah ada yang tertabrak" Ya ampun, ia tidak berani percaya. Risa
ingin melihat lebih jelas namun terhalang kerumunan kaki tak jauh darinya.
"hey, kenapa dia tidur di sini. Hiks," kata pria setengah baya itu cegukan.
"ANDY! DIA TERLUKA! Andi kita menabraknya. Sudah kukatakan supaya berhati-hati.
Sadarlah Andy," kata seorang wanita dengan histeris.
"sayang....Hiks, dia kan Cuma tidur. Biasalah gelandangan...," umpat pria itu yang masih belum
sadar apa yang telah dilakukannya.
"bukan. Sadarlah. Ya tuhan... kita harus bagaimana," kata wanita itu kehilangan akal, tampak
luar biasa panik. Sekarang banyak orang berdatangan ke arah mereka. Risa bangkit tertatih-tatih sambil
memegangi kakinya. Seseorang terguling di depan mobil yang hampir menabraknya. Ia
menyeruak di antara kerumunan orang lalu jantungnya terasa berhenti.
"Bobby..."Bobby?" pekik Risa lemas.
Risa merasa dirinya merosot ke aspal. Ia merangkak dengan lemas ke sbelah Bobby sementara
kerumunan orang di sekitarnya memekik dan menjerit-jerit. Keadaan Bobby sangat mengerikan.
Darahnya mengucur keluar, napasnya hampir habis. Risa sampai takut memegangnya, takut
justru akan mempengaruhi keadaannya. Orang-orang hanya berdiri diam menyaksikan mereka
dan takut memindah Bobby.
"panggil! Ambulans!" sahut seseorang cepat.
"hai, kalian mau lari kemana," teriak suara berat.
"BERHENTI!" teriak banyak suara.
"kami tidak salah. Anak itu yang tiba-tiba muncul," sahut wanita itu.
"hiks. Siapa suruh dia tidur di sana," pria itu tampak menyedihkan.
"kalian harus bertanggungjawab. Pacarmu mabuk," jawab seorang wanita bersuara lantang.
"tahan saja dia. Aku tidak mau tahu," sahut pacar pria mabuk itu.
"hiks, kalian mau ikut berpesta?"
"diam kau brengsek," seru salah seorang kehabisan kesabaran.
"sudah, sudah. Jangan bertengkar. Kita awasi saja ereka," kata orang yang lain menenangkan.
Risa tidak memperhatikan ribut-ribut itu. Bobby kesulitan bernapas. Risa memegang tangan
Bobby dan mendekatkan wajah ke arahnya.
"hh..hhh..hhh," Bobby menarik napas dengan tersendat-sendat.
"Bobby...sadarlah Bobby. Sadarlah," Risa panik, menepuk-nepuk pelan wajah Bobby dengan
tangan gemetarnya. "R..Ri...sa?" "bertahanlah. Bobby bertahanlah. Demi aku. Kumohon bertahanlah..." pinta Risa memelas.
"kk..ka..u ss..se..lamat?" tanya Bobby susah payah, membuat air mata Risa semakin mengalir
deras. Ia bisa merasakan bobby balas menggenggam erat tangannya.
"kenapa" Kenapa kau melakukannya. Kau jadi seperti ini..." kata Risa terbata-bata memandang
wajah Bobby yang menatapnya. "apa" Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas."
Risa mendekatkan telinganya lalu mendengar suara sambar-samar Bobby.
"maaf...kan..a...ku..hhhh," Bobby menarik napas panjang lalu tubuhnya menjadi lemas.
Kepalanya terkula lemas. "Bobby" BOBBY! BOBBY! Bangunlah... kau tidak boleh mati. Jangan mati bobby. Tuhan
kumohon... jangan ambil dia. Jangan dia. Bobby kau tidak boleh mati. Jangan meninggalkanku,"
Risa mengguncang tubuh sahabatnya. Ia menrengek dan menangis histeris. Kepalanya sangat
sakit. "TIDAAAAK!"
Bobby tidak bernapas, Risa mendekatkan telinganya ke dada bobby tetapi tidak terdengar suara
detak jantung. Bobby sudah mati. Mati. Tidak akan kembali. Sementara itu kerumunan orang di
belakangnya bertambah ribut tak terkendali.
"Risa" Apa yang terjadi?" tanya Viko yang datang karena suara ribut-ribut ini lalu menyadari
siapa yang tergeletak di tanah. "ya ampuuun, Bobby?"
"Viko, Viko, katakan ini tidak benar. Bobby tidak mati."
*** Viko menatap hampa tanah yang baru saja ditimbun di hadapannya.ia tidak menyangka hal ini
bisa terjadi. Beberapa saat yang lalu ia masih bersamanya. Namun ia sudah tak ada lagi sekarang.
Aku akan menjaga Risa, kata Viko dalam hati sambil menatap gundukan itu. Risa pasti sangat
berarti bagimu sampai-sampai kau bersedia mengorbankan nyawamu. Aku akan
membahagiakannya seperti yang kau harapkan. Jangan khawatir. Aku tidak akan melepaskannya
apapun yang terjadi. Aku tahu cinta itu sulit didapat. Banyak yang harus dikorbankan. Kau yang mengajariku tentang
itu. Aku akan mempertahankannya. Aku tidak akan mengecewakanmu dan Risa. Terimakasih
telah memperhatikannya selama ini. Kau bisa pergi dengan tenang.
Risa tidak seberapa ingat kejadian berikutnya. Semuanya berlalu begitu cepat. Hatinya sangat
sedih. Dia telah kehilangan sahabat terbaiknya. Risa bahkan tidak sempat membalas semua
kebaikan Bobby padanya. Segala yang ia miliki tidak akan sebanding dengan sahabatnya. Masamasa mereka sewaktu bersama di sekolah, pertengkaran mereka, rencana-rencana mereka, citacita mereka. Kini sekolahnya tak lagi sama seperti dulu, dengan ketiadaan Bobby. Bobby telah
datang dan pergi mngisi lembaran hidupnya.
Angin membelai-bela rambutnya. Risa sadar ia berada di pemakaman yang hendak selesai.
Angin bertiup agak kencang. Risa memandang memar pada tangannya. Andai saja ia tidak
melamun, kecelakaan dan semua kejadian ini pasti tidak akan terjadi. Semua orang memakai
pakaian serba hitam dan tampak sedih.
Jessy dan jenny terisak-isak. Si kembar juga sering menghabiskan waktu bersamanya dan Bobby.
Ulah mereka selalu ada-ada saja. Mereka selalu bercanda dan tertawa riang bersama. Risa tidak
pernah melihat mereka seperti ini, tampak sangat terpukul dan kacau. Hatinya tidak bisa lebih
sakit dari ini. Risa tidak tahan mendengar sedu sedan di tempat itu. Ia lega ketika pemakaman
berakhir. Viko bersamanya saat perjalanan pulang.
Mereka diam selama perjalanan. Risa memandang kelebat bangunan dan pepohonan dari kaca
jendela, dirinya tampak murung dan putus asa. Risa menyadari bahwa Viko menatapnya. Mobil
mereka berhenti dalam antrian lampu merah. Risa menoleh ke arah Viko di sebelahnya.
"mulai sekarang.. tidak ada lagi kata "kau" dan "aku" tetapi..." kata viko hendak memberitahu.
"kita," potong Risa menyahut paham apa yang Viko pikirkan.
Mencari pria atau wanita yang tepat itu penting, tetapi berusaha untuk menjadi pria atau wanita
yang tepat bagi pasangan itu jauh labih penting.
10 TAHUN KEMUDIAN "Bobby, kamu sudah siap?" panggil Risa nyaring.
"iya bentar," sahut suara melengking di kejauhan.
"Bobby, kamu di mana?" panggil Risa, berkeliling rumah mencari Bobby dan berhenti ketika
melihat Bobby meringkuk dibawah meja makan. Risa menariknya, tangan kirinya berkacak
pinggang, "apa yang kamu lakukan disitu?"
"mengambil mobilku ma," jawab Bobby menengadah memandang mamanya sambil tersenyum,
memperlihatkan satu gigi depannya yang tanggal. Bobby buru-buru menyembunyikan mainan
mobil-mobilannya dibelakang punggungnya begitu melihat tatapan marah Risa.
"ayo kita sudah hampir terlambat kerumah kakek," kata risa cepat, berjongkok sehingga sejajar
dengan anaknya, dengan kilat memasukkan baju dan merapikan rambut Bobby dengan tangan.
"kamu tidak perlu membawa mainanmu."
"tapi ma..." protes Bobby sambil memandang sayang pada mobil mainan di tangannya namun
perhatiannya teralih oleh kedatangan papanya.
"berangkat sekarang Ris?" tanya Viko, menyelipkan kacamata kedalam kantong bajunya lalu
mengambil kunci mobil dari saku celananya.
"nah, selesai," kata Risa puas sambil mengecup kening Bobby, tersenyum, lalu bangkit berdiri.
"tapi ma, aku mau...." kata Bobby merengek sambil menarik-narik rok Risa namun risa tidak
menghiraukannya. "aduh, dimana aku meletakkan tasku," kata Risa bingung lalu bergegas mencarinya di kamar.
"kenapa Bob?" tanya Viko ramah seraya menggendong Bobby yang bermuka muram menuju
halaman depan. "boleh aku bawa ini pa?" tanyanya penuh harap, memperlihatkan mainannya. "boleh ya."
"hm...papa rasa tidak perlu," jawab Viko bijasana lalu cepat-cepat menghibur ketika melihat
Bobby tampak tidak bersemangat pergi. "kakek akan menghadiahkan mainan baru buatmu."
"benar?"" Horeee," seru Bobby dengan mata bersinar-sinar, kembali bersemangat lalu memaksa
turun, kembali masuk rumah. "aku lupa topiku," katanya seraya berlari-lari riang.
Viko mengawasinya sampai menghilang dari pandangan dengan maklum. Benar-benar pelupa,
sama seperti ibunya, batinnya. Tanpa terasa Bobby sudah sebesar ini. Bobby baru berusia enam
tahun. Tapi tingkahnya lebih dewasa daripada anak seumurannya. Ia sangat penurut dan
pengertian sehingga tidak membuat mereka repot.
Sewaktu tahu anak mereka laki-laki, kami memberinya nama Bobby, dengan harapan bisa
mengingat Bobby, sahabat risa di masa lalu, setiap saat dalam hati mereka. Viko mengerti betapa
Risa sangat mnghargai sahabatnya itu. Selain itu, jika saja bukan karena mereka, Bobby tentunya
tidak akan meninggal. Pada saat itu Risa keluar dari dalam rumah menenteng tas dan bungkusan
besar sambil berkomat-kamit sendiri.
"...kunci kamar, jendela ditutup, kompor sudah mati, bawaan untuk ayah, tas, kurang apalagi
ya..." kata Risa, berhenti ketika melihatnya lalu memandang berkeliling seolah mencari sesuatu.
"lho"! Bobby mana?"
"di dalam, lagi ngambil topi. Sudahlah jangan serius gitu, santai dikit," bujuk Viko seraya
mengedipkan mata kepada Risa yang tampak kelewat sibuk.
Risa membuka mulut hendak membantah tapi mengurungkan niatnya, memandangnya sewot.
"baik. Baik. Aku mau ngeluarin mobil dulu," kata Viko buru-buru, melihat tatapan membakar
Risa. "hmph... biar kujemput Bobby," gumam risa menghela napas. Namun sebelum ia masuk ke
dalam rumah, Bobby sudah muncul duluan memakai topi terbalik, tampak senang dan bergaya.
"ayo mama, nanti telat," ajak Bobby gembira, menirukan cara bicara mamanya. Risa sampai
terheran-heran melihat sikapnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat anaknya begitu
bersemangat. Risa mengunci pintu, menggiring Bobby keluar pagar dimana Viko sudah menunggu didalam
mobil dan yang terakhir menggembok pintu pagar. Risa duduk menemani Bobby di bangku
belakang. Sepanjang perjalanan menuju rumah ayah Viko, Bobby berceloteh tanpa henti. Ia
menceritakan tentang temannya yang bernama Anastasia, Riki anak tetangga sebelah yang
kemarin bermain di rumah, buku cerita kesukaannya, menerka apakah dirumah kakeknya ada ice
cream. Risa menanggapi sepintas-sepintas. Sekarang risa sedang menasehati Bobby supaya tidak
mengacau di sana atau membuat repot kakeknya.
"dan ingat! Nanti kalo ketemu kakek bilang apa?" tanya Risa mengetes, menahan Bobby dengan
kedua tangannya agar tidak tersungkur ketika Viko mengerem mobil mendadak.
"SELAMAt ULANG TAHUN KAKEK!" seru Bobby lantang, merentangkan tangannya lebarlebar.
"pinterrr," kata Risa ceria lalu memeluk Bobby dengan senang.
Di bangku depan, Viko tertawa geli. Sedari tadi ia menyimak percakapan istri dan anaknya,
kadang memandang mereka dari kaca spion. Risa memberi pandangan menegur padanya. Viko
tahu betul hal yang membuat Bobby gembira adalah setiap berkunjung kerumah ayahnya, Bobby
pasti diberi hadiah sperti permen, bku gambar, pensil warna, balok susun. Tapi tadi ia
membocorkan rahasia bahwa ayahnya akan memberikan mainan baru kepada Bobby.
Mereka akhirnya tiba dirumah ayah Viko. Begitu pintu rumah dibuka, terdengar suara ramai dari
dalamnya. Bibik yang membuka pintu tampak senang melihat kedatangan mereka.
"halo non, apa kabar" Sudah ditunggu-tunggu daritadi," katanya seraya menjabat tangan Risa.
"ayo ayo masuk."
"baik baik bik," jawab Risa lalu melihat lebih banyak orang dirumah itu. Sementara itu
dibeakangnya, bibik sibuk menyapa Viko dan Bobby.
"lho den Bobby tambah tinggi ya."
Ayah dan Viko datang menghampirinya dengan rindu, tampak tua dengan rambut putihnya. Ia
memeluk Risa singkat. "selamat ulang tahunyah," bisik Risa. "ini kado buat ayah."
"terimakasih, senang rasanya bisa kumpul lagi," kata ayah Viko menerima bingkisan dari tangan
Risa terharu selagi risa mencium kilat kedua pipinya.
"SELAMAT ULANG TAHUN KAKEK!" seru Bobby mendadak dari sebelahnya seperti yang
sudah direncanakan. Risa tersenyum geli.
"o... Bobby. Kakek kangen sekali," katanya seraya memeluk Bobby dan menepuk pundaknya.
Bobby mencium kedua pipi kakeknya. "kamu sudah besar ya."
"dari dulu kakek bilang sudah besar, berarti sama aja dong sama tahun lalu," kata Bobby polos
namun masuk akal. Ayah mertuanya hanya terkekeh.
"selamat ulang tahun ayah," kata Viko, memeluk ayahnya penuh rindu.
Risa menoleh ke arah lain dan melihat orang tuanya bersama Letty sedang asyik menuang
minuman ke dalam gelas-gelas kosong. Risa menghampiri mereka.
"rokmu pendek banget ya let," kata Risa sambil lalu.
"ah, kakak ini. Namanya juga remaja," sahut Letty centil.
"oh hai Bobby."
"ha tante," Risa mendengar anaknya menyapa Letty. Ia melirik mereka dan melihat Letty
cemberut disapa seperti itu.
"bukan tante. Panggil aja kakak. Ingat ya! Kaaakak bukan tante," kata Letty pelan-pelan
menasehati. "iya tante. Eh maksudku kakak. Kok aneh ya," jawab Bobby menurut sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "halo pa, ma," sapa Risa penuh nyaman.
"mama sudah tahu kamu pasti datang telat," kata mamanya sambil memberi pandangan penuh
arti kepada ayahnya seakan berkata "betul kan dugaanku" .
"sehat-sehat aja Ris?" tanya ayahnya. "eh ini cucu kakek."
Bobby digendong oleh ayahnya dan mendapat ciuman di dahinya.
"halo kakek. Halo nenek," sapa Bobby dengan suara mungilnya.
"Bobby mau minum apa" Nenek ambilin ya," tanya ibu Risa.
"apa kabar pa, ma," sapa Viko yang muncul di sebelah Risa. "kamu tambah cantik aja Let."
Letty tersipu-sipu malu. Risa melirik Viko sekilas namun Viko justru diam-diam mengalungkan
tangan ke sekeliling pinggangnya dan menariknya mendekat ke arahnya. Sekarang ganti Risa
yang tersipu-sipu walaupun tidak ditunjukkannya. Risa berpikir bahwa suaminya ini pandai
sekali mengambil hati orang.
"ayo ayo ini kuenya," kata suara bibik membahana, mengatasi suara ribut disana, membuat
perhatian mereka teralih.
Maka hari itu mreka bergembira ria merayakan ulang tahun ayah Viko. Ayah Viko meniup lilin
diatas kue tart lalu memotong dan membagi-bagikannya kepada semua orang. Viko asyik
memotret momen-momen itu. Tak lama kemudian mereka menyantap masakan sedap yang
disediakan bibik. Bibik bahkan ikut makan bersama mereka di meja. Bibik sudah menyediakan
meja panjang khusus untuk acara ulang tahun ini.
Bobby asyik berbicara dengan ayah Viko dan orang tuanya. Bibik asyik mengobrol dengan Letty
dan Viko. Risa hanya mendengar percakapan yang berlangsung di meja itu sambil mengenang
masa lalunya. Ia sangat merindukan saat seperti ini. Semua orang terdekatnya berkumpul
bersama merayakan sesuatu, memeriahkan suasana dan terkadang bernostalgia.
"Bobby nggak pengen punya adik?" tanya ayah Viko tiba-tiba dari ujung meja, membuat Risa
tersedak sedangkan Viko menyemburkan sebagian air yang tengah diminumnya.
"pengen!" jawab Bobby spontan. "aku pengen punya adik perempuan."
Orang tua Risa memandang kearahnya. Risa dan Viko segera menguasai diri dan berpura-pura
tidak mendengar pembicaraan ini sehingga tidak perlu berkomentar.
"oh iya let, sekolahmu gimana?" tanya risa mencari topik pembicaraan.
"biasa aja kak. Sering-sering dong maen ke rumah. Sepi juga nggak ada kakak," kata Letty.
Risa mengangguk lalu melihat ke seberang meja. Rupanya ayah mertuanya masih membicarakan
masalah anak bersama orang tuanya.
"kalau gitu minta adik sama mama papamu dong," kata ayah Risa menganjurkan kepada Bobby.
Gawatnya, Bobby menanggapi serius ucapan kakeknya.
"pa, Bobby minta adik," seru Bobby menuntut, mulutnya penuh makanan. "sekarang!"
"wah wah wah. Papa ragu Bobby bisa jaga adik. Jangan-jangan nanti malah rebutan mainan,"
kata viko menanggapi, dengan gugup meneguk minumannya.
"enggak kok enggak, janji ya" Ya" Ya?" kata Bobby rewel.
"mirip siapa ya?" bisik Risa menyindir seraya mendekatkan wajahnya ke telinga Viko.
Viko tersenyum geli mendengarnya. Rengekan Bobby benar-benar mengingatkan akan dirinya
dulu. "kenapa sih tiba-tiba pengen punya adik?" tanya risa menegur, mengatasi suara ribut anaknya.
"gakpapa non. Jaman bibik dulu punya anak sembilan itu biasa," kata bibik mendukung, risa
hanya bisa menunduk lesu mendengar ucapan bibiknya. Satu anak saja sudah cukup menguras
perhatian apalagi sembilan, batinnya.
"mereka berdua ini seperti pengantin baru saja," kata ayah Viko sambil tersenyum genit. "jadi
iri..." "mama ini ngomong apa sih," tegur Viko malu-malu.
"muka kakak merah tuh," goda Letty ikut nimbrung.
"enggak," kata Risa cepat, memberi tatapan mengancam kepada adiknya.
"papa pengen gendong cucu lagi lho Vik," kata ayah Risa ikut-ikutan, membuat Viko tidak
nyaman, bergerak gelisah di kursinya.
Risa dan viko saling pandang sejenak. Viko memandangnya kemudian tersenyum. Risa
menatapnya, ia tahu betul apa yang ada dalam pikiran Viko. Rasanya baru kemarin mereka
saling mengenal. Cara yang aneh untuk bertemu. Lalu ia pun tersenyum. Dalam sekejap Risa
melupakan bahwa mereka berada ditengah keluarga mereka yang sekarang sedang mengamati
mereka berdua. Keheningan akhirnya dipecahkan oleh seruan bawel Bobby.
"AKU MINTA ADIK!"
-The End- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Durjana Dan Ksatria 6 Animorphs - 27 Menyelamatkan Pesawat Pemalite Rahasia Pesan Serigala 1
^