Lovhobia 1
Lovhobia Karya Elsa Puspita Bagian 1
Lovhobia Karya: Elsa Puspita Bab 1 Gefan menyisir rambut panjangnya dengan jari sambil terus melangkah menuju kantin.
Beberapa orang yang dilewatinya langsung menyingkir, memberi jalan supaya dia tidak
menabrak mereka. Gefan mengabaikan tingkah orang-orang itu. Dia tidak menyalahkan mereka.
Penampilannya memang tidak mencerminkan mahasiswa yang baik. Rambut sebahu yang
nyaris selalu berantakan, kemeja lusuh, jins belel, lengkap dengan sepatu kets yang sudah tidak
jelas berwarna apa. Hal terutama yang membuat orang-orang itu menjauhinya adalah sebuah
tato abstrak mengerikan di lehernya. Hanya karena penampilannya seperti preman terminal
bukan berarti tingkahnya juga seperti itu. Tetapi, dia tidak merasa harus mengadakan konferensi
pers untuk mengklafikasi dugaan-dugaan miring itu. Biar saja orang-orang berpikir sesuka
mereka tentang dirinya, dia tidak peduli. Semakin banyak orang yang menjaga jarak darinya,
semakin baik untuk hidupnya. Dia berbelok memasuki kantin dan melihat sesosok gadis duduk di
meja tengah. Gadis itu tampak asyik dengan handycam di tangannya sambil mengulum lollipop.
Gefan menghampiri gadis itu. "Woy!" tegurnya sambil menggebrak meja. "Monyet bunting!" teriak
gadis itu kaget. Dia menatap Gefan dongkol. "Harus, ya, ngagetin gitu?" sungutnya. Gefan
menyeringai. "Laper, Na," ucapnya. Lanna kembali pada handycam-nya. "Ya, makan. Ngapain
ngomong sama gue" Emang muka gue mirip rumah makan Padang?" Gefan tertawa kecil. Dia
lalu berdiri untuk memesan makanan. Beberapa mahasiswa lain menyingkir saat dia mengantre,
termasuk mahasiswa senior. Meskipun baru semester dua, dia sudah cukup terkenal sebagai
mahasiswa paling sangar di jurusannya. Padahal, Gefan tidak pernah bersikap kasar kepada
mereka. "Nasi ayam bakarnya satu, Bu," pesannya. Bu Asih, salah seorang penjual di kantin,
langsung membuatkan pesanan Gefan. Setelah si ibu menyerahkan pesanannya, Gefan
membayar dengan uang pas, lalu kembali ke meja Lanna. Lanna masih dengan kegiatannya.
Jus jambu di depan gadis itu nyaris tidak tersentuh. Gefan menjulurkan leher sedikit kea rah
handycam Lanna, lalu mencibir. Lanna sedang melihat rekaman tentang pacarnya, Arsen. "Gue
nggak nyangka kalau cewek kuliahan masih ada yang minat pacaran sama anak SMA,"
ledeknya sambil memasukkan sesendok nasi dan potongan ayam bakar ke mulutnya. Lanna
memelototi Gefan. "Bentar lagi dia juga bakal jadi mahasiswa!" semprotnya. "Ya. Dan, lo udah
semester tiga. Dia" Maba." Lanna mengabaikannya. Gefan dan Arsen tidak pernah bisa
berdamai. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Yang jelas, sejak kali pertama dia memperkenalkan
kedua orang itu, mereka langsung sepakat untuk saling memusuhi. Setiap kumpul bertiga, pasti
ada yang menjadi bahan pertengkaran mereka. Dan, Lanna harus selalu siap menjadi penengah
kedua lelaki itu. Lanna mematikan handycam itu, lalu menyeruput jus jambunya. "Daripada lo
ngurusin kehidupan cinta gue sama Arsen, kenapa lo nggak ngurusin kehidupan cinta lo aja?"
Gefan mengangkat bahu. "Nggak minat," jawabnya, kembali berkonsentrasi pada nasi soto di
depannya. Lanna menghela napas sambil geleng-geleng kepala. "Gue nggak pernah nyangka
kalau fobia cinta itu beneran ada." Gefan mengabaikannya. *** Laura Fernita baru saja selesai
memasang kancing terakhir kemejanya ketika ponselnya berbunyi. Dia melihat nama Delia,
sahabat sekaligus teman sekelasnya di kampus, sebagai pengirim pesan. Isinya mengatakan
kalau gadis itu tidak masuk hari ini karena ada pemotretan di luar kota dan menitipkan absen.
Dia menyisir rambut pendeknya dengan jari, lalu mengibaskannya. Setelah memastikan
penampilannya cukup layak, dia berjalan keluar kamar. Dia menemukan Rangga, kakaknya, dan
orangtua mereka sudah di meja makan. Aura menarik kursi di sebelah Rangga. "Kak, bareng,
ya," katanya. "Delia nggak masuk, tuh, mobilku juga belom ganti oli." Rangga mendengus. "Iya
tuh anak, baru pulang beberapa hari, udah pergi lagi." Aura mengambil selembar roti, lalu
mengolesnya dengan selai cokelat. "Karier dia lagi bagus. Bangga, dong, punya pacar model
beken." "Yah, kalau setiap saat ditinggal, kesel juga," gumam Rangga. "Ajak nikah aja," kata
Mama. "Biar nggak ke mana-mana lagi." Rangga tersedak susu yang baru diminumnya. "Delia
itu masih seumuran Aura, Ma. Dua puluh tahun juga belum. Mana mau dia nikah." "Mama nikah
umur delapan belas. Iya, kan, Pa?" Papa mengiyakan tanpa berpaling dari korannya. Aura
terkikik. "Coba aja kalau aku yang minta nikah, pasti dilarang." "Yah", kalau kamu dapet suami
yang udah mapan, nggak bakal dilarang, kok," kata Mama polos. "Ada, Ma. Temen kantor
Rangga naksir dia. Anaknya baik lho, Ma. Posisinya juga lumayan. Mapan, deh, secara materi.
Aura-nya nggak mau," kata Rangga. Mama menatap Aura dengan serius. "Kamu, kok, nggak
pernah ngenalin pacar kamu, sih, Ra?" "Aura nggak pernah pacaran," kata Rangga. Aura
mengabaikan celoteh mama dan kakaknya. Setelah menghabiskan sarapannya, dia mengajak
Rangga berangkat. Begitu tiba di kampus, Aura langsung memelesat menuju ruang kelasnya.
"He, tumben sendirian. Delia mana" Bolos lagi?" sapa Anya, teman sekelasnya. Aura
mengempaskan tubuhnya di kursi. "Pemotretan di Bali," katanya. "Wah", enak banget jalanjalan terus. Tuh anak baru balik dari Singapura, kan, ya" Gue juga mau, deh, jadi model."
"Kenapa nggak jad model juga?" Tanya Aura. Anya menatap Aura sambil mengerjapkan
matanya. "Gue pantes, ya, jadi model?" "Iya. Model bungkus makanan ikan." Anya menoyor
kepala Aura kesal. Aura balas menoyor kepala Anya sambil tertawa. Dia menaikkan kakinya ke
kursi. "Pengin bolos, deh. Kemarin Kak Rangga dapet kaset PS baru. Gue pengin maen." "Ini,
nih, cirri-ciri mahasiswi bermasa depan suram. Yang ada di otaknya Cuma bolos dan PS." Anya
mendecakkan lidahnya. "Sekali-kali kerjain sesuatu yang bermanfaat dan produktif nggak bisa,
ya?" "Semua yang gue lakuin produktif. Semakin sering gue maen, level gue semakin tinggi."
"Dan, pengaruhnya buat hidup lo?" "Nggak gampang stress," kata Aura, mengangkat bahu
dengan tidak peduli. Anya mencibir. Aura baru akan mengeluarkan binder ketika ponselnya
berbunyi. Tertera nama Ayu, sahabatnya yang kuliah di kedokteran. "Besok ke kampus gue, ya.
Ada acara, nih. Gue juga udah ajak Lanna sama Lola. Mereka ikut. Lo juga, ya," kata Ayu. Aura
membolak-balik bindernya yang dipenuhi beragam gambar karikatur dan berhenti di halaman
kosong. "Ada acara apa?" balasnya. "Dateng aja. Sekalian kumpul-kumpul. Delia lagi di Bali,
ya?" "Iya. Pemotretan bikini,"Jawab Aura asal. "Lanna sama Lola dating?" "Iya, mereka dateng.
Lo nggak ada kuliah, kan, besok?" "Besok sabtu, Nona. Ngapain gue kuliah sendirian?" "Yah",
kan, kali aja ada jadwal tambahan atau apa gitu." Aura mengeluarkan pulpennya dan mulai
menggambar, "Kalau sampai ada gituan, gue bolos," jawabnya. "Ya udah, gue usahain dateng."
"Oke. Sampai ketemu besok, Aura. Dah?" Aura mengembalikan ponselnya ke dalam tas sambil
mendengus. Beberapa saat kemudia, dosennya melangkah memasuki kelas. Anya
mengeluarkan notebook pink cerah miliknya. Aura kembali pada bindernya, berniat
menyelesaikan karikatur Anya yang sedang dikerjakannya. "Kalau lo bikin karikatur aneh lagi
pake muka gue, gue tabok lo." "Tenang. Setelah gue pikir, muka lo emang nggak cocok
digabung sama badan bebek," jawab Aura tanpa berpaling dari gambarnya. "Makanya kali ini
mau gue gabung sama badan gorilla." Anya melotot. Belum sempat dia bersuara, dosen mereka
sudah menyampaikan materi. Bertekad akan mencekik Aura setelah perkuliahan selesai, Anya
memaksakan diri memperhatikan dosen. *** "Na, apa bedanya pemeran pendukung sama
figuran?" Tanya Gefan tanpa berpaling dari kertas folio bergaris di depannya. "Gitu aja nggak
bisa, mau jadi sutradara," dengus Arsen. Gefan melotot. "Gue nanya Lanna, bukan lo. Diem,
deh. Anak kecil nggak usah ikut-ikut!" "Udah!" potong Lanna sebelum Arsen membalas. "Nggak
bisa, ya, kalian damai bentar?" "Kita udah sepuluh menit di sini dan baru aja mulai perang.
Sepuluh menit udah lumayan lama bagi aku buat damai sama dia," jawab Arsen, mengambil
handycam dari tangan Lanna. "Ngapain juga, sih, lo ngajak dia?" omel Gefan. "Gue Cuma
ngajak lo?" "Gue nggak akan akan pernah biarin Lanna berduaan sama makhluk kayak lo,"
sambar Arsen. "Kalau kalian nggak diem juga, gue plester mulut kalian!" ancam Lanna. Dia
menatap pekerjaan Gefan. "Pemeran pendukung itu tokoh yang nggak memainkan peran pokok,
tapi erat kaitannya sama peran pokok. Kayak misalnya keluarga, sahabat, atau pacar tokoh
utama. Kalau figuran itu pemain yang memainkan peran tambahan, kaitan sama peran pokok
lainnya longgar, Cuma buat pelengkap adegan. Misalnya, adegan di pesta, trus buat tamu
undangan, orang-orang yang nggak punya nama, tapi ikut masuk ke cerita atau film." "Untung,
ya, kamu nggak ketularan begonia dia," kata Arsen kepada Lanna. "Na, kalau brondong lo itu
nggak diem juga, gue cemplungin kepalanya ke panic bakso!" Gefan menggeram sambil terus
menuliskan penjelasan Lanna. "Dan, gue bakal tendang bokong lo sampai ke Afrika!" balas
Arsen. Lanna menggeretakkan giginya. "Soal mana lagi?" tanyanya kepada Gefan, mengabaikan
keributan tidak penting dari dua lelaki itu. Gefan membaca soalnya. "Sebutkan teori E.
Kretschmer tentang empat tipe fisik pemain." "Ya ampun. Itu kemarin udah dijelasin panjang
lebar," kata Lanna. "Otaknya nggak sanggup ngapal hal-hal kayak gitu, Na," cetus Arsen dengan
nada sok bijak. Gefan melempar pulpennya kea rah Arsen, tepat mengenai kepalanya. Arsen
memungut pulpen Gefan, yang jatuh di dekat kakinya, lalu balas melemparnya hingga mengenai
hidung Gefan. Gefan melotot. Arsen balas melotot. "Astaga! Ini terakhir kalinya gue pertemukan
lo berdua!" kata Lanna, nyaris berteriak. "Kamu udah ngomong gitu berkali-kali," dengus Arsen.
"Bisa nggak, sih, berhenti berkelakuan kayak anak kecil nggak punya otak?" pinta Lanna. "Dia
yang nggak punya otak!" ujar Arsen dan Gefan berbarengan. "Apa lo ikut-ikut?" omel Arsen. "Lo
yang ngikutin gue!" balas Gefan. "Arsen! Gefan! Kalau kalian nggak diem juga, gue siram pake
kuah bakso!" ancam Lanna. Kedua cowok itu langsung diam. "Pertama, tipe piknis, tubuh
pendek dengan berat badan melebihi berat normal, sampai tulang-tulangnya nggak kelihatan.
Hobinya makan. Biasanya tipe ini dipake buat tokoh lucu atau konyol," kata Lanna, sementara
Gerfan menuliskan jawabannya. "Kedua, tipe leptosome, memiliki karakteristik tinggi dan kurus,
kebalikan dari tipe piknis, tulang-tulangnya sampai kelihatan jelas. Wajahnya cenderung tirus
dan sayu. Biasa dipake buat tipe culun yang kutu buku. Ketiga, tipe atletis, bentuk tubuh yang
tinggi, tegap, dan kekar. Nggak banyak lemak, tapi nggak kurus juga. Urat-uratnya menonjol
daan terlatih. Berat badan dan tinggi badanya ideal. Film laga atau superhero pasti pake tipe ini
buat jadi pemeran utama. Keempat, tipe displastis, bentuk tubuh yang unik atau nggak umum.
Misalnya, cebol. Biasanya dipake buat film horror atau komedi." "Dia masuk tipe apa?" Tanya
Arsen, menunjuk Gefan dengan dagunya. Lanna melotot, menyuruh Arsen diam. Arsen
mengerucutkan bibirnya, lalu kembali bermain dengan handycam Lanna. Gefan kembali
menyebutkan soal-soal lain, dan Lanna mnjawabnya dengan baik. Sekitar satu jam kemudian,
pekerjaan Gefan selesai. "Akhirnya?" Gefan meletakkan pulpennya, lalu merenggangkan
badan. "Thanks, Na. lo emang sahabat gue paling baik. Besok gue kenalin sama temen gue,
deh. Ganteng, Na. pemain sinetron. Biar lo punya pilihan selain brondong buduk itu." "Gue
buduk, lo apa namanya?" kata Arsen. "Gembel aja penampilannya lebih bagus daripada lo."
Lanna kembali mengambil handycam-nya, membiarkan kedua lelaki itu perang mulut. Dia sudah
malas meladeni mereka. Setelah memasukkan handycam-nya ke dalam tas, dia berdiri. "Yuk,
pulang," ajaknya kepada Arsen. "Besok ada kelas jam Sembilan, jangan lupa," pesannya kepada
Gefan. "Bye," "Hati-hati, Na. kalau dia ngompol di jalan, pakein daun pisang aja," kata Gefan.
Arsen mengepalkan tinjunya kepada Gefan. "Udah, ah." Lanna menurunkan tangan Arsen, lalu
menggandengnya. "Aku nggak suka kamu maen sama dia," gerutu Arsen, menyerahkan helm
kepada Lanna. Lanna tidak repot-repot menanggapi Arsen. Kalimat itu sudah diucapkan Arsen
sejak kali pertama Lanna memperkenalkannya dengan Gefan saat dia baru masuk kuliah. Arsen
memakai helm, lalu menyalakan mesin motornya. Setelah Lanna naik, motor itu memelesat
meninggalkan tempat tersebut. Gefan menghela napas puas. Dengan hati-hati, dia masukkan
hasil kerjanya dengan Lanna ke dalam ransel. Dia tersenyum sendiri. Bertengkar dengan Arsen
selalu bisa membuatnya menjadi lebih bersemangat. Sudah sangat lama dia tidak mempunyai
lawan untuk mengobrol atau bertengkar. Sampai dia bertemu Lanna dan Arsen, dia kembali
merasakan indahnya bersosialisasi. Bersiul ringan, Gefan melangkah menuju motornya sendiri
untuk pulang. **** Bab 2 Suasana lapangan dekanat fakultas kedokteran di sebuah universitas negeri terlihat ramai,
meskipun sabtu. Spanduk besar bertuliskan "Bazar Amal Tahunan Fakultas Kedokteran"
terpajang di jalan masuk. Stan-stan yang berada di sana menyediakan berbagai barang dan
makanan. Ada juga stan kesehatan, yang menyediakan pelayanan cek kesehatan gratis, serta
stan donor darah untuk para pengunjung yang berniat mendonorkan darahnya. Lanna berjalan
bersama Gefan dan Lola, menuju stan jus buah yang dijaga oleh Ayu. Lanna mengarahkan
handycam-nya untuk mengambil gambar-gambar acara itu. Sesekali dia mengambil gambar
Gefan dan Lola. Aura belum datang. Lanna tidak bisa mengajak Arsen karena pacarnya itu
harus sekolah. Tadinya Arsen sempat berniat bolos, tetapi dilarang keras oleh Lanna. Gefan ikut
karena saat Ayu menelepon Lanna, mereka tengah berada di kantin. Saat Lanna sempat curiga
kalau cowok itu sengaja ikut untuk memancing kekesalan Arsen. Semakin Arsen kesal, dia akan
semakin senang. Namun, Lanna tidak terlalu memikirkannya. Lola menyambar jus buah naga
yang baru dibuat oleh Ayu. Ayu mendelik, tetapi tidak berkata apa-apa. "Gratis, ya?" Tanya
Lanna, bersiap mengambil jus jambu biji. "Bayar!" kata Ayu melotot. "Katanya amal," balas Lola.
Ayu menatap Lola datar. "Sesuatu yang mau diamalin itu didapat dari penghasilan sini. Dari
kalian, pengunjung, yang beli dan bayar. Kalau nggak, apa yang mau diamalin?" "Jusnya bisa
diamalin," usul Lanna, mengambil jus jambu biji. "Lima belas ribu sama punya Lola," Kata Ayu,
menandahkan tangannya. Gefan mengambil jus apel. "Berapa?" Ayu menatap Gefan dengan
alis menyatu. "Tujuh ribu," katanya. Gefan menyerahkan uang dua puluh lima ribu. "Sama punya
dua nona ini. Kembaliannya buat amal," katanya. Ayu mengambil uang itu, lalu menatap Lanna
dengan pandangan bertanya. Lanna menyeruput jusnya, lalu memperkenalkan Gefan kepada
Ayu. Dia sudah memperkenalkan Gefan kepada Lola saat bertemu di gerbang tadi, sebelum
mereka menuju fakultas kedokteran. Lanna menatap sekitar. "Aura sama Delia, kok, belum
dateng?" "Aura is miss ngaret, as usual. Delia lagi di Bali, pemotretan." Jawab Ayu. "Jalan-jalan
terus tuh anak." Kata Lola. Belum sempat Ayu menanggapi, seorang lelaki, salah seorang teman
kuliah Ayu, berjalan mendekati mereka dan mengatakan kalau seorang dosen mencarinya, Ayu
langsung memelesat untuk menemui dosen yang dimaksud, sementara temannya tersebut
mengambil alih penjaga stan. Gefan sebenarnya mulai merasa bosan di tempat ini. Dia ingin
pulang supaya bisa kembali ke kasurnya dan melanjutkan tidur. Tapi, dia tidak enak pada Lanna,
kalau dia sampai merengek-rengek ingin pulang. "Duh, sori telat!" terdengar sebuah suara
feminim. Gefan berbalik. Dia terpaku melihat sosok gadis yang baru datang. Gadis itu tidak
terlihat seperti Lanna dan teman-temannya, yang berpenampilan selayaknya seorag wanita.
Gadis yang baru datang ini memilih kostum lelaki. Kaus kedodoran lengan pendek yang digulung
dan jins belel dengan sedikit robekan di bagian lutut. Rambut lurus sebatas lehernya dibuat
jabrik di bagian belakang. Dia pikir semua teman dekat Lanna adalah gadis-gadis metropolitan
yang fashionable. Dia tidak pernah menyangka kalau ada satu orang yang sangat bertolak
belakang dengan teman-temannya yang lain. Oke, Lanna memang tidak masuk kategori yang
terlalu fashionable, tapi jelas tidak seurakan gadis yang baru datang ini. "Akhirnya Miss Ngaret
dateng juga," ledek Lola. "Nyasar di mana kali ini?" "Telat bangun," kata Aura sambil
menyeringai. Dia menangkap sosok Gefan. Matanya terpaku, persis ekspresi Gefan saat melihat
penampilannya. Pandangannya menagkap tato abstrak di leher Gefan. Tato itu sebenarnya
cantik, tetapi ada kesan menyeramkan. Dia selalu ingin membuat tato, tetapi ancaman mamanya
untuk memotong bagian tubuh Aura mana pun yang ditempeli tato, membuatnya mengkeret dan
mengurungkan niat. Dan sejujurnya, Aura belum pernah melihat tato dengan kesan campuran
seperti yang ditimbulkan tato lelaki itu. Hal itu membuatnya sedikit kagum, "Hai," sapanya,
tersenyum kecil kepada Gefan. "Akhirnya, ada yang satu aliran sama gue." Aura mengulurkan
tangannya. "Orang-orang ini manggil gue, Aura." Dahi Gefan berkerut mendengar celoteh
panjang gadis itu. Ragu-ragu, Gefan menyambut uluran tangannya. Dia sudah terbiasa dengan
pandangan mengernyit atau takut, atau bahkan jijik, saat orang melihatnya kali pertama. Pun
ketika dia bertemu Lola di gerbang tadi, Gefan bisa menangkap ketakutan gadis itu sebentar,
yang kemudian lenyap begitu Lanna memperkenalkan mereka. Lanna pun sempat takut
kepadanya saat mereka awal-awal bertemu dulu. Tapi,gadis di depannya ini sama sekali tidak
terlihat takut. Hal itu cukup membuatnya terpana. "Gefan," balasnya. "Teman Lanna" Apa Lola?"
Tanya Aura. "Teman gue," jawab Lanna, menatap Aura dengan sorot bingung. Pandangannya
beralih kepada Gefan, membuat dahinya makin berkerut. "Oh"," Aura tampak berpikir,
kemudian wajahnya mendadak seperti mengingat sesuatu. "Oh, ini yang sering dibilang Arsen,
Maharaja Iblis itu, ya?" tambahnya tanpa maksud apa-apa. Gefan hanya mendengus
mendengarnya, tetapi tidak menjawab. "Ngomong-ngomong, Arsen mana?" Tanya Aura.
"Sekolah," jawab Lanna. Aura meringis. "Gue lupa kalau lo pacaran sama brondong." Lanna
mengabaikannya. Dia menyikut perut Gefan yang menahan tawa sebelum cowok itu
mengomentari kalimat Aura. Celah sekecil apa pun, yang bisa digunakan untuk menghina Arsen,
pasti dimanfaatkannya dengan baik. Dan, Lanna sedang tidak ingin mendengar hinaan apa pun
mengenai pacarnya itu. "Lihat-lihat yang lain, yuk," ajak Lola, menarik Aura dan Lanna. Gefan
mengekor di belakang, membiarkan dirinya mengikuti gadis-gadis itu. Langkahnya terhenti di
depan tenda dengan logo PMI yang disediakan untuk siapa pun yang berminat mendonorkan
darahnya. "Bentar, Na." Gefan mendekati tenda itu. "Lo mau"," Aura meringis. Gefan
menaikkan sebelah alis. "Kenapa?" "baru ngebayangin jarum masuk ke badan gue aja udah
bikin merinding." "Dia takut jarum," jelas Lanna kepada Gefan. "Lo beneran mau donor?" Gefan
mengangguk. "Nggak usah, deh," ujar Aura, masih meringis. "Udah banyak yang donor."
"Golongan darah gue AB, langka dan pasti dibutuhin. Jarum masuk badan doang nggak akan
bisa bikin mati." Ujar Gefan tak acuh. "Darah gue juga langka." Gumam Aura pelan. "Tapi,
sebelum ada orang sekarat yang benar-benar butuh donor, gue nggak akan pernah biarin jarum
masuk ke badan gue." Gefan menaikkan sebelah alisnya, menatap Aura bingung untuk
beberapa saat. Mengangkat bahu, dia menyibak pintu tenda dan melangkah masuk. *** Aura,
Lola, Lanna, dan Gefan sudah bersiap meninggalkan fakultas kedokteran untuk mencari makan
siang ketika ponsel Lanna berbunyi. Lanna menjauh sebentar untuk menjawab telepon itu. "Kok,
gue kayak pernah lihat elo, ya?" gumam Aura, menatap Gefan dengan seksama. Gefan melirik
Aura sekilas, lalu memijat dahinya yang sedikit pusing. "Oh, ya?" balasnya singkat. "Iya." Aura
mengerutkan dahi, menunjukkan kalau dia tengah memikirkan sesuatu. "Muka lo lumayan
familier," "Mirip artis kali," sambung Lola, berusaha membantu. "Atau, lo pernah jadi cameo
sinetron?" tanyanya kepada Gefan. "Aura doyan nonton sinetron." "Ngikutin pilihannya Mama,"
jawab Aura, mengangkat bahu. "Jadi, lo pernah jadi cameo?" Gefan menggeleng, karena Aura
mengatakannya, dia jadi berpikir kalau wajah Aura pun cukup familier baginya. Namun, dia tidak
mau memikirkannya. Mungkin, mereka pernah berpapasan di suatu tempat secara tidak sengaja.
Atau, mungkin memang wajah mereka saja yang pasaran sehingga mirip banyak orang. Aura
masih mencoba mengingat-ingat di mana dia pernah melihat Gefan, ketika Lanna kembali
bergabung dengan mereka. "Arsen mau nyusul. Tungguin bentar, ya," kata Lanna. Gefan melihat
jalan keluar agar bisa pergi sekarang. "Lo sama Arsen" Kalau gitu, gue pulang nggak apa-apa,
ya?" "Oh," Lanna kaget sebentar. "Oke," jawabannya. "Makasih, ya, udah mau nemenin." Gefan
mengangguk. Dia berpamitan kepada Lola daan Aura, kemudian bergegas pergi. "Gue yakin
pernah lihat dia di suatu tempat," kata Aura, menatap punggung Gefan yang menjauh. "Cuma
mirip kali," sahut Lola sambil mengetik sesuatu di ponselnya. "Nggak, kok," bantah Aura.
"Ngomong-ngomong, tatonya bagus. Bikin di mana, ya?" gue juga mau tatoan." Lanna menatap
Aura geli. "Yakin lo" Emang nyokap lo udah ngizinin" Lagian, bikin tato pake jarum, lho. Jarum
yang nusuk kulit berkali-kali." Aura langsung bergidik. Dia memukul lengan Lanna pelan. "Sialan
lo!" Lanna dan Lola tertawa. Beberapa saat kemudian, Arsen bergabung dengan mereka. Wajah
Lanna mendadak lebih cerah ketika Arsen sudah berdiri di sampingnya. Lola berdehem. "Yah,
karena sang pangeran hati udah dateng, yuk makan sekarang." Ajaknya. Mereka berjalan
menuju tempat makan di sebelah kampus itu. Ayu tidak bisa ikut karena masih banyak yang
harus dikerjakan. Mereka memutuskan untuk makan siang dulu sambil menunggu Ayu pulang.
"Kamu pesen apa?" Tanya Lanna kepada Arsen sambil melihat daftar menu yang ditempel di
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding. "Aku pengin puyonghai kepiting sama es jeruk," "Samain, deh," kata Arsen, mengambil
bangku di sebelah Lanna. Lanna menatap dua sahabatnya. Lola memesan nasi ayam jamur dan
jus mangga, sementara Aura memilih lalapan bebek bakar dan jus avokad. Lanna menghampiri
penjual untuk menyampaikan pesanan mereka, lalu kembali ke bangkunya. "jadi, kalian udah
ketemu sama Maharaja Iblis dari Neraka Jahanam?" Tanya Arsen. "Gimana tampangnya?"
"Arsen!" tegur Lanna sambil melotot. Arsen menampilkan wajah polos terbaiknya. "Trust me, my
dear. He is an evil. Raja Iblis dari tempat paling gelap di dunia." "You don"t know him. Don"t judge
him like that." Kata Lanna. Bibir Arsen mengerucut tidak suka. "Kamu udah terlalu lama bergaul
sama dia. Makanya udah kebal sama pengaruh hitamnya. Dia tuh semacem se"." Lanna
membungkam mulut Arsen. "Itu karena kamu sama dia nggak bisa ngelewati waktu lebih dari
sepuluh menit dalam damai." Dia melepaskan tangannya. "Dari tampang dan penampilannya,
sih, nggak salah kalau orang ngira dia jahat. Tapi, kayaknya penampilan itu disengaja, deh," ujar
Aura. Lola mengangguk setuju. "Gue juga tadi sempet takut waktu lihat dia. Tapi, kayaknya, sih,
dia nggak seburuk kelihatannya. Mungkin dia bertingkah gitu supaya orang mikir dia emang
gitu." "Tuh, kan!" Lanna menatap Arsen penuh kemenangan. "Apa gunanya?" Tanya Arsen
sangsi. Lola mengangkat bahu. "Cuma dia yang tahu. Mungkin sebagai tameng biar orang-orang
jauhin dia." "Tetap aja auranya suram," sambung Arsen. "Kamu harus hati-hati." Lanna meninju
lengan Arsen dengan kesal. "Kamu udah ribuan kali ngomong gitu. Apa pernah ada sesuatu
yang kurang tiap aku abis jalan sama dia?" "Coba aja. Kalau sampai ada apa-apa, nggak bakal
aku lepasin tuh orang," kata Arsen. "Aku serius." Lanna mengibaskan tangannya. Tepat saat itu
pesanan datang. Mereka menikmatinya sambil terus membicarakan banyak hal, terutama Lola,
Aura, dan Arsen yang banyak bertukar cerita karena jarang bertemu. Lanna hanya menanggapi
sesekali. Setelah makan, mereka kembali ke tempat bazaar. Lanna menemani Arsen berkeliling,
sementara Aura dan Lola bergabung dengan Ayu
Bab 3 Gefan memakirkan Honda CBR 250-nya di belakang sebuah BMW hitam yang berada di dalam
garasi rumahnya. Dia melepas helm, kemudian turun dari motornya. Dahinya mengernyit saat
melihat mobil itu. Dengan langkah panjang, dia masuk ke dalam rumah. Gefan berniat langsung
masuk ke kamarnya, mengabaikan ayahnya yang berada di ruang tengah. Tetapi, ayahnya tidak
berpikiran sama. Lelaki berusia empat puluhan tahun itu menegurnya.
"Sini," kata ayahnya.
"Apa?" Tanya Gefan tanpa berniat mendekat. "Angin apa yang bawa ayah pulang" Kehabisan
bensin?" sindirnya. "Apa itu cara menyambut kedatangan ayahmu" Kita udah setahun nggak ketemu. Apa kamu
nggak mau bertukar cerita?"
Gefan mendengus. "Cerita apa" Pengalaman ayah mengelilingi Yugoslavia" Penampakan
Aurora Borelis di Alaska?"
Aska, ayah Gefan, hanya menyeringi mendengar nada sinis dari putra tunggalnya itu. Melompati
sofa, dia berjalan menghampiri Gefan. "Peluncuran buku baru," Aska menyodorkan buku di
tangannya. Gefan hanya menatap buku tersebut tanpa berniat mengambilnya, lalu kembali mendengus.
"Selamat kalau begitu," katanya acuh. Kemudian, dia berjalan menaiki tangga spiral menuju
loteng yang sudah disulap menjadi kamarnya.
"Siap-siap melihatnya di deretan buku best seller, seperti biasa! Kamu masih kerja di toko buku,
kan?" teriak Aska. "Aku kerja di toko CD, bukan toko Buku. Terima kasih sudah mengingatnya," balas Gefan
Aska berdecak keras. "Ayahmu seorang penulis buku traveling terbaik dan kamu Cuma kerja di
toko CD" Apa kamu nggak bisa nemu kerjaan lain yang lebih baik?" dengusnya. "Saya bisa
dengan mudah memasukkanmu di perusahaan TV dan kamu bisa jadi crew di sana."
"Nggak tertarik," komentar Gefan pendek, yang disusul dengan suara pintu yang ditutup. Gefan
melempar tasnya ke kolong meja. "Penulis terbaik" Crew TV?" Gefan mengumpat. "Jangan
harap gue mau sekantor sama dia," sambungnya jengkel.
Seluruh bagian loteng itu merupakan wilayah kamar Gefan. Tidak seperti kamar yang umumnya
memiliki pintu berdiri, pintu di kamar Gefan terletak di lantai, persis di atas tangga. Dia
memodifikasi ruangan ini saat SMP.
Kamar itu berukuran 4 X 7 meter persegi dan benar-benar berada di loteng. Satu-satunya
cahaya hanya berasal dari jendela bundar yang ada di dekat meja. Sebuah kasur ukuran single
diletakkan di sudut kamar, yang di bagian kepala ranjangnya terdapat lampu meja.
Di sisi lain kamar ada sebuah TV plasma, perangkat stereo, dengan bantal duduk, dan meja kopi
kecil, dengan sebuah laptop di atasnya. Beberapa rak berjejer dengan tinggi beragam, mengikuti
alur kemiringan atap, mulai dari rak pakaian, buku-buku, miniature-miniatur pajangan, alat-alat
tulis, dan benda-benda lain. Sebuah graffiti bertuliskan namanya terlukis di lantai, sementara
dinding dan langit-langit kamar yang miring dipenuhi mural-mural abstrak dengan warna-warna
pekat. Dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum berangkat bekerja. Sudah dua
tahun ini dia bekerja di sebuah toko kaset, setelah sebelumnya bekerja sebagai barista di
sebuah caf?. Dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan tidak pernah sudi menerima uang
sepeser pun dari ayahnya. Semua uang yang diberi Aska hanya digunakan untuk ibunya.
Ayahnya adalah seorang wartawan, presenter, backpacker, dan penulis buku traveling terkenal.
Dia hanya pulang saat sudah menyelesaikan buku dan siap meluncurkannya. Selain itu, Aska
juga bekerja sebagai pengisi kolam tip jalan-jalan di sebuah surat kabar nasional yang cukup
terkenal, Diamond press. Sikapnya yang sombong dan arogan membuat Gefan benar-benar
muak. Aska tidak pernah menjadi sosok ayah baginya. Dia sangat membenci ayahnya sebesar
ketidakpedulian Aska kepada anak dan istrinya.
Gefan menarik kaus seragamnya dari dalam lemari, memakainya, dan melapisinya dengan jaket.
Setelah menggendong ransel dan memakai sepatu kets, dia berjalan keluar. Ayahnya masih
duduk santai di depan TV sambil mengunyah keripik kentang. Kembali mengabaikannya, Gefan
berjalan ke dapur. Sambil membawa nampan berisi makan siang, dia memasuki kamar ibunya.
Ekpresi keras Gefan berubah lembut saat melihat sosok wanita yang sedang duduk di depan
jendela sambil bersenandung. Tatapan mata wanita itu kosong, sementara tangannya memilin
rambut panjangnya yang tergerai kusut. Gefan melangkah pelan mendekati wanita tersebut.
"Ma," panggil Gefan. "Makan dulu, ya."
Lavia, ibu Gefan, tidak bereaksi. Dia terus bersenandung sambil memainkan rambutnya. Gefan
menyuapi makanan untuk Lavia. Awalnya Lavia tidak peduli. Tetapi, saat sendok menyentuh
mulut, dia membukanya. Gefan tersenyum kecil.
"Wah, kamu masih jadi anak baik, ya?"
Gefan menoleh dan melihat ayahnya berdiri di ambang pintu. Melihat senyum angkuh Aska,
Gefan membuang muka, kembali focus kepada mamanya.
"Tawaran waktu itu masih berlaku. Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semuanya
sendiri." Gefan menggigit lidahnya, menahan diri untuk tidak membalas ucapan ayahnya.
"Rumah sakit jiwa mungkin akan lebih baik." Kata Aska kalem.
Mata Gefan berkilat. Meletakkan nampan di kasur, dia menyerbu ayahnya dan mendorong Aska
menjauh dari kamar Lavia. "Selama aku hidup, nggak seorang pun bisa bawa Mama ke tempat
itu!" Aska mengibaskan tangan di bagian depan kemejanya, tempat yang disentuh Gefan saat
mendorongnya tadi. "Dia pernah nyaris membunuhmu," kata Aska santai, mengedikkan dagunya
ke arah tato Gefan. "Kamu mungkin berusaha membuatnya tampak menarik, menutupinya
dengan tato. Itu bukti nyata kalau mamamu itu berbahaya." Aska menyentuh tato di bagian kiri
leher Gefan. Gefan menepis tangan ayahnya. "Ini Cuma kecelakaan."
Aska mengangkat bahu tak acuh. "Lima menit saja Ayah telat datang, kamu sudah jadi abu
sekarang." Mengepalkan tangan, Gefan berbalik, kembali ke kamar mamanya.
"Hubungi saja ayahmu ini kalau kamu berubah pikiran," kata Aska.
Gefan tidak mengacuhkannya.
*** "Ra, buat kolom "profil", lo wawancara Aska Pandagri, ya. Nih, contact person-nya." Anya
menyerahkan sebuah kartu nama kepada Aura.
Aura mengambil kartu nama itu tanpa berpaling dari karikatur. "Kenapa dia?"
"Dia baru launching buku baru."
Aura mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi nomor yang tertera di kartu itu. Ketika
panggilannya dijawab, dia memperkenalkan diri sebagai wartawan Comment Media, CM, pers
mahasiswa tempatnya bergabung. Aura meminta izin bertemu untuk mengadakan wwancara.
Sekitar lima menit kemudian, telepon berakhir.
Aura menghela napas seraya membereskan barang-barangnya. "Dia nyuruh langsung ke
rumahnya. Sekarang juga. Narasumber kadang emang nyebelin."
"Mau ditemanin?" tawar Anya.
Aura menggeleng. Sebagai ketua redaksi, Anya sudah cukup sibuk. Aura mengambil kunci
mobil, lalu berjalan meninggalkan ruang secretariat menuju tempat parkir. Dia sebenarnya mau
mengajak Delia, tetapi sahabatnya itu sudah menghilang sejak dua jam yang lalu.
Cuaca hari itu tidak terlalu panas. Tetapi, terjabak macet di tengah banyak kendaraan yang
semuanya mengeluarkan asap polusi, sanggup membuat panas cuaca seperti apa pun. Dia
menutup jendela, dan ganti menyalakan AC. Udara sejuk yang berembus membuat suasana
hatinya membaik, meskipun masih terjebak macet.
Tiga puluh menit kemudian Aura menghentikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah. Rumah
itu minimalis dengan halaman yang sangat asri. Aura menekan bel. Setelah menekan bel tiga
kali, seorang lelaki tampan keluar dari rumah, berjalan menuju gerbang. Aura menebak usia
lelaki itu sekitar awal empat puluh tahun, dan dia menebak kalau lelaki itu pasti termasuk salah
seorang lelaki tampan oada masa mudanya.
"Saya Laura Fernita," ujar Aura langsung. "Dari Comment Media, pers mahasiswa jurusan
desain grafis, yang tadi menelepon untuk wawancara."
Raut bertanya lelaki itu berubah menjadi raut cerah. "Oh, kamu," dia membuka gerbang.
"Silahkan masuk."
Aura melangkah mengikuti Aska. Mereka duduk di ruang tamu. Tidak seperti kebanyakan tuan
rumah yang menawari minum, Aska tidak melakukannya. Dia langsung duduk di sofa panjang
berlapis kulit yang tampak mahal. Aura memilih duduk di depannya.
"Maaf mengganggu waktu luang anda," ucap Aura sopan. Dia menyiapkan perlengkapan
wawancaranya, sebuah recorder. Dia tidak sempat membuat daftar pertanyaan. Tapi, itu bukan
masalah besar. Bukan kali pertama dia harus menghadapi narasumber secara tiba-tiba.
Wawancara itu berjalan cukup lancar. Aska tampak sangat senang menceritakan tentang
bukunya. Aura tidak perlu susah payah memancingnya. Aska bahkan membocorkan beberapa
hal yang ada di bukunya. Di tengah-tengah wawancara mereka, Aura melihat seseorang keluar
dari salah satu kamar dengan membawa nampan dan piring kotor. Orang itu tampak tidak asing
baginya. Rambut gondrong ikal yang dikuncir berantakan dan tato mengerikan, tetapi cantik di bagian
leher. Aura tidak mengalihkan pandangannya dari sosok itu. Gefan juga menangkap kehadiran
Aura, mungkin karena merasa diperhatikan. Matanya menyipit saat melihat Aura.
"Elo, temennya Lanna kemarin, kan?" Gefan sedikit bingung. "Ngapain di sini?" tanyanya. Dia
menatap Aura dan Aska bergantian.
Aura menghentikan rekamannya sebentar karena tidak mau kata-kata Gefan mengganggu hasil
wawancara sebelumnya. "Wawancara. Lo sendiri?"
Gefan mendengus mendengarnya. "Yah. Tuan ini memang butuh publisitas lebih," katanya,
mengedikkan dagu ke arah Aska. Tanpa menjawab pertanyaan Aura, dia berbelok ke arah
dapur. "Kamu kenal dia?" Tanya Aska.
Aura kembali menghadap Aska. "Dia teman kampus sahabat saya."
"Dia punya teman?" Aska tampak tidak percaya. "Saya pikir dia menikmati hidup menjadi
makhluk penyendiri."
Aura ingin bertanya banyak, tetapi merasa itu bukan urusannya. Akhirnya, dia menyalakan
recorder-nya lagi dan melanjutkan wawancara mereka.
"Terima kasih atas waktunya," ucap Aura saat wawancaranya selesai. Dia menyimpan recordernya ke dalam tas.
"Tunggu di sini sebentar," Aska beranjak pergi ke dalam rumah.
Aura duduk diam, menunggu. Sebelum Aska kembali, dia melihat Gefan keluar dari dapur, lalu
berjalan ke ruang tamu. "Gefan," tahan Aura sebelum Gefan keluar rumah. "Kenapa lo ada di sini?"
"Gue tinggal di sini," jawab Gefan tak acuh. Kemudian, dia meneruskan langkah keluar rumah.
Aura terdiam. Kalau Gefan tinggal di sini juga, berarti ada hubungan antara cowok itu dengan
Aska. Aura ingin tahu hubungan apa. Tetapi, dia tidak mau bertanya kepada Aska, apalagi
Gefan langsung. Aska kembali ke ruang tamu sambil membawa sebuah buku. Dia menyerahkan buku itu kepada
Aura. "Semoga kamu menikmatinya."
Aura mengambilnya. "Terima kasih," ucapnya. "Sekali lagi, terima kasih atas kesempatan
wawancaranya." "Dengan senang hati," kata Aska ceria.
Bab 4 Aura memperhatikan tidak banyak yang berubah dari kamar Lanna sejak terakhir dia datang.
Sekitar setengah tahun lalu. Kesibukan masing-masing membuat mereka tidak bisa sering
berkumpul seperti saat mereka masih SMA. Lanna makin aktif dengan klub filmnya dan lebih
sering menghabiskan waktu luangnya, yang tidak begitu banyak, dengan Arsen. Ayu sibuk
dengan kuliahnya sebagai calon dokter. Jadwal Delia sebagai seorang model pro juga makin
padat, mengharuskannya sering ke luar kota. Lola, yang kuliah di jurusan administrasi bisnis,
mulai sibuk mengelola toko aksesoris kecil di sebuah mall bersama teman-teman kampusnya.
Sementara dia sering keluyuran untuk mewawancarai narasumber sebagai wartawan pers
mahasiswa, juga bekerja sebagai pembuat karikatur freelance untuk Diamond Press, sebuah
surat kabar nasional yang berada di bawah naungan perusahaan Diamond Group.
Aura menyambar handycam Lanna yang tergeletak di atas meja. Sejak memutuskan untuk
melupakan Ega, mantan gebetan yang tidak sempat menjadi pacarnya, Lanna tidak terlalu
sensitive masalah handycam yang sering dibuka.
Aura membuka rekaman paling baru, berisi pertandingan Arsen.
Lanna masuk ke kamar dengan handuk membelit kepalanya. Dia duduk di depan laptop untuk
menyalakan music. Lagu "Begin Again" dari Taylor Swift mengalun lembut. Lanna melepas
handuk, lalu menyampirkannya di sandaran kursi. Kemudian, dia duduk di kasur, di sebelah Aura
yang sedang mengutak-atik handycam-nya.
"Ega sekarang apa kabar, Na?" Tanya Aura basa-basi, sebelum mulai menanyakan apa yang
sesungguhnya ingin di ketahuinya.
"Kayaknya, sih, baik. Kata Arsen, dia baru direkrut tim mana gitu buat jadi pemain mereka.
Waktu gue nonton PERSASTIA tanding minggu lalu, dia ada. Dia juga asisten pelatih
PERSASTIA,lho. Gue udah pernah cerita?"
Aura menggeleng. Dia sedikit takjub dengan hubungan ganjil yang terbentuk di antara Lanna,
Arsen, dan Ega. Mereka bertiga bisa berteman baik, seakan perasaan Lanna untuk Ega pada
masa lalu tidak pernah ada. Arsen pun bisa tetap akrab dengan Ega, sama sekali tidak
terganggu dengan fakta kalau lelaki itu adalah cinta pertama pacarnya. Menurut Lanna, itu
bagus. Menurut Aura, itu ajaib.
Setelah banyak basa-basi lain seputar Ega, Aura memulai tujuannya. "Gefan, tuh, siapanya Aska
Pandagri, Na?" tanyanya tanpa menatap Lanna.
"Aska siapa?" "Aska Pandagri. Penulis buku Traveling itu, lho."
"Nama belakangnya sama kayak Gefan," dahi Lanna berkerut. "Nggak tahu. Emang kenapa?"
"Mereka tinggal serumah," jawab Aura. Dia lalu menceritakan kejadian beberapa hari lalu saat
dia mewawancarai Aska. "Kayaknya mereka ngga saling suka gitu. Aska, sih, biasa. Gefan yang
bener-bener ngeluarin aura permusuhan."
Lanna mengangkat bahu. "Satu-satunya hal pribadi dia yang gue tahu Cuma nama lengkapnya.
Geofan Asklav Pandagri."
"Kayak nama orang Rusia," gumam Aura. "Selain itu?"
Lanna menggeleng. "Dia nggak pernah cerita macem-macem. Rumahnya di mana aja gue
nggak tahu. Mungkin Aska, tuh, omnya. Atau Ayahnya?"
"Nggak mungkin kalau ayahnya. Aska, tuh, masih muda banget. Masa punya anak segede
Gefan?" "Kali aja," kata Lanna. "Lo nginep sini Cuma mau ngomongin ini?"
Aura mengangguk, sambil mencari-cari rekaman lain. "Malam minggu, nih. Lo nggak jalan sama
Arsen?" Lanna merebahkan diri di kasur, lalu menyambar remote untuk menyalakan TV. "Nggak. Lo
bilang mau nginep sini. Masa gue pergi?" Lanna mencari channel yang menarik minatnya.
"Lagian, gue sebel sama dia."
Aura mematikan handycam Lanna. "Kenapa?"
Lanna kembali duduk. "Dia bilang mau ngelanjutin kuliah di luar. Dan, lo tahu artinya, kan?"
"LDR?" gumam Aura.
Lanna mengangguk. "Long disaster relationship," gerutunya.
Aura mengambil remote dari tangan Lanna. "Emang dia mau kuliah apa sampai ke luar negeri?"
"Sekolah kuliner. Dia mau ngambil pendidikan chef."
"Wah, keren, dong!" puji Aura.
"Keren dari mana?" Lanna melotot. "Masak doang mau sampai ke luar. Di sini juga banyak
sekolah tata boga. Dasar aja tuh anak."
"Dia mau ke mana" Le Cordon Bleu?" Tanya Aura, menyebut salah satu sekolah kuliner terkenal
di dunia. "Bukan. Culinary Institute of America."
"Di sebelah mananya Amerika?" Tanya Aura.
Lanna mengangkat bahu. "New York kalau nggak salah."
Aura berdecak. "Welcome New York," katanya, lalu tertawa keras. "Tunggu bentar, deh. Dia
pemain bola, tiba-tiba banting stir jadi tukang masak, kesambet dedemit mana?"
"Katanya gara-gara gue sering minta masakin macem-mace, jadi kepikiran buat jadi chef. Tuh
anak nggak pernah mikirin mau jadi apa ntar. Pokoknya jalanin aja. Kuliah ntar aja awalnya
belom kepikiran mau ke mana. Mana yang disuruh papanya, ya, dia masuk sana. Trus, tiba-tiba
dia ngomongin ide gila itu. Makin rusak aja otaknya."
Aura menatap Lanna geli. "Ya udahlah, ikhlasin kenapa" Seharusnya, lo seneng dia akhirnya
menemukan jati diri yang selama ini tersembunyi. Dia aja dukung lo jadi sutradara. Lo juga harus
dukung dia, dong." "Gue bukan nggak dukung dia jadi chef. Dia ke luar yang jadi masalah. Males LDR," kata Lanna
membela diri.
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, sih. LDR itu sama aja kayak nggak pacaran. Arsen nya gimana?"
"Nyantai, lah. Yang mau pergi, kan, dia. Dia bilang, zaman sekarang nggak ada lagi jarak. Ada
Skype, 3G, blablabla. Nggak usah khawatir." Lanna menarik-narik sarung gulingnya. "Tetep aja
nggak sama. Emang bisa dinner pake Skype" Jemput pake 3G?"
"Ya, udah. Kan, ada Gefan yang bisa ngajak lo dinner."
Lanna mendelik kesal. Aura tertawa, lalu berbaring. "Lo pasti khawatir karena bakal banyak bule cantik di sana, kan"
Takut Arsen tergoda" Apalagi, mukanya Arsen ganteng. Pasti bakal banyak yang suka. Dan, dia
di New York!" dia berguling untuk menatap Lanna. "Ngikut aja."
Lanna melempar bantal ke wajah Aura. "Lo pikir Jakarta-New York bisa ditempuh pake bajaj"
Ngomong suka nggak pake otak." Lanna kembali menyambar remote.
Aura memeluk bantal yang dilempar Lanna. "Asyik ya, Na, pacaran?"
"Kalau lagi asyik, ya asyik," Lanna melirik. "Gue nggak percaya lo beneran belom pernah
pacaran," Aura menatap Lanna datar. "Kalau Delia atau Lola yang ngomong gitu, gue bisa terima. Lo"
Please, deh. Arsen pacar pertama lo. Sebelum jadian sama dia, lo juga belom pernah pacaran."
"Yah", emang. Tapi, seenggaknya gue ngerasain fase cinta monyet. Meskipun nggak
kesampaian. Lo" Dari awal kenal, yang deket sama lo Cuma PS. Cowok yang sering lo ceritain
Cuma Kak Rangga. Lo normal , kan, Ra?"
"Kunyuk lo!" Aura menoyor kepala Lanna. "Belom ada aja cowok beruntung yang berhasil narik
perhatian gue." "Atau lo yang kelewat cuek," ledek Lanna.
Aura mengangkat bahu. "Gue ngantuk. Matiin lampunya, dong."
"Nggak," tolak Lanna. "Nyctophobia gue masih akut."
"Payah lo." Aura menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
"Seenggaknya gue nggak langsung pingsan waktu lihat jarum." Cibir Lanna, yang disambut
lemparan bantal dari Aura.
*** "Aska Pandagri siapa lo, Fan?" Tanya Lanna. Dia mencomot pisang goreng di plastic Gefan, lalu
melahapnya. Gefan menatap Lanna dengan alis menyatu. "Tau dari mana tentang dia?"
"Aura," jawab Lanna dengan mulut penuh pisang goreng. Dia menelannya sebelum kembali
bersuara. "Katanya, waktu dia dateng ke rumah si Aska buat wawancara, lo ada di sana."
Gefan kembali pada baksonya. "Oh."
"Oh" Itu bukan jawaban, Geofan Asklav Pandagri," kata Lanna dongkol.
Gefan berpikir sejenak, antara ingin menjawab pertanyaan Lanna atau mengabaikannya. Paling
mudah memang mengabaikan. Tetapi, entah mengapa dia malah menjawab pertanyaan itu.
"Bokap gue," jawabnya tak acuh.
Lanna mengambil satu gorengan lagi. "Kata Aura, si Aska masih terlalu muda buat punya anak
setua lo. Umurnya berapa?"
"Empat Puluhan.nggak tahu berapa pasnya." Gefan mengambil pisang goreng dari tangan
Lanna. "Beli sendiri! Dasar tukang nyolong gorengan."
Bibir Lanna mengerucut. Dia berdiri menuju penjual gorengan. Beberapa saat kemudian, dia
kembali dengan seplastik gorengan. Lanna memasukkan tahu isi ke mulutnya. "Lo nggak akur,
ya, sama dia?" Wajah Gefan tiba-tiba mengeras. "Nggak usah bahas keluarga, Na. terlalu pribadi," katanya.
"Oh," Lanna terdiam sejenak. "Oke."
Gefan menghela napas. "Masih laper. Makan apa lagi, ya?" dia menatap satu per satu penjual di
kantin. "Nasi campur kayaknya enak," gumamnya. Dia berdiri, lalu berjalan menuju stan nasi
campur. Lanna hanya geleng kepala melihat nafsu makan temannya itu. Mengabaikan Gefan, Lanna
asyik menikmati gorengannya. Di tengah keasyikannya mengunyah, seorang gadis cantik duduk
di depannya dengan wajah galak.
"Lo masih deket-deketin Gefan?" serang Gadis itu langsung.
Lanna menatap gadis itu malas. "Trus?"
Devita, gadis itu, menggebrak meja dengan kesal. "Jangan deket-deket sama Gefan! Gefan itu
puny ague!" Mata Lanna membulat. "Ya ampun! Gue nggak tahu kalau Gefan punya pemilik. Gue kira dia
manusia, bukan kucing."
Devita menggeram. Dia baru akan kembali menyerang Lanna ketika Gefan kembali dengan
membawa sepiring penuh nasi campur. Dahi Gefan mengernyit saat melihat sosok Devita.
"Minggir." Devita menatap Gefan dengan pandangan tidak percaya. "Gefan"," rengek Davita, "Kok, kamu
gitu, sih, sama aku?"
"Emang gue harus gimana sama lo?"
Devita berdiri. "Kamu seharusnya bersikap lembut dan manis sama aku. Walaupun sekarang
kamu masih mengelak, kamu harus tahu kalau kita ini ditakdirkan jadi pasangan. Belahan jiwa."
Lanna memutar bola matanya, sementara Gefan menatap Devita seakan yakin kalau gadis itu
sudah gila. Mengabaikan Devita, Gefan duduk di bangkunya yang tadi diduduki Devita.
"Gefan!" "Apa, sih"!" bentak Gefan. "Gue nggak percaya sama belahan jiwa. Gue Cuma tahu belahan
rambut. Cari aja cowok lain yang mau jadi belahan jiwa lo. Gue mau makan."
Lanna tertawa, terlebih saat melihat wajah Devita memerah. Setelah mendengus keras, gadis itu
berlalu meninggalkan meja mereka.
"Dia bener-bener cinta mati sama lo, Fan."
"Gue nggak," balas Gefan tak acuh sambil terus melahap makanannya.
Lanna menyeringai. "Gue bener-bener penasaran sama cewek yang bisa naklukin elo ntar."
Gefan menyunggingkan senyum miring. "Gue hewan liar, My Dear. Selamanya liar. Nggak akan
bisa dibikin jinak."
Lanna balas tersenyum. "Lo bakal kaget kalau tahu apa yang bisa dilakukan oleh cinta."
"Gue nggak percaya cinta."
Lanna menghela napas. "Suatu saat, Honey, lo harus buka hati."
"Seandainya gue berani," kata Gefan pelan, membuat Lanna terdiam.
*** Gefan mengutak-atik kubus rubik 4 x 4 di tangannya dengan pandangan ke luar jendela. Sudah
pukul sebelas malam. Lampu kamarnya sudah di matikan, tinggal lampu meja kecil yang masih
menyala. Gefan duduk di atas meja yang berada tepat di depan satu-satunya jendela, berbentuk
bundar sebesar bola basket, yang ada di kamar itu. Entah mengapa, saat ini dia memikirkan
ucapan Lanna di kantin tadi, yang menyuruhnya untuk membuka hati.
Dia menghela napas panjang, menatap rubik yang hampir tersusun sempurna. Tidak sampai
satu menit kemudian, rubik itu selesai. Gefan meletakkan benda itu di sampingnya, lalu melipat
tangan di lutut dan kembali menatap luar jendela. Suasana rumahnya sepi. Mama dan ayahnya
sudah tidur di kamar terpisah.
Gefan mendesah. Hubungan orangtuanya berhasil membuatnya memandang negative
pernikahan. Sesuatu yang biasanya diagungkan orang-orang, malah sangat dihindarinya. Dia
tidak percaya pada cinta. Apalagi cinta sejati, belahan jiwa, dan sejenisnya. Pernikahan karena
cinta hanya dongeng baginya. Dia melihat sendiri pada orangtuanya.
Lavia dan Aska memutuskan menikah saat masih sangat muda. Lavia berusia Sembilan belas
tahun, dan Aska dua puluh dua tahun. Singkap angkuh dan arogan ayahnya merupakan daya
tarik bagi sang mama. Di mata Lavia, Aska adalah lelaki paling sempurna untuknya. Tampan,
berjiwa petualang, menarik. Lavia tidak pernah mengira kalau pernikahannya dengan Aska akan
hancur berantakan bertahun-tahun kemudian.
Gefan tidak terlalu tahu bagaimana kondisi pernikahan mereka sejak awal. Dia sendiri baru lahir
saat mamanya sudah berusia dua puluh empat, sementara Aska berusia dua puluh tujuh. Aska
berprofesi sebagai wartawan dan pengisi kolom "Jalan-jalan" di Diamond Press, surat kabar
yang juga di kelola perusahaan bernama Diamond Group. Saat itu, penghasilan ayahnya tidak
sebanyak sekarang. Masalah uang selalu menjadi pemicu pertengkaran. Mamanya sering protes
karena penghasilan yang tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan Aska. Meskipun Aska
lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena pekerjaannya, tetap saja
penghasilannya sedikit. Padahal, menurut Aska, dirinya sudah bekerja begitu keras untuk
menyenangkan Lavia. Tetapi, berapa pun yang diberikannya tidak pernah cukup untuk Lavia
hingga dia harus bekerja lebih keras lagi.
Saat Gefan berusia lima tahun, karier Aska mulai menanjak. Dia ditawari menjadi pengisi acara
untuk program jalan-jalan di salah satu televise swasta, DiTV, yang berada di bawah naungan
perusahaan yang sama. Sejak itulah hobinya sebagai backpacker makin menjadi. Saat itu juga
Gefan mulai jarang bertemu ayahnya. Aska hanya pulang sebulan sekali, atau lebih jika
bertepatan dengan saat peluncuran buku barunya. Selebihnya, Aska berkeliling dunia untuk
keperluan siaran TV dan bahan tulisannya.
Hingga pada suatu malam, saat usianya sebelas tahun, Gefan terbangun dari tidur lelapnya
karena teriakan marah Aska yang memenuhi rumah. Dia sering mendengar orangtuanya
bertengkar, tetapi baru kali itu ayahnya yang berteriak. Biasanya, berteriak adalah peran
mamanya, sementara Aska, dengan suara pelan, selalu mencoba menenangkan Lavia. Pada
malam itu, situasi berbalik. Aska yang berteriak, sementara Lavia hanya bisa menangis. Gefan
tidak tahu apa yang terjadi karena tidak berani meninggalkan kamarnya. Dia juga tidak bisa
menangkap kata-kata yang diteriakkan Aska. Hal terakhir yang diingatnya setelah itu adalah
suara keras pintu yang dibanting menutup, disusul bunyi mesin mobil yang meraung
meninggalkan rumah. Itulah kali terakhir Gefan melihat ayahnya rutin pulang sebulan sekali,
berganti menjadi beberapa bulan sekali.
Entah karena terlalu kesepian atau tertekan atas sikap tak acuh sang suami, ketika Gefan baru
masuk SMP, gangguan mental Lavian mulai muncul. Berawal dengan suara tangis dari kamar
mamanya, hingga teriakan-teriakan putus asa yang terdengar sangat memilukan. Gefan
berusaha menghibur mamanya, dengan mengatakan kalau dirinya tidak akan pergi seperti sang
ayah. Tetapi, hal itu tidak berpengaruh banyak untuk Lavia. Sampai akhirnya, Lavia seperti
sekarang, selalu banyak diam dan tidak ingat dengan orang-orang disekitarnya. Gefan bahkan
ragu Lavia masih mengingat dirinya sendiri.
Melihat kondisi mamanya yang memburuk akibat tingkah ayahnya, Gefan diam-diam bertekad
tidak akan pernah mau mengikat diri pada pernikahan. Mungkin ayahnya mencintai sang mama
ketika mereka memutuskan menikah. Tapi, terbukti cinta itu tidak bertahan lama. Hanya karena
popularitas yang melambung tinggi, Aska lupa pada cintanya. Melupakan Lavia. Saat
mengetahui kondisi Lavia yang memburuk, Aska hanya menyarankan agar mamanya
dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk ditangani oleh orang yang lebih berpengalaman. Dia tidak
bersedia merawat istrinya sendiri. Jangankan merawat, mengunjungi kamar istrinya pun sangat
jarang. Gefan tahu dia tidak akan bersikap seperti ayahnya. Tapi, bukan berarti pasangannya nanti juga
akan berpikiran sama. Bagaimana kalau nanti malah pasangannya yang bersikap seperti Aska"
Meninggalkannya demi hal lain yang lebih menarik. Gefan tidak mau bernasib sama seperti
mamanya. Itu yang membuatnya takut membuka diri untuk menyukai lawan jenis. Gefan sudah
lama belajar untuk mengubur perasaan dan membentengi hatinya. Dia menjauhi semua gadis
yang mendekatinya, merayunya, dan mengatakan cinta kepadanya. Dia nyaris menjaga jarak
kepada semua orang. Penampilan premannya sekarang pun merupakan salah satu cara untuk
membuat orang-orang menjauhinya. Meskipun tidak berhasil sepenuhnya. Beberapa perempuan
bernyali besar, atau tidak punya otak seperti Devita, masih gencar mendekatinya meskipun dia
sudah berkali-kali menolak. Entah apa yang dilihat Devita darinya.
Mungkin gadis itu mengira bisa menjinakkannya. Gefan tertawa muram. Dia tidak akan pernah
dijinakkan. Seperti yang dikatakannya kepada Lanna, dia hewan liar. Selamanya akan tetap liar.
"Lo bakal kaget kalau tahu apa yang bisa dilakukan oleh cinta."
Gefan menyunggingkan senyum sinis. Dia sangat tahu apa yang bisa dilakukan cinta. Cinta bisa
menghancurkannya kalau tidak berhati-hati mengendalikan perasaan dan menjaga hatinya.
Melompat turun dari meja, Gefan berjalan menuju kasurnya. Dia menyingkirkan selimut sebelum
membaringkan diri. Memunggungi dinding, dia menarik selimut, lalu mencoba tidur.
Bab 5 Aura membuka pintu toko CD langganannya. Hari ini dia tidak ada jadwal kuliah dan ingin
dihabiskannya dengan menonton film. Dia memandang sekeliling sejenak, kemudian mendekati
seorang karyawan yang sedang menyusun CD-CD baru.
"Mas, film Puss in Boots udah ada belom?"
Karyawan itu berbalik. "Sudah," jawabnya, lalu terdiam sebentar, tampak kaget saat melihat
Aura. "Hai," sapanya.
Aura menatap Gefan sedikit bingung. "Hai," balasnya. Pandangannya menangkap seragam yang
dipakai Gefan. "Lo kerja di sini?"
Gefan mengangguk. Dahi Aura berkerut sebentar, kemudian wajahnya mendadak cerah. "Tuh, kan, bener! Gue
emang pernah lihat lo! Pasti di sini. Lo udah lama kerja di sini?"
"Lumayan," gumam Gefan. "Gue juga kayaknya beberapa kali lihat lo ke sini."
"Gue selalu dateng paling nggak sebulan dua kali," kata Aura bangga.
"Oh," Gefan menggaruk lehernya. "Jadi, cari film apa?"
"Puss in Boots, The King"s Speech, Black Swan, The Red Riding Hood, Beastly,"."
"Lo mau buka toko CD?" potong Gefan saat daftar film yang disebut Aura terus bertambah.
"Hah?" Aura menghentikan ucapannya. "Emang udah berapa yang gue sebut?"
"Sepuluh atau sebelas," jawab Gefan.
"Yah, ambilin aja deh. Tenang, gue bayar full, nggak pake minta diskon," Aura menyeringai.
Bibir Gefan tertarik sedikit membentuk senyum ragu, lalu dia buru-buru berpaling untuk
mengambil CD film-film yang diinginkan Aura. Aura mengambil semua CD itu.
"Makasih," ucap Aura. Kemudian, dia bergegas menuju kasir. Setelah selesai bertransaksi, Aura
berjalan keluar. "Bye, Gefan," pamitnya.
"Terima kasih kunjungannya," balas salah seorang teman Gefan, sesame karyawan toko,
sementara Gefan sendiri hanya mengangguk singkat.
Aura tengah berjalan menuju mobilnya, ketika sebuah motor menyerempetnya dari samping dan
membuatnya terjatuh dengan bokong lebih dulu menghantam aspal. Benturan itu cukup keras,
membuat Aura shock. Untuk beberapa saat, dia tidak bisa bernapas. Tulang punggungnya
terasa sangat sakit. Dia bahkan tidak sanggup berdiri, terlalu sibuk berusaha bernapas. Tibatiba, seseorang membantunya berdiri.
"Lo nggak apa-apa?"
Aura memejamkan mata, bertumpu sepenuhnya kepada si penolong. Dia merasa tubuhnya
dibawa berjalan, menaiki tangga, kemudian dibantu duduk.
"Aura?" Aura memberi isyarat bahwa dia belum bisa bicara. Sialan, tulang punggungnya seakan retak.
Benturan tadi tepat mengenai tulang ekornya. Suatu keajaiban hal itu tidak sampai membuatnya
lumpuh, mengingat benturannya cukup keras. Setelah napasnya mulai normal, Aura membuka
mata perlahan dan menangkap sosok Gefan.
"Makasih," ucap Aura sambil setengah meringis.
"Lo nggak apa-apa?" gefan mengulung pertanyaannya.
"Punggung gue sakit."
Tangan Gefan sudah terulur untuk menyentuh punggung Aura, tetapi dia menghentikannya.
"Gue ambilin minum. Lo duduk aja dulu."
Gefan berkata seakan Aura bisa langsung berjalan setelah apa yang menimpanya. Saat Gefan
kembali dengan sebotol air mineral, Aura menerimanya, meskipun dia tidak haus. Dia tidak ingin
menyinggung orang yang telah menolongnya ini.
"Perlu ke dokter?" Tanya Gefan saat melihat Aura kembali meringis.
Aura menggeleng. "Sakitnya udah mulai berkurang."
"Perlu dianter pulang" Atau gue teleponin Lanna?"
Aura kembali menggeleng. "Gue bisa pulang sendiri, kok. Cuma butuh waktu nenangin diri
bentar," ucapnya. Gefan hanya mengangguk. "Hati-hati. Di sini jarang ada orang yang nyetir sopan." Katanya.
Kemudian, dia berdiri. "Gue balik kerja, ya" Nggak apa-apa, kan, ditinggal?"
Aura tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Makasih lagi."
Gefan menatap Aura sejenak. Seakan memastikan kalau gadis itu akan baik-baik saja, lalu
melangkah kembali ke dalam toko.
Tepat saat itu, terdengar suara teriakan keras yang dibarengi dengan suara benda menabrak
sesuatu. Gefan berbalik, dan melihat sebuah mobil baru saja menabrak seorang gadis
berseragam SMA. Teman gadis itu berteriak histeris, sementara si mobil langsung memelesat
pergi. "Tabrak lari!" teriak seseorang.
Gefan berjalan pelan mendekati kerumunan kecil yang mulai terbentuk di sekeliling gadis yang
ditabrak itu, diikuti Aura.
"Ya, ampun"," Aura membekap mulut.
"Tolongin!" tangis seorang gadis yang mengenakan seragam serupa dengan si korban.
"Teleponin ambulans! Atau taksi! Atau apa pun!"
Gefan menatap satu per satu "Penonton" yang ada di sana. Saat tidak melihat seorang pun dari
mereka berani mengambil tindakan, dia menadahkan tangan kepada Aura. "Mana kunci mobil
lo?" "Hah?" Aura kaget sebentar, kemudian menyerahkan kunci mobilnya. "Buat apa?"
Gefan tidak menjawab. Dia menjauh sebentar untuk mengambil mobil Aura, dan kembali
mendekati kerumunan itu. Dia turun dari mobil untuk menghampiri si korban."Ayo, kita anter ke
rumah sakit," katanya kepada Aura.
Aura melongo. "Apa?"
"Nggak ada waktu," omel Gefan. "Jangan Cuma jadi penonton. Anak itu sekarat!" bentaknya. Dia
menghampiri teman korban. "Bisa hubungi keluarganya?"
Gadis itu mengangguk sambil sesenggukan.
"Oke. Saya sama teman saya akan bawa dia ke rumah sakit, kamu nanti nyusul sama
orangtuanya. Bisa?" "Bi" bisa"," jawab gadis itu, sesenggukan. "Makasih, Kak. Tolongin teman saya, ya."
Gefan mengangkat tubuh si korban yang sudah berlumuran darah. "Ayo," ajaknya kepada Aura.
Untunglah Aura cepat mengerti. Dengan sigap, dia membuka pintu belakang mobilnya. Dengan
hati-hati, supaya tidak semakin banyak darah yang keluar, Gefan membaringkan anak SMA itu di
jok belakang. Aura ikut masuk ke belakang supaya bisa menjaga anak itu, sementara Gefan
masuk ke kursi pengemudi. Mengabaikan orang-orang yang memperhatikan mereka, Gefan
memelesat secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.
*** Aura dan Gefan duduk di kursi depan ruang UGD, bersama orangtua dan teman dari anak yang
menjadi korban tabrak lari tersebut. Tidak ada yang bersuara di antara mereka. Raut wajah
orang tua dan teman anak SMA itu tampak cemas dan gelisah. Aura melirik Gefan dan melihat
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajah cowok itu tanpa ekspresi. Seragam kerja Gefan dipenuhi bercak darah, tetapi lelaki itu
tampak tidak peduli. Aura berusaha tidak memikirkan bercak darah yang juga memenuhi jok
mobilnya. Mamanya pasti akan histeris nanti saat melihatnya.
"Jahat banget, ya, yang nabrak trus kabur gitu," gumam Aura pelan, berusaha mencairkan
ketegangan. Sebagai orang yang juga baru saja menjadi korban tabrak lari, Aura bersyukur
kondisinya tidak separah anak SMA itu. Hanya bokong dan punggungnya yang masih sedikit
sakit, tidak sampai harus dirawat di UGD.
Gefan hanya bergumam tidak jelas sebagai tanggapan.
Pintu ruang UGD di buka. Dua orang perawat keluar dengan wajah datar. Salah seorangnya
langsung memelesat melewati mereka, sementara yang lain menatap mereka satu per satu.
"Apakah ada di antara kalian yang memiliki golongan darah O negative?" Tanya perawat itu.
Wanita paruh baya, ibu korban, berdiri. "Saya O negative. Ada apa, Suster?"
Perawat itu mengangguk. "Korban butuh donor darah sekarang. Dia kehilangan banyak darah."
"Baik! Ambil darah saya, Suster! Ambil sebanyak apa pun yang kalian butuh untuk
menyelamatkan putrid saya!" kata wanita itu dengan wajah bersimbah air mata. "Tolong
selamatkan putri saya!" pintanya.
"Ma," tegur suaminya. "Mama diabetes. Nggak boleh kasih donor."
Wajah perawat itu tampak prihatin. "Ya, penderita diabetes tidak boleh memberikan donor." Dia
menatap Gefan, Aura, dan gadis berseragam SMA yang duduk di sebelah Aura. "Kalian?"
Si gadis SMA dan Gefan menggeleng pelan. Aura menelan ludah. Gefan meliriknya dengan
sebelah alis terangkat. Perawat lain, yang tadi langsung melewati mereka, muncul kembali dengan wajah khawatir. "Kita
sama sekali tidak punya stok darah O negative."
"Kamu sudah menghubungi PMI?"
"Sudah. Dan, kosong."
"Saya." Ucap Aura pelan. Suaranya sedikit bergetar. "Darah saya O negative."
"Benarkah?" Tanya Ayah korban penuh harap. "Kamu tidak mengidap penyakit apa pun, Nak?"
"Sejauh yang saya tahu, saya sehat. Tapi, supaya lebih meyakinkan, saya bersedia diperiksa."
Gefan mengerutkan dahi saat mendengar nada suara Aura. Suaranya bergetar, seperti
menahan sesuatu. Tepat saat itu, dia mengingat ekspresi Aura ketika melihatnya akan
mendonorkan darah beberapa waktu lalu. Dia juga ingat kata-kata Lanna tentang ketakutan Aura
pada jarum. Ketika Aura akan mengikuti perawat untuk mulai prosedur donor darah, Gefan ikut
berdiri. "Boleh saya menemani?" tanyanya kepada Perawat.
Tanpa sadar, Aura mengembuskan napas lega. Dia memang tidak ingin sendiri. Dan, tawaran
Gefan untuk menemani sangat berharga untuknya saat ini.
*** "Tenang," bisik Gefan, ketika Aura berbaring di ranjang dengan gugup. "Rasanya nggak beda
jauh kayak digigit semut, kok."
Aura mendengus, sementara perawat menyiapkan alat untuk mengambil darahnya. "Kalau
nggak inget ada anak sekarat, gue nggak akan mau ngelakuin ini." Matanya membulat ketika
melihat jarum yang disiapkan perawat. "Ya, ampun ?" dia menelan ludah. "Benda itu bakal
nancep ke badan gue?"
"Ada masalah?" Tanya perawat.
"Nggak ada," jawab Gefan. "Dia Cuma gugup. Baru pertama kali donor darah."
Aura memelototi jarum yang sudah terarah ke lengannya. "Ya ampun" ya ampun " ya amp?"
ucapnya terpotong saat tiba-tiba Gefan mengalihkan wajahnya kea rah lain.
"Gimana nggak takut kalau lo melotot sampai segitunya?"
Aura menatap wajah Gefan yang sekarang berada tepat di depannya. Untuk sesaat, dia terpaku.
Di balik rambut sebahunya, Gefan ternyata memiliki wajah yang menarik. Dan, ketika mata
mereka bertemu, Aura merasa seakan tengah memandangi langit malam yang pekat. "Lo cakep
juga," gumam Aura sambil lalu.
"Thanks," jawab Gefan tak acuh. "Lo juga lumayan."
Aura menjerit kecil saat jarum sudah masuk ke lengannya. Saat dia akan kembali melihat, Gefan
menahan wajahnya. "Nggak apa-apa, Aura. Nggak perlu dilihat."
"Jarumnya bener-bener ada di badan gue?"
"Kenapa lo takut jarum?" Tanya Gefan tiba-tiba.
"Kalau lo ngabisin masa kecil dengan terus-terusan ketusuk jarum, lo juga bakal parno. Nggak
jarum jahit, peniti, jarum pentul, sampai jarum suntik, nggak ada yang ngasih kesan bagus ke
gue." Wajah Gefan tampak geli. "Oh, ya" Emang apa yang mereka lakuin ke elo?"
"Nusuk gue terus-terusan," jawab Aura dengan wajah cemberut. "Padahal, gue udah nyoba
pegang sehati-hati mungkin, tetep aja ketusuk. Ya udah, gue nyerah. Nggak mau lagi berurusan
sama benda-benda itu."
"Aneh," dengus Gefan.
Aura mencibir. "Menurut lo aneh. Menurut gue, sih, normal."
"Bener juga," Gefan mengangguk setuju. "Semua orang normal dengan cara mereka masingmasing."
"Tepat." Gefan terus mengajak Aura mengobrol, menjauhkan pikiran gadis itu dari kenyataan sebuah
jarum tengah menancap di lengannya. Saat perawat berkata selesai, Aura mendesah lega. Dia
sedikit sempoyongan ketika berdiri.
"Pusing?" Tanya Gefan.
"Lumayan," jawab Aura, menyambut tangan Gefan yang terulur untuk membantunya turun dari
ranjang. Mereka kembali bergabung dengan orangtua dan teman korban setelah Aura merasa cukup
baik. Ibu si gadis terus mengucapkan terima kasih kepada Aura. Setelah yakin tidak ada yang
harus mereka lakukan lagi, keduanya memutuskan untuk pulang.
"Lo bisa pulang sendiri?" Tanya Gefan
"Bisa," jawab Aura.
"Ya udah. Lo langsung pulang aja. Gue harus balik ke toko."
"Gue anter sekalian?" tawar Aura.
Gefan menggeleng, "Gue naik angkot aja," dia sudah berjalan beberapa langkah, kemudian
berbalik. "Lo hebat. Bisa ngatasin rasa takut buat nolong orang."
Wajah Aura bersemu malu. Dia mengangkat bahu tak acuh, berusaha bersikap santai.
"Ketakutan itu kelihatan konyol aja kalau sampai bikin gue biarin anak itu kehabisan darah. Egois
dan nggak berperikemanusiaan."
Gefan memiringkan kepalanya sedikit. "Ya. Konyol banget."
Aura tersenyum kecil. "Bye, Fan. Sampai ketemu lagi."
"Bye," balas Gefan.
*** Jadi, anak itu udah nggak apa-apa?" Tanya Agra, teman kerja Gefan.
Gefan melepaskan kausnya yang berlumuran darah, kemudian mengenakan jaket untuk
melapisi singlet putihnya. "Semoga, sih, udah nggak apa-apa. Seenggaknya dia udah dapet
darah." "Sakit jiwa, tuh, yang nabrak. Berani banget dia langsung maen kabur gitu."
"Nggak ketangkep, ya?"
"Ketangkep," jawab Agra. "Nggak lama abis lo sama cewek itu pergi bawa korban, yang nabrak
digiring ke TKP. Terakhir gue lihat, sih, dia dibawa ke kantor polisi." Arga menggaruk hidungnya.
"Ngomong-ngomong, cewek tadi pacar lo, ya?"
"Bukan!" bantah Gefan cepat. "Temannya teman gue."
"Oh"," Arga mengangguk paham. "Ngomong-ngomong, Devita apa kabar?"
"Kenapa nanya gue" Emang gue bapaknya?"
Arga tertawa, "Lo harus cepet nemu cewek, Man. Biar hidup kaku lo lebih menarik."
"Gue nggak perlu saran dari buaya sinting kayak lo."
Tawa Arga makin keras. Gefan menyambar kardus yang masih berisi penuh. Kemudian mereka
melangkah meninggalkan gudang. Gefan berdiri di depan computer untuk memasukkan data CD
baru, sebelum kembali menyusunnya. Arga berdiri di depannya, sementara Fara, bagian kasir,
sibuk melayani pembeli. Gefan sesekali melirik Arga yang tampak sibuk mengamati pembeli
yang sedang mengantre. "Belanja mata terus," sindir Gefan tanpa menatap Arga.
"Gue normal,Fan." Kata Arga membela diri. "Lo, tuh, yang wajib diperiksa. Nggak pernah peduli
sama cewek. Iya, nggak, Far?"
"Nggak ikutan," jawab Fara tak acuh.
Gefan tersenyum tipis. "Lo nggak bisa ngerti gue sama kayak gue nggak akan pernah bisa ngerti
otak kotor lo." Arga mendengus, "Lo emang payah."
Fara menatap Arga. "Nggak ada kerjaan" Tuh, pelanggan banyak. Ngapain lo ngurusin Gefan?"
Arga menyeringai. "Pulang kerja, jalan yuk, Far."
Fara kembali pada pekerjaannya. "Nggak, makasih. Gue alergi sama playboy."
Gefan melempar pandang prihatin bercampur geli. Arga mendengus, lalu meninggalkan mereka
untuk menghampiri pelanggan yang baru masuk.
Bab 6 Gefan sedang menikmati sarapannya ketika Aska meletakkan sebuah amplop cokelat di
depannya. Lalu, ayahnya itu duduk di depannya, mengambil selembar roti dan mengoleskan
selai kacang di atasnya. "Itu untuk kuliah dan biaya sehari-harimu. Juga mamamu," kata Aska
sambil melahap rotinya. Gefan hanya menatap amplop itu tanpa mengambilnya. Dia meminum
kopi panasnya, mengabaikan Aska. Setelah menghabiskan tiga lembar roti dan segelas jus
jeruk, Aska berdiri, memakai jaketnya, lalu menenteng tas kecil di bahunya. "I have to go. See
you soon, in one or two or six months later." Tersenyum lebar, dia mengacak rambut Gefan,
kemudian menyeret koper kecilnya menuju ruang depan. Gefan berlari menyusul ayahnya.
"Ayah nggak nemuin Mama?" Tanya nya Aska berhenti sejenak, lalu berbalik. "Apa ada fungsi
pamit sama dia" Dia bahkan nggak kenal sama dirinya sendiri." "She"s your wife!" geram Gefan
Aska melepaskan kopernya, kemudian berjalan menghampiri Gefan. Dia masih lebih tinggi lima
senti daripada Gefan. Kedua tangannya menyentuh bahu Gefan. "I know it, my little boy. Dia istri
saya, seperti kamu juga anak saya. Karena itu saya menyempatkan pulang sesekali dan rutin
mengirimkan uang untuk kalian. Apa itu masih kurang?" Gefan menyentak tangan ayahnya
dengan kasar, "Aku nggak butuh uang Ayah! Aku bisa menghidupi diriku sendiri! Mama yang
butuh Ayah!" Aska mengangkat bahu. "I have to go," katanya. Lalu, dia kembali menyeret
kopernya dan meninggalkan rumah. Gefan menendang pintu dengan geram. Dia mengumpat,
menyumpah serapah, dan mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak pantas diucapkan seorang
anak kepada ayahnya. Tapi, Gefan tidak peduli. Ayahnya benar-benar manusia paling
berengsek baginya. Amukan Gefan sedikit mereda saat dia mendengar suara pintu kamar
mamanya dibuka. Lavia melangkah keluar dengan mata menatap Gefan. Dahi Lavia berkerut
dan matanya dipenuhi Tanya. Gefan mendekati mamanya. "Mau ke mana, Ma?" Tanya Gefan
lembut, seraya menggandeng tangan Lavia dan membawanya ke ruang tengah. Lavia tidak
melepaskan matanya dari Gefan. Tangannya terulur menyentuh kedua pipi Gefan, kedua
rahangnya, leher, dan berhenti di bahu. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. "Aska,"
ucapnya penuh sayang. "Aku kangen," sambungnya. Lalu, Lavia memeluk Gefan erat. "Jangan
pergi lagi." Dada Gefan terasa nyeri melihat keadaan mamanya. Ayahnya benar-benar tega
memperlakukan mamanya seperti ini. "Ma, ini Gefan." Lavia tampak seolah tidak mendengar
ucapan Gefan. Dia terus memeluk lelaki itu, mengusap-usap wajah di dada Gefan, mempererat
pelukannya, seolah tidak ingin melepasnya lagi. Gefan hanya diam, membiarkan Lavia
memeluknya. Lavia berceloteh, mengungkapkan semua isi hatinya untuk Aska. Kedua tangan
Gefan sudah terkepal di sisi tubuhnya, tetapi dia menahan diri untuk tidak menghancurkan
sesuatu. Lavia melepas pelukannya, menatap Gefan dengan bingung. "Kenapa kamu nggak
peluk aku" Kamu nggak sayang lagi, ya, sama aku?" Gefan memaksakan diri tersenyum. Dia
menarik Lavia dalam pelukannya. Tubuh Lavia menjadi lebih rileks saat dia kembali
membenamkan wajah di dada Gefan. Ayahnya akan membalas ini nanti. Gefan bertekad akan
membuat ayahnya lebih menderita daripada mamanya sekarang. *** Lanna mengernyit saat
melihat wajah kusut Gefan. Temannya itu duduk di sudut belakang kelas sambil mencoret-coret
bindernya. Lanna menarik kursi ke sampingnya, lalu duduk. "Kenapa lo?" Gefan tidak menjawab.
Bindernya sudah penuh coretan gambar-gambar abstrak yang cantik tetapi mengerikan, sejenis
dengan tato di lehernya. Lanna menyandarkan punggungnya ke kursi, tidak bertanya lagi. Dia
hanya mengamati Gefan yang masih sibuk menggambar sesuatu. "Ntar jalan yuk, Na," ajak
Gefan tanpa berpaling dari gambarnya. "Lo kerja jam dua, kan" Ntar langsung gue anter." "Oke.
Mau ke mana?" "Ke mana aja. Keliling-keliling nggak jelas." Gefan membalik bindernya, mencari
halaman kosong untuk membuat gambar baru. "Ntar gue yang ngomong sama Arsen." "Nggak
usah. Ntar gue aja. Dia hari ini juga nggak bisa jemput, kok. Ada les sampai sore." "Ya udah,"
jawab Gefan singkat. Kemudian dia tidak bersuara lagi, focus pada gambarnya. Lanna
mengamati Gefan dan bindernya bergantian. Ada yang aneh dengan Gefan hari ini. Dia tahu
Gefan sosok yang pendiam. Pendiam dan nyaris introvert. Tetapi, baru kali ini dia merasa aura
yang sangat muram di sekitar Gefan. Teman dekatnya itu seperti sedang menahan sesuatu yang
akan meledak. Dia ingin bertanya, tapi tidak berani mendesak. Gefan yang sedang marah
sepertinya bukan sesuatu yang baik. Meskipun belum pernah melihat langsung, Lanna bisa
merasakannya. Gefan tidak pernah mau membagi masalah pribadinya. Setiap Lanna
menanyakan sesuatu yang sedikit probadi, cowok itu langsung gusar dan menyuruh tidak
membahas. Meskipun hubungan mereka cukup dekat, Lanna tidak benar-benar mengenal Gefan
sepenuhnya. Gefan tetap sosok penyendiri yang misterius. Seperti brankas yang membutuhkan
kode rumit untuk membukanya. Begitu kelas mereka berakhir, Lanna mengikuti Gefan ke tempat
parkir motor. Mereka lebih dulu makan d
i sebuah warteg pinggir jalan, sambil memutuskan ke
mana mereka akan pergi. Lanna mengajak Gefan ke bioskop, tapi Gefan menolak. Dia sedang
ingin menghindari keramaian. Akhirnya, setelah makan, mereka hanya berkeliling-keliling sampai
bensin motor Gefan nyaris habis. Sebelum mengantar Lanna ke tempat kerjanya, Gefan mampir
di sebuah SPBU untuk mengisi bensin. "Kamu di mana?" Tanya Arsen. "Dari tadi aku telepon
nggak di angkat." "Lagi di jalan, sama Gefan." "APA"!" Arsen langsung terdengar gusar.
"Ngapain sama dia?" Lanna menghela napas. Dia masih tidak mengerti mengapa Arsen sangat
antisipasi dengan Gefan. Padahal. Arsen tahu Gefan tidak pernah bertingkah kurang ajar atau
mencoba mendekatinya. "Sekarang kamu di mana" Aku jemput." Lanna melihat Gefan sudah
selesai mengisi bahan bakar dan sedang melaju ke arahnya. "Udah mau ke toko. Jemput pulang
kerja aja, ya." Arsen menggeram. "Aku bunuh cowok itu!" sungutnya. "Kamu baik-baik aja, kan"
Masih lengkap, kan?" "Arsen, sayang, aku jalan sama Gefan, bukan sama psikopat." "Dia berjiwa
psikopat buat aku," kata Arsen dengan nada dongkol. "Ya udah, aku jemput pulang kerja. Hatihati. Kamu masih rajin bawa semprotan lada, kan" Kalau dia macem-macem dan kamu nggak
sempet ngeluarinnya, langsung tending aja selangkangannya." "Arsen!" Lanna tertawa. "I"II be
fine, sweet pea." Gefan berhenti di depan Lanna. Lanna naik ke boncengannya. "See you later,"
kata Lanna. Setelah member kecupan mesra di telepon. "Pasti ngamuk-ngamuk nggak jelas, tuh,
bocah," dengus Gefan "Gitu, deh. Tapi, nggak bakal perang, kok." Kata Lanna. "Buruan jalan.
Ntar gue telat." *** Gefan mengamati kondisi mamanya semakin membaik sejak mengenali
dirinya sebagai Aska. Lavia menjadi lebih sering keluar kamar dan mengekornya saat dia ada di
rumah. Gefan senang melihat mamanya sudah lebih "Hidup", tetapi juga sedih karena sang
mama masih belum juga mengingatnya. Lavia seperti terjebak dalam memori masa lalunya yang
indah dengan Aska, ketika Aska belum berubah menjadi lelaki sialan seperti sekarang. Gefan
selalu meringis setiap melihat Lavia menatapnya dengan penuh cinta. Bukan cinta ibu kepada
anaknya, melainkan cinta perempuan kepada seorang lelaki. Terlihat jelas kalau Lavia sangat
mencintai Aska. Seperti saat ini, begitu Gefan melangkah masuk ke rumah, Lavia langsung
menyambutnya dengan senyum. Gefan balas tersenyum sambil mengecup pipi mamanya
dengan sayang. Lavia menarik Gefan ke ruang makan. Gefan takjub saat melihat deretan
makanan memenuhi meja. Sudah sangat lama dia tidak merasakan masakan mamanya lagi.
"Aku bikin sup iga kesukaan kamu," kata Lavia. Memeluk leher Gefan dari belakang, lalu
mengecup pipi kirinya. "Suka, kan?" "Suka," kata Gefan. Dia benar-benar canggung harus
bersikap sebagai kekasih dengan ibu kandungnya sendiri. Tetapi, dia tidak tega jika harus
mengecewakan mamanya. Satu-satunya hal paling berharga dalam hidupnya hanya sang
mama. Dan, dia akan melakukan apa pun untuk membuat mamanya senang. Lavia tersenyum
senang, lalu duduk di sebelah Gefan. Dia mengisi piring Gefan dengan nasi dan beragam sayur
serta lauk yang sudah dibuatnya, lalu mengisi piringnya sendiri. Lavia tidak hentinya melirik
Gefan dengan pandangan memuja. Sesekali dia menyuapi Gefan, mengelus pipinya, membuat
Gefan bergidik setiap kali Lavia melakukannya. Selesai makan, Lavia mengajak Gefan duduk di
ruang tengah sambil menonton TV. Kepala Lavia bersandar di bahu Gefan sambil memeluk
pinggangnya. Gefan hanya diam, berusaha mengalihkan perhatian dengan acara TV di
depannya. "Sayang," bisik Lavia, mendongakkan kepalanya. Gefan menunduk. "Ya?" Tiba-tiba,
Lavia mendekatkan wajahnya kepada Gefan. Gefan tersentak dan mendorong mamanya. Dia
tahu apa yang akan dilakukan mamanya. Dan, ini sudah melebihi batas wajar. "Aska?" ekpresi
terluka di wajah Lavia menyayat hati Gefan. "Aku Gefan, Ma! Anak mama. Bukan Aska!" kata
Gefan, mengguncang bahu mamanya. "Lihat aku, Ma! Aku bukan Aska!" Lavia berdiri dengan
ketakutan dan menjauhi Gefan. Gefan mendekat, berusaha menyentuh mamanya lagi. Tepat
saat Gefan menyentuh tangannya, Lavia berteriak. Teriakan keras dan histeris. Penuh
ketakutan. Gefan sampai harus menutup telinganya. "MANA ASKA" ASKAAA!!!!" teriak Lavia.
"Ma!" Gefan menarik Lavia dalam pelukannya, mencoba kembali menenangkan mamanya. Akan
tetapi, kali ini Lavia yang mendorong Gefan. Lavia menarik-narik rambutnya sendiri dengan
frustasi sambil terus berteriak memanggil Aska. Dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan
Gefan. Setelah lelah berteriak, dia duduk dan menangis. Hati Gefan terasa tercabik saat melihat
keadaan mamanya. Lavia hanya ingin bahagia bersama lelaki yang dicintainya. Sayang, lelaki itu
tidak mau memedulikannya sama sekali. Dengan lembut, Gefan menarik Lavia agar berdiri, lalu
mengantar wanita itu ke kamarnya. Lavia langsung meringkuk di kasur, menutupi seluruh
tubuhnya dengan selimut, seraya terus terisak. Gefan mengelus rambut mamanya sebentar,
sebelum melangkah perlahan keluar kamar. Hari-hari Lavia menjadi zombie sepertinya akan
kembali. Kenyataan itu makin melukai Gefan. ***
Bab 7 Gefan membuka pintu kamar Lavia perlahan, lalu terbelalak. Lavia masih berbaring di kasurnya,
tampak kesulitan bernapas. Gefan meletakkan makanan yang dibawanya ke atas meja kecil
yang ada di samping tempat tidur, lalu menghampiri mamanya dengan panic. Belum sempat
Gefan bertanya ada apa, tubuh Lavia melemas, lalu pingsan. Gefan mengangkat tubuh Lavia
dan membawanya keluar rumah. Salah seorang tetangganya baru saja mengluarkan mobil.
Gefan langsung mengadangnya. "Ada apa, Gefan?" Tanya Tobi, pemilik mobil itu. "Mama saya.
Butuh ke rumah sakit. Sekarang," kata Gefan. Dengan sigap, Tobi membuka pintu belakang
mobilnya. "Ayo, saya antar," katanya. "Makasih," ucap Gefan seraya masuk. Perjalanan menuju
rumah sakit seperti menanti eksekusi hukuman gantung bagi Gefan. Penuh rasa tegang dan
ketakutan. Dia tidak mau kehilangan mamanya dengan cara apa pun. Entah apa yang terjadi, dia
tidak sempat memikirkannya. Yang jelas, dia ingin mamanya selamat. Begitu tiba di rumah sakit,
Lavia langsung dibawa ke ruang UGD. Gefan hanya bisa pasrah saat dokter mengambil alih
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mamanya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Tobi. "Kamu mau ditemani?" Tanya Tobi,
melirik jam tangannya, lalu kembali manatap Gefan. Gefan menggeleng. "Makasih banyak, Om."
Ucapnya. "Maaf merepotkan." Tobi menepuk pelan bahu Gefan. "Bukan masalah," dia
tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah. "Saya harus pergi. Kalau ada apa-apa, kamu bisa
menghubungi saya." Gefan mengangguk. Setelah Tobi pergi, gefan mengeluarkan ponselnya.
Dia mengirim SMS kepada Lanna, mengatakan kalau dia tidak masuk semua kelas hari ini.
Lanna membalasnya, bertanya mengapa dia tidak masuk. Gefan mengabaikannya. Dia berjalan
mondar-mandir di depan ruang UGD, berharap pintu itu segera terbuka dan dokter member
kabar kalau mamanya baik-baik saja. *** Delia mengintip dari bahu Aura untuk melihat apa yang
sedang dikerjakan sahabatnya itu. Seperti biasa, Aura sibuk dengan karikaturnya. Tetapi, kali ini
ada yang berbeda. Delia menunduk, agar bisa melihat lebih jelas. "Siapa, tuh?" Aura langsung
menutup bukunya. "Bukan siapa-siapa." Mata Delia menyipit. Dia menarik kursi ke sebelah Aura.
"Siapa?" ulangnya. "Nggak usah usil deh," omel Aura. Dia kembali membuka bindernya, tetapi ke
halaman kosong. Dia mulai membuat karikatur baru. Dengan sigap, Delia menarik binder itu, lalu
membawanya menjauh dari Aura. Aura terbelalak dan langsung mengejar Delia. Delia membalik
halaman berisi gambar seorang lelaki yang dibuat Aura tadi. Dia mengamatinya, mencoba
mengenali lelaki itu. Tidak seperti gambar Aura yang biasanya aneh dan konyol, gambar satu ini
terlihat indah dan menarik. Seorang pria dengan rambut nyaris menyentuh bahu, sedikit
bergelombang. Yang menarik, pria itu dibuat telanjang dada dengan tato rumit tetapi cantik
dilehernya. Belum sempat Delia mengamati lebih jauh, Aura berhasil menarik kembali bukunya.
Dia menatap Delia kesal. "Usil banget, sih, lo?" dengus Aura. Delia tersenyum nakal. "Wah".,
Rangga pasti heboh kalau tahu adik tersayangnya mulai lirik-lirik cowok." Wajah Aura memerah.
"Kalau lo lapor ke Kak Rangga, gue beneran ngambek sama lo." Delia tertawa keras. Melihat
raut Aura, dia menghentikan tawanya. Berdehem, dia kembali bersuara. "Emang udah waktunya,
ya, Ra. Anak mana?" Aura berjalan kembali ke kelasnya, sementara Delia mengekor. Dia sama
sekali tidak ingin bercerita kepada Delia mengenai cowok di gambarnya. "Nit," tegur Delia.
"Mahasiswa sini juga?" Aura mengangkat bahu. Delia menepuk punggung Aura geram. "Nggak
usah sok-sok rahasia, deh. Sama gue juga. Siapa?" kejarnya dengan nada penasaran. Aura
duduk, mengabaikan Delia sepenuhnya. "Kalau nggak mau ngasih tahu, gue bakal cerita ke
Rangga." Aura melotot. "Resek lo!" umpatnya. Delia kembali menyunggingkan senyum manis.
"Kalau gitu, cerita, dong." "Bukan siapa-siapa." "Bukan siapa-siapa, kok, muka lo merah?" goda
Delia. "Diem, ah." Delia kembali tertawa. "Nggak apa-apa, Ra. Jatuh cinta bukan dosa besar,
kok, sampai lo harus malu gitu." "Gue nggak jatuh cinta." Delia bersandar, menyilangkan
kakinya. "Belom, bukan nggak," katanya. "Siapa, sih" Cakep nggak" Sama Rangga, cakepan
siapa?" Aura merasakan pipinya memanas. "Udah, Del. Gue nggak akan ngomong apa-apa."
"Nggak asyik lo, " Delia merengut. "Janji, Deh, nggak bakal kasih tahu siapa-siapa! Sumpah
pramuka!" Aura menatap Delia geli, lalu menggeleng. "Nggak!" jawabnya dengan nada final.
"Ntar gue mau ke Diamond. Ikut?" Aura mengalihkan pembicaraan. Delia mencibir, menyadari
usaha Aura untuk mengalihkan topic. "Nggak, ah. Mau nyalon," jawabnya, sambil mengibaskan
rambut hingga mengenai wajah Aura. Aura hanya mendengus. *** Gefan duduk di bangku depan
ruang UGD dengan perasaan yang amat tidak tenang. Matanya berkali-kali manatap pintu
ruangan itu yang tertutup rapat. Ketika pintu itu terbuka, Gefan langsung melompat berdiri dan
menghampiri dokter. "Gimana mama saya, dok?" Tanya Gefan langsung. Dokter itu menghela
napas pelan. "Mamamu mengalami overdosis. Hal itu menyebabkan aliran darah dari jantung ke
otaknya berhenti. Maaf, tapi kami sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kami bisa."
Gefan merasakan jantungnya berhenti berdetak sesaat. "Apa maksud dokter?" tanyanya dengan
suara bergetar. Dokter itu menatap Gefan sambil menepuk pundaknya. "Karena aliran darah
berhenti, fungsi jantung pun berhenti. Itu artinya, mamamu telah beristirahat dengan tenang.
Yang kuat, ya," ucap dokter berhati-hati. Gefan berteriak. Teriakan yang penuh kesakitan.
"Dokter bohong!" bentaknya. "Mama saya nggak mungkin meninggal! Kalian nggak berusaha!
Kalau kalian benar-benar berusaha, mama saya nggak akan meninggal!" Dokter itu menepuk
bahu Gefan penuh rasa bersalah. "Maaf. Semoga kamu bisa menerimanya." Gefan langsung
berlari memasuki ruang UGD, menghampiri mamanya. Kain putih sudah ditarik menutup hingga
ke wajah Lavia. Gefan membukanya perlahan. Mamanya seperti sedang tidur. Namun, wajahnya
amat pucat, pertanda tidak ada lagi darah yang mengalir di sana. Gefan menyentuh dada
mamanya dengan mata terpejam. Tidak ada lagi detak jantung yang terasa di telapak
tangannya. Mamanya benar-benar sudah pergi. Meninggalkannya. Matanya memanas,
sementara bahunya mulai bergetar. "Mama?" panggil Gefan pelan. "Ma" Ini Gefan. Mama
dengar, kan, Ma" Mama Cuma tidur, kan?" Tubuh Lavia bergeming. Gefan menggenggam
tangan mamanya yang mulai mendingin. Ini tidak mungkin terjadi kepadanya. "Gefan sayang
Mama. Mama jangan pergi. Mama nggak boleh pergi! Gefan nggak mau sendirian di sini. Cuma
Mama yang Gefan punya." Gefan membiarkan air matanya jatuh. "Bangun, Ma?" Seorang
suster memasuki ruangan itu dan menghampiri Gefan yang masih terus berusaha berbicara
dengan mamanya. "Suster, tolongin Mama saya," pinta Gefan. "Tolong" jangan biarkan dia
meninggal ?" Suster itu menatap Gefan prihatin. "Mamamu sudah tenang di sana. Kamu harus
ikhlas." Gefan menggeleng. Dia tidak mau membiarkan mamanya meninggal sekarang. Dia
belum melakukan apa pun untuk membahagiakan mamanya. Lavia tidak boleh meninggal. Hal
terakhir yang dilakukannya kepada Lavia membuat robekan di hati Gefan makin lebar. Kalau
saja dia tidak mendorong Lavia" Selain dirinya, masih ada satu orang lagi yang bertanggung
jawab atas kondisi Lavia. Kalau bukan karena orang itu, Lavia tidak akan sakit. Lavia tidak akan
salah mengenalinya. Dan, Lavia pasti masih hidup sekarang. Bukan Lavia yang seharusnya
mati, melainkan orang itu. Dengan tangan terkepal, Gefan pergi meninggalkan tempat itu. Dia
menghentikan taksi dan memerintahkan si sopir untuk membawanya ke kantor Diamond Group.
Kantor itu pasti tahu di mana ayahnya sekarang, karena mereka yang menyusun jadwal
perjalanan Aska. Dia ingin memburu dan mengubur lelaki itu hidup-hidup. Karena ayahnya, dia
kehilangan satu-satunya hal yang paling berharga di hidupnya. Dia benar-benar akan
membunuh pria itu. Gefan menerobos masuk tanpa menghiraukan security yang menjaga pintu.
Security itu menghadangnya dengan galak. Gefan balas menatap orang itu dengan garang.
Dengan emosi seperti ini, dia bisa menyakiti siapa pun yang menghalanginya dan dia tidak akan
menyesali perbuatan itu. "Mau ke mana?" bentak satpam itu. "Bertemu dengan siapa pun yg
mengirim Aska pergi dari Negara ini," kata Gefan, menggeretakkan giginya. Seorang wanita
mengenakan setelan blazer berwarna hijau limun menghampiri mereka. "Ada apa ini?" Tanya
wanita itu. "Anak ini mau membuat kekacauan," lapor si satpam. Mata wanita itu menyipit saat
melihat Gefan. "Apa saya mengenalmu?" "Nggak," jawab Gefan dengan rahang terkatup. "Tapi,
anda pasti mengenal ayah saya. " tatapan mata Gefan di penuhi amarah. "Ke mana Aska pergi?"
"Aska?" alis wanita itu menyatu. "Aska siapa?" "Aska Pandagri." "Oh, kamu anaknya Pak Aska?"
"Aku harap bukan," geram Gefan. "Ke mana dia?" "New Orleans. Sebentar lagi Paskah. Dia tidak
ingin ketinggalan perayaan Mardi Gras, untuk bahan artikel dan bukunya." Wanita itu tampak
semakin bingung. "Apa dia tidak mengabarimu?" Gefan kembali berteriak seperti hewan liar yang
terluka. "BERENGSEK! Sementara istrinya sekarat sampai meninggal, dia pergi buat nonton
perayaan bodoh?" "Istri Pak Aska meninggal?" Gefan mengabaikan pertanyaan itu. Pandangan
matanya terlihat amat tersiksa. "Bilang ke dia, sebaiknya dia nggak pernah muncul di depan
muka saya lagi. Atau, saya akan membunuhnya!" tatapan mata Gefan makin dingin. "Dan, terima
kasih sudah membunuh mama saya." "Kamu tidak ingin menghubungi Pak Aska?" tahan wanita
itu saat Gefan berbalik. Gefan hanya menatap wanita itu sekilas, lalu berjalan meninggalkan
tempat itu. Kesedihan memenuhi hatinya. Mamanya sudah meninggal. Dia tidak akan pernah
lagi melihat mamanya setelah ini. Gefan membiarkan air matanya kembali turun sambil terus
berjalan tanpa arah. "Gefan!" Gefan mengabaikan panggilan itu. Tiba-tiba, seseorang menahan
lengannya dari belakang. Gefan menyentak tangannya, lalu kembali berjalan. "Gefan!" kali ini
orang itu menyentak bahu Gefan hingga berbalik. Alis Aura langsung menyatu saat melihat
wajah Gefan dipenuhi air mata. "Lo kenapa?" "Apa peduli lo!" bentak Gefan. "Nggak usah ikut
campur." Dia kembali berjalan, meninggalkan Aura yang terpaku. Aura tersentak mendengar
nada kasar Gefan. Dia bisa saja pergi dari tempat itu, mengabaikan Gefan seperti perintah lelaki
itu. Namun, pandangan mata Gefan yang penuh duka tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan,
lelaki itu sedang menangis. Nekat, dia berlari kecil menghampiri Gefan dan berdiri di depannya.
"Lo baik-baik aja, Fan" Ada apa?" Tanya Aura pelan, berharap suara lembutnya meluluhkan
Gefan. Gefan hanya menatap Aura tajam. Aura bisa melihat kilat kemarahan di mata cowok itu.
Seharusnya, dia takut dan langsung menyingkir dari jalan Gefan. Namun, yang dilakukannya
malah mengulurkan tangan untuk memegang kedua bahu Gefan. Gefan kembali menyentak
tangan Aura. "Apa yang terjadi sama gue, sama sekali bukan urusan lo!" "Begitu juga dengan
apa yang terjadi sama gue, bukan urusan lo. Tapi, lo tetep bantu gue pas gue jatuh. Kenapa gue
nggak boleh ngelakuin hal yang sama?" Aura menatap Gefan tajam. "Kebetulan masalah gue
jauh lebih parah daripada sekedar bokong yang benturan sama aspal." Jawab Gefan dingin. "Lo
nggak harus ngusir semua orang," ujar Aura. Dia mengangkat tangannya, menyerah. "Oke. Kita
emang belum bener-bener saling kenal sampai lo harus cerita sama gue." Dia mengeluarkan
ponselnya. "Apa perlu gue hubungi Lanna?" "Gue bisa ngatasin semuanya sendiri." Gefan
menghentikan taksi kosong yang lewat, lalu pergi dari tempat itu. Kembali ke mobilnya, Aura
menyusul taksi yang membawa Gefan. Saat-saat seperti ini, dia merindukan motor bebeknya, di
mana bisa langsung memutar tanpa kesulitan. Dia melupakan tujuannya semula, ingin
menyerahkan karikatur barunya. Dia penasaran apa yang membuat lelaki segahar Gefan terlihat
begitu hancur. Aura melambatkan mobilnya ketika melihat taksi yang diikutinya berhenti di
sebuah rumah sakit. Setelah memarkir, Aura berjalan di belakang Gefan. Alisnya kembali
bertautan saat melihat Gefan ke " kamar jenazah" Tengkuk Aura merinding. Ada apa ini"
Mengapa Gefan masuk ke kamar jenazah" Beberapa saat kemudian, setelah menyelesaikan
masalah administrasi rumah sakit, Gefan mengikuti beberapa perawat mendorong ranjang keluar
dari kamar jenazah. Sosok di atas ranjang itu ditutupi sepenuhnya, tanda kalau sudah tidak
bernyawa lagi. Aura tidak bisa mendeskripsikan raut wajah Gefan. Tidak cukup hanya dengan
kata sedih, terluka, hancur, dan sebagainya. Gefan terlihat seperti dunianya sudah musnah.
Tepat sebelum Gefan ikut naik ke ambulans, Aura kembali menahannya. Gefan sedikit terkejut
melihat Aura. "Siapa?" Tanya Aura. Mata Gefan menggelap karena emosi. "Nyokap gue." Mulut
Aura ternganga. "Gue ikut belasungkawa," ucapnya. Gefan mengangguk kaku, lalu naik ke
ambulans, meninggalkan Aura. Ketika ambulans itu berjalan, Aura tidak menyusulnya. Dia
mengeluarkan ponsel dan menekan nomor Lanna. "Na, nyokap Gefan meninggal," katanya
langsung begitu Lanna menjawab. "Gue tahu rumahnya. Kita berangkat bareng aja,"
sambungnya, lalu menutup ponselnya. *** Gefan sedikit kaget saat melihat Aura, Lanna, dan
Arsen datang ke rumahnya untuk melayat. Rumahnya sendiri sudah dipenuhi tetangga-tetangga
di sekitarnya. Dengan canggung, dia mempersilahkan mereka masuk. Lanna berhenti di depan
Gefan sebentar, mengelus lengannya, lalu bergabung dengan Aura untuk duduk di dekat ibu-ibu
di bagian belakang rumah, sementara Arsen dan Gefan duduk bersama bapak-bapak di ruang
tamu. Arsen menepuk bahu Gefan yang duduk di sampingnya. "Gue ikut berdukacita." Gefan
menatap Arsen. "Thanks," ucapnya. "Lo nggak apa-apa?" "Sangat apa-apa." Jawab Gefan.
"Satu-satunya hal paling berharga dalam hidup gue udah pergi. Gimana menurut lo?" Arsen
menghela napas. "Gue ngerti. Bisa dibilang, lo malah lebih beruntung karena dikasih
kesempatan buat kenal sama nyokap, sementara gue Cuma bisa lihat foto." Gefan tidak
menanggapi. Arsen tidak bersuara lagi. Dia membiarkan Gefan larut dalam perasaan
kehilangannya. Gefan tidak melepaskan pandangan dari jasad mamanya yang berada tepat di
depannya. Saat merapikan rumah untuk menyambut para pelayat, Gefan sempat beres-beres di
kamar mamanya. Dia menemukan botol obat tidur yang sudah kosong. Seperti yang dibilang
dokter, mamanya overdosis obat tidur. Saat itulah dia tahu kalau mamanya sengaja mengakhiri
hidupnya. Lavia membunuh dirinya sendiri. Kenyataan itu melukai Gefan lebih dalam.
Seandainya, dia tidak mendorong Lavia saat mamanya itu akan menciumnya, mungkin Lavia
tidak akan melakukan ini. Seharusnya, dia tetap membiarkan Lavia menganggapnya Aska, yang
pasti akan membuat mamanya sangat bahagia. Gefan mengutuk dirinya karena tidak bisa
membahagiakan mamanya. Jenazah Lavia dikebumikan sekitar pukul tiga sore. Gefan tetap
tidak bersuara saat jasad mamanya diturunkan ke liang lahat. Dia menangis tanpa suara. Aura
dan Lanna berdiri di kiri-kananya, mencoba memberinya kekuatan. Arsen bahkan ikut menepuk
punggungnya dari belakang. Begitu prosesi pemakaman selesai, satu per satu pelayat
meninggalkan tempat itu. Tinggal Gefan, Lanna, Arsen, dan Aura yang tersisa. Gefan seperti
tidak ingin meninggalkan pusaran mamanya. Dia menyentuh nisan sang mama sambil sesekali
membersit hidungnya. Kacamata hitam yang dipakainya tidak mampu menutupi raut sedihnya.
"Pulang aja kalau mau pulang. Gue masih mau di sini. Sendiri," kata Gefan tanpa menatap
mereka. "Telepon gue kapan pun lo butuh. Oke?" ucap Lanna. "Kita sahabat, kan?" Gefan
mengangguk. "Thanks, Na." Lanna meremas bahu Gefan, lalu berjalan bersama Arsen. Saat dia
mengajak Aura, sahabatnya itu menggeleng. Alis Lanna menyatu, tetapi tidak bertanya.
Akhirnya, dia membiarkan Aura bersama Gefan. "Gue mau sendiri, Ra," kata Gefan dengan
nada lelah. Bukannya mendengarkan, Aura malah ikut berjongkok di sebelah Gefan. Aura
memutar bahu Gefan agar menghadapnya, lalu menarik cowok itu dalam pelukannya. Tubuh
Gefan mengejang karena kontak itu. Belum pernah ada orang yang memeluknya seperti ini,
selain mamanya. Hal pertama yang terbesit di benak Gefan adalah mendorong Aura menjauh.
Namun, yang dilakukannya malah balas memeluk Aura dan terisak di bahu gadis itu. ***
Bab 8 Aura membenturkan kepala di meja belajarnya sambil terus-menerus mengutuk dirinya. Apaapaan yang dilakukannya tadi" Memeluk Gefan" Ya, ampun! Idiot macam apa yang sudah
merasuki tubuhnya hingga dia berani bersikap seperti itu" Ya, walaupun Gefan pernah
memberinya semangat saat dia kali pertama melakukan donor darah waktu itu, tetap saja itu
tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan bodohnya.
Ungtunglah Gefan tidak melemparnya, atau menguburnya hidup-hidup, mengingat mereka
sedang berada di pemakaman. Gefan malah balas memeluknya dan menangis. Benar-benar
terisak. Aura tidak pernah membayangkan sosok sesangar itu bisa terisak seperti anak kecil.
Bahunya sudah basah oleh air mata Gefan, saat akhirnya cowok itu mau diajak pulang. Setelah
Gefan terlihat lebih tenang, Aura baru meninggalkannya.
Setelah dipikir-pikir, nyaris semua yang ada pada diri Gefan berlawanan. Tampang yang sangar,
tetapi ternyata memiliki hati lembut dan rapuh. Tato abstraknya yang cantik, tetapi penuh kesan
menyeramkan. "Bukannya udah biasa?"
Aura kembali duduk tegak, kali ini sambil melotot.
Mama tertawa. Mengacak rambut pendek Aura penuh sayang, dia duduk di tepi ranjang Aura.
"Semua orang pasti pernah, bahkan mungkin sering, ngelakuin hal bodoh. Itu manusiawi, kok.
Nggak usah bertingkah kayak dunia mau kiamat gitu."
"Dunia emang kayak kiamat gara-gara kebodohan Aura kali ini, Ma."
"Emang kamu ngapain?"
Aura ragu. Apa reaksi mamanya kalau dia berkata sudah memeluk seorang cowok" Dia sendiri
masih benar-benar tidak mengerti mengapa bisa memeluk cowok itu tadi. "Nggak usah dibahas,
ah," kata Aura akhirnya. Dia bangkit, berjalan menuju kasurnya, lalu berbaring.
Mama ikut berbaring di samping Aura, memeluk putrid bungsunya itu. "Masalah cowok, ya?"
tebaknya sambil mengelus rambur Aura.
Aura memainkan pita baju tidur mamanya. "Kok, tahu?"
"Beneran" Kata Rangga, Aura nggak punya pacar."
"Emang bukan pacar."
"Terus?" Menghela napas, Aura akhirnya menceritakan apa yang terjadi hari ini. Mulai dari pertemuannya
dengan Gefan di dekat kantor Diamond Group, dia mengikuti Gefan ke rumah sakit, kabar
tentang meninggalnya mama Gefan, hingga peristirahatan bodoh dia memeluk cowok itu.
"Menurut mama itu bukan tindakan bodoh. Kamu berniat baik untuk menghibur dia. Dan,
berhasil. Apa yang bikin kamu uring-uringan?"
"Aura sama Gefan itu belum deket, kan, aneh kalau tiba-tiba Aura tadi meluk dia."
"Kenapa Aura tiba-tiba meluk dia?"
Aura mengedikkan bahunya. "Pas lihat muka dia yang sedih banget, Aura jadi nggak tega. Trus,
tiba-tiba nggak tahu kenapa meluk aja."
"Aura suka sama Gefan?"
"Nggak!" jawab Aura cepat.
Mama tersenyum. "Aura suka sama Gefan," ulangnya, kali ini sebagai pernyataan, bukan
pertanyaan. "Nggak, Mama." Mama berdiri. "Ya, udah. Pertunangan Rangga sama Delia bulan depan. Ajak Gefan, gih,
supaya dia nggak sedih lagi." Mengecup dahi Aura, Mama berjalan keluar.
Aura memeluk gulingnya. Dia tidak mungkin menyukai Gefan. Apa yang dilakukannya tidak lebih
sebagai bentuk simpati atas kesedihan yang dialami cowok itu. Hanya itu.
Benarkah" Lalu, apa maksud gambaran-gambaran indah wajah Gefan yang dibuatnya beberapa
hari belakangan ini" Aura membenamkan wajahnya di bantal. Benar-benar melapetka kalau dia
sampai menyukai Gefan, sementara cowok itu sama sekali tidak tertarik kepadanya.
*** "Gefan?" Gefan mengangkat kepala dari lututnya saat mendengar panggilan samar itu. Dia sedang duduk
di atas meja, di depan jendela kamarnya, sambil memeluk lutut. Tanpa berniat menyahut, Gefan
diam di tempatnya. Terdengar bunyi ketukan dari pintu di lantai kamarnya, "Gefan?"
Itu suara Aska. Kemarahan Gefan tersulut. Dia mengangkat pintu dan melihat Aska berdiri di
tangga spiral menuju kamarnya. Meraung keras, Gefan menerjang Aska hingga ayahnya itu
terjatuh. Lalu, dia melompat ke atas tubuh Aska, menghujani wajah sang ayah dengan pukulanpukulan membabi buta. Dia ingin membunuh ayahnya. Sangat ingin melihat ayahnya mati
dengan mengenaskan. Aska menangkap sebelah tangan Gefan, kemudian menahan tangan yang satunya. Darah
mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. "Simpan tenagamu." Kata Aska pelan. Dia mendorong
Gefan dari atas tubuhnya, lalu berdiri.
Gefan mengepalkan tangannya. "Mau apa" Buat apa kamu dateng lagi?" bentaknya marah.
"Kurang puas bikin Mama meninggal" Mau lihat Gefan mati juga?" Gefan mendengus keras. "Itu
nggak akan terjadi. Kamu yang mesti mati duluan!" dia kembali menyerang Aska, berniat
menerjang perutnya. Aska menangkap kaki Gefan, memelintirnya hingga anak itu jatuh dengan dada membentur
lantai lebih dulu. Gefan kesulitan bernapas. Dia megap-megap, berusaha memasukkan oksigen
ke paru-parunya. Aska berjongkok di dekat wajah Gefan. "Saya tahu kamu sedih. Bisa dibilang, Lavia adalah
hartamu yang paling berharga. Tapi, saya mau membela diri. Kematiannya bukan karena salah
saya. Saya nggak pernah pengin dia mati."
Gefan bangkit perlahan. Matanya menyipit, menatap Aska penuh kebencian. "Oh, ya" Kamu
sama sekali nggak peduli sama Mama! Nggak pernah peduli! Sementara Mama sangat
mencintaimu! Itu sama aja kamu udah bunuh Mama pelan-pelan!"
"Jaga bicaramu, Anak muda," kata Aska, masih tampak tidak peduli. "Saya jauh-jauh datang
bukan buat berhadapan sama amarah liarmu."
"Trus" Buat dateng ke makam istrimu?" Tanya Gefan sinis.
"Saya sudah ke sana." Aska berjalan menuju dapur. Dia membuka lemari kaca berisi koleksi
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anggurnya dan mengambil sebotol wine. "Kamu nggak punya siapa-siapa lagi di sini." Aska
membuka tutup botol, lalu menuangkan isinya ke gelas bening. "Saya mau kamu ikut."
"Ikut" Denganmu?" Gefan mendengus. "Nggak akan pernah!" jawabnya langsung. Dia berjalan
menuju tangga untuk kembali ke kamarnya.
"Ayolah. Bisakah sekali-kali kita berbincang layaknya ayah dan anak" Kenapa harus selalu
rebut?" keluh Aska. "Kamu nggak pernah bertingkah layaknya seorang ayah," cergah Gefan.
"Oke." Aska mengangkat tangannya, menyerah. "Saya nggak punya cukup waktu buat
merayumu sekarang," dia berjalan menghampiri Gefan sambil membawa gelasnya. "Saya harus
segera pergi lagi." "Gue nggak peduli!" kata Gefan, terus berjalan menuju kamarnya.
"Sampai kapan kamu mau ngurung diri di kamar?"
"Sampai kamu pergi di sini." Gefan mendorong pintunya hingga terbuka, melangkah naik
memasuki kamar, lalu membantingnya menutup.
*** Aura, Delia, dan Lanna sedang berkumpul di food court sebuah pusat perbelanjaan sambil
menikmati makan siang masing-masing. Ayu tidak bisa ikut karena sedang sibuk, seperti biasa,
sementara Lola tidak bisa dihubungi.
Delia menyeruput diet coke-nya, lalu menyendok salad, dan melahapnya. "Kayaknya ada yang
nggak beres sama Lola. Terakhir ketemu, sekitat tiga hari lalu, dia kelihatan kusut gitu. Ya, kan,
Ra?" Aura mengangguk sambil menggigit kentang gorengnya. "Paling bermasalah sama si Coki,"
jawabnya tak acuh. "Kayaknya lebih dari sekedar bermasalah, deh," gumam Delia.
"Dia nggak cerita apa-apa ke gue," Lanna ikut bersuara.
"Ke gue juga. Tumben-tumbenan anak itu nggak share."
Delia mengambil satu kentang goreng Aura, lalu menggigitnya. "Gue kangen gorengan,"
keluhnya, mengambil tiga kentang sekaligus. "Peraturan sialan."
"Risiko jadi model," kata Lanna, menyeruput lemon ice nya.
"Gue heran aja sama orang-orang itu. Nyaris semua modelnya udah kayak penderita anoreksia
akut, masih aja disuruh diet gila-gilaan. Pelatih gue bahkan tahu kalau gue abis makan pisang
goreng sebiji. Cuma sebiji!" Delia menggeleng frustasi. Saat kembali bersuara, dia menirukan
suara berat pelatih modelingnya. "Delia, kalau sampai berat kamu naik lagi, kamu nggak akan
bisa ikut fashion week selanjutnya. Rencana Ivan Gunawan pun nggak akan indah dipakai oleh
model yang berperut buncit." Dia mendengus kesal, lalu berdiri. "Look at me! Udah kayak papan
penggilesan gini saking kurusnya." Gerutunya seraya kembali duduk.
"Karena itu kamu mau cepat-cepat nikah sama Kak Rangga?" goda Aura.
"Tunangan," ralat Delia tak acuh.
Belum sempat Aura membalas, ponselnya bergetar. Dahinya berkerut saat melihat nama Aska
Pandagri sebagai penelepon. "Bokapnya Gefan," katanya pelan. Lalu, dia menekan tombol
answer. "Halo?"
Lanna dan Delia menatap Aura dengan alis menyatu.
"Siapa Gefan?" Tanya Delia kepada Lanna, sementara Aura focus pada ponselnya. Tangannya
sudah terulur untuk mengambil kentang goreng Aura, tetapi diurungkannya. Dia tidak butuh
ocehan dari pelatihnya lagi. Sambil mendengus, dia melahap saladnya.
"Teman kampus gue," jawab Lanna.
"Kok, bokapnya nelpon Aura, bukan elo?"
Lanna hanya mengangkat bahu saat ponselnya ikut bergetar. "Bokapnya Arsen," gumamnya,
kemudian menjawab telepon itu.
Delia menatap kedua sahabatnya bergantian, mengangkat bahu, lalu kembali makan.
Aura dan Lanna menyelesaikan telepon mereka nyaris berbarengan.
"Jadi?" Tanya Delia.
Lanna memasukkan ponsel, lalu menenteng tasnya. "Arsen masuk rumah sakit. Gejala DBD.
Papanya lagi nggak di sini." Dia berdiri.
Aura menghela napas. "Bokap Gefan nyuruh gue ke rumahnya karena udah seminggu sejak
pemakaman mamanya, Gefan nggak mau keluar kamar."
Tangan Lanna terjatuh lunglai di sisi tubuhnya. "Ya, ampun. Trus gimana?" dia menggigit bibir
gelisah. Di satu sisi dia ingin menghibur Gefan, di sisi lain dia lebih ingin menemani Arsen di
rumah sakit. "Menurut gue, lo ke rumah sakit aja. Biar Aura yang ngurus si Gefan itu," saran Delia.
Aura mengangguk. "Oke." Kata Lanna, menatap Aura dengan bingung. "Nanti, gue bakal Tanya apa hubungan
kalian," sambungnya. Tanpa membuang waktu, Lanna memelesat pergi.
Delia menatap Aura dengan alis bertaut. "Gefan itu cowok yang sering lo gambar akhir-akhir ini,
ya": Wajah Aura bersemu. "Kata Lanna, tuh cowok temen kampusnya. Kok, yang ditelepon elo?"
Aura menghabiskan milkshake cappuccino-nya, kemudian menyerahkan kentang gorengnya
yang tinggal separuh kepada Delia. "Bokapnya Cuma punya nomor gue. Kemarin gue sempet
wawancara sama dia. Dia tahu kalau gue, bisa dibilang, temen Gefan." Dia ikut berdiri. "Lo masih
mau di sini, apa pulang?"
Delia memasukkan dua kentang sekaligus ke mulutnya. "Di sini aja. Bentar lagi Rangga
istirahat." "Oke, Bye." Aura ikut pergi meninggalkan tempat itu. Namun, dia berhenti sebentar. "Tutup
mulut, ya, Del. Nggak usah ngomong apa-apa ke Rangga!"
Delia membuat bentuk holy di atas kepalanya. Dia menatap kepergian kedua sahabatnya sambil
terus mengunyah. Saat menangkap wadah kentang goreng di tangannya nyaris kosong, dia
tersadar apa yang sedang dimakannya. Mengumpat, dia meletakkan wadah itu ke meja dengan
kesal. *** Aska langsung menyuruh Aura masuk saat gadis itu tiba di rumahnya. Aura melangkah masuk
dengan ragu, tidak yakin apakah seharusnya dia datang atau tidak. Aska berjalan ke dapur dan
menyuruh Aura mengikutinya. Aura hanya diam saat Aska meletakkan beberapa makanan di
nampan. "Tolong bujuk dia makan." Pinta Aska seraya menyerahkan nampan itu kepada Aura.
Aura mengambilnya dengan bingung. "Kenapa saya?"
"Dia membenci saya," kata Aska, mengedikkan bahunya dengan tak acuh. "Seminggu ini dia
nyaris tidak makan apa pun. Sangat memalukan kalau sampai anak Aska Pandagri mati karena
kelaparan." Aura makin bingung melihat nada tak acuh Aska dan sikap tidak pedulinya. "Di mana
kamarnya?" Aska menunjuk pintu kayu tepat di atas tangga spiral.
"Di loteng?" Aura menatap Aska dan pintu itu bergantian, tidak percaya. "Dia tidur di loteng?"
"Pilihannya sendiri," jawab Aska. "Saya sudah menawarkan kamar di halaman belakang, dia
menolak dan lebih memilih di loteng."
Cinderella boy, gumam Aura. Dia melangkah pelan menaiki tangga spiral. Dengan gugup, dua
menggedor pintu kamar Gefan. Tidak ada sahutan. "Fan" Gue Aura," panggil Aura, lalu kembali
menggedor. Terdengar bunyi "klik", lalu pintu itu terangkat terbuka. Gefan menunduk, menatap Aura dengan
wajah datar. "Ngapain?"
Aura mengangkat nampan di tangannya. "Makan?" tawarnya.
"Gue nggak laper." Gefan berbalik pergi, tetapi tidak menutup pintunya.
Aura menganggap itu berarti Gefan mengizinkannya masuk. Dengan hati-hati, dia menaiki
tangga sampai memasuki kamar itu. "Waw." Gumamnya kagem saat melihat keadaan kamar
Gefan. Aura meletakkan nampannya di meja, sambil mengamati kamar itu. Saat menunduk,
Aura terperangah melihat gambaran yang ada di lantai. Sebuah graffiti yang sangat indah di
sepanjang lantai itu. "Apa tulisannya?" Tanya Aura.
"Nama gue," jawab Gefan. Dia kembali duduk di meja, tempat biasa saat dia ingin menenangkan
diri. "Jadi, selain mau ngasih gue makan, apa tujuan lo" Siapa yang nyuruh lo ke sini?"
"Bokap lo." Aura menarik kursi di depan meja yang diduduki Gefan.
Gefan hanya diam saat melihat Aura duduk. "Masih di sini orang itu."
"Katanya udah seminggu lo nyaris nggak makan apa pun. Dia" " Aura memikirkan kata yang
tepat, "Kayaknya dia khawatir sama lo." Kurang lebih seperti itu, meskipun menurut Aura bentuk
kepedulian Aska hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Gefan mendengus, seakan bisa membaca pikiran gadis itu. Dia melirik makanan yang di bawa
Aura, lalu kembali menatap ke luar jendela. "Gue nggak laper."
"Oh, ya?" Tanya Aura tidak percaya. Dia menaiki kursi, lalu ikut duduk di meja, di samping
Gefan. Dia mengulurkan roti cokelat. "Gue tau lo laper."
Gefan mengabaikannya. Aura mencubit roti itu sedikit, lalu menggoyang-goyangkannya ke arah mulut Gefan. "Pesawat
meluncur, siap memasuki ke terowongan. Ayo, buka pintunya sebelum terjadi tabrakan. Aaaaa
"," gumamnya, seperti membujuk seorang anak kecil.
Sudut bibir Gefan terangkat. "Pesawat apa yang mau masuk terowongan" Pesawat jatuh
kehabisan bensin yang siap tabrakan?"
Aura mendengus. "Tabrakan beneran terjadi kalau terowongannya nggak dibuka. Ayo, cepat!"
Gefan membuka mulutnya sedikit, menerima roti yang disuapi Aura. Gadis itu tersenyum
senang, kembali mencubit roti, dan mengulangi kata-kata sejenis. Dia hanya mengganti
kendaraannya. Kereta api, mobil balap, sepeda ontel, delman, dan berbagai kendaraan lain yang
memasuki terowongan. "Yak, terakhir. Jordan mendribel bola menuju ring. Lalu, dia bersiap melakukan tembakan tiga
angka dan "," Aura mengangkat tanganya hingga Gefan sedikit mendongak saat menerima
potongan roti terakhir, "Masuk! Yeeee!" sorak Aura.
Gefan tertawa kecil, lalu menerima air yang disodorkan Aura.
Aura tersenyum senang. "Ini makanan sebenernya," ujarnya, mengangkat piring berisi nasi,sup,
dan ayam goreng. Gefan mengambil piring dari Aura, lalu mulai makan. Aura kembali duduk di kursi sambil
memandangi Gefan yang tampak lahap. Sepertinya cowok itu memang kelaparan. Tetapi,
kesedihannya mampu mengalahkan rasa lapar. Aura ikut prihatin. Kehilangan orangtua, apalagi
sosok ibu yang sangat disayangi, pasti akan menghancurkan hati anak mana pun.
"Makasih," ucap Gefan saat dia menyelesaikan makanannya.
Aura meletakkan piring kosong Gefan di atas nampan. "Sama-sama," balasnya. Dia lalu berdiri
di depan Gefan, menyentuh lututnya yang terlipat. "Gue tahu lo sedih. Tapi, nggak seharusnya
kesedihan itu terlalu berlarut. Masih ada hidup yang harus lo jalanin."
Wajah Gefan mengeras. Dia kembali membuang muka. "Selama ini, gue jalanin hidup buat
nyokap. Hidup gue selesai waktu nyokap dikubur."
"Trus, lo sengaja diem di sini, berharap ikut mati?"
Gefan tidak menjawab. Aura menangkup wajah Gefan, lalu memaksa cowok itu menatapnya. "Hidup lo masih panjang."
"Hidup gue udah selesai."
"Belom!" tegas Aura. "Lo masih muda. Kalau lo nggak mau hidup buat diri lo sendiri, jalani hidup
buat nyokap lo." "Dia udah nggak ada."
"Tepat. Dia udah nggak ada. Sekeras apa pun lo nyiksa diri, ngurung diri berabad-abad di sini,
nggak akan bikin dia hidup lagi."
Gefan membuang muka. "Lo nggak akan ngerti."
"Emang. Gue nggak akan pernah ngerti kesedihan lo, perasaan lo. Tapi, satu hal yang gue
yakini. Selama lo hidup, nyokap lo tetep ada. Di sini." Aura menyentuh dada Gefan. "Dia nggak
akan pernah ke mana-mana."
Gefan terdiam, menatap Aura cukup lama, sementara tangan Aura berada di dadanya. "Kenapa
lo ngelakuin ini" Kita bahkan nggak bener-bener saling kenal."
Aura menarik tangannya, lalu mengangkat bahu. "Gue kenal lo, Gefan. Dan, lo tahu gue, Aura.
Menurut gue, itu udah masuk kategori "saling kenal"." Dia kembali duduk di kursi.
Keduanya diam beberapa saat. Saat hari semakin sore. Aura akhirnya pamit pulang. Gefan
mengantar gadis itu sampai ke mobilnya.
"Makasih, Ra," ucap Gefan.
Aura membuka pintu mobilnya. Dia tersenyum kecil kepada Gefan. "Gue nggak ngelakuin apaapa. Semua keputusan ada di tangan lo. Mau lanjutin hidup, atau jadi Cinderella Boy
selamanya." Dia melirik jendela bundar kamar Gefan. "Gue pulang, ya," pamitnya, kemudian
masuk mobil dan memelesat pergi
*** Bab 9 Gefan mengintip ke dalam kelas, sebelum memutuskan untuk melangkah masuk. Saat melihat
sosok Lanna duduk di bangku sudut paling depan, dia baru melangkahkan kakinya memasuki
ruangan itu. Lanna sedang sibuk dengan ponselnya ketika Gefan menarik kursi di sebelahnya.
Mendengar kursi sebelahnya ditarik, Lanna menoleh. Wajahnya langsung cerah saat melihat
Gefan. "Gefan! Gimana kabar lo?" sapanya dengan senyum lebar.
Gefan membalasnya dengan senyum tipis. "Sebaik yang bisa dirasain anak yang baru
kehilangan ibunya." Senyum Lanna mengilang. Dia meninju bahu Gefan. "Udah, ah. Sejak kapan lo jadi cengeng?"
"Emang gue nangis?" Gefan menatap Lanna dengan muram. "I"m fine. Cuma masih agak
terpukul," sambungnya.
Lanna mengelus bahu Gefan pelan. "Lo kuat, kok," ucapnya yakin, membuat Gefan tersenyum
kecil. Tiba-tiba dahi Lanna berkerut. "Lo sama Aura jadian, ya?"
"Hah?" Gefan terbelalak. "Kok, lo ngira gitu?"
Lanna mengangkat bahu. "Bokap lo nelpon dia. Kalian jadi kayak punya semacam ikatan gitu."
"Nggak. Gue juga nggak tahu gimana tuh orang bisa nelepon Aura. Gue sama dia, ya, Cuma
teman, ama kayak kita."
"Oh, ya?" Tanya Lanna sangsi.
"Abis kuliah mau ke mana?" Tanya Gefan, mengalihkan pembicaraan. Dia menyandarkan
punggung di kursi, lalu mengacak rambut gondrongnya.
Lanna kembali pada ponselnya. "Ke rumah sakit. Arsen kena gejala demam berdarah."
"Oh," Gefan tampak terkejut. "Gimana keadaannya?"
"Ya, gitu. Trombositnya turun terus." Keluh Lanna dengan nada khawatir. "Papanya baru balik
ntar malam." "Emang bokapnya ke mana?" Tanya Gefan sambil lalu.
"Ke Aceh. Seharusnya sampai minggu depan di sana. Berhubung Arsen sakit, jadi dipercepat."
Gefan termangu. Seandainya ayahnya juga bersikap seperti itu. "Jadi, lo nginep di rumah sakit?"
Lanna mengangguk. "Sama pengasuhnya Arsen juga."
"Tuan muda," dengus Gefan. "Udah setua itu, masih pake pengasuh."
Lanna melotot. "Itu yang ngurus dia dari bayi! Arsen nggak mau pengasuhnya dipecat. Kasihan.
Makanya tetep disuruh kerja. Bukan karena dia bayi tua manja yang butuh pengasuh!"
"Emang emaknya ke mana sampai dia diurus orang dari bayi" Sibuk jadi wanita karier?"
"Nggak usah sinis gitu kali!" omel Lanna. "Mamanya meninggal abis ngelahirin dia."
Gefan terdiam. Dia jadi teringat ucapan Arsen saat melayat ke rumahnya. "Sori," ucapnya.
Lanna mendengus. "Bukan Cuma lo yang pernah kehilangan."
"Seenggaknya, bokap dia selalu siap setiap saat," kata Gefan.
"Dan, bokap lo?"
"Bakal mati bentar lagi."
Lanna melongo. Gefan mengabaikannya, lalu membenamkan kepala di meja. Lanna ingin
bersuara, tetapi tidak jadi karena merasa Gefan sudah mempertebal benteng pertahanan diri
dan tidak mau urusan pribadinya di ganggu.
*** Aura celingak-celinguk di depan toko CD, mencari-cari sosok Gefan. Seorang lelaki tampan,
salah seorang pegawai toko, menghampirinya dengan senyum ramah.
"Ada yang bisa dibantu" Cari kaset apa?"
Aura menatap pegawai itu sejenak, lalu kembali memandangi sekeliling. "Er "," matanya
menangkap pintu tertutup di dekat meja kasir dengan gantungan "Staff only."
Arga melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Aura, meminta perhatian gadis itu.
"Mbak?" "Hah" Ya?" Aura kembali menatap Arga. "Er " gue mau ".,"
Pintu ruangan yang tadi dilihat Aura terbuka. Gefan melangkah keluar sambil membawa sebuah
kardus besar. Dia berjalan ke meja kasir untuk memasukkan data-data CD yang baru masuk, sebelum mulai
menyusunnya. Aura tersenyum tipis, senang akhirnya lelaki itu sudah mau keluar dari
sarangnya. "Halo?" tegur Arga. Dia mengikuti arah pandangan Aura, lalu mengangguk paham.
Aura melewati Arga, menuju rak CD film Indonesia, rak yang paling dekat dengan meja kasir,
agar bisa lebih leluasa mengamati Gefan. Arga menyusulnya, lalu berdiri di samping gadis itu.
"Woy, Fan!" panggil Arga.
Gefan mengalihkan pandangannya dari layar computer. Dia sedikit kaget saat melihat sosok
Aura di samping Arga. Dia memandang Aura beberapa saat, lalu menoleh ke Arga. "Apa?"
"Mbak ini kayaknya nyari elo," lapor Arga seraya menunjuk Aura.
Aura memelototi Arga. Arga menyeringai jail. Dengan langkah tanpa dosa, dia meninggalkan
Aura untuk melayani pengunjung toko yang lain. Aura tidak berani menatap ke arah Gefan lagi,
karena itu dia pura-pura tertarik dengan kaset-kaset di depannya.
"Cari film apa?"
Aura menoleh. Gefan sudah berdiri di sampingnya sambil meletakkan kardus bersar di lantai.
Kemudian, lelaki itu mulai menyusun CD-CD di kardus ke rak di depan mereka.
"Hah" Ouh, nggak. Cuma mau " lihat-lihat."
"Lihat-lihat apa?" Tanya Gefan tanpa menatap Aura.
"Ya, lihat-lihat CD. Apa lagi?" ujar Aura, berusaha bersikap tak acuh.
"CD apa?" "Er ?" Aura menggaruk lehernya. "Ya " yang bagus. Mana?"
"Semuanya bagus." Jawab Gefan.
Wajah Aura memerah saat mendengar nada geli pada suara cowok itu. Sepertinya, Gefan tahu
Suling Emas 16 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 19
Lovhobia Karya: Elsa Puspita Bab 1 Gefan menyisir rambut panjangnya dengan jari sambil terus melangkah menuju kantin.
Beberapa orang yang dilewatinya langsung menyingkir, memberi jalan supaya dia tidak
menabrak mereka. Gefan mengabaikan tingkah orang-orang itu. Dia tidak menyalahkan mereka.
Penampilannya memang tidak mencerminkan mahasiswa yang baik. Rambut sebahu yang
nyaris selalu berantakan, kemeja lusuh, jins belel, lengkap dengan sepatu kets yang sudah tidak
jelas berwarna apa. Hal terutama yang membuat orang-orang itu menjauhinya adalah sebuah
tato abstrak mengerikan di lehernya. Hanya karena penampilannya seperti preman terminal
bukan berarti tingkahnya juga seperti itu. Tetapi, dia tidak merasa harus mengadakan konferensi
pers untuk mengklafikasi dugaan-dugaan miring itu. Biar saja orang-orang berpikir sesuka
mereka tentang dirinya, dia tidak peduli. Semakin banyak orang yang menjaga jarak darinya,
semakin baik untuk hidupnya. Dia berbelok memasuki kantin dan melihat sesosok gadis duduk di
meja tengah. Gadis itu tampak asyik dengan handycam di tangannya sambil mengulum lollipop.
Gefan menghampiri gadis itu. "Woy!" tegurnya sambil menggebrak meja. "Monyet bunting!" teriak
gadis itu kaget. Dia menatap Gefan dongkol. "Harus, ya, ngagetin gitu?" sungutnya. Gefan
menyeringai. "Laper, Na," ucapnya. Lanna kembali pada handycam-nya. "Ya, makan. Ngapain
ngomong sama gue" Emang muka gue mirip rumah makan Padang?" Gefan tertawa kecil. Dia
lalu berdiri untuk memesan makanan. Beberapa mahasiswa lain menyingkir saat dia mengantre,
termasuk mahasiswa senior. Meskipun baru semester dua, dia sudah cukup terkenal sebagai
mahasiswa paling sangar di jurusannya. Padahal, Gefan tidak pernah bersikap kasar kepada
mereka. "Nasi ayam bakarnya satu, Bu," pesannya. Bu Asih, salah seorang penjual di kantin,
langsung membuatkan pesanan Gefan. Setelah si ibu menyerahkan pesanannya, Gefan
membayar dengan uang pas, lalu kembali ke meja Lanna. Lanna masih dengan kegiatannya.
Jus jambu di depan gadis itu nyaris tidak tersentuh. Gefan menjulurkan leher sedikit kea rah
handycam Lanna, lalu mencibir. Lanna sedang melihat rekaman tentang pacarnya, Arsen. "Gue
nggak nyangka kalau cewek kuliahan masih ada yang minat pacaran sama anak SMA,"
ledeknya sambil memasukkan sesendok nasi dan potongan ayam bakar ke mulutnya. Lanna
memelototi Gefan. "Bentar lagi dia juga bakal jadi mahasiswa!" semprotnya. "Ya. Dan, lo udah
semester tiga. Dia" Maba." Lanna mengabaikannya. Gefan dan Arsen tidak pernah bisa
berdamai. Dia sendiri tidak tahu mengapa. Yang jelas, sejak kali pertama dia memperkenalkan
kedua orang itu, mereka langsung sepakat untuk saling memusuhi. Setiap kumpul bertiga, pasti
ada yang menjadi bahan pertengkaran mereka. Dan, Lanna harus selalu siap menjadi penengah
kedua lelaki itu. Lanna mematikan handycam itu, lalu menyeruput jus jambunya. "Daripada lo
ngurusin kehidupan cinta gue sama Arsen, kenapa lo nggak ngurusin kehidupan cinta lo aja?"
Gefan mengangkat bahu. "Nggak minat," jawabnya, kembali berkonsentrasi pada nasi soto di
depannya. Lanna menghela napas sambil geleng-geleng kepala. "Gue nggak pernah nyangka
kalau fobia cinta itu beneran ada." Gefan mengabaikannya. *** Laura Fernita baru saja selesai
memasang kancing terakhir kemejanya ketika ponselnya berbunyi. Dia melihat nama Delia,
sahabat sekaligus teman sekelasnya di kampus, sebagai pengirim pesan. Isinya mengatakan
kalau gadis itu tidak masuk hari ini karena ada pemotretan di luar kota dan menitipkan absen.
Dia menyisir rambut pendeknya dengan jari, lalu mengibaskannya. Setelah memastikan
penampilannya cukup layak, dia berjalan keluar kamar. Dia menemukan Rangga, kakaknya, dan
orangtua mereka sudah di meja makan. Aura menarik kursi di sebelah Rangga. "Kak, bareng,
ya," katanya. "Delia nggak masuk, tuh, mobilku juga belom ganti oli." Rangga mendengus. "Iya
tuh anak, baru pulang beberapa hari, udah pergi lagi." Aura mengambil selembar roti, lalu
mengolesnya dengan selai cokelat. "Karier dia lagi bagus. Bangga, dong, punya pacar model
beken." "Yah, kalau setiap saat ditinggal, kesel juga," gumam Rangga. "Ajak nikah aja," kata
Mama. "Biar nggak ke mana-mana lagi." Rangga tersedak susu yang baru diminumnya. "Delia
itu masih seumuran Aura, Ma. Dua puluh tahun juga belum. Mana mau dia nikah." "Mama nikah
umur delapan belas. Iya, kan, Pa?" Papa mengiyakan tanpa berpaling dari korannya. Aura
terkikik. "Coba aja kalau aku yang minta nikah, pasti dilarang." "Yah", kalau kamu dapet suami
yang udah mapan, nggak bakal dilarang, kok," kata Mama polos. "Ada, Ma. Temen kantor
Rangga naksir dia. Anaknya baik lho, Ma. Posisinya juga lumayan. Mapan, deh, secara materi.
Aura-nya nggak mau," kata Rangga. Mama menatap Aura dengan serius. "Kamu, kok, nggak
pernah ngenalin pacar kamu, sih, Ra?" "Aura nggak pernah pacaran," kata Rangga. Aura
mengabaikan celoteh mama dan kakaknya. Setelah menghabiskan sarapannya, dia mengajak
Rangga berangkat. Begitu tiba di kampus, Aura langsung memelesat menuju ruang kelasnya.
"He, tumben sendirian. Delia mana" Bolos lagi?" sapa Anya, teman sekelasnya. Aura
mengempaskan tubuhnya di kursi. "Pemotretan di Bali," katanya. "Wah", enak banget jalanjalan terus. Tuh anak baru balik dari Singapura, kan, ya" Gue juga mau, deh, jadi model."
"Kenapa nggak jad model juga?" Tanya Aura. Anya menatap Aura sambil mengerjapkan
matanya. "Gue pantes, ya, jadi model?" "Iya. Model bungkus makanan ikan." Anya menoyor
kepala Aura kesal. Aura balas menoyor kepala Anya sambil tertawa. Dia menaikkan kakinya ke
kursi. "Pengin bolos, deh. Kemarin Kak Rangga dapet kaset PS baru. Gue pengin maen." "Ini,
nih, cirri-ciri mahasiswi bermasa depan suram. Yang ada di otaknya Cuma bolos dan PS." Anya
mendecakkan lidahnya. "Sekali-kali kerjain sesuatu yang bermanfaat dan produktif nggak bisa,
ya?" "Semua yang gue lakuin produktif. Semakin sering gue maen, level gue semakin tinggi."
"Dan, pengaruhnya buat hidup lo?" "Nggak gampang stress," kata Aura, mengangkat bahu
dengan tidak peduli. Anya mencibir. Aura baru akan mengeluarkan binder ketika ponselnya
berbunyi. Tertera nama Ayu, sahabatnya yang kuliah di kedokteran. "Besok ke kampus gue, ya.
Ada acara, nih. Gue juga udah ajak Lanna sama Lola. Mereka ikut. Lo juga, ya," kata Ayu. Aura
membolak-balik bindernya yang dipenuhi beragam gambar karikatur dan berhenti di halaman
kosong. "Ada acara apa?" balasnya. "Dateng aja. Sekalian kumpul-kumpul. Delia lagi di Bali,
ya?" "Iya. Pemotretan bikini,"Jawab Aura asal. "Lanna sama Lola dating?" "Iya, mereka dateng.
Lo nggak ada kuliah, kan, besok?" "Besok sabtu, Nona. Ngapain gue kuliah sendirian?" "Yah",
kan, kali aja ada jadwal tambahan atau apa gitu." Aura mengeluarkan pulpennya dan mulai
menggambar, "Kalau sampai ada gituan, gue bolos," jawabnya. "Ya udah, gue usahain dateng."
"Oke. Sampai ketemu besok, Aura. Dah?" Aura mengembalikan ponselnya ke dalam tas sambil
mendengus. Beberapa saat kemudia, dosennya melangkah memasuki kelas. Anya
mengeluarkan notebook pink cerah miliknya. Aura kembali pada bindernya, berniat
menyelesaikan karikatur Anya yang sedang dikerjakannya. "Kalau lo bikin karikatur aneh lagi
pake muka gue, gue tabok lo." "Tenang. Setelah gue pikir, muka lo emang nggak cocok
digabung sama badan bebek," jawab Aura tanpa berpaling dari gambarnya. "Makanya kali ini
mau gue gabung sama badan gorilla." Anya melotot. Belum sempat dia bersuara, dosen mereka
sudah menyampaikan materi. Bertekad akan mencekik Aura setelah perkuliahan selesai, Anya
memaksakan diri memperhatikan dosen. *** "Na, apa bedanya pemeran pendukung sama
figuran?" Tanya Gefan tanpa berpaling dari kertas folio bergaris di depannya. "Gitu aja nggak
bisa, mau jadi sutradara," dengus Arsen. Gefan melotot. "Gue nanya Lanna, bukan lo. Diem,
deh. Anak kecil nggak usah ikut-ikut!" "Udah!" potong Lanna sebelum Arsen membalas. "Nggak
bisa, ya, kalian damai bentar?" "Kita udah sepuluh menit di sini dan baru aja mulai perang.
Sepuluh menit udah lumayan lama bagi aku buat damai sama dia," jawab Arsen, mengambil
handycam dari tangan Lanna. "Ngapain juga, sih, lo ngajak dia?" omel Gefan. "Gue Cuma
ngajak lo?" "Gue nggak akan akan pernah biarin Lanna berduaan sama makhluk kayak lo,"
sambar Arsen. "Kalau kalian nggak diem juga, gue plester mulut kalian!" ancam Lanna. Dia
menatap pekerjaan Gefan. "Pemeran pendukung itu tokoh yang nggak memainkan peran pokok,
tapi erat kaitannya sama peran pokok. Kayak misalnya keluarga, sahabat, atau pacar tokoh
utama. Kalau figuran itu pemain yang memainkan peran tambahan, kaitan sama peran pokok
lainnya longgar, Cuma buat pelengkap adegan. Misalnya, adegan di pesta, trus buat tamu
undangan, orang-orang yang nggak punya nama, tapi ikut masuk ke cerita atau film." "Untung,
ya, kamu nggak ketularan begonia dia," kata Arsen kepada Lanna. "Na, kalau brondong lo itu
nggak diem juga, gue cemplungin kepalanya ke panic bakso!" Gefan menggeram sambil terus
menuliskan penjelasan Lanna. "Dan, gue bakal tendang bokong lo sampai ke Afrika!" balas
Arsen. Lanna menggeretakkan giginya. "Soal mana lagi?" tanyanya kepada Gefan, mengabaikan
keributan tidak penting dari dua lelaki itu. Gefan membaca soalnya. "Sebutkan teori E.
Kretschmer tentang empat tipe fisik pemain." "Ya ampun. Itu kemarin udah dijelasin panjang
lebar," kata Lanna. "Otaknya nggak sanggup ngapal hal-hal kayak gitu, Na," cetus Arsen dengan
nada sok bijak. Gefan melempar pulpennya kea rah Arsen, tepat mengenai kepalanya. Arsen
memungut pulpen Gefan, yang jatuh di dekat kakinya, lalu balas melemparnya hingga mengenai
hidung Gefan. Gefan melotot. Arsen balas melotot. "Astaga! Ini terakhir kalinya gue pertemukan
lo berdua!" kata Lanna, nyaris berteriak. "Kamu udah ngomong gitu berkali-kali," dengus Arsen.
"Bisa nggak, sih, berhenti berkelakuan kayak anak kecil nggak punya otak?" pinta Lanna. "Dia
yang nggak punya otak!" ujar Arsen dan Gefan berbarengan. "Apa lo ikut-ikut?" omel Arsen. "Lo
yang ngikutin gue!" balas Gefan. "Arsen! Gefan! Kalau kalian nggak diem juga, gue siram pake
kuah bakso!" ancam Lanna. Kedua cowok itu langsung diam. "Pertama, tipe piknis, tubuh
pendek dengan berat badan melebihi berat normal, sampai tulang-tulangnya nggak kelihatan.
Hobinya makan. Biasanya tipe ini dipake buat tokoh lucu atau konyol," kata Lanna, sementara
Gerfan menuliskan jawabannya. "Kedua, tipe leptosome, memiliki karakteristik tinggi dan kurus,
kebalikan dari tipe piknis, tulang-tulangnya sampai kelihatan jelas. Wajahnya cenderung tirus
dan sayu. Biasa dipake buat tipe culun yang kutu buku. Ketiga, tipe atletis, bentuk tubuh yang
tinggi, tegap, dan kekar. Nggak banyak lemak, tapi nggak kurus juga. Urat-uratnya menonjol
daan terlatih. Berat badan dan tinggi badanya ideal. Film laga atau superhero pasti pake tipe ini
buat jadi pemeran utama. Keempat, tipe displastis, bentuk tubuh yang unik atau nggak umum.
Misalnya, cebol. Biasanya dipake buat film horror atau komedi." "Dia masuk tipe apa?" Tanya
Arsen, menunjuk Gefan dengan dagunya. Lanna melotot, menyuruh Arsen diam. Arsen
mengerucutkan bibirnya, lalu kembali bermain dengan handycam Lanna. Gefan kembali
menyebutkan soal-soal lain, dan Lanna mnjawabnya dengan baik. Sekitar satu jam kemudian,
pekerjaan Gefan selesai. "Akhirnya?" Gefan meletakkan pulpennya, lalu merenggangkan
badan. "Thanks, Na. lo emang sahabat gue paling baik. Besok gue kenalin sama temen gue,
deh. Ganteng, Na. pemain sinetron. Biar lo punya pilihan selain brondong buduk itu." "Gue
buduk, lo apa namanya?" kata Arsen. "Gembel aja penampilannya lebih bagus daripada lo."
Lanna kembali mengambil handycam-nya, membiarkan kedua lelaki itu perang mulut. Dia sudah
malas meladeni mereka. Setelah memasukkan handycam-nya ke dalam tas, dia berdiri. "Yuk,
pulang," ajaknya kepada Arsen. "Besok ada kelas jam Sembilan, jangan lupa," pesannya kepada
Gefan. "Bye," "Hati-hati, Na. kalau dia ngompol di jalan, pakein daun pisang aja," kata Gefan.
Arsen mengepalkan tinjunya kepada Gefan. "Udah, ah." Lanna menurunkan tangan Arsen, lalu
menggandengnya. "Aku nggak suka kamu maen sama dia," gerutu Arsen, menyerahkan helm
kepada Lanna. Lanna tidak repot-repot menanggapi Arsen. Kalimat itu sudah diucapkan Arsen
sejak kali pertama Lanna memperkenalkannya dengan Gefan saat dia baru masuk kuliah. Arsen
memakai helm, lalu menyalakan mesin motornya. Setelah Lanna naik, motor itu memelesat
meninggalkan tempat tersebut. Gefan menghela napas puas. Dengan hati-hati, dia masukkan
hasil kerjanya dengan Lanna ke dalam ransel. Dia tersenyum sendiri. Bertengkar dengan Arsen
selalu bisa membuatnya menjadi lebih bersemangat. Sudah sangat lama dia tidak mempunyai
lawan untuk mengobrol atau bertengkar. Sampai dia bertemu Lanna dan Arsen, dia kembali
merasakan indahnya bersosialisasi. Bersiul ringan, Gefan melangkah menuju motornya sendiri
untuk pulang. **** Bab 2 Suasana lapangan dekanat fakultas kedokteran di sebuah universitas negeri terlihat ramai,
meskipun sabtu. Spanduk besar bertuliskan "Bazar Amal Tahunan Fakultas Kedokteran"
terpajang di jalan masuk. Stan-stan yang berada di sana menyediakan berbagai barang dan
makanan. Ada juga stan kesehatan, yang menyediakan pelayanan cek kesehatan gratis, serta
stan donor darah untuk para pengunjung yang berniat mendonorkan darahnya. Lanna berjalan
bersama Gefan dan Lola, menuju stan jus buah yang dijaga oleh Ayu. Lanna mengarahkan
handycam-nya untuk mengambil gambar-gambar acara itu. Sesekali dia mengambil gambar
Gefan dan Lola. Aura belum datang. Lanna tidak bisa mengajak Arsen karena pacarnya itu
harus sekolah. Tadinya Arsen sempat berniat bolos, tetapi dilarang keras oleh Lanna. Gefan ikut
karena saat Ayu menelepon Lanna, mereka tengah berada di kantin. Saat Lanna sempat curiga
kalau cowok itu sengaja ikut untuk memancing kekesalan Arsen. Semakin Arsen kesal, dia akan
semakin senang. Namun, Lanna tidak terlalu memikirkannya. Lola menyambar jus buah naga
yang baru dibuat oleh Ayu. Ayu mendelik, tetapi tidak berkata apa-apa. "Gratis, ya?" Tanya
Lanna, bersiap mengambil jus jambu biji. "Bayar!" kata Ayu melotot. "Katanya amal," balas Lola.
Ayu menatap Lola datar. "Sesuatu yang mau diamalin itu didapat dari penghasilan sini. Dari
kalian, pengunjung, yang beli dan bayar. Kalau nggak, apa yang mau diamalin?" "Jusnya bisa
diamalin," usul Lanna, mengambil jus jambu biji. "Lima belas ribu sama punya Lola," Kata Ayu,
menandahkan tangannya. Gefan mengambil jus apel. "Berapa?" Ayu menatap Gefan dengan
alis menyatu. "Tujuh ribu," katanya. Gefan menyerahkan uang dua puluh lima ribu. "Sama punya
dua nona ini. Kembaliannya buat amal," katanya. Ayu mengambil uang itu, lalu menatap Lanna
dengan pandangan bertanya. Lanna menyeruput jusnya, lalu memperkenalkan Gefan kepada
Ayu. Dia sudah memperkenalkan Gefan kepada Lola saat bertemu di gerbang tadi, sebelum
mereka menuju fakultas kedokteran. Lanna menatap sekitar. "Aura sama Delia, kok, belum
dateng?" "Aura is miss ngaret, as usual. Delia lagi di Bali, pemotretan." Jawab Ayu. "Jalan-jalan
terus tuh anak." Kata Lola. Belum sempat Ayu menanggapi, seorang lelaki, salah seorang teman
kuliah Ayu, berjalan mendekati mereka dan mengatakan kalau seorang dosen mencarinya, Ayu
langsung memelesat untuk menemui dosen yang dimaksud, sementara temannya tersebut
mengambil alih penjaga stan. Gefan sebenarnya mulai merasa bosan di tempat ini. Dia ingin
pulang supaya bisa kembali ke kasurnya dan melanjutkan tidur. Tapi, dia tidak enak pada Lanna,
kalau dia sampai merengek-rengek ingin pulang. "Duh, sori telat!" terdengar sebuah suara
feminim. Gefan berbalik. Dia terpaku melihat sosok gadis yang baru datang. Gadis itu tidak
terlihat seperti Lanna dan teman-temannya, yang berpenampilan selayaknya seorag wanita.
Gadis yang baru datang ini memilih kostum lelaki. Kaus kedodoran lengan pendek yang digulung
dan jins belel dengan sedikit robekan di bagian lutut. Rambut lurus sebatas lehernya dibuat
jabrik di bagian belakang. Dia pikir semua teman dekat Lanna adalah gadis-gadis metropolitan
yang fashionable. Dia tidak pernah menyangka kalau ada satu orang yang sangat bertolak
belakang dengan teman-temannya yang lain. Oke, Lanna memang tidak masuk kategori yang
terlalu fashionable, tapi jelas tidak seurakan gadis yang baru datang ini. "Akhirnya Miss Ngaret
dateng juga," ledek Lola. "Nyasar di mana kali ini?" "Telat bangun," kata Aura sambil
menyeringai. Dia menangkap sosok Gefan. Matanya terpaku, persis ekspresi Gefan saat melihat
penampilannya. Pandangannya menagkap tato abstrak di leher Gefan. Tato itu sebenarnya
cantik, tetapi ada kesan menyeramkan. Dia selalu ingin membuat tato, tetapi ancaman mamanya
untuk memotong bagian tubuh Aura mana pun yang ditempeli tato, membuatnya mengkeret dan
mengurungkan niat. Dan sejujurnya, Aura belum pernah melihat tato dengan kesan campuran
seperti yang ditimbulkan tato lelaki itu. Hal itu membuatnya sedikit kagum, "Hai," sapanya,
tersenyum kecil kepada Gefan. "Akhirnya, ada yang satu aliran sama gue." Aura mengulurkan
tangannya. "Orang-orang ini manggil gue, Aura." Dahi Gefan berkerut mendengar celoteh
panjang gadis itu. Ragu-ragu, Gefan menyambut uluran tangannya. Dia sudah terbiasa dengan
pandangan mengernyit atau takut, atau bahkan jijik, saat orang melihatnya kali pertama. Pun
ketika dia bertemu Lola di gerbang tadi, Gefan bisa menangkap ketakutan gadis itu sebentar,
yang kemudian lenyap begitu Lanna memperkenalkan mereka. Lanna pun sempat takut
kepadanya saat mereka awal-awal bertemu dulu. Tapi,gadis di depannya ini sama sekali tidak
terlihat takut. Hal itu cukup membuatnya terpana. "Gefan," balasnya. "Teman Lanna" Apa Lola?"
Tanya Aura. "Teman gue," jawab Lanna, menatap Aura dengan sorot bingung. Pandangannya
beralih kepada Gefan, membuat dahinya makin berkerut. "Oh"," Aura tampak berpikir,
kemudian wajahnya mendadak seperti mengingat sesuatu. "Oh, ini yang sering dibilang Arsen,
Maharaja Iblis itu, ya?" tambahnya tanpa maksud apa-apa. Gefan hanya mendengus
mendengarnya, tetapi tidak menjawab. "Ngomong-ngomong, Arsen mana?" Tanya Aura.
"Sekolah," jawab Lanna. Aura meringis. "Gue lupa kalau lo pacaran sama brondong." Lanna
mengabaikannya. Dia menyikut perut Gefan yang menahan tawa sebelum cowok itu
mengomentari kalimat Aura. Celah sekecil apa pun, yang bisa digunakan untuk menghina Arsen,
pasti dimanfaatkannya dengan baik. Dan, Lanna sedang tidak ingin mendengar hinaan apa pun
mengenai pacarnya itu. "Lihat-lihat yang lain, yuk," ajak Lola, menarik Aura dan Lanna. Gefan
mengekor di belakang, membiarkan dirinya mengikuti gadis-gadis itu. Langkahnya terhenti di
depan tenda dengan logo PMI yang disediakan untuk siapa pun yang berminat mendonorkan
darahnya. "Bentar, Na." Gefan mendekati tenda itu. "Lo mau"," Aura meringis. Gefan
menaikkan sebelah alis. "Kenapa?" "baru ngebayangin jarum masuk ke badan gue aja udah
bikin merinding." "Dia takut jarum," jelas Lanna kepada Gefan. "Lo beneran mau donor?" Gefan
mengangguk. "Nggak usah, deh," ujar Aura, masih meringis. "Udah banyak yang donor."
"Golongan darah gue AB, langka dan pasti dibutuhin. Jarum masuk badan doang nggak akan
bisa bikin mati." Ujar Gefan tak acuh. "Darah gue juga langka." Gumam Aura pelan. "Tapi,
sebelum ada orang sekarat yang benar-benar butuh donor, gue nggak akan pernah biarin jarum
masuk ke badan gue." Gefan menaikkan sebelah alisnya, menatap Aura bingung untuk
beberapa saat. Mengangkat bahu, dia menyibak pintu tenda dan melangkah masuk. *** Aura,
Lola, Lanna, dan Gefan sudah bersiap meninggalkan fakultas kedokteran untuk mencari makan
siang ketika ponsel Lanna berbunyi. Lanna menjauh sebentar untuk menjawab telepon itu. "Kok,
gue kayak pernah lihat elo, ya?" gumam Aura, menatap Gefan dengan seksama. Gefan melirik
Aura sekilas, lalu memijat dahinya yang sedikit pusing. "Oh, ya?" balasnya singkat. "Iya." Aura
mengerutkan dahi, menunjukkan kalau dia tengah memikirkan sesuatu. "Muka lo lumayan
familier," "Mirip artis kali," sambung Lola, berusaha membantu. "Atau, lo pernah jadi cameo
sinetron?" tanyanya kepada Gefan. "Aura doyan nonton sinetron." "Ngikutin pilihannya Mama,"
jawab Aura, mengangkat bahu. "Jadi, lo pernah jadi cameo?" Gefan menggeleng, karena Aura
mengatakannya, dia jadi berpikir kalau wajah Aura pun cukup familier baginya. Namun, dia tidak
mau memikirkannya. Mungkin, mereka pernah berpapasan di suatu tempat secara tidak sengaja.
Atau, mungkin memang wajah mereka saja yang pasaran sehingga mirip banyak orang. Aura
masih mencoba mengingat-ingat di mana dia pernah melihat Gefan, ketika Lanna kembali
bergabung dengan mereka. "Arsen mau nyusul. Tungguin bentar, ya," kata Lanna. Gefan melihat
jalan keluar agar bisa pergi sekarang. "Lo sama Arsen" Kalau gitu, gue pulang nggak apa-apa,
ya?" "Oh," Lanna kaget sebentar. "Oke," jawabannya. "Makasih, ya, udah mau nemenin." Gefan
mengangguk. Dia berpamitan kepada Lola daan Aura, kemudian bergegas pergi. "Gue yakin
pernah lihat dia di suatu tempat," kata Aura, menatap punggung Gefan yang menjauh. "Cuma
mirip kali," sahut Lola sambil mengetik sesuatu di ponselnya. "Nggak, kok," bantah Aura.
"Ngomong-ngomong, tatonya bagus. Bikin di mana, ya?" gue juga mau tatoan." Lanna menatap
Aura geli. "Yakin lo" Emang nyokap lo udah ngizinin" Lagian, bikin tato pake jarum, lho. Jarum
yang nusuk kulit berkali-kali." Aura langsung bergidik. Dia memukul lengan Lanna pelan. "Sialan
lo!" Lanna dan Lola tertawa. Beberapa saat kemudian, Arsen bergabung dengan mereka. Wajah
Lanna mendadak lebih cerah ketika Arsen sudah berdiri di sampingnya. Lola berdehem. "Yah,
karena sang pangeran hati udah dateng, yuk makan sekarang." Ajaknya. Mereka berjalan
menuju tempat makan di sebelah kampus itu. Ayu tidak bisa ikut karena masih banyak yang
harus dikerjakan. Mereka memutuskan untuk makan siang dulu sambil menunggu Ayu pulang.
"Kamu pesen apa?" Tanya Lanna kepada Arsen sambil melihat daftar menu yang ditempel di
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding. "Aku pengin puyonghai kepiting sama es jeruk," "Samain, deh," kata Arsen, mengambil
bangku di sebelah Lanna. Lanna menatap dua sahabatnya. Lola memesan nasi ayam jamur dan
jus mangga, sementara Aura memilih lalapan bebek bakar dan jus avokad. Lanna menghampiri
penjual untuk menyampaikan pesanan mereka, lalu kembali ke bangkunya. "jadi, kalian udah
ketemu sama Maharaja Iblis dari Neraka Jahanam?" Tanya Arsen. "Gimana tampangnya?"
"Arsen!" tegur Lanna sambil melotot. Arsen menampilkan wajah polos terbaiknya. "Trust me, my
dear. He is an evil. Raja Iblis dari tempat paling gelap di dunia." "You don"t know him. Don"t judge
him like that." Kata Lanna. Bibir Arsen mengerucut tidak suka. "Kamu udah terlalu lama bergaul
sama dia. Makanya udah kebal sama pengaruh hitamnya. Dia tuh semacem se"." Lanna
membungkam mulut Arsen. "Itu karena kamu sama dia nggak bisa ngelewati waktu lebih dari
sepuluh menit dalam damai." Dia melepaskan tangannya. "Dari tampang dan penampilannya,
sih, nggak salah kalau orang ngira dia jahat. Tapi, kayaknya penampilan itu disengaja, deh," ujar
Aura. Lola mengangguk setuju. "Gue juga tadi sempet takut waktu lihat dia. Tapi, kayaknya, sih,
dia nggak seburuk kelihatannya. Mungkin dia bertingkah gitu supaya orang mikir dia emang
gitu." "Tuh, kan!" Lanna menatap Arsen penuh kemenangan. "Apa gunanya?" Tanya Arsen
sangsi. Lola mengangkat bahu. "Cuma dia yang tahu. Mungkin sebagai tameng biar orang-orang
jauhin dia." "Tetap aja auranya suram," sambung Arsen. "Kamu harus hati-hati." Lanna meninju
lengan Arsen dengan kesal. "Kamu udah ribuan kali ngomong gitu. Apa pernah ada sesuatu
yang kurang tiap aku abis jalan sama dia?" "Coba aja. Kalau sampai ada apa-apa, nggak bakal
aku lepasin tuh orang," kata Arsen. "Aku serius." Lanna mengibaskan tangannya. Tepat saat itu
pesanan datang. Mereka menikmatinya sambil terus membicarakan banyak hal, terutama Lola,
Aura, dan Arsen yang banyak bertukar cerita karena jarang bertemu. Lanna hanya menanggapi
sesekali. Setelah makan, mereka kembali ke tempat bazaar. Lanna menemani Arsen berkeliling,
sementara Aura dan Lola bergabung dengan Ayu
Bab 3 Gefan memakirkan Honda CBR 250-nya di belakang sebuah BMW hitam yang berada di dalam
garasi rumahnya. Dia melepas helm, kemudian turun dari motornya. Dahinya mengernyit saat
melihat mobil itu. Dengan langkah panjang, dia masuk ke dalam rumah. Gefan berniat langsung
masuk ke kamarnya, mengabaikan ayahnya yang berada di ruang tengah. Tetapi, ayahnya tidak
berpikiran sama. Lelaki berusia empat puluhan tahun itu menegurnya.
"Sini," kata ayahnya.
"Apa?" Tanya Gefan tanpa berniat mendekat. "Angin apa yang bawa ayah pulang" Kehabisan
bensin?" sindirnya. "Apa itu cara menyambut kedatangan ayahmu" Kita udah setahun nggak ketemu. Apa kamu
nggak mau bertukar cerita?"
Gefan mendengus. "Cerita apa" Pengalaman ayah mengelilingi Yugoslavia" Penampakan
Aurora Borelis di Alaska?"
Aska, ayah Gefan, hanya menyeringi mendengar nada sinis dari putra tunggalnya itu. Melompati
sofa, dia berjalan menghampiri Gefan. "Peluncuran buku baru," Aska menyodorkan buku di
tangannya. Gefan hanya menatap buku tersebut tanpa berniat mengambilnya, lalu kembali mendengus.
"Selamat kalau begitu," katanya acuh. Kemudian, dia berjalan menaiki tangga spiral menuju
loteng yang sudah disulap menjadi kamarnya.
"Siap-siap melihatnya di deretan buku best seller, seperti biasa! Kamu masih kerja di toko buku,
kan?" teriak Aska. "Aku kerja di toko CD, bukan toko Buku. Terima kasih sudah mengingatnya," balas Gefan
Aska berdecak keras. "Ayahmu seorang penulis buku traveling terbaik dan kamu Cuma kerja di
toko CD" Apa kamu nggak bisa nemu kerjaan lain yang lebih baik?" dengusnya. "Saya bisa
dengan mudah memasukkanmu di perusahaan TV dan kamu bisa jadi crew di sana."
"Nggak tertarik," komentar Gefan pendek, yang disusul dengan suara pintu yang ditutup. Gefan
melempar tasnya ke kolong meja. "Penulis terbaik" Crew TV?" Gefan mengumpat. "Jangan
harap gue mau sekantor sama dia," sambungnya jengkel.
Seluruh bagian loteng itu merupakan wilayah kamar Gefan. Tidak seperti kamar yang umumnya
memiliki pintu berdiri, pintu di kamar Gefan terletak di lantai, persis di atas tangga. Dia
memodifikasi ruangan ini saat SMP.
Kamar itu berukuran 4 X 7 meter persegi dan benar-benar berada di loteng. Satu-satunya
cahaya hanya berasal dari jendela bundar yang ada di dekat meja. Sebuah kasur ukuran single
diletakkan di sudut kamar, yang di bagian kepala ranjangnya terdapat lampu meja.
Di sisi lain kamar ada sebuah TV plasma, perangkat stereo, dengan bantal duduk, dan meja kopi
kecil, dengan sebuah laptop di atasnya. Beberapa rak berjejer dengan tinggi beragam, mengikuti
alur kemiringan atap, mulai dari rak pakaian, buku-buku, miniature-miniatur pajangan, alat-alat
tulis, dan benda-benda lain. Sebuah graffiti bertuliskan namanya terlukis di lantai, sementara
dinding dan langit-langit kamar yang miring dipenuhi mural-mural abstrak dengan warna-warna
pekat. Dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum berangkat bekerja. Sudah dua
tahun ini dia bekerja di sebuah toko kaset, setelah sebelumnya bekerja sebagai barista di
sebuah caf?. Dia bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan tidak pernah sudi menerima uang
sepeser pun dari ayahnya. Semua uang yang diberi Aska hanya digunakan untuk ibunya.
Ayahnya adalah seorang wartawan, presenter, backpacker, dan penulis buku traveling terkenal.
Dia hanya pulang saat sudah menyelesaikan buku dan siap meluncurkannya. Selain itu, Aska
juga bekerja sebagai pengisi kolam tip jalan-jalan di sebuah surat kabar nasional yang cukup
terkenal, Diamond press. Sikapnya yang sombong dan arogan membuat Gefan benar-benar
muak. Aska tidak pernah menjadi sosok ayah baginya. Dia sangat membenci ayahnya sebesar
ketidakpedulian Aska kepada anak dan istrinya.
Gefan menarik kaus seragamnya dari dalam lemari, memakainya, dan melapisinya dengan jaket.
Setelah menggendong ransel dan memakai sepatu kets, dia berjalan keluar. Ayahnya masih
duduk santai di depan TV sambil mengunyah keripik kentang. Kembali mengabaikannya, Gefan
berjalan ke dapur. Sambil membawa nampan berisi makan siang, dia memasuki kamar ibunya.
Ekpresi keras Gefan berubah lembut saat melihat sosok wanita yang sedang duduk di depan
jendela sambil bersenandung. Tatapan mata wanita itu kosong, sementara tangannya memilin
rambut panjangnya yang tergerai kusut. Gefan melangkah pelan mendekati wanita tersebut.
"Ma," panggil Gefan. "Makan dulu, ya."
Lavia, ibu Gefan, tidak bereaksi. Dia terus bersenandung sambil memainkan rambutnya. Gefan
menyuapi makanan untuk Lavia. Awalnya Lavia tidak peduli. Tetapi, saat sendok menyentuh
mulut, dia membukanya. Gefan tersenyum kecil.
"Wah, kamu masih jadi anak baik, ya?"
Gefan menoleh dan melihat ayahnya berdiri di ambang pintu. Melihat senyum angkuh Aska,
Gefan membuang muka, kembali focus kepada mamanya.
"Tawaran waktu itu masih berlaku. Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semuanya
sendiri." Gefan menggigit lidahnya, menahan diri untuk tidak membalas ucapan ayahnya.
"Rumah sakit jiwa mungkin akan lebih baik." Kata Aska kalem.
Mata Gefan berkilat. Meletakkan nampan di kasur, dia menyerbu ayahnya dan mendorong Aska
menjauh dari kamar Lavia. "Selama aku hidup, nggak seorang pun bisa bawa Mama ke tempat
itu!" Aska mengibaskan tangan di bagian depan kemejanya, tempat yang disentuh Gefan saat
mendorongnya tadi. "Dia pernah nyaris membunuhmu," kata Aska santai, mengedikkan dagunya
ke arah tato Gefan. "Kamu mungkin berusaha membuatnya tampak menarik, menutupinya
dengan tato. Itu bukti nyata kalau mamamu itu berbahaya." Aska menyentuh tato di bagian kiri
leher Gefan. Gefan menepis tangan ayahnya. "Ini Cuma kecelakaan."
Aska mengangkat bahu tak acuh. "Lima menit saja Ayah telat datang, kamu sudah jadi abu
sekarang." Mengepalkan tangan, Gefan berbalik, kembali ke kamar mamanya.
"Hubungi saja ayahmu ini kalau kamu berubah pikiran," kata Aska.
Gefan tidak mengacuhkannya.
*** "Ra, buat kolom "profil", lo wawancara Aska Pandagri, ya. Nih, contact person-nya." Anya
menyerahkan sebuah kartu nama kepada Aura.
Aura mengambil kartu nama itu tanpa berpaling dari karikatur. "Kenapa dia?"
"Dia baru launching buku baru."
Aura mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi nomor yang tertera di kartu itu. Ketika
panggilannya dijawab, dia memperkenalkan diri sebagai wartawan Comment Media, CM, pers
mahasiswa tempatnya bergabung. Aura meminta izin bertemu untuk mengadakan wwancara.
Sekitar lima menit kemudian, telepon berakhir.
Aura menghela napas seraya membereskan barang-barangnya. "Dia nyuruh langsung ke
rumahnya. Sekarang juga. Narasumber kadang emang nyebelin."
"Mau ditemanin?" tawar Anya.
Aura menggeleng. Sebagai ketua redaksi, Anya sudah cukup sibuk. Aura mengambil kunci
mobil, lalu berjalan meninggalkan ruang secretariat menuju tempat parkir. Dia sebenarnya mau
mengajak Delia, tetapi sahabatnya itu sudah menghilang sejak dua jam yang lalu.
Cuaca hari itu tidak terlalu panas. Tetapi, terjabak macet di tengah banyak kendaraan yang
semuanya mengeluarkan asap polusi, sanggup membuat panas cuaca seperti apa pun. Dia
menutup jendela, dan ganti menyalakan AC. Udara sejuk yang berembus membuat suasana
hatinya membaik, meskipun masih terjebak macet.
Tiga puluh menit kemudian Aura menghentikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah. Rumah
itu minimalis dengan halaman yang sangat asri. Aura menekan bel. Setelah menekan bel tiga
kali, seorang lelaki tampan keluar dari rumah, berjalan menuju gerbang. Aura menebak usia
lelaki itu sekitar awal empat puluh tahun, dan dia menebak kalau lelaki itu pasti termasuk salah
seorang lelaki tampan oada masa mudanya.
"Saya Laura Fernita," ujar Aura langsung. "Dari Comment Media, pers mahasiswa jurusan
desain grafis, yang tadi menelepon untuk wawancara."
Raut bertanya lelaki itu berubah menjadi raut cerah. "Oh, kamu," dia membuka gerbang.
"Silahkan masuk."
Aura melangkah mengikuti Aska. Mereka duduk di ruang tamu. Tidak seperti kebanyakan tuan
rumah yang menawari minum, Aska tidak melakukannya. Dia langsung duduk di sofa panjang
berlapis kulit yang tampak mahal. Aura memilih duduk di depannya.
"Maaf mengganggu waktu luang anda," ucap Aura sopan. Dia menyiapkan perlengkapan
wawancaranya, sebuah recorder. Dia tidak sempat membuat daftar pertanyaan. Tapi, itu bukan
masalah besar. Bukan kali pertama dia harus menghadapi narasumber secara tiba-tiba.
Wawancara itu berjalan cukup lancar. Aska tampak sangat senang menceritakan tentang
bukunya. Aura tidak perlu susah payah memancingnya. Aska bahkan membocorkan beberapa
hal yang ada di bukunya. Di tengah-tengah wawancara mereka, Aura melihat seseorang keluar
dari salah satu kamar dengan membawa nampan dan piring kotor. Orang itu tampak tidak asing
baginya. Rambut gondrong ikal yang dikuncir berantakan dan tato mengerikan, tetapi cantik di bagian
leher. Aura tidak mengalihkan pandangannya dari sosok itu. Gefan juga menangkap kehadiran
Aura, mungkin karena merasa diperhatikan. Matanya menyipit saat melihat Aura.
"Elo, temennya Lanna kemarin, kan?" Gefan sedikit bingung. "Ngapain di sini?" tanyanya. Dia
menatap Aura dan Aska bergantian.
Aura menghentikan rekamannya sebentar karena tidak mau kata-kata Gefan mengganggu hasil
wawancara sebelumnya. "Wawancara. Lo sendiri?"
Gefan mendengus mendengarnya. "Yah. Tuan ini memang butuh publisitas lebih," katanya,
mengedikkan dagu ke arah Aska. Tanpa menjawab pertanyaan Aura, dia berbelok ke arah
dapur. "Kamu kenal dia?" Tanya Aska.
Aura kembali menghadap Aska. "Dia teman kampus sahabat saya."
"Dia punya teman?" Aska tampak tidak percaya. "Saya pikir dia menikmati hidup menjadi
makhluk penyendiri."
Aura ingin bertanya banyak, tetapi merasa itu bukan urusannya. Akhirnya, dia menyalakan
recorder-nya lagi dan melanjutkan wawancara mereka.
"Terima kasih atas waktunya," ucap Aura saat wawancaranya selesai. Dia menyimpan recordernya ke dalam tas.
"Tunggu di sini sebentar," Aska beranjak pergi ke dalam rumah.
Aura duduk diam, menunggu. Sebelum Aska kembali, dia melihat Gefan keluar dari dapur, lalu
berjalan ke ruang tamu. "Gefan," tahan Aura sebelum Gefan keluar rumah. "Kenapa lo ada di sini?"
"Gue tinggal di sini," jawab Gefan tak acuh. Kemudian, dia meneruskan langkah keluar rumah.
Aura terdiam. Kalau Gefan tinggal di sini juga, berarti ada hubungan antara cowok itu dengan
Aska. Aura ingin tahu hubungan apa. Tetapi, dia tidak mau bertanya kepada Aska, apalagi
Gefan langsung. Aska kembali ke ruang tamu sambil membawa sebuah buku. Dia menyerahkan buku itu kepada
Aura. "Semoga kamu menikmatinya."
Aura mengambilnya. "Terima kasih," ucapnya. "Sekali lagi, terima kasih atas kesempatan
wawancaranya." "Dengan senang hati," kata Aska ceria.
Bab 4 Aura memperhatikan tidak banyak yang berubah dari kamar Lanna sejak terakhir dia datang.
Sekitar setengah tahun lalu. Kesibukan masing-masing membuat mereka tidak bisa sering
berkumpul seperti saat mereka masih SMA. Lanna makin aktif dengan klub filmnya dan lebih
sering menghabiskan waktu luangnya, yang tidak begitu banyak, dengan Arsen. Ayu sibuk
dengan kuliahnya sebagai calon dokter. Jadwal Delia sebagai seorang model pro juga makin
padat, mengharuskannya sering ke luar kota. Lola, yang kuliah di jurusan administrasi bisnis,
mulai sibuk mengelola toko aksesoris kecil di sebuah mall bersama teman-teman kampusnya.
Sementara dia sering keluyuran untuk mewawancarai narasumber sebagai wartawan pers
mahasiswa, juga bekerja sebagai pembuat karikatur freelance untuk Diamond Press, sebuah
surat kabar nasional yang berada di bawah naungan perusahaan Diamond Group.
Aura menyambar handycam Lanna yang tergeletak di atas meja. Sejak memutuskan untuk
melupakan Ega, mantan gebetan yang tidak sempat menjadi pacarnya, Lanna tidak terlalu
sensitive masalah handycam yang sering dibuka.
Aura membuka rekaman paling baru, berisi pertandingan Arsen.
Lanna masuk ke kamar dengan handuk membelit kepalanya. Dia duduk di depan laptop untuk
menyalakan music. Lagu "Begin Again" dari Taylor Swift mengalun lembut. Lanna melepas
handuk, lalu menyampirkannya di sandaran kursi. Kemudian, dia duduk di kasur, di sebelah Aura
yang sedang mengutak-atik handycam-nya.
"Ega sekarang apa kabar, Na?" Tanya Aura basa-basi, sebelum mulai menanyakan apa yang
sesungguhnya ingin di ketahuinya.
"Kayaknya, sih, baik. Kata Arsen, dia baru direkrut tim mana gitu buat jadi pemain mereka.
Waktu gue nonton PERSASTIA tanding minggu lalu, dia ada. Dia juga asisten pelatih
PERSASTIA,lho. Gue udah pernah cerita?"
Aura menggeleng. Dia sedikit takjub dengan hubungan ganjil yang terbentuk di antara Lanna,
Arsen, dan Ega. Mereka bertiga bisa berteman baik, seakan perasaan Lanna untuk Ega pada
masa lalu tidak pernah ada. Arsen pun bisa tetap akrab dengan Ega, sama sekali tidak
terganggu dengan fakta kalau lelaki itu adalah cinta pertama pacarnya. Menurut Lanna, itu
bagus. Menurut Aura, itu ajaib.
Setelah banyak basa-basi lain seputar Ega, Aura memulai tujuannya. "Gefan, tuh, siapanya Aska
Pandagri, Na?" tanyanya tanpa menatap Lanna.
"Aska siapa?" "Aska Pandagri. Penulis buku Traveling itu, lho."
"Nama belakangnya sama kayak Gefan," dahi Lanna berkerut. "Nggak tahu. Emang kenapa?"
"Mereka tinggal serumah," jawab Aura. Dia lalu menceritakan kejadian beberapa hari lalu saat
dia mewawancarai Aska. "Kayaknya mereka ngga saling suka gitu. Aska, sih, biasa. Gefan yang
bener-bener ngeluarin aura permusuhan."
Lanna mengangkat bahu. "Satu-satunya hal pribadi dia yang gue tahu Cuma nama lengkapnya.
Geofan Asklav Pandagri."
"Kayak nama orang Rusia," gumam Aura. "Selain itu?"
Lanna menggeleng. "Dia nggak pernah cerita macem-macem. Rumahnya di mana aja gue
nggak tahu. Mungkin Aska, tuh, omnya. Atau Ayahnya?"
"Nggak mungkin kalau ayahnya. Aska, tuh, masih muda banget. Masa punya anak segede
Gefan?" "Kali aja," kata Lanna. "Lo nginep sini Cuma mau ngomongin ini?"
Aura mengangguk, sambil mencari-cari rekaman lain. "Malam minggu, nih. Lo nggak jalan sama
Arsen?" Lanna merebahkan diri di kasur, lalu menyambar remote untuk menyalakan TV. "Nggak. Lo
bilang mau nginep sini. Masa gue pergi?" Lanna mencari channel yang menarik minatnya.
"Lagian, gue sebel sama dia."
Aura mematikan handycam Lanna. "Kenapa?"
Lanna kembali duduk. "Dia bilang mau ngelanjutin kuliah di luar. Dan, lo tahu artinya, kan?"
"LDR?" gumam Aura.
Lanna mengangguk. "Long disaster relationship," gerutunya.
Aura mengambil remote dari tangan Lanna. "Emang dia mau kuliah apa sampai ke luar negeri?"
"Sekolah kuliner. Dia mau ngambil pendidikan chef."
"Wah, keren, dong!" puji Aura.
"Keren dari mana?" Lanna melotot. "Masak doang mau sampai ke luar. Di sini juga banyak
sekolah tata boga. Dasar aja tuh anak."
"Dia mau ke mana" Le Cordon Bleu?" Tanya Aura, menyebut salah satu sekolah kuliner terkenal
di dunia. "Bukan. Culinary Institute of America."
"Di sebelah mananya Amerika?" Tanya Aura.
Lanna mengangkat bahu. "New York kalau nggak salah."
Aura berdecak. "Welcome New York," katanya, lalu tertawa keras. "Tunggu bentar, deh. Dia
pemain bola, tiba-tiba banting stir jadi tukang masak, kesambet dedemit mana?"
"Katanya gara-gara gue sering minta masakin macem-mace, jadi kepikiran buat jadi chef. Tuh
anak nggak pernah mikirin mau jadi apa ntar. Pokoknya jalanin aja. Kuliah ntar aja awalnya
belom kepikiran mau ke mana. Mana yang disuruh papanya, ya, dia masuk sana. Trus, tiba-tiba
dia ngomongin ide gila itu. Makin rusak aja otaknya."
Aura menatap Lanna geli. "Ya udahlah, ikhlasin kenapa" Seharusnya, lo seneng dia akhirnya
menemukan jati diri yang selama ini tersembunyi. Dia aja dukung lo jadi sutradara. Lo juga harus
dukung dia, dong." "Gue bukan nggak dukung dia jadi chef. Dia ke luar yang jadi masalah. Males LDR," kata Lanna
membela diri.
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, sih. LDR itu sama aja kayak nggak pacaran. Arsen nya gimana?"
"Nyantai, lah. Yang mau pergi, kan, dia. Dia bilang, zaman sekarang nggak ada lagi jarak. Ada
Skype, 3G, blablabla. Nggak usah khawatir." Lanna menarik-narik sarung gulingnya. "Tetep aja
nggak sama. Emang bisa dinner pake Skype" Jemput pake 3G?"
"Ya, udah. Kan, ada Gefan yang bisa ngajak lo dinner."
Lanna mendelik kesal. Aura tertawa, lalu berbaring. "Lo pasti khawatir karena bakal banyak bule cantik di sana, kan"
Takut Arsen tergoda" Apalagi, mukanya Arsen ganteng. Pasti bakal banyak yang suka. Dan, dia
di New York!" dia berguling untuk menatap Lanna. "Ngikut aja."
Lanna melempar bantal ke wajah Aura. "Lo pikir Jakarta-New York bisa ditempuh pake bajaj"
Ngomong suka nggak pake otak." Lanna kembali menyambar remote.
Aura memeluk bantal yang dilempar Lanna. "Asyik ya, Na, pacaran?"
"Kalau lagi asyik, ya asyik," Lanna melirik. "Gue nggak percaya lo beneran belom pernah
pacaran," Aura menatap Lanna datar. "Kalau Delia atau Lola yang ngomong gitu, gue bisa terima. Lo"
Please, deh. Arsen pacar pertama lo. Sebelum jadian sama dia, lo juga belom pernah pacaran."
"Yah", emang. Tapi, seenggaknya gue ngerasain fase cinta monyet. Meskipun nggak
kesampaian. Lo" Dari awal kenal, yang deket sama lo Cuma PS. Cowok yang sering lo ceritain
Cuma Kak Rangga. Lo normal , kan, Ra?"
"Kunyuk lo!" Aura menoyor kepala Lanna. "Belom ada aja cowok beruntung yang berhasil narik
perhatian gue." "Atau lo yang kelewat cuek," ledek Lanna.
Aura mengangkat bahu. "Gue ngantuk. Matiin lampunya, dong."
"Nggak," tolak Lanna. "Nyctophobia gue masih akut."
"Payah lo." Aura menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
"Seenggaknya gue nggak langsung pingsan waktu lihat jarum." Cibir Lanna, yang disambut
lemparan bantal dari Aura.
*** "Aska Pandagri siapa lo, Fan?" Tanya Lanna. Dia mencomot pisang goreng di plastic Gefan, lalu
melahapnya. Gefan menatap Lanna dengan alis menyatu. "Tau dari mana tentang dia?"
"Aura," jawab Lanna dengan mulut penuh pisang goreng. Dia menelannya sebelum kembali
bersuara. "Katanya, waktu dia dateng ke rumah si Aska buat wawancara, lo ada di sana."
Gefan kembali pada baksonya. "Oh."
"Oh" Itu bukan jawaban, Geofan Asklav Pandagri," kata Lanna dongkol.
Gefan berpikir sejenak, antara ingin menjawab pertanyaan Lanna atau mengabaikannya. Paling
mudah memang mengabaikan. Tetapi, entah mengapa dia malah menjawab pertanyaan itu.
"Bokap gue," jawabnya tak acuh.
Lanna mengambil satu gorengan lagi. "Kata Aura, si Aska masih terlalu muda buat punya anak
setua lo. Umurnya berapa?"
"Empat Puluhan.nggak tahu berapa pasnya." Gefan mengambil pisang goreng dari tangan
Lanna. "Beli sendiri! Dasar tukang nyolong gorengan."
Bibir Lanna mengerucut. Dia berdiri menuju penjual gorengan. Beberapa saat kemudian, dia
kembali dengan seplastik gorengan. Lanna memasukkan tahu isi ke mulutnya. "Lo nggak akur,
ya, sama dia?" Wajah Gefan tiba-tiba mengeras. "Nggak usah bahas keluarga, Na. terlalu pribadi," katanya.
"Oh," Lanna terdiam sejenak. "Oke."
Gefan menghela napas. "Masih laper. Makan apa lagi, ya?" dia menatap satu per satu penjual di
kantin. "Nasi campur kayaknya enak," gumamnya. Dia berdiri, lalu berjalan menuju stan nasi
campur. Lanna hanya geleng kepala melihat nafsu makan temannya itu. Mengabaikan Gefan, Lanna
asyik menikmati gorengannya. Di tengah keasyikannya mengunyah, seorang gadis cantik duduk
di depannya dengan wajah galak.
"Lo masih deket-deketin Gefan?" serang Gadis itu langsung.
Lanna menatap gadis itu malas. "Trus?"
Devita, gadis itu, menggebrak meja dengan kesal. "Jangan deket-deket sama Gefan! Gefan itu
puny ague!" Mata Lanna membulat. "Ya ampun! Gue nggak tahu kalau Gefan punya pemilik. Gue kira dia
manusia, bukan kucing."
Devita menggeram. Dia baru akan kembali menyerang Lanna ketika Gefan kembali dengan
membawa sepiring penuh nasi campur. Dahi Gefan mengernyit saat melihat sosok Devita.
"Minggir." Devita menatap Gefan dengan pandangan tidak percaya. "Gefan"," rengek Davita, "Kok, kamu
gitu, sih, sama aku?"
"Emang gue harus gimana sama lo?"
Devita berdiri. "Kamu seharusnya bersikap lembut dan manis sama aku. Walaupun sekarang
kamu masih mengelak, kamu harus tahu kalau kita ini ditakdirkan jadi pasangan. Belahan jiwa."
Lanna memutar bola matanya, sementara Gefan menatap Devita seakan yakin kalau gadis itu
sudah gila. Mengabaikan Devita, Gefan duduk di bangkunya yang tadi diduduki Devita.
"Gefan!" "Apa, sih"!" bentak Gefan. "Gue nggak percaya sama belahan jiwa. Gue Cuma tahu belahan
rambut. Cari aja cowok lain yang mau jadi belahan jiwa lo. Gue mau makan."
Lanna tertawa, terlebih saat melihat wajah Devita memerah. Setelah mendengus keras, gadis itu
berlalu meninggalkan meja mereka.
"Dia bener-bener cinta mati sama lo, Fan."
"Gue nggak," balas Gefan tak acuh sambil terus melahap makanannya.
Lanna menyeringai. "Gue bener-bener penasaran sama cewek yang bisa naklukin elo ntar."
Gefan menyunggingkan senyum miring. "Gue hewan liar, My Dear. Selamanya liar. Nggak akan
bisa dibikin jinak."
Lanna balas tersenyum. "Lo bakal kaget kalau tahu apa yang bisa dilakukan oleh cinta."
"Gue nggak percaya cinta."
Lanna menghela napas. "Suatu saat, Honey, lo harus buka hati."
"Seandainya gue berani," kata Gefan pelan, membuat Lanna terdiam.
*** Gefan mengutak-atik kubus rubik 4 x 4 di tangannya dengan pandangan ke luar jendela. Sudah
pukul sebelas malam. Lampu kamarnya sudah di matikan, tinggal lampu meja kecil yang masih
menyala. Gefan duduk di atas meja yang berada tepat di depan satu-satunya jendela, berbentuk
bundar sebesar bola basket, yang ada di kamar itu. Entah mengapa, saat ini dia memikirkan
ucapan Lanna di kantin tadi, yang menyuruhnya untuk membuka hati.
Dia menghela napas panjang, menatap rubik yang hampir tersusun sempurna. Tidak sampai
satu menit kemudian, rubik itu selesai. Gefan meletakkan benda itu di sampingnya, lalu melipat
tangan di lutut dan kembali menatap luar jendela. Suasana rumahnya sepi. Mama dan ayahnya
sudah tidur di kamar terpisah.
Gefan mendesah. Hubungan orangtuanya berhasil membuatnya memandang negative
pernikahan. Sesuatu yang biasanya diagungkan orang-orang, malah sangat dihindarinya. Dia
tidak percaya pada cinta. Apalagi cinta sejati, belahan jiwa, dan sejenisnya. Pernikahan karena
cinta hanya dongeng baginya. Dia melihat sendiri pada orangtuanya.
Lavia dan Aska memutuskan menikah saat masih sangat muda. Lavia berusia Sembilan belas
tahun, dan Aska dua puluh dua tahun. Singkap angkuh dan arogan ayahnya merupakan daya
tarik bagi sang mama. Di mata Lavia, Aska adalah lelaki paling sempurna untuknya. Tampan,
berjiwa petualang, menarik. Lavia tidak pernah mengira kalau pernikahannya dengan Aska akan
hancur berantakan bertahun-tahun kemudian.
Gefan tidak terlalu tahu bagaimana kondisi pernikahan mereka sejak awal. Dia sendiri baru lahir
saat mamanya sudah berusia dua puluh empat, sementara Aska berusia dua puluh tujuh. Aska
berprofesi sebagai wartawan dan pengisi kolom "Jalan-jalan" di Diamond Press, surat kabar
yang juga di kelola perusahaan bernama Diamond Group. Saat itu, penghasilan ayahnya tidak
sebanyak sekarang. Masalah uang selalu menjadi pemicu pertengkaran. Mamanya sering protes
karena penghasilan yang tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan Aska. Meskipun Aska
lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena pekerjaannya, tetap saja
penghasilannya sedikit. Padahal, menurut Aska, dirinya sudah bekerja begitu keras untuk
menyenangkan Lavia. Tetapi, berapa pun yang diberikannya tidak pernah cukup untuk Lavia
hingga dia harus bekerja lebih keras lagi.
Saat Gefan berusia lima tahun, karier Aska mulai menanjak. Dia ditawari menjadi pengisi acara
untuk program jalan-jalan di salah satu televise swasta, DiTV, yang berada di bawah naungan
perusahaan yang sama. Sejak itulah hobinya sebagai backpacker makin menjadi. Saat itu juga
Gefan mulai jarang bertemu ayahnya. Aska hanya pulang sebulan sekali, atau lebih jika
bertepatan dengan saat peluncuran buku barunya. Selebihnya, Aska berkeliling dunia untuk
keperluan siaran TV dan bahan tulisannya.
Hingga pada suatu malam, saat usianya sebelas tahun, Gefan terbangun dari tidur lelapnya
karena teriakan marah Aska yang memenuhi rumah. Dia sering mendengar orangtuanya
bertengkar, tetapi baru kali itu ayahnya yang berteriak. Biasanya, berteriak adalah peran
mamanya, sementara Aska, dengan suara pelan, selalu mencoba menenangkan Lavia. Pada
malam itu, situasi berbalik. Aska yang berteriak, sementara Lavia hanya bisa menangis. Gefan
tidak tahu apa yang terjadi karena tidak berani meninggalkan kamarnya. Dia juga tidak bisa
menangkap kata-kata yang diteriakkan Aska. Hal terakhir yang diingatnya setelah itu adalah
suara keras pintu yang dibanting menutup, disusul bunyi mesin mobil yang meraung
meninggalkan rumah. Itulah kali terakhir Gefan melihat ayahnya rutin pulang sebulan sekali,
berganti menjadi beberapa bulan sekali.
Entah karena terlalu kesepian atau tertekan atas sikap tak acuh sang suami, ketika Gefan baru
masuk SMP, gangguan mental Lavian mulai muncul. Berawal dengan suara tangis dari kamar
mamanya, hingga teriakan-teriakan putus asa yang terdengar sangat memilukan. Gefan
berusaha menghibur mamanya, dengan mengatakan kalau dirinya tidak akan pergi seperti sang
ayah. Tetapi, hal itu tidak berpengaruh banyak untuk Lavia. Sampai akhirnya, Lavia seperti
sekarang, selalu banyak diam dan tidak ingat dengan orang-orang disekitarnya. Gefan bahkan
ragu Lavia masih mengingat dirinya sendiri.
Melihat kondisi mamanya yang memburuk akibat tingkah ayahnya, Gefan diam-diam bertekad
tidak akan pernah mau mengikat diri pada pernikahan. Mungkin ayahnya mencintai sang mama
ketika mereka memutuskan menikah. Tapi, terbukti cinta itu tidak bertahan lama. Hanya karena
popularitas yang melambung tinggi, Aska lupa pada cintanya. Melupakan Lavia. Saat
mengetahui kondisi Lavia yang memburuk, Aska hanya menyarankan agar mamanya
dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk ditangani oleh orang yang lebih berpengalaman. Dia tidak
bersedia merawat istrinya sendiri. Jangankan merawat, mengunjungi kamar istrinya pun sangat
jarang. Gefan tahu dia tidak akan bersikap seperti ayahnya. Tapi, bukan berarti pasangannya nanti juga
akan berpikiran sama. Bagaimana kalau nanti malah pasangannya yang bersikap seperti Aska"
Meninggalkannya demi hal lain yang lebih menarik. Gefan tidak mau bernasib sama seperti
mamanya. Itu yang membuatnya takut membuka diri untuk menyukai lawan jenis. Gefan sudah
lama belajar untuk mengubur perasaan dan membentengi hatinya. Dia menjauhi semua gadis
yang mendekatinya, merayunya, dan mengatakan cinta kepadanya. Dia nyaris menjaga jarak
kepada semua orang. Penampilan premannya sekarang pun merupakan salah satu cara untuk
membuat orang-orang menjauhinya. Meskipun tidak berhasil sepenuhnya. Beberapa perempuan
bernyali besar, atau tidak punya otak seperti Devita, masih gencar mendekatinya meskipun dia
sudah berkali-kali menolak. Entah apa yang dilihat Devita darinya.
Mungkin gadis itu mengira bisa menjinakkannya. Gefan tertawa muram. Dia tidak akan pernah
dijinakkan. Seperti yang dikatakannya kepada Lanna, dia hewan liar. Selamanya akan tetap liar.
"Lo bakal kaget kalau tahu apa yang bisa dilakukan oleh cinta."
Gefan menyunggingkan senyum sinis. Dia sangat tahu apa yang bisa dilakukan cinta. Cinta bisa
menghancurkannya kalau tidak berhati-hati mengendalikan perasaan dan menjaga hatinya.
Melompat turun dari meja, Gefan berjalan menuju kasurnya. Dia menyingkirkan selimut sebelum
membaringkan diri. Memunggungi dinding, dia menarik selimut, lalu mencoba tidur.
Bab 5 Aura membuka pintu toko CD langganannya. Hari ini dia tidak ada jadwal kuliah dan ingin
dihabiskannya dengan menonton film. Dia memandang sekeliling sejenak, kemudian mendekati
seorang karyawan yang sedang menyusun CD-CD baru.
"Mas, film Puss in Boots udah ada belom?"
Karyawan itu berbalik. "Sudah," jawabnya, lalu terdiam sebentar, tampak kaget saat melihat
Aura. "Hai," sapanya.
Aura menatap Gefan sedikit bingung. "Hai," balasnya. Pandangannya menangkap seragam yang
dipakai Gefan. "Lo kerja di sini?"
Gefan mengangguk. Dahi Aura berkerut sebentar, kemudian wajahnya mendadak cerah. "Tuh, kan, bener! Gue
emang pernah lihat lo! Pasti di sini. Lo udah lama kerja di sini?"
"Lumayan," gumam Gefan. "Gue juga kayaknya beberapa kali lihat lo ke sini."
"Gue selalu dateng paling nggak sebulan dua kali," kata Aura bangga.
"Oh," Gefan menggaruk lehernya. "Jadi, cari film apa?"
"Puss in Boots, The King"s Speech, Black Swan, The Red Riding Hood, Beastly,"."
"Lo mau buka toko CD?" potong Gefan saat daftar film yang disebut Aura terus bertambah.
"Hah?" Aura menghentikan ucapannya. "Emang udah berapa yang gue sebut?"
"Sepuluh atau sebelas," jawab Gefan.
"Yah, ambilin aja deh. Tenang, gue bayar full, nggak pake minta diskon," Aura menyeringai.
Bibir Gefan tertarik sedikit membentuk senyum ragu, lalu dia buru-buru berpaling untuk
mengambil CD film-film yang diinginkan Aura. Aura mengambil semua CD itu.
"Makasih," ucap Aura. Kemudian, dia bergegas menuju kasir. Setelah selesai bertransaksi, Aura
berjalan keluar. "Bye, Gefan," pamitnya.
"Terima kasih kunjungannya," balas salah seorang teman Gefan, sesame karyawan toko,
sementara Gefan sendiri hanya mengangguk singkat.
Aura tengah berjalan menuju mobilnya, ketika sebuah motor menyerempetnya dari samping dan
membuatnya terjatuh dengan bokong lebih dulu menghantam aspal. Benturan itu cukup keras,
membuat Aura shock. Untuk beberapa saat, dia tidak bisa bernapas. Tulang punggungnya
terasa sangat sakit. Dia bahkan tidak sanggup berdiri, terlalu sibuk berusaha bernapas. Tibatiba, seseorang membantunya berdiri.
"Lo nggak apa-apa?"
Aura memejamkan mata, bertumpu sepenuhnya kepada si penolong. Dia merasa tubuhnya
dibawa berjalan, menaiki tangga, kemudian dibantu duduk.
"Aura?" Aura memberi isyarat bahwa dia belum bisa bicara. Sialan, tulang punggungnya seakan retak.
Benturan tadi tepat mengenai tulang ekornya. Suatu keajaiban hal itu tidak sampai membuatnya
lumpuh, mengingat benturannya cukup keras. Setelah napasnya mulai normal, Aura membuka
mata perlahan dan menangkap sosok Gefan.
"Makasih," ucap Aura sambil setengah meringis.
"Lo nggak apa-apa?" gefan mengulung pertanyaannya.
"Punggung gue sakit."
Tangan Gefan sudah terulur untuk menyentuh punggung Aura, tetapi dia menghentikannya.
"Gue ambilin minum. Lo duduk aja dulu."
Gefan berkata seakan Aura bisa langsung berjalan setelah apa yang menimpanya. Saat Gefan
kembali dengan sebotol air mineral, Aura menerimanya, meskipun dia tidak haus. Dia tidak ingin
menyinggung orang yang telah menolongnya ini.
"Perlu ke dokter?" Tanya Gefan saat melihat Aura kembali meringis.
Aura menggeleng. "Sakitnya udah mulai berkurang."
"Perlu dianter pulang" Atau gue teleponin Lanna?"
Aura kembali menggeleng. "Gue bisa pulang sendiri, kok. Cuma butuh waktu nenangin diri
bentar," ucapnya. Gefan hanya mengangguk. "Hati-hati. Di sini jarang ada orang yang nyetir sopan." Katanya.
Kemudian, dia berdiri. "Gue balik kerja, ya" Nggak apa-apa, kan, ditinggal?"
Aura tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Makasih lagi."
Gefan menatap Aura sejenak. Seakan memastikan kalau gadis itu akan baik-baik saja, lalu
melangkah kembali ke dalam toko.
Tepat saat itu, terdengar suara teriakan keras yang dibarengi dengan suara benda menabrak
sesuatu. Gefan berbalik, dan melihat sebuah mobil baru saja menabrak seorang gadis
berseragam SMA. Teman gadis itu berteriak histeris, sementara si mobil langsung memelesat
pergi. "Tabrak lari!" teriak seseorang.
Gefan berjalan pelan mendekati kerumunan kecil yang mulai terbentuk di sekeliling gadis yang
ditabrak itu, diikuti Aura.
"Ya, ampun"," Aura membekap mulut.
"Tolongin!" tangis seorang gadis yang mengenakan seragam serupa dengan si korban.
"Teleponin ambulans! Atau taksi! Atau apa pun!"
Gefan menatap satu per satu "Penonton" yang ada di sana. Saat tidak melihat seorang pun dari
mereka berani mengambil tindakan, dia menadahkan tangan kepada Aura. "Mana kunci mobil
lo?" "Hah?" Aura kaget sebentar, kemudian menyerahkan kunci mobilnya. "Buat apa?"
Gefan tidak menjawab. Dia menjauh sebentar untuk mengambil mobil Aura, dan kembali
mendekati kerumunan itu. Dia turun dari mobil untuk menghampiri si korban."Ayo, kita anter ke
rumah sakit," katanya kepada Aura.
Aura melongo. "Apa?"
"Nggak ada waktu," omel Gefan. "Jangan Cuma jadi penonton. Anak itu sekarat!" bentaknya. Dia
menghampiri teman korban. "Bisa hubungi keluarganya?"
Gadis itu mengangguk sambil sesenggukan.
"Oke. Saya sama teman saya akan bawa dia ke rumah sakit, kamu nanti nyusul sama
orangtuanya. Bisa?" "Bi" bisa"," jawab gadis itu, sesenggukan. "Makasih, Kak. Tolongin teman saya, ya."
Gefan mengangkat tubuh si korban yang sudah berlumuran darah. "Ayo," ajaknya kepada Aura.
Untunglah Aura cepat mengerti. Dengan sigap, dia membuka pintu belakang mobilnya. Dengan
hati-hati, supaya tidak semakin banyak darah yang keluar, Gefan membaringkan anak SMA itu di
jok belakang. Aura ikut masuk ke belakang supaya bisa menjaga anak itu, sementara Gefan
masuk ke kursi pengemudi. Mengabaikan orang-orang yang memperhatikan mereka, Gefan
memelesat secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.
*** Aura dan Gefan duduk di kursi depan ruang UGD, bersama orangtua dan teman dari anak yang
menjadi korban tabrak lari tersebut. Tidak ada yang bersuara di antara mereka. Raut wajah
orang tua dan teman anak SMA itu tampak cemas dan gelisah. Aura melirik Gefan dan melihat
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajah cowok itu tanpa ekspresi. Seragam kerja Gefan dipenuhi bercak darah, tetapi lelaki itu
tampak tidak peduli. Aura berusaha tidak memikirkan bercak darah yang juga memenuhi jok
mobilnya. Mamanya pasti akan histeris nanti saat melihatnya.
"Jahat banget, ya, yang nabrak trus kabur gitu," gumam Aura pelan, berusaha mencairkan
ketegangan. Sebagai orang yang juga baru saja menjadi korban tabrak lari, Aura bersyukur
kondisinya tidak separah anak SMA itu. Hanya bokong dan punggungnya yang masih sedikit
sakit, tidak sampai harus dirawat di UGD.
Gefan hanya bergumam tidak jelas sebagai tanggapan.
Pintu ruang UGD di buka. Dua orang perawat keluar dengan wajah datar. Salah seorangnya
langsung memelesat melewati mereka, sementara yang lain menatap mereka satu per satu.
"Apakah ada di antara kalian yang memiliki golongan darah O negative?" Tanya perawat itu.
Wanita paruh baya, ibu korban, berdiri. "Saya O negative. Ada apa, Suster?"
Perawat itu mengangguk. "Korban butuh donor darah sekarang. Dia kehilangan banyak darah."
"Baik! Ambil darah saya, Suster! Ambil sebanyak apa pun yang kalian butuh untuk
menyelamatkan putrid saya!" kata wanita itu dengan wajah bersimbah air mata. "Tolong
selamatkan putri saya!" pintanya.
"Ma," tegur suaminya. "Mama diabetes. Nggak boleh kasih donor."
Wajah perawat itu tampak prihatin. "Ya, penderita diabetes tidak boleh memberikan donor." Dia
menatap Gefan, Aura, dan gadis berseragam SMA yang duduk di sebelah Aura. "Kalian?"
Si gadis SMA dan Gefan menggeleng pelan. Aura menelan ludah. Gefan meliriknya dengan
sebelah alis terangkat. Perawat lain, yang tadi langsung melewati mereka, muncul kembali dengan wajah khawatir. "Kita
sama sekali tidak punya stok darah O negative."
"Kamu sudah menghubungi PMI?"
"Sudah. Dan, kosong."
"Saya." Ucap Aura pelan. Suaranya sedikit bergetar. "Darah saya O negative."
"Benarkah?" Tanya Ayah korban penuh harap. "Kamu tidak mengidap penyakit apa pun, Nak?"
"Sejauh yang saya tahu, saya sehat. Tapi, supaya lebih meyakinkan, saya bersedia diperiksa."
Gefan mengerutkan dahi saat mendengar nada suara Aura. Suaranya bergetar, seperti
menahan sesuatu. Tepat saat itu, dia mengingat ekspresi Aura ketika melihatnya akan
mendonorkan darah beberapa waktu lalu. Dia juga ingat kata-kata Lanna tentang ketakutan Aura
pada jarum. Ketika Aura akan mengikuti perawat untuk mulai prosedur donor darah, Gefan ikut
berdiri. "Boleh saya menemani?" tanyanya kepada Perawat.
Tanpa sadar, Aura mengembuskan napas lega. Dia memang tidak ingin sendiri. Dan, tawaran
Gefan untuk menemani sangat berharga untuknya saat ini.
*** "Tenang," bisik Gefan, ketika Aura berbaring di ranjang dengan gugup. "Rasanya nggak beda
jauh kayak digigit semut, kok."
Aura mendengus, sementara perawat menyiapkan alat untuk mengambil darahnya. "Kalau
nggak inget ada anak sekarat, gue nggak akan mau ngelakuin ini." Matanya membulat ketika
melihat jarum yang disiapkan perawat. "Ya, ampun ?" dia menelan ludah. "Benda itu bakal
nancep ke badan gue?"
"Ada masalah?" Tanya perawat.
"Nggak ada," jawab Gefan. "Dia Cuma gugup. Baru pertama kali donor darah."
Aura memelototi jarum yang sudah terarah ke lengannya. "Ya ampun" ya ampun " ya amp?"
ucapnya terpotong saat tiba-tiba Gefan mengalihkan wajahnya kea rah lain.
"Gimana nggak takut kalau lo melotot sampai segitunya?"
Aura menatap wajah Gefan yang sekarang berada tepat di depannya. Untuk sesaat, dia terpaku.
Di balik rambut sebahunya, Gefan ternyata memiliki wajah yang menarik. Dan, ketika mata
mereka bertemu, Aura merasa seakan tengah memandangi langit malam yang pekat. "Lo cakep
juga," gumam Aura sambil lalu.
"Thanks," jawab Gefan tak acuh. "Lo juga lumayan."
Aura menjerit kecil saat jarum sudah masuk ke lengannya. Saat dia akan kembali melihat, Gefan
menahan wajahnya. "Nggak apa-apa, Aura. Nggak perlu dilihat."
"Jarumnya bener-bener ada di badan gue?"
"Kenapa lo takut jarum?" Tanya Gefan tiba-tiba.
"Kalau lo ngabisin masa kecil dengan terus-terusan ketusuk jarum, lo juga bakal parno. Nggak
jarum jahit, peniti, jarum pentul, sampai jarum suntik, nggak ada yang ngasih kesan bagus ke
gue." Wajah Gefan tampak geli. "Oh, ya" Emang apa yang mereka lakuin ke elo?"
"Nusuk gue terus-terusan," jawab Aura dengan wajah cemberut. "Padahal, gue udah nyoba
pegang sehati-hati mungkin, tetep aja ketusuk. Ya udah, gue nyerah. Nggak mau lagi berurusan
sama benda-benda itu."
"Aneh," dengus Gefan.
Aura mencibir. "Menurut lo aneh. Menurut gue, sih, normal."
"Bener juga," Gefan mengangguk setuju. "Semua orang normal dengan cara mereka masingmasing."
"Tepat." Gefan terus mengajak Aura mengobrol, menjauhkan pikiran gadis itu dari kenyataan sebuah
jarum tengah menancap di lengannya. Saat perawat berkata selesai, Aura mendesah lega. Dia
sedikit sempoyongan ketika berdiri.
"Pusing?" Tanya Gefan.
"Lumayan," jawab Aura, menyambut tangan Gefan yang terulur untuk membantunya turun dari
ranjang. Mereka kembali bergabung dengan orangtua dan teman korban setelah Aura merasa cukup
baik. Ibu si gadis terus mengucapkan terima kasih kepada Aura. Setelah yakin tidak ada yang
harus mereka lakukan lagi, keduanya memutuskan untuk pulang.
"Lo bisa pulang sendiri?" Tanya Gefan
"Bisa," jawab Aura.
"Ya udah. Lo langsung pulang aja. Gue harus balik ke toko."
"Gue anter sekalian?" tawar Aura.
Gefan menggeleng, "Gue naik angkot aja," dia sudah berjalan beberapa langkah, kemudian
berbalik. "Lo hebat. Bisa ngatasin rasa takut buat nolong orang."
Wajah Aura bersemu malu. Dia mengangkat bahu tak acuh, berusaha bersikap santai.
"Ketakutan itu kelihatan konyol aja kalau sampai bikin gue biarin anak itu kehabisan darah. Egois
dan nggak berperikemanusiaan."
Gefan memiringkan kepalanya sedikit. "Ya. Konyol banget."
Aura tersenyum kecil. "Bye, Fan. Sampai ketemu lagi."
"Bye," balas Gefan.
*** Jadi, anak itu udah nggak apa-apa?" Tanya Agra, teman kerja Gefan.
Gefan melepaskan kausnya yang berlumuran darah, kemudian mengenakan jaket untuk
melapisi singlet putihnya. "Semoga, sih, udah nggak apa-apa. Seenggaknya dia udah dapet
darah." "Sakit jiwa, tuh, yang nabrak. Berani banget dia langsung maen kabur gitu."
"Nggak ketangkep, ya?"
"Ketangkep," jawab Agra. "Nggak lama abis lo sama cewek itu pergi bawa korban, yang nabrak
digiring ke TKP. Terakhir gue lihat, sih, dia dibawa ke kantor polisi." Arga menggaruk hidungnya.
"Ngomong-ngomong, cewek tadi pacar lo, ya?"
"Bukan!" bantah Gefan cepat. "Temannya teman gue."
"Oh"," Arga mengangguk paham. "Ngomong-ngomong, Devita apa kabar?"
"Kenapa nanya gue" Emang gue bapaknya?"
Arga tertawa, "Lo harus cepet nemu cewek, Man. Biar hidup kaku lo lebih menarik."
"Gue nggak perlu saran dari buaya sinting kayak lo."
Tawa Arga makin keras. Gefan menyambar kardus yang masih berisi penuh. Kemudian mereka
melangkah meninggalkan gudang. Gefan berdiri di depan computer untuk memasukkan data CD
baru, sebelum kembali menyusunnya. Arga berdiri di depannya, sementara Fara, bagian kasir,
sibuk melayani pembeli. Gefan sesekali melirik Arga yang tampak sibuk mengamati pembeli
yang sedang mengantre. "Belanja mata terus," sindir Gefan tanpa menatap Arga.
"Gue normal,Fan." Kata Arga membela diri. "Lo, tuh, yang wajib diperiksa. Nggak pernah peduli
sama cewek. Iya, nggak, Far?"
"Nggak ikutan," jawab Fara tak acuh.
Gefan tersenyum tipis. "Lo nggak bisa ngerti gue sama kayak gue nggak akan pernah bisa ngerti
otak kotor lo." Arga mendengus, "Lo emang payah."
Fara menatap Arga. "Nggak ada kerjaan" Tuh, pelanggan banyak. Ngapain lo ngurusin Gefan?"
Arga menyeringai. "Pulang kerja, jalan yuk, Far."
Fara kembali pada pekerjaannya. "Nggak, makasih. Gue alergi sama playboy."
Gefan melempar pandang prihatin bercampur geli. Arga mendengus, lalu meninggalkan mereka
untuk menghampiri pelanggan yang baru masuk.
Bab 6 Gefan sedang menikmati sarapannya ketika Aska meletakkan sebuah amplop cokelat di
depannya. Lalu, ayahnya itu duduk di depannya, mengambil selembar roti dan mengoleskan
selai kacang di atasnya. "Itu untuk kuliah dan biaya sehari-harimu. Juga mamamu," kata Aska
sambil melahap rotinya. Gefan hanya menatap amplop itu tanpa mengambilnya. Dia meminum
kopi panasnya, mengabaikan Aska. Setelah menghabiskan tiga lembar roti dan segelas jus
jeruk, Aska berdiri, memakai jaketnya, lalu menenteng tas kecil di bahunya. "I have to go. See
you soon, in one or two or six months later." Tersenyum lebar, dia mengacak rambut Gefan,
kemudian menyeret koper kecilnya menuju ruang depan. Gefan berlari menyusul ayahnya.
"Ayah nggak nemuin Mama?" Tanya nya Aska berhenti sejenak, lalu berbalik. "Apa ada fungsi
pamit sama dia" Dia bahkan nggak kenal sama dirinya sendiri." "She"s your wife!" geram Gefan
Aska melepaskan kopernya, kemudian berjalan menghampiri Gefan. Dia masih lebih tinggi lima
senti daripada Gefan. Kedua tangannya menyentuh bahu Gefan. "I know it, my little boy. Dia istri
saya, seperti kamu juga anak saya. Karena itu saya menyempatkan pulang sesekali dan rutin
mengirimkan uang untuk kalian. Apa itu masih kurang?" Gefan menyentak tangan ayahnya
dengan kasar, "Aku nggak butuh uang Ayah! Aku bisa menghidupi diriku sendiri! Mama yang
butuh Ayah!" Aska mengangkat bahu. "I have to go," katanya. Lalu, dia kembali menyeret
kopernya dan meninggalkan rumah. Gefan menendang pintu dengan geram. Dia mengumpat,
menyumpah serapah, dan mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak pantas diucapkan seorang
anak kepada ayahnya. Tapi, Gefan tidak peduli. Ayahnya benar-benar manusia paling
berengsek baginya. Amukan Gefan sedikit mereda saat dia mendengar suara pintu kamar
mamanya dibuka. Lavia melangkah keluar dengan mata menatap Gefan. Dahi Lavia berkerut
dan matanya dipenuhi Tanya. Gefan mendekati mamanya. "Mau ke mana, Ma?" Tanya Gefan
lembut, seraya menggandeng tangan Lavia dan membawanya ke ruang tengah. Lavia tidak
melepaskan matanya dari Gefan. Tangannya terulur menyentuh kedua pipi Gefan, kedua
rahangnya, leher, dan berhenti di bahu. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. "Aska,"
ucapnya penuh sayang. "Aku kangen," sambungnya. Lalu, Lavia memeluk Gefan erat. "Jangan
pergi lagi." Dada Gefan terasa nyeri melihat keadaan mamanya. Ayahnya benar-benar tega
memperlakukan mamanya seperti ini. "Ma, ini Gefan." Lavia tampak seolah tidak mendengar
ucapan Gefan. Dia terus memeluk lelaki itu, mengusap-usap wajah di dada Gefan, mempererat
pelukannya, seolah tidak ingin melepasnya lagi. Gefan hanya diam, membiarkan Lavia
memeluknya. Lavia berceloteh, mengungkapkan semua isi hatinya untuk Aska. Kedua tangan
Gefan sudah terkepal di sisi tubuhnya, tetapi dia menahan diri untuk tidak menghancurkan
sesuatu. Lavia melepas pelukannya, menatap Gefan dengan bingung. "Kenapa kamu nggak
peluk aku" Kamu nggak sayang lagi, ya, sama aku?" Gefan memaksakan diri tersenyum. Dia
menarik Lavia dalam pelukannya. Tubuh Lavia menjadi lebih rileks saat dia kembali
membenamkan wajah di dada Gefan. Ayahnya akan membalas ini nanti. Gefan bertekad akan
membuat ayahnya lebih menderita daripada mamanya sekarang. *** Lanna mengernyit saat
melihat wajah kusut Gefan. Temannya itu duduk di sudut belakang kelas sambil mencoret-coret
bindernya. Lanna menarik kursi ke sampingnya, lalu duduk. "Kenapa lo?" Gefan tidak menjawab.
Bindernya sudah penuh coretan gambar-gambar abstrak yang cantik tetapi mengerikan, sejenis
dengan tato di lehernya. Lanna menyandarkan punggungnya ke kursi, tidak bertanya lagi. Dia
hanya mengamati Gefan yang masih sibuk menggambar sesuatu. "Ntar jalan yuk, Na," ajak
Gefan tanpa berpaling dari gambarnya. "Lo kerja jam dua, kan" Ntar langsung gue anter." "Oke.
Mau ke mana?" "Ke mana aja. Keliling-keliling nggak jelas." Gefan membalik bindernya, mencari
halaman kosong untuk membuat gambar baru. "Ntar gue yang ngomong sama Arsen." "Nggak
usah. Ntar gue aja. Dia hari ini juga nggak bisa jemput, kok. Ada les sampai sore." "Ya udah,"
jawab Gefan singkat. Kemudian dia tidak bersuara lagi, focus pada gambarnya. Lanna
mengamati Gefan dan bindernya bergantian. Ada yang aneh dengan Gefan hari ini. Dia tahu
Gefan sosok yang pendiam. Pendiam dan nyaris introvert. Tetapi, baru kali ini dia merasa aura
yang sangat muram di sekitar Gefan. Teman dekatnya itu seperti sedang menahan sesuatu yang
akan meledak. Dia ingin bertanya, tapi tidak berani mendesak. Gefan yang sedang marah
sepertinya bukan sesuatu yang baik. Meskipun belum pernah melihat langsung, Lanna bisa
merasakannya. Gefan tidak pernah mau membagi masalah pribadinya. Setiap Lanna
menanyakan sesuatu yang sedikit probadi, cowok itu langsung gusar dan menyuruh tidak
membahas. Meskipun hubungan mereka cukup dekat, Lanna tidak benar-benar mengenal Gefan
sepenuhnya. Gefan tetap sosok penyendiri yang misterius. Seperti brankas yang membutuhkan
kode rumit untuk membukanya. Begitu kelas mereka berakhir, Lanna mengikuti Gefan ke tempat
parkir motor. Mereka lebih dulu makan d
i sebuah warteg pinggir jalan, sambil memutuskan ke
mana mereka akan pergi. Lanna mengajak Gefan ke bioskop, tapi Gefan menolak. Dia sedang
ingin menghindari keramaian. Akhirnya, setelah makan, mereka hanya berkeliling-keliling sampai
bensin motor Gefan nyaris habis. Sebelum mengantar Lanna ke tempat kerjanya, Gefan mampir
di sebuah SPBU untuk mengisi bensin. "Kamu di mana?" Tanya Arsen. "Dari tadi aku telepon
nggak di angkat." "Lagi di jalan, sama Gefan." "APA"!" Arsen langsung terdengar gusar.
"Ngapain sama dia?" Lanna menghela napas. Dia masih tidak mengerti mengapa Arsen sangat
antisipasi dengan Gefan. Padahal. Arsen tahu Gefan tidak pernah bertingkah kurang ajar atau
mencoba mendekatinya. "Sekarang kamu di mana" Aku jemput." Lanna melihat Gefan sudah
selesai mengisi bahan bakar dan sedang melaju ke arahnya. "Udah mau ke toko. Jemput pulang
kerja aja, ya." Arsen menggeram. "Aku bunuh cowok itu!" sungutnya. "Kamu baik-baik aja, kan"
Masih lengkap, kan?" "Arsen, sayang, aku jalan sama Gefan, bukan sama psikopat." "Dia berjiwa
psikopat buat aku," kata Arsen dengan nada dongkol. "Ya udah, aku jemput pulang kerja. Hatihati. Kamu masih rajin bawa semprotan lada, kan" Kalau dia macem-macem dan kamu nggak
sempet ngeluarinnya, langsung tending aja selangkangannya." "Arsen!" Lanna tertawa. "I"II be
fine, sweet pea." Gefan berhenti di depan Lanna. Lanna naik ke boncengannya. "See you later,"
kata Lanna. Setelah member kecupan mesra di telepon. "Pasti ngamuk-ngamuk nggak jelas, tuh,
bocah," dengus Gefan "Gitu, deh. Tapi, nggak bakal perang, kok." Kata Lanna. "Buruan jalan.
Ntar gue telat." *** Gefan mengamati kondisi mamanya semakin membaik sejak mengenali
dirinya sebagai Aska. Lavia menjadi lebih sering keluar kamar dan mengekornya saat dia ada di
rumah. Gefan senang melihat mamanya sudah lebih "Hidup", tetapi juga sedih karena sang
mama masih belum juga mengingatnya. Lavia seperti terjebak dalam memori masa lalunya yang
indah dengan Aska, ketika Aska belum berubah menjadi lelaki sialan seperti sekarang. Gefan
selalu meringis setiap melihat Lavia menatapnya dengan penuh cinta. Bukan cinta ibu kepada
anaknya, melainkan cinta perempuan kepada seorang lelaki. Terlihat jelas kalau Lavia sangat
mencintai Aska. Seperti saat ini, begitu Gefan melangkah masuk ke rumah, Lavia langsung
menyambutnya dengan senyum. Gefan balas tersenyum sambil mengecup pipi mamanya
dengan sayang. Lavia menarik Gefan ke ruang makan. Gefan takjub saat melihat deretan
makanan memenuhi meja. Sudah sangat lama dia tidak merasakan masakan mamanya lagi.
"Aku bikin sup iga kesukaan kamu," kata Lavia. Memeluk leher Gefan dari belakang, lalu
mengecup pipi kirinya. "Suka, kan?" "Suka," kata Gefan. Dia benar-benar canggung harus
bersikap sebagai kekasih dengan ibu kandungnya sendiri. Tetapi, dia tidak tega jika harus
mengecewakan mamanya. Satu-satunya hal paling berharga dalam hidupnya hanya sang
mama. Dan, dia akan melakukan apa pun untuk membuat mamanya senang. Lavia tersenyum
senang, lalu duduk di sebelah Gefan. Dia mengisi piring Gefan dengan nasi dan beragam sayur
serta lauk yang sudah dibuatnya, lalu mengisi piringnya sendiri. Lavia tidak hentinya melirik
Gefan dengan pandangan memuja. Sesekali dia menyuapi Gefan, mengelus pipinya, membuat
Gefan bergidik setiap kali Lavia melakukannya. Selesai makan, Lavia mengajak Gefan duduk di
ruang tengah sambil menonton TV. Kepala Lavia bersandar di bahu Gefan sambil memeluk
pinggangnya. Gefan hanya diam, berusaha mengalihkan perhatian dengan acara TV di
depannya. "Sayang," bisik Lavia, mendongakkan kepalanya. Gefan menunduk. "Ya?" Tiba-tiba,
Lavia mendekatkan wajahnya kepada Gefan. Gefan tersentak dan mendorong mamanya. Dia
tahu apa yang akan dilakukan mamanya. Dan, ini sudah melebihi batas wajar. "Aska?" ekpresi
terluka di wajah Lavia menyayat hati Gefan. "Aku Gefan, Ma! Anak mama. Bukan Aska!" kata
Gefan, mengguncang bahu mamanya. "Lihat aku, Ma! Aku bukan Aska!" Lavia berdiri dengan
ketakutan dan menjauhi Gefan. Gefan mendekat, berusaha menyentuh mamanya lagi. Tepat
saat Gefan menyentuh tangannya, Lavia berteriak. Teriakan keras dan histeris. Penuh
ketakutan. Gefan sampai harus menutup telinganya. "MANA ASKA" ASKAAA!!!!" teriak Lavia.
"Ma!" Gefan menarik Lavia dalam pelukannya, mencoba kembali menenangkan mamanya. Akan
tetapi, kali ini Lavia yang mendorong Gefan. Lavia menarik-narik rambutnya sendiri dengan
frustasi sambil terus berteriak memanggil Aska. Dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan
Gefan. Setelah lelah berteriak, dia duduk dan menangis. Hati Gefan terasa tercabik saat melihat
keadaan mamanya. Lavia hanya ingin bahagia bersama lelaki yang dicintainya. Sayang, lelaki itu
tidak mau memedulikannya sama sekali. Dengan lembut, Gefan menarik Lavia agar berdiri, lalu
mengantar wanita itu ke kamarnya. Lavia langsung meringkuk di kasur, menutupi seluruh
tubuhnya dengan selimut, seraya terus terisak. Gefan mengelus rambut mamanya sebentar,
sebelum melangkah perlahan keluar kamar. Hari-hari Lavia menjadi zombie sepertinya akan
kembali. Kenyataan itu makin melukai Gefan. ***
Bab 7 Gefan membuka pintu kamar Lavia perlahan, lalu terbelalak. Lavia masih berbaring di kasurnya,
tampak kesulitan bernapas. Gefan meletakkan makanan yang dibawanya ke atas meja kecil
yang ada di samping tempat tidur, lalu menghampiri mamanya dengan panic. Belum sempat
Gefan bertanya ada apa, tubuh Lavia melemas, lalu pingsan. Gefan mengangkat tubuh Lavia
dan membawanya keluar rumah. Salah seorang tetangganya baru saja mengluarkan mobil.
Gefan langsung mengadangnya. "Ada apa, Gefan?" Tanya Tobi, pemilik mobil itu. "Mama saya.
Butuh ke rumah sakit. Sekarang," kata Gefan. Dengan sigap, Tobi membuka pintu belakang
mobilnya. "Ayo, saya antar," katanya. "Makasih," ucap Gefan seraya masuk. Perjalanan menuju
rumah sakit seperti menanti eksekusi hukuman gantung bagi Gefan. Penuh rasa tegang dan
ketakutan. Dia tidak mau kehilangan mamanya dengan cara apa pun. Entah apa yang terjadi, dia
tidak sempat memikirkannya. Yang jelas, dia ingin mamanya selamat. Begitu tiba di rumah sakit,
Lavia langsung dibawa ke ruang UGD. Gefan hanya bisa pasrah saat dokter mengambil alih
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mamanya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Tobi. "Kamu mau ditemani?" Tanya Tobi,
melirik jam tangannya, lalu kembali manatap Gefan. Gefan menggeleng. "Makasih banyak, Om."
Ucapnya. "Maaf merepotkan." Tobi menepuk pelan bahu Gefan. "Bukan masalah," dia
tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah. "Saya harus pergi. Kalau ada apa-apa, kamu bisa
menghubungi saya." Gefan mengangguk. Setelah Tobi pergi, gefan mengeluarkan ponselnya.
Dia mengirim SMS kepada Lanna, mengatakan kalau dia tidak masuk semua kelas hari ini.
Lanna membalasnya, bertanya mengapa dia tidak masuk. Gefan mengabaikannya. Dia berjalan
mondar-mandir di depan ruang UGD, berharap pintu itu segera terbuka dan dokter member
kabar kalau mamanya baik-baik saja. *** Delia mengintip dari bahu Aura untuk melihat apa yang
sedang dikerjakan sahabatnya itu. Seperti biasa, Aura sibuk dengan karikaturnya. Tetapi, kali ini
ada yang berbeda. Delia menunduk, agar bisa melihat lebih jelas. "Siapa, tuh?" Aura langsung
menutup bukunya. "Bukan siapa-siapa." Mata Delia menyipit. Dia menarik kursi ke sebelah Aura.
"Siapa?" ulangnya. "Nggak usah usil deh," omel Aura. Dia kembali membuka bindernya, tetapi ke
halaman kosong. Dia mulai membuat karikatur baru. Dengan sigap, Delia menarik binder itu, lalu
membawanya menjauh dari Aura. Aura terbelalak dan langsung mengejar Delia. Delia membalik
halaman berisi gambar seorang lelaki yang dibuat Aura tadi. Dia mengamatinya, mencoba
mengenali lelaki itu. Tidak seperti gambar Aura yang biasanya aneh dan konyol, gambar satu ini
terlihat indah dan menarik. Seorang pria dengan rambut nyaris menyentuh bahu, sedikit
bergelombang. Yang menarik, pria itu dibuat telanjang dada dengan tato rumit tetapi cantik
dilehernya. Belum sempat Delia mengamati lebih jauh, Aura berhasil menarik kembali bukunya.
Dia menatap Delia kesal. "Usil banget, sih, lo?" dengus Aura. Delia tersenyum nakal. "Wah".,
Rangga pasti heboh kalau tahu adik tersayangnya mulai lirik-lirik cowok." Wajah Aura memerah.
"Kalau lo lapor ke Kak Rangga, gue beneran ngambek sama lo." Delia tertawa keras. Melihat
raut Aura, dia menghentikan tawanya. Berdehem, dia kembali bersuara. "Emang udah waktunya,
ya, Ra. Anak mana?" Aura berjalan kembali ke kelasnya, sementara Delia mengekor. Dia sama
sekali tidak ingin bercerita kepada Delia mengenai cowok di gambarnya. "Nit," tegur Delia.
"Mahasiswa sini juga?" Aura mengangkat bahu. Delia menepuk punggung Aura geram. "Nggak
usah sok-sok rahasia, deh. Sama gue juga. Siapa?" kejarnya dengan nada penasaran. Aura
duduk, mengabaikan Delia sepenuhnya. "Kalau nggak mau ngasih tahu, gue bakal cerita ke
Rangga." Aura melotot. "Resek lo!" umpatnya. Delia kembali menyunggingkan senyum manis.
"Kalau gitu, cerita, dong." "Bukan siapa-siapa." "Bukan siapa-siapa, kok, muka lo merah?" goda
Delia. "Diem, ah." Delia kembali tertawa. "Nggak apa-apa, Ra. Jatuh cinta bukan dosa besar,
kok, sampai lo harus malu gitu." "Gue nggak jatuh cinta." Delia bersandar, menyilangkan
kakinya. "Belom, bukan nggak," katanya. "Siapa, sih" Cakep nggak" Sama Rangga, cakepan
siapa?" Aura merasakan pipinya memanas. "Udah, Del. Gue nggak akan ngomong apa-apa."
"Nggak asyik lo, " Delia merengut. "Janji, Deh, nggak bakal kasih tahu siapa-siapa! Sumpah
pramuka!" Aura menatap Delia geli, lalu menggeleng. "Nggak!" jawabnya dengan nada final.
"Ntar gue mau ke Diamond. Ikut?" Aura mengalihkan pembicaraan. Delia mencibir, menyadari
usaha Aura untuk mengalihkan topic. "Nggak, ah. Mau nyalon," jawabnya, sambil mengibaskan
rambut hingga mengenai wajah Aura. Aura hanya mendengus. *** Gefan duduk di bangku depan
ruang UGD dengan perasaan yang amat tidak tenang. Matanya berkali-kali manatap pintu
ruangan itu yang tertutup rapat. Ketika pintu itu terbuka, Gefan langsung melompat berdiri dan
menghampiri dokter. "Gimana mama saya, dok?" Tanya Gefan langsung. Dokter itu menghela
napas pelan. "Mamamu mengalami overdosis. Hal itu menyebabkan aliran darah dari jantung ke
otaknya berhenti. Maaf, tapi kami sudah berusaha melakukan yang terbaik yang kami bisa."
Gefan merasakan jantungnya berhenti berdetak sesaat. "Apa maksud dokter?" tanyanya dengan
suara bergetar. Dokter itu menatap Gefan sambil menepuk pundaknya. "Karena aliran darah
berhenti, fungsi jantung pun berhenti. Itu artinya, mamamu telah beristirahat dengan tenang.
Yang kuat, ya," ucap dokter berhati-hati. Gefan berteriak. Teriakan yang penuh kesakitan.
"Dokter bohong!" bentaknya. "Mama saya nggak mungkin meninggal! Kalian nggak berusaha!
Kalau kalian benar-benar berusaha, mama saya nggak akan meninggal!" Dokter itu menepuk
bahu Gefan penuh rasa bersalah. "Maaf. Semoga kamu bisa menerimanya." Gefan langsung
berlari memasuki ruang UGD, menghampiri mamanya. Kain putih sudah ditarik menutup hingga
ke wajah Lavia. Gefan membukanya perlahan. Mamanya seperti sedang tidur. Namun, wajahnya
amat pucat, pertanda tidak ada lagi darah yang mengalir di sana. Gefan menyentuh dada
mamanya dengan mata terpejam. Tidak ada lagi detak jantung yang terasa di telapak
tangannya. Mamanya benar-benar sudah pergi. Meninggalkannya. Matanya memanas,
sementara bahunya mulai bergetar. "Mama?" panggil Gefan pelan. "Ma" Ini Gefan. Mama
dengar, kan, Ma" Mama Cuma tidur, kan?" Tubuh Lavia bergeming. Gefan menggenggam
tangan mamanya yang mulai mendingin. Ini tidak mungkin terjadi kepadanya. "Gefan sayang
Mama. Mama jangan pergi. Mama nggak boleh pergi! Gefan nggak mau sendirian di sini. Cuma
Mama yang Gefan punya." Gefan membiarkan air matanya jatuh. "Bangun, Ma?" Seorang
suster memasuki ruangan itu dan menghampiri Gefan yang masih terus berusaha berbicara
dengan mamanya. "Suster, tolongin Mama saya," pinta Gefan. "Tolong" jangan biarkan dia
meninggal ?" Suster itu menatap Gefan prihatin. "Mamamu sudah tenang di sana. Kamu harus
ikhlas." Gefan menggeleng. Dia tidak mau membiarkan mamanya meninggal sekarang. Dia
belum melakukan apa pun untuk membahagiakan mamanya. Lavia tidak boleh meninggal. Hal
terakhir yang dilakukannya kepada Lavia membuat robekan di hati Gefan makin lebar. Kalau
saja dia tidak mendorong Lavia" Selain dirinya, masih ada satu orang lagi yang bertanggung
jawab atas kondisi Lavia. Kalau bukan karena orang itu, Lavia tidak akan sakit. Lavia tidak akan
salah mengenalinya. Dan, Lavia pasti masih hidup sekarang. Bukan Lavia yang seharusnya
mati, melainkan orang itu. Dengan tangan terkepal, Gefan pergi meninggalkan tempat itu. Dia
menghentikan taksi dan memerintahkan si sopir untuk membawanya ke kantor Diamond Group.
Kantor itu pasti tahu di mana ayahnya sekarang, karena mereka yang menyusun jadwal
perjalanan Aska. Dia ingin memburu dan mengubur lelaki itu hidup-hidup. Karena ayahnya, dia
kehilangan satu-satunya hal yang paling berharga di hidupnya. Dia benar-benar akan
membunuh pria itu. Gefan menerobos masuk tanpa menghiraukan security yang menjaga pintu.
Security itu menghadangnya dengan galak. Gefan balas menatap orang itu dengan garang.
Dengan emosi seperti ini, dia bisa menyakiti siapa pun yang menghalanginya dan dia tidak akan
menyesali perbuatan itu. "Mau ke mana?" bentak satpam itu. "Bertemu dengan siapa pun yg
mengirim Aska pergi dari Negara ini," kata Gefan, menggeretakkan giginya. Seorang wanita
mengenakan setelan blazer berwarna hijau limun menghampiri mereka. "Ada apa ini?" Tanya
wanita itu. "Anak ini mau membuat kekacauan," lapor si satpam. Mata wanita itu menyipit saat
melihat Gefan. "Apa saya mengenalmu?" "Nggak," jawab Gefan dengan rahang terkatup. "Tapi,
anda pasti mengenal ayah saya. " tatapan mata Gefan di penuhi amarah. "Ke mana Aska pergi?"
"Aska?" alis wanita itu menyatu. "Aska siapa?" "Aska Pandagri." "Oh, kamu anaknya Pak Aska?"
"Aku harap bukan," geram Gefan. "Ke mana dia?" "New Orleans. Sebentar lagi Paskah. Dia tidak
ingin ketinggalan perayaan Mardi Gras, untuk bahan artikel dan bukunya." Wanita itu tampak
semakin bingung. "Apa dia tidak mengabarimu?" Gefan kembali berteriak seperti hewan liar yang
terluka. "BERENGSEK! Sementara istrinya sekarat sampai meninggal, dia pergi buat nonton
perayaan bodoh?" "Istri Pak Aska meninggal?" Gefan mengabaikan pertanyaan itu. Pandangan
matanya terlihat amat tersiksa. "Bilang ke dia, sebaiknya dia nggak pernah muncul di depan
muka saya lagi. Atau, saya akan membunuhnya!" tatapan mata Gefan makin dingin. "Dan, terima
kasih sudah membunuh mama saya." "Kamu tidak ingin menghubungi Pak Aska?" tahan wanita
itu saat Gefan berbalik. Gefan hanya menatap wanita itu sekilas, lalu berjalan meninggalkan
tempat itu. Kesedihan memenuhi hatinya. Mamanya sudah meninggal. Dia tidak akan pernah
lagi melihat mamanya setelah ini. Gefan membiarkan air matanya kembali turun sambil terus
berjalan tanpa arah. "Gefan!" Gefan mengabaikan panggilan itu. Tiba-tiba, seseorang menahan
lengannya dari belakang. Gefan menyentak tangannya, lalu kembali berjalan. "Gefan!" kali ini
orang itu menyentak bahu Gefan hingga berbalik. Alis Aura langsung menyatu saat melihat
wajah Gefan dipenuhi air mata. "Lo kenapa?" "Apa peduli lo!" bentak Gefan. "Nggak usah ikut
campur." Dia kembali berjalan, meninggalkan Aura yang terpaku. Aura tersentak mendengar
nada kasar Gefan. Dia bisa saja pergi dari tempat itu, mengabaikan Gefan seperti perintah lelaki
itu. Namun, pandangan mata Gefan yang penuh duka tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan,
lelaki itu sedang menangis. Nekat, dia berlari kecil menghampiri Gefan dan berdiri di depannya.
"Lo baik-baik aja, Fan" Ada apa?" Tanya Aura pelan, berharap suara lembutnya meluluhkan
Gefan. Gefan hanya menatap Aura tajam. Aura bisa melihat kilat kemarahan di mata cowok itu.
Seharusnya, dia takut dan langsung menyingkir dari jalan Gefan. Namun, yang dilakukannya
malah mengulurkan tangan untuk memegang kedua bahu Gefan. Gefan kembali menyentak
tangan Aura. "Apa yang terjadi sama gue, sama sekali bukan urusan lo!" "Begitu juga dengan
apa yang terjadi sama gue, bukan urusan lo. Tapi, lo tetep bantu gue pas gue jatuh. Kenapa gue
nggak boleh ngelakuin hal yang sama?" Aura menatap Gefan tajam. "Kebetulan masalah gue
jauh lebih parah daripada sekedar bokong yang benturan sama aspal." Jawab Gefan dingin. "Lo
nggak harus ngusir semua orang," ujar Aura. Dia mengangkat tangannya, menyerah. "Oke. Kita
emang belum bener-bener saling kenal sampai lo harus cerita sama gue." Dia mengeluarkan
ponselnya. "Apa perlu gue hubungi Lanna?" "Gue bisa ngatasin semuanya sendiri." Gefan
menghentikan taksi kosong yang lewat, lalu pergi dari tempat itu. Kembali ke mobilnya, Aura
menyusul taksi yang membawa Gefan. Saat-saat seperti ini, dia merindukan motor bebeknya, di
mana bisa langsung memutar tanpa kesulitan. Dia melupakan tujuannya semula, ingin
menyerahkan karikatur barunya. Dia penasaran apa yang membuat lelaki segahar Gefan terlihat
begitu hancur. Aura melambatkan mobilnya ketika melihat taksi yang diikutinya berhenti di
sebuah rumah sakit. Setelah memarkir, Aura berjalan di belakang Gefan. Alisnya kembali
bertautan saat melihat Gefan ke " kamar jenazah" Tengkuk Aura merinding. Ada apa ini"
Mengapa Gefan masuk ke kamar jenazah" Beberapa saat kemudian, setelah menyelesaikan
masalah administrasi rumah sakit, Gefan mengikuti beberapa perawat mendorong ranjang keluar
dari kamar jenazah. Sosok di atas ranjang itu ditutupi sepenuhnya, tanda kalau sudah tidak
bernyawa lagi. Aura tidak bisa mendeskripsikan raut wajah Gefan. Tidak cukup hanya dengan
kata sedih, terluka, hancur, dan sebagainya. Gefan terlihat seperti dunianya sudah musnah.
Tepat sebelum Gefan ikut naik ke ambulans, Aura kembali menahannya. Gefan sedikit terkejut
melihat Aura. "Siapa?" Tanya Aura. Mata Gefan menggelap karena emosi. "Nyokap gue." Mulut
Aura ternganga. "Gue ikut belasungkawa," ucapnya. Gefan mengangguk kaku, lalu naik ke
ambulans, meninggalkan Aura. Ketika ambulans itu berjalan, Aura tidak menyusulnya. Dia
mengeluarkan ponsel dan menekan nomor Lanna. "Na, nyokap Gefan meninggal," katanya
langsung begitu Lanna menjawab. "Gue tahu rumahnya. Kita berangkat bareng aja,"
sambungnya, lalu menutup ponselnya. *** Gefan sedikit kaget saat melihat Aura, Lanna, dan
Arsen datang ke rumahnya untuk melayat. Rumahnya sendiri sudah dipenuhi tetangga-tetangga
di sekitarnya. Dengan canggung, dia mempersilahkan mereka masuk. Lanna berhenti di depan
Gefan sebentar, mengelus lengannya, lalu bergabung dengan Aura untuk duduk di dekat ibu-ibu
di bagian belakang rumah, sementara Arsen dan Gefan duduk bersama bapak-bapak di ruang
tamu. Arsen menepuk bahu Gefan yang duduk di sampingnya. "Gue ikut berdukacita." Gefan
menatap Arsen. "Thanks," ucapnya. "Lo nggak apa-apa?" "Sangat apa-apa." Jawab Gefan.
"Satu-satunya hal paling berharga dalam hidup gue udah pergi. Gimana menurut lo?" Arsen
menghela napas. "Gue ngerti. Bisa dibilang, lo malah lebih beruntung karena dikasih
kesempatan buat kenal sama nyokap, sementara gue Cuma bisa lihat foto." Gefan tidak
menanggapi. Arsen tidak bersuara lagi. Dia membiarkan Gefan larut dalam perasaan
kehilangannya. Gefan tidak melepaskan pandangan dari jasad mamanya yang berada tepat di
depannya. Saat merapikan rumah untuk menyambut para pelayat, Gefan sempat beres-beres di
kamar mamanya. Dia menemukan botol obat tidur yang sudah kosong. Seperti yang dibilang
dokter, mamanya overdosis obat tidur. Saat itulah dia tahu kalau mamanya sengaja mengakhiri
hidupnya. Lavia membunuh dirinya sendiri. Kenyataan itu melukai Gefan lebih dalam.
Seandainya, dia tidak mendorong Lavia saat mamanya itu akan menciumnya, mungkin Lavia
tidak akan melakukan ini. Seharusnya, dia tetap membiarkan Lavia menganggapnya Aska, yang
pasti akan membuat mamanya sangat bahagia. Gefan mengutuk dirinya karena tidak bisa
membahagiakan mamanya. Jenazah Lavia dikebumikan sekitar pukul tiga sore. Gefan tetap
tidak bersuara saat jasad mamanya diturunkan ke liang lahat. Dia menangis tanpa suara. Aura
dan Lanna berdiri di kiri-kananya, mencoba memberinya kekuatan. Arsen bahkan ikut menepuk
punggungnya dari belakang. Begitu prosesi pemakaman selesai, satu per satu pelayat
meninggalkan tempat itu. Tinggal Gefan, Lanna, Arsen, dan Aura yang tersisa. Gefan seperti
tidak ingin meninggalkan pusaran mamanya. Dia menyentuh nisan sang mama sambil sesekali
membersit hidungnya. Kacamata hitam yang dipakainya tidak mampu menutupi raut sedihnya.
"Pulang aja kalau mau pulang. Gue masih mau di sini. Sendiri," kata Gefan tanpa menatap
mereka. "Telepon gue kapan pun lo butuh. Oke?" ucap Lanna. "Kita sahabat, kan?" Gefan
mengangguk. "Thanks, Na." Lanna meremas bahu Gefan, lalu berjalan bersama Arsen. Saat dia
mengajak Aura, sahabatnya itu menggeleng. Alis Lanna menyatu, tetapi tidak bertanya.
Akhirnya, dia membiarkan Aura bersama Gefan. "Gue mau sendiri, Ra," kata Gefan dengan
nada lelah. Bukannya mendengarkan, Aura malah ikut berjongkok di sebelah Gefan. Aura
memutar bahu Gefan agar menghadapnya, lalu menarik cowok itu dalam pelukannya. Tubuh
Gefan mengejang karena kontak itu. Belum pernah ada orang yang memeluknya seperti ini,
selain mamanya. Hal pertama yang terbesit di benak Gefan adalah mendorong Aura menjauh.
Namun, yang dilakukannya malah balas memeluk Aura dan terisak di bahu gadis itu. ***
Bab 8 Aura membenturkan kepala di meja belajarnya sambil terus-menerus mengutuk dirinya. Apaapaan yang dilakukannya tadi" Memeluk Gefan" Ya, ampun! Idiot macam apa yang sudah
merasuki tubuhnya hingga dia berani bersikap seperti itu" Ya, walaupun Gefan pernah
memberinya semangat saat dia kali pertama melakukan donor darah waktu itu, tetap saja itu
tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan bodohnya.
Ungtunglah Gefan tidak melemparnya, atau menguburnya hidup-hidup, mengingat mereka
sedang berada di pemakaman. Gefan malah balas memeluknya dan menangis. Benar-benar
terisak. Aura tidak pernah membayangkan sosok sesangar itu bisa terisak seperti anak kecil.
Bahunya sudah basah oleh air mata Gefan, saat akhirnya cowok itu mau diajak pulang. Setelah
Gefan terlihat lebih tenang, Aura baru meninggalkannya.
Setelah dipikir-pikir, nyaris semua yang ada pada diri Gefan berlawanan. Tampang yang sangar,
tetapi ternyata memiliki hati lembut dan rapuh. Tato abstraknya yang cantik, tetapi penuh kesan
menyeramkan. "Bukannya udah biasa?"
Aura kembali duduk tegak, kali ini sambil melotot.
Mama tertawa. Mengacak rambut pendek Aura penuh sayang, dia duduk di tepi ranjang Aura.
"Semua orang pasti pernah, bahkan mungkin sering, ngelakuin hal bodoh. Itu manusiawi, kok.
Nggak usah bertingkah kayak dunia mau kiamat gitu."
"Dunia emang kayak kiamat gara-gara kebodohan Aura kali ini, Ma."
"Emang kamu ngapain?"
Aura ragu. Apa reaksi mamanya kalau dia berkata sudah memeluk seorang cowok" Dia sendiri
masih benar-benar tidak mengerti mengapa bisa memeluk cowok itu tadi. "Nggak usah dibahas,
ah," kata Aura akhirnya. Dia bangkit, berjalan menuju kasurnya, lalu berbaring.
Mama ikut berbaring di samping Aura, memeluk putrid bungsunya itu. "Masalah cowok, ya?"
tebaknya sambil mengelus rambur Aura.
Aura memainkan pita baju tidur mamanya. "Kok, tahu?"
"Beneran" Kata Rangga, Aura nggak punya pacar."
"Emang bukan pacar."
"Terus?" Menghela napas, Aura akhirnya menceritakan apa yang terjadi hari ini. Mulai dari pertemuannya
dengan Gefan di dekat kantor Diamond Group, dia mengikuti Gefan ke rumah sakit, kabar
tentang meninggalnya mama Gefan, hingga peristirahatan bodoh dia memeluk cowok itu.
"Menurut mama itu bukan tindakan bodoh. Kamu berniat baik untuk menghibur dia. Dan,
berhasil. Apa yang bikin kamu uring-uringan?"
"Aura sama Gefan itu belum deket, kan, aneh kalau tiba-tiba Aura tadi meluk dia."
"Kenapa Aura tiba-tiba meluk dia?"
Aura mengedikkan bahunya. "Pas lihat muka dia yang sedih banget, Aura jadi nggak tega. Trus,
tiba-tiba nggak tahu kenapa meluk aja."
"Aura suka sama Gefan?"
"Nggak!" jawab Aura cepat.
Mama tersenyum. "Aura suka sama Gefan," ulangnya, kali ini sebagai pernyataan, bukan
pertanyaan. "Nggak, Mama." Mama berdiri. "Ya, udah. Pertunangan Rangga sama Delia bulan depan. Ajak Gefan, gih,
supaya dia nggak sedih lagi." Mengecup dahi Aura, Mama berjalan keluar.
Aura memeluk gulingnya. Dia tidak mungkin menyukai Gefan. Apa yang dilakukannya tidak lebih
sebagai bentuk simpati atas kesedihan yang dialami cowok itu. Hanya itu.
Benarkah" Lalu, apa maksud gambaran-gambaran indah wajah Gefan yang dibuatnya beberapa
hari belakangan ini" Aura membenamkan wajahnya di bantal. Benar-benar melapetka kalau dia
sampai menyukai Gefan, sementara cowok itu sama sekali tidak tertarik kepadanya.
*** "Gefan?" Gefan mengangkat kepala dari lututnya saat mendengar panggilan samar itu. Dia sedang duduk
di atas meja, di depan jendela kamarnya, sambil memeluk lutut. Tanpa berniat menyahut, Gefan
diam di tempatnya. Terdengar bunyi ketukan dari pintu di lantai kamarnya, "Gefan?"
Itu suara Aska. Kemarahan Gefan tersulut. Dia mengangkat pintu dan melihat Aska berdiri di
tangga spiral menuju kamarnya. Meraung keras, Gefan menerjang Aska hingga ayahnya itu
terjatuh. Lalu, dia melompat ke atas tubuh Aska, menghujani wajah sang ayah dengan pukulanpukulan membabi buta. Dia ingin membunuh ayahnya. Sangat ingin melihat ayahnya mati
dengan mengenaskan. Aska menangkap sebelah tangan Gefan, kemudian menahan tangan yang satunya. Darah
mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. "Simpan tenagamu." Kata Aska pelan. Dia mendorong
Gefan dari atas tubuhnya, lalu berdiri.
Gefan mengepalkan tangannya. "Mau apa" Buat apa kamu dateng lagi?" bentaknya marah.
"Kurang puas bikin Mama meninggal" Mau lihat Gefan mati juga?" Gefan mendengus keras. "Itu
nggak akan terjadi. Kamu yang mesti mati duluan!" dia kembali menyerang Aska, berniat
menerjang perutnya. Aska menangkap kaki Gefan, memelintirnya hingga anak itu jatuh dengan dada membentur
lantai lebih dulu. Gefan kesulitan bernapas. Dia megap-megap, berusaha memasukkan oksigen
ke paru-parunya. Aska berjongkok di dekat wajah Gefan. "Saya tahu kamu sedih. Bisa dibilang, Lavia adalah
hartamu yang paling berharga. Tapi, saya mau membela diri. Kematiannya bukan karena salah
saya. Saya nggak pernah pengin dia mati."
Gefan bangkit perlahan. Matanya menyipit, menatap Aska penuh kebencian. "Oh, ya" Kamu
sama sekali nggak peduli sama Mama! Nggak pernah peduli! Sementara Mama sangat
mencintaimu! Itu sama aja kamu udah bunuh Mama pelan-pelan!"
"Jaga bicaramu, Anak muda," kata Aska, masih tampak tidak peduli. "Saya jauh-jauh datang
bukan buat berhadapan sama amarah liarmu."
"Trus" Buat dateng ke makam istrimu?" Tanya Gefan sinis.
"Saya sudah ke sana." Aska berjalan menuju dapur. Dia membuka lemari kaca berisi koleksi
Lovhobia Karya Elsa Puspita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anggurnya dan mengambil sebotol wine. "Kamu nggak punya siapa-siapa lagi di sini." Aska
membuka tutup botol, lalu menuangkan isinya ke gelas bening. "Saya mau kamu ikut."
"Ikut" Denganmu?" Gefan mendengus. "Nggak akan pernah!" jawabnya langsung. Dia berjalan
menuju tangga untuk kembali ke kamarnya.
"Ayolah. Bisakah sekali-kali kita berbincang layaknya ayah dan anak" Kenapa harus selalu
rebut?" keluh Aska. "Kamu nggak pernah bertingkah layaknya seorang ayah," cergah Gefan.
"Oke." Aska mengangkat tangannya, menyerah. "Saya nggak punya cukup waktu buat
merayumu sekarang," dia berjalan menghampiri Gefan sambil membawa gelasnya. "Saya harus
segera pergi lagi." "Gue nggak peduli!" kata Gefan, terus berjalan menuju kamarnya.
"Sampai kapan kamu mau ngurung diri di kamar?"
"Sampai kamu pergi di sini." Gefan mendorong pintunya hingga terbuka, melangkah naik
memasuki kamar, lalu membantingnya menutup.
*** Aura, Delia, dan Lanna sedang berkumpul di food court sebuah pusat perbelanjaan sambil
menikmati makan siang masing-masing. Ayu tidak bisa ikut karena sedang sibuk, seperti biasa,
sementara Lola tidak bisa dihubungi.
Delia menyeruput diet coke-nya, lalu menyendok salad, dan melahapnya. "Kayaknya ada yang
nggak beres sama Lola. Terakhir ketemu, sekitat tiga hari lalu, dia kelihatan kusut gitu. Ya, kan,
Ra?" Aura mengangguk sambil menggigit kentang gorengnya. "Paling bermasalah sama si Coki,"
jawabnya tak acuh. "Kayaknya lebih dari sekedar bermasalah, deh," gumam Delia.
"Dia nggak cerita apa-apa ke gue," Lanna ikut bersuara.
"Ke gue juga. Tumben-tumbenan anak itu nggak share."
Delia mengambil satu kentang goreng Aura, lalu menggigitnya. "Gue kangen gorengan,"
keluhnya, mengambil tiga kentang sekaligus. "Peraturan sialan."
"Risiko jadi model," kata Lanna, menyeruput lemon ice nya.
"Gue heran aja sama orang-orang itu. Nyaris semua modelnya udah kayak penderita anoreksia
akut, masih aja disuruh diet gila-gilaan. Pelatih gue bahkan tahu kalau gue abis makan pisang
goreng sebiji. Cuma sebiji!" Delia menggeleng frustasi. Saat kembali bersuara, dia menirukan
suara berat pelatih modelingnya. "Delia, kalau sampai berat kamu naik lagi, kamu nggak akan
bisa ikut fashion week selanjutnya. Rencana Ivan Gunawan pun nggak akan indah dipakai oleh
model yang berperut buncit." Dia mendengus kesal, lalu berdiri. "Look at me! Udah kayak papan
penggilesan gini saking kurusnya." Gerutunya seraya kembali duduk.
"Karena itu kamu mau cepat-cepat nikah sama Kak Rangga?" goda Aura.
"Tunangan," ralat Delia tak acuh.
Belum sempat Aura membalas, ponselnya bergetar. Dahinya berkerut saat melihat nama Aska
Pandagri sebagai penelepon. "Bokapnya Gefan," katanya pelan. Lalu, dia menekan tombol
answer. "Halo?"
Lanna dan Delia menatap Aura dengan alis menyatu.
"Siapa Gefan?" Tanya Delia kepada Lanna, sementara Aura focus pada ponselnya. Tangannya
sudah terulur untuk mengambil kentang goreng Aura, tetapi diurungkannya. Dia tidak butuh
ocehan dari pelatihnya lagi. Sambil mendengus, dia melahap saladnya.
"Teman kampus gue," jawab Lanna.
"Kok, bokapnya nelpon Aura, bukan elo?"
Lanna hanya mengangkat bahu saat ponselnya ikut bergetar. "Bokapnya Arsen," gumamnya,
kemudian menjawab telepon itu.
Delia menatap kedua sahabatnya bergantian, mengangkat bahu, lalu kembali makan.
Aura dan Lanna menyelesaikan telepon mereka nyaris berbarengan.
"Jadi?" Tanya Delia.
Lanna memasukkan ponsel, lalu menenteng tasnya. "Arsen masuk rumah sakit. Gejala DBD.
Papanya lagi nggak di sini." Dia berdiri.
Aura menghela napas. "Bokap Gefan nyuruh gue ke rumahnya karena udah seminggu sejak
pemakaman mamanya, Gefan nggak mau keluar kamar."
Tangan Lanna terjatuh lunglai di sisi tubuhnya. "Ya, ampun. Trus gimana?" dia menggigit bibir
gelisah. Di satu sisi dia ingin menghibur Gefan, di sisi lain dia lebih ingin menemani Arsen di
rumah sakit. "Menurut gue, lo ke rumah sakit aja. Biar Aura yang ngurus si Gefan itu," saran Delia.
Aura mengangguk. "Oke." Kata Lanna, menatap Aura dengan bingung. "Nanti, gue bakal Tanya apa hubungan
kalian," sambungnya. Tanpa membuang waktu, Lanna memelesat pergi.
Delia menatap Aura dengan alis bertaut. "Gefan itu cowok yang sering lo gambar akhir-akhir ini,
ya": Wajah Aura bersemu. "Kata Lanna, tuh cowok temen kampusnya. Kok, yang ditelepon elo?"
Aura menghabiskan milkshake cappuccino-nya, kemudian menyerahkan kentang gorengnya
yang tinggal separuh kepada Delia. "Bokapnya Cuma punya nomor gue. Kemarin gue sempet
wawancara sama dia. Dia tahu kalau gue, bisa dibilang, temen Gefan." Dia ikut berdiri. "Lo masih
mau di sini, apa pulang?"
Delia memasukkan dua kentang sekaligus ke mulutnya. "Di sini aja. Bentar lagi Rangga
istirahat." "Oke, Bye." Aura ikut pergi meninggalkan tempat itu. Namun, dia berhenti sebentar. "Tutup
mulut, ya, Del. Nggak usah ngomong apa-apa ke Rangga!"
Delia membuat bentuk holy di atas kepalanya. Dia menatap kepergian kedua sahabatnya sambil
terus mengunyah. Saat menangkap wadah kentang goreng di tangannya nyaris kosong, dia
tersadar apa yang sedang dimakannya. Mengumpat, dia meletakkan wadah itu ke meja dengan
kesal. *** Aska langsung menyuruh Aura masuk saat gadis itu tiba di rumahnya. Aura melangkah masuk
dengan ragu, tidak yakin apakah seharusnya dia datang atau tidak. Aska berjalan ke dapur dan
menyuruh Aura mengikutinya. Aura hanya diam saat Aska meletakkan beberapa makanan di
nampan. "Tolong bujuk dia makan." Pinta Aska seraya menyerahkan nampan itu kepada Aura.
Aura mengambilnya dengan bingung. "Kenapa saya?"
"Dia membenci saya," kata Aska, mengedikkan bahunya dengan tak acuh. "Seminggu ini dia
nyaris tidak makan apa pun. Sangat memalukan kalau sampai anak Aska Pandagri mati karena
kelaparan." Aura makin bingung melihat nada tak acuh Aska dan sikap tidak pedulinya. "Di mana
kamarnya?" Aska menunjuk pintu kayu tepat di atas tangga spiral.
"Di loteng?" Aura menatap Aska dan pintu itu bergantian, tidak percaya. "Dia tidur di loteng?"
"Pilihannya sendiri," jawab Aska. "Saya sudah menawarkan kamar di halaman belakang, dia
menolak dan lebih memilih di loteng."
Cinderella boy, gumam Aura. Dia melangkah pelan menaiki tangga spiral. Dengan gugup, dua
menggedor pintu kamar Gefan. Tidak ada sahutan. "Fan" Gue Aura," panggil Aura, lalu kembali
menggedor. Terdengar bunyi "klik", lalu pintu itu terangkat terbuka. Gefan menunduk, menatap Aura dengan
wajah datar. "Ngapain?"
Aura mengangkat nampan di tangannya. "Makan?" tawarnya.
"Gue nggak laper." Gefan berbalik pergi, tetapi tidak menutup pintunya.
Aura menganggap itu berarti Gefan mengizinkannya masuk. Dengan hati-hati, dia menaiki
tangga sampai memasuki kamar itu. "Waw." Gumamnya kagem saat melihat keadaan kamar
Gefan. Aura meletakkan nampannya di meja, sambil mengamati kamar itu. Saat menunduk,
Aura terperangah melihat gambaran yang ada di lantai. Sebuah graffiti yang sangat indah di
sepanjang lantai itu. "Apa tulisannya?" Tanya Aura.
"Nama gue," jawab Gefan. Dia kembali duduk di meja, tempat biasa saat dia ingin menenangkan
diri. "Jadi, selain mau ngasih gue makan, apa tujuan lo" Siapa yang nyuruh lo ke sini?"
"Bokap lo." Aura menarik kursi di depan meja yang diduduki Gefan.
Gefan hanya diam saat melihat Aura duduk. "Masih di sini orang itu."
"Katanya udah seminggu lo nyaris nggak makan apa pun. Dia" " Aura memikirkan kata yang
tepat, "Kayaknya dia khawatir sama lo." Kurang lebih seperti itu, meskipun menurut Aura bentuk
kepedulian Aska hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Gefan mendengus, seakan bisa membaca pikiran gadis itu. Dia melirik makanan yang di bawa
Aura, lalu kembali menatap ke luar jendela. "Gue nggak laper."
"Oh, ya?" Tanya Aura tidak percaya. Dia menaiki kursi, lalu ikut duduk di meja, di samping
Gefan. Dia mengulurkan roti cokelat. "Gue tau lo laper."
Gefan mengabaikannya. Aura mencubit roti itu sedikit, lalu menggoyang-goyangkannya ke arah mulut Gefan. "Pesawat
meluncur, siap memasuki ke terowongan. Ayo, buka pintunya sebelum terjadi tabrakan. Aaaaa
"," gumamnya, seperti membujuk seorang anak kecil.
Sudut bibir Gefan terangkat. "Pesawat apa yang mau masuk terowongan" Pesawat jatuh
kehabisan bensin yang siap tabrakan?"
Aura mendengus. "Tabrakan beneran terjadi kalau terowongannya nggak dibuka. Ayo, cepat!"
Gefan membuka mulutnya sedikit, menerima roti yang disuapi Aura. Gadis itu tersenyum
senang, kembali mencubit roti, dan mengulangi kata-kata sejenis. Dia hanya mengganti
kendaraannya. Kereta api, mobil balap, sepeda ontel, delman, dan berbagai kendaraan lain yang
memasuki terowongan. "Yak, terakhir. Jordan mendribel bola menuju ring. Lalu, dia bersiap melakukan tembakan tiga
angka dan "," Aura mengangkat tanganya hingga Gefan sedikit mendongak saat menerima
potongan roti terakhir, "Masuk! Yeeee!" sorak Aura.
Gefan tertawa kecil, lalu menerima air yang disodorkan Aura.
Aura tersenyum senang. "Ini makanan sebenernya," ujarnya, mengangkat piring berisi nasi,sup,
dan ayam goreng. Gefan mengambil piring dari Aura, lalu mulai makan. Aura kembali duduk di kursi sambil
memandangi Gefan yang tampak lahap. Sepertinya cowok itu memang kelaparan. Tetapi,
kesedihannya mampu mengalahkan rasa lapar. Aura ikut prihatin. Kehilangan orangtua, apalagi
sosok ibu yang sangat disayangi, pasti akan menghancurkan hati anak mana pun.
"Makasih," ucap Gefan saat dia menyelesaikan makanannya.
Aura meletakkan piring kosong Gefan di atas nampan. "Sama-sama," balasnya. Dia lalu berdiri
di depan Gefan, menyentuh lututnya yang terlipat. "Gue tahu lo sedih. Tapi, nggak seharusnya
kesedihan itu terlalu berlarut. Masih ada hidup yang harus lo jalanin."
Wajah Gefan mengeras. Dia kembali membuang muka. "Selama ini, gue jalanin hidup buat
nyokap. Hidup gue selesai waktu nyokap dikubur."
"Trus, lo sengaja diem di sini, berharap ikut mati?"
Gefan tidak menjawab. Aura menangkup wajah Gefan, lalu memaksa cowok itu menatapnya. "Hidup lo masih panjang."
"Hidup gue udah selesai."
"Belom!" tegas Aura. "Lo masih muda. Kalau lo nggak mau hidup buat diri lo sendiri, jalani hidup
buat nyokap lo." "Dia udah nggak ada."
"Tepat. Dia udah nggak ada. Sekeras apa pun lo nyiksa diri, ngurung diri berabad-abad di sini,
nggak akan bikin dia hidup lagi."
Gefan membuang muka. "Lo nggak akan ngerti."
"Emang. Gue nggak akan pernah ngerti kesedihan lo, perasaan lo. Tapi, satu hal yang gue
yakini. Selama lo hidup, nyokap lo tetep ada. Di sini." Aura menyentuh dada Gefan. "Dia nggak
akan pernah ke mana-mana."
Gefan terdiam, menatap Aura cukup lama, sementara tangan Aura berada di dadanya. "Kenapa
lo ngelakuin ini" Kita bahkan nggak bener-bener saling kenal."
Aura menarik tangannya, lalu mengangkat bahu. "Gue kenal lo, Gefan. Dan, lo tahu gue, Aura.
Menurut gue, itu udah masuk kategori "saling kenal"." Dia kembali duduk di kursi.
Keduanya diam beberapa saat. Saat hari semakin sore. Aura akhirnya pamit pulang. Gefan
mengantar gadis itu sampai ke mobilnya.
"Makasih, Ra," ucap Gefan.
Aura membuka pintu mobilnya. Dia tersenyum kecil kepada Gefan. "Gue nggak ngelakuin apaapa. Semua keputusan ada di tangan lo. Mau lanjutin hidup, atau jadi Cinderella Boy
selamanya." Dia melirik jendela bundar kamar Gefan. "Gue pulang, ya," pamitnya, kemudian
masuk mobil dan memelesat pergi
*** Bab 9 Gefan mengintip ke dalam kelas, sebelum memutuskan untuk melangkah masuk. Saat melihat
sosok Lanna duduk di bangku sudut paling depan, dia baru melangkahkan kakinya memasuki
ruangan itu. Lanna sedang sibuk dengan ponselnya ketika Gefan menarik kursi di sebelahnya.
Mendengar kursi sebelahnya ditarik, Lanna menoleh. Wajahnya langsung cerah saat melihat
Gefan. "Gefan! Gimana kabar lo?" sapanya dengan senyum lebar.
Gefan membalasnya dengan senyum tipis. "Sebaik yang bisa dirasain anak yang baru
kehilangan ibunya." Senyum Lanna mengilang. Dia meninju bahu Gefan. "Udah, ah. Sejak kapan lo jadi cengeng?"
"Emang gue nangis?" Gefan menatap Lanna dengan muram. "I"m fine. Cuma masih agak
terpukul," sambungnya.
Lanna mengelus bahu Gefan pelan. "Lo kuat, kok," ucapnya yakin, membuat Gefan tersenyum
kecil. Tiba-tiba dahi Lanna berkerut. "Lo sama Aura jadian, ya?"
"Hah?" Gefan terbelalak. "Kok, lo ngira gitu?"
Lanna mengangkat bahu. "Bokap lo nelpon dia. Kalian jadi kayak punya semacam ikatan gitu."
"Nggak. Gue juga nggak tahu gimana tuh orang bisa nelepon Aura. Gue sama dia, ya, Cuma
teman, ama kayak kita."
"Oh, ya?" Tanya Lanna sangsi.
"Abis kuliah mau ke mana?" Tanya Gefan, mengalihkan pembicaraan. Dia menyandarkan
punggung di kursi, lalu mengacak rambut gondrongnya.
Lanna kembali pada ponselnya. "Ke rumah sakit. Arsen kena gejala demam berdarah."
"Oh," Gefan tampak terkejut. "Gimana keadaannya?"
"Ya, gitu. Trombositnya turun terus." Keluh Lanna dengan nada khawatir. "Papanya baru balik
ntar malam." "Emang bokapnya ke mana?" Tanya Gefan sambil lalu.
"Ke Aceh. Seharusnya sampai minggu depan di sana. Berhubung Arsen sakit, jadi dipercepat."
Gefan termangu. Seandainya ayahnya juga bersikap seperti itu. "Jadi, lo nginep di rumah sakit?"
Lanna mengangguk. "Sama pengasuhnya Arsen juga."
"Tuan muda," dengus Gefan. "Udah setua itu, masih pake pengasuh."
Lanna melotot. "Itu yang ngurus dia dari bayi! Arsen nggak mau pengasuhnya dipecat. Kasihan.
Makanya tetep disuruh kerja. Bukan karena dia bayi tua manja yang butuh pengasuh!"
"Emang emaknya ke mana sampai dia diurus orang dari bayi" Sibuk jadi wanita karier?"
"Nggak usah sinis gitu kali!" omel Lanna. "Mamanya meninggal abis ngelahirin dia."
Gefan terdiam. Dia jadi teringat ucapan Arsen saat melayat ke rumahnya. "Sori," ucapnya.
Lanna mendengus. "Bukan Cuma lo yang pernah kehilangan."
"Seenggaknya, bokap dia selalu siap setiap saat," kata Gefan.
"Dan, bokap lo?"
"Bakal mati bentar lagi."
Lanna melongo. Gefan mengabaikannya, lalu membenamkan kepala di meja. Lanna ingin
bersuara, tetapi tidak jadi karena merasa Gefan sudah mempertebal benteng pertahanan diri
dan tidak mau urusan pribadinya di ganggu.
*** Aura celingak-celinguk di depan toko CD, mencari-cari sosok Gefan. Seorang lelaki tampan,
salah seorang pegawai toko, menghampirinya dengan senyum ramah.
"Ada yang bisa dibantu" Cari kaset apa?"
Aura menatap pegawai itu sejenak, lalu kembali memandangi sekeliling. "Er "," matanya
menangkap pintu tertutup di dekat meja kasir dengan gantungan "Staff only."
Arga melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Aura, meminta perhatian gadis itu.
"Mbak?" "Hah" Ya?" Aura kembali menatap Arga. "Er " gue mau ".,"
Pintu ruangan yang tadi dilihat Aura terbuka. Gefan melangkah keluar sambil membawa sebuah
kardus besar. Dia berjalan ke meja kasir untuk memasukkan data-data CD yang baru masuk, sebelum mulai
menyusunnya. Aura tersenyum tipis, senang akhirnya lelaki itu sudah mau keluar dari
sarangnya. "Halo?" tegur Arga. Dia mengikuti arah pandangan Aura, lalu mengangguk paham.
Aura melewati Arga, menuju rak CD film Indonesia, rak yang paling dekat dengan meja kasir,
agar bisa lebih leluasa mengamati Gefan. Arga menyusulnya, lalu berdiri di samping gadis itu.
"Woy, Fan!" panggil Arga.
Gefan mengalihkan pandangannya dari layar computer. Dia sedikit kaget saat melihat sosok
Aura di samping Arga. Dia memandang Aura beberapa saat, lalu menoleh ke Arga. "Apa?"
"Mbak ini kayaknya nyari elo," lapor Arga seraya menunjuk Aura.
Aura memelototi Arga. Arga menyeringai jail. Dengan langkah tanpa dosa, dia meninggalkan
Aura untuk melayani pengunjung toko yang lain. Aura tidak berani menatap ke arah Gefan lagi,
karena itu dia pura-pura tertarik dengan kaset-kaset di depannya.
"Cari film apa?"
Aura menoleh. Gefan sudah berdiri di sampingnya sambil meletakkan kardus bersar di lantai.
Kemudian, lelaki itu mulai menyusun CD-CD di kardus ke rak di depan mereka.
"Hah" Ouh, nggak. Cuma mau " lihat-lihat."
"Lihat-lihat apa?" Tanya Gefan tanpa menatap Aura.
"Ya, lihat-lihat CD. Apa lagi?" ujar Aura, berusaha bersikap tak acuh.
"CD apa?" "Er ?" Aura menggaruk lehernya. "Ya " yang bagus. Mana?"
"Semuanya bagus." Jawab Gefan.
Wajah Aura memerah saat mendengar nada geli pada suara cowok itu. Sepertinya, Gefan tahu
Suling Emas 16 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 19