Jangan Menilai Cewek Dari 1
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter Bagian 1
DON"T JUDGE A GIRL BY HER COVER
by Ally Carter Copyright ? 2009 by Ally Carter
Published by arrangement with Hyperion Books
for Children, an imprint of Disney Book Group.
All rights reserved. JANGAN MENILAI CEWEK DARI PENYAMARANNYA
Alih bahasa: Alexandra Karina
GM 312 01 10.0026 Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W.
Foto cover: ?Darja Vorontsova/Shutterstock
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok I, Lt. 4"5 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2010 288 hlm.; 20 cm. ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 5850 - 9
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Untuk Donna Bray, Gallagher Girl yang memulai semuanya
Bab S a t u "K ami bergerak." Laki-laki di sebelahku bicara ke mikrofon
di lengan bajunya, dan aku tahu kata-katanya tidak ditujukan
padaku. Udara bulan Agustus ini panas, dipenuhi bau garam dari
laut dan asap knalpot bus. Jalanan penuh sesak sampai berkilokilometer ke depan, dan ke mana pun aku memandang terlihat
warna merah, putih, dan biru. Ke mana pun aku menoleh, kurasakan mata para profesional terlatih menatap, melihat, merekam setiap kata, menganalisis setiap lirikan dalam jarak 20
kilometer ke depan. Sebagian diriku ingin melepaskan diri dari pria-pria besar
bersetelan gelap yang mengapitku di kedua sisi; sebagian lagi
ingin mengagumi anjing pelacak bom yang memeriksa berbagai
macam kotak 20 meter di depanku. Tapi keinginan terbesarku
saat itu adalah berbohong ketika pria lain, yang membawa clipboard dan memakai earpiece, menanyakan namaku.
Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk belajar memberikan identitas palsu dan cerita penyamaran yang dirancang
dengan sempurna dalam situasi semacam ini, jadi rasanya lebih
sulit daripada yang kukira untuk menjawab jujur, "Cammie.
Cammie Morgan." Situasinya lebih aneh daripada yang kuduga waktu aku menunggunya memeriksa daftar nama di clipboard dan bilang,
"Kau boleh langsung masuk."
Seakan aku cewek 16 tahun biasa.
Seakan aku nggak mungkin jadi ancaman.
Seakan aku nggak bersekolah di sekolah mata-mata.
Saat berjalan melewati lobi hotel, mau nggak mau aku teringat tugas pertama yang diberikan guru Operasi Rahasia padaku: Perhatikan segala hal. Berbagai lampu dan kamera bersinar
dari setiap sudut. Jala raksasa penuh balon merah, putih, dan
biru menjalar di ruangan luas itu seperti ular piton yang
patriotik. Di level mezzanine, delegasi Texas menyanyikan lagu
tentang mawar kuning, sementara seorang wanita berjalan
lewat mengenakan topi busa besar yang berbentuk seperti peach
Georgia. Pandanganku memindai sekumpulan wanita tua dan muda
di sana. Pasangan suami-istri. Mahasiswa dan penduduk lanjut
usia. Terakhir kalinya aku berada dalam kerumunan seperti
ini adalah pada musim berbeda dan di kota berbeda, jadi
entah kenapa sekarang aku merinding dan berusaha melawan
kasus d?j? vu parah saat memandang berkeliling dan mengucapkan nama yang belum kusebut selama berminggu-minggu.
"Zach." Mungkin AC di hotel ini memang dingin sekali atau
mungkin ingatan tentang hari dingin di D.C. yang memicunya.
Lalu aku mengerjap dan bertanya-tanya apakah sebagian
diriku akan selalu curiga Zach mungkin mengikutiku.
"Lewat sini," kata pria di sebelahku, tapi kami tidak berhenti di ujung antrean yang melengkung dan berbelok-belok
di depan meja pendaftaran berlapis marmer. Kami bahkan
tidak melambatkan langkah sewaktu melewati dua baris lift.
Kami malah berbelok ke koridor sempit yang sepertinya berada
jauh sekali dari lampu terang dan langit-langit lobi yang tinggi.
Karpet empuk berubah jadi ubin linoleum yang pecah-pecah
sampai akhirnya kami berdiri di depan lift yang aku yakin
tidak dibuat untuk dilihat para tamu hotel.
"Jadi, kau teman si Merak?" si agen Dinas Rahasia bertanya
waktu kami menunggu pintu lift membuka.
"Apa?" tanyaku, karena walaupun aku belum pernah menginap di hotel sebagus ini, aku cukup yakin pihak hotel nggak
akan membiarkan burung eksotis dibawa masuk ke level penthouse.
"Merak," si agen berkata lagi waktu kami melangkah ke
dalam lift servis yang tak lama kemudian membawa kami,
nonstop, ke lantai teratas. "Begini, kami memakai nama sandi,"
jelasnya seakan aku" cewek 16 tahun, "saat membicarakan
pihak yang dilindungi. Jadi kau dan Merak, kalian" berteman?"
tanyanya, dan sekali lagi kusadari bahwa dia nggak memandangku dengan cara petugas keamanan profesional yang terlatih
dan dipersenjatai dengan baik memandang ancaman potensial
(aku kan tahu banyak soal petugas keamanan profesional yang
terlatih dan dipersenjatai dengan baik!). Tidak. Dia memandangku seakan aku" Gallagher Girl.
Tentu saja, kalau kau membaca ini kau pasti tahu bahwa
ada dua tipe manusia di dunia"mereka yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding Akademi Gallagher
untuk Wanita Muda Berbakat, dan mereka yang tidak tahu.
Cara si agen mencoba membandingkan pakaianku yang agak
ketinggalan zaman dengan reputasi sekolahku memberitahuku
dia jelas tipe kedua"dia berasumsi kami semua kaya; mengira
kami semua manja; juga bahwa dia nggak tahu apa arti sebenarnya menjadi Gallagher Girl.
Dan itu terjadi sebelum aku mendengar jeritan.
Waktu pintu lift membuka, suara melengking "Aku bakal
membunuh seseorang!" bergema dari balik pintu ganda di
ujung koridor. Lalu aku seratus persen yakin bahwa laki-laki di sampingku
tidak tahu apa-apa tentang Akademi Gallagher, karena dia
tidak menyiapkan senjatanya; dia bahkan tidak mengernyit
waktu agen Dinas Rahasia kedua membuka pintu ganda itu
dan berbisik, "Merak marah."
Sebaliknya, si agen berjalan menghampiri cewek yang menjerit itu"walaupun cewek itu seorang Gallagher Girl.
Walaupun nama cewek itu Macey McHenry.
Sebelum hari itu, aku belum pernah mengunjungi Boston. Aku
belum pernah dikawal Dinas Rahasia. Dan aku jelas belum
pernah jadi VIP"very important person"(atau teman/teman
sekamar/tamu VIP) di konvensi politik nasional. Tapi waktu
berjalan memasuki kamar yang aku yakin adalah suite terbaik
kedua hotel itu, aku menambahkan hal pertama lain ke daftarku: aku belum pernah melihat Macey McHenry semarah itu.
"Sungguh, Macey, kurasa itu artikel kecil yang manis."
Suara Cynthia McHenry yang tenang dan sopan amat sangat
berlawanan dari suara putrinya. "Dia putra tunggal calon
presiden" Kau putri tunggal calon wakil presiden" Kalau
orang-orang ingin membaca artikel tentang kemungkinan
pernikahan Gedung Putih delapan tahun lagi, sama sekali tak
ada alasan untuk menghentikan mereka. Sungguh, aku bingung
kenapa reaksimu begitu dramatis."
Saat itu aku membuat catatan di dalam hati bahwa jika
menurut Mrs. McHenry reaksi Macey terlalu dramatis, mungkin sebaiknya dia jangan sampai ditinggalkan sendiri bersama
sebagian besar siswa kelas sebelas kami.
"Kalau cowok itu?"
"Cowok itu," ibu Macey mengoreksi, "adalah putra Gubernur
Winters?" ?"mencoba menggodaku?" sambung Macey, tapi Mrs.
McHenry bicara lebih keras.
"Dan kalau muncul bersamanya bisa memberi kita dua persen kenaikan suara di Ohio, berarti kau harus melakukannya."
"Persentase." Macey mendesah kesal. "Mom kan tahu aku
nggak suka matematika."
Well, aku pernah melihat sendiri Macey McHenry mengerjakan aljabar linear tanpa kalkulator (setelah menguasai
sistem yang diajarkan teman sekamar kami Liz, tentu saja),
tapi cewek di depanku bukanlah Macey yang kukenal di
sekolah. Dia juga bukan cewek yang sekarang gambarnya muncul di TV suite, tersenyum dan melambai dan bergandengan
dengan ayahnya dalam siaran berita nasional. Sekarang ini dia
adalah Gallagher Girl jenis lain"jenis yang diharapkan agen
tadi: jenis yang sombong, manja, yang merangkak keluar dari
limusin orangtuanya dan memasuki sekolah kami nyaris setahun lalu dengan mengenakan sepatu bot tentara dan cincin
hidung berlian. "Inilah pemandangan pagi ini saat Senator James McHenry
beserta keluarganya tiba di Boston untuk bergabung dengan
Gubernur Winters dan secara resmi menerima pencalonan
dirinya sebagai wakil presiden," kata pembaca berita di TV.
Tapi aku ragu Macey atau ibunya mendengarkan semua itu
selagi mereka saling melotot.
"Kau akan melakukan ini, Macey," kata ibunya. "Kau
akan?" Tapi pengawalku berdeham, dan Mrs. McHenry menoleh.
Aku berharap ia akan bersikap gembira seperti yang dilakukannya di telepon waktu Macey menelepon untuk mengundangku ke Boston, tapi ternyata ia hanya melambai ke
arahku dan berkata, "Tuh, teman kecilmu sudah datang."
Cara ibunya bicara tentangku membuat Macey menarik
napas dalam-dalam. Aku lega yang lainnya nggak melihat bagaimana kepalan tangan teman sekamarku menegang sesaat
sebelum ia berbalik dan membentak, "Kami mau jalan-jalan."
"Jangan lupa latihannya!" seru ibunya, tapi Macey sudah
menarikku keluar dari pintu ganda.
Aku melihat pandangan si agen untuk terakhir kalinya
waktu dia mencoba mencari tahu persamaan apa yang mungkin
kumiliki dengan cewek yang sedang menarik tanganku. Di TV
seseorang berkata, "Cynthia McHenry adalah wanita karier dan
dermawan terkenal. Pasangan ini memiliki seorang putri,
Macey, siswi Akademi Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat,
di Roseville, Virginia."
Sekolah kami. Stasiun televisi nasional.
Ribuan pikiran berlomba-lomba di benakku sebelum Macey
membanting pintu di belakang kami, seakan memerangkap
kekhawatiranku di sisi lain pintu itu. Dia tersenyum jail, dan
untuk pertama kalinya, pada hari itu, aku mengenali temanku
dalam sosok cewek yang berdiri di hadapanku. "Bagaimana,
kau suka penyamaranku?"
Bab D u a ata-mata punya penyamaran untuk setiap kesempatan:
nama alias dan paspor palsu, berbagai benda di saku untuk
mendukung penyamaran, dan KTP palsu. Mata-mata hebat bisa
berubah jadi orang berbeda dalam sekejap, tapi jarang sekali
aku melihat mata-mata yang penyamarannya begitu mendalam
seperti Macey McHenry saat itu.
"Merak sedang bergerak," bisik salah satu agen ke pergelangan tangannya saat aku mengikuti Macey menyusuri markas sementara Winters-McHenry, melewati barisan laptop dan
pekerja magang yang berteriak-teriak. Mereka semua mengenakan setelan kerja dan pin kampanye, kelihatannya belum tidur
cukup sejak kampanye di New Hampshire. Sebetulnya, aku
memang mendengar salah satu pria bilang, "Aku belum tidur
cukup sejak New Hampshire."
Tapi rambut hitam Macey berkilau seperti biasa, mata birunya betul-betul jernih. "Ya ampun, Bunglon, kau tahu nggak
seberapa susahnya mencarimu?" Ia terus berjalan, seakan nggak
sadar dirinya kelihatan seperti putri, sedangkan ruangan itu
dipenuhi rakyat jelata yang bekerja untuk memastikan ayahnya
bisa bertakhta. "Maksudku, awalnya aku mencoba mencarimu
ke sekolah, tapi apakah kau pernah mencoba meminta informasi dari Profesor Buckingham?" Dengan tenang teman sekamarku terus mengoceh seakan saat itu wajahnya nggak disiarkan ke setiap rumah di Amerika. "Yah pokoknya, lalu aku
bertanya ke Dinas Rahasia, dan?"
"Tunggu," potongku. "Dinas Rahasia memberimu nomor
telepon kakek-nenekku?"
"Well," Macey mengakui, "aku memang meminta Dinas
Rahasia mencarikan nomor telepon itu, tapi akhirnya aku mendapatkannya dari sumber yang lebih rahasia."
Aku memelankan suara waktu bertanya, "CIA?"
"Liz," Macey balas berbisik, dan mau nggak mau aku tersenyum waktu memikirkan teman sekamar kami yang paling
mungil/paling pintar. "Jadi, musim panasmu menyenangkan?"
tanyanya lagi waktu kami meninggalkan ruangan yang saking
ributnya sampai mirip lokasi perang dan menyusuri koridor
panjang lainnya. "Yeah," kataku, nyaris kehabisan napas. Dua bulan di peternakan kakek-nenekku di Nebraska nggak sepenuhnya membuat kondisiku tidak fit, tapi hidup memang bergerak lebih
pelan di sana, jadi rasanya aku harus berusaha keras untuk
mengikuti kecepatan Macey. "Musim panasku menyenangkan.
Hanya saja?" Aku memikirkan teman-teman sekelas kami, yang sepertinya tersebar ke ujung-ujung dunia setiap kali sekolah libur.
Aku memikirkan Mom, yang mengantarku ke pesawat pada
hari pertama liburan musim panas dan sama sekali nggak mengirim satu kartu pos pun sejak itu. Dan akhirnya, aku memikirkan dua cowok: satu yang sudah berbulan-bulan nggak
kutemui dan satu yang tampaknya kubayangkan ada di manamana, meskipun aku tahu aku mungkin nggak akan pernah
melihatnya lagi. "Baik," kataku akhirnya. "Musim panasku baik-baik saja."
Saat itu Macey sudah mengenalku dengan cukup baik, jadi
ia cuma tersenyum dan bilang, "Sama."
Suara langkah kaki kami sepelan bisikan pada karpet saat
kami memasuki terowongan bawah tanah yang menghubungkan
pusat konvensi dan hotel.
Agen-agen Dinas Rahasia menjaga semua pintu, dan kudengar salah satu berbisik ke lengan bajunya, "Merak tiba di
tempat." "Boleh aku memanggilmu Merak?" godaku.
"Tergantung: apakah kau mau merasa aman saat tidur di?"
Macey memulai, tapi dua wanita lansia yang mengenakan
hiasan bunga matahari terbesar yang pernah kulihat melewati
kami, dan Macey tersenyum pada mereka"ya, senyuman
sungguhan"dan bilang, "Well, delegasi Kansas tampak meriah
sekali!" Perubahan itu dilakukannya dengan sangat mudah, seakan
senyuman seribu watt-nya terpasang pada saklar yang bisa
dinyalakan dan dimatikan dengan mudah. Tentu, mungkin
akulah yang dianggap jadi harta CIA, tapi saat itu jelas sekali
bahwa Macey tahu sama banyaknya mengenai identitas palsu,
rencana tersembunyi, dan aliansi rahasia dengan siapa pun
yang kukenal. "Jadi," aku memulai, "ada berita apa darimu?"
Macey menarik selembar kertas yang diketik rapi dari sakunya. "Jam enam pagi: muncul dalam berita pagi nasional. Jam
sembilan pagi: mengepas seragam angkatan laut." Macey mendekat dan berbisik menambahkan, "Padahal, merah membuatku
terlihat murahan." Ia kembali ke posturnya yang biasa dan berjalan lebih cepat, jalan yang menurun itu membawa kami
semakin dekat kepada sepasang pintu logam di ujung terowongan. "Jam sebelas pagi," ia melanjutkan, "acara keluarga
yang mengasyikkan bersama Mom dan Dad."
Macey berhenti. Ia menumpukan tangan pada pegangan
pintu logam. "Jadi, kau tahu kan," katanya sambil membuka pintu menuju
ruangan paling besar yang pernah kulihat, "kegiatan biasa."
Kursi"ribuan kursi kosong"tersebar di seluruh lantai arena.
Tanda bertuliskan nama semua negara bagian tergantung di
atasnya. Kami mulai dari Oregon, lalu berjalan melewati
Delaware dan Kentucky. Berbagai stand dibangun tinggi di
hadapan kami. Aku mendongak, memandangi kotak-kotak
tinggi yang mengelilingi arena, menampilkan logo semua media
berita yang ada. Macey dan aku berdiri di sana cukup lama, hanya berdua
untuk pertama kalinya sejak kami bertemu. Mungkin itu sebabnya ia merasa aman untuk berbisik, "Trims kau mau datang,
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cam." Wajah ayahnya terpampang di sampul setiap majalah di
Amerika. Dia akan jadi si putri dalam pesta dansa terbesar di
negara ini. Mungkin setiap cewek di negara ini mau bertukar
tempat dengan Macey, tapi aku melihat kesedihan di matanya
saat dia berdiri sendiri di ruangan raksasa itu, dan aku tahu
kenapa aku ada di sana. Aku ingat bahwa Gallagher Girl
hanya bisa jadi hebat dengan bantuan backup-nya.
"Ayo kita selesaikan ini dan kembali ke sekolah, oke?" kataku.
"Oke," balasnya. Aku berani bersumpah Macey hampir tersenyum.
Dan dia mungkin bakal tersenyum kalau kami nggak diinterupsi oleh langkah kaki di belakang kami dan suara yang
berkata, "Halo, nona-nona."
Aku nggak tahu bagaimana pendapatmu, tapi aku cenderung
membuat asumsi tertentu mengenai remaja cowok yang berkeras memanggil remaja cewek dengan sebutan "nona." Kau
berharap dia tampan. Kau berharap dia pintar bicara. Jenis
cowok yang punya lebih banyak produk penataan rambut daripada dirimu.
Tapi Preston Winters" nggak seperti itu.
Tingginya hampir sama dengan Macey, tapi kurasa nggak
berlebihan waktu kubilang aku cukup yakin Liz bisa mengalahkannya dalam perkelahian tangan kosong. Jasnya yang dijahit
khusus tergantung dari tubuh kurusnya seakan dia anak kecil
yang sedang mencoba-coba baju orang dewasa, dan sepertinya
itu nggak terlalu jauh dari kenyataan mengingat fakta bahwa
Preston memakai jam tangan Spider-Man.
"Pertanyaan cepat," bisik Macey. "Waktu ibumu bilang kita
nggak boleh memakai gerakan mana pun dari kelas Perlindungan dan Penegakan musim panas ini, itu nggak berlaku
kepada putra calon presiden, kan?"
"Kurasa larangan itu malah berlaku khususnya kepada putra
calon presiden." Aku nggak yakin apa sebabnya"apakah karena Dinas
Rahasia ada di sana atau karena sekolah kami yang bersifat
rahasia"tapi sesuatu membuat Macey menarik napas dalamdalam dan tersenyum (dan membisikkan kata yang sangat
kasar dalam bahasa Portugis).
"Kau terlihat sangat" patriotik" hari ini, Ms. McHenry,"
kata Preston, memandangi Macey dari atas ke bawah.
Aku memandang setelan sweter berwarna merah, putih, dan
biru itu (aku tahu" Macey memakai setelan sweter!) dan menahan tawa.
"Kurasa kita belum pernah bertemu," kata si cowok, menoleh padaku dan mengulurkan tangan. "Aku Preston. Kau
pasti?" "Sibuk," kata Macey, mencoba menarikku menjauh.
"Cammie," ujarku, menahan tarikan teman sekamarku cukup lama untuk menjabat tangan Preston. "Si teman sekamar,"
jelasku. Preston membungkuk kecil dan berkata, "Senang bertemu
denganmu, Cammie si teman sekamar?"
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, kudengar
suara melengking yang berseru, "Keluarga McHenry, kiri panggung!" Seorang wanita langsing berjalan ke atas panggung,
ibu dan ayah Macey mengikuti di belakangnya. Si wanita
membawa clipboard. Dan kacamata kecil berbingkai gading
tergantung dari rantai di lehernya. Dan bukan hanya satu,
tapi dua pensil ditusukkan ke gulungan besar rambut di puncak kepalanya.
"Keluarga Winters, kanan panggung!"
Saat gubernur Vermont dan istrinya menempati posisi mereka, mau nggak mau aku memperhatikan bahwa salah satu
pria paling berkuasa di dunia kelihatannya betul-betul takut
pada wanita yang membawa clipboard itu.
"Keluarga McHenry!" wanita itu memanggil lagi. "Kita kekurangan?"
"Aku di sini," kata Macey, berlari ke arah panggung.
Ibu Macey memutar bola mata. Ayahnya mengecek arloji.
Tapi Wanita Clipboard cuma berkata, "Bagus! Kita tak bisa memiliki pemerintahan baru tanpa anak-anak muda. Coba lihat
wajah-wajah cerah yang berkilau itu."
"Sebenarnya, warna kulitku bisa sebagus ini berkat perusahaan kosmetik Anda, Mrs. McHenry." Seluruh kelompok
itu terlihat kaget mendengar Preston bicara"terutama Preston
sendiri. Tapi bukannya tutup mulut, ia terus mengoceh. "Krim
pereduksi noda yang baru itu" wow. Bagus sekali," tambahnya
sambil mengangguk canggung. Wanita Clipboard melotot padanya, dan jelas sekali bahwa wajah berkilau seharusnya cuma
untuk diperlihatkan dan bukan untuk diceritakan. "Aku akan
berdiri di sebelah sini sekarang," kata Preston, menempati
posisi di sebelah orangtuanya.
Para kandidat bergantian berdiri di belakang podium yang
dilapisi apa yang kelihatannya seperti semua kain merah, putih,
dan biru yang bisa dikumpulkan dari bagian timur Mississippi.
Macey tetap berdiri tegak di tengah-tengah semua prosesi itu,
nggak sekali pun menjauh dari sorotan, sementara aku beringsut ke bagian belakang arena dan menempati posisiku di
bawah bayang-bayang. Berapa kali Wanita Clipboard menyuruh Gubernur Winters dan
ayah Macey berlatih berjabat tangan lalu menoleh untuk melambai
pada penonton khayalan: 14
Berapa kali Macey melotot pada ibunya: 26
Berapa kali Preston mencoba menarik perhatian Macey dan diabaikan sepenuhnya: 27
Berapa kali Macey harus melatih gerakan dansa dicondongkan ke
belakang dengan "spontan" saat berdansa dengan ayahnya: 5
Berapa menit aku harus duduk sendirian di arena raksasa itu,
bertanya-tanya apakah kebebasan dan demokrasi memang dilatih
sebaik ini sejak dulu: 55
Pada tengah hari, Wanita Clipboard mengulang semuanya untuk terakhir kali.
"Tepat jam 20:04 musik akan mulai dimainkan." Wanita
Clipboard mengangkat tangan dengan dramatis. "Pada titik ini,"
katanya, mengamati para kandidat dan keluarga mereka dari
atas kacamata berbingkai gelapnya, "aku merekomendasikan
dansa spontan." Preston tersenyum pada Macey. Macey bergidik.
"Balon akan berjatuhan jam 20:06. Rayakan, rayakan.
Berdansa, berdansa. Lalu gambar akan beralih ke iklan."
"Beres?" tanyaku waktu Macey sampai di sebelahku semenit
kemudian. Dia terlihat lebih lega daripada yang pernah kulihat. (Dan itu termasuk waktu Dr. Fibs mengumumkan bahwa
ia tidak memerlukan bantuan Macey dengan eksperimen
bunion-pad-yang-dijadikan-senjata. Yang, tak perlu dibilang lagi,
amat sangat melegakan.) "Ayo pergi," kata Macey padaku, tapi kemampuan kami pasti
sedikit berkurang selama liburan musim panas, karena Preston
sudah ada di belakang kami.
"Jadi, bisakah aku mengajak kalian, nona-nona, menikmati
kudapan siang" Kudengar siang ini delegasi Hawaii mungkin
akan memanggang sapi besar." Aku mungkin bakal merasa
kasihan pada Preston karena itu jelas hal paling aneh yang
pernah kudengar. Tapi Preston sama sekali nggak malu dengan
keanehannya"dia malah memperlihatkannya. Preston Winters
sama sekali tidak mengasihani diri sendiri. Dia satu-satunya
orang yang pernah kutemui yang betul-betul jadi diri sendiri.
Dan aku menyukainya karena itu.
"Maaf, Preston," kata Macey sambil menyambar lenganku
dan mengarahkanku ke pintu. Ia melambaikan daftar acaranya
yang lecek di depan Preston. "Tugas memanggil."
Tapi satu hal yang kupelajari dengan tinggal bersama anak
politisi ulung adalah mereka tak pernah menerima jawaban
tidak . "Hei," kata Preston. "Yeah. Daftar acara. Mengerjakan
bagian kita. Hebat." Kami sepuluh langkah di depannya, tapi
untuk ukuran cowok kurus langkahnya betul-betul cepat. Dan
keras kepala. "Aku akan mengantarkan kalian."
Karena ada dua agen Dinas Rahasia mengawal kami dan
kru televisi yang bersiap-siap melakukan laporan langsung,
Macey berpikir ulang sebelum menghentikan Preston. Dia hanya mendorong pintu logam itu lagi, dan tak lama kemudian
kami menelusuri kembali jejak kami di terowongan bawah
tanah itu. Pria tua dengan rambut putih berantakan dan alis lebat
nyaris menabrakku, dan bergumam "Permisi, Nona" dengan
aksen Selatan yang kental. Dua wanita yang memakai T-shirt
"Warga Washington Mendukung Winters" bisa dibilang sampai
membungkuk hormat di depan Preston, tapi dia terus menjajarkan langkah dengan kami, nyaris berlari-lari kecil.
"Jadi, kalian bersekolah di sekolah yang sama, ya?" kata
Preston terengah. "Apa semua wanita di Akademi Gallagher
semencolok kalian?" Macey berbalik ke arahnya. "Sebetulnya, mencolok mata
memang keahlian utama kami."
"Jadi, Preston," kataku, tak sabar ingin mengganti topik.
Kami berbelok ke koridor sempit dan suram yang membawaku
bertemu Macey pagi itu. "Kau pasti senang" soal ayahmu.
Jadi putra presiden. Semuanya."
"Oh, yeah," kata Preston. "Aku sangat senang tentang rencana ayahku untuk Amerika."
Dia mungkin putra politisi ulung, tapi aku putri mata-mata,
jadi aku bisa langsung tahu dia hanya berbohong. Waktu kami
mencapai lift servis, kulihat Macey menekan tombol lift dengan frustrasi. Aku tahu temanku sedang merencanakan caracara untuk menyingkirkan Preston, tapi yang bisa kulakukan
saat itu hanyalah memikirkan tentang cowok lain dan lift lain,
dan teringat bahwa memang ada beberapa hal yang akan terus
menyelinap di belakangmu; Gallagher Girl pun takkan bisa
menghentikannya. Saat pintu lift terbuka, kami semua masuk. Tempatnya
sempit sekali, jadi salah satu agen Dinas Rahasia terpaksa menunggu lift berikut.
"Omong-omong, ini Charlie ," kata Preston, menunjuk pria
yang sepertinya menempati lebih banyak ruang daripada yang
seharusnya dia tempati di area sempit itu. "Charlie sudah bersamaku sejak" kapan, ya" Missouri, kurasa?"
Pintunya menutup. Charlie diam saja. Dan dengan sangat
pelan, kudengar Preston mengisi keheningan canggung itu dengan bisikan, "Masa-masa menyenangkan."
Perjalanan ke lantai teratas terasa sedikit lebih lama kali
ini. Seharusnya aku bertanya-tanya kenapa, tapi aku tidak
melakukannya"tidak sampai kudengar suara ting dan melihat
pintu lift membuka ke ruangan yang belum pernah kulihat.
Ruangannya begitu berbeda sehingga bisa saja kami berada
di negara lain"bukan cuma bangunan lain"saat melangkah
ke ruangan yang diterangi lampu neon tapi tidak dilapisi
karpet merah, dan sama sekali tidak ada pekerja magang yang
berlarian atau pengawal yang sabar. Kereta layanan kamar yang
dua rodanya hilang tersandar di salah satu dinding. Terlihat
beberapa kereta cuci dan kepala tempat tidur tua. Mesin-mesin
raksasa berdengung, memenuhi ruangan dengan suara keras
dan panas yang hampir nggak tertahankan.
"Apakah kau menekan tombol yang salah?" tanyaku, menatap Macey.
"Dalam daftar acaranya tertulis 12:05: merekam video promosi. Lift servis. Level R." Macey menunjuk R besar yang dilukis di dinding di depan kami.
Kulirik Charlie, yang belum mengatakan apa-apa sejak kami
meninggalkan lantai pusat konvensi, tapi sama sekali tidak
ragu mengangkat lengan bajunya dan berkata, "Kontrol, aku
bersama Merak dan Anjing Gila?"
Di sebelahku, Preston mengangkat alis dan berbisik, "Aku
memilih sendiri nama sandi itu."
Tapi Charlie terus bicara. "Kami di Level R. Apakah mereka akan merekam videonya di sini, ataukah jadwalnya sudah
diubah?" Ia menatapku. "Mereka sedang mengecek."
Udaranya panas dan pengap, ruangan itu terlalu kecil untuk
jadi keseluruhan satu lantai. Pintu dengan jendela kecil berada
di ujung terjauh, jadi aku nggak kaget ketika mendengar
Macey berkata, "Berani taruhan kita seharusnya berada di luar
sini," dan melihatnya berjalan keluar menyongsong cahaya.
Ada banyak sifat yang harus dimiliki Gallagher Girl: suka bertualang, berani, dan tidak takut ketinggian; itu beberapa di
antaranya. Dan semua itu berguna waktu Macey, Preston, dan
aku melangkah keluar ke atap hotel.
Angin keras bertiup dari pelabuhan, membanting pintu
logam itu hingga menutup di belakang kami. Saat melangkah
ke tepian atap dan melihat pemandangan kota, kami melihat
banyak sekali menara gereja bersejarah dan gedung pencakar
langit yang menjulang. Beberapa bangunan kelihatan sangat
kuno sehingga sepertinya Paul Revere"patriot Amerika dari
abad ke-18"sendiri bakal melangkah keluar dari sana; yang
lainnya kelihatan seakan muncul dari masa depan. Enam puluh
lantai di bawah, van program berita dari berbagai saluran
televisi dan bus-bus turis berdiri di jalan tol yang ditutup. Tapi
di atap hotel kekacauan konvensi itu tampak jauh sekali. Dan
itu, kurasa, adalah masalahnya.
Tidak ada kru kamera, tidak ada spesialis humas. Kulirik
Macey, ia mengatakan apa yang kupikirkan. "Ada yang salah."
Lalu ia menoleh pada Preston. "Tepatnya di mana kita seharusnya berada?" Macey memandang Preston, pandangannya beralih ke agendanya yang lusuh, lalu akhirnya mengulurkan
tangan. "Coba kulihat daftar acaramu."
"Oke, yeah" begini, tidak semudah itu?" Preston tergagap
lalu mengaku, "Ibuku yang memegangnya."
Aku memandang ke belakang kami, mencari Charlie, tapi
pria itu tidak terlihat di mana pun, dan pada saat itu, segalanya tampak berubah.
Mungkin karena aku sudah empat tahun penuh dilatih jadi
mata-mata, atau mungkin karena selama enam belas setengah
tahun aku menjadi putri Rachel Morgan, tapi entah bagaimana, dengan suatu cara, aku tahu atap itu adalah tempat
yang sangat buruk. "Hei, kau..." Preston mulai bicara waktu aku berlari ke arah
pintu logam berat itu "...pelari yang sangat cepat."
Tapi aku hampir nggak mendengarnya waktu menarik pintu
itu dengan segenap kekuatanku, mencoba memutar pegangannya dengan sia-sia, memukul-mukul logam abu-abu itu. Pintu
itu terkunci"atau ditahan sesuatu"dan kami nggak bisa pergi
lewat jalan kami masuk tadi.
"Jelas ada yang salah," kata Macey di belakangku, mengecek
ulang daftar acaranya, masih begitu terfokus pada sisi dirinya
sebagai putri politisi sehingga ia mengabaikan sisi lainnya"sisi
mata-matanya"cewek yang ia kira nggak bakal muncul dalam
liburan musim panas ini. "Sesuatu betul-betul nggak?" Tapi kemudian ia terdiam.
Mata biru Macey menatap mataku. Di dalamnya kulihat kesadaran"ketakutan"saat Macey menunduk melihat kertas di
tangannya lalu kembali menatapku"
Lalu ia memandang ke arah helikoper yang terbang terlalu
rendah, terlalu cepat, dan terarah tepat kepada kami.
Bab T i g a nilah masalah terbesar operasi rahasia: hal-hal terburuk selalu
terjadi pada waktu yang paling tidak kauharapkan. Penjahatnya
tidak akan memberitahumu lebih dulu soal kapan kau bakal
diserang. Mereka tidak memberimu waktu 30 menit setelah
makan. Dan mereka tidak pernah, sekali pun, memberimu
waktu untuk memakai sepatu yang nyaman.
Jadi, dilatih untuk hidup semacam itu berarti satu hal:
nggak ada waktu libur untuk sekolah mata-mata.
Aku berpikir tentang lembaran kertas di tangan Macey dan
meyakinkan diriku bahwa ini semua mungkin hanya kesalahan
murni, perubahan rencana. Bukan berarti guru-guru kami
dengan sengaja menarik Macey"dan juga aku"ke atap untuk
menjalani sejenis tes menakutkan yang mereka rencanakan.
Bukan berarti kami akan menghadapi pertarungan. Bukan berarti jantungku punya alasan kuat untuk berdebar kencang.
Tapi tetap saja aku menatap teman sekamarku dan bertanya, "Kau juga memikirkan yang kupikirkan?"
Macey mengangkat bahu. "Guru kita nggak bakal melakukan apa pun di depan dia." Ia menunjuk Preston"yang bersandar pada balkon"menatap kekacauan di jalanan di bawah,
benar-benar tak menyadari titik gelap di cakrawala yang bergerak mendekati kami dengan cepat.
Aku berpikir tentang daftar acara Preston yang hilang.
"Mungkin seharusnya dia nggak ada di sini?"
Dan dengan kalimat itu, Macey membiarkan lembaran
kertasnya jatuh; kulihat kertas itu terbang ke sana kemari di
udara, melayang di sekitar kami saat helikopter terbang makin
rendah. Seakan Macey membiarkan penyamarannya ikut
terlepas. Hotel itu dipenuhi orang yang hanya akan melihat
putri sang kandidat, tapi saat itu"di tempat itu"tidak ada
keraguan lagi Macey McHenry harus menjadi siapa.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, kalian, lihat?" kata Preston, akhirnya menyadari keberadaan helikopter di atas kami. Ia terdiam tiba-tiba waktu
seutas tali dijatuhkan dari helikopter, tergantung di antara
langit dan atap. Aku mendengar suara klik, juga derakan logam saat pintu
ke atap terbuka. Tapi bukannya Charlie, yang masuk justru dua
figur bertopeng. Lalu aku nggak bisa menahan diri lagi; aku
berteriak, "Aku sedang liburan musim panas!"
Kurasakan Macey bergerak di belakangku, kulihat Preston
menatap figur gelap yang melompat turun dari helikopter
seakan entah bagaimana dirinya memasuki permainan dalam
video game"atau mimpi buruk. "Sepertinya mereka bukan pemberi suara yang masih belum membuat keputusan," katanya,
seakan sarkasme adalah senjata andalannya dan betul-betul
berharap senjata tersebut akan berhasil lagi kali ini.
Figur-figur bertopeng itu tidak berlari ke arah kami.
Mereka tidak ceroboh. Mereka berhati-hati. Mereka terlatih,
bergerak dengan tujuan, menjaga jarak aman selagi Macey
dan aku berdiri saling memunggungi, mempersiapkan diri di
tengah atap. "Preston!" seruku. "Merunduk!"
Aku ingin dia bersembunyi. Aku ingin dia pingsan atau
buta. Aku ingin dia ada di mana pun kecuali di sini. Aku tahu
dengan terlalu baik bagaimana dampak keberadaan cowok sipil
di tengah latihan Operasi Rahasia. Itu adalah peristiwa yang
nggak perlu kuulangi lagi.
"Ini bukan?" erangku saat menghindari pukulan pertama
si penyerang, ?"waktu?" aku bergerak setengah langkah ke
kanan dan mendaratkan tendangan ke salah satu lutut pria
bertopeng itu, "yang bagus buatku!"
Satu pria bertopeng berdiri di depanku. Gigi putih berkilauan dari balik topeng gelapnya. Selama sepersekian detik
kupikir itu senyuman Mr. Solomon. Penyerang pertama yang
turun dari helikopter memiliki lekuk-lekuk tubuh yang jelas
sekali milik wanita cantik, dan aku sempat bertanya-tanya
apakah dia Mom. Tapi kemudian, entah dari mana, kurasakan pukulan di sisi
tubuhku, pukulan sempurna, dan saat aku jatuh ke atap berlapis tar yang lengket itu kulihat helikopter-helikopter berita
mulai mendekat dan bergerombol di sekitar kami"lalu aku
langsung tahu. Aku tahu tak seorang pun di Akademi Gallagher akan seceroboh ini.
Aku tahu Mom dan Mr. Solomon lebih baik mati daripada
mengambil risiko mengekspos sekolah kami seperti ini.
Aku tahu ada makna lebih di balik pukulan itu"bukan di
kepalan tangan si penyerang, tapi di matanya.
Lalu, lebih jelas dari kapan pun, aku tahu aku harus membawa pergi Macey dan Preston dari atap itu.
Aku nggak tahu bagaimana menjelaskan apa yang terjadi
berikutnya, tapi dalam sekejap semua pelajaran P&P yang pernah kudapatkan kembali ke ingatanku. Saat itu, aku tahu bertahan hidup bukan hanya melibatkan pukulan dan tendangan;
yang lebih penting adalah geometri dan waktu yang tepat;
tentang membuat refleksmu bertambah cepat sementara pikiranmu melambat.
Mungkin kejadian itu berlangsung semenit; mungkin juga
sebulan. Yang kutahu pasti adalah salah satu pria itu bergerak
ke arahku. Aku membungkuk saat tinjunya melayang, nyaris
sekali mengenai kepalaku, namun fokusku sudah berada di tempat lain"mataku memindai atap, mencari senjata, jalan keluar,
atau keduanya. Dan saat itulah aku melihatnya"papan sempit
untuk petugas pembersih kaca yang tergantung di sisi atap. Di
kedua sisi papan itu ada rel yang terpasang pada sistem katrol.
Jantungku berdebar. Angin berdengung keras di telingaku
saat aku menyambar tangan Preston dan berteriak, "Ayo!"
Ada langkah kaki di belakangku"tangan di lenganku. Aku
berputar, tapi sebelum aku bisa melayangkan pukulan, Preston
menarik tangannya yang bebas dan memukul pria itu di tenggorokan. Itu pukulan beruntung yang sempurna, tapi aku bersedia menerima bantuan apa pun yang bisa kudapatkan saat
sedang menarik calon putra presiden keluar dari bahaya dan
menuju papan sempit itu. "Aku berhasil memukul salah satunya," kata Preston, me30
natap tinjunya seakan itu hal paling mengejutkan dari semua
kejadian ini. "Aku tahu. Bagus," kataku, meraih pengontrol katrol; tapi
untuk pertama kalinya Preston seakan menyadari bahwa aku
membimbingnya ke atas sesuatu yang tergantung pada sisi bangunan setinggi 60 lantai.
"Tunggu!" teriak Preston.
"Kau akan baik-baik saja," kataku padanya.
"Tapi apakah aku sebaiknya nggak?" gumam Preston dengan sikap khas cowok yang tahu ia seharusnya bersikap kesatria tapi tak tahu bagaimana harus melakukan itu.
Di belakangku, kudengar Macey berteriak kesakitan, tapi
aku menjaga fokus dan menekan tombol hijau, entah bagaimana tahu bahwa misi pertamaku saat itu adalah mengeluarkan
Preston dari atap. "Berpeganganlah!" teriakku, sekejap kemudian gravitasi
mengambil alih dan Preston jatuh 20 lantai ke tempat aman.
Aku mungkin bakal menikmati fakta tersebut, tapi para
penyerang itu tampak fokus kembali, dan aku melihat si wanita
penyerang mengangkat tangan dan menunjuk ke tempat Macey
berdiri di sebelahku. "Tangkap cewek itu," perintah si penyerang wanita. Aku melirik temanku, putri senator Amerika dan salah satu wanita terkaya di dunia. Temanku, yang wajahnya terpampang di berbagai
kios koran di Amerika. Temanku, korban impian semua penculik.
Macey dan aku mundur perlahan-lahan, bergerak makin
lama makin dekat ke dinding di belakang kami, dan aku tahu
kami tersudut. "Tidak," seruku, seakan hanya itu yang perlu dilakukan
untuk menghentikan mereka.
Lalu aku melihatnya"lubang udara berkarat yang berjarak
kira-kira tiga meter di sebelah kanan pintu yang aku tahu
takkan bisa kubuka. Aku menjatuhkan diri ke tanah, menendang ventilasi itu sekeras yang kubisa, dan merasakannya
sedikit mengendur. Aku menendang lagi sementara, di belakangku, pria-pria itu mencoba meraih Macey. Aku mendengar sentakan yang membuatku takut. Aku menoleh dan
melihat teman sekamarku memegangi lengannya lalu jatuh ke
tanah, melolong kesakitan, jadi aku menendang lebih keras,
dan kali ini ventilasi tua itu menyerah pada tekananku. Tutupnya lepas, dan kulemparkan benda itu ke kepala salah satu
pria yang berusaha mencengkeram Macey. Aku mendengar
suara derakan logam pada tengkorak, tapi aku tak berhenti
untuk melihat dampaknya"aku terlalu sibuk menyambar
Macey dan mendorongnya ke arah lubang ventilasi di dinding
itu. Aku mulai mengikuti, tapi seseorang menyambar bahuku
dengan cengkeraman kuat, menahanku. Aku mencakar wanita
yang menyerangku; tapi saat mencoba membebaskan diri, tanganku menyentuh cincin emas berukir emblem yang, sumpah,
pernah kulihat. Sepersekian detik pikiranku seakan berhenti
saat mencoba mengingat emblem itu, tapi kemudian aku
mendengar suara lirih berkata "Cam," dan aku teringat pada
temanku"misiku. Aku mencakar lebih keras, mencondongkan diri ke depan,
berdoa agar momentum gerakanku bisa membawaku melewati
lubang di dinding ke tempat yang lebih aman. Tiba-tiba, aku
teringat pin kampanye Winters McHenry di blusku. Kudengar
kemejaku sobek waktu aku menarik pin itu hingga terlepas dan
menusukkannya ke tangan di bahu kiriku.
Wanita di belakangku melolong kesakitan saat aku
mendorong Macey melewati ventilasi dan mengikutinya.
"Lari, Macey!" teriakku. "Cepat!"
Aku tidak berpikir. Tidak satu pun strategi muncul di
benakku. Tidak ada kartu catatan. Tidak ada kosa kata baru.
Ini adalah kasus kuno saat kau harus memilih untuk bertarung
atau lari. Aku menatap Macey, yang lengannya menggantung
lemas dengan sudut aneh; kurasakan sisi tubuhku dan tahu
tulang rusukku paling tidak memar-memar dan mungkin patah,
dan aku tahu bahwa bertarung bukan lagi pilihan"bahwa
kami harus keluar dari sana, secepatnya.
"Cepat," kataku padanya. Di belakang kami, kudengar pintu
logam membuka lagi. Kilasan cahaya muncul di lantai semen,
menyinari sepasang kaki panjang yang tertekuk dengan sudut
aneh, menjulur dari balik salah satu mesin raksasa di ruangan
itu. Kudengar Macey berbisik, "Charlie."
Kami bergerak maju melewati mesin-mesin yang berdengung,
menghindari furnitur rusak yang sepertinya ditumpuk selama
satu dekade dan barang-barang tua hotel sampai kami mencapai
lift yang tadi membawa kami ke level ini.
Lalu untuk pertama kalinya, aku betul-betul merasa bakal
menangis. Pintu liftnya masih terbuka. Kabel-kabel yang putus mencuat dari kotak kontrol, masih memercikkan api di tempat
kabel itu ditarik keluar dari dinding dan dipotong jadi dua
dengan ketepatan profesional.
Tak ada tempat yang bisa kami tuju. Tak ada tempat untuk
bersembunyi. Aku menoleh untuk menatap ketiga figur itu,
mendekati kami dengan formasi sempurna"sekelompok pemburu dengan helikopter yang siap membawa temanku ke
tempat yang nggak berani kubayangkan.
Aku memandang berkeliling mencari senjata, menemukan
kereta beroda dan mendorongnya ke arah mereka sekuat tenaga, berharap itu bakal jadi bola boling terhebat dalam
sejarah dan menjatuhkan figur-figur berpakaian hitam itu dalam
satu sapuan. Tapi pria yang berdiri paling depan melemparnya
ke samping dengan mudah. "Cam," bisik Macey. Ia makin pucat. Lengan kirinya sudah
membengkak jadi dua kali ukuran normal, tapi tetap saja ia
berhasil menunjuk dengan tangan kanannya ke lubang persegi
di dinding"semacam lubang atau terowongan.
Aku nggak tahu apa itu atau di mana ujungnya. Dan aku
nggak punya waktu untuk bertanya. Aku hanya terjun, mendorong Macey lebih dulu.
Salah satu pria itu meraih ke depan. Aku mendengar teriakan "tidak" bergema di sepanjang lubang, tapi sudah terlambat.
Gravitasi sudah mengambil alih, dan aku jatuh ke tempat
asing, hanya bisa berdoa agar tempat itu lebih baik daripada
tempat yang baru saja kutinggalkan.
Saat terjun bebas, kurasakan kepalaku terbentur terowongan
logam itu. Sesuatu yang panas dan basah mengalir ke mataku,
tapi tetap saja aku merasa" bersyukur" penuh harap. Pusing.
Terdengar dentuman pelan. Tanah di bawahku tampak berguling, tapi setidaknya ada tanah.
Aku berguling dan menyipitkan mata, melawan rasa pusing
dan sakit untuk melihat tetes merah jatuh ke seprai putih.
Macey terbaring pingsan di sebelahku.
Kusandarkan kepalaku ke belakang dan kurasakan dunia
mulai berputar. Di kejauhan, seseorang berseru, "Dinas Rahasia
Amerika Serikat, buka pintunya!"
Dan dari kabut samar, pikiranku melayang kembali ke terakhir kalinya dunia terbalik. Seorang cowok mencondongkan
tubuhku di tengah sekolah dan menciumku. Sesaat, aku hampir bisa melihat wajahnya mendekatiku, seakan aku melihat
kilasan hidupku dimainkan di depan mata.
Lalu seluruh dunia memudar hingga jadi gelap.
Bab E m p a t ggak semua tidur berdampak sama, aku yakin itu. Bagaimanapun aku sudah mengalami sendiri berbagai jenis tidur.
Ada tidur setelah-Bex-menantangku-bertanding-satu-rondekickboxing, rasa lelahnya hanya bisa ditandingi rasa sakit yang
kurasakan di sekujur tubuhku. Ada tidur Grandma-Morganbaru-membuat-makan-malam-besar-dan-aku-nggak-perlu-kemana-mana-selama-tiga-minggu, tidur semacam ini hanya bisa
terjadi di tempat-tempat yang betul-betul kaurasa aman. Lalu
ada jenis tidur yang lain"yang terburuk"saat tubuhmu pergi
ke suatu tempat yang nggak bisa diikuti benakmu: tidur Mombaru-saja-memberitahuku-Dad-nggak-bakal-pulang-lagi.
Tubuhmu memang istirahat, tapi hatimu" melakukan hal-hal
lainnya, dan kau bangun keesokan paginya sambil berdoa,
berharap, bertekad bahwa malam sebelumnya hanyalah mimpi
buruk. Aku tak pernah tahu bahwa ketiga jenis tidur itu bisa
terjadi berbarengan. Tapi ternyata memang mungkin. Aku mengetahuinya sekarang.
"Jangan bergerak," kata sebuah suara yang dalam.
Aku merasakan cahayanya lebih dulu, terasa membakar
melewati mataku yang terpejam, memaksaku berpaling dari sinarnya. Saat aku bergerak, semburan rasa sakit hebat menjalar
di tubuhku, dan sebuah suara dalam tertawa kecil.
"Aku tahu kau tidak suka mengikuti aturan, Ms. Morgan,
tapi kalau aku menyuruhmu jangan bergerak, mungkin sebaiknya kau menuruti perintahku."
Aku mengerjap dan menelan ludah, tapi mulutku terasa
penuh pasir, mataku seperti bara api yang terbakar. Aku mencoba duduk tegak, tapi sebuah tangan mendorongku kembali
ke bantal yang empuk. Aku mendongak pada wajah Mom yang
kabur"kepala sekolah sekaligus mata-mata terbaik yang pernah
kukenal. Lalu entah bagaimana aku menemukan kekuatan untuk
bertanya, "Itu bukan tes, kan?"
Aku nggak tahu di mana aku, atau bahkan hari apa atau
jam berapa sekarang, tapi aku kenal ekspresi wajah Mom, dan
itu cukup untuk memberiku jawaban.
"Selamat datang kembali," kudengar suara dalam itu berkata. Aku menoleh dan melihat Joe Solomon berdiri di ujung
tempat tidurku; tapi untuk pertama kalinya sejak aku bertemu
guru ini, aku nggak mengkhawatirkan bagaimana penampilan
rambutku. "Mr.?" aku memulai, suaraku serak.
"Ini." Mom membawa segelas air ke bibirku, tapi aku nggak
bisa minum. "Macey," seruku, duduk terlalu cepat. Kepalaku terasa ber37
putar dan tenggorokanku terbakar, tapi nggak seorang pun bisa
menghentikanku. Ribuan pertanyaan muncul di benakku, tapi
saat itu hanya satu yang betul-betul penting. "Macey! Apakah
dia?" "Dia baik-baik saja," kata Mom menenangkan.
"Lebih baik darimu, sebetulnya," kata Mr. Solomon. "Patah
lengan tidak terlalu mengkhawatirkan dibandingkan?" Ia
terdiam tapi menepuk dahi, dan untuk pertama kalinya kurasakan perban yang menutupi kepalaku. Aku ingat soal jatuh
lewat terowongan, darah di mataku, kemudian saat itu"mendapat pelatihan mata-mata atau nggak"aku merasa sedikit
pusing dan berbaring kembali di bantal.
"Di mana aku?" tanyaku, sadar bahwa aku bukan memakai
rok yang kukenakan di Boston, tapi piamaku yang paling tua
dan paling lembut. Bukannya merasakan sakit dari memarmemar baru, tubuhku sakit seakan sudah bertahun-tahun aku
nggak bergerak, jadi saat itu aku tahu pertanyaanku harus diubah. "Hari apa sekarang?"
"Kau pingsan satu hari lebih sedikit," kata Mr. Solomon.
"Kami membawamu ke sini secepat kami bisa."
"Ke sini?" Aku memandang berkeliling. Dinding kayu di
sebelah tempat tidurku terasa kasar di bawah jari-jariku.
Lantainya kayu solid. Aku sadar aku ada di kabin, mungkin
milik sekolah atau CIA. "Apa ini rumah aman yang biasa
dipakai buat persembunyian?"
Aku nggak tahu seberapa aman rumah ini sampai kudengar
guruku berkata, "Sebaiknya begitu. Ini rumahku."
Mr. Solomon punya rumah. Mr. Solomon adalah pemilik
rumah ini. Pada hari lain aku mungkin bakal menyerap setiap
detail tempat itu"selimut quilt-nya, kotak pancingnya, aroma
pinus segarnya, dan gumpalan debu tuanya. Aku mungkin
bakal kagum karena Mr. Solomon tinggal di suatu tempat,
bahwa dia punya akar. "Aku tidak sering memakainya," kata Mr. Solomon, seakan
membaca pikiranku. "Tapi rumah ini berguna?" ia tampak
mempertimbangkan kata-katanya, ?"dalam beberapa kesempatan."
Aku bahkan nggak berusaha memikirkan arti "kesempatan"
dalam hidup Mr. Solomon. Aku tahu imajinasiku nggak akan
bisa mendekati kenyataan, jadi aku hanya duduk di sana mencoba mengumpulkan keberanian untuk berkata, "Charlie?"
Mom tersenyum. Ia mengelus rambutku. "Dia akan selamat,
Cam. Dia akan baik-baik saja."
Seharusnya itu menenangkanku, tapi ternyata tidak. Sinar
matahari menyeruak masuk dari sela-sela pepohonan lebat di
luar, dan cahayanya jatuh di tempat tidurku. Aku duduk sedikit lebih tegak. "Apakah Macey juga di sini?"
Guruku mengangguk. "Di luar. Butuh sedikit usaha untuk
membawanya pergi dari Dinas Rahasia setelah semua itu,
tapi?" ia terdiam, melirik Mom, lalu memandangku lagi ?"
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami pernah melakukan yang lebih sulit."
Terkadang sepertinya kami, para Gallagher Girl, menghabiskan setengah waktu kami untuk bertanya-tanya hal apa saja
yang sudah dilihat dan dilakukan para guru. Tapi hari itu aku
nggak menanyakan detailnya. Hari itu, aku sudah melihat
cukup banyak untuk tahu bahwa mungkin aku nggak akan
mau mendengar ceritanya. "Apa yang terjadi?" tanyaku. Aku sengaja nggak memandang Mom atau guruku. Jari-jariku menelusuri pola selimut
quilt itu. Akulah yang ada di sana waktu itu, tapi satu-satunya
yang bisa kulakukan adalah berkata, "Maksudku, apakah
itu?" "Usaha penculikan?" Mr. Solomon menyelesaikan kalimatku, dan aku mengangguk, mencoba bersikap sama profesionalnya dengan suara guruku. "Hal-hal ini memang terjadi"atau
hampir terjadi"lebih sering daripada perkiraanmu." Aku
mencoba mengangguk dan tersenyum. Bagaimanapun, seberapa
baik operasi rahasia diukur dari seberapa sedikit yang diketahui
semua orang. Tapi orang-orang akan tahu tentang yang satu
ini. "Sembilan puluh sembilan dari seratus usaha penculikan
tidak sampai sejauh itu, tapi?"
"Mereka terlatih," kataku, hampir gemetar karena ingatan
itu. Mr. Solomon mengangguk. "Yeah," katanya, seakan sebagian
dirinya mau tak mau terkesan. "Memang. Dinas Rahasia dan
FBI akan mengajukan beberapa pertanyaan padamu. Ms.
Morgan, agen-agen ini memiliki izin keamanan Level Enam,
paling tinggi"jadi kau tahu apa yang akan harus kaukatakan
pada mereka?" Aku mengangguk. "Teman sekamarku mengundangku ke
konvensi. Kami diserang di atap. Kami berhasil kabur." Kurasakan diriku mengungkapkan cerita penyamaran yang harus
kuucapkan; aku menyadari bahwa aku fasih dalam empat belas
bahasa berbeda, namun hidupku ditentukan oleh hal-hal yang
tak bisa kuceritakan. Aku memandang ke luar jendela, melihat pepohonan yang
mengelilingi kami, lapangan terbuka, dan danau yang berkilauan di kejauhan. Macey berdiri di ujung dermaga panjang,
memandangi air. "Kami beruntung," tambahku pelan, dan pada saat itu cerita
penyamaranku rasanya sama sekali bukan bohong.
Ponsel Mom berbunyi dan dia cepat-cepat menerimanya.
Aku mendengar Mom berbisik pada seseorang yang dipanggilnya Sir. Aku menoleh dan memandang ke luar ke arah cewek
yang berdiri di dermaga, lalu bangun perlahan-lahan dan
melangkah ke arah pintu bertirai kuno.
"Yang di atas sana baik-baik saja," kata Mr. Solomon. Aku
berhenti dan menoleh, melihatnya menunjuk kepalaku yang
berat. "Percayalah padaku, Cammie, semuanya akan baik-baik
saja." Ia menyentuh bekas luka samar di dahinya. "Aku tahu
sedikit soal hal-hal ini."
Mr. Solomon guru terbaik yang pernah kumiliki, dan aku
nggak mau mengecewakannya. Jadi aku berbohong dan berkata, "Saya tahu."
"Hei," kataku waktu mencapai ujung dermaga. Macey masih
berdiri di sana, menatap danau yang diam dan hening. Lecetlecet menjalari pipi kirinya. Ujung mata kanannya berwarna
hitam dan lengan kirinya tergantung dari kain perban yang
betul-betul nggak menarik. Saat berjalan ke arahnya, mau tak
mau aku berpikir jika Macey saja sampai terlihat seburuk itu,
aku mungkin nggak bakal mau melihat cermin lagi.
"Selamat datang kembali," katanya.
"Trims." "Bagaimana kepalamu?"
"Sakit. Bagaimana lenganmu?" Teman sekamarku nggak
menjawab. Dia nggak mengomentari rambutku yang mengerikan atau memar-memar di wajah kami yang nggak akan bisa
disembunyikan concealer sebanyak apa pun.
Terlalu banyak hal yang harus dikatakan, jadi aku nggak
mendesak Macey. Sebaliknya aku beringsut dan mendengarkan
papan-papan berderak di bawah kakiku, berpikir tentang bagaimana sekolah kami mengajari kami cara meloloskan diri
dari atap itu, tapi pendidikan hebat kami sama sekali nggak
mengajarkan apa yang seharusnya kami lakukan setelahnya.
Aku ingin duduk di ruang kelas Operasi Rahasia dan mendengarkan Mr. Solomon membedah setiap gerakan, setiap petunjuk, setiap pukulan.
Dan aku ingin memblokir semua kejadian kemarin dari
ingatanku, nggak pernah memikirkannya lagi.
Aku ingin tahu siapa yang melakukan semua itu, kenapa,
dan bagaimana. Dan aku ingin percaya semua itu sudah berakhir, bahwa itu
adalah detail yang nggak penting lagi sekarang.
Aku ingin belajar dari latihan terhebat yang pernah kuterima, dan menjadi lebih baik karenanya.
Dan aku menginginkannya tidak lagi menjadi hal nyata.
Aku menginginkan ribuan hal lain saat kami berdiri di sana,
tapi yang terutama dari semuanya, aku ingin agar cewek yang
mendampingiku dalam saat-saat mengerikan di Boston itu menoleh dan menyadari bahwa aku ada di sebelahnya sekarang.
"Kudengar Charlie akan selamat," kataku, tapi Macey nggak
tersenyum. "Kau sudah bicara dengan Preston?" aku mencoba bertanya
lagi, tapi tatapannya nggak berpaling.
"Macey, kau mau membicarakannya?" tanyaku, tapi napasnya tetap stabil dan tatapannya tidak bergerak.
"Macey," aku mencoba lagi, "tolong katakan sesuatu. Tolong
katakan?" "Ini menyenangkan," katanya saat angin akhir musim panas
bertiup melewati pepohonan. "Aku suka ini. Aku suka airnya."
"Bukannya kau punya rumah di Martha"s Vineyard?" tanyaku, bertanya-tanya bagaimana bisa gubuk reyot di danau sepi
ini dibandingkan dengan itu; tapi Macey terus menatap keheningan dan berkata, "Ini lebih baik."
"Kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan. Kita harus
sangat hati-hati tentang apa yang kita katakan. Kita?"
"Mereka sudah mem-brief-ku," kata Macey, pandangannya
tetap terarah ke horizon. "Ini terasa seperti rumah aman." Ia
akhirnya menoleh dan memandangku. "Bukankah memang
terasa aman, Cam?" "Yeah, Macey," kataku pelan. "Memang."
Hari mulai gelap. Jam dalam tubuhku sudah menyala kembali, dan sesuatu dalam cara matahari tenggelam di balik
bukit-bukit yang ditutupi pepohonan yang mengelilingi kami
dari segala sisi memberitahuku bahwa saat itu nyaris jam
delapan. "Hampir waktunya," kata Macey seakan membaca pikiranku.
"Mereka akan datang. Orangtuaku ingin aku bersama mereka?"
"Tentu saja," semburku.
?"selama masa kampanye," Macey menyelesaikan. Aku menatapnya, sesaat melupakan kepalaku yang berdenyut-denyut
dan otot-ototku yang sakit. Dia memaksa diri tersenyum. "Kami
naik sepuluh poin dalam perhitungan suara."
Aku nggak tahu harus bilang apa, jadi aku tetap diam.
Kami hanya berdiri di sana sampai mendengar pintu teras di
belakang kami berderak dan terbanting. Semenit kemudian
helikopter muncul di cakrawala dan melayang turun, balingbalingnya yang berputar menimbulkan riak-riak di sepanjang
danau yang sepi itu sebelum mendarat di suatu tempat di
hutan. Angin semakin dingin. Macey memeluk tubuh dengan lengannya yang sehat dan menggigil di tengah embusan angin,
tapi dia nggak bergerak dari ujung dermaga.
Namanya mungkin diberitakan di semua stasiun televisi di
Amerika. Nggak sulit untuk membayangkan bahwa di Boston
seruangan penuh pekerja magang sibuk berdiskusi tentang
berbagai pidato yang harus ditulis ulang dan iklan yang harus
dipotong ulang. Kampanye ini punya bintang baru"sudut
pandang baru. Tapi semua itu terasa seperti ada di dunia lain,
jadi aku hanya berdiri di sebelah temanku dan untuk pertama
kalinya berpikir Joe Solomon salah tentang sesuatu.
Kondisiku tidak lebih buruk dibandingkan Macey
McHenry. Sama sekali nggak. Bab L i m a ku mengenal baik suara-suara yang dikeluarkan sekolahku"
tangga yang berderak dan pintu yang berderit, suara pelan saat
minggu ujian akhir, kekacauan ramai di Aula Besar sebelum
makan malam. Hari pertama tahun ajaran baru punya suara
tersendiri, saat deretan limusin menyusuri jalur yang berlikuliku dan pintu mobil dibanting, koper-koper membentur
susuran tangga, dan para cewek memekik lalu berpelukan.
Tapi semester pertama kelas sebelasku" Semester itu dimulai dengan bisikan yang begitu pelan sampai-sampai aku
hampir nggak mendengarnya.
"Apakah Macey cuti semester ini?" tanya anak kelas dua
belas pada temannya saat mereka berdiri berkerumun di koridor di luar perpustakaan.
"Kudengar mereka harus mengamputasi lengan Macey dan
menggantinya dengan bagian tubuh bionik yang dibuat Dr.
Fibs di laboratorium," kata anak kelas delapan waktu aku melewati pintu ke ruang rekreasi mereka.
Gallagher Girl menghabiskan waktu liburan mereka dengan
menyebar di seluruh empat penjuru dunia, tapi tahun itu setiap
cewek yang kembali dari libur musim panas membawa kembali
pertanyaan-pertanyaan yang sama. Jadi aku terus bergerak,
menyusuri koridor-koridor sepi seperti bayang-bayang, sampai
pada titik ketika aku berbelok di sudut dan berpapasan dengan
Tina Walters. "Cammie!" seru Tina, dan dalam keheningan baru sekolah
kami, kata itu bergema. Tina memelukku. "Kau baik-baik saja!"
katanya, lalu berpikir lagi. "Kau memang baik-baik saja,
kan?" "Yeah, Tina, aku?"
"Karena kudengar kau membunuh salah satu dari mereka
menggunakan pin kampanye?"
Tina adalah cewek remaja, dan calon mata-mata, putri
tunggal salah satu kolumnis gosip terbesar negara ini, jadi
nggak heran jika dia kadang punya teori sinting. Banyak teori
sinting. Sepanjang waktu. Tapi pada detik itu, pikiranku melayang kembali ke atap yang cerah. Aku melihat bayangan
baling-baling yang berputar, merasakan tangan-tangan yang
mencengkeram bahuku, lalu mendengar teriakan kesakitan saat
kutusukkan pin kampanye Winters-McHenry ke tangan yang
memakai cincin yang emblemnya aku yakin pernah kulihat.
"Cam?" tanya Tina, tapi aku cuma mengangguk.
"Yeah, Tina." Tenggorokanku terasa aneh saat aku mengatakannya. "Begitulah."
Lalu aku melangkah pergi.
Jika kau dikenal sebagai si Bunglon, kadang rasanya seluruh
hidupmu hanyalah permainan petak umpet besar. Untung aku
sangat pintar bersembunyi. Sayangnya, sahabat-sahabatku juga
sangat pintar mencari. "Cam!" seseorang memanggil di antara bayang-bayang.
"Kami tahu kau di sini." Suara itu lembut dan beraksen Selatan,
langkah-langkahnya begitu ringan sehingga aku tahu hanya ada
satu orang yang cukup mungil untuk berjalan melewati papanpapan lantai itu tanpa suara.
"Oh, Cammie," Liz bisa dibilang bernyanyi saat mengendapendap menyusuri koridor kuno yang (kurasa) pernah jadi
bagian cukup penting dari Rel Bawah Tanah, dan baru-baru
ini memiliki fungsi yang jauh lebih nggak mulia dan rahasia.
"Kupikir kami bakal menemukanmu di sini," suara lain berkata. Teman sekamar keduaku melangkah keluar dari bayangbayang.
Kalau saja mungkin, sepertinya Liz bertambah mungil dan
Bex bertambah cantik selama libur musim panas. Rambut
pirang Liz hampir sepenuhnya putih setelah menghabiskan sepanjang musim panas di bawah matahari. Aksen Bex lebih
kental, seperti biasa setelah dia menghabiskan berbulan-bulan
bersama orangtuanya di Inggris. (Tentu saja, Bex bersumpah
dirinya menghabiskan sebagian besar waktu itu dengan melakukan pengintaian bersama MI6 di negara Afrika yang akan tetap tak bernama.) Kulit gelapnya berkilau dan rambutnya lebih
panjang daripada awal musim panas.
"Bukannya ini masih terlalu awal di semester untuk bersembunyi, Sayang?" Bex mencoba menggoda. Aku mencoba tersenyum.
"Apa yang membuatku ketahuan?" tanyaku.
"Pola debu yang tidak beraturan di luar pintu masuk," kata
Bex. "Kau mulai ceroboh." Lalu ia terdiam. Bex yang kuat,
Bex yang berani, tampak ngeri waktu menyadari apa yang dikatakannya. "Maksudku bukan?"
"Nggak apa-apa, Bex," kataku padanya.
"Kau nggak ceroboh!" sembur Bex lagi.
Lalu Liz menimpali. "Semua orang membicarakan betapa
hebatnya kau"tentang bagaimana, kalau kau nggak ada di
sana?" Tapi ia nggak menyelesaikan kalimatnya, dan itu
sebenarnya bagus juga. Tak seorang pun ingin membayangkan
bagaimana kalimat itu harus berakhir.
Bex duduk di salah satu peti dan kotak terbalik yang memenuhi ruangan. "Kau sudah bertemu Macey?"
"Belum sejak hari setelah kejadian. Mereka membawa kami
ke rumah danau milik Mr. Solomon, tapi kemudian mereka
membawanya kembali ke orangtuanya."
"Dia akan kembali," tanya Liz. "Ya, kan?"
"Aku nggak tahu," kataku sambil mengangkat bahu.
"Maksudku" orangtuanya nggak mungkin ingin Macey
tinggal bersama mereka sepanjang waktu, kan" Mereka ingin
dia di sini, di tempat Macey aman, kan?"
"Aku nggak tahu, Liz," kataku, lebih tajam daripada yang
kumaksud. "Maksudku" aku nggak tahu apakah dia akan
kembali atau tidak," kataku, lebih lembut. "Aku nggak tahu
siapa yang mencoba melakukan ini atau kenapa atau" pokoknya aku nggak tahu," bisikku lagi, lalu berpaling dan memandang ke luar jendela bulat yang mungil.
"Macey mengundangku ke Boston juga." Suara Bex mengiris
keheningan. "Sebelum konvensi, dia menelepon apartemen
kami dan memintaku datang, tapi ibu dan ayahku ada di rumah, dan aku?" Bex kehilangan kata-kata, nggak tahu, kurasa, bahwa ingin berada bersama orangtuamu bukanlah tanda
kelemahan. "Seharusnya aku ada di sana." Ia nggak terdengar
iri karena melewatkan perkelahian hebat. Sebaliknya, Bex terdengar bersalah.
"Aku juga," kata Liz, merosot ke lantai yang berdebu. "Waktu Macey menelepon, ibuku bilang aku boleh pergi, tapi aku
cuma punya sisa beberapa hari bersama orangtuaku, jadi
kubilang nggak." Aku mengangguk. Kami semua mengira sebagian besar tahun ini akan kami habiskan bersama-sama, tapi dalam kehidupan mana pun"terutama kehidupan mata-mata"kami tak
pernah tahu apa yang akan terjadi besok.
Dan itulah hal terpenting yang kami semua pelajari selama
liburan musim panas kali ini.
"Tina Walters bilang orangtua Macey mempekerjakan
mantan anggota Navy SEAL untuk menyamar sebagai Sherpa"
penduduk asli pegunungan Nepal"dan menyembunyikan
Macey di pegunungan Himalaya sampai pemilihan berakhir,"
kata Liz. "Yeah, well Tina Walters memang bilang banyak hal. Tina
Walters biasanya salah," balas Bex. Tapi aku memikirkan
bagaimana nyaris benarnya Tina dengan teori pin kampanye
itu; aku ingat bahwa sejak bertahun-tahun lalu Tina bilang
ada sekolah mata-mata elite untuk cowok, dan kami semua
tadinya mengira itu hanya rumor sinting sampai semester lalu
ketika delegasi Institut Blackthorne menginap di Sayap Timur,
hanya beberapa meter dari tempat kami duduk sekarang.
Jadi aku memandang sekeliling ruang kosong berdebu itu
dan berkata, "Nggak selalu salah."
Musim semi lalu, mengetahui siapa cowok-cowok itu sebenarnya dan apakah mereka bisa dipercaya atau tidak
sepertinya merupakan misi terpenting dalam hidup kami. Berbagai grafik ringkasan pengintaian dan pola perilaku masih
memenuhi dinding bekas markas operasi kami, tapi plesternya
mulai kehilangan kekuatan. Kabel-kabel masih menyambung
ke Sayap Timur, seakan jadi peringatan akan hari-hari ketika
cowok-cowok Institut Blackthorne merupakan misi kami"dulu
ketika misi adalah tentang mempersiapkan kami untuk dunia
nyata; sebelum dunia nyata menyudutkan kami di sebuah atap
di Massachusetts. Liz pasti mengikuti arah pandangku dan membaca pikiranku, karena aku mendengarnya berkata, "Kau sudah dengar
kabar dari" tahu, kan" Zach?"
Aku mengingat kembali gambar-gambar berputar yang memenuhi pikiranku sebelum pingsan, dan hampir bertanya,
"Apakah halusinasi akibat luka di kepala termasuk?" Tapi aku
nggak melakukannya karena A) mungkin aku memang sudah
gila. Dan B) untuk Gallagher Girl, "tergila-gila pada cowok"
mungkin merupakan jenis gila yang paling berbahaya.
Jadi aku hanya berpaling lalu memandang ke luar jendela
dan mengamati barisan panjang limusin yang menyusuri
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Highway 10, membawa teman-teman sekelasku kembali ke keamanan di balik dinding-dinding kami.
Adegannya sama seperti yang bertahun-tahun kulihat"
mobil-mobil yang sama, cewek-cewek yang sama. Tapi detik
berikutnya adegan itu betul-betul berubah. Van"lusinan
van"meluncur cepat di jalan tol, berhenti mendadak di tepi
jalan. Orang-orang berlarian keluar dan mulai mengatur
parabola serta peralatan. Helikopter berkumpul di sekeliling
sekolah. "Oh. Astaga," gumamku, masih menatap, merasakan Bex
dan Liz berkerumun di sekitar jendela di kedua sisiku. Aku
menatap sahabat-sahabatku saat sirene mulai meraung-raung di
tengah suasana hening dan sepi: "KODE MERAH KODE
MERAH KODE MERAH." "Apa artinya itu?" teriak Liz. Bex dan aku hanya tersenyum.
"Macey pulang."
Bab E n a m au nggak perlu jadi genius untuk tahu bahwa seluruh dunia
bisa berubah dalam sekejap, dan begitu berlari keluar dari jalan
rahasia itu menuju koridor lantai dua aku bisa melihat, mendengar, dan merasakan perbedaannya. Selama berhari-hari
koridor begitu hening sampai terasa seperti makam. Tapi sekarang, bukannya keheningan total seluruh sekolah seperti
terbakar (tanpa betul-betul dilahap api, tentu saja).
Lampu merah berpendar dan mengabur di seluruh penjuru.
Di sebelah kananku poster yang mengiklankan kesempatan
untuk menghabiskan satu semester di Paris bergeser turun menutupi display berbagai teknik menulis rahasia yang digunakan
dari masa ke masa (yang sebenarnya nggak terlalu perlu dilakukan karena, bulan ini display itu menampilkan tinta tak terlihat).
Saat kami berlari melewati departemen Persandian dan
Pengkodean, kulihat papan nama di pintu membalik sehingga
yang kini terlihat adalah tulisan Kantor Penghubung Ivy
League. Sekolah kami sedang menyamar, memakai penyamarannya
seterampil yang bisa dilakukan mata-mata berpengalaman mana
pun, dan waktu Bex, Liz, serta aku berlari melawan arus anakanak kelas delapan yang dalam perjalanan untuk berjaga di
luar lumbung kelas Perlindungan dan Penegakan, aku nggak
bisa menahan senyum. Bagaimanapun, 364 hari sudah berlalu
sejak Macey pertama kali datang pada kami dan Kode Merah
dinyalakan. Tampaknya sesuai jika dia kembali pada kami
dalam Kode Merah juga. Tapi selagi kami berlari menyusuri Koridor Sejarah, aku memandang pedang Gillian Gallagher yang menghilang ke dalam
kotak agar harta terpenting kami tetap terjaga, dan sesuatu
menghantamku: kami nggak menyalakan Kode Merah hanya
untuk Macey. Kami menyalakan Kode Merah untuk Macey dan siapa pun
yang datang bersamanya. Pintu ke kantor Mom membuka. Di dalamnya, aku melihat
kepala sekolah kami, mengenakan setelan terbaiknya dan ekspresi murung. "Kurasa kita siap untuk foto close-up kita?" katanya.
Begitu kami melangkah ke dalam kantor itu, aku mendengar
lebih banyak suara. "Sekarang Amerika menunggu penampilan pertama Macey
McHenry, wanita muda pemberani yang baru-baru ini menjadi
sorotan"dan terlempar ke dalam bahaya."
(Ternyata, salah satu persiapan Kode Merah untuk membuat
kantor Kepala Sekolah terlihat seperti kantor di sekolah biasa
adalah menambahkan TV.) Bex mengganti saluran demi saluran sampai kami tiba di
gambar yang membuat kami semua membeku.
"Dan di sinilah kita," koresponden yang bertubuh tinggi
berkata ke mikrofon saat berjalan menyusuri Highway 10 yang
tampak familier, "di luar gerbang Akademi Gallagher untuk
Wanita Muda Berbakat, tempat satu wanita muda berbakat
akan segera kembali setelah insiden paling traumatis dalam
hidupnya. Dan pertanyaannya adalah: Apakah dinding-dinding
ini cukup kuat untuk menjaga Macey McHenry tetap aman?"
Sirene akhirnya berhenti. Mom berkata, "Sudah waktunya."
Oke, inilah yang perlu kauketahui tentang sekolah mata-mata"
yang penting bukan soal menyembunyikannya. Bukan. Karena,
terima saja, sekolah mata-mata punya siswa, siswa punya orangtua, dan orangtua pasti punya pertanyaan-pertanyaan. Menurut
Liz, orangtua yang bukan mata-mata betul-betul suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan jelas seperti "jadi di mana tepatnya sekolahmu?" (Orangtua siswa yang juga berprofesi jadi
mata-mata jauh lebih mungkin meng-hack database pemerintah
atau memasang unit GPS di gigimu atau apa saja.) Bagaimanapun, kau perlu sekolah sungguhan untuk ditampilkan pada
dunia; tapi seperti semua hal lainnya mengenai hidupku, sekolahku tidak seperti yang terlihat dari luar.
Saat mengikuti Mom menuruni Tangga Utama yang melingkar, mau nggak mau aku berpikir bahwa garis depan pertahanan kami akan diuji karena walaupun sejak dulu Akademi
Gallagher memang tidak sepenuhnya tersembunyi (bagaimana54
pun, gedungnya berupa mansion besar yang megah), sekolahku
tak pernah menempatkan diri di bawah sorotan.
Waktu Gillian Gallagher mengubah rumah keluarganya
menjadi sekolah tempat wanita-wanita muda bisa mempelajari
berbagai keahlian rahasia yang nggak akan pernah diajarkan
laki-laki pada mereka, dengan logisnya dia tidak menulis
"Akademi Gallagher"Mendidik Agen-Agen Pemerintah Sejak
1865" di papan nama. Sebaliknya dia menyebut akademi ini
sebagai sekolah menengah untuk para wanita muda terhebat
masa itu. Penyamaran kami berevolusi seiring waktu, tapi misi
utama kami tetap sama: memastikan tak seorang pun tahu
seberapa berbakatnya kami. Dan itu, terima saja, jauh lebih
mudah dilakukan jika tak ada ada lusinan kru stasiun televisi
nasional yang merekam setiap gerakanmu.
Waktu kami sampai di selasar, aku berani bertaruh semua
siswi menahan napas mereka saat Mom membuka pintu ganda
dan melangkah keluar. Sinar matahari hangat memancar. Perutku berbunyi, dan
selama sedetik aku bertanya-tanya apa yang dimasak koki kami
untuk makan malam selamat datang. Tapi waktu aku melihat
tiga SUV besar hitam memasuki gerbang, aku betul-betul
kehilangan nafsu makan. "Dinas Rahasia," bisik Mom pada kami sewaktu mereka meluncur menyusuri jalur yang berkelok-kelok. Aku ingat bahwa
para pengawal Macey pun nggak tahu apa yang sebenarnya
kami lakukan di balik dinding-dinding ini.
Lelaki yang tampak efisien, dengan sedikit warna abu-abu
menghiasi rambut gelapnya, melangkah keluar dari salah satu
kendaraan itu dan berjalan ke arah kami. "Ms. Morgan" Agen
Hughes. Kita bicara di telepon."
"Ya," kata Mom. "Anda agen yang bertanggung jawab atas
detail keamanan keluarga McHenry. Itu istilahnya, bukan?"
tanyanya, satu tangan di dada seakan ini betul-betul teritori
baru untuknya. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. "Ya, Ma"am,"
jawabnya pada Mom. "Nah, saya tidak ingin Anda mengkhawatirkan apa pun. Agen-agen kami yang akan bertanggung
jawab atas keamanan Ms. McHenry. Mereka akan menjawab
semua pertanyaan yang Anda miliki dan memastikan Anda
tetap mendapat informasi mengenai apa yang dibutuhkan
Dinas Rahasia dari Anda. Tidak seorang pun mengharapkan
Anda untuk berpikir seperti profesional dalam masalah keamanan."
"Itu melegakan," kata Mom padanya dengan suara tidak
ironis paling meyakinkan yang pernah kudengar.
(Apakah akhir-akhir ini aku sudah bilang bahwa Mom
adalah MATA-MATA TERBAIK YANG PERNAH ADA"!)
"Oh, maafkan saya," kata Mom, menoleh dari Agen Hughes
kepada kami. "Biar saya perkenalkan teman-teman sekamar
Macey. Ini Elizabeth Sutton dan Rebecca Baxter, dan putri
saya, Cammie." Tapi Agen Hughes tidak mendengarkan. Dia terlalu sibuk
menatapku"cewek yang hampir nggak pernah ditatap siapa
pun. "Kau yang ada di atap bersama Miss McHenry waktu itu?"
tanyanya, tapi itu bukan pertanyaan. Dia melangkah lebih
dekat; pandangannya mendarat pada perban di kepalaku, lalu
matanya menatap mataku. "Jangan khawatir tentang apa pun,
nona muda. Kami akan mengurus kalian semua dengan
baik." Aku mengangguk dan berpaling, memikirkan penyamaranku"seharusnya aku tampak ketakutan dan lelah, siap membiarkan orang lain bertarung demi Macey.
Lalu aku ingat bahwa penyamaran terbaik selalu berakar
dari kebenaran. "Dan dinding-dindingnya mengelilingi seluruh area ini?" tanya
Agen Hughes saat kami berjalan mengelilingi kampus.
"Ya," kata Mom.
"Menurut cetak birunya, kalian punya kamera pengawas?"
Pandangannya menyusuri dinding-dinding kami yang berlapis
tanaman rambat. "Ya," kata Mom tenang. "Beberapa."
(Sebetulnya, ada 2.546 kamera pengawas, tapi untuk alasanalasan yang jelas Mom nggak menyebutkan itu.)
"Well," si agen melanjutkan, "saya yakin orang-orang kami
bisa berkonsultasi dengan Anda mengenai cara?" ia tampak
mempertimbangkan kata-katanya, ?"meningkatkan keamanan
sedikit." "Ya," Mom berkata sambil melirik ke arahku"putrinya
yang selama bertahun-tahun menyelinap melewati pertahanan
Akademi Gallagher. "Itu akan sangat membantu."
Lalu kepanikan melandaku. Dinas Rahasia bakal "meningkatkan" keamanan"
"Seperti yang diberitahukan tim awal kepada Anda minggu
lalu, kami akan menempatkan salah satu agen bersama Ms.
McHenry." Dinas Rahasia bakal "menempatkan" orang"
"Penuh waktu," tambah Agen Hughes. "Seseorang untuk
pergi bersamanya ke semua kelas. Tinggal di sini. Menemani
ke mana pun Ms. McHenry pergi."
Dinas Rahasia bakal "menemani" kami ke mana-mana"
Aku memandang Bex dan Liz, mengamati mereka menelan
teror yang sama seperti yang kurasakan. Sekolah kami sudah
mempersiapkan kami untuk banyak hal, tapi aku harus bertanya-tanya apakah ada yang sudah mempersiapkan kami
untuk hal ini. Tapi kejutan-kejutannya baru dimulai, karena Mom tersenyum dan berkata, "Tentu saja."
Agen itu berjalan lebih dulu, menilai wilayah kami, dinding
kami, hidup kami. Di akhir jalur panjang (dan yang sangat
terlindungi) kami, tampak parabola dari truk-truk berita, siap
menyiarkan gambar sekolah kami ke seluruh dunia, dan aku
tahu hal paling berbahaya dalam sejarah kami bakal terjadi di
depan mata laki-laki ini.
Dan tak ada sesuatu pun yang bisa kami lakukan untuk
menghentikannya. "Oh," kata Agen Hughes waktu gerbang membuka untuk
satu mobil terakhir. "Tepat waktu sesuai jadwal."
Limusin itu berbelok ke jalan masuk, tapi bukannya berhenti lebih dekat ke mansion, mobil itu berhenti. Pria-pria
bersetelan gelap mengerumuni mobil, dan aku ingat bagaimana,
setahun lalu, mobil yang persis seperti itu membawa Macey
pada kami. Rasanya seperti d?j? vu, Senator dan Mrs. McHenry
melangkah dari kursi belakang dan berdiri tegak di antara
gerbang batu kami yang besar.
Aku bisa mendengar suara-suara reporter di kejauhan.
Kilatan kamera mereka berkilau bahkan di tengah cahaya matahari musim panas.
Lalu pintu mobilnya membuka lagi.
Dan secepat itu, d?j? vu-nya berakhir.
Setahun lalu, Macey melangkah dari kursi belakang mobil
yang nyaris identik, tapi kali ini, bukannya sepatu bot tentara,
dia memakai sepatu berhak tinggi yang hampir persis dengan
sepatu ibunya. Rok pendek dan anting hidung berliannya digantikan celana hitam sederhana, sweter, dan tas selempang.
Awalnya kuharap pakaiannya adalah satu-satunya perbedaan; tapi aku hampir nggak mengenali cewek yang membiarkan
ibunya memeluknya erat, yang nggak memprotes waktu ayahnya meraih tangannya yang sehat dan mengangkat jemari
mereka yang bertautan ke udara.
Bex memberiku tatapan yang berkata Kau yakin kau yang
terluka di kepala" tapi aku hanya mengamati ketiga anggota keluarga McHenry berjalan melewati berbagai kamera, pertanyaan, dan melangkah menuju sekolah. Kembali pada kami.
Aku memikirkan cewek yang datang pada kami musim gugur
lalu dan yang pergi musim semi lalu dan, akhirnya, tentang
wanita muda yang menggigil di tepi danau, dan aku bertanyatanya identitas penyamaran mana yang akan dipakai Macey
sekarang. Saat mereka mendekat aku menunggu Macey menatapku
dan memperlihatkan senyum usil yang ditunjukkannya padaku
di luar suite orangtuanya di Boston, tapi waktu aku melangkah
maju, tubuh lebar bersetelan gelap bergerak mengadang jalanku.
"Permisi, Nona," si agen Dinas Rahasia berkata. Itulah pertama kalinya salah satu dari mereka melihatku sebagai ancaman, tapi aku nggak menganggap fakta ini sebagai pujian.
Di belakangku, kudengar Mom berkata, "Senator, Mrs.
McHenry, senang sekali bertemu Anda berdua lagi. Saya
menyesal ini harus terjadi dalam keadaan yang sangat mencemaskan." Mom memberi isyarat ke arah pintu depan.
"Silakan masuk."
Tepat ketika aku merasa diriku didorong keluar dari situasi
itu, prosesi tersebut berhenti. Sang senator senior dari Virginia
melangkah ke arahku dan berkata, "Cammie?" Ia meletakkan
tangan besarnya pada kedua bahuku, mencengkeram bahuku
erat-erat. "Terima kasih," katanya, dan aku berani bersumpah aku
mendengar suaranya pecah. Waktu Senator McHenry menatap
mataku, aku nggak bisa menahan diri: kurasakan bibirku bergetar. Pandanganku mengabur. Mudah sekali mengingat seperti
apa rasanya memiliki ayah saat sang senator berbisik, "Dan aku
sangat menyesal." Itu mungkin merupakan momen paling manis sekaligus
tulus dalam sejarah keluarga McHenry, kalau saja ibu Macey
nggak menoleh pada putrinya dan berbisik, "Pergilah ke kamar
mandi dan pakai concealer." Ia menunjuk memar di sudut mata
Macey. "Sungguh," katanya pada putrinya, "tak perlu terlihat
seperti preman jalanan meskipun saat tak ada kamera di
sekitarmu." Dan, semudah itu, momen tadi berakhir.
Bab T u j u h da banyak hal yang bisa sangat kausukai tentang makan
malam selamat datang. 1. Mendengarkan apa yang dilakukan semua orang selama
liburan musim panas mereka (dan itu mungkin jauh lebih menarik ketika mungkin sekali masa liburan para siswi melibatkan letusan senjata sungguhan).
2. Fakta bahwa meskipun Grandma Morgan mungkin bisa memasak ayam dan bakpao paling enak di seluruh dunia, koki
kami dulu bekerja di Gedung Putih, dan kadang-kadang cewek
perlu sedikit cr?me br?l?e.
3. Gosip. Tapi malam itu, baik alasan nomor 1 maupun nomor 2
nggak bisa bersaing dengan alasan nomor 3. Sama sekali.
"Jadi, Cammie," kata Tina Walters sambil menyelinap ke
bangku di seberangku, membuat Liz dan Anna Fetterman
duduk berdempetan, "kudengar kau membuat tiga dari mereka
masuk rumah sakit." "Tina," desahku, "kejadiannya nggak seperti itu."
Eva Alvarez mencoba menandatangani perban Macey, padahal itu sulit karena manajer kampanye ayahnya nggak ingin
apa pun menutupi stiker Winters-McHenry besar yang sudah
tertempel di lengan atas Macey. Bex sedang membelah salah
satu roti dari keranjang di atas meja (walaupun guru-guru
belum masuk dan, artinya, siapa pun yang makan bisa dihukum
mati"atau paling nggak dihukum dengan PR ekstra Budaya
dan Asimilasi yang banyak jika sampai ketahuan Madame
Dabney). "Dan, Macey?" Tina berpaling ke cewek di sebelahku,
?"menurut rumor kau tepergok dalam posisi mencurigakan
dengan putra calon presiden."
Dan, langsung saja, suasana hening lagi.
Seluruh siswi kelas sebelas menoleh dan menatap, tapi aku
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetap melakukan yang kulakukan sejak tadi: mengamati Macey.
Cewek sombong yang datang pada kami setahun sebelumnya
pasti bakal mendengus; cewek yang mempelajari materi persandian tingkat lanjut"yang seharusnya dipelajari dalam dua
tahun"hanya dalam sembilan bulan mungkin bakal memutar
bola mata; tapi cewek di sebelahku cuma bilang, "Seseorang
perlu sumber gosip yang lebih bagus."
Itulah pertama kalinya Macey bicara, dan sesuatu dalam
suaranya membuatku bertanya-tanya apakah cewek yang berdiri
di tepi danau sudah menghilang untuk selamanya.
"Jadi, siapa yang mengira kita bakal harus tetap dalam kondisi Kode Merah sepanjang semester?" tanya Anna Fetterman,
bahkan nggak mencoba menyembunyikan rasa takut dalam
suaranya. Teman-teman sekamarku dan aku saling menatap, adegan
yang kami lihat di luar tampak di wajah kami.
"Well, mereka memang akan menugaskan agen Dinas Rahasia untuk mengawalmu penuh waktu, kan?" tanya Tina.
Macey mengangguk. "Mungkin Dinas Rahasia" kau tahu, kan?" Liz ragu-ragu
lalu merendahkan suaranya menjadi bisikan, ?"tahu."
Tapi yang bisa kupikirkan hanyalah para agen yang menginterogasiku setelah kejadian Boston, kebohongan-kebohongan
yang sudah kukatakan demi menjaga rahasia kami.
"Mom nggak akan mau," kataku. "Dia nggak akan menyetujui itu."
"Tapi itu akan jadi tes yang cukup bagus, kan?" tanya Bex.
Aku bisa tahu dari nada suaranya bahwa ia sudah bersiap-siap
menghadapi tantangan itu"pikiran tentang membawa dunia
luar ke dalam dinding-dinding kami, bahayanya, risikonya, juga
kemungkinan ia bakal membuat anggota Dinas Rahasia
Amerika pingsan pada suatu waktu di semester ini.
"Bagaimana kalau kau dapat agen laki-laki?" Courtney
Bauer menimpali pembicaraan. "Bukannya semua agen laki-laki
di Dinas Rahasia sangat keren?"
"Lumayan," kata Macey santai, seakan sudah pernah melihat yang lebih keren (dan aku cukup yakin itu benar).
"Bagaimana kalau dia sekeren Mr. Solomon?" tanya Anna
lalu tersipu. Seberapapun inginnya aku menimpali dan merasa bersemangat mengenai kemungkinan pendatang baru (yang keren),
yang bisa kupikirkan hanyalah bahwa sekarang sudah ada
terlalu banyak risiko dan bahaya. Aku teringat betapa tak enaknya perasaanku sewaktu lift membawa kami ke atap di Boston.
Aku bisa saja menghentikan lift itu. Kalau aku fokus, kalau
pikiranku tidak terpusat pada satu cowok tertentu, sekolah dan
persaudaraanku mungkin masih aman. Tapi sekarang yang
terjadi justru sebaliknya, satu generasi siswi genius sedang
duduk sambil mencuri roti makan malam dan mendiskusikan
otot-otot bisep teoritis dari orang yang mungkin membahayakan
seluruh cara hidup kami (dan apakah dia betul-betul mau
mengadang peluru demi Macey jika hal itu diperlukan).
Pintu-pintu di belakang ruangan tiba-tiba terayun membuka,
dan Mom muncul, memimpin guru-guru kami menyusuri bagian tengah ruangan besar itu.
Aku melihat wajah baru Mr. Smith, instruktur NegaraNegara Dunia kami. Dia merupakan salah satu agen pemerintah paling paranoid di planet ini dan memilih untuk membuktikannya dengan cara memasang wajah baru setiap tahun
saat liburan musim panas. Kudengar gumaman lebih dari seratus remaja cewek saat mereka sadar tahun ini wajah baru Mr.
Smith" keren. Lalu keheningan menyapu kerumunan, karena para guru
nggak datang sendirian. Orangtua Macey berjalan melewati pintu, melambai dan
berjabat tangan, diikuti satu anggota Dinas Rahasia Amerika.
Aku cukup yakin jika saja di sini ada bayi-bayi untuk dicium,
sang Senator pasti bakal melakukannya.
Ada banyak hal menakutkan tentang menjadi Gallagher
Girl, tapi melihat orang-orang yang nggak seharusnya berada
di sekolahmu malah berjalan masuk, itu salah satu hal yang
ada dalam daftar paling menakutkan. Dan aku tahu ucapan
selamat datang kembali ke sekolah kali ini terasa sangat berbeda.
"Ooh," kata Liz di sebelahku. Dengan mata lebar, ia mengamati orangtua Macey menyapa profesor Budaya dan Asimilasi
kami, Madame Dabney. Di seberang meja, Bex meringis dan berbisik, "Tes mendadak?"
"Selamat datang kembali, nona-nona," Mom berkata di
depan ruangan. "Aku bisa mengatakan dengan jujur bahwa aku
tak pernah merasa begitu gembira karena kalian semua ada di
sini dengan?" Ia terdiam sejenak; pandangannya menyapu
ruangan, yang langsung menjadi remang-remang saat matahari
tenggelam di balik cakrawala. Kalau aku nggak kenal Mom,
aku bakal bersumpah suara Mom pecah waktu menyelesaikan
kalimatnya, "aman dan tenteram."
Tak seorang pun berbisik. Tak seorang pun terkikik atau
menggoda. Apa yang terjadi pada Macey (dan aku) bukanlah
semacam cerita liar yang kami bawa kembali dari liburan musim panas kami. Itu nyata. Dan tak seorang pun ingin tertawa
lagi. "Seperti yang kalian tahu, mata dunia sekarang terarah
kepada Akademi Gallagher," Mom melanjutkan. Aku nggak
bisa menahan diri untuk nggak melirik pasangan McHenry,
melihat apakah mereka bisa menebak makna rahasia dalam
ucapan Mom, tapi mereka terus mengangguk dengan keseriusan
sama yang pasti menjadi kegiatan alami bagi siapa pun yang
namanya tertera pada kertas suara.
"Kita harus belajar dan kita harus bertahan. Kita harus berhati-hati dan kita harus berani. Dan yang terpenting?" saat
itu tampaknya seratus cewek duduk sedikit lebih tegak, menyambut tantangan itu secara harfiah, ?"kita harus melindungi
persaudaraan kita." Suara Mom jadi sedikit lebih keras. "Dan
saudari-saudari kita."
Aku nggak tahu pasti berapa banyak Gallagher Girl aktif
yang ada di dunia. Ratusan. Ribuan. Kami berbaur ke dalam
masyarakat dan melakukan pekerjaan kami tanpa sepatah kata
terima kasih atau harapan atau pujian apa pun. Mungkin aku
memang si Bunglon, tapi sesungguhnya, semua Gallagher Girl
kurang-lebih harus jadi tak terlihat. Padahal sekarang ini kami
semua justru disorot. "Ada hal-hal yang diharapkan dari kita," Mom melanjutkan.
"Untuk alasan itu, akan ada beberapa perubahan semester
ini." Gumaman pelan mengalir di kerumunan.
"Semua pelajaran akan dilaksanakan di dalam keamanan
mansion utama." Senator McHenry mengangguk seakan ini terdengar seperti ide bagus, nggak betul-betul mengerti seberapa
bagus, mengingat paparazzi dengan lensa telefoto mungkin
bakal punya beberapa pertanyaan jika sampai memotret siswi
melatih Forenstyl Flip sempurna pada anggota staf perawatan
yang beratnya 150 kg. "Juga, sejauh menyangkut siswi kita yang paling penting
saat ini, kita akan menerapkan peraturan ketat, tanpa komentar," Mom melanjutkan. "Bersiap-siaplah, nona-nona. Banyak
orang ingin mendengar bagaimana keadaan Macey." Kulirik
cewek di sebelahku, bertanya-tanya akan hal yang sama. "Tapi
mereka tidak akan mendengarnya dari kita."
Gallagher Girl bisa menjaga rahasia"itulah yang kami lakukan. Dan misi dari Mom tadi terasa sangat personal.
"Dan mungkin perubahan terbesar dari semuanya," kata
Mom perlahan. Kurasakan seisi ruangan bergerak mendekat.
"Semester ini kita akan menerima salah satu anggota pengamanan McHenry ke sekolah ini untuk mengawal Macey."
Aku nggak bisa bersumpah soal ini, tapi selama sedetik
mata Mom terkunci padaku. "Pengamanan Macey McHenry
tidak akan mengubah apa yang kita pelajari dan bagaimana
kita belajar. Dengan begitu, mari kita ucapkan selamat datang
kepada Agen Abigail Cameron yang akan bertanggung jawab
untuk detail keamanan Miss McHenry."
Ruangan di sekitarku dipenuhi suara dan gerakan, tapi dalam pikiranku, semua hal tiba-tiba hening dan bergerak lambat. Wanita berambut gelap panjang dan bermata hijau cantik
muncul di belakang ruangan.
"Kebetulan sekali, Agen Cameron adalah lulusan Akademi
Gallagher dan dengan demikian memiliki kualifikasi unik
untuk memberi Macey perlindungan terbaik."
Aku tahu, karena sudah lulus dari ujian tengah semester
kelas membaca gerak bibir semester lalu, bahwa aula dipenuhi
ucapan "Wow, dia cantik" dan "Tunggu, siapa itu?".
Aku tahu bahwa setiap Gallagher Girl di Aula Besar menatap wanita yang berjalan menyusuri ruangan dan berpikir,
Ini saudari kita. Tapi aku nggak berpikir begitu. Yang bisa
kulakukan hanyalah menatapnya dan berbisik, "Aunt Abby?"
Bab D e l a p a n alau kau sudah menghabiskan empat tahun dengan hidup
bersama calon-agen-rahasia-Inggris yang suka sekali melatih
serangan spontan dan manuver pertahanan diri sewaktu kau
menggosok gigi, kau pasti tak mudah terkejut. Jadi aku menganggap diriku jenis orang yang bisa menjaga ekspresi wajah
tetap datar dalam keadaan apa pun. Atau" well" hampir apa
pun. Aku mencoba mengingat kali terakhir aku bertemu adik
Mom"sebelum Mom meninggalkan CIA, sebelum aku mulai
bersekolah di sini. Sebelum" Dad. Walaupun begitu, di sanalah bibiku, hanya berjarak enam meter dariku dan berjalan
semakin dekat. Rambutnya lebih panjang daripada yang kuingat, sekarang
panjangnya sudah melewati bahu. Dia masih kurus dan atletis,
tapi entah kenapa tampak lebih pendek, lalu, aku"si genius"
menyadari bahwa mungkin itu karena aku yang sekarang lebih
tinggi. "Hei, Cam," bisik Bex, menyodok tulang rusukku, "Bukankah Cameron nama keluarga ibumu?"
"Yeah," gumamku seakan itu cuma kebetulan besar.
Aku mengamati setiap gerakannya saat dia berjalan di
antara meja-meja; dia adalah perwujudan dari cita-cita semua
cewek di ruangan ini saat dewasa nanti.
"Dia kelihatan agak" familier," kata Liz, dan aku hampir
bisa mendengar otaknya bekerja, roda-roda berputar, seakan
wajah bibiku adalah kode yang sedang ia pecahkan.
Lalu Abby mengerling padaku, dan, bagi Bex, potonganpotongan puzzle itu terangkai sempurna. "Nggak mungkin!" Ia
menunjuk ke arah bibiku dan ibuku, seakan mengingat setiap
detail kemiripan keluarga mereka yang tampak jelas. "Itu
bibimu?" "Sstt!" bisikku, memotong kata-kata Bex. Bagaimanapun,
Tina Walters cuma berjarak beberapa meter dari kami; keluarga
McHenry dan Agen Hughes ada di bagian depan ruangan ini;
setidaknya ada belasan alasan mengapa ini bukan waktu terbaik untuk menelusuri seluruh pohon keluarga Cameron, dan
faktanya adalah sekarang ini aku sudah jauh lebih terkenal
daripada yang seharusnya boleh dialami bunglon mana pun.
Mom adalah kepala sekolah di sini.
Aku punya hubungan (agak) ilegal dengan cowok normal
yang sudah menghancurkan (secara harfiah) ujian tengah semester kelas Operasi Rahasia-ku Desember lalu.
Dan terakhir kalinya sebagian siswa melihatku, aku mencium cowok dari sekolah mata-mata saingan kami di tengah
selasar pada minggu ujian akhir!
Sekarang aku nggak tidak terlihat lagi. Dan sesuatu memberitahuku bahwa penunjukan bibiku sebagai pemimpin tim ke69
amanan Macey nggak akan membantuku dalam hal ketidakterlihatan itu. Sama sekali. Karena walaupun sudah bertahun-tahun
aku nggak bertemu dengannya, aku yakin akan satu hal: Aunt
Abby jelas tidak tak terlihat.
"Cam." Suara Liz lembut. "Kau seperti baru melihat hantu."
Aunt Abby akhirnya sampai ke depan ruangan, dan aku
hanya duduk di sana merasa... mungkin aku memang baru melihat hantu.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG TAK MAU
KUDENGAR LAGI SETELAH MALAM ITU
1. Apakah Zach menelepon/menulis surat/membobol
dan/atau menyadap rumah kakek-nenekku waktu liburan musim panas" (Karena jawabannya nggak.)
2. Apakah aku tahu bahwa berita-berita di televisi cuma
menampilkan sebagian rekaman serangan di Boston,
tapi kebetulan sekali yang disiarkan adalah bagian
ketika rokku tertiup angin hingga tersingkap ke atas"
Jauh ke atas! (Karena, sayangnya, jawabannya nggak
akan bisa kulupakan.) 3. Apakah menurutku wajah baru Mr. Smith membuatnya terlihat agak" keren" (Karena Smith dan keren
adalah dua kata yang nggak ingin kudengar bersamaan.)
4. Di mana Aunt Abby bekerja" (Karena aku nggak
tahu.) 5. Apa saja yang sudah dilakukan Aunt Abby" (Karena
aku bahkan nggak bisa menebak jawabannya.)
6. Kenapa agen yang berada di puncak kariernya mau
keluar dari lapangan untuk mengambil alih detail keamanan Macey, padahal pasti banyak sekali agen
senior yang rela meninggalkan apa pun demi menjaga
salah satu dari kalangan mereka sendiri tetap aman"
(Karena aku nggak mau memikirkan soal ini.)
"Ayolah, Cam," pinta Liz keesokan pagi, kurangnya informasi
orang dalam akhirnya membuatnya nggak tahan. "Dia kan
bibimu. Kau pasti tahu sesuatu."
Aku cuma mengangkat bahu. "Liz, Aunt Abby itu agen
rahasia yang melakukan penyamaran mendalam"kau juga tahu
bagaimana pekerjaan mereka."
Liz menatapku kosong, tapi Bex mengangguk. Bagaimanapun, orangtua Bex bekerja di MI6, jadi dia memang tahu. Lebih baik daripada siapa pun.
"Menurutmu dia bakal mengajar, nggak?" Liz mencengkeram
proyek nilai-ekstranya untuk Mr. Mosckowitz seakan hidupnya
bergantung pada hal itu (karena, kalau kau Liz, hidupmu memang sedikit-banyak bergantung pada nilai). "Aku mencoba
meng-hack Langley, tapi segala hal tentang bibimu dirahasiakan. Maksudku, betul-betul dirahasi"Aduh!" seru Liz.
Aku nggak yakin bagaimana dia melakukannya, tapi
Elizabeth Sutton, mungkin merupakan Gallagher Girl paling
pintar dalam seluruh sejarah Gallagher Girls, berhasil melukai
dagunya dengan klip kertas.
Bex tertawa. Liz berdarah (tapi cuma sedikit). Perutku berbunyi, dan kurasakan jam di dalam diriku berdetak lagi, memberitahuku sekaranglah waktunya, jadi kusambar tasku dan
berseru, "Ayo. Jangan sampai kita terlambat."
Aku sudah berada di selasar sebelum menyadari seseorang
nggak ada. "Macey!" seruku, membuka pintu kamar mandi. "Kami mau
turun ke?" Tapi aku nggak menyelesaikan kalimatku. Karena
Macey McHenry, cewek dengan fisik yang begitu sempurna
sehingga mungkin bakal membuat supermodel merasa inferior,
sedang berganti pakaian di dalam kamar mandi. Lalu aku melihat alasannya.
Memar besar memenuhi seluruh sisi tubuhnya, bercak-bercak hijau yang mulai berubah jadi ungu. Sikunya masih bengkak hingga dua kali ukuran normal. Aku nggak perlu mendengar Macey mengerang untuk tahu seberapa sakit rasanya,
tapi ekspresi di wajahnya mengatakan bahwa melihatku menyaksikan kelemahannya adalah hal paling menyakitkan dari
seluruh pengalaman ini. Yang berhasil lolos tanpa terluka dari
serangan Boston hanyalah harga dirinya, dan Macey akan
melindungi hal itu sekuat tenaga.
"Cam!" Bex berteriak dari luar. "Kami lapar!"
"Duluan saja," seruku, mataku masih terkunci dengan
pandangan Macey di cermin. "Macey nggak mau membiarkanku
pergi tanpa memakai eyeliner." Itu pasti cerita penyamaran
yang bisa dipercaya, karena pintunya langsung menutup. Suite
jadi hening, dan Macey berbalik.
Tanpa suara, Macey mengulurkan lengannya ke arahku, dan
aku memasukkan lengan bajunya melewati gips di lengan. Ia
menoleh kembali ke cermin tapi nggak menatap mataku lagi
saat berkata, "Nggak ada yang boleh tahu."
Bex bakal menganggap memar itu keren. Liz bakal mengkalkulasi seberapa besar persisnya kekuatan yang diperlukan
untuk menghasilkan kerusakan semacam itu. Memar-memar se72
perti itu biasanya bisa memberimu nilai ekstra untuk seminggu
penuh di kelas P&P. Tapi Macey nggak mau mendengar hal-hal
semacam itu. Dan itu bagus juga, karena aku nggak mau mengatakannya.
Jadi aku membantu Macey memakai sweter sekolah dan
bertanya-tanya: 7. Apakah menurutku Macey baik-baik saja" (Karena
sepertinya hanya aku yang menanyakan hal ini.)
Suatu waktu pada malam hari, keadaan sekolah kami sudah
berbalik. Kode Merah berakhir. Senator dan para pengikutnya
sudah pergi. Rak buku dan lukisan sudah berputar kembali,
dan di Koridor Sejarah, pedang Gilly berkilauan dalam kotak
pelindungnya.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua kelihatan benar. Semua kelihatan normal. Lalu aku
mendengar suara yang sudah lama sekali nggak kudengar berkata, "Hei, squirt."
Mom memanggilku kiddo. Teman-temanku memanggilku
Cam. Zach memanggilku Gallagher Girl. Tapi sepanjang sejarah nggak ada nama panggilan lain yang memiliki efek sebesar "Squirt." Tiba-tiba aku merasa ingin sekali berbalik
dengan sangat cepat dan makan gula-gula kapas sampai mual.
Tapi aku cuma bilang, "Hai."
"Seseorang bertambah besar."
"Umurku enam belas tahun," kataku, dan itu hal terbodoh
yang bisa kukatakan, tapi aku nggak bisa menahan diri. Para
genius pun punya hak untuk bersikap bodoh sekali-sekali.
Kurasakan Bex dan Liz menghampiri dari Aula Besar dan berdiri di sebelahku. "Semuanya, ini?" aku mendongak menatap
Aunt Abby, bertanya-tanya bagaimana dia bisa terlihat hampir
persis sama padahal nyaris segala sesuatu dalam hidupku kini
berubah, "Aunt Abby?" Kedengarannya memang seperti pertanyaan, tapi itu bukan pertanyaan.
"Jangan beritahu aku," kata bibiku sambil menoleh pada
Bex, "kau pasti keluarga Baxter."
Bex berseri-seri. Fakta bahwa mereka berdua belum pernah
bertemu sama sekali tak penting. Bibiku nggak menunggu dikenalkan. Itu bagus"Bex juga nggak pernah menunggu apa
pun. "Jadi bagaimana kabar ayahmu?"
"Dia baik-baik saja," kata Bex sambil tersenyum lebar.
Abby mengerling. "Tolong bantu aku dan beritahu dia bahwa Dubai pada Hari Natal tidak mengasyikkan tanpanya."
Di sebelahku, aku praktis bisa merasakan pikiran Bex berputar tak terkontrol, bertanya-tanya tentang Dubai pada bulan
Desember. Tapi Abby nggak memberikan detailnya; dia hanya
menoleh pada Liz. "Oooh," kata Abby sambil memeriksa luka baru di dagu Liz.
"Klip kertas?" tanyanya.
Mata Liz bahkan lebih membelalak lagi. "Bagaimana kau
bisa tahu?" Abby mengangkat bahu. "Aku sudah melihat banyak hal."
Aku berpikir kembali pada kabin Mr. Solomon. Setiap kali
dia dan Mom bicara tentang hal-hal yang sudah mereka lihat
dan lakukan, aku ingin bersembunyi dari detail-detail kehidupan mereka. Tapi saat Abby yang bicara, kami mendengarkan
setiap kata. "Apa Fibs masih punya setumpuk prototipe SkinAgain itu
di lab?" tanya bibiku.
"Bukankah itu agak?" Liz memulai, ?"keras?" (Mungkin
keras adalah kata yang sedikit memperhalus, karena aku tahu
pasti Akademi Gallagher mengembangkan SkinAgain setelah
salah satu anak kelas delapan jatuh ke tong berisi nitrogen
cair.) Abby mengangkat bahu. "Tidak kalau kau mencampurnya
dengan sedikit lidah buaya. Gosokkan sedikit pada lukamu,
dan tak mungkin luka itu meninggalkan bekas."
"Serius?" tanya Bex dan Liz bersamaan.
Abby maju sedikit ke arah cahaya. "Apakah ini terlihat
seperti wajah wanita yang selamat dari perkelahian pisau di
Buenos Aires?" Semua cewek di selasar (saat itu sudah ada cukup banyak)
menjulurkan leher untuk melihat kulit sempurna Aunt Abby
yang sehalus porselen. "Itu bukan ide bagus, Ms. McHenry," kata bibiku, mengejutkan para pengagumnya. Aku menoleh dan melihat Macey
mengulurkan tangan ke pegangan pintu depan, dan sadar
bahwa Abby bisa merasakan keberadaan temanku bahkan tanpa berbalik. Dan dengan secepat itu, bukan hanya kulitnya
yang membuat kami terkagum-kagum.
"Aku tidak sarapan," kata Macey. (Itu bohong, tapi tentu
saja aku nggak mengatakannya.) "Aku mau jalan-jalan."
Waktu mendengar kata "sarapan," cewek-cewek di selasar
tampaknya ingat bahwa mereka telah melewatkan satu musim
panas penuh tanpa akses pada wafel Belgia buatan koki kami.
Mereka berjalan keluar, satu demi satu, sampai yang tersisa
hanya aku, ketiga sahabat terbaikku di dunia, dan wanita yang
mengajariku cara menggunakan tali"yang seharusnya dipakai
untuk lompat tali"untuk melumpuhkan seorang lelaki waktu
aku berumur tujuh tahun. Aunt Abby mendekati Macey. "Divisi keamanan melihat dua
helikopter di daerah ini pagi ini"mungkin paparazi yang ingin
mengambil fotomu"tapi sampai kita yakin?" Ia melangkah ke
ruang antara cewek yang dilindunginya dan pintu. "Kau tidak
boleh keluar. Maaf." Ia menambahkan bagian terakhir itu kemudian, seakan baru terpikir untuk mengatakannya.
"Bukankah itu sebabnya kau di sini?" Macey mengingatkan
bibiku dan melangkah ke pintu lagi, tapi dengan santai Abby
menghalanginya. "Sebenarnya, itulah sebabnya aku di sini." Abby menunjuk
kakinya dan bersandar di pintu. Mungkin itu cuma gerakan
santai biasa jika dilakukan orang lain, di tempat lain. Tapi
waktu aku memandang bibiku lalu beralih ke Macey, kusadari
mereka sama-sama kuat. Sama-sama pintar. Sama-sama terbiasa
jadi cewek tercantik di ruangan. Terakhir kalinya aku mendapat perasaan seperti ini, hal itu melibatkan lab Dr. Fibs dan
dua bahan kimia yang sama-sama kuat, berbahaya, dan nggak
terlalu cocok ditempatkan bersama-sama di bawah tekanan.
"Peraturan nomor satu, nona-nona," kata bibiku. "Bersikap
ceroboh" dan kau akan tertangkap."
Saat Aunt Abby melangkah pergi, Bex menyambar lenganku dan berkata tanpa suara, "Dia keren sekali!"
Lalu, tanpa menoleh, Abby berseru, "Aku tahu sekali itu."
Sisa pagi itu berlalu seperti bayang-bayang kabur.
Macey mengikuti kelas Negara-Negara Dunia kelas sebelas,
jadi dia duduk persis di sebelahku selagi Mr. Smith bicara selama 45 menit mengenai pro-kontra melakukan operasi kosmetik di fasilitas-fasilitas yang disetujui CIA. (Jelas, hasilnya
berkualitas sangat tinggi, tapi karena secara teknis fasilitas76
fasilitas ini "tidak ada", dokumen asuransinya sangat menyusahkan!)
Madame Dabney memberikan pelajaran pengingat yang menyenangkan dan santai mengenai hal-hal mendasar: misalnya
Kilas Balik Merah Salju 5 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Rahasia Arca Budha 2
DON"T JUDGE A GIRL BY HER COVER
by Ally Carter Copyright ? 2009 by Ally Carter
Published by arrangement with Hyperion Books
for Children, an imprint of Disney Book Group.
All rights reserved. JANGAN MENILAI CEWEK DARI PENYAMARANNYA
Alih bahasa: Alexandra Karina
GM 312 01 10.0026 Sampul dikerjakan oleh Marcel A.W.
Foto cover: ?Darja Vorontsova/Shutterstock
? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29"37
Blok I, Lt. 4"5 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2010 288 hlm.; 20 cm. ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 5850 - 9
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Untuk Donna Bray, Gallagher Girl yang memulai semuanya
Bab S a t u "K ami bergerak." Laki-laki di sebelahku bicara ke mikrofon
di lengan bajunya, dan aku tahu kata-katanya tidak ditujukan
padaku. Udara bulan Agustus ini panas, dipenuhi bau garam dari
laut dan asap knalpot bus. Jalanan penuh sesak sampai berkilokilometer ke depan, dan ke mana pun aku memandang terlihat
warna merah, putih, dan biru. Ke mana pun aku menoleh, kurasakan mata para profesional terlatih menatap, melihat, merekam setiap kata, menganalisis setiap lirikan dalam jarak 20
kilometer ke depan. Sebagian diriku ingin melepaskan diri dari pria-pria besar
bersetelan gelap yang mengapitku di kedua sisi; sebagian lagi
ingin mengagumi anjing pelacak bom yang memeriksa berbagai
macam kotak 20 meter di depanku. Tapi keinginan terbesarku
saat itu adalah berbohong ketika pria lain, yang membawa clipboard dan memakai earpiece, menanyakan namaku.
Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk belajar memberikan identitas palsu dan cerita penyamaran yang dirancang
dengan sempurna dalam situasi semacam ini, jadi rasanya lebih
sulit daripada yang kukira untuk menjawab jujur, "Cammie.
Cammie Morgan." Situasinya lebih aneh daripada yang kuduga waktu aku menunggunya memeriksa daftar nama di clipboard dan bilang,
"Kau boleh langsung masuk."
Seakan aku cewek 16 tahun biasa.
Seakan aku nggak mungkin jadi ancaman.
Seakan aku nggak bersekolah di sekolah mata-mata.
Saat berjalan melewati lobi hotel, mau nggak mau aku teringat tugas pertama yang diberikan guru Operasi Rahasia padaku: Perhatikan segala hal. Berbagai lampu dan kamera bersinar
dari setiap sudut. Jala raksasa penuh balon merah, putih, dan
biru menjalar di ruangan luas itu seperti ular piton yang
patriotik. Di level mezzanine, delegasi Texas menyanyikan lagu
tentang mawar kuning, sementara seorang wanita berjalan
lewat mengenakan topi busa besar yang berbentuk seperti peach
Georgia. Pandanganku memindai sekumpulan wanita tua dan muda
di sana. Pasangan suami-istri. Mahasiswa dan penduduk lanjut
usia. Terakhir kalinya aku berada dalam kerumunan seperti
ini adalah pada musim berbeda dan di kota berbeda, jadi
entah kenapa sekarang aku merinding dan berusaha melawan
kasus d?j? vu parah saat memandang berkeliling dan mengucapkan nama yang belum kusebut selama berminggu-minggu.
"Zach." Mungkin AC di hotel ini memang dingin sekali atau
mungkin ingatan tentang hari dingin di D.C. yang memicunya.
Lalu aku mengerjap dan bertanya-tanya apakah sebagian
diriku akan selalu curiga Zach mungkin mengikutiku.
"Lewat sini," kata pria di sebelahku, tapi kami tidak berhenti di ujung antrean yang melengkung dan berbelok-belok
di depan meja pendaftaran berlapis marmer. Kami bahkan
tidak melambatkan langkah sewaktu melewati dua baris lift.
Kami malah berbelok ke koridor sempit yang sepertinya berada
jauh sekali dari lampu terang dan langit-langit lobi yang tinggi.
Karpet empuk berubah jadi ubin linoleum yang pecah-pecah
sampai akhirnya kami berdiri di depan lift yang aku yakin
tidak dibuat untuk dilihat para tamu hotel.
"Jadi, kau teman si Merak?" si agen Dinas Rahasia bertanya
waktu kami menunggu pintu lift membuka.
"Apa?" tanyaku, karena walaupun aku belum pernah menginap di hotel sebagus ini, aku cukup yakin pihak hotel nggak
akan membiarkan burung eksotis dibawa masuk ke level penthouse.
"Merak," si agen berkata lagi waktu kami melangkah ke
dalam lift servis yang tak lama kemudian membawa kami,
nonstop, ke lantai teratas. "Begini, kami memakai nama sandi,"
jelasnya seakan aku" cewek 16 tahun, "saat membicarakan
pihak yang dilindungi. Jadi kau dan Merak, kalian" berteman?"
tanyanya, dan sekali lagi kusadari bahwa dia nggak memandangku dengan cara petugas keamanan profesional yang terlatih
dan dipersenjatai dengan baik memandang ancaman potensial
(aku kan tahu banyak soal petugas keamanan profesional yang
terlatih dan dipersenjatai dengan baik!). Tidak. Dia memandangku seakan aku" Gallagher Girl.
Tentu saja, kalau kau membaca ini kau pasti tahu bahwa
ada dua tipe manusia di dunia"mereka yang tahu apa yang
sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding Akademi Gallagher
untuk Wanita Muda Berbakat, dan mereka yang tidak tahu.
Cara si agen mencoba membandingkan pakaianku yang agak
ketinggalan zaman dengan reputasi sekolahku memberitahuku
dia jelas tipe kedua"dia berasumsi kami semua kaya; mengira
kami semua manja; juga bahwa dia nggak tahu apa arti sebenarnya menjadi Gallagher Girl.
Dan itu terjadi sebelum aku mendengar jeritan.
Waktu pintu lift membuka, suara melengking "Aku bakal
membunuh seseorang!" bergema dari balik pintu ganda di
ujung koridor. Lalu aku seratus persen yakin bahwa laki-laki di sampingku
tidak tahu apa-apa tentang Akademi Gallagher, karena dia
tidak menyiapkan senjatanya; dia bahkan tidak mengernyit
waktu agen Dinas Rahasia kedua membuka pintu ganda itu
dan berbisik, "Merak marah."
Sebaliknya, si agen berjalan menghampiri cewek yang menjerit itu"walaupun cewek itu seorang Gallagher Girl.
Walaupun nama cewek itu Macey McHenry.
Sebelum hari itu, aku belum pernah mengunjungi Boston. Aku
belum pernah dikawal Dinas Rahasia. Dan aku jelas belum
pernah jadi VIP"very important person"(atau teman/teman
sekamar/tamu VIP) di konvensi politik nasional. Tapi waktu
berjalan memasuki kamar yang aku yakin adalah suite terbaik
kedua hotel itu, aku menambahkan hal pertama lain ke daftarku: aku belum pernah melihat Macey McHenry semarah itu.
"Sungguh, Macey, kurasa itu artikel kecil yang manis."
Suara Cynthia McHenry yang tenang dan sopan amat sangat
berlawanan dari suara putrinya. "Dia putra tunggal calon
presiden" Kau putri tunggal calon wakil presiden" Kalau
orang-orang ingin membaca artikel tentang kemungkinan
pernikahan Gedung Putih delapan tahun lagi, sama sekali tak
ada alasan untuk menghentikan mereka. Sungguh, aku bingung
kenapa reaksimu begitu dramatis."
Saat itu aku membuat catatan di dalam hati bahwa jika
menurut Mrs. McHenry reaksi Macey terlalu dramatis, mungkin sebaiknya dia jangan sampai ditinggalkan sendiri bersama
sebagian besar siswa kelas sebelas kami.
"Kalau cowok itu?"
"Cowok itu," ibu Macey mengoreksi, "adalah putra Gubernur
Winters?" ?"mencoba menggodaku?" sambung Macey, tapi Mrs.
McHenry bicara lebih keras.
"Dan kalau muncul bersamanya bisa memberi kita dua persen kenaikan suara di Ohio, berarti kau harus melakukannya."
"Persentase." Macey mendesah kesal. "Mom kan tahu aku
nggak suka matematika."
Well, aku pernah melihat sendiri Macey McHenry mengerjakan aljabar linear tanpa kalkulator (setelah menguasai
sistem yang diajarkan teman sekamar kami Liz, tentu saja),
tapi cewek di depanku bukanlah Macey yang kukenal di
sekolah. Dia juga bukan cewek yang sekarang gambarnya muncul di TV suite, tersenyum dan melambai dan bergandengan
dengan ayahnya dalam siaran berita nasional. Sekarang ini dia
adalah Gallagher Girl jenis lain"jenis yang diharapkan agen
tadi: jenis yang sombong, manja, yang merangkak keluar dari
limusin orangtuanya dan memasuki sekolah kami nyaris setahun lalu dengan mengenakan sepatu bot tentara dan cincin
hidung berlian. "Inilah pemandangan pagi ini saat Senator James McHenry
beserta keluarganya tiba di Boston untuk bergabung dengan
Gubernur Winters dan secara resmi menerima pencalonan
dirinya sebagai wakil presiden," kata pembaca berita di TV.
Tapi aku ragu Macey atau ibunya mendengarkan semua itu
selagi mereka saling melotot.
"Kau akan melakukan ini, Macey," kata ibunya. "Kau
akan?" Tapi pengawalku berdeham, dan Mrs. McHenry menoleh.
Aku berharap ia akan bersikap gembira seperti yang dilakukannya di telepon waktu Macey menelepon untuk mengundangku ke Boston, tapi ternyata ia hanya melambai ke
arahku dan berkata, "Tuh, teman kecilmu sudah datang."
Cara ibunya bicara tentangku membuat Macey menarik
napas dalam-dalam. Aku lega yang lainnya nggak melihat bagaimana kepalan tangan teman sekamarku menegang sesaat
sebelum ia berbalik dan membentak, "Kami mau jalan-jalan."
"Jangan lupa latihannya!" seru ibunya, tapi Macey sudah
menarikku keluar dari pintu ganda.
Aku melihat pandangan si agen untuk terakhir kalinya
waktu dia mencoba mencari tahu persamaan apa yang mungkin
kumiliki dengan cewek yang sedang menarik tanganku. Di TV
seseorang berkata, "Cynthia McHenry adalah wanita karier dan
dermawan terkenal. Pasangan ini memiliki seorang putri,
Macey, siswi Akademi Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat,
di Roseville, Virginia."
Sekolah kami. Stasiun televisi nasional.
Ribuan pikiran berlomba-lomba di benakku sebelum Macey
membanting pintu di belakang kami, seakan memerangkap
kekhawatiranku di sisi lain pintu itu. Dia tersenyum jail, dan
untuk pertama kalinya, pada hari itu, aku mengenali temanku
dalam sosok cewek yang berdiri di hadapanku. "Bagaimana,
kau suka penyamaranku?"
Bab D u a ata-mata punya penyamaran untuk setiap kesempatan:
nama alias dan paspor palsu, berbagai benda di saku untuk
mendukung penyamaran, dan KTP palsu. Mata-mata hebat bisa
berubah jadi orang berbeda dalam sekejap, tapi jarang sekali
aku melihat mata-mata yang penyamarannya begitu mendalam
seperti Macey McHenry saat itu.
"Merak sedang bergerak," bisik salah satu agen ke pergelangan tangannya saat aku mengikuti Macey menyusuri markas sementara Winters-McHenry, melewati barisan laptop dan
pekerja magang yang berteriak-teriak. Mereka semua mengenakan setelan kerja dan pin kampanye, kelihatannya belum tidur
cukup sejak kampanye di New Hampshire. Sebetulnya, aku
memang mendengar salah satu pria bilang, "Aku belum tidur
cukup sejak New Hampshire."
Tapi rambut hitam Macey berkilau seperti biasa, mata birunya betul-betul jernih. "Ya ampun, Bunglon, kau tahu nggak
seberapa susahnya mencarimu?" Ia terus berjalan, seakan nggak
sadar dirinya kelihatan seperti putri, sedangkan ruangan itu
dipenuhi rakyat jelata yang bekerja untuk memastikan ayahnya
bisa bertakhta. "Maksudku, awalnya aku mencoba mencarimu
ke sekolah, tapi apakah kau pernah mencoba meminta informasi dari Profesor Buckingham?" Dengan tenang teman sekamarku terus mengoceh seakan saat itu wajahnya nggak disiarkan ke setiap rumah di Amerika. "Yah pokoknya, lalu aku
bertanya ke Dinas Rahasia, dan?"
"Tunggu," potongku. "Dinas Rahasia memberimu nomor
telepon kakek-nenekku?"
"Well," Macey mengakui, "aku memang meminta Dinas
Rahasia mencarikan nomor telepon itu, tapi akhirnya aku mendapatkannya dari sumber yang lebih rahasia."
Aku memelankan suara waktu bertanya, "CIA?"
"Liz," Macey balas berbisik, dan mau nggak mau aku tersenyum waktu memikirkan teman sekamar kami yang paling
mungil/paling pintar. "Jadi, musim panasmu menyenangkan?"
tanyanya lagi waktu kami meninggalkan ruangan yang saking
ributnya sampai mirip lokasi perang dan menyusuri koridor
panjang lainnya. "Yeah," kataku, nyaris kehabisan napas. Dua bulan di peternakan kakek-nenekku di Nebraska nggak sepenuhnya membuat kondisiku tidak fit, tapi hidup memang bergerak lebih
pelan di sana, jadi rasanya aku harus berusaha keras untuk
mengikuti kecepatan Macey. "Musim panasku menyenangkan.
Hanya saja?" Aku memikirkan teman-teman sekelas kami, yang sepertinya tersebar ke ujung-ujung dunia setiap kali sekolah libur.
Aku memikirkan Mom, yang mengantarku ke pesawat pada
hari pertama liburan musim panas dan sama sekali nggak mengirim satu kartu pos pun sejak itu. Dan akhirnya, aku memikirkan dua cowok: satu yang sudah berbulan-bulan nggak
kutemui dan satu yang tampaknya kubayangkan ada di manamana, meskipun aku tahu aku mungkin nggak akan pernah
melihatnya lagi. "Baik," kataku akhirnya. "Musim panasku baik-baik saja."
Saat itu Macey sudah mengenalku dengan cukup baik, jadi
ia cuma tersenyum dan bilang, "Sama."
Suara langkah kaki kami sepelan bisikan pada karpet saat
kami memasuki terowongan bawah tanah yang menghubungkan
pusat konvensi dan hotel.
Agen-agen Dinas Rahasia menjaga semua pintu, dan kudengar salah satu berbisik ke lengan bajunya, "Merak tiba di
tempat." "Boleh aku memanggilmu Merak?" godaku.
"Tergantung: apakah kau mau merasa aman saat tidur di?"
Macey memulai, tapi dua wanita lansia yang mengenakan
hiasan bunga matahari terbesar yang pernah kulihat melewati
kami, dan Macey tersenyum pada mereka"ya, senyuman
sungguhan"dan bilang, "Well, delegasi Kansas tampak meriah
sekali!" Perubahan itu dilakukannya dengan sangat mudah, seakan
senyuman seribu watt-nya terpasang pada saklar yang bisa
dinyalakan dan dimatikan dengan mudah. Tentu, mungkin
akulah yang dianggap jadi harta CIA, tapi saat itu jelas sekali
bahwa Macey tahu sama banyaknya mengenai identitas palsu,
rencana tersembunyi, dan aliansi rahasia dengan siapa pun
yang kukenal. "Jadi," aku memulai, "ada berita apa darimu?"
Macey menarik selembar kertas yang diketik rapi dari sakunya. "Jam enam pagi: muncul dalam berita pagi nasional. Jam
sembilan pagi: mengepas seragam angkatan laut." Macey mendekat dan berbisik menambahkan, "Padahal, merah membuatku
terlihat murahan." Ia kembali ke posturnya yang biasa dan berjalan lebih cepat, jalan yang menurun itu membawa kami
semakin dekat kepada sepasang pintu logam di ujung terowongan. "Jam sebelas pagi," ia melanjutkan, "acara keluarga
yang mengasyikkan bersama Mom dan Dad."
Macey berhenti. Ia menumpukan tangan pada pegangan
pintu logam. "Jadi, kau tahu kan," katanya sambil membuka pintu menuju
ruangan paling besar yang pernah kulihat, "kegiatan biasa."
Kursi"ribuan kursi kosong"tersebar di seluruh lantai arena.
Tanda bertuliskan nama semua negara bagian tergantung di
atasnya. Kami mulai dari Oregon, lalu berjalan melewati
Delaware dan Kentucky. Berbagai stand dibangun tinggi di
hadapan kami. Aku mendongak, memandangi kotak-kotak
tinggi yang mengelilingi arena, menampilkan logo semua media
berita yang ada. Macey dan aku berdiri di sana cukup lama, hanya berdua
untuk pertama kalinya sejak kami bertemu. Mungkin itu sebabnya ia merasa aman untuk berbisik, "Trims kau mau datang,
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cam." Wajah ayahnya terpampang di sampul setiap majalah di
Amerika. Dia akan jadi si putri dalam pesta dansa terbesar di
negara ini. Mungkin setiap cewek di negara ini mau bertukar
tempat dengan Macey, tapi aku melihat kesedihan di matanya
saat dia berdiri sendiri di ruangan raksasa itu, dan aku tahu
kenapa aku ada di sana. Aku ingat bahwa Gallagher Girl
hanya bisa jadi hebat dengan bantuan backup-nya.
"Ayo kita selesaikan ini dan kembali ke sekolah, oke?" kataku.
"Oke," balasnya. Aku berani bersumpah Macey hampir tersenyum.
Dan dia mungkin bakal tersenyum kalau kami nggak diinterupsi oleh langkah kaki di belakang kami dan suara yang
berkata, "Halo, nona-nona."
Aku nggak tahu bagaimana pendapatmu, tapi aku cenderung
membuat asumsi tertentu mengenai remaja cowok yang berkeras memanggil remaja cewek dengan sebutan "nona." Kau
berharap dia tampan. Kau berharap dia pintar bicara. Jenis
cowok yang punya lebih banyak produk penataan rambut daripada dirimu.
Tapi Preston Winters" nggak seperti itu.
Tingginya hampir sama dengan Macey, tapi kurasa nggak
berlebihan waktu kubilang aku cukup yakin Liz bisa mengalahkannya dalam perkelahian tangan kosong. Jasnya yang dijahit
khusus tergantung dari tubuh kurusnya seakan dia anak kecil
yang sedang mencoba-coba baju orang dewasa, dan sepertinya
itu nggak terlalu jauh dari kenyataan mengingat fakta bahwa
Preston memakai jam tangan Spider-Man.
"Pertanyaan cepat," bisik Macey. "Waktu ibumu bilang kita
nggak boleh memakai gerakan mana pun dari kelas Perlindungan dan Penegakan musim panas ini, itu nggak berlaku
kepada putra calon presiden, kan?"
"Kurasa larangan itu malah berlaku khususnya kepada putra
calon presiden." Aku nggak yakin apa sebabnya"apakah karena Dinas
Rahasia ada di sana atau karena sekolah kami yang bersifat
rahasia"tapi sesuatu membuat Macey menarik napas dalamdalam dan tersenyum (dan membisikkan kata yang sangat
kasar dalam bahasa Portugis).
"Kau terlihat sangat" patriotik" hari ini, Ms. McHenry,"
kata Preston, memandangi Macey dari atas ke bawah.
Aku memandang setelan sweter berwarna merah, putih, dan
biru itu (aku tahu" Macey memakai setelan sweter!) dan menahan tawa.
"Kurasa kita belum pernah bertemu," kata si cowok, menoleh padaku dan mengulurkan tangan. "Aku Preston. Kau
pasti?" "Sibuk," kata Macey, mencoba menarikku menjauh.
"Cammie," ujarku, menahan tarikan teman sekamarku cukup lama untuk menjabat tangan Preston. "Si teman sekamar,"
jelasku. Preston membungkuk kecil dan berkata, "Senang bertemu
denganmu, Cammie si teman sekamar?"
Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, kudengar
suara melengking yang berseru, "Keluarga McHenry, kiri panggung!" Seorang wanita langsing berjalan ke atas panggung,
ibu dan ayah Macey mengikuti di belakangnya. Si wanita
membawa clipboard. Dan kacamata kecil berbingkai gading
tergantung dari rantai di lehernya. Dan bukan hanya satu,
tapi dua pensil ditusukkan ke gulungan besar rambut di puncak kepalanya.
"Keluarga Winters, kanan panggung!"
Saat gubernur Vermont dan istrinya menempati posisi mereka, mau nggak mau aku memperhatikan bahwa salah satu
pria paling berkuasa di dunia kelihatannya betul-betul takut
pada wanita yang membawa clipboard itu.
"Keluarga McHenry!" wanita itu memanggil lagi. "Kita kekurangan?"
"Aku di sini," kata Macey, berlari ke arah panggung.
Ibu Macey memutar bola mata. Ayahnya mengecek arloji.
Tapi Wanita Clipboard cuma berkata, "Bagus! Kita tak bisa memiliki pemerintahan baru tanpa anak-anak muda. Coba lihat
wajah-wajah cerah yang berkilau itu."
"Sebenarnya, warna kulitku bisa sebagus ini berkat perusahaan kosmetik Anda, Mrs. McHenry." Seluruh kelompok
itu terlihat kaget mendengar Preston bicara"terutama Preston
sendiri. Tapi bukannya tutup mulut, ia terus mengoceh. "Krim
pereduksi noda yang baru itu" wow. Bagus sekali," tambahnya
sambil mengangguk canggung. Wanita Clipboard melotot padanya, dan jelas sekali bahwa wajah berkilau seharusnya cuma
untuk diperlihatkan dan bukan untuk diceritakan. "Aku akan
berdiri di sebelah sini sekarang," kata Preston, menempati
posisi di sebelah orangtuanya.
Para kandidat bergantian berdiri di belakang podium yang
dilapisi apa yang kelihatannya seperti semua kain merah, putih,
dan biru yang bisa dikumpulkan dari bagian timur Mississippi.
Macey tetap berdiri tegak di tengah-tengah semua prosesi itu,
nggak sekali pun menjauh dari sorotan, sementara aku beringsut ke bagian belakang arena dan menempati posisiku di
bawah bayang-bayang. Berapa kali Wanita Clipboard menyuruh Gubernur Winters dan
ayah Macey berlatih berjabat tangan lalu menoleh untuk melambai
pada penonton khayalan: 14
Berapa kali Macey melotot pada ibunya: 26
Berapa kali Preston mencoba menarik perhatian Macey dan diabaikan sepenuhnya: 27
Berapa kali Macey harus melatih gerakan dansa dicondongkan ke
belakang dengan "spontan" saat berdansa dengan ayahnya: 5
Berapa menit aku harus duduk sendirian di arena raksasa itu,
bertanya-tanya apakah kebebasan dan demokrasi memang dilatih
sebaik ini sejak dulu: 55
Pada tengah hari, Wanita Clipboard mengulang semuanya untuk terakhir kali.
"Tepat jam 20:04 musik akan mulai dimainkan." Wanita
Clipboard mengangkat tangan dengan dramatis. "Pada titik ini,"
katanya, mengamati para kandidat dan keluarga mereka dari
atas kacamata berbingkai gelapnya, "aku merekomendasikan
dansa spontan." Preston tersenyum pada Macey. Macey bergidik.
"Balon akan berjatuhan jam 20:06. Rayakan, rayakan.
Berdansa, berdansa. Lalu gambar akan beralih ke iklan."
"Beres?" tanyaku waktu Macey sampai di sebelahku semenit
kemudian. Dia terlihat lebih lega daripada yang pernah kulihat. (Dan itu termasuk waktu Dr. Fibs mengumumkan bahwa
ia tidak memerlukan bantuan Macey dengan eksperimen
bunion-pad-yang-dijadikan-senjata. Yang, tak perlu dibilang lagi,
amat sangat melegakan.) "Ayo pergi," kata Macey padaku, tapi kemampuan kami pasti
sedikit berkurang selama liburan musim panas, karena Preston
sudah ada di belakang kami.
"Jadi, bisakah aku mengajak kalian, nona-nona, menikmati
kudapan siang" Kudengar siang ini delegasi Hawaii mungkin
akan memanggang sapi besar." Aku mungkin bakal merasa
kasihan pada Preston karena itu jelas hal paling aneh yang
pernah kudengar. Tapi Preston sama sekali nggak malu dengan
keanehannya"dia malah memperlihatkannya. Preston Winters
sama sekali tidak mengasihani diri sendiri. Dia satu-satunya
orang yang pernah kutemui yang betul-betul jadi diri sendiri.
Dan aku menyukainya karena itu.
"Maaf, Preston," kata Macey sambil menyambar lenganku
dan mengarahkanku ke pintu. Ia melambaikan daftar acaranya
yang lecek di depan Preston. "Tugas memanggil."
Tapi satu hal yang kupelajari dengan tinggal bersama anak
politisi ulung adalah mereka tak pernah menerima jawaban
tidak . "Hei," kata Preston. "Yeah. Daftar acara. Mengerjakan
bagian kita. Hebat." Kami sepuluh langkah di depannya, tapi
untuk ukuran cowok kurus langkahnya betul-betul cepat. Dan
keras kepala. "Aku akan mengantarkan kalian."
Karena ada dua agen Dinas Rahasia mengawal kami dan
kru televisi yang bersiap-siap melakukan laporan langsung,
Macey berpikir ulang sebelum menghentikan Preston. Dia hanya mendorong pintu logam itu lagi, dan tak lama kemudian
kami menelusuri kembali jejak kami di terowongan bawah
tanah itu. Pria tua dengan rambut putih berantakan dan alis lebat
nyaris menabrakku, dan bergumam "Permisi, Nona" dengan
aksen Selatan yang kental. Dua wanita yang memakai T-shirt
"Warga Washington Mendukung Winters" bisa dibilang sampai
membungkuk hormat di depan Preston, tapi dia terus menjajarkan langkah dengan kami, nyaris berlari-lari kecil.
"Jadi, kalian bersekolah di sekolah yang sama, ya?" kata
Preston terengah. "Apa semua wanita di Akademi Gallagher
semencolok kalian?" Macey berbalik ke arahnya. "Sebetulnya, mencolok mata
memang keahlian utama kami."
"Jadi, Preston," kataku, tak sabar ingin mengganti topik.
Kami berbelok ke koridor sempit dan suram yang membawaku
bertemu Macey pagi itu. "Kau pasti senang" soal ayahmu.
Jadi putra presiden. Semuanya."
"Oh, yeah," kata Preston. "Aku sangat senang tentang rencana ayahku untuk Amerika."
Dia mungkin putra politisi ulung, tapi aku putri mata-mata,
jadi aku bisa langsung tahu dia hanya berbohong. Waktu kami
mencapai lift servis, kulihat Macey menekan tombol lift dengan frustrasi. Aku tahu temanku sedang merencanakan caracara untuk menyingkirkan Preston, tapi yang bisa kulakukan
saat itu hanyalah memikirkan tentang cowok lain dan lift lain,
dan teringat bahwa memang ada beberapa hal yang akan terus
menyelinap di belakangmu; Gallagher Girl pun takkan bisa
menghentikannya. Saat pintu lift terbuka, kami semua masuk. Tempatnya
sempit sekali, jadi salah satu agen Dinas Rahasia terpaksa menunggu lift berikut.
"Omong-omong, ini Charlie ," kata Preston, menunjuk pria
yang sepertinya menempati lebih banyak ruang daripada yang
seharusnya dia tempati di area sempit itu. "Charlie sudah bersamaku sejak" kapan, ya" Missouri, kurasa?"
Pintunya menutup. Charlie diam saja. Dan dengan sangat
pelan, kudengar Preston mengisi keheningan canggung itu dengan bisikan, "Masa-masa menyenangkan."
Perjalanan ke lantai teratas terasa sedikit lebih lama kali
ini. Seharusnya aku bertanya-tanya kenapa, tapi aku tidak
melakukannya"tidak sampai kudengar suara ting dan melihat
pintu lift membuka ke ruangan yang belum pernah kulihat.
Ruangannya begitu berbeda sehingga bisa saja kami berada
di negara lain"bukan cuma bangunan lain"saat melangkah
ke ruangan yang diterangi lampu neon tapi tidak dilapisi
karpet merah, dan sama sekali tidak ada pekerja magang yang
berlarian atau pengawal yang sabar. Kereta layanan kamar yang
dua rodanya hilang tersandar di salah satu dinding. Terlihat
beberapa kereta cuci dan kepala tempat tidur tua. Mesin-mesin
raksasa berdengung, memenuhi ruangan dengan suara keras
dan panas yang hampir nggak tertahankan.
"Apakah kau menekan tombol yang salah?" tanyaku, menatap Macey.
"Dalam daftar acaranya tertulis 12:05: merekam video promosi. Lift servis. Level R." Macey menunjuk R besar yang dilukis di dinding di depan kami.
Kulirik Charlie, yang belum mengatakan apa-apa sejak kami
meninggalkan lantai pusat konvensi, tapi sama sekali tidak
ragu mengangkat lengan bajunya dan berkata, "Kontrol, aku
bersama Merak dan Anjing Gila?"
Di sebelahku, Preston mengangkat alis dan berbisik, "Aku
memilih sendiri nama sandi itu."
Tapi Charlie terus bicara. "Kami di Level R. Apakah mereka akan merekam videonya di sini, ataukah jadwalnya sudah
diubah?" Ia menatapku. "Mereka sedang mengecek."
Udaranya panas dan pengap, ruangan itu terlalu kecil untuk
jadi keseluruhan satu lantai. Pintu dengan jendela kecil berada
di ujung terjauh, jadi aku nggak kaget ketika mendengar
Macey berkata, "Berani taruhan kita seharusnya berada di luar
sini," dan melihatnya berjalan keluar menyongsong cahaya.
Ada banyak sifat yang harus dimiliki Gallagher Girl: suka bertualang, berani, dan tidak takut ketinggian; itu beberapa di
antaranya. Dan semua itu berguna waktu Macey, Preston, dan
aku melangkah keluar ke atap hotel.
Angin keras bertiup dari pelabuhan, membanting pintu
logam itu hingga menutup di belakang kami. Saat melangkah
ke tepian atap dan melihat pemandangan kota, kami melihat
banyak sekali menara gereja bersejarah dan gedung pencakar
langit yang menjulang. Beberapa bangunan kelihatan sangat
kuno sehingga sepertinya Paul Revere"patriot Amerika dari
abad ke-18"sendiri bakal melangkah keluar dari sana; yang
lainnya kelihatan seakan muncul dari masa depan. Enam puluh
lantai di bawah, van program berita dari berbagai saluran
televisi dan bus-bus turis berdiri di jalan tol yang ditutup. Tapi
di atap hotel kekacauan konvensi itu tampak jauh sekali. Dan
itu, kurasa, adalah masalahnya.
Tidak ada kru kamera, tidak ada spesialis humas. Kulirik
Macey, ia mengatakan apa yang kupikirkan. "Ada yang salah."
Lalu ia menoleh pada Preston. "Tepatnya di mana kita seharusnya berada?" Macey memandang Preston, pandangannya beralih ke agendanya yang lusuh, lalu akhirnya mengulurkan
tangan. "Coba kulihat daftar acaramu."
"Oke, yeah" begini, tidak semudah itu?" Preston tergagap
lalu mengaku, "Ibuku yang memegangnya."
Aku memandang ke belakang kami, mencari Charlie, tapi
pria itu tidak terlihat di mana pun, dan pada saat itu, segalanya tampak berubah.
Mungkin karena aku sudah empat tahun penuh dilatih jadi
mata-mata, atau mungkin karena selama enam belas setengah
tahun aku menjadi putri Rachel Morgan, tapi entah bagaimana, dengan suatu cara, aku tahu atap itu adalah tempat
yang sangat buruk. "Hei, kau..." Preston mulai bicara waktu aku berlari ke arah
pintu logam berat itu "...pelari yang sangat cepat."
Tapi aku hampir nggak mendengarnya waktu menarik pintu
itu dengan segenap kekuatanku, mencoba memutar pegangannya dengan sia-sia, memukul-mukul logam abu-abu itu. Pintu
itu terkunci"atau ditahan sesuatu"dan kami nggak bisa pergi
lewat jalan kami masuk tadi.
"Jelas ada yang salah," kata Macey di belakangku, mengecek
ulang daftar acaranya, masih begitu terfokus pada sisi dirinya
sebagai putri politisi sehingga ia mengabaikan sisi lainnya"sisi
mata-matanya"cewek yang ia kira nggak bakal muncul dalam
liburan musim panas ini. "Sesuatu betul-betul nggak?" Tapi kemudian ia terdiam.
Mata biru Macey menatap mataku. Di dalamnya kulihat kesadaran"ketakutan"saat Macey menunduk melihat kertas di
tangannya lalu kembali menatapku"
Lalu ia memandang ke arah helikoper yang terbang terlalu
rendah, terlalu cepat, dan terarah tepat kepada kami.
Bab T i g a nilah masalah terbesar operasi rahasia: hal-hal terburuk selalu
terjadi pada waktu yang paling tidak kauharapkan. Penjahatnya
tidak akan memberitahumu lebih dulu soal kapan kau bakal
diserang. Mereka tidak memberimu waktu 30 menit setelah
makan. Dan mereka tidak pernah, sekali pun, memberimu
waktu untuk memakai sepatu yang nyaman.
Jadi, dilatih untuk hidup semacam itu berarti satu hal:
nggak ada waktu libur untuk sekolah mata-mata.
Aku berpikir tentang lembaran kertas di tangan Macey dan
meyakinkan diriku bahwa ini semua mungkin hanya kesalahan
murni, perubahan rencana. Bukan berarti guru-guru kami
dengan sengaja menarik Macey"dan juga aku"ke atap untuk
menjalani sejenis tes menakutkan yang mereka rencanakan.
Bukan berarti kami akan menghadapi pertarungan. Bukan berarti jantungku punya alasan kuat untuk berdebar kencang.
Tapi tetap saja aku menatap teman sekamarku dan bertanya, "Kau juga memikirkan yang kupikirkan?"
Macey mengangkat bahu. "Guru kita nggak bakal melakukan apa pun di depan dia." Ia menunjuk Preston"yang bersandar pada balkon"menatap kekacauan di jalanan di bawah,
benar-benar tak menyadari titik gelap di cakrawala yang bergerak mendekati kami dengan cepat.
Aku berpikir tentang daftar acara Preston yang hilang.
"Mungkin seharusnya dia nggak ada di sini?"
Dan dengan kalimat itu, Macey membiarkan lembaran
kertasnya jatuh; kulihat kertas itu terbang ke sana kemari di
udara, melayang di sekitar kami saat helikopter terbang makin
rendah. Seakan Macey membiarkan penyamarannya ikut
terlepas. Hotel itu dipenuhi orang yang hanya akan melihat
putri sang kandidat, tapi saat itu"di tempat itu"tidak ada
keraguan lagi Macey McHenry harus menjadi siapa.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, kalian, lihat?" kata Preston, akhirnya menyadari keberadaan helikopter di atas kami. Ia terdiam tiba-tiba waktu
seutas tali dijatuhkan dari helikopter, tergantung di antara
langit dan atap. Aku mendengar suara klik, juga derakan logam saat pintu
ke atap terbuka. Tapi bukannya Charlie, yang masuk justru dua
figur bertopeng. Lalu aku nggak bisa menahan diri lagi; aku
berteriak, "Aku sedang liburan musim panas!"
Kurasakan Macey bergerak di belakangku, kulihat Preston
menatap figur gelap yang melompat turun dari helikopter
seakan entah bagaimana dirinya memasuki permainan dalam
video game"atau mimpi buruk. "Sepertinya mereka bukan pemberi suara yang masih belum membuat keputusan," katanya,
seakan sarkasme adalah senjata andalannya dan betul-betul
berharap senjata tersebut akan berhasil lagi kali ini.
Figur-figur bertopeng itu tidak berlari ke arah kami.
Mereka tidak ceroboh. Mereka berhati-hati. Mereka terlatih,
bergerak dengan tujuan, menjaga jarak aman selagi Macey
dan aku berdiri saling memunggungi, mempersiapkan diri di
tengah atap. "Preston!" seruku. "Merunduk!"
Aku ingin dia bersembunyi. Aku ingin dia pingsan atau
buta. Aku ingin dia ada di mana pun kecuali di sini. Aku tahu
dengan terlalu baik bagaimana dampak keberadaan cowok sipil
di tengah latihan Operasi Rahasia. Itu adalah peristiwa yang
nggak perlu kuulangi lagi.
"Ini bukan?" erangku saat menghindari pukulan pertama
si penyerang, ?"waktu?" aku bergerak setengah langkah ke
kanan dan mendaratkan tendangan ke salah satu lutut pria
bertopeng itu, "yang bagus buatku!"
Satu pria bertopeng berdiri di depanku. Gigi putih berkilauan dari balik topeng gelapnya. Selama sepersekian detik
kupikir itu senyuman Mr. Solomon. Penyerang pertama yang
turun dari helikopter memiliki lekuk-lekuk tubuh yang jelas
sekali milik wanita cantik, dan aku sempat bertanya-tanya
apakah dia Mom. Tapi kemudian, entah dari mana, kurasakan pukulan di sisi
tubuhku, pukulan sempurna, dan saat aku jatuh ke atap berlapis tar yang lengket itu kulihat helikopter-helikopter berita
mulai mendekat dan bergerombol di sekitar kami"lalu aku
langsung tahu. Aku tahu tak seorang pun di Akademi Gallagher akan seceroboh ini.
Aku tahu Mom dan Mr. Solomon lebih baik mati daripada
mengambil risiko mengekspos sekolah kami seperti ini.
Aku tahu ada makna lebih di balik pukulan itu"bukan di
kepalan tangan si penyerang, tapi di matanya.
Lalu, lebih jelas dari kapan pun, aku tahu aku harus membawa pergi Macey dan Preston dari atap itu.
Aku nggak tahu bagaimana menjelaskan apa yang terjadi
berikutnya, tapi dalam sekejap semua pelajaran P&P yang pernah kudapatkan kembali ke ingatanku. Saat itu, aku tahu bertahan hidup bukan hanya melibatkan pukulan dan tendangan;
yang lebih penting adalah geometri dan waktu yang tepat;
tentang membuat refleksmu bertambah cepat sementara pikiranmu melambat.
Mungkin kejadian itu berlangsung semenit; mungkin juga
sebulan. Yang kutahu pasti adalah salah satu pria itu bergerak
ke arahku. Aku membungkuk saat tinjunya melayang, nyaris
sekali mengenai kepalaku, namun fokusku sudah berada di tempat lain"mataku memindai atap, mencari senjata, jalan keluar,
atau keduanya. Dan saat itulah aku melihatnya"papan sempit
untuk petugas pembersih kaca yang tergantung di sisi atap. Di
kedua sisi papan itu ada rel yang terpasang pada sistem katrol.
Jantungku berdebar. Angin berdengung keras di telingaku
saat aku menyambar tangan Preston dan berteriak, "Ayo!"
Ada langkah kaki di belakangku"tangan di lenganku. Aku
berputar, tapi sebelum aku bisa melayangkan pukulan, Preston
menarik tangannya yang bebas dan memukul pria itu di tenggorokan. Itu pukulan beruntung yang sempurna, tapi aku bersedia menerima bantuan apa pun yang bisa kudapatkan saat
sedang menarik calon putra presiden keluar dari bahaya dan
menuju papan sempit itu. "Aku berhasil memukul salah satunya," kata Preston, me30
natap tinjunya seakan itu hal paling mengejutkan dari semua
kejadian ini. "Aku tahu. Bagus," kataku, meraih pengontrol katrol; tapi
untuk pertama kalinya Preston seakan menyadari bahwa aku
membimbingnya ke atas sesuatu yang tergantung pada sisi bangunan setinggi 60 lantai.
"Tunggu!" teriak Preston.
"Kau akan baik-baik saja," kataku padanya.
"Tapi apakah aku sebaiknya nggak?" gumam Preston dengan sikap khas cowok yang tahu ia seharusnya bersikap kesatria tapi tak tahu bagaimana harus melakukan itu.
Di belakangku, kudengar Macey berteriak kesakitan, tapi
aku menjaga fokus dan menekan tombol hijau, entah bagaimana tahu bahwa misi pertamaku saat itu adalah mengeluarkan
Preston dari atap. "Berpeganganlah!" teriakku, sekejap kemudian gravitasi
mengambil alih dan Preston jatuh 20 lantai ke tempat aman.
Aku mungkin bakal menikmati fakta tersebut, tapi para
penyerang itu tampak fokus kembali, dan aku melihat si wanita
penyerang mengangkat tangan dan menunjuk ke tempat Macey
berdiri di sebelahku. "Tangkap cewek itu," perintah si penyerang wanita. Aku melirik temanku, putri senator Amerika dan salah satu wanita terkaya di dunia. Temanku, yang wajahnya terpampang di berbagai
kios koran di Amerika. Temanku, korban impian semua penculik.
Macey dan aku mundur perlahan-lahan, bergerak makin
lama makin dekat ke dinding di belakang kami, dan aku tahu
kami tersudut. "Tidak," seruku, seakan hanya itu yang perlu dilakukan
untuk menghentikan mereka.
Lalu aku melihatnya"lubang udara berkarat yang berjarak
kira-kira tiga meter di sebelah kanan pintu yang aku tahu
takkan bisa kubuka. Aku menjatuhkan diri ke tanah, menendang ventilasi itu sekeras yang kubisa, dan merasakannya
sedikit mengendur. Aku menendang lagi sementara, di belakangku, pria-pria itu mencoba meraih Macey. Aku mendengar sentakan yang membuatku takut. Aku menoleh dan
melihat teman sekamarku memegangi lengannya lalu jatuh ke
tanah, melolong kesakitan, jadi aku menendang lebih keras,
dan kali ini ventilasi tua itu menyerah pada tekananku. Tutupnya lepas, dan kulemparkan benda itu ke kepala salah satu
pria yang berusaha mencengkeram Macey. Aku mendengar
suara derakan logam pada tengkorak, tapi aku tak berhenti
untuk melihat dampaknya"aku terlalu sibuk menyambar
Macey dan mendorongnya ke arah lubang ventilasi di dinding
itu. Aku mulai mengikuti, tapi seseorang menyambar bahuku
dengan cengkeraman kuat, menahanku. Aku mencakar wanita
yang menyerangku; tapi saat mencoba membebaskan diri, tanganku menyentuh cincin emas berukir emblem yang, sumpah,
pernah kulihat. Sepersekian detik pikiranku seakan berhenti
saat mencoba mengingat emblem itu, tapi kemudian aku
mendengar suara lirih berkata "Cam," dan aku teringat pada
temanku"misiku. Aku mencakar lebih keras, mencondongkan diri ke depan,
berdoa agar momentum gerakanku bisa membawaku melewati
lubang di dinding ke tempat yang lebih aman. Tiba-tiba, aku
teringat pin kampanye Winters McHenry di blusku. Kudengar
kemejaku sobek waktu aku menarik pin itu hingga terlepas dan
menusukkannya ke tangan di bahu kiriku.
Wanita di belakangku melolong kesakitan saat aku
mendorong Macey melewati ventilasi dan mengikutinya.
"Lari, Macey!" teriakku. "Cepat!"
Aku tidak berpikir. Tidak satu pun strategi muncul di
benakku. Tidak ada kartu catatan. Tidak ada kosa kata baru.
Ini adalah kasus kuno saat kau harus memilih untuk bertarung
atau lari. Aku menatap Macey, yang lengannya menggantung
lemas dengan sudut aneh; kurasakan sisi tubuhku dan tahu
tulang rusukku paling tidak memar-memar dan mungkin patah,
dan aku tahu bahwa bertarung bukan lagi pilihan"bahwa
kami harus keluar dari sana, secepatnya.
"Cepat," kataku padanya. Di belakang kami, kudengar pintu
logam membuka lagi. Kilasan cahaya muncul di lantai semen,
menyinari sepasang kaki panjang yang tertekuk dengan sudut
aneh, menjulur dari balik salah satu mesin raksasa di ruangan
itu. Kudengar Macey berbisik, "Charlie."
Kami bergerak maju melewati mesin-mesin yang berdengung,
menghindari furnitur rusak yang sepertinya ditumpuk selama
satu dekade dan barang-barang tua hotel sampai kami mencapai
lift yang tadi membawa kami ke level ini.
Lalu untuk pertama kalinya, aku betul-betul merasa bakal
menangis. Pintu liftnya masih terbuka. Kabel-kabel yang putus mencuat dari kotak kontrol, masih memercikkan api di tempat
kabel itu ditarik keluar dari dinding dan dipotong jadi dua
dengan ketepatan profesional.
Tak ada tempat yang bisa kami tuju. Tak ada tempat untuk
bersembunyi. Aku menoleh untuk menatap ketiga figur itu,
mendekati kami dengan formasi sempurna"sekelompok pemburu dengan helikopter yang siap membawa temanku ke
tempat yang nggak berani kubayangkan.
Aku memandang berkeliling mencari senjata, menemukan
kereta beroda dan mendorongnya ke arah mereka sekuat tenaga, berharap itu bakal jadi bola boling terhebat dalam
sejarah dan menjatuhkan figur-figur berpakaian hitam itu dalam
satu sapuan. Tapi pria yang berdiri paling depan melemparnya
ke samping dengan mudah. "Cam," bisik Macey. Ia makin pucat. Lengan kirinya sudah
membengkak jadi dua kali ukuran normal, tapi tetap saja ia
berhasil menunjuk dengan tangan kanannya ke lubang persegi
di dinding"semacam lubang atau terowongan.
Aku nggak tahu apa itu atau di mana ujungnya. Dan aku
nggak punya waktu untuk bertanya. Aku hanya terjun, mendorong Macey lebih dulu.
Salah satu pria itu meraih ke depan. Aku mendengar teriakan "tidak" bergema di sepanjang lubang, tapi sudah terlambat.
Gravitasi sudah mengambil alih, dan aku jatuh ke tempat
asing, hanya bisa berdoa agar tempat itu lebih baik daripada
tempat yang baru saja kutinggalkan.
Saat terjun bebas, kurasakan kepalaku terbentur terowongan
logam itu. Sesuatu yang panas dan basah mengalir ke mataku,
tapi tetap saja aku merasa" bersyukur" penuh harap. Pusing.
Terdengar dentuman pelan. Tanah di bawahku tampak berguling, tapi setidaknya ada tanah.
Aku berguling dan menyipitkan mata, melawan rasa pusing
dan sakit untuk melihat tetes merah jatuh ke seprai putih.
Macey terbaring pingsan di sebelahku.
Kusandarkan kepalaku ke belakang dan kurasakan dunia
mulai berputar. Di kejauhan, seseorang berseru, "Dinas Rahasia
Amerika Serikat, buka pintunya!"
Dan dari kabut samar, pikiranku melayang kembali ke terakhir kalinya dunia terbalik. Seorang cowok mencondongkan
tubuhku di tengah sekolah dan menciumku. Sesaat, aku hampir bisa melihat wajahnya mendekatiku, seakan aku melihat
kilasan hidupku dimainkan di depan mata.
Lalu seluruh dunia memudar hingga jadi gelap.
Bab E m p a t ggak semua tidur berdampak sama, aku yakin itu. Bagaimanapun aku sudah mengalami sendiri berbagai jenis tidur.
Ada tidur setelah-Bex-menantangku-bertanding-satu-rondekickboxing, rasa lelahnya hanya bisa ditandingi rasa sakit yang
kurasakan di sekujur tubuhku. Ada tidur Grandma-Morganbaru-membuat-makan-malam-besar-dan-aku-nggak-perlu-kemana-mana-selama-tiga-minggu, tidur semacam ini hanya bisa
terjadi di tempat-tempat yang betul-betul kaurasa aman. Lalu
ada jenis tidur yang lain"yang terburuk"saat tubuhmu pergi
ke suatu tempat yang nggak bisa diikuti benakmu: tidur Mombaru-saja-memberitahuku-Dad-nggak-bakal-pulang-lagi.
Tubuhmu memang istirahat, tapi hatimu" melakukan hal-hal
lainnya, dan kau bangun keesokan paginya sambil berdoa,
berharap, bertekad bahwa malam sebelumnya hanyalah mimpi
buruk. Aku tak pernah tahu bahwa ketiga jenis tidur itu bisa
terjadi berbarengan. Tapi ternyata memang mungkin. Aku mengetahuinya sekarang.
"Jangan bergerak," kata sebuah suara yang dalam.
Aku merasakan cahayanya lebih dulu, terasa membakar
melewati mataku yang terpejam, memaksaku berpaling dari sinarnya. Saat aku bergerak, semburan rasa sakit hebat menjalar
di tubuhku, dan sebuah suara dalam tertawa kecil.
"Aku tahu kau tidak suka mengikuti aturan, Ms. Morgan,
tapi kalau aku menyuruhmu jangan bergerak, mungkin sebaiknya kau menuruti perintahku."
Aku mengerjap dan menelan ludah, tapi mulutku terasa
penuh pasir, mataku seperti bara api yang terbakar. Aku mencoba duduk tegak, tapi sebuah tangan mendorongku kembali
ke bantal yang empuk. Aku mendongak pada wajah Mom yang
kabur"kepala sekolah sekaligus mata-mata terbaik yang pernah
kukenal. Lalu entah bagaimana aku menemukan kekuatan untuk
bertanya, "Itu bukan tes, kan?"
Aku nggak tahu di mana aku, atau bahkan hari apa atau
jam berapa sekarang, tapi aku kenal ekspresi wajah Mom, dan
itu cukup untuk memberiku jawaban.
"Selamat datang kembali," kudengar suara dalam itu berkata. Aku menoleh dan melihat Joe Solomon berdiri di ujung
tempat tidurku; tapi untuk pertama kalinya sejak aku bertemu
guru ini, aku nggak mengkhawatirkan bagaimana penampilan
rambutku. "Mr.?" aku memulai, suaraku serak.
"Ini." Mom membawa segelas air ke bibirku, tapi aku nggak
bisa minum. "Macey," seruku, duduk terlalu cepat. Kepalaku terasa ber37
putar dan tenggorokanku terbakar, tapi nggak seorang pun bisa
menghentikanku. Ribuan pertanyaan muncul di benakku, tapi
saat itu hanya satu yang betul-betul penting. "Macey! Apakah
dia?" "Dia baik-baik saja," kata Mom menenangkan.
"Lebih baik darimu, sebetulnya," kata Mr. Solomon. "Patah
lengan tidak terlalu mengkhawatirkan dibandingkan?" Ia
terdiam tapi menepuk dahi, dan untuk pertama kalinya kurasakan perban yang menutupi kepalaku. Aku ingat soal jatuh
lewat terowongan, darah di mataku, kemudian saat itu"mendapat pelatihan mata-mata atau nggak"aku merasa sedikit
pusing dan berbaring kembali di bantal.
"Di mana aku?" tanyaku, sadar bahwa aku bukan memakai
rok yang kukenakan di Boston, tapi piamaku yang paling tua
dan paling lembut. Bukannya merasakan sakit dari memarmemar baru, tubuhku sakit seakan sudah bertahun-tahun aku
nggak bergerak, jadi saat itu aku tahu pertanyaanku harus diubah. "Hari apa sekarang?"
"Kau pingsan satu hari lebih sedikit," kata Mr. Solomon.
"Kami membawamu ke sini secepat kami bisa."
"Ke sini?" Aku memandang berkeliling. Dinding kayu di
sebelah tempat tidurku terasa kasar di bawah jari-jariku.
Lantainya kayu solid. Aku sadar aku ada di kabin, mungkin
milik sekolah atau CIA. "Apa ini rumah aman yang biasa
dipakai buat persembunyian?"
Aku nggak tahu seberapa aman rumah ini sampai kudengar
guruku berkata, "Sebaiknya begitu. Ini rumahku."
Mr. Solomon punya rumah. Mr. Solomon adalah pemilik
rumah ini. Pada hari lain aku mungkin bakal menyerap setiap
detail tempat itu"selimut quilt-nya, kotak pancingnya, aroma
pinus segarnya, dan gumpalan debu tuanya. Aku mungkin
bakal kagum karena Mr. Solomon tinggal di suatu tempat,
bahwa dia punya akar. "Aku tidak sering memakainya," kata Mr. Solomon, seakan
membaca pikiranku. "Tapi rumah ini berguna?" ia tampak
mempertimbangkan kata-katanya, ?"dalam beberapa kesempatan."
Aku bahkan nggak berusaha memikirkan arti "kesempatan"
dalam hidup Mr. Solomon. Aku tahu imajinasiku nggak akan
bisa mendekati kenyataan, jadi aku hanya duduk di sana mencoba mengumpulkan keberanian untuk berkata, "Charlie?"
Mom tersenyum. Ia mengelus rambutku. "Dia akan selamat,
Cam. Dia akan baik-baik saja."
Seharusnya itu menenangkanku, tapi ternyata tidak. Sinar
matahari menyeruak masuk dari sela-sela pepohonan lebat di
luar, dan cahayanya jatuh di tempat tidurku. Aku duduk sedikit lebih tegak. "Apakah Macey juga di sini?"
Guruku mengangguk. "Di luar. Butuh sedikit usaha untuk
membawanya pergi dari Dinas Rahasia setelah semua itu,
tapi?" ia terdiam, melirik Mom, lalu memandangku lagi ?"
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami pernah melakukan yang lebih sulit."
Terkadang sepertinya kami, para Gallagher Girl, menghabiskan setengah waktu kami untuk bertanya-tanya hal apa saja
yang sudah dilihat dan dilakukan para guru. Tapi hari itu aku
nggak menanyakan detailnya. Hari itu, aku sudah melihat
cukup banyak untuk tahu bahwa mungkin aku nggak akan
mau mendengar ceritanya. "Apa yang terjadi?" tanyaku. Aku sengaja nggak memandang Mom atau guruku. Jari-jariku menelusuri pola selimut
quilt itu. Akulah yang ada di sana waktu itu, tapi satu-satunya
yang bisa kulakukan adalah berkata, "Maksudku, apakah
itu?" "Usaha penculikan?" Mr. Solomon menyelesaikan kalimatku, dan aku mengangguk, mencoba bersikap sama profesionalnya dengan suara guruku. "Hal-hal ini memang terjadi"atau
hampir terjadi"lebih sering daripada perkiraanmu." Aku
mencoba mengangguk dan tersenyum. Bagaimanapun, seberapa
baik operasi rahasia diukur dari seberapa sedikit yang diketahui
semua orang. Tapi orang-orang akan tahu tentang yang satu
ini. "Sembilan puluh sembilan dari seratus usaha penculikan
tidak sampai sejauh itu, tapi?"
"Mereka terlatih," kataku, hampir gemetar karena ingatan
itu. Mr. Solomon mengangguk. "Yeah," katanya, seakan sebagian
dirinya mau tak mau terkesan. "Memang. Dinas Rahasia dan
FBI akan mengajukan beberapa pertanyaan padamu. Ms.
Morgan, agen-agen ini memiliki izin keamanan Level Enam,
paling tinggi"jadi kau tahu apa yang akan harus kaukatakan
pada mereka?" Aku mengangguk. "Teman sekamarku mengundangku ke
konvensi. Kami diserang di atap. Kami berhasil kabur." Kurasakan diriku mengungkapkan cerita penyamaran yang harus
kuucapkan; aku menyadari bahwa aku fasih dalam empat belas
bahasa berbeda, namun hidupku ditentukan oleh hal-hal yang
tak bisa kuceritakan. Aku memandang ke luar jendela, melihat pepohonan yang
mengelilingi kami, lapangan terbuka, dan danau yang berkilauan di kejauhan. Macey berdiri di ujung dermaga panjang,
memandangi air. "Kami beruntung," tambahku pelan, dan pada saat itu cerita
penyamaranku rasanya sama sekali bukan bohong.
Ponsel Mom berbunyi dan dia cepat-cepat menerimanya.
Aku mendengar Mom berbisik pada seseorang yang dipanggilnya Sir. Aku menoleh dan memandang ke luar ke arah cewek
yang berdiri di dermaga, lalu bangun perlahan-lahan dan
melangkah ke arah pintu bertirai kuno.
"Yang di atas sana baik-baik saja," kata Mr. Solomon. Aku
berhenti dan menoleh, melihatnya menunjuk kepalaku yang
berat. "Percayalah padaku, Cammie, semuanya akan baik-baik
saja." Ia menyentuh bekas luka samar di dahinya. "Aku tahu
sedikit soal hal-hal ini."
Mr. Solomon guru terbaik yang pernah kumiliki, dan aku
nggak mau mengecewakannya. Jadi aku berbohong dan berkata, "Saya tahu."
"Hei," kataku waktu mencapai ujung dermaga. Macey masih
berdiri di sana, menatap danau yang diam dan hening. Lecetlecet menjalari pipi kirinya. Ujung mata kanannya berwarna
hitam dan lengan kirinya tergantung dari kain perban yang
betul-betul nggak menarik. Saat berjalan ke arahnya, mau tak
mau aku berpikir jika Macey saja sampai terlihat seburuk itu,
aku mungkin nggak bakal mau melihat cermin lagi.
"Selamat datang kembali," katanya.
"Trims." "Bagaimana kepalamu?"
"Sakit. Bagaimana lenganmu?" Teman sekamarku nggak
menjawab. Dia nggak mengomentari rambutku yang mengerikan atau memar-memar di wajah kami yang nggak akan bisa
disembunyikan concealer sebanyak apa pun.
Terlalu banyak hal yang harus dikatakan, jadi aku nggak
mendesak Macey. Sebaliknya aku beringsut dan mendengarkan
papan-papan berderak di bawah kakiku, berpikir tentang bagaimana sekolah kami mengajari kami cara meloloskan diri
dari atap itu, tapi pendidikan hebat kami sama sekali nggak
mengajarkan apa yang seharusnya kami lakukan setelahnya.
Aku ingin duduk di ruang kelas Operasi Rahasia dan mendengarkan Mr. Solomon membedah setiap gerakan, setiap petunjuk, setiap pukulan.
Dan aku ingin memblokir semua kejadian kemarin dari
ingatanku, nggak pernah memikirkannya lagi.
Aku ingin tahu siapa yang melakukan semua itu, kenapa,
dan bagaimana. Dan aku ingin percaya semua itu sudah berakhir, bahwa itu
adalah detail yang nggak penting lagi sekarang.
Aku ingin belajar dari latihan terhebat yang pernah kuterima, dan menjadi lebih baik karenanya.
Dan aku menginginkannya tidak lagi menjadi hal nyata.
Aku menginginkan ribuan hal lain saat kami berdiri di sana,
tapi yang terutama dari semuanya, aku ingin agar cewek yang
mendampingiku dalam saat-saat mengerikan di Boston itu menoleh dan menyadari bahwa aku ada di sebelahnya sekarang.
"Kudengar Charlie akan selamat," kataku, tapi Macey nggak
tersenyum. "Kau sudah bicara dengan Preston?" aku mencoba bertanya
lagi, tapi tatapannya nggak berpaling.
"Macey, kau mau membicarakannya?" tanyaku, tapi napasnya tetap stabil dan tatapannya tidak bergerak.
"Macey," aku mencoba lagi, "tolong katakan sesuatu. Tolong
katakan?" "Ini menyenangkan," katanya saat angin akhir musim panas
bertiup melewati pepohonan. "Aku suka ini. Aku suka airnya."
"Bukannya kau punya rumah di Martha"s Vineyard?" tanyaku, bertanya-tanya bagaimana bisa gubuk reyot di danau sepi
ini dibandingkan dengan itu; tapi Macey terus menatap keheningan dan berkata, "Ini lebih baik."
"Kita harus menjawab pertanyaan-pertanyaan. Kita harus
sangat hati-hati tentang apa yang kita katakan. Kita?"
"Mereka sudah mem-brief-ku," kata Macey, pandangannya
tetap terarah ke horizon. "Ini terasa seperti rumah aman." Ia
akhirnya menoleh dan memandangku. "Bukankah memang
terasa aman, Cam?" "Yeah, Macey," kataku pelan. "Memang."
Hari mulai gelap. Jam dalam tubuhku sudah menyala kembali, dan sesuatu dalam cara matahari tenggelam di balik
bukit-bukit yang ditutupi pepohonan yang mengelilingi kami
dari segala sisi memberitahuku bahwa saat itu nyaris jam
delapan. "Hampir waktunya," kata Macey seakan membaca pikiranku.
"Mereka akan datang. Orangtuaku ingin aku bersama mereka?"
"Tentu saja," semburku.
?"selama masa kampanye," Macey menyelesaikan. Aku menatapnya, sesaat melupakan kepalaku yang berdenyut-denyut
dan otot-ototku yang sakit. Dia memaksa diri tersenyum. "Kami
naik sepuluh poin dalam perhitungan suara."
Aku nggak tahu harus bilang apa, jadi aku tetap diam.
Kami hanya berdiri di sana sampai mendengar pintu teras di
belakang kami berderak dan terbanting. Semenit kemudian
helikopter muncul di cakrawala dan melayang turun, balingbalingnya yang berputar menimbulkan riak-riak di sepanjang
danau yang sepi itu sebelum mendarat di suatu tempat di
hutan. Angin semakin dingin. Macey memeluk tubuh dengan lengannya yang sehat dan menggigil di tengah embusan angin,
tapi dia nggak bergerak dari ujung dermaga.
Namanya mungkin diberitakan di semua stasiun televisi di
Amerika. Nggak sulit untuk membayangkan bahwa di Boston
seruangan penuh pekerja magang sibuk berdiskusi tentang
berbagai pidato yang harus ditulis ulang dan iklan yang harus
dipotong ulang. Kampanye ini punya bintang baru"sudut
pandang baru. Tapi semua itu terasa seperti ada di dunia lain,
jadi aku hanya berdiri di sebelah temanku dan untuk pertama
kalinya berpikir Joe Solomon salah tentang sesuatu.
Kondisiku tidak lebih buruk dibandingkan Macey
McHenry. Sama sekali nggak. Bab L i m a ku mengenal baik suara-suara yang dikeluarkan sekolahku"
tangga yang berderak dan pintu yang berderit, suara pelan saat
minggu ujian akhir, kekacauan ramai di Aula Besar sebelum
makan malam. Hari pertama tahun ajaran baru punya suara
tersendiri, saat deretan limusin menyusuri jalur yang berlikuliku dan pintu mobil dibanting, koper-koper membentur
susuran tangga, dan para cewek memekik lalu berpelukan.
Tapi semester pertama kelas sebelasku" Semester itu dimulai dengan bisikan yang begitu pelan sampai-sampai aku
hampir nggak mendengarnya.
"Apakah Macey cuti semester ini?" tanya anak kelas dua
belas pada temannya saat mereka berdiri berkerumun di koridor di luar perpustakaan.
"Kudengar mereka harus mengamputasi lengan Macey dan
menggantinya dengan bagian tubuh bionik yang dibuat Dr.
Fibs di laboratorium," kata anak kelas delapan waktu aku melewati pintu ke ruang rekreasi mereka.
Gallagher Girl menghabiskan waktu liburan mereka dengan
menyebar di seluruh empat penjuru dunia, tapi tahun itu setiap
cewek yang kembali dari libur musim panas membawa kembali
pertanyaan-pertanyaan yang sama. Jadi aku terus bergerak,
menyusuri koridor-koridor sepi seperti bayang-bayang, sampai
pada titik ketika aku berbelok di sudut dan berpapasan dengan
Tina Walters. "Cammie!" seru Tina, dan dalam keheningan baru sekolah
kami, kata itu bergema. Tina memelukku. "Kau baik-baik saja!"
katanya, lalu berpikir lagi. "Kau memang baik-baik saja,
kan?" "Yeah, Tina, aku?"
"Karena kudengar kau membunuh salah satu dari mereka
menggunakan pin kampanye?"
Tina adalah cewek remaja, dan calon mata-mata, putri
tunggal salah satu kolumnis gosip terbesar negara ini, jadi
nggak heran jika dia kadang punya teori sinting. Banyak teori
sinting. Sepanjang waktu. Tapi pada detik itu, pikiranku melayang kembali ke atap yang cerah. Aku melihat bayangan
baling-baling yang berputar, merasakan tangan-tangan yang
mencengkeram bahuku, lalu mendengar teriakan kesakitan saat
kutusukkan pin kampanye Winters-McHenry ke tangan yang
memakai cincin yang emblemnya aku yakin pernah kulihat.
"Cam?" tanya Tina, tapi aku cuma mengangguk.
"Yeah, Tina." Tenggorokanku terasa aneh saat aku mengatakannya. "Begitulah."
Lalu aku melangkah pergi.
Jika kau dikenal sebagai si Bunglon, kadang rasanya seluruh
hidupmu hanyalah permainan petak umpet besar. Untung aku
sangat pintar bersembunyi. Sayangnya, sahabat-sahabatku juga
sangat pintar mencari. "Cam!" seseorang memanggil di antara bayang-bayang.
"Kami tahu kau di sini." Suara itu lembut dan beraksen Selatan,
langkah-langkahnya begitu ringan sehingga aku tahu hanya ada
satu orang yang cukup mungil untuk berjalan melewati papanpapan lantai itu tanpa suara.
"Oh, Cammie," Liz bisa dibilang bernyanyi saat mengendapendap menyusuri koridor kuno yang (kurasa) pernah jadi
bagian cukup penting dari Rel Bawah Tanah, dan baru-baru
ini memiliki fungsi yang jauh lebih nggak mulia dan rahasia.
"Kupikir kami bakal menemukanmu di sini," suara lain berkata. Teman sekamar keduaku melangkah keluar dari bayangbayang.
Kalau saja mungkin, sepertinya Liz bertambah mungil dan
Bex bertambah cantik selama libur musim panas. Rambut
pirang Liz hampir sepenuhnya putih setelah menghabiskan sepanjang musim panas di bawah matahari. Aksen Bex lebih
kental, seperti biasa setelah dia menghabiskan berbulan-bulan
bersama orangtuanya di Inggris. (Tentu saja, Bex bersumpah
dirinya menghabiskan sebagian besar waktu itu dengan melakukan pengintaian bersama MI6 di negara Afrika yang akan tetap tak bernama.) Kulit gelapnya berkilau dan rambutnya lebih
panjang daripada awal musim panas.
"Bukannya ini masih terlalu awal di semester untuk bersembunyi, Sayang?" Bex mencoba menggoda. Aku mencoba tersenyum.
"Apa yang membuatku ketahuan?" tanyaku.
"Pola debu yang tidak beraturan di luar pintu masuk," kata
Bex. "Kau mulai ceroboh." Lalu ia terdiam. Bex yang kuat,
Bex yang berani, tampak ngeri waktu menyadari apa yang dikatakannya. "Maksudku bukan?"
"Nggak apa-apa, Bex," kataku padanya.
"Kau nggak ceroboh!" sembur Bex lagi.
Lalu Liz menimpali. "Semua orang membicarakan betapa
hebatnya kau"tentang bagaimana, kalau kau nggak ada di
sana?" Tapi ia nggak menyelesaikan kalimatnya, dan itu
sebenarnya bagus juga. Tak seorang pun ingin membayangkan
bagaimana kalimat itu harus berakhir.
Bex duduk di salah satu peti dan kotak terbalik yang memenuhi ruangan. "Kau sudah bertemu Macey?"
"Belum sejak hari setelah kejadian. Mereka membawa kami
ke rumah danau milik Mr. Solomon, tapi kemudian mereka
membawanya kembali ke orangtuanya."
"Dia akan kembali," tanya Liz. "Ya, kan?"
"Aku nggak tahu," kataku sambil mengangkat bahu.
"Maksudku" orangtuanya nggak mungkin ingin Macey
tinggal bersama mereka sepanjang waktu, kan" Mereka ingin
dia di sini, di tempat Macey aman, kan?"
"Aku nggak tahu, Liz," kataku, lebih tajam daripada yang
kumaksud. "Maksudku" aku nggak tahu apakah dia akan
kembali atau tidak," kataku, lebih lembut. "Aku nggak tahu
siapa yang mencoba melakukan ini atau kenapa atau" pokoknya aku nggak tahu," bisikku lagi, lalu berpaling dan memandang ke luar jendela bulat yang mungil.
"Macey mengundangku ke Boston juga." Suara Bex mengiris
keheningan. "Sebelum konvensi, dia menelepon apartemen
kami dan memintaku datang, tapi ibu dan ayahku ada di rumah, dan aku?" Bex kehilangan kata-kata, nggak tahu, kurasa, bahwa ingin berada bersama orangtuamu bukanlah tanda
kelemahan. "Seharusnya aku ada di sana." Ia nggak terdengar
iri karena melewatkan perkelahian hebat. Sebaliknya, Bex terdengar bersalah.
"Aku juga," kata Liz, merosot ke lantai yang berdebu. "Waktu Macey menelepon, ibuku bilang aku boleh pergi, tapi aku
cuma punya sisa beberapa hari bersama orangtuaku, jadi
kubilang nggak." Aku mengangguk. Kami semua mengira sebagian besar tahun ini akan kami habiskan bersama-sama, tapi dalam kehidupan mana pun"terutama kehidupan mata-mata"kami tak
pernah tahu apa yang akan terjadi besok.
Dan itulah hal terpenting yang kami semua pelajari selama
liburan musim panas kali ini.
"Tina Walters bilang orangtua Macey mempekerjakan
mantan anggota Navy SEAL untuk menyamar sebagai Sherpa"
penduduk asli pegunungan Nepal"dan menyembunyikan
Macey di pegunungan Himalaya sampai pemilihan berakhir,"
kata Liz. "Yeah, well Tina Walters memang bilang banyak hal. Tina
Walters biasanya salah," balas Bex. Tapi aku memikirkan
bagaimana nyaris benarnya Tina dengan teori pin kampanye
itu; aku ingat bahwa sejak bertahun-tahun lalu Tina bilang
ada sekolah mata-mata elite untuk cowok, dan kami semua
tadinya mengira itu hanya rumor sinting sampai semester lalu
ketika delegasi Institut Blackthorne menginap di Sayap Timur,
hanya beberapa meter dari tempat kami duduk sekarang.
Jadi aku memandang sekeliling ruang kosong berdebu itu
dan berkata, "Nggak selalu salah."
Musim semi lalu, mengetahui siapa cowok-cowok itu sebenarnya dan apakah mereka bisa dipercaya atau tidak
sepertinya merupakan misi terpenting dalam hidup kami. Berbagai grafik ringkasan pengintaian dan pola perilaku masih
memenuhi dinding bekas markas operasi kami, tapi plesternya
mulai kehilangan kekuatan. Kabel-kabel masih menyambung
ke Sayap Timur, seakan jadi peringatan akan hari-hari ketika
cowok-cowok Institut Blackthorne merupakan misi kami"dulu
ketika misi adalah tentang mempersiapkan kami untuk dunia
nyata; sebelum dunia nyata menyudutkan kami di sebuah atap
di Massachusetts. Liz pasti mengikuti arah pandangku dan membaca pikiranku, karena aku mendengarnya berkata, "Kau sudah dengar
kabar dari" tahu, kan" Zach?"
Aku mengingat kembali gambar-gambar berputar yang memenuhi pikiranku sebelum pingsan, dan hampir bertanya,
"Apakah halusinasi akibat luka di kepala termasuk?" Tapi aku
nggak melakukannya karena A) mungkin aku memang sudah
gila. Dan B) untuk Gallagher Girl, "tergila-gila pada cowok"
mungkin merupakan jenis gila yang paling berbahaya.
Jadi aku hanya berpaling lalu memandang ke luar jendela
dan mengamati barisan panjang limusin yang menyusuri
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Highway 10, membawa teman-teman sekelasku kembali ke keamanan di balik dinding-dinding kami.
Adegannya sama seperti yang bertahun-tahun kulihat"
mobil-mobil yang sama, cewek-cewek yang sama. Tapi detik
berikutnya adegan itu betul-betul berubah. Van"lusinan
van"meluncur cepat di jalan tol, berhenti mendadak di tepi
jalan. Orang-orang berlarian keluar dan mulai mengatur
parabola serta peralatan. Helikopter berkumpul di sekeliling
sekolah. "Oh. Astaga," gumamku, masih menatap, merasakan Bex
dan Liz berkerumun di sekitar jendela di kedua sisiku. Aku
menatap sahabat-sahabatku saat sirene mulai meraung-raung di
tengah suasana hening dan sepi: "KODE MERAH KODE
MERAH KODE MERAH." "Apa artinya itu?" teriak Liz. Bex dan aku hanya tersenyum.
"Macey pulang."
Bab E n a m au nggak perlu jadi genius untuk tahu bahwa seluruh dunia
bisa berubah dalam sekejap, dan begitu berlari keluar dari jalan
rahasia itu menuju koridor lantai dua aku bisa melihat, mendengar, dan merasakan perbedaannya. Selama berhari-hari
koridor begitu hening sampai terasa seperti makam. Tapi sekarang, bukannya keheningan total seluruh sekolah seperti
terbakar (tanpa betul-betul dilahap api, tentu saja).
Lampu merah berpendar dan mengabur di seluruh penjuru.
Di sebelah kananku poster yang mengiklankan kesempatan
untuk menghabiskan satu semester di Paris bergeser turun menutupi display berbagai teknik menulis rahasia yang digunakan
dari masa ke masa (yang sebenarnya nggak terlalu perlu dilakukan karena, bulan ini display itu menampilkan tinta tak terlihat).
Saat kami berlari melewati departemen Persandian dan
Pengkodean, kulihat papan nama di pintu membalik sehingga
yang kini terlihat adalah tulisan Kantor Penghubung Ivy
League. Sekolah kami sedang menyamar, memakai penyamarannya
seterampil yang bisa dilakukan mata-mata berpengalaman mana
pun, dan waktu Bex, Liz, serta aku berlari melawan arus anakanak kelas delapan yang dalam perjalanan untuk berjaga di
luar lumbung kelas Perlindungan dan Penegakan, aku nggak
bisa menahan senyum. Bagaimanapun, 364 hari sudah berlalu
sejak Macey pertama kali datang pada kami dan Kode Merah
dinyalakan. Tampaknya sesuai jika dia kembali pada kami
dalam Kode Merah juga. Tapi selagi kami berlari menyusuri Koridor Sejarah, aku memandang pedang Gillian Gallagher yang menghilang ke dalam
kotak agar harta terpenting kami tetap terjaga, dan sesuatu
menghantamku: kami nggak menyalakan Kode Merah hanya
untuk Macey. Kami menyalakan Kode Merah untuk Macey dan siapa pun
yang datang bersamanya. Pintu ke kantor Mom membuka. Di dalamnya, aku melihat
kepala sekolah kami, mengenakan setelan terbaiknya dan ekspresi murung. "Kurasa kita siap untuk foto close-up kita?" katanya.
Begitu kami melangkah ke dalam kantor itu, aku mendengar
lebih banyak suara. "Sekarang Amerika menunggu penampilan pertama Macey
McHenry, wanita muda pemberani yang baru-baru ini menjadi
sorotan"dan terlempar ke dalam bahaya."
(Ternyata, salah satu persiapan Kode Merah untuk membuat
kantor Kepala Sekolah terlihat seperti kantor di sekolah biasa
adalah menambahkan TV.) Bex mengganti saluran demi saluran sampai kami tiba di
gambar yang membuat kami semua membeku.
"Dan di sinilah kita," koresponden yang bertubuh tinggi
berkata ke mikrofon saat berjalan menyusuri Highway 10 yang
tampak familier, "di luar gerbang Akademi Gallagher untuk
Wanita Muda Berbakat, tempat satu wanita muda berbakat
akan segera kembali setelah insiden paling traumatis dalam
hidupnya. Dan pertanyaannya adalah: Apakah dinding-dinding
ini cukup kuat untuk menjaga Macey McHenry tetap aman?"
Sirene akhirnya berhenti. Mom berkata, "Sudah waktunya."
Oke, inilah yang perlu kauketahui tentang sekolah mata-mata"
yang penting bukan soal menyembunyikannya. Bukan. Karena,
terima saja, sekolah mata-mata punya siswa, siswa punya orangtua, dan orangtua pasti punya pertanyaan-pertanyaan. Menurut
Liz, orangtua yang bukan mata-mata betul-betul suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan jelas seperti "jadi di mana tepatnya sekolahmu?" (Orangtua siswa yang juga berprofesi jadi
mata-mata jauh lebih mungkin meng-hack database pemerintah
atau memasang unit GPS di gigimu atau apa saja.) Bagaimanapun, kau perlu sekolah sungguhan untuk ditampilkan pada
dunia; tapi seperti semua hal lainnya mengenai hidupku, sekolahku tidak seperti yang terlihat dari luar.
Saat mengikuti Mom menuruni Tangga Utama yang melingkar, mau nggak mau aku berpikir bahwa garis depan pertahanan kami akan diuji karena walaupun sejak dulu Akademi
Gallagher memang tidak sepenuhnya tersembunyi (bagaimana54
pun, gedungnya berupa mansion besar yang megah), sekolahku
tak pernah menempatkan diri di bawah sorotan.
Waktu Gillian Gallagher mengubah rumah keluarganya
menjadi sekolah tempat wanita-wanita muda bisa mempelajari
berbagai keahlian rahasia yang nggak akan pernah diajarkan
laki-laki pada mereka, dengan logisnya dia tidak menulis
"Akademi Gallagher"Mendidik Agen-Agen Pemerintah Sejak
1865" di papan nama. Sebaliknya dia menyebut akademi ini
sebagai sekolah menengah untuk para wanita muda terhebat
masa itu. Penyamaran kami berevolusi seiring waktu, tapi misi
utama kami tetap sama: memastikan tak seorang pun tahu
seberapa berbakatnya kami. Dan itu, terima saja, jauh lebih
mudah dilakukan jika tak ada ada lusinan kru stasiun televisi
nasional yang merekam setiap gerakanmu.
Waktu kami sampai di selasar, aku berani bertaruh semua
siswi menahan napas mereka saat Mom membuka pintu ganda
dan melangkah keluar. Sinar matahari hangat memancar. Perutku berbunyi, dan
selama sedetik aku bertanya-tanya apa yang dimasak koki kami
untuk makan malam selamat datang. Tapi waktu aku melihat
tiga SUV besar hitam memasuki gerbang, aku betul-betul
kehilangan nafsu makan. "Dinas Rahasia," bisik Mom pada kami sewaktu mereka meluncur menyusuri jalur yang berkelok-kelok. Aku ingat bahwa
para pengawal Macey pun nggak tahu apa yang sebenarnya
kami lakukan di balik dinding-dinding ini.
Lelaki yang tampak efisien, dengan sedikit warna abu-abu
menghiasi rambut gelapnya, melangkah keluar dari salah satu
kendaraan itu dan berjalan ke arah kami. "Ms. Morgan" Agen
Hughes. Kita bicara di telepon."
"Ya," kata Mom. "Anda agen yang bertanggung jawab atas
detail keamanan keluarga McHenry. Itu istilahnya, bukan?"
tanyanya, satu tangan di dada seakan ini betul-betul teritori
baru untuknya. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. "Ya, Ma"am,"
jawabnya pada Mom. "Nah, saya tidak ingin Anda mengkhawatirkan apa pun. Agen-agen kami yang akan bertanggung
jawab atas keamanan Ms. McHenry. Mereka akan menjawab
semua pertanyaan yang Anda miliki dan memastikan Anda
tetap mendapat informasi mengenai apa yang dibutuhkan
Dinas Rahasia dari Anda. Tidak seorang pun mengharapkan
Anda untuk berpikir seperti profesional dalam masalah keamanan."
"Itu melegakan," kata Mom padanya dengan suara tidak
ironis paling meyakinkan yang pernah kudengar.
(Apakah akhir-akhir ini aku sudah bilang bahwa Mom
adalah MATA-MATA TERBAIK YANG PERNAH ADA"!)
"Oh, maafkan saya," kata Mom, menoleh dari Agen Hughes
kepada kami. "Biar saya perkenalkan teman-teman sekamar
Macey. Ini Elizabeth Sutton dan Rebecca Baxter, dan putri
saya, Cammie." Tapi Agen Hughes tidak mendengarkan. Dia terlalu sibuk
menatapku"cewek yang hampir nggak pernah ditatap siapa
pun. "Kau yang ada di atap bersama Miss McHenry waktu itu?"
tanyanya, tapi itu bukan pertanyaan. Dia melangkah lebih
dekat; pandangannya mendarat pada perban di kepalaku, lalu
matanya menatap mataku. "Jangan khawatir tentang apa pun,
nona muda. Kami akan mengurus kalian semua dengan
baik." Aku mengangguk dan berpaling, memikirkan penyamaranku"seharusnya aku tampak ketakutan dan lelah, siap membiarkan orang lain bertarung demi Macey.
Lalu aku ingat bahwa penyamaran terbaik selalu berakar
dari kebenaran. "Dan dinding-dindingnya mengelilingi seluruh area ini?" tanya
Agen Hughes saat kami berjalan mengelilingi kampus.
"Ya," kata Mom.
"Menurut cetak birunya, kalian punya kamera pengawas?"
Pandangannya menyusuri dinding-dinding kami yang berlapis
tanaman rambat. "Ya," kata Mom tenang. "Beberapa."
(Sebetulnya, ada 2.546 kamera pengawas, tapi untuk alasanalasan yang jelas Mom nggak menyebutkan itu.)
"Well," si agen melanjutkan, "saya yakin orang-orang kami
bisa berkonsultasi dengan Anda mengenai cara?" ia tampak
mempertimbangkan kata-katanya, ?"meningkatkan keamanan
sedikit." "Ya," Mom berkata sambil melirik ke arahku"putrinya
yang selama bertahun-tahun menyelinap melewati pertahanan
Akademi Gallagher. "Itu akan sangat membantu."
Lalu kepanikan melandaku. Dinas Rahasia bakal "meningkatkan" keamanan"
"Seperti yang diberitahukan tim awal kepada Anda minggu
lalu, kami akan menempatkan salah satu agen bersama Ms.
McHenry." Dinas Rahasia bakal "menempatkan" orang"
"Penuh waktu," tambah Agen Hughes. "Seseorang untuk
pergi bersamanya ke semua kelas. Tinggal di sini. Menemani
ke mana pun Ms. McHenry pergi."
Dinas Rahasia bakal "menemani" kami ke mana-mana"
Aku memandang Bex dan Liz, mengamati mereka menelan
teror yang sama seperti yang kurasakan. Sekolah kami sudah
mempersiapkan kami untuk banyak hal, tapi aku harus bertanya-tanya apakah ada yang sudah mempersiapkan kami
untuk hal ini. Tapi kejutan-kejutannya baru dimulai, karena Mom tersenyum dan berkata, "Tentu saja."
Agen itu berjalan lebih dulu, menilai wilayah kami, dinding
kami, hidup kami. Di akhir jalur panjang (dan yang sangat
terlindungi) kami, tampak parabola dari truk-truk berita, siap
menyiarkan gambar sekolah kami ke seluruh dunia, dan aku
tahu hal paling berbahaya dalam sejarah kami bakal terjadi di
depan mata laki-laki ini.
Dan tak ada sesuatu pun yang bisa kami lakukan untuk
menghentikannya. "Oh," kata Agen Hughes waktu gerbang membuka untuk
satu mobil terakhir. "Tepat waktu sesuai jadwal."
Limusin itu berbelok ke jalan masuk, tapi bukannya berhenti lebih dekat ke mansion, mobil itu berhenti. Pria-pria
bersetelan gelap mengerumuni mobil, dan aku ingat bagaimana,
setahun lalu, mobil yang persis seperti itu membawa Macey
pada kami. Rasanya seperti d?j? vu, Senator dan Mrs. McHenry
melangkah dari kursi belakang dan berdiri tegak di antara
gerbang batu kami yang besar.
Aku bisa mendengar suara-suara reporter di kejauhan.
Kilatan kamera mereka berkilau bahkan di tengah cahaya matahari musim panas.
Lalu pintu mobilnya membuka lagi.
Dan secepat itu, d?j? vu-nya berakhir.
Setahun lalu, Macey melangkah dari kursi belakang mobil
yang nyaris identik, tapi kali ini, bukannya sepatu bot tentara,
dia memakai sepatu berhak tinggi yang hampir persis dengan
sepatu ibunya. Rok pendek dan anting hidung berliannya digantikan celana hitam sederhana, sweter, dan tas selempang.
Awalnya kuharap pakaiannya adalah satu-satunya perbedaan; tapi aku hampir nggak mengenali cewek yang membiarkan
ibunya memeluknya erat, yang nggak memprotes waktu ayahnya meraih tangannya yang sehat dan mengangkat jemari
mereka yang bertautan ke udara.
Bex memberiku tatapan yang berkata Kau yakin kau yang
terluka di kepala" tapi aku hanya mengamati ketiga anggota keluarga McHenry berjalan melewati berbagai kamera, pertanyaan, dan melangkah menuju sekolah. Kembali pada kami.
Aku memikirkan cewek yang datang pada kami musim gugur
lalu dan yang pergi musim semi lalu dan, akhirnya, tentang
wanita muda yang menggigil di tepi danau, dan aku bertanyatanya identitas penyamaran mana yang akan dipakai Macey
sekarang. Saat mereka mendekat aku menunggu Macey menatapku
dan memperlihatkan senyum usil yang ditunjukkannya padaku
di luar suite orangtuanya di Boston, tapi waktu aku melangkah
maju, tubuh lebar bersetelan gelap bergerak mengadang jalanku.
"Permisi, Nona," si agen Dinas Rahasia berkata. Itulah pertama kalinya salah satu dari mereka melihatku sebagai ancaman, tapi aku nggak menganggap fakta ini sebagai pujian.
Di belakangku, kudengar Mom berkata, "Senator, Mrs.
McHenry, senang sekali bertemu Anda berdua lagi. Saya
menyesal ini harus terjadi dalam keadaan yang sangat mencemaskan." Mom memberi isyarat ke arah pintu depan.
"Silakan masuk."
Tepat ketika aku merasa diriku didorong keluar dari situasi
itu, prosesi tersebut berhenti. Sang senator senior dari Virginia
melangkah ke arahku dan berkata, "Cammie?" Ia meletakkan
tangan besarnya pada kedua bahuku, mencengkeram bahuku
erat-erat. "Terima kasih," katanya, dan aku berani bersumpah aku
mendengar suaranya pecah. Waktu Senator McHenry menatap
mataku, aku nggak bisa menahan diri: kurasakan bibirku bergetar. Pandanganku mengabur. Mudah sekali mengingat seperti
apa rasanya memiliki ayah saat sang senator berbisik, "Dan aku
sangat menyesal." Itu mungkin merupakan momen paling manis sekaligus
tulus dalam sejarah keluarga McHenry, kalau saja ibu Macey
nggak menoleh pada putrinya dan berbisik, "Pergilah ke kamar
mandi dan pakai concealer." Ia menunjuk memar di sudut mata
Macey. "Sungguh," katanya pada putrinya, "tak perlu terlihat
seperti preman jalanan meskipun saat tak ada kamera di
sekitarmu." Dan, semudah itu, momen tadi berakhir.
Bab T u j u h da banyak hal yang bisa sangat kausukai tentang makan
malam selamat datang. 1. Mendengarkan apa yang dilakukan semua orang selama
liburan musim panas mereka (dan itu mungkin jauh lebih menarik ketika mungkin sekali masa liburan para siswi melibatkan letusan senjata sungguhan).
2. Fakta bahwa meskipun Grandma Morgan mungkin bisa memasak ayam dan bakpao paling enak di seluruh dunia, koki
kami dulu bekerja di Gedung Putih, dan kadang-kadang cewek
perlu sedikit cr?me br?l?e.
3. Gosip. Tapi malam itu, baik alasan nomor 1 maupun nomor 2
nggak bisa bersaing dengan alasan nomor 3. Sama sekali.
"Jadi, Cammie," kata Tina Walters sambil menyelinap ke
bangku di seberangku, membuat Liz dan Anna Fetterman
duduk berdempetan, "kudengar kau membuat tiga dari mereka
masuk rumah sakit." "Tina," desahku, "kejadiannya nggak seperti itu."
Eva Alvarez mencoba menandatangani perban Macey, padahal itu sulit karena manajer kampanye ayahnya nggak ingin
apa pun menutupi stiker Winters-McHenry besar yang sudah
tertempel di lengan atas Macey. Bex sedang membelah salah
satu roti dari keranjang di atas meja (walaupun guru-guru
belum masuk dan, artinya, siapa pun yang makan bisa dihukum
mati"atau paling nggak dihukum dengan PR ekstra Budaya
dan Asimilasi yang banyak jika sampai ketahuan Madame
Dabney). "Dan, Macey?" Tina berpaling ke cewek di sebelahku,
?"menurut rumor kau tepergok dalam posisi mencurigakan
dengan putra calon presiden."
Dan, langsung saja, suasana hening lagi.
Seluruh siswi kelas sebelas menoleh dan menatap, tapi aku
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetap melakukan yang kulakukan sejak tadi: mengamati Macey.
Cewek sombong yang datang pada kami setahun sebelumnya
pasti bakal mendengus; cewek yang mempelajari materi persandian tingkat lanjut"yang seharusnya dipelajari dalam dua
tahun"hanya dalam sembilan bulan mungkin bakal memutar
bola mata; tapi cewek di sebelahku cuma bilang, "Seseorang
perlu sumber gosip yang lebih bagus."
Itulah pertama kalinya Macey bicara, dan sesuatu dalam
suaranya membuatku bertanya-tanya apakah cewek yang berdiri
di tepi danau sudah menghilang untuk selamanya.
"Jadi, siapa yang mengira kita bakal harus tetap dalam kondisi Kode Merah sepanjang semester?" tanya Anna Fetterman,
bahkan nggak mencoba menyembunyikan rasa takut dalam
suaranya. Teman-teman sekamarku dan aku saling menatap, adegan
yang kami lihat di luar tampak di wajah kami.
"Well, mereka memang akan menugaskan agen Dinas Rahasia untuk mengawalmu penuh waktu, kan?" tanya Tina.
Macey mengangguk. "Mungkin Dinas Rahasia" kau tahu, kan?" Liz ragu-ragu
lalu merendahkan suaranya menjadi bisikan, ?"tahu."
Tapi yang bisa kupikirkan hanyalah para agen yang menginterogasiku setelah kejadian Boston, kebohongan-kebohongan
yang sudah kukatakan demi menjaga rahasia kami.
"Mom nggak akan mau," kataku. "Dia nggak akan menyetujui itu."
"Tapi itu akan jadi tes yang cukup bagus, kan?" tanya Bex.
Aku bisa tahu dari nada suaranya bahwa ia sudah bersiap-siap
menghadapi tantangan itu"pikiran tentang membawa dunia
luar ke dalam dinding-dinding kami, bahayanya, risikonya, juga
kemungkinan ia bakal membuat anggota Dinas Rahasia
Amerika pingsan pada suatu waktu di semester ini.
"Bagaimana kalau kau dapat agen laki-laki?" Courtney
Bauer menimpali pembicaraan. "Bukannya semua agen laki-laki
di Dinas Rahasia sangat keren?"
"Lumayan," kata Macey santai, seakan sudah pernah melihat yang lebih keren (dan aku cukup yakin itu benar).
"Bagaimana kalau dia sekeren Mr. Solomon?" tanya Anna
lalu tersipu. Seberapapun inginnya aku menimpali dan merasa bersemangat mengenai kemungkinan pendatang baru (yang keren),
yang bisa kupikirkan hanyalah bahwa sekarang sudah ada
terlalu banyak risiko dan bahaya. Aku teringat betapa tak enaknya perasaanku sewaktu lift membawa kami ke atap di Boston.
Aku bisa saja menghentikan lift itu. Kalau aku fokus, kalau
pikiranku tidak terpusat pada satu cowok tertentu, sekolah dan
persaudaraanku mungkin masih aman. Tapi sekarang yang
terjadi justru sebaliknya, satu generasi siswi genius sedang
duduk sambil mencuri roti makan malam dan mendiskusikan
otot-otot bisep teoritis dari orang yang mungkin membahayakan
seluruh cara hidup kami (dan apakah dia betul-betul mau
mengadang peluru demi Macey jika hal itu diperlukan).
Pintu-pintu di belakang ruangan tiba-tiba terayun membuka,
dan Mom muncul, memimpin guru-guru kami menyusuri bagian tengah ruangan besar itu.
Aku melihat wajah baru Mr. Smith, instruktur NegaraNegara Dunia kami. Dia merupakan salah satu agen pemerintah paling paranoid di planet ini dan memilih untuk membuktikannya dengan cara memasang wajah baru setiap tahun
saat liburan musim panas. Kudengar gumaman lebih dari seratus remaja cewek saat mereka sadar tahun ini wajah baru Mr.
Smith" keren. Lalu keheningan menyapu kerumunan, karena para guru
nggak datang sendirian. Orangtua Macey berjalan melewati pintu, melambai dan
berjabat tangan, diikuti satu anggota Dinas Rahasia Amerika.
Aku cukup yakin jika saja di sini ada bayi-bayi untuk dicium,
sang Senator pasti bakal melakukannya.
Ada banyak hal menakutkan tentang menjadi Gallagher
Girl, tapi melihat orang-orang yang nggak seharusnya berada
di sekolahmu malah berjalan masuk, itu salah satu hal yang
ada dalam daftar paling menakutkan. Dan aku tahu ucapan
selamat datang kembali ke sekolah kali ini terasa sangat berbeda.
"Ooh," kata Liz di sebelahku. Dengan mata lebar, ia mengamati orangtua Macey menyapa profesor Budaya dan Asimilasi
kami, Madame Dabney. Di seberang meja, Bex meringis dan berbisik, "Tes mendadak?"
"Selamat datang kembali, nona-nona," Mom berkata di
depan ruangan. "Aku bisa mengatakan dengan jujur bahwa aku
tak pernah merasa begitu gembira karena kalian semua ada di
sini dengan?" Ia terdiam sejenak; pandangannya menyapu
ruangan, yang langsung menjadi remang-remang saat matahari
tenggelam di balik cakrawala. Kalau aku nggak kenal Mom,
aku bakal bersumpah suara Mom pecah waktu menyelesaikan
kalimatnya, "aman dan tenteram."
Tak seorang pun berbisik. Tak seorang pun terkikik atau
menggoda. Apa yang terjadi pada Macey (dan aku) bukanlah
semacam cerita liar yang kami bawa kembali dari liburan musim panas kami. Itu nyata. Dan tak seorang pun ingin tertawa
lagi. "Seperti yang kalian tahu, mata dunia sekarang terarah
kepada Akademi Gallagher," Mom melanjutkan. Aku nggak
bisa menahan diri untuk nggak melirik pasangan McHenry,
melihat apakah mereka bisa menebak makna rahasia dalam
ucapan Mom, tapi mereka terus mengangguk dengan keseriusan
sama yang pasti menjadi kegiatan alami bagi siapa pun yang
namanya tertera pada kertas suara.
"Kita harus belajar dan kita harus bertahan. Kita harus berhati-hati dan kita harus berani. Dan yang terpenting?" saat
itu tampaknya seratus cewek duduk sedikit lebih tegak, menyambut tantangan itu secara harfiah, ?"kita harus melindungi
persaudaraan kita." Suara Mom jadi sedikit lebih keras. "Dan
saudari-saudari kita."
Aku nggak tahu pasti berapa banyak Gallagher Girl aktif
yang ada di dunia. Ratusan. Ribuan. Kami berbaur ke dalam
masyarakat dan melakukan pekerjaan kami tanpa sepatah kata
terima kasih atau harapan atau pujian apa pun. Mungkin aku
memang si Bunglon, tapi sesungguhnya, semua Gallagher Girl
kurang-lebih harus jadi tak terlihat. Padahal sekarang ini kami
semua justru disorot. "Ada hal-hal yang diharapkan dari kita," Mom melanjutkan.
"Untuk alasan itu, akan ada beberapa perubahan semester
ini." Gumaman pelan mengalir di kerumunan.
"Semua pelajaran akan dilaksanakan di dalam keamanan
mansion utama." Senator McHenry mengangguk seakan ini terdengar seperti ide bagus, nggak betul-betul mengerti seberapa
bagus, mengingat paparazzi dengan lensa telefoto mungkin
bakal punya beberapa pertanyaan jika sampai memotret siswi
melatih Forenstyl Flip sempurna pada anggota staf perawatan
yang beratnya 150 kg. "Juga, sejauh menyangkut siswi kita yang paling penting
saat ini, kita akan menerapkan peraturan ketat, tanpa komentar," Mom melanjutkan. "Bersiap-siaplah, nona-nona. Banyak
orang ingin mendengar bagaimana keadaan Macey." Kulirik
cewek di sebelahku, bertanya-tanya akan hal yang sama. "Tapi
mereka tidak akan mendengarnya dari kita."
Gallagher Girl bisa menjaga rahasia"itulah yang kami lakukan. Dan misi dari Mom tadi terasa sangat personal.
"Dan mungkin perubahan terbesar dari semuanya," kata
Mom perlahan. Kurasakan seisi ruangan bergerak mendekat.
"Semester ini kita akan menerima salah satu anggota pengamanan McHenry ke sekolah ini untuk mengawal Macey."
Aku nggak bisa bersumpah soal ini, tapi selama sedetik
mata Mom terkunci padaku. "Pengamanan Macey McHenry
tidak akan mengubah apa yang kita pelajari dan bagaimana
kita belajar. Dengan begitu, mari kita ucapkan selamat datang
kepada Agen Abigail Cameron yang akan bertanggung jawab
untuk detail keamanan Miss McHenry."
Ruangan di sekitarku dipenuhi suara dan gerakan, tapi dalam pikiranku, semua hal tiba-tiba hening dan bergerak lambat. Wanita berambut gelap panjang dan bermata hijau cantik
muncul di belakang ruangan.
"Kebetulan sekali, Agen Cameron adalah lulusan Akademi
Gallagher dan dengan demikian memiliki kualifikasi unik
untuk memberi Macey perlindungan terbaik."
Aku tahu, karena sudah lulus dari ujian tengah semester
kelas membaca gerak bibir semester lalu, bahwa aula dipenuhi
ucapan "Wow, dia cantik" dan "Tunggu, siapa itu?".
Aku tahu bahwa setiap Gallagher Girl di Aula Besar menatap wanita yang berjalan menyusuri ruangan dan berpikir,
Ini saudari kita. Tapi aku nggak berpikir begitu. Yang bisa
kulakukan hanyalah menatapnya dan berbisik, "Aunt Abby?"
Bab D e l a p a n alau kau sudah menghabiskan empat tahun dengan hidup
bersama calon-agen-rahasia-Inggris yang suka sekali melatih
serangan spontan dan manuver pertahanan diri sewaktu kau
menggosok gigi, kau pasti tak mudah terkejut. Jadi aku menganggap diriku jenis orang yang bisa menjaga ekspresi wajah
tetap datar dalam keadaan apa pun. Atau" well" hampir apa
pun. Aku mencoba mengingat kali terakhir aku bertemu adik
Mom"sebelum Mom meninggalkan CIA, sebelum aku mulai
bersekolah di sini. Sebelum" Dad. Walaupun begitu, di sanalah bibiku, hanya berjarak enam meter dariku dan berjalan
semakin dekat. Rambutnya lebih panjang daripada yang kuingat, sekarang
panjangnya sudah melewati bahu. Dia masih kurus dan atletis,
tapi entah kenapa tampak lebih pendek, lalu, aku"si genius"
menyadari bahwa mungkin itu karena aku yang sekarang lebih
tinggi. "Hei, Cam," bisik Bex, menyodok tulang rusukku, "Bukankah Cameron nama keluarga ibumu?"
"Yeah," gumamku seakan itu cuma kebetulan besar.
Aku mengamati setiap gerakannya saat dia berjalan di
antara meja-meja; dia adalah perwujudan dari cita-cita semua
cewek di ruangan ini saat dewasa nanti.
"Dia kelihatan agak" familier," kata Liz, dan aku hampir
bisa mendengar otaknya bekerja, roda-roda berputar, seakan
wajah bibiku adalah kode yang sedang ia pecahkan.
Lalu Abby mengerling padaku, dan, bagi Bex, potonganpotongan puzzle itu terangkai sempurna. "Nggak mungkin!" Ia
menunjuk ke arah bibiku dan ibuku, seakan mengingat setiap
detail kemiripan keluarga mereka yang tampak jelas. "Itu
bibimu?" "Sstt!" bisikku, memotong kata-kata Bex. Bagaimanapun,
Tina Walters cuma berjarak beberapa meter dari kami; keluarga
McHenry dan Agen Hughes ada di bagian depan ruangan ini;
setidaknya ada belasan alasan mengapa ini bukan waktu terbaik untuk menelusuri seluruh pohon keluarga Cameron, dan
faktanya adalah sekarang ini aku sudah jauh lebih terkenal
daripada yang seharusnya boleh dialami bunglon mana pun.
Mom adalah kepala sekolah di sini.
Aku punya hubungan (agak) ilegal dengan cowok normal
yang sudah menghancurkan (secara harfiah) ujian tengah semester kelas Operasi Rahasia-ku Desember lalu.
Dan terakhir kalinya sebagian siswa melihatku, aku mencium cowok dari sekolah mata-mata saingan kami di tengah
selasar pada minggu ujian akhir!
Sekarang aku nggak tidak terlihat lagi. Dan sesuatu memberitahuku bahwa penunjukan bibiku sebagai pemimpin tim ke69
amanan Macey nggak akan membantuku dalam hal ketidakterlihatan itu. Sama sekali. Karena walaupun sudah bertahun-tahun
aku nggak bertemu dengannya, aku yakin akan satu hal: Aunt
Abby jelas tidak tak terlihat.
"Cam." Suara Liz lembut. "Kau seperti baru melihat hantu."
Aunt Abby akhirnya sampai ke depan ruangan, dan aku
hanya duduk di sana merasa... mungkin aku memang baru melihat hantu.
PERTANYAAN-PERTANYAAN YANG TAK MAU
KUDENGAR LAGI SETELAH MALAM ITU
1. Apakah Zach menelepon/menulis surat/membobol
dan/atau menyadap rumah kakek-nenekku waktu liburan musim panas" (Karena jawabannya nggak.)
2. Apakah aku tahu bahwa berita-berita di televisi cuma
menampilkan sebagian rekaman serangan di Boston,
tapi kebetulan sekali yang disiarkan adalah bagian
ketika rokku tertiup angin hingga tersingkap ke atas"
Jauh ke atas! (Karena, sayangnya, jawabannya nggak
akan bisa kulupakan.) 3. Apakah menurutku wajah baru Mr. Smith membuatnya terlihat agak" keren" (Karena Smith dan keren
adalah dua kata yang nggak ingin kudengar bersamaan.)
4. Di mana Aunt Abby bekerja" (Karena aku nggak
tahu.) 5. Apa saja yang sudah dilakukan Aunt Abby" (Karena
aku bahkan nggak bisa menebak jawabannya.)
6. Kenapa agen yang berada di puncak kariernya mau
keluar dari lapangan untuk mengambil alih detail keamanan Macey, padahal pasti banyak sekali agen
senior yang rela meninggalkan apa pun demi menjaga
salah satu dari kalangan mereka sendiri tetap aman"
(Karena aku nggak mau memikirkan soal ini.)
"Ayolah, Cam," pinta Liz keesokan pagi, kurangnya informasi
orang dalam akhirnya membuatnya nggak tahan. "Dia kan
bibimu. Kau pasti tahu sesuatu."
Aku cuma mengangkat bahu. "Liz, Aunt Abby itu agen
rahasia yang melakukan penyamaran mendalam"kau juga tahu
bagaimana pekerjaan mereka."
Liz menatapku kosong, tapi Bex mengangguk. Bagaimanapun, orangtua Bex bekerja di MI6, jadi dia memang tahu. Lebih baik daripada siapa pun.
"Menurutmu dia bakal mengajar, nggak?" Liz mencengkeram
proyek nilai-ekstranya untuk Mr. Mosckowitz seakan hidupnya
bergantung pada hal itu (karena, kalau kau Liz, hidupmu memang sedikit-banyak bergantung pada nilai). "Aku mencoba
meng-hack Langley, tapi segala hal tentang bibimu dirahasiakan. Maksudku, betul-betul dirahasi"Aduh!" seru Liz.
Aku nggak yakin bagaimana dia melakukannya, tapi
Elizabeth Sutton, mungkin merupakan Gallagher Girl paling
pintar dalam seluruh sejarah Gallagher Girls, berhasil melukai
dagunya dengan klip kertas.
Bex tertawa. Liz berdarah (tapi cuma sedikit). Perutku berbunyi, dan kurasakan jam di dalam diriku berdetak lagi, memberitahuku sekaranglah waktunya, jadi kusambar tasku dan
berseru, "Ayo. Jangan sampai kita terlambat."
Aku sudah berada di selasar sebelum menyadari seseorang
nggak ada. "Macey!" seruku, membuka pintu kamar mandi. "Kami mau
turun ke?" Tapi aku nggak menyelesaikan kalimatku. Karena
Macey McHenry, cewek dengan fisik yang begitu sempurna
sehingga mungkin bakal membuat supermodel merasa inferior,
sedang berganti pakaian di dalam kamar mandi. Lalu aku melihat alasannya.
Memar besar memenuhi seluruh sisi tubuhnya, bercak-bercak hijau yang mulai berubah jadi ungu. Sikunya masih bengkak hingga dua kali ukuran normal. Aku nggak perlu mendengar Macey mengerang untuk tahu seberapa sakit rasanya,
tapi ekspresi di wajahnya mengatakan bahwa melihatku menyaksikan kelemahannya adalah hal paling menyakitkan dari
seluruh pengalaman ini. Yang berhasil lolos tanpa terluka dari
serangan Boston hanyalah harga dirinya, dan Macey akan
melindungi hal itu sekuat tenaga.
"Cam!" Bex berteriak dari luar. "Kami lapar!"
"Duluan saja," seruku, mataku masih terkunci dengan
pandangan Macey di cermin. "Macey nggak mau membiarkanku
pergi tanpa memakai eyeliner." Itu pasti cerita penyamaran
yang bisa dipercaya, karena pintunya langsung menutup. Suite
jadi hening, dan Macey berbalik.
Tanpa suara, Macey mengulurkan lengannya ke arahku, dan
aku memasukkan lengan bajunya melewati gips di lengan. Ia
menoleh kembali ke cermin tapi nggak menatap mataku lagi
saat berkata, "Nggak ada yang boleh tahu."
Bex bakal menganggap memar itu keren. Liz bakal mengkalkulasi seberapa besar persisnya kekuatan yang diperlukan
untuk menghasilkan kerusakan semacam itu. Memar-memar se72
perti itu biasanya bisa memberimu nilai ekstra untuk seminggu
penuh di kelas P&P. Tapi Macey nggak mau mendengar hal-hal
semacam itu. Dan itu bagus juga, karena aku nggak mau mengatakannya.
Jadi aku membantu Macey memakai sweter sekolah dan
bertanya-tanya: 7. Apakah menurutku Macey baik-baik saja" (Karena
sepertinya hanya aku yang menanyakan hal ini.)
Suatu waktu pada malam hari, keadaan sekolah kami sudah
berbalik. Kode Merah berakhir. Senator dan para pengikutnya
sudah pergi. Rak buku dan lukisan sudah berputar kembali,
dan di Koridor Sejarah, pedang Gilly berkilauan dalam kotak
pelindungnya.
Jangan Menilai Cewek Dari Penyamarannya Dont Judge A Girl By Her Cover Gallagher Girls 3 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua kelihatan benar. Semua kelihatan normal. Lalu aku
mendengar suara yang sudah lama sekali nggak kudengar berkata, "Hei, squirt."
Mom memanggilku kiddo. Teman-temanku memanggilku
Cam. Zach memanggilku Gallagher Girl. Tapi sepanjang sejarah nggak ada nama panggilan lain yang memiliki efek sebesar "Squirt." Tiba-tiba aku merasa ingin sekali berbalik
dengan sangat cepat dan makan gula-gula kapas sampai mual.
Tapi aku cuma bilang, "Hai."
"Seseorang bertambah besar."
"Umurku enam belas tahun," kataku, dan itu hal terbodoh
yang bisa kukatakan, tapi aku nggak bisa menahan diri. Para
genius pun punya hak untuk bersikap bodoh sekali-sekali.
Kurasakan Bex dan Liz menghampiri dari Aula Besar dan berdiri di sebelahku. "Semuanya, ini?" aku mendongak menatap
Aunt Abby, bertanya-tanya bagaimana dia bisa terlihat hampir
persis sama padahal nyaris segala sesuatu dalam hidupku kini
berubah, "Aunt Abby?" Kedengarannya memang seperti pertanyaan, tapi itu bukan pertanyaan.
"Jangan beritahu aku," kata bibiku sambil menoleh pada
Bex, "kau pasti keluarga Baxter."
Bex berseri-seri. Fakta bahwa mereka berdua belum pernah
bertemu sama sekali tak penting. Bibiku nggak menunggu dikenalkan. Itu bagus"Bex juga nggak pernah menunggu apa
pun. "Jadi bagaimana kabar ayahmu?"
"Dia baik-baik saja," kata Bex sambil tersenyum lebar.
Abby mengerling. "Tolong bantu aku dan beritahu dia bahwa Dubai pada Hari Natal tidak mengasyikkan tanpanya."
Di sebelahku, aku praktis bisa merasakan pikiran Bex berputar tak terkontrol, bertanya-tanya tentang Dubai pada bulan
Desember. Tapi Abby nggak memberikan detailnya; dia hanya
menoleh pada Liz. "Oooh," kata Abby sambil memeriksa luka baru di dagu Liz.
"Klip kertas?" tanyanya.
Mata Liz bahkan lebih membelalak lagi. "Bagaimana kau
bisa tahu?" Abby mengangkat bahu. "Aku sudah melihat banyak hal."
Aku berpikir kembali pada kabin Mr. Solomon. Setiap kali
dia dan Mom bicara tentang hal-hal yang sudah mereka lihat
dan lakukan, aku ingin bersembunyi dari detail-detail kehidupan mereka. Tapi saat Abby yang bicara, kami mendengarkan
setiap kata. "Apa Fibs masih punya setumpuk prototipe SkinAgain itu
di lab?" tanya bibiku.
"Bukankah itu agak?" Liz memulai, ?"keras?" (Mungkin
keras adalah kata yang sedikit memperhalus, karena aku tahu
pasti Akademi Gallagher mengembangkan SkinAgain setelah
salah satu anak kelas delapan jatuh ke tong berisi nitrogen
cair.) Abby mengangkat bahu. "Tidak kalau kau mencampurnya
dengan sedikit lidah buaya. Gosokkan sedikit pada lukamu,
dan tak mungkin luka itu meninggalkan bekas."
"Serius?" tanya Bex dan Liz bersamaan.
Abby maju sedikit ke arah cahaya. "Apakah ini terlihat
seperti wajah wanita yang selamat dari perkelahian pisau di
Buenos Aires?" Semua cewek di selasar (saat itu sudah ada cukup banyak)
menjulurkan leher untuk melihat kulit sempurna Aunt Abby
yang sehalus porselen. "Itu bukan ide bagus, Ms. McHenry," kata bibiku, mengejutkan para pengagumnya. Aku menoleh dan melihat Macey
mengulurkan tangan ke pegangan pintu depan, dan sadar
bahwa Abby bisa merasakan keberadaan temanku bahkan tanpa berbalik. Dan dengan secepat itu, bukan hanya kulitnya
yang membuat kami terkagum-kagum.
"Aku tidak sarapan," kata Macey. (Itu bohong, tapi tentu
saja aku nggak mengatakannya.) "Aku mau jalan-jalan."
Waktu mendengar kata "sarapan," cewek-cewek di selasar
tampaknya ingat bahwa mereka telah melewatkan satu musim
panas penuh tanpa akses pada wafel Belgia buatan koki kami.
Mereka berjalan keluar, satu demi satu, sampai yang tersisa
hanya aku, ketiga sahabat terbaikku di dunia, dan wanita yang
mengajariku cara menggunakan tali"yang seharusnya dipakai
untuk lompat tali"untuk melumpuhkan seorang lelaki waktu
aku berumur tujuh tahun. Aunt Abby mendekati Macey. "Divisi keamanan melihat dua
helikopter di daerah ini pagi ini"mungkin paparazi yang ingin
mengambil fotomu"tapi sampai kita yakin?" Ia melangkah ke
ruang antara cewek yang dilindunginya dan pintu. "Kau tidak
boleh keluar. Maaf." Ia menambahkan bagian terakhir itu kemudian, seakan baru terpikir untuk mengatakannya.
"Bukankah itu sebabnya kau di sini?" Macey mengingatkan
bibiku dan melangkah ke pintu lagi, tapi dengan santai Abby
menghalanginya. "Sebenarnya, itulah sebabnya aku di sini." Abby menunjuk
kakinya dan bersandar di pintu. Mungkin itu cuma gerakan
santai biasa jika dilakukan orang lain, di tempat lain. Tapi
waktu aku memandang bibiku lalu beralih ke Macey, kusadari
mereka sama-sama kuat. Sama-sama pintar. Sama-sama terbiasa
jadi cewek tercantik di ruangan. Terakhir kalinya aku mendapat perasaan seperti ini, hal itu melibatkan lab Dr. Fibs dan
dua bahan kimia yang sama-sama kuat, berbahaya, dan nggak
terlalu cocok ditempatkan bersama-sama di bawah tekanan.
"Peraturan nomor satu, nona-nona," kata bibiku. "Bersikap
ceroboh" dan kau akan tertangkap."
Saat Aunt Abby melangkah pergi, Bex menyambar lenganku dan berkata tanpa suara, "Dia keren sekali!"
Lalu, tanpa menoleh, Abby berseru, "Aku tahu sekali itu."
Sisa pagi itu berlalu seperti bayang-bayang kabur.
Macey mengikuti kelas Negara-Negara Dunia kelas sebelas,
jadi dia duduk persis di sebelahku selagi Mr. Smith bicara selama 45 menit mengenai pro-kontra melakukan operasi kosmetik di fasilitas-fasilitas yang disetujui CIA. (Jelas, hasilnya
berkualitas sangat tinggi, tapi karena secara teknis fasilitas76
fasilitas ini "tidak ada", dokumen asuransinya sangat menyusahkan!)
Madame Dabney memberikan pelajaran pengingat yang menyenangkan dan santai mengenai hal-hal mendasar: misalnya
Kilas Balik Merah Salju 5 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Rahasia Arca Budha 2