Pencarian

The Second Chance 2

Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania Bagian 2


sesuatu ke kamar kedua tuan muda mereka. Seperti saat ini.
"Shiiii... llaaaa." Deya mendekatkan mulutnya ke telinga Shilla yg sedang membantu merapikan
tumpukan majalah bekas di sebelahnya.
"Eh. Ya, Kak?" kata Shilla, betul2 terperenjat saking terlalu asyik berpura-pura tuli.
Deya hanya mengedikkan dagu ke arah Bi Okky yg berkacak pinggang, mengisyaratkan pada
Shilla bahwa sang kepala pelayan sudah memanggilnya sedari tadi.
Shilla mendesah dalam hati. Apa lagi sih, batinnya sambil dengan enggan berdiri dari hadapan
tumpukan majalah yg sedang ia kerjakan.
"Ya, Bi?" tanyanya sambil menghampiri Bi Okky yg masih melotot.
"Kuping kamu kenapa sih akhir2 ini?" omelnya, yg hanya dijawab dengan ringisan oleh Shilla.
"Tolong antarkan paket kiriman yg ada di meja depan ke kamar Den Arya. Tadi kurirnya bilang
itu berkas penting," perintah Bi Okky.
"Tapi..." kata Shilla, ingin mengelak.
"Tapi apa?" tanya Bi Okky. "Den Arya tadi juga tanya soal kirimannya sudah sampai atau
belum. Saya sudah bilang sebentar lagi ada yg akan mengantarkan ke atas."
Sebenarnya Shilla ingin mendesah kesal, tapi tahu sikap itu sesungguhnya tak pantas jika
menyangkut pekerjaan. Ia memilih menggunakan cara klasik untuk menghindar.
"Tapi... saya dari tadi sakit perut, Bi," kilah Shilla, sambil mulai berakting dengan memasang
tampang memelas, meminta dikasihani. "Udah nggak tahan! Saya ke toilet dulu, ya!" katanya
sebelum buru2 kabur, meninggalkan Bi Okky yg akhirnya hanya bisa menggeleng-geleng.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.
Peribahasa tersebut benar2 menggambarkan nasib Shilla yg pada akhirnya tidak dapat lagi
mengelak dari kewajibannya.
Bi Okky sudah bosan mendengar alasan2 Shilla, hingga hari itu ia terpaksa pergi ke lantai atas
untuk mengantar cucian bersih milik -tak tanggung2- Ryo dan Arya.
Sambil menghela napas dan menyembunyikan wajah di balik tumpukan baju yg menjulang dari
keranjang yg dibawanya, Shilla mengendap-endap setelah menginjakkan kaki di tangga terakhir
dan menggeser keranjang yg menutupi pandangannya sedikit untuk memeriksa keadaan.
Ia masih takut akan bertemu Arya atau Ryo, hingga bahkan ketika mendengar suara sekecil apa
pun, ia akan bersembunyi di balik pilar atau tembok terdekat, persis buronan yg sedang dikejar
polisi. Shilla berasumsi semakin jarang ia melihat kedua orang itu, maka hatinya akan berhenti
terombang-ambing dan perasaannya akan menghilang seketika.
Tap... Tap... Tap... Shilla mencengkeram tepi keranjang kuat2. Ia bersembunyi di balik tembok di dekat pantry,
berusaha keras tidak bersuara sedikit pun sambil berharap tak ada yg memergokinya.
Dan beruntunglah Shilla, karna Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Suara itu terdengar
menjauh, bukan menuju tempat persembunyiannya. Shilla menghela napas lega, kemudian
memberanikan diri. Namun ia langsung terenyak ketika matanya mendapati Ryo berjalan ke arah
tangga. Ada sesuatu di dalam hatinya yg belakangan ini terasa sedikit hampa. Namun ia tidak mengerti
dan memilih mengacuhkannya raja, karna ia tahu untuk saat ini, tampaknya penilaian hatinya
tidak bisa diandalkan. Shilla menghela napas berat lagi seraya melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Lebih
baik ia segera nenyelesaikan tugasnya sebelum Ryo kembali atau Arya pulang.
Sejak peristiwa itu, Shilla selalu berangkat pagi2 buta ke sekolah. Ia duduk di bangku Dara,
teman sekelasnya yg duduk di paling pojok belakang, jauh dari tempat duduk aslinya yg berada
di depan Ryo. Beberapa hari ini, Shilla cukup tenang menempati bangku itu karna Dara sedang
sakit demam berdarah dan harus diopname di rumah sakit selama beberapa hari. Tapi akhirnya
toh trombosit Dara dinyatakan kembali normal. Setelah menjalani pemulihan beberapa hari, Dara
kembali ke sekolah. Senang, riang, dan ceria.
Shilla melengos, menyadari ia harus kembali duduk di depan Ryo. Tadinya ia berharap bisa
membujuk Dara untuk bertukar tempat dengan alasan ia sudah kerasan di bangku itu. Sayangnya,
Dara langsung menolak mentah2. Soalnya kursi huniannya paling strategis untuk tidur,
mengobrol, dan menyontek tanpa ketahuan sih.
Dalam hati, gadis itu merutuki kenapa Dara tidak sakit lebih lama saja. Uh. Shilla menyeret
langkahnya. Perdebatan dengan Dara menghabiskan waktu cukup banyak, tinggal tiga menit lagi
sebelum bel masuk berbunyi. Kini kelas sudah hampir penuh. Dan tentunya, Ryo juga sudah
datang. Shilla pura2 tidak mengenal Ryo. Ia membanting ranselnya di meja lalu duduk di bangku dengan
malas. Sial, sial, sial. Shilla melipat kedua tangan di meja dan membenamkan wajah di sana.
Drrt... drrt... terdengar getaran dari dalam ranselnya.
Shilla merogoh kantong ransel lalu mengeluarkan ponsel.
Shil, Aku butuh ngomong sama kamu. Please... Ini no baruku. Ryo
Sender: +62874562xxx Shilla mendesah, meletakkan ponselnya lagi di meja, berpura-pura tidak pernah membaca pesan
itu. Berpura-pura tidak sadar Ryo sedang memperhatikannya.
Sejuta kali sial. Ia meringis. Ia merana karna harus terus merasa bersalah setiap kali berada di
dekat Ryo. Yg membuatnya merasa makin jahat, Ryo sama sekali tidak marah soal kejadian
waktu itu. Perlu diulang" Ryo. Sama. Sekali. Tidak. Marah. Entah ada apa dengan tempramen
anak itu yg biaranya meledak-ledak.
Pesan seperti tadi sudah ribuan kali diterima Shilla. Ketukan di pintu kamar diiringi pekik
nyaring dan ancaman dobrakan sudah ratusan kali diacuhkannya. Tidakkah Ryo sadar" Selama
Shilla belum bisa menata hatinya, Ryo akan terus tersakiti"
Derita lain bagi Ryo (bagi Shilla juga sebenarnya) adalah hadirnya sejumlah gadis cantik dari
kelas lain selama jam istirahat beberapa hari ini. Sejak Bianca mundur teratur (gadis itu sudah
sangat jarang berseliweran dan terdengar kiprahnya) dan keretakan hubungan Ryo-Shilla (kira2
beginilah judul headline gosip sekolah yg beredar), banyak sekali gadis yg terang-terangan
beraksi mengincar Ryo. Tak akan ada lagi yg menggencat mereka karna mendekati Ryo dan
melihat Shilla yg -menurut mereka- segalanya jauh di bawah standar, membuat gadis2 itu makin
percaya diri menggencarkan pendekatan.
Tetapi biasanya mereka berakhir dengan dua hal. 1) Ryo menggebrak meja dengan tempramen
meledak-ledaknya yg tiba2 kembali, membuat gadis2 itu terlonjak dan kabur ketakutan. 2) Atau
Ryo akan memandang para pengagumnya itu dengan tatapan dingin super mematikan, tapi
mereka kemudian malah menjerit-jerit kagum karna menurut mereka Ryo tampak keren. Ryo
bahkan pernah membanting ponselnya ke tempat sampah saking kesalnya dengan ratusan pesan
yg bertubi-tubi dikirimkan kepadanya tiap jam. Karna itu, Ryo mengganti ponsel dan nomornya.
Shilla pura2 tidak tahu Ryo sering melirik ke arahnya, mengharapkan sedikit kilat kecemburuan
di matanya karna aksi gadis2 itu. Tapi Shilla tidak menunjukkan ekspresi apa2. Ia malah
berharap ada salah satu gadis itu yg menarik minat Ryo dan membuat pemuda itu melupakannya.
Pelajaran terakhir. Pendidikan kewarganegaraan. Shilla menopang pipinya untuk menahan
kantuk saat Pak Duta menjelaskan berapi-api soal Pancasila sebagai ideo... ideo... ideo itulah
pokoknya. Sayangnya, Pak Duta berceloteh heboh soal materi pelajarannya ke papan tulis, bukan
ke arah murid2. Shilla sedang berusaha membuka matanya yg hampir tertutup saat seseorang menjawil bahunya
dari belakang. Karna nyawanya tinggal sepertiga, Shilla lupa yg duduk di belakangnya adalah
Ryo. Ia lalu memutar tubuhnya sembilan puluh derajat. Karna lebih susah untuk memutar kepalanya
saja dalam keadaan superngantuk begitu. Shilla menumpukan sebelah tangannya di kepala kursi,
baru sadar Ryo menatapnya. "Shil..."
Shilla mendengus, berniat membalikkan badannya lagi. Sayangnya sebelum niatan itu terpenuhi,
Ryo menahan dan menarik tangannya hingga Shilla harus tetap duduk miring kalau tidak mau
tubuhnya terkilir. Shilla memalingkan wajah, mengacuhkan Ryo yg berkata tertahan, "Shil, please... aku..."
"EHM," Pak Duta berdeham keras2, menyadari dua sosok manusia yg tidak memperhatikan
suara lantangnya berdemo sedari tadi.
O-ow. Shilla terdiam lalu baru sadar seisi kelas memandanginya dan Ryo yg sedang berpegangan
dengan berbagai ekspresi: kebanyakan geli (contohnya Devta), takut Pak Duta meledak
(contohnya Ifa), sebagian bahkan terlihat cemburu dan marah, sementara sisanya tak acuh.
Shilla bergegas menarik tangannya dengan kasar lalu menunduk.
Pak Duta mendelik. "Tolong kalau mau pacaran di luar saja, ya. Saya tidak perlu melihat
perwujudan klarifikasi kalian waktu itu," sindir Pak Duta kurang up-to-date. Tidak sadar
klarifikasi itu hampir basi.
Shilla tidak suka mendengar deham dan celetukan iseng teman-temannya. Ia menghela napas,
berusaha mengusir kehangatan tangan kokoh Ryo di pergelangannya. Sungguh, pemuda itu
sudah berusa terlalu keras untuknya yg tidak berharga ini.
Tak lama kemudian, bel pulang berdering. Shilla segera membereskan buku-bukunya setelah
tubuh jangkung Pak Duta menghilang di balik pintu.
Drrt... drrt... Shilla mendesah, melirik ponselnya, dan menekan tombolnya.
Maaf soal yg tadi. Maaf soal pergelanganmu.
Sender: +62874562xxx Shilla hanya mengabaikan pesan itu, kembali merapikan alat tulisnya. Ia mendongak saat tiba2
merasakan tepukan lembut di puncak kepalanya, melihat sosok Ryo melewatinya dan keluar
tanpa berpaling lagi. Shilla berusaha menahan air mata yg hampir merebak. Ryo betul2 menyayanginya. Dan ia
menyia-nyiakan kepercayaan Ryo.
Jakarta, 1980 Tak dinyana tahun2 yg berlalu perlahan membawa usaha ekspedisi kecil Luzardi berkembang
menjadi perusahaan ekspor-impor berskala multinasional yg kian berkembang pesat. Ia juga
mulai merambah ke dunia properti dan konstruksi yg ternyata melesat tak kalah pesat dari usaha
yg pertama dirintis. Bahkan keluarga Luzardi -yg punya lambang keluarga sendiri- kini dinilai
sebagai "bangsawan modern" oleh beberapa majalah bisnis yg menyoroti kesuksesan
cemerlangnya. Namun selama itu pula ia tak berhenti mencari. Juga tak berhenti merutuki diri sendiri akan
kebodohannya di masa lampau. Benar2 baru terpikir olehnya untuk mencari alamat orangtua
Davara dari sang bibi, beberapa bulan setelah kepergian pemuda itu.
Dan karna orangtua Davara ternyata tinggal di Sumatra, Luzardi menyia-nyiakan pula beberapa
bulan lagi dengan tidak mencari karna kesibukannya. Lalu saat Luzardi menyempatkan diri
melacak ke sana, ternyata keluarga Davara -yg hanya terdiri atas ayah dan ibunya- juga sudah
pindah ke Jawa. Dan lagi2 tak ada yg tahu tepatnya ke mana mereka.
Sesuai janji dan prinsipnya, kebaikan itu berbunga. Luzardi menganggap kebaikan Davara
dengan seperempat modal bantuannya itu sebagai saham yg juga terus bertambah nilainya sesuai
perkembangan perusahaan. Jadi, meski dianggap gila, di perusahaan ekspor-impornya ada
kepemilikan seperempat saham atas nama Davara meskipun wujud fisik pemegangnya tak
pernah kelihatan. Pagi itu, Luzardi menyuap oatmeal-nya lalu memandang dua orang lain yg duduk di meja
makan. Wanita yg dinikahinya, Ivona, dan putra tunggal mereka yg baru saja menginjak umur
delapan belas tahun, Stefanus Luzardi.
"Jadi..." Luzardi memulai ceramah rutinnya, "kamu harus temukan keturunan Davara kalau Papa
mati, Stefan." Stefanus yg mewarisi ketampanan Luzardi, langsung berhenti mengunyah roti. Ia mendengus
lalu menelan gumpalan yg masih tertahan.
"Sudahlah, Pa. Papa sudah mengulang ucapan itu jutaan kali. Lama-lama hidup kita seperti film
shaolin." "Ini penting, Stefan."
Ivona ikut menyambar, "Lebih penting lagi kamu mencari gadis yang pantas untukmu di masa
depan, Stef. Hal yang biasa bagi keluarga baik2 untuk mendapat pasangan dari keluarga baik2
juga. Memangnya kamu masih berhubungan dengan si rasta rasta itu?"
Stefanus mengernyit. "Rasti maksud Mama?"
Ivona mengangkat bahu. "Siapa lah itu namanya."
"Itu bulan lalu. Sekarang pacarku namanya Tita."
Ivona berdecak. "Kamu ini pacaran dengan gadis yg tidak jelas asal-usulnya. Bagaimana kalau
Mama kenalkan dengan anak2 teman Mama saja?"
Stefanus memandang ibunya sekilas dengan sangat tajam. Suka atau tidak, ia harus mengakui
mamanya bukan tipikal yg keibuan. Mamanya lebih suka bersolek, menghamburkan uang, dan
bergosip hingga pagi dengan teman-temannya daripada mengurus rumah -yg memang sudah
diurus sebatalion pelayan. Ia mengacuhkan ucapan Ivona lalu beralih pada ayahnya.
"Papa kurang sehat, ya?" tanyanya, sengaja mengganti kata gila dengan kurang sehat. "Ada
berapa miliar orang di dunia ini" Aku harus cari di mana?"
Luzardi memandang mata anak semata wayangnya yg berbinar. "Pokoknya, itu amanat Papa.
Kalau tidak ketemu juga... Sampaikan amanat Papa ke anakmu, cucumu, cicitmu," kata Luzardi
sambil menandaskan sarapannya.
Stefanus hanya mengangkat alis sekilas, lalu menyesap susu cokelatnya dan berdiri. "Aku
berangkat dulu Pa, Ma."
Sementara Ivona tak acuh, Luzardi melirik jam tangannya.
"Papa baru sadar. Kenapa siang begini kamu baru berangkat?"
"Hari ini cuma ada pembahasan materi untuk ulangan akhir caturwulan nanti. Tidak penting."
Luzardi mengerutkan kening. "Bukannya itu penting" Kenapa kamu seenaknya begitu?"
Stefanus mencibir jail. "Karna aku anak Pak Luzardi."
"Stefan," tegur Luzari jengkel.
Stefanus tertawa kecil, lalu keluar dari ruang makan. Ia hampir terlonjak saat seorang gadis tak
dikenal tiba2 melintas di depannya.
"Maaf," gadis berambut hitam panjang itu menunduk. Suara lembutnya membuat Stefanus
penasaran. "Maaf, Tuan," sebuah suara lain menggelegar lebih keras, menarik perhatian Stefan. Ternyata
Mbok Okka, kepala pelayan kediaman Luzardi.
Stefanus mengerutkan kening.
"Ini pelayan baru. Mungkin belum mengerti memberikan salam," kata Mbok Okka takzim sambil
berdiri di depan Stefanus lalu menyenggol gadis yg masih menunduk di sebelahnya, memberikan
isyarat untuk meminta maaf dan mengucapkan salam.
Lalu tiba2, Stefanus merasakan gelombang listrik aneh menyetrumnya saat gadis itu mengangkat
wajah. Mata penakluknya seakan dijinakkan mata bening gadis yg bahkan lebih cantik daripada
Tita-nya. Seakan sangkalala surga baru mengabarkan berita sukacita, Stefanus terdiam saat
Mbok Okka berkata pelan. "Namanya Ratya."
Bab 9 Siang ini matahari tampak malu2. Benda kuning yg biasanya superior itu kini terhalang
sekawanan gumpalan keabuan yg berenang malas di riak langit. Anak2 angin berlarian di
sepanjang cakrawala. Kadang mengibaskan ekornya dengan nakal, menerbangkan daun2 yg
sedari tadi bergelayut lemah di pucuk ranting, kini mulai melayang zig-zag menuju rerumputan,
namun akhirnya berhenti untuk meniti jemari seorang gadis yg duduk bersila di bawah pohon.
Shilla yg tengah bertopang dagu lalu memainkan daun di tangannya dengan bosan. Ini daun
kelima yg gugur sejak ia duduk di bawah pohon rimbun di taman belakang Season High. Daun
yg berarti "Arya", Shilla merasa otaknya sudah tidak waras. Alih2 mencoba mendengarkan lubuk
nurani, ia malah memutuskan duduk di sini seperti pertapa sambil menentukan pilihan hatinya antara Ryo dan Arya- dengan cara menghitung daun yg jatuh.
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Shilla mendesah lalu menyentil daun di tangannya,
pandangannya kini menerawang. Mengingat monolog kurang menyenangkan yg terjadi beberapa
hari lalu di dapur kediaman keluarga Luzardi.
Pernah suatu kali, Shilla tak sengaja memecahkan jambangan bunga Bunda. Hari itu, waktu
Shilla kelas tiga SD, kelasnya baru belajar bermain kasti. Daud yg baru saja mendengar kata
"kasti" hari itu sudah bersikap layaknya pitcher liga internasional, langsung menginvasi rumah
kontrakan Shilla yg memiliki ruang tamu cukup lapang untuk diubah menjadi area permainan.
Entah bagaimana, bola lemparan Daud mengenai jambangan tua di sudut meja, yg langsung
berderak pecah dan berubah menjadi potongan2 keramik kusam tak berbentuk. Daud beserta
konco-konconya langsung melongo lalu tiba2 memutuskan bahwa hari sudah kelewat sore,
padahal mereka masih harus melakukan kunjungan "diplomatik" ke rumah Rizky, meninggalkan
Shilla yg harus menyembunyikan jambangan itu di bawah tempat tidurnya.
Akhirnya, Shilla memutuskan mengubah dekorasi ruang tamu, meletakkan botol air kosong
menggantikan jambangan. Berharap Bunda tidak sadar dan menganggap botol air itu memang
lebih cocok menjadi penghias ruangan. Tentu saja Bunda, yg baru pulang dari rumah Bu RT
sehabis meminjam oven, menyadari perubahan kecil namun cukup signifikan di ruang tamu.
Bunda menghampiri Shilla yg sempat menghindar dan bersembunyi di kamar, lalu mengajaknya
bicara pelan2. Belum apa2, bahkan belum mendakwa, Shilla sudah memanjat ke pangkuannya
lalu menangis tersedu di sana. Menyesal. Setelah Bunda mengusap rambut dan belakang
telinganya, Shilla bisa mendengar Bunda berkata lembut bahwa ia kecewa bukan karna Shilla
memecahkan jambangannya, melainkan karna ia menyembunyikan pecahannya di bawah kasur
dan tidak berkata jujur. Tragedi pun diakhiri dengan permohonan maaf Shilla dan janji bahwa ia
takkan mengulangi perbuatannya.
Dan beberapa hari yg lalu, hal itu terulang lagi. Tetapi, kali ini Shilla tak menepati janjinya untuk
tidak menyembunyikan kejujuran. Ryo sedang mencoba menarik kepingan kebenaran itu dari
Shilla. Tapi gadis itu menahannya, membiarkan pecahan itu dalam dekapannya. Tak
mengacuhkan luka yg bisa ditimbulkan dari sana. Karna Shilla tak mau siapa pun mengorek
kesalahannya, walau kenyataannya semua orang melihat bukti di tangannya.
Shilla sedang berada di dapur, memotong-motong beberapa gelondong tahu di talenan kayu saat
suara bariton yg khas itu terdengar.
"Boleh minta tolong kosongkan dapur?" Nada memohon dengan aksen memerintah yg biasa.
Shilla mendesah tak kentara. Suara itu toh masih bereaksi pada aliran darahnya yg kini
berkejaran. Ia meninggalkan tahu di meja, melepas celemeknya dan bergegas menyusul para
pelayan yg berbisik-bisik pelan sambil keluar dapur.
Shilla baru akan melangkah melewati pintu, namun tangan Ryo mencekalnya, memaksanya
menatap mata yg berkilat tajam. Pemuda itu mendesis tegas, "Kecuali kamu."
Shilla mengalihkan pandangan ke lantai, lalu perlahan melepas lengannya dari cengkeraman
Ryo, menyusupkan serpihan beling penolakan ke hati pemuda itu. Tanpa memandang mata yg
selalu melelehkannya itu, Shilla melewati Ryo, kembali menghadapi tahu yg tadi tengah
dipotongnya, mengingat dia "diperintah"-kan untuk tidak keluar dari dapur.
"Kita... harus bicara..." Shilla bisa menangkap suara Ryo yg terdengar agak putus asa dari
belakangnya, masih berdiri di tempat yg sama.
Yg menyahuti Ryo hanya bunyi "tak, tak, tak" pelan yg timbul saat pisau beradu dengan
permukaan talenan. Ryo menatap punggung Shilla dengan lelah.


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bisa nggak sih kamu berhenti pura2 aku nggak kelihatan?"
Tak, tak, tak. "Shil," Ryo tak bisa menutupi suaranya yg mulai bergetar karna frustasi. "It hurts me."
Seketika gadis itu menghentikan pisaunya di udara, tidak melanjutkan acara pemotongan
tahunya. Ryo sedikit berharap saat dilihatnya Shilla menghela napas. Namun akhirnya gadis itu
kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Oh, terserahlah," kata Ryo akhirnya, lalu bersedekap.
"Aku nggak akan minta kamu bicara. Aku cuma mau kamu dengerin. Yg mau kukatakan ini
nggak banyak." Shilla bisa mendengar bunyi samar langkah Ryo yg mulai mendekatinya dari belakang, dan
seakan bisa mengetahui Ryo sedang menatapnya tajam.
"Aku... cuma ingin kamu tau... I've never had this feeling for any girl. Actually, for everything. I
always get what I want just by snapping my finger. Tapi ternyata... perasaan ini berharga sekali.
Perasaan berjuang untuk mendapatkan dan mempertahankan sesuatu. Mempertahankan kamu."
Ryo berhenti bicara, berusaha memberi Shilla waktu memikirkan ucapannya, membangun
atmosfer yg menyatakan bahwa ia tidak main2. "Kamu tau kenapa aku nggak marah waktu itu?"
Ryo melanjutkan, seakan bertanya sendiri. Sementara Shilla pura2 tak acuh meski ingin tahu
kenapa Ryo mendadak jadi orang yg pengertian. "Sejak awal kamu memang punya perasaan buat
dia, kan" Bahkan sebelum aku punya perasaan ini buat kamu. Aku... nggak mau hubungan kita
jadi begini karna kamu bingung sama hatimu sendiri. Ini satu-satunya hubungan yg pernah aku
jalani dengan sepenuh hati selama tujuh belas tahun aku hidup...
"Aku mau kasih kamu waktu... untuk berpikir dan menentukan jawaban itu. Minggu depan, di
rumah pohon taman belakang, aku akan nunggu kamu, apa pun pilihan kamu."
Ryo menghampiri Shilla lagi, berhenti hanya beberapa senti di belakang punggung gadis itu.
Kedua tangannya terulur sejauh jarak yg ada, lalu membelai pelan lengan Shilla, yg berusaha
memberontak pelan. Ia lalu berkata lembut, "Kamu nggak bisa berakting aku 'nggak ada' padahal
kamu bisa merasakan ini... yg membuktikan bahwa aku sebenarnya 'ada', Shilla."
Shilla mendesah dan berhenti bergerak. Berusaha mengebalkan kulitnya yg mulai menghangat.
Ryo masih menggenggam kedua telapak tangan Shilla yg sekaku papan saat berkata, "Just so you
know... I will never let you... or this relationship go. I'll do whatever it takes."
Kemudian Shilla bisa merasakan kening Ryo menempel di puncak kepalanya, saat pemuda itu
membaui harum rambutnya dengan napas perlahan. "Whatever your answer is."
Shilla memeluk lututnya, lalu mendesah saat selembar daun jati jatuh lagi di hadapannya,
tergeletak pasrah di antara ujung depan sepatunya dan ujung sepatu Doc Martens hitam yg baru
berhenti berderap pada saat yg sama.
Shilla mendongak dan melotot ketika mendapati siapa yg berdiri di hadapannya. Wajah cantik
nan angkuh itu. "Ehm," Bianca berdeham salah tingkah, memandangi pucuk pohon karna ia menolak untuk
menatap Shilla. "Gue mau ngomong."
Shilla mengernyitkan dahi. Sejak kapan nona muda satu ini merasa perlu minta izin untuk bicara
dengannya" "Serius," kata gadis pongah itu lagi, masih tidak menatap Shilla.
"Kamu mau ngomong sama aku" Atau sama debu yg beterbangan?" ucap Shilla, mengulangi
sindiran antek2 Bianca dulu.
Bianca menghela napas, akhirnya memandang Shilla.
Shilla kembali bersila, saat dilihatnya Bianca membungkuk penuh antipati memperhatikan
rumput di sekitarnya. Kenapa sih cewek ini" Mau nyari cacing" batin Shilla.
"Elo kenapa mesti duduk di sini sih?" Bianca menunjuk rumput dengan jijik. "Nggak ada tempat
yg lebih... higienis, gitu?"
Shilla mendengus kesal. "Kamu mau ngomong apa sih sebenernya" Cuma mau ngomentarin
tempat 'pertapaan'-ku" Nggak penting deh. Pindah ke istanamu aja sana."
"Well," Bianca merogoh tas, mengeluarkan bungkusan kecil yg ternyata kantong plastik besar yg
sudah dilipat berkali-kali. Bianca membentangkan plastik itu di dekat Shilla, lalu seakan penting,
ia menjelaskan. "Always have this in my survival kit. Yah, kalo ada kejadian nggak terduga yg
nggak higienis kayak gini nih."
Shilla memandang Bianca dengan heran saat gadis itu menepuk-nepuk rok, lalu bersimpuh di
sebelahnya, seakan sedang mengikuti jamuan minum teh Jepang, bukannya duduk di bawah
pohon jati di taman belakang sekolah.
Bianca meletakkan ransel mahalnya di sisi lain "karpet Persia" itu lalu menoleh ke arah Shilla
dengan sikap formal. "Yg mau gue omongin ini superpenting."
Shilla mengangkat alis. Bosan mendengar ucapan Bianca yg berputar-putar.
Bianca menatap ke depan. "Soal Ryo," ujarnya, lalu menoleh ke arah Shilla lagi.
"Maksudnya?" Bianca memutar bola matanya. "Oh, pleeaaase. Semua orang tau soal berita lo putus sama Ryo.
Itu bener?" Shilla menjawab sarkatis, "Kalo bener, bukannya kamu yg seneng?"
Bianca tersenyum ganjil. "Whatever, ini bukan masalah gue." Bianca memandang Shilla lekat2.
"Gue cuma mau bilang, jangan sampe lo ngecewain Ryo."
Sumpah, Shilla makin tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ia mengangkat bahu. "Berarti kamu
terlambat ngasih tau aku."
Giliran Bianca yg tersentak. "Maksud lo?"
Shilla mendadak iseng ingin meniru Bianca. "Aku selingkuh," katanya dramatis hingga Bianca
tercekat. Shilla tertawa. "Secara umum, maksudnya." Tiba2 ia bungkam, mengingat pilihan sulit
yg ia hadapi. "Cerita sama gue kalo gitu."
Dan walau Bianca tetaplah Bianca -yg dangkal, wajahnya judes setengah mati, dan nada
bicaranya sok kuasa- Shilla tak segan bicara padanya. Malah mereka kini duduk berdampingan
seperti kawan lama yg saling bercerita soal kabar dan kisah cinta. Ini aneh.
Bianca memain-mainkan rambutnya. "Gue nggak gitu ngerti sih."
Shilla lupa Bianca memang agak lambat berpikir jika itu bukan soal rencana liciknya sendiri.
"Maksudnya, Ryo nggak cemburu gitu liat lo sama Kak Arya" Aneh. Trus, lo merasa bersalah
sampe jauhin dia" Trus sekarang lo disuruh milih antara mereka" Yah, pilih aja yg paling sreg..."
Shilla menghela napas. "Kamu kira ini kayak milih 'Aduh aku pake gaun apa ya hari ini" Gucci
atau Prada"'. Nggak segampang itu, Bi. Hati itu nggak pernah pasti. Terlalu banyak ruang di
dalamnya untuk bisa menghitung siapa yg paling dominan di sana."
Bianca terdiam. "Nggak tau juga deh. Kalo lo aja nggak bisa jawab, gimana orang lain?"
tanyanya retoris. Shilla meresapi kata2 Bianca, lalu baru menyadari keadaan ini harusnya dimasukkan ke rekor
MURI. Pertama kalinya mereka bicara tanpa ada konfrontasi.
Bianca mengedikkan bahu. "Meskipun gue pengen banget ikut campur, gue tau gue nggak
berhak." Shilla tertawa dalam hati. Tumben nyadar, batinnya.
"Tapi, gue kenal Ryo dari kecil. Gue tau gimana dia nggak pernah dapet dan nggak pernah
percaya perhatian dan cinta karna Om sama Tante Luzardi sibuk banget. Yah, gue juga sih.
Nggak pentinglah itu. Intinya, Ryo itu kekeringan cinta. Dia jarang memberi dan menerima
barang langka itu." Bianca mulai menyandang ranselnya, bersiap berdiri. "Sadar atau nggak
sadar, saat lo berdiri di depan dia, dia ngasih cinta itu ke elo. Semuanya. Sampai dasar hatinya
pun dia keruk untuk lo. Mungkin sekarang dia lagi nunggu lo menukar isinya dengan milik lo.
Pesen gue, jangan kecewain Ryo saat dia udah kenal apa itu cinta. Perasaan Ryo nggak
sedangkal itu." Bianca bangkit lalu berdiri di hadapan Shilla yg mendongak menatapnya. "Kadang gue bisa liat
dia neken egonya buat lo. Kayak waktu dia ngejebak gue itu." Bianca tersenyum remeh,
menanggapi Shilla yg diam2 menatapnya penuh rasa bersalah. "Seumur-umur, gue nggak pernah
liat dia melakukan sesuatu buat orang lain. Dan ternyata... orang itu adalah elo. Gue nggak bisa
bohong kalau gue... iri. Tapi ya, lo bener, dia udah milih elo." Bianca tersenyum miris.
Seandainya Ryo tahu, obsesi terbesar gue cuma mau gantiin Mai buat dia. Obsesi yg berusaha
gue capai setengah mati, walau akhirnya begini. Tapi ternyata toh penggantinya bukan gue, tapi
elo Shil. Elo, batinnya. Bianca menarik diri dari alam pikirannya, mengedikkan bahunya untuk terakhir kali lalu mulai
berjalan menjauh, membelakangi Shilla yg kini berteriak tertahan, "Kamu... masih punya
perasaan buat Ryo?" Bianca tetap berjalan sambil mengangkat dagu dan tersenyum. "Nope. I'm seeing someone else."
"Siapa?" Shilla tak tahan untuk tak bertanya.
"Patra," ujar Bianca agak sayup, membuat Shilla terkaget-kaget. Lalu Shilla menatap plastik di
sebelahnya, entah kenapa tergelitik untuk berteriak lagi. "Hei! Plastikmu ketinggalan!"
Kali ini Bianca menoleh, memasang wajah angkuhnya yg tampak jengkel. "Buat lo aja. Gue
nggak mau, udah kotor. Plastik gituan gue beli sama perusahaannya juga bisa." Bianca berbalik
lalu berjalan lagi. Shilla tertawa pelan. Entah kenapa lega mendapati identitas asli Bianca yg sombong tidak hilang
sehabis curhat colongan itu. Seiring punggung Bianca yg menjauh, keheningan mulai bersahutan
dengan tiupan angin yg semakin kuat. Shilla menengadah saat dilihatnya puluhan daun jati ikut
terbang bersama embusan itu. Tidak bisa ia hitung, tidak bisa lagi ia gunakan untuk menentukan
pilihan. Hatinya sedang diuji dan ia harus menemukan jawabannya sendiri.
Bab 10 Ayah, Aku sudah di Jakarta. Beliau yg Ayah sebut namanya baik2 saja. Beliau betul2 baik. Sebenarnya
ada hubungan apa Ayah dengan beliau" Hmm... lalu sampai kapan aku harus di sini, Ya"
Beberapa hari kemudian. Ratya mengikuti langkah panjang pemuda yg berjalan cepat di depannya dengan ketukan sepatu
yg bergema di dinding2 koridor putih yg seakan menakuti.
"Tuan," panggilnya tertahan.
Stefanus berhenti sebentar, lalu berbalik. "Kenapa... Ratya?" tanya Stefanus, diam2 menikmati
getaran halus yg mengaliri pembulu darahnya tiap melantunkan nama gadis itu.
"Saya... buat apa saya ke sini?" tanya gadis berambut lurus itu, memandangi seragam baru yg
dipakainya dengan sedikit jengah.
Stefanus mengeluarkan senyum memikatnya. "Kamu sekolah di sini, jadi adik kelasku."
"Tapi..." sanggah gadis itu.
"Sudahlah. Sejak dulu kakekku memang menyekolahkan pekerja yg masih di bawah umur," jelas
Stefanus singkat. Ratya mengembuskan napas sekilas. "Baiklah."
"Ayo, kuantar ke kelasmu..." Stefanus, entah sengaja atau tidak, menarik tangan gadis berparas
ayu itu agar bergegas. Membuat debar yg sama mengaliri bilik hati Ratya.
Lalu dari sana terbentuklah bibit kisah cinta klise yg sudah ada sejak awal dunia. Terlarang.
Karna di sisi Ratya, tugasnya seharusnya tak termasuk urusan hati. Stefanus baru sadar ketika
tiba di depan pintu kelas yg ditujunya. Ia melepas tangan Ratya yg sedang menunduk malu. Ada
sesuatu yg membuat dada Stefanus bergemuruh hebat setiap memandang gadis itu.
Ratya sosok misterius. Terlepas dari kelengkapan nama dan asal-usul yg tak pernah mau
disinggungnya, gadis itu bersikap jual mahal dengan keeleganan tersendiri. Ratya memberikan
tantangan untuk Cassanova seperti Stefanus. Gadis itu sama sekali tidak "mudah". Bahkan
Stefanus rela menerima makian menyakitkan telinga dari Tita saat gadis pesolek itu
diputuskannya secara tiba2 hanya karna Ratya.
Seorang gadis berambut sebahu tiba2 keluar dari pintu kelas, menepuk dadanya sendiri karna
terkejut akan kehadiran Ratya dan Stefanur. "Permisi," katanya, mengacuhkan gumpalan kertas
takut2 pada Stefanus, seakan meminta izin untuk membuang sampah pada pemuda yg
sebenarnya tidak punya kewenangan apa2.
Stefanus menyingkir untuk memberi jalan, lalu tiba2 mendapat ide. Setelah gadis itu membuang
sampahnya, Stefanus menepuk pundaknya pelan. "Bisa minta tolong?"
Gadis itu sempat terperanjat, lalu akhirnya mengangguk ragu. Tahu benar siapa kakak kelas di
depannya dan seperti apa reputasinya.
Stefanus mendorong bahu Ratya pelan, lalu memandang gadis lain itu sekilas. "Tolong temani
dia. Dia baru masuk."
Gadis itu melongok sejenak, bergantian memandang Stefanus dan Ratya, lalu mengangguk lagi.
"Lagi ada guru?" tanya Stefanus lagi.
Gadis itu menggeleng. Stefanus mengangguk-angguk, lalu tersenyum. "Sip. Tolong bantu dia, ya," kata pemuda itu, lalu
memandang Ratya. "Sana masuk. Aku ke kelas dulu," katanya, tersenyum pada Ratya dan gadis
lain itu sekali lagi, lalu melipir pergi.
Beberapa saat setelah itu, Ratya dan gadis itu masih terpana oleh sisa2 karisma Stefanus, hingga
akhirnya gadis itu memecah keheningan.
"Halo, nama kamu siapa?" tanya gadis berwajah lembut itu sambil tersenyum ramah.
"Ratya," jawab Ratya sambil mengulurkan tangan.
Gadis itu menjabat tangan Ratya. "Aku Romi. Romilda."
Lalu setelah pertemuan singkat yg tak disengaja itu, terjalinlah persahabatan erat antara Romi
dan Ratya. Yg tak bisa dikalahkan sejarah, bahkan oleh Hayam Wuruk dan Gajah Mada.
Ayah, kenapa tak membalas juga" Bolehkah aku pulang sekarang" Ada sesuatu yg tak kumengerti
mulai mengikat hatiku di sini. Aku tak mau sesuatu ini berubah menjadi terlalu besar, Yah. Aku
takut. Ratya tahu ada yg mulai bersemi di hatinya. Tapi karna ia tidak mengerti apa yg ia rasakan, ia
mencoba bersikap bias saja. Sementara Stefanus masih berusaha menuntaskan tantangannya
sendiri. Mencoba mengalahkan "keangkuhan" hati gadis itu dengan merendenginya ke mana2.
Meski sadar gadis itu cuma pelayan, ia tak kuasa memungkiri perasaannya terhadap Ratya.
Stefanus mengacuhkan ejekan teman-temannya yg berkata ia mungkin sudah kehilangan selera
dan karisma. Masakah Cassanova sekelas Stefanus tak bisa mendapat gadis "sebiasa" Ratya"
Tapi menurut Stefanus tidak juga. Ratya tidak biasa. Gadis itu tidak seartifisial gadis2 lain yg
pernah dikencaninya. Bahkan bagi Stefanus, Ratya kelewat berharga. Menawarkan segenggam
berlian mentah yg belum terasah padanya.
Dan akhirnya, di tengah gumpalan langit mendung siang itu, hati Ratya terbuka. Saat gemuruh
keras mulai menorehkan guratan di cakrawala, Ratya tahu ada sesuatu yg tak beres dengan
napasnya. Ini tak ada hubungannya dengan asmara atau perasaan yg berusaha ditutupinya. Ini
gangguan pernapasan dalm arti denotatif.
Lalu seakan nasib tak membantu. Stefanus merutuk saat mobilnya mendadak tersendat. Pemuda
itu melirik jarum penunjuk isi tangki bensin yg berada di garis E -empty- alias kosong. Sial,
umpatnya. Belum selesai merutuk, Stefanus mengeluh lagi saat tiba2 angin berembus kencang
lantas petir menggelegar lebih keras dan memerintahkan titik2 air terjun ke bumi.
"Tu... an..." Ratya berusaha berbicara dengan saluran napas yg terimpit. Asmanya ternyata betul2
kambuh. Gadis itu memegangi dadanya yg kian sesak, benar2 tersiksa.
"Ratya..." Stefanus terkesiap saat melihat Ratya bernapas kepayahan. Keringat sebesar bulir
jagung menuruni wajah cantik gadis itu, membuat Stefanus makin panik. Ia tak pernah melihat
orang terserang asma secara langsung. "Ratya..." gumamnya lagi, benar2 tidak tahu harus
berbuat apa. Ia menarik napas sejenak, berusaha mengingat bagaimana pertolongan pertama pada
penderita asma yg pernah diajarkan pada saat Pramuka dulu.
"Kamu... kamu bawa inhaler?" tanya Stefanus, yg dijawab Ratya dengan kernyitan sesaat lalu
gelengan dan napas terengah. Stefanus akhirnya tak mampu lagi berpikir, hanya inhaler yg bisa
diingat otaknya selain napas buatan. Dan yg kedua tentu tidak dapat ia lakukan. Ia melepas sabuk
pengaman lalu menatap Ratya cemas. "Aku cari inhaler dulu," ujarnya panik lalu membuka pintu
dan bergegas berlari menembus hujan. Bahkan tak terpikir oleh Stefanus untuk membawa
payung atau apa pun untuk berlindung dari hujan.
Ratya hampir menangis. Bodoh sekali dirinya meninggalkan rutinitas meminum ramuan jahe
merah dan madu yg selalu ditekuninya di desa. Bukan karna apa2, melainkan karna madu di
Jakarta mahal sekali harganya, padahal di desa ia bisa membeli dengan harga murah, bahkan
gratis. Asmanya memang selalu kambuh jika udara terlalu dingin. Angin kencang serta hujan yg
tak kunjung reda membuat napasnya semakin habis. Ratya tak ingin mati sekarang.
Dalam hitungan menit, Stefanus kembali memasuki mobil. Mengulurkan inhaler, yg baru
dibelinya dari apotek yg -untung saja- ditemukannya di dekat sana, kepada Ratya. Saking
bingungnya, bahkan pemuda itu lupa menutup pintu mobil.
Ratya hanya memandang dengan bingung ketika Stefanus mengulurkan inhaler tersebut. Melihat
kebingungan di wajah Ratya, akhirnya Stefanus mengerti dan membuka inhaler itu. Membiarkan
kelegaan membuka jalan di sepanjang saluran pernapasannya.
Ratya masih bernapas dengan susah payah saat tiba2 Stefanus meraih dan menyampirkan blazer
ke tubuhnya. Kali ini Ratya tercekat karna alasan lain. Blazer tersebut menguarkan wangi samar
hujan dan harum pemuda itu.
"Nggak apa2, ya" Hanya basah luarnya kok. Masih hangat, kan?" tanya Stefanus cepat,
menyandarkan Ratya pada jok lagi.
Ratya mengangguk, karna kehangatan bukan hanya menjalar dari blazer itu, namun juga dari
mata tulus pemiliknya. Ah, Stefanus. Bahkan titik2 air masih menempel pada pucuk rambut dan
wajah tampannya. Stefanus menoleh ke pintu sekilas, sadar benda itu masih terbuka, lalu menutupnya. Ia menoleh
kembali ke arah Ratya yg tengah memandanginya.
Entah karna apa, Ratya tergerak untuk mengulurkan tangan, menyeka pipi Stefanus yg basah dan
sedingin mayat karna dibekukan hujan. "Terima kasih," katanya pelan.
Pemuda itu terdiam, lalu mendekap tangan Ratya yg masih bertahan di pipinya. Ia baru
menyadari sesuatu. Ini bukan lagi masalah egonya dalam menghadapi tantangan. Sepertinya, ia
bukan lagi Cassanova. Karna kini justru dirinya yg ditaklukkan Ratya.
"Tenang saja. Itu bukan apa2. Karna..." Tatapan Stefanus seolah menghujam mata Ratya. "Aku
menyayangimu." Wanita itu membuka mata lalu mengerjap dan meregangkan kedua tangan. Ia berguling lalu
secara otomatis melirik ke samping, ke arah suaminya, yg ternyata tidak ada. Ia mengerutkan
kening sambil menguap. Tak lama, ia bangkit saat mendengar suara pelan.
"Bi Okky?" sapanya saat melihat wanita tua tengah membawa nampan berisi semangkuk
cornflakes, sekotak susu, dan gelas tinggi kosong memasuki kamar.
"Nyonya," Bi Okky membungkuk takzim dan tersenyum.
Sang nyonya memijit-mijit pelipis. Baru ingat semalam ia tiba di Jakarta. "Sekarang jam berapa,
Bi" Tuan ke mana?"
"Jam sepuluh, Nyonya. Tuan tadi jam setengah sembilan berangkat ke kantor."
Wanita itu mengangguk, tak heran kenapa hari Minggu begini suaminya tetap ke kantor. Lagi2
alasan itu. Suaminya akan melakukan apa saja agar jauh dari rumah ini. Rumah yg membuatnya
enggan karna kenangan yg tak juga mau hilang. "Anak2 ke mana, Bi?"
"Den Ryo tadi juga pergi pagi2. Saya kurang tahu ke mana. Den Arya masih di rumah.
Sepertinya Tuan berpesan agar Den Arya tidak usah ke mana2."


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh," wanita itu mengangguk. Baguslah, batinnya, berarti ia bisa memberitahu anak sulungnya
itu tanpa harus sembunyi2.
Wanita itu turun dari tempat tidur lalu menghampiri Bi Okky yg tengah mengatur bawaannya di
meja kecil di depan kaki ranjang, dan duduk di sofa kecil di hadapan meja tersebut. Ia meraih
kotak susu dan menuang isinya ke dalam gelas tinggi, lalu sebelum minum ia bertanya pada Bi
Okky, "Bagaimana anak2 selama saya di Paris, Bi" Terutama Ryo?"
Bi Okky tersenyum. "Baik2 saja, Nyonya," katanya. "Den Ryo bahkan sudah punya pacar."
"Ah. Benarkah?" Wanita itu menaruh gelas dan terbelakak memandang Bi Okky. "Siapa?"
Bi Okky terkesiap, seakan baru sadar salah bicara. Melihat sang nyonya begitu penasaran,
akhirnya ia menjawab, "Kecewakah Nyonya kalau saya bilang... gadis itu hanya pelayan?"
Sang nyonya mengangkat alis sekilas, meneguk susunya lagi, mengangkat bahu lalu tersenyum
samar ke arah Bi Okky. "Untuk satu dan lain alasan... tidak juga." Mengacuhkan Bi Okky yg
tampak takjub mendengar jawaban tulusnya, ia melanjutkan lagi, "Bi, tolong siapkan makan
siang. Saya ingin semur tahu buatan Bibi," katanya sambil tersenyum.
"Ah. Iya, Nyonya. Saya permisi," kata Bi Okky lalu membungkuk pelan dan melangkah keluar
dari kamar utama. Ratya mulai terbang ke negeri mimpi. Awan putih membawanya naik begitu tinggi ke kastel
imajiner yg tak pernah ia kunjungi. Romi yg baik setengah mati, berjanji menjaga rahasia Ratya
rapat2. Soal pekerjaan, nama lengkap (yg tak ia beritahu pada siapa2 lagi kecuali Romi), juga
soal hubungannya dengan Stefanus Luzardi. Walau ia terpaksa tetap menyembunyikan asalusulnya.
Sementara tentang Stefanus... Ah. Dari mana memulainya" Pemuda itu seakan membuatnya
merasa menjadi putri setiap hari. Mengubur ketakutannya dulu dengan perasaan senang yg
membuncah begitu hebat. Bahkan suatu hari Stefanus pernah mengajaknya duduk di bawah
pohon jati di taman belakang sekolah, menunjukkan sesuatu padanya. Cincin dengan mata
mahkota mungil. "Ini cincin pertunangan turun-temurun keluarga Papa. Semua laki-laki di garis keluarga inti Papa
memakaikan cincin ini kepada gadis yg akan ditunangkan dengannya. Begitu juga Mama.
Barulah setelah ada cincin pernikahan, cincin ini akan dilepas dan diturunkan untuk generasi
selanjutnya." Ratya ingat Stefanus memandanginya setelah itu. "Cincin ini juga nanti akan
kupakaikan ke jari manismu," janji pemuda itu.
Tapi ternyata mimpi toh hanya mimpi, yg harus buyar ketika kesadaran membangunkan. Malam
itu saat berada di kamar Stefanus untuk minta diajari materi fisika yg tak ia kuasai, Ratya baru
mengerti bahwa bunga tidurnya hampir menuju akhir.
"Ini bagaimana caranya?" tanya Ratya pelan.
"Ya ampun, Ratyaaaa. Aku sudah menjelaskan materi ini berulang kali..." jawab Stefanus gemas.
Ratya menggembungkan pipi. "Tapi aku tetap nggak ngerti."
"Ck," Stefanus berdecak pelan, lalu timbul ide jail di kepalanya. "Tutup mata."
Ratya mengernyit. "Untuk apa?"
"Tutup mata," kata Stefanus memaksa. "Aku mau membisikimu mantra supaya cepat pintar."
"Serius?" tanya Ratya tak yakin.
Stefanus mengangkat alis, mengiyakan. Ia tersenyum semringah saat gadisnya benar2 menutup
mata. Pemuda itu baru saja mendekatkan wajahnya ke pipi Ratya saat tiba2 pintu terbuka.
"STEFANUS LUZARDI!" Suara Ivona melengking tajam menyakitkan telinga. Matanya berapiapi melihat Stefanus dan gadis pelayan itu. Ternyata kecurigaannya selama ini benar, "KAMU
SUDAH GILA" KAMU LUPA DIA ITU APA?"
Ratya mengkeret saat melihat Ivona menatapnya tajam. Seakan tak bisa membaca suasana,
Stefanus malah menggenggam tangan Ratya, lalu berdiri menantang ibunya.
"Dia manusia, Mama. Dan aku menyayanginya."
Ivona menggeleng geram lalu berkata tajam. "Tahu apa kamu soal kasih sayang" PUTUSKAN
DIA! BESOK KAMU AKAN MAMA PERTEMUKAN DENGAN ANAK TEMAN MAMA!"
Ivona kembali menatap Ratya. "Pelayan tidak tahu diri."
"Mama!" Stefanus menghardik ibunya, membuat Ratya mencengkeram tangan pemuda itu
sambil berbisik pelan, "Jangan..."
Tak lama pintu terbuka, dan tampaklah sosok Luzardi yg kebingungan. "Ada apa ini" Ivona"
Stefan?" Luzardi benar2 tengah membutuhkan ketenangan. Perusahaan properti yg baru dirintisnya untuk
melebarkan nama Luzardi Group itu tengah menghadapi masalah. Ada defisit besar yg
membuatnya menghadapi dua pilihan: membiarkan perusahaan itu mati perlahan atau
membiarkan investor asing membeli setengah saham dengan catatan perusahaan harus
"dipindahkan" ke negara asal sang investor, Paris.
Stefanus merasa angin surga menyapanya. Papa orang yg bijaksana, tak pernah memandang
siapa pun dari status sosial. Lain dengan Mama. Sesaat Stefanus bingung, tak mengerti kenapa
ayahnya bisa menikahi orang seperti ibunya.
Lalu Stefanus dan Ivona berbicara berbarengan.
"Pa, aku dan Ratya boleh bersama, kan?"
"Aku mau menjodohkan Stefanus dengan anak temanku. Seperti yg akan dilakukan semua
keluarga baik2." Karna Luzardi sedang dilanda kepenatan, lagi pula suara Ivona mendominasi perdebatan, ia
angkat bicara. "Apa pun itu, turuti kata Mama-mu, Stefan."
Stefanus terperanjat tak percaya.
Bab 11 Shilla menelan ludah saat berdiri di pojok ruang makan istana Luzardi petang itu. Ada
ketegangan yg sarat mencekik udara di sekitarnya. Begitu kental hingga Shilla merasa bisa
menggenggam dan menyimpannya dalam kantong seragam pelayannya.
Kali ini bukan saja karna ia harus melihat sepasang sumber dilemanya berada di tempat yg sama,
tapi juga karna kekakuan yg amat jelas terlihat antara wanita elegan paruh baya dengan salah
satu tuan muda di sana. Ini kali pertama Shilla melihat Nyonya Luzardi, dan ia sudah bergidik ngeri. Padahal sejak tadi
ia baru berdiri di belakang wanita itu, dan belum sekali pun melihat wajahnya.
"Sudah nggak jetlag, Ma?" tanya Arya.
Romi tersenyum dan menggeleng. "Tadi Mama sudah tidur."
"Papa belum pulang?"
Romi menggeleng lagi. "Tadi Mama telepon, katanya Papa diajak makan sama teman lamanya."
Arya mengangguk lalu kembali menyantap makanan di hadapannya. Kini Romi beralih pada
Ryo yg terlihat acuh tak acuh pada keadaan di sekitarnya.
"Ryo?" Si bungsu berjengit mendengar panggilan ibunya, lalu mendongak dari piring yg di hadapannya.
"Ya?" jawabnya sambil mengangkat sebelah alis.
Romi terdiam saat melihat tatapan beku dari maja tajam yg terasa asing baginya. Tidak tahu mau
berbicara apa, wanita itu hanya berdeham, "Habiskan makananmu."
Ryo mendengus. Shilla yg bisa melihat wajah Ryo dari pojok ruangan, merinding mendengar betapa dingin
interaksi antara kedua orang di sana. Ke mana sapaan hangat dan penuh kerinduan atau
semacamnya" Mengingat sepertinya orangtua kakak-beradik itu jarang sekali kembali ke rumah.
Beberapa menit setelahnya hanya denting garpu dan sendok beradu dengan piring yg mengisi
kesenyapan di ruang makan. Ketika Ryo sudah menandaskan makanannya lebih dulu, ia
memundurkan bangkunya lalu berdiri.
Shilla terkejut juga melihat tingkah Ryo tak ubahnya seperti saat di sekolah. Keluar sebelum
dipersilakan, bahkan sebelum makanan penutup dihidangkan.
Romi menghela napas. "Anak itu," desahnya lelah.
"Mungkin dia belum terbiasa, Ma," kata Arya pelan sambil mengangguk pada pelayan yg
meletakkan sepiring puding roti di meja.
Shilla yg hari ini bertugas membereskan meja, namun harus tetap siap sedia sepanjang makan
malam, merasa kakinya mulai kesemutan. Untung saja tak lama kemudian Arya berdiri, setelah
mohon diri pada Romi. "Tapi Arya, nanti Mama ingin bicara," kata Romi.
"Tentang?" Wanita itu menahan napas sebelam menjawab, "Kakek..."
Arya berpikir sebentar sebelum akhirnya mengucap "Ah," pelan, ia mengangguk.
Pemuda berkacamata itu lalu diam2 melirik gadis pelayan di ujung ruangan yg langsung
menegakkan diri begitu mata mereka beradu.
Sambil tersenyum samar, akhirnya pemuda itu pun benar2 undur dari ruang makan,
meninggalkan sang nyonya besar sendirian.
"Bi," panggilnya pada Bi Okky. "Bisa tolong ambilkan obat saya" Meja makan juga boleh
dirapikan dulu." Bi Okky membungkuk setelah mendengar perintah Romi, lalu memberikan isyarat pada Shilla
untuk melakukan bagiannya. Dengan segan bercampur sedikit takut, Shilla mendekati meja
makan, lalu mulai meletakkan gelas dan piring kosong Arya di nampan yg ia bawa. Kemudian ia
memutar untuk membereskan milik Ryo. Ketika saatnya ia membenahi perangkat makan Romi,
Shilla berpikir sebentar. Sang nyonya berniat meminum obat. Berarti seharusnya Shilla tidak
boleh mengangkat gelas wanita itu.
"Permisi," ia berkata pelan, meminta izin untuk mengambil piring Romi.
"Ya," jawab wanita itu, tak begitu memperhatikan.
Melihat gelas Romi setengah kosong, Shilla berinisiatif bertanya, "Nyonya, apa airnya mau diisi
lagi?" Romi baru akan menjawab, namun ia langsung membeku saat menoleh dan akhirnya melihat
wajah sang penanya. Tanpa berkedip, wanita itu bertanya dalam bisikan, "Ratya?"
"Romilda Vernan."
Stefanus tersedak minuman ringan yg sedang diminumnya, lalu memandangi gadis bergaun
bunga2 yg baru memasuki ruang tamu rumahnya. Bukannya ini gadis yg selalu berada di sebelah
Ratya tiap kali ia menjemputnya di kelas"
Romi membelalak. Ini kan kakak kelasnya, sekaligus... pacar Ratya" Pemuda inikah "Datuk
Maringgih"-nya" Ya Tuhan. Mau mati saja rasanya.
Ivona dan Arlinda -ibu Romi- mulai berbincang-bincang heboh tanpa melibatkan dua mudamudi yg seharusnya paling berwenang. Romi cemas setengah mati. Ia memain-mainkan
jemarinya gelisah. Sesekali melirik Stefanus yg memandangi ibu mereka dengan muak.
Tiba2 sesuatu yg paling tidak diinginkan Stefanus dan Romi terjadi. Ratya datang dengan
seragam pelayan, membawa baki berisi minuman untuk Romi dan Tante Arlinda. Gadis itu
sempat terkejut sejenak melihat Romi, lalu terdiam setelah menyimpulkan sendiri apa yg terjadi.
Stefanus sempat mengatakan calon tunangannya akan datang hari ini.
"Permisi," Ratya membungkuk ke arah Ivona yg mendelik tajam padanya.
Lalu seakan sengaja, Ivona berdeham. "Ratya, kenalkan ini Nyonya Arlinda dan Nona Romilda,
yg akan menjadi nyonya kamu di masa depan. Nah, Jeng Arlin. Ini pelayan saya yg paling tidak
tahu diri," katanya tajam sambil tersenyum kepada Arlinda, "Semoga nantinya bisa melayani
Romi dengan baik dan bisa sadar levelnya di mana."
Stefanus menggenggam kaleng minuman ringannya kuat2 saat melihat Ratya menggigit bibir.
"Permisi," kata gadis itu tak lama kemudian.
Sepeninggal Ratya, Stefanus tak tahan lagi. Ia berdiri lalu berkata tajam, "Boleh saya ajak Romi
ke taman belakang sebentar?"
Ivona dan Arlinda tampak kegirangan, lalu mengangguk dan berceloteh.
"Ah, tentu. Pasti kalian sudah akrab, ya?"
"Oh, mereka kan satu sekolah. Bagaimana Jeng ini."
"Nah, betul kan, Stefan" Perjodohan tidak seburuk itu?"
Stefanus hanya tersenyum masam, lalu menarik tangan Romi menuju taman belakang. Pemuda
itu menggeser pintu lalu memberi isyarat pada Romi untuk duduk di bangku ayunan di dekat
pintu, sementara ia sendiri mondar-mandir.
"Kamu setuju sama perjodohan aneh ini?" tanya Stefanus. Romi hanya mengangkat bahu
bingung. "Aku nggak setuju." Stefanus menjawab sendiri.
Romi mendesah. "Tapi Mami nggak bisa dibantah."
Stefanus mengerang kalah. Karna begitu pula ibunya. Apalagi ayahnya sudah ikut menyetujui.
Argh. Tiba2 terdengar bunyi geseran pintu lagi dan kepala Ratya muncul dari celah yg terbuka. Ketika
melangkahkan kaki, gadis itu baru sadar ada Stefanus dan Romi yg tengah berpandangan di sana.
"Maaf," katanya pelan, lalu hendak berbalik keluar.
"Ratya..." Stefanus berteriak tertahan, secara refleks melangkah panjang mengejar Ratya dan
menahan tangan gadis itu.
Ratya tahu ia memang tak pantas. Ucapan Ivona seakan memvonisnya dengan telak. Harusnya
dari dulu ia tak kelewat berharap. Tujuannya ke rumah ini bukan untuk urusan hati. Ia berusaha
menepis tangan Stefanus yg mencengkeramnya.
"Ratya..." Mendengar suara Stefanus yg kian memelas, akhirnya Ratya membalikkan badan. "Kenapa?"
Ia terkesiap saat pemuda itu memeluknya. "Maaf, Ratya. Maaf," bisik Stefan.
"Sudahlah. Tidak apa2."
Stefanus membelai rambut gadis itu sekali lagi. "Segalanya akan baik2 saja. Pasti."
Hari ini, Jakarta. "Jadi... Ratya sudah..." Romi bahkan tidak mampu meneruskan kalimat itu. Dipandanginya
Shilla yg tengah menunduk dengan tatapan iba. Mengapa ibu dan anak ini harus begitu
menderita" Wanita itu mendesah sebelum melihat keremangan di sekelilingnya. Setelah Shilla
bertanya heran kenapa sang nyonya bisa mengetahui nama bundanya, Romi meminta waktu
untuk bebicara dengan gadis itu. Ia ingin tahu kenapa Shilla bisa sampai di rum
ahnya, dan menjadi pelayan pula. Akhirnya Shilla mengusulkan mereka untuk berbicara di kamarnya,
sementara pelayan lain sedang sibuk di dapur.
Setelah mendengar semua kisah Shilla dan wasiat sang bunda, Romi tahu gadis itu tak mengadaada. Wanita itu pun berkata pelan, "Saya belum sempat menebus semua kesalahan saya." Ia
menggeleng tak percaya, kecewa.
*** Namun ternyata segalanya tidak baik2 saja. Karna seiring minggu berlalu, makin menganga pula
bentangan jarak antara Stefanus dan Ratya. Masa penjajakan paksa yg diatur Ivona dan Arlinda
membuat pemuda itu terpaksa mengurangi frekuensi pertemuannya dengan Ratya. Romi
mungkin memang pribadi yg menyenangkan. Tapi bagi Stefanus, gadisnya hanya Ratya.
Sebenarnya, Stefanus pernah mencoba menyelinap menemui gadis itu, tapi ternyata Ivona betul2
serius mengekangnya. Malam itu, selepas menemani Romi berbelanja titipan Ivona dan Arlinda yg benar2 terlihat dipaksakan- Stefanus mengendap-endap melalui dapur yg gelap, berniat pergi
menyusuri lorong kamar pelayan, saat tiba2 lampu dinyalakan dan terlihatlah Ivona berdiri
bersedekap sambil mengangkat alis.
"Mau ke mana kamu, Stefanus Luzardi?" tanyanya tajam.
Stefanus tergagap, "M-mau..."
"Menemui pelayan itu?" tanya Ivona lagi.
Stefanus terdiam, kalah. "Kurang apa Romilda?" Ivona menggeleng-geleng. "Sudah tiga minggu kamu tidak bicara
dengan pelayan itu. Apa sulit begitu untuk selamanya?" Ivona melanjutkan, kini dengan
ancaman, "Sekali lagi kamu ketahuan bicara dengannya, Mama akan tendang dia jauh2 dari sini.
Tanpa apa pun selain yg dia pakai di tubuhnya. Tanpa gaji. Bahkan... tanpa inhaler-nya." Wanita
itu mengangkat dagu pongah, mengacungkan inhaler Ratya yg tadi sengaja diambilnya.
Stefanus tak tahu apakah ia memang pantas disebut pengecut. Karna setelah itu, ia benar2 tak
berani menemui Ratya lagi.
"Ini kisah yg panjang, Shilla." Romi tersenyum lemah kepada gadis di hadapannya yg hanya
diam dan tampak siap menerima.
"Tentang saya, suami saya, dan bundamu."
"Kakak sedang memikirkan Ratya, ya?" tanya Romi, beberapa hari sebelum pengumuman
kelulusan Stefanus. Saat itu ia sedang bertamu karna Ivona meneleponnya. Dan di sinilah ia,
duduk di sebelah pemuda tampan yg jiwanya ada dengan Ratya.
Stefanus memandang Romi sekilas, lalu tak sengaja menyahut ketus, "Siapa lagi?" Sudah hampir
beberapa bulan ia tidak mengadakan kontak apa pun dengan Ratya. Bahkan jika gadis itu berada
dalam jarak pandangannya, Stefanus merasa makin tersiksa. Karna ia tak berani menghampiri
gadis itu, seakan kini di mana2 ada mata tambahan untuk Ivona.
Romi tersenyum tipis. "Dia juga memikirkan Kakak," tukasnya pelan. Ia mendesah diam2,
mengingat Ratya yg masih mau menganggapnya sahabat, seakan tak pernah ada cerita Romi
merebut Stefanus dari sisi gadis itu. Sebenarnya Romi pun tak suka jadi orang ketiga. Tetapi
ternyata rasa suka memang bisa timbul karna terbiasa. Beberapa bulan belakangan ini, dengan
sikap ketus Stefanus sekalipun, Romi mulai merasa nyaman. Tak lama, pikiran Romi dibuyarkan
sapaan seseorang. "Romilda," kata Ivona, bergegas menghampiri Romi lalu mengecup kedua pipi gadis itu.
Kemudian ia mempersilakan Stefanus dan Romi duduk. "Mami kamu sedang di Melbourne, kan"
Jadi, biar Tante yg menyampaikan hal penting ini." Ivona berdeham, kemudian memanggil,
"Ratya!" Romi terkesiap, sementara Stefanus terperanjat melihat Ratya masuk dengan takut2, seakan
memang sudah menunggu dipanggil. Ivona tersenyum palsu lalu mempersilakan Ratya duduk di
sisi lain sofa. "Mama," tukas Stefanus pelan. Jantungnya berdegup kencang karna dua hal. Kerinduan pada
Ratya, dan kebingungan. Ivona mengangkat tangan agar Stefanus berhenti bicara. Ia memberikan jeda sebelum
melanjutkan, "Akhir minggu ini, Mama akan mengadakan pesta pertunangan kalian."
Stefanus melotot "Apa" Ini terlalu cepat, Ma!" protesnya.
Ivona menjawab tenang, "Tidak ada yg terlalu cepat, Stefanus. Setelah lulus, kamu langsung
berangkat untuk melanjutkan studi di Paris bersama Papa yg akan merintis lagi perusahaan di
sana. Harus ada yg mengikat kalian."
Ratya tidak mengerti apa maksud Nyonya Ivona memanggilnya. Untuk mendengar berita
bahagia itukah" Ia sudah cukup tersiksa tak bisa bicara dengan Stefanus berbulan-bulan. Pemuda
itu bahkan tak pernah sekali pun berusaha menemuinya.
"Dan Mama sudah menunjuk seseorang menjadi pembawa cincin nantinya... Ratya."
Stefanus tersedak. Apa ibunya sudah gila"
Ivona tersenyum penuh arti ke arah Ratya. "Tidak keberatan kan, Ratya?" Gadis itu menggeleng
pasrah. Ivona tersenyum lalu mengeluarkan sebuah kotak beledu. Dibukanya kotak itu, dan di
dalamnya tampak cincin dengan mata mahkota mungil "Cantik, kan?"
Ratya hanya mengangguk. Ivona menutup kotak itu lalu mengulurkannya pada Ratya yg hanya bisa menerima dengan
tatapan tak mengerti. "Saya titipkan cincin ini padamu sampai akhir minggu nanti. Jaga baik2.
Itu bukan untuk kamu." Ivona mengalihkan pandangan kepada Stefanus dan Romi. "Mama sudah
membuatkan janji dengan perancang baju yg biasa. Siang ini juga kalian ke sana. Dan ah,
mungkin Ratya bisa ikut" Untuk membawakan barang2?"
Lagi2, Ratya mengangguk. Ivona tersenyum lalu beralih memandang tajam putranya. "Dan Stefanus, tetap pegang janji


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamu. Mama punya banyak mata sekarang."
Ayah, apa yg kutakutkan terjadi. Aku akan pulang, Ayah. Bahkan mungkin aku sudah sampai
sebelum Ayah menerima surat ini.
Tiga hari sebelum pertunangan.
"Kakak" Ratya pergi" Ke mana?" Romi menuntut penjelasan hari itu, saat Ratya tak dapat ia
temukan di mana pun. Stefanus menggeleng. "Jangan tanya aku. Aku tak tahu. Aku tak mau tahu."
Jawaban Stefanus membuat Romi makin yakin pemuda itu tahu sesuatu. "Kak?"
Stefanus mendesah. Masih segar dalam ingatannya akan apa yg terjadi malam sebelumnya. Ya,
ia "mengusir" Ratya.
Malam itu Stefanus tak bisa tidur, kantuk tak mau menyerang matanya. Akhirnya ia memutuskan
mencari udara segar ke taman belakang. Ia sedikit bingung saat mendapati pintu geser tak
tertutup rapat dan terkejut ketika matanya menangkap siluet yg tengah duduk berlutut di sudut
lain di sebelah pintu. "Ratya," desisnya tak percaya. Bulan keperakan yg menggantung di langit
pekat memantulkan kilatan cahaya pada benda yg sedang dipegang Ratya. Cincin itu. Stefanus
tercekat saat melihat apa yg dilakukan Ratya setelah itu.
Gadis itu memasang cincin milik Romi ke jarinya sendiri. Cincin yg pernah dijanjikan padanya
oleh mimpi, namun takkan pernah ditepati. Ratya tersenyum perih saat cincin itu ternyata
melingkar sempurna di jari manisnya, lalu membiarkan sebutir air mata jatuh tepat ke atas mata
mahkota cincin yg dipakainya.
Stefanus memejamkan mata lalu bersembunyi kembali di balik pintu. Ia menyandarkan
kepalanya di sana, ikut tersiksa. Mungkin tak ada gunanya mempertahankan Ratya di sini.
Mereka hanya akan terus menyesali keadaan karna ditakdirkan menapaki jalan yg berbeda
menuju masa depan. Maka terlintaslah di benak Stefanus gagasan untuk mengakhiri kepedihan gadis itu. Perasaan ini
harus mati. "Ratya?" Stefanus menghampiri Ratya, yg kini terkesiap dan bergegas melepas cincin itu dari
jarinya. "Ratya?" panggil pemuda itu lagi.
Ratya menunduk saat Stefanus meraih jemarinya dan melepas cincin itu dari sana.
Dengan segenap penyangkalan, Stefanus mengenyahkan kehangatan untuk Ratya dari matanya,
dan berkata tajam, "Ini bukan milikmu."
Ratya tersentak, menunduk saat pemuda itu melepaskan tangannya.
"Lupakan mimpi2 kita dulu, Ratya. Karna ini realita. Pergilah, Ratya. Lebih baik kamu pulang.
Jangan menungguku," Stefanus menggeleng. "Aku tidak akan kembali padamu. Kamu... tidak
pantas untukku." Ratya pun membiarkan air mata mengalahkan karang keteguhannya. Dan Stefanus membiarkan
Ratya pergi malam itu juga. Akhirnya ia menyerah pada takdir" Melepas Ratya. Melepas cinta.
"Kakak?" Romi menyadarkan Stefanus hingga pemuda itu terkesiap. "Jadi, Ratya..."
"Sudahlah, Romi." Stefanus menghela napas lalu menatap gadis di hadapannya. "Aku mau
belajar menyayangimu."
Romi tersenyum kala itu. Ia tahu, bahkan meski Stefanus memungkiri, dalam tahun2 yg akan
mereka lewati bersama nanti, sesungguhnya hanya ada Ratya dalam hati pemuda itu. Takkan
pernah terganti. Shilla tidak memercayai apa yg ia dengar. Cerita itu terlihat seperti skenario drama gagal pentas.
Terlalu... tragis. Satu hal mengganggu pikirannya. Kalau begitu, apakah Romi dan Stefanus
menikah tanpa cinta"
Senyum pilu Romi seakan mengiyakan pertanyaannya, namun karna Shilla sadar ia tak punya
kapasitas untuk menghakimi, ia menelan rasa penasarannya kembali. Shilla menelan ludah.
"Jadi, Nyonya... benar2 Bu Romi, ya?"
Romi mengangguk pelan. "Bunda berwasiat agar saya menemui Nyonya. Saya tidak tahu untuk apa. Tapi yg jelas, saya
tidak ke sini untuk minta bantuan," kata Shilla menunjuk seragam pelayannya, seakan
memperlihatkan bahwa ia bukan peminta-minta.
Romi tersenyum tipis. "Kamu memang tidak perlu meminta bantuan. Karna keluarga Luzardi-lah
yg seharusnya membayarmu. Bundamu pun tahu jelas itu."
Shilla tidak mengerti. "Tak tahukah kamu siapa nama kakekmu?" tanya Romi. Shilla menggeleng.
2002, Jakarta Davara. Romi pernah mendengar nama itu. Bukan. Bukan dari kata yg baru saja diucapkan ayah
mertuanya tadi. Tetapi... Ratya. Itu nama belakang Ratya, yg dulu katanya tak dia beritahukan
pada siapa pun di Jakarta kecuali Romi. Ah, ternyata setelah tahun2 berlalu pun nama gadis itu
masih saja menghantui. Romi menggenggam tangan dua anak lelakinya, Arya -sebelas tahundan Ryo -baru menginjak enam tahun- erat2. Seakan berusaha mencari kejelasan dari telapak
mungil kedua pangeran kecil yg sudah lama tak ditemuinya, karna ia menemani Stefanus
mengurusi perusahaan di Paris.
Ivona sudah meninggal beberapa tahun lalu karna gagal ginjal. Sementara Luzardi sendiri kini
tengah menanti ajal di ruang ICU akibat paru-paru basah. Ia berkata terengah, mengulangi
perintah yg sama entah untuk kesekian juta kali, "Stef... an. I... ngat, ca... ri... Dav... a... ra... Ki...
ta ber... u... tang."
Stefanus mengangguk, menggenggam tangan keriput ayahnya. Jauh2 ia datang dari Paris,
meninggalkan sejenak perusahaan yg sedang berkembang demi sang ayah. Ia berusaha
menegarkan diri. Lelaki tidak boleh menangis. Mungkin karna alasan dangkal itu juga ia tak
pernah mengeluarkan setitik pun air mata untuk kepergian Ratya.
Sementara Romi sendiri sibuk berasumsi. Sepertinya tak banyak nama Davara di dunia ini. Jadi,
utang kuno yg sering kali disinggung Stefanus dan ayah mertuanya itu... apakah maksudnya pada
ayah Ratya" "Per... u... saha... an im... por... mi... lik... Da... va... ra, bu... kan... ki... ta."
Stefanus mengangguk lagi. Ia sudah tahu itu. Ayahnya selalu mengulangi hal yg sama. Lelaki tua
itu mewariskan seperempat saham atas nama Davara dan seperempat saham atas nama Luzardi
dari perusahaan ekspor-impor utama di Jakarta kepada Davara. Luzardi mengatur sedemikian
rupa sehingga surat wasiat untuk bagian warisan ini dikosongkan bagi nama keturunan langsung
Davara yg harus sudah berusia 21 tahun. Sehingga secara de facto, perusahaan yg murni milik
Stefanus kini adalah properti dan konstruksi di Paris, Jakarta, serta anak2 usahanya di beberapa
negara. "A... yi..." Luzardi memanggil cucu tertuanya dengan nama yg digunakan Romi pada anak itu.
Romi mendorong pundak Arya yg maju takut2. "A... yi... ja... ga... a... dik, ka... lau Pa... pa... ti...
dak... bi... sa... A...yi... yg ca... ri..."
Arya hanya mengangguk mendengar racauan terakhir kakeknya. Karna setelah itu Luzardi
tecekat dan pergi selamanya, dikalahkan usia yg belum seberapa.
"...Ooh, Ratya maksud Ibu" Dia menikah dengan seseorang bernama Haris Randa di Jakarta
beberapa tahun lalu."
"Jadi, Ratya... kembali ke Jakarta?"
"Sesuai tahun yg Ibu sebutkan, dia memang kembali ke kampungnya, tapi ternyata ayahnya
sudah meninggal. Lalu dia masih menetap di sana setahun lagi, menuntaskan jenjang SMA.
Setelah itu dia memang kembali ke Jakarta."
"Lalu?" "Dia bekerja di supermarket, Bu. Lalu menikah dengan supervisornya, Haris Randa itu. Mereka
punya seorang putri. Lalu suaminya meninggal karna kecelakaan, Bu. Tak lama, dia kembali ke
desanya." "Di mana desa itu?"
"Desa kecil bernama Apit, Bu. Di Jawa Barat."
Romi memutuskan melakukan perjalanan kecil. Dari detektif yg sama, ia mengontak Ratya.
Sahabatnya itu sempat terkejut, tapi berkata bawa tidak apa2 jika Romi bertandang ke sana
(dengan catatan tanpa suaminya).
Romi lalu meminta izin kepada Stefanus untuk pergi ke Bandung sebelum kembali ke Paris. Ya,
ia berbohong. Karna ia tahu Stefanus takkan suka ia menyebut-nyebut nama Ratya. Bahkan
untuk urusan ini. Biarlah ia memberitahu Stefanus saat segalanya sudah pasti. Ia akhirnya
memberikan alasan aman, menemui saudaranya. Cukup itu. Toh Stefanus memang selalu tak
begitu mau tahu urusannya.
"Kamu mau ke Bandung" Ya sudah. Ajak saja Arya. Ryo biarkan di sini," kata Stefanus, sambil
melirik Ryo yg sedang bermuram durja karna ditinggal teman kecilnya.
"Besok aku berangkat," kata Romi, dengan harapan bisa membawa jawaban dan memenuhi
keinginan terakhir ayah mertuanya.
Ratya hanya terdiam saat Romi menyelesaikan cerita panjangnya seraya menyantap penganan
desa yg ia buatkan. Jadi... itu alasan kuno yg menghubungkan ayahnya dengan Pak Luzardi. Ia
tak pernah tahu karna kepergian ayahnya yg mendadak. Alasan yg membuatnya harus pergi ke
Jakarta. Walau Ratya yakin, ayahnya tak pernah bermaksud menagih bantuan yg pernah
diberikan. "Jadi... kembalilah ke Jakarta bersamaku, Ratya. Ajak anakmu. Siapa namanya?"
Ratya bangkit dari kursi meja makan yg berderit, lalu mengambil teko timah butut miliknya dari
dapur kecil yg menyatu dengan ruang makan untuk mengisi cangkir Romi. "Ashilla. Ashilla
Rayanda. Sengaja kutambahkan 'y' supaya tak semaskulin nama ayahnya."
"Ya. A... Ashira. Nama yg cantik. Jadi... maukah?"
Entah kenapa Ratya begitu marah. Bukan karna Romi salah menyebut nama putrinya, tapi karna
ia tak sudi memasukkan sedikit pun unsur Stefanus dalam hidupnya lagi. Ia membanting teko
timahnya tanpa sengaja. "Aku tidak mau lagi berurusan dengan Stefanus. Maaf."
"Ratya... Aku tahu di sini kamu..." Romi berusaha mencari kata yg pantas dan tidak terdengar
kasar, "kamu... kurang cukup."
Ratya mendengus, lalu mulai mondar-mandir. Berusaha mencari kesibukan untuk menyalurkan
emosi agar tidak bersikap tak pantas pada tamunya. Tetapi itu sulit sekali karna kehadiran Romi
membuat mimpi pahit yg bertahun-tahun menghantuinya kembali lagi.
Akhirnya Ratya memutuskan membuat kue. Agar adonan itu bisa ia pukuli sepuasnya dan tak
ada yg tersakiti. Ia mulai menakar tepung. "Aku cukup, Romi. Cukup bahagia dengan putriku.
Pulanglah. Aku tak mau kembali. Sekalipun kamu mengatakan seisi Jakarta boleh jadi milikku,"
katanya keras, membelakangi wanita yg diajaknya bicara.
"Apa ayahmu punya anak lain?"
Ratya mulai memecahkan telur ke dalam baskom kosong. "Aku anak tunggal."
Romi menghela napas. "Ratya, ini bukan untukku. Bukan untuk Stefanus. Ini untuk Pak Luzardi.
Untuk... ayahmu." Ratya menutup lemari dapurnya dengan berisik, lalu menakar gula untuk adonannya. Entah
kenapa ia kesal sekali. "Aku tak peduli."
"Ratya, ini untuk... putrimu."
Ratya berhenti menuang terigu sejenak, lalu kembali mengaduk adonan dengan emosional. "Aku
tak mau menerimanya, Romi. Kalau bersikeras juga, berikan hak itu pada Shilla. Terserah apa
maumu. Tandai dia." Romi menghela napas lelah. Mungkin jahatnya takdir membuat Ratya jadi begitu keras kepala.
Dilihatnya wanita itu memusatkan perhatian yg kelewat berlebihan pada adonannya. "Baiklah.
Mana anakmu?" "Aku tidak tahu. Carilah. Dia selalu bermain di sekitar sini. Desa ini kecil sekali. Yg kuingat tadi
dia memakai terusan merah."
Romi bangkit dari kursi lalu mencari-cari sebentar dan akhirnya merobek kertas kalender tua dan
menuliskan alamatnya. "Ini alamat kediaman Luzardi. Sebetulnya belum berubah. Tapi... kalau2
kamu lupa," Romi mendesah, memandang punggung Ratya. Ia melangkah ke arah pintu. "Aku
pulang, Ratya. Maaf mengganggu."
Romi berjalan dari kontrakan Ratya, menghela napas panjang. Ia mencari-cari putranya yg tak
tampak di mana2. Akhirnya ia harus mengitari rumah Ratya hingga menemukan anak tertuanya
itu tengah memainkan pucuk pohon kecil sambil memperhatikan sesuatu di kejauhan.
Romi menepuk pundak Arya yg tak berkutik.
"Mama... dia lagi nangis, ya?" Arya menunjuk seorang gadis cantik dengan terusan merah yg
terduduk di tanah, menatap tangan mungilnya sambil merengek sedih.
Romi menepuk puncak kepala Arya lalu berbisik, "Temui dia. Ingat kan bagaimana dulu Mama
menghibur kamu. Lalu..." Romi menunjuk bros putranya. "Berikan bros ini supaya kamu bisa
menemuinya lagi. Cepat. Kita harus pulang."
Setelah itu Romi benar2 lupa perihal nama anak Ratya. Lantas saat Arya menginjak usia delapan
tahun, ia mengulangi lagi secara singkat dan serius soal kisah Luzardi-Davara (tanpa kisah
Ratya), karna suaminya tampak tak berselera mengisahkan apa pun.
Sementara, Ratya tidak meletupkan kemarahan saat Shilla pulang sambil menangis dan
mengatakan ia diberi hadiah oleh orang asing. Ratya mengenal betul lambang itu walau tak
menceritakannya. Ia tak perlu pula meminta Shilla menjaga bros itu dengan hati2, karna tanpa
diperintah pun gadis kecil itu sudah berniat menjaga benda tersebut dengan sepenuh hati.
Dan setelah itu, kita tahu bagaimana cerita ini berlanjut.
"Kisah yg panjang, ya?" Romi tersenyum simpul, menarik Shilla dari alam pikirannya.
Shilla hanya tersenyum kecil, masih terpana, belum bisa mencerna ke mana semua kebenaran itu
akan membawanya setelah ini.
"Nah, mulai besok, kamu nggak perlu bangun pagi2 dan ke dapur, Shilla. Kamu bukan pelayan
lagi." Romi tersenyum saat gadis itu mendongak dengan kerutan dalam di keningnya. "Karna
kamu putri Ratya, berarti kamu putri saya juga." Romi menarik napas sebentar, lalu melanjutkan,
"Belajarlah tentang bisnis baik2 selama jangka waktu ini. Karna sesuai wasiat Kakek Luzardi,
saat umurmu genap 21 tahun, kamu, Ashilla, adalah pemilik resmi setengah dari saham seluruh
perusahaan Luzardi di sini."
Lagi2 Shilla ternganga. Menyadari hidupnya seakan baru tersedot masuk ke dalam skenario
drama Korea. Ia tidak bermimpi, kan"
Sepeninggal Romi, Shilla tepekur. Ia berusaha merunut dan mencerna segalanya dengan
perlahan. Ia juga memohon agar untuk sementara Bu Romi tidak menceritakan sejarah panjang
yg melibatkan mereka semua kepada Arya dan Ryo. Tidak semudah itu baginya mendadak jadi
orang berada dalam kedipan mata. Rasanya seperti mendadak bertukar kepribadian dengan
Bianca. Shilla bergidik. Setelah berhasil mengenyahkan pikiran mengenai nasibnya yg berbalik 180 derajat, ia tercekat
saat menyadari sesuatu. Tunggu, batinnya. Serabut otaknya perlahan kembali bekerja, memintal
benang2 fakta. Shilla menatap bros yg masih berada dalam genggamannya. Ia menelengkan
kepala dan mencoba mengingat cerita Romi, yg jika tak salah ia pahami berarti... "Tuan Arya?"
Jantungnya seolah lupa berdetak ketika ia menggumamkan nama itu. Ayi. Ayi adalah Arya. Arya
adalah Ayi. Ia membisu lagi, menunggu kembang api tersulut dan meledak penuh gempita di hatinya, namun
nihil. Namun sepi. Hampa, kebingungannya tak terkira.
Mendadak kepalanya sakit.
*** "Apa benar dia, Ma?"
Romi tersentak saat menyadari kehadiran sosok jangkung yg berdiri menunggu di depan pintu
kamar, entah sejak kapan. Ia mengerjap, lalu mengangguk otomatis, sedikit-banyak mengerti apa
maksud Arya yg kini hanya menahan napas, ekspresinya tak tertebak.
Bab 12 Kelebatan bayangan itu memburu dalam benaknya, melucuti napasnya hingga tersengal. Untuk
alasan yg kabur dan samar, ia tak mementingkan apa pun selain terus berlari, mengejar.
Dan lagi2 hujan, menguarkan aroma kenangan itu tanpa sungkan. Turut mengoyak apa yg pernah
terbawa dalam mega keabuan: kebenaran bahwa ternyata hatinya sudah terikat dan terbawa
harumnya rengkuhan yg memabukkan. Dan ia takkan sanggup jika harus kehilangan dekapan itu.
Matanya menelanjangi bagunan tinggi cokelat tua dengan cahaya kilat yg tersemburat,
menyambar setiap serat. Diiringi curah hujan yg terus meningkat, ia melantunkan doa lamat2.
Tuhan, semoga semuanya belum terlambat.
Shilla merasa seperti Christopher Columbus saat ini. Di tengah misi mengusir kebingungannya,
iseng2 ia melakukan ekspedisi ke lantai tiga tempatnya kini tinggal, dan akhirnya memutuskan
menjelajahi ruangan besar berkubah kuno mirip kapel dengan rak-rak buku tinggi menjulang.
Perpustakaan. Namun ia yakin Columbus takkan pernah repot2 menghentikan ekspedisi hanya karna melihat
sosok tampan -yg sedang duduk tenang sembari menekuni bundelan perkamen kecokelatan
seukuran coffee-table book dan menyesap sesuatu yg mengepul dari cangkir. Bunyi teredam yg
timbul saat pantat cangkir beradu dengan permukaan meja kayu mahoni di pojok ruangan
perpustakaan itu membuat Shilla terlonjak dan tersadar dari keterpanaannya. Ia menelan ludah
lalu berjingkat mundur, menyembunyikan diri di barisan rak buku2 filsafat di dekat situ, sebelum
sosok lain di sana menyadari keberadaannya.
Ketika baru saja berbalik dan bersiap mengambil ancang2 untuk pergi saat ia menangkap suara
yg menggetarkan hatinya. "Sebentar, Shilla..."
Shilla baru menyadari, sosok itu bahkan belum mengangkat wajah dari bundelan di hadapannya.
Ia mengusap kepalanya yg terbentur pintu tingkap dengan sebelah tangan, meringis pelan lalu
melayangkan tangannya kembali ke sisi tangga tali reyot yg bergoyang lemah dan mulai licin
dilumasi hujan. Ia menarik napas, menghirup aroma tanah basah dan keharuman hydrangea yg mengusik indra
penciumannya, lalu mengacungkan satu tangannya lagi ke atas untuk meraba serta menggeser
pelan bukaan pintu yg tadi menghantam puncak kepalanya tanpa ampun.
Matanya kini sejajar dengan lantai bangunan. Ia mengerjap sekali lalu menyipitkan mata, namun
yg ditangkap fokusnya hanya guratan kilat yg menembus kaca jendela dan terpantul dari dinding
di hadapannya. Setelah meniti satu anak tangga lagi, ia menumpukan kedua telapak tangannya di
kedua sisi sebelah rongga pintu. Sambil mendorong tubuhnya dengan agak tak sabar, ia setengah
melompat ke atas hingga bagian bawah tubuhnya kini menjejak salah satu sisi lantai.
Ia merapikan anak rambut yg menempel di wajahnya akibat hujan, lalu berusaha memperjelas
penglihatannya. Mengapa tak ada cahaya"
Ketiga cangkir putih mengepul itu berjajar di permukaan kayu mahoni, masing2 menguarkan
keharuman asing yg berbeda, namun hampir serupa. Pemuda di sisi lain meja menyorongkan dua
cangkir mendekat ke hadapan Shilla agar ia dapat menghidu tiap aroma yg bergolak terbawa
udara, menggelitik penciumannya.
"Yg mana?" tanya pemuda itu pelan.
Shilla membenahi posisi duduknya dengan gelisah. Tak lama mendongak setelah mendengar
pertanyaan itu, lalu menunduk lagi. Sedikit kalut, takut dirinya tenggelam karna teduhnya mata
itu untuk kesekian kali. Terlebih setelah ia mengetahui pemuda di hadapannya ini adalah Ayi.
Shilla menyumpahi debar ketakutan yg menghinggapinya.
"Kamu mau minum yg mana" Yg menarik penciumanmu" Jangan takut begitu. Ini kan cuma
teh," ujar Arya masih dengan senyum ramah tersungging di bibir.
Shilla mendesah pelan. Bingung kenapa dia bisa terjebak dalam kondisi seperti ini, bersama


Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah satu sosok yg sedang dihindarinya pula. Ia berdeham salah tingkah lalu mendekatkan
kepala ke arah dua cangkir putih terdepan tadi. Secara refleks ia mulai mengendus, mengikuti
nalurinya. Arya mengangkat sebelah alis saat melihat gadis di hadapannya menerka pilihan. Ia tidak begitu
terkejut saat Shilla mendorong salah satu cangkir lebih dekat. Jawabannya.
"Ini... boleh diminum?" tanya Shilla polos. Memandangi Arya dengan mata bulat membesar.
Arya tersenyum dan mengangguk.
Shilla baru mendekatkan bibir cangkir ke mulu saat tiba2 Arya menahannya, "Eh, sebentar.
Lebih baik kamu coba dulu yg ini."
Pemuda itu mengulurkan cangkir yg tadi tak dipilihnya.
Ia berdiri, merapikan bagian belakang pakaiannya lalu berjingkat pelan, gemerisik langkahnya
tersamar nyanyian hujan yg merintik-rintik di atap. Pupilnya membesar, menyesuaikan diri
dengan ruangan gelap itu. Karna tidak ada yg begitu membantu pencahayaan, ia berjalan sambil
meraba-raba apa yg dirasanya adalah dinding dan menghela napas lega saat menemukan tonjolan
yg diterkanya sebagai sakelar.
Trek... Flash... Flash... Flash...
Mulutnya tak bisa berhenti melebar saat seolah ada kilat2 buatan menyambar di hadapannya. Ia
ternganga. Itu aurora, cahaya jingga keunguan bak langit kutub utara. Terkonversi dalam bentuk galeri
kotak2 kaca. "Kamu... betul2 berencana menghabiskan teh itu sekaligus cangkir-cangkirnya, ya?"
Shilla mendongak dengan tampang superpilon saat mendengar pertanyaan itu. Lalu tiba2 ia
menurunkan cangkir yg sedari tadi ditiupi dan direguknya dengan semangat '45 -merasa agak
malu. Pasti kelihatan rakus sekali hingga Arya berkata dengan geli seperti itu.
Arya menelusuri tepi halaman bundel yg sedang dibacanya, melontarkan senyum simpul yg
tampaknya terpahat abadi di wajahnya. "Mau dihabisin juga nggak pa-pa sih... Tapi kan masih
ada ini." Arya kini mendorong cangkir lain, cangkir yg sebelumnya dipilih Shilla.
"Oh," ujar Shilla sedikit kecewa. Ia mulai menggeser cangkir yg baru diminumnya -cangkir
pertama- agak tidak rela sebenarnya, sebab ternyata cangkir yg tak dipilihnya itu berisi teh -yg
walau agak asing namun- bercitarasa sedikit manis meski tanpa gula.
Arya memperhatikan Shilla agak ragu mengangkat cangkir kedua, lalu tertawa kecil saat gadis
itu menyesapnya dan langsung menjulurkan lidah.
"Pahit," komentar Shilla sambil mengernyit, tiba2 agak menyesal memilih cangkir ini tadi.
Arya mengangguk pelan menyetujui pendapat Shilla, lalu tiba2 berdeham, berusaha menarik
perhatian gadis di hadapannya. "Kalo saya boleh tahu... kenapa tadi kamu milih cangkir itu?"
Shilla menunduk, menghindari kontak mata dengan Arya. Sambil berpikir keras, ia memandang
kedua cangkir yg baru saja diminumnya. "Karna aroma cangkir ini..." Shilla menunjuk cangkir
kedua -yg tadi dipilihnya, "agak familier dan rasanya... hangat, tapi... entahlah..." Shilla kini
memainka jarinya di kuping cangkir pertama, bimbang.
"Jadi," Arya memotong ucapan Shilla, memulai kuisnya lagi. "Kamu berubah pikiran" Sekarang
kamu lebih pilih yg mana?"
Keraguan Shilla terlihat lebih jelas dari air mukanya, "Aroma cangkir tadi memang lebih
familier, tapi yg di cangkir ini..." Shilla menelusuri bibir cangkir pertama dengan telunjuk,
"rasanya lebih manis, jadi..."
Lagi2 Arya menyambar, "Kenapa... kamu jadi bingung?" Arya mengangkat sebelah alis saat
Shilla menatapnya. "Kenapa kamu harus menganulir pilihanmu sendiri hanya karna... sekecap
rasa?" Shilla tersentak, menyadari pertanyaan retoris yg dilontarkan Arya bukan hanya menyangkut
cairan pekat di hadapan mereka.
Kotak2 kaca itu berisi rekam kenangan yg dibekukan. Diawetkan untuk suatu saat ditilik dan
ditelaah kembali. Karna kotak2 kaca ini secara tak langsung adalah perkamen visual sejarah anak
manusia yg ditulis bukan dengan kata, semacam fosil dua dimensi dari rekaan peristiwa.
Berbagai pigura -kotak2 kaca itu- yg kali ini membentuk mosaik cerita yg tersusun di dinding
kayu dan bata, disorot lampu keunguan menyerupai aurora.
Ia mulai memperhatikan setiap foto yg tersaji di hadapannya, dan tersenyum. Kelebatan
penjelasan tadi mulai membayangi benaknya lagi dan ia pun mengerti alasan di balik tiap eksresi
dalam kurungan kotak kaca ini.
Gambaran teh pahit itu tersirat dalam guratan muram, air muka kecut, dan tatapan kosong anak
lelaki pada tiap paparan hasil cetakan rol film mati bertahun-tahun lalu yg sedang ia perhatikan.
Pemuda cilik di foto ini... menatap kosong ke arah kamera, telihat tak bahagia meski lolipop
jumbo yg digenggamnya bisa membuat siapa pun menjerit iri. Bocah kecil di potret ini... sedikit
pun tidak memasang senyum tulus walau tujuh keajaiban dunia pernah ia tapaki. Anak lelaki
ini... tenggelam di balik kue ulang tahun kesepuluhnya yg setinggi benteng Romawi.
Anak laki2 dalam pigura itu, gambaran teh hijau pahit ini, adalah pemuda yg -ia sadari- kini ia
sayangi setengah mati. Lagi2 hatinya terenyuh saat melihat mimpi sederhana pemuda cilik itu.
Tergurat dalam tempelan gambar abstrak dari empat sorok bayang kabur yg -dalam gambar itubergandengan tangan dan mengelilingi kue bulat berwarna merah dengan angka sebelas di
puncaknya. Lukisan kecil ini dijuduli pembuatnya sebagai "keluarga" yg ditulis dengan huruf
sambung yg tak jelas terbaca khas anak kecil.
Ia terdiam. Asa tak seberapa yg tidak pernah jadi nyata ini ternyata benar2 pernah membuat
sosok itu menjadi tuna rasa. Akan cinta.
"Belakangan ini saya jadi tertarik belajar soal teh," Arya memulai ceritanya. "Waktu saya di
Paris, ada kedai teh kecil di gang mungil dekat kantor saya. Saya cukup sering ke sana.
Atmosfernya yg masih tradisional cukup menenangkan dan itulah yg saya cari kalau kepala saya
mulai pening dicekoki pekerjaan.
"Suatu hari, sekitar satu jam sebelum kedai tutup, saya kebetulan pengunjung terakhir hari itu.
Saya bertemu dengan pemiliknya, orang Jepang yg sangat ramah dan amat mencintai budaya
negaranya. Beliau sempat-sempatnya mengajarkan saya soal chanoyu -upacara minum teh
Jepang. "Saya pikir ya, sudahlah. Mungkin beliau hanya orang tua yg ingin sekali membagikan
pengetahuannya pada orang2 muda, tapi tak tahu pada siapa, dan kebetulan saya ada di sana.
Hmm, lalu dia memberi saya ini." Arya mengangkat bundel di tangannya. "Entah untuk apa."
Shilla mendengar Arya dengan saksama, berusaha menangkap hubungan teh2 ini dengan
pertanyaan yg serasa menyindir tadi.
"Tapi ternyata saya belajar banyak dari sini. Saya baru tahu teh itu mengandung kafein. Bahkan
lebih banyak daripada di kopi. Hanya saja dalam penyajiannya, kafein dalam teh memang selalu
ditakar dalam jumlah kecil. Saya juga baru tahu kafein sebenarnya tidak memperlambat kinerja
otak. Tugas utamanya adalah memacu pelepasan hormon epinefrin. Kamu tahu hormon itu
mengakibatkan apa?" Arya tersenyum kecil. "Meningkatkan detak jantung, menambah
penyaluran darah ke otak. Hmm, kamu tahu itu seperti akibat perasaan apa?"
Ah, ya! Perasaan suka. Kafein itu merujuk pada perasaan suka atau cinta. Shilla menangkap
petunjuk itu lalu tiba2 merutuk sendiri. Lagi2 analogi. Shilla jadi bingung kenapa semua orang
sepertinya merasa terbebani untuk membantunya memecahkan segala sesuatu dengan
perumpamaan. "Coba cicipi teh ini." Kali ini Arya mengulurkan cangkir ketiga. Karna penasaran dengan
petunjuk selanjutnya, Shilla langsung mendekatkan cangkir ketiga ke bibir.
Shilla mengecapnya pelan. "Pahit dan..."
"Dan tidak begitu harum, ya..." Arya mengangguk. "Itu bancha, salah satu jenis teh hijau yg
kasar karna dipanen pada panenan kedua. Sementara ini..." Arya menunjuk cangkir kedua,
cangkir yg dipilih Shilla. "Gyokuro. Teh hijau kelas atas. Keduanya, baik bancha yg kasar
maupun gyokuro yg angkuh terbuat dari dua sisi daun teh yg sama, pahit.
"Sementara teh ini," Arya menunjuk cangkir pertama, "teh putih. Jenis teh kualitas premium yg
sedikit diproduksi dan tidak umum diminum. Dibuat dari daun teh yg masih muda dan terlindung
dari sinar matahari. Teksturnya lebih lembut dan terasa sedikit manis," jelas Arya tersenyum.
"Tapi, teh hijau terbukti memiliki lebih banyak kafein daripada teh putih. Ya, teh hijau inilah yg
memiliki potensi lebih banyak untuk membuatmu berdebar." Arya terdiam, menatap Shilla yg
tampak mulai mengerti maksudoya. "Jangan terlena dengan kelembutan sesaat yg toh nggak
akan lagi terasa setelah melewati kerongkongan itu. Karna teh hijau yg kadang terlihat angkuh
dan kasar inilah yg sudah melewati tahap pemanasan yg menyakitkan dan memberikan segalanya
untukmu." Shilla tertegun. Kini ia tahu merujuk pada siapa teh hijau yg kasar dan teh putih yg lembut itu.
Arya tersenyum menyemangati. "Kamu yg sudah menyeduhnya, Shilla. Menekan egonya untuk
mulai percaya. Jangan buat semua sia-sia. Karna kamu tahu kan, daun teh yg sudah
mengeluarkan semua kandungannya akan segera jadi tidak berguna dan berakhir di tong
sampah." Shilla tepekur mendengar celotehan Arya, memberanikan diri untuk menatap mata pemuda itu
dan bertanya, "Apa Tuan..."
"Saya bukan tuan kamu lagi," Arya tersenyum, setelah mengangkat tangan untuk menyela.
Tersentak karna sadar Arya sudah tahu posisinya sekarang, Shilla mengunci mulutnya lagi. Ia
menatap mata Ayi yg ternyata kini tak memiliki dampak kafein sama sekali. Apa mungkin,
bahkan setelah menyadari kebenaran itu, ia sesungguhnya telah menemukan jawaban atas pilihan
yg Ryo ajukan" Bahwa bahkan sosok Ayi tak bisa lagi menggoyahkan hatinya.
Shilla menarik napas sebelum merogoh kantongnya, mengeluarkan mata rantai terakhir yg
menghubungkannya dengan Ayi. Ia meletakkan bros yg dijaganya selama lebih dari sepuluh
tahun dengan hati2 di meja, kembali ke hadapan pemiliknya.
Arya mengernyitkan kening. "Ini untuk apa?"
Shilla turut mengernyit. "Saya kembalikan."
Arya menggeleng. "Ini bukan milik saya."
Shilla terdiam sebelum akhirnya bertanya lagi, "Kakak nggak pernah merasa kehilangan bros
ini?" Arya menggeleng lagi. Seluruh dunia tahu bahwa gelengan umumnya berarti "tidak", indikasi yg membuat gadis itu kini
kebingungan. Apa berarti Ayi tidak pernah mengingatnya selama ini" Lalu kenapa... ia tidak
kecewa" Shilla diam-diam lega, menyadari pelatuk terakhir yg masih menahannya di tempat selama ini
terlepas juga, mungkin ini berarti hati kecilnya yg bodoh benar-benar sudah boleh bisa
menentukan sendiri. Bahwa terkadang pilihan akhirnya dijatuhkan bukan pada siapa yg lebih
dulu datang, melainkan pada dia yg paling akhir bertahan.
Arya memandang langit sore yg menggelap dari jendela besar, lalu berpaling pada Shilla.
"Kenapa kamu nggak mulai mencari, sebelum ada yg menghilang lagi?"
Shilla meresapi kata-kata itu sejenak. Lalu mulai berlari.
Shilla tak tahu bahwa dalam keheningan, Arya masih bertahan.
Senyum Arya menghilang dan digantikan desahan sepeninggal Shilla. "Saya memang nggak
pernah menghilangkan bros itu. Saya memberikannya pada kamu kan, Shilla?"
Karna alasan samar itulah Shilla berada di sini. Lagi-lagi sedikit meringis melihat remaja tampan
dalam salah satu pigura itu memasang tampang tak peduli sambil mengacungkan ijazah sekolah
menengah pertamanya tanpa didampingi siapa2, sendirian.
Shilla terperangah saat matanya menjejaki kurung kenangan itu lebih jauh. Tangannya mulai
membelai salah satu potret yg tampaknya merupakan potongan mozaik terbaru. Ada dua sosok
yg sangat ia kenali di sana. Ia pun tertegun saat menyadari sesuatu.
Pemuda rupawan dalam pigura kali ini tak lagi menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Dia tertawa
hingga matanya bercahaya, melempar kerling manis pada seorang gadis yg juga sedang
tersenyum sambil menunduk malu-malu. Dirinya. Shilla tak sempat memikirkan dari mana foto
ini berasal. Di otaknya hanya satu fakta yg berputar. Ternyata benar. Pemuda itu mulai percaya
pada cinta. Shilla merasa hatinya mencelos, entah kenapa.
"Kamu datang..." Kehangtan suara bariton itu menyusup ke telinga, lalu hatinya. Shilla berbalik
dan terdiam menatap Ryo yg sedang bersandar pada meja kayu. Entah dari mana dan kapan
pemuda itu muncul. Shilla mengangguk samar dan tiba-tiba tak tahu harus berbuat apa. Padahal tadi banyak sekali yg
ingin ia katakan, tanyakan, dan lakukan pada sosok di hadapannya. Semua itu seperti tertelan
atmosfer aneh yg baru saja terbangun.
Ryo berjalan pelan melewati Shilla, ikut memperhatikan deretan pigura. Sementara Shilla
melangkah ke arah berlawanan, menuju meja yg tadi disandari Ryo dan berusaha tak bersuara
untuk mencari sesuatu, karna ia tahu apa yg harus ia lakukan.
Bab 13 Ryo memperhatikan susunan pigura masa kecilnya yg dipajang di salah satu dinding rumah
pohon tempatnya berada sekarang, sambil menahan gemuruh yg terus bergetar cemas di
jantungnya, menanti jawaban gadis di belakangnya. Ia menghela napas panjang, lalu memegangi
dadanya sendiri. Ia tidak mau hatinya berubah menjadi rongsokan lagi. Karna mungkin, jika kali
ini muncul satu karat lagi, hatinya itu takkan pernah pulih dan terobati. Cukup lama indra
pendengaran Ryo ditulikan kekalutannya sendiri, hingga saat berbalik ia tak memercayai apa yg
dilihat matanya. Gadis yg disayanginya sepenuh hati itu tengah merunduk, menyalakan beberapa lilin yg
mungkin baru saja dia sebar di sekeliling lantai, membentuk setengah lingkaran.
Ryo mematung di tempat saat Shilla menuntaskan entah rencana apa yg sedang dikerjakannya
itu. Gadis manis itu tak lama kembali ke meja kayu, mengambil sebatang lilin yg belum disulut,
lalu bersandar diam pada rangka kayu dan memandang Ryo lekat2. Oh. Ryo mulai mengerti. Ia
segera menyiapkan hatinya untuk mendengar sebuah jawaban.
"Polusi cahaya, kamu tau?" Shilla bertanya pelan lalu mulai berdeklamasi. "Aku... sebenernya
juga nggak begitu tau, tapi aku pernah baca salah satu contohnya. Kira2 begini: di luar sana, di
langit malam paling cerah sekalipun kadang kita nggak akan menemukan bintang. Bukan karna
mereka nggak bersinar, tapi karna lampu2 jalanan, lampu2 industri itu terlalu terang sampai
nutupin cahaya mereka." Shilla mendesah sebentar, kembali menatap Ryo. "Kamu tau aku
pernah ngalamin itu" Aku... mau nunjukin itu sama kamu. Berhubung langit di luar nggak
mendukung, aku mau buat reka adegan kecilnya di sini."
Ryo memperhatikan Shilla berjalan melewatinya tanpa ragu. Harum gadis itu membuat Ryo
ingin memeluknya erat2. Tapi ia tetap mematung. Tanpa berbalik Ryo tahu Shilla sedang
mematikan sakelar lampu sorot pigura. Lalu ia mencabut steker hingga semburat oranye di sana
mengabur dan mati. Dalam keremangan, Ryo bisa mendengar gemerisik langkah Shilla
mendekatinya. Dipandu kerlip kecil cahaya lilin yg bergoyang tenang, ia bisa merasakan Shilla
berhenti tepat di depannya. Gadis itu meraih tangannya, meletakkan lilin tadi dh sana lalu
menyalakan sumbu di ujung batangan putih itu dengan korek api.
Saat Ryo menangkap kilatan sinar lilin yg berkobar di mata Shilla, ia bisa mendengar gadis itu
berbisik lirih sambil terus menggenggam tangannya yg kosong. "Aku juga sudah menemukan
cahaya kamu... berkelip seorang diri... di sini..." Shilla menunjuk jantungnya sendiri.
Ryo tak mau momen ini terlewat begitu saja. Di tengah naungan bintang2 buatan yg sebagian
sudah menjadi nebula -alias mati- itu, hujan mulai mereda. Meredakan pula kecemasan Ryo akan
masa depan hubungannya. Ryo menarik jemari Shilla, membimbingnya hingga gadis itu duduk
membelakangi meja kayu. Ia sendiri mulai bersimpuh di depan Shilla.
"Thanks," ucap Ryo pelan. Sedikit kagok karna ia -sejujurnya- jarang sekali mengucapkan terima
kasih, atau tolong. Shilla mendongak. "Untuk?"
Ryo mengangkat bahu. "Untuk nggak membuat hatiku jadi rongsokan lagi."
Shilla terdiam ketika lagi2 Ryo menatapnya lekat2. Membuatnya darahnya berdesir pelan.
Jendela di atas meja berderak pelan, menyertakan tiupan angin akhir yg membawa cahaya lilin
meredup lalu terbang bersamanya, menyisikan kegelapan yg berdeusau di sekeliling Ryo dan
Shilla. Ia bisa merasakan Ryo tiba2 mempersempit jarak antara mereka, membuatnya sedikit
rikuh hingga punggungnya menempel di rangka meja belakangnya. Jantungnya berdebar hebat
saat Ryo melayangkan tangan ke rangka kayu yg sama, mendarat di dekat tengkuknya. Shilla
kini bisa menangkap kilatan cahaya bulan yg terpantul di mata Ryo yg hanya berjarak beberapa
senti darinya. Ia menahan napas saat Ryo sedikit berjingkat dari posisi duduknya, semakin
mendekat ke meja hingga tangan pemuda itu naik ke dekat kepalanya dan Shilla tercekat saat
telinganya mendengar bunyi gemerisik aneh.
Ryo mengernyit melihat raut Shilla yg -sangat teramat- tegang. Tangannya menjelajah meja,
berniat mencari korek api yg tadi diletakkannya di sana. Setelah mendapatkan apa yg dicari, Ryo
membetulkan posisi duduknya. Ia menyalakan lilin di dekatnya yg tadi mati dan tersenyum geli
melihat Shilla menghela napas lega. Pasti tadi gadis ini berpikir dia bakal diapa-apain deh. Dasar
lucu. "Kenapa sih tegang gitu?" Ryo mengangkat alis, berniat iseng.
"Nggak, nggak pa-pa..." kata Shilla sok tenang. "Dasar seksi lighting-nya payah."
Ryo mencibir, mendekat ke arah Shilla dengan wajah jail. "Ah, kamu maunya diapa-apain, ya?"
Shilla bergeser menjauh. "Ih apaan sih..." Gadis itu manyun melihat Ryo tertawa terbahak-bahak
hingga memukuli lantai. Saat membuka mata keesokan paginya, Ryo merasa tak percaya ternyata semalam ia telah
memenangkan hati gadisnya lagi. Ryo kembali memejamkan mata, menghirup udara dalamdalam dan merasakan setiap sel tubuhnya berteriak-teriak bahwa ia menyayangi Shilla setengah
mati. Ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Ryo membuka mata dan mendengus jengkel. Ia
menghela napas kesal lalu tersaruk-saruk menuruni undakan menuju pintu dengan muka
mengantuk. Ryo memegangi kepalanya dan tiba-tiba tersenyum girang. Siapa tahu yg mengetuk
itu Shilla. Ia membuka pintu dengan semangat Spartan.
Ternyata bukan. Ryo merasa senyumnya pupus seketika. Yg ada di depannya adalah pelayan yg
langsung membungkuk begitu melihatnya. "Kenapa?" tanya Ryo mengantuk.
"Ada paket untuk Tuan," kata pelayan berkacamata itu sambil mengulurkan kotak berpita ke
tangan Ryo. "Dari?" "Maaf Tuan, saya kurang tahu. Permisi," ujar pelayan itu pelan saat melihat Ryo mengangguk
tak acuh. Ryo menutup pintu, memandangi kotak itu sambil melangkah gontai menaiki undakan lagi. Ia
duduk di tepi tempat tidur, mengernyit memandangi kotak imut itu. Apaan lagi sih ini" Ryo
membuka kotak tersebut dan mengerutkan dahi mendapati batangan cokelat Hershey's yg sudah
terpotong setengah. Sesuatu menyambar benaknya, membuat perut dan hatinya bertalu aneh saat menyadari sesuatu.
Dengan terburu-buru, Ryo mengambil kartu kecil yg ditulis rapi jali.
Kamu ingat, Yo" Kamu marah dua hari karna aku makan setengah cokelat Hershey's-mu" Ini
aku kembalikan, seperti janjiku yg belum sempat terpenuhi. By the way, aku juga menagih
janjimu. Mana potongan hatiku"
M. Janji itu. Oh Tuhan. Ryo tahu siapa pengirim cokelat ini.
-END- Sumber:

Love Command 2 The Second Chance Karya Janice Nathania di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Pelangi Lembah Kambang 2 Gento Guyon 18 Iblis Edan Bandit Penyulam 4
^