Pencarian

Piano Di Kotak Kaca 5

Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica Bagian 5


Bram tersenyum, "Boleh."
"Kalau begitu aku akan memberitahu Kakek Eman agar memasak makanan yang enak."
"Nathan....!!! Tunggu...!!"
Renny mengejar kekasihnya yang jalan sangat cepat itu. Ia sudah mencari Nathan selama
seminggu dan tak bisa menemuinya. Baru hari ini ia berhasil melihat Nathan di kampus san ia
takkan menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Ada apa?" tanya Nathan sambil bertolak pinggang. Kaca matanya tak dilepaskan dan sepertinya
ia merasa terganggu. "Nathan, aku mau bicara."
"Tapi cepat, ya. Lima menit lagi aku ada kelas, dan aku tak mau terlambat."
"Tapi, aku mau berbicara banyak, Nath. Apakah...." Renny mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dilihatnya mahasiswa hilir mudik. Dan beberapa orang sepertinya sedang
memperhatikan mereka ".... Kita bisa cari tempat untuk bicara?"
"Nanti aja deh, Ren. Aku mau kuliah." elak Nathan. Ia hendak pergi namun tangan Renny
menahannya. "Nathan kenapa kau menghindariku, sudah seminggu kita tak ketemu."
Nathan berhenti dan menatap arah lain dengan bosan.
"Kau mau bicara apa, ayo sekarang saja. Cepat.."
Renny berbisik, "Aku hamil, Nath."
"Hah"!!!!"
Nathan menarik gadis itu ke mobilnya. Mereka lalu duduk berdua di bangku depan. Untuk
mobilnya diparkir di tempat yang agak teduh..
"apa maksudmu kau hamil...?"" ucap Nathan sewot.
"A-aku.... Kita selalu melakukannya, kan" Kau bilang tidak akan ada apa-apa...."
"Maksudku, tidak apa-apa kalau kau pakai pengaman, Ren!!!!"
"Pe.... Pengaman apa" Maksudmu kontrasepsi" Ku kira kau yang memakainya." ujar Renny
memelas. Tangisnya hampir tumpah. Ia positif hamil. Ia mengetes sendiri dengan alat untuk
kehamilan yang dibelinya di supermarket. Ia sudah curiga, belakangan ini kepalanya sering
pening, dan haidnya sudah tak datang dua bulan. Sekarang bagaimana ia bisa memberitahukan
ini pada orangtuanya" Apalagi sikap Nathan yang seperti mau lari dari tanggung jawab.
"Aku kan tidak pakai kondom. Kau lihat sendiri, kan" kupikir kau sudah dewasa dan tahu harus
melakukan apa. Kalau kau minum pil atau semacamnya pasti kau tidak hamil."
Renny menggigit bibirnya, "Jadi.... Sekarang bagaimana...?"
Nathan menonjok setir mobil dengan tinjunya, suara klakson mobilpun langsung terdengar,
membuat mereka berdua kaget.
"Aku tidak tahu. Ini urusanmu sendiri." Nathan berkata dengan suara rendah.
"Tapi, kau ayah dari bayi ini, Nath. Kau tak boleh lari dari tanggung jawab.!!!" teriak Renny
histeris. "ya...!!!ya...!! Ya...!!" bentak Nathan kesal. " biar kutanya temanku dimana tempat untuk
aborsi"!" Renny menatap Nathan tidak percaya, "Aku tak mau aborsi"!"
"Lantas kau mau apa.."!!!"
"Aku mau dinikahi."
Suasana hening seketika. Renny membujuk lagi, "Aku sudah lulus semester ini. Kuliahmu juga hampir selesai, kan?"
"Tapi aku tak akan diijinkan menikah oleh Mama Papa, kalau mereka tahu kau sudah hamil..!!"
"Jangan bilang-bilang aku sudah hamil. Bilang saja kau mau menikah cepat-cepat"!"
Nathan menggelengkan kepalanya. Orangtuanya tidak akan percaya. Mereka berdua adalah
orang terpandang di masyarakat. Mereka sudah bilang, kalau Nathan menikah kelak di kartu
undangannya harus tertera gelar minimal S1.
Ia berkata pada Renny, " Coba kupikirkan dulu apa yang harus kita lakukan nanti."
Renny terdiam sesaat, lalu bertanya, "Nathan kenapa akhir-akhir ini kau jarang datang ke rumah
?" Nathan mendengus, "Semua ini gara-gara saudaramu itu.?""
"Saudaraku, maksudmu Reza?"
"Bukan... ! Yang perempuan"
Renny bingung, "Yang perempuan..." Maksudmu... Sheila" Memangnya dia kenapa?"
"Dia menggoda dan merayuku. Dia mendekatiku terus, aku tak suka pada kelakuannya, makanya
aku jadi malas datang ke rumahmu."
Renny terkejut. Tangannya mengepal. Ia sudah tahu sejak dulu kalau Sheila itu brengsek"! Tapi
ia tak menyangka gadis itu tega melakukan hal seperti ini.
BAB 19 MALAM itu langit cerah. Sheila sangat bahagia.. Eman sudah menyiapkan makanan kesukaan
Bram, ia pernah dua kali makan malam di kebun seperti ini. Semuanya masih tampak sama,
hanya kebun yang terlihat agak sempit karena bangunan baru yang menjulang di sebelah rumah
tersebut. Meja lipat yang dulu digunakan makan malam sudah rusak, dan Eman mengantinya dengan
tikar. "Seperti piknik saja.." kata Sheila yang melihat berbagai macam makanan sudah terhidang
ditengah-tengah tikar. "Hmmm.... Sayur pare kesukaanku. Sudah lama aku tak makan ini." ujar Bram.
"Ya, Kakek Eman benar-benar memanjakan kita. Lihat saja, ada sup kambing bening, aku kan
paling suka!" kata Sheila membuka sebuah mangkuk dan menghirup aromanya.
"Aku masih ingat kau suka makanan apa saja. Kau suka tempe goreng tepung, ikan tongkol
masak kemangi, empal goreng, sayur asem, dan sayur bening, iya kan?"
Sheila menatap Bram terharu, "Kau masih ingat makanan yang aku suka. Padahal dulu kita
jarang makan bersama. Bagaimana bisa begitu, Bram?"
"Eman berkali-kali masak makanan itu hingga aku tahu bahwa itu makanan kesukaanmu."
Sheila tertawa, "Kakek memang baiiiiikkkk banget."
"Tak heran ia menyayangimu. Kurasa belum terlambat untuk bilang, aku juga menyayangimu,
Sheila." Sheila terharu, "Aku juga.."
Mereka makan sambil menceritakan pengalaman mereka selama lima tahun belakangan.
"Kenapa kau tak melanjutkan SMA?"
"Aku tidak tahu. Rasanya aku tidak ingin sekolah. Selama ini aku tak pernah mendapatkan
pengalaman yang baik di sekolah, mungkin itu penyebabnya."
"Tapi, sekarang kau sudah berhasil. Pendapatanmu mungkin lebih besar dari temanmu yang
tamatan SMA." "Hei,,,!! Aku juga setengah mati belajar piano, Bram!"
Mereka tertawa... Kemudian Sheila bertanya, "Bram kenapa kau memutuskan mengoperasi wajahmu, Bram?"
"Hei,,, waktu itu aku du disuruh ibuku. Lagipula...." Bram tidak mau bilang kalau ia melakukan
itu agar punya kesibukan, supaya bisa melupakan Sheila, "..... Wajahku lebih baik begini, kan?"
"Ya. Aku suka. Kau kelihatan lebih tampan." Sheila tersipu saat mengatakannya.
"Ng.... Ngomong-ngomong, kau dan Reza kapan menikah?"
"Kalian berpacaran, kan" Usiamu sudah cukup untuk menikah. Jangan seperti aku, ketuaan."
Sheila menggeleng, "Mungkin masih lama. Sekarang aku belum memikirkan tentang
pernikahan." Mereka sudah selesai makan. Eman keluar dan membereskan piring-piring makan. Ketika Sheila
ingin membantunya, pria tua itu bilang tidak usah. Emanpun menghidangkan dua cangkir
wedang jahe, lalu masuk ke rumah.
"Bintang saat ini indah, ya?" ujar Sheila sambil mendongak menatap langit. Ia lalu menaruh
cangkirnya di rumputan dan membaringkan tubuhnya di tikar.
"Kau sedang apa, Sheila?" tanya Bram tersenyum bingung.
"Dulu waktu SMP aku pernah ke planetarium di Jakarta. Enak lho tiduran sambil melihat
bintang, kau pernah?"
Bram menggeleng. "Belum, tapi aku mau mencoba." ia pun membaringkan dirinya di samping
Sheila, berbantalkan lengan menatap langit. Langit seperti kain beludru berwarna hitam yang
ditempeli butir-butir berlian.
"Melihat langit yang begitu luas, aku merasa sangat kecil dan tak berati." ucap Sheila. "Pernah
kukatakan pada Oomku bahwa aku ingin menjadi salah satu bintang itu memancarkan cahayanya
dari jauh dan membuat orang-orang yang melihatnya ikut bahagia.."
"Kurasa sekarang cita-citamu sudah terwujud. Kau sudah membuat orang-orang disekitarmu
bahagia." "Itu sanjungan atau hiburan?" tanya Sheila sambil tersenyum.
"Aku serius, Sheila. Kurasa Reza akan sangat bahagia kalau ia bisa menikahimu."
"Sudah kubilang, aku tak ingin menikah. Memang sih aku pernah berniat menikah, tapi itu
dulu....." "Oh ya?" "Ya. Saat aku berusia tujuh belas tahun, aku pernah berpikir untuk menikah, seperti mamaku
dulu, yang menikah diusia tujuh belas tahun. Bila kuingat-ingat lagi, kalau dulu aku jadi menikah
waktu itu, sekarang aku pasti sudah punya anak dan mungkin tak menjadi guru piano."
"Sheila....." Sheila menoleh menatap Bram.
"Waktu itu kau mau menikah dengan siapa?" tanya Bram dengan suara pelan.
Wajah Sheila muram sesaat, " Ya, seseorang sih. Tapi, waktu aku mencarinya untuk mengajak
menikah, orang itu sudah pergi."
"Sheila, apakah orang itu...."
"Kau tahu jawabannya, Bram. Sudahlah tak usah membahas tentang pernikahan lagi."
Tiba-tiba Sheila merasa tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Bram. Dan belum sempat ia
mengatak sesuatu, Bram sudah melumat bibirnya, menciumnya dengan sepenuh hati. Sheila
tidak berontak. Ia malah membalas pernyataan kasih pria itu. Teringat olehnya ciuman mereka
lima tahun yang lalu.... Ia mencintai pria ini dengan segenap hatinya. Perasaan tidak akn berbohong. Dulu, ia sempat
ragu apakah ia hanya mengalami cinta monyet saja. Kali ini ia yakin bahwa ia takkan bisa
mencintai pria lain selain Bram. Dan ia tahu bahwa Brampun sama seperti dirinya.
Mengapa pria itu baru akan menikah sekarang" Bisa saja ia menikah setahun, dua tahun , atau
lima tahun yang lalu. Dan kenapa pria itu bisa datang bersamaan dengan Sheila ke tempat ini"
Perasan mereka pasti sudah menyatu begitu kuatnya sehingga bila yang satu memikirkan yang
lainnya, yang lain akan merasakan hal yang sama. Kalau tidak begitu, mengapa Sheila selama
lima tahun ini tak bisa melupakan Bram"
Bram melepaskan pelukannya. Ia menatap Sheila. Dihadapannya kini masih terlihat wajah yang
sama, tapi dengan emosi yang tak lagi meledak-ledak seperti dulu. Wajah itu kini tampak
matang. Sheila sudah dewasa. Dan tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Ia tak mencium gadis
dibawah umur. Sheila bukan lagi gadis remaja, ia wanita dewasa. Tapi........
"Sheila, apa yang kita lakukan?"
Sheila merasakan jantungnya berdetak cepat. Terbesit perasaan bahagia, tapi juga bingung
memikirkan apa yang baru saja terjadi " aku tidak tahu, Bram."
"Kurasa aku telah berbuat bodoh."
"Tidak..!!! " seru Sheila, "Kau jangan membohongi perasaanmu lagi, Bram. Kau mencintai aku,
sama seperti aku mencintaimu. kau tahu itu."
"Tapi, bagaimana dengan Vania?""
Merekapun terdiam. keduanya tahu, kali ini tidak ada jalan keluar. Sama seperti sebelumsebelumnya.
Sheila membuka pintu pagar. Rumah itu tampak lenggang. Entah mengapa saat ini ia merasa
rumah Oomnya bukanlah tempat yang dikunjunginya bila ia ingin pulang. Ia tak merasa pulang
di sini. Sheila tahu apa sebabnya. Hatinya telah tertinggal di sana. Di rumah Bram.
Sheila melirik jam tangannya. Sudah pukul dua belas siang. Pagi tadi saat terbangun, betapa
kecewanya ia saat Eman memberitahu bahwa Bram sudah pergi.
Sheila teringat kejadian tadi malam saat Bram menciumnya. Sheila mencintai Bram dan ia yakin
pria itu juga mencintainya. Mereka tak bisa menyembunyikan perasaan masing-masing. Tapi,
mereka tak tahu mau dibawa kemana hubungan ini.
Sheila kecewa karena Bram pergi tanpa pamit, padahal entah kapan mereka bisa ketemu lagi.
Tapi ia teringat, bahwa ia mesti pulang. Reza pasti mengkhatirkannya.
Marni keluar dengan membawa seember cucian. Ia melihat Sheila dan tersenyum.
"Baru pulang, Non?"
"Di rumah ada siapa saja, mar?"
"Cuma Nyonya sama Non Renny, dan Tuan. kayak biasa." Marni nyengir lebar, "kalau mas Reza
sudah pergi dari pagi."
Sheila termenung. Reza, ia baru ingat pria itu. Dua hari yang lalu ia berkata akan belajar
mencintai Reza. Tapi kini setelah bertemu Bram, ia tak yakin lagi akan bisa melakukannya. Apa
yang harus dikatakannya pada Reza"
Sheila memasuki rumah dan bertemu dengan Renny yang sedang duduk di ruang tamu.
Kelihatannya Renny sedang kesal.
"Ren..." sapa Sheila.
"Kamu dari mana?" dengus gadis itu. "Kamu pikir rumah ini terminal" Bisa datang dan pergi
sesukamu" Huh, kalau kau menginap dengan sembarang lelaki kan keluarga ini yang malu."
Sheila berhenti melangkah. Ia membalikan tubuhnya dan menatap Renny.
"Ren, apa maksudmu?"
Renny mencibir, "Mana aku tahu, yang tahu kan kau sendiri."
Sheila meletakkan tasnya. "Kalau ngomong yang jelas dong. Maksudmu apa?"
Renny bangkit berdiri dan
bertolak pinggang. "Kau tahu kan kalau Reza mencintaimu, tapi kau
selalu menggoda pria lain. Kau nggak pernah puas mendapatkan satu laki-laki ya, Sheila?"
Wajah Sheila memucat, apa Renny tahu semalam ia menginap di rumah Bram" Apa Reza yang
memberitahu" "Jangan asal ngomong, Ren. Laki-laki siapa maksudmu?"
"Jelasnya aku nggak tahu. Tapi yang pasti aku nggak mau kamu menggoda Nathan!"
"Nathan?" ucap Sheila bingung. apa Renny tahu ia dianjak ke restoran jepang oleh Nathan tempo
hari. "Ya. Nathan! Dia yang bilang sendiri padaku. Kau menggodanya, sehingga ia jadi malas datang
kemari. Kau keterlaluan, Sheila. Apa kau belum puas membuat keluarga ini berantakan"!"
Kali ini Sheila sangat marah. Pertama, bukan dia yang menggoda Nathan melainkan pria itu.
Kedua, apa yang yang dimaksud ia membuat keluarga ini berantakan"
"Berantakan apa yang kau maksud?"
"Gara-gara melihatmu, Mama jadi nggak betah di rumah, sejujurnya aku juga. kau pura-pura
baik merawat papa, padahal kau hanya ingin numpang gratis di sini!"
Sheila terdiam. Ia terenyak. Tuduhan Renny begitu kejam. Ia bukannya sok baik. Ia malah lebih
suka kalau Ratna menjadi lebih memperhatikan suaminya dan Renny lebih memperhatikan
ayahnya. Dan soal menumpang, ia tak senaif itu. Ia sudah berusaha mengembalikan uang yang
seharusnya ia keluarkan bila ia menyewa rumah dengan membeli bahan-bahan makanan.
Belakangan, Ratna mendiamkannya sehingga Sheila pikir Ratna turut senang sengan
perbuatannya. Tapi sekarang Sheila tahu, perhuatannya tak mendatangkan ucapan terima kasih ,
malah caci maki. "Baik...!!" kata Sheila dingin. "Aku akan keluar dari rumah ini. Sudah lama aku ingin pindah,
aku cuma tidak tega pada Oom."
"Bagus! Bagus sekali. memang itu yang aku mau. Aku tak ingin kau menghancurkan masa depan
ku!" Seru Renny. Ia menginginkan Nathan. Dan dengan kehadiran Sheila di sini, berarti Nathan
tak akan datang lagi. Renny memang ingin Sheila hengkang saja.
"Ada apa ribut-ribut?" Ratna keluar kamar masih mengenakan daster dan rol rambut.
"Ma, Sheila mau pindah dari sini!" kata Renny.
Ratna hanya menoleh saja, "Benar, Sheila?"
Hati Sheila terasa tertohok, ternyata Ratna juga mengharapkan kepergiannya. Sheila merasa
sama sekali tak dibutuhkan.
"Benar, Tante. Secepatnya saya akan mencari tempat tinggal. Hanya saya minta, tolong Tante
perhatikan Oom...." "Kau sudah memberitahu Reza?"
Sheila menatap Tantenya dengan pandangan bertanya.
"Kau mesti memberitahu dia. Dan jangan bilang bahwa Renny yang mengusirmu, mengerti?"
Tanpa berkata-kata lagi, Sheila masuk ke kamarnya. Ternyata ia di sini dianggap tak lebih dari
benalu. Reza membuka pintu kamar Sheila, begitu tiba-tiba sehingga Sheila yang sedang mengepak
barang-barangnya terkejut.
"Kata Renny kau akan pergi. Apakah itu benar, Sheila?"
"Ya." ucap Sheila tanpa mengangkat wajahnya.
" kau mau pindah kemana?"
"Aku akan kos di rumah salah satu muridku. Kebetulah orangtuanya menyewakan kamar, dan
masih ada satu kamar yang kosong."
Reza memegang lengan Sheila, "Apa ini ada hubungannya dengan kau yang tak pulang
semalam?" "Reza lepaskan. Lenganku sakit!"
Reza melepaskan lengan Sheila, "Semalam kau menginap dimana, Sheila" Lalu setelah kau
sampai disini, mengapa kau langsung ingin pindah"!"
"Rez, tak ada apa-apa." Sheila tak berani menatap mata Reza.
"Sejak bertemu Bram sikapmu jadi aneh. Kalau tahu dia si pengantin prianya, aku akan menolak
mengurusi pernikahan mereka! Sheila, jujur saja padaku. Apakah kau kemarin bersama Bram"
Iya.." Benar..?" desak Reza
Sheila bingung bagaimana menjelakan bahwa kepindahannya tak ada sangkut pautnya dengan
Bram, tapi secara tidak sengaja ia bertemu Bram di Ciloto. Ia sama sekali tidak ingin membuat
Reza sedih. "Rez, aku pindah dari sini tak ada hubungannya dengan Bram. Aku hanya merasa aku sudah
terlalu lama tinggal di sini. Sudah waktunya aku pindah. Aku bisa hidup sendi....."
"Dan kau baru menyadarinya hari ini" Di saat kau baru bertemu Bram" Dia akan menikah,
Sheila. Sadarlah! Benar kau pergi bersama Bram kemarin?"
Sheila terdiam. "Rez, kemarin aku pergi ke Ciloto. Di sana aku memang bertemu Bram. Tapi itu
cuma kebetulan. Kami memang menginap di sana. Tapi tidak seperti apa yang kau pikirkan. Aku
tahu dia akan menikah, dan....."
Ekspresi wajah Reza perlahan membeku. "Jadi benar, kau pergi dengan Bram?"
Sheila menghela napas, "Tapi bukan itu yang membuat aku ingin pindah." Sheila mendekati
Reza dan memegang lengannya. "Aku kan cuma pindah rumah, bukan berhenti dari The Glass
Slipper atau berhenti jadi temanmu. Dan percayalah, tidak ada yang lebih berat daripada


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan rumah yang sudah aku huni lebih dari lima tahun."
"Apa kau tidak kasihan pada Papa?"
"Aku yakin kau akan menjaganya dengan baik."
"Bagaimana dengan janjimu untuk belajar mencintaiku?"
Sheila memutuskan, lebih baik membuat Reza mengerti setahap demi setahap. "Aku cuma minta
padamu untuk tak terlalu banyak berharap."
Reza memandang Sheila dengan sorot mata memelas. "Sheila, aku tahu kau sudah tidak sabar
untuk pindah. Tapi, demi aku, jangan pindah dulu. Bersabarlah hingga beberapa hari lagi...."
Bram termenung melihat jalan raya di hadapannya. Kedua tangannya terkepal erat memegang
kemudi. Vania duduk di sisinya. Namun pikirannya lebih banyak tersita untuk lamunannya dari
pada konsentrasi saat menyetir.
Ia tak tahu setan apa yang sesang merasukinya, tapi ada dorongan yang sangat kuat dari dalam
dirinya untuk meninggalkan Vania. Ia sangat mencintai Sheila dan tak bisa hidup tanpa gadis itu.
Tapi batinnya melarangnya, karena ia tak mungkin membatalkan pernikahannya yang tinggal
dua hari lagi. Apa yang harus dikatakannya kepada keluarga Vania dan keluarganya sendiri"
Di matanya terbayang wajah Sheila yang sedang tersenyum kepadanya. Teringat gadis itu,
hatinya jadi sangat sedih. Tadinya ia pikir Sheila juga akan menikah dengan Reza. Ternyata
Sheila berkata bahwa ia tak pernah berpikir untuk menikah. Kesedihan menghimpit jiwa Bram
hingga terasa sesak. "Bram....!!! Bram....!!! Bram...!!! Bram awas! Kau bakal menabrak anak itu...!!!" teriakan Vania
membuyarkan lamunan Bram.
Bram mengerem mendadak. Kemudian terdengar pula klakson dari belakang mobil mereka.
"Ya ampun...!!! Hampir saja!" desah Vania. "Apa kau melamun tadi, Bram?"
"Maaf" Vania menghela napas. Walaupun ia bisa menyetir jauh dan lebih piawai daripada Bram yang
berkaki palsu, ia selalu membiarkan pria itu menyetir karena takut menyinggung ego pria itu.
Barusan ia berpikir, setelah menikah nanti. Baiknya ia saja yang menyetir kalau pergi kemanamana. Masalahnya taruhannya nyawa. ia tak mau mati konyol.
Vania melirik jam tangannya, "Sudah hampir pukul satu. Mereka bilang pertemuannya pukul
satu." "Apa sih yang ingin mereka bicarakan?" tanya Bram.
"Katanya sih soal urutan acara pesta. Padahal aku sudah bilang terserah mereka saja. Kau kan
tidak suka kalau diganggu untuk urusan beginian. Tapi kupikir, mereka berbuat begini
untukkepentingan kita juga. Kalau acaranya kurang bagus nanti, kan kita juga yang menyesal?"
Bram diam saja. Vania jadi teringat, belakangan ini sikap Bram agak aneh. Ia ingin menanyakan
perihal gadis yang jatuh pingsan saat galdi resik, tapi selalu tidak sempat.
"Bram, tentang gadis dari WO itu, apakah dia temanmu?" tanya Vania, "tapi usianya baru dua
puluhan tak mungkin kau punya teman semuda itu."
"Bukan. Dia bukan temanku."
"Lalu mengapa kau mengenal dia?"
"Dia bekas anak asuhku."
"Oh... Anak asuh! Pantas kau kelihatan begitu peduli padanya. Ya ampun, ternyata ia anak
asuhmu." Vania tertawa mengingat rasa cemburunya yang tak beralasan.
"Memang pantas sih, Bram. Walaupun kau terlihat muda, umurmu kan sudah empat puluh tahun.
kau sebenarnya sudah pantas punya anak sebesar dia. Ha....ha......"
Ketika Vania tak melihat Bram tertawa, ia biru-buru menyudahi tertawanya." Aku cuma
bercanda lho, Bram. Kau tidak marah kan?"
Tidak, aku tidak marah. Aku cuma sadar kata-latamu benar. Sheila pantas jadi anakku, batin
Bram. Hatinya pedih, mengapa ia begitu bodoh, jatuh cinta pada seorang gadis yang usianya dua
puluh tahun lebih muda" Mengapa ia tak mencintai Vania saja" Dan baru sekarang ia menyadari
bahwa ia tak mencintai Vania. Ia cuma peduli dan sayang pada gadis itu, tidak lebih.
"Kau tahu tidak, Bram" Aku sempet cemburu, Lho. Bayangkan saja kau meninggalkan aku
sendirian diacara gladi resik pernikahan kita. Kupikir dia bekas pacarmu! Bram.." Bram..." Kok
diam saja sih" Belakangan ini kau aneh."
"kita sudah sampai." kata Bram..
Vania sadar mereka sudah sampai di depan kantor The Glass Slipper. Ia pun turun dari mobil itu,
sehingga percakapan mereka terputus di situ.
"Sebenarnya hari ini ada rapat apa, Rez" Kok mendadak banget sih" Aku terpaksa membatalkan
les satu murid lho! Nanti kau bayar ya uang les ku yang hilang!" gerutu Sheila setengah
bercanda. Ia mengikuti tuntunan tangan Reza menuju salah satu ruang rapat untuk membicarakan
rencana pernikahan klien mereka.
Dan ketika memesuki ruangan itu, Sheila kaget luar biasa. Ia melihat Bram dan Vania sudah
duduk di dua kursi dari empat kursi yang tersedia. Sheila perlahan-lahan duduk dengan
canggung. Vania tersenyum, "Hei... Kau yang waktu itu pingsan, kan" Bram sudah cerita bahwa kau bekas
anak asuhnya. Pantas saja kalian kaget sekali bertemu di gereja kemarin."
Sheila tertegun. Ia memandang Bram, tapi pria itu pura-pura memandang vas bunga di atas meja.
Bram memberitahu Vania, bahwa Sheila anak asuhnya" Apa supaya Vania tidak curiga" Tapi....
Memang seharusnya begitu sih, pikir Sheila, toh sebentar lagi Bram dan Vania akan menikah.
"Oh ya, siapa namamu?"
"Sheila." "Oh, Sheila. Baik akan kuingat-ingat. Sheila. Sheila." gumam Vania seolah Sheila adalah orang
yang sangat penting dalam kehidupannya yang harus selalu diingatnya.
Sheila tidak tahu apa rencana Reza mempertemukan mereka berempat seperti ink. Tapi, dugaan
Sheila adalah Reza ingin ia mematikan perasaannya, supaya ia tak berharap lagi pada Bram. Pria
itu kini menjadi klien mereka dan sebentar lagi akan menikah dengan wanita cantik
dihadapannya. Reza berdehem," Ehm... Maaf mengganggu anda Pak Bram. Tentu anda masih ingat saya, Reza,
teman Sheila yang pernah menginap...."
"Saya ingat." "Ya. Kebetulan WO ini milik saya. Kebetulan yang menggembirakan, bukan" Selama ini anda
berurusan dengan Wenny, jadi mungkin anda tak pernah bertemu dengan saya. Oh iya, ini
Sheila. Dia yang nanti akan bermain piano di hari pernikahan anda."
Sheila tersenyum agar suasana tidak kaku. Kemudian Reza melanjutkan.
"Hari ini saya mengundang Pak Bram dan Mbak Vania untuk mengonfirmasi acara pesta. Ini
sudah saya fotokopikan daftar acarannya." Reza memberi Bram, Vania, dan Sheila masingmasing selembar kertas dan mereka membacanya.
"Cuma satu yang jadi masalah. Ada sedikit perubahan. Anda ingin musik apa Band atau piano?"
tanya Reza. "Kelihatannya Band asyik juga." kemudian ia memandang Sheila. " Tapi, aku jadi nggak enak
sama Sheila." "Tidak apa-apa. Belakangan ini saya juga sangat sibuk. Mungkin sebaiknya saya istirahat."
Reza menggenggam tangan Sheila terang-terangan. Sheila berusahan melepas genggaman Reza
perlahan-lahan, tapi genggaman Reza terlalu kuat.
Vania menoleh pada Bram, "Bagaimana Bram" Band saja ya" Biar lebih ramai."
Tiba-tiba Bram bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Semua orang terpaku, termasuk
Sheila. "Bram" BRAM.....!!!" Panggil Vania, kemudian ia menatap Sheila tajam-tajam tanpa bicara
sedikit pun. Reza masih menggenggam tangan Sheila mencegah gadis itu mengejar Bram. Vania
pun keluar dari ruangan itu diikuti pandangan resah Sheila.
"Bram... Bram.... Bram....!!! Tunggu aku."
Vania berlari mengejar Bram. Itu bukan hal yang sulit, sebentar saja ia bisa mengejar Bram,
mengingat Bram tidak bisa berjalan cepat karena memakai kaki palsu.
"Bram, kenapa kau keluar begitu saja?"
Bram masuk mobil. Vania ikut masuk.
"Bram, kenapa sih?"
Bram terdiam. "Vania...... Maaf...." ucap Bram perlahan.
"Ya. Aku juga kesal. Reza mengundang kita cuma untuk menanyakan apakah mau Band apa
piano." sahut Vania ketus. "Kau jadi tidak enak pada Sheila, kan" Lagi pula untuk apa ia menyianyiakan waktu kita hanya untuk urusan itu" Aku sih curiga dia pacarnya anak asuhmu itu, jadi
dia mempertemukan kita berempat untuk mempertegas bahwa Sheila itu pacarnya....." Vania
tersenyum dan menatap Bram.
"Kau tidak marah kan, Bram" Namanya juga anak muda....."
"Vania.... Aku..... Aku... Aku tak bisa melanjutkan pernikahan ini...."
Vania terpana, seakan tak mempercayai pendengarannya. Ia menatap Bram, "APA"!!!"
"Kau boleh melakukan apa saja untuk melampiaskan kekesalanmu, Vania. Tapi aku sungguhsungguh tidak bisa.?"
"Kau.... Kau.... Kau bilang kau tak bisa melanjutkan pernikahan ini"!" ulang Vania. Ucapan
Bram seperti petir di siang hari. Mendadak Vania merasakan tubuhnya seperti mati rasa.
"Maaf...." Vania menangis. "Tapi kenapa, Bram" Tinggal dua hari lagi"!" ia memukul-mukul lengan Bram
yang diam terpaku. "Kau tidak bisa berbuat begini padaku!"
Bram tetap diam. Hati Vania semakin panas. " Kenapa"! Kenapa"!" lalu tiba-tiba Vania ingat
sesuatu, "Oh.... Aku tahu sekarang. Apa karena gadis itu" Sheila"!" melihat Bram tidak
menyanggah, hati Vania semakin terbakar. "Benar kan, Bram" Dia bukan anak asuhmu,
melainkan cinta lamamu, kan"!"
"Vania....." "Pantas saja si Reza begiu ketakutan! Rupanya kau mau merebut pacarnya" Kau tidak tahu malu
Bram! Perempuan itu juga tidak tahu malu!"
"Vania! Jangan bawa-bawa Sheila!"
"lalu kenapa, Bram"! Jelaskan padaku... Aku tak mau kau bodohi begitu saja!"
Sepanjang hubungannya dengan Bram, tak pernah Vania memaki Bram sekeras itu. Bram merasa
bersalah. Ia telah melukai hati wanita itu.
"Aku akan mengantarkan kau ke rumah." Bram pun menstarter mobilnya.
"Tidak usah!!" Vania keluar dari mobil. Sebelum menutup pintunya ia berseru, "Ingat! Aku tak
bersedia membatalkan pernikahan. Pokoknya, dua hari lagi kau harus sudah siap menikah
denganku. Aku tidak mau tahu!!!" dibantingnya pintu mobil hingga menutup, kemudian
ditinggalkannya Bram yang duduk terenyak.
BAB 20 SHEILA membasuh wajahnya dengan air di washtafel di toilet kantor The Glass Slipper. Ia
memandang cermin di hadapannya. Ditatapnya kelopak matanya yang cekung akibat tak bisa
tidur semalam. Ada bayangan hitam di bawah matanya, dan ia sudah berusaha mengopresnya
dengan es batu, tapi nampaknya tak terlalu berhasil.
Sheila sangat terguncang melihat sikap Bram tadi. Ia juga marah pada Reza yang telah membuat
mereka terjepit di situasi yang tidak mengenakkan. Mestinya Reza bilang dulu padanya. Ia sudah
bertekad untuk tak menemui Bram lagi sebelum hari pernikahan pria itu. Sebenarnya hal seperti
ini lah yang ia takutkan. Mereka berdua sangat rapuh, dan sedikit saja tekanan akan membuat
mereka meledak seperti popcorn di dalam panci tertutup.
Apa maksud Bram meninggalkan ruangan tadi" Apakah karena ia cemburu pada Reza yang
menggenggam tangannya" Atau karena tak senang mendengar Sheila takkan bermain piano di
hari pernikahannya karena Vania lebih menyukai Band" Atau karena tak suka dengan sikap Reza
yang mempertemukan mereka berempat"
Seingat Sheila, Bram belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya, tidak pula ketika mereka
masih tinggal bersama. Kecuali, saat Mama Bram datang dan menjodohkannya dengan Marisa.
Bram terlihat marah kerena terlalu ditekan. Apa yang membuat pria itu merasa ditekan saat ini"
Sheila mengambil tisu gulung dan melap wajahnya hingga kering. Ia tak peduli dengan
penampilannya hari ini. Bedak yang dipakainya tadi pagi sudah hilang terbawa air, lipstiknya
sudah memudar karena seringnya ia menggigiti bibirnya. Ia pun keluar toilet.
"MANA?"?" MANA... DIA?"!!"
Sheila melihat Vania yang mengamuk dan degahan oleh Tini dan Wenny.
"Sabar, mbak..." kata Wenny.
"Ada apa ini?" tanya Sheila.
Vania langsung menudingnya, "Jadi kau yang mau menghancurkan pernikahanku" Perempuan
tak tahu malu"!! Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah tak menyukaimu"!"
Sheila tercengang. Tiba-tiba saja Vania menghinanya di depan orang banyak. Sheila menoleh ke
kiri dan ke kanan. Ada Tini, Wenny, dan beberapa pagawai The Glass Slipper.
"Kau memang pintar, sengaja merebut Bram pelan-pelan, sampai ia jadi memikirkanmu terusmenarus. Kau pakai guna-guna apa, Hah..."!!! Sekarang ia tak mau menikah denganku, itu pasti
karena ulahmu"!!"
Bram... Tidak mau.... Menikah" Sheila tercenung.
Mendadak Vania mendorong Sheila. Karena kehilangan keseimbangan, Sheila jatuh. Wenny
buru-buru memapahnya berdiri lagi. Begitu Sheila berdiri, Vania menamparnya. Tamparan itu
begitu keras hingga membuat kepala Sheila pusing dan tubuhnya terhuyung.
Sheila merasakan pendanganny gelap. Rasanya ia ingin mengambil sesuatu dan melemparkanny
ke kepala Vania. Ia mengambil Vas bunga. Tini dan Wenny serentak menjerit.
"Sheila... Jangan!!"
Sheila tak jadi melempar vas bungai itu. Hatinya terguncang. Ia segera sadar, masa ia tak bisa
mengendalikan emosinya untuk membunuh seseorang" Tapi, memang baru kali ini ada orang
yang menyerangnya lagi, sejak kejadian Reza dan Indah dulu. Menurut Sheila, Vania memnag
sudah keterlaluan. "Aaaaaaa....!!!" Sheila berteiak dan menerjang Vania, ia menjambak rambut wanita itu.
Tini dan Wenny memegangi tangannya.
"Sheila....! Sheila..!! Sheila sadar, Sheila...!"
Sheila tersentak, mundur dan terduduk di lantai. Ia menangis tersedu-sedu. Vania sendiri tampak
terguncang, tak tahu kalau Sheila akan melawan. Ia juga menangis, dan seorang pegawau
memapabnya keluar ruangan.
Wenny menyuruh Tini membubarkan semua irang. Kini tinggal ia dan sheila di ruangan itu.
Sheila masih terduduk di lantai dan menangis. Wenny mengambil segelas air putih dan
menyodorkannya pada Sheila. Sheila pun meneguknya.
"Astaga Sheila, apa yang terjadi padamu?" tanya Wenny.
Sheilapun terisak... "Aku bingung dengan semua ini, Sheila terus terang aku bingung. Pertama, tiba-tiba Vania
datang dan menyerangmu san berkata kau yang mengacaukan pernikahannya. Kedua, kau
melawannya. Aku takut, jangan-jangan kau akan memukulnya seperti kejadian dengan Indah di
sekolah dulu." Sheila menangis sesenggukan...
Wenny membelai punggung sahabatnya.
"Sheila, sudahlah jangan menangis terus. Memang vania yang salah, ia tak bisa menuduhmu
yang bukan-bukan." Sheila memnadang Wenny, "Tapi,,, kata-katanya benar, Wen..."
Wenny kaget, "Apa.."!!"
"Bram membatalkan pernikahanya. Itu semua pasti gara-gara aku."
"Bram" Bram siapa?"
"Calon suaminya."
"Oh, Pak Harry?"
"Namanya Bram, Wen. Kau ingat tidak pemilik rumah di belakang asrama kita" Yang cacat itu?"
Wenny membekap mulutnya, "Astaga... Jadi, dia..."
Sheila mengangguk, "Ya, Harry adalah Bram. Harry nama aslinya."
"Tapi, kakinya..."
"Kaki palsu. Wajahny juga sudah dioperasi."
Wenny tampak kaget. Ia berusaha mencerna berita yang baru disampaikan Sheila. Ia tahu sekali
apa yang terjadi pada Sheila lima tahun lalu. Ia turut membaca berita tersebut dan membantu
pemulihab Sheila yang waktu itu mengalami depresi. Tapi tak disangkanya, Harry yang calon
suaminya Vania ternyata sama dengan Bram! Pantas saja dua hari yang lalu Reza
memberitahukan bahwa Sheila pingsan wakgu melihat mempelai pria saat gladi resik.
Astaga! Betapa anehnya takdir yang meliputi kehidupan Sheila. Mengapa mereka dipertemukan
kembali dalam keadaan seperti ini"
Wenny memegang bahu Sheila dan menghadapkan wajah gadis itu padanya. "Sheila, dengarkan
aku. kau tak boleh membuat Bram batal menikahi Vania!"
Sheila menatap wajah sahabatnya.
"Kau akan mengecewakan banyak orang." lanjut Wenny.
"Vania itu baru satu orang, juga jeluarga kedua belah pihak. Dan Reza, itu yang terpenting, Reza
sangat mencintaimu! Kau tak boleh menghianatinya!"
Brakkk...!! Tiba-tiba pintu terbuka dan Reza masuk dengan napas terengah-engah. "Sheila, kau
baik-baik saja?" tanyanya.
Melihat wajah Sheila yang sembap, Reza langsung menghampiri dan memeluk Sheila erat-erat. "
Baguslah kau tidak apa-apa." katanya. Sheilapun menangis melihat kata-kata Wenny benar. Ia
tak bisa menghianati Reza.
Sheila menunduk. di depannya duduk ibunda Bram. Di usianya yang sudah memasuki usia enam
puluh tahun, Emma masih tampak energik seperti dulu. Penampilannya mengingatkan ia pada
titik puspa. Emma dan Sheila sudah janjian ketemu di sebuah kafe, tak jauh dari rumah Haryanto. Dari
vanialah Emma mendapatkan nomor telepon The Glass Slipper, dan dari seorang karyawan di
sana, Emma mendapatkan nomor telp Sheila. Yang pasti kini Emma ingin berbicara dengannya,
empat mata. Sheila memegangi cangkir coffee lattenya sambil menunduk. sedikit banyak ia sudah menunda
apa yang ingin dibicarakan wanita itu.
"Sheila, lama sekali kita tak bertemu." sapa Emma dengan senyum ramah.
"I... Iya Tante."
"Sharusnya ku memabggilku 'Oma' tapi ' Tante' juga tak apa malah bikin aku awet muda....
haaaa..." Sheila tetap menunduk, sambil memaikan buih di minumannya dengan sendok.
"Oh iya, bagaimana kabarmu selama lima tahun ini?"
"Baik, Tante." Emma menghela napas. "Yah.... Begini Sheila. kau pasti bingung kenapa aku ingin bertemu
dengamu. Ehm, kemarin Vania kerumah, ia bicara banyak tentangmu."
Sheila menatap Emma "Sheila, sejak Marisa bercerita bahwa antara kau dan Bram ada hubungan cinta, aku sudah tahu
kalau ini akan menjadi masalah besar. Entah kenapa aku tak terlalu suka dengan perbedaan umur
kalian yang begitu jauh. Kau tahu maksudku" Kalau cuma sembilan-sepuluh tahun tidak
masalah. Tapi, sampai dua puluh tahun" Kau pantas menjadi anaknya Bram, Sheila."
"Tante, Aku...."
"Tunggu dulu! Jangan potong ucapan ku dulu. Lalu ada kejadian yang menggemparkan itu, yang


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat kalian terpisah. kukira jodoh kalian sudah berakhie sampai di situ. Tapi tak disangka,
sekarang saat Bram akan menikah kalian bertemu. Ya ampun..!!! Tante sudah mengenalimu saat
kau pingsan waktu itu."
Emma menghela napas. "Seandainya waktu itu kau lebih dewasa sedikit, mungkin aku wudah
merestui kalian. atau seandainya kalian lebih awal dari ini, mungkin sudah kunikahkan saja
kalian, karena kulihat Bram tak bisa melupakanmu. Tapi....." ia menghela napas lagi, " Ya
ampun"!! Pusing aku! Vania bilang Bram mau membatalkan pernikahan. Saat itu pikiranku
langsung melayang padamu. pasti gara-gara bertemu denganmu lagi, pasti itu.!"
Sheila buru-buru menyela. "Tante, aku tak bermaksud merusak pernikahan Bram. Lebih baik aku
menghilang saja. .... Sampai pernikahan sudah dilaksanakan."
"Bagus, Sheila. Sebenarnya itulah yang kuinginkan darimu." Emma menepuk tangan Sheila di
atas meja. " Begini, aku bukannya menghalangi hubungan kalian, tapi perjalannan cintamu
dengan Bram memang banyak sekali halangannya. Kalian mungkin tidak berjodoh. Aku sih
mau- mau saja Bram menikah dengan siapa saja yang ia cintai, tapi sepertinya..... Vanialah yang
lebih berhak." Emma lalu terdiam. Ia sudah selaesai menyampaikan maksudnya.
Sheila terdiam, "Tante.. Sebenarnya.... Seandainya saat saya masih tujuh belas tahun..... Lalu
saya ingin menikah dengan Bram, apakah Tante akan menyetujuinya" Tante akan meretui
kami?" Emma berpikir sejenak... "Ya, Sheila. Aku akan merestui kalian." katanya kemudian.
Malam kian larut. Biasanya Bram sedang sibuk menulis pada pukul delapan malam seperti ini.
Tapi satu kalimat pun tak diselesaikannya sejak tadi. Pikirannya seolah buntu, tak ada ide untuk
berkarya. Ia pun mematikan dan menutup laptopnya.
Ia tahu pasti apa penyebabnya. Hatinya begitu mendamba Sheila sehingga ia hampir kehilangan
akal dan seluruh fungsi tubuhnya untuk bekerja. Ingin sekali ia meninggalkan semuanya dan
pergi berdua dengan gadis itu, ke mana aja asal mereka bisa bersama. Ia tidak tahu mengapa
takdir begitu kejam memisahkan mereka berdua, hingga berkali-kali mereka bertemu tanpa bisa
bersatu. Bram merasa terjebak. Ia sadar selama ini ia tidak mencintai Vania. Ia mau menikah dengan
wanita itu karena sudah putus asa terhadap kehidupan ini. Selama ini ia merasa kehidupannya
amat kosong dan hampa. Bila ia bisa membahagiakan orang lain-terutama Vania dan Emmamengapa tidak" Tapi setelah ia bertemu Sheila, ia sadar apa yang kurang dalam hidupnya. Ia
sadar apa yang selama ini menghilang dan muncul lagi ke dalam pangkuannya. Tapi semua itu
tak bisa direngkuhnya. Kemarin ibunya datang untuk membujuknya tetap menikah dengan Vania. Bram berpikir ia
memang tidak bisa meninggalkan Vania begitu saja di saat pernikahan mereka sudah sangat
dekat. Akhirnya ia menurut, ia akan tetap menikah.
Bram berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya malah semakin liar mengembara. Akhirnya,
kesal kareba bolak-balik di tempat tidur tanpa hasil, Bram bangkit berdiri dan mengenakan
sweternya. Ia memutuskan untuk menemui Sheila dan membicarakan semua ini.
Anastasia memeluk adiknya.
"Sudahlah, Vania. Laki-laki memang tidak bisa dipercaya. Tapi sekarang mestinya kau sudah
tenang. Dia tetap jadi menikah denganmu, kan?"
Vania masih terus terisak dalam pelukan kakaknya. Selama ini hubungannya dengan Anastasia
sangat dekat. Anastasia selalu menyayangi dan melindunginya. "Tapi sekarang hatiku sangat
sakit. Selama ini kupikir aku telah menemukan seseorang yang bisa berbagi hidup denganku
hingga hari tua, tapi sekarang..."
Anastasia mengusap-usap punggung Vania. "Tenang saja. Yang penting kau yang mendapatkan
dia, kan" Setelah menikah nanti, pelan-pelan kau rebut hatinya. Batu saja jika ditetesi air terusmenerus bisa terkikis, apalagi hati manusia?"
Vania berhenti menangis. Ia menatap kakaknya. "Benar begitu?"
Anastasia mengangguk. "Yang penting kau bisa bersikap dewasa dan memakai otakmu. Kau
mesti cerdik dalam menghadapi laki-laki. Apalagi tipe seperti Bram. Sebenarnya dia bukan tidak
setia. Dia cuma sedang bimbang..."
"Bukannya kata orang, lelaki yang setia jika selingkuh lebih parah daripada yang tidak setia?"
"Percayalah padaku. Aku akan membantumu sekuat tenaga untuk mendapatkan hati Bram
kembali." Anastasia memegang kedua bahu Vania. "Sekarang kau tenang saja. Pernikahanmu sudah
dekat!" Vania tersenyum dan mengangguk.
"Aku mau pergi dengan temanku Ratna ke kafe dekat Kemang. Mau ikut?"
Vania menggeleng. "Ayolah, ikut saja! Kau mesti melupakan masalahmu! Kita refreshing. Oke?"
Akhirnya Vania mengiyakan ajakan kakaknya. Ia pun berganti pakaian.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Bram menghentika mobilnya di depan
rumah Haryanto. Dari dalam mobilnya yang gelap, ia memerhatikan rumah paman Sheila itu.
Apakah ia mesti mengganggu ketenangan Sheila" Melalui Emma ia sudah mendengar bahwa
Sheila akan menghilang darinya sampai pernikahannya selesai. Hatinya terasa seperti ditusuktusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Mengapa Sheila dan Bram harus berkorban demi banyak orang
walaupun hati seperti sudah mau mati rasanya"
Keragu-raguan Bram sirna ketika seorang gadis keluar dari dalam rumah dan duduk di teras.
Melihat Sheila, hati Bram seperti disiram air sejuk. Tapi seiring dengan kegembiraannya melihat
gadis itu, kerinduannya pun membuncah.
Tanpa pikir panjang, Bram keluar dari mobilnya dan memanggil, "Sheila!"
Sheila menoleh. Ia sangat terkejut melihat Bram.
"Bram?" Mereka mendekat ke pagar rumah, saling memandang tanpa tahu harus bagaimana melepaskan
kerinduan yang mengimpit jiwa mereka.
"Sheila, aku ingin bicara," kata Bram.
Lima belas menit kemudian mereka sudah tiba di sebuah kafe di daerah Kemang. Mereka
memesan tempat duduk paling pojok. Pelayan menghidangkan minuman yang mereka pesan.
Sheila memandang wajah Bram. Wajah itu tampak lesu dan tidak bergairah.
"Sheila..., aku... aku tidak sanggup membohongi hatiku. Kita... kita menikah saja."
Sheila terperanjat. "Bram...! Kita tidak bisa begitu."
"Kenapa" Aku dan kau sama-sama menderita. Kita saling mencintai."
Sheila menangis. "Aku tahu sekali perasaanmu, tapi aku tak bisa menghancurkan hidup begitu
banyak orang, Bram. Mungkin...," ia menatap Bram, "kita memang tidak ditakdirkan bersatu."
Bram menatap Sheila dengan pandangan putus asa.
Anastasia menatap adiknya dengan perasaan yang teramat pedih. Di depan Vania sudah ada satu
botol bir yang sudah kosong. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan semua ini.
Menghentikan minum tentu tidak sulit, tapi menghentikan kesedihan adiknya ia tidak mampu,
dan ia merasa tersiksa. "Vania,jangan minum terus. Kau sudah mabuk," kata Ratna yang juga ikut di antara mereka. Ia
menahan gelas yang dipegang Vania.
"Aku memang mau ma...buk!" seru Vania sambil menarik gelas itu. Bir yang ada di dalamnya
tumpah sebagian, tapi ia tak peduli.
Ratna menyerah. Sudahlah, Anastasia saja tidak protes, pikirnya. Ia meneguk minumannya
sendiri sambil memandang berkeliling. Hari biasa seperti ini kafe sedang sepi, tidak seperti
malam minggu waktu ia biasa kesini. Ia sedang bosan. Renny entah pergi ke mana, belum pulang
sejak kemarin. Reza juga sedang ada di kantornya, mungkin lembur. Di rumah rasanya sumpek,
jadi ia setuju waktu diajak Anastasia. Tapi melihat keadaan adik temannya yang katanya sedang
punya masalah dengan calon suaminya, Ratna jadi kesal. Bukannya dapat hiburan, ia malah
harus mendengarkan keluhan orang lain. Seakan ia sendiri tidak punya masalah saja.
Pandangan Ratna tertumbuk pada sosok yang sangat dikenalnya. Rambutnya yang dikucir satu,
kaus warna hijau muda yang sering dipakainya di rumah. Sheila! Sedang apa gadis itu di sini"
pikir Ratna. Dan gadis itu tidak sendirian. Ia bersama seorang pria! Kurang ajar! pikir Ratna. Di belakang
Reza ternyata gadis itu berselingkuh. Malam-malam begini berduaan dengan seorang pria di
pojokan sebuah kafe" Tidak mungkin mereka melakukan perbincangan bisnis atau sekedar
mengobrol! "Ada apa, Rat?" tanya Anastasia saat melihat air muka sahabatnya.
Ratna mendengus ke arah tempat duduk Sheila. "Masih ingat gadis yang tinggal di rumahku dan
kuceritakan padamu?"
"Yang namanya Sheila itu" Yang katamu ayahnya pembunuh ibunya dan sekarang sedang di
penjara?" "Ya. Aku kan sudah cerita bahwa aku resah karena hubungannya dengan anakku. Masalahnya,
aku tidak menyukainya. Rasanya sejak ia masuk ke rumahku hidupku selalu diterpa masalah."
"Lalu kenapa?" "Dia ada di kafe ini, bersama seorang pria. Huh! Kalau saja dia bukan anak saudara angkat
suamiku yang keluarganya sudah berjasa membesarkan suamiku, sudah kulabrak dia!"
Anastasia menoleh. Ia melihat seorang gadis dengan dandanan sederhana. Wajah pria itu tidak
jelas karena membelakanginya. Anastasia ikut mencibir.
"Namanya anak muda. Libido mereka masih tinggi. Tapi tak kusangka, gadis yang kelihatan
alim seperti dia ternyata mau saja diajak keluar malam oleh laki-laki."
Ratna mengangkat gelasnya dan meneguk isinya pelan-pelan. "Lihat saja nanti! Aku tak akan
membiarkan hal ini! Aku tidak akan menyerahkan Reza padanya...."
Prang!!! Tak sengaja, Ratna menyenggol gelas Anastasia. Para tamu jadi menoleh ke arah
mereka. Tak terkecuali Sheila dan Bram.
Ratna melihat wajah pria yang bersama Sheila itu. Ia tahu pria itu calon adik ipar Anastasia.
Mengapa Sheila bisa bersqma calon suami Vania" Lalu ia teringat, beberapa kali Vania
menyebut nama Bram. Apakah pria tampan bernama Harry yang sempat memikat hatinya itu
adalah Bram" Bram yang sama dengan skandal yang terjadi pada Sheila lima tahun yang lalu"
Yang mantan aktor terkenal itu" Astaga... betapa sempitnya dunia ini, pikir Ratna.
Anastasia buru-buru mengelap isi gelas yang tumpah ke meja dengan tisu yang tersedia di meja.
Tapi ia melihat ekspresi kaget temannya dan ikut menoleh. Ia juga kaget karena mengenali
Bram! Anastasia bangkit dengan geram. "B*ngs*t!" serunya. Ia menghampiri Sheila dan Bram, lalu
menggebrak meja mereka. "Besok kalian akan menikah, dan ini yang kau lakukan, Harry?" bentaknya. "Bagaimana jika
kalian sudah menikah nanti" Bisa-bisa dia kau ambil jadi istri muda!" tunjuknya pada Sheila.
Bram dan Sheila terenyak. Mereka tak menyangka mendapat perlakuan seperti ini. Bram buruburu menarik tangan Sheila dan kabur dari kafe itu. Sheila kaget hingga tak sempat menarik
tangannya. Sekilas dilihatnya Ratna yang sedang mendekati wanita yang marah-marah tadi.
"Tante..." Sheila sempat menyapa Ratna, namun Ratna membalasnya dengan tatapan penuh
kebencian. Sheila tak sempat menjelaskan apa-apa lagi. Bram sudah mengajaknya keluar kafe dan masuk ke
mobil. Dan begitu mereka masuk mobil, Bram langsung menstarter mobilnya.
Anastasia sempat mengejar mereka, tapi Ratna menahannya. "Sudahlah, Nas, mereka berdua
bukan pasangan baru."
"Apa maksudmu?" tanya Anastasia geram.
"Ayo ke dalam, aku akan menceritakan semuanya."
Keesokan harinya, Anastasia yang sangat marah menceritakan kejadian semalam pada Vania.
Karena mabuk, begitu pulang dari kafe Vania langsung ambruk. Mendengar semuanya,Vania
juga marah. Ia sadar, pernikahannya lebih baik dibatalkan. Tapi Anastasia tetap ngotot. Ia tak
mau lagi mengorbankan kebahagiaan adiknya demi pasangan laknat itu. Ia berniat membalas
dendam. Ratna sudah bercerita padanya tentang latar belakang hubungan Sheila dan Bram lima tahun
yang lalu. Anastasia punya gagasan untuk melakukan hal yang sama. Menyebarkan skandal ini
pada masyarakat. Harry Abraham Prakoso alias Bram Budiman alias Abraham Mukti kini
muncul lagi, membatalkan pernikahannya secara sepihak karena kepincut seorang anak
pembunuh yang masih mendekam di penjara. Ini pasti akan menjadi berita yang menggparkan,
yang akan menghancurkan karier dan hidup kedua orang itu.
Kebetulan ia mempunyai teman wartawan infotainment yang pasti sangat senang mendapatkan
berita ini. Namanya Iwan Adiputra.
Iwan Adiputra tak bisa berhenti tersenyum. Baru kali ini ia merasa hidup begitu adil. Lima tahun
yang lalu, kariernya jatuh dengan cepat ketika Frans Samudra, seorang editor yang bekerja di
penerbitan, menuntutnya akibat pencantuman nama tanpa izin. Akibat pemberitaan yang
dilakukan Iwan, Frans dipecat dari kantornya bekerja. Frans pun menuntut ganti rugi pada Iwan.
Dan akibat penuntutan itu, Iwan diminta untuk mengundurkan diri dari tabloid Bintang dan Film.
Iwan sempat menganggur selama dua tahun sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan di redaksi
infotainment salah satu televisi swasta yang saat itu sangat diminati masyarakat. Iwan pun
bersungguh-sungguh menjalankan pekerjaannya. Ia mengejar berita para artis terkenal, dengan
sedikit kecerdikan. Entah dari sopir atau pembantu artis yang disuapnya, Iwan mendapatkan
bocoran tentang rahasia sang artis. Dan setelah tiga tahun bekerja, ia mulai merasa mantap.
Trauma masa lalu akibat penuntutan Frans pun perlahan-lahan mulai sirna.
Sekarang Iwan mendapatkan kesempatan untuk mengembalikan harga dirinya lewat berita ini,
berita yang didapatkannya dari Anastasia Chandra, salah seorang teman yang dikenalnya lewat
pergaulan kelas tinggi. Iwan pun mulai bekerja. Berita sudah didapatkannya, tinggal
mendapatkan rekaman gambar mutakhir wajah Sheila dan Bram. Itu cuma soal mudah.
Mira tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan penuh haru. Setelah enam setengah tahun, ia baru
bisa menapakkan kakinya lagi di Indonesia. Lalu lalang orang membuat hatinya terasa hangat.
Ini kampung halamannya. Bahasa yang didengarnya pun bukan lagi bahasa Kanton, melainkan
bahasa Indonesia. Oh, betapa ia sudah tak sabar ingin bertemu teman-temannya.
Mira datang ke sini tanpa izin Graham. Kebetulan pria itu sedang sibuk mengurusi kelahiran
anaknya. Mira berhasil mengumpulkan cukup banyak uang selama dua tahun, cukup baginya
untuk membelu tiket pulang ke Jakarta dan bekal hidup selama beberapa bulan di sini.
Kerinduannya pada Sheila sudah tak tertahankan lagi. Ia sudah tak sabar ingin melihat wajah
anaknya. Mira tak tahu apakah setelah ini ia akan kembali padq Graham atau tidak. Hatinya masih
bimbang. Masalahnya, walaupun Graham mengurungnya di Hongkong, pria itu masih
memperlakukannya dengan baik. Segala kebutuhan hidup Mira terpenuhi. Mira memutuskan
akan memikirkannya lagi setelah ia menemui Sheila.
Soal Charles, Mira tidak mau peduli. Walaupun secara hukum ia masih istri sag Charled, Mira
menganggap pria itu sudah mati.
Pertama-tama ia akan mencari Sheila di kontrakan mereka dulu. Walau kecil kemungkinannya
Sheila dan Charles masih tinggal di sana, pasti ia bisa mendapatkan kabar tentang Sheila.
Mira mampir di gerai fast food untuk membeli burger dan memakannya di ruang tunggu. Ia
melihat sambil lalu ke arah televisi di sudut ruangan. Seorang presenter sedang membacakan
gosip terbaru. "...pemirsa, Anda yang menjadi penggemar film tahun delapan puluhan tentunya sudah tidak
asing lagi dengan nama Abraham Mukti. Sejak kecelakaan yang dialaminya pada tahun 1985,
Abraham Mukti menghilang. Sejak itu kabar beritanya tidak diketahui lagi. Tapi lima tahun yang
lalu, terdengar skandal yang cukup menghebohkan antara Abraham Mukti yang sudah berganti
profesi menjadi penulis cerita detektif bernama Bram Budiman, dengan seorang gadis berusia
tujuh belas tahun bernama Sheila..."
Mendengar nama Sheila disebut-sebut, Mira mencoba melihat lebih jelas pada layar kaca di
atasnya. Ia tersenyum. Nama Sheila bukan nama pasaran, tapi rupanya cukup banyak juga orang
yang memakainya. Dilihatnya wajah seorang pria yang dikenalinya sebagai aktor tampan tahun
delapan puluhan, walaupun kini wajahnya sudah agak berubah karena usia. Dulu Mira sangat
mengidolakan aktor itu. Ia pun masih ingat kecelakaan yang dialami Abraham Mukti, sebab
diberitakan besar-besaran di media masa.
"... nama Bram Budiman pun tenggelam. Kabar terakhir menyebutkan, Bram sudah tak lagi
mengirimkan naskahnya ke penerbit yang menerbitkan bukunya selama ini. Tapi sekarang,
reporter kami mendapatkan berita bahwa Bram sudah berganti nama menjadi Harry Prakoso dan
menulis novel misteri. Baru-baru ini ia akan menikah dengan seorang gadis bernama Varenia
Chandra, tapi tiga hari sebelum pernikahan ia membatalkannya secara sepihak. Rupanya Bram
kembali pada cinta lamanya, gadis bernama Sheila yang kini sudah berusia dua puluh tahun..."
Burger yang sedang dipegang Mira menggelinding jatuh ketika dilihatnya wajah yang sangat
dikenalnya di televisi. Itu Sheila, tak salah lagi. Sheila anaknya. Walau bertambah dewasa,wajah
putrinya itu tak berubah. Mira masih mengingatnya.
"Sheila...," seru Mira kaget.
"... dan kembali kami mendapatkan berita yang bakal membuat para penggemar Abraham Mukti
alias Bram Budiman, alias Harry Prakoso,terkejut. Saat ini, Sheila pun sudah mempunyai
seorang kekasih bernama Reza. Ternyata gadis bernama Sheila itu adalah anak seorang
pembunuh yang saat ini masih mendekam di penjara dan baru akan bebas tahun 2013 nanti.
Yang dibunuh oleh ayah Sheila adalah ibu kandung Sheila sendiri. Ini benar-benar skandal
yang..." Mira menjerit," Tidaaakkk...!!!"
BAB 21 Halaman rumah Haryanto dipenuhi wartawan. Di dalam rumah itu berkumpul semua
penghuninya, termasuk Sheila. Sheila sedang duduk di ruang tamu yang tirainya ditutup, di
bangku lainnya Ratna dan Renny, lalu Reza berdiri tak jauh dari situ, dan Haryanto di kursi roda.
Hari ini seharusnya Bram dan Varenia menikah. Tapi tadi pagi Reza mendapat telpon dari
Varenia. Wanita itu batal menikah. Otomatis jadwal acara dan semua pemesanan yang ditangani
The Glass Slipper berantakan. Tapi Reza tidak mengalami kerugian berarti, karena Bram dan
Varenia sudah membayar lunas.
Reza juga mendengar kabar bahwa Sheila-lah yang membuat Bram batal menikah.
"Kenapa kau melakukan ini, Sheila?" tanya Reza dengan sorot mata terluka.
Sheila tak bisa menjawab. Ia telah mendengar semua berita dari infotainment. Isi beritanya
senada. Ia pun resah karena berita itu membawa-bawa nama Reza, almarhumah ibunya, dan
ayahnya yang ada di penjara. Dan Bram, di manakah pria itu sekarang" Kasihan, Bram pasti
bingung... "Sudah mama bilang, kau tidak pantas memberikan cintamu pada dia,Rez!" seru Ratna lantang.
Ia menoleh pada Sheila, "Dan kau, Sheila, kau benar-benar keterlaluan. Selama ini aku sudah
menahan sabar, tapi kau terus membuat masalah!"
Reza berkata, "Ma...!"
"Diam dulu, Rez! Mama sedang ngomong! Sheila,kalau bukan demi suamiku, sudah lama kau
kuusir dari rumah ini! Aku sudah sabar selama tujuh tahun! Entah sampai kapan cobaan ini
berakhir. Waktu kau memukul Reza hingga pingsan, aku sudah tak dapat menahan sabar. Tapi
lagi-lagi demi om-mu, aku masih baik padamu. Tapi kau semakin keterlalan! Kini kau telah
mengganggu kehidupan keluargaku. Kau menggoda Reza kemudian mencampakkannya, kau
menggoda kekasih Renny hingga Nathan tidak mau lagi datang kemari..."
Sheila terbelalak. Sejak kapan ia menggoda Nathan" Ia mau membela diri, tapi Ratna terus
mencerocos.

Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"... sekarang kau membuat nama Reza dibawa-bawa dalam gosip yang sangat menjatuhkan nama
keluarga kami!" Sheila menangis. "Tante, aku minta maaf..."
"Saat ini aku tidak butuh maaf! Kau mesti pergi dari sini!" bentak Ratna.
"Baik, Tante. Aku akan pergi secepatnya."
"Makin cepat makin baik, sebelum kau membuat keluarga kami makin hancur!"
"Ma!" tegur Reza. "Sudahlah, Ma. Sheila kan sudah seperti keluarga kita sendiri..."
"Reza, Mama benar-benar kecewa padamu! Mata hatimu sudah dibutakan oleh kecantikannya!"
"Ma, jangan begitu. Sheila akan menjadi manantu Mama."
"Apa?" Ratna merasakan nyeri di dadanya lagi. Ini pasti akibat ia terlalu emosi. Didekapnya
dadanya. Reza menatap mamanya serius. "Benar, Ma, aku akan memulihkan nama baik Sheila dan juga
keluarga kita... Aku akan menikahi Sheila."
Dada Ratna terasa semakin nyeri.
"Halo" Pak Harry Prakoso?"
"Ya, benar. Saya sendiri."
"Maaf, Pak, ini dari penerbit Mediasuka. Saya Anton."
"Oh ya, Pak Anton. Ada apa ya?"
"Maaf, Pak. Saya disuruh atasan saya untuk menyampaikan bahwa kontrak buku terakhir anda
akan ditunda sementara. Begitu pula cetak ulang dua buku yang sudah dikonfirmasikan, untuk
sementara kami tunda dulu."
Bram tidak merasa perlu bertanya mengapa. Ia tahu penyebabnya. "Baiklah, Pak Anton. Senang
bekerja sama dengan anda."
"Baik, Pak. Good luck."
Telepon diputuskan. Semoga sukses, pikir Bram pahit. Ia sama sekali tidak peduli dengan
bagaimana buku dan penghasilannya kelak. Ia cuma memikirkan satu hal. Sheila. Setelah
pemberitaan yang memojokkan mereka berdua, bagaimana kabar gadis itu sekarang"
Terdengar bel di pintu. Bram berpikir, itu pasti wartawan. Mengapa satpam apartemennya tidak
mengusir mereka seperti yang diperintahkannya" pikirnya kesal. Ia mendiamkan saja, tapi bel itu
terus berbunyi. Akhirnya ia bangkit berdiri dan melihat lewat lubang pengintip. Dilihatnya
seorang wanita. Wajahnya tampak familier, tapi ia tidak mengenalnya. Dibukanya pintu itu.
Wanita itu kira-kira berusia akhir empat puluhan. Bajunya cukup rapi dan wajahnya cantik.
Penampilannya sopan dan anggun.
"Pak Bram?" tanya wanita itu. Ia mengulurkan tangannya pada Bram. "Kenalkan, nama saya
Mira, saya ibunya Sheila..."
Bram ternganga. Sheila memutuskan untuk pindah dari rumah Haryanto secepatnya. Ia membereskan barangbarangnya. Begitu kumpulan wartawan di depan rumah berkurang, ia akan segera keluar dari
rumah itu. Berita ini sudah membuatnya shock berat, karena setelah infotainment menayangkan
berita tentang Bram, majalah dan tabloid pun ikut meliputnya. Bram dan Sheila mendadak
menjadi sorotan, terkenal dalam arti negatif.
Entah bagaimana Bram menyikapi berita ini. Bagaumana pula dengan pernikahannya"
Kariernya" Sheila merasa sangat bersalah telah membuat nama baik pria itu ikut buruk. Entah
siapa yang membocorkan berita ini kepada wartawan. Tapu Sheila sudah memutuskan untuk
menjauh dari Bram. Pria itu akan menderita kalau bersama Sheila terus. Semua orang akan
menudingnya sebagai pria tak punya hati yang berselungkuh dengan anak pembunuh.
Reza sudah pergi ke kantor. Sheila berpikir akan pergi tanpa pamit padanya, walau Reza sudah
wanti-wanti agar ia jangan ke mana-mana. Nanti kalau sudah pindah, baru ia mencari Reza.
"Non mau ke mana?" ujar Marni terisak. "Jangan pergi, Non. Kalau Non pergi, saya ikut."
Sheila berusaha menahan harunya. Tak disangkanya Marni akan berat melepaskannya. "Kalau
kamu ikut saya, nanti Oom Har siapa yang ngurus?"
"Nanti mereka akan cari pembantu lagi, Non. Saya jadi pembantunya Non Sheila saja. Atau...
kita ajak saja Tuan?"
"Ngaco kamu!"kata Sheila pura-pura marah. "Sudahlah, Mar, saya akan sering-sering menjenguk
Oom kemari. Tenang saja."
"Tapi... saya takut sama Nyonya, Non."
"Takut apa" Sudah, tenang saja. Kalau Nyonya memecat kamu, biar kamu ikut saya saja."
Sheila masuk ke kamar Haryanto. Ia ingin pamitan. Dilihatnya Haryanto sedang duduk di kursi
roda dengan kepala bersandar pada sandarannya. Sheila menghampiri oomnya itu.
"Oom, aku mau pergi dari sini. Tapi aku janji akan sering-sering datang menjenguk Oom. Oom
tidak usah mengkhawatirkan aku." Dilihatnya air muka Haryanto berubah sedih. "Aku mau...
berterima kasih atas kebaikan Oom selama ini..." Sheila tak dapat menahan rasa harunya,
mengingat Haryanto selalu membela dan melindunginya, lebih dari ayah kandungnya sendiri.
"Aku sudah menganggap Oom sebagai ayahku sendiri. Kebaikan Oom ini hanya Tuhan-lah yang
akan membalasnya." Sheila menguatkan hatinya dan meninggalkan Haryanto sendirian. Mulut Haryanto komat-kamit
seolah akan menahan gadis itu, tapi tidak ada suara yang keluar. Seperempat jam berlalu tanpa
suara di kamar itu. Haryanto hanya bisa duduk sambil memandang langit-langit. Lalu tiba-tiba Marni masuk kamar.
"Tuan, di luar ada orang!" katanya. "Dia mau ketemu Tuan, tapi... gimana ya?" Marni
menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Ekspresinya tampak bingung. "Di rumah nggak ada siapasiapa, lagi." Tiba-tiba ia tersenyum dan mendorong kursi roda Haryanto ke depan. "Ah,
sudahlah, Tuan langsung temui saja dia. Biar dia lihat sendiri kondisi Tuan kayak gimana."
Di ruang tamu, duduk seorang wanita. Saat melihat Marni mendorong kursi roda berisi Haryanto
yang sedang duduk, wanita itu menutup mulutnya karena kaget.
"Kak Har..." Kak Har kenapa?"
"Tuan Haryanto sudah lama begini, Bu! Sudah tigatahun." jelas Marni. "Dia sih nggak bisa
ngapa-ngapain, Bu. Semuanya saya yang urus. Makan, buang air, mandi, ganti baju, pokoknya
semuanya dia nggak bisa sendiri deh. Kalau Ibu mau ngobrol, ya ngobrol aja. Kayaknya Tuan
ngerti, tapi... nggak tahu deh. Saya ke dapur dulu ambil minum." Marni pun meninggalkan
Haryanto berdua sang tamu.
Mira menangis melihat kondisi kakak angkat suaminya. Seingatnya dulu Haryanto sangat gagah
dan berwibawa. Mengapa sekarang keadaannya seperti ini" Duduk di kursi roda seperti mayat
hidup" Usia Haryanto cuma selisih beberapa bulan dari Charles, tapi karena bukan saudara kandung,
Charles sangat membenci Haryanto. Katanya Haryanto orang yang sok baik dan selalu ingin
membuatnya tampak buruk di mata orangtua mereka.
Mira teringat masa-masa sulit pernikahannya dengan Charles. Saat itu, karena mertuanya sudah
meninggal, Mira cuma bisa menemui Haryanto bila butuh uang mendesak. Haryanto selalu
menerimanya dengan ramah dan memberinya lebih dari yang ia minta. Bahkan tiga tahun
terakhir sebelum ia meninggalkan Charles, saat suaminya itu sudah gila judi dan minum, seluruh
biaya sekolah Sheila dibayari Haryanto. Charles tak tahu. Dia tak mautahu Mira dapat duit
darimana. Setelah menonton infotainment, Mira tahu bahwa Bram tinggal di apartemen di daerah Menteng.
Mira nekat ingin menemui Bram. Walaupun untung-untungan, Mira akhirnya mendatangi
apartemen lelaki itu dan bertanya pada resepsionis, dan syukurlah akhirnya Mira bisa menemui
Bram. Dan tadi saat ia menemui Bram, pria itu memberi informasi bahwa Sheila tinggal di sini,
di rumah Haryanto. Mira memang sudah mencari Sheila di rumah kontrakan mereka dulu, tapi tidak ada yang tahu di
mana putrinya itu sejak Charles ditangkap polisi. Menurut Pak RT, sejak Charles dipenjara,
Sheila tidak pernah keluar rumah. Suatu hari saat pemilik kontrakan memeriksa, Sheila sudah
tidak ada di sana. Gadis itu pergi tanpa pamit padanya.
Bram lalu bercerita banyak tentang Sheila. Mira sampai menangis mendengarkan penderitaan
anaknya saat ia sedang enak-enak di Hongkong. Tapi Mira juga merasa sedikit lega, karena
Sheila sudah menjadi guru piano dan pianis di acara pernikahan. Sheila sudah dewasa dan sudah
bisa mandiri tanpa bantuannya.
Waktu pertama kali melihat Bram yang hampir separo baya, Mira merasa pria itu bukan orang
yang tepat untuk Sheila. Tapi melihat kebaikan hati Bram dan karisma yang dipancarkannya,
Mira dapat mengerti mengapa Sheila bisa jatuh hati padanya. Bagi Mira, sebenarnya hubungan
Sheila dan Bram tidak terlalu penting. Masalah utamanya sekarang adalah menemukan Sheila
secepatnya, lalu mengurus masalah Charles di penjara. Charles dipenjara karena dituduh
membunuh Mira, padahal Mira sendiri yang kabur ke Hongkong. Ini semua salahnya. Tak
disangkanya semuanya akan jadi begini. Mira bersimpuh di samping kursi roda Haryanto.
"Kak Har, aku ingin minta maaf karena telah merepotkanmu. Kau sudah begitu baik, mau
menampung Sheila di rumah ini. Sungguh, aku tak mampu membalas kebaikanmu."
Haryanto memandangi Mira tanpa mengucap apa-apa. Tapi tanganny perlahan bergerak,
menyentuh tangan Mira. "Kak, sekarang aku ingin bertemu Sheila, di mana dia?"
"Oh, jadi Ibu mencari Non Sheila?" Marni sudah keluar lagi sambil membawa segelas sirop
jeruk. Ia menaruhnya di meja. "Silakan minum, Bu."
"Mbak tahu dimana Sheila?" tanya Mira penuh harap.
"Non Sheila baru saja pergi dari sini, Bu."
"Kapan pulangnya?"
Marni tersenyum seolah Mira yang bodoh. "Ya nggak pulang, Bu. Wong dia sudah pindah, bajubajunya semua dibawa!"
Mira terpana. "Sheila... sudah pergi" Ke mana, mbak"
"Saya tidaktahu, Bu. Tapi tenang saja, dia bilang dia akan sering-sering kemari kok,"senyum
Marni. Mira terduduk lemas di sofa. Lenyaplah harapannya untuk bertemu putrinya. Tadinya dikiranya
ia akan dapat melepas kerinduannya dan juga membereskan masalah Charles.
"Bu" Kenapa, Bu?"
Mira menatap Marni. "Boleh saya melihat kamarnya?"
Mira mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang sempit itu. Kamar itu di dekat dapur.
Isinya cuma sebuah dipan, rak rotan, sebuah meja, dan sebuah bangku. Di dinding ditempeli
beberapa poster bergambar bunga, dan ada gambar seorang ibu tengah menggendong bayi.
Mira tak dapat menahan rasa harunya. Apakah kau sering kagen pada Mama, Nak" batinnya.
Pandangan Mira tertumbuk pada sesuatu yang sangat dikenalnya. Sebuah miniatur piano putih di
dalam kotak kaca. Ia ingat, itu benda yang diberikannya pada Sheila di hari terakhir ia berada di
rumah kontrakan mereka, sebagai hadiah perpisahan. Buru-buru ia mengambil benda itu dan
memeluknya. Oh, Sheila, Mama ingin sekali bertemu denganmu.
Bug! Suara keras seperti benda jatuh itu membuat Mira kaget dan berpaling. Di belakangnya,
berdiri Sheila yang barusan menjatuhkan tasnya karena kaget melihat mamanya ada di
hadapannya. "Sheila!" Mira segera menghambur ke pelukan anaknya. Tapi Sheila melangkah mundur.
Tadinya ia hanya ingin mengambil miniatur pianonya yang tertinggal, sampai ia harus naik ojek
untuk kembali ke rumah Haryanto. Tak disangkanya...
"Ma... Mama sudah mati, jangan ganggu Sheila, Ma!"
"Sheila! Mama bukan hantu! Ini Mama, Nak! Ini benar-benar Mama!" seru Mira. "Mama belum
mati!" Sheila merasa pandangannya berkunang-kunang. Berita yangdi dengarnya barusan membuat
otaknya sangat kacau. Ia memegangi kepalanya. "Tid... tidak... Tidak!" Dan pandangannya pun
menjadi gelap. "Sheila, Papa pulang! Papa bawa apel kesukaanmu!"
"Papa! Papa!" Kaki kecil itu berlari dan menghambur ke dalam pelukan Charles. Charles mengangkat anak itu
tinggi-tinggi dan melemparkannya ke udara, lalu menangkapnya lagi. Ia menciumi pipi putrinya.
"Sheila sayang! Sheila sayang Papa, nggak?"
"Sayang!" "Sayangan mana sama Mama?"
Sheila mengerutkan keningnya yang mungil, lalu ia tersenyum. "Dua-duanya!"
Charles mencubit hidung Sheila, "Kamu memang pintar!"
Sheila menangis. Itu mimpi yang sering sekali muncul dalam tidurnya, mimpi tentang ayahnya
yang membelikan apel di saat Sheila berusia tujuh tahun. Kenangan paling manis yang pernah
dirasakannya. Mimpi yang sering ia halau ketika terbangun
dari tidur, mencoba untuk meresapi bahwa ayahnya tak sayang padanya, ayahnya tak
memedulikannya. Kini ia tahu semua itu tidak benar. Ayahnya bukan pembunuh. Ayahnya tidak membunuh
ibunya. Ayahnya tidak melakukan sesuatu yang membuatnya sedih. Ayahnya bukan tak peduli
padanya. Sheila menangis keras. Ia sangat menyesal. Ia yang salah. Ia telah salah menduga.
Mira memeluk anaknya. "Sheila, maafkan Mama, Sheila! Selama ini Mama begitu rindu
padamu..." Sheila mengelak dari pelukan itu. Mira menangis, tak menyangka anaknya begitu marah
padanya. "Sheila..."
Sheila mengangkat wajahnya. "Mama... ke mana Mama pergi selama ini?" tudingnya.
"Sheila..." Mira bingung mesti mulai dari mana. "Mama pergi ke Hongkong..."
"Hongkong" Mama meninggalkan aku dan Papa begitu saja" Apakah Mama tidak tahu Papa
ditangkap karena dituduh membunuh Mama" Dan aku mesti tinggal sendiria"
"Justru Mama baru tahu papamu dipenjara, Sheila. Mama mau mengajakmu ke kantor polisi
untuk membebaskannya."
Sheila mendengus. "Setelah hampir tujuh tahun, Ma" Mama tega sekali, tega pada aku dan Papa.
Apakah..." Sheila hampir tak sanggup bicara karena emosi yang menggelegak di dadanya.
"Apakah Mama tidak tahu bahwa aku jadi membenci Papa dan tak pernah menjenguknya di
penjara?" Ia menangis sejadinya. "Mama telah membuat aku berdosa karena perlakuanku
terhadap Papa...!" "Sheila, maafkan Mama. Mama tak bisa pulang. Ada orang yang mengurung Mama di sana...
Mama tidak boleh pulang ke jakarta. Mama... kabur dari sana, Nak..."
Sheila terenyak. "Orang" Siapa?"
Mira bersimpuh di kaki anaknya. "Sheila, maafkan Mama, Nak. Mama kabur ke Hongkong dan
tinggal bersama seseorang bernama Graham Lee. Itulah sebabnya Mama tidak mengetahui apa
yang terjadi padq dirimu dan papamu..."
Sheila menggeleng-gelengkan kepala. Ia sangat menyesal tujuh tahun ini telah terbuang sia-sia
bersama dendamnya. Betapa ia sangat berdosa pada ayahnya!
"Mama tega sekali meninggalkan kami begitu saja, dan tinggal bersama pria lain!"
"Kau tidak mengerti, Nak. Bukannya Mama ingin membela diri. Mama tahu Mama salah, Sheila.
Tapi saat itu pikiran Mama sudah buntu. Mama ingin lepas dari papamu. Mama tidak tahu kalau
akhirnya jadi begini..."
Sheila lemas. Tak ada gunanya ia terus menyesali ini. Nasi telah menjadi bubur.
"Ma, sekarang kita mesti membebaskan Papa."
Mira mengangguk. "Mama sudah cerita semuanya pada Bram,temanmu itu. Dia bilang akan
membantu mencarikan pengacara untuk menuntut balik pada Negara. Mereka telah menghukum
orang yang tak bersalah."
Sheila kaget. "Mama sudah bilang pada Bram?"
"Ya. Sekarang dia menunggu kita di kantor polisi."
Kantor polisi menjadi gempar saat Mira dan Sheila datang ke sana untuk melaporkan hal ini.
Kebetulan yang saat ini menjabat pimpinan di polres Jakarta Barat adalah Agung Wijaya yang
dulu masih berpangkat letnan dan ikut mengurus kasus ini.
"Jadi, ini benar Ibu Mira istri Bapak Charle?" tanyanya dengan nada tak percaya. Bisa saja ini
cuma orang yang mengaku-aku agar Charles dibebaskan.
Mira mengeluarkan semua dokumen miliknya yang menunjukkan identitasnya. "Ini, Pak. Silakan
diperiksa dulu." Agung memeriksa berkas-berkas itu dengan keringat dingin yang menjalari tubuhnya. Kasus ini
salah satu batu loncatan yang digunakannya untuk menempati posisinya yang sekarang ini. Tapi
jika mereka terbukti salah menangkap, tentulah ia yang harus bertanggung jawab.
"Bagaimana, Pak?" tanya Sheila
"Apakah ayah saya boleh dibebaskan sekarang?"
"Tidak bisa seperti itu, mbak. Ini harus diselidiki dulu. Jika benar ayah anda terbukti tidak
bersalah, tentu ia akan dibebaskan."
"Dan bagaimana kalau kami mau menuntut balik, Pak Agung?" tanya Bram, yang sejak tadi
sudah mendampingi Sheila dan Mira.
"Ehm... dalam hal ini berarti Negara ya, Pak. Hal seperti itu memang diperbolehkan, tapi kalau
bisa kasus ini diselesaikan dengan cara damai saja, Pak. Tapi kalau memang Bapak berkeras..."
"Kami mau menuntut balik, Pak," ujar Sheila tegas.
"Hoek...! Hoek...!" Renny muntah-muntah di kamar mandi. Ratna yang kebetulan lewat
menghampirinya. "Kenapa, Ren" Masuk angin?" Ia memijit-mijit punggung anaknya.
Renny menggeleng. Dengan napas terengah-engah ia mencuci tangannya di wastafel. "Kayaknya
perutku lagi nggak enak aja, Ma." dustanya. Ia tahu bahwa mual dan muntahnya itu akibat hamil.
Biasanya tidak begini, tapi ia ingat bahwa hari ini sejak pagi ia belum makan apa-apa.
Ratna merasa aneh. Sejak kecil Renny jarang muntah. Ia jadi teringat cerita kawanmya yang
pernah punya anak yang hamil saat SMA, mendadak muntah-muntah padahal tidak sakit. Begitu
pula cerita yang ada di film-film atau sinetron. Tidak mungkin itu terjadi pada Renny, tapi
Ratnacuma ingin memastikan.
"Kayaknya dua bulan ini kamu belum dapat haid. Pembalut yang Mama belikan Mama lihat
masih belum dibuka di atas meja belajarmu..."
"Ehm... sudahkom, Ma! Renny pakai yang lama. Kan masih sisa banyak..."
Ratna medesah lega,"Baguslah. Mama paling takut kalau kamu sampai hamil diluar nikah.
Saudara kita kan banyak, dan kamu tahu sendiri, mereka itu sombong-sombong. Kalau sampai
hamil sebelum nikah, pasti kita digunjingkan, ngerti?" Ia berkata lembut, "Mama sih yakin,
kamu juga nggak sebodoh itu. Nathan juga kelihatannya pemuda yang baik. Iya, kan?"
Renny terdiam. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuannya dengan Nathan yang terakhir, dan
pemuda itu tidak bisa ditemuinya. Apakah Nathan mau kabur dari tanggung jawab" Sekarang
bagaimana" Apakah ia mesti menanggung kehamilan ini sendirian" Ia sudah dewasa, ia tahu
kehamilan ini semakin lama akan semakin kelihatan, sukar untuk menutupinya, apalagi dari
ibunya. "Ma..." Renny menangis. "Jangan marah sama aku aku ya, Ma. Tapi... aku memang hamil..."
"AP"!" teriak Ratna. "KAMU APA"!"
Ratna tak memercayai pendengarannya. Renny... hamil"
Ya ampun, hal yang ditakutkannya terjadi! Ia pernah membicarakan masalah kontrasepsi pada
Renny. Katanya anak itu sudah tahu semua. Ratna juga tak menutup mata, pergaulan remaja
sekarang kian berani. Pikir Ratna, asalkan bertanggung jawab tidak apa-apa. Tapi sekarang...
Renny hamil" Apakah ini kesalahannya yang tidak memerhatikan pergaulan Renny"


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku... hamil, Ma," ulang Renny.
Ratna merasa dadanya nyeri. Tubuhnya terhuyung dan ia jatuh pingsan. Renny memegangi
mamanya, dan berteriak, "Tolong! Tolong! Marniiii!!!!"
Tak lama Marni membantu Renny menggotong tubuh Ratna ke kamar. Mereka berusaha
menyadarkan Ratna dengan aroma minyak kayu putih, tapi Ratna tak kunjung sadar. "Kita mesti
bawa ke rumah sakit. Mar, panggil taksi, cepat!"
Marni buru-buru berlari keluar. Di luar, ia bertemu dengan Rico, pemuda tetangga sebelah.
"Renny ada, Mbak?" tanya pria itu.
"Aduh, lagi repot, Mas! Saya mau cepat-cepat cari taksi. Mau ngantar Nyonya ke rumah sakit,"
kata Marni. "Lho, kenapa?" "Saya juga nggak tahu, sekarang saya mau cari taksi dulu."
"Biar saya yang antar saja! Kebetulan mobil oom saya ada di rumah! Saya ambil dulu mobilnya,
Mbak!" Marni tersenyum. "Wah, bagus itu. Biar saya bilang ke Non Renny dulu."
Renny yang sebenarnya tak suka Rico membantunya, tak bisa berbuat apa-apa. Dibantu Marni
dan Rico ia menggotong tubuh Ratna yang masih pingsan ke mobil Kijang milik paman Rico.
Mereka pun berangkat ke rumah sakit.
Agung Wijaya mengusap-usap wajahnya dengan kalut. Masih segar di ingatannya kasus yang
membuat kariernya menanjak kurang-lebih tujuh tahun yang lalu. Waktu itu tidak ada kasus
sama sekali, padahal dengan menyelesaikan kasus baru pangkat bisa dinaikkan. Polisi
seangkatan Agung getol berlomba-lomba untuk meniti karier di kepolisian, karena usia mereka
sebaya. Masih muda-muda dan semangat pun masih tinggi.
Lalu ada laporan masuk bahwa istri Charles menghilang,dan diduga suaminya yang suka
menganiaya istrinyalah pembunuhnya. Agung melihat ini sebagai suatu kesempatan. Walau tak
ada penuntutnya, kasus ini bisa dibuka dengan Negara sebagai penuntutnya. Kasus ini sangat
mudah. Motif ada, alibi tak ada, saksi banyak. Dengan demikian,tak perlu bukti. Dari pengakuan
itu saja sudah cukup untuk memenjarakan Charles.
Agung pun mulai menginterogasi tersangka. Ia tahu agak sulit membuat seseorang mengaku, tapi
ia punya trik yang didapatkannya dari pengalaman para senior. "Gebukin aja, pasti ngaku!"
begitu kata mereka. Agung pun mulai mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan, tapi Charles tak
kunjung mengaku. Charles cuma bilang bahwa karung yang dibawanya dan ditenggelamkan ke
kali adalah bangkai kucing. Kucing itu kerap mengganggu tidurnya sehingga ia habis sabar dan
membunuhnya. Karena takut ada yang punya, ia memasukkannya ke karung dan membuangnya
ke kali. Tentu saja Agung tak percaya. Apakah ia begitu mudah dibohongi oleh seorang
tersangka" Agung mulai memukuli Charles. Sekali, Charles tak mengaku. Dua kali, tiga kali, berkali-kali,
akhirnya Charles mengaku dialah yang membunuh istrinya, memasukkan jenazahnya ke karung
dan membuangnya ke kali. Charles menandatangani pernyataan bahwa ia mengaku bersalah,
pengadilan pun memutuskan 15 tahun penjara walau jenazah tak ditemukan. Anggapannya,
jenazah itu telah hanyut atau hancur dimakan ikan.
Tak lama kemudian, pangkat Agung naik pesat seiring kasus-kasus lain yang dipecahkannya,
hingga ia menjadi pimpinan polres Jakarta Barat saat ini.
Tak disangka istri Charles muncul sekarang ini. Agung bukan saja merasa bersalah pada Charles,
melainkan ia tahu kariernya pun terancam. Saat ini posisinya bagaikan telur di ujung tanduk. Ia
putus asa. Ratna membuka matanya. Ia melihat wajah Renny yang bersimbah air mata. Di sampingnya ada
Reza dan Rico. "Mama! Mama sudah siuman!" teriak Renny.
Ratna pun teringat bahwa... Renny hamil!
"Renny, bagaimana..." Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dadanya terasa nyeri. Nyeri
yang sudah dirasakannya berbulan-bulan tapi kali ini lebih terasa menyakitkan.
"Agh..." "Mama! Mama!" panggil Renny. "Dokter! Panggil Dokter! Cepat, Rez!"
Ratna menggeleng. Ia ingin berkata bahwa dirinya baik-baik saja, tapi ketiga orang di depannya
begitu paniknya memanggil dokter. Tak lama kemudian seorang dokter masuk ke ruangan itu.
Ratna membiarkan dokter itu memeriksanya. Ia sendiri memejamkan mata, berusaha melawan
rasa sakit yang masih terasa di dadanya.
Tak lama dokter pun selesai.
"Bagaimana, Dokter" Ini semua gara-gara saya terlalu banyak pikiran,"ujar Ratna. Ia berpikir,
bagaimana seandainya ia minta rujukan dokter ini dimana tempat aborsi yang aman untuk
Renny. Dokter itu setengah baya. Air mukany tampak prihatin.
"Ada yang salah, Dok?" tanya Ratna bingung. "Apa saya punya penyakit" Dada saya memang
sering nyeri, tapi.. bykan jantung, kan?"
"Bukan," jawab dokter.
Ratna mendesah lega. Ia bangkit berdiri dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Untunglah.
Memang kolesterol saya di ambang batas, Dok, tapi masih normal kok. Saya takut kalau sampai
stroke seperti suami saya."
"Bu ratna, ehm... saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda. Empat mata."
Renny dan Reza mengerti. Bersama Rico mereka keluar ruangan.
Ratna mengangguk ragu. Ada apa ini" Seperti ada firasat buruk yang mampir di benaknya.
Dokter menyalakan sebuah lampu dan sebuah plastik bening dengan beberapa bayangan hitam
pun terlihat jelas. "Saat Anda pingsan, saya sempat merontgen dada Anda."
"Ad... ada apa, Dok?"
"Saya juga tidak tahu pasti, tapi Anda mesti menjalani biopsi."
"Bi... biopsi" Bukankah itu untuk... kanker?"
Dokter mengangguk. Ia menunjuk ke sebuah bayangan hitam. "Di payudara Anda yang sebelah
kanan, terdapat benjolan. Saya menduga itu kanker."
Ratna tersentak kaget. BAB 22 Sheila terbelalak menatap berita yang dibacanya di koran.
KAPOLRES JAKARTA BARAT BUNUH DIRI KARENA SALAH MEMENJARAKAN
ORANG Kapolres Jakarta Barat, Agung Wijaya, Senin malam bunuh diri dengan cara menenggak racun
pembunuh serangga. Ini dilakukan di ruangan pribadi di kantornya. Ia ditemukan tadi malam
oleh rekannya yang ingin mematikan lampu ruangan yang menyala. Menurut beberapa sumber
yang tidak mau disebutkan namanya, hal ini kemungkinan besar karena kasus yang dipegangnya
enam setengah tahun yang lalu. Ia telah salah menuduh Charles membunuh istrinya, padahal
sang istri masih hidup. Charles dipaksa mengaku bersalah sehingga divonis 15 tahun penjara.
Tapi sang istri yang ternyata pergi ke Hongkong dan baru pulang ke Jakarta beberapa hari yang
lalu mengetahui hal ini dan minta agar suaminya dibebaskan. Diduga, Agung Wijaya merasa
terpukul akibat kesalahannya yang mengakibatkan orang yang tak bersalah dipenjara selama
bertahun-tahun. Saat itu Sheila sedang menginap di hotel bersama Mira. Sheila tak lagi menyalahkan ibunya atas
kejadian ini. Ia sudah paham bahwa banyak hal terjadi karena memang sudah suratan takdir.
Menyalahkan orang lain lebih banyak keburukan daripada kebaikannya.
Sheila memutuskan untuk memberitahukan hal tersebut pada Mira dan Bram.
Saat itu bel pintu berbunyi. Ah, itu mungkin Bram, pikir Sheila. Mereka sudah bertemu beberapa
kali sejak kasus Charles kembali dibuka. Pria itu banyak menolongnya, terutama dalam
mencarikan pengacara yang bagus. Tentang hubungan mereka, walau belum dibicarakan, Sheila
tak ingin terlalu banyak berharap.
Ia beranjak dan membuka pintu.
"Hai." Yang berdiri di depan pintu ternyata Reza. Sudah dua hari Sheila tak bertemu dengannya, sejak
Ratna mengusirnya dan Reza menyuruhnya menunggu, tapi Sheila malah pergi tanpa pamit.
"Rez..." "Boleh aku masuk?"
"Tentu saja." Mereka duduk di sofa. Mira yang baru keluar dari kamar hotel diperkenalkan ke Reza oleh
Sheila, "Rez, ini mamaku. Kau pasti belum pernah bertemu dengannya."
"Halo, Tante...," sapa Reza sambil menyalami tangan Mira yang terulur. Kemudian Reza
kembali bicara pada Sheila, "Aku juga sudah mendengar dari Marni soal mamamu. Mulanya aku
terkejut, tapi akhirnya aku malah turut senang. Sebentar lagi kau akan berkumpul bersama
keluargamu, Sheila," ucapnya dengan wajah murung.
Mira yang melihat kedua anak muda itu bicara dengan serius, meninggalkan mereka.
"Waktu itu, Rez..., maaf aku pergi tanpa pamit."
Reza mengibaskan tangannya. "Sudahlah, justru aku yang mesti minta maaf atas perlakuan
Mama." "Tidak apa, Rez. Kau mesti memahami Tante Ratna, dia berbuat begini demi keutuhan
keluarga." "Lalu apa kau bukan keluarga, Sheila?"
Sheila tersenyum. "Tentu saja bukan, walau kalian sudah kuanggap keluargaku sendiri. Sebentar
lagi aku berkumpul bersama orangtuaku, ingat?"
"Oh ya, aku sudah baca koran hari ini."
Sheila teringat masalah itu. "Iya.! Aku lupa mau memberitahu Mama dan Bram." Ia bangkit
berdiri. Reza menahan tangan Sheila. "Tunggu, Sheila. Belakangan ini sulit sekali menemuimu. Aku
mau bicara... tentang hubungan kita."
Sheila tertegun. Ia lalu pura-pura tidak mengerti. "Hubungan kita" Tentu saja aku akan selalu
menjadi sahabat terbaikmu, Rez! Kau sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri."
Reza tersenyum pahit. "Kakak?" Ia menggelengkan kepala. "Oke, kau memang menganggapku
kakak, tapi aku..." "Maafkan aku, Rez. Aku tahu maksudmu, tapi kita tak akan mengarah ke hubungan seperti itu.
Kau tahu aku mencintai Bram, dan hubungan kami tidak hanya terjalin hanya belakangan ini,
tapi jauh lebih lama dari itu."
"Jadi... kau dan Bram akan..."
Sheila tersenyum. "Sampai sejauh ini, aku sudah sangat bersyukur atas rahmat Tuhan. Sekarang
aku belum berpikir ke sana. Tapi jika Tuhan mengijinkan, aku ingin bersamanya."
Reza berusaha bebesar hati. "Memang sudah sepantasnya kau menerima kebahagiaan yang
belum kau alami selama ini, Sheila."
Sheila memeluk Reza hingga pria itu tertawa. "Sejak dulu aku ingin dipeluk olehmu. Tapi ketika
aku sudah tidak mengharapkannya, kau malah memelukku!" Reza mengembuskan napas berat,
seakan menahan luka di hati. "Oh ya, Sheila... aku mau pamit sekarang, mau menjemput Mama
di rumah sakit." "Ada apa Tante ke rumah sakit?"
Reza menjawab sedih, "Sepertinya saat ini dokter sudah memberitahunya bahwa dia positif
terkena kanker payudara."
"Apa?" "Ya. Maafkan segala kesalahan mamaku, Sheila. Hidup Mama sudah tak lama lagi."
Ratna menekap mulutnya mendengar kata-kata dokter. "Jadi... penyakit saya sudah tak dapat
diobati lagi, Dok?" "Saya cuma berusaha, Bu Ratna. Tuhan-lah yang menentukan. Kankernya sudah menyebar ke
organ tubuh lain. Saya minta maaf. Saya hanya ingin mengatakan, tetaplah semangat, terus
berusaha sembuh, habiskanlah sisa waktu Anda bersama orang-orang yang Anda sayangi."
Ratna ingin menangis, tapi ia tahu itu sia-sia saja. Tak disangkanya rasa nyeri yang kerap
dirasakannya beberapa bulan ini karena tubuhnya sudah mengidap kanker! Ia berkata dengan
tabah, "Berapa lama lagi, Dokter?"
"Kira-kira enam bulan lagi."
Ratna terdiam. Apakah penyakitnya... adalah hukuman dari Tuhan" Selama ini ia tahu ia telah
menelantarkan keluarganya, terutama Haryanto. Ia tak pernah memerhatikan hidup Reza, anak
itu berusaha keras bekerja. Belum lagi Renny, yang karena kurang pengawasan darinya, kini
telah hamil. Ratna menangis terisak-isak. Bukan karena penyakitnya, melainkan karena menyesali seluruh
hidup yang telah dijalaninya.
"Tabah ya, Bu. Waktu enam bulan itu bukan harga mati. Lama atau tidaknya bergantung dari
kemauan hidup Ibu. Dan cobalah untuk selalu bersikap positif, itu akan memperpanjang usia Ibu.
Banyak pasien yang sudah divonis seperti itu tapi mereka menjalani pengobatan sesuai anjuran
dan hidup lebih lama."
"Dokter," tanya Ratna lirih, "apa yang saya alami setelah mati?"
Dokter itu tersenyum penuh pengertian. "Hidup yang penuh keindahan, Bu Ratna. Kita akan
bertemu dengan pencipta kita, kembali ke pangkuanNya."
Ratna menangis di hadapan Haryanto yang duduk di kursi roda. Ia bersimpuh dan memeluk lutut
suaminya. "Papa... kata dokter, aku mengidap kanker payudara. Hidupku... tinggal enam bulan lagi.
Maafkan aku, Pa. Dosaku sudah terlalu besar pada Papa. Sekarang...," Ratna tak kuasq
melanjutkan kata-katanya, "mungkin aku yang akan mati lebih dulu, meninggalkanmu dan anakanak.
"Banyak sekali kesalahan yang telah kulakukan. Sebagai istri, aku tidak mengurusmu dengan
baik, dan sebagai ibu, aku tidak mampu mendidik Reza dan Renny dengan baik. Renny... dia
hamil, Pa. Nam keluarga kita sudah hancur. Sebagai istrimu, aku malu..." Ratna menangis lagi.
"Aku minta maaf, Pa..."
"Ratna..." Ratna berhenti menangis. Ia menatap Haryanto dengan pandangan kaget.
"Ma... Papa memaafkan Mama..."
"Papa..."! Papa bisa bicara"!" seru Ratna.
Selama ini Haryanto tidak mampu bicara. Dokter bilang saraf di bagian bibirnya tidak bisa
dikendalikan dari otak karena otaknya rusak sebagian. Kini Ratna melihat bibir suaminya
bergerak sedikit, tapi kata-kata yang keluar jelas terdengar walau diucapkan perlahan-lahan.
Ratna bangkit berdiri. "Apa... Pap sebenarnya bisa jala juga?"
"Tidak. Aku cuma... bisa bicara."
"Lalu kenapa selama ini Papa tidak mau bicara?"
Air mata menetes dari mata Haryanto. "Papa... ingin menjaga perasaan Mama. Papa ingin Mama
menganggap Papa sudah mati saja, sehingga Mama bisa menemukan kebahagiaan Mama
sendiri..." Tangis Ratna meledak. Haryanto begitu mulia. Ia mengerti semuanya. Haryanto berpura-pura
tidak bisa bicara sehingga Ratna mengira suaminya itu sudah seperti mayat hidup. Tubuhnya saja
yang masih bernyawa tapi orangnya sudah tidak bisa apa-apa. Hal ini dilakukannya supaya hati
Ratna tidak gundah melihat kondisinya.
"Ma... tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada diri kita esok. Mama jangan khawatir.
Mama masih beruntung, masih mengetahui berapa lama sisa hidup Mama. Banyak orang yang
terlena dengan kehidupan, lalu tiba-tiba saja meninggal tanpa sempat melakukan kebaikan..."
Ratna terisak, "Selama sisa hidup Mama, Mama akan merawat Papa. Mama juga akan
memerhatikan anak-anak. Tapi... bagaimana dengan Renny?"
Haryanto mengejapkan mata. "Apalah artinya nama baik" Hidup ini cuma sebentar..."
Ratna mengangguk. Tuhan sudah begitu baik padanya, menegurnya agar dalam sisa hidupnya ini
ia dapat melakukan kebaikan semampunya.
Ratna mengumpulkan kedua anaknya. Ia berbicara dengan mereka dari hati ke hati. Haryanto
juga ada di ruangan yang sama.
Reza, Renny,kalian sudah tahu kondisi Mama, kan?"
Reza mengangguk. Renny mulai menangis. Sejak dokter memberitahu perihal penyakit Ratna,
mereka berdua sudah berusaha mencari literatur tentang cara pengobatan a
ternatif untuk kanker. Pokoknya segala cara akan mereka tempuh untuk menyembuhkan atau setidaknya
memperpanjang usia Ratna.
"Kalian jangan sedih. Setiap manusia suatu saat akan mati. Mama masih beruntung," Ratna
tersenyum, "sudah diberitahu dan diberi peringatan lebih dulu..." Tangis Renny makin keras.
Reza memeluk adiknya dan menepuk-nepuk punggungnya.
Ratna melanjutkan kalimatnya, "Mama jadi punya kesempatan untuk bertobat. Reza, kau anak
Mama yangpaling tua. Kau akan meneruskan keluarga ini. Carilah wanita yang baik untuk
menjadi istrimu. Kelak mungkin Mama tak sempat melihat anakmu, tapi Mama yakin, kau tidak
akan salah pilih. Dan... soal Sheila, Mama terus terang saja... kalian berdua tidak cocok."
Melihat Reza mau membantah, "Ratna melanjutkan, "Bukan karena Mama tidakmenyukai
Sheila. Pikiran Mama tentang Sheila sudah tak seperti dulu kok. Cuma...dia akan lebih bahagia
dengan pria yang dicintainya. Demikian juga kamu, dengan wanita yang kamu cintai dan
mencintai kamu." "Ma..." "Dan bilang padanya bahwa Mama minta maaf atas semua kesalahan Mama selama ini. Dia
sudah begitu baik pada Papa, merawatnya selama tiga tahun ini, tapi bukannya berterima kasih,
Mama malah mengusirnya. Mama malu bertemu dengannya lagi."
"Aku akan mengatakannya pada Sheila, Ma," jawab Reza.
Ratna menoleh pada Renny.
"Renny,kau jangan menangis terus. Kau mesti tegar! Mesti bersikap dewasa!" seru Ratna. Renny
mendadak terdiam. "Kau yang paling Mama khawatirkan. Keadaanmu yang seperti ini...," Ratna menghela napas,
"Mama tak tahu harus bagaimana lagi. Kehamilanmu lambat laun sulit disembunyikan, jadi lebih
baik kau cepat menikah..."
Reza seperti disambar petir. "Apa" Renny hamil"!"
Ratna mengangguk. "Jadi kau belum tahu adikmu hamil?"
"Siapa yang menghamilimu, Ren?" geram Reza.
"Siapa lagi" Pastilah Nathan, mereka berdua-duaan terus," jawab Ratna.
Tiba-tiba Renny menangis. "Maafkan aku, Ma, Pa...Aku yang salah... tapi aku tak bisa
menikah..." Ratna mengerutkan keningnya. "Kenapa tidak bisa?"
"Nathan... Nathan... dia selalu menghindar. Dia bilang aku harus mangurus sendiri, mengaborsi
anak ini sendiri." Haryanto yang sedari tadi di saja berkata, "Tidak boleh... aborsi. Papa tidak setuju!"
Renny dan Reza melotot kaget mendengar ayah mereka bisa bicara. "Sejak kapan Papa bisa
bicara?" tanya Reza.
"Papamu sebenarnya bisa bicara, tapi karena Mama mengabaikannya, ia pura-pura tidak bisa
bicara untuk menjaga nama baik Mama yang tidak mengurus suami dengan baik," jelas Ratna


Piano Di Kotak Kaca Karya Agnes Jessica di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan wajah pedih. "Dan sekarang, Renny hamil. Ini salah Mama juga yang tidak
mengawasinya..." Reza menggebrak meja. "Aku tidak bisa membiarkan b*j*ng*n itu berbuat seenaknya!" Ia mengambil kunci motornya
dan keluar dari rumah. "Reza! Reza!" panggil Ratna. "Kau mau ka mana?"
Tapi pemuda itu keburu melesat pergi dengan motornya. Percuma saja Ratna dan Renny
mengejarnya. Di depan pagar, Rico muncul dari rumah sebelah.
"Tante, Renny, tumben semua ada di rumah nih," senyum Rico.
"Mau apa"!" tanya Renny ketus.
Ratna menahannya dan menarik Renny agakjauh. "Ren, kau tidak boleh begitu. Sebenarnya
daripada Nathan, Mama lebih setuju laki-laki seperti Rico menjadi suamimu."
"Ma!" "Ini serius. Laki-laki seperti Nathan tak bisa kau harapkan jadi pendamping yang baik.
Seandainya kau belum..."
"Ma!" "Seandainya kau belum hamil, Mama akan merestui Rico!" tegas Ratna. Ia kembali ke pagar dan
mempersilakan Rico masuk.
Suasana pertemuan antara Sheila dan ayahnya berlangsung penuh keharuan. Sidang penggugatan
balik yang diatur oleh Bram sudah berakhir. Diputuskan bahwa Negara akan memberikan ganti
rugi pada Charles untuk kesalahan penangkapan, pemaksaan untuk mengaku bersalah oleh
oknum Agung Wijaya yang sekarang sudah almarhum, hukuman penjara yang sudah dijalani
selama enam setengah tahun, serta penyakit TBC kronis yang diderita pria itu selama berada
dalam penjara. Selain itu, nama baik Charles juga dipulihkan dengan mengumumkan kasus ini ke
media massa. Sheila menghambur ke pelukan Charles.
"Papa! Maafkan aku, Pa! Aku telah salah menuduh Papa," tangis gadis itu.
Charles mengelus punggung anaknya. "Sheila, sudahlah. Semua yang sudah terjadi tidak usah
dipermasalahkan lagi. Yang penting akhirnya kau tahu Papa tidak membunuh mamamu."
"Tapi, Pa, dosaku pada Papa begitu besar. Selama enam setengah tahun ini Papa menderita di
penjara, aku tak pernah menjenguk Papa."
Charles memegang bahu anaknya dan berkata serius, "Papa tahu, kau juga banyak menderita
selama ini, Sheila. Kuta berdua sama."
Mira ikut bergabung."Maafkan aku, Charles. Seharusnya aku tidak pergi."
Charles menggeleng. "Aku bukan orang yang bersih dari dosa, Mira. Aku tahu aku telah banyak
berbuat kesalahan padamu. Kurasa Tuhan sudah menghukumku dengan ini. Seharusnya aku
bersyukur, masih memiliki waktu untuk bertobat."
Seorang petugas memanggil Charles untuk menandatangani beberapa berkas. Tinggal Mira dan
Sheila berdua. "Ma, aku senang akhirnya kita bertiga bisa berkumpul seperti dulu."
Mira menggeleng. "Tidak, Sheila. Mama akan kembali ke Hongkong."
Sheila ternganga. "Tapi Mama bilang pria itu sudah punya istri dan ia mengurung Mama! Apa
Mama may kembali padanya?"
"Mama tidak tahu, Sheila. Hmm... sebenarnya..."
Sebenarnya Mira merasa sangat malu kalau kembali lagi tinggal bersama Charles. Ia merasa
sangat bersalah telah menyebabkan Charles dan Sheila mengalami semua ini. Lebih baik ia
kembali ke Hongkong, setidaknya di sana ia bisa memulai hidup baru.
"Kenapa kita tidak berkumpul lagi seperti dulu" Mama lihat sendiri, Papa sudah berubah. Dan
Mama kan belum bercerai dari Papa..."
Tiba-tiba Charles meraih tangan Mira dan menggenggamnya.
"Mira... aku minta dengan sangat, tinggalah bersamaku. Maafkan kesalahanku yang dulu... Aku
mohon..." Mata Charles berkaca-kaca.
Mira menarik napas panjang. Dia tidak berkata apa-apa, tapi ia tidak melepaskan genggaman
tangan Charles. Kemudian Mira tersenyum. Ia menunjuk ke belakang tubuh Sheila. Sheila menengok dan melihat
Bram ada di sana, cukup jauh dari mereka, tapi Sheila sadar pria itu menunggunya. "Ia sudah
lama menantimu, Sheila. Kau juga mesti meraih kebahagiaanmu,oke?"
Sheila menatap Bram dengan raut bahagia. Kini tak ada lagi yang menjadi penghalang bagi
mereka untuk bersatu. Ayah Sheila juga sudah dibebaskan. Mereka pun sudah mendapatkan restu
dari Charles dan Mira. Vania sudah membatalkan pernikahan. Sudah terbukti pula bahwa
pemberitaan mereka di media massa tempo hari adalah ulah Anastasia, kakak Vania. Tapi Sheila
tidak marah. Akibat pemberitaan itu ia malah menemukan kebenaran.
"Aku bukan anak pembunuh, Bram," kata Sheila dengan suara serak.
"Seandainya kau memang anak pembunuh pun, apa salahnya?" Bram balik bertanya.
"Itu masalah yang cukup berat bagiku. Selama ini aku sangat tertekan. Kupikir ada darah
pembunuh yang mengalir di tubuhku, karena berulang kali aku memiliki nafsu untuk menghabisi
nyawa orang." "Yang kau rasakan itu sangat manusiawi. Tanpa emosi, manusia seperti tubuh tanpa jiwa. Hanya
saja, tinggal bagaimana kau mengendalikan emosi itu."
Sheila tersenyum. "Bram... kau sangat baik. Aku mesti berterima kasih padamu karena semua
ini. Tanpa bantuanmu, Papa tidak akan mendapat ganti rugi. Walaupun orientasi penggugatan
kita bukan uang, kurasa uang akan sangat bermanfaat bagi sisa hidup Papa, juga untuk
mengobati penyakitnya."
Sheila gembira karena selain keluarganya kini utuh kembali, keluarga Haryanto juga demikian.
Walaupun sedikit diterpa kesedihan akibat penyakit Ratna dan kehamilan Renny, Sheila senang
akhirnya kedua wanita itu bisa sadar. Renny memutuskan akan menikah dengan Rico, yang
dengan lapang dada menerima kehamilan Renny dan akan menganggap anak itu sebagai anak
kandungnya sendiri. Adapun soal Nathan, pria itu kini masih dirawat di rumah sakit karena babak belur dihajar Reza.
Tadinya Reza akan dilaporkan ke polisi, tapi setelah diancam akan dituntut karena menghamili
Renny, Nathan pun mundur.
-End- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
EPILOG Enam bulan kemudian, di taman pemakaman umum, mereka semua berkumpul. Terlihat wajahwajah muram. Sheila, Bram, Charles, Mira, Reza, Wenny, dan Tini.
"Usia manusia sungguh tidak terduga," ujar Wenny.
"Dari tanah, akan kembali ke tanah. Sepertinya itulah daur ulang kehidupan. Memberi tempat
pada yang baru lahir," ujar Tini. "Oh ya, Rez... adikmu sudah melahirkan?" bisik Tini.
"Sudah. Barusan aku terima SMS dari dia. Anaknya laki-laki..."
Yang hadir di pemakaman itu kembali merenung membaca doa.
Charles menaburkan sisa bunga yang ada di tangannya. "Selamat jalan, di dunia yang baru."
Bram tak dapat menahan rasa harunya. "Semoga diterima di sisi Tuhan..."
Sheila tak kuasa menahan tangis. "Selamat jalan, Kakek..."
Memang itu adalah pemakaman Eman. Pria tua itu meninggal di usia tujuh puluh tahun. Tanpa
sakit apa-apa. Kata orang, orang yang meninggalnya tidak susah, selama hidupnya pasti baik.
Reza menatap tanah merah di hadapannya. Sudah enam bulan berlalu sejak vonis dokter, tapi
kondisi Ratna tidak menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Berkat semangat hidup dan
pengobatan alternatif yang dilakukannya, sepertinya umurnya masih bisa bertahan beberapa
bulan lagi. Menyambut kelahiran anak Renny, Ratna sangat antusias. Ia yang repot membeli pernak-pernik
perlengkapan bayi. Terlihat sekali ia menerima hari-harinya penuh rasa syukur dan menjalaninya
dengan bahagia. Ratna mengurus keluarganya dengan baik, terutama Haryanto. Kondisi pria itu juga semakin
baik setelah Ratna merawatnya. Ia masih seperti dulu, lumpuh setengah badan, tapi sekarang ia
lancar berbicara. Reza bersyukur, belakangan ini The Glass Slipper semakin maju. Ini semua tak lepas dari kerja
keras yang dilakukan Wenny. Reza merasa bersalah tak bisa menerima cinta gadis itu. Tapi siapa
tahu suatu hari ia akan membuka hatinya. Manusia tak pernah tahu apa takdir yang terbentang di
hadapannya. Reza juga bahagia akhirnya Renny menikah dengan Rico. Adiknya itu sudah jauh berubah. Ia
sangat menghormati suaminya, tidak lagi manja seperti dulu. Reza berharap rah tangga adiknya
itu akan selalu bahagia. Reza menoleh pada Sheila. Gadis itu masih membungkuk di hadapan nisan Eman. Bram sedang
mengambil sesuatu di mobil. Reza mengulurkan tangan dan memapah Sheila berdiri.
"Jangan terlalu bersedih, tidak baik untuk kehamilanmu," katanya.
Sheila tersenyum. Ia memang sedang hamil. Kehamilannya baru menginjak bulan keempat.
"Kakek Eman orang yang paling baik padaku selain Oom Har dan Bram..."
"Aku tidak dihitung nih?"
Sheila jadi tertawa. "Tentu saja, tapi kau kan datang belakangan. Pertama-tamanya sih, uuh!
Nyebelin banget!" Reza tertawa. Lalu ia berhenti tertawa dan menatap Sheila serius. "Kau bahagia dengan Bram,
Sheila?" Sheila mengangguk. "Aku sangat bahagia, Rez..."
"Aku turut gembira."
Selama enam bulan ini, Charles dan Mira tinggal bersama Sheila dan Bram. Hubungan Sheila
dan ayahnya kini semakin baik. Charles telah mengakui bahwa dulu ia kurang memerhatikan istri
dan anaknya, dan sepertinya hukuman penjara adalah teguran Tuhan atas kesalahannya.
Hubungan Charles dan Haryanto pun sangat baik. Charles sangat berterima kasih pada Haryanto
atas perhatiannya pada Sheila. Tanpa Haryanto, entah bagaimana nasib putrinya itu. Charles juga
meminta maaf atas sikapnya dulu pada saudara angkatnya itu. Itu semata-mata dilakukannya
karena rasa iri karena Haryanto lebih berprestasi dan lebih membanggakan orangtua mereka.
Charles tersenyum pada putrinya dan Sheila membalasnya. Sheila lalu menoleh ke arah ibunya.
Mira juga tersenyum bahagia.
Dari kejauhan, Bram melambaikan tangannya yang memegang sebuah benda. Sheila tahu benda
apa itu. Miniatur piano di kotak kaca miliknya. Sheila memutuskan untuk mengubur benda itu di
samping makam Eman. Dulu benda itu disimpannya untuk mengenang ibunya yang dikiranya
sudah meninggal. Sekarang benda itu melambangkan segala kepahitan yang telah dialaminya.
Biarlah miniatur piano itu menjadi kenangan. Kenangan pahit dan manis yang pernah
dialaminya. Karena ia tahu, kedua hal itu sama berharganya.
-End- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Maya Misteri Dunia 5 Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Tumbal Perkawinan 1
^