Pencarian

A Child Called 1

A Child Called It Karya Dave Pelzer Bagian 1


A Child Called "It" By: Dave Pelzer Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
CATATAN PENULIS Sejumlah nama dalam buku ini sengaja diganti agar tidak
mengganggu perasaan orang lain.
Buku yang pertama dari rangkaian tiga-buku atau trilogi -
ini menggambarkan perkembangan penggunaan bahasa
dari sudut pandang seorang anak kecil. Irama bicara dan
kosakatanya mencerminkan usia serta pengetahuan anak
tersebut pada masa itu. Buku ini ditulis berdasarkan kehidupan si anak pada umur
4 sampai 12 tahun. Buku kedua dari trilogi ini, The Lost Boy, ditulis
berdasarkan kehidupan si anak pada umur 12 sampai 18
tahun. 1 TERSELAMATKAN 5 Maret 1973, Daly City, California-Aku terlambat. Aku
harus menyelesaikan pekerjaan mencuci peralatan makan
secepatnya, kalau tidak aku tidak dapat jatah sarapan; dan
karena semalam aku tidak makan, jadi sekarang aku harus
makan sesuatu. Ibu mondar-mandir sambil berteriak
kepada saudara-saudara lelakiku. Aku bisa mendengar
langkahlangkahnya yang berat menuju dapur. Cepat-cepat
aku membilas lagi. Tapi terlambat. Ibu menarikku dengan
kasar. Plak! Ibu memukul mukaku, dan aku terjatuh. Aku tahu
lebih baik aku menjatuhkan diri daripada tetap berdiri dan
dipukul lagi. Kalau aku tetap berdiri, Ibu akan menganggap
itu sebagai sikap membantah, dan itu artinya beberapa
pukulan lagi atau, yang paling kutakutkan, tidak diberi
makan. Baru kemudian aku berdiri pelan-pelan sambil
memiringkan mukaku agar tidak menatapnya, sementara
Ibu berteriak di telingaku.
Aku menunjukkan sikap ketakutan, sambil terus-menerus
mengangguk seakan memahami arti ancaman-ancaman
yang keluar dari mulutnya. "Ya, ya," kataku dalam hati,
"asalkan aku boleh makan. Pukul aku lagi, asalkan aku
dapat makanan karena aku harus makan." Satu pukulan
lagi menyentakkan kepalaku hingga membentur pinggiran
dinding. Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak tahan
menerima cemoohan Ibu. Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan
perlakuannya terhadapku. Aku menghitung langkah-langkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar
sudah jauh dari dapur, dan aku pun menarik napas lega.
Sandiwaraku berhasil. Ibu boleh memukuliku sesuka
hatinya, tapi aku tak membiarkannya mengalahkan
tekadku untuk bertahan hidup.
Kuselesaikan mencuci peralatan makan, yang menjadi
salah satu tugasku sehari-hari. Sebagai upahnya, aku
mendapat sarapan sisa-sisa yang ada di mangkuk sereal
salah satu kakakku. Pagi ini sereal Lucky Charms. Cuma
ada sedikit sisa sereal dan susu di mangkuk itu, tapi aku
harus cepat-cepat menghabiskannya sebelum Ibu berubah
pikiran. Itu pernah terjadi. Ibu senang sekali menggunakan
makanan Sebagai senjata. Dia senang cepat-cepat
membuang sisa makanan ke dalam keranjang sampah,
sebab dia tahu aku akan mengais-ngaisnya untuk dimakan.
Ibu tahu hampir semua siasatku.
Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam station
wagon tua kami. Karena banyak sekali tugas rumah yang
harus kuselesaikan, aku jadi terburu-buru berangkat
sekolah. Biasanya aku lari ke sekolah, dan sampai di sana
persis pelajaran dimulai sehingga aku tak sempat mencuri
makanan dari bekal makan siang anak-anak lain.
Sampai di depan sekolah, Ibu membiarkan kakak sulungku
langsung masuk ke sekolah, tapi aku ditahannya dulu
untuk mendengarkan rencananya besok. Dia mau
mengirim aku ke rumah kakaknya. Dia bilang Paman Dan
akan "mengasuhku". Itu ancaman, jadi aku pura-pura
takut. Aku tahu betul pamanku itu tidak akan
memperlakukan aku seperti Ibu memperlakukan aku,
meskipun pamanku itu memang galak.
Station wagon belum betul-betul berhenti, tapi aku sudah
menghambur keluar. Ibu berteriak, memanggilku kembali.
Aku lupa membawa kotak kusam tempat bekal makan
siangku, yang sudah tiga tahun ini menunya itu-itu juga,
dua tangkup roti isi selai kacang ditambah beberapa
potong wortel. Aku ingin langsung berlari lagi, tapi Ibu
berkata, "Bilang pada mereka... Bilang pada mereka kau
terantuk pintu" . Lalu ia mengatakan sesuatu yang amat
jarang ia katakan padaku, "Semoga harimu
menyenangkan". Kulihat kedua matanya yang merah. Ia
masih agak mabuk, sisa semalam. Dulu matanya
bagus, rambutnya sekarang acak-acakan tak terurus. Ia tidak
memakai riasan wajah, seperti biasanya. Ia tahu ia gemuk.
Ya, begitulah penampilan Ibu.
Karena terlambat banyak, aku harus melapor ke ruang
tata-usaha. Ibu sekretaris di ruang itu menyambutku
dengan senyuman. Tak lama kemudian, perawat sekolah
muncul dan mengajakku masuk ke ruang kerjanya, lalu
kami melakukan hal-hal yang sudah biasa kami lakukan.
Pertama, ia memeriksa muka dan lenganku.
"Bagian atas matamu kenapa"" ia bertanya.
Agak canggung, aku menunduk sambil menjawab, "Oh, itu
terbentur pintu... Tidak sengaja".
Perawat sekolah itu tersenyum lagi, lalu mengambil
clipboard dari atas lemari arsip. Ia membalik selembar atau
dua lembar kertas, lalu menunduk dan menunjukkan
padaku tulisan di halaman kertas itu. "Coba lihat ini",
katanya. "Kau mengatakan hal yang sama hari Senin
kemarin. Kau ingat""
Cepat-cepat aku ganti ceritaku, "Aku sedang main bisbol,
lalu pemukulnya mengenai aku. Tidak sengaja, kok". Tak
sengaja. Aku harus selalu berkata begitu. Tapi perawat
sekolah itu rupanya lebih tahu. Dengan caranya, ia selalu
berhasil membuatku mengatakan kejadian sebenarnya.
Pada akhirnya aku selalu mengaku sambil terisak,
meskipun aku selalu merasa harus melindungi Ibu.
Perawat sekolah itu berkata bahwa aku akan baik-baik
saja, lalu menyuruhku membuka baju. Ini sudah kami
lakukan sejak tahun lalu, jadi sekarang aku menurut saja.
Lubang-lubang di baju lengan panjangku lebih banyak
daripada lubang-lubang di keju Swis. Selama dua tahun ini
itulah satu-satunya baju yang kupakai. Ibu menyuruhku
memakai baju itu setiap hari. Begitulah caranya menghina
aku. Celana yang kupakai sama jeleknya. Sepatuku
berlubang di bagian ujung depan, sampai-sampai aku bisa
mengeluarkan dan menggerak-gerakkan jempol kakiku
dari salah satu lubang-lubang itu. Lalu aku berdiri hanya
dengan mengenakan pakaian dalam, sementara perawat
sekolah mencatat luka dan memar di sekujur tubuhku pada
clipboard-nya. Ia menghitung sejumlah tanda seperti garis
miring di wajahku dengan saksama, jangan-jangan ada
yang terlewat dan belum ia catat. Ia teliti betul.
Selanjutnya, perawat itu membuka mulutku untuk
memeriksa gigi-gigiku yang patah atau copot akibat
terbentur pinggiran bak pencuci piring. Ia menuliskan
beberapa catatan lagi di kertas clipboard-nya. Kemudian ia
memeriksa lagi seluruh tubuhku, lalu berhenti di luka
sobek yang sudah lama di bagian perutku. "Yang itu,"
katanya dengan nada suara agak tertahan, "luka akibat
tusukan oleh ibumu, bukan""
"Ya, Bu", jawabku. "Astaga!" aku tersentak dalam hati,
"aku melakukan kesalahan... lagi" .
Perawat itu tentulah menangkap kekhawatiran melalui
sorot mataku. Ia meletakkan clipboard-nya, lalu
memelukku. "Aduh nyamannya," kataku dalam hati, "Ia begitu hangat".
Aku tak mau melepaskannya. Aku mau seterusnya dipeluk
begini. Kupejamkan mataku kuat-kuat. Rasanya begitu
aman, tak terjadi apa pun. Ia mengusap kepalaku. Aku
tersentak oleh rasa sakit pada luka bengkak akibat pukulan
ibuku pagi tadi. Perawat itu melepaskan pelukannya dan
keluar dari ruangan. Cepat-cepat aku mengenakan kembali
pakaianku. Perawat itu tidak tahu bagaimana cepatnya aku
mengenakan pakaian, dan aku memang selalu harus
mengerjakan segala sesuatu secepat mungkin.
Tak lama kemudian perawat itu masuk kembali ke ruangan
bersama kepala sekolah, Mr. Hansen, dan dua orang
guruku, Miss Woods serta Mr. Ziegler. Mr. Hansen tahu
siapa aku. Akulah murid di sekolah ini yang paling sering
dipanggil menghadapnya. Ia mencermati kertas laporan,
sementara perawat itu melaporkan secara lisan semua
temuan barunya. Mr. Hansen menyentuh daguku,
membuatku menengadah langsung padanya.
Aku takut melihat langsung ke matanya, itulah
kebiasaanku setiap kali berhadapan dengan Ibu. Selain itu,
aku pun tidak mau memberitahukan apa-apa kepadanya.
Pemah sekali, kalau tidak salah tahun lalu, Mr. Hansen
memanggil Ibu untuk minta penjelasannya tentang luka-luka memar di sekujur tubuhku. Waktu itu Mr. Hansen
belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. la hanya tahu
bahwa aku anak bermasalah yang sering mencuri
makanan. Esok harinya, saa
t aku masuk sekolah, Mr. Hansen melihat sendiri akibat pukulan-pukulan Ibu. Ia
tidak pernah lagi memanggil Ibu ke sekolah.
Dengan suara agak keras Mr. Hansen berkata bahwa ia
tidak bisa lagi menerima perlakuan Ibu terhadapku. Takut
setengah mati aku mendengar ucapannya itu. "Dia mau
memanggil Ibu lagi!", aku menjerit tanpa mengeluarkan
suara. Aku terduduk ke lantai dan menangis. Badanku
gemetar dan menggeliat-geliat tak karuan, aku mengoceh
seperti bayi, memohon supaya Mr. Hansen tidak
menelepon Ibu. Aku seperti anjing yang melolong sedih
bercampur takut, "Ampun. Jangan, jangan hari ini! Ini kan hari Jumat. Ibu
akan memukuli aku terus sampai Senin pagi dan tidak
memberiku makan..." Mr. Hansen berjanji tidak akan memanggil Ibu, lalu ia
menyuruhku masuk kelas. Sudah terlambat untuk
melaporkan kehadiran dan mengisi daftar hadir di sekolah,
jadi aku cepat-cepat ke kelas bahasa Inggris Mrs.
Woodworth. Hari ini ada tes spelling serentak di semua
negara bagian dan ibu kotanya. Aku tidak siap. Dulu aku
murid pandai, tapi sejak beberapa bulan belakangan ini
aku menyerah, aku merasa tidak punya alasan lagi untuk
melakukan sesuatu dalam hidup ini, termasuk mengalihkan
kesedihanku pada tugas-tugas sekolah.
Begitu masuk kelas, semua murid menutup hidung dan
serentak mengeluarkan suara seperti mendesah. Guru
pengganti, seorang perempuan yang lebih muda daripada
Mrs. Woodworth, mengibaskan tangan di depan wajahnya.
Ia belum terbiasa dengan bau badanku. Ia memberikan
kertas tesku sambil menjaga jarak supaya tidak terlalu
dekat denganku. Belum lagi aku duduk di tempat dudukku
di belakang, dekat jendela yang terbuka, aku dipanggil
kembali ke ruang kepala sekolah. Semua murid di kelas itu
serentak berseru "Huuuu..." ke arahku, penolakan oleh
murid-murid kelas lima. Aku lari, dan dalam sekejap sampai di ruang tata-usaha.
Tenggorokanku perih akibat "permainan" yang kemarin
dimainkan Ibu terhadapku. Sekretaris di ruang tata-usaha
mengajakku ke ruang guru. Begitu ia membuka pintu
ruang guru, sejenak aku heran akan apa yang kulihat. Di
ruangan itu duduk di sekeliling sebuah meja Mr. Ziegler-
yang setiap hari melakukan absensi murid, lalu Miss Moss,
guru matematika, lalu perawat sekolah, Mr. Hansen, dan
seorang polisi. Rasanya, kakiku tak mau digerakkan. Aku
bingung, mau lari atau menunggu sampai langit-langit di
ruangan itu ambruk. Mr. Hansen melambaikan tangannya,
menyuruhku masuk, sementara sekretaris tadi menutup
pintu. Aku duduk di ujung meja dan langsung menjelaskan
bahwa aku tidak mencuri apa-apa... hari ini. Semua yang
ada di ruangan itu, yang tadinya terlihat tegang, langsung
tersenyum mendengar perkataanku. Sama sekali aku tak
tahu bahwa mereka akan mempertaruhkan pekerjaan
mereka demi menyelamatkan diriku.
Pak polisi di ruangan itu memberitahuku mengapa Mr.
Hansen memanggilnya. Rasanya badanku mengerut di
kursi yang kududuki. Pak polisi meminta aku menceritakan
tentang Ibu. Aku menggeleng, tidak mau. Sudah terlalu
banyak orang tahu rahasia tentang Ibu, dan aku yakin Ibu
pasti akan tahu itu. Ada suara lembut yang membuatku
nyaman. Rasanya itu suara Miss Moss. la menghiburku.
Tidak apa-apa, katanya. Aku menarik napas panjang. Sambil meremas-remas
jemari tanganku sendiri, dengan agak segan kuceritakan
juga apa saja yang pernah terjadi antara aku dan Ibu.
Perawat sekolah menyuruhku berdiri, lalu memperlihatkan
luka memanjang di bagian dadaku kepada Pak Polisi.
Cepat-cepat kutambahkan bahwa itu tidak disengaja, Ibu
tidak pernah sengaja menusukku. Aku menangis.
Kukeluarkan apa yang selama ini kupendam, bahwa Ibu
menghukumku karena aku nakal. Rasanya kemudian aku
ingin sendirian. Aku tak mau orang-orang itu ada di
sekelilingku. Aku merasa begitu lemah. Setelah bertahun-tahun begini, aku tahu tak seorang pun bisa melakukan
sesuatu yang dapat mengubah keadaanku.
Beberapa menit kemudian aku diperbolehkan duduk di luar
ruang guru. Semua orang dewasa yang ada di ruangan di
luar ruang guru menumdangiku dan bersikap ramah. Aku
resah di tempat dudukku, karena melihat sekretaris
mengetik berlembar-lembar kertas. Rasanya sangat lama,
sampai akhirnya

A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mr. Hansen memanggilku masuk kembali
ke ruang guru. Miss Woods dan Mr. Ziegler meninggalkan ruang guru.
Mereka terlihat gembira bercampur khawatir. Miss Woods
berlutut di depanku dan mendekapku, seakan-akan aku
terbungkus dalam dekapannya. Rasanya tak mungkin aku
bisa melupakan bau wangi rambutnya. Ia melepaskan
dekapannya, langsung pergi, karena ia tak ingin aku
melihatnya menangis. Aku malah jadi betul-betul khawatir.
Mr. Hansen memberiku nampan berisi makan siang dari
kantin. "Astaga! Sudah waktunya makan siang lagi"",
kataku dalam hati. Kulahap makan siang itu begitu cepatnya sampai-sampai
aku hampir tidak tahu rasanya. Kecepatan makanku pasti
masuk rekor. Tak lama setelah itu, kepala sekolah masuk
lagi ke ruangan, membawa sekotak kue. Ia mengingatkan
supaya aku makan pelan-pelan saja. Aku tak tahu sedang
ada apa ini. Salah satu dugaanku adalah ayahku, yang
sudah berpisah dari Ibu, datang untuk mengambilku. Aku
berkhayal. Aku tahu ayahku tak mungkin datang.
Pak Polisi menanyakan alamat dan nomor telepon
rumahku. "Apa kataku, aku berkata dalam hati. "Masuk
neraka lagi! Aku akan mendapat hukuman lagi dari Ibu!"
Pak Polisi masih menambahkan sesuatu pada catatannya,
sementara Mr. Hansen dan perawat sekolah
memperhatikan yang ditulis Pak Polisi. Tak lama kemudian
Pak Polisi menutup buku catatannya dan berkata pada Mr.
Hansen bahwa informasi yang ia butuhkan sudah cukup.
Aku menengadah, memandang kepala sekolahku.
Wajahnya berkeringat. Aku merasakan perutku mulai
mulas. Aku mau ke kamar mandi, mau muntah.
Mr. Hansen membuka pintu, lalu aku melihat guru-guru
yang sedang istirahat makan siang memandangiku. Malu
sekali rasanya. "Mereka tahu," kataku pada diri sendiri.
"Mereka tahu yang sebenamya mengenai Ibu; yang
sebenar-benamya." Mereka perlu tahu bahwa aku bukan
anak nakal. Aku kepingin sekali disukai orang, dicintai. Aku
tidak mau ke aula. Mr. Ziegler menggandeng Miss Woods.
Miss Woods sedang menangis. Aku mendengarnya ia
terisak. Sekali lagi ia memelukku, lalu cepat-cepat
melepaskannya. Mr. Ziegler menjabat tanganku. "Jadilah
anak baik", katanya.
"Ya, Pak. Saya coba", cuma itu jawabanku.
Perawat sekolah berdiri diam di samping Mr. Hansen.
Mereka semua mengucapkan selamat tinggal kepadaku.
Aku tahu sekarang, aku akan dimasukkan ke dalam
penjara. "Baguslah", kataku dalam hati. "Paling tidak, Ibu
tidak bisa memukuliku kalau aku di penjara" .
Aku dan Pak Polisi berjalan ke luar gedung, melewati
kantin. Aku melihat beberapa teman sekelasku sedang
bermain bola. Beberapa di antara mereka berhenti
bermain, lalu berteriak-teriak, "David ditangkap! David
ditangkap Pak Polisi mengusap pundakku sambil berkata
padaku supaya tenang-tenang saja. Saat mobil Pak Polisi
membawaku pergi meninggalkan Thomas Edison
Elementary School, aku sempat melihat beberapa murid
yang terbengong-bengong memandang kepergianku.
Sebelum pergi tadi, Mr. Ziegler berkata padaku bahwa ia
pasti memberitahu murid-murid lain tentang yang
sebenarnya yang sebenar-benarnya. Aku rela berkorban
apa pun untuk berada di kelas lagi pada saat mereka tahu
bahwa aku tidak seburuk dugaan orang.
Beberapa menit kemudian kami sampai di kantor polisi
Daly City. Aku merasa seakan-akan Ibu ada di situ. Aku
tidak mau turun dari mobil. Pak Polisi membukakan pintu
dan dengan lembut menggandeng lenganku, berjalan
menuju gedung kantor. Aku tidak melihat orang lain di
ruang kantor itu. Pak Polisi duduk di sebuah kursi, di pojok
ruangan, lalu di situ ia mengetik ! Ada beberapa lembar
kertas. Aku mengawasi Pak Polisi itu terus-menerus sambil
memakan kueku pelan-pelan. Kue-kue itu kumakan pelan-pelan supaya aku bisa berlama-lama menikmatinya. Aku
tidak tahu kapan aku bisa makan lagi.
Jam satu siang lewat. Pak Polisi sudah selesai mengerjakan
ketikannya. Sekali lagi ia menanyakan nomor telepon
rumahku. "Kenapa"" aku bertanya dengan sedih campur khawatir.
"Aku harus menelepon ibumu, David," jawabnya lembut.
"Jangan!" kataku tegas. "Kembalikan aku ke sekolah.
Seharusnya Bapak tahu ibuku tidak boleh tahu apa yang
telah kukatakan!" Dengan beberapa kue, Pak Polisi bisa menenangkan diriku
lagi , lalu memutar nomor telepon 7-5-6-2-4-6-0. Aku
memperhatikan lingkaran angka-angka di telepon itu
berputar. Aku berdiri dari kursiku, berjalan mendekati Pak
Polisi yang sedang memutar nomor telepon, badanku
tegang ketika mencoba mendengar dering telepon di ujung
sana. Ibu menjawab telepon itu. Suaranya membuatku
takut. Dengan lambaian tangan, Pak Polisi menyuruhku
menjauh. Ia mengambil napas dalam sebelum berkata, "Mrs. Pelzer,
saya Opsir Smith dari kantor polisi Daly City. Anak Anda,
David, tidak akan pulang ke rumah hari ini.
Ia berada dalam perlindungan San Mateo Juvenile
Department. Kalau ada yang ingin Anda tanyakan, silakan
hubungi departemen tersebut".
Pak Polisi meletakkan gagang telepon, lalu tersenyum.
"Tidak sulit, bukan"" katanya padaku. Tapi dari raut
wajahnya aku bisa bilang bahwa Pak Polisi itu sendirilah
yang lebih membutuhkan kata yang menenangkan itu,
bukan aku. Beberapa kilometer kemudian, kami sudah berada di jalan
raya 280, menuju batas wilayah Daly City. Aku menengok
ke arah sebelah kananku dan melihat sebuah papan besar
bertuliskan "THE MOST BEAUTIFUL HIGHWAY IN THE
WORLD". Pak Polisi tersenyum dan merasa lega saat kami
melewati batas kota. "David Pelzer", katanya, "kau bebas".
"Apa"" tanyaku, sambil menggenggam erat satu-satunya
simpanan makananku. "Aku tidak mengerti. Bukankah Pak
Polisi mau memasukkan aku ke penjara""
Ia tersenyum lagi, lalu dengan lembut meremas bahuku.
"Tidak, David. Kau tidak usah khawatir sama sekali,
percayalah. Ibumu takkan pernah menyakitimu lagi."
Aku bersandar ke kursi mobil. Pantulan sinar matahari
mengenai mataku. Aku memalingkan wajahku dari sinar
itu, dan pada saat itu air mata mengalir di pipiku.
"Aku bebas""
******** 2 MASA-MASA BAHAGIA Tahun-tahun sebelum aku mengalami perlakuan buruk,
keluargaku adalah keluarga kulit putih ideal, layaknya
kisah keluarga Brady Bunch di tahun 1960-an. Aku dan
kedua saudara lelakiku dikaruniai orangtua yang sempuma.
Segala kebutuhan kami selalu terpenuhi dengan rasa cinta
dan perhatian. Kami tinggal di sebuah rumah yang biasa-biasa saja,
dengan dua kamar tidur, di sebuah kawasan hunian yang
"baik" di Daly City. Aku ingat setiap kali memandang ke
luar dari bay window, jendela tiga sisi yang dibuat agak
menjorok keluar dari dinding rumah, ruang keluarga pada
saat cuaca cerah, akan terlihat jelas tiang-tiang jembatan
Golden Gate berwama orange dan skyline San Francisco
yang cantik. Ayahku, Stephen Joseph, adalah petugas pemadam
kebakaran. Kantomya di jantung kota San Francisco. Tinggi
badannya hampir 1,8 meter, beratnya sekitar 86 kilogram.
bahunya lebar dan lengannya besar, bentuk badan idaman
pria pada umumnya. Alis matanya yang hitam tebal
sepadan dengan rambutnya. Aku merasa jadi anak
istimewa ketika ia memandangiku dengan bangga dan
memanggilku "Tiger".
lbuku, Catherine Roerva, berperawakan dan berpenampilan
biasa-biasa saja. Aku tidak bisa mengingat wama mata
atau rambutnya, tapi Ibu adalah perempuan yang sangat
mencintai anak-anaknya. Daya hidupnya yang terbesar
adalah tekadnya yang keras. Ibu selalu punya banyak
gagasan, dan dialah yang selalu mengarahkan sekaligus
memutuskan segala urusan keluarga. Pemah, ketika
umurku empat atau lima tahun, Ibu berkata bahwa ia
sakit, dan aku ingat pada saat itu aku punya perasaan
bahwa Ibu kelihatannya bukan dirinya sendiri. Hari itu
Ayah sedang pergi kerja. Setelah menyiapkan makan
malam, tiba-tiba Ibu meninggalkan ruang makan dan
dengan tergesa-gesa mengecat anak tangga menuju
garasi. Ia batuk-batuk saat ia dengan paniknya
mengoleskan cat merah pada setiap anak tangga. Belum
lagi cat itu kering, Ibu sudah memasangkan karpet karet
pada anak tangga. Karpet karet dan tubuh Ibu jadi
berlepotan cat merah. Setelah selesai dengan kegiatannya
itu, Ibu masuk ke rumah dan langsung rebah di sofa. Aku
ingat, ketika itu aku bertanya pada Ibu mengapa ia
memasangkan karpet karet pada anak tangga padahal
catnya belum kering. Ibu tersenyum dan menjawab, "Aku
cuma ingin membuat kejutan buat Ayahmu."
Dalam urusan berbenah rumah, Ibu adalah biangnya
kebersihan. Setiap kali selesai sarapan bersama kedua
s audaraku, Ronald dan Stan, serta aku, Ibu selalu
melancarkan segala bentuk aksi pembersihan, menebah-nebah untuk membersihkan debu, menyedot debu dengan
vakum, mengelap, termasuk membersihkan kuman dengan
disinfektan. Tak satu pun ruang di rumah kami bebas dari
aksinya itu. Ketika anak-anaknya bertambah besar, Ibu tak
pernah lupa mengajak kami dalam aksi pembersihan itu
dengan mengingatkan kami untuk menjaga kebersihan
serta kerapian kamar kami.
Di halaman luar, Ibu punya kebun bunga kecil yang
membuat para tetangga iri sebab Ibu merawatnya dengan
sangat telaten. Rasanya, apa pun yang disentuh Ibu akan
berubah jadi emas. Ia tak percaya akan keberhasilan yang
dicapai dengan bekerja setengah-setengah. Berkali-kali Ibu
menasehati kami agar kami selalu melakukan yang terbaik,
apa pun yang sedang kami kerjakan.
Ibu sungguh berbakat memasak. Menurutku, menciptakan
menu masakan yang baru dan eksotis adalah hal yang
paling ia nikmati di antara sekian banyak hal yang ia
lakukan bagi keluarga. Apalagi setiap Ayah ada di rumah,
Ibu pasti membuktikan bakat memasaknya itu, ia
menggunakan waktunya yang paling pas untuk memasak
menu ciptaannya yang lezat. Pada hari-hari ketika Ayah
bertugas, biasanya Ibu mengajak kami berjalan-jalan
menikmati keramaian kota. Pada suatu hari ia mengajak
kami ke Chinatown di San Francisco. Sambil berkendaraan
berkeliling wilayah itu, Ibu bercerita mengenai kebiasaan
serta sejarah orang-orang Cina. Sesampai di rumah, Ibu
memutar musik berirama Cina yang indah. Lalu ia
menciptakan suasana berbau Cina di ruang makan, antara
lain dengan memasang beberapa Lampion. Malam hari itu
ia mengenakan kimono dan menyajikan masakan yang
bagi kami kelihatannya agak aneh namun ternyata lezat
rasanya. Di akhir makan malam hari itu Ibu memberi kami
kue keberuntungan dan membacakan tulisan yang ada di
bungkus kue itu. Waktu itu aku merasa bahwa pesan yang
ada di kue-kue itu pasti menuntunku ke masa depanku.
Beberapa tahun kemudian, ketika aku pandai membaca
dan mengerti yang aku baca, aku menemukan salah satu
bungkus kue yang dulu tulisannya dibacakan Ibu untukku.
Tulisan itu berbunyi, "Cintai dan hormati Ibumu, sebab
dialah buah yang memberimu kehidupan".
Dulu kami punya banyak binatang peliharaan, ada kucing,
anjing, ikan di dalam akuarium, dan seekor kura-kura
bernama "Thor". Aku paling ingat kura-kura itu sebab Ibu
membolehkanku untuk memberinya nama. Aku merasa
bangga sebab kedua saudaraku sudah dibolehkan memberi
nama kepada binatang-binatang peliharaan kami yang lain,
dan aku pun mendapat giliran untuk memberi nama. Nama
Thor aku ambil dari nama tokoh kartun kesukaanku.
Beberapa akuarium dengan ukuran berbeda ada di hampir
semua ruangan rumah kami. Di ruang keluarga saja paling
tidak ada dua, lalu satu lagi yang berisi ikan gupi ditaruh di
kamar kami. Ibu sungguh kreatif. Ia menghiasi semua
akuarium dengan batu-batuan warna-warni, sehingga
akuarium itu tampak seperti rumah ikan sungguhan.
Sering kami duduk di sekeliling akuarium sambil
mendengarkan Ibu menjelaskan berbagai jenis ikan.
Pelajaran paling mengagumkan yang diberikan oleh Ibu
terjadi pada suatu hari Minggu sore. Salah satu kucing
kami bertingkah aneh waktu itu. Ibu menyuruh kami duduk
di dekat kucing itu, sementara ia menjelaskan proses
melahirkan. Setelah semua anak kucing dilahirkan dengan
selamat, Ibu lalu menjelaskan dengan sangat teliti betapa
ajaibnya kehidupan ini. Dalam suasana keluarga yang
bagaimanapun, Ibu, dengan caranya sendiri, memberi
kami pelajaran yang sangat berguna, sekalipun kami
hampir tidak pernah menyadari bahwa kami sedang diberi
pengetahuan. Selama masa bahagia itu, keluarga kami selalu memulai
musim liburan sejak Halloween. Pada suatu malam musim
gugur di bulan Oktober, saat bulan pumama, Ibu cepat-cepat mengajak kami keluar rumah untuk mengamati
"Buah Labu Raksasa" di langit. Ketika kami kembali naik ke
tempat tidur, Ibu menyuruh kami mengintip ke bawah
bantal kami masing-masing, dan situ kami menemukan
mobil balap mainan Matchbox. Aku dan saudara lelakiku
serentak bersorak girang, sementara wajah Ibu
menampakkan rasa puas. Seh ari setelah Thanks-giving, Ibu selalu masuk ke ruangan
bawah, lalu naik lagi dengan membawa sejumlah kardus
besar berisi beragam hiasan Natal. Dengan bantuan
tangga, Ibu menggantungkan untaian-untaian hiasan pada


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayu-kayu di langit-langit rumah. Setelah Ibu selesai
dengan kesibukannya itu, setiap ruang di rumah kami
menjadi penuh dengan suasana liburan. Di ruang makan
Ibu menata letak lilin-lilin merah berbagai ukuran. Butiran-butiran salju jatuh dan menumpuk, membentuk berbagai
pola yang menambah cantik setiap jendela di ruang
keluarga dan ruang makan. Untaian lampu-lampu Natal
ikut menghiasi jendela-jendela kamar tidur kami. Setiap
malam aku jatuh tertidur saat memandangi warna-warni
lampu Natal yang berkelap-kelip lembut.
Tinggi pohon Natal kami tidak pemah kurang dari dua
setengah meter, dan semua anggota keluarga meluangkan
waktu seharian untuk menghiasinya. Setiap tahun, salah
satu di antara kami memperoleh kehormatan menaruh
hiasan malaikat di puncak pohon Natal itu, sementara Ayah
mengangkat badan kami dengan tangannya yang kuat.
Setelah selesai menghias pohon Natal dan makan malam,
kami masuk ke station wagon kami dan duduk berdesak-desakan dengan riang gembira, lalu berkeliling di sekitar
perumahan untuk melihat-lihat dekorasi Natal yang
menghiasi rumah-rumah tetangga kami. Pada saat seperti
itu Ibu berulang kali mengucapkan keinginannya untuk
memiliki segala sesuatu yang lebih besar dan lebih bagus
pada Natal tahun berikutnya, sekalipun kedua kakakku dan
aku yakin bahwa hiasan Natal di rumah kami selalu yang
paling bagus. Sampai di rumah kembali, Ibu mendudukkan
kami dekat perapian untuk menikmati egg nog.
Selama ia menceritakan kepada kami beberapa kisah,
stereo set di rumah kami memutar lagu "White Christmas"
yang dinyanyikan Bing Crosby. Aku begitu gembira selama
musim liburan sehingga rasanya tidak mau tidur. Kadang
kala Ibu menggendong aku agar tidur. Sebelum terlelap,
suara yang kudengar hanyalah kayu yang meretih terbakar
di perapian. Hari Natal semakin dekat. Aku dan kedua saudaraku
semakin riang gembira. Tumpukan hadiah di bawah pohon
Natal semakin hari semakin tinggi. Ketika hari Natal tiba,
kami masing-masing mendapat banyak hadiah.
Pada malam Natal, setelah menyantap makan malam yang
istimewa dan menyanyikan beberapa lagu Natal, kami
diizinkan membuka satu saja hadiah yang kami terima.
Setelah itu kami disuruh tidur. Di tempat tidur, aku selalu
memasang telinga dengan harapan bisa mendengar suara
bel-bel kereta es Santa. Tetapi aku selalu terlelap sebelum
sempat mendengar suara rusa kutub penarik kereta es
Santa mendarat di atap rumah.
Sebelum fajar, Ibu berjingkat-jingkat masuk kamar dan
membangunkan kami sambil berbisik, "Bangun, Santa
datang!" Pemah pada suatu Natal, Ibu memberi kami
masing-masing sebuah topi plastik Tonka berwama kuning,
lalu menyuruh kami berbaris menuju ruang keluarga. Kami
tak sabar menyobeki kertas warna-warni agar bisa
membuka kotak untuk akhimya menemukan bermacam-macam mainan baru.
Setelah itu Ibu menyuruh kami, yang sudah mengenakan
jubah kamar yang baru, ke halaman belakang untuk
memandangi pohon Natal kami yang tampak besar dari
balik jendela. Tahun itu, saat berdiri di halaman belakang
itu, aku ingat melihat Ibu menangis. Aku bertanya pada
Ibu, mengapa ia bersedih. Ibu menjawab bahwa ia
menangis karena ia merasa begitu bahagia memiliki
keluarga yang sesungguhnya.
Karena pekerjaan Ayah sering menuntutnya untuk bekerja
24 jam, Ibu sering mengajak kami seharian berkeliling ke
tempat-tempat yang tidak jauh seperti Golden Gate Park di
San Francisco. Saat berkeliling taman itu, Ibu menjelaskan
mengapa daerah-daerah itu sedemikian berbeda dengan
daerah-daerah lain, dan sering juga Ibu mengungkapkan
keinginannya untuk memiliki bunga-bunga yang cantik di
situ. Taman Steinhart Aquarium selalu kami kunjungi paling
akhir. Aku dan kedua saudaraku senang sekali menaiki
anak-anak tangga yang ada di situ dan mendorong sekuat
tenaga pintu-pintunya yang berat. Kami merasa amat
gembira saat sampai di bagian atas, lalu bersandar pada
pagar penyangga dari kuningan yang dibuat berbentu
k kuda laut, dan jauh di bawah sana kami bisa melihat kolam
dengan air terjun kecil yang dijadikan tempat tinggal bagi
beberapa aligator dan kura-kura besar.
Sebagai anak kecil, inilah tempat yang paling kusukai di
taman ini. Pemah aku merasa takut karena aku berandai-
andai terlolos dari pagar penyangga itu lalu jatuh ke
kolam. Walaupun tidak berkata apa-apa, aku yakin Ibu
merasakan ketakutanku itu. Ia melihat padaku, lalu
menggenggam tanganku dengan lembut, dan itu
membuatku merasa aman. Bagi kami, musim semi berarti piknik. Malam hari
menjelang piknik esok harinya, Ibu selalu menyiapkan
bekal makanan istimewa yang terdiri dari ayam goreng,
salad, roti isi, dan makanan penutup. Pagi-pagi sekali kami
sekeluarga berangkat ke Junipero Serra Pak. Sesampai di
sana aku dan kedua kakakku berlarian dengan amat
girang, sebebas-bebasnya, di hamparan rumput yang luas.
Lalu kami bermain ayunan, berayun-ayun setinggi
mungkin. Kadang kala kami mengambil risiko memasuki
tempat-tempat yang belum pemah kami jelajahi di taman
itu. Kalau kami sudah bermain-main seperti itu, Ibu selalu
kesulitan mencari-cari serta menggiring kami untuk makan
siang. Sambil bermain, aku memperhatikan orangtuaku
yang tampak bahagia. Mereka berbaring bersisian di atas
tikar, meneguk anggur merah, sambil memperhatikan kami
bermain. Liburan keluarga setiap musim panas selalu membuatku
tegang karena rasa girang. Ibulah yang selalu menentukan
semua acara yang akan kami lakukan pada setiap liburan
musim panas. Segala sesuatunya ia rencanakan dengan
matang, dan ia selalu puas karena semua acara yang ia
rancang sukses. Yang biasa menjadi tempat tujuan liburan
musim panas kami adalah Portola atau Memorial Park. Di
sana kami berkemah sekitar satu minggu. Kemah kami
sangat besar dan berwarna hijau. Di seluruh dunia, tempat
yang paling aku senangi adalah Russian River, setiap kali
Ayah mengajak kami bermobil ke arah utara,
menyeberangi jembatan Golden Gate, aku tahu kami
sedang menuju tempat favoritku itu.
Perjalanan ke sungai itu yang paling mengesankan bagiku
terjadi saat aku masih di taman kanak-kanak. Pada hari
terakhir sekolah menjelang liburan, Ibu meminta kepala
sekolah untuk mengizinkan aku pulang lebih awal. Begitu
kudengar bunyi klakson mobil ayahku, aku berlari sangat
kencang mendaki sebuah bukit kecil, lalu turun menuju
mobil kami yang sudah menunggu di situ. Aku gembira
sekali sebab aku tahu tujuan kami ke mana. Dalam
perjalanan itu aku sangat takjub melihat hamparan ladang
anggur yang seakan tak habis-habisnya. Saat kendaraan
kami memasuki kota Guerneville yang sunyi, kuturunkan
kaca jendela agar aku bisa menghirup udara yang dipenuhi
aroma pepohonan redwood yang tumbuh di sana.
Setiap hari adalah petualangan baru. Sepanjang hari, kami
bertiga mengenakan sepatu bot khusus untuk memanjat
sisa sebatang pohon tua besar yang mati karena terbakar,
atau berenang di sungai di Johnson's Beach. Biasanya kami
meninggalkan kabin pukul sembilan pagi, dan kembali
setelah jam tiga sore. Ibu mengajar kami berenang di
ceruk kecil di sungai itu. Pada liburan musim panas itu Ibu
mengajariku berenang gaya punggung. Ketika aku
menunjukkan bahwa aku bisa melakukannya, Ibu tampak
sangat senang. Selama liburan itu setiap hari rasanya menakjubkan. Suatu
hari, setelah makan malam, Ibu dan Ayah mengajak kami
bertiga menikmati saat-saat matahari terbenam. Kami
berlima bergandengan tangan saat melewati kabin Mr.
Parker, menuju ke sungai. Air sungai itu yang berwarna
hijau tampak selicin kaca. Kawanan burung bluejay, sejenis
gagak, beterbangan angin kepakan sayap-sayap mereka
terasa di rambutku. Tanpa berkata-kata, kami berdiri menyaksikan matahari
yang bagaikan bola api sedikit demi sedikit tenggelam di
balik pepohonan yang tinggi, meninggalkan alur-alur tipis
berwarna biru terang bercampur jingga tua di langit.
Terasa ada yang merangkul bahuku. Aku mengira itu
ayahku. Aku menoleh, lalu diam-diam merasa bangga,
ternyata Ibulah yang merangkulku dengan eratnya. Aku
bisa merasakan detak jantungnya. Itulah satu-satunya saat
dalam hidupku ketika aku merasa begitu aman dan begitu
hangat , di Russian River. ******** 3 ANAK NAKAL Hubunganku dengan Ibu berubah drastis, dari tempaan
disiplin menjadi hukuman yang semakin membabi-buta.
Kadangkala hukuman itu sedemikian menyakitkan sampai-sampai aku harus merangkak untuk menghindarinya,
bahkan aku bisa menyebutnya sebagai menyelamatkan
hidupku. Sebagai anak kecil, suaraku mungkin terdengar lebih keras
dibandingkan anak-anak kecil lainnya. Tampaknya aku
juga selalu bemasib sial, selalu ketahuan bersikap nakal,
sekalipun aku dan kedua saudaraku sering sama-sama
mengaku melakukan "kejahatan" yang sama.
Pada awalnya, aku disuruh berdiri atau jongkok di pojok
kamar tidur kami. Pada saat itulah aku mulai takut
terhadap Ibu. Sangat takut. Aku pemah aku meminta Ibu
agar aku boleh keluar kamar. Aku akan diam dalam posisi
dan tempat yang sama, menunggu sampai salah seorang
saudaraku masuk ke kamar tidur kami dan bertanya pada
Ibu apakah David sudah boleh keluar dan ikut main
bersama. Mulai saat itulah sikap Ibu berubah drastis. Kadang kala,
saat Ayah sedang bekerja, Ibu menghabiskan waktunya
seharian tiduran di kursi menonton acara televisi, masih
mengenakan jubah mandi. la hanya akan beranjak dari
kursi kalau mau ke kamar mandi, menambah minumannya
lagi, atau memanaskan sisa makanan. Saat berteriak
kepada kami, suaranya berubah dari suara seorang Ibu
yang lembut menjadi suara seorang perempuan penyihir
yang jahat. Dalam waktu singkat suara Ibu menjadi suara
yang sangat menakutkan bagiku. Bahkan kalau Ibu
berteriak memarahi salah seorang saudaraku, aku akan
berlari ke kamar untuk bersembunyi, sambil berharap Ibu
cepat-cepat kembali lagi ke kursinya, ke minumannya, dan
ke acara televisinya. Sejenak, aku bisa tahu apa yang
bakal aku alami pada suatu hari dari pakaian yang Ibu
kenakan. Aku bisa bemapas lega pada hari ketika kulihat
Ibu keluar dari kamarnya mengenakan pakaian yang
menawan dan mengenakan make up. Pada hari-hari
demikian, Ibu akan tersenyum sepanjang hari.
Ketika Ibu memutuskan bahwa "hukuman pojok kamar"
tidak lagi mempan, "hukuman cermin" lalu dikenakan pada
diriku. Mulanya, wajahku ditempelkan dan ditekan pada
kaca cermin, lalu wajahku yang basah oleh air mata
digesek-gesekkan pada permukaan kaca cermin yang licin
dan memantulkan wajahku. Kemudian Ibu memaksaku
untuk berkata, "Aku anak nakal! Aku anak nakal! Aku anak
nakal!" berulang-ulang.
Kemudian aku dipaksa berdiri, disuruh melihat ke cermin.
Aku berdiri tegang, dengan kedua tangan masing-masing
di setiap sisi. Berulang kali aku mencuri pandang ke luar
kamar, menanti dengan sangat ketakutan saat siaran iklan
kedua ditayangkan di televisi. Aku tahu persis, bahwa pada
saat itulah akan kudengar langkah-langkah kaki Ibu yang
bergegas menuju kamar untuk memeriksa apakah aku
masih memandang ke arah cermin, lalu ia akan berkata
padaku betapa aku adalah anak yang memuakkan. Setiap
kali saudara-saudaraku masuk ke kamar saat aku
mendapat "hukuman cermin", mereka memandang ke
arahku, mengangkat bahu sedikit, lalu meneruskan
permainan mereka seolah-olah aku tidak di situ. Mulanya
sikap mereka itu membuatku iri, namun aku segera paham
bahwa itu mereka lakukan semata-mata demi
menyelamatkan diri mereka sendiri.
Ketika Ayah di tempat kerja, Ibu sering berteriak-teriak
memaksa aku dan kedua saudaraku mencari di seluruh
pelosok rumah sesuatu miliknya yang hilang. Biasanya
pencarian seperti itu dimulai pagi hari, sampai berjam-jam
kemudian. Tidak lama setelah pencarian dimulai, biasanya
aku disuruh melakukan pencarian di garasi, sebuah
ruangan di bagian hawah rumah, semacam basement. Saat
berada di ruang bawah pun, aku tetap ketakutan setiap
kali mendengar Ibu herteriak ke salah satu saudaraku.
Demikianlah selama berbulan-bulan, pencarian seperti
berlanjut, sampai akhimya cuma aku sendirilah yang di-suruh mencari barangnya yang hilang, barang apa saja.
Pernah, aku lupa barang apa yang mesti aku cari. Ketika
dengan amat ketakutan aku bertanya pada Ibu barang apa
yang harus aku cari, wajahku malah dipukul. Itu dilakukan
Ibu sambil tetap rebahan di kursi, bahkan ia tidak
mengalihkan perhatiannya dari acara televisi. Dar
ah mengalir dari hidungku, dan aku mulai menangis. Ibu
menyambar serbet dari meja, menyobeknya, lalu
menggosok-gosokkannya ke hidungku.
"Kau tahu persis apa yang harus kau cari!" bentaknya.
"Cari! Sekarang!"
Tergopoh-gopoh aku turun kembali ke basement,
membuat suara cukup keras untuk meyakinkan Ibu bahwa
aku betul-betul mematuhi perintahnya sesegera mungkin.
Ketika perintah Ibu "cari ini, cari itu" menjadi semakin
biasa terjadi, aku mulai berkhayal bahwa aku telah
menemukan barang Ibu yang hilang. Aku berkhayal,
dengan dada membusung aku muncul dari basement
sementara kedua tanganku membawa barang berharga
yang begitu dicari-cari, lalu Ibu menyambutku dengan


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelukan serta ciuman. Bukan cuma itu. Aku juga berkhayal
keluarga kami hidup bahagia setelah itu. Kenyataannya,
aku tak pernah menemukan satu pun barang Ibu yang
hilang, dan ia membuatku takkan pernah lupa bahwa aku
adalah anak gagal yang tak bisa apa-apa.
Sebagai anak kecil, aku menyadari sikap Ibu bisa sangat
berlawanan, seperti siang dan malam, saat Ayah ada di
rumah. Kalau Ibu menata rambutnya dan mengenakan
pakaian bagus, ia kelihatan lebih santai. Aku menyukai hal
itu saat Ayah di rumah. Itu berarti tidak ada pukulan,
hukuman cermin, atau pencarian barang-barang Ibu yang
hilang selama berjam-jam. Ayah menjadi pelindungku.
Kapan pun Ayah pergi ke garasi untuk melakukan apa saja
yang ingin ia kerjakan, aku mengikutinya. Saat ia duduk di
kursi kesukaannya untuk membaca koran, aku berada di
dekatnya. Sehabis makan malam, setelah piring dan gelas
disingkirkan dari meja makan, Ayah akan mencucinya, aku
yang mengeringkannya. Aku tahu selama aku berada di
dekatnya tak akan ada yang menyakitiku.
Suatu hari, sebelum Ayah berangkat kerja, aku menerima
kejutan yang menakutkan. Setelah mengucapkan selamat
tinggal kepada Ron dan Stan, Ayah berlutut, memegang
erat bahuku dan berpesan padaku agar aku menjadi "anak
baik". Ibu berdiri di belakangnya, berlipat tangan, dan di
wajahnya ada senyuman tipis. Aku memandang mata Ayah
dan langsung tahu bahwa aku adalah "anak nakal". Ada
rasa menggigil tiba-tiba menjalari seluruh tubuhku. Ingin
rasanya aku menahan Ayah agar tidak pergi ke mana-mana selamanya. Namun sebelum aku sempat
memeluknya, Ayah berdiri, berbalik dan keluar, tanpa
berkata apa-apa lagi. Selama waktu yang singkat sejak peringatan Ayah itu,
suasana antara aku dan Ibu tampaknya tenang-tenang
saja. Kalau Ayah sedang di rumah, aku dan kedua
saudaraku bermain di kamar kami atau di pekarangan,
sampai sekitar jam tiga sore. Pada jam itu biasanya Ibu
menyetel televisi sehingga kami bisa nonton film kartun.
Bagi orangtuaku, jam tiga sore berarti "Happy Hour". Di
meja dapur Ayah menaruh berbotol-botol minuman
beralkohol beserta gelas-gelasnya yang cantik. la
memotong lemon dan lime, menaruhnya di beberapa
mangkuk kecil di samping mangkuk yang berisi buah-buah
cherry. Sering kali orangtuaku minum-minum sejak sore
menjelang matahari terbenam sampai aku dan kedua
kakakku naik ke tempat tidur. Aku ingat memperhatikan
mereka berdansa di dapur diiringi musik dari radio-mereka
berpelukan, tampaknya begitu bahagia. Aku mengira aku
bisa membuang masa sengsaraku. Aku keliru. Masa
sengsaraku itu baru awal dari sesuatu yang lebih hebat
lagi. Satu atau dua bulan kemudian, pada hari Minggu, saat
Ayah sedang bekerja, aku dan kedua kakakku sedang
bermain di kamar kami ketika kami mendengar langkah-langkah Ibu yang berat dan tergesa-gesa, dan berteriak
kepada kami ber-tiga. Ron dan Stan langsung berlari
menyelamatkan diri ke ruang keluarga, sedangkan aku
langsung duduk di kursiku.
Dengan kedua tangannya terentang dan terangkat, Ibu
langsung mendatangiku. Ibu semakin dekat dan semakin
dekat, sementara aku memundurkan kursiku sampai
mepet ke tembok, sehingga kepalaku menempel di
tembok. Mata Ibu berkilat dan merah, napasnya berbau
minuman keras. Aku menutup mataku begitu pukulan Ibu
bertubi-tubi menghantamku dari kiri kanan. Kucoba
menggunakan tangan untuk melindungi wajahku, tapi Ibu
dengan mudah menyingkirkannya. Pukulannya kurasakan
seakan tak akan pernah berhenti. Akhirnya kulingkarkan
leng an kiriku untuk menutupi wajahku.
Saat Ibu berusaha menarik lenganku, ia kehilangan
keseimbangan dan terhuyung ke belakang, sementara
tangannya masih mencengkeram lengan kiriku. Ibu
berusaha agar tidak jatuh sehingga lengan kiriku tertarik
keras. Saat itulah kudengar suara gemeretak, lalu aku merasa
sangat kesakitan pada bahu dan lenganku. Ibu tampak
tertegun, dan dari raut wajahnya aku tahu bahwa ia pun
mendengar bunyi yang kudengar.
Namun, ia begitu saja melepaskan cengkeramannya dari
lengan kiriku, berbalik, lalu pergi begitu saja seakan tidak
terjadi apa-apa. Perlahan-lahan kucoba menggerakkan
lengan kiriku. Rasa sakitnya tak tertahankan. Belum
sempat aku tahu persis apa yang terjadi dengan lengan
kiriku, Ibu sudah memanggil untuk makan malam.
Langkahku terasa berat, berpegangan pada rak TV,
mencoba untuk makan. Ketika mau mengambil gelas susu,
lengan kiriku tak bisa digerakkan sama sekali. Tanpa
diperintah, jemariku bergerak-gerak sendiri, sementara
lenganku lunglai seakan mati. Aku memandang Ibu,
mencoba meminta perhatiannya melalui mataku. Ia
mengabaikanku. Aku tahu ada sesuatu yang betul-betul tidak beres, tapi
aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Jadi, aku
duduk saja di situ, memandangi makananku. Akhirnya Ibu
membolehkan aku mundur dari meja makan dan
menyuruhku tidur lebih awal, sekaligus menyuruhku untuk
tidur di kasur atas. Itu di luar kebiasaan karena biasanya
aku tidur di kasur bawah. Menjelang pagi baru aku bisa
tidur, dengan tangan kananku "menjagai" lengan kiriku
yang sakit. Belum lagi lama tidurku, Ibu membangunkan aku, lalu
menjelaskan bahwa aku tidur terlalu ke pinggir sehingga
jatuh dari kasur atas di malam hari. Kelihatannya ia begitu
prihatin akan keadaanku, sebab ia membawaku ke rumah
sakit. Ketika Ibu menceritakan peristiwa jatuhnya aku dari
kasur atas kepada dokter yang memeriksaku, dari
pandangan mata sang dokter aku berpendapat dokter itu
tahu bahwa sakitku itu bukan karena kecelakaan. Dan aku
lagi-lagi tidak berani berkata apa-apa.
Di rumah, ketika menceritakan peristiwa itu kepada Ayah,
bualan Ibu semakin hebat. Dalam bualannya yang semakin
hebat itu, Ibu menambahkan usahanya untuk menangkap
badanku sebelum menyentuh lantai. Saat aku duduk di
pangkuan Ibu sambil mendengarkan ia menceritakan
bualannya yang semakin hebat itu kepada Ayah, aku
berkesimpulan bahwa ibuku "sakit". Rasa takut dalam
dirikulah yang menjadikan peristiwa yang sebenamya tetap
rahasia di antara Ibu dan aku. Aku tahu kalau kuceritakan
rahasia itu kepada orang lain, "kecelakaan" berikutnya
pasti lebih parah. Bagiku, sekolah adalah kesempatanku untuk bersenang
senang. Aku bersuka-cita bisa berada jauh dari Ibu. Saat
istirahat, aku bagai orang liar. Sekencang mungkin aku
berlari ke tempat bermain, mencari-cari permainan baru
yang menantang. Aku mudah bergaul, betapa senangnya
aku di sekolah. Suatu hari di akhir musim semi, saat aku
pulang dari sekolah, Ibu menyeretku ke kamar tidumya.
Dengan berteriak ia berkata padaku bahwa aku harus
tinggal kelas karena aku anak nakal. Aku tak mengerti.
Hasil ulanganku selalu lebih bagus daripada teman-teman
lain sekelas. Aku menurut pada ibu guru dan aku merasa ia
menyukaiku. Tetapi Ibu tetap berkeras bahwa aku telah
mempermalukan keluarga dan harus dihukum berat. Ibu
melarang aku menonton televisi selamanya. Aku tidak
diberi makan malam dan harus mengerjakan pekerjaan
apa pun yang muncul di kepala Ibu. Setelah menerima
pukulan-pukulan sebagai hukuman, aku disuruh turun ke
garasi, berdiri di sana sampai Ibu memanggil untuk tidur.
Pada musim panas tahun itu, dalam perjalanan menuju
tempat berkemah, tanpa tanda-tanda sebelumnya, aku
ditinggal di rumah Bibi Josie. Tak seorang pun
memberitahuku mengenai hal itu, dan aku pun tak tahu
alasannya. Saat menyaksikan station wagon kami pergi
meninggalkanku, aku merasa sendirian dan terusir. Aku
sedih dan merasa hampa. Aku berusaha lari dari rumah
bibiku. Aku ingin mencari keluargaku, dan, karena alasan
yang agak ganjil, aku ingin bersama Ibu. Usahaku
melarikan diri gagal, dan laporan mengenai usahaku itu
disampaikan oleh Bibi kepada Ibu. Sa
at Ayah mendapat giliran kerja, aku harus membayar dosaku itu. Ibu
menampar, menonjok, dan menendangku sampai aku
merangkak di lantai. Aku mencoba mengatakan kepada Ibu
bahwa aku melarikan diri karena aku ingin bersamanya
dan keluarga. Aku mencoba mengatakan padanya bahwa
aku merindukannya, tapi Ibu tidak mengizinkan aku
berbicara. Aku mencoba mengatakannya sekali lagi, tapi
Ibu bergegas ke kamar mandi, mengambil sebatang sabun,
lalu menjejalkannya ke mulutku. Setelah itu, aku tidak lagi
boleh berbicara kecuali disuruh untuk berbicara.
Masuk kembali ke kelas satu sungguh menyenangkan. Aku
menguasai semua pelajarannya, sehingga dengan cepat
aku dikenal sebagai murid yang pandai. Karena kelasku
diturunkan, Stan dan aku setingkat. Saat istirahat, aku
menghampiri Stan di kelasnya, lalu mengajaknya bermain.
Di sekolah, kami berdua adalah sahabat; tetapi di rumah,
kami berdua tahu bahwa aku harus dianggap tidak ada.
Suatu hari aku bergegas masuk rumah untuk
memamerkan hasil ulanganku. Ibu malah menyeretku
masuk kamarnya, sambil membentak-bentak tentang
sebuah surat yang ia terima dari Kutub Utara. Katanya,
surat itu menyebutkan bahwa aku adalah "anak nakal" dan
Santa tidak akan memberiku hadiah pada hari Natal.
Terus-menerus Ibu mengomel, katanya aku lagi-lagi
membuat malu keluarga. Aku berdiri dalam kebingungan,
sementara Ibu tak henti-hentinya menuding-nudingku.
Rasanya aku hidup dalam mimpi buruk yang diciptakan
Ibu, dan aku berdoa agar Ibu terbangun. Sehari sebelum
Natal tahun itu hanya ada dua bungkus hadiah untukku di
bawah pohon Natal, dari saudara jauh. Pagi hari Natal Stan
memberanikan diri bertanya pada Ibu mengapa Santa
hanya membawa dua bungkus hadiah mainan
menggambar untukku. Dengan gaya seorang guru, Ibu
menjelaskan kepada Stan bahwa "Santa hanya membawa
hadiah bagi anak-anak lelaki dan perempuan yang baik".
Aku mencuri pandang ke arah Stan. Matanya menunjukkan
rasa sedih, dan aku yakin bahwa ia tahu akal-akalan Ibu
yang ganjil. Karena masih harus menjalani hukuman, pada
hari Natal aku tetap diharuskan mengerjakan bermacam-macam pekerjaan rumah dengan pakaian yang biasa
kupakai kerja. Sewaktu membersihkan kamar mandi, aku
mendengar Ibu dan Ayah bertengkar. Ibu marah kepada
Ayah karena Ayah "diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu"
membelikan mainan untukku. Ibu berkata kepada Ayah
bahwa dialah yang berwenang mendisiplinkan "anak itu",
dan bahwa Ayah telah menggerogoti kekuasaan Ibu
dengan membelikan hadiah untukku. Semakin panjang
Ayah menjelaskan maksudnya, semakin marah Ibu. Aku
yakin Ayah kalah, maka aku pun semakin sendirian.
Beberapa bulan kemudian Ibu ditunjuk menjadi
pembimbing Pramuka Siaga. Setiap kali anak-anak
Pramuka Siaga datang ke rumah kami, Ibu
memperlakukan mereka seperti raja. Beberapa dari anak-anak itu berkata padaku betapa inginnya mereka punya
Ibu seperti Ibuku. Aku tak pernah menanggapinya. Aku
hanya bertanya-tanya dalam hati apa kira-kira pendapat
mereka bila mengetahui yang sebenarnya tentang Ibu.
Hanya beberapa bulan saja Ibu menjabat sebagai
pembimbing. Betapa lega aku ketika Ibu menyerahkan
jabatan itu, sebab itu berarti aku bisa datang ke rumah
anak-anak lain dalam rapat setiap hari Rabu.
Pada suatu hari Rabu sepulang sekolah, aku mengganti
pakaianku dengan seragam Pramuka. Pada saat itu hanya
Anak Nakal " 39 Ibu dan aku yang ada di rumah, dan dari raut wajahnya
aku tahu Ibu sedang "kumat". Setelah membenturkan
wajahku ke cermin di kamar, Ibu mencengkeram lenganku
dan menyeretku ke mobil. Dalam perjalanan ke rumah ibu
pembimbing pramuka, Ibu memberitahuku apa yang akan
ia lakukan terhadapku sesampai kami di rumah. Saking
takutnya, aku menjauhkan diriku dari Ibu ke pojok kursi
depan mobil, tapi sia-sia. Ibu menggapaikan tangannya
lalu menyentakkan daguku, mengangkat kepalaku sampai
wajahku menghadap wajahnya. Matanya merah dan
suaranya mirip suara orang kerasukan. Ketika kami sampai
di rumah ibu pembimbing pramuka, aku berlari ke pintu
rumahnya sambil menangis. Sambil tersedu aku berkata
kepada ibu itu bahwa aku telah berlaku nakal sehingga
tidak diizinkan mengikuti pertemuan Pramuka har
i itu. Ibu pembimbing itu tersenyum ramah, sambil berkata bahwa ia
berharap aku bisa datang ke pertemuan Rabu berikutnya.
Dan itulah terakhir kali aku bertemu dengannya.
Begitu sampai di rumah Ibu langsung menyuruhku
membuka baju dan berdiri di dekat kompor di dapur. Aku
menggeleng karena rasa takut bercampur malu. Kemudian
Ibu membuka "kejahatan" yang telah kulakukan. Ibu
berkata bahwa sering kali ia merasa terdorong pergi ke
sekolah untuk menyaksikan aku dan saudara-saudaraku
bermain pada jam istirahat makan siang. Ibu mengaku
melihat aku pada hari itu bermain di rumput, dan itu
dilarang keras oleh peraturan yang ia buat. Cepat-cepat
aku menjawab bahwa aku tidak pemah bermain di rumput.
Bagaimanapun aku tahu bahwa Ibu keliru. Sebagai imbalan
atas pelanggaran yang kulakukan terhadap peraturannya
dan mengatakan yang sesungguhnya adalah sebuah
pukulan keras di wajahku.
Kemudian Ibu menyalakan api kompor, sambil berkata
bahwa ia pernah membaca sebuah artikel tentang seorang
ibu yang menaruh anak lelakinya di atas kompor yang
menyala. Aku langsung merasa ngeri. Otakku tak bekerja,
aku merasa limbung. Ingin rasanya aku menghilang.
Kupejamkan mataku, sambil berharap Ibu pergi. Otakku
sama sekali mampet ketika aku merasakan tangan Ibu


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiting lenganku, sebuah cengkeraman yang amat kuat.
"Kau membuat hidupku seperti di neraka!" katanya
mencemooh. "Kini saatnya kutunjukkan padamu apa itu
neraka!" Dengan mencengkeram kuat lenganku, Ibu meletakkannya
di atas api yang berwarna biru-jingga. Akibat panasnya
api, aku merasa kulitku merekah. Tercium olehku bulu-bulu lenganku yang terbakar. Sehebat apa pun perlawanan
yang kuberikan, aku tak mampu melepaskan lenganku dari
cengkeraman Ibu. Akhirnya aku jatuh ke lantai, di atas
tangan dan lututku, sambil mencoba meniupkan udara
dingin ke lenganku yang terbakar.
"Sayang sekali ayahmu yang pemabuk itu tidak di rumah
sehingga tidak bisa menyelamatkanmu", desisnya.
Kemudian Ibu menyuruhku naik ke atas kompor dan
berbaring di atas api sehingga ia bisa menyaksikan
tubuhku terbakar. Aku menolak, sambil menangis dan
mengiba-iba. Aku begitu ketakutan sampai-sampai
kuentak-entakkan kakiku sebagai tanda protes. Tetapi Ibu
tetap memaksaku untuk naik ke atas kompor. Kutatap api
kompor, sambil berdoa agar api itu mati karena kehabisan
gas. Tiba-tiba aku sadar bahwa semakin lama aku bisa
mengelakkan paksaan untuk berbaring di atas api kompor,
semakin besar peluangku untuk tetap hidup. Aku tahu
sebentar lagi kakakku, Ron, pulang dari pertemuan
Pramuka, dan aku tahu Ibu tidak akan pemah berlaku
ganjil seperti ini kalau ada orang lain di rumah. Aku harus
memperpanjang waktu agar bisa bertahan hidup. Kulirik
jam pada dinding dapur di belakangku. Jarum panjangnya
terasa bergerak lamban sekali. Agar perhatian Ibu
terpecah, aku mulai bertanya secara lembut. Kelakuanku
itu membuat Ibu bertambah murka, dan ia mulai
menghujani pukulan ke kepala serta dadaku. Semakin
membabi-buta Ibu memukuliku, semakin aku sadar bahwa
aku menang! Apa pun boleh, asal jangan dibakar di atas
kompor. Akhimya kudengar pintu depan dibuka orang. Ron pulang.
Betapa lega aku. Darah yang menjalari urat-urat wajah Ibu
menyurut. Ia tahu ia kalah. Untuk sejenak, Ibu berdiri
kaku. Kumanfaatkan saat yang sempit itu untuk
menyambar bajuku lalu berlari cepat ke basement di situ
aku cepat-cepat mengenakan kembali bajuku. Aku berdiri
bersandar ke dinding. Aku terisak, namun segera kusadari
bahwa aku telah mengalahkan Ibu. Aku telah berhasil
mengulur waktu yang sangat berharga. Aku telah
menggunakan otakku untuk bertahan hidup. Untuk
pertama kalinya aku menang!
Saat berdiri sendirian di basement yang gelap dan lembab
itu, untuk pertama kalinya kusadari bahwa aku mampu
bertahan hidup. Sejak saat itu kuputuskan untuk
menggunakan taktik apa pun yang sempat terlintas dalam
pikiran untuk mengalahkan Ibu atau menunda obsesinya
yang liar. Aku sadar bila aku ingin tetap hidup, aku harus berpikir ke
de-pan. Tak mungkin lagi aku menangis seperti bayi yang
tak berdaya. Agar tetap hidup, aku tak pernah boleh
menyerah. Hari itu aku bersumpah pada diriku sendir
i bahwa aku tak akan pemah lagi satu kali pun memberi
perempuan jahat itu kepuasan menikmati suaraku yang
memohonnya untuk berhenti memukuliku.
Dalam suasana dingin di basement itu, seluruh tubuhku
menggigil karena rasa marah sekaligus karena rasa takut
yang amat sangat. Kujilati luka bakarku agar rasa sakit di
lenganku berkurang. Ingin rasanya aku berteriak, tapi aku
berkeras hati untuk tidak memberi Ibu kenikmatan
mendengarkan tangisku. Aku berdiri tegar. Bisa kudengar
Ibu berkata kepada Ron bahwa betapa bangganya ia
terhadap Ron, dan betapa ia tidak perlu khawatir sama
sekali bahwa Ron akan menjadi seperti David, si anak
nakal. 4 PERJUANGAN UNTUK BISA MAKAN
Pada musim panas, setelah peristiwa "dibakar di kompor",
sekolah menjadi satu-satunya harapanku untuk melarikan
diri. Kecuali pada suatu saat ketika kami pergi memancing,
kejadian antara aku dan Ibu tidak menentu, atau smash
and dash-Ibu menyerangku, lalu aku terbirit-birit ke
tempat terkucilku di basement. Bulan September kegiatan
sekolah mulai lagi dan itu menggembirakan. Aku mendapat
baju baru, juga wadah bekal makan siang baru yang masih
mengkilat. Tetapi karena Ibu menyuruhku mengenakan
pakaian yang sama setiap hari sekolah, pada awal Oktober
pakaianku sudah jadi kumal, sobek di beberapa bagian,
dan berbau tak sedap. Ibu pun seakan tak peduli dengan
memar-memar dan luka-luka pada wajah serta lenganku.
Kalau ada orang bertanya tentang memar dan luka itu, aku
harus memberi orang itu jawaban-jawaban yang sudah
ditentukan oleh Ibu. Sejak saat itu Ibu sudah "lupa" memberiku makan malam.
Sarapan pun nyaris aku tak dapat. Kalau sedang bernasib
baik, aku diizinkan menghabiskan sereal yang tersisa dari
sarapan kedua saudara laki-lakiku-itu pun dengan syarat
semua tugas rumah tangga sudah kuselesaikan sebelum
berangkat ke sekolah. Pada malam hari aku begitu lapar sampai-sampai aku bisa
mendengar perutku berkeriuk-keriuk. Aku tidak bisa tidur
dengan perut yang amat lapar di malam hari. Aku bergolek
saja, mataku nyalang, satu-satunya yang kupikirkan cuma
makanan. "Mungkin besok aku dapat jatah makan malam",
aku berkata pada diriku sendiri. Berjam-jam kemudian
baru aku merasa setengah tertidur, khayalanku melulu
pada makanan. Paling sering aku memimpikan hamburger
yang besar dengan aneka isinya. Anganku sering kali
begini: dengan bangga kuraih hamburger yang besar itu,
lalu melahapnya. Dalam anganku, hamburger itu
sedemikian nyata-dagingnya yang tebal berminyak, juga
irisan kejunya yang tebal, semuanya begitu padat. Saus
bumbunya melimpah, meleleh keluar karena tergencet
daun selada dan tomat. Hamburger itu serasa sudah dekat
sekali, maka kubuka mulutku, siap melahapnya. Tak
terjadi apa-apa. Berkali-kali kucoba lagi dan lagi bahkan
dengan segenap perasaan, tetap tak kurasakan secuil pun
hamburger khayalanku yang lezat itu. Aku selalu menyerah
dan terbangun. Perutku terasa semakin kosong dan
bolong. Bahkan dalam mimpi pun, tak bisa kupuaskan rasa
laparku. Sejak bermimpi makan enak, aku mulai mencuri makanan
di sekolah. Mencuri makanan berarti aku harus secepat
mungkin menelan makanan yang kucuri agar tidak
ketahuan-campuran perasaan itulah yang membuat perut
kosongku seperti dipilin-pilin. Biasanya, aku mencuri
makanan sebelum pelajaran dimulai, saat teman-teman
sekelasku sedang ber-main di halaman sekolah. Biasanya
aku berjalan mepet tembok luar ruang absensi murid, lalu
sengaja kujatuhkan wadah bekal makanku di sebelah
wadah bekal makan temanku, lalu aku berlutut sedemikian
rupa sehingga tak seorang pun Perjuangan untuk bisa tahu
bahwa aku sedang menguras isi dari wadah bekal makan
siang itu. Pada awalnya beberapa kali usahaku mencuri berhasil
mulus. Namun beberapa hari kemudian beberapa murid
sadar bahwa isi wadah bekal makanan mereka hilang. Lalu
dalam waktu singkat semua teman sekelasku membenci
aku. Guruku melaporkan ulahku kepada kepala sekolah,
yang kemudian meneruskan laporan itu kepada Ibu. Begitu
seterusnya. Kepala sekolah melaporkan ulahku kepada Ibu,
lalu Ibu menambah jumlah pukulannya untukku sekaligus
mengurangi jatah makanku di rumah.
Setiap akhir minggu, sebagai hukuman atas perbuatanku
mencuri makanan, Ibu tidak memberiku makan. Pada hari
Minggu malam mulutku selalu berair setiap kali
merencanakan usaha pencurian yang tidak mungkin
ketahuan. Salah satu rencana itu adalah mencuri dari
wadah bekal makan murid-murid kelas lain, karena mereka
tidak begitu kenal aku. Setiap Senin pagi aku menghambur
keluar dari mobil Ibu, langsung menuju salah satu ruang
kelas satu yang bukan ruang kelasku untuk mencuri
makanan dari wadah makanan murid-murid kelas itu.
Sama seperti sebelumnya, usaha-usaha awal berhasil
mulus. Dan sama seperti sebelumnya, dalam waktu singkat
pun kepala sekolah tahu siapa pelaku pencurian-pencurian
itu. Di rumah, hukuman ganda-kelaparan karena tidak diberi
makan dan pukulan bertubi-tubi karena mencuri makanan
terus berlanjut. Sejak saat itu, aku bukan lagi anggota keluarga, aku tidak
diizinkan menggunakan semua fasilitas yang digunakan
keluarga. Aku tinggal di rumah itu, tetapi aku dianggap
bukan apa-apa. Ibu bahkan tidak lagi menggunakan
namaku; ia menggunakan sebutan "anak itu". Aku tidak
diizinkan makan bersama keluarga, tidak diizinkan bermain
dengan saudara-saudaraku, tidak diizinkan nonton televisi.
Aku dilarang masuk rumah kecuali disuruh. Aku tidak boleh
memandang atau berbicara dengan siapa pun.
Sepulang dari sekolah aku harus selalu mengerjakan
segala ma-cam pekerjaan rumah tangga atas perintah Ibu.
Ketika segala macam pekerjaan rumah tangga itu selesai,
aku langsung turun ke basement-di situ aku berdiri, siap
sedia setiap saat dipanggil untuk membereskan meja
makan setelah keluargaku selesai makan malam serta
mencuci semua piring dan gelas kotor. Aku sudah
diperingatkan dengan tegas bahwa kalau aku ketahuan
duduk atau berbaring di basement, maka aku akan
dihukum berat. Aku menjadi budak Ibu.
Tinggal Ayah satu-satunya harapanku, dan ia berusaha
sedapat mungkin menyelundupkan sisa-sisa makanan
untukku. Ayah mencoba membuat Ibu mabuk, dengan
harapan minuman beralkohol itu membuat suasana hati
Ibu senang. Ayah meminta Ibu untuk tetap memberiku
makan. Ayah bahkan berusaha membuat kesepakatan
dengan Ibu, bahwa ia akan memberi Ibu apa pun asalkan
Ibu mau bersepakat. Segala bentuk usaha Ayah sia-sia.
Ibu tetap bergeming. Kalaupun ada perubahan, itulah
keadaan mabuk, yang membuat Ibu semakin ganas. Ibu
jadi mirip monster. Aku tahu segala usaha Ayah untuk menolongku itu
mengakibatkan ketegangan antara dirinya dan Ibu. Cekcok
tengah malam mulai terjadi di antara mereka. Dari tempat
tidur, aku bisa mendengar mereka bicara semakin cepat
dengan nada semakin tinggi. Pasti mereka berdua sama-sama mabuk, dan aku bisa mendengar dari mulut Ibu
teriakan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan. Apa
pun masalah yang memicu pertengkaran di antara Ayah
dan Ibu, pada akhimya akulah yang mereka
pertengkarkan. Aku tahu Ayah mencoba menolong, namun tetap saja aku
ketakutan. Aku tahu Ayah pasti kalah, dan itu selalu
membuatku lebih menderita keesokan harinya. Saat
pertama kali orangtuaku cekcok, Ibu akan masuk mobil
dan mengemudinya dengan gila-gilaan. Lalu, tidak sampai
satu jam, ia sudah kembali ke rumah. Esok harinya mereka
berdua bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Aku selalu merasa amat berterima kasih setiap kali Ayah
bisa menemukan alasan untuk pergi ke basement dan
menyelundupkan sepotong roti untukku. Ia selalu berjanji
padaku untuk selalu berusaha.
Sikap Ayah berubah ketika cekcok antara dirinya dan Ibu
semakin sering. Setiap kali habis cekcok di tengah malam,
Ayah mengemas pakaiannya, lalu pergi ke tempat kerja,
dan tidak pulang selama beberapa hari. Setelah Ayah
pergi, Ibu dengan kasar menarikku dari tempat tidur,
menyeretku ke dapur. Sementara aku berdiri dengan
ketakutan dan masih mengenakan piyama, Ibu
memukuliku bertubi-tubi. Salah satu caraku untuk
bertahan adalah menjatuhkan diri ke lantai seolah-olah aku
tidak lagi kuat berdiri. Cara itu berhasil, tapi tidak lama.
Ibu selalu menarik kedua kupingku agar aku berdiri, lalu
berteriak di wajahku selama beberapa menit. Selalu begitu,
dan setiap kali napasnya berbau bourbon. Pada malam-malam terse
but, masalahnya selalu sama: Aku merupakan
alasan yang menyebabkan Ibu dan Ayah bertengkar.
Kadang aku merasa begitu letih, sehingga kaki-kakiku
terasa gemetaran. Pelarianku hanya menatap lantai dan
berharap Ibu akan segera mengakhiri penyiksaannya.
Ketika aku naik ke kelas dua, Ibu mengandung anaknya
yang keempat. Guruku, Miss Moss, semakin hari semakin
menaruh perhatian khusus atas diriku. Awalnya Miss Moss
bertanya mengapa aku kurang memperhatikan pelajaran di
kelas. Aku berbohong. Aku mengatakan kalau aku nonton
televisi sampai larut malam. Kebohonganku kurang
meyakinkan. Guruku terus bertanya mengapa aku sering
mengantuk di kelas, bahkan menanyakan juga soal kondisi
bajuku dan luka-luka serta memar-memar di sekujur
tubuhku. Ibu sudah mengajari aku bagaimana harus
menjawab pertanyaan seperti itu, maka aku tinggal
mengatakan apa yang diajarkan Ibu itu kepada guruku.
Beberapa bulan kemudian perhatian Miss Moss terhadap
diriku justru semakin besar. Akhirnya pada suatu hari ia
memutuskan untuk melaporkan keprihatinannya atas diriku
kepada kepala sekolah. Pak kepala sekolah tahu bahwa
akulah si pencuri makanan, maka ia memanggil Ibu.
Sesampainya aku di rumah hari itu, situasinya bagiku
bagai ada orang yang baru saja menjatuhkan bom atom di
situ. Ibu jadi lebih kejam lagi. Dalam kemarahannya yang
meledak, Ibu berkata bahwa ada seorang guru "Hippie"
yang menuduhnya menyiksa anak sendiri. Ibu berkata
bahwa esok harinya ia bermaksud bertemu Pak kepala
sekolah untuk menjelaskan tuduhan-tuduhan yang keliru
atas dirinya itu. Pada hari itu, ketika Ibu selesai dengan


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luapan kemarahannya, hidungku dua kali berdarah dan
satu gigiku tanggal. Siang keesokan harinya, sepulang sekolah, aku lihat Ibu
tersenyum-senyum, seolah-olah ia menang undian. Ibu
bercerita padaku bagaimana ia berdandan rapi untuk
bertemu Pak kepala sekolah, dan ia menggendong bayi
Russell pada saat pertemuan itu. Ibu menceritakan
penjelasannya kepada Pak kepala sekolah bahwa David
adalah anak yang daya khayalnya sangat besar,
bagaimana David sering kali melukai dirinya sendiri untuk
menarik perhatian orang sejak adiknya yang bemama
Russell lahir. Bisa kubayangkan bagaimana Ibu memperlihatkan sikap
lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap Russell
untuk merebut hati Pak kepala sekolah. Di akhir pertemuan
tersebut, Ibu berkata kepada Pak kepala sekolah bahwa ia
sangat senang bisa bekerja sama dengan pihak sekolah.
Ibu juga menambahkan bahwa pihak sekolah bisa
meneleponnya kapan saja setiap kali David berulah. Ibu
berkata bahwa staf sekolah pun sudah diberitahu untuk
tidak menggubris ceritaku yang ngawur tentang anak yang
sering dipukuli oleh ibunya dan tidak diberi makan. Berdiri
di pojok dapur pada hari itu, mendengarkan bualan Ibu
kepada Pak kepala sekolah membuat diriku merasa hancur
dan merana. Dari sikapnya saat menceritakan pertemuannya dengan
Pak kepala sekolah, aku bisa merasakan betapa rasa
percaya diri Ibu semakin besar, dan itu kurasakan sebagai
ancaman bagi hidupku. Ingin rasanya aku bisa menghilang,
dan pergi untuk selamanya. Ingin rasanya aku tidak lagi
pernah berhadapan dengan manusia.
Pada musim panas tahun itu, keluarga kami berlibur ke
Russian River. Sekalipun hubunganku dengan Ibu baik-baik
saja pada saat liburan itu, perasaan takjub sekaligus
hormat kepada Ibu yang dulu selalu muncul dalam diriku
setiap kali berlibur, hilang sudah. Bermobil keliling tempat
liburan dengan riang gembira bersama keluarga,
menikmati sosis frankfurter panggang, dan mendongeng,
semua itu tinggal kenangan. Kami lebih sering tinggal
dalam cabin. Bahkan kami jadi jarang sekali menikmati
Johnson's Beach, padahal dulu itu kami lakukan setiap hari
pada saat berlibur. Ayah mencoba membuat suasana liburan itu lebih
menyenangkan dengan mengajak kami bertiga ke tempat
bermain prosotan yang baru di situ. Russell, yang ketika
itu baru belajar berjalan, tinggal di cabin bersama Ibu.
Pada suatu hari, ketika Ron, Stan, dan aku sedang bermain
di cabin tetangga, Ibu datang ke halaman depan cabin
tetangga itu, lalu berteriak memanggil kami untuk segera
kembali ke cabin kami. Begitu s
ampai di cabin kami, aku dimarahi Ibu karena, katanya, suaraku berisik sekali ketika
bermain. Sebagai hukuman, aku tidak diizinkan ikut
bersama Ayah dan kedua saudara laki-lakiku bermain di
tempat prosotan. Aku duduk di sebuah kursi di pojok
dalam cabin. Aku gemetar karena takut, dan dalam hati
aku berharap terjadi sesuatu yang membuat Ayah dan
kedua saudara laki-lakiku tidak jadi pergi ke mana-mana.
Aku tahu Ibu diam-diam punya suatu rencana. Begitu Ayah
dan kedua saudaraku berangkat bermain, Ibu
mengeluarkan sebuah popok yang sudah kotor oleh
kotoran serta air kencing Russell. Ibu mengusapkan popok
kotor itu ke wajahku. Aku ber-usaha tetap duduk diam,
sebab aku tahu kalau aku bergerak, aku akan mendapat
perlakuan yang lebih buruk lagi. Wajahku tetap
kutundukkan. Aku tidak bisa melihat Ibu yang berdiri di
depanku, tetapi aku bisa mendengar desah napasnya yang
berat. Setelah memperlakukan aku seperti itu-yang bagiku
rasanya lama sekali-Ibu berlutut di sebelah kursi
tempatku duduk, lalu dengan suara pelan ia berkata,
"Makan ini". Aku terkejut. Kutegakkan kepalaku, tapi tak kupandang
mata Ibuku. "Tidak mau!" kataku dalam hati. Seperti
semua kejadian sebelumnya, menolak perintah Ibu berarti
kesalahan besar. Ibu menempelengi aku. Dengan erat
kupegang kursi tempatku duduk, berusaha untuk tidak
jatuh, sebab bila aku jatuh aku takut Ibu akan
menginjakku. "Kubilang makan ini!"' bentaknya dengan suara tertahan.
Taktik kuubah: aku mulai menangis. "Bikin dia
mengendur", pikirku. Aku mulai menghitung dalam hati,
mencoba berkonsentrasi. Waktu adalah satu-satunya
kawanku. Tangisanku ditanggapi Ibu dengan pukulan-pukulannya ke wajahku, dan ia baru berhenti memukulku
saat ia mendengar Russell menangis.
Aku merasa senang meskipun wajahku berlepotan kotoran.
Kupikir, aku bisa menang. Kubersihkan kotoran di wajahku
dengan tangan, lalu mengibaskannya sehingga berceceran
di lantai kayu. Kudengar Ibu bernyanyi lembut untuk
menenangkan Russell, dan aku membayangkan adikku itu
ditimang-timang dalam pelukan Ibu. Aku berdoa supaya
adikku itu tidak tertidur lagi. Sebentar kemudian nasib
baikku lenyap. Masih dengan wajah tersenyum, Ibu kembali menghampiri
lawannya yang sudah kalah. Ia mencekal kerah belakang
bajuku, lalu menyeretku ke dapur. Di atas meja dapur
kulihat satu lagi popok yang penuh kotoran. Baunya
membuat perutku mual. "Nah, sekarang kau harus
memakannya!" kata Ibu. Pada saat itu sorot mata Ibu
sama dengan sorot matanya dulu ketika ia mau
membakarku di atas kompor gas di rumah. Tanpa
menggerakkan kepala, mataku mencari-cari jam dinding
sebab setahuku ada jam di dinding dapur itu. Tak berapa
lama, aku tahu letak jam dinding itu. Tanpa jam itu, aku
merasa tak berdaya. Aku tahu bahwa aku harus
memusatkan perhatianku pada sesuatu agar
bagaimanapun juga aku bisa menguasai situasi. Sebelum
mataku menemukan jam dinding itu, tangan Ibu
mencengkeram tengkukku. Sekali lagi ia berkata, "Makan ini!" Kutahan napasku. Bau
sekali kotoran itu. Aku mencoba memusatkan perhatianku
ke bagian atas popok yang ada di hadapanku. Rasanya
lama sekali waktu berlalu. Ibu pasti bisa menebak
rencanaku. Ibu menekan tengkukku sehingga wajahku
jatuh di atas popok kotor itu. Ibu menggesek-gesekkan
kepalaku ke kiri ke kanan di atas popok kotor itu.
Aku sudah bersiap diri. Ketika kepalaku ditekan ke bawah,
kututup mataku erat-erat, dan kututup mulutku erat-erat.
Hidungku yang terlebih dulu menyentuh popok kotor itu.
Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari
hidungku. Kucoba menahan darah yang mengalir dari
hidungku dengan menarik napas. Ketika itu kulakukan, ada
kotoran yang ikut masuk ke hidung bersama darah dan
napas yang kutarik. Kucoba menahan dorongan Ibu
dengan menekankan tanganku ke pinggiran meja dan
meronta ke kiri ke kanan. Tapi Ibu terlalu kuat bagiku.
Tiba-tiba saja Ibu melepaskan aku.
"Mereka pulang! Mereka pulang!" katanya terkesiap. Ibu
menyambar kain lap, dan melemparkannya kepadaku.
"Bersihkan wajahmu", Ibu memerintah dengan suara
pelan, sambil mengelap kotoran berwama cokelat dari
meja. Kubersihkan wajahku sebersih mungkin tapi tidak bisa
segera mengeluarkan kotoran yang masuk ke hidungku.
Tak lama kemudian Ibu menutup hidungku yang berdarah
dengan serbet dan menyuruhku duduk di pojok ruangan.
Aku duduk terus di situ sepanjang sore dan malam itu.
Masih tercium olehku bau kotoran yang masuk ke
hidungku. Keluarga ini tak pernah lagi ke Russian River.
Pada bulan September aku masuk sekolah lagi dengan
pakaian yang kukenakan sepanjang tahun lalu dan wadah
bekal makan siang berwama hijau yang sudah rombeng.
Aku adalah anak yang sungguh memalukan. Setiap hari
Ibu membekali aku menu makan siang yang itu-itu juga:
dua tangkup roti isi selai kacang dan beberapa potong
wortel. Karena bukan lagi anggota keluarga ini, aku tidak
diizinkan ikut station wagon keluarga ke sekolah. Ibu
menyuruhku berlari ke sekolah. Ia tahu bahwa aku jadi
tidak punya waktu untuk mencuri makanan milik teman-teman sekelasku.
Di sekolah tak seorang murid pun mau berteman atau
berurusan denganku. Di saat istirahat makan siang, ketika
aku memakan roti isi selai kacang bekalku, kudengar
teman-temanku menyanyikan lagu-lagu ejekan. Yang
paling sering aku dengar begini: "David the Food Thier
David si Pencuri Makanan, dan "Pelzer-Smellzer"-Pelzer si
Bau. Tak seorang murid pun mau ngobrol atau bermain
bersamaku. Aku merasa sendirian.
Di rumah, sambil berdiri berjam-jam di basement, waktuku
habis untuk mencari-cari cara mendapat makanan. Kadang
kala Ayah mencoba menyelundupkan sisa-sisa makanan
untukku, tapi itu jarang berhasil. Aku jadi yakin bahwa
kalau mau bisa hidup terus aku harus mengandalkan diriku
sendiri. Habis-habisan sudah aku mencoba segala cara
untuk mendapat makanan di sekolah. Semua murid
menyembunyikan wadah bekal makan siang mereka, atau
menguncinya di dalam lemari kelas. Semua guru dan Pak
kepala sekolah tahu siapa aku, dan mereka mengawasi aku
dengan ketat. Boleh dibilang tak ada lagi kesempatan
bagiku untuk mencuri makanan di sekolah.
Akhimya aku merancang suatu cara yang mungkin akan
berhasil. Semua murid tidak diizinkan meninggalkan
tempat bermain pada saat istirahat makan siang. Itu
berarti tidak seorang murid pun akan mengira bahwa aku
akan pergi dari situ. Rencanaku begini: aku pergi diam-diam dari tempat bermain, lalu lari ke toko penjual
makanan dekat sekolah, lalu di toko itu aku akan mencuri
kue, roti, chips, atau apa saja yang bisa kucuri. Dalam
angan-anganku, rencana itu sudah aku pertimbangkan
masak-masak. Esok paginya, kuhitung jumlah langkahku
ketika berlari dari rumah ke sekolah supaya nanti bisa
kujadikan hitungan pada saat berlari ke toko yang kutuju.
Beberapa minggu kemudian, aku sudah mendapat semua
hal yang perlu kuperhitungkan. Satu-satunya hal yang
rasanya belum aku miliki adalah keberanian untuk
mencoba melakukan rencana itu. Aku tahu aku butuh
waktu lebih banyak untuk menempuh jarak dari sekolah ke
toko yang kutuju karena jalannya menanjak, jadi aku
menyediakan waktu 15 menit. Perjalanan sebaliknya-dari
toko ke sekolah-lebih gampang, jadi aku menyediakan
waktu 10 menit. Semua itu berarti aku cuma punya waktu
10 menit di toko itu. Setiap hari, saat berlari ke sekolah dan pulang dari
sekolah, aku selalu berusaha berlari lebih cepat dan lebih
cepat lagi, memompakan tenaga ke setiap langkahku
seolah-olah aku ini pelari maraton. Hari-hari berlalu dan
rencanaku semakin bulat, rasa laparku pun berubah
menjadi mimpi di siang bolong. Khayalanku muncul setiap
kali aku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sambil
menggosok lantai kamar mandi, aku mengkhayalkan diriku
sebagai pangeran dalam kisah The Prince and the Pauper.
Sebagai pangeran, aku tahu aku bisa menghentikan
peranku yang mirip pembantu rumah tangga kapan pun
aku mau. Di basement aku berdiri tegak dengan mata
tertutup, membayangkan diriku adalah pahlawan dalam
cerita komik. Tetapi khayalanku selalu terputus oleh rasa
amat lapar yang tiba-tiba menyerang, dan pikiranku
kembali lagi kepada rencana mencuri makanan.
Sekalipun yakin bahwa rencanaku tak akan ketahuan, aku
takut sekali melakukannya. Selama beberapa kali istirahat
makan siang kucoba mengumpulkan keberanian untuk
melaksanakan rencanaku, tetapi selalu gaga
l. Selalu saja ada yang berkata dalam diriku bahwa aku pasti tertangkap
atau perhitungan waktuku tidak tepat. Setiap kali terjadi
kebimbangan seperti itu dalam diriku, perutku berkeriuk-keriuk terus, seakan-akan mengatai aku "pengecut".
Akhimya, setelah beberapa hari lagi aku tidak juga diberi
makan malam dan perutku hanya terisi oleh sedikit saja
sisa sarapan, aku memutuskan untuk melaksanakan
rencanaku. Beberapa saat setelah bel istirahat makan
siang berbunyi, aku lari secepat kilat sepanjang jalan
menuju toko-jantungku berdebar cepat, paru-paruku
serasa pecah karena kekurangan udara. Temyata waktu
yang kuperlukan untuk sampai ke toko itu hanya setengah
dari waktu yang kuperhitungkan. Waktu aku berjalan di
antara rak-rak di toko itu, rasanya semua orang
memandangi aku. Dalam pikiranku, orang-orang itu
sedang membicarakan seorang anak yang bau dan
penampilannya kumuh. Saat itulah aku langsung sadar
bahwa niatku mencuri di toko itu pasti gagal sebab aku
tidak memperhitungkan penampilanku. Semakin aku
mencemaskan penampilanku, semakin perutku serasa
terpilin oleh rasa takut. Sikapku malah jadi kaku, tak tahu
apa yang harus kulakukan. Aku tak lagi bisa memusatkan
perhatian pada waktu. Yang aku pikirkan cuma saat-saat
ketika aku kelaparan. Mendadak, tanpa berpikir apa pun,
kusambar barang pertama yang kulihat di rak di dekatku,
dan langsung berlari keluar toko, berlari sekencang
mungkin ke sekolah. Di tanganku ada sekotak graham
crackers, yang kugenggam erat-erat.
Sambil berjalan melalui halaman sekolah, kusembunyikan
sebungkus kue itu di balik bajuku, di bagian yang tidak ada
lubangnya. Kemudian kue itu kupindahkan ke keranjang
sampah di dekat kamar kecil, kusembunyikan di situ, di
bawah tumpukan sampah. Setelah agak sore aku minta
izin kepada guruku untuk pergi ke kamar kecil. Niatku
adalah menikmati kue yang tadi aku curi. Hampir tak tahan
aku untuk langsung menikmatinya. Temyata keranjang
sampah itu sudah kosong penjaga kebersihan sekolah
sudah mengosongkan tempat sampah itu. Sia-sia sudah
kerja kerasku selama ini.


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari itu aku gagal, tetapi beberapa kali usahaku di
kemudian hari berhasil. Sampai pada suatu hari,
kusembunyikan hasil kerja kerasku di sebuah meja di
ruang absensi, dan keesokan harinya aku dipindahkan ke
sekolah lain. Dipindahkan ke sekolah lain tidak membuatku kecewa,
tetapi kehilangan makanan yang berhasil kucuri
membuatku merana. Pindah sekolah berarti kesempatan
baru untuk bisa mencuri makanan dari bekal teman-teman
sekelasku yang baru. Bukan cuma itu, kegiatan mencuri
makanan di toko tetap bisa kulakukan seminggu sekali.
Ketika berada dalam toko, kalau suasananya membuat
perasaanku tidak enak, aku tidak mencuri apa pun.
Bagaimanapun, seperti biasanya, pada akhirnya aku toh
tertangkap basah juga. Pemilik toko memanggil Ibu. Di
rumah, aku dipukuli habis-habisan. Ibu, juga Ayah, tahu
mengapa aku mencuri makanan, tetapi Ibu tetap tidak
memberiku makan. Semakin besar doronganku untuk
makan, semakin keras usahaku untuk mencuri makanan
dengan rencana yang lebih matang lagi.
Sehabis makan malam, Ibu biasa membuang sisa-sisa
makanan ke dalam sebuah tempat sampah kecil. Kemudian
ia memanggilku ke atas-selama keluarga ini makan
malam, aku berdiri di basement, menunggu dipanggil
untuk mencuci piring gelas dan membersihkan ruang
makan. Sambil mencuci piring gelas, aku bisa mencium
bau sisa-sisa makan malam di tempat sampah kecil itu.
Ketika ide itu muncul untuk pertama kalinya, aku merasa
mual. Tetapi semakin lama kupikirkan, sepertinya tidak
apa-apa juga kalau kulakukan. Cuma itulah satu-satunya
harapanku untuk mendapat makanan. Kuselesaikan tugas
mencuci piring gelas itu secepat mungkin, lalu membuang
sampah ke tong sampah di depan garasi. Saat melihat sisa
makanan di tempat sampah kecil itu, mulutku berliur.
Sambil membuang sobekan kertas atau puntung dan abu
rokok, dengan hati-hati kupungut sisa makanan yang
kelihatannya masih bagus, lalu kulahap dengan cepat.
Seperti biasanya, rencana baruku untuk mencuri makanan
kandas karena Ibu selalu bisa mengetahuinya. Selama
beberapa minggu, aku tidak memakan sisa-sis
a makanan yang sudah dibuang di tempat sampah. Tetapi ketika
perutku terasa amat sakit karena kelaparan, aku pun mulai
lagi mengais-ngais sisa makanan di tempat sampah itu.
Pemah aku melahap sisa daging dari tempat sampah itu.
Beberapa jam kemudian aku terbungkuk-bungkuk karena
perutku sakit sekali. Selama seminggu aku terserang diare. Waktu aku sakit itu,
Ibu memberitahu aku bahwa ia sengaja menyimpan daging
itu selama dua minggu di lemari es, bukan di freezer,
sehingga daging itu membusuk. Ibu lalu membuangnya ke
tempat sampah, karena ia tahu persis aku pasti akan
memungutnya. Untuk selanjutnya, Ibu selalu menyuruhku
membawa tempat sampah itu kepadanya.
Sambil tiduran di sofa, Ibu memeriksa tempat sampah itu
sebelum aku membuang isinya. Ibu tidak pemah tahu
bahwa sisa-sisa makanan sudah aku bungkus dengan
kertas sedemikan rupa dan aku benamkan ke bawah
tumpukan sampah. Aku yakin Ibu tak akan sudi jari-jari tangannya jadi kotor
karena harus mengaisngais sampah sampai ke tumpukan
bawah. Maka, untuk beberapa waktu lamanya usahaku itu
berhasil. Tampaknya Ibu tahu bahwa dengan cara tertentu
aku bisa memperoleh makanan, maka ia menyiramkan
amonia ke dalam keranjang sampah. Setelah itu aku tidak
lagi mengais sisa makanan dari keranjang sampah rumah,
dan mulai memikirkan cara baru untuk memperoleh
makanan di sekolah. Setelah ketahuan mencuri makanan
dari wadah bekal makan siang murid-murid lain, ideku
selanjutnya adalah mencuri makan siang beku di kantin.
Aku mengatur waktu sedemikian rupa, sehingga sesaat
setelah mobil pengantar persediaan makan siang yang
dibekukan selesai menurunkan antarannya di kantin, pada
saat itulah aku minta izin guruku untuk buang air kecil.
Aku mengendap-endap menuju kantin, menyambar
beberapa bungkus makanan beku, lalu secepat kilat masuk
ke kamar kecil. Aku sendirian di situ. Kulahap makanan
dingin yang kudapat dengan begitu tergesa-gesa, sehingga
nyaris aku tersedak. Setelah perutku terisi, aku kembali ke
kelas dengan perasaan bangga: aku bisa memberi makan
diriku sendiri. Saat berlari pulang, satu-satunya yang kupikirkan adalah
mencuri makanan dari kantin esok harinya. Beberapa
menit kemudian, Ibu mengubah niatku itu. Ia menarikku
ke kamar mandi lalu meninju perutku begitu kerasnya
sampai-sampai aku terbungkuk. Sambil menyeretku dan
menghadapkan wajahku ke toilet, Ibu menyuruhku
menyodokkan jariku ke tenggorokanku. Aku meronta.
Kucoba siasatku, yakni mulai menghitung, ketika wajahku
mengarah ke lubang toilet, "Satu... dua..." Tidak sampai
tiga. Ibu memasukkan jari-jari tangannya ke mulutku,
seolah-olah ia mau menarik perutku keluar dari
tenggorokanku. Aku meronta-ronta tak karuan. Akhimya
Ibu melepaskan aku, tetapi dengan satu-satunya syarat:
aku mau memuntahkan isi perutku di hadapannya.
Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kupejamkan
mata ketika gumpalan-gumpalan daging berwama merah
meluncur dari tenggorokanku ke toilet. Ibu cuma berdiri di
belakangku, berkacak pinggang, dan berkata, "Sudah
kuduga. Ayahmu harus tahu ini!" Badanku menegang,
bersiap-siap menerima pukulan-pukulan Ibu yang pasti
datang, tetapi temyata tidak terjadi apa-apa. Beberapa
detik kemudian, aku berpaling. Ibu sudah tidak ada di situ.
Tapi aku tahu, semua ini belum selesai. Tak berapa lama
kemudian Ibu masuk lagi ke kamar mandi, membawa
sebuah mangkuk kecil, lalu menyuruhku memungut
makanan yang baru sempat tercerna sebagian, yang tadi
kumuntahkan ke dalam toilet, untuk ditaruh di mangkuk
yang ia bawa. Karena ketika peristiwa itu terjadi Ayah
sedang pergi keluar rumah untuk suatu keperluan, Ibu
merasa perlu mengumpulkan bukti untuk diperlihatkan
kepada Ayah ketika ia sampai di rumah nanti.
Pada malam itu juga, setelah aku selesai mengerjakan
semua pekerjaan rumah tangga, Ibu menyuruhku berdiri
dekat meja dapur sementara ia dan Ayah berbicara di
kamar tidur. Mangkuk berisi sisa-sisa hot dog yang tadi
kumuntahkan ke toilet ditaruh di depanku. Aku tak tahan
melihatnya, jadi kupejamkan mataku dan berusaha
membayangkan diriku tidak di rumah ini. Tidak lama
kemudian Ibu dan Ayah bergegas ke dapur. "Lihat ini,
Steve", ka ta Ibu dengan nada tinggi, sambil menunjuk ke
mangkuk di depanku. "Kau mengira anak ini sudah
berhenti mencuri, bukan""
Dari raut wajah Ayah, aku bisa bilang bahwa ia sudah tidak
tahan lagi dengan laporan "Lihat apa yang dilakukan anak
ini sekarang" yang tak habis-habisnya. Sambil memandang
ke arahku, Ayah menggeleng tak setuju dan seperti
kehabisan akal ia berkata, "Roerva, kalau begitu kau
tinggal memberi anak ini sesuatu yang bisa dimakan,
bukan"" Cekcok kata-kata yang semakin meninggi berlangsung di
depanku dan, seperti biasa, Ibu menang. "MAKAN" Kau
ingin anak ini makan, Stephen" Boleh, anak ini akan
MAKAN! Dia bisa makan ini!" Ibu mengatakan itu dengan
berteriak sambil menunjuk ke mangkuk di depanku, lalu
bergegas ke kamar tidur. Lalu dapur menjadi sepi sekali, sampai-sampai aku bisa
mendengar napas Ayah yang tertahan. Dengan lembut
dipegangnya bahuku dan berkata, "Tunggu di sini, Tiger.
Aku akan coba membantumu". Beberapa menit kemudian
ia kembali ke dapur, setelah mencoba membujuk Ibu untuk
membatalkan tuntutannya. Wajah Ayah tampak semakin
muram, dan aku langsung tahu siapa yang menang.
Aku duduk di kursi. Lalu, dengan tangan, kuambil
muntahan "hot dog" dari mangkuk itu. Tetesan kental
ludah jatuh dari antara jari-jari tanganku ketika aku
menyuapkan muntahan hot dog itu ke mulutku. Sewaktu
mencoba menelan muntahan itu, aku menangis lirih. Aku
berpaling pada Ayah, yang berdiri sambil memandangiku
dan memegang segelas minuman. Ia menganggukkan
kepalanya, menyuruhku menghabiskan isi mangkuk itu.
Aku tidak percaya Ayah berdiri saja di situ sementara aku
memakan isi mangkuk yang menjijikkan itu. Saat itulah
aku menyadari hubungan aku dan Ayah yang semakin
lama semakin jauh. Aku mencoba menelan muntahan itu tanpa merasakannya.
Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram tengkukku.
"Kunyah!" Ibu memerintah sambil menggeram. "Makan!
Habiskan semua!" katanya sambil menunjuk ke ludah
kental di mangkuk dan tanganku. Badanku semakin
mengerut di kursi yang kududuki. Air mata mengalir deras
ke pipiku. Setelah semua isi mangkuk itu masuk ke
mulutku, aku berusaha keras untuk menelannya. Lalu aku
masih harus berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan
agar apa yang sudah kutelan tidak lagi keluar dari
tenggorokanku. Tak sekejap pun kubuka mataku sampai
aku benar-benar yakin bahwa perutku tidak menolak
"makanan kantin" itu. Ketika aku benar-benar membuka
mataku, kupandangi lagi Ayah. Orang yang dulu
membantuku, kini cuma berdiri mematung sambil melihat
anaknya makan sesuatu yang anjingpun tak sudi
memakannya. Setelah kujalani hukuman menghabiskan muntahan hot
dog itu, Ibu, yang mengenakan jubah tidur, masuk lagi ke
dapur dan melemparkan setumpuk koran bekas kepadaku.
Ia memberitahu aku bahwa koran-koran bekas itu adalah
selimut tidurku, dan lantai di bawah meja dapur adalah
tempat tidurku mulai malam itu. Lagi, kupandang Ayah
sepintas-ia bersikap seolah-olah aku tidak ada di situ. Aku
merangkak ke bawah meja dapur, tidur meringkuk dengan
pakaian yang kupakai sekolah, menyelimuti badanku
dengan koran bekas rasanya aku ini tikus dalam kurungan.
Kupaksakan diriku untuk tidak menangis di hadapan Ibu
dan Ayah. Berbulan-bulan aku tidur di bawah meja, di sebelah tempat
tidur kucing peliharaan keluarga ini. Temyata koran-koran
bekas itu berguna juga sebagai selimut sebab kertasnya
menahan panas tubuhku, sehingga aku merasa tetap
hangat. Sampai akhimya Ibu berkata padaku bahwa aku
tidak lagi pantas tidur di dalam rumah, maka aku disuruh
pergi ke basement. Tempat tidurku ganti lagi-sebuah
dipan lipat berkain tua yang biasa dipakai tentara. Supaya
tetap hangat, aku mencoba mendekatkan kepalaku ke gas
heater. Namun setelah kedinginan beberapa malam,
temyata menjaga tubuh agar tetap hangat adalah
berbaring meringkuk, dengan telapak tangan diselipkan di
bawah ketiak dan melipat kaki sehingga telapak kaki
menempel ke pantat. Kadang kala aku terbangun di tengah
malam, lalu mencoba membayangkan bahwa aku ini
benar-benar manusia yang sedang tidur dengan selimut
elektrik yang hangat dan yakin bahwa aku baik-baik saja
karena ada orang yang mencintai aku. Angan
-anganku itu berhasil, tapi hanya untuk waktu sebentar saja, sebab
malam yang begitu dingin selalu membawaku kembali
kepada kenyataan. Aku tahu tak seorang pun bisa
membantuku guru-guruku tidak, saudara-saudara
kandungku tidak, bahkan Ayah pun tidak. Aku sendirian,
dan setiap malam aku berdoa memohon Tuhan
menganugerahi aku kekuatan lahir batin. Di basement
yang gelap pekat, aku berbaring di dipan lipat berkain tua,
menggigil kedinginan sampai akhimya jatuh ke dalam tidur
yang melelahkan. Suatu ketika, dalam angan-anganku di tengah malam itu,
muncul gagasan untuk mengemis makanan dalam
perjalanan ke sekolah. Sekalipun Ibu terus memintaku
"untuk muntah" setiap sore sepulangku dari sekolah, aku
pikir makanan yang kutelan pada pagi hari tentunya sudah
tercema dengan baik. Maka, begitu mulai berlari ke
sekolah, aku berlari lebih cepat lagi daripada biasanya
supaya aku punya waktu lebih untuk "mengemis
makanan". Rute perjalananku ke sekolah berubah, karena aku harus
memilih rumah atau tempat yang menurutku bisa kumintai
sedekah makanan. Biasanya aku akan bertanya kepada
setiap wanita yang membuka pintu rumahnya apakah
mereka kebetulan melihat atau menemukan wadah bekal
makan siang di dekat situ. Kebanyakan usahaku itu
berhasil. Dari cara para wanita itu memperhatikanku, aku
bisa bilang bahwa mereka merasa kasihan padaku. Demi
menjaga agar orang-orang yang kumintai sedekah tidak
tahu siapa diriku sebenamya, aku memakai nama palsu.
Selama beberapa minggu usahaku berhasil, sampai pada
suatu hari aku mendatangi sebuah rumah yang pemiliknya
temyata kenalan Ibu. Bualanku, "Aku kehilangan bekal
makan siangku. Maukah ibu memberiku penggantinya"",
yang selama ini selalu terbukti ampuh, hancur berantakan.
Bahkan sebelum meninggalkan pekarangan rumahnya, aku
tahu ia akan menelepon Ibu.
Pada hari itu di sekolah aku berdoa agar dunia ini hancur.
Di kelas, dalam kegelisahan karena rasa takut, aku tahu
Ibu sedang berbaring di sofa, nonton televisi, dan semakin
mabuk, sambil memikirkan sebuah tindakan yang akan
dijatuhkannya atas diriku begitu aku sampai di rumah-nya
dari sekolah. Saat berlari pulang dari sekolah sore itu,
kedua kakiku terasa berat, seperti diikat pada bongkahan
semen beton. Dalam setiap langkah, aku berdoa agar
kenalan Ibu tadi pagi tidak menelepon Ibu, atau ragu-ragu
bahwa yang ia lihat tadi pagi bisa jadi anak lain yang mirip


A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku. Langit di atas kepalaku biru, dan aku bisa merasakan
hangatnya sinar matahari di punggungku. Begitu sampai di
rumah Ibu, aku menengadah lagi untuk melihat matahari,
sambil bertanya-tanya dalam hati apakah aku masih bisa
melihatnya lagi kapan-kapan.
Perlahan-lahan kubuka pintu depan, melongok ke dalam,
baru masuk, dan langsung menuruni tangga ke basement.
Aku sudah membayangkan Ibu bergegas ke basement, lalu
memukuliku di situ. Tapi Ibu tidak muncul. Setelah
mengganti pakaian sekolah dengan pakaian kerja, pelan-pelan aku naik ke dapur, lalu mencuci semua peralatan
makan yang kotor. Karena tidak tahu di mana kira-kira Ibu
berada, telingaku dengan sendirinya berfungsi sebagai
antene radar yang mencoba menemukan keberadaan Ibu.
Selama mencuci peralatan yang kotor itu, bulu kudukku
berdiri. Tanganku gemetar. Aku tidak bisa berkonsentrasi
pada pekerjaanku. Akhimya kudengar juga Ibu keluar dari
kamamya, berjalan melalui ruang tengah, menuju dapur.
Kualihkan pandanganku ke luar jendela, sepintas saja. Bisa
kudengar tawa dan jeritan senang anak-anak yang sedang
bermain. Kupejamkan mata sekejap sambil berkhayal aku
sedang bermain bersama anakanak itu. Muncul rasa
hangat dalam diriku. Aku tersenyum.
Jantungku serasa berhenti mendadak ketika kurasakan
napas Ibu di tengkukku. Piring yang sedang kupegang
terlepas, tapi aku sempat menangkapnya sebelum
menyentuh lantai. "Gesit juga kau ya"" desisnya. "Kau bisa
berlari cepat sehingga sempat mengemis makanan. Jadi...
kita akan lihat nanti segesit apa kau sebenarnya."
Dengan sendirinya aku menegangkan badanku, bersiap
menerima pukulan Ibu. Ternyata Ibu tidak memukul. Jadi
kupikir ia akan pergi dan nonton televisi lagi, tetapi
ternyata tidak juga. Ibu tetap berdi
ri amat dekat di belakangku, memperhatikan setiap tindakanku. Bisa
kulihat sosok Ibu dari pantulan kaca jendela. Ternyata Ibu
juga melihat ke arah arah yang sama, dan pantulannya
memperlihatkan ia tersenyum padaku. Hampir saja aku
kencing di celana. Selesai mencuci peralatan makan yang kotor, aku
membersihkan kamar mandi. Ibu duduk di tepi toilet,
sementara aku membersihkan bak mandi. Saat aku
menggosok lantai kamar mandi sambil merangkak, pelan-pelan Ibu berdiri di belakangku. Aku mengira ia akan
berjalan ke arah depan lalu menendang wajahku. Temyata
tidak. Selama mengerjakan tugasku, rasa penasaranku
semakin besar. Aku tahu Ibu pasti memukulku, tapi aku
tidak tahu bagaimana ia akan memukul, kapan, di mana.
Lama sekali rasanya membersihkan kamar mandi itu
sampai selesai. Ketika akhimya selesai juga tugas itu,
kedua kaki dan tanganku gemetar karena takut Ibu
menyerang secara tiba-tiba. Satu-satunya yang kupikirkan
saat itu hanya Ibu. Setiap saat punya keberanian, aku
berusaha melihat Ibu, yang membalas pandanganku
dengan senyum, dan berkata, "Lebih cepat lagi, young
man. Nanti kau harus bisa bergerak jauh lebih cepat lagi".
Sampai saat makan malam, tenagaku habis karena
menahan rasa takut. Hampir saja aku tertidur sambil
menunggu perintah Ibu untuk membereskan meja makan
dan mencuci peralatan makan yang kotor. Berdiri sendirian
di basement, perutku terasa tak karuan. Ingin sekali aku
berlari ke atas, mau memakai kamar mandi. Tapi tanpa
perintah Ibu, aku tak diizinkan melakukan apa pun-aku
seorang tahanan. "Mungkin begitulah rencana Ibu
untukku", begitu pikirku. "Mungkin Ibu ingin agar aku
meminum air kencingku sendiri". Pada mulanya, pikiran
seperti itu kurasakan kasar sekali.
Bagaimanapun, aku harus bersiap-siap menerima apa pun
yang akan diperbuat Ibu terhadapku. Semakin keras aku
menduga-duga apa yang bakal Ibu lakukan terhadapku,
semakin habis tenagaku. Tiba-tiba terbersit sesuatu di
otakku: aku tahu kenapa tadi Ibu mengikutiku terus. la
ingin aku terus-menerus merasa tertekan, dengan
membuat aku tidak bisa memperkirakan kapan atau di
mana ia akan menyerangku. Belum sempat aku
memikirkan suatu cara untuk mengalahkannya, Ibu
berteriak memanggilku ke atas. Di dapur Ibu berkata
padaku bahwa hanya kecepatan cahayalah yang bisa
menyelamatkan diriku, maka ia menyarankan agar aku
menyelesaikan tugasku mencuci peralatan makan yang
kotor secepat kilat. "Yang jelas," katanya mendesis, "tak
perlu kukatakan lagi padamu bahwa kau tak akan
mendapat makan malam, tapi jangan khawatir sebab aku
punya sesuatu untuk mengobati rasa laparmu".
Setelah tugasku malam itu selesai, Ibu menyuruhku
menunggu di basement. Aku berdiri dengan menempelkan
punggungku ke dinding yang keras, sambil mencoba
menerka rencana yang akan Ibu lakukan terhadapku. Aku
tak tahu. Keringat dingin membasahi tubuhku, seakan-akan merembes keluar dari tulang-tulangku. Aku merasa
begitu lelah, sampaisampai aku tertidur sambil berdiri.
Ketika kurasakan kepalaku lunglai ke depan, aku langsung
menegakkannya lagi, aku pun terbangun. Sekeras apa pun
usahaku untuk tidak tertidur, aku tak mampu menahan
kepalaku yang berayun-ayun naik turun seperti gabus di
air. Waktu itu aku merasakan jiwaku meninggalkan
badanku, dan aku merasa seperti melayang. Aku merasa
seringan kapas, sampai tiba-tiba kepalaku terjatuh lagi ke
depan, membuatku bangun. Lebih baik begitu daripada aku
terlelap. Karena kalau ketahuan aku tertidur bisa
mengakibatkan sesuatu yang mengerikan, maka kualihkan
perhatian dengan mendengarkan suara mobil yang lewat di
de-pan rumah atau melihat melalui jendela lampu merah
berkelap kelip dari pesawat terbang yang melintas di
langit. Dari lubuk hatiku, aku berharap seandainya saja
aku dapat terbang lepas. Beberapa jam kemudian, setelah Ron dan Stan tidur, Ibu
menyuruhku ke atas. Aku melangkah dengan rasa takut.
Aku tahu saatnya telah tiba. Ibu membuatku lelah lahir
batin. Aku tak tahu rencananya. Aku berharap Ibu
memukuliku sampai mati. Begitu pintu kubuka, ada rasa tenang dalam batinku.
Rumah dalam keadaan gelap, kecuali sebuah lampu saja
yang menyala di dapur. Aku b
isa melihat Ibu duduk di dekat meja makan. Aku berdiri terpaku. Ibu tersenyum.
Dari bahunya yang tampak merosot, aku tahu Ibu mabuk.
Anehnya, aku bisa tahu bahwa ia tidak akan memukuliku.
Aku tak bisa berpikir. Namun aku kembali gemetar ketika
Ibu berdiri dan berjalan ke arah bak cuci piring. Ia berlutut,
membuka lemari kecil di bawah bak cuci piring, lalu
mengeluarkan sebotol amonia. Aku tidak tahu apa yang
akan ia lakukan. Ia mengambil sendok makan, lalu
menuangkan cairan amonia ke sendok itu. Aku sedemikian
panik sampai tidak bisa berpikir-semakin keras usahaku
untuk berpikir, semakin buntu otakku terasa.
Dengan sendok berisi cairan amonia di tangannya, Ibu
berjalan mendekati aku. Ada sedikit cairan amonia yang
tumpah dari sendok, jatuh ke lantai. Aku mundur perlahan,
sampai kepalaku membentur pinggiran kompor. Dalam
hati, aku nyaris tertawa. "Cuma segitu" Cuma segitu itu"
Dia Cuma ingin aku meminum cairan itu"" aku berkata
dalam hati. Aku tidak merasa takut. Aku sudah capai sekali. Aku cu-ma
bisa berpikir, "Ayolah kita mulai. Ayo kita mulai saja biar
lekas selesai". Ibu membungkuk, lalu sekali lagi ia berkata
bahwa hanya kecepatan yang dapat menyelamatkan aku.
Kucoba menebak teka-tekinya, tapi otakku serasa buntu.
Langsung kubuka mulutku, dan Ibu menyodokkan sendok
tadi jauh ke dalam mulutku. Sekali lagi aku berkata pada
diriku sendiri bahwa semua ini tidak seberapa. Tetapi tak
lama kemudian aku tidak bisa bernapas. Tenggorokanku
tercekik. Aku terhuyung-huyung di hadapan Ibu. Mataku
seperti mau copot dari tengkorakku. Aku jatuh ke lantai
dalam posisi merangkak. "Bubble!" otakku menjerit.
Kuentak-entakkan tanganku ke lantai sekuat tenaga,
mencoba menelan dan mencoba berkonsentrasi pada
gelembung udara yang menyekat batang kerongkonganku.
Aku jadi begitu ketakutan. Aku menangis karena panik.
Tak lama kemudian kurasakan kekuatan pukulan kepalan
tanganku melemah. Aku mencakar-cakar lantai. Mataku
membelalak ke lantai. Berbagai wama tampak berjalan-jalan bersamaan. Aku mulai merasa terapung-apung. Aku
tahu aku akan mati. Aku tersadar kembali. Kurasakan Ibu menepuk-nepuk
keras punggungku. Tepukan Ibu yang begitu keras
membuat aku bersendawa, lalu aku pun bisa bemapas lagi.
Aku menarik napas panjang-panjang, mengisi lagi paru-paruku dengan udara. Ibu mengambil gelas minumannya.
Ia menenggak banyak-banyak minumannya,
memandangku yang masih di lantai, lalu mengembuskan
udara ke arahku. "Tidak terlalu berat, bukan"" kata Ibu,
sambil menghabiskan isi gelasnya, lalu menyuruhku turun
ke basement, ke dipan lipatku.
Pagi harinya, aku menerima perlakuan serupa. Bedanya,
itu dilakukan di depan Ayah. Ibu mengumbar kata-kata,
"Ini akan membuat jera anak ini sehingga tidak mencuri
lagi!" Aku tahu, itu dilakukan Ibu demi memuaskan
nafsunya yang sinting dan menyimpang. Ayah berdiri saja,
tak berdaya, ketika Ibu mencekoki aku lagi dengan
amonia. Tetapi kali itu aku melawan. Ibu harus bersusah
payah membuka mulutku. Dengan keras kugelengkan
kepalaku ke kiri ke kanan, sehingga aku berhasil
menumpahkan sebagian besar cairan pembersih yang ada
di sendok itu ke lantai. Tetapi temyata tidak cukup banyak.
Sekali lagi aku jatuh ke lantai dalam posisi merangkak,
lantai kutinju berkali-kali. Aku menengadah kepada Ayah,
mencoba memanggilnya. Aku bisa berpikir jemih, namun
tak sedikit pun suara keluar dari mulutku. Ayah cuma
berdiri saja, tanpa emosi, padahal aku meninju-ninju lantai
di dekat kakinya. Dengan posisi tubuh seolah-olah sedang
memberi makan seekor anjing peliharaannya, Ibu
memukul keras punggungku beberapa kali, dan aku pun
pingsan. Pagi harinya, saat membersihkan kamar mandi, dengan
bantuan cermin aku memeriksa lidahku yang melepuh. Ada
bagian yang terkelupas, sedangkan sisanya merah dan
lecet. Aku merasa bersyukur masih hidup.
Sekalipun Ibu tidak lagi mencekoki aku amonia, beberapa
kali ia mencekoki aku Clorox-semacam cairan penghancur
kotoran. Tetapi rupanya Ibu paling senang mencekoki aku
sabun cair pencuci piring. Ia memaksaku menelan sabun
pencuci piring cair berwama pink itu dengan langsung
menuangkannya dari botolnya, lalu menyu
ruhku berdiri di basement. Mulutku terasa kering sekali, sampai-sampai
aku meminum air banyak-banyak dari selang keran di situ.
Tak lama kemudian aku sadar telah membuat kesalahan
besar. Perutku jadi sakit sekali. Aku berteriak kepada Ibu,
mohon diizinkan menggunakan toilet di atas. Ia tidak
mengizinkan. Aku berdiri saja di basement, takut bergerak
sebab kotoran cair mengalir keluar dari celana dalamku,
terus mengalir sepanjang kakiku, lalu ke lantai.
Aku merasa hina sekali aku menangis seperti bayi. Aku
merasa tidak lagi punya harga diri. Aku masih ingin ke
kamar mandi, tapi aku takut sekali bergerak. Karena
perutku amat sakit dan seperti terpilin, dengan sekeras
hati kulakukan sesuatu untuk menyelamatkan harga diriku.
Dengan susah payah aku berjalan setengah berjongkok,
seperti bebek, menuju tempat cucian di garasi. Kuraih
sebuah ember, lalu aku jongkok di atas ember itu untuk
mengeluarkan sisa kotoran. Kupejamkan mata sambil
berpikir bagaimana caranya membersihkan badan dan
pakaianku. Pada saat itulah tiba-tiba pintu garasi di belakangku
terbuka. Aku menoleh. Kulihat Ayah berdiri di situ dengan
wajah tanpa perasaan, sementara anaknya mengiba
padanya bersamaan dengan mengalimya kotoran berwama
cokelat ke ember. Aku merasa lebih rendah daripada
anjing. Ibu tidak selalu menang. Pemah terjadi, ketika aku tidak
diperbolehkan masuk sekolah, Ibu mengucurkan sabun cair
pencuci piring ke mulutku langsung dari botolnya, lalu
menyuruhku membersihkan dapur. Ibu tidak tahu apa
yang kulakukan dengan sabun cair di mulutku, pokoknya
aku tak sudi menelannya. Bermenit-menit kemudian,
mulutku penuh dengan campuran sabun cair dan air ludah.
Aku tidak mengizinkan diriku untuk menelannya. Ketika
tugas membersihkan dapur selesai, aku bergegas ke turun
untuk membuang sampah. Aku tersenyum lebar. Begitu
pintu kututup, kuludahkan sabun cair berwama pink itu
dari mulutku. Kemudian aku mengambil tisu bekas dari
dalam salah satu tempat sampah di dekat pintu garasi.
Kugunakan tisu bekas itu untuk membersihkan lidah clan
mulutku dari sisa-sisa sabun cair. Setelah semua itu
selesai, aku merasa bagai pemenang Olympic Marathon.
Aku bangga bisa mengalahkan Ibu dalam permainan yang
sangat ia kuasai. Meskipun Ibu tahu sebagian besar usahaku untuk
mendapat makanan, ia tidak tahu semuanya. Setelah
berbulan-bulan dikurung di basement selama beberapa jam
setiap kalinya, keberanianku muncul, lalu aku mencuri
makanan beku dari freezer yang ada di dekat garasi.
Sepenuhnya aku sadar bahwa setiap saat bisa saja aku
ketahuan dan harus membayar tindakan kriminalku itu.
Maka, kunikmati setiap gigitan, seolah-olah itulah makanan
terakhir yang bisa kunikmati.
Dalam kegelapan basement aku memejamkan mata. Aku
berkhayal sebagai seorang raja yang mengenakan jubah
paling indah, yang sedang menyantap hidangan paling
lezat yang bisa ditawarkan manusia. Sambil memegang
pumpkin pie atau taco sheel, aku-lah sang raja, dan seperti
layaknya seorang raja yang duduk di atas singgasana, aku
menatap hidanganku yang lezat dan tersenyum.
********

A Child Called It Karya Dave Pelzer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

5 KECELAKAAN Musim panas tahun 1971 menandai akhir dari masa
kehidupanku bersama Ibu. Umurku belum genap 11
tahun, namun secara umum aku tahu seperti apa hukuman
yang bakal aku terima dari Ibu. Melanggar batas waktu
yang ditentukan Ibu untuk menyelesaikan macam-macam
pekerjaan rumah tangga, aku diganjar hukuman tidak
makan-sekalipun hanya satu saja dari pekerjaan itu yang
kulanggar batas waktunya, sementara semua pekerjaan
lainnya kuselesaikan tepat waktu, tetap tak ada makan
untukku. Kalau aku memandang Ibu atau salah satu dari anak-anaknya tanpa seizinnya, aku diganjar hukuman
tempelengan. Kalau aku ketahuan mencuri makanan, aku
tahu Ibu akan mengulangi hukuman-hukuman yang pemah
ia lakukan atau merancang sebuah bentuk hukuman baru
yang cuma dia yang tahu. Bisa dikatakan Ibu tahu apa
yang sedang dilakukannya, sementara aku pun bisa
mempersiapkan diri terhadap kemungkinan tindakan yang
akan diambil Ibu selanjutnya. Bagaimanapun, aku siaga
setiap saat dan mempersiapkan seluruh badanku setiap
kali Ibu berurusan denganku.
Memasuki awal bulan Juli semangat hidupku meredup.
Makanan nyaris menjadi khayalan. Bahkan sisa-sisa
sarapan pagi pun aku jarang mendapatkannya. Sekeras
apa pun aku bekerja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga, tidak pernah ada makan siang yang
kudapat. Aku memperoleh sedikit makan malam tiga hari
sekali. Pada suatu hari di bulan Juli, segala sesuatu berawal
seperti hari-hari lainnya. Pada waktu itu aku sudah tiga
hari tidak makan. Sekolah sedang liburan musim panas,
jadi kesempatan mencuri dan mendapat makanan tidak
ada. Setiap saat makan malam, seperti biasa aku duduk di
bawah tangga, dengan posisi tangan di bawah pantat,
sambil mendengarkan suara suasana "keluarga ini" yang
sedang makan malam. Saat itu Ibu mengharuskan aku
duduk di atas tanganku dengan kepala mendongak, seperti
posisi "tawanan perang". Untuk kali itu aku biarkan
kepalaku tertunduk, sambil setengah bermimpi aku adalah
salah satu dari mereka-salah satu anggota "keluarga ini".
Aku pasti tertidur waktu itu, sebab tiba-tiba aku terbangun
oleh suara geram Ibu, "Bangun! Cepat naik!"
Deretan kata pertama dari perintah Ibu langsung membuat
kepalaku tegak, aku berdiri, lalu bergegas naik. Aku berdoa
agar malam itu aku mendapat sesuatu, apa saja, yang bisa
mengganjal perutku yang kelaparan.
Baru saja aku mulai menyingkirkan peralatan makan dari
meja makan dengan secepat kilat, Ibu sudah menyuruhku
ke dapur. Kutundukkan kepala ketika ia menyerocos
tentang batas waktu yang tidak boleh kulanggar.
"Kau punya waktu 20 menit! Terlambat satu menit, satu
detik, maka kau akan kelaparan lagi! Mengerti""
"Ya, Bu." "Lihat aku kalau aku sedang bicara padamu!" bentaknya.
Kuturuti perintahnya, pelan-pelan kudongakkan kepalaku.
Kecelakaan " 79 Saat kepalaku tegak, kulihat Russell sedang berayun-ayun
di kaki kiri Ibu. Tampaknya ia sama sekali tidak terganggu
oleh suara Ibu yang keras dan tajam. la memandangiku
dengan sorot mata yang dingin. Sekalipun pada waktu itu
usianya baru empat atau lima tahun, Russell sudah
menjadi "Nazi kecil" bagi Ibu, yang mengawasi setiap
tindakanku, memastikan bahwa aku tidak mencuri
makanan sedikit pun. Kadang kala ia mengarang cerita
yang kemudian dipercayai Ibu, dan dengan demikian ia
bisa melihat aku dihukum. Tentu saja semua itu bukan
salah Russell. Aku tahu Ibu sudah menanamkan kesan
buruk mengenai diriku di kepalanya. Bagaimanapun, aku
mulai tidak menganggap dirinya sekaligus membencinya.
"Kau dengar aku"" teriak Ibu. "Lihat aku kalau aku sedang
bicara padamu!" Waktu kulihat, Ibu baru saja menyambar
pisau daging dari rak dan berteriak, "Kalau kau tidak
menyelesaikan tugas-tugasmu tepat waktu, kubunuh kau!"
Ancamannya tidak mempengaruhi aku. Sudah hampir
seminggu ini Ibu terus-menerus mengeluarkan ancaman
yang sama. Bahkan Russell pun tidak terpengaruh
mendengamya terus saja ia berayun-ayun di kaki Ibu
seakan-akan sedang naik kuda poni yang gemuk.
Tampaknya Ibu tidak puas dengan taktik barunya itu sebab
ia terus saja menyerocos, sementara jarum jam bergerak
terus, menghabiskan batas waktuku. Aku berharap Ibu
menutup mulutnya dan membiarkan aku terus bekerja.
Mati-matian aku berusaha menepati batas waktu yang
ditetapkan Ibu. Begitu besar keinginanku untuk mendapat
sesuatu yang bisa dimakan. Aku tak tahan kalau harus
tidur satu malam lagi tanpa makan.
Kelihatannya ada sesuatu yang tidak beres. Betul-betul
tidak beres! Sepenuhnya kupusatkan pandanganku ke arah
Ibu. Ia mulai mengayun-ayunkan pisau daging di tangan
kanannya. Aku juga tidak terlalu takut dengan sikap Ibu
ini, sebab ia pemah juga bersikap seperti itu. "Mata",
kataku pada diri sendiri. "Lihat matanya". Maka kulihat
matanya, yang tampak seperti biasanya juga. Tetapi
naluriku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Menurutku ia tidak akan memukulku, tapi toh tubuhku
mulai menegang. Ketika kurasakan diriku semakin tegang
itulah, aku tahu apa yang tidak beres itu. Karena gerakan
berayun-ayun yang dilakukan Russell di kaki Ibu, juga
karena gerakan lengan serta tangan Ibu yang
menggenggam pisau, tubuh Ibu semakin keras bergoyang
ke depan dan ke belakang. Sempat terpikir olehku bahwa
Ibu akan jatuh. Ibu berusaha menyeimbangkan posisinya dengan menarik
Russell dari kakinya, sementara ia terus saja membentak-bentakku. Saat itulah badan Ibu bagian atas limbung,
seperti kursi goyang yang berayun tak terkendali. Saat
selanjutnya, aku tak lagi memperhatikan ancaman-ancaman Ibu tetapi aku mulai membayangkan perempuan
yang mabuk itu bakal jatuh dengan wajahnya lebih dulu
membentur lantai. Kuperhatikan wajah Ibu dengan
sungguh-sungguh. Dari sudut mataku, samar-samar
kulihat sebuah benda melayang dari tangannya. Tiba-tiba
ada rasa sakit yang perih tepat di bagian atas perutku. Aku
berusaha tetap berdiri, tetapi kedua kakiku tak mampu
tegak, dan semuanya jadi gelap.
Saat sadar kembali, ada rasa hangat yang mengalir dari
dadaku. Beberapa saat kemudian baru aku tahu di mana
aku berada. Aku didudukkan di atas toilet. Aku menoleh ke
arah Russell yang mulai bernyanyi, "David's going to die.
The Boy's going to die". Kualihkan pandanganku ke arah
perutku. Sambil berlutut, Ibu tampak tergesa-gesa
menempelkan kain perban kasa tebal pada suatu tempat di
bagian perutku yang mengeluarkan darah berwarna merah
gelap. Aku mencoba mengatakan sesuatu. Aku tahu semua
ini adalah kecelakaan. Aku ingin memberitahu Ibu bahwa
aku memaafkannya, tapi aku merasa sangat pusing
sehingga tak mampu berkata-kata. Berkali-kali kepalaku
lunglai ke depan, dan aku selalu mencoba menegakkannya
kembali. Aku kehilangan pedoman waktu, lalu kembali tak
sadarkan diri. Saat aku sadar, Ibu masih berlutut, membalutkan kain ke
sekeliling dadaku agak ke bawah. la terampil dalam bidang
ini. Dulu, ketika Ron, Stan, dan aku masih kecil-kecil, Ibu
sering berkata bahwa ia tadinya bercita-cita menjadi
perawat, sampai akhirnya ia bertemu Ayah. Setiap kali ada
kecelakaan di rumah, Ibulah yang paling menguasai
keadaan. Sedikit pun tak pernah kuragukan kecakapan Ibu
dalam hal merawat. Aku tinggal menunggu dibawa Ibu ke
rumah sakit dengan mobil. Aku yakin ia akan melakukan
itu. Tunggu saja. Aku merasakan kelegaan yang ganjil. Aku
yakin bahwa semua hukuman yang selama ini kuterima
berakhir sudah. Hidup bagai seorang budak tentulah keliru,
dan semua itu sekarang sudah berakhir. Bahkan Ibu tidak
bisa menyangkal hal itu. Aku merasa kecelakaan itu telah
membebaskanku. Ibu membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk
mengobati dan membalut lukaku. Dalam sorot mata Ibu
tidak tampak rasa sesal telah melukai anaknya dengan
pisau. Menurutku mungkin Ibu menunjukkan rasa sesal itu
dengan mencoba menenangkan diriku, bahkan caranya
berbicara denganku terasa tenang. Sambil memandangku
tanpa emosi, Ibu berdiri, mencuci tangannya, lalu berkata
padaku bahwa aku diberi waktu 30 menit untuk
menyelesaikan tugas mencuci perkakas makan. Aku
menggeleng, sambil mencoba memahami apa yang
barusan dikatakannya. Beberapa saat kemudian, sikap Ibu
menjadi jelas. Sama seperti kejadian yang menyebabkan
tulang lenganku patah beberapa tahun sebelumnya, Ibu
tak akan mengakui kejadian tersebut pernah terjadi.
Aku tak sempat mengasihani diri sendiri. Waktu terus
berjalan. Aku berdiri, terhuyung beberapa saat, lalu
berjalan ke dapur. Pada setiap langkah, rasa sakit menjalar
dari bagian rusukku, darah merembesi T-shirtku yang
lusuh. Begitu sampai di bak cuci piring, aku menyandarkan
tubuh dan terengah-engah seperti anjing tua.
Dari dapur aku bisa tahu bahwa Ayah ada di ruang
keluarga, membaca koran. Aku menarik napas panjang,
sakit sekali rasanya. Aku berharap bisa pergi dari dapur
dan berjalan ke tempat Ayah berada. Dalam keadaan
seperti ini, rupanya aku menarik napas terlalu dalam
sehingga aku terjatuh. Baru kusadari bahwa aku harus
menarik napas pendek-pendek. Lalu aku berjalan ke ruang
keluarga dengan susah payah. Di ujung kursi panjang di
ruangan itu duduklah Ayah, pahlawanku. Aku yakin Ayah
akan menegur Ibu, lalu membawaku ke rumah sakit. Aku
berdiri di depan Ayah, menunggunya membalik koran dan
melihatku. Dan ketika akhirnya ia membalik korannya,
dengan susah payah aku berkata, "Ayah... I... I... Ibu
menusukku". Ayah bahkan tidak mengangkat alis matanya, apalagi
menoleh. "Kenapa"" tanyanya.
"Dia bilang, kalau ak
u tidak menyelesaikan tugas mencuci
perkakas tepat pada waktunya, dia... dia akan
membunuhku". Waktu seakan berhenti. Dari balik koran aku bisa
mendengar napas Ayah yang jadi berat. Ia menelan ludah,
lalu berkata, "Ya... kau ah... kau lebih baik kembali ke
dapur dan menyelesaikan tugasmu mencuci piring."
Kujulurkan kepala ke depan, seolah-olah ingin mendengar
lebih jelas ucapannya. Aku tak percaya apa yang baru saja
kudengar. Ayah pasti menangkap kebingunganku sebab ia
lalu melipat korannya, dan kudengar suaranya meninggi,
"Astaga! Apakah Ibu tahu bahwa kau sekarang di sini
sedang bicara dengan aku" Kau lebih baik kembali ke
dapur dan selesaikan cucian piringmu. Astaga. Kita tidak
perlu melakukan apa-apa yang bisa membuatnya lebih
marah lagi! Aku tak mau bertengkar malam ini..." Ayah
berhenti bicara sebentar, mengambil napas panjang, lalu
berbisik, "Begini: kembalilah ke dapur dan selesaikan
tugasmu mencuci piring. Aku bahkan tidak mau dia tahu
bahwa aku menyuruhmu, mengerti" Ini rahasia kita
berdua. Kembalilah ke dapur, dan selesaikan tugasmu
mencuci piring. Ayo. Lekaslah, sebelum dia memergoki kita
berdua. Sana!" Aku kecewa berat. Ayah bahkan tidak melihat ke arahku.
Menurutku paling tidak ia bisa menurunkan korannya untuk
melihat sorot mataku, maka ia pasti tahu ia pasti akan bisa
merasakan sakitku, merasakan betapa aku membutuhkan
pertolongannya. Tetapi, seperti biasanya, aku tahu Ibu
mengendalikan Ayah dan mengendalikan semua persoalan
yang terjadi di dalam rumah ini. Aku dan Ayah sama-sama
tahu aturan main "keluarga ini" kalau kami tidak
mengakui sebuah persoalan, persoalan itu memang tidak
pernah ada. Waktu aku berdiri termangu di depan Ayah itu,
kulihat tetesan darahku menodai karpet keluarga ini. Aku
mendambakan gendongan Ayah, yang kemudian
membawaku pergi dari situ. Aku bahkan membayangkan
Ayah membuka kemejanya untuk memperlihatkan siapa
dia sesungguhnya, lalu terbang ke angkasa-seperti
Superman. Aku meninggalkan ruangan itu. Rasa hormatku terhadap
Ayah hancur sudah. Gambaran Ayah sebagai juru selamat
ternyata palsu. Rasa marahku terhadap Ayah lebih besar
daripada terhadap Ibu. Aku ingin bisa terbang, tetapi rasa
sakit yang kurasakan mengembalikan aku pada kenyataan.
Kucuci peralatan makan secepat mungkin, tergantung
kondisi tubuhku saat itu. Kalau kugerakkan lengan
bawahku, bagian atas perutku terasa amat sakit. Kalau aku
melangkah ke samping, sekujur tubuhku terasa sakit.
Betapa lemahnya aku, tenagaku nyaris hilang semua.
Begitu batas waktu yang ditetapkan Ibu lewat, lewat juga
peluangku mendapat makanan.
Saat itu yang kuinginkan cuma berbaring dan menyerah
saja, tetapi janji terhadap diriku sendiri yang kubuat
beberapa tahun sebelumnya menahanku. Ingin
kutunjukkan kepada "Perempuan Jahat Itu" ia bisa
mengalahkan aku hanya bila aku mati, dan aku telah
berketetapan-hati untuk tidak menyerah-menyerah pada
kematian pun tidak. Sambil mencuci peralatan makan itu
aku belajar sesuatu mengenai keadaanku-kalau aku
berdiri berjinjit dan menyandarkan pelan-pelan badan
bagian atasku ke pinggiran tembok cucian piring, rasa sakit
di bagian bawah dadaku agak berkurang; aku tidak sering-sering bergerak ke kiri ke kanan tapi beberapa peralatan
makan kucuci sekaligus, setelah itu baru aku membilasnya
sekaligus juga. Setelah semua perkakas itu kukeringkan,
sampailah pada tahap yang mencemaskan-semua
Kasus Kasus Perdana Poirot 4 Mas Rara Seri Arya Manggada 2 Karya S H Mintardja Seruling Samber Nyawa 9
^