Pencarian

Matemacinta 1

Matemacinta Karya Razy Bintang Argian Bagian 1


MATEMACINTA Karya : Razy Bintang Argian
~MATEMACINTA~ Karya: Razy Bintang Argian
Sinopsis Lengkap sudah daftar dosa yang dimiliki Rin. Cewek tomboy 17 tahun ini sering terlambat ke
sekolah, sering cabut, jarang bikin PR, langganan disetrap dan dipanggil guru BP, bahkan suka
nyuri mangga tetangga. Dan apesnya, waktu lagi nyuri mangga, Rin kepergok Rio, keponakan si
pemilik rumah. Nasib sial masih membayangi Rin. Ternyata guru matematika pengganti di sekolah Rin
adalah..... Rio! Selain tetangga yang menyebalkan, bagi Rin, Rio ini juga guru yang
menyebalkan. Rio kayaknya hobi banget bikin perkara sama Rin. Mulai dari nama Rin yang
diganti jadi "Marmut", ngasih hukuman seabrek gara-gara Rin nggak ngerjain PR, bahkan Rio
sampai nantangin Tommy, cowok cakep gebetan Rin, tanding basket.
Tapi gara-gara Edwin, bocah nakal sepupu Rin, Rin sempat nonton bareng Rio di bioskop. Terus
pas Rin dikeroyok berandalan, Rio juga yang nyelamatin Rin. Sejak kejadian itu, mereka jadi
akrab dan berteman. Perlahan-lahan Rin mulai suka sama matematika, dan tanpa sadar dia juga
suka sama guru matematikanya itu.
Memang benar kata orang bijak, "Kita emang nggak bisa nentuin kapan dan pada siapa kita
jatuh cinta....." ~MATEMATIKA~ karya: Razy Bintang Argian
part ?1 Mangga KRAK! Suara ranting patah membuatku makin hati-hati menginjak kaki di tanah. Setelah berhasil
memanjat tembok pembatas halaman belakang, sekarang aku sudah memasuki pekarangan
rumah Pak Karta. Sebuah rumah besar dengan halaman luas yang tampak kurang terurus.
Dengan badan membungkuk, aku mengamati keadaan rumah yang berdiri beberapa meter di
depanku. Seperti biasa, nggak terdeteksi tanda-tanda ada orang di dalam sana.
Pak Karta dan istrinya adalah pensiun guru. Dua minggu lalu mereka pindah ke rumah putra
sulung mereka diluar kota untuk menemani cucu mereka yang sering ditinggal bekerja oleh
orangtuanya. Setelah meregangkan badan, aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
Kayaknya misiku, seperti biasa, akan berjalan lancar sore ini.
Misi apa sih" Begini ceritanya. Di halaman rumah Pak Karta tumbuh banyak pohon buah,
misalnya mangga, rambutan, juga jambu. Sudah dua kali aku metik buah di sini. Rumah ini
sedang kosong, jadi menurutku nggak ada salahnya aku ngambil buah di sini. Yang kulakukan
ini bisa disebut pemanfaatan hasil bumi, kan" Kasihan, pohon-pohon ini sudah ngabisin
energinya untuk berbuah, tapi buahnya cuma jatuh percuma lalu busuk. Hmm.....aku benarbenar cewek manis yang baik hati! Tapi aku nggak ingin memamerkan kebaikanku. Jadi, akan
sangat baik kalau nggak ada orang yang tahu tentang usahaku ini.
Aku mendongak memandang pohon mangga yang kali ini jadi sasaran misi rahasiaku. Buahnya
yang besar-besar dan mulai menguning menggodaku, menggoyahkan imanku, dan meruntuhkan
keraguan dalam hatiku. Dengan keahlian memanjat yang diwariskan nenek moyang kita bangsa
kera (ini menurut teori Charles Darwin lho), dalam sekejap aku sudah berada di atad pohon
mangga itu. Sambil bersandar di cabang pohon yang lumayan kokoh, aku mulai memetik
mangga yang bisa kujangkau lalu memasukkannya ke tas plastik yang sudah kusiapkan. Aku
memanjat lebih tinggi untuk mengambil buah yang menggelantung di atas.
"Monyet dari kebuh bintang mana nih, yang lepas terus nyasar ke sini"!" teriak seseoramg di
bawah membuatku kaget. Tanpa sengaja, tas plastik penuh manga yang sedang kupegang
terlepas. "Adaw!" Laki-laki yang berdiri di bawah pohon memegangi dahinya.
Ups! Tas plastik itu jatuh tepat mengenai kepalanya. Yan ampun, matilah aku! Besok bisa ada
berita di koran tentang penganiayaan yang dilakukan sissi kelas II SMA karena kepergok
nyolong mangga. Mungkin bakal ditulis sempat terjadi perlawanan dari si pencuri sehingga
terdapat luka memar di kepala si pemilik rumah. Tidak, aku nggak mau hidupku berakhir karena
tindakan pemanfaatan hasil bumi ini.
"Maaf, Mas! Saya nggak sengaja." Suaraku bergetar, detak jantungku di atas normal.
"Masu pekarangan rumah orang tanpa izin, terus sekarang sudah nangkring di atas pohon,
kamu masih bilang nggak sengaja nyolong mangga?" Laki-laki brewokan yang kelihatannya
berusia sekitar tiga puluh itu menatapku garang. Kayaknya dia baru bangun tidur, kelihatan dari
rambutnya yang berantakan dan matanya yang tampak merah. Tapi, mungkin saja matanya
merah karena dia lagi marah. Aku makin ketakutan.
"Maksud say, yang nggak sengaja itu buah yang jatuh kena kepala Mas." Orang ini lemot juga
ya, pikirku. Eh, atau jangan-jangan dia kena gegar otak gara-gara ketiban mangga tadi.
Hukuman pidanaku bisa makin berat nih.
"Cepet turun sebelum saya panggilkan warga!" bentak laki-laki itu, membuat keringat dingin
membasahi punggungku. Aku bukannya takut dipanggilkan warga, tapi malu karena semua
warga adalah tetanggku. Dengan kaki gemetar, aku menuruni pohon yang cukup tinggi itu. Saat berdiri di depan laki-laki
itu, aku salah tingkah dan nggak berani menatapnya.
"Siapa yang ngizinin kamu metik mangga di sini" Memang ini pohon milik umum?" tanyanya
sinis. Aku bisa merasakan tatapan marahnya.
"Maafin saya, Mas, saya kira nggak ada orang di rumah ini."
"Oh.....gitu" Jadi kamu kira kalau nggak ada penghuninya, kamu bisa bebas keluar-masuk
rumah orang dan mengambil barang seenak jidat kamu" Itu namanya nyolong, tau!" Dia
berteriak-teriak ke arahku. "Memang di sekolah kamu nggak diajarin kalau nyolong itu tindakan
kriminal?" "Ya diajarin, Mas. Tapi saya nggak niat nyolong kok. Kalau Pak Karta pulang nanti, saya akan
bilang kalau saya mengambil mangganya. Lagian, Pak Karta ngizinin saya metik buah di sini
kok. Memang sih, bilangnya nggak secara langsung. Waktu saya ketahuan nyolong jambu, Pak
Karta nggak marah. Itu artinya saya boleh ngambil buah di sini, kan" Daripada buahnya busuk
dan dimakan codot, mendingan dimakan saya." Aku nggak menambahkan soal tindakan
pemanfaatan hasil bumi, walau kupikir itu argumen yang sangat membantu.
"Beneran, Mas, saya akan bilang saya metik mangga di sini kalau Pak Karya pulang nanti.
Omong-omong, Pak Karta masih lama kan pulangnya?" Perlahan aku mengangkat kepala, ingin
menunjukkan tampang memelas biar laki-laki itu kasihan. Tapi aku malah kaget waktu ngeliat
mukanya. Ternyata dia nggak setua pikiranku. Laki-laki ini masih muda, tapi rambutnya yang
rada panjang dan berantakan, juga wajahnya yang brewokan bikin dia kelihatan tua.
"Pembohong! Mana ada maling yang ngaku?" bentaknya. Laki-laki itu diam, mengamatiku
dengan pandangan marah campur meyelidik. Aku merasa tubuhku mengerut. Omong-omong
siapa sih orang ini" Jangan-kangan Pak Karta udah ngejuak rumahnya dan orang ini jadi pemilik
barunya. Yah......sayang banget. Padahal aku udah akrab dengan Pak Karta dan istrinya,
walaupun awal kedekatan kami karena aku kepergok nyolong jambu di sini sekitar dua bulan
lalu. Eh, perlu kuklarifikasi sedikit. Aku nggak sepenuhnya nyolong waktu itu. Kejadiannya begini.
Waktu aku lewat di depan rumah Pak Karta, aku ngeliat ada dahan pohon jambu Pak Karya
yang menjorok ke jalan. Buahnya lagi merah-merahnya, jadi iseng aku memanjat tembok buat
memetik jambu itu. Sayangnya, ternyata Pak Karya juga sedang memetik jambu dari halaman
rumahnya. Jadi, ketahuan deh!
"Eh, jangan-kangan kamu anak tetangga sebelah yang kata Pak Karta pernah nyolong jambu di
sini, ya?" terka laki-laki itu sinis begitu selesai mengamatiku.
Yup! Tepat sekali! Wah, aku terkenal juga ternyata. Eh, tapi ini bukan waktunya berbangga diri.
Lagian, cowok ini juga kenal aku karena alasan yang nggak membanggakan.
"Nggak kapok-kapok juga kamu ngulangin perbuatan kamu," lanjutnya.
"Maafin saya, Mas. Saya janji, ini yang terakhir kalinya saya ngelakuin hal ini. Sungguh!" Aku
menunjukkan tampang serius.
"Baik, tapi sekali lagi kamu ketahuan nyolong, saya nggak segan-segan ngelaporin kamu ke
polisi. Atau sekalian saya minta kamu dipenjara," ancamnya sinis.
"Nggak akan, Mas." Aku ketakutan. Ucapannya membuatku yakin dia nggak normal. Lebih baik
aku segera pergi daripada jadi korban psikopat ini. "Saya permisi dulu ya, Mas." Dengan cepat
aku memungut mangga yang tadi jatuh lalu memasukkannya ke tas plastik. Aku berbalik, siap
kabur. "Berhenti!" Langkahku tertahan mendengar seruan laki-laki itu. "Enak aja, siapa yang ngizinin
pergi?" Dia berjalan ke arahku lalu merampas tas plastik penuh mangga di tanganku.
"Itu...." Aku nggak bisa berkata-kata. Oh, tidak! Jangan pisahkan aku dengan mangga-manggaku
tercinta! Jeritku dalam hati.
"Pergi sana!" usirnya.
"Tapi mangganya....."
"Kamu mau saya laporin ke polisi?" ancamnya.
Aku menghela napas pasrah. Dengan lemas aku melangkah keluar.
"Makasih ya," ucap laki-laki itu tiba-tiba dengan nada girang. Seketika aku berhenti lalu menoleh
ke arahnya. Dia mengangkat tas penuh mangga sambil tersenyum cengengesan. "Nanti nggak
usah sungkan-sungkan kalau mau metikin mangga lagi. Kamu berbakat kok jadi monyet,"
ucapnya mengejek. "Brengsek!" makiku tertahan. Runtuh seketika wibawa laki-laki itu di mataku. Ternyata dia bukan
laki-laki galak yang beneran sedang marah-marah, tapi cuma cowok cengengesan yang berhasil
menipuku dengan aktingnya yang meyakinkan. Bego banget sih aku!
*** Brak! "Kenapa Rin" Baru pulang kok langsung banting pintu, marah-marah kayak gitu?" omelan
hangat Mama menyambutku begitu masuk rumah.
"Ma, tahu nggak siapa cowok jelek yang ada di rumah Pak Karta?" tanyaku kesal. "Bikin
masalah aja." "Cowok yang mana?" Mama balik nanya.
"Itu lho, yang rada kurus, tinggi, putih pucat, rambutnya acak-acakan. Norak banget pokoknya!"
dengan nggak sabar aku mendeskripsikan cowok tadi sambil meneguk es jeruk yang nganggur
di atas meja." "Oh, itu keponakan Pak Karta yang baru datang dari luar kota. Sebelum pindah, Pak Karta
sempat bilang bahwa keponakannya yang akan menunggu rumahnya di sini. Dia baru lulus
kuliah, jadi sekalian mau nyari kerja. Kebetulan kemarin waktu belanja di minimarket ujung jalan,
Mama ketemu dia. Kayaknya orangnya baik. Memangnya kenapa kamu sama dia, Rin" Kamu
digangguin?" "Bukan cuma digangguin, Ma. Aku dirampok."
"Dirampok?" Mam yang sedang membersihkan rak di ruang tamu menghentikan pekerjaannya
lalu memandangku serius. "Tadi kan aku metik mangga di rumah Pak Karta, eh kepergok sam dia. Terus dia ngambil paksa
mangga-mangga yang aku petik. Aku kan udah capek-capek manjat. Mana sebelumnya dia
akting marah-marah lagi. Sok nasihatin ini-itu lah, bilang kalau nyolong itu tindakan kriminal lah,
blablabla. Huh, aku kesal banget! Kesal, kesal, kesal!" Dua detik kemudian mataku terbelalak
setelah menyadari apa yang baru saja kuucapkan. Ups/ Saking emosinya, aku nggak sadar telah
membongkar perbuatanku dan "menyerahkan diri" ke Mama.
"Oh...., jadi kayak gitu kelakuan anak Mama di luar?" itulah kata-kata pembuka omelan Mama
yang pasti bakalan panjang, lama, dan nggak menyenangkan. "Nggak kapok juga kamu, Rin.
Dua bulan lalu Pak Karta ngasih tahu Mama bahwa kamu mencuri jambu di kebunnya. Beliau
memang kelihatan nggak marah dan menganggap itu kejadian kecil, tapi sampai sekarang Papa
dan Mama masih malu kalau ingat kejadian itu, Rin MALU!"
"Mama, Pak Karta bukannya ngelaporin bahwaaku mencuri, tapi cuma ngasih tau bahwa aku
kepergok metik jambu tanpa izin. Lagian, setelah kejadian itu, Pak Karta malah sering ngajak
aku ke rumahnya kalau lagi ada pohon yang berbuah. Bu Karta juga baik sama aku. Bukannya
hubungan kita jadi lebih akrab sama mereka sejak aku kepergok nyolong, eh, kepergok metik
jambu di sana?" "Bisa-bisanya kamu aja, Rin." Mama melotot marah. "Apa itu berarti sekarang kamu boleh
keluar-masuk rumah itu dan metik buah seenaknya?" Mama menarik napas. "Rin, kalau kamu
mau mangga, bilang aja. Mama masih sanggup beliin kok, bukan kayak gini caranya!"
Mama berhenti sebentar. Sebenarnya ini waktu yang tepat bagiku untuk menjelaskan tindakan
"pemanfaatan hasil bumi", tapi sebelum aku membuka mulut, Mama melanjutkan.
"Mencuri itu tindakan kriminal, untung Nak Rio berbaik hati nggak memperpanjang masalah ini.
Coba kalau dia ngelaporin kamu ke polisi, mau ditaruh mana muka Papa dan Mama" Lalu kalau
kita muncul di berita kriminal TV, gimana peraaan Opa, Oma, juga keluarga kita yang lain?"
"Ah, Mama, yang bener aja! Jangan berlebihan deh. Masa maling mangga aja dilaporin ke polisi.
Masuk berita kriminal, lagi. Nggak mungkinlah. Lagian, aku nggak jadi ngambil mangga-mangga
itu kok." "Mencuri, berhasil atau tidak, tetap aja salah. Sebagai hukuman, kamu nggak Mama izinin
nonton TV selama seminggu, dan kamu Mama larang keluar rumah kecuali ada keperluan
mendesak. Itu pun harus dapat izin dari Mama."
"Yah, jangan dong, Ma! Hukumannya kok sadis gitu?" rengekku.
Mama nggak menanggapi, tapi malah ngelanjutin ceramah panjang-lebarnya soal tata krama,
sopan santun, dan norma-norma. Aku jadi ngerasa kayak remaja bermasalah yang lagi dapat
penataran P4. Ceramah Mama lebih nggak menarik dibandingkan penjelasan Bu Karuni tentang
statistika. Sulit dipercaya ada omongan yang lebih membosankan daripada pejaran matematika!
Nggak boleh nonton TV dan keluar rumah selama seminggu" Ya ampun, apa aku bisa bertahan
hidup kayak gitu" Ini semua gara-gara cowok tengil itu. Aku nggak mau berurusan lagi sama dia.
Semoga hari adalah pertemuan pertama dan terakhir kami.
part ?2 Senin Yang Hebat HARI senin ini terasa dua kali lebih nyebelin daripada senin-senin biasanya. Selain karena ada
tiga pelajaran berhitung di jadwal pelajaran hari ini___matematika, fisika, dan kimia___hari ini
pertama puasaku nonton TV dan keluar rumah.
"Hei, Rin!" sambut Wulan begitu aku tiba di bangkuku. Umum, pintar, tapi agak pemalu dan
tertutup. Sikapnya lemah lembut dan sopan. Pokoknya cewek abis deh. Beda banget sama aku
yang cuek, tomboi, dan hobi bikin ulah. Tapi, walau beda karakter, kami komapk banget lho.
Kami juga kompak soal dapat "panggilan" guru. Wulan sering dipanggil buat urusan sekolah,
misalnya dipanggil buat ikut lomba mewakili sekolah atau kepilih jadi siswa teladan, sementara
aku sering dipanggil karena ketahuan bolos atau bikin masalah di kelas. Makanya, para guru
nggak asing dengan kami berdua.
Seperti biasa, Wulan datang lebih awal daripada aku. Dia tampak rapi jali pagi ini. Rambut lurus
sebahunya diikat ekor kuda, kacamata minus bertengger di hidungnya, dan seragamnya yang
tersetrika rapi kelihatan kinclong. Beda banget dengan penampilanku. Rambutku pendek dengan
potongan ala jepang yang "nggak jelas", seragamku kadang-kadang kusut karena nggak sempat
disetrika, dan aku juga sering kelihatan berantakan karena biasanya berangkat buru-buru kalau
bangun kesiangan. "Kenapa muka lo kusut gitu, Rin?" Wulan memerhatikanku.
"Lo nggak tahu, ya" Ini kan hari pertama dia dapat hukuman bersihin kelas lantaran bulan lalu
berhasil mencahin rekor jadi murid yang paling sering telat," jelas Putri yang duduk di bangku
sebelah, mengingatkanku pada hukuman itu. Badanku terasa lemas. Sekarang, hari Senin ini
jadi tiga kali lebih buruk dibandingkan Senin-Senin sebelumnya.
Putri juga sahabatku. Dia tipe cewek yang berbeda dari aku atau Wulan. Putri itu cewek modis
yang fashionable abis. Dia peka banget sama yang namanya tren. Nggak heran kalau dia punya
cita-cita jadi desainer. Tapi menurutku, dia lebih cocok jadi model. Tubuhnya jangkung, dengan
rambut panjang bergelombang yang sering digerai. Bentuk wajahnya oval dan cantik banget.
Banyak cowok yng naksir Putri, tapi sampai sekarang dia belum punya pacar. Mungkin lantaran
dia terlanjur kecantol sama seorang cowok. Namanya Steve, dia vokalis Alkali, band SMA yang
cukup beken di kota ini. Banyak cewek yang bilang Steve itu keren, cakep, dan sebagainya. Tapi menurutku, dia cuma
cowok kurus cerewet yang kadang nyebelin banget. Steve itu sahabatku. Ngerti, kan"
"Lo udah bikin PR matematika, Rin?" tanya Wulan. Dia adalah "beken pengingat PR-ku. Pernah
suatu kali dia nelepon aku jam satu malam buat ngingetin soal PR kimia karena siangnya dia
lupa nelepon. Akhirnya, aku begadang ngerjain PR itu. Aku nggak tahu harus bersyukur atau
nyesel karena sudah diingatkan.
"Bu Karuni kan mulai hari ini cuti melahirkan. Jadi ngapain kita ngerjain PR statistika ribet itu"
Jawabku malas. "Tapi guru pengganti Bu Karuni datang pagi ini," lapor Wulan.
"Alah, guru baru. Hari pertama paling sibuk memperkenalkan diri dan nyeritain keluarganya,
ngebanggain anak-anaknya, "ujarku meremehkan.
"Semoga aja begitu. Mudah-mudahan dia nggak kayak Bu Karuni yang hobi memangsa murid
yang nggak ngerjain PR," lanjut Putri.
Bel berderinh. Kami beranjak menuju lapangan untuk upacara bendera. Sinar matahati pagi
yang menyengat seolah nggak bertoleransi dengan keadaanku sekarang.
Pak Bakti, kepala sekolah kami, memperkenalkan guru baru pengganti Bu Karuni. Aku nggak
tertarik dan sibuk memikirkan kedua hukumanku, yang di rumah dan di sekolah, sambul
menunduk memandang rumput.
"Selamat pagi, Anak-anak! Hari ini kita keatangan guru baru yang akan menggantikan Bu Karuni.
Yah, sekalian saya beritahu, mulai hari ini Bu Karuni cuti melahirkan." Pak Bakti memulai
pengumumannya. Kata-kata selanjutnya nggak kutangkap karena aku sibuk memikirkan rayuan
buat Mama biar aku bisa bebas bersyarat dari hukumanku, atau paling nggak aku dapat
keringanan. Tapi karena nggak ada ide, yang terbayang di benakku malah senyum mengejek
cowok tengil keponakan Pak Karta itu. Nyebelin!
"Gue nggak nyangka wali kelas kita masih muda," ujar Putri yang berbaris di sebelahku,
mengusik lamunanku. "Hah?" Aku menoleh padanya nggak ngerti. Putri tampak antusias memandang ke podium,
begitu juga teman-teman sekelasku yang lain. Aku jadi ikutan melihat ke depan, ingin tahu
kenapa guru baru itu begitu menarik perhatian. Setelah memfokuskan pandangan kepada orang
yang berdiri di samping Pak Bakti, mataku membesar. Aku nggak percaya dengan siapa yang
kulihat. "Selamat pagi, Anak-anak!" sapa guru itu. "Nama saya Mario Hendra Saputra. Panggil saja Pak
Rio. Saya akan mengajar matematika di kelas dua dan jadi wali sementara di kelas 2-F untuk
menggantikan posisi Bu Karuni selama beliau cuti."
"Cakep ya, Rin?" komentar Putri ganjen.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cakep apanya" Protesky dalam hati. Coba aja liat orang itu waktu baru bangun tidur dengan
rambut berantakan dan mata merah. Walaupun sekarang dia memakai kacamata, rambutnya
dipotong rapi, dan mungkin dia bercukur (aku nggak bisa ngeliat wajahnya dengan jelas dari
sini), tetap aja dia keponakan Pak Karta yang sudah merampas mangga-manggaku dan
membuatku dihukum sama Mama. Dia bakal kubenci" Oh, tidak! Rasanya hari Senin ini jadi
berkali-kali lebih mengenaskan.
*** Bel masuk untuk pelajaran keempat berdering. Dengan kecepatan penuh, Putri menyalin PR
Wulan. "Kok lo tenang-tenang aja belum bikin PR, Rin?" tanya Wulan cemas.
"Guru baru, masih muda. Nanti paling sibuk ngoceh tentang dirinya sambil godain murid-murid
cewek," ucapku meremehkan.
Nggak lama kemudian, Pak Rio masuk kelas. "Selamat siang, Anak-anak!" Dia meletakkan
buku-bukunya di meja kemudian berdiri di dekat meja guru. "Seperti yang kalian tahu, saya di
sini jadi pengganti Bu Karuni. Jadi saya harap kita bisa bekerja sama. Kalau kalian punya
masalah dalam pelajaran matematika atau hal lain, saya akan mencoba bantu sebisanya.
Huh! Janji-janji klise guru baru. Kurasa dia nggak bakal pedulu kalau salah satu dari kami
menangis frustasi karena patah hati, cibirku dalam hati.
"Saya sudah mengenal kalian dari daftar absen dan foto di denah kelas. Karena di kelas ini ada
dua siswi dengan nama Marina, saya akan memanggil kalian dengan cara berbeda."
Aku yang sejak tadi nggak mengacuhkan guru itu, jadi sedikit menaruh perhatian karena namaku
disebut. Aku menoleh ke arah Martabak, teman sebangki Putri, yang ternyata juga sedang
menatapku. Martabak menatapku dengan pandangan sinis tentunya, seolah kesamaan nama
kami adalah salahku dan dia korbannya. Nama lengkapnya Marina Taura Bakti yang kusingkat
jadi Martabak. Panggilan sebenarnya sih Taura. Dia putri bungsu Pak Bakti, kepala sekolah. Dia
primadona kelas 2-F. Memang sih, dengan wajah cantik, tubuh jangkung langsing, juga rambut
lurusnya yang selalu terurai sempurna, dia pantas untuk itu. Tapi sikapnya yang kadang angkuh
dan sok penting itu bikin dia jadi nyebelin banget. Kayak cewek jangkung-kurus-pirang di film
remaja Amerika gitu deh. Jujur aja, aku nggak terlalu suka sama Martabak dan kayaknya dia juga gitu. Semuanya berawal
waktu aku mulai dekat sama Putri yang juga sahabat Martabak. Mungkin dia nganggap aku
ngerebut Putri darinya atau gimana, makanya dia jadi sentimen sama aku. Selama ini Putri
bersikap netral terhadap kami. Pasti sulit berada di posisinya. Tapi mau gimana lahi" Aku
terlanjut nggak suka sama Martabak yang suka seenaknya itu. Kurasa dia lebih memilih
berenang di kolam penangkaran piranha daripada jadi temanku.
Pak Rio menoleh kepada Martabak. "Untuk Marina Taura Bakti, saya akan panggil kamu dengan
nama Marina." Martabak langsung tebar pesona dengan senyumannya. Please deh! Kemudian
Pak Rio menoleh ke arahku. ".....dan Marina Mutriasa, kamu akan saya panggil dengan nama
lengkap yang disingkat."
Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya tuh"
"Marmut...." Tawa seisi kelas meledak, dan Martabak tampaknya yang paling bersukacita atas lelucon konyol
ini. Marmut" Yang benar aja! Enak aja guru tengil itu, sembarangan ganti nama orang.
Serta-merta aku mengangkat tangan. "Panggil saya Rin saja, Pak."
Saya tidak mau memanggil murid dengan nama panggilan teman-temannya," jawab Pak Rio
sambil duduk lalu membuka-buka bukunya.
"Panggil saya Mutriasa...."
"Kepanjangan," komentarnya.
Aku berpikir sejenak. "Atau panggil dia Martabak, dan saya yang Marina," usulku, yang disambut
tatapan "enak-aja-lo" dari Martabak.
Pak Rio nggak bereaksi. "Panggil dia Taura, Pak. Memang itu namanya. Kalau saya Marina."
"Cukup. Kita nggak akan membahas soal panggilamu lagi. Bukan masalah penting. Kamu tetap
Marmut." Tawa teman-teman kembali terdengar. Aku membuka mulut, tapi kemudian
mengurungkan niat memperjuangkan nama panggilanku. Pak Rio memalingkan pandangan
dariku ke seluruh kelas. "Kita lanjutkan dengan PR minggu lalu dari Bu Karuni, halaman 57.
Keluarkan pekerjaan kalian!"
Langsung saja kejengkelanku soal "Marmut" tadi berubah jadi kepanikan. Ternyata Pak Rio
bukan tipe guru genit yang suka ngoceh, dan itu bikin aku mendapat masalah. Ooh, I'm in
trouble! Pak Rio berkeliling kelas kemudian berhenti di bangkuku. "Marmut, mana pekerjaanmu?"
Tawa tertahan teman-teman terdengar pelan.
"Sa....saya....PR saya ketinggalan di rumah, Pak."
Pak Rio mengambil buku tulis di hadapanku. Dia menunjuk sampel depannya. "Di sini ada
tulisan 'Buku PR'. Di mana lagi kamu bikin PR" Di diary?"
Aku menunduk. Dasar tolol! Kok aku ngasih alasan gitu sih"
"Kenapa kamu tidak mengerjakan PR?" tanya Pak Rio, masih belum beranjak dari mejaku. Aku
membisu. "Kalau ada alasan, bilang saja. Memang kamu sibuk mengerjakan apa kemarin
sampai tidak sempat bikin PR?" tanya Pak Rio dengan nada menyindir. Nyebelin! Ternyata dia
masih dendam padaku sola pencurian mangga itu.
"Saya lupa, Pak."
"Alasan klise, nggak kreatif. Cepat kerjakan soal nomor satu depan!" perintahnya.
Bakalan nggak enak banget nih, berdiri di depan jadi tontonan satu kelas, mematung nggak
harus nulis apa. Jadi, mendingan aku ngaku deh. "Saya nggak bisa ngerjain soal itu, Pak."
"Apa kamu nggak bisa mengerjakan hal yang nggak ada unsur kriminalnya, Marmut?"
Tawa teman-teman menyambut sindiran Pak Rio. Kemana perginya solidaritas di kelas ini"
Mungkin mereka pikir Pak Rio sedang membicarakan pelanggaran peraturan sekolah yang
sering kulakukan. Tapi aku tahu pasti apa maksud ucapan guru tengil itu.
Pak Rio kembali ke meja guru lalu duduk. "Siapa yang sudah mengerjakan soal nomor satu?"
Wulan dan beberapa anak lain angkat tangan. Akhirnya Wulan yang ditunjuk. Aku menghela
napas lega. Sepertinya aku sudah selamat dari masalah ini.
"Marmut, kerjakan soal serupa di bagian akhir buku ini. Serahkan besok!"
Aku membalik halaman-halaman buku sampai bagian akhir. Lima belas soal statistika
menyambutku hangat. Hari Senin ini benar-benar jadi hari sialku.
*** Dengan gontai aku menyeret kaki masuk rumah. Badanku pegal setelah membersihkan kelas
sendirian, belum lagu beban mental yang kutanggung karena kenyataan bahwa cowok nyebelin
keponakan Pak Karta itu sekarang jadi wali kelas dan guru matematikaku. Ada banyak jenis
pekerjaan, kenapa dia harus jadi guru" Di SMA-ku, lagi. Oh tuhan jangan kutuk hambamu yang
sengsara ini. Aku membuka pintu dan terkejut melihat keadaan kamarku. Koleksi komikku tergeletak tak
berdaya di tempat tidut, dan mainan-mainanku tersebar luas di seluruh penjuru kamar.
"Aargh......! Siapa nih yang ngeberantakin kamarku"!" teriakku frustasi.
Mama berjalan tergesa ke arahku dengan nampan berisi segelas susu dan kue cokelat.
"Kenapa, Rin?" Tanpa ekspresi, aku menunjuk-nunjuk kamarku. Perasaanku nggak enak. Jangan-jangan.....
Sebelum Mama membuka mulut, pertanyaanku terjawab. Edwin muncul dari belakang Mama
dengan senyum-bocah-nakal-tanpa-rasa-bersalah-nya. Sekarang aku merasa hari Senin ini
benar-benar hebat! part ?3 Zero Wing Gundam AKU tersentak dari tidur saat merasakan cipratan air dingin di wajahku. Kelapaku terasa berat.
Tidak terdengar suara hujan, dan aku yakin atap kamarku tidak bocor, tapi kenapa bisa ada
cipratan air wajahku"
"Bangun, Singa Masai!" teriak suara anak kecil.
Aku mengucek-ucek mata, memfokuskan pandangan. Dan setelah kulihat siapa yang
menyemprotku, aku berteriak histeris, "Ya ampun....! Edwin!!!"
Edwin ini sepupuku, anak tunggal dari Tante Ema, adik Papa yang paling kecil. Umurnya tujuh
tahun dan baru masuk SD tahun ini. Sekolahnya nggak jauh dari rumah. Dia sering dititipkan di
rumahku oleh orangtuanya kalau mereka harus keluar kota karena urusan bisnis.
Papa dan Mama sayang banget sama Edwin. Memang sih, Edwin tampak seperti bocah lucu
menggemaskan dengan kulit putih, tubuh gempal, dan rambut rada cokelatnya. Begitu
melihatnya, orang bisa langsung suka sama dia. Tapi aku nggak bakal ketipu sama tampang
imutnya. Bagiku dia tetap perusuh kecil yang selalu bikin kacau, bocah nakal penganggu, alien
yang nggak diterima di planetku.
Edwin melompat-lompat di atas kasur dengan pistol air di tangannya. Aku menutup kepalaku
dengan bantal. Aku lebih memilih atap bocoe plus hujan badai daripada kehadiran bocah nakal
ini di sini sekarang. "Edwin, keluar kamu! Cepet!" seruku.
Tiba-tiba suara deringan jam-ajam beker yang bersahutan terdengar. Aku mengangkat bantal,
dan kulihat Edwin sedang mengeluarkan jam beker yang berdering-dering dari saku piamanya.
Sudah ada empat beker di atas kasur dan Edwin sedang berusaha mengeluarkan satu beker lagi
dari saku piamanya yang kesempitan.
"Edwin....!!!" teriakku, menyaingi suara kelima beker itu. Aku yakin, anak bandel ini
mengumpulkan beker dari seluruh kamar. "Matiin nggak"!!! Kalo nggak, aku jitak nanti! Berisik,
tau!" Edwin melompat-lompat girang, tidak menghiraukan ancamanku. Aku menyingkap selimut
dengan kesal dan bersiap menyerangnya. Tapi dengan cepat dia mengacungkan pistol airnya di
depan wajahnya. Aku mengangkat kedua tanganku. "Oke, aku nyerah! Jangan tembak!"
Tetapi.....Crot! Mukaku basah dalam sekejap.
"Kata Mama, bangun tidur harus cuci muka dulu!" seru Edwin sambil berlari ke luar kamar.
Sebelum menutup pintu, anak itu melemparkan bebek mainannya yang berkwek-kwek
memekakkan telinga ke tempat tidurku
kamarku benar-benar meriah pagi ini.
Dasar bocah kurang ajar! Dengan kesal aku mematikan kelima beker dan bebek mainan itu, dan
kuletakkan di atas meja belajarku. Memang sudah waktunya aku bangun, mandi, dan berangkat
sekolah, tap mataku kok masih mengantuk, ya"
*** Setelah memaksakan diri mandi dan memakai seragam, aku menyiapkan buku-buku untuk
pelajaran hari ini. Dengan kepala pening, kurapikan PR matematika yang kubuat sampai jam dua
pagi tadi. Siang kemarin aku sibuk bertengkar dengan Edwin karena dia mengacak-acak koleksi
komik dan mainanku. Setelah itu aku ke toko buku karena ada komik yang baru terbit. Sorenya,
baru aku kepikiran nelepon Wulan untuk menanyakam apakah dia mau membantuku bikin PR.
Sayangnya, dia bilang akan mengantarkan kakaknya ke bandara.
Akhirnya, aku jadi malas mengerjakan tugas itu sendiri. Terus kepikiran baca komik-komik baru.
Sekitar jam sebelas malam, aku baru selesai baca. Waktu melihat buku matematikaku di atas
meja, aku terenyak. Aku lupa mengerjakan PR! Sejenak aku sempat memikirkan alasan buat
Pak Rio biar aku bisa bebas dari tugas ini, tapi aku nggak nemu satu ide pun. Mau nggak mau,
terpaksa semalaman aku begadang buat ngerjain soal-soal ribet itu.
Aku turun ke ruang makan dengan lingkaran hitam samar di sekitar mataku. Tubuhku lemas.
Papa, Mama, dan Edwin sudah duduk mengitari meja makan.
"Masih pagi kok udah lemas gitu, Rin?" tanya Papa yang sudah terlihat rapi dengan pakaian
kerjanya. Papa adalah akuntan di sebuah bank swasta. Orangnya penuh perhitungan, agak
pendiam, dang nggak terlalu suka mempersoalkan hal-hal kecil. Sifat terakhirlah yang paling
kusuka dari Papa. Jadi, Papa nggak pernah ambil soal kebiasan-kebiasaan jelekku, seperti suka
bangun siang, nggak rapi, dan malas.
Soal masalah-masalah yang kubuat di luar rumah, Papa juga menanggapinya santai-santai saja.
Prinsip Papa, selama ulahku nggak membahayakan diri sendiri atau orang lain, no problem. Jadi
cuma Mama yang biasanya stres berat dan sibuk ngomel kalau aku bikin ulah.
Omong-omong, masalah percurian mangga dua hari lalu ternyata masalah besar lho. Soalnya
Papa ngomel panjang-lebar padaku setelah mendapatkan laporan dari Mama.
"Semalam dia nyelinap ke luar buat nonton TV," lapor Edwin. Mama langsung memandang
curiga ke arahku. Rupanya bocah ini tahu soal hukumanku seminggu ini. Pasti Mama yang
bilang, biar mereka bisa bersekongkol mengawasiku. Benar-benar tante dan keponakan yang
kompak! "Nggak kok. Semalam aku begadang ngerjain tugas," aku membela diri. Gimana aku sempat
mikirin TV" Bisa ngeliat garis lurus aja udah syukur. Dasar bocah gendeng, ngomong
sembarangan! "Ma, ngapain sih, bocah ini ngungsi di rumah kita" Ngerepotin aja!" ujarku saat kami mulai
sarapan. "Rin, jangan ngomong gitu!" tegur Mama marah. "Kamu nggak kasihan sama Edwin yang jauh
dari papa-mamanya" Harusnya kamu sayang sama dia kayak adik sendiri, bukannya selalu
berantem dan marah-marahin dia."
"Dengar itu, Tazmanian!" Edwin menjulurkan lidah mengejekku.
Adik" Yang benar aja" Dia nggak pernaj nganggap atau manggil aku "kakak". Edwin selalu
memanggilku seenaknya. Singa Masai-lah, Tazmanian-lah, Spongebob-lah, atau tokoh-tokoh
kartun yang nggak ada lucu-lucunya, gitu. Pokoknya nggak ada hormat-hormatnya tuh bocah
sama aku. "Mama, Win mau roti yang itu." Edwin menunjuk roti bertabur meises cokelat di tengah meja
makan. "Mama" Edwin manggil 'mama'?" aku nggak yakin dengan pendengaranku.
"Papa yang nyuruh Win manggil gitu, biar dia ngerasa di rumah sendiri," Papa menjelaskan.
"Aku nggak mau," protesku. Nggak, aku nggak terima. Cuma aku yang boleh manggil
orangtuaku ''papa dan ''mama''. Cuma aku anak mereka.
"Jangan kekanakan gitu, Rin. Apa bedanya Edwin manggil 'mama atau 'tante'"'' Mama
mengambilkan roti untuk Edwin sambil membersihkan sisa susu di sekitar bibirnya. Manja
banget sih nih anak! "Aku nggak suka Edwin merebut Mama dan Papa."
"Ngerebut?" Papa melihatku seolah aku anak kecil yang nggak mau berbagi mainan dengan
anak lain. "Iya, dari dulu Papa dan Mama kan lebih sayang Edwin daripada aku. Apalagi sekarang dia
manggil 'papa-mama'. Jangan-jangan nanti Papa sama Mama lupa mana yang anak sendiri dan
mana yang bukan." "Rin, kok kamu ngomong gitu" Jangan berlebihan deh," ucap Mama.
Aku tak bisa melanjutkan argumenku. Aku melirik Edwin dengan kesal. Bocah itu menjilat meises
cokelat di atas rotinya. Coba aku melakukannya, bisa-bisa Mama membawaku ke psikiater
karena khawatir aku mengalami gangguan mental. Padahal kan aku juga maniak cokelat. Huh,
nggal adil! Aku merasa, mulai sekarang bukan cuma komik dan mainan yang harus
kuperebutkan dengan pengacau kecil ini, tapi juga orangtuaku.
*** "Maaf ya, Rin, kemaren gue nggak bisa bantuin," ujar Wulan begitu aku masuk kelas.
"Nggak apa-apa. Lagian hitungnya gampang. Gambar grafiknya aja yang ribet," ucapku nyantai,
seolah tugas itu nggak bikin aku kurang tidur dan pening sampai sekarang.
Aku membuka tas dan mengeluarkan baju olahragaku. "Ya ampun!" aku kaget saat melihat robot
Gundam-ku terselip di antara tumpukan buku. Pasti Edwin yang memasukkan robot ini biar aku
dapat masalah. Dasar bocah bandel!
"Kenapa, Rin?" tanya Putri yang baru sampai. Dia nggak langsung ke bangkunya.
"Ada yang naruh ini di tasku, dan kalian pasti bisa nebak siapa." Aku memamerkan robot
Gundam-ku pada Wulan dan Putri.
"Edwin," jawab mereka serempak. Kejadian kayak gini pernah terjadi. Beberapa minggu yang
lalu, waktu Edwin dititipkan di rumahku, di tasku ada cicak. Cicak hidup! Waktu menemukannya,
aku kaget dan nggak sengaja melempar cicak itu. Melihat cicak lari ke sana kemari di atas meja,
teman-teman cewekku berteriak-teria histeris dan kelas jadi gempar. Karena keributan itu, aku
dihukum membersihkan ruang gur sendirian. Setelah keselidiki, Edwinlah yang memasukkan
cicak itu untuk ngerjain aku. Awas tuh anak! Kalau aku dapat masalah lagi gara-gara dia, aku
akan kasih pelajaran biar dia kapok!
"Wah, jagoan kita sekarang bawa pengawal nih ke sekolah," komentar Martabak saat lewat di
dekat bangkuku. Dia merebut robot Gundam itu waktu aku akan memasukkannya ke tas.
"Boneka apaan nih?"
"Ini bukan boneka, dodol! Ini robot Zero Wing Gundam limited edition yang nggak bisa didapat
sembarang orang," jelasku bangga. Martabak dan beberapa teman sekelas yang mendengar
ucapanku tertawa kecil. Aduh, kenapa aku malah membanggakan Zero di depannya" Aku
menyesali ucapanku. Ini memang salah satu kebiasaan aneh, suka banget ngebanggain mainan
atau komik yang kupunya. Kayak anak kecil aja.
"Kedengarannya sih penting," Martabak menatapku sinis, "tapi cuma buat orang kayak elo,"
cibirnya. Aku merebut robot itu kemudian memasukkannya ke tas. Bel tanda masuk berbunyi.
Kamu beranjak ke ruang ganti karena jam pertama adalah olahraga.
Setelah pemanasan, Pak Putra, guru olahraga, membagi kami jadi dua kelompok putra dan putri
untuk main basket bergantian. Sambil duduk menunggu giliran main, aku dan teman-teman
menonton cowok-cowok teman sekelasku. Tapi sebenarnya mataku cuma mengekor pada satu
cowok yang paling sering memegangi bola. Dia adalah Tommy Ferdian, ketua kelas yang juga
cowok paling beken di SMA Girindra ini. Orangnya kayak cowok idola kebanyakan deh. Cakep,
putih, punya senyum mematikan, juga bertubuh jangkung dan atletis. Dia pemain basket jagoan
sekolah kami. Sudah lama aku suka Tommy, tapi aku nggak pernah berani mendekatnya. Aku minder karena
reputasi jelekku di sekolah. Apalagi sejak naik kelas dua kami sekelas, jadi dia bisa ngeliat
langsung gimana malu-malunya aku kalau lagi kena marah setelah bikin ulah. Dia pasti ilfil sama
tingkahku dan nggak punya niat jadi temanku, apalagi yang lebih dekat dari itu.
Setelah olahraga, kami cuma punya waktu sepuluh menit buat ganti pakaian dan istirahat. Belum
habis Coca-Cola dingin dalam kalengku, bel untuk jam pelajaran ketiga berdering. Kami kembali
ke kelas untuk pelajaran matematika. Orang bodoh mana yang menyusun jadwal sekejam itu"
Matematika setelah olahraga. Please deh!
Dengan malas, aku beranjak dari kantin bareng teman-teman lain. Di kelas, Pak Rio sudah
duduk di depan. Nafsu banget sih tuh orang buat ngajar! Batinku. Tiba-tiba mataku melotot
melihat sesuatu di atas meja di depan Pak Rio. Robot Zero Wing Gundam kebanggaanku berdiri
gagah di sana. Wah, gawat!
Aku duduk dibangku dengan perasaan waswas. Wulan dan Putri melirikku cemas. Pasti ada
yang mengambil robot itu dari tasku dan meletakkannya di depan biar aku dapat masalah. Siapa
pun orangnya, akan berurusan serius denganku.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah semua anak masuk kelas, Pak Rio berdiri. "Sebelum kita mulai pelajaran, Bapak ingin
tahu siapa yang membawa mainan ini ke sekolah."
Bisik teman-teman terdengar di seluruh kelas, tapi bisa kurasakan sebagian dari mereka melirik
atau malah terang-terangan melototin aku. Ya ampun, kenapa ini terjadi" Kenapa aku harus
selalu berurusan dengan guru nyebelin ini" Padahal tugas kemarin saja belum kuserahkan. Sial!
Dengan enggan, aku mengangkat tangan.
Pak Rio tertegun. "Jadi kamu yang bawa boneka 'lucu' ini ke sekolah?"
"Bukan boneka lucu, Pak. Itu Zero Wing Gundam limited edition," ujarku tiba-tiba tanpa
direncanakan. Tawa teman-teman meledak. Aku menutup mulut seketika dengan tanganku yang
tadinya terangkat. Ya Tuhan, kenapa kesombonganku nggak bisa ditahan dalam keadaan gawat
begini" "Jadi kamu yang bawa Zero Wing Gundam limited edition ke sekolah?" ulang Pak Rio dengan
nada mengolok, membuat teman-teman tertawa lebih keras.
Pengen banget aku melemparkan baju olahragaku yang basah dan bau keringat kepada guru
rese itu. Tapi aku menahan diri. Lebih baik sekarang aku nggak berulah, biar nggak nambah
masalah. "Iya, Pak."
"Ya ampun, Marmut. Kamu lagi kamu lagi. Nggak bosan-bosan juga kamu bikin masalah di kelas
ini?" Pak Rio berjalan menuju bangkuku. Aku deg-degan menanti hukuman, omelan, atau ejekan
Pak Rio untukku. "Kamu mendapat kehormatan untuk bebas dari pelajaran dan berdiri di depan
kelas selama jam matematika."
Aku nggak percaya Pak Rio menghukumku sekejam itu cuma karena aku bawa mainan ke
sekolah. Jahat banget guru tengik itu! Teman-teman ada yang memandang kasihan padaku, tapi
ada juga yang senang karena lelucon konyol ini. Aku nggak berani menoleh ke arah Tommy,
walaupun aku ingin tahu dia masuk kategori yang mana.
"Pak...." suara dari bangku belakanga terdengar. Tommy mengangkat tangan. Semua mata
tertuju padanya. "sebaik nya Marina, Marina Mutriasa, diberi kesempatan menjelaskan kenapa
dia membawa mainan itu. Jangan langsung dihukum begitu aja."
Hah"! Ini lagi di dunia nyata, kan" Bukan di alam mimpi" Tommy tahu nama lengkapku dan
sekarang dia membelaku. Ingin rasanya aku mengarak Zero keliling kelas dan berteriak-teriak
girang. Pak Rio berpikir sejenak. "Baiklah, kalau gitu kita dengar pembelaan terdakwa." Candaan Pak
Rio membuat suasana hatiku yang berbunga-bunga kembali berduri-duri.
"Saya membawanya ke sekolah karena nggak tega ninggalin dia sendirian di rumah, Pak,"
jawabku datar. Seisi kelas jadi riuh. Mungkin Tommy kecewa mendengar jawabanku. Sia-sia tadi
dia membelaku. Aku nggak berani meliriknya di bangku pojok belakang. Kurasa dia nggak ikut
tertawa seperti teman-teman lain.
"Ya sudah. Kalau begitu kamu temani Zero Wing Gundam limited edition kamu ini berdiri di
depan selama jam pelajaran saya," Pak Rio memvonis hukuman.
Terpaksa, aku menyeret kaki ke depan kelas. Beginilah jalan hidupku selanjutnya, jadi tontonan
teman-teman sekelasku. Dan sayangnya, di antara mereka ada cowok pujaanku yang tadi
sempat mencoba menyelamatkanku dari monster mimpi buruk yang sudah mulai menjelaskan
pelajaran histogram statistika di depan kelas.
*** Membersihkan ruang kelas sendirian saat siang terik begini benar-benar nggak asyik. Aku
nyesel nolak tawaran Wulan dan Putri untuk menemaniku.
"Hei!" sapa seseorang, membuatku kaget. Aku mengangkat kepala dan melihat Tommy sudah
berdiri di hadapanku. "Sendirian nih" Boleh gue temenin, nggak?"
"Eh.....nggak.....iya..... Eh, maksud gue, kenapa nggak?" Aku langsung gugup. Tenang, Rin, dia
cuma ketua kelas yang kebetulan luar biasa menarik secara fisik, aku menenangkan diri. Otakku
berpikir, mencari bahan pembicaraan. "Lo nggak pulang, Tom?"
Tommy duduk di bangkuku. "Nggak, gue mau nemenin lo dulu."
Halo" Tes.....tes! Satu.....dua.....tiga! Apa ada yang salah dengan sistem tata surya" Fenomena
alam apa yang bikin Tommy punya pikiran untuk ada di sini sekarang?" Nemein gue" Buat apa?"
hatiku berdebar-debar. Norak banget deh aku!
"Pengen aja. Lo keberatan?"
"Ng....nggak sih." Aku salah tingkah, lalu berlagak sok menyapu dengan gaya cool, padahal lagi
pusing nyari bahan obrolan. Aku pernah dengar, cewek akan kelihatan keren kalau bisa
melontarkan lelucon cerdas. Tapi lelucon yang kupunya cuma: "Lo tahu nggak kalau Fidel
Castro, mantan presiden Kuba itu, aslinya orang Indonesia" Soalnya, Dian Castro tuh anaknya,
dan main film di Indonesia." Mana unsur cerdasnya"
"Eh, by the way, makasih ya, tadi lo udah belain gue soal robot mainan itu," ucapku.
"Nyante aja. Kita kan teman sekelas, masa gue ngebiarin elo dihukul gitu aja. Tapi, gue jadi
penasaran nih, kenapa elo nggak jawab serius waktu ditanya Pak Rio?"
"Sori gue nyia-nyiain bantuan lo. Gue cuma nggak ingin beralasan macam-macam sama dia, toh
akhirnya gue kena hukuman juga. Kayaknya dia nggak suka sama gue." Aku merasa nggak
perlu menjelaskan tindakan pemanfaatan hasil bumi yang menjadi awal pertikaianku dengan Pak
Rio. "Perasaan lo aja, kali. Kalai lo nggak salah, lo nggal bakal dihukum, kan?"
"Gue kan bukan muris teladan kayak Wulan yang nggak pernah bikin ulah."
"Lo nggak harus jadi kayak Wulan kok. Menurut gue, lo keren jadi diri lo yang sekarang." Ayunan
sapuku terhenti. "Eh, omong-omong, lo suka Gundam, ya?" lanjut Tommy. "Gue juga. Gue
ngoleksi mainannya sampai satu rak, tapi robot seri ini gue belum punya. Lo dapat dari mana?"
Tommy mengambil robot Gundam di atas tasku. "Untung nggak di sita."
Benakku mencerna kata-kata Tommy. Tadi aku dengar dia sempat bilang aku keren, kemudian
pembicaraan beralih ke robot Gundam-ku yang belum dia punya. Jadi, dia tertarik pada Zero dan
ingin merampasnya dengan cara merayuku dulu.
"Gue nggak akan ngasih robot itu ke elo dengan alasan apa pun," tegasku.
Tommy bengong. "Maksud lo?"
"Elo suka robot gue, jadi elo ngerayu gue biar gue ngasih, kan?"
"Gue emang suka robot lo, tapi gue nggak niat minta kok. Kapan gue ngerayu lo" Gue cuma
nanya dari mana elo dapat robot seri ini," jelas Tommy sambil tertawa.
Aku jadi malu. Kenapa sih aku punya pikiran bodoh kayak gitu"
"Sori, gue nyangka yang nggak-nggak." Aku pasti jadi kayak cewek aneh sekarang. "Gue dikasih
oom gue yang waktu itu lagi tugas kerja di Jepang." Omong-omong, oom yang kumaksud adalah
papa Edwin. "Lo punya seri lain?" tanya Tommu antusias.
"Ada tujuh buah lagi. Harga mainan kayak gitu, biarpun nggak orisinal, mahal banget. Gue harus
nabung mati-matian buat membelinya, " jelasku.
Tommy itu anak orang kaya, jadi dengan mudah dia bisa memiliki barang-barang yang
diinginkannya. Benar-benar Mr. Perfect. Takdir kadang terlalu berpihak pada seseorang.
"Seri mana aja yang punya" Eh, gimana kalau kita ngobrol sambil makan siang" Gue yang
traktir deh. Lo udah lapar, kan" Gue mau kok nunggu lo sampai selesai," ucap Tommy
semangat. Aku nggak percaya dengan apa yang kudengar. Aku dan Tommy" Makan siang" Cuma berdua"
Mungkin sekarang takdir mulai berpihak padaku.
*** Sore harinya, aku pulang sambil bernyanyi riang. Mama yang sedang membaca majalah di
ruang tengah menatapku curiga.
"Aku baik-baik aja, Ma. Nggak ada gegar otak atau gejala gangguan saraf lainnya. Aku cuma
lagi bersukacita," jelasku sebelum Mama bertanya macam-macam. Aku berjalan dengan langkah
riang ke arah Edwin yang bengong ngeliatin aku. Mungkin tadi dia mengira, sampai rumah aku
akan langsung menghajarnya karena robot itu.
"Buat adik manisku tersayang, kakak hadiahkan cokelat kesukaanmu." Aku menyerahkan
sebatang cokelat padanya. Edwin yang sedang duduk di antara mainannya yang berserakan di
lantai cuma menatapku keheranan. Aku meletakkan cokelat di dekatnya, lalu beranjak ke kamar.
Percakapanku dengan Tommy di mal tadi, saat dia mentraktirku makan, masih terngiang-ngiang
di telingaku. Suaranya, senyumnya, juga tawa renyahnya, memenuhi kepalaku. Aku sempat
terkejut mendengar pengakuan Tommy bahwa tadinya dia piki aku nggak suka sama dia
lantaran aku nggak pernah ngomong atau menyapanya, padahal kami sudah beberapa bulan
jadi teman sekelas. Aku beralasan bahwa aku enggan memulai pertemanan dengan cowok
beken kayak dia. Padahal sih, alasan sebenarnya adalah aku takut kalau dia sampai tahu aku
ada "rasa" sama dia.
Sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin mendekati Tommy. Aku akan berusaha jaga image dan
terlihat keren di depannya. Kupikir aku bisa berusaha jadi anak baik dan nggak bikin ulah lagi.
Dan itu berarti aku harus berhenti membuat masalah dengan guru matematikaku.
part?4 KOMIK INU-YASHA SEKARANG hari Sabtu, hari terakhir hukumanku membersihkan kelas juga hari terakhirku puasa
nonton TV dan jadi anak pingitan. Masa depan yang cerah menungguku setelah hari ini. Sebagai
kebahagiaan awal, pagi ini aku dapat paket dari Oom Hilman, teman papanya Edwin yang kerja
di perusahaan penerbitan. Isinya komik-komik baru, salah satunya adalah komik Inu-Yasha edisi
terbaru yang sebenarnya baru akan beredar di toko buku minggu depan. Aku senang bnget
mendapatkannya. Inu-Yasha komik favoritku. Aku nggak pernah absen ngikutin setiap edisinya.
Pelajaran matematika hari ini sudah berjalan sekitar setengah jam. Pak Rio sedang menjelaskan
soal mean dan modus dalam statistika, sementara aku ngantuk berat dan hampir mati
kebosanan. Di sebelahku, Wulan menyimak pelajaran dengan antusias seolah itu film terbaru
Keanu Reeves. Diam-diam, aku mengeluarkan komik Inu-Yasha dari tasku. Aku harus diselamatkan dari
serangan kantuk ini sebelum tertidut di kelas lalu dapat masalah. Situasi aman terkendali.
Semua anak lagi serius mendengarkan Pak Rio, nggak ada yang akan memerhatikan apa yang
kulakukan. Lagi pula, deret pinggir bangkuku nomor tiga dari belakang dan letaknya di pinggir,
dekat jendela. Setelah membaca lima halaman pertama, aku langsung terseret ke dalam petualangan InuYasha dan kawan-kawan untuk menumpas siluman. Kantukku terbang entah kemana. Aku
nggak sabar dengan sekelilingku. Aku merasa berada di dunia para siluman, bukan di ruang
kelas yang super membosankan.
Brak! Seseorang memukul mejaku, membuatku terlonjak dan menjatuhkan komik yang sudah
kubaca setengahnya. Kuangkat kepalaku, dan kulihat sosok siluman berwujud guru matematika
yang sedang menatapku dengan wajah marah. Ooh, gawwwaaaatttt!
"Kamu nggak tahu sekarang sedang jam pelajaran?" Mata Pak Rio memandangku marah.
"Ngapain kamu tadi?"
"Saya baca komik Inu-Yasha edisi terbaru yang sebenarnya baru akan beredar di toko buku satu
minggu lagi, Pak," jelasku, dengan nada bangga yang nggak disengaja. Tawa teman-teman
yang tadi tertahan meledak tanpa menghiraukan Pak Rio yang lagi marah. Sial! Kenapa sih aku
nggak bisa nahan diri" Mampus deh!
"Memangnya di sana ada bagian cerita yang perlu dihitung mean dan modusnya" Misalnya
berapa kali Inu-Yasha kalah oleh Naraku atau berapa kali Miroku mengelus bokong Sango?"
Pak Rio menyebut nama-nama tokoh dalam komik itu.
Seisi kelas langsung terdiam. Aku melongo heran. Hah" Guru rese ini tahu cerita Inu-Yasha" Ha
ha ha, ini baru berita! Pak Rio tampak salah tingkah dan menyesali ucapannya. Dalam hati, aku tertawa melihat
ekspresi mukanya. "Sudahlah, yang jelas, kamu dihukum karena tidak memerhatikan pelajaran
dan membawa komik ke sekolah." Pak Rio kembali serius. "Sebenarnya saya bosan berurusan
dengan kamu. Tiga kali pertemuan dalam seminggu dan sekarang kamu melakukan kesalahan
yang ketiga kalinya. Kamu punya hobi bikin masalah saat jam matematika, ya" Atau cuma waktu
saya yang ngajar?" "Ti-tidak, Pak!" jawabku gugup. Aku takut kejadian kali ini membuat orangtuaku menerima
undangan ke sekolah dan mendapat laporan tentang ulahku. Mama bisa memasungku di kamar.
"Saya hampir kehabisan ide gimana menghukum kamu." Pak Rio mengembuskan napas kesal.
"Sekarang serahkan komik itu lalu berdiri di pojok depan kelas. Hari Senin serahkan catatan
tentang semua materi yang saya jelaskan hari ini, lengkap dengan hitungan dan gambargambarnya. Dan satu lagi, kerjakan juga semua soal latihannya!"
Dengan lemas aku memungut komik Inu-Yasha di lantai, kemudian menyerahkannya pada
siluman nggak berperasaan itu. Menguap sudah impianku menghabiskan malam Minggu dengan
bersantai sepuasnya dan baca komik semalaman.
Yang ada malah malam panjang untuk memikirkan mean dan modus statistika. Rasanya
hukuman awal berdiri di depan kelas dan ditonton seluruh anak termasuk Tommy ini nggak ada
apa-apanya. Gimana nasib operasi-jaga-image-ku" Kayaknya tak ada harapan.....
*** Malam Minggu ini aku menginap di rumah Wulan untuk mengerjakan tugas matematika dari Pak
Rio. Besok aku mau nonton TV dan baca komik sepuasnya untuk menikmati kebebasanku dari
hukuman gara-gara nyolong mangga itu, jadi aku pengen nyelesain tugas ini sekarang.
Berubahlah malam Minggu-u yang seharusnya buat bersenang-senang, menjadi malam panjang
buat berkencam dengan angka dan grafik. Wulan membantuku mengerjakan soal latihan dan
menjelaskan materi yang ribet dan membingungkan. Jam sebelas malam, aku baru selesai
dengan soal-soal latihan, sementara Wulan sudah nggak bisa menahan kantuknya lalu tidur
duluan. Selanjutnya aku tinggal menyalin catatan Wulan yang berisi materi pelajaran matematika
hari ini. Dua jam berlalu, akhirnya aku bisa nyelesaiin tugas ini dengan sisa-sisa energi kehidupan yang
kupunya. Mataku terasa berat, aku meregangkan tubuh sambil menguap. Tega banget, Rio stres
itu. Ngasih hukuman kok seberat ini, cuma gara-gara aku baca komik pas jam pelajaran. Mana
komik kesayanganku disita. Sebel! Dasar kunyuk nggak berperasaan! Makiku dalam hati.
Aku beranjak ke dekat jendela, ingin menikmati bintang di langit untuk menenangkan pikiranku.
Malam ini cerah, bintang-bintang bertaburan. Khayalanku melayang. Aku membayangkan
seandainya saat ini ada Tommy sedang duduk berdua di padang rumput, memandangi kerlip
bintang sambil berpegangan tangan. Suasana romantis dan penuh cinta mengelilingi kami.
Ahh.....indahnya" Aku tersenyum-senyum sendiri, sampai bayangan Pak Rio dengan seringai
jahatnya melintas dibenakky. Dia seolah mengejek imajinasi konyolku yang nggak mungkin jadi
kenyataan. Aku menghela napa. Kenapa sih, tuh orang nggak berhenti mengusik hidupku"
Tak sengaja, aku menoleh ke arah rak meja belajar Wulan. Mataku menangkap sesuatu yang
menarik perhatian. Sebuah buku dengan hardcover berwarna pink yang bertuliskan ''Cerita Hati''.
Aku mengambil buku itu, lalu bersandar di dekat jendela, dan mulai membuka-buka halamannya.
Sepertinya buku ini berisi kumpulan puisi karya Wulan.
Sejenak aku menoleh pada Wulan yang tengah terlelap. Salah nggak ya, kalau aku
membacanya tanpa izin" Memang sih ini cuma puisi, buku diary, tapi siapa tahu Wulan nggak
mau karyanya dibaca orang lain. Duh, gimana ya. Setelah perang batin, ternyata penasaranku
lebih besar daripada keraguanku. Jadi aku mulai membaca kata demi kata dalam rangkaian
kalimat puitis itu. Nggak terasa hampir satu am aku membaca, hingga akhirnya tiba puisi terakhir. Perasaanku
terhanyut oleh belasan puisi dalam buku itu. Kata-kata dalam puisi Wulan menyentuh hatiku. Aku
kagum dan nggak nyangka Wulan bisa bikin puisi-puisi seindah ini. Kenapa dia nggak pernah
cerita padaku atau Putri bahwa dia suka bikin puisi" Jangan-jangan puisi-puisi ini adalah
ungkapan hatinya. Walau nggak ngerti-ngerti banget, aku bisa menangkap suasana yang
melatari puisi-puisi romantis ini. Perasaan sedih, putus asa, dan kebahagiaan getie karena rasa
cinta tulus kepada seseorang yang ''jauh'', penantian yang sia-sia dan cinta yang nggak
berbalas. Apa mungkin selama ini Wulan suka sama seseorang" Siapa, ya" Seandainya aja aku
bisa mewujudkan cinta sahabatku ini. Tapi kayaknya Wulan nggak mau cerita, jadi sebaiknya
aku nggak ngomongin soal ini ke dia. Sepertinya dia ingin menyimpannya sendiri, seperti juga
aku yang merahasiakan soal Tommy dari dia dan Putri.
*** Di Minggu sore yang cerah ini, aku sudah nangkring di atas tembok belakang rumah Pak Karta,
mengamati keadaan rumah yang sepi. Mungkin si Rio sedang keluar karena sejak tadi tak
terlihat tanda-tanda keberadaannya.
Aman. Aku melompat masuk ke pekarangan rumah. Yang sekarang kucari di sini bukan
mangga. Satu minggu tanpa TV sudah membuatku kapok nyolong mangga. Aku cuma mau
mengambil harta berhargaku yang dirampas dan disita guru rese itu. Komik Inu-Yasha yang
ingin segera kubaca lanjutan ceritanya. Aku sudah menyelidiki, ternyata komikku di bawa pulang
oleh Pak Rio, bukannya ditaruh di lemari tempat barang sitaan siswa di ruang guru. Aku yakin
Pak Rio mau membaca komikku. Huh, curang!
Sambil mengendap-endap, aku mengintip ke dalam kamar yang jendelanya terbuka. Buku-buku
matematika tampak bertumpuk di atas meja. Ini pasti kamar Pak Rio. Dengan perasaan waswas,
aku masuk lewat jendela. Aku meyakinkan diri bahwa apa yang kulakukan bukan tindakan
kriminal. Aku cuma mau mengambil kembali komikku secara sembunyi-sembunyi.
Aku sudah mengeledah rak buku dan laci meja, tapi komik itu belum juga kutemukan. Dengan
tergesa-gesa, aku mengacak-acak tumpukan buku di atas meja. Jantungku berdebar cepat. Aku
takut Pak Rio muncul sebelum aku menemukan apa yang kucari dan pergi dari sini. Malaikat
penolong, datanglah! Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan tampak seorang laki-laki bertelanjang dada yang cuma dibalut
handuk. "Aaaargh....!!!" Kami berteriak bersamaan. Setelah sekian detik, laki-laki itu berhasil menguasai
diri. Dia masuk ke kamar lalu dengan cepat menarik selimut di ujung tempat tidur untuk menutupi
seluruh tubuhnya. Laki-laki itu nggak lain dan nggak bukan adalah Pak Rio. Kami berdiri dalam
jarak kurang dari dua meter. Saling berpandangan dalam keadaan syok. O'o! I'm in trouble. Big
trouble! Mulutku terbuka, tapi nggak ada suara yang keluar. Aku mau kabur, tapi tanggung, pikirku.
Telanjur sudah mengacak-acak mejanya, sekalian saja kutodong Pak Rio untuk menyerahkan
komik Inu-Yasha-ku. Aku melirik tubuh Pak Rio yang ternyata nggak sekurus dugaanku semula. Dia atletis juga.
Kulitnya tampak segar karena habis mandi. Rambutnya yang basah dan berantakan bikin dia
kelihatan cool dan tampak lebih muda. Berapa umur Pak Rio sebenarnya"
Eh, aku sudah gila, kali ya" Ngapain malah merhatiin tubuh Pak Rio"
"Ngapain kamu di sini, bocah badung?" Pak Rio memegang selimut di tubuhnya dengan kikuk.
"Sa....saya nyuri Bapak, eh, nyari Bapak," ucapku terbata. Jantungku berdebar berdetak nggak
keruan. Aku benar-benar nggak nyangka ini bisa terjadi. Rasanya lebih baik lenyap di telan bumi.
"Nyari saya di laci dan rak yang kamu bikin berantakan itu?" Pak Rio memandangku marah.
Kayaknya dia syok berat melihat aku ada di sini.
"Sa-saya.....nyari....komik Inu-Yasha saya." Aku menelan ludah. "Itu.....komik yang kemarin
Bapak sita." Aku benar-benar ingin menghilang dari sini sekarang.
"Tunggu di luar kamar! Setelah berpakaian, saya benar-benar akan bikin kamu mengerti tentang
tindakan kriminal seperti mencuri mangga atau menyelinap masuk ke rumah orang!"
Aku cepat-cepat kabur sambil berteriak, "Saya minta maaf, Pak! Anggap saja kejadian ini nggak
pernah ada. Saya janji, nggak akan muncul lagi di depan Bapak dengan masalah apa pun.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maafin saya, Pak!" Aku berlari ke arah pintu gerbang, kemudian menghamburkan keluar. Sepertinya ini akan jadi
kunjungan terakhirku ke rumah ini.
*** Sampai di rumah, di ruang tengah kulihat Mama sedang memangku Edwin sambil membolakbalik majalah anak-anak untuknya. "Ma, bantuin aku dong!" rengekku sambil mendekati Mama.
Edwin menjulurkan lidah lalu mengalungkan tangannya di leher Mama. "Ma, bacain lagi."
Mama melihat sekilas padaku, tapi kemudian berpaling pada Edwin dan melanjutkan
membacakan cerita untuk ''anak kedua''-nya yang selalu dinomorsatukan itu.
"Ma, dengerin aku sebentar dong," rajukku.
"Mama, bacain!" Edwin menahan pipi Mama agar nggak menoleh padaku.
"Mama....!" panggilku kesal.
"Kamu kenapa sih, Rin" Nanti sajalah. Mama lagi bacain Edwin nih," tolak Mama. Edwin
menoleh padaku sambil memamerkan senyum kemenangan.
"Edwin, kamu kan udah bisa baca. Ngapain sih, minta dibacain Mama lagi" Dasar manja!"
omelku. Dengan kesal aku naik ke kamar. Hilang sudah harapanku minta tolong Mama meminta
komikku dari Pak Rio. Padahal tadi aku udah berani ngambil risiko masuk ke kamar Pak Rio.
Sampai di kamar, aku menjatuhkan diri di tempat tidur. Kubenamkan kepala di bawah bantal,
kucoba meredam kekesalan pada semua orang yang sudah mengacaukan hariku. Pak Rio ada
di urutan pertama daftar ''pengacau hari''-ku.
Samar terdengar ring tone HP-ku berbunyi. Aku mengangkat bantal yang menutupi telinga untuk
meyakinkan, ternyata benar. Dengan malas aku beranjak mengambil HP di atas meja. Nama
Steve terlihat di layar. "Woy, napa?"
"Rin, tad gue nebeng abang gue ke rumah temen di Jalan Duku, Gang Mawar. Pas gue turun
dan abang gue udah pergi, gue baru nyadar kalau gue salah baca. Rumah temen gue itu
ternyata di Jalan Mawar, Gang Duku. Masih arada jauh dari sini. Lo tau nomor telepon taksi
nggak" Udah lima belas menit gue nunggu, nggak ada taksi yang lewat. Mana panas banget di
sini, udah gitu gue pake baju hitam lengan pendek, lagi. Rambut gue udah lepek nih...."
"Jadi intinya, lo nanyain nomor telepon taksi?" potongku sebelum Steve ngoceh panjang-lebar ke
sana kemari maju-mundur nggak jelas. "Sori, gue nggak tau," aku mengakhiri pembicaraan.
Steve itu sahabatku sejak SD. Walaupun sekarang beda SMA, kami masih akrab. Kalau aku
nggak ketemu Wulan dan Putri, mungkin cuma Steve satu-satunya sahabat yang kupunya.
Steve itulah cowok gebetan Putri. Kami___aku, Wulan, Putri, dan Steve___pernah nonton
konser musik bareng beberapa waktu lalu, dan saat itulah terjadi sesuatu atau istilah Bolluwoodnya kuch-kuch hota hai antara Steve dan Putri. Tapi sayangnya, di antara mereka berdua nggak
ada yang menindaklanjuti perasaan masing-masing. Sederhananya, mereka saling naksir gitu,
tapi nggak ada yang mau maju duluan.
Ring tone HP-ku terdengar lagi tepat setelah aku tenggelam dalam bantal. "Duh, nih anak!" Aku
kembali ke meja lalu menyambar HP. "Heh, cowok dodol, kalo nanya nomor telepon, tanya
bagian informasi. Yang gue tau cuma nomor telepon polisi. Lo mau gue panggilin polisi?"
"Salah gue apa, Rin, sampai dipanggilin polisi?" balas suara di seberang. Suara yang ngebas,
lembut, dan tenang. O'o, kayaknya ini bukan suara Steve!
"Eh, maaf, maaf. Ini siapa ya?" Aku menggigit bibir bawah. Rasanya aku kenal suara ini. Tetapi
nggak berani terlalu berharap.
"Gue Tommy. Memangnya lo kenapa sampai berurusan sama polisi segala?"
"Mmh....eh....mmh.....nggak kok, cuma main-main sama temen." Aku mengetuk-nggetuk kepala
sambil berpikir apa yang harus kukatakan. "Oh ya, kenapa nelepon" Eh, kok tau elo nomor gu"
Sori ya, ngebentak tadi. Mmh....elo dari mana dapet nomor HP gue?" ketukan dikepalaku
berhasil, tapi kapasitasnya terlalu besar sehingga memunculkan kalimat yang nggak sesuai EYD
banget. "Dapetnya dari Putri. Gue nelepon cuma mu nanyain, komik lo udah dibalikin apa belum?"
"Eh, oh, itu.....belum." Sepertinya aku nggak perlu menceritakan perjuanganku untuk
mendapatkan komik itu kembali.
"Kira-kira bakalan disita terus nggak, ya?"
"Nggak tahu deh," jawabku.
"Lo mau beli komik kayak gitu lagi" Kalo iya, gue mau nganterin kok," ucap Tommy, membuatku
terduduk di atas tempat tidur dengan perasaan syok. Mulutku ternganga, tapi nggak bisa
ngomong apa-apa sampai Tommy memanggil. "Rin...."
"Eh, sori, mmh.....makasih tawarannya, tapi komik itu baru beredar seminggu lagi, jadi belum
ada di toko buku." "Jadi yang lo bilang kemarin beneran" Terus, lo dapet dari mana tuh komik?"
"Ada deh." "Lo tuh nggak ditebak, ya. Bikin penasaran."
Aku menggigit bibir bawahku keras-keras, menahan tawa girang mendengar kata-kata Tommy.
"Mmh...., Tom, lo suka komik juga?"
"Nggak terlalu sih, cuma kemarin lo keliatan berat banget ngelepeas komik itu. Gue kasihan aja,
sesama penggemar Gundam harus saling peduli, kan" Makanya, mumpung lagi nggak ada
kerjaan hari Minggu gini, gue mau ngajak elo keluar sekalian nyari komik. Soalnya barang yang
disita kan susah kembali, kecuali barang berharga."
Naluri comicholic-ku tersinggung. Enak aja! Jadi dia pikir komik Inu-Yasha yang secara resmi
baru beredar seminggu lagi itu bukan barang berharga" Tapi berhubung yang ngomong adalah
seorang Tommy, yang udah bikin aku jatuh hati sampai mati, aku rela bertoleransi dengan
omongannya dan menganggap dia cuma kurang pengertian dengan definisi barang berharga
menurut penggemar berat Inu-Yasha kayak aku. "Makasih deh, niat baiknya." Aku nggak tahu
mau ngomong apa lagi. "Ya udah kalo gitu. Sampai besok ya!" Tommy menyudahi pembicaraan.
"Bye!" balasku sok cool, padahal setelah itu aku ketawa ngakak, membaringkan badan, dengan
kaku menandak-nandak di kasur karena kegirangan. Entah menguap ke mana semua
kekesalanku tadi. Ternyata hari ini nggak jelek-jelek banget.
Aku menekan nomor telepon Steve, menanyakan apakah dia perlu dijemput. Rasanya aku harus
berbuat kebaikan untuk meneruskan keberuntungan yang kudapat karena Tommy mau nelepon
aku, terus ngajal jalan, lagi. Mudah-mudahan ini bukan ajakan yang pertama dan terakhir
kalinya. part?5 MALAM MINGGU HARI-HARIKU berjalan wajar akhir-akhir ini. Nggak ada tindakan melanggar hukum apa pun
yang kulakukan. Aku bahkan nggak pernah terlambat ke sekolah dua minggu ini. Dan sama
sekali nggak bikin masalah saat jam matematika. Walapun mencoba bersikap biasa, tetap aja
ada perasaan canggung antara aku dan Pak Rio kalau kami bertatap muka setelah kejadian
yang berisi adegan setengah bugil itu. Pak Rio nggak pernah nunjuk aku buat ngerjain soal di
papan (syukur banget, kan") dan berbicara denganku cuma kalau benar-benar perlu aja (siapa
juga pengen ngobrol sama dia). Jadi intinya, aku dapat untung gara-gara kejadian itu.
Di sisi lain, hubunganku dengan Tommy semakin akrab. Sekarang obrolan kami berkisar tentang
aku, bukan cuma tentang Gundam-ku. Kadang-kadang kami ngobrol di kantin waktu jam istirahat
atau pas jalan bareng pulang sekolah, sampai beredar gosip bahwa aku jadian sama cowok
beken itu. Putri dan Wulan sempat menanyakan gosip itu padaku, tapi kujelaskan bahwa kami dekat cuma
karena sama-sama suka Gundam. Lagian yang benar aja, masa orang pacaran ngomongin
Gundam melulu" Tapi rasanya asyik juga, populer karena dikira pacaran sama cowok keren,
daripada populer karena berhasil mecahin rekor jadi murid yang paling sering terlambat.
Sementara itu di rumah, Edwin kehabisan ide buat ngerjain aku. Tindakan antusias yang
kulakukan___ mengunci kamar setiap kali aku pergi, juga menyembunyikan barang-barang
berharga macam komik dan mainan___membuatnya nggak bisa menjamah benda-benda itu.
Sejauh ini cuma kejahatan kecil yang berhasil dia lakukan, seperti memasukkan garam ke
minumanku, nyorat-nyoret buku catatanku, merekatkan permen karet di hendel pintu kamar, juga
mengambil simpananku di lemari es. Dia juga hobi banget berebutan remote TV denganku. Dia
mati-matian mau nonton film kartun kesukaannya waktu aku lagi nongkrongin MTV. Cari
masalah aja tuh bocah! Aku bosan ngadu sama Papa-Mama soal ulah Edwin. Mereka paling
cuma nyuruh aku sabar dan maklum sama kenakalannya. Namanya juga anak kecil. Anak kecil"
Yang benar aja! Dia siluman yang belum berkembang secara fisik.
"Win, kamu ngambil es krim di kulkas, ya"!" seruku dari ruang makan. Nggak ada jawaban. Aku
memanggil-manggil maling kecil itu.
"Kenapa, Rin, teriak-teriak gitu?" Mama muncul dari ruang tamu.
"Edwin mana, Ma?"
"Lagi main keluar."
"Main keluar" Kemana" Sama siapa?" Aku mengambil air es lalu mencampurnya dengan sirop.
Minuman ini bisa menyegarkan tubuhku yang baru bangun tidur siang. "Aku kira dia nggak
punya teman di sini."
"Tadi siang, di minimarket ujung jalan, Mama sama Edwin ketemu Nak Rio. Itu lho, keponakan
Pak Karta." Hampir saja aku memuncratkan sirop dari mulutku begitu mendengar nama itu.
"Terus Nak Rio ngajak Win ke rumahnya karena pohon rambutan di sana lagi berbuah," lanjut
Mama. "Oh ya, ternyata dia jadi wali kelasmu sekarang. Kok kamu nggak cerita sama Mama,
Rin?" "Bukan soal penting." Aku mengibas-ngibaskan tangan. "Kenapa Mama ngizinin Edwin pergi
sama dia" Siapa tahu si Rio itu punya niat jelek sama Edwin."
"Rin, nggak sopan manggil dengan sebutan 'si Rio' begitu. Dia kan gurumu," tegur Mama. "Niat
jelek gimana" Orangnya baik dan sopan kok. Dia sempat nolong Mama bawain belanjaan, juga
mau jagain Edwin waktu berkeliling."
"Yah...., Mama..... Mama udah ketipu tuh. Dia cuma lagi akting biar dikira orang alim."
"Kamu kenapa sih punya prasangka buruk kayak gitu" Masih dendam soal mangga curian itu"
Nggak boleh gitu dong, Rin. Apalagi sekarang Nak Rio itu gurumu," nasihat Mama.
Aku beranjak ke ruang tengah dengan sikap tak acuh. Mama nggak tahu sih, gimana
nyebelinnya ''Pak Rio'' itu, gumamku dalam hati. "Nanti Edwin pulang sama siapa, Ma?" tanyaku
sambil menyalakan TV lalu duduk di sofa.
"Tadi Mama bilang sama Nak Rio kalau kamu yang nanti jemput Edwin ke rumahnya," ucap
Mama datar. Setelah menoleh ke jam dinding, Mama melanjutkan, "Udah jam lima tuh. Jemput
Edwin sana. Jangan lupa bilang makasih, ya."
Mataku membesar. Tidak! Aku nggak mau ke rumah itu lagi! Tempat aku pernah kepergok
nyolong mangga, juga ngeliat si Rio setengah bugil. Mendingan disuruh nguras kolam buaya aja,
tapi yang nggak ada buayanya.
"Aku mau nonton acara kesukaanku, Ma." rengekku. "Mama aja yang jemput Edwin."
"Nggak bisa, Mama mau siap-siap. Malam ini Mama sama Papa mau pergi ke resepsi
pernikahan relasi bisnis Papa." Mama naik ke lantai atas.
"Aku sendirian dong di rumah?"
"Kan ada Edwin. Biar ramai, ajak aja teman-temanmu nginap," saran Mama. "Cepat sana,
jemput Edwin!" "Mama telepon aja ke rumah Pak Karta, minta Pak Rio nganter Edwin pulang."
Mama berhenti di tengah tangga. "Aduh, Rin, kamu ini disuruh jemput Edwin aja susahnya minta
ampun," omel Mama. "Cepat matiin TV-nya, terus jemput adikmu."
"Huh, Mama, kalau udah soal Edwin aja, sewoy banget!" gumamku. Aku mematikan TV lalu
dengan malas beranjak keluar. Rasanya berat banget menyeret kakiku menuju rumah uang
letaknya di sebelah rumahku itu.
"Permisi!"teriakku begitu memasuki pintu gerbang. Rumah itu kelihatan sepi. Aku berjalan ke
halaman belakang dan melihat jendela kamar Pak rio terbuka. Bayangan kejadian waktu aku
melihat Pak Rio setengah bugil itu melintas. Ragu-ragu aku mengintip ke dalam. Nggak ada
siapa-siapa. Kemana dia dan Edwin"
Pluk! Sesuatu mengenai kepalaku, membuatku tersentak.
"Ha ha ha!" tawa Edwin terdengar. Aku menoleh ke belakang. Di atas pohon rambutan yang
rimbun tampak bocah itu dan Pak Rio sedang duduk di cabang pohon sambil mengunyah
rambutan. Letak pohon itu agak jauh, jadi aku nggak merhatiin waktu masuk tadi. "Marmut kena!
Win hebat kan, Oom?" ujar Edwin bangga.
Marmut" Jadi bocah bandel itu sekarang manggil aku kayak guru tengil itu" Kedua makhluk
nyebelin itu benar-benar kompak. Aku melirik kesal pada Edwin kemudian menoleh pada Pak
Rio dengan muka datar. "Saya disuruh jemput Edwin, Pak."
"Nggak mau! Win masih mau main di sini," rengek Edwin, membuatku ingin menimpuknya
dengan kulit rambutan yang berserakan di rumput. "Oom Rio janji mau ngajak Win nonton ke
bioskop nanti malam."
Apa"! Aku nggak percaya dengan pendengaranku. Enak aja si Rio mau ngajak keluar anak
orang sembarangan. Papa-Mama pasti nggak ngizinin. Kayaknya Edwin bakalan kecewa terus
jadi rewel malam ini. Pekerjaan tambahan lagi buatku, dan itu semua karena Oom Rio.
"Win, Mama nyuruh kamu pulang. Udah sore," bujukku.
"Mau main sebentar lagi," serunya keukeuh. "Win belum naik pohon yang itu." Edwin menunjuk
pohon yang lebih tinggi, pohon mangga yang dulu buahnya kucuri lalu kepergok sama si Rio.
Aku menghela napas kesal. Kapan sih, bocah bandel ini nggak ngerepotin aku" Aku berpaling
pada wali kelasku. "Pak Rio, tolong turunin adik saya dong!"
Pak Rio yang sejak tadi cuma jadi pendengaran perdebatan kecilku dengan Edwin, menoleh ke
arah bocah itu. "Prajurit Edwin pulang dulu, nanti Kapten jemput buat nonton."
Prajurit" Kapten" Gila tuh orang! "Edwin! Kamu turun sekarang atau aku seret pulang!" ancamku
marah. Anak ini susah banget sih diatur.
Edwin bergerak malas menuruni pohon dibantu Pak Rio. "Tenang aja, Prajurit. Nanti malam
Kapten akan menyelamatkanmu dari monster itu," seru Pak Rio.
Aku menatap kesal, tapi dia malah berpaling sambil bersiul-siul. Nggak dewasa banget! Nih
orang punya kepribadian ganda atau gimana sih" Kalau di kelas galaknya minta ampun, tapi
sekarang jadi slenge'an gini. Lihat aja penampilannya. Dia cuma pakai kaus lusuh dan celana
pendek, rambutnya berantakan, nggak pake kacamata. Nggak kayak guru banget!
"Ayo pulang!" Aku menarik tangan Edwin begitu anak menjejak tanah.
Pluk! Kulit rambutan mengenai kepalaku. Aku menoleh. Apa lagi sekarang"
"Eh, maling mangga, nggak minat ganti profesi jadi maling rambutan?" tanya Pak Rio dengan
nada mengolok. "Tidak, terima kasih. Saya sudah tobat. Lagian sekarang pohon-pohon di sini sudah dijaga
monyet pemiliknya," ucapku keceplosan. Refleks aku menutup mulut. Gila! Kok aku bisa
ngomong gitu ya" Cepat-cepat aku keluar pintu gerbang sambil menarik Edwin yang melambai
pada teman barunya. *** Inilah hidup. Malas-malasan di sofa ditemani camilan sambil baca komik dan nonton TV.
Sayang, Wulan dan Putri nggak bisa nemenin aku malam ini karena katanya mereka ada acara
keluarga dan kesibukan di rumah. Edwin lagi di kamarnya, nggak tahu ngapain. Mudahmudahan dia nggak cepat keluar, jadi aku bisa menikmati ketenangan ini lebih lama.
Ting tong! Bunyi bel pintu mengusik acara bersantaiku.
"Itu pasti Oom Rio!" seru Edwin sambil berlari menuruni tangga dengan dandanan rapi. Aku yang
sedang berbaring langsung terduduk. Mataku mengikuti Edwin yang mengitari ruang tengah
menuju pintu depan. "Oom, kita pergi sekarang?" terdengar suara riang Edwin. Dengan malas aku beranjak dari sofa.
Ada apa lagi sih" "Win, kamu mau kemana?" Aku menatap bocah itu, nggak memerhatikan orang yang berdiri di
luar pintu. "Win mau nonton ke bioskop sama Oom Rio!" sahutnya gembira.
"Tapi Mama kan belum ngizinin kamu pergi?"
"Tadi waktu Marmut mandi, Oom Rio nelepon dan bilang ke Mama mau ngajak Win nonton terus
Mama ngizinin," jelas Edwin, membuatku kalah telak. "Kalau nggak percaya, tanya aja sama
Oom Rio." Edwin membuka pintu lebih lebar sehingga aku bisa melihat orang yang sejak tadi berdiri di luar.
Mataku terbelalak. Gila, apa aku nggak salah liat" Aku menatap orang itu dari atas ke bawah.
Orang ini beneran Pak Rio, wali kelasku" Dia memakai kaus biru bergambar coretan grafiti di
balik jaket abu-abunya dengan celana khaki hitam dan sepatu kets. Kok jadi kelihatan kayak
cowok SMA gini" "Bener kok, aku sudah dapet izin dari mama kamu buat ngajak Edwin nonton."
Mulutku terbuka tapi nggak tahu mau ngomong apa. Aku masih syok melihat penampilan Pak
Rio. Beneran, ini wali kelasku"
"Win boleh pergi, ya?"
"Eh, tunggu dulu," tahanku. "Maaf ya, permisi sebentar!" Aku menarik tangan Edwin menjauh
dari Pak Rio. Aku berjongkok di depan Edwin. "Dengar, Win, Oom Rio itu orang asing. Kamu
nggak boleh pergi sama dia. Bisa aja kan, dia punya niat jahat sama Win," ucapku lembut
dengan nada persuasig. Bocah itu memandangku curiga. "Bohong! Oom Rio nggak jahat kok. Yang jahat itu Marmut
yang nggak ngizinin Win pergi."
"Edwin, Marmut mohon Win jangan pergi ya, tinggal di rumah aja. Nanti Marmut turutin apa aja
permintaan Win. Mama nyuruh Marmut jagain Edwin. Kalau terjadi apa-apa, Mama bisa
menggantung Marmut di langit-langit." Aku memasang wajah memelas.
"Win mau pergi!" teriak Edwin. "Kalau Marmut takut, Marmut ikut pergi aja sama Win sama Oom
Rio." "Yang bener aja! Masa Marmut mau pergi sama....." Aku nggak bisa melanjutkan kata-kata.
Edwin melirik-lirik ke arah pintu dengan nggak sabar. Aku cuma bisa menghela napas. "Ya
udah....." *** Setengah jam kemudian, aku, Edwin, dan Pak Rio yang minta nggak dipanggil ''Pak'' di depan
umum, sudah berada di luar gedung bioskop. Aku menemani Edwin mencari popcorn,
sementara Rio beli tiket buat kamu bertiga. Ya ampun, kenapa aku harus menghabiskan malam
Minggu ini dengan nonton Kung Fu Panda sama wali kelas dan adik sepupuku" Nggak ada
pilihan lain apa" Misalnya kencan sama Tommy sambil makan malam yang romantis. Kalau
boleh mi lih, mendingan aku mati kebosanan di rumah nonton acara dialog di TV daripada
''bersenang-senang'' di sini.
Rio datang sambil melambaikan tiga lembar tiket. "Kamu cuma beli popcorn buat Edwin?"
"Kalau mau, beli aja sendiri," sahutku cuek.
"Nanti minta punya Win aja, Oom," Edwin menawarkan. Rio menoleh padaku dengan senyum
kemenangan. "Masuk yuk!" Edwin menarik-narik lengan jaket Rio.
Sebelum masuk, Rio mendekatkan bibirnya di telingaku lalu berbisik, "Kita mau nonton film
kartun, bukan film horor. Mukamu jangan serem gitu dong. Merusak suasana aja."
Rio dan Edwin masuk dengan riang tanpa menghiraukan aku. Nyebelin!!!
Di dalam, aku, Edwin, dan Rio duduk berderet di kursi bioskop. Kelihatan kayak keluarga muda.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di kanan-kiri kursi kami, kebanyakan para orangtua yang menemani anak-anaknya nonton.
Aku jadi makin risi. Rio dan Edwin tampak antusias menunggu film yang akan ditonton,
sementara aku menggerak-gerakkan tubuh, mencari posisi yang nyaman buat tidur. Aku lagi
nggak mood nonton, padahal biasanya aku semangat nonton film lucu. Kepejamkan mata.
Lampu dipadamkan dan iklan film mulai diputar. Aku makin terlelap.
Suara tawa orang-orang di sekitarku membuatku terbangun. Entah sudah berapa lama aku
tertidur. Aku membuka mata dan melihat adegan Panda gendut sedang melawan macan tutul.
Nggak seimbang banget. Jurus-jurus si macan tutul mantap, kelihatan banget tingkat
keilmuannya tinggi. Tapi jurus-jurus si Panda gokil banget. Sempet-sempetnya tuh Panda
ngebayangin makanan, padahal lagi ngelawan musuh berat.
Aku tertarik dan langsung ikut tertawa karema kekonyolan-konyolan yang terjadi. Sambil nonton,
aku mencomot popcorn Edwin, bergantian dengan Rio. Entah menguap kemana kekesalanku
tadi. Aku bisa menikmati malam ini sekarang. Tidur ternyata baik untuk kesehatan mental.
Keluar dari bioskop, Edwin ribut berceloteh ngomongin film tadi. Rio menanggapi dengan
antusias, sementara aku cuma senyum-senyum. Kayaknya kami semua bersenang-senang
malam ini. "Oom, Win lapar, makan yuk!" Edwin menarik-narik lengan jaket Rio dengan manja.
"Ayo! Oom juga udah lapar." noleh ke arahku. "Marmut ikut, kan?"
Aku mengangguk. "Oom yang traktir, ya!"candaku. Kayaknya kartun tadi benar-benar
memberikan mood bagus buat suasana hatiku.
Di restoran dekat bioskop, kami makan sambil ngobrol dengan akrab. Sulit dipercaya, aku dan
Rio bisa bicara normal tanpa ada unsur permusuhan. Edwin dan Rio masih ngobrol seru soal
film tadi. Aku cuma mendengarkan sambil sesekali melirik Rio yang tampak menikmati
obrolannya dengan bocah tujuh tahun itu.
Saat nggak sengaja menoleh ke pintu masuk, aku terenyak melihat dua orang yang kukenal
masuk restoran. Itu Tommy dan Martabak. Mataku mengikuti mereka sampai mereka duduk di
meja pojok. Ini malam Minggu, Tommy dan Martabak makan malam di luar. Cuma berdua.
Jangan bilang mereka lagi kencan di sini! Aku nggak bisa berhenti memandang mereka. Tommy
dan Martabak kelihatan deket banget. Memang sih, setahuku Tommy, Martabak, juga Putri
temenan akrab karena mereka sekelas sejak kelas satu, tapi masa iya cuma temen aja bisa
makan malam berduaan" Malam Minggu, lagi.
Perasaan cemburu, kecewa, dan sedih memenuhi hatiku. Rasanya sesak banget. Apa artinya
harapan yang selama ini kumiliki sejak mulai dekat dengan Tommy" Aku ge-er aja kali ya,
padahal nggak ada apa-apa.
Aku menunduk, sedikit getir, mengasihani diri sendiri.
"Ayo pulang!" Aku berdiri tiba-tiba, membuat obrolan Rio dan Edwin terputus. Mereka menatapku
heran. "Ayo dong....aku mau pulang nih," pintaku dengan suara serak. Dadaku terasa sakit. Aku
nggak tahan ngeliat cowok yang selama ini kusukai bersama cewek lain, apalagi dia adalah
Martabak. Rio kelihatan nggak ngerti, tapi dia cepat-cepat memanggil pelayan, membayar makanan, lalu
membawa kami keluar. Restoran itu cukup besar, kurasa Tommy atau Martabak nggak
menyadari keberadaan kami.
Di dalam mobil, kami saling diam. Edwin yang duduk sendiri di kursi belakang pun nggak
berulah. Aku memandang ke luar jendela, mencoba meredam kegundahan hatiku.
"Edwin ketiduran," ucap Rio.
"Hah?" Aku menoleh padanya nggak ngerti. Rio menunjuk ke belakang. Aku membalikkan
badan, melihat Edwin yang berbaring di kursi belakang. Pantas sepi sejak tadi.
"Maaf ya, aku mengacaukan malam ini, padahal seharusnya kita bersenang-senang," kataku
tanpa menoleh kepada Rio. "Edwin pasti membenciku. Aku memang nggak pernah jadi kakak
yang baik buat dia, sementara kamu yang baru dikenalnya satu hari sudah bisa bikin dia
gembira." "Kamu nggak seburuk itu kok." Rio menoleh kepadaku sekilas. "Tadi sore di atas pohon
rambutan, aku sempat nanya sama Edwin, siapa orang-orang yang paling dia sayangi, dan
ternyata kamu salah satunya. Memang sih, dia bilang Singa Masai, tapi karena aku nggak ngerti,
terus dia jelasin bahwa Singa Masai itu kakak sepupunya yang suka ngamuk, rambutnya suka
berantakan kayak singa, dan kalau abis makan bisa tidur lama kayak Singa Masai."
Refleks aku merapikan rambutku dengan jari. Duh....bocah bandel, tega-teganya cerita yang
malu-maluin tentang aku ke orang lain. Aku menatap Rio kikuk. Hancur sudah reputasiku di
depan wali kelasku itu. "Jadi, Edwin bilang aku salah satu orang yang paling dia sayangi
walaupun setiap hari kami bertengkar?"
"Kadang pertengkaran dan permusuhan bisa memunculkan rasa sayang yang tersembunyi jauh
di dalam hati," ucap Rio. Dia menatapku, aku membalasnya. Sejenak aku tersadar, kata-katanya
juga bisa berlaku dalam hubungan kami yang nggak pernah akur dan selalu terlibat masalah
sejak pertemuan pertama. Tapi ini nggak berarti ada kemungkinan munculnya rasa sayang yang
tersembunyi jauh di dalam hati antara aku dan dia, kan" Yang benar aja! Masih ada makhluk
sebagu Tommy, mana mungkin aku punya ''rasa'' sama wali kelasku ini" Aku terdiam sesaat.
Dadaku kembali sesak mengingat Tommy. Sekarang nggak ada lagi harapan aku bisa
bersamanya. Sia-sia penantianku selama ini.
Rumahku tampak sepi waktu kami sampai. Papa dan Mama belum pulag. Rio menggendong
Edwin sampai di kamarnya lalu membaringkan tubuh kecil itu di tempat tidur. Aku mengantar Rio
sampai ke pintu depan. "Makasih ya, sudah ngajak kami nonton dan mau nganterin pulang," ucapku canggung. Rasanya
aneh kalau cuma berdua kayak gini.
"Sama-sama. Tapi sebelum pulang, aku boleh tahu nggak, kamu kenapa waktu di restoran tadi"
Masih kesal karena aku ngajak Edwin keluar atau ada sesuatu yang lain?" tanya Rio dengan
mata menyelidik. "Nggak kok. Aku malah menikmati kebersamaan kita. Kita bertiga," ralatku cepat. "Nggak ada
alasan lain, aku pengen pulang aja."
"Selain nggak pintar matematika, kamu juga nggak pintar bohong. Gini aja, gimana kalau kamu
cerita ke aku" Anggap aja sekarang aku bukan wali kelas atau gurumu, tapi cowok tetangga,
teman adik sepupumu yang bersedia jadi teman curhat," ucap Rio sungguh-sungguh.
"Nggak ada yang mau aku ceritain kok."
"Termasuk soal Tommy dan Taura yang kamu lihat di restoran tadi?"
Aku kaget, nggak nyangka Rio juga melihat mereka berdua.
"Terserah kamu sih, aku cuma mau nawarin bantuin....." Rio tersenyum.
Aku merasakan sesak di dadaku. Aku ingin berbagi dengan seseorang. Sayangnya, yang ada
bersamaku sekarang cuma guru matematikaku yang kadang nyebelin dan sering
menyusahkanku. Tapi gimana ya, kok malam ini aku jadi mellow begiin" Nggak apa-apa kali,
ngobrol-ngobrol dikit sama dia. Lagian dia nggak rese-rese amat malam ini. Daripada nanti sedih
sendiri kalau dia pergi. Aku mengajak Rio ke bangku teras. Udara malam ini nggak dingin-dingin banget, rasanya lebih
nyaman ngomong di luar. "Tadi kamu ngeliat mereka juga, ya?" ucapku memulai percakapan.
"Kamu nggak sadar, tadi kamu nggak berkedip melihat ke satu arah. Terang aja aku ikut
merhatiin. Ternyata itu Tommy dan Taura," jelas Rio.
Aku menunduk memandangi kakiku yang kuayun-ayunkan.
"Kamu suka sama Tommy, ya?" Aku merasa Rio sedang menatapku. "Makanya, waktu melihat
Tommy dan Taura kamu jadi cemburu dan patah hati."
"Apa menurut orang dewasa kayak kamu, nggak seharusnya aku bersikap kekanak-kanakan
kayak tadi" Yang kurasakan kan cuma sakit hati seorang cowok yang kehilangan cowok yang
nggak pernah dimilikinya." Aku seolah mengejek diri sendiri.
"Kenapa kamu punya pikiran kayak gitu" Aku ngak nganggap sikapmu kekanak-kanakan. Itu
wajar kok. Sakit hati seorang anak kecil yang direbut mainannya, remaja yang patah hati, juga
orang dewasa yang ditinggal mati kekasihnya, memiliki nilai yang sama. Perasaan itu
manusiawi." Kata-kata Rio menenangkan hatiku. Aku menoleh padanya, dia tersenyum, membuatku nyaman.
"Aku suka Tommy sejak kelas satu. Alasannya standar. Dia keren, cakep, jago basket. Tapi
setelah kelas dua dan aku sekelas sama dia, aki melihat kelebihan lain dalam dirinya. Tommy itu
cowok yang baik, ramah, pintar, juga ketua kelas yang bertanggung jawab. Dia juga nggak
belagu atau sombong dengan kelebihannya." Aku mulai mengungkapkan isi hatiku yang belum
pernah kuceritakan pada siapa pun kecuali Steve. "Aku tahu, banyak banget cewek di sekolah
yang suka sama dia, tapi aku tetap berharap bisa dekat dengannya. Ingat kan, waktu aku bawa
mainan robot ke sekolah?" Rio menoleh kepadaku sekilas dan mengangguk, lalu kembali
berpaling. "Ternyata dia juga suka sama mainan kayak gitu. Makanya sejak itu kami sering
ngobrol dan jadi lebih akrab. Aku jadi punya harapan kami bisa lebih dekat, lebih dari sekadar
teman." "Seharusnya, sebelum berharap, kamu siap-siap kecewa." ucap Pak Rio datar.
"Aku tahu itu. Aku sering ngebayangin Tommy bersama cewek lain, juga ngeliat sendiri dia
didekati cewek-cewek yang mau menarik perhatiannya, dan perasaanku baik-baik aja. Tapi
malam ini, waktu aku ngeliat dia kencan sama cewek lain, aku ngga bisa nahan perasaanku.
Hatiku sakit." "Apa karena cewek itu Taura?"
"Entahlah, mungkin juga." Aku melirik Rio curiga. "Kamu tahu kalau hubunganku sama putri
kepala sekolah itu nggak baik" Kayaknya kamu tahu banyak hal tentang aku. Bukan tugas wali
kelas kan, menyelidiki segala hal tentang muridnya" Kukira yang kamu tahu soal kau cuma
nama lengap dan nilai ulanganku."
"Cuma nebak dari sikapmu yang cuek banget sama dia, juga tingkahnya yang berlebihan kalau
dapat masalah. Kamu nggak suka sama dia, ya?"
"Bukannya nggak suka, cuma nggak tahu kenapa, aku nggak bisa nyambung sama dia dan
sering bertentangan sejak kami jadi teman sekelas. Ada aja ulahnya yang bikin aku sebel dan
kayaknya dia juga alergi sama aku." Aku menatap Rio sebentar sebelum melanjutkan. "Kuakui,
kadang aku iri sama dia. Dia cantik, kaya, pinter, populer, punya banyak teman, dan banyak
cowok yang suka sama dia. Dia juga nggak sebodoh aku dalam pelajaran. Dia punya segalanya
dan sekarang dia pacaran sama cowok idola sekolah yang kebetulan orang yang aku suka. Aku
ngerasa semua anugerah Tuhan jatuh di atap rumahnya."
"Mungkin itu cuma pikiranku aja. Belum tentu dia merasa kayak gitu. Siapa tahu dia malah ingin
jadi sepertimu." "Ah, siapa yang mau jadi cewek bego, males, cuek, slenge'an, dan cuma bisa bikin masalah
kayak aku?" "Di balik sifat jelekmu, pasti ada kelebihan yang nggak kamu sadari."
Kami saling terdiam. Aku memikirkan kata-kata Rio. Apa benar aku punya kelebihan kayak gitu"
Rasanya nggak ada deh. Apa yang dimaksud Rio kelebihan karena aku bisa memanjat pohon
atau bikin ulah?" kelebihan apa misalnya?" tanyaku.
Rio berpikir sejenak. "Sebagai guru matematika, aku nggak menemukan kelebihan apa pun
dalam dirimu. Sebagai tetangga yang jadi korban percurian, aku tahu kamu pnitar manjat dan
suka ngintip. Tapi kayaknya itu nggak termasuk kategori kelebihan." dia tersenyum mengejek,
bikin aku merasa dia jadi Pak Rio lagi. "Tapi setelah menghabiskan malam ini bersamamu,
kulihat kamu orang yang bertanggung jawab. Buktinya, demi tugas menjaga Edwin kamu mau
ikut nonton. Kamu juga menyenangkan. Dan sekarang, kamu mau jujur cerita soal perasaanmu.
Aku menghargai keterbukaanmu padaku. Oh ya, ada lagi....senyummu manis."
Hah"! Apa aku nggak salah dengar" Dia bilang senyumku manis" Aku merasa wajahku
memanas. Norak banget! Kok aku jadi kayak gini"
"Makasih deh," ucapku sedikit salah tingkah.
Rio melirik jam tangannya. "Udah malam, aku pulang dulu ya." dia berdiri.
"Eh, soal pembicaraan kita yang tadi, tolong jangan cerita ke orang lain, ya," pintaku.
"Tenang aja. Setelah keluar dari sini, aku akan jadi guru matematikamu lagi, bukan teman curhat
atau teman kencan malam Minggu-mu." Rio berjalan keluar.
Teman kencan" Maksudnya" Aku mengerutkan dahi.
"Kalau hari Senin kamu nggak ngumpulin PR halaman 97, Bapak akan menyuruhmu mengelap
seluruh kaca jendela di ruang guru," ancamnya dari luar.
Aku tersenyum, mengantarnya sampai pintu pagar. Benar, oran itu sudah jadi Pak Rio lagi.
part ?6 GAUN MERAH MINGGU-MINGGU terakhir ini terasa berat buatku karena aku harus berusaha menerima
kenyataan bahwa sekarang Tommy bukan high quality jomblo lagi. Dia udah jadi pacar cewek
lain. Sejak kejadian di restoran tiga minggu lalu, aku jadi sering memerhatikan Tommy dan
Martabak di kelas. Mereka kelihatan akrab seperti biasanya. Beneran akrab, nggak ada mesramesranya. Kok gitu sih" Kenapa aku nggak melihat ada yang berubah dari sikap mereka"
Mereka kelihatan kayak teman biasa. Apa mereka nggak mau ketahuan pacaran" Kenapa harus
ditutup-tutupin" Atau cuma aku yang salah paham" Tapi kayaknya nggak deh. Aku kan melihat
sendiri mereka makan berdua, kencan malam mingguan.
Akhir-akhir ini aku sering menolak ajakan Tommy ke kantin bareng dan bakal sok sibuk kalau dia
mampir ke bangkuku ngajak ngobrol. Kalau udah begini, biasanya dia pergi begitu aja dan
bergabung dengan teman-teman cowoknya atau nongkrong di bangku Putri dan Martabak.
Sebenarnya ini bikin aku sedih dan frustasi, tapi mau gimana lagi" Aku nggak tahan berada di
dekat Tommy sementara aku tahu dia nggak bisa kumiliki. Aku perlu waktu untuk ngelupain
perasaanku padanya dan menganggap dia teman biasa.
Tommy mungkin merasa aneh dengan perubahan sikapku ini, tapi dia nggak bertanya, jadi
nggak ada yang perlu aku jelaskan. Lagian kalau dia nanya, aku juga nggak tahu mau jawab
apa. Mana mungkin aku jujur bilang, ''Gue jauhin elo soalnya lo udah punya cewek. Gue kan
suka sama elo, Tom, jadi gue nggak pengen sakit hati. Ngomong-ngomong, lo tau itu, kan?" Gila
kali kalau aku berani ngomong gitu.
Seharusnya di saat-saat seperti ini aku bisa curhat mati-matian ke Steve yang punya kewajiban
menghiburku, sebagaimana harusnya seorang sahabat. Tapi aku nggak bisa mengharapkan dia
saat ini soalnya dia sendiri lagi kelimpungan dan bingung berat. Tiga minggu lagi ulang tahun
Putri dan Steve nggak tahu mau ngasih kado apa buat cewek pujaannya itu. Dia pengen ngasih
hadian istimewa yang bisa mengungkapkan perasaannya pada Putri. Aku usul Steve
memberikan setangkai mawar sambil berkata, "Put, sebenarnya gue cinta mati sama elo. Jadian,
yuk!", tapi Steve menolak mentah-mentah ideku. Katanya aku nggak punya jiwa romantis. Lho,
katanya yang penting to the point aja" Daripada repot pake romatis-romantisan segala, toh
tujuan akhirnya biar bisa pacaran juga.
Siang ini Steve ngajak aku nemenin dia ke mal buat nyari kado ultah Putri. Katanya setelah nyari
inspirasi tiga hari dua malam, dia dapat bilang apa yang mau dia beli, aku juga malas nanya.
Tujuanku nganter dia kan cuma nuat dapat traktiran es krim. Urusan lain, sebodo amat!
Kami masuk ke butik di dalam mal yang memajang aneka gaun di etalasenya. Jadi, Steve mau
beliin pUtri gaun" Hasil nyari inspirasi tiga hari dua malam cuma gaun"
"Rin, bantuin milih dong," pinta Steve yang kebingungan melihat puluhan gaun yang berjejer di
depannya. "Gue nggak tahu soal baju. Tanya mbak-mbak yang jaga butik aja gih!" tolakku. Aku duduk di
tempat duduk dekat ruang ganti. Ada beberapa cewek yang sedang memlilih gaun di butik ini
dan mereka melirik-lirik Steve yang jadi satu-satunya kaum Adam di sini.
Mbak-mbak peramugari merekomendasikan beberapa gaun pada Steve, semua berwarna
merah seperti permintannya, tapi Steve tetap bingung. Dia menoleh padaku minta bantuan, tapi
aku cuma angkat bahu, nggak ngerti.
Steve menunjukkan beberapa gaun padaku dan memintaku mengaudisi gaun-gaun itu. Aku
nggak ngasih komentar apa-apa. "Gue nggak ngerti soal fashion. Kayaknya lo salah ngajak
orang deh. Harusnya lo ngajak teman cewek lo yang lain, bukan gue."
"Kasih pendapat objektif aja, Rin. Gaun ini bagus nggak" Cocok buat Putri nggak" Sesuai sama
karakter dia nggak?"
"Nggak tau. Nggak tau. Nggak tau. Pandangan objektif gue, semua gaun tuh sama, fiminin,
manis, cewek, pokoknya Putri banget deh. Jadi ngapain sil lo repot-repot milih lagi?"
"Duh....nih anak, kokn nggak cewek banget sih lo" Milih gaun itu ada aturannya. Harus sesuai
dengan karakter cewek yang make, warnanya nggak boleh norak dan tabrakan sama warna
kulit, terus modelnya juga nggak boleh asal-asalan."
"Nah, itu lo tahu. Kenapa nanya gue lagi?"
"Elo kan sobatnya Putri. Jadi menurut gue, lo pasti tau gaun mana yang paling cocok buat dia."
Aku mengamati gaun-gaun itu sebentar. "Semua bagus. Pilih yang mana aja pasti cocok buat
Putri. Cuma buat kado ultah ini..."
"Enak aja! Kado ini punya arti spesial buat gue sama Putrim tau! Gue ngasih gaun ini biar dia
pake di kencan pertama kami nanti. Gue pengen ngasih gaun istimewa yang bakal bikin dia
terkesan dan merasa kalau gue serius cinta sama dia."
Aku meliriknya dengan sebelah alis terangkat. "Setahu gue, cinta itu cuma soal perasaan dan
sikap, bukan soal gaun kayak apa yang lo pilih buat seseorang."
"Gue berharap lo segera jatuh cinta biar pikiran-pikiran matematis lo dikacaukan sisi romantis lo.
Saat itu lo baru bisa ngeliat dunia penuh warna dan lo bakal milih make gaun merah."
Aku makin nggak ngerti maksud kata-kata Steve. "Gue jatuh cinta" Mungkin aja. Gue make
gaun merah" Mustahil! Lagian, dari mana sih lo dapat teori kalau orang yang lagi jatuh cinta
akan milih warna merah?"
"Film India yang dibintangi Preity Zinta."
Aku memutar bola mataku. "Sumber yang meyakinkan banget," sindirku.
Lima belas menit kemudian, setelah lolos eliminasi, akhirnya terpilih gaun merah berenda tanpa
lengan dengan panjang selutut sebagai gaun yang menang audisi. Aku mengembuskan napas
lega. Berakhir juga penantian yang terasa panjang dan membosankan ini.
"Lo optimis banget bakalan bisa kencan sama Putri. Kayak dia mau aja sama elo," ucapku saat
kami keluar dari butik. "Kan elo sendiri yang bilang kalo sebenarnya Putri tuh suka sama gue. Jadi mumpung dia mau
ultah, gue pede aja pake momen ini buat first step ngedetin dia." Steve menjajari langkahku.
"Iya sih. Tapi siapa tau pas bilang suka sama elo, dia lagi mabuk atau di bawah pengaruh obat
bius," candaku. "Kalo elo yang bilang suka sama cowok, baru perlu di ragukan apa li lagi mabuk atau di bawah
pengaruh obat bius," balas Steve.
"Lho, memangnya kenapa" Mungkin aja kan, gue jatuh cinta suatu saat nanti setelah gue
nemuin cowok cakep yang mirip Inu-Yasha?" protesku.
"Maksud lo, yang punya kuping anjung dan taring serigala?"
"Enak aja! Maksud gue, yang hebat dan jagoan kayak dia."
"Jangan mengkhayal deh. Tommy yang nggak bisa pencak silat aja nggak bisa lo dapetin,
apalagi cowok jagoan yang mirip Inu-Yasha," ejek Steve. Dia pernah melihat Tommu saat
pertandingan basket antara SMA Girindra dan sekolahnya, dan menurutnya Tommy terlalu oke
buatku. Dasar kunyuk! "Enak aja! Tommy itu tinggal tunggu waktu, tau! Sebentar lagi dia bakalan kacau karena jatuh
cinta sama gue," ucapku sok yakin, padahal aku tahu itu nggak akan terjadi.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kacau gimana" Lo gebukin dia lantaran dia nolak elo" Oh..... Cowok malang," Steve
mengembuskan napas tanda prihatin sambil memalingkan muka.
"Sialan lo!" Aku meninju lengan Steve, tapi dengan cepat dia menangkapnya lalu menggenggam
tanganku erat. Aku kaget. "Kenapa lo" Lepasin tangan gue nggak!"
"Rin, dengerin kata-kata gue. Lo mesti berakting jadi cewek gue," bisik Steve.
"Apa"!" teriakku, tapi Steve malah meremas tanganku. Aku meringis kesakitan.
Pandangan Steve mengarah pada seorang cewek yang memakai tank top warna pink dan rok
biru yang sedang berjalan mendekati kami dari arah berlawanan. Cewek itu tampak kaget waktu
melihat Steve, dan lebih kaget lagi setelah menyadari keberadaanku yang sedang digandeng
cowok itu. "Hai, Steve!" sapanya.
"Eh, hai, Wi! Kok bisa ketemu di sini" Lagi shopping, ya" Sendirian?" ujar Steve basa-basi
sambil melepaskan genggaman tangannya lalu merangkul pundakku. Sembunyi-sembunyi di
belakang punggung, aku melemaskan tanganku yang sakit karena genggaman Steve. Sialan nih
bocah! Kubalas nanti! "Iya nih, lagi pengen sendiri aja. Lo ngapain di sini, Steve?" Cewek itu melirikku dan kelihatan
salah tingkah. "Lagi jalan-jalan aja sama cewek gue. Oh ya, kenalin, ini Marina cewek gue." Pandangan Steve
beralih padaku. "Say, kenalin nih, teman sekolahku, Tiwi."
Aku dan Tiwi bersalaman dengan canggung. Aku bisa menangkap ekspresi nggak enak di wajah
cewek itu, campuran rasa sedih, kecewa, dan patah hati.
Setelah basa-basi sebentar, Tiwi berjalan meninggalkan aku dan Steve.
"Apa-apaan sih tadi?" Aku menepis tangan Steve di pundakku setelah Tiwi nggak terlihat lagi.
Steve menghela napas. "Sori, tadi gue manfaatin elo. Tadi itu Tiwi, teman sekelas gue yang
naksir gue. Dia pernah nembak gue, tapi gue tolak. Tapi dia tetap ngejar gue. Gue nggak mau
perasaannya sia-sia buat gue, jadi gue bohong dan bilang ke dia kalau gue udah punya cewek.
Eh, ternyata dia tetap keukeuh ngedeketin gue. Jadi tadi pas kebetulan kami ketemu dan gue
bareng elo, gue langsung kepikiran elo pura-pura jadi cewek gue aja. Gue harap dia berhenti
suka sama gue setelah ngeliat gue sama cewek gue."
"Yang benar aja lo, Steve! Mana mungkin cewek cantik kayak gitu naksir elo yang nggak ada
bagus-bagusnya gini?"
"Dia nembak gue, bilang suka sama gue, dan gue yakin dia nggak lagi mabuk atau di bawah
pengaruh obat bius. Lagian, siapa bilang gue nggak ada bagus-bagusnya" Gue ini vokalis band
beken dan jagoan tim basket sekolah gue, tau! Lo aja yang nggak bisa bersyukur sobatan sama
cowok hebat kayak gue," ujar Steve.
"Bersyukur apanya punya temen cerewet dan pecicilan kayak elo" Terus, soal Tiwi, kenapa lo
tolak" Itu kan mukjizat, ada cewek cantik bisa suka sama lo."
"Karena gue telanjur jatuh cinta sama cewek lain yang bikin hati gue jungkir balik dan senang
memlilih warna merah," jelas Steve.
"Wah.....dasar anak band. Lo bisa dalem juga ya, kalo udah urusan cinta. Salut deh gue,"
ucapku sungguh-sungguh. "Karena tadi gue udah nolong elo, traktir makan dong!"
"Nolong apaan" Akting lo payah banget. Berdiri canggung kayak orang mau dieksekusi gitu."
Aku langsung pura-pura celingak-celinguk. "Tiwi mana, ya" Paling belum jauh. Gue mau kenalan
ulang ah, dan bilang kalau gue lagi jomblo. Siapa tau dia punya teman cowok keren buat
dikenalin ke gue." Aku berjalan ke arah Tiwi menghilang tadi. Steve menarik lengan bajuku untuk
menahanku. "Ampun dah, gue nyerah. Mau makan di mana lo?"
Aku tersenyum puasssss! Sepuluh menit kemudian, aku pura-pura menatap mesra kepada Steve dan berbisik," Gue
nyesel minta ditraktir di sini."
"Bukan gue yang bikin kita terpaksa remas-remasan jari begini," balas Steve.
Saat itu kami sedang duduk berdua di restoran dalam mal sambil berpegangan tangan di atas
meja. Sandiwara ini terpaksa kami lakukan karena pas kami sedang asyik-asyiknya makan,
kebetulan Tiwi masuk ke restoran dan duduk nggak jauh dari meja kami. Steve memohon agar
aku mau pura-pura bersikap mesra dan memegang tangannya. Walau nggak menyenangkan,
aku sih mau aja pura-puraan kayak gini soalnya dia janji nraktir nonton setelah ini. Sering-sering
aja aku dan Steve ketemuan sama Tiwi.
part ?7 BAKSO. JAM pelajaran pertama kali hari ini adalah Bahasa Inggris, dan Pak Rian nggak bisa ngajar
karena mengikuti seminar pendidikan. Jadilah satu setengah jam ini acara bebas buat anak-anak
2-F. "Rin, ke kantin yuk, tadi gue nggak sempat sarapan," ajak Putri sambil menggucang tubuhku.
Aku, yang sedang merebahkan kepala di tanganku yang terlipat di atas meja, membuka sebelah
mata. "Gue ngantuk berat nih, Put. Ajak Wulan aja gih." Aku kembali memejamkan mata dan
mencoba tidur dalam posisi nggak nyaman. Ini. Semalam aku begadang buat memperbaikik
nggak mobil-mobilan remote control-ku yang nggak sengaja dirusakin Edwin. Sekitar dua jam
aku mengutak-atik mesin di dalamnya. Untung akhirnya mainan itu bisa berjalan normal. Aku
nggak pernah sesenang itu ngeliat mobil itu hidup. Hasil kerjaku yang penuh kekesalan dan
hampir diakhiri dengan keputusasaan itu ternyata berhasil. Aku langsung menyimpan mobilmobilan itu dalam kardusnya, lalu menaruhnya di atas rak agar nggak terjamah pengacau kecil
itu lagi. "Ayolah, Rin. Ntar gue traktir permen deh."
"Emang gue anak SD" Tajir-tajir traktirannya permen. Anjlok tuh gengsi."
"Dasar matre lo!" Putri melirik Wulan. "Lo mau kan, Lan?"
Wulan mengalihkan pandangan dari buku kimia di depannya. "Ditraktir permen?"
Putri mengerutkan dahi. "Ya bukan lah. Gue ajak ke kantin."
"Lagi baca nih. Eh, omong-omong, nama band gebetan lo yang sobatnya Rin, si Steve itu, Alkali,
kan" Kenapa, ya" Padahal golongan 1A kan perlu elektron paling banyak di antara golongan
unsur kimia lain untuk jadi stabil."
"Itu tandanya anak-anak Alkali susah stabil," komentarku masih dengan mata terpejam. "Apalagi
vokalisnya tuh." "Enak aja! Jangan jelek-jelekin gebetan gue, ya!" Putri langsung sewot. "Lagian mentangmentang golongan VIIIA stabil, masa Gas Mulia jadi nama band. Nggak banget gitu loh."
"Cowok nggak stabil gitu aja lo belain. Makanya, cepetan gih jadi ceweknya, biar lo bisa
'menstabilkan' dia." Aku memandang Putri sambil menopang dagu.
"Lo kira gue halogen apa?" protes Putri. Halogen itu, kalau nggak salah, adalah golongan unsur
kimia yang biasanya dipasangkan dengan unsur-unsur golongan Alkali biar jadi senyawa kimia
yang stabil. Hehehe....bisa juga aku mengingat pelajaran kimia yang ada hubungannya dengan
Alkali. Jangan-jangan, pinternya Wulan nular ke aku, kali ya"
Aku tersenyum melihat muka jutek Putri. Wulan kembali pada bukunya.
"Ayo dong, Lan.... Ntar gue traktir permen deh."
Sembilan Pembawa Cincin 4 Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam Si Penakluk Dewa Iblis 2
^