Pencarian

Matemacinta 3

Matemacinta Karya Razy Bintang Argian Bagian 3


dengan keadaan kayak gini, sepertinya Putri lebih memilih menampilkan atraksi debus daripada
band Steve itu. Wulan pulang bareng Taura karena rumah mereka sarah, sementara aku bareng Tommy.
Sebelum masuk mobil Tommy, aku berjalan ke mobil Taura.
"Makasih, tadi siang lo mau ngomong ke gue dan bikin gue ke sini, Ra," kataku tulus dari luar
jendela kemudi. "Nggak masalah, Rin. Besok gue traktir makan bakso deh," balas Taura sambil mengeluarkan
kepalanya lewat jendela mobil. Aku tersenyum kemudian berjalan ke mobil Tommy.
Setelah melambai pada Putri, kami keluar dari halaman rumah Putri yang luas
*** "Gimana persiapan lomba baca puisi besok, Tom?" tanyaku setelah lama kami terdiam. Rasanya
canggung juga berduaan kayak gini, padahal tadi kami bercanda dengan akrab bersama yang
lain. "Beres," jawabnya tanpas memalingkan pandangan dari jalan.
"Oh ya, lo pernah bilang bahwa tujuan kegiatan ini nggak tercapai. Apa maksudnya sih?"
tanyaku penasaran. "Bukan apa-apa," jawab Tommy nggak antusias.
Aku kembali menatap ke luar jendela. Nggak minat melanjutkan obrolan lagi. Sesaat kemudian
aku merasa mobil melaju makin pelan. Ngapain Tommy menepi di dekat deretan pertokoan"
"Rin, gue.....gue pengen bilang sesuatu. Lo mau denger, kan?" kata Tommy tiba-tiba sesudah
mematikan mesin mobil. Aku jadi sedikit kaget lalu mengangguk pelan. Hatiku mulai deg-degan.
"Jujur, gue ngerasa nyaman ngomong sama elo. Baru sekarang gue merasa kayak gini sama
seseorang. Gue pengen cerita sesuatu yang belum pernah gue bilang ke orang lain. Gue pernah
mau ngomongin soal ini sama lo, tapi disela Taura waktu lo makan mi di kantin."
Aku mengingat-ingat pembicaraan di kantin pagi itu. "Soal perasaan itu?" tanyaku pelan walau
dalam hati aku makin kelimpungan. Aku nggak lagi memakai plester bergambar gajah di
mukaku, jangan-jangan Tommy mau bilang suka"
"Rin, sebenarnya selama ini gue suka......"
Jantungku hampir meledak mendengar kata-kata pelan Tommy. Akhirnya!
".....sama seseorang," ucapnya menyelesaikan kalimat yang langsung menurunkan tekanan
jantungku dan membanting harapanku ke jurang setelah sepat melambung tinggi. Seseorang"
Siapa" Berapa besar peluangku"
"Siapa?" tanyaku penasaran.
"Itulah masalahnya. Gue nggak tahu siapa dia." Tommy menatapku. "Mungkin lo pikir ini konyol,
tapi gue beneran suka cewek ini walau gue nggak tahu siapa dia, juga gimana tampangnya."
"Gimana lo bisa suka sama dia" Gimana lo bisa tau dia kalau lo nggak tau dia" Maksud gue, lo
nggak tau orangnya, tapi kenapa lo kenal dia" Kenapa bisa suka" Aduh......gue nggak ngerti
gimana bilangnya, lo jelasin sendiri aja deh." Aku sedikit bingung dan sibuk mengatur napas
karena fase deg-degan salah sasaran tadi.
"Dia menyampaikna perasaan sukanya ke gue lewat puisi-puisinya. Kadang-kadang beberapa
hari sekali, gue selalu nemuin satu lembar puisi di tas atau di laci meja gue. Kata-katanya benarbenar nyentuh perasaan gue. Gue benar-benar ngerasa dia membuatnya dengan hati, bukan
ngegombal dengan kata-kata indah. Lo ngerti maksud gue kan, Rin?"
"Ya." Aku langsung teringat puisi-puisi Wulan. Puisi dari hati, bukan dari pemikiran untuk
merangkai kata-kata. "Puisi-puisi itu udah banyak banget." Tommy kelihatan putus asa. "Lewat puisinya dia
menggambarkan perasaannya. Biasanya dia sering melukiskan kekagumannya sama gue, juga
kesedihannya karena nggak bisa bareng gue. Gue jadi frustasi sendiri. Gue pengen bilang ke
cewek itu buat nunjukin dirinya karena kalau gue ketemu dia, gue akan bilang gue suka sama
dia. Entah gimana tampangnya, yang jelas gue luluh sama ketulusan perasaannya ke gue.
"Banyak cewek yang ngedeketin atau mencoba menarik perhatian gue, tapi gue berpikir mereka
ngelakuin itu karena gue dianggap cowok idola di sekolah, karena gue kapten basket, karena
cewek yang deket sama gue bakal dianggap keren. Tapi gue tau cewek ini nggak kayak gitu.
Gue ngerasa dia tulus sama gue." Tommy menatapku. "Gue konyol, ya" Udah lama gue pengen
berbagi rahasia ini sama seseorang, tapi gue ngerasa nggak ada yang bisa ngerti, sampai gue
temenan sama elo...."
"Gue memang nggak ngerasain apa yang lo rasain, tapi beneran, gue nggak ngganggap lo
konyol," ucapku. "Gue nggak nyangka aja, cowok kayak lo bisa punya perasaan sama cewek
yang bahkan nggak lo tahu tampangnya." Aku menoleh ke deretan pertokoan di depan. "Jadi,
kegiatan lomba puisi di sekolah, lo adain buat nyari tahu siapa dia?"
"Ya, tapi nggak ada puisi dia yang ikut lomba, itu bikin gue semakin frustasi. Rasanya gue jadi
pengen ngelupain dia. Gue pengen nyoba suka sama cewek lain yang nyata, yang gue tahu
siapa orangnya. Bukan cewek khayalan yang cuma gue kenal lewat puisi-puisinya," curhat
Tommy. Kemudian kami saling diam.
Mataku memandang ke luar jendela mobil. Tiba-tiba aku terbelalak saat melihat seseorang
melewati pintu kaca salah satu butik. Itu Pak Rio. Mataku makin membesar waktu melihat Bu
Sarah menghampirinya sambil membawa___entahlah, aku nggak bisa melihat dengan jelas dari
sini___mungkin baju atau apa. Kayaknya mereka lagi belanja bareng.
Perlahan terjadi sesuatu dalam hatiku. Rasanya ada kehampaan di sana. Aku menatap mereka.
Kelihatan mesra banget. Aku terkejut saat menyadari perlahan air mataku mengaburkan
pandanganku, tapi sekaligus membuatku melihat jelas apa yang sedang terjadi pada hatiku. Aku
cemburu. Ya ampun, gimana ini bisa terjadi" Aku merasa.....aku suka.....aku jatuh cinta pada
Rio, Pak Rio, pokoknya tetanggaku itu. Dadaku terasa sesak, benar-benar seperti kekurangan
oksigen. Aku nggak mengerti kenapa aku baru menyadari perasaan ini setelah dia bersama
orang lain. Wanita sempurna dari masa lalunya.
Air mataku jatuh di pipi. Nggak, ini nggak boleh terjadi. Aku harus menghentikan peraaan ini. Aku
nggak mau sakit hati. Cinta ini nggak akan terwujud. Aku takut patah hati.
Aku menghapus air mataku lalu menoleh ke arah Tommy yang sedang merenung sambil melihat
ke luar jendela. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin ngomong pada Tommy. "Tom, gue.....gue tau
sekarang bukan waktu yang tepat buat bilang hal ini. Gue ngerti, elo beneran suka sama cewek
yang ngirimin lo puisi-puisi itu. Tapi gue juga lagi bingung sama perasaan gue sendiri.
Gue.....gue....." Tommy memandangku dan terlihat bingung. "Lo mau ngomong apa, Rin?"
"Sebenernya sejak kelas satu, gue suka sama elo. Walaupun sepertinya elo nganggap gue
nggak ada dan nggak mungkin kita bersama, gue tetap nyimpen perasaan ini. Terus setelah kita
sekelas di kelas dua, perasaan gue makin nyata karena kita sering bareng walau nggak bertegur
sapa. Dan sekarang setelah kita jadi temen dekat, gue semakin yakin dengan perasaan gue.
Gue suka sama elo, Tom."
Ya ampun, aku lagi mabuk ya" Kok tiba-tiba aku bilang suka sama Tommy" Oh, my God!
Tommy kelihatan kaget banget. Aku sudah menyiapkan diri. Seandainya pun setelah ini dia
menjauhiku dan nggak mau jadi temanku lagi, aku terima. Entah kenapa aku mengatakan
semuanya sekarang. Tapi aku nggak menyesal.
Tommy tertawa kecol. "Elo suka gue" Sejak kelas satu?"
Aku mengangguk malu. "jujur aja, gue kaget dan nggak nyangka. Tapi yang lebih jujur lagi, gue seneng banget, Rin."
"Maksud lo?" "Gue seneng karena ternyata lo suka sama gue." Tommy tersenyum. "Gue juga ngerasain sama
elo. Gue ngerasa nyaman dekat elo, dn mungkin sebenarnya gue juga punya perasaan sama
elo, tapi gue nggak mau aneh-aneh dan kayaknya cemburu karena mengira gue pacaran sama
Taura, entah kenapa gue jadi berharap elo punya perasaan ke gue lebih dari sekadar teman.
Tapi perasaan gue sendiri sama elo masih dibayangi cewek puisi itu. Sekarang gue tahu
ternyata elo suka sama gue, dan sepertinya sekarang gue juga yakin gue suka elo, Rin."
"Sepertinya?" "Oke, nggak 'sepertinya' kok. Gue yakin gue suka sama elo," tegas Tommy. "Elo mau ngomong
jujur tentang perasaan lo ke gue, gue benar-benar menghargainya. Gue tetap percaya cewek
puisi itu juga punya perasaan tulus buat gue. Tapi kalau cuma untuk nunjukin dirinya aja dia
nggak bisa, sepertinya perasaan itu bakal sia-sia." Tommy meraih tanganku. "Rin, elo mau kan,
jadi pacar gue?" tanya Tommy.
Aku melayang. Ya Tuhan, drama cinta sinetron remaja itu ternyata bisa terjadi di dunia nyata.
Dan itu terjadi padaku. Oh, my God! Aku mengangguk. Kalau ini sinetron, lagu siapa ya, yang
jadi soundtrack adegan ini" Aku nggak percaya. Aku, Marina Mutriasa, cewek badung tukang
bikin ulah ini, bisa memiliki kisah cinta yang indah dengan Tommy, coek pujaanku selama ini.
Seharusnya aku bahagia banget dengan kenyataan ini, tapi tetap saja ada yang salah dengan
perasaanku. Entah kenapa bayangan pertemuanku dengan keponakan Pak Karta yang
mengambil mangga-mangga hasil petikanku, Pak Rio yang mengambil komik Inu-Yasha edisi
terbaruku, dan Rio yang menyelamatkanku saat aku disakiti para berandalan itu, terulang di
benakku. Rasanya sekarang jarak yang begitu jauh memisahkan kami. Dia nggak sendiri lagi
dan aku punya Tommy. Semua akan berbeda mulai sekarang.
"Kenapa lo menangis, Rin?" Tommy mengusap air mata di pipiku. Aku meraih tangannya. Aku
nggak bisa bilang yang yang ingin kukatakan. Aku merasa rapuh.
"Tom, gue....." Aku menyandarkan kepala di pelukan Tommy lalu mulai terisak. Perasaanku
kacau, tapi aku masih bisa merasakan bahwa aku menangis buat Rio. Aku sedih. Aku merasa
kehilangan dia, orang yang kucintai. "Tom, aku butuh kamu."
"Aku janji, aku akan selalu ada buat kamu." Dia merapatkan pelukan. Aku merasa punya tempat
bersandar untuk melabuhkan kesedihanku. Aku mau berdamai dengan kenyataan. Aku harus
belajar menerima bahwa aku nggak bisa bareng Rio dan sekarang Tommy-lah satu-satunya
cowok yang seharusnya ada di dihatiku. Aku melepaskan pelukan dan menatap mata Tommy.
Tommy tersenyum. "Gue senang lo jadi pacar gue."
"Terang aja, soalnya lo jadi punya kesempatan dapetin robot Gundam gue, kan?" tebakkku
dengan nada bercanda. Aku menghapus sisa air mataku.
"Bukan itu. Tapi karena mungkin besok-besok, nggak ada lagi cewek ganjen yang berani
ngegodain gue karena pacar gue preman sekolah," sahut Tommy. "Dan siapa bilang waktu kelas
satu gue nggak tahu elo ada" Gara-gara ketiduran di kelas di hari pertama sekolah, elo disuruh
lari keliling halaman sekolah. Kayaknya semua penghuni Girindra tahu elo ada." Kata-kata
Tommy membuatku malu, tapi kami tertawa juga.
*** Kehidupan remajaku sepertinya akan kembali normal mulai sekarang, tanpa ada bagian ketika
aku punya perasaan khusus pada wali kelasku sendiri. Bahkan mungkin akan menjadi indah
karena aku pacaran dengan idola sekolah yang selama ini kusuka.
Sesampainya di rumah, hari sudah gelap. Aku langsung menuju kamar lalu menjatuhkan diri di
tempat tidur. Aku masih merasakan kecupan Tommy di pipi kananku, sebelum aku keluar dari
mobilnya. Hatiku masih berputar-putar dibenakku.
"Lupain Rio, cintai Tommy," gumamku meyakinkan diri, Aku pasti bisa melakukannya.
Dering handphone mengusik lamunanku. Aku menjawabnya. "Halo?"
"Rin," suara Wulan terdengar.
"Kenapa, Lan?" "Rin, gue mau bilang sesuatu sama elo." Aku mendengar nada suaranya agak aneh, kayaknya
dia mau ngomong h serius. "Gue capek nyimpen hal ini sendiri. Gue pengen ngomong ke elo....."
"Soal apa, Lan?" Aku bangkit dan bersandar di dinding dekat tempat tidur.
"Rin, selama ini gue suka sama seseorang." Wulan diam sesaat sebelum melanjutkan. "Gue
jatuh cinta sama Tommy," ucapnya membuat mulutku terbuka karena kaget. Wulan jatuh cinta
sama Tommy" Tommy yang sekarang jadi pacarku" Ya Tuhan.....
"Elo tau nggak, puisi-puisi yang lo liat di kamar gue, itu salinan puisi-puisi yang diam-diam gue
kasih buat Tommy. Gue benar-benar cinta dia, Rin, bukan ngefans kayak cewek-cewek lain
karena dia keren. Gue jatuh cinta sama Tommy yang ramah, baik, dan rendah hati."
Wulan terdengar menghela napas.
"Beberapa hari ini, karena sering ngumpul buat ngomongin pesta Putri, gue jadi sering bareng
dia dan perasaan gue jadi makin kuat. Dia baik banget sama gue, padahal kami baru akrab
karena persiapan pesta itu. Sebelumnya kami bahkan jarang banget bertegur sapa di kelas.
Ternyata dia emang sebaik yang selama ini gue bayangin. Gue cinta dia, Rin."
Suara Wulan jadi serak, kayaknya dia mulai nangis.
"Gue nggak punya keberanian nyatain perasaan gue. Gue takut merusak semuanya. Gue takut
perasaan indah yang gue rasain selama ini berubah jadi kekecewaan seandainya gue deketin
dia dan nyampein perasaan gue ke dia. Gur takut kehilangan dia, walaupun sebenarnya gue
nggak pernah memiliki dia. Tapi.....perasaan ini nyiksa gue, Rin. Gue nggak tau harus
gimana....." Air mataku mengalir. Jadi, cewek yang selama ini ngasih puisi-puisi ke Tommy dan bikin Tommy
jatuh cinta itu Wulan" Sahabatku" Ya ampun, aku kira mulai besok kehidupan remajaku akan
menyenangkan. Tapi kenapa baru sekarang aku tahu bahwa Wulan mencintai Tommy, cowok
yang baru beberapa menit lalu jadi pacarku" Kenapa nggak sejak dulu" Kenapa nggak sejam
lalu" Kenapa nggak sebelum Tommy jadi pacarku" Lama kami saling terdiam. Aku tahu gimana
perasaan suka yang nggak tersampaikan bikin hati terasa sakit, tapi aku nggak tahu apa yang
harus kukatakan pada Wulan.
"Lan, gue nggak tau gimana caranya bantuin elo. Maafin gue ya. Kayaknya lo yan paling tau apa
yang harus elo lakuin." Aku menutup telepon kemudian menangis. Entah kenapa air mataku jadi
gampang keluar akhir-akhir ini. Aku jadi cengeng. Kemarin-kemarin aku selalu punya cara untuk
menghadapi semua persoalan. Tapi sejak aku sadar aku jatuh cinta pada Rio, perasaanku jadi
mendominasi cara kerja otakku.
Seandainya tadi aku bilang aku dan Tommy sekarang pacaran, semuanya akan beres. Besok
akan jadi awal kehidupan bahagia masa remajaku, tapi semua itu harus dibayar dengan luka hati
Wulan dan aku nggak mau itu terjadi. Aku sayang Wulan. Hatiku bimbang. Apa yang harus
kulakukan" Pintu kamarku terbuka, Edwin masuk. Aku cuma menatapnya. Aku terlalu lelah walau cuma buat
ngomelin dia karena nggak ngetuk pintu.
"Marmut disuruh makan sama Mama," katanya. Dia berjalan ke arahku, lalu naik ke tempat tidur
dan duduk di sebelahku. "Marmut kenapa" Kok nangis?"
Cepat-cepat aku mengusap air mataku.
"Marmut berantem sama Oom Rio lagi, ya" Oom Rio memang sering nakal sama Marmut, tapi
sebenarnya Oom Rio sayang Marmut kayak sayang sama Win."
Aku tersenyum melihat wajah polos Edwin. Dia kelihatan manis kalau nggak lagi bandel dan
berulah. "Marmut nggak bertengkar sama Oom Rio kok," jelasku. Aku sudah terbiasa dengan
panggilan ''Marmut' dari Edwin. Malah sekarang aku ikur memanggil diriku sendiri nama itu.
"Bohong. Terus kenapa Marmut nggak mau diajak kerumah Oom Rio kemarin?" tanyanya.
"Marmut lagi banyak PR," bohongku. Beberapa hari ini aku memang ingin menghindar dari Rio,
jadi sering beralasan macam-macam kalau diajak Edwin yang sedang memainkan boneka singa
yang sejak tadi dibawanya. "Win, Marmut mau nanya, seandainya Win punya satu mainan yang
sangat Win sukai, tapi sahabat Win mau mengambilnya, apa Win mau ngasih?"
"Sahaba itu apa sih?" Edwin balik bertanya.
"Sahabat itu teman yang kita sayangi, kayak Win sama Oom Rio," jelasku.
"Kalau Oom Rio mau mainan Win, ya Win kasih. Karena Win sayang sama Oom Rio. Oom Rio
juga sering ngasih Win buah-buahan, ngajak Win main, dan ngajarin Win belajar. Oom Rio kan
baik. Win juga masih punya Marmut. Kalau mainan Win diminta Oom Rio, Marmut mau kan,
ngasih mainan ke Win?"
"Tentu saja. Tapi Marmut mau ngasih kalau Win nggak membongkarnya buat ngeliat apa isi di
dalamnya," candaku. Aku memikirkan jawaban Edwin. Yang sebenarnya kuandaikan dengan mainan itu adalah
Tommy, dan sahabat yang kumaksud adalah Wulan. Jadi menurut Edwin, aku harus
menyerahkan Tommy kepada Wulan, karena aku sayang Wulan" Tapi gimana dengan
perasaanku dan perasaan Tommy yang sudah jadi pacarku" Kalau Edwin masih punya aku
yang akan ngasih mainan buat dia, aku punya siapa untuk menjaga hatiku" Lama aku terdiam
sambil sesekali mengamati Edwin yang memilin-milin kumis boneka singanya.
"Win, Marmut pergi dulu. Marmut mau ngasih 'mainan' kesayangan Marmut buat sahabat yang
Marmut sayang." Aku mengambil jaket lalu keluar kamar diikuti Edwin.
"Pa, Ma, aku ke rumah Wulan sebentar, ada urusan darurat," pamitku, kemudian beranjak ke
garasi. part? 14 TITIK BALIK "APA maksud ucapan lo kemarin, Rin?" cegat Tommy di depan ruang OSIS begitu melihatku
pagi ini berjalan di lorong sekolah menuju kelas. "Semalam lo nelepon buat mutusin hubungan
kita, padahal kita baru jadian beberapa jam sebelumnya. Lo mainin gue?"
"Tenang, Tom, jangan marah-marah gitu," ucapku sambil menariknya ke ruang OSIS yang
kosong. Nggak nyaman banget jadi perhatian murid-murid yang lalu-lalang.
"Lo juga nyebut-nyebut soal cewek puisi itu. Udah gue bilang gue akan lupain dia," lanjut Tommy
marah. "Gimana kalau seandainya lo nggak perlu ngelupain dia?"
"Maksud lo?" "Dia akan muncul dan ngebacain puisinya pada saat lomba."
"Kenapa lo yakin dia bakal muncul?" Tommy tampak bingung sekaligus marah.
"Dia mau nunjukin dirinya ke elo. Dia baru sadar, Tom, perasaannya yang tulus sama lo bakalbakal sia-sia kalau dia cuma memendamnya sendiri. Dia jatuh cinta sama lo dan sekarang dia
sadar perasaannya harus diperjuangkan," jelasku. Sungguh aku merasa jadi kesatria saat
mengatakan semua itu. Aku merasa jadi pahlawan yang menyerahkan kebahagiaan pada
seorang sahabat. Padahal, hatiku sakit. Aku suka Tommy dan aku nggak mau kehilangan dia,
tapi aku nggak mau bersamanya bila itu menyakiti hati sahabatku yang jelas-jelas mencintainya
melebihi aku. "Jadi lo tahu siapa cewek itu" Kalau gitu, buat apa kemarin lo bilang suka sama gue dan mau
jadi cewek gue" Terus tiba-tiba langsung mutusin hubungan kita beberapa jam kemudian."
Tommy memandangku seolah aku cewek licik yang suka mempermainkan orang. Perasaanku
terluka. Itulah balasan buat seorang pahlawan.
"Gue nggak pernah punya niat mainin elo. Anggap aja takdir yang mainin gue. Gue baru tahu
siapa cewek itu semalam, setelah kita jadian."
"Terus, gimana perasaan lo" Bukannya lo bilang lo suka sama gue" Bukannya saat itu gue udah
jadi cowok lo" Dengan gampangnya lo nyerahin gue ke cewek lain, gitu?"
"Gue suka elo, Tom, dari dulu. Gue seneng banget waktu kita jadian. Tapi setelah gue tahu
siapa cewek yang ngirimin lo puisi-puisi itu, gue sadar perasaan dia ke elo lebih dari gue. Dan lo
bilang lo juga cinta sama dia, kan" Sekarang dia mau nunjukin dirinya ke elo, gue nggak pengen
semua sia-sia." Aku menatap Tommy dan mencoba menguatkan hati.
"Gue kira semua udah sia-sia. Lo suka sama gue dari dulu, lo bisa nyimpan perasaan lo lebih
dari setahun, semalam gue bersedia membalas perasaan lo karena gue pikir gue suka sama lo
dan mau belajar mencintai lo, tapi segitu mudahnya lo ngelepas semuanya" Gue nggak ngerti
jalan pikiran lo."

Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tom, ke mana aja lo, dicariin dari tadi" Ternyata malah ngobrol di sini."Seorang anak kelas
sebelah yang jadi panitia lomba hari ini, tiba-tiba muncul di pintu. " Dia aula kita lagi sibuk. Ada
yang perlu diurus tuh."
"Iya, ntar gue ke sana." Tommy keluar ruangan tanpa mengacuhkanku.
Aku tersenyum getir. Jadi beginilah akhir cerita ini. Semua akan balik kayak dulu. Nggak ada
Tommy, nggak ada Rio. Sepertinya aku akan tetap jadi cewek jomblo yang sering bikin ulah.
Mungkin aku akan kembali melanjutkan ritualku yang sering terlambat ke sekolah dan nggak
memerhatikan pelajaran. Aku juga nggak akan tertarik pada grafik-grafik statistika lagi, padahaal
saat aku bersahabat dengan Rio, aku sempat suka matematika.
Sudahlah, ini pilihanku. Aku ingin mewujudkan cinta Wulan dan nggak ingin macam-macam
dengan wali kelasku. Aku ingin kehidupanku kembali normal walau menyedihkan.
Aku ingin menyendiri di kantin, tapi sepertinya Putri sedang mentraktir teman-teman di sana pagi
ini. Aku lagi nggak niat bergabung dengan mereke. Jadi aku ke kelas buat naruh tas. Siapa tahu
di sana sepi, jadi aku bisa menyendiri.
"Wulan" Ngapain sendiri di sini" Putri bilang mau nraktir anak-ana
k di kantin. Lo nggak ikut?"
tanyaku melihat Wulan duduk sendirian di kelas.
"Rin, gue mau ngomongin soal kemaren. Gue nggak yakin bisa melakukannya, Rin," ucap Wulan
setelah aku menaruh tas lalu duduk di sebelahnya. Aku teringat pembicaraanku semalam
dengannya. Aku berhasil meminta Wulan membacakan puisinya di akhir lomba baca puisi nanti.
Aku akan mengurus semuanya sama sie acara. Aku mendorongnya untuk melakukan hal ini.
Aku ingin dia menyatakan perasaannya pada Tommy. Aku meyakinkannya bahwa perasaannya
terlalu berharga buat dipendam. Aku ingin dia memperjuangkan perasaannya yang tulus.
"Kita kan sudah ngomongin soal ini, Lan" Kalau lo nggak melakukannya sekarang, perasaan lo
yang berharga itu akan sia-sia. Angaap aja lo melakukannya demi perasaan lo sendiri atau demi
gue. Udah banyak yang gue korbanin buat mewujudkan cinta ini," ucapku meyakinkan.
"Maksud lo?" tanya Wulan bingung.
"Eh, maksud gue....." Aku gelagapan. Aku keceplosan ngomong soal ''pengorbanan'' itu. Aku
nggak ingin Wulan tahu soal aku dan Tommy. Semua bakal jadi ribet kalau Wulan tahu tentang
perasaanku pada Tommy dan soal aku yang sempat jadian sama dia. Aku nggak ingin semua
jadi kacau. "Maksud gue, gue udah bela-belain datang ke rumah lo malam-malam. Mana dingin,
lagi. Terus gue udah ngomong panjang-lebar sampai berbusa buat ngeyakinin lo biar berhenti
bertindak bodoh kayak gini. Jadi pengagum rahasia selama-lamanya" Yang benar aja"
Perasaan lo itu berharga, tau nggak" Apa pun yang terjadi setelah orang yang kita sukai tahu
perasaan kita, baik kita diterima atau ditolak, yang jelas perasaan yang kita punya itu benarbenar sesuatu yang layak diperjuangkan," ucapku sok puitis. "Coba deh elo berpikir sederhana.
Kalau orang yang kita suka membalas perasaan kita, anggap itu anugerah, tapi kalau nggak, toh
kita masih bisa melanjutkan hidup dan nggak perlu tersiksa karena penasaran sama orang itu."
Seandainya seseorang mengatakan hal yang sama padaku, mungkin nggak ya, aku melakukan
sesuatu untuk mengungkapkan perasaanku pada Rio" Kayaknya nggak. Toh dia nggak mungkin
aku dapatkan. Aku memang pecundang.
Wulan tersenyum. Aku tertawa kecil, entah untuk apa. "Eh, Lan, gue penasaran, kenapa lo cerita semua ini ke gue,
bukan ke Putri" Dia kan lebih ngerti masalah beginian dibanding gue?" Dalam hati aku bertanyatanya, seandainya Wulan nggak mengatakan semua ini padaku semalam, semua akan berbeda.
"Karen lo tau soal-soal puisi-puisi itu, juga karena gue nggak mau ganggu Putri yang lagi sibuk
ngurusin ultahnya," jelas Wulan.
"Oh, cuma karena itu. Gue kira lo berpikir gue lebih romantis dan bijaksana daripada Putri,"
ujarku dengan nada pura-pura kecewa.
Wulan tertawa. "Tapi pilihan gue tepat. Lo bisa ngerti perasaan gue dan bikin gue punya
keberanian buat nyatain perasaan gue. Makasih ya, Rin."
Aku tersenyum. Ucapan tulus Wulan mengurangi sedikit sesak di dadaku.
"Ke kantin yuk! Nggak enak sama Putri kalau kita nggak gabung sama teman-teman lain," ajak
Wulan. Aku mengangguk. Aku ingin semua kembali normal. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku cuma ingin semua baik-baik saja.
*** _Aku mengingatmu dalam khayal yang membuatku terbang
_Hasrat yang meyakinkanku bahwa aku bisa bermimpi
_Memikirkanmu membawa senyum di hatiku
_Melihatmu melelehkan air mata dari beku jiwaku
_Andai bisikan menjadi mantra dan harap menjadi pinta
_Kan kuteriakkan namamu dalam doa tersuciku
_Tahukan kau" Perpisahan terjauh bukan antara bumi dan surga
_Tapi saat kau ada di hadapanku dan kau tak tahu
_Aku mencintamu...... Itulah beberapa bait terakhir puisi yang dibacakan Wulan. Tepuk tangan meriah menyudahi
pembacaan puisi itu. "Itu tadi pembacaan puisi ekstra dari kelas 2-F yang diwakili oleh Wulan Mahendtadani atas
permintaan anak-anak 2-F karena nggak ada peserta dari kelas tersebut," ujar MC yang tadi
kuminta menampilkan Wulan di akhir acara dengan mengatasnamakan ''permintaan anak-anak
2-F''. "Romantis banget, ya" Coba puisinya diikutkan ke lomba, pasti bisa lolos," komentarnya.
Aku melirik Tommy yang berdiri di dekat juri. Dia terdiam, kelihatan terpesona oleh penampilan
Wulan di panggung, atau mungkin terkejut setelah tahu bahwa Wulan-lah cewek puisinya.
Entahlah, aku nggak mau menebak-nebak, yang jelas tugasku sudah selesai sampai di sini.
Biarlah mereka menyelesaikan cerita cinta mereka sendiri.
Aku keluar dari aula, meninggalkan keriuhan di sana. Aku ingin sendiri. Kelangkahkuan kaki ke
kelas untuk mengambil tas. Aku berencana meyelinap keluar sekolah lewat gerbang belakang.
Rasanya aku ingin lari dari semua ini. Dari masalah perasaanku pada Rio, hubunganku dengan
Tommy, juga semua kegundahan nggak jelas dalam hatiku. Aku nggak mau memikirkan apa
pun. Aku ingin menepi dari keadaan ini dan menenangkan diri, mencoba melepas semuanya.
Membebaskan diri dari keresahan karena segala hal yang telah terjadi. Aku ingin mejadi Rin
yang dulu, Rin sebelum menjadi Marmut.
Aku keluar sekolah dengan mudah. Nggak ada satpam yang jaga gerbang belakang. Aku nggak
tahu mau ke mana. Nggak niat keluyuran, tapi juga nggak pengen pulang. Tempat yang
biasanya kutuju kalau lagi nggak tentu arah kayak gini adalah rumah Steve, tapi sayang
hubungan kami lagi nggak beres. Lagian ini masih jam sekolah, dia pasti nggak ada di rumah.
Aku duduk di halte nuggu bu. Halte tempat kejadian bareng Rio dulu. Aku jadi ingat dia lagi.
Handphone di kantong rokku bergetar. Aku kaget melihat nama Steve di layar.
"Ko, jam berapa lo dateng?" Suara Steve terdengar sebelum aku sempat berkata ''halo''.
"Heh, ini gue!" seruku.
"Hah" Gue siapa?" Steve terdengar kaget.
"Rin." "Rin" Kunyuk 1?"
"Gue udah bilang ganti nama gue di HP lo, Kunyuk!" Steve menamai orang-orang di phone listnya dengan nama-nama aneh. Aku dan teman-teman bandnya masuk dalam kategori ''Kunyuk''.
Aku Kunyuk 1. Riko dan Fajar jadi Kunyuk 2 dan Kunyuk 3. Seno jadi Pasien RSJ 1.
"Kok lo bisa pegang HP-Riko?"
"Lo nelepon nomor gue, Dodol!"
"Masa sih" Perasaan tadi gue mencet 'Kunyuk 2'?"
"Perasaan sama jempol lo nggak connect. Ya udah ya, gue matiin."
"Eh, jangan dulu!" tahannya. "Lo di mana?"
"Di jalan," jawabku datar.
"Lo kabur, ya?"
"Lo mau nelepon Riko, kan" Udah, ya?" Aku lagi malas ngomong nggak jelas sama Steve.
"Bisa nelepon nanti kok. Gue mau beres-beres studioa nih, berantakan banget. Lo mau bantuin
nggak" Daripada lo keluyuran nggak jelas atau pulang diomelin nyokap lo gara-gara ketahuan
cabut. Entar gue traktir es krim deh."
"Lo ngapain udah di rumah jam segini" Cabut juga, ya?"
"Sekolah gue lagi libur. Ini kan hari Jumat," jawab Steve nggak nyambung.
"Emang kenapa kalau Jumat?"
"Lagi ada seminar guru-guru, jadi nggak ada guru," jelasnya nggak jelas. "Mau ke sini nggak?"
"Es krim cokelat ukuran paling gede yang ada chocochip sama krim vanilanya," ucapku sebelum
memutuskan telepon. Aku tersenyum. Sekarang aku punya tempat buat dituju.
*** Aku menemukan Steve sedang menggulung kabel yang malang melintang nggak keruan di atas
karpet di bekas gudang rumahnya yang sekarang didaulat jadi studio Alkali. "Mau pindahan?"
Steve kaget melihatku sudah berdiri di pintu. "Pindah ke mana" Garasi" Ntar diamuk sama
bokap gue karena mobilnya dianaktirikan. Nggak kok, mau diberesin aja, bersih-bersih.
Berantakan banget. Mau nempel poster-poster baru juga."
"Anak-anak mana?"
"Sebentar lagi juga dateng. Pake baju gue gih, biar seragam lo nggak kotor."
Aku duduk di sebelah tempat gitar, memerhatikan Steve kerja. Kok atmosfernya jadi rada
canggung gini, ya" "Lo sama Putri gimana?" akhirnya Steve buka suara.
"Udah baikan," jawabku singkat.
Kami saling diam lagi. "Soal kita udah lo jelasin?" tanyanya.
"Belum. Gue nggak tahu gimana bilangnya. Lo nembak dia kek."
"Nembak gimana" Dia kan mikir kita pacaran."
"Lo yang jelasinlah."
"Enak aja! Elo dong. Masa lo mau lepas tangan gitu?" suara Steve meninggi.
"Lo yang mau jadian sama dia, kenapa gue yang repot?"
"Kan lo yang bikin masalah?"
"Bikin masalah gimana" Kok gue?"
"Lo kan seharusnya jelasin ke dia. Sekarang kalian udah temenan lagi, tapi belum lo jelasin juga,
dasar kunyuk lo!" "Lo tuh yang kunyuk. Kalo lo emang beneran cinta sama dia, apa susahnya lo deketin dia terus
jelasin semuanya terus nembak dia?" Aku nggak mau kalah.
"Lo kira kayak bikin nasi goreng, bisa segampang itu" Kita lagi ngomongin perasaan. Lo sih,
nggak ngerti cinta. Dasar payah!"
"Emang kalo sok pake perasaan dan nggak bisa pake logika kayak lo, baru dibilang hebat" Lo
lebih payah, tau nggak?"
"Enak aja lo ngomong."
"Terserah gue dong. Lo keberatan" Mau ngajak berantem?"
"Siapa takut" Gue timpuk pake stik, baru tau rasa lo!" Steve mengarahkan stik drum padaku.
"Gue lempar gitar lo!" Aku berdiri mengangkat gitar yang bersandar di dinding. Kami saling diam
dalam posisi siaga menyerang. Aku menatap Steve kesal, begitu juga dia. Beberapa detik
kemudian, bersamaan kami tertawa. "Bego lo!" kataku.
"Elo apalagi! Ha ha ha! Kangen gue berantem sama elo," aku Steve.
"Gue emang ngangenin." Aku kembali duduk sambil masih terpingkal.
"Gue minta maaf, Rin, waktu itu gue sempat ngomong kasar ke elo." Muka Steve berubah
serius. "Tumben lo mau minta maaf duluan. Iya, gue maafin. Gue juga minta maaf."
"Gue mau memperjuangkan Putri, Rin. Gue suka beneran sama dia. Gue bakal ngomong sama
dia walaupun nggak ada gunanya. Nggak tahu deh, gimana cara jelasin semuanya dan
ngungkapin perasaan gue ke dia."
"Gue rasa, gue punya ide." Aku tersenyum penuh arti.
"Gimana?" "Lo jadi kalo ultah gue buat dia."
*** Sampai di rumah, aku langsung merebahkan diri di sofa ruang tamu.
"Dari mana" Baru pulang?" tanya Mama yang muncul dari dapur.
"Rumah Steve, bantuin beres-beres studio. Edwin mana, Ma?"
"Tumben nanyain. Biasanya kamu paling kesal ngeliat Edwin berkeliaran dalam rumah." Mama
menatapku curiga. "Tadi mamanya Steve ngasih kue. Aku pengen bagi ke Edwin," jawabku. Sebenarnya aku
sedang merasa kesepian, dan tiba-tiba jadi kangen sama Edwin.
"Tadi Win udah dijemput papa-mamanya."
"Dijemput pulang?" Aku langsung bangkit dari posisi berbaring karena terkejut. "Kok aku nggak
dikasih tau Edwin mau pulang hari ini?" Ada rasa kehilangan dalam hatiku.
"Memang Win nggak bilang" Kemarin Mama udah suruh ngasih tau kamu."
Aku terdiam. Jadi kemarin Edwin ke kamarku untuk itu.
"Nggak." "Kok jadi sedih gitu Edwin pulang" Biasanya juga berantem terus kalau Win di sini." Mama
duduk di sebelahku. "Makan sana, sudah siang."
"Udah makan di rumah Steve. Aku ganti baju dulu ya, Ma." Aku melangkah ke kamar dengan
malas. Pasti jadi sepi kalau nggak ada bocah itu. Aku akan sendirian lagi di rumah. Rasanya
kayak pesta yang baru saja berakhir. Nggak ada lagi Pak Rio, guru matematikaku yang
menyebalkan; Rio, tetanggaku yang menyenangkan; Tommy, kecenganku yang cakep; atau
Edwin bocah nakal yang membuat hari-hariku penuh kekacauan. Semua kembali ke asal. Hari
ini jadi kayak titik balik hari-hariku sebelum semuanya terjadi: pertemuan dengan Rio,
kedatangan Edwin, keakraban bersama Tommy, juga pertengkaran dengan Putri dan Steve. Hari
ini jadi penutupan drama satu babak kisah masa remajaku yang tadinya cukup menarik.
Aku merasa tenang, tapi juga sedih. Aku akan kangen kalau mengingat semua yang pernah
terjadi. part? 15 CINDERELLA. DERING HP membuatku terbangun. Ternyata aku ketiduran sewaktu berbaring di tempat tidur.
Mungkin aku kecapekan karena bantuin Steve beres-beres studio tadi. Aku mengulurkan tangan
meraih HP di atas meja. Aku kaget melihat nama Rio di layar. "Halo?"
"Tadi kamu bolos, ya?" Rio menginterogasi, terdengar marah.
"Jam sekolah udah lewat, Yo, kita berada dalam keadaan yang sederajat sekarang," ucapku
mengingatkan. Aku tersenyum, senyum tulus karena candaanku sendiri. Entah kenapa,
perasaanku terasa lebih baik setelah mendengar suaranya.
"Nggak kapok-kapok juga kamu kabur dari sekolah kayak gitu."
"Itu urusan Pak Mario Hendra Saputra, wali kelasku, bukan kamu, Yo," ucapku seolah mereka
adalah dua orang yang berbeda. Seandainya itu benar, mungkin keadaan bisa lebih sederhana.
"Kok kamu tahu aku kabur?"
"Karena aku nyari kamu ke sana kemari, nanyain kamu ke semua orang, dan sampai bosan
bolak-balik ke aula karena ingin tahu apakah kamu ada di sana."
"Wah, dalam rangka apa Pak Rio nyari aku?" Aku menyandarkan punggung di tumpukan bantal.
"Nanti malam aku diundang ke pesta ultah Putri. Aku nggak enak pergi sendiri. Mau nemenin
nggak" Kamu kan diundang juga."
"Kamu mau nanyain hal kayak gitu di sekolah" Yang benar aja!"
"Kenapa memangnya" Toh aku mau nanyain secara pribadi, bukan gembar-gembor di depan
umum. Gimana, mau nggak?"
Jantungku berdebar. Sebagian hatiku mengingatkanku untuk jauh-jauh dari Rio, tapi sebagian
lagi rela mengorbankan apa saja untuk bisa bersamanya, menjadi pasangannya, walau cuma
semalam. Aku menimbang-nimbang. Ya ampun....., Rin, ini bukan ajakan kencan. Dia cuma
pengen ditemani pergi, aku mengingatkan diri.
"Ya udah, aku juga nggak ada duit buat naik taksi," putusku, entah benar atau salah.
"Oke, kalau gitu kujemput jam tujuh, ya?"
Aku mengulum senyum. "Iya."
"Ini bukan berarti urusan bolos tadi selesai. Hari Senin kita omongin lagi di sekolah. Ini Pak Rio
yang bicara," tutupnya. Aku tertawa.
Kuletakkan HP di sebelah tas di atas meja. Nggak sengaja mataku menangkap sesuatu di dalam
tasku yang sedikit terbuka. Aku berdiri dan mengeluarkan kotak biru yang sejak tadi nggak
kusadari keberadaannya di dalam tas.
Aku membuka kotak itu dan terkejut saat menemukan sepotong gaun merah bertali dengan
lipatan berenda di bagian bawahnya. Siapa yang memasukkan kotak ini ke tasku" Siapa yang
mau memberikan gaun sebagus ini untukku" Apa mungkin Tommy" Mungkin dia telanjur
membeli gaun ini untukku semalam. Jadi walau hubungan kami berantakan, dia tetap ingin
memberikannya padaku. Aku menghela napas, anggap aja gaun ini ucapan terima kasihnya karena aku sudah rela
melepas dia dan membuatnya bertemu dengan cewek puisi yang dia cinta, walau aku yakin
maksud awalnya nggak kayak gitu. Dia ngasih aku karena aku ceweknya dan dia ingin aku
tampil cantik saat jadi pasangannya di pesta Putri nanti.
Aku menempelkan gaun itu badanku. Pas banget. Malam ini aku ingin bersenang-senang. Aku
ingin melupakan semua hal memusingkan yang telah kualami. Aku ingin tampil anggun dan
pura-pura jadi putri, toh Pangeran Rio akan jadi pasanganku malam ini. Cuma buat malam ini.
Besok-besok aku akan jadi Rin yang berantakan lagi. Kayak Cinderella yang jadi putri semalam.
Tapi apa yang harus kulakukan" Tak ada peri yang bisa menyulapku jadi cewek anggun dalam
sekejap. Ingatanku melayang pada Taura. Hah"! Yang benar aja"
Setelah berpikir keras, ternyata aku nggak bisa minta tolong orang lain lagi selain dia. Sayang
sekali! *** "Aduh, lo mau ke pesta atau ke medan perang" Jalannya jangan barbar gitu dong!" teriak Taura
untuk kesekian kalinya. Satu jam ini, seruan-seruannya memenuhi gendang telingaku. Ibu peri
yang satu ini benar-benar nggak penuh cinta kasih kayak peri-peri dalam dongeng.
"Jalannya kayak gini, Rin. Setiap langkah membentuk garis lurus." Taura mencontohkan, aku
meniru. "Jangan nunduk gitu. Lo mau ngitung ubin?"
"Katanya kakinya membentuk garis lurus, jadi ya gue liatin biar lurus," ucapku membela diri.
"Dirasakan, Rin. Kanggunan itu keluar dari dalam diri, dari perasaan, nggak bisa dibuat-buat.
Pikirin deh apa yang bikin lo mau jadi anggun, terus gerakkan tubuh lo dengan lemah lembut
mengikuti naluri feminin lo. Itu juga kalau lo punya," tambahnya dengan nada mengejek.
Aku menghela napas. Ternyata jadi cewek anggun itu susah juga. Aku memikirkan apa yang
membuatku ingin menjasi anggun malam ini. Aku mengkhayal berjalan di samping Rio, jadi
pasangannya. Kami kelihatan serasi banget. Lalu aku mencoba melangkah membentuk garis
lurus tanpa menunduk. Tiba-tiba Taura bertepuk tangan riang sambil bersiul-siul heboh. Ternyata aku berpengaruh
buruk pada perkembangan mentalnya. "Oke banget! Bagus, Rin, lo berhasil! Ayo minum dulu
buat ngerayain keberhasilan lo bisa jalan anggun." Taura menyodorkan segelas jus jeruk dingin.


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah itu, Taura mengajariku cara bicara, makan, minum, sampai tertawa. "Jangan membuka
mulut lebih dari satu senti."
Aku merasa seperti baru ikut les kepribadian setelah mendapat ilmu darinya.
"Belajar dandan itu perlu latihan yang lama dan panjang, apalagi buat cewek kayak elo. Jadi,
sekarang lo gue kasih contoh ber-make-up yang cocok buat acara ntar malam," ucap Taura di
akhir latihan. "Terima kasih, Saudari Taura," ucapku kemayu dengan gaya anggun.
Taura tertawa kecil. "Omong-omong, dalam rangka apa lo kepikiran buat jadi anggun malam
ini?" tanyanya menyelidik. "Mau datang sama gebetan, ya?"
"Nggak kok. Iseng aja," bohongku. Aku memandangi wajahku yang sedang dibedaki Taura lewat
cermin. "Kok bisa rata sih?"
"Ya bisa dong. Kalo cuma biar nggak berlepotan doang, anak kecil juga bisa jago kalo belajar.
Coba lo pake sendiri." Taura menyerahkan bedak itu padaku. Aku mencobanya dan.....hachiiii!
Bedak tabur itu beterbangan ke udara.
"Aduh, gimana sih?" Taura membersihkan bedak yang menempe di bajunya dengan kesal.
"Sori, hidung gue kemasukan bedak." Aku menggosok-gosok hidungku.
"Ya udah, kayaknya lo nggak bakalan bisa pake make-up sendiri. Nanti sebelum ke pesta, lo ke
sini dulu aja, biar gue dandanin," ujarnya putus asa.
"Ide bagus," kataku sambil cengengesan dengan muka berlepotan bedak.
Taura duduk di sofa tempat tidurnya dan mulai membuka-buka majalah fashion. Aku
membersihkan mukaku. Dari cermin aku memandanginya. "Ra, boleh nanya nggak?"
"Apaan?" ujarnya tanpa mengalihkan perhatian dari majalah yang mulai dibacanya.
"Kenapa dulu lo benci sama gue?"
Taura memalingkan pandangannya sejenak dari bacaannya, tapi nggak menatapku. "Soal itu,
gue minta maaf." "Bukan soal minta maaf atau gimana. Gue pengen tau aja. Soalnya gue ngerasa nggak pernah
jahat sama lo, tapi tiba-tiba sejak kita sekelas, lo jadi bersikap sinis dan ilfil banget sama gue.
Kenapa" Apa lantaran gue sobatan sama Putri dan lo ngerasa gue ngerebuy dia dari lo?"
Taura memandangiku lewat cermin. "Gue iri sama elo, Rin."
"Hah?" Aku berbalik dan menatapnya. "Lo iri sama gue" Soal apa?"
"Ya karena lo bisa jadi diri lo sendiri di sekolah."
"Maksud lo?" "Ya gitu deh. Lo cuek, bebas, lo bisa bertingkah sesuka lo, nggak peduli apa kata orang.
Kayaknya enak banget bisa jadi lo. Sementara gue harus jaim dan jaga sikap karena gue anak
kepala sekolah." "Memang bokap lo maksa lo buat ngelakuin itu?"
"Nggak sih, cuma gue merasa perlu jaga nama baik Papa dengan sikap gue di sekolah. Kalau lo
dihukum lantaran bikin masalah, lo cuek aja ngejalaninnya karena lo adalah Marina Mutriasa,
tanpa embel-embel putri kepala sekolah. Lo bisa jadi diri lo sepenuhnya. Gue jadi iri dan ada
sebel sama tingkah lo."
"Lha selain gue, murid-muris Girindra yang lain kan juga banyak yang suka bikin ulah" Kenapa
lo memilih untuk benci dan iri sama gue?"
"Karena lo satu-satunya anak 2-F yang gue tahu selalu bikin ulah di kelas, jadi gue nggak punya
kandidat lain untuk bikin gue ilfil. Apalagi lo cewek, gue makin sebel sama lo." Taura memutar
bola matanya seolah ingin menahan kesal saat menjelaskan semuanya.
"Jadi intinya, lo pengen jadi anak bandel, tapi karena bokap lo kepala sekolah, cita-cita lo nggak
kesampaian, gitu?" Aku masih sedikit nggak ngerti.
"Ih, kok lemot banget sih lo" Bukannya gue pengen jadi anak bandel. Gue cuma kadang kesel
karena orang-orang mandang gue sebagai putri kepala sekolah, bukan diri gue sendiri. Gue
harus selalu jaim karena pandangan mereka kayak gitu."
"Oh gitu" Tapi tetep aja gue ngak ngerti, kenapa lo harus segitu sinisnya sama gue."
"Karena Putri. Sejak kejadian di mal itu lo jadi dekat sama Putri, sahabat terbaik gue. Gue takut
dia menjauh dari gue karena merasa temenan sama lo lebih asyik. Terus nggak tau kenapa, gue
jadi punya pikiran buat bersikap sinsi dan selalu pengen ngerjain lo biar lo dapat masalah.
Yah....waktu itu, gue yang naruh boneka lo itu di meja guru."
"Oh, jadi lo pelakunya" Tapi gue klarifikasi ya. Itu bukan boneka. Itu robot Zero Wing Gundam
limited edition," ralatku.
Akhirya misteri ini terungkap juga, tapi aku nggak ingin membuat perhitungan dengan Taura.
Perjelasannya mengubah pandanganku tentang dia. Ternyata ucapan Pak Rio benar, ada
sesuatu dalam hatiku yang bisa membuat seorang Taura ingin menjadi sepertiku.
"Sebenarnya gue juga iri sama elo, Ra. Lo cantik, populer, punya banyak teman, banyak cowok
yang naksir lo. Gue juga kadang-kadang pengen ngerasain jadi lo, tapi gue nggak bisa. Gue
cuma murid yang suka bikin ulah dan langganan di panggil guru BP. Bukannya lantaran gue
bukan anak kepsel terus gue bisa berbuat semau gue. Gue nggak niat kok bikin masalah,
masalah aja yang hobi nyamperin gue. Gue pikir, kalo bisa jadi cewek kayak lo, asyik juga."
Taura menatapku sambil sedikit tersenyum.
Aku ikut tersenyum. "Wah, ternyata kita saling ngefans gini, ya?"
"Enak aja. Gue nggak ngefans sama lo, dan yang punya bakat bikin ulah ya elo itu." Taura
langsung jutek. "Ya udah, gue juga nggak kagum sama gaya 'putri raja' lo," balasku sewot. Aku kembali berbalik
menghadap cermin. Dasar Martabak!
Kami saling terdiam. "Oke, gue akui, gue kagum sama lo yang bisa berdiri cuek di depan kelas pas kena hukuman
seloah nggak ada siapa-siapa selain lo di sana. Kalau gue yang ngalamin hal itu, mungkin gue
akan mati beku lantaran malu."
"Itu mungkin bakat," ujarku, membuat kami tertawa.
Aku mengambil sebuah botol berwarna hijau dari meja rias Taura. Kutuang isinya ke telapak
tangan, dan siap kuoleskan ke wajahku
Tapi tiba-tiba Taura memerhatikan botol itu dan cepat-cepat menghampiriku. "Ya ampun.....,Rin,
itu bukan pembersih wajah! Itu nutrisi rambut!"
"Eh, masa sih" Pantas baunya aneh."
Part? 16 PESTA. AKU kagum ngeliat bayangan cewek di cermin di depanku. Kalo urusan dandan, Taura memang
jago banget. Setelah di-make-up over olehnya, aku jadi kayak cewek lain, bukan Rin tomboi
yang berantakan lagi. Aku mengenakan gaun merah itu, rambutku dijepit dengan gaya cewek
banget, dan wajahhu dipoles make-up yang membuatku terlihat manis. Aku sendiri nggak
percaya ini, aku jadi cantik.
Jam tujuh malam, sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Jantungku berdebar waktu melihat
Rio keluar dan berjalan ke rumahku.
"Rin, sudah dijemput tuh," panggil Mama. Aku yang sedang berdiri di dekat jendela makin degdegan. Aku menghela napas meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik aja. Kulangkahkan
kaki keluar kamar, membentuk garis lurus tanpa menunduk.
Rio memandangiku dari ruang tamu waktu aku melangkah turun. Dia menatapku tanpa berkedip.
Aku jadi ingat adegan di film She's All That waktu Zach, cowok keren idola sekolah yang
terpesona melihat Laney, cewek berantakan yang berubah jadi cantik setelah didandani.
"Tepat waktu banget," komentarku.
"Aku kan guru," Rio mengingatkan.
"Jangan bikin aku manggil kamu 'Pak' di pesta itu, ya," balasku.
"Kamu yakin mau pergi dengan dandanan kayak gini?" ucapnya.
"Kalau kamu keberatan, aku bisa minta jemput teman lain," ucapku sewot.
"Bukannya gitu. Aku cuma khawatir kamu kesandung pakai sepatu setinggi itu," katanya
membuatku kesal. Aku kira dia bakal memuji penampilanku malam ini, bilang aku cantik atau manis kek. Duh,
seharusnya aku sadar. Walau aku sudah berdandan sefeminin apa pun, Bu Sarah jauh lebih
cantik daripada aku. Mana bisa Rio mengakui kecantikan cewek lain" Lagian, apa pentingnya
sih pendapat Rio tentang penampilanku" Toh kami bukan pasangan, tapi cuma dua orang pergi
bareng ke pesta lantaran Rio nggak mau pergi sendiri.
Mood-ku langsung jelek. Ternyata Cinderella memang cuma dongeng. Di dalah nyata,
khususnya duniaku, cewek berantakan nggak bisa langsung jadi putri dalam semalam. Aku
salah duga. "Jalan sekarang?" tanya.
"Nggak! Aku mau matahin hak sepatuku dulu!" jawabku nggak serius. Mana berani aku
''menyentuh' sepatu pinjaman dari Taura ini. Bisa-bisa aku nggak selamat pulang nanti.
"Udah....jangan pake ngambek gitu. Aku pamitan dulu." Rio ke ruang tengah dan berpamitan
sama Mama-Papa yang lagi nonton TV.
Aku masih memasang wajah kesal waktu duduk di sebelah Rio dalam mobil. Lama Rio nggak
menyalakan mesin mobil. Aku menoleh padanya, "Ada apa?"
Dia menatapku engan wajah serius. Aku jadi berpikir ada sesuatu yang nggak beres. "Aku nggak
percaya aja." "Soal apa?" "Cewek berantakan yang waktu itu kepergok nyuri mangga di rumah pamanku bisa jadi cantik
banget kalau dandan," ucapnya datar.
Aku tertawa spontan. "Kamu juga. Oom-Oom bisa jasi kayak ABG kalau nggak pake dasi sama
kacamata," balasku. Malam ini Rio mengenakan kemeja hitam bergaris putus-putus. Benar dugaanku, dia kelihatan
lima tahun lebih muda dengan baju itu. Tamu Putri yang bukan dari SMA Girindar pasti nggak
akan nyangka Rio guru matematika di sekolah kami.
Rumah Putri yang megah kelihatan gemerlap dengan hiasan lampu-lampu di mana-mana.
Waktu aku dan Rio masuk, kami jadi perhatian tamu-tamu Putri yang sebagian berar muridmurid Girindra. Aku jadi salah tingkah dengan penampilanku.
"Udah, biasain aja," bisik Rio, sepertinya mengerti dengan perasaanku.
"Ini elo, Rin?" sambut Putri waktu melihat kami. "Lo cantik banget!"
Aku tersenyum mati gaya karena nggak biasa menerima pujian kayak gini.
"Ini hasil karya gue lho, Put," ujar Taura yang muncul dari belakang Putri. Dia kelihatam anggun
dengan gaun merah mudanya, sementara Putri manis banget dengan dengan gaun biru
panjangnya. "Makasih sudah datang ya, Pak," ucap Putri sopan pada Rio.
"Malam ini status saya adalah pasangan Marmut, jadi nggak usah formal kayak di kelas.
Selamat ulang tahun, ya," ucap Rio santai.
"Makasih," balas Putri.
"Pasangan apaan" Kita datang bareng doang kok," aku mengklarifikasi.
Setelah mengobrol sebentar, Putri meninggalkan kami untuk menyambut tamu lain. Kau dan Rio
berkelilling dengan perasaan nggak nyaman karena banyak yang memerhatikan kami, terutama
teman-teman sekelsaku yang mungknin heran melihat aku bersama wali kelas kami. Seandainya
ini jadi gosip yang nggak-nggak, Pak Rio bisa dipecat karena memiliki hubungan khusus dengan
muridnya. Tapi itu ngak mungkin terjadi, soalnya kepala sekolah kami tahu bahwa Pak Rio
nggak pacaran dengan murid mana pun, karena dia kekasih adiknya.
Di sudut ruangan, kami bertemu Tommy dan Wulan.
"Cieeee.....pasangan baru kita. Berduaan melulu," candaku.
"Lo cantik banget, Rin," puji Wulan yang malam ini tampak manis dengan putih polos dan
rambutnya yang digerai. Dia mengganti kacamatanya dengan lensa kontak.
"Cinderella semalam. Besok juga berantakan lagi," gurauku, disambut senyuman Tommy. Dia
kelihatan cakep banget malam ini. Terlintas dalam pikiranku, kalau situasinya berbeda, akulah
yang akan jadi pasangannya.
Sudahlah, Rin, jangan mikir yang aneh-aneh, perintaku pada diri sendiri. Aku mau bilang terima
kasih buat gaun ini pada Tommy, tapi lebuh baik nanti saja kalau aku dan Tommy cuma berdua.
Aku nggak mau Wulan tahu pernah terjadi sesuatu antara aku dan Tommy.
"Kalian pacaran?" tanya Rio sedikit terkejut.
"Iya, Pak," jawab Tommy malu-malu. Wulan tersipu. "Ini juga karena Marina."
"Gimana ceritanya?" Rio kelihatan ingin tahu.
"Ceritanya panjang, nanti aja," sahutku. "Kami ke sana dulu, ya," pamitku sambil menarik Rio
menjauh. "Kamu bikin mereka jadian" Bukannya kamu dan Tommy....."
"Wulan suka Tommy, Tommy suka Wulan. Aku cuma mempertemukan."
"Tapi kamu suka Tommy, kan?"
"Memang, tpai bukan berarti aku harus memilikinya, kan?"
"Aku masih nggak ngerti."
"Udahlah, anggap aja aku peri cinta yang menyatukan mereka."
"Terus kamu gimana?"
"Aku baik-baik aja." Aku menatap Rio dengan senyum getir. Aku ingin berteriak, "Aku nggak
baik-baik aja! Aku hancur, Yo! Bukan karena Tommy, tapi karena aku jatuh cinta sama kamu!
Aku cinta kamu, Rio!" Tapi teriakanku segera kutelan.
Penampilan band sekolah memeriahkan pesta malam ini dengan lagu jingkrak-jingkraknya. Aku
menelepon Steve yang sudah menunggu di luar bareng bandnya untuk menjalankan rencana
kami setelah lagu terakhir dimainkan band SMA Girindra.
Aku maju ke panggung dan bicara lewat mikrofon," Buat Putri sahabat gue yang paling baik, gue
nggak bisa ngasih kalo buat ultah lo. Tapi karena gue janji ngasih lo hadiah spesial buat sweet
seventeen lo, gue hadiahin sahabat gue buat lo. Steve and the band. Alkali!" seruku, membuat
para tamu berteriak heboh dan bertepuk tangan. Aku nggak nyangka Steve dan sohib-sohibnya
gokilnya punya banyak penggemar juga.
Steve naik ke panggung dengan gitar tergantung di bahu. Teman-temannya mengambil posisi
masing-masing. "Lagu ini spesial buat yang berulang tahun hari ini. Lagi ini adalah ungkapan
perasaanku buat kamu. Happy brithday, Sweetheart."
You're just to good to be true
I can't take my eyes off of you
You feel like heaven to touch
I wanna hold you so much Suara Steve yang nggak pernah mau kuakui merdu, bikin cewek-cewek berteriak histeris. Putri
tersenyum haru, seakan nggak percaya Steve ada di sini malam ini. Hebat juga cara cowok gila
itu mengungkapkan perasaannya. Ternyata nggak cuma Patrick, cowok gokil di film 10 Things I
Hate About You yang berhasil meluluhkan hati cewek pujaannya dengan lagu ini.
I love you Baby, and if it's quite all right
I need you Baby, to warm the lonely night
I love you Baby, turst in me when I say
Sesudah penampilan Alkali, lagu A Whole New World mengalun. Lagu lama yang jadi OST
Aladdin ini jadi lagu buat dansa. Steve menghampiri Putri dan mengajaknya berdansa. Mereka
berjalan ke tengah ruangan diikuti pasangan-pasangan lain. Aku mengamati mereka. Putri
kelihatan bahagia banget. Aku senang.
Tommy menghampiriku lalu mengulurkan tangannya. "Mau dansa sama gue?" Aku sedikit
terkejut. Wulan berdiri nggak jauh dari kami. Dia tersenyum padaku.
"Gue lagi pake sepatu hak tinggi, takut kesandung."
"Nggak apa-apa, gua jagain," ujarnya.
Kami pun berdansa berdekatan.
"Rin, gue minta maaf ya, soal tadi pagi. Gue udah ngomong kasar sama lo, padahal lo udah
ngorbanin perasaan lo buat gue dan Wulan."
"Udahlah, Tom, lupain aja soal kita. Kita masih bisa jadi teman. Wulan beneran sayang sama
elo. Lo harus jagain dia. Dia sahabat gue," bisikku.
"Gue janji," ucap Tommy sungguh-sungguh. "Rin, seandainya cewek yang ngirimin puisi itu
bukan Wulan, apa lo aakan mempertemukannya ke gue?"
Aku berpikir sejenak. "Iya, Tom. Seandainya gue liat puisi-puisi itu, gue bisa ngerasain perasaan
penulisnya dan gue menghargainya. Siapa pun dia, perasaannya kayal mendapat balasan dari
cowok pujaannya." "Terus, elo sendiri gimana?"
"Gue suka elo, tapi perasaan Wulan ke elo lebih dalam. Gue ngerasa nggak adil ngerebut lo dari
dia cuma karena lo nggak tahu siapa cewek yang selama ini lo cintai itu."
"Makasih ya, Rin," ucap Tommy tulus dengan senyum mautnya.
"Iya. Makasih juga buat gaunnya."
"Maksud lo?" "Eh, sepertinya cewekmu udah nunggu tuh." Tiba-tiba Rio muncul di samping Tommy sambil
menunjuk ke arah Wulan. "Eh, oh iya, Pak. Saya permisi ke sana dulu. Gue tinggal ya, Rin," pamit Tommy.
"Apa sih maksudmu ngelakuin itu?" tanyaku pada Rio.
"Buat nolong kamu. Kalo kamu terlalu lama dekat-dekat dia, kamu cuma akan menyakiti
perasaanmu sendiri dan aku nggak suka itu," ucapnya kemudian menarikku mendekat. Aku
nggak bisa membalas ucapannya.
Kami bergerak mengikuti alunan musik. Beberapa anak memandangi kami. Berada sedekat ini
dengan Rio membuat hatiku nggak tenang. Berbagai perasaan campur aduk di dadaku. Aku
memejamkan mata kuat-kuat. Ya Tuhan, hamba ingin melupan semua ini dan menikmati pesta
ini. Suasana ini, musik ini, Rio, dan aku. Perlahan-lahan aku membuka mata menatap mata Rio.
Membiarkan diriku larut di dalamnya. Menyerah pada perasaanku. Aku cinta dia dan untuk
beberapa saat ingin luluh dalam dilema ini. Melepaskan semua pikiran dalam benakku. Yang
ada hanya aku, dirinya, dan cinta ini.
A whole new world.... A new fantastic point of view
No one to tell us no or where to go
Or say we're only dreaming
Beberapa saat kemudian lagu romantis ini berganti dengan lagu Kiss Me yang dilantunkan
Sixpence None The Richer. Aku baru sadar ternyata sejak tadi aku bersandar di bahu Rio. Malu
banget. Kayaknya aku terlalu terbawa suasana.
"Aku capek," kataku canggung.
"Dari tadi kamu yang merebahkan kepala di bahuku. Yang capek dan kesemutan itu kau,"
candanya mencairkan suasana. Kami menepi lalu duduk sambil menikmati kue dan minuman.
Kulihat Tommy dan Wulan sedang berdansa, juga Steve dan Putri. Mereka bergerak dinamis,
mengikuti alunan musik yang rada nge-beat.
"Pak, mau danda sama saya nggak?" Seorang cewek yang mungkin anak kelas sebelah atau
siapa, menghampiri Rio. Alu memalingkan wajah ke arah lain, pura-pura nggak memerhatikan.
Rio kembali ke lantai dansa dengan cewek itu. Aku mencuri pandang ke arah mereka, tapi nggak
mu terlihat peduli. Beberapa cewek, yang menurut dugaanku adalah murid-murid Girindra,
kemudian bergantian dansa dengan Rio. Cowok itu kelihatan menikmatinya.
"Wah, kayaknya ada yang lagi cemburu nih," ujar Wulan tiba-tiba. Tanpa kusadari dia sudah
berdiri di sampingku.

Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan ngaco, ah!"
"Lo sama Pak Rio ada apa-apanya, ya" Kok bisa datang bareng" Lo pake dandan abis, lagi,"
goda Putri ikut-ikutan. "Cinta terlarang nih."
"Nggak mungkinlah. Nggak ada hubungan khusus di antara kami," jawabku membela diri. "Kami
datang bareng lantaran tetanggaan, jadi jalannya searah. Jangan ngegosip yang nggak-nggak,
ya!" "Tapi kayaknya lo suka Pak Rio deh," tebak Wulan.
"Ya nggak mungkin lah! Gue masih dendam sama dia soal komik Inu-Yasha itu," ucapku dengan
nada serius. Wulan dan Putri cuma menanggapi senyum menggoda.
Beberapa saat kemudian, Tommy, Steve, dan Taura menghampiri kami, juga Rio yang kayaknya
udah capek meladeni fans-fansnya.
Setelah acara tiup lilin, potong kue, dan penampilan beberapa lagu dari band sekolah, pesta
meriah itu berakhir. Para tamu satu per satu beranjak pulang.
"Selamat ulang tahun ya, Put!" ucapku pada Putri saat akan meninggalkan rumahnya. Aku, Rio,
Tommy, Wulan, Steeve juga Taura adalah tamu terakhir yang masih ada di sana.
"Hati-hati ya! Terima kasih kalian sudah datang," ucap Putri mengantar kepergian kami.
Tommy mengantar Wulan, aku bareng Rio, Taura dijemput sopirnya, sementara Steve kayak
belum mau pulang. Kalau dijadikan film kartun, aku yakin muka gokil Steve pasti sedang
bersemu-semu merah sekarang. Aku mengedipkan sebelah mata sebelum meninggalkan
mereka berdua. Steve tersipu. Ya ampun, cowok gokil itu bisa tersipu. Dia lagi sakit cinta akut
kayaknya. *** Di mobil, dalam perjalanan pulang, aku dan Rio saling diam.
"Kamu kenapa?" tanya Rio tanpa mengalihkan pandangan dari kemudi.
"Nggak, aku cuma berpikir malam ini akan berlalu."
Rio menoleh ganjil padaku sambil tersenyum. "Tentu saja malam ini akan berlalu, besok pagi
datang, lalu siang, terus jadi malam lagi."
Aku menghela napas. Rio nggak mengerti maksudku. Yan kubicarakan adalah kebersamaan ini.
Kebersamaam terakhir kami. Karena aku nggak mau bersama dia lagi seperti selarang. Sesudah
malam ini aku harus sadar dia guruku, guruku yang sudah memiliki kekasih dan aku nggak boleh
punya perasaan apa-apa lagi padanya karena itu cuma akan menyakiti hatiku.
"Kamu mau kuajak ke suatu tempat?"
"Ke mana?" tanya penasaran.
"Ikut aja. Ini bukan tempat terlarang buat cewek di bawah delapan belas tahun kok."
Mobil melaju menembus gemerlap lampu jalan di tengah kota. Aku memandang ke luar jendela
dan merasa pernah melewati jalan ini. Beberapa saat kemudian mobil menepi di depan deretan
toko tempat aku dan Tommy menepi untuk bicara, tempat yang sama ketika aku melihat Rio dan
Bu Sarah bersama. "Ayo turun. Ada toko aksesori menarik di dalam. Aku mau beli sesuatu."
Aku turun kemudian berjalan mengikutinya, menelusuri pertokoan yang belum pernah
kukunjungi. Mataku melihat ke sana kemari.
Di depan sebuah toko yang etalasenya memajang aneka aksesori warna-warni, Rio meraih
tanganku lalu menggandengku ke sana. Sesampainya di dalam, aku terpesona melihat pernakpernik yang tertata rapi di toko yang cukup luas itu. Beberapa cewek seumurku sedang antusias
melihat-melihat gelang warna-warni berbagai bentuk dan ukuran.
"Kamu mau beli apa?" tanyaku.
"Anting," jawab Rio.
Aku menghela napas. Aku nggak berniat tanya buat siapa dia beli anting itu karena aku bisa
menebak jawabannya. "Itu sebabnya aku ngajak kamu ke sini. Kamu bisa bantuin milih, kan?"
Aku mengangguk kemudian mengedarkan pandang, melihat-lihat aneka anting dengan segala
bentuk yang terpajang dalam rak kaca. Aku membayangkan wajah Bu Sarah. Kayaknya pake
anting gimana aja dia akan kelihatan cantik. Jadi aku memutuskan memilih anting yang aku
suka. "Yang ini gimana?" Aku menunjuk anting perak berbentuk batang bercabang tiga dengan bunga
berhias permata di setiap ujungnya.
"Bagus juga." Saat Rio memanggil pelayan untuk mengambilan anting itu, aku melihat-lihat kalung di rak
perhiasan di sebelahnya. "Ada yang kamu suka" Aku beliin deh. Anggap aja karena kamu sudah bantuin milih anting dan
mau nemenin aku ke pesta Putri.
"Nggak usah," tolakku halus. "Bantuanku gratis."
"Ayolah..... Selama kita temenan, aku nggak pernah ngasih apa pun buat kamu."
"Memang kalau temenan harus ngasih sesuatu?"
"Tentu aja. Bukannya kamu udah ngasih komik Inu-Yasha-mu buat aku?" Dia mengingatkan.
"Enak aja ngasih! Itu namanya ngerebut, tau! Disita tapi nggak dibalik-balikin!"
"Ya kalau gitu, anggap aja sekarang aku mau mengganti komikmu," desak Rio.
"Lho, emang komikky hilang?"
"Nggak sih, tapi nggak tahu kapan aku bisa kembalikan. Udah deh, jangan bahas itu. Nanti jadi
ribut, lagi. Pilih aja kalung yang kamu suka, aku beliin."
"Oke," jawabku akhirnya. Mataku tertuju pada kalung perak dengan liontin berinisial ''Mr''. Aku
langsung tertarik sama yang itu. ''Ini aja."
"Mr' itu bacanya 'mister'. Itu kalung buat cowok," protesnya.
"Mr' kan juga bisa menginisialkan nama Marina," ujarku.
"Ini lebih bagus." Dia menunjuk kalung dengan inisial ''M''.
"Kamu aja yang beli itu. Aku mau yang ini," kataku kesal.
"Oke, oke, terserah. Kamu jadi kayak Edwin kalau lagi maksa gitu." Rio mengalah, dia
membelikan kalung itu buatku.
Dalam perjalanan pulang, aku cerita bahwa Edwin sudah pulang dan aku bakal kesepian. "
Makanya jangan galak-galak jadi kakak. Udah ditinggal aja, baru nyesel. Kalau ada Edwin,
kerjaan kamu ngomel melulu sih," komentar Rio.
"Abis dia bandel sih. Aku kan jadi sebel. Kamu belain dia melulu," protesku.
"Ya iyalah. Aku juga kalau punya kakak kayak kamu bakal betah bikin ulah."
"Syukur deh, kamu bukan adikku. Jadi guruku aja udah nyebelin," balasku.
Di depan rumah, Rio menghentikan mobil. Dia turun, kemudian membukakan pintu untukku.
"Makasih ya, udah nganter pulang," ucapku.
"Mau kuantar ke dalam?" tawarnya.
"Nggak usah. Papa dan Mama pasti udah tidur," tolakku.
"Selamat malam."
"Tunggu, Rin," tahan Rio. Dia mendekat dan berdiri di depanku. Mendadak jantungku berdebar.
"Kamu lupa kalungnya." Rio mengeluarkan kotak dari saku kemejanya dan mengambil kalung
itu. "Boleh kupakaikan" Aku ingin melihat kamu memakainya."
Aku mengangguk. Hatiku makin deg-degan nggak jelas dengan noraknya.
Perlahan Rio mengalungkan rantai perak itu di leherku. Detak jantungku makin kacau. Mataku
menatap matanya. Setelah kalung dikaitkan, Rio nggak langsung menurunkan tangannya. Dia
meremas lembut lenganku kemudian perlahan mendekat dan mencium bibirku.
Aku terkejut. Otakku berhenti bekerja. Aku nggak bisa bergerak. Napasku terhenti. Dan yang
bisa kurasakan hanya kelembutan bibirnya di bibirku.
Aku langsung menarik diri dan menjauh dari Rio. "Apa-apaan sih kamu" Udah punya pacar
masih mau mainin aku"! Kalau Bu Sarah tahu, dia akan kecewa banget. Aku benci kamu!"
teriakku sebelum membuka pintu pagar lalu lari ke rumah. Mataku mulai basah. Tak kupedulikan
Rio yang masih berdiri di luar dan memanggil-manggil namaku.
Setelah Mama membukakan pintu, aku langsung naik ke kamar dan menjatuhkan diri di tempat
tidur. Aku memejamkan mata untuk menahan air mata dan gejolak perasaan dalam hatiku. Aku
mulai terisak, dan dalam sekejap menangis sejadi-jadinya.
Aku ingin melepaskan semuanya. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin semuanya hilang.
Aku nggak ingin mengingat apa pun yang terjadi malam ini. Tapi yang nggak berhenti berputar di
kepalaku malah ciuman Rio itu. Ciuman pertamaku. Kenapa Rio menciumku" Apa dia nggak
berpikir bahwa sewaktu dia menciumku dia sedang mengkhianati kekasihnya"
Perasaanku campur aduk. Aku kacau. Air mataku mengalir, tapi dalam hatiku nggak cuma
kesedihan yang kurasa. Ada kehangatan di sana. Kehangatan yang ditinggalkan ciuman Rio
padaku. Part? 17 SAKIT CINTA. SINAR matahari yang menerobos jendela membuatku terbangun. Dengan malas aku menggeliat
dan mengerjap-ngerjap mata. Semalam aku nggak bisa tidur sampai tadi menjelang subuh.
Perlu kantuk yang dahsyat untuk membuatku bisa tertidur.
Aku menguap, dan saat tanganku menyentuh bibir, ingatan tentang ciuman semalam melintas di
benakku. Seketika aku terlonjak dati tempat tidur bagaikan orang yang baru dapat mimpi buruk,
bernapas terengah-engah dan berusaha menguasai diri.
Nggak, itu nggak beneran terjadi. Mungkin cuma imajinasiku. Pasti aku mengkhayal semalam
dan ilusi itu muncul, batinku meyakinkan diri.
Aku diam sejenak lalu mengembuskan napas putus asa. Dengan pasrah aku menjatuhkan diri di
tempat tidur. Kejadian semalam nyata, dan aku benci karena nggak bisa menyangkalnya. Aku
menutupi kepala dengan bantal, berusaha keras menyingkirkan memori di otakku yang memuat
ingatan tentang kejadian itu, tapi yang terjadi malah semua terulang dengan jelas sampai detail
terkecil. "Brengsek!" Setelah beberapa menit berlalu dengan sia-sia, aku menyerah. Lebih baik aku pergi keluar dan
menghirup udara segar. Aku mau keluyuran buat cuci mata, tapi kayaknya aku lebih berharap
bisa cuci otak sekalian. *** Aku tahu sekarang bukan ide bagus buat nonton di bioskop. Tempat ini mengingatkanku pada
''kencan'' malam Mingguku bersama Rio dan Edwin. Aku jadi ingin mengulang saat-saat itu, tapi
sepertinya aku nggak boleh berharap semua terjadi lagi. Aku meyakinkan diri untuk jadi murid
Pak Rio saja, bukan teman, sahabat, atau pemuja rahasianya, dan itu berarti nggak boleh ada
kebersamaan lagi kecuali di ruang kelas waktu pelajaran matematika.
Aku membeli popcorn di tempat yang sama dengan waktu nonton bareng malam Minggu itu.
Bedanya, popcorn-nya sekarang nggak dibagi tiga. Dengan malas aku melangkah masuk
setelah membeli satu tiket film thriller, bukan kartun.
Satu jam berlalu, tapi aku nggak tahu gimana jalan cerita film yang sedang kutonton. Sejak tadi
aku cuma duduk selonjoran dengan mata menatap kosong ke layar, tangan yang secara perodik
mencomot popcorn satu-satu dari kotaknya, dan mulut yang secara ritmis mengunyah tanpa
selera. "Aaargh......!" Teriakan cewek di sebelahku membuatku kaget. Spontan aku tersentak sampai
popcorn di tanganku berhamburan. Kayak orang yang dibangunin kapai lima beker sekaligus,
seperti yang pernah kualami. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan mencoba sedikit menaruh
perhatian ke layar di hadapanku, bukan cuma melayangkan pikiran nggak tentu arah. Sepanjang
sisa film, teriakan-teriakan histeris cewek di sebelahku cukup memeriahkan suasana.
Film itu selesai tanpa sempat kumengerti cerita atau hikmahnya. Saat keluar gedung bioskop,
aku bejalan tepat di belakang cewek yang tadi duduk di sebelahku. Aku jadi penasaran sama
cewek yang nonton dengan penuh penghayatan itu. Kebetulan dia menoleh ke belakang dan.....
"Marina" Kamu Marina, pacarnya Steve, kan?" ujar cewek itu.
"Eh.....hai. Tiwi, kan?" Aku mengenali cewek manis berambut lurus itu. "Sendirian?"
"Biasalah." Tiwi tersenyum. "Kamu juga sendirian" Steve...."
"Aku sendiri," potongku cepat. "Mau ke mana sekarang?"
"Mana siang. Bareng yuk!"
"Boleh. Di mana?"
Tiwi menunjuk restoran di dekat bioskop. Aku menggigit bibir bawah. "Kencan'' malam Mingguku dulu dulu juga bersetting di restoran itu. Kenapa harus ke sana lagi"
Aku dan Tiwi mengobrol dengan akrab sambil makan. Aku menikmati percakapanku dengannya,
sampai di bagian dia menyebut-nyebut tentang Steve. "Gimana hubunganmu dengan Steve?"
"Baik," jawabku seadanya.
"Bagus deh. Aku senang dia dapat cewek baik kayak kamu," ucapnya ceria.
Aku tersenyum. Aku merasa nggak enak sama Tiwi karena aku tahu dia sempat suka sama
Steve dan dia pikir aku pacar Steve.
"Kamu tahu nggak kalau aku sempat suka sama Steve?" pertanyaan Tiwi mengejutkanku.
Nggak nyangka dia mengatakan hal itu.
Aku mengangguk. "Steve cerita, ya" Tapi mikir jangan mikir macam-macam, ya, sekarang udah nggak lagi kok,"
jelas Tiwi, seolah menyukai Steve bagaikan mengidap penyakit dan sekarang dia udah sembuh.
"Konyol banget ya. Aku tahu dia nggak akan membalas perasaanku, tapi aku nggak bisa
berhenti suka sama dia. Lumayan lama buat menghilangkan harapanku bisa bareng dia. Apa
Steve bilang hal malu-maluin soal aku?"
"Nggak kok." Aku mulai salah tingkah. Aku merasa bersalah pada Tiwi. "Wi, maaf ya. . ." Dengan
canggung aku menatapnya dan bicara pelan. "Sebenarnya Steve dan aku nggak pacaran. Dia
bahkan jarang sadar kalau kau cewek. Kami bersahabat sejak kecil. Sekarang dia pacaran sama
sahabatku yang selama ini dia suka, yang bikin dia nggak bisa ngelirik cewek lain.
Mmh.....menurutku, kamu cantik dan baik, hanya saja Steve udah punya cewek yang dia suka
waktu kamu deketin dia. Dia nggak mau kamu berharap sama dia. Makanya pas nggak sengaja
ketemu kamu, dia minta aku pura-pura jadi pacarnya. Maaf ya, kami udah bohong sama
kamu....." Tiwi kelihatan kecewa. "Oh, gitu."
Aku nggak tega melihat Tiwi yang sejak tadi ceria langsung murung setelah mendengar
pengakuanku. "Aku ngerti perasaanmu. Aku juga pernah patah hti." Aku menghela napas. "Sakit
banget kalo jatuh cinta pada orang yang salah, jadi merasa sedih dan tolol. Tapi mau gimana
lagi" Perasaan itu datang tanpa diundang dan mengacaukan kita tanpa direncanakan."
Wajah Tiwi berubah. Sekarang dia malah menatapku sambil mengulum senyum. "Mmh.....kalau
boleh tahu, kenapa kamu berpikir kamu jatuh cinta pada orang yang salah?"
Wajahku bersemu merah. "Dia bikin aku jatuh cinta padanya sementara dia nggak bia membalas
perasaanku." "Rasanya aku ngerti maksudmu." Tiwi tertawa kecil, membuatku ikut tertawa. "Tapi bukan Steve
kan orangnya?" "Syukurlah bukan. Jadi sahabatnya aja aku udah menderita," canda. "Mmh.....kamu gimana"
Sekarang udah baik-baik aja, kan?"
"Bisa dibilang begitu kalau yang kamu maksud adalah perasaanku pada Steve. Sejak ngeliat dia
punya pacar, aku belajar ngelupain dia."
"Sulit?" "Pastinya nggak gampang mengeluarkan seseorang dari kepalamu kalau selama ini cuma dia
yang kamu pikirin. Tapi waktu bisa membuat segalanya menjadi mungkin. Aku berusaha
menerima kenyataan, having fun buat diri sendiri, dan nggak berpikir untuk menyesali perasaan
itu. Jatuh cinta itu indah, gimanapun jalan ceritanya. Perasaan itu manusiawi, kita nggak bisa
menguasainya. Tapi saat dia mulai bikin kita sakit, mungkin kita perlu sedikit
mengendalikannya." Aku tertegun mendengar kata-kata Tiwi. "Kedengarannya sederhana, mungkin aku bisa
mencobanya. Menerima kenyataan dan having fun. Rasanya nggak begitu sulit."
"Jangan terlalu yakin. Nggak sesederhana itu kok," ujar Tiwi.
*** Tiwi benar. Ternyata menerima kenyataan dan having fun pas patah hati bukan hal sederhana
atau kerjaan gampang. Sepulang dari bioskop tadi sampai malam ini, aku yang tadinya berniat
beli komik da baca sambil nonton TV seharian, malah cuma ngabisin waktu buat bengong
dengan pikiran melayang nggak tentu arah. Semuanya mengandung unsur Rio. Aku benci ini.
Mendingan aku dihukum seharian merapikan perpustakaan sekolah yan kayak kapal pecah
daripada harus merasa kayak gini. Aku benci jatuh cinya.
Aku meraih kalung berinisial ''Mr'' di leherku, melepas kaitannya, kemudian melemparnya ke
halaman. "Aow!" Terdengar teriakan dari bawah.
Aku kaget lalu melongok ke bawah. Steve yang baru masuk ke halaman menengadah melihatku.
"Heh! Gue kira kita udah gencatan senjata. Ternyata gue masih diserang saat masuk
perbatasan." "Sori, Steve, nggak sengaja. Beneran." Aku kelimpungan, nggak nyangka Steve datang malammalam begini. "Ayo naik!"
Aku tersenyum saat cowok kurus itu muncul di pintu kamarku.
"Ngapain lo malam-malam ke sini?"
"Tadi pas lewat depan rumah, gue ngeliat lo nangkring di jendela kayak penyair patah hati. Gue
jadi penasaran terus mampir ke sini. Kenapa lo?" Steve duduk di sebelahku, di kusen jendela.
"Lagi bete aja," bohongku. Aku nggak mau Steve yang lagi hepi-hepinya karena baru jadian,
ikutan bete karena masalahku.
"Gue kan pernah bilang, berapa lama sih gue jadi temen lo" Lo nggak ngomong pun gue tau lo
lagi ada masalah. Cerita aja ke gue. Walaupun gue nggak bisa bantu, paling nggak lo bisa
berbagi biar pikiran rada enteng."
Aku meliriknya, lalu menghela napas. "Steve, gue nggak lagi mabuk atau di bawah pengaruh
obat bius. Ini beneran. Gue jatuh cinta."
Steve langsung tertawa. "Serius" Hahaha! Akhirnya lo kena juga. Lo jatuh cinta sama siapa"
Emang dia punya kuping anjing dan taring serigala?"
"Sialan lo!" Wajahku memanas. Aku malu mengatakannya pada Steve.
"Siapa cowok malang yang ketiban cinta lo" Jangan-jangan cowok yang lo ajak ke pesta Putri,
ya" Oke juga. Tapi kata Putri, itu wali kelas kalian. Nggak apa-apa sih, masih muda ini. Hahaha!"
"Tapi Putri nggak bilang ya, wali kelas gue itu pacarnya tante Taura?"
"Mungkin Putri lupa. Naas banget nasib lo." Steve menepuk-nepuk punggungku.
Aku tahu Steve cuma bercanda dengan kata-katanya, tapi nggak tahu kenapa, aku nggak bisa
nahan sedih di hatiku mendengar ucapannya. Air mataku perlahan keluar. Aku menangis di
depan Steve. Rasanya ini lebih malu-maluin daripada tersandung di depan umum pas memakai
sepatu hak tinggi. "Yah, gue cuma bercanda, Rin." Steve langsung panik saat menyadari aku mulai menangis.
"Sori, sori, gue nggak bermaksud ngejek atau nyakitin lo. Beneran. Maafin gue, Rin."
Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahku, memandang ke atas, ingin memasukkan
kembali air mataku yang mulai menetes. "Bukan karena lo. Gue cuma lagi sensi dan jadi konyol
kayak gini. Malu-maluin banget, ya?"
Tiba-tiba Steve memelukku. "Maaf, gue nggak ngerti, ternyata lo beneran jatuh cinta sama
cowok itu. Gue nggak akan nganggap lo konyol atau gimana. Cerita aja semuanya ke gue. Gue
nggak pengen lo nyimpen sedih lo sendiri."
Sejenak aku ragu buat cerita semuanya ke Steve, nanti malah bikin aku ingat semuanya dan


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tambah sedih lagi. Tapi akhirnya, ketumpahkan juga soal pencurian mangga itu, kejadian di
halte, kesalahpahaman yang melibatkan Steve, juga tentang Tommy, dan pengorbananku buat
Wulan. Di tengah cerita, kadang tanpa sadar air mataku mengalir. Steve mengusapnya dengan tisu.
Malam ini aku benar-benar merasa jadi cewek banget, dan aku bersyukur Steve menemaniku
saat aku rapuh begini. Malam sudah larut. Waktu untuk bercerita dan curhat pada Steve berakhir.
"Buat sekarang, mungkin gue nggak bisa ngomong apa-apa ke lo. Karena, saat kita jatuh cinta
pada seseorang, kita akan kehilangan kendali otak atas perasaan kita. Lo nggak bisa
memerintah hati lo buat menghapus rasa itu atau melupakan orang yang kita cinta. Mungkin saat
ini lo cuma bisa mencoba menerima semuanya dan menikmati sakitnya." Steve menoleh padaku
sambil tersenyum menghibur.
"Jangan nyesel jatuh cinta, Rin. Kita nggak bisa nentuin kapan dan pada siapa kita jatuh cinta.
Nggak semua cinta bisa terbalas. Tapi bagaimanapun hancurnya hati, cinta pasti meninggalkan
kenangan ajaib yang bisa mengajari kita tentang kebahagiaan. Saat kita berusaha menemukan
maknya, kita akan bertambah bijaksana dan pada akhirnya kita akan sadar cinta itu indah."
"Kayaknya gue belum bisa, Steve. Ini baru terjadi pertama kali. Saat bersama diam gue nggak
tau kalau gue jatuh cinta sama dia. Dan saat menyadarinya, dia udah bersama orang lain.
Semua kenangan indah saat kami bersama malah jadi menyakitkan. Seandainya saja semua
nggak pernah terjadi," harapku sungguh-sungguh.
"Semua orang nggak bisa menghindar dari jatuh cinta, sama kayak semua orang pasti pernah
sakit. Ini bagian dari hidup."
"Gue mau sakit apa aja asal nggak sakit cinta. Udah nggak ada obat, nggak ada dokter ahlinya,
nggak tau kapan sembuhya, lagi! Bete gue!" keluhku.
"Gue yakin,Rin, lo bisa melewatin semua ini sama kayak lo bisa ngejalanin hukuman-hukuman
karena masalah yang lo bikin." Steve menepuk punggungku.
"Iya, bener. Gue udah bikin masalah karena jatuh cinta sama guru gue sendiri, dan sekarang
gue harus nerima hukumannya berupa patah hati. Tapi kalau boleh milih, mendingan gue
disuruh nguras ikan paus. Emang capke, tapi nggak sakit."
Steve tertawa kecil. "Ah, lo ada-ada aja. Akuarium di rumah aja pernah lo bersihin. Sok mau
ngurus kolam ikan paus segala."
Kami saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing.
"Steve, makasih buat semuanya. Gue senang bisa berbagi sama seseorang."
"Itulah gunannya sahabat. Anggap aja ini balasan karena gue udah bersikap egois soal Putri
waktu itu. Lo udah merasa lebih baik, kan?"
"Kayaknya." "Gue pulang dulu, Rin. Udah malem. Cepat sembuh ya. Jadi Rin yang dulu lagi. Puyeng gue
kalo lo jadi beneran kayak gini terus-terusan."
"Gue cuma perlu tidur sebentar, terus besok bangun dan ngelupain semuanya."
"Dasar matematis. Kasus ini nggak akan selesai segampang itu." Steve melempar kalung ''Mr''ku, aku menangkapnya. "Baik-baik loya. Jangan dari jendela," pesannya sebelum keluar kamar.
Aku tersenyum lalu memandangi kalung di tanganku. Nanti aja kuputuskan, apakah aku akan
memakainya, menyimpannya, atau melemparnya lagi ke halaman.
*** Steve benar. Kasus ini nggak bisa selesai segampang dugaanku. Kukira pagi ini aku bisa
bangun dengan ''sehat'' dan semuanya berlalu begitu aja. Tapi yang terjadi, semalam aku tetap
nggak bisa tidur dan dan yang ada di kepalaku cuma Rio, Rio, dan Rio. Sakit cintaku suda akut,
kali. Hari Senin ini aku bolos. Aku bilang pada Mama hari ini nggak ada pelajaran, OSIS masih
ngadain lomba puisi. Jadi dengan amat terpaksa, karena rengekanku yang memelas, Mama
mengizinkan aku nggak sekolah. Aku bersyukur banget bisa bolos karena rasanya lebih aman
berenang di kolam penangkaran piranha daripada bertemu Rio lagi setelah ciuman itu. Aku
nggak sanggup bila harus bertemu lagi dengannya hari ini atau besok. Aku butuh waktu buat
mempersiapkan diri, paling nggak sampai tahun depan.
Sepanjang sore ini aku menghabiskan waktu dengan menonton video-video di MTV. Mama
sampai bosan melihat aku duduk dengan berbagai gaya di depan TV.
Bel pintu berbunyi. "Rin, bukain pintu!" seru Mama dari dapur.
"Tanggung, Ma! Ada lagi Good Charlotte."
"Bukain pintu atau Mama lepas layar TV-nya buat talenan," ancam Mama.
Sekarang aku tahu dari mana asalnya darah barbar yang mengalir di tubuhku.
Dengan malas aku melangkah menuju pintu. Sepanjang hari ini aku malas melakukan apa pun
setelah tadi siang sampai kecapekan membereskan kamar. Sebenarnya sejak tadi pagi aku
berniat mencari kesibukan biar aku bisa berhenti mikirin Rio, Pak Rio, pemuda berumur 23 tahun
itu, tapi kayaknya perjuanganku nggak banyak membawa hasil. Dia masih memenuhi kepalaku.
"Marmuuut!!!" seru Edwin begitu aku membuka pintu. Papa dan mamanya berdiri di belakang
Edwin dengan membawa koper besar.
"Eh....Oom, Tante!" sapaku pada orangtua Edwin. Mereka masuk dan disambut heboh oleh
Mama. Aku melirik sinis pada Edwin yang masih berdiri di luar. "Ngapain kamu kemari?" tanyaku
nggak acuh, walau dalam hati aku senang melihatnya lagi.
"Win mau tinggal di sini lagi. Papa-Mama ke lua kota sampai bulan depan," sahutnya polos.
Aku memang kangen Edwin, tapi kalau soal dia tinggal di sini lagi, aku nggak tahu harus
bersyukur karena nggak akan merasa kesepian lagi atau menangis mengingat kamarku yang
baru saja kurapikan dengan susah payah.
"Kata mama Win, Win mungkin akan tinggal terus di sini kalau kerjanya terus. Jadi mulai
sekarang, bukan cuma Marmut yang punya papa dan mama di sini. Win juga. Marmut juga harus
bagi komik dan mainan sama Win."
Aku cuma mendecit kayak burung kecil, nggak bisa ngomong apa-apa. Aku nggak bisa
ngebayangin harus membagi orantuaku, juga harta berhargaku, dengan bocah nakal ini dalam
jangka waktu yang nggak ditentukan. Kayaknya hari-hariku di rumah ini bakalan heboh dan
nggak damai lagi. Part? 18 (ending) MAWAR MERAH. "RIN, kamu mau bolos lagi" Sudah jam tujuh lho!" seru Mama sambil menggedor pintu kamarku.
Aku terlonjak, kemudian menendang selimut dan menghambur keluar. Mama berkacak pinggang
dengan sodet di tangan kanannya. Mama memandangku sambil menggeleng.
Pintu kamar mandi tertutup. Aku berteriak di depan pnitu, Pa! Aku udah telat nih! Cepetan dong!"
"Kenapa, Rin?" Papa muncul dari ruang makan dengan pakaian kerja rapi. Jadi siapa di dalam"
Pertanyaanku terjawab, pintu kamar mandi terbuka. Dengan badan penuh busa, Edwin muncul.
"Aduh, Win, jangan mainan busa pagi-pagi gini dong! Cepat keluar!" omelku.
"Jangan marah-marah gitu, Rin!" tegur Papa. "Mending kamu bantu adikmu biar cepat selesai."
"Tapi aku sudah terlambat, Pa!"
"Salah sendiri bangun kesiangan."
"Siapa yang kemarin ngajakin aku nonton film sampai tengah malam?"
"Edwin aja yang ikut nonton bisa bangun pagi," balas Papa.
"Edwin tidur di pangkuan Papa sepanjang film dan bangun cuma pas film habis."
"Aduh.....kalian kok malah ribut pagi-pagi gini?" Mama muncul dari dapur dan mengacungacungkan sodet dengan muka kesal. Mama melihat Edwin yang menggigit dengan tubuh penuh
busa. "Ya ampun, Rin, cepat mandiin Edwin!"
Aku menganga. Ya Tuhan, tuntunlah keluarga hamba yang nggak ngerti tentang musibah
bangun siang yang kualami pagi ini. Kenapa mereka malah membebaniku dengan pekerjaan
memandikan bocah ini"
Maka, pagi ini aku ke sekolah tanpa mandi, sarapan, dan gosok gigi. Aku malah sibuk
memandikan Edwin, lalu buru-buru mempersiapkan perlengkapan sekolah dan beranjak pergi.
Hari Selasa ada pelajarn matematika di jam ketiga setelah olahraga. Pasti aku jadi bau dan
keringatan habis olahraga karena belum mandi. Apa peduliku" Toh aku nggak perlu tampil
menarik di depan Pak Rio yang akan mengajar. Aku sudah membulatkan tekad untuk kembali
menjadi Rin yang dulu, Rin sebelum bertemu Pak Rio.
Hari ini, seperti yang sudah keramalkan, aku datang terlambat. Jadi selama jam olahraga aku
dapat ''kehormatan'' bebas dari pelajaran itu, dan sebagai gantinya aku bertugas merapikan
buku-buku di perpustakaan yang acakadul dengan letak yang membingungkan. Aku
menganggap hukuman ini pertanda bahwa hari-hari normalku sudah kembali.
Setelah bel jam ketiga berbunyi, dengan badan gontai aku masuk ke kelas. Ya ampun, sekarang
pelajaran matematika. Aku nggak punya tenaga lagi untuk menghadapi angka-angka yang harus
dipikirkan, juga menghadapi Pak Rio yang seharusnya terusir dari benakku.
Di kelas anak-anak kelihatan santai, bergurau, bahkan ada yang keluar kelas. Lho"
"Jam ketiga udah mulai, kan?" tanyaku pada Wulan.
"Udah, tapi tadi guru piket bilang, Bu Karuni lagi ada urusan di bagian akademis, jadi sejam ini
kita disuruh belajar sendiri," jelas Wulan yang mulai membolak-balik buku dan belajar sendiri (hal
yang nggak pernah kulakukan kalau ada jam bebas kayak gini).
"Bu Karuni" Pak Rio gimana?" Aku kebingungan. Apa yang terjadi sih"
"Kemarin Pak Rio ngumumin, tugasnya di sini udah selesai karena Bu Karuni udah kembali. Dia
juga bilang makasih buat kerja sama kita selama ini." Putri nimbrung ke bangku kami. "Kemarin
beliau juga minta maaf buat semuanya. Mungkin karena itu Pak Rio kelihatan agak nyesel lo
absen. Kan selama tiga bulan ngajar, Pak Rio paling sering terlibat masalah sama elo."
"Jadi Pak Rio udah pergi?" tanyaku tanpa kuharap jawabannya. Perasaanku sedih walau
logikaku berpikir kepergiannya akan memudahkanku untuk melupakannya.
"Iya, dan kita diajar sama Bu Karuni," jelas Wulan.
Aku merasa kehilangan, walau dalam hati aku tahu, kalaupun Pak Rio di sini, aku nggak bisa
bersamanya seperti yang kuharapkan.
"Rin, lo dipanggil tante gue, eh, Bu Sarah. Semoga bukan soal bolos lo kemarin," ujar Taura
yang baru masuk kelas. Aku berdiri. Menebak-nebak ada urusan apa Bu Sarah memanggilku, tapi kepalaku blank
banget. Aku beranjak ke ruang kepegawaian tanpa berpikir.
Bu Sarah mempersilahkanku masuk setelah melihatku di luar ruangan.
"Ada apa saya dipanggil, Bu?"
"Silahkan duduk dulu," ucapnya.
Aku duduk di depan Bu Sarah yang sepertinya sedang sibuk dengan kertas-kertas kerjanya.
Ruang kepegawaian cukup besar. Meja para pegawai berderet dan membentuk blok-blok sesuai
bagian yang mereka tangani. Sebagian meja tampak kosong, sementara beberapa pegawai
yang ada di sana tampak sibuk dengan urusan masing-masing.
"Saya nggak sempat lihat kamu memakai gaun merah itu. Tapi kata Rio dan Taura, kamu
kelihatan cantik. Rio yang memilihkan gaun itu buat kamu. Tadinya saya menyarankan gaun
berwarna pink." "Maksud Ibu.....?" Aku mengerutkan dahi, sama sekali nggak ngerti.
"Gaun merah yang kamu pakai ke pesta Putri itu pemberian Rio. Yang menaruhnya dalam
tasmu Taura," jelasnya. "Kamu belum tahu?"
Aku terkejut, lalu menggeleng seperti orang linglung. Jadi gaun itu pemberian Pak Rio" Tapi kik
kayaknya Bu Sarah nggak masalah dengan hal ini" "Kenapa Pak Rio ngasih gaun itu buat
saya?" "Soalnya dia yakin kamu nggak punya sepotong gaun pun. Dia khawatir kamu datang ke pesta
dengan celana jins belel atau rok sekolah." Bu Sarah tersenyum.
"Kenapa dia peduli?" Aku sungguh tak bisa menebak apa yang sedang terjadi.
Bu Sarah mengeluarkan kotak seukuran buku dari dalam laci mejanya. Dia menyerahkannya
padaku. "Ini titipan dari Rio buat kamu. Nanti kamu juga ngerti kok." Aku menerima kotak itu.
"Sekarang kamu boleh pergi." Bu Sarah merapikan kertas-kertas di hadapannya kemudian
kembali menulis. "Terima kasih, Bu." Aku keluar membawa kotak itu.
Aku berjalan menyusuri lorong sekolah yang sepi. Aku berniat pergi ke halaman belakang dan
membuka kotak itu di sana.
Aku tak sempat menebak-nebak apa isi kotak itu. Dengan penasaran, aku membukanya.
Ternyata isinya komik Inu-Yasha-ku! Juga setangkai mawar merah dan sebuah kotak kecil yang
sepertinya kukenal. Aku mengambil kotak kecil itu lalu membukanya. Isinya anting perak yang kupilihkan buat Rio
malam Minggu waktu itu. Buat apa dia memberikan anting ini padaku" Bukannya dia beli ini
untuk..... Og, jadi seseorang itu aku" Aku mulai melihat apa yang terjadi, bukan apa yang
kesimpulkan sendiri. Tapi aku masih nggak ngerti.
Aku mengambil komik Inu-Yasha, lalu membuka-buka halamannya. Tepat di lembar yang
tadinya kubaca waktu kepergok Pak Rio, terselip selembar kertas. Jadi dia menandai bagian
yang kubaca" Baik juga dia. Aku mengambil kertas itu, ada tulisan di dalamnya. Ternyata itu
bukan cuma kertas pembatas. Itu selembar surat.
Aku membaca tulisannya. Dear Marmut-ku tersayang,
Kuharap kamu menerima kotka ini hari Selasa, karena bolos dua hari akan membuatmu dapat
masalah lagi. Sayang aku nggak bisa lagi memberikan hukuman buat kamu karena Pak Rio, wlai
kelas 2-F itu. Sudah nggak ada lagi. Padahal aku punya ide baru buat hukumanmu. Gimana
kalau kamu ditugasi jadi feminin selam seminggu" Pasti SMA Girindra akan terasa lebih damai
tanpa kehadiran Marmut si pengacau. Eh, jangan-jangan kamu nggak masuk Hari Senin karena
takut dengan hukuman bolos hari Sabtu kemarin, ya" Padahal aku nggak serius soal itu.
Kemarin, waktu perpisahan dengan anak-anak 2-F, aku mau minta maaf sama kamu atas apa
yang sudah kelakukan padamu waktu aku jadi Pak Rio, guru matematikamu. Ternyata kamu
absen, jadi kau nggak bisa menyampaikannya langsung. Maaf ya, kadang aku keterlaluan
menghukummu dan sedikit ngerjain. Di surat ini juga aku mau minta maaf atas apa yang sudah
kulakukan padamu sebagai Rio, cowok 23 tahun tetanggamu.
Maaf, aku sering bikin kamu kesal karena ulahku, juga soal ciuman malam Minggu lalu. Aku
nggak bermaksud mempermainkanmu kok. Aku melakukan itu karena hatiku mendorongku
untuk melakukannya. Tunggu, jangan berpikir aku cowok nafsu-an. Aku akan menjelaskan
semuanya biar kamu mengerti.
Kamu pernah ngasih aku mawar kuning sebagai awal persahabatan dan sekarang aku
membalasnya dengan mawar merah ini sebagai ungkapan isi hatiku. Aku mau bilang bahwa
''Aku cinta kamu''. Beneran, aku serius dengan perasaanku padamu. Aku nggak tahu kapan
pertama kali aku merasakannya. Mungkin waktu aku melihatmu di pesta Putri. Kamu kelihatan
cantik dan ''cewek'' banget.
Namun, rasanya aku sudah memiliki perasaan ini lebih awal daripada waktu itu. Buktinya, aku
cemburu waktu tahu kamu suka Tommy. Lalu waktu tanding basket, aku juga jadi semangat
mengalahkan tim basket kelas 2 karena ingin menunjukkan ke kamu bahwa aku lebih hebat
daripada Tommy. Waktu kejadian kamu dikeroyok berandalan di jalan malam itu, aku marah banget. Aku bilang
aku menolongmu karena aku gurumu dan sudah sepantasnya aku melakukan itu, tapi
sesungguhnya aky menolongmu karena aku ingin melindungimu, karena aku sayang kamu.
Sekarang, anggap aja aku nyontek ucapanmu waktu kamu ngasih mawar kuning padaku.
''Mawar merah lambang cinta. Maaf kalau aku lancang, tapi mau nggak kamu jadi pacarku?"
Salam sayang, Rio. Aku nggak bisa bernapas setelah membaca surat itu. Dadaku sesak. Aku masih nggak percaya
dengan semua ini. Jadi Pak Rio, si Rio nyebelin itu, pahlawanku itu, orang yang kucintai itu,
mencintaiku" Yang benar aja! Padahal kukira kehidupan normalku yang menyedihkan akan
kembali mulai hari ini. Tapi isi surat ini menjungkirbalikan duniaku, dan aku benar-benar nggak
ngerti apa yang akan terjadi.
Aku melirik gerbang belakang sekolah yang nggak dijaga. Aku hanya ingin memastikan sesuatu:
aku ingin cabut! Pak Rio nggak akan setuju dengan apa yang kulakukan, tapi sekarang nggak
ada ''Pak Rio'' lagi. **u Aku sampai di depan rumah Pak Karta lima belas menit kemudian. Seperti biasa, rumah itu
tampak sepi. Aku jadi cemas, jangan-jangan Rio sudah pergi dari rumah ini. Aku memasuki
halaman depan. ''Permisi'' seruku.
Nggak ada tanggapan. "Rio....!" panggilku seperti anak SD yang mau mengajak temannya main kelereng.
Nggak ada jawaban. Aku makin khawatir. Bagaimana seandainya Rio beneran sudah pergi" Hal
yang paling kuinginkan saat ini adaalh bertemu dengan cinta pertamaku itu. Ya Tuhan, jangan
biarkan Rio pergi. Aku berjalan mengitari rumah ke halaman belakang. Aku melihat jendela kamar Rio tertutup. Aku
mulai panik. "Yo...., Rio!" panggilku gelisah.
Aku mengintip kamarnya lewat jendela. Nggak ada tanda-tanda kalau ada orang di sana. Mataku
mulai basah. Tapi tiba-tiba......
Pluk! Sesuatu mengenai kepalaku. Aku menoleh ke pohon rambutan yang paling dekat dari
tempatku berdiri. "Berdiri tobat juga, tukang intip?" Rio yang sedang nangkring di atas pohon rambutan yang
buahnya tinggal segelintir itu melihatku dengan pandangan mengejek. "Kamu bolos lagi, ya" Ya
ampun nih anak, makin hari bukannya makin menunjukkan perkembangan ke arah positif, tapi
malah makin nggak benar."
"Apa urusan kamu, guru-yang-baru-kena-PHK?" tanyaku sinis. Dalam hati aku nggak pernah
merasa sesenang ini ngeliat cowok tengil itu. Makasih, Tuhan!
"Sebagai warga negara yang baik, aku prihatin melihat generasi muda penerus bangsa yang
kerjanya cuma bisa kabur dari sekolah kayak kamu."
"Aku juga perihatin sama pengangguran yang cuma bisa sarapan rambutan dan jadi beban
negara dan masyarakat kayak kamu," balasku. "Kasihan Pak Karta, harus mengidupi
keponakannya dengan mengorbankan buah-buahnya."
"Jadi, ceritanya kamu protes karena lahan curian kamu diseroboot orang lain, gitu?"
Aku nggak bisa membalas kata-katanya. Rioo tertawa melihat wajah cemberutku. Aku berbalik.
"Mendingan aku balik ke sekolah daripada berurusan dengan orang nyebelin kayak kamu!"
"Rin, Rin, tunggu!" Rio melompat turun lalu mengejarku. Dia meraih tanganku, membuatku
berhenti. "Maaf, tadi aku cuma bercanda. Memang ada urusan apa kamu nyari aku?" tanya Rio
pura-pura nggak ada apa-apa.
"Cuma buat mastiin kamu masih hidup, bernapas, dan terutama udah berhenti mengganggu
hidupku dengan jadi guruku. Soalnya kemarin aku nggak sempat mendengar pidato
perpisahanmu yang pastinya lebih membosankan daripada penjelasan tentang statistika." Aku
menatapnya. "Itu aja." Aku langsung berbalik.
"Apa cinta kamu," ucapku. "Aku, Mario Hendra Saputra, cinta kamu, Marina Mutriasa," tegasnya.
Aku nggak bisa berpikir, ngomong, atau bergerak selama beberapa detik. Waktu seolah berhenti
di sekitarku. Aku masih nggak yakin ini sungguh terjadi. Aku merasa melayang, dan di saat yang
sama aku nggak yakin mau terbang atau akan jatuh. Aku nggak tahu apa yang sedang kualami,


Matemacinta Karya Razy Bintang Argian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatiku terasa mau meledak.
Aku berbalik menatapnya. "A......aku....."
"Aku nggak maksa kamu buat membalas perasaanku. Aku ngerti, mungkin selama ini kamu
cuma nganggap aku guru matematikamu yang nyebelin atau tetanggamu yang rese. Aku cuma
mau mengungkapkan perasaanku padamu. Aku nggak mau setelah ini kamu jadi benci aku."
"Aku.....nggak benci kamu. Cuma....mmh....aku juga cinta kamu....."
"Apa"!" Rio menatapku seolah nggak yakin dengan apa yang kukatakan.
"Aku, Marina Mutriasa juga cinta kami, Mario Hendra Saputra."
Rio tersenyum lalu tertawa kecil. "Sejak kapan?" tanyanya datar.
"Nggak tahu. Yang jelas bukan pas kamu marah-marah padaku waktu aku kepergok mencuri
mangga tiga bulan lalu," sahutku, mencoba bersikap tenang walau dalam hati aku meledakledak karena bahagia.
"Waktu aku menghukummu karena PR matematika itu?"
Aku menggeleng. "Waktu itu aku ingin menendangmu."
"Waktu aku menghukummu karena robot mainan itu?"
"Waktu itu aku ingin melemparmu keluar kelas dengan satu hantaman keras di muka."
"Waktu aku ngambil komik Inu....."
"Mungkin aku mulai jatuh cinta padamu waktu kamu ada buatku saat aku butuh seseorang,
waktu kamu mendengarku saat aku ingin berbagi, waktu aku kesulitan dan kamu datang jadi
pahlawanku. Aku sadar aku jatuh cinta padamu saat aku kesepian, dan dengan mengingatmu
aku nggak merasa sendiri lagi. Aku bahagia saat kita bersama walau selalu bertengkar. Aku
cemburu melihat kamu bersama orang lain. Dan aku benar-benar hancur saat mengira kamu
sudah punya kekasih," ucapku.
Aku mulai menangis. Rio memelukku.
"Jangan mikir yang nggak-nggak, Rin. Aku cuma cinya kamu. Tadinya kukira selama ini kau
bertepuk sebelah tangna. Berkali-kali aku berusaha menepis perasaan ini dan meyakinkan diri
bahwa kamu, muridku, nggak mungkin membalas cintaku. Aku hampir gila ngeliat kamu setiap
hari di sekolah atau di sini tanpa bisa menyampaikan perasaanku ini. Yang bisa kulakukan cuma
menarik perhatianmu dengan membuatmu kesal," ucapnya membuatku terkejut.
"Jadi kamu juga sakit cinta" Aku kira cuma aku yang tersiksa sendiri memikirkanmu dan
menghabiskan tenaga buat menyingkirkanmu dari hatiku." Aku tertawa. Kami tertawa
memikirkan apa yang sudah terjadi.
"Gimana semuanya bisa berakhir kayak gini, ya" Padahal semuanya berawal dari kasus
pencurian mangga?" Rio tampak masih nggak percaya dengan semua ini.
"Karena setelah aku mencuri manggamu, kamu mencuri hatiku," sahutku. Aku nggak tahu
kenapa aku jadi bisa bicara romantis begitu.
Dia menarik tanganku dan memelukku. Aku jadi ingat malam waktu dia memelukku setelah
kejadian pengeroyokan oleh para berandalan itu. Rasanya saat itulah terjadi sesuatu dalam
hatiku. Apa waktu itu cinta ini mulai tumbuh" Entahlah, yang jelas rasa itu ada di hatiku
sekarang. Saat ini. Rio melepas pelukannya. "Aku ingin lihat kamu memakai anting itu," ucapnya.
Aku membuka kotak yang sejak tadi kupegang di tangan kanan. Aku mengambil kotak kecil
tempat anting. Rio memakaikan anting itu ditelingaku. Wajahnya cuma beberapa senti dari
wajahku. Aku menatapnya. Setelah memakaikan anting itu, dia nggak langsung menurunkan
tangannya. Dia meremas lembut lenganku, membuatku ingat kejadian malam Minggu yang lalu.
Aku punya feeling Rio akan menciumku. Maka kupejamkan mata.....
"Cocok juga. Aku suka ngeliatnya," ucap Rio datar setelah lama tidak terjadi ''apa-apa''. Aku
membuka mata dan melihat Rio menahan tawa. Rasanya MALU BANGET. Ternyata dia nggak
nyium aku. Pasti aku kelihatan konyol banget sekarang. Aku jadi ingin melemparnya keluar
halaman dengan satu hantaman keras di muka, ta
pi apa alasanku melakukannya" Karena dia
nggak menciumku" Ih, malu deh, Rin!
"Makasih buat anting ini, juga gaun merah itu," ujarku, mencoba terdengar datar untuk
meyembunyikan malu karena kejadian ciuman nggak jadi tadi. Wajahky mungkin kayak kepiting
rebus sekarang. "Kamu nggak berterima kasih karena aku sudah mengembalikan komikmu?" tuntutnya.
"Enak aja. Ini kan memang hak milikky. Lagian, edisi ini sudah basi, tau! Aku nggak bisa pamer
lagi ke teman-temanku. Ini semua salahku, mantan guru tengil!"
"Itu urusan kamu sendiri. Siapa suruh baca komik pas pelajaran?" balas Rio nggak kalah.
"Nyita sih nyita, tapi masa sampai tiga bulan?" protesku.
"Aku kan juga suka Inu-Yasha. Jadi kusimpan aja selama aku mau. Terserah aku dong. Aku kan
gurumu." Kami saling diam. Beberapa saat kemudian, berbarengan kami saling tatap lalu tertawa.
"Berantem lagi, ya" Kayaknya hubungan kita bakalan seru."
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Oh ya, karena kamu udah balikin kommiku, aku juga mau
balikin kalung yang kamu kasig buat aku." Aku melepas kalung ''Mr'' di leherku.
"Nggak usah, aku memang niat ngasih buat kamu," tolak Rio. "Lagi pula, kalung itu ada inisial
namamu." Aku tertawa. "Kamu nggak sadar, "Mr'' juga inisial buat Mario" Aku sengaja memilihnya karena
nggak mau mengenangmu yang waktu itu kupikir akan jauh dariku," jelasku.
Rio tersenyum dan tampaknya mengerti maksudku. Aku mengalungkan rantai perak itu di
lehernya. Hatiku berdebar. Mataku menatap matanya. Setela kalung dikainkan, perlahan Rio
mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku. Inilah ciuman yang tertunda tadi. Ciuman keduaku
dengan orang yang sama. Oran yang kucintai. Cowok 23 tahun yang akan mengisi masa
remajaku yang indah. Ups, aku pula! Sepertinya aku harus berurusan dulu dengan hukumanku karena kabur dari
sekolah siang ini. Setelah itu, baru bisa menjalani hari-hari bahagiaku dengan pujaan hatiku,
mantan guruky yang sudah mengajari matematika dan cinta.
~SELESAI~ Para Ksatria Penjaga Majapahit 23 Pendekar Rajawali Sakti 149 Teror Manusia Bangkai Crazy 4
^