Pencarian

Matemacinta 2

Matemacinta Karya Razy Bintang Argian Bagian 2


Aku tertawa kecil. Nggak kratif banget sih si Putri. Udah tahu siasay permennya nggak mempan,
masih mau dicoba ke Wulan.
Tiba-tiba Wulan berdiri sambil merapikan bukunya. "Lolipop baru rasa cappuccino itu, ya?"
ujarnya. Putri tersenyum penuh arti. "Kalai begitu, oke deh, Bos!" jawab Wulan penuh semangat.
Mereka berjalan keluar kelas. Aku cuma mengangkat sebelah alis melihat adegan aneh barusan.
Sejak kapan Wulan bisa disogk pake permen" Aku menghela napas lalu kembali merebahkan
kepala di atas lipatan tanganku. Aku benar-benar ngantuk. Dalam beberapa menit suara-suara di
sekitarku mulai menghilang.
"Rin, Rin, bangun!" Aku merasa mendengar suara dari jauh. "Jam ketiga mau mulai lima belas
menit lagi." Aku mengerjap-ngerjapkan mata, lalu samar-samar melihat orang yang berdiri di depanku:
Tommy. Aku mengucek-ucek mataku. Kepalaku terasa pening dan badanku sakit. Nggak tahu
deh gimana tampangku sekarang. Seandainya Tommy masih bisa diharapkan, pasti aku nggak
mau kelihatan jelek di depannya. Tapi sekarang, kayaknya nggak ada gunanya lagi aku jaim
buat menarik perhatiannya.
"Udah bel pulang, ya?" Aku mengedarkan pandangan ke ruang kelas yang sepi.
"Masih mimpi lo, ya" Sekarang baru jam sepuluh kurang."
Tommy tertawa kecil lalu beranjak ke bangkunya di pojok belakang. "Ke toilet gih, cuci muka!"
Aku berdiri, kemudian menggerak-gerakkan badan. Tidur dalam posisi duduk kayak tadi bikin
badan pegel-pegel nggak keruan. Ini semua gara-gara Edwin!
"Semua lagi pada keluar, ya?" tanyaku pada Tommy yang sedang mencari-cari sesuatu dalam
tasnya. "Iya. Kok elo kelihatan ngantuk gitu" Nggak tidur ya semalam?"
"Gue begadang."
"Emangnya ngapain" Kena hukuman bikin tugas lagi?"
"Nggak. Gue betulin mobil kesayangan gue."
"Hah" Betulin mobil malam-malam?" Tommy menoleh heran padaku sambil memasukkan
dompet ke saku celananya.
"Mobil-mobilan. Untung bisa dibetulin. Padahal, asli, gue betulinnya asal-asalan." Aku berjalan
ke luar kelas. "Elo punya bakat jadi montir dong," canda Tommy. Dia menjajari langkahku, lalu berbelok
menuju kantin, sedangkan aku berjalan ke toilet.
Dari luar toilet aku mendengar suara orang sedang bicara keras-keras dan penuh emosi. Hari
gini masih ada ajaorang ribut di toilet. Basi banget. Aku sudah akan beranjak dari sana, tapi
langkahku tertahan karena mendengar orang itu memnyebut-nyebut namaku.
"Rin itu brengsek. Seharusnya nggak segampang itu lo percaya sama dia. Di nggak tulus
sobatan sama elo. Mungkin bagi dia, lo cuma teman buat have fun. Dia nggak ngerti kalau lo
tulus nganggep dia sahabat, kalau lo sayang sama dia. Dia beda sama kita, Put. Perasaannya
ngak peka. Dia cuek dan nggak peduli sama apa pun, apalagi tentang perasaan lo. Mungkin
menurutnya nggak masalah kalau dia jadian sama cowok yang lo suka. Lagian, lo dan Steve kan
belum ada hubungan apa-apa. Dia nggak peduli sama perasaan lo yang jelas-jelas suka sama
Steve." Isak tangis terdengar. "Put, jangan nangis dong! Dia nggak seberharga itu buat lo tangisin.
Cuma cewek sok setia kawan yang nggak punya perasaan. Please, Put, dengerin gue!"
"Selama ini gue nanggep dia sahabat. Gue nggak nyangka dia tega berbuat kayak gitu di
belakang gue." Suara Putri terdengar.
Mataku membesar. Nggak salah lagi, itu Putri dan Martabak. Ngapain mereka di dalam
ngomongin gue" Kenapa Putri bia nangis" Apa hubungannya Martabak nyebut-nyebut soal
Steve" Aku membuka pintu toilet dan melihat Putri dan Martabak sedang berdiri di dekat
wastafel. Martabak terkejut dengan kemunculanku, begitu juga Putri yang tengah terisak.
"Lo kenapa, Put?" tanyaku cemas.
Bukannya menjawab, Putri malah keluar tanpa mengacuhkanku.
"Put! Put!" panggilku, tapi Putri tetap berlari menuju kelas. Pandanganku beralih pada Martabak
yang masih berdiri di sana. "Jangan sok tau tentang diri gue, apalagi perasaan gue. Kapan sih lo
berhenti ngacauin hidup gue?"
Aku berjalan tergesa menyusul Putri. Sampai di kelas, kulihat Putri sedang memeluk Wulan yang
memandang bingugn ke arahku, nggak mengerti apa yang terjadi seperti juga aku. "Elo kenapa,
Put" Apa yang terjadi?" Aku mendekat.
Putri melepas pelukannya, menatapku dengan mata berair. "Gue nggak nyangka lo bisa setega
ini sama gue." "Maksud lo" Tega apanya" Ini soal apa, Put?" Aku makin bingung.
"Soal Steve. Lo jalan sama Steve, kan" Lo pacaran sama cowok yang gue suka, di belakang
gue. Gue nggak percaya lo bisa sejahat ini sama gue. Gue kira kita sahabat, Rin."
"Hah" Jalan sama Steve?" Aku nggak bisa mencerna kata-kata pUtri.
"Nggak ada gunanya pura-pura. Gue udah tahu semuanya. Kemarin Taura ngeliat sendiri lo
sama Steve mesra-mesraan di mal. Kalian nggak kayak dua sahabat seperti yang lo gembargemborkan ke gue. Mana ada sahabat yang rangkulan, gandengan mesra, dan pegangan
tangan pas makan di restoran" Taura yang bilang semuanya ke gue. Bego namanya kalau gue
tetap percaya lo sama Steve cuma temenan. Gue lebih percaya kata-kata Taura. Dia nggak
mungkin bohongin gue. Dia nggak kayak elo...."
Wulan terkejut. Dia menoleh padaku nggak percaya.
Aku langsung tanggap. Ada yang salah mengira soal kejadian kemarin. "Ya Tuhan.... Jadi soal
kemarin" Put, lo salah paham."
"Lo mau bohong apa lagi buat nipu gue?" Putri mulai menangis lagi. "Gue tau Steve sahabat lo,
Rin. Dan kayak cerita-cerita di novel, dua sahabat cowok-cewek bisa saling suka, itu biasa. Tapi
dalam kasus ini, lo tau gue, orang yang selama ini nganggep lo sahabat, suka sama sahabar
cowok lo, dan lo dengan munafiknya sok ngedukung gue, tapi ternyata lo malah mengkhianati
gue." "Gue sama Steve nggak kayak cerita novel, dan apa yang lo pikirin itu salah, Put!"
"Gue emang salah...." Putri mengusap air matanya. "Elo yang benar. Nggak ada aturan yang
nyalahin lo pacaran sama Steve. Gue sadar kok, sebenarnya gue nggak punya hak apa-apa
buat ngerasa marah atau benci sama lo, toh dia bukan siapa-siapa gue. Tapi kenapa lo harus
bohong sama gue, Rin" Kenapa lo pura-pura ngedukung gue jadian sama Steve kalau ternyata
lo udah jalan bareng dia" Lo mau mainin perasaan gue" Gue sakit hati, Rin. Ternyata lo nggak
seperti yang gue kira selama ini. Lo nggak punya perasaan, lo jahar. Lo pengkhianat sok setia
kawan yang cuma bisa nusuk teman dari belakang. Lo brengsek!"
"Jaga omongan lo!" bentakku kasar. Harga diriku tersinggung mendengar ucapan Putri. Sakit
banget mendengar kata-kata kayak gitu dari orang yang kuanggap sahabat. Ternyata segitu
doang kepercayaan Putri terhadapku selama ini. Hilang sudah keinginanku untuk menjelaskan
''jalan bareng''-ku dengan Steve pada Putri, padahal tadinya aku kira ini cuma kesalahpahaman
sepele yang nanti akan kami tertawakan. "Apa hak lo ngomong kayak gitu tentang gue"
Memangnya lo siapa" Cuma cewek bego yang dengan gampangnya bisa dihasut cewek
brengsek kayak Martabak."
"Diam lo!" Putri berdiri. Wulan menatap Putri dengan wajah tegang, lalu beralih memandangku.
"Taura itu sahabat gue. Dia bukan orang egois yang nggak punya perasaan kayak elo.
Seharusnya gue dengerin dia saat dia ngingetin gue untuk berpikir seribu kali sebelum bergaul
sama orang macam lo. Sayang, gue telanjur percaya sama lo cuma karena lo pernah nolong
gue. Sekarang gue baru tau orang kayak apa lo sebenarnya."
"Jadi selama ini lo jadi temen gue cuma balas jasa karena gue pernah nolong lo" Denger baikbaik ya, Put. Gue benar-benar nggak butuh itu!" seruku sebelum meninggalkan kelas dengan
menahan marah. Aku berjalan ke bangku di halaman belakang sekolah lalu duduk di sana. Nggak ada orang lain
di sini karena sekarang lagi jam belajar. Ini tempat yang sempurna buat menyendiri. Aku
bertopang dagu sambil menunduk memandang rumput. Kepejamkan mata kuat-kuat, kucoba
meredakan kemarahan yang menyesakkan dada.
Aku kesal pada Putri. Aku nggak nyangka dia bisa berkata-kata sejelek itu padaku. Aku
menganggapnya sahabat, tapi ternyata cuma segitu rasa percayanya terhadapku. Gampang
banget dia kehasut kata-kata Martabak yang sembarangan dan ngaco. Martabak salah paham
soal Steve dan dia bilang pada Putri, tapi begonya, Putri malah dengerin omongan nenek sihir itu
dan nggak ngasih aku kesempatan untuk menjelaskannya. Terserah deh gimana jadinya, aku
nggak peduli lagi. Untuk apa aku menjaga persahabatan buat orang yang jelas-jelas nggak mau
percaya sama aku dan jadi temen cuma buat balas budi.
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Aku mengembuskan napas panjang, menenangkan diri.
Hal terakhir yang kuinginkan sekarang adalah bertemu Putri, tapi menghindar darinya juga
nggak bakal menyelesaikan masalah. Dengan enggan aku berjalan menuju kelas. Di depan
perputakaan, aku berpapasan dengan Nanda, teman sekelasku. "Mau ke mana, Nan" Kok
nggak ke kelas" Kan udah bel masuk?"
"Bu Indah nggak ada, cuma ngasih tugas. Gue mau balikin buku sebentar. Mau ikut ke perpus?"
ajaknya. "Nggak ah," tolakku. Aku menatap perpustakaan di depanku dengan enggan. Tempat ini adalah
pilihan terakhir buat tempat nongkrong, kecuali nanti ada hal gawat yang terjadi yang bikin aku
ingin sembunyi di antara tumpukan buku. Aku nggak tahu mau ke mana, tapi untunglah aku
nggak harus ke kelas, tempat kemungkinan aku ketemu Putri. Mendingan sekarang aku ke
kantin dan mengisi perut sebelum kembali ke kelas bua ngerjain tugas kimia dari Bu Indah.
Kantin dipenuhi anak-ank 2-F saat aku masuk. Aku lagi nggak kepengen ngobrol, jadi dengan
langkah malas dan kepala menunduk aku berjalan ke meja pojok kantin yang kosong.
Tiba-tiba......jeduk! Aku bertabrakan dengan seseorang. Bajuku tersiram kuah bakso dan teh
panas. Aku mengerang kepanasan.
"Ya ampun! Sori, Rin, gue nggak sengaja...."
Aku mengangkat kepala dan melihat Martabak dengan wajah panik salah tingkah di depanku.
"Jalan pake mata dong! Kantin seluas ini kok bisa nabrak orang sih?" teriakku, mengundang
perhatian semua orang di kantin.
"Sori, gue nggak merhatiin lo. Tadi Tommy manggil gue, jadi gue noleh ke dia dan nggak ngeliat
elo." Emosiku meledak mendengar alasan Martabak, ditambah lagi gelagatnya yang kayaknya ngg ak
ada menyesal-menyesalnya walau sudah numpahin makanan ke bajuku. Dengan kesal aku
menatapnya. "Kalo lo benci banget sama gue, bilang terus terang! Jangan gini caranya. Lo
nggak bisa berbuat seenaknya, walaupun lo anak kepala sekolah. Lo kira gue takut sama lo?"
Aku mendorong nampan yang dipegang Martabak, membuat sisa teh dan bakso dalam mangkuk
menyiram bajunya lalu jatuh dan pecah.
Martabak terbelalak melihat bajunya basah dan kotor. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya
yang terbuka. Aku menatapnya dengan pandangan menantang. Cewek rese ini sekali-sekali
perlu dikasih pelajaran. Tiba-tiba seseorang menarik pundakku dengan kasar sehingga aku berbalik. Aku terkejut melihat
Pak Rio berdiri di hadapanku dengan pandangan marah. "Apa-apaan kamu" Kamu nggak
berhak berbuat kasar begitu padanya!"
Aku menepis tangan Pak Rio yang mencengkeram pundakku. "Kenapa nggak" Apa karena
orangtua saya bukan kepala sekolah di sini?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan siapa dia!" Pak Rio menunjuk Martabak. "Saya melihat apa
yang terjadi. Kalian bisa tabrakan juga karena salahmu yang jalan sambil menunduk dan nggak
melihat ke depan. Apa yang kamu lakukan benar-benar keterlaluan!"
Aku tersenyum sinis padanya. "Maaf, Pak, saya nggak ngeliat Bapak tadi. Tapi seandainya pun
saya ngeliat, saya akan tetap melakukan hal keterlaluan ini sama anak atasan Bapak itu." Aku
nggak tahu kenapa aku bisa ngomong kurang ajar kayak gini pada Pak Rio. Kemarahan yang
kurasakan sejak tadi muncul ke permukaan, dan aku jadi merasa benci pada semua orang,
termasuk Pak Rio yang sejak dulu nggak pernah benar-benar kusukai apalagi kuhormati sebagai
guru. "Jaga ucapanmu! Kamu nggak sadar sedang bicara dengan siapa?"
"Terserah," balasku nggak peduli. Aku beranjak dari kantin tanpa menghiraukan tatapan semua
orang yang memerhatikanku.
"Mau lari dari masalah?" seru Pak Rio.
Aku berbalik, "Saya nggak ngeliat ada masalah di sini. Dia pantas mendapatkannya." Aku
melanjutkan langkah menuju kelas dengan perasaan kesal sekaligus puas. Aku nggak peduli
apa dampak sikapku pada Pak Rio. Aku hanya ingin menumpahkan kekesalanku. Dihukum
sekaligus, aku nggak takut.
Sampai di kelas, aku langsung mengambil tas kemudian keluar dengan tergesa. Sepertinya tadi
Wulan, yang sedang ada di kelas bersama beberapa teman lain termasuk Putri, sempat
memanggilku, tapi aku tidak mengacuhkannya.
Kulangkahkan kaki menuju gerbang belakang sekolah yang kebetulan sedang tidak ada yang
menjaga, lalu keluar dari sana dengan perasaan lega. Aku udah bikin masalah besar tadi. Cabut
dari sekolah nggak akan terlalu berpengaruh sama hukumanku nanti.
*** Setelah keluyuran nggak jelas di mal, aku tiba di rumah pas jam pulang sekolah. Aku langsung
menjatuhkan diri di tempat tidur begitu masuk kamar. Kupejamkan mata, berharap bisa
melupakan kejadian tadi di sekolah, tapi bayangan adegan tadi malah kembali berputar-putar di
kepalaku. Terdengar ring tone HP-ku. Aku nggak mengacuhkannya, tapi setelah berulang dua kali, dengan
enggan aku menjawabnya. "Halo?"
"Hai, Rin, ini gue. Lo udah baikan?" Suara Tommy terdengar canggung.
"Baikan" Tadi gue nggak ngerasa sakit tuh," jawabku asal-asalan. Aku nggak mengharapkan
telepon darinya saat ini.
"Maksud gue, soal yang tadi di sekolah. Lo nggak apa-apa, kan?"
"Apa peduli lo sih, Tom?" Entah kenapa perhatian Tommy membuatku kesal. "Lo nggak sadar,
yang tadi gue siram pake kuah panas itu Taura, pacar lo" Buat apa selarang lo nelepon dan sok
perhatian sama gue?"
"Taura" Pacar gue" Kata siapa" Kami cuma temenan," sangkal Tommy, membuatku sedikit
terkejut, tapi nggak mengurangi emosiku.
"Tapi malam Minggu waktu itu gue pernah ngeliat ko sama dia makan malam berdua di restoran
dekap bioskop. Malam Minggu dan cuma berdua. Itu kencan, kan?"
"Oh....waktu itu kami lagi nunggu Putri sama Wulang buat makan bareng sebelum nonton ramerame di biokop dekat sana itu," jelas Tommy.
"Hah"!" Aku seakan nggak percaya dengan pendengaran. Jadi Tommy dan Martabak nggak
jadian" Terus, buat apa selama ini aku jaga jarak dari Tommy dan merasa patah hati tanpa
sebab" Aku kenapa sih, sok tau kayak gini"
"Gue sih waktu itu nanya ke Putri kenapa nggak ngajak lo sekalian. Terus dia jawab lo harus
jaga adik lo di rumah. Memangnya mereka nggak cerita kalo kami nonton bareng" Kok lo jadi
salah paham gitu soal gue sama Taura?" tanya Tommy, mengusik lamunanku.
"Eh, nggak." Buat apa mereka cerita kalau mereka membohongiku waktu itu" Bilang ada acara
keluargalah, ada kesibukan di rumah, tahunya nonton bareng Tommy sama Martabak. Ngapain
sih, harus bohong" Aku nggak apa-apa kalau Putri lebih memilih jalan sama Martabak
ketimbang aku, Wulan juga. Kenapa sih harus sembunyi-sembunyi gitu" Ngomong aja de
depanku bahwa aku tuh brengsek dan nggak enak diajak nongkrong atau temenan. Aku bisa
menjauh sendiri, aku tahu diri kok.
"Gue cuma pengen tahu keadaan lo, Rin. Tapi kalo lo nggak suka, gue minta maaf."
Aku menghela napas untuk meredakan sesak di dadaku. Aku merasa bersalah pada Tommy
yang cuma ingin memberi perhatian padaku, tapi malah jadi pelampiasan kekesalanky. "Maafin
gue ya, Tom. Gue lagi emosi. Gue jadi ngomong kasar ke elo."
"Gue ngerti," jawab Tommy lembut. "Gue juga minta maaf, tadi Taura nabrak elo juga karena
gue yang manggil dia."
"Udahlah, lupain aja. "Aku berbaring dan menutup mataku dengan tangan. Aku lelah pikiran dan
perasaan. Kami saling terdiam.
"Oh ya, Rin. Ntar sore gue main dipertandingan basket antartingkat. Lo dateng ya, nonton gue?"
ujar Tommy penuh harap. "Gue males, Tom. Sori," jawabku nggak semangat. Rasanya aku nggak pernah mau kembali ke
sekolah lagi setelah kejadian tadi siang.
"Gue benar-benar berharap lo datang, Rin. Lo nggak pengen ngeliat gue ngalahin Pak Rio
tanding basket?" Aku langsung bangkit terduduk saat mendengar ucapan Tommy. "Maksud lo?"
"Lo tau kan, tim basket kelas satu nggak sebagus tim anak-anak kelas dua dan tiga, jadi Pak Rio
yang pernah jadi pemain basket di kampusnya masuk tim mereka. Lo nggak mungkin ngelewatin
kesempatan ini, kan" Kapan lagi ngeliat wali kelas kita main basket bareng anak-anak kelas
satu?" bujukan Tommy terdengar persuatif.
"Gimana nanti aja deh, Tom. Gue nggak bisa mastiin." Aku sudah ingin mengakhiri pembicaraan,
tapi Tommy melanjutkan. "Kalo lo nonton, gue bisa main lebih semangat. Dan kalo lo mau dateng, gue janji bakal ngalahin
Pak Rio buat lo, Rin."
Aku terdiam, nggak tahu harus bicara apa.
"Tapi gue nggak maksa lho, Rin. Terserah lo mau nonton atau nggak. Gue pengen lo tau aja gue
berharap lo mau darang.....buat gue."
part? 8 PAHLAWAN. DUA jam kemudian, aku jadi salah satu siswa SMA Girindra yang ikut tenggelam dalam keriuhan
yang terjadi di lapangan basket sekolah. Akhirnya aku memutuskan untuk menonton
pertandingan daripasa penasaran sendiri di rumah.
Aku sengaja duduk di deretan anak-anak kelas satu untuk menghindari teman-teman sekelasku
yang kebanyakan ngumpul di seberang lapangan. Dari sini, aku bisa melihat Putri, Wulan, dan
Martabak, juga teman-teman lain bersorak-sorak menyemangati tim basket kelas dua. Aku
merasa jadi bagian yang terlupakan, tapi siapa peduli"
Aku cuma duduk diam sambil menopang dagu, menungggu pertandingan dimulai. Di pinggir
lapangan, para pemain dari keempat tim___kelas 1, kelas 2, kelas 3 IPA, dan 3 IPS___sedang
berkumpul bersama teman-teman satu tim untuk mempersiapkan diri.
"Eh, liat deh. Kak Tommy keren banget, ya?" ujar cewek kelas satu yang duduk di depanku
sambil menunjuk ke pojok lapangan. Mataku melirik ke arah yang ditunjuknya dan melihat
Tommy sedang melakukan pemanasan.
"Cakep banget! Gue mau dong.....!" Cewek di sebelahnya menanggapi. "Eh, omong-omong, dia
udah punya cewek belum, ya?"
"Kayaknya sih belum. Tapi gue denger, dia lagi deket sama teman sekelasnya. Itu lho, cewek
yang bulan lalu mecahin rekor sebagai murid yang paling sering telat terus namanya ada di
mading." "Oh, yang waktu itu pernah salah ngelempar bola basket terus kena Pak Putra, guru olahraga
kelas dua, terus dihukum keliling lapangan sambil berteriak-teriak 'Saya bukan Michael Jordan!'
pas jam istirahat?" tebaj cewek yang berkucir dengan semangat.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menutup wajahku dengan tangan. Ampun.....! Kenapa gue dikenal dengan cara nggak keren
kayak gitu" Kedua cewek itu kembali ngobrol tentang Tommy sambil cekikikan. Untung mereka
nggak sadar bahwa cewek yang sedang merek bicarakan ad di sekitar mereka.
"Eh, perhatiin deh. Dari tadi Kak Tommy kayak lagi nyari seseorang. Celingak-celinguk gitu."
Cewek yang memakai kaus bergambar Bugs Bunny itu menunjuk Tommy.
"Jangan-jangan dia nyari cewek 'Michael Jordan' itu, " komentar si kucir.
"Wah, jangan bikin gue broken heart dong. Masa kak Tommy serius sama cewek itu" Dia suka
tipe cewek badung kayak gitu, ya" Besok gue timpuk Pak Bakti ah, buat narik perhatiannya." Si
kaus Bugs Bunny tampak yakin dengan keputusannya. "Eh, dia ngeliat ke sini!" Kedua cewek itu
melambaikan dengan semangat.
Aku menoleh ke depan dan bertatapan dengan Tommy. Cowok itu tersenyum lalu mengangkat
bola basket di tangan kanannya dan menunjuk ke arahku dengan tangan kiri seolah berkata,
"Gue bakal menang buat elo" atau....mungkin "Gue bakal nimpuk elo". Biar romantis, anggap aja
yang benar adalah yang pertaman. Aku tersenyum.
Kedua cewek di depanku membalikkan badan ke belakang bersamaan. Mereka tampak syok
begitu melihatku, dan segera kembali menghadap ke depan. Keduanya nggak bersuara sampai
pertandingan dimulai. Pertandingan pertama antara tim basket kelas 1 dengan tim kelas 3 IPA akan dimulai. Aku
duduk bertopang dagu tanpa antusias. Pandanganku mengarah ke sana kemari, nggak
memerhatikan apa yang terjadi di lapangan.
"Eh, liat deh. Itu kan guru yang ngajar kelas dua. Cakep banget, ya" Kayak anak SMA make
seragam tim basket kita. Keren banget!" si cewek berkucir kembali berteriak histeris sambil
menunjuk-nunjuk ke arah lapangan.
"Iya, nggak keliatan kayak guru, ya?" Si Bugs Bunny nggak kalah heboh. "Wah.....cakep banget!
Lebih cakep daripada Kak Tommy," ucapnya keceplosan lalu langsung terdiam sambil meliriklirik waswas ke belakang. Aku nggak ngerti. Kenapa sih, nih anak dua, heboh melulu dari tadi"
Cewek-cewek di sekitarku mulai ribut-ribut ngomongin sesuatu sambil menunjuk-nunjuk ke
lapangan. Aku yang duduk membungkuk di belakang jadi penasaran dengan apa yang terjadi,
lalu mendongak agar bisa melihat ke tengah lapangan.
Mataku membesar setelah menemukan sumber keributan. Di tengah lapangan tampak Pak Rio
berdiri berjejer bersama tim basket kelas 1. Dia kelihatan beda banget memakai seragma basket
kelas 1. Jadi kayak cowok SMA banget. Cowok SMA yang keren. Dia kelihatan paling tinggi,
paling atletis, dan paling cakep. Eh, kok aku terpesona liat dia" Dia kan cuma guru nyebelin
yang marah-marah dan bikin aku malu di depan semua orang di kantin tadi" Aku mengingatkan
diri sendiri. Suara peluit terdengar dan bola mulai dimainkan. Aku menonton jalannya pertandingan dengan
memandang remeh kemampuan basket Pak Rio. Udah tuwir begitu, mana mungkin jago main
basket" Lima menit jalannya pertandingan udah cukup menunjukkan bahwa anggapanku salah. Ternyata
Pak Rio hebat banget. Dia membuat tim kelas 3 IPA tertinggal 17 poin dengan bola-bola yang
dia masukkan ke ring. Cewek-cewek kelas 1 bersorak-sorak untuknya. Pertandingan berakhir
dengan kemenangan kelas 1 dan nama Pak Rio dielu-elukan kayak pahlawan baru menang
perang. Menyebalkan! Pertandingan kedua berlangsung antara tim kelas 2 dengan kelas 3 IPS. Aku mengikuti jalannya
pertandingan tanpa suara, sementara anak-anak kelas 2 di seberang bersorak-sorak
menyemangati tim kami. Sebagian besar cewek-cewek mengelu-elukan nama Tommy, bahkan
cewek-cewek kelas 1 juga. Tapi dua cewek di depanku bukan salah satunya, eh salah duanya.
Di akhir babak keempat, keunggulan kelas 2 hanya terpaut tiga poin dari tim lawan. Tommy
tampak kelelahan. Tadi dia berusaha mati-matian memasukkan bola terakhir yang semakin
memperbesar keunggulan tim kami. Aku mengacungkan jempol padanya saat dia melihatku dari
pinggir lapangan seusai pertandingan.
Final antara tim basket kelas 1 dan kelas 2 dimulai setelah jeda waktu istirahar sepuluh menit.
Matahari sore hampir tenggelam, tpai jumlah penonton nggak berkurang. Lapangan basket
kembali riuh saat bola mulai dimainkan. Telingaku berdengung karena suara anak-anak kelas 1
yang mengelu-elukan nama Pak Rio. Pertandingan di lapangan bagaikan duel antara jagoan dari
masing-masing tim, yaitu Tommy dan Pak Rio.
Babak ketiga, kedudukan seimbang. Permainan jadi makin seru di babak terakhir. Tiga menit
terakhir, tim kelas 2 tertinggak tujuh poin. Aku yang tadinya malas bersuara, jadi semangat
memberi dukungan untuk tim kelas 2.
"Tommy! Tommy!" teriakku, dan spontan cewek-cewek di sekitarku memandang sinis ke arahku.
Ups! Aku lupa sedang ada di kubu lawan. Sambil cengar-cengir, pelan-pelan aku menjauh dari
gerombolan fans Pak Rio itu ke pojok lapangan.
Kejar-mengejar angka terjadi di lapangan. Penonton makin memanas. Aku berteriak-teriak
menyemangati Tommy. Beberapa kali Pak Rio menoleh ke arahku. Kayaknya dia terganggu
dengan keberadaanku. Ah, bodo amat!
Satu menit terakhir semakin dekat. Kelihatan banget tenaga Pak Rio terkuras. Gerakannya
nggak segesit saat awal pertandingna, sementara anak-anak kelas 1 nggak bisa diandalkan.
Kelas 2 punya harapan untuk menang. Kau jadi makin semangat. "Ayo, Tom, hajar dia!" teriakku
lantang, membuat beberapa penonton lain, juga Tommy, menoleh padaku.
Kayaknya Tommy ngerti siapa ''dia'' yang kemaksud. Makanya Tommy semakin gencar merebut
bola dari tangan Pak Rio. Tapi nggak disangka-sangka, Pak Rio malah bertahan menguasai bola
dan menunjukkan kehebatannya. Pada detik-detik terakhir, Pak Rio membuat dua tembakan
three point yang mengantarkan kelas 1 jadi pemenang lomba basket antartingkat tahun ini. Aku
dan anak-anak kelas 2 yang lain benar-benar kecewa. Aku jadi makin membenci Pak Rio.
"Sori ya, Rin, gue nggak bisa menang di pertandingan tadi. Padahal gue pengen ngalahin Pak
Rio buat elo," ucap Tommy saat menghampiriku seusai pertandingan di bangku penonton yang
mulai kosong. "Kok lo minta maaf ke gue" Tadi lo hebat banget kok. Si Rio, pengkhianat sok pahlawan itu,
cuma lagi beruntung aja."
"Pengkhianat?" Tommy mengelap keringatnya dengan handuk. Diam-diam aku meliriknya.
Tommy kelihatan keren banget kalau rambutnya lagi basah kayak gini.
"Ya iyalah. Dia kan wali kelas dua, kok malah menangin kelas satu?"
"Jangan sentimen pribadi gitu dong. Permainan basket Pak Rio memang hebat banget. Gue aja
kagum sama dia." "Hebat apanya?" Aku mencibir, Tommy jadi tersenyum.
"Eh, gue ke sana dulu ya, Rin," pamitnya sebelum beranjak ke seberang lapangan buat
bergabung dengan anak-anak basket kelas dua lain yang lagi duduk-duduk istirahat dengan
wajah kecewa. Di sana juga tampak Wulan, Putri, dan Martabak, bersama beberapa anak 2-F
lain. Sekilas, tak sengaja tatapanku dan Putri bertemu, tapi dia langsung memalingkan muka.
Huh, aku jadi malas lama-lama di sini.
Aku keluar gerbang sekolah lalu jalan kaki menuju halte bus terdekat. Nggak banyak orang yang
lalu-lalang di sekitar sini karena di sini bukan daerah permukiman. Lagi pula, hari mulai malam.
Di kejauhan, aku melihat tiga orang cowok berjalan mendekat dari arah berlawanan. Awalnya
aku nggak mengacuhkan mereka, tapi jantungku langsung berdetak cepat setelah mengenali
salah satu dari mereka. O'o! Itu kan cowok kurang ajar yang beberapa bulan lalu kutampar di
mal. Gawat! Nggak ada kesempatan buat lari. Mereka telanjur melihatku, dan kayaknya cowok
itu masih mengingatku. "Hei, coy, coba liat, kita ketemu siapa! Kayaknya ini malam keberuntungan kita," ucap cowok itu
keras-keras pada gerombolannya, dua cowok yang tampangnya kayak preman.
Aku makin panik. Celaka, dia beneran ingat aku!
"Oh, cewek sok jagoan yang nabok elo waktu itu," sahut temannya yang gondrong.
"Sekarang coba kita liat, bisa apa dia di tempat sepi kayak gini. Jangan-jangan dia bisa jadi
jagoan di tempat rame doang," lanjut yang lain, cowok bertubuh besar dengan banyak tato di
lengan. "Mau apa kalian" Gue nggak punya urusan sama kalian. Aku mencoba bicara dengan tenang
untuk menyembunyikan ketakutanku.
"Eh, Neng, tabokan lo masih berbekas di pipi gue!" cowok itu menunjuk pipi kanannya.
Perasaan, pipi kirinya deh yang dulu kutampar. Eh, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan
hal itu. "Sekarang enak aja lo bilang nggak punya urusan sama gue." cowok itu tersenyum
mengancam. "Mungkin lo perlu ngerasain tangan gue buat ngingetin lo."
Aku sudah siap lari, tapi si cowok gondrong mengejar lalu menangkap lenganku. Aku berontak,
tapi dia mencengkeram terlalu kuat. Mereka tertawa melihat usahaku yang sia-sia. Aku berteriak
minta tolong, tapi tak ada orang di sekitar sini.
Cowok kurang ajar itu mulai menyentuh leherku. Dengan tanganku yang bebas aku
menghantam mukanya. "Sialan lo!" teriaknya, kemudian melayangkan tamparannya. Aku ambruk di jalan. "Bangun! Dulu
lo kan jagoan, mana kehebatan lo?" tantangnya.
Aku mencoba berdiri. Tanganku memegangi pipi kiriku yang terasa sakit banget. Kalau gini
terus, aku bisa mati konyok dikeroyok berandalan-brandalan ini. Aku harus kabur. Aku menabrak
si tato, membuatnya terhuyung, tapi si cowok kurang ajar menarik tanganku sebelum aku
sempat lari. Karena pani, aku menendang cowok itu sembarangan.
"Brengsek lo!" Dia memegangi perutnya kesakitan, kemudian dengan marah mengarahkan
tinjunya padaku. Aku mundur untuk menghindar, mengarahkan pukulan ke muka cowok itu.
Kena tulang pipinya. Dia membalas dengan meninju perutku. Aku kesakitan dan nggak bisa
menghindar saat dia melesatkan kakinya ke lenganku. Aku terlempar dan jatuh di jalan.
"Ayo, tunjukkan lagi kehebatan lo!" seru cowok itu dengan senyum kemenangan.
"Kita kasih pelajaran aja, Bos, biar dia kapok," ucap si cowok gondrong. "Gimana kalau kita
lepas pakaiannya satu per satu?" lanjutnya, membuat jantungku berhenti berdetak. Cowokcowok itu tertawa.
Aku benar-benar takut. Tuhan, tolong!
Saat cowok itu akan menjamah bajuku, seseorang menariknya lalu menghajarnya sampai dia
ambruk di jalan. Perkelahian terjadi tiga lawan satu. Siapa pun itu, kuharap dia menang.
Pandangan mataku kabur. Semua jadi gelap.....
*** "Marmut! Marmut!" Pipiku terasa ditepuk-tepuk. Pelan- pelan kubuka mata. Rasanya aku sudah
tertidur lama. Perlahan bayangan wajah Pak Rio muncul.
Aku mulai ingat apa yang terjadi. "Pak.....mereka......"
"Mereka sudah pergi. Kamu nggak apa-apa?" Pak Rio membantuku berdiri.
Aku merasakan sakit di wajah, lengan, dan perutku. Badanku sulit digerakkan.
"Kamu..... Kamu terluka?" Pak Rio memerharikan wajahku. Dia tampak cemas. "Tunggu di sini,
aku ngambil motor dulu. Kuantar kamu pulang," ucapnya.
Sebentar kemudian Pak Rio datang. Dia membantuku naik ke motornya, lalu menarik tanganku
agar melingkari pinggangnya. Dengan tangan kirinya Pak Rio menggenggam kedua tanganku di
perutnya. Mungkin dia takut kau pingsan dan jatuh dari motor. Aku bersandar di punggungnya.
Kucoba melupakan semua kebencianku padanya. Aku benar-benar bersyukur dia bersamaku
saat ini. Pak Rio menghentikan motor di depan rumahnya. "Kita obati lukamu dulu. Orangtuamu bisa
panik kalau melihat keadaanmu kayak gini."
Pak Rio menuntunku ke ruang tamu dan menyuruhku duduk. Dia masuk, dan nggak lama
kemudian keluar dengan membawa kantong air es dan kotak P3K.
Dia duduk di depanku dan mengamati wajahku. Tangannya terangkat untuk menyentuh daguku,
kemudian mengarahkan pipi kiriku ke lampu. "Parah juga."
Pak Rio mengambil obat, lalu menuangkan sedikit di kapas sebelum mengoleskannya pada
lukaku. Aku menjerit karena perih.
Tahan sedikit. Kalau nggak diginiin, lukamu bisa bengkak." Dengan hati-hati Pak Rio
mengoleskan kapas itu di sekitar tulang pipiku. Wajahnya cuma beberapa senti dari wajahku.
Rambut dan bajunya masih basah oleh keringat karena pertandingan tadi. Jantungku berdebar.
"Nah, sekarang baru bisa diplester," ucap Pak Rio, kemudian menatap mataku yang sedang
menatapnya. Kami salimg pandang dalam diam.
"Ada apa?" Pak Rio tersadar duluan.
Aku jadi malu banget. Gila, tadi aku terpesona menatapnya! Duh, tololnya aku! Kenapa bisa
kayak kena hipnotis begini"
"Mmh.... Makasih," ucapku canggung. Aku tak bisa memikirkan kata lain untuk diucapkan. Aku
takut Pak Rio sadar bahwa tadi aku terhanyut oleh tatapannya. "......Bapak udah nolong saya."
"Sudah kewajibanku. Aku kan gurumu. Mana mungkin aku membiarkan murisku sendiri disakiti?"
Pak Rio memplester lukaku dan menyuruhku menempelkan kantong air es pada memar di
sekitar lukaku. "Ada luka lain?"
Aku menggulung lengan bajuku untuk menunjukkan memar di lenganku yang terasa perih
banget kalau aku menggerakkan tangan. Rahang Pak Rio mengeras saat melihatnya.
"Bajingan!" umpatnya tertahan. "Siapa mereka" Kenapa mereka bisa berbuat kayak gini ke
kamu?" Dia duduk di sampingku lalu mulai membersihkan luka di lenganku dengan kapas yang
sudah diolesi alkohol. Aku meringis menahan sakit.
"Beberapa bulan yang lalu, saya memergoki mereka sedang godain seorang cewek di mal.
Bukan cuma ngegodain, tapi sampai nyolek-nyolek cewek yang lagi sendirian itul kurang ajar
banget. Waktu salah satu dari mereka sudah mulai keterlaluan, saya tarik cewek itu, kemudian
saya tampar cowok kurang ajar itu. Kami jadi tontonan. Sempat terjadi keributan, lalu satpam
datang, terus gerombolan itu pergi dengan marah. Hebat, kan?" Aku tersenyum getir sambil
menahan perih di lenganku.
"Hebat apanya" Itu tolol namanya. Kenapa nggak panggil satpam dari awal" Cari masalah aja,"
ujar Pak Rio sewot. "Memang kamu dapat apa setelah bersikap sok pahlawan kayak gitu?"
"Seorang sahabat." Aku menghela napas. "Cewek yang saya tolong itu Putri. Sejak kejadian di
mal itu, kami dekat dan jadi sahabat. Tapi hari ini, persahabatan kami putus karena
kesalahpahaman. Saya nggak nyesel itu terjadi karena merasa punya utang budi. Saya nggak
butuh teman kayak gitu." Aku kembali menatap Pak Rio yang sedang membalut lukaku dengan
perban, menunggu komentarnya.
"Mungkin kamu aja yang punya pikiran begitu. Bisa aja kan, Putri tulus jadi temanmu, nggak ada
hubungannya dengan pertolonganmu waktu kejadian di mal itu."
"Sudah nggak penting lagi apakah dia jadi teman saya buat balas budi atau dengan sukarela.
Yang jelas, dia udah nyakitin saya, bilang hal-hal jelek tentang saya. Dan yang paling parah, dia
nggak percaya sama saya. Apa sahabat kayak gitu?"
"Apa sahabat juga berbuat seperti yang kamu lakukan" Mendendam, nggak mau ngalah, dan
nggak mencoba menyelesaikan masalah" Bersahabat itu artinya saling menyayangi,
memercayai, dan mau mengerti." Ucapan Pak Rio memojokkanku. Sepertinya dia nggak berada
di pihakku. Kenapa semua menyalahku" Bahkan Pak Rio yang nggak tahu persoalannya ikutikutan menyalahkanku. Aku merasa ini nggak adil.
"Harusnya Bapak ngomong begitu ke dia, bukan ke saya. Dia yang nuduh saya yang nggaknggak, dia yang nyalahin saya atas satu hal yang nggak saya lakukan, dia yang nggak percaya
sama saya." Pak Rio mengikat perban dengan kasar, membuatku meringis kesakitan. "Terserah bagaimana
pendapatmu." Dia berdiri. "Aku akan mengantarmu pulang sekalian menjelaskan apa yang
terjadi pada orangtuamu."
"Nggak usah! Saya bisa pulang sendiri. Saya yakin nggak akan pingsan di tengah jalan." Aku
berdiri, tapi tiba-tiba lututku terasa lemas. Aku terhuyung dan hilang keseimbangan. Aku kan
akan jatuh kalau Pak Rio nggak cepat menangkap tubuhku.
"Kamu bisa berhenti nggak sih, bersikap sok kuat kayak gini"!" bentaknya kesal. "Aku punya
tanggung jawab sama kamu."
"Karena Bapak wali kelas saya" Kita nggak lagi di kelas dan sekarang Bapak bukan siapa-siapa
saya." Aku menatap matanya dengan kesal, lalu tersentak melihat memar di tulang pipi
kanannya. "Aku....." Pak Rio nggak bisa melanjutkan ucapannya karena aku mengangkat tangan dan
menyentuh wajahnya. "Bapak terluka....,"ucapku lirih.
"Bukan apa-apa," balasnya ketus. "Cuma luka kecil karena aku bertindak bodoh dengan
menolong orang yang bukan siapa-siapaku."
Mendadak hatiku bergetar. Entah kenapa, aku jadi merasa sedih dengan apa yang terjadi pada
Pak Rio. Aku merasa bersalah. Aku menyesali telah bersikap buruk padanya, padahal dia yang
menolongku. Ada perasaan aneh dalam hatiku. Entah itu rasa bersalah, menyesal, atau sedih.
Mataku terasa basah. "Maafin saya, Pak. Saya sudah bersikap kasar sama Bapak, padahal
karena saya Bapak terluka," ucapku serak karena air mata yang berusaha kutahan. Aku bingung
sendiri kenapa perasaanku jadi nggak jelas kayak gini.
"Jangan ngomong gitu. Biar sampai babak belur pun, aku tetap akan nolong kamu dan nggak
membiarkan mereka nyakitin kamu."
Hatiku luluh mendengar ucapan Pak Rio. Belum pernah aku merasa senyaman ini saat bersama
seseorang. Dan tanpa sadar, tanganku terangkat memeluk Pak Rio. Sungguh, aku sendiri kaget
dengan apa yang kulakukan. "Makasih.....," bisikku.
Pak Rio menepuk lembut kepalaku. "Sudah, jangan dramatis begini. Kamu jadi nggak kayak
Marmut, muridku yang paling badung."
Aku memejamkan mata dan berjanji dalam hati, mulai sekarang aku akan bersikap baik pada
Pak Rio, baik sebagai guru matematikaku ataupun tetanggaku. Dia sudah menyelamatkanku
malam ini. Dia sudah jadi pahlawanku.
part? 9 SAHABAT PERGI (LAGI) PAGI ini aku bangun dengan muka kaku dan badan kesakitan. Dengan susah payah aku
mencoba duduk di tempat tidur. Yang bisa kuingat saat bangun tadi cuma dua hal: luka-luka ini
dan adegan pelukan dengan Pak Rio semalam. Aku nggak tahu mana yang lebih dominan
memenuhi kepalaku. Aku menatap perban yang membalut lenganku dengan prihatin. Bayangan wajah Pak Rio
melintas di ingatanku. Aku mengulum senyum, tapi kemudian langsung tersadar. Eh, aku kenapa
nih" Kok jadi kayak cewek yang semalam baru kencan romantis" Jangan-jangan bukan cuma
badanku yang cedera karena insiden kemarin, tapi juga otakku.....dan hatiku.
"Rin, bangun!" seru Mama setelah bunyi gedoran pintu.
"Udah bangun kok, Ma," sahutku.
"Tumben. Apa ini pertanda nanti siang bakal, ya?" Mam bergumam sendiri.
Aku beranjak ke depan cermin. Dengan hati-hati aku melepas plester di wajahku. Memar di
tulang pipi udah bengkak dan membiru, bikin aku kelihatan kayak zombie. Sekarang aku baru
mengerti bahwa make-up bisa berguna juga. Kalau buat cewek lain untuk mempercantik diri,
buatku berguna untuk menghindarkanku dari interogasi orangtuaku tentang memar ini. Yah,
paling nggak, untuk mencegah Mama manggil polisi atau ambulans.
Kemarin malam aku lolos dari pertemuan maut dengan Papa dan Mama karena kebetulan Edwin
yang bukain pintu, jadi aku bisa langsung kabur ke kamar. Waktu Mama nyuruh aku makan
malam, aku bilang udah makan di luar dan lagi sibu k ngerjain PR, padahal sih aku ngerawat
lukaku dengan perut keroncongan.
Untung kemarin aku berhasil menggagalkan rencana Pak Rio untuk ikut masuk ke rumah dan
jadi juru bicara tentang kronologis peristiwa semalam. Aku meyakinkan Pak Rio bahwa lebih baik


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku sendiri yang menjelaskan semuanya ke orangtuaku tanpa melibatkan orang lain, apalagi
wali kelasku. Dia percaya dengan ucapanku dan mau meninggalkan aku di depan rumah.
Hehehe.....kena lo! Coba kalau Papa-Mama sampai tahu, aku bisa diomelin semalaman dan
dihukum berat. Mereka nggak akan mempertimbangkan bahwa akulah korban. Bahkan kalaupun
aku cerita aku sempat nonjok berandalan itu dengan gagah berani, mereka nggak bakal bangga.
Pokoknya, kalau aku terlibat masalah, berarti akulah yang salah. Nggak aidl banget, kan"
Aku mengintip ke luar kamar. Mama kayaknya lagi di dapur dan suara Papa kedengaran dari
ruang tengah. Jalur ke kamar mandi bebas hambatan. Dengan mengendap-endap, aku
menuruni tangga menuju kamar mandi. Aku nggak niat mandi, cuma pengen cuci muka dan
ngelap badan, itu pun kalau aku sanggup mengangkat gayung.
Aku membuka pintu kamar mandi, masuk, lalu menutupnya dalam hitungan detik, tapi....."
Aaarrgghh.....!" Aku segera membekap mulut Edwin setelah menguasai keadaan. Tadi kau kaget melihat Edwin
dengan wajah penuh busa ada di kamar mandi, dan anak itu juga kaget mendengar teriakanku,
jadi kami duet teriak bareng.
"Kenapa, Win?" Papa mengetuk pintu kamar mandi.
"Nggak kenapa-kenapa, Pa. Tadi ada kecoak, Edwin takut, tapi udah aku usir kok," sahutku
masih membekap mulut Edwin. Terdengar suara langkah Papa menjauh. Aku menghela napas
lega. "Aow!" Edwin menggigit tanganku. Lega apanya" Masih ada masalah dari bocah bandel
ini. "Win nggak takut kecoak," tegasnya, seolah kata-kataku sudah menyinggung harga dirinya yang
terdalam. "Bodo amat, yang penting sekarang cepat minggat dari kamar mandi!" seruku.
"Enak aja! Kan Win yang duluan mandi."
"Pokoknya cepetan keluar atau mau kujitak?"
"Siapa takut" Win juga bisa ngadu ke Mama."
Mulutku terbuka, tapi nggak jadi bicara. Aku merasa kalah telak. "Ya udah." Aku keluar dari
kamar mandi sebagai pecundang yang kalah dari bocah tujuh tahun. Tapi mending ngalah
daripada bertengkar di kamar mandi dan mengundang kehadiran Mama yang berarti masalah
buatku. Setelah cuci muka dan gosok gigi dengan ribet di wastafel, aku ganti pakainan sambil
memikirkan cara sampai ke sekolah dengan selamat. Dalam artian , tanpa ketemu Papa-Mama
dan nggak ngambil risiko berdesakan di bus yang memungkinkan luka lenganku tersenggol dan
terasa perih lagi. Sakit di perutku juga belum sembuh benar. Kalau aku manggil taksi, Papa san
Mama curiga. Lagian, aku juga nggak punya duit buat bayar taksi ke sekolah.
Aku menghela napas. Kayaknya nggak ada cara lain. Terpaksa aku menjatuhkan harga diriku
dan mengambil handphone. Nomor telepon rumah Pak Karta sempat kusimpan di memori HPku. Aku menghubunginya, lalu dengan deg-degan menunggu telepon dijawab.
"Halo....?" terdengat suara di seberang sana.
"Halo" Pak Rio" Ini Marmut. Bisa tolong jemput saya di depan rumah, tidak?"
"Marmut?" Pak Rio kayaknya kaget dan nggak nyangka dapat telepon dariku. Aku juga nggak
nyangka punya pikiran buat nelepon dia dan minta tolong. "Gimana keadaanmu" Lukanya sudah
sembuh" Kamu mau sekolah" Orangtuamu ngizinin?"
Aku kelabakan dengan pertanyaan-pertanyaan Pak Rio
"Lukanya sudah baikan. Saya nggak apa-apa," jawabku sok yakin. "Orangtuaku ngizinin saya
sekolah. Makanya, kalau Bapak nggak keberatan, saya mau minta tolong ngantar saya ke
sokolah. Biar sekalian bareng, gitu. Bapak juga mau ngajar, kan?"
"Kenapa bukan papamu yang ngantar" Kamu nggak ngasih tau orangtuamu, ya"!" tebak Pak
Rio dengan nada marah. Bingo! Ketahuan deh. "Kamu gimana sih" Seharusnya kamu cerita semua kejadian semalam pada mereka. Kok
disembunyiin gitu" Kalau lukamu kenapa-napa, mereka kan bisa ngurus, ngajak kamu ke dokter
keh...." Sang wali kelas beraksi dengan omelannya.
"Huh, resenya Pak Rio kambuh lagi deh. Kok dia nggak ngerti sih" Sebagai seorang anak,
secara manusiawi aku kan takut dimarahin orangtua" Dan apa katanya tadi" Dia nyuruh aku
cerita semua kejadian semalam" Termasuk adegan peluk-pelukan itu" Yang benar aja. Aku
akan merahasiakannya sampai mati.
"Halo" Marmut!"
"Eh, iya, Pak?" Aku tersadar dari lamunan. Ternyata pidato Pak Rio udahan.
"Tunggu!" perintahnya.
Uhhh, akhirnya. Aku menghela naaps lega dan langsung menyambar tas lalu keluar kamar.
"Pa, Ma, aku berangkat ya! Sarapannya nanti aja di sekolah, ada tugas yang belum dikerjain
nih." Aku berjalan tergesa melewati ruang makan lalu keluar rumah. Terdengar omelan protes
Mama karena gaya slonong girl-ku. Fuih, untunh memar di mukaku nggak ketahuan.
Sampai di depan rumah, aku menunggu Pak Rio sambil memegangi perutku yang sakit lantarn
berjalan cepat-cepat tadi. Walau nggak lecet di luar, perutku jadi kayak kram gara-gara kena
tinju semalam. Sial! Pak Rio datang dengan motornya. Tanpa basa-basi aku langsung naik. Seharusnya aku
mengucapkan ''selamat pagi'', ''hai'', atau apa, tadi bodo ah.
Di atas motor, wajahku diterpa angin . Aku melirik Pak Rio yang nggak ngomong sejak tadi. Ini
untuk kedua kalinya aku membonceng Pak Rio, tapi kok rasanya beda banget antara semalam
dan sekarang. Bukan karena semalam tanganku memeluk pinggangnya, dia menggenggam
tanganku atau gimana, tapi yang terasa beda adalah dia sendiri.
Pak Rio sekarang dengan Pak Rio semalam rasanya kayak dua orang yang berbeda. Seorang
pria tiga puluhan dan seorang cewek belasan. Dia bisa kelihatan beda banget cuma karena lagi
pakai kemeja dan kacamata, atau kaus dan celana pendek. Kayal aktor yang memerankan dua
karakter berbeda. Karena aku sadar sekarang dia jadi Pak Rio, guru matematikaku, aku
menepuk bahunya. "Pak, nanti tolong turunkan saya sebelum tikungan sekolah, ya."
"Memangnya kenapa" Kamu mau pipis di semak-semak?"
Aku menautkan alis. Sekarang dia benar-benar jadi Pak Rio, wali kelasku yang nyebelin, bukan
pahlawan kerenku semalam. "Saya cuma nggak enak terlihat bersama Bapak."
"Memangnya kenapa?"
"Menurut skenario kemarin, karena kejadian di kantin itu, seharusnya Bapak dan saya kan
musuhan. Jadi aneh banget kan, kalau ada yang ngeliat hari ini kita datang ke sekolah bareng
kayak dua murid yang baru jadian."
"Memangnya kenapa kalau kita dilihat kayak dua murid yang baru jadian" kamu takut Tommy
melihatkita terus cemburu" Kalian udah jadian, ya" Malang banget anak itu."
"Pak, turunkan saya sebelum tikungan!" tegasku kesal. Ampun deh, ribet banget sih ngomong
sama orang ini. "Makasih, Pak," ucapku begitu turun dari motor di tikungan sebelum sekolah. Rasanya agak
canggung bicara dengan Pak Rio kalau mengingat kejadian kemarin. Aku nggak berani
menatapnya. "Ini," Pak Rio menyerahkan plester luka bergambar padaku. "Pakai buat menutupi memarmu.
Kalau ada yang nanya, bilang aja ada bisul gede di mukamu."
"Tidak usah, makasih," tolakku. Yang benar aja, masa kau harus ke sekolah dengan plester
bergambar gajah di mukaku" Kenapa nggak kelinci pink sekalian"
"Kalau guru lain melihat bekas tonjokan di muka kamu itu, ada kemungkinan mereka akan
manggil kamu ke ruang BP. Kamu akan diinterogasi, lalu kemungkinan-kemungkinan lain bisa
saja terjasi setelah itu. Kamu akan diceramahi guru BP, kena hukum, mendengar pidato Pak
Bakti, atau dapat surat panggilan buat orangtuamu."
Aku ketakutan mendengar kata-kata Pak Rio. "Tolong pakaikan deh, Pak."
Setelah plester terpasang di wajahku, aku langsung cabut menuju gerbang sekolah dan ke
kantin. Terpaksa aku kembali ke TKP kemarin. Aku lapar banget karena nggak makan apa pun
sejak kemarin sore. Lagi pula, kan cuma sebagian anak-anak kelas 2-F dan Bu kantin yang
melihat insiden kemarin, bukannya seluruh warga SMA Girindra. Jadi, aku lebih milih
menyelamatkan perutku yang kroncongan daripada memedulikan hatiku yang nggak nyaman
banget berada di sini. "Hei, Rin!" sapa seseorang pas aku sedang mengunyah mi goreng pesananku dengan rakus
tanpa mengacuhkan sakit di tulang pipiku saat aku menggerakkan mulut. Aku menoleh, Tommy
tersenyum padaku. Waktu berhenti. Aku terpesona menatapnya dengan mulut penuh mi yang
berapa di antaranya terjuntai keluar.
Tommy kelihatan cakep banget pagi ini, dengan rambut basah dan jaket hitam yang belum
dilepasnya. Waktu berjalan lagi. Aku kembali ke dunia nyata dan tersadar, lalu segera menelan mi di
mulutku, mengubah ekspresi begoku, dan bersikap normal. "Eh, elo, Tom...."
"Enak nih!" ucap cowok itu. Semoga ini bukan sindiran untuk cara makanku.
"Mau" Gue traktir deh," tawarku. Aku kembali menyantap miku. Tapi sekarang dengan gaya
anggun, seolah aku sedang makan malam formal dalam perjamuan kerajaan Inggris dan
Pangeran William sedang melirikku. Tapi mana mungkin Pangeran William niat ngelirik cewek
yang belum mandi" "Nggak usah. Gue udah sarapan. Kebetulan aja tadi gue ngeliat elo duduk sendirian di sini, jadi
gue niat nyamperin dulu sebelum ke kelas." Tommy menatap mataku. Aku jadi deg-degan dan
salah tingkah. Rada ge-er juga, karena aku merasa kayaknua dia bakal ngomong sesuatu yang
spesial padaku. Tommy tersenyum manis banget (aku menjulukimua senyum ''mematikan''), lalu
berkata, "Gajah di pipi lo lucu juga, memang muka lo kenapa?"
What"! Andai ini film kartun, mungkin aku udah jatuh terjengkal d
engan kaki terangkat. Aku kira
dia akan bilang hal-hal romantis dengan nada merayu padaku, seperti: ''matamu bagus, ya,"
atau ''rambutmu keren'', atau paling nggak, dia bilang sesuatu tentang aku, bukannya gajah di
mukaku. "Cuma luka kecil. Kemarin nggak sengaja tergores ujung rak buku,"dustaku.
Kami saling diam. Otakku berputar mencari bahan obrolan, tapi yang ada di kepalaku cuma
plester gajah di mukaku. Awas si Rio tengil itu!
"Rin, sebenarnya ada yang mau gue omongin sama elo. Tapi gimana ya, gue nggak tahu
gimana bilangnya." ujar Tommy sambil melirikku salah tingkah.
Aku menoleh padanya. "Soal apa?" tanyaku sok cool, padahal aslinya aku deg-degan banget.
Jangan-jangan dia mau nembak aku. Eh, tapi nggak usah berharap dulu deh, siapa tahu ini
cuma soal plester bergambar gajah lagi.
Ragu-ragu Tommy menjawab, ''Soal perasaan gue....."
Bruss! Air yang tadinya mau kuminum setelah selesai makan muncrat membasahi meja. Bu
kantin melotot marah padaku, Tommy melihatku dengan pandangan aneh seolah aku baru
berakrobat menyemburkan api dari mulut. "Lo kenapa, Rin?"
"Nggak.....nggak apa-apa. Cuma.....nggak tahu deh. Oh ya, mau ngomong apa tadi?" ucapku
salah tingkah sambil mengelap meja kantin dengan tisu. Kuharap bumi menelanku sekarang.
"Gimana ya" Kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat buat ngomong. Gimana kalo ntar
malam kita...." "Tommy!" terdengar seruan dari luar kantin. Kami menoleh. Martabak berjalan memasuki kantin.
Aku melirik Bu kantin yang tampak waswas.
"Kenapa, Ra?" tanya Tommy.
"Gue nyariin lo dari tadi, ternyata ada di sini. Gue mau ngomongin soal lomba puisi nanti," ujar
Martabak. Dia nggak mengacuhkanku, seolah aku bagian dari tembok kantin.
Aku mengambil tas dan menyampirkannya di bahu. "Tom, gue ke keas dulan, ya," pamitku. Aku
ingin berkata bahwa omongan kami dilanjutkan saja nanti, tapi jadi malas setelah melihat
Martabak yang kayaknya pengen banget aku cepat-cepat menyingkir dari tempat itu. Dengan
langkah nggak semangat, aku beranjak ke kelas.
*** Bel pulang siang ini terdengar lebih merdu daripada biasanya. Mungkin karena aku bersyukur
akhirnya bisa keluar dari kelas yang hari ini terasa sumpek banget lantaran insiden bakso
kemarin. Aku nggak ngomong sama Putri seharian, aku juga cuma ngobrol sedikit sama Wulan,
dan dia nggak nyinggung-nyinggung sedikit pun soal Steve. Yang jadi alasanku bicara hari ini
cuma kalau teman-teman nanyain soal gajah lucu di mukaku.
Aku mampir makan siang di kantin sebelum pulang biar nggak usah makan di rumah. Jadi,
pulangnya aku bisa langsung kabur dan sembunyi di kamar seharian. Matahari bersinar terik dan
keadaan sekolah udah sepi. Sambil makan, aku bingung memikirkan caraku pulang tanpa harus
naik bus dan berdesakan. Nggak mungkin aku minta diantar pulang Pak Rio. Sudah cukup aku
terlibat dengannya. Jadi....siapa yang bisa kumintai tolong ya" Oh.....Steve! Kenapa nggak dari tadi aku kepikiran
sama dia" Sohibku itu bisa dimanfaatin buat ngantar-jemput aku setiap hari. Aku segera
mengambil HP di tas. Setengah jam kemudian, Steve muncul di kantin, masih dengan seragam sekolahnya.
"Lama banget sih!?" seruku.
"Kena macet, kunyuk! Udah mint tolong, marah-marah, lagi. Lo kira gue nggak bete kepanasan
di jalan?" protesnya.
"Hehehe....,sori deh," ujarku cengengesan. "Cabut sekarang yuk!"
Kami jalan bareng keluar kantin menuju tempat parkir sekolah. Di dekat lapangan basket, nggak
sengaja kami berpapasan dengan Putri dan Martabak. Ampun, kok bisa kebetulan begini" Bumi,
telan aku sekarang. "Eh, hai Put, kok belum pulang?" sapa Steve semangat begitu melihat Putri.
"Ada rapat OSIS," jawab Putri datar, kemudian dia dan Martabak melewati kami dengan
cueknya, seolah aku bagian dari tiang lapangan basket. Hebat! Kesalahpahaman ini makin
parah. Sekarang Putri pasti benar-benar menyangka aku dan Steve pacaran. Dia pasti
membenciku. "Kok dia ngak negur elo, Rin?" tanya Steve curiga saat mereka sudah menjauh.
Aku cuma angkat bahu dengan cuek. Sebenarnya aku pengen teriak memaki Steve dan
menonjok mukanya, tapi aku nggak bisa menyalahkan dia sepenuhnya atas apa yang terjadi
antara aku dan Putri. "Mau mampir?" tawarku pada Steve ketika tiba di depan rumah.
"Ada komik baru?" tanyanya. Aku menggeleng. "Ya udah, gue balik aja. Ntar sore ada latihan
band. Gue mau tidut sebentar."
"Ya udah. Hati-hati, ya. Makasih udah nganter pulang. Ntar gue telepon," ucapku datar walau
dalam hati kau pengen banget Steve mampir. Aku benar-benar lagi butuh teman, tapi enggan
ngomong ke dia. Coba aku punya komik baru.
Sebelum pergi, Steve menatap mataku, lalu melepas helmnya. "Heh, Rin, berapa lama sih gue
jadi temen lo" Lo nggak ngomong pun gue tau lo lagi ada masalah dan pengen cerita ke gue.
Dari sekolah tadi gue nuggu lo ngomong kalo lo lagi butuh gue, tapi ternyata gengsi lo selangit.
Dasar kunyuk!" Aku tersenyum mendengar ucapannya. "Bukannya gengsi, gue males aja ngomong ke lo. Bagus
deh kalo lo ngeh sendiri. Masuk yuk!"
Dengan kehadiran Steve, aku bisa langsung kabur ke kamar begitu masuk rumah. Steve sempte
ngobrol sebentar sama Mama sebelum menyusulku ke atas. Steve udah sering main ke rumah
dan akrab sama Papa, Mama, juga Edwin.
Sampai di kamar, aku langsung naruh tas sembarangan di tempat tidur lalu melepas sepatu.
Steve masuk dan duduk di kursi meja belajar. "Ada apa?" tanyanya. "Omong-omong, pipi lo
kenapa ada plesternya?"
Aku beranjak ke depan cermin dan kaget sendiri. Ternyata plester bergambar gajah di mukaku
itu eye-catching banget. Pantas orang-orang pada nanyain dan memandangku dengan tatapan
aneh. Aku curiga Pak Rio sengaja ngasih aku plester ngejreng kayak gini buat lucu-lucuan.
Dasar tuh orang iseng! "Gue berantem, dikeroyok, terus kena gampar," jelasku. Kok kedengarannya preman banget,
ya" "Apa"!" Steve langsung kaget. "Kok lo nggak ngajak-ngajak gue" Lo ikut tawuran" Sejak kapan"
Lawan SMA mana?" tanyanya semangat.
"Enak aja tawuran. Gini-gini gue murid baik-baik. Lagian tawuran udah nggak ngetren."
"Jadi lo berantem buat apa" Eh, sejak kapan lo bisa berantem?"
"Bukan berantem sih. Gue dikeroyok lantaran ada berandalan yang dendam sama gue. Tapi
untunya ada yang nolongin gue, jadi gue cuma lecet-lecet." Aku tidak menceritakn bahwa
masalahku dengan berandalan itu sumbernya adalah Putri. Aku juga tidak cerita bahwa orang
yang menolonku adalah Pak Rio. Habisnya, aku udah telanjur cerita yang jelek-jelek soal Pak
Rio ke Steve. "Coa gue liat luka lo." Steve mendekat dan duduk di sebelahku. Aku menunjukkan perban di
lenganku dan pelan-pelan membuka plester di mukaku.
"Elo sih, jadi cewek kok nyari masalah sama berandalan" Pake acara berantem segala, lagi,"
omel Steve tampak kesal. "Untung muka lo nggak kenapa-napa."
"Kalau gue Inu-Yasha sih nggak bakal kenapa-napa. Tapi berhubung gue cuma manusia biasa,
ya wajar dong kalo gue bisa sakit. Salah gerak dikit aja, luka gue jadi perih banget. Bukannya
prihatin dan nolongin gue, lo malah ngomel-ngomel gitu."
"Abis elonya sih, kok hobi banget nyari masalah," Steve masih ngotot. "Ya udah, sekarang apa
yang harus gue lakuin buat nolong elo" Lo mau bikin perhitungan sama berandalan itu?"
"Perhitungan apaan" Perhitungan matematika" Jangan bikin masalah lagi deh. Gue cuma mau
minta tolong lo nganter-jemput gue ke sekolah biar gue nggak usah desak-desakan naik bus
sampai luka gue baikan."
"Segitu doang" Gampanglah sama gue," kata Steve, membuatku tenang. "Tapi lo juga bantuin
gue deketin Putri ya, Rin. Gue mau lebih akrab sama sia menjelang ultahnya biar gue diundang.
Masa gue mau datang nggak diundang, pulang nggar diantar?"
"Eh, kalai soal itu....gimana ya?"
"Lho" Gimana apanya?"
"Sebenernya gini...." Terpaksa aku cerita tentang kesalahpahaman Putri yang nyangka aku dan
Steve jadian, juga pertengkaran kami. Tapi tanggapan Steve setelah mendengar cerita itu di luar
dugaanku. "Ya ampu, Rin, kenapa lo nggak jelasin semuanya bahwa kita cuma pura-pura"!" serunya
marah. "Gue mau jelasin, tapi dia telanjur emosi dan bilang yang nggak-nggak soal gue. Gue kan jadi
kesal sama dia," aku membela diri.
"Cuma dikata-katain aja udah kesel. Seharusnya lo ngerti kalau dia lagi emosi, makanya
omongan dia jadi sembarangan. Apa susahnya sih, lo ngejelasin" Dia bakal ngerti kalo lo cerita
semuanya. Kalau lo nggak emosi, masalah ini nggak bakal terjadi."
"Kok lo jadi marah sama gue" Semua ini kan terjadi karena lo yang nyuruh gue pura-pura jadi
cewek lo di depan Tiwi. Lagian bukan salah gue kan, kalau kebetulan Martabak ngeliat kita teru
jadi salah paham?" "Gue nggak ngomongin itu. Gue cuma heran, bisa-bisanya lo ngorbanin gue lantaran lo kesal
dengan kata-kata Putri. Harusnya lo mikirin gue sebelum lo nurutin emosi lo buat balas kata-kata


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putri." "Gue nggak bisa mikir apa pun saat itu. Gue terlalu syok karena orang yang gue anggap sahabat
bisa berpikir dan ngomong jelek gitu soal gue."
"Ya udah, kalau gitu, jelasin aja semuanya. Masalah selesai, kan" Dia nggak bakal mikir jelek
lagi soal lo. Dan lagi, kalau lo udah tahu Putri salah paham soal kita, kenapa tadi lo minta gue
jemput lo" Mana dilihat Putri, lagi. Dia pasti mikir kita benar-benar jadian. Jangan-jangan, lo
sengaja pengen nyakitin perasaan dia, ya" Temen macam apa sih lo?"
"Harusnya gue yang ngomong gitu. Temen macam apa sih lo" Kok bisa-bisanya nuduh gue
serendah itu?" Aku berdiri memandang marah pada Steve. "Mana gue tahu Putri masih di
sekolah dan mana mungkin gue bisa memperkirakan dia bakal ngeliat kita tadi. Lo egois banget,
Steve. Yang lo pikirin cuma hubungan lo sama Putri. Lo nggak mikirin perasaan gue, sahabat lo
sendiri." "Perasaan lo" Emang lo punya perasaan" Kalau iya, harusnya lo minta maaf sama Putri
sekarang dan nyelesaiin kesalahpahaman bodoh ini."
"Gue nggak ngerasa perlu ngelakuin itu. Gue nggak salah."
Steve berdiri. "Terserah lo deh. Gue nggak peduli lagi!" ucapnya lalu keluar dari kamar.
Aku terduduk lemas. Hebat! Aku kehilangan satu sahabat lagi. Aku kesal pada Steve. Aku kira
dia mengerti perasaanku. Kenapa semua jadi kayak gini" Kenapa semua lebih buruk lagi. Aku
nggak yakin dengan apa pun saat ini, kecuali satu hal, Steve nggak akan mengantarku ke
sekolah besok. part? 10 MAWAR KUNING "MA, aku keluar sebentar, ya," pamitku pada Mama yang sedang menyiram tanaman, ditemani
Edwin yang lagi bersepeda di halaman.
"Jangan nyolong buah di tempat Pak Karta lagi, ya!" pesan Mama.
"Tenang aja, Ma. Di sana kan udah ada satpamnya. Mana aku berani?" Aku mengingatkan. "Aku
pergi ya, Ma!" "Win mau ikut!" Edwin mengayuh sepedanya ke arahku.
"Nggak boleh! Males ah jagain kamu. Aku mau ke tempat teman," tolakku.
"Edwin bisa main sepeda sendiri aja, nggak usah dijagain," rengeknya.
"Nggak boleh, Sayang,"larang Mama.
"Kok Marmut boleh main sepeda keluar, Win nggak boleh?" rajuk Edwin.
"Jangan panggil 'Marmut' dong, sayang. Panggil 'Kak Rin', gitu."
"Ah, biarin!" sahut Edwin. Tuh anak emang makhluk Tuhan yang paling nuakhaaal.
"Mama takut Win nyasar atau ditabrak kendaraan. Kalau Kak Rin sempat, nanti kamu ditemenin
main sepeda keluar," bujuk Mama.
Aku memandang Edwin sambil mengangkat sebelah alis. "Makanya kamu nurut sama aku, baru
aku mau nemenin kamu main sepeda keluar."
Edwin menjulurkan lidah. "Nggak mau, Win bisa minta tolong Oom Rio. Dasar Marmut jelek!"
"Sudah......sudah! Jangan ribut-ribut lagi," Mama menengahi. "Win main sepeda di sini aja,
temenin Mama." Aku mulai mengayuh sepedaku ke luar pintu gerbang, tapi sempat kudengar Mama berguman,
"Kayaknya kemarin Mama lihat mawar kuning ini ada empat, kok sekarang tinggal tiga?" Aku
segera meluncur ke jalanan sambil tersenyum diam-diam. Tujuanku sebenarnya rumah Pak
Karta, tapi biar nggak dicurigai Mama dan dipergoki Edwin, aku sengaja naik sepeda dan
memilih jalan memutar. Di jalan, aku kembali menimbang-nimbang rencana konyolku untuk pergi ke rumah Pak Karta.
Nggak ada motif kriminal dalam kunjunganku kali ini. Aku cuma ingin memperbaiki hubungan
bilateralku dengan Pak Rio dan berterima kasih. Tiga hari ini dia sudah rutin ngantar-jemput aku
ke sekolah sehingga aku nggak udah repot-repot naik bus dan mengkhawatirkan luka-lukaku.
Aku juga ingin memberitahu bahwa mulai besok aku nggak perlu diantar-jemput lagi karena
lukaku sudah baikan. Tiga hari ini aku selalu deg-degan kalau pergi ke sekolah bareng Pak Rio.
Tentu saja bukan deg-degan dalam arti romantis, tapi deg-degan lantaran waswas. Aku nggak
bisa membayangkan kalau ada yang melihat kami jalan bareng. Nanti digosipin yang nggaknggak. Apalagi sama wali kelas sendiri. Ih, nggak deh!
Dengan tangan kiri, aku meraba mawar yang terselip di punggungku. Biar aman, durinya sempat
kubuang di dapur tadi. Mungkin otakku lagi bermasalah atau gimana sehingga aku punya ide
norak tentang proyek bunga perdamaian ini. Tapi biarin deh, telanjur diniatin.
Setelah membuka pagar, sepedaku melaju memasuki halaman rumah Pak karta.
"Permisi.....!teriakku. Nggak ada jawaban. Aku menuju halaman belakang dan menyandarkan
sepedaku du pohon terdekat. Jendela kamar Pak Rio teruka. "Permisi, Pak Rio!" Aku mengintip
ke dalam kamar Pak Rio. "Woi, maling mangga! Mau nyelnap diam-diama di rumah lagi?" tegur Pak Rio dari aras pohon
rambutan mengagetkanku. Aku mendongak melihatnya.
"Menurut Bapak, apa orang yang mau nyelinap diam-diam di rumah orang akan berteriak-teriak
manggil di pemilik rumah?"
"Mungkin aja kalau pelakunya adalah orang yang dikenal. Dia manggil-manggil si pemilik rumah
buat ngecek keberadaannya. Kalau si pemilik rumah ada, dia pura-pura ada keperluan. Kalau
nggak, baru dia beraksi."
"Baik, anggap saja begitu. Berarti saya sedang berada dalam keadaan pertama." Aku mulai
jengkel dengan sikap Pak Rio. Tapi mengingat tujuanku kemari buat gencatan senjata, bukannya
memperuncing pertikaian, aku mencoba sabar.
"Oh gitu. Ada keperluan apa" Pohon mangganya udah nggak berbuah lagi. Lagian tanganmu
masih luka. Jadi belum bisa manjat, kan?" sindir Pak Rio. Aku jadi ingin mengurungkan niat
memberikan petisi perdamaian ini. Tapi bagaimanapun resenya, dia sudah banyak membantuku.
Anggap aja aku lagi balas budi.
"Saya cuma mau berterima kasih karena Bapak sudah banyak nolong saya. Sudah
menyelamatkan saya waktu dikeroyok berandalam itu, juga sudah mau nganter saya ke sekolah
beberapa hari ini. Saya mau berterima kasih buat semuanya."
"Segitu doang?" Pak Rio tersenyum mengejek. Nyebelin banget! Seharusnya aku nggak
melakukan ini. Mungkin dia nggak cuma lagi ngerasa di atas pohon, tapi juga di atas angin.
"Mmh.....sejak kapan pertemuan pertama, saya dan Bapak selalu terlibat masalah. Dan
sebagian besar masalah itu adalah ulah saya, jadi saya mau minta maaf. Gimana kalau kita
mulai dari awal lagi hubungan yang baik dan jauh dari masalah?" Aku mengambil bunga yang
tersembunyi di balik bajuku. Kemudian dengan enggan, aku berjinjit dan mengacungkan bunga
itu pada Pak Rio. "Mawar kuning lambang persahabatan. Maaf kalau saya lancang, tapi mau
nggak Bapak jadi teman saya?"
Pak Rio memandangku dengan tatapan tak percaya. Mungkin dia sedang mikir, kenapa cewek
badung dan calon kriminal masa depan kayak aku bisa melakukan hal norak gini. Aku juga
bingung kenapa aku bisa begini.
"Mmh...." Pak Rio mempermainkan mimik wajahnya, seperti orang yang sedang berpikir keras.
Aku jadi kesal. Ih, sok mikir banget sih nih orang. Aku kan cuma ngajak temenan, bukannya
ngajak tawuran. "Ya udah, yang penting kamu nggak macam-macam kalau kita berteman. Jangan minta nilai
tambahan atau sontekan ulangan." Pak Rio mengambil mawar kuning dari tanganku. "Naik gih,
mungkin kita bisa latihan ngobrol sebagai teman tanpa keinginan untuk saling tonjok."
Aku memanjat pohon rambutan itu lalu duduk di sebelah Pak Rio sambil mengayun-ngayunkan
kaki. Kayaknya semua sesuai rencana nih, aku bisa baikan dengan wali kelasku.
"Oh ya, pertama aku mau nanya dulu. Mawat ini hasil curian atau didapat dengan jalan halal?"
tanya Pak Rio sambil memainkan mawar kuning di tangannya.
"Penting ya" Kalau saya bilang itu hasil curian, apa Bapak akan ngomelin atau ngejek saya?"
"Untuk menjaga perdamaian, kayaknya nggak."
"Saya ngambil dari kebun ibu saya tanpa izin. Secara teknis itu disebut mencuri, tapi secara
hukum itu disebut tindakan kriminal tanpa korban."
"Seperti menyelinap masuk ke kamar orang buat ngambil komik milik sendiri" Tindakan kriminal
tanpa korban?" "Bapak mau membahasnya dan memancing keributan?" Aku menaikkan sebelas alis, menatap
Pak Rio. "Tidak, tapi hanya untuk mempertahankan perdamaian ini lebih lama." Pak Rio memamerkan
senyum cengengesannya. Aku nggak bisa menahan senyum. Aku membandingkan Pak Rio yang sedang mengajar
matematika dengan keponakan Pak Karta yang lagi nangkring di atas pohon dengan kaus lusuh
dan celana pendek di hadapanku. "Sekarang Bapak benar-benar nggak kayak guru saya.
Kadang saya mikir Bapak punya kepribadian ganda."
"Bapak" Saya" Apa kita bisa ngobrol biasa kayak waktu kencan malam Minggu dulu" Panggil
aku Rio. Kita kan udah jadi teman. Ngomong biasa aja kayak kamu ngobrol sama teman-teman
sekelasmu. Lagian umur kita nggak beda jauh kok."
Aku mengerutkan kening. "Memangnya selisih sepuluh tahun menurut Bapak, eh kamu, nggak
beda jauh?" "Apa"!" Rio kelihatan kaget. "Jadi kamu kira aku setua itu" Ternyata tipuan kacamata dan akting
bapak-bapak itu berhasil."
"Tipuan kacamata" Maksudnya?"
Rio tertawa. "Sebenarnya mataku masih normal. Kacamata yang biasa kupakai cuma buat gayagayaan biar kelihatan seperti guru, dewasa, dan berwibawa. Aslinya umurku baru 23 tahun.
Enam tahun yang lalu, aku seusiamu. Hanya saja dulu, waktu masih SMA, aku nggak suka bikin
ulah kayak kamu." "Ih, enak aja!" aku pura-pura marah. "Tapi aku sempat mikir juga sih, pantas kadang-kadang
kamu kelihatan keren kayak cowok SMA," gumamku.
"Apa?" "Tapi kenapa kamu bisa ngajar di sekolahan" Setahuku perlu proses panjang dan lama biar bisa
jadi guru, apalagi guru SMA," tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku benar-benar berharap Rio
nggak mendengar gumaman ''keren''-ku tadi.
"Aku dekat dengan Pak Bakti. Jadi waktu aku bilang aku baru lulus universitas dengan jurusan
matematika, beliau nawarin kerjaan ini. Lagian aku kan cuma guru pengganti. Kalau mau jadi
guru beneran, mungkin aku harus banyak pengalaman dulu." Rio menoleh padaku, membuatku
canggung. "Tadinya kupikir jadi guru gampang dan nggak ada tantangannya, ternyata ini
pekerjaan yang cukup berbahaya, apalagi jika seorang murid menyelinap masuk ke kamar kita
dan ngeliat kita setengah bugil."
Wajahku memanas. "Gimana kalo kita anggap kejadian itu nggak pernah ada?"
"Nggak bisa dong. Itu mungkin pengalaman sekali sumur hidup. Aku akan mengingatnya terus,"
ujar Rio dengan nada bangga.
Aku mengernyit. Orang yang aneh! " Omong-omong, jadi karena kamu dekat sama Pak Bakti,
kamu sungkan menyingkat nama Marina Taura Bakti, tapi aku yang kamu panggil Marmut" Itu
juga alasan kamu belain dia waktu kejadian di kantin?"
"Soal nama sih, aku memang sengaja mau ngerjain kamu. Tapi panggilan 'Marmut' itu lucu,
kan?" Rio cengengesan sementara aku mengangkat sebelah alis. Lucu apanya"! "Kalau
kejadian di kantin, aku nggak memihak. Waktu itu memang kamu yang salah."
"Tapi bukan aku yang membawa nampan berisi bakso panas dan menumpahkannya pada orang
yang kutabrak," aku membela diri.
"Dia nggak sengaja."
"Harusnya dia jalan pake mata."
"Kamu juga nggak."
"Tapi waktu itu aku nggak bawa makanan atau minuman yang bisa tumpah dan nyelakain
orang." "Bagaimanapun juga, kamu tetap keterlaluan. Nggak seharusnya kamu membalas dengan
numpahin bakso panas itu padanya cuma karena terprovokasi nama 'Tommy'."
Mulutku terbuka, tapi aku nggak tahu mau ngomong apa. Aku benar-benar kaget Rio tahu soal
Tommy yang terlibat kejadian itu. Aku menghela napas menahan emosi. "Kayaknya pertemanan
ini nggak berhasil. Mendingan kesepakatan soal berteman tadi dibatalkan. Mungkin lebih baik
kalau kita jadi guru dan murid saja, Pak Rio." Aku turun dari pohon dengan kesal lalu melangkah
hendak mengambil sepeda. Pak Rio menyusul turun ngejarku, lalu menahanku dengan menangkap lenganku. Lengan yang
masih ada bekas memanya. "Aow!" teriakku kesakitan.
"Maaf, nggak sengaja." Dia segera melepaskan tangannya. "Dengar, aku mau kita berteman.
Aku nggak akan ngomongin soal ini lagi. Memang kita bertentangan dalam beberapa hal, atau
banyak hal, tapi bukan berarti kita nggak bisa jadi teman, kan?"
"Terserah, kalau itu maumu. Lagian aku udah banyak berutang budi sama kamu."
Rio memandangku dengan tatapan serius, kayaknya dia tersinggung. "Bukan, nggak kayak gitu.
Masa bodoh dengan utang budi itu. Aku nggak mau kamu terpaksa jadi temanku cuma karena
aku pernah nolong kamu. Aku mau kamu jadi temanku karena kamu memang menyukaiku,"
jelas Rio. "Suka dalam artian nggak membenciku," tambahnya.
Aku berpikir sejenak. Apa ruginya temenan sama dia kalau memang dia yang mau" Cuma jadi
teman, bukan sahabat seiya-sekata-sehidup-semati. "Ya udah, kita temenan."
Rio tersenyum ''Bagus''. Dia diam sejenak, lalu mengangkat sebelah alisnya dengan gaya genit.
"Jadi, sekarang kamu menyukaiku?"
"Dalam artian nggak membencimu," jelasku.
part? 11 KEKASIH HUBUNGANKU dengan Putri dan Steve tidak membaik dalam beberapa hari ini. Kami masih
saling mendiamkan. Sementara Wulan bersikap netral di antara perseteruan kami. Dia nggak
menanyakan gimana sebenarnya hubunganku dengan Steve. Mungkin menunggu waktu yang
tepat untuk membahas soal ini. Aku juga enggan menjelaskan semuanya tanpa di minta. Aku
ingin menjalaninya saja, nggak peduli gimana nantinya. Aku mengerti Wulan nggak nyaman
dengan keadaanku dan Putri, tapi mau gimana lagi" Aku nggak bisa mengubahnya.
Bel pulang berdering beberapa menit yang lalu. Aku dan Wulan berjalan pulang menyusuri
lorong antarkelas yang mulai sepi. Di depam ruang OSIS, kami berhenti sejenak untuk melihatlihat mading. Ada ulasan pertandingan basket lengkap dengan foto-fotonya. Yang menarik
perhatianku adalah foto Tommy dan Pak Rio yang ditempel bersebelahan dengan tulisan IDOL
BATTLE di bawahnya. Di sebelah artikel itu terdapat pengumuman tentang lomba puisi yang
diadakan OSIS. "Lo nggak ikut lomba karya puisi, Lan" Jurinya kan sastrawan ngetop," tanyaku pada Wulan
sambil menunjuk pengumuman itu. Wulan yang sedang resensi buku baru menoleh dengan
tatapan heran. "Kok lo nanya gitu" Gue kan nggak pernah bilang gue suka bikin puisi."
Oh iya. Wulan kan nggak tahu kalau aku pernah baca kumpulan puisi di buku Cerita Hati
miliknya. "Eh, gue lupa bilang. Waktu nginep di rumah lo, gue nggak sengaja ngeliat buku puisi
lo terus gue baca. Lo nggak marah kan, Lan?" ucapku waswas.
Wulan tiba-tiba beranjak tanpa bicara, membuat perasaanku nggak enak. Gawat banget nih,
kalau Wulan sampai marah sama aku karena masalah ini. Sekarang aku yakin buku puisi itu
adalah ''diary'' Wulan. Aku berjalan tergesa untuk menyusulnya. "Maafin gue, Lan. Gue baca puisi-puisi lo tanpa izin.
Gue iseng aja, nggak ada niat lain. Kalau lo nggak suka puisi-puisi lo gue baca, gue minta maf
banget. Gue nggak rahu."
Wulan tetap melangkah tanpa berkomentar. Aduh, kayaknya serius nih!
"Puisi-puisi itu ungkapan hati lo, ya?" tanyaku hati-hati. "Lan, gue benar-benar nggak bermaksud
pengen tahu perasaan lo. Gue kira itu kumpulan puisi biasa. Lagiaj kata-katanya terlalu puitis,
gue nggak ngerti semua maksudnya."
Wulan berhenti. "Tapi lo bisa nangkep kan, apa yang gue tulis?" tanyanya putus asa. Aku tahu
dia tipe cewek tertutup yang nggak biasa mengungkapkan perasaannya kepada orang lain, dan
aku merasa bersalah karena udah ''ngintip'' isi hatinya.
"Mmh.....lo.....lo suka sama seseorang yang menurut lo nggak mungkin lo miliki?" tebakku.
Wajah Wulan memerah. Ternyata dugaanku benar. "Itu hal biasa kok, Lan. Semua orang pernah
mengalaminya. Lo nggak perlu malu, apalagi sama gue, sahabat lo sendiri," hiburku.
"Apa lo nggak ngeliat dalam puisi-puisi itu gimana gue muja-muja dia" Itu malu-maluin banget,
kan?" Wulan berjalan sambil menunduk.
"Jujur, gue sih nggak nangkep kayak gitu. Gue kan nggak ngerti-ngerti banget bahasa puisi.
Ulangan bahasa Indonesia aja gue remidi. Tapi menurut gue, yang lo lakuin nggak malu-maluin
kok, banyak yang kayak gitu. Lihat aja cewek-cewek yang muja-muja seleb yang mungkin
berada di belahan bumi lain."
"Masalahnya, dia nggak berada di belahan bumi lain, tapi di sini, di sekolah ini." Sedetik
kemudian, Wulan melotot menyadari ketidaksengajaannya mengungkapkan rahasia.
"Jadi dia anak Girindra?" Aku terkejut dan jadi penasaran siapa kira-kira cowok yang sudah
mencuri hati sahabatku. Wulan nggak menyahut. Dia tetap berjalan menunduk. Lebih baik aku nggak mengganggunya
sekarang. Kayaknya Wulan masih marah padaku soal puisi itu.
Saat melintasi ruang guru, aku menoleh ke dalam lewat jendela. Ingin tahu apa Pak Rio masih di
sekolah atau sudah pulang dan ganti status jadi Rio. Kami jadi teman akrab sekarang, tapi aku
tetap bersikap sebagai muridnya kalau di sekolah. Wulan belum tahu hal ini, nanti aku akan
ceritakan semuanya pada dia.
Brak! Pandanganku segera teralih pada Wulan saat mendengar suara orang kertabrakan.
Kertas-kertas berhamburan.
"Maaf, Bu, tadi saya tidak memerhatikan jalan," ucap Wulan panik sambil memunguti kertaskertas yang berserakan di lantai.
Aku ikut berjongkok, tapi nggak ikut memunguti kertas-kertas itu. Aku malah memandang wanita
yang ditabrak Wulan tanpa berkedip. Cantik banget! Wanita itu bertubuh langsing, kulitnya putih
mulus, rambutnya tergerai indah. Dengan senyumannya yang manis dan ramah, dia terlihat
anggun banget. Seharusnya sekolah, dalam artian murid-murid cowok, gempar oleh kehadiran
''foto model'' ini. Siapa dia" Baru kali ini aku melihatnya.
"Nggak apa-apa," sahut wanita itu dengan suara kemayu, menenangkan Wulan yang terlihat
panik dan merasa bersalah. Lalu wanita itu pergi membawa kertas-kertas itu.
"Rin," panggil Wulan. "Lo kenapa?" Dia heran ngeliatin aku memandangi wanita itu sampai di
ujung lorong. "Siapa wanita itu, Lan?" tanyaku.
"Pegawai baru mungkin. Baru kemarin gue liat dia."
"Cantik ya, kayak model-model di TV. Harusnya dia ada di sampul-sampul majalah, bukannya di
balik meja pegawai dan kerja sampai siang begini," komentarku.
Wulan mengangkat bahu. Kami melanjutkan langkah.
"Lan....,"aku melirik Wulan, "gue janji nggak akan ngomongin tentang puisi lo, juga perasaan lo
ke siapa pun. Gue juga nggak akan nyari tahu soal cowok itu. Lagian gue nggak cukup pintar
buat ngerti puisi-puisi lo, jadi anggep aja gue nggak tahu. Tapi beneran, menurut gue puisi lo
keren-keren banget."
"Makasih," ucapnya, entak untuk pujianku atau janjiku untuk menjaga rahasia. Dia tersenyum
juga walaupun kelihatan enggan. Diam-diam aku menghela napas lega. Syukurlah aku nggak
kehilangan sabahat lagi.

Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Marmut jelek! Marmut jelek!" ejek Edwin dari atas pohon mangga.
"Yo, udah ya belajarnya. Edwin nantangin tuh!" pintaku pada Rio. Aku sedang latihan
mengerjakan soal-soal matematika di ruang tengah. Dari sini aku bisa melihat Rio sedang
mengacak-acak lemari pakaian di kamarnya. Di luar, Edwin sedang duduk di atas pohon sambil
mengulum lolipop. "Tujuan kamu kemari kan buat belajar, bukan kursus jadi Tarzan," ujar Rio.
Seperti biasa, aku lagi main di rumah Pak Karta buat nemenin Edwin, sekaligus belajar
matematika sama Rio karena lagi musim ulangan. Sayangnya, Rio nggak pernah mau ngasih
bocoran soal-soal yang akan dikeluarkan Pak Rio nanti. No nepotisme, gitu!
"Liat deh, Mut. Keren nggak?" Rio nempelin kemeja biru bergaris di badannya.
"Keren.....bajunya,"candaku. "Memang mau ada acara apaan sih, pake nyocokin segala?"
"Nggak kok. Pengen kelihatan keren aja."
"Pake baju apa aja, kamu keren kok," ucapku keceplosan. Aku pura-pura kembali mengerjakan
soal. Bego, kenapa aku memuji dia kayak gitu ya"
"Marmut, bisa naik setinggi ini nggak?" tantang Edwin dari luar.
"Yo, kenapa naikin Edwin setinggi itu. Nanti kalau jatuh gimana?"
"Nggak bakalan. Dia bisa pegangan kok. Tenang aja." sekarang Rio memamerkan kemeja hitam
dengan motif garis putus-putus. "Kalau yang ini gimana?"
"Bagus." Rasanya aku nggak pernah melihat Pak Rio pakai kemeja itu. Pasti dia jadi kelihatan
lima tahun lebih muda kalau memakainya. Eh, berarti umurnya jadi delapang belas dong. Aneh
banget punya guru yang kelihatan sebaya sama kita.
"Marmut takut naik pohon, ya" Kalah dong dama Win?" teriak Edwin bangga.
"Bukannya takut, Win, Marmut cuma nggak mau digerayangin ulet bulu yang suka nyari makan
sore-sore gini. Ulatnya gede-gede lho, bulunya banyak, bikin gatel, terus paling senang sama
kecil yang lagi ma'em permen," ucapku nakut-nakutin.
"Oom Rio, Win mau turun!" rengek bocah itu tiba-tiba dengan suara panik. Aku tertawa.
Rio yang sedang mencoba-coba baju lain sambil becermin memandangku kesal. "Di sana nggak
ada ulet bulunya, Win."
"Pokonya Win mau turun!" teriak Edwin ketakutan.
Rio menghela napas. "Awas kamu!" ancamnya padaku kesal. Aku tersenyum cengengesan. Dia
keluar menuju halaman belakang.
Aku berdiri meregangkan badan lalu melirik kamar Pak Rio yang kosong. Hehehe..... Ide jailku
muncul. Ini kesempatn berharga. Aku harus pura-pura melihat-lihat kamar Rio, padahal aslinya
mau nyari komik Inu-Yasha yang masih disita.
Aku masuk dan melihat-lihat kamar Rio yang lumayan rapi untuk ukuran kamar cowok. Aku
mulai mencari-cari komikku di antara tumpukan buku di atas meja. Saat menggeledah rak, nggak
sengaja aku melihat album foto di antara buku-buku tebal milik Rio. Aku mengambilnya,
kemudian membawanya keluar. Sambil duduk, aku mulai membuka-buka album foto itu. Soal
komik urusin nanti aja. Saat membuka album itu, aku tersenyum melihat foto Rio waktu SMA. Dia bergaya gila-gilaan
sama teman-temannya. Konyol banget. Coba Rio SMA ini ada ada di SMA Girindara, dia bisa
jadi saingan berat Tommy sebagai cowk idola sekolah. Sekarang aku mengakui Rio itu cakep,
tapi kadang tetep aja nyebelin.
Foto-foto lain mungkin diambil waktu Rio kuliah. Aku tertawa melihat foto-fotonya dengan rambut
gondrong. Gimana ya, reaksi murid-murid kalau melihat Pak Rio dengan penampilan kayak gini"
Waktu membuka halaman berikutnya, aku terkejut melihat foto seorang cewek yang cantik
banget. Rasanya aku pernah melihat dia, tapi di mana ya" Ya ampun! Ini kan pegawai baru di
sekolah. Di foto ini dia kelihatan lebih muda. Kenapa Rio punya fotonya, ya" Memang dia siapa"
Mataku membesar melihat foto lain yang menampilkam pose mesra cewek dengan Rio.
Halaman-halaman album selanjutnya dipenuhi foto-foto mereka berdua.
"Kalau udah bisar nanti, Win bisa naik pohom sendiri. Nggak perlu bantuan Oom Rio lagi.
Makanya dari sekarang Win harus makan yang banyak biar sehat dan kuat." Suara Rio
terdengar. Dia dan Edwin masuk ke ruang tengah. Aku cepat-cepat bersikap biasa, walaupun
sebenarnya masih syok karena foto-foto itu. "Tapi, Win juga nggak boleh lupa belajar biar pintar."
Rio menoleh padaku. "Kamu nggak ngerjain soal?"
"Istirahat sebentar," sahutku.
"Win aja rajin belajar, nggak malas kayak Marmut." Edwin naik ke kursi lalu duduk sambil
menjilat-jilat lolipopnya.
"Yeeee, yang penting Marmut nggak penakut kayak Win. Sama ulat bulu aja nggak berani,"
balasku nggak mau kalah. "Oom Riooooo!" rengek bica itu.
Rio memandangku jengkel. "Sudah, jangan dengerin dia." Rio meletakkan kertas dan krayon di
atas meja di depan Edwin. "Win mau belajar gambar nggak?"
"Mau," jawab Edwin cepat lalu mulai mencoret-coret kertas di hadapannya.
Rio menghampiriku yang masih membuka-buka album foto. Aku meliriknya.
"Eh, ini siapa, Yo?" Aku membalik halaman album lalu menunjukkan foto cewek tadi.
Rio melihat sekilas. "Itu Sarah."
"Sarah siapa?" "Sarah Ariesta."
Bukan itu maksud pertanyaanku, batinku jengkel. Aku menunjuk foto yang menampilkan pose
mesra Rio dan Sarah. "Dia ini siapanya kamu?"
"Mantanku." Seandainya ini film India, pasti ada petir di luar untuk mendramatisir suasana. Aku terkejut,
walaupun sebelumnya sudah menebak bahwa cewek ini adalah pacar Rio pada waktu foto ini
diambil. "Kapan kalian pacaran?"
"Setelah aku memotong rambut gondrongku."
Aku memutar bola mata. "Kapan itu?" tanyaku jengkel.
"Sekitar dua tahun lalu, waktu masih kuliah. Tapi beberapa bulan lalu kami putus. Di hari
kelulusanku, lagi. Ironis banget. Bukannya syukuran, aku malah patah hati." Suara Rio terdengar
getir. Dia masuk ke kamarnya.
"Tapi sekarang kan kalian ketemu lagi karena kerja di tempat yang sama. Dia pegawai baru di
sekolah, kan?" tebakku. "Jangan-jangan karena dia kamu pengen kelihatan keren di sekolah,"
lanjutku dengan nada menggoda, mengatakan pikiran yang kudapat setelah melihat Rio
merapikan pakaiannya. Rio nggak menyahut. Entah kenapa, tiba-tiba perasaanku jadi aneh. Aku menatap Rio. Dia
nggak melihat ke arahku. Terjadi sesuatu dalam hatiku. Rasanya dadaku sesak.
Aku menghela napas lalu menutup album dan meletakkannya di meja. Aku kembali mengerjakan
soal-soal matematika di hadapanku. Tapi bukan angka-angka itu yang sekarang memenuhi
kepalaku. part? 12 PERASAAN. SORAK menggoda dan siulan jail terdengar di luar kelas. Bisa dipastikan, Bu Sarah sedang
lewat di depan kelasku. Itulah ritual baru anak-anak cowok, ngegodain wanita cantik itu kalau
lewat di lorong sekolah. Aku yang kebetulan duduk di dekat jendela, ikut melongok. Cowokcowok lagi pada melototin kepergian Bu Sarah. Dasar!
"Indah nia makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Andai malaikat sudi turun ke bumi membawa
keajaiban yang membuat daku bisa memiliki bidadari surgawi itu," ujar Didik, cowok kelas
sebelah, sok puitis. "Jangan mimpi, Dik!" balas Tommy yang lagi duduk di sebelah cowok keriting itu. "Lo nggak
akan menang saingan sama Pak Rio."
Hah" Pak Rio" Nama itu membuatku jadi tertarik nguping pembicaraan mereka. Kebetulan
mereka ngobrol di seberang luar jendela dekat bangkuku.
"Hadi gosip Pak Rio sama Bu Sarah itu beneran?" Suara Didik terdengar kecewa. "Hebat juga
wali kelas lo itu. Belum lama Bu Sarah kerja di sini, Pak Rio udah berhasil ngengaet pujaan hati
gue itu." "Gue denger dari cewek-cewek di kelas gue sih, Pak Rio dan Bu Sarah sempat pacaran waktu
kuliah dulu. Mereka teman satu kampus," jelas Tommy.
Aku terkejut ada yang tahu soal itu.
"Paling cuma gosip." Fans Bu Sarah itu kayaknya nggak percaya.
"Sumber beritanya keponakan Bu Sarah sendiri, jadi kayaknya itu beneran," ucap Tommy
membuatku terkejut. "Keponakan Bu Sarah ada di kelas lo" Siapa, Tom?" Pertanyaan Didik mewakili pertanyaanku
pada Tommy. "Apa dia secantik tantenya?" tambahnya.
"Taura, anak Pak Bakti, kepsek kita...." jawaban Tommy membuat mataku membesar.
"Jadi Bu Sarah adik Pak Bakti?" Cowok itu menyuarakan pikiranku.
"Iya, katanya dia kerja di sini cuma buat ngisi kursi pegawai adminitrasi yang lagi kosong sampai
ada orang tetap yang mendudukinya. Itu juga atas permintaan Pak Bakti. Gitu yang gue denger
dari cewek-cewek, yang cerita Taura."
Pikiranku bekerja. Aku ingat Rio pernah bilang bahwa dia dekat dengan Pak Bakti, jadi inilah
sebabnya. Dia pernah pacaran sama adik kepala sekolah itu. Dan mungkin sekarang hubungan
mereka sudah kayak dulu lagi.
Tiba-tiba perasaan aneh yang kurasakan saat melihat foto Rio dan Bu Sarah kemarin muncul
lagi. Aku terkejut dengan perubahan perasaan ini. Hatiku sakit. Aku nggak ngerti apa yang terjadi
padaku. Rasanya kayak kekurangan oksegen, dadaku sesak.
"Rin, bisa ngomong sebentar nggak?" Suara Putri mengusikku. Aku menoleh kepadanya. Dia
berdiri di dekat bangkuku dan dengan kikuk menatapku.
"Nggak sekarang," sahtuku. Aku beranjak keluar kelas dan nggak sengaja menyenggol bahunya
waktu papasan. Pikiranku kacau. Aku berjalan tergesa melewati anak-anak yang berseliweran di
lorong sekolah. Aku bingung mau pergi ke mana. Yang jelas, aku ingin ke tempat yang tenang.
Di ujung lorong, aku memutuskan akan ke perpustakaan. Akhirnya, ada juga hal gawat yang
membuatku ingin sembunyi di antara tumpukan buku. Saat melewati kantin, langkahku
melambat. Nggak sengaja, aku melihat Pak Rio dan Bu Sarah sedang duduk mengobrol di pojok
kantin. Pak Rio mengenakan kemeja biru bergaris yang ia pamerkan kemarin. Dan benar, dia
kelihatan keren. Bu Sarah tertawa kecil menanggapi kata-ata Pak Rio yang nggak bisa kudengar
dari sini. Dia manis banget.
Aku melanjutkan langkah dengan tergesa. Entah apa yang terjadi padaku, aku merasa
terganggu dengan pemandangan mesra itu.
Aku merasa lega waktu masuk perpustakaan dan melihat cuma ada segelintir murid di sana.
Langsung aja kuambil sembarang buku lalu duduk di kursi pojok. Aku membuka buku itu,
mendirikannya di hadapanku, kemudian merebahkan kepala di atas tanganku yang terlipat di
atas meja. Aku mengatur napas untuk menenangkan debar jantungku karena berjalan tergesa
tadi. Sekarang waktunya memikirkan apa yang sebenarnya kualami. Kenapa aku nggak nyaman
melihat Pak Rio dan Bu Sarah bersama" Memang kenapa kalau mereka beneran pacaran lagi"
Apa urusanku" Terus, perasaan nggak enak di hatiku ini sebenarnya apa" Kenapa aku
merasakannya" Apa karena Pak Rio dan Bu Sarah" Kok aku jadi bingung begini sama
perasaanku sendiri" Aku memejamkan mata, mencoba menyelami perasaanku, tapi yang muncul di benakku malah
bayangan Pak Rio dan Bu Sarah yang sedang berpose mesra. Tiba-tiba rasa itu muncul lagi.
Hatiku sakit. Ya ampun, aku kenapa sih" Apa aku nggak ingin Pak Rio bersama orang lain" Aku
nggak suka melihat Rio sama cewek lain" Eh tunggu dulu, itu kan artinya aku.....aku cemburu.
Lho, aku cemburu" Itu kan artinya.......aku.......suka sama.....Rio. Hah"! Aku suka sama Rio"
"Tidak!!!" seruku tiba-tiba, seraya bangkit dari kursi dan membuat semua mata menoleh ke
arahku. "Kamu ngingau, ya" Ini perpustakaan, bukan penginapan, jadi jangan tidur di sini,'' omel Bu Sri,
pustakawati sekolah. Murid-murid yang sedang di perpus pada ketawa ngeliatin aku. Dengan
malu, kutaruh buku yang tadi kuambil lalu cepat-cepat kabur keluar. Sial!
*** Esok harinya, pas jam istirahat, aku membaca puding (puisi dinding) di mading depan ruang
OSIS. Puding itu berisi sepuluh puisi terbaik yang lolos seleksi dalam loma karya puisi yang
diadakan saat ini. Tim jurinya adalah sastrawan top dan mahasiswa-mahasiswa sastra dari
universitas negeri di kota ini. Dekorasi puding itu dibuat colorful dan keren banget, biar para
siswa tertarik untuk membacanya. Bagi siswa yang berminat ikut lomba selanjutnya, yaitu lomba
baca puisi, bisa memilih puisi mana yang ingin dibawakan di antara kesepuluh puisi ini. Nggak
masalah kalau penulisnya sendiri yang membacakan puisinya atau siswa lain.
Lomba kayak gini baru pertama kali diadakan OSIS sekolahku. Yang bikin ide adalah Tommy,
wakil ketua OSIS, yang sekarang ditunjuk jadi panitia kegiatan ini.
Tommy keluar dari ruang OSIS lalu berdiri di dekatnya, ikut melihat-lihat puding.
"Dekor pudingnya keren banget, Tom," pujiku.
"Kerjaan anak-anak dekorasi dan perlengkapan tuh," jelasku nggak antusias.
"Lomba karya puisinya sukses, ya," seruku.
"Tapi tujuan acara itu nggak kesampaian," sahut Tommy dengan nada kecewa.
"Maksud lo?" tanyaku.
Dia menoleh kepadaku dengan malas. "Gue cabut duluan ya, Rin." Tommy beranjak
meniggalkanku. Hei, kenapa nih" Kok Tommy jadi cuek begitu padaku" Padahal akhir-akhir ini hubunganku
dengan dia udah deket banget. Apa aku terancam bakal kehilangan peluang deketin gebetan
kerenku itu lagi" Masa kehilangan dua sahabat belum cukup parah" Ditambah lagi firasat buruk
bahwa aku suka sama Pak Rio, wali kelasku sendiri. Rasanya masa remaja yang indah nggak
ada di garis nasibku. Namun, kayaknya satu masalah sudah berhasil kutangani. Kemarin aku meyakinkan diri bahwa
kau nggak punya perasaan dan nggak boleh punya perasaan apa-apa sama Rio, cowok
tetanggaku yang juga guru matematikaku itu. Yang aku suka itu Tommy, cowok pujaanku sejak
kelas satu yang sekarang jadi teman akrabku. Buktinya waktu aku nyangka Tommy pacaran
sama Martabak, aku cemburu berat. Jadi bisa dipastikan, sebenarnya aku suka Tommy, kan"
"Rin, bisa ngomong bentar nggak?" Aku terkejut oleh kehadiran Martabak yang tiba-tiba berdiri di
sampingku. Dia tersenyum manis padaku, mengingatkanku pada nenek sihir jahat yang
menawarkan apel beracun pada Putri Salju.
"Plis, jangan mikir macam-macam dulu," lanjutnya, membuatku tersentak. Hah" Dia bisa baca
pikiranku" "Gue cuma pengen ngomongin sesuatu sama elo. Ada waktu nggak" Sebentar aja."
"Mau ngomong soal apa?" tanyaku datar. Pikiranku masih dipenuhi kecurigaan dengan sikap
manis Martabak. "Gimana kalau kita ke kantin?"ajaknya.
Eits, bahaya nih! Jangan mau, Rin, bisik kata hatiku. Lagian, dia itu keponakan Bu Sarah,
saingan lo buat dapetin Pak Rio.
"Oke,"sahutku. Aku nggak merasa sedang bersaing dengan Bu Sarah dalam hal apa pun.
Kenapa suara hatiku tiba-tiba jadi konyol begini, ya"
Aku dan Martabak memasuki kantin bersamaan. Bu kantin menatap kami dengan pandangan
waswas. "Tenang, Bu, nggak bakalan ada perang makanan lagi hari ini.....," ujarku, "kayaknya...."
Kami duduk di meja dengan dua tempat duduk yang saling berhadapan di pojok kantin. Ini kan
tempat Pak Rio dan Bu Sarah duduk berduaan kemarin, yang bikin aku patah hati dan sadar
bahwa aku ada perasaan sama Pak Rio" Eh, kok aku jadi kepikiran kayak gitu"
Martabak menatapku serius. "Pertama, gue mau lo ngelupain sebentar masalah kita. Kedua, lo
percaya apa yang gue bilang. Ketiga, lo nggak mesen bakso," ucap Martabak mengajukan
syarat. Aku mengangguk. "Oke, kalau gitu, sebagai awal yang baik, kita ngomong dengan
manggil nama lo ''Rin'' dan gue ''Taura'', bukan Martabak. Gue benci panggilan itu, " tambahnya.
Aku berpikir sebentar, kemudian mengangguk.
"Dengar, hal yang sebenarnya sekarang pengen gue lakuin ke lo adalah nonjok lo karena lo
temen paling jahat yang gue tahu di muka bumi ini," Martabak memulai kata-katanya. Awal
pembicaraan yang bikin aku pengen numpahin sambal di meja ke atas kepalanya, tapi aku
menahan diri, ingin tahu ke mana arah percakapan ini.
"Teman macam apa yang tega ngerebut gebetan sahabatnya sendiri" Pake acara sok
ngedukung segala, lagi. Bokis banget! Tapi udahlah, bukan itu yang pengen gue bahas
sekarang." Martabak mengibas-ngibaskan tangannya seolah semua omongan jeleknya tadi
nggak berarti. "Gue cuma pengen bilang bahwa Putri udah maafin lo dan dia pengen temenan
lagi sama elo. Jujur ya, gue nggak ngerti, apa sih hebatnya elo sampai Putri masih pengen
temenan sama lo setelah apa yang lo perbuat ke dia?"
Aku menatap Martabak dengan pandangan datar. "Kenapa dia nggak ngomong sendiri?"
"Emang lo masih mau ngomong sama dia" Kemarin Putri mau ngomong sama lo, elonya malah
menghindar dan pergi. Gue ngeliat sendiri kok."
Oh, jadi kemarin Putri mau ngomongin hal ini waktu aku ingin keluar setelah mendengar soal
Pak Rio-Bu Sarah itu" "Gue nggak bermaksud menghindat, waktu itu gue ada......urusan
mendesak." "Terus, kenapa selama ini lo nggak nyoba ngomong sama Putri buat memperbaiki hubungan
kalian" Lo emang nggak peduli sama dia, kan" Lo itu egois, keras kepala, dan nggak punya
perasaan." Martabak bicara berapi-api, membuat Bu kantin kelihatan cemas. Untung di kantin
lagi nggak banyak siswa, dan nggak ada anak 2-F di antara mereka. "Lo tau nggak, Putri masih
peduli sama lo walaupun lo udah nyakitin dia. Putri kelimpungan waktu lo daang ke sekolah
dengan muka diplester. Dia tahu lo bukannya lagi nutupin luka kayak yang lo bilang ke tementemen. Dia curiga lo bikin ulah, terus dapat masalah sampai luka kayak gitu. Dia khawatir, sedih.
Lo pernah mikirin dia nggak sih, seperti dia peduli sama lo?"
Aku tersentak. Kata-kata Martabak membuatku memikirkan Putri setelah lama aku nggak peduli
pada keadaannya. Aku nggak nyangka Putri masih memerhatikanku. Kenapa selama ini aku
nggak pernah memikirkan perasaannya" Aku terlalu kesal dengan hal-hal jelek yang dia bilang
padaku sampai aku ngelupain begitu aja persahabatan kami. Kenapa aku jadi pendendam
begini" Seharusnya aku mengerti bahwa ketika dia marah itu, dia lagi emosi karena masalah
Steve. Duh.....begonya, kenapa aku jadi nggak pedulian dan egois gini" Putri aja masih mikirin
aku. Kenapa aku ngelupain dia"
"Oh ya, Putri cerita ke gue soal kejadian di mal itu. Dan asal lo tau, dia jadi temen lo bukan buat
balas budi karena pertolongan lo. Dia tulus jadi temen lo, walau sejujurnya gue nggak ngerti
kenapa." "Gue akan nyelesaiin semuanya. Gue juga nggak pengen kita kayak gini terus."
"Kita?" Martabak mengerutkan dahi.
"Aku dan Putri," jelasku mengklarifikasi. "Lo nggak berpikir gue lagi ngomongin lo sama gue,
kan?" Tampang sok Martabak kembali terpasang di mukanya. "Idih amit-amit, nggaklah ya! Gue mau
ngomong sama lo cuma buat kepentingan Putri, sahabat gu. Kalau nggak gitu, buat apa gue
buang-buang waktu sama lo?"
Aku mengangkat sebelas alis. "Segitu doang" Ya udah!" Aku berdiri ingin pergi.
"Tunggu dulu," tahan Martabak. Dia ngambil sesuatu dari tasnya lalu menaruhnya di meja. "Ini


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kartu undangan dari Putri. Lo ingat kan, besok ultahnya?"
"Tentu aja," jawabku sambil kembali duduk. Sebenarnya aku sempat lupa, tapi kemarin Wulan
mengingatkanku. Sempat kepikiran ingin memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki keadaan,
tapi aku nggak tau harus berbuat apa, jadi aku cuek aja."
"Gue cuma mau nyaranin, mendingan ntar sore lo datang ke rumahnya. Kami mau ngedekor
ruangan buat pesta besok. Putri pasti seneng ngeliat lo. Gue harap lo mau ngomong sama dia
dan nyelesaiin masalah kalian." setelah bicara begitu, Martabak berdiri.
"Sebentar, Mar....eh, Taura," tahanku. "Kenapa lo mau ngelakuian semua ini" Bikin gue sama
Putri temenan lagi" Bukannya lo seneng kalau dia jauh-jauh dari gue?"
"Putri itu sahabat gue dan gue nggak suka ngeliat dia setiap hari kelihatan sedih cuma karena
mikirin orang nggak berguna kayak lo," ucapnya sambil melangkah pergi. Ini baru wujud asli
Martabak yang nyebelin. Aku tersenyum juga karenanya.
"Martabak! Untung gue nggak mesen bakso!" seruku.
Tanpa menoleh ke belakang, Martabak mengibas-ngibaskan tangannya seolah berkata ''nggak
penting banget deh''. part? 13 PUISI. AKU berdiri di depan pintu rumah Putri dengan sedikit gugup. Aku nggak tahu apa yang akan
kelakukan kalau Putri membuka pintu dan sudah berdiri di hadapanku. Aku cuma bisa berharap
kata-kata Martabak benar, Putri masih mau baikan sama aku. Nggak lucu banget kan, kalau aku
langsung diusir begitu Putri melihatku di sini"
Pintu terbuka. "Rin....," ujar Putri. Dia tampak terkejut.
"Eh, mmh....hai, Put! Gue...." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Putri tiba-tiba
langsung memelukku. "Gue kangen banget sama elo, Rin! Maafin gue ya. Gue udah ngomong yang nggak-nggak ke lo.
Masih mau temenan sama gue, kan?"
"Gue mau, asal lo lepasin pelukan lo. Gue sesak napas nih" Lo mau baikan, apa mau nyelakain
gue sih?" Syukurlah, kayaknya aku nggak akan diusir eh.
"Eh, sori, sori!" Putri cepat-cepat melepaskan pelukannya. "Abis, gue seneng banget ngeliat lo
dateng ke rumah gue. Gue kira lo nggak bakalan ke sini-sini lagi, bahkan walay gue undang ke
ultah gue." Aku menyerahkan kotak yang sejak tadi kusembunyikan di belakang punggung. "Nih, buat lo."
"Ultah gue kan besok. Lo, lupa, ya" Kok gitu" Nggak jadi baikan deh."
"Yee, jangan ngambek gitu dong. Ini bukan kado ultah. Ya anggap aja kado baikan. Mmh....gue
mau minta maaf, Put, gue juga salah. Gue udah ngomong macem-macem sama elo."
"Maaf diterima," ucap Putri riang. "Eh, tunggu dulu!" Tiba-tiba dia menatapku serius. "Ini nggak
berarti besok lo nggak ngasih kado ke gue, kan?"
"Liat besok deh. Kalau kepepet, paling gue kasih lo kartu doang," ujarku cuek sambil nyelonong
masuk rumah. "Gue nggak terima. Lo kan janji mau ngasih gue kado spesial kalau gue sweet seventeen,"
protes Putri sambil mengikuti masuk.
"Gue janji kan cuma biar elo mau nraktir gue nonton. Udah lama banget tuh, masih inget aja lo."
Aku berjalan menuju ruang tengah.
"Nggak bisa, janji tetap janji. Asyik, chochoball!" Perhatian Putri langsung teralih saat melihat isi
kotak yang kuberikan. Tapi gue bisa langsung gendut abis makan ini."
"Lo kira bikin mi instan, bisa melar secepat itu. Nggak mungkinlah. Lagian....." Ucapan dan
langkahku berhenti begitu melihat Martabak, Tommy, dan Wulan di ruang tengah.
Putri ikut berhenti. "Eh, Rin, gue lupa bilang kalo Taura, Tommy, sama Wulan ada di sini, bantuin
gue ngedekor ruangan. Lo mau gabung, kan?"
"Kenapa nggak?" Aku melirik Martabak, tapi dia memalingkan muka dan berlagak nggak tahu
apa-apa. Dasar tuh anak, masih nyebelin aja. Padahal dia yang bikin aku ada di sini.
"Bagus deh. Girls, ada tambahan orang nih!" seru Putri semangat sambil menarikku ke tengah
ruangan. Di situ Martabak, Tommy, dan Wulan sedang membuat hiasan pita-pita.
"Kok 'girls' sih" Gue kan ada di sini?" protes Tommy.
"Eh, sori, lupa. Abis ngurusin pita melulu, lo jadi keliatan feminin," canda Putri, membuat yang
lain tertawa. Aku bergabung dengan mereka. Awalnya memang rada canggung, apalagi sama Martabak, tapi
lama-lama kelamaan aku bisa juga akrab sama dia. Nggak akrab-akrab bangeh sih!
"Aduh, berantakan banget sih, potongan pita lo" Tommy aja bisa bikin yang lebih bagus. Lo
cewek bukan sih?" protes Martabak, mengomentari hasil kerjaku.
"Biarin aja, Ra, kan dia baru belajar," bela Wulan.
"Gue mau pesta Putri perfect. Gue nggak terima kalau kerjaan dia jelek."
"Sini, Rin, gue ajarin." Tommy yang sedang memasang lampu hias di tangga turun
menghampiriku lalu menvontohkan cara menggunting pita biar jadi bagus.
"Jago banget lo, Tom! Lo beneran punya sisi feminin," komentaraku. Tommy tersenyum,
membuat hatiku terasa dialiri listril. Gila, dahsyat banget! Itu senyum apa setrum sih"
Menjelang malam, kami berhenti bekerja. Sisa kerjaan yang berat-berat seperti mengatur kursi,
menyiapkan panggung buat band, juga mengurus lighting dan sound system akan dikerjakan
teknis besok. "Thanks ya, semua! Kalian udah bantuin nyiapin pesta ultah gue. Terutama elo, Tom. Lo kan lagi
sibuk ngurusin lomba baca puisi besok, tapi masih sempat bantuin gue," ucap Putri sebelum
kami makan bareng setelah capek kerja.
"Nyantai aja, Put, urusan OSIS udah nggak ada masalah. Gue kan udah nyiapin semuanya dari
kemarin-kemarin. Lagian kali ada yang kurang, masih ada anak lain."
"Lo emang top banget, Tom! Ya udah, kalo gitu kita mulai aja makan-makannya. Kalian boleh
makan apa aja sepuasnya, nggak usah sungkan-sungkan," ujar Putri, lalu kami mulai berisik
mengambil makanan di meja.
"Loma besok siapa yang menang ya?" tanya Putri, membuat bahan pembicaraansaat kami
sedang menikmati makanan.
"Didik, kali. Dia kan fans berat Gibran. Orangnya aja puitis gitu," tebak Tommy.
"Cowok keriting kelas sebelah itu?" tanya Putri.
"Iya, tapi dia puitis kan kalo lagi ngegombal sama cewek doang," ucapku sambil mengunyah.
Didik itu sekelas denganku waktu kelas satu, jadi aku tahu sedikit tentang dia.
"Elo bisa nggak sih, ngomong nggak pake mulut penuh gitu?" protes Martabak.
"Eh, omong-omong, nggak ada yang ikut lomba dari kelas kita lho." Tommy mengalihkan
pembicaraan sebelum aku membalas kata-kata Martabak.
"Iya ya, padahal ketua lomba itu dari 2-F," ujar Putri.
"Biarin aja. Daripada milih sembarang orang buat ikut terus malu-maluin kelas kita." Martabak
melirik ke arahku. "Bagus deh kalo lo sadar diri," balasku. Martabak langsung pasang muka cemberut.
"Lan, lo nggak mau ikut lomba?" tanya Tommy pada Wulan yang sejak tadi diam.
"Eh, nggak. Gue nggak bisa baca puisi," jawab Wulan malu-malu.
"Coa aja, Lan, masih bisa daftar sampai besok sebelum acara," bujuk Tommy.
"Nggak usah. Gue nggak bisa," tolak Wulan agak kikuk.
Setelah makan, kami pamit pulang. Tommy dan Martabak sudah menuju mobil masing-masing,
sementara aku, Wulan, dan Putri masih ngumpul di depan rumah.
"Gue seneng banget kita bisa ngumpul dan temenan lagi," ucap Putri. Aku dan Wulan
tersenyum. "Gue bakalan nyesel banget kalau sampai kehilangan sahabat kayak kalian berdua," balasku
tulus. "Tapi gue bakalan lebih nyesel kalau kehilangan Zero Wing Gundam gue," tambahku.
Wulan dan Putri berebut menjitakku. Kami tertawa. Aku dan Putri nggak membahas apa pun
soal Steve, tapi membiarkannya dulu. Mudah-mudahan Steve, si kunyuk keras kepala itu, akan
berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah ini. Semoga Steve tahu gimana cara jelasin
semuanya ke Putri. Tadinya aku mau menyarankan agar Putri mengundang Alkali tampil di pesta ultahnya, tapi
Durjana Dan Ksatria 5 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pedang Pelangi 19
^